text
stringlengths 478
2.18M
|
---|
Title: Rahasia Semesta
Category: True Story
Text:
Ketika dewasa tiba
Disuatu pagi yang indah , aku tiba di sekolah dengan suasana baru dan mayoritas isinya orang-orang tidak-ku kenal , dikalah pagi kita berkumpul di lapangan dengan baju seragam SMP yang kita pakai . kita melakukan ospek selama 3 hari , selesai sudah ospek yang kita lewati dengan teman-teman yang lain dan kembalilah aku ke kelas untuk belajar , awal - awal aku sekolah disini nyaman banget sama lingkunganya aku-pun orangnya mudah berbaur dengan siapa pun . dan disekolah ku ini temennya keren-keren apalagi cewenya cantik-cantik secara sekolah-ku di dalem komplek yang disekitarnya rumah-rumah pejabat , diwaktu pulang sekolah tiba , anak-anak yang lain pada pulang , aku dan beberapa temen ku malah asik nongkrong sama kakak kelas , awalnya sii aku malu, secara aku belom kenal dengan mereka tapi sudahlah . itu pilihan ku untuk nongkrong dan hari demi hari aku mulai berbaur satu sama lain . sekitar hampir seminggu lebih mulai akrab dengan yang lain dan disuatu hari setelah-ku pulang sekolah aku disuruh berkumpul 1 angkatan oleh kakak kelas-ku , wah pikirian ku udh engga karuan lagi , takut sekali waktu itu , aku menduga-duga akan ditatar oleh kakak kelas ku . akhirnya aku berkumpul 1 angkatan , setelah semuanya sudah berkumpul , aku disuruh duduk semua oleh kakak kelas ku , "apa ya yang bakal dilakukan kakak kelas ku ?" satu persatu orang disuruh berdiri dan perkenalkan asal sekolah waktu smp dan tempat tinggal . setelah perkenal selesai kukira ada yang ingin dilakukan oleh kakak kelas-ku ternyata tidak , dalam hatiku "Allahmdulilah" ternyata kakak kelas ku baik-baik , setelah semuanya selasai kembali nongkrong seperti biasanya , disitu aku bisa ngobrol panjang lebar dengan teman-teman ku dan bisa patungan beli rokok , air dan makan ringan . disitu aku merasa senang sekali bisa berkumpul , bercanda - tertawa bersama yang lain . keesokan harinya aku berangkat kesekolah tiba di sekolah , aku dapat panggilan dari guruku . tenyata aku akan mendapatkan sanki setelah aku nongkrong sepulang sekolah kemarin . sanksi yang diberikan adalah berjempur ditengah lapangan sampai jam istirahat tiba.
Description: Cinta dalam kehidupan
|
Title: RAKSASA DAN TIMUN MAS HIDUP BERSAMA
Category: Anak
Text:
RAKSASA DAN TIMUN MAS HIDUP BERSAMA
Pagi itu suasana di sekitar Goa Rangko yang terletak di tengah hutan Labuan Bajo terlihat ramai di datangi oleh berbagai jenis binatang. Mereka datang berbondong-bondong untuk mengunjungi dan menghadiri jamuan makan dari seorang Raksasa baik hati bernama Gede Ireng. Meskipun memiliki perwakan yang menakutkan, Gede Ireng memiliki hati yang baik dan bersahabat, sehingga semua penghuni hutan sangat menyayanginnya. Gede Ireng juga sering membantu masyarakat yang berada di desa tidak jauh dari hutan tempat dia tinggal, meskipun tidak menampakkan dirinya secara langsung, Gede Ireng membantu para warga melakukan pekerjaan mereka di hutan tanpa mereka ketahui. Saat acara jamuan makan sedang berlangsung, seekor burung merpati menghampiri Gede Ireng untuk menanyakan mengapa Gede Ireng terlihat tidak begitu bersemangat.
“Hai Gede, apa yang terjadi padamu? mengapa kamu terlihat murung dan bersedih” Tanya merpati denggan penuh selidik.
“Wahai merpati sahabatku, sebenarnya aku sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan kalian semua, teman-temanku yang sangat baik, tetapi akhir-akhir ini aku merasa sangat kesepiaan dan aku ingin memiliki seorang teman yang selalu bisa bersamaku di Gua ini, yang bisa menemaniku tanpa meninggalkanku, sedangkan kalian harus kembali ke tempat kalian masing-masing dan berkumpul dengan keluarga kalian setelah ini” keluh Gede Ireng dengan wajah menunduk lesu.
“Kamu tidak sendiri Gede, kami akan selalu ada untukmu, jika kamu membutuhkan kami, kamu bisa memanggil kami kapanpun kamu mau” pesan seekor landak berusaha menghibur Gede Ireng.
“Kalian semua memang teman-temanku yang sangat baik, terima kasih semuanya, mari kita mulai menyantap makanan ini, silahkan dinikmati sepuasnya” seru Gede dengan bersemangat mempersilahkan para tamunya menyantap jamuannya.
***
“Bu ayo kita segera berangkat ke sawah, nanti terlalu siang kita sampai” seru petani tua itu kepada istrinya yang masih bersiap di dapur.
“Sebentar Pak, ini Ibu sudah mau selesai” sahut istri petani tua itu sambil memasukkan nasi dan lauk pauk ke dalam bakul besar terbuat dari anyaman bambu.
Mereka pun berangkat ke sawah dengan tergesa-gesa mengingat matahari sudah sangat tinggi naik ke peraduannya. Sampai di sawah, petani tua itu bekerja dengan semangat seperti biasa, tetapi istri petani itu terlihat begitu murung dan tidak bersemangat. Petani tua itupun heran dengan sikap istrinya dan berniat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi kepada istrinya itu. Saat istirahat pun tiba, petani tua dan istrinya segera menuju pondok kecil mereka untuk menyantap makanan yang sudah mereka bawa. Ternyata tidak jauh dari pondok petani itu, di tutupi pohon-pohon rimbun sekitar hutan, Gede Ireng sedang tertidur pulas. Mencium aroma sedap makanan membangunkannnya dari tidur lelapnnya, ia melihat lingkungan sekitarnya mencari sumber aroma itu berasal. Saat itulah ia melihat dua orang suami istri petani sedang menyantap bekal mereka, dan tidak sengaja Gede Ireng mendengar percakapan yang terjadi di antara keduanya dari balik pohon rimbun itu.
“Bu, kenapa terlihat murung sekali hari ini?” Tanya petani tua itu dengan penuh cemas kepada istrinya.
“Ibu sedih Pak, kita sudah setua ini tapi tidak kunjung dikaruniai anak, tidak ada yang menjadi pelipur lara di masa tua kita ini. Ibu ingin sekali kita bisa memiliki anak Pak” suara istri petani itu serak dengan air mata berlinang dalam dekapan suaminya.
“Sabar Bu, kita berdoa saja terus kepada Tuhan, Tuhan pasti akan mengabulkan keinginan kita untuk bisa mempunyai anak” hibur petani tua itu menguatkan hati istrinya.
Gede Ireng yang mendengar percakapan pasangan suami istri itupun menjadi iba kepada mereka, dan berniat membantu suami istri itu sebisanya. Kemudian pulanglah ia ke Goa Rangko untuk meminta bantuan kepada sahabatnya si Tupai yang bijaksana.
“Wahai sahabatku Tupai, aku baru saja mendengar pembicaraan suami istri petani tua di sawah dekat hutan ini, mereka sudah lama tidak dikarunia anak, aku ingin sekali membantu mereka, bagaimana caranya yah agar mereka bisa mempunyai anak?” Tanya Gede dengan penuh harap kepada sahabatnya si Tupai yang bijaksana.
“Aku pernah mendengar tentang sebuah biji timun ajaib di atas gunung sana, tetapi biji itu dijaga seekor naga yang sangat berbahaya. Karena aku dengar biji timun itu jika ditanam maka akan mewujudkan keinginan kita, apapun itu. Mungkin atas izin Tuhan, biji timun itu juga bisa mewujudkan keinginan pasangan suami istri petani yang belum punya anak itu” jawab si Tupai dengan penuh kewibawaan.
Setelah mendengar penjelasan dari sahabatnya si Tupai yang bijaksana, Gede Ireng segera menuju gunung yang di jaga oleh Naga Hijau yang sangat berbahaya. Sesampainya Gede Ireng di tempat Naga Hijau itu, ia segera mencari keberadaan biji timun ajaib itu. Ternyata biji timun ajaib itu berada di mutiara hijau yang berada di kepala sang naga. Gede Ireng pun meminta biji timun dengan cara negosiasi, tetapi sang naga tetap tidak mau memberikannya. Kemudian dia menantang Gede Ireng, jika Gede Ireng bisa mengalahkannya maka biji timun itu akan diserahkan kepada Gede Ireng. Maka dimulailah pertarungan yang sengit antara Gede Ireng dengan Naga Hijau, yang akhirnya dimenangkan oleh Gede Ireng yang berhasil merebut mutiara hijau yang berisi biji timun ajaib. Naga Hijau pun menjadi tidak berdaya karena sumber kekuatannya telah hilang dan menyatakan kekalahannya. Gede Ireng pun berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Saat hendak beranjak pergi, sang naga berpesan bahwa Gede Ireng harus menggunakan biji timun itu untuk kebaikan, dan dia harus menjaganya dengan baik.
***
Pondok reot itu menjadi saksi semua harapan dan mimpi dari pasangan petani tua yang sudah lama menginginkan seorang buah hati. Saat mereka sedang santap siang, mereka dikejutkan dengan suara yang keras dan menakutkan, kemudian mereka mencari sumber suara itu berasal dan betapa terkejutnya mereka menemukan sosok Raksasa yang sangat menakutkan berdiri sambil tersenyum dihadapan mereka.
“Jangan takut petani tua, aku tidak akan menyakiti kalian. Aku sudah mendengar keluhan kalian beberapa waktu yang lalu, dan aku ingin membantu kalian” Gede Ireng mencoba meredam ketakutan pasangan petani tua dihadapannya.
“Bagaimana caranya kamu membantu kami wahai Raksasa?” Tanya istri petani tua itu dengan penuh selidik.
“Ambillah biji timun ini, kemudian tanam dan berdoalah kepada Tuhan mengenai apa yang sangat kalian inginkan, maka itulah yang akan kalian dapatkan saat timun itu sudah siap dipetik” jelas Gede Ireng sambil memberikan biji timun ajaib kepada mereka.
“Kami sangat menginginkan seorang anak, kami akan melakukan seperti yang kamu suruh. Terimaksih Raksasa, bagaimana kami akan membalas kebaikanmu” Tanya petani tua dengan bahagia.
“Jika anak itu sudah berusia tujuh belas tahun, kalian harus menyerahkannya kepadaku di tempat ini juga, apa kalian setuju?” Gede Ireng memberikan penawaran.
“Iya, kami setuju”, sahut pasangan itu tanpa berpikir panjang karena terlalu bahagia akan memiliki seorang anak.
Setelah itu pasangan petani itu langsunng pulang ke rumah mereka dan segera menanam biji timun itu. Mereka berdoa dan berharap kepada Tuhan agar mereka bisa segera memiliki anak. Keesokan harinya mereka dikejutkkan suara tangisan seorang bayi dari halaman rumah mereka. Keduanya segera mencari sumber suara yang ternyata berasal dari buah timun yang sangat besar. Mereka terkejut bukan kepalang bagaimana mungkin biji timun yang baru kemarin mereka tanam sudah tumbuh dan memiliki ukuran yang tidak biasa. Mereka segera membawa buah timun itu ke dalam rumah dan membukanya. Betapa bahagianya wajah mereka melihat seorang bayi perempuan yang sangat cantik terbaring dengan nyaman di dalam buah timun itu. Mereka pun memberi nama bayi itu Timun Mas.
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa Timun Mas telah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik. Kedua pasangan petani tua itupun tiba-tiba menjadi ketakutan dan sedih. Mereka baru ingat dengan janji yang mereka buat dengan Raksasa Gede Ireng. Mereka sebenarnya tidak rela menyerahkan Timun Mas kepada Raksasa itu. Timun mas yang sangat cantik lagi baik pun merasa sikap ibu dan ayahnya menjadi berbeda, mereka selalu terlihat murung. Padahal sebentar lagi Timun Mas akan berumur tujuh belas tahun.
“Ayah, Ibu mengapa kalian terlihat sangat sedih? Apa sebenarnya yang terjadi, ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantu kalian” Tanya Timun Mas kepada orangtuanya saat mereka sedang bersantap sore.
“Maafkan kami nak, Ibu harus menceritakan ini kepadamu, agar kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi”.
Akhirnya pasangan itu menceritakan kejadian sebenarnya kepada Timun Mas bahwa dia harus diserahkan kepada Raksasa sebagai balasan karena oranngtuanya telah mendapatkan biji timun ajaib tempat dia berasal.
“Baiklah Ayah Ibu, aku tidak keberatan diserahkan kepada Raksasa itu. Ini adalah janji dan kalian harus menepati itu” jawaban Timun Mas diluar dugaan orangtuanya.
“Tapi Ibu tidak rela Nak, kami sangat menyayangimu. Jika Raksasa itu menyakiti kamu, Ibu tidak akan rela kehilangan kamu” tangis Ibu Timun Mas pun pecah mendengar jawaban anaknya.
“Aku akan baik-baik saja Bu, bukankah janji harus ditepati? Raksasa itu telah menepati janjinya dan sekarang Ibu dan Ayah yang harus menepati janji itu” jawab Timun Mas dengan tegas.
Akhirnya sesuai kesepakatan yang telah dibuat dahulu. Mereka bertemu dengan Gede Ireng ditempat yang sama saat pertama kali mereka mendapatkan biji timun ajaib. Gede Ireng pun sudah berada di tempat itu menunnggu kedatangan pasangan petani tua itu.
“Hai Raksasa, hari ini kami akan menepati janji kami kepadamu. Kami telah membawa anak kami Timun Mas, dan akan menyerahkannya kepadamu sesuai kesepakatan kita dulu” petani tua membuka pembicaraan memecah kekakuan yang terjadi.
Akhirnya dengan berat hati pasangan suami istri itu melepas anak kesayangan mereka kepada Raksasa Gede Ireng. Setelah itu mereka kembali ke rumah mereka, sedangkan Gede Ireng dan Timun Mas pun pulang ke Gua Rangko. Awalnya Timun Mas sangat takut kepada Gede Ireng, melihat penampilannya yang sangat menakutkan Timun Mas berpikiran bahwa ia akan menjadi santapan Raksasa itu. Namun, setelah beberapa hari hidup dengan Gede Ireng, Timun Mas merasa takjub dan iba kepada Gede Ireng. Ia takjub dan kagum karena ternyata Gede Ireng sangat baik kepada dirinya dan kepada mahkluk hutan yang lain. Dia tidak pernah menyakiti Timun Mas satu kalipun, begitupun dengan binatang-binatang yang ada di hutan itu. Selain itu, Timun Mas juga merasa Iba kepada Gede Ireng karena dengan penampilannya yang menakutkan orang-orang yang tidak sengaja bertemu dengannya pasti beranggapan bahwa Gede Ireng adalah raksasa yang bengis dan jahat. Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa Timun Mas dan Gede Ireng telah bersama selama satu bulan. Ada perasaan yang tidak biasa yang dirasakan oleh Timun Mas, begitupun dengan Gede Ireng saat mereka sedang bersama. Hal ini mungkin karena terlalu seringnya mereka melakukan berbagai aktivitas bersama-sama.
Sore itu Timun Mas tidak melihat Gede Ireng di Gua Rangko. Timun Mas merasa sangat khawatir, sampai akhirnya rasa khawatir itu hilang setelah ia melihat Gede Ireng berjalan dengan lemas menuju tempatnya berdiri. Tetapi Gede Ireng terlihat sangat tidak berdaya dan langsung terbaring di hadapan Timun Mas. Sontak Timun Mas kaget dan menghampiri Gede Ireng.
“Apa yang terjadi denganmu tuan Raksasa?” Tanya Timun Mas dengan nada khawatir dan sedih yang tak terbendung.
“Sepertinya aku terkena racun bambu tua yang ada di dekat sungai, ntah bagaimana aku tak melihat bambu itu saat sedang berjalan. Tubuhku rasanya lemas sekali, sepertinya racunnya telah menyebar ke seluruh tubuhku Timun Mas” jawab Gede Ireng dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya.
“Kamu tidak boleh mati tuan Raksasa, aku mohon. Aku sangat menyayangimu, setelah beberapa lama kita tinggal bersama, aku tidak mau kehilanganmu tuan Raksasa” tangis Timun Mas pun pecah melihat kondisi Gede Ireng yang hamper tak bernafas.
“Peluk aku Timun Mas, tubuhku terasa dingin, mungkin dengan pelukan darimu tubuhku menjadi hangat” pinta Gede Ireng saat mengetahui tubuhnya sudah hamper tak bernyawa.
Timun Mas pun segera melakukan apa yang dikatakan oleh Gede Ireng. Dia segera memeluk kepala Gede Ireng sambil menangis, membuat hewan-hewan disekitar mereka yang menyaksikan kejadian itu ikut menangis. Ternyata nyawa Gede Ireng sudah tidak tertolong lagi. Akhirnya ia meninggal dalam dekapan Timun Mas yang terus menangis sejadi-jadinya mengetahui bahwa Raksasa yang dicintainya telah pergi untuk selamanya.
“Aku mencintaimu Timun Mas, sangat mencintaimu” kata-kata terakhir yang mampu diucapkan Gede Ireng kepada Timun Mas yang sangat dicintainya.
Description: Cerita ini mengangkat kembali cerita rakyat tentang Timun Mas dan Raksasa yang sudah berkembang di kalangan masyarakat, tetapi dengan versi yang berbeda. Dimana pada akhirnya Timun Mas dan Raksasa hidup bersama meskipun tidak dalam waktu yang lama. Penasaran dengan ceritanya? segera baca langsung dan temukan jawabannya
|
Title: Rain for Rain
Category: Adult Romance
Text:
"Rainita"
"Hmm.. Wangi air hujan.. Really love this."
Ucap seorang wanita yang sedang duduk manis di sudut favoritnya yang semi out door, ketika berada di sebuah coffee shop langganannya.
"Please deh Rain.. Kayak orang sakau aja kalo udah hujan turun." Ucap eseorang di hadapannya dengan tatapan heran.
Si wanita hanya tertawa geli mendengar komentar dari sahabatnya itu sembari menyeruput hot cappucino less sugar favoritnya.
"Wangi tanah yang basah setelah sekian lama gak kena air hujan itu, menenangkan tau gak sih lo." Jawabnya dengan senyuman jail.
"Ck.. Paan sih ? Lebay ah. Setelah hati lu yang udah kayak mesin karatan, jangan bilang juga kalo otak lo ikutan berdebu juga deh sekarang." Jawab sahabatanya lagi dengan nada ketus isengnya.
Mencoba sedikit mengabaikan kalimat yang terlontar dari mulut sahabat kesayangannya itu, Rain menengadahkan tangannya melewati payung yang menutupi mereka dari rintikan air hujan yang tidak begitu deras.
-Rain POV-
Andai saja ada seseorang yang bisa kuajak untuk bermain air hujan bersama, alangkah bahagianya diriku membiarkan tubuh ini basah terkena air langit yang begitu bisa menenangkan hatiku setiap dia turun membasahi bumi.
Aku melihat jam tangan seraya menyeruput sisa dari hot cappucinno ku.
"OMG.. Gue lupa kalo ada meeting setengah jam lagi di kantor sama kepala editor gue." Aku menepuk jidatku sendiri seraya mengingat janji meetingku.
Aku terpaksa bangun dari singgasanaku, membereskan beberapa barang dan mengembalikannya kedalam tas tanganku.
"Duh.. Emang kebi ya lo lupanya. Pake reminder dong Rain." Mema kembali berisik di sela - sela aku membereskan barang - barangku.
"Duh, bawelnya kumat deh. Waktu gue udah mepet banget ini. Tar gue telepon ya Mema sayang. Love you.."
Dengan langkah terburu - buru dan memberikan sedikit kecupan di pipi cabi Mema segera aku pergi dari sana.
Memang aku adalah seorang yang cukup pelupa ketika sudah nongkrong di coffee shop milik Mema ini. Bukan karena coffee shop ini milik sahabatku. Tapi memang karena suasana disini selalu bisa membuatku merasa nyaman dan betah.
Aku selalu memilih tempat duduk favorit ketika datang kesini. Meja yang berada di bagian garden luar dengan payung besar yang menutupi agar tidak terkena panas matahari ataupun air hujan. Pemandangan yang menuju ke taman bunga mawar dengan warna putih dan merah yang dirawat dengan baik langsung oleh Mema, juga membuatku selalu ingin terus menerus berada di tempat ini.
Tidak jarang ketika aku mengatakan pada Mema bahwa aku akan mampir kesini, meja ini selalu di khususkan untukku. Bahkan sekalipun saat itu ada orang yang duduk di tempat ini, entah bagaimana cara Mema ataupun karyawannya bisa saja menghandle dan membuatku selalu bisa duduk di tempat ini.
Mema memang sahabat terbaikku. Entah apapun itu, aku akan selalu menceritakannya pada Mema. Pekerjaan hingga hubungan percintaanku yang entah kapan terakhir kali aku merasakannya pun, Mema selalu tahu.
Bahkan sampai ke inci dari tubuhku pun dia juga sudah hafal.
Kenapa bisa seintim itu ??
Hmm.. Itu karena aku dan Mema bukan baru mengenal satu atau dua tahun saja. Tetapi karena kami sudah saling mengenal sejak sekolah menengah pertama, hingga sekarang Mema akan prepare untuk memiliki anak kedua.
Ahh aku hampir lupa memperkenalkan diriku..
Namaku Rainita Sarasputri Purnawan, biasa di panggil Rain.
Umurku 30 tahun beberapa hari yang lalu. Single dan sangat bahagia dengan kesendirianku. Aku bersyukur karena berada dalam satu keluarga yang cukup berada dengan kedua orangtua dan adik laki - laki ku yg masih sehat dan utuh.
Berbeda dengan Mema yang sudah kehilangan sang ayah ketika duduk di bangku kuliah karena penyakit yang sudah cukup lama di derita beliau.
Mema juga berbeda denganku. Dia sudah menikah dan memiliki seorang putri ketika dia berusia 26 tahun. Putrinya saat ini sudah tumbuh dengan cantik dan sudah siap dengan kelahiran adik pertamanya.
Sedangkan aku, justru sangat tidak peduli tentang gunjingan - gunjingan yang terlontar dari banyak orang yang tidak mengerti dengan apa yang aku rasakan.
Terkecuali kedua orang tuaku yang sangat amat terlalu baik dan tidak pernah menuntut cepat - cepat ingin memiliki seorang menantu dan cucu.
Bohong jika aku tidak memikirkan perasaan mereka. Dan bagaimana bisa aku tidak kepikiran, jika mengingat usia mereka yang sudah mulai menua. Dan juga mengingat kesehatan ibuku yang agak sedikit memburuk setelah di fonis atas penyakit jantungnya beberapa tahun yang lalu.
Andika Sarasputri Purnawan. Beliau biasa di panggil Bunda oleh sepupu - sepupu hingga beberapa orang terdekat kami lainnya. "Bude Andika", disingkat menjadi bunda. Haha..
Entah sejak kapan panggilan itu tersemat. Tapi aku suka, karena menjadi mudah untuk diingat dan karena memang sosok ibu adalah cerminan dari wanita baik hati dan anggun.
Aku bersyukur karena saat ini kondisi ibu sudah jauh membaik, setidaknya 2 tahun belakangan ini. Dengan rutin check up, berolahraga rutin dan mengurangi cukup banyaknya kegiatan sehari - hari. Beliau tidak pernah aku ataupun ayah dan adikku biarkan melakukan pekerjaan sulit dan berat.
Karena ibu sangat suka bercocok tanam, akhirnya aku memberikan sedikit lahan yang kubeli di belakang rumah khusus untuk ibu menanam dan merawat berbagai banyak bunga - bunga cantik untuk sekedar mengisi waktu luang, agar beliau tidak bosan.
Ayahku, Rudi Purnawan.
Seorang pemilik dari Purnawan Company, yang menaungi beberapa perusahaan. Seperti periklanan hingga firma hukum pun menjadi salah satu anak dari perusahaan yang memang dimiliki oleh keluarga Purnawan. Maklum, ayahku adalah anak tunggal dari Boerdi Purnawan dan Rumiyati. Almarhum eyangku.
Beruntungnya aku karena tidak pernah di minta apalagi di paksa untuk mengurusi perusahaan ayah.
Karena ayah tahu bahwa aku memiliki minat tersendiri dalam bidang lain yang tidak ada di bagian dari perusahaan ayah.
Alhasil, adikku lah yang di percaya ayah dan memang dengan suka rela mau untuk mengurus perusahaan setelah mendapat gelar master nya beberapa bulan lagi.
Namanya adalah Rausyan Purnawan Putra. Kami sebagai keluarga inti selalu memanggilnya dengan panggilan sayang. Yaitu, Ochan. Ochan dan aku berbeda 3 tahun saja.
Ochan sangat dekat dengan ibu. Bahkan hingga sekarang pun dia masih suka glayutan dan manja pada ibu. Anak ibu banget deh pokoknya.
Tak jarang walaupun ada Nasya sang pacar, dia tidak segan untuk menunjukan kedekatan dan kemanjaanya dengan ibu, yang selalu membuat kami terkekeh lucu dengan tingkahnya.
Sejak Ochan menuntut ilmu di Cambrigde University untuk menyelesaikan S2 nya, rumah terasa sepi. Dia hanya akan pulang setahun sekali, dan menghabiskan waktunya yang lebih banyak di berikan untuk kami keluarga kecilnya. Aku senang, karena Ochan sangat amat mencintai keluarganya. Nasya sang pacar pun selalu mengalah dan mampir kerumah kami dari pada menghabiskan waktu di luar ketika Ochan pulang.
Walaupun kami jauh, Ochan tidak pernah absen untuk menghubungi kami hampir setiap hari. Walaupun just say hello dan menyampaikan beberapa kata saja.
Dia juga tidak pernah menolak dan justru exited ketika aku menceritakan keluh kesahku padanya hingga hampir berjam - jam mengajaknya video call.
Rasanya sudah tak sabar menunggu Ochan lulus dan kembali kerumah ini lagi. Tinggal ujian akhirnya selesai dan wisuda. Ingin sekali menjailinya lagi dan mengganggunya seperti yang biasa kulakukan dulu.
I miss you so bad dek...
Healing Myself?
Di ruangan ini aku biasa menghabiskan waktuku ketika merasakan berbagai macam hal. Mulai ketika aku marah, sedih, hingga ketika aku sedang kalut. Aku akan selalu berada di ruangan ini.
Tidak terlalu besar, tetapi ruangan dengan design interior yang cukup dominan warna cream ini sudah di penuhi oleh koleksi buku yang sudah aku baca sejak duduk di bangku menengah pertama.
Dan tiba - tiba suara lembut datang dari arah pintuku yang sedikit terbuka.
"Sayang.. Sudah mau jam 2 dini hari loh. Kok masih sibuk sama kerjaan sih ?"
Sapaan ibu membuat kepalaku reflek bergerak kearah pintu ruang kerjaku.
"Ibu.. Ibu sendiri kok jam segini belum tidur ?" Tanyaku seraya berdiri dari kursi kerjaku dan menghampiri ibu.
Pekerjaanku sebagai Chief Editor di salah satu penerbit buku ternama Indonesia membuatku sering lupa waktu. Mengingat kerjaanku sangat berpegang teguh pada waktu dan ketelitian, membuatku hampir sering melupakan makan siang dan waktu untuk beristirahat.
Sejak kejadian kurang lebih hampir dua tahun lalu, membuatku menjadi seorang workaholic. Pada dasarnya aku memang orang yang sangat tekun bekerja hingga lupa, bahwa diriku juga perlu waktu untuk "Me Time". Tetapi setelah kejadian itu, workaholic ku menjadi lebih parah dari sebelumnya.
Tapi setidaknya pekerjaanku membuatku lupa akan rasa sakit yang terakhir kali aku rasakan. Yang membuatku lupa bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Hari dimana seakan duniaku runtuh lantah, yang justru terjadi ketika mendekati hari bahagiaku.
"Ibu kebangun, terus kok ibu tiba - tiba pengen ngecek ruang kerja kamu. Eh bener kan, ternyata pintunya terbuka sedikit dan sorot lampunya masih terlihat sampai depan pintu." Kata ibuku dengan tangan halusnya yang mengelus lembut pipi kiriku.
"Ibu seharusnya istirahat. Kok malah nyamperin Rain ?" Tanyaku dengan wajah khawatir.
Kutuntun ibu melewati pintu yang memang menyambungkan antara ruang kerja dan kamarku.
Kami duduk di kasur king size milikku dengan posisiku yang memeluk ibu seraya bersandar di sandaran tempat tidur.
"Ibu mau disini sampai anak ibu ini tidur. Boleh kan ?"
"Rain kangen bu.. Tidur di pangkuan ibu."
Aku menyandarkan kepalaku di pangkuan ibu. Pangkuan seseorang yang sangat aku cintai.
Ibu mengelus kepalaku hingga mata ini mulai berat dan akan menutup. Tetapi seketika mata ini kembali terbuka lebar setelah mendengar pertanyaan dari ibu yang hampir tidak pernah ku pikirkan sebelumnya.
Aku tidak menyangka bahwa ibu akan menanyakan hal itu padaku.
"Apa kamu gak ada keinginan untuk membuka hati kamu lagi nak ?" Tanya ibu dengan tangannya yang masih membelai lembut rambutku.
Entah aku yang memang tidak mau menjawab, atau aku yang memang ingin lari dari pertanyaan yang di lontarkan oleh ibu.
Aku tetap mencoba untuk memejamkan mataku, dan berpura - pura tidak mendengar apa yang ibu tanyakan. Dan berharap ibu mengerti dengan apa yang aku lakukan tanpa perlu bertanya lagi.
"Ibu dan ayah tidak ingin melihat anak perempuan kami menjadi pencandu kerja, hingga lupa dengan kodratnya sebagai seorang wanita utuh."
Aku masih setia memanjamkan mataku. Dan aku mendengar ibu menghela napas yang cukup panjang.
"Ibu dan ayah tidak pernah menuntut apapun. Kami sangat mengerti bagaimana perasaan anak perempuan kami saat ini. Kamu harus tahu nak, bahwa yang bisa menyembuhkan hati kamu itu, ya kamu sendiri. Sudah ya nak.. Luka kamu saja belum sembuh. Sudah cukup berlarinya. Ibu tahu kamu lelah dan butuh istirahat untuk diri kamu sendiri."
Mataku mulai memanas mendengar perkataan demi perkataan yang terlontar dari bibir ibu yang tulus terdengar dari dalam hatinya yang lembut.
Mataku terbuka dan tubuhku bangun dari posisi nyaman sebelumnya.
"Ibu mau aku cepat menikah ?" Tanyaku dengan gamblang dan mata yang memerah.
"Bohong, jika ibu tidak menginginkan kamu untuk cepat menikah. Bohong juga, jika ibu tidak ingin segera menginginkan seorang cucu dari anak pertama ibu yang begitu ibu cintai dan banggakan. Tapi ibu sadar, ayah juga mengerti bahwa yang memiliki kehidupan itu kamu nak. Kamu berhak memutuskan apapun dalam hidup kamu. Kami sebagai orang tua hanya bisa mendukungmu. Seraya meminta kepada Tuhan agar semua hal baik untuk kehidupanmu, Rain."
Ibu memang tidak menangis, tapi aku tahu bahwa jiwanya begitu sesak melihat anak perempuannya yang terpuruk seperti saat ini. Seperti mayat yang hidup dan hanya mengerti bagaimana dunia memojokkannya saat ini.
Ya Tuhan.. Anak macam apa aku ini sehingga membiarkan orang yang begitu mencintai dan menyayangiku ikut merasakan kekalutan yang aku rasakan selama ini. Sungguh aku tidak tega melihat kesedihan di wajahnya yang mulai mengeriput ini.
"I will try bu.." Kata itu akhirnya terlontar dari mulutku yang sedari tadi kaku.
"Rain.. Jangan melakukan hal secara terpaksa karena alasan tidak ingin melihat ayah dan ibu sedih. Lakukan ini untuk diri kamu sendiri. You need healing yourself my dear, Rain.."
Senyum itu akhirnya mengembang di wajah ibu.
Aku tak kuasa menahan tangisku yang akhirnya pecah di pelukan ibuku malam ini.
Beberapa hari kedepan aku akan melakukan perjalanan kerja untuk cek lokasi kantor baru yang akan aku bangun untuk mendirikan perusahaan penerbitku sendiri.
Dan aku sudah menjatuhkan pilihanku, Yogyakarta. Kota indah itu sudah membuatku jatuh hati sejak pertama kali aku menginjakan kaki disana.
Aku memang sudah mengajukan resign. Bulan depan sebelum resmi keluar dari perusahaan yang berhasil membuatku seperti saat ini, aku harus mengerjakan deadline dari beberapa naskah yang akan di terbitkan oleh penerbit kami.
Tanggung jawab yang sudah kupikul selama bekerja di perushaan penerbit ini tidak pernah luntur sedikitpun dari pikiranku. 10 tahun sudah aku mengabdikan diriku untuk tulisan - tulisan indah karya para pengarang yang cukup berperan penting dalam membentuk diriku yang sekarang.
Kegemaranku melukis, menulis dan kecintaanku terhadap dunia sastra, membuatku mendapatkan pekerjaan yang begitu di idam - idam kan banyak orang yang mungkin jauh lebih tua di banding diriku saat itu.
Di usiaku yang baru saja menginjak 20 tahun, aku sudah mendapatkan pekerjaan pertamaku. Yaitu, sebagai Packaging Designer.
Masalah salary, tidak perlu di tanyakan lagi. Karena menjadi seorang Packaging Designer gaji yang kita dapatkan akan setimpal dengan tanggung jawab yang kita pikul.
Menjadi Packaging Designer selama 3 tahun, lalu menjadi Copy Writer, dan akhirnya ada diposisiku sekarang bukan hal yang mudah. Jatuh bangun aku belajar dan bekerja hingga kata "bodoh" dan "tolol" tidak lagi terdengar di telingaku. Emm mungkin sesekali masih, hanya saja telingaku yang sudah terlalu terbiasa mendengar itu 10 tahun terakhir ini.
Yogyakarta..
Bisakah aku membenahi hatiku disana ??
"Jogja dan Dimas" Part.1
"Iya gue udah sampai kok Mema.. Ini baru mau keluar pintu kedatangan."
Rain mendengarkan Mema yang berbicara jauh disana dengan tetap fokus membawa barang bawaannya.
"Iya Mema sayang.. Lo lebih bawel dari ortu dan pacar gue tau gak.." Jawab Rain seraya berjalan mendorong kopernya berjalan keluar dari bandara.
"Iiihh kayak punya pacar aja lo. Gue bawel, karena kalau lo udah fokus sama kerjaan, as always forget about averything!!! Awas sampai lupa sama diri lo sendiri ya Rain. Take care beib. Keep in touch. Okay."
"Iya kanjeng ratu kali nyamat... Ada lagi ?" Tanya Rain yang sudah berdiri di depan pintu kedatangan domestik.
"Lo kan ambil cuti, jadi lo mending puas - puasin have fun disana. Sekalian cari cowok cakep yang bisa lu ajak nemenin lo jalan. Emm itung - itung one night stan juga gapapa sih. Udah lama kan lo gak ngerasain sentuhan yang ngebuat kasur lo bergetar. Hahaha"
"Eh Mema... Language!! Heran deh gue itu mulut gak pernah bisa di saring."
"Biarin.. Kasian kan kalo kelamaan gak di kasih pelumas bisa jadi kering kerontang itu.." Lagi - lagi bahasa benar - benar gak ke kontrol nih anak.
"Iihhh apaan sih Mema. Udah ah gue matiin dulu. Lo jaga second baby lo supaya baik - baik aja ya. Nanti gue kabarin lagi. Love you Mem.."
"Eh wait.. Dimas udah jemput lo ?" Tanyanyaa lagi.
"Gue belum lihat dia sih. Lagian, gue mau telepon Dimas, tapi lo masih bawelin gue di telepon."
Aku mencoba mengedarkan mataku ke segala arah mencari keberadaan Dimas.
" Eh jangan hubungin gue dulu sebelum lo kecantol sama mas - mas tamvan disana ya Rain. Bye.. Love you too Rainita Sarasputri.. Muach."
Aku tersenyum seraya mematikan sambungan telepon dari kesayanganku Mema. Mengingat apa yang dia katakan tadi benar - benar membuat bulu kudukku merinding. Dasar manusia satu itu emang mulutnya gak pernah di pasangin filter. Untung sayang..
Jam tanganku menunjukan pukul 13.15 siang. Aku mulai merasa kram di perut, karena memang sejak pagi belum menyentuh apapun kecuali susu stroberi cair kemasan dan biskuit.
Aku terkejut ketika tiba - tiba sepasang tangan melingkari pinggangku. Dengan tubuh kokoh yang menjulang di balik punggungku, dan memelukku dengan hangat tubuhnya dari angin yang cukup kencang menerpa Jogja siang ini.
"Welcome Rain.."
Suara yang sedikit berbisik di telinga kiriku membuatku tahu siapa seorang yang berani melakukan itu padaku selain Ochan kesayanganku.
"Astaga Dimas! Kamu tuh ngagetin aku tahu gak."
Aku mencoba melepaskan lilitan tangan dari Dimas, tetapi justru semakin erat.
"Nope. Aku masih pengen meluk kamu. Udah lama gak nyium harum vanilla yang selalu bikin aku kangen." Jawabnya santai dengan dagu yang di sandarkan di bahu kiriku.
"Apaan sih ? Lepas gak! Malu diliatin banyak orang."
"Emangnya kenapa sih Rain ? Kita ini kayak pasangan yang udah lama gak ketemu, tau gak. Keliatan so sweet. Just look around dear. Banyak pasang mata yang iri ngeliatin kita sekarang." Jawabnya lagi.
Aku sontak reflek melihat kesekitarku. Dan benar saja banyak dari mereka yang justru tersenyum melihat Dimas memelukku seperti ini.
"Lepas gak! Atau aku gak mau di temenin sama kamu selama aku di Jogja." Gretakku padanya.
"Iya..iya.." Jawabnya dengan nada memelas.
Sontak Dimas pun akhirnya melepaskan pelukan eratnya dari pinggangku, dan langsung ngacir membawa semua barang bawaanku pergi.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rupa childish Dimas saat ini.
Beberapa saat ketika di dalam mobil, kami sama sekali tidak berbicara. Dengan tatapan serius dan hanya menatap lurus kedepan, Dimas seolah mengabaikan aku yang sesekali mencuri pandang padanya.
Badannya terlihat lebih berisi dari terakhir kali aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu. Bukan gemuk, tapi karena dia mulai rajin nge gym dan memulai hidup sehat. Terlihat bagaimana tangan kokohnya tadi memeluk pinggangku, cukup terasa berbeda ketika terakhir kali dia memelukku.
Garis wajahnya yang memang sudah tegas sejak awal, terlihat jauh lebih manly dari sebelumnya.
Kulitnya yang putih tidak membuatku bosan ketika menatap wajahnya dari dahi, hidung, pipi, hingga rahang yang terlihat terpahat begitu pas padanya.
Matanya yang hitam legam dengan alis yang tebal, membuat kesan tegas tetapi lembut secara bersamaan.
Belum lagi tubuhnya yang tinggi sangat cocok denganku yang memiliki tinggi yang hampir sejajar ketika mengenakan heels.
Celana jeans, kaos oblong putih, sepatu loafers dengan warna senada, serta jaket denim, dengan lengan yang tergulung hingga siku itu begitu cocok melekat di tubuhnya yg kekar.
Duh apa ya..
Dimas terlihat begitu sexy di mataku saat ini..
Huuhhfftt
Aku menggelengkan kepala pelan dan menghilangkan pikiran kotorku..
Dan akhirnya aku mengalah. Karena tidak bisa melihat Dimas yang biasanya cerewet, mendiamiku seperti ini.
"Hotel tempat aku nginep masih jauh gak ?" Tanyaku basa basi padanya.
"Kamu nginep di apartemenku aja. Sekalian udah lama juga gak ada yang nempatin. Karena orang tuaku minta aku stay di rumah sekarang."
Akhirnya dia ngomong panjang lebar juga. Lega rasanya.
"Kamu laper kan ? Pasti kamu cuma ngemil tadi pagi. Kita makan dulu ya."
Dia ternyata masih hafal bahwa aku tidak biasa sarapan dan mungkin hanya meminum susu atau teh ketika pagi hari.
"Hmm tau aja sih aku laper." Jawabku dengan cengiran kaku yang aku tunjukan padanya.
Astaga dia tersenyum..
Rain please.. Gak boleh ada lagi hal - hal aneh di kepalamu. Ini hanya ketertarikan fisik semata.
Okay Rain.
"Just stop it now, Rain!" Tanpa sadar aku bergumam yang ternyata di dengar oleh Dimas.
"Kamu ada ngomong ?"
Wajahnya kembali datar setelah tadi sempat tersenyum simpul. Kenapa lagi sih nih anak. Heran. Masa masih marah gara - gara kejadian di bandara tadi ?
"Eng..nggak.. Aku udah laper nih mau buru - buru makan. Masih lama gak ?" Tanya ku mengalihkan pembicaraan.
"Bentar lagi nyampe." Jawabnya singkat dengan mata yang tetap lurus melihat kejalan.
Selama makan hingga akhirnya sampai di apartemen miliknya, Dimas sama sekali tidak mengajakku berbicara. Hingga sampailah kita di depan pintu apartemen miliknya. Dimas tidak pernah mengganti ni pin pintunya. Dan entah mengapa, bibirku menyunggingkan sedikit senyuman.
Dimas memasukan semua barang bawaanku kedalam kamar.
Aku pun merebahkan tubuhku di ruang tamu dan segera menyalakan televisi untuk menghilangkan keheningan yang terjadi antara aku dan Dimas.
Sesaat kemudian sosoknya keluar dan langsung mengarah ke pintu keluar apartemen.
"Kamu mau kemana ?" Tanyaku seraya tubuh ini yang reflek berdiri dan berlari kecil menghampirinya.
"Aku mau pulang, kamu istirahat aja dulu. Besok pagi aku jemput dan aku temenin kamu kemana pun yang kamu mau. Dan selama kamu disini, bakal ada orang yang akan bersihin apartemen. Dia kerja dari jam 8 pagi sampe jam 12 siang aja. Dia mahasiswa kepercayaanku, jadi apapun yang terjadi karena ulahnya, aku akan bertanggung jawab penuh. Dia juga sudah aku suruh masak dan simpan di kulkas. Siapa tahu kamu lapar malam - malam. Jadi tinggal kamu panasin aja masakannya."
Aku hanya menghela nafasku panjang, dan menatap kearahnya. Harusnya aku senang karena dia tidak membiarkanku kecapekan dan memberikanku waktu istirahat hari ini. Tetapi entah mengapa rasanya berat membiarkan dia pulang begitu saja.
"Nganterin aku kemana aja ? Emangnya kamu supirku ? Dimas.. Kamu masih marah ya sama kejadian di bandara tadi ?" Tanyaku memelas.
"Buat apa aku marah ? Aku gak ada hak buat marah sama kamu Rain." Jawabnya dengan alis yang bertaut dan wajah yang sedikit terlihat kecewa.
"Maaf ya.. Aku.." Belum selesai aku berbicara, Dimas sudah memotongnya.
"Aku tahu.. Sampai detik ini pun kamu belum bisa menerima siapapun di hati kamu kan ?"
Aku hanya menunduk terdiam dan tidak berani menatap matanya. Pernyataannya seperti menusuk telingaku berkali - kali.
Dimas mengganggam tanganku erat dan memegang pipiku agar melihat kearahnya.
"Rain.. Kamu gak akan tahu sampai kamu coba sendiri buat buka hati kamu dan gak lagi menengok kebelakang. Tanpa kamu sadar, sudah banyak hati yang kamu patahkan selama hampir 2 tahun terakhir ini, karena kamu yang masih terjebak dalam masa lalu kamu." Matanya yang tegas berubah menjadi sayu dan penuh dengan perasaan.
"Termasuk kamu kan ? Maafin aku ya mas.. Aku.." Dan lagi - lagi sepertinya Dimas memang sudah tahu akan mengatakan apa.
"Kalau kamu gak mau coba, kapan kamu bisa keluar dari lubang hitam yang selalu menarik kamu lebih dalam lagi Rain ? Aku disini. Aku siap untuk narik kamu dari lubang itu, apapun resikonya. Tubuh dan jiwa ini akan siap memberikan segalanya untuk ngelindungun kamu. Dan hati aku juga siap untuk berbagi kebahagian dengan hati kamu yang sempat lusuh."
Aku menatap matanya dalam - dalam. Aku coba mencari kebohongan dari mata indah itu. Dan sayangnya aku justru terjebak dalam tatapan tulus itu. Bagaimana bisa aku berpura - pura tidak tahu tentang perasaan tulusnya selama ini padaku.
Tuhan, dia mencintaiku. Tapi mengapa hati dan pikiran ini tidak bisa sinkron untuk menerima kehadirannya di hidupku ?
Apa yang harus aku lakukan ?
Dimas menarikku dalam pelukan hangatnya yang selalu bisa menenangkanku. Mata ini mulai memanas ketika tangaku membalas pelukannya tak kalah erat.
"Maafin aku yang belum bisa Dimas.. Maaf." Suara lirihku akhirnya keluar dari bibir yang sedari tadi seolah tidak mampu untuk berkata.
Pelukannya merenggang dan tangannya kembali menangkup kedua pipiku. Mataku dan matanya kembali bertemu.
"Sssttt.. Sekarang kamu bersihkan diri kamu, lalu istirahat. Besok pagi, aku mau jemput kamu dengan senyuman indah yang kamu tunjukin ke aku. Kalau ada apa - apa cepet hubungin aku. Okay.. Oh ya, kode apartemenku udah aku kirim via massage ke kamu. Aku pulang dulu ya. Takut kalau kelamaan disini bareng kamu, aku jadi lupa diri."
Dimas tersenyum iseng. Kalimat terakhirnya membuatku pipiku bersemu merah karena malu.
Dengan lembut Dimas mendaratkan kecupan di keningku dengan cukup lama. Tanpa sadar mataku tertutup menikmati sentuhan bibirnya yang begitu lembut.
Setelah itu, ku biarkan Dimas pergi berlalu hingga punggungnya menghilang dari tatapanku.
Tanpa sadar kusunggingkan senyuman getir di bibirku dan berkata.
"Maaf Dimas.. Maaf.."
Luluh Lantah
!!!WARNING!!!
Disini ada unsur dewasa dan kata - kata umpatan. Jadi, harap bijak dalam membaca ya guys.
Bab ini cukup panjang ya. Semoga kalian gak bosen bacanya..
Makasih..
Aku terbangun di pagi hari dengan mata yang mengrejap pelan. Menatapi langit kamar yang sepertinya baru saja aku lihat tadi sebelum tidur.
Aku menghela nafas panjang seraya merenggangkan otot - otot tubuhku.
Akhirnya aku bisa merasakan tidur cepat setelah sekian lama.
Kemarin ketika Dimas pergi meninggalkanku di apartemen sendirian, aku membereskan barang - barangku dan ku tata rapi di kamar milik Dimas. Aku melewatkan makan malamku dan segera beranjak tidur setelah menghubungi kedua orang tuaku dan Ochan.
Tentu tidak boleh terlewat bertukar kabar dengan Mema dan Dimas, walau hanya lewat pesan di whatsapp.
Kamar yang aku tempati adalah kamar milik Dimas. Satu - satunya sahabat laki - laki yang aku miliki setelah Mema.
Kami bertiga bersahabat sejak kuliah. Dan terbukti hingga kami lulus, tidak ada satu pun di antara kami yang menyimpan perasaan untuk satu sama lain.
Kami bertiga juga sepakat bahwa jika kami memiliki pacar, itu harus yang berbeda kampus. Alasannya, agar kita bertiga tetap bisa bebas ketika berkuliah. Dan kami juga ingin ada kalanya memiliki waktu untuk kita bertiga saja, tanpa pasangan masing - masing.
Lucu jika mengenang masa lalu. Di apartemen ini kita bertiga selalu menghabiskan waktu bersama. Bisa di bilang apartemen Dimas ini adalah basecamp untuk kami. Tidak jarang pula ketika sudah lulus kuliah, apartemen ini juga menjadi tempat aku dan Mema tinggal sementara setiap kita berkunjung ke Jogja. Seperti yang aku lakukan saat ini.
Maklum, aku dan Mema adalah asli orang jakarta. Sedangkan Dimas yang memiliki darah Jawa tengah dari sang ayah dan Jawa Timur dari sang ibu, memang sudah tinggal di Jogja sejak dia di lahirkan. Jogja memang adalah tanah kelahiran Dimas.
Pertanyaan mengenai hotel tempat ku menginap kepada Dimas di mobil tadi, hanyalah sebuah basa basi belaka. Agar Dimas mau membuka mulutnya dan berbicara denganku.
Jika di ingat, sudah lebih dari 10 tahun, kami bertiga bersahabat dengan baik. Tidak pernah ada pertengkaran berarti diantara kami. Hanya pertengkaran kecil bak anak - anak saja yang sering kita lakukan dan lalui bersama.
Hingga akhirnya Dimas mulai menyimpan perasaan padaku hampir 2 tahun terakhir ini. Sepertinya ini karena kejadian yang memang seharusnya tidak kami lakukan.
Dan kamar ini menjadi saksi bisu dari apa yang sudah aku dan Dimas lakukan kala itu.
_Flashback On_
-Rain POV-
Aku dan calon suamiku Ares, sudah menjalin hubungan selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Hingga akhirnya dia memintaku untuk menjadikannya sebagai satu - satunya pria yang akan menemaniku hingga maut memisahkan kami.
Tepat 5 bulan lalu dia melamarku. Dan aku yang baru saja mendapatkan jabatan baru sebagai Chief Editor, serta Ares yang bekerja di perusahaan export import, membuat kami kewalahan dan lebih banyak memikirkan pekerjaan dari pada wedding planning kami.
Dan dengan terpaksa kami meminta tolong kepada Dimas dan Mema untuk membantu mengurusi semua hal hingga printilan - printilan mengenai pernikahan kami.
Rasanya benar - benar tidak enak ketika kami yang memiliki acara justru sibuk bekerja. Sedang mereka justru ikutan pusing dengan berbagai macam planning yang ada.
Aku percaya jika Mema pasti bisa melakukannya, mengingat sebelum menikah dengan mas Bram, Mema bekerja di wedding planner terkenal di jakarta selama hampir 5 tahun lamanya.
Sedangkan Dimas, aku yakin ini bisa sekaligus menjadi pelajaran berarti untuknya kelak. Mengingat dia satu - satunya yang belum soldout. Ya meski aku juga masih terhitung hampir, tetapi sudah di pastikam Dimas akan menjadi yang terakhir diantara kami bertiga.
Aku dan Ares sepakat untuk mengadakan pesta yang tidak besar dan lebih terkesan private. Dimana hanya keluarga besar kami dan kerabat terdekat saja yang akan hadir. Bukan masalah biaya, tetapi kami memang ingin pesta ini menjadi kenangan terindah dan terbaik, bukan hanya untukku dan Ares. Tetapi juga untuk semua keluarga besar dan kerabat terdekat kami.
Ares membebaskanku untuk memilih dimana pernikahan kita akan di laksanakan. Dan aku yakin kalian sudah bisa menebaknya. Ya, di Yogyakarta. Tempat yang begitu sangat aku puja. Aneh ya, harusnya aku mungkin memilih Bali, atau tempat romantis lain. Tetapi tetap, hatiku berada di Jogja. Karena aku sudah sangat jatuh cinta dengan kota ini sejak pertama kali aku datang kemari.
Hari ini H-4 sebelum hari pernikahanku dengan Ares. Aku sudah mengambil cutiku hingga 2 minggu. Sedangkan Ares masih harus bekerja hingga H-2, setelah itu baru bisa ambil cuti. Ares harus melalukan perjalanan bisnis ke beberapa tempat, dimana salah satunya Belanda dan Inggris.
Baru tadi siang terakhir dia mengabariku bahwa posisinya sedang berada di Bali, untuk menemui investor baru perusahaannya yang baru datang dari Jepang. Leganya aku karna dia sudah bisa datang ke Jogja malam ini. Kemungkinan dia akan melakukan penerbangan sekitar pukul 9 dan sampai di Jogja sekitar pukul 11 malam.
Malam ini, aku diajak Mema ke salah satu bar ternama di daerah kota Jogja untuk menghabiskan malamku sebagai seorang gadis, sebelum akhirnya memiliki suatu ikatan dengan seseorang sampai akhir hayatku.
Hmm gadis ya.. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku menjadi seorang "gadis", sebelum akhirnya aku menyerahkannya kepada Ares, tepat setahun setelah dia berhasil meyakinkan diriku bahwa dia menunjukan keseriusannya padaku.
Dia bertemu langsung dengan kedua orang tuaku dan menyatakan secara jujur maksudnya mengajakku berpacaran. Bahwa dia tidak sekedar main - main, melainkan untuk kejenjang serius yang sebenarnya. Tak lama aku pun di pertemukan oleh keluarga besarnya. Tepatnya di pernikahan dari kakak perempuan Ares, mbak Dita.
Aku terkekeh jika mengingat bahwa beruntungnya aku menjadikan laki - laki pertamaku menjadi laki - laki yang akan menjadi akhir untukku juga. Tidak seperti beberapa temanku yang hanya bermain - main ketika pacaran, dan setelah putus seperti tidak terjadi apapun.
Aku benar - benar tidak bisa berpikir apa bila aku di posisi mereka. Dan heranku, mereka merasa baik - baik saja dengan hal itu. Sialan.. Apa hanya aku saja yang memiliki pemikiran kuno disini ???
Aku takut Ares khawatir padaku jika sesampainya di hotel dan tidak menemukanku disana.
Dan ketika aku sedang di jemput oleh Mema dari hotel tempat aku menginap hingga hari H ku dengan Ares, aku mencoba menghubungi Ares, tetapi nomornya tidak aktif.
Aku sangat menghargai Ares, karena dia juga tidak pernah absen memberikan jadwal lengkapnya kepadaku. Jadi, aku tetap mengiriminya pesan bahwa aku akan menghabiskan malamku dengan Mema dan beberapa kerabat dekat perempuanku, di Bar Lolo Rosso' yang letaknya tidak begitu jauh dari hotel tempat kami akan mengadakan pesta pernikahan.
Sesampainya disana, aku di sambut oleh kurang lebih 7 orang kerabat dekat dan saudaraku, termasuk Mema.
"Udah.. Pokoknya malam ini anggap lu bukan milik siapa - siapa Rain. Cuma ada lo dan kita di sini. Okay.. So.. let's have fun and get drunk till morning guys.."
Suara Mema dan teman - temanku menggema di ruangan yang khusus kami sewa malam ini. Aku tergolong wanita yang kuat untuk minum. Tapi karena aku juga baru menyadari bahwa orang - orang yang bersama ku saat ini adalah para wanita tangguh, terutama Mema. Sepertinya aku harus berusaha lebih keras dari biasanya untuk bertahan dengan berbagai macam minuman yang sudah mereka pesan.
Gilaa.. Sepertinya malam ini aku harus mengabari Dimas untuk mengantarkan aku pulang. Kasian kalau Ares yang kumintai tolong, sedangkan dia baru saja pulang dari perjalanan bisnisnya.
"Rain. Ares belum bisa di hubungin ?" Tanya Mema lantang.
"Belum. Mungkin masih di pesawat." Jawabku seraya meminum 1 sloki tequila di hadapanku.
"Gue sih udah ngabarin mas Bram buat jemput. Kebetulan dia juga baru aja flight dari jakarta pagi. Karena sorenya mesti ketemu client dulu. Paling langsung kesini nanti jemput kita."
Aku hanya menganggukan kepalaku, tanda bahwa aku mendengarkannya.
Musik dari DJ di luar ruangan tersalur lewat sound yang berada di ruangan kami. Membuat beberapa wanita disini mulai menggila setelah beberapa jam berlalu.
Beberapa saat, aku melihat sekelebat bayangan Dimas yang berjalan melewati ruangan kami. Aku yang masih tergolong sanggup bangun pun bergegas keluar ruangan.
"Dimas!!" Teriakanku membuat Dimas langsung menoleh kebelakang.
"Ohh lu disini ternyata. Mema mana ?" Tanyanya langsung setelah menghampiriku.
"Tuh disana. Masih asik joget - joget." Aku menunjuk menggunakan daguku dengan tangan yang menyilang di depan dadaku.
Dimas menutup matanya sesaat setelah melihat beberapa wanita mulai merasa gerah dan membuka jaket dan baju panjang yang mereka gunakan ketika pertama datang tadi.
"Duuhh.. ngerusak pemandangan aja deh. Eh ini udah mau jam 1 loh. Lu gak pulang ? Tar di cariin Ares loh." Tutur Dimas.
"Tadi gue udah ngabarin dia, tapi masih belum di baca. Pesannya aja masih centrang satu. Lu sendiri ngapain disini ?" Tanyaku pada Dimas.
"Gue lagi nyari cewek gue, katanya lagi sama temen - temennya disini. Mau gue suruh pulang udah tengah malem gini. Tapi gak ketemu - ketemu. Terus kebetulan diluar ada mas Bram gak ada temennya, kasian nungguin kalian lama kan pasti. Jadi sekalian aja gue temenin." Jelasnya.
"Oh yauda gue mau ke kamar mandi dulu ya. Tolong tutupin pintunya dong Dimas, itu ruangan kami."
Aku berjalan dengan sedikit sempoyongan. Sebenarnya aku belum begitu mabuk. Hanya saja mulai sedikit mengantuk juga.
"Eh.. Lu gapapa Rain ? Gue anterin balik ke hotel ya."
Raut wajah Dimas yang khawatir dengan badanku yang tidak bisa seimbang seraya mengantarku hingga ke depan toilet.
Sebelum masuk ke toilet, badanku kembali balik mengarah ke Dimas.
"Udah lu tunggu di depan sana. Paling bentar lagi gue keluar kok." Jelasku pada Dimas.
"Yauda gue tunggu ya. Tar lu kabarin si Mema juga kalo udah di tunggu mas Bram diluar."
Aku menganggukkan kepalaku dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
-Dimas POV-
5 menit, dan hampir 20 menit. Rain membuatku khawatir sekarang. Akhirnya aku mengajak mas Bram untuk menjemput Mema dan Rain serta kerabatnya yang ikut dalam pesta tak jelas itu.
Ketika aku sampai di ruangan mereka, aku sama sekali tidak melihat Rain ada disana. Sialan.. Jangan - jangan dia pingsan di kamar mandi lagi.
Dengan sedikit berlari aku coba mencari Rain ke toilet perempuan. Dan walaupun dengan terpaksa masuk karena panik, aku justru tidak juga menemukan Rain disana.
Aku berjalan perlahan kembali menuju ruangan dimana mereka berada tadi.
"Dimas. Rain mana ?" Mas Bram ditemani Mema yang berjalan bersamanya seraya menanyakan keberadaan Rain.
"Gak tahu. Gue cari di kamar mandi gak ada." Jawabku dengan wajah khawatir.
"Duh gue takut dia di apa - apain sama orang. Mana tadi jalannya rada sempoyongan gitu. Ayok lah cari ke ruangan - ruangan lainnya mungkin." Saran Mema patut untuk di coba. Kami bertiga berpencar menuju beberapa ruangan lain..
Dan ketika mencari ke sudut lain dari lantai dasar ini, aku menemukan Rain terduduk lemas di depan pintu sebuah ruangan.
Dengan berlari aku segera menghampiri Rain. Khawatir jika dia di apa - apakan oleh orang langsung terlintas di kepalaku. Mengingat baju Rain malam ini benar - benar terbuka dari biasanya.
Dres glitter ketat yang hanya panjang sepaha dengan potongan V neck yang menonjolkan bagian dadanya, membuat otakku berpikiran jika mungkin saja dia diapa - apakan oleh lelaki hidung belang.
"Rain.. lu kenapa ? Kok nangis gini sih.." Tanyaku khawatir seraya memegangi pundak Rain yang begitu lemas.
"Ares.. Ares Dim.." Matanya sembab dan memerah karena menangis tersedu - sedu.
Tak lama Mema datang menghampiri kami bersama mas Bram.
"Ini gue gak tahu kenapa Rain tiba - tiba nyebut nama Ares dan nangis kayak gini." Jelasku sebelum mereka bertanya.
Entah mengapa Mema dan mas Bram justru beradu tatap, tepat di sebuah kaca transaparan yang terpasang di pintu yang berada di hadapan kami.
"Dimas.. Kayaknya lu harus lihat sendiri apa penyebab dari tangisan Rain." Mema bergantian memeluk Rain dan mengangkatnya, ketika aku sedikit maju untuk melihat isi dari ruangan itu.
Mataku terbelalak serasa panas dan ingin keluar dari tempatnya. Dengan mata kepala kami sendiri, kami melihat Ares melalukan adegan make out dengan seorang gadis yang sudah setengah bugil di pangkuannya.
Tanganku secara otomatis ingin membuka pintu itu, tetapi terkunci.
Ingin sekali rasanya aku membunuh orang yang sudah menyakiti sahabatku sampai menangis tersedu - sedu seperti ini.
Ares.. Dia ini calon istrimu.. Setega itukah kamu menyakiti orang yang sudah mencintai dan mempercayaimu dengan sepenuh hati ?
Wanita yang merelakan dirinya jatuh di tanganmu dan memberikan dunianya padamu.
Dan sekilas walaupun sedikit tidak jelas, aku merasa mengenal siapa perempuan yang memunggungi pintu ini, dan duduk di pangkuan Ares.
Tapi siapa ya. Bahkan suara mereka yang samar - samar pun terdengar cukup jelas dari balik pintu ini.
"Ahh... Jangan gigit dong mas.. Kan sakit.. Uuh.."
"Gantian kamu manjain yang di bawah dong sayang.."
"Bayarannya tambahin ya mas sayang..."
Wanita di pangkuan Ares turun dan mulai membuka celana Ares. Sialan.. Lebih baik kami pergi dari sini sekarang.
Ketika aku akan mengajak yang lainnya pergi, wanita itu berbalik badan dan memperlihatkan tubuh setengah bugilnya seraya meminum bir dari botol yang berada di atas meja.
Dan seketika kakiku reflek bergerak untuk mendobrak pintu.
-Mema POV-
Sungguh aku ingin sekali membawa Rain keluar dari sini sekarang juga. Aku tidak tega melihatnya seperti ini.
Cukup dengan Ares yang melakukan kegiatan make out nya dengan gadis setengah bugil yang ada di pangkuannya. Dimas sudah geram dan hendak membuka pintu itu, sayang terkunci begitu rapat dari dalam.
"Guys.. Sekarang mending kita anter Rain dulu deh ya. Kasian nih dia udah menggigil gini." Suaraku memecahkan keheningan yang terjadi diantara kami.
Saat akan berjalan menjauhi pintu dan membawa Rain pergi, tiba - tiba Dimas memukul dengan kencang pintu tersebut.
"Itu cewek gue Mema, mas Bram.. An*ing!!!" Dimas berteriak dan marah sejadi - jadinya.
Dan akhirnya pintu itu terbuka akibat tendangan yang Dimas lakukan. Mas Bram berusaha menahan Dimas. Tetapi sepertinya kemarahan Dimas lebih besar, di bisa bandingkan kekuatan mas Bram yang sebenarnya memiliki tubuh lebih besar di bandingkan Dimas.
Pukulan demi pukulan di daratkan Dimas tepat ke wajah Ares berkali - kali. Mas Bram hanya bisa berusaha melerai keduanya dan menarik Dimas untuk berdiri dari atas tubuh Ares yang sudah tidak bisa bangun kembali.
Aku segera membawa Rain keluar dari sana dan membiarkan mereka menyelesaikan urusan mereka. Toh disana ada mas Bram yang akan menjadi penengah, dan membuatku merasa sedikit lebih tenang.
Aku membawa Rain masuk kedalam mobilku dan membiarkannya tertidur di pangkuanku. Mungkin dia lelah setelah menangisi orang breng*ek yang sudah dia cintai dengan sepenuh hatinya. Aku pun tidak menyangka Ares sampai hati melakukan hal itu kepada Rain, kesayanganku. Aku mengutuki Ares berkali - kali dalam hatiku saat ini.
Dan tanpa sadar mataku memanas dan menangis seraya mengelus rambut bergelombang Rain, dan memperhatikan wajahnya yang terlihat begitu gelisah di sela - sela tidurnya.
Rain..
We really sorry about the bad things that have happened to you..
Satu hal yang perlu kamu tahu Rain. Kami disini untukmu. Dan senantiasa menjadi tempatmu untuk bersandar.
We love you Rain.. We do..
Maaf jika masih banyak typo bertebaran ya guys??
Mohon masukan dan sarannya..
Makasih✌️
"Jogja dan Dimas" Part.2
_Author POV_
Di dalam mobil terasa begitu hening. Bukan tidak ada yang berani berbicara. Tetapi pembicaraan apa yang ingin mereka mulai adalah kata yang lebih tepat untuk mewakili bagaimana keadaan saat ini.
Bayangkan saja, di tempat dan waktu yang sama, Rain dan Dimas merasakan dunia mereka runtuh dalam waktu yang bersamaan. Mungkin lebih tepatnya "Tuhan selalu menunjukkan kebenaran di waktu yang tidak tepat."
"Dimas, lo di temenin sama mas Bram ya di apartemen. Biar gue yang jagain Rain sementara. Gak mungkin kan kita balikin Rain ke hotel. Gue gak mau sampe si brengs*k Ares nemuin Rain disana. Gue justru lebih ikhlas kalo lo bunuh tuh orang gila tadi. Gue rela ngeluarin uang banyak kok buat bantu bebasin lo dari penjara."
Keheningan akhirnya mencair setelah Mema membuka pembicaraan sekaligus memberikan saran. Ya walaupun dengan amarah sedikit menggebu.
"Yang di bilang Mema ada benarnya, Dimas. Gue ngerti karena lo juga pasti gak dalam kondisi yang baik - baik aja sekarang." Bram mencoba menimpali kalimat Mema, mencoba memberikan saran dengan kalimat yang lebih tepat dan tentu dengan nada yang lebih halus.
Dimas menutup matanya lalu menghembuskan napas yang begitu panjang dan sedikit bergetar.
"Sorry yah.. Gue yang biasanya jadi penengah dan lebih tenang di antara kalian (Rain dan Mema), malah gue sendiri yang gak bisa nahan emosi gue." Jawab Dimas dengan nada bergetar seraya membuka matanya perlahan. Terlihat bahwa emosinya sudah lebih stabil.
"Gue titip Rain ya Mem, mas Bram. Gue kayaknya mau pulang aja. Gue malah tambah takut pikiran gue makin rancau kalo gue di apartemen. Setidaknya keberadaan orangtua gue bisa menjadi penengah antara emosi dan kesedihan gue. Lagian kalian kan perempuan semua. Gak aman kalo kalian sendirian. Kalo ada mas Bram, gue jadi lebih tenang." Akhirnya Dimas mulai menunjukan bahwa emosinya sudah hampir kembali seperti semula.
Dimas menoleh kearah kursi belakang. Melihat wajah Rain tertidur di pangkuan Mema, dengan guratan luka yang begitu jelas terlihat dari tautan alisnya saat ini.
Ketika Dimas ingin menjadi seorang yang bisa menenangkan sahabatnya agar merasa lebih baik, justru dirinya terjebak dalam kalut dan kesedihan yang sama.
"Ironis".
Itu kata yang tepat untuk memperjelas keadaan mereka saat ini. Beruntung diantara dua hati yang patah hati, masih ada Mema dan Bram yang menjadi obat penenang saat ini.
_Dimas POV_
Aku berjalan dengan lemas ketika memasuki pintu rumahku. Kaki ini serasa tidak bisa lagi ku pakai untuk berdiri apa lagi berjalan dengan tegak. Aku tetap berusaha menopang tubuhku agar merasa lebih baik. Tetapi hal itu tidak semudah melepaskan sepatu dari kakiku.
Entah memang perasaan seorang ibu, atau memang Tuhan yang mengirim beliau saat ini ke hadapanku. Beliau dengan wajah khawatir, keluar dari dalam kamarnya dan berjalan dengan sedikit berlari kearahku.
"Dimas, kok kamu mulih bengi - bengi ngene to cah bagus ? Ono opo to le ? Kok wajahe di tekuk ngono?"
(Dimas, kok kamu pulang malam-malam begini nak ? Ada apa ? Kenapa wajahmu terlihat lesu begitu ?")
Pertanyaan ibu dengan logat jawa yang kental, membuatku merasa di berondong oleh peluru. Entah yang mana yang ingin aku jawab terlebih dahulu dan dari mana aku harus menjelaskannya. Aku benar - benar bingung.
Aku menghela napas panjang ketika ibu membawaku duduk di ruang tamu dan memberikanku segelas air hangat. Ibu sangat hafal kebiasaanku ketika letih ataupun sedang stres menghadapi suatu masalah. Aku akan meminum air hangat hingga beberapa gelas untuk membantu meringankan pikiranku.
"Kamu ndak perlu cerita sekarang kalau belum bisa. Besok saja, biar kamu tenang dulu. Ya ?" Tangan lembutnya mengusap rambutku yang berantakan.
Aku yang terbiasa tidak menangis dan pantang menunjukan air mataku kepada kedua orangtuaku, justru menumpahkan tangisku dalam pelukkan ibu malam itu.
"B..bu.. Maafin Dimas ya bu..." Nada suaraku bergetar seiring kalimat maaf itu terlontar dari bibirku.
"Buat apa to le ?? Emange kamu buat salah apa sama ibuk ?" Suara ibu mulai terdengar mulai khawatir.
"Di..dimas mungkin tidak bisa jadi seorang pria yang baik bu. Sampai Dimas harus ngerasain kehilangan Icha. Apa ibu bisa kasih tahu dimana letak kekurangan Dimas, sampai Icha cari dari orang lain ?"
"Dimas. Lihat ibuk nak."
Tangan ibu menangkup wajahku, menuntunku untuk melihat dalam ke mata beliau. Mata yang penuh dengan siratan ketulusan itu, menatapku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.
"Kamu adalah anak ibuk yang sempurna le. Tidak ada yang ibu bisa banggakan lagi, selain karena sudah melahirkan kamu dan memiliki kamu sebagai anak ibu satu - satunya." Tatapan ibu begitu tulus dan membuatku perlahan menghapus air mataku.
"Ibuk tidak akan pernah memafkan orang, yang dengan sadar menyakiti hatimu le. Ibuk adalah orang pertama yang akan memeluk kamu dari kejamnya belati yang menusukmu. Ibuk akan menjadi obat dari sakit yang kamu derita. Le.. Ibuk percaya, orang yang menyakitimu, suatu saat akan menyesalinya nak."
Kepalaku mendongak, aku jelas melihat mata ibuku yang mulai berkaca - kaca.
"Ibuk ndak tau apa yang terjadi diantara kamu dan Icha. Awalnya tadi memang ibuk penasaran. Tapi setelah melihat anak ibuk yang biasanya kuat dan selama ini tidak pernah sekalipun menunjukkan kesedihannya di depan ibuk dan bapak, ibu yakin pasti dia sudah menyakiti kamu dengan sangat dalam."
Ibu tahu. Sangat tahu bagaimana aku tumbuh menjadi seorang Dimas hingga saat ini. Beliau bahkan mengetahui dan hafal semua hal yang menyangkut tentangku. Bahkan beliau selalu tahu, jika aku akan pulang tanpa bertanya terlebih dahulu. Bukannya aku lebih menyayangi ibuku di bandingkan ayah. Tetapi pekerjaan ayah sebagai pilot, membuatku hampir menghabiskan sebagian besar usiaku dengan ibu.
"Maaf ya bu. Dimas belum bisa kasih menantu seperti yang ibu ingini. Dimas merasa gagal menjadi seorang anak bu."
Jawabku dengan suara yang masih bergetar, tetapi sudah sedikit tenang karena tutur kata yang ibu ucapkan, dan tangan lembutnya yang tidak berhenti membelai rambutku.
"Setidaknya, walaupun ibuk sedih melihatmu sampai menangis begini, ada rasa lega dihati ibuk. Karena kamu belum sempat untuk mengajaknya menjadi pendamping hidupmu."
Jawaban ibu menyadarkanku. 5 tahun bersama dengan Icha, dan hampir ingin melamarnya. Lelah dan waktuku semua terasa terbuang sia - sia.
Wanita yang begitu aku puja, begitu aku cintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan tega membodohi dan menyakiti perasaanku.
Entah apa yang kurang pada diriku, hingga dia tega melakukan hal tercela itu di belakangku. Berapa lama dia sudah melakukan itu pun, aku sudah tidak peduli.
Rencananya di hari bahagia Rain, aku akan melamar Icha dihari yang sama. Mema dan Rain bahkan sudah menyiapkan beberapa hal untukku melamar Icha di hari itu. Bahkan tadi sore aku baru mengambil cicin yang sengaja aku pesan khusus untuk melamar Icha.
Tapi setelah kejadian tadi, entah kemana cicin itu sekarang, aku juga sudah lupa. Karena memang sudah tidak penting lagi aku menyimpannya.
Malam ini di dekapan ibuku. Aku bertekat untuk melupakan nama dan wajah itu dari dalam hidupku..
Tidak ada lagi Icha.
Tidak ada lagi rasa cinta dan sayangku untuknya.
Tidak ada lagi rindu.
Dan.. Tidak ada lagi rasa percaya dalam hatiku, untuk siapapun.
Maaf ya guys up dikit dulu. Ini sepenggal cerita tentang Dimas. Supaya kalian makin ngerti akan mengarah kemana awal cerita yang aku tulis ini.
Next mungkin juga aku bakalan up cerita tentang Mema. Biar kalian juga ngerti nih seberapa dekatnya hubungan persabatan antara Rain, Mema dan Dimas. Dan apa aja sih yang terjadi diantara mereka bertiga.
Untuk cerita tentang Rain dan Dimas. Mungkin aku akan up setelah bab ini ya..
Jadi ditunggu aja.. okay..
Maafkan author yang masih sering banyak typo dan kata atau kalimat yanh kurang cocok. Next time pasti akan di perbaiki terus kok.
Like dan komennya jangan lupa ya?
Terimakasih?
"Jogja dan Dimas" Part.3
!!!!!!!! WARNIIIIINGGGG !!!!!!!!
Di bab ini akan ada hal - hal yang di khususkan untuk usia 21 keatas ya guys..
Harap bijak dalam membaca..
Terimakasih
_Rain POV_
Aku mengedarkan pandanganku kesegala penjuru ruangan, tepat setelah mataku terbuka. Meski masih kurang jelas, aku tahu bahwa aku tidak sedang berada dalam kamar hotel yang terakhir kali aku pesan.
Ku coba bangun dari posisi tidurku yang sedikit meringkuk di bawah selimut tebal. Begitu berat rasanya hanya untuk membuat tubuh ini terduduk. Seperti ada bongkahan batu besar yang tertopang di antara leher dan pundakku. Kepalaku juga terasa seperti hangover setelah minum alkohol semalaman.
"Lo udah bangun Rain ? Jangan dipaksain kalau kepala lo masih sakit."
Suara pertama yang kudengar setelah merasa seperti berhibernasi selama sewindu. Yaitu suara lembut dari sahabatku, Mema.
"Mem, kok kita ada di apartemennya Dimas ?"
Tanyaku dengan suara yang masih lemah.
"Udah deh, gak usah banyak tanya dulu. Mending lo sekarang mandi pakai air hangat. Udah gue siapin tuh di bathtub. Lo berendem deh bentar, biar badan dan pikiran lo releks lagi. Okay..."
Mema perlahan mengangkat tubuhku dan membawaku masuk kedalam kamar mandi.
"Lo siapin ini buat gue Mem ? Sweet banget sih.."
"Udah deh Rain, siang - siang gak usah ngegombal. Mending sekarang lo mandi habis itu kita makan."
"Wait.. Tadi lo bilang apa ? Siang ? Seriusan ?"
Tanyaku dengan mata yang tiba - tiba terbuka begitu lebar.
"Kan bawel lagi deh, banyak tanya. Iyaaa. Udah 2 hari lo jadi putri tidur tahu gak. Udah gak kehitung berapa kali gue gantiin baju lo, gara - gara lo keringet dingin mulu dari malam terakhir. Udah buruan mandi !! Nanti aja kita ngobrol lagi. Gue tinggal dulu ya.."
Mema mencium pipiku, lalu meninggalkanku di kamar mandi. Mema menyiapkan air hangat dalam bathtub lengkap dengan lilin beraroma terapi mawar di sudutnya. Tak lupa sabun cair dan sampo favoritku lengkap dengan sikat serta pasta gigi baru di wastafel, dan tak lupa juga dengan bathrobe nya.
Akhirnya aku menyelesaikan aktivitas berendamku, setelah hampir setengah jam aku menenangkan diri di dalam bathtub hingga kulit di sekujur tubuhku mulai keriput.
Aku melihat sudah ada sepasang baju dan celana santai yang sengaja di siapkan oleh Mema untukku. Ku coba mengedarkan lagi pandanganku, mencoba mencari keberadaan sahabatku itu. Tetapi bukan Mema yang kutemukan, justru koper - koper dan semua barang bawaan milikku yang berada di hotelku sebelumnya. Barang itu sudah berada di sudut ruangan kamar ini. Kamar Dimas, ya saat ini aku berada di dalam kamar Dimas.
Bagaimana kabarnya saat ini ?
Apakah dia baik - baik saja ?
Pertanyaan itu secara otomatis terngiang di kepalaku.
Hingga sesaat kemudian memoriku kembali memutar kejadian beberapa waktu yang lalu. Kejadian yang meruntuhkan duniaku, serta semua harapan dan mimpi - mimpi besarku. Sebuah keluarga kecil yang aku harap akan menjadi perjalanan terakhirku hingga tutup usiaku, sekarang musnahlah sudah.
Yang tersisa hanyalah kepingan - kepingan kecil yang berserakan di dalam sana, dan berhasil merobek bagian lain dalam diriku. Yaitu, hati dan jiwaku.
Mataku mulai memanas, tangisku pecah beberapa saat kemudian.
Aku meringkuk lemas tepat di depan tempat tidur. Hingga samar kudengar suara seseorang yang mengetuk pintu kamar.
"Rain. Udah selesai belum siap - siapnya ? Gue disuruh Mema sama mas Bram jemput lo, udah di tungguin tuh, di tempat makan langganan kita."
Dimas. Itu jelas suara Dimas.
Suara itu sudah terdengar seperti biasa, tenang dan tegas. Tidak ada beban dari suara yang kudengar saat ini. Tidak seperti terakhir kali kudengar suaranya yang berubah menjadi seperti auman singa yang siap membunuh apapun yang ada di hadapannya.
Aku berdiri dengan cepat dan menggapai knop pintu kamar. Setelah melihat Dimas dengan senyum simpulnya, aku berhambur memeluknya dengan erat, seolah tidak ada hari esok. Kucium aroma mint dari tubuhnya, yang berhasil menenangkanku dari tangisku yang pecah beberapa waktu lalu.
Tangan kiri Dimas akhirnya membalas pelukanku dengan begitu erat. Sedangkan tangan kanannya dengan lembut menarik kepalaku akan menempel tepat di dada bidangnya.
Hangat dan nyaman. Itulah yang kurasakan saat ini.
Pelukan yang sangat kubutuhkan.
Ketenangan ini, mungkin aku tidak bisa mendapatkan dari orang lain. Meski itu adalah Mema sekalipun, kurasa tidak akan sama dengan pelukan Dimas. Pelukan yang selalu bisa menenangkanku setiap aku merasakan lelah, gundah, atau marah sekalipun.
Dimas menangkup wajahku agar bisa melihat langsung ke manik matanya yang hitam kelam, tetapi dalam.
"Udah dong nangisnya. Cantiknya ilang entar kalau nangis mulu. Udah ya, mending sekarang kita makan dulu. Laper nih gue. Emangnya lo gak laper, habis jadi sleeping beauty 2 hari. Hmm ?"
"Dimas.."
"Hmm.. Kenapa ?" Jawabnya dengan nada suara yang begitu halus.
Entah apa yang kupikirkan. Dengan mata sayuku, aku mulai melihat mata dan bibir Dimas secara bergantian. Dimas sepertinya menyadari apa yang aku perhatikan sejak beberapa saat yang lalu. Dimas menjauhkan wajahnya dengan alis kanan yang naik keatas.
"Lo kenapa ?" Tanya Dimas dengan wajah yang sedikit heran.
Aku mendorong dada Dimas pelan. Aku baru sadar jika aku tidak menggunakan apapun di dalam bathrobe ku ini.
Bodoh kamu Rain.. Apakah Dimas sadar ?
Semoga saja tidak.
"Rain, lo kenapa tiba - tiba dorong gue dengan alis lu yang mengkerut gitu ? Lo sakit atau gimana ?" Tanya Dimas lagi dengan wajah yang mulai khawatir.
Aku menjauhkan tubuhku dari Dimas, berniat untuk masuk kedalam kamar lagi.
"Yauda.. Lo masuk, ganti baju, habis itu kita berangkat. Ya ?"
Dimas tersenyum dan mencoba menutup pintu kamar dengan senyuman simpul di wajahnya. Aku baru menyadari bahwa Dimas sepertinya baru memangkas sebagian rambutnya. Sekarang terlihat begitu rapi dan bersih, terlebih kumis tipis yang biasa menghiasi wajah manly nya hilang.
Entah keberanian atau kebodohan belaka, yang terlintas di kepalaku saat itu.
Tanganku secara otomatis menarik Dimas masuk kedalam kamar. Dan detik itu juga dengan sadar aku menciumnya tepat di bibir ranumnya. Hanya menempel, sama sekali aku tidak bermaksud untuk menuntut.
Bagaimana ini ???
_Rain POV End_
_Dimas POV_
Hari ini dengan santai aku berjalan menyusuri lobby dimana apartemenku berada. Aku memasuki apartemenku dengan hati - hati, karena Rain ada disini. Aku khawatir jika Rain sedang tidak dalam kondisi yang pas ketika aku memasuki apartemenku.
Aku mendengar samar - samar suara tangisan dari balik pintu kamarku. Aku yakin itu adalah Rain yang sedang menangis. Lagi...
Aku coba dengan setenang mungkin mengetuk pintu kamar dan menetralkan suaraku, agar terdengar dengan baik dan halus. Aku tidak ingin membuat tangisan Rain semakin menjadi - jadi.
Aku ketuk pintu itu perlahan.
"Rain. Udah selesai belum siap - siapnya ? Gue disuruh Mema sama mas Bram jemput lo, udah di tungguin tuh, di tempat makan langganan kita."
Setelah beberapa detik, aku tidak lagi mendengar rintih tangisan dari Rain. Apakah dia baik - baik saja ?
Rasanya ingin sekali aku buka pintu itu dan melesat masuk kedalamnya. Aku benar - benar khawatir dengan kondisinya saat ini.
Ya walau sebenarnya akupun tidak jauh menyedihkan.
Kita berada dalam posisi yang sama.
Tak lama pintu terbuka. Belum sempat aku membuka mulut, Rain sudah berhampur memelukku dengan erat. Tanganku secara otomatis memeluknya dan memberikannya kehangatan.
Tubuhnya dingin, rambutnya di cepol asal menunjukkan leher jenjangnya. Wanginya menandakan bahwa dia baru saja selesai mandi.
Wangi segar dari tubuhnya, tetap tidak bisa menutupi mata sembabnya. Rain tertidur hampir 48 jam lama nya. Benar - benar seperti orang yang pingsan. Tetapi dokter sudah memberitahukan kepada kami bahwa, ini adalah efek trauma yang terjadi kepadanya. Trauma itu juga kemungkinan besar tidak akan bisa sembuh dengan cepat, apa bila tidak ada keinginan langsung dari Rain untuk menghapusnya.
Emm tapi aku rasa kata yg tepat saat ini bukan menghapus, melainkan melupakannya. Walaupun memang sulit, tetapi memang seperti itu adanya. Aku dan Rain harus bisa bersahabat dengan hati, pikiran, dan waktu untuk bisa kembali pulih.
"Udah dong nangisnya. Cantiknya ilang entar kalau nangis mulu. Udah ya, mending sekarang kita makan dulu. Laper nih gue. Emangnya lo gak laper, habis jadi sleeping beauty 2 hari. Hmm ?"
Aku mencoba memecah kecanggungan dan bertanya dengan wajah konyolku. Andai kalian tahu, bahwa memangkas sebagian rambutku dan juga mengcukur kumis tipisku, tidak akan bisa merubah fakta. Bahwa, aku merasakan sakit di dalam sana. Ya, hati dan jiwaku. Sepertinya, otakku saat ini masih belum bisa berfungsi dengan baik.
Tidak lama setelah aku melontarkan pertanyaanku, Rain mendongakkan kepalanya.
"Dimas.."
Rain memanggil namaku dengan nada suara yang masih lemah.
"Hmm.. Kenapa ?"
Sesaat kemudian, entah apa yang ada di dalam pikiran Rain. Aku tahu bahwa beberapa detik ini, Rain menatap mata dan bibirku secara bergantian. Aku menjauhkan wajahku, mencoba mencari alasan di balik tatapan Rain itu padaku.
"Lo kenapa ?" Akhirnya aku mencoba menanyakan, apakah ada yg salah.
Berharap mendapatkan suatu jawaban, Rain justru mendorongku secara perlahan. Kedua alisnya bertaut dengan wajahnya yang terlihat tertekuk.
"Rain, lo kenapa tiba - tiba dorong gue dengan alis lu yang mengkerut gitu ? Lo sakit atau gimana ?" Tanyaku yang mulai khawatir.
Rain menarik tubuhnya kembali ke dalam kamar. Ah, mungkin dia berniat cepat - cepat mengganti bajunya karena mulai kedinginan. Bibirnya mulai terlihat sedikit bergetar.
Lagi pula sudah 2 hari ini, Jogja diguyur hujan dan membuat hawa dingin lebih dominan setiap harinya.
Dan Rain, aku tahu bahwa dia tidak memakai apa - apa di balik bathrobe oversize yang memeluk tubuhnya itu.
Huuhhffttt..
Aku memang pria normal, dan andai saja itu bukan Rain, mungkin aku sudah mendorongnya masuk kedalam kamar untuk menghangatkan kasur king size milikku.
"Yauda.. Lo masuk, ganti baju, habis itu kita berangkat. Ya ?" Aku tersenyum, seraya mencoba menutup pintu kamarku.
Sebelum aku menutup pintu, tanganku seperti ditarik masuk kedalam. Dan benar saja, Rain menarikku dengan cukup kuat, hingga tubuhku masuk kedalam kamar. Saat itu juga dengan secepat kilat, Rain menutup pintu kamar.
Entah bagaimana dan apa yang terjadi. Atau apa yang ada dipikiran Rain saat ini. Dia melakukan hal yang tidak aku duga. Rain menciumku tepat di bibir ranumku. Astaga...
Hanya menempelkannya, tetapi aku tahu di dalam sana Rain menahan sesuatu yang sangat ingin dia lepaskan. Tekanan bibirnya pada bibirku, menunjukkan bahwa dia sedang membawa beban yang cukup membuat pundaknya terasa begitu berat. Dan aku yakin dia ingin sekali melepaskan itu. Sama sepertiku, yang sangat ingin melepaskan lalu melupakan beban yang ada di pundakku saat ini.
Rasa terkejutku kuhilangkan dan seketika kutarik pinggang kecil Rain hingga menempel pada tubuhku.
Saat itu juga, aku mulai menggerakkan bibirku dan melubat bibir bawah Rain yang kecil tetapi agak sedikit tebal.
Mata Rain, sangat memperlihatkan bahwa dia begitu terkejut dengan apa yang aku lakukan. Tetapi sesaat kemudian Rain menutup matanya, dan mencoba mengimbangi permainan bibirku.
Perlahan tapi pasti, gerakan bibir Rain mulai menuntut lebih. Aku mulai menelusupkan lidahku kedalam mulut Rain, mencoba mengabsen apa saja yang berada di dalam sana.
Shiiitt....
Her moan driving me crazy..
Kini aku sudah tidak peduli lagi apa dan bagaimana yang akan terjadi setelah ini. Aku hanya peduli bahwa aku dan Rain sama - sama saling membutuhkan seseorang untuk bisa melepaskan beban di dalam sana. Di hati kami masing - masing. Aku hanya ingin meminta maaf kepada otakku, karena panasnya hati kami saat ini, sepertinya sudah mengalahkan logika kami.
Rain mulai membuka satu persatu kancing kemejaku. Hingga terlepas dan mengekspose bagian depan tubuhku secara nyata. Tangannya juga mulai menjalar menelusuri leher hingga perutku. Dan hal itu berhasil membuatku semakin gila. Sentuhan demi sentuhan itu membuatku secara sadar berani mengangkat tubuh Rain dalam gendonganku, membawanya perlahan ke kasurku.
Ku jatuhkan Rain secara perlahan.
Hingga sesaat ciuman kami berhenti. Aku sangat ingin berhenti saat itu juga, sebelum akhirnya mataku menjadi gelap dan melupakan siapa kami sebenarnya.
Rain menatapku dengan wajahnya yang mengisyaratkan kekecewaan, karena aku memaksa untuk kami berhenti.
"Kenapa Mas ? Kenapa berhenti ?" Tanya Rain dengan tatapan nanarnya.
"Please.. Suruh gue berhenti Rain. Sebelum semuanya terlambat. Gue laki - laki normal yang baru aja merasakan patah hati. Lo juga ada diposisi yang sama bukan ? Gue gak mau kalau hal ini akan kita sesali akhirnya Rain."
Aku berusaha membuang wajahku dan menarik tubuhku dari atas Rain. Tetapi Rain menangkup wajahku dengan kedua tangan lentiknya.
"Dimas, seenggaknya kita gak ngelakuin ini sama orang lain. Justru kita ngelakuin ini sama orang yang benar - benar tahu siapa diri kita sebenarnya."
Rain benar. Akan berbahaya ketika kita melakukan hal semacam ini dengan orang asing. Walau bagaimanapun, aku masih tetap ragu. Kami bersahabat baik. Kami sudah seperti saudara sekandung, meski hanya perasaan kami saja. Tetapi tetap saja aku rasa ini tidak benar untuk kita lakukan.
Dan lagi - lagi Rain coba meyakinkanku.
"Dimas, gue cuma pengen terbuka sama diri gue sendiri. Gue mau lepas dari apa yang sudah membelenggu gue saat ini. Gue gak bisa terus menerus berada dalam bayang - bayang kehancuran. Gue butuh lo, dan satu - satu nya orang yang bisa gue percaya dalam hal ini hanya lo Mas. So please, gue harap lo juga bisa percaya sama gue. I need you to stay with me."
Please Rain.. Jangan tunjukkan wajah memohonmu. Wajah itu hanya membuat diriku menjadi lebih gelap mata.
"Apapun yang terjadi nanti, gue pengen kita gak sama - sama nyesel Rain. Hal ini, cuma kita dan Tuhan yang tahu."
Rain mengangguk dengan yakin. Tangannya kembali menarik leherku menciumku dengan begitu menuntut. Berbeda dengan sebelumnya yang masih terhalang. Yang terjadi saat ini justru beban kami mulai terasa berkurang.
Rain menarik tubuhku hingga terjatuh kebawahnya. Menanggalkan bathrobe yang dia gunakan, dan membuang bathrobenya entah kemana.
Menyisakan tubuh polosnya yang begitu menghipnotisku. Wanita diatasku ini, kenapa aku baru menyadari bahwa dia begitu cantik dengan wajah polosnya.
Rain membuka celana jeans ku, menarik semua yang menutupi bagian bawahku.
Sialan.. Hanya dengan dia duduk diatas perutku saja, itu bisa membuatku kehilangan akal. Ada sesuatu di bawah sana yang sudah menegang, dan tidak sabar untuk di puaskan.
Rain gila.. Aku pun mungkin sudah kehilangan akal dengan blow job yang sedang dia lakukan sekarang.
Bagaimana dia bisa melakukan itu tanpa perasaan canggung ???
"Rra..Rain.. Kita..M masih punya waktu untuk be..berhenti. Arrghh.." Aku masih mencoba membujuk Rain dengan napasku yang sedikit tersengal - sengal akibat apa yang sudah Rain lakukan padaku.
"Kita sudah memulai, dan kita juga harus mengakhiri ini Dimas. Come on.. I know, this is not your first time. So, we just need to keep going on."
Wajah polos Rain seolah berubah 180 derajat menjadi wajah nakal seorang wanita yang menuntut untuk di puasakan.
Dan yaa.. Aku dengan jiwaku yang sudah di selimuti oleh hal duniawi yang indah ini, sudah membuat mataku gelap dan tidak ingin segera untuk mengakhiri hal ini.
Ini.. Terlalu indah untuk aku lewatkan..
Ku tarik tubuh Rain, bergantian dengan posisiku yang sudah berada di atasnya saat ini. Wajah memohon itu terlalu jelas terpampang di wajah Rain saat ini. Ku ciumi tubuh Rain tanpa meninggalkan sejengkalpun. Apa lagi bagian gunung kembar yang begitu menggoda dan seolah tidak memiliki obat selain harus mengulumnya.
Dengan perlahan, aku mulai memasuki tubuh Rain yang sudah tidak sabar dan basah. Rasa hangat begitu terasa, seiring dengan lenguhan yang keluar dari dalam mulut Rain.
Sialan.. Sepertinya setelah ini aku harus memberikan alasan yang konkrit pada Mema dan mas Bram.
Yang jelas, mereka bisa saja menunggu..
Tetapi "kami" lah yang sudah tidak sanggup untuk menunggu.
Rain..
Semoga setelah ini kita akan baik - baik saja..
_Dimas POV End_
Naahh...
Maaf ya baru update..
???
Author juga lagi banyak kerjaan dan dead line akhir tahun soalnya, jadi harus bisa bagi waktu juga..
Mangkannya nih author coba bikin cerita yang agak sedikit panjang. Mengingat author bilang kalau bakalan ngasih Rain dan Dimas moment di bab selanjutnya..
Gimana ??
Sudah terbayarkah ??
Hehe
Semoga suka bab ini ya..
Ditunggu bab selanjutnya ya guys..
Mungkin akan ada kejutan lain lagi, atau tetap ada lanjutan dari kisah ranjang dari Rain dan Dimas nya ??
????
Jangan lupa untuk tanda love dan komenannya ya..
Kritik dan saran kalian sangat membantu untuk kemajuan cerita dan author sendiri✌️✌️
Oh iyaaa..
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2021.. Bagi semua umat di dunia yang sedang merayakannya..
Semoga di akhir tahun ini harapan - harapan baik untuk tahun depan, dunia bisa bersinar lagi dan bangkit dari keterpurukan ya??
Ammiinnn
Jangn lupa ya guys..
Jaga jarak, stay safe, stay healthy✌️
Terimakasih..
"US"
Happy reading and have a nice day ya guys.._Happy weekend_
_Rain POV_
Setelah kejadian di apartemen Dimas, kami menjadi lebih dekat. Bahkan setiap kali aku berkunjung ke Jogja pun, kami selalu lengket dan tinggal di atap yang sama.
Tak perlu kalian tanyakan lagi, karena kami beberapa kali juga melakukan hal yang sama. Hanya ketika kita dalam kondisi mood yang buruk saja kami akan melakukannya, dan tidak intens seperti orang yang memiliki hubungan khusus.
Kami hanya saling membutuhkan. Tidak lebih.
Entah mengapa Dimas sepertinya menganggap itu adalah sesuatu yang membuatnya merasa terikat denganku.
Dimas sering mengajakku berpacaran atau menjalin hubungan yang serius. Tetapi aku belum mampu untuk membicarakan hal semacam itu saat ini, meski itu dengan Dimas sekalipun.
Hingga saat ini, tidak ada yang tahu sejauh apa hubunganku dengan Dimas. Meski itu Mema sekalipun. Jujur, aku merasa kecewa dengan diriku sendiri yang dengan sadar tega menyembunyikan hal ini dari Mema, sahabat ku dan Dimas.
Maafkan aku Mema. Aku rasa aku belum menemukan waktu yang tepat untuk menceritakannya padamu. Aku berjanji akan menceritakan semuanya, walau belum tahu kapan tepatnya.
*Apartemen Dimas*
Aku bangun di pagi hari ini. Dengan nyawa yang masih di alam mimpi, aku bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Setidaknya mandi dengan shower akan membuat tubuhku segar sepenuhnya. Setelah hampir 1 jam melakukan aktifitas rutinku, aku keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap.
Ku poles wajahku dengan make up natural, aku memantaskan diri di depan cermin.
Celana jeans panjang abu - abu dengan kaos polo tanpa ku kancingkan. Gaya santai yang sangat aku sukai belakangan ini.
Ketika sedang menyisir rambut, aku mendengar suara seseorang yang sedang melakukan aktifitas di dapur.
Jam tanganku menunjukkan pukul 08.20 pagi. Dan sudah bisa ku tebak siapa orang itu. Ya, Dimas. Dia selalu memasak untukku ketika aku berkunjung ke Jogja.
Berbeda dengan yang lainnya, yang memilih untuk makan diluar. Aku dan Dimas lebih menyukai berbelanja keperluan dapur dan memasak sendiri makanan untuk kami. Tak jarang, aku juga menghabiskan hari liburku yang biasanya cuma 2 hari pada weekend untuk sekedar pindah tidur dari kamarku, ke apartemen Dimas.
Hanya dengan menghabiskan waktuku dengan Dimas di dalam apartemen ini, bisa membuatku lupa dengan stres yang ku hadapi akibat pekerjaan.
Aku mencoba berjalan perlahan, tidak ingin mengganggu Dimas yang sedang fokus membuat pancake untuk sarapan pagi hari ini.
"Hmm.. Wangi parfum kamu jauh lebih wangi dari pancake buatanku, Rain."
Dimas membuka pembicaraan dengan wajah sedikit menengok ke kiri.
Bisa terlihat bahwa saat ini dia sedang tersenyum dengan manisnya.
"Baru juga selangkah keluar kamar, masa bisa kecium sampe dapur sih ?" Tanyaku dengan kedua tangan yang menyilang di depan dadaku.
Dimas membalikkan tubuhnya seraya tersenyum dengan 1 piring pancake. Terlihat ada 4 tumpukkan pancake yang tersaji di atasnya. Tak lupa dengan maple syrup yang mengalir dengan indah jatuh ke piring. Hmm rasanya tidak sabar aku ingin segera menghabiskan pancake itu dalam waktu singkat.
Dan yang membuat mataku tak kalah laparnya adalah, Dimas. Pagi ini dia memakai kemeja putih, dengan lengan di gulung hingga ke siku. Celana chino warna abu - abu. Lihatlah, betapa pasnya kemeja itu memeluk tubuh kekar Dimas.
Astaga..
Dengan garis five o'clock yang terpajang di wajah putihnya saja bisa membuatku turn on.
Okay Rain..
Just stop it, right now !!!
Jangan sampai lupa apa tujuan utama lo datang ke Jogja.
Aku bergumam dalam hati seraya menggigit bibirku. Berusaha untuk menghilangkan pikiran negatifku.
_Rain POV End_
Tujuan Rain datang ke Jogja, bukan semata - mata hanya mencari gedung untuk membuka kantor penerbitan miliknya. Tetapi juga untuk memperjelas hubungannya dengan Dimas yang abu - abu.
Rain harus jujur tentang perasaan sebenarnya pada Dimas. Rain tidak ingin Dimas menjadi lebih banyak berharap padanya. Jika ini terus dilanjutkan, hal itu hanya akan menyakiti keduanya.
Rain bahkan siap dengan konsekuensi yang akan dia dapatkan.
Dimana kemungkinan terburuknya adalah kehilangan sahabat terbaiknya. Sahabat yang menemani Rain hampir setengah dari hidupnya.
*Meja makan*
"Kok cuma satu piring ? Kamu gak makan juga ?" Tanya Rain heran.
"Aku udah sarapan tadi di rumah. Ya kali mau bagi dua, jugaan kamu bakalan kurang tuh kayaknya." Jawab Dimas seraya meletakkan piring pancake di hadapan Rain.
"Dasar.. Ngejek ya kamu." Rain mencubit lengan Dimas hingga membuat Dimas meringis sakit.
"Duh kebiasaan deh kamu. Yang jadi suami kamu pasti gak betah deh. Apa - apa main cubit aja. Heran." Jawab Dimas dengan kepala yang menggeleng ringan, seraya mengelus bagian kulit putihnya yang tercubit.
"Mangkannya gak usah berharap deh jadi laki gue." Celetuk Rain.
"Ohh kalau itu udah jadi cita - cita kali Rain."
Berbeda dengan Dimas yang nyengir dengan ringan. Rain justru merasa bersalah setelah mendengar apa yang di katakan oleh Dimas.
Rain mulai memakan pancake yang di hidangkan oleh Dimas di hadapannya.
Dari awal hingga akhir, Dimas sama sekai tidak pernah melepaskan pandangannya dari Rain.
Hingga sampai di suapan terakhir, betapa terkejutnya Rain merasakan jari telunjuk Dimas mengangkat dagunya perlahan.
Rain hanya menurut dengan apa yang Dimas lakukan.
Ketika Dimas mulai berdiri dari tempat duduk dan mendekatkan bibirnya pada bibir Rain, dengan segera Rain memundurkan wajahnya.
Dengan dahi yang bekerut karena kecewa, Dimas kembali duduk di hadapan Rain.
"Kenapa Rain ? Sikap kamu berubah ke aku." Tanya Dimas heran.
"Dimas, sebenarnya kedatanganku kesini bukan sekedar mencari gedung seperti yang aku bilang waktu itu." Rain memulai pembicaraan dengan satu poin penting sekaligus.
"Aku tahu Rain. Bahwa memang suatu saat keraguan kamu ke aku itu akan membawa kita ke saat ini. Tapi bisakah kita gak bahas ini dulu ? Aku masih pengen coba untuk ngeyakinin kamu."
Tangan kanan Dimas menggenggam tangan Rain dengan lembut, menunjukkan bahwa Dimas benar - benar tulus pada Rain.
"Aku.. aku gak bisa. Semakin lama kita kaya gini, akan semakin sakit juga yang kita rasakan Dimas. Aku gak mau kehilangan kamu. Kamu adalah orang yang sangat paham dan mengerti aku lebih dari diriku sendiri."
"Sebagai apa ? Hanya sahabat bukan ?"
Dimas melepaskan genggamannya. Rahangnya terlihat mulai mengeras.
Rain tahu bahwa Dimas akan bersikap seperti ini. Dimas, bukan lagi Dimas yang Rain kenal. Setelah kejadian 2 tahun lalu, Dimas tidak lagi menjadi Dimas yang tegas dan lembut.
Dimas menjadi orang yang lebih menuntut dan posesif pada Rain.
Bahkan tak jarang Dimas secara sadar mulai sering berkata kasar pada Rain.
Awalnya Rain hanya berusaha menerima, karena itu mungkin adalah perwujudan dari kekecewaan yang Dimas alami 2 tahun lalu.
Sama seperti Rain yang menjadi tertutup dan tidak lagi ingin membuka hatinya pada siapapun. Walau itu seorang Dimas sekalipun.
"Dimas.. Aku benar - benar mau kita balik kaya dulu lagi. Aku tahu apa yang kita lakuin ini salah. Meski gimana pun juga kedekatan kita berubah, tapi sampai detik ini aku duduk di hadapan kamu pun, perasaanku ke kamu sama sekali gak berubah."
"Kenapa Rain ? Apa kurangnya aku buat kamu ? Aku udah rela ngelakuin apapun buat kamu. Bahkan aku udah nyiapin banyak hal buat kita. Aku percaya kalau suatu saat nanti kita bisa membangun keluarga kecil bersama."
"Aku juga gak sekali dua kali buat coba ngeyakinin hati aku ke kamu Dimas. Tapi berulang kali aku coba, aku gak bisa buat dapetin feeling itu. Malah aku semakin ngerasa bersalah karena gak bisa ngasih apa yang kamu mau." Mata Rain mulai berkaca - kaca.
Dimas berdiri dari tempat duduknya. Berjalan perlahan lalu bersimpuh di hadapan Rain dengan kedua lututnya.
"Gak Rain. Aku gak mau lepasin kamu gitu aja. Aku cinta sama kamu. Dan kamu tahu itu kan Rain. Please give me one more chance to make you believe."
Ucapan Dimas hanya membuat Rain semakin membuat matanya makin memerah.
"I loved you, Dimas. I do.. Tapi itu gak lebih dari perasaan seorang sahabat. Please, jangan terus - terusan paksa aku buat nerima kamu. Kamu pantas untuk mencintai wanita yang mencintai kamu juga. Dan aku rasa bukan aku orangnya."
Tidak ingin berlama - lama dalam kondisi yang sudah tidak lagi kondusif, Rain akhirnya beranjak pergi dari hadapan Dimas. Tetapi bukan Dimas namanya jika membiarkan Rain pergi begitu saja.
Dimas berdiri dan dengan cepat menarik tangan Rain. Rain yang kehilangan keseimbangan secara refleks memegang bahu kekar Dimas dengan kuat. Dengan begitu Dimas dengan mudah meraih bibir Rain. Dimas mencium Rain seolah matahari tidak akan bersinar lagi.
Ciuman Dimas cukup menuntut dengan tangan kekarnya yang posesif memeluk erat tubuh Rain.
Rain memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Dimas. Tapi sia - sia rasanya untuk lepas dari dekapan seseorang yang berkali lipat jauh lebih besar dari tubuhmya.
Rain mencoba melihat ke manik hitam Dimas. Mencoba mengetahui ada apa dengan pelukan dan ciuman kasar itu.
Seketika Rain tahu, bahwa ada rasa takut kehilangan dan perasaan harus merelakan disaat yang sama.
Rain bisa merasakannya dari ciuman Dimas yang menekan dan menuntut, tetapi terasa tetap lembut.
Tanpa sadar Rain mulai mengalungkan kedua tangannya pada leher Dimas. Semakin dalam ciuman itu, dan semakin intens gerak tubuh keduanya.
Dimas menggendong tubuh Rain, dan membawanya naik ke meja pantry. Rain terbawa suasana saat itu tidak menyadari bahwa tangan Dimas mulai bergerilia di punggung mulus Rain.
Tidak menolak, tangan Rain justru mulai membuka satu persatu kancing kemeja Dimas.
Ciuman Dimas mulai turun ke dagu dan leher jenjang Rain. Kancing baju polo Rain yang sedari awal memang terbuka, membuat Dimas dengan mudahnya melihat belahan dada yang tidak bisa dilewatkannya begitu saja.
Tanpa terasa kemeja Dimas terbuka lebar. Menyisakan pemandangan roti sobek yang terpampang sempurna di hadapan Rain.
Dimas menggerang menikmati sentuhan - sentuhan yang di berikan Rain di sekujur tubuh kekarnya.
Hingga akhirnya otak Rain mulai mengembalikan kesadaran Rain tepat sebelum Dimas membuka baju polo miliknya.
Rain mendorong dan menampar Dimas tepat di pipi kanannya.
Dimas dengan tatapan bingungnya hanya bisa mengerutkan dahi dan melihat Rain turun dari pantry, lalu berlari masuk kedalam kamar. Rain mengunci pintu kamar itu, agar tidak ada kejadian yang sama terulang lagi.
Dimas menggedor pintu kamar itu.
Dimas berteriak di balik pintu.
"Rain.. Aku tahu kamu punya rasa yang sama denganku. Tetapi kamu berulang kali menolak perasaan itu, dan berusaha mengartikannya dengan perasaan lain. Kamu itu egois Rain !!! Kamu dengan tega nyakitin perasaanku !!!"
"Dari awal aku udah bilang sama kamu, aku gak bisa ngasih harapan apapun ke kamu. Kalau tahu kejadiannya akan sejauh ini, aku gak akan milih kamu Dimas. Supaya kamu gak sakit kaya gini, karena aku."
Suara Rain bergetar. Dia tidak lagi bisa menahan air matanya lebih lama lagi.
"Ak..aku yang buat kamu kaya gini Dimas. Aku berusaha memperbaiki semuanya. Aku pengen kita balik lagi kaya dulu. Aku gak mau kita saling nyakitin kaya gini."
"Aarrrgghhh.. Terserah kamu Rain. Kamu mau kaya gimana pun aku gak peduli. Yang aku tahu kamu adalah cewek egois !"
Nada suara Dimas semakin meldak, dan membuat Rain semakin ketakutan. Rain meringkuk di bawah handle pintu kamar.
Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara Dimas sejajar dengan punggunya.
"Inget Rain, perasaanku ke kamu gak akan berubah. Semakin kamu menjauh, akan semakin kuat rasa kehilanganku ke kamu. Aku gak akan pernah sanggup kalau harus ngelupain dan ngilangin perasaan ini. Kamu adalah hal termanis yang pernah aku rasakan. Hal terindah yang pernah aku lihat. Dan hal terbaik yang pernah aku punya."
Suara Dimas kembali lembut. Napasnya pun sudah teratur kembali, dimana sebelumnya menggebu - gebu. Saat ini Rain merasakan kembali Dimas yang telah lama hilang.
"Perasaanku ini tulus ke kamu Rain. Aku gak sanggup untuk hilangin perasaan itu. Aku udah pernah coba, tetapi perasaan itu justru semakin bertambah kuat. Aku semakin takut kehilangan kamu Rain."
"Dimas.. Aku.."
Belum Rain menuntaskan kalimatnya, Dimas sudah langsung memotong kalimat itu.
"Aku kasih kamu dua pilihan Rain. Dengan atau tanpa aku seterusnya. Maaf, karena aku gak bisa kasih pilihan lain. Aku rasa pilihan itu adalah yang terbaik untuk kita. Aku, gak pengen ada beban diantara kita. Dan setelah kamu memutuskan, kita juga gak perlu menjelaskan apapun detailnya pada keluarga kita dan juga Mema. Just let it flow, Rain. Entah bagaimana pun akhirnya. Ayo coba bersama.. Apapun keputusanmu nanti, aku akan terima dengan hati yang lapang."
Rain masih terdiam dan tidak bisa berkata apapun. Di balik pintu terdengar suara Dimas yang bangun dari duduknya.
"Aku kasih waktu kamu untuk sendiri. Terserah kamu, mau tetep stay disini, atau mau kembali ke Jakarta. Yang jelas, kasih jawaban kamu secepat yang kamu bisa. Just take your time. I'll stay here, and get ready for everything that you take."
Langkah Dimas terdengar mulai berjalan menjauhi kamar. Perlahan langkah itu menghilang seiring bunyi pintu apartemen yang tertutup.
Rain menarik napasnya panjang dan membuangnya dengan sedikit kasar. Seperti ada batu yang kembali mengganjal di pundaknya, rasanya lebih berat dari dua tahun lalu. Yang ini, lebih menyakitkan ketika harus berada dalam dua pilihan yang tidak sebanding dengan apa yang akan di dapatkannya nanti.
Rain berjalan perlahan, lalu merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Tubuhnya seperti baru saja melakukan pekerjaan berat ber jam - jam.
Bunyi ponsel di atas meja lampu, menyadarkan Rain dari lamunannya.
Pesan masuk dari Dimas. Entah mengapa Dimas masih mau mengiriminya pesan setelah berbicara panjang lebar yang menguras tenaga mereka tadi.
"Kunci dan stnk mobil aku taruh di meja ruang tv. Kamu bisa pakai apartemen dan mobil itu selama di Jogja. Maaf karena aku ingkarin janji aku buat nemenin kamu selama disini. Gak perlu aku jelasin kan alasannya apa. Yang jelas apapun dan bagaimanapun kamu tanpa aku di samping kamu sekarang, kamu harus tetep ngabarin aku. Jangan buat khawatir dengan sikap dan kelakuan ceroboh kamu, Rain ! Kalau perlu apa - apa, I'm still here for you. So, see you when I see you, Rain.
-Your beloved man, Dimas-"
Senyuman kecil tersungging di bibir Rain. Setelah pertengkaran mereka yang menguras isi hati dan pikiran, Dimas dengan mudahnya membuat hati Rain kembali pulih. Walau tidak bisa lebih dari 50%, tetapi setidaknya pesan yang dikirimkan Dimas cukup berhasil membuatnya tersenyum.
"Dimas..
Apa yang harus aku pilih ??
Aku gak mau kehilangan kamu, tapi juga gak membuatmu stay sama aku yang gak bisa ngasih kamu lebih dari ini.
Andai kan waktu bisa aku putar kembali, aku yakin bahwa aku akan tetap memilih dan melakukan hal yang sama.
Karena apapun yang terjadi diantara aku dan kamu, tidak ada rasa penyesalan sedikitpun. Aku juga menyukai hal ini, sama sepertimu."
Nah bab 7 nih guys..
Kira - kira apa ya yang akan Rain pilih ?
"Dengan" atau "Tanpa"
Coba deh kalian kasih komenan di bawah, kalau kalian ada di posisi Rain, apa sih yang bakalan kalian lakuin ????
Eiittss jangan lupa juga kritik dan sarannya yaa..
Supaya cerita ini tetap berlanjut dan authornya semangat nyelesaiin caritanya.
Makasih banyak guys..
Love you
_Kurnia Dee_
Rainendra Abhiyoda Permana
Selamat membaca kawan - kawan.....✌️✌️✌️😬😬😬
_Rain POV_
Deburan ombak dan angin pantai sore ini menemaniku.
Setelah seharian aku mencari lokasi dan bangunan yang sesuai dengan keinginanku, aku memutuskan pergi ke salah satu pantai di Jogja untuk melihat sunset.
Entah memang ingin melihat sunset, atau hanya ingin mengalihkan pemikiranku saja dari bayang - bayang Dimas.
Nyatanya memang aku pun tak peduli tentang pandangan orang - orang terhadapku saat ini.
Kondisi yang cukup menyedihkan. Dimana aku duduk menyendiri di tepian pantai, ketika banyak pasangan atau keluarga - keluarga kecil yang menghabiskan waktu bersama seraya menunggu datangnya senja.
"Sial.. Ini malam minggu ya ?"
Aku bergumam sendiri.
Huuhhftt setelah apa yang terjadi denganku selama 2 tahun terakhir, aku benar - benar menganggap semua hari yang kulewati adalah sama.
Bekerja, berpikir, dead line, dan.. Spending time with my bestie.
I love my job.
Itulah kenapa aku merasa asyik dengan kesendirianku.
Berdiri sendiri, dengan hasil dari jeripayahku sendiri. Menjadi wanita mandiri tanpa harus bergantung dengan laki - laki. Tanpa batasan dan tentu bebas melakukan apapun yang aku inginkan, adalah hal terbaik yang aku lewati selama ini.
"Senja memang tetap indah meski hati yang melihatnya sedang tidak baik - baik saja."
Ketika sedang tersenyum ketir meratapi kesendirianku, tiba - tiba aku di buat terkejut dengan suara orang yang tak ku kenal.
Ekor mataku menangkap bahwa ada seorang laki - laki yang berdiri setengah meter disebelah kananku.
Entah dia sedang berbicara dengan siapa, yang jelas aku coba tidak menggubris apa yang dia katakan.
"Kalimatku tidak membuat kamu tertarik ya ? Gadis baju polo."
Aku mendengarnya berbicara lagi. Jelas itu untukku. Dalam jarak beberapa meter, hanya aku yang ada di sekitarnya.
"Saya sudah tua. Bukan gadis seperti yang kamu bilang."
Aku balas kalimatnya dengan tatapan tetap lurus kearah deburan ombak.
Harapanku agar dia segera pergi. Karena jika dalam hitungan menit dia tetap stay di tempatnya berdiri saat ini, sudah pasti aku yang akan pergi dari sini tanpa perlu menunggu senja datang.
"Aku cuma lihat wajah kamu dari samping. Dan nyatanya kamu memang terlihat masih seusia belia. Maaf kalau aku salah."
Tanpa sadar mataku justru tertarik untuk mendongak menatapnya.
Obsidianku kami bertemu, laki - laki di hadapanku saat ini menunjukan senyuman dengan eye smile dan juga lesung pipi yang begitu indah di pandang.
Tubuhnya menjulang tinggi, lebih tinggi dari Dimas. Alis tebal dengan bulu mata yang cukup panjang, walau tidak lentik. Mata cokelatnya, serta jambangnya yang memanjang hampir sedagu. Rahang yang terpahat dengan indah di wajah manisnya, dengan kulit yang tidak terlalu putih, membuat kesan maskulin dan manis menjadi satu kesatuan yang pas.
Setidaknya itu adalah sekilas yang aku tangkap dari laki - laki ini. Hingga pandanganku bergetar ketika dia mendudukan bokongnya di pasir tepat di sebelahku, tanpa meminta ijin.
"Ngapain ?" Tanyaku terkejut dengan apa yang dia lakukan.
"Emang ada larangan gak boleh duduk disini ?"
Laki - laki ini berbalik tanya padaku
"Tapi kamu gak minta ijin ke saya. Kamu bahkan gak menanyakan saya sendirian atau tidak. Kalau saya sedang nunggu seseorang gimana ? Apa itu bisa dibilang sopan ?" Cecarku lagi.
"Kalau yang kamu tunggu perempuan, rasanya tidak mungkin kalian janjian hanya untuk melihat sunset. Dan kalau dia laki - laki, aku justru akan memakinya karena membiarkan wanita cantik menunggu dengan wajah sendu seperti itu selama lebih dari satu jam."
"Kamu nguntit saya ?"
"Jadi mau lanjutin pembicaraan atau gimana ? Saya gak mau jawab pertanyaan kamu kalau saya belum kenal."
Dahiku mengernyit mendengar apa yang dia katakan barusan.
"Maksudmu ?"
Wajah itu kembali melihat kearahku setelah sesaat melihat kearah deburan ombak yang berjarak beberapa meter di hadapan kami.
"Can I know your name first ms ???"
Telapak tangannya terulur kehadapanku. Dari pengucapan bahasa Inggrisnya yang hanya sepenggal itu, aku tahu bahwa dia bukan orang sembarangan.
"Rain."
Tak menyebutkan namanya, dia justru menaikan satu alisnya dan seperti menahan tawanya.
"Kenapa ekspresi kamu begitu ? Gak ada yang lucu." Jawabku jutek dan mencoba menarik jabatan tanganku, yang justru di tahan olehnya.
"Lucu aja. Ya khusus untuk kamu, panggil saja aku Endra."
Aku kembali mengernyitkan dahiku dengan tatapan aneh.
"Nanti aja kalau mau tanya lagi. Senjanya sudah siap meninggalkan hari ini."
Dia kembali tersenyum dan melepaskan jabatan tangan kami. Matanya mengarah jauh ke senja yang perlahan menghilang. Aku pun hanya mengikuti arah pandangnya, kearah yang sama. Senja...
Setelah beberapa menit, laki - laki ini membuka kembali suara baritonnya.
"Namaku, Rain. Rainendra Abhiyoda Permana."
Dan mata kami kembali bertemu.
"Nice to meet you, Rain."
Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku. Hingga tanpa kusadari, senyum simpulku mengembang seiring dengan eye smile yang ditunjukannya padaku setelah memberitahuku nama lengkapnya.
Rainendra Abhiyoda Permana.
Hmm..
Rasanya menggelitik sekaligus menarik bisa berkenalan dengan orang yang memiliki nama panggilan yang sama denganku.
Rain...
Sorry ya guys baru update lagi...
Gimana nih ??
Segini dulu gapapa kan..
Monggo deh yang mau ninggalin komentar tentang pertemuan pertama Rain dengan Rain..
Berkesan atau gak nih ?????
Kalau mau ini aku tambah semangat lanjutin ceritanya, silahkan tinggalkan hati dan komentar kalian ya guys..
☺️☺️Thanks for your support me with this story☺️☺️
Description: Ketika Rainata yang gagal menikah, lalu memutuskan untuk tidak ingin mengerti lagi soal cinta. Dan berakhir dengan ingin sendiri seumur hidupnya..
Rain.. Begitulah panggilan dari semua orang yang mengenalnya..
Setelah asyik menjalani hari - hari dengan kesendiriannya. Rain pun juga terlihat tidak peduli lagi omongan orang mengenai usianya yang sudah menginjak kepala 3. Namun, Rain akhirnya di pertemukan dengan sosok laki - laki yang justru membuat hatinya terasa hidup kembali.
|
Title: Rewrite the stars
Category: Teenlit
Text:
🌺Halu Remi🌺
Dua remaja berlawanan jenis menyelami kedalaman air laut. Berupaya menggapai permukaan laut. Perlawanan tubuh yang terperosok dalam laut membuat gelembung-gelembung yang keluar dari sisa pernapasan. Keduanya tidak menyerah, mereka bekerja sama menyelamatkan hidup. Gadis itu menutup mulut rapat agar menghindar air yang ingin masuk dalam tubuhnya. Pria itu mencoba menggegam tangannya dan mengajak untuk berenang sampai tepi laut. Pasokan oksigen mereka semakin menipis. Tenaga mereka terkuras habis untuk menyelamatkan diri. Gadis itu tidak tahan lagi. Dia membiarkan dirinya menelan air laut mengambil alih tubuhnya dan seketika semuanya menjadi gelap.
"Jangan ambil nyawaku!!" teriak Remifa histeris, berusaha menggapai-gapai seolah ingin menyelamatkan diri.
Pintu kamar setengah terbuka, Aishavyah yang merupakan Kakak kedua Remifa berlari setelah mendengar teriakan adiknya.
"Adek, sadar Dek." Aisha menepuk pipi Remifa, mencoba menyadarkan adiknya dari mimpi buruk.
Perlahan mata Remifa terbuka, ruangan berwarna hijau muda mendominasi matanya. Dia melirik jam ternyata jam tujuh pagi dan melihat muka kakaknya terlihat cemas.
"Kakak!" Remifa segera memeluk Iish. "Aku menemukan jawaban siapa yang nolong aku kemarin di Pelabuhan!"
Iish terdiam. Sepertinya adiknya belum juga menyerah. Harus bagaimana lagi dia menjelaskan pada Adiknya, bahwa yang menolongnya saat itu bukan Pria yang dia dramatiskan kepada kakak-kakaknya.
"Ck.. Kak Iish! Kebiasaan ih!" Remifa melipat tangan, kesal melihat respon kakaknya tanpa reaksi.
"Kakak harus percaya sama aku, biarin Kak Renon anggap aku sakit jiwa. Aku yakin yang nyelamatin pas tenggelam di Bakauheni Cowok keren itu," ucapnya gemas, sesekali melihat reaksi Iish berharap, Kakak perempuannya percaya.
"Bukan dek, kemarin yang nyelamatin kamu bapak-bapak dia yang menggendong kamu sampai mobil Kak Renon," bantah Iish.
Setelah sadar Remifa mendapatkan ilham. Dia tetap yakin Cowok berhoodie putih beruang itulah yang menyelamatkan saat itu. Smartwatch hitam yang masih disimpan Remifa sampai sekarang menjadi saksi bisu pertemuan Mereka.
"Heh! Kenapa bengong?" tegur Iish beringsut mendekati Remifa.
Sebel! Kesel! Sekarang Kakak keduanya juga seperti Kakak yang pertama sama-sama menganggapnya gila, halusinasi, bahkan Kakak pertamanya meledek Remifa. Adiknya jadi konslet karena terbentur jangkar kapal di tepi laut. Dia beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.
"Kakak percaya sama kamu, kalau nggak halusinasi... berarti ngide." Sebelum mendapat lemparan gayung, Iish sudah meninggalkan kamar Adiknya terlebih dulu.
"Sialan!"
Persaudaraan mereka terbilang unik. Meskipun Remifa kesal dengan kelakuan kedua saudaranya, dalam hatinya selalu menikmati tiap adegan pertengkaran dengan saudaranya. Pernah ketika Remifa ingin menghadiri pesta ulang tahun temannya, dia memakai gaun pesta tanpa seizin Aishavyah. Namun, naas gaun itu robek terkena paku payung yang tertancap pohon sewaktu ia sedang menyebrang.
Setelah Aishavyah tahu, dia mengobarkan bendera perang dingin. Mereka saling membatasi area tempat favorit masing-masing. Sampai akhirnya, Renon turun tangan.
Renon mencoba mendamaikan mereka dengan berbagai cara. Tetapi tetap saja, Renon tersudutkan. Malahan, mereka menganggap bahwa Renon Kakak pertama yang pilih kasih.
Satu hal yang dia tahu, wanita itu egois. Wanita memang selalu benar.
Remifa tersenyum, sampai sekarang dia tahu akan selalu menang dari kakak keduanya dan mendapatkan dukungan dari Kakak pertama. Hal ini yang memancing kecemburuan Aishavyah terhadap adiknya. Namun saat mereka berjauhan saling mengatakan rindu. Aishavyah pun pernah nginggo berantem gara-gara Remifa masak makanan yang ia tidak sukai, seperti pete.
Sebaliknya, saat Remifa berjauhan dari Kakak keduanya dia pernah tidur sambil berjalan menuju tempat tidur Aishavyah dan memeluk guling sedang berceloteh tentang rindu. Usut punya usut.. guling yang dipeluknya adalah badan Renon, dia menjerit mengira itu setan yang berwajah mesum.
---RUS---
"Istirahat lah dulu, Nak!"
Peluh bercucuran melanda Pria jangkung, beralis ulat bulu. Menyapu tangan meninggalkan bekas kecoklatan menempel sekita wajah. Mata teduhnya menatap terik matahari semakin menyengat di atas kepala.Dia berjalan melewati hamparan pemandangan hijau dan memutuskan untuk santai sejenak.
flashback on
"Gue cuman pengen tau nama Lo. Mau ngasih id chat juga gapapa, siapa tau kita jodoh kayak dipassword Wifi Mister Geprek." Gadis itu terus berceloteh mendekati Pria semakin berjalan mundur karena takut diterkam.
Sinting, umpatnya dalam hati
Gadis mengulurkan tangan. "Ayo.. Gue cuman mau kenalan."
Posisi Pria itu setengah lagi menyentuh ujung jembatan dermaga. Bagai kan mangsa Gadis itu terus memburu dan akibatnya..
Brukk...
Pria itu terkapar lemas mengeluarkan darah di bagian pelipis kanan. Setengah sadar dia mencoba bangkit, akhirnya terjatuh lagi.
"Ya ampun! Heh! Bangun!" teriak Gadis itu panik, mengguncang badan pria itu seperti kerasukan.
"Ehm.." Pria itu merespon, pertanda dia baik-baik saja.
"Beneran?" Gadis itu mengernyitkan alis.
Pria itu tidak menjawab. Tiba-Tiba dia mengalami sesak napas dan tak mampu mengatakan sepatah kata. Dadanya seperti terhimpit hantaman batu.
"Gimana ini! Heh Cowok bangun! Jangan sekarat dulul, lo belum nulis permintaan terakhir ama keluarga lo." Seakrang Gadis itu menangis tersedu-sedu, selain karena merasa bersalah, dia bingung harus meminta bantuan ke siapa.
Mengelap air mata dengan punggung tangan, Gadis itu punya ide cemerlang. "Sorry, sorry to say ini mah, lagi keadaan darurat nggak papa kan, bukan khilaf tapi demi nyawa lo juga."
Gadis itu tidak berpikir panjang, dia berniat melakukan sesuatu untuk memyelamtkan Pria malang sedang terkapar lemas. Jarak mendekat beberapa senti sehingga ia beba s memandamg wajah rupawan milik Pria itu.
Cupp!
"Apa yang lo lakuin?!!" hardik Pria itu melotot, berhasil menghalangi mulut Gadis itu dengan tangan.
Saking kesal dengan perlakuin Gadis tadi, dia tidak sengaja mendorong Gadis itu sampai terayun dipeyangga jembatan hampir menyentuh laut. Pria itu kalang kabut, mencoba menolong Gadis itu sekuat tenaga. Namun ketika Gadis itu berusaha meraih tangan terulur, dia malah menarik Hoodie Pria itu dan keduanya tenggelam bersama.
flashback off
"Aww..." Raba Pria itu memegang bekas perban pada pelipisnya.
Memandang luas perkebunan membuat hati pria jangkung itu sedikit tenang. Tumbuhan hijau tumbuh subur banyak mengahasilkan panen sayur-sayuran dan buah. Tak lupa, menjelang kebun panen dia akan membagikan hasil kebun pada warga sekitar. Pekerja penanggung jawab kebun sering korupsi pada keuangan perkebunan, hal ini yang membuat pria itu mengelola kebun milik keluarganya sendiri.
"Kiyay! Jangan lupa suruh karyawan yang lain untuk ambil gaji sore nanti," perintah Pria jangkung seraya menyesap kopi hangat.
"Siap Bos muda!"
Pria bernama Azra Faridzqi Setiawan, kembali berpatroli mengawasi anak buahnya di kebun bawah. Berjalan sesekali menghirup udara segar Kota Liwa. Langkahnya tiba-tiba terhenti, merogoh saku celana dan mendapati handphone berdering.
Ternyata ada pesan masuk. Dia membaca deretan kalimat pesan. Namun, dia hanya mengucapkan sepatah.
"Oh, bakal ada yang nyewa villa."
Description: Permainan takdir telah membuat Remifa percaya 'Love at first sight' ketika dia mengalami insiden konyol.
Remifa mencoba mengembalikan sebagian takdir untuknya yang hilang.
Perjuangan bagai berpetualangan di Bumi Ruwa Jurai tercinta.
'Tentunya, untuk mendapatkanmu kembali.'
|
Title: Rumah
Category: Teenlit
Text:
Prolog
—Rumah—
Rumah.
What is meant by home?
Secara umum, rumah adalah salah satu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu.
Apa sampai di situ pengertian rumah?
No.
Terus rumah itu apa dong?
Ada yang bilang, kalau rumah itu bukan hanya sebuah bangunan untuk ditempati. Rumah mempunyai makna yang lebih dalam. Rumah adalah kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan dalam hati.
Atau juga ada yang mengatakan, ‘Rumahku Istanaku’. Maksudnya, rumah adalah tempat untuk mencurahkan segala pikiran kepada orang yang sangat dekat. Salah satunya adalah keluarga. Mau suasana sedih, senang, apapun itu, semuanya ada di rumah. Berkumpul, beristirahat, dan bercerita.
Jika demikian, bangunan semegah dan semewah apapun tak bisa disebut dengan ‘rumah’ bila hati ini tidak merasa nyaman saat berada di sana. Sebaliknya, sebuah gubuk mungil yang apa adanya bisa menjadi ‘rumah’ asalkan perasaan ini bahagia ketika di sana. Sebanyak apapun kita menciptakan ‘rumah’, kalau tidak diciptakan dengan tulus, rumah hanyalah sebuah bangunan.
Sementara bagi kami, rumah adalah tempat ternyaman di dunia. Sebuah tempat memulai dan mengakhiri. Saat memulai hari kami mengawalinya dari rumah. Saat kami merasa lelah, kami kembali ke rumah untuk sekadar melepas penat.
Ya… bisa dikatakan rumah adalah keluarga, lebih tepatnya orang tua.
Karena di sanalah, kami bisa mencurahkan segala keluh kesah kami kepada keluarga. Mereka tidak pernah mengeluh. Selalu menjadi pendengar dan pemberi solusi yang baik.
Namun definisi yang terangkai, tidak selamanya sama dengan kenyataan yang ada. Nyatanya, kami masih mencari rumah untuk pulang.
Bila rumah adalah keluarga, kenapa masih ada yang rusak?
Bila rumah adalah tempat ternyaman di dunia, kenapa masih ada yang merasa resah dan gelisah?
Bila rumah adalah sumber kebahagiaan, kenapa masih ada yang bersedih hati?
Lantas, apa definisi rumah yang sebenarnya?
Rumah tidak selamanya terdapat di ruang lingkup keluarga. Orang tua tak selamanya menjadi tempat pulang untuk anaknya.
Saat tidak ada lagi tempat di rumah orang tua, sudah saatnya melangkahkan kaki keluar. Walaupun selalu ada ruang di sana untuk tetap diisi namun keberadaan diri haruslah tetap pergi. Ruang kosong itu hanya sekadar untuk singgah melepas lelah setelah bertualang mengarungi kehidupan yang belum berujung. Walaupun tangan mereka tetap menyongsong kehadiran tapi tubuh ini bicara kalau ini bukanlah lagi rumah bagi kami. Tubuh ini harus mencari tempat perlindungan lain, tempat yang aman dan nyaman untuk diri.
Perlu diingat. Tidak semua anak memiliki keluarga yang seperti itu. Ada yang keluarganya rusak karena suatu permasalahan. Ada yang membenci rumahnya sendiri. Ada yang keluarganya utuh, tapi tak harmonis. Ada yang keluarganya harmonis, tapi percintaannya sering dikecewakan. Atau juga karena telah berpulang ke rumah-Nya.
Begitupun dengan kami.
Kami adalah insan yang menyimpan luka dalam sanubari, sesak dalam dada, memikul beban pada pundak setiap hari. Kaki kami terseok-seok mencari rumah untuk pulang. Menapaki bumi dengan segala kebohongan, menikmati setiap kepura-puraan hingga larut dan tenggelam dalam drama yang memuakkan.
Kami sedang mencari tempat untuk pulang yang akan kami sebut rumah.
Rumah seperti apa yang akan ditempati? Kapan akan bisa bertumbuh bersama di dalamnya?
Ini kisah kami, insan-insan yang penuh luka.
“Rumah bukan hanya bangunan, tapi juga rengkuhan.”
—Rumah—
Hai, kenalin, aku Rain Sweety, di sini aku masih baru. Kamu boleh panggil aku, Rara, ya. Kamu boleh ngasih aku kritik, saran, dan hal-hal lainnya biar aku bisa semangat nulis dan berbagi pengalaman sama kalian.
Salam kenal semua!
My on insta; @rain.sweety_
Sumedang, 13 Maret 2021
Description: “Rumah bukan hanya bangunan, tapi juga rengkuhan.”—AMHS²
|
Title: Rahasia Kita
Category: Cerita Pendek
Text:
Surat Cinta Tanpa Nama
Our small or stupid conversation means more to me than you’ll ever know.
Hari itu adalah hari yang biasa. Aku bahkan lupa hari itu hari apa. Tetapi seingat aku, itu hari Minggu. Aku pikir, hari itu hanyalah akan menjadi hari yang biasa–sebiasa hari-hariku sebelumnya. Oke, hari itu hari Minggu, sebelumnya hari Sabtu, malam harinya malam Minggu. Lalu, kenapa? So what? Aku tidak terlalu peduli dengan itu.
Sampai ternyata pada hari itu ia datang.
Tenang. Santai. Penuh tawa. Aku bisa melihat senyumnya yang mengembang dengan ramah. Khasnya. Cuman punya dia.
Tapi, aku nggak berpikir apa-apa saat itu. Bahkan berkenalan pun tidak. Aku bersikap sangat dingin sekalipun aku yakin dia adalah orang yang sangat ramah.
Saat itu, aku terlalu kaku. Aku terlalu diam. Aku. Sudahlah.
Pada hari-hari berikutnya kami selalu bertemu dengan tidak sengaja. Suatu hari di kantin, aku melihatnya. Ia tersenyum kepadaku–kearahku tepatnya. Tetapi aku malah memutar bola mata. Aku nggak punya cukup keberanian untuk melihatnya.
Aku marah sama diriku sendiri–yang bahkan untuk tersenyum saja tidak bisa. Sial. Kemana larinya sebagian diriku yang biasanya cuek dan tidak peduli? Semuanya menguap. Atau mungkin bersembunyi dibalik punggungku? Hingga akhirnya hanya sebagian diriku yang mendadak kaku yang muncul ke permukaan. Sebagian diriku yang benar-benar nggak aku harap muncul saat itu.
Maaf.
Di suatu hari yang lain, aku bertemu lagi dengannya. Saat itu, aku sedang bersama salah satu orang terdekat aku. Ia kemudian datang menghampiri kami untuk sekedar berbicara, mengobrol–tapi tidak denganku.
Prok… prok… prok…. Sepertinya aku harus membuat pesta tumpengan untuk menyelamati diriku sendiri yang sudah berhasil menumbuhkan image sombong di matanya. Miris.
Suatu hari, aku berbicara dengannya. Mengobrol. Bertukar cerita.
Aku menyapanya duluan. Tetapi tidak kusangka, ia merespon dengan sangat baik. Memori itu masih terekam dengan jelas di kepalaku walaupun sudah lama rasanya.
Kami mengobrol. Bercerita. Tentang hal-hal yang kecil. Lalu, aku tertawa mendengar kebodohan-kebodohannya dan kebodohanku, celetukan-celetukan konyolnya, dan semua hal-hal yang terlihat begitu ‘hidup’ saat aku mengobrol dengannya.
Aku belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Bilang aku jatuh cinta? Entahlah. Aku sendiri tidak tahu apa itu rasanya–aku hanya bisa memainkannya dalam imajiku. Tapi itu pun tidak akan sempurna. Tidak tanpa kamu. Tidak tanpa dia.
Lalu obrolan kami terputus.
Aku kembali dengan hariku dan dia kembali dengan harinya.
Lama berselang, kami ternyata kembali mengobrol. Kali ini pun masih sama, obrolan kami terasa begitu mengalir. Terasa begitu hidup. Entahlah, aku bisa sejenak melupakan kepenatanku. Melupakan ketakutanku akan kucing. Melupakan tugasku yang menumpuk. Atau sekedar berbagi cerita dan hal-hal konyol dengannya.
Di lain hari, aku bertemu lagi dengannya. Tidak sengaja.
Tapi, bagaikan sebuah dejavu, aku kembali merasa kaku. Aku bahkan tidak berani untuk sekedar menegurnya. Sial kuadrat. Baiklah, aku kembali membuang kesempatanku.
Tapi asiknya, ternyata kami bisa kembali mengobrol. Aku tertawa. Dia tertawa. Obrolan kami terasa begitu santai dan ringan. Aku benar-benar menjadi diriku sendiri saat aku berbicara dengannya.
….
Orang-orang disekelilingku mulai bertanya-tanya padaku. Mereka saling tersenyum. Sial, itu benar-benar membuatku salah tingkah. Aku harus bagaimana?
Beberapa hari berselang, aku akhirnya merasakan sebuah dinding antara aku dengannya. Ia telah mempunyai pasangan yang lain.
Bahwa aku dan dia, mungkin bisa menjadi sepasang teman yang asik. Teman. Ya, teman. Harus berapa kali lagi aku mengucapkan kata-kata itu.
You were just too nice to be true but too high to be climbed for me.
Terima kasih sudah mengisi beberapa episode dalam hidupku dengan warna yang asik. Merah? Biru? Atau Hijau? Entahlah… Hey, aku bahkan belum tahu apa warna favorit dia. Semoga dia selalu bahagia ya.
Hahaha, aku yakin dia pasti akan ketawa seandainya ia membaca tulisan ini. Aku saja bingung kenapa aku bisa menulis tulisan ini. Ya, aku tahu ini pasti konyol.
Aku mungkin hanya bisa bilang “Our small or stupid conversation means more to me than you’ll ever know”.
Tapi satu hal yang harus dia tahu, seandainya aku bisa bilang ini sama dia..
…
Kamu ngangenin. Banget.
20 Februari 2011. 10.30 PM.
Rahasia si High Heels Hitam
"Senang ya, dengan high heels hitam dariku? Kalau kamu mau jadi pacarku, jangankan high heels, satu dunia pun akan aku beli untukmu."
Aku memutar bola mata ketika mendengar Reno, putra konglomerat nomor satu di Jakarta itu, menatapku dengan tatapan penuh semangat. Sebetulnya, secara garis keturunan, wanita mana sih yang akan menolak untuk jadi pacar Reno? Dia tampan dan rupawan, uangnya tidak berseri, perusahaan ayahnya dimana-mana hingga bisa menjamin tujuh turunan, dan hampir tiap bulan dia ganti mobil dengan alasan bosan.
Kurang ajar, ya? Di saat banyak orang di luar sana tidak beruntung dan harus berpikir mau makan apa besok, si Reno sialan ini malah seenaknya ganti mobil dengan alasan bosan. Ia tinggal bilang pada ajudan ayahnya, menunjuk mobil terbaru yang masih pre order, dan tiga hari kemudian, mobil pesanannya sudah nangkring dengan cantik di garasi mobil rumah gedongannya.
"Keep on dreaming, Honey." aku berkata santai sambil mengambil high heels hitam yang baru saja diberikannya padaku dan langsung mengenakannya di kakiku. High heels yang baru saja aku lihat di majalah Vogue minggu lalu itu kini sudah menjadi milikku dengan hanya berbekal tunjuk jari di depan Reno sambil berkata tanpa suara, "I want them."
"Sudah kelima kalinya aku mengatakannya sama kamu tapi kamu masih juga belum mau jadi pacarku, Gin?" Reno berkata nyaris putus asa, "Aku udah kasih semua yang kamu mau. Baju, tas, sepatu. Di luar sana bahkan banyak yang ngantri mau jadi kamu."
Aku kemudian teringat dengan banyak pesan singkat tanpa nama yang masuk ke smartphone-ku beberapa bulan terakhir, ketika aku sudah mulai dekat dengan Reno. Isinya banyak yang memaki aku: bilang aku sok cantik-lah, sok penting-lah, sok gaul-lah, jangan dekati Reno-lah, aku nggak cantik-lah. Tapi sekali lagi aku bilang, atau barangkali haters anonim itu ada di sini: Aku, Regina Lanova, nggak peduli dengan kata-kata kalian. I'm faboulous and that's enough.
Barangkali, kalian sirik, ya, mau jadi aku?
"Iya, tolong deh bilangin sama fans lo yang nggak jelas itu, Ren. Berhenti kirim pesan anonim ke gue. Hari gini gitu?" aku mengangkat bahu. Aku tahu, Reno pasti kesal sekali denganku.
Wait, bukan cuman Reno, ada Sakti, Dimas, Gilang, Arion, Dhika, yang juga pasti kesal sekali denganku. Beberapa dari mereka sempat aku jadikan sebagai pacar. Selebihnya, tidak. Man eater? Nope, bukan salahku juga kan kalau aku bisa dekat dengan mereka?
Reno menghela napas, "Oke, Gina. Kamu tahu, aku akan terus nungguin kamu sampai kamu siap."
Aku pikir awalnya Reno sudah akan menyerah hari ini, tepat di dalam mobil BRV-nya ini. Tapi, ternyata dugaanku salah. Reno, si playboy kelas kakap yang pernah memacari sahabatku, Stevy, ini aku pikir akan mengalah. Tetapi ternyata tidak.
Dan dia selalu berpikir aku akan menerimanya suatu saat nanti. Bisa gila apa? Aku, walaupun kurang ajar dan hanya mendekati lelaki dengan logo "just for fun" ini tentu saja jauh memilih persahabatanku dengan Stevy daripada dengan Reno si brengsek ini. Dia yang sudah bikin Stevy mogok makan beberapa hari karena memutuskan hubungan mereka dengan alasan super tidak masuk akal: dia ingin mendekati Rivana, model pendatang baru.
Setelah bilang dengan Stevy bahwa aku akan memberi pelajaran padanya, inilah yang terjadi. Aku cari kelemahannya, aku dekati, aku buat dia menjadi jatuh cinta kepadaku, tanpa pernah aku terima cintanya. Jahat? Ya, siapa bilang aku baik. Yang jelas, dia harus mendapatkan ganjaran yang setimpal karena sudah menyakiti sahabatku.
Oke, aku janji setelah Reno, sudah. Aku akan tobat. Kisah Regina si penakluk pria akan selesai.
Mobil Reno telah berada di depan rumahku, tanpa aku suruh ia untuk turun. Ia pernah meminta, ingin bertemu orang tuaku. Tapi aku menolak, aku berkata dengan alasan klise: "Belum waktunya."
Mobil Reno kemudian berlalu, meninggalkan aku yang segera masuk ke dalam rumah. Pekerjaan sebagai fashion stylist ini memang agak membuatku lelah. Tapi aku menyukainya, aku mencintainya. Pekerjaaanku berada di urutan nomor dua yang paling aku cintai.
Nomor dua. Karena nomor pertamanya, adalah hal yang lain. Tepatnya, orang yang lain. Hal yang tidak pernah aku ceritakan dan sudah kusembunyikan 17 tahun lamanya.
"Lutut kamu nggak apa-apa?" seorang anak lelaki menghampiriku sambil ikut duduk di sebelahku. Wajahnya khawatir, perlahan ia betulkan kacamatanya, "Ketendang bola sepak itu lumayan sakit kan, Gin?"
Aku mendongak dan menggigit bibirku menahan sakit. Sakit sekali rasanya ketika bola sepak yang seharusnya melayang masuk ke gawang malah melipir terkena lututku. Aku masih berumur 8 tahun waktu itu, dengan rambut dikepang dua dan mengenakan seragam putih merah. Aku merintih dan berkata, "Sakit."
"Kita ke UKS yuk," dia menarik tanganku. Abi namanya, sahabatku di Sekolah Dasar yang luar biasa baik hati. Ia membantuku berjalan. Agak drama juga aku dulu.
"Oh, ini nggak apa-apa kok, Abi. Gina nggak luka, cuman agak merah aja lututnya. Tapi nggak apa-apa, kok." Ibu Dian yang sedang berada di UKS waktu itu melihat lututku dan berkata demikian.
"Tapi, kata Gina, lututnya sakit, Bu." Abi bersikeras.
Ibu Dian langsung mengelus rambutku pelan, "Gina sayang, nggak apa-apa kok itu. Ya sudah, sekarang kalian kembali ke kelas ya."
Aku mengangguk. Aku dan Abi kemudian langsung berjalan ke kelas. Satu hal yang tidak pernah aku lupakan adalah bagaimana khawatirnya Abi ketika melihatku terjatuh. Serta bagaimana ia langsung mengajakku ke UKS.
"Gina, kalau nanti sudah besar, kamu pasti cantik seperti Bu Dian." Abi berkata padaku sambil tersenyum malu-malu, membuatku kembali merefleksikan bagaimana penampilan Bu Dian yang selalu tampil cantik dengan high heels hitamnya. Membuatku sedikit banyak, terobsesi pada sepatu itu.
Sampai sekarang, aku masih mencari Abi. Untuk sekadar mengatakan padanya, "Bi, your Gina is here. Do you think she's pretty know?"
Atau mungkin saja aku akan berkelakar seperti perkataan Reno padaku, "Bi, banyak loh yang ngantri buat aku." Ah ya, tentu saja, selepas SD, aku belum pernah bertemu lagi dengan Abi.
Abi memberiku hal lain yang berbeda dari yang diberikan Reno, Sakti, Dimas, Gilang, Arion atau Dhika. Mereka bisa saja memberikanku banyak barang, mengajakku ke tempat-tempat mahal atau membiarkanku menunjuk etalase dan berkata, "I want them"
Tapi, mereka tidak akan pernah bisa memberi apa yang pernah Abi berikan padaku. Karena aku malah jatuh cinta pada Abi, lelaki berkacamata yang bukan anak konglomerat nomor satu di Jakarta. Aku bermimpi? Yeah, John Lennon saja bisa bernyanyi, you may say I'm a dreamer, but I'm not the only one.
Surat untuk Masa Depan
Lawang, Februari 2013
Pernah dengar cerita tentang mesin waktu? Sebuah cerita yang nyaris tidak mungkin menjadi nyata. Ya, aku menulis surat ini untuk seseorang di masa depan.
Mungkin suatu saat nanti, kamu akan datang dan melihat versi lain dari surat ini. Dalam bentuk surat nyata, mungkin?
….
Suatu hari nanti kita akan duduk bersama di sebuah kios pedagang kaki lima, menikmati teh manis hangat dan ditemani beberapa potong roti bakar rasa cokelat. Lalu, kita akan mulai bercerita.
Ketika itu, kita sudah lama sekali tidak bertemu lalu dipertemukan oleh sebuah momen cepat yang klasik. Kita menghadiri sebuah pameran lukisan bersama lalu tidak sengaja bertabrakan mata. Kita sama-sama mengernyitkan dahi lalu berpikir, “Sepertinya aku kenal orang ini.”
Lalu, kita bertukar cerita.
Tentang hal-hal apa saja yang terlewatkan dari kita selama kita tidak bertemu. Tentang kamu yang mulai berhasil melewati hari-hari terberat dalam hidupmu dan aku yang kembali dari mimpiku.
Ketika itu, kamu sudah sukses. Aku ingat betul kamu memakai dasi garis-garis diagonal kombinasi biru tua dan abu-abu serta kemeja panjang berwarna abu-abu. Rapi sekali dengan celana bahan dan sepatu pantofel.
Aku sudah berhasil melanjutkan kuliah yang awalnya hanya mimpiku. Beasiswa di luar negeri. Sebuah mimpi yang ketika kuliah hanya sekedar mimpi untukku.
Lalu, kita sama-sama tertawa. Mengingat apa saja kekonyolan yang pernah terjadi di masa lampau. Ah ya? Kita bahkan sama-sama terkejut karena ternyata kita mengingatnya.
Aku sudah berhasil pergi ke Lombok. Bermain ke Pantai Senggigi dan bertemu dengan komodo-komodo itu. Aku baru saja pulang dari Tana Toraja, sekedar ingin tahu bagaimana kebudayaan di sana yang konon katanya sangat mencengangkan.
Kamu? Tidak usah ditanya. Kamu sudah sukses. Kamu berhasil di Jakarta, sebuah kota yang awalnya kamu benci setengah mati karena penuh sesak oleh manusia dan membuatmu tidak bisa bernapas. Aku bahkan bingung kenapa kamu mau saja kuajak makan roti bakar di pinggir jalan. Sungguh tidak sejalan dengan mobilmu yang notabene adalah mobil mewah berwarna merah.
Aku bilang kamu berubah.
Kamu bilang aku tidak berubah.
Kita tertawa lagi. Entah untuk apa. Entah karena apa. Kita menertawai masa-masa yang tidak bisa ditukar, menertawai kebodohan-kebodohan kecil di masa lalu. Atau? Menertawai hal yang sama sekali tidak lucu.
Yang pasti, saat itu kita tertawa.
Mungkin aku ingin mengkristalkan waktu itu. Sebentar saja. Mungkin tidak ada bintang, tidak ada bunga, tidak ada kata-kata manis. Tapi kamu akan mengeluarkan sebuah foto. Kamu sedang di sebuah gunung, lalu menulis inisial namaku di selembar kertas dan tersenyum hangat. Kamu bilang surat itu sudah ada sejak lama, tapi baru sempat kamu perlihatkan padaku saat itu.
….
Hari itu aku tahu akan ada sebuah lembar baru.
Dan suatu hari nanti, kamu, yang berdasi diagonal berwarna biru dan abu-abu serta kemeja panjang akan membaca surat ini dalam versi lain.
Cepat atau lambat.
….
Lalu, aku kembali lagi ke masa sekarang. Kembali lagi ke sini. Sedikit tertawa, tapi bukan pada waktu yang mengkristal. Tapi, tertawa kecil karena sempat menulis surat ini.
Hanya 'Kok' yang Tahu
"Jadi, abis lulus kuliah nanti lo mau kerja di PBSI ya?"
Aku mengangguk cepat. Agak gemas sekali memperhatikan wajah orang dihadapanku yang menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Iya, aku tahu sekali cita-citaku ini memang idealis--bahkan idealisnya bukan berhubungan dengan jurusan kuliahku, tapi lebih kepada sesuatu yang aku cintai.
Raket dan shuttlecock Badminton. Ya, kalau kata Mas Anang yang penyanyi itu sih, separuh jiwaku.
"Kok lucu sih?" Dia tertawa, lalu dengan cepat mengambil handuk di dalam tas olahraga Yonex berwarna merah miliknya. Sejurus kemudian, dia kembali duduk di sebelahku, "Nggak ada nyambung-nyambungnya sama Komunikasi."
"Bisa aja, kalau gue nanti jadi humas di PBSI." Aku mencibir. Mau tahu cita-cita idealisku lainnya? Aku ingin mengembangkan olahraga Badminton di Indonesia agar nanti atlet-atlet tidak harus khawatir masa tuanya akan seperti apa. Kalau bisa, aku ingin bisa satu tim dengan Bapak Gita Wirjawan, ya kali aja aku bisa diterima jadi staf di PBSI.
"Dasar, anak kecil." Dengan tidak sopannya, lelaki di hadapanku ini langsung mengacak-acak rambutku gemas. Gerakan refleksnya mampu membuat kunciran rambutku menjadi sedikit hancur. Tapi, anehnya, aku tidak marah pada Kak Diaz--seniorku di klub Badminton kampus.
Ya, selain cita-cita super idealis menjadi bagian dari PBSI, hal lain yang selalu membuatku bersemangat untuk datang ke latihan ini adalah Kak Diaz. Kak Diaz selalu menyebarkan senyum hangat yang selalu aku rindukan hingga bisa meluluhkan aku yang dingin seperti kutub ini.
"Ya udah, semangat ya besok buat tanding lawan Fakultas Sastra-nya. Udah tau kan, lo bakal tanding sama siapa?" Kak Diaz berkata sambil mengambil secarik kertas A4 yang ada di dalam tas olahraganya, "Lo bakal tanding lawan Fenita. Dia jago loh. Cantik, lagi."
Aku melengos. Memang tidak ada manusia yang sempurna, begitu juga dengan Kak Diaz. Di mata orang yang jatuh cinta, gebetannya bisa saja jadi yang nomor satu--seharusnya, Kak Diaz pun begitu di mataku. Tapi tidak kali ini, aku selalu mendapati perasaan kesal mencuat setiap kali Kak Diaz menyebut Fenita, atlet badminton tunggal putri dari Fakultas Sastra.
Fenita lagi, Fenita lagi. Walaupun aku sudah satu fakultas dengan Kak Diaz, dan sudah getol datang setiap malam untuk latihan klub badminton, ya tetap saja begini hasilnya.
Malam berikutnya, aku datang lebih awal di lapangan bulutangkis kampusku. Seperti kata Eric Jerome Dickey: earlier is on time, on time is late and late is unacceptable. Dan aku percaya betul, aku harus datang lebih awal dibanding lawan in the name of luck.
Aku mulai menaruh tas Yonex-ku di pinggir lapangan. Melakukan stretching singkat untuk melenturkan otot-ototku. Pertandingan persahabatan kali ini agak cukup menyita perhatianku--karena lawanku adalah Fenita, tentu saja. Bukan hanya rival soal badminton, tapi rival soal rasa.
Aku menatap sekeliling. Menyaksikan gemuruh supporter Fakultas Sastra dalam menyanyikan yel-yel mereka. Ada yang membawa spanduk besar tulisan "We Win, You Lose", ada yang membawa senar drumband, bahkan ada yang membawa terompet. Niat sekali mereka.
"Udah siap?" tanya Kak Diaz saat menghampiriku, "Tapi lawan lo belum datang nih."
Aku tersenyum tipis penuh arti. Dalam olahraga, waktu sangat penting sekali. Bila lawan tidak datang, aku bisa saja dianggap menang walk over atau W.O. Tapi, aura gengsiku sedang tinggi sekali rupanya. Aku sedang tidak berminat menang secara W.O.
"Kita tunggu aja. Winners never quit and quitters never win, Kak." Aku berkata tenang sambil menyebut sebuah quote terkenal dari Vince Lombardi.
Beberapa supporter dari FISIP tampak sudah mulai masuk ke dalam lapangan badminton. Tidak banyak memang yang menjadi supporter-ku kali ini. Tidak sebanyak Fakultas Sastra memang, tapi sudahlah, barangkali teman-temanku yang lain memang sedang punya banyak pekerjaan.
Tidak beberapa lama kemudian, Fenita datang dengan mengenakan kaus berwarna pink dan celana sport pendek berwarna pink. Rambutnya yang panjang diikat dengan menggunakan ikat rambut yang berwarna pink pula. Begitupun dengan sepatunya yang juga berwarna pink. Ia bahkan membawa tas olahraga yang berwarna pink. Hal ini membuatku bertanya-tanya: dia mau tanding badminton atau mau fashion show di catwalk?
Oke, barangkali aku yang agak subjektif. Kebiasaan manusia kutub yang irit bicara seperti aku memang begini--kadang-kadang pikirannya jauh lebih sembarangan dan kurang ajar. Tapi tidak apa-apa, selama mulutku di lem, mungkin hanya 'kok' saja yang tahu.
Aku mulai bertaruh pada diriku sendiri: Oke, kalau raket badmintonnya juga warna pink, artinya aku boleh makan mie instan di Warung Kopi depan kost-ku malam ini.
Begitu Fenita mengeluarkan raketnya: ternyata benar! Raketnya juga warna pink.
Ya Tuhan, tolong aku.
Wasit kemudian mulai meniup peluitnya tanda pertandingan sudah dimulai. Pada menit-menit awal, harus aku akui kemampuan Fenita yang cukup lumayan dengan beberapa kali mampu membuat kok jatuh di daerahku. Setiap kali aku kehilangan poin, aku mendengar yel menyebalkan sesuai dengan spanduk yang agak provokatif itu: "We Win, You Lose."
Aku berdiri dengan cepat. Baiklah, seandainya aku kalah aku sudah punya kesenangan tersendiri dengan bisa makan mie instan di Warung Kopi depan kost-ku. Tapi tentu semesta tahu, aku, si manusia kutub ini, tidak puas hanya dengan mie instan.
"Jesy! Ayo! Lo pasti bisa!"
Tepat di saat aku kembali memungut kok yang jatuh di daerahku--tepat ketika aku nyaris menyerah, aku mendengar sosok itu berteriak dengan sekuat tenaga di sisi lapangan. Membuat yel menyebalkan dari fakultas sebelah itu seolah mendadak hilang ditelan bumi.
Aku mendongak. Setelah kemarin malam dia memuji Fenita, kali ini aku mendengarnya menyemangatiku. Ya Tuhan, aku nggak mimpi kan?
Jadi, aku bangkit. Membalas pukulan-pukulan Fenita sebisaku. Ketika dia mampu membalikkan pukulan smash-ku, aku tidak tinggal diam. Aku balas memukul smash sekuat tenaga, lebih kuat dari sebelumnya.
YEAH! 'Kok' tersebut masuk dengan indah di daerah Fenita, membuat poinnya tercuri untukku. 'Kok' itu tidak mengkhianatiku.
Berkali-kali aku balas pukulan Fenita dengan smash yang kuat. Bahkan ada waktu dimana yang tersisa seolah hanya aku dan Fenita: one and one. Tidak lagi aku dengar suara yel menyebarkan, suara terompet, suara senar hingga suara Kak Diaz.
Kali ini, aku memberikan pukulan dengan lebih kuat lagi dari sebelumnya.
Strike!
Kok jatuh hanya sekitar satu jengkal di hadapan Fenita, membuatnya harus mengejar hingga sedikit terjatuh. Namun terlambat, kok sudah jatuh di depan mata.
Peluit panjang berbunyi. Tanda permainanku berakhir dengan skor 21-15 dan 21-12. Aku menang dalam dua set, tanpa rubber set.
Tapi, kejadian yang selanjutnya terjadi justru berbeda. Aku pikir awalnya Kak Diaz akan menghampiriku, dan menyelamatiku. Tapi tidak. Dia justru berlari ke arah Fenita yang sedang terduduk sambil menangis.
Ya Tuhan, dia benar-benar menangis karena kalah? Dari aku?
Aku mengernyitkan mataku heran. Kak Diaz, hello, ini yang menang adalah FISIP-mu dan aku atletnya! Sejurus kemudian, aku memutar bola mataku lalu menatap kok yang ada di hadapanku kala melihat pemandangan sialan di hadapanku: Kak Diaz sedang sibuk menenangkan Fenita.
Baiklah, terserah. Yang jelas malam ini aku mendapatkan tiga kemenangan: menang atas rival badmintonku hingga dia menangis, menang karena Kak Diaz bisa juga menyemangatiku dan bukan hanya memuji Fenita, dan menang atas mie instan.
Baiklah, kalau Kak Diaz masih memilih Fenita daripada aku: biarkan dia yang rugi. Diaz Sayang, kamu tidak akan menemukan Jesy lain yang menyayangimu seperti aku. Well, at least, aku tidak akan merepotkanmu dengan memintamu menenangkanku hanya karena aku kalah tanding.
Hei, kok, diam saja ya. Jangan bilang siapa-siapa.
Elegi Patah Hati
"Terima kasih ya. Gue tahu dari dulu bakat lo itu memang menulis, Malika. Lanjutkanlah."
Aku menggigit bagian atas croissant-ku sambil tersenyum membaca surat elektronik yang ditujukan kepada email pribadiku. Sebentar kemudian, kuminum kopi hitam hangat yang sudah aku taruh persis di depan notes-ku, di sebelah laptop.
Surat elektronik yang aku tunggu sejak dua hari yang lalu itu kini sudah mampu membuat senyum tersungging di bibirku. Cuaca kota Adelaide sedang agak dingin hari ini, karena masih termasuk dalam musim semi. Aku rapatkan kembali mantel yang sedang aku gunakan. Sejenak berpikir keras tentang perjalanan hidupku yang membawaku ke sini.
"Arsitek itu seharusnya menjadi arsitek, kenapa malah menulis?" tanya Ardi padaku dua tahun yang lalu, tepat ketika aku menyerahkan satu eksemplar novelku yang sudah tembus ke penerbit mayor terbesar di Jakarta.
Waktu itu, aku hanya cekikikan dan menjawab dengan santai, "Tahu Imelda Akmal? Beliau adalah salah satu arsitek wanita hebat pemilik akun @arsitekmenulis yang sudah banyak menerbitkan buku-buku arsitektur dan ditulis sendiri olehnya. Jadi, nggak ada masalah, kan?"
"Iya-iya gue tahu," Ardi menatap aneh kepadaku. Aku tahu, Ardi adalah orang ke seribu yang mungkin bertanya kepadaku tentang satu pertanyaan lazim kenapa arsitek malah menulis. Aku juga semakin lama sudah semakin terbiasa dengan predikat arsitek sinting yang memilih untuk menulis. Tapi, aku memilih untuk tidak peduli selama aku tidak merepotkan siapapun dan aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.
"Iya, tapi nulis buku arsitektur kan? Bukannya novel kaya gini loh," Ardi menunjuk novelku. Aku sudah sangat terbiasa dengan perkataan sinis khas Ardi. Enak saja. Dia tidak tahu apa bagaimana perjuanganku menunggu 6 bulan hingga novelku akhirnya diterima salah satu penerbit mayor setelah sekitar 2-3 kali sebelumnya novelku ini ditolak.
Ardi tidak pernah tahu. Seandainya saja aku dilahirkan menjadi seperti dia, yang sedari kecil sudah jatuh cinta dengan dunia sketching dan melukis.
Tapi, tidak semua orang seberuntung Ardi, termasuk aku. Aku hanyalah orang yang terobsesi sesaat untuk menjadi arsitek dan menjadi tidak percaya diri setelah gambarnya ditertawakan karena lebih mirip gambar kartun dibanding gambar teknik. Aku, merasa menjadi orang terbodoh sedunia, karena merasa salah jurusan. Bertahun-tahun aku habiskan dengan belajar sketching dan designing mati-matian di kamarku tanpa ada satu orangpun yang tahu.
Termasuk, orang yang menertawai gambarku itu. Ardi.
"Yang penting gue melakukan apa yang gue sukai, Ardi." aku memilih tidak memasukkan ke hati perkataan Ardi itu. Aku sudah kebal dengan seribu satu perkataan Ardi yang menyakitkan. Semakin lama semakin dekat dengannya, aku semakin sadar, bahwa Ardi ya memang begitu. Aku saja yang seharusnya semakin belajar untuk menguatkan hati.
"Ya sudah, terserah lo." Ardi memutar bola mata dan meminum kopi di hadapannya. Kata orang, kami bagaikan bumi dan langit: yang satu ramah dan sering menjaga perasaan orang, sementara yang lainnya dingin dan berkata apa adanya.
Tidak bisa kuhitung berapa banyak teman yang datang menghampiriku sewaktu kuliah, hanya untuk mengeluhkan perasaan mereka setelah Ardi berkata seenaknya. Di saat Ardi sibuk berkata seenaknya, aku sibuk meyakinkan mereka bahwa Ardi tidak bermaksud melukai hati mereka.
Kadang aku heran, mengapa aku masih saja bisa bersahabat dengan Ardi. Ya, bersahabat. Aku, yang selalu kupikir adalah orang yang paling dekat dengan Ardi ternyata tidak lebih dari orang yang belum begitu mengenalnya.
Aku, selama ini selalu bangga menjadi sahabat Ardi. Aku selalu puas memiliki predikat itu. Sampai suatu ketika, aku menyadari bahwa perasaanku rupanya sudah bergeser.
"Malika?"
"Ya?"
"Kenal sama Julia?" ia bertanya dan membuatku terdiam. Tentu saja aku kenal dengan Julia, perempuan manis dari fakultas sebelah. Beberapa teman-teman di kelas kami sibuk bergosip tentang Julia, walaupun Ardi seringkali terlihat lebih cuek dan tidak peduli. Tapi, apa peduli Ardi dengan Julia?
Aku mengangguk.
"Udah lama gue kenal sama Julia, dia temen gue dari SD. Kami saling mengenal satu sama lain. Waktu SMA, dia pindah ke luar kota sehingga membuat hubungan kami agak merenggang." Ardi berdeham, "Beberapa waktu ini, gue sadari gue sudah jatuh cinta dengan Julia. Tapi, gue selalu menunggunya. Gue biarkan orang lain mendekatinya, hingga dia lelah bertemu dengan orang-orang yang salah. Lalu, di situlah gue kembali masuk."
Aku terdiam. Kemana arah pembicaraan ini, Di?
"I'm going to marry her."
Kalimat singkat itu sukses membuatku runtuh. Aku pikir awalnya, aku akan biasa saja mendengarnya. Aku pikir, aku hanyalah sahabatnya. Tapi ternyata aku salah. Kata-kata Ardi tidak lebih dari pisau yang membuat lubang menganga. Membuat otakku dengan sialnya malah memutar lagu The Rain, dan lirik lagu mereka kembali terputar di udara, "Begini rasanya terlatih patah hati. Bertepuk sebelah tangan, sudah biasa. Ditinggal tanpa alasan, sudah biasa."
"Wah, bagus." Aku memberikan tanggapan datar dengan senyum yang terlihat seperti menyeringai. Tapi persetan dengan itu, Ardi adalah orang paling tidak sensitif yang aku temui.
Beberapa bulan selepas Ardi, aku dan Julia wisuda, undangan itu tiba di tanganku. Undangan dalam bentuk hard. Ardi tahu persis aku tidak akan bisa menolak undangan pernikahan dalam bentuk hardcopy. Di bagian depannya, terdapat sebuah sticky notes dengan tulisan tangan Ardi yang acak-acakan: "Dateng ya, jangan sampai nggak. Sombong lo kalo nggak dateng."
Ardi tolol. Bagaimana bisa dia semena-mena beranggapan aku sombong di saat aku harus berusaha setengah mati menahan rasa. Dia pikir menghadapi kenyataan bahwa sahabat yang setengah mati dicinta malah memilih orang lain itu mudah, apa?
Aku tahu, hanya Tuhan yang bisa menolongku.
Maka, ketika dua hari kemudian tukang pos kembali datang ke rumahku dan menyerahkan sebuat surat resmi, rasanya aku ingin sujud syukur. Undangan itu adalah undangan fellowship pelatihan menulis selama beberapa bulan di Adelaide. Fellowship itu adalah partnership antara penerbit mayorku dan sebuah organisasi kepenulisan dunia yang setiap tahun selalu mengirim penulis pemula untuk mendapatkan kesempatan belajar tentang dunia kepenulisan di berbagai tempat di dunia.
Dan tahun ini, Adelaide-lah yang terpilih. Hingga di sinilah aku berada sekarang, dan berani melewatkan pernikahan Ardi. Tapi, orang itu masih saja dengan sialnya mengirim foto pernikahan mereka di surat elektronikku dengan subject: Wish You Were Here.
Setelah aku membalas dengan mengucapkan ucapan selamat, dan berharap semoga pernikahan mereka langgeng, aku mendapatkan balasannya. Aku juga menuliskan harapanku agar fellowship ini berjalan dengan lancar hingga nanti programku selesai.
Aku kembali menatap balasan Ardi itu:
"Terima kasih ya. Gue tahu dari dulu bakat lo itu memang menulis, Malika. Lanjutkanlah."
Terima kasih kembali, Ardi. Elegi patah hati-ku.
Rindu
Aku menatap sekali lagi pesan singkat yang tertampil di layar smartphone-ku. Ya, harusnya sih aku sadar mau berapa kali pun aku menatapnya lagi tetapi tentu saja isinya tidak akan berubah. Masih saja sama. Pesan singkat yang sudah aku diamkan itu tentu saja tidak akan berubah.
"Ay, kamu sehat? Aku ke kontrakanmu ya sekarang."
Aku bukannya tidak memikirkan balasan apa yang sebaiknya aku ketik untuk membalas pesan singkat yang dikirim melalui whatsapp itu. Beberapa alasan sudah terpikir di otakku, tetapi sayangnya kuurungkan niatku. Mau bilang apa lagi? Bilang sedang ada kerjaan pasti dia akan langsung meluncur ke tempatku bekerja dan menungguku hingga selesai bekerja. Bilang sedang sakit, justru dia akan panik setengah mati dan langsung menarikku untuk menemui dokter di rumah sakit terdekat.
Atau pernah lebih gila lagi. Dia langsung bilang ke bosku bahwa aku harus cuti beberapa hari karena mungkin aku terlalu lelah bekerja. Bosku itu perhitungan sekali orangnya. Cuti berarti aku harus mengganti di kemudian hari karena berarti restorannya harus kehilangan pelayan selama satu shift atau kalau mau dua shift, itu lebih parah lagi.
Aku menyerah. Mau bilang apa pun, orang ini pasti akan tetap saja meluncur. Jadi, aku memilih untuk menyerah dan membiarkannya untuk datang ke kontrakanku.
"Ay, aku sudah di depan nih." Suaranya terdengar agak terbata-bata, sepertinya dia memang sudah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang lebih cepat agar bisa datang ke kontrakanku.
Sekarang-lah waktunya.
"Hai, Nay." aku membuka pintu dan tersenyum singkat–yang terlihat seperti menyeringai. Dari semua hal yang ada di bumi, sungguh, melihat sosok ini adalah hal yang sebenarnya paling kubenci. Setiap kali aku bercermin, rasanya ingin kutinju cermin di depanku karena aku sama sekali tidak melihat diriku. Tapi melihat dirinya.
"Ay, aku boleh masuk?" dia bertanya sopan. Masih semanis biasanya.
Aku memilih untuk mengangguk. Ya, aku mempersilakan perempuan manis dengan poni samping dan rambut yang tergerai panjang hingga mencapai pinggang ini untuk duduk di ruang tamuku yang hanya terdiri dari tiga sofa kecil berwarna cokelat. Tentu saja jauh berbeda dengan ruang tamu yang dimiliki oleh perempuan ini di rumahnya.
Perempuan itu kemudian mengeluarkan sebuah lunch box dari dalam oversized bag Kate Spade-nya. Sejurus kemudian, dengan cekatan ia langsung menggulung rambut panjangnya dengan sebuah jepit berbentuk bunga kamboja. Ia kemudian tersenyum, sambil menyerahkan lunch box itu padaku. Gesturnya begitu santai, jauh berbeda dengan kali pertama dia datang ke sini. Waktu itu alih-alih mau masuk ke kontrakanku, yang ada dia hanya berdiri terpaku menatap setiap sudut kontrakanku.
"Buat kamu," ia tersenyum. Ia membiarkanku melihat makanan di dalam lunch box itu. Nasi putih dengan udang goreng tepung, makanan favoritku. Dia tahu persis aku suka dengan makanan ini, "Dimakan ya. Bunda yang masak khusus buat kamu."
Aku memutar bola mataku. Bunda. Tentu saja, setiap kali dia bercerita tentang keluarga, hal ini selalu membuatku memutar otak bagaimana caranya agar dapat menyetir percakapan ini dan sebaiknya tidak membahas hal sekecil apapun tentang keluarga.
Tanganku kemudian dengan cepat meraih lighter berwarna putih dan sebuah rokok dari dalam sakuku. Aku nyalakan rokok itu. Rokok adalah teman terbaikku, terutama di saat aku merasa tidak nyaman dan membutuhkan sepersekian detik untuk menghela napas dan memikirkan jawaban terbaik sembari aku menikmati isapan pertama rokok.
"Ay, berhenti merokok, please." Perempuan itu menatapku khawatir. Sudahkah aku ceritakan aku juga benci sekali melihat matanya yang tulus itu? Aku benci sekali karena matanya sama persis dengan mataku tapi aku selalu tahu bahwa mata itu jauh lebih tulus. Perempuan ini terkadang terlalu tulus sehingga tidak bisa membedakan mana orang-orang yang memang baik padanya dan mana yang berpura-pura baik.
Tapi dia sangat tulus memperhatikanku.
"Kanaya, please." Aku balik menatapnya tajam, "Gak ada yang bisa memahami gue seperti rokok. Lo sendiri udah tahu kan itu?"
"Aku ngerti kamu, Ayala." Dia menghela napas, "Bunda dan Ayah juga. Mau sampai kapan kamu nggak pulang kaya gini?"
"Sampai gue bisa buktiin kalau gue bisa jadi orang." Aku menatap Kanaya, "Itu juga kan yang selalu diharapkan oleh Ayah dan Bunda?"
"Kamu nggak bisa terus-terusan kaya gini, Ay." Kanaya menatapku khawatir, "At least, kamu harus tahu bahwa Ayah dan Bunda sangat sayang sama kamu."
Sangat sayang padaku.
Oke, mari kita lakukan flashback sebentar sekedar untuk mengingat kembali seperti apa sayangnya Ayah dan Bunda padaku. Aku dan Kanaya begitu berbeda sekalipun kami berdua dilahirkan kembar identik dan hanya berbeda beberapa waktu saja.
Sejak kecil, aku selalu merasa bahwa aku adalah bayang-bayang Kanaya. Dia cantik, sekalipun kami kembar identik tapi dia lebih lembut daripadaku. Prestasinya gemilang. Seorang alpha female sejati dengan segudang prestasi. Sementara aku, hanyalah anak tomboy yang lebih sering menghabiskan waktu bersama para pentolan sekolah.
Aku sangat ingin menjadi rocker. Dan segera setelah keinginan ini muncul ke permukaan, aku mulai merasa risih jika harus memiliki baju dan penampilan yang sama dengan Kanaya. Seleranya sangat perempuan, dan tidak cocok dengan seleraku yang lebih suka berpenampilan serba hitam.
Menjelang masuk kuliah, aku dipaksa masuk Kedokteran. Lagi-lagi, karena Kanaya yang pintar ini sangat ingin masuk Kedokteran. Gila saja jika aku paksakan, kemampuanku tidak sebanding dengan kemampuan Kanaya. Sekalipun kami kembar identik.
Jalan hidup kami berbeda. Tidak ada yang sama di dunia ini.
Aku gerah, aku jengah. Aku putuskan untuk keluar dari rumah segera setelah Ayah berkata bahwa menjadi rocker tidak ada masa depannya. Ya Tuhan, untung saja aku tidak menjadi gila.
"Dari dulu, aku nggak pernah mau kamu keluar dari rumah, Ay."
Ia menunduk. Aku sadar, aku sama sekali tidak menyalahkannya. Tentu, bukan salahnya jika ia memiliki otak yang begitu cemerlang dengan tingkat kerajinan yang luar biasa. Bukan salahnya jika dia tidak menyukai musik rock. Bukan salahnya juga jika ia sering dibandingkan denganku.
Adik kembarku ini sangat baik padaku. Sewaktu-waktu, jika aku dihukum karena tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah, ia datang menghiburku dengan membawa udang goreng tepung. Ketika aku sedang dirundung perasaan kecewa, ia juga datang kepadaku dan mencoba berbagai macam cara untuk membuatku tertawa.
Walaupun kami berbeda, tapi aku sangat menyayanginya.
"Iya, gue tahu." Aku menyeringai, “Gak pengen gue keluar rumah tapi pengennya gue tetep jadi dokter kan? Sama aja boong itu sih. Otak gue nggak secemerlang otak lo, Nay.”
“Kamu harusnya tahu..”
“Mau sampai kapan sih gue harus terus menerus berada di bawah bayang-bayang lo? Bosen gue. Sumpah. Sudah cukup 21 tahun ini gue habiskan dengan menjadi bayang-bayang lo!”
Kanaya terdiam. Aku rasakan matanya yang mendadak berkaca-kaca. Ia kemudian segera berdiri dan meletakkan sebuah kertas di atas meja kecil di ruang tamuku.
“Aku pamit.” Kanaya berkata sambil segera meninggalkan ruang tamu itu. Meninggalkan sedikit rasa penyesalan di dalam hatiku. Hanya Kanaya yang mau bersabar mengerti aku. Lalu, bagaimana ketika dia pergi dan tidak lagi ingin untuk kembali.
Selepas Kanaya pergi, aku hisap lagi rokokku dan segera kumatikan di atas asbak. Pikiranku kacau. Sejurus kemudian, aku membaca kertas yang ditinggalkan Kanaya.
Sebuah tulisan tangan berantakan milik seorang dokter yang sudah kukenal sepanjang hidupku. Seorang dokter yang selama ini selalu menginginkan aku untuk mengikuti jejak beliau dan juga menjadi dokter. Seorang dokter yang menaruh harapan yang begitu tinggi padaku--dan tanpa pernah disadari beliau bahwa hatiku pun terluka ketika menyadari bahwa aku tidak bisa memenuhi ekspektasi beliau.
“Pulanglah, Ayala. Ayah rindu padamu.”
Mereka Bilang Aku Berlebihan
“Hai, aku sudah sampai di kafe nih. Kamu ke sini aja, ya.”
Aku berkata dengan santai pada Bayu, seorang temanku yang sedang menelfonku dari seberang sana. Sebagai seorang desainer grafis freelance, aku sudah biasa memenuhi panggilan meeting mendadak di kafe yang diminta oleh klienku.
Kali ini, klienku adalah Bayu Abidzar, seorang teman SMA-ku. Ia baru saja mengontakku kembali setelah aku memasang portofolio profesional sebagai seorang desainer grafis freelance di situs LinkedIn. Bayu kemudian memintaku untuk mengadakan meeting di sebuah kafe yang sudah ditentukan sebelumnya.
“Tunggu sebentar ya, Tamy. Sebentar lagi aku sampai.” Bayu berkata tenang dari seberang sana. Aku mengangguk–namun sebentar kemudian aku mengerti, mana mungkin Bayu bisa melihat anggukanku.
“Mas, saya boleh minta menunya?” aku bertanya pada seorang pelayan yang sedari tadi berjalan di hadapanku. Ia terlihat sedang mondar-mandir seperti sedang sibuk melakukan sesuatu. Ah ya, barangkali dia memang sibuk melakukan sesuatu ya, pikirku dalam hati.
Ia kemudian menyerahkan menu dan juga nota padaku. Ia sempat berdiri agak lama di hadapanku sebelum kemudian aku berkata, “Nanti kalau saya sudah pesan, saya panggil lagi ya, Mas.”
“Hai, Tam. Maaf ya, sudah menunggu lama.” Bayu yang baru saja datang langsung menghampiriku dan mengambil posisi duduk persis di sebelahku. Ia kemudian turut memilih menu untuk dipesan, “Menu pesananku disamakan saja dengan menu pesananmu, Tam.”
“Nggak apa-apa, kok, santai saja. Oh iya, mau disamakan aja, Bay?” aku kembali bertanya memastikan. Bayu mengangguk mengiyakan.
Aku kemudian memanggil pelayan yang tadi memberikan menu dan nota padaku. Beruntung, ia juga tengah melihat ke arahku. Setelah mengulang pesananku dan Bayu, ia langsung berbalik kembali ke dapur.
“Jadi, aku mau minta tolong kamu untuk mendesain logo produk bisnis terbaruku.” Bayu mulai berkata, “Bisnis cold pressed juice, semacam sari buah dan sayuran yang dibuat dengan alat hidrolik. Aku berpikir untuk mengembangkan bisnis ini karena didukung oleh gaya hidup sehat yang sepertinya tengah menjadi tren dewasa ini.”
Aku memperhatikan Bayu dengan seksama. Kemudian, aku mulai mencatat perkataan Bayu pada notes yang selalu kubawa, “Jadi nanti bentuk produknya semacam botol gitu, ya, Bay?”
“Iya, benar sekali. Aku pengen kamu bikin logo dan juga sticker untuk ditempel di botol kemasan cold pressed juice-ku itu. Ya, aku pengennya yang simpel tapi elegan.” Bayu berkata, “Karena sasaranku pria dan wanita dewasa yang sudah memperhatikan gaya hidup sehat.”
“Oh iya, baiklah. Itu bisa diatur, Bay.” Aku berkata sambil tersenyum.
Tanpa kusadari, pesanan spaghetti bolognaise yang kupesan untukku dan Bayu sudah sampai. Pelayan yang sama mengantarkan pesanan kami. Setelah aku tersenyum dan berkata terima kasih, pelayan tersebut kemudian berlalu.
Aku mulai terlibat percakapan seru dengan Bayu sambil menyantap makanan pesanan kami. Beberapa kali, aku merasa agak terganggu dengan seorang pelayan yang berjalan di belakangku hingga beberapa kali tidak sengaja menyentuh pinggangku.
Walaupun kesal, tetapi aku tetap berpikir positif. Ah ya, barangkali memang space-nya terlalu sempit, pikirku. Aku kemudian memutuskan untuk menggeser kursiku ke depan.
“Oh, jadi kamu lebih senang kalau sticker-nya memiliki background transparan, ya?” aku bertanya pada Bayu sambil menggeser kursiku. Tatapanku berubah menjadi agak tidak nyaman karena hal ini. Tetapi, syukurlah, Bayu tidak menyadarinya.
“Iya, kayanya sih kalau sticker-nya model transparan lebih bagus, ya?” Bayu balik bertanya–mencoba membayangkan sticker yang kelak menjadi bagian dari kemasan produk bisnis terbarunya.
Aku mengangguk semangat. Namun, tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu di pinggangku–seperti seseorang telah mencoleknya. Aku kemudian terdiam, sadar betul bahwa apa yang kupikirkan memang benar adanya.
Ya, seseorang telah mencolek pinggangku. Padahal, aku tidak mengenakan pakaian yang ketat. Aku mengenakan kaus yang dilapis oleh jaket bomber yang tentu saja tidak ketat.
Aku menatap sekeliling. Tidak ada siapa pun di belakangku. Bahkan tidak ada seseorang yang berjalan di sekitarku. Kecuali, pelayan yang sama yang dari tadi sibuk hilir mudik di sekitarku.
Aku mencoba tetap berpikir tenang. Sabar, Tamy, sabar, belum tentu dia, pikirku. Namun, aku tetap terus melihat ke arahnya. Tiba-tiba, aku merasa pelayan tersebut salah tingkah. Karena merasa penasaran, aku memutuskan untuk berdiri.
"Sebentar, ya, Bay.” Aku berkata tenang pada Bayu yang menatapku dengan tatapan bingung. Aku kemudian berjalan menuju pelayan tersebut.
“Kamu tadi mencolek pinggang saya?” aku bertanya dengan setenang mungkin. Aku mengatur nada bicaraku agar tetap rendah sehingga tidak terkesan menuduh.
“Sa-saya–“ ia berkata dengan gelagapan.
“Saya bertanya, kamu tadi yang mencolek pinggang saya?” aku menaikkan sedikit nada bicaraku. Mataku masih menatap tajam ke arah pelayan tersebut.
“Sa-saya.. i-iya..” ia menjawab pertanyaanku dengan bingung dan masih gelagapan. Aku bisa merasakan seluruh pandangan mata di kafe tersebut tertuju padaku. Tapi, aku tidak peduli. Aku butuh kejelasan dari pelayan ini.
“Kamu sengaja mencolek pinggang saya?!” aku bertanya–tidak gentar sedikit pun. Entahlah keberanian ini datang dari mana, yang jelas aku merasa aku butuh mengklarifikasi hal ini pada pelayan tersebut. Aku bahkan mendorong pelayan tersebut hingga ia nyaris terjatuh.
“Sa-saya.. iya se-sengaja, Mbak.” Ia menjawab karena merasa tersudut. Seluruh pelayan langsung mendatangi kami, termasuk seorang manajer kafe.
“Ada apa ini, Mbak?” tanya manajer kafe yang berusaha melerai kami.
“Dia sengaja colek pinggang saya, Pak. Saya tidak terima!” aku menjelaskan pada manajer kafe tersebut, “Bisa jadi saya bukan yang pertama. Saya ingin pria ini dipecat.”
“Kami mohon maaf, Mbak. Kamu ngapain sengaja mencolek pinggang pelanggan kafe?” manajer bertanya kepada pelayan tersebut.
Bayu kemudian menarik tanganku, “Ayo, Tam. Kita pergi dari sini.”
Aku mencoba menarik napas untuk mendapatkan ketenangan. Aku memilih mengangguk dan berkata kembali kepada manajer tersebut, “Tolong, Pak. Saya berharap tidak harus ada lagi korban selain saya.”
Aku dan Bayu kemudian memilih untuk beranjak pergi. Ketika kami melangkah keluar, aku sempat mendengar selentingan orang-orang yang berkata, “Duh, dia berlebihan sekali.”
Tapi, aku tidak peduli dengan apa kata orang. Harus ada orang yang berani menegur seseorang yang melakukan kesalahan seperti itu. Ingin sekali rasanya aku berkata pada mereka, bagaimana jika ibumu, saudarimu atau istrimu yang berada di posisiku tadi?
Bayu kemudian berkata sambil menenangkanmu, “Yang kamu lakukan tadi sudah benar, Tam. Kamu mau tahu sesuatu?”
“Apa?” aku bertanya pada Bayu.
“Manajer tadi sepertinya memang sudah benar-benar memecat pelayan itu. Semoga tidak harus ada lagi kejadian seperti ini, ya, Tam.”
Description: Setiap dari kita pasti memiliki rahasia. Selalu ada bagian dari diri kita yang kita biarkan abu, tersembunyi dibalik berbagai warna yang kita ceritakan pada dunia. Setidaknya, kita ingin mereka tahu bahwa kita baik-baik saja.
Lalu, seperti apa jadinya jika bagian tersembunyi itu, sekecil apapun, menyeruak keluar seperti pintu yang biasanya tertutup lalu tiba-tiba terbuka?
Rahasia Kita adalah kumpulan cerita pendek dengan satu benang merah: berbagai jenis Rahasia Kita yang diceritakan oleh tokoh yang berbeda-beda. Kadang si tokoh punya nama, kadang memilih untuk menjadi anonim karena biarlah ceritanya saja yang diceritakan tanpa harus ada nama.
Karena selalu ada bagian kecil dari diri kita yang kita sembunyikan pada dunia. Rahasia yang biarlah hanya dibagi pada diri sendiri.
Note:
"Rahasia Kita" hadir sebagai bagian dari writer's blocks saya. Ketika saya sedang butuh tempat untuk menuangkan distraksi tulisan dan menyegarkan kembali pikiran dengan cerita-cerita pendek.
|
Title: Religion or love
Category: Adult Romance
Text:
Awal pertemuan kU
Cerita ini bermula di tahun 2017
ntah angin apa yang membawa kU ,setelah gagal di beberapa kampus akhirnya aku sampai di Sumatra utara di salah satu perguruan swasta di kota Medan.
Di sini lah awal perkenalan kU dengan Joshua salah satu teman seanggkatan yang berasal dari Toba
singkat cerita kami selalu nongkrong. Biasa lah nama nya juga anak teknik di kampus sepet banget rasanya ngelihatin batang semua.
hingga pada suatu ketika Joshua mengajak aku untuk menemui gebetan nya.
Josua : “ bal kawani aku yok”
iqbal : “ kemana??? “
josua : “ jumpai kenalan kU anak USU “
iqbal : “ ada kawan nya ngak, atur lah sama kU satu “
josua : “ aman berdua orang itu “
singkat cerita kami Pun menemui wanita kenalan josua di salah satu warung mie ayam mas nok di depan pintu satu USU.
Kami pun masuk ke dalam tidak beberapa jauh aku melihat dua orang perempuan yang sudah menunggu kedatangan kami,tanpa berlama lama kami pun duduk.
Josua : “ udah lama kalian dek?? “
yuli : “ ngak bang barusan sampai “
josua : “ jalan kalian ke sini “
yuli : “ ngak bang naik grab “
seketika pandangan kU beralih ke salah satu perempuan gebetan nya josua
josua : “ gimana kabarmu sehat nya kau dek “
josua menyapa yang katanya gebetan nya
nova : “ sehat bang “
singkat cerita kami memesan makanan
di sepanjang percakapan yang terjadi mata ku hanya tertuju kepada wanita yang bernama Nova ini, cara dia berbicara,senyum nya, sampai aku lupa dia itu gebetan josua.
Dan akhirnya kemi bergegas pulang mengakhiri perjumpaan hari ini mereka berlalu tetapi tidak dengan situasi tadi.
aku terpikat kepada wanita itu.
waktu kU belum sepenuhnya kembali ketika dia pergi.
Hingga di perjalanan josua berkata
josua : “ gimana bal cantik kan cewek tadi “
iqbal : “ siapa Nova?? “
Josua : “ iyalah itu mantan kU dulu waktu SMP “
di situ aku bingung dalam hati
( wahhh gawat nih )
josua : “ besok rencana aku mau nembak dia kau kawani lah aku besok “
aku pun bingung di satu sisi josua kawan kU satu angkatan di satu sisi lagi aku sudah terjatuh Kepada wanita itu
(bersambung)
Description: Cerita ini bersumber dari pengalaman pribadi sang penulis yang dirangkai melalui air mata yang panjang dan terstruktur
|
Title: RASA OBAT DALAM KEHIDUPAN
Category: Puisi
Text:
RASA OBAT DALAM KEHIDUPAN
PUISI 1
RASA OBAT DALAM KEHIDUPAN
Karya Shinta Kusuma
Pahit getir hidup ini telah ku lalui
Dalam setiap hembusan nafas, berdetak jantung dan deraian air mata ini
Semua itu telah terlukis luka tersendiri
Dalam satu ruang di perasaan ini
Kecewa, sakit, menahan setiap luka goresan itu telah melukai batin yang sudah tersiksa dan
semakin lama membuatku amat sakit
Kini aku telah dirambah oleh asingnya hidup dan sengsara
Semangat ku telah pudar dan punah
Senyuman ku tak menghiasi warna warni pelangi
Karena aku telah terjerat dalam sebuah kehidupan yang semu, sunyi dan senyap
Aku terdampar di hutan kegelapan, tersesat dalam jalan tak berujung dan tenggelam di tengah
lautan tak bertepi
Dingin dan sunyi malam itu selalu menyudut ku dalam tangis, manis dan pahit hidup
membuat ku bimbang, resah dan gelisah
Aku sangat terpuruk dalam keterpurukan yang panjang
Kesedihan dan kepiluan memenuhi angan ku
Pikiranku dipenuhi awan mendung yang gelap semakin lama, semakin ku ingin menjauh,
pergi dan lari membawa setiap luka dan kecewa
Namun ku tak ingin terlalu lama dijajah oleh rasa pilu
Karena rasa itu telah menghancurkan harapan ini
Aku telah di dera oleh angin malam
Yang menusuk jiwa dan raga ku
Aku dilanda ketakutan kegelapan yang mencekam
Kini aku merasakan pahit hidup sendiri dalam sebuah keterasingan yang menghidupkan luka
dikalbu
Setiap ku mencoba untuk berdiri ada rintangan dan tantangan
Aku selalu didudukan oleh bayangan dunia gelap, bayangan itu selalu melayang dibenak ku,
mengiringi setiap pijakan langkah kaki dan detak jantung
Aku lemah akan melangkah maju
Merasakan tabir kehidupan ini
Alunan nada sendu berdengung di telinga ku, mata terpancar kebencian membayangiku
dalam tangis
Kesunyian, kesendirian dan kesedihan ini
Telah menggagalkan ku dalam mengarungi hidup ini
Aku kehilangan semua ini
Description: Pahit getir hidup ini telah ku lalui
Dalam setiap hembusan nafas, berdetak jantung dan deraian air mata ini
Semua itu telah terlukis luka tersendiri
Dalam satu ruang di perasaan ini
Kecewa, sakit, menahan setiap luka goresan itu telah melukai batin yang sudah tersiksa dan
semakin lama membuatku amat sakit
Kini aku telah dirambah oleh asingnya hidup dan sengsara
Semangat ku telah pudar dan punah
Senyuman ku tak menghiasi warna warni pelangi
Karena aku telah terjerat dalam sebuah kehidupan yang semu, sunyi dan senyap
Aku terdampar di hutan kegelapan, tersesat dalam jalan tak berujung dan tenggelam di tengah
lautan tak bertepi
Dingin dan sunyi malam itu selalu menyudut ku dalam tangis, manis dan pahit hidup
membuat ku bimbang, resah dan gelisah
Aku sangat terpuruk dalam keterpurukan yang panjang
Kesedihan dan kepiluan memenuhi angan ku
Pikiranku dipenuhi awan mendung yang gelap semakin lama, semakin ku ingin menjauh,
pergi dan lari membawa setiap luka dan kecewa
Namun ku tak ingin terlalu lama dijajah oleh rasa pilu
Karena rasa itu telah menghancurkan harapan ini
Aku telah di dera oleh angin malam
Yang menusuk jiwa dan raga ku
Aku dilanda ketakutan kegelapan yang mencekam
Kini aku merasakan pahit hidup sendiri dalam sebuah keterasingan yang menghidupkan luka
dikalbu
Setiap ku mencoba untuk berdiri ada rintangan dan tantangan
Aku selalu didudukan oleh bayangan dunia gelap, bayangan itu selalu melayang dibenak ku,
mengiringi setiap pijakan langkah kaki dan detak jantung
Aku lemah akan melangkah maju
Merasakan tabir kehidupan ini
Alunan nada sendu berdengung di telinga ku, mata terpancar kebencian membayangiku
dalam tangis
Kesunyian, kesendirian dan kesedihan ini
Telah menggagalkan ku dalam mengarungi hidup ini
Aku kehilangan semua ini
|
Title: ra
Category: Young Adult
Text:
1
"Kapan kita tiba?" Tanyaku pada ayah yang fokus menyetir mengikuti mobil didepannya. Mobil itu milik paman farid teman ayah, kami akan kembali ke New Delhi setelah seminggu menetap di Jaisalmer."Mungkin nanti malam, kamu ingin berhenti sejenak?" Jawab ayah tanpa menoleh, karena menyetir jeep di padang pasir bukan keahliannya, ayah mesti berhati hati."Tidak, aku hanya bertanya" jawabku acuh tak acuh. Ayah tak menghiraukan jawabanku dan masih fokus menyetir, suhu udara saat ini tak sepanas siang tadi, aku hampir menghabiskan persediaan air karna cuacanya.
Empat tahun sudah aku ikut dengan ayah, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ayah seorang photographer dan penulis tentang satwa dan keunikan suatu tempat setauku.
Selama empat tahun ini kadang ayah pulang ke ibu kadang ibu yang datang pada kami apabila sempat. Kemarin malam aku sempat mendengar ketika ayah menghubungi ibu, yang menjadi alasan kami mesti pulang ke New Delhi atau bahkan kembali ke Indonesia.
Ayah mengerti kegusaranku sejak meninggalkan Jaisalmer beberapa waktu lalu, beliau hanya tersenyum yang lebih terlihat mengejekku. Selama empat tahun ini apabila ayah pulang aku tak akan ikut, lebih memilih menetap entah sendiri di tempat yang ayah sewa atau dititipkan kepada teman ayah. Namun, kali ini ayah memintaku ikut pulang.
^-^Hari telah malam ketika kami tiba di New Delhi, sepanjang sisa perjalanan yang dilalui aku menutup mata pura-pura tidur dan dibangunkan sekali ketika berhenti untuk makan sembari mengisi bahan bakar kendaraan. Ayah benar-benar menyebalkan, beliau menolak ketika aku meminta dititipkan pada paman farid saja di New Delhi sementara ayah yang pulang, karna teman ayah tinggal di New Delhi.
Ayah menggendongku, memindahkan dari mobil ke kediaman paman farid karna aku terus mempertahankan pura-pura tidurku."Kamu akan terus merajuk?" Tanya ayah padaku, setelah menempatkanku diatas tempat tidur.
"Apakah aku mesti ikut? Mengapa? Apakah terjadi sesuatu kepada ibu? Tidak bisakah aku tetap tinggal disini?"Aku masih pada pendirianku dan rasa penasaranku terhadap alasan kami kembali.
"Mara, mengapa kamu tak mau kembali?"Tanya ayah tenang yang justru terdengar menyeramkan ditelingaku, ayah merupakan orang yang terlihat ceria dan banyak bercanda, hanya pada saat-saat tertentu saja beliau bisa tenang dan tegas di satu waktu salah satunya ketika beliau tengah kesal.
"Baiklah, aku akan ikut, selamat malam yah"Ujarku pada akhirnya, kalah dan mengikuti keinginan ayah. Malas sekali rasanya kembali, mungkin ayah tau alasanku tak ingin kembali, beliau hanya pura-pura bertanya untuk menggertakku yang pada akhirnya berhasil.
^-^kami tiba di bandara Soekarno Hatta tepat pukul lima sore hari setelah menempuh hampir 16 jam perjalanan dari New Delhi. langit tampak mendung ketika pesawat mendarat karena tengah memasuki bulan bulan November. ku melihat ibu tengah melaimbai dan mulai menghampiri kami atau lebih tepatnya ayah.
ibu memeluk ayah lama sebelum beralih memelukku sama eratnya. beliau terus bertanya tentang perjalanan dan apakah aku telah makan, khas ibuku atau ibu-ibu sekali ketika menjumpai anaknya yang merantau jauh. perhatian ibu teralihkan ketika ayah mengajak kami semua makan, dan aku melihatnya, remaja perempuan seusiaku yang berjalan mendekat ke arahku.
Wajahnya menunjukan rasa suka cita, wajah yang sama dengan wajahku. Dia memelukku erat dan menanyai kabarku, aku tau ayah dan ibu terus mengawasi interaksi kami, walaupun keduanya tengah memimpin jalan menuju tempat makan. Aku menjawab semua pertanyaannya dengan tenang, dia menawari membawakan tasku, yang aku tolak secara terang-terangan.
Dia tampak acuh dengan penolakanku kemudian mengambil tas ransel satu-satunya tas yang kubawa. Aku tak membawa barang apapun kecuali buku catatan dan pasport dan beberapa alat tulis. aku meninggalkan semua pakaianku di India atau lebih tepatnya membuang.
"kamu ingin makan sesuatu?"Ibu bertanya padaku setelah kami memasuki mobil, dimana ibu duduk di kursi pengemudi bersama ayah disampingnya.
"aku tidak lapar"aku memang telah makan ketika dipesawat, napsu makanku memang selalu berubah-ubah lebih seringnya tak selera makan. kadang aku hanya makan satu kali selama dua hari, ayah selalu memberikan beberapa suplemen atau obat-obatan tradisional apabila aku tidak berselera sehingga aku tetap sehat walaupun jarang makan.
"baiklah, bagaimana dengan kamu Yara"Ibu menyerah setelah mendapatkan tanggapan dariku, beralih ke gadis yang duduk sisampingku yang menjawab dengan penuh keceriaan.
^-^Dia Nayara, gadis yang tengah duduk di sebelahku. Wajahnya mirip denganku karna kami kembar identik lebih tua 10 menit denganku. Dia tinggal dengan Ibu di Indonesia, yang tengah mengenyam pendidikan formal di salah satu sekolah menengah unggulan di Jakarta berdasarkan ceritanya selama 10 menit kita duduk menunggu pesanan makanan.
Ayah dan ibu tinggal terpisah karna memang pekerjaan ayah yang mengharuskan beliau berpindah-pindah sedangkan ibu mesti menetap karna ibu seorang Dokter ahli anestesi. Mereka saling menghargai profesi masing-masing. meskipun jarang bertemu karna situasi dan kondisi, keduanya selalu menyempatkan diri untuk berkomunikasi.
makanan yang dipesan telah dihidangkan diselingin percakapan antara ayah, ibu dan Yara yang sesekali melontarkan pertanyaan padaku walaupun mendapati tanggapan yang singkat. "apakah kamu akan tinggal?" Yara bertanya dengan penuh harap, ayah dan ibu terlihat acuh pada pertanyaan itu namun aku tau mereka memasang telinga mendengar jawabanku.
2
Mara
5 tahun sebelumnya
usiaku 11 tahun ketika itu, aku dan kakakku sangat dekat karna memang kami kembar dan karna ibu selalu membuat kami kompak dalam segala hal. walaupun sifat dan karakter kami jauh berbeda, Nayara kakakku lebih pendiam dia merupakan gadis manis penurut kebanggaan ayah. Dia sangat pandai walaupun aku juga sama tapi dia lebih lagi menurutku.
Jika Nayara pendiam maka aku kebalikannya, aku adalah anak dengan energi yang berlebih. Kebanyakan guru tak suka padaku karna aku akan banyak bertanya berbagai hal entah untuk menguji sang guru atau memang benar-benar penasaran. Aku mudah berteman karna memang pembawaanku yang ceria dan menyenangkan. selain banyak teman aku juga banyak musuh karna mungkin aku terlalu berani untuk ukuran anak perempuan 11 tahun. Ibu selalu datang ke sekolah entah karna aku berurusan dengan guru atau dengan teman lainnya, tapi untunglah ada kakakku yang selalu membelaku.
Hari itu sangat terik, karna memasuki musim kemarau. padahal dihari itu jam pelajaran olahraga, aku memutuskan untuk kabur ke perpustakaan tanpa sepengetahuan orang-orang karna malas berolahraga. Aku sangat menyukai buku atau membaca lebih tepatnya, perpustakaan sepi waktu itu karna memang jarang yang menyukai membaca dan itu juga merupakan jam pelajaran.
kuhabiskan waktu membaca hingga tak sadar waktu menunjukan istirahat kedua, aku bangun menuju kelasku yang berbeda gedung dengan ruang perpustakaan. Ternyata meja depanku sudah terisi gadis dengan kepang dua yang memang sering ke perpustakaan juga, namun aku tidak tau siapa namanya karna berbeda kelas dan juga dia sangat pendiam.
saat melewati koridor memasuki gedung, aku mendengar namaku dipanggi melalui pengeras suara untuk menghadap ruang guru segera. aku langsung merubah haluan tanpa berpikir ada apa. sepanjang perjalanan menuju ruang guru tak kudapati teman sekelasku.
Diruang guru sudah duduk kepala sekolah dan beberapa guru termasuk Miss Nura yang merupakan wali kelasku dan andin teman sekelasku yang anehnya masih menggunakan seragam olahraga dengan keadaan berurai air mata. aku dipersilahkan duduk disamping Miss Nura karna satu-satunya tempat kosong disana. Ada apa ini apakah aku ketahuan tidak mengikuti olahraga? tapi mengapa Dinda menangis? pikirku.
"Mara apakah kamu tau mengapa kamu dipanggil kemari?"Aku menggeleng tentu saja, tidak langsung mengaku bolos olahraga, ayah bisa marah, menurut beliau olahraga itu penting agar tubuh tetap bugar.
"Mara, Miss ingin bertanya apa manurut kamu melukai seseorang itu perbuatan baik?""tentu saja tidak""lalu kenapa mara mendorong Aruna hingga terjatuh nak? itu slah satu perbuatan yang dapat melukai orang lain, bukankan Aruna teman baik Mara""aku tidak mendorong Aruna, apakah Aruna terjatuh?"Ada apa ini? mengapa Miss bertanya seperti itu? aku mengernyit bingung yang tambah bingung ketika Dinda menambahkan.
"Bohong! a-aku melihatnya, dia yang mendorong Runa bu""apa maksudmu? untuk apa aku berbohong? Sebenarnya ada apa ini? Apakah Runa benar-benar terjatuh--?"Perkataanku tak selesai ketika pintu masuk diketuk dan dibuka dari luar disana aku lihat salah seorang guru membukanya dan ayah berada tepat dibelakangnya. Mengapa ayah kemari? ah masalah apalagi ini? aku hanya membolos ya Tuhan pikirku.
"mohon maaf saya terlambat, saya wali murid Nismara, anak yang terluka sudah ditangani dengan baik, saya ingin mendengar kejadiannya seperti apa"Aku melihatnya ayah dengan tatapan tenang disampingku, tanpa menatapku dari mulai masuk ruangan guru ini. tatapannya memang tenang, tapi itu justru terlihat seperti bukan ayah. Hingga mendengar penjelasan dari kepala sekolah.
"Begini pak, menurut keterangan saksi dan korban sebelum dibawa ke rumah sakit, nak Nismara mendorong korban dari atas tangga, kejadiannya sekitar pukul sebelas siang tadi, kebetulan korban dan Nismara baru menyelesaikan kelas olahraga dan hendak kembali ke kelas yang berada di lantai 2, saksi sempat mendengar jika korban dan Nismara sempat bertengkar pak sebelum korban terjatuh"ayah mendengarkan dengan tenang, sedangkan aku menangkap inti dari permasalahan yang membuatku bertambah bingung.
^-^hari itu benar-benar melelahkan, aku menyangkal mendorong Aruna, karna memang aku tidak melakukannya, tapi tak ada yang mendengarkanku bukti dan saksi atau temanku Dindaa sudah menjelaskan semuanya, ayah berkali-kali minta maaf pada pihak sekolah dan akan merundingkan kasus ini dengan pihak keluarga korban. pihak sekolah akan mempertimbangkan hukuman untukku nanti setelah kejelasan keadaan dari Aruna. aku bersikeras menyangkal ketika ditanya hingga ayah dengan tatapan tenangnya berkata."Mara kamu tahu ayah paling tidak menyukai kebohongan, kita akan membahas ini nanti di rumah, saat ini minta maaf pada semua yang ada di sini"Aku terdiam sesaat dan terpaksa meminta maaf karna aku mesti segera pulang dan berbicara pada ayah. Yang ternyata kami tak langsung pulang ke rumah melainkan ke rumah sakit, ada ibu juga keluarga aruna yang tengah berkumpul dengan raut wajah sedih, mamah Aruna bahkan menangis keras dan kulihat ibu menunduk meminta maaf. Aku menghampiri ibu, semua orang yang sadar kehadiranku langsung menatapku dengan tatapan yang bisa kuartikan sebagai kebencian mungkin.
Hari yang kacau, ayah dan ibu sangat sibuk entah meminta maaf pada siapa saja aku bahkan lupa. mereka menyeretku juga untuk ikut meminta maaf walaupun aku berkeras tidak mendorong Runa. Bahkan mamah Runa kedapatan beberapa kali berkata kasar padaku, kesal karna aku tak mengaku.
Ibu memohon tidak memperkarakan semua kejadian ini, toh aku mungkin tidak sengaja dan merupakan salah satu kenakalan anak-anak walaupun dengan kompensasi yang tinggi. aku juga di skors dari sekolah selama tiga bulan setelah ayah mengurus semuanya. minggu itu dilalui dengan aku yang dikurung dikamar sebelum menyadari kesalahanku.
Aku tak menangis karna memang aku tidak salah, justru ibu yaang menangis, aku menjelaskan bahwa aku tidak tau apa-apa tapi ibu menangis. hingga seminggu berlalu ku dengar Runa masih belum bangun. dia melewati banyak operasi, sepertinya dia terjatuh dari tangga yang teratas dan terluka parah.
malam ini setelah kupikir masa hukumanku telah lewat, Ayah dan ibu menyadari jika aku tak bersalah. tapi itu hanya pikiranku saja, ini baru tahap berbicara yang ayah maksud minggu lalu. aku bahkan lelah menjelaskan bukan aku pelakunya ketika ibu bertanya dengan tangisnya.
"mengapa kamu seperti ini Nismara? apakah ayah mengajarimu untuk melukai seseorang?" tanya ayah yang dari tadi masih terdiam."tapi aku memang tidak melakukannya""kamu tahu? dia bahkan temanmu, dia hampir tak selamat dan apabila itu terjadi kamu bisa saja menjadi seorang pembunuh!" Talak. ayah meninggikan suaranya. dengan tatapan yang aku sendiri tak percaya melihatnya. aku terdiam mematung, apakah mereka berdua benar benar orang tuaku? pikirku. jangankan menanyakan kejadian yang sebenarnya padaku, mereka bahkan tak mempercayaiku, aku yang anak mereka sendiri.
Kudengar pintu ruang baca dibuka dan suara langkah kaki mendekat. Disana Nayara, kakakku, memeluk ibu yang tengah menangis. Naya juga ikut menangis dan memohon untuk ibu berhenti menangis, juga ayah untuk tak memarahi dan membentaku. aku masih melihatnya dengan tatapan tak percayaku, rasa sakit di dadaku muncul kala itu, begitu sakit. Ayah bertanya dengan nada tenangnya mengapa aku berbohong? mengapa aku tak memiliki sedikit saja sikap Naya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang aku sendiri lupa apa saja.
Telingaku berdenging, dadaku sakit, tapi aku tetap diam dihadapan ketiganya. wajahku tak beriak, mendengar tangisan dan beberapa pertanyaan yang menghakimiku. pandanganku beradu dengan Naya, mata itu rasanya aku tak ingin mempercayainya. entah permohonan maaf atau apa yang ada di dalamnya hingga aku meneteskan air mata untuk yang pertama kalinya di minggu ini.
"apakah kalian tidak mempercayaiku?" tanyaku lirih entah mereka mendengarnya atau tidak. aku menunduk dalam, mataku seperti keran meneteskan air mata yang begitu banyak. perasaan apa ini? sakit di dadaku membuatku rasanya ingin lenyap saja. keadaan sekitar menjadi hening setelah beberapa lama, aku mengangkat pandanganku melihat ketiganya buram sambil tersenyum."b-baiklah, aku yang mendorong Runa, aku minta maaf, maaf karna mendorong Runa, maaf karna aku, ibu menangis, maaf karna aku tidak seperti Naya, maaf karna aku yang menjadi anak kalian"Ketiganya diam, ibu menggeleng dan mulai mendekatiku. memelukku seperti saat memeluk Naya, ibu juga meminta maaf padaku, tapi entahlah, rasa sakit ini tak juga hilang, justru bertambah sakit. aku tak membalas pelukan ibu, tak juga berhenti menangis ketika ibu meraup wajahku dan menghapus air mataku, aku hanya tersenyum dan melepaskan tangan ibu.
"aku meminta maaf, aku akan merenungkan semua kesalahanku"ujarku yang kemudian meninggalkan ruang baca tersebut kembali ke kamar, menguncinya dari dalam menggunakan selot. malam itu seperti rasa sakit dari alam semesta ini merasuk kedalam tubuhku. aku meringkuk di lantai depan pintu menangis dan menangis hingga pagi dan pagi lagi sampai pada tatapan kosong pada dinding putih.
^-^Saat ini
"Apakah kamu akan tinggal?""kamu bisa tanya pada ayah, ayah yang menyeretku pulang"
Description: "apakah kamu benar-benar ingin berhenti sekolah?" raut wajah ibu tampak hawatir mendengar keputusanku.
"aku hanya bosan bu" entahlah beberapa tahun terakhir aku hidup dalam kekosongan.
"apakah ada yang mengganggumu--" ibu tak melanjutkan kalimatnya, ketika ayah memberikan tanda menyentuh pergelangan tangannya.
"baiklah, kamu bisa belajar dirumah atau ikut ayah menjelajah" itu saran yang luar biasa, walaupun ibu terlihat kurang setuju.
aku akan pergi dengan ayah, tentu saja itu keputusan yang paling baik.
|
Title: Ronda
Category: Cerita Pendek
Text:
Ronda
Tidak diketahui apakah saat ini pukul dua malam atau pukul dua malam lewat lima. Pak Ranto sudah menyelesaikan putaran malamnya sejak setengah jam lalu, namun keringat mengucur deras di tubuhnya baru sekarang. Bukan di gardu ronda tempat dia merunduk saat ini, melainkan di rumah kosong sudut jalan yang konon berhantu. Pak Ranto tentu tak takut hantu. Saat ini, ketakutannya seratus persen tertuju pada manusia.
Setiap orang yang bangun malam untuk beribadah seharusnya—harap Pak Ranto—mendengar gusar kaki di luar rumah mereka. Langkah-langkah empat lelaki yang terburu-buru meski ditutup-tutupi. Betapa dia menyesal sudah memilih rumah ini sebagai tempat persembunyian. Tentu saja mereka langsung bisa menduga dia sembunyi di sana. Terbukti dari derap yang semakin kerap dia dengar di sekitarnya.
Pak Ranto menemukan sebuah sudut di dalam rumah yang sama sekali tak terjangkau lampu jalanan. Rumah ini terbengkalai sejak dibangun. Pemiliknya tak benar-benar ingin tinggal di sini dan rupanya menyesal di tengah renovasi rumah dari versi asal khas rumah-rumah di perumahan menengah. Terbukti dari jendela-jendela dan pintu yang tak terurus dan lama-lama bolong akibat dicuri kaca dan kusennya. Dari celah-celah bolong itulah cahaya memandikan ruangan. Pak Ranto menghindari bagian mana pun yang terkena cahaya.
“Coba di belakang,” sebuah suara berbisik. Cukup keras untuk didengar Pak Ranto, tapi tidak untuk orang yang tinggal di rumah sebelah. Jelas tidak kalau orang itu bukan tipe yang bangun malam untuk ibadah.
Mengetahui suara itu milik siapa, Pak Ranto bergidik.
Pak Sugi adalah seorang tentara. Rumahnya dua blok di belakang rumah Pak Ranto. Dia lelaki tegap yang disiplin. Badannya kekar dan ototnya jelas kuat. Pak Ranto tak ragu dia akan babak belur jika lelaki itu menyerangnya. Dia mungkin akan menjerit seperti—bulu-bulu di sekujur Pak Ranto berdiri semua. Perempuan itu menjerit saat Pak Ranto melihatnya ditunggangi Pak Sugi. Cepat-cepat Pak Ranto menggelengkan kepala untuk mengusir bayangan kotor di gardu ronda tadi.
Pak Sugi selalu berkeliling dengan Capli. Perjaka tua berusia empat puluhan yang bekerja sebagai tukang serabutan di perumahan mereka. Andil Capli dalam kegiatan kemasyarakatan cukup besar. Lelaki itu tak punya ambisi besar selain menikah, tapi bukan juga lelaki bersih karena Pak Ranto beberapa kali melihatnya bertransaksi dengan banci-banci di pojokan terminal. Pemuda yang menyedihkan, menurut Pak Ranto. Dan kini, dia tak yakin lagi dia masih mengasihani lelaki itu. Tidak setelah melihatnya menunggangi perempuan yang sama dengan yang ditunggangi Pak Sugi di gardu ronda. Hanya saja Capli sibuk di area kepala wanita itu.
Jerit mendesah perempuan itu kembali terdengar di telinga Pak Ranto. Dia memejamkan mata erat-erat dan menyebut nama Tuhannya berkali-kali. Dalam hati saja.
Kecemasannya meningkat. Entah kenapa dan bagaimana, dia yang sudah kepayahan karena ketakutan, justru semakin cemas.
“GI!” bisikan keras dari bagian samping membuat Pak Ranto terlonjak pelan. Untung tak ada apa pun di sekitarnya yang bisa membuatnya terpergok karena berisik.
Itu tadi adalah suara Pak Beni. Rupanya Pak Beni pun sudah sampai di rumah kosong itu. Pasti Pak Totok pun sudah, kira Pak Ranto.
“Ketemu nggak, Gi?” bisik Pak Beni keras.
“Ssst!” seseorang menyahuti Pak Beni. Nadanya agak kesal. Pak Beni memang sering kali diejek karena lola—alias loading lama. Kalau tidak sedang terkurung, pasti Pak Ranto sudah tertawa menyadari kerasnya suara Pak Beni padahal mereka seharusnya sedang bergerak diam-diam.
“Iya, maap, Tok,” Pak Beni berkata malu, tapi hanya sedikit lebih pelan dari yang tadi. Gumamannya membuat Pak Ranto ingat di mana posisi Pak Beni di gardu ronda saat dia melihatnya tadi. Lelaki itu bergumam tentang kesulitan memasukkan sesuatu dari belakang.
“Pak Ranto~” itu suara Pak Totok. Nadanya membujuk, tapi di telinga Pak Ranto terdengar mengerikan. “Ayolah, Pak Ranto … kita damai aja. Bapak juga bisa dapat jatah, Kok.”
Ucapan Pak Totok membuatnya mual. Bayangan perempuan itu yang melintas di kepalanya juga membuatnya mual. Keringatnya, ekspresinya, senyum setan di wajahnya. Pak Ranto kembali menyebut nama Tuhannya dalam hati.
“Dia yang mau, kok, Pak …” kali ini suara Pak Beni.
“Bener, Pak. Kita nggak merkosa. Dia aja ketawa-ketawa waktu kita serang,” itu suara Pak Sugi.
“Malah dia yang minta, Pak Ranto. Kita mah tadinya nolak,” Pak Totok kembali bicara.
“Pak Sugi, Bapak di mana?!” yang ini suara Capli. Rupanya ketegangan akan keberadaan saksi mata kala melakukan perbuatan bejat tak mampu menyurutkan ketakutannya akan status ‘berhantu’ rumah ini. Terdengar dari suaranya.
“Berisik, Pli!” hardik Pak Sugi. “Pak Ranto~” hardikan Pak Sugi berubah jadi bujukan. “Lagian nggak akan kenapa-kenapa, kok, Pak Ranto. Dia itu anaknya Koh Wang, Koh Wang mah nggak bakalan tahu. Kan jarang di sini.”
Kali ini makian sempat terbersit di hati Pak Ranto. Dia sangat berharap dia tidak mengenal siapa perempuan itu, tapi harapannya tak mau berdamai dengannya. Itu memang si Missy, anaknya Koh Wang.
“Dia di sini, Pak Sugi?” bisikan Capli terdengar.
“Iya, kali,” Pak Sugi membalas bosan. “Pak Ranto, Bapak di sini, kan?”
Pak Ranto tak mengingat apa pun selain Tuhannya.
“Ayolah, Pak,” bujuk Totok. “Beneran, itu Neng Missy yang ajakin. Dia sendiri jalan-jalan telanjang pas ke gardu ronda tadi.”
Pak Ranto terus menyebut Tuhannya dalam hati. Kelebat bayangan tubuh-tubuh bergulat, berkeringat, berdesah-desah di bawah lampu gardu membuatnya merinding tak henti. Suara Pak Beni kala membujuknya tadi, Pak, ayo ikutan. Makin rame makin seru, membuatnya sangat jengah. Tapi di atas itu semua, tatapan undangan dari Missy membuatnya marah.
Kalian binatang! Saya akan bunyikan pentungan biar semua orang tahu yang kalian lakukan! Pak Ranto berseru marah. Orang-orang ini, yang biasa ditemuinya di warung kopi, bersenda dengannya, ternyata sebegini tak bermoral.
Lalu ketika Capli menubruknya dan Pak Sugi memukulnya tepat sebelum pentungan terpukul, Pak Ranto tahu dia sudah salah mengatakan niatnya keras-keras. Pergulatan terjadi di depan pentungan. Tatapan Missy mengikuti setiap gerakan mereka. Sambil telanjang.
Pak Ranto berhasil meloloskan diri dan kabur ketika itu, tapi sekarang, terkepung di rumah kosong begini, dia menjadi takut. Masih marah, masih jijik, tapi kesakitan dan ketakutannya semakin besar.
Kemudian.
Pak Ranto tak jelas mengetahui bagaimana, tapi mendadak tubuhnya terpuntir, lehernya terkunci. Semakin lama kunciannya semakin menyiksa. Napasnya semakin berat dilakukan. Pandangannya menguning.
Pak Ranto menyebut nama Tuhannya. Di akhir ucapannya, tampak olehnya seringaian keempat orang pemburunya. Seringai setan, pikirnya. Tapi Tuhannya baik, Pak Ranto berlindung kepadaNya.
.
.kkeut.
Description: Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis Thriller yang diselenggarakan oleh Storial. Buku yang saya inginkan adalah buku Confessions karya Kanae Minato.
Disclaimer:
Semua penokohan dalam cerita ini adalah fiksi. Kesamaan nama dan tempat hanyalah kebetulan belaka. Gambar diambil dari google dot com.
Warning:
Cerita ini mengandung konten dewasa yang memerlukan kebijakan pembaca.
Nama: BeeNim
Alamat: Purbalingga
Twitter: @psstBee
IG: @Bee.Nim
|
Title: Rinesis : Awal Permulaan
Category: Novel
Text:
Sekolah Sihir
Sekolah-sekolah menengah atas yang dibentuk oleh pemerintah dengan tujuan untuk mendidik para pengguna sihir.Secara menyeluruh, terdapat 12 SMA Sihir yang berdiri di Nusantara yang di kenal sebagai Zodiac of School.
Lokasi dari masing-masing sekolah tersebut adalah sebagai berikut.
SMA 1 Capricorn – West Java Island
SMA 2 Aquarius – Central Java Island
SMA 3 Pisces – Bali Island
SMA 4 Aries – East Java Island
SMA 5 Taurus – Papuan Island
SMA 6 Cancer – Borneo Island
SMA 7 Leo – Maluku Island
SMA 8 Scorpio – Nusa Tenggara Island
SMA 9 Gemini – West Java Island
SMA 10 Virgo – Sumatra Island
SMA 11 Libra – Sulawesi Island
SMA 12 Sagitarius – Belitung Island
12 sekolah tersebut menggunakan kurikulum yang sama yaitu kurikulum yang disusun oleh University of Magic. Walaupun menggunakan kurikulum yang sama, namun secara spesifik setiap sekolah mempunyai karakteristik tersendiri dalam menerapkan dan mengaplikasikan kurikulum tersebut.
SMA satu , SMA dua, SMA tiga dan SMA empat adalah sekolah menengah elit yang berisikan siswa-siswa yang berbakat dan berprestasi. Seluruh siswa berbakat di seluruh Nusantara lebih memilih bergabung dengan ke empat sekolah tersebut. Sekolah tersebut hanya bisa menampung 200 orang untuk setiap tahunnya, sedangkan delapan sekolah lainnya hanya bisa menampung 100 siswa.
Hal yang paling menonjol diantara sekolah sihir elit dengan sekolah sihir biasa adalah insfratruktur. Insfratruktur sekolah sihir elit jauh lebih modern dibandingkan sekolah sihir biasa, hal itulah yang membuat sekolah sihir elit menjadi sekolah sihir rujukan bagi penyihir muda untuk menempa bakat dan kemampuan mereka.
Setiap sekolah sihir dibagi menjadi 2 kelas yaitu kelas spesialis dan kelas biasa. Kelas spesialis adalah kelas yang berisikan siswa-siswa yang berbakat di bidang sihir.
Chapter 0
Sihir.
Sihir bukanlah produk yang lahir dari legenda ataupun dongeng, melainkan telah menjadi teknologi nyata yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti kapan sihir itu pertama kali ditemukan. Catatan pertama yang dapat dipastikan kebenarannya itu terjadi pada tahun 2000 Masehi.
Kasus yang pertama terjadi, ketika seorang guru honorer memiliki kekuatan spesial untuk menghentikan meteor yang jatuh di bumi. Kejadian ini menjadi kasus sihir pertama yang bisa diverifikasi di jaman modern.
Pada awalnya, kemampuan yang tidak biasa itu disebut " kekuatan Supranatural ". Sebuah kemampuan yang hadir dalam diri seseorang yang murni terlahir dalam diri manusia. Awalnya pemikiran tentang suatu teknologi yang dapat menyebarkannya kepada orang lain dianggap suatu hal yang mustahil.Namun, itu adalah anggapan yang keliru.
Pada tahun 2010, secara mengejutkan manusia yang memiliki "Kekuatan Supranatural " ini semakin banyak tersebar di seluruh dunia. Hingga sekarang belum diketahui asal muasal dari kekuatan ini.
Melalui penelitian tentang " kekuatan supranatural " yang kebanyakan dipengaruhi oleh negara-negara timur dan barat, keberadaan orang-orang yang memiliki sihir secara bertahap dipublikasikan.
Demi menjaga dunia dari kekacauan, dibentuklah Dewan Sihir Dunia untuk mengontrol penggunaan sihir agar tidak digunakan demi sebuah kejahatan. Dewan Sihir Dunia di kenal sebagai World Magic Council.
Pada tahun 2050, seluruh bangsa didunia dikejutkan dengan munculnya sebuah dungeon. Dungeon adalah sebuah tempat misterius yang muncul secara tiba-tiba yang tidak ada pada peta dunia. Setiap orang yang memasuki dungeon tersebut tidak pernah kembali , baik itu penduduk biasa maupun para penyihir. Dungeon muncul di berbagai negara didunia dan pemerintah menutup akses menuju dungeon tersebut.
Akhir dunia pun terjadi.
Makhluk tak dikenal muncul dari dungeon tersebut. Bukan manusia, melainkan sosok yang tak dikenal memporah-porandakan dan menghancurkan berbagai negara.
Peristiwa yang menewaskan jutaan manusia itu dikenal dengan "Fourteen Days". Walaupun kemenangan di peroleh manusia dengan menyatukan kekuatan para penyihir, namun negara diseluruh dunia hancur dan jutaan nyawa melayang pada peristiwa paling dikenang sepanjang masa itu.
Pada akhir abad ke 21. Tepatnya pada tahun 2099, berbagai bangsa di duniayang masih terpecah-pecah, berlomba-lomba untuk mendidik dan menghasilkan pengguna sihir yang kuat untuk melindungi negara mereka masing-masing.
100 tahun telah berlalu...
SMA Satu, dua, Empat dan Enam berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional yaitu merupakan institusi sihir yang terkenal paling banyak mengirimkan lulusannya ke Universitas Sihir Nasional setiap tahunnya.
Pada saat yang sama, sekolah ini juga merupakan sekolah elit yang menghasilkan penyihir bermutu dalam jumlah terbanyak.
Sehubungan dengan pendidikan sihir, tidak ada sikap resmi dalam penyediaan kesempatan yang sama dalam pendidikan.Negara ini tidak memiliki kemewahan untuk melakukannya.
Selanjutnya, perdebatan idealis dan kekanak-kanakan seputar adanya pembeda-bedaan antara yang mampu dan tidak mampu tidak dipedulikan. Sepenuhnya tergantung pada bakat individu itu. Berorientasi pada kompetensi yang keras. Itulah dunia sihir.
Di sekolah ini hanya elit yang diterima. Sejak awal pendaftaran, para murid sudah dibagi menjadi berprestasi tinggi dan berprestasi rendah. Bahkan jika kedua individu itu sesama murid baru, mereka belum tentu setara.
Chapter 1 : SMA 6 Cancer
"Aku masih tidak bisa menerima ini semua, kenapa kamu tidak diterima di kelas spesialis ?"
" Kamu masih memikirkan hal itu?"
Hari ini adalah hari upacara penerimaan siswa baru, tetapi sekarang masih terlalu pagi untuk mengikuti upacara tersebut. Tentu saja hari ini adalah hari yang begitu spesial tapi juga hari yang membuat para siswa baru berdebar-debar karena setelah rangkaian tes ujian masuk sekolah, akhirnya mereka lulus seleksi dan dinyatakan diterima di SMA 6.
SMA 6 Cancer adalah sekolah sihir yang berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional walaupun bukan termasuk dalam sekolah elit, namun sekolah ini mampu mengeser salah satu sekolah elit dalam kurun beberapa tahun terakhir .
Berdiri di depan auditorium tempat upacara penerimaan itu akan diadakan, sepasang lelaki dan perempuan, mengenakan seragam baru, yang karena beberapa alasan sedang berdebat.
Mereka sesama siswa baru, akan tetapi seragam mereka berbeda satu sama lain.
Kita tidak sedang membicarakan tentang perbedaan antara celana panjang dan rok, maupun perbedaan antara pakaian seorang laki-laki dan perempuan melainkan warna emblem yang digunakan oleh siswa baru itu. Kepiting Emas dan Kepiting Perak. Kepiting adalah sebuah desain emblem yang melambangkan SMA 6 Cancer.
Emblem kepiting perak adalah emblem yang melekat pada seragam sekolah pria itu.
"Yo, kau masuk kelas biasa? Bagaimana bisa? Bukankah kau seharusnya menjadi yang terbaik diantara semua siswa baru? panitia pasti telah melakukan kesalahan"
"Kesalahan? Ini adalah sekolah sihir afiliasi dengan Univesitas Sihir Nasional, tentu saja tidak mudah untuk bisa diterima di kelas spesialis... dan kau tahu kan, kalau aku tidak begitu hebat dalam praktek sihir?
"tapi kan.... "
"Miyuki...kau harus fokus pada upacara penerimaan siswa baru hari ini, bukankah kau menjadi perwakilan siswa baru untuk menyampaikan kata sambutan? Sejujurnya pun aku tidak mengira akan diterima di sekolah ini"
Melihat apa yang terjadi dengan kedua pasangan ini, mereka seperti seorang teman dekat yang akrab yang telah menjalin pertemenan bertahun-tahun karena perasaan peduli diantara keduanya.
Yorai meletakkan tangannya di atas kepala Miyuki dan membelai rambut hitamnya. Sekarang, apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki suasana hatinya..... Yorai merenung dengan wajah yang sedikit kesulitan.
"....Aku sangat senang dengan perasaanmu. Aku selalu merasa kalau kamu ingin menolongku setiap kali kamu marah demi aku."
"Pembohong."
"Aku tidak berbohong."
"Bohong. Kau selalu menegurku..."
"Aku tidak berbohong. Tetapi, aku juga memikirkanmu seperti kau memikirkan diriku."
"Yorai.... katamu, 'kamu selalu memikirkan aku'.....
(....Huh?)
Karena alasan tertentu, wajah wanita muda itu memerah.
" Lekaslah masuk ke gedung auditorium, kau kan harus memberi sambutan kepada seluruh siswa baru.."
"Baiklah, aku akan segera masuk ke auditorium untuk mempersiapkan upacara penerimaan siswa baru, tolong lihat aku nanti...."
Perempuan itu meninggalkan pria ini dengan melampaikan tangannya dengan wajah tersenyum.
***
SMA 6 Cancer adalah sekolah sihir yang berada di Borneo Island. Setiap tahunnya, sekolah ini hanya bisa menerima 100 siswa baru, berbeda dengan sekolah sihir elit yang bisa menerima 200 siswa. Sekolah ini memiliki gedung sekolah yang bagus. Gedung sekolah terdiri dari berbagai macam bangunan yaitu bangunan utama, gedung latihan, gedung eksperimen, gedung olahraga dan auditorium.
Segala informasi tentang prasarana di sekolah ini telah dimuat secara digital di sistem informasi, jadi untuk mencari informasi mengenai sarana dan prasarana cukup menggunakan sistem informasi Sapras.
Waktu masih belum menunjukkan upacara akan dimulai. Yorai melirik kiri dan kanan untuk mencari tempat berteduh sambil berjalan di jalan yang telah di aspal dengan lapisan batu bata di area sekolah.
Cuaca pagi ini tidaklah hujan, terlintas ide dalam pikirannya untuk mencari kursi panjang untuk digunakannya beristirahat.
Sepertinya halaman sekolah itu tampaknya menjadi jalan pintas dari gedung persiapan ke auditorium.
Beberapa orang berlalu-lalang di halaman itu, mereka sepertinya sedang membantu persiapan untuk upacara penerimaan siswa baru. Ada beberapa siswa (kakak kelas) yang melintasi pemuda itu dalam jarak yang cukup dekat. Siswa-siswa itu semuanya memiliki emblem kepiting emas pada bagian dada kiri seragam mereka.
Ketika mereka melintas di depan pemuda itu, perkataan yang tidak menyenangkan terdengar.
- Bukankah anak itu Kepiting Perak ?
- Dia datang terlalu awal..... dia sangat antusias padahal hanya kelas biasa.
- Pada akhirnya, dia tidak lebih dari seorang siswa tak berbakat.
Sebuah obrolan, yang tidak ingin ia dengar, terlintas melewati telinganya.
Kepiting emas adalah sebuah emblem yang dimiliki oleh siswa yang berada di kelas spesialis atau bisa juga disebut sebagai siswa berbakat, siswa berprestasi dan siswa berpotensi sedangkan Kepiting perak adalah sebuah emblem yang dimiliki oleh siswa yang berada di kelas biasa atau juga disebut sebagai kelas tak berbakat atau kelas cadangan. Sungguh ironi sistem kasta yang berkembang di sekolah sihir ini.
"Hei, kau... apa kau tak punya mata"
"Ma...Maafkan aku, aku tidak sengaja, sekali lagi mohon maaf"
Yorai melihat kearah audiotorium, tepatnya tidak jauh dari tempatnya berisitrihat, terlihat segerombolan siswa yang sedang berdebat, entah apa yang sedang mereka perdebatkan, tapi dia melihat 3 diantara mereka dengan lambang kepiting emas di dadanya dan salah satunya adalah siswa dengan lambang kepiting perak sedang membungkuk kepada 3 siswa itu. Apakah ini Bullying ? Yorai merenung dengan wajah yang sedikit kesal.
"Oh ternyata kepiting perak! Berani-beraninya kau dengan kami?"
"Hei, bocah, kau tidak lihat siapa kami, lihat lambang didada kami!"
"Kami adalah siswa kepiting emas tidak akan pernah setara dengan dirimu kepiting perak"
Salah seorang dari 3 pria itu, mendorong pria itu hingga terjatuh tersungkur di tanah. Yorai melihat sekelilingnya, banyak siswa hanya melihat aksi bullying dan seakan tidak ingin peduli dengan apa yang mereka lihat. Sorotan mata mereka seakan mengatakan "Aku tidak ingin ikut campur dengan masalah mereka" . Apakah ini adalah hal yang biasa di sekolah ini ? Yorai merenung dengan mengeleng-gelengkan kepala.
"Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja"
"Jika kau ingin melawan kami, kami akan tunjukan perbedaan kekuatan antara kepiting emas dengan kepiting perak"
"Firee Ba....."
"Apa kau tidak apa-apa?"
Yorai mengulurkan tangannya kepada pria itu dan membantunya untuk bangkit dan berdiri dari tanah. Pria itu menerima kebaikan dari Yorai dan berdiri dari tanah.
"Ayo kita ke auditorium "
"Ta...tapi kan"
"Tapi kenapa, apakah ada masalah ?"
Pria itu menujuk jarinya dengan gemetaran kearah 3 pria yang membulinya. Salah seorang dari mereka menunjukan wajah dengan amarah kepada mereka berdua dengan nyala api di tangan kanannya.
" Oh, si pria korek api".
" Hei...., apa kau penjual korek api, maaf tapi kami tidak merokok , jadi bisakah kau matikan korek api di tangan kananmu?"
"Abaikan saja, dia tidak lebih hanya sekedar si pria korek api"
Pria itu melihat sekeliling mereka, banyak siswa, tidak hanya siswa dengan lambang kepiting perak melainkan juga mereka dengan lmbang kepiting emas didadanya yang menetertawakannya layaknya seorang badut yang sedang bermain korek api. Hal itu tentu saja membuatnya menjadi marah besar, dipermalukan oleh siswa yang dianggapnya tidak setara dengannya.
"Kau, berani-beraninya kau....."
Kepada semua siswa baru , diharapkan memasuki ruang aula sekarang juga, upacara penyambutan siswa baru akan segera dimulai.
" Cih, aku akan ingat wajah kalian berdua, peristiwa hari ini tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku, tunggu saja pembalasanku"
Yorai meninggalkan mereka sedari tadi.
"Hei, kau brengsek... kau dengar aku tidak"
"Lihat saja kalian berdua, aku akan memberi perhitungan kepada kalian"
***
Setiap tahun lulusan sekolah ini menghasilkan lebih dari seratus lulusan yang masuk ke Universitas sihir atau mendaftar ke pelatihan spesialis yang lebih lanjut. Keuntungan menjadi sekolah afiliasi dengan universitas sihir nasional adalah kemudahan untuk masuk ke universitas tersebut.
Salah satu pencapaian terbaik siswa lulusan sekolah sihir adalah dapat masuk di universitas sihir nasional, namun tidak semua siswa berpikiran seperti itu. Bagi sebagian siswa, selama mereka sudah bisa menguasai bela diri dan juga bisa menggunakan sihir secara efektif, mereka pikir itu adalah sesuatu hal yang cukup untuk kehidupan mereka setelah lulus. Tapi faktanya, penyihir tingkat tinggi selalu berasal dari Universitas Sihir Nasional.
Mereka siswa di kelas spesialis merupakan siswa yang paling berpotensi masuk di universitas sihir nasional, karena hal itu lah terlalu banyak siswa begitu bangga dengan status mereka, bahkan hingga menganggap rendah siswa lainnya yang berada di kelas dengan emblem kepiting perak.
"Terima kasih telah membantuku tadi di depan auditorium"
"Oh itu, tak usah di pikirkan, aku hanya tak suka dengan mereka yang merendahkan seseorang hanya karena perbedaan bakat yang mereka sebut"
"etooo... namaku Rislyon, siapa namamu?"
"Lyon ? apa kau berasal dari keluarga elit?"
"Iya benar"
"Tapi, kenapa kau berada di kelas biasa bukankah keturunan elit selalu di prioritaskan?"
Keluarga elit adalah keluarga yang berasal dari garis keturunan bangsawan. Hirarki keturunan bangsawan dimulai 100 tahun lalu, seorang keturunan keluarga yang telah menjadi pahlawan besar dalam perang "Fourteen Days". 100 Penyihir hebat yang berpengaruh besar dalam perang tersebut di anugerahi gelar seorang Bangsawan dan telah menjadi keluarga elit secara turun-temurun tercatat dalam Buku Sejarah Nusantara.
"Ya begitulah, sangat menyedihkan sebagai seorang dari keluarga elit, bahkan hak prioritas tidak aku dapatkan karena aku tidak memiliki bakat di bidang sihir"
"Hemmm...memang benar sih hahaa"
"(jlebbbb) "
"Aku Yorai Kuro , kau bisa panggil aku Kuro"
"Kuro? Nama yang aneh...."
"Apaaaaa....(jleb)"
Yorai dan Rislyon memasuki auditorium namun kursi yang kosong nyaris tidak tersedia. Ruang auditorium begitu penuh, sangat terlihat betapa antusias siswa siswi baru yang diterima di SMA 6 Cancer. Namun satu pemandangan yang tidak wajar di dalam audiotirum ini. Tidak ada aturan mengenai tempat duduk yang ditempati, namun secara terstruktur telah menjadi sebuah kebiasaan tak tertulis bahwa siswa dengan lambang kepiting perak berada di bagian atas sedangkan kepiting emas berada di bagian bawah. Mereka yang tidak setuju dengan sistem kelas berbakat dan tidak berbakat, mereka sadar atas diskriminasi itu namun mereka malah menerima diskriminasi itu.
Yorai yang menentang diskriminasi ini memutuskan untuk duduk di kursi dibawah bersama dengan siswa dengan lambang kepiting emas di sekeliling mereka.
"Ku...ku....kuro, apakah kita sebaiknya duduk di kursi atas saja?"
"hah, apa katamu aku tidak dengar?"
"Ku..kuro, kau pura-pura tidak dengar apa yang aku ucapkan"
"hehe, sudahlah, duduk di sini saja, apa yang kau pikirkan?"
Rislyon dengan terpaksa mengikuti ajakan Yorai. Mereka sadar banyak pasang mata yang melihat sinis kearah mereka bedua.
Yorai melihat jam dinding . Masih tersisa 10 menit lagi, ia pun membuka ponsel hpnya untuk memeriksa sebuah situs internet.
" Kok tidak bisa? "
"Eh, apa kau mengatakan sesuatu Kuro"?
" Internetku tidak aktif , apa yang terjadi ?"
"Apa yang kau bicarakan kuro? Bukankah di area ini segala bentuk sinyal akan di nonaktifkan, jelas saja kau tidak bisa membuka internet".
"Oh begtu ya...hemmmm "
Yorai memegang dahunya dan mengerutkan dahinya seakan-akan ia kecewa karena tidak bisa berselancar di internet.
"er.....apa kursi di sebelahmu kosong?"Sebuah suara terdengar begitu lembut. Yorai melihat kearah suara lembut itu berasal. Seperti yang telah di perkirakan, itu adalah suara seorang wanita.
"Silahkan"
Wanita itu duduk di samping Yorai. Seorang wanita yang terlihat begitu cantik dan anggun. Dia seorang dari kelas kepiting perak yang artinya dia berada di kelas yang sama dengan Yorai dan juga Rislyon.
"Terima kasih"
Yorai menganggung dengan sopan. Tidak lama setelah itu, 2 wanita lainnya kemudian duduk satu-persatu. Mereka juga berasal dari kelas kepiting perak. Mungkin mereka berteman satu dengan yang lainnya. Sudah menjadi Rahasia umum bahwa sangat jarang melihat 3 teman lulus secara bersamaan mengingat untuk masuk di SMA 6 Cancer sangat sulit.
"Anu..."
Suara itu kembali terdengar dari seorang wanita yang duduk di sebelahnya. Karena ia sudah tak tertarik lagi dengan wanita yang berasal dari kelas dan angkatan yang sama, ia pun tetap menantap ke depan kearah panggung di auditorium.
Apa yang ia inginkan? Dia bukan kenalannya, dia juga tidak menyenggol atau menginjak kakinya, ia seharusnya tidak mengakibatkan dirinya menerima keluhan, tetapi --
" Namaku El Clarin, senang berkenalan denganmu"
Tidak disangka ia mengenalkan dirinya pada Yorai yang memiringkan kepalanya.
"Namaku Yorai, senang berkenalan denganmu juga"
"Hei, senang berkenalan juga denganmu ", ia juga mengarahkan senyum manisnya pada Rislyon.
"Namaku Rislyon, senang berkenalan denganmu juga"
Setelah membalas perkenalan itu, wanita cantik itu terlihat begitu lega.
Satu persatu, siswa memenuhi kursi kosong yang ada di dalam auditorium. Sepanjang mereka memasuki ruangan, mereka murid dengan lambang kepiting emas menatap kami dengan tatapan mata merendahkan. Apakah karena mereka memilih tempat duduk yang mayoritas di tempati murid dari kelas mereka. Salah satu bentuk diskriminasi yang begitu jelas terlihat nyata walau tak di ungkapkan dengan kata-kata.
Chapter 2 : Pembagian Kelas
Diruang audiotirum, seketika suara gemuruh para siswa-siswi baru di dalam ruangan itu menjadi tidak terdengar lagi, tiba-tiba menjadi hening dan sunyi. Terdengar langkah kaki di atas yang di anggap oleh sebagian besar siswa sebagai penggung kehormatan bagi murid yang terpilih. Hanya seorang murid dengan nilai tertinggi dan terbaik diantara yang terbaik yang bisa menapakkan kaki di panggung tersebut pada saat upacara penyambutan siswa baru di sekolah sihir itu.
Semua siswa terpaku melihat seseorang yang dengan anggunnya melangkah demi selangkah di panggung tersebut. Dia adalah seorang siswi wanita. Ia menuju kearah mikropon yang telah tersedia di bagian depan panggung itu. Mikropon tersebut berada di letak yang begitu strategis yang membuat semua orang yang berada di ruangan itu berpikir bahwa mikropon itu memang disediakan spesial untuk siswa baru terbaik, bagi wanita itu.
Dia adalah Miyuki. Lulus seleksi dengan nilai tertinggi diantara peserta lainnya di semua bidang yaitu nilai tertinggi di bidang teori dan juga praktik sihir.
"Terima kasih untuk waktu yang telah diberikan kepadaku untuk membuka upacara penyambutan siswa dan siswi baru di pagi hari yang begitu cerah ini. Sejujurnya, aku tidak mempercayai bahwa aku bisa mendapatkan nilai tertinggi diantara semua peserta yang mendaftar di sekolah SMA 6 Cancer sehingga pada akhirnya aku diberi kesempatan untuk menyampaikan kata-kata sambutan kepada kalian semua. Kita sebagai generasi baru di sekolah ini, sebagai siswa yang akan membawa perubahan untuk Nusantara walaupun kita berada di kelas yang berbeda namun satu hal yang pasti, kita adalah penyihir nusantara, pada akhirnya kita akan berada pada satu garis yang sama untuk memajukan dunia sihir di Nusantara, mempertahankan negara yang sama pada suatu saat nanti,oleh karena itu, kita harus saling membantu satu sama lain sebagai siswa baru untuk mencapai sihir tingkat tinggi secara bersama-sama sebagai generasi yang akan membawa SMA 6 Cancer menjadi sekolah penyihir nomor 1 di Nusantara. Kita semua setara, kita lahir di berkati dengan sihir, dengan kemampuan, dengan akal dan dengan hati, selama semua dari kita bekerja keras terus dan terus melatih kemampuan kita, maka saat itu kita akan selalu bertumbuh, semakin kuat dan semakin lihat dalam menggunakan sihir, karena aku yakin hari esok akan lebih baik daripada hari ini. Sekali lagi aku ucapkan, selamat untuk kita semua telah terpilih menjadi satu keluarga besar di sekolah yang sama , SMA 6 Cancer. Terima Kasih ".
"Huaaaaaaaa............"
Auditorium kembali bergemuruh. Semua siswa bergitu semangat mendengar kata-kata sambutan yang singkat dari Miyuki namun memiliki arti yang luar biasa bagi semua siswa baru tersebut.
Saat semua siswa bersorak sorai, namun sebuah percakapan yang tidak mengenakan terdengar di salah satu bangku di barisan tempat dukuk Yorai.
"Saling membantu? Keluarga? Apa yang dia katakan, apa dia tidak berpikir bahwa mempelajari sihir untuk diri sendiri saja susah apalagi untuk membantu yang lain? Apalagi harus membantu kelas cadangan, aku tak sudi".
" Kau benar, apanya siswa terbaik, dia mungkin mendapatkan nilai tertinggi dari hasil menyuap panitia penyelenggara"
"Kata-katanya benar-benar membuat malu kelas kepiting emas"
"Kita akan buktikan siapa yang terbaik, kita atau dia hahahaa"
Mendengar mereka membicarakan Miyuki membuat Yorai yang berada di belakang mereka menjadi kesal yang membuatnya berinisiatif untuk mengerjai mereka berdua.
Yorai menepuk pundak salah seorang diantara mereka.
"Hei, kamu ?"
Salah seorang yang di sentuh pundaknya oleh Yorai secara spontan menoleh kebelakang untuk menerima panggilannya.
"Lock on ..."
Setelah mengucapkan Lock On, Yorai secara tiba-tiba menjadi lemah dan pingsan, apa yang sebenarnya terjadi dengan Yorai? Namun salah seorang siswa yang di sentuh pundaknya oleh Yorai tiba-tiba memukul kepala salah seorang temannya dengan keras. Pria itu tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya sehingga ia memukul salah seorang temannya. Tentu saja hal itu membuat keributan kecil diantara keduanya.
" hei, kalian berdua? Kita sedang upacara penyambutan, apa kalian tidak bisa mengharagai upcara ini? Jika tidak, silahkan keluar saja dari ruangan ini", Yorai membentak mereka berdua dengan wajah kesal.
"Cihh.... dasar kepiting perak", terlihat dia begitu kesal dengan bentakan oleh Yorai.
Mereka berdua memalingkan wajahnya dan kembali fokus terhadap upcara penyambutan ini, walaupun sebenarnya mereka masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka.
"Kuro, apa kau yang melakukannya ?"
" Aku ? tidak, aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kau berpikir itu adalah aku "
El-Clarin mendekatkan wajahnya kepada Yorai dengan begitu dekatnya yang bahkan membuat Yorai termundur.
Apa yang sebenarnya di pikirkan oleh gadis ini. Padahal mereka baru saja saling mengenal, tapi dia begitu agresif kepada Yorai. Walaupun Yorai ingin menghindarinya, namun ia pikir sepertinya gadis ini bukanlah tipe gadis yang mudah percaya dengan sebuah kebohongan.
"Kau kan yang melakukannya ?"
"huuuft, sebaiknya kita fokus saja dengan upacara ini, karena ini adalah hari spesial buat kita"
Yorai mencoba menenangkan suasana yang begitu tidak nyaman seperti ini. Usaha yang dilakukannya sepertinya berhasil, gadis ini menarik dirinya dan kembali fokus dan menatap kearah panggung upacara lagi.
Yorai menghela nafasnya karena ia tidak mau terkena masalah jika apa yang telah ia lakukan itu adalah sihir miliknya.
Yorai Kuro adalah seorang penyihir roh. Tipe sihir yang di milikinya adalah sihir roh. Ia dapat merasuki tubuh seseorang jika terjadi kontak mata dengan seseorang. Dengan mengatakan "lock On", ia dapat dengan mudah merasuki tubuh orang lain dan mengendalikannya.
"Pasti kau kan yang melakukannya?", Rislyon pun ikut mempertanyakan hal itu dengan wajah mengejeknya.
"Hemmmmmm "
***
Setelah serangkaian acara upacara penyambutan akhirnya sampailah pada tahap akhit dari upacara ini yaitu penentuan kelas yang akan di umumkan oleh beberapa guru yang tidak lain adalah wali kelas para siswa baru.
Kelas dibagi menjadi 4 kelas diantaranya adalah X A Kepiting Emas, X B Kepiting Emas, X C Kepiting Perak dan X D Kepiting Perak.
" El-Clarin, X D Kepiting Perak"
" Rislyon Ripi, X D Kepiting Perak"
" dan yang terakhir adalah Yorai Kuro, X Kepiting Perak"
"Jadi itulah pembagian kelas untuk kalian semua siswa dan siswi baru,pengelompokan kelas ini berdasarkan nilai ujian kalian, urutan pertama adalah yang tertinggi dan yang terakhir adalah nilai paling buruk, semoga kelas X D tahun ini dapat menyelesaikan semester ini dengan baik tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Silahkan kalian menuju kelas kalian masing-masing dan silahkan meninggalkan ruangan ini, sekian dan terima kasih"
Setelah pembagian kelas, semua siswa meninggalkan ruangan auditorium dan menuju kelas masing-masing. Dalam perjalanan menuju jelas ada sesuatu hal yang mengganjal di hati Yorai dan memperbincangkannya dengan Rislyon.
"Semangat Kuro, walaupun yang terakhir, setidaknya kau bisa diterima di sekolah ini"
"Hemmm, apa yang kau katakan, kau hanya 1 tingkat di atasku dalam arti kau juga yang terbawah, dua terbawah "
"hehehe, kita benar-benar menyedihkan kuro..."
Sebagai seorang dari keluarga elit, tentu saja menjadi siswa dengan nilai terendah adalah sesuatu yang tidak bisa dibanggakan olehnya.
"hei kalian berdua, jangan menampilkan wajah sedih begitu, chayoooo....harus tetap berjuang di kelas nanti, ya kan ya kan ". Clarin menyemangati Yorai dan Rislyon sebagai 2 siswa terbawah.
Padahal dia juga termasuk yang terbawah hanya lebih baik dari kami.
" Apa kau mengetahui sesuatu tentang apa yang telah di katakan guru tadi, tentang kelas XD Sebelumnya?"
"Aku tidak tahu sama sekali tentang hal ini, bagaimana denganmu lyon"
"ssstttt, jangan panggil aku lyon jika berada kerumunan seperti ini, panggil saja dengan sebutan lain"
"Ha, apa kau malu?", Yorai menertawai Rislyon.
" Baiklah bagaimana jika kau di panggil icon, sepertinya kau tidak keberatan kan con"
" Ya ya ya, asal jangan pernah panggil aku dengan sebutan lyon"
Mereka sepakat untuk memanggil rislyon dengan icon berdasarkan ide yang di kemukan oleh Clarin.
" Jadi bagaimana con?", Clarin kembali menanyakan hal yang sebelumnya di tanyakan oleh Yorai.
"Oh hal itu, seperti yang kalian tahu bahwa, kelas X D Kepiting Perak adalah kelas dengan nilai terburuk diantara semua yang terburuk, sudah dipastikan kelas ini tidak akan ada harapan untuk menjadi kelas sihir yang handal karena banyak siswa-siswi di kelas ini adalah seorang berandalan. Berdasarkan informasi yang ku dapatkan, bahwa banyak dari kelas ini memutuskan untuk berhenti sekolah karena merasa tak sanggup mengikuti kurikulum yang ada di sekolah sihir. Uniknya hal ini terus-terusan terjadi sepanjang tahun penerimaan siswa baru"
" Apakah begitu tak ada harapannya kah kelas kita ini? ", Yorai meletakan tangannya di dagunya dan mengerutkan wajahnya memikirkan hal ini.
" Aku tidak berpikir demikian, kita semua pasti bisa bertahan di kelas neraka ini, aku percaya itu"
"Kelas neraka, sepertinya terlalu berlebihan "
"Tapi sepengetahuanku,tidak semua siswa berhenti, masih tersisa beberapa siswa yang bertahan di kelas ini"
"Sepertinya kita harus membuktikan kepada guru, kalau kita adalah kelas X D terbaik yang pernah ada sepanjang sejarah sekolah ini"
"Sepertinya aku harus setuju"
"Aku juga setuju"
"hahahahahahaa"
Mereka bertiga sama-sama menertawai hal itu, walaupun sebenarnya tidak ada yang lucu dengan kalimat tersebut.
Yorai, Rislyon dan Clarin, mereka bertiga mendapatkan kelas yang sama. Walaupun mereka baru dipertemukan, mereka seperti telah memiliki chemistry yang kuat dan cocok.
Disinilah perjalanan panjang kelas X D kepiting perak akan dimulai.
Chapter 3 : X D Kepiting Perak
Sekolah SMA 6 Cancer menerima siswa baru sebanyak 100 siswa setiap tahunnya dan membaginya menjadi 4 kelas, 2 kelas Kepiting Emas dan 2 kelas lagi di kelas Kepiting Perak. Setiap kelas terbagi menjadi 25 siswa dengan pembagian yang sangat tidak adil, begitu banyak diskriminasi dalam pembagian kelas ini.
Pembagian kelas ini begitu terlihat sangat timpang. Kelas X A berisikan siswa-siswi terbaik yang menempati posisi 25 besar saat ujian penerimaan siswa baru, sedangkan X D berisikan siswa siswi yang menempati posisi 25 besar terburuk dalam arti sebagai 25 siswa dengan nilai paling rendah.
Gedung utama di sekolah ini terdiri dari empat lantai. Lantai paling bawah adalah kelas X dan juga gudang. Lantai kedua adalah kelas XI dan ruang guru. Lantai ketiga adalah kelas XII dan ruang dewan sihir sekolah. Lantai keempat adalah ruang ekstrakulikuler. Jika atap sekolah juga dihitung maka secara keseluruhan sebenarnya gedung utama dari sekolah ini ada lima lantai.
Kelas X D kepiting perak berada di lorong kelas paling ujung di lantai paling dasar di gedung sekolahan.
Di dalam ruangan kelas XD kepiting perak, semua siswa baru terlihat begitu canggung antara satu dengan lainnya , walaupun sebenarnya mereka ingin menjalin hubungan pertemanan, namun pertemuan pertama dengan seorang yang asing bagi mereka terasa begitu tidak nyaman.
" Jangan naikan kakimu di meja!"
"hah?"
" Apa kau pikir tingkahmu itu sopan jika dilihat kakak kelas dan para guru?"
" Memang aku pikir , kau dari SMP mana, karakter sampingan?"
Pada bagian belakang kursi di kelas ini, terlihat dua siswa yang sedang bersitegang dengan salah satu siswa berkacamata bertubuh tegap. Mereka memperdebatkan tentang sebuah tata krama dan kesopanan sebagai seorang murid.
Pria berkacamata ini memang sudah benar dengan bersikap seperti itu. Walaupun kelas X D adalah kelas terburuk dalam hal sihir , namun ada satu hal yang perlu ditanamkan dalam setiap diri seorang siswa yaitu kesopanan dan tata krama.
Perdebatan itu tentu saja menarik perhatian siswa baru lainya. Yorai yang menyaksikan hal itu hanya bisa menututp mata dan menggelengkan kepala seperti percaya bahwa di kelas ini hal seperti ini akan selalu terjadi.
"Ku...ku..kuro, coba lihat mereka", Rislyon seperti ketakakutan melihat dua orang sedang bertengkar. Ia berpikir dihari pertama sudah terjadi keributan, ini akan menjadi masalah yang besar nantinya.
"Abaikan saja mereka, kau tak perlu ikut campur, jangan sampai kau terlibat msalah di hari pertama kau sekolah", yorai memperingati Rislyon dengan tenang. Yorai pandai menenangkan hati seseorang dengan sikapnya yang sebenarnya sangat tidak peduli dengan sekitarnya.
"Aku dari SMP 1 Nusantara, namaku adalah Arhia Wicak", Pria berkcamata ini malah memperkenalkan dirinya kepada pria berambut jabrik dengan sopan.
"Hah, SMP 1 Nusantara? Jadi kau orang elit ya, bagaimana mungkin seorang dari sekolah elit bisa terdampat di kelas ini, apa kau begitu lemahnya , sepertinya menghajarmu akan menjadi sesuatu yang menyenangkan?"
"hah, menghajar? Itu kejam sekali, apa kau benar-benar seorang murid sekolah sihir? ", pria berkacamata ini terkaget mendengar bahwa pria jabrik itu ingin menghajarnya hingga secara spontan memundurkan badannya.
"Cih...", mendengar pria berkacamata mengucapkan itu membuat pria jabrik ini menjadi hilang mood dengan menampakan wajah tak nyamannya.
"Hei, kalian berdua... sudah, sudah jangan bertengkar lagi, kita baru saja menjadi teman sekelas, sebaiknya kita saling akrab ya, chayooo ", Clarin mengepalkan tanggan untuk menenangkan dua murid yang sedang bersitegang itu.
Mendengar seorang murid cantik melerai mereka berdua, mereka berdua pun bisa berdamai walaupun si pria jabrik itu begitu tak menyukainya.
" Hei, kau? Kau berada di kelas ini juga", pria berkacamata ini menunjuk jarinya ke arah pintu masuk kelas.
Semua siswa yang berada di dalam kelas pun tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Arhia dan memalingkan wajah dari pertengkaran tadi. Semua mata mengarah pada pintu masuk kelas dan terlihat seorang siswa berambut pendek dengan menggunakan tas berwarna kuning dengan lambang kepiting perak pada dadanya, terpaku ,diam dan membisu.
"......"
"Ha..halo, selamat pagi, senang berkenalan dengan kalian semua", perlahan pria itu melangkahkan kakinya menuju kursi yang masih kosong"
"wow, kita ternyata sekeleas ya, aku bersyukur sekali bisa sekelas dengan mu", Arhia berlari menuju pintu kelas dan menyambut kedatangan seorang siswa.
Siapa pria itu?, Itulah yang menjadi pemikiran semua siswa yang ada di dalam kelas. Seorang siswa yang pada umumnya sama dengan yang lainnya, tidak ada keistimewaan dengannya tapi si pria berkacamata itu seperti mengenal sekali pria yang datang terlambat masuk kedalam kelas.
"Aku tidak menyangka kau akan berada di kelas ini"
"I.....iya, nilai ujianku berada di 25 terbawah"
Pria berpenampilan biasa itu merasa canggung dengan apa yang terjadi dengannya, ia merasa tak mengenal dengan pria berbadan tegap berkacamata itu sama sekali, namun seakan-akan ia telah mengenalnya.
"Kau siapa?"
"A.....apaaa? Kau tidak mengenalku bukankah kita berasal dari sekolah yang sama "
"Ma...maaf, aku tidak terlalu mengenal teman-temanku di sekolah sebelumnya"
Walaupun berasal dari sekolah yang sama, namun pertemuan mereka berdua begitu canggung.
"Kau bukankah lulusan terbaik dari sekolah kita, kenapa kau berada di kelas X D ?, aku sangat yakin kau seharusnya berada di kelas X A ?"
"Ah, itu...?"
"Hah? Muncul lagi satu orang elit yang terdampar di kelas ini, apa kau tidak malu ", Pria berambut jabrik itu kembali berulah.
Arhia menghampiri kembali pria berambut jabrik tersebut dengan wajah yang kesal dan marah berbeda dengan sebelumnya. Arhia menarik kerah seragam sekolah pria berambut jabrik itu yang membuatnya terbangun dari tempat duduknya.
"Kau... segera minta maaf padanya?", Arhia dengan wajah yang begitu marah dengan pria berambut jabrik itu.
"hah? Kau mau mencari masalah denganku , apa kau ingin melawanku", pria itu memegang tangan Arhia seakan menantang Arhia dan menginjakan kakinya di salah satu meja seperti menantang Arhia untuk berkelahi.
Mereka berdua kembali bersitegang yang membuat suasana kelas yang menjadi kembali panas.
"Kalian berdua, hentikan! Apa kalian ingin di beri surat peringatan ?"
Seorang pria dewasa masuk kedalam ruangan kelas menggunakan syal berwarna biru dengan membawa buku yang cukup besar, mengenakan celana kain hitam yang begitu pekat dengan sepatu trendinya menghentikan pertikaian diantrara kedua murid baru itu.
"Cepat duduk di kursi kalian masing-masing"
Dilihat dari penampilannya, dia adalah guru di sekolah SMA 6 Cancer. Dia adalah Wali Kelas X D Kepiting Perak.
"Sebagai siswa baru, kalian seharusnya menjalin hubungan yang baik dengan teman sekelas kalian yang belum pernah kalian jumpai sebelumnya, menjadi seorang siswa di sekolah sihir tidak hanya melatih kemampuan bertarung dan sihir kalian, namun kalian harus bisa menjaga sikap kalian, sesopanan dan tata krama ketika berada di sekolah, apa kalian paham?"
"Pa...paham pak "
Suasana kelas yang mulanya panas, kembali lagi menjadi sejuk.
"Baik, perkenalkan nama bapak adalah Rudi Hartono, kalian bisa memanggil bapak dengan Pak Rudi, bapak yang akan menjadi wali kelas kalian untuk 3 tahun mendatang, jadi mohon kerjasama untuk kalian semua agar bisa menjadi murid yang penurut dan tidak pernah melakukan hal yang sia-sia. Untuk siswa yang bapak sebut namanya, silahkan berdiri dan memperkenalkan diri kalian kepada teman-teman kalian"
Satu persatu dari siswa di kelas X D Kepiting Perak mulai memperkenalkan diri mereka.
***
Di sekolah sihir, walaupun semua sistem ajar telah di susun dalam sebuah kurikulum , namun dalam pengajarannya, cara mengajar guru terserah kepada mereka. Ada yang menggunakan kurikulum tersebut sebagai pedoman , ada yang tidak mengikuti kurikulum itu.
" Apaaaaaaaa, tes penilaian sihir"?, semua siswa berteriak karena tidak percaya bahwa di hari pertama mereka sekolah, harus ada tes penilain sihir.
"Bagaimana dengan masa orientasi sekolahnya, bukankah kami seharusnya mengikutinya?"
"Jika kau ingin menjadi seorang penyihir yang hebat, kau tidak punya waktu untuk melakukan kegiatan yang percuma seperti itu, kebebasan di SMA 6 Cancer sudah menjadi ciri khas tersendiri"
"ta..tapi pak, bukankah ini terlalu cepat bagi kami untuk tes penilaian sihir, bukankah ini tidak sesuai dengan kurikulum sekolah sihir?"
" Kau, Ripi ya ? apa kau tidak tahu, bahwa di sekolah sihir setiap guru pengajar bebas menentukan bentuk pengajarannya? bisa menggunakan kurikulum bisa juga tidak, dan bapak adalah wali kelas kalian bebas menentukan bagaimana cara bapak mengajar kalian, apa kau merasa keberatan dengan hal ini ", Pak Rudi melirik tajam Rislyon.
"Ma...ma....maaaf pak, saya tidak keberatan", Rislyon membungkukan badannya sebagai tanda permintaan maaf nya kepada pak Rudi karena ia merasa begitu lancang dengan ketidaktahuannya itu.
Semua siswa mulai termenung dan terlihat gelisah seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi. Pak rudi mengambil ponsel dari sakunya dan memperlihatkan sesuatu kepada para siswa dan siswi. Data, itu adalah data yang pak rudi kumpulkan dari hasil ujian penerimaan siswa baru beberapa waktu yang lalu. Ia memperlihatkan berbagai data yang akan menjadi pertimbangannya dalam menentukan tes penilaian sihir.
"Kalian tentu pernah melakukannya di saat kalian masih berada di SMP, Tes fisik dimana kalian dilarang menggunakan sihir kalian, benar kan? Dewan sihir Nusantara masih belum menetapkan standar penggunaan sihir yang di perbolehkan untuk siswa, jadi ini bukanlah hal yang mengejutkan soalnya kementerian pendidikan masih belum menentapkannya"
"Erlusa, seberapa jauh kau melempar bola karet saat kau masih di SMP"
"70 meter "
" Sekarang cobalah gunakanlah sihirmu untukmu meningkatan lemparanmu sejauh yang kau bisa", pak Rudi melemparkan bola karet kearah Erlusa.
Ferdi Erlussa, dia adalah siswa yang berdebat dengan Arhia pada saat berada di dalam kelas sebelum di lerai oleh Clarin dan juga Park Rudi.
"Oh begitu, baiklah aku akan menggunakan sihirku untuk meningkatkan kekuatannku, Direwolf..."
Tipe Sihir miliki ferdi erlusa adalah hewan buas. Ia dapat merubah tubuhnya menjadi hewan buas bernama Direwolf namun ada yang aneh dalam bentuk transformasinya, Ia hanya bisa merubah tangan kanannya, sihir yang di lakukan olehnya tidaklah sempurna. Sihir hewan buas adalah sihir yang mengandalkan kekuatan. Bentuk sempurna dari sihir hewan buas adalah merubah total tubuhnya menjadi hewan buas, namun hal itu tidak terjadi pada diri erlussa.
Aku akan menambah kekuatan direwolf pada lemparan ini. Itulah yang ada dalam pikiran Ferdi sesaat sebelum ia melempar bola karet yang diberikan oleh pak Rudi.
"Mati Kau....... ", Ferdi berteriak dan melempar bola karet itu dengan penuh tenaga, terbang jauh ke langit.
"Pertama, kalian harus bisa memahami batasan kalian, itukah cara yang paling tepat untuk membentuk dasar dari seseorang penyihir yang hebat", Pak Rudi menunjukan sebuah alat penghitung jarak lemparan kepada seluruh siswa. Pada alat itu tertera angka yang cukup jauh yaitu 305, 6 yang artinya adalah lemparan bola karet ferdi yang di sertai dengan sihir itu mampu terlempar begitu jauh hingga 305,6 meter.
"woooooouuuu", seluruh siswa berteriak melihat hasil lemparan ferdi yang sangat jauh. Tentu saja hal itu tak akan mungkin di lakukan jika tidak menggunakan sihirnya.
" Yang benar saja, lemparannya bisa mencapai 300 meter, ternyata tidak hanya perilakunya saja yang buruk, tapi kekuatan sihirnya sangatlah baik "
" Apa ini, apa ini sepertinya sangat menyenangkan?"
" Kita boleh menggunakan sihir kita sesuka kita, sekolah sihir memang hebat "
Setelah melihat peragaan yang di lakukan oleh Erlusa, mengkombinasikan kekuatan fisik dengan sihir, seluruh siswa yang awalnya gelisah terhadap tes penilaian sihir, kini menjadi begitu antusias.
"Menyenangkan ya ?"
Semua siswa kembali terdiam.
"Kalian memiliki tiga tahun sebelum menjadi penyihir berlisensi, apakah kalian ingin terus seperti ini selama tiga tahun tersebut, baiklah... bagaimana jika siapapun yang menempati posisi terakhir dalam penilaian sihir ini akan di hukum dan dinyatakan sangat tidak berpotensi serta akan di keluarkan?", pak rudi tersenyum licik.
"Haaaahhhhh.........?"
Description: Kisah Rinesis berpusat kepada Yorai Kuro, seorang siswa SMA yang hidupnya biasa aja. Kuro bersekolah dalam sebuah sekolah sihir yang telah menerapkan teknologi mutakhir dalam penggunaan sihir. Namun di sekolah tersebut Kuro masuk dalam kelas kelas biasa yang berisikan siswa-siswa tak berbakat tentang sihir. Bagaimana kah Kuro menjalani hari-hari di sekolah tersebut?
|
Title: Rumah untuk Hatiku
Category: Novel
Text:
Seniorku
"Cukup untuk hari ini. Mari kita pulang." Aku tak berkedip. Bahkan semenjak dia berlalu dari hadapanku, aku belum berniat untuk segera beranjak. Tiga puluh detik kemudian, aku berlari ke arah jendela kaca yang tak jauh dari kursi yang kududuki dari tadi dan dengan bodohnya berniat untuk mengintip Rehagana. Ya, kalau tak salah sebut, itu namanya.***Pagi tadi, aku tak menyangka akan bangun kesiangan padahal ini hari pertamaku kerja. Sial. Berkali-kali aku merutuk diri yang terlalu gegabah lupa memasang alarm. Tak sesuai harapan, aku terlambat masuk kerja bahkan pada hari pertama aku dinyatakan diterima di perusahaan ini.Aku berhambur memasuki pintu saat sekilas aku melihat kilat pandang aneh dari dua resepsionis yang beradu pandang, mungkin mereka sedikit bingung dengan orang asing yang nongol dan bergegas tak wajar dengan langkah terburu-buru. Mereka pasti lupa dengan wajahku padahal baru dua hari yang lalu aku datang untuk test wawancara sesuai panggilan HRD. Ya, sudahlah. Tak semua orang juga harus mengenal orang biasa sepertiku.Tak kusangka-sangka, saat tiba di kantor, seorang senior yang mengaku bernama Rehagana itu sudah menunggu."Selamat datang. Ini hari kerja pertamamu, kan?""Iya, maaf, Pak, terlambat. Tadi... di jalan...." aku mencoba untuk memberi alasan yang tepat selain karena bangun kesiangan. Sangat tidak bermutu kalau mengaku bangun kesiangan sama teman sekerja yang baru dikenal."Tidak masalah. Langsung masuk saja." Dia membawaku menuju sebuah ruang kerja yang rapi. Ruang kerja impianku sejak dulu adalah ruang yang seperti ini. Hening dan kesejukan dari AC yang tak jauh dari meja kerjaku yang sudah diatur sedemikian rupa membuatku senang. Aku tersenyum simpul sekilas lupa tentang rekan yang sedang mengarahkan aku ke sini."Ini ruang kerjamu mulai hari ini. Kalau letaknya tidak sesuai dengan keinginan kamu, bisa diubah seperti yang kamu inginkan. Kita akan mengerjakan proyek yang rumit, buat dirimu senyaman mungkin supaya setiap usaha optimalmu berbuah menjadi hasil maksimal."Aku mengangguk. Aku senang dengan arahan itu. Kesan pertama, aku bisa mengambil kesimpulan, Rehagana adalah seorang pekerja yang smart. Jadi, tak terlalu mengherankan jika pada usia semuda dia, dia sudah menjadi pekerja yang matang dan bisa diandalkan di perusahaan ini.Secara pribadi, profesi ini adalah impianku. Ini menjadi alasan yang memberiku keyakinan tak akan sulit untuk beradaptasi di sini. Apalagi yang lebih bisa diandalkan selain rasa bahagia karena bekerja sesuai hobi? Ah, senangnya."Eh, tapi, apa tidak masalah dengan keterlambatan saya?"Dia tersenyum sangat tulus."Hari ini saya menjamin. Karena saya yakin, besok kamu tak akan mengulanginya." Aku tersipu. Rona merah di wajah sedikit menyengat. Hei, seniorku ini sangat manis. Mudah-mudahan aku tidak sedang bermimpi. Karena jujur saja, sejak dahulu karena terinspirasi dari kegiatan ospek sekolahku pada masa orientasi yang cukup barbar, aku selalu merasa bahwa senior selalu punya cara untuk menjadi jahat. Mungkin hari ini, aku harus menghapus beberapa hal dari ingatanku dan menggantinya dengan quote yang lebih berfaedah. Ingatan tentang senior barbar di zaman SMA harus digantikan dengan pengalaman kerja hari pertama dan bertemu dengan senior yang perlakuannya manis seperti Rehagana. Menjadi satu fakta tak terbantahkan bahwa senior tak selamanya tentang arogansi. Hari ini, faktanya bisa kubuktikan sendiri.***"Hendak bermalam di kantor? Menikmati euforia kantor di hari pertama?"Aku tercekat. Rehagana muncul di balik pintu. Dia balik lagi ke ruang kerjanya setelah sudah sampai di garasi dia kelupaan belum membawa berkas laporan kerjanya hari ini."Eh... Saya akan pulang." Aku merasa sedikit kikuk mendapati Rehagana yang masih berdiri di pintu."Ya, pulanglah. Saya ke sini karena melihat ruang kerjamu yang belum terkunci. Saya hanya ingin memastikan kamu sudah paham jadwal kerja kita."Benar, tadi siang dia sudah menjelaskan panjang kali lebar tentang aturan, kewajiban, dan warna sari seputar kehidupan kantor. Rehagana sebagai rekan senior ditunjuk untuk mengarahkanku selama masa adaptasi."Ayo, saya antar kamu ke rumah." Aku membalikkan badan saat tahu yang berdiri di belakangku adalah Rehagana. "Oh, tidak perlu, Pak. Saya dijemput.""Siapa yang jemput?""Eng... Saudara."Aku menemukan jawaban yang asal muncul di kepalaku."Baiklah. Hati-hati. Sampai ketemu besok."Aku mengangguk sambil dengan formal mempersilakan pulang terlebih dahulu.***Aku menyaksikan Rehagana yang mengemudikan mobilnya perlahan setelah pamit. Usia Rehagana lima tahun lebih tua dariku. Itu artinya jika waktu lima tahun lalu bisa diputar, Rehagana adalah fresh graduate polos yang juga belum berpengalaman sama sepertiku. Tadi siang, Rehagana sempat bercerita bahwa dia juga datang dengan tangan kosong ke perusahaan. Bertemu dengan orang-orang baik yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Itu yang menjadi alasan kehangatan Rehagana terhadap semua junior yang butuh bimbingan.Kita tak akan pernah hidup untuk diri sendiri. Selalu ada cara Tuhan membuat kita hidup terikat dengan sesama. Jadi, anggap saya sebagai rekan jangan sebagai senior supaya tidak canggung.Ucapan itu terngiang di pikiranku. Apa benar ada makhluk hidup semalaikat itu?"Sa, buruan naik. Dari tadi malah bengong.""Eh, akhirnya kamu datang juga. Lama, ih." Aku pura-pura memberengut.Grisela temanku yang sangat baik. Dia teman kuliahku dari awal semester hingga sekarang. Kedekatan kami karena sering ada di kelompok belajar yang sama.Di semester awal perkuliahan, hampir semua mata kuliah, kami dibentuk dalam kelompok belajar yang sama. Sejak itu, kami sering bersama-sama karena tuntutan perkuliahan hingga pada akhirnya memutuskan sering jalan bareng, makan juga bareng. Mungkin kebiasaan bisa menjadi akar sebuah kenyamanan. Dari sana, kami menjadi teman dekat. Bahkan, sedekat ini hingga setelah kami sudah wisuda, kami masih selalu menyempatkan untuk pergi bareng ke mana pun kami ingin.Entahlah, takdir mungkin seperti itu.
***"Yang tadi siapa?" Grisela memecah keheningan setelah mobil berjalan mulus di jalan raya."Yang mana?""Yang kamu liatin sampai nggak nyadar aku udah datang.""Oh, rekan.""Rekan tapi jadian?""Heh?" Dahiku berkerut memicingkan mata memandangi Grisela."Itu... tadi kamu liatin seserius itu. Nggak biasanya.""Oh, itu. Astaga, Sel, dia senior yang sangat baik. Sini aku ceritain, deh...."Mobil milik Grisela meluncur sempurna di jalanan dan dua gadis yang berada di dalam semakin terhanyut oleh aroma romansa dari lantunan lagu yang tengah diperdengarkan.
Abstraksi Rasa
Rehagana menatap layar ponselnya. Dia membaringkan diri di atas tempat tidur empuk miliknya. Setelah tadi menyelesaikan laporan yang tak sempat diselesaikan di kantor, Rehagana sepakat dengan dirinya sendiri untuk membuka YouTube.
Belum sempat load, Rehagana tiba-tiba merasa kurang mood lalu memutuskan untuk menjauhkan HP-nya.
Alih-alih sibuk dengan ponsel, Rehagana justru berjibaku dengan pikirannya. Ada seberkas rasa aneh yang terselip di pikirannya beberapa waktu ini. Rehagana juga merasa dia sedikit tak fokus dengan pekerjaannya sehingga tak seperti biasanya dalam minggu ini sudah dua kali dia membawa pulang pekerjaan kantor yang tak selesai dikerjakan hingga jam kantor berakhir.
Bayangan Tarissa berkelabat dalam pikirannya.
Eh, tapi, apa tidak masalah dengan keterlambatan saya?
Pertanyaan itu membayang kembali. Rehagana paham ini perasaan yang tak biasa yang muncul begitu saja. Perasaan tak diundang yang hadir terlalu cepat dari yang seharusnya. Perasaan yang begitu tiba-tiba, setiba-tiba darah Rehagana yang mendesir tak lazim saat Tarissa muncul di depan kantor pada hari pertama.
Sebelumnya, Rehagana memang diberi mandat untuk menangani dan memberikan bimbingan untuk karyawan magang di kantor sejak dua tahun terakhir. Prestasinya yang membanggakan dan kecakapannya menangani setiap pekerjaan dianggap menjadi alasan bahwa dia layak untuk itu. Maka, saat Tarissa pada hari pertama kerjanya terlambat datang dan tak mematuhi jam masuk kantor, Rehagana terkejut dan merasa tak biasa. Biasanya, pegawai magang datang lebih awal di minggu-minggu pertama diterima. Bahkan, beberapa karyawan magang saking nervous-nya kadang datang satu jam atau setengah jam sebelum jam ngantor.
Rehagana menunggu cukup lama. Dia berdecak saat mendengar langkah tertatih dari si pegawai baru. Rehagana mendapati wajah panik dari wajah Tarissa dan... wajah itu setengah memelas menginginkan pengertian.
Rehagana seharusnya tak boleh seperti ini. Namun, untuk beberapa detik, dia malah balik terdiam mendapati Tarissa yang meminta maaf. Wajah itu, entah bagaimana Rehagana menggambarkannya. Tapi, Rehagana memastikan untuk dirinya sendiri, bahwa gadis ini memiliki magnet yang cukup kuat untuk membuatnya terpaku.
Padahal, pagi itu seharusnya Rehagana dijadwalkan untuk memberikan sedikit pengarahan. Karena keterlambatan dan kecanggungan perasaan aneh yang menyelinap, Rehagana memutuskan akan memberikan pendeskripsian kerja setelah jam makan siang.
***
"Pak, maaf mengganggu. Bolehkah saya meminta format file untuk proyek yang tengah kita kerjakan?"
Satu pesan WA masuk ke ponsel. Rehagana tercekat mendapati nama Tarissa di layar. Rasa yang memang kian hari kian bertumbuh menjalari perasaan Rehagana. Dia tahu, bahkan sangat tahu, telah menyukai Tarissa pada pandangan pertama. Cukup unik bagi seorang Rehagana, tapi dia tak berniat menepis perasaan ini.
Dibalasnya pesan WA itu sambil berharap Tarissa memperpanjang pembicaraan. Tapi, topik apalagi yang harus diperpanjang dari sebuah momen meminta file dari rekan kerja?
"Terima kasih, Pak."
Bukannya senang dengan balasan itu, Rehagana justru berputus asa. Balasan yang diharapkan tak dia terima.
Dua bulan berlalu sejak Tarissa hadir di kantor. Pagi adalah momen yang sangat ditunggu-tunggu Rehagana karena dia bisa melihat senyum Tarissa yang sangat alami. Tarissa, juniornya yang sopan, periang, imut, dan sangat menyenangkan. Jam pulang kantor menjadi momok yang menyebalkan. Rehagana bahkan berpikir tak perlu ada malam supaya ada alasannya berlama-lama melihat Tarissa di kantor.
Setiap hari, Rehagana mencari topik yang dinilai tepat dan tak terkesan kekanak-kanakan. Bagaimanapun juga, dia adalah senior dalam ruang lingkup pekerjaan. Sesuka apa dan semenggebu apa pun rasa-rasa yang kadang susah dibentengi oleh Rehagana, dia masih tetap sekuat tenaga membuat dirinya dalam posisi dan porsi yang tak berlebihan. Dia tak ingin Tarissa melihat dirinya sebagai sosok lain, yang kebanyakan ditemukan dalam diri laki-laki yang secara bahasa tubuh menjadi menjengkelkan karena tak bisa menahan diri.
Rehagana yang masih menimang HP mulai gamang. Beberapa detik kemudian, dia akhirnya berniat memperpanjang percakapan via chat itu.
"Sa."
Dorongan rasa itu kuat menghunjam sehingga kali ini Rehagana tak cukup mampu menahan untuk tidak acuh dengan gelojak rasanya.
Terlihat Tarissa sedang mengetik.
"Ada apa, Pak?"
"Besok ada waktu?"
"Besok saya ke kantor, Pak. Seperti yang seharusnya."
Rehagana tersenyum. Ini junior sedang bercanda atau emang polos, Rehagana menggerutu gemas.
"Iya. Semua juga tahu besok ke kantor. Maksud saya, besok kan pulang lebih cepat dari biasanya karena hari Sabtu. Bagaimana kalau kita kuliner? Kamu kan pernah bilang suka kulineran sekalian buang jenuh seminggu kerja."
Rehagana segera meletakkan HP saat melihat pesannya sudah dibaca oleh Tarissa. Dia memejamkan mata, seperti tidak siap dengan balasan penolakan. Balasan tiga detik kemudian terasa seperti tiga puluh tahun di dalam gua.
"Baik, Pak."
Hah!
Rehagana syok. Merasa tak yakin dengan balasan singkat dari Tarissa.
Kesan Pertama
Hari ini, aku sengaja berangkat lebih cepat ke kantor. Aku ingin memastikan beberapa poin yang harus dikerjakan sebelum deadline memburu. Aku berniat membicarakannya dengan Pak Rehagana. Senior yang menjadi teman diskusi selama kurang lebih tiga bulan berada di sini.
Pak Rehagana sangat baik, versiku. Entah dengan penilaian orang lain, tapi menurutku tak akan jauh beda. Dia senior yang sangat senang dengan tukar pikiran. Tak melulu tentang pendapat pribadinya, dia bahkan sangat menghargai perbedaan pandangan. Ini menjadi alasan aku merasa sangat beruntung memiliki tim seperti Pak Rehagana.
Malam Sabtu saat aku meminta file ke Pak Rehagana sebenarnya adalah malam yang cukup membuatku gamang. Aku sedang berada di dilema karena beberapa proyek yang akan kami kerjakan tak selaras dengan secuil kemampuan dan pengalamanku yang begitu minim. Sehingga, saat Pak Rehagana tiba-tiba meminta untuk kulineran sepulang kerja keesokan harinya, aku menganggap itu seperti cahaya.
Kami sibuk berdiskusi walaupun tema ajakan Pak Rehagana adalah kulineran. Usia yang tak terpaut terlalu jauh membuatku tak sungkan bertanya banyak. Aku ingin belajar banyak dari kerendahan hati dan kemampuan Pak Rehagana yang di atas garis rata-rata. Memiliki senior seperti dia adalah berkas sinar yang tak padam setiap harinya.
***
Kuketuk ruang kerja Pak Rehagana. Dua kali tak ada sahutan. Ketiga kalinya, saat aku sudah balik kanan menuju ke ruang kerjaku, Pak Rehagana muncul di depanku. Kedatangannya dari belakang, yang sama sekali tidak aku tahu, membuatku hampir saja menabrak tubuh jangkung Pak Rehagana. Jarak kami begitu dekat.
Mataku melebar, jantungku terasa berdebar, diiringi warna pipi yang mulai berubah. Aku tak akan berani membayangkan jika seandainya selangkah lagi aku melangkah pasti akan benar-benar menabrak Pak Rehagana. Alangkah lancangnya seorang junior sepertiku jika hal itu terjadi.
"Sa, ada apa kemari pagi-pagi?" Suara Pak Rehagana begitu menenangkan. Tak ada nada intimidasi di sana.
"Ini... Pak. Saya tadi berniat hendak berdiskusi tentang proyek terakhir yang akan kita kerjakan untuk bulan ini." Aku menguatkan hati untuk tak terlalu kentara memperlihatkan betapa memalukannya kejadian barusan bagiku.
"Oh, itu. Baiklah. Mari masuk ke ruangan saya."
Aku mengangguk. Sebenarnya, aku butuh udara sejuk untuk dihirup minimal tiga-empat detik saja. Tapi, tentu sangat konyol kalau aku pamit tiga-empat detik untuk itu. Aku menuruti Pak Rehagana. Mengikutinya dengan langkah kaki yang sama, takut kejadian barusan terulang kembali.
"Kamu mau berdiskusi tentang apa?"
Aku menunjukkan sebuah file di layar HP-ku. Sebuah proyek akhir untuk bulan ini yang membuatku sulit terpejam beberapa hari ini. Proyek ini adalah nafas buatan bagi perusahaan. Itu artinya kegagalan kami menanganinya akan menjadi pengaruh besar.
Minggu lalu, melalui presentasi, Pak Rehagana sudah memaparkan perincian proyek di depan staf kantor. Dasar aku, yang punya ilmu cetek masih harus butuh penjelasan lebih dasar dengan bahasa yang ringan. Pak Rehagana tak keberatan jika aku berkali-kali bertanya. Dan, aku merasa tak masalah jika memanfaatkan situasi itu.
"Ini konsepnya sudah hampir rampung. Sudah pas dengan keinginan perusahaan. Jadi, lanjutkan saja. Untuk fix-nya, nanti siang kamu tunjukkan lagi." Pak Rehagana menutup diskusi setelah hampir 30 menit memberi pengarahan apa-apa saja yang masih kurang lengkap.
"Baik, Pak." Aku merasa cukup untuk kali ini dan memutuskan untuk pamit. "Saya pamit, Pak. Terima kasih atas masukan dan waktunya."
Pak Rehagana tersenyum ramah menyiratkan ketulusan. Aku membalas sembari berdiri dari sofa yang sedari tadi aku duduki.
"Hei, Bro. Pagi-pagi udah sibuk aja." Belum sempat aku membalikkan badan, aku mendengar suara seorang tamu yang menyapa Pak Rehagana dengan bahasa ringan.
"Eh, Ga. Tumben nongol sepagi ini." Pak Rehagana menyahut.
Aku melangkah berniat mau keluar sambil membungkukkan badan untuk sebuah sopan santun.
"Wah, jadi nggak enakan, nih. Aku datang tamumu jadi keluar." Suaranya menyiratkan penyesalan.
"Eh. Sa, nggak usah buru-buru. Masih terlalu pagi untuk bekerja. Ngobrol bareng kita aja dulu di sini." Itu suara Pak Rehagana yang memintaku untuk kembali duduk. Sangat tidak sopan untuk menolak sehingga kuputuskan untuk duduk kembali.
Aku melihat Pak Rehagana yang tersenyum manis. Lewat matanya seperti mengucapkan rasa terima kasih. Aku menunduk sopan membalas sambutan keduanya buatku pagi ini.
"Sa, Ga, kenalan dulu dong. Masa niat ngobrol nggak saling kenal." Pak Rehagana membumbui canda dalam ucapannya. Tamu Pak Rehagana mengulurkan tangannya.
"Dirga Kusuma Putra." Dia tersenyum ramah. "Panggil Dirga saja." Aku mengangguk.
"Tarissa."
"Esnya berapa?"
"Eh?" Aku mengernyit tak paham.
"Di barisan namamu, huruf s-nya ada berapa?"
"Oh, itu. Dua." Aku yang awalnya bingung sontak paham dia sedang bercanda.
"Kalau cuma dua, kamu nggak papa kan, Re, kalau nggak dapat bagian?"
Pak Rehagana tertawa sejenak. Dia sepertinya sudah terbiasa dengan candaan tamunya itu.
"Dirga ini teman lamaku, Sa. Meskipun kami beda jurusan, kami bersahabat sejak kuliah karena dipertemukan di komunitas yang sama di kampus. Kami selalu mencoba peruntungan di satu tempat yang sama dan mungkin karena sebuah takdir yang menginginkan kami bersama, seperti yang kamu lihat sekarang kami sama-sama ada di sini."
"Oh, kerja di perusahaan juga?"
"Iya."
"Wah, maaf, saya tak pernah melihat Bapak sebelum ini." Aku merasa bersalah karena tidak saling mengenal rekan kerja.
"Dia dari tim yang berbeda dengan kita."
"Iya. Kalau kita satu tim, takdirmu bukan bertemu dengan Rehagana, tapi denganku." Aku tersenyum tak membantah. "Oh, ya, Sa, nggak usah panggil Bapak. Panggil nama saja biar terasa dekat seperti teman."
Tentang Suara Hati
Rehagana sibuk dengan syal yang dia kenakan di lehernya. Dia sesekali tersenyum saat melihatku menunggunya memperbaiki syal garis-garis biru muda dan hitam itu.
"Kenapa harus pake syal. Ribet amat." Aku tertawa.
Sejak hadirnya Dirga di pagi setelah kami menyelesaikan diskusi, kami sepakat untuk tak menjalin sapaan formal di luar kantor.
Rehagana yang dewasa sangat tahu membawa diri. Dia menyikapi hal secara profesional. Seperti hari ini, dia bertindak menjadi teman bagiku, sangat jauh dari perlakuan saat di kantor saat dia menjadi seorang senior berpengalaman.
Namun, tentu saja ada yang beda setelah aku dan Rehagana sering jalan sepulang kerja atau saat libur. Suasana menjadi sedikit rileks dan tak terlalu kaku seperti minggu-minggu pertama kerja. Memang, harus diakui, tak butuh waktu lama untuk terlalu canggung memiliki teman tim seperti dia karena dia sangat bisa mencairkan suasana.
Aku sering tak habis pikir, sebaik ini cara Tuhan bekerja. Memberikan senior yang seperti Rehagana adalah bukti kebaikan yang bukan sekadar opini. Ini nyata. Kebaikan Rehagana sangat nyata bagiku. Aku mengimpikan rasa damai yang seperti ini dan sangat kutemui saat bersama Rehagana.
"Sa."
Aku tak menyahut.
Rupanya, Rehagana sudah selesai dengan urusan syal rempongnya. Giliranku yang sibuk membereskan rambut sebahuku agar tak terlalu berantakan. Angin malam menelisik dengan cukup berisik. Sialnya, aku kelupaan membawa ikat rambutku sehingga aku benar-benar dibuat kewalahan oleh angin yang bertiup kencang.
"Nih."
Aku mendongak. Dahiku mengerut melihat di tangan Rehagana ada karet gelang berwarna merah cerah.
"Buat apa?"
"Ikat rambutmu. Kita mau makan biar nggak repot ngurusin rambut." Rehagana senyum simpul.
Apaan!
Namun, aku menurut kata-kata Rehagana. Memungut karet gelang dari tangannya lalu menggulung rambutku.
Sekejap setelah itu, Rehagana segera berlalu memesan makanan gerobak kesukaan kami yang tak jauh dari tempat kami duduk.
Aku sudah beberapa kali datang ke sini bersama Rehagana. Jadi, tempat ini tak terlalu asing lagi. Suasana malam di kota sangat gerah, tapi kegerahan itu akan segera teratasi karena malam hari seputaran Jalan Jamin Sari akan menciptakan nuansa istimewa. Tempat ini rame anak-anak muda. Menghirup udara bebas karena sengaja dibuat terasing dari kehidupan lalu lintas yang serba berdebu. Di sini juga, jajanan olahan khas tradisional dipertontonkan. Sangat asyik.
"Kamu suka ini?" Rehagana menunjukkan seporsi sate madura. Aku mengangguk lantas membalas uluran tangan Rehagana menyambut sate di tangannya.
"Makasih."
Tak berapa lama, Rehagana datang lagi membawa jenis makanan baru di tangannya. Aroma bakso menguar. Ya, Rehagana tak akan pernah melewatkan bakso kuah Pak Marhan jika sudah berada di sini. Suatu hari, Rehagana pernah bilang bahwa kuah bakso Pak Marhan senikmat seseorang yang sedang jatuh cinta. Di luar enak yang umum, yang artinya itu sangat enak.
***
Pukul 20.15
Aku dan Rehagana berjalan berdampingan. Kami sambil memperhatikan makanan-makanan yang belum sempat kami cicip jika sewaktu-waktu kami tertarik tinggal melangkah dengan pasti ke penjual. Berada di tempat ini seperti berada di pasar kaget. Banyak makanan, sederhana tapi enak, dan riuh. Keriuhan ini terasa menyenangkan ditambah suasana malam dengan angin alaminya. Ini lebih kunikmati dari sekadar dinner di restoran mewah, menonton di bioskop, dan hiburan sejajarnya.
"Sa."
"Iya?"
"Boleh kita singgah sebentar di sana?"
"Tentu." Aku melangkah duluan. Itu adalah taman mini yang dihias sedemikian sehingga bisa tetap ramai dan biasanya ditutup hampir tengah malam.
Rehagana mengambil posisi duduk di sampingku. Dia menghela napas.
"Sore atau malam di sini sama aja. Sama-sama menenangkan." Aku berkata sesaat setelah duduk di sebuah bangku taman. Rehagana terdiam seolah butuh waktu untuk melihat sekitar taman hijau yang dipelihara dengan baik.
Sekilas aku mengingat saat kemari bertiga dengan Dirga. Itu adalah momen aku pertama kalinya datang ke sini. Saat itu, kami datangnya sore dan memutuskan untuk ke taman dulu sebelum kulineran.
Tentang kulineran, belakangan aku tahu dari Dirga bahwa sebelum aku ada di kantor, itu sudah menjadi ritual yang selalu dilakukan oleh Rehagana dan Dirga. Jadi, tak ada yang berubah. Hanya saja, akhir-akhir ini aku ikut gabung di antara mereka.
"Malam lebih menenangkan, bukan?" Rehagana seperti mengajak debat kali ini. Aku tertawa lalu mengangguk saja tanpa berniat melanjutkan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Toh, itu penilaian yang subjektif yang kurasa siapa pun sepakat untuk tak mempermasalahkannya.
"Jika kamu disuruh memilih, datang ke sini ketiga kalinya, kamu maunya datang sore atau malam?"
Aku melirik sekilas ke arah Rehagana. Kutemukan rasa penasaran dari balik tatapannya dan itu membuatku sedikit terkejut.
"Ada apa, sih, dengan sore atau malam?" Aku sedikit bercanda walau kulihat wajah Rehagana tak terlalu merespons candaan itu. "Sore atau malam sama saja, Re. Yang dibutuhkan hanya suasana hati aja."
"Suasana hati?"
"Iya. Ada yang salah dengan jawabanku?" Aku menyelidik.
"Enggak, sih. Nggak salah." Rehagana terdiam sesaat. "Tapi, kamu seolah mau bilang suasana hatimu saat datang bertiga dengan Dirga lebih bagus dari suasana hati yang sekarang."
Aku tercekat. Kenapa Rehagana tiba-tiba berbicara seperti ini? Bukankah dia tahu bahwa aku sangat menghargai pertemanan dengan dia? Bahkan, aku sangat bersyukur karena selain menjadi senior, aku menganggapnya menjadi teman baru yang sangat hangat untuk beberapa waktu ini.
Menunda Jawab
Rehagana menimang dalgona coffee yang ada di tangannya. Kopi yang dipadu dengan susu putih cair dibuatkan oleh Qirana atas rekomendasi Dirga. Qirana adalah seorang yang bertugas semacam asisten kantor. Setiap pagi, dia biasanya akan membuatkan minuman untuk staf kantor. Dia juga membantu para staf untuk mengantar berkas dalam bentuk dokumen yang sebelumnya sudah di-print out .
Dirga dan Rehagana mengobrol di ruang kerja Rehagana.
"Kopi ini sedang viral beberapa waktu ini." Dirga membuka pembicaraan sambil menyesap kopi dari gelas miliknya. Rehagana mengangguk. Dia juga sempat melihat seorang youtuber yang mempraktikkan cara membuat dalgona, tapi tak berniat menontonnya.
" Aku tak penyuka kopi, seperti yang kau tahu. Tapi, yang ini rasanya cukup menjanjikan, sih."
Dirga membenarkan. Dia sendiri penyuka kopi walaupun belum tergolong penggila.
***
Lima menit berlalu, Qirana datang membawa sebuah berkas.
"Titipan dari Mbak Tarissa, Pak."
Rehagana agak mendelik. Mendengar nama Tarissa entah kenapa membuat jantungnya seperti tak biasa. Dia sudah menyadarinya sejak lama, tapi semakin hari semakin susah untuk dibendung.
"Letakkan saja di meja."
"Iya, Pak."
"Terima kasih, ya."
Qirana mengangguk formal dan pamit.
"Jadi, kita mau bahas apa pagi ini?"
Semalam, sudah pukul 23.15 saat pesan chat Rehagana masuk ke telepon genggam Dirga.
"Ga, besok datang cepat. Aku mau ngomongin sesuatu." Dirga agak curiga. Tak biasanya Rehagana seperti itu. Walaupun biasa juga mereka berdiskusi banyak hal, tapi itu adalah momen refleks yang mereka punya tanpa adanya penyusunan waktu. Mereka akan mengobrol kapan pun mereka mau, tergantung waktu dan kesibukan masing-masing. Karena itu, Dirga merasa ada sesuatu hal yang akan disampaikan oleh Rehagana.
"Oh, itu..." Rehagana sedikit salah tingkah. Dirga cukup mengenal sahabatnya itu karena mereka sudah sangat dekat sejak kuliah.
"Apa?" Dirga menatap serius wajah Rehagana. "Jangan bilang mau menyatakan perasaan samaku."
Sontak, Rehagana terbahak. Seperti mencairkan es yang tiba-tiba membatu di beberapa detik terakhir.
"Sekalipun wanita musnah dari muka bumi ini, tidak akan mungkin aku mencintaimu, Ga."
"Terus apa? Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan, kan?"
"Ini tentang liburan kita, sih."
"Liburan?"
"Iya. Minggu depan, kan, ada hari libur. Gimana kalau kita ke Pantai Mahona? Udah lama juga liburannya sekadar kulineran di kota. Bosan." Wajah Rehagana binar. "Kita bertiga. Sama Tarissa."
"Wah, ide bagus." Dirga mengacung jempol. Dia juga merasa sudah lama nggak main jauh seperti yang dulu sering mereka lakukan saat masih menjadi mahasiswa. "Tapi, tumben kamu sepeduli ini sama liburan?"
"Kamu aja yang nggak peka. Aku selalu peduli, kok." Rehagana nyengir. Dibalas Dirga dengan tatapan jijik.
"Peduli liburan, bego. Bukan peduli samaku. Kalau samaku, kan, emang sejak lama kamu memendam rasa cintamu."
Sekarang, Rehagana yang memandang jijik ke arah Dirga.
"Yang terhormat Dirga Kusuma Putra. Sekali lagi saya ucapkan, sekalipun wanita musnah dari muka bumi ini, tak akan ada rasa cintaku untukmu."
Mereka berdua terbahak. Kesengklekan selalu muncul pada saat yang sudah ditakdirkan.
Namun, tawa kali ini menyiratkan satu tanda yang entah hanya dibenarkan oleh feeling saja. Rehagana cukup fasih menyimpan beberapa hal dalam hidupnya. Sayangnya, sudah seharusnya dia menyadari, Dirga tak hanya setahun dua tahun mengenalnya. Dia mengenal Rehagana bukan sekadar batas waktu kapan mereka bertemu.
Rehagana berbohong untuk pertama kalinya.
Cinta dalam Sunyi
"Sebaiknya, semua laporan di simpan dalam satu berkas. O, ya, jangan lupa segera dirampungkan juga untuk perancangan laporan seminggu ke depan."
"Bagaimana dengan laporan yang belum masuk hari ini, Pak?"
"Kamu, kan, tinggal mengingatkan saja, Qir. Kamu hubungi dari WA saja. Terlalu ribet menjumpai satu per satu."
"Baiklah, Pak."
"Iya."
Qirana berlalu.
"O, Qir." Qirana hampir menghilang dari daun pintu saat Rehagana memanggilnya. Dia melongok untuk memastikan dia sedang dipanggil.
"Ada apa, Pak?"
"Boleh minta tolong?"
"Iya, Pak?"
"Bilang ke Tarissa sore ini ada rapat tim. Pukul 15.00."
Qirana memicingkan mata.
"Mbak Tarissa aja, Pak? Bagaimana dengan anggota tim lain?"
"Yang lain nanti menyusul. Biar saya yang sampaikan dari WA."
"Mbak Tarissa tidak punya WA begitu?"
Rehagana tersadar akan sesuatu hal. Dia segera bertindak. Mengambil satu map dari lacinya.
"Ini serahkan sama Tarissa juga."
"Oh, iya, Pak."
***
Qirana keluar setelah sekali lagi memandangi pintu ruang kerja Rehagana yang sudah ditutup. Matanya berkaca-kaca. Entahlah. Sudah beberapa minggu ini dia pura-pura untuk tidak menyadari hal itu. Menyadari fakta menyakitkan bahwa dia tak akan pernah terpilih untuk berada di hati Rehagana.
Qirana kembali mengenang masa lalu. Beberapa bulan setelah dia tersadar menyukai Rehagana. Rehagana yang sangat maskulin dan tipe pekerja serius itu sangat menarik perhatian Qirana. Qirana menyimpan perasaan itu untuk diri sendiri sambil berharap bahwa Rehagana akan menyadarinya suatu saat.
Qirana tipikal wanita yang sangat percaya bahwa kodrat wanita adalah penantian. Maka, dia bersabar menunggu sambil jantungnya yang berdebar tak keruan berusaha diabaikan setiap dia membayangkan masa itu akan tiba dan penantiannya tidak akan sia-sia.
Hingga beberapa bulan terakhir, Qirana menyadari satu hal dan untuk pertama kalinya merasa pesimis. Dia melihat cinta di mata Rehagana bukan untuk dirinya. Satu fakta yang mau tak mau harus diterima oleh Qirana adalah bahwa dia tak pernah dilirik oleh Rehagana. Hanya dia yang mengimpikan lelaki itu, sementara pihak Rehagana tidak.
Qirana mengenal Rehagana sejak dua tahun yang lalu. Dan sejauh itu dia memendam isi hatinya yang menggebu mencintai Rehagana. Dan, dia tahu akan sangat sulit mendapatkan hati itu. Dia tahu Rehagana. Akan tak mudah baginya untuk berjuang, tapi saat itu tak berniat sekalipun untuk menyerah lalu berhenti.
Namun, sekali ini, dia merasa gamang. Rehagana menjadi sosok asing. Berbeda dengan Rehagana yang selama ini dikenalnya. Setiap hari untuk beberapa bulan terakhir Rehagana memancarkan aura lain yang selama ini tak perah dipertunjukkan kepada Qirana. Qirana hanya menikmati sikap formal Rehagana selama ini. Dan Tarissa mendapat sikap formal yang hangat bahkan sejak melangkah di perusahaan dengan catatan terlambat pada hari pertama kerja.
Qirana merasa putus asa. Dia merasakan ketidakadilan yang sangat nyata baginya.
Apa kabar hati yang selama ini setia menunggu? Apa rasanya mendapat porsi kemanusiaan yang super standar saat Tarissa malah mendapat sesuatu yang istimewa?
Air mata Qirana terjatuh. Namun, langkahnya masih tegap melangkah ke ruangan Tarissa dan mendekap map yang tadi diserahkan Rehagana. Satu derap langkah menjadi satu godam baginya. Semakin dekat ke ruangan Tarissa, rasa sakit itu semakin nyata. Begini rasanya mencintai sekian lama dan akan kehilangan untuk selamanya. Mungkin.
***
Aku tersenyum hangat menyambut kedatangan Qirana.
"Ini, Mbak. Berkas dari Pak Rehagana."
Qirana mengulurkan tangannya untuk mengambil map biru muda itu.
"Terima kasih, Qir."
"Sama-sama, Mbak." Qirana mengangguk sopan. "O, ya, Mbak. Ada pesan dari Pak Rehagana. Pukul 15.00 nanti ada rapat tim."
"Oh. Iya. Terima kasih."
Qirana bergeming. Walaupun sudah tak ada lagi hal yang harus diperbincangkan, dia seperti enggan melangkah. Sementara aku sibuk menatap layar komputer di depan karena hari ini pekerjaan lumayan banyak.
Aku yang baru menyadari Qirana masih duduk di depanku segera terperanjat.
"Ada apa, Qir? Ada hal yang ingin kamu sampaikan?" Aku bertanya. Was-was. Sorot mata Qirana sangat keruh. Lingkar hitam terbentuk di matanya. Sepertinya, semalaman Qirana hanya tidur dua jam.
"Qirana ada masalah?"
Qirana hanya menggeleng. Sembari memberikan permohonan maaf dan pamit, dia berlalu. Aku memandangi punggungnya. Merasa tak yakin dia baik-baik saja.
***
Aku dan Qirana hanya sebatas rekan kerja. Kami memang sering menjalin komunikasi, tapi itu jalinan komunikasi versi formal. Aku tak terlalu memahami apa yang sedang terjadi dan mengapa hari ini dia tiba-tiba bertingkah tak lazim. Biasanya, Qirana hanya menunjukkan hal seputar pekerjaan. Tak lebih. Dan aku menyukai sikap formal Qirana karena aku juga memandang setiap individu memiliki porsi karakter yang berbeda-beda untuk sesama. Bisa saja Qirana hanya menganggap rekan kerja hanya sebatas rekan kerja. Tentu saja berbeda dengan Rehagana dan Dirga. Keduanya menganggapku sebagai teman jika di luar kantor. Semua tak ada yang salah.
Namun, kali ini, karena hal yang tak biasanya terjadi, aku masih tak memahami. Terlalu asing Qirana sehari-harinya. Aku penasaran. Karena itu, saat Qirana sudah menutup pintu, Qirana segera berlari dan mengikuti gadis itu.
Benar dugaanku. Pasti Qirana sedang menghadapi masalah sehingga dia bersikap seperti itu. Aku mendengar isakan Qirana sambil melangkah. Langkahnya terlihat rapug karena dia sesekali menahan untuk tidak sesenggukan. Aku merasa miris.
Qirana butuh teman untuk membagi masalah yang tengah dihadapinya, aku meringus sendiri. Tapi masalah apa? Qirana seperti enggan untuk membicarakannya denganku, padahal aku akan membantu jika dia ingin.
Aku berdiri dan merasa konyol karrn tak tahu harus berbuat apa. Aku kembali ke ruangan, lalu memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan. Jik bertemu dengan Qirana nanti, aku ingin menanyakan masalahnya. Aku merasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertanya ini-itu. Qirana butuh sendiri. Jadi, nanti saja kalau dia sudah merasa baikan.
Aku masih memandangi map di atas meja sambil tangisan Qirana masih membayangi pikiranku. Sepersekian sekon, kuambil map itu lalu membukanya.
"Sa, jam tiga kita rapat, ya."
Dahiku berkerut memandangi tulisan tangan Rehagana. Demi apa dia meribetkan diri menulis ini lalu membuat di sebuah map seolah ini adakah berkas negara yang sangat rahasia. Aku merasa Rehagana sedikit berlebihan. Dari WA juga bisa mengabarkan itu.
Beberapa detik kemudian, aku melihat ada pesan masuk ke WA grup tim.
"Mohon meluangkan waktu untuk rapat pukul 15.00. Terima kasih."
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tak habis pikir. Rehagana menggunakan satu map hanya untuk menulis ini. Dasar boros. Meskipun demikian, aku tetap tersenyum tak mengerti. Kadang Rehagana memang sekonyol itu.
Aku terperangah seperti menyadari satu hal. Setelah detik yang lalu waktuku kupakai untuk bertanya-tanya, jawaban kini terpampang nyata di depanku.
Ada yang salah di sini. Ya, aku harus merampungkan ini, sesegera mungkin.
Qirana
Qirana terdiam. Lima belas menit yang berakhir cukup panjang, dia masih saja nyaman dengan kediamannya meskipun rasa kalut terpampang nyata dari pancaran matanya.
Pada jam makan siang, aku memutuskan untuk menjumpai Qirana setelah memastikan dia tak keberatan.
"Kenapa, Qir?"
Qirana lebih muda setahun dariku. Dia bekerja paruh waktu sambil kuliah. Sebenarnya, jika itu orang lain, perusahaan akan sulit memberi izin, tapi kebetulan Pak Soni, yang memiliki kedudukan yang tinggi di perusahaan yang langsung minta izin sehingga direktur memberi kesempatan buat Qirana.
Qirana gadis manis. Dia juga tanggap dengan pekerjaannya. Menurut cerita Rehagana, orang tua Qirana tinggal di sebuah kampung kecil sehingga tak cukup sanggup untuk memberikan bulanan untuk menghidupi Qirana di kota. Karena itu, Qirana sebagai anak pertama mengambil inisiatif sendiri bahwa dia akan hidup mandiri asalkan bisa menamatkan kuliahnya. Sebelumnya, Qirana sudah pernah bekerja di tempat lain. Namun, penghasilan bulanan tetap kurang dan dia tak diberikan memilih membagi waktu kuliah dan kerja sehingga memutuskan untuk resign. Kebetulan saja Pak Soni siap membantu meskipun hanya keluarga jauh yang kebetulan dikenal oleh ayah Qirana.
"Jangan sungkan. Kamu boleh cerita apa saja sama saya."
"Nggak apa-apa, Mbak. Maaf."
Qirana menunduk, berniat untuk beranjak dari kursinya. Aku yang merasa dia sedang berbohong tiba-tiba berpikir untuk mencegah.
"Qir, kita memang tak sedekat ini, tapi saya tahu kamu ingin cerita, kan? Apa pun itu, ceritalah."
Perlahan, Qirana duduk lagi. Matanya berkaca-kaca. Dia meletakkan tangannya di atas paha dan melipatnya dengan anggun dan sopan. Dia tak terlalu terbuka untuk siapa pun. Aku menyadari itu. Qirana tipikal orang yang tertutup.
Mulut Qirana masih juga terkunci. Aku yang mengahadapi Qirana yang semisteri ini merasa serba salah. Karenanya, aku mencoba menerka-nerka apa yang tengah terjadi pada Qirana hingga aku teringat akan satu hal.
"Baiklah, Qirana. Aku juga tak akan memaksamu untuk cerita." Sebelumnya, aku belum pernah seluwes ini berbicara dengan Qirana. Biasanya kami berbicara formal, tapi sedari tadi untuk mencairkan suasana aku sengaja menggunakan bahasa sehari-hari seperti layaknya berbicara dengan seorang teman. "Tapi, bisa kamu jawab pertanyaanku dengan jujur?"
Qirana menatapku, tapi dengan cepat menundukkan kepalanya.
"Silakan, Mbak."
"Tadi, saat Rehagana memintamu mengantar berkas dalam map, kamu melihat apa yang ada di sana?"
Aku melihat sorot mata Qirana terkejut. Aku bisa memastikan bahwa pertanyaan yang kuajukan adalah pertanyaan yang tak disangka-sangka. Ada semu merah di pipi Qirana.
"Maaf, Mbak. Saya lancang." Rasa bersalah melingkupi seluruh wajahnya.
"Tidak apa, Qir. Aku hanya bertanya. Tidak marah." Aku tersenyum. Sedikit heran dengan reaksi rasa takut berlebihan yang terkuar dari wajah Qirana. Lagian, tak ada rahasia di dalam map itu.
"Qir, satu pertanyaan lagi boleh?"
"Ya, Mbak."
"Kamu cemburu sama saya?"
Qirana terdiam. Kali ini, cukup lama dia membiarkan pertanyaanku menggantung di udara. Aku mendekatkan bibir ke daun telinganya.
"Kamu menyukai Rehagana, kan?"
Aku mendapati Qirana menatapku serba salah. Aku mengusap bahunya lembut dan dia hanya terdiam tak menanggapi.
"Tak harus kamu jawab. Semua sudah sangat jelas, Qir."
"Eng..."
"Kamu cemburu?" Tanyaku selembut mungkin. Qirana semakin menunduk. Aku tahu sekarang. Dia selaku menyiratkan wajah tak biasa saat menjumpai karena tugas dari Rehagana. Setiap aku beristirahat dan makan siang dengan Rehagana, tak sekali dua kali Qirana ketahuan mencuri pandang ke arah kami.
"Sejak kapan, Qir? Sejak kapan kamu menyukai Rehagana?" Aku mempertanyakan sesuatu yang mungkin aku sudah tahu jawabannya. "Kamu tadi berjanji untuk jujur, kan?"
Aku melihat Qirana sebagai sosok yang tengah meneguhkan hati.
"Dua tahun lalu, Mbak." Qirana kembali tertunduk. Kulihat rasa tidak nyaman menguasai dirinya.
Aku hanya tersenyum simpul tanpa memberi respons. Tentu aku sangat menyadari itu. Sambil menelan ludah, aku menguatkan diriku untuk sebisa mungkin memahami bagaimana rasanya menjadi Qirana. Menjadi Qirana yang menunggu selama itu untuk sebuah perasaan tentu tak mudah. Terlebih jika yang dinanti ada di depan mata. Setiap hari.
***
"Maaf, Mbak. Saya tidak pernah berniat membuat Mbak memikirkan ucapan saya. Mohon maaf. Masalah perasaan biar saya kubur sendiri."
Sudah dua kali aku membaca pesan WhatsApp Qirana. Aku tak habis pikir mengapa dia seperti itu. Aku menelan ludah. Sebagaimana Qirana yang tadi siang begitu terkejut saat bisa menebak isi hatinya, aku juga terkejut dengan isi pesan Qirana yang memohon maaf berkali-kali seharian seolah dia adalah pejabat negara yang sadar akan kesalahannya dan bertobat karena telah merampas hak-hak rakyat jelata dan membiarkan orang-orang miskin mati bergelimpangan di jalan raya.
"Kamu tak bersalah, Qir. Kenapa harus minta maaf? Jatuh cinta itu bukan aib. Jatuh cinta sama sekali tak bisa disandingkan dengan kesalahan. Jangan terbebani."
Aku meletakkan HP-ku dengan jarak cukup jauh. Mengusap wajah dengan kedua tangan, bayangan Rehagana muncul perlahan. Senyum itu menghangatkan. Ketulusan yang terpancar dari wajah Rehagana sejak hari pertama menjadi kesan yang tak tanggung-tanggung pasti akan selalu kuingat.
Rehagana.
Aku mengetuk-ngetuk meja. Menimang dan menimbang dalam bayanganku. Qirana cemburu. Bagaimana ini? Teringat saat tadi siang sambil menunduk Qirana mengatakan dia mencintai Rehagana selama dua tahun ini. Bukan waktu yang singkat untuk sebuah penantian. Lalu, aku yang datang beberapa bulan terakhir menjadi duri dalam hati seseorang setiap harinya.
Qirana cemburu. Lantas bagaimana dengan rasa nyaman yang ada di hatiku? Apakah aku tak berhak juga untuk itu?
Waktu yang Salah
Sudah sejak beberapa menit yang lalu aku menatap layar komputer kerjaku dengan tatapan kosong. Aku sedang tak bisa fokus entah karena begitu terenyuh dengan ekspresi Qirana tadi.
"Sa, di mana?"
Aku tersentak karena hampir saja lupa ada rapat dengan tim pukul 15.00.
"Iya. Akan segera ke sana. Maaf."
14.55
Aku melangkah ke ruangan yang biasa digunakan untuk rapat tim. Saat memasuki ruangan, di sana sudah kutemukan rekan-rekan yang tentu saja tak asing lagi. Ini bukan kedelapan aku bekerja di perusahaan, setiap minggunya ini rapat menjadi rutinitas, bahkan jika ada hal penting yang ingin dibicarakan, akan berlangsung rapat dadakan jika itu diperlukan.
"Tumben telat. Banyak kerjaan, Sa?" Viola, teman setimku yang baik hati, menyambutku dan mempersilakan duduk di bangku yang kosong persis di sebelahnya.
Aku sedikit nyengir untuk membalas.
"Enggak. Kelupaan waktu."
Viola tertawa kecil.
"Kamu masih muda sudah lupa waktu." Dia tersenyum hangat seperti biasa. Viola juga merupakan senior di tim kami. Lebih senior dari Rehagana. Dia menikah beberapa bulan lalu dengan teman SD-nya karena saling jatuh cinta saat reuni Lebaran. Itu pengakuan Viola. Dia suka bercerita, sedikit cerewet, dan selalu ceria. Dia hangat dan berdedikasi sehingga banyak orang-orang kantor, khususnya tim, yang menganggap dia sebagai orang yang pantas untuk didengar. Beberapa yang lain saat sedang dalam situasi santai akan saling bercanda lalu menyebutnya sebagai penasihat tim.
Rapat segera dimulai. Seperti biasa, suasana hening akan mengawali rapat sebelum anggota tim saling memberikan argumen tentang beberapa hal yang memerlukan solusi.
Aku sibuk dengan pena yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahku. Mempermainkan pena itu sedemikian. Aku sedang tak fokus dan jujur saja aku mengantuk.
Hingga rapat berakhir, aku bahkan tidak tahu apa yang sedang dibahas.
"Ada masalah?"
Peserta rapat sudah bubar. Rehagana muncul di depanku dan mengambil kursi yang tadi diduduki oleh Viola.
"Hm, kebiasaan datang tiba-tiba. Tidak ada."
Rehagana tertawa.
"Kok, bisa telat tadi?"
"Iya. Nggak tahu. Lupa waktu."
"Masa lupa?"
"Iya. Lupa."
Rehagana tak memperpanjang pertanyaan dan aku juga seperti tak berniat menjawab banyak pertanyaan untuk saat ini.
"Sepulang kerja, kita ke Qozi Sukaeruh, ya."
Aku mengangguk. Kami sudah pernah berkunjung ke Qozi Sukaeruh. Dua kali. Rehagana mengaku terkesan ke sana karena kafe itu didesain dengan unik dan sangat nyaman untuk disinggahi.
***
Setiba di Qozi Sukaeruh, Rehagana memesan makanan lalu duduk di depanku. Kami menikmati makanan sambil sesekali memberi komentar tentang makanan apa yang paling rekomen di kafe ini.
"Kita lupa ngajak Dirga, ya?" Aku merasa Rehagana kelupaan sesuatu.
"Enggaklah. Emang aku tadi berniat cuma kita aja, kok." Rehagana menjawab sambil meneruskan menyisihkan piring dan gelas di hadapannya.
Aku tak menyahut. Lagian, kalaupun mengajak Dirga pasti sudah terlambat dan dia juga sudah pulang duluan.
"Sa."
Rehagana melihat ke arahku.
"Apa?"
"Aku mau kasih tahu sesuatu."
Aku mendongak. Tatapan serius Rehagana membuatku sedikit menyunggingkan senyum. Namun, tiba-tiba aku merasakan satu aliran tak biasa di sini.
"Proyek bulan depan?"
Aku sudah mempelajari beberapa hal dari Rehagana. Beberapa kali dia selalu membicarakan rancangan tugas sebelum dijelaskan di tim dan tak jarang dia meminta solusi. Ah, Rehagana seniorku yang sangat hangat.
"Bukan."
"Jadi, apa?"
Tak terlalu lama Rehagana menyahutku, tapi aku merasa waktu tiba-tiba berjalan dengan sangat lambat.
"Kalian berani datang ke sini tanpaku." Suara itu tiba-tiba memecah keheningan. Dirga melangkah mendekati kami sementara aku masih menunggu jawaban dari Rehagana. Kebetulan ada kursi di sebelahku, Dirga duduk.
"Kirain kamu langsung pulang." Rehagana mengalihkan perhatian.
"Tadi nggak ada rencana ke mari. Tapi, entah kenapa kaki tiba-tiba melangkah. Tau-taunya kalian di sini. Emang jodoh nggak ke mana, ya." Dirga nyengir.
Aku tertawa diikuti dengan Rehagana yang hanya meringis mendengar ucapan Dirga.
"Mau pesan apa?" Aku bertanya. Dirga menatapku sekilas, lalu melihat Rehagana.
"Sudah kupesan." Dia tersenyum mengulum bibirnya. Manis. "Sepertinya kalian sedang menerapkan peribahasa 'sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui'. Iya, kan?"
Rehagana menjawab,
"Kami tadi ingin membicarakan tugas kantor yang belum kelar." Rehagana meraih gelas minuman yang sudah hampir habis dan menyesapnya.
Dirga manggut-manggut seperti seorang murid yang tak butuh penjelasan gurunya lagi. Seolah sudah paham 100 persen. Aku hanya mengiyakan.
Ya, mungkin itu memang yang akan dibicarakan Rehagana. Tapi, apakah ada hasil pekerjaanku yang kurang sesuai dengan ekspektasi sehingga dia seserius itu?
Menunggu Sunset di Pantai Mahona
Aku menerawang ke kejauhan. Kereta api tujuan Pantai Mahona sudah di depan mata. Sekitar setengah jam lagi kereta akan melaju. Namun, batang hidung Dirga dan Rehagana belum kelihatan juga.
Apa zaman sudah kebalik jadi cowok yang lama ber-make up? Percuma aja di kantor disiplin di luar amburadul. Aku mulai sewot. Kulihat ke arah jalan besar untuk memastikan ada wajah Dirga atau Rehagana, tapi tentu saja percuma. Batas jalan raya dengan tempatku berdiri cukup jauh. Belum lagi manusia yang berjibun menghalangi pandanganku.
Hari ini hari libur nasional. Wajar memang banyak yang pergi wisata. Sekadar piknik menjernihkan pikiran dari suasana rutinitas yang tak jarang menjemukan.
"Sa." Teriakan kecil Dirga tentu langsung kukenali.
Aku melihat ke arah Dirga. Dia berjalan mendekat dengan tas kecil yang tersangkut di antara leher dan ketiaknya.
"Mana Rehagana?" Tanya Dirga.
"Tau, tuh. Baru juga aku mau nanya," jawabku ketus.
"Kita tunggu. Siapa tahu macet."
"Lama. Tau macet harusnya percepat berangkat."
Dirga tergelak. Mungkin dia menganggap kekesalan yang kurasakan sebagai lelucon. Dan itu membuatku makin sebal. Aku melihat jam. Sepuluh menit lagi kereta akan berangkat.
"Sabar, Sa. Jangan manyun gitu."
"Ih, gimana mau sabar. Dia ngurusin anak lima apa gimana, sih?"
Kali ini, Dirga terbahak. Tiba-tiba,
"Cerewet. Gemesin kamu." Dia mencubit pipiku. Aku terkejut lalu menjauh. Menutup pipi yang sudah setengah merona, aku duduk di kursi stasiun sementara waktu berangkat kian mepet.
"Maaf, nih. Macet." Rehagana muncul juga. Aku melengos tak peduli sambil mempercepat langkah menuju gerbong.
"Merajuk?" Kudengar Rehagana bertanya berbisik saat mereka berdua berjalan persis di belakangku.
"Iya." Dirga memperkecil suaranya. "Kamu lama, sih. Kayak emak-emak lima anak aja, begitu kata Tarissa tadi." Dirga tergelak dan aku dengar keduanya berbisik tak jelas. Aku tak peduli sambil terus mengambil kursi kosong. Dirga dan Rehagana Mamut saja. Dirga duduk di sebelahku dan Rehagana di belakang kami.
Kereta berjalan.
"Sa." Aku mendengar Rehagana memanggil, tetapi kuabaikan saja.
"Maaf. Jangan marah, dong." Aku ingin tertawa. Siapa juga yang marah? Aku hanya kesal. Sedikit kesal, tak semarah kelihatannya. Akan tetapi, tetap saja. Aku pura-pura tak menghiraukan permintaan maaf Rehagana sebagai pelajaran supaya lain kali dia berpikir dua kali kalau mau datang terlambat.
"Sa." Panggilan Rehagana melembut. Sekarang, dia benar-benar yakin aku sedang serius marah. Aku berdiri dan membalikkan badanku. Sambil tersenyum lebar aku bilang aku tidak marah lagi. Rehagana tertawa. Dia mengacak-acak rambutku.
"Kirain benaran marah," rutuknya pura-pura kesal.
Dirga melirik menyaksikan aku dan Rehagana yang tengah berisik.
"Udah, jangan kelamaan berdiri. Perjalanan jauh nanti kecapekan." Dirga memintaku untuk duduk kembali. Saat melihat rambutku terurai tak beraturan, Dirga mendelik.
"Rambutnya rapiin, Sa. Jelek kalau begitu." Dirga mendekat. Tangannya mengambil beberapa helai rambut yang mengenai wajahku. Meletakkan dengan benar di belakang daun telingaku.
***
Akhirnya, di stasiun kota tujuan kami berhenti. Aku menguap berkali-kali. Merasa bosan dan lapar.
"Kamu lapar?" Dirga bertanya.
"Iya." Aku ngengir.
Rehagana menunjukkan sebuah warung makan yang tidak terlalu banyak pengunjung.
"Kamu pasti suka makanan di sana, Sa."
"Iya. Itu tempat makan favorit kami kalau berkunjung ke mari." Dirga memberitahu. Aku manggut-manggut saja. Perkara makanan, aku tak terlalu pemilih, yang penting enak dan penyajiannya menarik juga bersih.
Kami duduk bersila. Khas makan di sini memang sudah begitu sejak warung ini masih warung kecil-kecilan. Sekarang, warung ini sudah buka cabang di beberapa lokasi, tetapi kekhasan itu belum dihilangkan, barangkali tak ada niat untuk menghilangkannya. Itu ide bagus menurutku. Sesuai budaya bangsa zaman dulu sebelum kursi dan meja makan ditemukan, nikmat makan di atas tikar sambil bersila menjadi kenikmatan yang hakiki.
Aku pernah membaca bahwa budaya ini sebenarnya menyangkut makna dalam. Orang-orang akan duduk bersila melingkar untuk menyantap makanan. Setelah selesai makan, biasanya orang tua akan meluangkan waktu untuk memberi sepatah dua patah kata nasihat kepada anak-anaknya. Itu terjadi di jam makan malam krena pada waktu-waktu seperti itu anggota kelurga berkumpul dengan personel lengkap.
Maka, tak heran jika orang-orang zaman dulu sangat beradab dan menjunjung tinggi nilai cinta keluarga dan mengimami nasihat orang tua di dalam dirinya. Kehidupan zaman dulu banyak memberi pelajaran hidup tentang kesederhanaan dan petuah-petuah.
***
Kami tiba di Pantai Mahona. Aku terperangah dengan setiap lekuk ombak yang berasal dari tepi laut. Sambil berlarian mengejar dan dikejar ombak, aku melambaikan tangan ke arah Dirga dan Rehagana yang sudah dari tadi memilih beristirahat dengan alasan capek.
Sebagaimana tempat wisata lain, pantai ini lebih ramai dengan gubia manusia saat musim liburan. Beberapa kelompok kecil anak-anak dan orang tuanya sibuk mencari kesenangan. Ada yang tengah bermain di atas pasir pantai, memungut kerikil-kerikil kecil yang imut, ada juga yang mengejar ombak seperti kekonyolan yang kulakukan begitu sampai di tempat ini.
Aku sangat menikmati pemandangan ini. Dan aku ingin sering menikmati kemewahan yang seperti ini. Aku berlari kecil menuju Dirga dan Rehagana yang sedang berteduh.
"Kita di sini sampai matahari terbenam, ya." Aku setengah teriak untuk menyaingi suara debur ombak.
"Buat apa?"
"Menunggu sunset"
Tak akan susah mencari kesepakatan seperti ini kepada dua laki-laki di depanku. Mereka mengangguk cepat.
"Asalkan kamu senang aja, Sa," ujar Dirga. Tentu saja aku senang. Sangat senang malah.
Matahari sudah mulai meredup. Kami memang sudah hampir sore tiba di sini. Harusnya kami berangkat pagi-pagi buta, tapi aku tidak bisa bangun pagi karena insomku. Aku kebiasaan tidur jam tiga pagi. Jadi, bangunnya juga selalu agak siangan. Berhubung ini hari libur, aku harus tidur lebih siang lagi dari biasanya. Dirga dan Rehagana tak mempermasalahkan.
Cahaya matahari benar-benar redup sekarang. Aku segera memberi aba-aba kepada Dirga dan Rehagana bahwa sebenyra lagi mereka akan menyaksikan pemandangan alami terindah yang diciptakan Tuhan. Mengatakannya dengan penuh semangat seolah mereka murid bodoh yang belum pernah mendengar perkalian dua padahal sudah duduk di kelas dua SMA. Dirga dan Rehagana manggut-manggut saja seolah membenarkan diri bahwa mereka adalah murid terbodoh di zamannya. Padahal, kenyataan sunset pantai mana lagi yang belum mereka saksikan?
"Wah, indahnya." Aku terpukau. Beberapa menit menyaksikan lembayung senja. Matahari bulat menapaki detik per detik mendekati laut. Seolah dia ingin membenamkan diri ke laut untuk mengambil kehidupan baru dari lautan dan kembali muncul di permukaan keesokan harinya.
"Kalian berdua ngapain?" Aku terheran.Tanpa diberi komando, Dirga dan Rehagana serempak mengabadikan momen. Mengambil beberapa foto sementara aku sedang asyik dengan pesona sunset. Keduanya terlihat kompak mengambil foto dan memusatkan kamera ke arahku. Lalu, saat keduanya tersadar tidak menyadari aktivitas satu sama lain, mereka tertawa.
"Kami mengambil sunset, Sa." Rehagana berdalih.
"Kenapa arah kamera ke arahku?" Aku menatap curiga.
"Sunset seindah ini memang layak untuk diabadikan." Dirga menimpali.
Rehagana segera mengajak kami untuk beranjak karena langit sudah mulai gelap dari lembayung hingga perlahan menghitam.
"Kita di sini berapa hari?"
"Sepertinya, kita masih sempat mengejar kereta malam," kata Rehagana sambil mengibaskan tangan yang kotor karena pasir pantai.
"Yahh... Kita pulang." Aku memberengut. Merasa tak ikhlas jika berpisah secepat ini dengan pantai yang indah ini.
"Emang kamu mau berapa lama?" Dirga bertanya.
"Maunya lama." Aku nyengir kuda. "Dua hari deh. Mau lagi melihat sunrise."
"Lihat sunrise bukan dari tempat yang tadi lagi, Sa."
"Jadi?"
"Tidak bisa melihat sunset dan sunrise dari satu posis, Sa."
Aku berdecak. Tersadar dengan perkataan Dirga.
Sebagaimana porsi kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia, Tuhan membagikan dengan adil dan penuh pertimbangan. Sebijaksana itu cara Tuhan bekerja.
"Kalau emang sangat ingin ya udah kita ke pantai lagi besok untuk melihat sunrise. Tentunya bukan dari tempat yang tadi lagi. Mau?" Dirga melanjutkan ucapannya
Aku mengangguk senang.
"Makasih, Ga." Aku menatap Dirga dengan ekspresi tak bisa menyembunyikan rasa senang. "Kalian terlalu baik sama aku. Makasih." Ucapan yang sama juga untuk Rehagana.
Kami sepakat untuk bermalam di sebuah hotel. Aku sangat senang, bahkan sangat ikhlas meskipun besok harus bangun cepat.
Hari ini adalah bahagia yang kutunggu dan kujabani dalam setiap sujudku.
Rahasia Kertas
Alarm tak cukup membantu membangunkanku. Aku masih juga terlelap saat telingaku menangkap suara dering panggilan dari HP. Aku membelalak. Puluhan panggilan tak terjawab dari Dirga dan Rehagana.
Pukul 04.30.
Kalau bukan demi sunrise, aku tak akan rela bangun sepagi ini.
Aku berlari ke kamar kecil. Menyikat gigi dan segera menemui Dirga dan Rehagana di lobi. Keduanya sudah sangat siap berangkat sementara aku masih mencoba untuk menjernihkan pandangan. Masih mengantuk.
"Maaf, telat. Ehehe." Aku ngengir dan keduanya hanya membalas dengan senyum maklum. Dasar cowok! Harusnya, kan, mereka sebal seperti aku yang sebal kemarin saat menunggu mereka di stasiun.
Merasa sering merasa beruntung juga bisa jalan dengan mereka.
***
"Kita bikin permainan, yuk." Aku setengah berteriak.
"Permainan apa?" Dirga menoleh.
"Apa aja yang penting asyik."
"Lha, bukannya udah ada ide?"
"Belum, sih."
"Oh." Rehagana yang sedari tadi masih menikmati fenomena matahari terbit di hadapannya tiba-tiba ikut ambil andil dalam percakapan. "Aku ada ide."
"Apa?" Aku dan Dirga serempak menoleh.
"Kamu ada bawa apa di tasmu, Sa?"
Sejenak aku berpikir, buat apa? Tapi, lalu merogoh ke dalam tas ala tas Hermione Granger dan kedua temanny, Harry dan Ron Weasley, saat melarikan diri dari dekapan pelahap maut.
"Ini... Kertas."
"Ah, ya, benar." Mata Rehagana berbinar. "Kita butuh itu. Ada pulpen?"
"Ada, sih. Cuman satu."
"Satu aja cukup."
Aku menyerahkan pulpen di tanganku seperti Dirga yang juga menyerahkan rasa percaya pada ide permainan Rehagana.
"Jadi, aku akan membagikan kertas ini masing-masing satu lembar. Tuliskan satu kalimat di kertas. Apa saja tentang salah satu di antara kita. Misalnya, Dirga boleh memilih mau menuliskan tentang aku atau Tarissa. Tarissa juga begitu. Tapi, ingat, hanya satu kalimat."
Aku dan Dirga mengangguk paham.
Aku menatap ke arah matahari yang sudah mulai memberi kehangatan. Langit tampak teduh karena sinarnya yang belum begitu terik. Aku meresai tiap debur ombal dan desis angin di atas pohon kelapa tak jauh dari tempat kami duduk selonjoran.
Aku melirik ke arah Dirga. Sebegitu serius tatapannya terpaku ke arah lautan lepas. Dari bentuk lekumnya aku melihat beberapa kali dia menelan ludah. Aku tak tahu apa dan siapa yang akan ditulisnya.
Aku gantian menoleh ke arah Rehagana. Dia menatap lekat ke kertas yang ada di genggamannya sambil menulis. Aku sedikit menyeringai yang tentu saja tak memperlihatkan dengan gamblang. Mungkin saja seniorku ini malah kebablasan menuliskan tentang perancangan project berikutnya. Ya, bisa saja. Seorang Rehagana si penggila target yang sangat dicintai direktur tak terlalu mengherankan untuk melakukan hal konyol seperti itu.
"Re."
Tanpa komando, Rehagana menoleh. Aku yang tengah memandanginya terlambat buang muka dan itu menyebabkan Rehagana sedikit terkejut.
"Curang nih Tarissa mau menyontek." Dia pura-pura sebal, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dirga. "Apa, Ga?"
"Kertas rahasia ini dibuka dan dibaca bersama atau gimana?"
"Bagaimana kalau kertas ini kita kubur di tempat ini beberapa lama dan kelak kita ke sini lagi untuk membukanya selepas sunrise?" Aku memberikan pendapat.
"Ide yang bagus." Rehagana manggut-manggut.
"Berapa lama?" Dirga selalu bertindak seolah murid terkritis. Banyak pertanyaan. Dan, dia memang kritis. Bahkan, Dirga pernah membantah dosen pembimbingnya saat menyusun tugas akhir karena pungli. Saat itu, Dirga bertanya apakah uang yang dipungut sang dosen di kontrak perkuliahan dan dosennya mengamuk karena merasa tersinggung. Alhasil, Dirga yang ibaratnya sudah kena bogem mentah diberi getah nangka muda lagi. Dosennya tidak mau ditemui dan itu membuat Dirga hampir menjadi mahasiswa abadi.
"Tiga bulan?" Rehagana meminta pertimbanganku dan Dirga.
"Nggak. Dua tahun," ujarku tegas.
Dirga dan Rehagana saling berpandangan lalu kemudian sepakat.
"Ya, dua tahun."
***
Kami pulang setelah mengubur kertas itu dengan baik. Dibaluri plastik transparan supaya kertas tidak segera berubah melapuk karena pengendapan tanah dan tetes air hujan.
Sebelum pemandangan pantai benar-benar hilang dari pandangan, aku sempat menoleh meskipun jejak kertas yang terkubur tidak bisa dijangkau oleh mataku lagi.
Rahasia kertas menjadi penghujung kami berada di sini hari ini. Kertas yang membuat teka-teki di antara kami semakin nyata. Yang menjadikan kami kadang terdiam membaca wajah masing-masing teman di sebelahnya. Benar saja, setelah hari itu, hari-hari penantian berubah melamban. Aku menunggu waktu cepat berlalu ke dua tahun yang akan datang meski tentu saja tak bisa menerawang pikiran Dirga dan Rehagana.
Pengakuan
Camar yang terbang sudah semakin jarang. Hari menjelang malam, tapi orang masih berlalu lalang. Ada yang baru pulang dari kantor, baru pulang dari tempat perbelanjaan, baru akan pergi hang out bersama teman-teman. Aktivitas kota yang sangat lazim.
Aku masih duduk di sini. Bersama Rehagana. Seperti yang sudah sering kami lakukan, kami berencana makan malam bareng hari ini. Rehagana juga mengatakan akan membicarakan sesuatu tentang kerjaan. Aku menyanggupinya. Mungkin saja, dia butuh bertukar pikiran tentang sesuatu yang membuat dia merasa penat atau hanya ingin lebih lama di luar setidaknya untuk menghirup udara malam. Ini juga tak masalah bagiku. Karena aku juga bisa menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja. Bertukar pikiran dengan Rehagana sering meluruhkan sebagian beban yang ada. Begitu kami menjadi satu tim yang saling nyambung satu sama lain.
Akhir-akhir ini, kami sudah semakin jarang memiliki waktu luang. Ini sebenarnya tak membuat jarak. Kami masih bisa tetap komunikasi dari WA.
Begitu juga dengan Dirga. Karena kami beda tim di kantor, aku lebih jarang lagi bertemu dengan Dirga. Namun, tadi pagi Dirga juga masih menanyakan kabar via WA. Jadi, semua seperti tak ada masalah walaupun pertemuan selalu lebih menyenangkan hati.
"Sa."
"Apa?"
"Kapan terakhir kali kamu rindu dengan seseorang?"
"Rindu?"
"Iya."
"Definisi rindu banyak. Rindu yang bagaimana?"
"Rindu karena kau menyukainya."
Aku menghela napas.
Kami jarang membahas hal seperti itu saat bersama sehingga aku merasa janggal karena tiba-tiba bahasan Rehagana melenceng dari yang biasanya. Biasa juga aku dicerca dengan beberapa pertimbangan kerjaan di kantor yang membuat dia plin-plan dan butuh pendapat. Tapi, hari ini kudapati Rehagana justru membahas hal yang lebih ringan. Anehnya, bahasan ringan ini tak membuatku cukup lega. Aku malah merasa agak risih.
Sambil menahan napas aku berkata,
"Hari ini."
Rehagana terdiam sesaat.
"Hari ini?"
Aku mengangguk.
"Boleh tahu kenapa tiba-tiba membahas tentang perasaan? Apa kamu sedang merindukan seseorang?" Aku bertanya penasaran.
"Iya."
"Iya?" Aku bertanya balik dengan ekspresi bodoh.
"Detik ini."
Aku tertawa kecil. Mataku melebar.
"Wah, detik ini. Oke, oke. Jadi, langkah apa yang kamu lakukan, Re? Masa iya kamu hanya curhat gini. Bukannya lebih bagus kamu beraksi?"
"Justru itu."
"Apa?"
"Aku sedang mencoba untuk jujur, Sa."
Pekat malam semakin terasa. Udara kian sejuk jauh dari suasana siang yang menggerahkan di jalanan. Mataku melayang pada langit-langit malam.
"Sa."
"Iya?"
"Aku menyukaimu."
Aku terdiam.
Rehagana juga.
Bodoh!
Aku terdiam.
Rehagana bahkan seperti bisu. Entah apa sekarang yang ada di pikirannya. Aki tak bisa menebak. Sangat tidak bisa.
Jujur, aku tak berniat memperlambat waktu dengan kekakuan sedemikian, tapi aku tak tahu bagaimana cara memulainya. Aku tahu aku tak mungkin salah mendengar. Namun, bagaimana bisa Rehagana masih juga bertanya dengan caranya memberikan pernyataan barusan.
"Sa."
Aku mendongak. Pipiku memerah. Senyum yang biasa kusunggingkan dengan lebar saaat ini bahkan untuk komat-kamit pun aku tak sanggup. Detik-detik yang berjalan serupa palu yang mengetokkan palu ke dinding rumah beton.
"Aku tahu aku harus bilang ini, Sa. Aku mencoba menunda sekian lama untuk ini. Aku merenung untuk mempertanyakan hatiku secara utuh. Dan, ya. Bagiku, kamu adalah hari-hari yang berkesan setiap harinya. Aku mencintaimu, Sa."
Aku terperangah. Pipiku makin merah dan rasa panas menjalari seluruh wajahku. Mataku terasa panas. Dan air bening yang hangat mengalir pelan di sudutnya.
"Bagaimana bisa, Re?" Aku memberanikan diriku untuk menjawab. Suaraku bergetar karena tertahan.
Rehagana menunggu. Ya, dia sangat menunggu balasan pernyataan itu meski penantian yang dia lakukan jauh dari ekspresi menuntut.
Aku sedang berusaha sekuat tenaga. Entah ini sudah hari yang terlalu tepat atau bukan, aku sedang kesulitan berpikir tentang itu. Aku memainkan dua ujung jari kanan-kiriku. Air mata sudah kuhapus dan sedang kuusahakan untuk tidak mengalir lagi.
"Kamu tadi bertanya tentang rindu, kan, Re?" Akhirnya, aku berhasil memecah kesunyian. Rehagana mengangguk lemah. Dia seperti Samson yang kehilangan kekuatan setelah rambutnya dipotong oleh Delila.
"Iya, Sa."
"Aku bilang aku merindukan seseorang hari ini, Re."
"Iya." Suara Rehagana tertahan.
"Rindu itu..." Aku memberi jeda karena napas yang tak beraturan dan hati yang sedang berkecamuk bersahut-sahutan di pikiranku.
"Katakan, Sa. Kita sudah dewasa untuk bisa menerima apa yang ada di depan." Suara Rehagana melembut, tapi justru itu yang menyayat hati. Ah, aku sangat menghargai pertemanan dengan lelaki di depanku ini melebihi dia seorang senior yang sangat kukagumi. Aku sangat takut kehilangannya lebih dari ketakutanku saat tak tinggal bersama ayah lagi sejak kedua orang tuaku memutuskan untuk bercerai.
Dia sangat memahamiku lebih dari pemahaman kakakku, Gea, yang lebih memilih pergi ke luar negeri dan meninggalkanku saat sedang masa di ambang batas bawah hubungan ayah dan ibuku yang ada akhirnya tak bisa dipertahankan lagi. Dia selalu ada kapan pun aku merasa sulit dan itu membuatku merasa sangat dekat dengan kesan pertamanya yang sangat hangat.
Air mataku mengalir lagi. Kali ini, ada sesenggukan kecil yang turut di dalamnya.
"Apa, Sa? Katakanlah."
"Aku menyayangimu, Re. Kamu tahu bagaimana aku sangat mengagumi dan tak mau kehilanganmu." Air mataku mulai berderai. "Kamu orang pertama yang kutemukan setelah perjalanan panjang kesunyian yang aku rasakan setelah orang tuaku memilih bercerai."
Aku menangis. Rehagana meraih tasku dan mengambil tisu yang ada di dalamnya.
"Aku menyayangimu. Tapi, maafkan aku, Re. Rindu itu Dirga. Aku mencintainya."
Rehagana terdiam sesaat. Aku menatapnya dengan tatapanku yang masih berkaca-kaca.
"Maafkan aku."
Rehagana masih terdiam. Dia menelan ludahnya seolah tiba-tiba rasanya sangat pahit.
"Maaf." Ini permintaan maaf ku yang ketiga kalinya.
"Dirga?"
Rehagana bertanya lemah. Dan, aku mengangguk sangat lemah. Aku tahu makna pertanyaan itu, aku tahu Rehagana ingin mengatakan di antara banyaknya laki-laki di dunia ini kenapa justru harus Dirga yang membuatnya mengalami penolakan rasa itu. Aku tahu Rehagana akan menangis jika seandainya dia secengeng aku. Tapi, ternyata tidak. Rehagana tersenyum entah bagaimana cara dia tetap bisa menguatkan diri.
Aku masih sesenggukan. Senyum Rehagana membuat benteng pertahananku runtuh. Aku tak ingin mengakhiri karena rasa ego yang ada pada akhirnya membuat kami merasa sama-sama saling menyakiti.
"Jangan menangis." Rehagana meraihku dan menangkupkan kepalaku di dadanya yang bidang. Dia menenangkanku dalam senggukan yang kian menjadi.
"Sa, kamu harus tahu, kamu akan tetap menjadi juniorku yang bintang dan tak ada yang berubah setelah ini. Jadi, jangan menangis lagi. " Rehagana menarik dirinya dengan lembut. Dia memegang kedua bahuku hingga aku bisa melihat kedalaman matanya.
"Setelah hari ini, kamu masih bebas mengagumiku dan tak akan pernah kehilangan apa pun. Aku janji." Rehagana tersenyum. Senyum itu selalu hangat, tapi kali ini aku mendengar nada getar yang getir di sana.
Karya Tuhan yang Paling Menakjubkan
Aku menggigit bibir. Pagi ini, kami akan meeting dadakan untuk proyek yang sedang ditargetkan. Aku tak bisa tidur pulas semalaman. Entah mengapa, bagiku ini sangat berat ketika bertatap mata dengan Rehagana lagi.
Sejak malam penolakan itu, aku sedikit enggan bertemu dengan Rehagana meskipun Rehagana meyakinkan tak ada yang akan berubah. Aku tahu Rehagana akan sangat profesional untuk sebatas masalah hati di kantor. Aku hanya berpikir aku mungkin telah cukup melukainya.
Sesaat aku mengenang Rehagana dan kebersamaan kami yang lebih dari sebatas dekat selama ini. Kami sangat dan sangat dekat. Di kantor kami boleh menjadi rekan, tapi di luar kami berteman dan menanggalkan status pekerjaan. Aku tak terlalu memahami kenapa sedekat ini sama Rehagana dan aku tak pernah terlalu memikirkannya.
Aku nyaman. Bahkan, sangat nyaman. Saking nyamannya ada di zona ini, aku tak pernah memikirkan untuk memiliki rasa layaknya sepasang lawan jenis yang telah sama-sama dewasa yang ternyata rasa itu justru dimiliki oleh Rehagana. Memang, sangat memungkinkan bagi kami untuk saling jatuh cinta. Sayangnya, aku aku mencintai seseorang yang tak lain adalah sahabat Rehagana.
Dirga. Aku mencintainya sejak lama. Pada awalnya, tak bisa kupastikan ini adalah cinta. Setiap kami pergi bersama, kami bertiga tentunya, aku selalu merasa aura dia sangat berbeda. Ada rasa rindu ketika tak melihat dia. Ada rasa kesal kalau dia pulang duluan tanpa pamit. Ada warna-warni yang begitu nyata saat dia hadir di antara kami.
Aku sering tak memahami hatiku. Karena sejak ayah dan ibu memutuskan untuk bercerai di depan mataku, aku merasa saat itu cinta begitu mudahnya musnah. Setelah hari itu, malam-malam kuhabiskan untuk memaki Tuhan. Apakah cinta sebercanda itu? Datang tanpa menetap untuk meninggalkan kesunyian panjang. Entahlah.
Bertahun lamanya aku berjalan di atas pijar lilin yang redup. Serpihan luka batin seorang anak yang susah bngkit karena merasa ditinggal sendirian. Aku merasa berjalan di lorong waktu yang sangat lamban. Tak pernah benar-benar menemukan seseorang untuk bisa kujadikan sandaran. Saat-saat semua seolah meninggalkanku membuatku menjalin kesepakatan dengan diriku sendiri bahwa tak akan ada satu hal pun yang akan membuat jatuh cinta pada manusia.
Namun, kesepakatan itu patah. Aku menemukan cinta di sini. Aku mencintai Dirga sediam yang selama ini tak pernah kutunjukkan di depan dua lelaki itu, Dirga dan Rehagana. Aku bahkan dicintai Rehagana, seniorku yang sangat kusayangi dalam model lain.
Saat itulah makianku mulai berkurang dan aku mulai terpana dengan cara Tuhan bekerja. Seolah hari-hari sunyi yang kujalani perlahan diisi oleh kicauan camar yang menuju rumahnya menjelang petang. Hari-hari gelap yang pernah kulalui digantikan dengan pijaran pelita yang perlahan menjadi benderang, tapi di dalamnya ada sinar yang sekaligus bisa menghangatkan.
Untuk kedua kalinya setelah dulu pernah mati, aku mulai percaya. Di dunia ini, tak ada yang lebih indah dari cinta. Mencintai dan dicintai adalah bentuk sederhana kehidupan yang dengan anehnya bisa membahagiakan.
***
"Udah lama, Sa?"
Aku membalikkan badan. Rehagana memang seharusnya datang, tapi aku tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutku. Mungkin karena dia datang begitu tiba-tiba dan aku tanpa persiapan menghadapinya.
Aku mengangguk. Setelah melihat kiri-kananku yang masih kosong, aku menundukkan kepala. Aku benci suasana ini. Aku sangat tidak menyukai kekakuanku yang tak lazim.
"Yang lain belum ada yang datang, ya?" Pertanyaan retoris Rehagana kusahut dengan mengangguk lagi. Seperti seorang gadis yang ingin membuat laki-laki yang disukainya penasaran dengan warna yang kulakukan, seperti itulah aku pada Rehagana saat ini. Enggan untuk sekadar berbicara. Situasi rumit yang menyebalkan.
Rehagana tersenyum. Dia mafhum.
"Nggak apa, Sa. Kamu tak harus merasa bersalah." Dia menepuk bahuku pelan. "Bukankah kita sesungguhnya tak pernah memilih pada siapa kita akan jatuh hati hari ini? Hati yang memilihnya, Sa. Percayalah."
Aku terdiam. Anggukan yang sangat pelan mewakili seluruh apa yang kurasakan. Jika benar hati yang memilih, maka rasa cinta adalah bentuk teraneh yang diciptakan oleh sementara, selain trapesium.
Dulu, aku menganggap, trapesium adalah benda langka yang enggan untuk dimusnahkan dari pelajaran matematika. Bentuknya saja tidak jelas, apalagi penghitungannya.
Aku sangat percaya Rehagana seberterima itu sekarang. Dan itu membuatku lega.
"Re, boleh aku meminta satu hal?"
Rehagana bergeming, tapi ekspresinya memberiku waktu untuk berbicara.
"Aku tak ingin Dirga tahu ini. Jangan katakan pada dia tentang apa pun."
Rehagana menatapku lama. Lebih lama dari yang kuduga. Kemudian, dia mengangguk.
"Jika itu maumu, setidaknya jika kelak dia tahu perasaanmu, itu bukan dari aku, Sa."
Serupa Takdir yang Digariskan di Masa Depan
"Kamu makin kurus, Sa." Dirga berkata begitu dia sampai. Meletakkan buku tebal yang tadi ditentengnya lalu melihatku. "Wajahmu makin tirus gitu."
Aku tersenyum.
"Mungkin akhir-akhir ini dia banyak pikiran." Rehagana menyahut. Beberapa hari terakhir, aku merasakan perubahan dalam diriku. Nafsu makanku memang sangat berkurang, kurang mood bercengkrama, dan kepala sering pening tak menentu. Ditambah lagi insomku yang semakin menjadi, aku sangat sering mengantuk di kantor.
HP Rehagana menyala diikuti dengan deringnya.
"Halo, Qir?"
Tak ada sahutan yang bisa kudengar karena memang tidak di-speaker-kan.
"Aku harus balik ke ruangan. Ada data yang bermasalah." Rehagana pamit. Aku terpaku menatap dia sesaat.
"Maaf. Aku harus pergi. Kalian berdua lanjut saja di sini."
"Hati-hati." Dirga menyahut.
"Iya, Ga. Anterin Tarissa pulang, ya."
Aku melihat Dirga yang menyahut sesaat menoleh padaku. Aku hanya bisa pasrah melepas kepergian Rehagana dari pandanganku. Sekilas, aku menganggap itu adalah permainannya seperti yang di kisah sinetron untuk membiarkan kami, aku dan Dirga, di sini. Namun, langsung kutepis karena aku melihat tadi Qirana memang benar-benar menelepon.
Qirana. Aku tak tahu apakah dia akan senang atau justru merasa sedih saat tahu Rehagana adalah rasa yang kutolak. Apakah Qirana akan berhenti mencemburuiku sekarang? Bagaimanapun juga, aku adalah rasa cemburu Qirana yang terdalam pada masanya. Rasa cemburu sebuta itu. Membiarkan hati menjadi sesak saat melihat orang yang dicintai bersama orang lain. Membiarkan pikiran menjadi ego dalam kecamuk tak menentu.
***
Aku merasakan badanku terasa lebih berat biasanya. Itu membuat mataku semakin tertarik untuk mengantuk.
"Ga, mataku terasa sangat berat. Aku rebahan bentar, ya." Aku menelungkupkn kepala di meja.
"Yakin kamu lagi nggak sakit, Sa?"
"Mungkin karena jam tidur yang tidak teratur."
"Kenapa nggak kamu periksa saja?"
Aku tiba-tiba memikirkan tentang balasan Dokter Evan Elian semalaman yang membuatku menghabiskan malam yang begitu panjang. Dokter Evan Elian adalah dokter umum langgananku. Setiap merasa kurang enak badan, dokter itu yang memberiku anjuran harus berobat ke mana dan bagaimana.
"Besok kamu datang konsultasi. Biar bisa kita diagnosis secara detail."
Maka, sore ini aku berniat akan konsultasi, tapi aku tak ingin Dirga ikut ke sana.
"Ga, aku pulang sendiri aja, ya."
"Kenapa?"
"Nggak. Aku berencana singgah di sebuah tempat."
"Di mana?"
"Ada."
Dirga menatapku dengan pandangan sedikit curiga.
"Rahasia?" Dia memberi pertanyaan yang membuatku merasa tidak enak. "Kenapa hari ini seperti menjaga jarak, Sa? Kita kenal dan berteman sudah sedekat ini."
Aku menunduk. Lantai yang kupijak sesaat membuatku linglung. Pendar cahaya yang berada di sekelilingku membuatku merasa tidak yakin karena malam seakn tiba-tiba datang. Ada sisi gelap dan terang yang bergantian sehingga kepalaku semakin pening.
"Kalau kamu mau singgah di suatu tempat, aku bisa menunggu, Sa." Kudengar sayup suara Dirga.
"Ga, ini udah malam?" Aku tak menyahut ucapan Dirga karena aku sedang sibuk dengan kekalutan yang tiba-tiba ini. Aku masih tetap duduk dan sekarang semakin mempererat tanganku ke sudut meja, takut limbung.
"Sa?"
Seketika saja aku merasakan tanganku melemas. Pandanganku kini benar-benar gelap. Aku panik karena kondisi ini kuanggap terlalu cepat padahal aku sedang berencana konsul ke Dokter Evan.
"Kamu kenapa, Sa? Ini masih jam lima." Aku mendengar merasakan Dirga mendekat. Memegang kedua bahuku, sedangkan aku menatapnya dengan kosong. Dirga menempelkan tangannya di dahi dan pilipisku.
Sejenak aku berpikir aku telah menjadi buta, tapi tidak mungkin. Bagaimana bisa aku buta tanpa sebab. Namun, kini aku tak bisa melihat apa-apa hanya cahaya kecil ukuran kunang-kunang yang terbang di langit luas pada malam hari.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak limbung sekarang. Aku memutuskan mengatakan pada Dirga bahwa aku ingin konsultasi sore ini karena aku berpikir tak akan memungkinkan untuk pergi sendirian.
Namun, mulutku seolah terkunci. Suaraku hilang tanpa bisa kugerakkan.
"Mukamu sangat pucat. Ayo, kita ke rumah...."
Belum selesai Dirga berbicara, aku tak bisa lagi mendengarkan suara itu. Tubuhku terkulai dan tak mampu kutahan lagi. Di tengah seperempat kesadaran yang masih tersisa, kudengar suara keributan yang panik di sekelilingku dan tak lama seseorang memapahku ke luar ruangan.
Mungkin, seseorang itu adalah Dirga yang kini kepanikan melihatku tiba-tiba pingsan. Semoga saja. Karena aku tak akan pernah tahu, kapan nuansa ini akan datang lagi. Masa di mana Dirga dan aku berada di jarak yang sangat dekat, sedekat napasnya yang bisa kurasakan dan memintaku untuk bangun.
Rahasia waktu selalu tak bisa tertebak. Serupa takdir yang digariskan di masa depan, serupa itu waktu menyimpan rahasianya. Entah apa dan bagaimana hari esok akan berjalan. Yang pasti, tidak akan sama dengan hari ini.
Penjelasan Pertama
Aku ingat terakhir jatuh pingsan di sekolah dulu. Sekitar beberapa tahun lalu saat harus mengikuti upacara bendera. Memang, jatuh pingsan pernah menjadi aktivitas langgananku. Itu awal mula aku memiliki dokter langganan, Dr. Evan Elian.
Dokter Evan bilang imunitas tubuhku lemah. Dan, sewaktu-waktu dianjurkan untuk menjaga pola makan dan tidur. Pola makan masih bisa kujaga, tapi khusus pola tidur, aku selalu merasa bahwa aku tak berwenang mengaturnya. Karena setiap kali aku memejamkan mata pada malam hari, aku tak bisa tidur sesuai dengan keinginan. Aku sering iri dengan orang yang sudah tidur jam sepuluh malam sementara bagiku jam-jam sepuluh malam masih paginya malam. Butuh waktu berjam-jam dari situ baru aku akan bisa terpejam.
Aku mencoba mengikuti anjuran dokter pada masanya hingga beberapa tahun terakhir aku merasa imunku membaik.
Dan, sekarang, aku berada di sini. Di ruang putih berukuran sekitar empat kali empat yang bersih. Dirga duduk di sampingku, menatap lega saat aku membuka mata.
"Sa."
Aku menoleh.
Dirga yang kukenal adalah Dirga yang tenang, Dirga yang sering memberi ide-ide cemerlang saat Rehagana butuh masukan. Dirga yang aku kenal adalah Dirga yang duduk kalem membawa buku tebalnya menunggu Rehagana dan aku datang jika kami janjian di suatu tempat. Dirga sedang melanjutkan studi S-2 kelas karyawan dan sedang menyusun tesis sehingga di sela-sela waktunya dia selalu membaca referensi untuk tugas akhirnya.
Kali ini, dia sangat berbeda. Dirga memandangku cemas. Tak pernah kulihat dia sekhawatir ini. Aku memiringkan kepala untuk melihatnya lebih jelas, sambil tersenyum memastikan aku baik-baik saja.
"Aku tak apa. Hanya pingsan," ujarku menenangkan.
"Kamu menutupi fakta bahwa kamu sakit, kan? Bagaimana bisa kamu lakukan itu padahal kamu mengaku kami temanmu, Sa?" Suara Dirga meninggi dari biasanya. Ada rasa kesal yang ditahannya dalam suara emosionalnya.
"Maaf. Aku hanya tak ingin merepotkan kalian, Ga."
Dirga terdiam. Aku tak mengerti dengan perubahan wajah itu. Aku berusaha duduk di atas tempat tidur dan menolak dibantu oleh Dirga.
"Kenapa kamu semarah ini, Ga?" Aku memberanikan diri untuk bertanya. Dirga menatapku lekat.
Bayangin percakapan dengan Rehagana melintas. Jika Rehagana tak membicarakan apa pun dengan Dirga, pastinya aku masih cukup aman dengan urusan hati karena Dirga tak tahu aku diam-diam menyukainya. Namun, tetap saja aku merasa risih saat tatapan itu begitu dalam menyerang sudut hatiku yang bersembunyi untuk tak bisa diliht oleh Dirga.
"Ga, kita sudah bisa pulang." Aku memberi keputusan saat Dirga tak kunjung menjawab pertanyaan terakhirku.
"Belum boleh pulang, Sa."
"Kenapa?"
"Dokter bilang begitu tadi."
"Aku sudah siuman. Kenapa tidak boleh pulang?"
"Kita tunggu penjelasan dokter."
"Penjelasan gimana maksudnya? Emang apa yang harus dijelaskan?"
"Tunggu aja, Sa. Jangan keras kepala." Dirga menyahut dengan sabar dan menatapku melembut.
Aku mendengus kesal. Bagaimana bisa yang sudah siuman masih saja ditahan? Aku beranjak dari tempat tidur dengan wajah memberengut yang tak bisa kusembunyikan.
"Mau ke mana?" Dirga bertanya. Aku menatapnya sebal karena tiba-tiba dia bertindak sebagai satpam yang siap menyergap pengunjung yang mencurigakan.
"Kamar mandi. Mau ikut?" Ketusku. Dirga tertawa kecil. Dia tahu aku lagi kesal karena ditahan untuk tidak pulang.
"Harusnya aku yang marah, Sa." Dirga berkata sangat pelan, sedangkan aku berjalan menuju kamar mandi dengan acuh tak acuh.
***
Aku duduk menghadap dokter.
"Aku bisa tetap di sini atau keluar saja?" Dirga bertanya sopan. "Siapa tahu ada hal yang mungkin menjadi rahasia pasien dan dokter."
"Jika pasien tidak keberatan, tak ada masalah." Dokter menoleh ke arahku, meminta pendapat.
Aku memicingkan mata. Bagiku, sepanjang hari ini Dirga berubah menjadi makhluk yang sulit dipahami.
"Di sini saja."
"Baiklah." Dokter memperbaiki letak duduknya. "Sebelumnya, perkenalkan, saya Dokter Gabriel."
Aku mengangguk dan menyambut salaman Dokter Gabriel. Tangan itu sehangat tangan Dokter Evan, dokter yang selama ini menjadi rumah tujuanku jika merasa tak enak badan. Barangkali, tangan para dokter mungkin dipahat sehangat ini supaya pasien yang ditangani tetap betah selama pengobatan.
"Kapan terakhir kamu sakit? Maksud saya, merasa kurang enak badan."
"Beberapa hari terakhir, Dok."
"Apa yang kamu rasakan?"
"Saya merasa kurang berkonsentrasi saat bekerja. Saya juga pengidap insomnia dari dulu sehingga saya merasa kurangnya konsentrasi saya akibat kurang tidur sehingga untuk hal ini saya tidak terlalu curiga."
"Ya, kurang tidur bisa menjadikan kurangnya konsentrasi saat bekerja."
"Yang membuat saya sedikit risih, Dok, beberapa hari terakhir saya suka pening. Dan di waktu-waktu tertentu, sakit itu bisa menjadi sangat gila dan membuatku merasa kepalaku akan segera copot dari tubuh. Saat itu terjadi, mataku sering kabur berkunang."
Dokter manggut-manggut mendengar penjelasanku.
"Tapi, aku bingung, Dok. Kenapa tadi sebelum pingsan pandanganku benar-benar gelap? Biasanya hanya blur."
"Ini kita sedang mendiagnosis. Tapi..."
"Apa, Dok?"
"Kita menemukan hal yang sedikit janggal sehingga memutuskan rawat inap untuk malam ini."
Aku membelalakkan mata. Aku hanya pingsan dan sudah siuman sekarang. Mengapa masalah kecil menjadi sangat besar seolah aku seorang penulis yang tipo satu kata dan mengubah makna keseluruhan kalimat. Terjerumus pada penghinaan satu negara lalu terjeblos ke dalam penjara. Ah, ribet!
"Kenapa harus rawat inap, Dok?"
"Ada bagian yang harus diperiksa dua kali, Tarissa Viola yang cantik." Dirga menyahut dan dokter mengangguk senang karena Dirga meringankan penjelasannya. Aku memonyongkan bibir mendengar Dirga menyebut nama panjangku.
"Iya, Benar. Itu alasannya."
Penjelasan Kedua
Aku menginap sesuai prosedur dan permintaan rumah sakit. Aku meminta Dirga untuk pulang sekalipun dia bilang akan menemani di sini. Rehagana juga menelepon dengan panik dan selalu bertanya apakah aku baik-baik saja. Aku yakinkan mereka dan kukatakan aku pasti merasa baik-baik saja dan tentu akan pulang besok.
Namun, tiba-tiba rasa aneh menjalari tubuhku. Mataku kembali kabur sehingga pandanganku menjadi samar. Aku meraba tempat tidur karena tadi aku sedang duduk di sebuah kursi. Aku ingin membaringkan tubuh karena kepalaku juga sudah mulai nyut-nyutan. Aku memegang kepalaku. Rasa pening perlahan makin sakit sehingga aku kesulitan berjalan menuju kasur. Aku menjatuhkan diri dilantai karena kakiku juga tak cukup kuat menopang tubuhku yang melemah.
Aku ingin meminta bantuan saat aku menyadari balasku tertahan dan tak ada suara yang keluar. Pita suaraku seolah ter-blokir dan tereliminasi dari fungsi anggota tubuh. Pertahananku makin melemah di tengah kepanikan yang melandaku. Aku berjuang untuk menyeret diri ke tempat tidur atau apa saja yang bisa dijadikan sandaran.
Aku mendengar derap langkah di luar kamar. Namun, aku tak terlalu berharap karena bisa saja itu pengunjung pasien lain. Pintu terbuka. Percaya tak percaya, sepertinya pintu kamarku yang terbuka. Mataku samar melihat wajah itu. Hanya samar. Aku ingin berteriak, "tolong aku", tapi tak kulakukan karena percuma.
Kemudian, aku melihat seorang di antara mereka berlari ke arahku, sedangkan yang satu hanya berdiri terpaku.
"Astaga, Sa, kenapa bisa jadi begini?"
Tuhan, itu Dirga. Benarkah?Dirga langsung memapahku ke tempat tidur.
"Sa, kamu nggak apa, kan?" Aku mendengar lagi suara Rehagana. Ya, berarti dugaanku benar. Rehagana yang berdiri terpaku di daun pintu saat Dirga berlari ke arahku barusan.
Aku terlalu terkejut saat keduanya ada di sini. Akan tetapi, aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka tidak ada.
"Aku tak bisa melihat dengan jelas. Pandanganku samar dan wajah kalian ngeblur. Kepalaku juga tiba-tiba sangat pening."
"Kenapa kamu ada di lantai, Sa? Kenapa tidak di tempat tidur saja?"
"Aku menunggu dokter memberikan penjelasan. Aku bosan di sini." Mataku memanas. Akuvtak suka dari semalam Dirga mengintimidasiku meskipun aku sadar itu karena dia khawatir.
"Kamu boleh tunggu di sini saja, Sa. Nanti juga akan datang." Rehagana berkata lembut. Aku mengangguk paham. Lampu kamar rumah sakit mulai mengeluarkan sinar. Mataku yang tadi samar perlahan membaik. Rasa peningnya juga makin lama makin tidak terasa.
Aku menyenderkan tubuh di kasur yang sebelumnya elevatornya sudah dinaikkan oleh Rehagana. Aku mengatur napas menstabilkan diri. Badanku masih lemah, tapi aku sudah lebih membaik dari beberapa menit yang lalu.
"Kenapa datang? Aku sudah meminta jangan ada yang datang."
"Karena kamu bohong sama kita dua," jawab Dirga.
"Bohong gimana?"
"Nyatanya, kamu nggak baik-baik aja, kan? Kamu bisa nggak membayangkan jika kami tak datang tadi?" Suara Dirga sedikit meninggi.
Aku menoleh dengan kasar. Air mataku membola menuju kelopak sebelum mengalir sangat pelan jatuh dari pipiku.
"Kenapa kamu marah sama aku? Bukankah kamu bisa menangkap maksudku? Aku nggak mau merepotkan kalian." Aku tak bisa menahan rasa kesal. Aku mendengus dan memalingkan wajah dari mereka berdua. Emosiku sebagaimana juga Dirga sedang tidak stabil dua hari ini. Aku benci mengasihani diri sendiri dan sangat benci jika harus dikasihani. Ini yang menjadi alasan kenapa aj merasa tak harus melibatkan siapa pun, termasuk saat dokter memintaku harus menginap.
Dirga yang tadi ada di sebelah kananku mengitari kasur. Dia berjalan dan mengambil posisi sebelah kiri karena aku memalingkan wajahku tadi.
"Maaf, Sa. Aku sangat khawatir terjadi apa-apa sama kamu."
Aku menghela napas. Tangisku berlanjut mendengar penuturan itu. Benarkah Dirga sekhawatir itu sekarang? Aku menunduk sesenggukan. Setelah dua hari berturut-turut dengan kejadian barusan, aku tak berani mengatakan pada diri sendiri bahwa aku baik-baik saja.
***
Kekhawatiran Dirga mengganggu pikiranku. Tadi, aku pura-pura mengatakan kepada Dirga dan Rehagana bahwa aku ingin istirahat. Aslinya, aku sedang butuh perenungan tentang rasa khawatir yang dimaksud oleh Dirga. Aku menutup mata. Sesekali mendengar mereka berbincang pelan membuatku merasa nyaman bahwa ada yang menjagaku di sini.
Malaikat. Mereka berdua adalah malaikatku. Yang dikirim Tuhan setelah aku pernah jatuh-bangun menjalani kenyataan dan merasa telah benar-benar ditinggalkan dan dilupakan-Nya.
Pintu terbuka. Kubuka mata untuk memastikan itu adalah dokter yang dari tadi sudah aku tunggu. Aku kecut. Ternyata, bukan. Itu adalah perawat yang melakukan pengecekan rutin terhadap pasien.
"Selamat sore."
Aku mengangguk. Dirga dan Rehagana juga.
"Maaf, Mbak sudah mengganggu waktu istirahatnya," tutur perawat itu sangat elegan, tapi sopan.
"Tak masalah, Mbak."
Si perawat tersenyum simpul.
"Mbak Tarrissa, Dokter Gabriel meminta saya untuk bertanya apakah akan ada keluarga yang hadir hari ini?"
"Mereka berdua."
"Orang tua atau saudara kandung?"
Aku berkedip mencerna pertanyaan itu sebelum menjawab,
"Mereka rekan kerjaku. Sudah saya anggap malah melebihi saudara kandung."
"Tapi, pemintaan Dokter Gabriel saudara kandung, Mbak."
"Saudariku di luar negeri."
"Bagaimana dengan orang tua?"
"Adaa... Em, ada, ya."
"Oke, Mbak. Akan datang jam berapa?"
"Mungkin tidak akan datang, Mbak. Saya bilang ke ibu saya akan segera pulang dan memintanya untuk tak usah menjenguk."
"Oh, begitu, ya." Dua mulai kebingungan.
"Biarkan aku yang mendengar penuturan Dokter Gabriel. Beserta dua orang rekan rasa keluarga yang kumiliki."
***
Kami menuju ruang Dokter Gabriel, sebuah ruang yang dirancang bagus dan membuat nyaman. Penyambutan Dokter Gabriel begitu hangat.
"Silakan duduk."
Kami patuh.
"Kalau boleh tahu mengapa ibu Tarissa tidak datang? Apakah karena kesibukan kerja?"
"Tidak. Saya yang meminta untuk tak perlu hadir."
"Tarissa, apakah kamu menyadari satu hal atas undangan ke ruangan saya?"
Aku mengangguk. Tentu saja aku menyadari. Dua hari berada di sini untuk penjelasan, tentu ini cukup penting.
"Ibu saya menanggung banyak beban sendirian semenjak bercerai dengan ayah. Tolong, Dok. Biarkan saya saja yang mendengar ini." Aku berkata teguh. Sirat wajah Dokter Gabriel terenyuh mendengar ucapanku.
"Maaf."
"Tak apa, Dokter. Saya hanya ingin memastikan bahwa saya cukup siap mendengar ini."
Dirga dan Rehagana sejauh ini tidak berbicara. Mereka sedang sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku tahu itu dari raut wajah mereka yang enggan untuk kuperhatikan. Beberapa kali Rehagana memalingkan wajah saat aku menoleh. Pura-pura sibuk dengan HP atau apa yang ada di sebelahnya.
Dirga juga sama. Beberapa kali, dia hampir tertangkap basah sedang menatapku terpaku, tapi segera menunduk pura-pura sibuk dengan buku tebalnya yang sengaja dibawa. Waktu sidang kian dekat sehingga dia tak kenal waktu mempelajari materi yang berkaitan dengan tesisnya.
"Tarissa, saya sudah mempelajari gejala-gejala yang kamu alami. Saya harus bilang, penyakit ini sudah mengendap cukup lama tanpa kamu sadari. Bertumbuh di dalam tubuh menunggu kapan waktunya bereaksi."
"Saya sakit apa, Dok?"
"Jujur, mengatakan ini sangat berat. Tapi, harus dikatakan supaya segera ditangani dengan benar oleh rumah sakit.
"Apa, Dok?" Rehagana ikutan bertanya.
"Kamu terkena penyakit Glioblastoma Multiforme."
"Gli... Gli, apa, Dok?" Dirga meyakinkan apa yang didengarnya.
"Glioblastoma."
"Itu... Itu, Dokter sudah yakin?"
"Apa itu Glioblastoma?" Aku menatap Dirga.
"Itu...." Wajah Dirga pasi. Dia tak melanjutkan ucapannya.
"Itu Astrocytoma grade IV."
"Tumor otak?" Rehagana tak mempercayai apa yang dia dengar, sedangkan aku baru ngeh setelah ada kata tumor otak.
Aku bersandar di kursi sofa. Merasa tak yakin dengan ini. Merasa bingung dengan jawaban mustahil yang kuterima hari ini.
Aku mendapati Dirga yang terpaku di tempatnya juga Rehagana yang tak bisa sekadar sekadar menyudahi percakapan ini. Dokter Garbriel sebagaimana dokter profesional lainnya hanya menata kami dengan ekspresi ingin menenangkan tapi tak berhasil. Bahkan, herannya, dia juga seperti merasa sangat terpukul.
"Kamu dirawat mulai hari ini, Nak." Untuk pertama kalinya sejak kami bertemu, Dokter Gabriel memanggilku 'nak' dan itu meneduhkan. "Jangan sedih, semua yang sakit akan sembuh karena tangan Tuhan sangat ajaib. Kamu masih muda. Kekuatan tertinggi seorang muda terletak pada semangatnya untuk menjalani hidup."
Nada suara Dokter Gabriel melemah. Suara itu bergetar. Itu cukup membuatku merasa yakin bahwa setelah hari ini, semua tak akan semudah hari kemarin lagi.
Kehadiran yang Ambigu
Aku tak tahu harus bagaimana menjelaskan apa yang kurasakan saat mendengar penjelasan dari Dokter Gabriel. Yang pasti, setelah dokter bedah saraf yang berpengalaman itu melakukan foto MRI dan mengumumkan hasilnya beberapa hari yang lalu, dokter menganjurkan agar aku beristirahat dan menjalani perawatan penuh. Aku menjalani proses perawatan di rumah sakit. Rehagana segera mengurus segala sesuatunya untuk perizinan ketidakhadiranku di kantor. Entah untuk berapa lama, tapi dia meyakinkanku bahwa masalah pekerjaan tak perlu dirisaukan.
Setiap hari, Dirga dan Rehagana datang ke sini. Aku sering mengatakan supaya mereka tak perlu datang setiap hari, tapi tak pernah digubris hingga aku merasa tak perlu mengatakan apa pun lagi. Karena kalau ingin berkata sejujurnya, aku membutuhkan mereka ada di sini.
Terlebih Dirga. Sebenarnya, di satu sisi aku takut pada suatu percakapan yang tak disengaja suatu saat aku keceplosan untuk menunjukkan apa yang kurasakan pada Dirga.
Jika Dirga selalu hadir, bagaimana aku bisa menghapus rasa-rasa rindu yang kadang hadir tanpa diundang? Bagaimana aku bisa lupa jika dia selalu menjadi bagian dari hari-hariku? Satu yang pasti, aku tak ingin dia memikirkan apa pun tentang perasaanku. Aku ingin semua berjalan sealami mungkin. Aku ingin menyimpan rasa ini cukup hanya aku yang tahu, juga Rehagana yang telanjur kukasih tahu hari itu.
Nyatanya, di tengah situasi ini aku sering merasa gagal untuk berhenti mengharapkan kehadiran Dirga karena di sisi lain dari sudut hatiku aku ingin Dirga selalu ada. Menenangkanku untuk bisa menjalani hari-harinya menakutkan setelah tahu aku positif Glioblastoma, penyakit tumor otak stadium IV. Penyakit ini, bukan hanya tentang rasa sakit yang sewaktu-waktu bisa menyerangku tanpa peduli seberapa menderitanya aku menanggung, tapi juga rasa panik yang berkecamuk, membuatku sangat membutuhkan Dirga di sisiku. Mungkin terlihat bodoh, tapi itu yang kurasakan. Rasa takutku akan penyakit ini sedikit sirna dengan kehadiran Dirga.
Aku melihat jam. Jadwal besuk sudah hampir berakhir. Lima menit yang lalu, Rehagana menelepon. Mengatakan hari ini dia tak bisa datang. Ada pekerjaan yang harus dirampungkan hari ini. Aku memahami dan mengatakan supaya dia semangat.
Kamu yang harus semangat di sana, Sa. Kalau aku, sejak kamu dirawat di rumah sakit, aku tak tahu bagaimana cara untuk semangat setiap harinya. Cepat sembuh. Tolong aku supaya bisa semangat lagi. Aku tahu ucapan Rehagana sangat tulus. Dia tak pernah memberi kesan apa pun di dalam kalimat selain kesungguhan. Terkadang, aku menimang-nimang hal ini di dalam pikiranku. Jika seandainya aku bisa memalingkan perasaanku dari Dirga, perihal hati mungkin tak akan serumit ini. Sayangnya, kita tak bisa memilih kepada siapa akan jatuh cinta hari ini. Sebaliknya, kita juga tak bisa memilih siapa yang akan mematahkan kerinduan kita setiap harinya.
"Kamu makan dulu, Sa. Anjuran dokter kamu harus makan di jam segini." Ibu mengusap lembut rambutku dan menggenggam jemariku. Semenjak aku sakit, ibu selalu di sini. Dia tak pernah ingin pulang karena ingin melihatku sewaktu-waktu butuh bantuan, katanya.
"Sebentar, Bu. Sepuluh menit lagi, ya."
Mataku berkaca-kaca. Aku tak tahu kenapa aku jadi seperti ini. Padahal, dokter bilang supaya sembuh aku harus teratur mengikuti anjuran.
"Kamu menunggu siapa?"
Aku terkejut. Bagaimana mungkin ibu tahu aku sedang menunggu.
"Enggak, Bu. Enggak ada." Wajahku memerah dan sedikit memalingkannya supaya ibu tak tahu aku sedang berbohong.
"Kamu anak Ibu, Sa. Yang Ibu rawat sampai sekarang. Ibu tahu kamu."
Aku terdiam. Percuma juga berbohong sama ibu. Selain menambah dosa, ibu satu-satunya orang yang memahamiku luar-dalam. Ibu pasti akan cepat tanggap dengan semua gerak-gerikku.
"Salah satu di antara mereka, kan?" Ibu tersenyum. Aku mengangguk perlahan. Sambil dibantu oleh ibu, aku menaikkan elevator kasurku supaya aku bisa duduk dengan nyaman dan mengobrol dengan ibu.
"Iya," jawabku nyaris tanpa suara. Seolah aku takut di antara Dirga dan Rehagana ada di sini mendengar ucapanku.
Tak berselang, pintu diketuk pelan. Aku refleks memalingkan wajah. Aku melihat Dirga berdiri di sana. Kemeja biru yang dikenakannya selalu menjadi ciri khas dan pertanda bahwa tanpa harus diungkapkan pun itu adalah warna kesukaannya.
Aku menghela napas sangat pelan seolah takut ada yang mendengar. Aku tak bereaksi apa-apa dan tak juga menyambut Dirga seperti pada lazimnya aku harus menyambut seseorang yang telah berbaik hati selalu membesukku
"Masuk, Nak." Ibuku mengambil tempat menjauh dariku. Dirga mengangguk sopan. Dia melangkah sambil sekilas melihat tempat makanan yang masih belum tersentuh.
"Kamu belum makan?"
Aku tak menjawab. Hanya memandang wajah Dirga sekilas. Seketika, mata Dirga bertemu dengan mataku yang menatapnya satu sehingga untuk sepersekian detik aku merasa wajahku menyengat memanas dengan tiba-tiba.
"Ayo, makan bareng. Kebetulan aku membawa makanan kesukaanmu."
Aku hanya mengikut pasrah. Aku tak tahu alasan untuk bisa menolak kehadirannya. Dan, aku juga tak tahu bagaimana caraku untuk tidak merindukan esok hari. Tapi hari ini, aku merasa benar-benar telah menjadi hancur karena menunggu kehadirannya.
Dirga, aku merindukanmu hari ini. Besok, tolong jangan datang lagi supaya aku tak merasakan rindu ini lagi untuk lusa.
Sepotong Rasa Tanya
Pengangkatan tumor akan dilakukan. Sebelumnya, aku diminta dalam kondisi rileks tanpa terbebani apa pun supaya prosesnya lebih mudah dilakukan. Dirga dan Rehagana yang tahu aku akan segera dioperasi selalu memberi support.
Dirga menjelaskan beberapa kali bahwa operasi ini akan berhasil dan tumor di otakku akan bisa diangkat semua.
"Tinggal kamu nikmati saja prosesnya. Pasti tak akan menakutkan, kok. Teknologi zaman sekarang sudah lebih mudah dan tepercaya. Dokter ahli saraf sudah dibekali ilmu yang mumpuni untuk itu." Belum selesai aku mengangguk mendengar penuturan itu, Rehagana juga menyemangati,
"Tinggal kamu yang harus semangat sekarang. Kuncinya ada di situ. Terletak pada semangat dan rasa percayamu bahwa semua akan baik-baik saja."
Aku manggut-manggut. Dirga dan Rehagana tahu sebenarnya aku hanya butuh penenangan diri seperti ini. Aku tak tahu lagi bagaimana jika seandainya tak ada mereka. Bagaimana jika seandainya bukan Rehagana yang menjadi seniorku di kantor, melainkan seorang yang pembawaannya kaku dan tak menyenangkan sama sekali? Bagaimana jika sabahat Rehagana bukan Dirga, melainkan seorang yang memberi batas padaku dari kesan pertama? Jika itu terjadi, maka batas nyamanku pastinya tidak kuketakkan pada mereka. Jika itu terjadi, batas nyamanku tidak terletak di area kerjaku. Tidak ada pada satu pun di antara rekan kerjaku yang lain aku mendapat perlakuan istimewa, seistimewa kebersamaan dengan Skrg dan Rehagana.
Mereka adalah mood booster-ku. Rekan kerja yang menyayangiku dengan cara mereka masing-masing.
***
Dua hari terakhir kondisi badanku semakin lemah. Jadwal operasi terpaksa ditunda sambil menunggu kondisi membaik. Dirga dan Rehagana yang kebetulan datang berbarengan belum pulang. Melihat kondisiku yang terbaring lemah, mereka seperti enggan untuk pulang. Namun, tiba-tiba Rehagana pamit. Dia dengan sedikit penegasan mengatakan biar Dirga pulang belakangan.
"Kamu nanti saja pulang, Ga. Jagain Tarissa."
Saat kutatap sayu ke arah Rehagana, aku bisa menangkap makna kepulangan itu. Dia tak sempat kuberi kesempatan untuk mencintaiku memilih untuk memberi kesempatan pada sahabatnya untuk menjagaku, gadis yang diam-diam mencintainya.
Rehagana mendekatiku sebelum pergi,
"Jangan hilang semangat. Setidaknya, untuk aku dan juga Dirga. Kami menyayangimu, Sa. Sangat menyayangimu." Aku mengangguk sembari menutup mata. Tak bisa kutepis air mata yang tiba-tiba mengalir tanpa diundang. Rehagana segera berlalu. Aku bisa memahami sesulit apa ini baginya.
Tuhan, aku sangat menyayanginya. Menyayangi Rehagana yang mencintaiku dalam versi dewasa seutuhnya.
"Jangan nangis, Sa." Kudengar suara Dirga seperti berbisik di telingaku. "Kamu tak bisa menunda operasi lagi. Jadi, kamu harus kuat."
Aku mengangguk kecil.
"Terima kasih kalian masih ada di sini." Aku membuka mata. Kudapati Dirga yang tersenyum karena ucapanku.
"Kami temanmu. Kamu lupa? Teman tak mengenal batasan suka dan duka, Sa. Mereka selalu ada tanpa batas ruang dan waktu yang kamu punya."
"Aku akan mengingat kalian jika suatu saat aku jauh."
"Kita tak akan pernah jauh, Sa. Jangan pernah mengucapkan kata-kata yang mustahil seperti itu."
Aku tak seutuhnya mendengar Dirga berbicara. Mataku kabur secara perlahan. Seperti yang sudah terjadi beberapa hari belakangan, rasa sakit yang tertahan membuat sekujur tubuhku mengejang dan aku akan kesulitan berbicara setelah ini. Aku merasakan tangan Dirga yang meletakkan tangannya di antara jemariku saat tubuhku terkulai lemah di atas tempat tidur.
Dirga memanggil perawat yang biasa menjagaku dengan siaga. Alisya yang manis segera menggantikan posisi Dirga. Duduk menenangkanku dan menepuk-nepuk bahuku dengan sangat lembut. Alisya selalu tersenyum, senyum hangat ini mungkin suda etos kerja bagi para perawat.
Aku mulai beradaptasi dengan rasa sakit yang kuterima di kala kambuh. Aku cukup berdiam sejenak, tanpa bergerak dan hanya menatap kosong ke dinding rumah sakit. Kali ini, diiringi tepukan-tepukan lembut pada bahuku oleh tangan Alisya yang begitu halus, aku mengantuk hingga ketiduran.
Aku tidur dengan pulas. Sekitar sepuluh menit kemudian, saat kudengar suara Alisya yang masih duduk di sampingku, aku terbangun. Dirga menanggapi beberapa hal yang dijelaskan oleh Alisya. Keduanya terlihat serius memperdebatkan tentang sakit yang kuderita.
"Setelah operasi, kemungkinan semua akan membaik. Kita menunggu prosesnya saja."
"Iya, semoga semuanya lancar," suara Dirga tak cukup memberikan keyakinan pada dirinya sendiri.
"Amin, semoga."
Menyadari aku sudah terbangun, Alisya bangkit. Dia pamit setelah sebelumnya berkata,
"Dirga, jagain Tarissa baik-baik."
Kulihat Dirga mengangguk tanpa balasan. Hari ini, dua orang meminta Dirga untuk menjagaku. Namun, ada rasa kelu di tengah harapan itu. Rasa ketidakyakinan yang menjelma dalam diriku.
Mengapa harus Dirga?
Lorong Para Pendoa
Segala sesuatunya dipersiapkan. Aku sudah berada di ruang operasi dan sudah memantapkan hatiku untuk operasi bagian otak yang akan dilakukan.
Setelah penundaan karena aku tiba-tiba drop kemarin, aku merasa bahwa aku harus bersikap lebih tenang agar hasilnya tidak fatal. Operasi adalah ujung tombak nyawa seseorang. Kalau gagal, akan sangat berbahaya untuk ke depannya.
Sebelumnya, sudah dilakukan biopsi untuk menganalisis sampel jaringan yang mencurigakan dan akan membantu pengangkatan tumor saat pembedahan. Aku menemukan dokter-dokter yang sibuk dengan peralatan masing-masing. Seragam putih yang mereka kenakan dan ruang serba putih ini disulap sedemikan. Jika sebuah lorong sering tentang kegelapan yang meraja di dalamnya, aku melihat ruangan ini serupa lorong para pendoa di mana aku menjadi pusat perhatian dan objek yang disuguhkan ke Tuhan untuk disembuhkan.
Beberapa waktu kemudian, operasi selesai. Semua berhasil dan dokter bilang operasi ini dilakukan untuk mengambil sel-sel abnormal yang berkemampuan merusak jaringan otak sehat. Jaringan abnormal yang berujung tumor ini akan menyebar dengan cepat sehingga penanganan harus segera dilakukan terhadap penderita.
"Tak bisa kita pastikan 100 persen, tapi mudah-mudahan dengan operasi ini, semua akan lebih mudah dijalani untuk ke depannya." Begitu penjelasan dokter yang kutangkap saat mengobrol singkat dengan ibu. Ibu tidak banyak bercerita, bahkan terkesan enggan untuk bercerita lebih.
"Dokter bilang, kamu akan sembuh, Sa. Setelah operasi semua akan baik-baik saja." Begitu kata ibu.
Aku hanya mengangguk. Memastikan pada diriku bahwa semua baik-baik saja memang yang terbaik.
"Berapa lama lagi aku harus dirawat, Bu?"
"Lima hari. Kita tunggu perkembangan setelahnya. Bisa lebih cepat dan bisa juga lebih lambat."
***
Tiga hari setelah operasi aku merasa lebih sehat. Tak ada gejala-gejala yang selama ini tiba-tiba menyerang, seperti kejang yang berlebihan, pandangan yang tiba-tiba kabur, atau badan yang drop. Hingga pada hari keempat, aku nerasakn sesuatu yang berbeda, suaraku sering tercekat. Lebih tepatnya, aku kesulitan berbicara.
Aku meminta bantuan ibu yang selalu duduk di sampingku dengan memberinya kode. Ibu langsung panik dan memanggil perawat. Alisya datang untuk memberitahu bahwa itu adalah gejala biasa yang dimiliki oleh pengidap Glioblastoma.
"Tak usah panik, Ibu. Nanti juga akan kembali normal."
Ibuku bernapas lega. Dia menggerakkan tanganku seperti biasa. Kali ini, bibir ibu terlihat komat-kamit tak tahu harus berkata apa. Dia menatapku sendu. Ada gurat ketakutan dalam tatapan ibu. Aku sangat kasihan melihatnya. Ini sebenarnya yang menjadi alasanku kepada dokter minggu lalu untuk tidak memberitahu ibu tentang penyakit ini. Ibu sudah mengalami terlalu banyak kepahitan di masa lalu. Biarlah ini masaku. Di usia ibu yang sekarang, aku tak ingin dia menanggung beban baru lagi.
Namun, tentu saja tak mudah. Setelah tahu aku harus menginap di rumah sakit, ibu mencari tahu kebenaran kenapa aku harus dirawat, bahkan dioperasi. Akhirnya, meski tak mudah ibu diberitahu. Aku tahu bagaimana hancurnya hati ibu. Aku memahami benar-benar bagaimana kalutnya perasaan ibu. Aku dan ibu yang saling merangkul pada masa hilangnya kekokohan keluarga kami. Aku masih kecil saat menyaksikan ayah pergi dari rumah setelah menjalani proses hukum yang berkepanjangan. Saat itu aku yang belum bisa berbuat apa-apa hanya menjadi saksi pertempuran hebat antara ayah dan ibu. Kakakku, Gea, memilih pergi dan tak pernah pulang setelah hari itu. Baru setelah aku kuliah aku menyadari tindakan Kak Gea adalah satu dari sejuta alasan kekecewaannya terhadap ayah dan ibu.
Aku dan ibu tinggal di rumah yang selama ini kami tempati saat keluarga masih utuh. Tapi, dengan alasan yang tidak terlalu pasti, ibu menjual rumah itu dan membeli rumah baru dan tidak di pusat kota. Saat-saat ibu memperjuangkan aku sendirian adalah saat yang bersamaan dengan perjuangan ibu terhadap hatinya yang hancur. Bagaimanapun juga, ibu kehilangan banyak setelah bercerai dengan ayah. Mungkin, bukan tentang materi. Ibu kehilangan orang yang pernah mencintainya, yang pernah berjanji akan sehidup sesama dengannya baik di kala senang maupun susah. Ibu juga kehilangan kesempatan untuk memberi cinta pada anak pertamanya. Karena Kak Gea yang tidak pernah berterima dengan keputusan itu akhirnya memilih pergi. Jadi, aku paham bagaimana ibu mendengar anak bungsunya yang dipertahankan sedari kecil harus mengidap tumor otak stadium IV.
***
Lima menit yang berlangsung sangat panjang, seperti kata Alisya, aku merasa kembali normal, tapi dorongan kuat dari dalam perutku yang dengan hitungan detik menggodok isi perutku. Aku merasa mual dan pusing. Dengan isyarat kuberitahu Alisya dan perawat itu dengan sigap membawakan wadah kecil. Aku muntah untuk pertama kalinya.
Isi perutku kembali kosong. Makanan yang kutelan dengan susah payah kini sudah kumuntahkan. Lagi dan lagi, Alisya menjelaskan sama ibu bahwa itu adalah proses penyembuhan yang lazim. Ibu hanya bisa mengangguk penuh harap. Ibu menggenggam tanganku dengan kuat, kekuatan yang masih kurasakan saat aku perlahan tertidur pulas.
Patah sebelum Terikat
Hari ini, Alisya tidak datang seperti jam biasanya. Seharusnya, pada jam segini, Alisya akan membawa senyuman khasnya untuk nenyapaku yang sudah dirawat beberapa hari lamanya. Dia perawat dengn karakter yang menyenangkan. Selain ramah, dia sangat inisiatif untuk menjalankan tugasnya. Dia gadis manis dengan pribadi yang baik. Aku senang karena Alisya sering menenangkan seolah tahu aku butuh itu.
Seorang perawat masuk. Hari pertama dirawat, aku ingat dia yang mendampingi dokter ahli saraf memberiku penjelasan. Keesokan harinya dan seterusnya, Alisya yang setiap hari ada. Perawat yang begitu perhatian dan bersahabat.
"Selamat pagi, Mbak." Dia menyapa lazimnya sapaan formal perawat lainnya. "Saya Fanny. Akan menggantikan Alisya untuk beberapa hari lamanya.
Sambil melihat Fanny sejenak, aku mengangguk. Aku sedang berpikir bahwa itu adalah hal yang lumrah. Bisa saj terjadi karena efek pergantian shift.
"Alisya ganti shift, ya?" Aku mencoba berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Fanny menggeleng.
"Dia disanksi sama kepala perawat." Fanny sedikit tersungging.
"Disanksi bagaimana?"
"Masa iya Mbak tidak tahu? Dia, kan, sangat tidak profesional."
Semakin tidak paham, aku menatap wajah Fanny penuh tanda tanya. "Selama merawat saya, bahkan tidak ada yang salah. Dia sangat bangus dalam melayani."
Fanny terdiam sejenak,
"Buktinya, dia kena sanksi sekarang," ucapnya sedikit ketus. Aku merasa ada ketidaksinkronan. Keseharian Alisya malah terlihat bagus dan tidak sesuai dengan yang diucapkan Fanny.
"Dia memang pantas, sih, mendapatkan itu." Fanny menambahkan ucapannya. Aku tak menyahut.
***
Dirga datang sore harinya. Aku terbangun saat mendengar sayup-sayup suara Dirga menitipkan makanan ke Fanny.
"Ga." Aku memanggil pelan. Dirga menoleh dan senang. "Jangan repot-repot tiap sore. Kamu juga capek kerja dari pagi."
"Nggak capek, kok." Dirga membuka kotak makanan yang dibawa dan menunda pulang. "Kirain tadi kamu masih tidur, udah niat mau supaya biar kamu bisa istirahat."
"Aku udah tidur dua jam."
"Iya. Ini makanan dari Rehagana. Dia kerja lembur tiap hari."
"Iyah. Dan dia mengerjakan bagian pekerjaanku pasti."
"Nggak usah dipikirin. Yang penting kamu sehat dulu."
Fanny masuk ke ruangan. Dia tersenyum ramah.
"Selamat sore."
Aku mengangguk. Dirga terdiam sejenak. Setelah Fanny menjauh, Dirga mendekatkan wajahnya.
"Alisya mana?"
"Hari ini bersama Suster Fanny."
"O, ya?"
"Iya. Ganti shift mungkin."
Dirga seperti berpikir sejenak. Merasa tidak yakin dengan jawabanku, dia kembali melirik Fanny yang sedang membelakangi kami sambil menyiapkan makanan.
"Hari ini, Alisya ada di ruangan lain." Tiba-tiba Fanny berkata. Dirga memalingkan wajahnya.
"Kok, bisa?"
"Ya, bisalah. Dia kena sanksi. Nggak profesional, sih."
Dirga memicingkan mata ke arah Fanny. Kutatap Dirga yang masih terdiam hanya untuk mempertanyakan hal itu. Sedikit berlebihan dari Dirga yang kukenal. Buat apa juga? Toh, itu bisa saja menjadi aturan rumah sakit, ya, biarkan saja.
"Kenapa, Ga?"
Dirga menggeleng.
Tiba-tiba, Fanny melengos sambil berlalu keluar dari ruangan. Dia terlihat kesal entah siapa di antara kami berdua yang paling mengesalkan baginya. Sesaat, aku menebak usia Fanny kisaran baru menginjak usia 20 melihat karakter masih labilnya di dunia kerja.
Saat Fanny sudah berlalu, Dirga melemparkan pandangan penuh curiga. Dia tiba-tiba bangkit berdiri dari tempatnya setelah sekian menit terdiam dan seperti mempertimbangkan sesuatu.
"Aku pergi dulu. Kamu beristirahat, ya."
Aku tak menyahut. Hanya melepas kepergian Dirga dengan pikiran tak menentu. Pertanyaanku tak dijawab oleh Dirga. Atau, barangkali tak memiliki jawaban.
***
Dua hari, aku tak melihat Alisya. Fanny yang datang menyambutku pagi hari dan menyediakan segala perlengkapan mulai dari makanan, obat yang harus kukonsumsi hari ini, hingga memperhatikan kebersihan.
Pagi ini, saat Fanny tengah sibuk meracik obat yang sudah diresep, aku membuka HP. Seperti biasa, mendapat pesan dari beberapa teman dekat, dan yang selalu setia adalah Dirga dan Rehagana. Grisela juga kadang menanyakan perkembangan, tapi komunikasi kami tak sesering dulu. Dia sudah bekerja di luar kota dan pekerjaannya menuntutnya untuk kerja keras sehingga dia tak selalu punya waktu yang banyak untuk say hi. Aku memahami itu dengan baik.
"Dirga datang hari ini, Mbak?" Fanny bertanya.
"Belum tahu. Biasanya, kalau sedang tibak sibuk atau kecapean." Aku merasa tak aneh dengan pertanyaan Fanny. Kenapa dia hanya menanyakan Dirga, padahal Rehagana juga sering menjengukku.
"Oh, iya." Dia tersenyum.
"Memangnya kenapa?"
"Emm... Nggak apa-apa."
"Serius?"
"Hm, sebenarnya..."
"Apa?"
Fanny sedikit ragu. Matanya menyiratkan suatu kekhawatiran kecil yang segera ditepisnya.
"Aku akan ngomong sama Mbak. Tapi, janji jangan bilang Alisya. Itung-itung Mbak juga bisa membantuku untuk ini."
Aku duduk dengan bersandar ke punggung tempat tidur. Kusoroti mata Fanny yang sudah siap untuk menjawab rasa penasaranku.
"Aku yang mengatur rencana ini dengan melapor ke kepala perawat supaya aku ditempatkan di ruangan Mbak." Fanny setengah berbisik. Darahku mendesir.
"Maksudnya, kamu yang memfitnah dan mengatakan ketidakprofesionalan Alisya?"
Fanny mengangguk. Aku merasa tak yakin bagaimana rekan kerja bisa mematikan nuraninya untuk hal licik seperti itu. Tak percaya dengan kenyataan amyang ada di depan mataku bahwa orang yang merawatku kini bekerja dengan busuknya di belakang untuk mendapatkan perhatian lebih dari atasan. Aku menelan ludah yang terasa lebih pahit dari beberapa hari terakhir.
"Tapi, kenapa? Buat apa kamu melakukan itu?"
Fanny terdiam. Beberapa saat penantianku menjadi lebih lama dari biasanya. Rasa campur aduk setelah mengetahui Fanny yang sejahat ini dengan menjatuhkan rekan kerjanya. Aku tak habis pikir bagaimana cara mematikan nurani dengan baik dan merasa tenang untuk masih bisa tersenyum menikmati hasil kerja jahat itu. Aku memandang Fanny dengan nada kecewa seolah akulah yang dirugikan. Bukan apa-apa, aku pernah mendengar cerita beberapa teman tentang ini. Bahwa dunia kerja adalah dunia yang harus siap dihadapi dengan keadaannya.dunia kerja sering menjadi lembah hitam karena di sana orang baik sering menjadi rugi oleh orang-orang yang terlalu cinta uang. Menjilat atasan dengan memperburuk citra rekan kerja. Mungkin, Fanny contoh nyatanya.
"Emang cuma yang sedang merugikan, ya? Emang aku yang salah seratus persen,Mbak, saat aku melapor ke atasan?" Fanny terlihat emosional.
"Jadi, kamu merasa tak bersalah dengan itu? Jelas-jelas kan dia juga maksimal perawatannya bukan seperti fitnahanmu ke atasan." Aku berkata dengan tetap menjaga tekanan supaya Fanny tidak tersinggung. Menyoroti raut wajah Fanny yang tiba-tiba murung, aku memicing.
"Bagaimana dengan Alisya yang mengatur ruang jaganya? Apa itu tidak bisa disebut picik?"
"Apa?"
"Ya, aku memang bodoh. Aku harus mengakui, aku cemburu."
"Cemburu? Atas apa?"
Fanny menunduk.
"Dirga."
"Dirga? Dirga teman baikku di kantor. Wajar dia datang karena kebetulan lewat dari sini sepulang kerja. Lantas, buat apa kamu cemburu?"
"Dengan leluasanya Alisya masuk ke ruangan ini, sebebas itu juga dia bisa melihat Dirga. Dia bahkan mengatur ruang jaga demi bisa melihat Dirga."
"Astaga, Fanny. Iri hatimu berlebihan. Alisya hanya merawatku. Kebetulan saja dia jadi perawatku."
"Sekadar perawat? Tidak, Mbak."
"Lalu, apa?"
Sekarang, giliran Fanny yang menyorotiku.
"Mbak mengaku berteman baik dengan Dirga. Apa Mbak yakin dengan itu?"
Aku tak menjawab. Hanya melihat satu kesungguhan dari tatapan Fanny.
"Dirga itu pacarnya Alisya, Mbak." Fanny melontarkan kata itu ke udara sambil bersandar di dinding sebelahku. Aku menoleh. Kulihat sinar mata Fanny yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Dan... yah, aku merasa jahat sekarang. Intonasi bicara Mbak Tarissa begitu kecewa dengan hal yang kulakukan. Aku memang jahat." Aku tak benar-benar mendengarkan kata-kata penyesalan Fanny. Aku menatap ke luar dari jendela yang menyoroti pohon hijau di luar ruangan. Aku ingin Fanny mengulangi kata-kata yang diucapkan sebelum aku merasa tak yakin ada sesuatu yang salah dengan pendengaranku.
Hal yang kualami dalam minggu-minggu terakhir, membuatku sering merasa tak yakin akan beberapa hal. Dan kali ini, rasa tak yakinku makin kuat. Tak yakin dengan apa yang kudengar. Tak yakin aku tidak sedang bermimpi.
Fanny sudah berlalu, hari ini Dirga tak datang. Malam makin larut saat aku masih saja memikirkan sekuat apa aku menjalani hari esok.
Rival in Love
"Sa."
Aku menoleh, lalu sejenak menghalau pandanganku. Aku sedang berusaha untuk menghilangkan segala apa yang kurasakan. Ini tahun kedua aku mengenal Dirga, tapi ternyata benar kata Fanny, aku tak benar-benar mengenal dia seperti yang selama ini kupikirkan. Aku syok seperti belum benar-benar yakin dengan semuanya. Belum berterima dengan kenyataan yang mungkin itu adalah kebenaran.
Tahun kedua menjatuhkan hati pada Dirga, diam yang kadang menyesakkan dalam harapan indah. Harapan bahwa suatu saat dia akan memiliki perasaan yang sama. Hingga suatu saat juga semua akan menjadi nyata. Dia akan mencintaiku juga.
"Tarissa..." Sapaan hangat Alisya membuyarkan kekalutan pikiranku. Pukul 09.30. Hari ini, Alisya yang datang lagi. Padahal, kalau ingin jujur, aku belum siap dengan diriku untuk berhadapan dengan Alisya lagi ini tanpa rasa canggung.
"Makin sehat, kan? Gimana perasaannya sekarang?"
"Eng... Perasaan?" Rasa kikuk yang tak diundang menerpaku. Merasa bodoh dengan pemikiran sendiri, aku mencoba mencairkan suasana, setidaknya untuk diriku sendiri. Pagi ini, tiba-tiba terlalu sulit untuk menjadi seperti biasanya. "Aku baik. Kesehatan makin baik, maksudku."
Alisya mengangguk senang. Bibirnya mengembang menarik wajahnya yang menguarkan aura.
"Bagaimana dengan perawatan Fanny? Nyaman, kan?" Alisya melihat ke arahku dengan masih tersenyum. Sambil meracik obat untuk kuminum lagi ini, dia menoleh menunggu jawaban.
"Nyaman." Aku berpikir sejenak. "Tapi lebih nyaman sama kamu." Aku berkata sesuai dengan apa yang kurasakan. Alisya sangat bersahabat sejak awal. Langsung membaurkan diri ku juga sejak awal. Itu yang menjadi alasan hari-hari pertama rawat inap aku langsung merasakan betah untuk dirawat karena Alisya.
Aku tak bisa berbohong, ada rasa ngilu yang menjelma dalam rasa-rasa yang sulit kupahami. Memaknai setiap temu yang sulit kubayangkan sehingga dengan mudahnya merasa nyaman dengan Dirga, aku merasa sedang berada di arena rasa nyaman yang sama saat berada di depan Alisya. Gadis ini selain manis dalam makna denotasi, juga manis dalam tindakan. Dirga juga berawal dari hal manis itu sehingga untuk beberapa bulan saat aku tak berhenti mempertanyakan apakah memang Dirga yang menjadi cinta pertamaku setelah dulu pernah berniat untuk tidak pernah jatuh cinta saat menjadi saksi lehanicinta dalam keluargaku. Suatu hari kubulatkan hatiku untuk berkata ya setelah beberapa bulan kompromi batin.
Dulu, aku selalu berpikir bahwa aku tak boleh jatuh cinta pada orang yang salah, tak boleh jatuh cinta pada waktu yang salah, dan tak boleh jatuh cinta di ruang yang salah. Hari ini, aku tersenyum miris. Aku gagal dengan komitmen yang kumiliki. Aku jatuh cinta pada Dirga. Itu fakta yang amat sulit kubohongi pada diriku sendiri. Sehingga ketika tahu ternyata Dirga sudah dimiliki oleh Alisya, aku merasa sama sekali tak berhak untuk menerima cinta siapa pun.
"Nggak satu-dua kali Fanny mengusik hubungan kami dengan caranya." Alisya duduk di sebelahku. "Sebelum ini, dia juga pernah berusaha menjatuhkan aku supaya rekan kerja lain membenciku. Aku nggak tahu kenapa bisa Fanny yang hanya karena ingin memiliki Dirga melakukan cara-cara jahat seperti itu."
Menunduk lemah, Alisya memainkan kuku-kukunya yang dibiarkan memanjang dan memiliki bentuk-bentuk rapi dan cantik. Aku memandang lurus ke depan sambil dengan saksama mendengar cerita selanjutnya dari Alisya.
"Fanny nggak tahu, hubunganku dan Dirga itu sudah serius. Kami sudah menjalin hubungan selama empat tahun terakhir."
Aku terhenyak. Menatap wajah Alisya yang keruh membuatku merasa semakin sakit. Ya, empat tahun bukan waktu yang singkat untuk merencanakan sesuatu yang lebih serius di masa depan. Tak akan mudah jika setelah cukup jauh melangkah, di perjalanan ada seseorang yang menjadi sandungan, fatalnya seseorang itu justru rekan kerja atau teman dekat yang setiap hari harus kita hadapi.
Alisya tiba-tiba menatapku dengan wajah tak menentu yan membuatku makin payah menyembunyikan sikap. Saat jemari Alisya meraih tanganku yang terlihat kurus kering di hari belakangan, aku kesusahan menahan tanganku supaya tidak gemetar.
"Sa, kamu adalah teman Dirga. Dan kamu adalah temanku juga. Itu kenapa aku menceritakan ini sama kamu."
Aku mengangguk saat tiba-tiba merasakan kepala seperti digodam oleh martil raksasa ribuan kali. Sakit oleh Glioblastoma, sakit kanker otak stadium tinggi yang kurasakan beberapa hari terakhir menjadi tidak berarti. Alisya yang menatap tulus ke arahku terlihat simpatik entah oleh alasan apa yang membuatku merasa makin kecil.
Mengapa aku merasa terebani saat mendengar kata-kata Alisya? Kita adalah teman. Itu fakta yang tidak terlalu buruk karena menganggap teman kekasihnya adalah teman dia juga. Tapi, mengapa jadi semenyakitkan ini?
"Sa."
Aku terdiam. Dengan kikuk dan berusaha terlihat biasa, aku memandang Alisya.
"Cepat sembuh supaya kita bisa bercerita dengan leluasa."
Tanganku yang sedari tadi dipegang oleh Alisya kini dilepas. Ada rasa ingin yang menjalari tubuhku saat pegangan itu merenggang.
"Aku pamit dulu. Nanti datang lagi," ujar Alisya. Aku mengangguk meleps kepergian Alisya. Ada sedikit rasa lega karena aku akan bisa berekspresi bebas setelah ini, tapi sisanya adalah Kelu yang tak bisa aku uraikan dengan kata-kata.
Mataku berkaca-kaca meskipun aku benar-benar tak mengharapkan. Aku segera menghapusnya sebelum isakan perlahan keluar dari mulutku. Ada hal yang berkecamuk dalam pikiranku diiringi dengan rasa haru yang membuncah.
Alisya menganggapku sebagai teman yang nyatanya aku sedang menyimpan perasaan terhadap Dirga. Apahakah Alisya harus tahu itu? Atau mungkin perasaan ini harus ditutup lebih rapat lagi? Bagaimana mungkin selama ini semua masih kurang tertutup bagiku? Diam-diam yang menyakitkan ini, mungkinkah akan lebih berarti jika kusimpan untukku saja?
Cinta Selapang Lautan
Walaupun sangat berat mengiyakan, hari ini kumohonkan pada ibu untuk beristirahat total di rumah. Khawatir ini malah jadi drop karena istirahat di rumah sakit tak benar-benar sesantai saat di rumah. Beberapa kali ibu meyakinkan dia tidak apa-apa sehingga kami seperti dua teman yang saling merasa tidak enak satu sama lain.
"Tidak apa. Ibu di sini saja. Di sini kan bisa juga istirahat," ujar ibu meyakinkanku. Aku menggeleng menolak ibu untuk tetap tinggal.
"Ibu pulang saja. Besok datang lagi. Ini aku juga pulang tinggal menunggu hari, kan? Jadi, ibu pulanglah."
"Tapi...."
"Ibu, tolonglah. Ibu di sini malah membuatku jadi cemas. Bagaimana kalau ibu sakit? Kita berdua sakit. Gimana?" Aku mengusap lengan ibu saat dengan terpaksa ibu meraih tasnya untuk melangkah pulang.
"Ibu langsung istirahat. Jangan memikirkan hal lain."
Ibu tak menjawab. Saat sudah berada di belakang pintu, dia kembali menoleh untuk meminta Alisya memastikan perawatanku hari ini akan akan berjalan lancar seperti biasa.
"Kamu istirahat yang cukup. Jangan memikirkan hal lain." Ibu melempar ucapanku barusan sehingga aku tertawa kecil.
Aku tak tahu apakah aku tak akan memikirkan hal lain hari ini, aku tak bisa janji untuk itu. Karena itu, sulit rasanya mengiyakan permintaan ibu.
***
Aku menatap atap yang berada di atas pembaringanku. HP ku berdering setelah sedari tadi seperti enggan mengapa. Aku melihat wajah Rehagana tercetak besar di layar sebagai foto profil WA-nya. Aku berfikir sejenak, lalu menggeser tombol hijau.
Kulihat wajah lelah Rehagana yang langsung menampakkan senyumnya saat tahu kami sudah tersambung.
"Aku nggak bisa datang hari ini, Sa." Rehagana masih di kantor. Dia masih berdiri di belakang meja kerjanya. Memperlihatkan suasana kantor yang tak asing, hatiku merasa pedih.
"Aku rindu suasana kantor," ucakku jujur pada Rehagana.
"Aku juga merindukanmu, Sa." Ucapan Rehagana sontak membuatku terdiam. Sorot mata Rehagana tepat di depan mataku. Meskipun dalam jarak jauh via media sosial seperti ini, aku bisa merasakan ketulusan perasaannya. Aku tergerak untuk melakukan semacam uji nyali. Kutatap wajah Rehagana. Orang yang mengaku mencintaiku untuk kemudian kutolak. Lalu, setelah itu semua berjalan seperti biasa walaupun jelas aku memahami seberapa beratnya menjadi Rehagana pada awal-awal penolakan. Yang membuatku salut adalah Rehagana yang menjalani hari-hari senormal mungkin walaupun saat itu aku menjadi sedikit canggung.
"Besok aku ke sana lagi."
Aku tak menyahut hanya mengangguk kecil sebagai balasan. Rehagana tersenyum ke arahku.
"Hari ini aku nggak bisa datang," ujarnya lagi seolah tak puas dengan pernyataan barusan.
"Aku paham."
Tentu saja aku tahu Rehagana hanya tak akan datang jika dia sedang sangat sibuk di kantor.
"Aku ingin memastikan kau baik-baik saja, Sa." Kata-kata itu menggantung di udara dan seolah enggan untuk tak segera larut ke bumi sehingga memilih melekat di atas langit.
"Jangan sebaik itu. Aku merasa bersalah." Ujaran yang tak kurencanakan melesat melewati sudut bibirku. Aku tak ingin Rehagana menambah beban hidupnya karena diriku. Sudah cukup hal baik yang selama ini diberikan.
"Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu?"
"Aku merasa jahat karena tak bisa membalas kebaikanmu."
Rehagana terkejut sehingga terdiam beberapa detik.
"Kamu yakin dengan apa yang sedang kamu bicarakan, Sa?" Rehagana menatapku dengan lekat di layar. "Kamu lupa kita berteman sudah sedekat ini?"
"Tapi, aku merasa terbebani karena merasa kebaikanmu tak seimbang dengan pembalasanku."
"Apa definisi berteman menurutmu harus tentang balasan yang seimbang? Kalau itu yang kamu pikirkan, aku tak akan bis memahami cara berteman yang sematerialis itu. Jika berteman hanya tentang saling memberi dengan hitungan yang harus sama, apa gunanya pertemanan untuk saling melengkapi?"
Aku menggigit bibir menahan diri untuk tidak menangis.
"Kamu merasa bersalah bukan karena tak bisa membalas kebaikanku, Sa. Tapi, karena tak bisa memberi balasan untuk mencintaiku. Iya, kan?"
Aku mengalihkan pandang. Sekilas kulihat sudut kamar yang begitu putih dan bersih.
"Jika bukan karena cinta ini, aku juga tak akan bisa selalu mengingat untuk menanyakan kabarmu setiap hari, Sa. Aku juga akan lebih baik bekerja dengan serius, pulang, tidur, dan bekerja lagi keesokan harinya. Tapi, aku tak bisa. Rasa cintaku membuatku mengkhawatirkanmu setiap saat. Kamu boleh tak percaya, tapi setelah tahu dengan penyakitmu, aku seperti tak memiliki alasan untuk bisa bahagia. Aku mencintaimu sedalam itu, Sa. Jangan pikirkan tentang balasan. Cinta tak butuh balasan sebesar pemberian cinta itu sendiri."
Air mataku tak bisa bertahan. Aku terisak kecil dengan kata-kata Rehagana yang begitu dewasa dengan pikiran-pikirannya.
"Jika balasanmu yang kutunggu, harusnya aku sudah hilang dari kehidupanmu setelah hari itu, kan?"
Aku mengangguk. Tak harus minta maaf untuk ke sekian kalinya, aku sudah paham Rehagana tak butuh itu.
"Cinta yang kumiliki membuatku mempertahankanmu sebagai temanku. Karena itu, sebagai teman, sebagai orang yang mencintaimu, izinkan aku untuk selalu tahu keadaanmu tiap hari, Sa. Jangan pernah terbebani memberi kabar pada seorang teman."
"Bagaimana caramu bisa selapang ini, Re?" Bayanganku menjurus ke wajah Dirga yang kucintai diam-diam sekian lama. Dilanjutkan lagi dengan senyum Alisya yang sangat manis dan sikapnya yang begitu bersahabat membuat ulu hatiku terasa sakit. Aku tak bisa selapang Rehagana. Aku tak bisa seberterima itu menerima fakta bahwa Dirga sudah milik Alisya setelah hatiku sepakat memilih untuk mencintainya secara sepihak.
"Cinta, Sa. Cinta itu selapang lautan. Kamu tak butuh api untuk membakar amarahmu karena itu akan menghasilkan ledakan. Cinta selalu menerima. Hal baik akan menjadi bagian yang indah dan yang buruk akan menjadi bagian penerima."
Aku terisak.
"Jangan menangis. Besok aku datang. Bersama Dirga."
Cara Tuhan selalu aneh. Mempertemukan dengan Rehagana adalah keanehan yang mahasempurna.
Menit yang Bisu
Sebenarnya, aku merasa operasi tak cukup membantu. Mungkin saja sel-sel abnormal di bagian otak sudah diambil, tapi aku tak yakin itu akan seberhasil yang kupikirkan ada awalnya. Sehari setelah operasi, aku merasakan badanku sangat kelelahan. Awalnya, berpikir positif bahwa itu mungkin tenaga saat operasi dan tekanan batin yang kualami terkuras karena syok.
Ini hari ke sekian dalam beberapa hari ini, kepulanganku ditunda. Dokter menyarankan penambahan waktu dirawat di rumah sakit. Harusnya paling lama tujuh hari aku sudah bisa dirawat di rumah. Namun, karena badanku yang semakin lemah dan sering kejang-kejang juga pandangan kabur, aku butuh perawatan yang serius.
Alisya harus lembur di rumah sakit karena menolak memercayai perawatanku kepada orang lain. Dia melapor ke atasannya supaya diberi kepercayaan penuh untuk merawatku selama di rumah sakit, padahal banyak perawat lain yang bersedia untuk itu.
"Dirga memintaku untuk merawatmu dengan baik, Sa."
Pernyataan itu membuatku terharu sekaligus merasa sakit. Namun, demi menjaga semuanya, aku mengangguk,
"Terima kasih atas kebaikan kalian."
Nada bicaraku tak biasa. Getaran suaraku menyiratkan hak yang sangat bisa kumaknai. Gadis di depanku ini adalah kekasih orang yang aku cintai. Bagaimana aku bisa merasa baik-baik saja dalam masa perawatan ini? Sekaligus, gadis yang di depanku ini adalah orang yang sangat tulus. Bagaimana aku tak berterima kasih atas ketulusan itu?
***
Denyut di kepalaku semakin terasa. Aku berbaring berharap semua menjadi lebih mudah. Rasa sakit yang makin menjamur membuat tubuhku menjadi makin mengejang. Aku tahu bagaimana seterusnya. Jika aku bisa bertahan dengan rasa sakit, aku akan bisa bernapas lega untuk puluhan menit berikutnya. Maka, ini adalah menit-menit sulit yang akan aku hadapi.
Kukatupkan mulut dan kututup mataku untuk menahan jelmaan rasa perih. Kelapaku sangat sakit seakan ada puluhan manusia makhluk tak kasat mata yang menarik-narik rambutku sesuka hati. Pada menit yang entah ke berapa, aku berteriak merasa tak sanggup seiring wajah panik Alisya yang makin hilang dari pandanganku.
Alisya berlari keluar ruangan. Dia mungkin hendak memanggil dokter atau mau ngapain aku tak benar-benar peduli lagi. Dalam rasa sakit yang menyiksa ini, aku tak tahu bagaimana sikapku dalam berjuang. Rasa sakit yang entah bagaimana menggambarkannya. Ditambah dengan pandangan yang kabur di tiap rasa sakit yang merajai tubuhku, aku sangat tak berdaya jika semua tiba-tiba menjadi gelap.
Rasa takut yang sangat menyedihkan saat semua ruangan mengabur dari pandanganku entah untuk berapa lama.
***
Alisya menjelaskan dengan penekanan dan diksi yang sangat berusaha setepat mungkin. Rasa sakit yang masih sering kurasakan itu tak lain dari sel-sel kanker yang masih tertinggal.
"Besok akan diadakan radioterapi," ujar Alisya. Radiologi terapi dilakukan untuk membersihkan sel kanker yang masih ada di dalam otak. Setelah radioterapi, akan dilanjutkan ke kemoterapi.
Aku tahu konsekuensi kemoterapi. Dan ibu sempat merasa syok, tak siap mendengar hal itu. Awalnya, ibu, sebagaimana aku, juga menduga bahwa semua akan aman setelah operasi. Tapi, ternyata sulit.
"Sel kanker itu bukan seperti kita sakit perut biasa. Hari ini sakit, besok tidak serta-merta langsung sembuh. Ada tahapnya."
"Tapi, Dokter, anakku bisa sembuh berapa bulan lagi?"
"Kalau kemoterapi berjalan dengan lancar, sekitar tiga bulan sudah membaik."
Aku mendengar ibu dan Dokter Gabriel berbicara. Setengah diskusi yang berlangsung, selebihnya kekhawatiran ibu yang selalu ditutupi saat sedang bersamaku.
"Semua pasti akan berlalu, Bu. Hanya butuh pengharapan. Keputusan terbaik tetap milik Sang Khalik."
Menit yang semakin bisu saat aku tak mendengar suara ibu. Ibu seperti kehabisan suara atau kehilangan semangat untuk berbicara, dua hal yang sama-sama membuatku tak berdaya. Dokter Gabriel permisi dan mengucapkan salam dengan formal.
Aku ingin menyapa ibu. Ingin mengatakan tak perlu khawatir. Aku ingin berjanji secepatnya bisa keluar dari rumah sakit tanpa merepotkan ibu lagi. Tapi, aku urung. Aku hanya menyiratkan satu tatapan merasa bersalah sana ibu. Masalah kapan bisa keluar dari ruangan ini, nanti jawabannya setelah perjalanan kemo.
Jika kemoterapi berjalan dengan baik, semua pasti akan lebih mudah dari yang dibayangkan. Aku hanya memberikan untuk jam-jam berikut atau malah di hari-hari yang akan datang, tak ada lagi waktu yang berjalan sebisu ini. Aku tak ingin ibu terdiam. Aku hanya ingin melihatnya tidak terlalu mengkhawatirkan aku. Karena jika dulu, di masa semua masih ada, masa ayah belum pergi atas nama pudarnya cinta, masa Kak Gea tak memilih meninggalkan rumah, aku juga ibu, masa itu kihabiskan fengn menuntut cinta dan perhatian dari masing-masing mereka. Hingga setelah semua sirna, tinggal ibu yang masih ada, otomatis rasa hus akan kasih sayang itu hilang. Kecengengan anak kecil lazimnya tak melekat lagi dalam diriku. Maka, aku tak heran saat Wali kelasku kelas lima SD, sekaligus guru agamaku tersayang yang beberapa waktu lalu meninggalkan karena serangan jantung, pernah mengatakan bahwa aku anak kecil yang sangat cepat dewasa. Sedewasa penerimaanku untuk tetap berada bersama ibu. Berjanji menjaganya sampai hari tuanya.
***
Penyakit yang kuderita hanya memberiku satu pilihan kemoterapi, yakni dengan cara mengonsumsi pil. Selama ini, obat yang kukonsumsi untuk meredakan masih obat umum tanpa dosis tinggi. Namun, pada kemoterapi ini, dokter menjelaskan bahwa obat yang kukonsumsi adalah obat berdosis sangat tinggi.
Temozolamide, pil yang akan kukonsumsi untuk kemoterapi, akan kukonsumsi sehari sekali, sesuai anjuran dokter. Obat ini dimasukkan di dalam kapsul dan langsung diminum tanpa harus mengeluarkan dari kapsul tersebut. Dari awal dokter berpesan bahwa kapsul yang rusak akan membahayakan. Serbuk obat yang di dalamnya sangat berbahaya jika dihirup atau menyentuh kulit.
Kemoterapi tahap pertama berlangsung setelah dicek bahwa aku tidak punya riwayat alergi. Aku berharap semua prosedur perawatan berjalan dengan baik dan penyembuhan lebih cepat dari yang seharusnya. Dan, tentu saja, aku harus bersiap dengan segala yang akan terjadi setelah ini. Semua tak bisa diduga maka segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang. Kesiapan batin, khususnya.
Cinta Kadaluarsa
Rambutku mulai rontok. Helai per helai bercecer di lantai terkadang dalam jumlah besar yang membuatku terasa ngeri. Aku juga kehilangan nafsu makan sehingga dengan cara apa pun perutku menolak setiap makanan yang masuk.
Sedikitnya asupan makanan dan efek dari temozolomide yang berdosis tinggi membuatku merasa kelelahan meskipun hanya berbaring. Aku merasakan perpaduan antara sakit badan, kepala, dan rasa lelah yang berkepanjangan. Memang, setelah kemoterapi, rasa sakit yang ada di kepalaku tidak seperti dulu yang kadang terasa dililitkan tali besar lalu ditarik bersamaan dari berbagai posisi. Namun, badanku kian lemas.
Berat badanku sudah berkurang 5 kilogram selama kemoterapi berjalan. Alisya beberapa kali membesarkan hatiku dengan caranya supaya aku mau makan. Aku melihat ibu juga semakin kurus, padahal tidak sedang sakit. Aku tahu ibu. Aku tahu apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya. Sehingga, sering bukan karena cara Alisya, tapi demi melihat ibu, aku memaksakan diri untuk makan. Biar cepat sembuh, biar ibu tak perlu bersedih lagi.
***
Ibu terpaku saat pertama kali melihat setumpuk rambut yang ada di lantai. Dengan pelan, ibu memungut kemudian mendekatiku.
"Makan yang banyak biar cepat sembuh." Suara ibu parau. Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum melihat ibu. "Kamu masih ingin bahagia melihat Dirga, kan? Dia anak yang manis. Kamu akan bahagia bersama dia."
Aku terpana. Setahuku, ibu jarang membicarakan tentang perasaan. Tapi, semenjak tahu aku suka Dirga, ibu kadang menyemangatiku dengan guyonan ala anak muda seperti itu.
"Bagaimana rasanya ditinggal ayah, Bu?" Seumur-umur, ini kali pertama aku bertanya soal yang satu ini. Dari dulu, aku menghindari pertanyaan itu untuk menjaga suasana dan hal lain yang mungkin akan membuat ibu merasa tak enak hati. Akan tetapi, sedikit aneh saat kali ini kulihat sedikit cahaya di wajah ibu. Bukan semangat karena harus mengenang satu peristiwa terpahit yang pernah dialami seorang wanita yang pernikahannya gagal. Ini lebih kepada antusiasme bercerita kepada putri satu-satunya yang memilih sama-sama bertahan pada masa tersulitnya.
Ibu menjatuhkan pandang padaku. Menatap sendu ke wajahku yang kata ibu kian tirus.
"Seorang wanita yang menikah selalu berharap di dalam hatinya bahwa laki-laki yang menikahinya adalah malaikat terakhir di hidupnya. Definisi malaikat... kamu pasti tahu, Sa. Malaikat itu lebih ke penolong." Ibu menghela napas berat. "Terlebih saat sudah memiliki anak, wanita yang memilih meninggalkan orang tuanya akan memiliki rasa bahagia yang baru. Namun, ternyata membangun rumah tangga tak seindah bayangan, Sa. Bayangan gadis-gadis yang siap dinikahi sering menjadi ekspektasi yang jauh dari kenyataan." Ibu menatapku sembari tangannya melihat di atas paha.
"Melayani suami, menyambut suami sepulang kerja, memasak untuk anak-anak dan suami, dan hal umum lainnya sebenarnya hanya remahan masalah rumah tangga. Ibarat memasak, itu masih bagian bumbu sementara sajian yang hendak dibumbui itu adalah cinta. Kasih sayang, saling percaya, saling setia, saling memahami, saling menopang. Itu semua bagian dari cinta."
"Dalam mimpi sekalipun, Ibu tak pernah bermimpi akan kehilangan ayahmu, Sa. Hingga suatu kali, cinta itu pudar. Mungkin, karena Ibu cukup egois tak bisa mempertahankan keutuhan keluarga karena ambisi. Ibu bekerja di sebuah perusahaan ternama dan impian ibu memang menjadi wanita karier. Awalnya, tak ada masalah dengan itu. Tapi, lama-lama ayahmu menjadikan itu sebagai tonggak alasannya hingga memutuskan untuk bercerai."
"Tapi, saat itu pada akhirnya ibu resign juga, kan?"
"Memang. Ibu berpikir itu akan memperbaiki keadaan. Ternyata, ibu salah. Ibu kehilangan semuanya setelah itu."
"Ayah yang memilih pergi."
"Lebih tepatnya, cinta kadaluarsa."
Aku terdiam. Memikirkan bagaimana rasanya menjadi ibu selalu menjadi sisi terlemahku, sekaligus menjadi penguat untuk tak percaya cinta setelah itu. Aku tahu ceritanya. Aku sudah duduk di bangku kelas tiga SD saat kejadian itu. Sehingga alasan perceraian dan tetek bengeknya sudah bisa aku rekam dan tersimpan di memori otakku.
Ayah, yang kehilangan jabatan pada saat itu, menjalani hidup yang hancur-hancuran. Dua tahun ibu menerima dengan sabar bagaimana ayah yang seorang kepala keluarga tiba-tiba lupa diri akan tugasnya. Hingga suatu hari, relasi ibu menyodorkan sebuah pekerjaan. Bisnis yang dikerjakan dirancang untuk dikerjakan bersama pada saat itu. Ayahku dengan cepat menyambar sodoran itu karena dia memang pekerja keras dan pemilik ambisi yang sangat tinggi. Sejak itu, dia bekerja tak kenal siang dan malam hingga sisi terang kesuksesan itu nyata. Usahanya yang begitu giat selama ini tak mengkhianatinya. Ayah memperoleh hasil yang memuaskan, uang yang berlimpah, dan posisi yang pernah hilang digantikan dengan kesuksesan yang lebih sempurna.
Ayah bertemu seorang wanita, relasi bisnisnya, dan saling jatuh cinta. Dari sana, alur ceritanya bisa ditebak.
"Apakah ibu masih mencintai ayah setelah bercerai?"
Ibu mendongak. Melihatku lama lalu tersenyum lembut.
"Kamu sudah cukup dewasa untuk tahu ini."
Aku bergeming. Menanti penjelasan berikutnya dari ibu.
"Bagaimana, Bu?"
"Itu seperti kekasih tanpa status, Nak."
Pada masanya, ibu adalah salah satu saksi cinta yang begitu buruk. Cinta yang bisa membuat seseorang sangat terpuruk. Sangat banyak orang yang berhasil menjalani liku-liku kehidupan. Namun, sekelompok orang-orang gagal itu bukan selalu tentang orang-orang yang enggan berjuang, tapi gagal diperjuangkan.
"Ayahmu adalah sebuah relikui bagi Ibu."
Aku menimang-nimang semua ucapan ibu. Memikirkan bagaimana ibu bisa kuat untuk bertahan adalah pertanyaanku yang baru saja terjawab. Ibu tetap mencintai ayah sekalipun itu menyakitkan.
"Satu hal yang akan kamu pahami jika kau menemukan cinta sejatimu, bahwa sesakit dan sehancurnya hatimu, kelak kamu akan bisa memberi maaf. Setulus itu cinta bekerja, Nak."
Ibuku sayang, aku ingin merasakan setiap untai kata ini dan menyimpannya di dalam hatiku yang tanpa sekat. Izinkan aku memiliki hati setulus hatimu.
Menangkap Secuil Makna Hadirmu di Hidupku
Dirga datang hari ini?
Pertanyaan ibu masih terngiang di telingaku. Seberapa persen ibu menginginkan aku bersama Dirga, ini adalah pertanyaan yang dulu pernah kubutuhkan jawabannya. Aku butuhkan saat dulu belum tahu semua tak seindah yang kupikirkan. Namun, tidak untuk sekarang. Tidak kalau hanya untuk menyakiti hatiku dan menanam luka yang semakin dalam.
Suara pintu terbuka perlahan membuatku terjaga. Alisya baru saja pamit keluar dan ibu juga kuminta untuk pulang, beristirahat di rumah. Antibodi ibu bisa saja terserang karena sering-sering di ruangan ini. Karena itu, sebisa mungkin kuberikan pemahaman pada ibu supaya pulang saja. Setelah memastikan aku sudah meminum obat, ibu pulang.
Rehagana lama tidak menjengukku. Dia menatapku lamat-lamat seolah aku asing baginya.
"Sa."
Aku menoleh. Bibirku yang akhir-akhir ini sering terkatup hari ini terbuka juga. Senyumku mengembang kaku efek obat yang kukonsumsi membuat bibirku menjadi kering.
"Kamu makin kurus drastis." Rehagana menyentuh tanganku. Tatapan itu menyiratkan kekhawatiran yang sangat nyata. Beberapa saat lamanya Rehagana terpaku. Mulutnya yang seolah terkunci membuatku juga enggan untuk berkata apa.
Namun akhirnya,
"Aku dikemo," ujarku sambil menunduk. Mataku berkaca-kaca melihat cara Rehagana memperlakukanku.
"Pantasan rambutmu menjadi setipis itu." Dia meraih rambutku pelan. Mengusapnya lembut. "Kamu nggak cerita, padahal kan bisa saja bilang dari WA."
"Aku takut. Aku takut hal yang paling mengerikan terjadi." Aku langsung terisak di depan Rehagana. "Kemoterapi ini sangat menyisa walaupun aku merasa sedikit mendingan."
Selama sesi kemoterapi ini berjalan, aku merasa waktu begitu lambat berlalu. Aku merasa jenuh.
"Lebih menyenangkan bekerja lembur walaupun capek."
Rehagana mengangguk.
"Aku juga lebih suka kamu ada di kantor, Sa. Tapi, untuk sekarang pastinya tidak mungkin."
Dia kembali meraih tanganku yang sekarang sudah mulai kelihatan urat tangan yang menonjol. "Ya Tuhan, bagaimana bisa kamu seberubah ini." Rehagana mengeluh pada dirinya sendiri.
"Aku tak ada nafsu makan setelah dikemo sehingga jarang ada makanan yang benar-benar masuk. Kadang, kalau kupaksakan makan, langsung mual dan muntah. Serba salah."
***
"Mana Dirga?"
Alisya bertanya ramah begitu dia masuk dan melihat aku hanya berdua saja dengan Rehagana. Sekilas yang sangat kilat, Rehagana melihat ke arahku saat nama Dirga disebut oleh Alisya. Aku pura-pura sibuk dengan bintik di tanganku. Bintik kemerahan yang kadang gatal jika disentuh.
"Masih di kantor." Rehagana menjawab dengan pelan dan sedatar mungkin. Alisya mengangguk-anggukkan kepala.
"Rehagana kakak tingkatku saat SMA. Kami dekat karena dulu sama-sama aktif di kegiatan OSIS," kata Alisya memulai cerita.
"O, ya?" Aku melihat Rehagana sebagai respon ketertarikan akan cerita Alisya.
"Iya. Begitu."
Rehagana sedikit sungkan untuk banyak cerita. Feeling-ku, dia sedang berusaha memilih kata-kata yang tepat supaya pembicaraan jangan sampai mengarah pada nama Dirga lagi. Rehagana seperti enggan untuk melihatku. Aku tahu apa yang sedang dipikirkan. Dia tak ingin aku terluka saat tahu Dirga sudah menjalin hubungan dengan Alisya. Awalnya, Rehagana menyembunyikan fakta itu supaya aku tak merasa sakit, tapi kini kusadari sebenarnya jika dari awal aku tahu mungkin aku tak merasa sedalam itu perasaanku pada Dirga.
Tak berapa lama, Alisya kembali keluar ruangan.
"Aku pamit dulu. Tadi hanya untuk memastikan Tarissa sudah meminum obatnya."
Suasana hening seketika. Aku tahu Rehagana sedang melirik ke arahku melihat reaksiku, tapi aku tidak menanggapi, pura-pura acuh. Rehagana ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Dari ekspresinya, terlihat dia mempertimbangkan hal itu. Aku menunggu Rehagana memberi penjelasan, tapi sepertinya dia terlalu enggan untuk buka suara.
"Aku udah tahu, Re," kataku tiba-tiba.
"Tahu apa?"
"Dirga."
Rehagana mendongak. "Maksudnya?"
"Aku udah tahu tentang Dirga dan Alisya...."
Semuanya lepas begitu saja. Rasa sakit yang bukan dari pandangan yang tiba-tiba mengabur, bukan juga tubuh yang kejang, dan bukan karena kepala yang sakit tak tertahan. Aku merasa sangat pedih karena kenyataan ini makin aku tepis seperti makin menyakitkan.
"Maaf, aku tak memberitahumu dari awal."
"Apa aku barusan bilang kamu bersalah, Re?"
"Tidak. Bukan itu maksudku."
"Kalau begitu jangan minta maaf."
Suasana hening ini sangat tak dibutuhkan dalam waktu lama. Aku kembali berbaring di kasur dan memejamkan mata.
"Jangan sakit karena ini, Sa."
Aku tak membuka mataku saat mendengar Rehagana bersuara.
"Aku tak sakit karena itu. Kamu dan siapa pun aku sakit kanker otak stadium IV, Re. Glioblastoma multiforme. Dan itu tak ada hubungannya dengan perasaanku sama Dirga." Suaraku meninggi tanpa kuduga. Ada luapan emosi yang kudeskripsikan dengan bingung. Kenapa aku harus marah?
Rehagana terdiam. Dia tak ingin berkata-kata lagi jika hanya untuk memperkeruh situasi. Aku yang terbaring juga masih kukuh memejamkan mata sekalipun aku tidak merasa mengantuk. Aku tak ingin Rehagana tahu sebagaimana dalam rasa sakitku. Mencintai orang dalam diam hanya untuk mendapati fakta bahwa dia yang kucintai telah menjadi milik orang lain.
Malam kian larut, Rehagana tak berniat untuk pulang sekalipun aku sudah memintanya. Dia enggan beranjak saat aku bilang aku sudah tahu cukup lama dan aku akan baik-baik saja. Rehagana tahu aku berbohong, tapi aku berhenti bersikap minta dikasihani karena dengan itu aku merasa gagal bertubi-tubi.
Beberapa saat dari sana, Rehagana kembali mendekatiku. Dia tak bersuara setelah memintaku untuk tak mengusirnya pulang.
"Sesakit ini, Re." Aku tak bisa menahan perasaan. Egoku luntur menyaksikan Rehagana yang masih duduk di sebelahku meskipun sedari tadi aku diam. Hanya Rehagana yang tahu dengan baik bahwa aku pernah mencintai Dirga dan hanya dia yang merasakan bagaimana aku mengharapkan Dirga. "Sesakit ini mencintai seseorang yang kemudian kita tahu bukan kita yang ada di hatinya."
Bulir air mata perlahan terjatuh. Rehagana mengambilkan tisu dan mengelap pelan pipiku yang basah.
"Perihal jodoh tidak ada yang tahu, kan?"
"Alisya gadis yang sangat baik."
Rehagana mengangguk. "Dirga adalah sahabatku dan Alisya adik tingkatku saat SMA. Mereka jadian saat aku membawa Dirga ke acara reuni sekolah saat libur Lebaran. Sudah berlangsung lama."
Aku melihat Rehagana berkali-kali menghela napas berat. Dia seperti menyesali keadaan yang begitu sulit.
***
Dirga datang hari ini?
Pertanyaan ibu kembali bergaung di telingaku. Pintu ruangan tempat aku dirawat tertutup rapat. Aku melihat ke daun pintu untuk memastikan Alisya datang membawa parasetamol, obat penahan perih, yang sering kumanfaatkan untuk mengurangi sakit kepala akibat kemoterapi.
Tak ada Alisya.
Dirga datang hari ini?
Dugaan atas pertanyaan ibu salah. Semalam, Dirga tak datang dan tak juga memberi kabar. Lalu kenapa aku harus berharap?
Dirga mungkin akan datang hari ini, kunikmati bayangan wajah ibu lalu aku tersenyum sendiri. Aku kembali melihat daun pintu. Bodohnya, aku sedang menunggu.
"Sa."
Dirga, setelah beberapa hari terakhir tak ada dari WA sekalipun, tiba-tiba nongol di sana. Aku sedang tak salah lihat. Aku tatap wajah Dirga dengan pandanganku yang kian sayu. Aku ingin menemukan makna kepedulian itu di matanya. Karena sejujurnya, walaupun aku ingin berteriak memohon agar dia jangan hadir lagi dan jangan peduli lagi karena itu menyakitkan, aku tetap masih merasa pulih saat melihat Dirga ada di sini.
Bayangan wajah Dirga, Alisya, Dirga, Alisya melintas hebat di pikiranku. Berkali-kali aku meneriakkan pada hatiku bahwa Dirga bukan milikku, tetap saja ada bagian yang tak mau tahu. Seolah aku menjadi pemeran antagonis untuk protagonis setulus Alisya.
Tuhan, maafkan aku yang berharap sebuta ini!
Rumah untuk Hatiku
Kondisi tubuhku mulai membaik. Dokter akhirnya menyarankan selama proses kemoterapi sudah boleh pulang, istirahat di rumah saja. Karena itu, ibu membawaku pulang dengan wajah cerah. Ibu sudah menunggu kepulangan ini sejak lama.
"Di rumah, kamu lebih leluasa. Hawa rumah sakit tidak bersahabat untuk penyembuhan." Ibu mengulang ucapannya beberapa hari yang lalu. "Sekarang, Ibu bebas memasak makanan kesukaan."
Nyatanya, dokter menjelaskan dengan sangat detail tentang makanan yang semestinya tidak boleh aku makan sebagai pantangan. Beberapa jenis daging tidak boleh sembarang di makan, di antaranya daging ternak unggas. Dokter bilang bahwa ternah unggas biasanya dipelihara dengan untuk segera diperjualbelikan secepatnya. Oleh karena itu, obat-obat kimia sebagai pemicu pertumbuhan unggas tersebut sangat berbahaya bagi pengobatanku. Makanan seafood juga tidak dianjurkan karena mengandung lemak yang tinggi. Beberapa sayuran juga disarankan untuk tidak kukonsumsi selama pengobatan, seperti sawi putih dan kangkung yang akan menyebabkan efektivitas kerja obat berkurang. Tauge mendorong pertumbuhan sel kanker, bahkan cabai juga tidak disarankan. Padahal, aku sangat menyukai makanan pedas.
Ini hari Minggu.
Saat dua hari yang lalu aku mengabari sudah dirawat di rumah, Rehagana mengaku sangat senang. Sama seperti ibu, dia mengatakan aku akan lebih leluasa.
"Dirawat di rumah sakit cukup membuat tertekan. Memang lebih bagus dirawat di rumah."
Alisya juga melepaskan kepulangan kami dengan mengurus segala sesuatunya. Dia merasa kehilangan sekaligus senang karena aku akan banyak menghabiskan waktu di ruang yang lebih nyaman: rumah.
Dirga mengirimkan pesan WA pada malammya dan aku memberi tahu bahwa Alisya mengurusku dengan baik, bahkan sampai menjelang pulang ke rumah. Untuk yang satu ini, Dirga tak terlalu menanggapi. Melalui pesan suara dia mengatakan agar aku menjaga pola hidup yang lebih sehat di rumah. Setelah itu, Dirga juga bilang secepatnya akan berkunjung ke rumah.
Perihal ini, aku hanya membaca pesannya. Kubiarkan tanpa balasan, sambil memantapkan hatiku untuk belajar mengiklaskan Dirga. Aku sering tak habis pikir dengan semua cara Dirga. Mengapa dia begitu perhatian? Mengapa dia berlaku seolah aku bisa mencintainya? Selama ini, dia tak pernah menunjukkan tak ada sela di hatinya. Dalam setiap kebersamaan yang kumaknai terlalu jauh ternyata hanya kebersamaan biasa yang tak dibarengi bumbu apa pun. Atau, aku saja yang selama ini salah memaknai dasar kebaikan karena hatiku yang telanjur suka? Aku tak ingin memikirkan terlalu jauh, tapi aku berniat untuk sesuatu hak yang disebut ikhlas oleh orang-orang.
Teori itu benar adanya. Aku lebih fresh setelah perawatan di rumah. Pikiranku lebih jernih dari yang aku bayangkan. Ini hari-hari yang lowong karena aku karena tak banyak aktivitas. Hari-hari aku merasa harus belajar meluangkan pikiranku menjauh dari Dirga. Biarlah. Tak semua cinta harus dimenangkan dengan sebuah kepemilikan.
***
Sore harinya, saat aku sedang tidur, Dirga dan Rehagana berkunjung ke rumah. Hingga obrolan ibu yang sayup-sayup terdengar olehku dalam pulas membuatku terbangun. Namun, karena niat ingin mengiklaskan Dirga, aku enggan untuk melihat Dirga. Enggan untuk menikmati tatapannya. Takut aku malah menunjukkan sisi rapuhku di hadapannya.
"Sejak dia berumur sembilan tahun, Tarissa sudah menjadi saksi keamburadulan keluarga. Pada usianya yang bahkan belum remaja, kami, orang tuanya, bercerai. Kakak satu-satunya juga trauma. Dengan kemarahan yang tak pernah diekspresikan, Gea memutuskan untuk kuliah di luar negeri dan menetap di sana hingga sekarang."
Aku mengingat, itu adalah musim sepi terpanjang di hidupku. Semua jauh berbeda saat ibu dan ayah bercerai. Tak ada lagi kakakku, Gea, sebagai partner bermainku seperti biasa. Siang yang kujalani seperti sebuah lorong gelap dan malam kujalani dengan mendengar isak tangis ibu yang tidak menyadari aku belum tidur.
Ini kisah terpanjang yang tak akan usai. Isakan ibu pada malam panjang setiap harinya menjadi tekad bagiku bahwa aku tak akan pernah meninggalkan ibu sendirian, seperti yang sudah dilakukan ayah dan Gea, kakakku.
"Pada masanya, kami tak sempat memberikan rumah itu untuk dia. Pada masanya, dia akan pulang ke rumah dengan wajah sayu dan muram karena yang didapatinya di dalam rumah adalah kosongnya cinta. Yang didapatinya di ruang keluarga adalah keegoisan sikap ibu dan ayahnya."
Benar. Aku pernah berpikir perpisahan ibu dan ayah adalah atas dasar keegoisan. Bagaimana mungkin mereka setega itu tanpa memikirkan masa depanku dan Gea, kakakku. Bagaimana mungkin mereka tak bisa menepis pertengkaran di dalam rumah demi kebaikan mentalku dan Gea, kakakku. Itu saat-saat yang tak terkatakan saat dalam mimpi pun kudapati ayah dan ibu saling menyalahkan. Beberapa kali pada saat itu aku meraung-raung terbawa mimpi dan menangis tersedu-sedu saat bangun. Aku tak ingin hal ini terjadi, tapi makin hari kondisi kesehatan yang lebih berpengaruh ke beban mentalku makin nyata sehingga ibu memutuskanku untuk konsultasi ke dokter langganan keluarga, Dokter Evan Elian.
"Ruang keluarga menjadi neraka bagi Tarissa pada saat itu. Sering kali dia tiba-tiba meraung tak bisa menahan diri. Menangis yang sering tak bisa dikontrolnya. Dia kehilangan banyak pada usianya yang seharusnya masih melimpah kasih sayang dari keluarga. Karena setelah kami tak bersama ayahnya lagi, Ibu bekerja membanting tulang dan Tarissa tak pernah mendapat cinta."
Sedari tadi, aku tak mendengar suara Dirga dan Rehagana. Mereka seolah hanyut dalam percakapan itu. Hanya ibu yang sesekali mengusap tanganku dengan penuh perasaan, tak menyadari bahwa aku sudah terbangun.
"Ibu sangat terkejut saat Tarissa divonis stadium IV. Meskipun selama ini dia sering sakit yang lebih ke tekanan mental yang menurut dokter disebabkan tekanan trauma karena kehilangan itu, Ibu tak bisa berterima dia akan menderita penyakit seperti ini." Nada suara ibu bergetar. "Anakku ini..." Ibu menghentikan ucapannya sekian lama. Mengatur napas dan menghelanya panjang. "Dia belum pernah bahagia. Sepanjang hidupnya, hanya ada bayang-bayang keegoisan kedua orang tuanya."
"Tapi, bersama kami dia tak pernah menunjukkan ketidakbahagiaan itu, Bu." Kudengar suara Dirga yang menyahut dengan sangat hati-hati.
"Dia menjadi pribadi yang sangat dewasa. Sejak dulu, mungkin karena belajar dari kesakitan itu, dia lebih dewasa dari usianya yang seharusnya. Anakku ini selalu menutupi banyak hal yang menyakitkan. Menyakiti hatinya dengan memendam setiap pergumulan yang dia alami. Dia tak banyak menuntut setelah kami bercerai."
Aku mengingat, dulu, saat ibu memelukku erat, aku tahu ada permintaan maaf yang tak berkesudahan hingga hari ini. Ibu sangat menyesalkan peristiwa masa lalu itu. Peristiwa yang menyesakkan saat ibu berusaha untuk memperbaiki semuanya, tapi tentu saja takkan sanggup dibangun seorang diri. Sehebat apa pun seorang istri, keluarga akan timpang jika suami tak menopang. Begitu sebaliknya. Tak ada rumah tangga yang sempurna jika suami dan istri tak saling menjaga supaya tangganya jangan sampai rusak.
"Tarissa gadis kuat, Bu," ujar Rehagana.
"Sangat. Kekuatan itu yang membuatnya bertahan." Terdiam sejenak.
"Tarissa putri kecilku.... Jika Tuhan mau mengabulkan doaku, aku ingin Tuhan memberikan dia sebuah rumah. Rumah yang selalu menjadi alasannya untuk pulang. Rumah cinta untuk anakku ini. Tempat yang kelak membuatnya selalu mendapat kebahagiaan. Hanya itu. Bukan seperti kosongnya cinta di ruang keluarga yang sudah pernah dia lalui."
Sekian lama aku menahan diri, air mataku pada akhirnya tak terbendung. Aku tak sanggup lagi untuk berpura-pura masih pulas.
Ibu, bagaimana dengan hatiku? Aku ingin berteduh di bawah sebuah rumah yang sama seperti impian ibu. Di bawah naungan rumah untuk hatiku. Bagaimana aku bisa menikmati sebuah rumah, jika rumah itu bukan milikku?
Isakan kecilku menyadarkan mereka bahwa aku sudah terbangun. Air mata yang sangat pelan mengalir bersamaan di kedua sudut mataku.
"Jangan menangis, Sa."
Sebuah tangan mengusap lembut pipiku untuk membersihkan sisa air mata yang akan masuk ke telingaku karena aku sedang dalam posisi berbaring. Aku tak bisa membedakan sikap lembut Dirga dan Rehagana, tapi aku mengenali suara itu dengan baik.
Seniorku yang sangat manis.
Rehagana.
Fajar
Sepeninggal ibu, aku duduk terpaku di atas sofa. Dirga dan Rehagana sedari tadi sibuk melihat album keluarga entah untuk apa. Kupeluk erat boneka imut pemberian Grisela di hari wisudaku dua tahun yang lalu. Meskipun aku sudah bilang aku tak terlalu menyukai boneka, Grisela tetap ngotot mau memberikan itu.
Masing-masing kita akan melangkah di kerikil yang beda setelah kita lulus. Peluk aku dalam wujud boneka pemberianku. Aku akan merindukan banyak hal tentang sahabatku di dunia kampus, kata Grisela hari itu. Dan, Grisela benar. Setelah hari itu, aku banyak merindukan kampus, dan merindukannya. Aku membawa boneka pemberian Grisela dan sewaktu-waktu tiba-tiba rindu banyak hal tentang kebersamaan kami. Sayangnya, Grisela tak bisa menemaniku dan menguatkanku untuk sekarang. Maka, boneka yang kunamai boneka grisela inilah yang kuraih di beberapa kesempatanku ingin menghabiskan hari dengan mengenang masa bersama grisela.
Kepada grisela kuberitahu tentang Dirga dan dia selalu penasaran dengan wajah Dirga. Setiap ada kesempatan untuk mengobrol, Grisela selalu memintaku untuk menunjukkan foto Dirga. Aku tak pernah mau dan mengatakan akan mengenalkan Dirga secara langsung pada waktunya.
Saat itu aku tak pernah menduga bahwa waktunya yang kumaksud tak pernah ada. Setelah aku menceritakan hal yang justru adalah harapan sebaliknya, Grisela menunjukkan sikap berempati yang tulus. Dia sangat tahu aku jarang menyukai seseorang. Bahkan, selama kuliah saat Grisela sudah gonta-ganti pasangan beberapa kali, tak sekalipun aku pernah mengatakan sekadar tertarik dengan seseorang. Jangankan menjalani hubungan, tertarik saja pun aku susah. Hingga saat aku cerita tentang Dirga, Grisela dengan begitu antusias memberi dukungan. Dukungannya yang ternyata salah sejalan dengan pilihan hatiku yang ternyata salah. Saat itu, tak ada di antara kami yang ingin menduga-duga bahwa Dirga sudah memiliki seseorang di hatinya, sudah menjalin status dengan perempuan yang lebih pantas menerimanya.
"Ini kali pertama benar-benar masuk di rumahmu," Dirga membuka obrolan. Menyadari Dirga yang tidak lagi berjalan memelototi semua ruangan dan barangkali sudah sedari tadi selesai melihat-lihat album, aku menggeser posisi dudukku sedikit. Untuk memberi ruang yang lebih lebar bagi Dirga saat ingin duduk di sebelahku.
Ini kali pertama Dirga memasuki rumah ini. Beberapa kali pernah datang menjemput mengajak makan malam bertiga seperti biasa bersama Rehagana. Akan tetapi, dia belum pernah ke ruangan ini. Hanya menunggu di luar. Beberapa kali singgah, tapu duduknya di taman keluarga yang dulu perancangnya dibayar cukup mahal oleh ayah.
"Aku tak bisa merasakan dulu ruangan ini pernah kehilangan cinta."
"Apa?" Aku butuh waktu untuk mencerna ucapan Dirga. Rehagana sudah tak di sini. Sekilas, aku melihatnya menghilang ke arah dapur. Barangkali ingin menyaksikan ibu memasak. Untuk makanan tertentu, Rehagana senang belajar dan pintar membuatnya.
"Yang kulihat, ruangan ini justru penuh dengan kenangan."
"Oh, ya?"
"Iya."
Aku mengangguk sekali.
"Aku dan ibu harus saling berangkulan untuk mengembalikan cinta itu," ujarku lepas. Aku melihat Dirga yang terkesan dengan ucapan itu.
"Ibumu sangat baik."
"Semua ibu di dunia ini baik, Ga."
"Iya. Wanita memang baik, ya." Aku melihat sekilas ke arah Dirga. "Seperti kamu, Sa. Kamu sangat baik."
Aku bergeming. Menyahut ujaran Dirga sama dengan bunuh diri. Aku hanya tersenyum samar menghargai pendapat Dirga.
"Sa."
"Ya?"
Sorotan mata Dirga membuatku berusaha keras untuk bersikap biasa. Beberapa saat lamanya dia memandangku begitu sayu entah apa maksudnya. Tatapan menyejukkan itu yang pernah membuatku berubah pikiran tentang laki-laki. Ada laki-laki di dunia ini yang pada akhirnya membuatku jatuh cinta, yaitu Dirga.
"Kami merasa makin sehat, kan?"
Sekian waktu ini aku menerjemahkan tiap perasaanku. Saat-saat yang kusediakan untuk sebuah perenungan. Dulu, aku memaknai cara Dirga sebagai bentuk perhatian yang istimewa. Sambil berharap dengan optimis bahwa suatu saat dia akan memahami hatiku, aku sering bermimpi menjalani hari-hari yang indah bersama Dirga.
Semua kandas. Hari di mana aku ketemu Alisya harusnya adalah hari patah hati yang harus kurayakan selama hidupku. Namun, yang terjadi justru di luar dugaan. Alisya datang dalam wujud seorang malaikat. Sehingga saat Fanny mengatakan Alisya adalah pacar Dirga, aku langsung merasa bahwa aku tak kalah. Saat Alisya mempertegas ucapan Fanny secara tak sengaja keesokan harinya, aku memahami aku memang tidak pernah berada di arena perang. Aku tak pantas berjuang untuk mendapatkan hati seorang Dirga. Karena lelaki itu sudah mendapatkan seseorang yang selevel dengan dirinya.
Namun, ada hal yang menggeliat dalam diriku setiap aku berhadapan dengan cara Dirga. Mengapa dia memperlakukan aku sedemikian bahkan saat dia sudah memiliki Alisya. Satu tanya yang sering kujawab dengan sendirinya.
Barangkali Dirga akan mencintaiku setelah ini. Barangkali Dirga juga menyukaiku dalam diamnya. Atau, barangkali Dirga sedang memperolok-olok perasaanku. Barangkali Dirga ingin memastikan sesuatu yang tak akan bisa aku menangkan.
Astaga, tapi buat apa? Kalaupun Dirga ingin memastikan sesuatu dariku, kenapa caranya begitu menyiksa?
Begitu kecamuk yang melintas satu per satu di pikiranku tiap Dirga datang dengan caranya yang penuh tanda tanya.
"Sa?"
Aku tersadar dengan lamunanku yang begitu panjang,
"Aku merasa baik."
"Sesingkat itu setelah berpikir cukup lama?"
Tolong, jangan tatap aku seperti itu.
Harusnya Dirga tahu aku sedang berusaha. Harusnya dia paham bahwa sedetik saja kelebihan waktu yang kugunakan untuk menatap bola matanya yang begitu bening, aku akan kalah. Aku akan ketahuan. Dan, setelah sejauh ini aku berusaha mati-matian, aku tak ingin Dirga tahu semuanya hari ini.
Biarlah. Bila perlu besok saja. Atau lusa. Atau tak usah pernah dia tahu perasaanku. Tak perlua dia pahami lagi jika pada akhirnya aku tetap menanggungnya sendiri. Kubayangkan diriku yang akan berjalan tanpa Dirga. Kubulatkan tekadku sembari minta maaf pada hatiku yang akan kalah dan akan mengucapkan selamat datang pada kekosongan setelah ini.
Ya, aku harus melupakan perasaan ini. Supaya tak ada lagi rasa sesak yang muncul tiap melihat Dirga. Akan kubiarkan masa lalu itu pergi, akan kubiarkan Dirga menjadi jauh setelah ini.
Lusa, saat fajar mulai merekah di timur, Dirga tak akan di sini lagi.
Ya, selamat datang pada kekosongan.
Menyimpan Kenangan
"Selamat ulang tahun, Sa. Hadiah terindah kamu peroleh tahun ini, cepat sembuh."Rehagana mengirim pesan tengah malam. 00.01. Aku yang membacanya saat terbangun menjelang subuh tersenyum simpul.Terima kasih, Re. Terima kasih menjadi teman yang lebih dari sekadar teman.***24 Oktober.
Hari ini ulang tahunku. Harapan? Setiap orang uang sakit harapan terbesarnya adalah sembuh.Grisela mengirimiku kartu ucapan dan sampai di hati kedua sebelum ulang tahunku. Aku membukanya pagi tadi. Sebuah gaun dan tas kecil yang modis melengkapi kartu ucapan itu. Dia menyisipkan kata-kata manis bergores tulisan tangannya.Tarissaku yang manis, jangan pernah tidak bahagia. Happy birthday.Bukan aku tidak senang dengan kata-kata itu, tapi aku menangis. Ada pilu yang tak seutuhnya kutangkap sejak lagi tadi aku terbangun. Rasa yang sulit kumaknai juga saat ibu yang langsung memelukku saat aku terbangun. Aku sesenggukan di bahu ibu saat ibu mengucapkan selamat ulang tahun. Beberapa saat kemudian, setelah cukup merasa reda, aku pamit pergi ke kamar.Melalui pesan WA, Alisya memberitahu akan datang berkunjung. Di tengah kegiatannya yang cukup padat, dia menyempatkan diri untuk datang melihat kondisiku.
Kamu pasienku sekaligus temannya pacarku. Kamu temanku juga, Sa.
Aku hanya bisa tertawa kecil saat mengingat ucapan itu. Ya, aku teman Alisya sejak dari hari yang tak perlu ditentukan.
***
Menjelang asar, Alisya datang. Kali ini, dia datang bersama Dirga. Kupersilakan mereka masuk dan ibu juga menyambut dengan baik. Telah kukatakan pada ibu di hari sebelumnya bahwa Dirga sudah punya pacar. Saat itu, raut wajah ibu tertahan. Dia tak memberiku celah untuk menerjemahkan apakah itu nada kasihan atau nada-nada yang lain. Entahlah.
Maka, saat cara Dirga datang dengan tak biasanya, ibu cukup terkejut, tapi masih bisa menutupi diri. Aku tersenyum yang menurutku semakin kaku saat aku berusaha untuk berpura-pura.
Kududuk di satu kursi sofa tunggal. Dirga dan Alisya duduk berbarengan.
"Sa, selamat ulang tahun," ujar Dirga sangat pelan, tapi setajam silet di telingaku. Mukaku memerah. Sambil mengangguk, aku berusaha menunduk. Aku sudah melepas, tapi entah kenapa masih terasa menyesakkan.
"Selamat ulang tahun, Tarissa. Kamu harus cepat sembuh. Lihat ibu yang juga berjuang untuk kamu bisa sembuh."
Senyum Alisya mengembang. Dia sangat manis. Dan Dirga juga sangat sempurna. Pangeran telah menemukan seorang putri yang lantas menjadi belahan jiwanya.
Alisya mengambil sekotak kue ulang tahun bawaannya. Terukir harapan indah "cepat sembuh" sebagai mahkota kue itu. Di bawah ucapan itu, bagian sudut kue yang hampir tak kelihatan, terukir rapi nama mereka berdua.
Dirga & Alisya.
Tuhan, semua apa ini semua terjadi? Aku menggigit bibirku hingga terasa pedih untuk menahan diri. Kukuatkan hatiku saat mataku mulai berkaca-kaca. Aku bahagia. Aku menyedihkan. Aku sangat dan sangat menyedihkan. Hanya itu kata yang melintas di pikiranku.
Tuhan, jangan biarkan waktu begitu lamban dalam perjalanannya.
***
Di sela-sela pembicaraan, Dirga bilang tadi sebenarnya mereka mengajak Rehagana. Tapi, Rehagana ada kesibukan sehingga tak ikut ke rumahku.
Setelah magrib, Dirga hendak pamit saat Alisya mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya. Kado ulang tahun yang dilapis kertas kado bergambar lucu. Dibungkus dengan sangat rapi, Alisya menyerahkan kado itu.
"Sa, ini tak seberapa. Tapi, kami berdoa untukmu dan impian terbaikmu. Doakan kami dengan impian terbaik yang kami punya juga, ya, Sa."
Aku mengangguk kecil. Kuterima bingkisan Alisya yang sangat ramah.
"Terima kasih buat kebaikan kalian."
Mereka berdua pamit. Kutatap mobil Dirga hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Ya, bahkan hilang tanpa bekas jejak kakinya di lantai rumahku.
***
Ibu memapahku ke dalam kamar saat pandanganku tiba-tiba kabur. Kecuali rasa pening yang begitu menyiksa, hal ini sudah jarang terjadi sejak kemoterapi. Ibu membawaku ke kamar dan membimbingku untuk duduk.
"Sudah, Sa. Jika Dirga bukan milikmu, berarti ada yang terbaik yang memang ditakdirkan untukmu, Nak."
Tak akan lama, pandanganku akan kembali normal seperti semula. Aku akan baik-baik saja setelah ini.
Sepuluh menit berlangsung. Aku meraih bingkisan yang diberikan Alisya. Melepas perekatnya sedikit paksa karena memang dibungkus dengan sangat rapi. Begitu terbuka, kartu ucapan mewarnai atasan box itu.
Sebuah gaun panjang, sepatu high heels, tas tangan, mengapa hampir sama persis dengan pemberian Grisela? Apakah mereka terlalu berniat untuk membuatku menjadi wanita yang seutuhnya?
Secarik kecil kartu lain menyempil di dalam kotak itu. Aku meraihnya dan berpikir bahwa dalam satu kotak kado, mereka memberikan dua kartu ucapan. Alangkah tidak efektifnya. Termasuk dalam kategori boros kertas.
Mataku tertahan pada gambar sepasang burung merpati di depan kartu. D & A. Hanya kedua huruf itu yang mendampingi burung merpati dalam kartu itu.
Kubuka dengan sangat hati-hati. Tak butuh waktu yang lama, mataku berhenti pada satu titik.
Kali ini,bukan tentang pandangan yang mengabur. Mataku menatap kosong ke kartu itu.
... ringankan langkah untuk datang menghadiri ...
Kami yang turut mengundang,
Dirga & Alisya
Arti Sebuah Penantian
Aku tak bisa berkata-kata saat melihat secarik kertas di hadapanku. Pikirku ini adalah kartu ucapan biasa. Ternyata, aku salah. Kartu undangan pernikahan Dirga dan Alisya kupegang dengan tanganku yang masih bergetar.
Hadiah ulang tahun Dirga sangat spesial. Ya, sespesial itu. Hingga entah untuk berapa lama, kutimang kertas itu dengan ekspresi tak percaya. Sejenak aku berpikir mungkin saja ini hanya ada dalam pikiranku. Barangkali ini hanyalah khayalanku saja. Memikirkan sesuatu hal yang sangat menyakitkan.
Aku masih terpaku saat melihat ibu datang. Sedikit riasan di wajah ibu menunjukkan bahwa ibu sudah siap berangkat. Hari ini, jadwal kemoterapi di rumah sakit, tapi rasanya seluruh tubuhku tak ingin beranjak dari sini. Aku masih saja tak mau percaya bahwa ini nyata.
"Ayo, siap-siap. Sebentar lagi Rehagana datang, lho." Ibu heran melihat mukaku yang masih kusut. Semalaman aku nggak bisa tidur, hingga kantong mataku menghitam melingkar seperti panda.
"Rehagana?"
"Iya. Dia yang akan membawa kita ke rumah sakit."
"Tapi, buat apa, Bu? Kita, kan, bisa pergi sendiri."
Ibu menatapku beberapa saat.
"Sudahlah. Dia berusaha menolong kita. Menolongmu, Sa."
Aku tak bersuara. Dengan enggan, kuikuti perintah ibu. Baru saja menopang kaki ke lantai, aku limbung. Kuraih sofa tempatku terduduk semalaman, tapi pertahanan tubuhku yang tak cukup kuat justru membuat tubuhku terkulai bak karung kosong yang dijatuhkan dari pesawat. Jatuh tak terarah.
Kepalaku terjedot ke siku meja. Aku tak sempat meringis saat kurasakan badanku yang bahkan merasakan sakitnya saja tak bisa lagi. Otakku lumpuh merekam antara kesakitan dan pertahanan tubuhku yang tak bisa kupahami.
***
Aku sudah di rumah sakit. Kudapati Rehagana yang menatapku sangat serius saat aku siuman. Ibu juga sontak berbinar melihatku membuka mata.
"Syukurlah kamu sudah siuman, Nak."
Aku bergeming. Suaraku tak kedengaran saat aku mengangakan mulut. Seolah pita suaraku telah putus begitu saja untuk sementara waktu.
"Kamu nggak tidur semalaman, Sa?"
Aku mengangguk.
"Kenapa? Kamu tahu, kan, sedang berada di tahap perawatan. Kamu tahu, kan, sangat fatal jika saja kamu yak bisa mengatur pola makan dan pola tidurmu."
Aku terdiam. Ya, aku tahu.
"Itu yang membuatmu tadi terjatuh sampai ibu sekhawatir ini. Dokter tadi bilang tubuhnya sedang drop karena tak beristirahat dengan teratur." Rehagana menghela napas. Baru kali ini aku melihatnya mendengus kesal walaupun tetap saja dia berusaha menahan diri. "Harusnya, kamu nggak boleh egois kayak gini, dong, Sa."
Aku bersandar di atas tempat tidurku. Aku tahu Rehagana khawatir karena tiba-tiba dia telah mendapati ibu histeris saat melihatku pingsan. Kekhawatiran itu yang membuatnya bisa semarah ini.
Maaf, Re.
"Kata dokter, kamu dirawat inap hari ini." Suara Rehagana melunak.
"Tapi, kenapa harus nginap?" Aki berontak.
"Kamu butuh perawatan yang lebih serius."
"Di rumah, kan, bisa."
"Nggak. Buktinya, di rumah kamu malah berulah nggak tidur."
Karena tak ingin berdebat lebih dalam, aku menerima dengan pasrah.
"Re."
"Hm?"
"Dirga akan menikah..."
Lama tak terdengar suara sehingga aku sempat berpikir bahwa Rehagana tidak mendengarku.
"Lantas, kamu menyiksa diri dengan caramu semalam?"
Nada bicara Rehagana campur aduk antara kasihan dengan kesal yang tak bisa disembunyikan.
"Aku nggak menyiksa diri. Aku hanya tak bisa tidur. Maaf." Suaraku bergetar membuat Rehagana yang tadi memalingkan wajah kini menatapku serius.
"Sakit, ya?"
"Sangat."
"Tapi, jangan siksa dirimu, Sa. Sepatah apa pun itu, kamu harus terus berjalan."
Aku tersadar. Entah untuk ke berapa kalinya aku menangis di depan Rehagana saat menyangkut perasaan yang kurasakan terhadap Dirga. Rehagana selalu menyikapiku dengan sangat baik. Seolah aku ini bukan wanita yang pernah menolaknya di masa lalu. Dia menepati janji itu. Janji bahwa dia tak akan pernah menghilangkan jati diri pertemanan kami beralaskan sebuah perasaan yang gagal. Aku tak pernah kehilangan dia setelah hari penolakan itu. Bahkan, setelah hari itu, kau melihat ada penerimaan yang lapang di hati Rehagana. Dia tetap mencintaiku. Makin mencintaiku dengan cara dan tindakannya.
"Ada dua pilihan saat kamu memilih untuk menunggu. Jika dia memiliki perasaan yang sama, kamu akan mendapatkannya. Jika sebaliknya, dia akan hilang. Berbeda dengan ketika kamu memilih untuk mengungkapkan. Meskipun pilihan tetap dua, tapi hasil pilihan itu lebih terduga. Kamu ditolak atau diterima."
"Penantian tak selalu berakhir indah, Sa. Tapi, penantian paling gagal sekalipun berhak untuk mengubah takdir hidupnya. Jangan marah atau memaki Tuhan akan hal apa pun yang tengah terjadi. Jangan menghakimi diri sendiri karena kamu yang akan semakin tersiksa. Pilihanmu dulu untuk mencintai Dirga dalam diammu karena berharap ada keajaiban dia akan memiliki perasaan yang sama sepertimu, kan?"
Aku mengangguk. Memilin-milin ujung sweater yang kukenakan sambil menggigit bibirku hingga terasa sakit.
"Tak perlu merasa bersalah dengan langkah yang sudah kamu tempuh. Kamu tahu? Bahkan, tanpa bertindak sekalipun, jika Tuhan bilang itu takdirmu, kamu akan bersama dengan dia. Sebaliknya, jungkir balik sekalipun, jika Tuhan bilang tidak, kamu tak akan mendapatkannya."
Mataku menatap sayu ke depan. Mataku terpaku pada jejeran pot berisi pohon kecil yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam ruangan.
"Seikhlas itu, Sa."
Hadiah Pernikahan
Aku kembali dirawat di rumah sakit karena drop. Dokter memberikan pemahaman bahwa keadaan tubuh yang turun naik itu hal yang sangat lumrah untuk penderita kanker.
"Hanya butuh pemulihan. Istirahat yang lebih teratur lagi untuk kembali bisa pulang."
Aku tak bisa membantah kalau sudah dokter yang langsung bicara sehingga aku pasrah tak akan bisa ikut ke pernikahan Dirga.
***
Pukul 12.05
22 Desember 2018
Acara pernikahan Dirga sedang digelar, sedang aku terbaring di kasur rumah sakit. Sudah sejak lagi aku merasakan kondisi tubuhku yang kian melemah. Aku merasakan ketakutan yang sangat besar saat dalam tidur, bayangan seorang gadis berjubah putih bersih seperti malaikat mengulurkan tangannya ke arahku. Aku terbangun dengan keringat dingin dan kudapati tubuhku yang kian lumpuh.
Dengan wajah panik yang tak bisa kugambarkan, ibu berlari memanggil dokter. Biasanya, Alisya yang melakukannya untukku. Alisya manis yang dengan tanahnya memapahku keluar masuk kamar mandi saat aku sedang sekarat, Alisya yang baik hati memberiku penguatan saat aku merasa tak berdaya dengan berjibun obat yang harus kuminum setiap harinya. Setiap kali aku mengeluh rasa sakit akibat dosis obat yang terlalu tinggi sangat menyiksa, Alisya yang dengan sabarnya memberikan solusi untuk itu. Seperti parasetamol untuk kepalaku yang sering pening karena dosis obat kemo, pijitan kecil di bagian tubuhku yang tak kuat dengan pil temozolomide yang kukonsumsi. Alisya bersedia lembur saat aku meraung kesakitan di dalam ruangan karena tak bisa menahan diri. Alisya yang selalu melakukannya untukku.
Alisya manis yang ternyata dengan sengaja ditempatkan merawatku supaya kesehatanku lebih terjaga. Itu atas permintaan Dirga dan usaha Alisya meyakinkan atasannya di rumah sakit. Pelayanan maksimal yang kudapat dari Alisya tak bisa kujejerkan satu per satu. Yang pasti, Alisya kini sedang bahagia. Dan, dia pantas mendapatkannya.
Aku memejamkan mata dan merasakan gelombang yang begitu dahsyat dalam tubuhku. Di tengah kesakitan yang kurasakan, aku menimang-nimang scene yang kujalani dalam dua tahun terakhir.
Perjumpaan dengan Rehagana
Perjumpaan dengan Dirga
Qirana
Sahabatku, Grisela, dengan impiannya
Ibu yang tak pernah bahagia lagi
Alisya
*
Dokter datang. Aku masih terpejam. Setelah memeriksa suhu tubuhku, Dokter Gabriel terdiam lama.
"Bagaimana bisa suhu tubuhnya jadi berubah drastis?" Aku mendengar bisikan itu. Bisikan yang membuat ibu terpaku.
"Tapi, ini bisa diatasi, kan, Dok? Dia telah melewati fase terburuknya dengan baik. Terbukti dia selamat dari tanggal perkiraan itu..."
Aku tersentak.
Tanggal perkiraan?
"Iya. Tapi, pertahanan tubuhnya kian melemah. Yang saya takutkan..."
"Dokter, lakukanlah hal terbaik yang dokter bisa. Kumohon."
Dokter mengangguk
"Dua jam lagi akan kita lakukan kemoterapi kesepuluh. Ibu bantu persiapkan Tarissa untuk menerima setiap pengobatan, ya." Dokter tua itu menatap lembut ke arahku yang terbaring lemah.
Tiba-tiba saja wajahnya keruh.
"Dari awal, saya sangat berharap keajaiban itu datang pada Tarissa. Dia masih terlalu muda. Masih banyak hal indah yang ingin diraih di masa depan."
"Harapan yang sama dari saya, Dokter. Saya sangat merindukan putri saya bisa pulih dan melakukan banyak hal dengan bebas seperti pada masa lalu."
Dokter Gabriel memandangiku tajam.
"Istri saya mengidap penyakit yang sama lima tahun yang lalu."
"Lalu?"
"Tubuhnya sudah terlalu ringkih untuk bisa melawan sel kanker dalam otaknya. Sel kanker itu menggerogoti bagian tubuhnya yang lain."
Ibu terdiam tak menanggapi.
"Tapi, Tarissa berbeda. Dia gadis yang kuat. Dia akan sembuh. Asalkan kondisi tubuhnya jangan lebih melemah lagi."
Dokter Gabriel pamit. Ibu yang sedang sangat cemas memandangi sekian lama. Ibu tak berhasil meredakan kekhawatiran yang ada dalam dirinya. Mata ibu berkaca-kaca.
"Ibu?"
"Iya, Nak?" Ibu mengelap matanya dengan kasar supaya air mata yang hampir jatuh tak terlihat olehku. Tapi, tetap saja. Aku bisa. Sangat bisa merasakan kekhawatiran itu.
"Harusnya aku hari ini menghadiri pernikahan Alisya dan Dirga."
Mulut ibu menganga. Dia menyadari satu hal yang sedari tadi tak dipikirkannya.
"Ahh, jangan pikirkan. Besok-besok kamu bisa mengucapkan selamat, Nak."
Ibu tahu aku merasa patah saat Dirga memberikan undangan itu di dalam sebuah kotak hadiah ulang tahunku. Saat itu, ibu mengatakan berarti bukan Dirga yang terbaik untukku. Benar. Aku sudah menerima itu. Seberterima Rehagana yang juga pernah merasakannya.
Hari pernikahan hanya sekali, aku merasa harus memberi ucapan selamat. Sedari lagi tanganku kaku, bahkan tak bisa lagi kugunakan seolah lumpuh. Aku minta tolong ibu untuk mengetikkan ucapan itu dan mengirim ke Dirga dan Alisya sekaligus.
Satu jam dari pembicaraan ibu dan Dokter Gabriel, kepalaku kram. Sekarang, rambutku sudah benar-benar rontok setelah beberapa lama melakukan kemoterapi. Ali tak lagi merasakan rambut yang dijambak dari berbagai sisi. Kepalaku tak lagi merasakan kesakitan seperti dulu. Ini aneh. Kepalaku seolah kosong melompong tak berpenghuni.
Kembali aku mendengar langkah seribu Dokter Gabriel yang dengan cekatan memeriksaku lagi. Tak kudapati ibu di sini karena mungkin dianjurkan keluar saat dalam tahap pemeriksaan darurat.
Lima menit kemudian, ibu datang. Menjamagmh kepalaku yang kini lowong tak ada rambut. Ibu terisak.
"Sa," aku mendengar sayup suara ibu, tapi tak bisa meresponsnya lagi. Aku ingin berteriak dengan kelumpuhan yang terjadi. Aku gak bisa meminta ibu untuk tidak perlu menangis. Aku yak bisa membisikkan ke ibu bahwa aku pasti akan selalu bersamanya. Aku tak bisa meyakinkan ibu bahwa aku sekuat yang dulu karrn nyatanya seorang yang terbaring lemah di ruang rawat rumah sakit ini sedang sekarat.
Perjalanan detik berlangsung seperti beradab-abad lamanya. Seperti tak percaya, aku melihat Rehagana membuka pintu dengan kasar. Dia terengah-engah seperti seorang siswa yang ikut lomba lari maraton tingkat kabupaten.
"Sa..."
Dia merengkuh tanganku begitu kuat, sedangkan aku berusaha mengatur napasku supaya keluar beraturan. Aku ingin menyebut nama Rehagana seperti dia yang sering menyebut namaku dengan penuh perasaan, tapi tentu saja aku gagal. Suaraku sudah tak bisa keluar.
"Tarissa..." Kulihat ke ujung pintu. Malaikat yang kuimpikan dalam tidurku tadi adalah perempuan cantik yang tengah berdiri di hadapanku. Gaun pengantin yang dikenakan Alisya berhamburan tak beraturan di lantai. Dia berlari memelukku sambil tak bisa menahan diri. "Tarissa, aku tak terlambat datang, kan? Astaga, harusnya aku tak melangsungkan pernikahan hari ini agar bisa merawatmu 24 jam." Tarissa memelukku kian erat. Dia menangis.
Lihat, bagaimanapun bisa aku membenci Alisya dengan caranya. Dia sangat baik. Itu hal terparah yang kurasakan saat tahu dia pacar Dirga dulu. Membenci orang jahat sudah tepat sesuai kodrat. Tapi, alasan membenci orang baik sungguh sulit untuk ditemukan.
Dirga.
Dia melihat ke arahku. Setelan jas yang dikenakan begitu kas menggantung lada bahunya yang bidang. Hal terbodoh yang pernah kuimpikan dulu adalah memasang setelan jas itu dengan lembut ke tubuh Dirga. Ternyata, itu hanya impian. Mimpi yang tak jadi kenyataan.
Aku tersenyum pelan. Aku tak tahu bagaimana mereka ada di sini, tapi aku bersyukur dengan momen terakhir yang berakhir dengan sempurna ini.
Re, maafkan aku yang tak bisa mencintaimu hingga pada akhirnya....
Alisya, selamat berbahagia.
Ga, terima masih untuk hidup yang membuatmu percaya diri untuk berdiri di atas cinta setelah pertemuan itu.
Ibu, maafkan karena harusnya aku yang menjagamu. Aku gagal dan akan selalu gagal untuk membantumu hidup bahagia.
Terima kasih, Semesta. Terima kasih karena sampai hari terakhir, mereka mencintaiku dengan baik.
*
Aku menutup mata dengan damai.
Surat Cinta untuk Ibu
Rehagana duduk di hadapan ibu yang sedang terpaku di ruang keluarga. Ruangan yang pernah menjadi tempat bercerita, ruangan yang menjadi saksi bisu atas hilangnya satu rumah tangga, ruangan yang pernah menjadi objek trauma. Definisi ruang keluarga terlalu ambigu karena banyak menyiratkan makna.
Lama ibu menatap kertas berlipat rapi di atas meja. Wajah sayunya kehilangan putri bungsunya menjadi kehilangan segalanya. Perjalanan-perjalanan masa lalu menjadi rembesan yang begitu menyakitkan.
Menjalani hidup, mengasuh anaknya hingga besar tanpa kasih sayang seorang ayah nyatanya membuat ibu sangat menderita. Penderitaan yang tidak pernah diujarkan secara nyata, tapi semua orang bisa tahu, sekuat apa pun wanita ini, dia punya masalah. Dia punya masa kelam yang membuatnya justru tak bisa menikmati masa depannya. Rasa bersalah kepada kedua putri membuatnya merasa gagal sebagai orang tua. Sehingga saat Gea pergi dan tidak pernah kembali, tidak pernah memberi kabar, ibu lagi dan lagi hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri.
Berkali-kali ibu menyebut nama putri bungsunya. Mengeja dalam raut wajah yang belum sepenuhnya yakin bahwa anaknya telah pergi. Ke keabadian, yang tidak pernah kembali.
"Tarissa," ibu menyeka matanya yang basah, "Dia harta yang paling berharga yang pernah Ibu miliki."
Nada suara ibu masih juga belum kokoh, padahal ini bulan ketiga saat kehilangan itu terjadi.
"Ibu tak memiliki alasan untuk bahagia lagi, Nak." Ibu menatap sendu Rehagana yang bahkan sedari tadi sulit hanya sekadar membuka mulutnya. Bibir itu seakan terkunci begitu rapat.
Sekali lagi, ibu menatap kertas putih di atas meja.
"Surat dari Tarissa." Ibu menyebut nama putrinya lagi dan lagi. "Seandainya tahu kapan Tarissa menulis ini, Ibu pasti tak akan membiarkannya. Bagaimana mungkin seorang Tarissa setega itu membiarkan ibunya tanpa penopang lagi."
Ibu menangis lagi. Matanya bengkak. Ibu tak pernah mau tidur. Merasakan mimpi yang begitu menyesakkan saat terbangun tak melihat Tarissa di sampingnya.
Rehagana menepuk-nepuk bahu ibu pelan. Rasa sesak yang dirasakan ibu membuatnya kesulitan bicara. Semua pun pasti paham bagaimana rasanya menjadi ibu. Orang tua yang menjadi saksi lahirnya seorang anak harusnya mengharap anaknya kelak menghadiri hari kematiannya. Bukan malah orang tua yang menjadi saksi lahir sekaligus juga menjadi saksi untuk kematian untuk anaknya.
"Dibaca dulu, Bu, surat dari Tarissa." Rehagana menarik kertas itu dari atas meja. "Siapa tahu ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Tarissa dan tak pernah sanggup untuk dilisankan.
Ibu mengangguk. Sepuluh menit kemudian, wanita yang berusia setengah abad itu mengambil kertas berisi tulisan putrinya dari tangan Rehagana.
Ibu,
Seperti biasa, aku selalu tak tahu cara memulai sesuatu. Termasuk saat ini, aku bingung mengawali goresan ini
Ini akan menjadi surat terakhir yang aku tujukan pada Ibu. Seperti dulu saat ibu bekerja di luar kota, Ibu selalu memintaku mengirimi surat buat ibu. Bukan tak bisa kita komunikasi lewat media sosial, tapi ada kesenangan tersendiri saat ibu bilang perkembangan tulisan tanganku makin bagus.
Bu, jangan menangis.
Aku akan menuliskan catatan cukup panjang meski tak akan bisa sepanjang kasih sayang yang pernah ibu berikan.
Bu, bulan pertama aku tahu bahwa aku tengah mengidap glioblastoma, aku search di internet tentang penyakit itu. Aku cukup gugup karena sebelumnya belum pernah mendengarnya.
Aku mempelajari penyakit ini beberapa bulan. Saat itu, aku syok mengetahui fakta bahwa harapan hidupku sangat tipis. Makin banyak aku belajar makin tipis keyakinan yang kumiliki meski seharusnya tidak boleh begitu, kan, Bu?
Ibu, jangan menangis dulu.
Sebelum memutuskan untuk kemo, aku memberanikan diri menjumpai Dokter Gabriel. Aku senang karena pada akhirnya dokter mau jujur mengatakan yang sebenarnya. Dokter bilang bahwa aku harus bersiap dengan kemungkinan terburuk.
Maaf, Ibu.
Sebenarnya saat aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah adalah bagian terfatal dari semua fase yang sudah kulewati. Saat itu Dokter Gabriel membuat gambaran rancangan hidupku dan dari sana terpampang nyata semuanya. Aku senang Dokter Gabriel tidak bertele-tele. Mengatakan bahwa menangani semacam penyakit yang kuidap adalah trauma tersendiri baginya karena itu tak cukup sulit membujuk dokter pada saat itu.
Dengan hati yang berat bujukanku diterima. Aku boleh pulang bukan karena aku sudah terlalu percaya akan kesembuhan itu, tapi karena harapan hidup yang nyaris tak lagi ada. Sewaktu-waktu aku dinyatakan akan pergi. Karena itu aku tak ingin melewatkan banyak momen bersama obat rumah sakit. Aku ingin melewatkan hari-hari terakhirku bersama ibu.
Jangan marah, ya, Bu.
Aku menyayangimu dan benar pernah berjanji akan selalu menjaga ibu dengan baik. Tapi, maaf, Bu. Setelah mempelajari tentang penyakit ini, aku jadi merasa durhaka jika kelak aku mengkhianati perjanjian yang dulu pernah aku katakan sama Ibu.
Jika kelak usiaku sebatas renggutan penyakit ini, kebersamaan kita di dunia akan menjadi terbatas. Aku hanya bisa melihat ibu dan ibu tak akan bisa melihatku lagi.
Tolong, bahagialah setelah kepergianku.
Maaf, jika aku pulang duluan, Bu.
*Tarissa
Epilog
Dirga dan Rehagana menatap Sunrise Kahona. Pantai yang dulu pernah mereka kunjungi bersama seorang wanita yang hanya akan menjadi bagian sejarah.
Empat belas bulan terhitung sejak kepergian Tarissa sekaligus dua tahun perjanjian mereka untuk kembali ke tempat ini. Sampai saat ini, kepergian Tarissa masih seperti mimpi buruk. Mimpi paling buruk dari mimpi yang pernah ada.
"Aku memimpikan Tarissa hari-hari belakangan." Dirga membuka suara. Desir ombak pantai berlomba menciptakan suara. Ditambah angin yang menyambut malam dengan riang gembira. Angin pantai mungkin bisa dikategorikan menjadi penyambut tamu jika ada acara pertemuan waktu pagi, siang, dan malam. Karena dia begitu riuh, seperti wanita cerewet yang tak bisa berdiam diri.
"Mimpi apa?"
"Semua samar. Tapi, tiap kali dia datang, doi selalu diam. Dalam mimpiku, terkadang dia hanya mengikuti dari belakang. Kami tak benar-benar saling menyapa. Yang membuatku heran, dia selalu datang, tapi diam. Tak mau berbicara denganku."
"Kamu mungkin sedang merindukannya." Rehagana memberikan jawaban sepihak.
"Ya, pasti. Dia teman yang baik, kan."
"Sayangnya, dia tak pernah menganggap peranmu dihidupnya sebagai teman."
Dahi Dirga mengerut.
Rehagana menatap kejauhan. Laut lepas di depannya entah akan berujung di mana. Rehagana adalah tempat menyembunyikan perasaan Tarissa pada masanya. Dia sangat kehilangan merasa sangat kehilangan karena Tarissa adalah seseorang yang masih sangat dicintainya.
Ada momen tertentu di kantor yang sering membuat Rehagana terhenyak. Menyaksikan Tarissa yang tidak hadir di ruang rapat, melihat ruang kerja Tarissa yang kini dihuni oleh pegawai baru yang tak bisa menggantikan posisi Tarissa di hati Rehagana, melihat kontak WA Tarissa yang tidak aktif sejak 22 Desember 2018. Pekerjaan kantor sudah menjadi lahapan ringan bagi Rehagana, tapi dia selalu membutuhkan waktu untuk menyerap dalam pikirannya bahwa Tarissa telah tiada.
"Tarissa mencintaimu, Ga."
Dirga tersentak mendengar penuturan Rehagana. Dia seperti mengingat sesuatu yang juga disimpannya rapat.
"Dia mencintaimu sampai napas terakhirnya." Mengucapkan hal ini adalah bagian tergetir dari penerimaan Rehagana akan semua kenyataan yang ada. Ini menjadi tugas beratnya selama beberapa bulan. Pada suatu hari, meskipun semua sudah berakhir, cerita cinta itu harus dipaparkan juga. Supaya semuanya jelas. Tak ada lagi utang yang harus dibayar. Tak ada kisah yang tertinggal.
Dirga menghela napasnya berat.
"Re, saat yang sama kita ke pantai ini, aku menyadari rasa yang sama terhadap Tarissa. Saat itu, aku melihatnya dengan rasa yang tak bisa kumaknai dengan sepenuhnya. Harus di akui, Tarissa seperti magnet dengan kutub positifnya yang begitu menyenangkan."
"Jadi, saat itu kamu juga menyukainya?"
"Ya."
Rehagana mengusap wajahnya. "Lantas, gimana kamu bisa membiarkan ceritanya berakhir seperti ini?"
"Aku tak benar-benar bisa memutuskan apakah seorang yang sudah memiliki seseorang di hatinya tak bisa jatuh cinta lagi. Tapi, kenyataan rasa nyaman bersama Tarissa membuatku menyukainya. Meskipun tak cukup mudah karena sebelum Tarissa datang aku sudah bersama dengan Alisya, tapi terlalu naif jika aku menjadikan Alisya sebagai alasan perasaanku terhadap Tarissa, Re."
Rehagana memicingkan matanya. Merasa bingung untuk menanggapi perkataan Dirga yang sulit dicernanya.
"Rehagana, kamu temanku yang sangat baik. Sebagai teman, aku juga mengenalmu dengan baik."
Debur ombak masih berkeliaran di telinga. Pasir pantai yang pernah dihamburkan oleh Tarissa seakan menyatu lamat dalam pikiran mereka masing-masing.
"Kamu bisa bersembunyi dalam perkataan. Tapi, tak akan bisa membohongi semua hal."
Rehagana masih membisu saat Dirga menepuk pundaknya.
"Kamu mencintai Tarissa, Re. Itu alasan utamaku untuk mundur."
***
Menyaksikan pemandangan di sini semuanya pasti tentang Tarissa. Tarissa adalah orang terakhir yang mereka ajak ke tempat ini.
"Ini hari di mana kita harusnya saling membaca rahasia kita masing-masing yang kita tulis di kertas milik Tarissa dua tahun lalu."
"Iya. Seandainya Tarissa tak menentukan waktunya terlalu lama..."
"Tepatnya, seandainya Tarissa tidak pergi begitu cepat."
Keduanya tertawa. Merasa bodoh dengan kesan melankolis yang datang tanpa diundang.
"Ayo, kita lihat kertas itu, Re."
Kertas yang dibungkus rapi di dalam satu plastik transparan itu masih utuh.
Semoga kalian berdua berbahagia. ~Rehagana
Jika boleh, hatiku butuh rumah sepertimu. ~Tarissa
Ini tentang kita hari ini. Tentang kita juga di hari esok. ~Dirga
Rehagana menatap Dirga. Memaknai gulung ombak dan sejuknya angin lantai dengan sia-sia. Dirga menatap kertas itu. Tanpa sepengetahuan mereka, sedari tadi di kejauhan di bawah pohon nyiur, Alisya turut hadir di antara mereka. Alisya berbalik dengan mata berkaca-kaca, bahkan saat Dirga masih mencari makna dari ketiga kertas di hadapannya.
Rumah itu...
*T A M A T*
Description: Setelah tak ada cinta yang kudapati di rumah, aku selalu berharap, suatu saat nanti jika aku mencintai seseorang, aku ingin dia mencintaiku sepenuh hati. Menjadikan dia rumah untuk hatiku yang kosong mungkin akan menjadi jalan bahagiaku.
Aku tak mudah jatuh cinta. Karena yang kutemukan, cinta sering berkhianat dan saling menyakiti, seperti yang pernah kusaksikan antara ayah dan ibu. Kebencian di hati manusia bisa menguar kapan saja.
Aku tak menginginkan kejadian serupa di hidupku. Aku ingin bahagia bersama orang yang kucintai dan mencintaiku selamanya.
Hingga suatu hari aku bertemu Rehagana dan Dirga, cita-citaku untuk bahagia pun kian nyata.
Namun, ternyata tak semudah itu. Aku dan siapa pun tak bisa hidup di dua dunia sekaligus.
Ketika dituntut harus memilih, inilah awalku harus memulai petualangan. Mencari rumah untuk hatiku, rumah bahagia yang kuimpikan.
Nama: Nov S. Purba
Akun FB: Nov Sari
IG: nonov_sari
“Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #CintaTanpaBatas 2020.”
|
Title: Rewrite
Category: Cerita Pendek
Text:
Bahagia dengan Pilihanmu
“Membiarkanmu bahagia dengan pilihanmu adalah bagian dari caraku mencintaimu.”
Ada kalanya, membiarkanmu adalah keputusan paling benar. Namun kemudian aku kelelahan dan sikap seenakmu tidak bisa lagi dibenarkan oleh akal warasku yang lelah mengertikanmu.
Aku tahu aku pernah mengatakan bahwa membiarkanmu bahagia dengan pilihanmu adalah bagian dari caraku mencintaimu. Namun kemudian aku sadar bahwa segalanya tidak sesederhana itu. Lambat laun aku menjadi egois dan serakah. Aku ingin kamu melihatku seperti aku melihatmu. Aku ingin kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu. Aku ingin kamu mengertikanku seperti aku mengertikanmu, apapun yang kamu pilih, apapun yang kamu inginkan.
Maaf, aku mengingkari janji dan menjadi seseorang yang plin-plan. Kupikir aku akan menjadi manusia yang tak sama dengan kebanyakan orang. Kenyataannya aku tetap saja bagian dari mereka. Aku manusia penuntut dan pencemburu. Aku juga ingin dicintai dan mendapatkan yang kuinginkan.
Maaf. Aku minta maaf jika sikapku membuatmu tidak nyaman. Tapi inilah kenyataannya. Inilah diriku pada akhirnya.
Cinta yang Sederhana Butuh Banyak Alasan
“Cinta tak sesederhana itu, butuh banyak alasan untuk saling menerima dan memahami.”
Kamu dan aku disatukan oleh luka yang sama meski dari orang yang berbeda. Kita memutuskan untuk saling menyembuhkan karena merasa saling mengerti. Bukankah kita terlalu percaya diri. Ternyata tak cukup hanya dengan satu hal yang sama lantas kita akan saling mengerti.
Cinta tak sesederhana itu rupanya. Butuh banyak alasan bagi kita untuk saling menerima dan memahami. Meski di luar sana banyak orang yang tak butuh alasan untuk mencintai. Bahkan mencintai dengan sangat, mencintai dengan gila.
Kamu dan aku lupa. Kita dua orang yang pernah sangat terluka karena terlalu mencintai. Kita bukan orang-orang di luar sana yang siap terluka dengan cinta mereka yang tak butuh alasan. Mereka memaknai cinta tulus seperti demikian. Kita tidak seperti itu. Aku dan kamu berbeda dari mereka dan kita hampir lupa akan kenyataan itu.
Mungkin sekarang belum terlambat. Haruskah kita kembali saja menjadi asing. Sebelum kita terluka. Karena aku yakin, aku dan kamu masih belum siap terluka lagi. Dan kita tahu, terluka lagi akan benar-benar membunuh harapan kita lebih jauh. Akan sulit kembali baik-baik saja. Jadi, mari memutuskan terluka karena kita yang memilih. Dari pada kita terluka lagi karena terlanjur mencintai.
Kamu, Hati dan Kepalaku
“Aku tidak pernah sengaja menyimpan kamu di dalam hati dan kepalaku, namun itulah yang terjadi.”
Kamu tidak pernah menjadi masa lalu bagiku. Karena entah bagaimana, sekeras apapun aku mencoba dan setidakpeduli apapun aku berusaha untuk tidak memikirkanmu, kau ada, selalu ada.
Bukan satu kali, dua kali, atau sepuluh kali. Namun ratusan bahkan ribuan kali. Aku berusaha menjadi manusia tegar, aku berusaha menjadi manusia tangguh, namun sulit.
Aku tahu, kamu juga tahu. Aku tidak pernah kalah akan apapun. Aku diciptakan untuk jadi pemenang. Namun entah mengapa sulit mengalahkanmu. Bukan kamu, hanya bayanganmu, tapi aku kalah.
Kamu ada dan selalu ada, meski “kita” yang kita banggakan telah lama berakhir. Namun kamu ada, masih, dan selalu ada.
Maaf, bukannya aku terlalu melankolis. Aku tidak pernah mengharapkan hal seperti ini menjadi bagian dari diriku. Semuanya terjadi begitu saja. Aku tidak pernah sengaja melakukannya, menyimpan kamu di dalam hati dan kepalaku. Namun itulah yang terjadi.
Aku bukannya tidak mau melepaskanmu. Aku juga tidak pernah menutup hatiku agar tidak ada yang bertamu. Sungguh, ada banyak tamu kubukakan pintu dan kupersilakan masuk setelah kamu pergi. Namun tidak ada yang berhasil menjadi tuan rumah dari hatiku yang kamu tinggalkan. Kamu masih pemilik tunggal yang sulit digantikan.
Maaf, tempatmu masih dan selalu ada di sini, di hati dan kepalaku.
Tak Apa, Aku Melukaimu
“Aku tahu aku menyakitimu meski kamu mengatakan tak apa. Aku sungguh menyesal, namun begini caraku menghargai orang sebaik dan seberharga kamu.”
Aku tidak tahu apa yang membuatku memutuskan untuk mencintaimu dalam waktu yang singkat. Aku terlalu percaya pada hatiku yang menyeruku untuk segera memilikimu. Beginilah akhirnya, keputusan singkat itu mulai membuatku ragu. Apakah benar aku jatuh cinta pada kamu. Ataukah semua ini hanya keinginan sesaatku. Hingga suatu ketika, pertengkaran kecil antara aku dan kamu ditambah keraguan-keraguanku yang sesat memengaruhiku untuk meminta perpisahan.
Maaf, aku tahu kamu terluka saat itu. Aku tahu hanya dengan melihat raut wajahmu. Aku tahu, saat itu aku benar-benar melukaimu. Maaf, aku tahu itu. Aku bersalah. Tapi sungguh, ini bukan karena kamu, ini bukan kesalahanmu. Kamu baik-baik saja. Keputusanku untuk memilihmu bukanlah kesalahan. Aku beruntung bersamamu. Hanya saja, aku meragukan hatiku sendiri. Ketika seseorang di masa lalu yang pernah sangat kucintai, yang pernah sangat melukaiku, ia datang. Aku goyah. Debaran yang kumiliki untuk dia masih ada dan itu membuatku merasa bersalah pada kamu.
Sungguh, ini bukan salah kamu, tapi salahku. Aku tidak meragukan kamu, namun aku meragukan diriku sendiri. Bagaimana jika ternyata selama ini aku tidak bersungguh mencintai orang sebaik kamu. Aku sungguh merasa bersalah. Karena itu aku meminta perpisahan.
Maaf, aku benar-benar minta maaf. Kamu terluka, ya, aku tahu meski kamu diam saja. Aku tahu aku menyakitimu meski kamu mengatakan tak apa. Maaf, aku sungguh menyesal. Namun begini caraku menghargai orang sebaik dan seberharga kamu.
Pergilah, Aku Melepaskanmu
“Kenangan di kepalamu melumat segala tentangku dan menyisakan dia. Pergilah, aku melepaskanmu”
Kamu pernah mengatakan, terbelenggu pada kenangan adalah hal kekanak-kanakan. Tapi sepertinya kamu melupakan kalimatmu sendiri sekarang. Kenangan bersamanya mengusikmu setelah kita bertemu dia tanpa sengaja. Sejak pertemuamu dengan orang di masa lalumu itu, kamu berubah. Sadarkah kamu?
Kamu lebih banyak diam. Kamu tak lagi menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan riang. Kamu tak lagi membalas pesanku dengan cepat. Panggilan teleponku bahkan sering kau abaikan. Kamu jadi pelit bicara. Kamu menjadi orang berbeda dan itu mulai membuatku takut.
Kupikir kita sudah lama bersama. Kenyataannya itu bukan apa-apa. Aku lupa, waktu yang kamu habiskan dengannya masih lebih panjang jika dibandingkan dengan kebersamaan kita. “Kita” bukan apa-apa dibandingkan “kalian”.
Aku ingin kita bertahan dan aku sudah berusaha melakukannya. Aku berusaha baik-baik saja dengan kamu yang sedang tersesat dalam ingatan masa lalumu bersamanya. Aku bertahan untuk tidak menangis. Aku bertahan untuk tidak terluka. Namun kemudian segalanya menjadi tidak terkendali.
Aku diam, berusaha maklum saat kamu mulai memanggilku dengan nama orang di masa lalumu itu. Kamu minta maaf dan aku maklum. Lalu kamu mulai bercerita tentang tempat yang tak pernah kita kunjungi bersama namun kamu merasa datang ke tempat itu bersamaku. Lalu kukatakan bahwa itu tempat kenangan kalian. Aku mencoba baik-baik saja, meski aku tahu hatiku mulai terluka. Lantas waktu menempatkan kita pada pertemuan yang lain dengannya, orang di masa lalumu. Kenangan di kepalamu melumat segala tentangku dan menyisakan dia. Aku tidak bisa bertahan lagi.
Maaf, tapi pergilah. Aku melepaskanmu. Kembalilah padanya. Aku bukan seseorang sekuat yang kupikirkan rupanya. Aku menyerah semudah ini. Jadi pergilah. Aku tak pantas bersamamu.
Kita Berpisah, Hanya Aku yang Terluka
“Kita berpisah namun aku saja yang kehilangan. Aku bisa membuatmu bahagia atau menyeretmu terluka bersamaku.”
Kita berpisah. Kamu baik-baik saja sementara aku tidak. Sepertinya keputusanku melepaskanmu adalah hal yang benar untukmu. Kamu tertawa lebih lepas sekarang, dari pada saat kita masih bersama. Namun hal itu membuatku merasa buruk.
Aku tidak tahu apa yang sudah dia lakukan, namun dia sungguh berhasil membuatmu bahagia. Aku ingin merasa senang melihatmu tertawa lebar. Tapi aku semakin merasa sakit. Aku egois bukan. Harusnya aku tidak seperti ini.
Kamu bahagia menjalani hari-harimu bersamanya. Itu hakmu, mengapa aku tidak senang. Dan itu membuatku merasa jadi orang jahat. Betapa jahatnya aku yang tidak senang melihat kebahagiaan orang lain. Terlebih, kamu pernah menjadi seseorang yang sangat berharga untukku. Namun kita sudah menjadi asing sekarang.
Aku sudah terbiasa melihat kebahagian kalian. Sudah beberapa waktu lamanya. Namun aku masih saja tidak bisa mengerti. Kita berpisah namun aku saja yang kehilangan. Aku dan kamu yang berpisah, namun kamu bahagia dengan hidupmu dan aku masih bersedih karena kehilanganmu. Kadang aku merasa ini tidak adil. Tapi tidak ada yang bisa disalahkan dalam situasi ini.
Aku berlagak jadi peri baik yang dengan senang hati melepaskanmu untuknya. Namun jika kupikir-pikir lagi, apa untungnya jika aku mempertahankanmu sementara hatimu bersama orang lain. Tidakkah itu juga akan melukaiku.
Bagaimana ini, mengapa sama saja hasilnya. Aku tetap saja jadi orang yang terluka sementara kamu memiliki pilihan. Aku bisa membuatmu bahagia atau menyeretmu terluka bersamaku. Dan aku terlalu mencintaimu untuk tidak membuatmu menanggung luka yang sama denganku.
Baiklah, kamu berhak bahagia. Sementara aku akan berusaha menahan lukaku sendiri.
Kita Sepakat untuk Baik-Baik saja
“Hai, rupanya kita sepakat untuk menjadi orang asing. Anehnya, aku mengenalmu dan kamu tidak.”
Kita sudah sepakat untuk baik-baik saja setelah memutuskan untuk tidak bersama. Kita sudah sepakat untuk saling menjaga hubungan baik. Namun kenyataannya, cermin yang retak tak bisa lagi dikembalikan seperti semula. Kita berpapasan dan kamu diam saja. Bahkan melihatku pun seakan kamu enggan. Kita benar-benar menjadi dua orang asing yang seakan tak pernah saling mengenal. Kenyataan bahwa kita pernah bersama seperti hilang tanpa sisa dalam benakmu.
Anehnya, aku masih merasa mengenalmu. Aku masih merasa bahwa pernah ada kamu dalam kenangan masa laluku. Sebenarnya masih belum menjadi masa lalu seutuhnya. Masih kemarin, tepatnya beberapa hari yang lalu, kita masih bersama sebelum memutuskan seperti ini.
Sebenarnya tak banyak yang kuinginkan. Sapaanmu saja sudah cukup. Aku tak berharap kamu akan bertanya bagaimana kabarku? Aku tak berharap kamu akan bertanya sibuk apa aku sekarang? Aku tak berharap kamu akan bertanya apapun tentang diriku yang sekarang.
Hai saja, bagiku lebih dari cukup, atau setidaknya lihat saja aku. Tak perlu berlama-lama. Satu menit, tidak, itu terlalu lama. Sepuluh detik, tidak, mungkin itu masih terlalu lama buatmu. Bagaimana jika satu detik saja. Ya, satu detik saja kukira sudah cukup buatku. Tapi kamu rupanya tak menginginkan itu.
Baiklah, aku mengerti dan memang harus mengertikanmu lagi. Bahkan setelah kita berpisah, aku masih harus baik-baik saja dengan sikapmu itu. Ya, mungkin aku ditakdirkan seperti ini. Jadi baiklah, aku tak akan mengharapkan apapun darimu lagi. Aku tak akan meminta apapun. Cukup jalani saja hidupmu dengan baik. Dan tunjukkan padaku bahwa keputusanmu meminta kita berpisah adalah keputusan yang benar. Agar aku percaya, bahwa keputusanku mengiyakan keinginannmu juga tidak salah.
Kuharap Kita tidak Pernah Bertemu Lagi
“Kamu tak perlu cinta dan rindu untuk membuatku kesepian.”
Kamu memang tidak pernah kemari. Namun kurasa rumahku menjadi sepi sejak aku meminta kita untuk berpisah. Entahlah, aku sungguh tidak mengerti perasaanku pada bagian ini. Mengapa aku merasa sepi, mengapa aku merasa sendirian.
Rupanya kebersamaan kita yang singkat itu membuatku terbiasa akan hadirmu dalam hari-hariku. Memang tak banyak hari yang kita habiskan bersama. Kebersamaan kita tak seperti orang-orang normal lainnya.
Kita bertemu, satu minggu hanya dua atau tiga kali. Tempat yang kita kunjungi pun tak banyak. Paling sering di perpustakaan umum kota yang memaksa pertemuan kita lebih banyak dihabiskan dengan saling diam dengan buku di hadapan masing-masing. Jika kuingat-ingat lagi, tak banyak perbincangan yang kita buat. Tapi entah mengapa, perpisahan membuatku merasa sendirian.
Akhirnya aku sadar, rupanya kamu lebih berbahaya dari dia. Kupikir aku tak pernah benar-benar mencintaimu seperti cintaku pada dia. Kupikir aku tak pernah benar-benar merindukanmu seperti rinduku pada dia. Dan kupikir aku tak pernah benar-benar memikirkanku seperti dia yang menghantui pikiranku setiap waktu. Namun kamu benar-benar luar biasa. Kamu tidak butuh hal-hal seperti itu untuk membuatku merasa kesepian setelah perpisahan kita.
Aku sedikit merasa beruntung telah memutuskan untuk berpisah denganmu. Jika kita bertahan sedikit lebih lama lagi, mungkin aku akan gila karena kesepian tanpamu. Bagian ini benar-benar tidak bisa kumengerti.
Kuharap kita tidak pernah bertemu lagi. Aku khawatir, aku mungkin menyesal memintamu melepaskanku. Aku khawatir, aku mungkin menjilat kembali air liur yang telah kuludahkan dan memintamu kembali. Kuharap kamu tak pernah muncul di hadapanku lagi. Jika itu terjadi, kuharap kamu mau berpura-pura tidak melihatku.
Lagi, Tentang Dia
“Kali ini, kamu berhasil menghancurkan segala rasa dan kenanganku yang masih tersimpan untukmu.”
Lagi, pertemuan kedua kita yang kamu abaikan. Tapi aku maklum, karena ada dia bersamamu. Mungkin kamu tidak ingin dia tahu tentang kita. Ya, kali ini pun aku berusaha mengertikanmu.
Dia sangat cantik. Senyumannya menawan, seperti yang pernah kamu ceritakan padaku tanpa sengaja. Waktu itu kamu minta maaf, katamu kamu salah bicara. Tapi aku sungguh paham, kamu merindukannya hari itu. Aku tidak ingin membahasnya lebih jauh. Karena aku tahu, membicarakan dia mungkin akan menyulitkanmu.
Hari ini, aku tidak sengaja mendengar percakapan kalian. Karena tempat kita memang sangat dekat. Entah mengapa meja yang kalian tempati dan meja yang dipesan klienku tepat bersebelahan.
Sungguh, ini benar-benar kebetulan. Namun, sepertinya kebetulan ini mengganggumu. Aku mendengarnya saat kamu ingin kalian pindah tempat duduk. Sejujurnya mendengar kalimatmu membuatku merasa buruk. Apakah sejauh itu kamu ingin terlepas dariku? Bukankah aku sudah memenuhi semua keinginanmu? Aku merasa keberadaanku seperti pengganggu.
Kamu memilih tempat yang tak bisa kulihat. Namun, entah mengapa aku jadi penasaran. Apa yang kamu lakukan di belakangku? Kali ini tak seperti biasanya. Untuk pertama kalinya, aku tak mengerti akan sikapmu yang kekanak-kanakan itu.
Pekerjaanku usai, rupanya pertemuan kedua kita belum usai. Tanpa sengaja, ataukah ini bisa kusebut rencana Tuhan. Dia, seseorang yang sangat kaucintai itu berjalan di sampingku dan menjatuhkan tasku. Lalu dia minta maaf dan sedikit berbasa-basi. Namun kemudian kau datang. Kamu mengabaikanku, lagi, dan mengkhawatirkannya. Kamu bertanya apa dia baik-baik saja, lalu membawanya yang masih bercakap denganku pergi dengan terburu-buru, seakan kamu takut mungkin aku akan menyakitinya. Sungguh, dari sekian perlakuanmu padaku, inilah yang membuatku merasa paling buruk. Kamu berhasil kali ini, berhasil menghancurkan segala rasa dan kenangan yang masih tersimpan untukmu.
Selamat tinggal, itulah pada akhirnya yang ingin kusampaikan padamu untuk menutup pertemuan kita hari ini.
Description: “Kamu tak perlu cinta dan rindu untuk membuatku kesepian.â€
Gambar cover: https://id.pinterest.com/
|
Title: Referia Saga Kato
Category: Fantasi
Text:
PROLOG
Buku : Penciptaan Awal
Lembar 2
Ketika penciptaaan dunia telah selesai ke lima dewa/dewi utama
berkumpul membahas suatu aspek kehidupan berakal yang akan mereka isi di dunia yang telah mereka buat, setiap dewa menginginkan makhluk yang diciptakan sesuai dengan keinginannya, mereka berdebat panjang menentukan siapa yang laying untuk mengisi dunia yang telah mereka buat.
Perdebatan yang teramat panjang mengenai hal ini sampai membuat dunia yang telah mereka buat hingga mengalami beberapa perubahan bentuk dan melewati beberapa musim. Hingga akhirnya mereka menetapkan untuk membuat mahluknya masing-masing untuk dunia yang telah mereka ciptakan, namun ada satu dewa yang tidak setuju dengan usulan tersebut. Dewa itu adalah Meldivo, dia tidak setuju dengan penciptaan multi humanoid di dunia yang telah tercipta. Namun dewa dan dewi lain menginginkan beragam ras dan budaya untuk dunianya.
Meldivo tetap merasa tidak setuju dengan hal tersebut dan akhirnya dia pergi mengasingkan diri. Dengan tidak mempedulikan Meldivo sang dewa dan dewi lain akhirnya menciptakan suatu entitas kehidupan yang memiliki akal.
Estafa, dewi langit dan kebijaksanaan menciptakan Manusia dan Fare.
Borg, dewa hewan dan kekuatan menciptakan Beaster dan Fury
Ylva, dewi hutan dan keindahan menciptakan White elf dan Dark elf.
Gapo, dewa tanah dan keterampilan yang hanya menciptakan Dwarf.
Mahluk pertama yang mereka ciptakan dengan memiliki pasangan masing-masing diturunkan bersamaan ke tengah benua utama yaitu Referia, karena diturunkannya bersamaan hantaman mereka mengakibatkan suatu lubang besar ditengah Referia yang nantinya menjadi danau raksasa yang sekarang dinamakan Danau Lavish. Mahluk para dewa/dewi yang telah diciptakan awalnya hidup bersama namun karena beberapa perbedaan akhirnya mereka memilih berkelana menyebar ke seluruh benua.
Buku : Perang para Dewa
Lembar 4
Ke empat dewa dan dewi utama beserta dewa dunia yang telah dewa/dewi utama ciptakan bersatu melawan sang dewa monster dan kebencian Meldivo, Meldivo yang diliputi kebencian menciptakan monster-monster mengerikan untuk melawan para dewa/dewi. Peperangan berlangsung hingga dua musim, Meldivo yang terdesak disaat-saat terakhir akhirnya mati. Namun sebelum raganya hancur Meldivo mengeluarkan serangan terakhirnya kepada para dewa, dia menghentakkan tanah dengan kekuatannya sehingga sebagian dataran utama yang dipijaknya terpecah, pecahan dataran tersebut mengeluarkan kabut hitam ke seluruh penjuru dunia dan setelah itu barulah raga Meldivo hancur dan menghilang.
Sang dewa/dewi dunia yang taksanggup menahan udara yang ditimbulkan tersebut tersungkur kesakitan, ke empat dewa dan dewi utama tidak sanggup melihat para ciptaannya menderita akibat kabut yang dibuat Meldivo, hingga akhirnya sang dewa/dewi utama memutuskan meleburkan diri mereka ke penjuru dunia untuk menghilangkan kabut hitam tersebut. Setelah sang dewi utama meleburkan dirinya, perlahan kabut hitam menghilang dan membuat dunia menjadi seperti sedia kala.
Setelah beberapa musim patahan Referia yang dibelah Meldivo menjadi suatu selat yang dinamakan selat Ikhwa, dan dataran yang terpisah dari Referia tersebut di namakan Pulau Hitam.
Buku : Perang Suci
Lembar 3
Pertikaian Edenia Kingdom yang dipimpin Raja Bastile da Galastia dengan para pemberontak yang dipimpin dengan tidak lain adik dari Raja Bastile yaitu Dafon da Galastia memecah kerajaan manusia tersebut menjadi dua pihak, karena Pasukan suci yang dipimpin Raja Bastile memiliki perlengkapan dan jumlah yang banyak, pasukan pemberontak dipaksa mundur ke daratan dingin dibagian utara Referia.
Lembar 5
Pada tahun 700 setelah berakhirnya masa dewa kedua belah pihak memutuskan perjanjian untuk membagi wilayah kerajaan untuk mengakhiri peperangan yang telah berjalan 100 tahun tersebut, dengan begitu akhirnya Dafon da Galastia memimpin negri sebelah utara Refereria yang dia namakan Sear Kingdom, negri dimana Manusia dan Femelia setara.
Buku : Pengetahuan anatomi dasar tubuh mahluk Humanoid
Lembar 2
Manusia, memiliki tingkat kesuburan yang tinggi namun memiliki rata-rata usia yang relative singkat yaitu 60-100 tahun.
Fare, berbentuk hamper sama dengan manusia dengan perbedaan mata bercahaya dalam kegelapan ketika melakukan kegiatan yang mengeluarkan mana, rata-rata usia relative normal yaitu 200-250 tahun.
Beaster, memiliki bentuk humanoid hewan yang hampir menyerupai manusia, perbandinganya beaster memiliki telinga dan ekor hewan sesuai dengan jenis sukunya masing-masing. Memiliki indra penglihatan dan pencimuman yang baik. rata-rata usia relative normal yaitu 200-250 tahun.
Fury, berbentuk humanoid hewan yang lebih menyeripai hewan ketimbang manusia, memiliki kemampuan yang sama seperti beaster dengan tambahan kekuatan lebih yang tidak dimiliki beaster namun dengan mana yang cenderung sedikit. rata-rata usia sama dengan beaster.
White elf, berbentuk humanoid dengan tubuh warna pucat dengan rambut terang dan telinga yang meruncing, dianugerahi mana yang banyak dibanding mahluk lain dengan rentang usia rata-rata 700-750 tahun.
Dark elf, berbentuk sama seperti white elf dengan perbandingan berwarna gelap dengan rambut yang gelap pula, dengan anugrah yang dan rentang usia yang sama dengan with elf.
Dwarf, humanoid berbadan pendek dengan bulu janggut yang cenderung cepat tumbuh, dianugerahi keterampilan dan ketelitian yang belebihi mahluk lain dan ahli dalam menggunakan sihir tanah.
BAB I : Anak Fare - Chapter 1
-1-
ANAK FARE
Suasana gelap yang mengelilingi tubuh, gelap total seperti menutup mata ditempat tanpa cahaya. Namun yang dirasakan bukan sesuatu yang tidak mengenakkan dan menyakitkan, justru perasaan hangan dan lembut yang dirasakan.
Ah… dimana aku, ah iya aku mengingatnya, aku baru saja mati kah… jadi ini rasanya kematian. Penglihatan yang kulihat terakhirkali adalah wajah istriku yang menangis diatasku.
Aa..ah… padahal aku baru satu bulan menikah, belum juga merasakan berhubungan intim dengan istri sudah mati duluan, memang bekerja sebagai anggota mafia sungguh beresiko.
Tak lama setelah bergumam dalam hati, pandangan menjadi terang, tapi walaupun pendangan menerang masih tubuh yang dulu dimiliki tidak dapat dilihat. Seosok mahluk muncul dari sinar terang itu,
“Bagas Sandoro… jiwamu ku pilih untuk aku pindahkan ke dunia lain, dunia yang akan aku lewati selanjutnya.”
Bagas bingung apa mahluk terang tersebut, yang hanya dia lihat mahluk itu seperti ular dengan tubuh manusia namun dia tidak dapat melihat rupanya dengan jelas.
“Kau akan dihidupkan lagi di dunia yang berbeda dari dunia asalmu, persiapkan dirimu.”
Ahh… renkarnasi kah...
“Karena jiwamu terpilih, kau diberi keringanan, ingatan dunia lamamu tidak akan terhapus, dan juga kau akan kuberi satu permintaan”
E-eh...satu permintaan? Kayak jin lampu yang sering muncul diiklan
“Cepatlah, aku masih bisa mendengar suara hatimu, apa keinginan mu”
Keinginan kah…
Bagas sekilas teringat masalalunya, dimana ia sewaktu sekolah menjadi siswa paling bodoh dalam kelas, saat dewasa dia berkali-kali dibodohi oleh anggota mafia lain karena kurangnya pengetahuan yang dia miliki, itupun beruntung ada wanita yang mau menikahi anggota mafia seperti dia.
“Baiklah jin bercahaya…aku ingin-“
“SIAPA YANG KAU BILANG JIN HAH..!!” dengan kaget dia teriak.
“Lah terus apa dong”
“Sudah kau tidak perlu tau siapa aku, cepat sebutkan permintaan mu”
“Iya iya bawel amat dah, aku ingin di dunia baru kun anti aku dapat dengan mudah memahami segala hal yang ada disana, dan juga tolong jadikan aku orang yang berkarisma ya, supaya cewek banyak mendekat”
“Kau kira aku ini tempat warung makanan prasmanan hah?, seenaknya kau meminta. Cukup satu saja.”
Ini jiwa kalo bukan jiwa yang terpilih pasti sudah aku buang dia kedalam kegelapan abadi, menjengkelkan sekali. Kata mahluk itu dalam hati.
“Okelah kalo gitu yang pertama saja dah, kalo soal kharisma bisa saya bentuk sendiri, saya mau jadi orang yang bisa mempelajari atau mengetahui segala hal”
“Dah nih, dasar jiwa yang tak tau diri, pergi sana”
Setelah itu sesuatu seperti lingkaran dengan tulisan aneh berwarna kuning mengelilingi sekitar tempat, rasa hangat yang dirasakan semakin memudar dan setelah itu Bagas kehilangan kesadarannya.
***
Hujan gerimis mengguyur hutan tersebut Jack dengan cekatan menarik kedua pisau dari belakang pinggangnya keluar, dengan kefokusan yang tinggi Jack menyergap rusa yang muncul dari balik pepohonan rindang tersebut.
“Huuh… rusa kah, kira-kira makanan apa ya yang akan dibuat Arine besok, perjalanan kembali kerumah cukup jauh dari sini, sebaiknya aku mengkuliti rusa ini dulu”
Rusa yang telah dibunuh dikuliti dan dipotong sedemikian rupa dengan Jack, bagi dia yang mantan petualang dan perajurit bayaran yang sudah beberapakali membunuh orang, hal seperti ini sudah biasa dia lakukan, mengkuliti dan memotong bagian-bagian tubuh.
Malam hamper tiba sementara Jack yang baru keluar dari Hutan Kematian beristirahan dan membuat api untuk sekedar menghangatkan diri, “Uhm.. apakah aku tidur disini aja dulu yak, masing setengah hari pula baru sampai rumah” gumam jack.
Jack memutuskan untuk tidur disebuah pohon dekat perapiannya malam itu, beberapa potong daging rusa yang baru dia buru tadi sore dia keluarkan untuk dibakar dan dimakan.
Malam semakin larut, tiba-tiba insting Jack merasakan sesuatu, sesuatu yang mendekat dari dalam Hutan Kematian.
Hmm ada sesuatu, sebaiknya aku periksa.
Dari kejauhan tiba-tiba Jack mendengar teriakan dari dalam hutan, merasa aneh dia menambah kecepatan pergerakannya dengan melompati beberapa dahan pohon kedahan pohon berikutnya dengan cepat, pusat dari teriakan tersebut semakin dekat, pergerakan Jack terhenti sejenak saat melihat beberapa orang dengan armor putih dengan pingkai kuning diujungnya berada dilokasi tersebut.
Jack melihat suatu kereta kuda yang telah hancur dan dua mayan yang tergeletak diantara kerumunan perajurit tersebut, Paladin, kah… gumam jack dalam hati saat melihat empat orang perajurit tersebut.
“Hey kau… cepat congkel matanya, barang itu sangat mahal kalua dijual ke beberapa orang kaya di ibukota” kata salah satu perajurit itu.
“Haha… kita beruntung mala mini, tak sia-sia kita jauh-jauh berpatroli di perbatasan”
Dibalik dahan pohon Jack memahami situasi dengan seksama, Jack hanya berfikir, apa yang dilakukan seorang tentara suci Econdaria sampai jauh-jauh mengejar orang hingga keujung Hutan Kematian.
Setelah empat prajurit tersebut pergi Jack memeriksa kereta kuda yang hancur tersebut, “Ah… Fare kah, pantas saja para Paladin itu mengejar mereka”
Mata kedua orang Fare tersebut telah hilang dai wajahnya, itulah mengapa Jack mampu mengedintifikasi kedua orang tersebut, mayat tersebut sepertinya sepasang suami istri dan kedua-duanya seorang Fare, Jack melihat cincin dijari manis kedua pasang Fare tersebut,
“Kalian kurang beruntung sepertinya, jika kalian mampu melewati hutan ini mungkin nyawa kalian akan selamat dari pengejaran Paladin tersebut”
Jack menggeledah barang dan gerobak yang telah hancur tersebut, diantara barang yang digeledah oleh Jack, dia menemukan suatu keranjang yang cukup besar tertutupi kain dan kayu diatasnya. Jack terkejut saat melihat sesuatu didalamnya, dia melihat seorang bayi Fare didalam keranjang besar tersebut, matanya bersinar kebiruan namun tak terlalu terang yang menunjukan kalo bayi tersebut adalah anak dari kedua orang Fare yang baru saja tewas tersebut.
“Well… sepertinya kau yang cukup beruntung disini nak, untung saja para Paladin tersebut tidak membongkar kereta kuda ini, dan untung saja kau tidak menangis bayi kecil”
“Baiklah mari kita kembali keperapian semula dan beristirahat sejenak terus baru kita lanjutkan kerumah barumu” kata Jack berbicara kepada bayi tersebut.
Jack kembali ke perapian yang telah dibuatnya beberapa saat yang lalu, jack cukup heran dengan bayi yang ditemuinya. Bayi itu tidak menangis sedikitpun saat melihat sejak saat dia temukan di kereta kuda yang hancur tadi, namun jack tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
***
Bagas terbangun dari tidurnya dia melihat sekelilingnya dengan seksama, Uhhh…ini aku?uaah.. aku jadi bayi gumam bagas sambal melihat tangan mungilnya, tempat tidurnya cukup sempit dan bergerak gerak keras semenjak Bagas terbangun.
Oy oy kenapa ini, kita lagi dalam kendaraan kah.
Prediksi bagas sebakin tepat saat dia mendengar suara kuda di dekatnya.
“Bu… cepat kau tutup anak kita dengan selendang mu, tempatkan dia disudut”
“Baik yah.”
Suara itu kedia orang tuaku kah? Eh.. jangan ditutupin kain dong, aku ingin melihat wajah kalian. Kata bagas dalam hati saat dia ditutupkan kain oleh ibu barunya.
Beberapa saat setelah itu, Bagas mendengar sesuatu dari belakang kereta kudanya, [Confusion], sesorang mengatakan sesuatu dari belakang kereta, tiba-tiba kuda yang dinaiki bagas melompat-lompat.
Eh.. eh.. ada apa nih.
Tiba-tiba kereta yang ditumpanginya ambruk, bagas yang tidak tau apapun bingung dengan situasi yang barusaja dia terjadi.
“Hey mana satu lagi, yang dalam didalam cepat keluar” Kata seseorang pria yang suaranya berbeda.
“Heeh… mau kabur kemana lagi sekarang kalian, hah!”
“Tolong ampuni aku tuan” kata ayah Bagas
“Tidak ada ampun-ampunan, menurut hukum Econdaria Kingdom, semua Fare harus dimusnahkan tanpa terkecuali.”
“Tolong lah ampuni kami, k-kami tidak berbuat salah, b-bukankah kita sama-sama ciptaan dewi Estafa”
“Jangan kau sebut nama dewi Estafa dengan mulut kotormu” sambal memukul si ayah.
“Sayang…” si ibu berusaha merangkul suaminya tersebut.
“Denfa, cepat selesaikan mereka!”
“Baik kapten.” Jawab bawahannya.
Seketika saat itu suara jeritan kedua orang Fare tersebut terdengar keras, Bagas yang tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa kebingungan dengan situasinya.
Oy..oy..oy… apa-apaan ini, masa aku baru muncul didunia ini dah jadi yatim, yang benar aja, dunia macam apa ini.
Ketika setelah semuanya mulai tenang, Bagas kebingungan mau bagaimana. Seseorang menggeledah tempat itu, bagas menyadari ada seseorang yang menggeledah kreta kudanya yang telah hancur.
Nah.. ada orang nih, wooi…woii, ah percuma aku ini seorang bayi.
Tiba-tiba dia melihat seorang priya membuka selendang yang menutupinya, dia melihat seorang pria dengan brewok tipis dengan mata sayu disertai kedua garis hitam dibawahnya.
Ah.. akhirnya ada seseorang yang menyelamatkanku.
Pria itu berbicara kepadanya, tapi bagas tidak mampu membalas ucapan priya itu karena dirinya yang masih bayi, dia mengikatkan keranjang tempat tidur bagas di samping kanan pinggangnya, dia pun mengikatkan tubuh Bagas menggunakan selendangnya ke keranjang tersebut supaya dia tidak menjatuhkan Bagas saat bergerak.
Woy…woy… pria macam apa kau, setidaknya longgarkan sedikit ini ikatan, tubuh bayi ku bisa kesakitan jika seperti ini terus.!
Pria itu pun membawa bagas ke suatu tempat perapian yang ada dipinggiran hutan tersebut.
Haah… baru aja sampe didunia ini, orang tua yang seharunya mengasuhku malah sudah pergi kealam lain, sepertinya dunia ini dunia yang keras.
Ayah, ibu, siapapun kalian walaupun aku tidak bisa melihat kalian dengan jelas, terimakasih telah melahirkan bayi ini, atau diriku ini ke dunia ini. Terima kasih.
***
Mata hari mulai terbit, suara burung mulai bersiul dan bersahutan di dahan pohon, Jack yang telah bersiap mengemasi bawaannya.
“Ah… apa yang akan aku katakan kepada Arine tentang bayi ini, bayi Fare pula”
“-ah masa bodo lah”
Jack melanjutkan perjalanan pulangnya dengan menggendong sekarung daging rusa dipundaknya dan memegang keranjang bayi ditangan kanannya.
Setengah hari Jack berjalan tanpa henti akhirnya sampai di rumahnya, suatu rumah yang menempel dengan pohon yang cukup besar dan rindang, di samping rumah Jack tampak melihat seorang wanita dengan paras rupawan sedang melakukan sesuatu dengan sebuah cawan hitam besar.
“Oyoy… bisa tidak kalo mau buat ramuan ala sihir hitammu jangan dekat dengan rumah ku” sapa Jack.
Arine tidak mempedulikan perkataan Jack yang baru datang, namun tiba-tiba perhatian dia tertuju ke keranjang yang ada ditangan kanan Jack.
“Eh...brewok, itu keranjang apaan yang kau bawa”
“Uh-anu... ini aku menemukan bayi di Hutan Kematian”
“Apa? Kau menemukan bayi? Tunggu dulu itu bayi Fare pula” kata Arine melihat bayu tersebut.
Uwaduh, semok pula nih cewek, kata Bagas sambil melihat Arine yang sedang melihatnya.
“-apa kau mau merawat anak ini Jack, dia anak Laki-laki kan”
“Yup, bisa kau lihat kan dia memiliki penis”
“-ya aku akan merawatnya”
“Yah terserah kamu lah, tapi tolong perbaiki dulu mulut kotormu, kalau tidak kau akan menularkan sifat mesummu ke anak ini” Kata Ariene.
“Iye...ye bawel amat”
“Emang gimana ceritanya kau bisa menemukan bayi itu di Hutan Kematian”
Jack pun menceritakan semuanya kepada Arine saat itu, cawan ariene berbunyi seperti mendidih tiba-tiba, “Woops... ramuan ku akhirnya selesai pula”
“-hmm... kasihan juga ya, memang cukup sulit untuk Fare bertahan hidup di Econdaria Kingdom dimana isinya manusia yang fanatik terhadap kuil dan benci terhadap Fare”
“Econdaria Kingdom, aku sudah muak dengan kerajaan itu, isinya semua orang gila”
“Tapi kan kau juga lahir daro sana” kata Ariene.
“Iya sih, tapi percuma, aku sudah tidak mau berhubungan dengan mereka sejak kejadian itu.”
“-ohya mau kau namakan siapa anak ini, kau yang menemukannya jadi kau yang memberinya nama.”
“Hmm... apa ya”
Kumohon jangan kasih nama yang memalukan, kata jack dalam batinnya.
“Kato, ya Kato..”
Hmm lumayan lah, asalkan jangan tambah K lagi diujungnya. Batin Kato”
Dengan begini nama Bagas berubah menjadi Kato, kehidupan kato baru saja dimulai didunia ini, dengan memiliki keluarga aneh yang menemaninya.
BAB I : Anak Fare - Chapter 2
-2-
Gelembung sihir yang dibuat oleh Arine sudah memenuhi seluruh langit-langit kamar Kato dipagi hari, dimana seorang anak fare berumur lima tahun masih tertidur lelap ditempat tidurnya.
“Arine...kau apa Kato sudah bangun” kata Jack.
“Ini aku lagi mau membangunkannya, anak itu, sinar matahari sudah kelihatan diluar dia masih saja lelap ditempat tidurnya.”
“Apa hari ini pakai gelembung kejut lagi?”
“Yup, aku lagi malas kekamarnya sekarang” kata Arine sambil mengaduk campuran bahan di ruang makan.
“Ehh... setidaknya kau jangan buat campuran di ruang makan pula kali.” Keluh Jack. “-mana potongan Mandrake nya belum kau buang juga, bau tau.”
“Ya...ya.., nanti aku bereskan” “-oh gelembungnya sudah penuh rupanya, Jack tutup teling mu kalo tidak mau mendengarnya.”
Jack menutup telinganya sambil memakan daging kering yang sudah ia panaskan, “sudah belum..!?” tanya Jack.
“Ya... [Shock]” Arine melepaskan mantranya, JEDIINNNGG.... suara dengungan memenuhi kamar Kato yang ada dilantai dua rumah sampaing dengungannya menggetarkan bangunan.
“UU...Arrghh.... Bangun...aku sudah bangun Arineeee...!!!” Kato yang terkejut hingga terjatuh dari tempat tidur menutupi kedua telinganya.
“Akhirnya bangun juga itu anak.” “-Kato...cepat turun dan tugasmu hari ini mencari Mandrake lagi.” Arine berbicara dari lantai bawah di ruangan makan, memang rumah Jack tidak terlalu besar dan juga sekat diantara rumah juga tidak terlalu tebal sehingga suara dari lantai bawah bisa terdengar sampai keatas.
Rumah yang tidak terlalu besar, rumah kayu yang Jack buat sedemikian rupa dan menempel di pohon yang besar dibelakangnya, pohon tersebut adalah pohon Marda yang menghasilkan buah di musim gugur, pohon yang jangka waktunya cukup lama dan bahkan buah marda adalah buah berbentuk bulat sebesar genggaman tangan orang dewasa jika sudah matang buah tersebut akan berwarna merah dengan sedikit warna hitam di ujungnya, buah yang menjadi akomoditas utama dari wilayah Savana, wilayah para Beaster.
Setelah membersihkan muka Kato pergi keruang makan untuk sarapan dimana Jack sedang membersihkan perlengkapannya di depan pintu yang menuju belakang rumah, dan Arine yang sedang memasak sarapan untuk Kato.
“Jack, kau hari ini mau kemana?” tanya kato kepada jang dari meja makan.
“Ah... aku dapat pekerjaan dari salah satu keluarga yang lumayan kaya di Devon.”
“Eh.. Devon...tumben kau mau penerima pekerjaan di Devon, emang pekerjaan apa”
“Yee... biasa, keluarga kaya yang ingin balas dendam putrinya ke komplotan para bandit di daerah selatan Savana”
“Ohh...” Kato sambil memegang dagunya.
“Haah... Jack, bisa tidak kau engga blak-blakan didepan Kato”
“Hahaha... tidak apa-apa, untuk apa pula disembunyikan, oh iya Kato, sebelum kau pergi mencari Mandrake, tolong mapir sebentar ke desa Algur dan berikan ini ke Danu” Jack memberikan suatu gulungan yang diikat ke kato.
“Emang ini apa?”
“Sudah berikan saja nanti, jangan dibuka isinya ya.!”
“okeh..”
Dengan keranjang besar yang dia sandang ke punggungnya Kato pergi ke hutan yang berada di utara desa Algur, setelah beberapa saat Jack dengan perlengkapannya siap pergi menuju Devon, negri dengan sistem Republik dimana pemimpin dipilih didasarkan voting dari rakyatnya.
“Ah... Kato tanpa kita sadari dia sudah lima tahun ya” kata Arine.
“Haha... kenapa emangnya? Kamu mau ngasih Kato adik? hayuk lah nanti kita buat.”
“Jack...jaga mulutmu, kau sudah tau kan kalau seorang Sorcerer Hitam tidak akan bisa mempunyai seorang anak”
“Hahaha... iya aku juga tau.” “-dia sudah besar kah, hei Arine, ama kau tidak merasa aneh kepada Kato?”
“Maksudmu?” tanya Arine.
“Ya... aku belum pernah melihat dia menangis dari awal aku menemukan dia, dan saat kita beri taukan dia kalau orang tua dia sudah terbunuh juga dia tidak ada respon emosi sedih kan.”
“Iya juga, ada yang aneh tentang dia, sikapnya tidak menunjukan kalau dia seorang fare berusia lima tahun dan juga dia bisa dengan mudah memahami apa yang kita ajarkan, padahal dia seorang fare.” Sambung Arine. “-sudah lah, pergilah kau Jack, Devon bukanlah tempat yang dekat, kau butuh setengah hari kan untuk bisa sampai sana”
“Iya...iya.. kayak orang ngusir aja kau, haah... andai aku punya seekor kuda.” Keluh Jack.
***
Didalam hutan Kato sambil membawa keranjang mencari Mandrake yang biasa dia temukan disekitaran hutan bagian utara didekat desa Algur, salah satu desa yang menjadi bagian dari wilayah Savana, wilayah kekuasaan persatuan Beast. Kato beristirahat dibawah pohon dekat pinggiran sungai, dia melihat kedalam keranjangnya untuk menghitung berapa mandrake yang didapat.
“Sudah empat kah, hemm kukira ini cukup”
Mandrake adalah suatu tanaman sihir yang dimana dibagian umbinya ada bentuk seperti suatu wajah, dan jika tanaman itu dicabut Mandrake akan bersuara keras bahkan dapat membuat orang yang mencabutnya pingsan.
Kalau Arine tidak mengajarkanku caranya mengambil mandrake mungkin aku sudah berkali-kali pingsan hari ini.
“[Levitate]” Kato meramalkan sihir untuk mengangkat keranjang besarnya kepundaknya.
Sihir kah, sudah lima tahun aku berada didunia ini, ternyata disini sihir berlaku rupanya. Sebaiknya aku cepat-cepat ke desa Algur dan pulang. Kepingin cepat menyelesaikan buku yang aku baca semalam.
Di tengah perjalanan Kato melihat satu lagi tanaman mandrake yang berada di tepi suatu jurang, satu lagi lah, tanggung. batin Kato. Namun terdengar suara seseorang dari arah bawah jurang tersebut.
“Tolong... siapapun tolong aku.”
Hmm? Siapa? Dibawah kah.
Kato melihat seorang anak Beast dengan telinga dan ekor rubah berwana silver di tubuhnya.
“Ooii... kau tidak apa-apa?”
“Kepalamu tidak apa-apa, aku mau jatuh ini” anak itu tersangkut disuatu batu yang menempel dipinggiran jurang.
“Tunggu sebentar” Kato meletakkan keranjangnya ketanah, “[Levitate] ugh... beratnya..”dengan merapalkan sihir Kato menyelamatkan anak itu, meskipun dia sudah mempelajari mantra yang diajarkan Arine dengan mudah, tapi untuk anak yang masih kecil dengan mana yang terbatas itu masih cukup sulit untuk dikuasai.
“Ugh... terimakasih, kukira aku akan mati”
“Yo... kau dari mana, kenapa kau bisa terjatuh?”
“Aku Luna, tadi aku ingin mengambil tanaman itu buat dijual di desa, karena saat ingin mencabutnya peganggan ku terlepas dan terdorong ke jurang” Luna menunjukan tanaman Mandrake yang ingin diambil Kato.
“Ahh... mandrake ini, sini biar aku ambilkan,tolong tutup telingmu ya.”
Pertemuan Kato dan Luna tanpa disengaja seperti takdir, ternyata Luna adalah salah satu anak dari desa Algur, setibanya di desa Algur sesuai perintah Jack, Kato memberikan gulungan kepada Danu, pria beaster serigala berbadan dengan corak warna coklat dan hitam di telingga dan ekor beaster nya.
“Paman ini ada titipan barang dari Jack”
“Ahh... Kato kah..terima kasih ya telah mengantarkannya” Danu memang memiliki penampilan berbadan besar dan tampak menyeramkan, tapi sebenarnya dia adalah pria berhati lembut.
“Oiya paman, aku tadi datang kesini bersama Luna, apakah dia orang baru paman? Aku baru kali ini melihatnya.” Tanya Kato.
“Luna? Oh gadis itu, dia datang kemarin dan tinggal bersama kepala desa”
“Kepala desa? Apakah dia anak kepala desa?”
“ahaha... tidak – tidak, dia baru ditemukan kepala desa kemarin”
“-ditemukan?”
“ahaha... sudahlah, untuk dirimu situasinya masih belum kan memahaminya Kato”
Dari sepengetahuan Kato, Danu adalah mantan rekan Jack saat masih aktif sebagai petualang, sebelum pulang Kato diberi beberapa roti sebagai ucapan terimakasih dari danu, Kato bertanya-tanya apa isi selembaran gulungan yang diberi Jack kepada Danu, karena Danu tampak terkejut saat membaca lembaran tersebut.
***
Ramuan Arine yang dibuat sejak duahari yang lalu telah selesai dan siap dicoba, sebagai Black Sorceres, membuat ramuan sihir hitam adalah hal yang wajar dia lakukan.
“Hehehe... hehe... akhirnya aku berhasil” kata penyihir tersebut kegirangan.
“-Kato... akhirnya aku berhasil... ramuan ini pasti akan sangat mahal jika dijual” sambung Arine, Arine memang seorang Black Sorceres yang ditakuti, namun bukan berarti dia tidak memiliki kolega dalam pekerjaannya. Setiap sebulan sekali dia pasti akan mendapatkan orderan sesuatu dari orang yang membutuhkannya, bahkan orderan tersebut bisa datang dari negara jauh seperti Sear Kingdom yang berada diutara Referia hingga negara yang paling sulit dikunjungi, negara Durva negrinya para Dwarf.
“Arine, Jack masih belum pulang ya?” tanya Kato.
“Paling sebentar lagi”
Tiba-tiba pintu terbuka dan Jack akhirnya kembali dari pekerjaannya, selepas pensiun dari pekerjaannya sebagai petualang, Jack menerima beberapa pekerjaan ilegal dari orang-orang di Savana atau Devon, nama Jack sudah cukup terkenal dibeberapa negara saat dia jadi petualang karena kemampuannya. Setelah mandi biasanya Jack duduk sambil menikmati kopi yang dibuat oleh Arine. Namun tidak untuk malam ini.
“Kato...bisakah kau turun kebawah” perintah Jack.
Kato turun lantai bawah, dia melihat Jack yang masih berpakaian kerjanya dan Arine yang seperti biasa mengenakan pakaian minimnya, dari segi penampilan memang dia terlihat cantik dan erotis namun pada kenyataannya Arine adalah seorang manusia yang telah berumur 300 tahun.
“Eh... ada apa ini?” tanya Kato.
“Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan” jawab Jack. Jack mengeluarkan suatu kertas dengan tulisan yang tampak tidak asing bagi Kato.
Itu adalah lembaran kertas yang ditulis Kato menggunakan bahasa yang tidak dapat dimengerti Jack dan Arine, walaupun Arine dapat memahami semua bahasa yang ada didunia ini namun dia tidak pula paham bahasa apa yang ada didalam kertas tersebut. Kertas tersebut adalah kertas Memo yang dia buat menggunakan bahasa didunia lamanya, Bahasa Indonesia.
“Ehh... anu. Dari mana kau menemukan itu”
“Dari kamar mu, bisa kau jelaskan kato?” tanya Arine.
“Kato... apakah kau seorang reinkarnasi.” Jack meneruskan, sepertinya Kato telah ketahuan kalau jiwanya berasal dari dunia lain.
“Ba-bagaimana kau tau Jack?”
“Sudah lah tidak perlu disembunyikan, kau bukan seorang reinkarnasi pertama yang aku temui, aku juga pernah melihat tulisan dengan bahasa yang sama saat aku remaja” dari penjelasan Jack, Kato memahami bahwa dia bukanlah orang pertama yang dikirim dari dunia lain ke dunia ini.
Setelah semua itu, Kato menjelaskan semua hal yang telah terjadi, semua hal yang dia alami, asal, siapa, dan bagaimana dia dapat kesini. Jack dan Arine hanya bisa terdiam dan tercengang mendengar penjelasan anak umur lima tahun tersebut.
“Ja-jadi selama ini kau sadar tentang semuanya?”kata Jack.
“-uhh malunya diriku bertingkah seperti pengurus bayi didepan mu.”
“Dan juga jadi saat kau menjadi balita kau pun sengaja melihat tubuh telanjangku kan Kato...!” kata Arine.
“Y-ya mau gimana lagi, kan waktu itu aku masih bayi”
“Haah.. sudah lah, semua sudah lewat, pantas saja kau bertingkah seperti orang dewasa diumurmu yang sekarang.” Kata Jack.
“-dan juga, tentang hal ini. Jangan kau kasih tau siapapun, soalnya kau bisa dimanfaatkan oleh beberapa negri didunia ini untuk memanfaatkanmu dengan embel-embel pahlawan, aku benci hal tersebut” terus Jack.
“Jika kau seorang reinkarnasi, apa yang pengantar jiwa berikan kepadamu.” Tanya Arine. Ternyata sosok putih yang muncul saat Kato masih berbentuk jiwa adalah sosok dari pengantar jiwa menurut kepercayaan dunia ini.
“Aku bisa memahami segala sesuatu dengan mudah.”
“Hooh, pantas saja kau bisa memahami dengan mudah sihir Arine. Baiklah kalau begitu, minggu depan, tepat diumurmu yang ke enam tahun, aku akan mengajarimu bertarung.” Kata Jack.
“-kita lihat seberapa cepat kau memahami suatu hal.”
“E-ehh....”
Description: Kato terus mengasah kemampuannya seperti biasa dipagi hari dipinggiran sungai dengan Jack mengawasinya sembari melatihnya menggunakan keterampilannya menggunakan dua senjata sabit miliknya.
" Ahh... ayolah, sudah berapa kali aku ajarkan kepadamu kuda-kudamu itu terlalu tinggi dan juga selalu aku ingatkan untuk tetap memfokuskan pandangan mu itu." perintah Jack.
Kato menuruti perintah nya dengan menurunkan kuda-kudanya, "Turunkan lagi..." kata Jack, Kato terus menurunkan kuda-kudanya, "Lagi...!!!" Sambung Jack.
"Ini sudah maksimal, jika aku teruskan aku akan jatuh...!!!"
"Eleh, anak muda jaman sekarang, jangan jadi fare yang lemah kau..., bukankah kau mudah memahami sesuatu"
"Hey, kalian berdua ayo kembali, dan Jack bawa buruan mu itu kerumah jika ingin aku buatkan makanan" Sahut Arine dari kejauhan.
"Cih... mengganggu suasana santai saja dia, Kato kau bawa rusa itu kerumah!!"
"Lah tapi kan yang disuruh itu kau Jack" jawab Kato.
"Sudah bawa saja, hitung-hitung itu latihan mu, emang mau kamu buat itu si penyihir tua marah hah"
"Ja-jack dibelakangmu" kata kato menunjuk kebelakang Jack.
"JACK bisa kau ulangi lagi apa yang kau ucapkan tadi?"
"Aa-uhmm anu..."
"Lightning bolt" Dengan merapalkan sihir Arine melepaskan listrik dari tangannya.
"Uuaaaa....." Teriak si Jack.
|
Title: Romantic Taste
Category: Adult Romance
Text:
Bertemu Dengannya
Tahun 2008 ~
Ruang kelas 3 itu terdengar sangat ramai. Terang saja ramai, guru yang seharusnya masuk dikabarkan sakit. Sontak semua kegirangan. Tidak dengan gadis berkacamata itu. Sabiya, ia adalah seorang kutu buku. Selalu menjadi juara sekolah selama 2 tahun. Di tahunnya yang ke 3, ia pun dinobatkan menjadi siswi yang paling cerdas 1 sekolah.
Sabiya sedang membaca buku pelajaran, sampai seseorang duduk di sebelahnya. Perlu diketahui, selama kelas 3 Sabiya duduk di depan tepat di hadapan meja guru sendirian. Tak ada yang mau dengannya karena jika duduk bersamanya, seperti tidak duduk dengan siapapun.
“1 bulan lagi kita UN, apa kau mau mengajariku? Matematika saja, tidak usah semuanya.” Ucap seorang gadis berambut panjang itu.
Sabiya hanya melihatnya sebentar, kemudian melanjutkan bacaannya.
Gadis berambut panjang itu terlihat kesal, “pantas saja semua tidak ada yang mau berteman denganmu. Aku kesini sebenarnya untuk taruhan saja, tapi percuma saja.” Ia pun berlalu.
“Sher, udahlah kau tak akan berhasil, kau kalah...tak ada yang berhasil membuatnya bersuara selama ini.”Teriak salah satu anak laki-laki.
*****
Sabiya pulang menggunakan angkot. Tak pernah di antar maupun di jemput. Ia dan ayahnya pindah dari Jakarta ke Bandung. Usaha ayah sabiya mengalami gulung tikar. Tapi bukan itu penyebab sabiya jadi seseorang yang dingin. Penyebabnya yaitu brokenhome, keduanya bercerai saat ia kelas 5 SD.
Angkot itu berhenti di jalan Sukajadi. Ia berjalan menyusuri gang kecil. Dari kejauhan ia melihat ayahnya sedang dimarahi pelanggan.
“Jahitannya belum selesai? Yang benar aja Pak, saya udah dp in loh. Kalau jadi penjahit itu yang bener lah!” Bentak seorang ibu.
Sabiya segera mengahmpiri mereka, “Apa ibu tak pernah di ajari sopan santun? Ayah saya sudah kerja semaksimal mungkin, sampai ia tak tidur.” Teriaknya dengan berurai air mata.
“Heh anak kecil, saya berhak marah karena dia sudah berulang kali janji kalau jahitannya akan segera selesai, mana?!” Balasnya lagi.
“Bu, ayah saya....”
“Maafkan anak saya bu. Saya akan selesaikan besok. Saya janji besok siang sudah bisa di ambil.” Ucap ayah Sabiya.
“Awas kalau ingkar lagi.” Ucapnya sambil berlalu.
Setelah ibu itu pergi, ayahnya merangkul Sabiya. Mengusap-usap punggungnya, berusaha menenangkan.
“Ayah baik-baik saja.”
“Ayah kenapa tidak bilang kalau benangnya habis, untuk benang saja kita tak bisa beli.” Sambil menangis.
“Sudah, jangan menangis. Semua akan baik-baik saja.”
*****
Jalanan Braga malam ini sangat ramai, karena ada car free night. Banyak kaula muda yang menikmati kuliner bahkan yang hanya sekedar berjalan-jalan bersama pasangan, teman atau keluarga.
Sabiya terlihat linglung, ia menggunakan tabungannya untuk naik angkot ke daerah Braga. Ia berjalan ke arah gedung merdeka, duduk di pojokan dan mengeluarkan make up nya. Sudah 2 minggu ia bekerja menjadi seorang hantu di sepanjang gedung asia afrika sampai Cikapundung. Sengaja ia menabung untuk biaya ongkos sekolah, tanpa ayahnya mengetahui.
Dari tempat lain, di area car free night. Seorang laki-laki tampak sedang menikmati suasana dengan kamera yang menggantung di lehernya. Ia membidik apa saja yang terlihat bagus menurutnya. Wajah tampannya dengan tinggi sekitar 178 cm berhasil membuat banyak gadis terpesona. Ia adalah Davi Allawy.
Davi membidik seorang hantu wanita, seperti kuntilanak. Hantu itu banyak di jadikan objek foto oleh orang-orang yang lewat. Ia pun menghampirinya untuk membidik dengan jarak yang lebih dekat dan berniat ingin berfoto bersama juga.
Sabiya melihat seorang laki-laki tampan menghampirinya, dengan kamera menggantung di lehernya. Seketika jantungnya berdetak cepat. ‘Apa dia kesini?’ Batinnya.
“Aku ingin berfoto denganmu, tapi pakai ponselku.” Ia mengeluarkan ponselnya dan melakukan selfie bersama. Jarak mereka sangat dekat.
‘Tinggi sekali.’ Bantin Sabiya lagi.
“Apa aku boleh disini sampai kau selesai bekerja?” tanya davi.
“Apa kau yakin?” tanya sabiya menyembunyikan kegugupannya.
Davi hanya tersenyum, sambil kembali membidiknya bersama orang-orang yang mau berfoto dengan Sabiya.
*****
Sabiya menghapus make up nya. Kemudian menghitung berapa banyak yang ia dapatkan malam ini.
“Kau masih sekolah?” tanya Davi hati-hati.
“Ya, aku kelas 3 SMP.” Ucapnya singkat.
“Kau melakukan ini sejak kapan?” tanya Davi lagi.
“Aku tak bisa cerita ke sembarang orang. Ohya, kenapa kau mau menungguku sampai selesai bekerja?”Tanya Sabiya penasaran.
“Aku juga tak bisa menceritakannya. Jadi seri kan?” ucapnya sambil tertawa.
“Oh baiklah.”
“Ayo aku antar, ini sudah larut.” Davi melihat wajah Sabiya terkejut. “Aku Davi.” Tambahnya lagi untuk menenangkan Sabiya.
Sabiya meminta untuk diturunkan di pinggir jalan. Khawatir warga ada yang melihatnya di antar oleh seorang laki-laki. “Namamu siapa?”
“Aku Sabiya.” Ucapnya.
“Baiklah, kalau berjodoh..pasti kita bertemu lagi.” Davi menstarter motor ninja nya dan berlalu dengan cepat.
“Aku sangat gugup.” Memegang dadanya, menenangkan diri.
*****
Sekolah sangat ramai oleh reuni perangkatan. Sabiya lupa kalau hari ini kelas di liburkan. Ia hendak kembali ke arah gerbang untuk pulang, kemudian seseorang memanggil.
“Sabiya!”
Ia berbalik dan terkejut melihat sosok Davi. Ia tak bisa percaya akan bertemu lagi dengannya. Terlihat senyum berkembang dari wajah tampan Davi.
Rasa yang Nyaman
Malam ini Davi menunggu Sabiya di tempat biasa. Sabiya sama sekali tak pernah mengijinkannya untuk mengantar sampai depan rumah. Hal itu bukan jadi masalah baginya, dengan mereka bertemanpun sudah lebih dari cukup.
Terlihat dari kejauhan Sabiya mempercepat langkahnya dengan senyum yang tak henti ia sunggingkan.
“Apa kau lama menungguku?”tanyanya setelah berada di depannya.
Davi menggelengkan kepalanya cepat, “sama sekali tidak.”
Senyum Davi sangat mempesona, membuat hati Sabiya hangat. Selama ini yang ia rasakan adalah hati yang dingin. Entah sejak kapan hatinya mulai merasakan kehangatan.
“Malam ini boleh libur dulu kan?”tanya Davi.
Sabiya mengernyitkan dahinya, “kenapa?” ia tampak penasaran.
“Naik saja dulu.”
* * * *
Davi membawanya ke sebuah cafe yang terletak di daerah Dago. Keduanya sudah duduk di meja salah satu cafe itu. Sabiya terlihat senang, terlebih ia memang tak pernah masuk ke tempat seperti itu.
“Apa kau senang?” tanya Davi.
Sabiya mengangguk dengan cepat, “Sangat.”
“Ini malam terakhirku di Bandung..Kau tahu kan sekarang aku kelas 3, sebentar lagi ujian.” Ucapnya.
Davi memperhatikan raut wajah Sabiya yang berubah. Ia merasa tak enak hati karena telah membuatnya sedih.
“Dan… setelah itu, aku harus melanjutkan kuliah ke London.” Lanjutnya lagi.
Entah kenapa Sabiya merasakan dadanya sangat sesak. Mulai muncul pertanyaan dalam benaknya, ‘perasaan apa ini? Kau gila Sabiya, ini 4 hari.’ Ia hanya bisa menggerutu di dalam hati.
Pelayan datang dengan membawa pesanan mereka, 1 coffe latte dan 1 Americano. Beberapa detik kemudian pelayan itu berlalu. Davi mengucapkan ‘terima kasih’ dan kembali mengalihkan pandanga ke arah Sabiya.
Sabiya menatap kopinya, dan terlihat ia mulai mengangkat kepalanya. Wajah Sabiya spontan berubah ceria.
“Aah.. begitu yaa, baiklaah karena ini hari terakhirmu disini… aku tak akan bekerja.” Ucapnya menahan rasa sesak di dadanya.
“Aku berangkat jam 6 pagi. Aku tak ingin mengganggumu, itu jammu berangkat sekolah kan? Jadi besok kita tak usah bertemu.”
“Iya.. Kau hati-hati ya. Terima kasih sudah mau berteman denganku walaupun 4 hari.” Ucap Sabiya.
Davi menatap dalam ke matanya. ‘Kenapa harus bertemu.’ Ucapnya dalam hati.
Keesokan harinya, Sabiya berada di kelasnya. Ia melihat jam dinding yang letaknya tepat di atas papan tulis. Jarum jam menunjukkan jam 08.00. ‘Dia sudah pergi.’ Batinnya.
* * * *
Flashback….
Hari kedua,
“Sabiya!”
Panggilan Davi di hari ia lupa jika itu libur sangat mengejutkannya. Sabiya tak pernah berpikir akan bertemu lagi dengan laki-laki itu.
“Kau sekolah disini?” tanya Davi antusias.
“Aaah, iya.” Sabiya nyengir.
“Apa kau bekerja lagi malam ini? Aku boleh ikut lagi? Berapa nomormu?”
Sabiya tertegun mendengar serentetan pertanyaan dari Davi. “aku tak punya ponsel.”jawabnya singkat.
“Aku jemput di tempat kemarin aku menurunkanmu jam 7 malam ya, sekarang aku harus masuk. Kau sedang libur kan? Pasti kau lupa.” Ucapnya sambil melangkah mundur, kemudian berbalik dan masuk kedalam sekolah.
Hari itu ia merasakan inilah yang disebut teman dan itulah pertama kali ia membuka hatinya untuk berteman. Davi menanyakan nomor untuk mempermudah mereka komunikasi, namun di sayangkan Sabiya tidak memiliki ponsel. Maka kesepakatan antara mereka adalah setiap jam 7 malam bertemu di tempat pertama Davi menurunkannya.
“Sampai kapan kau di Bandung?” tanya Sabiya tanpa mengalihkan pandangannya dari uang yang sedang ia hitung.
Davi pun sedang menghitung uang, kemudian menghentikan kegiatannya dan menatap Sabiya, “Nanti saja aku beritahu ya.”
Sabiya menaruh uang dengan kasar dan menatapnya dengan tatapan merengut. Ia membalasnya dengan juluran lidah.
“Kau tahu,…Kau adalah teman pertamaku. Teman-temanku sebelumnya sudah tak ingin berteman denganku.” Ia mengakhiri kalimatnya dengan tertawa. Namun, tidak lama, ia terlihat tenggelam dengan pikirannya.
Davi menatapnya dalam, “Semua akan baik-baik saja dan akan kembali seperti semula…bersabarlah”.
“Apa itu akan terjadi? Apa aku bisa membuka diriku untuk orang lain?” Suaranya datar tanpa gelombang, tetapi Davi tahu ada isakan yang disembunyikan di balik suara itu.
“Apa yang membuatmu seperti ini?” Davi bertanya, kali ini semakin penasaran. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sabiya tidak menjawab. Matanya kembali kepada dus yang berisi uang. Davi mengernyitkan dahinya, menahan seluruh perasaan penasarannya. Sabiya meraih beberapa uang dalam dus itu kemudian melanjutkan hitungannya.
Hari ketiga,
“Hari ini aku saja yang menjadi hantu.” Pinta Davi.
Davi menunggu untuk beberapa saat lamanya. Tidak ada jawaban. “Apa kau marah padaku? Apa pertanyaanku kemarin terlalu lancang sampai kau marah seperti ini?” ucapnya mulai kesal.
Sabiya merasa sikapnya sudah keterlaluan. Ia menjawab, suaranya terdengar penuh getaran. “Maafkan aku.”
* * * *
Ia duduk memperhatikan Davi yang sedang menjadi hantu. Ia tak berhenti tersenyum, dan sesekali tertawa karena melihat gayanya dalam berfoto dengan pengunjung. Ia bersyukur Davi adalah temannya. Ia memikirkan bagaimana ia akan datang setiap hari ke tempat itu dan menemaninya.
Kedatangan tiba-tiba Davi dalam kehidupannya perlahan membuat suatu perubahan. Sebelumnya ia sama sekali tak pernah berbicara dengan teman sekolah ataupun di sekitar rumah. Kesehariannya hanya belajar, menemani ayahnya di rumah dan kerja sambilan menjadi hantu 4 kali dalam seminggu. Kadang-kadang ia takut lupa bagaimana caranya berinteraksi.
Mengapa dunia tidak membiarkan dirinya tetap seperti itu? Menjadi orang yang tidak di pedulikan orang lain, begitupun sebaliknya. Ia sudah tidak mempercayai perkataan siapapun kecuali ayahnya. Baginya, perkataan yang keluar dari orang selain ayahnya adalah suatu kebohongan. Namun, ini kali pertama ia bisa tersenyum dan merasakan lagi bagaimana rasanya ada orang yang peduli selain ayahnya. Lamunan pendeknya dipecahkan dengan kemunculan wajah Davi dihadapannya. “Apa yang kau lamunkan?”
“Tidak ada.” Sabiya menjawab pelan, senyum tipis terbentuk di bibirnya, “…terima kasih.”
Dia Kembali
Tahun 2020 ~
Seorang anak kecil berseragam tengah menunggu untuk menyebrang jalan. Ia melambaikan tangan pada ibunya yang baru saja keluar dari mobil yang berada tepat di seberang sana. Terlihat ibunya memberi kode agar anak itu menunggu di tepi jalan. Namun, tanpa melihat lampu merah anak itu melangkahkan kaki menuju tengah.
"DAVI!!!!" Teriak ibunya.
* * * *
Davi baru saja tiba di Jakarta setelah melakukan perjalanan dari London. 12 tahun lamanya ia meninggalkan indonesia untuk kuliah dan mengurus usaha keluarganya disana. Kini usianya menginjak 29 tahun, usia yang matang untuk memimpin suatu perusahaan.
Kepulangannya ke indonesia karena untuk mengurus 1 perusahaan yang tengah bermasalah karena kasus korupsi salah satu manager. Kasus yang muncul itu membuat perusahaan banyak di tuntut oleh berbagai pihak. Ayahnya sudah tak sanggup dengan perusahaan yang 1 ini. Memang Ferdinan (ayah Davi) adalah pengusaha sukses yang mempunyai banyak perusahaan di dalam dan luar negeri. Tadinya Ferdinan akan menutup perusahaan bermasalah itu, namun Davi tak menyetujuinya. Alasan utama Davi sebenarnya adalah agar ia ada kesempatan untuk pulang ke Indonesia. Alhasil Ferdinan menyetujui gagasan anaknya tentang perusahaan yang di ambil alih olehnya karena memang kemampuannya tak dapat diragukan.
Perawakannya yang tinggi (180 cm) dan wajah tampan dengan longcardy warna coklat berhasil membuat para kaum hawa menatapnya tanpa berkedip. Terlihat 3 orang berjas hitam menghampirinya.
"Selamat datang Tuan Davi."
Davi menghentikan langkahnya dan mendapati mereka bertiga setengah membungkuk. Ia sebenarnya tak menyukai keadaan seperti ini. Kenapa mereka harus begitu hormatnya padaku? Batinnya saat itu.
"Aku ingin makan dulu sebelum ke rumah."
Ketiganya membuka jalan dan mengangguk mengerti. Merekapun pergi.
* * * *
Davi duduk di salah satu sudut restoran, menyantap spagetti yang hampir setengahnya habis. Tiba-tiba saja ia ingat dengan mimpinya saat tertidur di pesawat. Setelah sekian lama, baru kali ini ia bermimpi lagi tentang masa kecilnya. Saat itu juga nafsu makannya hilang, berganti dengan rasa yang tak dapat di artikan. Gelisah? Ya. Sedih? Ya. Kecewa? Ya. Takut? Ya.
"Sabiya--" Panggil salah seorang waiters.
'DEG!'
Seketika jantungnya tersentak mendengar nama itu. Ia melayangkan pandangan ke arah sumber suara. Seorang wanita setengah berlari menghampiri sang pemanggil, keduanya memakai baju yang sama. Sampai saat mata mereka bertemu untuk beberapa detik , setelahnya Sabiya berlalu menuju dapur resto.
"Permisi tuan, Ayah anda memberitahu bahwa anda harus segera pulang." Ucap salah satu staff ayahnya.
Perjalanan menuju rumah dipenuhi dengan sosok wanita itu. "Apa dia Sabiya yang aku kenal?" Ucapnya lebih pada diri sendiri.
Tak terasa mobil sudah tiba di area halaman rumahnya yang sangat besar. Sebuah tarikan pintu menyadarkannya dari lamunan. "Sudah sampai Tuan."
Davi segera keluar dari mobil menuji dalam rumah. Ternyata isi rumah masih sama. Ia melihat foto keluarga yang tergantung di ruang keluarga. Senyum tersungging di bibirnya. "Apa kabar bu."
Seseorang menepuk bahu Davi lembut. "Selamat datang nak."
Davi menoleh ke arah suara itu, ia melihat sosok laki-laki paruh baya dengan perawakan tegap tersenyum. "Ayah, apa kabar?" Kemudian memeluknya.
Mereka berdua memutuskan untuk membahas perusahaan sembari meminum kopi di halaman belakang. Memang halaman itu sejak dulu menjadi tempat berkumpul keluarga saat bersama. Sambil melihat beberapa bunga yang dipilihkan oleh ibunya kala itu.
"Bunganya masih sama." Ucapnya sembari menyeruput kopi.
"Bunganya berbeda, namun jenisnya sama." Ucap Ayah kemudian.
Davi melirik ayahnya sekilas dan kembali menikmati pemandangan bunga di depan mereka.
"Nak, kau harus tau. . . Apa yang sudah tertanam mungkin bisa tergantikan, namun jika apa yang ditanamnya melekat dihati . . Itulah yang takkan tergantikan." Lanjutnya.
"Ayah begitu mencintai ibu?" Tanya Davi tanpa mengalihkan pandangannya.
"Sulit mendapatkan seseorang yang memahami sikap dan sifat kita, ketulusannya yang mampu menguatkan Ayah di saat Ayah terpuruk membangun perusahaan yang kini kau lihat ada dimana-mana." Ia menghela napas sejenak, kemudian melanjutkan. "Davi, sebuah perusahaan akan sulit mendapatkan karyawan yang loyal kalau kau tidak memakai hatimu untuk perusahaan dan mereka."
Kalimat yang diucapkan membuat Davi berpikir bahwa ketulusan adalah kunci berhasilnya mendapatkan kepercayaan. Dengan ketulusan semua terasa bukan menjadi beban. Itulah khas Ayah, menasihati anaknya dengan cara memberikan analogi.
Bertemu Dengannya, Lagi
Malam ini pukul 19.00 , hujan masih belum reda. Sudah 2 jam Sabiya duduk di kursi depan restoran tempat ia bekerja. Bulan ini memang musimnya penghujan, bodohnya ia lupa membawa payungnya. Sebenarnya ia sangat menyukai hujan, namun keadaan sekarang bukan saatnya menikmati hujan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan paruh waktunya menjadi seorang jurnalis.
Selain Sabiya bekerja sebagai waiters di restoran, ia pun bekerja sebagai jurnalis paruh waktu di perusahaan yang konon katanya terkenal. Namun, sayangnya belakangan ini perusahaan tersebut mengalami masalah dan berdampak pada terlambatnya honor pekerja. Setelah menyelesaikan sekolah S2 nya , ternyata dengan gelarnya tak menjamin mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Sampai suatu ketika karena terdesak ekonomi mengharuskannya memdapat pekerjaan dengan cepat dan akhirnya ia temukan kertas bertuliskan "lowongan pekerjaan" di dinding gang.
2 tahun ia bekerja di tempat tersebut, cukup untuk membiayainya hidup di ibukota. Ia kulah S1 dan S2 karena mendapatkan beasiswa. Menjelang kelulusan SMA , ia harus kehilangan ayahnya karena sakit yang di derita ayah cukup parah. Lama ia terpuruk dan hampir bunuh diri jikalau salah satu guru tidak mengunjunginya kala itu. Dari saat itulah ia mendapatkan dukungan dari sang guru yang mengajak guru lainnya membantu untuk biaya hidup Sabiya. Ketika kuliah ia berjualan apapun yang bisa ia jual, karena merasa ia harus mandiri dan tidak tergantung dengan belas kasih guru-gurunya.
Sabiya menengadahkan tangan kanannya, menampung air hujan yang jatuh dari ujung atap resto. Ia tersenyum.
"Ayah, kau ingat? Kau selalu bilang hujan tidak akan membuatku sakit."
Tak terasa air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku rindu padamu ayah."
"Sabiya." Tepuk seseorang.
Spontan Sabiya mengusap air matanya, menoleh ke arah sosok itu. Dia adalah teman pertama di resto. Orangnya sangat ramah dan paling hebat menangani dirinya yang di awal bekerja tampak diam. Hanya 2 hari saja Sabiya sudah bisa membaur dengan teman lainnya, berkat celotehan dia. Namanya Aline.
Aline sebenarnya bukan waiters biasa, ia sebenarnya anak pemilik resto ini. Sengaja ia menjadi waiters karena katanya ia ingin banyak belajar , ingin memulai semua dari nol. Di hari yang sama mereka memulai menjadi waiters, semua karyawan lainnya mengetahui siapa Aline, namun dari awal Aline mengatakan bahwa di tempat kerja dia pun karyawan. Tak hanya ramah, namun ia benar-benar sangat cantik. SEMPURNA luar dan dalam.
"Hujannya belum reda, apa aku pesankan taksi?" Tanya Aline.
Dengan cepat Sabiya mengibaskan kedua tangannya ke kiri & kanan , tanda penolakan. "Jangan."
"Lalu kenapa disini? Masuk yuk." Ajaknya.
"Hmm sepertinya mulai mengecil, aku bisa lari ke halte."
Sabiya mengambil totebagnya dan menyelempangkannya di bahu kanan. " Aku pulang ya."
Ia berlalu pergi , setengah berlari menuju halte. Terdengar teriakan dari belakang yang mengatakan kalimat 'hati-hati.'
* * * *
Alarm jam weker membangunkan Sabiya. Ia masih sangat mengantuk karena semalam begadang mengerjakan artikelnya. Setelah mematikan alarm, yang dilakukannya malah memejamkan mata lagi. Sampai dering ponsel.mengagetkannya karena letaknya tepat di bawah telinga nya.
Ia membuka mata dengan susah payah, namun masih dalam kondisi terbaring. Di layar tertulis 'KETUA GALAK'. Seketika ia bangun dan menekan tombol hijau.
"Hallo pak."
"Jam berapa sekarang. .!!" Teriak seberang sana.
Spontan Sabiya menjauhkan ponselnya dan entah apalagi kalimat yang orang itu keluarkan. Ia letakkan ponselnya di kasur dan meninggalkannya ke kamar mandi.
"Aku harus cepat."
Dengan gerakan super cepat ia hanya menggosok gigi dalam hitungan detik , kemudian menuju lemari dan ambil baju apa saja yang ia lihat. Sengaja ia tinggalkan ponselnya karena tahu kalau ketua divisi nya jika memarahi orang sudah seperi ceramah. Setelah beres , benar saja sang ketua masih mengoceh.
"Aku kesana sekarang pak, tunggu."
Ia tekan tombol merah padahal sang ketua masih bicara. Berlari sekuat tenaga , mengenakan sepatu sambil berjalan.
Sekarang Sabiya tinggal di apartement kecil (1 kamar, 1 ruang tv tapi tak ada tv & dapur). Apartement lebih tepatnya rumah susun. Ia menyewa harga yang paling murah.
Ia berlari ke halte bus, untung saja halte nya tak jauh dari apartement dan bus langsung tiba. Hari ini ia kebagian shift pagi, jadi saat itulah ia bekerja di perusahaan tersebut. Jika ia masuk pagi di resto, ia hanya bekerja sebagai editor artikel. Sangat melelahkan, iya. Namun ia harus bertahan demi kelangsungan hidupnya.
Bus berhenti tepat di depan perusahaan itu. Sabiya masih sebagai karyawan magang, bekerja baru 4 bulan. Perusahaan itu bergerak di bidang entertainment, memiliki beberapa studio untuk siaran langsung, auditorium untuk konser dan memiliki channel televisi yang masuk di jajaran paling di gandrungi kamu millenials.
Kini ia sudah di ruangan ketua divisi. Sang ketua menatap tajam dirinya sampai ia tertunduk saking tak kuat melihat kilatan amarahnya. Ia perlahan menarik totebag nya ke depan dadanya dan mengambil flashdisk kemudian meletakkannya di meja dengan hati-hati.
"Seenaknya sekali kau anak magang, lihat jamberapa ini?!" Teriaknya lantang.
Orang-orang yang ada di luar langsung melihat ke arah ruangan, jelas saja kelihatan karena terdalat kaca yang sangat besar. Ia malu dan menundukkan kepala dalam.
"Kau ini masih percobaan, kalau kamu mengulanginya lagi. . Kau tak kan ku ampuni. Kau selesai!" Lanjutnya lagi.
"Iya pak, tak kan ku ulangi." Ucapnya dengan nada bergetar.
"Sudah di beri keringanan jam kerja , harusnya kau berpikir. . Perusahaan mana yang bisa memberi pekerjaan dalam 1 bulan hanya 14 hari." Jelasnya dengan suara mulai stabil.
Walaupun galak, sang ketua sebenarnya baik. Ia tak pernah menunjukkan kepedulian di depan orang banyak. Gengsinya terlalu tinggi.
"Perusahaan ini memang sedang kacau, tapi sebentar lagi semua akan berakhir."
Seketika wajah Sabiya terangkat dan menatap sang ketua. "Maksudnya ditutup?"
"Bodoh,, hahaha perusahaan ini akam mulai membaik, putra pemilik perusahaan JK.corp akan mengambil alih perusahaan. Sebenarnya dialah otak di balik konsep perusahaan yang keren ini. Hmm sangat di sayangkan para pejabat-pejabatnya gila uang." Sang ketua kemudian bangkit dari duduknya dan mengambil flashdisk Sabiya. "Ayo kita ke lobi, sebentar lagi boss baru datang." Sambil berlalu mendahuluinya.
Sabiya mengikuti sang ketua menuju lobi, disana sudah banyak orang berjajar menyambut boss baru. Beberapa staff wanita sibuk membenarkan diri mereka, ada yang memakai lipstik, menyisir rambut dengan tangan dan masih banyak aktifitas lainnya. Sabiya hanya memperhatikan sekeliling tanpa tahu sebenarnya boss baru itu sudah tiba dan sedang menatapnya.
Seseorang yang Masih Kau Kenal
Beberapa mobil berhenti di depan lobi perusahaan JK. Salah satu satpam membukakan pintu bagian belakang. Davi keluar dan melihat sudah banyak orang berjajar untuk menyambutnya, terlihat mereka membungkuk tanda hormat.
Penampilan Davi yang memakai jas menambah aura boss. Ya, boss yang sangat tampan. Beberapa wanita hilang fokus saat seharusnya mengikuti staff lain memberi hormat, tapi akhirnya merekapun sadar dan memberi hormat. Namun ada hal aneh, Davi melihat satu wanita berdiri tegak menatap ke arah berlawanan. Dia tak sadar dengan kedatangannya.
Davi melangkah dan di ikuti oleh staff lainnya yang berada di luar memasuki lobi, tatapannya tak lepas dari wanita itu. Terlihat laki-laki sebelah wanita itu menyikut dan memberi tanda seolah 'boss sudah datang', wajahnya sedikit kesal. Wanita itu terkejut dan melihat ke arah Davi dan membungkuk. Tak ada waktu untuk Davi berbincang dengan semua staff disana, ia terus berjalan melewati mereka.
"Kau ini kenapa Sabiya?!" Sang ketua kembali kesal.
Sabiya menatap sang ketua, wajahnya sangat datar tak berekspresi. "Aku melakukan kesalahan?"
"Sudahlah , aku bisa masuk rumah sakit kalau seperti ini." Ucapnya sambil berlalu.
Sabiya masih terdiam di tempat itu, ingatannya kembali saat matanya bertemu dengan mata laki-laki tadi. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh dengan hatinya.
"Apa aku mengenalnya? Kenapa hatiku--" Ia memegang dadanya, menghela nafas lalu membuangnya kasar, "mungkin karena dia tampan." Lanjutnya dengan wajah tak acuh.
* * * *
Kini Davi telah berada di ruangannya. Sekarang ia resmi menjadi presdir perusahaan JK. Kompetensinya dalam mengelola perusahaan sudah tidak diragukan lagi. Dibuktikan selama di London, ia berhasil memajukan satu perusahaan maagazine milih ayahnya juga. Davi anak tunggal yang punya kemampuan layaknya punya anak 10. Jiwa semangatnya dalam berpetualanglah yang membuatnya tumbuh menjadi sosok yang dewasa. Berani mengambil resiko dan bertanggung jawab atasnya.
'Tok tok tok'.
"Ya, masuklah".
Seorang staff masuk dan berjalan menghampiri mejanya. "Tuan, anda harus masuk studio, karena siarannya akan segera dimulai."
"Baiklah."
Studio siaran sudah dipenuhi dengan para staff. Davi akan melakukan wawancara yang disiarkan secara langsung di JK Channel. Masih ada waktu 15 menit sebelum siaran berlangsung untuk ia membaca skrip.
Seseorang menghampirinya, "Tuan, sebelum mulai silakan minum dulu."
Davi masih asyik membaca skripnya sampai pada akhirnya ia harus menyodorkan botol.air mineral lebih dekat padanya. Barulah Davi sadar bahwa tawaran itu untuknya. Kemudian ia menaikkan kepalanya dan terlihatlah wanita itu lagi. Senyum wanita mengembang membuatnya teringat sosok sabiya 12 tahun yang lalu.
Ia mengambil botol itu, "terimakasih".
"Apa tuan membutuhkan hal lain?" Tanyanya ramah.
"Siapa namamu?" Tatapannya tajam.
"Apa?" Sabiya memastikan telinganya tak salah dengar.
"Siapa namamu?" Ulangnya lagi lebih tegas.
"Aku. . . Eu, Sabiya." Jawabnya kikuk.
"Apa kau mengenalku?"Tanyanya lagi.
Kening Sabiya berkerut, ia tak mengerti dengan pertanyaan bossnya itu. Tiba-tiba seorang presdir mengobrol dengan staff sepertinya, rasanya ia ingin meninggalkan tempat itu karena bingung harus menjawab dengan bahasa formal atau layaknya pada teman.
"Bagaimana mungkin--" Ucapnya.
Belum selesai menjawab, Davi memotong kalimat, "Apa kau mengenal seseorang bernama Davi 12 tahun yang lalu?"
Ia terkejut boss nya menyebut nama Davi. Apa ia mengenalnya? Apa ini lelucon saja? Atau kebetulan?
"Apa kau Sabiya si hantu malam?" Davi berusaha meyakinkan.
"SEMUA SIAP?" Teriak salah satu staff di atas stage.
"Eeuu. . Anda harus bersiap."
Sabiya membungkuk dan berlalu meninggalkan Davi yang masih menatapnya sampai ia menghilang keluar ruangan.
* * * *
Sabiya berjalan cepat menuju toilet. Daripada ia harus kembali ke ruangan dengan wajah tegang, lebih baik pergi ke toilet.
"Dia Davi?"
Jantungnya berdebar sangat cepat, ia mengatur napasnya agar lebih tenang. Tak terpikir olehnya akan bertemu lagi dengan laki-laki 12 tahun lalu itu. Seseorang yang pertama kali membuat dirinya yakin kalau manusia itu baik.
"Kenapa rasa ini kembali?" Ia memegang dadanya. "Sadarlah Sabiya." Ia mengalihkan tangannya ke keran dan membasuh wajahnya berulang kali.
Suara dering ponsel membuatnya berhenti. Ia mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya, nomor tak di kenal.
"Selesai interview, temui aku di rooftop." Panggilan pun di akhiri.
Otaknya masih belum bisa mencerna, ponsel masih menempel di telinga. 'Apa tadi Davi?' Batinnya.
Setelah ia menerima panggilan dengan nomor tak di kenal, ia langsung menuju rooftop. Menunggu selama 2 jam sampai kemudian sebuah suara terdengar.
"Kau tak mengenalku?"
Ternyata ia sudah ada tepat di sampingnya. Keduanya berdri di tepi rooftop, melihat pemandangan kota.
Sabiya menatap ke arahnya, "tuan. . Aku--"
"Namaku Davi."
Tatapan mata Davi sangat menusuk, berhasil membuat Sabiya mengalihkan pandangan. Ia berusaha tertawa, namun tawanya terdengar memaksa. "Haha. .kau sangat berbeda."
"Aku masih Davi yang kenal 12 tahun yang lalu." Tegasnya.
"Kita tidak seharusnya bertemu seperti ini, anda itu adalah--"
Tarikan tangan Davi membuat Sabiya menghadap ke arahnya hingga berjarak sangat dekat. "Saat ini, aku masih Davi yang kau kenal."
Kenapa?
Jarak Sabiya dan Davi sangat dekat. Untuk beberapa saat suasana hening dengan mata saling menatap sampai akhirnya Sabiya mengerjap dan menarik tangannya.
"Maaf, aku harus bekerja." Ia membungkuk hormat kemudian pergi.
Davi sengaja tak mengejarnya, karena ia pun merasa malu dengan sikap tiba-tibanya tadi. Terlebih jika mereka turun bersama, itu akan memunculkan gosip. Apalagi perusahaannya sumber informan.
Bisa dibilang JK ini adalah salah satu perusahaan media terkenal di Indonesia. Mulai dari channel tv, hotel, mall menjadi bagian dari JK. Bisnis keluarga bukan hanya bergerak di media saja, justru ayahnya mendirikan usaha non media. Namun sang putra sangat tertarik dengan bidang tersebut sejak ia SMA dan mulai merintis mulai dari channel yang hanya bisa di akses di kota tertentu. Sang Ayah sangat mendukung semua pilihan puteranya.
"Pak, boleh aku mengerjakan pekerjaan di rumah? Aku merasa pusing dan mual." Ucap Sabiya lemas.
Ketua melihat jam di tangannya, pukul 3 sore. Masih ada sisa waktu 2 jam untuk pulang. Melihat wajah Sabiya yang pucat, ia pun mengijinkannya.
Sabiya berjalan ke arah lift, menekan tanda turun. Setelah terbuka, ia melihat sosok Davi. Ia bersama dengan staff lainnya. Segera ia membungkuk dan memilih untuk menanti lift sebelahnya.
"Apa kau tak kan naik?" Tanya suara berat itu memecah keheningan.
Terlihat sikap Sabiya kikuk, ia tampak bingung. Akhirmya ia masuk lift dan berdiri sejajar dengannya. Ia merasa tak nyaman satu lift dengan Davi yang saat ini berstatus presdir. Sesekali Sabiya melirik ke arah Davi, laki-laki itu tetap tenang dengan tubuh menghadap pintu lift. Lalu tak sengaja punggung tangan kanan Sabiya menyentuh punggung tangan Davi. Dengan segera ia menaikkan tangannya, memegang totebag di bagian dada.
Pintu lift terbuka , mereka sudah berada di lobi. Davi dan para staff keluar terlebih dahulu. Sabiya membungkuk, dan memberi jalan dengan membiarkan dirinya mundur beberapa langkah. Ia merasa sedih, sampai lift terbuka Davi tak sekalipun menatapnya. Seperti tak mengenalnya.
Sabiya berjalan ke arah halte, menunggu bus. Rasanya begitu lemas, mungkin karena akhir-akhir ini dirinya bekerja terlalu keras dan sering begadang. Semua ia lakukan karena tuntutan hidup. Prinsip hidupnya adalah tak ingin membebani siapapun.
* * * *
Sabiya meringkuk di tempat tidur, badannya panas. Terdengar suara dering ponsel , ia mengambilnya di tas yang ia taruh di atas tempat tidur. Kemudian menekan tanda hijau , tanpa peduli siapa yang menelpon.
"Hallo." Suaranya sedikit serak.
"Apa kau sakit?" Tanya di seberang sana.
Sabiya terkejut , ia mengenal suara itu. "Aku baik-baik saja."
Tiba-tiba terdengar bunyi 'tut-tut-tut' , tanda panggilan di akhiri. Sabiya heran, namun ia tak ada daya untuk memikirkan kenapa panggilan terputus. Ia terlalu lelah dan memutuskan untuk tidur.
Beberapa jam kemudian suara bel membangunkannya. Ia susah payah bangun dan berjalan lunglai ke arah pintu. Setelah terbuka, betapa terkejutnya melihat Davi berada di hadapannya.
"Aku boleh masuk?"
"Darimana kau tau rumahku?" Tanya Sabiya penasaran.
Davi tersenyum, "Di luar sangat dingin, boleh aku masuk?"
Sabiya pun membuka pintu lebih lebar, Davi masuk kemudian pintu di tutup. Ada sebuah kantung kresek di tangan kanannya dan ia letakkan di meja yang lebih tepatnya meja kerja Sabiya. Di ruangan itu hanya ada 1 sofa panjang, meja kerja dengan kursinya, lemari dan dapur. Ruangan berikutnya adalah kamar.
Ia merogoh sesuatu dari kresek itu. "aku bawakan obat untukmu."
Sabiya menghampirinya dan melihat ternyata benar, laki-laki itu membawakannya obat. "Aku tidak apa-apa." Berusaha meyakinkan Davi.
Davi menaikkan tangannya dan menempelkan tangannya di kening Sabiya. "Kau demam."
Davi membuka obat dan memberikannya pada Sabiya. Lalu mengambilkan air untuknya. "Cepat, minumlah." Perintahnya.
Sabiya duduk di sofa dan meminum obat pemberian Davi. Davi menatapnya khawatir. "Tidurlah, aku akan menjagamu disini."
"Sebaiknya kau pulang saja, aku tidak apa-apa." Ucap Sabiya.
"Aku perintahkan kau untuk tidur." Ucapannya tegas dengan wajah yang serius.
Kali ini Sabiya tak bisa lagi berkata apapun selain ia harus pergi ke kamar dan tidur.
"Mulai saat ini aku akan menjagamu Sabiya." Batinnya.
Hal Tak Terduga
Aroma masakan membuat Sabiya terbangun, perlahan ia buka matanya dan melihat ke arah pintu. Ia baru ingat jika semalam memang membiarkan pintunya terbuka. Seketika ia mengingat , ada seseorang di apartementnya.
'Apakah mungkin dia?' Batinnya
Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar. Terlihatlah sosok pria tengah menuangkan makanan ke mangkuk. Entah ini perasaan apa, yang pasti saat ini hatinya hangat. Davi sadar dengan kemunculan Sabiya, menatapnya dan tersenyum.
"Kau sudah bangun? Aku buatkan bubur untukmu." Ucapnya sambil melangkah membawa mangkuk bubur itu.
"Darimana kau dapat bahan. . . ."
"Kau tak perlu tanyakan itu. . Sekarang makan saja." Davi meletakkannya di atas meja.
"Aku tanya , kau. . ."
Kedua kalinya Davi memotong pertanyaan Sabiya. Kali ini matanya yang mendadak menatapny tajam, bagai sihir baginya. Setiap pria itu serius, saat itu juga ia tak bisa berkutik.
Sabiya merasa kikuk karena Davi yang berada di sampinya. "Apa dudukmu bisa pindah?"
Davi tertawa mendengar perkataan Sabiya, "Apa kau canggung padaku?"
Mata Sabiya sinis menatap Davi, "Kau sangat mengganggu."
"Aku akan terus mengganggumu." Davi tersenyum menatap Sabiya yang kali ini berusaha memalingkan wajahnya dan meneruskan makan bubur.
"Apa kau suka padaku?" Ucap Davi tanpa pikir panjang.
Mendengar pertanyaan itu sontak Sabiya tersedak oleh bubur yang dimakannya. Debaran jantungnya tak terkendali. Davi tampak khawatir dan berlari mengambil air minum.
"Ayo minum, maaf. . . Maafkan aku." Davi memegangi gelasnya dan meminumkannya pada Sabiya.
Hari ini giliran Sabiya kerja pagi di restoran. Seperti biasa , ia menunggu bis di halte.
"Aku antar saja." Pintanya.
"Aku terbiasa naik bus.. kau pulang saja." Jawabnya datar.
"Baiklah, aku ikut naik bus." Ucapa Davi kemudian.
Sabiya heran dengan sikap Davi. Ingin rasanya menolak, tapi itu sangat tidak mungkin. Ketika bus muncul, ia berjalan di belakang Sabiya dan masuk ke dalam bus. Sabiya memilih duduk di kursi paling belakang. Davi mengikutinya.
"Apa nanti aku naik ini lagi?" Tanyanya dengan wajah bingung.
"Kau naik taksi saja atau minta jemput." Jawab Sabiya tanpa mengalihkan pandangan dari depan.
"Setiap hari kau naik bus?" Tanyanya lagi.
Sabiya menarik napas panjang dan menghembuskannya kasar kemudian menoleh ke arah Davi. "Ya, aku setiap hari naik bus dan aku menyukainya." Setelah itu ia kembali melihat ke arah depan.
"Apa kita bisa sedekat dulu?"
Dua pertanyaan berhasil membuat jantungnya berdebar. Ini bukan debaran biasa layaknya manusia hidup, tapi ada sensasi lain. Sulit untuk di jelaskan, tapi sangat membuat hati dan pikiran kacau.
"Kenapa kau ingin dekat denganku?" Ia menoleh ke arah Davi.
"Karena aku menyukaimu." Ucapnya santai.
Tak ada perkataan yang bisa keluar dari bibir Sabiya. Pria itu sungguh penyihir. Sialnya, ia tak dapat memalingkan wajahnya. Matanya bagai terkunci tak mampu berkedip.
Terasa sesuatu menyentuh tangan Sabiya. Ia melihat bibir Davi tersenyum dan menarik tangannya. Barulah sadar sesuatu yang menyentuhkan adalah tangan Davi.
"Sabiya, menikahlah denganku."
Gila!! Ini sangat gila!!
Baru saja mereka bertemu setelah 12 tahun terpisah. Hal tak terduga yaitu lamaran di dalam bus terjadi. Ini sangat mendadak buatnya. Seketika tangannya ditarik dari genggaman Davi.
"Apa kau bergurau? Kita baru saja bertemu." Ucapnya dengan senyum kikuk.
"Aku serius." Wajahnya mendekat sampai ia harus memundurkan kepalanya.
"Kau tak perlu menjawabnya hari ini, aku beri waktu 2 hari." Ucapnya dengan senyuman itu lagi.
Wajah Sabiya makin terkejut mendengar hal itu. Ia hanya diberikan waktu 2 hari untuk menjawab lamaran Davi. 'Menyebalkan'. Batinnya.
Terlihat Davi merogoh saku mantelnya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil. "Ini memang bukan lamaran romantis, maafkan aku." Ia menyodorkan kotak itu. "Pakai ini jika kau menerimaku."
* * * *
Kotak kecil berwarna merah ia letakkan di atas meja resto. Wajah sahabatnya, Aline tampak bingung. "Dia melamarmu didalam bus dan memintamu berpikir 2 hari?" Tanyanya memastikan.
Sabiya hanya mengangguk lemas.
"Kau sudah tahu jawabannya?" Tanyanya lagi.
"Kami baru saja bertemu setelah 12 tahun. . Sekarang tiba-tiba dia melamarku. Itu gila!" Ucapnya frustasi.
"Aku tanya padamu, apa kau menyukainya?" Ulangnya.
Ingatan masa lalu muncul, betapa bahagia dan nyaman saat bersama Davi kala itu. Apakah itu cinta? Ia tak.tahu.
"Yang aku rasakan saat itu, nyaman dan bahagia. . Walaupun 4 hari." Wajahnya berubah menjadi sedih.
Entahlah kenapa ketika mengucapkan itu rasanya sangat menyedihkan. Ia takut kebahagiaanya itu hilang, sama hal.nya dengan kebahagian bersama Ayahnya yang hilang. Tak ada sosok selain ayahnya yang mampu membuatnya bahagia, itu menurutnya. Ya, ia terlalu takut untuk bahagia.
"Itu artinya kau menyukainya." Ia menyentuh tangannya, "kau terima saja ya." Ucapnya kemudian.
Tiba-tiba ponsel Sabiya berbunyi. Nomor tanpa nama tapi ia tahu itu nomor siapa. Tampak raut wajah bingung kemudian sang sahabat memberi isyarat untuk mengangkatnya.
"Hallo."
"Jangan lupa makan agar kau cepat pulih." Ucapnya dari seberang.
"Yaa."
Hanya jawaban singkat yang mampu ia keluarkan. Ia hanya sedang merasa gugup. Terlihat wajah Aline menahan tawa dengan.menutup mulutnya.
"Aku akan menjemputmu, tunggu aku." Kemudian sambungan terputus.
Walaupun sambungan sudah terputus, ponsel masih menempel di telinganya. Apa yang baru saja ia dengar masih dalam proses di cerna. Merasa bingung antara harus bahagia atau malah semakin takut.
"Ada apa?" Tanya sahabatnya dengan kening berkerut.
Ponsel yang masih menempel segera ia turunkan dan tersenyum agak terpaksa. "Tidak ada".
Berusaha menyembunyikan perasaan, itulah yang harus dia lakukan. Kalau tidak begitu, ia akan mengkhawatirkannya. Dia sangat perhatian, bahkan pekerjaan sebagai part time di JK.corp itu karenanya.
"Bi, ini hari terakhirku di resto.. ayah sudah memintaku menangani perusahaannya." Ucapnya sedih.
Sabiya sangat senang mendengar hal tersebut. Tapi lain halnya dengan Aline. Kemudian ia menggeser kursi agar lebih dekat dengannya. "Kamu pasti bisa." Sabiya memegang kedua bahunya.
Raut wajah sedihnya karena ia merasa hari-harinya akan semakin berat karena mengemban amanah yang berat. Sebagai anak tunggal dari keluarga kaya itu berati ia adalah satu-satunya pewaris.
"Apa kau yakin aku bisa?" Tanyanya pesimis.
"Pastinya!" Jawab Sabiya tegas.
"Apa tidak sebaiknya kau tinggal bersamaku? Aku kesepian di rumah." Ia memberi isyarat kalau sabiya harus mau.
Bukan maksud menolak.permintaan. tapi Sabiya memang orang yang tak ingin menjadi beban orang lain. "Aku pikirkan itu." Sebenarnya itu adalah penolakan secara halus. Ternyata, sang sahabat dapat menangkap arti kalimatnya.
"Karena kau tak pernah mau jadi beban orang lain. . . Itu kan?" Ucapnya tiba-tiba dengan wajah yang serius.
"Aku hanya. . . ."
Mencari alasan bukanlah bakatnya. Sabiya selalu bicara apa adanya, atau sama sekali tidak bicara. Baginya , alasan adalah sebuah pembenaran, bukan kebenaran.
"Aku sahabatmu kan? Atau kau tak pernah anggap aku sahabatmu? Bahkan ayah dan ibuku juga ingin kau tinggal di rumah bersamaku." Jelasnya dengan nada sedikit kesal.
Kalau sudah begini, ia tak bisa mengelak. Akhirnya Sabiya mengiyakan permintaannya. Raut wajah yang sedih tiba-tiba berubah jadi bahagia.
"Kau memang sahabatku." Sambil memeluk.Sabiya.
Sabiya balas memeluknya dan ia merasakan kebahagiaan dengan melihat kebahagiaan orang lain. Sangat sederhana membuat hangat hati, yaitu dengan melihat orang-orang tertawa bahagia. 'Akankah aku bahagia?' Itu lah pertanyaan yang ada di benaknya selama ini.
Apa Yang Kau Lakukan Padaku?
Sambil duduk bersandar di kursi teras belakang rumah, Davi terpekur menatap bunga-bunga di hadapannya. Sengaja beberapa bunga ditaruh dalam vas oleh Ayahnya. Memori tentang seorang wanita yang tertabrak karena menolongnya belakangan ini kembali. Ya, ia baru ingat dengan misinya. Yaitu menemukan seseorang, lalu bertanggung jawab atas insiden itu.
Ia tahu seharusnya ia tidak boleh lagi membenamkan diri dalam kenangan tentang insiden itu. Sudah cukup lama hal tersebut terjadi dan orangtuanya sudah memberikan tunjangan pada mereka Namun, bayangan gadis kecil itulah yang membuatnya merasa bersalah.
Lamunannya buyar ketika Ayah menepuknya. Kepalanya otomatis menoleh ke sisi kanan, mengangkat kepala, lalu tersenyum.
"Ayah."
Ayah duduk di salah satu kursi , tepat di bagian kiri Davi. Wajahnya terlihat pucat.
"Ayah merasa tidak sehat hari ini, kau wakilkan ayah bertemu dengan Pak Andrew ya." Ayah mengusap bahu kiri Davi dan tersenyum.
"Iya Ayah." Sahut Davi mencoba menghilangkan kecemasannya. Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. "Ayah, saat itu kejadian itu..apa anak kecil itu baik-baik saja?"
Ayah tertegun. Ia menatap Davi bingung. Sudah lama kejadian itu berlalu, tapi kenapa ia menanyakannya sekarang.
"Sepeninggal ibunya, anak kecil itu dan ayahnya pindah ke Bandung...setelah itu ayah tak tahu lagi tentang kabar mereka." Sahut Ayah setelah mencoba mengingat-ingat.
"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?" Tanya Ayah penasaran.
Davi menggeleng dan tersenyum. "Aku hanya sedang ingat mereka."
Nampak jelas dari raut wajah ayah, jika ia khawatir. Ia memahami situasi tersebut. Itulah yang membuat Davi selama ini mencari informasi tanpa sepengetahuan Ayah. Biar ini menjadi tanggung jawabnya. Tak ingin membuat siapapun khawatir.
Sejak kejadian dalam bus kemarin, Sabiya menjadi tak fokus bekerja. Beberapa kali pesanan pelanggan resto tertukar. Hal itu membuatnya dimarahi oleh pelanggan dan akhirnya berakhir dengan meminta maaf pada mereka.
Kesal dengan hal itu, Sabiya meminta ijin untuk pulang dengan alasan masih sakit.
"Apa yang kau lakukan padaku Davi." Kesalnya pada diri sendiri.
Bus berhenti di halte, ia menaikinya. Pandangannya mengarah ke kursi paling belakang, lalu bayangan kemarin muncul. Segera ia menggelengkan kepala untuk mengghilangkan bayangannya. Ia melangkah maju kemudian terhenti. "Aku duduk disini saja." Tepat di bagian tengah sisi kiri dekat kaca.
Tiba-tiba ponsel Sabiya berdering. Ia mengeluarkannya dari tas selempang dan menekan tanda hujau. "Yaa , pak."
"Kau hari ini bisa datang lebih awal? Ada artikel yang harus beres secepatnya." Sahut si mister galak di seberang sana.
"Oh sekarang aku kesana saja pak." Ia bangkit dari kursinya dan melangkah mendekati supir. "Pak, aku berhenti disini."
* * * *"Hallo Pak, Aku Davi." Ia mengulurkan tangannya dan segera di sambut oleh pria itu. "Ayahku sedang tak sehat, jadi...."
Belum sempat menjelaskan, pria itu menyela. "Tidak apa, justru sebenarnya pertemuan hari ini berkaitan denganmu nak." Ucapanya lembut dengan senyum yang sedari tadi ia sunggingkan.
Pria di hadapamnya kisaran seumuran Ayah. Kacamata di matanya menambah kesan wibawa. "Sebenarnya jika ia tak sakit, pasti akan menyuruhmu yang bertemu denganku." Ucapnya lagi membuat Davi bingung.
Davi mengangkat kedua alisnya. "Maksud anda?"
Pria itu tertawa renyah melihatnya bingung. "Kau sungguh penasaran anak muda?"
Suara langkah sepatu terdengar mendekati meja mereka. Pandangan pria itu mengarah ke belakangnya, berubah jadi senyum lebar. Seseorang itu melewatinya dan tampaklah ia wanita memakai dress selutut tanpa lengan berwarna salem dan berambut hitam panjang.
Wanita itu duduk di samping Pak Andrew dan memeluknya. Kemudian pandangannya mengalih padaku dan tersenyum.
"Dia anakku, Aline." Ucap Andrew kemudian. Menjawab rasa penasarannya. Sempat ia berpikiran kotor tentang pria di hadapannya itu.
"Hallo, Aku Aline."
Ia mengulurkan tangannya. Davi menyalaminya segera dan tersenyum.
"Aku Davi."
Untuk beberapa saat pandangan davi tak bisa terlepas dari Aline. Melihat wajahnya yang cantik dan senyumnya yang indah, ia merasakan hatinya hangat. Tiba-tiba ia tersadar dan mengerjapkan matanya
"Sebelumnya aku jelaskan dulu kenapa anakku ada disini." Ia menoleh sekilas pada Aline. "Aline akam mengurus perusahaan kosmetik kami, namanya Aline Cosmetic. Sengaja memang di ambil dari nama anakku karena dia sangat cantik. Iya kan?"
Davi mengangguk. "Benar sekali."
Wajah Aline tampak merona saking malunya.
"Aline Cosmetic akan launching produk terbaru, aku ingin yang meanganinya adalah JK.Corp. Aku ingin Aline mulai dikenal publik juga."
"Baiklah, aku mengerti."
"Aku tahu kau sangat cerdas. Ohya, ada hal penting lainnya." Setelah memantapkan diri, ia kembali buka suara. "Aku dan ayahmu sepakat menjodohkan kalian."
Kalimat yang keluar dari mulut Andrew berhasil membuat Davi dan Aline terkejut.
"Pak.""Ayah."
Kalimat yang keluar dari keduanya bersamaan. Andrew menatap keduanya bergantian. Kemudian tertawa.
Rasa Tak Nyaman
Sabiya bergegas keluar dari apartement setelah ia selesai mengerjakan artikel dadakan yang diberikan ketua galak. flashdisk yang masih ia pegang, segera dimasukkan ke dalam tas selempangnya. Kemudian dengan langkah cepat ia menuju lift.
Angin malam membuat Sabiya menggigil dan lebih merapatkan lagi mantel coklat yang dipakainya. Baru beberapa detik sampai halte, hujanpun turun.
"Bodohnya.. payungku." Ia memukul kepalanya kesal.
Tiba-tiba Sabiya teringat janji Davi. Katanya ia akan menjemput, tapi sampai sekarang jam 8 malam, tak ada telpon ataupun pesan whatsapp darinya untuk sekedar memberikan penjelaaan 'kenapa ia tak bisa datang'. Perasaan Sabiya mulai kesal, tapi sedetik kemudian ia tepis dan berlagak baik-baik saja.
"Apa peduliku. Biarkan saja."
Bus tiba dan Sabiya melangkah masuk ke dalam bus. Perasaan tadi mungkin saja hanya rasa kesal seseorang yang dijanjikan sesuatu oleh temannya, lalu tak ditepati. Sepanjang perjalanan ia berusaha meyakinkan diriya kalo rasa kesal itu wajar.
Sampailah ia di depan kantor dan ia menemukan sosok yang ia kenal memasuki kantor."Davi?"
Baru saja ia turun dari bus, hujan ternyata belum reda. Langkahnya terhenti namun ia enyahkan rasa kesal lalu putuskan untuk menghiraukan Davi jika mereka berpapasan. Dengan langkah pasti ia memasuki lobi kantor. Namun sosok itu sudah tak terlihat. Ada yang aneh, rasa sedih mulai menyeruak menggantikan rasa kesal.
"Ada apa denganku?"
Seseorang mengejutkannya dengan sebuah tepukan di bahu kanan. Secepat kilat ia membalikkan badan, memasang kuda-kuda dan menaikkan tangannya seperti orang yang hendak berkelahi. Terlhat Pak Alfi, si mister galak menahan tawa dengan respon Sabiya.
"Pak! Kau mengejutkanku." Kesalnya masih dengan sikap kuda-kuda.
"Kau ingin berkelahi denganku? Kenapa kau masih begitu heuh?" Ucapnya pura-pura kesal.
Sabiya sadar banyak orang yang melihat dengan wajah menahan tawa. Segera ia menegakkan badannya dan menurunkan kedua tangan. Kemudian memberi hormat dengan membungkukkan setengah badan dan tersenyum kaku.
"Artikel sudah selesai pak." Segera merogoh kedalam tasnya dan menyerahkan flashdisk pada pak alfi. "Silakan pak, di periksa."
"Aku percaya padamu, jadi tak perlu aku periksa." Ucapnya sambil lalu meninggalkan Sabiya.
Itulah Pak Alfi, jika urusan sudah selesai pasti memilih untuk pergi. Sabiya sudah terbiasa dengan kelakuan beliau, jadi ia tak ambil pusing dan berlalu untuk keluar dari lobi. Tiba-tiba langkahnya terhenti. "Apa yang dilakukannya malam-malam?" Gumamnya.
Ia melihat lagi ponsel yang sedari tadi dipegangnya, tak ada telpon ataupun WA. Tak taham dengan rasa penasarannya, Sabiya memutuskan untuk masuk kedalam. Namun , sesuatu mengejutkannya.
* * * *
"Maafkan aku sudah membuatmu menungguku disini." Ucap Davi merasa bersalah.
Kini Davi dan Aline berada di dalam lift. Jadi, alasan kenapa Aline ada di kantor Davi karena tak lama setelah ayahnya pulang lebih dulu, Davi mengajaknya melihat-lihat tempat yang nantinya akan menjadi lokasi syuting. Ternyata ketika hendak pulang, mobil Aline bermasalah. Alhasil Davi harus mengantarnya pulang, sedangkan ia harus menghadiri meeting lain menggantikan sang ayah. Solusinya adalah Aline harus msnunggu sampai Davi menyelesaikan meetingnya.
"Sudah aku bilang tak apa, kenapa kau minta maaf terus." Balas Aline sambil menahan tawa.
Lift terbuka dan keduanya keluar bersamaan. "Aline.. maafkan "Ulang Davi lagi, tapi dengan nada terdengar memelas.
Aline tak tahan dengan tingkahnya, pertahanan diri runtuh dan ia tertawa. Memukul lengan Davi berulang. "Hentikan."
Keduanya tak menyadari di luar sana ada sepasang mata yang memperhatikan. Melihat mereka dengan perasaan yang sulit di mengerti. Semakin dekat langkah mereka, tepat di pintu lobi, mata keduanya menangkap sosok Sabiya.
"Oh, Sabiya?" Ucap Aline senang.
Berbeda dengan Davi, ia tak mengeluarkan kata apapun. Menyadari hal itu, perasaannya bertambah kesal. Mata Sabiya dialihkan pada Aline untuk memberinya senyuman. Walaupun agak kaku tapi ia berusaha agar tak terlihat canggung.
"Hai Aline... Aku baru saja menyerahkan tugas artikel." Ucapnya sambil sesekali menatap Davi.
"Kenapa tak menunggu besok saja?"Ucap Aline khawatir dan melangkah lebih dekat pada Sabiya, "kau naik apa kemari?"
"Apalagi , selain bus." Suaranya terdengar sedikit sinis. Entahlah dirinya pun merasa kurang enak mendengar nada bicara barusan.
"Kau ikut saja denganku..." Kepalanya menoleh ke samping kanan, "Davi, Sabiya ini sahabatku.. boleh dia ikut kita?" Tanya Aline.
Davi hanya menatap Sabiya yang saat ini tengah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Aku naik bus saja. Tidak apa-apa." Lalu sabiya berlalu meninggalkan mereka, tanpa mengindahkan panggilan Aline. Ia terus melangkah tanpa menoleh.
Kali ini hujan sudah reda, hanya menyisakan rintikan-rintikan kecil. Tapi hujan tadi membuat bajunya basah. Davi melihat hal itu , rasa khawatir menyelimuti hatinya. Entah kenapa ia tak bisa memperlihatkan rasa khawatirnya ketika ada Aline. Ia lupa janjinya untuk menjemput Sabiya, dan ia baru ingat.
* * * *
Sesampainya di apartement, ia putuskan untuk mandi. Ia ingin menyegarkan tubuhnya. Dingin iya, tapi mereleksasikan tubuhnya dengan air akan mengembalikan moodnya. Bayangan Davi dan Aline kembali muncul. Ia coba untuk menghilangkan bayangan itu dengan menyiramkan air ke atas kepalanya.
1 Jam berlalu dengan segala aktivitas di dalam kamar mandi, yaa ... itu adalah mandi terlama dalam sejarah. Biasanya alih-alih mandi, ia malah hanya cuci muka dan gosok gigi. Kali ini beda, air sangat ia butuhkan. Sejak kapan? Itulah pertanyaannya.
Sabiya merasa segar setelah mandi, yaa walaupun hatinya masih tak karuan. Sebelumnya ia tak pernah merasakan hal seperti ini. Ponsel yang ia simpan di tas selempang, ia ambil. Setelah itu ia naik ke atas tempat tidur. Ia tarik selimut dan membaringkan tubuhnya. Rasanya nyaman. Ponsel yang di pegangnya kemudian ia hidupkan. Muncul 'panggilan tak terjawab' . DAVI.
Muncul lagi pesan WhatsApp. Karena ia masih kesal, maka ia biarkan pesan itu. Lalu di simpannya ponsel di atas nakas dan meninggalkannya tidur, berharap esok hatinya akan membaik.
CEMBURU?
Bunyi bel berhasil membuatnya terbangun. Dengan kesal ia mendudukkan tubuhnya. “Siapa, sih? Berisik!” Teriaknya.
Segera ia turun dari kasur, karena bunyi bel itu terus menerus berbunyi. Sepertinya orang iseng yang sengaja mengganggu pagi harinya.
“Akan aku marahi orang itu.” Gerutunya kesal.
Terbukalah pintu, menampakkan sosok yang memang mengganggunya beberapa hari ini. Ya, Davi. Ia berdiri dengan senyum yang bisa saja membuat Sabiya terpesona, namun kali ini tidak. Kejadian kemaren benar-benar membuatnya kesal.
“Kau pasti lapar, ayooo...”
Belum selesai bicara, Sabiya menarik pintunya. Namun gerakannya tidak secepat tangan Davi yang jelas lebih panjang darinya. Pintu itu gagal tertutup.
“KAU!”
Davi terkejut mendengar teriakan Sabiya dan melepaskan tangannya dari pintu. “Ada apa denganmu?” Tanyanya dengan wajah seperti anak kecil yang ketakutan.
Sabiya menatapnya kesal. Sangat kesal. Ingin rasanya ia melempar pria itu dengan sepatu, menyeretnya dengan kasar kemudian melemparnya ke jurang. Pikirannya dipenuhi dengan imajinasi seorang psikopat.
“Apa kau sedang marah padaku?”
Pertanyaan itu seketika menyadarkan Sabiya. ‘Marah?’ Batinnya mempertanyakan.
“Tidak.” Ucapnya singkat.
Sulit sekali membiasakan wajahnya, tetap saja yang terlihat adalah kekesalan. Apa yang sebenarnya terjadi, Sabiya pun heran. Belum pernah ia sekesal ini dengan oranglain. Setiap kejadian malam kemaren terlintas, perasaannya sangat kesal.
“Apa kau cemburu?” Tanya Davi kemudian. Ia menatap Sabiya dalam, wajahnya berubah serius.
CEMBURU? Apa yang baru saja dia dengar? Bodohnya, Sabiya tidak bisa menjawab. Bingung dengan dirinya sendiri, ia berusaha mengalihkan. Ia melihat tas kresek yang ada di tangan Davi, “Eummm... kau membawa sesuatu untukku?” Segera ia merebut tas itu. “Terima kasih, kau boleh pergi.” Lanjutnya dan menutup pintu dengan cepat.
Kali ini berhasil tertutup dan Davi hanya tersenyum melihat tingkah Sabiya. “Sangat jelas sekali.” Ucapnya pelan.
* * * *
Suasana halte hari ini sangat berbeda, tidak biasanya ramai. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat, penasaran dengan apa yang terjadi disana. Semua orang berdesakan, ia pun ikut masuk kesana dan melihat seorang ibu tergeletak tak sadarkan diri dengan darah di kepala. Seketika ia ingat ibunya, jantungnya berdetak cepat. Sabiya berusaha mengendalikan dirinya dengan menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. Terdengar orang-orang membicarakan, ”Aku melihatnya tadi, kejadiannya begitu cepat.” Kemudian yang lain juga berbicara, “Polisi sedang menuju kemari, tidak ada identitas apapun di diri korban.”
Suara sirine mobil polisi dan ambulans terdengar. Mereka bergegas mendatangi korban, “Tolong beri kami jalan!” Teriak salah seorang polisi.
2 orang polisi memeriksa korban tersebut, “Masih hidup, tapi tidak ada kartu identitas, Pak.” Ucap polisi yang sepertinya lebih muda dari polisi yang berteriak tadi.
Petugas medis datang , mereka mengangkat korban ke atas brankar. “Tunggu, aku keluarga korban.”
Dari seberang halte, Davi melihat Sabiya masuk kedalam ambulan. Tanpa pikir panjang, ia mengendarai mobilnya mengikuti ambulan.
Tiba di rumah sakit, Davi melihat Sabiya tengah berada di bagian administrasi. Ia menghampirinya.
“Ada apa?” Tanyanya langsung.
Sabiya menoleh dan mendapati Davi berada di samping kiri. “Kenapa kau disini?” Tanyanya heran.
“Aku melihatmu tadi di halte. Ada apa? Siapa orang itu?” Tanya Davi tak sabar.
“Apa pedulimu?” Jawab Sabiya ketus.
Seorang petugas memberikan secarik kertas, Sabiya menerimanya dan berbalik. Sebelum melangkah, Davi sudah memegang lengannya. “Apa kau marah soal semalam?”
Sabiya mengkerutkan kening, kemudian menoleh ke sisi kanan. “Aku tidak mengenalnya, aku hanya menolong, karena ibu itu tidak membawa kartu identitas.” Jelasnya.
“Biar aku saja yang membayar.” Ia merebut kertas itu dan berbalik menghadap petugas administrasi.
“Hei, kau...”
Davi masih memegang lengannya, “Kau diam saja.”
Sabiya merengut menatap lengannya. Aneh sekali, kekesalannya mulai memudar. Di saat, tangannya terlepas, perasaan sedih muncul. Matanya tak lepas dari tangan kekar pria itu yang kini ada di atas meja administrasi.
“Aku antar kau kerja.” Ucapnya membuyarkan lamunan Sabiya.
“Apa? Kau tahu aku kerja dimana?” Tanyanya heran.
Davi hanya tersenyum dan menarik tangannya. Kini, mereka saling menggenggam satu sama lain. Siapa yang tidak terkejut diperlakukan seperti itu? Ingin rasanya bertanya, kenapa dia memperlakukan dirinya semanis itu. Apakah benar ia menyukainya?
Sepanjang perjalanan ke arah parkiran, ia tak seikitpun berbicara. Tangan keduanya masih menyatu.
“Ah, sebentar...” Langkah Sabiya terhenti, otomatis Davipun menghentikan langkahnya. “Bagaimana dengan ibu tadi? Dia tidak membawa kartu identitas, aku harus kembali.” Ia berbalik, namun ia lupa jika tangannya di genggam oleh Davi. Langkahnya terhenti, “ayooo...” Ia menoleh sambil merengek.
“Kau harus bekerja.” Ucapnya serius.
“Aku akan menghubungi tempat kerjaku, aku mau ijin tidak masuk.” Wajahnya kembali merengek.
“Kenapa kau begitu peduli padanya? Kau tidak mengenalnya.” Tanyanya penasaran.
“Aku ingat ibuku...” Ia menarik napas dalam dan menghembuskan kasar, “Ibuku juga meninggal karena tertabrak, dia berusaha menolong seorang anak kecil.” Jelasnya dengan mata berkaca-kaca.
DEG!
Davi terkejut mendengar penjelasan Sabiya. Dia berpikir, apakah wanita di hadapannya adalah yang selama ini dicari?
“Jadi, aku akan menemaninya.” Ia menarik tangan dari genggaman Davi, kemudian pergi.
* * * *
Davi keluar dari sebuah cafeshop yang letaknya tak jauh dari rumah sakit dengan membawa 2 cup kopi. Ia mencari kontak, di kliknya nama SABIYA. Panggilanpun masuk.
“Kau dimana?”
Sebelum mendaat jawaban Sabiya, ia melihat wanita itu sedang duduk di salah satu kursi yang ada di lobi. Kemudian terdengar jawaban, “Aku di lobi.”
Ketika melihat wanita itu duduk melamum, ingatan kejadian masa lalu kembali. Entah kenapa dia merasakan bahwa Sabiya sedang merasa sedih. Seger ia menghampirinya, dan menyodorkan 1 cup kopi.
“Minum ini.” Kemudian duduk di samping kanannya.
Sabiya menerima kopi itu. “Terimakasih.” Ia menoleh sebentar, tersenyum, menyeruput kopinya lalu kembali menatap ke depan. Terlihat sedang memikirkan sesuatu.
“Bagaimana kabar beliau?” Tanya Davi memecah keheningan.
“Masih menjalani operasi....” Ia menunduk, menatap kopinya. “Aku berharap operasinya berjalan lancar.”Lanjutnya.
“Aku boleh bertanya soal ibumu?” Tanya Davi hati-hati.
“Tanyakan saja.” Kembali ia menyeruput kopinya.
“Kapan kejadian itu terjadi?” Wanita itu kemudian menoleh.
Ya. Pria ini ternyata membawanya kembali ke masa lalu. Harusnya ia sudah melupakannya, namun kali ini, rasa sakit itu kembali muncul.
BERUSAHA TIDAK PEDULI
Operasi berjalan dengan lancar, kondisinya mulai membaik. Sabiya duduk di sofa. “Tunggu saja, kata dokter... masa kritisnya sudah terlewati.” Ucap Davi menenangkan.
“Pergilah, kau harus ke kantor.” Ia menoleh ke samping, “Kau seorang presdir, semua orang melihatmu.”
“Baiklah, aku pergi dulu.” Maksud ingin memeluk, namun Sabiya menyandarkan punggungnya di sofa.
Davi beranjak dari tempatnya duduk dan berjalan ke arah pintu. Sabiya menatapnya sampai pria itu menghilang dibalik pintu.
Dering ponsel berbunyi, ia merogoh tas totebagenya dan terlihat nama Aline. Ditekannya tanda hijau, “Hallo, aku sedang di rumah sakit....”
Setengah jam kemudian, Aline membuka pintu. “Kau....” Wajahnya terlihat panik. Namun melihat yang terbaring bukan sahabatnya, wajah paniknya memudar. Seseorang keluar dari kamar mandi. Aline langsung menghampiri dan memukul lengannya sangat keras.
“AAARRGGHH!” Teriak Sabiya. Segera ia menutup mulutnya karena bisa saja teriakan itu mengganggu pasien.
“Kau membuatku khawatir!” Ucapnya dengan wajah kesal.
“Aku belum menjelaskan sampai beres, tiba-tiba kau menutup ponsel” Keluh Sabiya.
“Jadi, ada apa ini? Siapa dia? Saudaramu?” Tanya Aline penasaran.
Sebagai informasi, Sabiya sebenarnya tidak tahu tentang siapa saja saudaranya. Itulah kenapa Aline menanyakan hal tersebut. Kehidupan Sabiya seolah hanya ayah-ibu saja dan Aline mengetahuinya. Aline adalah orang kedua setelah Davi yang membuatnya percaya bahwa manusia itu baik.
“Aku ceritakan, tapi duduk dulu, ya.”
Keduanya duduk , “Kau sudah makan? Pasti belum, aku pesankan, ya.” Baru saja ia mengambil ponselnya di saku celana, terdengar bunyi ketukan. Kemudian Sabiya berjalan ke arah pintu dan membukanya. Terlihat seseorang yang mengenakan jaket pengantar makanan.
“Atas nama Sabiya? Silakan diambil dan selamat menikmati.” Ia menyodorkan bungkusannya.
Sabiya menerima bungkusan tersebut dengan wajah heran. “Terimakasih.” Ucapnya kemudian.
“Kalau begitu, saya permisi,” Diapun pergi.
Pintu ditutup kembali. Begitupun dengan Sabiya, Aline heran melihat bungkusan yang ada ditangannya. Sabiya duduk dan membuka bungkusannya. Tiba-tiba ponsel yang ada diatas meja berbunyi. Sebuah pesan masuk.
“Makanan sudah sampai? Makanlah yang kenyang.”
Seketika Sabiya tersenyum. Aline yang melihat perubahan wajahnya, langsung berusaha melihat ponsel. Secepat kilat Sabiya menaruh ke saku celana.
“Kau kenapa?” Tanyanya heran.
“Ah, aku harus cerita, kan?” Sabiya berusaha mengalihkan.
“Ya! Sepertinya aku tahu siapa yang mengirimmu makanan.” Ucapnya antusias diiringi senyum nakal.
“Apa maksudmu? Siapa?” Wajah Sabiya menjadi merah.
“Aaahh... wajahmu memerah, hahaha... Aku yakin dia adalah pria yang melamarmu dalam bus itu.” Ucapnya yakin.
Keduanya tertawa, namun ketika sadar diruangan tersebut ada pasien, mereka memelankan tawanya. “Jangan menggodaku.”
Aline melihat pasien menggerakkan tangannya, “Bi...” Ia mengikuti arah mata Aline. Kemudian beranjak untuk menghampirinya.
“Buu..” Ucap Sabiya pelan.
“Kamu siapa?” Tanyanya masih lemah.
“Saya Sabiya, bu... Ibu mengalami kecelakaan, jadi sekarang ibu sedang di rumah sakit.” Jelas Sabiya.
“Jam berapa sekarang? Saya harus pulang.” Ia berusaha bangkit, namun kepalanya sakit dan tubuhnya masih lemas.
“Ibu istirahat dulu, nanti saya antar pulang.” Sambil mengusap bahunya. “Nama ibu siapa?” Tanyanya kemudian.
Kini, tanpa Sabiya menjelaskan pasien itu siapa, Aline sudah paham. Ia melihat perubahan wajah Sabiya, terlihat jelas sedang manahan untuk tidak menangis. Bisa ditebak, sahabatnya itu sedang ingat masa lalu. Pasien tersebut kembali tertidur, karena efek obat bius.
“Ayo, kau harus makan dulu...kalo dingin tidak enak.” Aline merangkul bahu dan mengarahkannya untuk duduk kembali di sofa.
* * * *
Flashback On~
“Kapan kejadian itu terjadi?” Tanya Davi.
Sabiya menoleh sesaat, kemudian kembali menatap kopinya. Melihat ekspresinya, Davi merasa khawatir. “Ah, maaf.” Ucapnya menyesal.
“Kejadiannya saat aku masih kecil.” Ia berdehem untuk mengendalikan perasaannya, “Di hari itu, ibu sedang menuju sekolahku. Kau tahu? Aku menunggunya hingga larut...lalu ayah datang dan membawaku ke rumah sakit.” Lanjutnya mulai meneteskan ar mata. “Aku melihat keadaan ayah sangat kacau, dan aku hanya anak kecil yang tidak bisa apa-apa selain menangis.”
“Lalu apa yang terjadi setelahnya? Ibumu....”
“Dia tidak selamat, bahkan sebelum aku melihatnya.” Sabiya mengusap air matanya.
“Anak yang diselamatkan ibumu, bagaimana keadaannya?” Tanyanya berharap ada sebuah jawaban.
“Aku melihat dia bersama seorang pria dan keadaannya baik-baik saja.” Ucapnya dengan tertawa pelan. Terdengar seperti kecewa.
Flashback Off~
“Apakah dia anak kecil itu?” Gumamnya.
Masih ada dalam ingatan, sebelum ibu yang menolongnya tak sadarkan diri, mata sang ibu melihat ke arah Davi sambil tersenyum, terlihat sangat lemah. Davi yang saat itu terbaring di sampingnya hanya bisa menatap, “Kau baik-baik saja?” Itulah kalimat terakhir yang ia dengar.
Dering ponsel memecah lamunannya, terlihat nomor yang tak diketahui.
“Davi, kau dimana?”
Tiba-tiba suara pria bertanya, membuat keningnya berkerut. “Kau siapa?” Tanyanya penasaran.
“Kau sudah lupa dengan suara temanmu sendiri.” Katanya dengan suara dibuat kecewa. “Malvin.. kau ingat?”
Ya. Ia baru saja ingat. Mereka berteman dari kecil, mulai SD, SMP, SMA, karena orangtua keduanyapun memang berteman dekat juga. Setelah lulus SMA, keduanya melanjutkan kuliah ditempat berbeda dan negara berbeda.
“Apa kau sibuk? Aku baru saja turun dari pesawat.”
“Katakan saja dimana.”
* * * *
Davi tiba di cafe yang disebutkan Malvin, ia melihat seorang pria tengah duduk sembari menyesap kopi. Pandangannya langsung tertuju pada Davi, ia tersenyum lebar dan melambaikan tangan.
“Wah, apa kabar presdir.” Sapa Malvin kemudian.
Davi memilih duduk di hadapan Malvin, “Kau tidak pesankan aku kopi?”
“Hei, kau malah... aaahh, tunggu.” Ia pun pergi dengan wajah kesal.
Beberapa saat kemudian Malvin kembali dengan cup kopi di tangan kanannya. “Kau benar-benar ingin menetap disini?” “Kenapa?” Davi kembali bertanya. “Kau sendiri kemana saja? Selama di Jerman sama sekali tak pernah menghubungiku.”“Pertanyaanmu mengundang perhatian oranglain.” Ucapnya takut.
Davi tertawa, “Hahahaha... Jadi sekarang kaupun kembali kesini?” Tanyanya kemudian.
“Iya, aku akan bergabung dengan ayahku.”
“Waah, ternyata kau telah mengambil keputusan, ya.”
“Ya, aku memilih arsitek.”
“Nah, begitu, dong.” Ucapnya pura-pura bangga.
Tiba-tiba ponsel berbunyi, Davi melihat yang terlihat di layar adalah Aline. Ia menatapnya heran, karena ini adalah pertama kalinya di hubungi setelah mereka bertukar nomor.
“Ibu sudah merasa lebih baik?” Sabiya menatapnya dengan penuh harap, karena pertanyaan itu sudah dia lontarkan berulang kali.
Ibu tersebut mengangguk sembari memakan bubur yang di siapkan dari rumah sakit. “Aku harus membaik karena harus pulang.”
“Nama ibu siapa?”
“Aku Mira.” Jawabnya singkat masih fokus dengan buburnya.Tiba-tiba ia menatap Sabiya , “Kau mau mengantarku?”
Sabiya tersenyum dan mengangguk. Saat itu pintu terbuka dan menampakkan sosok Aline, kemudian tepat di belakangnya adalah Davi. Entah sejak kapan, jika melihat mereka berdua bersama, hatinya terasa sakit. Davi pun terlihat sempat menghentikan langkah ketika kedua mata itu menangkap sosok Sabiya.
“Sudah membaik, ya?” Tanya Aline masih dengan langkahnya mendekat pada Sabiya.
Sabiya tersenyum kikuk, menatap Aline kemudian Davi. “Kau bersama dengan....” Ia menghentikan kalimatnya karena tak seharusnya bertanya kenapa mereka bersama.
Aline manatap ke arah Davi yang berada di seberang mereka, “Oh, aku yang memintanya menemaniku.” Ucapnya berhasil membuat Sabiya melirik ke arah davi, begitupun sebaliknya.
“Setelah mengantar ibu ke rumahnya, kau akan langsung aku seret ke rumahku...jadi aku butuh pria untuk mengangkat barang-barangmu.” Jelasnya sembari melirik ke arah Davi dengan senyum jail. Davi membalasnya dengan tersenyum.
Melihat kedekatan antara Aline dan Davi, membuatnya merasa sedih sekaligus kesal. Sejak kapan? Ia kesal dengan dirinya sendiri. Mira menatap ke arah Sabiya dan Davi bergantian , kemudian tersenyum di tengah aktivitas makannya.
“Hmm.. sebentar, ada yang harus aku selesaikan dulu.” Tanpa mendengar jawaban Aline, ia melangkah keluar ruangan.
“Ah, aku harus menelpon staff-ku dulu.” Ucap Davi.
Davi berbohong. Ia berusaha mengejar Sabiya, dan menarik lengannya sampai tubuh perempuan itu berbalik dan menubruk dada Davi. Jarak mereka sangat dekat. Sabiya menengadahkan kepala, menatap Davi.
“Apa yang kau lakukan?!” Tanya Sabiya kesal dan mendorong tubuh Davi.
Tangan kekar Davi masih memegang lengan kanan Sabiya, Kemudian ia menariknya sampai terlepas. “Ada apa?!” Suaranya terdengar ketus.
“Kau jangan salah paham, antara aku dan Aline....” Kalimatnya terhenti ketika Sabiya tiba-tiba membalikkan tubuhnya, dan mengatakan, “Aku tidak peduli.” Kemudian pergi meninggalkan Davi yang termenung.
Description: Sabiya Larisha--
Ia tidak mempercayai siapapun kecuali ayahnya dan takut akan kebahagiaan.
Davi Allawy--
Baginya petualangan saat ini adalah menemukan seseorang, kemudian menjaganya.
|
Title: Rehat
Category: Cerita Pendek
Text:
Penat
Rasa bosan dan jenuh sudah mendarah daging dalam diriku. Setiap kali aku melihat kalender yang menggantung di pojok kamar, otakku otomatis menghitung sudah berapa lama aku berstatus sebagai pengangguran. Sekarang hari ke-50. Hari aku kembali terbangun dengan perasaan kosong.
Aku melirik jam.
Biasanya aku sudah duduk manis di halte sembari menerka berapa banyak pelanggan yang sudah mengantre pagi-pagi di salah satu restoran Jepang terkemuka di kota ini.
Miris begitu cepat keadaan berbalik, di waktu yang sama bahkan aku tak bisa mengumpulkan niat untuk mandi. Alasannya cukup masuk akal. Pertama, dingin. Kedua, aku mendekam saja di rumah. Jadi, aku sudah terbiasa merapelnya dengan mandi sore.
Aku rindu hiruk pikuk pekerjaan. Wangi khas ramen yang menyeruak di pagi hari seakan menyambutku dari pintu masuk. Wangi yang selalu berhasil mengobati indra penciumanku setelah menoleransi asap kendaraan Ibu Kota. Salah satu koki bergiliran setiap harinya untuk datang lebih awal, menyiapkan beberapa masakan best seller. Ramen salah satunya, makanan favoritku semenjak aku bekerja di sana.
Bayangan masa-masa ketika aku masih bekerja kerap kali membuatku ingin cepat-cepat punya pekerjaan baru. Setiap kali bayangan itu datang, setiap kali itu juga aku mengecek surelku, memastikan tak ada kesempatan yang terlewat. Baterai ponselku selalu penuh untuk berjaga-jaga kalau ada panggilan kerja masuk.
Dengan lesu aku membuang napas, seiring dengan meneguk kenyataan bahwa belum ada satupun surel yang masuk. Belum ada pemberitahuan apapun dari aplikasi lowongan kerja. Tentu saja. Di masa yang sulit ini, siapa pula HRD yang akan merekrut lulusan SMA yang minim pengalaman sepertiku?
Seakan kenyataan itu belum cukup menyebalkan, aku harus menelan kenyataan lain untuk melewati hari-hari panjang bersama Ibu di satu atap yang sama.
Kalau saja tidak ada virus sialan itu, pasti sekarang aku sedang berada dimana pun, kecuali rumah. Dengan adanya peraturan new normal, sebenarnya bisa-bisa saja, asal selalu pakai masker kemanapun. Tapi Ibu, ia tidak akan segan berdiri di ambang pintu untuk mencegatku keluar. Jadi daripada cari perkara, mau tak mau aku harus menerima keadaan.
Menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, membuatku kembali sadar betapa sepinya rumah ini. Tanpa Ayah.
Tadinya bekerja sebagai pramusaji sudah cukup mengalihkan keterpurukanku. Riuh ramai dapur, macam-macam pelanggan dari yang paling baik hingga yang paling menyebalkan, teman kerja yang tulus sampai yang menusuk dari belakang, dan atasanku yang bijaksana bukan main. Kesibukanku sejak satu minggu bekerja di sana membuatku lupa kalau hampir setiap malam aku menangis. Setiap pulang kerja, aku langsung mandi dan kasur tanpa kerangka itu selalu memanggilku untuk tidur. Hampir tak ada waktu untuk mengenang Ayah, apalagi mengasihani diri.
Tapi tidak akhir-akhir ini.
Setiap hari kesunyian rumah sederhana ini diisi dengan deru mesin jahit yang berasal dari kaki Ibu. Tepat saat ia menginjak pedal dinamo. Suara itu lebih terdengar seperti sedang mengolok-olokku. Seperti sindiran halus yang berbisik, “Ibu saja yang kerja, kamu tinggal duduk manis.”
Apa kehilangan pekerjaan juga membuat perasaan seseorang menjadi lebih sensitif? Hanya dengan mendengar suara dinamo mesin jahit, kerap kali aku terbawa pada suasana malam itu.
“Usaha katamu? Ibu itu sudah hafal kelakuanmu, Mel. Kamu itu tipe orang yang nggak bisa menyelesaikan apa yang sudah dimulai. Kalau kamu bukan orang seperti itu, dari dulu Ibu sudah ajari kamu cara menjahit dan meneruskan usaha Ibu.”
Aku tersentak mendengar jawaban Ibu saat aku menyampaikan keinginan untuk berjualan kue bolu. Kalau saja Ayah melihat semangatku seperti saat aku membicarakan hal ini pada Ibu, aku yakin ia akan lebih antusias daripada diriku sendiri. Yang jelas jauh sekali kemungkinan dia akan menjatuhkan semangatku.
Memang betul aku tak punya bakat memasak, tapi semua orang bisa belajar, kan? Sekarang semuanya bisa dipelajari lewat internet. Kalau langsung ditepis dengan opini Ibu seperti itu, niat dan nyaliku langsung ciut. Mirip baju daster murahan yang biasa kubeli di pasar malam—yang setelah dicuci, tiba-tiba menyempit dan akhirnya tidak muat di badanku.
Sekarang helaan napasku membalas suara berisik itu. Jujur saja, biasanya aku tak pernah terganggu dengan suara berisik. Aku meraih ponselku lagi, mencari pengalihan dengan menggulir laman akun Instagram-ku.
***
Kewajiban pertama saat membuka Instagram adalah akun Dimas—baiklah, kau bisa menyebutnya stalking. Aku menyukainya sejak SMA, rumahnya hanya berbeda satu gang denganku. Tidak sepertiku yang lulus SMA langsung bekerja, Dimas menempuh perguruan tinggi di Universitas Negeri Semarang.
Dia tidak mengunggah apapun hari ini, seperti biasa. Kurasa dia memang tipikal orang yang tidak mau mengumbar kehidupan pribadinya di sosial media. Berbeda dengan beberapa temanku yang acapkali mengeluhkan tugas kuliah daringnya.
Mereka tidak tahu, aku sungguh berharap menempati posisi mereka saat ini. Duduk di depan laptop mendengar materi dari dosen dan mengerjakan tugas dari mereka.
Ya, aku ingin kuliah. Namun aku sadar, aku bukan anak yang cukup pintar untuk mendapat beasiswa. Juga bukan anak yang memiliki cukup uang untuk meneruskan pendidikan sampai lulus. Sebetulnya bisa saja aku kuliah sambil bekerja, tapi Ibu menentangnya waktu itu. Katanya aku pasti tidak fokus dan hanya buang-buang uang saja nantinya. Makanya aku langsung bekerja setelah lulus, tanpa rasa lelah, penuh semangat mengumpulkan biaya untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Namun takdir yang mengekor dari adanya pandemi ini membuatku kehilangan pekerjaan. Memadamkan api semangatku.
“Mohon maaf Melva, kami terpaksa melakukan pengurangan karyawan. Ini sama sekali bukan kemauan saya ataupun Bos Rizal. Kami semua tahu kamu sudah melakukan yang terbaik selama bekerja di sini,” kata Bu Risma dengan wajah prihatin, sambil menyodorkan uang pesangon untukku. “Selalu jaga kesehatan, ya. Salam untuk keluarga.”
Atasanku terpaksa memecat tujuh dari sepuluh pramusajinya. Dengar-dengar dari teman yang lain, beberapa koki dan bagian office juga mengalami pengurangan karyawan. Hal Itu terjadi karena penurunan penjualan yang signifikan, serta peraturan pemerintah yang menerapkan sejumlah kebijakan baru. Pengunjung restoran dibatasi, hanya boleh beberapa orang saja dan dengan batas waktu tertentu.
Aku sudah ikhlas. Yang belum bisa aku ikhlaskan hanyalah menghabiskan waktu di rumah tanpa menghasilkan apapun. Menjadi beban Ibu. Menjadi beban bagi diriku sendiri.
Dan suara mesin itu terdengar lagi. Membuatku semakin frustrasi.
Aku kembali mengalihkan perhatian dan jempolku menggulung layar ponsel, melihat berbagai momen kehidupan orang-orang yang disampaikan melalui foto. Ibu jariku ini selalu otomatis mengetuk layar dua kali untuk menyukai apapun yang mereka unggah. Seringkali terbesit dalam benakku, apa aku benar-benar menyukai apa yang mereka bagikan, atau ini hanyalah sebuah kebiasaan?
Mataku terpaku saat melihat foto Dera dengan keluarganya. Dera merangkul ayahnya yang duduk bersebelahan dengan Ibunya di meja makan. Hatiku berdenyut nyeri. Mereka tampak bahagia. Akupun ingin tahu, apa mereka benar-benar bahagia? Foto ini mengingatkanku dengan foto yang pernah aku unggah. Foto bersama keluargaku. Ya, termasuk Ayah. Saat itu, kami pun tersenyum. Tapi tak ada yang tahu, kalau Ibu dan aku tidak sedekat yang terlihat di foto.
Tepat di bawah foto Dera, ada foto Intan. Aku memejam mata sesaat, karena hatiku semakin terasa nyeri. Intan mengunggah kebersamaannya dengan teman-teman barunya. Teman kerja barunya. Padahal kami berjanji untuk saling berkabar jika sudah mendapat pekerjaan baru, dengan harapan bisa saling mengajak salah satu dari kami untuk ikut di perusahaan yang sama.
Tapi aku sadar, di dunia ini aku tak bisa mengandalkan siapapun. Siapapun. Hanya kakiku sendirilah yang bisa menentukan mau terus melangkah dengan harapan atau berhenti. dengan penyesalan.
Mataku buram. Air mataku membendung tiba-tiba.
Aku ingin percaya kalau aku juga punya kesempatan yang sama. Mungkin belum saatnya. Aku pasti bisa mendapatkannya lagi. Pekerjaan baru. Semangat baru.
Di balik pintu kayu yang sudah keropos akibat dimakan rayap itu, aku mendengar Ibu memanggilku. Aku hampir saja larut dalam ratapanku, dan Ibu memanggilku lebih keras.
Aku bangkit menyiapkan diri, menyeka air mata. Yang pasti saat wajahku muncul dari balik pintu, Ibu tidak perlu melihat kesedihanku. Tidak perlu.
Sesal
Aku memutar knop kompor ke kanan. Panci berisi air yang tutupnya melompat-lompat itu seketika berhenti. Perasaan lega menjalari dada saat Ibu sama sekali tak menatap mataku yang tadi setengah basah. Usai memintaku untuk mematikan kompor, dia beranjak dari kursi mesin jahitnya, menyambut seorang pelanggan yang sibuk memanggilnya dari depan pagar.
Wangi tempe orek yang menyembul dari tudung saji menggugah lidahku. Aku memutuskan mengambil sepiring nasi setelah melongok percakapan Ibu dengan seorang wanita yang tampak seumuran dengannya.
Rumah kecil nan sederhana ini menjangkau pembicaraan Ibu dengan pelanggannya walaupun aku berada di dapur. Lamat-lamat, aku memperhatikan lawan bicara Ibu sambil asyik mengunyah. Wanita itu tampak familier, walaupun separuh wajahnya tertutup masker.
"Pesanan lancar jaya ya Bu di masa pandemi? Luar biasa.” Gelak tawanya cukup lantang dari balik masker bercorak batik itu.
“Ah, nggak juga, Bu. Kebetulan saja yang Ibu lihat lagi ada, wong jarang-jarang kok."
Ibu tak membalasnya dengan tawa. Karena aku tahu itu benar. Pesanan Ibu semakin jarang akhir-akhir ini.
“Ini lho, saya mau kecilin jasnya Dimas. Sebentar lagi katanya mau wisuda. Ini jas bapaknya dulu, daripada beli lagi mending pakai yang ada saja, toh?”
Aku tersedak pada suapan terakhir. Benakku memvalidasi kalau wanita itu ibunya Dimas. Lantas bulu kudukku serentak berdiri.
Rupanya Dimas sudah menyelesaikan studinya. Apa berarti dia juga ada di sini? Ya Tuhan, baru dengar begitu saja sudut-sudut bibirku sudah seperti ditabur soda kue, mengembang selebar-lebarnya.
Aku meneruskan sesi menguping ini dengan melangkah lebih dekat. Tentunya dengan alibi menuang air panas tadi ke termos yang ada di meja kecil dekat mesin jahit Ibu. Berharap mendengar informasi tambahan.
“Masih dua bulan lagi Bu, nggak usah buru-buru,” kata Bu Ratna sebelum berpamitan dengan Ibu.
Ternyata masih lama. Padahal mumpung aku di rumah, kan? Bahkan mungkin Dimas sudah lama ada di sini semenjak kuliah daring. Duh, jiwa intelku bergelora kalau sudah soal Dimas.
“Dimas katanya sebentar lagi wisuda," kata Ibu yang tiba-tiba sudah masuk lagi menuju singgah sananya di kursi mesin jahit. Lamunanku yang sempat buyar kembali muncul saat melihat jas hitam yang dikeluarkan dari plastik putih oleh Ibu. Sekelebat bayangan Dimas mengenakan jas itu hampir membuatku tak sanggup menahan senyum. Oh, cukup. Cukup.
“Iya, Bu,” jawabku seadanya karena sepasang indera pendengaranku sudah bekerja dengan sangat baik tadi.
“Kamu belum dapat panggilan kerja?” tanya Ibu sebelum aku sempat mengalihkan pandangan.
Nadanya yang setengah sarkas membuat hidungku otomatis menghirup sebanyak-banyaknya udara dan mengembusnya kasar. Aku tahu itu tidak sopan, tapi aku harus tetap sepenuhnya berada dalam kendali. Aku teringat bagaimana Ibu menentang mentah-mentah ideku untuk berjualan, tapi sekarang malah bertanya soal panggilan kerja.
“Belum ada, Bu,” jawabku setenang mungkin. Termos yang kuisi air panas ini sudah penuh daritadi, jadi aku buru-buru ke dapur menaruh panci, sekalian mencuci piring bekas makanku tadi. Sengaja berlama-lama di dapur, menghindari suasana canggung ini.
“Tadi pagi Ibu beli koran di pasar. Coba kamu cari, siapa tahu dapat,” celetuk Ibu setengah acuh tak acuh saat aku muncul lagi di hadapannya. Kamarku bersebelahan dengan kamar Ibu, dimana kamarnya tepat berhadapan dengan singgah sananya itu. Aku tak punya kesempatan untuk menghilang dari pandangannya.
“Bu, tapi zaman sekarang ada aplikasi buat cari lowongan kerja. Aku sudah bolak-balik melamar lewat sana, tapi belum juga dapat. Apalagi lewat koran, Bu?” Segumpal kekesalanku terdengar jelas. Kendati demikian, ada sedikit rasa sesal yang menggelitik.
Ibu terdiam sesaat di depan mesin jahit sebelum menatapku. Tatapan yang tak bisa aku jelaskan. Apa dia marah? Kecewa? Apa dia merasa aku seperti beban yang membuatnya susah? Di saat dia tahu bahwa teman sekolahku dulu sudah mau wisuda. Atau, apa Ibu malu?
Tidak. Tidak, Bu. Aku lebih malu.
“Kamu itu keras kepala,” katanya tiba-tiba. Air mukanya kini terlihat lebih jelas. Keras. “Ibu dan Bapak nggak ada yang begitu. Ibu heran kamu dapat sifat itu darimana.”
“Bu!" Lepas lah sudah benteng pertahanan emosiku. "Kemarin aku bilang mau coba usaha, tapi aku langsung ditentang mentah-mentah. Padahal Ibu juga belum dengar rencanaku sampai tuntas. Sekarang aku belum dapat panggilan kerja, Ibu malah desak aku."
Air mataku mengalir bersama kalimat penuh tekanan itu.
"Apa Ibu malu punya anak kayak Melva?” tanyaku tanpa dipikir. Lagipula aku sudah terlanjur basah dengan luapan perasaanku.
“Jangan mengada-ada kamu, Melva!” sahut Ibu dengan melebarkan matanya bulat-bulat di balik kacamatanya. Dengan demikian bu sudah ikut menyeburkan diri dalam lautan emosi yang kami ciptakan. Dan aku tidak siap tenggelam.
Sungguh, rasanya aku ingin ke luar dari rumah sekarang juga. Mencari ruang demi ketenanganku. Tapi seberapapun aku menginginkannya, aku masih peduli pada Ibu. Karena pandemi sialan ini, pelarianku hanyalah kamar. Tentu saja aku takut jika sampai kemarahanku membuat imunku turun dan mudah terserang virus, lalu tanpa sadar menularkannya pada Ibu. Dia sudah hampir menginjak kepala enam. Jauh lebih rentan daripada aku.
Ah, bisa-bisanya masih terbesit kepedulianku padanya.
Aku membenamkan wajah di bantal, seakan bisa membenamkan pikiran-pikiran buruk sekaligus. Memejam mata tak mengurangi efek samping dari membentak Ibu. Masih terngiang bagaimana mulutku menyampaikan ketidaksetujuanku soal cara Ibu mencarikanku kerja.
Perasaan menyesal dan tidak berguna pelan-pelan menyelimuti hatiku.
Apa aku keterlaluan? Padahal Ibu sudah berusaha mencarikanku kerja sampai beli koran segala. Lagipula kalau aku usaha, tabunganku untuk kuliah harus dikorbankan untuk modal. Ibu tetap kukuh dengan keyakinannya kalau aku tidak bakat untuk buka usaha. Lantas, buat apa aku masih membahasnya saat ia repot-repot membantuku supaya dapat pekerjaan baru?
Pertarungan antara ego dan akal sehatku berakhir pada kesadaran, bahwa akulah yang salah. Dan sikapku tadi malah semakin memperkeruh hubunganku dengannya.
Andai ada Ayah, aku akan meluapkan pikiranku hingga merasa lebih baik. Tapi Ayah tidak ada di sini. Jadi aku betah berlama-lama dengan air mata dan membiarkan pikiran penuh penyesalan berlalu lalang dalam kepalaku.
Posisiku masih telungkup saat kudengar derit pintu reyot membuka pelan-pelan.
Aku tahu Ibu masuk ke kamarku. Menatap dalam senyap.
Istirahat
“Nak, hidup ya memang begini. Susah-susah gampang.” Laki-laki berjenggot tipis dan berbadan besar itu tersenyum menatapku. Wajahnya bringas, tapi tutur katanya begitu ramah. Seramah senyumannya yang menghangatkan hati.
Hamparan berbagai jenis bunga mengisi taman yang lengang ini. Kami duduk di pinggir kolam yang menampung ikan-ikan koi besar. Damai, tentram.
"Tapi kamu harus tetap hidup, karena kamu masih hidup. Jangan pernah salahkan keadaan, Nak. Semua yang terjadi sudah digariskan Tuhan. Nggak ada gunanya menentang takdir.”
Air mataku lepas landas, mendarati pipi hingga mulut. Aku menangis terseguk-seguk tanpa berusaha menahan, yang kemudian langsung diseka oleh laki-laki itu.
“Aku Lelah, Yah. Aku mau ikut Ayah," keluhku.
Tangan Ayah beralih ke puncak kepalaku, mengusap rambutku dengan lembut. “Ayah tahu, Nak, Ayah tahu.”
Kedua tanganku memeluk Ayah erat-erat. Tangisanku meledak dalam dekapannya.
“Kamu tahu nggak?” tanya Ayah yang kini menarik badanku dan menatapku lekat. Tepat di manik-manik mataku. "Ibu itu sayang banget, lho, sama kamu. Ibu selalu berharap punya anak perempuan, dan muncul lah kamu dalam rahimnya. Waktu di USG dan ternyata tahu kalau kamu perempuan, sehari semalam dia habiskan cuma untuk cari nama kamu di buku nama-nama bayi.”
Taman itu sangat nyaman. Matahari sedang terik-teriknya menerpa wajah kami di tengah taman, tapi tidak membuat kami kepanasan. Dan suara Ayah, terdengar begitu jelas di telingaku. Seakan tempat ini memang tercipta untuk kami.
“Lalu apa yang Ibu dapat dari nama Melva, Yah?” tanyaku, tepat setelah mendengar kicauan burung di atas kepala kami.
“Melva itu artinya berani, cerdas, dan pekerja keras. Nama itu seperti doa yang menjelma jadi dirimu yang sekarang.”
Doaku untuk Ayah selalu kupanjatkan setiap malam. Begitu pula untuk Ibu. Aku tahu betul mereka menyayangiku, mungkin dengan cara yang tidak sama. Mungkin Ibu memang terlahir dingin dan pelit kata, atau tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mendidik anak keras kepala sepertiku.
Pipiku benar-benar basah saat terbangun. Ayah terasa sangat nyata. Caranya membelai rambutku, suaranya yang berat dan bijaksana, caranya menatap wajahku dengan senyum yang paling kurindukan. Ayah datang lewat mimpi, dan pesannya tentang Ibu seolah menjadi kenyataan.
Koran yang Ibu beli ada di dekat pintu. Aku yakin Ibu meletakkannya di sana saat melihatku pura-pura tidur—hingga benar-benar tertidur.
Ada beberapa lowongan yang digaris bawahi dengan pulpen merah. Kurasa Ibu mencari pekerjaan mana yang kira-kira cocok denganku. Aku yang cengeng ini kembali menangis haru, membayangkan betapa sabarnya Ibu.
***
Aku sudah mengirim lamaran lewat surel pagi ini. Sedikit harap-harap cemas, lalu menguntai doa dalam hati, berpasrah. Ibu sudah membantuku. Dengan doa serta usaha Ibu, aku percaya jalanku dipermudah.
Tentu aku ingin berterima kasih dan meminta maaf padanya. Tapi aku tak yakin punya cukup keberanian, bahkan hanya untuk melihat wajahnya.
Dan ketika aku membuka pintu kamar, seperti biasa, Ibu duduk di depan mesin jahit. Kedua alisnya bertaut, matanya menyipit di balik kacamatanya. Fokus sekali memasukkan benang pada lubang jarum di mesin jahitnya.
Aku yang punya salah ini hanya berdiri kikuk di depan pintu. Lidahku kelu. Tak berani menyapa atau sekadar bertanya apa yang sedang dia lakukan. Aku yakin penglihatan Ibu sudah cukup buruk untuk memasukkan benang ke lubang kecil itu.
“Ibu masak sayur asem,” ucap Ibu tanpa melihatku.
“Iya, Bu. Ibu sudah makan?” tanyaku spontan.
“Ibu mah gampang. Kamu makan saja dulu.”
Tanpa menjawab lebih banyak, aku mengambil sepiring nasi dan makan dalam hening. Selalu seperti ini. Ibu yang pelit kata, aku yang tidak peka. Hanya Ayah yang sudah terbiasa menjadi jembatan kami.
Hening begitu kentara karena Ibu belum menginjak pedal dinamo. Kami berenang dalam pikiran masing-masing.
“Mel, kalau makannya sudah, tolong antar ini ke rumah Bu Ratna." Ibu mengacungkan beberapa bungkus masker kain yang dibuatnya.
“Sekarang Ibu jual masker kain?” tanyaku polos. Setahuku Ibu memang tidak pernah menjahit apapun selain pakaian.
“Ibu cuma iseng bikin, jadi keterusan.”
Aku mengangguk paham sekaligus menyudahi percakapan.
Tunggu. Tadi Ibu bilang ke rumah Bu Ratna? Bu Ratna ibunya Dimas? Spontan jantungku berdegup tak normal mengingat putranya yang merantau itu mungkin saja sudah pulang.
Usai mencuci piring dengan menggebu-gebu, aku menghampiri Ibu untuk mengambil masker itu di tepi meja mesin jahitnya.
“Yang kemarin Ibu kasih, kamu sudah coba lamar?” tanya Ibu seperti berusaha menghentikanku untuk langsung meluncur ke rumah Bu Ratna.
Dari jarak sedekat ini, aku dapat melihat jelas guratan-guratan halus di sekitar mata dan pipinya. Menyadari rambutnya yang sudah lebih banyak memutih dari yang terakhir kulihat.
Dan aku sadar, tersirat perhatian dari caranya bertanya.
“Sudah, Bu. Tadi sudah aku kirim lamarannya.”
“Jangan lupa berdoa.”
Aku mengiyakan sambil mengambil masker-masker itu.
“Ibu nggak kasih izin kamu jualan, karena Ibu tahu itu bukan ladang kamu,” kata Ibu tanpa basa-basi. Tangan kanannya menggulung roda mesin jahit untuk mengangkat jarum pada kain, dan beberapa kali matanya melirikku. Kurasa dia sudah paham kebiasaanku yang sering menghindar dari suasana seperti ini.
Ya, si pengecut ini terbiasa lari dari kenyataan. Seperti saat sebelum pandemi ini datang, aku pernah kabur dari rumah saat ada perbedaan pendapat dengan Ibu. Teringat perkataan Ayah semalam dalam mimpi, kali ini aku memilih diam, membiarkan Ibu membawa obrolan ini.
“Kamu itu butuh banyak istirahat."
“Setiap malam juga istirahat, Bu. Tidur.”
Ibu tergelak sesaat.
Mendengar Ibu melunak seperti ini walaupun masih terlihat agak cuek, aku memutuskan untuk menarik bangku kecil di dekat Ibu. Berusaha mendengarnya. Lebih dekat.
“Dulu kamu itu kalau berangkat kerja selalu terburu-buru,” Ibu menjelaskan dengan nada yang semakin lembut, membuatku langsung bisa membayangkan masa-masa saat aku bekerja di restoran. "Padahal hampir setiap hari pulangnya malam."
Betul. Aku selalu takut terlambat karena uang makanku bisa-bisa dipotong. Saat pulang dari lembur, Ibu selalu ada di dekat pintu, duduk di depan mesin jahitnya. Menungguku. Ya, kurasa begitu. Karena kalau aku tidak lembur, biasanya dia sudah ada di kamarnya.
Dan aku baru menyadari perhatian sesederhana itu dari pernyataan Ibu barusan.
“Ibu mana yang tahan lihat anak semata wayangnya bekerja sekeras itu, Mel? Sedangkan Ibunya setiap hari duduk di depan mesin jahit tua ini. Kalau ada pesanan ya kerja, kalau lagi nggak ada, ya, paling bengong. Membayangkan kamu banting tulang buat biaya kuliahmu nanti.”
Sepanjang sejarah, kurasa baru kali ini Ibu membuka percakapan intens. Kenyataan itu membuat ujung-ujung jari tangan dan kakiku dingin. Entah bagaimana, aku gugup menantikan kalimat Ibu selanjutnya. Namun tetap memasang telinga dengan perasaan canggung dan haru.
Ada jeda yang cukup panjang sebelum Ibu menyambung lagi, “Kalau kamu jualan, Ibu lebih nggak tega lagi karena Ibu lihat kamu mati-matian cari uang di depan mata Ibu langsung. Kalau Ibu lagi ada pesanan jahitan juga, Ibu nggak bisa bantu.”
“Tapi tadi Ibu bilang itu bukan ladangku. Ibu tahu darimana?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Kalau kamu tiba-tiba diterima kerja, kamu pasti bimbang mau pilih yang mana. Kamu akhirnya akan pilih kerja, tapi kamu merasa bersalah karena meninggalkan usaha kamu, padahal belum balik modal. Akhirnya kamu korbanin diri kamu buat menjalankan dua-duanya. Biar cepat terkumpul uang kuliahnya. Kayak Ibu nggak kenal kamu aja, sih,” Ibu menatapku sinis, tapi terlalu lucu untuk di bilang sinis. Kepalanya setengah miring dan bibirnya hampir mengerucut saking semangatnya menjelaskan.
Aku tersentuh. Kurasa Ibu melihatku menangis kemarin, hingga membuatnya sanggup membuka percakapan yang terasa sangat asing bagi kami ini. Aku tulen keturunan Ibu, dengan sikap kami yang sama-sama terlihat keras dari luar, tapi lunak di dalam.
“Makasih, Bu,” langsung kucium pipinya. Merengkuhnya dengan kedua tanganku. Membiarkan air mata yang kutahan daritadi menetes di pundaknya. Membiarkan tangannya mengelus pundakku.
Dan kami meledak dalam tangis.
“Maaf Melva sering bikin Ibu susah,” kataku sambil terisak.
“Ibu yang bikin masa depanmu susah, Nak. Dari dulu kamu nggak mendapat yang kamu inginkan seperti anak lainnya. Seandainya waktu Ibu masih muda—”
“Bu, Melva nggak pernah menyesal punya Ibu, punya Ayah. Apapun kondisi kita sekarang, itu sama sekali nggak mengurangi rasa sayang Melva, Bu,” aku memotong Ibu sembari menarik badanku, menatap sepasang mata sayu di balik kacamata itu. Kalimat yang meluncur begitu saja dari mulutku membuat darah dalam tubuhku berdesir. Rasanya malu, tapi hangat.
Kurasa Ayah tak hanya mampir ke mimpiku, tapi juga mimpi Ibu. Dia berusaha menjembatani kami.
Aku terlampau sering membandingkan diri dengan segala isi sosial media. Merasa kecil, merasa belum jadi apa-apa dan tidak menghasilkan. Padahal, rezeki itu tak selalu berbentuk uang maupun pekerjaan. Padahal, masih ada Ibu. Ibu sehat, aku sehat, dan kami saling berjuang untuk tetap hidup.
“Melva antar maskernya, ya,” ucapku menyudahi percakapan penuh haru dan kaku ini. Sama kakunya seperti senyuman Ibu yang melihatku sekarang.
“Jangan mampir, ya. Di depan pagar saja,” Ibu lagi-lagi mengingatkan. Kami berdua sudah menyeka air mata, tapi mata Ibu masih tampak sedih.
“Masa mau mampir lagi kondisi begini. Nggak lah, Bu,” aku memeluknya. Sekali lagi.
Aku masuk ke kamar untuk memakai masker dan merapikan rambutku. Lebih tepatnya, mengambil sedikit waktu untuk menenangkan diri, karena percakapan tadi sungguh membuat hormon serotoninku meningkat berlipat-lipat.
Di balik maskerku ada senyum merekah seiring perjalananku ke rumah Bu Ratna. Bukan hanya karena sudah berbaikan dengan Ibu ataupun kesempatanku bertemu dengan Dimas, ada satu lagi hal baik yang terjadi hari ini.
Saat tadi hendak membuka pagar, ada notifikasi masuk dari surelku. Panggilan wawancara kerja.
Description: Dari semua orang yang benci dengan hadirnya pandemi di tengah kehidupan normal, Melva melabeli dirinya lah yang paling membencinya.
Ketika teman-teman seusianya menghabiskan waktu dengan kuliah daring atau punya quality time dengan keluarganya, Melva justru kehilangan pekerjaan.
Perasaan gundah menjadi teman sehari-harinya karena merasa jadi beban bagi Ibu.
Satu-satunya yang dimilikinya.
Satu-satunya yang diharapkan memiliki kepribadian sehangat mendiang Sang Ayah.
Halo, saya Jessy Daisy, dengan akun IG @itsjessydaisy
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri
|
Title: Reya
Category: Teenlit
Text:
Prolog : Putri dan Pangeran
Anak laki-laki itu hanya diam menatap gadis kecil yang asik dengan bonekanya. Dan tak jauh dari gadis kecil itu, anak laki-laki yang seumuran dirinya juga sedang bermain bola dengan beberapa anak lainnya.
"Cici mau minum? Sebental ya Leya ambilin"
Suara khas cadel anak perempuan itu terdengar menyenangkan di telinganya. Rendy mendekat, ingin semakin jelas mendengarkan suara menyenangkan gadis kecil itu.
"Sendirian?" tanya Rendy yang sudah ikut duduk lesehan beralaskan tikar di sebelah gadis kecil menggemaskan itu. Aleya menoleh menatap polos anak laki-laki yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahnya.
"Leya sama Abang" jawab Aleya "Itu lagi main bola" tunjuk Aleya kesalah satu kerumunan anak laki-laki yang sedang bermain bola.
Rendy mengikuti arah tangan Aleya. Lalu tersenyum menatap Aleya yang sudah kembali asik dengan boneka kelincinya. Terkikik lucu entah apa yang membuat gadis kecil itu tertawa hanya karena sebuah boneka kelinci. Terkadang tangan mungil itu bergelut dengan cangkir mainan dan beberapa alat makan lainnya.
"Leyaa" jerit anak laki-laki dengan bola di tangannya. Aleya yang sedari tadi asik dengan mainannya itupun menoleh. Lalu tersenyum melambaikan tangannya.
"Abang" teriaknya lucu
"Ayo pulang"
Aleya mengangguk, lalu mengemas semua mainannya kedalam tas ransel berwarna pink dengan motif barbie kesukaannya.
"Dadah pangelan" Aleya tersenyum sambil melambaikan tangannya "Aleya pulang dulu" gadis kecil itu berlari menuju kakaknya. Meninggalkan Rendy yang masih terdiam menyaksikan keduanya yang semakin menjauh dari pandangannya.
Detik itu, Rendy yang baru berumur 7 tahun sudah terpesona oleh gadis kecil berumur 5 tahun yang bahkan baru pertama kali ia lihat.
Rendy menggenggam erat sesuatu di tangannya. Sebuah gantungan kunci berbentuk barbie yang sengaja Rendy ambil dari tas Aleya. Menatap bayangan kecil Aleya dari kejauhan dengan penuh pengharapan.
"Semoga kita bertemu lagi, Princes. Pangeran menunggumu"
Afriaswara High School
"Adek buruan!! Abang udah telat ini" teriakan Lingga menjadi sarapan Aleya pagi ini. Pasalnya hari ini awal masuk sekolah setelah libur sekolah ajaran baru. Dan ini adalah hari pertamanya menjadi siswi SMA.
"Sebentar, Bang. Leya lupa nyimpan name tag dimana" balas Aleya, membuat Lingga semakin gusar menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ditunggu sebentar atuh, Bang" suara lembut itu mengalihkan Lingga yang sedang gusar. Laras datang dengan secangkir kopi dan dua gelas susu, lalu meletakkannya di meja makan.
"Bunda, Abang itu ketua OSIS. Masa telat sih. Hari ini juga ada persiapan untuk MOS"
Lingga memilih duduk dan meneguk susu yang Laras bawa. Lalu kembali menatap jam tangannya.
"Ayah mana, Bun?" tanya Lingga. Tumben pagi ini ia belum melihat Ayahnya dimeja makan. Biasanya Ayahnya selalu menjadi yang pertama duduk menemani Bunda dimeja makan.
"Ayah lagi siap-siap. Kamu aja yang kecepatan, Bang" jawab Laras. Lingga mendengus kesal.
"Ayo, Bang!" Ajak Aleya yang datang dengan cukup berantakan. Name tag yang terpasang miring, topi kerucut dari kertas karton yang belum terpasang sempurna, tangannya bahkan masih sibuk merapikan kepangan rambutnya yang di ikat dengan tali rafia warna pink sesuai dengan team kelompoknya nanti.
"Sarapan dulu, Dek" Laras menyuapkan sesendok nasi goreng yang diterima dengan senang hati oleh Aleya.
"Tumben udah siap duluan dari pada Ayah" ucap Arya menatap istri dan anaknya sudah berkumpul di meja makan.
"Hari pertama sekolah, Yah. Ndak boleh telat" jawab Aleya, lalu meneguk susu yang di sodorkan Laras.
Arya mengangguk, beralih menatap Laras dan mengecup puncak kepala sang istri.
"Kopi Ayah mana?" tanya Arya. Laras tersenyum menyerahkan secangkir kopi hitam kepada pemiliknya.
"Lingga berangkat ya, Yah. Bun" pamit Lingga menyalami tangan kedua orang tuanya. Disusul Aleya melakukan hal yang sama.
"Dadah Ayah, dadah Bunda" Aleya melambaikan tangannya sambil berlari-lari kecil menyusul langkah lebar Lingga yang sudah berada jauh di depannya.
❄️❄️❄️
Aleya menatap sekeliling lapangan yang sudah penuh dengan murid baru walaupun acara MOS belum dimulai. Banyak yang sudah berkumpul dengan kelompoknya masing-masing sesuai dengan warna topi, name tag dan tali rafia yang mereka kenakan. Aleya semakin memperluas pandangannya. Mencari team yang menggunakan atribut MOS dengan warna pink sesuai dengan warna yang ia kenakan.
"Yesss!" Aleya bersorak girang begitu melihat kelompoknya ada di ujung barisan paling kanan. Aleya pun langsung menghampiri team kelompoknya.
"Hallo" sapa Aleya yang langsung menarik perhatian mereka semua. Tak berlangsung lama, karena setelahnya, mereka semua kembali asik dengan kegiatan masing-masing. Senyum Aleya pudar.
"Hallo team" balas salah satu diantara mereka. Cewek cantik yang bahkan langsung mengulurkan tangannya "Gue Citra"
Senyum Aleya kembali terbit, setidaknya ada satu orang yang balik menyapanya "Aleya" ucap Aleya membalas uluran tangan Citra.
"Tes.. Tess..."
"Selamat pagi semua"
Baik Aleya dan Citra tidak ada yang bisa kembali membuka suara begitu sang ketua OSIS membuka acara MOS.
"Pagi kakkkkk!!!" jawab murid-murid serentak.
"Saya Lingga Adi Pradana selaku ketua OSIS di Afriaswara High School dan yang akan membimbing kalian selama Masa Orientasi Siswa..."
"Cakep sumpah!"
"Nikmat mana lagi yang kau dustakan wahai kaum hawa"
"Duhh, jadi selingkuhan aja gue mau njir"
"Kak Lingga kok cakep banget sih!"
Aleya hanya melongo tak percaya mendengar gumaman-gumaman dari para siswi yang tak sengaja ia denger.
Lingga? Abangnya? Cakep? Yang benar saja ?
"Untuk yang tidak memakai atribut lengkap, silahkan buat barisan terpisah. Dan yang sudah memakai atribut sesuai peraturan, silahkan cari 10 tanda tangan senior yang sudah di tentukan. Lembar kertas tanda tangan sudah disediakan dan akan dibagikan oleh kak Laura. Terimakasih"
Barisan bubar setelah Laura membagikan kertas tanda tangan kepada para murid. Semua berhamburan mencari nama senior yang sudah tertera di lembar kertas mereka masing-masing. Dan di pojok barisan terpisah beberapa murid yang sedang di hukum oleh panitia karena tidak memakai atribut sesuai peraturan.
"Kok MOS-nya disuruh tanda tangan-tanda tangan gini" gumam Aleya pelan. Citra yang berajalan disampingnya terkikik pelan.
"Seru kok, Ya. Tujuannya itu untuk bikin kita lebih kenal sama senior-senior di sekolah. Lagi pula nggak semua murid dapat nama senior yang sama. Tapi karena tadi kita barisannya sama jadi kita dapat lembar yang sama"
Aleya menatap Citra disampingnya. Yah, setelah perkenalan singkat mereka tadi, mereka memilih untuk mencari tanda tangan senior bersama-sama. Lagi pula Aleya nenyukai Citra sejak pertama kali melihatnya.
"Citra kok tau?" tanya Aleya.
"Ssstttt... Gue kasih tau tapi lo jangan bilang siapa-siapa ya" bisik Citra. Aleya menganggukkan kepalanya persis seperti anak kecil.
"Abang gue Waketos disini"
"Wahhhh" Aleya bergumam takjub. "Hebat" Aleya memperlihatkan kedua ibu jarinya. Tersenyum hinggak kedua matanya tak terlihat.
"Let's go! Waktunya selesaikan misi"
Keduanya berlalu dengan senyum yang semakin mengembang.
❄️❄️❄️
"Rendy Afriaswara" gumam Aleya membaca list nama terakhir yang harus mereka minta tanda tangannya "Kok namanya nggak asing ya"
"Dia anak pemilik sekolah" jawab Citra, lalu meneguk minuman isotoniknya yang tadi mereka beli di kantin sekolah. Saat ini mereka sedang duduk lesehan di rerumputan taman.
"Kok Citra tau lagi" tanya Aleya heran.
"Leya, lo nggak baca nama sekolah kita apa?"
"Afriaswara High School"
"Nah, tu tau"
Aleya menganggukkan kepalanya, mulai mengerti "Keren ya. Sekolahnya di sekolahan sendiri"
"Tapi lo jangan macem-macem sama dia"
"Emang kenapa?" tanya Aleya
"Astaga Leya, lo sama sekali belum tau siapa Rendy Afriaswara?"
"Anak pemilik sekolah kan?"
"Dengerin gue baik-baik ya. Kak Rendy sama temen-temennya itu suka berantem, suka ikut tawuran, jadi nggak ada yang berani ganggu mereka. Pernah ni ya, ada yang nggak sengaja nabrak kak Rendy terus bajunya kotor ketumpahan minuman, besoknya nggak masuk karena pindah sekolah"
"Emang guru-guru nggak ada yang negur?"
"Karena kak Rendy anak pemilik sekolah. Siapa yang berani negur atau ngeluarin anak dari pemilik sekolah"
"Kak Rendy itu nggak gantle ya. Mentang-mentang anak pemilik sekolah bisa seenaknya gitu"
"Jadi menurut lo, enaknya diapain anak baru yang punya mulut kurang ajar kayak lo?"
Keduanya terkesiap, lalu menoleh kebelakang melihat sosok tampan yang bersandar di pohon dengan tangan terlipat di dada.
Menatap Aleya dengan tatapan tajam, siap menerkam.
"Kak Rendy" lirih Citra pelan, sedangkan Aleya menatap bingung cowok itu.
❄️❄️❄️
Tadaa.....
Bagian satunya udah di publish. Semoga suka ya ☺️
Jangan lupa like sama commentnya ?
Kalau ada salah kata atau typo jangan sungkan kasih tau aku ya. Biar langsung aku perbaiki ☺️
Follow me :
Instagram : Siskahaling
Facebook : Siska Friestiani
Twitter : Siskahaling
Salam sayang,
Siska Friestiani
Senior Rese'
"Jadi menurut lo, enaknya diapain anak baru yang punya mulut kurang ajar kayak lo?"
Rendy menatap tajam gadis kurang ajar menurut versinya itu. Tangannya ia lipat di depan dada dengan tatapan mengintimidasi. Namun yang di tatap balas menatap dengan tatapan tak bersalah. Bingung lebih tepatnya.
Citra buru-buru bangun dari duduknya. Lalu menunduk sambil bergumam lirih "Maaf kak, maaf udah berkata lancang"
"Citra kenapa minta maaf gitu?" tanya Aleya bingung, lalu beralih menatap Rendy "Kakak siapa?" tanya Aleya masih dengan wajah polosnya.
Citra ingin sekali menyumpal mulut Aleya agar berhenti bicara. Dan Rendy semakin kesal dengan murid baru itu.
"Lo nggak kenal siapa gue?"
"Kan kita belum kenalan kak" jawab Aleya lagi. Membuat jarum kemarahan Rendy tersulut ke angka 5.
"Leyaa....." bisik Citra gemas "Dia itu kak Rendy" tambah Citra kemudian.
"Kakak kak Rendy?" tanya Aleya, wajahnya berbinar senang.
"Kebetulan kak, kami lagi nyiriin kakak mau minta tanda tangan" Aleya berlari kecil mendekati Rendy, tersenyum. Lalu menyodorkan lembar kertas tanda tangan yang tersisa satu kolom belum terisi.
"Gue nggak mau" tolak Rendy datar. Aleya mengerucut kesal.
"Kakak harus mau, nanti aku dimarahin sama kakak panitia"
"Bukan urusan gue" lagi, Rendy menjawab dengan datar.
Aleya menghembuskan napasnya lelah. Lalu menoleh ke belakang "Citra sini bantuin aku minta tanda tangan kak Rendy"
Citra mengumpati sikap polos teman barunya itu. Cantik sih, tapi polos nggak ngerti situasi. Rasanya citra mau kabur aja.
"Kak maafkan teman saya ya" ucap Citra dengan nada menyesal.
"Lo minta tanda tangan juga?" tanya Rendy yang dijawab Citra dengan anggukan. Lalu terkejut karena tiba-tiba Rendy merebut kertasnya.
"Udah gue tanda tangani. Sekarang lo pergi. Gue masih ada urusan sama temen lo"
Rendy menyerahkan lembar kertas miliknya. Citra menerimanya ragu-ragu.
"Tapi kak..."
"Lo pergi sekarang kalau masih mau sekolah disini" perintah Rendy mutlak. Citra mengangguk. Lalu menatap Aleya dengan tatapan menyesal sebelum akhirnya beranjak dari sana meninggalkan Aleya dan Rendy berdua.
"Kakak kok galak-galak gitu" Rendy mendelik mendengarnya. Anak baru kurang ajar. Udah bilang dia gak gantle sekarang galak.
"Kakak jangan melotot, serem. Nanti matanya keluar"
Rendy tidak tau lagi sampai dimana batas kesabarannya saat ini. Jika tadi jarum kemarahannya ada di angka 5. Sekarang naik ke 8.
"Lo, anak baru. Tapi udah kurang ajar" hardik Rendy. Aleya menggeleng tidak setuju.
"Aku bukan kurang ajar kak. Leya cuma kurang tanda tangan"
Leya menyerahkan kembali lembar kertas tanda tangannya. Lalu tersenyum lebar hingga kedua maniknya tidak terlihat "Jadi sekarang kakak tanda tangan, biar aku nggak dimarahin kakak panitia"
Rendy mendengus di tatap seperti itu oleh Aleya.
"Jadi...." Rendy menggantung ucapannya. Tangannya diselipkan disaku celana. Lalu menunduk menyamakan tingginya dengan Aleya yang hanya sebatas dadanya. Rendy bahkan bisa melihat wajah putih bersih milik Aleya dan deru nafas gadis itu.
"Kita lihat, hukuman apa yang mereka kasih kalau lo nggak dapat tanda tangan gue"
❄️❄️❄️
Aleya memungut sampah terakhir dimasukkan ke karung sampah. Dihiraukan wajahnya yang penuh keringat. Aleya harus segera menyelesaikan hukumannya agar ia bisa segera pulang.
Ini semua gara-gara kakak senior galak itu. Anak pemilik sekolah, yang suka marah-marah.
Memangnya salah dia apa coba? Sampai Kakak senior itu nggak mau kasih tanda tangannya.
"Leya?!"
Aleya menoleh, Citra datang, membawa dua botol minum ditangannya.
"Minum dulu" tawar Citra, Aleya menerima botol minum yang disodorkan Citra, lalu meneguknya hingga isinya tersisa setengah.
"Makasih ya, Cit" ucap Aleya. Citra mengangguk.
"Udah gue bilang kan Ya, jangan cari masalah sama kak Rendy"
"Aku kan nggak cari masalah" sangkal Aleya sembari melangkah ke kursi kayu di bawah pohon. Mengistirahatkan tubuhnya disana.
"Citra lihatkan tadi aku cuma minta tanda tangan kak Rendy bukan cari masalah" Aleya menggembungkan pipinya kesal membuat siapa saja gemas melihatnya.
Citra menyusul Aleya, duduk disebelah gadis imut itu.
"Lo tadi itu namanya cari masalah" ucap Citra lebih tegas "Lo nggak sadar apa kalau kak Rendy denger omongan lu yang bilang dia nggak gantle" ingat Citra.
Aleya mendengus "Tapi kan bener kak Rendy itu nggak gantle. Cuma karena..."
"Sstttt..." potong Citra. Nyaris ingin menyumpal bibir Aleya dengan botol minuman.
Ck, gimana kalau Kak Rendy denger lagi coba.
"Jangan di ulang lagi. Kalau kak Rendy denger lagi mampus lo" kesal Citra. Aleya mengangkat bahunya acuh. Lalu meneguk kembali minumannya.
Dasar Aleya!!
❄️❄️❄️
"Katanya kamu tadi di hukum dek?" tanya Lingga yang kini sedang fokus menyetir. Sesekali menatap adiknya yang sedang fokus dengan ponsel miliknya. Entah apa yang sedang adiknya itu mainkan di ponselnya.
"Hmm" jawab Aleya.
"Kenapa?"
"Karena kakak senior rese yang suka marah-marah"
Lingga mengernyit mendengar jawaban Aleya. Apa ada yang menggangu adiknya disekolah?
Ia tadi memang tidak mengikuti acara MOS sampai selesai. Ia harus mendampingi Mr. Joe dan ia mengamanahkan acara MOS kepada Edo, wakilnya.
"Ada yang ganggu kamu disekolah?" tanya Lingga lagi. Aleya menggeleng. Gadis itu masih fokus dengan ponselnya.
"Ini gimana sih, Bang mainnya. Kok Leya kalah terus" gerutu Aleya, kesal karena tak pernah menang.
Lingga mengambil ponselnya dari tangan Aleya. Lalu diletakkan di dasbor mobil.
"Kenapa tadi di hukum" Lingga mengulang pertanyaan. Kini ia bisa mendapat fokus lebih dari adiknya.
"Aleya nggak ngelengkapin tanda tangan. Jadi di hukum" jawab Aleya
"Kok bisa nggak lengkap?"
"Kakak tau kak Rendy kan? Masa tadi Leya minta tanda tangan nggak di kasih"
"Terus tuh ya, kak Rendy itu sengaja nggak ngasih tanda tangannya biar Leya dihukum" jelas Aleya menggebu-gebu. Wajahnya memerah karena kesal dan terlalu bersemangat.
Tubuh Lingga menegang. Apa yang ia takutkan terjadi. Seharusnya adiknya itu tidak perlu berurusan dengan Rendy. Lingga tau, walaupun cowok itu suka berbuat onar, tapi jika ia tidak di ganggu maka Rendy tidak akan berulah.
"Lain kali jangan berurusan lagi sama Kak Rendy itu ya, Dek" Lingga mengusap puncak kepala Aleya.
"Kenapa, Bang?"
"Karena nggak ada yang boleh nyakitin Aleya"
❄️❄️❄️
Tadaaaaa.
Part 2 publish. Semoga suka ya ?
Maaf atas segala kekurangan karena aku ini baru belajar.
Follow me :
Instagram : Siskahaling
Facebook : Siska Friestiani
Twitter : Siskahaling
Salam sayang,
Siskafriestianii
Description: Rendy Afriaswara, jenis cowok yang harus Lingga jauhi dari kehidupan adiknya. Tukang rusuh, biang onar, dan yang selalu membuat masalah dengan siswa lainnya. Tidak pandang buluh, semua yang mengganggunya, Rendy akan beri pelajaran saat itu juga.
Namun apa yang harus Lingga lakukan jika pada akhirnya, Aleya, adik perempuan satu-satunya itu sudah terikat dengan si tukang onar?
Written by : Siska Friestiani
Reya : 2020
|
Title: RUSTAM (--END)
Category: Cerita Pendek
Text:
RUSTAM
Hari ini Nana kembali bertemu dengan ayahnya. Lelaki itu memakai kemeja putih dan celana pantalon hitam dengan rambut tersisir rapi. Rambut yang sama dengan Nana. Mata Ayah menatap Nana dan bibirnya yang berbentuk garis tegas itu memberikan seulas senyum.
“Apa kabar putri Ayah?”
Nana biasanya tidak menjawab. Dia langsung menghambur ke pelukan sang ayah dan berbisik.
“Ayah, bawa Nana pergi. Nana ingin ikut.”
Ayah memeluk Nana erat.
Saking eratnya Nana bisa merasakan tubuhnya remuk saat ini. Wajah seorang lelaki berpeluh terlihat di atas tubuhnya. Nafas lelaki itu terengah-engah seolah sedang berlari cepat dan menghujam makin cepat ke dalam tubuhnya.
Nana mencoba fokus dengan wajah ayahnya, namun kali ini dia gagal. Tidak ada jalan lain kecuali mengigit bibirnya dan berani menghadapi kenyataan.
Menit-menit berlalu, setelah berganti beberapa gaya, lelaki itu akhirnya menghentikan gerakannya dan tertelungkup di atas tubuh Nana yang tidak tertutup selembar kain pun. Suara erangan lega menjijikkan keluar dari mulutnya yang kini berada dekat telinga perempuan itu.
“Lu memang luar biasa Na. Lu selalu bisa bikin gue seperti ini,” lelaki itu menurunkan tubuhnya, memberi kesempatan Nana bernafas.
“Lu selalu bicara begitu pada setiap pelacur yang lu bayar untuk tidur?” tanya Nana.
Sang lelaki tertawa mengejek.
“Gue cuma tidur sama lu Na. Buat apa bayar pelacur kalau bisa gratis,” dia bertopang dengan tangannya mengawasi Nana yang buru-buru memakai pakaiannya.
“Mendingan lu pergi dari sini, Rustam. Nanti ketahuan Om Dewa,” usir Nana.
“Malam ini gue mau tidur di sini. Jadi kalau mau tambah, gue bisa lebih gampang,” kata Rustam menarik selimut menutupi tubuhnya.
Nana mendorong tubuh lelaki yang dipanggil Rustam.
“Keluar, gue mau istirahat,” balas Nana.
Entah kenapa kali ini Rustam menurut. Dia mengambil celana boxer miliknya di bawah ranjang.
“Habis ini lu mau tidur sama bokap gue ya,” kata lelaki itu menyelidik.
“Bukan urusan lu,” Nana membuang mukanya.
“Gimana sih rasanya tidur sama bokap gue? Lebih hebat mana, gue atau dia?” Rustam memakai kaus tanpa lengannya.
Nana tidak menjawab. Kini dia membaringkan tubuhnya kembali di ranjang, membelakangi Rustam.
Semenit kemudian Nana mendengar suara pintu ditutup dari luar.
Nana memejamkan matanya.
Di rumah mereka ada dua serigala.
Satu serigala sudah mampir di ranjangnya tadi.
Anak serigala.
Bisa jadi tengah malam nanti ayah serigala yang akan datang.
Nana tidak tahu.
Yang dia tahu, tubuhnya harus istirahat dulu.
--00--
Kenanga atau biasa dipanggil Nana selalu menyesali diri mengapa harus lahir ke dunia.
Saat usianya empat belas tahun, Ayah meninggal dunia setelah skuternya terserempet truk. Awan duka menyergapi Nana dan ibunya selama beberapa lama, hingga akhirnya ibu Nana memutuskan menikah lagi setelah hampir tiga tahun menjanda.
Menurut ibunya, Nana butuh figure seorang ayah.
Sementara menurut tetangganya, ibu Nana butuh lelaki untuk menunjang ekonomi keluarga.
Om Dewa adalah tambatan hati ibu yang akhirnya membawa Ibu ke penghulu untuk dijadikan istri kedua.
Om Dewa memang sudah punya istri sebelum menikah dengan ibu. Dari istrinya yang pertama Om Dewa punya tiga anak. Yang paling besar adalah Rustam, mahasiswa fakultas arkeologi semester akhir.
Setelah menikah, Om Dewa membawa Ibu dan Nana ke rumah baru yang lebih bagus.
Meskipun isteri kedua, ibu dimanjakan Om Dewa dengan uang belanja berlebih, dua kartu kredit dan tentu saja fasilitas mobil plus supir. Om Dewa yang bekerja di salah satu perusahaan negara itu memang banyak uang dan sangat royal.
“Semoga Om Dewa tidak akan mencari istri lain. Cukup istrinya dan ibu saja. Kalau nambah istri baru, bisa-bisa jatah kita berkurang,” kata Ibu yang selalu insecure dengan posisinya saat ini.
Menurut Nana, Om Dewa sebenarnya sudah punya tiga istri.
Istri yang ketiga adalah dirinya.
Lima bulan setelah menikahi Ibu, pada satu malam yang sepi, Om Dewa masuk ke kamar Nana. Dia memaksa Nana melayaninya di tempat tidur.
Semula Nana menolak dan ingin berteriak. Tetapi Om Dewa mengancam akan menceraikan ibu dan membuang keduanya ke kolong jembatan.
Nana tidak punya pilihan kecuali menurut.
Sejak itu Om Dewa jadi ketagihan. Setiap kali menginap di rumah istri keduanya, Om Dewa pasti juga mampir ke ranjang Nana.
Nana sering berpikir alasan Om Dewa menikahi ibu pasti karena sudah sejak awal mengincar dirinya.
Nana yakin ibu tahu, tetapi pura-pura tidak tahu.
Asap dapur tetap mengepul dan selalu punya uang jadi agenda ibu yang membiarkan suaminya keluyuran ke kamar putri satu-satunya. Nana juga yakin ibunya sudah jenuh hidup miskin ketika menikah dengan Ayah yang cuma guru sekolah dasar.
Ibu ingin hidup enak.
Berkorban sedikit tidak apa-apa bukan?
--00--
Nana bertemu Rustam saat pernikahan Ibu dan Om Dewa masuk tahun kedua. Kebetulan dia kuliah di tempat yang sama dengan putra sulung Om Dewa ini, hanya beda fakultas.
Rustam sangat membenci Nana dan ibunya.
Bagi Rustam keduanya hanya model “gold digger” yang mencari uang dari lelaki kaya seperti ayahnya.
Rustam sering memergoki ibunya menangis karena sang ayah menikah lagi. Rasa benci dan dendam bercampur jadi satu.
Rasa itu yang menyebabkan dia bersandiwara untuk bisa mendapat satu kamar di rumah istri kedua sang ayah dengan alasan ingin membimbing Nana belajar.
“Bimbingan” yang dimaksud Rustam jelas berbeda definisi dengan sang ayah.
Akhirnya seperti sudah disetting, Rustam berhasil memperkosa Nana.
Malam itu dia membalaskan dendam sang ibu yang diduakan suaminya menggunakan tubuh Nana. Makin Nana menangis, makin semangat Rustam menyakiti Nana.
Setelah itu dia selalu “mampir” ke kamar Nana.
Bahkan mereka pernah melakukannya beberapa kali di ruangan kosong kampus.
Rustam memang bajingan dan dia ketua geng motor di kampus yang ditakuti.
Nana hanya bisa pasrah.
Pertama kali dia tidur dengan Nana, Rustam sempat kecewa. Dia meyakini sudah ada lelaki lain yang mendahuluinya. Ketika suatu malam dia mendengar suara desahan ayahnya dari kamar Nana, Rustam tahu bahwa ayahnya yang duluan mendapatkan Nana.
Tidak mungkin Rustam marah pada ayahnya.
Dia justru harus hati-hati bila ingin tetap mendapatkan Nana.
Selain itu Rustam juga tidak ingin “memiliki” Nana sendiri. Kadang dia menjadikan Nana sebagai “alat” untuk mendongkrak nilainya pada dosen, atau “jaminan” untuk dia bisa meminjam uang dari temannya.
Penderitaan Nana bertambah dengan hadirnya Rustam.
Nana dikelilingi dua serigala yang selalu memangsanya.
Merongrong tubuhnya bergantian.
--00—
Kotak kayu itu dibungkus plastik dan Nana menyembunyikannya di lubang pohon mangga di depan rumah .
Isinya hanya sebuah peci, sebuah kemeja dan foto Ayah.
Tiga benda itu jadi harta tak ternilai untuk Nana.
Setiap kali dia merasa tertekan karena pemerkosaan demi pemerkosaan yang terjadi, Nana selalu ke bawah pohon mangga itu untuk membuka kotak itu dan memeluk isinya.
Nana menyerap semua energi yang ada di sana, dan dia merasa lebih kuat setelahnya.
Nana membayangkan kalau Ayah masih hidup, pasti dia tidak akan menderita seperti itu.
Hingga suatu hari dia menemukan sepotong cokelat dan beberapa lembar uang seratusribuan di dalamnya. Ada juga selembar kertas dengan tulisan:
Makan cokelat ini, biar tubuh kamu tidak sakit. Juga simpan uang ini. Suatu hari aku akan menjemput kamu dan pergi jauh.
Nana tidak tahu siapa yang tahu persembunyian harta berharganya. Namun besoknya dia juga menemukan sebatang cokelat, uang dan selembar kertas dengan tulisan.
Kamu selalu semangat ya. Aku tidak akan membiarkan kamu menderita. Kita akan segera bertemu.
Nana keheranan.
Rasa keheranan itu berubah menjadi rasa nyaman, setelah dia makin sering mendapatkan cokelat di kotak itu.
Juga uang.
Juga pesan yang selalu membuatnya lebih bersemangat.
Nana menyimpan semua pesan itu.
Dibacanya bila dia sedih.
Kenyataan kalau ada yang sayang dan peduli padanya membuat Nana punya harapan. Dia merasa melihat titik terang. Setiap tubuhnya menjadi bulan-bulanan lelaki, Nana tidak lagi pesimis.
Beberapa malam dia sering bermimpi bertemu lelaki yang mengirimnya cokelat dan surat. Wajahnya tampan dan baik. Dengan lembut dia merangkul Nana dan mengatakan bahwa dia sangat menyayanginya.
Nana senang.
Dia bahagia.
Kini Nana optimistis bahwa suatu hari akan ada orang yang datang menjemputnya dan membawa dia pergi.
Suatu hari nanti.
--00--
Pagi ini semua sarapan bersama.
Ibu mengoles roti untuk Om Dewa sementara Rustam menikmati nasi gorengnya. Semalam Om Dewa memang menginap, dan hari ini dia akan langsung ke Selandia Baru selama beberapa hari.
Nana mengunyah rotinya pelan.
“Om sudah mentransfer uang kuliah ya Na. Juga uang jajan,” kata Om Dewa pada Nana.
Nana mengangguk tanpa menjawab.
Dia melihat kemesraan Ibu dan Om Dewa yang bercanda ria.
Padahal tadi malam tua bangka itu mengotori tempat tidurku. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Mata Nana melirik Om Dewa dan ibu dengan jengkel. Tiba-tiba dia melihat Rustam sedang memandanginya.
Pemuda itu mengedipkan sebelah matanya.
Nana langsung membuang muka.
Jelang pukul 10 pagi rumah itu sepi.
Ibu sudah mengantar Om Dewa ke bandara.
Nana pun masuk ke kamarnya, bersiap untuk kuliah. Sayangnya Rustam sudah ada di kamarnya.
“Semalam lu sibuk sama bokap gue, sekarang lu harus ngurusin gue,” kata Rustam membuka pakaiannya hingga telanjang bulat.
Nana menggeleng.
“Gue ada kuliah. Besok aja,” kata Nana.
“Sejak kapan lu berani membantah gue?” Rustam mendekat dan menjambak rambut Nana.
Belum sempat Nana bicara, sebuah tamparan melayang.
Nana langsung merasa pandangannya berkunang-kunang.
Pandangan matanya masih tidak jelas saat Rustam menarik pakaian, dan menindih tubuhnya di ranjang.
Hari itu Nana tidak kuliah.
Dia harus melayani Rustam. Wajahnya memar dan bibirnya berdarah karena Rustam seperti orang gila memperkosa sambil memukulinya.
Hingga akhirnya erangan kepuasan menjijikkan itu muncul dari mulut Rustam. Nana sedikit lega karena penderitaannya akan berkurang.
“Gue ngga suka lu tidur sama bokap,” kata Rustam membelai rambut Nana. “Lu itu milik gue. Cuma milik gue.”
Nana tidak menjawab. Hanya air mata yang mengalir di pipinya.
“Kita kawin yuk,” ajak Rustam.
Nana menggeleng.
“Gue mau kawin sama orang lain,” katanya.
Orang lain?
Alis Rustam naik satu senti.
“Siapa lelaki yang mau sama pelacur kayak lu? Mendingan lu kawin sama gue,” kata Rustam mengejek.
Nana mengangkat bahu.
“Atau jangan-jangan lu mau kawin sama bokap gue? Jadi isteri ketiga?” Rustam bertanya penuh selidik.
Nana menggeleng.
“Bukan urusan lu,” kata Nana.
Rustam menjambak rambut Nana.
“Urusan gue. Apapun yang menyangkut lu udah jadi urusan gue,” katanya jengkel.
Nana Cuma bisa menangis dan memohon agar Rustam tidak lagi menyiksanya.
Rustam memang hari itu sangat mengerikan. Setelah menjadi bulan-bulanan sepanjang hari, akhirnya Rustam pergi meninggalkan Nana.
Begitu rumah sepi, Nana pergi ke pohon mangga mengambil kotak kayu.
Senyumnya terkembang begitu melihat sepotong cokelat, uang dan juga sepucuk surat.
Apa kabar manis? Rabu ini aku akan datang. Persiapkan pakaian kamu. Aku akan menunggu kamu di stasiun kereta pukul 20.00. Tiket sudah aku beli. Sampai ketemu di peron 7.
Senyum di bibir Nana yang lecet makin terkembang.
--00—
Lewat sambungan telepon, ayah dan anak lelakinya berkelahi memperebutkan perempuan.
“Saya akan menikahinya. Jadi Ayah jangan ganggu dia lagi,” kata suara lelaki yang lebih muda.
“Dia akan Ayah nikahi. Kamu itu pikir kuliah, bukan kawin. Cari uang saja belum becus,” kata si Ayah.
“Saya mencintainya. Dia masih muda, tidak cocok dengan Ayah. Dia juga mencintai saya,” si anak masih berkeras.
“Ayah juga mencintainya. Ayah akan menceraikan ibunya. Kamu jangan pernah lagi datang ke rumah dia. Awas kalau berani menganggu dia,” ancam sang Ayah.
--00--
Hari Rabu pukul 18.00 Nana siap pergi. Tasnya sejak sore sudah disembunyikan di lubang bawah pohon mangga. Dia akan meninggalkan tempat ini, pergi bersama dengan lelaki yang sudah 2 bulan ini selalu menghibur dan mengiriminya cokelat.
Dia akan pergi menjemput impiannya.
Baru Nana mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, tiba-tiba Om Dewa masuk ke dalam kamar itu.
Bukan main terkejutnya Nana.
“Kamu mau kemana Kenanga?” tanya Om Dewa.
“Saya mau keluar sebentar Om,” Nana mencoba tenang.
Dia keheranan karena si Om tiba-tiba muncul di depannya.
“Kamu tidak boleh kemana-mana. Om sudah memutuskan untuk menikahi kamu,” kata Om Dewa.
Nana terperanjat.
“Tetapi saya harus pergi,” kata Nana berkeras. “Izinkan saya Om. Nanti saya kembali lagi.”
Om Dewa mendekati Nana. Tubuh gembulnya memeluk Nana dan bibir berbau cerutu itu mencium wajahnya yang mungil.
“Kamu milikku. Kamu tidak boleh kemana-mana …” kata Om Dewa. “Om tahu malam ini kamu mau kabur kan?”
Nana memberontak.
Sayangnya Om Dewa seperti orang kesurupan, dengan kekuatan dua kali Nana, dia menarik pakaian Nana.
Kali ini Nana menjerit-jerit saat Om Dewa menindih tubuhnya, memaksa kedua kakinya membuka.
Dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk pergi sesuai rencananya. Tetapi Om Dewa sangat kuat, dia bahkan sudah merangsek ke dalam tubuh Nana.
Bergerak maju mundur.
Memperkosanya dengan brutal.
Jeritan Nana makin menjadi.
Kali ini Nana tidak mau kompromi karena dia harus pergi. Ini adalah kesempatannya bisa hidup lebih baik.
Tiba-tiba saja ibu muncul. Mata Ibu terbelalak melihat suaminya sedang menindih Nana yang meronta-ronta.
Selama ini Ibu mencoba menutup mata karena tidak melihat langsung. Namun hari ini beda dan menyakitkan.
Bagaimana pun Nana adalah anak kandungnya.
“Mas Dewa, kamu benar-benar bajingan. Lepaskan anakku,” teriak Ibu menarik-narik tubuh Om Dewa.
Kini Nana bisa melepaskan diri dari tindihan tubuh gendut sang ayah tiri.
“Kamu jangan ikut campur. Mulai hari ini kita cerai. Aku akan menikahi anakmu saja,” kata Om Dewa pada Ibu.
Nana bisa melihat paras ibu berubah.
Semula kaget, kemudian marah.
Ibu menyerang Om Dewa dengan tinju dan pukulan. Dengan mudah lelaki itu mengelak dan mendorong Ibu ke pojokan ruangan.
Ibu tidak menyerah begitu saja. Kini dia melempari Om Dewa dengan barang-barang yang ada di kamar Nana. Om Dewa mendekati Ibu dan memiting tubuh perempuan itu. Sementara Nana berteriak-teriak karena Om Dewa sepertinya sudah kalap karena akan membunuh ibunya.
Om Dewa memang mengamuk. Lelaki itu berhasil mencekik leher Ibu. Mata ibu melotot, dan beberapa saat kemudian sorot mata itu melemah dan padam.
Om Dewa melepaskan cekikannya, melempar mayat Ibu.
Dia sedang mencari-cari Nana yang tadi lepas dari pelukannya. Gairahnya belum tuntas dan Nana harus menyelesaikannya.
Tiba-tiba pinggangnya sakit bukan kepalang.
Om Dewa membalikkan badan dan melihat Nana tersenyum
Tangan Nana mencabut pisau besar yang tadi ditusukkan ke pinggang lelaki itu.
Om Dewa seolah tidak percaya pandangannya, namun malaikat maut sepertinya enggan memberikan dia waktu lebih panjang untuk balas dendam.
Om Dewa tergeletak tak bernyawa, di samping Ibu.
Untuk pertama kalinya juga Nana tahu bahwa Ibu menyayanginya.
--00—
Nana membawa tasnya turun dari taksi online.
Tubuhnya masih gemetar saat dia masuk ke dalam stasiun yang malam itu ramai.
Jam menunjukkan pukul 19.00. Masih ada satu jam lagi.
Tadi dia meninggalkan mayat Ibu dan Om Dewa begitu saja. Dia harus buru-buru karena kereta akan berangkat pukul 20.00 tepat.
Kini Nana tiba di peron tujuh.
Menunggu dengan gelisah.
Dia menyesal tidak tahu ciri-ciri lelaki yang akan menjemputnya. Yang dilakukan Nana hanya duduk.
Lagi-lagi menunggu.
Pukul 19.45, bahunya ditepuk.
“Akhirnya kamu datang manis, aku pikir tidak bisa melihat kamu lagi karena kamu sudah dinikahi ayah,” kata suara itu.
Suara yang sangat dikenal Nana.
Nana menoleh dan wajahnya langsung memucat.
Di belakangnya berdiri seorang lelaki dengan ransel di punggung.
Rustam!
Description: KENANGA atau biasa dipanggil NANA selalu menyesali diri mengapa harus lahir ke dunia.
Saat usianya empat belas tahun, Ayah meninggal dunia setelah skuternya terserempet truk. Awan duka menyergapi Nana dan ibunya selama beberapa lama, hingga akhirnya ibu Nana memutuskan menikah lagi setelah hampir tiga tahun menjanda.
Menurut ibunya, Nana butuh figur seorang ayah.
Sementara menurut tetangganya, ibu Nana butuh lelaki untuk menunjang ekonomi keluarga.
Om Dewa adalah tambatan hati ibu yang akhirnya membawa Ibu ke penghulu untuk dijadikan istri kedua.
Om Dewa memang sudah punya istri sebelum menikah dengan ibu.
Dari istrinya yang pertama Om Dewa punya tiga anak.
Yang paling besar adalah Rustam, mahasiswa fakultas arkeologi semester akhir.
Ini cerita tentang Kenanga dan bagaimana dia bertahan dari kekerasan yang dilakukan ayah tiri dan anaknya.
|
Title: Rekomendasi Mattpad
Category: Humor
Text:
Tag Mature
Pertama kalinya gue bikin akun di media sosial selain email dan fesbuk, ya baru ini. Akun di mattpad. Yang biasa disebut orang-orang dengan dunia oren. Ya, gue terpaksa bikin akun di sini karena penasaran pengen baca cerita yang gue temuin di pencarian gugel.
Cerita nikah-nikahan yang gue lihat dari sinopsisnya nih.
Cerita berjudul Dikawini Mas CEO, bikinan akun @KUCINGKAWIN. Ya ampun, tahu nggak sih, gue syok masa lihat jumlah viewer-nya. Inget yaa, viewer yang lihat, bukan yang baca. Gue lihat sepuluh kali pun babnya juga dihitung sepuluh kali.
Ini cerita bikin gue baca terus maratonan. Yah, kayak di cerita jilid satu dulu (baca : Pinangan (Mas) Editor) gue suka aja cerita suami-istri gitu. Romantis, panas, menggelora, ulala, bikin gue bayangin yang iya-iya.
Ceritanya seru nih, ena-enanya hot parah.
"Mas Miki, panggilannya Michael Mukidi, mengentak-entakkan kejantanannya di kelaminku." Duuuuh, ya ampun, Jakarta mendadak panas, yes? Ini kenapa kipas anginnya juga ikutan macet sih. Kurang azar, gue bisa pengsan 'kepanasan' ini.
Meskipun unyu juga namanya dan temanya banyak di mattpad, menurut gue idenya lumayan unik. CEO di sini bukan CEO batubara atau entah berantah kerjaannya apaan. Tapi muatan lokalnya kerasa banget lah, CEO getuk lindri. Jadi laper kan gue.
"Wuidih, ranking 1 di romance pula. Jelas nampang di beranda dong ya? Enak nih, newbie kayak gue gini bisa langsung tahu cerita yang recommended buat dibaca."
Gue agak kepikiran sih, ini emang ada hadiahnya gitu kalo masuk rak rekomendasi, atau dapet rank beginian? Kalo zaman gue sekolah dulu sih, tiap tahun emang ada hadiah alat tulis kalo bisa nyabet juara 1, 2 dan tiga sekelas. Yah, meski bukan gue sih yang dapet. Naik kelas aja alhamdulillah. Kayaknya kalo masuk jajaran rekomendasi, sehari aja udah jutaan gitu yes, viewer-nya.
Duh, mana covernya juga hot banget, itu jadi gemes pengen narik lepas handuknya dari pemandangan menakjubkan di baliknya. Pasti yang di dalemnya lebih kokoh daripada gedung perkantoran di belakang. Ya ampuuuun.
"Assalamualaikum!"
Gue berjengit. Jantungan gue dengar suara seseorang yang terkenal di kompleks ini. Mata gue melebar tak percaya.
"Haji Gatot!"
Pria bersorban putih dari ujung kepala, dan bergamis putih bersih hingga ujung kaki itu Haji Gatot Bajamurni. Guru spiritual yang terkenal hingga seantero kompleks. Disegani karena keramahannya, kedermawanannya dan bahkan kekayaannya yang melimpah ruah. Hibah dari banyak artis yang sering keluar masuk padepokannya.
"Eh, ada Haji--"
"Assalamu'alaikum, Nja." Jenggot putih lebatnya yang dikepang dielus-elus dengan tangan sewaktu menyunggingkan senyum, memotong kegugupan gue. Haji Gatot memang sudah tua, tapi badannya masih kekar layaknya bintang film vokev yang sering gue lihat.
"W-Wa'alaikum salam, Haji. T-Tumben main ke sini?" jawab gue gugup.
Rasanya gue selalu gugup di depan orang ini, gue selalu nggak bisa lama-lama membalas tatapannya Haji Gatot. Gue lebih memilih menundukkan pandangan. Bukan, bukannya gimana sih. Tapi silau aja kalo disuruh melihat senyum lebar haji ini. Seluruh deretan gigi depannya terbuat dari emas murni, gimana gue kagak silau kalo logam murni itu memantulkan sinar matahari. Menyorot-nyorot segala arah macem laser penghancur Suparman.
Gue memicingkan mata, sebelum menyipitkan mata demi memandang Haji dengan baju bercahaya itu.
"Ane cuma mau jalan-jalan sekalian minta diketikkin undangan saja, Nja. Ente lagi sibuk ya?"
Gue menggeleng cepat. "Nggak kok, Haji. Silakan, silakan masuk."
Haji Gatot terkekeh dan melepas sandal jepitnya. Lalu bertelanjang kaki menghampiri gue. Gue meringis. Anjir, guelupa nyapu lantainya. Dipipisin kambingnya Bang Al yang lepas dititipin bentar di sini tadi buat kurban besok pagi. Udah kering pula.
Yaaaa, diinjek sama Haji Gatot. Gue membenamkan gigi di bibir bawah.
"Kenapa, Nja? Ente kebelet pup? Meringis gitu?"
"K-Kagak kenapa-kenapa kok, Haji. Mau diketikkan apa, Haji?" Sambil gue membuka software Microsoft Word, ternyata gue lupa me-minimize tab browser mattpad gue.
"Oh, undangan buat panitia kurban besok. Allahuakbar, astagfirullah, Nja. Ente baca apaan itu?"
Gue berjengit kaget. Sekonyong-konyong gue tutup browser Godzilla Firedog gue. "B-Bukan apa-apa kok, Haji Gatot. Yakinlah sumpah."
Tetapi Haji Gatot justru menyipitkan matanya curiga ke gue. "Saya bisa baca apa yang ada di pikiran ente, Nja. Mau bohong ente?"
Yaaaaaaa. Anjirlah, kenapa jadi serem gini sih? Baru juga gue balik dari sekian lama Pinangan (Mas) Editor tamat. Tamat yang dipaksakan, enak aja yang nulis, belum ena-ena juga. Masa gue harus menghadapi Haji Gatot yang nyeremin ini.
"S-Suerlah, Haji. Bukan apa-apa. C-Cuma cerita--"
"Cerita dewasa?" tebaknya bikin gue terperanjat.
Gue meringis. Lalu memberikan sebuah anggukan pelan.
Haji Gatot geleng-geleng. "Senja, Senja. Ente kan masih kecil."
"Udah punya KTP ah, udah gede," potong gue.
Dehaman keras Haji bikin gue terdiam. "Ya kali, ente boleh-boleh aja baca gituan meski udah punya KTP, Nja."
Gue meneguk ludah. Matih gue. Alamat diaduin ke Emak dah kalo ketahuan gini. "Enggak seeksplisit stensilan kok, Haji. Orang cuma fiksi. Buat hiburan doang--"
"Ane kagak tanggung, ye. Terserah ente, ane udah ngingetin. Seumuran ente nih, baca novel remaja, Nja. Ente kebanyakan baca nikah-nikahan, bisa ngebet kawin ente. Ente nggak tahu? Bisa saja dari bacaan ente itu, ente terperosok ke dalam jurang kemaksiatan. Zinah, ena-ena sebelum halal dan banyak lagi. Setan di kanan kiri ente, Nja."
Yaaa, kenapa bawa-bawa agama, sih? Ya ampun, ini kan cuma fiksi. Ya, kali gue ikut main karena baca ena-ena. Lagian main sama siapa juga?
Pembaca enggak bodoh kali, udah pada pinter-pinter. Gue merengut.
"Ada apaan nih, Bang Haji?"
Syukurlah, Bang Al dateng!
"Nah, baguslah Ente dateng Al."
"Nja? Kenape lu merengut?"
Gue melirik Haji Gatot yang malah asyik meriksa cerita yang gue baca tadi. Dengan berat hati, tadi gue ngasih lihat layar monitor PC admin gue ke dia.
Bakal diceramahin nih gue sama Bang Al. Kezel.
"Ane minta diketikkan undangan, Al! Tapi karyawan ente malah asyik baca cerita porno."
Matih, gue. Bang Al langsung mendelik dengan sorot mematikan ke gue. Gue menggeleng.
"Kagak, nggak usah dipikirin nih Haji emang rada-rada, Bang." Gue berbisik ke Bang Al yang mengerutkan dahi.
"Nja?"
Duh, gaswat ini mah.
"Ahahaha, sini, Nja ketikkan. Undangan, kan? Haji Gatot yang ramah, dermawan dan arif bijaksana. Nanti sore bisa balik ke sini. Dijamin udah jadi. Senja ketikkan dengan rapi. Oke?"
Gue merebut mouse yang dipake Haji Gatot dan menggeser monitor kembali ke arah gue.
Haji Gatot berdecak. "Ya sudah, ane ada urusan dengan Pak RT dulu masalah kambing kurban besok. Nanti ane ambil. Dikerjakan baik-baik. Ini draftnya. Pakai kop surat punya masjid yang seperti biasanya. Jangan kebanyakan baca cerita dewasa, Nja. "
Gue mengangguk. Menjawab salam Haji Gatot yang langsung pergi.
"Nja? Lu beneran baca stensilan?"
Gue menggeleng. "Kagak! Ada alurnya kok."
Bang Al merebut mouse gue. Setelah membaca cerita tadi, sebuah jitakan mendarat di kepala gue. Aduuuh, minta dikepret nih bujang. Dikira kepala gue pentolan korek api? Main jitak-jitak aja. Api kagak ada, asep iya gue kesel.
"Dari covernya aja udah dewasa gini kok, lu bilang bukan cerita dewasa? 21+, Nja."
"Kagak, gue nggak baca. Tuh, udah ada warning juga. Mana mungkin gue baca. Lagian di rekomendasi kok, makanya gue baca. Gue pikir ceritanya bagus. Semua umur juga bisa baca kalo di situ kan sesuai peraturan di mattpad? Salahin authornya lah."
"Elu yang baca tetepan yang salah, dodol."
"Iih, kagak. Gue kan cuma penasaran, Bang. Peringatannya itu yang justru bikin gue penasaran, makanya--"
"Yeee, itu sih elunya yang demen, Nja. Malah nyalahin ceritanya."
Duuh, Bang Al ngeselin banget sih.
"Awas lu ye, gue aduin ke Emak lu."
Anjir, kurang ajar nih bujang lapuk.
"Yah, jangan dong, Bang."
"Awas lu. Abisnya lu nakal, Nja. Lu kan cewek. Baca ena-ena mulu."
"Yah, kok nyalahin Senja sih." Salahin penulisnya dong, masa bikin cerita ena-ena yang bisa dilihat banyak orang. Si Jujun aja yang masih kecil juga bisa buka kok. Duuuh, semoga nggak diaduin ke Emak deh. Alamat disita nih samsul gue. "Bang!"
Ya elah, gimana nih? Bang Al nyuruh gue berdiri dari kursi. Ganti dia duduk di depan PC admin. Ngebuka ulang browser gue tadi. Bang Al nggak bergerak dari kursi gue. Matanya menjelajahi cerita itu tadi. Ya elah, sendirinya demen juga ternyata.
"Nja? Gue udah baca nih. Gue mau tanya."
Gue cuma bergumam, mengiyakan.
"Di rak rekomendasi, range umur yang baca mulai umur berapa di sini?"
Gue mengingat-ingat. Ragu-ragu gue jawab. "Tauk deh, kayaknya minimal 13 tahunan."
"Njir, dede-dede mungil dong?"
Gue mengangguk. Halah, dasar lolicon, giliran dede-dede unyu aja responsnya cepet. Najong dah nih laki.
"Iya, kenape sih?"
"Anjirlah, lu pikir nih penulis yang masuk rak rekomendasi nggak lagi meracuni otak lugu dede-dede baru gedhe di Indonesia? Kejantanan, payudara, susu, kelamin, menghunjam, mengulum, oral ... ampe fellatio! Huanjirlah, gue baca novel seumur-umur juga kagak nemu cerita berkualitas yang sampe ada adegan nananina sedetail ini, Nja!"
Najong, nih orang kerasukan apalagi dah. Gue bersedekap.
"Ya, terus gimana lagi?"
Delusi dan Kenyataan
"Nja, belakangan lo lagi mainan apa, sih? Sampe Emak lo ngedumel tiap hari. Ngomel-ngomel ke gue."
Huahahaha. Gue nggak bisa nahan buat nggak ngakak, ya Allah. Ampuuun, lucu banget ini. Masa Michael Mukidi ini mesumnya taraf akut banget. Ceritanya kocak banget. Si lakon ceweknya lagi menstruasi, kejebak di kamar mandi hotel. Minta tolong si Mukidi—eh, maksud gue Miki—buat beliin tampon. Alamat pake kode-kodean 'roti tawar', lha bujubuneng si Miki dengan nyantainya beliin roti tawar beneran. Bukan pembalut.
Gue ngakak gila. Anjirlah, ini edan banget. Ya kali mau dilapisin roti tawar, beneran jadi selai stroberi dong.
"Bwahahahaha! Hihihihi."
Mules perut gue.
"Anjir, kagak dengerin gue ngomong nih bocah. Tambah ngikik juga kayak kunti. Malem jumat kliwon nih. Anjir, gue merinding jadinya."
Gue pasang wajah datar. Kepo banget nih bujang, apaan sih, terserah gue dong mau ketawa mau teriak-teriak kayak orang gila juga suka-suka gue. Enggak gue gubris, tetep mantengin layar hape. Nyecroll naik turun buat baca ceritanya. Seuprit-uprit sih update-annya, paling enggak nyampe seribu kata. Nggak apa-apalah ya, orang ceritanya masih on going, partnya juga masih belasan dari ratusan. Yah, semoga makin bagus aja ceritanya enggak kayak sinetron yang penting.
Bau lezat daging ayam yang terbakar menyerbu indra penciuman gue. Langsung gue hirup sedalam-dalamnya. Meraup sebanyak-banyaknya kenikmatan duniawi yang membuai manusia itu.
Alamaaak, nikmat mana yang kau dustakan, Senja. Meski temen-temen sekolah gue dulu sering banget cerita-cerita pamer pernah makan ini itu, yang masakan Korea-lah, Jepang-lah, Eropa-lah ampe Bekasi-lah. Yang rasanya aneh-aneh itu, gue tetep cinta masakan nusantara. Bagi gue yang lidahnya dalam negeri, lebih kenyang makan nasi daripada roti.
Bang Al sering sih ngajak gue jalan ke mall atau ke pasar nyari baju pas lagi diskonan gede. Cuma ya gitu, bukannya nraktir gue kek. Udah kepanasan naik vespa tuanya yang busuk dan sering mogok, kecepatannya aja masih kalah sama odong-odong. Bujang lapuk ini malah nguji kesabaran gue karena cuma dilewatin gang sate doang. Gang yang 69 meter panjangnya diisi khusus penjual sate di kanan kiri. Anyinglah, gimana gue kagak manyun coba?
Minta dikepret, dicabut bulu keteknya yang berjumbai panjang tuh lapuk.
"Masya Allah, gile. Sedap bener dipandang nih sate kalo udah mateng," celetuk gue melihat belasan batang sate berjajar rapi di panggangan berisi bara arang. Aish, yang bakar juga sedap pula dilihat. Gue curi-curi pandang sambil bersyukur dalam hati, mengagumi ketamvanan abang tukang sate yang ada di depan gue.
"Modus lo, Nja. Muke lo udah kayak monyet betina horn* tiap lihat cogan."
Ah! Gue nggak peduliin bisikan makhluk halus berwujud bujang lapuk di sebelah gue. Dosa gue, ngeladenin dia. Mending cuekin aja, hati gue terlalu murni seputih susu tanpa nila buat meladeni omongan buruk yang ngejatuhin image gue. Kagak ya, gue nggak baper. Dibawa logika aja udah pusing apalagi ditambah perasaan?
"Apaan sih lo, Bang. Nggak rela mulu tiap gue ngelirik cogan. Takut kesaing sama gue?" Gue ngakak.
Wajah Bang Al berubah kecut. Emang udah kecut dari sononya, dari lahir juga bikin syok Emak Babe-nya. Badannya juga kecut kalo seharian nggak mandi. Yang ini sih makin kecut. Apa minta dipanggang bareng sate ya, biar lebih sedap dikit? Ah, entahlah.
"Diem aja deh. Mau ditraktir kagak nih?"
"Enak aja. Ya mau-lah."
"Ya udah, ngalah aja napa sekali-kali sama gue?"
Gue menggoyangkan telunjuk. "Nehi-nehi. Syuuuda di luar jam kantor, Sepupu tersayang. Lo nggak punya wewenang lagi sebagai bos buat menindas gue. No. No. No."
Dengusan Bang Al bikin gue terkekeh senang.
Malem-malem gini setelah jam lembur di warnet kelar, emang enak beli sate ayam dah. Ditemani Bang Al yang jomblo ngenes nggak punya jadwal kencan, kita lagi nungguin Pak Daniel yang lagi ngebakar puluhan tusuk daging ayam yang sudah berbumbu itu. Iya, Pak Daniel, tukang sate yang biasa keliling kompleks sini. Laki-laki yang masih tergolong muda ini asli lahir di Indonesia meski wajahnya ganteng blasteran bak cowok fiksi di mattpad. Tetapi yang gue suka, dia ini memakai udeng batik, setelan jas dan sepatu pantofel berkilat, gilak, aura CEO-lah walaupun kerjaannya tukang sate keliling.
Dunia memang tak seindah mattpad. Yah, semua pekerjaan itu tidak ada yang jelek asal cara kerjanya halal.
Kenape? Suka-suka gue dong deskripsiinnya, kan gue yang nulis. Mau Pak Daniel pakai jas atau bugil juga terserah gue.
"Kepo," jawab gue kembali mengalihkan pandangan dari layar lebar Samsul kesayangan gue. Sekarang udah pakai kondom lhooo si Samsul. Itu lho, yang karet buat pelindung hape, ucul banget ada kepala kelincinya.
Gue menghindari pukulan duit ratusan ribu hasil kerja hari ini. Yaelah, daripada dipukulin ke gue mending masukin kantong gue dah. Pasti varokah, gue udah habis nih kuota bulanan buat baca mattpad doang.
"Gue lagi seru ngikutin mattpad nih. Aplikasi yang kemaren Bang Al baca juga, yang pas gue dituduh Haji Gatot baca stensilan. Banyak cerita-cerita konyol." Akhirnya gue buka suara. Kagak tega gue lihat muka melasnya. Ya nggak gimana-gimana sih. Bisa-bisa nafsu makan gue ilang, vroh. Apalagi makin ngambek dan nggak jadi nraktir kan bisa berabe.
Bang Al manggut-manggut. Ini kita berdua posisinya lagi duduk-duduk santai nongkrong di teras warnet. Nungguin Pak Daniel bakar sate.
"Oh. Yang isinya ada adegan detail kemarin ya? Yang sampe ngobok-obok selangkangan, maju-mundur, remas-remas susu, kocok-kocok, emut-emut pentil juga?"
Gue memanyunkan bibir. Tuh kan apa gue bilang, mulut Bang Al ini deh yang lebih butuh disensor lembaga sensor daripada atlet renang yang kena sensor seluruh tubuh di-blur gegara pakai baju renang. Atau Shizuka berbadan rata yang pakai bikini, bahkan binatang yang juga kena.
"Iya sih, nggak usah frontal juga keles. Ntar pembaca gue pada kabur dikira nih cerita isinya ena-ena, Bang. Aish!" Gue berlagak kayak artis korea pake aish-aish-an di dramkor yang lagi digandrungi anak-anak muda sampai mamah-mamah muda zaman sekarang.
Berhubung Uttaran akhirnya tamat, akhirnya remot tipi udah berpindah ke tangan gue dari kuasa Emak selama ini. Gue bisa nonton drakor di tipi, meski harus menelan kepahitan nggak ada stasiun tipi lokal yang nayangin dramkor lagi. Alih-alih serial India semua yang ada.
"Ya, ini sih mendinglah daripada gue sibuk ngurusin gosip infotainment. Nikung sana-sini, setting-an, pencitraan, drama, sidang nggak kelar-kelar, sampe perang medsos perihal anak tak dianggap. Ya kali. Gue ogahlah nonton begituan. Mending baca buku, baca cerita, nambah wawasan," kata gue merem-melek keenakan mencium bau sedap sate yang hampir matang. Sate Ponorogo emang yang paling top markotop, Bambang Suherman dah. Tauk deh, siapa Bambang Suherman.
Gue tersenyum manis, pengen nyolek Pak Daniel yang lagi tekun ngipasin sate pakai kipas yang terbuat dari anyaman bambu. "Om, belajar bikin sate dari mana sih? Cakep-cakep gini satenya." Yang bakar cakep pun!
Alamaaak, senyumnya euy menggoda pisan. Untung ini edisi spesial yang enggak ada Mas Gema di dalamnya, jadi nggak ketahuan deh gue modus sana-sini. Namanya juga masih perawan jomblo. Wajar dong.
"Bambang Suherman."
Anjir! Gue berjengit.
"Nama Bapak saya. Ibu saya asli Swiss, dahulu kepincut kelezatan sate buatan Bapak. Yang waktu itu ada di festival Grebeg Suro. Pertunjukan Reog yang menjadi tujuan Ibu saya ke Indonesia menjadi pertemuan penuh asmara orang tua saya. Makanya saya kepengen melestarikan bukti cinta beliau berdua dengan mengembangkan bisnis keluarga di ibukota. Sekaligus mengenalkan budaya Indonesia ke berbagai penjuru. Agar orang Indonesia lebih cinta produk tanah air daripada produk asing to."
Pak Daniel ini meski tampang bak dewa Yunani, omongannya medok parah. Bikin gue nangis antara pengen ngakak sama bangga. Haduuu, gue terharu mendengar ceritanya. Asdfghgjkl.
Suara sesenggukan di sebelah bikin gue menoleh. Ya amplop, Bang Al udah nangis aja sampe ingus meler-meler. Ew, diusap pakai kaos pula. Gue bergeser menjauh, nggak kenal gue.
"Kok Om jualan keliling, sih? Kenapa nggak buka warung sate yang lebih besar aja? Resto atau depot gitu. Kalau jalan emang nggak capek, Om?"
Kalau capek, Nja siap mijitin kok. Eaaak.
"Saya cuma bawa modal restu dan uang tabungan sendiri dari bantu-bantu jual sate Bapak di kampung dari saya sekolah. Di sini habis buat bayar kontrakan dan pernah ketipu juga sewaktu saya berniat buka depot. Yah, mungkin bukan rezeki saya. Saya ndak bilang-bilang orang di rumah biar ndak khawatir. Oleh karena itu, saya merintis dari nol saja sambil mengumpulkan modal lagi."
"Allahuakbar!"
Najonglah nih bujang nangisnya tambah kenceng. Gue pelototin biar diem.
"Sedih, Nja. Anjir. Lo tahu kan hati gue ini rapuh," bisik Bang Al ke gue masih mewek. Muka sangar brewokan gondrong dekil gitu tapi berhati peri? Gue cuma bisa puter mata.
Pak Daniel menyunggingkan senyum manis sebelum menambahkan. "Mumpung buat latihan juga mengangkat beban untuk membentuk badan. Biar berotot. Modal saya melamar pacar saya di kampung nanti."
Hwaaa! Kali ini giliran gue yang nangis histeris. Anjirlah, ternyata Om Ganteng yang satu ini udah punya calon. Mampuslah, lenyap kesempatan gue buat modusin.
Gue sama Bang Al cuma bisa melongo memerhatikan Pak Daniel mengiris ketupat lontong ke atas piring, menambahkan masing-masing dua puluh tusuk sate lalu menyiram dengan sambal kacang pedas.
"Bang, kayaknya cuma cerita di mattpad deh yang jalan ceritanya happily ever after. Cogan kaya raya mau-mau aja kecantol udik-macem kita, ena-ena selamanya tanpa susah-susah mikir pengeluaran," gumam gue menerima uluran piring dari Pak Daniel.
Bang Al mengangguk. "Iya, Nja. Dunia pasti berputar. Apalagi dunia mereka juga pasti berbeda, orang gedong sama orang kampung. Ya mana nemu gapruk. Yang ena-ena beneran aja susah diwujudkan di dunia nyata, apalagi bagi jomblo kayak kita. Semua itu hanya delusi."
"Iya kali ya, Bang. Delusi."
"Meski lo suka baca bacaan delusional, fiktif. Lo kudu tetep jaga kewarasan, Nja. Baca itu pakai otak ya. Harus berpikir kalau bacaan itu wawasan. Bukan sekadar hiburan. Lo paham, kan?"
"Ho'oh."
Gue nggak paham sih maksudnya Bang Al apaan sebenernya. Gue lagi patah hati, Bang. Ya amplop, Pak Daniel lagi sibuk telpon-telponan sama yayangnya. Kenyataan itu pahit, vroh.
"Gue juga kagak mau Emak lo ngomel-ngomel mulu ke gue. Makanya cari bacaan yang bikin lo waras ye, jangan makin edan."
Teenlit
Lingsir wengi
Sepi durung bisa nendra
Kagoda mring wewayang kan ngreridu ati
Kawitane mung sembrono njur kulina
Ra ngira yen bakal nuwuhke tresno
Nanging duh tibane
Aku dhewe kang newahi
Nandang bronto kadung lara
Sambat sambat sapa
Rina wengi sing tak puji aja lali
Janjine muga bisa tak ugemi
Suara Didi Kempot dari sound system menyanyikan lagu Lingsir Wengi mengalun merdu di antara gesekan sayap jangkrik dan dinginnya malam.
Gue lagi bantu-bantu buat acara khitanan si Jujun, anaknya Bu Sarah nih malem Jumat kliwon.
"Ah, sedapnyeee. Ayam goreng ni."
"Tul, betul, betul, betul."
Sahutan Bang Al niruin tokoh kartun Udin & Ipul yang lagi booming di kalangan anak Indonesia ngagetin gue aja. Pantesan sedari tadi gue ngerasa kayak lagi dilihatin, ampe bulu kuduk gue meremang entah oleh apa. Ternyata pertanda titisan buto ijo yang bakal nyamperin gue.
"Lu lagi lu lagi, Bang. Ah, lelah gue. Masa dari part kemarin kita duet lagi sih. Bosen gue ah."
Gue harus dan wajib menjauhkan jatah sepiring penuh ayam goreng gue dari jangkauan bujang berperut karet ini. Bisa ludes harta gue diraup tangan bahlulnya. "Eits, ena aja main saut-saut makanan orang. Ini bayaran gue seharian ngebabu cuci piring, angkut-angkut karung beras ye, Bang. Capek gue, jauh-jauh sono ah."
Ih, mau semelas apa pun tampang sepupu mengenaskan gue itu ampe gigit jari lihat ayam goreng gue yang matang keemasan, kecokelatan, berbalur tepung krispi dengan artis iklan fenomenal sejagad hiburan, yang kontroversi hidup berumah tangganya sepedas merica, serenyah kremes-kremes gosip. Ya jelas santapan menggiurkan bagi ema-ema muda dan muda-muda memasuki dunia ema.
Dada montok dan paha kencang betina muda yang masih perawan emang nggak ada yang ngalahin dah. Nggak ada duanya. Hahaha, ngences-ngences dah lu, Bang. Asal jangan ngebanjirin kompleks aja sama iler lu. Najis emang nih orang, nggak heran gue hobi banget dah nistain nih laki.
"Ya elah, Nja. Secuil napa. Dingin nih. Nggak kasian lu ama gue? Mau tidur belom makan, nyokap gue kagak masak. Hajatan katanya, makan di sini aja."
Cuih, kagak mempan dah sama muka melasmu, Abang sepupu gue tersayang.
Bang Al menyelubungi badan cungkringnya dengan sarung cap Gajah nungging. Rambut gondrongnya makin bikin suasana jadi horor ya emang. Ya elah, gimana kagak dingin, orang nih laki sableng cuma pakai kaos oleh-oleh dari gue main sama temen-temen mattpad gue di Jogja kemarin dan kolor warna ijo kesayangannya.
Ah, Jogja. Seru bangetlah lalalili sama mereka. Jalan-jalan tengah malem ampe berkilo-kilometer jauhnya karena nggak dapet taksi, muter-muter transjogja ampe bokong panas demi ke toko buku (meski gratis), ampe makan Pupmie di tengah hujan deras meski dispenser sekaligus listrik hotelnya mati pas lagi nyeduh air panasnya. Yah seenggaknya goals nonton bareng ena-ena terlaksana berjamaah sambil hahahihi ngobrolin dunia mattpad.
Ya ampun, bernostalgia memang menyenangkan. Ini salah satunya yang bikin gue makin semangat berkarya di mattpad. Meski drama di dalamnya makin bervariasi, keseruannya juga tetap ada, vroh.
"O, tida bisa. Goreng sendiri sana lah, Bang."
"Yah, pelit lu, Nja. Remahan aja nggak lu kasih."
"Kagak!"
Bodo amat sama cibirannya. Yang penting gue kenyang. Salah sendiri kerjaannya molor melulu seharian, dateng-dateng pas acaranya udah kelar. Jelas kehabisan dong. Kayak gue dong, ada hajatan gue langsung sigap. Bantu-bantu biar dapat gratisan makan.
"Gue lagi suntuk nih, Nja. Kehabisan bacaan nih gue. Buku-buku gue udah khatam gue baca berkali-kali."
Gue masih menyantap paha krispi gue dengan khidmat. "Hm."
Mulut gue penuh, ya gue jawab sebisanya aja. Sebelah tangan gue seperti biasa, pegang samsul gue dengan lincah nyekroll atas bawah baca cerita mattpad.
Seru nih cerita, cerita remaja imut-imut kayak gue nih. Genre teenlit namanya kalo nggak salah. Iya dong, tokoh utamanya kan masih sekolah. Unyu, polos, baru tujuh belas tahun kayak gue lagi gitulah. Sekolahnya di sekolah elite, bergengsi dan borju. Juara kelas dan meraih olimpiade nasional, yang bagian ini anggep aja mirip gue yak meski kenyataannya sih ya... agak, beda dikitlah ya. Ah, pokoknya seru cerita teenlit ini berisikan perkawinan si siswa tadi sama gurunya yang kaya raya dan jago ena-ena. Kan seru gitu, ya ampun. Apalagi lihat kepolosan si cewek yang diperdaya si cowok—om-om maksud gue. Kan menghibur gitu.
"Yah, nih bocah nggak di jamban nggak di kamar ngakak mulu kayak kunti."
"Apaan sih kepo amat lu, Bang."
Gue menyembunyikan layar tablet gue dari Bang Al yang ngintip-ngintip. Duh, susah deh punya sodara kepo akut macem ini. Mau gerak susah. Dapet sms tumben-tumbenan dicie-ciein, nggak tau aja orang cuma dari operator. Lagi asyik nonton di kamar nggak mau ikut main, diaduin dituduh lagi nonton vokev. Padahal iya sih. Tapi kan nggak enak gitu. Privasi gue jadi nggak aman.
"Lagi baca mattpad for your information," jawab gue tak acuh.
"Cieee, tumben baca."
Tuh, kan. Gimana gue nggak gemes pengen ngelemparin tulang ayam ke dia?
"Gue lagi baca cerita remaja, Bang. Teenlit. Bukan stensilan yes." Gue menekankan kata teenlit sejelas-jelasnya biar Bang Al paham dan enggak nuduh-nuduh gue di depan Emak. Bisa berabe kalo uang jatah kuota bulanan gue dipotong gegara ketahuan baca stensilan juga di hape.
"Wah, ajib tuh, Nja. Bagus nggak ceritanya? Kalo bagus, gue numpang baca dong. Bosen gue nonton tv, di mana-mana channel isinya berita Dimas Kenceng Taat Ibadah itu. Atau sidang Jessica yang episodenya nggak habis-habis nyaingin Uttaran."
"Lah, bagus dong, Bang. Masa enggak, orang follower-nya aja jutaan. Makin hari makin berlipat ganda kayak selulit Emak. Mending lu jadi pengikutnya tuh pesohor, Bang. Kali aja gue bisa kecipratan duit lu yang digandakan bimsalabim avada kedavra gitu, Bang. Cocok lu Bang jadi kuli angkut duit-duitnya."
Gue terbahak-bahak sebelum sebuah jitakan keras nggak sanggup gue hindari mendarat di kepala cantik gue. Ya amplop, emang cerita ini bakal sampe tamat nyeritain ke-nggak-jelasan gue dan sepupu bujang lapuk gue ini doang apa ya? Ena-enanya manaaa? Yawlaaa, gue pengen demo nih. Rasanya hidup gue nggak adil di dunia mattpad ini. Penulisnya suciii, gue penuh oppa. Eh, dosa.
"Kalo gue jadi pengikutnya, bukan duit yang gue gandain. Tapi lama waktu ngejomblo lu yang gue gandain, Nja. Mau lu?"
Ah, Bang Al nggak kreatif deh. Ngomong aja sampe minjem quotes meme di Insafgan. Meski begitu, gue pura-pura asyik aja nyautinnya.
"Bujubuneng. Amit-amit, ya janganlah, Bang."
Gue sodorin kaca apa ya? Nih bujang kagak ngaca tiap ngebacot. Kan nggak berperikejombloan kalo asal japlak nggak lihat-lihat situasi kondisi. Emang gue tembok yang cuma bisa diem diperlakukan semena-mena. Gue samsak tauk, bisa balikin tinju lebih menyakitkan. Haiyah, enak nih kalo gue mancing Bang Al. "Gue lagi bayar UTANG cerita nih, Bang. Jadi kudu bom komen di lapak temen gue. Ngereview ceritanya. Makanya gue maraton baca. Karena UTANG itu harus dibayar."
Tuh kan, dia ngerasa. Gelagatnya udah kayak ikan kena minyak panas. Menggeliat-geliat salah tingkah. Enak aja dia mau kabur setelah kemarin ngibrit gitu aja begitu kenyang makan sate ayam Pak Daniel. Janjinya mau nraktir, malah gue yang ludes isi kantong bayarin porsinya dia. Emang butuh dihakimi massa nih bujang tukang ngutang. Lagaknya aja songong kayak juragan, utang kagak dibayar-bayar.
"O-Oh. Bacaan apa tadi? Teenlit?"
Eaaak, garuk-garuk kepala dia. Sok-sok nggak berdosa.
"Iya, UTANG cerita. Teenlit. Mau baca, Bang?"
Mata Bang Al udah muter-muter aja ke kanan kiri, atas bawah. "Ya, bukan selera gue sih. B-Baca aja dah. G-Gue mau nyari rokok dulu di warung Bu Sarah."
"Eits! Kan lagi hajatan, Bang. Ya tutuplah." Gue menarik sarungnya, mencegah biar dia nggak kabur. "Teenlit kok, Bang. Baca aja dulu, kali suka. Ada ena-enanya kok. Hot banget malah. Nggak yang bikin males baca karena kebanyakan materi sekolahannya, cinta-cintaan kok. Ringan. Bikin yang baca ikut ngefly."
Senyum kering Bang Al bikin gue tersenyum lebar. Gue meraih piring lain di meja teras yang berisi tiga buah apel merah dan satu yang sudah terpotong-potong. "Yah, ayamnya jatah gue, Bang. But don't worry." Gue mengambil apel merah di tangan. "I have an apple, Bang."
Gue menarik pulpen dari saku gue. "I have a pen juga, Bang."
"Anjir, lu termakan Insafgan ye, Nja."
"Ya kali, gue punya pena buat nyatet utang lu kemarin biar lu tanda tangan di atas meterai, jamin bakal balikin, Bang. Ena aja main kabur. Duit kuota gue tuh. Mending pasang wifi dah tuh, daripada abis mulu buat beli rokok sama buku-buku KW dari Rukopedia. Gue fakir nih, Bang!"
"Yaaa, ya elah, Nja. Pake surat kontrak juga nih? Orang cuma cepek."
"Bodo! Emangnya cuma di mattpad doang yang kawin butuh surat kontrak. Surat utang jugalah, Bang. Biar lu nggak kabur kabur. Buruan tanda tangan. Nanti gue kasih apel. Nih, pulpennya."
"I have a pen, i have an apple... yaaa, ludes duit rokok gue, Nja."
Romance
"Giliran gue. Nggak ada yang lo lewatin kan lobangnya, Nja?"
"Ya elah, curigaan banget sih sama gue, Bang. Udah gue isi satu-satu nih lobangnya. Rata. Emang elu yang demen curang, ngitung dulu baru main."
"Yah, namanya juga usaha, Nja. Ini kan cuma dakon. Cuma permainan doang."
"Pret."
Ngapain juga sih gue bisa berakhir duduk berdua di teras warnet main dakon sama Bang Al gini?
Nggak ada kerjaan banget elah. Hari minggu gini enaknya kan main badminton. Ah, coba kalo gue udah kawin. Gue punya rencana pengen dalam satu minggu ada quality time bareng suami atau keluarga. Olahraga bareng, jogging atau main ping pong gitu. Sarapan bareng, masak-masak bareng gitu. Atau nonton bareng. Jangan tanya, kalo sama suami ya nonton ena-ena dong. Sah-sah aja. Jangan ngiri ya kalian para jombloers ngenes yang kerjaannya cuma bisa berfantasi sama cowok fiksi, di mattpad apalagi.
Akan tetapi ya, gue mengernyitkan dahi juga sih. Warga mattpad banyak banget yang tertarik sama genre romance dibanding genre lain. Teenlit jangan ditanyalah, remaja-remaja labil bakal selalu jadi target abadi pasar. Apalagi kalo ceritanya up to date, gahol gituuu, pasti langsung jutaan viewer-nya di mattpad.
But, gue ini tipe pembaca omnivora, segala genre gue libas dah. Sebanding dengan waktu luang gue yang banyak karena nganggur. Eh, udah kerja part time sih ya di warnet Bang Al. Hohoho. Awal bulan gini abis gajian enaknya beli Es Cendol 69, yang letaknya 69 meter dari warnet. Es Cendol usahanya Mpok Lopi kalo musim kemarau gini. Kalo musim hujan warung cendolnya ganti jadi Ronde Rondo, jual yang anget-anget dan biasanya memuaskan para bapak-bapak kompleks yang meronda malam. Kalau musim kawin, tebak aja jualannya apa?
Jual lingerie masa. Ya ampun, bayangin aja gimana ramenya toko serba ada tiap musim itu. Diserbu para calon manten yang blingsatan kepengen sukses malam pertama. Berbagai merek dan model tersedia di sana, sampai gue kebingungan kudu milih yang mana. Apakah yang bermotif macan? Transparan? Bolong-bolong? Compang-camping? Atau yang bertali doang?
Yah, gue cuma mampir aja lah lihat-lihat sebelum barang-barang sakral itu ludes di tangan para pensiunan jomblo. Kagak beli gue. Cuma gue percaya aja sih, calon suami gue nanti pasti bakal beliin gue lingerie yang lebih hot, lebih seksi dan lebih lebih lebih dari punya mereka. And we'll have a great wild se*x on our once in a life time first night momment. Ulala~ Kapan yaaa Mas Gema nyamperin gue? Udah capek gue duet mulu sama sepupu bujang lapuk gue.
"Bang?"
"Hm? Gue lagi konsentrasi nih, Nja. Diem bentar napa. Siji... loro... telu... siji... loro. Yak, Bedhil! Borong punya lo. Kaya gue nih. Ngahahahahah!"
Yhaaa. Biji sawo yang udah gue kumpulin mati-matian di lobang milik gue di-caruk Bang Al. Perasaan udah gue itung tadi, Bang Al nggak bakal berhenti di lobang kosong itu? Kok bisa sih? Asdfgjkl. Sabar, Nja. Sabar.
Gue tenggelam dalam kekhusyukan mencari lobang berisikan biji sawo yang jumlahnya bisa bikin gue main nggak habis-habis dan membalas dendam atas kekalahan barusan. Ena aja, gue udah belasan tahun memegang rekor pemain dakon dan bekel tak terkalahkan seumur hidup, masa gue kudu kalah tanding sama Bang Al untuk pertama kalinya? Hancurlah segudang prestasi yang susah payah gue raih.
Sekarang gue merambah dunia tulis menulis, gue akan memulai di genre romance. Genre yang menurut gue lebih mudah dibikin daripada genre yang lain. Di mattpad ada kategori genre : Romance, Chicklit, Teenfic, Fantasy, Science Fiction, Humor, Action, Adventure, Classics, Fanfiction, General Fiction, Historical Fiction, Horor, Mystery / Thriller, Non Fiction, Paranormal, Poetry, Random, Short Story, Spiritual, Vampir dan Werewolf. Ada begitu banyak genre di mattpad, tapi menurut pengamatan gue sebagian besar warga mattpad lebih tertarik membuka kategori romance dibandingkan yang lain.
Makanya gue nggak heran, cerita-cerita di genre itu membludak viewers-nya. Meski isinya kadang gue nemu yang nggak sesuai genre tapi nampang di situ bikin gue tersenyum miris. Misalnya gue nemu genre stensilan di cerita romance. Eh, stensilan masuk genre nggak sih?
Ah, pokoknya gue harus bisa bikin cerita romance yang sebenar-benarnya romance. Seperti halnya cerita humor yang sebenar-benarnya humor bikin orang terkencing-kencing karena kelucuannya. Atau bikin cerita chicklit yang bikin wanita-wanita menjadi feminist sejati dan mengangkat harkat serta martabat wanita.
Tapi, gue minim riset nih. Gue butuh bahan buat dijadiin cerita. Apalagi gue belum kawin. Ya kali gue melongo doang kayak lagi nonton vokev di videotron, kemacetan dipenuhi pasangan yang senyum-senyum sambil bergandengan tangan. Lah gue sendirian di tengah-tengah, ngaplo.
Itu yang gue rasakan setiap nulis adegan romance di saat sendirinya gue belom pernah ngerasain hal itu langsung.
"Lu udah pernah pacaran belom, Bang?"
Yah, gue keceplosan, Tuh, kan. Ini topik super sensitif bagi Bang Al. Aura di sekelilingnya langsung kelam.
"Ngapain lo nanya-nanya begituan?"
Kilatan tajam terlihat di mata Bang Al, jawabannya juga ketus banget. Mampos gue salah langkah.
"Ya, nggak kenapa-kenapa sih, Bang. Orang cuma nanya. Mana mungkin seorang Subur Alamsyah nggak punya pengalaman sama sekali dengan makhluk berjenis kelamin perempuan. Bisa-bisaan tetangga berbisik-bisik di usia lu yang udah matang lu belum kawin-kawin, Bang. Mereka pikir lu homo masa. Kok gue ngakak, yawlaaa."
Gue masih sibuk mengisi lobang-lobang dakon dengan satu persatu biji saat terdengar bunyi gemeretuk samar. Gue mendongak. "Eh, busyet. Tuh biji ngapa lu jadiin serbuk gitu, Bang?"
Bang Al mendelik ke gue.
Why? What happen? Emang gue salah ngomong? Gue kan ngomongin fakta.
"Nja, please. Kalo lo pengen pembicaraan ini nggak berakhir dengan pergulatan nyaingin kucing tetangga yang rebutan betina. Mending lo diem deh, jangan lempar-lempar bom. Lalu belagak playing victim, nggak tahu permasalahan. Gue nggak peduli yes, hidup-hidup gue. Ya gue yang jalanin. Biarlah tetangga berkata apa. Nyindir-nyindir kejombloan kita atau nyari-nyari kesalahan. Kita main cantik yes? *Mengko lak mati dhewek." [*Nanti juga mati sendiri]
Hanjer, omongannya sadis banget. Gue manggut-manggut aja.
"Tapi, Bang Al seriusan nggak punya pengalaman sama cewek?" Gue balas dendam atas kekepoan sepupu gue itu selama ini. Lama-lama annoying emang. Makanya gue nggak akan nyerah mengorek luka Bang Al.
"Pernah sekali waktu."
Gue terkejut. Anjir di luar dugaan gue. Gue melebarkan mata antusias. "Anjir, beneran?"
Sebuah koran dipukulkannya ke kepalaku.
"Ye, lo pikir gue nggak pernah apa. Kayak lo?"
Gue mencibir.
"Gini-gini gue pernah merasakan debaran-debaran menggila pada lawan jenis, Nja."
"Masa sih?" Kok gue nggak pernah dapat cerita-cerita dari Bulik tentang Bang Al?
"Jadi, once upon a time." Bang Al berdeham. Gue makin nggak sabar mendengarkan dongengan. "Gue waktu itu ujian kenaikan kelas, Nja."
Mata gue makin melebar. OMG, pas sekolah! Teenlit ini, teenlit! Ini teenlit beneran nih, nggak pake kawin-kawinan. "SD, SMP apa SMA, Bang?" tanya gue penasaran. Super.
"SMP."
Yawlaaa, bayangin Bang Al masih ingusan. Masih ngompolan. Masih imut-imut takut disunat gitu dibanding sekarang yang amit-amit. "Terus-terus, Bang!"
"Ya gitu. Waktu itu ujian kenaikan kelas dua. Gue mau naik kelas tiga. Ujian Bahasa Indonesia kalo nggak salah. Dulu mah anak-anaknya rajin, Nja. Takut nyontek. Bener-bener mikirin sekolah, enggak cinta-cintaan mulu kayak teenlit sekarang."
Iiih, ya ampun. Ini menarik banget.
"Ujiannya susah, Nja. Satu kelas itu kita cuma terdiri dari lima belas siswa. Guru pengawasnya satu. Nah, begonya, gue ketiduran malemnya pas lagi serius-seriusnya gue bikin contekan."
"Hanjer, nyontek juga lu, Bang."
"Yah, nyontek yang susah diinget aja sih, Nja. Nggak semua. Orang bikin contekan kan termasuk belajar."
Gue mendengus. "Di kertas kecil?"
Bang Al menggeleng. Dahi gue mengernyit.
"Di dalem pulpen?"
Bang Al menggeleng lagi.
"Terus di mana?" tanya gue penasaran.
"Di celana dalam."
ASDFGHJKL. Nih bujang binal ya emang. Ngapain juga dia nulis contekan di celana dalam?
"Gue deg-degan, Nja. Lo bayangin, makin deket tuh guru pengawas pas gue nyoba buka celana gue. Gue makin berdebar-debar. Apa ini yang namanya—"
ASDFGHJKL. Gue pukulin gulungan koran ke kepala Bang Al biar mesinnya bekerja. Biar balik waras. "Itu namanya cara nyontek lu kurang canggih, Bang. Anjirlah, nyontek mah pake yang nggak mencurigakan. Segala lu tulis di celana dalam, emang lu mau buka celana lu di kelas? Najong gue punya sepupu macem lu."
"Yah, belom nyampe intinya, Nja. Intinya itu, habis gue kena hukum guru baru yang galak itu. Cewek paling pinter dan cantik di kelas gue akhirnya sekelas sama gue di kelas tiga."
"Kok bisa, Bang? Bukannya kelasnya berdasarkan ranking?"
Bang Al menyengir. "Iyalah, dia nggak masuk pas ujian itu karena sakit cacar air. Pas ujian susulan juga bareng-bareng gue. Katanya dia nggak fokus ngerjain soal karena seruangan ama gue. Gimana? Gue memesona banget kan, Nja? Astaga. Gue jatuh hati sama tuh cewek yang rela nilainya jelek demi bisa sekelas sama gue."
Gue menelan kebenaran yang gue tangkep dari cerita Bang Al. Yah, ini sih bukan romance lovey-dovey dua orang yang sedang jatuh cinta. Ini sih nasib buruk bagi siapa pun cewek yang kena sial karena deketan sama Bang Al. Demi menjaga hatinya, gue menatap dakon gue yang nyaris nggak nyampe setengahnya punya Bang Al.
"Ah, nggak seru. Masa gue kalah mulu. Main yang lain aja gimana?"
Bang Al terdistorsi dari nostalgianya. "Monopoli, gimana? Gue seneng dah ngelus-ngelusin duit."
"Sama! Gue juga hobi ngelus, Bang. Ya udah yuk. Monopoli."
"Tadi ngapain lo nanya pacar-pacaran ke gue, Nja?"
"Buat bahan nulis romance. Tapi ah sudahlah, gue nyari-nyari ke tetangga aja dah, Bang. Curhatan Mpok Lopi juga bisa dipake tuh."
Description: Bosen sama bacaan mainstream itu-itu aja? Pengen sesuatu yang fresh dan baru buat bacaan?
Nyari rekomendasi cerita di mattpad?
Sorry dory, di sini nggak ada. Tapi @kelincibinal, author fenomenal di dunia mattpad bisa ngasih beberapa alternatif. Ikuti cerita gue ya di sini. Bisa dibilang ini prekuel Pinangan (Mas) Editor. All about mattpad akan tertuang di sini. Yeaaah! Ini perjalanan gue menjelajah mattpad sebelum terbang ke Jepang, hiatus dan bertemu Mas Editor.
Ini hanya cerita fiktif belaka, vroh. Kesamaan tempat, nama dan candaan satire memang disengaja. Tidak bermaksud senggol sana-sini, hanya ingin berkarya. Semoga suka dan ketawa.
|
Title: Rentetan Masa Lalu
Category: Non Fiksi
Text:
Pembuka
Pada suatu masa, ada kalanya kita ingin menuangkan kembali segala asa yang telah lalu. Tentang perihal-perihal yang telah kita alami dengan menyisakan beberapa kepingan rindu.
Pada suatu masa, ada kalanya kita ingin kembali ke masa lalu yang telah menjadi butiran-butiran debu. Memaksa kita untuk merangkak mundur, membawa ke dalam perasaan penuh haru.
Pada suatu masa, ada kalanya kita ingin menyisikan segenap waktu untuk sekadar mengenang masa lalu yang telah memberi kita pelajaran dalam memaknai setiap langkah hidup.
Sejatinya, masa lalu ada untuk kita kenang, bukan untuk dilupakan. Toh kita pernah merasakan perihal bahagia di masa itu.
Dan mengenai perihal duka, kita hanya perlu berdamai dengan mereka.
Lalu perlahan, semua kepala akan belajar dari luka, mencoba ikhlas meski meninggalkan bekas.
Dan melalui tulisan ini,
mari kita mengenang masa lalu.
TBC
Reinkarnasi
Terlebih dahulu, izinkan saya menghela napas panjang. Yah, setidaknya saya bisa sedikit lega karena tidak lagi hidup di masa lalu yang sejatinya kelam.
Akan tetapi, entah kenapa rasanya saya ingin mundur beberapa tahun silam. Masa di mana hidup seperti berada di dalam belenggu ketidakberdayaan. Terisolasi dari dunia yang penuh kebebasan.
Memang tidak semuanya pahit, yang manis tentu ada. Dan kerap kali saya atau pun anda lebih cenderung mengingat kenangan-kenangan yang manisnya saja. Hingga lupa di balik kenangan yang pahit, terdapat banyak makna yang bisa merubah masa depan seseorang. Bukan seperti itu?
Untuk itu, catatan kecil ini ada. Mengupas segala kepingan-kepingan masa lalu yang mungkin pernah anda alami.
Untuk itu, catatan masa lalu ini ada. Tentang kisah yang sulit diutarakan. Tetapi melalui tulisan, saya bisa berbagi dengan anda.
Untuk itu, masa lalu saya akan segera lahir kembali. Menyusuri tiap-tiap waktu yang pernah saya lalui. Membawa anda turut merasakan bagaimana perih dan sakitnya ketika hidup berada pada ambang tanpa kepastian.
Dan untuk masa lalu yang telah lahir kembali. Ada banyak kepala di luar sana yang harus sadar akan hadirmu. Bahwa mengenang masa lalu tidak ada salahnya. Why not? Kita boleh saja menyalahkan masa lalu dengan apa yang terjadi pada hidup kita sekarang. Namun, kita juga perlu sadar, jika semua itu sudah menjadi suratan, garis tangan Tuhan.
Baiklah, sekarang reinkarnasi telah terjadi pada anda. Saya tahu itu. Saat anda tadi membaca tulisan di atas, masa lalu tengah memasuki anda secara tidak sadar. Di kepala terngiang-ngiang perihal yang tidak mengenakkan hati. Sakit, bahkan perih jika terulang kembali.
Namun, bukankan telah jauh hari kita telah berdamai dengan masa lalu?
Dan untuk kali ini, saya mengizinkan air mata menetes haru di pipi. Tak peduli jika saya teriak menyesal setelah menulis catatan ini. Karena yang saya tahu ...
masa lalu telah lahir kembali.
Represi Memori
"Menulis kembali kenangan masa lalu butuh sebuah keberanian."
(Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns)
Satu tahun yang lalu, saya pernah menulis seuntai kalimat di dalam buku catatan kecil cokelat saya. Mudah saja bagi kita untuk mengutip masa lalu, tanpa kita ketahui bahwa masa lalu ada, hanya untuk sekadar pelengkap rasa. Berhayal pada kenangan yang dulu pernah ada.
Berbicara tentang 'kenangan', adalah pengikut setia waktu. Meskipun waktu itu adalah gerakan relatif–tidak mutlak kapan akan masuk memainkan temali kesedihan.
Dalam hal ini, kenangan yang saya maksud adalah kepahitan masa lampau yang kini refleks hidup kembali di dalam ingatan.
Satu per satu kepingan memori yang telah retak itu, kini mengalir keluar bagai relai. Kesedihan dan amarah yang sudah lama terbungkus, kembali menguak.
Dan adan perlu tahu. Saat ini juga, saya berada di titik nadir.
I'm hurt. Really! Don't you?
....
Embusan napas lagi-lagi saya keluarkan. Tanya itu lagi-lagi tersemat.
Apakah ini jalan satu-satunya untuk membuat kenangan saya tidak mati sia-sia? Dan hidup sebagai pelajaran berharga bagi orang-orang di luar sana?
And, that's right. Menulis kembali kenangan masa lalu memang butuh sebuah keberanian. Dan saya tahu, saat Pak Iwan Setyawan menuliskan buku autobiografinya. Di lembaran pertama atau yang kedua, rasanya pasti berat. Terdapat kesedihan tersendiri yang melekat. Hingga harus menguras air mata haru.
But now, you have to know, I'm ready too.
Sudah waktunya, giliran saya untuk menyalurkan suka dan duka pada anda semua dalam tulisan dari rentetan masa lalu. Mencoba hidup dari masa lalu dan belajar untuk menyikapinya dengan bijak jika memungkinkan akan terulang kembali–kuharap tidak, sekalipun itu manis.
Dan satu hal lagi.
Sekuat apa pun saya atau anda ingin menghapus memori dari masa lalu, itu tidak akan benar-benang hilang. Memori tersebut akan tetap tinggal dalam ketidaksadaran.
[][][]
Description: Karena setiap kenangan dari masa lalu adalah pelajaran berharga dalam menapaki kerasnya kehidupan di masa mendatang.
|
Title: Retas Peron
Category: Novel
Text:
Aku Merasa Dunia Hancur di Depan Mataku
Hidup hanyalah serangkaian omong kosong. Jika kau menganggap bahwa hidup ini adalah perjalanan, bersiaplah untuk kecewa. Karena kau akan berada dalam perjalanan yang dipenuhi oleh kehampaan dan kehilangan. Meski kau tetap bisa memuja kehampaan itu dengan segala ketidakpastian yang ada di dalam dirimu, kau akan tetap bersedih. Hidup ini penuh dengan tipu muslihat–meski kau sudah menganggap bahwa zaman telah berubah.
Percayalah, kemajuan teknologi telah menciptakan taman bermain baru bagi para bedebah.
Satu yang diam-diam akan membunuhmu adalah media sosial. Sebuah dunia yang kita anggap maya, tetapi mampu menjelma menjadi sesosok pembunuh yang mengendap dan meledakkan jantung manusia. Aku sudah menemukan banyak sekali pembunuh di dunia maya. Mereka bekerja dengan cara yang tak bisa aku duga. Mereka–para pembunuh itu–membunuh perasaan dan diri mereka sendiri.
Aku tak berbohong. Jika kau menganggap bahwa dunia maya adalah dunia yang menyenangkan, mengapa aku selalu menemukan pemakaman perasaan?
Sialnya, aku tak bisa menjauh. Tetap menjadi penghuni dunia maya adalah satu-satunya cara yang dapat kulakukan agar dapat terhubung dengan mereka yang kukenal–juga terhubung dengan mereka yang ingin mengenal. Aku tak punya banyak pilihan. Sepertinya, dibunuh secara perlahan cukup sepadan dengan interaksi yang akan kudapatkan.
---
Dion, seharusnya kau menulis sesuatu tentang cinta yang terpisah jarak. Itu adalah isi pesan yang baru saja muncul di kotak pesan Instagram-ku. Aku bahkan tak mengenal siapa orang yang mengirim pesan itu. Pesan-pesan semacam itu hanya membuatku pusing, sebenarnya. Mengapa orang lain lebih senang memakai kata “seharusnya” daripada “sebaiknya”? Aku lebih senang diberikan saran daripada diberikan perintah.
Ini bukan pertama kalinya aku mendapat pesan dengan isi seperti itu. Sudah berkali-kali kudiamkan pesan-pesan berisi “seharusnya”; membiarkannya mengendap di dasar jurang Instagram. Namun, pesan baru–dengan isi serupa–selalu datang. Membaca permintaan-permintaan–yang terlihat sebagai tuntutan–membuatku hilang keseimbangan. Aku mulai menganggap bahwa hobiku menulis catatan di dunia maya adalah sebuah kesalahan.
Mengapa orang lain lebih senang menuntut daripada menghargai?
Semua orang sama saja. Di dunia nyata dan dunia maya, semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Setiap pasang mata hanya mau melihat sesuatu yang ingin mereka lihat. Setiap gendang telinga hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar.
Namun, bibir mereka tak pernah ragu berkata tentang apa yang tidak ingin orang lain dengar. Keburukan-keburukan, kesedihan-kesedihan, dan masalah-masalah orang lain adalah bahan obrolan utama bagi mereka. Bahan obrolan yang dapat membuat mereka naik ke tingkat yang lebih tinggi dalam lingkaran sosial. Mungkin itu sebabnya ada banyak sekali akun gosip yang senang membahas keburukan dan hal-hal yang berupa prasangka.
Dibanding membahas kesedihan dan keburukan orang lain, aku lebih senang membahas kesedihan dan keburukan yang ada pada diriku. Mengungkapkan sesuatu yang megoyak perasaanku lebih baik daripada membahas sesuatu yang hanya akan membuat orang lain jatuh semakin dalam.
Jika menulis adalah terapi, maka aku akan menggunakannya untuk menenangkan diriku sendiri. Tanpa paksaan dari orang lain; tanpa diarahkan oleh pribadi lain. Hidup adalah tentang memperbaiki diri, bukan menghancurkan orang lain untuk meninggikan diri sendiri.
Entah. Kadang, aku merasa dunia sudah hancur di depan mataku. Namun, aku hanya bisa menutup mataku sejenak dan mengalihkan pandangan ke sudut lain–yang setidaknya sedikit lebih indah dari kehancuran itu.
Sekarang, setelah kau berkenalan dengan kepalaku, saatnya kau berkenalan denganku. Perkenalkan, namaku Dion. Sejujurnya, aku punya nama lengkap yang unik, tetapi aku lebih suka dipanggil Dion–dan orang-orang lebih mudah memanggilku dengan nama itu.
Nama panggilan itu pertama kali keluar dari mulut seorang perempuan yang kutemui ketika aku SD. Ia bilang, kelak aku akan bernyanyi dan terkenal seperti Celine Dion. Aku bisa saja bilang padanya bahwa aku tidak mungkin menjadi seperti Celine Dion karena aku adalah lelaki dan aku benar-benar buruk dalam hal bernyanyi, tetapi aku lebih memilih untuk menangis dan membiarkan ia terus memanggilku dengan nama Dion pada hari-hari berikutnya.
Ibuku bilang, tak ada salahnya jika aku dipanggil Dion. Nama itu memang ada dalam nama lengkapku. Aku hanya tak terbiasa mendengarnya. Kata ibuku, nama itu jauh lebih baik daripada nama panggilanku sebelumnya. Jauh lebih sederhana dan tak membuat orang lain kesulitan mengucapkannya.
Sampai saat ini, nama panggilan itu masih melekat padaku–meski aku tahu bahwa aku tak akan mewarisi talenta Celine Dion sampai kapan pun–atau mengiringi cerita sedih sepasang manusia yang meninggal ketika kapal menabrak gunung es.
Hidup Bebas dan Bahagia
“Hei, di mana kereta yang akan menuju Stasiun Jakarta Kota?” tanya seorang perempuan padaku di antara ingar bingar stasiun yang entah mengapa dipenuhi oleh orang-orang yang sedang membawa ransel besar.
“Di jalur tiga.” jawabku sembari menunjuk papan informasi yang bertuliskan angka tiga. Informasi ini sangat sederhana, sebenarnya.
Perempuan itu memandang papan yang tergantung di atap peron dan terdiam untuk beberapa detik. Sepertinya, ia sedang mempertimbangkan apakah aku benar atau salah. Aku suka saat-saat seperti ini; ketika seorang perempuan berpikir untuk mengambil keputusan lalu bertaruh dengan hal-hal apa yang akan ia hadapi jika mengambil keputusan itu. Bagiku, kadar manis seorang perempuan akan bertambah ketika ia sedang berpikir.
Seketika, aku menyukai mata dan bibirnya. Ia punya pandangan yang cukup lembut. Dan aku tak mengerti bagaimana gerak bibirnya berhasil mendukung keindahan yang matanya. Ia membuatku ingat pada seorang mantan kekasih yang mengisi duniaku ketika SMA, seorang perempuan sederhana bernama Clara Wey.
Kupikir, tak ada salahnya jika aku balik bertanya padanya. “Hei, kau ingin ke–“
“Oke. Dah.” Ia membalikkan tubuhnya lalu pergi menjauhiku.
Kurang ajar sekali. Ia meninggalkanku sebelum aku menyelesaikan pertanyaanku. Ia membuatku merasa bahwa aku adalah seseorang yang tidak penting–meski aku memang tidak pernah merasa bahwa hidupku penting.
Tetapi, maksudku, mengapa sulit sekali mengucapkan “terima kasih”–atau setidaknya bertukar nama dan nomor telepon? Kini ia benar-benar membuatku ingat pada Clara Wey. Perempuan itu juga meninggalkanku dengan cara yang menyakitkan dan menimbulkan pertanyaan.
Pada zaman ini, berharap dihargai oleh orang lain hanya akan menyakiti diri sendiri. Orang lain hanya ingin mencari apa yang mereka mau, lalu meninggalkannya ketika mereka sudah tak lagi menginginkannya. Manusia berkembang menjadi sekeji itu. Dan cara bertahan hidup adalah menyesuaikan diri dengan mereka–walau itu membuatmu berkali-kali menghancurkan perasaanmu sendiri.
---
“Mau sampai kapan jadi budak korporat?”
“Ah, biar saja. Tidak ada pilihan lagi.”
“Alasan. Hidup itu dicari dari diri sendiri, bukan mengikuti arus.”
“Berisik! Kau juga masih belum berhasil! Masih miskin!”
Mendengar dua orang lelaki bertengkar di dalam kereta berhasil membuatku bertanya-tanya mengenai dua hal: apakah hidupku juga sedang mengikuti arus, dan bagaimana cara menendang mereka di stasiun berikutnya.
Mereka punya hak untuk bertengkar dan berpendapat, tetapi tidak di dalam kereta yang–sialnya–berdesakan dan beraroma ketiak basah di setiap sudutnya. Akhir-akhir ini, perjalanan kereta Bekasi-Jakarta selalu diisi dengan hal-hal yang kurang menyenangkan; tangisan anak-anak, aroma tubuh yang mengoyak hidung, pertengkaran manusia, hingga gerak-gerik para lelaki mesum yang dengan cepat menempelkan anggota tubuhnya jika ada perempuan cantik.
Sebenarnya, pertengkaran dua lelaki ini masih belum seberapa. Pernah pada suatu hari ada sepasang kekasih yang bertengkar tanpa tahu situasi. Aku yang saat itu mencoba tertidur dalam kereta–yang entah mengapa–cukup sepi, menjadi enggan tertidur karena sedang harus mengendalikan emosi.
Sang perempuan meminta agar sang lelaki menyudahi hubungan mereka. Sang perempuan berkata: “Saat kita tiba di stasiun berikutnya, maka saat itu juga hubungan kita selesai.”
Ucapan sang perempuan cukup mendapat banyak tepuk tangan dari penumpang kereta yang lain. Jelas saja, perempuan itu terdengar kuat dan tegas. Ia tidak membiarkan seorang lelaki mengatur arah hubungan dan hidupnya.
Sayangnya, sang lelaki menunjukkan hal yang berbeda. Ia–yang entah sudah jatuh cinta sedalam apa–menangis dan memegang erat lengan kekasihnya. Ia mengucap beberapa permintaan dengan suara yang parau. Pipinya basah oleh air mata. Sang perempuan hanya bisa membuang pandangan ketika seluruh penumpang kereta memandang ke arah mereka. Tak hanya sampai di situ, sang lelaki berlutut sambil memegang telapak tangan kekasihnya–lalu mengucap permintaan maaf seakan-akan ia akan menemui ajalnya.
Entah mengapa, saat itu aku langsung mengerti mengapa sang perempuan ingin meninggalkannya. Tak ada yang ingin dicintai dan dikekang secara berlebihan, termasuk aku dan Clara Wey–aku sudah mencoba untuk tidak mengingatnya tetapi ternyata tidak berhasil.
“SAYA MEMANG MISKIN, TETAPI SAYA BUKAN BUDAK PERUSAHAAN!” Pertengkaran dua orang lelaki di dalam kereta masih berlanjut. Jika aku boleh memprediksi, dua pemuda ini adalah sepasang sahabat atau semacamnya. Mereka terlihat akrab meski sedang bertengkar.
“HALAH, BANYAK OMONG! HIDUP BEBAS DAN BAHAGIA ADALAH OMONG KOSONG!” teriak salah seorang lelaki yang kemudian meninju dinding kereta. Untung saja ia tidak salah menyarangkan tinjunya. Jika ia salah menyarangkan kepalan tangannya dan menghancurkan kaca, aku akan jadi orang pertama yang bertepuk tangan untuknya.
Dua lelaki itu kemudian ditenangkan oleh seorang lelaki tua berperut buncit. Sayang sekali, pikirku. Padahal, jika perdebatan itu terus berlanjut dan ada perkelahian secara fisik, aku akan sangat terhibur dalam perjalanan menuju tempat kerja pagi ini.
Ah, mengenai perdebatan mereka, kurasa ada benarnya juga. Aku setuju pada salah satu lelaki yang mengatakan bahwa hidup bebas dan bahagia adalah omong kosong.
Berpikir Tentang Kematian
Hidup bebas dan bahagia adalah omong kosong.
Hidup bebas dan bahagia adalah omong kosong.
Hidup bebas dan bahagia adalah omong kosong.
Aku terus mengulang kalimat itu ketika aku berjalan kaki dari Stasiun Cawang menuju tempat kerja. Demi menekan biaya transportasi, aku terpaksa mengandalkan kaki dan menolak tawaran dari para supir angkutan umum. Ada buku yang harus kubeli akhir bulan ini; satu-satunya hal yang membuatku belum menyerah pada pekerjaan yang kugeluti saat ini.
Hidup. Bebas. Dan. Bahagia. Adalah. Omong. Kosong.
Tiba-tiba aku teringat pada Samuel, rekan kerjaku yang selalu berpikiran positif–meski pekerjaan selalu mencoba memecahkan kepalanya setiap hari. Menurut Samuel, setiap manusia diciptakan untuk suatu tujuan besar. Semua sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Manusia hanya perlu menjalani setiap fase dalam rencana yang telah dibuat.
Itu terdengar sangat bijak dan idiot di saat yang bersamaan. Maksudku, aku tentu saja tahu bahwa semua sudah direncanakan oleh Sang Pencipta. Namun, bagaimana aku bisa tahu bahwa aku sedang berada di jalanku jika aku tidak mencoba melawan arus atau mencoba jalan lain? Baiklah, kau mungkin bisa menyebutku sesat atau semacamnya, tetapi kau perlu tahu bahwa aku masih percaya pada Tuhan.
Sejujurnya, berbicara dengan Samuel sering membuatku merasa seperti orang berdosa. Bagiku, Samuel adalah jelmaan dari buku-buku motivasi dan agama yang diselimuti debu di rak perpustakaan. Samuel paham cara bersikap yang baik, dan ia juga paham cara mensyukuri hidup walaupun sedang ditimpa bencana. Sehari-hari, ia tak hanya mengajariku tentang bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga tentang bagaimana cara memandang kehidupan.
Setiap kali selesai bicara dengan Samuel, aku merasa bahwa kedua mataku telah terbuka–pada hal-hal yang sebelumnya hanya kupandang sebelah mata. Tak jarang, aku merasa telah berubah menjadi sosok baru setiap kali Samuel memberikan petuahnya dengan penuh ambisi. Namun, sayangnya, setiap kali aku sampai di rumah, aku tetap melihat sesosok pemberontak kecil di hadapan cermin.
Maksudku, aku bisa saja diberikan motivasi yang kemudian berhasil mengubahku menjadi sesosok Mario Teguh atau Oprah Winfrey. Namun, itu tak akan berlangsung lama. Tak peduli betapa hebatnya aku ditempa dalam satu hari, ketika malam datang, aku kembali menjadi diriku sendiri.
Dalam hal pekerjaan, Samuel jauh lebih disiplin dariku. Ia selalu datang–atau berusaha datang–tepat waktu. Sedangkan aku hanya seorang pekerja yang gemar bermain dengan waktu tidurku. Perkiraanku mengenai ketepatan waktu selalu meleset. Maka, tak aneh jika suatu hari nanti Pak Bos akan menegurku karena ketidakmampuanku mengatur waktu. Aku memang payah.
“Sam, apakah hidup bebas dan bahagia adalah omong kosong?” tanyaku pada Samuel ketika ia menjauhkan diri dari meja kerjanya. Aku hanya bisa mengajaknya bicara ketika ia sedang menjauh dari layar komputer yang menjadi dunia keduanya.
Baginya, pekerjaannya adalah sebuah tugas penting yang selalu melibatkan seratus persen konsentrasi dan setulus-tulusnya hati–dan aku jelas tak memandangnya dengan cara seperti itu.
“Tergantung, Dion. Bebas seperti apa yang kau maksud?” Samuel menaruh kacamatanya di saku kemeja. “Jika kau ingin bertanya, tanyakanlah dengan lebih jelas.”
“Maksudku, apakah sebenarnya kita tak bisa hidup bebas dan bahagia? Banyak orang yang berbicara bahwa kebebasan adalah sumber bahagia nomor satu. Aku membacanya di buku-buku pergerakan anti kemapanan. Ada juga yang berkata bahwa untuk bahagia, kita hanya perlu mengikuti ke mana arah hati kita ingin berada. Namun, apakah semua hal itu benar-benar ada di dunia nyata?” tanyaku. Kali ini aku bertingkah seperti seorang filsuf. Aku menempatkan tangan kananku di samping dahi dan meletakkan kaki kananku di atas kaki kiri. Semalam aku baru saja membaca kisah hidup Plato.
“Begini, Dion,” Samuel menarik kursinya agar ia bisa lebih dekat denganku. Ia jarang sekali berbicara dengan suara kencang. “Setiap manusia, termasuk kau dan aku, diciptakan untuk bahagia dengan cara yang berbeda. Kadang, bahagia hanya tentang bagaimana kita memandangnya. Kau bisa bahagia walau isi dompetmu kosong. Kau bisa bahagia walau tak punya kekasih selama sepuluh tahun. Dan–”
“Wah, kurasa yang satu itu agak sulit,” potongku.
Samuel diam sejenak. “Oke. Lupakan yang satu itu. Aku juga tak tahan jika tak punya kekasih selama sepuluh tahun,” ucapnya. “Bisa kuteruskan?”
“Tentu,”
“Dan kau bisa bahagia walau tak punya pekerjaan. Bahagia itu relatif. Sama seperti kebebasan. Kita punya makna yang berbeda untuk setiap kebebasan.”
Aku menggaruk kepalaku, pertanda bahwa pembahasan ini mulai membosankan dan sedikit rumit. “Contohnya?”
“Kebebasanku sederhana. Ketika aku bisa bernyanyi di mana saja dan kapan saja, maka aku sudah merasa bahwa aku memiliki kebebasan.”
Kuakui, Samuel adalah penyanyi dengan suara yang sangat merdu. Aku selalu merinding setiap kali mendengar ia bernyanyi. Hanya saja, aku jarang memberinya pujian atau sanjungan. Aku tak ingin ia meninggi hanya karena sering dipuji. Aku ingin ia tetap berkembang dengan mendengarkan saran, kritik, ataupun ejekan. Pujian hanya akan membuatnya lemah dan merasa puas. Di sisi lain, aku kadang merasa iri.
Aku mengangguk dan memandang langit-langit. Ada banyak jaring laba-laba di atas sana. “Salahkah jika aku menjadi budak korporat?” tanyaku. Pertanyaan ini sudah ada di dalam kepalaku sejak tadi.
“Aha! Aku sudah tahu akan ke mana arah bicaramu. Hei, Dion, dengarkan aku,” ucap Samuel sambil menggelengkan kepalanya. “Sekarang lebih baik bersyukur saja. Banyak orang di luar sana yang membutuhkan pekerjaan. Kau beruntung bisa duduk di sampingku dan berbagi penat bersama. Jika kau sedang jenuh bekerja, cobalah ingat betapa bahagianya dirimu ketika mengecek saldo tabungan di awal bulan.”
Sebenarnya, aku hanya ingin bertanya lebih lanjut mengenai kebebasan–dengan mengambil contoh budak korporat. Namun, karena aku merasa bahwa Samuel sudah mulai geram dengan pertanyaanku, aku lebih baik menghantikannya. Aku tak ingin ada perkelahian di tempat ini. Lagipula, aku dikenal sebagai seorang lelaki dengan cara berkelahi yang buruk. Aku tak akan bisa berkelahi dengan baik jika amarahku belum benar-benar terpancing.
“Hei, Dion, apa kau tahu? Hidup ini penuh teka-teki. Aku senang kau terus bertanya tentang hidup. Dan aku senang bisa menjawab pertanyaanmu satu demi satu.”
“Tak masalah,” kataku. “Sam, bolehkah aku bertanya kembali?”
“Silakan.”
“Jika hidup bahagia adalah omong kosong, maka apa gunanya hidup?”
“Ah, dasar menyebalka. Dengar, pertanyaan serupa juga akan kuberikan padamu. Jika kau menganggap bahwa hidupmu tak bahagia, mengapa kau tak mati saja?”
“Mati? Seperti bunuh diri atau semacamnya? Sam, aku memang tak terlalu mengerti tentang agama. Pemahamanku mengenai kitab suci masih bisa kau ukur pakai ujung kuku jari manismu. Tapi, setahuku, bunuh diri adalah perbuatan yang tidak disukai oleh Tuhan. Dosa.”
“Nah, kau pasti membayangkan bahwa cara bunuh diri adalah dengan minum racun tikus, gantung diri, atau menembakkan peluru menembus otakmu. Sebenarnya, kau tak perlu bunuh diri dengan cara seperti itu. Dengan makan makanan tidak sehat, malas berolahraga, dan jarang berpikiran positif, sebenarnya kau juga sedang membunuh dirimu sendiri.” ucap Samuel. Kini ia terdengar seperti guru olah raga yang memarahiku karena aku tak rajin berolahraga–tanpa mau menyadari bahwa perutnya buncit.
“Lalu, bagaimana caranya agar aku bahagia?”
“Kau akan menemukannya dengan caramu sendiri. Aku tak tahu bagaimana bentuk bahagia milikmu. Yang kutahu, kau harus kembali percaya pada dunia–juga pada orang lain.”
Aku tak yakin apakah aku bisa bahagia. Seperti yang pernah kubilang sebelumnya, hidup adalah serangkaian omong kosong. Dan aku hanyalah tokoh yang dilibatkan di dalamnya tanpa kejelasan dan penalaran. Beberapa bulan lalu, aku memang sering berpikir untuk mengakhiri hidup. Pernah pada suatu malam aku membeli silet untuk memecah urat nadi. Namun, setelah kupikir-pikir, cara itu terlalu sakit dan aku benci melihat darah.
Aku juga pernah membeli tali untuk mengikat leherku dan bermaksud menggantungkan tubuhku di batang pohon beringin. Namun, lagi-lagi niatku gagal karena tak ada pohon beringin di sekitar rumah. Yang ada hanya pohon cabai dan pohon taoge–yang jika kupaksakan untuk menggantung diriku maka pohon itu yang akan mati.
Racun tikus? Racun serangga? Racun dunia? Sudah pernah kusiapkan di atas meja. Namun aku membatalkan niatku untuk meminumnya ketika sadar bahwa diriku bukanlah tikus, serangga, apalagi dunia. Entah. Meminum sesuatu yang tidak diperuntukkan untukku rasanya seperti sedang menyakiti hati dan pendirianku.
Aku pernah berpikir untuk mati dengan cara yang sederhana: terjun dari gedung pencakar langit tanpa parasut. Sayangnya, aku takut ketinggian. Dan aku tak ingin merepotkan orang lain untuk membersihkan tubuhku yang berantakan di trotoar jalan. Hidupku sudah menyusahkan orang lain. Aku tidak ingin kematianku juga menyusahkan orang lain.
Semua hal bodoh itu pernah bersarang dalam hidup dan kepalaku sebelum Samuel mengajakku untuk bekerja bersamanya. Samuel menyelamatkanku dari kematian–dan ia tidak akan pernah menyadarinya.
“Sam, apakah benar bahwa hidup adalah teka-teki?” tanyaku.
“Kurasa, begitu. Kau takkan pernah bisa menebak apa yang akan terjadi esok, lusa, atau bulan depan. Kau tidak akan tahu apa yang akan dunia berikan padamu. Mungkin kekayaan, mungkin pengetahuan, atau mungkin, kekasih yang kelak akan bersanding denganmu di pesta pernikahan. Kau bisa menebak, tetapi kenyataan takkan pernah tertebak.”
Hari ini aku kembali berpikir tentang kematian. Aku ingin mengakhiri hidup dengan menelan soda api sembari memenuhi pernapasanku dengan kobaran api. Namun, ada beberapa pertanyaan yang muncul dalam otakku. Apa yang akan terjadi esok hari? Apa yang akan terjadi sore ini? Apa yang akan terjadi pada pesta pernikahanku nanti?
Aku tidak akan mati hari ini. Aku tidak akan membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu hilang karena aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku ingin tahu sejauh mana hidup akan mencemooh diriku dan pikiranku. Setidaknya, aku ingin berada di sana; di titik di mana dunia benar-benar menunjukkan bahwa aku memang tidak ditakdirkan hidup bersama kebahagiaan.
“Sam, pekerjaan apa yang perlu kulakukan hari ini?” tanyaku.
Samuel menggeser beberapa kertas yang ada di meja. “Kau bisa membantuku mengetik beberapa laporan dan menyusun arsip-arsip yang belum sempat kubereskan kemarin.”
“Hanya itu?”
“Ah, selain itu, kau juga harus mendengar ceritaku. Aku akan bercerita tentang apa yang terjadi kemarin, tepat setelah aku sampai di rumah dan kekasihku tiba-tiba datang memberi kejutan.”
“Baik. Akan kudengarkan.” kataku. “Tetapi aku butuh sekaleng soda. Tenggorokanku kering sekali. Dan yang bisa menghilangkan kekeringan itu adalah sekaleng soda atau sekaleng bir atau sekotak susu atau segelas teh atau secangkir kopi.”
“Astaga. Selalu saja meminta sesuatu. Bagaimana jika kita mencari segelas jus di luar sana?”
“Sepakat.”
Kali ini, Samuel menyelamatkan nyawaku lagi.
Description: Hidup bahagia adalah serangkaian omong kosong.
|
Title: Rahasia Twilight Orb
Category: Fantasi
Text:
Part 1- Swan Castle
“Ahhh!”
Terdengar suara erangan seroang pria di tepi Swan Lake. Tubuhnya penuh luka. Darah segar masih menetes dari mulut dan sebagian tubuhnya yang terluka. Beberapa menit yang lalu, ia berjalan terseok-seok dari sebuah hutan. Dan kini, ia tak lagi berdaya untuk berjalan lebih jauh. Tubuhnya terjatuh di terpi Swan lake.
“Siapa saja, tolong aku,” erangnya lagi.
Matanya sayu, kedua bola mata itu memancarkan penderitaan dan rasa sakit yang teramat dalam. Napasnya terengah, dadanya naik turun. Sebisa mungkin ia menghirup banyak oksigen agar ia tidak mati di sana.
Puteri Odette, tengah bermain bersama angsa peliharaannya di Swan Lake. Ia tampak begitu menikmati indahnya sore hari, yang dihiasi warna jingga di langit. Ia tampak begitu memesona dibawah sinar jingga yang terpantul dari Swan Lake.
“Ahhhh!” Kembali pria itu mengerang.
“Kau dengar itu, Odette?” ucap Swan yang tersadar saat ia mendengar suara erangan itu.
“Dengar apa?” tanya Odette yang masih asyik bermain air.
“Suara erangan,” kata Swan.
“Aku tidak mendengar apa-apa,” kata Odette. “Mungkin itu hanyalah halusinasimu saja, Swan.”
“Apakah kamu yakin begitu?” tanya Swan ragu. “Tapi ....”
“Sudahlah, Swan,” kata Odette memotong ucapan Swan. “Lebih baik kita pulang. Sebentar lagi hari sudah gelap.”
“Baiklah,” kata Swan.
Puteri Odette dan Swan keluar dari Swan Lake. Namun, saat mereka hendak beranjak pergi meninggalkan Swan Lake, kembali terdengar suara erangan. Kali ini, Puteri Odette juga bisa mendengar rintihan itu.
“Arghh! Siapa saja, tolong aku.”
Puteri Odette terdiam. Ia menatap Swan yang berjalan di belakangnya. Swan yang juga mendengar rintihan itu, berbalik menatap Puteri Odette. Mereka saling menatap, seolah paham maksud satu sama lain.
“Sudah aku katakan, aku mendengar suara erangan tadi,” kata Swan.
“Ya, Swan. Kau benar,” kata Odette. “Tapi sungguh, tadi aku sama sekali tidak mendegar suara itu.”
“Sudahlah, tidak perlu membahas itu,” kata Swan tidak ingin membuang waktu. “Hari semakin gelap, lebih baik kita cari sumber suara itu.”
Puteri Odette mengangguk setuju. Mereka melangkah menyusuri tepi Swan Lake. Setelah melangkah beberapa meter, mereka melihat ada tetesan darah. Jejak itu berasal dari hutan terlarang di dekat Swan Lake. Odette tercengang melihat bercak darah yang tampak begitu kontras di tepi Swan Lake yang berwarna putih bersih.
“Kau lihat ini, Swan?” kata Puteri Odette. “Menurutku ini adalah bercak darah.”
“Ya, aku juga berpikir demikian,” ucap Swan membenarkan ucapan Puteri Odette.
“Baiklah, kita ikuti jejak darah ini,” ucap Puteri Odette.
Mereka berjalan beberapa meter mengikuti jejak darah yang menuntun mereka ke perbatasan antara Swan Castle dengan hutan terlarang. Di ujung perbatasan itu, seorang pria bertubuh ringkih terbaring lemas. Sudah terlalu banyak luka yang mengakibatkan dirinya kehabisan banyak darah.
Puteri Odette dan Swan berlari menghampiri pria itu. Saat mereka tiba, pria itu sudah tidak sadarkan diri. Puteri Odette sedikit panik. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melihat orang terluka hingga separah itu. Pun ia hanya seorang gadis. Tidak mungkin baginya untuk membawa pria itu pulang ke Swan Castle.
“Bagaimana ini, Swan?” tanya Puteri Odette panik. “Aku tidak mungkin mengangkatnya hingga ke Swan Castle.”
“Begini saja, Odette,” kata Swan memberi saran. “Kau tunggu saja di sini, biar aku pergi ke Swan Castle untuk memminta bantuan.”
“Baiklah,” kata Puteri Odette setuju. “Tapi jangan lama, aku takut pria ini tidak selamat.”
“Kamu jangan khawatir,” kata Swan. “Dia pasti akan selamat.”
Swan terbang menuju Swan Castle. Ia sedikit panik hingga ia sempat hilang kendali dan hampir menabrak patung Puteri Odette yang berdiri di depan Swan Castle. Swan segera memberitahukan berita itu kepada prajurit.
“Kalian berdua pergilah ke perbatasan,” kata Swan tergesa-gesa. “Ada seorang pria yang sekarat di sana. Puteri Odette masih ada di sana bersama pria itu.”
“Baik, kami akan ke sana,” ucap dua orang prajurit yang telah diperintahkan oleh Swan.
Setelah kedua prajurit itu pergi, Swan masuk ke Swan Castle untuk meminta agar pelayan menyiapkan kamar untuk pria itu juga ramuan untuk mengobati lukanya.
***
“Hei, bangunlah,” kata Puteri Odette lirih. “Jangan membuat aku semakin khawatir.”
Hening. Tak ada jawaban dari pria itu. Hari sudah semakin gelap. Wajah pria itu tampak samar-samar di pandangan Puteri Odette. Angin berembus, membuat sekujur tubuhnya menggigil. Ia memeluk pria itu agar tidak mati kedingingan sebelum prajurit datang untuk membawanya.
Setelah menunggu beberapa saat, dua prajurit yang diperitahkan Swan tiba. Mereka setengah berlari agar tiba lebih cepat di sana. Puteri Odette tersenyum saat melihat dua orang prajurit berlari ke arahnya. Sedikit harapan untuk menyelamatkan pria itu mulai hadir. Setelah pria itu ada di Swan Castle, kondisinya akan lebih baik.
“Cepat bawa dia,” ucap Puteri Odette.
“Baik, Puteri,” jawab dua prajurit itu.
Mereka mengangkat pria itu hingga ke Swan Castle. Sementara Puteri Odette berjalan di belakang mereka. Di tengah gelapnya malam, cairan bening sesekali menetes di pelupuk matanya. Ia merasa takut jika ia tak bisa menyelamatkan nyawa pria itu. Meskipun ia tidak tahu pria itu berasal dari bangsa mana. Tetapi, sebagai seorang puteri, ia bertanggung jawab untuk merawat siapa pun yang terluka dan melindungi mereka dari bahaya yang mengancam.
***
“Apakah dia sudah sadarkan diri?” tanya Puteri Odette pada seorang pelayan yang mengobati pria itu.
“Belum, Puteri,” jawab pelayan itu. ”Lukanya cukup parah, dan dia kehabisan banyak darah.”
“Hem, sudah kuduga,” ucap Puteri Odette. “Baik, kamu boleh pergi.”
“Permisi, Puteri,” ucap pelayan itu sembari bergegas meninggalkan Puteri Odette membawa baki berisi obat.
Ratu Odette berjalan beberapa langkah, kemudian duduk di atas singgasananya. Ia meletakkan tongkatnya di meja kecil di sebelah singgasana. Ia menyandarkan tubuhnya ke singgasana. Keningnya mengerut. Ia tidak bisa berpikir jernih selagi pria itu belum sadarkan diri. Belum lagi ia tidak tahu siapa sebenarnya pria itu. Jika pria itu adalah salah satu Dark Heroes, maka Swan Castle ada dalam bahaya. Namun, untuk saat ini, Puteri Odette tidak menemukan tanda-tanda bahwa pria itu berasal dari bangsa Dark Heroes ataupun dari lembah The Dark Lord Abbys—lembah kematian yang dihuni oleh hero kegelapan.
“Mengapa kau tampak cemas, Odette?” tanya Swan saat ia lewat dari hadapan Puteri Odette.
“Pria itu belum sadar,” kata Puteri Odette cemas. “Aku takut tidak bisa menyelamatkan nyawanya.”
“Tenanglah,” ucap Swan. “Dia akan baik-baik saja.”
“Kuharap begitu, Swan,” jawab Puteri Odette lirih. “Baiklah, aku akan istirahat. Selamat malam.”
Puteri Odette meninggalkan singgasana tanpa menunggu jawaban dari Swan. Ia tampak begitu cemas, sampai sampai tubuhnya terasa sangat lemas. Ia berjalan seperti orang mabuk minuman. Swan hanya geleng kepala melihat Puteri Odette yang begitu mencemaskan pria yang bahkan tak ia ketahui asal usulnya.
***
Tiga hari berlalu, namun kondisi pria ringkih yang terbaring di atas tempat tidur itu masih saha belum pulih. Puteri Odette semakin cemas, apakah pria itu masih hidup atau sudah mati sejak ia membawanya ke Swan Castle. Swan sudah beruangkali mencoba untuk menenangkan Puteri Odette. Namun, semua ucapan Swan ditepis begitu saja olehnya.
Luka di tubuh pria misterius itu memang mulai berangsur pulih. Darah yang tadinya terus mengalir, kini sudah tak terlihat lagi. Pun luka di wajah dan sebagian tubuhnya sudah hilang. Namun, ia masih belum sadarkan diri. Itulah yang membuat Puteri Odette tidak bisa tenang. Bahkan tadi malam, ia tidak bisa tidur hanya untuk memikirkan bagaimana nasib pria itu.
“Sudahlah, Odette,” kata Swan. Angsa itu berdiri di sebelah Puteri Odette yang tengah memandangi pria misterius itu. “Percuma saja kau selalu gelisah. Kau bisa duduk di singgasana, dan menantikan kabar baik dari para pelayan.”
“Tidak, Swan,” bantah Puteri Odette. “Tidak semudah yang kau katakan. Jika kau ada diposisiku saat ini, pasti kau akan tahu bagaimana rasanya mengkhawatirkan orang yang tengah sekarat selama beberapa hari dan belum juga sadarkan diri. Bahkan hingga sekarang, kita tidak tahu siapa pria ini. Dari mana asalnya, dan kenapa dia bisa sampai ke Swan Lake.”
“Aku mengerti, Odette,” kata Swan lembut. Ia mencoba menahan nada suaranya agar tetap rendah, sehingga tidak memancing emosi Puteri Odette. “Tapi kau juga harus memikirkan kesehatanmu. Lihatlah dirimu di depan cermin. Matamu hitam, tubuhmu begitu kurus. Bagaimana kau akan memimpin Swan Castle jika keadaanmu seburuk ini.”
Puteri Odette terdiam. Ia mencoba menelisik lebih dalam maksud ucapan terakhir Swan. Seburuk ini? pikirnya. Saat itu juga, ia ingin melangkah pergi, meninggalkan pria itu dan mencari cermin. Menatap betapa menyedihkannya dirinya sekarang. Rambutnya yang berwarna keemasan kini tampak berantakan tak pernah lagi disisir, matanya menghitam karena tidak tidur. Tubuhnya yang ramping kini tampak rata. Sungguh mengerikan.
Namun ia tidak melakukan itu. Ia menepis pikiran buruknya atas ucapan Swan yang menilai dirinya bahkan tak layak disebut Puteri Odette. Ia tetap bergeming. Duduk di tempat tidur, tepat di sebelah pria itu. kedua bola matanya yang sayu, menatap penuh belas kasihan. Andai ia bisa berbuat lebih banyak, mungkin pria itu sudah bisa berbicara dengannya kini. Tapi, ia tak punya kekuasaan lebih. Untuk memanggil Rafaella ke Swan Castel bukanlah hal yang mudah. Ia harus melewati perbatasan dan masuk ke hutan terlarang yang luasnya dua kali lipat Swan Castle.
Pun bahaya selalu mengintai di hutan itu. Ruby dan Parsha tentu takkan membiarkan dirinya lepas begitu saja. Siapa pun yang masuk ke hutan terlarang itu, sama saja dengan menyerahkan nyawanya kepada kedua Dark Heros yang mematikan itu. terakhir kali Puteri Odette masuk ke sana adalah di masa ia masih berusia lima tahun. Ia belum banyak tahu tentang hutan itu.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari perbatasan dan menjelajah di sana. Untung saja orang tuanya segera mengetahui bahwa ia pergi ke sana, sebelum kebaradaanya tercium oleh Ruby dan juga Parsha. Puteri Odette bergidik ngeri jika ia mengingat masa kelam itu. mungkin ia takkan ada di Swan Castle bila ia benar-benar bertemu dengan Dark Heros.
“Ugh!”
Puteri Odette tersentak. Ia tersadar dari lamunanya saat mendengar pria itu merintih kesakitan. Saat pria itu sadar, tanpa sengaja tanganya terkena sisi tempat tidur dan mengenai luka di tanganya.
Puteri Odette tersenyum. Apa yang ia nantikan selamatiga hari, kina terjawab sudah. Swan juga merasa senang melihat pria itu sudah sadar. Pria itu mencoba untuk bangkit, namun kembali tubuhnya terjatuh ke tempat tidur dan ia kembali merintih kesakitan.
“Jangan terburu-buru,” kata Puteri Odette lembut. Suara indahnya terdengar merdu di telinga pria itu. “Kondisimu belum sepenuhnya pulih. Kau perlu istirahat lebih lama lagi.”
Pria itu menatap Puteri Odette penuh arti. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat wanita secantik itu. dibalik wajah yang cantik dan suara yang merdu, Puteri Odette juga baik hati. Sangat mencerminkan kepribadian seorang Puteri Swan Castle.
“Terima kasih, Puteri,” ucap Pria itu lirih. Suaranya terdengar sedikit serak dan sangat pelan. Puteri Odette hampir tidak bisa mendengarnya, hingga ia harus mencondongkan badanya.
“Kau bilang apa?” tanya Puteri Odette.
Pria itu menjadi gugup. Wajahnya memerah, detak jantungnya berpacu lebih cepat. Puteri Odette menyadari hal itu. Namun ia memilih untuk berpura-pura tidak tahu.
“Aku bilang, terima kasih, Puteri,” kata Pria itu sedikit lebih keras. Ia memaksakan diri agar Puteri Odette tidak mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi.
“Oh, sama-sama,” ucap Puteri Odette riang. Puteri Odette kembali ke posisinya semula, di tepi tempat tidur. Ia tak ingin pria itu pingsan lagi hanya karena tidak tahan menatap dirinya. “Sudah kewajibanku untuk menolong siapa saja yang terluka di area Swan Castle.”
Pria itu tersenyum. Ia merasa sangat beruntung bisa terdampar di tempat yang begitu memesona ini. sebuah istana yang begitu besar, didominasi oleh warna putih mengilat dan warna keemasan. Tampak begitu mewah. Sesekali pria itu menyipitkan matanya melihat beberapa perabotan istana yang berkilau. Puteri Odette sesekali terkikik melihatnya. Nanti kau akan terbiasa, pikir Puteri Odette.
“Jika kau berkenan, bisakah kau memberitahukan di mana aku sekarang?” ucap Pria itu sedikit ragu. “Aku merasa tidak asing saat melihat angsa ini dan juga mahkotamu itu. Aku mencoba untuk mengingat, tapi kepalaku terasa pusing.”
“Kau ada di istanaku,” ucap Puteri Odette sembari menebar senyum. “Di Swan Castle.”
Sejenak pria itu diam, menggerak-gerakkan bola matanya sembari mengingat sesuatu yang pernah ia dengar sebelumnya. Sesaat kemudian, ia mengingat sesuatu.
“Apakah kau, Puteri Odette?” tanya Pria itu memastikan bahwa apa yang ia pikirkan benar. “Aku pernah mendengar namamu dari ibuku. Ia bererita tentang keindahan istana Swan Castle dan juga Swan Lake. Ibuku juga mengatakan bahwa di istana ini ada seorang puteri yang sangat cantik.”
Puteri Odette tersenyum malu. Wajahnya memerah mendengar pujian yang indah dilontakan padanya.
“Ya, ibumu benar,” kata Puteri Odette. “Aku adalah Puteri Odette. Kau bisa memanggilku Odette. Cukup hanya pelayan dan para prajurit yang memanggilku Puteri.”
“Tapi, aku hanyalah orang asing di sini,” ucap Pria itu. “Bagaimana mungkin aku akan memanggil namamu begitu saja. Sedangkan kau sudah sangat berjasa untukku. Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya aku jika kau tidak menolongku.”
“Sudahlah,” kata Puteri Odette. “Aku akan lebih senang jika kau memanggil namaku saja. Pun sepertinya, usiamu lebih tua dariku.”
Pria itu menghela napas. Tidak ada pilihan lain. Pun tidak terlalu buruk jika ia memanggil nama wanita cantik itu tanpa kata Puteri.
“Baiklah ... Odette,” kata Pria itu ragu.
Puteri Odett tersenyum. Kemudian wajahnya berubah serius saat ia menyadari sesuatu.
“Oh, ya. Aku hampir saja lupa,” ucap Puteri Odette. Ia meluruskan badannya agar tampak lebih tegap dan berwibawa. “Siapa namamu dan dari mana asalmu? Setelah itu katakan, apa yang terjadi hingga kau bisa terluka begitu parah dan terdampar di tepi Swan Lake. Tapi sebelum itu, apakah kau Dark Heroes?”
Pria itu tertawa geli mendengar pertanyaan terakhir Puteri Odette.
“Tentu saja bukan,” ucap Pria itu. “Namaku Lancelot. Aku pangeran dari kerajaan Euridito. Kerajaan kami di serang oleh sekumpulan Dark Heroes yang dipimpin oleh Hanzo. Mereka menyerang kerajaan kami saat kami tengah lengah. Mereka membunuh kedua orang tuaku dan semua penghuni kerajaan. Hanya aku yang lolos dari pertempuran itu. Hanzo menculik Adikku, Guinevere untuk dijadikan istri olehnya. Beruntung aku bisa melarikan diri dari kejaran mereka. Aku berlari tanpa arah, sejauh yang kubisa. Hingga aku masuk ke sebuah hutan yang tak aku ketahui sebelumnya. Awalnya semua tampak biasa saja. Tak ada yang perlu ditakutkan dari tempat itu. hanya ada pepohonan dan semak belukar yang menutupi tanah. Tapi ....”
Ucapan Lancelot terputus. Ia mencoba untuk duduk agar bisa berbicara dengan lebih rileks. Puteri Odette membantunya duduk. Lancelot bersandar ke dinding, kemudian melanjutkan ucapnnya.
“Tapi, di tengah hutan aku bertemu dengan Dark Heroes. Mereka menyerangku tanpa ampun. Beruntung aku memiliki kemampuan untuk menghindari kejaran mereka. Aku terpaksa mengeluarkan Ultimateku untuk menjauhkan diri dari mereka. Dengan kondisi penuh luka, tentu mengeluarkan ultimate bukanlah hal yang pantas. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Dan saat itu juga, aku melesat dan tergeletak lemas di tepi Swan Lake.”
Puteri Odette terdiam sesaat. Begitu juga dengan Swan yang tampak serius mendengarkan cerita Lancelot. Puteri Odette mencoba merenungkan ucapan Lancelot yang terdengar tidak mungkin. Tapi itu juga mungkin saja terjadi. Karena Dark Heroes bisa datang dan menyerang kerajaan manapun di saat tak terduga. Namun, tidak baik juga jika harus menaruh prasangka buruk pada orang yang tengah membutuhkan pertolongan. Pun Lancelot terlihat baik dan tidak punya niat jahat. Di samping itu juga, ia cukup tampan.
“Menarik,” ucap Puteri Odette. “Aku turut prihatin atas apa yang menimpa kerajaanmu dan yang terjadi pada dirimu saat kau berada di hutan terlarang itu. Tapi jangan khawatir, di sini kau aman. Tidak akan ada Dark Heroes yang bisa masuk ke Swan Castle. Kecuali, Alice dan semua Dark Heroes yang tergabung bersamanya di lembah Dark Lord Abbys.”
“Aku pernah mendengar tentang lembah mematikan itu,” kata Lancelot. “Mereka adalah iblis yang ingin menguasai seluruh daerah di Land of Dawn. Aku juga pernah mendengar bahwa mereka cukup kuat. Ditambah lagi, ada banyak Dark Heroes yang memutuskan untuk menjadi anggotanya. Termasuk pula hero yang cukup ditakuti, Vexana dan Selena.”
“Ya, seperti katamu,” ucap Puteri Odette. “Tapi, jangan khawatir. Untuk saat ini, aku sangat yakin mereka belum berniat untuk menyerang Swan Castle. Dan saat itulah aku harus meminta bantuan pada teman-teman yang lain. Terutama bantuan dari Profesor Gord dan Ratu Aurora. Sudah sejak lama aku membuat perencanaan itu, tapi hingga kini aku belum juga melaksanakannya.”
Lancelot menunduk. Pikirannya mencoba memikirkan apa alasan Puteri Odette menunda rencananya itu. Namun, kondisinya masih terlalu lemah untuk berpikir keras. Terpaksa ia harus kembali melontarkan pertanyaan.
“Kenapa kau menundanya?” tanya Lancelot. “Bukankah akan lebih baik jika kau meminta bantuan secepat mungkin? Alice bisa datang kapan saja. Tidak ada seorang pun yang bisa membaca gerak-gerik wanita iblis itu. Selagi belum terlambat, kau harus melakukannya.”
Puteri Odette tertunduk lemah. Tenaganya terkuras habis saat ia memikirkan alasan kenapa ia menunda perencanaan itu hingga begitu lama. Benar apa yang dikatakan Lancelot. Tidak baik memberi kesempatan terbuka lebar kepada musuh. Namun ia tak berdaya.
Swan menatap Puteri Odette penuh iba. Ia adalah teman Puteri Odette setiap hari. Ia tahu apa yang menjadi beban dalam diri Puteri Odette.
“Lancelot,” ucap Swan lirih. Ia meanatap Puteri Odette seakan meminta persetujuan. Puteri Odette mengangguk. “Kami tidak bermaksud untuk menunda semua ini lebih lama. Kami juga ingin semua kekacauan ini berakhir lebih cepat. Tapi kami tidak berdaya untuk menjangkau Magical Academy yang letaknya di barat Land of Dawn. Dan Ice Kingdom yang letaknya di utara Land of Dawn. Butuh waktu yang lama agar bisa sampai ke sana. Dan pastinya kau mengerti, berapa besar risiko yang harus kami ambil jika melakukan perjalanan sejauh itu. bahkan untuk melewati hutan terlarang saja kami tidak punya keberanian.”
Lancelot mengangguk paham. Kini pikirannya bisa mencerna apa yang berusaha diucapkan oleh Puteri Odette tadi kepadanya. Sesaat ia menyadari akan hal itu. Swan Castle ada di bagian selatan Land of Dawn. Itu artinya, mereka harus menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk bisa sampai ke tujuan. Melewati hutan larangan, desa-desa yang tak pernah diketahui siapa penghuninya. Pun tak ada yang tahu bahaya apa yang mengancam nyawa mereka di luar sana.
Tapi keadaan terus medesak. Cepat atau lambat, Dark Lord Abbys akan menyerang Swan Castle dan semua kerajaan di Land of Dawn. Apapun risikonya, mereka harus bertemu dengan Profesor Gord dan Ratu Aurora. Hanya merekalah yang bisa membantu Puteri Odette melindungi Swan Castle dan juga tanah Land of Dawn.
Puteri Odette bangkit. Ia mengusap pipinya yang basah karena linangan air mata. Ia berbalik dan meninggalkan Lancelot bersama Swan.
“Aku mau istirahat,” kata Puteri Odette. “Aku harap, jangan ada yang mengangguku. Swan, kau urus semua selagi aku istirahat.”
Swan mengangguk paham. Sudah terlalu berat beban yang ditanggung oleh puteri Odette. Sejak kedua orang tuanya meninggal, ia harus mengurus semua keperluan di Swan Castle. Swan yang selalu bersamanya tak bisa berbuat banyak.
“Lancelot,” ucap Swan. “Kau istirahatlah. Aku akan meminta pelayan membawakan makanan untukmu. Jangan terlalu banyak bergerak, lukamu belum pulih seutuhnya.”
Part 2- Magical Academy
“Super conductor!”
Prok! Prok! Prok!
Terdengar suara tepuk tangan di area latihan Magical Academy. Eudora yang tengah berlatih terkejut saat pria mengenakan pakaian berwarna putih masuk ke area latihan. Eudora membungkukkan badan, memberi hormat pada Profesor. Kemudian pria itu tersenyum melihat perkembangan pesat pada kemampuan Eudora.
“Hebat, Eudora,” ucap Profesor Gord.
“Terima kasih, Profesor,” ucap Eudora.
Pipinya memerah saat Profesor Gord memujinya. Ini bukan pertama kalinya ia mendapat pujian dari sang Profesor. Di saat belajar pun, Eudora kerap mendapat pujian dari Profesor. Ia gadis yang sangat berbakat di bidang sihir. Sejak berusia sepuluh tahun, ia sudah menunjukkan bakat sihirnya. Dan sekarang, kemampuannya untuk mengendalikan petir sudah semakin hebat.
Profesor sangat bangga atas pencapaian Eudora yang menurutnya luar biasa. Berbekal ilmu yang ia dapat dari Profesor Gord, buku The Secret of Magic, dan latihan rutin, kini ia sudah menjadi penyihir yang andal. Berkat kemampuanya yang luar biasa itu pula, Eudora diangkat menjadi Guardian Heroes di Magical Academy bersama dengan seorang penyihir laki-laki, Harley.
“Asah terus kemampuanmu, Eudora,” ucap Profesor. “Suatu hari nanti, bakat sihirmu akan sangat diperlukan.”
“Baik, Profesor,” kata Eudora bersemangat. “Aku akan berlatih dengan giat.”
Profesor tersenyum bangga. Tidak sia-sia ia mengajar di Magical Academy selama bertahun-tahun. Kini ia memiliki beberapa murid yang sangat berbakat di bidang sihir. Dengan begitu, ia tidak perlu mengkhawatirkan perang yang akan terjadi suatu hari nanti di Land of Dawn.
“Baiklah, lanjutkan latihanmu,” ucap Profesor. “Aku masih ada pekerjaan.”
Profesor Gord meninggalkan tempat latihan. Ia kembali ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan Magic poison yang ia ciptakan untuk menhidupkan kembali roh yang telah mati. Sementara itu Eudora melanjutkan latihannya hingga ia merasa cukup.
***
Seorang pria mengenakan celana berwarna merah bercorak api, dengan selempang menggantung di lehernya, tengah berjalan di lorong Magical Academy. Sesekali ia bersiul memecah keheningan di sepanjang koridor. Setiap malam tiba, sebelum tidur, Valir sang pengendali api akan melakukan patroli untuk memastikan tidak ada murid Magical Academy yang masih berkeliaran. Jika dirasa semua murid sudah kembali ke kamar masing-masing, barulah ia akan tidur.
Saat melewati tempat latihan, samar-samar ia mendengar suara berisik. Terdengar seperti suara kegaduhan. Ia segera berlari untuk memastikan apa yang terjadi. Saat ia berdiri di depan pintu ruang latihan, ia melihat Eudora sedang berlatih. Ia mendekati wanita petir itu untuk memintanya berhenti dan pergi tidur.
“Hei, Ratu Petir,” kata Valir. “Ini sudah malam. Kau boleh melanjutkan latihanmu besok pagi.”
“Sebentar lagi,” kata Eudora tanpa menoleh. “Aku hampir selesai.”
“Aku tidak peduli kau hampir selesai atau tidak,” kata Valir tegas. “Aku hanya ingin kau menghentikan latihanmu dan pergi tidur.”
“Kau sungguh cerewet, Valir,” ketus Eudora. “Baiklah, aku pergi”
Eudora meninggalkan tempat latihan. Sama sekali ia tak menoleh ke arah Valir sampai ia lenyap di balik pintu. Valir keluar dari tempat latihan dan menutup pintu. Ia kembali melanjutkan patrolinya hingga ke bagian belakang Magical Academy. Setelah semua tempat ia periksa, barulah ia tidur.
***
Land of Dawn yang hijau dan indah, kini telah berubah menjadi lautan perang. Dark Lord Abbys yang dipimpin oleh Alice tiba-tiba saja menyerang Magical Academy. Semua murid yang belajar di Magical Academy berhamburan keluar. Semua berbaris di belakang sang profesor. Harley berdiri di belakang Profesor Gord dengan sebuah kartu joker di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam tongkat sihir. Sementara Eudora berdiri tepat di sebelahnya mengenalan jubah putih dengan rambut tergerai. Matanya penuh amarah, seperti petir yang siap untuk menyambar.
Di hadapan mereka, beridiri beberapa Dark Heroes yang sudah sangat siap untuk merebut Magical Academy. Tampak Alice yang menyeramkan dengan sepasang sayap kelelawar di punggungnya. Kukunya yang tajam menambah kengerian pada dirinya. Di belakangnya berdiri para Dark Heroes yang memutuskan untuk begabung bersamanya. Vexana, Leomord yang tengah menunggangi kuda, dan juga Selena. Tak lama kemudian, Hanzo tiba dengan sebilah pedang yang besar.
“Apa yang kalian inginkan, wahai para Iblis?” ucap Profesor Gord tegas. Ia mengatur suaranya agar tak bergetar sedikit pun. “Apakah kalian sudah cukup kuat untuk mencoba bermain-main dengan kami?”
Suasana ngeri yang terasa sejak tadi, diubah menjadi gelak tawa oleh para Dark Heroes. Pertanyaan Profesor Gord seakan membuat mereka merasa geli.
“Profesor Gord,” kata Alice dengan nada meledek. “Harusnya aku yang bertanya padamu. Apakah kau dan semua murid sihirmu itu sudah cukup kuat untuk menentang kami? Lihatlah dirimu dan semua penyihir tak berguan itu. Apa yang bisa dilakukan oleh dirimu? wanita petir itu dan juga anak kecil yang bermain kartu itu? Apakah kau berpikir bahwa kami datang untuk bermain kartu di tengah derasnya hujan dan membuat api unggun dengan api anak didikmu, Valir? Sungguh konyol jika kau berpikir demikian.”
“Hentikan omong kosongmu, Alice,” ucap Profesor Gord tegas. Nada suaranya meninggi. Ia berusaha menunjukkan bahwa ia tak pernah bermain-main dengan ucapannya. “Katakan saja apa yang membuat kalian datang kemari. Jika kalian datang hanya untuk merebut Magical Academy, jangan pernah berharap. Bahkan menginjakkan kaki pun takkan kubiarkan.”
“Wah, terdengar menakutkan,” kata Alice. “Baiklah Profesor Gord yang terhormat. Sepertinya anda tidak bisa diajak bermain sebentar saja. Aku tahu anda sudah sangat marah. Baiklah, aku hanya ingin mengambil magic Poison yang telah kauciptakan itu. Hanya itu, tidak lebih.”
“Hahaha, magic poison katamu?” ucap Profesor Gord. “Tidak semudah itu, Alice. Kau boleh memilikiny setelah aku mati. Jangan pernah beharap lebih, karena untuk menang saja kau belum tentu bisa.”
“Baiklah, akan kubuktikan siapa aku sebenarnya,” kata Alice. Tatapannya menajam. “Lihat saja apa yang akan aku lakukan padamu,”
“Alakazim!”
Bulatan berwarna merah keunguan meluncur dan menghantam Profesor Gord tanpa ampun. Profesor terjatuh tak berdaya. Dengan cepat Alice mengambil Magic Poison itu dari Profesor Gord dan pergi meninggalkan Magical Academy. Eudora berlutut, mencoba menggoyang-goyangakan bahu Profesor agar ia bangun. Harley tak kuasa menahan kesedihannya. Ia berteriak.
“Profesor!”
Harley terbangun. Teriakannya yang begitu keras mampu membuatnya terbangun dari mimpi buruk yang menghantuinya. Ia bangkit, duduk bersila di atas tempat tidurnya. Ujung matanya menangkap bayangan sinar matahari yang masuk menembus celah jendela kamar tidurnya. Ia mengalihkan pananganya pada Valir, yang masih terlelap di sebelahnya.
Di Magical Academy, satu kamar diperuntukkan bagi dua orang. Asrama putera terpisah oleg sebuah koridor yang menghubungan antara Taman dengan laboratorium. Dulunya Harley dan Valir tidur di kamar berbeda. Masing-masing dari mereka mendapatkan satu kamar tidur. Namun, seiring berjalannya waktu, murid di Magical Academy bertambah. Mau tidak mau, Harley harus berbagi kamar dengan Valir yang suka mendengkur.
Sudah berulangkali Harley mengeluh akan kebiasaan buruk Valir. Dengkuran yang keras itu kerap membuatnya terbangun di tengah malam. Dan yang paling membuatnya kesal adalah dengkuran itu kerap membuatnya mimpi buruk. Tapi, Valir selalu berkata bahwa ia tidak mendengkur saat tidur. Bahkan ia akan marah jika Harley mencoba menceritakan hal itu kepada murid wanita, terutama Eudora.
“Sekali saja kau berani mengatakan bahwa aku mendengkur, maka habislah kau!” suara Valir penuh penekanan. Matanya menatap tajam kedua bola mata Harley. Anak laki-laki yang gemar bermain kartu joker itu hanya akan tertawa membalas tatapan keji Valir. Meski ia cukup kesal atas dengkuran itu, ia tak pernah benar-benar melakukan ancamannya. Bagaimanapun, ia dan Valir sudah seperti saudara.
Harley bangkit dari tempat tidur, berjala beberapa langkah menuju jendela. Tubuhnya yang pendek mengharukannya berdiri di ujung kaki agar tangannya bisa meraih daun jendela dan membukanya agar cahaya matahari bisa masuk dan menghangatkan kamarnya. Saat daun jendela itu terbuka, sinar mentari pagi akan menyorot sebuah meja kecil di samping tempat tidur. Di atas meja terletak beberapa buku sihir, tongkat sihir dan kartu joker. Meja berwarna kecokelatan itu memiliki tiga laci yang diisi dengan buku-buku sihir yang tak lagi dibaca. Sementara di sudut kamar, sebuah lemari kayu berdiri tegak. Ukurannya cukup besar, hingga membuat kamar itu terasa sesak. Tak banyak tempat untuk meletakkan perabotan lain di dalam kamar. Di lemari itu, Harley dan Valir berbagi tempat untuk menyimpan pakaian mereka.
Hal yang sama juga terjadi pada setiap kamar di asrama putera dan puteri Magical Academy. Sebuah tempat tidur untuk dua orang, sebuah meja kecil di sebelahnya, dan lemari kayu di pojok. Kecuali di kamar Eudora. Wanita yang kerang dipanggil Ratu Petir itu memiliki keistimewaan dibandingkan semua murid lainnya. Selain ia murid berbakat, Eudora adalah murid pertama di Magical Acdemy. Sejak ia belajar bersama Profesor Gord, Eudora selalu membantu Profesor untuk mengurus Magical Academy terlebih jika ada murid baru.
Profesor Gord memberikannya fasilitas yang lebih baik. Kamarnya lebih luas dari kamar lainya. Kamar itu diisi dengan tempat tidur, dan meja kecil di sebelahnya. Sebuah lemari di pojok, dan sebuah karpet di dekat lemari. Di karpet itulah biasa Eudora melakukan latihan di malam hari, apabila Valir memaksanya untuk meninggalkan tempat latihan. Biasanya Ratu Petir itu akan berlatih hingga larut malam, sampai matanya terasa berat. Tak jarang ia tertidur di karpet itu hingga pagi.
***
Valir terbangun saat cahaya matahari menembus masuk lewat jendela dan menyorot dirinya dengan jelas. Ia duduk, kemudian mengucek-ucek matanya. Kemudian ia menguap, membiarkan mulutnya menganga lebar. Tak ada sedikitpun keinginannya untuk menutup mulut. Sejenak ia tertunduk, mencoba mengumpulkan kesadaranya. Setelah ia merasa sudah cukup segar untuk beraktivitas, barulah ia beranjak dari tempat tidur.
“Kau sudah bangun rupanya, Anak Kecil,” kata Valir saat melihat Harley berdiri di dekat jendela. Berdiri di ujung kakinya agar bisa melihat taman di luar jendela. “Aku kira kau masih terlelap hingga Profesor datang membangunkanmu.”
“Hentikan ocehanmu, Valir,” kata Harley tanpa menoleh. “Aku bisa saja mengatakan pada Eudora bahwa kau selalu mendengkur dengan sangat keras setiap malam. Terus saja memanggilku Anak Kecil, dan lihatlah betapa malunya dirimu saat Eudora tahu rahasiamu.”
Valir tersenyum tipis. Berjalan beberapa langkah mendekati Harley. Ia berdiri tepat di sebelah Harley. Tangan kanannya bertengger di pundak Harley. Dengan posisi seperti itu, akan tampak sangat jelas bahwa Harley memang pantas disebut Anak Kecil. Bahkan tingginya hanya sampai sepinggang Valir.
“Perlu bantuan?” tanya Valir menawarkan. Namun pertanyaan itu terdengar seperti hinaan bagi Harley.
“Tidak perlu,” kata Harley. “Aku akan pergi menemui Profesor. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Terima kasih untuk tawarannya.”
“Hey, Anak Kecil, maksudku Harley,” kata Valir. “Kenapa kau langsung pergi? Apakah kau marah atas tawaranku barusan? Percayalah, aku hanya ingin membantumu. Itu saja.”
“Sudahlah, Valir,” kata Harley menyudahi. “Aku tidak punya banyak waktu. Lanjutkan saja ocehanmu setelah aku bertemu dengan Profesor.”
Harley pergi meninggalkan Valir di jendela. Langkahnya begitu cepat hingga ia berdiri di depan pintu. Sejenak ia menghela napas, kemudian berjalan menuju ruang kerja profesor. Saat ia melangkah keluar, samar-samar ia mendengar teriakan Valir.
“Aku harap, kau tidak mengadukanku pada Profesor!”
***
Sebuah lemari kayu berukuran cukup besar mengisi tempat di pojok ruang kerja Profesor Gord. Lemari itu diisi dengan tumpukan buku-buku tua yang mulai menguning. Beberapa diantaranya mulai berdebu. Eudora adalah satu-satunya murid yang ditugaskan untuk merapikan ruang kerja Profesor. Namun, karena kesibukan Eudora dalam mengurus murid baru dan kesibukannya untuk berlatih, ruang kerja Profesor terlihat seperti tempat yang baru di terpa badai. Kertas berserakan di lantai, sementara buku-buku tua tergeletak sembarangan di atas meja kerja. Di dekat pintu masuk, sebuah meja kecil menjadi tempat untuk meletakkan beberapa botol kaca. Di sanalah profesor melakukan pengujian terhadap Magci Poison yang masih dalam tahap pengembangan.
Profesor Gord tengah menulis apa saja yang ia dapatkan dari hasil penelitiannya saat seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya. Sejenak ia terdiam, meletakkan alat tulisnya kemudian menatap ke pintu. Ia bisa melihat bayangan kaki seseorang di bawah celah pintu.
“Masuklah,” kata Profesor Gord.
Pintu terbuka lebar. Kemudian seorang pria bertubuh pendek dengan rambut ikal berwarna keemasan masuk. Wajah itu tidak asing bagi Profesor. Salah seorang murid kebanggaan sang Profesor di Magical Academy. Harley menutup kembali pintu itu, kemudian berjalan beberapa langkah menuju meja kerja Profesor. Ia menundukkan kepala sebagai bukti rasa hormat.
“Apa yang membawamu kemari, Harley?” tanya Profesor sedikit penasaran. Hari masih terlalu pagi. di waktu seperti ini, murid Magical Academy biasanya masih sibuk dengan urusan pribadi mereka. Membersihkan diri, merapikan kamar, dan sarapan pagi. Tentu kedatangan Harley ke ruang kerjanya kali ini menimbulkan tanda tanya. Profesor menatapnya serius. Kedua bola matanya menatap tepa pada kedua bola mata Harley. Kemudian ia tersenyum tipis seolah-olah kedua bola mata Harley memancarkan apa yang dipikirkan oleh pria bertubuh kecil itu. “Apakah kau bertengkar lagi dengan Valir? Katakan, apa yang ia lakukan hingga kau datang sepagi ini. Jika memang ini masalah serius, aku akan mencoba untuk berbicara padanya.”
“Em, ya. Dia memang membuatku kesal pagi ini,” kata Harley sedikit gugup. Ia mencoba untuk memilah kata yang tepat untuk memulai perkataanya. Mimpi itu bukanlah sekadar mimpi. Ia sangat yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Tapi, ia ragu Profesor akan menanggapinya dengan serius. Harley terlalu takut bila Profesor akan menertawakan dirinya dan mengatakan bahwa ia terlalu berlebihan. “Begini, aku datang sepagi ini untuk membicarakan hal penting. Tapi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Valir yang selalu menggangguku.”
Profesor Gord menatapnya serius. Tidak ada ekspresi meremehkan atau niat untuk meledek Harley di wajahnya.
“Katakan saja,” ucap Profesor. Kedua sikunya diletakkan ke atas meja, sementara dagunya bertengger di kedua telapak tangannya. Ia mencoba untuk berekspresi senyaman mungkin agar tidak membuat Harley semakin gugup. Ia bisa melihat kedua kaki Harley yang gemetar dan jari-jarinya yang basah karena gugup. “Aku akan mendengarkan apapun yang akan kau keluhkan. Tidak perlu gugup seperti itu. Kau sudah ada di sini selama bertahun-tahun, dan aku rasa kau tahu bagaimana aku bersikap kepada setiap murid di sini.”
Profesor benar. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari dirinya. Memang terkadang, Profesor Gord tidak segan-segan memberikan hukuman berat kepada muridnya yang melanggar aturan. Tapi, Harley berdiri di hadapannya bukan karena sebuah kesalahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Ya, kau benar, Profesor,” kata Harley. Ia menundukkan kepalanya, menghela napas kemudian menatap Profesor dengan tatapan penuh keyakinan. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak ingin terlihat ragu sedikit pun atas apa yang ingin ia sampaikan. “Tadi malam aku bermimpi. Penguasa lembah kegelapan, The Dark Lord Abbys, yang dipimpin oleh Alice datang ke Magical Academy untuk mengambil secara paksa Magic Poison yang tengah kau ciptakan. Aku sangat terkejut saat melihat para Dark Heroes yang lain turut bergabung bersama dirinya. Dan yang paling mencengangkan, Leomord ada bersama dengan mereka. Saat itu Profesor mencoba untuk menolak permintaan mereka, yang akhirnya membuat Alice murka. Ia menyerah Profesor dengan Blood Ball, hingga Profesor tak berdaya. Dengan Cepat Alice mengambil Magic Poison dan pergi meninggalkan Magical Academy.”
Harley bercerita panjang lebar. Ia berusaha menceritakan sedetail mungkin kejadian buruk di dalam mimpinya. Setiap kata penuh penekanan. Ia mempertahankan ekspresinya agar tak berubah gugup. Sebisa mungkin, ia harus meyakinkan Profesor bahwa ia benar-benar mengalami mimpi buruk itu.
Profesor hanya mengangguk saat Harley bercerita. Ia seakan paham apa arti dari mimpi yang dialami Harley. Ia memanjangkan tangannya di atas meja. Satu tangan meraih alat tulis, mengetuk-ketukkannya ke meja. Menunduk lalu menatap Harley serius. Tatapannya menandakan bahwa ia tahu sesuatu dan ingin mengatakannya pada Harley.
“Harley, apakah ada yang mengikutimu saat kau datang kemari?” tanya Profesor ragu. Sesekali matanya melirik ke celah di bawah pintu, memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. “Aku harap kau datang sendirian.”
Harley terlihat kebingungan. Matanya sedikit melotot saat Profesor menanyakan itu kepadanya. Tidak biasanya Profesor berkata seperti itu. pertanyaan tadi terdengar seperti sebuah ungkapan bahwa akan ada rahasia besar yang ingin disampaikan oleh Profsor.
“Ya, aku sendirian,” ucap Harley yakin. Harley sempat menoleh ke sekeliling sebelum ia masuk ke ruang kerja Profesor. Ia ingin memastikan bahwa Valir tidak mencoba mengikutinya dan mendengar ia menceritakan mimpi itu pada Profesor. Jika Valir mendengar itu, bisa saja Valir akan semakin sering mengejeknya dengan sebutan ‘Anak Kecil’. “Aku bisa memastikan bahwa aku sendirian.”
“Baiklah, aku percaya perkataanmu,” kata Profesor. Suaranya terdengar berat, seperti orang kelelahan. Beberapa kali ia harus menunduk dan menghela napas berat sebelum ia mengucapkan apa yang membuatnya merasa begitu lelah. Harley mengamatinya penuh rasa penasaran. “Perlu kau ketahui, bahwa suatu hari nanti, mimpimu akan mejadi kenyataan. Aku bisa menjamin sesuatu yang akan terjadi bahkan lebih buruk dari mimpimu. Mereka akan datang ke pusat Land of Dawn. Bukan hanya untuk merebut Magic Poison dariku, tapi juga untuk mengusai seluruh daerah di Land of Dawn. Semua kerajaan akan mereka kuasai, termasuk beberapa kerajaan di utara dan selatan. Termasuk juga, Magical Academy.”
Suara Profesor terdengar semakin berat. Entah karena ia memang sedah kelelahan atau kejadian buruk itu yang membuatnya melemah. Harley bisa merasakan beban yang begitu berat tengah menghantui Profesor. Sesekali ia mengangguk paham tentang apa yang disampaikan Profesor. Terkadang pula ia mendongak ke langit-langit ruangan itu, mencoba membayangkan apa jadinya Land of Dawn apabila jatuh ke tangan mereka. Lan of Dawn yang hijau dan makmur akan berubah menjadi lembah kematian yang gelap. Semua Light Heroes akan dimusnahkan.
“Apakah kau tahu kapan mereka akan datang?” tanya Harley penasaran. Pikirannya yang melambung tinggi, membayangkan betapa buruknya nasib mereka jika sampai hal itu benar-benar terjadi. Tragedi yang menimpa istana Moon Elf kala itu sudah cukup untuk membuat seluruh daerah Land of Dawn gempar. Banyak Moon Elf yang tewaspada peristiwa itu. hanya tersisa Miya, si pemanah dan King Estes. Beruntung Tigreal segera tahu berita itu dan membawa mereka ke istana. “Aku harap kita masih punya banyak waktu untuk berlatih dan mmepersiapkan diri. Aku kira mereka tidak sekuat yang bisa kita bayangkan. Aku cukup yakin, aku, Eudora, Valir, dan beberappa murid lainnya mampu menghalau mereka pergi dari sini. Belakangan ini aku melihat perkembangan pesat pada murid yang baru bergabung. Termasuk Nana dan juga Harrith.”
Profesor mendengus. Rasanya terlalu berat untuk mengungkapkan seberapa buruk kemungkinan yang akan terjadi. “Aku tidak tahu kapan mereka akan datang, yang pasti mereka akan datang,” kata Profesor menekankan suaranya pada kata terakhir. “Bagus jika ada perkembangan pesat pada semua murid Magical Academy. Aku turut bangga mendengarnya. Tapi, tidak semudah itu untuk mengalahkan mereka. Bahkan jika seluruh murid magical Academy sehebat diriku, kita tidak akan mampu mengalahkan mereka. Butuh kekuatan yang lebih besar untuk mengalahkan mereka. Aku ragu, sungguh ... aku tidak yakin Land of Dawn bisa diselamatkan.”
“Aku tidak yakin Land of Dawn bisa diselamatkan.” Kalimat itu menggema di telingat Harley. Jika Profesor saja tidak yakin bahwa mereka bisa menyelamatkan Land of Dawn, bagaimana bisa seorang anak bertubuh pendek sepertinya berjuang untuk menyelamatkan Land of Dawn. Namun tidak ada yang salah dengan mencoba. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi sebelum mereka benar-benar mencobanya.
“Apakah mereka sekuat itu? Atau mungkin kita yang terlalu lemah untuk menghadapi mereka?” tanya Harley. Ia mencoba menelisik lebih jauh tentang sesuatu yang terdengar mengerikan di telinganya. Ia bahkan tidak pernah berpikir bahwa penghuni lembah kegelapan akan merebu Land of Dawn. Sejak peristiwa perang di istana Moon Elf berakhir, ia merasa bahwa semua sudah berakhir dan semua penghuni Land of Dawn akan aman. Namun kini, ia menyadari bahwa untuk tidur sedetik pun akan menjadi ancaman yang mematikan. “Sunngguh, aku tidak pernah berpikir bahwa mereka sekuat itu. Ya, aku tahu betapa dahsyat kekuatan mereka saat Alice bersama pasukannya menyerang istana Moon Elf. Tidak ada yang selamat kecuali Miya dan King Estes. Kondisi mereka pun sangat memprihatinkan kala itu.”
Profsor berdiri, menghela napas berat. Ia berjalan beberapa langkah menuju jendela ruang kerjanya. Jendela itu tertutup, hanya ada celah kecil yang memberi ruang bagi caaya matahari untuk menembus masuk. Sesaat kemudian, ia kembali ke meja kerjanya. Duduk di kursi dengan kedua tangan terlipat di dada. Ia menatap Harley, kemudian tersenyum melihat betapa besar rasa ingin tahu murid kebanggaanya itu.
“Mereka sangat kuat, bahkan kau tak akan bisa membayangkan betapa kuat mereka,” kata Profesor Gord. Ia mencoba mengucapkan apa yang sebenarnya, tanpa menutupi kebenaran bahwa penghuni lembah kegelapan bukanlah lawan yang bisa dianggap sepele. Pun ia menyadari, bahwa tak banyak waktu untuk menunda semua itu. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu bahwa akan ada bencana besar yang mengancam nyawa mereka. Harley kini sudah menjadi bagian dari Magical Academy, tidak salah jika ia tahu apa yang memang sepantasnya ia tahu. “Tapi, kau tak perlu khawatir. Aku tengah mempersiapkan Magic Poison sebagai alternatif untuk menutupi kelemahan kita. Dengan Magic Poison ini, Hero yang telah mati saat pertempuran itu akan hidup. Namun, hanya untuk satu kali saja. Jika ia mati untuk kedua kali, ramuan ini tak bisa menolongnya. Pun aku tak bisa membuat lebih banyak dari beberapa mili. Sulit untuk mendapatkan bahan untuk membuat ramuan itu. Aku perkirakan, ramuan itu hanya cukup untuk dua hero saja. Tidak begitu luar biasa, tapi aku rasa itu cukup membantu.”
Suara Profesor bergetar saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya. Tampak jelas keraguan dalam dirinya. Tentu, ramuan untuk dua hero tidak akan memberikan dampak besar bagi mereka. Diperlukan strategi khusus untuk memenangkan pertempuran itu dengan ramuan yang hanya cukup untuk dua hero. Siapa pun yang akan meminum ramuan itu, dia adalah hero yang paling bisa diandalkan untuk melawan para penghuni lembah kegelapan.
“Terdengar mengejutkan,” ucap Harley. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi kebingungan. Ada banyak sekali pertanyaan yang timbul di benaknya. Setiap jawaban yang ia terima dari Profesor, akan menumbuhkan pertanyaan baru dalam pikirannya. “Apakah tidak ada cara lain untuk mengalahkan mereka? Mungkin kita bisa meminta bantuan orang lain. Aku pernah mendengar bahwa ada sebuah kerajaan di barat bagian Barat Daya Land of Dawn. Kalau tida k salah Kerajaan Erudito dan Swan Castle di selatan, juga Ice Kingdom di utara. Kita juga bisa meminta bantuan Tigreal beserta Miya dan King Estes.”
Harley tidak begitu yakin akan apa yang ia katakan. Namun ia mencoba untuk tidak terlihat ragu atas saran yang ia berikan. Ia berharap, Profesor akan mempertimbangkaj saran yang cukup baik untuk diterapkan. Jika Light Heroes bersatu, maka akan terkumpul kekuatan yang lebih besar. Dengan begitu, mereka sedikit lebih kuat untuk menghadapi Alice beserta pasukannya. Profesor menanggapinya dengan senyuman tipis, seolah merasa geli akan saran Harley.
“Sungguh, aku tidak pernah menduga bahwa di dalam tubuh yang kecil ini, terdapat pemikiran yang luar biasa,” puji Profesor. Ia cukup kagum atas apa yang disampaikan oleh Harley. Meski masih muda, bahkan kerap diejek anak kecil, Harley mempunyai sisi kedewasaan dalam dirinya. Ia bisa bersikap sangat ramah, disiplin, dan bertanggung jawab akan tugas yang diberikan. Ia juga bisa mengendalikan diri saat Valir berulangkali membuatnya kesal. “Seperti yang tadi kau katakan, aku sudah memikirkan hal itu seja lama. Sudah dipastikan, semua Ligh Heroes akan ikut ambil bagian dalam pertempuran itu. Ini menyangkut seluruh daerah di Land of Dawn. Itu artinya, semua Light Heroes akan menjadi lawan bagi Alice.”
“Kalau begitu, kita bisa menemui mereka untuk membuat kesepakatan,” ucap Harley memberi usul. Ia tampak begitu antusias dalam hal ini. Menurutnya dengan memberikan banyak masukan, Profesor akan merasa lebih lega. Namun sepertinya itu tidak cukup membantu. “Aku bisa pergi menemui mereka untuk menyampaikan berita itu. Profesor hanya perlu menuliskan sebuah surat agar mereka percaya bahwa aku datang dari Magical Academy dan Profesor yang memerintahkanku untuk menemui mereka.”
“Terima kasih banyak untuk kebaikanmu, Harley. Aku sangat senang melihatmu begitu bersemangat. Itu bagus,” kata Profesor Gord. Ia kembali berdiri, meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. Kepalanya tertunduk. Kemudian menatap Harley. Ia berdeham. Mengatur nada suaranya agar tidak terdengar seperti penolakan. Tentu tidak baik jika ia secara blak-blakan menolak saran Harley. “Tapi bukan hal yang mudah untuk menjangkau mereka. kau tahu, selatan, barat daya, dan utara berada sangat jauh dengan Magical Academy. Tempat ini hanyalah sebagian kecil dari tanah Land of Dawn yang begitu luas. Banyak kerajaan, dan tempat-tempat yang begitu luas. Dan kau tidak akan pernah tahu, bahaya apa yang mengancam nyawamu di luar sana. Ada banyak Dark Heroes yang berkeliaran di luar sana. Mereka tinggal di tempat-tempat yang takkan pernah kauduga. Di hutan, di sungai. Penciuman mereka sangat tajam. Saat mereka mencium ada Light Heroes yang melintasi daerah mereka, dapat dipastikan hidupmu takkan selamat.”
Profesor terdiam sejenak, menatap Muridnya yang masih berdiri tegak di hadapanya. Tak terlihat sedikitpun rasa takut ataupun gentar di wajah Harley. Ia masih bersemangat untuk bisa menyampaikan berita itu ke seluruh penjuru Land of Dawn. Profesor tersenyum takjub melihat kegigihan muridnya. Ia berdiri tega, dengan tangan terlilap di dada. Kemudian melanjutkan ucapannya.
“Aku juga pernah berpikir demikian. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah pilihan yang patut untuk dicoba. Tapi aku menyadari bahwa itu juga pilihan yang sulit. Meninggalkan Magical Academy dan melakukan perjalanan yang sangat jauh, sama dengan bunuh diri. Bahkan selama kita berada di Magical Academy pun, nyawa kita bisa terancam bahaya. Aku masih mencoba memikirkan, bagaimana aku bisa menyampaikan pesan kepada mereka tanpa harus takut akan ancaman dari para Dark Hero. Bertahun-tahun aku memikirkan hal itu. Tapi sampai sekarang, aku belum bisa membuat satu keputusan.”
Harley mengangguk paham. Kini ia paham, kenapa Profesor begitu cemas hingga ia selalu tampak lelah. Ada masalah yang cukup besar berkecamuk di dalam kepalanya. Harley juga menyadari satu hal, bahwa apa yang dikatakan oleh Profesor Gord tentang betapa kuatnya penghuni lembah kegelapan. Bahkan untuk menghadapi Dark Heros saja mereka harus berpikir keras, bagaimana dengan pertempuran melawan Dark Lord Abbys.
“Baiklah, Profesor,” kata Harley menyudahi pembicaraan. Ia menyadari bahwa ia sudah berada di tempat itu cukup lama. Tentu akan ada banyak pertanyaan yang terlontar kepadanya saat ia keluar dari sana. Valir tentu takkan melepaskannya begitu saja dari sejuta pertanyaan yang menjebak. Sebaiknya ia segera pergi. “Aku kira, kita bisa membicarakan hal ini di lain waktu. Aku tidak mau membuat teman-temanku curiga. Sebaiknya aku pergi sekarang.”
Valir menunduk, memberi hormat kepada Profesor. Ia melangkah menjauh ke arah pintu, kemudian menoleh sebentar saat Profesor berbicara.
“Kuharap, aku bisa menjaga rahasia ini sampai waktu yang tepat. Aku tidak mau semua murid Magical Academy menjadi panik.”
Harley hanya mengangguk, kemudian keluar dan lenyap di balik pintu yang tertutup. Profesor menghela napas lega, kemudian melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia meraih alat tulis sembari bergumam. “Kuharap, aku mendapatkan ide yang lebih baik untuk menyampaikan berita ini.”
Part 3- Swan Castle
Swan Castle tampak begitu megah diterpa oleh sinar matahari. Patung Puteri Odette yang berdiri tegak di depan istana tampak begitu indah. Beberapa poperabotan yang terletak di luar istana berkilauan saat matahari mulai menyelinap masuk, halaman depan istana. Para penjaga, tetap pada posisi mereka. Bergeming, meski cahaya matahari mencoba menyengat kulit kasar mereka. Tak heran jika beberapa penjaga di Swan Castle berkulit hitam. Tak banyak diantara mereka yang beruntung menadapat posisi yang nyaman di dalam istana. Namun meskipun begitu, tidak seorang pun dari mereka yang mengeluhkan masalah itu. Setiap dari mereka menerima tugas dengan baik dan bertanggung jawab.
Puteri Odette keluar dari istana. Ia berjalan seorang diri tanpa adanya Swan menemani dirinya. Kini kondisinya tampak sangat baik. Matanya yang indah, rambut panjang keemasan yang terisisir rapi, gaun putih yang menutupi tubuhnya hingga bawah lutut. Sangat berbeda dengan kondisinya beberapa minggu lalu. Saat ia begitu mencemaskan Lancelot yang sekarat, sampai ia tak peduli akan kesehatannya. Kini matanya tak lagi menghitam, senyumannya merekah menebar pesona. Keanggungan seorang Puteri Odette yang dikagumi seluruh penjuru negeri kini telah kembali.
Puteri Odette berjalan keluar dari pintu utama. Ia tersenyum kepada dua penjaga yang ada di sisi kanan dan kiri pintu utama. Senyuman itu dibalas dengan tubuh tertunduk sebagai rasa hormat. Kedua prajurit itu tampak kebingungan, saat tahu Puteri Odette keluar istana seorang diri. Biasanya, ke mana pun ia pergi, Swan selalu ada bersamanya. Namun, kedua prajurit itu terlalu takut untuk bertanya. Menurut mereka, terlalu lanjang menanyakan hal itu kepada Puteri Odette.
Puteri Odette berjalan menyusuri jalan setapak, yang dikelilingi bunga bermekaran. Sekarang adalag musim semi. Seluruh daerah di Land of Dawn akan dipenuhi bunga-bunga yang indah. Bahkan di Lembah Kematian sekalipun. Tapi tidak seorangpun yang tahu, bunga seperti apa yang tumbuh di tempat terkutuk itu. Aroma bunga yang begitu menggoda, membuat Puteri Odette menutup mata, mengangkat kedua tangannya. Menghirup aroma bunga di musim semi.
Kemudian ia berjalan menyusuri jalan itu, hinggas sampai ke sebuah gerbang kecil. Gerbang perak bertuliskan ‘Swan Lake’. Puteri Odette berhenti sejenak, kemudian melangkah melewati gerbang perak itu. matanya terbelalak, bibirnya menyungingkan senyuman. Swan Lake tampak lebih indah di musim semi. Tak ada yang berbeda dengan tempat itu bahkan di musim semi sekalipun, namun suasana hati Puteri Odette membuatnya merasa bahwa Swan Lake tampak lebih indah.
Puteri Odette melangkah mendekati tepi Swan Lake. Ia hampir menenggalamkan kakinya di air saat seorang pria yang tak asing memanggilnya.
“Puteri Odette!”
Puteri Odette menoleh. Suara itu tak asing lagi baginya. Ia tersenyum saat tahu bahwa dugaanya tidak meleset. Lancelot berdiri di sana, menatapnya penuh makna. Seolah-olah ada hal serius yang akan ia katakan. Sesekali ia tertunduk, menyembunyikan wajahnya dari tatapan Puteri Odette. Pria itu cukup canggung untuk bisa menatap kedua bola mata yang indah itu.
Apakah dia berpikir aku akan menenggelamkan diri? Dan sekarang ia datang untuk menyelamatanku? Sungguh konyol jika dia berpikir demikian pikir Puteri Odette.
“Apa yang membawamu kemari?” tanya Puteri Odette penasaran. Sebelum ia datang ke Swan Lake, Lancelot masih tertidur di kamarnya. Cukup mengejutkan bagi Puteri Odette saat tahu Lancelot sudah ada di belakangnya. Terkadang hal seperti itu membuat Puteri Odette merasa takut dan menaruh rasa curiga pada Lancelot. Ia bisa datang dan pergi secara tiba-tiba. “Kuharap kau tidak bermaksud jahat padaku. Jika kau berpikir demikian, aku tidak akan mengampunimu.”
Ucapan Puteri Odette terdengar tegas. Ia tidak terlalu suka bergurau, bahkan dengan Swan sekalipun. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan penghuni Swan Castle. Dan menurutnya, bergurau hanya akan membuatnya kurang dihormati di istana. Bagaimanapun, ia harus menjaga kehormatannya sebagai pemimpin di Swan Castle.
Lancelot sedikit gugup. Pernyataan Puteri Odette membuatnya semakin canggung. Namun ia mencoba untuk terlihat gagah dan penuh keberanian. Sebagai seorang pangeran ia tidak mau dianggap kemah, apalagi oleh seorang wanita.
“Sangat disayangkan jika kau berpikiran demikian tentangku,” kata Lancelot membela diri. Ia berpikir keras mencari jawaban yang tepat untuk menanggapi Puteri Odette. Jawaban yang tegas, berani namun tidak membuat Puteri Odette merasa tersinggung. “Kedatanganku kemari hanya untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja. Saat aku bangun tidur, aku merasa bosan. Jadi aku berjalan-jalan di sekitar istana. Tapi aku tidak menemukanmu. Jadi aku bertanya pada Swan. Dia mengatakan bahwa kau ada si Swan Lake. Itulah kenapa aku ada di sini. Itu saja, tidak lebih dari pada itu.”
Kalimat terakhir Lancelot penuh penekanan. Ia mencoba untuk membuat Puteri Odette percaya atas apa yang ia katakan. Namun, penegasan itu tidak akan memengaruhi pemikiran Puteri Odette yang sangat bijaksana. Dari sorot matanya, Puteri Odette bisa melihat bahwa Lancelot mencoba untuk berbohong. Saat yang tepat untuk menguji seberapa besar kejujuran seorang Pangeran Erudito.
“Kau yakin dengan apa yang kau katakan?” tanya Puteri Odette. Ia menaikkan sebelah alisnya. Menatap Lancelot dengan serius. Pria itu tertunduk, tak mampu membalas tatapan Puteri Odette. “Aku ingin kau berkata jujur. Menurutku itu lebih baik.”
Lancelot adalah seorang kesatria pemberani. Ia adalah harapan satu-satunya harapan kerajaan Erudito. Sebagai seorang pangeran, tentu ia tidak mau terlihat lemah. Sekalipun ia harus berbohong, kehormatannya sebagai pangeran tidak boleh jatuh. Apa jadinya jika ia berkata jujur pada Puteri Odette bahwa yang ia katakan adalah kebohongan belaka. Lancelot mendongak, mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Yang ia harap bisa membuat Puteri Odette percaya.
“Tentu saja aku berkata jujur,” kata Lancelot. Ia mencoba menatap mata Puteri Odette. Menunjukkan sikap kesatria yang gagah berani. Jantungnya berdetak kencang setiap detik berlalu saat ia masih menatap kedua bola mata yang hampir membuatnya pingsan. “Kau pikir seorang Pangeran Erudito akan berbohong? Sungguh, itu adalah kesalahan yang tak bisa diampuni. Bahkan pantas mendapatkan hukuman yang berat.”
Kata-kata yang penuh rasa percaya diri. Patut diacungi jempol untuk kata-kata itu. terdengar begitu patriotis. Namun sayangnya, ada kebohongan besar yang tersembunyi di balik sikap berlagak percaya diri itu. Puteri Odette menyadari hal itu. Ia tersenyum, dan mencoba untuk melakukan permainan kecil.
“Bagus sekali! Kau sungguh percaya diri. Aku bahkan tak pernah menduga itu sebelumnya,” ucap Puteri Odette. Ia tersenyum bangga seolah-olah ia percaya sepenuhnya atas ucapan Lancelot. Tentu itu membuat hati pria ringkih itu merekah. Pikirnya tak sulit untuk memperdaya Puteri Odette. “Aku jadi penasaran, sampai kapan kau akan mempertahankan sikap percaya dirimu itu.”
Kalimat terakhir itu terdengar seperti petir yang menyambar di musim semi. Baru saja Lancelot merasa menang saat Puteri Odette memujinya, kini benteng pertahanannya runtuh tak tersisa. Kedua kalinya ia gagal meyakinkan Puteri Odette dengan skenario dadakannya. Sungguh Lancelot sangat tidak ahli dalam bermain sandiwara. Tubuhnya yang ramping tak mampu menyembunyikan kebohongan yang begitu besar.
“Kata-katamu sunggung mengejutkan, Puteri Odette,” kata Lancelot. Suaranya bergetar, penuh keraguan. Entah apa yang akan dilakukan Puteri Odette padanya. Tak bisa terbayangkan olehnya jika Puteri Odette menghukumnya seperti yang ia katakan, seorang pangeran layak dihukum untuk sebuah kebohongan. “Apakah kau tidak percaya dengan perkataanku? Haruskah aku membawa Swan kemari agar kau percaya bahwa yang aku katakan benar?”
Puteri Odette berbalik badan ke Danau. Ia menenggelamkan kakinya hingga lutut. Badannya sedikit menunduk hingga jemarinya bisa menyentuh air yang begitu menyegarkan. Ia tersenyum puas. Keberuntungan yang tak terungkapkan saat ia bisa hidup bahagia di tempat ini. istana indah juga megah dan Danau yang mampu membuat semua mata terbelalak. Kemudian ia berbalik, saat menyadari bahwa ia tengah bersama dengan Lancelot.
“Apakah kau yakin dengan membawa Swan kemari, aku tidak akan mendapat kesulitan yang lebih besar?” tanya Puteri Odette. ucapannya membuat pikiran Lancelot bekerja tujuh kali lebih cepat. Sama sekali tak terpikirkan olehnya tentang apa yang terjadi jika Swan ada di sana. Berbicara kepada Puteri Odette bahwa ia sama sekali tidak bertemu dengan Lancelot. “Aku tahu, kau sedang berbohong. Dari tatapanmu akau bisa melihat keraguan akan setiap kata yang kau ucapkan. Sekalipun dengan percaya diri kau menatapku, aku bisa melihat jemarimu bergetar, dan kakimu sedikit tertekuk. Aku tidak ingin berbasabasi lagi. Biar kujelaskan padamu. Aku seorang Puteri di Swan Castle. Tentu aku punya tanggung jawab besar untuk memimpin banyak orang. Kau adalah seorang pangeran, tentu kau tahu bagaimana sulitnya membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Coba saja kau bayangkan jika aku tidak bisa membedakan mana kawan mana lawan. Mungkin sudah sejak lama Swan Castle dikuasai oleh Ruby dan juga Parsha.”
Lancelot menangangguk paham. Wajahnya memerah menahan malu. Ia ingin sekali berlutut dan memohon maaf kepadap Puteri Odette. Namun, ia masih saja gengsi untuk mengakui kesalahannya. Ia cukup takjub mengetahui bahwa Puteri Odette jauh lebih bijaksana dari yang bisa ia pikirkan. Jawaban yang ia berikan begitu kuat dan tegas.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud berbohong padamu,” ucap Lancelot pasrah. Tak ada lagi gunanya ia menutupi kebohongan itu. Pun ia akan semakin bersalah dengan tetap percaya diri, berdiri di hadapan seorang puteri sembari memikul kebohongan. “Aku sungguh takjub mendengar jawabanmu. Aku ingin tahu, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berbohong. Aku yakin, jika hanya dengan menatap mata dan melihat tanganku gemetar, kau tidak akan bisa menyimpulkan bahwa aku berbohong.”
Puteri Odette tersenyum. Berjalan beberapa langkah, menjauh dari air. Kini ia berdiri begitu dekat dengan Lancelot. Puteri Odette bisa mendengar suara detak jantung Lancelot. Namun ia mengabaikan itu. Baginya itu wajar, terlebih Lancelot adalah seorang pemuda. Tentu ia akan merasa gugup saat melihat seorang wanita cantik.
“Mungkin sebaiknya kita duduk di kursi itu,” ucap Puteri Odette menunjuk sebuah kuris perak di tepi Swan Lake. Mereka berjalan lalu duduk di sana. Cukup jauh jarak di antara mereka. Lancelot masih terlalu gugup untuk duduk dekat dengan Puteri Odette. “Biar kujelaskan padamu. Sebelum aku kemari, aku pergi ke kamarmu untuk melihat kondisimu. Aku melihat kau sedang terlelap. Aku memutuskan untuk keluar istana setelah beberapa hari aku mengurung diri di kamar. Sampai aku tidak meyadari bahwa musim semi telah tiba. Aku datang seorang diri tempat ini, karena Swan harus mengerjakan sesuatu. Ia akan sangat sibuk beberapa hari ke depan. Dan aku langsung tahu bahwa kau berbohong saat kau bilang kau bertemu Swan di istana dan dia memberitahukan aku ada di sini. Mustahil bukan, kau bisa bertemu dengan Swan? Kalaupun kau bertemu dengannya, dia tidak tahu kalau aku ada di sini. Sebenarnya sangat sederhana, dan aku tidak begitu suka bermain-main. Tapi karena kau berusaha menutupi kebohongan itu dariku, aku tidak punya pilihan lain.”
Lancelot menunduk. Ucapan Puteri Odette seperti paku yang ditancapkan di dadanya. Kata demi kata menancap dengan begitu kuat di dalam hatinya. Sungguh Ia menyesali apa yang telah ia lakukan. Ia telah berbohong kepada seorang puteri yang telah menyelamatkan naywanya dari maut. Bahkan hukuman berat sekalipun takkan mampu menebus kesalahannya. Ia ingin sekali berlari, meninggalkan tempat itu sejauh mungkin. Masuk ke hutan terlarang, membiarkan tubuhnya dicabik-cabik oleh monster hutan atau dibunuh oleh Dark Hero.
“Aku sungguh menyesal,” kata Lancelot. Suaranya penuh kepasrahan. Apa pun yang akan dilakukan oleh Puteri Odette, ia telah siap menerimanya. Ia yang telah melakukan sebuah kesalahan besar, maka ia harus bertanggung jawab untuk itu. “Aku akan menerima hukuman apa pun darimu. Bahkan jika kau mengusirku dari Swan Castle, aku akan melakukannya sekarang juga. Sungguh, apa yang aku lakukan tidak bisa ditoleransi. Aku tidak tahu terima kasih. Bukannya membalas kebaikanmu, aku malah berbohong kepadamu. Hukumlah aku.”
Puteri Odette tersenyum tipis. Cairan bening menetes dari pelupuk matanya. Ia marah, ia kesal, kecewa. Namun, ia merasa iba. Pria yang ada di sebelahnya sudah melakukan dua hal yang begitu besar. Pria itu berbohong dan pria itu meminta maaf atas kesalahannya. Puteri Odette tidak akan membiarkan Lancelot pergi dari Swan Castle. Meski ia berbohong, tapi ia tidak bermaksud demokian. Puteri Odette bisa melihat sesuatu di dalam diri Lancelot yang memaksanya untuk berbohong. Ia terlalu gugup untuk berkata jujur.
“Sudahlah, kau tak perlu memikirkan hal itu,” kata Puteri Odette. Ia tak ingin Lancelot semakin sedih karena menyesali perbuatannya. Pun tidak baik jika ada orang yang bersedih di Swan Lake. Sudah terlalu banyak kesedihan di sana saat ayah dan ibunya meninggal. Ia tak ingin kesedihan ini membawanya kembali pada masa lalu yang menyakitkan. “Aku memaafkanmu. Kau telah meminta maaf, dan menurutku itu cukup untuk menebus kesalahanmu. Tapi kau harus berjanji untuk tidak pernah berbohong lagi padaku. Kapan pun itu. Aku tidak mau ada kebohongan lagi yang terlontar dari mulutmu.”
Senja mulai hadir, melukiskan sinar jingga di langit. Swan Lake tampak semakin indah di bawah dinar jingga matahari yang hampir terbenam. Sejenak terukirsenyuman di wajah Lancelot. Tak lagi tampak kesedihan di wajahnya. Rasa bersalahnya seakan ikut tenggelam bersama matahari itu.
“Tidak baik jika seorang Puteri duduk di tepi danau bersama seorang pria hingga malam,” ucap Lancelot. Puteri Odette tersenyum mendengar gurauan yang menyadarkannnya bahwa sebentar lagi malam akan datang. Benar kata Lancelot, tidak baik jika ia berada di sana sampai malam.
Part 4- Magical Academy
“Kekuatan sihir semacam itu tidak akan berpengaruh besar di medan pertempuran. Cobalah untuk melakukan sesuatu yang lebih berguna, selain melemparkan boomerang mainan itu. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana mungkin Profesor Gord menerimamu sebagai murid di Magical Academy ini. Lihat saja dirimu, bahkan kau sama sekali tidak punya bakat sihir. Mungkin lebih baik kau bergabung dengan klub Marskman. Mungkin boomerangmu itu akan sedikit lebih berguna.”
Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi, tengah mengamati seorang perempuan muda yang baru saja bergabung di Magical Academy. Pria itu cukup tinggi, badanya tegap, dan kulitnya hitam seperti arang. Entah apa yang terjadi pada dirinya di masa kecil. Namun ia tampak begitu percaya diri meski banyak tatapan miring ke arahnya. Dia adalah Vale si pengendali angin. Saudara laki-laki dari Valir ini bergabung di Magical Academy setahun setelah Valir resmi diterima di sana.
“Diamlah, Vale,” ketus Nana. Roh Rakun itu sudah sangat muak mendegar ocehan Vale. Bahkan sejak pertama kali Nana mendaftar dan diterima di Magical Academy. Vale akan selalu ada di dekatnya setiap kali Nana melakukan latihan. “Kurasa ada banyak hal yang bisa kaulakukan di sana. Mungkin saja Profesor butuh bantuanmu untuk mengusir kesunyian di ruang kerjanya. Aku yakin, ocehanmu akan membuat ruangan itu terasa ramai.”
Vale berdecak. Ia sama sekali tidak terima atas perkataan Nana yang merendahkannya. Pria yang mengenakan pakaian putih itu mendekat, dan menatap Nana dengan serius. Kedua bola matanya melotot, mencoba merenggut keberanian dalam diri Nana. Namun sepertinya itu tidak cukup baik. Nana membalas tatapannya dengan senyuman penuh kemenangan.
“Berhenti menatapku, Vale,” kata Nana. Rakun itu menjauh beberapa langkah kemudian melemparkan Boomerangnya ke udara. Dengan sigap tangan kanannya menangkap Boomerang yang meluncur ke arahnya. Kemudian ia berpaling ke arah Vale yang masih menatapnya penuh kekesalan. “Masih di sini kau rupanya. Apakah kau tidak merasa bosan, seharian bediri di sana menatapku dan mengoceh? Sungguh, setelah beberapa minggu aku di sini. Aku tidak pernah melihatmu latihan, sama sekali tidak pernah. Apa kemampuanmu? Aku curiga, apakah kau punya bakat sihir? Atau kau hanya berusaha menutupi kelemahanmu dengan mengejekku?”
Kemarahan Vale semakin memuncak. Untuk pertama kalinya dirinya direndahkan. Tidak salah Nana berkata demikian. Sejak Nana bergabung di Magical Academy, Vale diminta untuk menjadi pembimbingnya. Tentu ia tidak punya waktu untuk latihan. Namun Nana tidak menhyadari hal itu. Ia berpikir bahwa Vale hanya membuang-buang waktu dengan mengikutinya selama latihan.
“Sudah cukup!” seru Vale. Matanya memerah penuh amarah. “Akan kubuktikan apa yang bisa kulakukan padamu, Rakun sialan.”
Vale komat-kamit, membacakan mantra. Sesaat kemudian, badai topan muncul di langit. Angin itu semakin besar seperti amarah Vale yang meluap-luap. Nana menatapnya dengan takut-takut. Di wajahnya tersirat sebuah penyesalan atas apa yang ia katakan. Kini ia menyadari bahwa Vale tidak seperti apa yang ia pikirkan. Vale hendak mengempaskan angin itu ke arah Nana saat Eudora mengentikannya.
“Hentikan kekonyolanmu, Vale!” Eudora berteriak dari lorong agar Vale bisa mendengar suaranya. Ia segera mempecepat langkah saat angin di langit perlahan sirna. Eudora mendekat pada mereka berdua. Tampak kekecewaan pada diri Eudora. Ia menatap Vale seolah-olah pria itu telah melakukan kesalahan yang sangat besar. “Tidakkah kau berpikir apa yang mungkin terjadi jika aku tidak menghentikan tindakanmu? Kurasa aku tidak perlu menjelaskan bagaimana dulu kau menghancurkan balai latihan hanya karena emosimu yang meluap-luap. Kurasa cukup sekali saja kau mengacaukan tempat ini.”
Vale tampak kesal. Ia tidak terima atas ucapan Eudora yang secara gamblang menyalahkannya. Menurutnya ia tak sepenuhnya bersalah. Hal yang wajar jika ia marah. Nana mengejeknya begitu hina, sehingga dirinya tidak lagi bisa mengendalikan diri.
“Andai saja kau di sini, saat Rakun sialan ini mencoba merendahkanku,” kata Vale. Sesekali matanya melirik ke arah Nana dengan tajam. Nana hanya tertunduk, tanpa sekalipun menatap Vale juga Eudora. “Aku sudah muak melihatnya. Aku mencoba untuk memberitahukan dirinya tentang sihir, tapi apa yang ia katakan? Dia malah menghinaku. Itu sungguh tidak bisa diterima, Eudora.”
Eudora menghela napas. Ia paham bagaimana perasaan Vale saat ini. Sebenarnya, ia tak ingin menyalahkan Vale sepenuhnya. Nana juga patut diperingati untuk hal ini. Namun, ia masih terlalu muda dan masih baru di Magical Academy. Bukan hal yang baik jika membuatnya merasa tidak nyaman.
“Maafkan aku, Vale,” kata Eudora lirih. “Aku tidak bermaksud ... maksudku aku tidak ... kau tahu bagaimana jadinya jika aku memarahai dia. Aku harap kau bisa mengerti.”
Vale mengangguk paham. “Ya, aku mengerti.”
“Maafkan aku, Vale,” kata Nana dengan kepala tetap tertunduk. “Aku sungguh menyesal telah mengatakan bahwa kau tidak punya bakat sihir. Kau tahu, aku hanya mencoba menduga-duga. Aku tidak pernah melihatmu latihan atau sekadar menunjukkan kemampuanmu. Itulah kenapa aku meragukan kemampuanmu yang hebat itu.”
“Sudahlah, aku tidak ingin membahas ini lebih jauh,” kata Vale. Pikirannya terlalu kacau untuk mengawasi Nana latihan hingga sore. Ia memutuskan untuk beristirahat dan meninggalkan mereka bedua di halaman belakang Magical Academy. “Aku mau istirahat. Tolong, jangan ganggu aku sampai waktu makan malam.”
Vale berlalu. Eudora menatapnya iba. Ia mencoba mengingat apa saja yang terlontar dari mulutnya. Mungkin saja ia mengucapkan sesuatu yang membuat Vale merasa begitu bersalah. Nana menatap Eudora penuh rasa takut. Jantungnya berdetak begitu cepat. Bahkan lebih cepat dari detak jantungya saat Vale hampir membunuhnya. Ia bisa merasakan kemarahan dalam diri Eudora saat ia mencoba menghentikan Vale. Nana memantapkan diri, menunggu kata-kata pedas yang akan terlontar padanya.
“Nana, aku ingin berbicara serius denganmu,” ucap Eudora. Ia melembutkan suaranya agar tidak membuat Nana semakin takut. “Kau tahu, menjadi penyihir bukanlah hal yang mudah. Butuh latihan yang keras, dan bimbingan dari orang yang sudah berpengalaman. Memang kita di sini punya kemampuan yang berbeda-beda. Tapi semuanya sama saja, kita adalah penyihir. Kita mengucapkan sesuatu untuk menghasilkan sihir. Vale benar dengan mengatakan bahwa kau harus melakukan sesuatu yang lebih. Aku tahu, itu terdengar tidak baik di telingamu. Tapi, itulah kenyataannya. Kau perlu bakat yang lebih baik dan unik. Aku yakin, kau punya itu.”
Nana mengangguk paham. “Maafkan aku, Eudora. Aku sudah mengacaukan Magical Academy, di saat aku belum genap satu bulan berada di sini.”
Eudora tersenyum tipis. “Tidak masalah, Nana. Setiap orang pernah melakukan kesalahan. Termasuk juga diriku dan semua murid di Magical Academy. Semua butuh proses, semua butuh waktu. Tak ada kemampuan yang instan.”
Eudora mendekatkan diri pada Nana. Kedua tangannya mengenggam bahu Nana. Menatapnya sejenak, kemudian ia berpaling.
“Kuharap Vale masih mau menjadi pembimbingmu,” kata Eudora saat ia sudah berada di koridor.
Nana masih berdiri di halaman belakang Magical Academy. Ia masih mencoba menyadarkan dirinya dari mimpi buruk yang hampir saja merenggut nyawanya.
“Apakah aku benar-benar punya keunikan?” katanya lirih saat ia berjalan di koridor.
***
Suasana di ruang makan Magical Academy sangat mencekam. Dua meja panjang yang saling berhadapan diisi oleh semua murid Magical Academy. Mereka saling menatap, bingung tentang apa yang akan terjadi. Sudah cukup lama mereka duduk, namun tak ada tanda-tanda bahwa makan malam akan segera terhidang. Beberapa saat kemudian, Profesor Gord datang, bergabung bersama mereka di meja makan.
Seluruh mata menatap ke arahnya. Kepala mereka dipenuhi tanda tanya. Kenapa Profesor Gord ada di meja makan? Hal yang tak biasa. Profesor Gord selalu menikmati makan malamnya di ruang kerjanya. Sama sekali ia tak pernah bergabung denga muridnya untuk menikmati makan malam. Ada banyak sekali yang harus ia kerjakan di ruangan, hingga ia tak punya banyak waktu untuk keluar dari tempat itu.
“Kalian pasti terkejut, melihat saya berdiri di sini,” kata Profesor Gord hampir tanpa ekspresi. Semua murid semakin bingung melihat situaasi itu. Mereka tidak tahu, apa yang akan disampaikan oleh Profesor. Sesekali mereka saling menatap, dan berbisik. “Dengar! Sebenarnya aku tidak ingin membuang waktu untuk datang ke tempat ini. pun aku tidak ingin menunda jam makan malam kalian. Tapi hal ini perlu aku sampaikan. Tadi Eudora datang ke ruangan, menyampaikan apa yang terjadi di halaman belakang Magical Academy. Sungguh, hal itu membuatku marah. Dengan mudahnya seorang senior hendak melenyapkan seorang murid yang masih baru bergabung. Vale, Nana, Eudora, silakan berdiri.”
Suasana semakin mencekam. Beberapa di antara mereka saling menatap. Berbisik, namun tak ada yang tahu apa yang terjadi. Tiga orang yang disebut Profesor berdiri. Nana dan Vale menundukkan kepala. Sementara Eudora menatap tegas ke arah Profesor.
“Vale, apakah kamu tahu, risiko apa yang akan kau terima jika Eudora tidak menghentikanmu?” Suara Profesor meninggi. Tampak jelas dari sorot matanya sebuah kemarahan yang begitu besar. Kesalahan Vale tak bisa dianggap sepele. Profesor berdiri, menatap tajam ke arah Vale yang masih menunduk. “Aku paham, bagaimana perasaanmu saat Nana mencoba merendahkanmu. Tapi bukan begitu caranya mengajarkan ilmu sihir. Apakah kau merasa dirimu sudah hebat dengan menghujamkan badai kepada Nana? Bagaimana jika Nana sampai tewas?”
Vale terdiam. Suaranya tercekat. Ia menyadari bahwa ia bersalah. Ia tak mampu menatap wajah Profesor yang memerah karena luapan emosi. Nana masih menunduk. Ia tidak tega melihat Vale dimarahi oleh Profesor karena dirinya. Bagaimanapun, ia juga bersalah. Tapi, ia juga terlalu takut untuk berkata bahwa dialah yang sudah menyebabkan semua kekacauan itu. tubuh mungilnya tak mampu menahan rasa takut yang begitu besar.
“Kenapa? Tidak ada satu kata pun yang bisa kauucapkan?” tanya profesor Gord. Tatapannya semakin tajam. Kemudian ia melihat ke arah Nana. Ujung mata Rakun itu bisa menangkap bayangan Profesor yang melihat ke arahnya. Ia gemetar. Pasrah akan kata-kata yang dilontarkan padanya. “Nana, sekalipun kamu masih baru di sini. Bukan berati kamu bisa berbicara seenaknya. Vale adalah seniormu, bukan adik atau teman sebayamu. Berbicaralah dengan sopan padanya. Aku harap, setelah ini tidak akan ada lagi pertengkaran seperti ini.”
Hening. Tak ada yang mampu berkata-kata. Bahkan bisikan pun tak terdengar. Semua bergeming, tak mau mencuri perhatian Profesor. Semua wajah ketakutan. Profesor tidak pernah marah begitu besar. Pikirannya terlalu kacau untuk bisa menanggapi masalah itu dengan tenang. Mau tak mau, pikirannya harus terpecah untuk memikirkan banyak masalah.
“Saya rasa cukup untuk hari ini,” kata Profesor mengakhiri. “Aku tidak mau mendengar ada keributan lagi di sini. Silakan melanjutkan makan malam. Maaf sudah membuatnya tertunda.”
Profesor meninggalkan ruang makan dengan emosi yang masih meluap-luap. Semua murid merasa lega karena Profesor telah pergi, dan mereka bisa menikmati makan malam. Perut mereka sudah keroncongan, ditambah kemarahan Profesor yang tak mereka duga sebelumnya. Semua tampak antusias menyambut makan malam yang tersaji di atas meja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Pun tidak ada yang mau mengungkit masalah itu. Diam lebih baik.
Bab 5
Angin berembus pelan, meniup dedaunan kering yang gugur, kemudian jatuh di tanah. Rerumputan hijau tak lagi terlihat. Semua tertutup dedaunan berwarna kecokelatan. Musim penuh bunga mekar, musim penuh aroma menggoda telah usai. Kini tersisa bau dedaunan musim gugur. Hari terus berganti. Musim pun turut beralih posisi. Suasan di Swan Castle juga mengalami perubahan demi perubahan di setiap musimnya. Tentu, tak ada yang abadi. Perubahan sekecil apapun, pasti akan terjadi.
Berita bohong yang kerap menyerang pendengaran penghuni Swan Castle, membuat Puteri Odette menjadi gelisah. Hampir setiap hari, ada saja berita burung yang mengatakan bahwa Alice bersama Dark Heroes lainnya akan datang menyerang Swan Castle. Hingga berminggu-minggu berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan Alice maupun Dark Heroes lainya. Namun, berita burung itu masih saja terdengar di mana-mana. Meski Puteri Odette sudah memberikan pengumuman agar tidak ada lagi yang membicarakan berita itu, namun tetap saja telinganya masih mendengar berita itu.
“Swan, aku menjadi khawatir,” kata Puteri Odette. Ia tengah berjalan-jalan di taman, memandangi dedaunan kering yang menghiasi taman. Swan turut bersamanya, menikmati senja yang hampir lenyap ditelan hutan larangan. “Jujur saja, aku khawatir akan kebenaran berita itu. Meskipun aku yakin berita itu tidak benar, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Yang lebih menyebalkan, aku sering bermimpi Alice datang ke Swan Castle dan berhasil merebutnya dari tanganku.”
Swan berhenti. Menenunduk, kemudian memandangi Puteri Odette yang sudah ada beberapa langkah di depannya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Odette,” kata Swan lirih. Ia mempercepat langkahnya, hingga ia berjalan sejajar dengan Puteri Odette. “Aku juga khawatir akan berita itu. Kamu pasti tahu, suatu hari nanti, Alice atau Dark Heroes lainnya pasti akan datang untuk menguasai seluruh daerah Land of Dawn. Cepat atau lambat, itu akan terjadi.”
Puteri Odette menghentikan langkahnya. Merentangkan kedua tangnnya, menutup mata. ia menghirup udara segar di musim gugur. Aroma dedaunan berhasil membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Ia menatap ke arah hutan larangan, yang perlahan menyembunyikan keindahan senja. Ia tersenyum. Ia sadar, senja di musim gugur lebih memesona daripada musim semi. Namun, keindahan itu harus kembali terenggut, saat memorinya memutar kembali berita bohong yang membuatnya gelisah.
“Swan, jika suatu hari nanti mereka datang ke sini dan mencoba merebut Swan Castle. Apakah aku bisa mempertahankan Swan Castle?” tanya Puteri Odette gelisah. Pikirannya melambung tinggi, hingga melintasi angkasa. Menembus setiap kegelisahan, menyisakan kekhawatiran akan sesuatu yang tak pasti. “Kau tahu siapa aku. Aku bukan petarung. Bukan pula penyihir. Aku hanya punya sebuah tongkat yang diwariskan oleh ayahku sebelum ia meninggal. Aku ini bodoh, Swan. Aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan tongkat itu. Aku tidak berdaya, Swan. Aku ini lemah, sangat lemah.”
Tangisnya pecah. Butiran air mata membasahi pipinya. Senja mulai menghilang berganti malam. Angin berembus semakin keji, menembus masuk hingga ke tulang. Membawa masuk kesunyian malam, menempatkannya di dalam jiwa. Ketakutan, kegelisahan kini berkuasa dalam dirinya. Ia lemah, bahkan sangat lemah. Bahkan ia tak lagi bisa berdiri tegak di atas kedua kakinya. Yang perlu dilakukan hanyalah melangkah pergi, kembali ke Swan Castle dan istirahat. Namun, pikirannya sudah terenggut oleh malam. Ia kaku. Lumpuh. Gemetar pun tidak.
Swan merasa iba. Namun tak ada yang bisa ia perbuat. Mencoba memotivasi Puteri Odette bukannlah hal yang bisa ia lakukan. Bahkan dirinya pun ingin menangis karena rasa takut yang teramat besar. Namun, Swan mencoba untuk terlihat tegar. Satu-satunya kekuatan Puteri Odette adalah Swan. Jika Swan melemah, maka Puteri Odette akan kehilangan harapannya. Swan sudah menjadi buku petunjuk bagi Puteri Odette dalam memimpin Swan Castle, sejak kedua orang tuanya meninggal. Tugas yang teramat berat bagi Swan. Namun ia tak punya pilihan lain. Itu sudah menjadi takdir hidupnya. Memotivasi saat ia membutuhkan motivasi.
***
Lancelot berlari kecil, menyusuri lorong kecil di Swan Castle. Lorong gelap, sempit yang terlepas dari pengawasan para penjaga istana. Lancelot tampak begitu panik, sembari mencoba mempercepat langkah untuk bisa sampai di ujung lorong gelap itu. Ia berlari cukup jauh, namun ia belum juga tiba di ujung lorong tersebut. Beberapa saat kemudian, ia berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Bahkan jika lorong ini mengeliling seluruh ara Swan Castle, tidak mungkin sepanjang ini. Ini bukan lorong biasa, pun ia tak bisa melihat apa-apa di sana. Lancelot panik. Ia berbalik dan berlari secepat mungkin. Namun, ia tak berhasil kembali dari lorong gelap itu. wajahnya pucat, keringat mengucur deras. Ia berhenti, kemudian menunduk. Kedua tangannya ditopangkan pada kedua lutut. Napasnya memburu.
Pria bertubuh ringkih itu mengedarkan pandangannya. Mencoba mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Namun tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada dinding sempit dan kegelapan. Ia menempelkan tangannya ke dinding. Ia terkejut saat telapak tangannya meneyentuh dinding yang lembab. Dinding itu seperti dilapisi dengan cairan air liur monster. Pun baunya cukup menyengat.
“Di mana aku sebenarnya? Dan cairan apa ini? Baunya sangat tidak enak,” kata Lancelot sembari mengibaskan tangannya untuk menghilangkan lendir yang menempel. Ia kembali melihat ke sekitar untuk mencari sesuatu. Di ujung lorong, ia melihat seberkas cahaya. Seperti nyala api kecil. “Api? Tidak mungkin. Aku masih ingat, saat aku berjalan masuk ke dalam lorong ini, aku tidak melihat ada penjaga di depan lorong. Dan, sekitar lorong ini cukup sepi, hingga makhluk itu berhasil kabur. Apa pun itu, aku harus segera tiba di sana. Perasaanku sangat tidak enak.”
Lancelot berlari mencoba mendekati sumber cahaya itu. cahaya itu semakin jelas. Namun saat ia hampir tiba, kakinya tersandung akar hingga ia terjatuh. Kepalanya terbentur hingga ia tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, Lancelot sadar. Ia mengedarkan pandanganya, menatap perabotan yang tak asing baginya. Ia menatap ke langit-langit kamar. Lukisan angsa putih menghiasinya. Ia tersenyum. Kegelisahannya berangsur sirna saat ia tahu bahwa ia ada di kamarnya, di Swan Castle. Namun ia masih bertanya-tanya, siapa yang membawanya ke kamar. Pun masih menjadi misteri, sebuah lorong gelap dan sempit, tak berujung dan berlendir. Lancelot menopangkan kedua tangannya di tempat tidur, kemudian menyandarkan punggungnya ke dinding. Lewat pintu yang setengah terbuka, Lancelot bisa melihat beberapa pelayan istana yang tengah beraktivitas. Sesaat ia tersenyum, hingga ia melihat Swan melintas di depan kamarnya.
“Swan!” seru Lancelot.
Swan berhenti, menoleh ke kamar Lancelot. Swan tersenyum melihat kondisi lancelot yang sudah sadarkan diri. Swan menghampiri Lancelot. Sorot matanya seakan ingin memberitahukan bahwa ia tahu bahwa Lancelot memanggilnya untuk beberapa pertanyaan tentang lorong gelap itu.
“Senang melihatmu, Lancelot,” kata Swan saat ia berada tepat di sebelah Lancelot. Ia menyunggingkan senyum penuh makna. “Aku sempat khawatir akan keadaanmu. Kepalamu terbentur, dan kau kehabisan cukup banyak darah. Untung saja aku cepat menemukanmu, jika tidak ... kau sudah mati.”
Kalimat terakhir Swan penuh penekanan, membuat Lancelot bergidik ngeri. Tak bisa ia bayangkan jika ia tewas malam itu juga.
“Apakah kau yang membawaku kemari?” tanya Lancelot. Ia menatap serius ke arah Swan.
“Tentu saja tidak, Lancelot,” kata Swan. Swan tertawa geli mendengar pertanyaan Lancelot yang menurutnya tidak masuk akal. “Menurutmu, apakah aku bisa membawamu kemari? Baiklah, lupakan itu. biar aku ceritakan padamu. Tadi malam, penjaga memberitahukan bahwa kau berlari ke arah lorong gelap di tepi istana. Saat itu juga aku bergegas ke sana, berharap aku masih bisa bertemu denganmu sebelum kau masuk. Namun ternyata aku sudah terlambat. Aku memanggil penjaga untuk memeriksa lorong itu. Dan akhirnya mereka menemukanmu pingsan dengan luka benturan di kepala.”
“Oh, begitu. Terima kasih, Swan,” kata Lancelot. “Aku penasaran dengan lorong itu. Aku sudah berlari cukup jauh, namun tidak sampai pada ujungnya. Dan satu lagi, dindingnya berlendir. Apakah itu air liur monster?”
Swan tersenyum. “Air liur monster?” tanya Swan seolah tak percaya. “Lancelot, tidak mungkin ada monster di Swan Castle. Apakah kaupikir Odette memelihara monster? Biar aku jelaskan. Itu bukanlah lorong biasa. Lorong itu dinamakan Dark Street. Sudah lama tidak pernah digunakan lagi. Itulah kenapa tidak ada pengawal istana yang berjaga di sana. Sebenarnya, lorong itu merupakan sebuah jalan menuju sebuah tempat terlarang. Dan tidak semua orang bisa sampai ke sana. Itulah kenapa kau tidak bisa mencapai ujungnya. Untuk lendir yang kaukatakan itu, aku sama sekali tidak tahu akan hal itu. Tempat itu tidak terjamah selama ribuan tahun. Mungkin saja lumut sudah tumbuh dan menutup dinding itu. Sebaiknya kau tidak pikirkan itu. Dan ingat, jangan pernah masuk ke sana lagi!”
Lancelot mengangguk paham. Namun, jawaban yang cukup panjang dari Swan tidak cukup untuk menghancurkan sejuta tanya dalam pikirannya. Ia masih bertanya-tanya, tentang lorong gelap itu, juga lendir yang menempel di kedua sisinya. Lancelot sangat yakin, ada sebuah rahasia yang disembunyikan oleh Swan darinya. Namun, ia juga tidak bisa memaksa Swan untuk menceritakan yang sebenarnya. Keberadaanya di Swan Castle yang berstatus orang asing, memaksanya untuk tidak banyak bertanya. Bersyukur, Puteri Odette masih mau menampungnya di Swan Castle hingga sekarang.
“Baiklah, Swan. Aku mengerti,” kata Lancelot. Terukir senyuman terpaksa di bibirnya. Namun Swan tak menyadari keterpaksaan itu. “Seperti katamu, aku tidak akan memikirkan hal itu lagi dan tidak akan pergi ke tempat terkutuk itu lagi.”
Swan tersenyum. Ia sangat yakin atas ucapan Lancelot. “Baiklah, Lancelot. Aku pergi dulu. Ada banyak yang harus aku selesaikan. Jika kau bosan, silakan berkeliling di sekitar taman. Musim gugur jauh lebih indah dari musim semi.” Swan menyunggingkan senyum, kemudian bergegas meninggalkan Lancelot.
“Aku harus menemui Odette,” kata Lancelot lirih.
Pria bertubuh ringkih itu beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu, dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kedua bola matanya mencoba mencari sosok wanita yang harus ia temui untuk memecahkan misteri yang selalu mengganjal di hatinya. Namun Puteri Odette tidak tampak di mana-mana. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang bekerja, dan beberapa pengawal yang mondar-mandir. Lancelot gelisah. Kondisinya belum sepenuhnya pulih untuk beraktivitas di luar istana.
Tak ada pilihan lain. Lancelot kembali ke kamar, berharap PuterI Odette akan lewat dari depan kamarnya. Sama seperti Swan melintas di depan kamarnya. Namun harapan itu tak bersua. Hingga malam menghampiri, Puteri Odette sama sekali tak melintas di depan kamar Lancelot. Lancelot bertanya-tanya di mana Puteri Odette. ia sangat yakin, setiap sore, sebelum malam menyapa, Puteri Odette akan lewat dari depan kamar Lancelot untuk memeriksa keadaan di sebuah ruangan tepat di sebelah kamar Lancelot.
“Di mana dia? Apakah sesuatu terjadi di luar pengetahuanku?” ucap Lancelot lirih.
Pikirannya mulai melambung. Mencoba menangkap setiap butiran kemungkinan. Banyak hal negatif yang akhirnya berhasil masuk dan merasuki pikirannya. Bola matanya menatap liar. Jantungnya berdetak cepat. wajahnya muram, menampakkan kegelisahan yang mendalam. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Pun berdiam diri di dalam kamar hanya akan memberi kesempatan hal negatif untuk mengusai pikiran.
Lancelot beranjak. Menyusuri setiap lekuk istana. Namun ia tak kunjung menemukan Puteri Odette. Deru napasnya semakin terdengar jelas. Wajahnya semakin menampakkan kegelisahan. Langkahnya terhenti saat ia melihat Swan tengah berjalan santai menuju perpustakaan.
“Swan!” seru Lancelot. Ia berlari kecil menghampiri Swan. Angsa putih itu berhenti dan menoleh ke arah Lancelot. Tatapannya mengandung tanda tanya. Ada apa? Lancelot melanjutkan ucapannya setelah ia berada cukup dekat dengan Swan. “Apakah kau melihat Puteri Odette? Sejak aku sadar, aku tidak melihatnya sekali saja. Awalnya aku ingin menanyakan seusatu padanya, tapi kini aku justru khawatir akan keadaanya.”
Swan tersenyum tipis. Ia berusaha menahan tawa di hadapan Lancelot. Kepanikan Lancelot membuat Swan merasa geli.
“Sepertinya kau sangat mengkhawatirkan dia?” kata Swan menggoda. Ia menatap serius ke arah lancelot. “Odette baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir seperti itu. Dia sedang sibuk sekarang. Sejak pagi, ia berada di perpustakaan. Jadi mustahil kau bisa melihatnya.”
Lancelot tersenyum tipis. Ia menggaruk kepala karena malu. Pipinya memerah seperti tomat. Ia memalingkan wajah dari Swan yang kini mulai terkikik melihat dirinya.
“Ah ... apa yang dia lakukan di sana? Satu hari itu waktu yang cukup lama jika dihabiskan untuk berada di perpustakaan,” kata Lancelot penuh harap.
“Maaf, aku harus segera pergi,” kata Swan buru-buru.
Tanpa menunggu Lancelot, Swan langsung pergi. Ia mencoba untuk menghindari dari Lancelot.
“Swa ... n.”
Part 5- Swan Castle
Angin berembus pelan, meniup dedaunan kering yang gugur, kemudian jatuh di tanah. Rerumputan hijau tak lagi terlihat. Semua tertutup dedaunan berwarna kecokelatan. Musim penuh bunga mekar, musim penuh aroma menggoda telah usai. Kini tersisa bau dedaunan musim gugur. Hari terus berganti. Musim pun turut beralih posisi. Suasan di Swan Castle juga mengalami perubahan demi perubahan di setiap musimnya. Tentu, tak ada yang abadi. Perubahan sekecil apapun, pasti akan terjadi.
Berita bohong yang kerap menyerang pendengaran penghuni Swan Castle, membuat Puteri Odette menjadi gelisah. Hampir setiap hari, ada saja berita burung yang mengatakan bahwa Alice bersama Dark Heroes lainnya akan datang menyerang Swan Castle. Hingga berminggu-minggu berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan Alice maupun Dark Heroes lainya. Namun, berita burung itu masih saja terdengar di mana-mana. Meski Puteri Odette sudah memberikan pengumuman agar tidak ada lagi yang membicarakan berita itu, namun tetap saja telinganya masih mendengar berita itu.
“Swan, aku menjadi khawatir,” kata Puteri Odette. Ia tengah berjalan-jalan di taman, memandangi dedaunan kering yang menghiasi taman. Swan turut bersamanya, menikmati senja yang hampir lenyap ditelan hutan larangan. “Jujur saja, aku khawatir akan kebenaran berita itu. Meskipun aku yakin berita itu tidak benar, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Yang lebih menyebalkan, aku sering bermimpi Alice datang ke Swan Castle dan berhasil merebutnya dari tanganku.”
Swan berhenti. Menenunduk, kemudian memandangi Puteri Odette yang sudah ada beberapa langkah di depannya. “Aku tahu bagaimana perasaanmu, Odette,” kata Swan lirih. Ia mempercepat langkahnya, hingga ia berjalan sejajar dengan Puteri Odette. “Aku juga khawatir akan berita itu. Kamu pasti tahu, suatu hari nanti, Alice atau Dark Heroes lainnya pasti akan datang untuk menguasai seluruh daerah Land of Dawn. Cepat atau lambat, itu akan terjadi.”
Puteri Odette menghentikan langkahnya. Merentangkan kedua tangnnya, menutup mata. ia menghirup udara segar di musim gugur. Aroma dedaunan berhasil membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Ia menatap ke arah hutan larangan, yang perlahan menyembunyikan keindahan senja. Ia tersenyum. Ia sadar, senja di musim gugur lebih memesona daripada musim semi. Namun, keindahan itu harus kembali terenggut, saat memorinya memutar kembali berita bohong yang membuatnya gelisah.
“Swan, jika suatu hari nanti mereka datang ke sini dan mencoba merebut Swan Castle. Apakah aku bisa mempertahankan Swan Castle?” tanya Puteri Odette gelisah. Pikirannya melambung tinggi, hingga melintasi angkasa. Menembus setiap kegelisahan, menyisakan kekhawatiran akan sesuatu yang tak pasti. “Kau tahu siapa aku. Aku bukan petarung. Bukan pula penyihir. Aku hanya punya sebuah tongkat yang diwariskan oleh ayahku sebelum ia meninggal. Aku ini bodoh, Swan. Aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan tongkat itu. Aku tidak berdaya, Swan. Aku ini lemah, sangat lemah.”
Tangisnya pecah. Butiran air mata membasahi pipinya. Senja mulai menghilang berganti malam. Angin berembus semakin keji, menembus masuk hingga ke tulang. Membawa masuk kesunyian malam, menempatkannya di dalam jiwa. Ketakutan, kegelisahan kini berkuasa dalam dirinya. Ia lemah, bahkan sangat lemah. Bahkan ia tak lagi bisa berdiri tegak di atas kedua kakinya. Yang perlu dilakukan hanyalah melangkah pergi, kembali ke Swan Castle dan istirahat. Namun, pikirannya sudah terenggut oleh malam. Ia kaku. Lumpuh. Gemetar pun tidak.
Swan merasa iba. Namun tak ada yang bisa ia perbuat. Mencoba memotivasi Puteri Odette bukannlah hal yang bisa ia lakukan. Bahkan dirinya pun ingin menangis karena rasa takut yang teramat besar. Namun, Swan mencoba untuk terlihat tegar. Satu-satunya kekuatan Puteri Odette adalah Swan. Jika Swan melemah, maka Puteri Odette akan kehilangan harapannya. Swan sudah menjadi buku petunjuk bagi Puteri Odette dalam memimpin Swan Castle, sejak kedua orang tuanya meninggal. Tugas yang teramat berat bagi Swan. Namun ia tak punya pilihan lain. Itu sudah menjadi takdir hidupnya. Memotivasi saat ia membutuhkan motivasi.
***
Lancelot berlari kecil, menyusuri lorong kecil di Swan Castle. Lorong gelap, sempit yang terlepas dari pengawasan para penjaga istana. Lancelot tampak begitu panik, sembari mencoba mempercepat langkah untuk bisa sampai di ujung lorong gelap itu. Ia berlari cukup jauh, namun ia belum juga tiba di ujung lorong tersebut. Beberapa saat kemudian, ia berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Bahkan jika lorong ini mengeliling seluruh ara Swan Castle, tidak mungkin sepanjang ini. Ini bukan lorong biasa, pun ia tak bisa melihat apa-apa di sana. Lancelot panik. Ia berbalik dan berlari secepat mungkin. Namun, ia tak berhasil kembali dari lorong gelap itu. wajahnya pucat, keringat mengucur deras. Ia berhenti, kemudian menunduk. Kedua tangannya ditopangkan pada kedua lutut. Napasnya memburu.
Pria bertubuh ringkih itu mengedarkan pandangannya. Mencoba mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Namun tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada dinding sempit dan kegelapan. Ia menempelkan tangannya ke dinding. Ia terkejut saat telapak tangannya meneyentuh dinding yang lembab. Dinding itu seperti dilapisi dengan cairan air liur monster. Pun baunya cukup menyengat.
“Di mana aku sebenarnya? Dan cairan apa ini? Baunya sangat tidak enak,” kata Lancelot sembari mengibaskan tangannya untuk menghilangkan lendir yang menempel. Ia kembali melihat ke sekitar untuk mencari sesuatu. Di ujung lorong, ia melihat seberkas cahaya. Seperti nyala api kecil. “Api? Tidak mungkin. Aku masih ingat, saat aku berjalan masuk ke dalam lorong ini, aku tidak melihat ada penjaga di depan lorong. Dan, sekitar lorong ini cukup sepi, hingga makhluk itu berhasil kabur. Apa pun itu, aku harus segera tiba di sana. Perasaanku sangat tidak enak.”
Lancelot berlari mencoba mendekati sumber cahaya itu. cahaya itu semakin jelas. Namun saat ia hampir tiba, kakinya tersandung akar hingga ia terjatuh. Kepalanya terbentur hingga ia tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian, Lancelot sadar. Ia mengedarkan pandanganya, menatap perabotan yang tak asing baginya. Ia menatap ke langit-langit kamar. Lukisan angsa putih menghiasinya. Ia tersenyum. Kegelisahannya berangsur sirna saat ia tahu bahwa ia ada di kamarnya, di Swan Castle. Namun ia masih bertanya-tanya, siapa yang membawanya ke kamar. Pun masih menjadi misteri, sebuah lorong gelap dan sempit, tak berujung dan berlendir. Lancelot menopangkan kedua tangannya di tempat tidur, kemudian menyandarkan punggungnya ke dinding. Lewat pintu yang setengah terbuka, Lancelot bisa melihat beberapa pelayan istana yang tengah beraktivitas. Sesaat ia tersenyum, hingga ia melihat Swan melintas di depan kamarnya.
“Swan!” seru Lancelot.
Swan berhenti, menoleh ke kamar Lancelot. Swan tersenyum melihat kondisi lancelot yang sudah sadarkan diri. Swan menghampiri Lancelot. Sorot matanya seakan ingin memberitahukan bahwa ia tahu bahwa Lancelot memanggilnya untuk beberapa pertanyaan tentang lorong gelap itu.
“Senang melihatmu, Lancelot,” kata Swan saat ia berada tepat di sebelah Lancelot. Ia menyunggingkan senyum penuh makna. “Aku sempat khawatir akan keadaanmu. Kepalamu terbentur, dan kau kehabisan cukup banyak darah. Untung saja aku cepat menemukanmu, jika tidak ... kau sudah mati.”
Kalimat terakhir Swan penuh penekanan, membuat Lancelot bergidik ngeri. Tak bisa ia bayangkan jika ia tewas malam itu juga.
“Apakah kau yang membawaku kemari?” tanya Lancelot. Ia menatap serius ke arah Swan.
“Tentu saja tidak, Lancelot,” kata Swan. Swan tertawa geli mendengar pertanyaan Lancelot yang menurutnya tidak masuk akal. “Menurutmu, apakah aku bisa membawamu kemari? Baiklah, lupakan itu. biar aku ceritakan padamu. Tadi malam, penjaga memberitahukan bahwa kau berlari ke arah lorong gelap di tepi istana. Saat itu juga aku bergegas ke sana, berharap aku masih bisa bertemu denganmu sebelum kau masuk. Namun ternyata aku sudah terlambat. Aku memanggil penjaga untuk memeriksa lorong itu. Dan akhirnya mereka menemukanmu pingsan dengan luka benturan di kepala.”
“Oh, begitu. Terima kasih, Swan,” kata Lancelot. “Aku penasaran dengan lorong itu. Aku sudah berlari cukup jauh, namun tidak sampai pada ujungnya. Dan satu lagi, dindingnya berlendir. Apakah itu air liur monster?”
Swan tersenyum. “Air liur monster?” tanya Swan seolah tak percaya. “Lancelot, tidak mungkin ada monster di Swan Castle. Apakah kaupikir Odette memelihara monster? Biar aku jelaskan. Itu bukanlah lorong biasa. Lorong itu dinamakan Dark Street. Sudah lama tidak pernah digunakan lagi. Itulah kenapa tidak ada pengawal istana yang berjaga di sana. Sebenarnya, lorong itu merupakan sebuah jalan menuju sebuah tempat terlarang. Dan tidak semua orang bisa sampai ke sana. Itulah kenapa kau tidak bisa mencapai ujungnya. Untuk lendir yang kaukatakan itu, aku sama sekali tidak tahu akan hal itu. Tempat itu tidak terjamah selama ribuan tahun. Mungkin saja lumut sudah tumbuh dan menutup dinding itu. Sebaiknya kau tidak pikirkan itu. Dan ingat, jangan pernah masuk ke sana lagi!”
Lancelot mengangguk paham. Namun, jawaban yang cukup panjang dari Swan tidak cukup untuk menghancurkan sejuta tanya dalam pikirannya. Ia masih bertanya-tanya, tentang lorong gelap itu, juga lendir yang menempel di kedua sisinya. Lancelot sangat yakin, ada sebuah rahasia yang disembunyikan oleh Swan darinya. Namun, ia juga tidak bisa memaksa Swan untuk menceritakan yang sebenarnya. Keberadaanya di Swan Castle yang berstatus orang asing, memaksanya untuk tidak banyak bertanya. Bersyukur, Puteri Odette masih mau menampungnya di Swan Castle hingga sekarang.
“Baiklah, Swan. Aku mengerti,” kata Lancelot. Terukir senyuman terpaksa di bibirnya. Namun Swan tak menyadari keterpaksaan itu. “Seperti katamu, aku tidak akan memikirkan hal itu lagi dan tidak akan pergi ke tempat terkutuk itu lagi.”
Swan tersenyum. Ia sangat yakin atas ucapan Lancelot. “Baiklah, Lancelot. Aku pergi dulu. Ada banyak yang harus aku selesaikan. Jika kau bosan, silakan berkeliling di sekitar taman. Musim gugur jauh lebih indah dari musim semi.” Swan menyunggingkan senyum, kemudian bergegas meninggalkan Lancelot.
“Aku harus menemui Odette,” kata Lancelot lirih.
Pria bertubuh ringkih itu beranjak dari tempat tidurnya. Berjalan menuju pintu, dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kedua bola matanya mencoba mencari sosok wanita yang harus ia temui untuk memecahkan misteri yang selalu mengganjal di hatinya. Namun Puteri Odette tidak tampak di mana-mana. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang bekerja, dan beberapa pengawal yang mondar-mandir. Lancelot gelisah. Kondisinya belum sepenuhnya pulih untuk beraktivitas di luar istana.
Tak ada pilihan lain. Lancelot kembali ke kamar, berharap PuterI Odette akan lewat dari depan kamarnya. Sama seperti Swan melintas di depan kamarnya. Namun harapan itu tak bersua. Hingga malam menghampiri, Puteri Odette sama sekali tak melintas di depan kamar Lancelot. Lancelot bertanya-tanya di mana Puteri Odette. ia sangat yakin, setiap sore, sebelum malam menyapa, Puteri Odette akan lewat dari depan kamar Lancelot untuk memeriksa keadaan di sebuah ruangan tepat di sebelah kamar Lancelot.
“Di mana dia? Apakah sesuatu terjadi di luar pengetahuanku?” ucap Lancelot lirih.
Pikirannya mulai melambung. Mencoba menangkap setiap butiran kemungkinan. Banyak hal negatif yang akhirnya berhasil masuk dan merasuki pikirannya. Bola matanya menatap liar. Jantungnya berdetak cepat. wajahnya muram, menampakkan kegelisahan yang mendalam. Tak ada yang bisa dilakukan, kecuali mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Pun berdiam diri di dalam kamar hanya akan memberi kesempatan hal negatif untuk mengusai pikiran.
Lancelot beranjak. Menyusuri setiap lekuk istana. Namun ia tak kunjung menemukan Puteri Odette. Deru napasnya semakin terdengar jelas. Wajahnya semakin menampakkan kegelisahan. Langkahnya terhenti saat ia melihat Swan tengah berjalan santai menuju perpustakaan.
“Swan!” seru Lancelot. Ia berlari kecil menghampiri Swan. Angsa putih itu berhenti dan menoleh ke arah Lancelot. Tatapannya mengandung tanda tanya. Ada apa? Lancelot melanjutkan ucapannya setelah ia berada cukup dekat dengan Swan. “Apakah kau melihat Puteri Odette? Sejak aku sadar, aku tidak melihatnya sekali saja. Awalnya aku ingin menanyakan seusatu padanya, tapi kini aku justru khawatir akan keadaanya.”
Swan tersenyum tipis. Ia berusaha menahan tawa di hadapan Lancelot. Kepanikan Lancelot membuat Swan merasa geli.
“Sepertinya kau sangat mengkhawatirkan dia?” kata Swan menggoda. Ia menatap serius ke arah lancelot. “Odette baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir seperti itu. Dia sedang sibuk sekarang. Sejak pagi, ia berada di perpustakaan. Jadi mustahil kau bisa melihatnya.”
Lancelot tersenyum tipis. Ia menggaruk kepala karena malu. Pipinya memerah seperti tomat. Ia memalingkan wajah dari Swan yang kini mulai terkikik melihat dirinya.
“Ah ... apa yang dia lakukan di sana? Satu hari itu waktu yang cukup lama jika dihabiskan untuk berada di perpustakaan,” kata Lancelot penuh harap.
“Maaf, aku harus segera pergi,” kata Swan buru-buru.
Tanpa menunggu Lancelot, Swan langsung pergi. Ia mencoba untuk menghindari dari Lancelot.
“Swa ... n.”
Part 6- Magical Academy
Senja bergulir, berganti gelap malam. Angin berembus menyesapkan kesunyian. Mengejutkan hati yang tengah melamun. Menyadarkan hati yang masih saja terpaku pada kejadian masa lampau. Malam hadir membawa peringatan, bahwa semua yang tejadi akan berlalu. Kemudian tergantikan oleh hari yang baru, dengan kesulitan yang berbeda. Hanya perlu bersiap, menantikan bencana besar, yang bisa datang kapan saja. Terlihat sia-sia, menunggu ketidakpastian. Namun, akan sangat menyesal jika semua sudah terjadi. Waspada. Itulah hal yang paling penting.
Di dalam kamar yang tak begitu luas, Harley tidur dengan gelisah. Ia tidur dengan gelisah. Tak jarang tangannya menampar wajah Valir, yang tidur di sebelahnya. Setiap tamparan yang diterima oleh Valir, membuatnya terkejut dan terbangun. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Menyalahkan Harley atas tindakannya, sama saja dengan melakukan tindakan bodoh. Percuma saja ia membangunkan Harley, dan memberitahunya atas tindakannya yang konyol itu. tentu Harley akan memebela diri.
Valir semakin resah. Ia tak lagi mampu menahan tamparan keras dari Harley. Pria pengendali api itu beranjak dari kasur. Menarik selimut, dan membentangkannya di lantai. Sejenak ia mengamati pria bertubuh pendek, yang tengah meringkuk di atas kasur. Ia tersenyum. Sesaat kemudian, Valir membaringkan tubuhnya di atas selimut yang telah ia bentangkan. Namun ia tak bisa tidur dengan leluasa. Kamar yang sempit ditambah perabotan, membuatnya harus rela melipat kaki agar bisa tidur. Namun ia cukup menikmati tidurnya. Jauh lebih baik daripada harus menerima tamparan keras dalam waktu yang tak pasti.
Waktu terus bergulir, membawa semua orang pada tengah malam yang semakin dingin. Hawa dingin di kutub utara, seakan terbawa angin hingga ke Magical Academy. Harley yang kini tak mengenakan selimut, mulai menggigil. Tubuhnya gemetar, bibirnya membiru. Perlahan kesadarannya terseret, keluar dari alam mimpi. Tiba-tiba saja, matanya terbuka lebar. Tak sedetik pun ia berkedip. Tatapannya begitu tajam dan terarah pada lemari pakaian di dekat pintu.
Perlahan ia duduk, kemudian melangkah perlahan mendekati pintu. Matanya masih saja melotot. Saat ia hendak membuka pintu, Valir terbangun. Pria pengendali api itu sedikit heran, namun ia memutuskan untuk tidak peduli, dan kembali melanjutkan tidurnya. Harley keluar dari kamar, berjalan menyusuri lorong, menuju halaman belakang Magical Academy. Suasana di sana sangat sepi. Bahkan suara hewan kecil pun tak terdengar. Hanya suara tepukan ranting pohon, yang tertiup angin, bersahut-sahutan memecah keheningan. Pun itu tak merubah keadaan menjadi lebih baik. Semua justru berubah menjadi sebuah kengerian, yang bisa merenggut setiap nyawa. Tiada yang tahu, di keheningan malam, yang diiringi tepukan ranting pepohanan, menjadi pertanda akan datangnya bahaya.
***
“Profesor! Harley hilang! Profesor!”
Seorang pria dengan wajah berantakan, tengah berlari menuju ruang kerja Profesor Gord. Ia sangat panik, hingga tak sempat membasuh wajahnya. Sepanjang lorong ia berteriak, hingga membuat Eudora ikut berlari menuju ruang kerja Profesor. Belum pernah ia melihat Valir sepanik itu. jika situasinya seperti ini, sudah pasti ada masalah yang sangat serius.
“Profesor! Harley hilang!” seru Valir saat ia berdiri tepat di depan ruang kerja Profesor Gord.
Sesaat kemudian, pintu terbuka. Profesor keluar mengenakan pakaian kerjanya. Ia menatap Valir seolah-olah ia ingin tertawa. Wajah Valir yang tak karuan, membuat Profesor merasa geli. Namun ia mencoba menahan tawanya, dan meminta Valir menyampaikan hal apa yang membuatnya berteriak sepanjang koridor.
“Ada apa, Valir? Tenanglah, jangan terlalu panik,” kata Profesor santai. Ia mencoba merayu Valir agar tidak terlalu panik. “Katakan, ada apa? Samar-samar aku mendengar kau berteriak bahwa Harley hilang. Jelaskan dengan perlahan, apa yang terjadi.”
Valir menghela napas. Ia mencoba mengatus ritme pernapasannya. Saat dirasa sudah lega, barulah ia mulai menjelaskan kejadian itu.
“Tadi malam, aku melihat Harley keluar dari kamar. Awalanya aku sedikit curiga, tapi akhirnya aku abaikan saja. Pikirku dia hanya akan pergi ke toilet. Namun, tadi pagi aku terbangun, dia tidak ada di kamar. Aku khawatir, dia diculik oleh Dark Hero,” kata Valir dengan tenang.
“Diculik Dark Hero? Bagaimana mungkin?” tanya Profesor tak yakin. Ia melihat ke arah Eudora yang tengah berlari ke arah mereka. Kemudian ia kembali memandang Valir. “Mustahil jika Dark Hero bisa masuk ke Magical Academy. Tempat ini dilindungi oleh periasi Metavor. Perisai itu adalah, satu dari tiga perisai terkuat yang pernah ada. Perisai kedua ada di Moniyan Empire, yaitu periasi Vistavor. Dan yang terakhir ada di kutub utara, di istana Ratu Aurora. Perisai itu adalah yang terkuat dari ketiga perisai terkuat yang pernah ada. Namanya adalah Metavistavor. Perisai gabungan dari dua perisai terkuat yang pernah ada. Hingga saat ini, belum ada yang berhasil menmbus ketiga perisai itu.”
Valir mengangguk paham. Begitu juga Eudora, yang masih bisa mendengar sepenggal cerita Profesor.
“Tapi, bagaimana jika tanpa kita sadari, Dark Hero berhasil menerobos perisai itu? Kemudian, diam-diam mereka masuk ke Magical Academy dan menculik Harley?” kata Valir kembali panik.
“Sudahlah, Valir,” kata Eudora. Ia tampak tidak suka atas sikap berlebihan yang ditunjukkan oleh Valir. “Sikapmu terlalu berlebihan. Tenanglah sedikit, kita akan menemukan Harley nanti. Jika kau terus saja panik, bagaimana kau akan berpikir? Tentu kau tahu, bahwa pikiran yang kacau takkan bisa menemukan jalan keluar yang baik.”
“Tidak baik berkata demikian, Eudora,” kata Profesor memberi nasihat. Ia memalingkan wajahnya pada Eudora. “Wajar saja jika Valir merasa khawatir. Meskipun mereka sering bertengkar, namun mereka memiliki hubungan yang erat. Walau hanya sekadar sahabat. Aku bisa melihat ketulusan dalam diri Valir, saat ia datang kemari untuk memberitahukan bahwa Harley menghilang.”
“Ya, benar. Tapi tetap saja sikapnya itu terlalu berlebihan,” ketus Eudora.
“Hei, Ratu Petir. Bisakah kau berbicara lebih lembut tentangku?” kata Valir menggoda. Pria itu tersenyum menatap wajah kesal Eudora. “Tapi harus kuakui, kau terlihat lebih cantik dengan situasi marah seperti itu. Aku bisa merasakan petirmu menyambar-nyambar hatiku.”
“Diam kau, Valir!” bentak Eudora. Wajahnya memerah, menahan rasa malu juga amarah. “Jangan pancing aku untuk melenyapkanmu. Sekali lagi kau mencoba merayuku, akan kuhabisi kau. Tak peduli di hadapan siapa pun, termasuk Profesor.”
“Coba sa ....” ucapan Valir terhenti, saat Profesor angkat bicara, untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi.
“Sudah cukup waktu pacarannya,” kata Profesor sedikit tegas. “Kalian lanjutkan nanti setelah kita menemukan Harley. Sekarang, kalian cari cara agar kita bisa menemukan Harley secepat mungkin. Aku khawatir, Harley bermimpi dan pergi keluar dari area Magical Academy. Jika sampai itu terjadi, nyawanya ada dalam bahaya.”
“Benar, Profesor. Kita harus segera menemukan Harley,” kata Eudora bersemangat. “Mungkin sebaiknya kita berpencar. Kita cari semua area Magical Academy. Jika tidak ada hasil, maka kita harus berkumpul untuk membuat rencana. Karena tidak mudah untuk mencari Harley di luar perisai Metavor.”
“Aku setuju atas ide Eudora,” ucap Valir tak kalah antusias. “Aku akan mencari ke belakang Magical Ademy. Profesor dan Eudora bisa mencari tempat lain. Bagaimana?”
“Baiklah. Kita berpencar sekarang,” kata Profesor. “Jika tidak ada hasil, kita kembali bertemu di sini. Bergegaslah!”
Mereka bertiga berpencar. Valir berlari menuju halaman belakang, Eudora ke area depan, sementara Profesor menyusuri setiap ruangan dan koridor Magical Academy. Waktu terus berpacu. Setiap sudut telah ditelusuri. Namun hasilnya nihil. Tak seorang pun dari mereka yang menemukan Harley. Saat keadaan tak lagi berpihak, mereka kembali bertemu di ruang kerja Profesor.
“Maaf, Profesor. Aku tidak berhasil menemukan Harley. Aku sudah menyusuri setiap sudut di halaman depan. Tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Harley berada di sana sebelumnya.”
“Aku juga tidak menemukan Harley, Profesor,” kata Valir. “Aku menyusuri halaman belakang. Namun tidak menemukan Harley. Tapi, aku menemukan topinya di dekat perbatasan antara Magical Academy dengan hutan larangan. Aku khawatir, Harley pergi ke tempat terkutuk itu.”
Profesor menunduk. Tak banyak kata yang bisa terucap dari mulutnya yang terbungkam. Menangis ia tak punya air mata. berteriak pun ia tak lagi punya suara. Kekhawatiran telah merenggut semua yang ada padanya. Pikirannya tak mampu mengolah kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Harley. Apakah dia bisa kembali dengan selamat, atau dia dibunuh dengan keji. Atau mungkin ia dijadikan murid oleh Dark Hero yang menemukannya. Tak seorang pun yang tahu, bagaimana nasib pria bertubuh pendek itu sekarang.
Profesor berjalan beberapa langkah, meninggalkan dua muridnya di meja kerjanya. Ia mengintip dari celah jendela. Membiarkan angin, mengembuskan debu tipis yang menempel di jendela, hingga masuk ke dalam paru-parunya. Pikirannya kian melambung. Bahkan lebih jauh dari jarak pandangnya. Tak dapat ia sesali, jika akhirnya ia harus mendapat kabar bahwa Harley telah tewas.
Sesaat kemudian, Profesor Gord berpaling. Menatap sendu kedua muridnya. Ia kembali menghela napas berat.
“Kalian berdua, silakan kembali beraktivistas,” kata Profesor lirih. “Aku akan mencoba memikirkan bagaimana kita bisa mencari Harley di hutan larangan. Kalian silakan berkativitas seperti biasa. Jangan terbebani oleh hal ini.”
“Baik, Profesor,” kata Eudora dan Valir bersamaan.
Valir dan Eudora meninggalkan ruang kerja Profesor dengan perasaan yang kacau. Mereka merasa khawatir meninggalkan Profesor sendirian dengan pikiran yang berkecamuk. Mereka sangat paham, bahwa Profesor sangat mencintai semua muridnya. Jika terjadi sesuatu, maka Profesor akan sangat terpukul. Namun situasi tak berkehendak. Mereka berdua hanya bisa melanjutkan aktivitas seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Pun waktu akan tetap diam, enggan untuk angkat bicara, atas apa yang telah diperbuat oleh malam.
***
Profesor Gord berjalan gelisah, mengelilingi meja kerjanya. Sesekali matanya menatap lurus ke arah pintu. Berharap ia melihat Harley datang dan mengetuk pintu ruang kerjanya. Namun, sudah puluhan kali ia berputar dan melirik ke arah pintu. Hasilnya sama saja. Tak ada seorang pun yang datang dan mengetuk pintu ruang kerjanya. Sungguh ia sudah berharap terlalu jauh. Pikirannya yang kacau, bercampur dengan keinginan hatinya yang mengharapkan Harley kembali dengan selamat, membuatnya merasa tak tenang. Hati kecilnya selalu optimis, bahwa Harley akan datang dan mengetuk pintu ruang kerjanya. Namun ia tak tahu, kapan itu akan terjadi.
Tok! Tok! Tok!
“Profesor!”
Samar-samar Profesor mendengar seseorang mengetuk pintu dan memanggilnya. Namun hanya sebentar ia mendengar suara itu. Saat ia mendekat ke pintu, suara itu telah lenyap. Bahkan saat ia membuka pintu dan memerhatikan ke sekitar. Tak seorang pun berdiri di sana. Profesor mendengus. Ia menutup pintu dan kembali ke meja kerjanya. Ia mencoba untuk menenangkan pikirannya agar tidak terlalu jauh mengkhayal. Yang baru saja terjadi hanyalah imajinasinya saja. Ia terlalu berharap Harley menemuinya saat itu, hingga ia seolah-olah mendengar Harley memanggilnya.
Tok! Tok! Tok!
“Profesor!”
Kembali Profesor mendengar seseorang mengetuk pintu dan memanggilnya. Ia mencoba untuk tetap tenang dan mengabaikan hal itu. pikirannya belum pulih sepenuhnya. Bisa saja ia berhalusinasi lagi, hingga ia mendengar Harley memanggilnya. Profesor melanjutkan penelitiannya. Namun, kembali suara panggilan itu terdengar.
“Profesor!”
Kali ini, suara itu terdengar lebih jelas. Profesor yakin, kali ini ia tidak salah dengar. Bahkan ia sangat yakin, pemilik suara itu adalah Harley. Dengan sedikit tergesa, Profesor beranjak menuju pintu. Tangannya yang gemetar, perlahan membuka pintu. Matanya berbinar saat melihat sosok murid bertubuh pendek, berdiri tepat di hadapannya. Pria bertubuh pendek itu tersenyum menatap sang Profesor yang menyambutnya. Tanpa kata, tanpa suara, Profesor memeluk Harley sangat erat. Hingga Harley meringis kesakitan, dan sedikit sulit untuk bernapas.
“Profh ... hesor,” ucap Harley terbata-bata. Ia hampir kehilangan nyawa akibat pelukan erat Profesor. “Bissakah Profesor lepphaskan aku?”
“Maaf,” kata Profesor sembari melepaskan pelukannya. Ia menunduk malu karena terlalu berlebihan. Ia teringat akan ucapan Eudora, yang mengatakan bahwa tindakan Valir begitu berlebihan. Apa jadinya jika Eudora ada di sana dan melihat tingkkahnya, mungkin Eudora akan tertawa terbahak-bahak. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, Harley. Tadi pagi, Valir menemuiku, dan mengatakan bahwa kau hilang. Kami berpencar mencarimu di setiap sudut Magical Academy. Kau tahu, aku hampir lupa bernapas saat Valir kembali membawa topimu yang tergeletak di tepi perbatasan antara Magical Academy dengan hutan larangan. Aku tak bisa membayangkan jika akhirnya kau tewas di tangan para iblis itu.”
Harley menunduk. Ia mencoba menahan tawanya yang hampir lepas. Setelah ia bisa menahan diri agar tidak tertawa, Harley mengangkat kepalanya. Kedua bola matanya memancarkan sinar yang sedikit asing. Tatapannya jauh lebih tajam dari biasanya. Harley yang dulunya ramah dan lembut, kini terlihat seperti sosok yang tegas dan cuek. Matanya yang indah, kini memancarkan sinar kebencian. Namun, Profesor Gord mencoba untuk mengabaikan keanehan itu. menurutnya, itu hanyalah bagian dari halusinansinya. Meski Harley telah kembali, namun pikirannya masih saja belum pulih sepenuhnya.
“Mari masuk, Harley,” kata Profesor Gord sembari mengamati sekitar. “Tidak baik jika ada yang melihatmu di sini. Akan lebih baik jika kau memberitahukan apa yang terjadi padaku. Setelah itu, kau boleh bercerita pada yang lain.”
Mereka masuk ke ruangan. Dengan Sigap Profesor menutup pintu, sebelum ada murid yang menyadari keberadaan Harley. Setelah itu, Profesor membuat tanda di pintu, berupa cahaya merah. Cahaya itu menandakan bahwa Profesor tengah sibuk dan tidak bisa diganggu. Dengan begitu, ia bisa leluasa bertanya pada Harley tanpa takut akan kedatangan seseorang.
Harley duduk di kursi tamu, tepat di depan meja kerja Profesor. Seementara Profesor duduk di kursi yang berseberangan dengan Harley. Sejenak, Profesor hanya diam dan mengamati ekspresi Harley. Ia tampak biasa saja, bahkan tampak lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Ia terlihat lebih ceria dan segar. Profesor memulai percakapan saat pikiranya tak mampu mengolah keanehan yang terdapat dalam diri Harley.
“Sekarang, kau bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi,” kata Profesor Gord tegas. Ia bertopang dagu pada meja, menatap Harley lekat. Ia tak ingin kehilangan sepatah kata pun dari cerita Harley yang sudah ia nantikan. “Aku sangat berharap, kau mau menceritakan semua secara mendetail, tanpa melewatkan sedikit pun kejadiannya. Satu langkah yang kau lalui, satu kata yang kauucap, akan sangat berarti bagiku, Harley. Petaka bisa datang kapan dan di mana saja. Sebisa mungkin, kita harus menjaga rahasia kita serapat mungkin.”
“Hahaha!” Harley tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Profesor. Sungguh tindakan yang tak pantas. Namun, Profesor mencoba untuk menahan diri. Setiap ekspresi yang ditunjukkan oleh Harley, ia rekam dengan baik di dalam pikirannya. “Ucapanmu terdengar begitu tajam, Profesor. Seolah-olah aku pergi ke Dark Lord Abbys dan menceritakan rahasia besar dari Magical Academy. Percayalah, aku tidak ke mana-mana, dan aku tidak berbicara dengan siapa pun. Aku ada di Magical Academy sepanjang malam. Aku tidur di kamar, dan terbangun saat cahaya matahari memaksa masuk melalui celah jendela kamarku.”
“Harley,” kata Profesor lirih. “Jangan pernah bermain-main denganku saat aku sedang berbicara serius denganmu. Aku sangat tidak suka tindakan seperti itu. tunjukkanlah sikap hormatmu sebagai seorang murid yang tengah berbicara kepada seorang profesor. Gaya bicaramu seperti para iblis yang berkeliaran di luar sana. Tak punya sopan santun. Semua hal dianggap remeh.”
Ucapan Profesor terdengar tegas, penuh penekanan. Wajahnya memerah, menahan emosi yang hampir meluap. Ia masih mencoba untuk menahan diri, berharap Harley mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Namun siapa yang tahu, bahwa malam bisa melakukan apa saja pada siapa pun yang ia mau. Bahkan merasuki jiwa mereka, merenggut nyawa, atau menghapuskan jejak. Butuh waktu yang lama, untuk bisa mengetahui maksud terselubung dari setiap jiwa yang terasuki oleh malam. Hal yang demikian rumit, kini tengah dihadapi oleh Profesor Gord. Ia seakan menemui jalan buntu. Tak sedikit pun ia bisa melangkah lebih jauh.
“Aku tidak sedang bermain-main atau mencoba bergurau denganmu, Profesor,” kata Harley dengan wajah datar. Ia mencoba berekspresi seolah-olah ia tengah serius. Namun percuma saja. Kedua bola matanya tetap saja memancarkan kebohongan yang begitu besar. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Tak sedikit pun kuhilangkan dan tak sedikit pun kutambahkan.”
Profesor mendengus. Pasrah. Itulah yang bisa ia lakukan. Setajam apapun makian yang ia lontarkan, tetap saja Harley akan bersikukuh atas ucapannya. Berdebat bukanlah hal yang baik untuk dilakukan. Terlebih dalam kondisi pikiran yang sedang kacau. Salah sedikit saja, maka petaka yang lebih besar akan terjadi.
“Baiklah. Sepertinya pembicaraan ini tidak akan ada titik terangnya,” kata Profesor pasrah. Ia berdiri, berjalan perlahan menuju jendela ruang kerjanya. Menghela napas berat, kemudian berbalik ke arah Harley. “Jelaskan padaku, kenapa topimu ada di perbatasan? Untuk hal ini, kau tak bisa menyangkalku, Harley. Aku tidak mau mendengar ucapanmu bahwa itu hanyalah akal-akalan Valir.”
Harley terdiam sejenak. Bola matanya mengamati setiap sudut ruangan. Pikirannya melambung hingga ke angkasa, mencari alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Profesor Gord, tanpa harus menimbulkan pertanyaan baru. Ia sudah merasa bosan berada di ruang kerja yang terasa sesak itu. Bau menyengat dari cairan warna-wari itu membuatnya sedikit sulit untuk bernapas. Sesekali ia menutup hidung agar aroma itu tak menyengat lebih keji di hidungnya.
“Profesor, perutku mulai keroncongan,” ucap Harley menngalihkan pembicaraan. Ia tak bisa menemukan alasan yang tepat untuk menjawab pertanyaan Profesor. Alasan klasik seperti ini, menjadi senjata utama untuk menghindar. “Bolekah aku makan lebih dulu? Aku akan kembali lagi nanti.”
Lagi-lagi, Profesor Gord menghela napas berat. Kesekian kalinya ia harus pasrah akan keadaan. Ia ingin marah, dan menghukum Harley dengan keji. Namun, ia masih memiliki sisi baik, yang menghalanginya untuk menyakiti Harley. Bagaimana pun, sebuah kisah akan dimulai dari sekarang. Ia butuh banyak informasi untuk bisa menemukan jalan keluar dari sebuah bencana yang akan menerjang. Sementara waktu, Profesor Gord membiarkan rahasia gelap itu tersimpan. Bertumbuh, berakar kuat. Hingga suatu hari nanti, ia bisa menebang, bahkan mencabutnya hingga ke akar.
“Pergilah, aku tahu kamu lapar setelah mencoba mencari alasan untuk menghindariku.”
Part 7- Swan Castle
Waktu terus bergulir. Hari masih berganti. Namun dedaunan masih betebaran di jalanan, tertiup angin sore. Terbang tinggi rendah, kemudian menjatuhkan diri dengan pasrah. Kadang angin akan datang kembali untuk menerbangkannya, kadang pula angin mengabaikannya. Membiarkannya menapaki rerumputan dan akhirnya membusuk. Semua terjadi tanpa pernah diduga sebelumnya. Terkadang pula melenceng jauh dari apa yang diharapkan. Bahkan saat kemungkinan itu terpampang jelas di depan mata.
Musim gugur hampir berakhir, namun berita teror masih saja terdengar di mana-mana. Saat satu mulut bungkam, tak lagi berceloteh tentang teror, maka mulut lain akan menganga, menyerukan akan adanya penyerangan dari pihak Dark Lord Abbys. Puteri Odette sudah jenuh menghadapi semua berita itu. Ia lebih memilih untuk mengabaikan semua omongan para penghuni istana. Percuma saja ia berteriak, hingga suaranya menjadi serak. Dua tangan takkan mampu menutup ribuan mulut, namun dua tangan bisa menutup dua telinga. Berpura-pura tidak mendengar, jauh lebih baik.
“Odette! Bahaya!”
Swan berlari tergesa-gesa dari halaman depan Swan Castle. Sementara Puteri Odette tengah duduk di singgasana. Dari raut wajahnya, Swan tampak begitu panik. Belum pernah ia terlihat sepanik itu. Swan adalah satu-satunya penghuni istana yang paling tenang dalam menghadapi masalah. Namun kali ini, ia bahkan lebih panik dari seorang anak kecil yang tersesat di keramaian.
“Ada apa, Swa? Mengapa kau begitu tergesa-gesa?” tanya Puteri Odette penasaran. Gadis cantik itu berdiri,dan berjalan beberapa langkah. Ia berjongkok di hadapan Swan yang menghela napas berat. “Katakan, Swan. Apa yang membuatmu sepanik ini? Sungguh, kau membuatku khawatir.”
Swan terdiam sesaat. Mencoba memilah kata yang tepat, agar Puteri Odette tidak panik saat mendengar berita buruk yang ia bawa.
“Baiklah, akan aku ceritakan. Tapi kau harus tetap tenang,” kata Swan memperingatkan. Ia sedikit khawatir jika Puteri Odette akan terkejut dan pingsan saat mendengar berita itu. “Aku melihat cahaya ungu di langit. Seperti yang kita tahu, bahwa itu adalah tanda bahwa Dark Army dari lembah kegelapan Dark Lord Abbys akan bergerak menuju Land of Dawn. Kita tak punya banyak waktu, Odette. Cepat atau lambat, mereka akan tiba. Sekarang juga, kita harus mengutus seseorang untuk pergi ke utara. Ratu Aurora harus tahu hal ini.”
“Kau benar, Swan,” kata Puteri Odette lirih. Ia berdiri, berjalan beberapa langkah, menjauh dari Swan. Menatap ke luar istana. Ia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. “Tapi, siapa yang akan aku utus ke sana? Kita tidak punya pasukan yang cukup gesit untuk tiba di sana.”
“Aku akan pergi menemui Ratu Aurora!” Lancelot tiba-tiba saja datang dan bergabung bersama mereka. sepertinya pria bertubuh ringkih itu sudah mendengar pembicaraan antara Puteri Odette dan Swan.
“Tapi, untuk bisa sampai di sana butuh waktu yang lama. Dan kau harus melewati hutan larangan. Itu sangat berbahaya, Lancelot,” kata Puteri Odette khawatir. “Kau tidak boleh pergi.”
“Jika aku tidak pergi, bagaimana nasib Swan Castle nanti?” tanya Lancelot. Ia mendekatkan tubuhnya pada Puteri Odette. “Jangan khawatirkan aku. Aku pasti tiba di sana dengan selamat. Ambillah satu pedangku ini, untuk berjaga-jaga apabila ada yang datang menyerang Swan Castle.”
Puteri Odette menerima pedang itu dengan perasaan tak karuan. Setengah dirinya berharap Lancelot bisa sampai di utara, namun setengah dirinya tidak rela jika Lancelot harus pergi melewati mara bahaya. Namun, ia tak punya pilihan lain.
“Baiklah, kau boleh pergi,” kata Puteri Odette pasrah. “Jaga dirimu baik-baik. Dan kembalilah secepat mungkin, agar aku tahu bahwa kau baik-baik saja.”
Lancelot tersenyum. “Aku pasti akan kembali,” kata Lancelot lirih. “Aku mencintaimu, Odette.”
Puteri Odette terdiam. Wajahnya memerah menahan malu. Ia ingin membalas ucapan Lancelot, saat pria bertubuh ringkih itu sudah pergi. Akhrinya Puteri Odette hanya tersenyum, merasa malu karena Swan melihat adegan romantis itu.
***
Puteri Odette berjalan gelisah di ruang pribadinya. Sudah sejak 30 menit yang lalu ia melakukan hal sia-sia itu. sejak kepergian Lancelot, beberapa hari yang lalu, Puteri Odette selalu gelisah. Ia kerap bermimpi bahwa Lancelot diserang oleh Pharsa dan Ruby di hutan larangan. Setiap malam, ia memimpikan hal yang sama. Kegelisahannya semakin mendalam, saat ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengetahui bagaimana keadaan Lancelot kini. Entah dia sudah tiba di utara, atau sudah menjadi bangkai dan lenyap dimakan ulat.
Wajahnya mulai memutih. Sesekali ia memijat keningnya karena pusing. Swan yang sedari tadi memerhatikannya, merasa sangat muak akan tingkah aneh Puteri Odette. Swan masuk ke ruang pribadi Puteri Odette tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Tak lagi penting ketukan atau salam dalam situasi seperti ini.
“Odette, apa yang kau pikirkan? Kenapa kau begitu gelisah, hingga wajahmu terlihat sangat pucat?” tanya Swan penasaran. Ia mendekatkan tubuhnya, agar bisa melihat wajah Puteri Odette lebih jelas. “Apakah kau sedang sakit? Biar aku minta pelayan membawakan ramuan untukmu.”
Puteri Odette berhenti. Kemudian duduk di atas ranjang. Kedua tangannya ditopangkan ke ranjang, untuk menahan tubuhnya yang semakin lemas. Ia menatap Swan. Sorot matanya menunjukkan kegelisahan juga rasa takut. Swan bisa melihat buliran air mata, mencoba menerobos di pelupuk matanya.
“Aku baik-baik saja, Swan. Kau tak perlu khawatirkan aku,” kata Puteri Odette menenangkan Swan. Namun, wajah pucat, sorot mata sendu, dan suara paraunya tak bisa menutupi kehongan yang ia buat. Swan bukanlah anak kecil yang bisa diperdaya dengan mudah.
“Sudahlah, Odette. Sampai kapan kau akan menyembunyikan kegelisahanmu?” kata Swan tegas. “Aku adalah sahabatmu. Semua masalah yang kau hadapi, adalah masalahku juga. Kau harus ingat itu. kau harus jujur padaku. Kau mengkhawatirkan Lancelot?”
Deg. Detak jantung Puteri Odette seakan berhenti. Sama sekali ia tak menduga, bahwa Swan tahu apa yang membuat dirinya gelisah. Entah karena ia tak menyadari atau memang dia tak lagi peduli pada raut wajahnya, yang jelas-jelas berteriak bahwa ia tengah gelisah memikirkan nasib Lancelot. Bukan sekadar khawatir, namun ia juga takut kehilangan sosok pria yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
“Swan, kau benar. Kau adalah sahabatku. Apa yang menjadi masalahku, akan menjadi masalahmu juga. Tapi, tak selamanya sahabat bisa menjelma menjadi orang yang mengalami masalah. Seperti diriku yang tengah gelisah. Apakah kau bisa menjadi diriku dengan kegelisahan yang tak kunjung menghilang? Kurasa kau hanya bisa merasa simpati. Itu saja, Swan. Dan perlu aku tegaskan, bahwa tak semua masalah bisa diselesaikan bersama-sama. Ada kalanya masalah akan semakin rumit, jika dikontrol oleh banyak pikiran.”
Swan terdiam. Kata-kata yang terucap dari mulut Puteri Odette, seperti segumpal kain yang disumpalkan ke mulutnya. Tak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Setiap kata yang diucapkan Puteri Odette, melekat kuat di dalam pikirannya. Benar. Itulah yang dapat ia ucapkan pada dirinya sendiri. Tak seharusnya ia mencoba masuk lebih jauh ke dalam pribadi Puteri Odette. seharusnya, ia bisa mengontrol rasa pedulinya agar tidak menimbulkan rasa risih pada orang yang ia pedulikan.
Untuk beberapa saat, ruang kosong terbentang di antara mereka. tanpa suara, tanpa lirikan. Puteri Odette membuang jauh tatapannya kepada para pelayan yang tengah berjalan ke sana kemari, melintas di balik jendela. Sementara Swan menatap sebuah vas bunga kaca, yang menghiasi sebuah meja kecil di sudut ruangan itu. Swan bisa melihat bayangan dirinya dengan jelas di vas bening itu. Ia tampak begitu lelah, bahkan lebih mengkhawatirkan daripada kondisi Puteri Odette saat ini. Angsa itu menunduk, menyadari kesalahan besar yang telah ia lakukan. Mencoba untuk memperbaiki diri orang lain, saat dirinya tengah berantakan.
Meminta maaf? Untuk apa. Pergi meninggalkan tempat itu dalam diam? Itu jauh lebih baik. Terkadang, hening tanpa suara jauh lebih baik daripada harus mengucapkan sepatah kata, yang hanya akan menambah beban pikiran. Sudah cukup baik, angin berembus, menembus diam yang terbiarkan selama beberapa saat. Memberi ruang kosong untuk pikiran mereka berkelana, hingga ke ujung Land of Dawn. Menembus awan, menelusuri setiap kelokan air yang mengalir hingga ke seluruh penjuru.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memperbaiki keadaan. Semua sudah terlalu kacau untuk diperbaiki dengan sepenggal kalimat. Pun kata maaf, seakan beracun jika terucap dari mulut yang tak baik. Swan berpaling dalam diam, meninggalkan ruang pribadi Puteri Odette, tanpa sekali pun ia menoleh. Dilihat atau tidak, tak begitu berarti baginya. Ia berjalan lesu menuju kamarnya, beberapa meter dari ruang pribadi Puteri odette. Hingga Swan menutup kembali pintu kamarnya, Puteri Odette tetap saja membuang jauh pandangannya ke jendela. Seakan ia begitu tak peduli, akan apa yang dilakukan oleh Swan.
Saat ia menyadari bahwa Swan tak lagi terlihat, Puteri Odette melangkah, mendekati sebuah cermin dengan ukiran seperti akar yang berkelok. Warna emas ukiran itu, membuat bayangan dirinya tampak begitu indah. Namun, keindahan itu hanya kiasan semata. Wajahnya yang masih pucat membuyarkan semua keindahan bayangan dirinya itu. Pun kini ia menyadari, bawa setitik noda mampu merusak seluruh keindahan dalam dirinya. Tak peduli di mana pun letaknya, tetap saja noda itu akan merusak semuanya.
“Lancelot, andai kau bisa mendengar suaraku. Aku ingin memelukmu erat, tak peduli bila seisi istana ini menjadi saksi. Sungguh, aku menyesalkan sikapku yang terlalu pemalu. Mungkin aku akan merasa lebih tenang, bila dulu aku memelukmu, sebelum kau pergi. Tapi, yang tersisa kini hanyalah sebilah pedang. Apa maksudnya ini? Apakah kau ingin, pedang ini membunuhku?” Puteri Odette berkata pada bayangannya di cermin. “Kembalilah segera.”
***
Puteri Odette tengah berjalan di taman, menuju Swan Castle saat senja mulai bergulir. Ia tampak setengah berlari agar tiba lebih cepat di Swan Castle, sebelum gelap. Deru napasnya terdengar berat. Sesekali ia menengadah ke langitmelihat cahaya matahari yang kian meredup. Samar-samar, rembulan mulai menampakkan diri. Lamgkahnya terhenti, saat ia hampir tiba di Swan Castle. Semakin lama, rembulan terlihat semakin jelas. Bulatan sempurna, bercahaya di langit malam. Puteri Odette terdiam, seakan-akan sedang memikirkan sesuatu.
Sesaat kemudian, raut wajahnya menjadi panik. Ia menyadari sesuatu yang bisa saja terjadi jika bulan purnama tiba. Sebuah peristiwa yang selalu ia takutkan sepanjang hidupnya. ia ingat betul, sebuah peristiwa besar yang menewaskan kedua orang tuanya. Ibunya pernah berkata bahwa, setiap bulan purnama total, kekuatan Dark Hero akan meninggkat dua kali lipat. Bahkan mereka mampu menembus perisai di Swan Castle.
Puteri Odette berlari memasuki Swan Castle. Ia celingak-celinguk mencari Swan. Namun ia tidak melihat angsa itu. ia semakin gelisah, buliran keringat mulai mengucur di keningnya. Wajahnya pucat. Tangannya gemetar, saat ia membuka pintu kamar Swan.
“Swan! Apakah kau ada di dalam?” tanya Puteri Odette saat pintu kamar Swan setengah terbuka.
“Ya, masuklah!” seru Swan dari dalam kamarnya.
Puteri Odette melangkah perlahan. Kembali menutup pintu, dan menemui Swan yang tengah duduk di depan cermin. Sesaat Puteri Odette menyadari, bahwa Swan terlihat lebih gelisah dari dirinya. Entah apa yang dicemaskan angsa itu, tetapi ia terlihat begitu mengkhawatirkan sesuatu. Puteri Odette berdiri di belakang Swan, menatap bayangan dirinya dan Swan di depan cermin.
“Swan, apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?” tanya Puterii Odette lirih. Matanya masih menatap kosong ke arah cermin. “Kurasa kau juga memikirkan bulan purnama itu.”
“Kau benar, Odette,” jawab Swan lirih. Suaranya terdengar begitu berat. “Aku tidak bisa membayangkan jika iblis-iblis itu datang kemari untuk menyerang Swan Castle. Jika raja dan ratu saja tewas saat melawan mereka, apalagi kita. Kita tidak punya keahlian sihir, atau keahlian bertarung. Pun para minion takkan mampur menghalau mereka pergi.”
“Entahlah Swan, aku benar-benar pasrah jika mereka memang datang malam ini,” kata Puteri Odette. “Aku tak bisa berharap banyak dari para minion. Jika kita saja tak sanggup, apalagi mereka yang hanya seorang penjaga.”
Sesaat kemudian, malam pun mulai menyesap. Membawa hawa dingin, serta ketakutan yang besar. Kesunyian sangat terasa di Swan Castle. Tak ada suara terdengar. Puluhan minion tengah berjaga di perbatasan Swan Castle dan hutan larangan. Sebagian lagi berjaga di depan istana. Puteri Odette dan Swan tengah berada di suatu ruang rahasia. Sebuah tempat yang tak bisa dimasuki oleh orang biasa.
Beberapa saat yang lalu, Puteri Odette dan Swan berlari menuju sebuah lorong gelap. Tempat itu sepi, tanpa seorang pun minion yang berjaga. Dindingnya lembab, seperti lumut yang menempel atau mungkin air liur monster seperti yang dikatakan oleh Lancelot. Mereka berjalan cepat, hingga mereka tiba di depan sebuah pintu kecil. Puteri Odette komat-kamit membacakan mantra, dan pintu terbuka. Saat mereka melangkah masuk, pintu itu kembali terkunci dengan rapat.
Puteri Odette berdiri di samping sebuah meja bundar. Demikian juga Swan. Mereka berdiri berhadapan. Di atas meja, ada sebuah buku berwarna kecokelatan. Ukirannya menujukkan bahwa buku itu sudah sangat lama. Pun debu tebal bertengger di atasnya. Puteri Odette meraih buku itu, kemudian meniup debu yang menempel. Sesekali ia mengibaskan tangannya untuk menghindarkan debu dari wajahnya. Sesaat kemudian, ia menatap Swan. Tatapan itu dibalas dengan anggukan, seolah-olah Swan sudah tahu maksud dari Puteri Odette.
“Nevolus astrova verosanos!” seru Puteri Odette. perlahan buku yang ia pegang terbuka. Ia tersenyum saat tahu bahwa mantra yang ia ucaokan mampu membuka buku tua itu. demikian pula Swan, ia tak kalah bahagianya melihat buku itu terbuka.
“Swan, apakah kau sudah siap?” tanya Puteri Odette. “Kita tak punya banyak waktu. Kuharap percobaan pertama ini berhasil.”
“Kuharap begitu, Odette,” kata Swan seolah tak yakin. Ia menunduk, kemudian menatap ke arah Puteri Odette. “Namun tidak ada salahnya mencoba, Odette. cepat bacakan mantranya.”
“Baiklah, silakan berdiri di atas meja ini,” kata Puteri Odette. kemudian ia membalik lembaran buku itu beberapa kali. “Viscaris vestri nevolas belavos kistra!”
Seketika tubuh Swan bercahaya. Puteri Odette menyipitkan matanya karena silau. Ruangan yang remang-remang itu, berubah menjadi terang benderang. Saat sinar itu lenyap, Swan yang berwujud angsa kini telah menjelma menjadi seorang gadis cantik. Rambutnya keemasan, panjang terurai hingga ke pinggang. Matanya indah, juga senyummnya begitu menawan. Ia sangat mirip dengan Puteri Odette. Melihat perubahan itu, Puteri Odette tersenyum bangga. Buliran air mata turut mengalir, kala ia tak lagi mampu membendung rasa rindunya.
“Adikku, Swan,” kata Puteri Odette lirih. Suaranya terdengar parau. “Kita berhasil. Lihat ... lihat dirimu. Kau sudah kembali seperti dulu. Kau cantik dan menawan, sama seperti ibu.”
“Ya, kita berhasil,” jawab Swan lirih. “Tapi, perubahannku takkan mampu mengubah situasi. Dalam wujud angsa atau manusia pun aku takkan bisa berbuat banyak untuk membantumu. Pun aku tak punya kekuatan sihir atau keahlian bertarung. Kau pasti tahu, sejak aku kecil, aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi seorang manusia. Karena kutukan dari Alice kala itu, aku harus menjalani hidupku menjadi seekor angsa. Di saat itu pula, aku harus menyaksikan ayah dan ibu meninggal.”
Tangisnya pecah. Air mata mengucur deras di pelupuk matanya. Pun puteri Odette tak kuasa menahan air matanya lebih lama lagi. Ia turut larut dalam kesedihan, hiingga mereka lupa akan bencana yang siap menerkam. Sesaat kemudian mereka berpelukan, saat terdengar deru peperangan di luar istana.
“Apakah mereka sudah datang?” tanya Swan panik. Segera ia melepas pelukannya dari Puteri Odette. “Kita harus segera pergi menemui para minion. Bagaimana pun, kita tidak boleh bersembunyi di sini sebagai seorang pengecut.”
“Tapi ... Swan aku takut,” kata Puteri Odette lirih. Ia meragukan dirinya sendiri. “Kau tahu kan aku lemah? Dan mereka bukanlah tandinganku.”
“Apa? Apa maksudmu? Di saat seperti ini kau berkata takut?” tanya Swan. Ia tampak begitu kesal mendengar ucapan Puteri Odette. sebuah jawaban yang tidak menunjukkan sikap seorang puteri. “Baiklah, biarkan aku pergi menghadapi mereka. aku akan berjuang bersama para minion, demi Swan Castle, dan demi kematian ayah dan ibu. Jika kau ingin menjadi pecundang, dan tetap bersembunyi di sini, silakan saja. Bagiku mati sebagai seorang ksatria jauh lebih baik daripada hidup sebagai pecundang.”
Puteri Odette terdiam, menatap Swan bergegas keluar dari ruang rahasia itu. Perlahan, Swan menghilang ditelan kegelapan. Puteri Odette masih berdiam diri, tidak tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa berdiam diri terus di dalam sana. Benar kata Swan, dia tidak boleh bersembunyi layaknya seorang pecundang. Tapi, ia tak punya cukup keberanian untuk menghadapi serangan dari iblis itu. Ia terlalu lemah, juga terlalu takut.
Suasana di luar Swan Castle menjadi sangat kacau. Banyak minion yang terluka, bahkan beberapa di antaranya tewas saat mencoba menghalau Ruby dan Parsha. Swan tampak berlari, dengan wajah panik. Matanya terbelalak saat meligat dua iblis sudah berdiri di depan Swan Castle. Dua iblis itu tersenyum sinis, saat melihat Swan datang.
“Punya nyali juga kau rupanya,” kata Ruby meledek. Ia memerhatikan lekuk tubuh Swan. Sedikit pun ia tak menduga, kalau Swan bisa berubah kembali ke wujudnya semula. “Oh ya, selamat atas keberhasilanmu mematahkan kutukan angsa itu. Tapi, meski dalam wujud manusia, kau tetap tidak bisa mengalahkan kami. Kau hanyalah makhluk lemah, sama seperti Kakakmu yang berjiwa pengecut itu.”
“Berhenti menyombongkan diri, Ruby,” kata Swan tegas. Ia mencoba untuk tetap tenang menghadapi ocehan Ruby. “Jangan pernah merasa menang, sebelum berperang. Sikap seperti itulah yang layak dikatakan sebagai pecundang.”
Ucapan Swan seakan membangkitkan marah Ruby yang telah lama terpendam. Wajahnya begitu muram. Ruby menatap Parsha, seolah meminta persetujuan. Parsha mengangguk, pertanda ia setuju. Ruby menggengam tongkat dengan ujung sabit, dengan kedua tangannya. Hal itu membuat Swan merasa geli, hingga Puteri Angsa itu tertawa.
“Kenapa kau tertawa?” kata Ruby tak senang. Ia menyadari bahwa Swan tengah menertawakan dirinya.
“Lihatlah dirimu, kau harus mengguankan kedua tanganmu untuk menopang senjatamu sendiri,” kata Swan meledek. “Bagaimana kau akan merebut Swan Castle dari tanganku? Kurasa lebih baik kau pergi dari sini, sebelum aku melenyapkanmu.”
Bukan hanya Ruby, ucapan Swan juga memancing kemarahan Parsha. Perempuan yang mengenakan gaun bermotif merak itu tak terima atas ucapan Swan yang menurutnya sangat keterlaluan. Sebagai teman, tentu ia tidak akan tinggal diam saat Ruby dihina dengan keji oleh Swan. Parsha maju beberapa langkah, menghentakkan tongkatnya ke tanah.
“Jaga ucapanmu, Swan,” kata Parsha memperingatkan. “Aku rasa, kau sudah cukup menderita saat kau dikutuk menjadi angsa. Aku sarankan, jangan sembarangan berbicara jika kau tidak mau kutukan itu kembali padamu. Ini peringatan, Swan, bukan lelucon.”
Swan tersenyum. Ucapan Parsha terdengar seperti lelucon baginya.
“Terserah apa katamu, Parsha. Aku tak peduli sedikitpun atas peringatan itu,” kata Swan menantang.
Seperti gunung merapi dengan lahar yang siap menyembur, luapan emosi Parsha tak lagi dapat dibendung. Ia bergerak mundur, mengambil posisi yang tepat untuk mengeluarkan skil ultimate-nya. Tangan kanananya diangkat, kemudian digerakkan maju mundur. Semua pasukannya, termasuk Ruby paham akan maksud itu. mereka bergerak mundur beberapa langkah, agar terhindar dari serangan ultimate Parsha.
“Temuilah ajalmu, Swan,” kata Parsha. Kemudian ia mengangkat tongkatnya ke langit. “Feathered Air Strike!”
Lingkaran hitam kemerahan terlihat jelas di depan Swan Castle. Lingkaran itu mengikat sebagian bangunan depan Swan Castle, termasuk tempat Swan Berdiri saat ini. di tengah lingkaran itu, Parsha terbang, dan menghantam Swan dengan lingkaran merah kehitaman yang lebih kecil. Swan terjatuh, saat mencoba menghindari serangan Parsha. Terlambat. Serangan pertama berhasil menadarat dengan mulus. Hal itu membuat Parsha dengan mudah menargetkan serangannya pada Swan. Serangan kedua diluncurkan dan tepat sasaran.
Swan mengerang kesakitan, sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri. Melihat itu, Parsha seakan melihat kesempatan besar untuk segera melenyapkan Swan. Namun saat ia hendak menyerang Swan ketiga kalinya, tiba-tiba sebuah serangan yang cukup kuat menghantam dirinya. Parsha terpental cukup jauh, hingga tongkatnya terlempar ke udara.
Parsha yang terkejut, meringis kesakitan. Ia mencoba bangkit, dan melihat siapa yang berani menyerang secara tiba-tiba. Di sebelah Swan, Puteri Odette tengah berjongkok. Ia membantu Swan untuk berdiri. Namun, adiknya itu sudah terlalu lemah untuk berdiri, atau sekadar duduk. Beberapa minio segera membantu membawa Swan ke dalam Swan Castle. Sementara Puteri Odette tetap di luar, siap menghadapi dua iblis itu.
“Ternyata kau punya keberanian untuk datang ke hadapanku, Odette,” kata Parsha. Tatapannya seakan merendahkan Puteri Odette. “Kukira kau akan bersembunyi, dan membiarkan adikmu mati di tanganku. Tapi tidak masalah, aku senang melihat di sini. Dengan begitu, aku bisa segera melenyapkanmu dan mengusai Swan Castle.”
“Tidak perlu berbasabasi, Parsha,” kata Puteri Odette. Ia tak begitu senang mendengar ocehan tak berarti yang dilontarkan oleh Parsha. “Biar bagaimana pun, aku harus memperjuangkan apa yang menjadi hakku. Benar kata Swan, lebih baik aku mati sebagai pejuang daripada tetap hidup sebagai pecundang. Pun tidak ada artinya bersembunyi darimu. Harusnya aku sadar sedari dulu, bahwa kau tidak begitu menakutkan.”
“Hebat! Luar biasa! Kata-katamu sunggun luar biasa, Odette,” kata Parsha. “Tapi perlu kau ketahui, kata-kata patriotis saja tidak akan bisa memenangkan pertarungan. Kau juga membutuhkan kemampuan untuk dan teknik bertarung yang baik, untuk bisa mengalahkan musuhmu.”
“Benar katamu, Parsha. Butuh teknik bertarung yang baik,” kata Puteri Odette. segaris senyuman terukir di bibirnya. “Itulah kenapa, seranganku tadi berhasil membuatmu terhempas cukup jauh. Dan sepertinya, itu cukup menyakitkan.”
“Heh, sudah cukup, Odette. Hentikan omong kosongmu itu,” kata Parsha. “Lebih baik, kita bertarung sekarang juga, dan kita lihat siapa yang akan menang.”
Puteri Odette hanya membalasnya dengan senyuman. Ia tamopak berbeda dengan situasi beberapa saat yang lalu, saat ia tengah berada di ruang rahasia bersama dengan Swan. Kali ini, ia tampak begitu tenang, tanpa takut sedikit pun. Ucapan terakhir Swan, seakan membangkitkan semangat dalam dirinya untuk tetap bertahan memperjuangkan Swan Castle.
“Avian Authority!”
Bayangan angsa bercahaya terbang ke arah Parsha. Serangan itu sungguh tak diduga oleh Parsha, hingga ia kembali terpental cukup jauh. Lagi-lagi, ia meringis kesakitan seraya mencoba untuk kembali beridiri. Ruby yang sudah mulai geram, maju beberapa langkah untuk menyerang Puteri Odette. namun saat ia hendak mengayunkan tongkatnya, Parsha menepuk pundaknya agar ia mengurungkan niatnya untuk menyerang Puteri Odette. dengan berat hati, Ruby menurunkan tongkatnya.
“Kenapa kau menghentikanku, Parsha?” tanya Ruby kesal.
“Biarkan aku yang menghadapinya,” jawab Parsha. Sesekali ia meringis kesakitan. Namun ia hiraukan rasa sakit itu, demi sebuh pembalasan atas perbuatan Puteri Odette.
“Masih sanggup menerima satu serangan lagi?” tanya Puteri Odette.
“Tutup mulutmu, Odette!” seru Parsha yang sudah habis kesabaran. Kembali ia mengangkat tongkatnya ke langit. “Energy Impact!”
Cahaya merah kehitaman menyerang Puteri Odette secepat kilat. Tanpa disadari, Puteri Odette terkena serangan yang cukup mematikan itu. Puteri Odette terjatuh lemah, ia tak lagi mampu berdiri. Beberapa minion mencoba untuk membantunya berdiri.
“Sudahlah, Puteri, lebih baik kita mundur saja,” ucap salah satu minion.
“Benar, Puteri, kita tidak akan mampu melawan mereka. Hanya kekuatan ultimate dari Swan Stick yang mampu mengalahkan mereka. Tapi itu mustahil untuk dilakukan, kondisimu sudah sangat lemah. Akan sangat berbahaya jika Puteri memaksakan diri untuk melakukan serangan ultimate.”
Puteri Odette memaksakan diri untuk berdiri. Dengan sisa kekuatan yang ia punya, Puteri Odette berdiri dengan tegak. Ia genggam tongkatnya dengan erat. Sesaat kemudian, ia menghela napas panjang, menguatkan diri bahwa tindakannya adalah satu-satunya pilihan.
“Puteri, jangan lakukan itu,” kata seorang Minion.
Namun tekat Puteri Odette sudah bulat. Ia tak lagi pedulia akan ucapan minion yang mencoba menghentikannya. Kembali ia mengangkat tongkatnya ke langit, kemudian memejamkan mata.
“Swan velous vescaris vestora! Swan Song!”
Lingkaran cahaya terbentuk mengelilingi Puteri Odette. disusul dengan badai angin yang sangat besar. Puteri Odette terangkat ke langit. Semakin lama, lingkaran badai itu kian meluas. Parsha dan Ruby tercengang melihat kekutan ultimate dari Swan Stick yang dipegang oleh Puteri Odette. mereka hendak pergi, saat lingkaran badai itu menjerat mereka. Tubuh mereka terasa sakit, dadanya terasa sesak. Mereka seperti terlilit dengan kuat, dan tak bisa melepaskan diri. Sesaat kemudian, mereka dihempaskan jauh ke hutan larangan.
Badai berakhir.
Puteri Odette terjatuh lemas saat badai itu mulai mereda. Tubuhnya terjatuh ke tanah. Beberapa minion bergegas untuk membawanya ke dalam Swan Castle. Puteri Odette dibaringkan di kamarnya. Kemudian ditinggalkan sesndiri, hingga ia sadarkan diri. Di perjalanna menujur kamar Puteri Odette, terlihat Swan masih belum sadarkan diri. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada mereka. Hanya terdengar desas-desus di antara minion juga pelayan, tentang kondisi kedua Puteri Swan Castle itu.
Description: Perang tak terhindarkan, saat Dark Heroes menyerang Land of Dawn. Semua Hero yang tergabung menjadi Light Heroes bersatu untuk melawan para Iblis dari lembah kematian.
Nama Pena: Tn.Typo
Akun IG: @sonang_ambarita dan @tn_typo
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi e-novel challenge #StorialElexBangBang 2019 yang diadakan oleh Storial, Elex Media Komputindo, dan Moonton
|
Title: Ramiel The Second Fallen Angel
Category: Fantasi
Text:
BAB. 1 Chapter 1. 20 TAHUN YANG LALU
Bagian 1
Ada yang bilang surga merupakan tempat yang indah, tempat di mana segala keinginan dapat terpenuhi, tempat di mana seluruh makhluk akan kekal dengan kenikmatannya. Itu adalah tempat yang indah bagi para makhluk fana. Namun, tempat itu tak seindah kelihatannya jika dilihat dari sudut pandang para makhluk yang nyaris abadi di dalamnya, yaitu para Malaikat. Banyak orang yang menyebut mereka abadi, tapi itu tidak sepenuhnya betul. Mereka hanya mendapat tanggungan usia hingga hari akhir menjelang, begitulah takdir yang sebetulnya tidak diketahui oleh kebanyakaan orang.
Di balik umur panjangnya, mereka sebenarnya hanya melakukan satu tugas saja di dalam kehidupannya, dan akan terus berulang-ulang sampai hari kiamat tiba.
Wajahnya terlihat suram; sayap hitam kelamnya terkadang mengepa dengan anggun; jubah hitam pekat yang dikenakannya bahkan lebih gelap dari langit malam tanpa bulan dan bintang; sebuah sabit hitam besar selalu setia bersandar di pundaknya, dan kini siluet mengerikan itu duduk di tepian langit. Kakinya bergoyang-goyang tanpa henti seperti sebuah bandul jam sambil sesekali melirik kosong ke sebuah dunia fana yang berada jauh di bawah mata kakinya. Berbeda dengan para malaikat pada umumnya, kata indah tidak mungkin disematkan padanya. Tidak ada keraguan dengan bentuk mengerikannya itu, semua makhluk yang melihat pasti akan mati berdiri. Dengan kata lain, dia adalah seorang Malaikat Maut yang selalu diceritakan di dalam mitologi agama-agama dunia daratan dan juga legenda-legenda kuno.
Ramiel.
Itulah nama dari sang malaikat maut yang kini sedang menatapi selembar daun hijau di tangannya.
“Viola Mary Valendris. Lahir tanggal 15, bulan ke-9, tahun 1004. Kematian tanggal 24, bulan ke-3, tahun 1025. Tempat ... di tengah hutan? Begitu rupanya. Sangat disayangkan, tapi mati di bawah kaki bukit lalu diterkam harimau saat akan melahirkan bayinya ini agak terdengar sedikit ... huuh.” Ramiel mendengus pelan saat membaca suratan akhir dari takdir seseorang melalui selembar daun yang disebut daun takdir.
Biar bagaimanapun hal tersebut memang terdengar sangat kejam, seorang wanita yang mati diterkam harimau saat akan melahirkan bayinya? Memikirkannya kembali Ramiel menghela napasnya.
“Hmmm, tapi ...??”
Ramiel menggaruk pelan rambut di kepalanya yang berwarna perak, dan tanpa disadari dia juga mulai mengucaknya.
“Bagaimana dengan nasib bayinya? Aaaahh, entahlah.”
Sudah pasti tidak ada yang tertulis di sana.
Seorang Malaikat maut memang sering mendapat tugas yang demikian. Tugas yang bahkan jauh lebih kejam dari ini pun pernah diterimanya. Meski begitu, setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, hal yang tidak bisa ditunda lagi bahkan oleh para malaikat itu sendiri.
“Kakak sedang apa di situ??”
Dia mengkerlingkan pandangannya mencari sumber suara, berbalik, dan menyeringai pada sosok Malaikat bersayap putih yang bertanya.
“Malaikat dengan tugas membagi rezeki tidak perlu banyak bertanya!” nada yang keluar dari mulut Ramiel mengandung makna sarkasme yang kental, walaupun tidak ada maksud untuk menyakiti perasaan dari malaikat bersayap putih tersebut.
“Ah, daun takdir! Hmm ... coba kulihat?”
Randeil, seorang malaikat yang bertugas membagi rezeki, mendesak lalu duduk di samping Ramiel. Dia merebut selembaran daun takdir itu dari tangan Ramiel, lalu membacanya dengan lirih.
“Heeeh??” Dia mulai menggigiti jari kukunya. Matanya yang tampak sedikit terkejut saat selesai membaca isi dari daun itu menunjukkan seberapa mengerikannya kondisi dari target Ramiel selanjutnya.
Tugas yang berat, dan mungkin paling berat di antara mereka, dan itu hanya diberikan kepada mereka, si pengambil kehidupan.
Sejak awal diciptakan, mereka memang sudah memiliki sebuah takdir yang pasti. Apa dan bagaimana jadinya mereka nanti, semuanya sudah tertulis satu arah bahwa mereka hanya akan setia menyembah kepada sang pencipta, dan akan selalu taat melaksanakan perintahnya, berbeda dengan makhluk yang berada di daratan, yang harus menempuh berbagai jalan bercabang dari takdirnya. Tidak ada yang bisa mengubah ketentuan dari Sang Pencipta itu. Makhluk yang tercipta dari cahaya murni tanpa kebencian, mereka tidak akan pernah bisa membangkang segala perintah yang telah diberikan meski perintah itu harus bertolak belakang dengan kata hatinya.
“Mmm ... memang berat. Kematian yang mengerikan, tapi ... apa hanya ini? Maksudku, si bayi yang dilahirkan? Apa betul hanya takdir sang ibu saja yang kakak dapatkan??” Wajah Randeil terlihat bergulung karena penasaran.
Setiap yang membaca sudah pasti akan bertanya seperti itu, dia tidak bisa memungkiri bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama. Namun, selembar daun, hanya itu saja yang ia dapatkan dan begitulah yang tertulis di sana, tidak ada yang lain.
Mata Ramiel terlihat menajam, mukanya seakan membengkok saat memandangi Randeil yang dilanda kebingungan.
“Haaah, entahlah. Ada kemungkinan si bayi sudah mati duluan di dalam kandungan ibunya.”
“Huuh, kenapa kakak bisa menyimpulkannya seperti itu?”Dia terlihat kesal, dan matanya melotot seakan tidak percaya dengan ucapan dari sosok yang sudah dianggapnya seperti kakak itu.
Mengambil nyawa sang ibu, tapi tidak dengan bayinya; bagaimana mana mungkin? Atau apakah ada seorang Malaikat lain yang diutus selain dirinya?? Setiap memikirkan kemungkinan-kemungkinan tersebut Ramiel masih tetap saja merasa janggal.
“Sepertinya ... ini sudah saatnya.”
Ramiel bangkit, mengepakan kedua sayapnya hingga membuat suara deru angin yang kencang.
Dengan jempol yang terangkat dan seyuman dingin yang mengambang dia lalu berkata, “Aku pergi dulu! Bukannya kamu juga sedang ada tugas sekarang??”
“Ahh, aku lupa.”
Randeil tergesa-gesa ikut mengangkat kedua bokongnya itu untuk bangkit. Sebelum pergi, dia menatap wajah dingin Ramiel dengan sebuah senyuman yang manis.
Meskipun Malaikat Maut tidak mampu menunjukan ekspresi yang pas dengan perasaannya tapi Randeil tahu, dia tahu kalau Ramiel merekahkan senyuman penuh ketulusan padanya.
“Baiklah, sepertinya aku juga harus pergi sekarang.”
Ramiel melompat turun dari tempatnya berpijak, kemudian jatuh dari langit surga yang begitu tinggi menuju ke dunia daratan.
---
Bagian 2
Ramiel mendarat dengan anggun di atas dahan dari sebuah pohon besar. Walaupun tidak membutuhkan oksigen untuk hidup, tapi tetap saja Ramiel menarik napasnya pelan-pelan lalu menghembuskannya perlahan.
Itu adalah kebiasaannya sebelum bertugas.
“Baiklah, di situ kau rupanya.”
Kawanan pria bersenjata lengap mengejar target Ramiel. Dari baju zirahnya, mereka terlihat seperti bala tentara dari sebuah kerajaan, lengap dengan pedang, panah, dan juga tombak. Jumlah mereka sekitar tiga puluh orang, dengan lima di antaranya adalah pasukan berkuda.
“Hmm? Sepertinya memang bayinya sudah mati.”
Ramiel yang melihat itu masih saja terus berjongkok di atas dahan tersebut. Sabit hitam besar masih setia bersandar di bahu kirinya.
Dia kini mulai terbang pelan mengikuti arah lari dari si wanita, wanita yang berlari sekencang mungkin dengan ditemani seorang pria bertubuh kekar yang terus membopong tubuh lemahnya itu di lengan kiri meski larinya juga terlihat terpincang-pincang.
Setelah agak jauh masuk dalam ke hutan, seketika mereka berhenti. Pria besar dengan zirah berat telah mencapai batasnya dengan napas yang terengah.
“Tuan putri, larilah!” Pria itu mencoba mengatur napasnya. “Aku akan menahan mereka di sini.” Sambil melirikan matanya ke arah jurang dia berkata dengan penuh keyakinan.
Tidak mungkin mereka bisa melarikan diri lebih jauh lagi, ditambah dengan betisnya yang mengenakan zirah tipis, yang telah tertancap oleh sebuah anak panah, mengawal seseorang dalam kondisi seperti ini hanya akan menghambat pelarian mereka. Jika memungkinkan, dia sebenarnya masih ingin mengawal tuannya itu lebih jauh lagi, tapi sepertinya hal itu mustahil.
Sementara itu, siluet mengerikan yang juga sedang menunggu kematian terlihat bersantai di bawah naungan sebuah pohon besar yang tidak jauh dari tempat mereka berada.
Tidak salah lagi itu adalah seorang Malaikat Maut seperti dirinya.
“Rondell?”
Membalas teguran Ramiel, Rondell hanya tersenyum bengkok. Tidak ada kata-kata yang terucap dari mulutnya. Kini kematian dari si pria besar, dan mungkin juga orang-orang yang mengejar mereka telah terkonfirmasi dengan kehadiran Rondell.
Tatapan sinisnya yang tidak bergerak seinci pun terus ia arahkan ke depan menatapi calon targetnya. Namun itu bukanlah urusan Ramiel. Apa yang menjadi fokus utamanya di sini hanyalah si wanita, sebab kematian dari orang-orang itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
“Tidak! Kita bisa melarikan diri dari kejaran ini.” Wajah wanita itu searah lurus dengan nada optimisnya.
“Tapi—“
“Kumohon paman, jangan mengorbankan nyawa paman di sini!”
“Tapi tuan putri, Anda; bayi Anda harus tetap hidup. Nyawa saya tidak berarti jika kalian tidak selamat.”
“Paman tidak boleh berbicara seperti itu! Aku tidak mau paman mengorbankan nyawa paman di sini! Bukankah paman sudah berjanji untuk selalu menjagaku tidak peduli apapun yang terjadi?”
“Terima kasih putri atas segala kebaikan Anda, tapi... tetap saja Anda harus selamat bagaimanapun caranya.” Dia lalu tersenyum. Senyuman dari pria tua bertubuh kekar seakan bermakna perpisahan.
Wanita yang merupakan tuan putri dari suatu kerajaan tersebut hanya bisa menatapi wajah tua pria itu dengan penuh deraian air mata.
“A-aku ... aku tidak ingin kehilangan seseorang lagi paman!” Wanita itu menerteskan air mata sambil mengisak tangisnya yang jatuh.
“Maafkan saya tuan Putri, tapi saya memiliki tanggung jawab yang harus dilaksanakan meski nyawa taruhannya, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melindungi Anda sekarang.”
“Paman—“
Pria tua itu mendaratkan sebuah pukulan yang cukup keras ke tengkuk leher tuannya; membuat wanita itu jatuh pingsan seketika.
Dia menangkap tubuh yang jatuh itu kemudian memeluknya dengan isak tangis yang keras. Sesaat, rasa penyesalan karena telah memukul sang putri seakan menerpa hatinya.
Setelah meluapkan rasa frustasinya, sekarang dia perlahan mengangkat tubuh bunting dari sang putri dengan cepat, lalu membopongnya mendekati jurang. Dia membuat tubuh lemah itu jatuh berguling dengan cepat dari atas bukit yang tinggi setelahnya. Meski digandrungi perasaan bersalah, tapi tidak ada jalan lain para pengejar semakin mendekat. Mungkin, tindakannya tadi akan membahayakan nyawa sang putri dan bayinya. Meskipun begitu, semuanya telah terjadi, yang bisa dia lakukan sekarang hanyalah bertaruh.
“Semoga Anda selamat putri. Baiklah, sekarang aku harus menghabisi bajingan-bajingan itu. Setidaknya beberapa dari mereka harus ikut kuseret ke neraka.” Pria itu mencabut sebilah pedang dari pinggangnya, lalu mengalirkan seluruh energi sihirnya yang tersisa.
Setelah mengumpulkan seluruh keberaniannya, dia kemudian berteriak, “Maju kalian semua!”
Dengan seringai yang mengerikan dan air mata yang belum mengering, pria tua itu menatapi calon lawannya dengan penuh amarah. Selama sang putri selamat, hal itu sudah lebih dari cukup untuk membayar harga dari nyawanya.
Pria tua menerjang musuh dengan seluruh sisa-sisa tenaganya. Teriakannya yang terdengar menggelegar dan menggema ke seluruh hutan, membuat efek gentar bagi setiap lawannya. Seiring dengan itu, tubuh dari Putri Viola masih terus bergelinding jatuh ke bawah.
Dari kejauhan Ramiel menyaksikan momen memilukan tersebut dengan mulut yang seolah terkunci rapat. Tidak mungkin dia ikut campur atas sesuatu yang bukan urusannya. Jika dia memiliki hati layaknya makhluk daratan, maka dia setidaknya akan mengerti arti dari sebuah pengorbanan. Namun, mereka adalah makhluk yang cenderung kaku akan perasaan, atau terkadang sering melawan perasaan itu sendiri sehingga kurang mengerti dengan hal-hal yang seperti itu.
“Ini mustahil??”
Saat pertarungan antara si pria tua dan para prajurit berlangsung, Ramiel merasakan sebuah keanehan yang sangat janggal. Sebelumnya dia yakin, tidak! Dia sangat yakin, yakin kalau bayi itu sudah mati. Namun, dia mencium sebuah aura kehidupan yang sangat samar dari dalam sana.
“Tidak mungkin indra penciumanku salah, selain itu... ini bukan milik wanita tadi. Apakah kau juga menciumnya, Rondell??” Ramiel kembali mengarahkan tatapannya ke Rondell, dan sekali lagi dia hanya mendapati sebuah tatapan yang dingin.
“Yah, tidak salah lagi.” Rondell menjawabnya dengan sedikit membengkokan alisnya. Dari reaksinya itu menandakan bahwa dia merasakan hal yang sama.
Itu sudah pasti.
Para Malikat Maut diberkahi indra penciuman yang dapat mendeteksi ataupun membedakan aliran kehidupan, bahkan sekecil apapun itu. Menyelamatkan si bayi bukan tugasnya, tapi hatinya terus bergejolak dengan kencang.
Jika membiarkan dia terus berguling, bisa dipastikan si bayi akan tewas. Ramiel mengerang dengan keras sebab dia tidak bisa membiarkan kejadian ini terus berlangsung.
Dengan hati yang penuh kegundahan, berpikir dan mengambil keputusan dengan cepat mesti ia lakukan segera. Sebuah kehidupan yang bahkan tidak tertulis tanggal kematiannya bukanlah sesuatu yang harus dibiarkan berakhir begitu saja. Ada kemungkinan Rondell akan mencabut nyawa dari si bayi, tapi jika betul demikian, seharusnya dia tidak bersikap acuh dengan wanita itu.
“Maaf Rondel, tapi ... aku sepertinya harus melanggar perintah.”
“Hei, tunggu! Jangan sekali-kali kamu ....“
Mengabaikan teguran temannya, Ramiel menggelar kedua sayap di punggungnya.
Di dalam dunia di mana kecepatan tinggi yang hanya mampu dicapai oleh makhluk kuat seperti Malaikat, Ramiel yang terbang melebihi kecepatan cahaya menyambar tubuh wanita bunting itu dengan sangat cepat. Beruntung dia tepat waktu ketika perut dari wanita itu hampir saja bertabrakan dengan sebuah ranting pohon yang tajam.
Apa yang menjadi tugasnya kini telah ia abaikan. Entah apa yang akan terjadi nantinya. Namun, apapun resiko tersebut dia siap menanggungnya. Ini bukanlah suatu pemberontakan ataupun pembangkangan. Ini hanyalah penundaan, begitulah pikirnya.
Tatapan samar si wanita yang sedang berada di dalam gendongannya terarah lurus padanya. Tampaknya pukulan pria itu memang tidak sekeras kelihatannya.
“Syukurlah ....” Ramiel mengelus pelan dadanya, bersyukur karena dia tepat waktu dalam mengambil keputusan.
“Eeeh... tu-tunggu dulu! Kamu sudah sadar? Dan kamu bisa melihatku??”
Si wanita menganggukan kepalanya menjawab pertanyaan Ramiel.
“Tidak mungkin, hal ini sungguh tidak masuk akal, bagaimana bisa??”
Dia melihat sebuah danau besar yang di sekitarnya memiliki pepohonan yang rimbun. Dia berhenti di sana, kemudian meletakan tubuh si wanita di atas sebuah batu besar.
Wanita itu masih bisa membuka matanya sedikit, sementara tubuhnya yang bonyok, menandakan betapa banyak penderitaan yang telah dilaluinya.
Sebenarnya dia sedikit kesal dengan keputusan si pria besar berzirah tadi. Apakah pria itu tidak memikirkan resiko yang akan terjadi pada si bayi? Namun sepertinya itu adalah tindakan tepat yang hanya bisa diambil pada saat kondisi yang genting saja. Jika keadaannya sedikit lebih baik, tentunya pria itu pasti tidak akan melakukannya.
Ramiel menatap dengan sedih tubuh wanita yang harus dicabut nyawanya itu, yang bahkan untuk berbicara sepatah katapun, sepertinya dia sudah tidak sanggup lagi sekarang.
Dia tidak tahu bagaimana mengespresikan perasaan perih yang dirasakannya. Apakah dia harus menangis? Bukankah makhluk-makhluk di daratan selalu melakukannya di dalam situasi seperti ini? Namun, seorang malaikat maut tidak mampu mengespresikan bentuk dari perasaannya dengan baik begitu saja. Apa yang mereka mampu lakukan hanyalah sebuah senyuman dingin mengerikan yang mampu membuat setiap makhluk merinding ketakutan, berbeda dengan para malaikat lainnya yang mampu mengspresikan diri sesuka hati. Apa karena mereka selalu berhadapan dengan kematian sehingga hal itu membuat perasaannya mati? Entahlah, dia juga tidak tahu jawabannya.
“Apa kamu tidak takut dengan wujudku??”
Si wanita menggeleng, dia sepertinya menangis bukan karena takut akan sosok menakutkan di depannya.
Kelegaan segera memenuhi seluruh hatinya.
Beberapa saat kemudian dia kembali panik. Aroma kehidupan dari sang bayi semakin samar seiring semakin melemahnya kondisi tubuh dari ibunya.
Apa yang harus dilakukan sekarang? Pikirannya semakin liar saat mencoba mencari solusi. Bagai diterjang angin badai, otaknya seperti disapu bersih dan tidak mampu berpikir apa-apa lagi. Setelah menimbang segala kemungkinan dan tindakan yang tepat, yang mungkin bisa dilakukannya, kini hanya ada satu solusi yang terpikirkan olehnya: tidak ada jalan lain, dia harus melakukan persalinan darurat sekarang.
“Maaf, sepertinya ini akan sedikit sakit ....”
Wanita itu hanya mengkedipkan matanya sekali. Setelah mendapat persetujuan, Ramiel mengelus pelan wajah wanita tersebut, membuatnya mendapat sebuah efek dari sihir penghilang rasa sakit.
Malaikat adalah sosok yang halus, mereka dapat menembus segala ruang dan dimensi yang tidak bisa dilewati oleh makhluk hidup yang bertubuh kasar. Oleh karena itu, dia mulai memasukan tangannya ke dalam s*langk*ngan si wanita; menggapai sebuah kaki kecil yang terasa menggeliat pelan dari dalam perut wanita itu.
“Hhmm??”
Pada umumnya, makhluk hidup akan memiliki aroma kehidupan yang begitu hangat, tapi bayi ini memiliki aroma yang sangat dingin bahkan mendekati aroma dari mayat. Selain itu, dia merasakan adanya tekanan sihir yang sangat kuat dari dalam sana.
“Apakah ini sejenis sihir hitam? Sejak kapan sihir ini ada di dalam perut wanita ini??”
Namun, dia mencoba mengabaikannya sekarang, mengeluarkan sang bayi adalah prioritas utamanya saat ini.
Dia mulai menarik pelan kaki mungil si bayi. Sangat pelan dan berusaha untuk tidak menyakiti ibunya lebih jauh yang tetap saja menjerit karena merasakan sakit yang sangat luar biasa. Ini adalah kali pertama dia melakukannya, dan Ramiel merasa bahwa ini jauh lebih sulit daripada mencabut nyawa seseorang.
Kini separuh dari tubuh sang bayi sudah keluar, menyisakan kepala yang masih berada di dalam perut sang ibu.
Dia kembali menariknya sehalus mungkin. Meskipun dalam mencabut nyawa seseorang tidak ada kehalusan sama sekali, tapi keadaan saat ini sangat berbeda dari apa yang sering dia lakukan.
Beberapa saat kemudian tangisan seorang bayi perempuan telah memacahkan keheningan yang ada.
‘A-apakah ini yang disebut dengan kelahiran?’ Menyaksikan sebuah kematian adalah hal yang biasa. Namun, menyaksikan sebuah kelahiran merupakan sesuatu hal yang baru untuknya.
Mata bulat, hidung mungil, dan rambut pirang tipis yang sangat indah seperti lembaran emas; sosok bayi itu pasti akan membuat wanita tersebut menangis. Namun, kini wanita itu dalam keadaan tidak sadarkan diri untuk kedua kalinya. Rasa sakit yang sungguh luar biasa membuat wanita itu tidak sanggup lagi membuka kedua matanya. Sekarang yang tersisa darinya hanyalah nyawa yang masih melekat pada tubuh lunglainya.
Ramiel tertegun dengan apa yang terjadi. Dia yang telah memutuskan untuk mengikuti kata hatinya semakin tercabik-cabik perasaannya ketika melihat kondisi wanita itu.
Dalam kondisi yang seperti ini setidaknya ada sedikit hal baru yang bisa dipahami oleh Ramiel.
Itu adalah kasih sayang.
“Eeh??”
Dia menitikan air mata.
“Apa yang baru saja terjadi padaku??”
Ramiel menyadari kalau pipinya sekarang telah dibasahi oleh air yang terus jatuh dari dalam kelopak matanya.
“Apakah ini yang disebut air mata??”
Ini suatu kejadian yang langka dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Mencoba mengusap air matanya, kini dia mulai memikirkan banyak hal-hal yang selama ini jauh dari bentuk perasaan seorang malaikat maut.
Ramiel meniup pelan tubuh mungil itu, membersihkannya dari darah yang masih menyelimuti tubuhnya. Dia mengambil selembar kain dari dalam kantung sihir miliknya lalu membungkusnya erat-erat dengan sangat lembut.
Memisahkan anak dari orang tuanya adalah sesuatu yang kejam meski telah ribuan kali melakukan hal itu sebelumnya. Namun, jika dia tetap mengikuti kata hatinya — membiarkan Putri Viola tetap seperti itu — maka sama saja dia akan terus menyiksa tubuh lemah dari sang putri. Kini dia mengerti alasan kenapa wanita ini harus mati sekarang. Sejak lahir, wanita ini sudah terkena sihir yang hebat, yang telah mengakar sangat dalam di dalam tubuhnya. Dengan kata lain, organ dalamnya sudah membusuk, dan kematian adalah hal yang pasti untuknya. Sungguh sebuah keajaiban si bayi dapat bertahan sampai sejauh ini di dalam kandungan ibunya.
Dia mengusap air matanya yang keluar. Untuk ukuran seorang Malaikat, sihir ini sangat mudah untuk dicabut, tapi melanggar perintah dari Sang Pencipta lebih jauh adalah sesuatu yang tidak bisa dimaakan.
Awan tiba-tiba saja menjadi gelap, langit biru yang tadinya cerah perlahan berubah mendung. Sudah terlalu banyak waktu yang telah dibuangnya.
Seharusnya dia sudah melaksanakan tugasnya itu dari beberapa jam yang lalu. Namun, dia baru saja melakukan proses persalinan, bagaimana bisa dia mencabut nyawa di saat ada nyawa lain di dalamnya, dirinya yang telah mengikuti kata hatinya jelas saja menolak melakukan sesuatu yang seperti itu.
Untuk pertama dan terakhir kalinya si bayi harus merasakan kehangatan dari buaian seorang ibu, tidak ada yang lain, hanya itu yang harus dilakukannya sekarang.
“Oya, Ramiel, kenapa kamu masih membiarkan manusia itu hidup?”
“Ro-Rondell? Se-sejak kapan kamu ada di situ??”
Ramiel yang berbalik tanpa sadar memasang ekspresi terkejut yang berlebihan.
Rondell terlihat mencermati apa yang ada di depannya. Dari ekspresi wajah Ramiel, dia seperti ingin menutupi itu. Mungkin karena dia tidak ingin mendapat ejekan, atau mungkin juga karena dia tidak ingin seseorang pun tahu apa yang baru dilakukannya meski Rondell sebenarnya sudah tahu apa yang baru saja terjadi.
“Aku sudah berada di sini sejak tadi.”
“Heh? Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali?”
“Jelas saja kamu tidak menyadarinya. Kamu yang sudah terpengaruh dengan perasaan fana sehingga membiarkan manusia itu membuatmu melalaikan tugas! Hahaha, jangan bercanda! Kita ini Malaikat Maut, berbeda dengan makhluk dunia ataupun malaikat lainnya, kamu tahu itu, bukan?”
Ramiel terdiam. Memang betul apa yang dikatakannya. Makhluk seperti malaikat maut tidak perlu repot-repot memikirkan sesuatu seperti perasaan yang jelas-jelas hanya akan mempengaruhi proses kerja mereka.
Dia sekarang menatap lurus ke langit, lalu mengarahkan pandangannya ke si bayi, melihat wajah yang begitu polos tanpa dosa yang telah membuat hatinya luluh.
Sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan dari Rondell, dia melirik sekilas ke arah tubuh Putri Viola yang sudah tidak berdaya.
“Aku tahu itu dengan pasti. Aku sudah khilaf, jadi biarkan aku mengakhiri pekerjaanku.”
“Baguslah kalau kamu sudah mengerti, tapi ... kamu tahu sendiri kan, apa yang akan terjadi denganmu selanjutnya?”
“Ya, aku tahu.” Tatapan mata Ramiel sangat pasti. Lagi pula, dia sudah tidak bisa memutar kembali waktu dan mengelak atas tindakannya.
“Oh iya, tadi teriakanmu keras juga.”
Setelah mengalami bentuk perasaan yang disebut sebagai “kesedihan” dan “kasih sayang”, sekarang Ramiel merasakan bentuk perasaan ketiga yang membuatnya seolah ingin menutupi kedua wajahnya. Dia pernah mendengar bentuk dari perasaan ini saat berkumpul dengan kalangan para Malaikat lainnya, meski begitu dia kurang paham akan hal itu.
Rondell memberi sebuah daun takdir yang baru ke Ramiel. Setiap malaikat maut memiliki ratusan bahkan ribuan daun takdir di tangannya. Daun itu selalu kosong dan akan terisi begitu saja ketika ada nama dari orang yang akan mati. Sementara itu, daun takdir yang dimiliki Ramiel telah hilang seluruhnya tadi saat akan menyelamatkan wanita tersebut. Bisa saja dia naik ke surga untuk mengambilnya, tapi hukuman yang menantinya akan menjadi hambatan terbesarnya saat ini.
“Rondell ... te-terima kasih.”
Ramiel merasa sangat terharu dan mulai menyeka air matanya yang tersisa. Meskipun sering tidak akur dengan Rondell tapi rekannya itu menjadi penyelamatnya kali ini.
Ramiel kini mulai menyalin isi dari takdir kematian Putri Viola yang baru.
(Viola Mary Valendris. Lahir: Tanggal 15, Bulan ke-9, Tahun 1004. Kematian: Tanggal 24, Bulan ke-3, Tahun 1025. Tempat: di pinggiran danau, di atas sebuah batu. Penyebab Kematian: demam tinggi).
Begitulah perubahan dari penyebab kematian yang dia tulis.
Seusai mencatat di atas daun takdir, Ramiel membiarkan sang bayi tidur di dalam pelukan ibunya untuk yang terakhir kalinya.
Dia melayang mendekati ujung kepala dari Putri Viola. Sabitnya yang memiliki ujung mata yang bengkok mulai mengayun, perlahan mengangkat jiwa wanita itu keluar dari tubuhnya yang sudah layu.
Satu tangannya menggenggam erat kedua tangan Putri Viola yang mendekap bayinya, sementara tangan yang lainnya digunakan untuk melakukan tugasnya.
Dia tahu kesakitan ini bahkan lebih parah dari seseorang yang dicabut paksa salah satu anggota tubuhnya. Tidak heran, dengan cara terhalusnya sekalipun, sang putri masih akan meronta kesakitan bahkan dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Suara kilat, guntur, dan juga tangisan bayi mengiringi tercabutnya jiwa itu dengan tenang.
Saat dia telah menyelesaikan tugasnya, sebuah siluet yang sangat samar telah berdiri di depannya.
“Selamat datang, Nona Viola.”
Itu adalah jiwa sang putri yang sudah berpisah dari tubuh kasarnya.
Ramiel memandangi wajah putih bersih itu. Tampang lemah sekarang sudah tidak terlukis lagi dari dalam matanya.
Jiwa sang putri bergetar hebat akibat dari terpisahnya roh dengan tubuhnya. Rasa sakit itu merupakan efek yang normal setelah pencabutan nyawa yang dilakukannya. Akan tetapi, wanita itu tetap berdiri tegar menatapi tubuhnya yang telah terbujur kaku. Dia seperti sudah tahu akan takdirnya jadi tidak ada tanda-tanda dia akan menangisi kematiannya.
“Apakah itu aku??”
“Betul itu adalah tubuh Anda yang sudah mati.”
“Apakah yang ada di pelukanku itu ... adalah bayiku??”
“....” Ramiel terdiam sesaat. Pertanyaan yang sungguh sulit untuk dijawab, meski begitu dia harus tetap menjawab pertanyaan itu.
“... Di-dia cantik, bukan?” suara dari dalam mulutnya bergetar.
Tiba-tiba saja, wanita itu jatuh bersimpuh di tanah. Dia ingin menangis tapi tubuh kasarnya telah terpisah dengan jiwanya.
Ramiel yang awalnya tidak mengerti sekarang semakin paham arti dari ikatan seorang ibu dan anak.
Putri Viola berjalan mendekati putrinya. Dia lalu tersenyum saat menatapi kedua bola mata biru yang begitu indah itu.
Untuk beberapa saat, tidak ada salahnya Ramiel membiarkan Putri Viola menatapi bayinya lebih lama. Ketika sang putri sudah selesai, dia mendekati wanita muda yang baru saja menjadi seorang ibu itu ketika dia mencoba menggenggam tangan mungil bayinya.
“Aku mengerti perasaanmu, jadi ... apakah kau punya permintaan terakhir yang mungkin bisa aku penuhi?”
Ramiel sadar betul akan perkataannya. Rondell yang terkejut dengan perkataan Ramiel, menyela percakapan itu dengan tegas.
“Apa yang kamu—“
“Tenanglah Rondell! Aku akan menanggung akibatnya.”
“Kau ... kau ... sampai kapan ... sampai sejauh mana kau akan memberontak? Aaaah, yah sudah, aku tidak mau tahu lagi!”
Rondell merasa kesal dengan pemberontakan yang dilakukan rekannya. “Tidak seharusnya mereka memberi rasa belas kasih sedikit pun” merupakan prinsip dari setiap Malaikat Maut.
Saat terbang kembali ke surga, bahkan untuk melirik ke arah Ramiel dia merasa enggan melakukannya. Mungkin hanya suara dengusan jengkel disertai suara klik yang samar, yang bisa di dengar oleh Ramiel dari mulut rekannya itu.
“M-maafkan aku tuan malaikat!”
“Hahaha, tidak apa-apa kok. Lagi pula itu sudah sifat alami kami.”
“Tapi tuan malaikat ... karena aku... karena aku tuan sampai dibenci.”
“T-tidak kok. Itu ... itu hanya perasaan kesal sesaat saja, hahaha.“
Dia bukan orang yang pandai berbohong, dan ini adalah kali pertama ia melakukannya, jelas saja wanita itu bisa membaca ekspresi wajahnya dengan mudah.
“Terima kasih, tuan malaikat. Kebaikan Anda, walau tubuh saya telah mati tapi hati saya tidak akan pernah melupakannya.”
Wajah Ramiel memerah malu. Apa yang dia pikirkan tentang perasaan makhluk daratan ternyata tidak ada buruknya juga untuk memiliki perasaan seperti itu. Bahkan di satu sisi dia dapat ikut merasakan kebahagiaan kecil dari senyuman seseorang yang telah ia bantu.
“Jadi, apa permintaan terkhir Anda??”
Putri Viola terlihat sedikit ragu. Apakah permintaan yang akan diajukannya itu berat sehingga dia sulit untuk mengucapkannya?
Sepertinya begitu.
“Sebenarnya ... yang kuinginkan adalah ... aku ingin tuan malaikat mengantarkan anak ini ke kakeknya.”
“Kakeknya??”
“Maaf kalau ini akan merepotkan Anda, tuan malaikat. Kakeknya adalah seorang raja di sebuah negeri yang jauh di selatan. Aku mohon, tolong terima permintaan terakhirku itu!”
Ramiel merasa sedikit lega, ternyata permintaan itu tidaklah sulit dan masih mampu ia lakukan.
Wanita itu bersujud dengan penuh permohonan. Satu-satunya yang dapat menyentuhnya hanya Ramiel seorang.
Dia membantu wanita itu berdiri lalu mengatakan sesuatu yang membuat si wanita terharu:
“Dengan senang hati aku akan melakukannya nona. Oh iya, ngomong-ngomong, siapa nama bayi perempuan ini? Tidak mungkinkan aku mengirimnya tanpa nama.”
“Namanya ... namanya adalah Viola, sama seperti namaku.”
Sekali lagi Ramiel merasakan hatinya seolah teriris oleh pisau tajam.
Nama yang dihadiahi oleh sang putri akan menjadi kado kelahiran terindah yang bisa diberikan oleh dirinya yang telah mati untuk anaknya. Takdir yang begitu kejam yang telah banyak memisahkan makhluk hidup dengan orang-orang yang mereka sayangi.
Kelahiran dan kematian merupakan fase alami yang harus dilalui oleh semua makhluk hidup, tidak ada keraguan di dalam ketentuan Sang Pencipta itu.
“Tolong berikan kalung mutiara yang tersemat di leherku itu kepadanya. Semoga dia bisa mengingatku walau dia tidak pernah bertemu dengan ibunya.”
“E-ehem, baiklah.”
---
Bagian 3
Ruangan yang begitu besar, sangat besar bahkan makhluk yang ada di dunia daratan tidak akan mampu untuk membayangkannya. Ruangan ini memiliki bentuk layaknya sebuah ruang ballroom, dan memiliki sepuluh singgasana emas yang begitu indah.
Yang duduk di atas singgasana itu adalah sepuluh sosok bertubuh besar, bersayap putih dengan panjang menjuntai. Panjang dari ujung sayapnya bahkan mampu menyentuh lantai dari singgasananya.
Satu dari mereka terlihat sedikit berbeda karena memiliki sayap hitam legam di punggungnya.
Mereka adalah Sepuluh Pemimpin Agung Malaikat, para pemimpin yang bekerja di bawah kesetiaan mutlak kepada Sang Pencipta serta selalu menjunjung tinggi perintah di atas segalanya.
Namun hari ini, seorang bawahan bodoh baru saja mengabaikan perintah dan duduk tertengadah di lantai.
“Kau tahu apa kesalahanmu?”
Ramiel hanya bisa diam, telunjuk dari Gabriel, pemimpin dari Kaum Gabriel, mengarah tepat ke wajahnya. Sebenarnya bisa saja dia menjawab pertanyaan itu dengan mudah, tapi melakukannya sama seperti menuangkan sebotol bensin ke dalam sebuah titik api kecil. Lagi pula hatinya telah mantap dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Meskipun begitu, dia dari tadi tidak bisa berhenti gemetaran akibat suara menggelegar dari ketua pemimpin para malaikat itu.
“S-saya tahu.”
Tidak ada satu orang pun yang pernah melihat apalagi menemui Sang Pencipta. Dia adalah sebuah Dzat Agung yang menciptakan seluruh alam semesta beserta isinya dan tinggal di atas langit yang jauh lebih tinggi dari dunia para malaikat. Segala bentuk perintah darinya akan langsung sampai ke dalam hati setiap malaikat, dan untuk malaikat maut, terkadang melalui selembar daun yang disebut dengan ‘daun takdir’. Begitupula jika terjadi pembangkangan. Meski ini hanya pernah terjadi sekali tapi tidak ada yang pernah menyangka kalau sekarang telah terjadi untuk yang kedua kalinya.
Ramiel dan seluruh malaikat yang hadir ditempat ini sudah tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan kepadanya. Meskipun begitu, tetap saja hukuman itu harus secara tegas dibacakan di hadapan seluruh saksi. Itu karena ini adalah pengadilan yang mutlak.
“Ramiel — Malaikat dari kaum Azrael! Karena telah merubah takdir dari makhluk hidup, Sang Pencipta telah memustuskan untuk menghukummu jatuh ke bumi ....”
Dalam tiga kali ketukan, status sebagai tersangka yang akan menjalani hukuman, tersemat pada dirinya. Entah darimana suara ketukan itu berasal yang jelas itulah bukti kalau keputusan itu murni dari Sang Pencipta. Namun, ada sedikit kelegaan kecil di hatinya. Meskipun kalimat cemoohan keluar dari mulut para malaikat yang menyaksikan peristiwa bersejarah tersebut, tapi dia menganggap hukuman ini bukan sebagai hukuman yang menghinakan. Perbuatannya itu memang sebuah kesalahan, tapi itu bukanlah pembangkangan.
Para Pemimpin Malaikat mulai berbisik satu sama lain, membuat suasana yang sempat tegang menjadi hening.
Dan ketika mereka selesai.
“Dan sebagai hukuman tambahan ....”
Kali ini yang berbicara adalah pemimpin dari kaumnya sendiri, Azrael.
Wujudnya yang besar, dan mungkin yang terbesar di antara mereka, juga tangannya yang bahkan katanya mampu meremas seisi dunia sungguh membuat kesan kuat darinya semakin terasa menusuk ke Ramiel.
“Kami, para Pemimpin para Malaikat akan mengganjarmu dengan sebuah penderitaan cinta ....”
“Ee ... eeh? Tu-tunggu sebentar— ”
“Semua makhluk daratan yang mengenalimu, mereka semua akan menjadi tanggung jawabmu, dan kau akan menjadi eksutor untuk kematian mereka semua. Jalanilah hukumanmu itu dengan sepenuh hati. Jika kau sudah berhasil melaluinya, maka kau akan kembali diterima di surga.”
Namun dia tidak diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan atas hukuman tambahan yang dijatuhkan itu.
Vonis tambahan yang sungguh mengejutkan sampai-sampai membuat dirinya tidak sanggup lagi untuk mengangkat dagu.
Para Pemimpin Malaikat, mereka memang memiliki hak prerogratif untuk menjatuhkan ataupun menambah hukuman bagi para pelanggar atau pembangkang, dan hak itu langsung diberikan oleh Sang Pencipta. Kalau bisa memilih, Ramiel lebih memilih untuk mencabut nyawanya sendiri sekarang daripada menerima hukuman yang akan membuatnya sangat tersiksa. Namun tangannya seakan terkunci untuk melakukan itu.
Menjadi eksekutor untuk mereka yang mengenalinya? Entah bagaimana dia mau mengungkapkan rasa depresinya sekarang. Melakukan pemberontakan dengan menolak hukuman itu sama saja dengan memperburuk keadaan.
Keringatnya meluncur keras dari seluruh bagian tubuhnya, sosok malaikat bersayap hitam yang ia ketahui sebagai Azrael, pemimpin dari kaumnya maju ke depan, tepat di hadapannya.
“Jatuhkan dia sekarang! Aku sudah muak melihat mukanya di sini.”
“Baik.”
Ramiel dituntun menuju ke tepian langit oleh para Malaikat Adzab. Secara pangkat dia memang lebih tinggi dari mereka. Akan tetapi, dirinya yang sekarang adalah seorang penjahat yang lebih hina dari Iblis sekalipun, begitulah pandangan mereka yang menatapinya.
Wajahnya yang masih syok karena vonis berat dari Sepuluh Pemimpin Agung Malaikat, mulai menjelajah mencari seseorang dari balik kerumunan.
“Randeil ...?” Wajahnya yang murung kembali terlihat sedikit bersemangat saat menemukan sosok Randeil yang berada di barisan kedua paling depan di tengah kerumunan.
Walaupun hanya satu orang yang mendukungnya, setidaknya itu sudah cukup sebagai penghibur hatinya.
Akan tetapi, satu fakta yang mengejutkan harus bisa diterima Ramiel. Randeil, dia — tatapan matanya sama seperti yang lain — melihatnya sebagai seorang penjahat hina yang memang harus diusir.
Tubuhnya ditendang begitu saja dari tepian langit. Entah bagaimana kehidupannya nanti yang jelas Ramiel hanya bisa memasrahkan seluruh takdirnya kepada Sang Pencipta.
***
Chapter 2. TUKANG KAYU DARI DESA FOSCH
Bagian 1
Kerajaan Vargburg.
Sebuah kerajaan monarki di ujung paling barat dari Benua Viora. Dengan wilayah sebelah barat yang seluruhnya berbatasan dengan laut, Vargburg menjadi negeri yang banyak mengandalkan hasil laut sebagai komoditas utama ekspor, maupun sebagai pemenuhan diri untuk rakyatnya sendiri.
Jika dilihat di dalam peta, maka kerajaan ini akan membentuk huruf “L” terbalik dengan bagian daratan timur berbatasan dengan Teokrasi Uritea, sebelah utara berbatasan dengan Kekaisaran Bardaq, dan jika ditarik lurus ke bawah — ke bagian selatan, kerajaan ini juga berbatasan dengan sebuah negeri kecil yang disebut Kerajaan Valenian.
Ini adalah gugusan dari negeri-negeri Manusia yang tergabung dalam ‘Aliansi Segi Empat’.
Tepatnya 70 tahun yang lalu, saat terjadi perang besar-besaran antara bangsa Manusia melawan bangsa Wildskin, mereka, bangsa Manusia yang sibuk saling berperang satu sama lain, dikejutkan oleh serangan besar-besaran dari para Wildskin. Serangan besar itu berhasil menghancurkan dua negeri di bagian timur dari gugusan negeri-negeri Manusia ini, lalu mendudukinya selama beberapa tahun. Namun, ketika sadar akan hal itu, seluruh umat Manusia kemudian bersatu dan berhasil merebut kembali apa yang menjadi hak dari bangsa Manusia, serta kemudian mendirikan apa yang hari ini dikenal dengan nama Teokrasi Uritrea, di atas wilayah yang pernah direbut oleh para Wildskin tersebut.
Bila Teokrasi menjadi benteng di darat, maka Kerajaan Vargburg menjadi benteng laut yang kokoh serta sulit untuk ditembus oleh bangsa non-manusia.
Dengan masih bergulirnya peperangan tersebut sampai hari ini, bahaya masih akan terus membayangi seluruh ras di Viora, belum lagi setiap ras memiliki musuh alaminya masing-masing. Tidak ada jalan lain, setiap generasi dari masing-masing ras pasti akan terlibat ke dalam pertempuran abadi itu.
“Putri Aura ...!”
Suara yang menggelegar terdengar berlarian memanggil seorang wanita berambut merah yang sedang sibuk melatih para prajuritnya, di sebuah benteng besar, Margwich, yang berjarak kurang lebih 100 kilometer dari Ibukota. Ini adalah garis terdepan dari pertahanan Ibukota Pre-Aegis.
Sebenarnya, jika harus disebut sebagai prajurit, 40% dari mereka ini merupakan para petani dan penduduk yang berasal dari daerah-daerah di sekitar benteng. Dengan kata lain mereka adalah tentara wajib militer.
Dia menundukkan kepalanya ketika sudah berhadapan langsung dengan sang putri. Napasnya yang terengah kini perlahan mulai stabil.
“Tu-tuan putri ....”
“Ada apa lagi Zabron? Apa ada sesuatu yang terjadi di istana??”
“Itu ...,” Mulutnya tiba-tiba terkatup, dia tidak mampu melanjutkan perkataannya.
Zabron, dia adalah seorang pria tua yang telah berusia 75 tahun.
Penampilannya yang acakadut akan membuat semua orang terpelongo jika mereka tahu dia adalah seorang penasehat raja. Namun, dibalik penampilannya itu, Zabron adalah orang yang paling peduli akan nasib kerajaan. Oleh karena itu di usia tuanya sekalipun dia rela memacu kudanya hanya untuk melaporkan segala kondisi yang terjadi di istana. Sifat idealis yang telah tumbuh semenjak peristiwa buruk 70 tahun yang lalu akan terus menjadi kenangan pahit masa kanak-kanaknya yang tidak terlupakan. Rasa cinta akan tanah air yang mungkin akan sulit ditumbuhkan pada generasi-generasi setelahnya.
Putri Aura berjalan mendekati Zabron, wajahnya yang penuh dengan keringat mulai diusapnya pelan-pelan dengan sebuah kain kecil yang diberikan oleh salah satu pelayannya.
“Zabron, bukankah sudah pernah kubilang rapikan penampilanmu terlebih dahulu sebelum bertemu denganku!”
“Eeh? Ma-maafkan aku tuan putri.” Zabron yang tersentak kaget buru-buru merapikan penampilannya sebisa mungkin. Bahkan, topinya yang miring sekalipun tidak luput dari perhatiannya. Sebenarnya dia sudah tahu sifat dari sang putri yang merupakan seorang individu yang perfeksionis, tapi karena kondisi yang sangat genting ini dia sampai melupakannya.
“Jadi ... apa yang mau kau laporkan?” Putri Aura berucap lirih sambil melemparkan kain itu begitu saja, beruntung pelayan tersebut sigap menangkapnya.
“Itu ... ini tentang mata-mata yang kita kirim ke wilayah tenggara Teokrasi, tuan putri.”
Ini hanyalah satu dari tiga masalah yang ingin dilaporkannya. Dia tahu ini berat, walau bagaimanapun ini merupakan tanggung jawab dari seorang penasehat raja.
“Melihatmu melaporkannya secara langsung, sepertinya surat tentang kepindahanku ke benteng ini belum sampai kepadanya, atau mungkin juga ... tidak pernah sampai? Hhmm ....”
Putri Aura menundukan pandangannya sesaat, mengambil busurnya lalu kembali mentapi kedua mata Zabron yang terlihat sedikit melebar.
Jelas saja hanya mereka yang mengetahuinya, bahkan raja pun tidak tahu jika mereka mengirim mata-mata ke wilayah itu.
Apakah mungkin ada pengkhianatan dari dalam? Ataukah tindakan mereka itu sudah diketahui oleh para bangsawan yang bersikap oposisi kepada raja? Entahlah, Zabron juga sangat sulit untuk menebaknya, tapi kemungkinan terbesar memang seperti itu.
“Jadi, ada laporan apa yang disampaikannya?”
“Tentang itu, di dalam suratnya dia mengatakan kalau tentara Valenian yang seharusnya berjaga di Rionne, justru menarik mundur armadanya. Tidak diragukan lagi, saya kira itu adalah perintah langsung dari Raja Valenian.”
“Heh? Apa kau bilang! Apakah yang kau katakan itu betul adanya?”
Mata Zabron bergetar hebat saat melihat ekspresi wajah dari Putri Aura. Suara klik yang dibuat dengan lidahnya setelah ucapan itu seakan menjadi penanda kalau dia sedang marah. Namun itu hanyalah sebuah kekesalan sesaat saja, Zabron yang telah mengenal sifat sang putri tahu betul akan hal itu.
“Saya berani bersumpah tuan putri! Maaf jika suratnya sudah dibuang, sebab saat itu saya hampir ketahuan oleh raja.”
“Baiklah tidak masalah. Ngomong-ngomong, apa sebenarnya yang dipikirkan oleh raja angkuh itu? Menarik mundur pasukannya? Apa dia kira para Wildskin tidak akan melihat tindakan itu sebagai peluang untuk melakukan serangan? Cih, dasar orang bodoh!”
Putri Aura sedikit menggeser posisi busurnya ke atas, ke sudut dinding benteng menyasar potongan kepala dari seorang Wildskin raksaksa berjenis banteng yang diambilnya dari medan perang lima tahun yang lalu, perang yang juga merenggut nyawa ayahnya. Kepala Wildskin yang telah diawetkan itu tergantung dengan ekspresi yang sama saat dia menyambut kematiannya.
“Bukannya itu seharusnya menjadi tanggung jawab Teokrasi?”
“Ee ... eh, ma-masalah itu, sa-saya belum tahu tuan putri. Akan tetapi, dari isi suratnya dia juga mengatakan, kalau dia telah mengirim surat kepada Komandan Verberg, yang berada di Benteng Blitzeg, tepatnya dua minggu yang lalu.”
“Apakah sudah ada jawaban darinya?”
“Be-belum tuan putri. Sampai dua minggu ini baru ada satu surat laporan saja yang kita terima. Tentang Komandan Verberg, saya kira dia pasti akan meresponnya dengan cepat.”
“Kalau Jarl Raven, bagaimana dengan pergerakan mereka??”
Nama yang terucap dari mulut Putri Aura adalah seorang dewan perwakilan dari bangsawan terkuat yang juga menjadi pemimpin dari pihak oposisi di kerajaan, Jarl Raven von Beckenberg, adik dari pemimpin Keluarga Bangsawan Berckenberg.
Keluarga itu adalah yang paling lantang meneriakan penolakkan atas naiknya Raja Beldos sebagai pemimpin mutlak kerajaan.
Wajar saja jika sang putri menanyakan pergerakannya sebab apapun yang mereka lakukan bisa menjadi ancaman bagi kepemimpinan raja yang sah. Contohnya seperti kasus surat dari mata-mata yang masih tertuju ke istana, kemungkinan itu merupakan ulah mereka. Namun, dalam menanggapi hal ini, Zabron tidak boleh gegabah menyimpulkannya. Mereka masih mengirim pembayaran pajak rutin setiap 6 bulan ke pusat, dan juga masih sering menghadiri pertemuan rutin para bangsawan, meski sebenarnya ada indikasi keterlibatan mereka saat percobaan kudeta 5 tahun yang lalu, tapi sekali lagi itu hanyalah sebuah spekulasi belaka, butuh banyak bukti yang kuat untuk menjerat mereka.
Dari raut wajah Zabron, dia menunjukan sebuah ekspresi yang mengatakan kalau memang untuk sekarang, tidak ada yang mencurigakan dari kelompok berbahaya ini, atau bisa saja mereka memang bermain rapi sehingga dengan pengalamannya sekalipun Zabron tidak bisa mendeteksi sesuatu yang mencurigakan dari mereka.
Oleh sebab itu dia kemudian menjawab, “Sampai saat ini tidak ada tuan putri.”
“Ehem, baiklah. Kalau Teokrasi, apa dia juga mengirim surat ke Teokrasi?”
“Ti-tidak tuan putri, saya kira dia tidak akan berani melakukannya. Mengirim surat ke Teokrasi sama saja dengan membongkar misinya sendiri.”
“Ah, maafkan aku karena sudah ceroboh bertanya seperti itu. Oh iya, laporan—”
Langit yang sedaritadi gelap tiba-tiba memuntahkan seluruh isinya. Hujan yang sangat lebat, yang membuat Zabron bersyukur karena berhasil sampai tepat waktu.
“Tuan putri, kita harus berteduh.”
Mereka yang berada di lapangan benteng segera berhamburan lari mencari tempat berteduh, tidak terkecuali Zabron dan Putri Aura, mereka berlari dan berteduh di luar sebuah pondok kecil di sudut kiri lapangan.
“Hei kau!”
“I-iya tuan putri.”
“Suruh rekan-rekanmu kembali! Bawa semua perisai dan pedang langsung ke gudang! Jangan lupa dibersihkan terlebih dahulu! ”
“Ba-baik.”
“Cih, dasar cecunguk-cecunguk payah.” Putri Aura sekali lagi mengklik lidahnya.
Bisa-bisanya mereka menelantarkan peralatan yang mereka gunakan begitu saja, sudah hal pasti kalau sang putri akan marah. Namun, pembicaraannya dengan Zabron yang belum usai jauh lebih penting daripada memarahi para bawahannya.
Putri Aura dan Zabron masuk ke dalam pondok itu dengan beberapa orang lainnya. Udara yang tadinya panas, sekarang menjadi sangat dingin, bahkan menusuk hingga ke tulang-tulang.
Dengan bantuan dari beberapa pelayan wanita yang selalu menemaninya, sang putri melepas seluruh zirah yang dikenakannya.
Setelan zirah sedang berawarna perak, dengan bagian kepalan tangannya yang bergerigi serta memiliki ukiran unik yang menjalar di bagian dada hingga ke lengan.
Sang putri adalah seorang pengguna sihir bertipe weapon yang masuk ke dalam class archer, jadi jelas saja jika dia memang mengutamakan kecepatan dan ketepatan di atas segalanya. Oleh sebab itu, dia lebih memilih sesuatu yang dapat mempermudah langkahnya serta tidak menghambat pergerakannya, tapi di sisi lain setidaknya mampu melindunginya dari resiko serangan.
Di dunia ini ada empat tipe elemen berbeda: air, angin, tanah, dan api. Sementara untuk tipe sihirnya sendiri, terbagi atas dua bagian yaitu tipe sihir mengalir dan tipe sihir meledak.
Untuk tipe sihir mengalir biasa dimiliki oleh mereka, para pengguna weapon. Dalam tipe ini mereka memiliki jenis mana yang cenderung tidak stabil. Oleh karena itu, mereka membutuhkan sebuah media untuk menjadi tempat penyalur sihir mereka. Tipe ini terbagi dalam banyak class seperti berserker, knight, assassin, archer, dan masih banyak lagi, jadi mereka tidak terlalu bergantung kepada elemen yang mereka miliki karena elemen itu sudah dikombinasikan dengan weapon mereka. Sementara itu ada pula class khusus dari tipe ini, yang menggunakan hewan-hewan magis sebagai medianya. Class ini disebut dengan summoner.
Tipe yang kedua adalah tipe meledak, mereka biasa disebut pengguna sihir. Mereka disebut demikian karena mana yang mereka miliki cenderung lebih stabil dari para pengguna weapon. Mereka menggunakan mana sesuka hati mereka tanpa harus khawatir kehilangan kontrol akan kekuatannya sendiri.
Dalam tipe ini ada banyak sekali class yang berbeda, semuanya tergantung dari jumlah elemen yang mereka miliki. Namun, masing-masing individu hanya memiliki dua elemen saja, jarang ada yang memiliki keempatnya sekaligus. Class dari tipe ini bergantung pada perpaduan elemen yang mereka miliki, seperti contohnya erchanter, yang membutuhkan elemen air dan udara untuk menciptakan kabut yang nantinya akan digunakan sebagai efek ilusi. Untuk class-nya sendiri juga tidak kalah banyaknya dengan para pengguna weapon, seperti elementalist, druid, erchanter, dan masih banyak lagi.
Ketika mereka sudah mencapai level teratas dari penguasaan class-nya para pengguna sihir akan mendapatkan gelar High, dan para pengguna weapon akan mendapat gelar Master.
Di luar kedua tipe sihir itu, ada pula tipe sihir blackmagic, meski selama tiga dekade terakhir sudah tidak pernah terdengar lagi kabar keberadaannya.
“Jadi ...,” sambil merentangkan tangannya Putri Aura kembali membuka suara, “apa laporan selanjutnya yang kau bawa?”
Sambil menanggapi pertanyaan sang putri, Zabron membakar kayu yang tertumpuk di dalam tungku penghangat ruangan.
“Bisa kau sebarkan serbuk itu ke dalam?”
“Baik tuan.”
Perintah Zabron kepada Zack, seorang pemuda bertubuh kurus di sampingnya. Apa yang dimaksudnya dengan serbuk adalah wewangian yang biasa ditabur di dalam perapian.
“Laporan yang kedua ... ini masalah petualang level S yang kita butuhkan.”
“Ah ... itulah yang kutunggu-tunggu.”
Wajah Putri Aura langsung berubah cerah setelah mendengar itu.
“Jadi bagaimana?”
“Sebenarnya ... dari empat petualang level S yang kita panggil ... mmm ... hanya dua orang saja yang bersedia tuan putri.”
“Hah? Apa kau bilang? Apa alasan mereka menolaknya??”
“Untuk itu ... mereka hanya mengatakan kalau ada beberapa quest yang harus dikerjakan terlebih dahulu.”
“... Petualang-petualang sombong! Usulkan pada raja untuk menaikkan pajak bagi mereka yang menolak!”
Ini adalah kali ketiga Zabron melihat wajah sang putri seperti itu hari ini. Wajahnya yang cantik seolah terbakar oleh api kemarahan.
“Ba-baik tuan putri.”
“Jadi, siapa-siapa saja yang bersedia ikut turnamen?”
“Mereka adalah Swing Blade dan Red Head.”
“Oho~ Red Head ... bukankah dia itu petualang level S yang baru setahun ini promosi?”
“Betul tuan putri. Aku sendiri sulit membayangkan kalau orang seperti dia itu betulan ada di dunia ini.”
“Iya, memang cukup menarik. Petualang yang bahkan tidak membutuhkan sebuah party untuk menjelajahi dangeon; petualang yang berhasil meredam serangan gargoyle seorang diri tanpa bantuan; petualang yang hanya butuh waktu dua tahun untuk mencapai level tertinggi dari seorang manusia. Hmm ... orang macam apa dia sebenarnya, aku sangat penasaran.”
Zabron juga penasaran, bahkan di satu sisi dia bisa merasakan sosok seorang petualang sejati dari dalam diri Read Head, meski sebenarnya dia juga belum pernah bertemu dengannya secara langsung.
Menahan serangan makhluk barbar yang kuat seperti gargoyle seorang diri, adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan manusia biasa. Apakah memang dia betul seperti yang dirumorkan? Tanpa sadar Barbon telah mengusap pelan janggutnya ketika memikirkan hal itu.
Sedangkan Swing Blade, dia merupakan petualang yang tidak perlu lagi diragukan kapsitasnya. Dia adalah ketua dari Party Black Weapon, dan juga telah beberapa kali berpartisipasi mewakili kerajaan pada turnamen sebelumnya.
Tiga bulan lagi akan diadakan sebuah festival dua tahunan, Magic Fiesta, yang dimaksudkan untuk mempererat hubungan antara negeri-negeri aliansi Manusia. Sementara itu jumlah peserta yang diharuskan ikut dari masing-masing kerajaan adalah enam, dan Kerajaan Vargburg sendiri baru memiliki dua petualang yang sudah setuju untuk ikut serta.
Berarti sekarang mereka masih kekurangan empat orang lagi.
Jika dilihat dari sudut pandang para pemimpin kerajaan, turnamen ini akan menjadi tolak ukur seberapa kuat para kesatria yang mereka miliki meski keikutsertaan dari seorang petualang juga diperbolehkan.
Putri Aura berkeliling ruangan, memegang dagu dan berpikir keras memecahkan permasalahan ini. Sepertinya fokus yang dia miliki sudah kembali ke permasalahan utama sekarang.
Seakan mendapat pencerahan, dia berbalik ke arah pemuda kurus yang berdiri di samping perapian. “Zackenberg!”
“I-i-iya tuan putri.”
“Kamu ... kamu harus ikut serta dalam turnamen Magic Fiesta!”
“Eeeeeik ... sa-saya??”
“Kenapa? Kamu tidak setuju?”
“I-itu ....”
“Bukankah kamu seorang kapten? Apakah hanya itu keberanian yang kamu miliki??”
Zack terlihat melongo mendengar pertanyaan keras pemimpinnya itu.
Di seluruh negeri, para petualang memiliki sebuah organisasi terpisah dari pemerintah. Mereka bekerja menelusuri dungeon-dungeon berbahaya, dan kadangkala membantu pihak kerajaan untuk membasmi monster-monster liar yang mengacau.
Di dalam Organisasi Petualang sendiri ada 6 level berbeda, yaitu E, D, C, B, A, dan yang terakhir yang berada di posisi puncak dan jarang ada yang mampu sampai ketingkat ini yaitu level S. Sementara itu menurut legenda, ada satu orang yang pernah begelar level SS, dan menjadi pahlawan legendaris yang berhasil mengalahkan raja iblis 200 tahun yang lalu. Namun, cerita itu hanyalah dianggap sebagai dongeng belaka, dan kebenarannya pun masih sangat diragukan.
Sebenarnya sang putri sudah pernah mencoba memanggil para jenderal maupun komandan kerajaan, tapi dia gagal. Mereka banyak yang beralasan sibuk dengan hal-hal seperti menjaga daerah perbatasan, urusan keluarga, ataupun urusan kemiliteran lainnya.
Di sisi lain, mulut Zack masih melongo tidak percaya dengan ucapan sang putri. Memang apa yang bisa dilakukannya, yang hanya seorang kapten. Lagi pula, masih banyak kapten yang jauh lebih hebat darinya. Jika diukur dengan tolak ukur para petualang, secara kemampuan sihir Zack yang diketahui oleh sang putri hanya berada pada kelas Petualang level C, tapi secara pribadi sihirnya sudah mencapai level B.
Mungkin Zack adalah kasus yang berbeda.
Di Margwich, tepatnya di bawah kendali Putri Aura, setidaknya ada sekitar 40 orang kapten yang setara dengan posisi Zack. Meskipun begitu, Zack adalah pemuda yang dianggap paling berbakat karena mampu mencapai posisi itu di usia 17 tahun. Dia adalah anak dari seorang bangsawan kecil yang telah memutuskan untuk menjadi seorang prajurit.
Di dalam hirarki kerajaan, seorang bangsawan kecil yang ingin mengabdi kepada negara hanya memiliki dua pilihan: menjadi pelayan bangawan besar atau menjadi seorang prajurit, dan Zack memilih pilihan yang kedua.
Ini adalah tahun pertamanya mengabdi di bawah kepemimpinan sang putri. Akan tetapi, bukankah ini sangat beresiko? Jelas saja setiap negeri ingin unjuk gigi, jadi menurut prediksi Zabron, para petarung yang akan dikirim ke Magic Fiesta tahun ini pasti rata-rata memiliki sihir berlevel A ataupun di atasnya.
“Zack? Bukannya tuan putri bisa meminta bantuan dari Party Black Weapon? Bukankah mereka masih memiliki tiga anggota yang berlevel A? Kenapa harus Zack? Selain itu, bukannya masih ada banyak party dan petualang yang lain di luar sana? Atau mungkin juga ... tuan putri bisa mengirim salah satu komandan di benteng ini? Kenapa harus Zack??”
“Hentikan pertanyaan konyolmu itu, Zabron! Aku percaya pada kemampuan Zack, jadi berhentilah untuk protes!”
Zack yang merasa terharu karena mendapat kepercayaan dari sang putri mulai menitikan air matanya. Kepercayaan yang tidak akan diberikan kepada sembarang orang kini ditanggungkan kepadanya. Meskipun begitu, tetap saja ini adalah ajang bergengsi yang menentukan reputasi dari sebuah kerajaan. Apakah Putri Aura serius dengan keputusannya itu?
“Tapi, apakah tuan putri serius? Bukannya akan sangat beresiko jika kita mengirim Zack??”
“Bukankah sudah kubilang tadi hentikan pertanyaan konyolmu itu!”
“Ba-baik, tuan putri.”
Zack mulai menundukan kepalanya dalam-dalam, meski setiap orang yang melihat pasti tahu dia sedang bergetar sekarang. Zack kini menelan ludahnya hingga menimbulkan suara “glup”, lalu setelah terlihat sedikit lebih tenang, dia kemudian berkata dengan lantang, “Saya Asser Zackenberg, siap menerima tugas dari tuan putri.”
“Mm ... mmm ... semangat yang bagus, Zack! Tiga peserta lainnya akan kupikirkan nanti. Sekarang, apakah masih ada laporan yang mau kau sampaikan, Zabron?”
Zabron yang sedang mengunyah apel yang dimakannya buru-buru menelannya bulat-bulat, bahkan dia hampir saja tersedak.
“Eeeh ...”
Laporan yang terakhir inilah yang tersulit.
“Sebenarnya ....” Zabron tidak tahu ingin menyampaikannya dengan nada suara yang seperti apa. Sebenarnya laporannya ini terkait kekacauan yang sedang terjadi di dalam istana, dan yang menjadi penyebab utamanya adalah sang raja sendiri.
Cukup sulit. Tidak! ini sangat sulit.
“Soal permasalahan yang ketiga ... ini sebenarnya tentang Yang Mulia ....” Zabron mundur beberapa langkah.
“Jadi, ada apa dengan si gendut itu lagi?”
“Itu ... Yang Mulia ... Yang Mulia akan mengeksekusi seluruh tukang kayu di kerajaan.”
“Apa??”
Respon dan ekspresi yang dikeluarkan Putri Aura bukanlah sesuatu yang mengherankan bagi Zabron, bisa dibilang dia selalu mengeluarkan ekspresi yang sama setiap ada laporang miring tentang kelakukan sang raja.
Semua orang tahu jika sang raja adalah seorang pemimpin yang tidak kompeten. Sifatnya yang masih kekanak-kanakan, dan juga egonya yang tinggi, menjadikannya sebagai seorang raja yang banyak dimusuhi oleh kalangan bangsawan maupun rakyatnya sendiri. Oleh sebab itu, Putri Aura berusaha sebisa mungkin untuk menutupi kelemahan dari adik laki-lakinya tersebut.
Raja terdahulu memiliki seorang permaisuri dan dua orang selir. Raja yang kala itu menginginkan keturunan yang hebat, mempersunting anak dari komandan tertinggi kerajaan. Akan tetapi, setelah belasan tahun menikah dia hanya mendapatkan seorang putri, dan setelahnya dia gagal mendapatkan keturunan lagi. Oleh karena itu, dia menjadikan ibu dari Putri Aura, yang juga merupakan putri dari Keluarga besar di kerajaan sebagai seorang selir. Namun sekali lagi dia hanya mendapatkan seorang putri dan gagal mendapatkan penurus takhtanya saat tahu kalau sang istri sudah tidak bisa mengandung lagi karena suatu penyakit yang aneh.
Lalu suatu hari, akhirnya sang raja berhasil mendapatkan seorang putra dari selir keduanya; seorang anak lelaki yang kini dikenal sebagai Raja Beldos Charlotte III, pemimpin ke-9 dari Kerajaan Vargburg.
Meski lahir dari seorang wanita bangsawan kecil, tapi di dalam kerajaan hanya dia seorang yang berhak menjadi putra mahkota, maka dari itu dialah pemilik takhta yang sah. Ini sudah menjadi tradisi di Vargburg, pemimpin hanya boleh dari kalangan pria saja. Tidak peduli dia anak keberapa maupun anak dari siapa, sudah menjadi hak bagi anak lelaki raja untuk menggantikan posisi ayahnya.
“Mereka akan dieksekusi lusa di alun-alun kota, tuan putri.”
Walau tadi sempat sedikit kaget tapi Zabron tahu kalau Putri Aura harus mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Dia sepertinya tidak perlu tahu apa penyebabnya. Keputusan ceroboh seperti mengeksekusi tanpa melalui proses peradilan sudah menjadi hal yang biasa untuk sang raja.
“Apakah Jarl Raven mengetahui hal ini?”
“Saya kira tidak tuan putri. Untuk sekarang, Jarl Raven sedang berada di Baria untuk pergi merayakan festival panen tahunan. Selain itu, untuk memperlambat bocornya informasi ini saya telah mencoba membungkam para pelayan di rumahnya dengan sejumlah uang, begitu juga bangsawan kecil yang memiliki hubungan baik dengannya. Namun, mereka semua menolaknya.”
Raut wajah Putri Aura semakin terlihat tidak tenang mendengar hal itu.
“Zack, suruh para penjaga kandang untuk menyiapkan kuda secepatnya!”
“Ba-baik tuan putri.”
“Kruger, kamu ambil alih kepemimpinan di sini!”
“Siap tuan putri.”
“Zilda, bawa seluruh zirahku ke dalam kereta kuda!”
“Siap.”
Satu-satunya yang harus dilakukan sang putri sudah pasti, dia sekarang harus menghentikan ulah bodoh dari saudaranya itu sebelum terjadi kekacauan.
“Tidak peduli hujan ataupun badai, kita berangkat ke Pre-Aegis sekarang!”
---
Description: Malaikat dikenal sangat patuh dan tidak memiliki hawa nafsu layaknya manusia. Namun, Ramiel, seorang malaikat maut yang tidak bisa melawan kata hatinya lebih memilih untuk mengabaikan tugasnya demi menyelamatkan seorang bayi 20 tahun yang lalu saat akan mencabut nyawa dari ibu sang bayi.
Akibat dari perbuatannya itu Ramiel kemudian dibuang dari surga dan diberikan hukuman. Sekarang dengan hukuman yang diberikan kepadanya, hanya takdir yang sanggup mengakhiri hukuman dari sang malaikat maut itu.
Begitu pula pertemuannya dengan malaikat jatuh pertama yang akan membawa dunia ke depan gerbang kehancuran.
|
Title: Royal Romance
Category: Adult Romance
Text:
Intro Cast 1
Queenaia Charlotte Lafaisha Oswald.
Sosok gadis 18 tahun dengan paras cantik berkulit putih, tinggi tubuh sekitar 175 cm, bibir semerah cherry, rambut hitam sepunggung bergelombang dan satu lagi, warna biru cerah bola matanya dengan mata lebar, kelopak besar serta bulu mata yang panjang, tebal dan lentik. Apalagi Quin sangat suka tersenyum dan itu menunjukkan eye smilenya yang sangat menawan.
Dan yang paling utama, Quin tidak pernah memoles make-up di wajahnya. Kecantikan alami Quin membuat kita tidak bisa berpaling menatap kecantikannya.
Quin The Inner Beauty.
Quin adalah anak tunggal dari pasangan Michael Rosenbergs Oswald dan Charlotte Larose Elwood. Quin berasal dari keluarga yang sederhana, tidak kaya dan tidak juga miskin. Keluarga Quin membuka sebuah restaurant dengan tema garden yang diberi nama Quin's Garden Restaurant di lantai 1 rumahnya. Kebetulan rumah Quin bertingkat 2, sehingga di lantai 1 restaurant dan di lantai 2 tempat istirahat mereka.
Quin akan melanjutkan studynya di Hollowgeth University, universitas dengan persyaratan masuk paling ketat di dunia. Lalu mengapa Quin bisa masuk universitas itu? Dengan kepandaian Quin membuatnya mendapatkan beasiswa dari penuh dari Holowgeth University. Orangtua Quin sangat bangga dan bersyukur mendapat bantuan untuk study Quin. Tapi walaupun Quin tidak mendapatkan beasiswa, orangtua Quin pasti akan memasukkannya ke universitas terbaik meskipun mereka tidak kaya. Quin juga berencana mengambil jurusan Hukum Hemelse Earth.
Disini Quin akan mendapat banyak pengalaman dan pelajaran. Disini juga Quin akan bertemu seseorang yang akan mengubah jalan hidupnya.
Intro Cast 2
William Austyn Louis Hamilton
Seorang pewaris tahta Kerajaan Hemelse Earth, Ethereal Palace ke-2 setelah ayahnya.
Pangeran William merupakan cucu dari Raja Austyn Philippa Hamilton dan Ratu Victoria Catherine Marguerite, yang merupakan penguasa saat ini.
Pangeran William adalah putra tertua dari Pangeran Carlos Arthur Hamilton dan Putri Arabella Hilary Doyle. Pangeran William juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang terpaut 3 tahun di bawahnya bernama Louis Alex Phillip Hamilton.
Sosok pria 25 tahun dengan paras tampan berkulit putih, tinggi mencapai 191 cm, hidung yang tinggi, sorot mata berwarna biru serta alis yang tegas dan bulu mata yang indah. Apalagi kalau ditambah senyum manis, rasanya tenang sekali ketika melihat wajahnya.
1 fakta mengejutkan lainnya, William adalah Pangeran yang tidak diketahui publik atau disembunyikan kerajaan dari publik. Namun, tak ada yang meragukan paras tampan dan pesona William layaknya pangeran di cerita dongeng. Jadi, tidak aneh kalau banyak kaum Hawa yang mengidolakan Pangeran William
Pangeran William juga kembali melanjutkan studynya setelah menempuh pendidikannya di Hollowgeth University sejak umur 18 tahun. Pangeran William lulus dari jurusan Geografi dan melanjut lagi di jurusan Biologi dengan nilai terbaik. Namun dia masuk bukan karena beasiswa. Tidak heran bukan mengapa Pangeran William bisa masuk universitas ini?
Pangeran William juga mengambil jurusan yang sama dengan Quin. Jurusan Hukum Hemelse Earth.
Description: Hidup sebagai pangeran tampan dan putri cantik dalam istana megah pasti pernah diimpikan sebagian besar dari kita. Begitu indah, glamour, dan berakhir bahagia selamanya sehingga membuat siapapun ingin menjadi bagian dalam kerajaan. Rumah yang mewah, taman yang indah, private jet, makanan enak, ruang dansa, dilayani dengan mewah, dan berbagai dress serta perhiasan mewah sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari jika menjadi bagian dari mereka. ♡
Begitu pula dengan Quin. Dia selalu kagum dengan keluarga kerajaan yang pasti hidup dengan mewah. Namun dia sama sekali tidak pernah menyesal, mengeluh atau menyumpahi hidupnya di keluarga sederhana. Quin selalu mensyukuri apa yang terjadi di hidupnya dan selalu tersenyum menghadapi segala sesuatu hingga nanti dia bertemu pria yang akan mengubah hidupnya. ♡
Berbeda dengan William, dia adalah seorang pangeran dan merupakan pewaris tahta kerajaan. Namun aneh, publik tidak mengetahui jika William seorang Pangeran, sehingga dia bisa dengan bebas pergi kemana pun tanpa diiringi paparazzi dan membuatnya menemukan seseorang yang sangat menarik dan tulus kepadanya tanpa memandang materinya.♡
Bagaimana reaksi publik mengetahui hubungan mereka?
Akankah keluarga kerajaan menerima hubungan mereka?
Akankah mereka berakhir bahagia seperti yang dibayangkan?
|
Title: Rosemary
Category: Fan Fiction
Text:
Rosemary
Penulis: Ida Selfia
Seperti biasa, udara cerah dan angin mulai mengirimkan riuh kendaraan bermotor dari ujung gang. Ibu masih menyelesaikan gorengannya, sedangkan Gandy, ia sibuk menyemir sepatu. Tak lama, terdengar Gambang Kromong yang seperti tersenggol, dan muncullah sosok bertubuh jangkung yang kini malah menatapiku dari atas sampai bawah.
“Belum berangkat, Mbak?”
“Nunggu bekal.”
“Loh, enggak sarapan?”
“Sudah siang. Kamu berangkat naik motor? Kalau iya, aku mau naik angkot saja.”
Sebenarnya aku kaget saat Gandy malah melahap roti, bukannya mi instan yang masih mengepulkan asap. Dengan beberapa kali kunyah, mulutnya sudah tampak kosong dan segelas susu ia teguk dengan cepat.
“Ayo, bareng!”
Ranselku lumayan berat karena selain buku dan laptop, ada juga nasi kotak. Ibu biasa membuatkannya untukku kalau waktunya mepet. Ibu tidak pernah protes. Atau mungkin, lelah. Sepertinya Ibu memang sudah percaya kalau aku benar-benar akan memakan masakannya ini.
“Sampai kapan, Mbak?”
Sempat bingung bahkan aku melirik kanan-kiri. Bisa saja, kejadian ini mirip seperti dalam film. Pemain yang asyik duduk di jok belakang motor, malah melamun dan lupa kalau tempat tujuannya telah sampai. Tapi ini, tidak.
“Apanya?”
“Malas kongko. Bentar lagi, kan, lulus. Masa iya Mbak mau terus-terusan makan siang di kelas.”
Mendengar suara mengotot itu, aku tidak suka. “Lho, memang ada yang salah?”
“Jelas salah, Mbak. Cari teman itu penting. Apalagi Mbak sampai bohongi Ibu. Enggak telat bilang telat.”
Resleting tas hitam yang dipakai sebahu di depanku terbuka sedikit, padahal tanganku sudah naik dan hendak menarik asal benda kecil itu. Namun, yang kutahu namanya adalah Hans dan Edi malah datang dan langsung menepuk punggung Gandy. Seperti biasa, Edi melirikku sambil tersenyum aneh.
“Eh, Kak Hesa, kenapa ditekuk gitu mukanya?”
Bonggan?
Untung aku tahu, ada jalan lain menuju kelas meski harus memutar tubuh. Sayup-sayup kudengar beberapa orang terkekeh. Ah, bocah itu, lihat saja nanti!
Arloji masih menunjukkan angka aman. Desiran aneh mulai mengusik punggung leherku. Aneh memang, mataku seperti frontal melirik kiri-kanan. Tapi, tidak, ini hanya aura milik seseorang.
“Salah jalan, ya? Kayak murid baru saja, Lo!”
Suara itu, sedikit terdengar merengek padahal sebenarnya sangat cool. Aku juga sempat menjumpai orang dengan suara bass seperti itu. Ya, di Televisi.
“A—aku, cuma mau jalan-jalan.”
“Jalan-jalan?” Ulangnya, dan tak lama ia menghadang sambil menukikkan alis, “jam masuk bentar lagi. Gue coret nama Lo kalau telat satu menit saja!”
“Kamu sendiri masih di sini!”
“Gue sudah ngisi absen, masalah?”
Jemariku terkepal kuat, setelah mendengus tajam kakiku tergerak mundur dan rasanya ingin menghilang lalu tiba di kelas. Entah kenapa, hatiku nyeri kalau dibentak begitu.
“Tunggu!”
Sepertinya aku akan mencatat banyak hal buruk hari ini. Selain Gandy yang sok pintar, Edi si genit, dan sekarang, Raul. Cowok berjiwa pemimpin yang suka mengatur. Miris memang saat banyak cewek yang justru bersorak girang hanya saat cowok ini membuang nafas. Dempes gitu!
“Kapan lunaknya Lo? Gue tahu Lo itu bukan cewek pendiam. Bingung saja sih, dari dulu sendirian mulu.”
“..,”
“Nilai Lo sudah oke, so, enggak harus belajar di jam istirahat.”
“..,”
“Susahnya kalau ujian praktik nanti. Pada ogah satu kelompok sama orang judes!”
“Ih, bisa diam enggak?”
“Enggak!”
Raul masuk lebih dulu dengan setengah berlari setelah seseorang memanggilnya dari dalam kelas. Entah seberapa gesit gerakan cowok itu, ia sudah duduk di kursinya lengkap dengan buku absensi dan ia tampak menuliskan sesuatu di sana. Soal omongan orang itu, aku memang memikirkannya sejak lama. Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Selain guru. Gandy juga beda kelas.
“Lebih cantikkan mana, teratai apa peace lily?”
Belum ada tanda-tanda guru masuk. Bel berbunyi sejak lima menit lalu. Sekarang, suasana jadi riuh. Bahkan beberapa orang terlihat mulai mengeluarkan alat make up. Sesuatu berwarna merah tampak di meja depan. Setelah pemiliknya mengangkat cermin, dengan gesit jemari lentiknya memutar tutup lalu muncullah benda memanjang dari sesuatu berwarna merah tadi. Tidak jauh beda warnanya, lalu ujungnya terarah menuju bibir. Alisku terangkat sebelah. Lip matte? Sekolah pakai lip matte? Nyaman buat ngomong?
“Hesa!”
“Apa?”
“Butuh ide,” sungutnya, dan itu nyaris membuatku tertawa. “Enak saja itu otak nganggur mulu.”
“Apa?”
“Kata Gandy, rumah Lo banyak bunga. Sekalian, mau latihan main Gambang Kromong.”
“Terus?”
“Kami mau ke sana,”
Kami?
“Kita satu kelompok, Mahesari. Kalau Lo lupa.” Melengking, nyaris tanganku tergerak menutup kuping.
“Tapi..,”
Aku harap tidak salah lihat. Dengan jelas Raul mengibaskan tangan hingga kerumunan kecil tadi bubar. Aku berusaha tidak melihat ekspresi Felicia, atau aku akan drop. Raul mendekat, wajahnya berubah serius.
“Gue yang ke rumah Lo. Mereka biar nulis laporan saja.”
Lantai adalah titik pandang yang nyaman untuk saat ini. Sesaat, aku menghirup nafas dalam. “Oke,”
“Sa, Gue enggak tahu Lo ada alasan atau masalah. Yang jelas, Lo harus berubah. Punya teman itu, enggak seburuk yang Lo kira.”
Teman?
“Oke, Gue ke kantin dulu.”
Selepas kepergiannya, entah lah, kotak yang masih nyaman di dalam ranselku seperti murung. Dingin. Ya, aku tidak lagi berselera. Waktu sarapanku memang selalu buruk. Aku makan pagi diam-diam. Biar selalu ada alasan untuk dibuatkan bekal oleh Ibu. Tapi, khusus tadi pagi, aku benar-benar kesiangan.
Apa di kantin itu.., menyenangkan?
***
“Nasi uduk?”
“Kenapa? Enggak suka?”
“Gue cuma nanya, kali, bukan berarti enggak suka!”
“Ibu suka buat ini, sejak Engkong meninggal.”
“Sebelumnya?”
“Y—ya.., masak masakan biasa. Oseng kangkung, goreng tempe, nasi putih. Di Jawa sukanya itu-itu saja.”
“Kenapa pindah ke sini?”
“Karena Engkong meninggal.”
“Kalau Engkong Lo masih hidup?”
“Ya, tetap di Grobogan. Aku paling susah bersosialisasi. Di sini, tempat ternyaman cuma rumah Engkong, Rumah Kebaya. Sekolah, jalanan, apalagi tempat belanja, aku anti banget.”
Matanya berkedip cepat. “Unik banget Lo.”
Aku jadi ingat saat Ibu menggodaku tadi hanya gara-gara pulang sekolah bareng Raul. Raul itu pemaksa, dan ngeyel. Bukan itu saja, Gandy malah ikut menganggukku dengan siulan-siulan bisingnya.
“Eh, Tante,”
Aku hanya melirik sebentar, lalu melanjutkan jalan.
Tampak dari sini, anak nakal itu tengah duduk di bale-bale, lantas menoleh kemudian menatap seseorang di belakangku. Gandy seperti mencoba fokus pada ponselnya, dan sesekali tersenyum pada Raul. Mereka juga terlibat obrolan saat aku asyik memandangi Rosemary yang mungil. Dan kudengar, Gandy tidak bisa mengajari cowok itu bermain Gambang Kromong sekarang.
“Rosemary atau Krisan?”
Saat mengedarkan pandangan ke sekeliling, kudapati Raul duduk di bale-bale tempat Gandy tadi. Sepertinya ia tidak mendengarku.
“Krisan atau Rosemary?”
“Kalau Krisan?” Sangat kentara maniknya bercahaya saat melihat kelopak ungu yang ada di tangan kananku.
“Bunga Krisan adalah simbol kejujuran dan kesucian. Bunga ini juga bisa menjernihkan udara kotor dalam rumah, juga menghilangkan zat beracun yang berbahaya bagi kesehatan.”
“Keren, pasti merangkai kata-katanya juga mudah.”
“Kalau begitu, kamu yang Krisan. Biar aku Rosemary saja.”
Setelah diam cukup lama, Raul mengangkat pot kecil itu seraya menggeleng, “Lo sama Felicia yang maju. Dan kenapa Lo malah pilih Rosemary?” Tanyanya seperti tidak suka.
Pertanyaan itu, membuatku menatap keduanya. Rosemary bisa menenangkan pikiranku. Sepulang sekolah, aku biasa main ke Rumah Kebaya ini. Rosemary tersebut kubeli secara iseng saat ada tukang bunga keliling. Sekali itu saja kulihat, lalu aku memilih Krisan dan Rosemary untuk menghiasi Gejogan. Beberapa ada di Pangkeng, meski ruangan itu jarang digunakan karena Engkong sudah membangun rumah baru untuk kami di seberang Rumah Kebaya ini.
“Merawat Rosemary enggak susah. Rosemary juga punya manfaat untuk menahan tumbuhnya sel kanker.”
“Ya, ya. Bagus.”
“Raul..,”
“.., “
“Kuharap, kamu yang maju. Aku enggak bisa sama Felicia, dia begitu dominan. Cuma kamu yang sedikit-agak dekat denganku. Atau kalau enggak begitu, ya, Fitri atau Zudan saja. Jangan aku.”
“Oke.”
Aku hampir tidak mendengar jawaban kilat itu. Ia berucap tepat saat aku selesai bicara.
***
“Boleh tanya?” Aku mulai terbiasa akan hal ini. Raul memang suka datang tiba-tiba dan bertanya hal tidak penting. Bibirnya komat-kamit setelah aku mengangguk. “Kenapa enggak panggil ‘Enyak?”
“Karena sejak kecil, sudah begitu. Sama seperti Gandy yang punya niat manggil aku ‘Mpok. Aku enggak suka.”
Tawanya pecah, “keturunan Betawi kok gitu.”
“Aku lebih kental Jawanya. Dulu, tinggal di Jakarta itu, kayak mimpi.”
“Abongan?”
“Jakarta panas, banyak polusi.”
“Di Jawa memang enggak?”
“Dikit. Jalan utama masih sepi. Paling ada beberapa truk. Enggak sampai macet kalau hari biasa, mah.”
“Tapi, cowok sini suka bikin kangen, loh.”
Iya!
“Halah!”
“Haha!” Orang itu bangkit, lalu memasukkan jemarinya ke kantong celana, “siap-siap buat Senin, kita berjuang sama-sama.”
Puisi berbalas, ada-ada saja tugasnya. Intinya, aku enggak bakal buat soal cinta-cintaan.
“Kalau sampai baper, kan, berabe!”
***
Kamus
1. Kongko= ngobrol
2. Dempes= pesek
3. Bonggan= emang kenapa
4. Bale-bale= tempat duduk
5. Rumah Kebaya= rumah adat Betawi
6. Gejogan= teras
7. Pangkeng= ruang keluarga
8. Berabe= repot
9. Abongan= masa iya
10. Baper= bawa perasaan.
Biodata:
Nama saya Ida Selfia, besar dan lahir di Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Lahir tanggal 24 Semtember 1997, dan sekarang sudah menjadi seorang Ibu lengkap dengan satu anak. Akun ig: @idaselfiawords
Description: Gandy berbaik hati mengantarkanku ke sekolah. Meski mengjengkelkan karena anak itu terus mengingatkanku akan sebuah hal. Belum lagi, Raul yang datang dan memaksaku masuk kelas. Raul suka mengatur. Dan sialnya, dia ingin ke rumahku untuk memilih bunga.
Tugas ujian praktik adalah membuat puisi berbalas. Ada 5 orang dalam kelompokku. Ini pertama kali. Aku tidak biasa bersosialisasi. Mungkin, Raul juga yang pertama setelah aku tinggal di Jakarta. Ku hanya punya dia setelah guruku, Gandy dan Ibu.
Nama: Ida Selfia
Tanggal Lahir: Grobogan, 24 September 2997
No. Telp: 081325159048
Alamat: Dsn. Kedungjati, Grobogan, Jawa Tengah
Email: [email protected]
Twitter: @IdaSelfia2
Instagram: @idaselfiawords
Facebook: Ida Selfia
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #NulisIndonesiana2019 yang diadakan oleh Platformindonesia, Storial dan Nulisbuku.
|
Title: Riki dan Jeri, Pengamen!
Category: Travel
Text:
Hujan, Tuhan, dan Surabaya
Surabaya mulai basah oleh air yang turun dari langit.
Hujan merupakan aspek dari ibu bumi yang berusaha jadi penyeimbang dalam kehidupan manusia modern. Jika di hari-hari biasa kalangan menengah ke atas mampu melawan panas dengan cara bersantai ria menikmati air conditioner atau kipas angin, dalam hujan semua hampir sama rata, senasib sepenanggungan. Langit memang tak pilih-pilih siapa yang jadi korban akan basahnya air yang ia tumpahkan.
Gedung-gedung yang tinggi, perumahan mewah yang ketat dijaga, kelapukan dari kawasan pinggiran memiliki kesamaan jika keadaan seperti ini: semuanya menjanjikan setidaknya sedikit rasa aman dari serangan dingin.
Tapi, tak akan pernah ada keseimbangan absolut dalam kehidupan. Tak ada sesuatu yang benar-benar sama rata kecuali dalam impian Karl Marx, dan memang ia bermimpi terlalu tinggi.
Tak ada kehangatan yang dijanjikan, jika rumahmu adalah jalanan. Itu tidak merubah kenyataan yang ada dalam pernyataan universal berikut, yang perlu diketahui oleh setiap insan manusia: tiadanya rasa hangat bukan berarti tiadanya kesempatan berbahagia.
Seperti yang dirasakan oleh pemuda bernama Riki itu. Dia mendongak, merasai rintik menerpa wajahnya, dan tertawa walau perutnya melilit, kosong. Ia menghirup aroma hujan seperti seorang lapar menghirup bau makanan. Sementara itu, kawannya yang bernama Jeri malah panik begitu ia merasakan rintik datang. Suaranya menyumbang ramai klakson, derum, dan segala hingar-bingar jalan arteri ibu kota provinsi Jatim.
Penghuni kota ini, dan seluruh kota di Indonesia menanggapi semua yang mereka kurang suka namun tak bisa mereka ubah seperti para raja-raja kawak menanggapi surat tantangan dari musuh yang terlalu besar: dengan cara misuh. Umpatan sepenuh hati cukup untuk sedikit mengobati perasaan, untuk menunjukkan di pihak mana berdiri membela. Umpatan dapat disembur dalam setiap kesempatan yang tak bisa lagi dibenahi.
Semuanya, baik dalam masa setelah lagi-lagi digobloki oleh para politisi, maupun dalam hujan.
“He, Cuk! Ngiyup, jangan malah hujan-hujanan! Wis gak waras, ta?”
Riki tak peduli. Dia tertawa pada udara, merentangkan tangan pada langit yang kian bersemangat menjatuhkan tangis, entah menolak atau malah setuju pada tuduhan kawannya yang meragukan sehat atau tidaknya proses jalan pikiran yang jadi latar belakang kelakuannya.
“Ngene iki rasanya bebas, Jer! Bebas! Gak terkungkung di rumah! Bebas, Jer! Aku bebas!” ia melakukan semacam tarian dengan melompat dan berputar di tempat, menimbulkan kecipak air kotor, celananya yang sudah buruk jadi makin mengenaskan oleh noda. Riki meneguk air yang kebetulan jatuh atau mengalir ke dalam mulutnya. Ia tersedak, karena rasanya tak enak.
Jeri menggeram, menarik tangan kawannya dengan segala kekasaran yang ia punya sementara deras mengiringi lari mereka.
Jeri memang kasar. Hal itu tumbuh sejak ia menetek pada perempuan yang tak ia kenal, yang dilawannya karena ia tak mengenali segala tekstur dan gestur dari si perempuan asing. Ditinggalnya pergi si perempuan asing dengan lagak tak peduli, belasan tahun lalu. Demi mereguk kebebasan.
Setelah masa-masa perih kembara, sebenarnya ia dipancang rindu. Tapi rindu masih kalah oleh rasa malu. Adegan-adegan saat ia pergi masih membekas dalam guratan ingatnya, serta masih muncul dalam celah-celah mimpi yang paling buruk. Jeri menggeleng, hingga rambutnya yang disemir menjatuhkan kandungan air. Sekarang bukan saatnya mengingat hal bodoh.
Mereka berdua lari menuju bagian depan minimarket yang sudah hampir penuh, saking banyaknya orang yang berteduh. Walhasil mereka dapat tempat yang tidak menyenangkan, harus berada agak maju dari benderangnya cahaya dan hangatnya kerumunan manusia. Masih harus kena rintik, semua disebabkan oleh kesleboran Riki pada hujan. Seolah ia tak pernah bermain-main saat kecil saja.
Jeri berpaling pada Riki yang kini menggenggam gitar. Dia menggigil akut karena hawa namun memasang senyum seorang gila, dan Jeri jadi merasa agak bersalah.
Ya, mungkin Riki memang tak pernah merasakan hujan menerpa tubuhnya, tak pernah bermain-main di luar seperti laiknya dulu dia waktu masih bocah. Anak orang kaya dengan masa kecil tak bahagia biasanya begitu.
Jika Jeri menjalani hidupnya karena terpaksa, sebab pilihan lain tak mungkin ia pilih, Riki berada di jalanan karena alasan yang klasik: dia tak betah dengan keadaan rumah yang carut-marut. Ia satu dari sekian banyak korban broken home yang memilih untuk lari, karena menganggap bahwa terbentur kuldesak dalam rangkaian ruwet kota kehidupan lebih tidak menyenangkan, daripada hingar-bingar-garang emperan kota Surabaya. Klise memang, namun nyata adanya.
Tapi, Jeri tidak akan mengutarakan rasa kasihan. Tidak, rasa kasihan adalah hal pertama yang ditempa keluar darimu saat hidup di jalan. Kalau kau masih kasihan mungkin hatimu belum dibentuk oleh kerasnya aspal.
Alih-alih membicarakan masa lalu yang pasti akan mengawali dialog yang diisi dengan tangis-sedih, ia membentak.
“Matamu!Gitar-e basah, Cuk. Kayu sudah lapuk malah dibasahin. Barang sudah lawas malah mau dirusakin! Gimana mau ngamen kalau alatnya cacat?!”
“Ap-Nggak, nggak! Nggak bakalan rusak, kok!” Riki menggeleng cepat, menggenggam gitarnya dengan kedua tangan, lebih protektif dari sebelumnya seolah Jeri akan merenggut barang naas itu kapan saja. Senar-senarnya tertarik genggaman, menimbulkan suara merana yang hampir tak terdengar. “Lagian bukan salahku juga!” ia menambahkan untuk membela diri.
“Lalu? Salah siapa? Mau menyalahkan hujan yang tiba-tiba? Mau menyalahkan Tuhan yang memutuskan bahwa malam ini Surabaya memerlukan “rahmat”-nya?”
Riki menggeleng mendengar pernyataan itu. Matanya kembali memandang ke arah jalanan, tempat di mana mobil dan kendaraan mulai berkurang, semua menghindar dari semburan langit yang menghapus polusi dan menyegarkan udara yang biasanya menyesak dada.
Riki memandang tenda biru di seberang jalan, tempat seorang penjaja sate madura tertawa ramah kala menanggapi pesanan baru, menanggapi rejeki yang ditawarkan oleh orang yang mencari teduh serta mencari hangatnya makanan.
Sumpeknya kota sejenak teredam atas anugerah yang kini terpancar ke segala arah. Tempat di mana lampu kota yang masih mati seperti merasakan duka, membuat hati Riki serasa dibisiki malaikat pemberi inspirasi yang membisikkan nada-nada, yang lanjutannya tinggal ia garap dan tulis dalam kertas pertama yang bisa ditemukan.
Semua itu pasti berasal dari restu-Nya.
“Aku gak akan menyalahkan Tuhan, Jer. Aku masih yakin akan kebesaran-Nya.”
Jeri mendengus, berpaling pada angkasa yang kini kelam. Guntur mengalun, lebih alami daripada musik yang ia hasilkan dari kerongkongannya, lebih tua jutaan tahun dari koin-koin receh yang kini memenuhi sakunya, tapi ia tetap mengeluh, dan tak mengerti.
Jeri mengeluh akan fakta tidak bisanya mereka berdua mengamen, sementara lapar mengintai-intai. Jeri berpaling pada jalan yang becek, berpaling pada kesusahan kala mereka berdua nanti mencari tempat inap yang layak. Berpaling pada orang-orang disekitarnya yang terus-menerus mengeluh.
Jeri menghela napas dalam, membuat sekujur tubuhnya gemetar. Paru-parunya dingin dan merupakan sebuah keajaiban ia belum terjangkit TBC dengan gaya hidup seperti ini, selama ini. Hal yang paling ia takutkan adalah sengat panas yang menurut sas-sus akan terasa saat ia tidur dengan suhu badan mengalami dingin ekstrim. Ia tak akan bangun lagi kalau sudah merasai panas gila itu, seperti seorang tua yang mati kaku bulanan lalu.
Semua itu pasti berasal dari laknat-Nya.
“Jujur aku malah berharap kowe menyalahkan Tuhan, karena aku yakin dia ‘gak sebesar yang mbok kira, Rik.”
Mereka berdua memandang langit sekali lagi. Apa yang mereka lihat serupa, tapi apa yang mereka pahami tak sama. Riki memahami semua dengan cahaya romansa, layaknya semua keadaan berwujud gadis manis menjanji setia, sementara Jeri mengumpamakan semua seperti duka nestapa, sekarat-sakit jiwa.
Pandangan mereka memang berbeda, namun mereka tidak pukul-memukul atau saling bantah lebih jauh. Karena di kelamnya jalanan, kawan jauh lebih penting daripada sekedar opini.
Kalau hangat persetujuan tak bisa diraih, mungkin ia bisa diciptakan oleh jalinan nada, oleh keberadaan satu sama lain. Kehadiran kawan penting, sebagai jaminan bahwa esok hari, setidaknya salah satu tidak merasa kesepian karena adanya kehadiran yang lain. Walau asam mengancam untuk membolongi lambung, walau receh tak menjanjikan apapun kecuali kesempatan bertahan hidup, walau bangsat-bangsat masih mengancam di setiap sudut keremangan.
Mereka berdua masih membicarakan sunyi sementara keramaian hujan terasa membasuh, celotehan orang-orang hanya suara yang numpang lewat. Sore berkemas bersama mentari yang turun di ufuk, lampu merkuri menyala, Surabaya masih seperti biasanya.
Riki memutuskan untuk menyandarkan punggung ke salah satu pilar, mendesah lega karena kerumunan mereka yang berteduh lama-kelamaan surut untuk nekat maju menerobos hujan. Ia memetik gitarnya, dan Jeri menyahuti nada yang ia lempar, sembari mencari tempat berjongkok. Orang-orang diam mendengar nyanyian mereka berdua sementara azan maghrib terlupakan di kejauhan.
Dan hujan masih saja turun deras di Surabaya. Dingin, basah, dan tak peduli dengan lagu dua pengamen rendahan. Hanya dua gelintir manusia, tahu apa mereka tentang Tuhan dan segalanya?
--
Description: Dua pengamen dengan latar belakang yang berbeda, dipersatukan oleh jalanan serta kebutuhan-kebutuhan. Diilhami oleh kisah nyata.
|
Title: Rahwana pada Sinta
Category: Puisi
Text:
Rahwana
Bicara soal cinta tidak ada habisnya. Banyak kisah cinta yang berujung bahagia, tapi tidak sedikit juga yang terluka. Biarpun cinta tidak selalu menghadirkan bahagia, perasaan orang yang jatuh cinta akan selalu melekat pada hatinya. Memberikan pelajaran tentang bagaimana menghargai rasa kasih sayang, sedih, kecewa, menghargai diri sendiri, dan yang terkasih.
Cinta seperti apa yang sebenarnya kita inginkan ? Apa cinta yang harus selalu mengucapkan selamat pagi, selamat tidur, jangan lupa makan nanti kamu menderita.
Nanti kamu menderita !
"Tidak ada kisah yang lebih menderita dari kisah cinta Rahwana pada Sinta".
Apa cinta seperti itu salah ?
Tidak ada yang salah dengan cara kamu mencintai. Semua orang mempunyai versi cintanya masing-masing. Tidak terkecuali mereka yang mencintai bukan ikhrarnya.
Menyiksa diri dengan mencintai yang bukan semestinya. Penderitaan, kekecewaan, dan kebohongan yang menghiasi.
Namun tidak dengan kisah seorang pria yang juga mencintai bukan ikhrarnya. Mencintai dengan sederhana.
Sosok kesatria yang tidak akan mengingkari sumpahnya atas nama Kesetiaan, Perjuangan, Kehormatan.
Pria itu Rahwana.
Raja Alengkadireja yang dikenal sebagai penguasa kegelapan. Semua perihal buruk selalu dinisbatkan kepadanya. Bahkan kehadirannya dianggap sebagai anak haram, hasil hubungan yang tidak dikehendaki antara Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi.
Namun dalam urusan cinta, tidak ada kisah seromantis Rahwana pada Sinta. Meskipun bukan ikhrarnya, Rahwana akan selalu setia menunggu. Memperjuangkan dan menjaga kehormatan cintanya.
Rahwana pada Sinta
Abadi
Cinta seperti itu tidak salah bukan ?
Dan aku ingin menjadi Rahwana. Mencintaimu dengan teramat sederhana. Maksudku, aku ingin menjadi Rahwana dengan caraku sendiri.
Cukup memiliki dengan kesederhanaan ku.
Pertemuan
"Oh, Shit !"
Memikirkan kisah Rahwana yang begitu romantis membuatku semakin ingin menjadi sosoknya. Biarpun tidak mengenalnya secara utuh, aku percaya tidak ada cinta seromantis Rahwana pada Sinta.
Aku ingin menjadi pria seperti Rahwana. Gagah perkasa memperjuangkan cintanya, meskipun semesta menjadi musuhnya. Sosok pria sejati yang menjaga kesetiaan dan kehormatan.
Dan aku harus menjadi pria seperti itu. Menjadi Rahwana dengan caraku sendiri.
"Ting ting ting... ." suara pembeli.
Ah sial, kenapa disaat seperti ini ada... .
"Ting ting ting... ." Bel berbunyi untuk beribu-ribu kali.
"Bentar, I'm coming."
Dan itu pertama kali dalam hidupku merasakan yang namanya perasaan campur aduk. Tubuhku kaku gemetar, berkeringat panas, saraf otakku terhenti, dan lamunan pun terjadi.
"Oh sintaku, sosok Sinta yang selama ini aku tunggu, kamu sintaku kan, ini bukan mimpi kan." Hingga akhirnya berbagai perasaan telah meracuniku seperti dopamin.
Tanpa sadar terucap kata itu, "Iya Sinta ?"
"Hah... Mas-nya tau nama saya ? Kita belum pernah bertemu sebelumnya bukan ? Ini pertama kali aku kesini loh, dan... ak."
"Waah... Jadi namanya sinta? Kebetulan sekali, di kedai kopi kami lagi ada promo bagi pengunjung yang bernama Sinta. Ya..., untuk merayakan kisah cinta Rahwana pada Sinta."
"Oh, Tuhan."
Aku tidak berpikir itu alasan yang masuk akal dan baik-baik saja, tapi aku rasa itu masih bisa diterima. Terima kasih kamu sudah hadir.
"Sekali lagi selamat, kerena menjadi pengunjung paling spesial hari ini. Untuk itu kak Sinta berhak mendapatkan secangkir cappucino bergambar hati, free."
"Seriously ! Wah terima kasih mas... ."
"Joko. Panggil saja Joko. Seorang pria sederhana yang... ." Duh... senyum merekah perempuan itu memaksaku terdiam, sial.
"Yang seromantis Rahwana ?" Saut sinta.
Ngawur kau Sinta, heuheuheu.
"Mana mungkin aku bisa menjadi Rahwana. Aku tidak seromantis dia, hanya pria sederhana yang hanya sanggup mencintai dengan kata yang tak sempat terucap." Balas ku.
Lalu..., mata kita saling bertemu malu seraya melempar senyum.
Itulah aku, seorang barista yang mengidolakan sosok Rahwana. Aku yang ingin menjadi Rahwana dengan caraku sendiri, dan pertemuanku dengan Sinta untuk pertama kali.
Terima kasih untuk hadirmu, sinta.
Sore
Siluet jendela kamar memaksaku membuka mata, dan yang terlintas dalam pikiran hanya pertemuan sore itu. Pertemuanku dengan seorang perempuan bernama Sinta. Pertemuan singkat yang merubah sudut pandangku, membuatku mengucap sumpah atas nama janji untuk dia seorang, pujaan hati. Mengharap, jika aku mendapatkan kesempatan bertemu dia satu hari nanti, akan kupastikan saat itu juga aku pria sejati. Kesetiaan hanya padamu. Tak ada semesta yang mampu menghentikan perjuanganku. Begitupun aku akan menjagamu atas nama kehormatan. Aku rahwanamu.
"Oh, Damn it."
Pertemuan itu terlalu romantis untuk menjadi kenyataan. "Sadar joko sadar, plaaak... plak plak !"
Sepertinya aku mulai berhalusinasi. Mana mungkin perempuan seanggun sinta, mendambakan sosok Rahwana sepertiku. Hanya Rahwana seorang yang dengan gagah memperjuangkan cintanya dengan bertaruh nyawa. Sedangkan aku, hanya pria sederhana yang tidak ingin mempertaruhkan nyawa atas nama cinta. Hanya kesetiaan dan kehormatan yang ada padaku.
"Masih bisakah memilikimu ?"
Pertanyaan macam apa lagi itu. Kenapa aku melontarkan pertanyaan mengerikan untuk diriku sendiri. Sial... sepertinya aku akan menderita sedikit lebih lama, oh sintaku.
"Tut tut tut.. tut tut." Suara telepon.
"Halo, moshi moshi... ." Aku percaya semua pria sejati nonton One Piece.
"Siapa ? Ada yang bisa di siksa."
"Jok, buruan ke kedai, ada yang nyariin." Ucap pak bos dengan nada mengintimidasi.
"Siapa pak bos ? Aku lagi banyak pikiran nih... butuh waktu sendiri, bilang aja joko lagi keluar kota. Baliknya minggu depan, itupun kalau sudah sadar." Sial, sepertinya aku benar-benar sudah gila.
"Sinta Jok, sinta... gue ngga habis pikir ada perempuan yang mau kenal sama lho, dan terlebih lagi perempuan itu sempurna, lho main dukun !"
Tiba-tiba aliran saraf otakku terhenti, dan hanya kata Sinta yang bisa kumengerti.
"Halo jok. . . Lho masih hidup kan ! Oke, gue sampein kalo lho... ."
"Siap berangkat pak bos ! Sudah setengah jalan, bentar lagi sampai."
Mana mungkin aku melewatkan pertemuan dengan Sinta. Sosok perempuan yang selama ini aku tunggu kehadirannya. Senyum merekah pada bibir kala itu, menghanyutkan ku pada bumantara. Aku tidak rela jika harus melewatkanmu. Tunggu abang, oh sintaku...!
Tut tut turut tutut trut truuutt... cendol dawet cendol dawet, yeeeeaah !
"Joko sedang bersenandung menikmati rintik hujan dan menjemput pertemuan. Lalu...tanpa sadar ada macan lewat, dan... ."
Sciiiiiiiittt... Sial, hampir nabrak anjing !
Slamet...slamet, ternyata semesta masih merestuiku untuk menemuinya. Aku harus bergegas, aku tidak sanggup jika harus membuat perempuan itu menunggu.
"Oh, Tuhan !"
Kenapa disaat seperti ini kota Kediri macet parah. Jika harus berjalan kaki menjemput pertemuanku dengan perempuan itu, aku rela. Namun, aku tidak rela jika harus meninggalkan motorku satu-satunya dan terlebih motor ini sudah menjadi bagian... .
"Kecelakaan kecelakaan kecelakaan... ada kecelakaan bangsat, berhenti woi !" Ribuan suara terdengar entah dari mana.
Hiyaaaaaaah... ada kecelakaan, entah kenapa perasaanku semakin kuat untuk menolongnya. Mungkinkah sosok rahwana ada dalam diriku ? "Ah, sial kau joko !"
"Biar saya bantu buk, saya bawa motor jadi akan lebih cepat sampai rumah sakit." Tanpa basa-basi aku terjang kemacetan ini. Dan sebagai seorang pria aku harus memastikan ibu itu baik-baik saja, baru aku bisa menemui perempuan itu dengan tenang. "Oh, tunggu abang sinta."
Tepat pukul 05.00 sore aku tiba di kedai. Aku menyusuri semua tempat, namun tidak kutemui sosok perempuan itu. Apa mungkin aku melewatkanmu, sinta ?
"Perempuan itu udah pergi satu jam yang lalu, dan lho emang pria menyedihkan jok... joko ! Kesempatan sekali seumur hidup, lho buat sia-sia dan terlebih... ."
"Perempuan itu, maksudku sinta tidak bilang apa gitu, pak bos ?" Bila aku belum sempat menemuimu, paling tidak aku mendapatkan kabar darimu.
"Apa ya jok , bentar-bentar !" Ucap pak bos sambil menunjukkan exspresi menjijikkan seraya memainkan kumis tipisnya.
Perasaan gelisah pun mengintimidasiku, dan saat itu juga satu detik bagiku terasa seperti 3000.
"Ahaaa... Puisi. Perempuan itu bilang, puisi mas Joko bagus." Saut pak bos.
Puisi ! "Puisi yang mana pak bos ?"
Sial... aku memang pria yang tak segagah rahwana. Melewatkanmu adalah suatu kegagalan dalam hidupku.
Terima kasih untuk sore waktu itu kita bertemu. Dan, pada sore juga aku melewatkanmu.
Puisi Untukmu: Rahwana pada Sinta
Aku ingin memilikimu dengan sederhana Seperti udara ada tanpa harus diminta Aku ingin memilikimu dengan sederhana Sesederhana daun terakhir pada ranting
Cukupkah seperti itu nonaMemilikimu dengan teramat sederhana Seperti Rahwana pada Sinta
Meskipun cinta mereka bertentangan Rahwana akan selalu dikenang Kesetiaan, Perjuangan, KehormatanRahwana pada Sinta Abadi
Kendati demikian Aku bukan Rahwana yang akan berjuang Hanya kesetiaan dan kehormatan Yang tersisa
Kupastikan semesta pun iriBegitupun angin, ragu menjatuhkan selembar daun terakhirpada ranting kering itu
Masih bisakah untuk memilikimu
Aku ingin memiliki dengan sederhana Sampai malam hingga turunnya kabutBersamamu
🂠🂠ðŸ‚
Tenang saja nona Aku tidak akan seperti Rahwana Memperjuangkan cintanya Dengan bertaruh nyawa
Rahwana Pria sejati yang jatuh hati pada Sinta Kesetiaan, Perjuangan, Kehormatan Tak ada yang memiliki
Pria sejati yang menjaga kesetiaannyaMemperjuangkan cinta yang bukan ikhrarnyaMenjaga kehormatan cintanyaRahwana pada Sinta
Tidak mungkin aku menjadi Rahwana Aku tidak sanggup harus berjuang sendiri Hanya kesetiaan dan kehormatanKu persembahkan padamu
Ijinkan aku menjadi Rahwanaku sendiriBerjuang dengan kesederhanaan ku Meskipun tak seromantis Rahwana pada Sinta Jemariku akan selalu mengucap janji atas nama cinta
Aku Rahwanamu
Tentang Kabar
Selamat pagi ! Untuk kamu pagi, aku tidak mengharap lebih. Aku hanya meminta satu hal sederhana, bertemu perempuan itu lagi. Perempuan bernama Sinta. Aku yang hanya tahu namanya saja, ingin mengenalnya secara utuh.
"Oh, Tuhan."
Aku percaya dengan yang namanya jodoh, dan sepertinya aku berjodoh dengan perempuan itu. Maksudku, barangkali hanya aku yang mengharapkan. Tapi aku pria, aku harus memperjuangkan jodohku sendiri. Meskipun takdir telah menulisnya, tak akan henti kusematkan doa untuknya.
"Oe Jok, plak ! Jok... Joko, plak plak !" Sentuhan lembut pak bos.
Tanpa rasa sakit sama sekali, aku coba menoleh dengan raut muka mendung, seakan mengisyaratkan gerimis turun.
"Ada apa Jok ? Kenapa melamun sendiri di balik jendela berdebu ini." Ucap pak bos dengan nada aneh dan tidak biasa. Lembut.
Sepertinya memang ada yang tidak beres dengan pagi ini. Suasana mengerikan dan perubahan orang itu yang terjadi secara tiba-tiba, lembut. Tidak biasanya pak bos selembut itu. Jangan kan bicara, diam saja terlihat hambar pun teramat menjijikkan.
"Oh, Damn it..." Kenapa ucapanku sekejam itu.
"Tidak ada pak bos, aku cuma berusaha menikmati suasana nostalgia di balik jendela ini, saja."
Di balik jendela ini, membekas sosok perempuan. Aku tidak mengerti seperti apa dia. Semakin aku cari tahu, semakin aku ingin tahu. Semakin aku ingin beranjak pergi, semakin aku tersesat. Hanya nama, tidak lebih.
"How's Nostalgia, Jok ? Perempuan waktu itu ya, satu-satunya perempuan yang menunggumu dengan sabar, yang pada akhirnya kau lewatkan ! Perempuan yang membuat seorang barista melankolis bermurung." Kata pak bos dengan nada yang masih terasa aneh.
"Bukan, bukan seperti itu pak bos, aku cuma... ."
Aku hanya tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Bagaimana bisa perasaan ini ada, sedangkan hanya sekilas senyum merekah yang menjadi ingatan. Senyum sederhana yang mencoba menyiksaku dari dalam uluh hatiku. Terasa menyesakkan, namun aku tidak sanggup jika harus berhenti merasakan.
"Cuma apa Jok ? Udah ngga usah lho jelasin, gue ngerti. Kalau perempuan itu emang jodoh lho, dia pasti akan balik kesini lagi."
"Oh, Tuhan."
Sungguh mengerikan suasana di kedai kopi pagi ini. Kata-kata bijak itu, keluar dari mulut seorang pria nyentrik berkumis tipis. "Oh, aku padamu bosQue... ."
🂠🂠ðŸ‚
"Tik tok tik tok tik tok... ." Suara detik jam melengkapi suasana mengerikan ini. Aku coba menghela nafas cukup panjang seraya berpikir sejenak. Mencerna kata-kata bijak yang keluar dari mulut pria nyentrik tadi. Berbagai pertanyaan pun menghantui. "Apa mungkin perempuan itu, datang kesini lagi ?"
Dan berbagai persepsi yang lain mendobrak kepalaku, memaksa masuk dan mendominasi isi otakku, hanya pasrah yang tersisa. Saat itu juga pandanganku tertuju kaku pada sesiapa yang datang bertamu.
"Oh, kau dimana Sinta. Sore sudah hampir tiba, dan kau masih belum juga ada."
Aku hampir putus asa, dan kuputuskan menyusuri lorong itu lagi, jalan menuju tempat untuk menikmati nostalgia, seraya menerima kenyataan pabila setiap pengunjung yang datang tidak kudapati kamu. Hanya pernyataan singkat, mengisyaratkan teka-teki yang menghancurkanku saat ini. "Puisi mas Joko, bagus." Pesan singkat yang membuatku bertanya-tanya dan semakin menjadi-jadi. "Akankah kita berjumpa lagi ?"
"Tung tung tung, tung tung... ." Suara pembeli.
"Oh, Damn it... ." Cobaan apa lagi ini. Aku baru tahu ada desk bell berbunyi semenyeramkan itu, manalagi langit mendung. Aku harus segera beranjak pulang sebelum hujan. Aku tidak ingin bekas senyummu terhapus oleh hujan.
"Pak bos, ada customer ! Aku balik dulu."
Berat harus beranjak dari sudut nostalgia. Namun, akan jauh lebih berat jika hujan sampai menghapus bekas senyum itu.
"Aaaaarrrggghhh ! Semangat Jok semangat, fighting... Plak plak." Kali ini aku harus sedikit menampar diriku sendiri.
Langkahku semakin jauh seraya menunduk lesuh. Tidak ada yang berhenti menatapku, barangkali mereka tidak menemui diriku yang sebenarnya. Atau mungkin, melihat sosok ksatria dengan sayap yang patah.
Aku terus melangkah tanpa menghiraukan mereka semua yang asik menyesap kopi yang sudah kuracuni. Aku tidak peduli, tidak ada yang benar-benar aku pedulikan. Hingga aku melihat senyum yang sama, senyum merekah pada bibir sederhana. Tanpa berpikir panjang, kuhentikan langkahku seraya menoleh pada titik dimana kutemukan senyum itu. Pada sore sebelum hujan, ku dengar kata sederhana.
"Apa kabar mas Joko ?" Ucap Sinta.
Cappucino
"Satu hal yang aku mengerti, setiap orang mempunyai kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana cara kita menjemput kesempatan itu."
"Ready to serve." Kata pak bos.
"Secangkir cappucino hangat ya kak." Ucap sinta.
Kulempar senyum paling manis pada perempuan di sampingku, seraya mengucap mantra. "Aku juga kak, secangkir cappucino hangat lengkap dengan pelangi di atasnya."
"Loh... Mas Joko engga jadi pulang ?" Saut Sinta.
"Oe Jok, kenapa lho ngga jadi balik ? Udah balik sono, saat ini gue lagi ngga butuh lho." Saut pak bos seraya melecehkan ku.
Mana mungkin aku bisa pergi, sedangkan ada pelangi. Aku tidak tahu kapan lagi pelangi ada tepat disaat hujan turun. Tenang saja, aku tidak akan memaksa kalian mengerti, nyatanya memang tidak ada pelangi disaat hujan. Aku hanya ingin membuat kesempatanku sendiri, meyakini bahwa pelangi tidak hanya selalu ada saat hujan reda. Dan kamu, pelangi itu.
"Duh... Anak manusia satu ini malah ngelamun, oe jok...sadar jok, plak." Sentak pak bos.
"Iya...sinta ! oh sorry maksudku pak bos, ak aku tidak mungkin kan, membiarkan sinta di tempat asing ini sendirian. Iya kan sinta ?"
"Iya mas Joko, boleh kok." Balas Sinta mengisyaratkan mengerti maksudku.
Dan untuk kali ini, lorong menuju sudut nostalgia itu tampak terang, seakan penuh bunga bermekaran. Tanpa kuberi tanda, hujan pun merestui perempuan itu untuk sedikit lebih dekat. Maksudku berjalan di samping ku tepat. Hanya berjalan, tidak lebih untuk bergandengan. Biarpun kuharap demikian, langit menyaksikan sanggup tidaknya aku menjaga kehormatan perempuan yang ada di samping ku saat ini.
Aku juga tidak ingin terlihat bodoh, dengan menjadi pria yang tidak bisa menjaga kehormatan perempuan. Meskipun hanya sebatas bergandengan, tanpa dipersilahkan, akan menjadi paksaan.
Aku bukan pria seperti itu, angkuh. Cukup melihatmu lebih dekat sudah membuatku luluh. Dan akan ku ukir sejarah, jikalau hanya aku sosok Rahwana yang bisa memilikimu, Sinta.
"Kita duduk disini aja ya mas, aku suka sudut ini. Suasana dari balik jendela terasa tenang dan nyaman." Kata Sinta dengan senyum merekahnya.
"Tanpa sepatah kata pun, ku hanya bisa melempar senyum."
Aku mengerti, tanpa kamu beri alasan. Sejak waktu itu, sudut ini menjadi tempat favoritku merawat nostalgia. Merawat ingatanku tentang sesiapa kamu, meskipun tidak banyak yang bisa ku ingat. Hanya senyum dan lamunmu di balik jendela kala itu.
Kita duduk bersebelahan. Kamu menatap tepat pada balik jendela, dan aku menatapmu. Aku tidak mengerti apa yang kamu lamunkan, hingga senyum terukir di wajahmu. Satu hal yang aku mengerti, menatapmu membuatku tersenyum tersipu.
"Ehem ehem... awas minggir jok ! Satu Cappucino hangat untuk perempuan paling spesial hari ini." Kata pak bos.
"Punyaku mana pak bos, masak cuma satu."
"Susah jok, susah. Pelanginya ketutup hujan." Ucap pak bos seraya menggoda.
Kamu pun tertawa, dan aku merasa lega. Paling tidak kalau kamu pergi, nanti. Tidak hanya senyum yang akan menjadi nostalgia, tapi tawa.
🂠🂠ðŸ‚Waktu terus berjalan, namun tidak ada kata bosan. Kamu di sampingku, ku terdiam membisu. Tidak banyak kata dariku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum tersipu.
Saat kamu bicara, aku terdiam. Saat kamu diam, aku berusaha membuatmu bicara. Aku hanya tidak ingin jika kamu tidak mengatakan apapun. Tenang saja, kalaupun kamu membicarakan hal yang tidak masuk akal, aku akan jadi orang pertama yang akan setia mendengar.
"Kring kring kring... ." Telepon berdering.
"Sepertinya telepon kamu berbunyi sinta." Kata ku seraya menunjuk tas di atas meja.
"Iya engga apa-apa mas Joko... ." Ucap Sinta.
"Tapi Sinta, siapa tahu itu penting."
Aku berusaha menjadi pria dewasa disini. Maksudku, aku ingin Sinta menjawab telepon itu, bagaimanapun juga aku butuh sedikit waktu untuk merancang topik selanjutnya. Aku tidak ingin terlihat bodoh, paling tidak...kamu beranggapan jika aku satu-satunya pria yang pantas kamu ajak bicara. "Ah, sial kau Joko, plak."
"Engga apa-apa mas joko ! Aku selalu berfikir, berbicara sambil bertatapan selalu lebih baik." Ucap Sinta seraya tersenyum.
Aku pun terdiam, mencoba menatapmu lebih dalam. Satu hal yang aku dapati darimu, hangat. Kamu terlalu hangat untuk ku lewatkan. Caramu berpikir membuatku mengerti satu hal, apa aku cukup baik untuk menjadi Rahwanamu. Nyatanya aku tidak ahli, maksudku hanya kamu satu-satunya.
🂠🂠ðŸ‚Kamu tertawa, aku pun terseyum. Kita saling bicara. Tidak terasa hujan pun reda. Aku tidak ingin mengakhiri percakapan kita. Namun aku tidak memaksamu juga. Aku harus mengerti, kamu punya duniamu yang harus kamu jalani. Satu hal yang bisa aku janjikan, menjaga kenangan ini.
Aku akan merawat ingatanku, tentang sesiapa kamu. Tentang perbincangan kita, dan secangkir cappucino yang menjadi saksinya.
"Udah larut nih mas, balik yuk." Kata Sinta.
"Oh... Iya ngga kerasa udah hampir tengah malam. Jadi kita beneran balik nih Sinta."
"Iya, beneran mas Joko... ." Ucap sinta seraya menyesap tetesan terakhir pada cappucino itu.
"Oke... Aku antar ya Sinta."
Ini momen yang paling aku tunggu-tunggu, akhirnya aku tidak kedinginan lagi di perjalanan pulang. "Oh Damn it... beruntungnya kau joko, plak plak."
"Terima kasih mas joko, aku engga enak sama bibi, biar aku pulang sendiri."
Biar aku pulang sendiri. Aku tidak mengerti maksudnya. Apa ini penolakan. Atau mungkin semacam pernyataan singkat, jikalau aku teramat menjijikkan. Sial, kenapa aku malah menuduh yang tidak-tidak, "oh maafkan abang Sinta."
"Aku ingin baik-baik saja disini, engga buat bibi khawatir. Kalau mas Joko ingin mengantar, antar Sinta pulang."
"Oh... Iya Sinta, aku antar sampai depan kalau gitu."
Seraya berjalan, aku berpikir tentang maksud Sinta yang barusan. Tanpa sadar jemariku menyentuh tangan Sinta. Saat itu juga uluh hatiku terhenti, terasa sesak, seakan terjebak dan terombang-ambing pada samudra, namun membekas rasa bahagia. Sinta menatapku, dan aku berpikir itu tatapan terakhir darinya. Hanya pasrah yang tersisa, dan kebodohan ku sebagai pria.
Aku pun mengerti, tanpa kata permisi, seorang pria tidak seharusnya melakukan hal bodoh, meskipun hanya sekedar berjabat tangan.
"Sin... maaf ya, ak aku... ."
"Apaan mas Joko... ! Udah engga apa-apa." Potong Sinta.
"Tapi Sin... !"
Aku hanya ingin memastikan ini baik-baik saja. Aku tidak ingin kebodohanku membuat Sinta enggan menemuiku lagi.
"Tapi apa... ! Udah ah, kasihan tuh abang ojek nungguin."
Diam. Aku hanya diam, mengisyaratkan semua baik-baik saja. Dan nyatanya semua emang baik-baik saja.
"Sampai jumpa lagi." Ucap Sinta seraya tersenyum.
Mendengar kata sederhana itu, muka ku memerah dengan senyum merekah. Tidak banyak yang kuucapkan, hanya mantra sederhana.
"Semoga semesta memberkatimu, dari malam hingga turunnya kabut."
Description: "Ijinkan aku menjadi rahwanaku sendiri".
Rahwana. Sosok pria sejati yang rela memperjuangkan cintanya dengan bertaruh nyawa. Dan aku, ingin menjadi sosok rahwana. Mencitaimu dengan kesederhanaan ku.
ðŸ‚
Tidak banyak yang ku janjikan, namun aku pastikan sesiapa pun yang hanyut dalam puisi ini, akan berandai-andai menjadi sosok Rahwana. Bahkan perempuan liar pun ingin menjadi sosok Sinta.
selamat senyum-senyum sendiri ðŸ‚
|
Title: RINDU DALAM DIAM
Category: Puisi
Text:
PUISI RINDU
By: Hesti Sheey
Detik memang terus berjalan
Seribu bahasa aku terdiam
Meratapi malam-malam
Di bawah sinar rembulan
Detik masih terus berjalan
Aku tak melangkah pasti
Merindukan, namun tak mengerti
Siapakah yang ku rindukan?
Detik berjalan tiada henti
Air mata ini menandakan, Aku kalah
Kalah menahan cinta, dan Aku menyerah
Bukan dia cinta sejati..
Kini detik sudah berganti menit
Apakah aku harus berganti hati
Bukan dia cinta mati
Siap tak siap aku menahan pahit
Cinta dalam kesendirian
Rindu tiada yang tahu
Untuk apa aku menahan
Sungguh, rindu ini yang tahu...
Aku berusaha berhenti
Tak ingin mengharapkannya lagi
Namun hati ini mengerti
Aku tak bisa berpura-pura lagi
Seandainya Kau tahu..
Aku sendirian menahan rindu
Tak ada satupun yang tahu
Tak mungkin tahu, Rindu...
Hei.. kau yang disana..
Coba dengarkan bisikan hatiku
Rasakan lagi...
Rasakan lagi...
Angin, sudahkah kau bisikkan cinta?
Untuknya yang mungkin bersandiwara
Aku tak berpura-pura
Cinta inilah cinta yang sebenarnya..
Aku tak tahu dirinya..
Bertemu pun tak pernah
Apalagi untuk bertanya
Yang bisa ku lakukan hanya Marah...
Marah, mengapa dia tak merasakan
Rasa yang sama, Rindu..
Salahkah rindu ini
Untuk seseorang yang tak di mengerti
Bisikan lagi... Cintaku padanya, Angin...
Aku ingin dia hadir dalam hatiku..
Mengajaknya berbaur rindu
Dalam alunan cinta yang berlagu....
Menghapus Penantian
by : Hesti Sheey
Aku yang hanya bisa berdiri menantimu
Tak kuat berdiri, maka aku duduk
Duduk pun aku tetap menantimu
Lelah duduk, aku pun berbaring
Berbaring dan terus menantimu
Tak terasa pula mata ini ikut terpejam
Saat terpejam pun aku menantimu
Merasakan bahwa kau hadir disisiku
Bersamaku, menemani penantianku...
Penantian tetaplah penantian
Panjang, singkat entah berapapun lamanya
Aku akan setia menantimu..
Hal mustahil memang jika dibayangkan
Aku dan kau bertemu dalam satu waktu
Tapi keinginanku yang kuat menutup segalanya..
Segala yang nyata dan berlogika
Segala yang jernih dan berakal sehat
Bahkan segala yang memang benar adanya...
Aku terdiam dalam penantian panjangku
Dan masih terpejam dalam perasaanku
Aku seperti terbawa oleh dunia khayalanku...
Ingin rasanya sadar, namun tak bisa
tak pernah rasanya aku bahagia kala mengingatmu
Kaulah, bahagiaku dan mungkin ini yang terakhir...
Masih terpejam mataku
Dalam rasa semu dengan radar kuat
Aku inginkanmu, hadirlah walau hanya dalam mimpi...
Andai kau tahu, rasa ini sudah tak terbendung lagi
Menantimu adalah harapan semu ku yang mustahil
Jika kau mengerti, kau takkan seperti ini...
Tuhanku mengerti, sudah berjuta-juta kali
Selalu namamu yang ku sebut
Selalu kehadiranmu yang ku nanti-nanti
Biarlah kini, ku pejamkan mataku
Sampai mimpi datang membawamu
Dan menghapus segala penantian....
Rindu Yang Sempat Terhenti
by : Hesti Sheey
Dari sudut mana aku tak mengindahkan mu?
Duhai Kau bagai gerimis kecil di malam hari..
Rasa yang pernah sirna tetapi kini tumbuh lagi
Berkembang karena adanya cinta yang di nanti..
Entah harus beberapa kali 'tuk mencoba
Menghilangkan jejakmu yang telah membekas dihati..
Sungguh gerimis kecil semakin menjadi
di kala ku tangisi Kau karena rindu...
Malam pun semakin menjadi
Saat bintang dan bulan bersembunyi tak kembali
Duhai Kau yang selalu ku rindukan..
Apakah sama merindukan ku?
Sudah terlalu sering hari-hariku terisi dengan jejak yang lain..
Entah kenapa hanya jejakmu yang membekas dihati..
Pernah sekali, ketika ku t'lah bosan dengan penantian ini..
Berusaha 'tuk hilangkan jejakmu dan menutupinya dengan hati yang lain..
Percayalah... Usahaku sia-sia..
Usahaku tak berguna..
Pada nyatanya hati ini masih terkunci rapat 'tuk Mengunci jejakmu..
Haruskah Aku bertanya juga pada semesta?
Apakah dihatimu ada sedikit dari jejakku walau tersembunyi..
Sungguh hanya Sang Maha cinta yang mengetahui segalanya..
Dan hanya Dia lah yang akan mengakhiri segala jejak dihati ini..
Satu pesan ku untukmu, Wahai gerimis kecil dimalam hariku..
Percayalah... suatu saat jika kau memilihku juga..
Hanya jejakmu yang selalu dihati..
Hanya rasa yang tersembunyi ini yang selalu terkunci..
Tak ada satupun yang mampu membawanya pergi apalagi lari..
Tetaplah jadi gerimis kecilku, tetaplah ada di malam hariku..
Walaupun Aku terlelap tak menyadari,
Namun ku yakin..
Jejakmu akan selalu mengitari dan berkeliling kemana hatiku pergi..
Hingga malam ini larut dan berubah menjadi pagi..
Duhai Kau yang ku rindu dan akan tetap selalu merindu â¤
Description: Rindu bagaikan tulisan tanpa lagu, jarak lah yang memisahkannya.
Apalagi Rindu sendirian, bukan lagi jarak, namun diam pun sudah menjadi pemisah...
Andaikan bukan jarak dan waktu yang jadi pemicunya, aku yakin adakah orang yang percaya bahwa rindu adalah hal yang indah 'tuk di lalui bersama? ðŸƒâœˆâœˆðŸ’Ÿ
|
Title: Rain in memories
Category: Teenlit
Text:
Prolog
Hari mulai suram, awan kelabu mulai menyebar di langit yang biru. Vivi memandang anak laki-laki itu dengan berat hati, menahan tangisan dan isakan supaya anak laki-laki itu tidak meninggalkannya. Anak laki-laki itu membalas tatapan vivi dengan merasa bersalah, karena akan pergi dari sisi anak perempuan yang selalu bersamanya selama dua minggu.
"Apakah kau akan kembali ke Indonesia?" Tanya Vivi dengan berharap.
"Aku akan kembali ke sini." Janji anak laki-laki itu sambil tersenyum lemas. Anak laki-laki itu menatap langit yang mulai suram itu, menandakan akan hujan. "Hujan jadi saksi janji yang ku buat untuk mu."
Vivi menatap hujan yang turun dari langit itu dengan seksama, berharap hujan akan menutupi air matanya.
"Lakukan lagi yuk." Seru anak laki-laki itu sambil mengangkat tangan kecil Vivi, menampung air hujan bersama untuk terakhir kali. Beberapa menit kemudian, anak laki-laki itu menarik Vivi ke dalam pelukannya. "Aku menyayangi mu, Vivi." Bisikan lembut di telinga Vivi.
"Aku juga menyayangi mu."
Bab I ~pertemuan~
"Cepat datang ke sekolah!"
Vivi mengabaikan temannya dan meletakkan ponselnya di atas meja rias sambil mengikat rambut panjangnya dan merapiin meja riasnya.
"Hallo? Vi, lo masih di sana kan?"
Vivi mengambil ponselnya dengan geram dan membalasnya dengan pertanyaan. "Ada apa?" Vivi mendengar temannya di sana berseru girang membuatnya jengkel.
"Datang ke sini, Vi." Desak temannya dan kembali berseru kegirangan. Vivi menatap jam dinding, menunjukkan bahwa baru jam enam kurang sepuluh menit membuat Vivi berengut kesal.
"Vi, cepat. Jangan sampai lo gak liat ni." Desak temannya lagi.
"Gue datang jam tujuh aja." Balas Vivi dan turun ke bawah, sarapan bersama kedua orangtuanya.
"Vi... please. Come to school now..." temannya memohon Vivi supaya ia datang ke sekolah sekarang. "Ntar kalo lo nanti marah karna gue gak suruh lo datang lebih awal jangan salahin gue." Ancam temannya di sudut sana.
Vivi hanya diam, menandakan bahwa ia tidak pengaruh dengan ancaman temannya. Vivi baru melahap satu sendok bubur ayamnya ketika desakan di telponnya mulai lagi.
"Cepetan Vi..." Desak temannya menjadi-jadi. "Lo nyesel loh kali gak datang sekarang."
"Gak mempan." Balas Vivi tak terpengaruh perkataan temannya.
"Cepetan lah..." Mohon temannya di sudut sana. "Please..."
Vivi menghela nafasnya dengan kuat dan membalas singkat perkataan temannya. "Otw." Kata Vivi dan menutup percakapannya dan keluar menuju sekolah.
###
Vivi baru menginjak kakinya menuju kawasan sekolah ketika Vivi merasakan tepukan di bahunya. Vivi menoleh dan memasang wajah kesalnya ke temannya.
"Hallo..." Sapa sahabatnya dengan manis.
"Napain lo suruh gue datang ke sini lebih awal?" Pertanyaan yang wajar, Vivi memang tidak datang ke sekolah lebih cepat karena ia tidak mau di kerumuin siswa yang menunjukkan niatnya.
"Sorry" kata pertama yang di dengar Vivi. Sekali lagi Vivi menhela nafasnya dan menuju kelasnya ketika tangannya di tahan temannya.
"Mau ke mana?" Pertanyaan kurang masuk akal, ya ke kelas lah, masa mau ke neraka. Tapi Vivi menahan dirinya supaya tidak mengatakannya dan menatap temannya yang kebingungan.
"Kelas."
"Owh." Temannya menatap ke arah lain dan berseru kegirangan yang tidak di mengerti Vivi. "Vivi, liat."
Vivi mengikuti tatapan temannya dan melihat beberapa siswa yang tidak di kenalnya di sekolah ini.
"Lo tau hari ini ada murid dari Amrik selama pergantian pelajar?" Tanya temannya bersemangat. "Ganteng-ganteng semua."
Vivi langsung memasang muka cemberut sementara temannya sengar-sengir gak jelas.
"Kelas dulu." Tampa menunggu jawaban temannya, Vivi langsung beranjak pergi tampa menghiraukan teriakan temannya supaya tetap di sana.
Vivi baru sampai di kelasnya ketika langkahnya berhenti, pandangannya menuju pintu kelas yang tertempel sebuah surat peringatan. Tampa tau maksud peringatan itu, Vivi mengambil kertas tersebut dan memasukan ke tong sampah.
"Jangan masuk dulu dunks." Seru seseorang di dalam ruangan tampa memperlihatkan wujudnya.
"Terserah." Balas Vivi dingin membuat orang yang berseru tadi memperliatkan batang hidungnya.
"Vivi?"
"Ya???" Tanpa izin, laki-laki itu menarik Vivi ke dalam kelasnya dan menemui murid pergantian dari Amrik.
Merasa harus memperkenalkan mereka, Rio mengambil ahli percakapan antara mereka. "Perkenalan dia Willy Alexandra, dan Willy dia..." Rio menatap Vivi dan tersenyum manis kepadanya. "Vivi Annathasya, cewek paling terpintar dan tercantik."
Willy hanya tersenyum geli ketika mendengar perkataan Rio kepadanya. Willy menatap cewek itu sambil mengerutkan keningnya. Tampak familier, tapi Willy mengabaikan apa yang barusan di pikirnya dan mengulurkan tangannya, berjabat tangan sebagai perkenalan.
Vivi memandang tangan Willy dan mengerutkan hidungnya, tapi ia tetap membalas jabatan tangan Willy.
"Bisa dia di sini bentar, Vi?"
Vivi memandang Rio yang tersenyum manis ke arahnya sambil mengangkat bahunya sedikit dan berjalan menuju mejanya.
"Cewek yang termanis bukan?" Goda Willy sambil berbisik ke arah Rio ketika Vivi menjauhi mereka.
"Paling termanis." Mendengan jawaban teman barunya, Willy langsung tertawa geli ketika mendengarnya. Ketika suara mikrofon terdengar dimana-mana, mengatakan bahwa murid pergantian pelajar dari Amrik harap mengumpul di lapangan segera. Willy berpamitan dengan Rio dan melesat menuju lapangan.
Bab II ~kebetulan?~
Bel berbunyi, tetapi Vivi tidak memiliki nafsu makan membuatnya tetap di kelas saat istirahat. Musik jepang mulai mengayun di telinganya sambil memandang rintikan hujan ketika Vivi merasa ada yang mengenggolnya. Mengikuti pandangan temannya, Vivi melihat Willy yang melangkah masuk ke kelasnya.
"Lo di kelas mana?" Tanya Rio kepada Willy.
"Ipa 1." Vivi mengerut hidungnya ketika mendengarnya, kalo masuk jurusan ipa, kenapa dia ada di jurusan ips?
"Ganteng sekali." Bisik temannya dari sebelah. Vivi mengabaikan temannya dan lanjut mendengar musik.
Vivi terkejut ketika temannya menguncang tubuhnya sambil tersenyum girang. Vivi menoleh ke arah lain, Willy mulai mendekati mereka.
"Hay." Sapa manis Willy.
"Hay juga." Sekali lagi, Vivi mengabaikan temannya yang terus sengar-sengir gak jelas. "Ada apa, Will?"
Fia terkejut ketika Willy meletak minuman cokelat panas di meja Vivi sambil tersenyum. "Buatmu."
"Thanks." Setelah mendapat senyuman Vivi, Willy langsung beranjak pergi dari meja Vivi. Baru lima langkah Willy beranjak pergi, Fia langsung mulai heboh.
"Lo kenal, Vi?" Tanya Fia girang. "Dia yang paling ganteng!"
Sebelum Vivi membalas perkataan Fia, mereka mendengar seseorang berseru kepada Willy.
"Willy." Sapa manis Mia, membuat Fia jengkel.
"Gatal sekali cewek itu." Sungut Fia.
"Kalo gatal, ya di garuk."
"Ya, garuk pake golok."
Vivi hanya bisa pasrah mendengar celoteh Fia tentang Mia, murid pergantian dari Amrik yang masuk ke kelas mereka.
Seisi kelas merasa terganggu dengan sikap manis Mia kepada Willy. "Willy, temenin aku yuk ke kantin." Ajak Mia manis.
Semua orang menatap Mia dengan tatapan pergi-seorang-lah, -dasar-manja.
"Gue masih ada urusan sama Willy." Jawab Rio tidak senang. Mia mulai cemberut dan pergi dari kelas.
"Cewek tu emang menggatal." Fia mulai menjelek-jelekin Mia. "Vi, lo harus bergerak cepat, kalo tak Mia pasti mau rebut Willy ganteng dari lo."
Vivi mulai bosan mendengar perkataan Fia dan beranjak pergi dari kelas sambil membawa minuman cokelat pemberian Willy.
###
"Vi, lo kenapa?" Tanya fia ketika melihat wajah sayu mulai terlihat di wajah Vivi. Vivi tidak menjawab, melainkan menatap rintikan hujan yang turun dengan indah.
"Karna Alex?" Tebak Fia. Vivi memandang temannya itu dan menunduk kepalanya.
"Lo masih menunggu cowok yang bernama Alex, Vi?"
Vivi mengangguk singkat dan lanjut memandangi hujan. Fia tentu tau bahwa cowok yang bernama Alex itu adalah sahabat masa kecil Vivi selama dua minggu.
"Lo gak ingat nama lengkapnya apa, Vi?" Tanya Fia sekali lagi. Vivi menggelengkan kepalanya, dia memang tidak ingat nama lengkap sahabatnya itu, tapi dia ingat bahwa ia memanggil sahabatnya itu dengan nama Alex.
Fia memandangi Vivi yang mulai menampung air hujan itu dengan tatapan menerawang, mengingat masa kecilnya bersama Alex yang selalu menampung air hujan bersama.
###
"Lo dengar gak yang gue cakap?" Tanya Rio kepada Willy.
"Apa?"
"Lo gak mendengarkan apa yang gue bilang." Sungut Rio. Willy menatap hujan yang turun dengan berirama itu dengan berat hati, kenangan masa kecilnya mulai mengayun di kepalanya pada saat ia berlibur di Indonesia 10 tahun yang lalu.
###
"Anna, hujan lagi." Seru Willy kecil sambil mengandeng tangan seorang gadis kecil.
"Hujan, Alex." Kata gadis kecil itu kepada Willy.
Hujan mulai turun dengan lebat membuat mereka tambah girang. "Tampung!" Seru Willy kecil dan mulai menampung air hujan dengan tangannya.
"Tampung!" Gadis kecil itu balas berseru kepada Willy.
"Alex!"
Willy kecil langsung menoleh dan melihat Anna kecil mulai bermain hujan sehingga tubuhnya basah kuyut.
"Anna, nanti kamu sakit." Khawatir Willy kecil dan mengajak Anna untuk berteduh. Anna menarik tangan Willy, mengajaknya bermain hujan bersama-sama.
"Alex, dingin."
Willy langsung menoleh dan melihat Anna mengigil karena kedinginan. Tampa izin Anna, Willy langsung memeluk Anna, menghangatkan tubuh kecil Anna.
"Hangat." Gumam Anna dalam pelukan Willy. Setelah melepaskan pelukannya, Anna berlari dan mandi hujan lagi membuat Willy gelisa.
"Rintik-rintik air, hujan mulai turun. Kita mandi hujan, terus masuk angin. Tampung-tampung air, main air hujan. Selesai mandi hujan, kita langsung demam. Hujan, hujan, teruslah turun. Hujan, hujan, mari bermain." Nyanyian Anna sambil tersenyum membuat Willy tersipu.
"Lagu siapa itu, Anna?"
"Buat sendiri." Anna terus bermain hujan dan mengajak Willy ikut bernyanyi.
###
"Lagu apa tu?" Tanya Rio heran membuat Willy menyadari bahwa ia menyanyikan lagu buatan Anna.
"Lagu yang di buat sahabat masa kecilku dulu."
"Owh, Mia ya?"
"Bukan, sebelum Mia." Jawab Willy membuat Rio semakin heran.
"Emangnya lo pernah bersahabat dengan seseorang sebelum Mia?" Tanya Rio lagi. Willy mengangguk dan lanjut menatap hujan. Willy menuju jendela kelas dan membukanya. Tangannya terangkat menuju luar ruangan, menampung air hujan dengan tangannya.
###
"Awas aja lo, Rio." Sungut Mia jengkel. "Emang kenapa kalo gue minta temen sama Willy?"
Mia terus berjalan sambil mengerutu sendiri ketika ia melihat Willy yang menampung air hujan dari lantai dua.
"Willy." Panggil Mia manis. Mia mengerutkan hidungnya, ia melihat Vivi di lantai dasar yang sedang menampung air hujan. Bukan itu masalahnya, masalahnya air hujan yang di tampung Willy jatuh dan di tampung kembali oleh Vivi. Entah hanya kebetulan, tetapi Mia membencinya. Willy hanya milik Mia seorang dan itulah faktanya. Mia berjalan menuju kelasnya dan mulai merencanakan rencana supaya Willy tetap miliknya.
Bab III ~Penasaran~
Bel menandakan pulang sudah berbunyi, tetapi Willy hanya menatap rintikan hujan yang turun sambil menunggu supirnya menjemputnya. Di lain waktu, Vivi menatap Willy yang membelakangi itu dengan heran, kenapa dia belum pulang pada hal udah jam pulang kan?
"Belum pulang?" Tanya Vivi dan mendekati Willy.
"Belum, tunggu di jemput." Jawab Willy dan lanjut menatap rintikan hujan.
Vivi ikut menatap rintikan hujan, mengingat kenangan masa kecilnya bersama sahabat masa kecil yang bermain dengannya selama dua minggu.
"Mau nebeng gue?" Ajak Vivi. "Gue bawa mobil, jadi kita gak kena hujan."
Ragu sejenak, mau terima segan, mau nolak segan juga. Willy terus menatap Vivi dan memikirkan ajakannya, tidak mungkin kan aku menolaknya padahal dia sudah berbaik hati karena sudah menawarkannya bukan?
Willy mengangguk, Vivi dan Willy berjalan berdampingan menuju pakiran dan masuk ke dalam mobil Vivi.
"Alamat lo, Jalan?" Tanya Vivi setelah mobilnya melesat pergi.
Willy mengambil ponselnya, celaka, ponselnya mati padahal ia tidak hapal alamatnya. Yang lebih membuatnya panik, Vivi terus menatapnya sekilas, menunggu jawaban.
"Ponselku mati," Ragu untuk mengatakannya, takut Vivi akan menuruninya di jalanan membuat Willy mengatakannya dengan hati-hati. "Dan aku tidak hapal alamatku."
Nafas Willy tertahan ketika Vivi menghentikan mobilnya. Tidak! Pekik Willy dalam hati, dia akan menuruniku di sini, ditempat yang tidak ku ketahui!
Vivi menatap Willy sekilas, menghela nafas dan melanjutkan perjalanan mereka. Terima kasih tuhan, syukur Willy dan memejamkan matanya.
"Jadi gimana aku bisa pulang?" Gumam Willy pasrah.
"Lo ke rumah gue, telpon bokap atau nyokap lo jemput lo di rumah gue. Nanti gue kasih pinjam charger gue." Saran Vivi dan dibalas anggukan Willy.
###
Setelah sampai di rumah Vivi, Willy diam mematung ketika Vivi naik ke lantai dua untuk mengambil charger. Mata Willy menjelajahi rumah Vivi yang besar itu dengan seksama, kok tampak familier?
"Teman Vivi?"
Pandangan Willy beralih ke pertanyaan seseorang. "Iya, nte." Jawab Willy gugup. Mata wanita itu membesar ketika melihat Willy membuat Willy penasaran. Apa dia mengenalku?
Mungkin lebih sopannya lagi, Willy harus memperkenalkan dirinya bukan? Willy mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan dirinya.
"Perkenalkan nama saya..."
"Willy Alexandra." Sambung ibunya Vivi sambil tersenyum dan membalas jabatan tangan Willy. Heran, bagaimana ibunya tahu namaku? Willy bertanya pada dirinya sendiri.
"Murid dari Amrik kan, pergantian pelajar." Ibu Vivi menjawab pertanyaan Willy.
Heran lagi, apa ibu Vivi cenayang? Willy menghapus pemikirannya yang tidak masuk akal itu sambil tersenyum kepada ibu Vivi. Willy menoleh dan melihat seorang laki-laki datang menghampiri mereka.
Entah kenapa, Willy merasa bahwa mereka mengenalinya. Pria itu melebarkan matanya dan tersenyum manis.
"Willy Alexandra?"
Penuh kejutan banget bukan? Willy bertanya-tanya apa mereka mengenalnya, kok tahu namaku?
Untunglah Vivi turun dari lantai dua dan menghampiri mereka sambil membawa charger. Vivi menyerahkan chargernya kepada Willy.
"Bisa?" Tanya Vivi ketika Willy terdiam, bukan mengisi baterainya dengan charger. Oh tidak, tampa disadari charger Vivi rusak.
"Pake ponsel gue aja." Saran Vivi dan menyerahkan ponselnya.
Beberapa menit setelah Willy menelpon seseorang, Mereka mendengar suara seseorang memanggil nama Willy. "Mom, dad." Sapa Willy manis kepada kedua orang tuanya.
"Ponselmu kok gak aktif?" Tanya ibunya khawatir.
"Habis baterai."
Vivi hanya diam, melihat adegan kecil itu dengan tahan tawa, sang ibu dengan nada khawatir menanyakan kenapa putranya tidak bisa di hubungi.
Bonyok Willy menatap Vivi dengan heran, detik kemudian mata mereka membulat karena melebarkan mata mereka membuat Willy mengerutkan keningnya.
Menunggu Willy memperkenalkan Vivi, Willy mengambil ahli percakapan. "Mom, dad, perkenalkan namanya..."
"Vivi Annathasya." Serentak bonyok Willy menyambung kalimat Willy.
Bisa gila aku lama-lama, pikir Willy sambil memijat pelipisnya.
"Pulang dulu ya." Kata Willy kepada Vivi. "Terima kasih karena menolongiku."
"Sama-sama." Jawab Vivi dan mengantar Willy bersama bonyoknya.
###
"Willy, ada apa?" Tanya ayahnya dengan cemas melihat putranya yang diam menatap hujan dengan menerawang.
Willy mengelengkan kepalanya dan menghela nafas. Beberapa menit kemudian, mereka sudah sampai di apartemen mereka. Willy menatap taman kecil itu sambil tersenyum manis, mengingat seorang gadis kecil yang bersembunyi di tempat seluncuran ketika Willy datang berlibur di Indonesia, sahabat masa kecilnya yang berharga.
###
"Willy ada apa?" Tanya ayahnya heran melihat anak laki-lakinya menatap taman itu dengan penasaran. Willy kecil hanya diam dan langsung mengeleng kepalanya.
Willy kecil menatap taman itu dengan seksama, bukan karena tamannya indah, tetapi ada seorang gadis kecil bersembunyi ditempat seluncuran dan menatap ke arah keluarga Willy.
Willy kecil diam-diam mendekati gadis kecil itu ketika bersembunyi di seluncuran. Gadis kecil itu berteriak ketika Willy mendekatinya dan memegang tangannya.
"Hay, mau jadi teman seperjuangku?" Ajak Willy kecil. Gadis kecil itu menatap Willy sejenak lalu mengangguk pelan.
Bab IV~sengaja~
"Willy, i'm so bored." Rengek Mia.
"Why?" Tanya Willy heran.
"Because you always ignore me."
Willy terdiam mendengar perkataan Mia. Rio yang mendengarnya mulai jengkel ketika Mia mulai rengek kepada Willy.
"Will, kantin yuk." Ajak Rio, muak karena Mia terus lengket kepada Willy.
"Let go." Willy mendorong bahu Rio pelan dan menuju kantin.
"Seingat gue, gue gak ajak lo?" Tanya Rio heran ketika Mia mengikuti mereka.
"I want together with Willy." Balas Mia jengkel.
"Indonesian, ok. We're now live in indonesian!" Rio mengingatkan Mia. "Not in american."
"I know." Jawab Mia kesal karena Rio terus menerus mengoreksinya.
"Kalo mau adu mulut jangan kat sini." Sungut Fia.
Mia langsung menyeret Willy dan keluar dari kelas. Rio mengikuti Mia dan Willy dan menggumam tidak jelas.
"Dasar cewek gatal." Vivi hanya diam dan terus membaca bukunya.
"Jalang." Vivi terkejut mendengar perkataan Fia.
"Gak boleh gitu, Fia." Nasehat Vivi. Cewek yang baru saja dikatain Fia nongol di kelasnya bersama Willy dan Rio.
"Vi, gue tadi liat cewek gatal loh." Suara toa Fia terdengar seluruh isi kelas. "Jalang betul."
Vivi kembali terkejut mendengar perkataan Fia. "Fia, gak boleh kayak gitu." Vivi kembali menasehati Fia.
"Biar gue eja." Kata Fia kepada Vivi. Vivi tidak mengerti membuat Fia melanjutkan perkataannya.
"Jaa la-lang, jaa la-lang..." Eja Fia membuat Vivi heran. "Belalang."
Mendengar itu Vivi langsung tertawa lepas mendengar apa yang di eja Fia. "Balek ke TK lah lo." Saran Vivi setengah tertawa.
"Pintar kan gue." Puji Fia pada dirinya.
Mia langsung memelototi Fia dengan tajam. "Lebih baik jangan mengoreksi orang terlebih dahulu. Belum tentu kan lo lebih baik dari orang lain." Saran Mia tajam.
"Suka gue lah." Balas Fia sama tajamnya. "Mulut, mulut gue."
"Sudah kalian berdua adu mulut?" Tanya Vivi geram mendengar perdebatan Fia dan Mia. Mereka hanya merengut kesal dan kembali ke aktivitas masing-masing. Willy mendekati Vivi sambil memegang minuman cokelat panas.
"Buat mu." Sebelum Willy memberikan minumannya, Mia sengaja tersandung membuat minumannya jatuh.
"Maaf." Panik Willy ketika minumannya tumpah ke tubuh Vivi.
"Vi, lo gak pa-pa." Tanya Fia sama panik. Seisi kelas langsung heboh ketika melihatnya.
"Gak pa-pa." Jawab Vivi pelan.
"Willy." Seru Mia sambil memegang pergelangan kakinya membuat Willy berpaling ke arah Mia.
"Kamu tidak apa-apa, Mia?" Tanya Willy ceman membuat Mia senang.
"Sakit." Mia menunjuk pergelangan kakinya. Fia dengan jengkelnya tetap membawa Vivi ke UKS.
###
"Emang setan tu cewek!" Sungut Fia setelah membawa Vivi ke UKS.
"Yang kena gue, lo pula yang marah." Vivi ikut-ikutan bersungut.
"Gue kan temen lo." Balas Fia. "Kalo lo kenapa-napa gimana."
Vivi senang ketika Fia mencemaskannya. "Gue gak pa-pa, Fia." Vivi menenangkan Fia.
Tampa ketuk pintu, Willy membuka pintu UKS perempuan dan menyeburkan pertanyaannya. "Vi, kamu tidak ap..." Belum ia menyelesaikan kalimatnya, ia langsung keluar dan menutup pintu rapat-rapat.
"Oi!" Seru Fia tiba-tiba membuat Willy terkejut. "LAIN. KALI. TU. KETUK. PINTU. SEBELUM. MASUK." Fia menekankan kalimatnya membuat Willy mengangguk dan mengajaknya masuk ke ruangan dan menemui Vivi.
"Are you ok?" Tanya Willy cemas.
"-b aja."
Fia memandang Vivi dan memutuskan untuk bertanya. "Jadi lo gimana, Vi?"
Vivi menoleh ke arah Fia, menunggu kelanjutan. "Masa lo cuma pake tank top." Vivi menoleh ke arah tubuhnya dan mengangkat bahunya.
"Gue gak masalah kalo cuma pake tank top"
Willy melepaskan mantel tebalnya dan memberikan kepada Vivi, "pakai aja."
Tampa mengatakan apa-apa, Willy langsung keluar kelas.
Description: Vivi Annathasya, sambil memandang hujan yang turun dengan berirama. Mengingat kenangan masa kecilnya membuatnya ingin menangis, walau ia tau anak laki-laki itu akan kembali ke Indonesia hanya untuknya, ia akan tetap menunggu laki-laki itu.
Willy Alexandra, menatap hujan itu dengan seksama, mengingat janji yang sudah ia buat untuk seorang gadis yang mengisi liburannya selama dua minggu di Indonesia membuatnya ingin bertemu dengan gadis itu segera.
Takdir mempertemukan mereka di Indonesia, Willy, murid pergantian pelajar dari Amrik selama satu Tahun di sekolah Vivi. dan Vivi, siswi populer di sekolahnya yang sudah membuat Willy nyaman ketika di dekatnya.
|
Title: Rampai Khayalan Kirana Amarana
Category: Fantasi
Text:
Bayangkan...
Bayangkan sebuah semesta bayangan Nusantara
Bayangkan rampai cerita yang tergugah budaya
Bayangkan jagat khayal yang terasa nyata
Kini, bayangkan...
Rampai Khayalan Kirana Amarana
Selamat datang dalam sebuah jagat khayal yang tergugah oleh manusia, masyarakat, adat, dan budaya Nusantara. Di dalam kumpulan kisah khayal ini, terdapat cerita mengenai penari cahaya yang diperbudak oleh desanya, masyarakat bahari yang diberi kemampuan berjalan di atas permukaan oleh dewa asap dari Hutan Laut, seorang bocah yang berteman dengan makhluk seram yang menelan kakaknya, seniman-seniman dirasuki Roh Seni demi menciptakan mahakarya mereka, seorang pemuda yang menyendiri di bawah sebuah pohon yang bisa hujan, sebuah rambutan yang ingin terbang seperti elang di angkasa, dan macam-macam cerita lainnya.
Meskipun tidak berhubungan secara langsung, kisah-kisah khayal ini berlatar di berbagai wilayah dalam sebuah dunia bernama Tanowe dan juga pada berbagai masa yang dinamakan Kalarupa, yaitu sebuah penanda jaman dan loka dalam garis sejarah Tanowe.
Maka dari itu, penulis mengajak pembaca untuk menemukan hubungan di antara benang-benang cerita yang dipakai dalam menenun semua kisah yang tergambarkan pada rampai ini.
Penulis mempersembahkan Rampai Khayalan Kirana Amarana sebagai persembahan cinta terhadap Nusantara yang senantiasa menggemburkan rasa takjub penulis dengan guyuran nilai-nilai budaya dan keindahan jagatnya. Harapan penulis adalah para pembaca pun dapat terbawa napas dan suasana yang sepenuhnya khayalan, namun akrab di hati.
Maka rampai khayalan ini diperuntukkan bagi para orangtua yang ingin punya dongeng untuk anaknya, atau anak-anak muda yang ingin bacaan ringan untuk senyum-senyum sendiri, atau siapapun yang ingin merasakan pesona berkhayal.
Mari berjalan dalam khayalan,
AndarA
penulis
Description: Rampai Khayalan Kirana Amarana adalah kumpulan kisah khayal yang tergugah oleh manusia, alam, dan budaya Nusantara yang ditulis oleh AndarA dalam Studio Amarana.
Unggahan ini adalah pengantara untuk rampai khayalan itu.
Dalam pekan-pekan ke depan, saya akan mengunggah cerpen-cerpen dari rampai tersebut yang berjudul “Pohon Penghujan”, “Galeo diburu Ikan Raksasa”, “Perangkap Kirana”, “Utan Rambutan”, “Cayasukma”, “Tapak Air”, dan “Gagarasuk”. Lalu, saya akan mulai mengunggah novel berjudul “Marangka, Asal-Muasal Sepucuk Bungan Bangkai”.
Gambar-gambar dan catatan mengenai kisah-kisah ini dapat dilihat di IG: @studioamarana
Selamat membaca!
AndarA
penulis
|
Title: Re:Earth
Category: Fantasi
Text:
Virus
Apa yang menyebabkan manusia bisa mendominasi mahluk-mahluk lain di bumi? karna manusia lebih pintar dan bisa bekerja sama daripada mahluk-mahluk lain? lalu, bagaimana jika hewan-hewan di bumi tiba-tiba memiliki kepintaran dan kerja sama yang melebihi manusia?
Di tahun 2XXX sebuah meteor besar jatuh ke bumi, membawa Virus- virus aneh dari ruang angksa yang menyebar di atmosfer bumi sebelum menghantam bumi.
virus yang tersebar di atmosfer kemudian jatuh ke daratan dan lautan
entah bagaimana, Virus itu membuat hewan dan tumbuhan berevolisi dengan sangat cepat, membuat mereka memiliki kepintaran hampir sama dengan manusia bahkan melebihi manusia.
para ilmuan menyebut kejadian itu dengan "Re:Earth" atau "Virus Re:Earth".
tapi ada hal yang membuat para ilmuan bingung, yaitu "bagaimana bisa hewan dan tumbuhan berevolusi dengan cepat karna Virus itu sedangkan manusia tidak mengalami apapun?". setelah seluruh ilmuan di dunia bekerja sama untuk mencari tahu hal ini selama satu tahun, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa manusia sudah sampai pada titik akhir evolusi yang membuat manusia tidak dapat berevolusi lagi.
sayangnya, dalam satu tahun itu, hewan dan tumbuhan sudah berevolusi sepenuhnya. dengan pintarnya mereka, pola pikir mereka berubah.
tumbuhan yang mencari makan dengan berfotosintesis mulai merubah makananya dengan hewan dan serangga seperti "venus penangkap lalat".
para primata merampas peralatan dan mempelajarinya dari manusia, dan mereka mulai berpikir untuk melawan balik manusia yang membakar rumah mereka untuk dijadikan lahan pertanian,ikan-ikan kecil mulai mengembangkan kemampuan kamuflase, dan ikan-ikan sedang cukup pintar untuk membedakan umpan pancing dengan mangsa mereka,sedangkan ikan besar seperti hiu, paus, dan lumba-lumba mulai memangsa hewan darat dan udara, tidak terkecuali manusia.
10 tahun setelah "Re:Earth", manusia di ambang kehancuran.
hewan dan tumbuhan berevolusi lebih dari 'kepintaran', tapi juga dari anatomi mereka, beberapa ikan dan tumbuhan memiliki kaki dan tangan layaknya manusia, sementara yang lainya memiliki tubuh yang kuat dan kemampuan super.
di saat umat manusia dilanda keputus asaan, seorang ilmuan dari indonesia bernama 'budi' mendapatkan sebuah ide berlian dan menyampaikanya di pertamuan para ilmuan.
dia berkata, "jika manusia tidak bisa berevolusi lagi karena telah sampai pada batas evolusi, kenapa tidak kita buat saja manusia melewati batasanya?".
idenyapun di setujui oleh ilmuan lainya.
singkat cerita, setelah ratusan kali percobaan, ratusan kali gagal, akhirnya, mereka berhasil menemukan sebuah cara untuk membuat manusia bisa melewati batasanya, yaitu dengan menyuntikan virus Re;Earth ke tubuh manusia.
cara ini hanya bisa dilakukan pada tubuh anak kecil, tetapi hanya 40% kemungkinan tubuh anak kecil bisa menerima virus Re:earth dan membuat tubuh mereka melewati batas evolusi, jika tubuh mereka tidak dapat menerima virus ini, kematianlah tempat mereka.
orang-orang yang berhasil melewati batas evolusinya itu disebut "Evolutioner"
apakah cerita ini berakhir begitu saja?
"tidak"
cerita ini baru saja dimulai.
Description: Di tahun 2XXX sebuah meteor jatuh ke bumi, tepatnya di kutub utara membawa mikro organisme2x aneh dari ruang angkasa yang membuat Hewan dan tumbuhan memiliki kecerdasan hampir sama seperti manusia bahkan melebihi.
|
Title: Rasa Yang Tak Diharapkan
Category: Teenlit
Text:
Perkenalan
Siang yang sangat panas aku terbangun dari tidur,maklum ga bisa bangun pagi karena Insomnia !
Aku bergumam...? "ga biasanya siang ini begitu sangat panas !",dan kuteguk air tuk menghilangkan dahagaku. "ahhhh segarnya begitu kata yang terucap di dalam hatiku" setelah itu ku nyalakan sebatang rokok begitu nikmatinya seakan tak ingin rokok itu cepat habis.
Hari itu berlalu tanpa aku sadari terus berlanjut monoton tak ada yang istimewa dari hari yang terus berganti semua sama ga ada bedanya.
Waktu menunjukkan pukul 3 pagi aku masih terjaga,aku berkata dalam hati coba buka Facebook,mulailah kubaca satu persatu status yang muncul di berandaku tanpa kasih like sekalipun.tiba-tiba tanganku berhenti dan mataku tertuju pada sebuah akun teman yg di sarankan,aku lihat profilnya dan fotonya,aku iseng add.
Oh iya namaku Agus,aku adalah pria yang biasa saja,cuma anak kampung yang ingin menikmati hidup ini tanpa dipersulit keadaan.
Setelah sepekan ku buka Facebook lagi kulihat pada pemberitauan bahwa Dia Menkonfirmasi,ucapkan salam pada temen baru Anda begitu ucapan yang tertera pada pemberitauan itu,
Aku kirim pesan hey salam kenal pada Dia tak begitu lama Dia membalas hey salam kenal juga.
Oh iya teman Facebookku ini namanya Indri.
Selang beberapa hari kami sering chat dan tak terasa kami sudah akrab.
Kita memutuskan untuk melanjutkan obrolan lewat WA,pastinya aku yang meminta WA'nya,biar lebih gampang komunikasinya itu Alibiku.
Yang jelas semakin hari semakin kami sering komunikasi entah itu VC atau cuma chat.
Aku menyadari semenjak aku kenal Dia hari-hariku kayak ada yang berubah dan aku menikmati perubahan itu,tak terasa sudah 3 bulan kita cuma komunikasi lewat Hp,aku mencoba memberanikan diri untuk mengajak bertemu,dan Dia setuju,alangkah senangnya aku waktu Dia mau.
Singkat cerita kami pun memutuskan tempat,jam dan hari apa untuk bertemu,setelah bertemu aku lihat Dia dari ujung rambut sampai ujung kaki tak ada yang lepas dari pandanganku ternyata Dia begitu cantik dari pada yang ada di foto,Dia bilang kepadaku bahwa Dia sudah bersuami,dan Dia berkata bahwa aku akan menyesal karena tau kalau Dia sudah berkeluarga,aku menjawab kalau buat teman aku ga pilih-pilih,semua bisa jadi temenku ga harus yang ini atau yang itu semua bebas bisa jadi temenku,betapa sungguh jujurnya Dia mau berterus terang ku hargai itu,
Hari berlanjut kita lebih sering berkomunikasi,dan Dia lebih sering menghubungi aku dari pada aku yang menghubungi Dia,maklum aku berfikir Dia sudah berkeluarga makanya aku ga serius-serius amat.
Semua berjalan begitu saja tanpa ada perasaan atau rasa yang salah tapi setelah aku rasa-rasa kayak ada rasa yang entah aku pun tak tau itu,aku mencoba mencari tau apa yang aku rasakan dan ga menemukan masalah perasaanku yang sekilas menggangguku itu.karena setiap kita ngobrol Dia selalu berkeluh kisah tentang suaminya,Dia bilang tidak mencintai suaminya,Dia cuma korban seperti Siti Nurbaya di kehidupan yang sudah maju ini,Dia selalu sharing dari hal terkecil sampai yang terbesar semua itu tentang suaminya yang tidak pernah Ia cintai,aku cuma jadi tempat curahan isi hatinya yg udah lama Dia pendam,aku hanya bisa jadi pendengar yang baik dan mencoba untuk mensuport Dia.
Aku menganggap Dia teman Dumay yang nyata tapi tak nyata.lebih khususnya Konco Ason Itu adalah istilah orang jawa yang mengenal orang tapi tidak mengenal lebih jauh lagi,hanya sebatas kenal saja.begitulah aku mengartikan pertemanan dengan Dia.
Dan aku ga mau ambil pusing aku jalani saja seperti air mengalir,dan terus menikmati hidupku.
Description: Mereka menjalani kisah yang sangat indah bagi mereka,itu anggapan mereka tapi yang jelas mereka sungguh menikmati kisah itu. kebahagian seperti Surga yang mereka harapkan,seakan mereka itu adalah penghuni Nereka yang mendambakan Surga,bukan salah mereka itu hal yang pasti untuk arti kebahagiaan yang di inginkan. kebahagiaan yang kekal abadi yang tak akan pernah hilang bahkan musnah !
|
Title: Remember
Category: Cerita Pendek
Text:
Meet You Again?
Ting… Ting… Ting… Ting… Ting…
Aku mendengar suara melodi itu diantara angin yang berhembus menerbangkan dedaunan yang mulai gugur, entah dari mana suara itu berasal seakan daun daun itulah yang sedang bernyanyi. Aku merapatkan jaketku, udara mulai mendingin pertanda musim dingin akan segera tiba. Aku menutup mata mencoba kembali menikmati lagu yang dinyanyikan oleh angin dan sang daun.
Ting… Ting… Ting… Tong… Ting… Tong…
Ada yang aneh, benakku berbicara kepada diriku, menyadarkan diriku bahwa aku tidak lagi sedang mendengarkan suara musik di tengah angin musim gugur. Aku membuka mata perlahan dan semuanya kembali kepada keadaan semula.
Plak! Sekali pukulan yang cukup keras mendarat di atas bahuku, tapi aku tidak marah karena aku tahu siapa yang berani memukulku di jam aku tidur.
“Janice! Apa kau akan terus menerus tidur di dalam kelas!”
Aku mengangkat kepalaku yang aku baringkan di atas meja, “Apa salahnya jika aku tidur di kelas?” tanyaku kepada Bee, sahabatku sejak kecil, aku tidak yakin juga akan hal itu, tapi itulah yang orang-orang katakan dan aku hanya mengiyakan saja, sebelumnya semuanya menjadi urusan yang panjang.
Bee langsung mengambil tempat duduk disebelahku dan ia mulai mengoceh kembali.
“Kau selalu saja datang satu jam atau tiga puluh menit lebih awal, tapi yang kau lakukan hanyalah tidur, mengapa kau tidak tidur di rumah saja? Bukankah itu lebih nyaman?” aku tidak menjawab Bee, aku hanya memberinya senyuman kecil.
Aku suka mendengar setiap ocehan Bee, ia selalu punya cerita dan aku sama sekali tidak pernah bosan mendengarnya. Aku pernah berpikir apakah Bee punya kemampuan mengandakan dirinya sehingga ia bisa mengetahui berbagai kisah dari berbagai tempat.
“Aku dengar hari ini kita akan kedatangan mahasiswa baru!”
Aku sepertinya lupa memberitahu bahwa aku dan Bee adalah mahasiswa jurusan perpustakaan di salah satu universitas negeri di Indonesia.
“Mahasiswa baru? Di kelas kita?”
Bee mengangguk kecil.
“Kita sudah tingkat dua dan dia bisa masuk langsung begitu saja ke tingkat dua?”
Bee mengaruk kepalanya yang tidak gatal, “aku juga tidak tahu untuk hal itu. Sepertinya informasi yang aku dapatkan kurang lengkap, aku akan segera mencari tahu akan hal itu!”
“Bee!” belum sempat aku menghentikannya gadis yang senang mengikat rambutnya menjadi ekor kuda itu sudah melesat pergi meninggal ruangan dan kini aku kembali sendiri di kelas. Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum kelas di mulai, akupun kembali mencoba memejamkan mata, berusaha kembali kepada mimpiku sebelumnya. Aku ingin mendengarnya lagi, suara lembut musik angin musim gugur itu.
Aku belum cukup memejamkan mata hingga akhirnya seseorang kembali membangunkan aku, kali ini orang itu hanya menyentuh lembut bahuku dan aku tahu bahwa orang ini pasti bukan Bee. Wajahku pasti masih terlihat mengantuk dan baru bangun tidur, tapi aku memang baru bangun tidur bukan? Atau lebih tepatnya dibangunkan dari tidur.
“I am sorry, but can I ask you something?”
Mahasiswa asing? Aku sedang sangat malas berbicara sekarang ini, apalagi harus berbicara bahasa inggris. Ini semua karena orang ini aku sama sekali tidak bisa kembali kepada mimpiku.
“Yes, of course.”
“Mr. Duno’s class, do you know where is it?”
“Mr Duno?” Aku sebenarnya tidak yakin menanyakan pertanyaan itu untuk dirinya atau diriku yang masih belum bisa dikatakan sadar sepenuhnya.
“Here! Mr. Duno’s class.” Aku belum sempat menjawab dan Bee ternyata sudah berteriak dari depan pintu, tapi itu bukan masalah untukku karena dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan tenaga untuk menjawab pertanyaan orang itu.
“Oh! Really? Okay! Thank you.” Orang itu membalas Bee dengan ramah dan aku yakin sekarang Bee sudah melayang di langit ke tujuh. Jika aku perkiraanku benar orang ini adalah mahasiswa baru yang dibicarakan oleh Bee tadi dan orang itu bisa dikatakan cukup tampan dan untuk Bee orang tadi pasti sudah sangat tampan.
“Janice!!! Aku tidak menyangka kau sudah mengambil start duluan sebelum aku!” Bee terlihat merajuk.
“Aku tidak menyuruhmu langsung melesat pergi seperti tadi.”
“Akukan sedang mencari informasi, kemarilah.” Bee menyuruhku mendekat ke arahnya, aku yakin ia ingin membisikan sesuatu tentang orang itu.
“Mengapa tidak bicara saja? Lagipula dia juga tidak terlihat mengerti bahasa Indonesia.”
Plak!
“Ouch!” aku mengeluh kesakitan karena pukulan Bee di lenganku, walaupun seorang wanita Bee adalah wanita yang kuat karena pukulannya sangat menyakitkan.
“Walaupun dia tidak mengerti dia sudah ada di kelas ini, bagaimana aku bisa berbicara dengan terang-terangan seperti itu!” aku sedikit heran dengan temanku yang satu ini karena tanpa ia sadari ia juga sudah berbicara terang-terangan mengenai orang itu sekarang.
“Baiklah,” akupun mendekatkan ke arah Bee.
“Dia adalah orang Korea, ia sedang melakukan pertukaran pelajar dan namanya adalah Lee Sung Jae. Dia sangat tampan, bukan?”
Aku menoleh kebelakang dan melihat orang itu sekali lagi, lalu kembali menoleh ke arah Bee.
“Mengapa ia memilih Indonesia untuk menjadi tempat pertukaran pelajar?”
Bee mengangkat bahunya, “Entahlah, tidak ada informasi mengenai hal itu, aku yakin itu adalah alasan pribadi, jadinya aku tidak mengetahuinya dengan cepat.”
Baiklah, aku sudah menyenangkan Bee dengan mendengarkan ceritanya dan waktu tidurku juga sudah habis karena dosen yang mengajar sudah masuk ke dalam kelas dan kelas pun segera dimulai. Aku menunggu jam makan siang untuk tiba sehingga aku bisa kembali tidur.
Walaupun aku sangat suka tidur, tapi aku sama sekali tidak pernah tidur selama kelas berlangsung. Aku bukan orang yang akan membuang uang kuliahku dengan percuma tanpa mendapatkan apapun di dalam kelas ini. Ditambah lagi jurusan yang aku pilih bukanlah jurusan yang banyak diminati oleh banyak orang, bahkan bisa saja ada orang yang tidak tahu mengenai jurusan perpustakaan karena masih sangat jarang kampus di Indonesia yang mempunyai jurusan satu ini.
“Selamat pagi anak-anak, sebelum kita memulai kelas ini aku ingin mengenalkan kalian dengan teman baru kalian selama tiga bulan ke depan. Sung Jae silakan maju ke depan dan memperkenalkan dirimu.”
What? Ya, aku berteriak dalam hati karena tidak mungkin aku berteriak di tengah kelas ini, ternyata anak baru itu mengerti bahasa Indonesia dan ia sebelumnya mengangguku dengan berlagak menggunakan bahasa inggris!
Pesona orang itu cukup menyihir semua mata anak di kelas ini untuk terus memandanginya dari ia masih di bangku hingga ia sudah maju ke depan.
“Hello, everyone, my name is Lee Sung Jae, you can call me Sung Jae. Nice to meet you.”
Kalian tahu apa yang ada dibenakku? Orang ini nampak tampan, namun apakah wajahnya adalah asli? Atau ia sudah pernah melakukan operasi plastik? Bukannya aku ingin menjugde seseorang, namun Korea tentunya tidak bisa lepas dari ciri khas orang-orang yang melakukan operasi plastik, bukan?
“Baiklah, kau bisa kembali duduk dan sekarang kita akan mulai kelas kita.”
“Dia mengerti bahasa Indonesia, tapi ia tidak berbicara dengan bahasa Indonesia?” bisikku kepada Bee.
Bee yang asik dengan handphone yang ia sembunyikan di balik mejanya menjawabku tanpa menatapku sama sekali. “Ia memang mengerti bahasa Indonesia, tapi sulit baginya untuk mengucapkannya, karena itu ia lebih memilih menjawabnya dengan menggunakan bahasa inggris.”
Aku mengangguk kecil, Bee memang benar-benar seorang informan yang handal. Aku tidak mengerti mengapa ia tidak masuk ke dalam Badan Intelejen Negara saja? Aku yakin bakatnya itu akan lebih berguna di sana.
“Apa kau sedang berpikir bahwa aku cocok masuk dalam Badan Intelejen Negara?” tanya Bee yang masih fokus pada handphonenya namun cukup mengejutkan karena ia bisa membaca apa yang aku pikirkan.
“Tentu saja tidak, jika kau masuk BIN aku yakin kampus ini akan kehilangan informannya yang sangat berharga.”
Aku tidak melanjutkan percakapanku dengan Bee lagi karena dosen sudah mulai mengajarkan materi hari ini. Hanya satu jam. Kelas ini berakhir cukup cepat ternyata, dosen hanya menjelaskan beberapa hal penting dan membiarkan kami untuk pulang cepat agar bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, namun nampaknya anak-anak yang biasanya akan segera berlari keluar malah tetap diam tinggal di kelas. Aku yakin magnet yang membuat mereka tetap di kelas adalah anak baru itu.
“Jadi, kau bisa mengerti bahasa Indonesia?”
“Yes, I can.”
“Tapi mengapa kau tidak menjawab dengan bahasa Indonesia juga?”
“it’s hard.”
Aku bisa mendengar percakapan mereka cukup jelas karena orang itu duduk hanya beberapa meja di belakangku.
“Sung Jae! It’s time to go!” semua mata menoleh ke arah datang suara yang berasal dari pintu kelas, di sana sudah berdiri seorang wanita muda dengan gaya rambut yang menurutku paling menarik perhatian semua orang. Kalian tahu Alice di dalam film twilight? Gaya rambutnya sama persis seperti itu dengan aksesoris serba hitam dan kelabu yang melekat di tubuhnya.
Aku bisa mendengar para gadis yang mulai ramai sendiri di belakang, aku yakin mereka sedang membicarakan apakah gadis itu adalah kekasihnya atau bukan dan bila memang ia adalah kekasihnya maka pasti akan banyak gadis yang patah hati. Begitulah kehidupan, pola yang terkadang sudah dapat kau lihat, terkadang sangat membosakan, bukan? Tapi itu semua tidak terlalu aku pikiran karena aku lebih memilih untuk kembali tidur hingga rencana itu digagalkan lagi oleh orang bernama Sung Jae itu!
Ia berjalan keluar melewati barisan bangku milikku, hingga saat ia berada tepat di samping bangku milikku, ia berdiri di sana, mengambil sesuatu di dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil lalu meletakannya di atas mejaku. Sontak semua mata dan suara terheran mulai ramai, tidak terkecuali Bee! Ia langsung berteriak histeris melihat apa yang baru saja terjadi, dan Sung Jae sama sekali tidak bertanggung jawab karena ia membiarkan aku terjebak dalam keributan ini sedangkan ia langsung melangkah keluar bersama temannya yang unik itu yang dari tadi sudah menunggu di depan pintu.
“Apa yang ia berikan kepadamu?” perhatianku langsung kembali kepada orang-orang yang sekarang sudah berada di sekitarku.
“Kau mengenalnya sebelumnya?”
“Cepatlah buka kotak itu! Aku penasaran dengan isi di dalamnya.”
“Kau sangat beruntung mendapatkan hadiah dari orang itu.”
Aku hanya menatap mereka tidak tahu harus menjawab apa dan Bee! Untuk saja ia ada di sana dan ia selalu siap untuk menolongku ketika aku berada dalam situasi yang di mana aku sama sekali tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Gerakannya sangat cepat, ia mengambil kotak itu dan dengan tangan satunya lagi ia langsung menarikku keluar dari bangku dan berlari keluar ruangan. Untung saja aku sudah merapikan semua barangku ke dalam tas sehingga tidak ada barangku yang tertinggal di dalam kelas.
“Bee!” setelah kami cukup jauh dari kelas aku melepaskan tanganku dari Bee dan membuatnya berhenti berlari. “Aku rasa kita sudah tidak perlu berlari lagi.”
Bee mengangguk setuju, ia masih berusaha mengatur nafasnya yang masih tersenggal-senggal karena berlari tadi dan tidak perlu waktu lama ia sudah berteriak histeris kembali.
“Wow! Kau lihat tadi! Aku merasa seperti berada di dalam sebuah film! Kau adalah artisnya dan aku sang manajer yang berusaha membawa pergi kau dari antara kerumuman paparazzi!”
“Kau menyukainya?”
Bee mengangguk lagi.
“Ini.” Ia mengulurkan kotak kecil yang tadi ia bawa. Aku hanya memandangi kotak itu dan tidak berniat untuk mengambilnya hingga akhirnya Bee menarik tanganku dan meletakannya di telapak tanganku. Aku hanya memberinya tatapan heran.
“Aku memang penasaran dengan isinya, tapi kaulah yang harus melihatnya terlebih dahulu, baru setelah itu kau menceritakan semuanya kepada diriku.”
Aku memegang kotak itu sekarang, kotak itu kecil dan berwarna hitam dengan tekstur yang lembut ketika kau menyentuhnya. Aku tidak menyadari bahwa kotak ini nampak begitu mewah, jika kalian terjebak dalam situasiku tadi aku sangat yakin kalian bahkan tidak bisa memikirkan apapun juga.
“Bagaimana jika aku tidak ingin membuka kotak ini?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku dan Bee yang mendengarnya langsung memasang wajah tidak mengerti.
“Are you crazy! Janice, come on! Seorang mahasiswa asing yang sudah menjadi idola kampus memberikanmu sebuah kotak yang penuh misteri ini dan kau tidak ingin membukanya?”
“Bagaimana jika di dalamnya berisi bom?”
Bee nampaknya sudah tidak tahan dengan rasa penasarannya akan kotak itu dan ditambah lagi dengan aku yang tidak berniat membukanya.
“Kalau begitu berikan saja padaku!” Bee mencoba mengambil kotak itu namun aku langsung menghindar dan langsung menjulurkan lidah meledek kepadanya.
“Jika aku sudah membukanya aku akan segera memberitahukannya kepadamu!” Aku pun mengatakan itu sambil berjalan mundur dan kemudian pergi meninggalkan Bee yang masih sedikit kesal di sana, tapi semua akan baik-baik saja bukan? Seperti aku dan Bee yang walau ada sedikit pertengkaran kami akan selalu kembali baik-baik saja. Jika aku membuka kotak ini apakah semuanya akan tetap baik-baik saja?
-1959-
Spicy - Angry
Kalian tahu musim apa yang paling aku sukai? Aku sangat menyukai musim dingin, apalagi jika salju sudah turun. Bagiku salju adalah sebuah keajaiban yang Tuhan ciptakan dengan begitu indah. Butiran putih selembut kapas yang memberikan sensasi yang unik ketika butiran itu menyentuh kulitmu.
Aku tidak tahu ini di mana, tapi aku sudah cukup senang ketika aku bisa berjalan di tengah salju. Aku menatap ke langit dan tersenyum bahagia, lihatlah jutaan butiran salju turun dari atas langit, mereka seperti malaikat-malaikat kecil yang turun dan memberi kebahagiaan.
“Aggashi!” ada suara dari belakang yang berteriak memanggil seseorang, setahuku itu ada bahasa korea untuk memanggil seorang gadis yang belum dikenal. Awalnya aku tidak menoleh dan menganggap bahwa seseorang itu memanggil orang lain, namun tidak ada orang lain di jalan ini, hanya ada aku dan hamparan salju.
“Aggashi!” suara itu datang lagi, aku menoleh perlahan ke belakang namun tidak ada siapa-siapa. Aku langsung membalikkan badanku sepenuhnya dan melihat sekitarku bahwa memang benar tidak ada siapa-siapa di sini.
“Soo Hyun Aggashi!”
Brukkk!
Aku membuka mataku terkejut, rasa berdebar masih sangat terasa olehku, aku menoleh ke bawah dan ternyata aku menjatuhkan bukuku di atas meja. Nampaknya aku tertidur ketika sedang membaca buku.
Mengapa belakang ini aku selalu bermimpi hal-hal aneh? Hal yang terakhir yang aku dengar adalah ia memanggil seseorang dengan nama Soo Hyun. Siapa Soo Hyun? Apakah ia adalah sosok yang nyata? Tapi mengapa ia harus berada di dalam mimpiku?
Ah! Sudahlah, itu bukan hal yang harus aku pikirkan. Aku merapikan buku di mejaku, mematikan lampu kamar dan pergi berbaring di atas kasur. Aku berbaring miring menghadap meja belajar yang memang tidak jauh dari kasurku dan memandangi kotak hitam pemberian anak baru itu. Aku sama sekali belum membukanya, tentu saja aku penasaran dengan isinya, namun ini sudah malam dan aku tidak ingin aku malah tidak bisa beristirahat hanya karena isi di dalam kotak itu. Aku pun membalikkan badanku membelakangi meja dan kemudian memejamkan mataku dan mencoba untuk kembali tidur.
Rasanya aku baru memejamkan mata sebentar namun alarmku sudah berbunyi dan membangunkan aku dari tidur.
Tok… Tok… Tok…
Ini masih pagi, tapi pintu kamarku sudah diketuk dengan cukup keras hingga bisa membangunkan seisi rumah. Aku langsung loncat dari kasurku dan membukakan pintu sebelum pintu itu akhirnya hancur.
“Tidak bisakah kau lebih pelan sedikit?” aku membiarkan Bee masuk ke dalam. Sudah jadi rutinitas biasa, Bee akan selalu datang ke rumahku pagi hari dan masuk ke kamarku menunggu aku bersiap untuk ke kampus bersama. Aku tidak tahu apakah Bee mendapatkan tidur yang cukup karena harus bangun lebih pagi untuk ke rumahku, aku juga tidak tahu mengapa ia selalu saja datang ke rumahku. Aku sudah mengatakan bahwa kami bisa berangkat bersama ketika memang sudah waktunya untuk berangkat, namun Bee tetap berkeras untuk selalu datang pagi-pagi sekali ke rumahku. Untung saja semua orang di rumahku sudah mengenal Bee, sehingga mereka juga tidak terlalu khawatir dan dengan bebas membiarkan Bee keluar masuk di rumahku.
Setiap ke kampus kami akan menggunakan mobil milik Bee, karena aku memang tidak bisa menyetir. Tidak ada yang special dari mobil Bee, mobilnya biasa saja seperti mobil mahasiswa pada umumnya. Satu-satunya yang menunjukkan bahwa mobil ini milik Bee ada pajangan di depan mobilnya yang berbentuk lebah dengan tulisan namanya Beetania Melody.
“Apa kau sudah membuka kotak itu?” tanya Bee sembari menyetir.
“Belum, aku belum sempat untuk membukanya.”
“Hmm,” Bee hanya mengangguk dan berguman kecil lalu membiarkan alunan musik dari radio mobil yang menemani kami selama perjalanan menuju ke kampus.
Sebenarnya ada untungnya jika Bee yang selalu datang pagi ke rumahku karena aku akan bisa mengatur kapan kami akan berangkat ke kampus dan aku tentunya selalu berangkat lebih awal karena dengan begitu aku bisa menikmati tidur di dalam kelas.
“Aku akan masuk kelas duluan,” ucapku melalui jendela mobil, kami sudah sampai di kampus dan Bee akan menurunkanku terlebih dahulu dan ia mencari parkir mobil, sehingga jam tidurku di kelas tidaklah terpotong.
“Kau sudah sampai?”
Sepertinya hari ini akan penuh kejutan lagi, anak baru itu bahkan sudah berdiri di depan pintu kelas. Aku tidak begitu menanggapi anak itu, aku hanya terus melangkah ke bangkuku dan ia juga mengikuti dari belakang.
“Apa kau sudah membuka kotak yang aku berikan?” tanyanya sembari duduk di meja di depanku.
Aku masih tidak menjawabnya dan hanya menatapnya saja.
Ia melambaikan tangannya di depan wajahku, “Apa kau baik-baik saja?”
“Bukankah kau tidak bisa berbicara bahasa Indonesia?” aku malah memberinya pertanyaan lagi daripada menjawab semua pertanyaannya tadi. Aku bisa melihat anak itu seeperti kebingungan mencari alasan sekarang.
“Aku mempelajarinya kemarin, bersama temanku yang kemarin.”
“Kurang dari 24 jam?”
Dia mengangguk pasti. Aku juga hanya membalas dengan mengangguk kecil.
“Kau ingin makan?”
“Apa?” aku benar-benar heran dengan anak ini karena setiap pertanyaan dan kelakukannya sangat mengejutkan dan sulit untuk bisa ditebak.
“Tada!” anak itu lagi-lagi mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan itu adalah sebuah kotak bekal.
“Ini,” ia memberikan kotak makan itu kepadaku.
Aku tertawa kecil, “Kau! Lee Sung Jae-ssi, sebenarnya kau itu siapa?”
“Aku tidak berniat jahat, aku hanya ingin berteman.” Ia membuat tanda peace dengan kedua jarinya. “Ini hanya niat baikku, aku bersungguh-sungguh.”
Aku tidak melihat ada tanda-tanda kejahatan dari dalam dirinya, namun pelaku kejahatan selalu bersikap baik, bukan? Entahlah, tapi rasanya hal itu tidak berlaku untuk dirinya. Aku melirik kotak makan itu dan membuka kotak itu. Daging sapi dengan salad di dalamnya.
“Kau menyukainya?”
“Aku tidak tahu, aku belum mencobanya.”
“Aku yakin kau akan menyukaiya.” Detik berikutnya ia sudah mengambil lagi kotak bekal itu, menutupnya dan mengocoknya seperti mengocok sebuah minuman, mungkin ia seorang bartender?
“ini,” ia kembali menyerahkan kotak itu dan membukanya. Kini isi makanan itu sudah tercampur semua menjadi satu.
“Di Korea ada makanan yang dikocok seperti itu juga.”
“Doshirak?” tanyaku sambil menyuapkan sendok ke dalam mulutku.
“Wow! Kau mengetahuinya?”
Tentu saja aku tahu, Bee adalah orang yang sangat menyukai Korea, mungkin hampir semua tentang Korea ia ketahui. Kali ini aku terselamatkan lagi oleh Bee, entah dengan keberadaannya secara langsung ataupun tidak.
“Bagaimana?” tanyanya lagi.
“Lumayan, apa kau yang membuatnya?”
Ia menggeleng, “Tidak, sam yang membuatnya.”
Sam?
“Sam, dia temanku, ia sangat suka memasak dan kemarin ia memberikan aku makanan ini.” Lanjutnya lagi.
Makanan kemarin? Jadi yang aku makan ini makanan kemarin?
“Kau memberikan aku makanan sisa?” tanyaku dengan nada kesal
“Bukan itu maksudku,” ia terlihat panik, “Sam’s Beef Spicy Salad ini aku sengaja khususkan untuk dirimu. Sam memang memasaknya kemarin dan aku tidak bisa langsung memberikanmu makanan ini langsung, karena itu aku hanya menyimpannya dan menghangatkannya kembali tadi malam.”
Aku hanya melipatkan tanganku di depan dada.
“Kau tidak percaya?”
Aku masih tidak menjawab
“Baiklah, ikut aku!” dengan cepat ia meraih tanganku dan langsung membawa aku lari keluar kelas, pergerakannya terlalu cepat hingga aku tidak bisa menghindar dan tiba-tiba saja aku sudah dibawanya ke tempat parkiran dan berada di depan mobil berwarna silver.
“Kau gila? Apa yang kau lakukan!” bentakku padanya dan aku mencoba untuk pergi, namun ia malah mengunciku dengan tangannya yang ia ulurkan ke badan mobilnya. Aku tidak akan bodoh dengan berbalik arah karena ia akan menggunakan tangannya yang satu lagi dan aku akan berada di posisi yang tidak bisa bergerak sama sekali dan itu adalah posisi yang berbahaya. Aku memilih mengubah posisiku dengan menghadap tepat di depannya.
“Kau harus ikut denganku, aku akan menunjukkanmu sesuatu.” Aku bisa melihat tatapannya terlihat begitu dalam dan sungguh-sungguh. Aku tidak tahu kalau matanya terlihat begitu indah, warna gelap matanya yang begitu dalam, bahkan aku bisa melihat diriku dari pantulan bola matanya. Nampaknya matanya sudah menyihirku karena tanpa sadar aku mengangguk patuh dan masuk ke dalam mobil.
Kami berkendara dalam diam, aku diam, dia juga tidak bersuara padahal sebelumnya ia terlihat sangat cerewet.
“Apa kau mengenalku sebelumnya?” tanyaku memecahkan keheningan yang sangat menyesakkan tadi.
“Menurutmu?”
“Aku tidak merasa pernah bertemu denganmu sebelumnya, namun kau bertingkah seolah-olah aku pernah bertemu denganmu sebelumnya. Apa aku mirip dengan seseorang yang sudah tidak ada lagi di dunia ini?”
“Hah?” ia kemudian tertawa, “Kau nampaknya terlalu banyak menonton drama dan membaca novel.”
Aku langsung menatap sinis dirinya, namun yang ia katakan memang benar. Aku sepertinya terlalu banyak menonton drama bersama Bee dan membaca novel romance.
“Kita sudah sampai.”
Kami berhenti di sebuah kompleks perumahan. Apa ini rumahnya?
“Welcome Sung Jae!” sambutan hangat langsung datang seseorang yang keluar rumah, seorang pria paruh baya yang masih bisa dibilang tampan walau dirambutnya ada beberapa helai rambut yang sudah berwarna putih.
“Uncle Sam?” aku berucap kecil, namun masih bisa terdengar oleh Sung Jae yang berada di sebelahku.
“Kau mengenalnya?”
“Aku hanya merasa mengenalnya, wajahnya nampak familiar.”
“Aku memang mengenalmu gadis kecil.” Orang itu mendekat. “Aku uncle Sam, sahabat ayahmu yang pernah mengajak kau berjalan-jalan ke Korea dulu.”
“Korea?”
“Uncle Sam!” Sung Jae langsung merangkul uncle sam dan mengalihkan pembicaraan. “Aku datang kemari karena aku ingin makan makanan paman.”
“Beef Spicy Salad? Bukankah aku baru memberikannya kepadamu kemarin?” tanya uncle sam heran.
“Tapi gadis yang bersamaku ingin memakannya langsung dari panggangan daripada yang sudah aku hangatkan.”
What! Aku tidak menyangka ia akan mengatakan hal seperti itu, aku benar-benar kehilangan muka sekarang!
“Kau benar! Kau sangat menyukai makananku, terlebih lagi Beef Spicy Salad itu. Aku akan menyiapkannya di dalam kotak makan sehingga kau bisa mengocoknya sebelum kau memakannya, seperti yang biasa kau lakukan.”
Ini aneh, ia berbicara seolah sudah mengenalku sejak lama dan mengetahui kebiasaan yang aku lakukan, “Apa kau mengenalku sebelumnya? Wajahmu memang terlihat familiar, namun semua yang kau katakana seolah-olah kau sudah mengenalku dengan sangat dekat. Mengapa hanya aku yang tidak bisa mengingatnya?”
Sung Jae menyentuh bahu dan aku refleks menghindar darinya
“Janice, tenanglah. Mungkin uncle Sam mengenalmu ketika kau masih sangat kecil dan saat itu bisa saja kau sangat menyukai beef buatan uncle Sam.”
“Saat aku kecil? Apakah mungkin ketika aku kecil aku memakan semua makanan yang tergolong berat itu!”
Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, aku juga tidak tahu mengapa sebenarnya aku marah dan entahlah rasanya mereka semua seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Semua keanehan yang ada membuat aku lelah karena aku merasa sepertinya aku satu-satunya orang bodoh di sini. Ini salahku, mengapa juga akhirnya aku mengikuti Sung Jae kemari, mengapa aku harus memakan makanan yang ia bawakan dan mengapa juga aku sampai bolos dari kelas! Itu dia! Aku tidak sadar bahwa aku sudah bolos dari kelas dan Bee! Aku sama sekali tidak ingat akan dia.
“Aku ingin kembali ke kampus sekarang!”
-1702-
Namsan Tower
Kelas sudah berakhir begitu aku kembali ke kelas, di dalam sana hanya ada segelintir anak dan Bee yang masih duduk di bangkunya.
“Janice! Kau pergi ke mana saja? Bagaimana bisa kau meninggalkan kelasmu? Kau tidak terlihat seperti Janice pada umumnya.” Bee sudah berucap panjang lebar dan aku sedang tidak berniat untuk menjawab semua pertanyaannya itu. Aku hanya menarik tangannya dan ia mengikuti aku sampai ke parkiran.
“Antar aku pulang, aku sangat lelah hari ini.”
Bee membulatkan matanya tidak percaya, “Kau tidak ingin kuliah hari ini? Kau sudah membolos di kelas pertama dan kau masih ingin membolos di kelas berikutnya?”
Oh! Bee! Kau membuatku makin kesal sekarang, aku tidak mengatakannya, tapi aku hanya menunjukkan dengan wajahku yang semakin kutekuk dan helaan nafas yang panjang dan berat. Bee cukup peka dengan hal itu sehingga ia langsung masuk ke dalam mobil dan mengantar aku sampai ke rumah.
“Apa kau yakin kau tidak apa-apa?” tanya Bee ketika kami sudah sampai di depan rumahku.
“Ya, aku hanya ingin tidur sekarang. Terima kasih untuk tumpangannya, kau bisa pergi sekarang.” Mungkin aku terlihat jahat dengan berkata begitu kepada Bee, namun sekarang aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Aku juga tidak tahu mengapa rasanya aku begitu kelas kepada Sung Jae yang terlihat penuh dengan misteri dan teka-teki. Hal yang paling membuat aku kesal adalah semua itu berhubungan dengan diriku dan rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang.
***
“Apa kau gila!” bentak seorang pria kepada Sung Jae di apartemennya.
“Aku hanya…” Sung Jae tidak melanjutkan kalimatnya.
Pria yang tidak terlihat terlalu berbeda umurnya itu terlihat kesal dengan Sung Jae, “Kau melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, apa kau tahu itu? Apa salahnya jika kau hanya menunggu sejenak?”
“Hyung (Kakak Lelaki), aku tahu aku salah dan aku tidak akan mengulangi hal itu lagi. Aku berjanji.”
Pria yang dipanggil kakak oleh Sung Jae menatap tajam kepadanya, “Kau yang mengatakan hal itu dan kau harus memegang ucapanmu itu.” Ia berucap lalu pergi meninggalkan Sung Jae yang mengusap wajahnya dengan kasar lalu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Sung Jae menatap langit-langit apartemennya.
“Apa yang harus aku lakuakan?” Sung Jae beranjak dari sofa dan hanya berkeliling di dalam apartemennya. Mulai dari ruang tamu, dapur, kamar, kamar mandi. Ia berkeliling di semua tempat itu hampir lima kali dan kali ini ia berhenti tepat dipintu balkon apartemennya. Ia membuka pintu itu dan beranjak keluar ke sana, langit sudah gelap dan lampu-lampu dari gedung-gedung lain mulai berpijar menyinari kegelapan malam yang pekat.
“Aku yakin kau membutuhkan cahaya yang bisa menuntunmu kembali, Soo Hyun ssi.” Ucapnya kepada diri sendiri.
***
Ini hari yang baru dan aku harus bisa menghadapi hari ini dengan lebih baik. Apa sebaiknya hari ini aku juga meminta maaf kepada Sung Jae? Aku merasa bahwa kemarin aku sudah sangat kelewatan karena marah kepadanya, lagipula sepenuhnya bukanlah salahnya, jika aku bisa kuat pada pendirianku untuk tidak ikut dengannya saat itu aku yakin ini semua tidak akan terjadi.
***
1… 2… 3…
1… 2… 3…
1… 2… 3…
Tarik nafas yang dalam dan semua akan baik-baik saja. Arrhhhh! Tidak ada gunanya! Aku masih saja gugup, apa yang harus aku katakan kepadanya nanti?
“Ada apa denganmu?” Bee bertanya sambil mengemudi
Aku mengeleng, “Tidak ada apa-apa.”
“Lalu, apa yang ada di dalam tas itu?” Bee menunjuk tas bekal yang aku pangku di kakiku, “Kau tidak biasanya membawa kotak bekal.”
Aku memutar otakku mencari alasan yang bagus namun aku tidak menemukannya.
“Sudah sampai!” Bee memberhentikan mobilnya di tempat biasa ia menurunkan aku. Segera mungkin aku keluar dari mobilnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan keluar dari mulut Bee.
“Sampai jumpa di kelas,” ucapku kepada Bee dan kemudian langsung berlari menuju kelas, tunggu! Untuk apa aku berlari? Aku segera menghentikan lariku perlahan dan mulai berjalan santai menuju kelas. Hari aku memakai kaos hitam tipis dengan cardigan yang juga tidak terlalu tebal diluarnya, namun aku masih merasa sangat kepanasan, peluh mulai menetes di keningku. Aku memutuskan untuk pergi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk merapikan diriku.
Ayolah, Jan! Kau hanya perlu meminta maaf dan memberikannya kotak ini sebagai permintaan maafmu dan setelah itu semua akan kembali normal. Jika perkiraanku benar, hari ini ia pasti juga sudah datang lebih awal dan dengan begitu aku akan lebih leluasa berbicara kepadanya karena tidak akan ada anak-anak lain yang melihat hal itu.
Aku naik ke atas, lantai 3 di mana kelas tentang manajemen perpustaakn akan berlangsung satu jam lagi. Jika ada yang berpikir bahwa jurusan perpustakaan hanyalah membaca novel dan buku lainnya, kalian salah! Jurusan perpustakaan juga belajar mengenai susuan dan perpustakaan itu sendiri, belajar pengaturannya, entah itu dari sisi buku maupun dari segi software yang akan digunakan. Peluang pekerjaan dari jurusan ini juga bukan hanya menjadi seorang pustakawan, menjadi sekretaris juga bisa, aku punya kakak kelas yang menjadi sekretaris di sebuah perusahaan besar.
Aku sengaja menlangkah pelan dan melihat sekitar dan ternyata pintu kelasku sudah terbuka, itu berarti sudah ada orang yang datang dan aku harap itu dia.
“Sung Jae,” ya, dengan berani aku menyapanya dari depan pintu dan ia menoleh. Hari ini dia memakai kemeja yang cukup memberi bentuk pada lengannya yang berotot, baiklah kau harus fokus Janice!
Aku melangkah dengan senyum semanis mungkin dan ketika berada tepat di depan mejanya aku mengulurkan tas bekal yang aku bawa. “Ini, aku minta maaf untuk kemarin.”
1 detik, 2 detik, 3 detik, aku tidak merasa ia mengambil tas yang aku ulurkan. Aku pun dengan berani melihat ke arahnya dan ia sedang tersenyum geli ke arahku. Apa yang salah denganku? Sepertinya ini rencana yang buruk, aku hanya mempermalukan diriku sendiri di hadapannya.
“Duduklah,” ia menarik tanganku dan dengan sekali gerakan yang mulus ia sudah membuat aku duduk di bangku sebelahnya kemudian ia mengambil tas bekal yang masih aku pegang.
“Kau yang membuatnya?” ia mulai membukanya dan ketika ia membuka kotaknya ia memandangin kotak itu untuk beberapa saat.
“Jangan melihat bentuknya yang tidak bagus, aku pikir rasanya akan berbeda dengan bentuknya.”
Ia kembali tersenyum, jika ia terus melakukan hal itu aku benar-benar takut jika aku akhirnya malah jatuh cinta dengan senyumannya itu.
No!!! Janice! Sadarlah! Apa yang baru saja kau pikirkan!
“Baiklah, akan aku coba.”
“Bagaimana? Rasanya mungkin tidak seenak buatan uncle Sam, tapi aku mencoba membuatnya semirip mungkin.”
Ya, aku memang memasak Spicy Beef Salad seperti yang dibawakan olehnya kemarin. Aku tidak bermaksud untuk mengungkit hal kemarin lagi, aku hanya kehabisan ide ingin memberikan apa sebagai permintaan maafku dan hanya makanan itu yang terlihat dalam pikiranku.
“Rasanya lumayan, namun ada satu yang kurang-“ ia mengantungkan ucapannya dan ia malah menutup kembali kotak bekal itu.
“Kau ingin mengocok kotak bekal itu?” tanyaku bersemangat, “berikan padaku, aku yang akan mengocoknya.” Aku tidak tahu apa yang merasukiku, namun aku langsung mengambil kotak bekal itu dari dirinya dan mulai mengocoknya seperti yang ia lakukan kemarin dan rasanya sangat menyenangkan.
Aku tidak sadar bahwa aku sudah menghabiskan 30 menit berbicara dengan dirinya dan begitu ada anak lain yang datang aku segera berdiri dari bangku dan hendak pergi ke bangku di depan, sebelum aku benar-benar beranjak Sung Jae memberikan sebuah kertas, ternyata itu adalah surat undangan.
“Aku harap kau bisa datang, aku membuat pesta kecil-kecilan di rumahku, anak satu kelas juga aku undang. Jadi kau sebaiknya juga datang.”
Aku hanya memberinya anggukan kecil lalu segera pergi menuju meja di mana aku biasanya duduk.
Aku tidak tahu apakah aku harus ikut pesta ini atau tidak, tapi jika Bee tahu pasti Bee akan memaksa aku untuk ikut. Baiklah, jika Bee memang ingin pergi aku akan pergi juga untuk menemani Bee.
***
“Aku sangat senang Sung Jae membuat pesta ini! Aku sangat gugup untuk masuk ke dalam apartemenya.” Bee sangat bersemangat mengikuti pesta hari ini bahkan ia tidak berhenti mengoceh sejak di dalam mobil.
Kami menaiki lift dan menuju lantai 10, begitu sampai kami langsung mencari kamar no 15, kamar itu berada dipaling pojok dari lorong itu. Langsung masuk saja, itu yang tertulis di depan pintu itu, jadi kami langsung masuk dan di dalam sudah ramai oleh anak-anak lain yang sedang asik mengobrol atau sedang asik makan makanan yang sudah disediakan.
“Selamat datang,” Sung Jae menyambut kami berdua yang baru masuk, tuan rumah yang baik. “Aku senang kalian bisa datang, aku harap kalian bisa menikmati pesta yang ada.”
Aku dan Bee mengangguk kecil dan Bee langsung menarikku untuk berkeliling apartemen Sung Jae yang rapi dan bersih. Kami juga sempat menccoba beberapa makanan dan ikut mengobrol dengan beberapa orang. Bee yang sudah mulai asik dengan anak yang lain membuat aku akhirnya bisa menarik diri darinya dan kemudian duduk di salah satu sofa yang ada di sana. sebenarnya berada di kerumunan banyak orang ini membuat aku sedikit pusing dan tidak bertenaga.
“Kau baik-baik saja?” Sung Jae datang dengan membawakan segelas soda yang ia berikan untukku.
“Tentu, hanya sedikit sesak saja di sini.”
“Kau ingin menghirup udara segar?”
Aku belum sempat menjawabnya dan Sung Jae sudah menarik tanganku mengikutinya keluar menuju teras balkon dari apartemen ini. Aku sempat tertawa begitu sampai di balkonnya.
“Kau merindukan Korea?” itu pertanyaan yang aku lontarkan begitu melihat apa yang ada di teras balkonnya.
Teras balkon apartemen Sung Jae cukup luas dengan dibatasi oleh pagar hitam yang sekarang sudah dihiasi oleh beragam bentuk gembok cinta, pemandangan ini sangat tidak asing lagi bagiku, ini sama seperti yang ada di Namsan Tower.
“Apa kau menyukainya?” tanya Sung Jae yang sudah berdiri di ujung pagar sedangkan aku berada di ujung satunya.
“Hmm, sepertinya, rasanya seperti kau benar-benar berada di Korea dan sedang berdiri di menara Namsan Tower.” Aku bersandar kepada besi pembatas, menutup mataku dan menikmati angin yang menerpa wajahku. Rasanya ini tidak asing, rasanya aku pernah merasakan hal ini, perasaan senang yang hangat walaupun udara yang menerpa kulitmu dingin.
Aku membuka mataku dan tiba-tiba saja aku merasa pusing, aku menoleh ke arah Sung Jae berdiri, pandanganku mulai kabur rasanya karena aku bahkan melihat Sung Jae seperti menjadi banyak. Aku berpegangan pada besi pembatas
“Apa yang terjadi?”
Soo Hyun! Soo Hyun! ! Soo Hyun! ! Soo Hyun! Aku mendengar suara itu berkali-kali. Siapa itu Soo Hyun? Aku mendengarnya dalam mimpiku waktu itu dan sekarang suaranya terasa begitu nyata dan semua menjadi gelap.
-1664-
It is too dark
Aku berada di tempat asing lagi sekarang ini, kadang menyenangkan namun kadang juga sangat melelahkan karena kau harus berada di tempat asing yang tidak kau ketahui dan sekarang yang aku rasakan adalah benar-benar lelah. Aku bersandar di dinding putih di sebuah lorong putih bersih, kakiku rasanya lemas hingga aku perlahan turun dan duduk bersandar di dinding itu. Bau tempat ini rasanya tidak asing, tercium bau alcohol dan obat-obatan yang cukup menyengat. Aku rasa aku sedang berada di sebuah rumah sakit, tapi di mana dan mengapa aku sama sekali tidak tahu.
“Berikan jalan! Segera siapkan ruang operasi, dan segera panggil dokter Yoo.” Aku mendengar suara gemuruh dari roda brankar (kasur di rumah sakit yang bisa didorong.) yang di dorong dengan kecepatan penuh, sepertinya ada keadaan darurat. Aku ikut berdiri dari posisiku dan melihat brankar itu melewatiku, aku hanya bisa melihat kasur yang dipenuhi darah dan para dokter yang nampaknya sangat serius, ditambah orang-orang yang berada di belakangnya yang ikut berlari sambil menangis. Aku rasa mereka adalah keluarga dari orang yang mengalami kecelakaan itu, aku ingin melihat seberapa parah orang yang terluka itu, namun aku tidak bisa melihatnya karena orang-orang yang berada di sekitar brankar itu.
Tanpa sadar kaki juga melangkah mengikuti rombongan itu, pasien dan para dokter itu membawanya ke ruang operasi dan seorang perawat mencoba menahan orang-orang yang mencoba ikut masuk ke dalam ruangan itu.
Aku berdiri cukup jauh dari segerombolan orang itu, aku tidak ingin menjadi bahan perhatian jika aku berdiri terlalu dekat dengan mereka. Sebenarnya siapa yang mengalami kecelakaan itu? Orang-orang yang ada di sana juga tidak ada yang nampak seperti orang tuanya, mereka masih nampak muda semua, seperti pemuda dan pemudi kebanyakan pada umumnya.
“Soo Hyun ssi!” aku kembali tersentak dengan seseorang yang berteriak dan berlari dari belakang. Aku menoleh dan mataku membelalak tidak percaya dengan yang aku lihat. Lee Sung Jae, itu benar-benar dia! Dia berlari ke arahku namun sama sekali tidak memandangku yang berada di sini dan dengan mudahnya ia melewati aku.
“Di mana Soo Hyun! Di mana dia!” teriaknya kepada orang-orang di sana.
“Kau harus tenang! Dia sedang ditolong oleh para dokter di dalam sana.”
Wajahnya nampak begitu terpukul, siapa itu Soo Hyun dan hubungan apa yang dimiliki dengan Sung Jae. Aku merasa sedikit kesal begitu tahu Sung Jae memiliki seseorang yang nampaknya sangat berarti baginya di sini, aneh bukan? Padahal aku baru berbicara dan berkenalan dengannya tiga hari, namun rasa aneh sudah muncul saja.
Aku pikir aku harus segera sadar dan dengan begitu semua akan kembali normal, lagipula ini hanya mimpi, bukan? Ya, aku selalu bermimpi hal-hal aneh dan semua ini pasti juga tidak nyata. Aku hanya terlalu memikirkan Sung Jae beberapa hari ini sehingga ia bisa masuk terbawa dalam mimpiku dan untuk seseorang bernama Soo Hyun yang selalu aku dengar namun sama sekali tidak pernah kulihat wajahnya, mungkin ia hanya bunga tidur yang tidak secara sengaja datang ke dalam mimpiku.
Baiklah, aku hanya harus memejamkan mata dan ketika aku membukanya aku akan kembali ke dalam duniaku.
Satu… dua… tiga…
Aku membuka mataku dan aku memang tidak berada lagi di lorong tadi, namun aku juga tidak berada di dalam duniaku. Aku masih berada di rumah sakit dan sekarang aku berada di sebuah kamar pasien, nampaknya ini kamar PIV karena hanya ada satu kasur di sini dengan semua barang-barang, seperti TV, kulkas, sofa yang tidak mungkin ada di kamar biasa. Apa tidak apa jika aku masuk lebih dalam lagi ke sana? Aku melihat sekitarku dan tidak ada siapa-siapa, baiklah, hanya sebentar melihat-melihat dan setelah itu aku harus segera pergi dari sini.
Aku baru saja melangkahkan kakiku dua langkah dan suara dari alat-alat rumah sakit itu berbunyi nyaring, membuat pintu kamar itu dengan cepat terbuka dan dimasuki oleh para dokter dan suster.
“Cepat siapkan alat kejut jantung,” perintah dokter itu.
Nampaknya keadaan pasien ini tidak begitu bagus, aku yang penasaran tetap melangkah masuk ke dalam dan aku melihat papan nama yang tertempel di kasurnya. Choi Soo Hyun – 20 Years Old – Female.
Apa dia adalah Soo Hyun yang sama seperti yang ada di ruangan operasi tadi? Tapi rasanya waktunya sangat singkat, bagaimana bisa dia sudah berada di kamar padahal tadi ia masih ada di ruang operasi. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, sadarlah Janice ini hanyalah dunia mimpi dan semuanya bisa saja terjadi. Aku yang dari tadi penasaran dengan wajah orang itu akhirnya memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi ke dalam dan berdiri cukup jauh di belakang dokter yang sedang bersiap mengejutkan gadis itu dengan alat kejut jantung.
“Satu, dua, tiga, shoot!” alat kejut itu ditempelkan ke dada gadis itu dan aku bisa melihat tubuhnya meloncat sedikit dari atas kasurnya, namun nampaknya ia belum sadarkan diri juga karena alat-alat yang menempel pada tubuhnya masih berbunyi nyaring.
“200 joule! Satu, dua, tiga, shoot!” ia kembali dikejutan dan belum ada reaksi apapun hingga kejutan yang ketiga kali barulah detak jantungnya kembali, itu bisa terlihat di mesin monitor jantung dan alat-alat lain yang sudah tidak berbunyi lagi.
Dokter dan para suster itu pun mengurus alat-alat pada gadis itu dan begitu nampak beres mereka segera keluar dari kamar itu. Kini pandanganku tidak lagi terhalang oleh siapapun, aku kembali mendekat ke kasur itu dan sekarangaku bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu.
“Tidak mungkin!” aku menutup mulutku terkejut, nampaknya sekarang aku yang akan kehilangan detak jantungku karena terkejut.
“Soo Hyun ssi, kau adalah-“
Deg! Mata gadis itu tiba-tiba terbuka dan aku seperti merasa sentakan yang sangat keras, rasanya aku seperti mendapatkan sengatan dari alat kejut jantung itu dan sekarang aku sudah kembali ke duniaku.
Aku membuka mata dan aku melihat sekelilingku, ini masih apartemen yang sama dengan apartemen Sung Jae dan aku terbaring di atas sofa. Nampaknya pesta sudah berakhir karena ruangan ini nampak sepi.
“Kau sudah sadar?” gadis berambut cepak mirip Alice itu datang menghampiriku
“Apa yang terjadi?”
“Kau pingsan.”
“Di mana Bee?”
“Temanmu sedang keluar mencari makanan, ia terlihat sangat kacau ketika kau pingsan.”
Benar, Bee jika sudah panik pasti akan langsung kelaparan.
“Kau juga harus makan,” wanita itu membantu aku bangun dan berjalan menuju meja makan. “ini,” ia menyodorkan aku sepiring pancake yang berwarna hitam pekat.
“Ini bukan gosong,” ia datang membawa sepiring pancake yang lain dan duduk bersamaku. “Ini rasa cokelat, black forest lebih tepatnya, jadi jangan khawatir bahwa ini makanan hangus.”
Sepertinya raut wajahku sangat mudah dibaca, akupun menyuapkan satu sendok pancake itu.
“Bagaimana rasanya?”
“Ini sangat lezat.”
“Seseorang yang baru saja pingsan harus memakan cokelat untuk mengumpulkan energy kembali. Namaku Isabelle.”
“Namaku Janice, apa ini resep buatanmu?”
“Yup,”
“Isabelle’s Black Forest Pancake! Namanya juga sangat cocok bukan?”
Ia tertawa, “Kau sepertinya suka menamakan sesuatu, Janice.”
“Kau lancar berbahasa Indonesia?” tanyaku kepadanya
“Ya, aku belajar bahasa Indonesia sebelum datang kemari.”
“Kau juga pertukaran mahasiswa seperti Sung Jae?”
“Yup, mengapa?”
Apa aku menanyakan pertanyaan selanjutnya?
“Sebenarnya siapa itu Sung Jae?”
“Maksudnya?” Isabelle bertanya tidak mengerti
“Kau tahu, rasanya sangat aneh ketika berada dengan Sung Jae, dia penuh kejutan dan rasanya sangat tidak asing berada didekatnya, tapi aku baru saja mengenalnya tiga hari dan ia sudah berada di dalam mimpiku.”
“Kau menyukainya?”
What? Suka? No! Aku tidak begitu menyukai, wait! Tidak begitu? Itu berarti ada sebagian dari diriku yang menyukainya? No! what’s wrong with me!
“Janice! Are you okay?”
Sepertinya aku terlalu fokus dengan pikiranku sendiri dan tidak sadar bahwa Isabelle melihatku dari tadi.
“Ya, aku baik-baik saja.”
“Tidak ada salahnya jika Sung Jae berada dalam pikiranmu, Jan, itu wajar aku pikir. Ia seseorang yang special bukan? Seperti katamu dia penuh kejutan. Aku pikir kau hanya harus mengenalnya lebih dalam.”
“Bagaimana jika aku tidak siap?”
“Apa maksudmu?”
“Kau tahu, dia terlalu penuh dengan kejutan dan aku tidak bisa menebaknya, bagaimana jika aku tidak siap dengan kejutan yang akan ia berikan berikutnya?”
“Apa kau yakin? Apa kau sudah mencobanya?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya.
“Ini,” ia mengeser piring pancake miliknya ke hadapanku. “Apa kau akan tahu rasa dari pancake ini jika kau belum mencobanya? Warna pancake ini sangat tidak menyakinkan, namun kau harus mencobanya jika mengetahui rasa sebenarnya. Memang tidak semuanya akan terasa manis, namun pada akhirnya kau tetap menikmatinya, bukan?”
Kali ini aku memandangi pancake yang sudah habis setengah di depanku. Warnanya gelap dan tidak bisa terprediksi, namun aku terus memakan tiap suapnya dan menikmati rasa manis dan pahit yang bercampur.
“Jika kue terlalu manis kau pasti akan merasa mual dengan sendirinya, semua harus ada bagiannya, entah itu yang manis ataupun yang pahit. Kau hanya harus memakan suapan demi suapannya dan menikmatinya.”
Mungkin Isabelle benar, aku harus berani menghadapinya, mengenal Sung Jae lebih dalam lagi dan mengetahui mengapa ia begitu familiar bagiku dan aku merasa ada hubungan yang belum terungkap antara aku dengan dirinya.
“Janice!” Bee langsung menghambur ke arahku dan aku bisa melihat Sung Jae yang menyusul masuk ke dalam. “Kau tahu aku sangat khawatir dengan dirimu! Mengapa kau bisa tiba-tiba pingsan?”
“Maafkan aku, sekarang aku baik-baik saja.”
“Apa kau benar-benar sudah merasa baik?” tanya Sung Jae yang juga datang menghampiriku.
“Ya, aku baik-baik aja sekarang. Apa aku mengacaukan pestanya?”
“Tidak, kau tidak mengacaukannya. Tidak ada yang tahu kau pingsan. Aku membawamu ke dalam kamarku tanpa ada yang sadar dan setelah mereka pulang aku membawamu keluar dan meletakanmu di sofa.”
“Baguslah jika tidak ada yang melihatku pingsan.” Ucapku lega walau masih ada yang menjanggal, mengapa ia memindahkan aku dari kamar ke luar? Apa aku terlalu tidak layak untuk tidur di atas kasurnya?
“Aku akan mengantar kalian pulang.” Ucap Sung Jae lagi
-1551-
Sirkus Mematikan
Aku sudah memasuki perumahanku sekarang, sudah pukul 1 malam ternyata, aku belum pernah pulang selarut ini sebelumnya dan entah apa yang akan orang tuaku katakan kepadaku. Aku sepertinya harus bisa menyiapkan hati untuk mendengarkan ocehan dari orang tuaku dan itu berarti tubuh yang sudah lelah ini harus menunggu lebih lama untuk dapat beristirahat.
"Terima kasih untuk tumpangannya," ucapku ketika mobilnya sudah berada di depan rumahku dan aku pun keluar dari dalam mobil. Bersamaan dengan itu pintu rumahku terbuka dan bibi yang biasa mengurus rumahku segera keluar dan berlari ke arahku.
"Non, Janice darimana saja? Ini sudah sangat larut malam."
"Maafkan saya, saya yang membuat Janice jadi pulang terlambat." Sung Jae keluar dari dalam mobilnya dan mendekat ke arahku.
Bibi sempat terlihat takjub begitu melihat Sung Jae, aku yakin ia hanya terpesona karena ketampanan Sung Jae.
"Aku sepertinya pernah melihat tuan muda," ucapan bibi benar-benar membuat aku terkejut, bagaimana bisa ia mengenal Sung Jae? Padahal aku baru saja mengenalnya sebentar, bahkan belum genap empat hari.
"Apa yang bibi maksudkan?" Aku segera menghentikan bibi untuk berceloteh lebih lanjut lagi. "Ini sudah malam, lebih baik kita segera masuk dan membiarkan Sung Jae untuk pulang dan beristirahat."
"Tapi, bibi benar-benar pernah melihatnya." Bibi yang masih bertahan dengan pendapatnya itu aku paksa masuk ke dalam rumah dan aku memberikan kode kepada Sung Jae untuk segera pulang.
Begitu aku masuk ke dalam rumah bibi masih saja terus mengoceh bahwa wajah Sung Jae sangat familiar dan ia sangat yakin bahwa ia pernah Sung Jae disuatu tempat.
"Bibi, bagaimana bibi bisa mengenalnya? Padahal aku saja baru mengenalnya. Di mana papa dan mama?"
"Nyonya dan tuan malam ini tidak pulang, mereka masih dalam perjalanan bisnis." Penjelasan bibi membuat aku merasa lega karena aku akan selamat malam ini dan bisa tidur dengan nyenyak.
Aku segera masuk ke dalam kamarku dan segera membersihkan diriku. Rasanya sangat nyaman ketika tubuhmu disiram air hangat dari shower. Tunuhku sudah bersih dan rasanya ingin segera tidur, namun mataku jatuh kepada kotak hitam yang masih tergeletak tidak tersentu di atas mejaku. Apa aku sudah berani untuk membuka kotak itu? Apa yang sebenarnya aku takutkan? Ya! Tidak ada yang perlu aku takutkan, apa yang mungkin ada di dalam kotak sekecil itu? Aku yakin buka hal yang begitu penting, jadi tidak akan ada masalah jika aku membukanya. Aku mengambil kotak itu dan dengan perlahan membuka sedikit tutup dari kotak itu.
“Non, Janice!” pintu terbuka dengan tiba-tiba tanpa ada ketukan dari luar, rasanya jantungku akan segera copot dengan kelakuan dari bibi yang tidak pernah mengetuk pintu sebelum ia masuk.
“Ada apa bibi? Mengapa bibi selalu masuk tanpa mengetuk pintu?”
“Ini, bibi ada bawakan non, segelas susu dan beberapa kue, tadi non pulang kelihatan sangat pucat, jadi lebih baik jika non, minum dan makan kue ini sebelum tidur.”
“Baiklah bi, terima kasih, bibi bisa letakan di atas kasurku, nanti aku akan memakannya.”
Bibi memang sudah sejak lama tinggal dan bekerja di rumah kami, sehingga ia tahu betul jika aku sudah terlihat pucat seperti tadi yang aku butuhkan adalah kudapan yang manis. Isabelle tadi juga memberikan aku kudapan yang manis ketika aku siuman dari pingsan.
Begitu bibi keluar aku memandang kotak yang sudah aku letakan lagi di atas meja tadi dan rasanya moodku sudah hilang untuk membuka kotak itu, sehingga aku merapikan posisinya lagi di tempat semula dan kemudian beranjak ke kasurku, meminum susu dan memakan beberapa kue yang diberikan bibi dan segera pergi tidur. Ini adalah hari yang sangat panjang bagiku.
Pagi ini aku kembali ke kampus dengan lebih bersemangat dari sebelumnya, sepertinya tadi malam aku mendapatkan tidur yang sangat nyaman sehingga sekarang aku bisa merasa begitu bersemangat. Tadi malam aku juga tidak bermimpi mengenai Soo Hyun maupun Sung Jae, aku memang tidak bertemu Sung Jae di dunia mimpi tapi sekarang aku bertemu dengannya lagi di dalam kelas. Ia sudah berada di tempatnya duduk sambil bermain dengan handphonenya.
“Selamat pagi,” ucapku kepadanya
Ia menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, bagaimana tidurmu semalam? Apa nyenyak?”
“Ya, aku tidur dengan nyaman kemarin malam.” Aku kemudian duduk di mejaku dan sama sekali tidak berani menghadap ke belakang. Apa yang sebenarnya aku lakukan? Bukankah aku seharusnya berbincang-bincang dengannya sehingga aku bisa mengenalnya lebih dekat dan dengan begitu aku bisa tahu alasan mengapa aku bisa bermimpi tentangnya dan perasaan aneh mengenai ikatanku dengannya yang tidak aku jelaskan dengan mudah.
“Janice,” panggilnya dari belakang. Akupun segera menoleh karena ini adalah kesempatan yang tidak bisa aku lewatkan.
“Ya? Ada apa?”
“Apa kau ingin pergi denganku?”
“Ke mana?”
“Ke arena sirkus.”
“Sirkus?”
“Ya, aku mendapatkan dua tiket dari temanku dan aku tidak tahu harus mengajak siapa, jadi bagaimana jika kau ikut denganku?”
Itu ide yang sangat bagus! Rasanya langit seakan berpihak kepadaku.
“Baiklah, aku akan ikut denganmu. Kapan kita pergi?”
“Sekarang.”
What! Pergi sekarang itu berarti aku harus sekali lagi membolos dalam pelajaran dan itu bukanlah diriku sama sekali, apa yang harus aku katakan pada Bee? Aku yakin ia akan mengejekku habis-habisan karena aku lebih memilih berjalan bersama pria daripada duduk di kelas dan mendengarkan kuliah, namun nampaknya rasa penasaranku untuk mengorek tentang pria ini lebih kuat karena aku sekarang sudah berada di sebuah taman bermain yang cukup ramai padahal pertunjukkan sirkusnya baru saja akan dimulai jam empat sore. Itu berarti aku harus menunggu selama tiga jam lagi sebelum akhirnya bisa menonton pertunjukkan sirkus.
“Apa yang ingin kau mainkan terlebih dahulu? Kita masih punya waktu tiga jam lagi sebelum pertunjukkan dimulai.”
“Jika pertunjukkan masih lama mengapa tadi kita tidak ikut kelas terlebih dahulu?” tanyaku yang sedikit kesal dengan dirinya.
“Maafkan aku!” ia mencubit pipiku gemas dan aku sama sekali tidak siap dengan sentuhan fisik itu sehingga aku langsung menepis tangannya. Melihat kelakuanku ia malah tertawa.
“Apa kau tidak pernah mempunyai seorang pria yang menyentuhmu?”
Tidakkah pertanyaannya itu sangatlah kasar? Bagaimana ia bisa bertanya hal semacam itu! Tapi jika dipikir-pikir aku sama sekali tidak punya hubungan special dengan seorang pria sebelumnya. Itu yang bisa aku ingat.
“Baiklah, kalau begitu hari ini aku akan membuat kau bahagia!” ia mengenggam tanganku dan membawa aku menaiki berbagai wahan yang ada di taman bermain itu, mulai dari yang menyenangkan hingga yang bisa membuat aku seperti kehilangan jantungku dan ternyata aku menikmati waktu bersamanya, setiap tawa kami, pembicaraan kami, semuanya sangat aku nikmati dan aku tidak tahu mengapa, aku hanya menikmatinya. Waktu berlalu begitu cepat jika kau menikmati apa yang kau lakuakn pada saat itu, sekarang kami berjalan menuju tempat pertunjukkan sirkus.
Ternyata di dalam sini cukup ramai, kami harus memasuki sebuah tenda besar dan di dalamnya sudah disusun bangku-bangku pononton sedemikian rupa, aku dan Sung Jae mendapatkan bangku yang cukup di depan sehingga aku bisa menikmati pertunjukkan ini dari jarak yang cukup dekat.
Pertunjukkan diawali dari orang-orang yang bermain dengan roda, kemudian botol-botol dan juga anjing laut. Tidak hanya aku dan Sung Jae yang tertawa dengan setiap atraksi para pemain sirkus itu, namun penonton yang lain terlihat juga sangat terhibur dengan pertunjukkan yang mereka tonton.
“Apa kau menyukainya?” bisik Sung Jae tepat di telingaku karena suara di sini sangatlah berisik sehingga kau harus berbicara super kuat.
“Ya, aku menyukainya.” Aku menjawab sambil mengangguk.
Sekarang adalah pertunjukan yang sirkus yang sebenarnya akan dimulai.
Dimulai dari mereka yang berjalan melewati api, melewati singa, dan sekarang mereka akan berjalan di atas seutas tali tipis. Aku sempat menutup mataku tidak ingin melihat sangat mengerikan jika mereka jatuh dari atas sana. Itu dia! Orang yang berada di atas sana melemparkan tubuhnya ke bawah dan ia terpental lagi ke atas karena ada sebuah tali yang di pinggangnya. Ia yang meloncat dan aku yang tegang.
“Sekarang yang kita tunggu-tunggu, meloncat tanpa menggunakan apapun!” teriak dari mc ditambah riuh dari penonton membuat aku semakin sesak berada di dalam sana. Arena sirkus ini tidak lagi menjadi sesuatu yang menghibur dan menyenangkan. Aku mulai berkeringat.
“Ini dia!”
Semua penonton memandang ke atas sana dan aku juga ikut memandang ke atas, kepalaku pusing, rasanya aku seperti akan muntah namun tidak ada yang bisa aku katakan, aku tidak berkata-kata, tenagaku serasa hilang dan semua nampak berputar. Orang yang berada di atas juga berputar, perasaan ini pernah aku rasakan dan itu terjadi di-
Aku tidak bisa mengingatnya, namun ketika ia bersiap terjun aku merasakan begitu ketakutan seakan ia akan terjun menimpaku.
Satu…
Dua…
Tiga…
Orang itu benar-benar terjun dan secara tidak sadar aku juga ikut berteriak, membuat Sung Jae langsung menoleh panik ke arahku.
Byuuuurrr! Suara air yang tersembur keluar karena keberhasilan orang yang melompat itu membuat tepuk tangan penonton langsung ramai bergemuruh.
Namsan Tower, 12 Oktober 2015!
Seakan ada yang berteriak kepadaku dengan suara keras mengenai tempat dan tanggal itu. Aku tidak kuat lagi, aku meremas tangan Sung Jae dengan kuat dan memintanya untuk segera pergi dari tempat ini dan kami pun pergi dari sana. Sung Jae pun segera membawa aku keluar dari sana, aku hampir bergantung sepenuhnya kepada Sung Jae karena tidak mampu menahan berat tubuhku sendiri.
“Apa kau baik-baik saja?”
“Aku tidak tahu, mengapa aku seperti ini belakang ini.”
“Apa kau ingin pergi ke dokter?” tanya Sung Jae khawatir.
“Sung Jae ssi.”
“Ya,”
“Siapa dirimu sebenarnya?” aku memandang serius kepada Sung Jae
“Apa maksudmu?”
“Semua ini terjadi ketika kau datang kemari, semua. Semua mimpiku, semua perasaan aneh, mengapa semuanya aku alami begitu kau masuk ke dalam kehidupanku!”
Aku tidak tahu kekuatan darimana hingga aku bisa mengatakan hal itu, namun yang aku tahu Sung Jae tidak menjawabku dan kami hanya diam selama perjalanan pulang menuju rumahku.
-1551-
One Step Closer
Aku keluar dari mobil Sung Jae tanpa mengatakan sepatah kata apapun dan aku harap ia mengerti akan hal itu. Keadaanku sekarang ini sama sekali tidak bisa berbicara lebih lanjut lagi. Aku masuk ke dalam rumah juga tidak menyapa siapapun di dalam rumah dan hanya masuk ke kamar, mengunci pintu dan langsung di meja belajarku.
Aku langsung membuka laptop dan mencari sesuatu yang sangat membuat aku penasaran. Namsan Tower, 12 Oktober 2015. Ada apa di sana? Dan mengapa otakku meneriakan hal itu dalam pikiranku? Aku segera membuka mesin pencarian di browser dan mengetik kata-kata itu. Enter.
Muncul ratusan blog dan situs yang menampilkan informasi mengenai hal itu, aku membuka salah satu dari blog itu dan membacanya, aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Namsan Tower, 12 Oktober 2015 adalah sebuah kecelakaan yang terjadi dua tahun lalu karena sebuah crane yang jatuh menimpa seorang gadis berusia 20 tahun yang mengalami luka cukup parah.
Bagaimana bisa sebuah crane jatuh? Rasanya seperti disengaja.
Aku melanjutkan membaca lebih jauh, tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai keadaan gadis itu maupun seberapa parah luka yang dialami oleh gadis itu, bahkan wajah gadis itu sama sekali tidak ditunjukkan ke media massa. Kejadian itu terjadi di Korea jadi tidak mungkin ada hubungannya dengan diriku yang tinggal di Indonesia, namun aku kejadian di tempat sirkus tadi rasanya seperti kejadian yang dialami gadis ini. Sebuah benda jatuh dari atas, perasaan takut akan sebuah benda besar yang jatuh dari atas itu begitu nyata dan aku benar-benar merasakannya, itu bukan dibuat-buat.
Aku melepaskan pandanganku dari layar laptop dan mataku tertuju kepada kotak hitam di atas meja itu. Aku baru sadar bahwa aku sampai sekarang masih belum membukanya, aku mengambil kotak itu dan masih saja memandanginya.
Jika aku ingin tahu gambaran utuh dari semua ini yang harus aku lakukan adalah membuka kotak ini, bagaimana jika kotak ini ternyata memang jawaban dari semua hal-hal aneh yang aku alami selama ini. Aku pun membuka kotak itu dengan sekali gerakan dan itu pun aku lakukan dengan menutup mata. Aku tidak langsung membuka mataku begitu kotak itu terbuka, kira-kira sampai tiga detik aku baru membuka mataku dan melihat ke dalam kotak itu. Sebuah flashdisk? Di dalam kotak itu ada sebuah flashdisk yang juga berwarna hitam, aku mengambil flashdisk itu dan memasangnya di laptopku. Di dalam flashdisk itu ada sebuah folder, hanya satu folder tanpa nama dan di dalamnya ada sebuah video.
Apa aku harus membuka video ini? Mengapa Sung Jae memberikan aku video ini? Butuh waktu satu menit bagiku untuk akhirnya memutuskan membuka video itu. Video itu diawali oleh sebuah petikan gitar, aku tidak asing dengan suara ini! Aku pernah mendengarnya di dalam mimpiku, nadanya benar-benar sama hanya alat musik yang digunakan berbeda. Aku terus menantap layar laptopku, menonton video yang masih diawali dengan background berwarna gelap.
Di detik ke 31 video itu baru mengeluarkan foto-foto. Aku menutup mulutku dengan tanganku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Di dalam foto-foto terdapat dua orang yang terlihat begitu bahagia dan mereka terlihat seperti sepasang kekasih. Tiap musim mereka lewati bersama dan mereka adalah aku dan Sung Jae. Di akhir video terdapat fotoku bersamanya di menara Namsan ada sebuah tulisan kecil di foto itu, 12 Oktober 2015.
Tunggu! Jika aku ada di sana pada waktu itu berarti gadis di sana adalah aku? Ini tidak masuk akal bukan? Bagaimana bisa aku yang menjadi korban dalam kecelakaan itu? Aku kembali memastikannya lagi, aku mencari gambar gadis itu dan mencocokkan baju yang ia pakai dengan baju yang aku pakai di dalam foto itu. Sama! Baju yang aku pakai difoto dengan yang gadis itu pakai sama, jadi aku benar-benar gadis yang mengalami kecelakaan itu?
Dor! Dor! Dor!
Aku tersentak dengan suara ketukan pintu yang sangat keras dan seperti seorang renternir yang menagih hutang kepada seseorang.
“Janice! Buka pintunya! Janice!” itu suara Bee, aku harus membereskan semua ini terlebih dahulu, aku tidak bisa membiarkan Bee mengetahui hal ini atau tidak malam ini akan menjadi malam yang panjang dan aku tidak yakin aku akan dapat memejamkan mataku.
“Sebentar!” beberapa saat kemudian aku membuka pintu kamarku, “Huaaamm!” aku menguap kecil, “Ada apa datang kemari malam-malam Bee?” aku memasang muka seakan aku baru saja bangun dari tidurku.
“Apa kau baik-baik saja?” Bee menerobos masuk ke dalam kamarku.
“Ya, ada apa?” tanyaku heran. Untung saja aku sempat berganti pakaian di kamar mandi dan mencuci mukaku sebentar di wastafel di dalam toilet. Tempat untuk mandi dan toiletku memang terpisah oleh sebuah pintu, namun tetap berada di satu ruangan.
Bee melipat kedua tangannya di depan dadanya, “Jangan berbohong kepadaku, Janice. Kencanmu dengan Sung Jae hari ini tidak berjalan dengan baik, bukan?”
Kencan? Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa itu adalah kencan, tapi aku juga tidak tahu harus menyebutnya apa.
“Ya, begitulah, tapi itu bukan masalah yang cukup besar. Aku hanya merasa tidak enak badan dan akhirnya hari itu menjadi kacau.”
“Janice, aku tahu bahwa ini adalah hal baru buatmu dan mungkin kau akan merasa beberapa hal aneh, tapi aku harap kau tidak menyalahkan Sung Jae dan menyudutkan dia.”
“Apa maksudmu? Siapa yang menyalahkan dan menyudutkan Sung Jae?” aku mulai kesal.
“Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, aku hanya-“ Bee tidak melanjutkan kata-katanya, ia menghempaskan tubuhnya duduk di atas kasurku. “Kau dan dia baru bertemu selama 6 hari dan aku hanya tidak ingin kau melangkah terlalu cepat, namun akhirnya kau belum siap dan kemudian malah akan kebingungan dan ujung-ujungnya terluka.”
Bee benar aku baru saja enam hari bertemu dengan Sung Jae, namun rasanya aku sudah menjalani waktu yang sangat lama dengan dirinya dan itu semua membuat aku lelah. Anehnya aku tidak menyukai cara bicara Bee yang seolah-olah menyalahkan aku atas semua yang terjadi, lagipula ini semua bukan sepenuhnya kesalahanku. Kehadiran Sung Jae yang tiba-tiba, semua perilakunya yang penuh kejutan dan tidak bisa ditebak juga ikut ambil bagian dalam hal ini, bukan?
“Bee, mengapa kau sangat peduli dengan urusanku dan Sung Jae? Hubungan ini berhasil atau tidak juga bukan urusanmu dan seperti yang kau katakan kami baru berhubungan selama enam hari dan apa yang kau harapkan dari hubungan selama enam hari ini?”
“Janice, aku tentu peduli dengan urusanmu, kau sahabatku, bagaimana bisa aku tidak peduli?”
“Aku hanya berpikir kau sudah melewati batas.”
“Aku melewati batas? Bagaimana bisa?” Bee bangun dari duduknya. “Bukankah kau yang sudah menyembunyikan banyak hal dariku? Mulai dari kau kabur dari kelas bersama Sung Jae, kau memberi kotak makanan kepada Sung Jae, kau tidak pernah menceritakan apa-apa mengenai itu semua, bahkan hal itu!” Bee menunjuk ke arah meja belajarku, “Kau tidak mengatakan apa-apa kepadaku di saat kau sudah membuka kotak hitam pemberian dari Sung Jae.”
Aku memijat pelipisku, pening rasanya menghadapi semua ini. “Bee, sahabat bukan berarti aku harus mengatakan semuanya kepadamu pada waktu itu juga, di saat aku siap dan semuanya jelas tentu saja aku akan menceritakannya kepadamu.”
“Menunggu semua jelas? Janice, aku ada di sini untuk membantumu memperjelas semua hal yang menjadi kebingungan buatmu, tapi kau tidak pernah menceritakannya dan bagaimana aku bisa membantumu untuk hal itu.”
“Kau membantuku untuk memperjelas semuanya? Kau malah membuat aku semakin bingung, Bee! Mengapa harus kau? Apa yang sebenarnya kau ketahui dan aku tidak? Kau juga tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku! Mengapa kau selalu datang pagi-pagi sekali ke rumahku hanya untuk berangkat ke kampus, bahkan di saat itu kau tidak punya kelas, mengapa kau selalu mengajak aku menonton drama korea dan menyukai semua hal yang berhubungan dengan Korea, sedangkan teman-temanmu yang lain tidak pernah kau perlakukan seperti itu. Apa kau pernah memberikan aku penjelasan mengenai semua itu?”
Mata Bee nampak berkaca-kaca, aku tahu mungkin aku sudah menyakiti hatinya, namun aku juga sudah lelah berpura-pura semua baik-baik saja, padahal yang sebenarnya hidupku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini aku tidak tahu jawabannya.
“Aku pikir kau butuh istirahat Janice, aku akan pulang. Ini juga sudah malam.” Bee sekali meninggalkan aku dengan pertanyaan yang tidak terjawab.
Aku terjatuh di lantai dan menangis dalam diam di sana, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang dan bagaimana menjalani esok hari? Aku tidak tahu caranya menghadapi Bee dan Sung Jae esok pagi.
***
Beep… Beep… Beep… Beep…
Bunyi alarm membangunkan aku, ini sudah pagi dan aku tidak sadar bahwa aku tertidur di lantai setelah menangis semalaman. Aku mencoba bangun dan pergi ke kamar mandi, aku belum membersihkan diri sejak pulang dari arena sirkus kemarin. Kepalaku rasanya berat sekali, aku melihat diriku di cermin dan aku benar-benar kacau. Sakit kepala ini juga semakin membuat aku merasa kacau.
Aku membuka kotak obat yang mengantung di atas cermin di dalam toilet, mencoba mencari obat sakit kepala. Aku harus minum obat dulu sebelum pergi untuk membersihkan diri di kamar mandi sebelah, namun bukannya berhasil mendapatkan obatnya, aku yang mulai kehilangan keseimbangan karena berjinjit mencari obat itu malah menarik kotak obat itu hingga jatuh di lantai dan membuat suara yang cukup keras hingga menarik perhatian bibi.
“Non, ada apa di dalam sana? Non, baik-baik saja?”
“Ya, bi, aku baik-baik saja. Kotak obatnya hanya terjatuh saja.” Aku berteriak dari dalam toilet dengan kekuatanku yang masih tersisa.
Aku yang malas mencari langsung mengeluarkan semua isi obat itu di lantai dan dengan mudah obat itu ditemukan. Aku mengambil obat dan keluar mencari air lalu meminumnya. Aku kembali lagi ke dalam toilet untuk merapikan kotak obat yang aku buat berantakan. Aku memasukkan semua obatnya ke dalam dan mengantungkannya lagi, namun saat aku hendak mengantungkannya aku menemukan hal aneh di tembok itu.
Ada semacam garis yang tidak terlalu terlihat di tembok itu berbentuk segi empat yang sesuai dengan ukuran kotak obat ini, awalnya aku berpikir bahwa itu hanyalah bekas yang ditimbulkan oleh kotak obat ini.
Bagaimana jika ini bukan sekedar garis biasa? Ahh! Pikiranku mulai aneh lagi! Aku bahkan berpikir bahwa itu adalah sebuah pintu rahasia dan aku hanya perlu mencari cara membukanya saja. Aku mencoba menghilangkan pikiran itu, tapi tetap saja aku meraba sepanjang garis itu dan perlahan mendorong tembok itu.
Aku tersentak ke belakang dan kembali lagi menjatuhkan kotak obat yang aku pegang karena tembok yang dorong benar-benar bisa bergerak dan membuka seperti sebuah pintu. Aku kemudian mencoba melihat ke dalam sana, seperti kotak di dalam tembok dan di dalam sana terdapat beberapa barang. Aku yang kurang tinggi tidak bisa melihatnya begitu jelas sehingga aku hanya langsung menarik keluar semua barang dari dalam sana dan membiarkannya jatuh ke lantai berserakan. Buku-buku dan kertas, isinya hanyalah itu dan tidak ada yang lain, aku mengambil semua barang itu dan membawanya keluar dari dalam toilet.
Aku tidak ingat bahwa aku pernah menyimpan semua benda ini, aku melihat semua barang itu dan membacanya satu persatu. Aku tidak yakin harus mengatakan apa ketika membaca semua ini, namun yang pasti aku langsung membeli tiket ke Korea saat itu juga.
-1757-
The End
Hanya dengan beberapa tulisan di dalam buku yang aku temukan mampu membuat aku membeli tiket VIP keberangkatan paling pagi dan sekarang aku sudah menginjakan kakiku di bandara Incheon. Aku tahu ini gila, negeri ginseng ini belum pernah aku kunjungi namun kenangan di dalam buku itu mengatakan bahwa aku sudah mengunjungi tempat ini dan memiliki kenangan yang dalam di sini. Aku hanya membiarkan langkahku mengikuti apa yang ada di dalam buku ini.
Ini adalah hari yang paling menebarkan, aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara aku bersikap hari ini! Setiap toko kaca yang aku lewati pasti akan membuat aku berhenti sejenak dan melihat diriku di depan kaca, apakah aku sudah rapi? Apakah masih ada yang kurang? Aku harap ia menyukai penampilanku hari ini. Kami berjanji bertemu di sungai Han, ia sangat menyukai pemadangan sungai Han, itu yang aku tahu karena aku pertama kali melihatnya di sana, terus menerus melihatnya di sana hingga akhirnya kami sama-sama saling melihat di sana.
“Soo Hyun ssi!” aku menoleh mendengar suaranya yang sangat aku kenal.
“Soo Hyun ssi!” aku ikut menoleh mendengar nama itu disebut, seorang wanita berambut pirang sebahu menghampiriku. “Kau benar-benar Soo Hyun?” aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Kau bisa berbicara bahasa Indonesia?” hanya itu yang bisa aku katakan.
“Tentu saja, Sung Jae memaksa kita semua untuk belajar bahasa Indonesia semenjak hari itu dan ternyata itu tidak sia-sia, kau benar-benar ada di sini sekarang.”
Aku tidak berani membuatnya kecewa dengan mengatakan bahwa aku sama sekali tidak ingat dengan apapun yang ia katakan, karena di sini aku sedang mencari jawaban dari semuanya jadi lebih baik aku berpura-pura tahu.
“Ya begitulah dan sekarang aku ingin menelusuri kenangan kami.” Aku menunjukkan buku yang aku temukan.
“Wow! Kau memang harus melakukan itu dan jangan lupa pergi ke garasi, kejadian itu membuatmu tidak bisa pergi ke tempat terakhir itu. Aku akan menyiapkan tempat itu seperti semula, jangan lupa datang!” dia langsung berlari meninggalkan aku tanpa aku tahu siapa namanya.
Aku kembali melanjutkan perjalanan bersama buku itu.
Bee temanku yang di Indonesia mengatakan bahwa jika pria tiba-tiba bertingkah aneh dan mengajak kau pergi itu berarti ia akan segera menembakmu. Apakah itu berarti aku akan segera ditembak olehnya? Rasanya sangat menebarkan.
“Kau ingin naik sepeda?”
“Tentu!”
Kami biasa bersepeda di dekat sungai Han ini, biasanya kami bersepeda dengan sepeda masing-masing, namun kali ini dia hanya memesan satu sepeda pasangan yang membuat aku semakin merasa tidak menapak bumi sekarang.
“Ayo naik!” dia menyuruhku naik di bangku belakang dan aku pun menurut, dengan ragu-ragu aku memegang bajunya sedikit di belakang, namun tiba-tiba tangannya meraih tanganku di belakang dan melingkarkannya pada perutnya.
Angin yang lembut menerpa wajahku dan suara siulan merdu darinya benar-benar membuat hari ini semakin indah.
Apa lagu yang dinyanyikan adalah lagu yang selama ini selalu aku dengar dalam mimpiku?
Aku sudah sangat lelah mengikuti langkah dari buku ini, mungkin aku di dalam buku ini sama sekali tidak merasakannya karena perasaan cinta yang membuatnya bersemangat.
“Apa kau ingin makan?”
“Tentu saja! Ayo! Aku tahu tempat makanan yang enak.”
Sam’s Spicy Beef Salad. Nama toko ini tidak asing, rasanya aku pernah menemukan! Tentu saja! Hari kedua aku bersama dengan Sung Jae ia memberikan aku makanan ini. Aku pun masuk ke dalam dan memesan menu itu.
Menunya benar-benar sama! Dengan tempat bekal yang sama dan cara memakan yang sama, apakah selama ini Sung Jae memberikan aku clue yang bahkan tidak aku sadari.
Aku sangat menyukai tempat ini dan aku juga menyukai Uncle Sam yang sangat ramah, apalagi makanannya yang sangat lezat.
“Aku pergi ke toilet sebentar,”
“Oke,”
Aku menunggu hampir 30 menit namun ia belum kembali hingga akhirnya seorang pelayan datang dengan membawa sebuah piring makanan lagi yang masih ditutup.
“Aku tidak memesan ini.”
“Ini adalah pelayanan special.”
Aku pun membukanya dan di dalamnya hanya ada sebuah gembok, Namsan Tower, sepertinya Sung Jae ingin bermain denganku.
Aku di dalam buku ini rasanya sangatlah beruntung karena memiliki masa muda yang sangat menyenangkan. Ini adalah tempat terakhir yang mereka kunjungi, aku berharap aku bisa mengingat sesuatu dari tempat ini.
Namsan Tower, aku memandangnya dari bawah sini, aku tidak yakin apakah aku harus naik ke atas sana atau tidak. Apa lebih baik aku pulang saja dan melupakan semua ini lalu menjalani hidupku seperti biasa lagi?
Ayolah! Jan! kau sudah sampai sejauh ini dan bagaimana bisa kau mundur begitu saja! Aku melangkah ke atas sana dan mengumpulkan seluruh kekuatanku aku ke sana. Malam ini Namsan Tower cukup ramai dikunjungi orang-orang dan kebanyakan dari mereka adalah pasangan kekasih.
Aku mendekat menuju ke pagar hitam tempat gembok-gembok cinta terpasang, aku menelusuri setiap gembok yang ada berharap aku akan menemukan gembok aku dengan dirinya, namun sepertinya tidak ada, mungkin aku tidak sempat memasang gembok itu karena kecelakaan itu, kisah di buku ini juga berakhir di sini dan mungkin aku memang tidak berjodoh dengan Sung Jae. Aku sedikit sedih dengan pikiran bahwa aku tidak berjodoh dengannya.
Aku memandang ke langit, aku harap aku bisa mengingat semuanya, mengingat semua kenangan indah yang ada di buku ini dan tidak menjadi orang bodoh yang satu-satunya tidak mengetahui apa-apa.
“Be careful!” seseorang berteriak dan aku menoleh, sebuah bola terlempar dengan cukup kencang dan itu menuju ke arahku, rasanya aku selalu takut begitu melihat benda yang jatuh ke atasku.
“Soo Hyun! Awas!” siapa yang memanggil namaku?
Aku merasa aku pernah mengalami hal itu, teriakan seseorang yang memanggil namaku, kepalaku kembali pusing dan aku kembali menoleh ke atas hingga akhirnya bola itu tepat mengenai kepalaku dan semuanya gelap.
“Soo Hyun ssi, awas!” aku tidak sempat sadar akan peringatan Sung Jae, namun teriakan orang-orang di sekitar membuat aku menoleh ke atas, sebuah besi besar crane tiba-tiba terjun bebas dari atas sana dan aku sudah tepat berada di bawahnya, aku terlalu terkejut mungkin hingga aku tidak bisa menghindar terlalu jauh dan akhirnya semuanya gelap hanya bau amis dari darah yang aku cium dan samar-samar suara berisik dari sekerumunan orang yang aku tidak tahu apa yang mereka katakan.
Aku tidak ingat apa-apa begitu aku bangun, aku sudah berada di rumah sakit dan itupun aku sudah berada di Indonesia, ayah ibuku mengatakan bahwa aku hanya mengalami kecelakaan kecil dan koma selama seminggu padahal aku sudah mengalami koma selama satu bulan lamanya.
Bee, dia memang temanku dari kecil dan terus menjadi temanku selanjutnya, ia selalu datang menjemputku dan sebisa mungkin ia akan selalu ada denganku selama 24 jam. Aku tidak tahu mengapa, ia dulu hanya pernah mengatakan bahwa aku masih membutuhkan pengawasan dari seseorang karena efek kecelakaan itu. Aku menurut saja karena terkadang aku juga suka merasa limbung dan seakan pikiranku kosong mendadak, jadi aku pikir aku memang membutuhkan Bee disampingku dan akhirnya aku mulai terbiasa dengan itu.
“Soo Hyun, kau baik-baik saja? Soo Hyun!” aku mendengar suara yang tidak asing di telingaku.
“Sung Jae ssi,” aku bergumam kecil, “Di mana aku?”
Aku merasa diriku dipeluk, “Kau membuat diriku takut, mengapa kau selalu membuat aku takut.”
“Aku baik-baik saja, maaf aku bahkan tidak bisa pergi ke tempat terakhir yang sudah kau siapkan.”
“Kau sudah mengingatnya?”
“Jika aku tahu bahwa hanya dengan membenturkan kepalaku aku bisa kembali mengingat, aku sudah melakukannya lebih dulu.”
“Hanya sebuah bola kecil dan kau sudah pingsan, apakah kau selemah itu.”
Aku memukul Sung Jae dan mencoba bangun.
“Bantu aku!”
Sung Jae membantu aku bangun dan aku sama sekali tidak menyadari bahwa semua orang di sini sedang memperhatikan kami bahkan sempat ada yang merekam kami.
“Ayo, kita pergi dari sini.” Aku menarik tangan Sung Jae dan mengajaknya pergi.
“Kau ingin ke mana?” Sung Jae bertanya kepadaku.
“Aku akan mengajakmu ke suatu tempat, sebelumnya kau harus menutup mata.” Aku menutup mata Sung Jae dan syal yang aku bawa.
“Apa kau yakin kau dapat mengingat jalannya?”
Aku kembali memukul Sung Jae, “Apa kau meragukan aku! Ingatanku benar-benar sudah kembali sekarang.
Ya, ingatanku sudah kembali dan semua perasaan yang ada di dalam buku itu kini dapat kembali aku rasakan dan rasanya benar-benar hidup, aku tidak tahu bahwa aku memiliki kisah hidup yang sangat menyenangkan di sini dan jika dipikir-pikir hidupku yang dulu sangatlah flat tanpa ada kejutan-kejutan apapun, sampai Sung Jae datang dan membuat hidupku tidak sedatar sebelumnya.
“Kita sudah sampai!”
Aku membuka penutup mata Sung Jae
“Surprise!”
Kami semua di sini, semua kenalan Sung Jae dan aku, gadis pirang aku temui tadi pagi, ia adalah salah satu teman kamarku ketika aku sedang berada di Korea, uncle Sam yang ternyata adalah pamanku dan Isabelle juga ada di sini, ah! Tidak lupa dengan Bee, ia juga ada di sini.
Walaupun aku dan Bee bertengkar kemarin, tapi ia sama sekali tidak melupakan janjinya untuk selalu ada bersamaku sepanjang waktu karena ia tetap datang ke rumahku dan mendengar kabar dari bibi bahwa aku terbang ke Korea membuatnya terkejut dan ia pun ikut terbang ke sini.
Kami berada di sebuah garasi belakang rumah yang aku tempati ketika aku berada di Korea, di tempat ini Sung Jae dulu ingin menembakku dengan saksi para teman-teman kami. Dulu hal itu sempat tidak terjadi, namun sekarang giliran aku yang memberinya kejutan yang sempat tertunda ini.
Perjalanan kisahku dengan Sung Jae selama 7 hari benar-benar membuat aku tidak tahu harus berkata-kata apa. Aku tidak tahu bahwa aku harus menunggu dua tahun lamanya hanya untuk bisa ke tahap ini dan hanya membutuhkan 7 hari lamanya untuk akhirnya bisa kembali merasakan kehangatan ini dan aku membisikan sesuatu kepada Sung Jae
“saranghae!”
-1538-
Description: Kalian tahu apa kelebihan manusia yang tanpa sadar bisa menjadi kelemahannya juga? Rasa penasaran dalam diri manusia. Rasa penasaran bisa membuatmu maju, lihatlah para penemu yang karena rasa penasaran menemukan berbagai alat yang sangat membantu kita sekarang ini, namun bagaimana jika kau memenuhi rasa penasaranmu, tapi akhirnya kau terluka? Jika waktu dapat kembali apakah aku akan memilih untuk tetap mengetahuinya atau lebih baik diam dan tidak tahu apapun?
Main Course : 7 Dates With U
Topping : Perpustakaan, Sam's Spicy Beef Salad, Teras, Isabelle's Black Forest Pancake, Arena sirkus, Toilet, Garasi
Size : Large
Genre : Romance
sosial media
IG : tanyafransisca
Line : tanyafcsh_
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis cerita pendek yang diadakan oleh Storial, Nulisbuku, dan Nanny’s Pavillon #7DaysWithU.
|
Title: Royal Agent Prince in distress
Category: Novel
Text:
01. The Rookies
Siang terik, sebuah kendaraan hitam di parkir tak jauh di sebrang gedung perkantoran, di mana beberapa pria berkumpul didalam restoran yang terlihat dari dalam kendaraan tersebut. Fay menurunkan teropongnya, ia duduk di kursi depan kendaraan bersama rekannya Doni.
“Mereka mulai melakukan transaksi, Pak Rinto kapan bertindaknya?” Tanya Fay, dua agen muda itu ditugaskan untuk mengawasi berlangsungnya transaksi narkoba kelas kakap yang menurut informan akan terjadi di restoran mewah itu, Fay menoleh pada Doni yang terlihat sangat serius melihat rekaman ctv yang mereka pasang di tiang lampu jalan depan restoran.
“Kau benar Fay, mereka sepertinya sudah mulai bergerak, mana pak Rinto dan lainnya?” dihidupkan ht-nya.
“Pak Rinto harap direspon, mereka sudah mulai bertindak, kapan kami bisa beraksi?”
Suara Rinto, pimpinan team di ht menjawab "Tetap waspada, team dua sudah mulai bergerak, kalian tetap di tempat untuk membackup"
Doni menurunkan htnya tampak kesal
"Pak Rinto, kami sudah berjaga dari subuh, kenapa jadi pengawas saja?"
Fay terus mengawasi orang-orang itu dengan teropongnya "Mereka akan pergi sebentar lagi" baru berbicara demikian Fay melihat beberapa orang anak muda dengan pakaian agen menyerbu masuk restoran, meringkus orang-orang itu "Mereka sudah masuk Don"
"Heh mereka yang dapat pialanya"
Dengan wajah masih kesal Doni membuka pintu dan keluar, Fay segera mengikutinya.
"Doni" tepat saat ia keluar mobil, sebuah benda dingin sudah menyentuh bagian belakang badannya.
"Eh" dan Fay seperti tahu apa benda itu, dengan hati-hati ia membalikkan badannya "Doni"
Doni diam, tidak bisa banyak bergerak juga karena dua orang pria berbadan besar sudah menodongkan senjata api ke arah mereka, terutama kearah Fay.
"He kalian benar-benar tahu posisi di mana yang paling tepat mengawasi yah"
Pria itu mendorong Fay kasar ke arah kendaraan mereka yang sudah berhenti tak jauh di belakang kendaraan miliknya, Doni sendiri tidak bisa melawan dengan senjata tertuju padanya
"Siapa kalian?" Seru Doni,
Salah seorang pria menyeringai, di arahkan senjatanya tepat di dahi Doni seperti siap untuk menembak "He sayang kau tidak akan pernah tahu"
Dan saat orang itu bersiap menarik pelatuknya, tanpa pikir banyak Fay menerjangnya
"Doni lari!"
Didorong pria itu hingga jatuh dan bergumul di atas tanah, satu orang lainnya membantu temannya "Kurang ajar!"
Doni mengarahkan pukulannya ketangan pria satunya hingga senjata apinya terlepas, pukulan demi pukulan dilayangkan satu sama lainnya, Fay yang lincah beberapa kali lolos dari cengkraman tangan lawan yang jauh lebih besar darinya "eckh! Doni! Minta bantuan!"
"Jangan banyak bicara Fay, bereskan saja mereka!"
Tak lama kemudian..
Rinto dan lainnya tiba di lokasi setelah Fay dan Doni membereskan dua orang tadi, tentu dengan susah payah karena keduanya juga sudah babak belur.
"Hemm, siapa kalian? Kenapa menyerang agen kami?" Tanya Rinto pada seorang di antara mereka, yang wajahnya sudah lebam di mana-mana.
Keduanya saling menoleh, namun tidak menjawab hanya menundukkan kepala mereka. Doni kesal dan hendak menendang orang-orang itu kembali "icch kalian ini" namun tangan Fay menahannya.
"Doni jangan, mereka sudah babak belur"
Doni menyeka bibirnya yang masih berdarah.
"Kurang ajar! Beraninya mengancam dengan senjata api, mau menembakku juga!"
"Doni" Fay masih menahan tangan Doni, mengetahui rekannya itu memang begitu emosi.
Pak Erwan, kepala komisaris team kepolisian yang berisi agen-agen muda yang bertugas melebihi polisi karena kasus yang mereka tangani biasanya adalah kasus besar yang membutuhkan budget lebih besar dari sekedar polisi biasa.
Ia duduk di depan Doni dan Fay yang dipanggil keruangannya sore itu
"Jadi kau keberatan dengan tugas tadi Don, jadi menurutmu yang bagus bagaimana?"
Doni gagap, ia tidak menyangka protesnya tadi pada Pak Rinto di luar ruangan komisarisnya justru membuat ia dalam masalah.
"Eh itu, eh" tapi Doni bukan anak penakut, ia sudah terlanjur basah juga pikirnya.
"Yah karena itu, Aku dan Fay yang mengawasi gembong narkoba itu dari subuh, kami yang sibuk melaporkan perkembangan, sampai harus sarapan dan makan siang di mobil, juga bergantian ke kamar kecil, maksudku, kenapa bukan kami yang menangkapnya? Kenapa harus diambil alih team dua?"
Erwan menegakkan duduknya, melihat Doni, dan Fay bergantian, dua anak muda yang baru masuk teamnya dua bulan lalu.
"hemh, kau harus mengerti Don, kau dan Fay hanya diperbantukan diteam ini, sejak dua bulan lalu, kau dan Fay baru lulus sekolah militer khan?"
"Bagian intelijen dan forensik lapangan pak" sela Fay "Eh maaf menyela"
"Yah maaf, bagian intelijen dan forensik lapangan, bagaimanapun pengalaman kalian di lapangan masih jauh dari cukup, usia masih sangat muda, sejak awal tugas kalian harusnya ada di belakang layar saja, mengawasi dari kantor atau mobil bergerak, Aku tidak mau kalian celaka dan buruan kita melarikan diri bukan, jadi.."
Suara buruk gagak lewat...
Fay menepuk pundak Doni, sekeluarnya mereka dari ruangan komisaris, setelah diceramahi lebih dari setengah jam, rasanya lama sekali.
"Ayo kita cari makan Don, sudah lapar sekali nich"
Doni berhenti, melihat wajah ceria Fay walau setelah mereka diceramahi habis-habisan tadi.
"Kau ini Fay, tidak pernah protes, ikut ini itu, diam saja, kau pernah merasa kesal tidak sich sebenarnya?"
Fay tersenyum, meraba perutnya.
"Em kesal juga sich, tapi, he, kelaparan mungkin lebih tepat saat ini, ayo kita cari makan dulu lalu kembali bekerja"
#####################
02. New Agent
................
"Jadi kasus pencurian mobil mewah itu akhirnya dipegang siapa?" Tanya Doni sambil menikmati makan malam mereka di restoran fastfood tak jauh dari markas.
Fay mengangkat pundaknya.
"Tidak tahu juga, kemungkinan team Rudi, menurut Pak Erwan kita hanya bisa jadi pengawas untuk saat ini"
"Heh menyebalkan, padahal kita sudah berusaha juga khan, prestasi kerja kita juga sudah jauh di atas rata-rata, kenapa Pak Erwan masih meragukan kita juga"
"Yah katanya kita masih sangat muda Don, dan emosional, kalau melihatmu cepat marah begitu memang sich"
Doni menatap Fay tajam.
"Jadi menurutmu karena Aku begitu? Siapa yang tidak akan emosi, kalau Pak Erwan terus memperlakukan kita seperti anak kecil, menyebalkan"
Fay dan Doni menatap Pak Erwan lama, juga beberapa anggota team lain, Pak Rinto, Rudi dan lainnya. Pak Erwan mengumpulkan mereka siang itu untuk memperkenalkan anggota polisi baru, seorang wanita muda yang cantik.
"Anggota baru lagi, tambah banyak saja orang tambah sedikit kerjaan kita" bisik Doni pada Fay, Fay tersenyum, sejak awal masuk anggota baru mereka, Angela anak baru itu terus melihat ke arahnya.
"Iyah, hemm Aku juga agak tidak nyaman Don, sejak masuk dia terus melihat ke kita, jangan-jangan mata-mata baru buat kita" bisik Fay.
Angela tersenyum mendapat sambutan hangat anggota team "Terima kasih semua, mohon bimbingannya yah"
Tak lama kumpulan bubar kembali pada tugas mereka masing-masing.
Pak Erwan menoleh pada Fay dan Doni, dilambaikan tangannya.
"Fay, Doni, kemari sebentar"
Fay dan Doni berpandangan sejenak, lalu keduanya maju ke depan.
"Yah pak"
Pak Erwan menepuk pundak Angela.
"Kalian berdua, temani Angela selama satu bulan, anggap pelatihan sebelum tugas sebenarnya nanti"
Fay dan Doni terkejut, keduanya gagap.
"Ap apa? Pelatihan? Bersama kami pak?" Tanya ulang Doni, Pak Erwan mengangguk, sementara Fay dan Doni terlihat tidak begitu puas, berbanding sebaliknya dengan Angela yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Yah Angela baru lulus akademi, dengan nilai yang sangat tinggi, tapi tetap saja praktek di lapangan sesungguhnya belum ada pengalaman, kalian berdua adalah anak baru, jadi sama-sama bisa belajar khan, Fay? Bagaimana menurutmu?"
Fay gagap, ia melihat ke arah Doni yang menahan kesal, dan pada Angela yang terus tersenyum lebar padanya.
"He mohon bantuannya yah, Aku benar-benar mau belajar kok" ujar Angela dengan nada lembut, hal itu membuat Fay tambah bingung.
"Eh I itu"
"Sudahlah kalian, pertama ajak Angela ke tugas kalian selanjutnya, segera berangkat sana!" seru pak Erwan.
Doni menghempas tangannya mendumel dengan kesal.
"Heh menyebalkan"
Doni mengarahkan teropongnya ke arah dermaga, di mana beberapa orang berdiri dekat peti kemas dengan puluhan mobil mewah yang siap dimasukkan ke dalam.
"Mereka itu memang sudah mempersiapkan semuanya yah, bahkan polisi sudah disuapnya, sampai mulus begitu"
Angela menyiapkan senjata apinya, Fay sampai tertegun melihat gadis yang duduk di jok belakang kendaraan mereka, sedan corona lama yang masih mengkilap.
"Eh, kau sedang apa An? Bawa senjata segala"
"Yah bersiap-siap, kita mau menyergap mereka khan?" Ujar gadis itu bersemanga.
"He dipikir ini mainan yah? Kita hanya pengawas, anak baru, jadi tidak bisa bergerak sembarangan" seru Doni.
Angela diam, melihat Doni lama.
"Apanya yang pengawas? Maksudnya kita hanya memberi informasi begitu? Duduk saja di sini melihat team lain bertindak? Itu maksudnya pengawas khan?"
Fay dan Doni mengangguk bersamaan.
"Yup"
Angela menurunkan pundaknya, menatap dua pemuda di depannya lama, ia menyeringai.
"He yang benar saja? Berarti pekerjaan kalian sangat membosankan donk?"
"Yah begitulah, selamat datang di dunia penuh kebosanan" seru Doni.
Angela diam, melihat dua pemuda di depannya kembali sejenak, hingga ia tersenyum dan menepuk pundak Fay.
"Yah tidak masalah, yang penting setidaknya Aku satu team dengan Fay khan?"
Doni menoleh cepat, dilepaskan tangan gadis itu dari pundak Fay.
"Eits eits, enak saja, Fay rekan kerjaku, kau hanya ikut training bersama kami, tidak akan seterusnya bersama Aku dan Fay, cari rekanmu sendiri sana!"
"Ich kau ini, kita khan bisa bertiga" seru Angela masih memegang pundak Fay, Doni bersikeras melepaskan pegangan gadis itu dari rekannya.
"Tidak bisa, satu team dua orang, kau cari rekanmu sendiri, anak baru sudah banyak maunya, Aku dan Fay sudah satu team sejak awal, enak saja kau minta-minta"
Fay risih dengan dua orang yang bertingkah seperti anak kecil memperebutkannya.
"Hei hei kalian, sudahlah jangan seperti anak kecil ingat tugas kita ke sini"
Doni dan Angela menghentikan seteru mereka, Fay mengarahkan teropongnya kembali ke arah dermaga.
"Doni cepat kabarkan Pak Rinto, sepertinya mereka mulai bergerak"
Doni segera duduk rapih kembali di joknya, menghidupkan earsetnya.
"Halo Pak Rinto!"
Malam datang begitu cepat. Fay dan Doni sudah duduk dalam kamar asrama mereka, Doni mengambil bantal sofa dan duduk.
"Fay, Pak Erwan bilang kita akan menyelidiki kasus pembunuhan di tengah kota besok"
"Yah, lalu?" Tanya Fay sambil meneruskan laporan di layar laptopnya.
"Apa si cewe bawel itu tetap ikut kita juga? Aku tidak nyaman sekali, pekerjaan kita bisa terganggu karenanya"
"Yah mau bagaimana lagi, dia khan anak baru Don, jangan terlalu keras padanya, nanti dia akan kapok lagi"
Doni melirik.
"He yang benar, anak baru itu mana mungkin kapok melihatnya sangat ingin dekat-dekat denganmu aku jadi curiga, jangan-jangan Pak Erwan sengaja mengirim dia untuk memata-matai kita lagi, aneh sekali"
Fay tersenyum.
"He Don kau terlalu berpikiran negatif, buat apa Pak Erwan memata-matai kita? Memangnya kita berbuat apa?"
"Yah tidak tahu, mungkin Pak Erwan berpikir kita tidak kerja, main-main saja begitu"
Fay tertawa "hehehehe sudahlah Don, walau begitu keadaannya kita biarkan saja, selama kita tidak berbuat masalah khan"
"Fay, kau ini, selalu begitu, suatu hati kebaikan dan kelembutan hatimu bisa mencelakaimu nanti, tidak ada waspada sedikitpun"
Fay masuk ke rumahnya, baru menaruh tasnya ke atas sofa saat Emilia, mamanya keluar menyambut.
"Sayang sudah pulang" wanita yang walau dalam usia tidak muda lagi itu masih sangat cantik mendekat dan langsung mengecup pipi putra semata wayangnya.
"Yah ma, hari ini tidak banyak tugas penting, jadi bisa pulang tepat waktu, mama mau ke toko lagi?"
Emilia mengangguk, dibersihkan pipi Fay dari bekas lipstiknya.
"Iyah biasa, menjelang malam toko pasti ramai, kau istirahat saja dirumah yah, kelihatan anak mama sudah lelah sekali, mama sudah siapkan makanan, dan sebentar lagi bibi Dory akan datang mencuci dan membersihkan rumah"
Bibi Dory, mendengar nama itu Fay tersenyum.
"He bibi Dory, mama tahu khan bibi Dory itu senang sekali menggoda Fay, kenapa harus datangnya sore ma"
Emi tertawa kecil.
"Hehehe mau bagaimana lagi, bibi Dory sudah mama anggap bibi sendiri, kalau beliau senang menggodamu itu karena Fay anak yang manis"
Fay menundukkan kepalanya tersipu.
"He mama ini, eh hati-hati menyetirnya ma, jalan sedang sangat ramai saat ini, dan jangan pulang malam-malam"
"Iyah sayang mama tahu, sudah sana mandi, mama akan kunci pintu, bibi Dory khan punya kunci cadangan, kalau kau tidak suka digodanya masuk saja ke kamar dan istirahat yah"
"He mana bisa begitu ma, itu namanya tidak sopan"
Emili tertawa, seperti tahu jawaban anaknya.
"Hehe mama tahu Fay tidak akan seperti itu, yah sudah mama jalan dulu yah, emmuah" kembali wanita itu mengecup pipi Fay gemas
"Ich mama"
Sebuah kendaraan berjenis sedan berwarna gelap parkir tak jauh di depan rumah di bawah pohon. Diam tak bergerak, tampak samar dua orang pria duduk di kursi depan dengan mata awas mengamati rumah milik Emilia, di mana wanita itu baru saja menyetir sendiri kendaraan kecil miliknya keluar rumah.
"Keadaan sangat sunyi, lama-lama jadi mengerikan" ujar seorang pria di kursi setir menerawangkan teropongnya ke arah rumah Fay.
"Yah sebentar lagi mungkin akan menjadi sangat seru jika itu maksudmu" jawab temannya, pria di belakang setir menurunkan teropongnya.
"Berapa usia anak itu?"
"Sembilan belas, masih sangat muda"
"Dalam usia semuda itu ia sudah lulus akademi polisi, dengan nilai sempurna pula, memang memiliki bibit unggulan"
Keduanya siaga saat melihat seorang wanita bertubuh gempal membuka pagar rumah dan masuk.
"Itu siapa?"
Temannya melihat lebih jelas, dengan penerangan dari lampu jalan yang tidak begitu terang, diangkat pundaknya.
"Tidak tahu, mungkin pengasuhnya, di data ada tertulis kalau wanita itu meminta bantuan seorang pengasuh saat ia keluar bekerja dan meninggalkan anak itu sendiri di rumah dulu"
"Sekarang anak itu sudah besar, apa masih butuh pengasuh"
Di dalam rumah.
"Aduh anak manis, baru mandi yah, icch wangi sekali, sini bibi cium dulu yah" gemas bibi Dory menarik Fay dan mengecupnya berulang-ulang.
"Aduh bibi Dory" Fay sampai kewalahan.
Ia baru keluar dari kamarnya setelah membersihkan diri, rambutnya bahkan masih basah.
#############
03. Task
#########
Doni menahan tawa mendengar cerita Fay, Fay menatap partnernya itu kesal setelah cerita soal semalaman ia tak bisa tidur karena ada tamu di rumahnya.
"Sudah tertawanya?"
"He sebenarnya belum, Fay kau ini sudah besar, tapi masih butuh pengasuh"
"Heh semua karena mama, tokonya semakin tengah malam semakin ramai, jadi tidak bisa ditinggal, dan bibi Dory juga enggan pergi, katanya di rumahnya juga tidak ada orang, yah sudah saya temani nonton film semalaman, hebat sekali, sampai lewat tengah malam masih belum mengantuk juga"
Angela mendekat, membawa berkas yang diminta kepala team Pak Rinto untuk dibawanya.
"Ini tugas kita yang tadi disebutkan di meeting, ayo kita jalan"
Doni mengambil kertas itu masih dengan pandangan dingin pada gadis cantik itu.
"Ini tugas Aku dan Fay, bukan tugas kita"
Angela mengambil kertas itu dari tangan Doni kembali.
"Kata Pak Rinto Aku ikut, makanya Aku yang disuruh ambil tadi"
Doni kembali merebut lembaran kertas itu dari tangan gadis itu "Tidak, hari ini kau tidak ikut, Aku akan protes pada Pak Rinto kalau kau hanya bisa menganggu pekerjaan kami"
"Pekerjaan apa? Kalian khan hanya mengintai, apanya yang menganggu, pokoknya Aku ikut" keduanya berseteru makin gencar, Fay maju dan mengambil kertas itu dari tangan Doni saat kedua temannya masih saling melotot.
"Sudah sini Aku saja yang jalan" dan meninggalkan keduanya ke arah pintu, tanpa pikir panjang Doni menyusul Fay.
"Fay tunggu aku!"
Begitu pula Angela.
"Aku ikut!"
Di salah satu area gedung pencakar langit di tengah kota.
Fay, Doni dan Angela berdiri diam di depan halaman gedung.
Ketiganya tertegun melihat lokasi tugas berikut mereka yang tak lain adalah lokasi syuting iklan perusahaan makanan ringan terkenal.
"Kita mau apa di sini?" Tanya Doni, Fay mengangkat pundaknya.
"Tidak tahu, Angie apa kau yakin alamatnya di sini?" Tanya Fay, Angela melihat kembali kertas yang masih ada di tangannya, ia mengangguk.
"Iyah benar kok, tidak salah"
Ketiganya berdiri di tengah kesibukan para kru menyiapkan set dan beberapa sudah memulai pengambilan photo dan gambar.
"Ayo cepat cepat! Matahari mulai redup, cepat kerjanya!" Seorang pria sekitar empat puluhan yang mungkin adalah sutradara meneriaki anak buahnya untuk bekerja ekstra. Pria itu hampir saja menabrak Fay dan lainnya saat ia mundur.
"Aduh" diperjelas pandangannya pada Fay dan lainnya yang gagap saat pria itu membalik ke arah mereka.
"Eh maaf" ujar Fay sopan, pria itu mengamati Fay dari atas ke bawah kaki, wajah Fay yang sangat manis dan tampan, kulit putih bersih, tinggi semampai, ia sampai melihatnya berulang-ulang, hingga Fay risih dibuatnya, menoleh pada Doni dan Angela di sampingnya.
"Kurasa Pak Rinto sudah salah memberi alamat, kita mau apa di sini?" Bisik Doni, Fay sepertinya setuju, karena ia mulai tidak nyaman dengan pandangan aneh pria itu yang tidak beralih darinya "iyah ayo kita kembali"
Namun saat Fay hendak membalik pergi bersama Doni dan Angela, pria itu tiba-tiba menahan tangannya.
"Eits mau kemana? Kau model baru itu khan? Ayo cepat ganti kostummu, pemotretan sudah mau dimulai"
Fay gagap, terlebih tidak bisa menolak saat pria itu terus menarik tangannya ke arah tenda kru.
"Hei Pak, maaf ta tapi anda salah, eh Don"
Doni dan Angela yang terkejut mengikuti Fay dan berusaha melepaskan pegangan pria itu pada Fay.
"Eh Pak, he jangan tarik-tarik orang begitu donk, kami cuma salah alamat, eh kami ini"
"Sudah jangan banyak bicara, Aku tahu kalian anak baru yang dikirim agency kemari, dua orang pemuda dan seorang gadis, apanya yang salah, Lucy cepat rias anak ini! Ganti pakaiannya!" Seru pria itu pada krunya setibanya di dalam tenda.
"Baik Pak Redi"
Fay tidak bisa berbuat banyak saat pria itu memaksanya duduk untuk dirias.
"Eh Pak maaf tapi"
Doni dan Angela saling berpandangan.
"Bagaimana ini?" Pria itu mengawasi keduanya, bergerakpun hampir tidak bisa, tatapannya jauh lebih garang dari penjahat manapun.
"Ayo hubungi Pak Rinto" bisik Angela, Doni mengeluarkan ponselnya.
"Jangan sampai ini benar tugas dari Pak Rinto lagi"
Kembali ke markas.
Fay, Doni dan Angela menganga, penjelasan Pak Rinto di depan mereka membuat ketiganya terpaku diam, saling berpandangan.
"Jadi yang dipilih Fay? Aku sudah menduganya" ujar Pak Rinto tersenyum lebar sambil menyandarkan bahunya.
"Jadi, ini benar tugas kami selanjutnya? Fay sich benar jadi model, lalu, Aku dan Angela?" Tanya Doni.
"Em" Pak Rinto berpikir sejenak "kau dan Angie terus disamping Fay, kali ini targetnya kemungkinan adalah Fay, jadi kalian harus menjaganya dengan ketat"
"Ke kenapa Aku pak? Maksudnya menyamar jadi model apa?" Tanya Fay.
"Yah mau bagaimana lagi, beberapa model sebelummu sudah menjadi korban kejahatan, ketiganya masih dirawat di rumah sakit karena keracunan, kecelakaan di panggung, dan tabrak lari, semua dipastikan karena adanya unsur kesengajaan, pelakunya sepertinya tidak ingin ada satupun model yang berhasil selamat karena tujuan mereka ingin menghancurkan perusahaan tersebut"
"Lalu? Fay, jadi umpan begitu?" Tanya Angela, Pak Rinto melihat Fay sejenak, lalu mengangguk.
"Yah, sepertinya harus begitu, tadinya Aku mengirim kalian kesana dalam rangka menjaga model mereka yang baru, tapi, karena ternyata Fay yang dipilih, ini, akan lebih baik"
"Apanya lebih baik Pak, selanjutnya nyawa Fay jadi taruhannya, kami tidak bisa, ini terlalu berbahaya" seru Angela.
"Apa, tugas ini begitu penting pak? Mereka hanya perusahaan biasa, biarkan pihak kepolisian saja yang menjalankannya, kami ini khan masuk team khusus, kenapa malah diberikan tugas seperti ini" protes Doni.
Pak Rinto menarik nafas panjang.
"Heh sayangnya karena ini menyangkut keamanan negara, jadi termasuk tugas kita juga, perusahaan pengiklan hanya kedok luar, yang sebenarnya adalah, perusahaan itu adalah salah satu pemilik perkebunan sawit di daerah perbatasan, kalau perusahaan itu sampai bangkrut, sudah ada pihak luar yang mengantri untuk membelinya, dan kalau sampai pihak luar membelinya, heh, tidak tahu apa yang akan terjadi pada perbatasan negara kita nanti"
Doni menoleh Fay dan Angela bergantian.
"Entah kenapa itu jadi masalah kita"
"Pemegang saham sudah mengultimatum, kalau sampai jatuh korban lagi, maka perusahaan akan dilepas, kita tidak bisa biarkan itu terjadi"
Fay menarik nafas panjang.
"Heh mau bagaimana lagi"
Angela berdiri dari duduknya.
"Tidak bisa! Aku protes, nyawa Fay bisa dalam bahaya, walau bagaimanapun agency ini khan harusnya melindungi agen-agennya, bukan menjadikan mereka umpan!" Suaranya keras.
Fay dan Doni sampai terpana melihat sikap Angie yang tiba-tiba keras "eh Angie"
"Tenang Angie, team akan bersiaga setiap waktu, mana mungkin agency membiarkan anggotanya dalam bahaya, kalian harus kerja ekstra menjaga Fay selama tugas"
"Tidak bisa ini terlalu berbahaya, nyawa Fay jauh lebih berharga dari apapun, sudah Fay besok kita jangan ke sana lagi yah, Don"
Fay, Doni dan Pak Rinto bingung melihat sikap Angie yang berubah drastis.
"Angie tidak apa, Aku akan bisa menjaga diri kok, tenang saja"
"Iyah, ada Doni di sini, Aku akan hadapi siapa saja yang mau menyentuh Fay"
"Tetap tidak bisa, Pak Rinto!"
Keesoka harinya.
Angela berdiri dengan wajah kesal di depan pintu ruang rias, ternyata protesnya tidak didengar sama sekali oleh Pak Rinto dan Pak Erwan.
"Aduh manis sekali" seru perias melihat wajah Fay setelah diriasnya, dengan sedikit eyeshadow dan highlight di matanya Fay terlihat cantik bak perempuan, Doni sampai menelan ludah ternganga melihatnya.
"Wah ini Fay? Beda sekali"
Fay sebenarnya sangat risih dengan tugas barunya tersebut, tapi apa mau dikata ini bagian dari tugas.
"Heh menyebalkan"
Tak lama bagian kostum membawakan pakaian yang hendak dikenakan untuk photo shot kali ini.
"Eits mau apa?" Angie menahan seorang kurir yang masuk dengan membawa karangan bunga besar.
"Bunga untuk model, dari sponsor" ujar pria itu, Angela meneliti pria itu dari atas kepala hingga bawah, dan seterusnya.
"Sponsor apa? Coba lihat apa isinya?"
Pria itu terlihat gagap.
"Eh a apa isinya? Ini bunga, bunga semua"
Angela tetap bersikeras.
"Kami harus waspada karena bisa saja isinya bom, ayo bongkar"
"Ta tapi kalau dibongkar akan rusak"
Saat Angela masih menahan pria itu datang lagi pria lain membawa kotak makanan masuk, kembali Angela menahannya.
"eits itu apaan? Coba periksa dulu sini"
"Makan siang mba, untuk model dan semuanya"
Angela melirik isi kotak makanan di tangan pria muda dengan seragam kru itu.
"Siapa yang mengirimnya? Untuk Fay yang mana? Coba buka, jangan-jangan ada racunnya"
Doni yang melihat tingkah Angela dari jauh menggeleng.
"He anak baru itu, cocok sekali jadi bodyguardmu Fay"
Fay menoleh.
"Angie terlalu cemas, coba beritahukan padanya untuk lebih santai Don, kasihan sekali dia, was was sekali, Aku khan bisa menjaga diri"
Doni menyeringai, dilihat dipintu datang lagi pria lain yang membawa pakaian lain untuk Fay, juga ditahannya.
"Aku harus hati-hati, karena siapa tahu di antara kalian ada yang mau mencelakai Fay, semua taruh saja di lantai!" Seru Angela, para pria itu protes "Yah tidak bisa begitu donk!"
"Iyah, kami hanya menjalankan tugas nich"
Doni tertawa kecil.
"Hehe biarkan saja, biar dia jadi ada tugas, ada bagusnya juga mengajaknya, ia bisa jadi tenaga tambahan buat kita"
Tak jauh di depan jalan.
"Heh, ini kacau, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Dua orang pria yang kerap mengintai di depan rumah Fay menghentikan kendaraan mereka tak jauh di depan lokasi syuting iklan Fay, seorang yang mengarahkan teropongnya ke arah lokasi menarik nafas panjang.
"Apa yang dilakukan anak itu sekarang?" Tanya rekan di sebelahnya.
"Dari informan kita, kata mereka anak itu mendapat tugas baru, menyamar jadi model di agency itu, dan sepertinya, sangat laku karena jobnya sepertinya padat seharian"
Agency model yang tengah mendapat proyek di salah satu gedung tertinggi di kota terlihat cukup sibuk, karena proyeknya besar otomatis krunya juga terlihat jauh lebih banyak, salah seorang petugas parkir mengetuk kaca mobil dua pria itu.
"Maaf Pak, tolong parkirnya jangan di sini, ini khusus untuk kru"
Pria yang duduk di kursi pengemudi menurunkan jendelanya.
"Eh iyah maaf, kami akan mundurkan sedikit yah, maaf"
Kendaraan itu mundur perlahan, namun..
"Buk!"
"Aduh yang bener donk!" terdengar suara teriakan dari belakang.
"Waduh" dua orang pria dalam mobil terkejut bukan main, kendaraan mereka menjatuhkan sebuah motor di belakang kendaraan itu.
"Gawat" keduanya segera keluar dan menghampiri pria yang sudah berdiri dengan wajah murka di depan motornya yang ada di belakang bawah kendaraan, sedikit lagi terlindas.
"Bisa nyetir gak? Punya mata tidak sich!"
###################
04. Being Target
.....
"Angie makan dulu yah, ini aman kok, sudah ditester sama yang bawanya tadi" ujar Doni yang berdiri di depan meja makan, ia dan Fay sudah merasa lapar, perut Fay bahkan mengeluarkan suara.
"He maaf, Aku, kelaparan"
Doni menatap Angie tajam.
"Lihat apa yang kau lakukan"
"Sudah tunggu sebentar lagi, makanan yang ku pesan akan datang, kita makan yang itu saja yah, dijamin aman dech"
Tak lama Rudy sang photographer masuk kamar ganti.
"Fay kau siap-siap untuk photo sesi kedua yah, Ria tolong ganti make up dan kostumnya!" Serunya pada seorang wanita muda penata rias yang tak lama masuk setelahnya.
Fay menatap Doni sejenak.
"Apa makanannya masih lama, Aku benar-benar sudah lapar nich"
Suara ribut terdengar mendekat.
"Lepaskan kalian jangan dorong-dorong donk!" Seru suara pria yang sepertinya digiring beberapa orang mendekati ruang ganti.
Rudy menoleh keluar, menunggu siapa yang digiring kepala petugas keamanan di lokasi syuting mereka.
"Ada apa kalian ribut-ribut?"
Lorong penjara kelas dua cukup ramai, beberapa sipir terlihat berjalan menelusuri lorong memeriksa tahanan. Seorang sipir mengetuk jeruji salah satu ruangan.
"Tahanan 062 ada tamu untukmu"
Seorang pria yang tengah merebahkan tubuhnya di atas ranjang menoleh, berbadan besar, berkulit gelap dan rambut gondrong keriting sepundak, ada bekas luka memanjang jelas di pipi hingga rahang kirinya.
Tak lama kemudian di ruang tamu, duduk tahanan 062 dengan seorang pria di balik kaca.
"Kau tahu khan hal pertama yang akan kau lakukan, saat senin nanti kau keluar?" Tanya pria tamu, tahanan itu menyeringai.
"He masih dua hari lagi, anda bersemangat sekali"
Pria tamu menegakkan berdirinya, terlihat sedikit kesal.
"ingat perjanjianmu, atau kau akan kembali dengan waktu jauh lebih lama"
Tahanan itu menelan ludahnya bulat, pria di depannya sepertinya tidak bergurau.
"Anda tahu kalau saya tertangkap ini juga berarti penjara untukku, tugas ini bukan main-main"
Pria tamu itu menyeringai.
"He dan kau akan mendapatkan segalanya jika berhasil, bos bersedia membayar berapapun yang kau minta"
Sejenak tahanan itu menahan nafas, melihat tamunya lama.
"Kenapa anak itu begitu berharga, dan kenapa orangmu yang begitu banyak tidak bisa mengatasinya?"
"Lakukan saja tugasmu, kau harus bersyukur kami masih mau mempekerjakanmu, mantan napi sepertimu, di luar sana, lebih buruk daripada tinggal di sini"
"He itu artinya Aku memang lebih baik di sini bukan" sela tahanan itu, pria tamu menyeringai kembali, cukup menakutkan ekspresinya.
"He, lain kali tidak akan lebih baik dari ini, pikirkan itu baik-baik"
Fay baru membuka pintu rumah dan meletakkan tasnya ke atas sofa.
"Aduh capeknya" dihempas tubuhnya yang lelah ke sofa, saat dari dalam dapur Emilia datang mendekat.
"Fay sudah pulang?"
Fay tersenyum melihat mamanya, ditegakkan duduknya, Emili menatap putranya sejenak, cukup serius pikir Fay.
"Eh mama kok lihat Fay begitu, kenapa ma?"
"Mama yang harusnya tanya pada Fay, selama ini mama ijinkan Fay masuk akademi polisi, menerjang bahaya padahal mama sebenarnya sangat was was, tapi selama ini apa yang Fay lakukan?"
Fay mengerutkan dahinya, ia berdiri melihat mamanya tak kunjung juga duduk.
"Maksud mama apa? Fay bekerja ma, di kepolisian, walau masih junior, tapi eh sejauh ini masih lumayan"
Emili lalu mengeluarkan barang yang sejak tadi ada ditangannya di belakangnya, Fay menelan ludah bulat melihat barang yang tak lain sebuah majalah fashion, dengan sampul depan full photo dirinya.
"He ini, ini, Fay bisa jelaskan ma"
Photo Fay yang sangat tampan dengan potongan pakaian ala pangeran Arabian.
Emili menyilangkan tangan di depan dada, menatap wajah Fay yang menunduk tak berani menatap mata mamanya yang sepertinya marah besar.
"Fay ingat apa yang mama pesan padamu dulu, jangan terlalu menonjol, apalagi sampai muncul dan menjadi pusat perhatian di majalah terkenal ini, entah berapa banyak orang yang membeli majalah ini, siapa saja bisa melihat, mama tidak mau sampai jejak kita diketahui" Emili menghentikan ucapannya, melihat Fay mengangkat kepalanya membalas tatapannya, wanita itu jadi gagap.
"Eh"
"Ma, sampai kapan kita akan bersembunyi ma, kita khan bukan penjahat, lagipula tidak akan ada yang tahu soal identitas kita, mama tenang saja, selama ini mama juga sudah bisa menghilangkan jejak khan"
"Fay, mama tidak mau sampai hal buruk terjadi"
Fay tersenyum.
"Mama tenang saja, Fay hanya menjalankan tugas, ini bagian dari tugas Fay di kepolisian, Fay sedang menyamar jadi model, ini hanya sementara kok"
Hujan turun sangat deras, team B, yang terdiri dari Fay, Doni, Angela dan Roy bersembunyi di balik peti kemas. Mereka mengintai transaksi senjata di pelabuhan, dan mendekati saat untuk bertindak.
"Pak Rinto, mereka akan bergerak" ujar Roy dengan ponselnya, suara Pak Rinto menjawab.
"Tunggu aba-aba, kita keluar bersama"
Tak berapa lama menunggu.
"Polisi!" Seru Roy dan team menyerbu kumpulan orang yang langsung berhamburan, perlawanan terjadi.
"Kalian semua ditangkap!"
Fay, Doni dan Angela menahan mereka satu persatu, perlawanan terjadi, tak butuh waktu lama tempat itu menjadi ribut dan suara pukulan rintihan terdengar keras.
"Ach!" Rintih Fay saat lawannya mendorongnya ke arah peti kemas dan menahannya erat, didorong keras pria yang besar tubuhnya mungkin dua kali darinya.
"aduh kenapa Aku dapat yang besar"
Dari balik peti kemas tak jauh dari pusat pengrebekan, tampak dua orang pria berpakaian jas hitam rapih yang biasa mengintai Fay.
"Waduh, sepertinya sedikit mengkhawatirkan, apa butuh kita turun tangan?" Tanya pria yang lebih kurus, temannya melihat seksama, ia menggeleng saat melihat Fay dan teman-temannya seperti sudah bisa menguasai keadaan.
"Sepertinya tidak perlu bantuan kita, kita waspada saja jangan sampai terjadi hal buruk"
Temannya menyilangkan tangannya di depan dada, menggeleng sambil menarik nafas panjang.
"Heh seperti ini akan sangat sulit jadinya, kenapa kita tidak muncul saja langsung di depannya, ini sangat merepotkan"
"Aduh sakit, pelan-pelan donk" rintih Doni saat Ela salah seorang polisi wanita mengoleskan obat ke memar di tulang pipinya, seisi kantor jadi seperti klinik, sejak team Pak Rinto berhasil meringkus komplotan penjahat namun dengan harga cukup setimpal, wajah dan tubuh memar karena berkelahi
"Ackh" Fay merintih saat Angela membalut pergelangan tangannya yang terluka karena goresan pisau lawannya tadi, wajahnya sendiri tak luput dari memar di beberapa bagian
"Makanya hati-hati Fay, kau ini bukannya buka mata lebar-lebar, untung hanya menggores kulit, bagaimana kalau sampai ditusuk, bahaya khan"
Pak Rinto, Fay, Doni dan Angela duduk di depan meja chief Pak Erwan, semuanya menunduk dalam setelah bos mereka memarahi mereka barusan. Pak Erwan melihat wajah anak buahnya satu persatu dengan wajah geram, Doni yang wajahnya penuh lebam, Fay yang tulang pipi dan dahinya memar serta lengan kiri yang di perban, Angela yang berusaha merapihkan rambutnya yang tak karuan walau dengan luka paling minim di antara semuanya.
"Rinto, apa ada yang mau kau sampaikan soal ini? Kenapa ini bisa terjadi?" Pak Rinto mengangkat kepalanya, masih gagap namun baru hendak dijawab mata Pak Erwan tetap besar melihatnya tajam "eh I itu"
"Apa kau tahu betapa besar dan pentingnya kasus model kali ini?" Lanjut Pak Erwan.
Pak Rinto menoleh pada Fay, yang memang babak belur "iyah Pak, tapi, pengrebekan kali ini berhasil khan, he, kami berhasil meringkus mereka dengan mulus"
"Mulus katamu? Lihat bagaimana wajah Fay? Tangannya? Kau berharap ia tetap bisa melanjutkan penyamarannya dengan kondisi seperti ini?" Suara Pak Erwan kembali keras, Fay mengangkat kepalanya hendak berkomentar.
"Eh pak" namun emosi Pak Erwan masih belum mencapai puncaknya.
"Kasusnya bahkan belum menemukan titik terang, selain Fay kau berharap siapa yang jadi model? Doni?"
Doni yang merasa namanya disebut dengan setengah mengejeknya mengangkat kepalanya.
"Kenapa memangnya? Aku tidak bisa jadi model begitu?" Protes Doni, Angela mencuri tawa diam-diam mengejek Doni yang cemberut.
"Kita bisa memberi penjelasan Pak, mereka pasti akan mengerti" sela Rinto
Pak Erwan berdiri dari duduknya tambah emosi.
"Aku tidak mau tahu!..."
Tak berapa lama kemudian,
Keempatnya duduk di ruangan mereka lemas setelah dimarahi hebat, Pak Rinto melihat Fay lama, memang dengan kondisi wajah memar begitu sulit bagi Fay untuk kembali jadi model, ia menarik nafas panjang
"Heh lain kali Fay, kalau ada yang berkelahi lebih baik kau di belakang saja, melihat dan mengawasi"
Fay sepertinya mengerti maksud bosnya itu.
"Siap Pak, mengerti"
Doni menoleh melihat wajah Fay seksama, Fay sampai harus memukul tangan rekannya itu mengalihkan pandangannya yang menurutnya cukup menganggu.
"Apa apaan sich Don, melihat seperti itu"
Doni tersenyum "Tenang bos, wajah Fay masih ganteng kok, mereka pasti tidak bisa menolaknya"
Fay kembali memukul Doni kesal.
"Hei maksudnya mengejek begitu"
Angela tertawa.
"He lebih baik Fay, jauh lebih baik dibanding Doni yang jadi model hahaha"
Spontan Fay dan lainnya tertawa, tidak dengan Doni yang memasang wajah kesal
"Hahaaha"
"Yah hebat yah, bagus sekali Angie, terus saja mengejekku"
Suara tawa tetap terdengar bahkan setelah Doni protes.
Fay menurunkan tas ransel berisi pakaian miliknya ke rumah kecil yang ditinggali bersama dengan Doni dan Angela, sebagai upaya melancarkan tugas mereka, Pak Erwan menugaskan mereka tinggal bersama tak jauh dari markas.
"Heh" hesah Fay melihat isi rumah kecil itu, seketika mereka masuk tadi.
"Pak Erwan itu modal sekali, kita disewakan rumah lumayan begini, Aku jadi sangat menikmati tugas ini sepertinya" ujar Doni menghempas tubuhnya ke atas sofa empuk di ruang tengah.
Angela mendekat kembali setelah memeriksa sekeliling rumah, termasuk masing-masing kamar tidur dan dapur, hingga kamar kecil.
"Cukup aman, jendela sudah dipasang jeruji, double lock juga, pintu tebal, emm" gadis itu mendongak memeriksa bagian atas, Fay dan Doni sampai menganga melihat gadis itu sangat teliti
"Eh Angela, kau ini, sangat detail rupanya" komentar Doni
"Harus, kita tetap harus waspada membuka mata lebar-lebar, tidak ada yang tahu apa yang akan datang, lebih baik tetap waspada karena Fay kini mungkin jadi sasaran mereka"
Dua pemuda itu masih tetap tak bergeming dan saling berpandangan, Angela terdengar sangat serius dengan ucapannya.
"Eh Angie, kau harus mencoba lebih tenang, santai dan nikmati saja" ucapan Fay rupanya tidak didengar Angela sepenuhnya, gadis itu malah membuka tas besarnya dan mengeluarkan isinya, yang makin membuat Fay dan Doni makin terkejut.
"Angie, dapat dari mana barang-barang canggih itu?" Tanya Doni mendekat dan melirik isi tas Angela yang terdiri dari barang-barang canggih.
"Eh apa itu An?" Tanya Fay
"Apalagi, kamera cctv, Aku akan memasangnya di setiap sudut rumah, dengan begini akan jadi lebih waspada"
Fay dan Doni saling berpandangan lagi, Angela pasti sudah mulai menganggap tugas mereka terlalu berlebihan.
"Eh Angie, kau, eh serius? he, Pak Rinto bilang kita akan aman di sini, tidak banyak yang tahu soal lokasi rumah ini" ujar Fay, gadis itu tetap mendongak melihat setiap sudut ruang.
"Tetap saja, kita harus waspada, ayo Doni bantu Aku pasang"
Doni membuka matanya lebar, Angela meminta bantuannya "aku? Yang bener An, Aku mana bisa pasang alat apa ini"
"Sudah jangan protes, ikuti saja petunjukku"
Tak jauh di depan rumah, parkir sebuah kendaraan hitam, yang kerap mengintai rumah Fay dulu
"Mereka pindah ke sini? Harus beritahu istana" ujar pria yang melihat dengan teropongnya ke arah rumah di mana Fay dan lainnya duduk di tengah ruangan.
"Heh, anak-anak itu, seperti cacing kepanasan, banyak sekali agendanya"
"Yah mereka tim khusus kepolisian, sepertinya memang begitu khan tugasnya"
"Hemh, kenapa anak itu malah bekerja dibidang yang membahayakan, ibu macam apa yang merelakan anaknya menantang bahaya seperti itu"
#################
05. Snake in your eyes
"Ma!" Suara teriakan Fay, beberapa pria menahan tangannya berusaha mendorongnya masuk ke dalam kendaraan panjang berwarna putih, ia terus berusaha melawan.
"Fay! Lepaskan anakku! Lepaskan ia, kalian jangan membawanya!" Emili berusaha mendekat, namun dua orang pria sudah menahan tangannya, seorang wanita mendekat, dari pakaiannya, wanita yang rambutnya sudah memutih semua karena usianya itu tampak bukan seperti orang biasa, wajahnya bercahaya, berlian dan perhiasan yang dikenakannya membuat ia terlihat sangat anggun.
"Baginda, kumohon lepaskan ia, lepaskan Fay ku, semua salahku, ambil saja Aku, jangan anakku!" Emili tak mampu menahan airmatanya, ia harus menolong putranya, apapun caranya, wanita itu tersenyum menakutkan.
"He Emili, apa kau pikir, kalian bisa melarikan diri dariku? Ingat siapa Aku, kau wanita liar, apa yang tidak bisa kudapatkan di dunia ini" Emili menjatuhkan tubuhnya berlutut.
"Huks kumohon jangan, kami akan pergi, kami janji akan pergi sejauhnya, anda sudah berjanji tidak akan menganggu hidup kami lagi, Aku sudah melakukan semua yang anda perintahkan, Aku sudah pergi sejauh yang kami bisa, huks Fay"
Fay berusaha melawan, ada satu kesempatan ia berhasil melepaskan diri dan berlari mendekati mamanya.
"Ma, mama bangunlah ma"
Wanita itu mengibaskan tangannya pada anak buahnya, semua pria berbadan besar itu langsung menahan tangan Fay kembali.
"Bawa ia ke mobil!" serunya, namun Fay tidak tinggal diam.
"Tidak, Aku tidak mau! Lepaskan kami, kami tidak berbuat salah, kenapa kalian terus mengejar kami! Ma!" Seru Fay, wanita itu menoleh pada Fay, melihat wajah pemuda itu lama, ia tersenyum melihat sepasang mata Fay.
"He anak yang manis, kau memiliki mata yang sangat indah, mata ayahmu"
"Kumohon, lepaskan kami, kami akan pergi kami akan pergi sangat jauh" pelas Emili, wanita itu tidak bergeming, Fay pun demikian menunggu apa keputusan wanita yang terlihat sangat berkuasa itu.
"Kalian tunggu apa lagi! Bawa ia masuk, kalau perlu bius ia agar tidak melawan!" Seru wanita itu
Emili dan Fay terkejut, terlebih Fay, yang tidak menduga salah satu dari pria itu akan membungkamnya dengan obat bius "ma! tidak! Lepaskan aku!
"Tidak Fay!" Emili berusaha melepaskan diri, dua pria itu terus menahannya kuat.
"Fay! Fay! Lepaskan anakku! Huks Fay!" Dan wanita itu tak mampu berbuat banyak selain melihat Fay yang lemas dan dibopong masuk dalam kendaraan,
"Tidak Fay!!"
Emili terus berteriak hingga ia terbangun dari tidurnya.
Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi wajahnya "hoh hoh hoh Fay"
Ia mimpi buruk, sangat buruk hingga matanya membelalak lebar "hoh Fay" perlahan disibak selimutnya, menurunkan kakinya dari ranjang, menaikkan rambutnya yang berantakan dan masih terengah, mimpi yang sangat buruk hingga jantungnya terus berdebar kencang.
"Hoh Fay sayang, oh, untung hanya mimpi buruk" ditutup wajahnya dengan dua telapak tangannya, sesaat berpikir, hingga dengan segera diraih ponselnya di samping ranjang
"Fay"
Dalam kamar yang gelap
"Aduh ma, ini baru malam pertama, Fay tidak apa-apa, tenang saja ma, lagipula ini sudah lewat tengah malam" suara Fay yang bangun dan menerima sambungan telepon dari mamanya, membuat Doni yang tidur di ranjang di sebelahnya juga terbangun.
"Aduh Fay yang benar saja" diangkat selimutnya menutupi hingga kepalanya.
"Mama hanya mimpi buruk, di sini aman kok, ada Doni dan Angela juga, Fay akan sangat waspada, mama tidur yah, percayalah pada Fay yah ma, Fay pasti bisa jaga diri dengan baik"
Tak lama Fay menutup sambungan teleponnya.
Matanya sudah terbuka lebar, sepertinya sulit untuk tidur kembali, terlebih setelah telepon dari mamanya tadi.
Doni menyibak selimutnya, ia tahu sahabatnya itu pasti tidak tenang terdengar dari suara hesahan nafasnya.
"Merindukan mamamu? Ini baru hari pertama"
Fay menyibak selimutnya, bangun dan menurunkan kakinya perlahan dari ranjang
"Heh mama terlalu cemas, harusnya saat seperti ini Aku tetap di rumah menemaninya, tapi"
"Yah sudah, pulang saja besok, tengok mamamu sebentar"
Fay melihat Doni sejenak, perlahan ia berdiri menuju ke kamar kecil.
"Mana bisa Don, besok Aku ada pemotretan di luar kota, ingat tidak jadwalnya, sebagai managerku kau harusnya tahu khan"
"Hemh, iyah juga sich, bagaimana yah, pekerjaan sebagai model dan manager model ternyata banyak menyita waktu yah" gerutu Doni menggaruk kepalanya.
"Aduuh Fay kenapa dengan wajahmu!" Seru Pak Redi keras melihat Fay yang sudah tiba di lokasi berkumpul para kru, Angela maju ke depan Fay melihat pria itu berdiri sangat dekat dengan Fay, menghalanginya saat pria itu hendak mengelus pipi Fay
"Mau apa pegang-pegang, lelaki dilarang memegang lelaki lain"
"Iyah, ta tapi, aduh wajah Fay babak belur begini mana bisa difoto, aduh apa yang kalian lakukan selama akhir pekan, Lucy!" Seru Pak Redi pada penata riasnya yang telah berdiri dekat bus
"Iyah pak" dengan setengah malas wanita empat puluhan yang masih sangat segar dan cantik itu mendekat
"Lihat ini, lihat wajah Fay begini, apa bisa kau tutupi dengan riasanmu?"
Lucy melihat Fay sejenak, meneliti wajah pemuda itu, Fay sampai menundukkan kepalanya malu
"Hemh" berpikir, Doni mendekat
"Bukannya kali ini setnya di medan perang, wajah Fay sudah alami, tidak usah banyak makeup lagi khan"
Pak Redi dan Lucy berpandangan, kenapa mereka justru tidak terpikir soal itu
"Em iyah sich"
Menjelang siang, lokasi photo agak jauh di wilayah perkemahan yang masih asri dan hijau. Fay sudah berdiri dengan kostum tentara perangnya yang berwarna hijau gelap sesuai dengan set.
Tak jauh berdiri Doni dan Angela mengamati seksama
"Heh coba Aku ada setengahnya dari Fay, Aku tidak akan jadi polisi dech" ujar Doni sambil memasukkan kacang ke dalam mulutnya
"Untung kau sadar" sela Angela
Pemotretan pertama akhirnya selesai, Fay dan lain bisa beristirahat,
"Kerja bagus Fay!" Seru Herman sang photographer
"Thanks pak"
Pemuda itu mendekati tas miliknya yang berisi minuman dan makanan kecil, rasanya sudah sangat lapar, teriak perutnya
"Fay kita makan di bawah saja yuk!" Seru Doni mendekat bersama Angela, Fay tersenyum, dibuka resleting tasnya
"Iyah boleh juga, Aku sudah lapar sekali"
Namun baru melebarkan tasnya
"Aw!" Ia merintih, sesuatu menggigit tangannya, sejenak Fay melihat apa yang menggigitnya, ia terpaku diam,
"Fay kenapa?" Tanya Doni mendekat perlahan, Angela mulai cemas saat Fay diam saja, perlahan gadis itu melihat apa yang ada di dalam tas Fay
"Yah ampun!" Seekor ular berbisa, berwarna belang berukuran kecil, sudah menegakkan kepalanya hendak menyerang untuk kedua kalinya, itu yang membuat Fay tidak bergerak.
"Eh guys, apa, ada pawang ular di sini?" Tanya Fay, sekejab anggota kru mendekat, Doni melihat sekitarnya, apa saja yang bisa digunakan untuk menyingkirkan ular itu dari hadapan Fay.
"Jangan bergerak Fay" ujar Doni mendekat kembali hati-hati dengan ranting panjang yang ditemukannya, diangkat ular itu dari dalam tas, lalu membuangnya cepat ke arah tanah kosong di depan mereka sejauh mungkin.
"Kau tidak apa-apa khan Fay, apa ia menggigitmu?" Tanya Angela cemas memeriksa sekujur tubuh Fay, Fay tersenyum, dibuka telapak tangannya yang menutupi lengannya, dan seketika itu ia langsung jatuh lemas.
"Fay!" Doni dan Angela sigap spontan menahannya, saat itu keduanya baru melihat luka gigitan ular di lengan kanan Fay.
"Yah ampun, paramedik!" Seru Doni panik, Fay terkulai tak sadarkan diri di tangannya.
"Fay, Fay sadarlah, Fay" Angela cemas
#####
Description: Farrent Carlson, Fay adalah seorang agent rookie yang baru lulus akademi intel kepolisian dengan nilai menakjubkan, usia sembilan belas tahun dan berada di puncak semangat menjalani profesi barunya sebagai agent lapangan, tapi pekerjaan itu bukan dimana ia seharusnya berada,
muncul Angela yang kerap mengekorinya dan seakan melindunginya dengan segenap kemampuannya, status rahasia Fay yang hanya di ketahui beberapa orang saja membuat semua menjadi rumit, dan situasi makin kacau saat pekerjaan Fay membuat ia kerap di intai bahaya.
Ini salah satu novel dalam koleksi Trilogy dari the Royals,
just enjoy ^^
|
Title: Rantai Kisah
Category: Novel
Text:
Ekspektasi Vs. Realita
Kalau ditanya siapa yang selalu merasakan realita sesuai dengan ekspektasi? Aku rasa tidak ada. Ekspektasi yang selalu dibayangkan oleh seluruh manusia menjadikan manusia berusaha memenuhi ekspektasinya, lalu bagaimana saat realitayang terjadi sangat jauh dari yang diharapkan? kecewa? marah? pasti. Orang-orang hebat sekalipun pasti pernah merasakannya, apalagi aku yang tidak ada apa-apanya.
Dan apa aku pernah mengalaminya? Tentu saja pernah. Aku yang sejak kecil berusaha memenuhi semua keinginanku dengan segala upaya yang aku lakukan dan Alhamdulillah membuahkan hasil, namun ternyata belum ada apa-apanya setelah aku memasuki usia remaja. Usia dimana aku mulai berpikir dan bertanya-tanya apakah semua yang aku lakukan ini adalah sebuah impian atau bahkan hanya sebuah ego yang membuat aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku pun bertanya apakah semua yang aku lakukan benar-benar ingin aku lakukan atau hanya sebatas untuk memenuhi semua keinginan orang tuaku? iya betul, Orang Tua.
Aku rasa aku selalu berusaha memenuhi dan mengikuti apa yang harus aku lakukan sesuai kemauan orang tuaku. Mungkin disaat seusia SD teman-temanku memiliki banyak waktu luang untuk bermain, entah hanya mengobrol atau yang biasa anak kecil lakukan seperti bermain tali dan masak-masakan misalnya. Namun pada saat itu aku sudah disibukkan dengan mengikuti Les yang cukup menyita waktuku, tidak jarang setiap kali temanku mengajak main dan aku nggak bisa karena waktunya berbarengan dengan jadwal lesku
Aku bukan lahir dan besar dari Keluargayang “Sweet”, tidak bukan tidak harmonis. Tapi keluargaku itu mengungkapkan rasa sayang dan cinta itu bukan dengan kata-kata. Jarang sekali aku mendapat ungkapan-ungkapan itu, malah rasanya nggak pernah.
Ayahku seorang pekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang minyak dan gas yang berbulan-bulan berada di tengah luasnya lautan, membuat Ayah jarang sekali berada di rumah. Kadang sesekali aku bertanya ke Mama “Ayah kok nggak pulang-pulang Ma?”, “Ayah kerjanya apa Ma?”, “Ayah kerjanya dimana Ma?”.
Aku mengerti saat itu Mama pasti bingung menjelaskannya, tapi yang pasti selalu Mama bilang adalah “Ayah kan kerja, biar teteh bisa sekolah, bisa makan. Jangan lupa tiap abis shalat do’ain Ayah biar sehat terus ya”
Bahkan aku sempat bilang ke Mama “Ma, Ayah nggak usah kerja aja biar bisa diem di rumah”. Dan Mama hanya tertawa menanggapinya. Aku yang jarang bertemu dengan Ayah menjadikanku kurang dekat dengan sosok seorang ayah, aku nggak takut hanya segan.
Setiap hari Mama menyelesaikan pekerjaan rumah semuanya, mengurus adik-adik ku yang masih kecil, belanja ke pasar, membersihkan rumah, sampai harus nyetir untuk mengantar aku dan adik ku les yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Aku yang masih kecil saat itu hanya bisa membantu apa yang bisa aku lakukan, tapi seringnya dimarahin karena aku melakukannya dengan tidak baik hehehe.
Pada saat itu aku duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku pernah bahkan sering menginginkan sesuatu tapi nggak dibolehkan, aku marah, aku nangis. Dan si Anak kecil ini menyimpulkan bahwa “Ngomong sayang nggak pernah, minta beli sesuatu nggak boleh, pengen ini itu nggak boleh, ini bener Orang tuaku nggak sayang sama Aku”
Aku ingat betul waktu itu aku tepat duduk di kelas 4 SD, dimana dipikiranku hanya ingin main dan main. Ya, betul saat itu aku cuman pengen main dan main, nggak mau yang lainnya. Aku akan sangat kesal jika saat aku sedang main dan aku dijemput karena harus les. Les lagi, les lagi. Aku sering mengungkapkan bahwa aku ingin keluar dari tempat les itu tapi nyatanya aku nggak boleh keluar.
Persoalan les ini cukup menjadi masalah yang rumit diumurku yang masih kecil itu. Saat itu salah satu temanku bilang ke teman lainnya “Nggak usah diajak lah dia (aku), les aja terus, gak asik”. Aku bukan tipe orang yang sensitif namun pada saat itu perkataan salah satu temanku itu cukup membuatku marah terhadap keadaan.
Beberapa lama setelah itu, aku baru mulai merasakan materi dan pemahaman yang sulit aku terima. Sudah aku nggak mau melanjutkan ditambah materi yang semakin sulit, sudahlah nggak karuan sekali. Nggak di tempat les, nggak di rumah aku pasti nangis dengan alasan yang sama “Susah nggak bisa, mau keluar aja” hahaha lucu juga kalau diingat. Tapi dengan tekad yang besar Mama selalu mengajari dan memberi semangat, begitu juga guru lesku.
Nadia kecil yang masih emosian dan selalu menganggap “kalau aku nggak bisa ya nggak bisan kok terus dipaksain sih”. Dan lagi-lagi aku mikir “Aku kan masih kecil kok gini sih, enak ya teman-teman lain bisa main terus-terusan tanpa mikirin les. Aku cuman sekolah, main sebentar, ngerjain tugas sekolah, tugas les, di tempat les ngerjain tugas lagi. Nggak mau gini, nggak suka, mau main”
Kadang aku iri melihat teman-temanku yang rasanya jika menginginkan sesuatu dengan mudahnya bisa mendapatkan itu semua, jika ingin melakukan sesuatu sangat mudah diperbolehkan, lagi-lagi aku bilang sama diriku sendiri bahwa kedua orang tuaku memang nggak sayang sama aku.Gimana nggak? Segala sesuatu yang aku mau belum tentu bisa aku miliki, nggak kaya teman-temanku lain.
Dulu memang aku berpikir seperti itu. Nggak dibeliin sesuatu yang aku mau berarti nggak sayang. Nggak dibolehin ngelakuin sesuatu artinya nggak sayang. Yang aku ingin pada saat itu kalau memang sayang kasih semua yang aku mau. Hahaha nadia, nadia
Walaupun aku merasa semuanya nggak adil, tapi aku sangat beruntung akhirnya aku bisa berteman dekat dengan teman-teman yang sampai saat ini aku masih bisa berhubungan dengan mereka, ya walaupun ada berantem-berantem kecil lah. Mereka yang nggak terlalu mempermasalahkan tentang “les” itu, aku merasa senang sekali akhirnya bisa berteman dan mengungkapkan semuanya, dan ini sih menurut aku arti yang sebenarnya dari “Grows Up Together”.
Aku yang mulai mengakui diriku pada saat itu, “Nggak apa-apa les nanti nilai kamu kan bisa besar”, “Nggak apa-apa les nanti kamu bisa menang kalau ikut lomba”, “Nggak apa-apa les supaya kamu bisa dapat Nilai Ujian yang membanggakan, kan nanti kamu yang senang, kan nanti kamu yang nggak sedih ngeliat nilai sendiri jelek”
Lama kelamaan, aku baru merasakan ”efek”nya. Aku dipercaya mengikuti lomba oleh guruku, aku bisa unggul di kelas, dan aku mendapatkan nilai akhir saat Ujian Nasional yang baik. Aku malu kalau ingat semuanya, tapi sedikit demi sedikit aku mulai mengerti kenapa nggak semua yang aku mau itu bisa aku dapat.
Disisi lain aku memiliki 2 Adik lelaki, pada saat itu aku merasa aku seorang kakak itu harus menjaga adik-adik ku yang masih kecil dan memastikan mereka dalam keadaan baik-baik saja, ini bukan so-soan sih, kalau kalian anak pertama ini kayanya relate aja.
Aku yang harus kuat dan harus bisa diandalkan karena aku adalah seorang Kakak. Disana mulai muncul rasa malu saat aku menginginkan sesuatu tapi masih merengek atau menangis.
Aku jadi ingat waktu dulu aku ingin membeli sesuatu tapi tidak dituruti, aku dengan egoku saat itu selalu ingin membeli apa yang aku mau bukan apa yang aku butuh, ya namanya anak kecil liat yang lucu sedikit pengen beli.
Aku nggak bisa membayangkan kalau semua permintaanku dikabulkan pada saat itu sekarang aku akan jadi pribadi yang seperti apa. Mendapatkan semua dengan mudah tanpa tau artinya perjuangan.
Sekarang aku mengerti maksud dan tujuan orang tuaku melakukan itu semua. Malu? Iya tentu, tapi sudahlah yang lalu biar berlalu. Aku kan masih kecil saat itu, nggak baik juga menyalahkan diri terus menerus. Tapi sekarang aku sangat bersyukur dan bangga atas apa yang telah orang tuaku lakukan. Terimakasih Ma, Yah.
Masuk Pesantren
Beranjak SMP aku masuk ke salah satu Pondok Pesantren di daerah Baleendah, Bandung. Aku mengikuti arahan orang tua ku karena pada dasarnya aku memang nggak menolak maupun menerima saat dimasukan ke Pesantren aku hanya mengikuti alurnya. Semua berjalan seperti biasanya, nggak ada yang spesial.
Nggak ada pikiran apa-apa tentang pesantren buatku sebelumnya. Memang dari sejak aku kelas 5 SD aku sudah diceritakan tentang beberapa saudara yang sudah lama di pesantren dan akupun disarankan masuk pesantren karena pergaulan yang saat ini semakin mengkhawatirkan. Aku yang selalu mengiyakan saran atau kemauan orang tuaku karena memang aku rasa pilihan orang tua yang terbaik pada saat itu.
Berjalan beberapa bulan aku berada di Pesantren kehidupanku mulai berubah, aku mulai memahami dan mencoba menjalani semuanya dengan baik. Bukan tanpa hambatan, selama di Pesantren aku pernah bahkan sering merasakan ketidakcocokanku terhadap Pesantren, entah dari teman ataupun sisi lain dari Pesantren itu sendiri. Dari situlah mulai tumbuh rasa bosan dan mungkin pada umumnya orang bilang “nggak betah di Pesantren”.
Aku sempat berpikir bahwa mungkin ini masih langkah awal perjalananku di pesantren, jadi aku nggak mau ambil pusing. Tapi lama-kelamaan aku semakin merasakan hal-hal beragam di dalamnya, yang sama sekali nggak sesuai dengan kepribadianku saat itu. Ya maklum lah anak SD yang baru masuk ke babak baru langsung dihadapkan dengan sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan kehidupan dia sebelumnya.
Bukan pantang menyerah karena aku rasa aku nggak sebijaksana itu, lebih tepatnya aku coba bertahan karena ingin mengetahui apa yang akan terjadi kedepannya. Maka dari itu, semua yang terjadi nggak membuatku berpikir untuk menyerah, Aku terus mencari tahu dan belajar dari sana-sini agar mengetahui dan mengerti untuk apa seseorang itu masuk Pesantren?
Mungkin pada umumnya orang-orang bilang masuk pesantren itu untuk menambah dan memperdalam ilmu agama. Aku cukup paham bahkan sangat paham akan hal itu. Tapi pada saat itu, itu bukan alasan yang cukup membuatku puas.
``
Aku yang mulai dan terus mencari tahu, belajar, bertanya atapun sekedar ngobrol dengan teman dan kakak kelasku mulai dari hal umum sampai akhirnya menjurus ke arah pertanyaan untuk apa masuk pesantren?. Saat itu apa yang aku lakukan hanya sebatas mencari kebiasaan untuk menghilangkan rasa bosan dan “Nggak betah di Pesantren” itu aja, nggak lebih.
Dan ternyata tanpa disadari itu semua sangat berpengaruh bagiku. Aku yang awalnya selalu menganggap pikiran atau langkah yang aku ambil adalah hal yang tepat, ternyata nggak sama sekali. Karena itu semua, aku bisa mengubah pola pikir dan mindset ku yang dulu sangat perlu merasionalkan sesuatu yang akan aku terima sampai akhirnya aku mengerti bahwa ada beberapa hal yang nggak perlu ada penjelasannya. Aku pun mulai banyak mengetahui dan memahami untuk apa dan apa saja alasan mereka berada di Pesantren.
Sampai akhirnya setelah melewati perjalanan panjang, aku benar-benar mengerti apa maksud dan tujuan orang tua ku memasukan aku ke dalam pesantren. Disana aku mulai bangkit dan berbenah dari kebiaasaan atau keseharianku yang nggak menghasilkan apapun, ya aku bilang begitu karena aku melakukan semuanya itu hanya seperti air mengalir, nggak berusaha bertanya dan memahami untuk apa aku mengalir di tempat itu.
Kehidupan pesantren mulai berubah, kini hadir Nadia yang bersemangat dalam melakukan sesuatu atas dasar keinginan dan memenuhi kewajiban bukan lagi Nadia yang hanya mengikuti alurnya. Hadir pula Nadia yang mulai memiliki banyak harapan dan mimpi-mimpi yang harus digapai. Selain itu, hadir pula Nadia yang berhasil menjadi penyemangat bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga untuk teman-temannya.
Aku mulai mengikuti rangkaian kegiatan di pesantren dengan penuh kebahagiaan dan cukup bangga karena telah berhasil menumbuhkan rasa nyaman yang sudah aku buat dengan susah payah. Aku belajar dengan giat di siang dan malam, dan aku mulai memiliki prinsip bahwa tidak ada keberhasilan tanpa adanya perjuangan. Aku bangga atas diriku yang berhasil melewati tahapan yang luar biasa menurutku.
Disisi lain, aku mulai mengikuti berbagai lomba di dalam maupun di luar Pesantren dan Alhamdulillah aku mendapatkan perhargaan yang lumayan banyak yang membuat aku semakin yakin atas apa yang aku lakukan saat itu. Cukup bangga dan bersyukur atas semua hal yang terjadi. Tapi aku nggak cepat puas, aku berpikir aku pasti bisa lebih baik dari ini.
Tidak terasa akhirnya aku sampai di penghujung SMP yaitu saat usiaku 14 tahun menuju 15 tahun. Iya betul, kelas 3 SMP. Umur yang mungkin masih sangat wajar kalau dibilang “Belum dewasa”. Aku yang sudah sangat terbiasa dengan kehidupan dan pola kebiasaan yang ada di Pesantren menjadikan aku nggak merasa terbebani dengan kegiatan apapun. Tapi sesekali pasti ada sih, aku nggak memungkiri akan hal itu.
Selama kelas 3 SMP di Pesantren aku merasakan rasa nyaman dan bisa dibilang se betah itu di Pesantren. Salah satunya karena sudah sangat terbiasa dengan lingkungan dan kehidupan di pesantren. Tapi alasan utamanya yaitu teman.
Setiap harinya dari bangun sampai tidur lagi aku pasti bertemu teman yang pasti dan selalu mengisi hari-hariku. Berantem, musuhan, berteman baik, saling sindir, teman nangis, teman sedih, teman bahagia, teman yang menyemangati, teman yang selalu ada, bahkan sampai teman yang nggak menganggap aku ada pun semuanya sudah aku lalui, gimana nggak dijadikan alasan buat aku bertahan di Pesantren.
Mungkin dari kalian pun pernah merasakan yang sama halnya seperti yang aku sebutkan diatas, tapi ini beda. Berada di lingkup yang sama dalam waktu yang panjang itu sangat sulit kalau nggak saling mengerti dan mencoba meredam ego nya masing-masing.
Aku cukup senang saat berada di kelas 3 SMP karena di masa-masa itu adalah masa yang menurutku memiliki banyak keuntungan. Iya betul, banyak kegiatan kepesantrenan yang tidak diikuti karena ada tambahan belajar. Aku nggak bisa memungkiri itu semua karena memang di masa itu aku cukup tenang hahaha.
Tapi ternyata itu hanya sebatas pengantar, kenapa aku bilang pengantar karena masa itu hanya diawal. Setelah itu aku lalu disibukkan dengan banyaknya kegiatan belajar untuk menunjang Ujian. Dan tanpa disadari ternyata masa-masa itu adalah masa dimana setiap anak yang berada di bangku kelas 3 SMP menjadi incaran pelanggaran dari setiap pengurus. Nggak jarang dari teman-temanku bahkan aku sendiri mendapat hukuman yang aku sendiri nggak menyadari melakukan itu, tapi ternyata memang aku salah. Dan akhirnya diberi hukuman.
Hari-hari aku lewati dengan semestinya dan sebaik-baiknya bersama teman-temanku yang lain, sampai akhirnya waktu ujian datang. Itu artinya hari kelulusan pun semakin dekat. Ada rasa senang dan sedih saat itu. Tapi aku tetap melewatinya dengan penuh suka cita.
Akhirnya aku sangat bersyukur bisa masuk pesantren, bertemu teman-teman baru yang sangat hebat. Kakak kelas yang sangat mengayomi. Adik kelas yang begitu menghormati dan Guru-guru atau biasa aku sebut Ustadz dan Ustadzah yang begitu luar biasa.
Pada akhirnya semua pikiranku tentang pesantren sudah yang sangat berubah, aku pada saat itu melihat kehidupan pesantren yang sangat berbeda dari sebelumnya, menjadikanku dapat mengerti tentang kita memang perlu bertanya mengenai apa saja yang kita nggak ngerti. Karena tidak bisa dipungkiri bahkan kita akan mendapatkan jawaban yang bahkan nggak terpikirkan sebelumnya.
Terimakasih untuk teman-teman sekalian yang nggak bisa aku sebutkan satu per satu yang telah ikut andil dalam menjadikan diriku yang seperti ini. Terimakasih banyak.
Kehidupan di Pesantren
Let me tell you about my daily activity. Setiap hari bangun jam setengah 4 shubuh lalu persiapan untuk ke Masjid, baca Al-quran dan shalat berjamaah. Dilanjut dengan kegiatan mufradat (menghafal kosa kata) ataupun muhadatsah(percakapan).
Mungkin dari kalian ada yang bingung, ok Aku jelasin maksudnya. Pertama, untuk mufradat itu seluruh santri akan dibagi ke beberapa kelompok berdasarkan tingkatan atau kelasnya, didampingi oleh kakak pengurus dari bagian bahasa. Dalam mufradat ini aku dan teman-teman lain diberikan beberapa kosa kata baru dalam bahasa arab dan bahasa inggris untuk dihafal dan membuat contoh kalimat darinya.
Lalu yang kedua adalah muhadatsah atau percakapan ini dilakukan selama dua kali dalam satu minggu. Disana aku dan teman-teman diberi waktu dan akan langsung berpasang-pasangan untuk berbincang membahas tema yang diberikan saat itu. Setelah waktunya habis semua akan berkumpul dan akan diberikan sebuah kalimat-kalimat dari bagian bahasa untuk dihapalkan.
Ok baik ini baru sekitar pukul 6 pagi, aku dan teman-teman lain melanjutkan kegiatan dengan makan pagi dan mempunyai waktu hingga pukul tujuh untuk persiapan ke sekolah. Ada yang unik dalam sekolah di Pesantren ku, hari liburnya adalah hari jumat. Hari yang kemudian dijadikan hari untuk berolahraga, mencuci, dan menerima tamu.
Sekolah berlangsung dari pukul tujuh pagi hingga pukul siang, aku dan teman-teman lain mempunyai waktu senggang hanya sekitar setengah jam untuk akhirnya persiapan kembali untuk melaksanakan shalat asar berjama’ah di masjid. Membaca qur’an atau al-ma’tsurat adalah agenda selanjutnya setelah shalat asar berjama’ah.
Tidak sampai situ, seluruh santri harus segera bergegas untuk melakukan kegiatan yaitu ekstrakulikuler sebelum jaros berbunyi. Ya, aku dan teman-teman lain biasa menyebutnya jaros yaitu bel yang terbuat dari besi yang ditempatkan diantara area santri putri dan santri putra, yang suaranya sangat terdengar jelas dari sudut manapun.
Seluruh kegiatan dimulai atau berakhirnya suatu kegiatan di pesantren bergantung pada jaros, aku ingat betul bagaimana si pemukul jaros akan mulai memukul nya dengan tempo yang lamban “Dung.. Dung.. Dung” sampai ke tempo yang sangat kencang untuk menunjukan bahwa kegiatan selanjutnya akan segera dimulai.
Si pemukul jaros atau biasa kami sebut dengan harits dengan pakaian yang khas menggunakan rompi bertuliskan harits dalam bahasa arab. Harits adalah seluruh santri putra yang akan mendapatkan gilirannya, adapun Haritsah memiliki tugas yang sama namun untuk lingkungan atau area santri putri.
Aku cukup senang ketika menjadi haritsah karena pada hari itu tidak diwajibkan untuk masuk kelas. Harits dan haritsah memiliki tugas paten yang harus dilaksanakannya sesuai dengan hari dimana dia ditugaskan, ada bukti yang kuat untuk menunjukan kepada guru bahwa seseorang tidak masuk kelas karena menjadi harits atau haritsah adalah hal yang sangat wajar.
Enak ya? Ternyata nggak sama sekali, disamping seorang harits atau haritsah nggak masuk kelas banyak tugas yang harus dilaksanakan. Tugasnya sendiri adalah untuk membersihkan area santri putri atau putra sampai keadaan benar-benar bersih, memastikan keamanan di area putri, dan mendatata siapa saja yang sedang sakit pada hari itu untuk nantinya dibawakan makanan oleh sang harits atau haritsah. Nggak lupa siapapun yang menjadi harits atau haritsah akan menjaga meja tamu agar dapat mengetahui ada berapa banyak tamu yang datang dan ingin bertemu dengan siapa. Sampai sini gimana sudah kebayang?
“Cape dong?”, “Kok gitu banget sih?”. Tenang, seorang harits dan haritsah nggak bekerja sendiri kok, dari setiap angkatan akan ada satu perwakilan yang setiap harinya akan bergantian berdasarkan absen. Peraturan tetap peraturan, tapi jangan ngira ini jahat ya, ini adalah sebagai bentuk rasa tanggung jawab dari seorang harits ataupun haritsah. Kalau dipikirin memang kesannya seperti disuruh-suruh tapi setelah dilaksanain nggak sama sekali, karena itu memang merupakan sebuah tugas yang harus dilaksanakan.
``
Selesai melakukan kegiatan ekstrakulikuler kami hanya memiliki waktu setengah jam sampai akhirnya harus kembali ke mesjid untuk melaksanakan shalat maghrib berjamah dan dilanjut dengan makan malam. Lalu pergi ke mesjid kembali untuk melaksanakan shalat isya berjama’ah.
Sudah beres? Belum, tenang perjalanan masih panjang. Setelah shalat isya berjama’ah seluruh santri tidak boleh meninggalkan mesjid sebelum mendengarkan sebuah pengumuman dan instruksi dari Kakak pengurus. Aku dan teman-teman lain akan melanjutkan dengan belajar mandiri itu tetap dilaksanakan di dalam masjid ataupun ada tiga hari dalam satu minggu kami melaksanakan muhadharah (latihan pidato). Semua berlangsung hingga pukul sembilan malam.
Ada waktu untuk aku dan teman-teman untuk sekedar bercengkrama, membersihkan diri ataupun membeli kebutuhan sehari-hari di koperasi atau biasa disebut dengan sirkah. Jaros pukul sembilan tigapuluh malam sudah berbunyi itu artinya kami harus berkumpul di depan asrama untuk melaksanakan do’a bersama sebelum tidur dan terkadang ada beberapa pengumuman tambahan.
Melalui hari dengan sekolah mengerjakan banyak tugas sekolah, setoran hafalan, nggak lupa bikin naskah pidato seminggu 3 kali setiap minggu malam, selasa malam, dan kamis malam ada kegiatan muhadhoroh (latihan berpidato). Setiap hari pasti ada kegiatan ekstrakulikuler yang nggak boleh absen. Kalau telat ke mesjid, tidak memakai bahasa yang seharusnya pasti ada hukuman.
Sehabis isya pasti ada pengumuman atau Announcement/I’lan biasa kami sebut, tergantung minggu bahasa apa pada saat minggu itu. Karena di Pondok ku itu diwajibkan menggunakan 2 bahasa, yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Satu minggu berbahasa Arab dan Satu Minggu berbahasa Inggris. Ok baik sampai sini jangan menyimpulkan orang Pesantren itu pinter/jago berbahasa Arab dan Inggris, nggak semua, termasuk Aku.
Announcement/I’lan itu adalah salah satu kegiatan yang pasti dilalui oleh para Santri di Pondok ku. Di dalamnya, berisikan semua pengumuman kegiatan yang akan dilaksanakan. Selain itu, ada juga penyebutan untuk orang-orang yang sakit agar kita mendoakan.
Dan ini hal ter deg-degan sih menurut aku, yaitu saat pengumuman tentang pelanggaran, disana Pengurus akan bilang “Kepada nama yang dipanggil silahkan datang ke bagian bahasa” lalu lanjut ke bagian selanjutnya sampai akhir. Aku ingat betul sikap dan tatapan teman-teman yang langsung duduk tegap lalu melihat kedepan seakan-akan semua bilang “Ya Allah semoga nggak ada nama aku”, karena aku pun gitu hahaha.
Oh iya di Pondok Pesantren oraganisasinya disebut sebagai OSPM yaitu Organisasi Santri Pondok Modern sama kaya OSIS lah, di dalamnya ada beberapa bagian yaitu, Bahasa, Pengajaran, Keamanan, Penerangan, Pramuka, Kesenian, Kebersihan, Tamu, dan Laundry.
Kalau mungkin ada pertanyaan dari kalian “Kenapa sih se deg-degan itu?”. Ok, aku jelasin. Hal yang paling pertama adalah malu, pengumuman ini disampaikan di masjid, dimana seluruh santri putra maupun putri tidak boleh meninggalkan masjid sebelum pengumuman berakhir, otomatis semuanya mendengar kan, dan bayangkan ada nama kamu di dalamnya. Gimana sampai sini sudah kebayang?
Aku lanjut untuk yang ke dua adalah takut, hukumannya gak main-main loh ini benar-benar bikin efek jera, tapi nggak fisik ya. Aku ingat dulu aku pernah melanggar bagian bahasa dan aku harus menghafal beberapa bagian dari kamus dan itu nggak sedikit huhuhu. Selain itu yang ke tiga nggak ada toleransi, nggak bisa nolak, dan nggak bisa nego. Melanggar bagian A konsekuensinya apa, kapan dikumpulkan, dan seberapa banyak tugas/hukuman harus benar-benar on time. Kalau pengurus bilang dikasih waktu satu hari, ya satu hari. No excuses.
Dan yang terakhir sebenernya yang paling simpel sih nggak mau nambah kerjaan. Tugas sekolah, hafalan setoran, kegiatan-kegiatan lain yang punya deadline masing-masing itu udah cukup buat aku, kalau ada hukuman ya tau sendiri akibatnya. Karena posisiku saat itu kelas 3 SMP yang mana sebentar lagi ujian maka banyak kelas tambahan untuk menunjangnya.
Ada masa paling menyenangkan ketika di pesantren yaitu masa dimana menjelang hari ujian. Kok mau ujian malah senang sih? Bukan ujiannya tapi masa menjelang ujian itu. Disini aku dan teman-teman lain memiliki banyak waktu luang atau biasa disebut hari tenang, ya walaupun disaat itu diwajibkan untuk belajar tapi untukku itu adalah masa dimana bisa semakin dekat dengan teman-temanku yang lain.
Masa ujian di pesantren menurutku masa sulit, aku nggak belajar, aku nggak ngafalin artinya aku nggak akan bisa. Masa ujian dibagi menjadi dua tahap yaitu ujian lisan dan ujian tulis. Ujian lisan adalah ujian ter deg-degan menurutku hahaha. Hal yang paling pertama dilihat saat masa ujian olehku adalah pengawas saat ujian lisan. Karena dari situ aku bisa mengetahui karakteristik dari pengawas tersebut. Dan ketika melihat pengawas dengan sebutan biasanya “Guru Killer” aku pasti akan semakin giat belajar, untuk mendapatkan nilai bagus? Itu sih bonus menurutku. Tapi yang membuatku jadi semakin giat belajar adalah aku takut nggak bisa jawab dan akhirnya kena sempot hahaha.
Ujian lisan benar-benar nggak bisa main-main, semua hal terburuk yang dipikirkan sangat mungkin terjadi. Setiap pagi, siang, malam aku dan teman-teman lain menghafal mulai dari kalimat-kalimat bahasa arab, bahasa inggris, cerita-cerita bahasa arab dan bahasa inggris, do’a-do’a sehari-hari, bacaan shalat, tes baca tulis Al-qur’an, iya betul sebanyak itu.
Tekad aku dan teman-teman lain sangat besar untuk bisa melewati ujian lisan ini, karena aku ingat betul saat aku kelas 1 SMP dimana itu adalah ujian lisan pertamaku dan aku melihat seseorang menangis saat keluar dari ruang ujian lisan. Bisa dibayangkan apa yang aku pikrkan saat itu?
Pikiranku buyar semua, aku takut semua hapalanku hilang, saat itu aku belum masuk ruang ujian tapi sudah takut duluan. Aku coba mengobrol dengan teman-temanku yang lain untuk menghilangkan rasa nervous ku dan akhirnya lambat laun aku bisa kembali tenang.
Ketika giliranku dipanggil “Nadia Ratu Filgrima, silahkan masuk”. Aku panik, tapi aku bilang kepada diriku sendiri bukan “jangan takut, kamu pasti bisa” karena aku rasa aku nggak bisa berpikir positif disaat seperti itu. Tapi aku mikir “Kalau kamu panik nanti lupa, terus kemarin cape-cape menghapal untuk apa?”
Teman-teman ternyata di dalam ruang ujian nggak semenyeramkan itu, Alhamdulillah semua sangat sesuai rencana, aku bersyukur bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku semakin percaya tidak ada usaha yang menghianati hasil.
Sehabis ujian lisan lalu dilanjut dengan ujian tulis. Ujian yang seperti pada umumnya, disini nggak ada yang spesial yang pasti tetap belajar dengan baik.
``Bersosialisasi di pesantren itu seperti apa? Ok aku jelaskan. Menurutku, pesantren adalah salah satu tempat paling efektif dalam belajar untuk bersosialisasi. Bagaimana tidak? Setiap hari kita berada di lingkup yang sama, kegiatan yang sama dan dengan orang yang sama pula. Simpel nya seperti ini, saat kita dihadapkan dengan sesuatu yang terus menerus mana mungkin kita tidak jadi mengerti akan hal tersebut. Nah, seperti itu yang aku rasakan.
Awal masuk pesantren aku dan teman-teman semua dibagikan asrama nya masing-masing. Untuk beberapa bulan pertama setiap santri baru akan satu kamar dengan santri baru juga. Disini kita saling mengenal satu sama lain antar santri baru. Namun setelah itu kami akan dipecah dan digabung dengan santri lama lainnya.
Setiap hari bertemu, setiap hari melihat kebiasaannya, setiap hari mengobrol bahkan setiap hari tidur bareng di kamar yang sama. Bagaimana tidak menjadikan aku dan teman-teman lain bahkan kakak dan adik kelasku menjadi sangat mengenal satu sama lain. Kita mengetahui dari baik sampai buruknya teman atau orang lain ya karena kita berada di lingkup dan tempat yang sama selama waktu yang cukup lama.
“Pinjem sisir dong”, “Ada makanan gak?”, “Sabun aku habis”, “Ke mathbah (dapur) bareng ya”. Itu adalah sedikit bahasan aku dan teman-teman lain pada setiap harinya, tapi itu merupakan salah satu alasan yang membuat aku semakin nyaman berada di Pesantren hahaha. Aku cuman mikir satu “Kalau aku nggak di Pesantren aku pasti nggak akan merasakan ini”.
Ketika memiliki waktu senggang aku dan teman-teman lain berkunjung ke salah satu kamar lainnya untuk sekedar mengobrol atau membahas materi pelajaran sekolah. Nggak lupa seseorang akan bilang “Teman-teman ayo datang ke kamarku jangan lupa bawa makanan kalian” hahaha aku kangen sekali moment itu.
Hubungan aku dan teman-teman lain dengan kakak kelas maupun adik kelaspun tidak ada jarak, kami sudah seperti keluarga yang nggak segan untuk bertanya tentang apapun atau mungkin hanya sekedar mengerjai satu sama lain, itu sering dilakukan, hahaha lagi-lagi aku kangen dengan semua itu.
“Enak banget ya rasanya jadi deket dan kayanya baik-baik aja terus”. Oh tentu tidak, tidak sama sekali. Karena kehidupan pesantren seperti yang udah aku jelaskan, rentan sekali adanya perselisihan dan pertengkaran. Dan menurutku ini cukup bahaya tapi sekaligus cukup baik. Kok gitu? Gini, aku jelasin. Setiap orang punya kemauan dan keinginannya masing-masing. Yang mengalah? Ada, yang egonya besar? Ada, yang hobby bercanda? Ada, yang baperan? Ada, yang terlihat kuat? Ada, yang hobby nya ngomporin? Ada, yang bodo amat? Ada. Dan masih banyak lagi.
Alasan itu yang menyebabkan ketika terjadi perselisihan akan menjadi bahaya karena saling mengetahui sisi lemah atau bisa dibilang keburukannya yang menjadikan seseorang itu semakin kesal. Tapi cukup baik karena dengan lingkungan yang sama dan akan bertemu terus-menerus jarang sekali ada perselisihan atau pertengkaran dalam waktu yang lama. Tapi nggak bisa dipungkiri karena pasti ada saja yang seperti itu.
Tapi disini adalah ajang saling mengerti dan memahami antar individu menurutku, menjadikan seseorang semakin dewasa. Karena aku benar merasakan itu semua.
Setelah dipikir-pikir kalau aku nggak menyadarinya dan menerimanya dari awal pasti akan sangat berat untuk menjalaninya.Bagaimana tidak? Kalau semua masih seperti awal aku masuk pesantren dimana aku hanya mengikuti alurnya, pasti aku sudah bisa jamin aku mau keluar aja dari Pesantren, ribet banyak aturannya, temannya bikin pusing, pelajaran banyak, hapalan selalu menunggu, kegiatan nggak beres-beres.
Ternyata aku mengerti setelah semuanya terjadi, aku bisa menyimpulkan bahwa memang benar sesuatu tidak akan muncul atau datang sendirinya kalau kita sendiri nggak berbuat apa-apa, yang aku maksud disini adalah rasa nyaman itu. Aku mencari, aku bertanya dan aku berhasil membangun itu semua. Bukan tanpa orang lain, aku bisa menjadikan itu menjadi nyata berkat orang-orang hebat di dalamnya.
Teman
Faktor yang sangat berpengaruh menjadikan “Aku” pada saat itu yaitu teman. Aku sangat bersyukur karena dalam proses pendewasaan ya bisa aku bilang, aku dikelilingi dan ditemani oleh teman-teman hebat yang nggak cape untuk selalu menyemangati dan memotivasi aku.
Menurutku teman itu komponen pelengkap dalam hidup yang nggak mungkin terlewatkan di setiap cerita kehidupan manusia. Karena teman bisa membentuk pribadi seseorang, percaya nggak percaya, sadar nggak sadar itu benar-benar terjadi. Begitupun aku.
Aku yang dulu memiliki sifat emosian dan nggak sabaran itu lambat laun tumbuh menjadi seseorang yang sabar dan mulai menghargai, ini serius, semua karena teman. Aku yang dulu selalu merasa semua yang aku mau harus aku dapatkan, perlahan mengerti apa yang benar-benar aku mau dan apa yang sebenarnya aku butuhkan.
Memang benar awal masa di pesantren adalah masa transisi yang membuat hidupku sangat berubah . Aku ingat betul bagaimana aku berhadapan langsung dengan teman-teman yang tentunya berbeda-beda. Aku rasa saat itu merupakan masa awal yang sulit.
Aku yang baru terjun dari dunia SD yang bisa dibilang semuanya sangat mudah untuk dilakukan. Contoh kecilnya seperti menyiapkan baju seragam, semasa SD aku masih disiapkan seragam oleh Mama. Seorang anak kecil yang dipaksa dan mau nggak mau menjalankan hidup baru yang mengharuskannya melakukan segala sesuatu dengan sendiri.
Ditambah lagi sikap dan perilaku yang masih kekanak-kanakan yang membuat semuanya menjadi sebuah masa adaptasi yang cukup berat. Seiring berjalannya waktu muncullah perasaan atau pemikiran yang sudah aku sempat jelaskan di bab sebelumnya yaitu banyak ketidakcocokan atau yang sangat bertolak belakang dengan sikapku saat itu.
Disini mulailah aku berhadapan dengan orang-orang sekitar, dan yang pertama kali mulai aku pikirkan yaitu tentang teman-teman. Pikiranku saat itu hanya tentang ”Gimana aku bisa mendapatkan rasa senang berada di pesantren? Sedangkan aku rasa aku nggak cocok ada disini”.
Iya betul, hanya itu yang aku inginkan hanya tentang bagaimana aku bisa senang berada di tempat ini, dan mencari tau mengapa orang-orang pun masuk kesini, apa alasan mereka. Lambat laun aku mulai mendapat jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaanku . Bukan tanpa hambatan, aku mendapat semua jawaban dengan nggak mudah dan membutuhkan waktu yang banyak.
Pada saat itu aku ingat, aku mulai beradaptasi dengan teman-teman yang notabenenya sama, masih bersikap seperti anak kecil. Berantem, saling sindir, bahkan menjaili satu sama lain itu juga pernah aku alami. Sampai akhirnya aku berada di titik mulai mengerti bagaimana cara berhubungan, dan bagaimana cara untuk menghadapi orang-orang yang berbeda-beda.
Walau begitu aku pun sama manusia biasa yang masih sakit hati jika ada yang berkata-kata tajam kepadaku, masih suka kesal jika ada yang diberitahu tidak menuruti aku, masih marah jika tidak dihargai.
Suatu hari saat sedang sekolah dan di dalam kelas sedang sangat ramai, aku hanya mencoba menegur. Namun, mungkin mereka nggak terima dengan melontarkan kata-kata yang cukup membuatku sedih dan sakit hati, aku bergegas ke kamar untuk menenangkan diri lalu menangis. hahaha pasti teman-temanku sedang tertawa jika membaca ini.
Aku nggak ngerti saat itu memang aku yang sensitif atau memang perkataan temanku cukup membuatku nggak nyaman, entahlah tapi itu pengalaman yang nggak mungkin aku lupa.
Aku memang sakit hati, tapi disitu aku belajar, aku nggak boleh sama seperti yang lain karena aku berpikir akan berapa banyak orang yang tersakiti hatinya hanya karena perkataanku. Di lain waktu aku mungkin dianggap terlalu serius hanya karena aku jarang bercanda dan bergabung kalau aku rasa nggak ada obrolan yang pas denganku.
Bukan, aku bukan anak yang anti sosial. Tapi aku akan lebih tenang jika aku sedang mengobrol ataupun berkumpul dengan teman-teman dan aku rasa ada yang nggak pas denganku aku akan langsung menarik diri dan pergi untuk menyendiri atau bergabung dengan teman lain yang aku rasa aku cocok dengannya.
``Saat itu aku menghabiskan waktuku hanya dengan belajar dan belajar, karena memang yang membuatku merasa tenang dan nyaman saat sendiri yaitu sambil belajar. Entah belajar apapun itu, ini terdengar aneh tapi aku rasa itu adalah masa pendewasaanku juga, ini benar-benar pernah aku alami, please don’t tell that i’m weird.
Lama kelamaan mulai muncul rasa bosan dan jenuh karena menjalani hari-hari selalu seperti itu. Aku mulai memikirkan semuanya, tentang diriku sendiri, tentang orangtuaku, tentang teman-temanku, tentang lingkungan, bahkan tentang aku ingin dan harus menjadi apa kelak saat sudah dewasa. Aku rasa itu kejauhan tapi memang itu yang aku pikirkan.Kembali lagi aku mulai memikirkan tentang apa salahnya dari aku sampai akhirnya aku merasa bosan dan jenuh, atau salah teman-temanku?, atau salah lingkungan?, atau salah siapa?. Terus saja aku menyalahkan semuanya karena aku tak kunjung mendapatkan jawaban dari pertanyaanku.
Aku mulai bertanya, banyak bercerita dan saling berbagi pengalaman kepada teman-temanku. Aku coba melakukan semua yang aku rasa sangat kontradiktif dengan sikapku. Tanpa disadari dan wow, ternyata aku mulai mendapatkan jawabannya dengan perlahan.
Lagi-lagi bukan tanpa hambatan, banyak sekali kejadian yang membuatku berpikir “Kok gini sih?”, “Aku maunya apa sih?”, “Mereka maunya apa sih?”. Ada perasaan-perasaan yang muncul entah memang dilakukan kepadaku atau memang hanya pikiran negatifku.
Aku pernah merasa benar-benar nggak punya teman, karena aku jarang dilibatkan dalam obrolan atau kumpul bersama mereka. Aku pernah merasa dianggap “so banget”. Dan aku pun pernah merasa teman-temanku hanya datang saat butuhnya saja.
Ok, biar aku jelasin. “datang saat ada butuhnya saja?”, “Bukannya setiap orang memang saling membutuhkan satu sama lain?”. Nggak maskudku nggak gitu. Aku benar-benar akan dihubungi atau dilibatkan saat ada hubungan dengan masalah pelajaran, hahaha aku terlalu perasa kali ya saat itu sampai bisa berpikiran seperti itu.
Nggak semua teman seperti itu, aku pun memiliki banyak teman yang normal-normal saja. Dalam artian teman seperti pada umumnya ya. Tapi aku aneh saat itu nggak ada perasaan dendam, marah ataupun hal negatif lain. Hanya sebatas sakit hati ya aku kira itu wajar sih. Semua yang terjadi malah semakin membuatku merasa tertantang untuk menaklukan hati mereka semua hahaha.
Lambat laun aku mulai masuk ke setiap seluk beluk sisi pertemanan, perlahan namun pasti aku mendapatkan hati mereka. Hingga sampailah ke titik dimana seperti ada penjelasan antara aku dan teman-teman lain yang tidak kasat mata, misalnya dari sudut pandangku “Ternyata mereka asik juga kalau udah ngobrol banyak dan sudah deket”.
Dan secara nggak langsung aku pun mengatakan bahwa “Aku nggak seperti yang kalian kira, aku nggak se serius itu, aku nggak judes hahaha, aku pun nggak belajar terus karena ternyata aku bosan melakukan itu terus-menerus”.Sampai akhirnya aku menemukan rasa nyaman yang beriringan aku pun mendapatkan jawaban-jawaban sebelumnya seperti kenapa orang-orang itu masuk pesantren. Aku merasa semakin dekat dan benar-benar merasa nyaman diantara mereka semua.
Hidup beriringan dan berdampingan dengan banyak orang di tempat yang sama dan dalam waktu yang lama bukanlah hal yang mudah. Tapi ternyata setelah aku melewati tahapan-tahapannya aku rasa nggak ada yang sulit selama kita yakin dan ada teman-teman yang bisa saling mendukung satu sama lain.
Aku sangat senang akhirnya bisa melewati dan menjalani hidup di pesantren menjadi sangat berwarna, nggak lebay ini serius. Aku berekspektasi bahwa kondisi seperti ini bisa berlangsung lama, tapi ternyata nggak. Aku mulai dihadapkan lagi dengan masalah baru. Dan disana aku mikir “Apalagi ini ya Allah?”.
Di pesantren ku ada kegiatan yang rutin dilaksanakan setiap setahun sekali, ajang ini seperti pencarian bakat yang diselenggarakan oleh bagian bahasa yang mencari bakat-bakat santri putra dan putri dalam kemampuan kebahasaan yang mereka miliki.
Persyaratan telah terpampang jelas pada majalah dinding yang ada di area putri, disana aku nggak tertarik sama sekali untuk ikut serta karena aku nggak suka tampil di depan umum. Salah satu temanku bilang, dia adalah rachmawati “Nad, kamu nggak ikut? aku mau ikut do’ain ya.”. Aku sangat bingung sekaligus senang mendengarnya dan aku dengan spontan menjawab “Nggak ah, tapi kamu pasti aku do’ain, semangat!”.
Tahapan-tahapan telah dia lewati dengan kesungguhan dan akhirnya temanku ini masuk ke babak final. Oh iya, sistem pemilihannya itu harus ada perwakilan dari setiap kelas atau angkatannya, saat itu aku duduk di bangku kelas 3 SMP. Aku merasa sebagai teman yang baik aku harus memberikan dukungan dan bantuan jika ada yang bisa aku bantu.
Tanpa diduga sebelumnya, beberapa hari menjelang final pencarian bakat itu, dia jatuh sakit dan akan segera melakukan pengobatan yang akhirnya mengharuskan dia pulang dari pesantren. saat itu aku hanya berpikir tentang “Kasian dia sakit, semoga cepet sembuh. Sebentar lagi final akan dilaksanakan gimana kalau dia belum sembuh dan nggak bisa ikut? Padahal dia sudah mempersiapkan semuanya dengan baik”.
Beberapa hari setelah itu tiba-tiba salah satu temanku mengabari bahwa aku dipanggil oleh bagian bahasa. Dipikiranku saat itu adalah “Ya Allah aku melanggar apa sampai dipanggil seperti ini tanpa ada pemberitahuan sebelumnya”.Dengan perasaan nggak karuan dan pastinya deg-degan aku memenuhi panggilan tersebut dan langsung mendatangi bagian bahasa. Nggak pernah terpikirkan oleh ku bahwa bagian bahasa akan mengatakan “Karena final sebentar lagi dan sepertinya rachma masih sakit, kamu gantiin rachma ya di final nanti”. Aku diam nggak mengeluarkan sepatah kata apapun dan aku hanya menjawab “saya pikirkan dulu ukhti, saya izin permisi”. Kalian bisa bayangkan posisi aku saat itu?
Temanku yang memberi pesan bahwa aku dipanggil bagian bahasa lalu bertanya, “Ada apa Nad?”. Awalnya aku diam karena bingung harus menjelaskan dari mana. Sampai akhirnya aku menceritakan semuanya dan temanku dengan spontan menjawab “Ya nggak apa-apa Nad, ini kan bukan kamu yang mau, tapi aku juga akan bingung kalau aku jadi kamu”. Ini bukan tentang bisa atau tidaknya, tapi tentang perasaan.
Beberapa temanku yang lain akhirnya mengetahui dan memberi dukungan kepadaku agar terus melanjutkan karena jika tidak, tidak ada perwakilan dari kelas 3 untuk mengikuti ajang tersebut. Banyak sekali yang aku pikirkan saat itu. Sampai akhirnya h-1 sebelum final rachma datang, dan disana aku sangat senang akhirnya aku tidak harus menggantikannya dalam final.
Tanpa ragu aku mendatangi bagian bahasa dan berkata “Ukhti, mohon maaf sebelumnya saya nggak jadi kan menggantikan rachma karena dia sudah datang”. Aku sama sekali nggak menyangka dengan jawaban ini “Yasudah, nggak apa-apa jadi perwakilan dari kelas tiga ada dua orang, yaitu kamu dan rachma”. Wow.
Entah diberitahu oleh bagian bahasa atau dari teman-teman yang lain akhirnya rachma mengetahui tentang dilibatkannya aku dalam babak final itu. Mungkin kalian bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Iya betul dia berubah 360 derajat. Aku bisa merasakan ada sebuah perasaan yang membuatnya sangat kesal dan merasa dikhianati oleh diriku. Aku memanggil pun tak dihiraukau olehnya. Aku sangat ingin menjelaskan semuanya tapi rasanya aku nggak mampu.
Hari final akhirnya tiba, hari yang sangat tidak aku tunggu-tunggu, hari yang sudah sempat terbayangkan olehku semenjak bagian bahasa menghubungiku. Semuanya benar-benar terjadi. Semua berjalan sesuai dengan rangkaian acara yang telah dibuat oleh bagian bahasa. Dan pada penghujung acara nggak disangka sama sekali, aku memenangkan ajang tersebut.Iya betul, aku yang menjadi pemenangnya. Saat aku dipanggil dan menerima penghargaan pandanganku nggak lepas darinya, rachma. Aku merasakan ada sejuta perasaan yang nggak bisa dijelaskan olehnya, namun ada satu yang pasti aku mengerti yaitu dia kecewa. Aku nggak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku pasrah.
Ucapan selamat dan bangga dari teman-temanku bukan yang aku harapkan saat itu, aku bahkan nggak tau apakah aku harus berterimakasih diatas perasaan kecewa temanku sendiri. Nggak perlu menunggu lama yang aku takutkan itu terjadi.
Aku paham betul perasaan dia saat itu, mungkin aku pun akan bertindak hal yang sama jika aku menjadi dia. Tapi aku pun berpikir bahwa ini bukan mauku, bukan kemauanku. Namun rasa itu nggak bisa membuat suasana menjadi baik. Permasalahan dimulai ke babak selanjutnya, yang sebelumnya dia hanya tidak menghiraukan saat aku memanggilnya menjadikan dia sangat menghindar bahkan sekedar melihatku saja dia tidak mau, lalu aku berpikir “se begitu salah kah aku di hadapan dia?”
Aku mencoba beberapa langkah untuk bisa berinteraksi dengan baik lagi dengannya, ternyata usahaku sia-sia. Dia benar-benar sakit hati olehku. Melihat kondisi yang seperti ini aku berkata ke beberapa temanku yang lain agar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan ternyata mendengar namaku saja dia nggak mau.
Sedih bukan main, kalau dari kalian ada yang mikir “ngapain mikirin dia ini bukan salah kamu”. Akan menjadi salahku jika ada orang yang merasa tersakiti olehku dan aku membiarkannya. Aku terus mencari cara agar bisa mengobrol dan berbincang lagi seperti biasa dengannya, lagi-lagi hasilnya nihil.
Bukan sebentar itu berlangsung beberapa hari bahkan minggu yang membuat perasaanku semakin tidak karuan. Aku selalu memikirkan tentang semuanya, dan akhirnya aku menyalahkan diriku dan keadaan.
Setelah perjalanan panjang, dia mulai mau berbicara denganku. Tapi aku tidak langsung menanyakan hal tersebut karena aku takut itu membuatnya mengingat kembali dan menjadikan masalahnya semakin panjang. Tapi ternyata dia yang memulai membahas tentang ini.
Dia menjelaskan dan menceritakan semua yang dia alami dan rasakan sampai akhirnya dia menangis sejadi-jadinya, dia marah, kecewa, kesal, merasa dikhianati dan menjadikan dia yang seperti itu. Semua yang dia ungkapkan itu karena aku.
Aku hanya terdiam mendengarnya dan menyalahkan diriku sendiri lagi atas apa yang terjadi, nggak banyak yang bisa aku ungkapkan selain maaf. Aku pun mencoba menjelaskan walaupun dia sempat tidak menghiraukan kembali tapi akhirnya dia mau mendengar. Setelah obrolan panjang, Alhamdulillah dia mengerti dan semua berangsur-angsur membaik. Dan akhirnya kita kembali berteman seperti biasanya.
Sungguh, pengalaman-pengalaman bersama teman ini merupakan hal yang nggak mungkin bisa aku lupa. Aku menyadari bahwa aku benar-benar tidak ada apa-apanya jika tanpa teman. Aku sangat bersyukur bisa melewati semua perjalananku, tapi aku rasa aku sangat tidak bisa melewatinya jika tanpa semua teman-teman hebatku di dalamnya.
Description: Sebuah perjalanan hidupku yang cukup membuatku sadar bahwa hidup itu nggak se simple dan nggak se rumit itu. Si kecil Nadia yang selalu memaksakan kehedak demi mendapatkan apa yang dia inginkan tumbuh menjadi Nadia yang banyak belajar dari pengalaman yang telah lalu. semua berawal ketika aku masuk Pesantren dan menemukan banyak hal-hal yang nggak sesuai didalamnya. Sampai akhirnya menemukan titik ternyaman dan harus merelakan itu semua. Setelah melewati banyak hal ternyata hadir kembali hal-hal yang nggak terduga bisa dialami olehku.
Nama : Nadia Ratu Filgrima, Ig : nadiaflgrm, Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #CintaTanpaBatas 2020
|
Title: Runaway
Category: Misteri
Text:
1
Aku tercekat namun segera menempelkan punggungku ke dinding sambil berharap tak ada yang melihatku. Nafasku terengah-engah. Aku menutup mulutku, berusaha keras agar tak bersuara. Suara langkah kaki tersebut terdengar semakin jelas. Dari suara langkah kakinya, terdengar hanya satu orang. Aku sangat berharap gelapnya malam mampu menyembunyikanku. Aku berusaha menahan nafas dan keringat dingin mengaliri punggungku. Beberapa kali cahaya senternya terlihat memeriksa keadaan disekitarku. Langkahnya semakin dekat. Aku berpikir cepat, mempertimbangkan untuk menembus tanah lapang penuh semak berduri yang ada di hadapanku atau berlari menembus kegelapan malam. Namun sayangnya keduanya akan menimbulkan suara yang bukan pilihan bagiku saat ini. Kakiku mulai bergetar. Tiba-tiba terdengar suara halus dari HT yang dibawanya.
”GADIS ITU SUDAH DITEMUKAN, CEPAT KEMBALI KESINI.”
Cahaya senter beberapa kali terlihat sembari langkah kaki orang tersebut menjauh. Setelah sunyi senyap, aku terjatuh. Aku berharap tipuan kecilku mampu mengecoh mereka walaupun hanya sementara. Kakiku tak sanggup lagi menahan tubuhku. Aku terkejut saat menyadari tanganku gemetar, Jantungku berdebar sangat kencang dan nafasku terengah-engah. Angin malam mulai terasa dingin. Setelah menunggu beberapa menit sambil menenangkan jantungku, aku keluar dari tempatku bersembunyi dengan mengendap-endap. Aku memeriksa sekitarku dengan awas sebelum berjalan kearah berlawanan dari petugas-petugas tersebut. Pukul 3 pagi dan masih banyak anak-anak muda yang berbincang di warkop-warkop ditemani tv kecil yang sedang menayangkan pertandingan bola.
Aku berusaha berjalan dalam kegelapan dan beberapa kali tersandung batu-batu kecil. Rumah disini sangat jarang. Antara rumah dengan rumah terdapat kebun yang luas. Aku nyaris tak dapat melihat apa-apa dan lebih banyak menggunakan tanganku dibanding mataku. Aku harus pulang, pikirku. Aku tak tau apa yang terjadi, siapa yang menjebakku, dan bagaimana kejadiannya. Aku terbangun di kamar rumah sakit dalam keadaan terluka. Satu-satunya hal yang aku tau adalah aku harus melarikan diri. Apapun yang berhubungan dengan organisasi Runaway pasti membahayakan nyawaku. Aku menyentuh pelan perban di kepalaku. Berusaha keras mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Tapi seperti biasa, tak ada memori apapun sebelum aku terbangun dari kamar itu. Aku yakin sekali aku baru melakukan tindakan kriminal tingkat tinggi yang dirancang organisasi, namun sayangnya aku tak mengingatnya karna penghapusan ingatan tertentu juga merupakan kesepakatan dalam pekerjaanku.
Entah berapa kali aku berpikir untuk berhenti dari pekerjaan ini. Walaupun aku memenuhi syarat-syarat gila seperti mampu membuat orang lain sekarat dengan tangan kosong dan syarat-syarat gila lainnya, bayaran dengan resiko yang harus kutanggung sungguh tak sebanding. Tapi saat aku membutuhkan uang cepat, aku selalu kembali ke pekerjaan ini. Aku sudah memegang 30 persen dari seluruh bayaranku dan sisanya akan dibayarkan saat aku sudah sampai ke rumah dengan selamat. Setelah aku selesai dari pekerjaan ini aku akan berhenti, begitu kataku disetiap misi yang aku lakukan.
Setelah beberapa waktu berjalan, akhirnya aku menemukan jalan besar yang tampaknya sering dilalui saat siang hari. Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memutuskan untuk tetap berjalan didalam semak-semak sambil menyusuri jalan besar tersebut. Walaupun langit mulai terang, tetap saja sulit bagiku berjalan di semak-semak seperti ini. Aku menyetop angkot kosong pertama yang lewat. Supir angkot tersebut tampak terheran-heran melihat seorang perempuan kurus berusia sekitar 25 an dengan jaket kulit dan bercelana jeans hitam mengendap-endap dalam semak belukar, aku bersyukur sempat mengganti baju rumah sakit berwarna biru buluk itu dengan barang-barang dari tas pasien yang dirawat di sampingku. Aku berjanji akan mengembalikannya jika aku bertemu lagi dengannya. Aku memaksakan senyum terbaikku dan segera naik dan duduk di dekat pintu angkot bagian belakang.
“Maaf, Ini dimana ya pak?” tanyaku
“Bukittinggi kak.”
BUKITTINGGI?!! Rasa panas menjalar di hatiku. Sambil berusaha keras tak memecahkan kaca angkot yang tampaknya sudah tua tersebut aku mengurut urut kepalaku yang mulai pening. Aku sangat yakin daerah operasiku hanya dibagian Jakarta Barat, kenapa pula sekarang aku berada di Bukittinggi? Berbeda provinsi atau berbeda kabupaten masi bisa kumaklumi. Berbeda pulau?
Tampaknya mereka benar – benar ingin “menghilangkan”ku kali ini. Walaupun aku dengan senang hati meninggalkan dunia keparat ini, namun aku belom bisa pergi dulu, masih ada perut yang harus kuisi dan sedang menungguku pulang saat ini. Aku menemukan dompet dari dalam tas yang kucuri dari kamar rumah sakit tadi. Dompet tersebut tampak terbuat dari kulit dengan hiasan-hiasan kecil dibagian ujung atas kirinya. Aku mengambil semua uang yang ada di dalam dompet tersebut dan mengecek identitas pemilik dompet tersebut. Nama Gina Hashena tercantum di KTP yang gambarnya sudah tak lagi jelas. Lahir pada tanggal 3 September 1996. Seumuran denganku. Aku bertanya-tanya tanggal berapa yang akan aku pilih sebagai tanggal lahirku saat pembuatan KTP ku nanti.
Sesampainya di terminal tempat angkot mengetem, tinggal aku seorang yang berada dalam angkot tersebut. Aku turun membawa semua barangku dan membayar ongkosnya. Aku bersyukur Gina meletakkan banyak uang cash di dompetnya. Mudah-mudahan cukup sampai aku kembali ke peradabanku di pulau Jawa. Jam tangan milik Gina menunjukkan pukul 9. Sudah siang, tak aman rasanya jika aku berkeliaran di keramaian. Satu-satunya hal penting yang tak ada di tas Gina adalah handphone, yang saat ini sangat kubutuhkan. Aku segera berjalan di balik bayangan pepohonan yang banyak terdapat di Bukittinggi, udaranya dingin sekali disini. Beberapa kali aku menyusuri trotoar sebelum kembali ke balik pepohonan. Aku berusaha sebisa mungkin tak berinteraksi dengan manusia mengingat aku tak pandai bergaul dan tak punya keinginan juga untuk melakukannya.
“Gina!!!!!!!!!!!” terdengar teriakan yang sangat dekat di belakangku. Aku segera mengatupkan mulutku yang hampir berteriak karena terkejut. Aku perlahan mendekatkan diri ke pohon terdekat untuk mengendap-endap dan pergi menjauh dari suara barusan.
“Oy.” Aku reflek mengambil tangannya yang menyentuh bahuku dan memitingnya hingga terjatuh. Seorang laki-laki menggunakan kaos polo berwarna hijau lumut dengan celana jeans terduduk di hadapanku. Matanya yang berwarna coklat tua terlihat heran menatapku.
“Buset, Gin ini aku, Kevin.” Katanya sambil menatapku. Siapa Kevin? Aku segera pergi meninggalkan laki-laki aneh yang mengaku bernama Kevin ini. Aku merasa tak asing namun juga tak mengenalinya. Mungkin karena dia mirip pemain film atau aku pernah melihatnya di spanduk-spanduk iklan.
“Gin?” aku mengacuhkannya dan tetap berjalan. Apakah ini yang disebut pertemanan? Dia bahkan tak mengenali temannya sendiri.
“Atau, Fitri?” aku berhenti berjalan. Bagaimana bisa? Dalam pekerjaan ini tak pernah ada identitas asli yang beredar. Aku segera mengambil pisau lipat di kantong celanaku dan meletakkan mata pisaunya tepat dibawah nadi lehernya. Aku bersyukur setidaknya keparat-keparat itu masih memberiku sebuah senjata untuk bertahan hidup. Dia tampak menahan nafas.
“Wow, siapa ini?” kataku sambil tersenyum.Wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Bodohnya aku. Aku bereaksi terlalu cepat, seolah-olah mengakui tebakannya benar. Tch mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
"Aku tau daerah sini. Kamu bisa keluar dr sini dengan aman." Hmm itu akan sangat mempermudah dan mempercepatku keluar dari sini.
"Aku bisa sendiri." Aku mulai menekan pelan pisau lipat di lehernya namun tak sampai menggores. Dia tampak menggertakkan rahangnya.
"Aku tau kenapa kamu bisa ada disini" benarkah? aku sangat ingin tahu mengapa mereka menaruhku disini. Kenapa mereka melanggar kontrak? Tch.
"Gua ga mau tau, ini resiko pekerjaan" kataku akhirnya. Aku melihatnya tersenyum sekilas.
"Lu udah gasayang nyawa?" Tanyaku berang
"Satu lagi, aku bisa cerita ke kamu tentang Gina." Aku menahan senyum
"Terus menurut lu, gua bakal peduli gitu sama orang yang gua ga kenal? Jangan becanda, lu mau mati hah?".
"Karena, dia, Gina, adalah alasan kenapa kamu berada disini sekarang."
Aku sedikit membeset lehernya sebelum menurunkan pisau lipatku. Sekedar mengingatkan, aku tak bercanda. Dia segera menekan luka dilehernya dengan tangannya.
"Coba lari. Mungkin hari ini hari terakhir lu." Dia mengangguk
"Jadi, lu siapa?"
"Aku temen kamu."
"Gua kerja sendiri."
"Atau, anggap saja aku hanya kebetulan tau tentangmu lebih banyak dari dirimu sendiri." Pekerjaan sialan. Aku mengisyaratkannya untuk berjalan dengan pisauku. Dia berjalan didepanku dengan ragu-ragu sambil beberapa kali melirik ke arahku.
"Kita mau kemana?" Aku mengambil hp di kantong celana bagian belakang Kevin dan mengetik sebuah alamat yang sudah kuhafal di luar kepala. Aku tak mungkin pulang dengan membawa orang tak kukenal. Alamat yang kuketik adalah alamat emergency kota Padang yang wajib kuhafalkan dulu sebelum bekerja. Sekarang aku paham kenapa keparat2 itu menyuruhku menghapalkan alamat di setiap kota.
"Jalan kearah sana." Kataku sambil menunjuk arah ke dalam hutan lalu suasana menjadi sunyi.
"Pertama kali aku bertemu dengannya saat aku sekolah di SMA.." dia berhenti berbicara saat aku meletakkan mata pisau di punggungnya yang langsung menegang.
"Intinya."
"Kamu harus tau dari awal."
"Apa hubungannya ama gua?"
"Semua tentang dia berhubungan denganmu." Aku menjauhkan pisauku dan melihatnya menghela nafas.
"Gina adalah anak pengusaha kaya. Aku pertama kali bertemu dengannya di SMA ternama di sini. Dia ceria, murah senyum dan bergaul dengan siapa saja tapi aku tak terlalu akrab dengannya. Sampai suatu hari aku melihatnya seorang diri dikelas dan menangis. Aku mendatanginya dan memberinya minum lalu pergi."
"Oke. Trus apa hubungannya sama gua?" Tanyaku tak sabar. Dia menatapku sebentar.
"Kamu akan mengerti." Sahutnya lalu melanjutkan bercerita.
"Keesokan harinya dia mendatangiku saat aku sedang sendiri. Dia memintaku berjanji tak memberitau siapapun soal apa yg terjadi di hari sebelumnya dan berterima kasih untuk minuman yang kuberikan. Awalnya aku tak mau berjanji, ya untuk apa juga aku memberitau semua orang kalo aku liat Gina nangis? Apapun alasannya, dia punya alasannya sendiri. Tapi semenjak itu Gina tak pernah meninggalkanku sendiri. Dia benar-benar mengganggu kehidupan tenangku. Mulai dari mengancamku, tak pernah membiarkanku sendiri, selalu dengan mudah menemukanku walaupun aku sudah bersembunyi, memanggilku di tempat umum dan membuatku menjadi pusat perhatian. Dia benar-benar menjengkelkan. Sampai akhirnya aku menyerah, aku berjanji padanya aku tak akan membocorkan rahasia 'besar'nya itu. Setelah itu, dia tersenyum. Sungguh di hari itu dia cantik sekali." Alis kananku refleks bergerak. Aku mulai memijat keningku dan mengatakan sabar berkali2 seperti mantra.
"Lu suka ama dia?"dia menatapku dan wajahnya memerah. perasaan kesal menjalar dihatiku. Aku sudah membuang-buang waktu dan tenagaku.
"Belum, saat itu aku belum menyukainya. Aku hanya menyukai senyumnya. Itu saja. Setelah kejadian itu, walaupun aku sudah berjanji, Gina tetap menggangguku. Seolah olah dia mengawasiku. Namun anehnya, aku tak sejengkel biasanya. Aku merasa tenang saat dia berada disekitarku walaupun dia hanya berjalan disampingku. Setelah beberapa minggu, dia menanyakan apakah aku terganggu dengannya lalu aku menjawab aku tidak terganggu. Dan setelah itu kita berteman." Dia membalikkan badannya dan menatap wajahku lama
"Ngomong-ngomong, wajahnya mirip denganmu." Katanya sebelum kembali berjalan ke dalam hutan.
"Wah selamat. Punya pesan terakhir?" Tanyaku sambil memain2kan pisau lipat di tanganku
"Beri aku 5 menit saja, aku janji." Aku mengangguk.
"Sampai suatu hari, saat kita lg makan di warung nasi langganan, kita ngobrolin banyak hal. Saati tu aku mengganggunya dan bertanya kenapa dia menangis waktu itu. Entah kenapa, hari itu dia menceritakan semuanya padaku. Dia bilang, hari itu, dia sangat merindukan seseorang yang bernama Fitri Milatina." Jantungku berdegup cepat. Nama itu hanya ada di akte kelahiranku. Tak pernah ada seorangpun yang tau tentang namaku yang sebenarnya. Dia berhenti sebentar dan melihat ke arahku. "Sambil memberikan sebuah foto kepadaku. Aku kaget karena kalian sangat mirip. Dia bilang dia merindukanmu tapi dia sudah terlanjur menyakitimu, dia telah menghapusmu dari hidupnya, dia gatau apakah kamu akan memaafkannya, apakah yang dia lakukan adalah hal yang benar dan." Dia berhenti sebentar, terengah-engah karena jalanan sedikit menanjak.
"Jika aku bertemu denganmu, apakah aku bisa menerimamu seperti aku menerimanya." Katanya pelan. Aku mengernyitkan dahi. Aku tak ingat sama sekali. Seumur hidupku, baik di jalanan maupun di organisasi, tak pernah aku mengenal seorang perempuan seperti Gina. Namanya saja sudah asing bagiku.
"Maksudnya?" Dia mengendikkan bahu. Kali ini wajahnya benar-benar merah dan bajunya sudah basah oleh keringat.
"Berhenti." Kataku. Dia menatapku heran.
"Istirahat dulu." Dia tersenyum sumringah lalu duduk di bawah pohon terdekat. Aku kini dapat melihat wajahnya dengan jelas. Mata coklat tuanya senada dengan warna kulitnya yang sawo matang. Terdapat bekas luka jahit di pelipis kirinya. Dia cukup manis.
"Kenapa liat-liat?" Aku tersentak.
"Siapa yang liat-liat?" Dia menunjuk ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya dan langsung memunggunginya. Sialan, jantungku berdegup kencang.
"Dasar orang kota, baru juga jalan bentar," cibirku. Tiba-tiba kepalaku berdenyut-denyut. Aku mengurut-urut kepalaku yg sakit. Dia tertawa kecil.
"Kenapa?" Tanyaku
Dia diam tak menjawab. Tiba-tiba kepalaku sakit sekali dan kuping kananku berdenging. Aku memejamkan mata sambil mengurut2 bagian yang sakit. Nyaris 10 menit dan kepalaku masih saja berdenyut-denyut
"Ayo, jalan." Kataku saat sakit dikepalaku mereda
"Kenapa kita ga naik kendaraan umum? Biar gacapek." Aku diam dan menunjuk ke dalam hutan dengan pisauku. Dia lalu bangkit dr duduknya dan kembali berjalan.
2
"Trus sekarang, Gina ada dimana?" Kataku memecah kesunyian
"Terakhir aku melihatnya, dia sedang koma di rumah sakit."
"Hah?" Dia mengangguk
"Gina koma setelah menjadi korban tabrak lari."
"Hmm.. yang tabah ya." Dia tampak menarik nafas panjang. Suasana menjadi canggung, aku mulai mengalihkan perhatianku ke bunyi gemerisik daun yang tertiup angin sambil berusaha menyatukan kepingan2 puzzle dikepalaku. Beberapa kali aku mengecek hp Kevin untuk sekedar memastikan batre atau melihat kembali peta yang sudah ku download. Tiba-tiba aku terpeleset dan jatuh. Kevin menengok ke arahku
"Kamu gpp?"
"Gpp." Kataku sambil berdiri. Kevin kembali berjalan masuk ke dalam hutan. Perlahan tapi pasti rasa sakit menjalar dari pergelangan kaki kananku. Aku mengginggit2 bibir untuk menahan mulutku agar tidak mengaduh atau mengeluh. Aku menjaga jarak dengan Kevin namun tetap berusaha agar tak menyeret kakiku. Aku tak suka terlihat sakit di depan orang lain namun sakitnya bukan main. Sampai merinding aku menahan sakitnya. Setelah beberapa lama berjalan aku mulai tak bisa mengangkat dan merasakan kaki kananku. Jantungku berdegup kencang dan nafasku terengah-engah. Mataku mulai sedikit berkunang-kunang. Untungnya kevin memperlambat langkahnya sehingga aku masih bisa mengikuti langkahnya. Tiba-tiba dia melihat ke arahku yang sedang memaksa kaki kananku bekerja. Wajahnya menegang dan datang menghampiriku. Aku dengan sigap bertumpu ke kaki kiriku dan mengacungkan pisau ke arahnya.
"Jalan." Dia maju perlahan ke arahku. Aku tak mungkin mundur. Kakiku sama sekali tak bisa diajak kompromi.
"Kaki kamu kenapa?" Tanyanya tajam. Hatiku sedikit bergetar melihat matanya yg menatap marah padaku.
"Bukan urusan lu. Jalan." Kataku sambil menunjuk ke dalam hutan dengan pisauku. Dia memegang pergelangan tanganku yg bebas. Aku langsung menyentakkan tanganku dan mendekatkan pisauku ke arahnya.
"Jangan sentuh gua." Desisku. Bulu kudukku berdiri saat aku tak sengaja bertumpu di kaki kananku. Aku berusaha memfokuskan pandanganku yang mulai berkunang-kunang. Beberapa kali mengerjap2kan mata berharap bisa mengurangi kunang2 yang bermain di mataku. Kevin lalu menggenggam mata pisau dengan telapak tangannya. Lalu mengambil pisaunya dari tanganku dan membuangnya ke belakang. Tak berapa lama, darah menetes dari tangannya.
"Kita obatin dulu kaki kamu."
"Udah gua bilang.."
"Aku gamau utang budi sama orang kaya kamu." Katanya tajam lalu dengan tenang mengambil tas dari punggungku dan memaksaku duduk tanpa membebani kaki kananku. Dia mengecek kakiku yg mulai biru dan membengkak lalu mengobrak abrik isi tas yang kucuri.
"Ini dari kapan? Dari jatuh tadi?" Aku diam tak menjawab. Aku memejamkan mataku untuk meringankan pandanganku yang mulai goyang. Tampaknya kondisiku yang belum makan sejak kemarin mulai menunjukkan efeknya.
"Kenapa ga bilang?"
"Biar apa? “ Dia menghela nafas lalu dengan sigap merobek baju biru dari RS yang kubawa sebagai kenang-kenangan. Setelah merobeknya menjadi kain panjang, Kevin membebatkannya ke kakiku dengan hati-hati. Beberapa kali aku mengeraskan rahangku saat ngilunya tak tertahankan.
"Kalo ini makin parah gimana? Kalo kamu kenapa-kenapa gimana?"
"Bukan urusan lu.”
"Kamu istirahat aja dulu." Lanjutnya sambil mengacak-acak rambutku. Wajahku terasa panas. Aku mengalihkan perhatianku dengan menekan-nekan pelan pergelangan kaki kananku untuk mengecek apakah sudah bisa digunakan. Setelah berkali-kali menggerakkan kaki aku memutuskan untuk mengistirahatkan kakiku dulu. Beberapa kali aku memejamkan mata untuk mengistirahatkan tubuhku sebentar. Kevin sibuk mengacak-acak tas dan menemukan sebuah wafer yg masi terbungkus rapat.
"Makan dulu." Katanya. Aku menggeleng
"Ayo jalan, semakin cepat kita sampai, makin cepet lu bisa bebas dari gua.”
“Kaki kamu cedera, kamu juga udah gada tenaga Fit, makan dulu biar bisa lanjut jalan.”
“Kenapa lu masi disini?”
“Kamu lagi sakit, aku gamungkin ninggalin kamu sendiri.” Aku menyerah dan memakan wafer yang diletakannya dekat denganku. Kevin berjalan masuk ke hutan. Aku memejamkan mataku sambil menikmati angin Bukittinggi yang sepoi-sepoi. Seandainya dia tak kembali, tak masalah bagiku. Toh aku sudah hidup menjadi buronan sepanjang kehidupan remajaku. Tubuhku kali ini benar-benar minta diistirahatkan. Saat aku terbangun, Kevin sudah duduk disampingku sambil memainkan ranting pohon di tangannya.
“Ngapain masi disini?” Dia mengambil sebuah kayu yang terlihat cukup kuat untuk menjadi tumpuanku berjalan. Setelah aku berdiri, dia memberiku tongkat tersebut.
“Makasih.” Dia mengangguk dan kini berjalan di sampingku.
“Gina akan ada acara penting sekitar 5 hari dari sekarang. Dan seharusnya, kamu.. datang.”
“Hmm.. Asumsikan lu ga bohong. Itu kenapa gua bisa tiba-tiba ada disini. Tapi karna ingatanku sudah terhapus, artinya aku sudah tidak ada urusan lg disini.” Jawabku. Dia terdiam. Aku menyadari bahwa dia seringkali menatapku lama, namun aku terlalu lelah untuk bereaksi. Beberapa kali mata kami bertemu, dan jantungku terasa berdebar. Namun mungkin karna adrenalinku sedang tinggi.
“Jadi, apa kamu… betul-betul.. tidak ingat apapun?” tanyanya.
“Tentang hal terakhir yang gua lakukan. Kayanya engga. Gua gainget apa misinya, siapa yang terlibat atau apapun yang terjadi sebelum gua bangun.”
“Bagaimana denganku? Apakah kamu benar-benar tak mengingatku?”tanyanya sebelum akhirnya menutup mulutnya. “Abaikan.” Katanya pelan.
“hmm.. apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Kalo sebelum ini gua pernah nyakitin lu, atau lu punya dendam apapun ke gua. Sorry.” Jawabku. Kali ini mataku bertemu dengannya, dan matanya terlihat berkaca-kaca sebelum melihat jauh ke depan.
“hmm.. dimaafkan.” Katanya sambil tersenyum pahit. Aku tak menanyakan apa yang kulakukan di masa lalu. Aku mungkin hampir membunuhnya atau apapun. Lebih baik aku tak tau apa-apa agar tak terlalu merasa bersalah. Tempat yang kutuju sudah hampir sampai. Baik aku maupun Kevin mulai tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Jadi, lu siapa sebenernya?” tanyaku.
“Kan sudah ku bilang. Aku, temanmu.” Jawabnya.
“Yaudah, kalo lu kenal gua diluar organisasi, ada baiknya lu jauh-jauh dari gua sekarang. Daripada sial deket-deket gua. Tapi klo lu kenal gua dari organisasi.. ya.. tetep baiknya .. lu jangan deket-deket gua dulu.”
“Tapikan aku sedang disandra olehmu.”
“Udah engga, sana pergi.” Kataku.
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki dari arah belakangku. Ada sekitar 8 orang bersenjata lengkap tampak mengejar kami. Aku berhenti berjalan dan berbalik ke arah orang-orang yang mengejarku sambil mengisyaratkan Kevin untuk lari. Aku mungkin tidak bisa keluar dari sini, tapi memberi sedikit waktu agar Kevin bisa menyelamatkan diri sepertinya masih bisa kulakukan. Aku sedikit menekan kaki kananku, dan aku nyaris bernyengit karna sengatan yang terasa di pergelangan kakiku. Perasaan ngeri dan panik mulai merayap di hatiku saat aku sadar aku benar-benar terpojok. Aku tak bisa melawan dan tak mungkin melarikan diri, mustahil. Mereka semua bersenjata, salah satu Langkah saja nyawaku bisa benar-benar melayang. Aku melirik kearah Kevin yang sedang terperangah melihat orang-orang bersenjata lengkap di hadapannya. Aku tak punya waktu untuk menjelaskan semuanya, dan tak mungkin juga bagiku membiarkannya terperangkap dalam masalahku. Entah kenapa aku merasa menyesal melibatkan orang lain dalam masalahku. Aku berusaha untuk menutupinya dari pandangan orang-orang tersebut. Tiba-tiba aku merasakan ujung pistol mengenai tengkukku.
“Sorry.” Katanya lirih. Kini aku tertawa. Benar, aku ini berharap apa? Seseorang tiba-tiba mau membantuku dan tidak memanfaatkan keadaan sama sekali? jelas tidak mungkin terjadi. Aku ini mungkin saja pembunuh, penipu, buronan atau apapun sebelum ingatanku di hapus. Pasti banyak sekali yang dendam padaku bukan? Walaupun aku tau betul bahwa ini adalah hal yang wajar, entah kenapa pandanganku menjadi kabur. Rasanya dadaku sesak dan sakit sekali. Kevin dengan cepat menendang kayu tumpuanku berdiri dan menahan tubuhku. Seolah memastikan kaki kananku tak terbebani lalu dengan cepat menyatukan kedua tanganku di belakang punggungku dan membuatku duduk di tanah. Aku tak lagi meronta. Aku sudah tak peduli lagi.
“Trus sekarang apa? Silahkan tarik pelaktuknya” kataku sambil memejamkan mataku, menikmati angin sepoi-sepoi yang dari tadi menyapu wajahku.
“Maaf, fit. Maafin aku.” Katanya dengan suara bergetar. Aku sudah tak merasakan pistol di tengkukku. Perlahan tapi pasti, Kevin memelukku dari belakang. Anehnya, pelukan Kevin terasa hangat. Lalu tiba-tiba tanganku seperti digigit semut sebelum cairan dingin terasa mengalir di pembuluh darahku dan tanganku mulai kebas. Tubuhku terasa melayang dan kesadaranku mulai hilang. Kevin melepas kedua tanganku dan membaringkan tubuhku didekapannya.
“Pengkhianat.” Kataku pelan. Hal terakhir yang kuingat sebelum kesadaranku hilang adalah Kevin yang sedang menangis sambil menggenggam tanganku dan terus mengucapkan maaf.
3
Aku terbangun di sebuah ruangan serba putih. Setelah beberapa kali mengerjap-ngerjapkan mataku, aku menyadari kamar tersebut adalah kamar isolasi tanpa jendela dengan sebuah pintu berwarna putih dan tanpa atribut apapun. Hanya aku, tempat tidur dan sebuah kursi disampingku. Kaki kananku di gips dan tubuhku terasa melayang-layang. Kurasa obat bius yang mereka gunakan belum hilang sepenuhnya. Setiap gerakan yang kulakukan membuat pandanganku berputar. Aku akhirnya menyerah dan tak banyak bergerak. Tak lama kemudian, seseorang dengan baju hijau lumut yang kukenali membuka kunci kamar dan masuk ke ruanganku.
“Keluar.”
“Fit.”
“KELUAR.” Dia duduk di kursi di sampingku.
“Belum puas? Lu mau apasi sebenernya? Lu mau gua sampe gimana biar lu puas?”
“Fit, please dengerin aku dulu.”
“Dengerin?”
“Fit ini tuh buat kamu juga.”
“Gua udah gamau lagi liat muka lu.” Kataku dengan lembut. “Mending lu jagain cewe lu tercinta itu daripara buang-buang waktu disini.” Aku sudah tak peduli lagi apapun tentang Gina. Aku hanya ingin keluar dari sini.
***
Pandangan Kevin buram oleh lapisan air tipis dimatanya. Dia duduk di depan kamar isolasi yang baru saja dia masuki. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki berjas dokter sebaya dengannya membawa file coklat datang menghampirinya sambil mengisyaratkan pada Kevin untuk ikut dengannya ke ruangannya. Sesampainya di ruangan dokter tersebut, Kevin diminta duduk sementara dokter tersebut membaca map coklat yang ada di tangannya. Kevin yang masih tenggelam dalam pikirannya dan dokter yang sibuk membaca file yang berada di tangannya membuat ruangan tersebut menjadi sunyi.
“Maksudmu apa? Kan kamu sudah setuju dengan kesepakatannya.” tanya dokter tersebut sambil menutup file ditangannya.
“Maksudnya apa?” tanya Kevin dingin.
“Aku sudah membaca laporannya, dan sudah mendengarkan juga semua percakapanmu dengan Fitri. Atau, sebelum kehilangan ingatannya biasa kau panggil.. Gina. Kan sudah dijelaskan dari awal, gadis ini berbahaya. Dan aku mengizinkanmu terlibat dalam masalah ini karna kau sudah sepakat bahwa kau tidak akan mencoba membangkitkan ingatannya kalau ternyata dia lupa ingatan. Lalu apa yang kamu lakukan kemarin? Menjelaskan pertemuanmu dengannya? Memancing-mancing ingatannya denganmu? Apakah kau sudah gila? Anggaplah dirimu beruntung kali ini, tapi kalau kemarin kau tak berhasil membuat Gina percaya padamu, apakah kau kira hari ini kau bisa duduk-duduk tenang dihadapanku seperti ini?”
“Percayalah padaku, aku sudah mencobanya sebaik yang kubisa. Tapi perempuan itu adalah pacarku selama bertahun-tahun. Seseorang yang seharusnya menjadi tunanganku 5 hari lagi. Namun kali pertama aku bertemu dengannya setelah berminggu-minggu dia tak sadarkan diri, dia bahkan tak mengingat namaku.” Jawabnya sambil mengencangkan rahangnya.
“Aku tau itu sulit untukmu, tapi dari awal tak pernah ada yang memintamu melakukan hal tersebut. Kamu bisa saja menyerahkan masalah ini pada orang-orangku.”
“Lalu apa? Membiarkanmu menyakitinya? Memperlakukannya sepertinya binatang buas yang kabur dari kandang? Aku tak mungkin membiarkannya. Aku tak mungkin membiarkan siapapun menyakitinya. Walaupun itu abangku sendiri.” katanya sambil menatap dokter yang sedang duduk di hadapannya. “Lagipula kau harusnya tau persis, kesepakatan kita ini terjadi untuk mencegah korban yang berjatuhan dari pihakmu. Bersyukurlah, sebelum dia melupakanku dia sempat mengajariku cara menangani beberapa serangannya yang untungnya tak perlu kugunakan” Lanjutnya sambil tersenyum pahit.
“Lagipula bagaimana ceritanya sih detektif sepertimu bisa berpacaran dengan kriminal sepertinya? Emangnya gaada yang lain di sekitarmu?”
“Hei.. jaga mulutmu ya bang. Sejak kapan pula ada aturan detektif gaboleh pacaran ama “mantan” kutegaskan sekali lagi “mantan” kriminal? Memangnya kau tak boleh pacaran dengan pasienmu?”
“baiklah, baiklah.. toh itukan urusanmu. Jadi sekarang, bagaimana kau dengannya?”
“Bagaimana apanya? Ya jelas kacau balaulah. Dia tak ingat denganku, dan aku baru saja mengkhianatinya.” Katanya sambil menghela nafasnya dan mengurut kepalanya yang pening.
“Tapi karena sekarang kondisinya sudah jauh lebih terkendali, kau sudah boleh membantunya mengingat kembali masa lalunya. File ini sudah kusiapkan untukmu beserta semua data yang mungkin akan kau butuhkan saat menjelaskan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Tapi sebelum itu aku akan mencoba mengklarifikasi beberapa data yang ada disini. Beritau aku jika ada yang salah.” Kata dokter tersebut sambil menunggu jawaban dari adiknya. Kevin mengangguk.
“Baiklah, namanya adalah Fitri Milatina, seorang anggota organisasi kejahatan bernama Runaway. Kemampuannya tak perlu di ragukan, baik dari segi bela diri, menyamar dan menyusup semuanya merupakan keahliannya. Tidak pernah benar-benar mengingat apa misi yang telah diberikan padanya karena sesuai prosedur organisasi, setelah misi dilaksanakan memori tersebut harus dihilangkan. 7 tahun yang lalu berhenti menjadi anggota namun organisasi tidak terima dan memutuskan untuk mencari dan menangkapnya. Fitri, yang hidup dengan 3 orang adiknya membawa adik-adiknya ke panti asuhan kecil yang jauh dari jangkauan organisasi dan akhirnya bekerja sebagai pengurus di panti tersebut sebelum akhirnya dia beserta semua adiknya di adopsi oleh orang tuanya yang sekarang. Proses adopsi ini terjadi 6 tahun yang lalu, setelah adopsi Fitri mengganti namanya menjadi Gina Hashena dan melanjutkan pendidikannya di SMA yang sama denganmu setelah sebelumnya menyetarakan pelajaran yang tertinggal dengan umurnya. Untungnya organisasi Runaway memberikan fasilitas belajar, jadi Gina tak terlalu tertinggal. Dia pindah ke SMA mu saat kelas 3 SMA sebelum akhirnya bertemu denganmu. Karna adik-adiknya masih kecil, jadi mereka tidak tertinggal pelajaran dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik di sekolahnya. Gina melanjutkan hidupnya menjadi orang yang kau kenal, dan mengubur semua tentang masa lalunya sebagai Fitri sampai sebulan yang lalu saat organisasi tersebut menemukannya dan membuatnya koma setelah menabraknya dengan sengaja. Lalu dia terbangun sebagai Fitri, tidak mengingat apapun tentang seluruh hidupnya sebagai Gina dan langsung melarikan diri dari rumah sakit sesuai prosedur organisasi.”
“Betul.” Jawab Kevin. Sang dokter lalu menyerahkan file tersebut pada Kevin.
“Tak ada yang bisa menjamin ingatannya kembali Vin.”
“Iya, aku tau.” Kata Kevin sambil tersenyum lemah.
“Kau perlu kutemani?”
“Nggak, aku bisa sendiri.” Katanya sambil beranjak berdiri. Setelah berterima kasih pada abangnya yang telah mengumpulkan semua file yang dia butuhkan, dia kembali ke ruangan tempat Gina dirawat. Dia menghela nafasnya sebelum akhirnya memasuki ruangan tersebut.
Description: Aku terbangun di sebuah rumah sakit asing. sama seperti sebelum-sebelumnya aku tau persis apa yang harus kulakukan. Melarikan diri. Namun kali ini, aku bertemu dengan orang asing yang sangat mengenalku, melebihi orang-orang di organisasi tempatku bekerja.
|
Title: Robin Hood
Category: Novel
Text:
Bab I
“Ah, Robin. Kebodohan apalagi yang kau lakukan? Apakah kau memotong kayu bakar?” Demikian pertanyaan Master Hugh Fitzooth, Pengawas Hutan Raja di Locksley, ketika memasuki rumahnya.
***
Wajah Robin sedikit memerah. “Ini anak panah, Yah,” jawabnya, sambil memeriksa salah satu anak panah buatannya.
Nyonya Fitzooth tersenyum ke anaknya ketika bangkit untuk menghampiri suaminya. “Oleh-oleh apa yang Ayah bawakan untuk kami hari ini,” tanyanya dengan nada riang.
Wajah Fitzooth sedikit muram. “Hanya diriku saja, Bu, “jawabnya.
“Ah, itu sudah cukup bagiku dan Robin!” kata istrinya sambil tertawa. “Ayo, lepaskan sepatumu, dan berikan panah dan tempat anak panahmu. Oh ya, Hugh. Aku punya berita untukmu. George Gamewell mengirimkan kurir hari ini. Dia mengajakku dan Robin untuk pergi ke pekan raya.” Istrinya enggan memberitahukan hal yang sebenarnya.
“Mustahil,” sergah si Pengawas Hutan. Kemudian dia bertanya-tanya. “Ah, aku jadi ingin tahu angin apa yang membuat Squire kita itu bersikap bersahabat terhadapku?” lanjutnya. “Apakah kita berutang pajak kepadanya?”
“Kau bersikap tidak adil kepada George Montfichet, Hugh, dia orang yang terbuka dan jujur. Apalagi dia itu kakakku.” Istrinya berbicara dengan nada keras, kesal karena suaminya seperti meremehkan kabar yang disampaikannya. “Montfichet itu berdarah Norman. Jadi, kau tidak perlu bersikap masam terhadapnya.”
“Aku juga sama baiknya dengan semua Montfichet dan De Veres, Nyonya, karena aku orang Saxon murni,” balas Fitzooth dengan nada marah,” dan akan tiba waktunya mereka mengetahui hal itu. Athelstane si Saxon punya peluang untuk menjadi raja, saat Henry wafat. Sama seperti Richard dari Acquitaine, yang bodoh dan sesat itu. Jika saat itu tiba, kami akan dihormati. Squire George Gamewell akan mengirimkan utusan khusus bagiku, itu sudah pasti.”
“Omong-omong, sudah ada persiapan penyambutan bagimu sekarang di rumah kakakku,” kata Nyonya Fitzooth, menyesali kata-kata pedasnya. “Montfichet mengundang kita semua ke Gamewell; ini surat undangannya. Kau bisa membacanya sendiri,” katanya seraya mengambil kartu undangan dari balik pakaiannya dan menyerahkannya kepada suaminya.
Hugh berjalan ke arah pintu yang terbuka untuk membacanya. Keningnya berkerut saat dia berusaha keras mengartikan gaya tulisan berhias Norman. “Aku sedang tidak berminat untuk membaca tulisan bergaya ini, Bu. Kalau kau ada waktu, bacakan saja surat ini kepadaku nanti.”
Nada bicara Hugh kembali menjadi lembut, karena dia melihat bagaimana Robin menyibukkan dirinya sendiri di sepanjang waktu. “Ayo kita makan, Bu. Aku yakin kita semua sudah lapar setelah hari yang panasnya menyengat ini.”
“Aku sudah membuat banyak panah, Yah. Ayah mau melihatnya?” tanya Robin.
“Pasti, Nak, setelah Ayah menghabiskan makanan ini. Ayo, duduk, Bu. Duduk, Robin. Setelah makan kita akan mengobrol.”
Robin membantu ibunya untuk menyalakan obor dari kain rami. Kelihatannya jarinya lebih tangkas dalam mengerjakan hal ini daripada membuat anak panah. Fitzooth, sambil menyuap makanan, memeriksa satu demi satu anak panah buatan Robin. Kebanyakan belum baik buatannya dan mendapat ejekannya. Hanya lima yang bisa dipakai. Sisanya dibuang begitu saja ke perapian yang menyala.
“Robin, menurut Ayah kau tidak akan pernah menjadi seorang pemanah yang baik! Batang seperti ini hanya cocok untuk menjadi kayu bakar!”
“Panah itu cukup baik, Hugh,” sela istrinya.
“Aha, ini dia!” pekik Fitzooth, dengan penuh kemenangan. “Tangan pemanah sejati tidak dipandang dari keindahan sebatang anak panah, Bu, melainkan kelurusan dan kekerasan busur. Robin memang dapat melepaskan anak panah dengan baik, dan Ayah tidak mempermasalahkan keterampilannya. Namun dia masih belum bisa membuatkan Ayah sebuah anak panah yang Ayah sukai.”
“Ah, menurutku anak-anak panah yang dibuatnya sudah baik,” kata Nyonya Fitzooth, tetap bersikeras. “Tidak semua orang diberikan bakat untuk membuat panah seperti yang Ayah miliki. Namun Robinku masih memiliki bakat yang lain. Dia dapat bermain harpa dengan baik, dan menyanyikanmu lagu yang indah….”
Namun, Fitzooth pasti masih menggerutu. “Ayah lebih suka jarimu dapat menarik busur daripada menjentikkan senar harpa, Robin,” gerutunya. “Namun, masih ada waktu untuk mempelajarinya. Kini, tolong bacakan surat dari saudara kita.”
Robin, yang ingin menebus kesalahannya dalam membuat anak panah, membuka surat undangan itu di atas meja, dan membacanya keras-keras:
“Dari George, Bangsawan Montfichet, dari Puri Gamewell, di dekat Nottingham, Squire dari Hundreds of Sandwell dan Sherwood, menyampaikan salam dan mendoakan berkat Allah bagi adiknya, Eleanor dan suaminya, Tuan Hugh Fitzooth, Pengawas Hutan Raja di Locksley. Semoga kalian baik-baik saja. Aku menyurati kalian karena ingin agar kalian berdua mengunjungiku di Gamewell, besok pagi, hari kelima bulan Juni. Jangan lupa untuk membawa anak kalian, keponakanku, Robin. Akan diadakan pekan raya di Nottingham selama tiga hari pada minggu ini. Kami mengharapkan adanya pertunjukan luar biasa di sana.
Menontonnya pasti akan memberikannya kepuasan dan pengetahuan (bukankah orang yang bijaksana adalah orang yang melihat keajaiban?). Karena itu, aku benar-benar mengharapkan kehadiran kalian. Aku juga memohon agar Robin diizinkan tinggal bersamaku paling tidak selama setahun, karena aku sendirian dan tidak punya anak. Aku akan merawatnya seperti anakku sendiri, dan akan mengembalikannya kepada kalian pada bulan Juni tahun berikutnya.
Aku mengirimkan surat ini melalui Warrenton, pengawalku, yang akan membawakan padaku jawaban kalian.
Ditulis oleh tangan kami di Gamewell, hari ke-4 Juni, tahun seribu seratus delapan puluh delapan yang diberkati.
(Tertanda)
MONTFICHET.”
Suara jernih Robin terhenti dan ruangan menjadi hening. Fitzooth menebak bahwa baik anak dan istrinya dengan cemas menunggu keputusannya. Namun dia orang yang memiliki harga diri tinggi sehingga dia tidak dapat segera menyetujui undangan yang sopan itu.
Pendiriannya sendiri sudah kuat. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menggerakkan Fitzooth untuk bercampur dengan kelompok kelas atas Nottingham sementara klaimnya atas tanah Broadweald, di Lancashire, tidak diakui. Itu cerita lama. Sekalipun, melihat jabatannya sebagai Pengawas Hutan di Locksley, Hugh Fitzooth dapat memperoleh posisi terhormat di daerah, dia menganggap dirinya bukan orang yang berguna apabila dia tidak dapat memperoleh jabatan yang lebih baik.
Dia tidak boleh berada di Broadweald karena dianggap tidak memiliki gelar yang memadai, demikian keputusan pengadilan, dan Fitzooth yang angkuh itu terpaksa menerima keputusan mereka. Sang raja sangat tertarik dengan tanahnya, tanah yang luas, yang berada di Daerah Palatine di Inggris, dan hal itu menimbulkan kegemparan di istana. Saat Fitzooth gagal mempertahankannya, Henry, yang tidak ingin membuat masalah dengan rakyatnya yang keturunan Saxon, kemudian mengangkatnya untuk menjaga sebagian hutan Sherwood, di Nottingham.
Jadi, Fitzooth, si “pemilik” tanah itu terpaksa tinggal di Locksley, sebuah desa kecil di pinggiran hutan itu, dan menjalankan tugas remeh yang diberikan kepadanya. Di tempat ini dia berusaha menghilangkan rasa sakit hatinya dalam kesendirian selama beberapa tahun. Kemudian, pada suatu hari, dia bertemu dengan Eleanor Montfichet dalam suatu perburuan di hutan. Hugh jatuh cinta kepada Eleanor, dan wanita itu memberikannya cinta sejati yang sederhana.
Mereka pasangan yang ganjil, yang disatukan oleh Takdir. Namun tidak seorang pun yang bisa mengatakan bahwa mereka pasangan yang tidak bahagia. Setelah mereka menikah, lahirlah Robin yang bermata biru, dan mereka sangat menyayanginya. Namun dengan berlalunya waktu, dan klaim Hugh sekali lagi dikesampingkan, sikap masamnya mulai muncul lagi. Kini mereka hidup sendirian, tanpa tetangga selain Rahib Copmanhurst yang berjasa, yang juga seorang pertapa. Dia mengajarkan kebudayaan Latinnya kepada Robin, serta memberikan cukup pendidikan mengenai budaya Norman dan Saxon, serta bahasa perantaranya.
“Bolehkah kita semua pergi besok, Yah,” seru Robin, memecahkan keheningan. “Aku belum pernah melihat Pekan Raya Nottingham, Yah. Apalagi Ayah sering berjanji akan membawaku ke sana.”
“Ayah tidak bisa meninggalkan tempat ini. Ini pekerjaan Ayah, dan para penyamun bahkan bisa ditemukan di sini. Ayah harus mengawasi pekerjaan para penjaga setiap hari, dan memastikan tidak ada rusa yang dibunuh atau dicuri.”
Dia berhenti sejenak. Kemudian, melihat kekecewaan di wajah anaknya, dia akhirnya mengalah. “Namun, karena akan ada pekan raya, dan Ayah sudah berjanji kepadamu, Robin, kau boleh pergi dengan ibumu ke Gamewell. Rahib Copmanhurst juga bisa ikut. Jadi, siapkan pakaianmu. Ayah ingin kau berpenampilan baik di puri saudara kita. Ayah akan mengantar kalian hingga Copmanhurst, dan akan mengirimkan dua orang pengawal untuk mengawal kalian hingga gerbang Nottingham.”
“Warrenton, pengawal kakakku, bercerita tentang gerombolan penyamun di dekat Gamewell, dan bagaimana dia harus hati-hati melakukan perjalanan,” demikian kata Nyonya Fitzooth, berusaha untuk mendorong agar suaminya mau ikut serta.
“Kalau begitu, si sherif tidak becus menjalankan tugasnya di hutan,” jawab Fitzooth. “Kita tidak hidup dalam ketakutan di sini. Namun, Ayah kira si Warrenton mengoceh untuk menguji keberanian kita saja. Atau, sengaja ingin memastikan penolakan Ayah.”
“Tapi, kita akan pergi, bukan begitu, Yah?” tanya Robin khawatir, karena nada bicara ayahnya mulai berubah.
“Ayah sudah menjanjikannya,” kata Fitzooth. “Jika rahib akan pergi, kalian juga harus ikut. Lebih dari itu, kalian akan dikawal, kalian akan tinggal di Gamewell dan mempelajari seluk-beluk serta keindahan istana dan kota. Belajarlah menggunakan akal budi serta tenagamu. Cium Ayah, Robin, lalu tidurlah. Belajar lah semampumu. Dan jika Warrenton dapat mengajarimu me manah dalam satu tahun, Ayah tidak akan meminta lebih dari Paman George Gamewell.”
“Ayah akan bangga kepadaku. Aku berjanji. Namun, aku tidak akan tinggal lebih dari satu bulan. Aku harus mengawasi kebun Ibu.”
“Jangan berpikir konyol seperti itu, Robin. Dengar, Nak. Orang akan berbicara mengenai dirimu, dan mungkin Ayah masih hidup untuk mendengarkannya. Ingatlah, kau harus selalu bersikap adil dan jujur.”
***
Bab I - 2
Hari masih pagi dan segar. Dari Locksley hingga perbatasan Hutan Sherwood tidak terlihat satu pun bangunan.
Robin sangat riang, dan telah bangun jauh sebelum fajar menyingsing. Dia telah mengenakan kemejanya yang terbaik, kaus kaki berwarna hijau daun, dan sepatu runcingnya. Dia berkali-kali menarik ulur busur panahnya. Seekor bagal beban telah dipersiapkan untuk membawa barang bawaan, karena sang nyonya telah siap, pada saat-saat terakhir, menemukan kumpul an perhiasan dan pakaian usang yang bagus, yang masih dapat dikenakan di Gamewell.
Robin bersiul seperti burung.
“Kau senang meninggalkan Locksley, Nak?” tanya Hugh Fitzooth.
“Ya!”
“Suasana di sini memang membosankan. Apakah kau juga senang meninggalkan rumah?”
“Tidak, Yah. Aku hanya senang akan mengunjungi pekan raya. Aku pasti pulang ke rumah dalam waktu satu bulan.”
“Satu tahun, Robin, satu tahun! Dua belas bulan lagi baru kau dapat menemui Ayah lagi. Ayah telah menepati janji sekarang. Kenanglah Ayah di dalam hatimu, Robin.”
“Tentu saja, Ayah. Walaupun aku tidak terlalu senang berpisah dengan Ayah.”
“Huh, jangan bicara seperti itu. Naik ke kudamu, Nyonya. Robin, jalan di depan. Roderick dan yang lainnya akan menuntun bagal. Sudahkah kalian membawa senjata?”
“Aku membawa belatiku, Yah,” seru Robin dengan gembira.
Lalu, dengan gagah mereka meninggalkan rumah mereka yang terpencil di Locksley, dan satu jam kemudian mereka tiba di Copmanhurst. Di tempat ini hanya ada reruntuhan sebuah kapel dan tempat pertapaan sang rahib, sebuah bangunan batu yang kasar dan terdiri atas dua ruangan kecil.
Tertutup oleh sebuah pintu tinggi yang terbuat dari pohon ek dan dijaga oleh dua ekor anjing kurus adalah gubuk sederhana yang menjadi tempat tinggalnya.
Rahib melangkah ke pintu halaman untuk menyambut mereka. “Selamat pagi, Bapa,” teriak Robin. “Ayo, naik kuda Bapa dan ikatlah anjingnya. Kita akan pergi ke Nottingham hari ini. Bapa akan pergi bersama kami!”
Si biarawan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini, Nak, demi alasan duniawi,” jawabnya dengan nada serius.
“Apakah kau tidak mau menemani istri dan anakku, Bapa?” tanya Fitzooth.
“George Gamewell telah mengundang Robin. Aku berharap kau dapat pergi dengannya, memberikannya nasihat selama dia berada di sana dan mengajaknya beribadah sebagaimana seharusnya.”
“Ayolah ikut kami, Bapa,” desak Nyonya Fitzooth juga. “Aku membawa kue pai isi daging lembu dan roti. Jadi, kita tidak akan kelaparan di jalan. Selain itu, aku juga membawa sebotol anggur.”
“Tidak, terima kasih, Nak. Aku sudah tidak memikirkan hal-hal yang duniawi. Aku akan ikut dengan kalian, karena Pengawas Hutan Locksley memerintahkannya. Sudah seharusnya aku mematuhi orang yang ditugaskan Raja untuk mengawasi hutan hijau kita. Tunggulah di sini sementara aku berkemas-kemas sebentar.”
Sekalipun demikian, matanya bersinar mendengar perkataan Nyonya Fitzooth. Seseorang dapat melihat bahwa bukan hanya akar-akaran dan air putih saja yang disukai oleh sang rahib. Apalagi orangnya gemuk sekali, dengan wajah bundar keme rahan laksana bulan purnama.
Hugh menyampaikan salam perpisahan singkat kepada me reka, sementara sang rahib mengikat anjing-anjingnya dan berkata-kata lembut dengan mereka.
Ketika sang rahib sudah siap, Fitzooth mencium istrinya dan memintanya bersikap tegas terhadap anak mereka. Kemudian, dia memeluk Robin, dan memerintahkannya untuk menjaga ibunya. Robin juga diminta agar selalu bersikap hormat dan tenang. Selain itu, sekalipun harus sopan kepada semua orang, Robin diminta agar tidak tidak takut pada siapa pun yang mengancamnya.
“Ingatlah selalu bahwa ayahmu adalah seorang yang memiliki harga diri. Ini, ambillah panah buatan ayah dan belajarlah untuk membuat panah seperti ini. Kau memiliki tangan yang mantap dan mata yang tajam. Jadilah seorang pengrajin jika kau pulang ke Locksley. Ayah akan memberikanmu tugas mengawasi sebagian hutan di bawah pengawasan Ayah. Nah, selamat jalan, sampaikan salam Ayah kepada saudara kita di Gamewell.”
Kemudian, sang Pengawas Hutan Raja membalikkan kudanya dan kembali menuju Locksley. Dia berhenti sebentar dan menolehkan wajahnya untuk melambaikan topinya ke arah mereka. Lalu, sosoknya menghilang di tengah lebatnya hutan hijau itu.
Robin merasa sedih tanpa alasan jelas dan membingungkan. Namun sang rahib dengan tenang menikmati perjalanan menuju Nottingham. Dua orang pengawal, dengan bagal, berjalan di depan.
Jalan itu membelah hutan. Pada waktu tengah hari, mereka mencapai bagian tempat pohon-pohon tinggi berdiri menjulang ke angkasa.
Robin mengawasi gerak-gerik seekor rusa jantan yang sudah tua. Tangannya gatal ingin mencoba salah satu anak panah baru di busur panahnya. “Apakah semua rusa ini milik Raja, Bapa?” tanyanya kepada si biarawan dengan penuh pertimbangan.
“Semua hewan liar di Sherwood adalah milik Raja kita, Nak.”
“Apakah mereka tidak tahu kalau Henry ada di sebuah negeri asing yang jauh, Bapa?”
“Memang. Namun dia akan kembali. Rusanya tidak boleh dibunuh oleh panahmu, Nak. Saat kau menjadi Pengawas Hutan di Locksley, menggantikan ayahmu, siapakah yang nantinya bisa membantahmu?”
“Ayahku tidak memanah rusa sang Raja, kecuali yang telah mati,” jawab Robin dengan cepat. “Ayah merawat mereka. Sebaliknya, dia membunuh para penyamun yang menyiksa atau membunuh hewan-hewan itu. Menurut Bapa, bisakah aku mengenai hewan itu? Dia benar-benar sasaran yang menggi urkan. Bisakah panahku mengenainya?”
Sang rahib melirik Nyonya Fitzooth. “Nyonya,” katanya dengan suara berat, “tidakkah menurutmu, di keteduhan ini, kita beristirahat terlebih dahulu? Pasti sekarang sudah hampir tengah hari? Lagi pula…,” pada titik ini dia memelankan suaranya hingga seperti berbisik, “Mungkin kita bisa membiarkan Robin menuruti keinginan hatinya! Lagi pula, aku ragu jika Raja tahu dia sudah kehilangan seekor rusa di Sherwood.”
“Aku tidak menyukai jalanan yang gelap ini, Bapa,” jawab Nyonya Fitzooth. “Kita harus sampai ke tempat yang lebih terang. Robin, berkudalah di dekat Ibu. Letakkan busurmu. Warrenton, pengawal pamanmu, baru saja memberi tahu Ibu kemarin….”
Suaranya tiba-tiba tenggelam di bawah suara terompet yang berbunyi melengking dan membuat mereka terkejut. Tidak lama kemudian, sejumlah penyamun melompat dari balik rerumputan. Para pengawal dilumpuhkan, dan iring-iringan kecil itu dihentikan dengan secara tiba-tiba dengan kasar.
“Pajak, pajak!” teriak pemimpinnya. “Kalian harus membayar pajak! Kalian semua, kalau mau melanjutkan perjalanan kalian!”
“Tahan,” teriak Robin, mengayunkan pedang pendeknya dengan cepat saat orang itu berusaha merampas kekang bagal ibunya.
“Katakan jumlah pajak itu, dan alasan penarikannya. Selain itu, bersikaplah lebih sopan.”
Pada saat itu, orang tersebut melihat rusa besar yang ingin dipanah oleh Robin, berusaha untuk melarikan diri. Dengan cepat dia menempatkan sebuah anak panah di atas busur panjangnya dan melepaskannya ke arah hewan yang berlari itu. “Meleset, benar-benar meleset!” seru Robin, tidak sabar. Meletakkan pedang pendeknya, dia meraih sebuah anak panah dari tempatnya, memasangnya di busurnya dan melepaskannya ke arah rusa itu. “Jika saja aku membidiknya lebih cepat!” gerutu Robin, dengan nada menyesal, saat panahnya meleset hanya sejengkal jaraknya dari sasarannya. Sang rahib mengangkat tangannya dengan rasa takut yang saleh ketika mendengar perkataannya.
“Tembakan itu terlalu jauh, Tuan muda,” kata si penyamun, dan dia membungkuk untuk mengambil senjata kecil Robin. “Ini tusuk sanggulmu, bukan salahmu jika anak panahnya payah.”
Mereka semua tertawa terbahak-bahak, namun Robin merasa jengkel.
“Minggir, Teman,” katanya, “biarkan kami lewat. Atau, kalian semua akan dicambuk.”
Sekali lagi, pemimpin gerombolan itu berbicara. “Pajak dahulu, Tuan. Bersikaplah baik kepada kami, dan kau hanya perlu sekali bersikap baik.”
“Aku sama sekali tidak dapat bersikap baik,” balas Fitzooth muda. “Seharusnya kalian malu menghentikan seorang wanita di jalan raya milik Raja! Betapa memalukannya bagi pria untuk menyerang dengan gaya yang begitu pengecut!”
“Semua orang harus membayar kebebasannya di hutan hijau ini, Tuan,” jawab si pemimpin gerombolan dengan sopan. “Kami, yang menarik pajak, tidak memandang jenis kelamin. Bayarlah kepada kami sekarang, dan kalian tidak perlu membayar lagi saat kalian kembali nanti.”
“Seorang wanita seharusnya bisa lewat dengan aman dan tidak perlu membayar pajak,” debat Robin. “Ini pajak untuk kedua orangku.”
“Budak, Tuan. Dan jumlahnya hanya untuk bagalmu dan dua tombak. Tidak cukup.”
“Kelihatannya kalian akan mengambil semua milik kami,” kata Nyonya Fitzooth, dengan suara bergetar namun berani.
“Ada satu hal yang kami semua hargai, Nyonya. Namun aku tidak akan menimpakannya kepadamu. Kami tidak akan menyakiti kalian semua.”
“Kalau begitu, ambillah dompetku,” hela Nyonya Fitzooth. “Hanya ada sedikit barang bernilai di dalamnya, karena kami orang miskin.”
“Mintalah pajak dari gereja,” jerit Robin, sambil memegang ibunya. “Gereja kaya, dan mampu memberi. Lagi pula, gereja dapat memberikan pengampunan dosa bagi kalian semua.”
Sekali lagi, para penyamun tertawa terbahak-bahak, ketika sang rahib mulai menjelaskan dengan sangat tangkas kepada mereka bahwa Gereja akan menyambut baik mereka apabila mereka menerima tawaran itu.
“Kami tahu lebih baik tidak meminta pajak kepada seorang biarawan,” kata si penyamun. “Lagi pula, bersediakah Tuan membiarkan kami melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang sakral?”
“Lepaskan tali kekangku,” jawab Robin dengan murka.
“Tolong bayar pajaknya terlebih dahulu, Anak muda,” teriak para penyamun, sambung-menyambung, “dan jangan banyak bicara. Kami masih harus ‘menemui’ orang lain yang lewat di sini. Ini sudah setengah hari perjalanan dari Sherwood.”
“Aku bertaruh untuk berpanah dengan kalian demi kebebasan dari hutan ini,” kata Robin dengan putus asa. “Jika aku kalah, kalian boleh mengambil semuanya, kecuali tunggangan ibuku. Ia akan dibiarkan untuk membawa ibuku ke Gamewell, sementara aku tinggal di sini, sebagai sandera, sampai beliau kembali.”
“Kalau begitu, ibumu harus membawa seratus crown di masing-masing tangannya,” jawab si kepala penyamun.
“Setuju,” jawab Robin, setelah memandang ibunya dengan mata memohon. “Sekarang, bantu aku turun dari kudaku. Biarlah rahib menjadi wasit untuk memastikan pertandingan ini diadakan dengan jujur. Tentukan sasaran bagi kami, Bapa yang baik, dan berdoalah kepada Allah anak panahku tepat sasaran.”
Sang rahib, yang berusaha agar kehadirannya tidak kentara, kini berbicara. “Pertaruhan ini kelihatannya berdosa, kawan-kawan,” katanya dengan khidmat. “Namun karena sifatnya jantan, aku bersedia menjadi wasit. Karena tidak diragukan lagi telah terbiasa dengan bagian ini, kau dapat membicarakan masalah jarak. Kini, aku menunjuk batang pohon itu sebagai sasaran awal dari pertaruhan ini.”
“Kalau begitu, pasanglah busurmu, Tuan,” kata penyamun itu sambil tertawa riang. “Ini hanya sekitar empat puluh lima meter jauhnya! Tanpa mengurangi rasa hormat, aku pasti akan mengikutimu. Itu pasti.”
Robin menarik busurnya dan mengarahkan pandangannya ke arah pohon yang ditentukan.
Kemudian, tiba-tiba kata-kata ayahnya bergema dalam pikirannya, “Ingatlah Robin, ayah adalah orang yang memiliki harga diri.”
“Aku akan mengingatnya, Yah,” gumam Robin, mengatupkan giginya. Dia mengarahkan busurnya dengan sepenuh hati dan jiwanya. Kemudian terdengarlah desingan tali busur, pada pada saat berikutnya melesatlah anak panah itu menuju sasarannya.
“Ah, tembakan hebat, Tuan,” kata si penyamun, melirik tidak peduli ke arah panah itu, yang masih bergetar di batang pohon.
“Namun kau masih belum mengenai bagian tengah sasaran kita. Mari kita lihat apakah mungkin aku tidak bisa mengalahkanmu.”
Panahnya melesat melewati udara musim panas, dan menancap tepat di bagian tengah pohon, berdampingan dengan panah Robin.
“Kau menang di putaran pertama, Kawan,” kata sang rahib dengan suara enggan.
“Sekarang, coba kalian berdua dengarkan, sementara aku akan memberikan kalian ujian yang lebih baik.” Dia hendak melanjutkan, saat itu terjadi suatu gangguan sehingga membuatnya tidak perlu melanjutkan kata-katanya.
Bab II
Tiba-tiba, hutan hijau itu dipenuhi delapan puluh orang penjaga hutan Raja, yang berlarian ke arah para penyamun, siap untuk menangkap mereka.
***
Mereka adalah penjaga hutan dari Nottingham, yang berada jauh dari tempat itu. Sheriff Nottingham marah dengan kekurangajaran para penyamun itu sebelum ini. Kini, semua anak buahnya menyebar di hutan Sherwood dengan harapan dapat menangkap para penyamun itu guna menyenangkan hati pemimpin mereka sekaligus mendapatkan hadiah. Kepala Will Green pemimpin gerombolan itu, dihargai sepuluh keping crown emas.
Sayangnya crown ini masih harus dicari, karena Will Green, segera setelah mencium adanya bahaya, meniup peluitnya dengan nada rendah dan panjang, dan dalam waktu sekejap tidak ada satu pun penyamun yang terlihat.
Masing-masing orang segera bersembunyi ketika mencapai semak-semak. Sekalipun polisi hutan mengobrak-abrik Hutan Sherwood, hutan tersebut tidak akan pernah membukakan keberadaan para penghuninya.
Anak buah Fitzooth gembira karena dibebaskan. Mereka dengan bersemangat memberikan semua informasi mengenai para penyerang mereka. Salah satu di antaranya bersumpah bahwa rahib terpelajar itu telah memberikan Will Green suatu isyarat yang sangat jelas. Namun pernyataan ini dengan sopan diabaikan oleh semua orang yang mendengarnya.
Robin menceritakan apa yang dialaminya, dan kemudian, setelah berterima kasih kepada kapten penjaga hutan, dia melanjutkan perjalanannya. Namun sang rahib tidak lagi menjauh dari santapannya. Jadi, kini keempatnya makan bersama-sama di bawah pepohonan. Kapten itu setuju untuk bergabung dengan Robin, sang rahib, dan Nyonya Fitzooth untuk menyantap anggur dan pasta yang lezat yang disediakan Ibu Robin.
Penjaga hutan kembali dalam kelompok-kelompok yang terdiri atas dua atau tiga orang dari pencarian mereka yang tidak membawa hasil, dan berkumpul sebentar untuk membicarakan pengejaran. Mereka semua sependapat bahwa para penyamun memiliki tempat persembunyian di bawah tanah, yang memiliki banyak pintu masuk dan jalan keluar. Memang mudah untuk menemukan pintu-pintu rahasia tersebut, namun mustahil untuk melakukan pengejaran di dalamnya.
“Apakah kalian hendak pergi ke Gamewell, Teman-teman?” tanya si kapten, setelah mereka selesai makan siang. Ketika diiyakan, dia memberi tahu Nyonya Fitzooth bahwa mereka mungkin harus dikawal untuk menempuh sisa perjalanannya. Sang kapten menawarkan dirinya untuk misi itu karena dia dan anak buahnya sendiri harus pergi ke Gamewell, untuk melaporkan peristiwa itu kepada Squire George Gamewell.
Nyonya Fitzooth senang mendengar kabar itu, dan mereka pun dengan riang melanjutkan perjalanan. Hanya Robin sendiri yang merasa sedih. Kenyataan bahwa anak panah kepala penyamun itu menancap lebih dekat di sasaran daripada anak panahnya sendiri melukai hatinya.
Ah, namun waktunya akan tiba ketika Tuan Will Green akan melihat pemanah yang lebih baik daripada dirinya. Dan Robin harus menjadi sang ahli yang mengajarkan pelajaran tersebut.
Sambil membayangkan datangnya hari itu, dia berlari-lari kecil agar bisa berada di dekat tunggangan ibunya, sementara sang rahib dan si kapten berbincang-bincang dengan ramah. Ibu Robin mendengarkan gosip yang mereka bicarakan, dan menyampaikan pendapat serta pertanyaannya sendiri. Dia telah tenang dan dapat ikut serta dalam pembicaraan mengenai Pangeran John dan pemberontakannya yang dianggap lancang.
“Jadi, para baron akan benar-benar menjadikannya raja?” tanyanya dengan mata membelalak. “Raja seluruh negeri dan hutan ini?”
“Beberapa baron kita terlalu banyak bicara,” jawab penjaga hutan itu dengan santai, “namun cara terbaik pria untuk berbicara adalah dengan pedang mereka, Nyonya. Apakah kau belum mendengar apa yang dilakukan Montfichet muda? Dia malah sudah membuka kedoknya sendiri….”
“Waldemar Fitzurse ada di belakang ini semua, dan De Brocy muda,” sela sang rahib, dengan nada keras seraya memberikannya suatu pandangan peringatan.
Sang rahib menunjuk Robin. “Anak muda ini adalah sepupunya, dan dia tidak mengetahui pemberontakan Geoffrey Montfichet,” bisiknya.
“Beberapa orang mengatakan bahwa sang Raja akan membuat suatu peraturan mengenai persenjataan sekembalinya dari Prancis, bahwa setiap kesatria, pemilik tanah, dan anggota dewan harus mempersenjatai dirinya demi pertahanan Inggris,” lanjut sang rahib santai. “Ini gagasan bagus, dan sesuai dengan gagasan Raja kita.”
“Ada banyak kisah tentang Raja Henry kita. Dan sudah banyak balada,” jawab si polisi, mengangkat bahunya. “Will Green merupakan salah satu orang yang baik, demikian aku diberi tahu.”
Saat nama penyamun itu disebutkan, Robin memasang telinganya. Dia mengajukan banyak pertanyaan tentang Tuan Will. Dia mendapatkan jawaban bahwa Tuan Will telah di vonis sebagai penyamun oleh Henry sendiri karena secara tidak sengaja membunuh adiknya dalam suatu perselisihan bertahun-tahun yang lalu. Sebelumnya, dia adalah seorang pembantu yang setia. Beberapa orang bersumpah bahwa Tuan Will masih tetap setia seperti banyak baron Henry. Will memang membunuh rusa Henry, namun hanya dengan cara itulah dia bisa tetap hidup. Yang lainnya berkomplot menentang raja mereka, agar kekuasaan mereka meningkat.
Iring-iringan itu melihat sosok Puri Gamewell saat masih menggosipkan hal ini. Malam sudah tiba dan obor dinyalakan di belakang lubang-lubang jendela puri itu, yang dikelilingi oleh parit pertahanan dan tembok kukuh untuk menghadapi ancaman serangan dari luar.
Sang kapten meniupkan terompetnya agar jembatan segera diturunkan, dan seluruh rombongan itu menyeberanginya dengan berderap, memasuki halaman luas di depan puri. Tempat itu terlihat sangat mengesankan, sekalipun berbayang-bayang.
Di depan pintu puri, Robin segera melompat dari kudanya dan berlari untuk membantu ibunya turun dari pelananya dengan hati-hati. Kemudian dia beralih membantu sang rahib. Namun sang rahib telah menggelindingkan diri ke tanah, dan kini telah berdiri mematung.
Tuan Montfichet atau George Gamewell, seperti kebanyakan penduduk daerah itu memanggilnya, turun untuk menyambut para tamunya, dan telah menunggu mereka sebelum Robin berpaling. Sang Squire itu sudah tua, dengan rambut keriting berwarna putih yang menyembul dari bawah topi bundar kecilnya. Dia mengenakan jubah panjang yang lebar, mirip jubah para biarawan. Wajahnya tidak mirip adik perempuannya sebagaimana dibayangkan oleh Robin, di samping usianya jauh lebih tua. Wajahnya tidak berambut dan pucat, namun matanya bersinar terang. Ada ekspresi menyenangkan di garis mulutnya, dan sikapnya benar-benar terkendali.
Dia memeluk Robin dengan hangat. Rasa rindu nyatanya bagi adiknya terlihat dari beberapa patah kata sambutannya. Kepada Rahib Copmanhurst, dia begitu baik dan sopan sehingga Robin mulai bertanya-tanya apakah dia sendiri pernah bersikap seperti itu terhadap sang rahib sebelumnya. Jika orang seagung itu dapat menundukkan diri kepadanya, apa yang seharusnya dilakukan oleh Robin? Robin ingat bahwa dia seringkali bersikap kurang ajar dan menggoda pengajar yang baik hati ini, yang telah mengajarkannya membaca dan menulis.
Sang Squire kemudian memberikan tanda agar mereka mengikutinya, segera setelah kuda dan bawaan mereka diberikan kepada para pelayan dan dia mendengar keluhan si penjaga hutan tentang para penyamun. Sang Squire hanya memberikan sedikit komentar, sambil mengerutkan dahi.
Setelah sang kapten menyelesaikan laporannya, mereka masuk ke aula, yang diterangi oleh seribu lilin kecil dari lemak. “Adik Nell, tolong tinggalkan kami,” kata sang Squire, dengan gaya ningratnya, setelah dia memberikan tanda kepada beberapa pelayan wanita yang menunggu untuk mengurus Nyonya Fitzooth. “Aku sendiri akan mengantarkan Robin ke ruangannya, dan menunjukkan kepadanya peraturan yang telah kami buat selama dia tinggal di Gamewell. Jamuan makanan akan diadakan kurang dari satu jam lagi. Bapa, kamarmu ada di dekat kamarku. Mari, ikuti aku juga.”
Di ruangan yang disediakan baginya, Robin menemukan pakaian baru dan bagus yang diletakkan di ranjang berseprai putih bersih, dengan sehelai karpet kecil di sampingnya. Ada sebuah jendela tinggi yang berkisi-kisi yang mengarah ke lapangan. Ada juga bangku di sudut, yang diukir indah dan ditutupi benda-benda dan taplak yang belum pernah dilihat oleh Robin sebelumnya.
Temboknya dihiasi dengan permadani, dengan lukisan yang garang dan mengagumkan yang disulamkan di atasnya. Langit-langitnya rendah dan ditutupi dengan kasau balok yang dipelitur. Di belakang pintu terdapat sebilah pedang yang digantungkan dengan sarung kulit.
“Untukmu, keponakanku,” kata sang Squire sambil tersenyum.
Robin segera melepaskan pakaiannya dan mandi. Kemudian, dengan tidak sabar dia mengenakan pakaian barunya. Saat pedang disarungkan, pahlawan muda kita dari Locksley merasa dirinya sama dengan Will Green maupun para pahlawan lainnya di negara ini.
Dia kemudian menyusuri lorong dan menemukan jalan kembali ke aula. Di sana, Master of Gamewell dan ibunya telah menunggu. Mata Nyonya Fitzooth bersinar memberikan persetujuan, dan Robin menyentuhkan jarinya ke jari ibunya.
“Aku akan membangun sebuah puri seindah ini, Ibu, pada suatu hari nanti,” kata Robin kepada ibunya: kemudian dia mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada Master Montfichet seperti berapa banyak jumlah klaim hukum yang harus dimenangkannya agar dapat memiliki wilayah kekuasaan yang baik. Sambil tersenyum, sang Squire memberitahunya bahwa sang Raja memberikan Gamewell kepadanya sebagai hadiah atas keberaniannya di medan tempur bertahun-tahun sebelumnya.
“Kalau begitu aku akan bertempur bagi sang Raja,” pekik Robin dengan mata menyala-nyala, “sehingga aku mungkin dapat menghadiahkan Broadweald dan seluruh tanahnya bagi ayahku.”
“Dan Paman akan mengajarkanmu, Robin. Itu pasti,” kata George Montfichet tua. “Namun pedangmu harus diayunkan bagi Raja yang tepat. Jangan mendukung para pangeran pemberontak, melainkan kepada dia yang telah Tuhan tempatkan untuk memimpin kita, Henry dari Dinasti Angevin.”
“Amin,” bisik sang rahib dengan bersemangat. “Semoga hukum dan ketertiban selalu ditegakkan.”
“Mungkin ini berarti banyak bagimu, Rahib,” kata Montfichet. “John menguasai Biara York.”
“Dia tidak berkuasa atas Sherwood, dan kami bebas darinya!” teriak sang rahib. Lalu, cepat-cepat dia memperbaiki ucapannya. “Kami, para rahib tidak takut, karena kami tidak memiliki apa-apa. Berbahagialah orang yang tidak takut kehilangan, dan yang mempunyai pikiran jernih.”
“Aku akan membebaskan Hutan Sherwood, Bapa, jika orang itu menunggu panahanku. Master Will, si penyamun, bersumpah bahwa jika aku mengalahkannya, Paman, ”dia memalingkan wajahnya yang riang ke arah Gamewell tua, “aku dapat membebaskan hutan hijau itu. Dan aku akan melakukannya.”
“Ini jarang dilakukan Will,” kata sang Squire sambil mengerutkan dahi, “namun, dengan satu cara atau lainnya, dia mengontrol hutan itu. Ini masalah yang harus aku selesaikan, karena sang Sherif kelihatan begitu takut terhadap dirinya,” tambahnya dengan sikap yang mantap.
Bab III
Pada hari berikutnya, mereka pergi ke Nottingham, hanya membawa beberapa pelayan bersama mereka. Sang rahib memilih tinggal di ruang depan, khawatir, sebagaimana dikatakan nya, bahwa matanya akan berdosa jika melihat hal-hal duniawi di kota.
***
Ketika mereka tiba di padang rumput tempat Pasar Malam diadakan, Robin gembira sekali melihat hal-hal menakjubkan yang ada di depan matanya.
Yang paling disukainya adalah pertunjukan akrobat dan gulat yang dilakukan sekelompok pengelana, yang tampil semarak dan riuh-rendah. Mereka terdiri atas seorang ayah dan tiga anak, sementara sang ayah memainkan beberapa alat musik dengan bersemangat, ketiga anaknya beraksi melakukan pertunjukan.
Berkali-kali Robin mengajak Master Montfichet untuk kembali ke arena itu. Tontonan gulatlah yang membuatnya sangat tertarik, karena terlihat sangat nyata. “Berikan mereka satu penny lagi, Paman,” demikian pinta Robin, bersemangat. “Ah, jangan. Berikan saja sekeping uang perak. Apakah Paman pernah melihat tontonan seperti ini? Yang kecil itu pasti memiliki trik.… Aku yakin dia akan menjatuhkan yang tua pada pertandingan berikutnya.”
“Apakah kau mau bertanding melawanku, Tuan muda?” tanya si pegulat kecil. Sepertinya ia mendengarkan kata-kata Robin. “Jika kau bisa bertahan dua babak dari seranganku, aku akan mengajarkan kau trik tersebut dan masih banyak lagi.”
“Tidak, tidak,” kata sang Squire dengan cepat. “Kita tidak mempunyai banyak waktu untuk permainan seperti itu, Robin. Ibumu menunggu kita di pojokan sana. Ayo kita temui dia.”
Robin berbalik dengan enggan. “Aku rasa aku bisa bertahan darinya. Rumput di dalam ring itu kering, Paman, apakah Paman mengira pakaianku akan kotor?”
Permohonan itu secara tidak terduga-duga membuat hati Master of Gamewell yang sudah tua itu tergerak. Sekalipun menurutnya tidak pantas jika seorang berdarah biru bercampur dengan orang biasa, namun sang Squire juga tidak dapat menahan kesukaannya sendiri akan olahraga.
Dia kemudian berpaling kepada para pegulat itu: “Aku akan memberikan sekantung uang perak bagi siapa pun yang menang pada pertandingan berikutnya,” katanya. “Semua orang boleh ikut serta. Pertandingan hanya berlangsung satu babak saja. Silakan tantang siapa pun di Nottingham. Aku menantang para pemuda yang dapat menunjukkan kepada kalian bagaimana cara mencengkeram dan melempar.”
Ayah dari para pemain itu menunjukkan sikap angkuh dan menabuh tiga kali dengan suara yang menggetarkan. “Ayo, ayo!” teriaknya. “Di sini ada tiga pegulat hebat dari Cumberland, tempat gulat dipraktikkan oleh setiap pemuda dan pria dewasa! Inilah para pegulat yang telah mengalahkan semua orang di kampung halamannya, yang kini ingin mengalahkan juara lainnya! Ayo, ayo! Ada hadiah dua puluh uang perak bagi para pemenang pertandingan berikutnya (apakah kau menyebutkan dua puluh atau tiga puluh keping, Tuan?). Ayo, ayo semuanya! Para pemuda Cumberland menantang kalian!”
“Izinkan aku bergulat demi satu pence, Paman,” mohon Robin sambil menarik lengan sang Squire. “Bolehkah aku ikut untuk memperoleh kemenangan? Ini mungkin menjadi dasar bagi nasib baik yang aku perjuangkan bagi ayahku.”
“Dua puluh penny hanya bisa membelikannya sepetak tanah di Broadweald, Nak,” kata sang Squire tertawa. “Lagi pula, tidak seharusnya seorang Montfichet bertarung di antara rakyat jelata demi hadiah rendahan. Kau adalah seorang Montfichet, ingat itu, dari darah ibumu. Kita akan lihat sebaik apa mereka, orang-orang dari Cumberland ini, menghadapi para pemuda Nottingham dan Sherwood. Ah, ini ada satu orang yang menantang mereka.”
Seorang pemuda kurus berwajah pucat telah sesumbar akan memiliki kantung tersebut ketika sang Squire berbicara. “Ini akan menjadi milikmu kalau kau dapat memperolehnya,” jawab si pegulat tua, ketika dia dan anak-anak membersihkan ring. Banyak orang berkerumun, sehingga Montfichet dan Robin bisa saja terdesak ke belakang.
“Mari berdiri di sampingku, Tuan,” kata si pegulat. “Tetap di sana, dasar orang-orang kurang ajar! Ini orang baik yang memberikan kantung itu. Tidak akan ada kantung ini, jika kalian terus mendesak. Hei, kau dan kau, mundur sana!” Dengan kasar dia mendorong mundur kerumunan orang itu. “Sekarang, mari kita lihat siapa yang terbaik.”
Kedua pemuda telah melepaskan pakaiannya hingga ke bagian pinggang, dan saling mengincar. Si pemuda Nottingham, meskipun bertubuh ramping, bertubuh tegap dibandingkan pemuda gemuk berkulit gelap dari Cumberland. Mereka tiba-tiba saling mendekat dan mencengkeram, kemudian berusaha keras menjatuhkan lawannya. Para penonton bersorak riuh-rendah.
Kedua petarung yang memperebutkan kantung Montfichet memiliki kekuatan yang seimbang. Kini, mereka harus mengandalkan trik untuk menjatuhkan lawannya. Si pegulat mencoba suatu muslihat sederhana, dan hampir kehilangan keseimbangan saat melakukannya.
“Kau seharusnya menunjukkan kepada kami usaha yang lebih baik, Cumberland!” teriak seseorang. Robin, yang telinganya dengan cepat mengenali suara itu, segera memalingkan wajahnya, dan memandang sekilas sosok Will Green, si penyamun dari Sherwood!
Melihat Robin memandanginya, Master Will menganggap bahwa lebih bijaksana baginya untuk menarik diri secara diam-diam. Namun, dia dengan berani memberikan anggukan kepada pemuda itu sebelumnya, lalu berpindah secara perlahan-lahan. “Bertahanlah, Nottingham, demi nama baikmu,” teriaknya, lalu menghilang.
Sementara itu, para pegulat saling menyentak dan menegangkan setiap saraf. Peluh keringat dengan deras menuruni keningnya. Keduanya sama-sama tidak menggunakan trik gulat yang sudah lazim: masing-masing menganggap lawannya sebagai musuh yang tidak biasa.
Tiba-tiba si pemuda Nottingham tergelincir, atau terlihat tergelincir. Lawannya dengan cepat menguncinya untuk dilemparkan. Kesalahan fatal, bukan akibat trik, demikianlah akhir dari ronde pertama. Si pemuda Nottingham segera bangkit, dan kini lawannya berhasil dijepit di bawah tangannya. Keseimbangan lawannya pun terganggu. Si pegulat merasakan dirinya dengan cepat dibanting ke bawah. Saat keduanya jatuh, dia berada di bawah tubuh lawannya.
“Nottingham! Nottingham!” teriak penonton bertepuk tangan. Kemudian kedua pegulat mempersiapkan diri untuk mengikuti ronde kedua.
Yang mengejutkan Robin, pertandingan ini selesai dengan begitu cepat. Pegulat Cumberland mengetahui suatu cara mencengkeram yang cerdik, dan segera menerapkannya pada lawan nya. Pahlawan Nottingham itu pun jatuh dengan berdentam.
Ronde ketiga merupakan suatu pertandingan yang keras, namun dewi fortuna lebih memihak si pegulat. Montfichet menyerahkan kantung uang kepada si pemenang tanpa rasa sesal. “Pakailah baik-baik uang yang telah kau menangkan ini, Cumberland,” demikian kata sang Squire. “Nah, Robin, mari kita menemui ibumu. Ia pasti cemas menunggu kita.”
“Apabila kau masih ingin mengadakan pertarungan denganku, Tuan, aku bisa ditemukan di sini hingga Sabtu siang.” Demikian kata si pemain akrobat kecil dengan licik, “Sayang, kita tidak bergulat memperebutkan kantung itu, eh? Namun aku bisa memberikan tulang rusukmu satu pukulan.”
“Bisakah aku menjewer telinganya, Paman?” tanya Robin.
“Ah, tidak usah, Nak. Biarkan saja telinganya memanjang, baru setelah itu kau dapat bebas mempermainkannya. Ayolah, ikut Paman melihat pertunjukan sulap. Jangan terlalu cepat menanggapi kelancangan ini. Paman mulai berpikir seharusnya kita tidak ke sana, Tuan Cepat Naik Darah. Perjalanan yang tidak diawasi denganmu merupakan hal yang berbahaya.”
Bab III - 2
Montfichet tersenyum sekalipun menggerutu. Dia senang melihat anak muda yang bersemangat tinggi ini. Dia berjalan dengan gembira, dengan tangannya merangkul pundak Robin, menuju pojokan tempat Nyonya Fitzooth menunggu mereka dengan para pelayan.
“Apakah kau kasihan dengan si orang Nottingham, Robin?” tanyanya ketika mereka melewati si pegulat berwajah pucat yang bersedih hati. “Ini, berikan kantung kecil ini kepadanya secara diam-diam. Beri tahu dia bahwa ini untuk mengobati sakit hatinya, dari seorang kawan.”
Dengan senang hati Robin melakukan tugas ini. Kemudian, ketika dia mendekati sang Squire, muncul dalam pikirannya untuk mengatakan sesuatu yang membingungkannya. “Kemarin, Paman,” demikian ia memulai, “saat kami di hutan lebat, semua orang bernafsu untuk menangkap si pemimpin penyamun.”
“Ada apa, Robin?”
“Hari ini, dia berkeliaran di Pasar Malam Nottingham, dan tidak seorang pun berusaha menangkapnya. Mengapa, Paman? Apakah ini tanah perlindungan?”
“Ah, kau mengamati Will Green?” tanya Montfichet, dengan rasa ingin tahu. “Itu sulit dipercaya, karena dia begitu berani.”
“Benar, Paman. Aku melihatnya ketika kita berada di arena gulat. Dia memandangku dari antara topi para penonton lainnya.”
“Coba tunjukkan dia kepadaku, Robin, jika kau bisa.” Demikian olok-olok sang Squire karena meragukan keponakannya.
Yang mengejutkannya, Robin ternyata berusaha keras mencari orang itu di antara kerumunan orang banyak. “Tidak ada Will Green di sini, Nak. Ia pasti mudah tertangkap jika ada di kota Nottingham. Sekalipun demikian, paman akan senang sekali jika bisa menangkapnya.”
“Tapi aku melihatnya, Paman, dan dia mengenaliku. Tanyakan kepada Ibu berapa lama kami berbicara kemarin. Aku tidak akan melupakan suaranya.”
“Ya, mungkin kau benar,” kata sang Squire. “Bagaimanapun, kami tetap waspada terhadap penyamun itu. Apakah kau sudah melihat pertunjukan sulap, Nell?” tanyanya kepada Nyonya Fitzooth.
“Aku sedang menunggu kalian,” jawabnya singkat, “Robin, bagaimana pendapatmu?”
Jawaban Robin tenggelam oleh suara musik yang didentangkan dari dalam tenda. Suara itu begitu riuh-rendah.
“Lihat, Bu. Itu seorang penyihir. Ayo kemari!” Robin melirik sebuah ruang suram yang misterius, yang di luarnya tergantung segitiga, kerucut, dan naga berwarna menyala yang keluar-masuk dari sebuah belanga emas, dengan lambang-lambang dan angka rahasia di sisi-sisinya. Berdiri di sana adalah seorang bertubuh tinggi, yang mengenakan jubah panjang berwarna merah dan memegang sebuah tongkat sihir dengan hiasan bintang di ujungnya.
“Apakah kau ingin mengetahui apa yang dikatakan bintang-bintang mengenai diri kau, Tuan,” tanyanya dengan nada genting.
“Ah, tentu saja!” teriak Robin. “Ayo, Bu. Ayo, Paman. Mari kita menanyainya mengenai Locksley, dan mendengar apa yang mungkin dilakukan Ayah.”
“Apakah menurutmu kami akan mendengarkan kebenaran, Nak? Terserahmu saja. Ayo, ikut kami, Nell. Ini hal yang menyenangkan, karena para penipu ini menggunakan tipuan sebagai bagian pekerjaannya. Namun, jangan terlalu memperhatikan apa yang dikatakan mereka.”
Si penyihir mengajak mereka masuk ke tendanya. Kemudian dia menutup bagian tenda yang terbuka, membuat mereka diselimuti kegelapan total.
Sang Squire menyampaikan protes keras, mengira bahwa saat itu merupakan saat yang baik bagi siapa pun untuk merampok atau mengambil dompet mereka. Namun si penyihir tidak memedulikannya, dan tiba-tiba memukul sebuah gong kecil. Suatu lidah api kecil berwarna biru muncul dari sebuah anglo kecil di bagian paling ujung tenda.
Di bawah cahaya aneh ini kini dapat terlihat perabot dan perlengkapan di tempat aneh ini. Barang-barang itu mengundang rasa ingin tahu, sekalipun jumlahnya sedikit. Sebuah bola kaca dan sebuah meja kecil yang dialasi taplak hitam; sebuah kursi yang dialasi tumpukan kertas dan perkamen; dan sebuah tengkorak kera, benar-benar mengalami perubahan bentuk, merupakan perkakas utama dari koleksi tersebut.
Sebuh tirai menutupi sebagian tenda. Di belakang anglo tergantung rak yang ditutupi dengan botol-botol, besar dan kecil. Si penyihir mengangkat tongkat sihirnya ke arah lidah api biru yang meliuk-liuk, yang dengan segera membesar menjadi warna keemasan.
“Mendekatlah, Robin, anak Fitzooth si Pengawas Hutan,” perintah si penyihir. “Letakkan tangan di atas bola kaca dan lihatlah ke meja ini.” Dia menyingkap taplak hitam, menunjuk kan bahwa bagian tengah meja itu terbuat dari kaca hijau yang rata. “Lihat baik-baik, dan katakan padaku apa yang kau lihat.”
“Aku melihat rumput di tempat kita berdiri,” kata Robin. “Tidak ada yang lainnya.”
“Perhatikan lagi, Robin dari Locksley.”
Robin memicingkan matanya dengan harapan dapat menemukan suatu misteri. Namun kaca datar itu bening-bening saja dan mengecewakan.
“Coba Ibu lihat, Robin,” kata Nyonya Fitzooth, tidak sabar.
Namun kini warna hijau di kaca itu mulai memudar; kaca itu kelihatan menjadi buram dan berkabut.” Robin samar-samar melihat di dalamnya sekilas gambaran miniatur lapangan di tengah hutan Sherwood, pohon tertiup angin barat daya, sementara rerumputan dan bunga tertunduk bersama dan bergetar.
Kelihatannya saat itu musim panas. Pohon pakis telah tinggi dan berwarna hijau. Sesosok pria, berpakaian serba hijau, bergerak ke arah bagian tengah gambaran itu. Dia bertubuh ramping, tidak terlalu tinggi, dengan wajah menyenangkan, berjanggut dan berambut merah tua. Dia juga seorang penjaga hutan, jika dilihat dari busur panjang yang dibawanya. Namun dia tidak memakai tanda apa pun sebagai seorang abdi, dan berjalan seperti orang bebas. Samar-samar wajahnya yang terlihat sudah akrab, tampak tersenyum. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Terdengar suara perlahan dari rerumputan di sebelah kirainya. Robin dapat mendengar suara dari kejauhan.
Pria itu secara hati-hati berjalan menuju tepi lapangan. Ketika dia melakukannya, terdengar suara tawa yang renyah dari bawah. Menyibak pepohonan pakis, muncullah sesosok wajah yang menyenangkan. Kemudian, secepat kilat, berdirilah sesosok manusia yang mengenakan pakaian berwarna cerah, berambut keriting dan memiliki mata yang aneh.
Dengan tangan terbuka, pria itu menyambut anak laki-laki itu. Kemudian Robin melihat dia ternyata sama sekali bukan anak laki-laki. Dia seorang perempuan muda, yang ceria, begitu bahagia sehingga dia dapat membawa dirinya ke pelukan cinta sejatinya.
Robin memandangnya dengan sukacita. Dia tahu bahwa ini merupakan gambar yang dipantulkan. Rasa ingin tahunya tergelitik. Saat awan dingin yang lewat di atas lapangan itu menutupi matahari dan cahayanya, Robin merasa sangat gelisah.
“Bisakah kau melihatnya sekarang, hai, Robin dari Hutan?” bisik sang penyihir dengan suara lembut. Robin ingin menanyakan siapa pria itu, jika saja lidahnya tidak kelu.
Matanya memusatkan semua pikirannya. Dengan tidak sabar, Robin menunggu awan itu berlalu.
Saat semuanya menjadi terang lagi, si pria tinggal sendirian. Wajahnya menunjukkan kesedihan, sakit, dan tua. Dia memasang sebuah anak panah di busurnya. Dengan tangan yang gemetaran, jarinya menarik tali busurnya. Dia menariknya perlahan-lahan, nyaris lunglai, namun terlihat terampil. Robin, mengamatinya, melihat anak panah melesat dari gambaran itu.
“Dia sekarat dan melepaskan anak panahnya yang terakhir, bukankah demikian?” serunya, berusaha untuk mengerti.
Saat dia berbicara, penglihatan itu perlahan-lahan menghilang.
Bab IV
Robin berpaling dengan marah dan memandang sang Squire. Dia mulai menyampaikan keluhan kebingungan terhadap si penyihir, yang telah menghilang di balik tirai sebelah kiri. Tuan Montfichet hanya mengangkat bahunya.
***
"Jangan terlalu memikirkan tipuan ini, Nak. Itu semua hanya trik! Apakah yang kau lihat? Nasib baik dan hidup bahagia?”
“Aku melihat sesosok pria, Paman, yang mengenakan baju serba hijau. Dia sekilas mirip Ayah, namun dia bukan Ayahku. Selain itu, ada juga pemuda tanggung, yang kemu­dian­ men­jelma menjadi seorang gadis. Sangat cantik, dan aku pasti akan mengena­linya­ dalam keadaan apa pun.”
“Ah, Tuan Robin, apakah kau sudah mulai melirik gadis?”
“Ini gadis yang begitu manis, Paman. Dan entah bagaimana aku kira dia telah mati. Pria itu melepaskan sebuah anak panah. Menurut perkiraanku, tempat anak panah itu jatuh adalah kuburan si gadis. Namun gambaran itu menghilang secepat kemunculannya.”
“Nell, kau dengar kisah ajaib ini? Duduklah dan mari kita lihat apa yang akan...
Bab IV - 2
Kegaduhan tidak menunjukkan tanda akan reda. Perkelahian semakin­ mendekati tenda, dan tubuh orang-orang yang berkelahi dengan keras membentur tenda yang mulai tampak akan roboh.
“Tenda akan roboh menimpa kita,” kata sang Squire.
“Ayo, Anak-anak.”
Tepat pada saat itu Robin tersandung kepala tengkorak kera. Tiba-tiba muncul suatu pikiran di otaknya. Dia mengambil benda mengerikan itu dan membawanya keluar. Membuka pintu tenda itu, Robin tiba-tiba maju ke depan dengan beban bawaannya itu, dan berteriak dengan lantang.
“Montfichet! Montfichet! Selamatkan Gamewell!”
Dia mengangkat tinggi-tinggi kepala kera itu dan masuk ke arena perkelahian. Tawuran pun terhenti saat sinar matahari yang terik membuat bau apek tulang itu menyebar. Kerumunan orang itu ketakutan, dan semuanya mundur.
Mengambil kesempatan dari keadaan ini, anak buah sang Squire yang jumlahnya kecil meningkatkan usaha mereka dan, didorong oleh pekikan Robin dan si pemain akrobat kecil, berusaha mendekatinya. Si pemain akrobat kecil terus berada di sisi Robin dan membuat suara yang menantang...
Bab V
Squire George Gamewell beristirahat dengan santai di purinya sendiri pada hari berikutnya.
Sekalipun dia mengizinkan Robin pergi ke Nottingham, dengan bujangnya yang baru dan Warrenton—pengawal Montfichet sendiri— Fitzooth lebih suka berada di sisi paman pelindungnya.
***
Tidak ada kesulitan saat Will berpisah dari para pemain akrobat-pegulat lainnya.
Ayahnya cukup cerdas untuk melihat bahwa anaknya akan memiliki nasib yang lebih baik jika tinggal bersama Robin Locksley. Will gembira, dan berharap dapat menjalankan tu­gasnya­ mengabdi Robin dengan mengajari tuan mudanya seni bergulat dan bela diri dengan menggunakan tongkat.
Sang Squire tertawa terbahak-bahak saat mendengar antu­siasme mereka.
“Robin, tinggalkan aku bersama ibumu, aku menjamin tidak akan terjadi apa-apa!” katanya. “Ada hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Kami butuh suasana tenang.”
Montfichet kemudian menyuruh mereka keluar. Dia benar-benar telah pulih pada saat ini, dan ingin mengadakan suatu pembicaraan serius dengan saudarinya.
Ada hal-hal yang ingin dibicarakan hanya kepadanya—rahasia seseorang yang sangat peka.
“Karena sekarang...
Bab VI
Warrenton-lah yang membawakan Master Geoffrey kuda dengan lapisan baja merah serta pedangnya.
***
Sekalipun Robin memberikan saran saat memilih kuda itu, dan membantu bujang tua itu mengikat tangkainya dan menjalin baja dan dir dengan pita sebagaimana diperintahkan oleh kesatria itu, berbagai kejadian membuat Robin tidak dapat menyerahkan peralatan perang ini ke ruang rias wanita.
Fitzooth muda diminta mendatangi kamar ibunya segera setelah dia berbincang-bincang dengan sang Squire. Terjadi pembicaraan yang cukup alot, karena Nyonya Fitzooth tidak selalu setuju dengan rencana sang Squire. Robin sebenarnya kebingungan: ambisinya dibakar oleh gambaran menyenangkan sang Squire bahwa dia, sebagai seorang Montfichet sejati, harus menyandang nama dan kekuasaan Gamewell.
Robin terutama memikirkan ayahnya. Apa yang akan di­katakan beliau? “Tetaplah menjadi seorang Fitzooth, dan berjuanglah­ sendiri untuk mendapatkan tempatmu di dunia ini, Nak.” Itulah yang mungkin akan dikatakan beliau. Pada akhirnya, Robin memutuskan untuk tidak memikirkan ma­salah itu. Lagi pula, dia tidak mau merampas warisan Geoffrey....
Bab VII
Keinginan Geoffrey Montfichet agar dikenal sebagai Kesatria Merah bukannya tidak masuk akal.
***
Demi pemberontakan Pangeran John terhadap ayahnya, Henry dari Inggris, Montfichet muda memberikan segala-galanya. Sang pangeran telah bersikap baik kepadanya. Jadi, sekalipun pemberontakan gagal, Geoffrey merasa wajib untuk tetap memihak pihak yang kalah, dan bermaksud meraih kembali kesempatan yang pernah hilang. Untuk meraihnya, ia kini berkelana di seluruh bagian tengah negara dengan cara menyamar, berusaha mendorong para pelanggar hukum dan penyamun di hutan untuk mengangkat senjata di bawah panji John, dengan janji bahwa sang Pangeran (jika berhasil) akan memberikan pengampunan kepada mereka dan harta yang akan jatuh ke tangan mereka.
Seorang mata-mata dikirim ke Pekan Raya Nottingham untuk mencari tahu kemajuan kontak dengan para penyamun dari Sherwood. Namun karena sangat berbahaya untuk mengusahakan suatu pertemuan terbuka, Geoffrey mengatur suatu tanda isyarat sederhana, yaitu dengan warna.
Jika dia muncul sebagai seorang kesatria tidak dikenal, mengenakan warna merah di senjata dan kudanya, mata-mata yang mengawasinya dari pihak Sherif Nottingham,...
Bab VIII
Saat sadar, Robin melihat bahunya sedang dibebat mereka. Dia tersenyum ke arah Warrenton untuk menunjukkan bahwa lukanya tidak begitu menyakitkan. “Apakah kita terlambat menonton acara pertarungan kesatria, Will?” bisiknya, mengamat-amati wajah prihatin Stuteley.
***
"Kita akan membawa pulang panah emas yang disediakan Sherif sebagai hadiah bagi pemanah terbaik,” jawab War­renton,­ sebelum yang lainnya berbicara. “Sekarang, kau harus mengingat semua yang telah aku ajarkan. Memanahlah dengan rasa percaya diri. Nah, mari pergi: gerbang Nottingham telah dibuka, dan lukamu telah dibebat ketat. Ini panah yang menan­cap­ di tubuhmu, simpanlah sebagai kenang-kenangan.”
“Apakah ini barang bagus, Warrenton?” tanya Robin, saat bujang tua itu memberikannya tempat anak panah.
“Itu milik Will sendiri. Artinya, itu barang bagus.”
Setelah Master Ford mengucapkan selamat tinggal, mereka meninggalkan hewan tunggangannya kepada seorang pengurus hewan di gerbang kota, berpesan agar kuda tunggangan Robin dirawat dengan baik.
Robin kemudian membersihkan dirinya dan mengenakan pakaian yang rapi untuk mengikuti pekan raya...
Bab VIII - 2
Fitzooth muda berpaling kepada Warrenton. “Dapatkah kau memberitahuku siapa orang yang duduk sendiri di tribun sana?” tanyanya, dan secara hati-hati mengarahkan bujang tua itu ke tempat yang ditanyakannya.
Namun Warrenton segera tidak mengerti maksud Robin. Akhirnya, setelah mengetahui apa yang diinginkan tuan mu­danya, dia berkata: “Oh, maksudmu Master Fitzwalter, Tuan muda? Seorang pria yang baik dan jujur. Dia pengawas gerbang kota. Orang penting kedua di Nottingham setelah Monceux, si Sherif. Orang yang benar-benar baik. Jika saja dia yang men­jadi Sherif, Squire George Gamewell pasti lebih sering berada di Puri Nottingham daripada sekarang, karena kami tidak me­nyukai Sherif. Gadis yang bersama Master Fitzwalter adalah anak tunggalnya. Dia tidak memiliki ibu lagi. Sang Master mem­ besarkannya sendirian. Ah, orang yang benar-benar baik....”
“Menurutku, dia benar-benar cantik,” kata Robin, menga­takan isi pikirannya nyaris tanpa berpikir panjang.
“Ya, ya. Dia boleh juga. Tapi aku tidak memercayai mereka, Tuan muda. Mereka sama saja dengan para...
Bab VIII - 3
Pertandingan terus berlangsung dan putaran pertama pun berakhir. Dari dua puluh tiga orang peserta, sembilan belas orang di antaranya berhasil­ memanah tepat pada sasarannya. Para pemeriksa memberikan­ isyarat kepada pemberi pengumuman, yang kemudian mengumumkan hasilnya dengan suara keras kepada para penonton­.
Sasaran kemudian diperkecil sedangkan jaraknya diperjauh. Jarak antara pemanah dan sasarannya adalah empat puluh lima meter, kebetulan jarak yang sama yang dipertaruhkan antara Robin dan Master Will sebelumnya di hutan belantara. Si penyamun menawarkan diri untuk melepaskan panah pertama, namun si pemberi pengumuman meminta mereka agar me­lepaskan panah menurut urutan yang dilakukan pada putaran pertama.
Robin memasang anak panahnya dengan tenang dan dengan percaya diri mengangkat busurnya, lalu menancapkan anak panahnya dengan tepat pada sasaran. “Tepat sasaran! Locksley sekali lagi menembak tepat sasaran!” teriak Warrenton dengan nyaring, mendorong para penonton ikut bersemangat meneriakkan nama: “Locksley! Locksley!”
Will membidik bahkan dengan gaya lebih tidak peduli daripada sebelumnya. Namun panahnya melesat...
Bab IX
Pengawalan ini menyelamatkan Geoffrey dari serangan yang direncanakan terhadapnya oleh dua orang penyamun yang berkhianat.
***
Mereka memata-matai dirinya, dan mengikuti perjalanan iring-iringan kecil itu. Namun dari jarak yang cukup jauh, mereka menyumpah-nyumpahi dan mengancam pe­muda yang telah memperingat­kan­ kesatria itu akan rencana jahat mereka. Jadi, sementara memperoleh teman baru, Robin juga memperoleh banyak musuh: namun tidak ada yang lebih mengancam daripada gadis berwajah dingin dari Puri Nottingham. Dia telah mengenali Robin Locksley sebagai pe­muda yang datang bersama Montfichet tua pada hari pertama pekan raya.
Di dekat Gamewell, Janggut Kusut berhenti. Sikap diamnya aneh, karena terlihat seperti ragu-ragu.
“Selamat tinggal, Kawan-kawan,” katanya, sambil mengangkat topinya ke arah mereka. “Kita berpisah di sini, karena aku harus pergi jauh ke dalam hutan.”
“Aku juga hendak melewati arah itu jika kau ingin pergi ke arah barat,” kata Geoffrey kepadanya, dengan sikap yang sedikit kurang percaya diri, dan berbicara di balik topeng zirahnya. Dia mengenal­ penyamun ini, namun harus...
Bab X
Squire George meninggalkan mereka keesokan harinya. Dia memerintahkan Warrenton untuk tinggal di Locksley, dan memerintahkan Stuteley muda untuk memberitahunya jika nyonya dan tuan muda memerlukan sesuatu.
***
Kemudian, setelah memberikan sejumlah uang kepada adik­nya untuk keperluan mereka, dia mengucapkan selamat­ tinggal.
Dia membawa surat Robin kepada Monceux, dan menam­bahkan permohonannya sendiri, tanpa meragukan bahwa masalah biasa ini akan berkepanjangan. Pengawas Hutan Locksley adalah hak Robin, karena rumah dan kebun itu telah diberikan kepada Hugh Fitzooth untuk selamanya oleh raja. Jadi semua telah diketahui.
Master Monceux, Sherif Nottingham, mengambil surat-surat itu dan membacanya sambil tersenyum tipis, kemudian membawanya ke kamar putrinya, lalu meletakkannya di depan putrinya. “Musuh-musuh sejati raja kita tidak kekurangan ke­beranian,” ejeknya, ketika Nona Monceux mempelajari surat-surat itu.
“Apa yang akan ayah lakukan?” tanyanya ingin tahu.
“Ini adalah pemanah muda yang memenangkan anak pa­nahku,” kata Sherif. “Robin Fitzooth dari Locksley. Ayahnya­ dibunuh oleh salah satu rusa raja, kelihatannya saat...
Bab X - 2
Setelah menunggu selama tiga jam, Master Ford memutuskan kembali ke Nottingham, dengan bermaksud untuk meminta izin untuk membawa penjaga hutan Sherwood ke Locksley. Dalam perjalanan pulang, dia bertemu dengan Will Green dan teman-temannya di dekat Copmanhurst, dipukuli dan semua miliknya dirampok, dan dengan keadaan memalukan kembali ke kota Nottingham. Ford dan sepuluh orang yang diutus Sherif untuk mengawalnya!
Master Ford mengarang-ngarang cerita tentang peristiwa ini kepada Nona Monceux yang mendengarnya dengan penuh minat. Gadis itu memang tidak menyukai Nona Fitzwalter, dan sekarang memiliki kesempatan untuk menyakitinya melalui Robin. Karena Robin memberikan gadis ini panah sementara dia, putri Sherif, diabaikan, maka tentunya mereka memiliki paling tidak pertemanan yang cukup akrab di antara mereka, sehingga serangan terhadap Robin akan menciutkan hati Nona Fitzwalter.
Karenanya Nona Monceux sangat menghargai cerita Tuan Ford.
“Pergilah ke ruang depan, dan tunggulah ayahku di sana, Master Ford,” kata Nona Monceux. “Aku akan bicara dengannya lagi saat dia tiba dari Gamewell. Dia berada di sana...
Bab XI
Dengan mengambil keuntungan dari pelajaran yang didapat dari Will Green, Robin mengotori wajahnya dan meminta Stuteley melakukan hal yang sama sebelum menuju turnamen kerajaan.
***
Pagi hari itu cuaca mendung dan penuh keraguan saat kedua anak muda itu berangkat. Mereka mengenakan pakaian­ hijau yang biasa digunakan penjaga hutan, dengan jubah panjang dan celana panjang hijau. Tangan dan wajah mereka cokelat karena dilumuri air walnut dan sementara Robin hanya membawa busur dan panah-panah terbaiknya, Will muda melengkapi dirinya­ dengan tongkat panjang, kapak dan tombak, semuanya sangat sulit untuk dibawa.
Robin memintanya meninggalkan salah satu senjata itu, dan dengan segan tombak dikembalikan pada Warrenton. Lalu dengan gembira mereka berangkat melalui hutan, dan pada tengah hari tiba di lapangan tempat Robin bertemu Will Green untuk pertama kalinya. Bahkan saat Robin tengah bertanya-tanya apakah Will dan orang-orangnya akan memungut pajak lagi ter­hadapnya, Master Will sendiri tiba-tiba muncul di hadapannya dan tanpa berkata-kata mengarahkan...
Bab XI - 2
“Kurasa kau harus membayar untuk perjalananmu, Gipsi, karena kau sangat kaya,” gerutu pemanah pertama. “Duduklah di belakangku, Aku hanya meminta sebuah penny perak sebagai imbalannya.”
“Aku akan mengantarmu tanpa imbalan, Gipsi, “ seru Much, yang benar-benar mabuk. “Kau berbicara jujur, dan aku menyukaimu! Ayo, melompatkah ke belakangku dan pegang erat-erat. Kuda ini suka melawan.”
“Cepatlah,” kata pemimpin mereka. “Saat kita bercakap-cakap di sini bisa-bisa turnamen sudah selesai dan Hubert yang memenangkan hadiahnya. “Maju, Teman-teman, langkah cepat!”
Mereka segera berangkat dengan langkah cepat. Robin naik ke belakang Much yang ramah dan Stuteley ke atas kuda kapten. Dengan yakinnya si tukang giling berulang-ulang mengatakan pada Robin bahwa dia, Much, ditakdirkan untuk memenangkan kontes panahan, dan diakui sebagai pemanah nomor satu di muka bumi.
“Dengar, Gipsi,” panggilnya pada akhirnya, melihat melalui pundaknya pada Robin yang dengan sabar mendengarkan di belakangnya. “Aku tidak akan mengambil crownmu, aku ber­janji! Aku tidak akan merampok kekasihmu barang...
Bab XII
Jadi, dengan memalukan, mereka pulang pada malam hari ke Locksley. Tidak ada seorang pun yang menawarkan mereka menginap di hutan Sherwood.
***
Robin bisa saja menyangsikan keberadaan Will Green dan komplotan penyamunnya, jika dia tidak mengetahui kebenarannya. Seakan-akan Will dengan diam-diam memberikan kebebasan dalam hutan seperti yang dijanjikannya. Lelah dan sakit kakinya, namun dengan hati dipenuhi kegembiraan yang aneh, Robin tiba di Locksley sebelum fajar, bersama Stuteley yang setia dengan sedih mengikutinya.
Banyak pertanyaan yang harus ditanyakan dan dijawab saat mereka kembali, dan Warrenton sangat marah ketika dia men­dengar sikap pangeran yang pilih kasih pada pemanahnya, Hubert.
Robin hanya menunjukkan sedikit kekesalan dalam hal ini, pikir Warrenton. Prajurit tua ini merasa bingung sekaligus kagum melihat ketidakpedulian yang ditunjukkan pemuda ini. Lihatlah dia, memiliki kemampuan yang mengagumkan, memenangkan hadiah yang menarik, dan melihat hadiah itu direnggut dengan tidak adil darinya, namun tidak murka—malah terlihat senang.
“Tentunya kau akan kembali ke sana bersamaku dan meminta hadiah itu...
Bab XIII
Saat Robin kembali sadar, dia mendapati dirinya dikelilingi gerombolan penyamun. Namun pada kesempatan itu, mereka muncul sebagai teman dan menerimanya, pada hari ketika hidup Robin hampir saja dihabisi oleh Master Carfax.
***
Sekarang situasi telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Para petugas hutan telah diatasi oleh Will dan gerom­bolannya, berkat tindakan pengalihan yang dilakukan oleh orang-orang dari Lincoln. Much duduk dengan wajah yang lebih sedih daripada yang Robin lihat tadi pagi, dan Midge kecil yang berhidung­ tajam sibuk mencuci dan membebat kepalanya yang luka.
Setengah dari para petugas hutan, bersama Master Ford, telah melarikan diri ke Locksley, sementara sisanya ditangkap dan kuda-kudanya dirampas oleh para penyamun.
Master Simeon, dengan kemarahan dan ketakutan yang tergambar jelas di wajahnya, berbaring sambil merintih di kaki Robin, diikat dengan menggunakan tali yang sama yang hendak dia pergunakan untuk mengakhiri hidup Fitzooth muda.
Musuh-musuhnya telah mengikatnya pada sebuah tongkat panjang dan mengikat tali di sekelililngnya...
Bab XIV
Nona Marie-lah yang berada di belakang semua ini. Dia mengetahui rencana Geoffrey dari kekasihnya, Master Carfax, karena Master Carfax telah menanyai dua orang anak buah kelompok Will, Roger dan Micah, yang berkhianat terhadap Geoffrey.
***
Ada maksud tertentu dalam situasi ini dan ada cerita dalam cerita. Pada dasarnya, Carfax bermuka dua. Jadi, sementara melayani pangeran, saat dia mengetahui Montfichet muda akan bergabung dengan tuannya, Carfax secara lahiriah berpura-pura mengenalinya sebagai seseorang yang harus dihormati.
Master Simeon telah pergi dengan membawa pesan pangeran kepada Will Green, dan bersama-sama dengan John Ford, supaya dia dapat menempatkan Ford dengan sepantasnya di Locksley. Setelah itu, seperti yang kita ketahui, Simeon mengadakan perjalanan ke pimpinan Biara York. Marie Monceux, untuk melengkapi penderitaan Robin, meminta ayahnya pergi ke Gamewell dan di sana menceritakan kepada Montfichet bagaimana Robin telah menolong Geoffrey mendapat kuda berpita merahnya, menceritakan kepada sang Squire kisah yang disampaikan oleh dua penyamun yang berkhianat. Sebagai...
Bab XV
Nyonya Fitzooth tidak pernah melihat Gamewell atau kakaknya lagi. Sakitnya mendadak parah dan dalam waktu seminggu Robin menjadi yatim piatu—tanpa rumah, uang atau harapan. Hanya dua sahabat baik yang dimilikinya—Stuteley kecil dan Warrenton yang setia.
***
Squire telah menolak menemui Warrenton dan telah mengirim­ balasan pada surat Robin melalui salah seorang pelayan. Mont­fichet marah pada Warrenton karena dia telah ditipu olehnya.
Robin memakamkan ibunya di samping makam ayahnya. Hal itu dilakukan selama dia berani tinggal di Locksley. Setiap hari dia takut ditangkap oleh pelaksana perintah Master Monceux. Stuteley selalu menjaga jalan menuju Sherwood pada siang hari dan Warrenton melakukannya pada malam hari.
Pada pagi hari pemakaman terdengar berita berbahaya. Salah seorang dari penjaga hutan Locksley yang setia sedang berada di posnya sementara yang lainnya, karena tidak memiliki tuan, telah bersenang-senang melakukan kesibukannya sendiri. Dia mendengar dari seorang gembala bahwa sekelompok prajurit sedang dalam perjalanan menuju Locksley. Mereka semua terdiri dari...
Bab XV - 2
Tempat itu adalah hutan belantara, dan hanya suara burung dan deru air yang mengganggunya. Namun sebelum mereka berlanjut seperempat mil naik menuju pinggiran hutan, belokan membawa mereka pada suara ribut pertempuran mati-matian dan ada di dekat mereka.
Teriakan keras dan jeritan pertempuran terdengar di sebelah kiri mereka, dan dengan segera mereka berlari ke arah itu, empat petualang kita melihat pemandangan yang aneh.
Aneh dari cara pandang mereka, karena setelah memanjat naik ke puncak ngarai, mereka melihat dari pinggiran tertinggi persimpangan jalan dengan lembah berbatu dan sungai di belakang, di hadapan mereka terdapat dataran sempit dan kecil, yang ada di bawah mereka sama seperti air yang baru mereka lalui. Pada dataran ini mereka melihat sejumlah orang yang terlibat dalam pertempuran mematikan. Di sekitar mereka adalah hutan Barnesdale yang gelap dan lebat.
Dengan memandang sekilas Robin dapat melihat bahwa mereka datang terlambat untuk memperingatkan Will. Musuh para penyamun itu ada di depan...
Bab XV - 3
Pada senja hari itu dia berbaring di tangan Robin, tidak lagi gesit seperti biasanya, dan meminta seseorang membuat panggilan yang sangat dikenalinya, tanda singkat yang aneh melalui terompet untuk mengumpulkan anak buahnya. Kemudian, saat mereka mendekat kepadanya dengan sedih, dia berbicara kepada mereka semua, meminta mereka untuk membenci hukum dan menentangnya selama hal itu tidak adil dan kasar. Dia menganjurkan agar mereka memilih seorang pemimpin baru di antara mereka, dia yang akan bersikap adil dan jujur, dan merupakan pemanah terbaik.
“Jangan merampok orang miskin dan orang baik. Bersikaplah baik pada mereka yang menolongmu, tetapi mintalah pajak pada siapa pun yang melewati hutan. Orang kaya harus membayar dengan uang, dan jika perlu dengan darah.”
Dia menambahkan kata-kata ini dengan usaha keras. Pikir­annya mengembara dalam bayang-bayang kematian. Robin me­lihat bagaimana jari-jarinya mengejang, seakan masih menarik tali busurnya yang bagus. Dia menyibakkan rambut gelap Will dari alis matanya dan memberikannya minum. Will Green...
Bab XVI
Selama musim dingin yang panjang itu Robin bersembunyi di gua-gua di Barnesdale bersama sisa gerombolan penyamun yang berawal dari kedatangan Will Cloudesley dan hampir berakhir dengan kematiannya. Semula terjadi pertengkaran dan kecemburuan di antara mereka mengenai siapa yang akan menjadi pemimpin baru.
***
Bersama dengan Robin dan ketiga anak buahnya terdapat dua puluh dua orang secara keseluruhan. Mereka memutuskan melakukan banyak ujian untuk menentukan siapa yang harus memimpin, dan setiap kali ada ujian memanah Robin selalu mengalahkan yang lainnya.
Robin tidak memiliki keinginan untuk menjadi pemimpin mereka, sekalipun dia memanah dengan baik karena seorang pemanah yang baik memang harus bisa membidik dengan tepat saat jari-jarinya berada pada senjatanya. Jadi, dia mengatakan dengan rendah hati bahwa mereka harus memilih tanpa dirinya dan bahwa dia akan dengan senang hati mematuhi siapa pun yang mereka pilih.
Kemudian muncul percekcokan baru. Suatu kali mereka hampir ditemukan oleh penjaga hutan Sherif, yang secara tidak sengaja...
Bab XVI - 2
“Katakan padaku, Will kecil, nasib buruk apa yang telah menimpamu?” tanya Robin dengan penuh emosi.
Stuteley mengangkat kepalanya dan memandang sekitarnya dengan linglung.
“Aku telah melalui daerah-daerah di Cumberland, Tuan,” akhirnya dia berkata dengan suara lemah. “Dan aku telah bergulat dan bermain anggar dengan banyak orang, namun belum pernah sejak aku masih kecil dan dilatih oleh ayahku mengalami kekalahan.” Dia menutup matanya lagi, kemudian membukanya dengan pandangan yang berubah. “Aku telah menemui teman seperjalanan kita itu dan tidak melihat alasan untuk takut pada badut itu. Namun dia telah menghantam punggungku sedemikian keras, sehingga aku takut punggungku tidak akan lurus lagi.”
“Tidak, Will. Aku akan merawatmu, yakinlah,” gumam Robin, penuh rasa kasihan dan putus asa.
“Tuan yang baik, aku bicara sesuai dengan apa yang ku­rasakan,” lanjut Stuteley, setengah menutup matanya. “Namun bajingan itu berjalan belum jauh dari kita. Jika beberapa dari kalian bergegas, tak diragukan lagi dia akan terkejar dan aku...
Bab XVII
Pada suatu pagi yang cerah di bulan Mei, seorang pria bertubuh langsing, muda, sedikit berkumis, memakai baju hijau dengan setelan warna hijau dan pipi yang segar, keluar dari hutan menuju jalan raya di Copmanhurst.
***
Dia berdiri diam dengan tegak dan berjaga-jaga, dengan mata cokelatnya menatap waspada ke jalan. Kemudian­ dia berjalan perlahan sepanjang jalan hingga tiba di suatu titik tempat tahun lalu dilintasi selokan. Namun saat ini sebuah jembatan batu yang bagus telah dibangun, atas perintah Pangeran John yang mengeluh karena harus membasahi kakinya saat melewati biara St. Dunstan delapan­ bulan lalu.
Orang asing itu tersenyum saat melihat jembatan itu, sete­ngah­ sedih, setengah melamun. Dia berhenti untuk mengagumi peker­­jaan­ yang rapi itu, lalu berjalan melintasi jembatan sambil berpikir dalam-dalam. Tiba-tiba dia tertabrak tangan seorang pria bertubuh­ tinggi besar dan canggung, yang menyeberang dari sisi lain jembatan.
Anak muda itu terpelanting ke belakang, kemudian menem­patkan dirinya tepat di tengah jembatan....
Bab XVII - 2
Robin dan orang-orang bebas lainnya yang kini telah mengenakan pakaian sederhana, membantu menarik rusa itu ke ujung jalan dan segera membuat api. Mereka pun memasak dagingnya dengan gembira. Little John menatap mereka dengan bingung, namun tidak bertanya apa-apa. Dia mengenali Robin dari tanda seperti yang diberikan yang lainnya.
Sementara itu, suara sekelompok orang yang mendekati mereka semakin jelas, dan segera tujuh orang berkuda membelok ke jalan itu. Pemimpin mereka adalah seseorang yang terlihat berkuasa dan sombong, mengenakan pakaian gerejawi. Segera sesudah melihat para gembala itu, dia menghentikan kudanya hingga dia berdiri sejajar dengan mereka.
Kemudian dia menarik kekangnya dengan tajam dan berta­­nya kepada Little John.
“Siapakah mereka, Teman, yang telah berbuat sebebas itu terhadap rusa raja?” dia bertanya dengan ringan, seperti seorang yang percaya kepada setiap orang.
“Mereka adalah para gembala, Tuan,” jawab Little John.
“Demi surga! Mereka sekilas lebih terlihat seperti para penyamun hutan,” kata si biarawan.
“Orang tidak...
Bab XVIII
Setelah pengalaman dengan uskup yang baik itu, Robin dan anak buahnya menunggu dengan ragu-ragu tanda-tanda dari Nottingham.
Akan tetapi, beberapa minggu berlalu tanpa terjadi perisiwa yang tidak menguntungkan.
***
Empat minggu setelah perampasan terhadap Uskup Hereford, pertengkaran pecah antara Stuteley dan Little John, dan kedua orang berdarah panas itu perlu melepaskan amarahnya. Little John dapat memenangkannya dalam pertandingan anggar dan gulat, namun dalam pertarungan dengan tongkat panjang, Stuteley yang menang, dia memukuli tubuh raksasa itu dengan lihainya. Setelah itu keduanya kehilangan kesabaran, dan Robin harus memisahkan­ mereka dengan meminta Stuteley menghentikan pertandingan.
Hal itu terjadi pada saat pagi hari. Selanjutnya, Little John dan Stuteley kembali memulai perselisihan baru. Hal itu terjadi sebelum senja, ketika keduanya telah memburu dan mengejar rusa yang sama. Little John telah menarik busurnya saat Stuteley melihat dari kejauhan. Dengan segera bujang berperawakan kecil itu meneriakkan bahwa tak seorang pun berhak memanah rusa seperti itu kecuali Robin...
Bab XVIII - 2
“Aku, sejujurnya, bermaksud menjadi penyamun, seperti ... se­perti tuan Robin, pada intinya,” kata pemuda itu. “Tapi aku tidak tahu mereka akan menggantungku karenanya.” Dia meringis.
Robin menuju binatang itu dan mencabut panah anak yang menancap di tubuhnya. Sebagai gantinya dia menancapkan anak panahnya sendiri yang berbulu merak ke bekas panah tadi. “Sekarang kau aman, Gilbert,” katanya sambil tersenyum. “Ambil panah itu, dan masukkan dalam tempat panahmu sampai kita dapat membuangnya. Aku meninggalkan tandaku pada binatang itu. Teman-temanku akan menemukan dan menanganinya.”
Mereka berjalan bersama ke dalam Barnesdale, dan Robin menunjukkan kepada anak lelaki itu tempat persembunyian mereka dan memperkenalkannya kepada yang lainnya. Dia menanyakan apakah Gilbert boleh menjadi bagian dari mereka, dan mereka semua setuju. Maka Gilbert pun mengucapkan sumpahnya dengan penuh semangat dan untuk sementara menempati tempat tinggal Little John.
Robin meminta mereka untuk tidak menyebut namanya. Dia berharap dapat mengetahui apa sebenarnya rencana Tuan Gilbert sebelum mengungkapkan dirinya....
Bab XVIII - 3
Mereka semua telah diundang makan malam di dapur Sherif malam itu untuk menyambut waktu liburan. Mereka pun meminta Robin bergabung dengannya, berharap dapat memperoleh hiburan darinya. Dengan tatapan mata kosong Robin setuju untuk makan malam bersama mereka.
Sepanjang waktu dia memasang mata dan telinganya, namun tidak mendengar apa-apa tentang rencana Sherif atau melihat Nona Fitzwalter. Saat mereka duduk makan di dapur Monceux, dia merasa bahwa sosok yang menjulang tinggi yang dilihatnya berada di antara para pelayan Sherif adalah Little John.
“Jadi, Teman, kunjunganku kemari tidaklah sia-sia,” pikir Robin dengan muram. “Tidak diragukan lagi, sekarang kita akan melihat dan mendengar sesuatu.” Dia menyiapkan diri menyantap makanan yang lezat dan bir, namun tidak lupa tetap bersikap bodoh seperti yang semula dia perlihatkan di pasar.
Suara tawa mereka semakin lama semakin panjang dan keras, dan akhirnya Sherif sendiri turun ke bawah. Dia membuat pidato dan memberikan ucapan selamat. Lord Hereford, terlihat pucat dan...
Bab XIX
Robin terbangun dari tidur yang nyenyak pada pagi hari. Suara keributan kecil dari luar ruangan tempatnya tidur mengganggunya. Dengan perlahan dia bangun dan berjalan ke pintu, lalu pergi menuju dapur.
***
Dia membuka salah satu pintunya dan menemukan sebuah gang, diterangi sinar fajar yang keabu-abuan.
Di ujung gang itu terlihat sosok seorang pria. Tinggi badan­nya menunjukkan bahwa dia adalah Little John. Dia tampak me­mikul sebuah karung kecil.
Saat melihat Robin, dia mengenalinya, lalu membisik­kan rencananya­. Namun Robin tidak bermaksud meninggalkan Nottingham secepat itu.
“Pergilah, Little John, dan bawalah apa yang ada dalam ka­rungmu itu….”
“Aku akan membawanya kepadamu, Sobat,” kata Little John dengan suara tertahan, “ke tempat persembunyianmu di Barnesdale. Kau akan melihat siapa pelayan yang lebih baik. Stuteley atau diriku. Di dalam karung ini aku membawa piring Sherif….”
Sebuah gagasan yang berani melintas di pikiran Robin.
“Bawalah benda itu ke gua kita di Barnesdale, John yang jujur,” katanya dengan...
Bab XIX - 2
Kemudian dia berpura-pura akan mencarinya sendirian.
Jadi, mereka berdua pergi bersama tanpa pengawalan. Robin mengendarai kuda kurusnya dan gerobak reyotnya di samping kuda poni Sherif yang kecil dan gemuk.
Mereka melalui gerbang, dan Monceux meninggalkan pesan bagi pemanahnya untuk mengikutinya ke Gamewell segera setelah mereka selesai mencari piringnya.
Robin sangat gembira dan selalu membuat Sherif senang dengan ocehan konyolnya. Monceux sendiri semakin bangga dengan dirinya sendiri.
Mereka telah hampir mencapai Gamewell, dan menuju ke tambang batu kerikil yang merupakan salah satu jalan rahasia menuju gua-gua Barnesdale.
Setelah menatap dengan ragu-ragu ke arah pepohonan jauh di sebelah kanan mereka, Robin melihat sekumpulan rusa.
Binatang-binatang itu berdiri gemetar melihat Robin dan Sherif, bersiap untuk melarikan diri.
Robin menduga mereka telah digiring oleh orang-orangnya hari itu. Jadi, kemungkinan Stuteley dan yang lainnya ada di dekat sana, bersembunyi di balik semak. Sambil mengekang kudanya yang kurus, dia berbalik untuk memanggil Sherif.
“Lihat, Tuan, inilah...
Bab XX
Saat mereka mencapai pondok kecil dekat taman, Robin memintanya untuk menunggu. “Sekarang aku harus menjadi ‘Wanita Berjubah Kuning’,” katanya dengan ringan. “Dia adalah hantu hutan ini. Dengan menyamar menjadinya, aku dapat pergi mendekati rumah.
***
Pinjamkan aku jubahmu, warnanya tidak menjadi masalah karena gelapnya malam.”
“Aku tidak mau ditinggal sendirian di sini,” kata Marian memu­­tuskan. “Tidak demi para Montfichet. Aku akan pergi denganmu.”
Mereka menyeberangi taman berdampingan. Lampu yang dinyalakan dalam puri Gamewell menerangi jalan mereka.
“Aku tidak takut, Robin,” kata Tuan Gilbert Blois dengan berani. “Kau tahu aku bukan penakut.”
“Kalau begitu pegang tanganku,” kata Robin, “aku ingin merasakan bahwa kau bersamaku.”
“Tapi kau baru mengenalku sehari,” kata Marian, mencoba melihat padanya. Nadanya bertanya penuh kecurigaan.
Robin berpikir untuk memeluknya, namun sekali lagi me­nahan diri. “Diamlah sekarang,” bisiknya. “Aku harus menya­takan diri. Aku tidak begitu mengenal pelayan di sini. Teman baikku adalah Warrenton tua, dan dia sekarang ada di...
Bab XX - 2
Beberapa saat kemudian Robin berlari melalui hutan. Kakinya terasa ringan dan dia bernyanyi kecil saat menapaki rumput musim semi.
Tiba-tiba sebuah lagu sedih terdengar di telinganya. Sebuah lagu yang muram, penuh dengan air mata, dan Robin, karena khawatir, segera berhenti.
Dari jalan di hutan muncul seorang penyanyi pengembara membawa harpa sambil menyeret sebuah tali. “Teman, suara harpamu terdengar sumbang!” sapa Robin.
“Aku tidak bernyanyi untuknya,” tukas si penyanyi itu.
“Kau menyanyikan sebuah lagu yang sedih,” kata Robin, “dan aku yang sedang gembira tidak suka mendengarnya. Karena itu janganlah menyanyikannya hingga aku jauh darimu.”
“Hatiku sedang dipenuhi kesedihan,” kata penyanyi itu, “jadi aku harus menyanyikan lagu tentang kesedihan dan kematian.”
“Ceritakan kepadaku kesedihanmu, Teman,” pinta Robin, “dan berjalanlah bersamaku sepanjang jalan ini. Siapa tahu aku bisa menolongmu.”
“Aku tidak seharusnya menceritakan kesedihanku kepa­damu,” kata penyanyi itu, “karena kau sedang bergembira.”
“Seorang yang tinggal di hutan harus melakukannya,” kata Robin, “mari, berjalanlah...
Bab XXI
Mereka meninggalkan Barnesdale segera setelah pernikahan, meninggalkan Tuan Hereford tanpa jubah dan menggerutu di loteng tempat organ di gereja kecil Plympton.
***
Para pengawalnya dibuang di tempat yang berbeda-beda di sekitar rumah ibadah itu, dua dari para pemanah dikurung dalam ruang bawah tanah yang kecil, tiga di dalam menara tempat lonceng. “Untuk membunyikan bagi kita lonceng pernikahan,” kata Robin, dan yang lainnya dalam kamar tempat menyimpan barang atau di bawah tempat paduan suara di mimbar. Si baron tua telah dipaksa mendaki sebuah pohon yang tinggi dan ditinggalkan di atas dahan sambil mencerca mereka dengan lemah.
Kemudian mereka semua kembali ke Barnesdale untuk membuat sebuah pesta pernikahan yang layak. Setelah itu Allan membawa pengantinnya berikut para pelayannya ke rumahnya sendiri di utara, berjanji dengan gagahnya akan kembali kepada mereka pada saatnya.
Hari-hari datang dan pergi, dan Monceux mulai berharap bahwa para penyamun itu telah pergi dari Sherwood. Pada hari ketiga setelah pernikahan Allan, Uskup Hereford datang meledak-ledak...
Bab XXII
Beberapa hari kemudian, Allan-a-Dale tiba di Barnnesdale bersama istri dan dua orang pelayan perempuannya. Allan menceritakan tentang perjumpaannya dengan uskup dan serangan gencar sang baron terhadap rumahnya di Southwell.
***
Allan menjelaskan bahwa untuk sementara ini dia telah me­menangkan pertarungan dengan musuh-musuhnya. Namun­ dia juga mendapat kabar bahwa sang Uskup sedang merancang rencana jahatnya terhadap mereka di Southwell, serta telah mengucilkan Allan-a-Dale dan istrinya yang cantik.
“Kalau begitu, kau harus tinggal di sini bersama kami,” kata Robin. “Hutan adalah tempat berdiamnya kebebasan dan keadilan. Tempat ini sebenarnya adalah persemakmuran kita, dan tempat yang menyenangkan untuk kita tinggali, bahkan pada saat musim dingin. Kami akan mencarikanmu sebuah gua.
“Tapi bagaimana dengan Fennel?” tanya Allan dengan ragu-ragu. “Kurasa dia takkan suka tinggal di dalam sebuah gua.”
Hal ini menimbulkan kesulitan. Allan menuju ke tempat Fennel berdiri menunggu bersama kedua pelayannya dan men­ jelaskan semua kepadanya. “Selama aku bersamamu, Sayang,” jawab Fennel sambil...
Bab XXIII
Sementara itu, Master Carfax telah tiba di Nottingham, tak sabar berhasrat ingin menikahi calon pengantinnya yang dingin. Namun dia mendapati bahwa kebahagiaan yang dinantinya masih harus menunggu, karena di kediaman Sherif sedang terjadi masalah serius.
***
Lord Hereford sangat marah dengan mereka semua dan telah membuat Monceux kembali ke kota asalnya dengan banyak hal yang harus dipikirkan. Uskup itu telah mengambil kesempatan menyampaikan keluhan secara formal di istana di hadapan Raja dan Raja telah memerintahkan kepada Master Monceux agar saat dia kembali ke Nottingham, hutan kerajaan harus bebas dari para penyamun. Jika tidak, akan segera di­tempatkan Sherif yang baru untuk Nottingham.
Henry, sang raja, sudah mendekati ajalnya, dan menjadi lekas marah dikarenakan sakitnya. Anak-anaknya semakin membuat kesabarannya menipis dengan bersikap tidak patuh dan tidak tahu berterima kasih. Jadi Monceux tidak mendapat penerimaan yang baik di istana dan kembali dari sana dengan hati yang gundah.
Karena itu Simeon Carfax dikirim ke...
Bab XXIII - 2
Robin kembali pada anak buahnya dan mereka membuat rencana. Little John diberikan posisi kedua untuk memberikan perintah. Pada pagi hari saat Stuteley dan yang lainnya akan digantung, para penghuni hutan itu setuju bahwa mereka semua akan menanggung risiko dengan pergi beramai-ramai ke Nottingham untuk menyelamatkan teman mereka.
Pagi hari yang menentukan itu, matahari bersinar cerah. Robin mengenakan baju merah yang indah sementara anak buahnya mengenakan pakaian mantel hijau Lincoln. Mereka semua bersenjatakan pedang dan masing-masing membawa sebuah wadah berisi penuh anak panah baru, yang dibuat pada musim dingin lalu oleh tangan ahli Warrenton.
Mereka berbaris dengan gagah berani menuju Nottingham, meninggalkan Allan-a-Dale bersama nyonya mungilnya dan enam orang buronan lainnya untuk menjaga markas mereka. Ketika mereka tinggal satu setengah kilo dari gerbang Nottingham, Robin menghentikan mereka dan berkata, “Me­nurutku, lebih baik jika kita bersembunyi di sini dan me­ngirimkan seseorang untuk mencari berita. Lihat, di jalan ada seorang biarawan. Apakah kalian...
Bab XXIV
Telah tiba kembali waktunya untuk Pekan Raya Nottingham, dan Sherif kembali akan memberikan hadiah. Monceux bermaksud untuk memberikan hadiah yang bagus untuk menarik para pemanah. Dia juga berharap Robin akan terpikat menuju Nottingham.
***
Dia tersenyum pada dirinya sendiri dengan puas dan meng­gosokkan kedua tangannya. Sebenarnya, dia telah meng­harapkan kedatangan Robin selama sepuluh hari terakhir ini, dan bertanya-tanya mengapa dia tidak datang. Sherif merasa­ si biarawan sebenarnya merupakan umpan yang baik baginya.
Namun Robin baru mengetahui tentang si orang suci itu pada malam pekan raya.
Selama sepuluh hari Robin telah menunggu kedatangan Marian di tempat mereka berjanji bertemu, dan terus menunggu dengan sia-sia.
Akhirnya, keragu-raguan berkembang menjadi kecurigaan dan kecurigaan menjadi ketakutan. Apakah Marian telah ditangkap oleh Monceux, dan sang Squire tidak berani mengatakan kepadanya?
Pada malam sebelum pekan raya, dia memberanikan diri menuju ke pintu puri dan meniup terompetnya meminta jem­batan diturunkan. Kalau saja Monceux mengetahuinya, Robin akan menjadi...
Bab XXV
Hari berganti menjadi minggu dan minggu menjadi bulan, dan Robin Hood masih tetap dicari. Sherif kadang-kadang bertempur dengannya, hanya menghasilkan sedikit keberhasilan. Kemudian Robin dan anak buahnya mengungsi semakin jauh.
***
Banyak pencari untung dan orang-orang berjiwa petualang yang bergabung dengan Robin dan kelompoknya. Arthur-a-Bland, si tukang samak kulit, yang hampir meme­nangkan hadiah dari Sherif, akhir-akhir ini sering iri pada ke­hidupan bebas para pelanggar hukum itu. Dalam pikirannya semua lebih baik daripada kayu ek, air selokan, dan bau kulit yang setengah disamak. Dia juga berambisi mengalahkan Robin dalam permainannya. Hanya dengan ketekunannya Arthur hampir berhasil menyamai prestasi panahan tempat Robin telah merebut sekantung emas dan seekor kuda arab darinya. Sangat gembira dengan sukses yang menjanjikan itu, penyamak kulit itu telah meninggalkan pekerjaannya dan berjalan menuju Barnesdale, bersenjatakan busur dan sebuah tongkat panjang. Dia melangkah melewati tanah berumput yang sekarang berwarna cokelat di bawah sinar matahari bulan Agustus, dan segera menjauh...
Bab XXVI
Sherif gagal menjerat Robin Hood. Demikian juga Master Simeon. Jadi, jelaslah bahwa orang yang lebih bijaksana harus mencoba menyelesaikan masalah ini. Nona Marie telah pulih dari amukan kemarahannya, dan menunjukkan kepada mereka bagaimana masalah seperti ini harus dihadapi.
***
Untuk itu, anak Sherif tersebut mempelajari panahan dan memperoleh beberapa prestasi dalam olahraga ini. Kemudian dia meminta rumah Master Fitzwalter untuk dige­ledah dan membawakan contoh tulisan pria itu kepadanya.
Selanjutnya, Nona Monceux mengusahakan jemarinya memegang pena secanggung Master Fitzwalter. Dia berusaha meniru­ tulisannya. Akhirnya, Marie menghasilkan sepucuk surat yang seakan-akan berasal dari Master Fitzwalter untuk putrinya, Marian. Dia menulis dengan sederhana dalam beberapa kata:
“Untuk anakku sayang, Marian, dari ayahnya yang menga­sihinya, Henry Fitzwalter, yang kini berada di istana St. James di kota London.
Ayah mengirimkan salam bagimu dan mengabarkan bahwa ayah baik-baik saja, baik dalam pikiran maupun jiwa. Ayah ber­ doa agar Tuhan menjagamu selama ayah jauh dari rumah. Surat ini untuk mengabarkan kepadamu,...
Bab XXVII
Musim gugur berganti menjadi musim panas. Allan menemukan cara untuk secara berkala mengirimkan kabar pada Robin. Master Fitzwalter belum kembali, namun telah mengirim surat berikutnya yang mengatakan dia tak lama lagi akan kembali. Mereka semua bahagia dan tanpa gangguan di kota.
***
Mereka tidak pernah melihat Sherif dan putrinya. Warenton baik-baik saja dan mereka telah mendapatkan seorang juru masak laki-laki dan pelayan lainnya.
Marian menulis pesan kecil yang berisi keluhan kepadanya. Walaupun singkat dan dengan ejaan yang salah, namun surat itu menjadi harta paling berharga bagi Robin. Marian tidak berani bertemu dengan kekasihnya, karena takut dia diawasi dan diikuti, yang bisa berakibat ditangkapnya Robin. Dia sangat kecewa dengan pengendalian yang dilakukan oleh Allan yang lebih berhati-hati.
Nona Marie telah melakukan kesalahan perhitungan. Dia tahu bahwa akhirnya Robin akan mencari Marian, bahkan di mulut singa sekalipun. Saat itulah akan datang hari kemenangan bagi Sherif.
Rumah kecil Fitzwalter telah dimata-matai dari dalam....
Bab XXVIII
Hari-hari berlalu dan tidak ada kabar mengenai Little John. Robin pun menjadi semakin cemas.
Dia memutuskan untuk pergi sendiri ke Nottingham untuk menemui Marian dan mencari serta (jika perlu) menyelamatkan anak buahnya yang setia.
***
Namun semua pengikutnya menentang keputusannya ini, dan menawarkan jalan lain. “izinku aku yang pergi, Tuan,” mohon Stuteley, “karena nyawaku tidak ada apa-apanya dibandingkan kau.”
“Aku saja yang pergi,” kata Scarlett. “Sherif tidak membenciku seperti dia membenci kalian. Aku bisa meminta bantuan dari Master Carfax dan dia pasti memperlakukannya dengan baik.”
“Aku tidak terlalu yakin,” kata Robin dengan mantap. “Aku pun tidak akan memercayai Master Simeon. Sekalipun demikian, apa yang kau katakan cukup baik, Sepupuku. Dan jika kau bersedia pergi ke kota, kami semua akan sangat berterima kasih. Sedangkan aku, dengan senang hati aku akan menemanimu.”
“Tugasmu di sini,” jawab Scarlett. “Percayalah kepadaku. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi pada Little John, serta menemui Nona Fitzwalter.”
Will Scarlett...
Bab XXIX
Sehari setelah kepergian Scarlett, perasaan Robin tidak menentu. Dua utusan telah dikirimkannya untuk mengetahui kabar Marian, namun keduanya tidak kembali. Sudah tiga bulan dia tidak mengetahui kabar tentang Marian. Ketiadaan kabar Little John juga membuatnya merasa terganggu.
***
Robin memutuskan bahwa dia akan menemui Marian, paling tidak hari ini, atau mati dalam usahanya. Jadi, dengan tidak memedulikan nasihat anak buahnya, dia pergi berjalan kaki menuju ke kota.
Dia berjalan dengan cepat. Pikirannya begitu dipenuhi oleh hal menakutkan sehingga membuatnya tidak hati-hati. Muncul tiba-tiba di jalan raya, dia berhadapan dengan musuhnya, Uskup Hereford.
Terlambat bagi Robin untuk bersembunyi. Dia pun terlalu jauh dari terompetnya yang dapat digunakan untuk memanggil anak buahnya. Sang Uskup berjalan di depan sekelompok pasukan dan telah melihatnya.
Sekitar setengah mil jauhnya, di dekat pinggir jalan, terdapat sebuah gubuk kecil. Robin mengingatnya dan melihatnya sebagai satu-satunya cara baginya untuk meloloskan diri. Dia segera melarikan diri melewati pepohonan, begitu...
Bab XXX
Robin pergi pagi-pagi sekali ke kota. Kali ini tidak ada yang dapat menghalanginya masuk ke sana dan menemui Marian. Rencana Nona Marie pasti berhasil hari ini, karena Robin bersikap gegabah demi menemui pujaan hatinya.
***
Namun di sana ada Sir Guy of Gisborne yang menjadi malaikat penjaga Robin, walaupun, seperti yang kita ketahui, Sir Guy sangat membenci buronan itu.
Robin melihat sesosok tubuh yang sangat aneh berjalan ke arahnya di jalan raya. Sekilas, sosok itu terlihat seperti monster berkaki tiga, namun saat dia mendekat orang bisa melihatnya sebagai orang yang sangat miskin, yang mengenakan busana aneh dari kulit hewan, mungkin kulit kuda yang dikeringkan, lengkap dengan bagian dari kepala, ekor, dan bulu tengkuk kudanya.
Kulit dari kepala kuda itu dijadikan pelindung kepala oleh pria itu, sementara ekornya membuat orang itu terlihat berkaki tiga.
“Selamat pagi, Kawan,” kata Robin dengan riang. “Demi busur dan panahku, aku yakin bahwa kau adalah seorang...
Bab XXX - 2
Geoffrey Montfichet telah pergi ke Nottingham pada hari sebelum Sir Guy meninggalkannya. Carfax telah tahu di mana sang Putri dapat ditemukan sementara tuannya, bersama sang Uskup, sibuk meyakinkan Kesatria dari Gisborne bahwa gadis itu bersama Robin. Namun bisa dipastikan bahwa baik Monceux maupun Carfax tidak akan mengatakan hal yang sebenarnya­ kepada sang kesatria, karena melakukan hal demikian akan membatalkan keinginan Sir Guy untuk menangkap buronan terkenal itu.
Geoffrey, Master Scarlett, menghadapi tugas yang sulit, namun dia bermaksud menyelamatkan Little John. Dia yakin bahwa si tukang masaklah yang telah membunuh Fitzwalter, kemungkinan besar atas perintah orang lain yang juga meng­inginkan kematiannya.
Siapakah orang ini? Siapakah orang yang diuntungkan oleh kematian pengawas gerbang kota yang begitu tidak penting ini?
Carfax memperlakukan Scarlett dengan sikap yang kurang hormat. Pria berwajah kurus itu melihat benda yang menanda­ kan bahwa Putri Aragon itu aman di Gamewell, namun tidak mengatakan apa-apa. Scarlett kemudian ditinggalkan begitu saja...
Bab XXXI
Matahari belum menampakkan dirinya saat sekelompok pengawal keluar dari Puri Nottingham, dan menyeret si tawanan dari selnya. Monceux dapat menduga bahwa Sir Guy of Gisborne juga telah gagal, dan dia melihat tidak ada alasan untuk menunda pelaksanaan eksekusi terhadap Little John.
***
Sekalipun hari masih pagi-pagi buta, baik Sherif dan Uskup Hereford sudah hadir. Di halaman depan puri, orang sudah banyak berkumpul. Si tawanan disertai oleh pendeta puri.
Terjadi keributan di tengah-tengah penonton yang berada di hadapan sang Sherif. Para pengawal segera memadamkannya. Saat si tawanan mendekati tiang gantungan, penonton melihat gerobak yang akan digunakan sebagai tempat dia berdiri sebelum semuanya usai.
Kegaduhan lainnya pecah di bagian belakang. Tiba-tiba tangan si tawanan terlihat tidak terikat lagi. Dia membungkuk dan memotong tali yang mengikat kakinya. Setelah membebaskan dirinya, dia langsung melompat dari gerobak itu.
Kemudian timbul kegemparan. Para prajurit telah mendapat perintah tegas agar kejadian pelarian Stuteley tidak terulangi. Namun saat...
Bab XXXII
Pencarian berlangsung sepanjang malam itu. Mereka yakin akan menemukan sang Sherif dan pasukannya berkumpul untuk melawan mereka pada keesokan harinya.
***
Anehnya, pagi hari menunjukkan daerah pedesaan tetap tenang dan damai seperti sebelumnya. Monceux dan anak buahnya, jika memang ada, pasti bersembunyi dengan baik—tidak ada yang dapat dilakukan untuk melihat mereka.
Dari pos penjagaan puri, jauh dari sana, terlihat misterius di balik langit buram yang kelabu, terletak Nottingham. Kota tua itu terlihat masih sepi; namun sebenarnya ada banyak gerakan di dalam gerbangnya. Seorang pembawa pesan tergesa-gesa mendatangi Monceux, bahkan sementara dia dan Carfax sedang menyempurnakan rencana untuk melakukan pengepungan ter­hadap puri sang kesatria. Orang ini membawa pesan kepada Sherif yang membuatnya harus meninggalkan usahanya untuk menangkap Robin. Tuanku Hereford telah mendengar berita dari York. Dia segera mengirimkannya kepada Monceux: ”Raja sedang dalam perjalanan. Berhati-hatilah.”
Itulah berita yang diperoleh Pangeran John dari sepupunya, Philip dari Prancis: “Raja sedang dalam perjalanan.”
Richard...
Bab XXXIII
Setelah jamuan makan, Robin memberikan isyarat agar anak buahnya melenturkan busur mereka. Sang kesatria terkejut, mengira bahwa mereka bermaksud menjadikannya sasaran tembak.
***
Namun dia dengan cepat pulih karena dua pucuk panah dijadikan sasaran bagi para pemanah ini. Sang kesatria bahkan terheran-heran melihat begitu kecilnya tanda sasaran yang dibuat saat cahaya mulai meredup. Sebuah karangan daun didirikan di atas masing-masing panah, dan Robin me­nyampaikan peraturan. Siapa pun yang gagal menembakkan panahnya melewati lubang karangan bunga ini, yang harus dilakukan tanpa menjatuhkan panah tempatnya dipasang, harus menyerahkan panahnya kepada Robin, dan mendapat pukulan dari tangan Rahib Tuck.
“Master,” kata Stuteley, “ini mustahil, karena rahib yang baik ini belum memberikan pengakuan dosa bagi kita hari ini.” Dia mengedipkan matanya ke arah Robin, yang mengenal benar rahib yang duduk di dekat rahib lainnya itu.
“Tidak diragukan bahwa dia akan berada di sini sebelum pertandingan berakhir,” jawab Robin tersenyum. “Aku minta kalian memulainya segera...
Bab XXXIV
Saat itu adalah hari pernikahan empat orang manusia yang berbahagia. Hari itu bersinar terang, langit cerah, dan Sherwood terlihat indah di awal musim panas itu.
***
Gereja tua Nottingham telah penuh sesak dengan manusia. Pasukan pemanah pengawal Kerajaan yang baru, terlihat mencolok dengan seragam merah dan putih mereka, membentuk dua barisan dari pintu gereja hingga gerbang.
Segera setelah upacara pernikahan selesai, mereka semua akan mengikuti sebuah pesta besar yang diadakan di Puri Gamewell, untuk menghormati hari itu. Setelah itu, kedua pasangan akan ikut pergi bersama Raja ke London, yang akan diikuti dalam waktu tujuh hari berikutnya oleh sisa pengawal Kerajaan. Richard ingin menggunakan orang-orang ini sebaik-baiknya dan menguji kesetiaan mereka. Jadi, bukan sekadar masalah sentimen pribadi dia mengampuni Robin dan anak buahnya.
Saatnya telah tiba, dan sebuah iring-iringan kecil terlihat keluar dari Puri Nottingham. Berlawanan dengan keinginannya, Master Monceux harus mengizinkan purinya dipakai oleh kedua mempelai pria, Earl of Nottingham...
Epilog
Sebenarnya, kisah pertarungan antara Robin dan Sherif dapat diakhiri sampai di sini saja. Kebanyakan sejarah berakhir, dan berakhir dengan baik, dengan pernikahan sebagaimana yang kita baca sebelumnya.
***
Namun, untuk menyatakan kebenaran, betapa pun aneh dan menyedihkannya, adalah tugas seorang sejarawan yang baik. Jadi, kisah akhir Robin Hood yang menyedihkan harus dituliskan.
Selama lima tahun berikutnya, Robin Hood hidup dengan damai dan sentosa. Dia menjadi warga negara yang patuh dan setia, dan hidup bersama istri dan kedua anaknya di purinya di Broadweald. Kemudian terjadi wabah penyakit mematikan, yang di antaranya menelan Marian Countess Huntingdon sebagai korbannya.
Setelah kematian istrinya, hidup Robin terasa hampa. Tiada lagi kegembiraan yang dirasakannya. Hidupnya hancur. Dia kemudian menyerahkan kedua anaknya untuk dirawat oleh Geoffrey of Nottingham. Setelah itu dia pergi ke London. Di sana, dia memohon kepada sang Raja agar dia dapat berdinas aktif dalam tentaranya, bukan sebagai pengawal kehormatan belaka, sebagaimana yang selama ini...
Description: "Siapakah di antara kalian yang bernama Robin Hood? Aku akan senang sekali bertemu dia yang dapat bangkit dari kematian dengan sangat berani."
Pertemuan tak terduga membuat Robin bertemu pemimpin gerombolan pencuri di Hutan Sherwood. Kejadian itu memacu tekadnya untuk menjadi ahli panah terhebat di kerajaan Inggris.
Namun kemalangan bertubi-tubi menimpa Robin dan menambah penderitaannya. Ketika antek-antek sang sherif mengepungnya dan mengklaim telah membunuh Robin Hood, mereka tak menyadari bahwa telah terlahir sesosok pencuri legendaris yang akan melawan segala tirani yang membelenggu orang-orang tertindas.
|
Title: Red Crape Myrtle
Category: Adult Romance
Text:
Permulaan
[ 09.00, Hujan berhenti & berteduh di sebuah cafe terbuka ]
Nah, Pluto ! terima kasih sudah membuatku tidak basah kuyup ;) & habiskan lah dulu tea hangatnya.
Kau kan sudah basah kuyup sebelum aku payungi, baka -_-" , ah terima kasih juga untuk teraktiran tea nya.
Pluto, sepertinya aku harus pulang karena ada yang harus aku selesaikan.
Umm, jangan risau lagi ya baka Rei, ha ha ha. Sampai jumpa jaaaa !
Di hari itu aku penasaran kenapa Rei tidak menanyakan nomor kontakku atau semacamnya, apa dia tidak menganggapku berkesan di pertemuan yang sedikit kebetulan & romantis itu.
Waaaa aku lupa menghubungi Brionna {menelepon Brionna}
Akaya : "Bri, maaf apa kamu sudah sampai di kantor?, aku sepertinya akan terlambat masuk.. tolong bisa kamu periksa email masukku dan membalasnya untukku, hehe"Brionna : "AKAYAAAAA !!! jangan bilang sepertinya, kau memang telat bodoh & kenapa aku terjebak pertemanan denganmu -_- 'kau jahat sekali Bri T.T' cepatlah ke kantor ! kita ada meeting bersama penulis untuk pembicaraan soal penerbitan buku , nah nah cepatlah.Akaya : "Baiklah, aku akan sampai 30 menit lagi, sampai jumpa di kantor"
Aku bekerja di kantor penerbit sebagai editor bersama teman baikku Bri, saat perjalanan menuju kantor aku masih fokus kepada cowo yang aku temui pagi tadi .. dia bilang namanya Reira, begitu hangat saat dia di dekatku, tapi tetap saja dia adalah seorang yang menyebalkan karena bagaimana mungkin dia tidak menanyakan apa -apa tentangku :( BAKAAAA BAKA -_-
[ 13.00, di kediaman Rei ]
Berhenti mengangguku Naira, aku sedang sibuk, bermainlah dengan yang lain sana.
heyhey Rei jangan jahat padaku, aaaaa aku lupa menanyakan darimana saja kau tadi !!!
Seperti biasa kamu selalu telat berpikir haha 'Jangan menghinaku Rei sialan -_-' dan juga kenapa kamu masih berada di tempatku, pergi sana Tangerine sedang menunggumu kan, jangan biarkan Tarine (nama akrab Tangerine) menunggu.
Tidak banyak hal yang bisa diungkap tentang Rei, yang pasti dia adalah teman baikku bersama Tarine. Meskipun kami berdua perempuan kami akan menjaga Rei, atau lebih tepatnya Rei lah yang menjaga kami T.T
Description: PROLOG
"Nah Rei, ingat saat pertama kali kita bertemu ? ,kamu memakai baju hitam dan bunga itu dalam genggamanmu, akulah yang melihatmu pertama kali saat hujan deras itu. Rei, apakah pertemuan itu bentuk hadiah bagi masing -masing kita... atau hanya tipuan alam raya yang begitu kejam?."
[Pagi hari yang dingin di taman yang selalu tampak sepi]
.....
Maaf, tapi jika ingin sakit jangan berharap kepada hujan {memayungi pria berbaju hitam}.
Rei, Reira Myrtle ... namaku & aku tidak tertarik untuk sakit saat ini.
Haaa ?! siapa yang menanyakan namamu, baka !!
Hahaha, baiklah aku kira kamu membutuhkannya, penguntit {mengejek}.
Kauuu !! semua orang menjadi aneh dan lebih aneh lagi dari hari ke hari -_-" {kesal}
Baik baik, jangan menjadi cerewet karena itu, jadi siapa namamu penguntit ?
--- {KESAL} Haaaa sudahlah aku tidak mau berdebat wleee :P namaku Akaya Pluto.
-- 'itulah pertemuan pertama kami' --
|
Title: Romance's Pandemic
Category: Young Adult
Text:
Salahkan Gua Mencintaimu?
*Tahun 2020 dimana kita berhadapan dengan yang namanya Virus Covid. Dampak yang ditimbulkanpun sangatlah besar baik dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Satu per satu kami mahasiswa dan mahasiswi harus berada di rumah dalam kurun yang waktu yang sangat lama. Belajar melalui virtual yang awalnya enjoy karena bisa belajar di rumah walaupun baju yang kita pakai adalah baju tidur. Cuci muka dan gosok gigi adalah salah satu hal yang utama kita sebagai pelajar lakukan sebelum memulai kelas. Enjoy sih tapi lama – kelamaan semakin bosan. Mengapa? Karena hilangnya sosialiasi seiring berjalananya waktu. Tadinya aku menikmati virtual ini tapi, semakin lama aku merindukan kelasku. Ya, walaupun biasa saja sih tapi, kebersamaan bersama teman – teman adalah satu kunci kebahagianku. Sekarang mau bermain keluar untuk olahraga saja sulitnya setengah mati. Banyak larangan ini dan itu yang membuatku harus dirumah. Mau sampai kapan begini terus? Untuk kesehatan saja dilarang, di rumah malah jadi terserang penyakit entah itu flu, batuk bahkan lebih parahnya bisa terkena Covid. Entah sampai kapan musibah ini berlangsung gua sudah bosan hanya berdiam diri di rumah dan tiada lain selain mengerjakan tugas yang diberikan. Sekalinya keluar hanya bisa sebentar saja karena keluarga gua cukup paranoia terhadap virus yang merebak sekarang. Gua pun—*
“Nathan! Waktunya makan malam cepat keluar dari kamar sekarang! Keburu dingin nih makanannya” panggil mamaku kepadaku. Gua langsung membereskan buku yang gua tulis dan langsung keluar kamar.
Tidak lama gua pun keluar dari kamar dan langsung mengikuti makan malam bersama keluarga.
“Ngapain aja kamu dari tadi diem di kamar terus?” tanya mama padaku sambil menaruh nasi di piringku.
“Ga ngapa – ngapain ma, hanya belajar saja buat persiapan besok.” Kataku. Mamaku melihatku dengan wajah yang terheran – heran karena biasanya aku jarang belajar kalau tidak ada ujian.
“Tumben kamu belajar tidak biasanya kamu belajar padahal belom ada ujian semester.” Kata mamaku yang masih heran mendengar perkataanku sebelumnya.
“Emangnya aku gak boleh belajar? Nathan bukan anak SMA lagi yang belajar aja harus disuruh dulu lagian besok juga udah masuk semester baru masa iya aku mau tertinggal terus.” Kataku pada mamaku yang masih bertanya – tanya dalam dirinya. Gua pun menyelesaikan makan malam dan langsung bergegas ke kamar gua.
Akhir – akhir ini memang gua lagi menyukai belajar. Yah ini bukan tipe gua banget sih tapi, gak ada salahnya kan belajar demi membahagiakan orang tua gua. Hahaha jawaban klise banget. Ya gak lah bukan itu alasannya gua belajar karena ada orang yang gua suka di kampus gua. Kalau bukan karena gua denger dari temannya bahwa kriteria cowo yang dia suka, mungkin gua udah bodo amat kali jadi orang yang suka belajar. Ini cukup aneh buat gua. Gua yang selama ini gampang dapet cewe baru kali ini gua kesulitan dapat cewe. Ya cewenya siapa lagi kalau bukan dia. Apa karena gua udah mulai masuk ke fase dewasa kali ya? Jadi udah malas untuk bercanda – canda gitu pengennya langsung serius. Serius untuk temenin gua dari nol tapi mana ada cewe yang mau nemenin gua dari nol mana gua kerjanya cuman keluar rumah main basket doang sampe rumah langsung tidur. Atlet kaga beban keluarga iya. Sial, emang semuanya karena tuh cewe kalau bukan karena dia, hidup gua tenang – tenang saja.
Gua pun melupakan sejenak tentang dia dan langsung mengambil hp gua lalu membuka Instagram sambil scrolling satu per satu. Lalu ada satu foto yang membuat gua lama melihatnya. Foto dia yang baru saja dia post di Instagram membuat mata gua tertuju padanya dalam beberapa menit. “Cantik sekali.” Kata gua dalam hati. Gua mencoba mencari cara untuk bisa mengomentari fotonya tapi, tangan gua sulit sekali untuk bisa mengetik beberapa kata. Seketika gua gak bisa berfikir dan akhirnya gua pasrah hanya bisa memberikan Like di fotonya.
Tidak lama kemudian salah satu teman gua namanya Kevin menelpon gua, “bro tugas Pak Samsudin udah beres belom lo? Besok presentasi jangan sampai kelupaan lo! Gua udah e-mail ke lu ya tugasnya sisanya lo yang buat. Inget ye jangan sampai kelupaan lo kalau gak nilai kita nol nanti.”
“Tugas Pak Samsudin? Bukannya kita masih libur semester?” sahut gua.
“Lo gimana sih? Ini gara – gara lo juga kali yang nunda tuh tugas kalau bukan karena gua yang ngemis – ngemis minta di kasih waktu tambahan nilai kita udah nol. Gak mau tau gua ye besok harus kumpul tugas dan harus beres presentasi.”
”Sialan! Mana gua lagi sibuk lagi belakangan ini. Ya udahlah gua beresin dulu itu tugas”
“Emangnya lo sibuk ngapain? Sibuk mikirin dia? Udahlah dia aja gak mau sama lo. Ngarep lo ketinggian Nat.”
“Apaan sih? Siapa yang mikirin dia? Udah – udah gua mau beresin dulu tugas dari Pak Samsudin nanti kita gak dapat nilai lagi.” Tidak lama kemudian gua menutup telfon gua dari Kevin dan langsung menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Pak Samsudin.
Waktu sudah menunjukan pukul 11.00 malam dan gua masih saja mengerjakan tugas yang belum selesai dari tadi. Tiba – tiba nyokap gua datang dan memberikan kue dan segelas susu hangat untuk menemani gua saat mengerjakan tugas yang belum beres. Setelah itu gua pun memakan kue tersebut dan kembali menyelesaikannya. Waktu sudah menunjukan pukul 02.00 dini hari dan baru beres semuanya setelah itu gua kirim melalui e-mail ke Pak Samsudin setelah itu gua pun tertidur pulas.
Pagi hari gua memberitahukan kepada Pak Samsudin bahwa tugas yang diberikan sudah dikirim melalui e-mail dan bisa dilihat. Pak Samsudin menyuruh gua dan Kevin untuk online dan melakukan presentasi. Setelah itu kami berdua pun diberi pertanyaan oleh Pak Samsudin mengenai presentasi yang kami bawakan dan kami pun bisa menjawab semuanya setelah itu kami diperbolehkan untuk mengakhiri presentasi kami. Gua pun senang akhirnya tugas yang terakhir ini bisa beres walaupun tinggal seminggu lagi masa libur gua.
Biasanya sisa libur ini gua menghabiskan waktu bermain bersama teman – teman gua tapi, kali ini suasananya berbeda. Yak lockdown yang membuat gua dan teman – teman gua tidak bisa berkumpul bahkan bertemu saja tidak bisa. Sungguh hari libur yang membosankan membuat gua hanya bisa bermalas – malasan di rumah. Tapi kalau dipikir – pikir apa yang dilakukan oleh dia semasa lockdown yang terjadi belakangan ini. Gua berusaha untuk mencoba mencari tahu apa yang dia lakukan melalui akun sosial media yang dia gunakan dan gua pun tidak begitu menemukan sesuatu yang menarik hanya foto – foto yang sudah lampau. Gua pun yang sudah bosan di rumah langsung bergegas untuk menggunakan masker lalu memanaskan motor gua dan langsung pergi dari rumah. Bilangnya sih hanya keliling – keliling komplek rumah tapi kenyataannya gua lebih memilih untuk pergi dari komplek rumah gua.
Ketika gua keliling menggunakan motor gua, gua melihat banyak sekali toko – toko tutup, restoran tutup, bahkan mall saja tutup. Ada satu yang masih berani nekad untuk berjualan yaitu tukang bubur dan gua berhenti di sana untuk membeli bubur dan hal yang tidak gua sangka adalah gua melihat ada dua orang yang baru juga tiba turun dari motor dan melepaskan helm mereka berdua. Gua melihat orang yang gua suka berada di depan gua dan dia bersama cowo lain. Gua pun langsung memalingkan wajah gua dan langsung cepat – cepat untuk pergi dari tempat tersebut.
“Lo Nathan kan?” tanyanya pada gua.
“Eh, Na..Nayla apa kabar?” Jawab gua yang sedang buru – buru ambil motor.
“Kok buru – buru sih? Sini ngobrol bentar dulu udah lama juga gua gak ketemu temen kampus. Lo mau kemana sih?” Tanya Nayla.
“Disuruh jangan lama – lama sama nyokap. Dia takut gua kena Covid lagipula gua ijinnya cuman panasin motor bukan buat beli bubur. Ini karena gua lapar aja jadi gua beli bubur.” Jawab gua.
“Iya juga sih Covid belakangan ini juga lagi tinggi – tingginya kasus yang positif. Semoga lo dan gua selalu baik – baik saja.”
“Iya lo juga harus jaga kesehatan lho. Hmm, ngomong – ngomong selama lockdown lo ngapain aja?” tanya gua.
“Biasalah jadi babu di rumah hahaha. Semua tempat kan lagi di tutup juga jadi tidak bisa kemana – kemana hanya bisa di rumah doang. Ini bisa keluar rumah aja udah bersyukur.”
“Bener banget sih gua udah cukup bosan di rumah gak bisa kumpul bareng temen juga.”
“Bukannya lo suka main basket sama teman – teman lo? Kenapa gak main aja?” Tanya Nayla.
“Emangnya kalau gua suka main basket gua bisa ke sana bareng teman – teman gua? Tempatnya aja ditutup.” Jawab gua
“Nanya doang sih ketus amat jawabnya. Eh iya kenalin nih cowo gua namanya Varel.”
Sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan gua dia memperkenalkan dirinya pada gua, “Varel.”
“Nathan.” Jawab Gua sambil berjabat tangan dengannya.
Setelah gua berjabat tangan dengan Varel, tanpa basa – basi gua langsung mengarah ke motor gua dan pulang. Nayla pun heran melihat tingkah laku gua yang secara tiba – tiba berubah ketika Nayla memberitahukan bahwa cowo yang bersama dia adalah pacarnya. Di sepanjang perjalanan rasanya sakit sekali di dada gua ketika tau bahwa mereka berdua ternyata sudah pacaran. Gua mempercepat sedikit laju gua dan ketika sampai di rumah gua langsung masuk ke kamar gua. Nyokap gua yang melihat gua langsung masuk ke kamar pun, curiga apa yang terjadi sama gua dan mencoba untuk bertanya sama gua. Gua pun tidak begitu menghiraukannya dan langsung makan bubur yang sudah gua beli.
“Sia – sia dong gua selama ini ngejer – ngejer dia ternyata dia sudah ada yang punya.” Pikir gua yang sambil makan bubur yang gua beli.
Mood gua hilang begitu saja dan masih tidak percaya apa yang dia katakan. Gua berusaha untuk mencari tahu bahkan bertanya ke teman – teman yang dekat dengannya dan semuanya mengatakan bahwa Nayla dan Varel emang udah jadian sekitar 3 bulan yang lalu. Gua pun terdiam dan kesal terhadap diri gua yang begitu lambat untuk bisa mendapatkannya dan hanya bisa menerima kenyataan bahwa gua harus merelakan dia bersamanya.
“Sudah cukup sedihnya masih banyak cewe yang mau sama gua. Kalau dia udah ada yang punya gua kan tinggal cari yang lain. Buat apa juga gua harus pusing mikirin dia udah jadian apa kaga. Justru yang harus gua pikir sekarang bagaimana gua menghabiskan sisa waktu libur gua semaksimal mungkin. Urusan cewe bisa belakangan.” Pikir gua dan sontak melupakan apa yang terjadi hari ini.
Cinta Yang Berubah Menjadi Pahit
Nama gue Nathania Nayla gadis yang biasa saja yang biasa disapa Nayla. Orang – orang bilang gua adalah gadis yang cukup periang dan friendly terhadap teman – teman yang lain terutama teman cowo – cowo di kampus gua. Kalau mau dibilang cantik masih banyak yang lebih cantik dari gue sih, kalau mau dibilang popular masih banyak yang lebih primadona di kampus gue. Jadi kesimpulannya gue adalah gadis yang biasa saja sekian. Mungkin sampai di situ kali ya perkenalan gue karena tidak ada yang terlalu spesial di diri gue. Tapi lucunya entah gua ke pedean atau gimana ada lho beberapa yang tertarik sama gue. Sebenarnya bukannya gue PHPin mereka sih tapi, gue lebih menghargai saja perasaan mereka ke gue walaupun sebenarnya gue tidak suka sama mereka. Hanya ada satu cowo yang menmbuat gue tertarik dan dia anak basket tapi, dia selalu disukai banyak perempuan. Mungkin dia playboy kali ya, karena yang gue lihat selama ini dia selalu ganti – ganti cewe kemanapun dia pergi. Tapi lucunya, semenjak pandemi ini dia di rumah aja bahkan yang biasanya dia suka berpergian kemana gitu malahan jadi anak rumahan. Terakhir gue ketemu dia sih sekitar tahun lalu sebelum pandemi ini ada lalu kita libur semester yang bisa dibilang cukup panjang liburnya.
Selama liburan ini berlangsung teman – teman gue suka ngajakin gua pergi dan gue kadang menerima ajakan mereka supaya tidak bosan saja di rumah. Gue ketemu satu cowo yang menurut gue ganteng banget dan cool aja sikapnya pokoknya keren banget deh ya kalau dilihat. Udah gitu dia tinggi lagi dan dia anak motor pokoknya motor yang dia pake keren banget lah katanya sih moge motornya tapi gue tidak begitu paham tentang motor jadi gua bilang saja keren motornya. Singkat cerita gue pun akhirnya bisa berkenalan dengan dia namanya Varellino Bastian anaknya sih cukup gentle terhadap perempuan terutama ke gue sendiri. Akhirnya setelah bersama dengannya untuk beberapa bulan, dia memberanikan diri untuk nembak gue dan kitapun jadian. Jujur gue agak speechless ketika dia nembak gue tapi, gue udah terlanjur suka gitu sama dia karena dia ngetreat gue dengan baik. Kita pun akhirnya jadian dan ini udah berjalan 3 bulan lamanya dan kali ini dia ngajakin gue untuk pergi keluar agar tidak bosan di rumah. Gue sih oke saja untuk keluar karena gue juga sudah suntuk di rumah dan dia langsung jemput gue di rumah gue. Sebelum Varel bawa gue untuk pergi, dia meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga gue dan keluarga gue menyetujuinya dengan catatan harus pulang sebelum maghrib. Varel pun menyetujui permintaan keluarga gue dan dia langsung membawa gue dengan motor mogenya dia. Kita pun menelusuri dari satu tempat ke tempat lain dan kita tidak menemukan tempat untuk kita bisa menghabiskan waktu berdua dikarenakan semua tempat ditutup semasa lockdown yang sedang berlangsung. Gue pun yang mulai lapar langsung memberitahukan kepada Varel dan dia langsung mencari makanan terdekat namun setelah sekian lama kita mencari, gue melihat ada tukang bubur yang masih buka.
Gue langsung menunjuk ke arah bubur yang sedang mangkal di pinggir jalan dan Varelpun memarkirkan motornya dekat dengan tukang bubur tersebut. Gue pikir cuma kita berdua doang yang ingin membeli bubur tersebut, ternyata ada satu cowo yang sedang menunggu buburnya lagi dibuat oleh abangnya. Gue mengenali cowo itu dia adalah Nathan dan gue mencoba untuk menegur sapa dengannya. Sebelumnya gue melepaskan helm yang gue pake itu dan melihat Nathan yang terkejut ketika melihat gue. Gue pun memesan 2 bubur untuk dibungkus lalu gue melihat ke arah Nathan yang sudah berdiri lalu pergi ke arah motor yang dia pakai. Gue yang melihat Nathan cepat – cepat untuk pergipun langsung menegurnya,
Tanya gue pada Nathan “Lo Nathan kan?”
Nathan membalikan badannya dan langsung menyapa balasan gue, “Eh Nay, apa kabar?”
“Baik – baik saja seperti yang lo liat ini. Kok lo buru – buru sih? Sini ngobrol dulu sebentar udah lama juga gue tidak ketemu temen kampus. Lo mau kemana sih?” Tanya gue
Nathan pun akhirnya melepaskan motornya yang sedang diparkir dan melanjutkan oborolannya dengan gue katanya, “Disuruh jangan lama – lama sama nyokap. Dia takut gua kena Covid lagipula gua ijinnya cuman panasin motor bukan buat beli bubur. Ini karena gua lapar aja jadi gua beli bubur.”
“Iya juga sih Covid belakangan ini juga lagi tinggi – tingginya kasus yang positif. Semoga lo dan gua selalu baik – baik saja.”
“Iya lo juga harus jaga kesehatan lho. Ngomong – ngomong selama lockdown lo ngapain aja di rumah?” Tanya Nathan
“Biasalah bantu – bantu bokap dan nyokap di rumah mumpung masih libur juga. Lo ngapain aja selama lockdown ini?”
“Tidak ada yang menarik selama lockdown ini. Gua cuman bisa bantu – bantu bokap aja urusin kerjaannya sisanya ya gabut di rumah.”
“Bukannya lo biasanya main basket sama temen – temen lo? Kenapa gak ajak aja mereka buat main basket lagi?” Tanya Nayla.
“Emangnya kalau gua suka main basket gua bisa ke sana bareng teman – teman gua? Tempatnya aja ditutup.” Jawab Nathan.
“Ih kok lo yang sewot sih? Kan gue cuman nanya doang pake dijawab ketus segala. Eh ngomong – ngomong kenalin deh nih pacar gue namanya Varel.”
Nathan langsung terkejut setelah mendengar bahwa Nayla cewe yang dia suka sudah punya pacar. Varel menyodorkan tangannya dan segera memperkenalkan dirinya ke Nathan, katanya “gua Varel pacarnya Nayla.”
“Oh, pacarnya Nayla. Kenalin nama gua Nathan temen kampusnya Nayla.” Jawab Nathan.
“Sorry banget nih gua gak bisa terlalu lama soalnya gua takut nyokap gua ngomel kalau gua pulangnya telat. Gua cabut dulu ya.” Sambung Nathan.
Nathan langsung mengambil motornya dan langsung pergi balik begitu saja dan gue pun memutuskan untuk balik bersama Varel. Gue langsung menanyakan harga bubur yang gue pesan itu dan abang buburnya memberitahukan kepada gue bahwa buburnya sudah dibayar oleh laki – laki yang barusan ngobrol sama gue. Gue pun terkejut mendengarnya dan gue langsung melanjutkan perjalanan gue bersama Varel. Di tengah jalan Varel ngajakin gue ke tempat temennya nongkrong dan sebenarnya gue agak risih sih karena kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk bisa nongkrong. Akhirnya gue bilang ke Varel, gue tidak ikut dan minta dianterin untuk pulang. Varelpun nurut dan langsung mengantarkan gue balik setelah itu Varel langsung pergi ke tempat temannya. Sebelum dia pergi, gue berpesan pada Varel untuk tidak terlalu lama dan lebih mementingkan kesehatannya takutnya dia bisa terkena Covid. Varelpun mencoba meyakinkan gue untuk tidak terlalu lama bertemu dengan temannya dan Varel langsung pergi setelah meyakinkan gue. Gue yang hanya bisa melihat dia pergi langsung masuk ke rumah gue dan langsung mandi karena nyokap gue gak mau kalau gue tidak mandi sehabis dari luar untuk berjaga – jaga supaya virusnya tidak menempel di baju.
Sehabis gue mandi gue langsung hubungin Nathan melalui sosial media gue bilang terima kasih sudah bayarin bubur gue. Tidak lama kemudian Nathan membalas “tidak masalah sekali – sekali bayarin tidak akan buat gua miskin juga.” Nathan menanyakan apakah gue sudah sampai rumah apa belom dan gue pun jawab sudah sampai rumah. Seiring gue dan Nathan sedang berbicara melalui sosial media, salah satu teman gue namanya Bella tiba – tiba menelpon gue.
“Nay, lo tau gak tadi si Nathan nanyain gue tentang lo gitu.”
“Nanyain apa Bel? Ini orangnya lagi ngobrol sama gue.” Jawab gue
“Emangnya lo gak ngerasa gitu ada yang beda dari Nathan?” Tanya Bella.
“Beda gimana maksudnya? Gue tadi emang ketemu dia di pangkalan bubur yang dekat perempatan terus gue ngobrol sebentar sama dia. Ya basa – basi gitu sih karena gue udah lama aja tidak bertemu teman kampus. Dia cuman bilang ke gue kalau dia buru – buru karena takut nyokapnya ngomel ke dia kalau pulangnya telat udah sih gitu aja tadi.” Jawab gue.
“Lo pergi sama Varel kan?”
“Iya gue pergi sama dialah kan dia yang ngajakin gue pergi jadi gue gak nolak, bosan tau Bel di rumah doang. Emangnya Nathan nanyain apa sih ke lo sampai panik gitu lo?”
“Lo tau gak sih, Nathan nanyain ke gue kalau lu benar – benar udah pacarana apa belom.”
“Terus lo jawab apa Bel?” Tanya gue.
“Ya lo kan udah pacaran sama Varel jadi gue jawab aja udah pacaran terus dia tanya udah berapa lama lo pacaran sama dia?” Jawab Bella.
“Terus lo jawab apa?”
“Gue bilang ke dia kalau lu udah 3 bulan bersama Varel. Gue gak tau bener apa tidaknya sih tapi yang gue inget lo emang udah pacaran kurang lebih sekitar segitu.” Jawab Bella.
“Gue sama Varel emang sudah 3 bulan Bel, tapi yang gue bingung emangnya kalau Nathan tau gue udah pacaran terus kenapa emangnya?” Tanya gue yang masih bingung.
“Ha? Lo gak tau emangnya Nay? Kayaknya ini udah bukan rahasia umum lagi dah. Nathan itu suka lo dari tahun lalu kalau gak salah.” Jawab Bella.
“Seriusan lo? Kok gue gak tau apa – apa dah. Jujur gue pikir tuh Nathan emang kayak gitu friendly ke cewe – cewe lain juga.”
“Nathan itu hampir jarang friendly ke cewe selain cewe itu emang dia suka. Gue pikir lo tau kalau Nathan suka lo bahkan setelah dia tau lo udah jadian, dia kayak bete gitu terus langsung matiin aja tuh teleponnya sama gue.” Kata Bella.
“Ya terus gue harus gimana dong? Gue udah terlanjur sayang sama Varel, Bel. Gue gak bisa lepasin gitu aja dan gue juga tidak tahu Nathan itu seperti apa orangnya. Mungkin ini yang terbaik buat dia supaya dia gak deketin gue lagi.” Jawab gue.
“Emangnya gue suruh lu putus sama Varel? Gue kan hanya memberitahu bahwa Nathan tadi telepon ke gue terus nanyain tentang lu, abis itu dia matiin gitu aja setelah dia tahu lo sama Varel pacaran.”
“Ya udahlah gue mau beres – beres dulu nanti kita sambung lagi, oke?” Sambung Bella.
Gue langsung menutup telepon dan melanjutkan percakapan gue sama Nathan yang sebelumnya. Semenjak itu hubungan gue sama Nathan sebenarnya baik – baik saja dan menurut gue tidak ada percakapan seperti Nathan menyukai gue yang dikatakan Bella ke gue. Dari situ gue tetap melanjutkan percakapan gue dengan Nathan dan Nathanpun berusaha untuk mencoba menelpon gue tapi, gue tidak mau menyakiti hati cowo gue sehingga gue pun menolak dan memberitahukan kepada Nathan bahwa gue tidak bisa mengangkat telepon dari lo karena gue takut cowo gue cemburu. Nathan akhirnya memilih untuk mengalah dan melanjutkan percakapan melalui sosial media.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan dari Nayla, Varel diam – diam dekat dengan salah satu perempuan yang lain dan ini bukan sekali saja mereka bertemu melainkan sudah cukup sering bertemu bahkan Varel tidak begitu sering berada di rumah melainkan selalu di luar rumah dan selalu bertemu dengan perempuan tersebut. Kondisi Covid kian merebak dengan cepat, Varel hanya bisa mengikuti protokol kesehatan dan memilih untuk berdiam diri di rumah untuk beberapa saat akan tetapi, perempuan tersebut meminta untuk Varel bertemu dengannya dan Varel menolak ajakan perempuan tersebut karena orang tuanya melarang dia untuk pergi. Mau tidak mau perempuan tersebut memilih untuk mengalah dan menahan diri untuk bisa bertemu dengannya. Tiap hari mereka selalu memberi kabar melalui telepon satu dengan yang lain bahkan Varel sudah mulai sedikit demi sedikit menghilang atau tidak memberi kabar tentang dirinya kepada Nayla.
Cinta Yang Membuatku Buta
Seminggu sudah berlalu liburan pun sudah usai dan tiba bagi mahasiswa dan mahasiswi kembali untuk mengikuti kelas online nya. Tidak sedikit mahasiswa atau mahasiswi yang telat bangunnya karena harus kembali mengatur pola tidurnya.
“Nathan… Nathan… Bangun emangnya kamu tidak kuliah hari ini?” Panggil Mama yang dari tadi mengetuk pintu gua.
“Nathan… Ini udah mau jam 7 mama tidak mau tahu ya kalau nanti kamu telat!” Sambung Mama.
Gua akhirnya terbangun dari tidur gua dan mengambil HP gua lalu melihat jam yang ada di HP gua. Tidak lama kemudian gua pun langsung bangun dari tempat tidur dan langsung buru – buru mandi setelah itu baru gua mengikuti makan pagi. Gua makan dengan terburu – buru sehabis itu masuk ke dalam kamar lalu membuka laptop gua dan mengaktifkan aplikasi yang biasa dipakai untuk mengikuti kelas online. Hari ini kelasnya Pak Wahyu dan mata kuliahnya tentang statistika dan Pak Wahyu menjelaskan sepanjang kelas tentang mata kuliah tersebut. Setelah waktu sudah hampir habis, Pak Wahyu menyuruh kami untuk mencari kelompok yang terdiri dari 2 orang saja. Baru kali ini Pak Wahyu menyuruh kami untuk mengerjakan dengan membentuk kelompok walaupun cuma 2 orang saja karena biasanya Pak Wahyu hampir tidak pernah membiarkan kami untuk bekerja berkelompok. Gua yang biasanya bersama Kevin kali ini Kevin sudah diajak oleh temannya untuk mengerjakan bersama. Gua akhirnya bertanya di group sosial media dan ternyata ada yang masih belum dapat kelompok. Saat gua tau siapa orangnya gua cukup terkejut ternyata yang belum dapat kelompok adalah Nayla orang yang gua suka. Nayla pun memberitahu ke gua kalau dia belum dapat kelompok dan akhirnya kita di dalam satu kelompok dan membahas tugas yang diberikan Pak Wahyu.
Sehabis kelas, gua dan Nayla membahas tugas yang diberikan oleh Pak Wahyu dan gua menjelaskan materi yang tidak dimengerti oleh Nayla. Akhirnya Nayla mulai memahami materi tersebut dan kita pun mulai membahas tugas yang diberikan. Sebenarnya gua ingin sekali bisa lebih dekat lagi dengan Nayla melalui telepon tapi, Nayla masih tidak mau untuk gua melakukan itu melainkan dia memberitahu ke gua untuk menggunakan aplikasi yang kita gunakan selama kelas online. Sebenarnya ini hal yang menguntungkan sekali buat gua karena gua bisa lihat wajahnya dia yang lagi serius dalam mengerjakan tugas dan juga gua bisa melihat wajahnya ketika dia kesulitan atau wajah dia yang sudah mulai letih dengan banyaknya tugas yang begitu banyak. Kami berdua mengerjakan tugas tersebut tidak dalam waktu yang sebentar melainkan waktu yang kami gunakan cukup lama, bisa dibilang seharian kami berdiskusi tentang tugas yang diberikan. Sebenarnya tidak hanya satu tugas yang kami diskusikan melainkan ada tiga tugas yang kami diskusikan bareng walaupun tugas tersebut harus dikerjakan secara individual. Waktu sudah menunjukan sekitar jam 7 malam dan gua memberitahu kepada Nayla kalau gua mau makan malam terlebih dahulu dan Nayla pun tidak mempermasalahkan itu malahan menyuruh gua untuk makan terlebih dahulu. Setelah gua makan malam, gua kembali ke kamar gua dan melanjutkan obrolan gua kepada Nayla.
Kami sudah tidak lagi membahas tugas yang diberikan melainkan kami ngobrol banyak hal dari dia menanyakan ke gua tentang hobi gua yaitu bermain basket sampai dia membahas tentang hubungannya dengan Varel. Gua sebenarnya tidak mau mendengarkan tentang hubungannya tapi, gua melihat raut muka Nayla yang seakan bersedih dan matanya mulai berkaca – kaca. Akhirnya gua lebih memilih mengalah dan mencoba untuk bertanya bagaimana hubungan dia dengan Varel dan dari situ Nayla mulai menceritakan hubungan dia dengan Varel yang bisa dibilang tidak lagi baik – baik saja. Jujur seharusnya gua cukup senang karena gua bisa lebih dekat lagi dengan Nayla akan tetapi, gua melihat Nayla yang bisa dibilang setia kepada Varel dan gua tidak tega melihat dia diperlakukan seperti itu dengan Varel. Gua mencoba memberikan solusi untuk mengakhiri hubungan tersebut dan sulit bagi Nayla untuk bisa mengakhirinya karena Nayla masih menyayangi Varel dan masih yakin bahwa Varel bisa berubah. Mendengar hal itu gua lebih memilih untuk tidak memaksa Nayla untuk memutusi Varel melainkan gua mencoba untuk menenangkan Nayla yang sedih bersedih sambil gua memberikan solusi kepada Nayla untuk melanjutkan hubungannya dengan Varel. Nayla mengusap air matanya dan bertanya kepada gua, “kenapa lo sebaik ini dengan memberikan gua solusi untuk bisa mempertahankan hubungan gua dengan Varel? sedangkan lo sendiri tahu bahwa lo menyukai gua dan biasanya cowo manapun akan mencoba untuk mengambil kesempatan ini untuk membuat sang cewe mengakhiri hubungannya dengan pasangannya.” Tanya Nayla kepada gua. Gua bahkan terdiam sejenak dan ingin membenarkan apa yang dikatakan oleh Nayla tapi, gua mengingat bahwa pernah ada kejadian dimana gua pernah pacaran dan gua tidak setia dengan pasangan gua sehingga cewe gua pernah berkata kepada gua, “jika itu bisa membuat lo bahagia, gua akan mendukung lo walaupun gua tahu bahwa itu membuat gua sakit, asalkan gua bisa lihat lo tersenyum bahagia walaupun harus bersama yang lain itu sudah membuat gua senang.” Kalimat itu seakan mengingatkan gua kepada cewe gua dulu dan dengan kalimat yang sama gua menjawab pertanyaan Nayla kepada gua, “jika itu bisa membuat lo bahagia, gua akan mendukung lo walaupun gua tahu bahwa itu membuat gua sakit, asalkan gua bisa lihat lo tersenyum bahagia walaupun harus bersama yang lain, itu sudah membuat gua senang.”
Mendengar gua memberi jawaban seperti itu kepada Nayla, Nayla mulai menyadari betapa bodohnya dia dan air matanya mulai bercucuran deras sampai membuat Nayla tidak bisa menunjukan wajahnya ke depan layar laptop yang sedang dia gunakan. Gua pun seakan merasa bersalah kepada Nayla dan mencoba untuk meminta maaf padanya lalu mencoba untuk menenangkan dirinya tapi usaha yang gua lakukan sepertinya sia – sia karena Nayla masih tetap menangis.
“Sudah Nay, lo tidak usah menangis lagi. Lo jelek tahu kalau lo nangis dan gua maunya lihat wajah cantik lo bukan wajah nangis yang lo berikan ke gua. Apapun yang lo lakuin gua bakal dukung kok asalkan lo berjanji sama gua satu hal, jika dia bukan yang terbaik untuk lo masih ada gua disini yang menunggu lo dan siap untuk menerima lo apa adanya. Gua tidak bisa berjanji bahwa gua akan buat lo bahagia tapi gua bisa memastikan bahwa tidak ada air mata yang jatuh dari wajah lo.” Kata gua yang mencoba untuk menghibur Nayla yang masih bersedih.
Akhirnya Nayla berhenti menangis setelah mendengar gua mengatakan hal seperti itu dan dia hanya bisa memberikan tanda bahwa dia sudah baik – baik saja dan gua tidak usah lagi mencemaskan dirinya. Nayla pun berjanji ke gua bahwa dia akan membereskan semuanya dan melihat sampai mana hubungan ini akan membawanya dan bilamana hubungan ini seperti yang dikatakan oleh gua, dia akan memilih untuk mengakhirinya dan mencoba untuk memulai lembaran yang baru. Gua pun turut senang mendengarnya dan menyemangatinya walaupun gua tahu bahwa untuk sekarang sangatlah mustahil untuk mendapatkan hatinya tapi, gua merasa bahwa saat ini hati Nayla sudah mulai goyah terhadap pasangannya yaitu Varel dan bagi gua hanya tinggal menunggu waktu untuk mengatakan kalau dia mencintai gua. Gua dan Nayla akhirnya mengakhiri obrolan malam kami dan waktupun sudah menunjukan jam 10 malam sehingga membuat gua langsung tidur dan mempersiapkan diri untuk pagi hari kembali berkuliah.
Paginya gua kembali bangun dari tidur gua dan melakukan rutinitas pagi hari sebelum gua mengikuti kelas online yang akan dimulai sebentar lagi. Gua pun menyerahkan tugas yang gua dan Nayla kemarin buat kepada Pak Wahyu karena mengingat bahwa mata kuliah Pak Wahyu akan dimulai sebentar lagi. Setelah banyaknya mahasiswa dan mahasiswi yang mengumpulkan tugas dari Pak Wahyu, akhirnya Pak Wahyu memulaikan pelajarannya. Mata kuliah yang dibawakan Pak Wahyu tidak begitu lama dan dilanjutkan dengan mata kuliah Ibu Mulyani yaitu kalkulus. Seperti biasa kalau kalkulus tidak menjadi masalah yang terlalu besar bagi gua karena sampai detik ini kalkulus gua selalu mendapatkan nilai yang baik dan gua cukup memahami materi yang dijelaskan oleh Ibu Mulyani. Seperti mata kuliahan yang sebelumya tugas yang diberikan oleh Ibu Mulyani cukup banyak dan dikerjakan secara individual serta dikumpulkan paling lambat lusa. Gua pun mulai mengerjakan pada malam hari dan ketika gua sedang beristirahat sebentar sambil melihat HP gua, ada notif yang masuk dan itu dari Nayla yang menyuruh gua untuk on kamera di laptop karena tidak paham tentang tugas kalkulus yang diberikan oleh Ibu Mulyani. Mengingat esok hari adalah hari besar jadi tidak ada kelas untuk esok hari sehingga malam ini bisa gua selesaikan supaya besok gua tidak terlalu keteteran mengerjakan tugas yang lain. Gua membantu Nayla yang kesulitan sambil menjelaskan tugas kalkulus yang menurut dia tidak paham. Nayla mulai mengerti sedikit demi sedikit dan mulai bisa mengerjakan tugasnya walaupun dia masih sering bertanya apakah yang dia kerjakan sudah benar apa belom kepada gua dan itu sedikit menghambat kinerja gua yang ingin menyelesaikan tugas kalkulus malam ini. Gua dan Nayla akhirnya berhasil membereskan tugas kalkulus malam ini dan membutuhkan waktu yang cukup lama karena sekarang waktu sudah menunjukan jam 12 malam. Gua yang mau berpamitan karena ingin istirahat tiba – tiba Nayla menahan gua dan ingin berbicara sebentar dengan gua. Akhirnya gua memilih untuk mendengarkan apa yang mau dia bicarakan dengan gua dan dia mulai memberitahukan kepada gua mengenai hubungannya bahkan dia berterimakasih kepada gua atas masukan yang gua berikan padanya. Gua agak sedikit bingung dan menanyakan bagaimana hubungan dia sekarang apakah lo benar – benar mengakhiri hubungannya atau malah membuat hubungannya menjadi lebih baik? Nayla pun terdiam sejenak dan mulai berbicara dengan nada yang pelan bahwa hubungan dia dan Varel sebenarnya sudah tidak bisa lanjut tapi, Varel meminta waktu untuk dia bisa membereskan semuanya dan Varel masih ingin hubungan ini tetap berlanjut sehingga kemarin dia meminta maaf ke Nayla apa yang dia lakukan selama ini membuat sakit hati Nayla. Gua yang sudah menduga ini akan terjadi hanya bisa menghela nafas dan Nayla pun mulai memerah wajahnya ketika berbicara mengenai apa yang Varel lakukan kemarin dan Nayla menilai apa yang dilakukan oleh Varel adalah salah satu cowo yang cukup gentle yang mengakui kesalahannya. Gua yang hanya bisa menerima apa yang terjadi hanya bisa memperingati kepada Nayla bahwa Varel itu tidak sebaik dan se-gentle yang lo pikirkan melainkan lo akan mudah di permainkan kembali. Akan tetapi, Nayla tidak menerima apa yang gua peringatkan dan lebih memilih untuk melihat apa yang Varel lakukan terhadapnya dan tidak lama Varel menelpon lalu Nayla menutup kameranya dan mengakhiri video call dengan gua. Setelah itu gua pun naik ke tempat tidur gua dan berpikir sejenak, kata gua dalam hati,
“Betapa bodohnya diri lu Nay, gua juga laki – laki dan ketika gua ketahuan selingkuh gua juga melakukan apa yang Varel lakukan terhadap lo dan lo harus tau bahwa itu tidak akan bertahan lama karena sejatinya laki – laki akan akan mulai mencari yang baru dengan strategi yang baru. Dengan strategi yang baru bisa dipastikan lo tidak akan tahu bahwa cowo lo itu selingkuh apa tidak dan lo akan menganggap bahwa hubungan ini baik – baik saja. Gua berharap lo menyadarinya Nay, sebelum lo tahu semuanya dan membuat hati lo jauh lebih sakit dari sebelumnya.” Setelah itu gua langsung tidur dan berharap bahwa hari esok akan jauh lebih indah dari hari ini.
Description: Tahun 2020 dimana tahun yang sulit untuk kita karena virus yang kita tahu yaitu Covid-19 tapi apakah itu menjadi halangan buat gua? sorry itu tidak akan pernah terjadi di hidup gua.
Nama gua Nathan Samuel gua anak kuliahan tidak ada yang menarik di hidup gua selain bermain basket tapi hidup gua mulai berubah hanya karena satu perempuan yang bernama Nathania Nayla .
Nayla anaknya periang dan cukup friendly kepada siapapun. Bertemu dengan Nathan bukanlah suatu kebetulan karena di sisi lain dia teman kampus dan di sisi lain juga karena Nathan cukup keren ketika dia bermain basket. Tapi sangat disayangkan banyak yang menyukainya sehingga sulit buat Nayla untuk bisa dekat dengannya sampai...
Ikuti terus bagaimana kelanjutan cerita ini dan bagaimana gua bisa menghadapi percintaan gua dengan Nayla di tengah pandemi yang sekarang ini terjadi.
|
Title: RAKSAKSA GONDRONG
Category: Misteri
Text:
MENANGIS
Monster itu mengacau
TIADA TAWA
Betapa beruntungnya Kehidupan yang layak untuk dihuni dan damai untuk ditempati , Betapa mengerikannya Kehidupan dengan penuh ketakutan Apalagi dengan raksaksa Yang memakan , Menculik , menganiaya , Merugikan warga sekitar .
Suatu keberuntungan karena Kehidupan Raksasa Ghaib itu Itu sudah terlewati dan telah menjadi Legenda 450 tahun yang lalu Tepatnya di Negeri Seribu Pulau , Nusantara .
Para raksasa itu berkerumun Mengitari seluruh pemukiman dan mengepung seluruh area tersebut dengan kekuatan magic-nya mereka menggunakan semburan berapi untuk menggemburkan dan memeras sekaligus membumihanguskan seluruh penduduk Agar daerah tersebut segera ditinggalkan dan menjadi wilayah kekuasaan mereka . Sekitar 10 ribu pasukan ke menghancurkan Area penduduk tersebut dengan kekuatan Yang membabi buta Dan struktur anggota tubuh yang besar memudahkan mereka untuk menghancurkan Sekecil rumah seperti menginjak semut Orang-orang pada berhamburan Mereka panik mereka resah mereka mengkhawatirkan diri sendiri dan keluarga seolah-olah mereka itu tidak memiliki senyawa yang berharga tubuh mereka seolah dijajah dengan kekuatan yang teramat besar oleh negeri Atau alam yang lain namun Itulah fakta Bahwa kekuatan itu sangatlah besar Dan sakit untuk diderita oleh penduduk sekitar .
Pemukiman hancur Warga negara mulai panik Mereka pun berhamburan kesana-kemari seperti semut yang ingin dibakar pada Liang Tempat tinggalnya Akhirnya Salah satu pemimpin kepala suku itu mengalihkan tempat tinggal itu di sebuah gua .
Gua tersebut bersama gua Rinjani Gua yang sangat Besar dalam memiliki stalaktit dan stalakmit yang indah namun di sana gelap penuh hewan-hewan yang berkeliaran ada kelelawarnya dan ada ular ular yang berbisa ditambah di sana ada seorang ekor laba-laba raksasa yang mematikan yang konon katanya memiliki semburan laut yang dapat melelehkan stalaktit dengan sangat mudah .
Di dalam gua tersebut terdapat sumber mata air yang lumayan banyak sekali dan buraq karena di penghujung aliran sungai tersebut ada aliran sungai yang jernih bisa untuk penduduk minum dan nama mata air tersebut adalah air mata ijo royo-royo . Walaupun di dalam gua terdapat Sinar cahaya yang lumayan besar sebesar lapangan sepak bola Dan di antara cahaya tersebut terdapat Tanaman buah-buahan yaitu tanaman anggur dan tanaman Pepaya yang tumbuh subur di daerah tersebut karena lokasi gua itu belum terjamah oleh Warga sekitar alias masih alami buah-buahan tersebut sangatlah banyak sekali dan Mungkin cukup untuk 1 bulan stok makanan kedepannya .
Tetapi takdir berkata lain Gua yang sebetulnya telah tersembunyi itu dan sangatlah awam sekali untuk penduduk menempatinya Tetapi ada segerombolan pasukan yang entah mengapa bisa menerobos masuk dan mengidentifikasi buah tersebut.
Melewati celah celah bebatuan yang lumayan ekstrim karena terdapat kebocoran dinding yang berupa pualam dan mengakibatkan adanya arus jalan yang dapat diterobos oleh pasukan gue tersebut mengakibatkan posisi penduduk sekitar sana bisa teridentifikasi dan membuat bahaya di daerah tersebut .
Tanpa basa-basi 3 orang pasukan hebat Menjadi kan sebagai tempat untuk mengorbankan diri dan melawan seluruh pasukan yang berusaha Mengejar para warga yang beberapa orang yang selamat Namun ketika orang tersebut harus benar-benar mengorbankan nyawanya karena begitu banyak pasukan yang telah masuk dan entah mengapa itu adalah Jalan seorang pahlawan yang harus ditempuh .
Kepala suku memerintahkan untuk mengorbankan ketika pahlawan tersebut dan memikul beban seluruh nyawa pada penduduk yang selamat .
" Aku menugaskan kalian untuk menjaga ketertiban ini jangan sampai ada yang dapat menerobos nya kuharap Seluruh jiwa raga kalian akan abadi dengan jasa besar menyelamatkan kami semua , Aku Menunggu kedatanganmu Di Selatan Sana "
Kejujuran air mata ketiga Pasukan khusus itu Meratapi tugas terakhir dan sekaligus tugas yang sangat besar dan senyawa adalah taruhannya .
Warga negara itu benar-benar panik Mereka berhamburan berusaha untuk keluar pada buah tersebut gua yang dikiranya aman itu seolah menjadi tempat paling berbahaya yang menunggu mereka untuk masuk ke liang lahat alias menuju ke alam kematian .
3 pahlawan itu perlahan namun pasti menghancurkan satu demi satu menendang memukul Menghempaskan dan meronta dengan kekuatan yang mereka jalani selama latihan di padepokan dengan teknik cerdik akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan sang babu marmanto do , Dengan tubuh yang kekar dengan senjata tombak dan Dan cover laksamana Kekuatan yang setara tembok beton itu mengorbankan dirinya Menghadapi seorang diri membuntu jalan Utama Kekuatan tempur mereka dan blokade dengan menghancurkan bebatuan dan mengakibatkan jalan tersebut menjadi buntu.
Prajurit yang ditumbangkan tersebut adalah prajurit tertua dalam keadaan yang memperhatikan dia bisa dibilang adalah tangan kanan dari seorang Kepala suku Namun pengajiannya itu benar-benar telah ditimbang dan dipilih sebagai rasa tanggung jawab seorang keamanan .
Dua orang itu berlari sambil menangis .
Mengorbankan diri demi keselamatan mereka Dan mengingat perjalanan yang telah mereka lalui semasa awal menjadi mahasiswa baru Di padepokan Dan telah berakhir di gua untuk menyelamatkan Penduduk.
AFIFAH
Sawah berhektar hektar, pesona desa Anom banyak manusia jerami sebagai protection pelindung dari burung burung pemakan padi yang sedang tumbuh di bulan Januari 1950.
Sawah berhektar hektar itu diperjuangin seorang wanita bernama tukiyem, bermodelkan kekuatan wanita yang telah bermetamorfosa menjadi kekuatan lelaki mengangkat cangkul dan mengelola sawah untuk anaknya tercinta yang bernama Bagas. Tukiyem memulai pekerjaannya saat subuh dengan berjalan kaki sejauh 1 km dari rumahnya karena beban berat yang dipikul sebagai perempuan dan lelaki sebelum berangkat dia sudah menyiapkan sarapan untuk sarapan pecel tambah kerupuk putih.
Dengan mengelus rambut bagus yang berumur 5 tahun, tukiyem menyayanginya dengan sepenuh hati dan meletakkan sarapan itu di atas lemari.
" Dadio bocah sek pinter le, berguna unggo nungso lan bangso "
Sekian banyak yang harus diembangnya, Tukiyem hanya bisa berdoa diberi kekuatan lebih, ditambah harus kuat menahan semua yang dia derita lelah, letih, dan caoek hanya bisa dilepas sederhana dengan tidur sewaktu badan letih dan kantung melanda.
Semua itu dia lakukan untuk keluarga, bagai tulang lunggung ibu dan ayah. Badan wanita ini wajib berbahan baja.
Rutinan sebelum pergi kesawah membersihkan rumah, dan menyiapkan sarapan untuk anak tercinta. Semua dilalui dengan senang hati setiap menyapu terbayang akan kasih dan sayang anak terhadap ibu. Lelah enyawah seketika hilang dengan anak didekatnya.
Hanya kesenangan menjalankan hidup sederhana yang syukurinya sampai berbahagia dengan seluruh penderitaan yang mendarah daging berusaha menolak tukiyen akan kondisi namun memilih memerdekakan diri dengan nikmat yang sudah ada.
Tukiyem mulanya lemah, tanpa semua kondisi ini mungkin sudah berbaring, tidur, masak dan membersihkan rumah. Takdir berkata lain mengharuskan badan terigu ini menjadi padat seperti kerasnya batu.
Menasehati anak, mendampinginya sampi dewasa dan menikah. Mengarungi bahtera cintanya dan kelak menjadi nenek dengan menggendong cucu penuh kasih sayang. Sambil mengingat ngingat yang dulu pernah dilakukan untuk Bagas.
Wajah imut cucu, badan tua ini seolah menjadi muda kembali. Menggendongnya berat badan 5 - 10 kg itu akan menjadi energi batiniah untuk nenek tua berusia lanjut. Menunggu dipanggil dan mengisi sisa hidup dengan bahagia, aman, dan damai.
Suaminya dahulu menggarap sawah 5 bahu, warisan ibuk Tukiyem, emak Panirah namanya. Tukiyem yang fokus berbakti kepada suami seperti waniti jawa pada umumnya. Ayah mencari nafkah dan melindungi keluarga kecil menyayangi mereka dengan penuh kasih dan sayang. Memberikan kekuatan saat berangkat kerja, tak mau pisah apa pun yang terjadi.
Namun perang pecah.Ayah pergi kemedan jihat, membela tanah air.
Salam perpisahan itu pecah, bagaikan tak ingin lepas Tukiyem memeluk dan merangkus sedemikian kuat, meneteskan air mata mengalir bagaikan air mancur kolam ikan. Menangis, namun kewajiban harus ditegakan dengan sikap jaim Kemto Andi Suptritno mendorong tubuh Tukiyem sampai lepas pelukanya, lari sambil menangis menuju medan berbahaya demi negara.
Description: MONSTER COKLAT MENGERIKAN
|
Title: Rasa Iba Mengalahkan Egoku
Category: Spiritual
Text:
Rasa Iba Mengalahkan Egoku
Rasa Iba Mengalahkan Egoku
Oleh Ekka Bintang Sari
Kemarin sore, hujan turun sangat lebat disertai angin ribut yang membuat hiruh pikuk
seluruh warga kampung. Tak henti-henti doa selalu kami panjatkan pada Allah Yang Maha
Kuasa, meminta agar hujan kala itu bukan untuk merusak melainkan sesudahnya mampu
memberi manfaat dan hikmah bagi kami dan seluruh alam.
“Allahumma shayyiban haniyyaa wa sayyiban naafi’aa, Wahai Tuhanku, jadikan hujan
ini terpuji kesudahannya dan menjadi aliran air yang bermanfaat”
Waktu menunjukkan pukul 23.49 WIB. Deras air mengguyur kampung kami dalam
waktu yang tidak singkat akhirnya reda, membuat daun-daun berserakan, pohon-pohon
tumbang, selokan membludak, dan hampir semua bagian jalan dipenuhi air.
Berbeda, banyak hal terpancar indah di pagi hari ini. Hari yang sangat cerah. Langit biru
dan mentari pagi tersenyum padaku. Burung-burung berkicauan tiada henti. Udara pagi yang
menghempas tubuhku perlahan membawa sensasi sejuk pada diriku. Wah, sungguh bahagia jika
hari-hariku selalu cerah seperti ini, bagai mendapat kasih sayang tak hingga dari seisi alam.
Seketika aku teringat kalau ada janji untuk mengerjakan tugas sekolah bersama temanku
di kampung seberang. Akupun langsung bergegas dengan sepeda motor kesayanganku.
“Eh Mba, Mba. Maaf belum bisa lewat jalan sini, lagi ada pembersihan pohon-pohon
tumbang di sepanjang jalan kampung. Sebaiknya Mba lewat jalan besar saja ya”, kata salah satu
warga yang sedang melakukan pembersihan.
“Oh iya, pak”, kataku.
Meninggalkan kampung, kubaca gardu putih bertuliskan “Selamat Datang di Kota Jolie”.
Itulah nama kota yang berada tak jauh dari kampungku, sebuah kota yang dulu kudambakan
untuk bisa tinggal disana. Namun kota ini sekarang sudah menjadi kota yang gersang, hanya
tersisa sedikit pohon yang memberi kesejukan.
Di pinggir jalan, kulihat seorang wanita tua berkerudung coklat duduk di kursi roda
sambil mengorek-ngorek tempat sampah. Tubuhnya kurus, rambutnya sudah memutih, dan
kulitnya tak terawat. Kulihat dia mengambil sisa nasi yang masih terbungkus dan langsung
menyantapnya.
Aku tak tega melihatnya. Rasa iba dalam diriku mendadak muncul. Aku pun langsung
menghampirinya.
“Nek, Nenek sedang apa di sini? Makanan ini sudah tidak layak lagi untuk dimakan.
Kenapa Nenek malah memakannya. Ini, aku punya roti. Setidaknya ini bisa mengganjal rasa
lapar untuk sementara. Sebaiknya Nenek makan roti ini saja. Kalau makan nasi bekas ini, nanti
Nenek bisa sakit. Dan juga, ini ada sedikit uang buat nanti beli makanan kalau Nenek lapar.”
“Terima kasih, Nak.”
“Iya, Nek.”
Kulanjutkan perjalanan dan tak terasa, sampai juga aku di rumah temanku, Santi.
“Assalamu’alaikum, Santi”, ucapku mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam”, jawab Santi dari dalam rumah.
Santi segera membukakan pintu untukku, dan...
“Ayo masuk. Maaf ya, rumahku berantakan”, ucap Santi.
“Nggak kok. Sama aja kayak rumahku, hehe”, jawabku.
“Aku ke belakang dulu ya”, ucap Santi.
“Oke. Jangan lama-lama ya, San”, ucapku
Rumah Santi terasa sepi, sepertinya orang tua Santi sedang pergi ke luar.
Beberapa menit berlalu, Santi menyuguhkanku segelas teh hangat beserta satu piring
biskuit.
“Wah makasih Santi”, ucapku.
“Iya sama-sama”, ucap Santi.
“Oh iya. Rumahmu sepi banget, orang tuamu sedang pergi?”, tanyaku.
“Mereka lagi gotong royong. Kemarin ada pohon tumbang yang menimpa rumah warga
di RT sebelah”, jelas Santi.
”Emm, begitu. Langsung aja yuk. Tugasnya banyak banget nih”, ucapku.
Waktu menunjukkan pukul 4 sore, tugas kelompokku akhirnya selesai. Aku menarik
napas lega. Saat kulihat ke luar, mendung sudah menggayut berat di langit, sepertinya hujan
lebat akan turun kembali. Aku berpamitan dan bergegas pulang.
Di perjalanan, lalu lintas begitu padat.
“Duh, kayaknya bentar lagi hujan nih. Gak bawa mantel lagi. Mana macet banget. Bakal
kehujanan nih”, gumamku.
Tik tik tik, hujan mulai turun dan kuputuskan untuk berteduh sejenak di gubuk kecil
yang ada di pinggir jalan. Angin bertiup kencang menyertai hujan yang kini kian menggila.
Pohon-pohon mengguncang dan kabel-kabel listrik mengombak kencang. Tubuhku semakin
lama semakin basah karena angin yang membawa rintik-rintik hujan mengenai tubuhku. Diriku
mulai dilanda kekhawatiran. Aku mendekap tasku dengan erat.
Samar-samar kulihat di kejauhan, ada seseorang yang menduduki kursi roda menuju ke
gubuk ini. Setelah lumayan dekat, aku baru mengenali sosok itu sebagai sosok wanita tua yang
tadi siang mengorek-ngorek makanan di tempat sampah.
Kilat terus menerus menyambar langit. Kulihat kursi roda yang dipakai wanita tua itu
tersangkut sebuah batu yang cukup. Tubuhnya basah kuyup.
“Ya Allah, kasihan sekali dia. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan? Sebenarnya
aku ingin sekali membantunya, tapi aku takut dengan petir-petir yang sedari tadi terus menerus
menyambar, Ya Allah”, pikirku.
Tapi aku teringat kata Ayah, “Sesama muslim, kita harus saling membantu. Karena Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya”.
Tiba-tiba, rasa keberanian melintas dan singgah yang membuatku berani untuk
membantu nenek itu. Aku terus berjalan menerjang angin dan hujan badai yang sampai
sekarang semakin menjadi-jadi. Kuraih kursi roda itu, dan tiba-tiba...
“Kraaak..!! Bumm...!!!”
Ada suara berdebum kencang dari arah belakangku. Saat kutengok, ternyata ada pohon
besar yang tumbang menimpa gubuk kosong di mana aku berteduh tadi. Motorku yang ada di
gubuk itu ikut tertimpa dan ringsek.
Tubuhku gemetaran. Akupun langsung membawa nenek itu ke tempat teduh.
“Terimakasih, Ya Allah. Walaupun motorku ringsek ditimpa pohon besar itu, tapi Kau
telah menyelamatkanku dari bencana itu. Terimakasih karena Kau telah memberikan
pertolongan padaku melalui perantara wanita tua yang siang tadi kuberi sebungkus roti sebagai pengganjal rasa laparnya.” gumamku penuh syukur.
SELESAI
Description: Ekka Bintang Sari, @ekkabintang99, Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #RahmatUntukSemua 2020 - Kategori Umum
|
Title: RASI BINTANG - perfect imperfect
Category: Cerita Pendek
Text:
Fisiotravel
Namaku Hafsah, mahasiswi fisioterapi yang sedang memperjuangkan kelulusannya. Hanya segelintir orang yang langsung mengerti ketika aku memperkenalkan diri sebagai mahasiswi fisioterapi, sebagian besar orang akan mengernyitkan dahi sambil menebak-nebak apa arti dari kata fisioterapi. Memilih fisioterapi sebagai jalur studi bukanlah rencana yang aku siapkan sejak kecil, tiba-tiba saja aku tercebur kemudian basah kuyub.
Sudah tiga bulan aku bekerja sekaligus belajar secara nomaden, berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Awalnya fisiotravel, sebutanku untuk agenda praktek klinik yang akan berlangsung selama sembilan bulan ini akan menjadi proses hidup yang mengerikan. Setiap hari aku harus mempelajari hal baru dengan literatur internasional, tetapi ternyata setelah menjalaninya aku justru jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama di sebuah yayasan anak difabel. Yayasan itu memiliki sekolah luar biasa dari jenjang SD sampai SMA, asrama untuk siswa, dan poli klinik di dalam satu lingkungan. Di mataku tempat itu seperti sebuah kerajaan, memang tidak megah tetapi memiliki banyak keajaiban.
Suara gesekan roda dengan ubin tua di lorong poli terdengar samar namun begitu ku kenal. Seorang anak laki-laki bertubuh kurus dengan kulit pucat duduk di atas kursi roda yang didorong pengasuhnya. Senyumku mengembang sempurna, salah satu kunang-kunangku sudah datang. Namanya Daniyal, usianya sudah 8 tahun tetapi ia baru bisa berguling dan merambat dengan perutnya.
“SUPER DANIYAL!” Aku bersorak seramai mungkin karena Daniyal menyukainya. Ia membuka mulutnya lebar-lebar sambil mengangkat kedua alisnya yang terukir sempurna. Kemudian aku berlutut di hadapannya agar mata kami bisa saling menatap lekat. “Hari ini kita mau main monster-monsteran atau masak-masak?”
“Aaargh!” Daniyal membuka mulutnya lebar-lebar sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Ia sudah menentukan, kami akan bermain monster-monsteran. Aku akan berperan sebagai monster yang menghancurkan kota dan membiarkan super Daniyal melawanku sampai terkapar.
“OKE! Tapi.. kita belajar dulu ya, biar super Daniyal kuat melawan monster!” Aku mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara. Daniyal pun tersenyum sambil berusaha mengangkat tangannya setinggi yang ia bisa. Aku bisa merasakan hatiku tersenyum bangga ketika Daniyal mengangkat tangannya setinggi kepala. Mengangkat tangan memang hal sederhana, tetapi bagi Daniyal itu adalah sebuah gerakan yang mengharuskan ia mengerahkan banyak tenaga.
Bagiku Daniyal dan anak-anak lain di yayasan ini bukan hanya sekedar pasien, mereka adalah teman sekaligus kunang-kunang yang selalu menginspirasiku. Mereka memang seperti kunang-kunang, kecil tapi mampu menerangi gelapnya hidupku. Aku percaya suatu hari nanti setiap kunang-kunang bisa menemukan bintangnya masing-masing, mereka akan menyinari dunia, setidaknya dunia orang-orang yang mencintai mereka. Rasanya aku tidak hanya ingin belajar untuk memberi terapi terbaik, tetapi aku juga rela memberikan waktu, tenaga, dan cinta untuk mereka. Tiga tahun menjalani hidup sebagai mahasiswi di jurusan yang tidak pernah aku cita-citakan adalah hal yang sangat melelahkan, tetapi semenjak menginjakan kaki di yayasan ini aku mulai merasa tercebur ke dunia fisioterapi adalah rencana terindah dari Tuhan untukku.
Tidak hanya di poli, aku juga bertugas di asrama dan SLB. Rasanya aneh saat pertama kali menginjakan kaki di bagian sekolah. Sekolah itu ramai seperti sekolah pada umumnya, tetapi melihat orang berkejar-kejaran dengan menggunakan kursi roda adalah hal yang cukup membuatku mematung terkesima. Suara tawa, teriakan, dan sapa ramah berpadu dengan begitu harmonis, membuatku melebur menjadi partikel-partikel yang meluber kemudian tergulung menjadi satu bersama mereka.
“Habis lulus mau kemana?” Tanyaku kepada Raihan, siswa kelas 12 dengan diagnosis cereberal palsy sejak lahir.
“Ke pondok di Jawa Timur.” Jawab Raihan yang langsung membuatku terharu. Sepertinya saat itu pupil mataku membulat sempurna. Seolah-olah aku dapat merasakan hembusan angin dingin di dalam ruangan kecil yang pengap bagian dari perpustakaan.
“Pondok? Keren banget. Berarti kamu suka ikut kajian ya?” Lagi-lagi bibirku melengkung sempurna.
“Iya, satu minggu dua kali. Naik taksi dari kos sama bapak sama adik, kadang sendiri.” Jelas Raihan meski cara bicaranya sulit dipahami. Raihan adalah salah satu teman sekaligus pasienku di SLB, salah satu kunang-kunang yang membuatku betah berlama-lama mendengarkannya bercerita. Aku suka mendengarkannya, karena dengan begitu aku bisa lebih mengenal dan memahaminya. Pendengaran adalah salah satu indera terbaik yang sayangnya sering tidak dimanfaatkan dengan baik.
Menempatkan mereka sebagai teman membuatku merasa begitu dekat, sering kali mereka membuatku tersadar untuk menjadi hamba Tuhan yang lebih tahu diri. Rasanya malu, seperti ditampar berkali-kali tanpa disentuh. Aku yang diberi anggota tubuh lengkap dan kesehatan yang baik justru sering tidak bersyukur dan kufur.
Di asrama aku tidak lagi dianggap sebagai seorang terapis, anak-anak sudah terlanjur menganggapku sebagai bagian dari mereka. Kami bisa bercanda tanpa ingat kalau aku bertahun-tahun lebih tua dari mereka. Mereka tidak ragu membuatku kewalahan dengan kejahilan mereka. Menggunting kuku, merapikan rambut, membawakan jajanan kesukaan, dan menemani mereka di waktu senggang bukanlah tugas seorang terapis, tetapi aku sangat menyukainya. Bersama mereka aku merasa dua kali lebih hidup, seolah-olah tidak sia-sia nyawaku ditiupkan ke bumi.
“Panas banget ya Ka.” Aku mengipas-ngipaskan tanganku ke muka.
“Kebakar dosa itu mah hahaha!” Naika, salah satu penghuni asrama puteri itu tertawa lepas.
“Enak aja. Eh Ka, itu kipasnya kok enggak gerak? Emang rusak?” Aku memandangi kipas angin tua di kamar asrama puteri.
“Emang enggak gerak dia.” Jawab Naika yang sedang berusaha berpindah dari kursi roda ke tempat tidurnya. “Cacat. Kayak yang make kamar.” Celetuknya sesaat sebelum menyungging senyum masam yang miring ke kiri. Tiba-tiba hening, hanya terdengar suara kipas yang gagal bergerak dan hela napas serta degub jantungku yang tiba-tiba berantakan.
Tidak jarang aku terjebak dalam keadaan yang membingungkan. Aku selalu berusaha menganggap mereka sama denganku, aku mencoba memperlakukan mereka sebiasa mungkin agar mereka tidak merasa tersinggung. Namun sepertinya mereka lebih siap merima kekurangannya, sedangkan aku masih sering menyalahkan keadaan atau pun orang lain atas kekuranganku sendiri. Setiap orang itu unik, mereka memiliki kepribadian dan sudut pandang yang berbeda. Ada milyaran manusia yang menghuni bumi, kita tidak bisa menghadapi setiap orang dengan cara yang sama. Untuk menanggapi jawaban atau keadaan yang serupa dengan ucapan Naika, aku masih harus belajar mengaktifkan semua indera yang aku punya agar tidak salah langkah. Ada yang bilang belajar itu pekerjaan seumur hidup, aku setuju dengan itu.
“Mbak, aku bisa jalan lagi enggak?” Tanya Ehsan. Remaja 15 tahun yang mulai tidak bisa menggerakan kakinya ketika berusia 4 tahun karena kecelakaan.
Pertanyaan itu membungkam semua kelakar di kamar asrama putera. Masing-masing anak memasang ekspresi penasaran, mereka menunggu jawaban dariku. Sesaat aku memperhatikan tungkai Ehsan yang tidak lebih besar dari pergelangan tanganku, kemudian mataku menatap mata bulat Ehsan yang terus menatap lurus ke arahku menunggu jawaban. Duniaku runtuh, bibirku bungkam, aku tidak tahu harus memberi jawaban seperti apa. Menjawab dengan jujur sama saja mematahkan hatinya, menjawab dengan harapan hanya akan membuatnya kecewa suatu hari nanti. Bulir bening meluber dari ujung mataku. Rasanya sesak sekaligus hampa, aku tidak tahu mana yang lebih dominan.
“Jyaaaa! Mbak Hafsah nangis.. cengeng ih! Udah gede juga.” Ehsan tersenyum lebar, aku nyaris bisa melihat anak lidahnya. Telunjuk tangan kanannya mengarah ke arahku yang langsung menyeka air mata.
“Aku enggak nangis, ini kelilipan debu..” Aku cepat-cepat menyunggingkan senyum.
“Klise banget alesannya.” Ucap seorang remaja dengan nada ketus, tetapi bibirnya tersenyum.
“Dih, udah tua nangis. Cemen banget!” Sambung yang lain.
“Dia gede umur aja.. jiwanya masih bocah.” Timpal yang lain lagi.
Ejekan demi ejekan bersahut-sahutan di dalam kamar yang dihuni sepuluh remaja laki-laki spesial. Aku terkekeh, tetapi mataku semakin basah. Kalau bisa, aku ingin selalu membersamai mereka, menjadi yang selalu hadir dan bisa diandalkan. Mungkin aku tidak bisa membuat mereka berlari dengan kaki mengelilingi bumi, tetapi setidaknya aku tidak akan membiarkan mereka merasa sendiri.
Suatu hari aku harus menyimpan impianku untuk bisa mendampingi anak-anak di yayasan. Aku masih harus menjalani fisiotravel di tempat lain. Hari-hari sebelum perpisahan adalah masa-masa yang berat karena aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu dengan mereka atau tidak, karena bukan tidak mungkin aku tidak akan pernah lagi bertemu dengan salah satu kunang-kunangku.
Sebelum pindah ke Surabaya, aku mengikuti seminar workshop yang diisi oleh dosen favoritku. Seminar workshop fisioterapi pediatri itu mengangkat tema NICU dan cereberal palsy. Karena terlambat, aku harus duduk di kursi paling belakang. Tetapi hari itu aku merasa terlambat bukanlah sebuah kegagalan, justru karena terlambat aku bisa duduk bersama beberapa orang yang aku anggap hebat. Di depanku ada Bu Anggraini, pembimbingku di yayasan. Di sampingku ada Omar Al Musthofa, seorang fisioterapis pediatri yang mengabdikan dirinya untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Aku mengagumi Omar Al Musthofa, tetapi sayangnya Omar Al Musthofa tidak mengenalku. Aku hanya duduk di sampingnya, tanpa sapa apalagi bicara. Rasanya ada banyak tanya yang ingin aku lesatkan kepada Omar Al Musthofa, tetapi aku terlalu malu sekaligus takut buka suara. Konsentrasiku terbelah, antara memperhatikan pembicara dan menebak-nebak apakah akan ada kesempatan untuk aku bisa bicara dengan Omar Al Musthofa.
Jarum jam menunjukan pukul empat sore ketika seminar workshop dibubarkan. Bu Anggraini berbincang dengan begitu asyik bersama Omar Al Mustofa yang jauh lebih muda darinya. Aku memberanikan diri berpamitan dengan Bu Anggraini, tetapi saat itu justru mataku beradu tatap dengan mata Omar Al Musthofa, seolah-olah lelaki berkacamata itu baru menyadari kehadiranku. Aku tersenyum dari balik masker kain warna coklat, kemudian pergi cepat-cepat. Tentang Omar Al Musthofa, aku merasa yakin suatu hari nanti bisa bicara lebih dengannya, mungkin membicarakan anak-anak spesial yang sama-sama membuat kami jatuh cinta.
***
Ini bukan kali pertama aku menginjakan kaki di Surabaya. Panas udara Surabaya sudah tidak lagi membuatku kewalahan. Kali ini aku akan bekerja sekaligus belajar di sebuah rumah sakit umum di tengah kota. Setelah setengah hari duduk mendengarkan pengarahan dari diklat, akhirnya aku dan kelima temanku masuk ke poli fisioterapi. Menit-menit pertama kami berkenalan dengan beberapa terapis di poli, setelah itu aku langsung bertemu dengan pasien pertamaku. Anak laki-laki bertubuh tambun berusia delapan tahun yang sudah bisa berjalan tetapi belum bisa berjongkok.
“Siapa namanya ini?” Aku mengganggam tangan anak laki-laki yang masih memakai seragam TK.
“Ha? Ha? Ha?" Anak itu terus mengulangi ucapannya. Bola matanya bergerak-gerak yang dalam bahasa kesehatan disebut dengan nistagmus.
“Aku Kak Hafsah.” Aku meletakan tanganku ke dadaku. “Ini namanya siapa?” Ku sentuhkan tanganku pada dada anak yang memakai kacamata tebal.
“Vin. Devin.” Jawabnya tanpa memasang ekspresi, wajahnya datar tetapi matanya memancarkan cinta.
“Sekarang kita temenan ya?” Aku menarik kedua ujung bibirku ke samping. Tiba-tiba Devin menghambur ke dalam pelukanku, kami saling berpelukan erat dan lekat. Tubuh hangatnya seolah mentransfer energi untukku yang sedang sedikit lelah. Lagi-lagi aku jatuh cinta, saat itu aku langsung yakin kalau aku akan betah menjalani hidup satu bulan di Surabaya.
Omar Al Musthofa mengatakan bahasa anak-anak adalah sentuhan, itu menjadi prinsipku untuk merajut ikatan dengan pasien anak. Saat mereka datang aku akan langsung menyapanya, menghampirinya atau membiarkan ia menghampiriku adalah pilihan yang fleksibel, mengajaknya bicara, mengirim cinta melalui tatapan mata, kemudian aku akan memeluknya, dan membiarkan frekuensi kami menyatu. Dengan begitu tidak butuh waktu lama untuk kami bisa menjadi teman akrab meski usiaku jelas jauh lebih tua dari anak-anak. Di rumah sakit itu aku benar-benar menerapkan prinsip-prinsip Omar Al Musthofa yang ia ceritakan melalui instagram. Tentang dia yang selalu memberikan cinta kepada anak-anak tanpa menuntut biaya, aku sangat mengaguminya. Aku tidak malu mengakui ke teman-teman kalau aku mengagumi Omar Al Musthofa, tapi kalau Omar Al Musthofa tahu aku mengaguminya pastilah aku membeku karena overdosis malu.
Hampir semua pasien anak di rumah sakit akrab denganku. Kalau ada yang menangis pasti aku menjadi sasaran untuk menimang. Meski lelah, tetapi senang rasanya menatap wajah dan merasakan degub jantung malaikat-malaikat kecil yang dikirim Tuhan untuk orang tua spesial. Rasanya aku semakin yakin bisa menjadi fisioterapis sekaligus teman main anak-anak. Untuk menambah wawasan, aku mendaftar program belajar daring dimana Omar Al Musthofa menjadi salah satu pengisi materi.
“Cie.. pejuang Omar Al Musthofa.” Temanku yang bernama Ulfa tahu kalau aku adalah penggemar berat Omar Al Musthofa, ia selalu terseyun jahil setiap aku bersemangat mengukuti kelas daring Omar Al Musthofa.
Aku tidak jadi memasang earphone “Ulfa, ini demi impian aku untuk..”.
“Untuk meningkatkan kualitas hidup ABK bersama Omar Al Musthofa?.” Ulfa memutus kalimatku. “Muka kamu itu merah, kayak tomat buah HAHA.” Ia terbahak-bahak, padahal tidak ada yang lucu.
“Ya siapa tahu bisa jadi rekan kerja.” Aku menyumpal kedua lubang telingaku dengan earphone, sebentar lagi Omar Al Musthofa akan memulai kelasnya.
Aku lebih suka memutar suara Omar Al Musthofa berulangkali dari pada mendengar musik. Setiap mendengar ia bicara, imajinasiku menembus batas, seolah-olah aku sedang berhadapan langsung dengannya. Sesekali aku tersenyum tanpa sadar ketika membayangkan bisa berkolaborasi dengan Omar Al Musthofa di dunia anak-anak.
***
Sang Pencari Impian
Aku mengambil sebuah album foto yang terselip di antara buku-buku di kamarku. Menikmati satu per satu halaman lengkap dengan kenangan sewaktu kuliah. Teman-teman seperjuanganku sudah berpencar, kami bukan lagi mahasiswa yang duduk bersama di dalam ruang kelas. Aku dengar salah satu temanku terbang ke Jepang untuk meneruskan pendidikannya dengan beasiswa, sebagian besar teman yang lain sudah menemukan tempat untuk mengembangkan diri degan caranya masing-masing."
"Terima saja lamaran anaknya pakde Somat yang dokter itu. Katanya dia mau lanjut kuliah di Jerman, nanti kamu ikut ke sana." Ucap ibu yang sedang mengerjakan sesuatu dengan laptopnya.
Aku menghela napas. "Bu, nikah kan harus punya visi misi yang sama.. visi misi aku enggak cocok sama mas Amar. Lagian aku belum siap jadi istri." Ku tutup album foto yang belum habis ku kenang kembali.
“Ya kalau gitu daftar S2 aja, terus jadi dosen.” Ibu kembali berusaha membujukku mengambil program studi magister.
“Buk, aku enggak mau terjun ke dunia akademisi. Aku pengin jadi praktisi aja.” Jawabku setelah menelan sepotong nastar sisa lebaran.
“Tapi mana? Kamu belum masukin satu pun lamaran kerja.” Ucap ibu sambil membetulkan kacamatanya yang turun.
“Aku belum siap buk, aku merasa masih perlu belajar. Aku ikut kelas online terus lho buk.” Aku meringis.
“Makanya, mumpung ibu sama bapak masih bisa bayar kuliah.. daftar S2 biar jelas belajarnya.. jelas juga hasilnya.” Ibu tidak pernah menyerah. Aku tahu ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk anak sulungnya, hanya saja aku memiliki tujuan lain.
Hari setelah wisuda adalah hari-hari penuh kebimbangan. Berkali-kali aku memeriksa penerimaan mahasiswa baru program magister, tetapi aku tidak pernah merasa yakin untuk mendaftarkan diri. Aku belum mau melanjutkan studi formal, tetapi rasanya juga belum siap bekerja. Kembali ke yayasan pun tidak akan membuatku banyak bermanfaat, sedangkan aku ingin menjadi manusia yang bermanfaat. Aku masih ingin berburu ilmu dengan leluasa, seperti burung gereja yang meluncur ke ngarai kemudian melesat ke bukit, bertengger di dahan pohon kemudian berburu padi di persawahan. Berdiam diri di rumah tanpa berbuat apa-apa pun membuat banyak orang bertanya-tanya mengapa sarjana tidak bekerja. Hingga akhirnya aku memilih pergi ke luar kota, memenuhi undangan yang sepertinya akan menyudahi kehidupan paska wisudaku yang tidak jelas mau aku apakan.
Stasiun adalah salah satu tempat favoritku. Sudah setengah jam aku duduk di kursi tunggu. Bukan keretaku yang datang terlalu cepat atau karena jemputan yang lambat. Aku suka melihat kereta yang datang dan pergi, juga memperhatikan ribuan manusia yang hilir mudik, ada yang mencumbu temu dan ada yang menyumpahi pisah. Stasiun bukan hanya penuh sesak dengan penumpang, tetapi juga perasaan campur aduk yang membuat batin teraduk-aduk.
“Hafsah!” Seorang perempuan melambai dari dalam kerumunan. Dia Rena, teman yang mengundangku ke kotanya. “Udah dari tadi?” Tanya Rena setelah kami bertemu.
Aku menggeleng, “Sendirian?”.
“Iyalah, mau cari siapa kamu?” Rena terkekeh. “Yuk, udah ditunggu.” Rena langsung menarik pergelangan tanganku.
“Ditunggu siapa?” Aku menahan kakiku. Dahiku mengernyit, kalau tidak salah hari ini aku tidak punya janji dengan siapa pun selain Rena.
“Udah ayok, nurut aja jadi tamu tuh hehe.” Rena terkekeh kemudian kembali menarik pergelangan tanganku seperti ibu yang takut kehilangan anak balitanya.
Aku dan Rena meninggalkan stasiun yang masih ramai. Aku yang biasanya memegang kemudi motor, kali ini menjadi penumpang ojek Rena. Kata Rena tempat tujuan kami cukup jauh dari stasiun, jaraknya lebih dari tiga puluh kilometer. Kami menembus jalanan aspal yang tidak besar tetapi ramai, masih banyak mikrolet warna-warni yang tidak pernah lagi aku lihat di kotaku.
Setelah sekitar lima puluh menit berkendara, Rena memarkirkan motornya di sebelah gedung puskesmas. Gedung puskesmas itu cukup besar, sedikit lebih besar dari puskesmas yang ada di dekat rumahku. Kami sampai sesaat sebelum jam istirahat selesai. Rena membawaku masuk menyusuri koridor ruang tunggu. Masih ada beberapa orang dewasa yang sepertinya datang bersama anak mereka.
“Fahmi.. udah makan belum?” Rena berjongkok di hadapan seorang anak down syndrome berusia sekitar 5 tahun yang sedang bergelayut manja di tungkai ayahnya yang sedang duduk di kursi tunggu. Anak bernama Fahmi itu mengangguk sambil menyunggingkan senyum yang memesona. “Eh ini ada mbak Hafsah, kenalan dulu coba..”
Aku besimpuh di lantai, kini Fahmi tidak perlu mendongak untuk melihatku “Fahmi ganteng banget.”.
“Aaah. Hihihi!” Tiba-tiba Fahmi meraih tanganku, mencium punggung tanganku, kemudian tersenyum lebar sampai deretan giginya bisa aku lihat. Dadaku menghangat, rasanya aku kembali jatuh cinta.
“Aaa! Fahmi genit! Hahaha.” Rena mengusap rambut tipis Fahmi. “Mbak Rena masuk dulu ya.. bentar lagi Fahmi masuk to..” Rena pun bangkit sampai-sampai Fahmi harus mendongak untuk menatapnya. “Dahdah Fahmi.. dahdah Jiel.. dahdah Nena!” Rena melambaikan tangan ke arah anak-anak yang ada di ruang tunggu.
Aku berjalan mengekori Rena masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup luas. Meski baru pertama kali masuk ke ruangan itu, tetapi aku sudah sangat familiar dengan matras, mainan, bola, tangga, cermin, paralel bar, papan-papan, dan guling-gulingan yang semuanya warna-warni. Senyumku mengembang tanpa aku sadari. Setelah membersihkan diri, Rena pun mempersilahkan Fahmi, Jiel, dan Nena masuk ke dalam ruangan bersama kami.
“Aduh si babe kemana lagi? Udah jam segini belum dateng.” Gerutu Rena.
“Babe siapa?” Aku yang sedang memangku Fahmi menoleh ke arah Rena yang sedang menuntun Jiel masuk. Anak berusia sepuluh tahun itu sudah mulai bisa berjalan, tetapi masih belum seimbang.
“Ini babenya anak-anak.” Rena memeriksa ke luar jendela. “Aduh Nena, ini si babe belum dateng.” Ucap Rena kepada Nena, anak perempuan yang sedang digendong ayahnya. Dahiku berkerut, aku tidak mengerti kenapa Rena mencari seorang babe yang berarti bapak, sedangkan ketiga pasien sudah bersama orang tuanya masing-masing.
“Aah! Babeh! Uuu.” Tiba-tiba Fahmi berteriak ke arah pintu.
“Fahmi!” Seru seorang laki-laki yang sedikit berlari ke arah kami. Fahmi bangkit dari pangkuanku dan langsung menghambur ke pelukannya. “Jagoan babe ini.” Laki-laki itu mengangkat tubuh Fahmi ke udara, kemudian balita itu mendarat ke dalam dekapannya. “Mana bolanya? Fahmi suka bola kan?” Matanya menyapu setiap sudut ruangan.
“Ola tuuu.” Si kecil Fahmi menunjuk ke arah sampingku, ternyata bola yang ia cari ada di sebelahku.
Tiba-tiba aku mematung, seolah-olah aliran darahku berhenti mengalir. Aku hampir tidak percaya yang mata dan telingaku sendiri. Laki-laki itu melempar tatapan menyelidik ke arahku. “Fahmi dateng sama siapa ini? Sama tante?” Tanyanya kepada Fahmi yang tidak menjawab pertanyaannya.
“Mas, ini Hafsah. Temenku yang aku ceritain ke mas Omar waktu itu, yang mau belajar bareng kita.” Kata Rena. Belajar bareng? Bahkan aku tidak tahu kalau rekan kerja hebat yang Rena ceritakan itu adalah Omar Al Musthofa, orang yang sudah menginspirasiku sejak tiga tahun yang lalu. Tiba-tiba aku merasa telingaku mengeluarkan uap hangat, tetapi jemari tangan dan kakiku kedinginan.
“Oh temennya Rena. Maaf, saya kira tantenya Fahmi hehe.” Omar Al Musthofa terkekeh tanpa canggung. “Capek dong baru dateng dari Jogja?” Ia bertanya tanpa berhenti memajang senyum, benar-benar tipe manusia yang mudah bergaul dengan orang baru.
Aku menggeleng, “Enggak.”.
“Masa enggak capek, jauh lho perjalanannya. Dari stasiun ke sini aja hampir satu jam.” Omar Al Musthofa mengernyitkan dahinya.
“Ya tadinya capek sih, tapi kalau udah ketemu anak-anak langsung hilang capeknya.” Aku meringis sesaat sebelum akhirnya menutup mulut rapat-rapat karena tidak mau terlihat seperti keledai di hadapan Omar Al Musthofa.
Sorot mata Omar Al Musthofa yang semula antusias tiba-tiba meredup, senyum lebarnya lenyap. Aku menelan ludah, apa aku baru saja melakukan sesuatu yang salah? Aku melirik ke arah Rena, tetapi Rena sibuk dengan Jiel. Perlahan-lahan bibir Omar Al Musthofa membentuk lengkung tipis yang manis.
Setelah jam kerja selesai, Omar Al Musthofa mengajak aku dan Rena makan di sebuah warteg yang tidak jauh dari puskesmas. Rasanya aneh, aku yang biasanya hanya melihat Omar Al Musthofa di media sosial sekarang bisa berbincang di meja makan warteg. Cara bicara Omar Al Musthofa tidak berbeda dengan ketika ia menyampaikan materi saat kelas daring, lugas dan sering bercanda.
"Kenapa kamu enggak daftar kerja aja?" Tanya mas Omar yang aku rasa tertuju kepadaku.
"Belum berani mas, masih pengin belajar. Aku pengin hunting ilmu banyak-banyak, biar bisa memberi yang terbaik untuk pasien. Tapi aku enggak mau lanjut kuliah dulu, makanya aku ke sini. Rena bilang seniornya di puskesmas orang hebat, jadi aku tertarik untuk nyuri ilmunya. Ternyata mas Omar." Jelasku. Pria berkulit cerah itu pun terkekeh, sedangkan Rena meringis. “Kenapa mas Omar memilih untuk jadi terapis anak?” Tanyaku, pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku yang baru saja menelan sesuap nasi dan rica-rica ayam.
“Memangnya kenapa?” Manusia yang kini aku panggil dengan sebutan mas Omar menghentikan aktivitas mengunyahnya.
“Biasanya laki-laki lebih suka ambil sport, neuro, atau muskulo.” Aku menjelaskan.
“Mungkin kita bisa memilih apa yang akan kita jalani, tapi kita enggak bisa milih apa yang bisa membuat kita jatuh cinta. Saya jatuh cinta sama dunia anak-anak. Setiap melihat peningkatan perkembangan mereka rasanya saya dua kali lebih hidup. Mereka bukan hanya bintang untuk orang tuanya, tapi bintang saya juga. Mereka menerangi hidup saya.” Jawab mas Omar yang tidak gagal membuatku terkesima. Jantungku berdetar sampai bulu kudukku merinding. Ternyata anak-anak spesial itu sama berartinya untukku dan mas Omar, mereka adalah cahaya. “Saya sadar, hidup ini adalah pemberian. Saya bersyukur dikasih kemudahan bernapas dan tubuh yang sehat, saya memilih mensyukuri hidup dengan cara kembali memberi, saya ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak spesial. Kalau dikasih kesempatan, saya pengin buat sekolah alam untuk anak-anak spesial. Tapi susah, butuh banyak biaya.” Lanjutnya. Mataku berpaling ke arah nasi dan rica-rica ayam. Rasanya tidak adil, banyak niat baik yang terhalang dana, sedangkan di luar sana banyak rupiah melayang bebas untuk foya-foya. “Kalau Hafsah, kenapa mau mendalami fisioterapi anak?” Mas Omar meletakan sendoknya dan memasang ekspresi menunggu jawaban.
“Waktu aku praktek di rumah sakit bareng Hafsah ini mas, enggak ada satu pasien anak yang enggak deket sama Hafsah. Dia juga udah kayak ibunya anak-anak di yayasannya Bu Anggraini, hampir semua anak di sana dia kenal banget. Bahkan ada yang enggak mau terapi kalau enggak sama Hafsah. Heran juga aku dia itu pakai susuk apa buat nyuri hati anak-anak haha.” Rena terbahak-bahak dan tiba-tiba menyenggolkan bahunya dengan bahuku.
“Enak aja.” Aku menggerutu. Sekilas aku melihat Mas Omar kembali memberi tatapan menyelidik ke arahku. Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan, tapi aku takut ia berpikir hal yang tidak baik tentang aku.
***
Sudah dua minggu aku menjadi pengekor Rena dan mas Omar. Berada bersama mereka rasanya seperti fisiotravel, aku bekerja sekaligus belajar tapi tidak dibayar dengan uang, melainkan dengan ilmu dan rasa bahagia. Hari Senin sampai Jumat kami bertemu di puskesmas, hari Sabtu sesi belajar bersama, dan hari Minggu adalah hari bebas.
“Pinter banget Fahmi.” Tanganku mengusap rambut tipis Fahmi. “Nanti di rumah makan yang banyak ya biar makin kuat.” Aku menekuk siku, mencoba memamerkan otot yang ternyata biasa saja.
“Salim dulu sama mbak Hafsah, mbak Rena, sama babe.” Ucap ayah Fahmi yang langsung dipatuhi anak bungsunya. Fahmi menyalami aku, Rena, dan mas Omar bergantian tanpa lupa memasang senyum terbaik yang selalu berhasil membuatku jatuh hati.
“Dahdah!” Si kecil Fahmi melambaikan tangannya, senyumnya mengembang sempurna.
“DAHDAH FAHMI! GO! FAHMI GO! FAHMI GO!” Aku, Rena, dan mas Omar ikut melambaikan tangan sambil berseru seheboh-hebohnya. Fahmi terkikik kemudian berlari menyusul ayahnya yang sudah meninggalkan ruangan. Aku merasa Fahmi sedikit mirip dengan Daniyal, sama-sama suka jika orang lain bersemangat saat bermain bersamanya.
“Fahmi ini udah bisa jalan, tapi dia belum bisa memahami tinggi–rendah, besar–kecil, tinggi-pendek. Dia bisa lari, tapi kalau lagi jalan terus ada ketinggian permukaan yang berbeda dia bisa bingung. Jadi kita latih biar dia bisa mengenali itu.” Kata mas Omar setelah semua pasien meninggalkan ruangan. Dahiku mengkerut, berusaha mencari teknik yang bisa dilakukan untuk melatih Fahmi. “Mikir teknik?” Tebak mas Omar sambil tersenyum masam. Alisku reflek terangkat. “Jangan hanya mikir teknik, pikir apa komponen yang dia butuhkan dan cara mengembangkannya. Ingat, Fahmi punya ASD dan VSD. Dan kita enggak hanya melihat kondisi si anak, tetapi juga keluarga dan lingkungannya. Orang tuanya itu petani yang punya empat anak. Untuk sampai ke sini, Fahmi dan orang tuanya harus jalan kaki dua kilo meter terus naik angkutan. Jangan sampai kita mengecewakan mereka hanya karena kita males mikir dan belajar.”.
Mas Omar memaparkan kasus Fahmi. Ia mengeluarkan semua literatur ilmiah yang ada di dalam kepalanya, tetapi tidak lupa melibatkan hati nurani. Aku mengangguk mengerti. Entah mengapa aku selalu sependapat dengan pola pikir pria yang berusia lima tahun lebih tua dariku itu. Sebelumnya aku tidak suka mendalami jurnal karena dulu bagiku jurnal itu membosankan, tetapi semenjak mengenal mas Omar aku mulai memahami pentingnya literatur ilmiah. Bila di kelas aku seperti diorama di atas dasboard mobil yang hanya mengangguk-anggukan kepala saat dosen menyampaikan materi, kali ini justru otak dan lisanku tidak bosan bekerja. Aku selalu punya banyak pertanyaan yang menuntut jawaban. Bersama Rena dan mas Omar, hampir setiap pertanyaanku menemukan jawaban.
“Mas.” Aku menghampiri mas Omar yang sedang mengemasi barang-barangnya sebelum pulang. Mas Omar menoleh, alisnya terangkat seperti memberi isyarat menanyakan keperluanku. “Tentang sekolah alam itu.. bisa enggak kita wujudin bareng-bareng?” Tanyaku yang langsung menggigit bibir bawahku sendiri. Mas Omar menghentikan kegiatan berkemasnya kemudian mengamatiku yang mematung di sampingnya. “Bukannya niat baik harus segera diwujudkan?” Alisku sedikit terangkat.
“Kita bukan Bandung Bondowoso yang bisa ngebangun seribu candi gitu aja. Butuh banyak modal Hafsah.” Kata mas Omar yang sekarang mulai mengemasi buku-bukunya.
“Kita emang bukan Bandung Bondowoso dan kita enggak mau bangun seribu candi, tapi satu sekolah alam untuk anak-anak.” Kataku. Mas Omar kembali menoleh ke arahku. “Semua niat baik pasti akan dipermudah, yang penting kita usaha dulu. Kita bisa cari sponsor, donatur, dan kita bisa kerja lebih keras lagi.” Aku menarik napas dalam. “Sebuah impian mungkin terlalu besar untuk diraih sendirian, tetapi impian yang dilesatkan bersama-sama akan lebih mungkin menjadi nyata.”.
“Kenapa kamu pengin banget wujudin sekolah alam itu?”.
Aku menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, mataku memandangi mainan-mainan yang bertumpuk di keranjang. “Mereka itu kunang-kunang untuk aku, dunia menganggap mereka kecil tapi kehadiran mereka membuat gelapnya hidupku menjadi lebih terang. Aku pengin bisa memberi yang terbaik untuk mereka. Seperti mereka yang membuat aku merasa dua kali lebih hidup, aku pengin mereka punya kesempatan yang sama untuk bisa merasakan hidup yang lebih hidup.” Aku mengangakat wajah, memandangi mas Omar yang juga sedang memandangiku. “Aku ingin setiap kunang-kunang bisa menemukan bintangnya, setidaknya untuk diri mereka sendiri.”.
Mas Omar diam, aku pun diam. Ruangan yang biasanya ramai dengan suara anak-anak, terapis, dan orang tua, tiba-tiba hening. Mas Omar masih menatapku lekat-lekat, sinar matanya memancarkan harapan sekaligus keraguan. Aku tidak tahu mana yang lebih dominan. Beberapa detik kemudian bibir laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun itu pun membentuk senyum tipis yang magis, senyum yang membuatku ikut tersenyum karena aku tahu ia sedang berusaha memberanikan dirinya sendiri untuk mewujudkan impiannya.
***
Berdirinya Rasi Bintang
Aku hampir tidak percaya, lima bulan setelah penggalangan dana untuk sekolah alam dibuka, dana yang masuk sudah lebih dari cukup untuk membeli lahan, tetapi kami masih membuka donasi untuk pembangunan sekolah. Aku, Rena, dan mas Omar juga bekerja lebih keras untuk menambah pemasukan. Mas Omar semakin sering membuka kelas daring berbayar, Rena membuka layanan home visit, sedangkan aku bekerja paruh waktu di sebuah toko roti. Menjadi sarjana kesehatan yang bekerja di sebuah toko roti adalah sebuah pilihan yang tidak sulit bagiku, aku menikmati pekerjaanku lengkap dengan aroma roti yang baru keluar dari oven. Setiap rupiah yang datang adalah harapan untuk kami, sedangkan senyum anak-anak adalah semangat kami. Aku bisa melihat perubahan tubuh Rena yang semula berisi kini mulai sedikit kurus karena terlalu sibuk bekerja, mas Omar yang biasanya terlihat segar sekarang mulai memiliki kantung mata karena jam-jam istrahatnya dipakai untuk belajar dan mengisi materi di kelas daringnya.
Enam bulan setelah memutuskan untuk mewujudkan sekolah alam, kami berhasil membeli lahan yang cukup luas dengan harga yang bisa dibilang murah. Lokasinya memang tidak strategis, tetapi suasana yang asri dan jauh dari keramaian sangat ideal untuk dijadikan pondasi impian kami. Selanjutnya kami mulai menyiapkan pembangunan sekolah, mulai dari desain yang ramah difabel sampai menyeleksi bahan-bahan bangunan terbaik dengan harga yang tetap terjangkau. Gambar rancangan bangunan joglo yang kami lukis dengan cat akrilik terpajang di ruang tamu rumah sederhana mas Omar yang sudah menjadi basecamp kami semenjak kami memutuskan untuk membangun impian yang sama.
“Aneh ya, dulu saya mengira saya gila karena bermimpi membangun sekolah alam untuk anak-anak spesial. Saya itu bukan orang kaya dan penghasilan hanya pas-pasan. Sekarang rasanya impian yang semula terlalu tinggi itu kini terasa dekat.” Ucap mas Omar ketika kami duduk di lantai ruang tamu sambil memandangi lukisan joglo yang terpajang di dinding.
“Kalau Hafsah enggak berani nekat, mungkin jam-jam pulang kerja kayak gini kita bisa enak-enak tidur, tapi enggak punya tujuan sejelas ini. Ngambang.” Kata Rena. Aku tersenyum. “Eh, sekolah ini nanti namanya apa?” Rena menoleh ke arahku dan mas Omar bergantian.
Mas Omar mengernyitkan dahinya, seperti sedang berpikir keras. “Teman Main Bintang?” Usulnya. Giliran dahiku dan dahi Rena yang merngkerut. “Rumah Bintang?”.
Aku memejamkan mata, ingatanku melemparku menemui anak-anak yang terlanjur membuatku jatuh cinta. “Rasi Bintang.” Aku menoleh ke arah mas Omar dan Rena.
“Rasi Bintang?” Mas Omar memasang tatapan menyelidik.
“Iya. Semoga sekolah itu bisa membantu kunang-kunang menemukan bintangnya. Rasi tidak hanya dibentuk oleh satu bintang, semoga banyak anak-anak yang bisa belajar bareng kita. Rasi bintang memberi petunjuk arah kepada nelayan untuk melaut ataupun pulang, semoga kita bisa melakukan yang terbaik untuk membersamai perkembangan mereka.” Aku menghela napas. Mas Omar dan Rena mengangguk perlahan, kemudian senyum mengembang di bibir kami secara bersamaan.
Pembangunan sekolah dimulai pada bulan ke 8. Sebuah joglo dua lantai mulai dibangun di atas bakal kolam ikan, nantinya juga akan dibuat sebuah kolam renang sederhana. Lantai dasar joglo akan menjadi kelas, sedangkan lantai dua akan digunakan sebagai ruang pengasuh dan ruang penyimpanan barang. Aku, Rena, dan mas Omar tidak hanya mengumpulkan dana, tetapi setiap hari Sabtu dan Minggu kami turut terjun langsung dalam proses pembangunan bersama para pekerja. Aku yang tidak memiliki pengetauan apapun tentang ilmu bangunan, tiba-tiba ikut menggali tanah, menyusun kayu-kayu joglo, mengaduk semen, dan memindahkan batu-batu. Otot kaki dan tanganku mulai memadat, wajah Rena yang semula putih mulus sekarang mulai berjerawat karena sering terpapar debu dan terlalu lelah untuk merawat dirinya sendiri, sedangkan rambut mas Omar yang semula hitam legam kini mulai memerah karena terbakar matahari.
Gubrak
"AH!" Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh disusul teriakan dan erangan dari arah bangunan kerangka joglo. Semua orang yang ada di lahan bergegas memeriksa sumber suara.
"Ya ampun mas, ada yang sakit?" Tanya seorang pekerja dengan suara yang cukup keras.
Aku mendekat, "Ada apa pak?". Mataku terbelalak ketika mendapati mas Omar tergeletak di tanah sambil memegangi pergelangan kaki kanannya. "Mas Omar..".
"Itu tadi tangganya jatuh waktu mas Omar turun." Jelas si pekerja yang masih berada di atas atap joglo untuk memasang genting.
Mas Omar meringis kesakitan, sedangkan aku tidak tahu harus berbuat apa. "Nggak apa-apa, paling cuma strain." Katanya yang masih merintih kesakitan.
"Hati-hatilah mas, udah ayo berdiri dulu." Rena berusaha membantu mas Omar bangkit.
"Aaah." Mas Omar merintih. Meski kesakitan, pria itu masih berusaha tersenyum. Sedangkan aku yang mendengar rintihannya saja sudah terbawa nyeri dada.
Mas Omar pun didudukan di bawah pohon. Rena begitu gesit memberi pertolongan pertama, sedangkan aku dan para pekerja hanya menjadi penonton yang nyaris tidak bersuara. Es batu yang akan dicampur dengan es teh untuk pendamping makan siang terpaksa dikorbankan untuk memberikan pertolongan pertama pada kaki mas Omar.
"Aku ada taping.." Kataku yang baru ingat kalau aku selalu membawa taping di dalam tas.
"Mantab, siaga banget. Dipakein taping ya mas?" Rena menawarkan. Mas Omar menggangguk, raut wajahnya gagal berpura-pura baik-baik saja. "Kamu yang pasang ya, aku enggak ahli taping." Rena menatapku.
Aku mengeluarkan segulung taping dari dalam tas. Setelah beberapa bulan mendekam di dalam tas, akhirnya taping souvernir seminar dan workshop itu menjadi berguna. Setelah membentuk taping menjadi pola kipas, perlahan aku mulai memasangnya pada pergelangan kaki mas Omar. Rasanya aneh, gerogi karena memberi intervensi kepada seorang fisioterapis ahli bercampur dengan rasa senang karena aku bisa membantu idolaku.
"Gimana, masih sakit?" Tanyaku setelah selesai memasang taping. Alisku naik ke atas, khawatir pemasangan tapingku tidak mempengaruhi apa-apa.
"Masihlah, tapi udah mendingan. Dalam perjuangan, luka itu wajar. Luka ditambah luka ditambah luka lagi, jadinya berkembang." Kata mas Omar. Aku diam terkesima dengan kalimat yang baru saja aku dengar.
"Ah, berkembang apanya? Babak belur itu.." Ucap Rena yang tanpa sadar langsung mengayunkan tangan ke arah kaki mas Omar.
"AAHH! RENA!".
Pembangunan sekolah sudah berjalan tiga minggu. Setiap bangunan di lahan sudah terlihat bentuknya. Jam istirahat siang adalah waktu yang menyenangkan. Aku, Rena, mas Omar, dan para pekerja duduk bersama menikmati makan siang dan bercengkrama sambil memandangi lingkungan sekitar. Rasanya mengharukan ketika melihat lukisan joglo di ruang tamu mas Omar perlahan mulai menjadi nyata.
“Di situ bagusnya dikasih tangga atau enggak ya?” Rena menunjuk ke bagian depan joglo.
“Kasih tangga tapi juga dikasih tanjakan yang lurus. Anak kayak Fahmi butuh mengenali tangga. Sedangkan tanjakannya untuk kursi roda.” Jelas mas Omar dengan senyum penuh harapan. Rena mengangguk.
Tiba-tiba ponselku bergetar, tertulis sebuah nama seseorang yang sudah terlalu lama tidak aku temui. “MBAAAK!” Seru seorang remaja laki-laki dengan nada pura-pura kesal.
“Hai Ehsan! Ada Naika juga! Apa kabar kalian?” Senyumku mengembang sempurna, lelahku hilang karena rasanya tenagaku langsung terisi ulang.
“Bosen! laper! pengin jajan! haha!” Ucap Naika.
“Ga baik-baik aja! Aku kangen tahu, kapan mbak ke yayasan?” Tanya Ehsan.
“Belum tahu, lagi ada banyak kerjaan. Semoga kita bisa cepet ketemu ya, aku juga udah kangen banget. Eh, lihat ni, aku lagi jadi kuli haha, lagi bikin sekolah. Suatu hari nanti kalian harus main ke sini ya.” Aku memutar kameraku, memperlihatkan suasana sekolah alam yang setengah jadi sambil beradu celoteh dengan anak-anak di balik telepon. Ada yang bilang cinta adalah kekuatan. Sepertinya memang benar, jika aku tidak pernah jatuh cinta kepada anak-anak spesial itu mungkin aku tidak akan menghabiskan waktu dan tenaga untuk mewujudkan sekolah alam, impian mas Omar yang menjadi impianku.
***
Dua bulan setelah pembangunan dimulai, kini sekolah alam Rasi Bintang sudah berdiri dengan sangat memesona. Nuansa hijau dedaunan, kayu-kayu coklat, dan kemericik air kolam membuat siapa saja betah berlama-lama tinggal di tempat itu. Ada taman bermain yang bisa dimainkan anak-anak difabel, jalur guiding block untuk penyandang tuna netra, kandang kambing kecil, lahan kecil untuk berkebun, rumah burung merpati, permainan warna-warni, dapur, kolam, dan joglo yang cukup luas lengkap dengan peralatan belajar mengajar.
Peresmian sekolah alam Rasi Bintang yang bertema pesta kebun sederhana dihadiri cukup banyak orang yang semuanya memasang ekspresi wajah antusias. Ada pejabat daerah, rekan tenaga kesehatan, dan beberapa pasien anak di puskesmas bersama orang tuanya. Sudah lima belas menit mas Omar berdiri di depan cermin, ia terus saja mengulang-ulang pidato yang baru ia susun tadi malam. Ponselnya berbunyi, mas Omar langsung mengangkat panggilan masuk itu dan menyapa orang di balik telepon dengan senyum lebar yang bisa aku lihat melalui cermin. Tiba-tiba senyumnya lenyap, matanya membulat, air wajahnya keruh seketika. Mas Omar menurunkan ponselnya, ia menunduk beberapa saat kemudian berjalan ke arahku yang dari tadi berdiri di dekat pintu.
“Mas Omar kenapa?” Tanyaku.
Jakun mas Omar bergerak naik-turun, ia baru saja menelan ludah. “Tamunya udah datang semua?” Tanyanya dengan tatapan lurus, entah sedang memandang apa.
“Belum semua sih mas, kurang..”
“Kita mulai sekarang ya, biar acaranya cepat selesai.” Ucapnya memotong kalimatku, kemudian berjalan menuju tempat peresmian di depan joglo. Di antara kami bertiga, mas Omar yang paling bersemangat menyiapkan acara peresmian, tetapi entah mengapa ia tidak terlihat bahagia.
Semua tamu undangan yang sudah hadir memasang senyum manis yang menularkan rasa bahagia kepadaku, ini adalah hari yang besar. Tinggal selangkah lagi impian kami menjadi nyata. Aku dan Rena berdiri di belakang mas Omar yang akan memulai pidatonya. Namun, rasanya ada yang salah, batinku tidak bisa menolak perasaan aneh yang mengusikku.
“Terima kasih atas kehadiran bapak, ibu, teman sejawat, dan adik-adik di acara peresmian sekolah alam Rasi Bintang ini.” Mas Omar memulai pidatonya. “Sekolah ini adalah impian terbesar saya, saya bercita-cita membangun sekolah alam untuk anak-anak difabel karena saya ingin anak-anak tercinta kita ini bisa mendapatkan tambahan pendidikan yang berbeda dengan sekolah formal. Saya sangat bahagia dan bersemangat ketika kemudian impian itu diwujudkan oleh Hafsah, Rena, dan semua yang telah membantu dana maupun tenaga dalam pembangunan sekolah ini. Saya harap sekolah alam Rasi Bintang bisa memberi manfaat untuk kita semua.” Mas Omar menarik napas kemudian menggunting pita yang membentang di antara pintu joglo. Ramai tepuk tangan dan sorak sorai kebahagiaan memancar ke udara. Semua orang terlihat bahagia, kecuali mas Omar. “Selanjutnya saya ingin menyampaikan sebuah berita yang baru saja saya dapat.” Ia menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan seperti sedang berusaha mengatur emosinya. “Inna lillahi wa innailaihi rajiun.” Ucap mas Omar melenyapkan senyum sumringah semua orang yang ada di sekitarnya. “Anak kita, adik kita, sahabat kita tercinta. Fahmi Fajar Rinaldi, telah berpulang ke surga hari ini jam setengah delapan pagi di rumah sakit karena kelainan jantungnya.” Lanjutnya dengan berat hati.
Mataku terbelalak, tanganku reflek menutupi mulutku yang ternganga. Peresmian sekolah ini membuatku terbang menembus langit, tetapi berita yang baru saja aku dengar melemparku tanpa ampun ke bumi. Aku remuk. Air mata tumpah tanpa perlawanan. Senyum lebar Fahmi dengan mata yang menyipit menggantung di bulu mataku, si kecil berlari dengan slow motion dalam ingatanku. Kaki-kakiku mendadak kehilangan seluruh dayanya, aku jatuh terduduk kepayahan.
“Mas, ini bukan waktunya bercanda. Bercandanya mas enggak lucu!” Rena menarik bahu mas Omar hingga pria itu berbalik badan ke arah kami.
Mas Omar menggeleng, matanya sudah basah tetapi ia tak ingin terlihat lemah. “Itu faktanya Ren. Saya tidak mungkin menjadikan kematian sebagai candaan, apalagi ini Fahmi, bintang saya. Ada yang bilang senang dan sedih itu sepaket, saya percaya itu, tapi saya baru tahu senang bisa berubah menjadi sedih dalam satu detik.” Ucap mas Omar. Ia memandang ke arah tamu undangan yang berbisik satu sama lain. “Saya memohon maaf kalau acara ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Mari bersama-sama kita mengirimkan doa terbaik untuk Fahmi.” Ucap mas Omar. Semua orang mengamit doa, sebagian kecil terisak. “Aamiin.” Gumam mas Omar diikuti yang lain. “Maaf, saya harus pergi sekarang.” Pamitnya yang langsung beranjak meninggalkan aku dan Rena begitu saja.
Rena memelukku, ia berusaha mentransfer energinya untukku, tetapi ia lupa kalau ia pun bisa patah. Kami berpelukan, mencoba saling menguatkan. Beberapa tamu undangan menghampiri kami, mereka mengucapkan bela sungkawa sekaligus kata pamit. Satu per satu meninggalkan sekolah, sampai akhirnya hanya ada aku dan Rena. Hidangan di atas meja dibiarkan tak tersentuh. Ikan di kolam berenang tanpa beban, merpati melopat dari satu dahan ke dahan yang lain. Bumi tetap berputar meski aku merasa duniaku buyar.
Acara peresmian berubah menjadi pemakaman. Tangis mengiringi tubuh kecil Fahmi yang sedang diturunkan ke liang lahat. Sedikit demi sedikit tanah merah menjauhkanku dari malaikat kecil yang mengepakan sayapnya menuju surga. Aku tak akan pernah lagi bisa menggenggam tangan halus dan jemari mungilnya. Kematian mereka yang memiliki cinta kita adalah patah hati paling mengerikan.
***
Impian Bersama
Hari Sabtu pagi di awal Januari, mataku terpejam dan kakiku melangkah di atas guiding block. Semilir angin menerpa kulit wajahku. Sesuatu di balik dadaku menghangat, bibirku tertarik ke samping melahirkan senyum simpul yang tak bisa ku lihat. Perlahan aku membuka mata, mengamati laki-laki yang berlutut setengah berjongkok di tepi kolam. Ikan-ikan kecil berkerumun, berebut makanan yang ia tebar.
“Enggak nyangka ya kita udah sampai di titik ini, sebelumnya aku selalu pesimis impianku bisa terwujud.” Ucapku sambil memeluk diri sendiri.
“Belum selesai..” Kata mas Omar. “Sekolah ini adalah anak tangga pertama, masih banyak anak tangga yang harus kita daki untuk mengantar kunang-kunang kita menuju bintangnya.” Pria bermata bulat itu bangkit berdiri. Aku mencerna isyarat yang memancar dari mata jernihnya. “Jangan berhenti berjuang sama-sama ya.” Ia menoleh ke arahku sambil tersenyum manis.
Aku gagal menahan senyumku untuk tidak mekar. Dulu aku hanya mahasiswi yang mengagumi Omar Al Musthofa, tetapi sekarang aku bisa membangun impian bersamanya. Seorang teman di SMA pernah berkata kalau aku hanyalah seorang pemimpi, dulu aku selalu bermimpi bisa menjadi orang keren. Namun sekarang aku lebih dari sekedar pemimpi, aku adalah pejuang impian, impianku adalah menghidupkan hidup malaikat-malaikat kecil yang menerangi duniaku. Aku percaya suatu hari nanti mereka akan menjadi bintang dengan cara mereka sendiri.
“Hafsah! Mas Omar!” Rena sedikit berteriak. Aku dan mas Omar kompak menoleh ke arah perempuan yang berdiri di tepi joglo sambil melambaikan tangannya. Di samping Rena ada Alvin yang merupakan seorang sarjana pendidikan luar biasa dan Elma yang merupakan seorang speech therapist, mereka bergabung menjadi pengajar Rasi Bintang. “Itu udah ada yang dateng.” Ia menunjuk ke arah Jiel dan ibunya yang datang dengan sepeda motor tua.
Mas Omar tersenyum lebar kemudian berlari mendekat. Ia bersemangat menyambut siswa pertama Rasi Bintang. Mas Omar dan Rena memasang ekspresi paling bahagia yang pernah aku lihat. Di belakang Jiel dan ibunya datang beberapa anak lain yang juga didampingi orang tua mereka masing-masing.
Hari ini adalah hari pertama sekolah alam Rasi Bintang membuka kelasnya. Kami mengelilingi kawasan sekolah mulai dari joglo, kolam ikan nila, kolam renang, kandang kambing Etawa, dan area botanical. Tempat yang semula sunyi, kini dipenuhi keceriaan dan harapan. Semua orang terlihat bahagia. Hampir semua pasien kami di puskesmas datang, semoga seiring berjalannya waktu akan semakin banyak anak-anak spesial yang bergabung bersama Rasi Bintang, menjadi teman main sekaligus guru kehidupan untuk kami. Aku percaya suatu hari nanti tempat ini tidak hanya akan menjadi sekolah alam, tetapi lebih dari itu. Perjuangan kami belum selesai. Kami akan terus berjuang agar sekolah yang kami bangun bersama-sama dengan cinta dan harapan dapat memberi manfaat untuk banyak orang.
***
“Mbak Hafsah..” Jiel berjalan dengan susah payah menghampiriku yang sedang duduk sambil membaca buku psikologi di tangga joglo.
“Eh Jiel, sini-sini.. ada apa?” Aku meletakan buku di lantai.
Jiel duduk di sebelahku. “Ini, Syuci dapet emas sama Jendi dapet perunggu.” Ia menunjukan berita kemenangan atlet renang Indonesia yang berjuang di Asean paragames.
“Waaah, hebat ya. Jiel mau menang kayak mereka?” Aku mendekatkan wajahku ke arah Jiel.
“Mau! Nanti Jiel bawain emas untuk Indonesia.” Ucap Jiel yang selalu menyempatkan diri untuk berenang di kolam renang Rasi Bintang.
“Keren. Kalau gitu.. Jiel harus makan yang sehat sama latihan terus.. nanti mbak Hafsah kenalin sama pelatihnya Syuci dan Jendi.” Aku mengusap kepalanya.
“Kalau udah jadi atlet nasional, pelatih renangnya Jiel bukan babe lagi?” Jiel mengernyitkan dahinya. Sudah tiga bulan semenjak ia bergabung dengan Rasi Bintang, mas Omar melatih dan menemaninya berenang.
“Ada yang lebih hebat lagi ngelatihya dari babe. Latihannya enggak cuma di kolam, tapi juga pake alat-alat gym yang keren-keren. Terus latihannya bareng-bareng sama atlet renang yang lain.” Jelasku.
“Bener mbak?” Senyum Jiel merekah, matanya membulat sampai-sampai aku bisa melihat bayangan diriku pada bola matanya.
“Iya, nanti kalau Jiel udah jadi atlet nasional, Jiel harus inget kalau mbak Hafsah ini fans pertamanya Jiel haha.” Aku tertawa, Jiel pun tertawa.
"Eh, ngapain ketawa-ketawa?" Tiba-tiba mas Omar muncul dari belakang. Matanya memandangiku dan Jiel bergantian.
"Babe, ayo latihan renang biar Jiel cepet jago terus ganti pelatih." Kata Jiel sambil mendongak ke arah mas Omar yang masih berdiri.
Mas Omar pun berjongkok. "Ganti pelatih? Emangnya ada yang lebih jago dari babe?" Ia memasang wajah penuh percaya diri.
"Kata mbak Hafsah ada yang lebih hebat dari babe, nanti latihannya sama atlet renang yang lain." Jiel tersenyum sampai-sampai aku dan mas Omar bisa melihat gigi ompongnya yang belum lama tanggal.
Bibir mas Omar membulat. "Ya udah, ayo latihan sekarang, babe mau buktiin kalau babe ini pelatih terhebatnya Jiel sekarang." Ajak mas Omar.
"AYOK!" Jiel menghentakan tangannya pada lantai joglo, air wajahnya sumringah.
Jiel dan mas Omar pun berjalan menuju kolam renang. Diam-diam aku memperhatikan mereka. Sesaat mereka menoleh ke arahku, melempar senyum ringis yang manis. Melihat ketulusan mas Omar dan semangat Jiel, rasanya nyawaku seperti sedang diisi ulang. Mas Omar tidak pernah merasa berjasa atas perkembangan anak-anak, ia adalah pahlawan berkostum ikhlas. Rasa cintaku kepada anak-anak mempertemukanku dengan pekerjaan yang membuatku jatuh cinta. Pekerjaan yang tidak pernah aku cita-citakan, tetapi sekarang tidak ingin aku lepas. Aku tidak hanya ingin menjadi seorang fisioterapis untuk anak-anak spesial, tetapi aku ingin menjadi sahabat terbaik mereka. Aku percaya suatu hari nanti kunang-kunangku akan menjadi bintang yang paling bersinar. Bersamanya, aku tidak takut memperjuangkan itu. Bersama dia yang tidak sekedar membuatku jatuh hati, mungkin jatuh cinta.
SELESAI
***
MENENUN RASI BINTANG
Malam selalu gelap, aku pengap dibekap harap. Impian menjelma bintang yang hanya bisa ku lihat samar. Membeku dibelenggu mau yang bukan milikku.
Setitik jingga membelah semak dalam gelap. Bayangan di balik kabut menampakan tubuh setangguh tameng. Diperlihatkannya sangkar kunang-kunang yang menjelma lentera. Kecil tapi menerangkan, cemerlang meski bukan bintang.
Ku cerna kata demi kata yang memancar dari mata jernihmu. Garis tipis di atas daguku meramu bulan sabit. Aku mengerti, telah ku temukan teman untuk menulis pada satu buku yang sama.
Bersamamu aku tak takut lagi disebut sebagai tukang mimpi. Karena bersama kamu aku berani mengantar setiap kunang-kunang menemui bintangnya.
Sebuah puisi; 8 Februari 2020
Description: Aku tidak pernah bercita-cita menjadi mahasiswi fisioterapi. Namun, setelah bertemu dengan anak-anak spesial yang mencuri hatiku, aku mulai jatuh cinta dengan dunia fisioterapi. Mereka adalah kunang-kunang kecil yang menerangi hidupku, kehadiran mereka membuatku merasa dua kali lebih hidup. Aku mengagumi Omar Al Mustofa, seorang fisioterapis anak yang mengabdikan dirinya kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Bekerja dan belajar bersama Omar Al Mustofa adalah impianku yang menjadi nyata, sedangkan Rasi Bintang, sekolah alam untuk anak difabel adalah impian yang kami perjuangkan.
{Nama: Aulia Farhah; Twitter: @auliafarhah__ ; Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob 2020}
|
Title: Ramadhan Yang Berbeda
Category: Fantasi
Text:
Bersyukur
Namanya Baim, Di tahun ini dia berumur genap 10 tahun, lebih tepatnya bulan puasa nanti.
Baim terlahir dari keluarga yang susah
Baim saat ini tinggal di Bandung, dia tinggal bersama ibu dan ayahnya di rumah yang kurang layak di tempati
Tapi Baim tidak malu dengan keadaannya saat ini, malahan dia lebih giat membantu kedua orang tuanya mencari rezeki dengan berjualan donat
Walaupun anak-anak yang seumuran dengannya suka mengejek, Tapi Baim berusaha mengabaikannya walaupun dia sangat gondok
Baim biasanya berjualan di pagi hari dari jam 6 pagi hingga jam 9 pagi, dia berkeliling sambil membawa wadah yang berisi donatnya dengan berjalan kaki
" Assalamu'alaikum bu, baim pulang " salam baim ketika sudah sampai rumahnya
" wa'alaikum salam, capek nak? " tanya Dian dengan wajah tak tega
" yah capek bu, tapi kan ini udah resiko baim " jawab Baim Dengan tenang
" maapin ibu sama bapak yah, nggak bisa bikin kamu hidup enak " mata dia sudah mulai berkaca-kaca
" bu udah ya, sekarang bukan waktunya nyalahin diri ibu ataupun bapak. Sekarang waktunya kita nyambut bulan ramadhan dengan kebahagiaan, masa kita nyambutnya dengan kesedihan karena terlalu mikirin takdir kita " ucap baim
" iya, seminggu lagi kita puasa yah. Ibu nggak boleh nyalahin takdir mulu, maap ya nak " ucap dian sambil tersenyum sumringah
" nah gitu dong, ini baru the strong of emak-emak " ucap Baim sambil tertawa dan dibantu oleh dian
" Assalamu'alaikum "
" Wa'alaikum salam " jawab baim dan dian
" eh bapak dah pulang " ucap baim
" iya, bu udah masak? " tanya yusuf
" belum, sebentar yah ibu masak dulu " lalu Dian pergi ke dapur untuk membuat makanannya
" im, sini duduk " baim mengikuti perintah yusuf, dia duduk di samping yusuf
" sebentar lagi bulan puasa, maaf ya bapak dari tahun kemarin sampe sekarang belum bisa ngasih uang buat beli makanan yang enak untuk saur atau buka puasa "
" ngapain minta maaf pak, kita syukurin aja makanan yang dibuat, itu juga udah rezeki kan kata bapak "
" iya, maap yah bapak jadi suka ngeluh gini. Seharusnya kan kamu yang ngeluh, hehehe " ucap yusuf diakhiri dengan kekehan
" hehehe, kan Baim belajar dari kalian, masa kalian lupa "
" iya im, kita selama ini ngerasa nggak enak sama kamu, harusnya seumuran kamu itu lagi asik-asiknya main "
" udah ah, bapak nggak mau ngeluh terus masa bapak kalah sama anak bapak sendiri. Bapak mau ngasah golok dulu ya im " lanjut yusuf, lalu ia keluar
" iya " jawab baim
baim merasakan sesak di dadanya, bukan karna penyakit tapi karna baim menahan semua air matanya agar terlihat kuat di depan bapak dan ibunya
Ia tidak mau terlihat lemah di mata mereka, baim memaklumi sikap ibu dan bapaknya tadi karena ia tau kedua orang tuanya ingin yang terbaik untuk dirinya
Baim Dewasa sebelum waktunya, karena kedua orang tuanya mengajarkan baim dari ia berusia 3 tahun agar mengerti keadaannya saat ini
Walaupun Baim tinggal di Bandung dia tetap menggunakan bahasa indonesia dengan keluarganya karena mereka memang bukan asli orang bandung tetapi jakarta
Tapi Baim tetap mengerti dengan bahasa sunda dan dia juga bisa berbahasa sunda
Teman Baru
1 minggu kemudian
Baim, yusuf dan dian pergi ke masjid yang di dekat rumahnya untuk shalat tarawih berjamaah
Keesokan harinya
Saaauuur saaaur saaauuur saaaur
Para Anak laki-laki yang tinggal di kampungnya berbondong-bondong membangunkan warga
Sedangkan Baim hanya melihatnya di depan rumah, dia ingin bergabung tapi mungkin bukannya diterima malah ditolak
Baim menghela nafas, lalu ia masuk untuk membantu ibunya menyiapkan makanan.
Hari ini sahurnya dengan tempe orek dan telur Dadar
Mereka makan dengan khidmat
Setelah shalat subuh, baim pergi mengaji seperti tahun-tahun sebelumnya
Ia sangat antusias mendengarkan penjelasan dari guru ngajinya tentang bulan puasa
Setelah itu dia menyetorkan hafalan suratnya yang sudah sampai surat Al-lail
Baim yang paling terakhir hafalan
Setelah selesai mengajinya mereka semua membaca doa penutupan pengajian. Setelah membaca doa, Anak-anak yang lain pun berbondong-bondong salim kepada ustadz
Sedangkan Baim hanya diam melihat yang lain menyalimi gurunya
Dia memang seperti itu, menunggu yang lain bubar baru giliran dia salim kepada ustadz
Dirasa sudah bubar semua, baim pun salim kepada ustadz
" pak ustad " panggil Baim sambil salim
" eh im, duduk dulu " titah ustadz
" kenapa ustad? "
" ustad pengen nanya, kamu mau bantuin ustad nggak? "
" bantu apa ustad? "
" bantu nanem padi " Baim tampak berfikir
" sekarang pak ustad? "
" iya sekarang, kamu mau nggak? "
" iya ustad "
" yaudah yu kita langsung ke sawah "
Sawah pak ustadz tidak jauh dari tempat pengajian, mungkin sekitar 15 menitan untuk sampai kesana dengan berjalan kaki
Selama diperjalanan mereka berbincang-bincang
Mereka sudah sampai di sawah, pak ustadz langsung mengambil padinya di saung yang ada disana
" udah siap? " tanya ustadz
" Always " Baim tertawa karena dia menjawabnya dengan menggunakan bahasa inggris, yang iya dengar dari orang-orang yang sedang belajar bahasa inggris di rumahnya
" hahaha, bisa aja kamu im. Yaudah ayok kita turun " Mereka turun ke bawah dan memulai menanam padinya, Tapi sebelum itu pak ustadz membuka kokonya dan sampingnya yang menyisakan celana hitam dibawah lutut dan kaos hitam lengan pendek
Baim pun melepaskan pakaian kokoknya yang menyisakan kaos abu-abu dan celana selutut yang sudah lusuh
Ketika Baim Akan berpindah tempat, ia terjatuh karena kakinya tidak bisa diangkat. Dan akhirnya celananya penuh lumpur
Bukannya kesal atau sedih Baim malah tertawa dan ustadz pun ikut tertawa
" baim baim, kenapa bisa jatoh hah? Hahahaha " tanya ustadz tak bisa mengendalikan tawanya
" kaki baim nggak bisa diangkat pak ustad, hahaha "
" hahaha, ada-ada aja kamu im. Sudah cepet bangun ntar ada binatang yang masuk kecelanamu " pak ustadz tertawa, lagi.
Selesai menanam semua padinya, mereka keluar dari sawah dan membersihkan ke sungai yang ada di seberang sawah
" abiii abiii " panggil seorang gadis yang memakai dress selutut putih dan rambut di kuncir kuda menghampiri Pak ustadz dan Baim
" eh putri, ngapain kamu kesini? " tanya ustadz masih membersihkan celananya
" iyeu bi, ibu teh nitah putri ajang mere nyaho ka abi pang meulikeun bengkuang di pak Qodir " jawab putri memakai bahasa sunda
Baim hanya melihat putri sekilas, lalu dia membersihkan celananya kembali
Putri memperhatikan Baim
" namanya Baim, put " putri terperanjat mendengar suara abinya
Dia menatap abinya seakan-akan ' kenapa ngomong kayak gitu??? '
Baim menoleh ke arah pak ustadz karena namanya terpanggil, putri yang melihat reaksi dari Baim langsung panik
Abinya menatap jail kearah putri
" im, ini anak ustad yang pertama. Dia beda 2 taun sama kamu "
Baim tidak tahu harus merespon apa, dia hanya tersenyum kecil hampir tak terlihat kearah Putri. Lalu setelah itu melanjutkan kegiatannya
Putri hanya diam tak membalas senyuman dari Baim, dia masih berfikir. Rasanya dia pernah bertemu dengan Baim dan mendengar sedikit ceritanya dari gosip-gosip
Jujur, putri sangat iba melihat Baim yang suka dibicarakan dari belakang. Rasanya Putri ingin menjadi temannya tapi bagaimana caranya?
Ustadz dan Baim pun sudah selesai membersihkan diri, mereka keluar dari sungai itu
" im, kamu mau ikut nggak ke warung pak qodir? " tanya Ustadz sambil berusaha melewati bebatuan
" emang boleh ustad? "
" ya boleh atuh, masa nggak boleh " jawab ustadz diakhiri dengan kekehan
" yaudah kalau gitu, saya ikut ustad "
Mereka berdua kembali ke saung untuk mengambil pakaiannya yang diikuti putri
Mereka langsung saja pergi ke warung pak qodir yang jaraknya lumayan jauh, karena letaknya ada di seberang sawah
" baim, kamu udah hafal hadits yang ustad kasih tadi? " tanya ustadz
" belum ustad "
" kunaon tah sababna? " ustadz pun bertanya menggunakan bahasa aslinya
" mmm, pan tadi beres ngaji langsung mantuan ustad "
" Astaghfirullah, Ustad lupa im. Hahaha " hstadz tertawa begitu pula putri
" loh, ada putri ternyata? " kaget ustadz ketika membalikkan badannya
" ihh abi, kan tadi putri bilang mau ikut " ucap putri dengan wajah cemberut yang menggemaskan
Ustadz hanya tertawa dan tak disangka Baim pun ikut tertawa
Putri semakin kesal mendengar mereka berdua tertawa
" yaudah, putri pulang aja " putri membalikkan badannya namun ditahan oleh ustadz
" eh eh, kita bercanda. Maap yaa hahaha, yaudah yu lanjut nanti keburu abis. Kamu didepan sana " titah abinya
Mereka sudah sampai di warung pak qodir
" Assalmu'alaikum pak " salam pak ustadz
" wa'alaikum salam, eh pak ustad " jawab pak qodir
" kamana wae tad? Damang tad? " tanya pak qodir
" aya wae pak, alhamdulillah damang " jawab pak ustadz
" iyeu pak, abdi hoyong bangkuang sakilo " lanjut ustadz
" oh iyaiya tad, sakedapnya " pak qodir menimbang bangkuangnya
" nih tad, sudah selesai " pak qodir menyerhkan bengkuangnya
" sabaraha totalna? "
" 5 ribu saja "
" nih pak " ustadz menyodorkan uang 10 ribu
" ah iya, kembaliannya tad "
" nggak usah pak, ambil aja "
" yang bener tad? "
" iya ambil aja "
" hatur nuhun tad "
" sami-sami, kami pergi dulu ya pak. Assalamu'alaikum " lalu mereka pun pergi dari tempat itu
Setelah sampai di saung ustadz mengajak berteduh dulu
" neduh dulu yu "
" baim " panggi ustadz
" iya ustad? "
" ini ada upah untuk kamu "
" ah nggak usah ustad, saya ikhlas kok bantuinnya " tolak halus baim
" ustad juga ikhlas ngasihnya, pamali lo kalau nolak rezeki "
" mmm, ditampi ya ustad, hatur nuhun " Baim mengambilnya dengan keraguan yang amat besar
" iya, sami-sami "
" baim, ustad denger-denger katanya kamu berenti sekolah, eta teh bener kitu? "
" iya ustad, soalnya ibu sama bapak nggak bisa biayain lagi "
" owh gitu, atuh coba minta bantuan dari pak rt untuk diurusi sekolah kamu " Baim terkekeh
" belum sempet " ustadz hanya mengangguk, tidak mau melanjutkan pembicaraan yang cukup sensitif itu. Akhirnya ustadz mencari topik lain
" kamu puasa bim? " alih ustadz
" Insya Allah, ustad "
" putri puasa? "
" Insya Allah, hehe "
" Puasa baru sehari, harus semangat yah. Jangan sampe kita nyesel karna nggak puasa di bulan ramadhan yang suci ini "
" pasti ustad, Insya Allah baim bakal full puasanya "
" putri juga " ucap putri tersenyum dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi
" bagus "
" ustad " panggil baim
" iya? "
" sekarang mau kemana? "
" oh iya, ayo kita balik "
Ustadz pun bangun dari duduknya yang diikuti baim dan putri
Mereka pun memulai perjalanannya menuju rumah
" baim, ngomong-ngomong kamu tuh punya temen nggak? "
" kenapa emang ustad? " tanya baim balik
" soalnya selama kamu tinggal disini, ustad belum pernah ngeliat kamu berinteraksi sama temen seumuran kamu atau mungkin ustad cuman nggak liat aja? "
Ustadz mengajak Baim bersamanya karena dia ingin bertanya pada Baim soal Teman, karena selama dia ngaji dengannya, ustadz sama sekali tidak pernah melihat baim berinteraksi dengan yang lain
" nggak ada yang mau temenan sama baim "
" kenapa? " tanya ustadz kaget
" ya mungkin karna keadaan baim, ustad "
Ustadz merasa sedih mendengar pernyataan dari baim, sedangkan putri hanya menyimak tanpa ingin menimbrung tapi dia pun merasakan apa yang abinya rasakan
" pasti ada kok im yang mau main sama kamu "
" kalau ada, Alhamdulillah banget " jawab Baim sambil tersenyum
" putri mau kok jadi temen baim " celetuk putri sambil tersenyum
Baim menanggapinya dengan senyuman sumringah sampai deretan giginya terlihat
" tuh kan, ada yang mau main kamu. Sekarang kalian jadi teman yah "
Baim dan putri tersenyum, Baim yang saat ini tengah menahan tangis karena ada yang ingin berteman dengannya sedangkan putri tengah bahagia karena akhirnya ia bisa berteman dengan baim, Seorang anak yang tangguh.
Mereka sudah berada dekat dengan rumah baim " im, rumah kamu dimana? " tanya ustadz
" sebentar lagi juga sampai ustad "
Mereka terus berjalan menyusuri satu jalan
" tuh ustad rumah baim, yang rumahnya kayu " baim menunjuk salah satu rumah bilik yang sudah tidak layak dipakai
" assalamu'alaikum "
" wa'alaikum salam " sahut Dian dari dalam
" Baim, eh pak ustad " Dian kaget melihat Pak ustadz ada di rumahnya, ia langsung saja masuk ke dalam untuk mengambil hijabnya karena saat ini dia hanya memakai dalema hijab saja yang sering orang tua dulu pakai
" maap ya ustad, ayo mari masuk pak ustad " ucap Dian saat sudah kembali
" nggak papa bu, nggak usah sebentar lagi saya juga mau pulang. Saya cuman mau nganterin baim soalnya tadi baim saya ajak ke sawah"
" owh gitu, ya teu kunanaon atuh pak ustad. Ajakin aja tiap hari, supaya Baim ada kegiatan selain dagang "
" ah iya bu, yaudah bu saya balik ka bumi heula nya " pamit ustadz
" eh pak ustad, sebelumnya saya minta maaf karena belum bisa ngasih ke pak ustad " sesal Dian, Baim yang mendengarnya menjadi murung
" ah nggak usah bu, lagian juga saya ikhlas ngajarin anak-anak "
" maaf ya ustad sekali lagi "
" iya bu, kalau gitu saya pamit dulu ya " putri langsung saja menyalami tangan dian, dian yang di salimi pun cukup kaget namun ia menyembunyikannya dengan senyuman
" Assalamu'alaikum "
" wa'alaikum salam " Pak ustadz dan putri pun meninggalkan rumah baim
" yuk im masuk "
" bu, ini tadi pas di sawah ustad ngasih uang ke baim " baim menyodorkan uang dan diterima oleh dian
" Ya Allah, Alhamdulillah. Baik sekali guru kamu, memangnya kamu ngapin aja di sawah? "
" nanem padi bu, terus nganter ustad ke warung pak qodir "
" owh, itu tadi yang perempuan anaknya? "
" iya bu, sekarang dia temen baim loh " baim tersenyum
Dian rasanya ingin menangis melihat Baim seperti ini
" bagus dong, udah sana kamu mandi " Baim nengangguk lalu pergi ke kamar mandi
Donat
Sore Hari
" donaaat donaaat " sore ini baim berkeliling kampungnya untuk menjual donatnya
" donaat dek " panggil salah satu ibu-ibu dari arah rumahnya, Baim segera menghampiri lalu menaruh wadah donatnya di bawah
" mau berapa bu? "
" 7 weh "
" berapa jadinya? "
" 7 ribu " ibu itu menyodorkan uang 10000 ribu, Baim menerimanya lalu dia mencari uang kembaliannya
" udah nggak usah, ambil aja kembaliannya "
Bai yang sedang mencari kembaliannya pun langsung mendongak ke arah ibu itu
" yang bener bu? " tanya baim memastikan
" iya "
" makasih ya bu "
" sama-sama " lalu baim pergi dari tempat itu
Di sela-sela perjalanan ada yang memanggil baim, baim spontan menengok ke arah belakang ternyata putri yang sedang menatapnya, lalu putri berlari ke arah baim
" jualan? "
" iya "
" putri bantu boleh nggak? "
" nggak usah, ntar dicariin "
" ih baim, putri mau ikut " rengek putri, Baim pun panik
" yaudah atuh tanya dulu sama ustad "
" yaudah, bentar yah " putri masuk ke rumahnya yang cukup bagus
Baim menurunkan jinjingannya, putri pun keluar dari rumahnya dengan wajah sumringah
" baim ayo, putri dijinin " mereka pun bergegas pergi dari tempat itu
" baim jualan apaan? "
" donat "
" waaah, putri suka banget sama donat, sisain buat putri yah " baim mengangguk. baim menjual donat biasa, tidak ada rasa coklat strawberry atau yang lain. Dia menjual donat yang hanya ditaburi gula bubuk
" donat donaaaat " putri memperhatikan baim yang berteriak seperti itu, lalu ia pun mengikutinya
" donat donaaat " Baim menoleh ke arah putri, putri menengok ke arah Baim dengan senyum merekah, baim ikut tersenyum lalu mereka mengucapkan kata itu dengan bersamaan
" donat donaaat " mereka tertawa mendengar betapa kerasnya suara mereka
" donat donaaat "
" dek donat dek "
Baim dan putri langsung menghampiri Ibu yang tadi memanggilnya
" beli 10 "
Baim sedang membungkus yang tadi dipesan sedangkan putri hanya melihat saja
" nih bu "
" jadi 10ribu kan? " tanya si ibu
" iya, makasih bu "
" sama-sama "
Mereka pun mekanjutkan jualannya
" baim, ntar kalau ada yang beli, putri mau yang ngasihinnya yayaya " putri memohon
" hmm "
" baim jualan ini setiap sore? "
" Baim biasa jualan pagi tapi kalau bulan puasa jualannya sore "
" owhh, itu baim bikin sendiri atau punya orang? "
" bikin "
" jam berapa bikinnya? "
" sekitar jam 11, yang bikinnya ibu kalau baim cuman bantuin doang "
" kalau putri bantuin boleh? Putri pengen liat cara buatnya "
" terserah "
" yeayyy "
Lalu mereka berteriak lagi
" donat donaaat, donat donaaat "
" donat dek " kali ini giliran putri yang bertugas
" mau baraha bu? " tanya putri, Baim tersenyum melihat mata putri yang Agak gugup
" 5 weh " dengan cepat Putri memasukkan donatnya
" satunya berapa? " tanya ibu itu
" 1000-an bu " ibu itu mengangguk
" nih bu " lalu ibu itu langsung menyodorkan uang 5rb
" makasih bu " ucap putri
" sama-sama "
Setelah meninggalkan rumah tadi, putri tertawa
" baiiiim, putri bisaa. Hahahaha "
" cuman gitu aja bahagia " ucap baim sambil tersenyum
" ih baim, itu kan pertama kali putri ngeladenin orang beli " jawab putri sambil cemberut
" iyadah, maap "
Hari ini laku hampir semua donat
" put, ini donatnya " baim menyodorkan 2 donat kepada putri, putri yang diberi pun menerimanya dengan gembira
" waah makasih baim "
" jangan dimakan sekarang " peringatan baim
" iyalah, orang buat buka. Eh tapi putri nggak bawa uangnya " wajah putri berubah sendu, baim yang melihatnya tak tega
" nggak usah dibayar putri, itu emang buat putri anggap aja tanda terima kasih dari baim ke putri "
Wajah putri sumringah lagi
" yang bener im? " baim mengangguk
" makasih baiim. Emang donatnya tinggal berapa? "
" 4 lagi " jawab Baim dengan senyuman sambil menatap putri yang sedang menatap baim
Mereka saling melempar senyuman
" pulang yah " putri mengangguk
" jam berapa sekarang yah? " tanya baim, karena awan shdah menunjukkan warna keoren-orenan, untung saja putri memakai jam tangan
" sekarang jam 5.25 "
" wah? Ayo cepet kita pulang "
Sesampainya di rumah putri, Baim berpamitan kepada putri dan tak lupa mengucapkan terima kasih
" makasih ya put, oh iya jangan lupa sampein ke pak ustad sama ibu kamu, baim minta maaf "
" buat apa? "
" ya putri jadi pulang sore " putri terkekeh
" iyaiya, sana pulang baim "
" oke, Assalamu'alaikum. Dadah "
" wa'alaikum salam, dadah hati-hati " Baim meninggalkan rumah putri dan putri masuk ke dalam
Rumah Baim dan putri tidak jauh tudak dekat, dan sekarang baim sudah pulang ke rumahnya. Sesampainya Baum ke rumah adzan maghrub pun berkumandang
" Assalamu'alaikum "
" wa'alaikum salam " Dian keluar dari balik pintu
" baim, masuk masuk. Ibu khawatir baim, kamu lama banget jualannya " cemas Dian
Baim tersenyum lalu menunjukkan wadah yang ia bawa
" itu tinggal 2 im? " dian menatap tak percaya, karena biasanya Baim berjualan tidak sampai hampir ludes seperti ini
" iya, ntar baim ceritain dah ke ibu. Sekarang buka puasa dulu, Bapak mana bu? "
" ada, di kamar mandi " baim ber 'oh' ria
Lalu mereka berbuka puasa diawalin dengan meminum air.
Salak & membuat donat
Keesokan harinya
Tidak seperti kemarin, Hari ini pak ustadz mengajak Baim pergi ke kebun Kakeknya Ustadz, yang jaraknya lumayan agak jauh dari sawah
Hari juga putri ikut, karena dia bosan di rumah
" dah sampe im kita "
Mata baim memperhatikan Kebun tersebut
" luas ya ustad "
" iya, ustad dulu sering kesini buat main " Pak Ustadz bernostalgia
" kita kesini ngapain ustad? "
" Astaghfirullah sampe lupa. jadi gini im, disini tuh udah ada yang paneh buahnya, jadi kita harus ambil buahnya " jelas ustad
" buah apaan emang abi? "
" buah salak "
" yang bener ustad? Baim suka banget sama salak " baim tersenyum merekah membuat Ustadz dan putri ikut tersenyum
" iya mangkannnya, ayo ikutin ustad. Kita masih harus nyusurin jalan buat nemuin salaknya "
" pak ustad tau dari mana salaknya udah panen? "
" tau dari orang yang kerja disini "
Baim mengangguk tanda mengerti, putri hanya diam sambil memperhatikan pandangan ke arah jalan.
Setelah sudah melewati jalan-jalan yang dipenuhi dengan tanaman bercucuk mereka sampai di tempat Penanaman salak
" ih ngeri " ucap putri melihat begitu banyaknya duri, padahal ia sudah pernah kemari hanya saja kengeriannya belum hilang
" iya mangkannya hati-hati " ucap pak ustadz
Putri hampir jatuh jika tidak ditahan oleh Baim, ia tersandung batu
" hampir aja jatoh " seru baim sambil melepaskan tangannya dari kedua tangan putri, karena posisi Baim di belakang putri
" makasih "
" liat ke arah jalan juga ya " Ucap ustadz
" iya " jawab putri dan baim bersamaan
Mereka sudah bertemu dengan orang-orang yang bekerja di kebun itu, mereka sedang memetik salak-salak tersebut
Ustadz menghampiri salah satu pegawai yang bertugas untuk mencatat hasil panennya
Sedangkan Baim dan putri melihat orang yang sedang mencabut Salak dari pohonnya
" Eh aya putri, eh iyeu saha? " tanya pak kiwil sambil melirik Baim
" temen Putri pak " jawab putri dengan senang hati
" owh kitu, namina saha? "
" Baim " jawab baim sendiri
" owh, Kalian mau salak? " tawar pak kiwil
" mau pak " jawab mereka serentak
Lalu pak kiwil mengambil 6 biji salak
" nih, hati-hati pegangnya " pak kiwil membagi rata
" kok cuman 3 sih pak? " tanya putri
" ntar kekenyangan, tapi kalo masih mau tinggal ambil lagi aja. Noh ada saung di sana " tunjuk pak kiwil ke arah belakang mereka
Putri dan Baim langsung mengikuti arah pak kiwil, lalu mereka saling pandang
" yaudah pak, kita kesana dulu "
" eh eh tunggu " panggil pak kiwi
" kenapa pak? " tanya putri
" sekarang teh kan bulan puasa, bapak teh poho. Kadiekeun deui salakna, ngke weh salakana nya " baim dan putri saling pandang lalu mereka tertawa, lihatlah betapa berpengaruhnya salak hingga mereka pun lupa bahwa sedang puasa
" hahaha, pak kiwil kita juga lupa. Hahaha " ucap Putri
Pak kiwil terkekeh
" bapak juga lupa, yaudah sini salaknya "
Mereka berdua menyerahkan salaknya dengan berat hati namun juga geli
" yaudah kalian ke saung aja, disana kalian maen permaenan aja "
" permaenan apaan? " tanya baim
" kelereng "
" yang siapa pak? " tanya putri
" waktu itu anak bapak maen kesini sama temennya, mereka bawa kelereng terus setengah kelereng disimpen disitu. Katanya supaya kalau kesitu bisa maen "
Mereka berdua mengangguk
" yaudah pak, kita pinjem yah kelerengnya "
" iya " abi dan putri langsung saja pergi ke saung tersebut. Sebenarnya putri sudah pernah ke kebun ini, tapi dia tidak tahu kalau ada saung dikebun itu
Mereka langsung mengeluarkan kelereng dari wadah yang tertutup dan membagi rata
" kita main yang kayak gimana, im?
Baim tidak menjawab pertanyaan putri melainkan dia membuat sebuah lingkaran ditanah dengan ranting yang ia temukan, Baim tidak pernah bermain kelereng sama sekali namun ia sering melihat anak-anak bermain
Putri langsung memahami apa yang Baim buat, karena dia juga sering sekali bermain kelereng
" 5 5 ya im " baim mengangguk. Lalu mereka meletakkan kelereng mereka kedalam bulatan tersebut
Setelah meletakkan kelerengnya, mereka beradu suit hingga 3 kali. Dan yang pertama bermain Baim
Baim berjongkok dan menaruh gundunya ditanah yang agak jauh dari kelereng yang dikumpulkan, baim menerka-nerka dan di langsung saja menyentil kelerengnya
Dan traaak, kelereng tersebut berpencar dan tidak ada sama sekali sisa di bulatan tersebut
Mata putri membulat mulut putri pun ikut membulat
" ih baim curang "
" curang apanya? " tanya Baim sambil mengambil kelereng-kelereng yang berserakan sambil tersenyum puas
" putri kan belum main "
" terima ajalah, tri " ledek baim sambil nyengir membuat putri semakin kesal
" ih baim jangan panggil putri kayak gitu " wajah putri semakin cemberut
" hahaha, bagus loh namanya "
" putri marah sama baim " ucap putri melipatkan tangannya didada dan membalikkan badannya
" eh iya iya deh maap tri, kita maen lagi yok " bujuk Baim
Putri membalikkan badannya
" ayok, 5 5 lagi " jawab putri sangar membuat baim terkekeh
Kali ini yang pertama main putri, dia berancang-ancang akan menembak kelereng-kelereng yang ada dihadapannya
Traaak
Pas, putri menembak masuk kedalam lingkarannya. Namun hanya 4 yang keluar
" ih, kok cuman 4 sih " kesal putri sambil memungut kelerengnya
Baim terkekeh
" segitu udah lumayanlah buat perempuan "
" giliran Baim yah " lanjut baim
Traaak
Semua kelereng keluar, baim memenangkan kembali. Ia tersenyum puas, lagi.
" baim pake jurus apa sih? " tanya putri
" pake jurus basmallah " baim nyengir
" ayo, maen lagi " tantang putri
" berapa-berapa? "
" kali ini 10 10, berani nggak? "
" siapa takut " ujar Baim sambil mengedikkan bahunya
Saat akan beradu suit, pak ustadz menghampiri mereka
" kalian masih main? " mereka mengangguk
" abi duduk dulu aja disaung " titah putri, pak ustadz menuruti. Ia memperhatikan mereka berdua
Putri kembali mendapat giliran yang pertama untuk bermain, ia mengambil ancang-ancang untuk menembak. Ustadz melihatnya terkekeh geli
Daaan...
" ihhh kok nggak ada yang kena " kelereng Putri hanya masuk kedalam lingkarannya, membuat biam dan ustadz tertawa
Putri menghentak-hentakkan kakinya ke tanah
" abi diem, baim juga " suruh putri dengan wajah yang kesal, lantas mereka berdua pun terdiam dengan mulut yang berusaha menahan tawa
Baim menghela nafas untuk menetralisirkan tawanya, lalu ia mengambil ancang-ancang
Traaaak...
Semua kelereng keluar dari lingkarannya
Betapa bahagianya Baim dan betapa kesalnya putri, sedangkan oak ustadz sudah tertawa melihat mereka berdua
" abi, baim licik " adu putri
" licik gimana sih putri? " tanya ustadz
" dia udah 3 kali berturut-turut dapet kelerengnya "
" emang putri nggak dapet? "
" dapet tapi cuman 4 kelereng"
" berarti kemampuan kamu cuman segitu aja " ustadz terkekeh
" ih, abi mah " Baim hanya terkekeh melihat putri yang cemberut
" yaudah ustad, ayo kita pulang " ucap baim
" ayo " sabelum pulang ustadz menghampiri pak kiwil
" pak, saya mau ngambil salak yang tadi "
" ah iya, sebentar ustad " lalu pak kiwil menyodorkan salak yang memang sudah dipisahkan tadi
" Hatur nuhun pak, abdi uwih heulanya "
" sami-sami, muhun ustad "
Ustadz, Baim dan Putri pun melangkahkan kaki mereka untuk keluar dari kebun
" Baim, ini ntar kasih ke ibu kamu yah "
Baim menerimanya
" apa ini ustad? " tanya Baim, karena kantong plastik tersebut berwarna hitam jadi tidak terlihat isinya apa
" salak, buat nyuci mulut nanti pas buka "
" hatur nuhun ustad "
" hahaha, sami-sami. Kamu sepertinya sudah mahir sunda yah im " Baim nyengir
" abi " panggil putri
" kenapa? "
" putri boleh nggak ikut baim ke rumahnya? " putri sudah melupakan kesalnya
Ustadz mengernyit
" mau ngapain emang? "
" putri mau ngebantuin baim bikin donat, yayaya boleh yaaa " mohon putri
Ustadz tampak berfikir sebentar
" yaudah, tapi jangan bandel yah "
" yeaaaay " sorak gembira keluar dari mulut Putri
Setelah keluar dari kebun dan sampai di rumah Baim. Ustadz tidak ikut mengantarkan karena ada urusan penting yang harus diselesaikan
" Assalamu'alaikum buu" salam Baim
" wa'alaikum salam, eh ada anak pak ustadz "
Putri tersenyum lalu menyalami tangan Dian setelah Baim
" putri bu " putri memperkenalkan diri
" owh, namina putri. Ayo masuk dulu "
" bu, ini salak dikasih ustad " baim menyodorkannya
" Ya Allah, putri nanti bilangin ke abi makasih ya "
" iya bu "
" bu, ayo bikin adonan donat " ucap Baim
" eh iya ntar aja, kan ada putri "
" putri kesini emang mau bantu bikin donat bu, boleh kan? " tanya putri
" owh putri mau bantu, boleh-boleh. Kalau gitu ibu ambil bahan-bahannya dulu "
" ayo kita buat " ucap Dian setelah kembali dari dapur
Mereka mulai membuat adonan donat, satu persatu bahan di campur. Awalnya putri bingung melihat cara pembuatannya, namun lama kelamaan ia mengerti
" putri mau buat donatnya "
" ambil adonan secukupnya aja, ikutin ibu yah"
Putri tidak langsung mengikuti dian, dia memperhatikan dulu. Lalu putri mempraktikkannya ke adonan yang ia pegang, hanya sekali melihat putri langsung bisa
" gampang yah bu " ucap putri
" emang gampang, ayo bikin lagi "
Selama membuat donat, mereka bertiga tidak henti-hentinya mengobrol
Selesai mencetak donat, saatnya untuk digoreng. Namun Dian menyuruh putri dan baim diam saja
Baim mengajak putri keluar, mereka duduk dibatang kelapa yang sudah dipotong
" Baim ngerasa ada yang beda nggak sih dibulan puasa ini? "
" punya temen " Baim tersenyum sumringah, namun wajahnya masih tetap kedepan
Putri bergeming, dia tidak tahu harus berbicara apa
" putri, temen pertama baim. Jadi baim janji nggak bakal ngerusak pertemanan kita sampe kapanpun. Tapi kalau baim ingkar janji, putri boleh tinggalin baim " lanjut baim serius
" Putri boleh pegang janji baim? "
" harus tri " mereka berdua tertawa
Adzan dzuhur berkumandang
Tak disangka, jam sudah menunjukkan 17.40
Putri sudah pulang dari 10 menit yang lalu, karena hari ini dia membantu baim
Dan siapa sangka lagi, donat yang tadi dijual oleh mereka berdua ludes tak tersisa
" baiiim, sini bantuin ibu " teriak Dian dari arah dapur, baim langsung menghampiri Dian
Adzan maghrib berkumandang, semua orang yang berpuasa pun membatalkan puasa mereka
Termasuk Keluarga Baim. Entahlah, Walaupun hanya tempe orek dan telur dadar Baim tetap bahagia, karena walaupun sederhana tapi mereka tetap bisa berbuka
Bukit
2 minggu berlalu tetapi pak ustadz masih saja suka mengajak Baim dan putri ke tempat yang b
" sekarang kita mau kemana ustad? "
" kita mau ke bukit "
Putri dan baim saling pandang
" emang disini ada bukit, abi? "
" Ada, ngkin ge terang. Meuni indah pisan teh eta bukit, apalagi kalau pagi-pagi dateng kesananya "
" kenapa kalau dateng pagi-pagi ustad? "
" kita bakal ngeliat matahari terbit, yaa sekitar jam setengah 5 lah kesananya terus sekitar 20 menitan buat sampe kesana "
" waaah kayaknya seru abi, kok abi nggak pernah ngajakin putri kesana sih? "
" Abi lupa mulu mau ngajakin kamu teh " ustadz terkekeh
" ayo semangat, masih kuat kan? " tanya ustadz
" masiiiih " jawab Baim dan putri
Mereka terus berjalan melewati sungai dan terus menanjak hingga akhirnya setelah hampir 20 menitan mereka sampai
" ini diaaa, bukit kampung kitaaa " ucap ustad diakhiri kekehan
" ihhh baguss bangettt " pekik putri
" iya bagus " balas Baim tak henti-hentinya tersenyum
" ayo kita bilang tasbih bareng-bareng " ajak ustad
" Subhanallaaah " ucap mereka serentak setelah diaba-aba oleh putri
" eh kalian berdua diem di situ tuh, kita ambil poto " titah ustad sambil mengeluarkan benda persegi panjang
Putri dan Baim pun menuruti, mereka membelakangi pemandangan dan menghadap kamera
" senyum pepsodent, 1 2 3 "
Jepret.
" oke, Kita istirahat dulu yu. Kalau udah selesai mandangin pemandangannya kita pulang "
" siiip " jawab baim dan putri
Mereka duduk menghadap ke arah barat, tidak ada percakapan untuk saat ini. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing
Baim tersenyum sambil menutup matanya lalu membukanya kembali
Ia tak pernah berfikir akan seindah ini dibulan ramadhan tahun sekarang
Memiliki teman adalah impian dia dari kecil, dan sekarang impian itu pun terjadi.
Tak apa temannya seorang perempuan, yang penting ia bisa menjadi temannya
Baim tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada sang illahi
Berkah Lebaran
Tak disangka Hari ini hari terakhir puasa, Dan tak disangka pula, sebulan ini Baim selalu bersama Ustadz dan Putri
Malam ini orang-orang sangat ramai, Ada yang memukul-mukul bedug sambil membaca Takbir, Ada yang menyalakan petasan dan masih banyak lagi
Baim? Oh, tentu saja seperti tahun lalu. Tidak melakukan apa-apa selain memperhatikan
Ia sering sekali berkhayal, katika malam takbiran Baim akan diajak untuk ikut bergabung
Tapi sepertinya tidak mungkin.
Baim menghela napas dalam, sudah cukup.
Ia tidak boleh murung terus, bukannya ia sudah punya teman?
Baim pun akhirnya memilih masuk ke rumahnya, lalu dia pergi ke dapur untuk mengambil minum. Ternyata di dapur ada dian sedang memasak
Baim mengernyit, tak biasanya Dian memasak dimalam takbiran
" ibu masak apaan? "
Dian sedikit terperanjat
" ah ini, alhamdulillah taun ini ada rezeki. Ibu masak ayam " jawab Dian dengan semangat
" Alhamdulillah "
" baim ambilin garem maap " suruh dian
" nih " baim menyodorkan garam kepada dian
" ah iya, gula juga "
" gulanya abis bu " ucap baim
" abis? Yaudah beli sana im. Nih uangnya " dian menyodorkan uang 5 rb. Lalu baim pergi setelah menerima uangnya
Baim sudah samai di warung, karena warungnya pun tidak jauh dari rumah baim
Ketika baim menuju arah rumah, ada seseirang yang memanggil baim
" baiiim " Siapa lagi kalau bukan putri yang memanggil
" kok putri ada disini? " tanya baim setelah putri ada dihadapannya
" hehe, abisnya putri bosen di rumah wae. Kan enak disini rame, baim abis dari mana? "
" dari warung beli gula " putri membulatkan bibirnya
" besok putri mau ke rumah baim "
" ngapain? " tanya baim cukup kaget
" ya, mau silaturrahmi lah. Abi sama ibu juga ikut "
" mending nggak usah tri " putri menyeringai
" orang mau silaturrahmi masa nggak boleh, anneh "
" bukan gitu tri... "
" udah baim pulang sana, kasiin gulanya putri juga mau pulang " putri menyela, lalu ia pergi dari hadapan baim
Baim memasang wajah menyesal, ia takut putri tak ingin berteman lagi dengannya
Esok hari
Baim baru saja beres mandi, hari ini ia tidak kemana-mana. Karena memang setiap lebaran pun baim tak akan bepergian
" baiiim makan " panggil dian
" iyaaa, bentaaar " jawab baim
Baim menghampiri Dian dan yusuf di ruang tengah, ia langsung mengambil nasi dan ayamnya
Namun belum sempat akan memakannya, ada seseorang yang mengucapkan salam
" Assalamu'alaikum "
" Wa'alaikum salam " jawab mereka, lalu dian memghampirinya, ternyata itu Putri bersama Abi dan ibunya
" eh, putri sama pak ustad " lalu dian mengarahkan pandangannya kepada istri ustad
Baim mendengar kata ustadz, ia langsung keluar menghampiri
" ah ustad " baim pun salim, lalu ia melirik kearah istri ustad
Pak ustadz seakan tau maksud dari dian dan baim, ia pun menjelaskannya
" ini istri saya "
" ahh " Dian langsung saja mengulurkan tangannya dan langsung dijabat oleh lia, istri ustadz. Baim langsung saja salim
" ada apa ya kesini, ustad? " tanya dian
" kita mau silaturrahmi " jawab ustad
Dian cukup terkejut
" Ayo kalau gitu masuk ustad, bu, putri "
Yusuf berhenti makan ketika ustad dan ostrinya masuk, ia langsung berdiri
" Assalamu'alaikum, ustad "
" Wa'alaikum salam " lalu mereka berjabat tangan, dan yusuf pun memberi salam kepada lia dangan cara menyatukan kedua tangannya dan menaruhnya didepan dada leher dan wajahnya
Lia membalasnya seperti itu juga
" duduk ustad " suruh yusuf, Mereka pun duduk
" putri mau makan? Ini kebetulan ibu bikin makanan "
" nggak bu, tadi putri udah makan "
" iya, tadi kita udah makan sebelum kesini "
" yaudah, tapi maap yah saya nggak punya jamuan " ucap dian sambil tersenyum kakuk
" ah nggak papa bu " jawab Lia sambil tersenyum
Lalu mereka berbincang-bincang mengenai sekolah Baim, ustadz dan lia ingin baim bersekolah lagi.
" kita udah bicara sama pihak sekolah, katanya baim bisa sekolah lagi dari kelas 4 awal " terang ustad
" tapi saya nggak sanggup buat biayain sekolahnya baim " jawab dian, yusuf hanya menunduk dalam malu
" begini bu, kita berniat untuk membantu baim " dian begitu kaget mendengarnya, ia hampir tak kuasa menahan air matanya kalau saja Yusuf tak mengusap punggungnya
Baim mencerna semua percakapan mereka, matanya pun mulai berkaca-kaca
" tapi saya juga minta kerja samanya agar kalian selalu memberi semangat kepada baim "
" iya pak, terima kasih " ucap yusuf sambil berkaca-kaca
" iya pak, sama-sama "
" oh iya, saya bawa makanan " ucap Lia sambil menyodorkan kantong
" ah bu, saya jadi nggak enak "
" nggak papa bu " dian menerimanya
" ditampi ya bu " Lia mengangguk
" baim " panggil Ustadz
" iya ustad? "
" Sekolah lagi yah " baim mengangguk sambil tersenyum
Ustadz mengajak baim dan putri keluar, Sedangkan Lia mengobrol dengan Yusuf dan Dian
" kalian diem disitu, sejajar yah " ustadz mundur beberapa langkah
" mau ngapain abi? "
" kita ambil poto " ustadz mengeluarkan hpnya
" baim rangkul putri, putri juga rangkul baim " suruh ustadz
" gini aja ustad " ucap baim sambil berdiri tegak
" nggak papa im, kalian belum baligh ini "
Putri merangkul baim, baim kaget namun iya pun mengikutinya
Mereka menghadap ke kamera
" jangan lupa senyum pepsodentnya " ucap ustadz yang langsung diikuti oleh mereka dengan senang hati
" 1 2 3 "
Cekrek
Gambar berhasil ditangkap, putri dan baim tampak gembira
Baim dan putri melihat hasil potonya, lalu mereka tertawa melihat ada cabai kecil yang menyangkut di gigi baim
Ustadz juga tertawa, namun ia langsung memundurkan diri beberapa langkah dan dia dengan sigap memfoto momen tersebut
Baim berterima kasih kepada sang illahi, karena telah mempertemukan dia dengan ustadz dan putri yang sudah membantu dirinya serta orangtuanya
Baim akan berusaha untuk membalas budi kepada ustadz dan istrinya
Baim pun akan mempertahankan pertemanannya dengan putri
Bulan Ramadhan Tahun Ini Berlalu Dengan Menyisakan Kebahagiaan Bagi Baim.
Description: Nama : Uly Nuha, IG : @nuhaulyyyyyyy
"cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #RahmatUntukSemua2020 – Pelajar/Santri
" pasti ada kok im yang mau main sama kamu "
" kalau ada, Alhamdulillah banget " jawab Baim sambil tersenyum
" putri mau kok jadi temen baim " celetuk putri sambil tersenyum
Baim menanggapinya dengan senyuman sumringah sampai deretan giginya terlihat
" tuh kan, ada yang mau main kamu. Sekarang kalian jadi teman yah "
|
Title: Review Novel Atheis
Category: Novel
Text:
Review Setelah Membaca Atheis Berulang Kali
Bukan karena takut pada stigma kafir hingga baru membaca novel ‘luar biasa’ ini sekarang. Saya lahir jauh setelah peristiwa pemberontakan G30S-PKI, jaman di mana atheis dan komunisme dianggap sama dan sebangun. Butuh lingkungan yang memadai untuk mencerna karya-karya sastra karangan angkatan Balai Pustaka. Boeng, gaya bahasa angkatan Balai Pustaka istimewa.
Terkecuali syair-syair Chairil Anwar, pilihan kata, rima dan gaya menulis jauh melampaui jamannya, lebih baru dari angkatan pujangga baru. Coba pekikkan satu bait syair Chairil, Aku ini binatang jalang! Generasi kelahiran tahun 90 yang belum mengenal syair Chairil Anwar sebelumnya, bisa salah sangka baot tersebut karya penyair generasi MTV.
Setelah Menamatkan Novel Atheis Sekali
Kembali ke novel karya Achdiat K. Mihardja yang diterbitkan Balai Pustaka 68 tahun silam (1948). Novel luar biasa. Luar biasa karena pesan yang ingin disampaikannya ternyata masih relevan saat ini, setelah abad berganti.
Tokoh Hasan digambarkan sebagai seorang penganut agama yang taat, luluh lantak keyakinannya saat diberondong oleh rasionalitas kawan-kawannya (Rusli, Kartini dan Anwar) setelah pindah ke kota Bandung. Dan makin pupus keyakinannya saat jatuh cinta pada Kartini.
Melalui tokoh Hasan, seolah Achdiat ingin menyampaikan bahwa bangunan keyakinan yang selama ini kita kenal melalui agama adalah bangunan yang rapuh, karena hanya memiliki sandaran dogma ayat kitab suci dan petuah guru. Hasan yang membangun keyakinan beragamanya dengan cara demikian, tidak berdaya saat diberondong dengan rasionalitas kawan-kawannya.
Saat Hasan diajak ke kuburan keramat oleh Anwar, makin sejajar posisi antara agama yang diyakininya dengan takhyul yang diyakini oleh orang-orang kampungnya. Bahwa ketakutannya pada dosa, pada neraka sama seperti ketakutannya pada kuburan keramat.
Kejadian yang menyentil pondasi keyakinan Hasan hingga rubuh seluruh. Hingga Hasan merasa harus mendebat ibu bapaknya tentang agama yang mereka anut, agama sama seperti mistisme yang masih kental di masyarakat ketika itu.
Melalui tokoh Hasan pula, Achdiat K. Mihardja menyampaikan pesan kegagalan rasionalitas dalam memanusiakan manusia lain. Akal sehat Anwar bisa meruntuhkan bangunan feodalisme di kampung Hasan, akal sehat pula yang membuat Hasan gagal memanusiakan kedua orang tuanya di masa tua mereka.
Coba ganti setting ‘vintage’ tahun 1948 pasca proklamasi kemerdekaan dalam novel Atheis ganti dengan setting masa sekarang, masih sama pergolakan yang dialami oleh kaum rasionalis dan kaum agamawan. Sama, di masa sekarang agama masih dijadikan alat politik, akibatnya agama lebih sering jadi sumber masalah ketimbang menjadi jalan keluar dari persoalan yang dihadapi umat manusia.
Kegundahan Achdiat terasa melalui tokoh Hasan dalam novel ini. Gundah pada kerapuhan keyakinan beragama dan gundah pada hitam-putih rasionalitas. Tergambar pada Hasan yang bangunan keyakinannya rapuh karena pondasi dogma, bukan pencarian, temuan, pembelajaran dan pengalaman. Keyakinan yang dibangunnya dengan meyakini apapun kata gurunya saat belajar tarekat adalah benar dan langsung dari Tuhan, hingga terkena sakit paru-paru karena mengerjakan amalan yang diberitahukan gurunya untuk menyucikan diri. Mencelupkan diri ke dalam kali, kemudian keluar hingga badannya kering oleh angin, lalu kembali menceburkan diri, hingga 40 kali berulang.
Namun Achdiat terasa masih takut mendobrak habis-habisan apa yang dianggapnya sebagai pondasi keyakinan yang rapuh. Hasan yang terlanjur ‘durhaka’ pada ibu bapaknya, terpuruk dengan rasa bersalah di akhir-akhir kisah. Bahkan Achdiat merasa harus menghukum Hasan dengan akhir hidup yang tragis di akhir kisah.
Kartini yang kemudian menjadi istrinya membuatnya cemburu karena dekat dengan Anwar sahabatnya, meskipun kecurigaan dan kecemburuan Hasan tidak pernah terbukti.
Setelah Menamatkan Dua Kali
Pendobrakan Achdiat melalui tokoh Hasan yang terasa setengah hati sebenarnya bukan daerah abu-abu, ragu antara atheis dan theis. Setelah membaca kembali ke bab-bab awal novel ini. Setengah ruang memang sengaja dibiarkan Achdiat kosong, dia ingin pembaca novelnya yang mengisi sendiri sisanya.
Achdiat ingin pembacanya merombak ulang pondasi bangunan keyakinan beragama, bukan untuk dirata tanahkan namun untuk dibangun ulang dengan pondasi yang lebih kokoh. Dia ingin pembacanya selesai menggunakan akal sehat dalam beragama, agar umat beragama tidak diperalat saat agama dijadikan alat politik.
Kisah hidup Hasan yang berakhir tragis bukan hukuman dari Achdiat untuk mereka yang Atheis, lebih terasa sebagai nasihat. Agar dalam mengolah diri setiap orang harus berhati-hati. Baik pada diri sendiri maupun dalam mengajak orang lain menempuh jalan yang sama.
Melalui Hasan yang masih berjalan menuju Tuhan dengan jalan agama, Achdiat mengingatkan bahwa tidak semestinya seorang ‘pejalan’ yang belum selesai berjalan melalui jalan agama berani mengajak orang lain menempuh jalan yang sama.
Hasan yang awalnya ingin ‘mengislamkan’ dan ‘menginsyafkan’ sahabatnya Rusli dan Kartini, malah terpengaruh dengan kemampuan Rusli menerima perbedaan. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
“Dan pertempuran antara pikiran dan nafsu amarah itu rupanya terbayang pada mukaku dan kelihatan oleh Rusli, sehingga berkatalah Rusli dengan suara yang mengandung sesal, "O maaf Saudara, bukan sekali-kali maksud saya untuk menyinggung hati Saudara, apalagi menyinggung kepercayaan saudara. Sekali-kali itu bukanlah maksud saya."”
Sikap yang tidak ditemui Hasan saat mengikuti pengajian tarekat. Pengajian dan diskusi usai shalat Isya di kampungnya justru sering menertawakan paham dan keyakinan tarekat aliran yang berbeda dengannya.
Setelah Membaca Tiga Kali
Makin kental kesan Achdiat melalui novel Atheis ingin merekonstruksi bangunan keyakinan umat beragama dan kaum rasionalis.
Achdiat mengingatkan bahwa kebenaran rasional, kebenaran ilmiah tidak permanen, selalu berubah-ubah bila telah ditemukan bukti baru yang membatalkan kebenaran sebelumnya. Kebenaran ilmiah memang nampak lemah bila dipandang dari ketiadaan kebenaran yang bersifat absolut di sana. Namun dari ketiadaan kebenaran absolut tersebut, sejatinya kaum rasionalis adalah kaum yang paling siap berubah dan beradaptasi. Siap disalahkan dan mengaku salah bila ditemukan bukti baru. Achdiat juga mengeritik kedekatan antara rasionalistis dan individualistis lewat nasib kedua orang tua Hasan yang ditinggalnya pergi di masa tua tanpa sekalipun dijenguk setelah berdebat.
Bangunan keyakinan beragama yang dimiliki Achdiat telah selesai ia rekonstruksi sebelum menulis novel Atheist. Nampak saat Hasan ingin mendebat Anwar di suatu pesta yang dihadirinya bersama Rusli dan Kartini.
Anwar yang menggosokkan getah madat (opium) pada batang rokok, ketika ditegur Rusli apa yang ia lakukan. Anwar menjawab, ia sedang menggosokkan tuhan pada batang rokoknya, karena menurut Karl Marx Tuhan adalah candu, dan setelah rokok ini kuhisap, aku adalah tuhan, sambung Anwar.
Hasan yang marah dan mendidih darahnya ingin membantah dan mendebat Anwar habis-habisan, mendadak mengurungkan niat setelah terdiam.
Hasan membatin. Bila ia mendebat Anwar, maka ia telah merasa dirinya Tuhan. Tuhan yang tersinggung saat disamakan dengan madat, tuhan yang tersinggung karena dianggap candu.
Saat Hasan mengurungkan niat berdebat karena kesadaran dirinya bukan Tuhan, kok ikut-ikutan tersinggung saat diolok-olok Anwar, bahwa Tuhan yang membebaskan manusia menjelajahi ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah Tuhan yang ringkih hingga perlu dibela, saat itu Hasan telah mendekati kadar aqidah yang semakin murni.
Description: Bukan karena takut pada stigma kafir hingga baru membaca novel ‘luar biasa’ ini sekarang. Saya lahir jauh setelah peristiwa pemberontakan G30S-PKI, jaman di mana atheis dan komunisme dianggap sama dan sebangun. Butuh lingkungan yang memadai untuk mencerna karya-karya sastra karangan angkatan Balai Pustaka. Boeng, gaya bahasa angkatan Balai Pustaka istimewa.
Terkecuali syair-syair Chairil Anwar, pilihan kata, rima dan gaya menulis jauh melampaui jamannya, lebih baru dari angkatan pujangga baru. Coba pekikkan satu bait syair Chairil, Aku ini binatang jalang! Generasi kelahiran tahun 90 yang belum mengenal syair Chairil Anwar sebelumnya, bisa salah sangka baot tersebut karya penyair generasi MTV.
Setelah Menamatkan Novel Atheis Sekali
Kembali ke novel karya Achdiat K. Mihardja yang diterbitkan Balai Pustaka 68 tahun silam (1948). Novel luar biasa. Luar biasa karena pesan yang ingin disampaikannya ternyata masih relevan saat ini, setelah abad berganti.
Tokoh Hasan digambarkan sebagai seorang penganut agama yang taat, luluh lantak keyakinannya saat diberondong oleh rasionalitas kawan-kawannya (Rusli, Kartini dan Anwar) setelah pindah ke kota Bandung. Dan makin pupus keyakinannya saat jatuh cinta pada Kartini.
Melalui tokoh Hasan, seolah Achdiat ingin menyampaikan bahwa bangunan keyakinan yang selama ini kita kenal melalui agama adalah bangunan yang rapuh, karena hanya memiliki sandaran dogma ayat kitab suci dan petuah guru. Hasan yang membangun keyakinan beragamanya dengan cara demikian, tidak berdaya saat diberondong dengan rasionalitas kawan-kawannya.
Saat Hasan diajak ke kuburan keramat oleh Anwar, makin sejajar posisi antara agama yang diyakininya dengan takhyul yang diyakini oleh orang-orang kampungnya. Bahwa ketakutannya pada dosa, pada neraka sama seperti ketakutannya pada kuburan keramat.
Kejadian yang menyentil pondasi keyakinan Hasan hingga rubuh seluruh. Hingga Hasan merasa harus mendebat ibu bapaknya tentang agama yang mereka anut, agama sama seperti mistisme yang masih kental di masyarakat ketika itu.
Melalui tokoh Hasan pula, Achdiat K. Mihardja menyampaikan pesan kegagalan rasionalitas dalam memanusiakan manusia lain. Akal sehat Anwar bisa meruntuhkan bangunan feodalisme di kampung Hasan, akal sehat pula yang membuat Hasan gagal memanusiakan kedua orang tuanya di masa tua mereka.
Coba ganti setting ‘vintage’ tahun 1948 pasca proklamasi kemerdekaan dalam novel Atheis ganti dengan setting masa sekarang, masih sama pergolakan yang dialami oleh kaum rasionalis dan kaum agamawan. Sama, di masa sekarang agama masih dijadikan alat politik, akibatnya agama lebih sering jadi sumber masalah ketimbang menjadi jalan keluar dari persoalan yang dihadapi umat manusia.
Kegundahan Achdiat terasa melalui tokoh Hasan dalam novel ini. Gundah pada kerapuhan keyakinan beragama dan gundah pada hitam-putih rasionalitas. Tergambar pada Hasan yang bangunan keyakinannya rapuh karena pondasi dogma, bukan pencarian, temuan, pembelajaran dan pengalaman. Keyakinan yang dibangunnya dengan meyakini apapun kata gurunya saat belajar tarekat adalah benar dan langsung dari Tuhan, hingga terkena sakit paru-paru karena mengerjakan amalan yang diberitahukan gurunya untuk menyucikan diri. Mencelupkan diri ke dalam kali, kemudian keluar hingga badannya kering oleh angin, lalu kembali menceburkan diri, hingga 40 kali berulang.
Namun Achdiat terasa masih takut mendobrak habis-habisan apa yang dianggapnya sebagai pondasi keyakinan yang rapuh. Hasan yang terlanjur ‘durhaka’ pada ibu bapaknya, terpuruk dengan rasa bersalah di akhir-akhir kisah. Bahkan Achdiat merasa harus menghukum Hasan dengan akhir hidup yang tragis di akhir kisah.
Kartini yang kemudian menjadi istrinya membuatnya cemburu karena dekat dengan Anwar sahabatnya, meskipun kecurigaan dan kecemburuan Hasan tidak pernah terbukti.
Setelah Menamatkan Dua Kali
Pendobrakan Achdiat melalui tokoh Hasan yang terasa setengah hati sebenarnya bukan daerah abu-abu, ragu antara atheis dan theis. Setelah membaca kembali ke bab-bab awal novel ini. Setengah ruang memang sengaja dibiarkan Achdiat kosong, dia ingin pembaca novelnya yang mengisi sendiri sisanya.
Achdiat ingin pembacanya merombak ulang pondasi bangunan keyakinan beragama, bukan untuk dirata tanahkan namun untuk dibangun ulang dengan pondasi yang lebih kokoh. Dia ingin pembacanya selesai menggunakan akal sehat dalam beragama, agar umat beragama tidak diperalat saat agama dijadikan alat politik.
Kisah hidup Hasan yang berakhir tragis bukan hukuman dari Achdiat untuk mereka yang Atheis, lebih terasa sebagai nasihat. Agar dalam mengolah diri setiap orang harus berhati-hati. Baik pada diri sendiri maupun dalam mengajak orang lain menempuh jalan yang sama.
Melalui Hasan yang masih berjalan menuju Tuhan dengan jalan agama, Achdiat mengingatkan bahwa tidak semestinya seorang ‘pejalan’ yang belum selesai berjalan melalui jalan agama berani mengajak orang lain menempuh jalan yang sama.
Hasan yang awalnya ingin ‘mengislamkan’ dan ‘menginsyafkan’ sahabatnya Rusli dan Kartini, malah terpengaruh dengan kemampuan Rusli menerima perbedaan. Berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut:
“Dan pertempuran antara pikiran dan nafsu amarah itu rupanya terbayang pada mukaku dan kelihatan oleh Rusli, sehingga berkatalah Rusli dengan suara yang mengandung sesal, "O maaf Saudara, bukan sekali-kali maksud saya untuk menyinggung hati Saudara, apalagi menyinggung kepercayaan saudara. Sekali-kali itu bukanlah maksud saya."â€
Sikap yang tidak ditemui Hasan saat mengikuti pengajian tarekat. Pengajian dan diskusi usai shalat Isya di kampungnya justru sering menertawakan paham dan keyakinan tarekat aliran yang berbeda dengannya.
Setelah Membaca Tiga Kali
Makin kental kesan Achdiat melalui novel Atheis ingin merekonstruksi bangunan keyakinan umat beragama dan kaum rasionalis.
Achdiat mengingatkan bahwa kebenaran rasional, kebenaran ilmiah tidak permanen, selalu berubah-ubah bila telah ditemukan bukti baru yang membatalkan kebenaran sebelumnya. Kebenaran ilmiah memang nampak lemah bila dipandang dari ketiadaan kebenaran yang bersifat absolut di sana. Namun dari ketiadaan kebenaran absolut tersebut, sejatinya kaum rasionalis adalah kaum yang paling siap berubah dan beradaptasi. Siap disalahkan dan mengaku salah bila ditemukan bukti baru. Achdiat juga mengeritik kedekatan antara rasionalistis dan individualistis lewat nasib kedua orang tua Hasan yang ditinggalnya pergi di masa tua tanpa sekalipun dijenguk setelah berdebat.
Bangunan keyakinan beragama yang dimiliki Achdiat telah selesai ia rekonstruksi sebelum menulis novel Atheist. Nampak saat Hasan ingin mendebat Anwar di suatu pesta yang dihadirinya bersama Rusli dan Kartini.
Anwar yang menggosokkan getah madat (opium) pada batang rokok, ketika ditegur Rusli apa yang ia lakukan. Anwar menjawab, ia sedang menggosokkan tuhan pada batang rokoknya, karena menurut Karl Marx Tuhan adalah candu, dan setelah rokok ini kuhisap, aku adalah tuhan, sambung Anwar.
Hasan yang marah dan mendidih darahnya ingin membantah dan mendebat Anwar habis-habisan, mendadak mengurungkan niat setelah terdiam.
Hasan membatin. Bila ia mendebat Anwar, maka ia telah merasa dirinya Tuhan. Tuhan yang tersinggung saat disamakan dengan madat, tuhan yang tersinggung karena dianggap candu.
Saat Hasan mengurungkan niat berdebat karena kesadaran dirinya bukan Tuhan, kok ikut-ikutan tersinggung saat diolok-olok Anwar, bahwa Tuhan yang membebaskan manusia menjelajahi ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah Tuhan yang ringkih hingga perlu dibela, saat itu Hasan telah mendekati kadar aqidah yang semakin murni.
|
Title: Renjana
Category: Novel
Text:
r e n j a n a
"Pada akhirnya, kau akan menyerah, pada rasamu sendiri. Akui saja, sekeras apapun usahamu untuk melupakannya, itu hanya akan membuatmu semakin ingin memilikinya."
-Renjana, sebuah rasa hati yang kuat.
Satu
***
"Kamu ngapain di sini, Mbak?"
Rana yang sedang memasak di dapur menoleh menatap ibunya. "Masak oseng tempe, Bu."
"Udah, kamu enggak usah bantuin ibu, tidur lagi atau belajar sana, ini masih jam tiga pagi," ujar Laras kemudian mengambil alih pekerjaan anaknya. "Kamu kan hari ini ada ujian, nanti kamu enggak bisa ngerjain."
"Kan cuma try out, Bu."
"Ibu percaya kamu bisa, tapi kamu enggak boleh gampangin kayak gitu," oleh Laras. "Udah balik ke kamar, tidur lagi atau belajar aja, ibu bisa kerjain sendiri."
"Iya, Bu."
Rana akhirnya mengalah, ia segera mencuci tangannya yang kotor karena bumbu-bumbu masakan. Rana menatap ibunya yang sesekali batuk-batuk itu. Ia menghela napas pelan, meski sedang sakit, sang ibu tetap saja kukuh tidak ingin merepotkannya atau Ragil –adiknya. Dengan berat hati Rana meninggalkan dapur dan kembali ke kamar dan membuka buku latihan ujian masuk perguruan tinggi negeri yang ia peroleh dari pasar loak beberapa pekan lalu. Namun tidak ada yang bisa dikerjakan lagi, karena memang semua soal di buku tebal itu sudah Rana habiskan.
Bagi Rana, soal-soal itu terlalu mudah, jadi ia bisa menyelesaikan soal-soal yang bisa dibilang sulit itu dengan cepat. Rana mulai menguap, namun ia memilih untuk tidak kembali tidur mengingat sebentar lagi azan subuh segera berkumandang. Rana mengambil buku fiksi ilmiah yang ia dapat secara cuma-cuma dari tetangganya yang berprofesi sebagai pemulung yang berbaik hati memberikan buku itu padanya, Rana mulai membaca buku itu.
Dari beribu-ribu atau bahkan ratusan anak yang kurang beruntung di dunia, memang Rana termasuk ke dalamnya. Ah, tidak, Rana tidak mau bahkan tidak pernah menyebut dirinya sebagai anak kurang beruntung, ia selalu merasa lebih beruntung karena masih memiliki ibu yang begitu menyayanginya. Ya, setidaknya tidak separah anak-anak lain yang ditelantarkan orang tuanya, bahkan ada yang tidak tahu siapa orang tuanya. Rana merasa, ia lebih beruntung dari mereka, dan ia selalu bersyukur untuk itu.
Rana hidup bersama ibu dan adiknya setelah sang ayah pergi meninggalkan mereka saat usia Rana baru menginjak dua tahun. Iya, mereka ditelantarkan oleh ayah mereka begitu saja. Sang ibu ditinggal tanpa surat cerai, bahkan tidak ada kata pisah. Ayah Rana pergi begitu saja, meninggalkan sang ibu yang sedang hamil Ragil dan tentu saja meninggalkan Rana yang waktu itu belum mengerti apa-apa.
Jika Rana ditanya siapa sosok yang ia kagumi?
Satu-satunya jawaban yang Rana miliki hanyalah ibunya.
Rana begitu mengagumi dan menyayangi sang ibu. Bagaimana tidak? Laras sudah membesarkan dan merawatnya serta Ragil seorang diri. Bukankah tidak mudah membesarkan dua anak sendiri? Ditambah Laras harus mencari mata pencaharian untuk menghidupi anak-anaknya. Oh, tidak soal menghidupi, tapi Laras juga harus mendidik anak-anaknya. Terkadang Rana bertanya-tanya bagaimana bisa Laras bertahan selama ini? Namun, semakin ia dewasa, Rana semakin mengerti. Yang membuat Laras bertahan, tentu saja karena ia adalah seorang ibu.
Di dunia ini, tidak ada satu pun ibu yang benar-benar ingin anaknya kenapa-napa.
Sekarang sang ibu memilih berjualan gorengan dan nasi bungkus setelah keluar dari pabrik karena kesehatannya yang tidak kunjung membaik. Meski penghasilannya tidak sebesar saat ada di pabrik, namun Rana bersyukur karena sang ibu banyak beristirahat di rumah. Sebenarnya Rana sangat ingin bekerja untuk membantu keuangan keluarganya, terlebih sekarang ia sudah lulus SMA. Namun Laras melarangnya, karena Laras ingin anak-anaknya fokus sekolah agar tidak sepertinya yang hanya tamatan SD, Laras ingin anak-anaknya berpendidikan tinggi.
Dan, jika Rana ditanya ingin menjadi seperti siapa?
Maka satu-satunya jawaban yang Rana miliki adalah menjadi seperti ibunya.
Rana ingin menjadi seperti ibunya lebih dari apapun. Menjadi wanita tangguh dan mandiri, tidak banyak mengeluh, dan tentu saja bekerja dengan amat keras. Dari ibunya Rana belajr tentang ketabahan, dari ibunya Rana belajar tentang keikhlasan, dari ibunya Rana belajar tentang kejujuran dan tanggung jawab, dari ibunya Rana belajar tentang hidup.
*
Seperti pagi-pagi biasanya, Rana dan Ragil berboncengan dengan satu-satunya sepeda butut yang mereka miliki melalui jalanan kumuh yang merupakan jalan di daerah rumah mereka. Namun kali ini Rana dan Ragil tidak pergi ke sekolah, karena Rana memang sudah melalui ujian nasional yang berarti ia sudah tidak lagi 'berurusan' dengan sekolah. Kali ini Ragil mengantar Rana ke halte karena si sulung harus melakukan latihan ujian untuk memasuki perguruan tinggi negeri. Namun sebelum itu, tentu saja mereka mengantar nasi bungkus dan gorengan ke beberapa warung.
"Mau ke mana Mbak Rana kok rapi banget hari libur gini?"
"Oh, saya mau latihan ujian, Pak."
"Buat masuk perguruan tinggi negeri itu ya, Mbak?" Rana membenarkan. "Bukannya kemarin Pak Dahlan udah minta Mbak Rana buat nikah sama anak sulungnya, Mas Rafli itu ya?" Rana hanya tersenyum kikuk. "Padahal kalau Mbak Rana mau nikah sama Mas Rafli, hidup Mbak Rana bakal enak, orang dia anak tunggal juragan sapi."
"Saya nggak akan biarin Mbak Rana nikah sama laki-laki yang enggak bertanggungjawab, Pak," sahut Ragil yang sudah kesal dengan laki-laki yang terkenal suka bergosip itu. "Lebih baik kami hidup seadanya daripada harus bergantung sama mereka."
Rana menarik Ragil yang terlihat sedang emosi. "Kami permisi, Pak, nanti kami ambil seperti biasa ya, Pak," pamit Rana. "Ayo, Gil."
Rana bergegas menarik Ragil menjauh dari warung itu sebelum Kodir –laki-laki tadi, terpancing emosi. "Enggak seharusnya kamu kayak gitu, Gil," omel Rana. "Kalau Pak Kodir sampai marah, kitaa mau nitipin dagangan ibu ke mana lagi? Cuma di tempat Pak Kodir dagangan ibu lumayan banyak yang beli."
"Terus aku harus diem aja kalau keluargaku direndahin orang lain gitu?!" Ragil mendengus kesal. "Mau sampai kapan kita diem aja kalau orang lain ngehina kita?! Ngerendahin kita?!"
"Ragil! Buat apa dengerin omongan orang lain yang jelas-jelas enggak tahu kehidupan kita yang sebenernya? Buat apa dengerin orang lain yang enggak tahu sama sekali tentang keluarga kita?" sahut Rana. "Buat apa kita susah-susah nutup mulut orang-orang padahal kita cuma punya dua tangan padahal tangan kita aja cuma bisa buat cari makan?" Rana menghela napas pelan, ia meletakkan dua telapak tangannya di telinga Ragil. "Yang harus kita lakuin cuma nutup telinga kita."
Ragil mendengus dan menyingkirkan tangan Rana dari telinganya. "Mbak sama ibu sama aja, selalu pura-pura bahagia padahal aslinya menderita," ujar Ragil yang sukses menohok hati Rana. "Mbak tahu, nggak semua hal bisa dibuat baik-baik aja,"
"Karena kita manusia yang kadang-kadang harus ngerasain sedih dan menderita."
*
Rana menatap keluar lapangan bola melalui jendela kelas yang nampak lengang, anak-anak lain sedang mengerjakan soal-soal mereka, sama seperti dirinya saat ini. Namun Rana sudah bosan dengan soal-soal yang ia hadapi, maka ia memutuskan untuk berhenti. Ah, bukan, ia sudah menyelesaikan hampir semua soal latihan ujian tersebut.
Tak lama pengawas ujian mengumumkan bahwa ujian sudah selesai, dengan patuh Rana dan anak lainnya mengumpulkan lembar soal dan jawaban. Rana bergegas keluar kelas dan pulang, ia ingin segera pulang, karena berada di kerumunan seperti ini membuatnya lelah.
Rana segera pergi ke halte untuk mencari bus yang bisa membawanya pulang. Matanya menatap anak-anak lain yang diantar-jemput orang tuanya, bahkan ada yang ditunggu. Tidak bisa dipungkiri, terkadang ia menginginkan hal-hal kecil seperti itu terjadi padanya. Meski terkesan manja, tapi sungguh, Rana belum pernah merasakan hal-hal itu seumur hidupnya.
"Kamu Sasikirana dari SMA dua, kan?"
Lamunan Rana buyar ketika seorang wanita menyapanya. "I—iya, Bu," jawab Rana ragu. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa bicara sebentar?" Rana menatap wanita itu, menimbang apakah ia harus ikut atau tidak. "Saya bukan orang jahat, saya orang tua salah satu teman kamu."
Meski ragu, akhirnya Rana mengiyakan, mengikuti wanita itu pergi ke sebuah kedai kopi yang terletak tidak jauh dari halte bus. Mereka duduk berseberangan, dari penampilan orang itu, Rana cukup bisa menilai jika wanita itu adalah wanita yang bermartabat dan tentu saja dari kalangan atas. Tapi kenapa ingin bertemu dengannya?
"Perkenalkan Nak Sasikirana, nama saya Rosa."
"Rana, panggil saya Rana saja, Bu."
Rosa –wanita itu, tersenyum simpul. "Baik, Nak Rana," Rosa tersenyum. "Saya orang tua salah satu teman sekolah kamu," Rana mengangguk mengerti. "Saya langsung saja karena waktu saya tidak banyak," Rana mengernyit samar. "Jika Nak Rana berkenan, saya meminta tolong Nak Rana untuk membantu anak saya belajar untuk ujian masuk perguruan tinggi negeri."
"S—saya?"
Rosa mengangguk. "Saya tahu kamu anak paling cerdas di sekolah, yang selalu mendapat peringkat satu di sekolah, untuk itu saya meminta tolong Nak Rana untuk membantu anak saya," jelas Rosa. "Tenang saja, saya akan memberikan gaji yang layak untuk Nak Rana," Rana terdiam. "Jika anak saya berhasil masuk ke fakultas dan universitas yang anak saya inginkan, saya dengan senang hati membayar kuliah kamu, di universitas dan fakultas manapun yang kamu inginkan. Ah, kamu sudah diterima di fakultas kedokteran lewat jalur undangan, kan?" Rana membenarkan. "Kamu bisa menerima itu dan enggak perlu khawatir soal biaya, saya akan membiayai uang kuliah dan membiayai semua keperluan kuliahmu."
Rana terdiam sejenak, menimbang tawaran dari wanita yang baru ia kenal itu, tapi penawaran dari wanita itu akan sangat menguntungkan dirinya. Rana tidak perlu melakukan ujian lagi untuk masuk ke fakultas yang biaya kuliahnya lebih rendah dan yang terpenting ia bisa menggapai mimpinya untuk menjadi dokter.
"Saya sudah putus asa dengan anak saya yang tidak kunjung bisa mencapai apa yang diharapkan," keluh Rosa. "Tolong bantu saya."
"Kapan saya bisa mulai, Bu?"
Senyum cerah tercetak jelas di wajah wanita itu. "Besok pagi," jawab Rosa. "Mulai besok pagi kamu datang ke alamat ini," wanita itu memberinya selembar kertas yang berisi alamat rumah. "Saya tunggu kamu besok pagi."
Rana tidak tahu keputusannya ini benar atau tidak. Tapi semoga saja keberuntungan berpihak padanya kali ini. Rana ikut pergi ketika wanita itu pergi, memiliki gaji yang bisa membantu perekonomian keluarganya, bonus mendapat beasiswa secara cuma-cuma karena mengajar, kapan lagi Rana bisa seberuntung ini?
Tidak seperti tadi pagi saat berangkat, kini Rana pulang dengan suasana hati yang cukup baik. Rana mengambil hasil dagangan ibunya terlebih dahulu di warung-warung sebelum pulang ke rumah. Rana memasuki rumahnya dan mendapati rumah yang sepi.
"Bu?" Rana mencoba memanggil ibunya. "Ragil?"
Aneh, tidak ada orang di rumah, dan rumah tidak dikunci?
Namun samar-samar terdengar suara dari dapur, Rana bergegas pergi ke dapur. Mata Rana melebar ketika melihat Ragil dengan wajah babak belur sedang bersimpuh di hadapan ibunya dengan tangan menengadah, sementara sang ibu terus memukul tangan Ragil dengan sebilah lontar.
"Ibu! Udah, Bu!"
"Diem kamu, Rana! Adikmu ini baru aja sok jagoan karena berantem sama Rahmat!" Rana menatap Ragil yang tak berkutik. "Tambah gede bukannya tambah mapan tapi tambah kayak anak kecil!"
"Aku nggak bisa diem aja waktu Rahmat sama temen-temennya ngehina Mbak Rana sama ibu!"
Laras menatap tajam putranya. "Tapi apa harus kamu mukulin dia?!" hardik Laras yang terlihat begitu marah dengan Ragil. "Pernah ibu ngajarin kamu buat mukul orang?! Pernah ibu ngajarin kamu buat ngehina orang?!" nada suara Laras meninggi. "Meskipun kita sering dihina, enggak seharusnya kita balik ngehina orang, Gil. Karena kalau kita bales perbuatan mereka, apa yang ngebuat kita beda sama mereka?"
Ragil terdiam. "Kita emang orang miskin, tapi bukan berarti mental sama harga diri kita juga miskin! Paham?!" sambung Laras kemudian membuang lontar yang ia gunakan untuk memukul tangan putranya dan pergi.
Rana menghela napas pelan dan membantu Ragil berdiri. "Ayo mbak obati." Rana bergegas mengambil kotak obat untuk mengobati luka adiknya.
"Emang salah ya kalau aku bela dan ngelindungin keluargaku?" Rana yang sedang mengobati luka Ragil terdiam. "Aku cuma manusia yang bisa enggak terima kalau orang-orang yang aku sayang dihina atau disakiti orang lain."
Rana tersenyum simpul. "Kamu enggak salah," sahut Rana. "Cuma caramu yang salah," Ragil menghela napas berat. "Membela dan melindungi bukan berarti harus menyakiti orang lain, Gil. Saat ini kamu mungkin enggak paham sama apa yang ibu omongin,"
"Tapi nanti, kalau kamu udah lebih dewasa, kamu akan ngerti."
***
Dua
***
Seperti janjinya dengan salah seorang orang tua temannya kemarin, pagi ini Rana pergi ke rumah wanita itu. Meski sedikit gugup dan ragu, namun Rana merasa bertanggung jawab karena sudah berjanji akan datang pagi ini. Berbekal alamat rumah yang ia dapatkan kemarin sore, Rana mencari rumah wanita itu yang ternyata berada di kawasan elit.
Sungguh, Rana merasa malu ketika menatap rumah-rumah itu, bahkan saat Rana baru saja memasuki gerbang kompleks. "Ada perlu apa, Dik?" tanya seorang petugas keamanan yang sepertinya menyadari bahwa Rana kebingungan.
"E—saya mencari alamat rumah ini, Pak." jawab Rana sambil memperlihatkan selembar kertas yang berisi alamat rumah itu.
Petugas keamanan itu mengangguk mengerti. "Mbak asisten rumah tangganya Bu Rosa yang baru ya?"
"E—"
"Ini dari sini mbak lurus aja nanti ketemu perempatan pertama belok kanan, rumah nomor tiga di kanan jalan. Rumahmya paling besar, nanti ada nomor sama nama pemilik rumahnya, Rahadian Mahendra."
Belum sempat Rana menjelaskan, laki-laki paruh baya itu memotong kalimatnya. Namun Rana memilih bergegas pergi mencari rumah Rosa, seperti arahan petugas keamanan itu, perempatan pertama, belok kanan, rumah nomor tiga di kanan jalan, dan jangan lupakan, rumah paling besar. Tidak butuh waktu lama Rana sudah menemukan rumah yang dimaksud petugas keamanan tadi, rumah nomor tiga di kanan jalan, yang paling besar dan terdapat papan nama Rahadian Mahendra.
Rana terpaku ketika melihat rumah itu, begitu megah dan mewah, berbanding terbalik dengan rumahnya.
Ragu-ragu Rana menekan bel yang ada di luar pagar rumah itu. "Halo, dengan siapa?" tanya seseorang yang berbicara entah di mana, namun suara orang itu berasal dari speaker bel rumah itu. "Mbak?"
Rana terkejut saat seseorang yang mengajaknya berbicara mengetahui bahwa dirinya seorang perempuan, Rana menatap sekitar, apakah ada kamera pengintai?
"Maaf, saya Rana, Sasikirana—"
"Oh, Mbak Rana," ujar orang itu yang seolah sudah menunggunya. "Silakan masuk, Mbak, ibu sudah menunggu."
Tak lama pintu gerbang kecil terbuka, Rana memberanikan diri untuk masuk dan tidak lupa menutup kembali gerbang itu. "Selamat datang, Mbak Rana," Rana hampir meloncat ketiga mendapati seorang wanita muda, berusia sekitar dua puluh tahunan, menyapanya. Rana tersenyum kiku. "Silakan, Mbak."
Rana menatap rumah itu dengan saksama, begitu luas dan mewah. Dengan gaya arsitektur modern, namun tetap asri dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh hijau di pekarangan, keasrian rumah itu ditambah dengan adanya kolam ikan yang sepertinya dibuat mengelilingi rumah. Mata Rana berkelana menyusuri setiap sudut rumah yang kebanyakan furniturnya terbuat dari kayu jati itu, didesain minimalis tetapi tidak meninggalkan kesan mewah dan tentunya sangat nyaman untuk dihuni.
Hal tersebut sangat berbeda dengan rumahnya yang berada di pemukiman kumuh dan padat penduduk, rumah Rana mungkin tidak lebih besar dari ruang tamu rumah Rosa. Di rumah ini mungkin orang-orang tidak perlu takut kedinginan saat musim hujan tiba karena memiliki penghangat ruangan, dan tidak perlu khawatir saat kepanasan di saat musim panas tiba, rumah ini memiliki pendingin ruangan di setiap ruangan. Hal yang tidak pernah bisa Rana dapatkan di rumahnya yang lembab, berdebu, dan banyak nyamuk.
Ya, tidak heran jika Rosa berani membayar uang kuliahnya demi membuat Rana mau membantu anaknya belajar.
"Selamat datang di rumah tante, Rana," ujar Rosa dengan ramah. "Tante kira kamu enggak jadi ke sini," Rana tersenyum kikuk. "Kamu langsung ngajar anak saya aja ya."
Rana mengangguk. "Sih, antar Rana ke perpustakaan ya, terus panggilin si anak nakal," titah Rosa pada asisten rumah tangga yang menyapa Rana tadi. "Tante tinggal ya, Rana."
"Iya, Tante."
"Mari, Mbak," Rana bergegas mengikuti wanita itu menuju sebuah ruangan yang terletak di lantai dua rumah megah itu, Rana menatap takjub perpustakaan yang begitu besar, mungkin jika diukur akan sama besarnya dengan luas rumahnya. "Silakan duduk, Mbak."
"Oh iya, Mbak, terima kasih."
Rana masih menatap takjub perpustakaan besar itu setelah wanita tadi pergi, mungkin mencari anak Rosa. Bagi Rana, perpustakaan itu sudah bagaikan surga, dengan rak-rak besar dari kayu jati yang memenuhi dinding, kemudian sofa besar yang terbuat dari bulu angsa, dan kaca besar yang memperlihatkan pepohonan di halaman belakang. Tempat ini benar-benar surga dunia, terlebih banyak buku-buku yang pasti akan menarik di baca.
"Mbak Rana, ini Mas Bara."
Rana menatap seseorang yang baru saja masuk ke perpustakaan. Tubuh Rana kaku saat menyadari jika orang yang menjadi 'murid'nya adalah salah satu siswa laki-laki di sekolahnya, Rana pikir muridnya adalah siswa perempuan. Rana tidak begitu tahu mengenai laki-laki ini, karena memang ia hanya beberapa kali melihat sosok laki-laki yang kata teman-temannya tukang pembuat onar ini.
"Aku Bara."
Rana menatap uluran tangan laki-laki itu dan dengan ragu menjabat tangannya. "Sasikirana, Rana," setelah menyebut namanya, Rana buru-buru melepas jabatan tangan mereka. "E—kita mau mulai dari mana?"
"Emang bisa dimulai dari mana?"
"Mungkin dari pelajaran yang menurutmu susah?" Rana kembali duduk dan mengeluarkan beberapa buku yang ia bawa dari tasnya. "Dari materi-materi di latihan ujian, mana yang menurutmu susah?"
"Semua."
Rana tertegun dan kini Rana mulai berpikir, apakah keputusannya untuk mengajar les ini tepat? Apakah ia bisa membantu laki-laki ini?
*
Sudah dua jam berlalu sejak Rana memulai pelajarannya, namun Bara belum juga membalik halaman buku soal latihan, padahal Rana hanya ingin tahu materi mana yang belum dikuasai Bara. Tapi ternyata memang semua materi belum Bara kuasai dengan baik.
"Bisa nggak kita mulai pelajarannya aja?"
Seratus.
Ini adalah ke-seratus kalinya Bara menanyakan hal itu, namun sejak tadi Rana hanya menyuruh Bara untuk mengerjakan satu paket soal latihan ujian. "Kalau kamu emang enggak mau ngajar, mending nggak usah ngajar dan pulang!"
"Dari mana aku harus mulai pelajaran?" tanya Rana. "Kamu bilang belum paham sama semua materi buat ujian, padahal kamu belum nyoba," Rana menghela napas pelan. "Kamu terus diem di satu halaman dan enggak nyoba soal-soal di halaman lain," Bara terdiam. "Jadi, aku harus mulai dari mana?"
Rana menghela napas pelan, mengamati Bara yang nampak kesal. Rana tidak bermaksud mengulur waktu, ia juga tidak bermaksud membuat Bara bingung. Rana hanya ingin tahu sejauh mana kemampuan Bara. Ah, tidak hanya itu, ia ingin tahu seberapa besar niat Bara untuk belajar dan menghadapi ujian.
"Bara, dari banyak pekerjaan yang ada di dunia ini, kamu mau jadi apa?" tanya Rana, namun Bara memilih bungkam. "Kalau aku.. aku mau jadi dokter, kamu tahu kan, dokter?" Bara tetap diam. "Aku mau jadi dokter yang bisa bantu dan menambah kualitas kesehatan orang-orang miskin. Ya, meski pun enggak dibayar juga enggak apa-apa."
"Bagus, kamu bisa humble brag dengan itu."
Rana hanya tersenyum mendengar cibiran Bara. "Kalau kamu.. kamu mau jadi apa?"
"Aku rasa kamu enggak perlu tahu."
"Tapi aku perlu tahu," sahut Rana. "Aku perlu tahu biar aku bisa bantu kamu," jelas Rana. "Aku di sini, dibayar buat bantu kamu, mencapai apa yang kamu mau."
Bara tersenyum kecut. "Mungkin maksudmu mencapai apa yang orang tuaku mau," Rana terdiam. "Asal kamu tahu aja, mereka enggak pernah bener-bener dengerin apa yang aku mau."
"Orang tua selalu tahu apa yang terbaik buat anaknya, Bara."
"Tapi anak lebih tahu apa yang terbaik buat dirinya," sahut Bara. "Anak juga manusia, anak bukan robot yang bisa diatur-atur orang tuanya, anak juga punya hak untuk memilih jalan hidupnya," Rana terdiam. "Tapi apa? Mereka, para orang tua itu bersikap seolah mereka memiliki hak hidup anak."
"Memangnya keinginan apa yang belum mereka penuhi buat kamu?" tanya Rana dengan tenang. "Mobil Eropa keluaran terbaru? Atau gawai yang baru?" Rana melirik ponsel pintar milik Bara yang tergeletak di meja. "Aku rasa kamu punya semuanya."
Bara menatap Rana tajam. "Kamu enggak akan tahu rasanya jadi aku."
"Enggak semua anak bisa seberuntung kamu, Bara," ujar Rana, ia menghela napas pelan. "Meski sering sibuk, tapi kamu masih punya orang tua lengkap, mereka masih sering kasih waktu luang buat nemenin kamu, kan? Dan kebutuhanmu selalu dipenuhi juga, kan? Jadi, bagian mana yang membuat orang tuamu memperlakukan anak seperti robot?" tanya Rana yang membuat Bara terdiam. "Enggak apa-apa buat marah dan kecewa, tapi jangan pernah lupa buat bersyukur. Karena kita enggak pernah tahu siapa yang ingin di posisi kita saat ini, kamu enggak pernah tahu kalau di luar sana banyak anak yang mau kayak, punya orang tua yang lengkap dan hidup berkecukupan."
Rana menghela napas pelan. "Aku rasa hari ini cukup sampai di sini, dan aku harap besok kamu mau kasih tahu apa targetmu."
*
Rana memang benar-benar pulang setelah berdebat dengan Bara, namun kini ia benar-benar memikirkan perkataannya tadi. Apakah ia berlebihan? Apakah kata-katanya menyinggung Bara?
Rasanya Rana ingin memutar kembali waktu dan langsung memberi pelajaran pada Bara saja daripada beradu mulut hingga membuatnya merasa bersalah dan Bara tidak mendapat ilmu apa-apa.
Rana menatap benda persegi panjang yang baru ia dapatkan tadi siang, sebuah ponsel pintar. Sebelum pulang tadi Rosa memberikan sesuatu yang sulit Rana miliki itu dengan alasan agar mereka mudah berkomunikasi, terutama tentang proses pembelajaran Bara.
Rana pikir Bara bukan anak yang bodoh, Bara juga bukan anak yang susah memahami materi. Tapi mengapa Rosa terlihat begitu khawatir?
"Kamu kenapa mikir sampai alisnya mau nyatu gitu?"
Rana terkejut ketika sang ibu masuk kamar. "Ibu.."
"Mikirin apa sih kamu?" Rana hanya menggeleng ia kemudian menggeser posisi duduknya agar sang ibu juga bisa duduk di ranjang. "Kamu dapet dari mana?"
Rana menatap ibunya bingung, namun beberapa saat kemudian ia tersadar. "Oh, aku dapet dari Bu Rosa, katanya biar gampang komunikasi."
"Ibu bersyukur kamu ketemu orang baik," Rana hanya tersenyum. "Kamu bakal ngajar sampai kapan?"
"E—mungkin sampai ujian."
Laras mengangguk mengerti, namun ia buru-buru turun dari ranjang ketika terbatuk dan segera pergi. Rana yang khawatir mengikuti sang ibu, Rana hanya menghela napas pelan ketika melihat Laras yang berusaha meredakan batuknya dengan meminum segelas air.
"Apa enggak sebaiknya kita periksa aja, Bu?" tanya Rana yang tidak tega melihat kondisi ibunya.
Laras terlihat begitu lemah dan lelah, terlebih batuknya yang tidak kunjung sembuh, bahkan terkadang Laras tidak bisa tidur karena batuknya itu. Rana pun merasa sakit ibunya semakin parah.
"Buat apa? Habis minum jahe sama kencur juga sembuh kok."
Lagi dan lagi, Rana sudah bisa menebak jawaban dari ibunya. Laras memang tidak pernah mau pergi ke dokter dan memilih cara yang herbal dengan alasan ia akan segera baik-baik saja, meski Rana tahu alasan ibunya tidak ingin pergi ke dokter. Ya, apalagi kalau bukan karena masalah biaya?
Mungkin bagi Laras, lebih baik ia menahan sakit daripada membuat anak-anaknya kelaparan. Rana sendiri sudah menyerah meminta ibunya untuk pergi ke dokter, karena hasilnya akan sama saja, Laras akan menolak.
Rana menghela napas pelan. "Kalau tambah parah mending ke dokter, Bu."
"Udah, ibu enggak apa-apa. Kamu balik ke kamar sana, udah malem, besok ke rumah Bu Rosa lagi kan?" Rana mengangguk. "Kamu tidur duluan sana, nanti ibu nyusul setelah minum jahe."
Rana kembali mengangguk. "Kalau ada apa-apa panggil aku ya, Bu."
Laras mengulum senyumnya dan mengangguk, Rana pun bergegas kembali ke kamar untuk tidur. Meski sebenarnya hati Rana tidak tenang karena memikirkan kondisi ibunya, Rana benar-benar khawatir dengan ibunya. Tidak, ia takut.
Ia benar-benar takut jika ibunya pergi, meninggalkannya sendiri.
***
Tiga
***
Hari ini Rana kembali ke rumah Rosa, dengan harapan Bara sudah memiliki tujuannya masuk universitas. Sebenarnya Rana tidak perlu memaksa Bara, karena itu hanya akan membuang-buang waktu, namun menurut Rana akan semakin buang-buang waktu ketika ia mengajar namun orang yang ia beri pelajaran tidak tahu tujuannya.
Rana hanya ingin Bara tahu apa tujuan hidupnya.
Seperti kemarin, hari ini Rana mendapat sambutan hangat dari Asih –asisten rumah tangga rumah Rosa. Rana dipersilakan masuk dan menunggu di perpustakaan, sepertinya menjadi akan menjadi tempat ia dan Bara belajar bersama.
"Tunggu sebentar ya, Mbak. Ibu lagi bicara sama Mas Bara."
Rana hanya mengangguk, dan sesaat kemudian Asih pergi meninggalkannya sendiri. Rana menatap sekitar ruangan yang masih membuatnya takjub meski sudah melihat dua kali. Ya, maklum saja, ia tidak memiliki ruangan yang disebut perpustakaan ini di rumahnya.
Atensi Rana buyar ketika mendengar sebuah suara atau mungkin dua suara yang saling berseru, sepertinya mereka sedang bertengkar. Rana menatap sosok yang baru saja lewat di depan pintu perpustakaan, Bara, yang disusul Rosa yang masih mengucapkan beberapa kalimat yang membuat Rana yakin jika kepergian Bara dikarenakan Rosa yang memarahinya.
Awalnya Rana memilih tidak peduli, namun kini kaki Rana melangkah keluar perpustakaan dan mengikuti Rosa dan Bara yang keluar rumah. "Sekali kamu keluar dari gerbang, mama enggak akan pernah izinin kamu masuk rumah lagi!" ancam Rosa pada Bara yang sudah siap keluar dengan motor besarnya.
Namun Bara terlihat tidak peduli dengan ancaman Rosa dan bergegas pergi dengan motornya. "Bara!" Rosa menghela napas pelan ketika melihat anaknya yang sudah pergi dari rumah.
"Saya susul ya, Tante."
Rosa hanya diam, sementara Rana bergegas menyusul dengan sebuah sepeda yang kebetulan terparkir di halaman depan rumah. Rana mengayuh sepeda tersebut mengikuti Bara yang belum terlalu jauh dari pandangannya dan ternyata Bara tidak keluar kompleks.
Rana mengayuh sepedanya lebih cepat agar tidak kehilangan jejak, namun ia segera memperlambat laju sepedanya ketika Bara berhenti di tepi sebuah danau buatan di sana. Rana segera memarkirkan sepedanya ketika Bara kini berjalan ke sebuah bangku taman yang ada di tepi danau.
Perlahan Rana medekati Bara dan duduk di sebelahnya. "Hari ini cerah banget ya?" Bara yang keberadaan Rana memilih diam, Rana menghela napas pelan. "Kalau kamu emang enggak mau belajar sama aku, kamu bisa bilang dan aku akan berhenti, enggak perlu bentak-bentak mamamu."
"Orang tua kadang emang suka enggak masuk akal, mereka cuma mau anaknya nurut apa kata mereka, dan yang paling nyebelin, maunya bener sendiri," Rana tersenyum kecil. "Kita, anak-anak mereka, rasanya nggak lebih dari robot yang bisa disetting sesuai keinginan mereka."
Rana kembali menghela napas pelan. "Tapi sebagai anak, kita harusnya juga bisa paham kalau apa yang mereka lakuin itu demi kebaikan kita," sambung Rana. "Meski kadang itu nggak kelihatan baik buat kita."
"Kebaikan apa? Yang mereka lakuin cuma demi pamor mereka," sahut Bara yang kini mau membuka suara. "Kamu mungkin nggak ngerasain, tapi orang tuaku bener-bener enggak pernah peduli sama kebahagiaanku, sama apa yang bener-bener aku mau."
Rana terdiam sejenak, ia menatap air danau yang begitu tenang. Danau ini begitu nyaman, dengan pepohonan yang rimbun dan semilir angin sejuk membuat siapa saja akan betah berlama-lama di danau ini. Namun dengan ketenangan dan kenyamanan danau ini membuat Rana semakin tersadar, bahwa jarak si miskin dan si kaya terlalu jauh. Ah, apakah dengan membandingkan kehidupannya dan kehidupan Bara membuatnya menjadi manusia yang kurang bersyukur?
"Aku juga suka sebel sama ibu," ujar. "Ibuku selalu bilang kalau kita nggak boleh sedih, nggak boleh ngeluh, dan nggak boleh punya rasa nggak suka sama orang, sampai aku lupa kalau aku juga manusia," Rana tersenyum kecil. "Meski kadang aku enggak sejalan sama ibu, tapi nggak tahu kenapa, aku enggak pernah bisa nentang ibu."
Rana kembali tersenyum. "Mungkin karena aku terlalu takut kehilangan dia," Rana menghela napas pelan. "Rasa takut kehilangan, nyatanya bisa buat aku jadi lupa kalau aku manusia juga. Yang bisa sakit, bisa sedih, bisa ngerasain duka lara," Rana menatap jauh langit biru tanpa awan di atas sana. "Mungkin karena aku udah pernah kehilangan, makanya aku bener-bener jaga apa yang aku punya sekarang."
Bara menatap Rana penuh arti, entah kenapa tiba-tiba rasa bersalah muncul saat ia memahami kalimat Rana. "Kamu enggak perlu iba sama aku, aku akan selalu baik-baik aja selama ada ibu," ujar Rana saat menyadari arti tatapan Bara padanya. "Aku enggak akan nyuruh kamu buat bersyukur, tapi aku harap kamu bisa jaga baik-baik apa yang kamu punya sekarang."
Rana beranjak dari duduknya. "Aku pergi dulu, kalau kamu enggak mau belajar sama aku enggak apa-apa, biar aku yang bilang sama Bu Rosa kalau aku enggak bisa belajar sama kamu."
"Kita masih punya berapa hari buat ujian tulis?"
Rana yang hendak pergi menahan langkahnya. "Sekitar satu setengah bulan?"
Bara tidak menjawab lagi dan memilih pergi meninggalkan Rana yang masih tidak mengerti dengan sikap Bara. Namun beberapa saat kemudian ia tersenyum kecil dan segera menyusul Bara, sepertinya mereka akan mulai belajar bersama hari ini.
*
Hari demi hari berlalu begitu cepat, Rana pun masih membantu Bara untuk menguasai materi ujian tulis. Setiap hari bertemu Bara membuat Rana semakin mengenal laki-laki yang dikenal irit bicara yang nyatanya terkadang bisa lebih cerewet darinya, suka menggerutu, dan yang paling membuat Rana terkejut adalah Bara sosok laki-laki yang begitu peduli. Hal ini membuat Rana semakin yakin dengan prinsipnya bahwa ia tidak boleh menilai orang dari luarnya saja, harus kenal lebih dekat sebelum menilai.
Rana menatap Bara yang sedang serius mengerjakan soal-soal yang ia berikan. Bara bukan anak yang bodoh, karena memang tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang malas belajar. Bara pembelajar yang cepat, bahkan Rana hanya perlu menjelaskan satu kali untuk membuat Bara mengerti. Dilihat dari proses pembelajaran Bara yang cepat, Rana jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat orang tua Bara begitu khawatir dengan ujian tulis Bara?
"Kenapa?"
Rana tersadar dari lamunannya dan menatap Bara yang juga sedang menatapnya. "Hm? Apa?"
"Ada yang salah ya?"
Rana menggeleng. "Kerjain dulu, nanti aku koreksi."
Rana memilih mengambil sebuah buku yang ia simpan di tasnya dan sebuah pensil. Daripada tidak melakukan apa-apa, Rana memilih untuk mulai menggerakkan tangan-tangannya, membuat sebuah gambar di bukunya. Sejak kecil Rana senang menggambar, ia menggambar apapun yang ia lihat dan yang ia inginkan. Hal ini membuat banyak teman-teman Rana iri, karena selain pintar, Rana menguasai banyak hal seperti menggambar, melukis, memasak, dan berbagai hal.
Sepertinya tidak ada yang tidak dikuasai oleh Rana.
"Kamu suka gambar?" tanya Bara membuat konsentrasi Rana buyar, Bara kemudian menyerahkan hasil pekerjaannya yang sudah selesai. "Kenapa enggak masuk jurusan seni aja?"
"Karena di dunia ini ada yang namanya hobi," jawab Rana jenaka, ia melihat pekerjaan Bara. "Udah yakin bener semua?"
Bara mengangguk. "Nggak ada kebenaran yang mutlak."
Rana tersenyum kecil, Bara dan pola pikirnya memang selalu bisa membungkam Rana. "Kamu sendiri punya hobi apa?" tanya Rana sambil mengoreksi pekerjaan Rana.
"Sesuatu yang enggak akan kamu pahami."
Rana mengernyitkan keningnya. "Emangnya apa? Asal enggak aneh, aku bisa paham."
"Kegiatan merakit suatu benda yang rumit," Rana menatap Bara tak mengerti. "Udah lah, kamu enggak akan tahu."
"Gundam?" Bara nampak terkejut ketika Rana mengetahui hobinya. "Yah, itu mah aku juga tahu. Ragil juga suka sama gundam, tapi nggak pernah beli sih," Rana tersenyum kecil, ia kemudian menyerahkan hasil pekerjaan Bara. "Nih, kamu bisa main sekarang, tapi jangan lupa belajar ya."
Bara mengangguk dan segera merapikan buku-bukunya, begitu juga dengan Rana yang bergegas mengemas buku-bukunya. Sesuai kesepakatan, jika Bara berhasil menyelesaikan setiap soal latihan tanpa kesalahan, mereka akan selesai belajar lebih cepat, dan hari ini Bara berhasil membuat mereka selesai lebih cepat.
"Kamu langsung pulang?"
Rana mengangguk. "Salam buat papa sama mama, ya."
"Ra?" Rana yang mengurungkan langkahnya untuk pergi. "Ikut aku sebentar."
Rana mengerutkan keningnya, kemana Bara akan membawanya pergi?
Meski bertanya-tanya, namun Rana tetap mengikuti langkah kaki Bara yang pergi menuju sebuah ruangan, atau lebih tepatnya sebuah kamar. Rana terperangah saat melihat kamar yang mungkin lebih banyak berisi etalase mainan plastik yang dirakit, gundam. Rana rasa Ragil akan sangat senang berada di sini.
"Kamu maniak gundam?"
"Kalau cinta mati bisa dibilang maniak, ya, aku maniak."
"Ragil pasti suka kalau ke sini."
"Kapan-kapan ajak aja main ke sini."
"Boleh?"
"Kenapa enggak?"
Rana berkeliling melihat-lihat isi kamar itu, terdapat beberapa bingkai foto di atas nakas. "Ini kamu ya?" Bara yang sedang mencari suatu barang menoleh sebentar menatap Rana yang sedang melihat foto kecilnya dan membenarkan. "Ini juga kamu?" Rana mengambil album foto itu dan mengarahkannya pada sosok Bara, membandingkan Bara kecil dan Bara sekarang yang nampak begitu berbeda. "Kok beda sih?" Rana terkekeh. "Tahu enggak sih kalau di sini kamu mirip banget sama Upin?"
Bara yang ditertawakan segera mendekati Rana yang sedang melihat-lihat album fotonya dan terus tertawa. "Balikin, nggak?" Bara berusaha mengambil album fotonya, namun ia kalah cepat dengan Rana yang masih ingin melihat foto-foto Bara. "Rana.."
"Aku cuma lihat sebentar," ujar Rana yang masih menertawakan foto lama Bara, membuat Bara bergerak cepat untuk mengambil fotonya agar Rana tidak menertawakan dirinya. "Lucu banget sih kamu."
"Sini, Ran." Bara masih berusaha mengambil album fotonya, hingga Rana yang berjalan mundur tersandung dipan ranjang dan jatuh di ranjang, diikuti Bara yang ikut terjatuh di atas Rana.
Suasana kamar mendadak hening, membuat suara detak jantung yang berdetak lebih cepat yang terdengar. Suara detak jantung siapa? Rana? Atau Bara?
Bara menatap Rana dengan lekat, tanpa sadar ia mengusap kepala Rana lembut. "Kamu cantik, Rana."
Rana terdiam, tubuhnya membeku, seolah tatapan Bara berhasil mengunci pergerakannya. Rana tidak tahu apa yang terjadi, kenapa mendadak ia tidak bisa berpikir dan bergerak seperti ini? Bahkan ketika Bara mulai mendekatkan wajahnya dan melakukan sesuatu yang tidak pernah Rana bayangkan sebelumnya.
Hari ini Rana kehilangan sesuatu yang benar-benar ia jaga, dan anehnya, ia tidak berusaha mempertahankannya.
*
Rana pulang ketika hari sudah sore, dengan membawa sebuah paper bag berisi sekardus gundam yang diberikan Bara untuk Ragil. Mengingat Bara, Rana jadi ingat apa yang baru saja ia lakukan. Sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan, tapi mengapa Rana tidak merasa bersalah?
Setelah melakukan dosa besar, kenapa Rana merasa biasa saja?
Astaga, Rana pasti sudah gila. Ia menghela napas berat dan mempercepat jalannya menyusuri gang-gang kecil agar segera sampai rumah. Sebuah bendera yang terikat di sebuah tiang listrik membuat Rana mengernyitkan keningnya heran, siapa yang meninggal?
Rana semakin mempercepat langkah kakinya menuju rumahnya, ia semakin bingung ketika mendapati daerah rumahnya begitu ramai. Namun bukannya mempercepat langkahnya untuk mencari tahu siapa yang meninggal, Rana malah memperlambat laju langkah kakinya.
Tangan Rana bergetar ketika melihat sumber keramaian itu berasal dari rumahnya. Apakah ia bemimpi? Ini tidak mungkin terjadi.
Rana berhenti di depan halaman rumah, menatap kosong rumahnya yang sudah ramai dari kejauhan. Tak jauh dari pintu rumah, Rana bisa melihat Ragil yang menangis tersedu-sedu. Kaki Rana tiba-tiba saja terasa lemas, hingga akhirnya tidak bisa menopang tubuhnya lagi dan membuatnya terjatuh.
"Rana.."
Beberapa orang yang melihat Rana ambruk segera membantunya berdiri dan menuntun Rana masuk ke rumah. "Yang sabar ya, Ran." ujar seorang ibu.
Tidak, ini mimpi. Ujar Rana dalam hati.
Tapi suara mengaji dari para pelayat terdengar begitu nyata, dan keranda yang ada di depan mereka juga benar-benar ada. Rana terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Ibunya baru saja pergi.
"Mbak," suara Ragil terdengar begitu lemah dan parau, ia segera mendekap Rana dan menangis dipelukan Rana. "Ibu pergi, Mbak," Rana masih diam, namun matanya mulai berair. "Ibu, Mbak."
Rana membalas dekapan Ragil dengan erat, air matanya mulai berlinang, matanya masih menatap keranda yang diselimuti kain hijau itu. Memorinya berputar, mengingat kejadian tadi pagi saat ia dan sang ibu masih sempat bercanda sambil menyeduh teh hangat untuk sarapan.
Bagaimana bisa?
Bagaimana bisa secepat ini?
"Rana, mau ganti baju dulu?" tanya seorang ibu mendekati mereka. "Sebentar lagi ibumu harus dimakamkan."
Rana hanya diam, ia masih memandang kosong keranda itu. Rana masih tidak percaya jika ibunya sudah pergi, karena ia merasa ini terlalu cepat. Bahkan sang ibu belum berpamitan dengannya, Rana pun belum sempat mengecup kening ibunya.
Bagaimana bisa?
"Bu, kayaknya kita percepat saja, keburu magrib." ujar seorang pria paruh baya, ia menatap Rana yang masih berdiri di teras rumah dengan ia iba, ia menghela napas berat sebelum akhirnya menyuruh beberapa pria untuk membawa ibu Rana ke peristirahatan terakhirnya.
"Kamu mau ikut?" tawar ibu yang tadi menyuruhnya berganti baju, namun Rana tidak menanggapi. Wanita paruh baya itu menghela napas pelan. "Kalau gitu kamu duduk aja."
Dengan dituntun wanita itu, Rana duduk di teras rumah, bergabung dengan ibu-ibu yang lain. Rana tidak berbicara dan hanya menitihkan sedikit air mata, bukannya Rana tidak sedih, ia hanya tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bahkan ia hanya menatap kosong sekumpulan pria yang membawa ibunya pergi.
Ibunya pergi.
"Ibu?"
Rana merasakan sebuah tangan hangat menyentuh bahunya, Rana menoleh menatap si pemilik tangan yang ternyata bukan ibunya melainkan wanita paruh baya yang tadi. Mata Rana mulai berair, hingga akhirnya ia tidak bisa memendung tangisnya. Tangis Rana pecah, kini ia merasa dadanya begitu sesak hingga sangat sulit bernapas.
Sesuatu yang benar-benar ia takutkan terjadi, ibunya pergi. Satu-satunya alasan bagi Rana untuk hidup selama ini telah pergi.
Sekarang Rana benar-benar sendiri.
***
Empat
***
Dalam lima menit, sudah tiga kali ini Bara menatap jam yang terpaku di dinding perpustakaan. Hatinya gelisah karena orang yang baru ia tunggu-tunggu tidak kunjung datang, padahal sudah hampir satu jam berlalu. Tapi kenapa belum datang juga?
Rana.
Wanita itu belum menampakkan batang hidungnya, padahal sekarang jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Biasanya Rana tidak pernah telat, selalu datang tepat waktu bahkan lebih sering datang lebih pagi. Tapi hari ini tidak seperti biasanya, Rana tidak datang tepat waktu, dan ini membuat hati Bara tidak tenang.
"Bara?" Rosa masuk ke dalam perpustakaan dan duduk di sofa yang tak jauh dari anaknya duduk. "Hari ini Rana enggak bisa dateng buat belajar sama kamu," Bara yang awalnya sedang mengerjakan soal, menghentikan kegiatannya. "Dan mungkin enggak bisa belajar sama kamu lagi."
Bara menatap mamanya tidak mengerti. "Maksudnya dia berhenti ngelesin aku?"
"Iya, dia baru aja bilang sama mama kalau enggak bisa lanjut."
"Bagus deh kalau dia berhenti."
Rosa menghela napas pelan. "Padahal anaknya baik, sopan juga. Buat kamu mau belajar, mama jadi ngerasa kehilangan," keluh Rosa. "Nanti mama cariin guru les buat kamu lagi deh."
"Enggak usah, Ma, ujiannya sebentar lagi. Aku juga bisa sendiri."
"Beneran?" Bara mengangguk. "Ya udah, kamu belajar aja, mama enggak ganggu lagi," Rosa mengusap kepala Bara pelan. "Selamat belajar ya."
Bara terdiam. Setelah diberi semangat oleh sang mama, bukannya menjadi lebih semangat, Bara malah meletakkan pensilnya. Pikirannya pergi jauh dari latihan soal yang ia kerjakan tadi, kini yang ada dipikirannya adalah Rana.
Kenapa Rana berhenti? Mungkinkah karena kejadian kemarin?
Tapi jika diingat lagi, saat melakukan hal itu, Rana tidak melakukan penolakkan. Bukankah itu berarti Rana menyetujui perbuatan yang mereka lakukan? Tapi kenapa sekarang Rana malah berhenti?
Bara menghela napas pelan. Memikirkan hal itu membuat Bara kembali merasa bersalah, meski Bara rasa mereka melakukannya atas dasar mau sama mau. Bara memijat pelipisnya pelan, sebenarnya apa yang membuat Rana berhenti?
"Kak!"
Seruan heboh terdengar dari luar perpustakaan, lengkingan suara yang Bara hapal milik siapa itu membuat Bara segera mengambil pensilnya dan kembali mengerjakan soal-soal latihan.
"Kakak!" seorang perempuan dengan rambut yang dikepang itu segera mendekati Bara. "Kak Rana nggak ke sini lagi ya?" Bara hanya diam. "Aku dikasih tahu mama."
"Kalau udah tahu kenapa pake nanya?" sahut Bara kesal.
Kira –adik Bara, beringsut mendekati kakaknya. "Kalian berdua putus ya?" selidik Kira.
"Gimana bisa putus kalau enggak pernah jadian?"
Kira menyipitkan matanya, menatap Bara penuh curiga. "Bohong banget," sahut Kira. "Dari interaksi kalian aja, udah kelihatan banget kalau kalian ada sesuatu kok."
Bara menatap adiknya malas. "Dari pada kamu berisik di sini dan ganggu aku, mending kamu balik aja ke kamar."
"Aku kan cuma penasaran," ujar Kira kemudian menghela napas pelan. "Padahal aku ada di kapal kalian loh, Kak, sama kayak mama," Bara memutar mata jengah. "Aku sama mama setuju kalau kalian cocok."
Bara menatap Kira tajam. "Mending kamu pergi deh, Ki."
"Serius, Kak, mama sama papa udah setuju kalau kakak sama Kak Rana jadian."
"Sakira—"
"Oke, oke, aku bakal nanya satu hal aja deh," ujar Kira sebelum kakaknya benar-benar marah. "Kalian enggak pacaran," Kira menjeda kalimatnya. "Tapi kakak suka kan sama Kak Rana?"
Bara terdiam, matanya menerawang jauh ke depan, ia sendiri tidak tahu dengan perassaannya. Apakah ia menyukai Rana? Atau perasaan yang ia punya hanya rasa nyaman karena terlalu sering bersama?
Bara sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya, ia merasa terlalu dini jika menyimpulkan bahwa ia menyukai wanita pintar yang cukup keras kepala itu. Jika merasa nyaman berada di dekat Rana bisa dikatakan menyukai, maka Bara menyukai Rana.
Tapi—
"Kak!" lamunan Bara buyar ketika Kira memukul bahunya pelan. "Kok malah ngelamun?" Bara menatap adiknya bingung. "You okay?" Bara mengangguk, Kira menghela napas pelan dan tersenyum saat menyadari sesuatu. "Oke, aku tahu jawabannya."
Bara mengernyit heran, menatap adiknya yang buru-buru pergi setelah membuat ia menjadi bingung sendiri dengan perasaannya. Selama ini Bara tidak pernah memikirkan tentang cinta, ia tidak begitu tertarik dengan kisah klise yang menurutnya hanya akan buang-buang waktu itu. Ia pun tidak pernah benar-benar serius melihat atau tertarik dengan wanita. Tapi jika itu Rana,
Mungkin saja.
*
Bara menatap langit biru dengan sedikit awan putih melalui jendela kamarnya, sudah tiga jam ia duduk di kursi meja belajarnya namun ia belum mengerjakan satu soal latihan pun. Sedari tadi Bara terus merenung, langit biru di atas sana benar-benar berbeda dengan suasana hatinya yang sedang kelabu.
Semangat Bara mulai pudar.
Sejak satu minggu yang lalu, tepatnya saat Rana tidak datang ke rumahnya lagi, Bara menjadi lebih sensitif dan sering marah-marah. Bara sendiri tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini, ia pun tidak menyukainya, namun Bara tidak bisa melakukan apa-apa karena ia pun tidak mengerti akan dirinya sendiri.
Perasaannya terlalu rumit untuk dijelaskan. Jika ditanya apakah ia merasa kehilangan Rana, tentu saja iya, karena bagaimanapun Bara kehilangan sosok satu-satunya teman yang dapat membuatnya dengan nyaman menceritakan apapun tentang perasaannya. Tapi jika ditanya apakah ia menyukai Rana?
Bara pun tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Bara akui, pesona Rana terlalu kuat untuk tidak disukai. Rana memiliki otak yang cerdas, ia bijaksana dan penyayang, lebih dari itu.. Rana memiliki hati yang tulus. Rasanya semua orang akan menyukai Rana, tapi mengapa ia menjadi seperti ini ketika Rana pergi?
Aneh.
Bara tidak seperti Bara yang biasanya.
"Permisi, Mas," Asih masuk ke kamar Bara setelah mengetuk pintu, ia datang dengan baki berisi secangkit minuman hangat dan beberapa makanan ringan. "Silakan di makan, Mas," Bara hanya mengangguk kecil dan berpura-pura sedang sibuk mengerjakan soal. "E—Mas?"
"Kenapa lagi, Mbak?"
"Ini," Bara mengernyitkan keningnya saat Asih memberikan secarik kertas yang berisi beberapa kalimat di dalamnya. "Mang Edi habis cari tahu alamat rumahnya Mbak Rana, dan itu alamat rumahnya, siapa tahu Mas Bara butuh."
Bara terdiam, ia menatap kertas itu dengan saksama. "Saya permisi, Mas." Bara bergeming, tak mempedulikan Asih yang sudah pergi, sementara ia masih menatap kertas berisi alamat rumah Rana itu.
Haruskah ia pergi menemui Rana?
Tapi untuk apa?
Rana yang pergi meninggalkannya, tanpa pamit atau senyuman. Untuk apa Bara pergi menemui Rana? Padahal wanita itu tidak mempedulikannya. Lagi pula mereka tidak dalam hubungan harus saling bertemu atau saling mengabari, lebih-lebih bukan dalam hubungan harus saling berpamitan ketika pergi.
Bara dan Rana tidak dalam hubungan yang seperti itu.
Meski mereka pernah melakukan hubungan seks, bagi Bara hubungan mereka belum sejauh itu. Terlebih ketika Rana pergi dengan tiba-tiba seperti ini, membuatnya merasa ditolak bahkan sebelum melakukan usaha.
Bara rasa ia tidak perlu menemui Rana.
*
Karena merasa suntuk, sore ini Bara memutuskan untuk berkeliling kota dengan mengendarai mobil Lamborghini Urus hitam yang sudah lama tidak ia pakai untuk menghilangkan rasa suntuknya. Setelah seharian belajar, menurut Bara tidak ada salahnya untuk menghilangkan rasa suntuknya.
Tak lama Bara memarkirkan mobilnya di sebuah lahan parkir, membuat siapa saja yang lewat menatap heran, kenapa mobil mahal berhenti di parkiran yang kumuh? Dan, siapa si pemilik mobil itu?
Dengan berbekal secarik kertas diberikan Asih, Bara akhirnya mencari rumah Rana. Seolah menelan ludanya sendiri, Bara yang awalnya tidak mau mencari Rana, pada akhirnya kini ia berdiri salah satu gang area rumah Rana. Bara hanya ingin meminta penjelasan Rana tentang kenapa ia pergi.
Bara ingin semuanya lebih terang.
Langkah kaki Bara menyusuri gang kecil di area pemukiman padat penduduk itu, sambil membaca plakat yang bertuliskan nama jalan atau gang. Semakin lama Bara berjalan, semakin dalam ia menyusuri area itu. Membuat Bara menyadari bahwa rumah Rana cukup jauh dari rumahnya.
Berulang kali Bara harus menutup hidungnya karena bau dari tumpukan sampah yang sepertinya tidak ada yang berniat membuangnya ke tempat pembuangan sampah. Pemukiman ini sangat padat penduduk dan begitu kumuh, sampah-sampah berserakkan, banyak ternak bekeliaran, hewan-hewan yang kumal. Menyusuri gang-gang ini membuat Bara seperti berjalan ke dunia lain, karena terlalu berbeda dengan kompleks rumahnya yang sangat bersih dan memiliki hal-hal yang serba mewah.
Sangat berbeda hingga membuat Bara menyadari bahwa ada kehidupan lain selain kehidupan di keluarganya. Pantas saja Rana ingin membantu orang-orang yang tidak mampu.
Setelah lama berjalan, akhirnya Bara berhasil menemukan rumah Rana. Bagaimana Bara bisa yakin? Tentu saja karena tulisan di kertas yang ia bawa cukup detail dalam menjelaskan bagaimana rumah Rana.
Rumah bercat putih itu nampak begitu berbeda dengan rumahnya, tidak ada batu marmer, tidak ada kolam ikan, tidak ada pintu dari kayu jati. Rumah sederhana itu hanya memiliki cat putih yang mulai pudar di makan usia, pintu dari triplek yang sudah mulai rusak dan atap yang sudah berlumut. Begitu berbeda dengan rumahnya.
Ah, kehidupan mereka saja sudah sangat jauh berbeda.
Setelah lama berdiri menatap rumah yang mungkin sebentar lagi akan ambruk itu, Bara memberanikan diri untuk mendekatinya dan mengetuk pintu. Namun tidak ada jawaban dari dalam rumah, bahkan rumah itu nampak tidak berpenghuni. Bara mencoba mengetuk pintu itu lagi, namun ia tidak mendapat jawaban lagi.
"Nyari siapa, Bang?"
Bara menatap seorang wanita paruh baya yang menegurnya. "Oh, ini benar rumahnya Rana ya, Bu?"
Wanita itu membenarkan. "Abang siapanya Rana?"
"Saya Bara, Bu, temannya Rana."
"Oh, temennya Rana," wanita itu membeo. "Rananya udah pindah, Bang, baru kemarin pindahnya."
"Pindah?"
"Minggu lalu kan ibunya Rana meninggal, nggak lama bapaknya yang udah lama pergi dateng buat jemput Rana sama Ragil."
"Ibunya Rana meninggal?"
Wanita itu kembali membenarkan. "Iya, Bang, minggu lalu."
Bara terdiam sejenak, cukup terkejut dengan berita yang ia dapat. Ia kembali menatap wanita itu. "Kalau boleh tahu Rana pindah ke mana ya, Bu?"
"Wah saya juga enggak tahu, Bang. Mereka berdua dibawa bapaknya yang udah lama ninggalin mereka."
Bara mengangguk mengerti. "Terima kasih, Bu."
"Coba aja telepon dia, Bang." ujar wanita itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Bara yang masih berpikir di teras rumah Rana.
Rana pergi? Tapi pergi ke mana? Dan bukankah Rana sudah tidak memiliki ayah?
Bara mengusap wajahnya gusar, kepergian Rana secara mendadak ini membuat hatinya tidak tenang. Bagaimana bisa wanita itu meninggalkannya begitu saja setelah apa yang sudah terjadi di antara mereka? Bagaimana bisa Rana pergi tanpa pamit seperti ini?
Astaga,
Rasa kehilangan apa ini?
***
Lima
***
"Setelah dia pergi, mereka menyuruhku untuk terus berlari. Tapi, ke mana aku harus pergi?"
***
"Ini saya beri resep ya, Ibu, silakan ke apotek," ujar Bara sambil menuliskan sesuatu di secarik kertas. "Untuk sementara jangan makan gorengan dulu, yang asam-asam, bersantan.. pokoknya dijaga makannya, dan yang paling penting hindari stres, istirahat di rumah dulu aja ya, Bu."
"Ini saya perlu bayar nggak ya, Mas Dokter?"
Bara tersenyum simpul. "Ibu tidak perlu memikirkan soal biaya. Silakan ke apotek, bawa pulang obatnya, segera diminum, dan istirahat."
"Terima kasih, Mas Dokter."
Senyum merekah muncul di wajah pucat wanita tua itu, membuat sesuatu di dalam diri Bara terasa hangat. Bara menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menghela napas berat, ia cukup lelah hari ini karena pasien yang ia tangani cukup banyak, terlebih Bara menangani pasien-pasiennya seorang diri hari ini karena rekan kerjanya tidak bisa mengisi shift pagi.
Setelah kurang lebih enam tahun menjalani pendidikan dokter, Bara mendirikan klinik bersama sahabatnya di pinggir kota. Sebuah klinik kecil yang baru berjalan kurang lebih selama enam bulan, namun cukup membantu orang-orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan namun memiliki keterbatasan biaya.
Iya, Bara mendirikan klinik kesehatan khusus untuk orang-orang miskin. Ah, Bara tidak sendiri mendirikan klinik tersebut, ada Bayu, dokter di klinik itu sekaligus sahabat Bara. Dua dokter muda itu memang memiliki pandangan yang sama tentang apa tujuan mereka menjadi dokter, hal itu yang membuat mereka sangat akrab hingga menjadi sahabat sampai sekarang.
Para perawat menjuluki mereka dengan Fantastic Duo, karena keduanya sama-sama dokter muda yang memiliki paras yang menawan, tubuh proporsional, berotak cerdas, baik hati, dan jangan lupa jika mereka memiliki uang yang tidak berseri. Rasanya tidak ada yang tidak mereka miliki, meski kadang para perawat dan pegawai klinik masih tidak mengerti dengan tingkah dua dokter yang sama-sama seperti memiliki kepribadian ganda itu.
Suara ketukan pintu membuat Bara segera membenarkan posisi duduknya, seorang perawat melongokkan kepalanya sedikit. "Dokter, waktunya istirahat," Bara hanya mengangguk kecil. "Perawat mau beli ketoprak, dokter mau?"
"Boleh deh, Mbak Ris," jawab Bara kemudian beranjak dari duduknya. "Nanti taruh di ruanganku aja ya," Riska -perawat itu, mengacungkan ibu jarinya. "Makasih, Mbak."
Setelah perawat itu pergi, Bara pun ikut meninggalkan ruang tindakan. Ia bergegas pergi ke musala untuk melaksanakan ibadah, sekaligus berkeluh kesah pada Tuhan-nya. Setelah beranjak dewasa, tidak bisa dipungkiri jika perlahan ia pun mengubah dirinya.
Bara yang dulu lebih banyak menentang, kini menjadi lebih banyak mendengarkan. Bara yang dulu tidak banyak peduli, kini menjadi orang pertama yang selalu ada untuk orang lain. Bara yang dulu cenderung tidak percaya dengan adanya Tuhan, kini ia malah sangat bergantung pada Tuhan-nya.
Bukankah menjadi dewasa adalah pilihan?
Dan ia mengambil pilihan itu.
Setelah mengambil pilihan itu, nyatanya hidup Bara semakin stabil. Meski masih banyak masalah-masalah yang harus ia hadapi, namun sekarang ia menjadi lebih tenang dalam menghadapi masalah-masalah yang harus ia hadapi. Saking tenangnya, membuat orang lain terkadang berpikir bahwa Bara tidak memiliki masalah apapun dalam hidupnya.
"Mama?" Bara yang pergi ke ruangannya setelah beribadah dikejutkan dengan sang mama yang sudah duduk di sofa. "Kok tumben ke sini nggak ngabarin dulu?"
"Emangnya kalau mau ketemu anak sendiri harus minta izin?"
"Bukan gitu," sangkal Bara. "Kan biasanya mama kalau ke sini kasih tahu aku dulu."
"Mama bawain kamu makan siang, cepet di makan," Bara tersenyum saat melihat beberapa makanan yang sudah terhidang di meja. "Kali ini mama yang masak sendiri loh."
Bara segera duduk di sofa lain dan mengambil sendok, ia segera memakan masakan mamanya. Sudah lama ia tidak makan masakan mamanya, karena memang sekarang ia dan orang tuanya tinggal berpisah. Sejak membuka klinik, Bara memilih tinggal di apartemen dekat kliniknya karena akomodasi yang cukup mudah.
"Kak, nanti malem jangan lupa ketemu wedding organizer sama Bila ya," tangan Bara berhenti menyendok makannya untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan makannya tanpa berniat menjawab ucapan Rosa. "Bila anaknya baik loh, Kak, cantik juga," Rosa menghela napas pelan saat melihat Bara yang seolah tidak mendengar ucapannya. "Mama tahu kamu enggak suka sama dia, tapi enggak ada salahnya buat mencoba," Rosa kini menatap anaknya dengan lekat. "Mama cuma enggak mau kamu terus-terusan nunggu orang yang belum tentu mau pulang buat nemuin kamu."
"Bara, lamanya kamu menunggu nggak dilihat dari kapan dia kembali, tapi dilihat dari kapan kamu berhenti. Karena cuma kamu yang bisa memutuskan berapa lama kamu mau menanti."
*
Seperti yang diperintahkan Rosa tadi siang -mungkin sepanjang hari ini, setelah klinik tutup Bara bergegas menjemput Bila di rumahnya untuk menemui wedding organizer. Sekarang mereka sudah berada di tempat wedding organizer yang begitu terkenal belakangan ini, namun seolah tidak berminat, Bara memilih untuk duduk tenang di sofa sambil membaca koran yang tersedia di sana. Ia sudah selesai mencoba baju pengantinnya, kini giliran Bila.
Tidak sampai tiga bulan lagi Bara akan menikah, dengan wanita pilihan orang tuanya, Bila. Wanita itu adalah anak dari salah satu kolega papa Bara yang kebetulan sudah kenal cukup baik satu sama lain. Menurut Bara, Bila bukan wanita yang enak di pandang, bahkan cenderung cantik. Bara juga mengakui bahwa Bila adalah wanita pintar yang sudah mandiri secara finansial di usia yang masih cukup muda. Secara garis besar, Bila adalah wanita yang sempurna.
Tapi sayangnya, Bara tidak membutuhkan yang sempurna.
"Mas manten?" Bara merendahkan sedikit korannya saat menyadari ada seseorang yang baru saja mengajaknya berbicara, Bara menatap heran pada perempuan yang hanya diam menunggu responnya yang Bara sendiri tidak mengerti harus bagaimana. "Itu loh, calon istrinya udah selesai nyoba baju pengantinnya."
Bara mengalihkan pandangannya pada Bila yang sudah mengenakan baju pengantin adat Jawa di depan sana. "Gimana? Cantik, kan?" tanya wanita tadi.
"Iya," jawab Bara tak minat, dering telepon terdengar, membuat Bara bergegas mengangkat telepon itu. "Aku angkat telepon bentar." ujar Bara pada Bila yang nampak kecewa.
Sebenarnya Bara sudah berbaik hati bersikap baik pada Bila, mengingat ia adalah laki-laki yang rasanya harus meperlakukan seorang wanita dengan benar. Namun lagi-lagi Bara tidak bisa menentang hatinya yang menolak untuk menikahi wanita itu, jika saja bukan karena orang tuanya, tentu Bara memilih hidup sendiri daripada menikah dengan wanita yang tidak ia cintai.
Bara kembali ke ruangan setelah mengangkat telepon dari salah satu profesornya, dan saat itu Bila sudah berganti baju dengan gaun pengantin yang lebih mewah dan elegan. Cantik, itu yang ada di otak Bara saat melihat Bila. Dan, Bara rasa, semua akan setuju jika wanita cantik memang akan cantik jika mengenakan apapun.
Beauty privilege is a real thing, and no one can against it.
"Gimana? Cantik, kan?"
Bara mengangguk kecil, ia menatap Bila. "Aku mau telepon Prof. Yudhi dulu, katanya ada hal penting yang mau dibicarain," ujar Bara. "Kalau udah selesai, aku di mobil ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Bila, Bara beringsut pergi meninggalkan tempat yang membuatnya tidak nyaman itu. Kepergian Bara tentu saja membuat wanita yang sedari tadi terlihat bersemangat bertanya pada Bara bahwa Bila cantik atau tidak, melempar tatapan tidak suka. Tidak habis pikir pada Bara yang seolah tidak peduli dengan pernikahannya.
Namun Bara tidak berbohong, setelah masuk mobil, Bara memang langsung menelepon gurunya itu. Hingga tanpa sadar Bila sudah masuk ke mobil, Bara menatap wanita yang hari ini tidak banyak bicara itu. "Udah selesai?" tanya Bara setelah mengakhiri perbincangan panjang dengan salah satu guru besar favoritnya.
"Iya," Bila menghela napas pelan. "Urusan baju udah clear, tinggal ngurusin sisanya."
"Bagus deh," jawab Bara. "Mau pergi ke mana dulu atau langsung pulang?"
"Pulang aja."
Bara mengangguk tanpa berniat bertanya lagi, ia segera melajukan mobilnya menyusuri jalanan yang cukup lengang malam ini. Jarak rumah Bila dan kantor wedding organizer pun tidak cukup jauh, jadi tidak butuh waktu lama untuk sampai di rumah Bila.
"Salam buat papa sama mama ya." ujar Bara saat sudah di depan Bila.
Bila mengangguk kecil, namun setelah melepas seat belt ia tidak langsung keluar. "Bara," Bara yang awalnya tidak terlalu memperhatikan Bila, kini menatap wanita itu. "Sebenernya, kamu beneran mau nikah sama aku nggak sih?"
Bara terdiam cukup lama. "Kenapa tiba-tiba nanya gitu?" tanya Bara.
"Ya, aku ngerasa kamu enggak menginginkan pernikahan ini aja," Bila menghela napas berat. "Sebenernya, kamu enggak harus memaksakan diri, Bara."
Bara tersenyum kecil. "Kamu enggak perlu khawatir soal aku, khawatirin aja soal persiapan pernikahan kita," Bila menatap Bara penuh arti. "Mau bagaimanapun, pernikahan ini tetap harus berjalan, kan?"
*
Malam ini Bara merasa lebih lelah dari biasanya, seolah tenaganya terkuras habis untuk hari ini. Ah, tidak, Bara memang selalu seperti ini setelah ikut mempersiapkan pernikahannya. Seolah pernikahan ini hanya akan membuatnya lelah.
Kenapa orang harus menikah?
Bara terkadang tidak mengerti, kenapa pernikahan menjadi sesuatu yang wajib, padahal pernikahan tidak bisa menjadi tolok ukur kebahagiaan seseorang, terlebih orang yang menikah dengan orang yang tidak mereka cintai, seperti dirinya.
Bukankah kebahagian tercipta karena adanya cinta?
Suara dering telepon membuat Bara yang baru saja selesai mandi segera mencari keberadaan ponselnya. Bara membaca nama yang tertera di layar itu dan menghela napas berat sebelum menyambungkan telepon itu.
"Halo, Ma, tumben malem-malem telepon. Kenapa?"
Bara tahu pasti ada yang tidak beres, atau...
"Bila kamu apain sih, Kak?"
Benar, bukan?
"Aku apain? Aku enggak ngapa-ngapain dia, Ma," sangkal Bara. "Kan kayak biasa, aku anter dia pulang setelah ngurus persiapan pernikahan."
"Tapi kenapa orang tua Bila sampai telepon mama, dan bilang Bila mau batalin pernikahan kalian?" Bara tersenyum kecil ketika merasa sang mama sedang menghela napas kesal di seberang sana. "Bila mau pernikahan kalian batal, Kak."
"Oh."
"Kok oh aja sih?!" seru Rosa kesal. "Kamu bisa nggak sih, Kak, bersikap baik sedikit aja sama Bila?" nada suara Rosa menurun, kini terdengar begitu lembut. "Dia bakal jadi istrimu, Bara."
"Loh, katanya tadi dia minta batalin pernikahan."
"Bara-"
Bara tertawa kecil. "Oke, oke, Ma. Besok aku minta maaf ke dia, ya," Rosa kembali menghela napas pelan. "Udah dulu ya, Ma, aku ada kerjaan nih."
"Jangan lupa makan ya, Kak, vitaminnya juga. Jangan orang lain terus yang diurusin, diri sendiri juga harus diurus."
"Iya, mama sayang. Udah ya, Ma."
Setelah mendapat jawaban dari sang mama, Bara segera memutus sambungan teleponnya, ia melempar poselnya ke ranjang dan menghampiri meja kerjanya. Bara harus menyelesaikan pekerjaan yang diberikan profesornya tadi, lebih tepatnya membantu profesor favorit Bara itu.
Namun saat baru mencari file di laptopnya, Bara malah menemukan file lain. Ragu-ragu Bara membuka file yang berupa video itu, tak lama muncul seorang wanita yang sedang sibuk menggambar di buku gambarnya, tidak sadar jika ada seseorang yang merekam kegiatannya. Video itu terus berputar, menampilkan sosok wanita yang sama.
Bara masih mengingat dengan jelas semua tentang wanita itu. Senyum manisnya yang selalu berhasil membuat Bara jatuh berkali-kali, suaranya yang sanggup menenangkan Bara bahkan hingga sekarang.. semua tentang wanita itu, Bara masih mengingatnya dengan sangat jelas. Meski waktu telah berlalu dan ia tidak tahu bagaimana kabar wanita itu, bahkan tidak tahu keberadaan wanita itu.
Bara menghela napas berat, ia memegang dadanya yang tiba-tiba sesak saat melihat wanita itu. Sungguh, Bara merindukan wanita itu. Waktu terus berjalan, namun perasaannya kepada wanita itu sama sekali tidak berubah. Bara pikir waktu akan membuatnya bisa melupakan wanita itu, tapi kenyataannya perasaan Bara kepada wanita itu malah semakin kuat. Bagi Bara, wanita itu adalah penghuni utama di hatinya, dan rasanya tidak ada yang bisa menggantikan kedudukan wanita itu di hatinya.
Wanita yang berhasil memporak-porandakan hati dan hidupnya itu,
Wanita yang selalu Bara rindukan,
Wanita itu,
Cinta pertamanya,
Rana.
***
Enam
***
"Tak ada yang seindah matamu, hanya rembulan."
—Kunto Aji
***
"Silakan ke apotik untuk mengambil obat."
Bara tersenyum ramah kepada sepasang suami-istri lanjut usia yang baru saja berobat itu. Tak lama pasien lain datang, kali ini pasien yang datang tidak seperti pasien lain yang terlihat pucat. Kali ini pasien yang datang, Bara anggap bukan pasien.
"Kak, aku denger kakak mau nikah, bener?"
Tidak ada pasien yang bertanya secara terus terang seperti ini, kan?
Bara tersenyum simpul, melihat pakaian yang dikenakan orang itu membuat Bara kembali menghela napas pelan. "Kalau baru pulang sekolah, kamu harusnya langsung pulang, Nadia," ujar Bara dengan sabar. "Kalau bapak sama ibu kamu nyariin gimana?"
"Kakak kan belum jawab pertanyaanku!"
Bara menghela napas pelan. "Kamu dapet informasi dari mana?"
"Berarti bener kalau kakak mau nikah?" Bara sama sekali tidak terkejut mendengar pekikan remaja bernama Nadia itu, karena remaja perempuan itu memang sudah cukup akrab dengannya dan pegawai rumah sakit. "Kenapa sih kakak itu enggak bisa sabar nunggu aku bentar aja? Seharusnya Kakak nunggu aku lulus baru nikah, bukannya cari wanita lain buat dinikahin!"
Bara tertawa kecil. "Kalau kakak nunggu kamu, kakak bakal nikah di usia tua dong," canda Bara, namun hanya dibalas dengan dengusan kekesalan dari gadis remaja itu. "Nadia, percaya sama kakak. Kamu bisa dapet laki-laki yang lebih baik dari kakak, dan yang pasti sayang sama kamu."
Nadia mencebikkan bibirnya kesal. "Mana ada laki-laki jaman sekarang yang sebaik kakak?" protes Nadia. "Pokoknya aku bakal buktiin ke kakak kalau aku pantes buat kakak," ujar Nadia menggebu-gebu. "Kakak enggak boleh nikah dulu, kakak harus nunggu aku!"
Bara menatap pintu ruang periksa yang ditutup dengan kasar oleh gadis remaja tadi, ia hanya bisa tersenyum geli melihat tingkah bocah yang sejak awal memang sudah terang-terangan menyukainya dan terus-terusan meminta untuk ditunggu agar mereka bisa menikah. Permintaan yang tak mungkin Bara turuti. Ya, bagaimana bisa Bara menunggu gadis itu ketika ada orang lain yang sedang ia tunggu?
"Nadia lo apain, Ra?"
Bara menatap sosok jangkung yang baru saja membuka pintu ruang tindakan, Bayu. "Biasa, kayak enggak tahu dia aja."
"Anak itu bener-bener enggak ada kelihatan kalau lagi butuh donor hati," komentar Bayu yang membuat Bara kembali tersenyum kecil. "Mau makan di tempat biasa? Gue yang traktir."
"Tumben," Bayu melayangkan tatapan tajamnya. "Lo tadi lewat mana tiba-tiba mau traktir gue gini?"
Bayu memutar mata jengah. "Kalau mau buruan berangkat, kalau enggak ya udah."
Bara terkekeh dan bergegas menyusul Bayu yang sudah pergi lebih dahulu. Mereka berjalan menyusuri pedestrian untuk menuju restoran di mana mereka biasa makan, sebuah tempat makan yang menjajakan beberapa makanan khas nusantara. Tempat favorit Bayu dan Bara, karena rasanya yang enak dan harganya yang murah.
Mereka memang kaya, tapi bukan berarti mereka suka berfoya-foya. Terlebih jika urusan makan, baik Bara maupun Bayu tidak pilih-pilih makanan. Asal bisa membuat mereka kenyang dan bukan makanan terlarang, mereka akan memakannya.
"Gimana progres nikahan lo?"
Pertanyaan Bayu membuat Bara mengurungkan niatnya untuk menyendok makanan, ia menatap Bayu kesal. "Jangan mulai deh, Bay." ujar Bara kemudian menyuap nasi dan lauk-pauknya.
"Emang ada yang salah sama pertanyaan gue?" Baru bergeming. "Tiga bulan lagi lo nikah, Bara."
Bara menghela napas pelan, ia kemudian membenarkan posisi duduknya dan menatap Bayu serius. "Gue punya penawaran bagus, lo mau nggak?"
Bayu mengernyit heran. "Apa?" tanya Bayu. "Kalau enggak aneh, gue mau."
Bara tersenyum. "Di rumah ada Rolls Royce Phantom, punya gue," Bayu mengangguk kecil. "Lo bisa ambil mobil gue yang itu," Bayu menatap Bara tak percaya. "Setengah saham gue di perusahaan lo bisa ambil juga."
"Asal?"
"Lo gantiin gue jadi suami Bila."
"Gila!" Bayu melempar sendoknya tepat mengenai dahi Bara dan sukses membuat Bara memekik kesakitan hingga para pembeli lain menatap mereka. "Lo gila," Bayu mengambil ponselnya. "Gue mau telepon Iqbal biar lo diperiksa sama dia."
Bara mengambil ponsel Bayu sebelum pria itu menghubungi kakak tingkat mereka yang sekarang telah menjadi psikiater itu. "Gue nggak gila dan gue serius." ujar Bara.
"Tapi gue nggak suka Rolls Royce Phantom, lo tahu gue sukanya SUV."
"Oke, gue kasih Land Cruiser."
"Mobil gue kan Land Cruiser."
"Kalau gitu, gue beliin Rolls-Royce Cullinan?"
"Ah, kenapa jadi bahas mobil sih?!" protes Bayu. "Mau lo kasih gue mobil paling langka di muka bumi ini, gue tetap nggak mau gantiin lo!"
"Bila emang cantik, pinter, mandiri juga, tapi mana mungkin gue gantiin posisi lo?" Bayu menghela napas pelan. "Lagian kenapa sih harus ganti-gantiin segala? Apa kurangnya Bila?" Bayu menatap sahabatnya jengah. "Nih ya, Ra, kalau orang lain tahu lo nolak Bila. Mereka pasti nganggep lo orang gila."
"Ya udah, kalau gitu lo aja yang nikah sama dia," sahut Bara. "Gue sih enggak apa-apa dianggep gila."
"Mau sampai kapan sih lo jadi orang tolol?! Dia nggak akan balik ke lo, Bara! Mau lo tunggu sampai tua bangka juga dia nggak akan balik!"
"Lo nggak tahu gimana takdir."
"Takdir.. takdir tahi kucing!"
*
Jangan lupa minta maaf sama Bila ya, Kak.
Satu pesan yang Bara terima dari sang ibu membuatnya menghela napas pelan. Sungguh, Bara tidak ingin menemui wanita itu, terlebih untuk berbaikkan. Lagipula berbaikkan untuk apa? Bara bahkan tidak merasa bertengkar dengan Bila.
"Mau makan bareng nggak, Ra?"
Bara menatap Bayu yang baru saja membuka pintunya kemudian menggeleng pelan. "Gue harus nemuin si anak manja."
"Hati-hati, nanti lo cinta mati," peringat Bayu yang membuat Bara memutar mata jengah. "Ya udah, gue balik duluan, salam buat Bila."
Bara mengendikkan bahunya tak acuh. Setelah Bayu pergi, Bara pun bergegas menanggalkan snelli yang ia pakai dan ikut pergi meninggalkan klinik. Dengan berat hati, Bara mengemudikan mobilnya menuju sebuah kawasan perkantoran elit, tempat di mana kantor Bila berada. Setelah memarkirkan mobilnya di salah satu tempat parkir yang kosong, Bara bergegas memasuki gedung pencakar langit itu.
Tidak berniat menghubungi Bila terlebih dahulu, Bara memilih untuk menunggu di lobby, karena ia tahu jika Bila belum pulang. Wanita itu hampir selalu pulang terlambat. Ia duduk di salah satu sofa yang kosong dan mengeluarkan ponselnya dan mulai membaca berita di lini masa.
"Bara?" Bara baru selesai membaca satu artikel ketika seseorang memanggilnya, Bila. "Kamu ngapain di sini?"
"Ada yang mau aku bicarain."
Kini Bara dan Bila sudah duduk berhadapan di sudut kafe yang letaknya tidak jauh dari kantor Bila. Uap mengepul dari kopi hitam milik Bara, sedangkan bulir-bulit air dari gelas es Americano milik Bila mulai membasahi meja. Namun keduanya masih belum membuka suara, lebih tepatnya Bara yang belum bersuara karena sedari tadi sibuk menjawab telepon dari salah satu pasiennya.
"Sebenernya apa sih yang mau kamu omongin?" tanya Bila yang sudah tidak sabar dan jengah dengan sikap Bara. "Aku di sini bukan buat dengerin kamu sama pasienmu konsultasi, Bara!"
Bara meletakkan ponselnya di meja dengan sedikit kasar, ia menatap Bila sinis. "Ini kerjaanku, duniaku emang kayak gini, harusnya kamu tahu dan bisa ngerti," sahut Bara yang tidak mau disalahkan, ia menghela napas pelan. "Kata mama kamu mau batalin pernikahan, kenapa?"
"Karena aku enggak mungkin nikah sama orang yang enggak mau sama aku."
"Kenapa baru sekarang?"
Bila mengernyitkan keningnya heran. "Maksudnya?"
"Kado yang ada di motor setiap ulang tahunku waktu kuliah dulu, ikut organisasi yang sama, selalu ada kalau aku di perpustakaan," Bila menegang, sementara Bara hanya menatap Bila tanpa ekspresi. "Orang yang sama, yang ngebuat Dinda di drop out dari kampus karena alasan yang enggak jelas," Bara menghela napas pelan. "Aku tahu semua."
"Tentang pernikahan ini juga," Bara menatap Bila dingin. "Aku tahu kalau sebenernya pernikahan ini enggak seratus persen keinginan orang tua kita, tapi juga keinginanmu. Enggak akan nikah kalau enggak nikah sama aku, pilih mati daripada lihat aku sama yang lain," Bara menjeda kalimatnya. "Aku tahu semua," Bila terdiam. "Aku bersyukur kamu mau batalin pernikahan ini, karena kalau pun pernikahan ini terjadi, itu cuma bikin kamu sakit hati. Karena kamu enggak akan pernah bisa jadi bagian dari hidupku, dan kamu enggak akan pernah bisa gantiin seseorang yang saat ini ada di hatiku."
Bila menegakkan tubuhnya dan menatap Bara. "Iya, aku emang suka sama kamu sejak lama," aku Bila. "Tapi apa aku salah suka sama kamu?" Bara bergeming. "Salah kalau aku mau deket sama seseorang yang aku sukai?"
"Rasamu enggak salah, caramu yang salah," sahut Bara cepat. "Dengan uang dan kekuasaan ayahmu, kamu bahkan tega buat Dinda di drop out di tahun terakhirnya cuma karena kamu cemburu dia deket sama aku," Bara menghela napas berat. "Kamu sadar nggak sih kalau sikap kekanak-kanakkanmu itu udah ngebunuh cita-cita seseorang?" Bila menunduk, tidak berani menatap Bara lagi. "Sekarang kamu gunain kekuasaan ayahmu buat nikah sama aku."
Bara kembali menghela napas pelan. "Kamu berhak mendapat yang lebih dari ini, Bil, yang lebih dari aku," ujar Bara yang mulai melunak. "Dan yang jelas, yang bisa nerima dan sayang sama kamu," Bara bangkit dari duduknya. "Aku akan bilang ke orang tuaku kalau aku juga setuju pernikahan ini batal."
"Maaf dan terima kasih."
*
Bara memarkirkan mobilnya di sebuah lahan parkir sebelum keluar menyusul Bayu di sebuah warung seafood kaki lima langganan mereka. Setelah bertemu dengan Bila, Bara memutuskan untuk tidak langsung pulang, moodnya yang sedang berantakan menuntunnya untuk pergi menemui sahabat konyolnya, Bayu. Dan untungnya Bayu masih berada di warung itu, duduk seorang diri sambil menikmati kerang rebus kesukaannya.
"Lah, kok lo ke sini?" Bayu menatap Bara yang sudah duduk di hadapannya dengan heran. "Katanya mau ketemu Bila?"
"Udah."
"Pasti bikin ulah," selidik Bara. "Lo habis apain anak orang?"
"Emang gue pernah ngapa-ngapain anak orang?"
"Sering!" Bayu mendelik. "Lo sering buat anak perawan orang nangis karena lo kasih harapan palsu," Bara memutar mata jengah. "Kali ini pasti lo buat Bila bernasib sama kayak cewek-cewek yang deket sama lo sebelumnya."
Bara mengendikkan bahunya tak acuh sambil membuka kerang milik Bayu kemudian memakannya, membuat Bayu ingin memukul Bara, namun ia mengurungkan niatnya ketika dering telepon terdengar dari ponsel Bara yang tergeletak di atas meja.
"Nyokap lo, Ra."
"Biarin aja." jawab Bara sambil mencomot kerang milik Bayu, tanpa peduli jika ponselnya terus mengaung, seolah memintanya untuk segera mengangkat telepon dari seseorang di seberang sana yang terus meneleponnya.
Setelah tiga kali sambungan tak diangkat, ponsel Bara akhirnya berhenti berdering. Namun kini ponsel Bayu yang berdering, Bayu menghela napas pelan. "Nyokap lo." ujar Bayu sambil memperlihatkan ponselnya pada Bara.
"Bilang aja lo enggak tahu gue di mana."
Bayu menarik napas dalam-dalam sebelum mengangkat panggilan telepon itu. "Halo, Tante?" Bayu melirik Bara yang masih memakan kerang dengan tenang. "Bara? Saya enggak lagi sama Bara, Tante," Bayu kembali melirik Bara yang masih begitu tenang. "Oh iya, nanti kalau saya bisa hubungin Bara, saya telepon tante."
Bayu kembali menghela napas pelan setelah ia menutup sambungan teleponnya. "Sebenernya ada apa sih?" tanya Bayu yang mulai kesal. "Lo ngebuat gue yang dosanya udah banyak, jadi tambah banyak."
"Gue batalin pernikahan gue sama Bila."
"Hah?! Lo gila?!" pekik Bayu yang membuat semua mata melihat ke arah mereka, Bayu yang menyadari hal itu segera menunduk dan meminta maaf karena membuat gaduh. "Tinggal tiga bulan lagi, Ra. Ibaratnya nih, pernikahan lo tinggal ijab qobul aja. Kenapa lo batalin sih?!"
"Bawel," Bara menyambar es teh milik Bayu dan menyesapnya. "Gue balik duluan."
Belum sempat Bayu mengatakan kalimatnya, Bara sudah melenggang pergi. "Aish, sialan!" Bayu tidak bisa untuk tidak mengumpat ketika menyadari kerangnya sudah habis dimakan Bara.
Sementara itu Bara bergegas menuju tempat mobilnya terparkir, namun saat ingin menyeberang, Bara melihat seorang anak laki-laki yang tiba-tiba saja menyeberang jalan tanpa melihat kanan-kiri, dan tidak menyadari ada sebuah mobil yang menuju ke arahnya. Bara bergegas meraih lengan anak itu dan menariknya ke tepi jalan.
"Kamu enggak apa-apa?" tanya Bara pada anak laki-laki bersurai hitam itu, anak itu hanya mengangguk pelan. "Lain kali kalau mau nyeberang lihat kanan-kiri dulu, ya. Kalau enggak minta tolong orang lain yang lebih dewasa, bahaya kalau kamu nyeberang sendiri," nasihat Bara. "Orang tuamu di mana?"
"Biru!" seseorang berseru, membuat anak itu menatap seseorang yang berdiri di belakang Bara, membuat Bara pun ikut menatap pria jangkung yang berdiri tidak jauh darinya.
"Ayah!" anak laki-laki itu bergegas menghampiri ayahnya yang dengan sigap menggendong anak itu.
"Kan udah ayah bilang, tunggu ayah sama bunda, jangan pergi ke mana-mana," anak laki-laki itu hanya menunduk. "Jangan diulangin lagi ya, kalau kamu kenapa-kenapa ayah sama bunda yang sedih."
"I'm sorry, Dad."
"It's okay, yang penting jangan diulangin lagi, jangan jauh-jauh dari ayah atau bunda, ya," anak itu mengangguk pelan, sang ayah menatap Bara. "Terima kasih udah nolong anak saya, Mas."
Bara tersenyum. "Biru.." sebuah suara dari belakang laki-laki itu membuat Bara mengurungkan niatnya untuk menjawab ucapan pria tadi. "Kan bunda udah bilang jangan pergi-pergi sendiri."
Bara terdiam ketika melihat wanita yang kini berdiri mengusap surai anak laki-laki itu. Tubuhnya tiba-tiba kaku, lidahnya kelu, terlebih ketika wanita itu kini menatapnya.
Dunia seolah berhenti berputar.
Bara mungkin tidak pernah tahu bagaimana perkembangan wanita itu setelah ia menghilang, atau bahkan kabar wanita itu. Tapi Bara masih mengingat dengan jelas setiap inci dari paras wanita itu, terlebih mata wanita itu yang masih begitu jernih dan sarat akan ketenangan. Wanita itu adalah sosok yang menjadi pusat hidup Bara selama ini, yang membuat Bara bisa bertahan selama ini.
Wanita itu,
Rana.
***
Tujuh
***
Tiga puluh menit sudah berlalu, namun baik Rana ataupun Bara belum ada yang berniat untuk membuka pembicaraan. Setelah pertemuan tidak terduga tadi, kini Rana dan Bara memang sedang duduk berhadapan di sudut sebuah kafe, namun tidak ada yang berbicara sejak tadi, keduanya kompak menatap kepulan asap dari cangkir kopi masing-masing.
Rana melirik jam tangannya, ia kemudian memberanikan diri menatap Bara. "Maaf, kalau enggak ada yang dibicarain, sebaiknya aku pergi."
Bara menegang, ia menahan Rana yang ingin beranjak. "Tunggu," Rana mengurungkan niatnya dan kembali duduk dengan tenang. "Maaf, aku cuma enggak tahu harus ngomong apa," Bara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "E—kamu apa kabar?"
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja," jawab Rana sedikit kikuk. "Gimana papa sama mama?"
"Mereka baik-baik aja," Bara tersenyum simpul. "Nyebelinnya juga masih sama," Rana ikut tersenyum, memorinya berputar mengingat kejadian beberapa tahun lalu di mana ia melihat Bara dan sang ibu bertengkar. Suasana kembali hening, Rana memilih menyesap kopinya yang masih setengah. "Kamu.." Rana yang masih memegang cangkir kopi terdiam sejenak, membiarkan tangannya mengambang mengangkat cangkir kopi sambil menunggu kalimat Bara selanjutnya. "Kemana aja selama ini?"
Rana meletakkan kopinya di meja. "Cukup jauh," jawab Rana dengan senyum simpul. "Setelah ibu meninggal, ayah pulang dan jemput aku sama Ragil buat ikut sama ayah ke Kanada."
"Kanada?"
Rana mengangguk. "Ternyata selama ini ayah merantau ke Kanada dan kerja di sana," jelas Rana. "Enggak ada yang nyangka kalau lulusan SMP bisa sukses di negeri orang."
"Tapi.." Bara menggantungkan kalimatnya, ia menatap Rana ragu-ragu. "Kenapa kamu pergi tanpa pamit?"
"Apa maksudnya?" tanya Rana bingung. "Waktu itu aku pamit sama mama kamu kok, ada Kira juga waktu aku pamit."
"Tapi enggak pamit sama aku," Rana terdiam. "Kamu pergi gitu aja, tanpa pamit dan buat aku bingung."
Rana menghela napas pelan. "Aku rasa kita enggak pernah dalam hubungan harus pamit kalau mau pergi atau hal semacam itu."
"Di hidup ini, kamu enggak bisa datang tanpa permisi dan pergi tanpa pamit. Kamu enggak bisa hidup seenaknya kayak gitu, Rana," Bara menghela napas kasar. "Dan kamu bilang kalau kita enggak pernah ada di hubungan harus pamit kalau pergi? Terus yang kita lakuin waktu itu apa? Waktu itu kamu anggap aku apa?"
Rana terdiam, ia menatap Bara yang nampaknya mulai kesal sekarang. "Bara, waktu itu kita berdua sama-sama lupa diri karena kita masih remaja yang labil dan enggak bisa mengontrol diri," ujar Rana. "Hubungan kita waktu itu terjadi karena kita terlalu terbawa perasaan, dan enggak lebih dari itu."
"Rasaku tulus, Rana," sahut Bara dengan menatap lekat mata cokelat Rana. "Sampai sekarang rasaku masih sama, itu bukan karena aku terbawa suasana. Aku bahkan nunggu kamu sampai saat ini."
"Maaf udah buat kamu nunggu, Bara," ujar Rana penuh sesal. "Tapi mulai sekarang kamu enggak perlu nunggu aku lagi."
Rana menatap seseorang yang duduk tidak jauh dari jangkauan mereka, membuat Bara ikut menatap sosok laki-laki dengan anak laki-laki yang sedang tertidur di pangkuannya. "Karena kamu udah menikah?" tanya Bara.
"Karena kamu juga harus bahagia, Bara," jawab Rana sambil tersenyum simpul. "Aku harap, setelah ini kita masih bisa berteman sebagai teman lama," Rana beranjak dari duduknya. "Aku permisi."
Bara menatap punggung Rana yang semakin menjauh dari pandangannya. Sesuatu di dalam diri Bara berdenyut kencang ketika melihat Rana yang terlihat begitu harmonis dengan keluarganya. Kepala Bara seperti dipukul dengan palu setelah mengetahui fakta bahwa orang yang ia tunggu dan ia cintai selama ini sudah menikah.
Bagaimana bisa Rana membuat Bara merasakan perasaan yang membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak seorang diri selama bertahun-tahun? Dan meninggalkannya seperti ini?
Jika sudah begini, apa yang harus Bara lakukan?
*
Bara memijat tengkuknya yang terasa berat dengan pelan, kini ia sudah berada di gedung apartemen dan sedang berjalan menuju apartemennya berada. Langkah kaki Bara terasa begitu berat, selain masalahnya dengan Bila, pertemuannya dengan Rana membuat energi Bara habis.
Bara bergegas memasukkan beberapa angka untuk membuka kunci digital pintu apartemennya. Bara menghela napas pelan sebelum membuka pintu apartemennya, namun ia keheranan karena lampu apartemennya yang sudah menyala.
"Habis dari mana aja kamu?"
Bara kembali menghela napas pelan saat mendapati sosok mamanya yang sudah duduk di sofa, dan seperti siap menerkamnya. Bara bisa menebak apa yang terjadi setelah ini, dan saat ini Bara sudah cukup lelah untuk meladeni sang mama.
"Bara!"
"Aku capek, Ma, besok aja."
"Kamu maunya apa sih sebenernya?!" hardik Rosa. "Kamu milih jadi dokter daripada sekolah bisnis buat nerusin usaha papa, mama sama papa nurutin. Kamu milih jadi dokter yang enggak berpenghasilan, mama sama papa turutin. Kamu enggak mau lanjut spesialis, mama sama papa turutin. Semua yang kamu mau dan yang kamu minta, papa sama mama turutin," Rosa menghela napas pelan. "Sekarang giliran papa sama mama minta kamu buat nikah, kamu malah kayak gini!"
"Besok aja, Ma."
"Kamu itu egois!"
Bara menghela napas kasar. "Aku emang orang paling egois yang hidup di dunia ini, Ma," sahut Bara. "Aku egois karena aku pengen bahagia dengan caraku, bukan caranya papa sama mama. Aku egois karena ini hidupku, Ma."
"Emang di dalam kehidupanmu cuma ada kamu aja?!" Rosa kembali berseru kesal. "Jadi selama ini mama sama papa itu apa?!"
"Enggak gitu, Ma," Bara menarik napas dalam-dalam untuk mengatur emosinya. "Aku udah besar, harusnya mama sama papa cukup paham kalau aku juga bisa ambil keputusan sendiri," jelas Bara. "Lagi pula ini soal pernikahan, Ma, yang bakal aku jalanin seumur hidup. Aku enggak bisa ngejalanin pernikahan sama orang yang enggak aku cinta, Ma."
"Terus kamu mau nikah sama siapa? Rana?" Bara kembali menghela napas pelan. "Dia enggak akan kembali, dan sekalipun dia kembali, dia enggak akan jadi milik kamu, Bara!" ujar Rosa. "Kamu udah terlalu lama nunggu, mau sampai kapan? Mau sampai mama sama papa mati?!" Bara terdiam. "Mama sama papa cuma mau yang terbaik buat kamu, Ra."
"Tapi Bila bukan yang terbaik buat aku, Ma."
"Emang Rana yang terbaik buat kamu?"
"Bisa jadi enggak," jawab Bara. "Tapi seenggaknya aku cinta sama dia."
"Kamu enggak bisa hidup cuma berpegang sama cinta, Ra!" ujar Rosa. "Enggak semua hal harus terjadi karena cinta."
"Mungkin enggak bagi mama, tapi bagiku kebahagiaan itu berasal dari cinta, mau cinta dengan apapun itu," sahut Bara. "Maaf kalau selama ini aku masih belum cukup sempurna buat papa sama mama. Tapi semenjak dewasa, aku akan ngelakuin berbagai hal berdasarkan cinta atau karena aku suka, terlebih jika itu soal pernikahan," Bara menghela napas pelan. "Kalau mama udah enggak ada urusan lagi, sebaiknya mama pulang, udah larut malam dan papa pasti udah nungguin mama."
Kini giliran Rosa yang menghela napas kasar, ia bergegas mengambil tasnya dan pergi meninggalkan apartemen Bara. Setelah pintu apartemennya tertutup, Bara segera duduk di sofa. Ia mengusap wajahnya dengan kasar dan meremas rambutnya kesar, hari ini adalah hari yang begitu melelahkan.
Bara berhasil membatalkan pernikahannya. Kemudian bertemu dengan Rana, momen yang seharusnya membahagiakan namun malah berujung menyakitkan. Hari ini adalah hari yang panjang untuk Bara, tenaganya terkuras habis, padahal ia tidak menangani terlalu banyak pasien.
Bara tidak tahu jika hidupnya akan berjalan rumit seperti ini.
*
Sebuah mobil SUV berhenti di sebuah tempat parkir di basement gedung apartemen. Tak lama seorang laki-laki bertubuh jangkung keluar dari mobil itu dan bergegas membuka pintu untuk seseorang yang masih berada di dalam mobil.
Laki-laki itu berdesis pelan saat mengambil alih seorang anak laki-laki yang tertidur di pangkuan ibunya, ia mengusap surai hitam anak laki-laki itu pelan agar ia kembali tidur. "Sepatunya udah?" tanya laki-laki itu memastikan.
"Udah, nih," Rana—wanita itu—menunjukkan sepatu kecil milik anak laki-laki itu. "Yuk."
Setelah mengunci mobil, mereka bergegas masuk ke gedung apartemen. Dengan menggunakan lift, mereka bergegas menuju lantai apartemen yang mereka tuju berada. Tak lama pintu lift terbuka tepat di lantai sepuluh, mereka pun segera menuju apartemen. Sesampainya di apartemen, si laki-laki bergegas menidurkan anak laki-laki yang ia gendong di kamar tidur, sedangkan Rana mengikuti di belakangnya.
"Besok-besok harus lebih ekstra jagain dia," ujar laki-laki itu sambil mengusap pelan surai hitam milik si anak laki-laki yang sedang tertidur lelap itu. "Bener-bener enggak bisa ditinggal sebentar dia ini."
Rana tersenyum simpul sambil melepaskan sepatu anak laki-laki itu dengan perlahan. "Namanya juga Biru, kalau diem aja bukan dia."
Usai menidurkan Biru, si anak laki-laki tadi, Rana dan laki-laki bertubuh jangkung itu segera keluar dari kamar. "Mau makan lagi, Mas?" tawar Rana.
"Masakan tadi siang masih?" Rana mengangguk. "Boleh deh kalau gitu."
"Oke, aku panasin dulu." Rana bergegas pergi ke dapur dan mengambil sisa makanan tadi siang yang ia simpan di lemari pendingin, dengan cekatan Rana segera memasukkan masakan yang ia buat tadi siang itu ke microwave. Rana pun bergegas menyiapkan peralatan makan untuk Rangga, laki-laki bertubuh jangkung tadi. Rana juga mengambilkan nasi untuk laki-laki itu dan membuat dua cangkir teh hangat.
"Besok Ragil jadi pulang?"
Rana membenarkan sambil mengambil masakkan yang di microwave untuk dihidangkan. "Cuti sehari, baru terbang lagi minggu depan," jelas Rana. "Besok kamu flight pagi?"
Rangga mengangguk. "Pulang lusa," jawab Rangga sambil mengambil makanannya. "Besok kamu dijagain Ragil dulu."
"Aku bukan anak kecil."
"Tapi kamu punya anak kecil."
Rana mendengus. "Tambahin sayurnya," ujar Rana sambil menambahkan lauk ke piring Rangga. "Oh iya, tadi mama telepon, katanya akhir pekan ini di suruh ke rumah buat makan malem bareng. Mumpung kita ada di sini katanya."
"Nggak janji."
Rana melotot. "Aku udah janji sama mama ya kalau kamu bakal dateng," sahut Rana galak. "Awas aja kalau enggak dateng, lagian kamu juga pulangnya pagi."
"Iya, iya, bawel," jawab Rangga kemudian menyuap makannnya, ia menatap Rana yang sedang menyesap teh hangatnya. "Tadi itu.. dia kan?" tanya Rangga ragu-ragu, Rana hanya tersenyum tipis. "Selama tiga bulan ke depan, aku harap kamu enggak goyah."
"Dia cuma bagian dari cerita masa laluku, Mas, buat apa goyah?"
"Tapi kamu enggak tahu hatimu."
Rana menghela napas berat. "Indonesia luas, kota ini juga cukup luas. Aku rasa, kemungkinan buat ketemu juga kecil," jelas Rana. "Kamu enggak usah khawatir, aku bisa jaga diri kok."
"Aku enggak khawatir kalau kamu ketemu sama dia," sahut Rangga. "Aku khawatir sama diriku sendiri kalau-kalau aku harus kehilangan kamu karena dia."
***
Delapan
***
"Lecek banget sih muka lo, Ra."
Bara menghela napas pelan ketika Bayu masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu atau permisi terlebih dahulu. "Lo bisa permisi dulu nggak sih?" omel Bara. "Ruangan gue bukan warteg, lo enggak bisa keluar-masuk sesuka hati lo."
Bayu mengernyit aneh. Sepertinya memang ada sesuatu yang benar-benar menganggu Bara hingga membuat laki-laki itu bersuara ketus, meski sebenarnya Bara memang sering berbicara dengan ketus, namun Bayu cukup bisa membedakan suara ketus Bara. Dan sepertinya saat ini suara ketus itu berasal dari suasana hati Bara yang sedang tidak baik.
"Lo enggak lagi PMS kan?"
Bara menatap Bayu jengah. "Kalau lo enggak ada urusan yang penting, mending lo keluar."
"Gue cuma mau ngajak lo makan."
"Gue udah kenyang."
Bayu menatap meja kerja Bara dan sekeliling ruangan, ia tidak menemukan sisa-sisa makanan. "Kenyang makan angin?" tanya Bayu kemudian duduk di sofa yang tak jauh dari meja kerja Bara. "Lo kenapa sih? Masih soal Bila?"
"Bay, please, just leave me alone," mohon Bara yang benar-benar tidak ingin diganggu. "Gue bakal cerita, tapi nanti."
Bayu menghela napas pelan dan beranjak dari duduknya. "Oke, gue enggak bakal ganggu lo sekarang, tapi lo masih utang cerita sama gue ya."
Bara mengangguk dan membiarkan Bayu pergi meninggalkan ruangannya. Sejak kemarin malam suasana hati Bara tidak kunjung membaik, jika dirasa malah semakin memburuk. Mengetahui fakta bahwa orang yang Bara cintai dan yang ia tunggu selama ini sudah menikah, bahkan sudah memiliki anak membuat Bara benar-benar frustrasi. Ditambah dengan pernyataan Rana kemarin malam yang menyatakan bahwa ia tidak berarti sama sekali di mata Rana, hanya sebatas teman.
Bara tidak menyangka jika penantiannya berakhir sia-sia, dan terasa begitu menyakitkan. Rasanya takdir sedang bergurau sekarang, setelah bertahun-tahun, bagaimana bisa Bara hanya mendapatkan rasa sakit yang begitu menyesakkan?
Sekarang Bara benar-benar tidak tahu harus menyalahkan siapa atas sakit hatinya. Apakah salahnya karena kukuh menunggu? Atau salah Rana yang rasanya tidak pengertian sama sekali? Atau malah salah takdir?
Bara menghela napas pelan, ia menatap bingkai foto yang melindungi foto Rana remaja yang sedang tersenyum manis. "Aku harus apa sekarang?" Bara bergumam pelan.
Suara ketukan pintu membuat Bara bergegas memasukkan bingai foto itu di laci meja kerjanya, tak lama sosok perempuan berparas cantik melongokkan kepalanya dan tersenyum lebar. "Aku ganggu?" tanya perempuan itu kemudian bergegas masuk ke ruangan Bara.
"Kalau udah tahu ganggu kenapa masuk?"
Kira—perempuan itu—mencebikkan bibirnya kesal. "Jahat banget sama adik sendiri."
"Kalau kamu ke sini cuma mau marahin aku dan bantuin mama, mending kamu ke luar sekarang." ujar Bara tegas.
Kira mendengus. "Siapa emangnya yang mau marahin kakak?" tanya Kira sebal. "Aku ke sini cuma mau mastiin kalau kakak baik-baik aja."
"Kamu pikir, kamu bisa bohongin kakak?"
Kira tersenyum lebar. "Tapi aku bener-bener enggak berniat marahin kakak kok, aku cukup tahu gimana susahnya ngatur perasaan," jelas Kira. "Kakak mau atau enggak mau nikah sama Kak Bila, apapun keputusan kakak asal itu baik, aku bakal terus dukung kakak."
Bara menatap Kira penuh selidik. "Kalau kamu bijak gini, pasti ada sesuatu yang kamu mau dari kakak. Apa?"
"Tyo kan lagi kerja, Kak, kemungkinan baru pulang minggu depan," jelas Kira. "Nah, hari ini aku harus ketemu sama desainer interior yang mau desain rumah aku, jadi—"
"Enggak, aku enggak bisa."
"Tolong, Kak, selera kakak sama Tyo kan hampir sama. Jadi cuma kakak yang bisa bantuin aku," mohon Kira. "Tolong banget, aku bakal ngelakuin apapun kalau kakak mau, termasuk belain kakak di depan mama."
Bara mendesah pelan. "Kenapa enggak reschedul aja jadi minggu depan pas ada Tyo?"
"Enggak bisa, Kak. Dia ini dari kantor pusat yang ada di Amerika sana, cuma ada di Indonesia selama tiga bulan aja, dan jadwalnya udah penuh banget," jelas Kira. "Tolong, Kak. Tyo juga udah setuju kok kalau kakak ngewakilin dia."
"Kenapa enggak cari desainer lain aja?"
"Desain dia bagus-bagus, Kak, dan harganya pun enggak terlalu mahal," jawab Kira. "Bantuin aku, Kak, tolong. Emang kakak enggak kasihan sama aku yang lagi hamil kayak gini?" Bara menghela napas pelan. "Kakak enggak kasihan sama keponakan kakak sendiri?"
Bara mendengus. "Ya udah, ya udah, jam berapa?"
Kira tersenyum lebar. "Nanti sore jam tiga," jawab Kira dengan senang. "Aku mau perawatan dulu, nanti aku ke sini sebelum jam tiga. Ketemu nanti, Kakak ganteng."
Bara menghela napas pelan setelah adiknya keluar, Kira sudah menikah bahkan sedang hamil saat ini, tapi sifatnya yang merepotkan dan begitu cerewet masih saja melekat padanya. Sungguh malang nasib Bara.
*
Suasana bandar udara sedang ramai sekarang, orang-orang berlalu lalang di sana. Ada yang buru-buru memasuki bandara agar tidak tertinggal pesawat, ada yang sedang menunggu orang terkasih pulang, ada juga yang sedang bersedih mengantar kepergian orang-orang kesayangan mereka.
Kali ini Rana menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang menunggu orang yang ia sayangi pulang. Setelah mengantar Rangga, bersama dengan Biru, kini Rana menunggu salah satu orang yang ia sayangi pulang, Ragil—adiknya.
"Uncle kok lama banget sih, Bu?"
"Sabar dong, Biru, sebentar lagi Om Ragil juga dateng," jawab Rana menenangkan adiknya. "Mau minum dulu?"
"Pokoknya kalau Om Ragil dateng, aku mau minta mainan yang banyak," ujar Biru kemudian menerima air mineral yang diberikan Rana untuknya. "Salah sendiri ngebuat aku nunggu lama."
"Emang mau minta mainan apa sih?"
Rana dan Biru sama-sama menoleh saat mendengar suara yang tidak asing di telinga mereka, seorang pria bertubuh jangkung dengan seragam pilotnya sudah berdiri di belakang Biru dan Rana dengan senyum lebar, Ragil.
"Om!" Biru segera berhambur menuju gendongan Ragil, dan seperti melupakan rasa kesalnya karena sudah lama menunggu. "Kenapa om lama banget sih? Om pasti main-main dulu sama tante-tante pramugari cantik, ya?!"
Ragil terkekeh. "Iya dong, kok kamu tahu sih?"
"Om kan suka genit."
Ragil kembali tertawa kecil. "Pinter banget sih kamu," puji Ragil sambil mengusap surai hitam biru dengan lembut. "Siapa yang ngajarin?"
"Kalau yang aneh-aneh gitu, udah pasti kamu yang ngajarin, kan? Pakai nanya." sahut Rana. "Ayo pergi, aku harus ke kantor."
Ragil segera menarik kopernya sambil menggendong Biru, mengikuti sang kakak yang berjalan lebih dulu, dan tidak mempedulikan orang-orang yang menatapnya. Khususnya para kaum hawa. Ya, Ragil memang tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang tampan, tubuhnya juga cukup proporsional dengan tinggi badan yang mencapai seratus delapan puluh lima.
Ragil berhasil tumbuh menjadi pria idaman.
"Kenapa sih lihatin aku terus, Mbak?" tanya Ragil yang menyadari Rana menatapnya sambil tersenyum geli. "Aku tambah ganteng?"
Rana tertawa. "Om Ragil ganteng nggak, Bi?"
Biru menatap Ragil dengan pandangan menilai. "Enggak, yang ganteng kan aku sama ayah." jawab Biru dengan mata polosnya.
Ragil tertawa. "Iya deh, kamu sama ayah emang yang paling ganteng, tapi cuma di mata ibu." sahut Ragil mengejek.
"Biarin," Biru bersedekap. "Daripada om, nggak ganteng di mata siapa-siapa."
Rana tertawa lepas. "Biru satu, om nol," ujar Rana sambil mengangkat tangan Biru tinggi-tinggi, menandai kemenangan anaknya. "Makanya cari pacar, Om."
"Nggak usah mulai deh," sahut Ragil kesal. "Oh iya, ini mbak mau ke kantor langsung? Nggak makan dulu sama aku, Mbak?"
Rana menggeleng. "Kamu makan sama Biru dulu ya, mbak masih ada kerjaan," jawab Rana. "Biru, nanti Biru ikut sama Om Ragil dulu ya. Makan yang baik, enggak boleh nakal, nurut sama om."
"Siap, Bun!"
Rana mengecup puncak kepala Biru dengan sayang, Ragil yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum kecil. "Mbak, selama di sini, mbak jangan ke mana-mana ya," ujar Ragil yang membuat Rana mengernyit heran. "Pokoknya kalau enggak ada aku atau Mas Rangga, jangan pergi-pergi sendiri."
"Jujur sama mbak, sebenernya kamu itu adiknya Mas Rangga kan? Bukan adiknya mbak?" Rana menatap Ragil penuh selidik. "Kamu lebih mirip dia dari pada aku."
"Mbak.." sahut Ragil yang seolah menegaskan bahwa ia tidak sedang sengaja. "Aku enggak lagi bercanda."
Rana menghela napas pelan. "Kamu enggak usah khawatir, mbak bisa jaga diri, Gil."
"Aku percaya kalau mbak bisa jaga diri, tapi aku enggak bisa percaya kalau orang-orang di sini enggak bakal nyakitin kamu, Mbak."
*
Sore ini, seperti janji Bara dengan Kira tadi. Dengan terpaksa ia menemani Kira menemui desainer yang akan mendesain interior rumah baru adiknya itu. Sungguh, Bara ingin segera pulang dan beristirahat. Karena setelah kejadian kemarin, entah kenapa tenaga Bara seperti terkuras habis.
"Kok lama sih, Ki?"
"Sabar, Kak, namanya juga orang sibuk."
Bara menghela napas pelan. Sudah hampir lima belas menit ia dan Kira menunggu, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan bertemu dengan desainer yang kata Kira terkenal itu. Tapi bagaimana bisa desainer terkenal tidak profesional seperti ini? Padahal setiap detik adalah nyawa.
"Maaf sudah lama menunggu," ujar seorang perempuan yang tadi juga menyambut Bara dan Kira. "Silakan masuk."
Kira mengangguk, ia menepuk paha Bara pelan agar pria itu ikut bangkit seperti dirinya. Dengan segenap rasa malasnya Bara segera mengikuti Kira, mereka memasuki sebuah ruangan bernuansa putih dan terdapat tumbuhan di dalam pot. Meski baru masuk, namun Bara bisa menilai jika pemilik ruangan ini adalah orang yang tenang, tapi tidak profesional.
"Kak Rana?!"
Bara menatap Kira bingung, kenapa ia menyebut nama Rana?
"Bener Kak Rana, kan?" Kira kembali bertanya, membuat Bara menatap sosok yang kini menatap mereka dengan pandangan sulit diartikan. Ini bukan mimpi, wanita yang duduk di kursi meja kerja itu adalah Rana.
Orang yang sama, yang membuat Bara kehabisan tenaga sejak kemarin malam.
"Udah lama enggak ketemu, Kak," ujar Kira menyadarkan Bara dari lamunannya, dengan luwes Kira menghampiri Rana dan memeluknya. "Kakak apa kabar? Kakak ke mana aja selama ini? Kenapa enggak hubungin aku?"
Rana tersenyum simpul. "Kakak baik-baik aja, Ki," jawab Rana ramah. "Kamu apa kabar?" pandangan mata Rana turun melihat perut buncit Kira. "Kamu hamil?"
Kira tersenyum lebar dan mengangguk. "Udah masuk lima bulan."
"Wah, hebat," puji Rana. "Sehat-sehat ya ibu hamil, jangan lari-lari sembarangan kayak tadi."
"Siap, Kak," jawab Kira. "Kalau kakak sendiri gimana? Udah nikah?"
"Kakak udah punya anak."
Kira terdiam, raut wajahnya berubah, dan membuat suasana ruangan Rana menjadi canggung. "E—silakan duduk," ujar Rana mengalihkan pembicaraan. "Kakak udah lihat gambar rumah kamu, cukup luas dan bisa dikasih desain apa aja. Tapi, kamu maunya rumah yang kayak gimana?"
"Aku serahin desainnya sama Kak Bara sih, Kak," Rana menatap Bara yang sedari tadi diam. "Soalnya selera suamiku sama kayak Kak Bara."
Rana mengangguk mengerti. "Kakak udah bikin beberapa opsi sih, kamu bisa lihat," ujar Rana sambil memperlihatkan beberapa desain rumahnya yang ada di tablet. "Kakak juga udah diskusi sama Jami, katanya suami kamu milih rumah gaya modern tapi tetep kelihatan Asian. Jadi, kalau seleranya mirip Bara, mungkin bakal lebih banyak aksen kayu, karena Bara suka kayu." ujar Rana sambil menggeser layar tablet untuk memperlihatkan desain rumah yang ia maksud.
"Aku udah enggak suka kayu," sahut Bara dingin, membuat Kira dan Rana sama-sama menatapnya. "Aku lebih suka rumah gaya industrial daripada Asian yang penuh kayu."
Rana menatap Bara sebentar kemudian menghela napas pelan. Ia mengambil tabletnya, bermaksud mencari desain rumah bertema industrial yang pernah ia buat. "Sejak kapan kakak nggak suka kayu? Selain gundam plastik, kakak paling suka sama kayu. Bukannya kemarin kakak baru aja beli perabot kayu dari Inggris?" Kira bersuara dengan heran.
"Aku udah enggak suka sama kayu." tegas Bara yang membuat Kira semakin heran. "Kalau kamu enggak suka sama pilihanku, seharusnya kamu enggak usah ngajak aku ke sini."
"Ya tapi sejak kapan kakak nggak suka sama kayu?" tanya Kira lagi. "Agak nggak masuk akal kalau kakak yang tergila-gila sama kayu jadi enggak suka kayu dalam waktu satu malam."
Bara terdiam sejenak, ia menatap Rana yang seolah tidak mendengar argumennya dengan Kira. "Sejak seseorang ngeremehin perasaanku."
Gerak tangan Rana terhenti, raut wajahnya berubah getir. Disadari Bara atau tidak, kalimat yang baru saja Bara ucapkan sukses menohok ulu hatinya, tepat sasaran, dan menyakitkan.
***
Sembilan
***
Bara menatap langit biru dari dalam ruangannya, pikirannya menerawang jauh ke sana hingga tak lama sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Sosok yang hampir setiap hari mengusik jam istirahat Bara muncul dengan senyum lebarnya dan menunjukkan plastik putih yang ia bawa, Bayu.
"Gue beli nasi Padang." ujar Bayu yang kini sudah masuk dan duduk di sofa sambil mengambil dua bungkus nasi yang ia beli. "Gue beliin pakai ampela loh." Bara hanya bergumam tidak berminat, ia memutar kursinya hingga membelakangi Bayu dan memilih kembali menatap langit.
"Lo masih utang cerita sama gue, Ra," Bayu kembali bersuara, seolah tidak mau membiarkan Bara tenang barang sedetik. "Kenapa sih lo akhir-akhir ini badmood terus?"
"Gue ketemu dia."
"Siapa?"
"Rana."
"Oh, Rana—Hah?! Rana balik?! Kapan?!" tanya Bayu antusias. "Gimana dia? Masih sesuai ekspetasi lo nggak? Masih secantik yang lo ceritain nggak?"
Bara menyunggingkan senyumnya dengan tetap menatap langit. "Dia masih cantik kayak dulu, sejauh ini.. gue rasa enggak ada yang berubah." jawab Bara sambil membayangkan sosok Rana.
"Terus gimana? Kalian ngobrol?" Bara mengiyakan. "Terus kalau lo sama dia udah ketemu, kenapa lo malah galau? Nggak doyan makan? Nggak ada motivasi diri gini?" tanya Bayu heran. "Lo sadar nggak sih, kalau lo itu udah mirip kayak zombie? Akhir-akhir ini lo tuh kayak mau terus hidup udah nggak kuat, tapi kalau mati masih belum mau."
Bara tersenyum getir. "Emang gue separah itu?"
Bara membenarkan. "Lo enggak lagi depresi, kan?" tanya Bayu. "Perlu gue teleponin Iqbal?" Bara menghela napas pelan. "Kalau lo udah ketemu sama Rana, harusnya lo bahagia dong, tapi kenapa sekarang malah kebalikannya? Kenapa sih sebenernya?"
"Rana udah nikah."
"Hah?"
"Iya, lo enggak salah denger," jawab Bara kemudian menghela napas berat. "Dia udah nikah, bahkan udah punya anak."
Kini giliran Bayu yang menghela napas pelan. "Berarti, penantian lo selama ini sia-sia dong?"
"Belum."
"Hah? Kok belum?"
"Nggak usah kebanyakan hah heh hah heh deh, Bay," omel Bara yang kini sudah menatap Bayu jengah. "Ya, gue belum tahu dia udah bener-bener nikah atau belum," jelas Bara. "Gue mau tahu dia bener udah nikah apa cuma mau buat gue mundur."
"Sinting," maki Bayu. "Jelas-jelas dia udah nikah, buktinya udah ada, kenapa masih lo raguin juga?" Bayu mendengus. "Lama-lama gue santet juga lo, Ra. Cinta boleh, tapi ngotak dikit lah," omel Bayu dengan gemas. "Jelas-jelas dia udah punya anak, udah nikah, masa masih mau lo kejar?"
"Gue cuma mau mastiin, nggak lebih."
"Gila lo, gue mau telepon Iqbal dulu biar lo dirawat sama dia," ujar Bayu sambil mencari-cari ponselnya di saku bajunya. "Lo tuh udah sakit jiwa, Ra."
"Emangnya cinta itu salah?"
"Ya enggak salah, cara lo yang salah," sahut Bayu. "Gue ingetin ya, Ra. Lo enggak boleh ngerusak kebahagian orang lain demi kebahagiaan lo sendiri," ujar Bayu dengan tegas. "Apapun alasanya, lo enggak akan bahagia kalau lo dapetin kebahagiaan itu dengan cara yang enggak semestinya."
Bara menghela napas pelan. "Gue enggak berusaha ngerusak kebahagiaan siapa-siapa, Bay," Bara membela diri. "Gue cuma mau mastiin, kalau dia udah nikah ya udah.. gue bakal relain dia." meski berat.
"Ra, jujur sama gue," suara Bayu melunak. "Sebenernya perasaan lo itu cinta apa cuma obsesi?" Bara terdiam. "Sebelum lo melangkah, ada baiknya lo mastiin perasaan lo dulu," nasihat Bayu. "Karena kalau lo kayak gini, gue rasa.. lo enggak ada bedanya sama Bila."
Bara terdiam saat Bayu pergi meninggalkan ruangannya, ia kembali merenungi keputusannya.
Apakah memang sudah waktunya untuk berhenti?
*
Pusat perbelanjaan selalu ramai meski di hari biasa, banyak orang berlalu lalang untuk berbelanja atau bahkan hanya sekadar mencuci mata. Tapi banyak juga yang melakukan hal lain seperti bertemu dengan orang lain, seperti Rana saat ini yang bertemu kliennya di salah satu kafe yang ada di pusat perbelanjaan itu.
Sebenarnya Rana lebih memilih untuk bertemu di kantor saja, namun klien itu meminta untuk bertemu di kafe saja. "Setelah ini saya akan menyerahkan desain yang ibu pilih ke pada Jami." ujar Rana mengakhiri sesi diskusi.
"Terima kasih untuk waktunya, Mbak Rana, saya minta maaf karena meminta mbak datang ke sini dan tidak menemui di kantor." ujar wanita paruh baya itu.
Rana tersenyum. "Enggak apa-apa, Bu, saya bisa sekalian ngajak anak saya main," wanita itu menatap Biru yang sedang asyik dengan mainannya dan tersenyum. "Kalau begitu saya permisi dulu, Ibu."
Rana bergegas mengajak Biru beranjak pergi. "Kita jadi main di playground ya, Bun." ujar Biru yang berjalan sambil memegang tangan ibunya.
"Tapi sebentar aja ya, Bi. Bunda masih ada kerjaan," Biru mengangguk dengan antusias. "Oh, sebentar, ada yang telepon bunda."
Rana bergegas mengambil ponselnya yang berdering dan mengangkat telepon itu, sebuah panggilan dari kantornya. Rana bercakap sedikit di sana, dan bergegas mematikan sambungan telepon karena tidak mau membuat Biru menunggu lama.
"Ayo, Bi." Rana menghela napas pelan ketika sudah tidak menemukan anak laki-lakinya sudah tidak ada di dekatnya, melainkan sudah berlari tidak jauh darinya. Rana bergegas mengikuti langkah kaki Biru, namun langkahnya terhenti ketika Biru tidak sengaja menabrak seseorang yang membuatnya terjatuh. "Biru!"
"Maaf, Nenek, Biru enggak sengaja," ujar Biru sambil buru-buru bangkit. "Nenek enggak apa-apa?"
Wanita paruh baya itu tersenyum. "Nenek enggak apa-apa," jawab wanita itu. "Kamu enggak apa-apa, Sayang?"
"Biru.." Rana bergegas menghampiri Biru. "Kamu enggak apa-apa?"
"Rana?" Rana menatap sosok yang sedari tadi menatapnya dengan pandangan takjub. "Kamu Rana, kan?"
"Ibu.. Rosa?"
Biru menatap ibu dan wanita paruh baya itu bergantian, ia adalah satu-satunya orang yang tidak mengerti di sana. Dengan persetujuan Biru, kini Rosa dan Rana duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari playground, sehingga mereka bisa berbincang sambil mengawasi Biru bermain.
"Udah lama tante enggak lihat kamu, kamu tambah cantik aja, Rana," puji Rosa menatap Rana dengan mata berbinar. "Selama ini kamu ke mana aja?"
Rana tersenyum. "Saya ikut ayah ke Kanada, Bu. Kebetulan ayah punya kerjaan di sana, jadi saya ikut," jelas Rana. "Saat ini kebetulan saya ada kerjaan di Indonesia, jadi menetap di sini sementara."
Rosa mengangguk mengerti, ia kemudian menatap anak laki-laki yang berlarian di playground dengan anak-anak lain, padahal sebelumnya ia tidak memiliki teman. "Anak kamu supel banget ya, kelihatan dididik dengan baik," puji Rosa sekali lagi. "Andai kamu jadi menantu tante, mungkin saya bakal punya cucu secerdas anak kamu."
Rana tersenyum canggung. "Bara atau Kira pasti bisa ngurus cucu-cucu ibu dengan baik."
Rosa menghela napas berat. "Kalau Kira, tante masih punya harapan," jawab Rosa. "Tapi kalau Bara.." Rosa menghela napas berat. "Tante enggak yakin."
"Kenapa emangnya, Bu?"
"Selama dia masih nunggu seseorang, tante enggak yakin dia bisa kasih tante cucu atau bahkan untuk menikah," Rana terdiam. Ia tahu siapa seseorang yang membuat Bara seperti itu. Ya, Rana tidak akan menyangkal bahwa dirinya lah yang membuat Bara seperti itu. "Tapi kayaknya sekarang dia udah enggak punya kesempatan."
Rana hanya tersenyum kikuk, rasa bersalah yang beberapa hari ini menghantuinya menjadi semakin kuat. Hatinya mulai resah, rasa bersalah itu makin menyerap, dan..
apakah ia sudah menghancurkan hidup Bara?
*
Setelah memarkirkan mobilnya, Bara bergegas masuk ke rumah megah yang sudah jarang ia singgahi, rumahnya. Sejak kuliah hingga menjadi seorang dokter, Bara memang jarang berada di rumah, ia hanya datang di saat-saat tertentu saja. Seperti malam ini di mana Satria—suami Kira—yang lebih akrab dipanggil Tyo baru saja pulang bekerja dan kebetulan bertepatan dengan ayah Bara yang pulang setelah melakukan perjalanan bisnis di Eropa, dan membuat Rosa menjadwalkan acara makan malam.
"Oh, Mas Bara," sapa seorang wanita paruh baya, Sum, yang merupakan asisten rumah tangga di rumahnya. "Bapak sama ibu sudah menunggu, Mas."
Bara mengangguk, ia segera pergi di ruang keluarga, di mana keluarganya sudah berkumpul. Di sana sudah ada orang tua Bara, dan Tyo. Namun mereka nampak asyik mendiskusikan sesuatu sambil melihat ponsel milik Rosa hingga tidak menyadari keberadaan Bara.
"Mirip banget sama mendiang opa, kan?" Kira membenarkan. "Mama tuh awalnya juga mikir, kayak mirip siapa.. ternyata mirip mendiang opa."
"Siapa yang mirip mendiang opa?"
Semua orang menatap Bara terkejut, Rosa buru-buru menyembunyikan ponselnya dari Bara, membuat Bara semakin penasaran. "Siapa?" Rosa balik bertanya. "Enggak ada yang mirip sama mendiang opa."
Bara menghela napas berat dan menengadahkan tangannya, bermaksud meminta ponsel sang mama. "Aku masih bisa denger tadi mama ngomong apa." sahut Bara.
"Kakak kepo banget sih."
Bara menatap Kira tajam, membuat wanita hamil itu terdiam seketika. "Mana, siapa yang mirip sama opa?" Bara yang menyadari ada kejanggalan mendesak sang mama. "Kalau enggak ada apa-apa harusnya enggak ada yang perlu disembunyiin dari aku."
"Udah lah, Ra, enggak biasanya kamu nanggepin hal yang enggak penting dari mama," lerai Hadi yang sukses membuat Rosa menatapnya tajam. "Tyo mana? Ayo mulai makan, papa udah laper."
"Foto anak kecilnya tadi mana?" Tyo yang baru saja datang entah dari mana tiba-tiba kembali membuka topik yang berusaha disembunyikan orang tua Bara dan Kira. "Aku udah nemu nih, ternyata bener anak yang suka sama Kapten Deva," Tyo menjadi kikuk saat Rosa, Hadi, dan Kira menatapnya dengan tajam. "Eh, tadi kayaknya papa bilang udah laper, kita makan yuk."
"Coba sini Bara lihat fotonya, Ma," dengan terpaksa Rosa memberikan ponselnya, Bara terdiam saat melihat foto itu. "Anaknya Rana?"
Rosa membenarkan. "Tadi mama enggak sengaja ketemu Rana sama anaknya, Biru," jelas Rosa. "Anaknya pinter banget, lucu," Rosa tersenyum lebar. "Suaminya Rana tadi siapa, Yo?"
"Kapten Deva, Ma. Aku inget banget, soalnya emang terkenal banget Kapten Deva, Devara Rangga Prasetyadi," Tyo menyahut. "Dulu kakak tingkat Tyo di sekolah penerbangan di Amerika, adik iparnya satu angkatan sama aku, Ragil," jelas Tyo. "Sekarang kayaknya di maskapai punya keluarga Kapten Deva, Ma."
"Bukannya Prasetyadi salah satu partner bisnisnya papa?" tanya Kira. "Berarti Kak Rana nikah sama orang kaya raya dong?"
Tyo membenarkan. "Dulu anak-anak suka penasaran sama istrinya Kapten Deva ini, siapa namanya, dari keluarga mana, kayak apa orangnya.." jelas Tyo. "Soalnya bener-bener enggak terekspos tapi bisa buat Kapten Deva yang dipuja banyak perempuan itu bertekuk lutut sama satu orang dan itu cuma istrinya ini," Tyo tersenyum geli. "Kalau kata anak jaman sekarang, Kapten Deva ini bucin banget banget sama istrinya ini."
"Oh ya?" Tyo membenarkan pertanyaan Kira. "Tapi kenapa anak mereka malah mirip sama mendiang opa?"
***
Sepuluh
***
"He said something to make you laugh, I saw that both your smiles were twice as wide as ours. You look happier, you do."
—Ed Sheeran
***
"Ayo, Ayah, nanti kalau enggak buru-buru aku ditinggal grandpa sama grandny lagi."
Pagi ini Rana disibukkan dengan Biru yang terus-terusan merengek ingin pergi ke rumah neneknya setelah tahu jika sang nenek sudah pulang setelah tiga bulan ini berkeliling Eropa.
Rana menghela napas pelan. "Tadi kan udah telepon grandpa sama grandny kalau Biru mau ke rumah, jadi grandpa sama grandny enggak mungkin pergi," ujar Rana menenangkan putranya yang tidak sabaran. "Ayo sarapannya dihabisin dulu baru kita pergi ke rumah grandpa sama grandny."
"Ayo sarapannya dihabisin dulu," kini Rangga yang bersuara. "Semakin cepet habis, semakin cepet kita pergi ke rumah nenek."
Biru akhirnya menyerah dan kembali memakan sarapannya, Rana yang melihat itu hanya menghela napas pelan karena menyadari Biru sangat menurut pada Rangga. Rana akui, terkadang ia cemburu pada Rangga karena Biru selalu menuruti hampir setiap perkataan Rangga, sedangkan dengannya Biru masih sering merajuk. Padahal jika dipikir-pikir Rana lah yang susah payah mengandung dan melahirkan Biru, bukan Rangga, tapi kenapa Biru lebih banyak mendengar Rangga daripada dirinya?
"Ngelamunin apa?" Rana sedikit terkejut ketia Rangga menegur. "Kamu enggak kenapa-kenapa, kan? Ada masalah sama kerjaan kamu? Atau ada sesuatu selama aku tinggal?"
"Mbak enggak kenapa-kenapa, Mas, cuma kangen sama mas aja jadinya kayak gitu," sahut sebuah suara yang baru saja muncul, Ragil. "Ajak main lah, Mas. Mbak Rana jenuh kerja terus, ditambah kurang waktu berdua sama mas."
Rana berdecak kesal. "Enggak usah rese deh, Gil."
Rangga tertawa kecil. "Beres, lagian hari ini bisa berduaan terus, kan Biru kita titipin ke rumah mama." Rana mendelik sebal, membuat Rangga dan Ragil sama-sama tertawa dengan kompak karena berhasil menggoda Rana.
"Kalian berdua ini emang saudara kandung, enggak ada yang ngalahin usilnya kalian."
"Iya lah, aku kan aslinya adek Mas Rangga, bukan adek mbak," ujar Ragil sambil merangkul bahu Rangga. "Iya, kan, Mas?"
Rangga menyetujui. "Aku juga timnya ayah sama Om Ragil!" ujar Biru sambil berlari kecil menghampiri Rangga dan Ragil.
"Biru.. harusnya Biru jadi timnya bunda dong," ujar Rana pura-pura bersedih. "Emang Biru enggak kasihan sama bunda? Bunda kan sendirian."
"Makanya cepet bikin adek cewek buat Biru, Mbak, biar kamu punya temen," Rana mendelik dan mendengus kesal, membuat Ragil kembali tersenyum senang. "Kamu mau kan punya adek cewek, Bi?"
Biru mengangguk antusias. "Mau! Mau!" jawab Biru cepat. "Aku mau cute little sister kayak adek Tasya."
"Tuh, Biru udah setuju," ujar Ragil lagi. "Mas Rangga setuju juga, kan?"
Rangga mengangguk. "Aku sih siap kapan aja kalau soal buat-membuat adek buat Biru." jawab Rangga yang langsung dihadiahi pukulan pelan dari Rana.
"Udah, udah, kalian ini pagi-pagi ngaco aja kerjaannya," omel Rana, ia kemudian menatap Biru yang berdiri di antara Ragil dan Rangga. "Biru, katanya mau cepet ketemu nenek sama kakek. Karena makannya udah habis, kita ke rumah kakek sama nenek yuk."
Biru mengangguk cepat dan beringsut meninggalkan ruang makan untuk mengambil tas yang sudah ia isi dengan barang-barang yang perlu ia bawa setelah bangun tidur tadi. "Gil, nanti Mbak Anti bersihin rumah ya," ujar Rana sambil membuatkan kopi untuk adik laki-lakinya itu. "Kalau mau pergi kabarin mbak dulu."
"Kalau mau pergi pakai mobil ini," Rangga meletakkan kunci mobil di dekat Ragil. "Isi bensin dulu, soalnya tinggal dikit."
Ragil mengangguk. "Udah, mbak sama mas tenang aja, aku bisa jaga diri," ujar Ragil yang merasa jengah karena terlalu diperhatikan oleh dua orang yang lebih dewasa dari dirinya itu. "Kalian berdua nikmatin waktu berdua dulu, mumpung Biru lagi mau seharian sama mama-papa."
"Ayah! Bunda! Ayo, aku udah siap!" Biru berseru sambil menghampiri Rana dan Rangga, ia pun sudah membawa tas punggung yang bergambar tokoh kartun favorit-nya. "Ayo, Yah!"
"Yuk.. yuk, berangkat," jawab Rangga. "Kalau enggak ke mana-mana, jaga apart ya, Gil." Ragil mengangguk.
"Mbak pergi dulu, hati-hati kamu." kini giliran Rana yang berpamitan.
"Harusnya aku yang bilang hati-hati," Rana hanya menyunggingkan senyumnya. "Hati-hati, Mbak."
Senyum Ragil belum sirna ketika melihat kakaknya pergi bersama dengan Rangga dan Biru. Ia menghela napas pelan, meski Ragil tidak pernah mengungkapkannya langsung, jujur saja Ragil sangat bersyukur kakaknya sudah bahagia sekarang. Dan ia berharap kakaknya akan selalu bahagia.
*
Biru terlihat sangat bersemangat pagi ini, selama di perjalanan menuju rumah orang tua Rangga, ia terus bersenandung dengan riang dan bertanya ini-itu. Terlihat sekali jika Biru memang sudah tidak sabar bertemu dengan kakek-neneknya.
"Jangan lari, Bi." ingat Rana saat baru saja membuka pintu mobil untuk Biru, tetapi anak laki-lakinya itu tidak menghiraukan peringatan Rana dan langsung melompat dari mobil kemudian berlari masuk ke rumah. Rana menghela napas pelan. "Lihat tuh, persis kamu, suka ngeyel."
Rangga hanya tersenyum geli dan mengikuti Rana yang sudah berjalan lebih dahulu memasuki rumah. "Pa, Ma," Rana segera menyalami dua orang yang sudah berada di ruang tamu bersama Biru. "Kirain jadi pindah ke Belanda, Ma."
"Mana kuat mamamu jauh-jauh dari sambel jengkol," jawab Husain—ayah Rangga, menanggapi gurauan Rana. "Kemarin aja harusnya pulang minggu depan, harus dipercepat pulang sekarang gara-gara mama udah kangen banget sama nasi padang."
Rana tertawa kecil. "Padahal papa yang kangen sama sambel jengkol, malah ngelemparin ke mama," cibir Indah. "Kalau mama kan kangen sama cucu mama yang satu ini." Indah mendekap Biru yang duduk di dekatnya dengan erat. "Hari ini Biru jadi nemenin granny seharian kan?"
Biru mengangguk dengan antusias. "Nanti kita buat kue-kue ya, Granny," mata Biru berbinar. "Aku kangen sama pie apelnya granny."
"Tenang aja, granny udah siapin bahan-bahannya," jawab Indah sambil mengusap pelan surai Biru. "Oh, kalian kalau mau pergi, pergi aja. Biar mama sama papa yang jaga Biru," ujar Indah sambil menatap Rana dan Rangga bergantian. "Enggak usah khawatir sama Biru, dia aman di sini, kalian bisa nikamatin waktu berdua."
"Siap, Ma," jawab Rangga. "Nanti kalau ada apa-apa, langsung telepon aku ya, Ma."
Indah mengangguk. "Jangan buat granny sama granpa capek ya, Bi," ujar Rana. "Inget sama janjinya Biru kemarin malem, kan?" Biru mengangguk. "Nurut sama granny-granpa ya."
"Ya udah, Ma, Pa, kita pergi dulu ya," pamit Rangga. "Biru, jangan nakal."
Rana kembali menyalami papa dan mama Rangga. "Maaf ngerepotin ya, Ma."
"Enggak repot, masa ngurus cucu ngerepotin," jawab Indah menenangkan. "Have fun kalian!"
Kini Rana dan Rangga sudah berada di mobil, dengan Rangga yang mengemudi dan Rana tidak tahu ke mana Rangga akan membawanya pergi. "Kamu enggak berencana bawa aku ke tempat yang aneh-aneh, kan, Mas?" tanya Rana curiga.
"Emang aku pernah bawa kamu ke tempat yang aneh-aneh?" Rangga tersenyum geli.
"Sering," jawab Rana cepat. "Kamu emang enggak sadar kalau sering bawa aku ke tempat aneh?"
"Seingetku enggak, tempat yang kita pernah kunjungi normal semua," Rana mendelik. "Iya, iya, bercanda, Sayang," Rana mendengus. "Udah, deh, enggak usah curiga sama aku," bujuk Rangga. "Kali ini aku enggak bawa kamu ke tempat aneh, kali ini tempat yang bener, dan aku yakin kamu bakal suka."
Rana memilih tidak menjawab dan menatap jalan raya yang cukup padat kendaraan mengingat ini adalah akhir pekan. Tak lama mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan yang membuat Rana menatap Rangga tak percaya. "Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Rana, Rangga membenarkan. "Mas, jangan bercanda."
"Enggak ada yang salah buat pergi ke taman bermain, Rana."
*
Hari sudah menjelang sore, tidak terasa Rana dan Rangga sudah berada di taman bermain seharian. Rana yang sempat protes karena dibawa ke taman bermain oleh Rangga, pada akhirnya menjadi orang yang paling bersemangat mencoba semua permainan yang ada, bahkan beberapa kali mengulang permainan yang menurutnya sangat menyenangkan.
Seperti terhipnotis dengan energi Rana yang seolah terisi penuh, Rangga pun tidak bisa menolak keinginan Rana yang mau naik berbagai wahana. "Udah puas?" tanya Rangga sambil memberikan air mineral yang baru saja ia beli.
Rana tersenyum lebar. "Enggak nyangka kalau bakal seseru ini," ujar Rana. "Makasih udah bawa aku ke sini, Mas, dan maaf udah berprasangka buruk sama kamu."
"Makanya, kurang-kurangin berprasangka buruk sama aku." Rangga mengusap puncak kepala Rana pelan. "Tapi hari ini belum selesai aku masih mau bawa kamu ke suatu tempat."
"Masih ada lagi?" Rangga membenarkan. "Tapi ini udah sore, udah harus jemput Biru."
"Biarin aja dia nginep di rumah mama," Rana menatap Rangga tajam. "Udah, tenang aja, lagian mama sama papa juga seneng kok ditemenin Biru," Rangga mengulurkan tangannya. "Hari ini sama aku dulu aja, ya?"
Rana menatap uluran tangan Rangga penuh pertimbangan, tetapi Rangga tidak memberinya waktu untuk berpikir dan langsung menarik tangannya. Hari ini Rana akan sedikit berbaik hati pada Rangga karena sudah mengajaknya bersenang-senang dan melupakan beban pekerjaan yang akhir-akhir ini membuatnya suntuk, meski sebenarnya Rana sudah merindukan Biru.
"Gimana? Enggak nyesel kan ikut aku?"
Rana tersenyum. "Kali ini enggak nyesel," jawab Rana sambil menatap citylight dari restoran yang. "Tapi, kenapa sih kamu hari ini? Enggak biasanya kamu buat aku seneng."
"Emang biasanya aku buat kamu sebel?" Rana mengangguk yang membuat Rangga mencebikkan bibirnya kesal. "Padahal aku selalu berusaha buat kamu seneng."
Rana tersenyum geli. "Iya.. iya.. terima kasih ya buat semuanya."
"Gimana? Udah lebih baik, kan?"
Rana menghela napas panjang dan menatap lampu-lampu kota dari tempatnya berada. "Jauh lebih baik," jawab Rana kemudian. "Kamu kan ahlinya buat seneng perempuan," gurau Rana sambil menatap Rangga jenaka. "Coba sebutin berapa perempuan yang kamu buat seneng."
Rangga berpikir sejenak. "Kayaknya baru dua deh," jawab Rangga. "Kamu sama mama."
"Yang pramugari enggak dihitung? Kalau yang model? Dokter?"
Rangga menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. "Kamu cemburu ya?" tanya Rangga sambil tersenyum dengan penuh arti.
"Jangan konyol."
Rangga tertawa kecil. "Cemburu juga enggak apa-apa kok," ujar Rangga yang membuat Rana mendelik. "Lagian mereka enggak ada apa-apanya dibandingin kamu," Rangga tersenyum simpul. "Kalau pun aku harus milih lagi, aku akan tetep milih kamu."
"Yakin?" tanya Rana skeptis. "Mereka cantik loh, berpendidikan, dari keluarga yang terpandang.. kalau kataku sih, kamu bakal milih dari salah satu dari mereka."
"Ya, dari segi fisik sih emang kamu jauh dari mereka, tapi di antara mereka enggak ada yang segalak kamu," jawab Rangga yang sukses membuat Rana melayangkan sendoknya ke arah Rangga dan membuat Rangga tertawa. "Bercanda, bercanda," Rangga tersenyum lebar. "Kamu paling pas buat aku."
Rana memutar mata jengah, hingga tak lama kemudian makanan yang mereka pesan datang. Namun dibalik keseruan Rana dan Rangga mengobrol sejak tadi, mereka tidak menyadari bahwa ada sepasang mata elang yang menatap mereka dengan tajam. Ada kilatan kecemburuan pada sepasang mata itu. "Kamu harus nerima kenyataan, Ra," komentar seseorang yang duduk di seberang pemilik mata elang itu, Rosa. "Sekarang rasanya udah enggak mungkin kamu rusak kebahagiaan Rana karena egomu."
Bara—pemilik mata elang itu—menghela napas berat, ia memilih tidak menjawab ucapan sang mama. Namun kini ia menyesal karena mengiyakan ajakan sang mama untuk menemaninya makan malam dan melihat pemandangan yang membuat hatinya kalut.
Melihat Rana yang bisa tertawa begitu lepas dengan seseorang laki-laki yang bukan dirinya membuat hati Bara terasa seperti diremas dengan sangat kuat, begitu menyesakkan. Bara senang melihat Rana bahagia, tapi rasanya sangat menyebalkan ketika menyadari alasan Rana bahagia bukan karena dirinya. Sungguh, saat ini Bara hanya ingin menggantikan posisi laki-laki itu.
Menjadi salah satu alasan Rana untuk bahagia.
***
Sebelas
***
Bara memasuki ruangannya dengan langkah berat, ia melepas snelli dan menyampirkannya di gantungan baju sebelum duduk di kursi kerjanya. Bara menghela napas berat, ia mengacak rambutnya kasar, hari ini cukup melalahkan karena banyak pasien yang datang dengan berbagai keluhan, ditambah suasana hatinya tidak kunjung membaik karena Rana.
Bara tahu, tidak seharusnya ia membawa urusan ribadi ke dalam urusan pekerjaan, namun suasana hatinya sedang sangat tidak baik. Bukan berarti Bara tidak mengendalikan suasana hatinya, ia sudah mencoba, tapi sepertinya patah hati memang bukan suatu hal yang baik.
Tidak. Patah hati memang bukan sesuatu yang baik.
Seuara ketukan pintu membuat Bara mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang, ia mendengus ketika melihat Bayu datang dengan satu kantong plastik dan masuk begitu saja tanpa permisi. "Gue ke sini enggak cuma numpang makan," ujar Bayu sambil meletakkan kantong plastiknya di meja. "Gue beliin lo makan juga."
"Hm, thanks."
"Bad mood lagi?" Bara tidak menjawab. "Lama-lama lo tuh kayak cewek ya, Ra. Dikit-dikit bad mood, dikit-dikit bad mood."
Bara kembali diam, memilih tidak menjawab ucapan Bayu yang berpotensi akan membuat suasana hatinya bertambah buruk yang tentu saja akan membuat mereka bertengkar dan semakin membuat Bara pusing.
"Lo ketemu Rana lagi?" Bayu tidak menyerah, ia masih mau mendengar Bara berbicara, tetapi sepertinya Bara benar-benar enggan untuk menjawab pertanyaannya. Bayu menghela napas berat. "Dia udah bahagia sama hidupnya, Ra, kayaknya sekarang saatnya lo buat bahagia, deh," ujar Bayu menasihati. "Lo enggak mungkin ngerusak hidupnya Rana yang udah baik-baik aja dan penuh kebahagiaan, gue juga enggak akan biarin lo ngelakuin hal itu."
"Udah lama lo nunggu dia, tapi penantian lo sia-sia," Bayu kembali berbicara. "Lo harus sadar kalau perasaan lo itu toxic, lo enggak pernah bahagia karena perasaan lo dan malah lebih sering sakit hati gara-gara rasa yang lo punya."
Bara menghela napas berat. "Gimana caranya gue bahagia kalau sumber kebahagiaan gue itu dia?" kini Bara bersuara. "Seumur hidup gue, yang bisa buat gue bahagia cuma Rana."
"Tapi lo harus realistis, Ra," sahut Bayu kembali menasihati. "Sekarang Rana udah bahagia sama keluarganya, dia udah bahagia dengan hidupnya, dan lo enggak bisa bahkan enggak boleh ngehancurin itu."
Bara menatap langit-langit ruangannya. "Kalau gitu, gue bakal nunggu dia."
Bayu mendengus, ia tidak percaya jika sahabatnya yang jenius bisa berubah menjadi manusia tolol seperti ini hanya karena cinta. "Mau sampai kapan lo mau nunggu dia?" tanya Bayu jengah. "Lo harus terima takdir kalau lo enggak bisa milikin dia lagi," Bayu mendengus. "Dan yang paling penting, lo harus bahagia, Bara!"
"Gue udah lupa caranya bahagia."
"Lupain Rana."
"Gue udah coba," jawab Bara. "Selama bertahun-tahun ini, lo pikir gue enggak pernah coba buat ngelupain dia? Gue udah nyoba lupain dia, tapi apa hasilnya? Semakin gue coba lupain, semakin jelas wajah Rana," Bara menghela napas kasar. "Gue juga enggak mau kalau akhirnya kayak gini, kalau disuruh milih, gue juga enggak mau kayak gini."
"Karena lo enggak mau coba hubungan baru, Ra."
"Apa setiap orang baru bisa ngobatin luka?" tanya Bara skeptis. "Gue enggak mau jadi orang pelarian atas masalah gue, karena itu artinya gue nyakitin dia, kalau giitu terus apa bedanya gue sama cowok berengsek di luar sana?" Bayu terdiam. "Enggak semua luka bisa disembuhin sama orang baru."
Bayu menghela napas pelan. "Terus apa yang mau lo lakuin sekarang?" tanya Bayu. "Ra, cinta itu sesuatu yang menyenangkan, enggak sesuatu yang buat sedih kayak gini," Bayu kembali menghela napas pelan. "Kalau lo terus sedih kayak gini, mungkin ada yang salah sama cinta yang lo punya."
Bara hanya terdiam, tidak berniat menjawab ucapan Bayu. Mata Bara menatap langit-langit ruangannya dengan pilu, apakah memang ada yang salah dengan rasa yang dia miliki?
Atau,
Apakah sudah saatnya Bara untuk berhenti?
*
Sore ini Rana tidak langsung pulang ke rumah setelah pekerjaannya selesai, melainkan ia pergi ke kafe di dekat kantornya untuk bertemu dengan Kira. Sebenarnya urusan rumah Kira sudah selesai, karena Rana memilih untuk mengalihkan pekerjaan itu ke desainer lain. Bukan karena urusan pribadi, tetapi karena waktu yang dia miliki tidak cukup untuk menyelesaikan desain rumah Kira mengingat pekerjaannya menumpuk. Hari ini mereka bertemu hanya untuk sekadar melepas rindu dan mengobrol saja.
Rana memilih duduk di sudut ruangan setelah memesan teh hangat untuknya, ia memang tidak terlalu suka kopi, jadi meski berada di kafe, ia akan memesan teh. Rana mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Ragil, kembali memberi tahu adiknya bahwa ia akan pulang terlambat.
Sudah hampir sepuluh menit berlalu, namun Kira tidak kunjung datang. Rana kembali menyesap teh hangatnya, perasaan Rana sudah tidak tenang, karena ia memang tidak pernah menikmati waktu-waktu menunggu seperti ini. Bagi Rana, menunggu adalah saat-saat kritis di mana ia harus duduk sendiri dengan perasaan diawasi banyak orang dan sesuatu yang membuat ia cemas.
Bagi Rana, tidak ada yang baik dari menunggu.
"Sori nunggu lama."
Rana mendongakkan kepalanya dan menatap sosok yang kini berdiri tak jauh darinya. "Kamu? Kenapa kamu yang ke sini?" tanya Rana saat mendapati sosok yang menyapanya bukan Kira, melainkan Bara. "Kira mana?" Rana menatap ke arah lain.
Bara menghela napas pelan. "Aku ke sini juga buat nemuin Kira," jawab Bara frustrasi. "Tapi kenapa malah ada kamu?"
Rana melihat ponselnya yang baru saja berbunyi, ia menerima pesan singkat dari Kira yang ternyata tidak bisa datang karena suatu hal. Begitu juga dengan Bara yang sepertinya menerima pesan yang sama. "Kira.." Bara menggeram pelan. "Sori, kayaknya Kira buat ulah."
Rana hanya tersenyum. "It's ok, bukan masalah yang besar," jawab Rana. "Kalau gitu, aku pulang dulu."
"Rana, do you have a moment?" Rana mengurungkan niatnya untuk beranjak pergi dan menatap Bara. "Karena kita udah di sini, mungkin kita bisa ngobrol sebentar sebagai.. teman lama."
Rana terdiam sejenak menimbang tawaran Bara. "Sure, tapi mungkin sebentar aja soalnya Biru udah nunggu di rumah."
"Thanks," Rana tersenyum kikuk, Bara kemudian duduk di kursi di seberang Rana dan menghela napas pelan. "Karena kita udah di sini dan kamu berkenan buat ngobrol sama aku.. well, aku minta maaf soal sikapku yang kurang menyenangkan waktu beberapa kali kita ketemu sebelum ini," ujar Bara. "Aku terlalu gegabah dan mentingin egoku, dan mungkin kurang peduli sama perasaanmu."
Rana tersenyum simpul. "Aku tahu maksudmu," jawab Rana. "Meski aku enggak tahu gimana perasaanmu, tapi aku cukup tahu kalau hatimu enggak baik-baik aja.. mungkin, sampai saat ini masih enggak baik-baik aja," Bara terdiam. "Aku juga minta maaf buat itu," Rana menghela napas pelan. "E.. mungkin lebih tepatnya buat semua, buat aku yang buat kamu nunggu, buat aku yang pergi gitu aja. Ya, semua."
"Kalau dipikir-pikir lagi, ini bukan salah kamu, Ra," sahut Bara, ia tersenyum. "Ini salahku," aku Bara. "Salahku karena udah nunggu kamu, salahku karena berharap kamu kembali, salahku karena enggak ungkapin perasaanku sejak dulu, dan salahku karena biarin kamu pergi."
Kini Rana yang menghela napas pelan. "Itu semua masa lalu, Ra, kamu enggak perlu nyalahin diri kamu," nasihat Rana. "Kalau enggak gini, mungkin kita enggak banyak belajar, kan?" Bara tersenyum kecil dan mengangguk setuju.
"Aku juga bersalah karena ngeremehin perasaanmu.. dan soal hubungan kita di masalalu," Rana menghela napas berat. "Aku tahu kalau aku enggak berhak minta kamu buat lupain aku atau apapun tentang kita," Rana menjeda kalimatnya. "Tapi kamu juga harus bahagia, Bara."
Bara tersenyum getir. "Semua orang nyuruh aku buat bahagia," Bara menghela napas berat. "Bahkan kamu, sumber kebahagiaanku," Rana terdiam. "Tapi sekarang, aku harus apa, Rana? Apa yang harus aku lakuin kalau cuma kamu yang bisa buat aku bahagia?"
Rana terdiam, ia tidak tahu apa yang harus ia katakan sekarang. "Kalau aja kamu belum menikah atau bahkan punya anak kayak sekarang," Bara menatap Rana lekat. "Apa mungkin aku punya kesempatan, Rana?"
*
Rana menatap jalanan dari balik kaca taksi online yang ia tumpangi, tetapi pikirannya tidak berada di sana. Jujur saja, pengakuan Bara tadi mengusik Rana. Tidak hanya mengusik, tetapi juga membuat Rana semakin merasa bersalah, meski sebenarnya bukan kesalahan Rana yang membuat Bara seperti ini.
Bagaimana bisa ia bertanggungjawab akan patah hati orang lain?
Padahal ia tidak tahu mengenai perasaan Bara. Laki-laki itu tidak pernah mengatakan perasaannya di masa muda mereka dulu, mereka juga tidak memiliki hubungan yang lebih dari teman. Tentang kesalahan yang pernah mereka lakukan, Rana merasa bahwa itu adalah murni kesalahan mereka. Sejak dulu, Rana tidak pernah berani menaruh harapan pada Bara, bahkan untuk menaruh rasa pun tidak berani. Karena Rana tahu, jika ia menaruh perasaan pada Bara, konsekuensinya akan sakit hati. Tapi, sekarang malah menjadi seperti ini.
Dering telepon membuyarkan lamunan Rana, ia segera mengambil ponsel di tasnya dan mengangkat telepon dari Rangga. Ia menghela napas berat sebelum menyambungkan telepon itu.
"Halo," sapa Rana. "Udah sampai di Tokyo?"
"Yup, tiga puluh menit yang lalu," jawab Rangga diseberang sana. "Ini lagi mau ke hotel, besok flight pagi," Rana menanggapi dengan gumamman. "Tadi aku telepon Biru, katanya kamu belum pulang," Rana membenarkan. "Lagi ada masalah?"
"Enggak," sangkal Rana. "Cuma lagi sibuk aja hari ini," Rana menghela napas pelan. "Kamu enggak perlu khawatir, aku baik-baik aja."
"Iya, aku percaya sama kamu," Rana tersenyum tipis. "Ini kamu masih di kantor?"
"Aku udah di jalan, sebentar lagi sampai rumah," jawab Rana. "Kamu udah makan belum?"
"Nanti sampai hotel makan sama yang lain."
"Jangan lupa minum vitamin juga ya, Mas," ujar Rana mengingatkan. "Istirahat yang cukup."
"Iya, bawel," gurau Rangga. "Oke, nanti kalau sampai rumah langsung istirahat aja," Rana kembali bergumam. "See you, Sayang."
"See you."
Sambungan telepon terputus, Rana segera memasukkan ponselnya di tas dan menghela napas berat. Ia memijat pelipisnya pelan, tidak tahu kenapa tetapi perasaannya semakin tidak karuan. Seharusnya tidak boleh seperti ini, tapi apa yang baru saja terjadi?
Rana menyusuri lorong apartemen dengan langkah gontai, ia kemudian memasukkan beberapa digit angka untuk membuka gembok digital pintu apartemen. Saat masuk, Rana mendapati Ragil sedang menonton televisi, tanpa Biru.
"Biru ke mana, Gil?"
"Oh," Ragil menoleh ketika menyadari kakaknya sudah pulang. "Habis telepon Mas Rangga, Biru langsung tidur. Kayaknya kecapekkan habis berenang tadi sore."
Rana mengangguk mengerti. "Kamu udah makan?" Ragil mengangguk. "Besok terbang jam berapa?"
"Jam delapan, tapi mungkin dari rumah jam enam."
Rana kembali mengangguk, ia kemudian bergegas menunju kamar Biru. Rana membuka kamar Biru secara perlahan, ia tersenyum ketika melihat anak laki-lakinya sedang tertidur nyenyak. Pelan-pelan Rana mendekati Biru, seharian tidak bertemu Biru membuat Rana benar-benar merindukan putranya yang cerewet ini.
Tangan Rana terulur untuk mengusap kepala Biru pelan, ia menghela napas pelan dan tersenyum getir. Pikirannya sedang berantakan perlahan membaik setelah melihat Biru, tetapi tanpa Rana sadari air matanya luruh, membuat Rana buru-buru menghapus air mata yang mengalir di pipinya itu.
"Biru, apapun yang terjadi, kamu harus selalu sama bunda, ya."
***
Dua Belas
***
"Yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri."
— Kunto Aji.
***
Bara menatap langit yang diselmuti awan mendung dari jendela kamarnya. Hari masih pagi, namun langit sudah sangat gelap, bahkan tidak ada sinar matahari sejak subuh tadi. Cuaca hari ini seolah sedang sangat bersahabat dengan Bara yang suasana hatinya sedang kacau. Oh, atau lebih tepatnya masih sangat kacau.
Hari ini Bara memutuskan untuk mengambil hari libur dan menyerahkan pekerjaannya pada Bayu, ia perlu beristirahat. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya keputusan Bara karena memang ada paksaan dari Bayu, sahabatnya itu nampak khawatir dengan keadaan Bara, dan lebih khawatir dengan keadaan pasien yang akan diperiksa Bara.
Bara mengambil jaket yang tergantung di gantungan baju dan memakainya, pagi ini ia berniat pergi untuk berjalan-jalan di sekitar kompleks apartemen. Bara rasa udara dingin karena mendung pagi ini sangat cocok digunakan untuk melepas penat dengan berjalan-jalan, meski hanya di sekitar kompleks apartemen.
Udara dingin menyambut Bara yang baru saja keluar dari gedung apartemen, ia memutuskan berjalan di sekitar taman sambil menghirup udara pagi yang sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Mata Bara tertarik pada seorang anak kecil yang sedang berada di area bermain taman, tanpa berpikir panjang ia memutuskan untuk mendekati orang itu.
"Biru?" anak kecil yang Bara panggil itu menoleh dan mengernyitkan keningnya, sepertinya tidak mengenali Biru. "Masih inget sama om?" anak laki-laki itu menggeleng ragu. "Kalau gitu boleh om kenalan sama kamu?"
Biru—anak laki-laki itu—menggeleng. "Maaf, Om, tapi kata bunda aku enggak boleh kenalan sama sembarangan orang."
Bara tersenyum kecil, ia mengeluarkan ponselnya dan mencari sesuatu. "Kalau ini, kamu kenal enggak siapa?" tanya Biru sambil memberikan ponselnya pada Biru.
"Bunda?" mata Biru berbinar. "Om kenal sama bunda?" Bara membenarkan, Biru kemudian menatap Bara dengan teliti. "Oh! Om yang waktu itu nolongin aku, kan?"
Bara membenarkan. "Sekarang udah inget?" Biru mengangguk. "Kalau gitu, sekarang om boleh kenalan sama kamu?" Bara mengulurkan tangannya, Biru mengangguk dan menjabat tangan Bara tanpa ragu.
"Namaku Biru, Om."
"Nama om, Bara."
"Nama kita hampir sama ya, Om. Namaku Biru, nama om, Bara.. Bara sama Biru," Bara tersenyum, gemas dengan sikap Biru. "Om ngapain di sini? Om enggak kerja?"
Bara tersenyum. "Om kan mau main biar kayak kamu," jawab Bara jenaka. "Kalau kamu, kenapa kamu sendiri di sini? Bunda kamu ke mana?"
"Bunda kan kerja," jawab Biru. "Aku lagi nunggu Mbak Anti lagi belanja, di sana." Biru menunjuk swalayan yang tidak jauh dari tempatnya.
"Kenapa enggak ikut?"
"Soalnya Mbak Anti kalau belanja suka lama, aku bosen nunggu Mbak Anti belanja, jadi aku ke sini." jelas Biru.
"Kalau kamu diculik gimana?"
Biru menghela napas pelan. "Om, aku itu udah besar, enggak bakal diculik," jawab Biru jengah, seolah semua orang telah mengatakan hal yang sama pada Biru. "Lagian aku udah sering pergi-pergi sendiri, dan buktinya sampai sekarang enggak ada yang culik aku."
Bara tertawa pelan, ia tidak tahu jika Biru bisa sepintar ini. "Tapi kamu buat bunda khawatir, Biru.."
"Ssstt.." Biru menuntup bibirnya dengan jari telunjuk. "Om jangan bilang-bilang sama bunda kalau aku suka pergi-pergi sendiri, nanti bisa-bisa aku enggak bisa pergi sendiri lagi," Bara tidak bisa untuk tidak tertawa gemas. "Ini rahasia kita berdua ya, Om."
Bara terkekeh. "Oke, om bakal jaga rahasianya Biru, tapi ada syaratnya."
Biru mengernyitkan keningnya. "Syarat apa, Om?"
"Hari ini Biru harus nemenin om."
"Nemenin apa?"
"Main."
"Siap! Kalau itu aku mau," jawab Biru antusias. "Kita mau main di mana?"
"Biru!" seseorang memanggil Biru dan menginterupsi pembicaraan antara Biru dan Bara. "Biru.. kan mbak udah bilang kalau jangan jauh-jauh dari mbak. Nanti kalau kamu diculik orang gimana?" tanya orang itu sambil melirik Bara dengan pandangan curiga.
"Buktinya aku enggak diculik," jawab Biru dengan tatapan polos, namun sepertinya Anti—orang itu—tidak percaya. "Oh, om ini temennya bunda, Mbak. Namanya Om Bara, dia enggak bakal culik aku kok."
Anti menghela napas pelan. "Ya udah, sekarang kita pulang, ya."
"Tapi aku mau main sama Om Bara," tolak Biru. "Aku bosen di rumah terus, Mbak. Aku ikut sama Om Bara sebentar, ya?" rengek Biru.
"Saya bisa jamin kalau Biru aman sama saya, Mbak," kini Bara angkat bicara. "Saya akan mengantar Biru pulang ke rumah sebelum bundanya pulang."
Anti menatap Bara, kemudian menatap Biru yang sedang memasang tampang memohon. Dan siapa orang yang tidak luluh ketika melihat Biru merengek?
*
Biru begitu senang karena memiliki teman baru, yaitu Bara. Ia terus tersenyum bahkan mengoceh menanyakan ini dan itu, membuat Bara benar-benar gemas dengan tingkah Biru yang nampak berbeda. Bara rasa Rana sudah membesarkan Biru dengan baik.
"Kamu mau ambil apa lagi?"
Biru menggeleng. "Udah, aku enggak mau ambil apa-apa lagi."
Sebelum pergi ke apartemen, Bara memang mengajak Biru untuk membeli makanan ringan terlebih dahulu karena di apartemennya tidak ada makanan sama sekali. Bara kira Biru akan membeli banyak makanan, tetapi ternyata Biru hanya mengambil beberapa makanan yang Biru butuhkan saja. Dan Bara kembali terkagum ketika Biru tidak mengambil makanan yang mengandung MSG.
Setelah membayar, Bara segera membawa Biru ke apartemennya. Karena terlalu antusias, entah sadar atau tidak sadar, Biru menggandeng tangan Bara. Yang membuat Bara merasakan sensasi aneh dalam dirinya, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, namun tiba-tiba saja membuat suasana hati Bara membaik. Bara tidak tahu jika anak kecil bisa seajaib ini.
"Ayo masuk," tuntun Bara setelah membuka pintu apartemennya. Biru segera melepaskan gandnegan tangannya dan berlari memasuki apartemen Bara, membuat Bara merasa seperti kehilangan sesuatu. "Kamu duduk dulu, ya. Om beresin belanjaannya dulu."
Biru mengangguk dan segera duduk di sofa. "Om di sini sendiri, ya?" Bara membenarkan. "Kenapa sendiri?" tanya Biru lagi.
"Ya pengen aja," jawab Bara seadanya. "Kenapa emangnya? Kamu mau nemenin om?"
Biru menggeleng. "Kalau aku nemenin om, nanti bunda sedih karena di rumah sendiri."
Bara mengernyit bingung, ia menyerahkan susu kotak rasa cokelat kepada Biru. "Kan bunda ada ayah," ujar Bara kemudian duduk di samping Biru. "Jadi Biru nemenin om aja di sini."
"Kan ayah enggak setiap hari ada di rumah," jawab Biru. "Kalau hari Sabtu sama Minggu aja di rumahnya," jelas Biru. "Tapi kalau om mau Biru temenin, om bisa panggil Biru buat nemenin om main."
"Beneran?" Biru mengangguk dengan yakin. "Tapi, rumahnya Biru di mana?"
Biru sedikit berpikir, ia menatap sekitar dan menatap sekitar sebelum beranjak berdiri dan pergi ke balkon, Bara mengikuti Biru. "Itu rumah Biru," Biru menunjuk apartemen lain yang ada tepat di seberang balkon apartemen Bara. "Deket, kan?" Bara terdiam, ia tidak menyangka jika selama ini ia begitu dekat dengan Rana. "Om bisa langsung jemput Biru kalau om pengen punya temen main, aku bakal ada di rumah terus," oceh Biru yang membuat Bara tersenyum lebar. "Meski enggak lama tapi aku bakal nemenin om terus."
"Kenapa enggak lama?" tanya Bara.
"Kata bunda, aku di sini enggak lama.. cuma.. ee—berapa hari ya?" Biru sedikit berpikir. "Pokoknya enggak lama, Om."
"Emang kamu sama bunda mau ke mana?"
"Pulang ke rumah," jawab Biru. "Sebenernya di sini juga menyenangkan, sih, tapi enggak ada salju," Bara tak bisa untuk tidak tertawa. "Kalau di rumahku ada salju, enggak panas juga, enggak kayak di sini."
Bara menatap Biru. "Jadi Biru lebih suka di rumahnya Biru?" Biru mengangguk. "Kalau Biru pulang ke rumah, om enggak ada temen main lagi dong."
Biru terdiam, sedikit berpikir. "Om ikut aku aja!" ujar Biru dengan antusias. "Rumah Biru besar kok, om bisa ikut Biru."
Bara tertawa, ia mengacak rambut Biru dengan gemas. "Kalau om ikut Biru, ayah bisa marahin om."
"Kenapa emangnya?" tanya Biru heran. "Ayahku baik kok."
"Oh ya?"
Biru mengangguk. "Ayah orang yang paling baik se-dunia."
Bara kembali tertawa, namun jujur saja, di dalam hatinya Bara sangat iri dengan pria yang menyandang gelar sebagai ayah Biru itu. Hidup pria itu pasti sangat bahagia karena memiliki Rana dan Biru, berbanding terbalik dengan dirinya yang terpuruk karena masih sulit melupakan Rana yang jelas-jelas tidak bisa ia miliki, lagi.
*
Hari ini Biru benar-benar satu hari bermain dengan Bara, tanpa merasa bosan atau pun lelah. Anehnya, Bara juga tidak merasa lelah, padahal niatnya mengambil libur hari ini untuk beristirahat. Namun Bara saat ini bahkan tidak merasa lelah, ia malah sangat bersemangat setelah bermain dengan Biru.
"Ini bener enggak apa-apa kalau aku bawa pulang, Om?"
Biru kembali bertanya entah untuk keberapa kalinya, membuat Bara begitu gemas karena Biru yang terus khawatir karena ia memperbolehkan Biru membawa salah satu koleksi gundam yang mereka rakit hari ini. "Iya, enggak apa-apa, Biru," jawab Bara, ia kemudian mengambil sesuatu dari rak di atas etalase gundamnya. "Ini juga buat kamu."
"Lagi, Om?" Bara membenarkan. "Nanti aku dimarahin bunda, Om, enggak usah deh."
Bara tersenyum. "Nanti kalau bunda marahin kamu, om yang bakal bilang sama bunda," jawab Bara. "Tapi nanti mainnya sama bunda kalau enggak sama Om Ragil, ya?"
Biru mengangguk. "Terima kasih, Om."
"Pulang sekarang?" Biru mengangguk. "Ya udah, ayo om anter."
Sebenarnya Bara masih ingin bermain dengan Biru, begitu juga dengan Biru yang masih ingin bermain dengan Bara, tetapi Biru khawatir jika sang bunda mengkhawatirkannya. "Om kalau mau main sama Biru, dateng aja ke rumah," ujar Biru ketika berjalan menyusuri lorong apartemen sambil menggandeng tangan Bara. "Atau Biru aja yang dateng ke rumah om?"
"Om aja yang jemput kamu di rumah," jawab Bara cepat. "Kamu enggak boleh sering-sering pergi sendiri, Biru," nasihat Bara. "Iya, emang kamu enggak kenapa-kenapa, tapi kamu buat ayah sama bunda kamu khawatir. Dan membuat orang lain khawatir itu bukan sesuatu yang baik dan menyenangkan."
"Tapi kalau itu enggak menyenangkan buat kita gimana, Om?" tanya Biru dengan polosnya. "Kata bunda aku boleh ngelakuin apapun yang menurutku menyenangkan, asal itu enggak berbahaya."
Bara terdiam dan tersenyum simpul, pintu lift terbuka, Bara segera menuntun Biru masuk ke lift. "Karena khawatir itu bukan sesuatu yang menyenangkan," jawab Bara sambil melihat pantulan dirinya dari kaca lift. Bara menghela napas pelan dan menatap Biru dengan senyuman. "Kalau Biru tahu bunda yang pulang terlambat, Biru khawatir enggak?" Biru mengangguk. "Khawatirnya gimana?"
Biru berpikir sebentar. "Aku jadi enggak bisa tidur."
"Itu sesuatu yang menyenangkan?" Biru menggeleng pelan. "Nah, sekarang tahu kan perasaan bunda sama ayahnya Biru kalau Biru pergi-pergi sendiri dan enggak minta izin dulu?" Biru mengangguk kecil. "Mulai sekarang, jangan main sendiri, ya," Bara kembali menasihati. "Ikutin semua yang kita mau emang menyenangkan, sih. Tapi, Biru juga harus tahu kalau sesuatu yang menyenangkan menurut kita itu terkadang enggak baik."
Tanpa terasa pintu lift terbuka, Bara menghela napas pelan dan bergegas keluar dari lift bersama dengan Biru. "Om pernah khawatir juga?" tanya Biru.
"Pernah dong."
"Khawatir soal apa?"
Bara berdeham sambil pura-pura berpikir. "Khawatir kalau om enggak bisa main sama kamu." jawab Bara yang membuat Biru tertawa pelan.
"Biru?"
Biru dan Bara sama-sama menatap seseorang yang baru saja memanggil Biru, Bara terdiam menatap sosok itu, Rana. Oh ayo lah, dunia sangat luas, dan kota ini tidak sekecil itu, kenapa ia harus bertemu lagi dengan Rana?
"Bunda!"
Dengan cepat Biru melepaskan genggaman tangan Bara dan berhambur ke pelukan Rana. "Kamu habis dari mana?" tanya Rana.
"Aku habis main sama Om Bara, Bun."
Rana menatap Bara tak mengerti, Bara mendekati Rana dan Biru. "Sori kalau aku ngajak main Biru tanpa izin kamu dulu," ujar Bara. "Tadi aku ketemu dia di taman, lagi main sendiri, jadi aku ajak main," jelas Bara. "Aku juga enggak nyangka kalau ternyata kita tetangga."
"Oh, enggak apa-apa kok," jawab Rana kikuk. "Terima kasih udah nemenin Biru main."
Bara menagngguk. "Oh, iya. Ini, Bi, mainanmu." ujar Bara sambil memberikan kantong kertas berisi dua gundam yang ia berikan. "Aku yang kasih ini ke Biru, katanya dia suka main ini sama omnya."
"Kamu enggak perlu repot-repot, Bara."
"Cuma mainan, Rana."
Rana tersenyum simpul, tidak mau memperpanjang masalah. "Kalau gitu, kita pamit dulu ya, Ra," ujar Rana. "Ayo Biru pamit sama Om Bara."
"Aku pulang dulu ya, Om, terima kasih buat gundamnya," pamit Biru. "Besok kita main lagi."
Bara mengangguk. "Sekali lagi terima kasih ya, Bara," ujar Rana. "Maaf ngerepotin," jawab Rana. "Have a good day."
"Have a good day, Om!"
"Have a good day."
Bara tersenyum getir melihat punggung dua orang yang perlahan menjauh darinya. Ya, untuk pertanyaan Biru, tentu saja Bara pernah khawatir. Bara pernah merasa sangat khawatir karena seseorang yang ada di hatinya tidak kunjung menampakkan batang hidungnya, bahkan tidak ada kabar di mana keberadaannya.
Rana adalah orang yang pernah membuat Bara begitu khawatir, tapi ternyata, sekarang Bara harus menelan dalam-dalam rasa khawatirnya. Karena kekhawatirannya berujung sia-sia. Orang yang ia khawatirkan sudah bahagia, sangat berbanding terbalik dengan keadaannya.
Memang benar kata orang-orang, kita tidak perlu mengkhawatirkan orang lain, yang perlu kita khawatirkan adalah diri kita sendiri.
***
Tiga Belas
***
"Jika aku bisa menghentikan waktu, maka aku tidak akan pernah melepaskan genggaman tanganmu."
***
"Ayo, Bunda!"
Biru kembali merengek untuk kesekian kalinya, Rana yang baru saja selesai mencuci piring-piring kotor hanya menghela napas berat. Anak laki-lakinya itu sedari tadi terus merengek karena ingin bermain dengan Bara, padahal hari ini Rana sedang libur dan bisa bermain dengan Biru. Namun anak laki-lakinya itu sedang tidak ingin bermain dengannya dan malah ingin bermain dengan Bara karena menurut Biru bermain dengan Rana tidak semenyenangkan seperti saat ia bermain dengan Bara.
"Bunda..."
Rana kembali menghela napas pelan. "Bunda cuma antar Biru ke rumah Om Bara, ya. Kalau Om Bara enggak ada di rumah, Biru enggak boleh marah loh."
Biru mengangguk dengan antusias, Rana terpaksa mengikuti kemauan Biru. Lagipula belum tentu Bara ada di rumah, bukankah dia seorang dokter? Sepertinya dokter cukup sibuk dengan pekerjaannya dan tidak memiliki banyak waktu untuk beristirahat.
Kini Rana akhirnya mengantar Biru ke apartemen Bara yang berbeda gedung dengan apartemen mereka, dan tentu saja Rana hanya mengikuti arahan Biru yang pernah datang ke apartemen Bara. Rana melihat anaknya yang sekarang terlihat begitu antusias, mungkin karena Rangga dan Ragil akhir-akhir ini sibuk hingga membuat mereka jarang bermain dengan Biru.
"Biru yakin ini tempatnya?" tanya Rana memastikan.
Biru mengangguk. "Bener kok, Bunda," jawab Biru. "Nomor lima ratus lima!"
Rana mengangguk kemudian menekan bel di pintu apartemen itu, tetapi seperti tidak ada respon. "Kayaknya Om Bara enggak di rumah deh, Bi." ujar Rana yang membuat Biru nampak kecewa.
"Coba sekali lagi, Bun." Biru masih tidak mau menyerah, membuat Rana mau tidak mau menekan bel apartemen Bara sekali lagi, tetapi lagi-lagi tidak ada hasil.
Rana menatap Biru yang nampak semakin kecewa. "Biru main sama Om Baranya besok-besok lagi, ya. Kan Biru masih agak lama di sininya," Biru mengangguk pelan. "Kita pulang yuk, hari ini Biru main sama bunda dulu."
Rana segera kembali menggandeng tangan Biru, namun ketika mereka hendak beranjak, pintu apartemen Bara terbuka. "Om Bara!" pekik Biru antusias, tetapi raut wajah Biru berubah ketika melihat Bara yang nampak pucat. "Om Bara kenapa?"
"Oh, Biru.." suara Bara terdengar begitu parau, Rana juga cukup terkejut dengan kondisi Bara. Namun belum sempat Rana bertanya, tubuh Bara sudah limbung terlebih dahulu, membuat Biru memekik karena terkejut.
"Biru, kita bantu Om Bara masuk dulu, ya," ujar Rana sambil menahan tubuh Bara yang kini terasa sangat panas di kulit tangan Rana. "Ayo, Biru, kamu masuk dulu."
Biru pun mengikuti titah ibunya, sementara Rana dengan susah payah membawa masuk Bara yang tidak sadarkan diri. Perlahan Rana merebahkan Bara di sofa ruang tengah, Rana memeriksa suhu tubuh Bara dengan punggung tangannya. Laki-laki itu sedang demam tinggi. "Om Bara kenapa, Bun?" tanya Biru yang duduk di sofa lain.
"Om Bara lagi demam. Jadi hari ini Biru belum bisa main sama Om Bara, tapi hari ini kita bantu Om Bara dulu, ya," jawab Rana memberi penjelasan. "Biru tungguin Om Bara dulu, bunda mau ambil kompres sama termometer."
Biru hanya mengangguk, membiarkan Rana melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ia mengerti. Rana bergegas mencari kotak obat di apartemen Bara, dan untungnya laki-laki itu menaruh kotak obatnya di tempat yang mudah dijangkau. Rana pun bersyukur karena Bara seorang dokter yang memiliki peralatan pertolongan pertama yang cukup lengkap. Setelah menemukan yang dia cari, Rana bergegas kembali ke ruang tengah dan segera mengukur suhu tubuh Bara dengan termometer.
Rana menghela napas pelan mengetahui suhu tubuh Bara yang mencapai tiga puluh sembilan derajat celsius, ia buru-buru mengambil kompres di dapur dan kembali lagi ke ruang tengah untuk mengompres kening Bara. Tanpa sengaja ekor mata Rana menangkap Biru yang sedang bertumpu tangan sambil memperhatikan Bara, anak laki-lakinya itu nampak khawatir melihat kondisi Bara saat ini. Entah kenapa hati Rana menghangat melihat Biru yang seperti memiliki empati yang baik.
Mata Rana kemudian menatap sekeliling apartemen Bara yang terasa begitu kosong, benar-benar seperti tempat tinggal yang hanya digunakan untuk tidur saja, bukan rumah yang digunakan untuk pulang. Rana menatap Bara dengan saksama, kini ia menyadari bahwa Bara benar-benar sudah tumbuh menjadi pria dewasa, meski tidak banyak yang berubah karena Rana bisa langsung mengenali Bara saat mereka pertama kali bertemu lagi setelah sekian lama, termasuk sorot mata Bara. Dari dulu, sorot mata Bara tidak berubah. Sorot mata Bara selalu memancarkan kesedihan dan kesepian yang menjadi alasan kenapa Rana ingin berada di sisi Bara.
Saat itu.
*
Sebuah suara mengusik tidur Bara, ia membuka matanya secara perlahan dan yang pertama kali ia lihat adalah warna putih langit-langit ruangan. Bara mengernyitkan keningnya ketika merasakan sesuatu yang basah di keningnya, tangan Bara bergerak memegang sesuatu dikeningnya itu, sebuah handuk yang sudah basah. Bara mengambil handuk itu dan perlahan bangun dari tidurnya, meski kepalanya terasa sangat berat. Bara ingat jika dia sedang demam, namun ia tidak ingat jika mengompres keningnya.
Bara melihat sekeliling apartemennya dan keheranan karena apartemen itu tidak seberantakan biasanya, lebih rapi dan ada cahaya matahari yang masuk, karena Bara memang jarang membuka tirai jendelanya. Suara yang mengusik tidur Bara tadi kembali terdengar, ia bergegas mencari sumber suara itu yang ternyata berasal dari dapur.
Dunia Bara terasa berhenti melihat pemandangan di depan matanya, ia tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Apakah ia masih bermimpi? Bagaimana bisa Rana berada di dapurnya?
"Om Bara udah bangun?"
Mata Bara kini menatap sosok anak kecil yang duduk di meja makan, membuatnya lebih tidak percaya bahwa ia sudah sadar. Apa yang baru saja terjadi?
"Kamu ngerasa pusing?" tanya Rana yang membuat Bara kembali tertegun, ia sedang tidak bisa berkata-kata sekarang. Lidah Bara mendadak kelu, bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata. "Bara, kamu ngerasa pusing?"
"E—nggak, aku baik-baik aja." jawab Bara tergagap.
"Seharusnya kamu tiduran dulu aja," ujar Rana sambil mendekati Bara, tangannya terulur untuk memeriksa demam Bara. "Udah turun," gumam Rana yang membuat Bara mengerjapkan matanya dengan cepat. "Tadi kamu demam tinggi, dan mungkin tekanan darahmu juga rendah sampai-sampai kamu pingsan," jelas Rana. "Dilihat dari isi kulkasmu, aku tahu kamu enggak makan dengan teratur."
Bara hanya terdiam mencerna kalimat Rana. "Aku buat sup buat kamu, duduk dulu, aku siapin." ujar Rana yang anehnya langsung dituruti Bara, meski jujur saja Bara masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Om udah enggak sakit?" tanya Biru dengan mata polosnya.
Bara mengangguk. "Om baik-baik aja kok sekarang," kini mata Bara menatap Rana yang sedang memberikan semangkuk sup untuknya dan untuk Biru. "Gimana kamu bisa masuk ke sini?" akhirnya Bara bisa menyuarakan rasa penasarannya.
"Tadi Biru minta main sama kamu, jadi kita ke sini," jawab Rana yang kini duduk di samping Biru. "Dan enggak tahunya waktu kamu buka pintu kamu malah pingsan, jadi aku sama Biru bantu kamu dulu," Bara menatap Biru yang mengangguk, membenarkan ucapan sang bunda. "Oh iya, maaf tadi aku buka dan ambil beberapa bahan masakan yang ada di kulkas buat masak sup ini."
"Enggak perlu minta maaf," sahut Bara cepat. "Harusnya aku berterima kasih karena kamu udah mau ngerawat aku."
Rana tersenyum dan mengangguk. "Kayaknya emang kamu butuh pasangan hidup yang bisa ngurus kamu," gurau Rana. "Kamu dokter, tapi kamu enggak bisa jaga diri kamu sendiri. Jadi kamu perlu orang lain buat jaga diri kamu."
"Kamu tahu dengan pasti alasan kenapa enggak ada orang lain yang jaga aku."
Rana terdiam sejenak, tentu saja ia tahu alasan itu. Rana menatap Bara dan tersenyum tipis. "Banyak hal yang enggak bisa dipaksakan, Bara."
"Tapi ada hal yang bisa diusahakan, Rana."
Rana kini benar-benar terdiam, tidak mau mendebat Bara lagi, karena ia cukup tahu karakter Bara yang keras kepala dan tidak mau dibantah. Tapi untuk saat ini, mungkin memang salah Rana karena membawa masalah ini kembali, jadi ia memang harus diam sekarang.
"Om sama bunda lagi ngomongin apa, sih?" tanya Biru dengan mata polos yang menatap Bara dan Rana secara bergantian. "Dari tadi kan Biru di sini, kenapa Biru enggak diajak ngobrol juga?"
"Rahasia." jawab Bara sambil tersenyum jahil.
"Kok om main rahasia-rahasiaan sama Biru?" protes Biru.
"Emang enggak boleh?" Biru menggeleng kuat. "Kan Biru juga punya rahasia yang bunda enggak boleh tahu."
Mata Biru membulat. "Om! Om kan udah janji enggak bakal ngomongi rahasianya Biru!"
Rana mengernyitkan keningnya. "Biru nyembunyiin apa dari bunda?" tanya Rana penasaran karena ia memang tidak tahu mengenai masalah ini. Ia kemudian menatap Bara. "Biru cerita apa aja sama kamu?"
Bara menatap Biru yang memberi isyarat untuk tidak memberi tahu Rana. "Bukan apa-apa, rahasia cowok."
Kini Rana menatap Biru yang hanya tersenyum dan malah semakin membuat Rana penasaran, ia yakin ada sesuatu yang disembunyikan di antara Biru dan Bara. "Ayo, ngaku nyembunyiin apa dari bunda?" tanya Rana penuh selidik.
"Enggak sembunyiin apa-apa."
Rana memicingkan matanya tak percaya. "Masih enggak mau kasih tahu bunda?" Biru menggeleng. "Masih enggak mau?" Biru kembali menggeleng dan membuat Rana melakukan aksi serangannya, menggelitik pinggang Biru hingga membuat Biru tertawa geli sambil meminta ampun.
Bara yang melihat kejadian itu mau tidak mau tersenyum, hati Bara pun menghangat sekarang. Di dadanya sedang ada kembang api yang begitu meriah karena pemandangan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Pemandangan yang membuat Bara berharap bahwa waktu bisa dihentikan saat ini juga, karena Bara juga ingin bahagia seperti saat ini. Sungguh.
*
Malam ini Rana dibuat pusing dengan Biru yang belum mau tidur padahal sudah larut malam, anak laki-lakinya itu masih sibuk bermain dengan mainan yang Bara berikan tadi sebelum mereka pulang dari apartemen Bara. Membuat Rana yang sudah mengantuk mau tidak mau harus terjaga untuk mengawasi Biru bermain.
Sebuah notifikasi masuk di ponsel Rana, sebuah pesan dari Rangga yang membuat Rana tersenyum senang, karena ia mendapatkan ide yang membuat Biru mau berhenti bermain. "Bi, ayah udah mau sampai loh," ujar Rana mencoba menarik perhatian Biru. "Kita jemput di bawah, yuk," Biru menoleh menatap Rana sebentar sebelum beralih pada mainannya lagi. "Kayaknya ayah bawa oleh-oleh deh buat Biru."
"Oleh-oleh apa?"
"Kalau mau tahu, makanya ayo kita tunggu ayah di bawah," Rana kembali merayu. "Tapi kalau Biru enggak mau juga enggak apa-apa, bunda bisa nunggu ayah sendiri dan oleh-oleh yang ayah bawa biar buat bunda semua."
Biru menatap Rana tajam. "Bunda enggak boleh gitu!" kecam Biru. "Kan kita harus berbagi, enggak boleh rakus."
Rana tersenyum geli. "Oke, iya," Rana menghela napas pelan. "Kalau gitu kita tunggu ayah sama-sama, yuk, mainnya kan bisa besok lagi," bujuk Rana. "Bunda ambilin jaketnya Biru dulu, ya."
Tanpa menunggu jawaban dari Biru, Rana bergegas masuk ke kamar untuk memakai jaket dan mengambil jaket milik Biru. Ia segera kembali menemui Biru dan memakaikan jaket milik Biru untuk anak laki-lakinya yang sedang mengemas mainan pada kotak mainan itu. Setelah Biru selesai mengemas mainannya, Rana langsung mengajak Biru untuk turun.
Malam ini Rangga pulang, setelah beberapa hari terbang di berbagai belahan dunia. Dan saat ini Rangga sedang dalam perjalanan ke apartemen, jadi menurut Rana menyambut kedatangan Rangga dapat menjadi ide yang bagus untuk mengalihkan perhatian Biru yang sedari tadi enggan berhenti bermain. Rana sendiri memilih mengajak Biru menunggu di depan minimart dekat gedung apartemen, tempat biasa mereka menunggu Rangga datang.
"Om Bara!"
Biru melepaskan genggaman tangannya dari Rana dan berlari menghampiri Bara yang juga sedang berada di depan minimart, laki-laki itu nampak lebih sehat dari sebelumnya, atau mungkin malah sudah benar-benar pulih.
"Kok kamu malem-malem di sini? Mau jajan ya.."
Biru mengangguk antusias. "Mau jajan sama mau jemput ayah!" jawab Biru bersemangat. "Hari ini ayahku pulang, dan pasti bawa banyak oleh-oleh. Nanti om aku kasih oleh-olehnya deh."
Bara tersenyum. "Janji, ya?"
"Janji!"
"Kamu udah enggak apa-apa, Bara?" Rana yang ikut menghampiri Bara bertanya.
"Aku udah baik-baik aja kok," Rana mengangguk mengerti. "Terima kasih, ini berkat kamu sama Biru yang mau nemenin aku."
Biru tersenyum. "Aku sama bunda bakal selalu nolongin om kalau om butuh bantuan."
"Oh, ya?" Biru mengangguk. "Kalau nemenin om terus biar enggak sendirian di rumah juga mau?"
Rana terdiam, menatap Bara yang entah sadar atau tidak mengutarakan pertanyaan itu pada Biru. "Aku sih mau-mau aja, tapi bunda.." Biru menatap Rana. "Bunda mau nggak nemenin Om Bara biar Om Bara enggak sendirian di rumah?"
Rana tersenyum. "Kan Om Bara udah besar, kayaknya sendiri juga enggak apa-apa deh."
"Emang kalau udah besar enggak apa-apa sendirian di rumah?" tanya Biru dengan polos. "Kalau sakit gimana? Kalau mau makan gimana? Kalau mau main?" Rana hanya tersenyum geli mendengar pertanyaan dari anak laki-lakinya itu. "Bunda, kalau aku udah besar, aku enggak mau sendirian di rumah, ya. Bunda harus nemenin Biru terus."
Rana tersenyum simpul. "Iya, bunda akan selalu ada buat nemenin Biru."
"Tapi kalau bunda lagi kerja, Om Bara yang bakal nemenin Biru." Biru bersorak senang mendengar kalimat dari Rana dan Bara, sementara Rana hanya diam menanggapi ucapan Bara. Namun saat Bara juga menatapnya, Rana memilih mengalihkan pandangannya, dan saat itu ia menemukan sosok Rangga yang berdiri di seberang jalan, sedang menunggu lampu pejalan kaki berubah warna menjadi hijau.
"Biru! Ayah, tuh!" ujar Rana sambil menunjuk Rangga yang sedang tersenyum lebar sambil melambaikan tangannya saat menyadari keberadaan Biru dan Rana. Biru melambaikan tangannya dengan atusias, sepertinya Biru memang sudah sangat merindukan Rangga, membuat Bara diam-diam cemburu melihat Biru yang begitu antusias dengan kedatangan sang ayah.
Rangga bergegas menyebrang jalan ketika lampu pejalan kaki sudah berubah warna menjadi hijau, Biru yang sangat bersemangat juga segera berlari menghampiri ayahnya. "Biru—" kalimat Rana yang ingin menegur Biru terhenti, langkah kaki Rana yang ingin mengejar Biru ikut terhenti bersamaan dengan detak jantungnya yang seolah berhenti ketika melihat anak laki-lakinya kini sudah terkulai tak jauh di depannya dengan bersimbah darah karena baru saja tertabrak sebuah mobil.
Kaki Rana terasa begitu lemas, pandangannya mengabur, dan akhirnya Rana rubuh. Kini Rana benar-benar ingin memutar kembali waktu, agar ia bisa menggenggam erat tangan putranya, dan tidak melepaskan tangan Biru selamanya.
***
Empat Belas
***
"Biru—"
"Biru!"
Rangga dan Bara buru-buru mendekati Biru yang terkulai di jalan, dua laki-laki itu terlihat panik melihat keadaan Biru yang sudah bersimbah darah. "Telepon ambulans sekarang," titah Bara pada Rangga dan langsung di lakukan Rangga. "Biru! Biru!" Bara mencoba memanggil Biru sambil menepuk bahu Biru, memastikan kesadaran anak laki-laki itu, tetapi tidak ada respon dari Biru. Dengan cekatan Bara segera melakukan pertolongan pertama Biru. Sementara itu Rana yang masih terduduk di trotoar hanya bisa menatap Bara dan Rangga yang sedang memberikan pertolongan pertama pada Biru, tenaga Rana sudah seperti terserap habis sekarang, bahkan untuk bernapas pun sudah terasa sesak.
Tak lama ambulans datang, Bara pun segera menjelaskan kondisi Biru pada petugas medis yang sudah membawa masuk Biru ke ambulans. "Lo urus Rana, gue urus Biru." ujar Bara pada Rangga yang lebih terdengar seperti perintah di telinga Rangga, tetapi Rangga tidak membantah dan segera mendekati Rana.
"Kamu masih kuat?" tanya Rangga yang kini sudah berjongkok agar sejajar dengan Rana. "Kamu di rumah aja kalau enggak kuat, biar aku yang urus Biru."
Rana menggeleng. "Aku ikut ke rumah sakit."
Rangga mengangguk, ia bergegas memanggil taksi yang kebetulan lewat untuk segera mengikuti ambulans yang sudah pergi ke rumah sakit lebih dulu. Perlahan air mata Rana luruh, ia mulai terisak karena kejadian yang baru saja terjadi masih begitu membekas di ingatannya. Bagaimana Biru berlari riang menghampiri Rangga yang sedang menyebrang jalan, bagaimana Biru tertabrak dengan kencang oleh sebuah mobil yang melaju kencang, bagaimana Biru terkulai lemah di jalan, dan bagaiamana Biru mengeluarkan banyak darah. Semua itu sseperti mimpi buruk bagi Rana. Tidak, Rana harap ini hanya mimpi buruk.
Kini dengan ditemani Bara dan Rangga, Rana menunggu Biru yang sedang di depan ruang operasi. Ya, anak laki-laki Rana itu memang harus menjalani operasi karena suatu hal yang sulit Rana mengerti, yang ia tahu saat ini, ia sangat mengkhawatirkan Biru. Ia hanya ingin operasinya cepat selesai dan membuahkan hasil yang baik.
Sebuah tangan hangat merengkuh Rana, mencoba memberikan ketenangan untuk Rana yang sedang terguncang. "Biru anak yang kuat, kita harus percaya sama Biru." ujar Rangga memberikan kekuatan. Namun sepertinya kalimat penenang tidak akan ampuh untuk Rana di saat-saat seperti ini.
Seseorang keluar dari ruang operasi dengan buru-buru, entah dokter atau perawat, tapi orang itu menghampiri Rana. "Anda ibu dari pasien?" Rana membenarkan. "Pasien kehilangan cukup banyak darah," jelas orang itu. "Saat ini kami kekurangan darah golongan A, dan kami membutuhkan donor darah golongan A, apakah anda bergolongan darah A?"
Rana menggeleng pelan. "Golongan darah saya B."
Orang itu menatap Bara dan Rangga bergantian. "Apakah ada kerabat pasien yang bergolongan darah A?" tanya orang itu. "Atau ayah dari pasien mungkin?"
Rangga terdiam, ia tidak memiliki golongan darah yang sama dengan Biru. "Golongan darah saya A," Rangga menatap Bara yang kini sudah berdiri. "Silakan ambil darah saya."
Orang itu mengangguk. "Baik, Bapak, silakan ikut saya."
Rana terdiam, menatap Bara yang kini mengikuti orang tadi menuju suatu ruangan. Rana tahu, ini adalah saat ia harus menerima semua, termasuk menerima Bara mengetahui rahasia yang sudah ia simpan rapat-rapat selama ini. Tapi daripada cemas karena Bara akan mengetahui kebenarannya, saat ini Rana lebih cemas dengan keadaan anaknya.
Sungguh, Rana ingin menggantikan posisi Biru di dalam.
Menit demi menit berlalu, namun lampu operasi masih saja menyala. Membuat Rana benar-benar khawatir setengah mati, apakah kondisi Biru parah? Astaga, Rana bisa gila karena mencemaskan Biru.
"Minum?" Rana menatap sosok Bara yang kembali sambil memberikan minuman kemasan pada Rana. "Kamu harus tenang, karena yang bisa kita lakuin sekarang cuma tenang dan berdoa buat Biru," ujar Bara menenangkan Rana. "Biru bakal baik-baik aja."
Rana mengangguk pelan, ia menerima minuman kemasan itu. "Thanks."
Bara mengangguk, ia kemudian memberikan minuman kemasan yang lain pada Rangga sebelum duduk berseberangan dengan Rangga dan Rana. Ia menghela napas berat, matanya menelisik Rana yang terlihat sangat cemas sekarang. Hati Bara sangat ingin mendekap tubuh ringkih wanita itu dan memberinya kekuatan, tapi yang bisa Bara lakukan hanya memberi minuman, meski itu bukan hal buruk juga.
Setelah berjam-jam, lampu tanda operasi mati. Tak lama seorang dokter keluar dengan masih memakai baju operasinya. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Rana setelah menghampiri dokter itu. Bara dan Rangga pun ikut menghampiri dokter itu.
"Terjadi pendarahan di otak pasien," jelas dokter itu. "Epidural hematoma pasien sudah berhasil diangkat, tapi saat ini pasien masih belum sadar."
Bara terdiam, otaknya berputar cepat. "Apa itu artinya.."
Dokter itu menghela napas pelan dan mengangguk pelan, seolah membenarkan asumsi yang ada di pikiran Bara. "Jika bagian lain dari otak pasien rusak," dokter itu menjeda kalimatnya dan menatap Bara penuh penyesalan. "Pasien mungkin tidak akan pernah bangun lagi," dokter itu menunduk penuh penyesalan. "Saat ini kami akan memindahkan pasien ke ruang ICU."
Napas Rana tercekat saat mendengar penjelasan dari dokter itu, kakinya mendadak lemas dan kepalanya terasa begitu berat. Air mata Rana kembali luruh, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar saat ini. Bagaimana bisa Biru melalui hal yang begitu sulit seperti ini?
*
Pagi menjelang, namun Rana masih enggan meninggalkan rumah sakit, Rana bahkan tidak ada pikiran untuk meninggalkan Biru sendiri. Kini Rana sedang berada di ruang rawat Biru, menggenggam erat tangan bebas anaknya sambil berharap Biru akan segera sadar. Ia juga tidak berhenti berdoa akan kesembuhan Biru. Meski dokter mengatakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Biru, namun Rana percaya dengan anaknya. Rana adalah ibu yang mengandung dan membesarkan Biru, ia tahu jika Biru anak adalah yang kuat. Biru akan bangun, cepat atau lambat Biru akan bangun.
Rana menatap Biru yang masih belum sadarkan diri, ia nampak tidur nyenyak, tidak seperti Biru yang biasa cerewet dan aktif bergerak meski sedang sakit sekalipun. Sebelumnya Rana berharap Biru bisa lebih tenang karena anak laki-lakinya itu begitu aktif, namun saat ini, untuk pertama kalinya Rana tidak mengharapkan hal itu. Untuk pertama kalinya Rana tidak suka Biru tidak bergerak seperti ini, karena membuat Rana benar-benar frustrasi dan hampir gila.
Rana menghela napas pelan. "Biru denger bunda kan, Sayang?" suara Rana terdengar lirih dan parau. "Bunda sayang sama Biru," Rana mulai menitihkan air matanya. "Bunda tahu kalau Biru anak yang kuat. Jadi, Biru bangun ya, Bi."
"Biru mau pulang ke Kanada, kan? Biru mau main salju lagi, kan?" Rana menghela napas berat. "Bunda janji enggak akan sibuk lagi, bunda janji bakal lebih sering main sama kamu," Rana menjeda kalimatnya. "Bunda janji bakal lebih sering ada buat kamu," Rana menempelkan tangan Biru pada pipinya dan menatap Biru lekat. "Tapi Biru bangun dulu, ya?" Rana kini sudah berlinang air mata. "Bunda enggak bisa kalau sendiri, Bi," Rana mulai terisak pelan. "Bunda butuh Biru."
Air mata kini sudah membasahi pipi Rana, ia menatap Biru yang terlihat begitu tenang. Berharap keajaiban datang dan Biru terbangun dari tidurnya. Karena Rana tidak menginginkan apa-apa lagi saat ini, ia hanya ingin Biru kembali. Hanya itu.
Sementara itu, dari balik kaca bilik ruang ICU, Bara berdiri menatap dua orang yang ada di ruang ICU itu dengan pandangan tak terbaca. Tentu saja Bara mencemaskan keadaan Biru, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ia memikirkan hal lain sekarang. "Kita enggak bisa apa-apa sekarang," Bara menatap sosok yang kini berdiri di sampingnya, dokter yang mengoperasi Biru, Hendra—yang sebenarnya salah satu profesor yang mengajar Bara saat sekolah kedokteran dulu dan mereka cukup dekat. "Enggak ada satu pun teknologi atau kemampuan kita yang bisa nolong anak itu," Hendra menghela napas pelan. "Yang bisa nolong dia cuma Tuhan," Bara terdiam, tetapi di dalam hatinya, ia membenarkan pernyataan Hendra. "Kamu mungkin bisa nolong dia." Bara menatap Hendra tidak mengerti, tetapi Hendra malah tersenyum.
"Kamu punya bakat, Bara," ujar Hendra. "Kalau kamu mau sekolah spesialis, atau bahkan lebih dari itu.. saya yakin kamu bisa nolong lebih banyak orang," Hendra menghela napas pelan kemudian tersenyum. "Kamu salah satu murid terbaik yang pernah saya punya, saya tahu potensi kamu, dan saya tahu kamu bisa jadi dokter yang hebat," Hendra menepuk bahu Bara pelan. "Saya tahu kamu cukup idealis, tapi enggak ada salahnya buat dengerin orang lain, Bara."
Bara terdiam, ia menatap Rana yang masih menggenggam tangan Biru dengan erat. Pikirannya benar-benar berkecamuk sekarang, terlalu banyak hal yang datang tiba-tiba saat ini, yang memaksa Bara untuk berpikir dengan keras akan hal-hal itu.
"Dokter Bara," seseorang memanggil Bara, membuat Bara tersadar dari lamunannya dan menatap seorang perawat yang memanggilnya tadi. "Yang anda minta sudah bisa di ambil."
Bara mengangguk, ia menatap Rana dan Biru sebentar sebelum menghela napas berat kemudian mengikuti perawat itu. Dengan perasaan tak tentu, Bara melangkah menyusuri lorong rumah sakit, mengikuti perawat itu menuju suatu tempat. Dan tiba-tiba saja Bara menjadi gugup, jantungnya pun berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ya, Bara sedang cemas sekarang. Namun Bara tetap meyakinkan dirinya, apapun hasil yang akan ia dapatkan, ia akan menerimanya.
*
Langit sudah mulai menguning, namun Rana masih betah berada di rumah sakit. Ia bahkan menunggu di depan ruang ICU saat jam besuk pagi sudah habis hingga jam besuk sore sudah buka seperti sekarang ini.
Rana kembali duduk di kursi sebelah ranjang, menyibak selimut yang menutupi tangan Biru, kemudian mengambil tangan Biru untuk digenggam. Rana mengecup tangan mungil yang biasa digunakan untuk menarik baju Rana ketika Biru merengek meminta sesuatu itu, dan yang biasa Biru gunakan untuk menggelitik pinggangnya ketika Biru ingin mencairkan suasana.
"Bunda kangen kamu, Bi," ujar Rana, ia menghapus air matanya yang mulai luruh. "Ayo bangun, Biru."
Rana memejamkan matanya dan menghela napas pelan ketika Biru masih belum merespon. Rana benar-benar kacau saat ini, kepalanya terasa begitu penuh dan perasaan Rana gundah. Sederhananya, psikis Rana mulai terganggu. Ah, lagipula ibu mana yang tidak akan gila melihat anaknya terbaring lemah dengan tubuh yang dipasangi berbagai peralatan medis seperti ini?
"Rana," seseorang menyentuh bahu Rana pelan. Cepat-cepat Rana mengusap air matanya dan menatap orang itu, Rangga. "Kamu belum makan, kan?" Rana hanya diam. "Biar aku yang jaga Biru, kamu makan dulu."
Rana menggeleng pelan. "Aku enggak laper kok."
"Rana, kamu bisa sakit kalau terus-terusan kayak gini," ujar Rangga mendesak Rana. "Kamu juga harus jaga diri kamu kalau mau jaga Biru," nasihat Rangga. "Kamu harus kuat buat dia," Rana menghela napas pelan. "Biar aku yang jaga Biru, kamu makan dulu."
Rana akhirnya menuruti perintah Rangga. Dengan berat hati Rana beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruang rawat Biru, karena benar apa kata Rangga, ia harus mengisi tenaganya agar kuat menjaga Biru. Bagaimanapun ia tidak boleh sakit karena harus selalu ada untuk anaknya.
Setelah memesan makanan di kafetaria rumah sakit, Rana bergegas mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Rana memijat pelipisnya pelan, berharap pijatan di pelipisya dapat mengurangi beban berat di kepalanya.
"Rana," Rana menatap sosok yang baru saja memanggilnya, Bara. "Ada yang mau aku bicarain."
Rana menatap Bara sebentar. "Masalah apa?"
"Biru," Bara memberikan sebuah amplop putih berlogo rumah sakit yang ada di tangannya pada Rana, ia kemudian duduk di seberang Rana, sementara Rana membaca sebuah surat yang ada di amplop itu. "Kenapa kamu sembunyiin ini semua?"
Rana terdiam. Sudah saatnya Bara tahu.
***
Epidural hematoma, kondisi ketika darah masuk dan menumpuk pada ruang yang ada di antara tulang tengkorak dan lapisan yang menyelimuti otak.
***
Lima Belas
***
Rana membaca surat yang diberikan Bara dengan saksama, meski tanpa perlu membaca surat yang diberikan Bara pun Rana sudah tahu kebenaran bahwa Bara adalah ayah biologis dari anak laki-lakinya, Biru. Iya, laki-laki yang ada di hadapannya ini adalah laki-laki pertama ada di hidup Rana. Laki-laki yang pernah mengisi hari-hari Rana.
Jujur saja, Bara memang pernah ada di hati Rana. Laki-laki dengan segala masalahnya itu berhasil membuat Rana penasaran sekaligus membuat jantung Rana berdebar tak tentu. Bara yang keras kepala dan terlihat tangguh tetapi ternyata begitu rapuh membuat Rana benar-benar ingin selalu di sisi Bara. Tapi itu dulu, sekarang Rana rasa tidak ada lagi rasa itu. Meski terkadang ketika melihat sorot mata Bara yang memancarkan duka dan kesepian membuat Rana goyah hingga ingin merengkuh laki-laki itu.
Karena Bara masih sama, ia laki-laki sok tangguh yang sebenarnya begitu rapuh.
"Kenapa kamu sembunyiin ini, Rana?"
Rana terdiam sejenak, ia meletakkan surat hasil tes DNA itu di meja. Ia menghela napas pelan sebelum memberanikan diri menatap Bara. "Emangnya aku harus gimana?" tanya Rana. "Aku harus bilang ke kamu kalau aku hamil gitu?" Rana menyesap teh hangatnya sebentar. "Banyak hal yang aku pikirin waktu tahu kalau aku hamil, Bara. Terutama soal masa depan anak itu nanti."
"Aku bakal bertanggungjawab kalau kamu bilang waktu itu."
Rana menghela napas pelan. "Tanggungjawab yang kayak apa? Nikahin aku? Atau nafkahin anakku?"
"Dia juga anakku, Rana," sahut Bara cepat. "Aku bakal tanggungjawab atas semuanya, entah nikahin kamu atau nafkahin anak kita."
"Di umur kita yang baru delapan belas tahun?" Bara terdiam. "Waktu itu bahkan kita belum lulus SMA, apa yang kita harapin dari status kita saat itu?" Rana kembali menghela napas. "Membesarkan anak bukan sesuatu yang mudah, Bara. Punya anak enggak cuma soal gantiin popok atau kasih makan aja, punya anak lebih rumit dari itu. Dan aku enggak yakin kita bisa melalui itu semua kalau waktu itu aku bilang sama kamu,"
Bara menatap Rana tak percaya. "Jadi kamu enggak percaya sama aku?" tanya Bara menuduh. "Kamu enggak percaya kalau aku bisa bertanggungjawab?"
"Bukan gitu, Bara," Rana menghela napas berat. "Aku bukannya enggak percaya sama kamu, tapi aku mencoba realistis aja," jelas Rana. "Coba kamu bayangin kalau waktu itu aku bilang sama kamu kalau aku hamil dan kita nikah, apa yang akan terjadi sekarang?" Rana menjeda kalimatnya, membiarkan Bara mencoba untuk mengerti kalimatnya dulu. "Kamu mungkin enggak akan jadi dokter kayak kamu sekarang ini, dan aku mungkin enggak kayak sekarang.. kita enggak akan kayak sekarang."
Rana menarik napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan, mencoba mengatur emosi agar dapat menjelaskan alasannya dengan jelas. "Dan aku rasa kita enggak akan bisa bertahan lama karena kita yang masih kekanak-kanakkan kalau menikah waktu itu. Mungkin kamu bisa dewasa, tapi aku mungkin enggak akan bisa," Rana kembali menjelaskan. "Aku rasa enggak kasih tahu kamu kalau aku hamil waktu itu adalah jalan yang terbaik buat kita. Buat aku, kamu, ataupun Biru."
"Tapi kenapa harus sembunyi selama ini?" tanya Bara kembali menuntut penjelasan. "Kamu bahkan sampai bohong soal pernikahanmu."
"Aku enggak pernah bohong soal pernikahanku," jawab Rana membela diri. "Aku enggak pernah membenarkan kalau aku udah menikah."
Bara menghela napas frustrasi. "Tapi dari sikapmu menunjukkan hal yang sebaliknya, kamu juga enggak pernah jelasin soal itu, Rana," Rana terdiam. "Dan mungkin kalau enggak ada kejadian ini, kamu bakal sembunyiin semua ini sampai salah satu dari kita mati."
"Aku cuma mau yang terbaik buat kita, Bara."
"Kamu egois, Rana," Rana kembali terdiam. "Kamu ngebuat aku seolah-olah jadi ayah paling buruk di dunia ini," ujar Bara. "Aku baru tahu kalau Biru itu anakku saat dia lagi berjuang kayak gini," Rana tertunduk ketika mendengar suara Bara mulai bergetar. "Dia bahkan kenal aku sebagai orang asing yang baru kenal sama dia, padahal dia anakku, Rana," Bara menyeka air matanya yang sudah luruh. "Aku harus apa kalau Biru sampai enggak bisa bertahan?"
Rana menghela napas pelan. "Aku yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan Biru. Aku tahu dia anak yang kuat dan bisa melewati ini," Rana beranjak dari duduknya. "Biru anak yang kuat, aku percaya sama dia."
"Kamu orang yang paling egois yang pernah aku kenal, Rana."
Rana terdiam sejenak sebelum benar-benar meninggalkan Bara dengan segenap rasa bersalahnya. Tetapi waktu sudah tidak bisa diulang, semua sudah terjadi, dan tidak ada yang perlu disesali.
*
Bara masih berada di kafetaria rumah sakit, ia masih merenungkan permasalahannya. Bara masih tidak mengerti dengan pemikiran Rana kenapa menyembunyikan semua ini darinya, padahal Bara rasa akan lebih mudah untuk mengurus Biru berdua, daripada seorang diri. Apalagi menjadi ibu tunggal, Bara rasa itu bukan sebuah pekerjaan yang mudah.
"Bara?"
Bara menatap sosok yang baru saja memanggilnya, Bara terkejut dengan kedatangan orang itu dan bergegas berdiri. "Prof."
Hendra, orang itu, tersenyum. "Boleh saya duduk?"
Bara mengangguk. "Silakan," jawab Bara kemudian kembali duduk. "Saya kira Prof Hendra sudah pulang."
"Mana bisa saya pulang sebelum jam sepuluh," Hendra kemudian menyesap kopi hangatnya. "Kamu juga," Bara menatap Hendra bingung. "Kenapa belum pulang?" Bara hanya tersenyum.
"Saya masih nunggu Biru, Prof."
Hendra mengangguk mengerti. "Keponakan kamu, ya?"
"Anak saya."
Hendra terlihat terkejut mendengar jawaban Bara. "Saya baru tahu kamu udah nikah dan punya anak sebesar Biru," Bara hanya tersenyum tipis. "Oh, ada yang mau saya omongin sama kamu."
"Masalah apa, Prof?"
"Yang tadi sempat kita bicarakan," jawab Hendra. "Soal sekolah spesialis kamu," Hendra kembali menyesap kopinya. "Saya ada teman yang mau kasih beasiswa buat sekolah spesialis di Amerika," jelas Hendra. "Saya tahu kamu bisa biayain sekolah spesialis kamu sendiri di negeri mana pun, tapi kalau kamu mau saya bisa rekomendasiin kamu."
"Kamu dokter yang berbakat, Bara. Jarang ada dokter yang punya bakat," ujar Hendra. "Mumpung kamu masih muda juga, sayang kalau bakatmu dipendam di klinik aja," nasihat Hendra. "Jangan cuma diam di satu tempat kalau kamu emang mau menolong orang banyak, kamu perlu bergerak untuk tahu apa yang enggak ada di tempat itu."
Bara terdiam sejenak. "Saya akan mempertimbangkannya, Dok."
"Saya berharap kamu mau sekolah lagi, Bara," Hendra beranjak dari duduknya. "Jujur saja sejak sekolah dulu saya menaruh banyak harapan sama kamu, karena saya tahu kamu memiliki bakat di bidang ini."
Bara hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Hendra. Setelah Hendra pergi, Bara pun ikut meninggalkan kafetaria untuk pergi ke ruang rawat Biru, ia ingin bertemu dengan anaknya dulu sebelum pulang. Meski baru mengetahui fakta bahwa Biru adalah anaknya, tetapi entah kenapa Bara bisa menerima hal itu, dan merasa senang karena Biru adalah anaknya.
Seorang laki-laki paruh baya baru saja keluar dari ruang ICU di mana Biru dirawat, Bara tidak tahu siapa laki-laki itu, tapi yang jelas laki-laki itu bukan petugas medis di rumah sakit ini. Tatapan mereka bertemu, pria paruh baya itu nampak terkejut saat melihat Bara. "Kamu.. Bara, kan?" tanya pria itu.
Bara mengerutkan keningnya. "Iya, saya Bara."
"Saya Bisma," pria paruh baya itu tersenyum kemudian mengulurkan tangannya, dengan ragu Bara menjabat tangan pria itu. "Saya kakeknya Biru, ayah dari Rana dan Ragil," Bara terdiam, ini adalah pertama kalinya Bara bertemu dengan keluarga Rana selain Biru, bahkan Bara belum pernah bertemu dengan Ragil. "Saya sudah lama ingin bertemu dengan kamu," Bara menegang, tiba-tiba saja ia menjadi gugup. "Bisa bicara sebentar?" Bara mengiyakan ajakan Bisma.
Bisma memilih mengobrol di sebuah kafe dekat rumah sakit, ia juga membeli dua cangkir kopi untuk teman bicara mereka. Dari sikap Bisma memperlakukan orang, Bara rasa pria paruh baya itu tidak seseram saat mereka pertama bertemu tadi. Dan sepertinya sikap baik Rana benar-benar diturunkan dari orang tuanya yang juga baik.
"Maaf saya harus mengganggu waktu kamu," ujar Bisma setelah duduk di seberang Bara. "Seperti yang saya katakan tadi, saya sudah lama ingin bertemu dan menghancurkan kamu," ekspresi wajah Bara berubah. "Saya cuma bercanda, enggak mungkin saya hancurin ayah dari cucu saya, seenggaknya untuk saat ini saya enggak akan melakukan hal itu," Bisma tersenyum. "Saya senang bertemu dengan kamu."
Bara mengangguk pelan. "Saya juga, Om."
"Tapi jujur saja, Bara, saya sudah dari lama ingin menghancurkan kamu yang sudah menghancurkan anak saya."
"Saya minta maaf untuk itu."
Bisma tersenyum sinis. "Saya rasa untuk saat ini maaf enggak berarti lagi, semua sudah terjadi dan udah enggak ada yang bisa diubah," Bisma menghela napas pelan. "Kamu beruntung karena Rana ngelindungin kamu."
Bara menatap Bisma bingung. "Maksudnya, Om?"
Bisma kembali menghela napas pelan. "Kayaknya Rana udah jelasin semua ke kamu, tapi dengan versi yang berbeda," jawab Bisma. "Saya juga enggak tahu kenapa dari dulu dia selalu ngelindungin kamu," Bisma tertawa hambar, ia kemudian mengubah posisi tubuhnya. "Sejak dulu, sejak saya jemput Rana untuk ikut saya ke Kanada dan saat itu dia sedang hamil anak kalian, Rana selalu ngelindungin kamu."
"Sejak tahu dia hamil, saya selalu ingin ketemu sama kamu dan habisin hidup kamu, tapi Rana bilang enggak perlu karena itu juga kesalahan dia," Bisma menghela napas berat. "Meski memang kesalahan kalian berdua, tapi saya tahu anak saya enggak bakal ngelakuin hal keji itu," Bara tertunduk. "Saya juga sempat ingin meminta pertanggungjawaban dari kamu, tapi Rana enggak mau, dia bilang kamu akan hancur kalau tahu dia hamil apalagi sampai bertanggungjawab atas kehamilannya. Sejak dulu sampai detik ini, dia enggak mau mimpi-mimpimu hancur," Bisma tersenyum getir. "Padahal dia yang paling hancur karena harus jadi ibu tunggal di usia semuda itu."
"Saya minta maaf untuk semua yang sudah saya lakukan, Om."
"Saya sudah bilang kalau kata maaf udah enggak ada artinya lagi," sahut Bisma marah, namun beberapa saat kemudian ia menghela napas pelan. "Saya sudah meninggalkan ibu Rana dan Ragil, membuat dia berjuang seorang diri sampai akhirnya mati," Bisma menatap Bara lekat. "Saya juga pernah meninggalkan Rana dan Ragil di usia mereka yang masih sangat kecil," Bisma kembali menghela napas. "Karena sekarang kamu sudah tahu dan kata maaf udah enggak berarti, satu-satunya jalan yang bisa kamu dan Rana lakukan adalah memperbaiki," Bara perlahan menatap Bisma. "Saya enggak mau kamu menyesali apa yang saya sesali," Bara perlahan menatap Bisma. "Jadi, setelah Biru bangun, saya harap kamu mau selalu ada untuk Biru," Bara menatap Bisma tak percaya. "Meski pada akhirnya kamu enggak bisa jadi suami dari Rana, tapi tolong tetap jadi ayah untuk Biru."
*
Pagi ini Bara kembali bekerja di klinik, menangani beberapa pasien dengan keluhan yang berbeda-beda. Namun hari ini Bara nampak tidak bersemangat, semua orang tahu itu. Meski Bara tetap bersikap profesional dan ramah, tetapi semua tahu jika Bara sedang tidak baik-baik saja.
Hal itu tentu tidak lepas dari mata sahabat Bara, Bayu. Ia bahkan sudah mendiskusikan sikap aneh Bara ini pada perawat lainnya, dan semua perawat setuju dengan hipotesis Bayu yang menyatakan bahwa Bara sedang memiliki masalah yang berat. Kini mata mereka sama-sama tertuju pada Bara yang baru saja keluar dari ruang tindakan dan pergi ke ruangannya, tanpa melihat bahkan melirik rekan kerjanya yang jelas-jelas sedang mengawasinya.
"Dokter enggak mau cari tahu soal masalah Dokter Bara?"
"Kalau udah kayak gitu, biasanya udah serius," jawab Bayu. "Aku enggak berani, Mbak," Bayu bergidik ngeri membayangkan Bara yang akan mengamuk ketika diganggu saat sedang mengalami masalah benar. "Mbak Riris aja coba."
"Kalau Dokter Bayu aja enggak berani, apalagi saya." jawab perawat bernama Riris itu.
"Tapi coba didatengin dulu deh, Dok," ujar perawat lain. "Soalnya masalah Dokter Bara kayak besar banget."
Bayu menghela napas pelan, ia mengangguk. "Kalau udah tahu, jangan lupa kasih tahu kita ya, Dok." Ujar perawat yang lainnya dan membuat Bayu memutar mata jengah.
Kini Bayu sudah berada di depan ruangan Bara, ia menghela napas pelan sebelum mengetuk pintu ruangan Bara. Karena tidak mendapat jawaban, Bayu langsung masuk ke ruangan itu. "Lo mau ke mana?" tanya Bayu saat melihat Bara sedang menggantungkan snelinya. "Kan shift lo belum selesai."
"Gue oper pasien ke lo dulu."
"Lo kemarin udah libur, Ra."
"Lo lebih sering libur daripada gue."
Bayu terdiam. "Tapi lo mau ke mana?"
"Lihat anak gue."
"Hah? Lo punya anak? Anak cupang apa anak sapi?" Bara tidak menjawab pertanyaan Bayu, ia hanya memberi sebuah surat yang langsung dibaca oleh Bayu, membuat sahabatnya itu benar-benar terkejut. "Jadi, gue udah jadi om?!" Bara memutar mata jengah. "Tapi Biru ini siapa?"
"Anak gue," jawab Bara singkat. "Sama Rana."
"HAH?!"
Bara mengabaikan Bayu yang sangat terkejut dengan apa yang baru saja pria itu dapatkan, ia memilih langsung meninggalkan ruangan dan klinik untuk pergi ke rumah sakit. Pikiran Bara sedang kacau saat ini, ada banyak hal yang menumpuk di kepalanya. Dan Bara tahu jika ia meneruskan membuka praktik, semua akan berantakkan dan bisa-bisa Bara salah memberi resep. Jadi Bara memutuskan untuk pergi ke rumah sakit untuk menemui Biru, karena memang isi otak Bara sejak kemarin malam hanya dipenuhi oleh anak itu.
Bara menghela napas pelan ketika sudah sampai di depan ruang ICU, ia masih melihat Rana yang setia mendampingi Biru di jam besuk rumah sakit. Perlahan Bara masuk ke dalam ruangan itu, membuat Rana tersadar jika ada orang lain yang ada di ruangan itu. "Boleh aku gunain sisa jam besuk siang ini buat ngobrol sama Biru?" tanya Bara yang terdengar seperti sebuah permintaan di telinga Rana.
Rana berpikir sejenak, tetapi tak lama ia beranjak. "Aku tunggu di depan."
Bara hanya mengangguk, membiarkan Rana pergi meninggalkannya berdua dengan Biru. Bara menatap anak laki-laki yang sedang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di badannya itu dengan getir. Bara menelan salivanya dengan susah payah sebelum akhirnya duduk di kursi yang sebelumnya di tempati Rana.
Perlahan ia memberanikan diri menggenggam tangan kecil anak laki-laki itu, Bara memejamkan matanya pelan hingga membuat air matanya luruh. Pertahanan Bara runtuh. "Biru.. ini ayah," suara Bara terdengar lirih dan begitu pilu. "Ayo Biru bangun, tidurmu udah lama, Bi," ia menatap Biru yang tidak merespon perkataannya itu. "Ini ayah, Biru," Bara kembali menelan salivanya dengan susah payah, matanya sudah basah dengan air mata. "Ayah di sini," Bara menghela napas berat. "Ayah akan selalu nemenin kamu kalau kamu bangun."
"Ayah di sini, Biru," Bara kembali memejamkan matanya, ia mengeratkan genggaman tangannya dan menempelkan tangannya yang menangkup tangan Biru di keningnya. "Biru, ayah di sini."
Bara tidak bisa menahan tangisannya karena melihat kondisi Biru yang yang begitu rapuh. Terlebih saat ini Bara bukan lagi sosok baru yang mengenal Biru sebagai anak kekasih hatinya, tetapi Bara saat ini adalah sosok ayah dari Biru. Dada Bara benar-benar sesak melihat Biru terbaring lemah seperti ini, bahkan perasaan yang ia miliki saat ini lebih dari saat Rana menolaknya. Saat ini Bara merasa bahwa ia adalah ayah yang benar-benar buruk karena baru mengetahui bahwa Biru adalah anaknya, dan yang paling parah karena ia tidak bisa melindungi Biru.
Bara benar-benar ingin Biru bangun saat ini, ia ingin mendengar Biru memanggilnya ayah. Bara ingin mememeluk Biru sebagai seorang ayah, mengajak Biru bermain sebagai seorang ayah. Bara benar-benar ingin menebus waktunya bersama Biru yang sudah terlewati dengan melakukan semua hal sebagai ayah dan anak. Sungguh, saat ini Bara hanya menginginkan hal itu.
"Biru, ayo bangun. Ayah di sini."
Bara membuka matanya dengan perlahan ketika merasakan sebuah pergerakkan kecil yang menggelitik telapak tangannya. "Biru?" Bara menatap Biru yang kini membuka mata dengan perlahan. Bara pun bergegas mendekati Biru yang kini sudah membuka matanya secara penuh. "Biru?"
"Om?" Bara menghela napas lega ketika mendengar Biru untuk pertama kalinya setelah tiga hari ini ia tidak mendengarnya. "Om kenapa nangis?"
Bara menggeleng cepat. "Om enggak kenapa-kenapa," jawab Bara. "Om cuma seneng aja kamu udah bangun setelah tidur lama."
"Oh iya, aku habis kecelakaan," Bara menghela napas pelan dan kembali duduk. "Ayahku mana, Om?" raut wajah Bara seketika berubah, ia kembali menggenggam tangan Biru. Bara memejamkan matanya dan menahan diri untuk tidak mengatakan pada Biru bahwa orang yang ia cari ada di hadapannya. Bara kembali menempelkan tangannya yang menggenggam tangan Biru di dahinya sambil diam-diam bersyukur karena Biru sudah sadar. "Om, aku laper."
Bara tidak bisa untuk tidak tersenyum mendengar ucapan Biru. Sekarang ia benar-benar bersyukur karena Tuhan mengabulkan doanya meski ia sering melakukan hal buruk, karena Biru yang kembali sadar benar-benar suatu keajaiban. Dan mulai saat ini Bara berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu ada dan melindungi Biru, anaknya.
***
Enam Belas
***
Setelah beberapa hari dirawat, kondisi Biru perlahan membaik, anak laki-laki itu bahkan sudah bisa bermain dengan pasien anak-anak yang lain. Selama Biru dirawat, Rana juga selalu menemani Biru dan absen masuk kerja. Untungnya Bisma memilih menetap di Indonesia lebih lama untuk membantu Rana merawat Biru, karena Ragil tidak bisa pulang karena jadwal penerbangannya padat, begitu juga dengan Rangga.
Rana yang sebelumnya benar-benar cemas dan hampir gila karena Biru yang sempat kritis, kini bisa bernapas lega dan kembali tersenyum ketika melihat Biru sudah bisa kembali ceria. Rana menghela napas pelan ketika melihat Biru kini sedang bermain dengan anak-anak lain yang juga sedag dirawat tetapi masih bisa bergerak bebas.
Melihat anak-anak yang sedang dirawat itu bermain dengan bebas membuat Rana iba sekaligus iri. Ia iba karena di usia yang masih belia anak-anak itu sudah harus diuji oleh Tuhan dengan cobaan berupa penyakit yang mereka idap. Dan Rana merasa iri, meski diuji dengan penyakit dan harus merelakan masa bermain mereka di rumah sakit, tetapi mereka masih bisa tertawa. Bukankah anak-anak itu begitu tangguh dan mengagumkan?
“Ayah!” Biru berseru ketika melihat seseorang yang masih berada di lorong rumah sakit, ia segera berlari menghampiri laki-laki yang juga sedang merentangkan tangannya dan tersenyum lebar itu, Rangga. “Aku kangen sama ayah!”
“Ayah juga kangen sama Biru.” Rangga mendekap erat laki-laki kecil itu.
“Biru, jangan lari-lari kayak tadi, kan Biru baru sembuh.” tegur Rana yang kini sudah berada di dekat ayah dan anak itu. “Nanti makin lama loh di rumah sakitnya kalau Biru enggak nurut.”
“Udah, jangan dimarahin Biru-nya, Ra,” Rangga bersuara membela Biru, membuat Rana menatapnya tak suka. “Lagian kan Biru udah sembuh, iya, kan?”
Biru mengangguk. “Aku udah boleh pulang kok, Yah,” jawab Biru bersemangat. “Terus habis keluar dari rumah sakit, aku sama bunda mau ikut pulang grandpa pulang ke Kanada. Iya, kan, Bun?”
Rangga yang menatap Rana seolah menuntut penjelasan, tetapi Rana hanya tersenyum kikuk. “Biru main lagi sama temen-temen, ya,” ujar Rangga sambil menurunkan Biru dari gendongannya. “Ayah sama bunda mau bicara sebentar.”
Biru mengangguk. “Nanti kalau udah selesai bicara, panggil aku ya, Yah.”
Rangga mengiyakan, membiarkan Biru kembali bermain. Sementara ia menggiring Rana untuk duduk di salah satu bangku rumah sakit yang tidak jauh dari tempat Biru bermain, tetapi suasana di kursi itu lebih kondusif dan tidak ramai.
“Jadi, bisa kamu jelasin apa maksud Biru?”
Rana menghela napas pelan dan tersenyum. “Aku emang berencana pulang ke Kanada sama Biru setelah dia keluar dari rumah sakit,” jelas Rana. “Aku udah bicara sama bapak masalah ini, dan bapak mendukung.”
“Kerjaan kamu gimana?”
“Aku keluar,” Rangga terlihat begitu terkejut dengan pernyataan Rana. “Kejadian beberapa hari ini ngebuat aku sadar kalau enggak ada hal lain yang lebih penting daripada Biru, termasuk pekerjaanku,” jelas Rana. “Selama ini aku selalu sibuk sama pekerjaanku, sampai-sampai kadang enggak ada waktu buat dia,” Rana menghela napas pelan, ia kembali tersenyum. “Tapi aku enggak bener-bener berhenti, aku cuma keluar dari perusahaanku, dan akan kerja sebagai pekerja lepas.”
Rangga terdiam sejenak. “Apapun keputusanmu, aku akan selalu dukung kamu.”
“Thanks, Mas,” Rana tersenyum, kemudian ia teringat sesuatu. Rana melihat sesuatu yang melingkar di jari manis tangan kanannya, sebuah cincin bermatakan berlian yang selama hampir dua tahun ini selalu ia kenakan. Perlahan Rana melepaskan cincin itu. “Beberapa hari ini aku juga mikirin jawaban yang kamu minta sejak dua tahun lalu,” Rana meletakkan cincin itu di meja. “Aku enggak bisa.”
“Kamu bisa pikirin lagi, Rana,” sahut Rangga cepat. “Kamu enggak harus jawab sekarang, aku juga udah berulang kali bilang kalau kamu enggak perlu buru-buru,” Rangga menatap Rana lekat. “Dan aku juga masih mau nunggu kamu.”
Rana kembali menghela napas pelan. “Aku enggak mau kamu nunggu lebih lama lagi, Mas,” ujar Rana, ia mendekatkan cincin itu pada Rangga. “Aku juga mau kamu bahagia.”
“Emang aku kelihatan enggak bahagia?” tanya Rangga yang membuat Rana terdiam. “Bisa jadi ayahnya Biru, selalu ada buat kamu.. dengan kita yang kayak gini aja udah buat aku bahagia, Ra.”
“Tapi aku enggak bisa buat kamu kayak gini terus, Mas,” jawab Rana. “Aku enggak mau ngebuat kamu terus-terusan nunggu buat sesuatu yang enggak pasti,” Rana tersenyum getir. “Dan yang paling penting, kamu bisa bersama orang yang lebih baik.”
“Sejak kita kenal, aku tahu kalau kamu yang terbaik, Rana,” sahut Rangga. “Jangan ngerendahin diri kamu kayak gini, kamu berharga buat aku ataupun diri kamu sendiri,” Rana kembali terdiam. “Atau.. apa karena ini karena laki-laki itu? Ayah biologisnya Biru?”
Rana menggeleng pelan. “Bukan, keputusanku ini enggak ada hubungannya sama dia,” Rana menghela napas pelan. “Aku cuma enggak mau membebani kita berdua karena masalah ini.”
Rangga menghela napas berat, ia mengambil cincin itu. “Kita bisa bersama kayak biasanya, sambil kamu pikir lagi soal permintaanku,” kini Rangga mengambil tangan kanan Rana dan menyematkan cincin itu kembali di jari manis Rana. “Kamu enggak perlu terlalu mikirin permasalahan ini, karena aku juga enggak buru-buru,” Rangga tersenyum simpul. “Entah nanti akhirnya kamu mau nikah sama aku atau enggak, itu urusan nanti. Sekarang, biar semua kayak gini dulu.”
Rana terdiam, ia menatap cincin itu dengan pandangan sulit diartikan. Ia kemudian menatap Rangga dan membalas senyuman laki-laki itu. Entah mengapa, semakin Rangga baik dengannya, semakin Rana ingin melepaskan Rangga. Karena Rana tidak mau membuat laki-laki baik itu terluka.
*
Hari ini Biru sudah diperbolehkan pulang, tetapi sejak keluar dari rumah sakit anak itu nampak begitu murung dan bersedih. Rana cukup mengerti perasaan kehilangan Biru karena harus meninggalkan teman-temannya yang beberapa hari ini menemaninya saat di rawat, jadi Rana memilih membiarkan Biru sendiri lebih dahulu.
“Bun,” Rana yang sedang sibuk mengemas barang-barang di apartemen menatap Biru yang baru saja keluar dari kamar. “Aku mau susu.”
Rana tersenyum simpul. “Duduk dulu di sofa, ya,” Biru mengangguk, Rana pun bergegas pergi ke dapur untuk membuat segelas susu untuk anak laki-lakinya itu. Tak lama Rana kembali dengan segelas susu untuk Biru. “Masih panas, pelan-pelan minumnya.”
Biru mengangguk sambil menyesap susu putih itu dengan pelan-pelan, Rana hanya tersenyum melihat anaknya yang minum susu dengan tenang. “Bun,” Rana yang kini duduk di samping Biru menatap Biru penuh tanya. “Temen-temenku kapan keluar dari rumah sakitnya ya, Bun?”
Rana menghela napas pelan dan tersenyum. “Kalau mereka udah sehat kayak Biru.”
“Tapi kapan?” tanya Biru lagi. “Aku kasihan sama mereka karena lama di rumah sakitnya, disuntik sekali aja sakit, apalagi kalau berkali-kali,” Rana hanya tersenyum. “Aku enggak mau mereka sakit terus, Bun.”
Rana merangkul tubuh kecil Biru. “Makanya, Biru banyak-banyak berdoa biar temen-temen Biru cepet sembuh, ya. Biar temen-temen Biru bisa sehat lagi.. biar mereka bisa main juga kayak Biru.”
“Kalau kita berdoa terus, doa kita bakal terkabul ya, Bun?”
Rana mengangguk. “Kalau kita berdoa dengan sungguh-sungguh, Tuhan bakal mengabulkan doa kita,” jelas Rana. “Makanya, Biru jangan berhenti berdoa, ya.”
Biru mengangguk dengan antusias. “Aku enggak akan berhenti berdoa, Bun. Aku juga enggak akan berhenti berdoa buat bunda, biar bunda bisa bahagia terus,” Rana tertawa kecil dan memeluk anak laki-lakinya itu dengan sayang. “Bun,” Rana melepaskan dekapannya. “Besok kita pergi ke Kanada, kan?” Rana membenarkan. “Berarti kita harus bilang Om Bara dulu, Bun,” Rana mengernyitkan keningnya. “Ayo kita ke tenpat Om Bara, Bun!”
Tanpa bisa menolak, Rana mengikuti Biru yang kini sudah keluar dari apartemen dan menuju apartemen Bara. Rana sebenarnya enggan menemui Bara, terlebih laki-laki itu sudah tahu mengenai Biru. Sejujurnya, Rana merasa khawatir ketika Bara tahu jika Biru adalah anaknya. Karena Rana takut jika Bara akan mengambil Biru darinya.
“Om Bara!”
Rana hanya diam saat Biru berlari kecil menghampiri Bara yang kebetulan ada di depan pintu, sepertinya laki-laki itu baru saja pulang bekerja. “Loh, Biru, kok kamu udah pulang dari rumah sakit?” tanya Bara bingung.
“Om Bara enggak pernah jenguk aku, sih,” Biru mengerucutkan bibirnya. “Emang Om Bara enggak mau lihat aku?”
“Biru, Om Bara kan sibuk kerja,” tegur Rana saat melihat anaknya merajuk. “Lihat, Om Bara sekarang juga baru aja pulang kerja, kan?”
Biru kembali melihat Bara. “Tapi emang sibuk banget sampai enggak mau jenguk aku?”
“Maaf ya, Bi. Om emang lagi sibuk banget,” ujar Bara mencoba merayu Biru. “Oh, Biru mau main gundam, enggak? Om Baru beli baru loh.”
“Mau, Om!”
“Ayo masuk dulu,” Biru bergegas masuk ke apartemen Bara, sementara Rana masih terdiam di tempatnya. “Ayo masuk.”
Rana pun akhirnya mengikuti Bara masuk ke apartemen, Biru sendiri sudah duduk di sofa. “Mana gundam yang baru, Om?” tagih Biru, Bara pun bergegas masuk ke kamar untuk mengambil gundam barunya. “Wah, gede banget, Om!” Biru nampak begitu antusias dengan mainan yang dibawa Bara. “Ini boleh aku mainin, Om?”
“Boleh.”
“Kalau aku bawa ke Kanada boleh nggak, Om?”
Bara nampak terkejut, ia menatap Rana yang memilih untuk diam. “Biru mau ke Kanada?” tanya Bara yang diiyakan oleh Biru. “Kapan?”
“Besok pagi,” jawab Biru, ia kemudian menatap Rana. “Iya, kan, Bun?” Rana mengangguk pelan. “Makanya hari ini aku mau main sama Om Bara sebentar, soalnya besok kita udah enggak bisa main lagi, Om.”
“Katanya Biru mau nemenin om di sini,” Bara pura-pura bersedih. “Sekarang kenapa Biru malah ninggalin om?” tanya Bara. “Kalau Biru pergi, om nanti main sama siapa?”
Biru berpikir sebentar. “Om kan bisa main sama gundam.”
“Kan enggak bisa dipeluk, enggak bisa dibuat ketawa juga,” jawab Bara. “Kalau om kangen sama Biru gimana?”
“Om tinggal pergi ke rumah Biru aja, gampang, kan?” Bara tertawa kecil. “Bunda, nanti kasih Om Bara alamat rumah kita ya, Bun,” ujar Biru dengan polosnya. “Biar Om Bara kalau kangen aku bisa langsung ke rumah kita.”
Rana tersenyum simpul. “Nanti bunda kasih alamat rumah kita, ya.”
“Biru, om boleh minta satu hal nggak sebelum kamu ke Kanada?”
Biru mengernyitkan keningnya. “Mau minta apa, Om?” tanya Biru bingung. “Aku kan enggak punya uang,” ujar Biru dengan polosnya, ia kemudian mendekati Rana dan mendekapnya. “Aku juga enggak akan kasih bunda buat om, ya!”
Bara tersenyum geli. “Enggak,” jawab Bara. “Om enggak minta uang kok,” Bara tersenyum, dan mengisyaratkan pada Biru agar anak laki-laki itu mendekatinya. “Om cuma minta Biru enggak manggil om dengan sebutan om lagi,” Biru semakin mengernyitkan keningnya bingung. “Panggil om.. papa, ya?”
“Papa?” Bara tersenyum dan mengangguk kecil. “Tapi kan aku udah punya ayah, Om,” tolak Biru. “Aku enggak mau, aku udah punya ayah Rangga.”
Rana melihat kekecewaan di raut wajah Bara, membuatnya merasa bersalah. “Biru, Om Bara ini juga ayahnya Biru loh,” kini Rana mencoba membujuk Biru. “Sekarang kamu punya dua ayah, ayah Rangga sama Papa Bara.”
“Kenapa? Temen-temenku cuma punya satu ayah, Bun,” Rana terdiam, bingung harus menjawab apa. “Aku pokoknya cuma mau satu ayah, ayahku ayah Rangga!”
“Biru!” Rana sedikit berseru ketika Biru yang melenggang menuju pintu apartemen. “Aku akan jelasin masalah ini pelan-pelan, Bara. Sekarang tolong kamu sabar dulu, ya.”
Bara hanya menghela napas pelan. Ada sesuatu yang menghantam dadanya ketika Biru menolaknya, bahkan rasa sesak itu melebihi ketika Rana menolaknya. Apakah memang begini rasa sakit ditolak anak sendiri?
*
“Kopernya udah semua, Mbak?”
“Ini yang terakhir.”
Rana menyerahkan koper besar yang baru saja ia bawa kepada Ragil untuk dimasukkan ke bagasi mobil. Setelah sibuk melakukan beberapa penerbangan lintas negara, kemarin malam Ragil akhirnya datang ke Indonesia untuk membantu ayah dan kakaknya kembali ke Kanada. Selain itu, ia juga belum mengetahui kondisi keponakkannya secara langsung, hanya tahu lewat video call atau chat saja. Sebenarnya Rana dan Bisma meminta Ragil menunggu di Kanada saja, tetapi bukan Ragil namanya jika kukuh dengan pendiriannya.
“Udah siap naik pesawat terbang?” tanya Ragil pada Biru yang baru saja datang dengan Bisma. “Udah siap tinggal di Kanada lagi?”
Biru mengangguk dengan antusias. “Siap banget, Om!”
“Good!” Ragil mengusap kepala Biru dengan pelan. “Nanti kita tour pakai carnavan lagi kalau om libur.”
“Janji, ya?” Biru menyerahkan kelingkingnya, Ragil mengangguk dan menautkan kelingkingnya pada kelingking Biru.
“Yuk kita berangkat sekarang, Biru.” ujar Bisma kemudian menuntun cucunya itu masuk ke mobil, dan di susul yang lain.
Perjalanan dari apartemen ke bandara tidak memakan waktu yang lama, jalanan juga masih begitu lengang, mungkin karena hari masih sangat pagi. Untuk penerbangan kali ini, Bisma yang memilih jadwal penerbangannya. Ia sengaja memilih penerbangan paling pagi agar segera sampai di Kanada, karena ia memang masih memiliki banyak urusan di sana, ia juga harus segera menyelesaikan beberapa pekerjaannya yang sempat tertunda karena harus menjaga Biru.
“Biru.”
Seseorang memanggil Biru ketika mereka baru saja memasuki bandara, Rangga. Laki-laki itu tersenyum hangat dan menghampiri Biru yang juga berlari kecil menuju dirinya. “Hari ini aku ke Kanada duluan, Yah,” ujar Biru dengan sedikit bersedih. “Ayah cepet-cepet ke sana, ya.”
Rangga berjongkok agar menyamai tinggi anak laki-laki itu. “Tenang aja, besok ayah juga udah di sana,” jawab Rangga menenangkan Biru. “Biru jagain bunda buat ayah, ya.” Rangga kemudian mendekap tubuh kecil anak laki-laki itu.
Rana yang melihat adegan itu tidak bisa untuk tidak menyembunyikan senyumnya, mereka sama saja seperti biasanya, terlihat manis ketika bersama. “Mbak,” Ragil yang berada di samping Rana menyenggol pelan lengan tangan Rana. “Ada yang dateng.”
Rana terlihat bingung dengan maksud Ragil, tetapi beberapa saat kemudian ia mengerti maksud Ragil ketika melihat sosok Bara menghampiri mereka. Rana menyunggingkan senyumnya ketika mata mereka beradu pandang. “Syukur aku enggak terlambat,” ujar Bara. “Aku tahu kalau aku enggak pantes ngomong ini, tapi tolong jaga Biru.”
Rana mengangguk. “Biru juga anakku, kamu enggak usah khawatir sama dia.”
“Ini buat Biru,” Bara menyerahkan paper bag yang berisi beberapa kardus mainan kesuakaan Biru, gundam. “Kalau Biru mau lagi, bilang aja, nanti aku yang beliin.”
“Kalau aku yang mau boleh nggak, Mas?” celetuk Ragil yang kini matanya berbinar melihat isi paper bag itu.
Bara tersenyum geli. “Gajimu lebih banyak,” tolak Bara mentah-mentah, membuat Ragil mencebikkan bibirnya. Pandangan mata Bara kemudian melihat ke arah Biru yang masih asyik mengobrol dengan Rangga dan Bisma, belum menyadari keberadaannya. “Terima kasih udah jaga anakku ya, Ragil,” ujar Bara kemudian. “Kali ini aku juga mau nitip dia lagi.”
“Asal ada upahnya aja, sih,” gurau Ragil. “Tenang aja, Mas. Dia juga keponakkanku, aku bakal jaga dia tanpa kamu minta.”
Bara tersenyum dan mengangguk kecil. “Papa!” sebuah suara yang mulai familiar di telinga Bara terdengar, membuat tubuh Bara tiba-tiba terasa seperti tersengat aliran listrik. Jantungnya berdebar kencang ketika kini ia melihat seorang anak laki-laki menghampirinya, Biru. “Papa enggak mau peluk aku?” tanya Biru ketika melihat Bara yang belum bereaksi.
Tanpa menunggu lama lagi, Bara segera memeluk anaknya itu. Air mata Bara tiba-tiba saja luruh, rasa haru sekaligus senang menyerangnya tiba-tiba. Mendengar Biru memanggilnya dengan sebutan ‘papa’ dan memeluknya seperti ini membuat Bara senang setengah mati. Bisa dibilang, ini adalah momen paling membahagiakan dalam hidup Bara. Dan ia tidak akan pernah melupakan momen ini.
Rana yang masih berada di tempatnya pun ikut menangis haru, ia pun tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya karena melihat adegan di depannya ini. “Sebenernya mbak udah punya pilihan, kan?” tanya Ragil.
Rana buru-buru mengusap air matanya dan menatap Ragil bingung. “Maksudnya?” tanya Rana bingung.
“Antara Mas Rangga sama Mas Bara,” jawab Ragil. “Mbak udah punya pilihan, kan?”
Rana hanya tersenyum sambil menatap dua laki-laki yang kini sedang bersama dengan Biru itu. “Buat sekarang, mbak hidup sama Biru aja udah lebih dari cukup.”
“Tapi kan mbak juga butuh suami,” sahut Ragil. “Enggak mungkin mbak sendiri terus.”
Rana hanya tersenyum, tanpa berniat menjawab ucapan Ragil. “Udah ada panggilan, kita harus pergi sekarang,” ujar Bisma. “Ayo.”
Ragil mengangguk, ia kemudian bergegas mengikuti sang ayah menuju pintu keberangkatan, begitu juga dengan Rana. Sedangkan Biru sendiri sudah di bawa Rangga menuju pintu keberangkatan.
“Rana,” langkah Rana terhenti ketika Bara memanggilnya. “Aku boleh video call sama Biru, kan?”
Rana mengangguk. “Kamu boleh hubungin Biru kapan pun kamu mau.”
“Thanks,” Bara tersenyum lebar. “Jaga diri ya, Ra.”
“Kamu juga.”
“Rana,” belum sempat Rana kembali berjalan, Bara kembali memanggilnya. “Apa aku masih punya kesempatan?”
Rana menghela napas pelan dan tersenyum. “Sampaiin salamku ke mama sama Kira, ya.”
Bara hanya tersenyum dan mengangguk pelan, setelah itu Rana pun benar-benar berjalan menjauh dari Bara. “Ketemu besok, Sayang,” kali ini Rangga yang berbicara. “Langsung istirahat kalau udah sampai sana.”
Rana mengangguk. “Jaga diri, Mas, aku berangkat sekarang.”
Rana menghela napas pelan dan bergegas menyusul keluarganya. Rana tahu jika ia egois karena membiarkan dua pria kebingungan, tetapi untuk saat ini Rana benar-benar merasa bahwa jalan yang ia pilih adalah jalan yang terbaik. Tidak memilih antara Bara atau Rangga dan memilih dirinya sendiri adalah jalan yang terbaik untuk saat ini.
Rana tahu jika pilihannya membebani dua pria itu, tapi Rana pun terbebani dengan dua pria itu. Karena jika saat ini ia memilih salah satu dari mereka, akan ada yang tersakiti. Lagi pula saat ini Rana merasa hidup berdua dengan Biru sudah lebih dari cukup, ia tidak membutuhkan hal lain. Rana menatap tangannya yang digenggam erat oleh tangan Biru, ia menghela napas pelan dan tersenyum simpul.
Benar.
Tidak salah untuk memilih dirinya sendiri.
Setidaknya, untuk saat ini.
*** SELESAI ***
Description: Sekeras apapun kau melupakannya, itu hanya akan sia-sia, karena berusaha melupakan adalah kata lain dari memupuk rasa.
Dan pada akhirnya, kau semakin ingin memilikinya.
- Renjana -
Selesai.
30 Agustus 2020
|
Title: REVIEW TENGGELAMNYA KAPAL VEN DER WIJCK
Category: Novel
Text:
Review Buku
TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Identitas Buku
Judul buku: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Penulis: Hamka
ISBN: 978-979-690-930-2
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2011
Penerbit: Balai Pustaka
Hayati menatap bumi. Air matanya lebih banyak dari sebelumnya
“Mengapa kamu masih menangis, Hayati?”
“Semua ucapanmu benar. Tidak ada yang salah. Namun aku ingat kekerasan adat di sini, nanti akan banyak halangan yang datang jika kita menjalin cinta. Aku takut jalan yang kita tempuh akan menemui bahaya.”
“Jadi ....”
~0~
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sebuah karya sastra yang mengusung tema kisah cinta. Tak ada yang dapat menahan datangnya rasa cinta. Seperti yang terjadi pada Zainudin dan Hayati, muda mudi yang harus menerima kenyataan bahwa cinta mereka dihalangi oleh adat istiadat. Cinta itu tetap tumbuh tanpa bisa dicegah. Terpatri dalam hati, penuh keyakinan bahwa itu akan abadi dan tak peduli pahit atau manis di akhir cerita nanti.
Awal Mula Tumbuhnya Kisah Cinta
Zainudin merupakan putra dari seorang laki-laki berdarah Minangkabau yang merantau ke Makasar. Ia selalu mendengarkan kisah tentang keindahan bumi Minangkabau. Kisah itulah yang menjadi pengikat batin antara ia dan ayahnya yang telah meninggal, hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke Minangkabau, menemui sanak famili dan mencari jati diri.
Siapa yang tahu jika akhirnya ia merasakan jenuh di tanah leluhurnya. Namun, kejenuhan itu berubah setelah ia menemukan seorang gadis bernama Hayati. Dayung pun bersambut. Hayati membalas cintanya. Mereka pun saling berbalas surat hingga akhirnya kisah cinta mereka diketahui oleh semua masyarakat yang tinggal di Minangkabau. Dan, rintangan pun terbentang di depan mata.
Adat Istiadat Menjadi Halangan Utama
Zainudin memiliki darah Minangkabau dari ayahnya. Dan inilah yang menjadi tembok besar cintanya dengan Hayati. Karena adat Minangkabau yang memegan erat sistem kekerabatan dari garis ibu. Membuat Zainudin tidak diakui, walau sekeras apa pun ia mencoba berbaur dengan sanak famili dan juga masyarakat sana, ia tetap dianggap orang asing.
Berbeda dengan Hayati, sebagai gadis Minangkabau ia adalah penerus garis keturunan, maka ia diharapkan mendapatkan jodoh yang sepadan, tidak pantas untuk orang asing seperti Zainudin.
Keputusan Merantau
Menyadari diri dan juga cintanya tidak diterima oleh keluarga besar Hayati, Zainudin memutuskan untuk pergi dari tanah Minagkabau. Ia menuju Pandang Panjang, ia tinggal bersama sahabatnya yang bernama Muluk. Di sana ia mendapatkan surat yang menyatakan bahwa ibu angkatnya telah meninggal dan memberikan sejumlah uang sebagai warisan. Awalnya ia berpikir untuk bunuh diri, namun, hatinya berkata lain, dengan memiliki uang tersebut, Zainudin memutuskan untuk meminang Hayati. Ia berpikir, dengan kekayaannya saat ini maka keluarga Hayati dapat menerima lamarannya. Tetapi kenyataan tidak seindah apa yang ia inginkan.
Dua Buah Lamaran
Saat Zainudin pergi meninggalkan Minangkabau, walau mereka tetap berkirim surat, Hayati merasa kehilangan. Namun, Hayati teringat bahwa ia memiliki seorang sahabat bernama Khadijah yang tinggal di Padang Panjang, tidak jauh dari tempat Zainudin. Khadijah sering menjadi tempat Hayati bercerita, termasuk kisahnya dengan Zainudin.
Tak lama Khadijah meminta Hayati untuk datang ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda yang akan digelar. Hayati mendapatkan izin dari keluarganya. Ia pun pergi ke rumah Khadijah. Tetapi terselip satu tujuan, bertemu dengan Zainudin.
Di rumah Khadijah sangat ramai oleh teman-teman Aziz yaitu kakak laki-laki Khadijah. Mereka pun melihat pacuan kuda bersama. Sesaat sebelum pertandingan Hayati sempat bertemu dengan Zainudin, tetapi sayang pertemuan itu hanya sebentar, terhalang oleh Khadijah dan juga Aziz.
Setelah itu Hayati kembali ke rumah. Tak lama ia mendapatkan dua buah lamaran, yaitu lamaran Zainudin dan juga lamaran Aziz. Tetapi sayang, keputusan bukan di tangan Hayati, melainkan di tangan keluarga besarnya.Hayati tidak dapat berbuat apa-apa, walau pun ia yakin bahwa para sanak saudaranya mengetahui bahwa ia mencintai Zainudin. Tetapi, ada adat yang tak bisa ia ubah. Ditambah lagi kekerasan hati paman yang merawatnya sedari kecil.
Penokohan
Dalam kisah ini tokoh Zainudin digambarkan adalah seorang protogonis, yaitu seorang pemuda sopan, alim, setia namun sering dilanda kebimbangan yang membuatnya hampir putus asa. Zainudin memiliki bakat seni dalam menulis yang membawanya dalam kesuksesan setelah ketidakberhasilannya memiliki cinta yang sangat ia dambakan.
Hayati tokoh protogonis wanita yang memiliki sifat lemah lembut, mencintai adat dan budaya tanah airnya, menghormati orang-orang tua yang berada dalam keluarga besarnya karena ia tidak lagi memiliki orang tua. Hayati di sini digambarkan sebagai wanita yang tidak dapat mengambil keputusan sendiri, ia juga tidak berdaya menghadapi adat istiadat dan juga menghadapi keluarga besarnya yang menentang cintanya.
Aziz seorang laki-laki yang berperan sebagai tokoh antagonis. Pemabuk, suka berfoya-foya dan main perempuan, pemalas, memiliki banyak utang karena tingkah laku selama ini. Susah payah ia berjuang mendapatkan Hayati tetapi akhirnya memberi kepedihan pada hidup Hayati.
Khadijah yang merupakan sahabat Hayati adalah tokoh tirtagonis. Ia adalah seorang gadis kota yang modern, menyayangi teman, tetapi juga mementingkan kekayaan dan pandangan orang lain. Khadijah yang meminta Hayati melupakan Zainudin dan menerima lamaran Aziz dengan alasan agar Hayati memiliki suami yang terhormat dan terpandang seperti ia dan tunangannya.
Muluk seorang tokoh tirtagonis. Seorang pemuda yang tinggal bersama Zainudin, menghormati dan setia pada Zainudin. Melalui Muluk, Hayati mengetahui bahwa Zainudin masih mencintainya walau hati mereka masing-masing telah terluka.
Sudut pandang cerita ini menggunakan sudut orang ketiga yang mengetahui segalanya, termasuk kata hati masing-masing tokohnya.
Alur yang digunakan oleh novel ini adalah alur maju, yang menceritakan dari awal kisah pernikahan orang tua yang merupakan asal usul Zainudin. Pertemuan dan juga perpisahan Zainudin dengan Hayati. Perjuangan Zainudin di rantau hingga akhirnya Zainudin memberikan tiket kapal Van der Wijck untuk Hayati.
Latar Tempat
Novel ini menggunakan beberapa latar tempat yang digunakan. Seperti Makasar tempat kelahiran Zainudin, Batipuh tempat tinggal nenek moyang Zainudin dan juga tempat bertemunya ia dengan Hayati. Tempat lain yang disinggahi oleh Zainudin seperti Padang Panjang, Jawa/ Batavia saat ia merantau hingga ia menjadi seseorang yang berhasil secara materi.
Novel ini juga menggunakan gaya bahasa melayu dan juga menggunakan beberapa bahasa Minangkabau yang tertuang dalam surat-surat yang dituliskan oleh para tokoh.
Pesan moral dalam novel ini cinta memang sesuatu yang indah,tetapi jangan sampai cinta mebuat kita putus asa. Akhlak adalah hal yang paling utama bagi seseorang. Memegang teguh adat istiadat dan jangan mudah terbawa oleh mode dari luar yang belum tentu cocok dengan kehidupan yang dijalani. Dan yang pasti cinta sejati itu ditentukan oleh takdir Yang Maha Kuasa.
Description: Pelajaran Bahasa Indonesia dan karya sastra Indonesia adalah satu kesatuan. Di mana pembaca dapat mempelajari, menghayati dan juga menikmati, baik itu sebagai seorang guru atau pun seorang murid. Di dalam sebuah karya satra banyak hal yang bisa didapat, seperti mengembangkan kemampuan, membentuk watak dan beradaban bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi individdu yang sosial dalam kehidupan, berakhlak, sehat, mandiri, kreatif serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Paragraf di atas adalah sebuah kutipan yang saya dapatkan dari kata pengantar sebuah buku di sebuah portal buku on line yaitu padi.qbaca.com. Buku yang telah lama terbit, mengandung sebuah karya sastra Indonesia yang menarik, yang memberikan berbagai informasi tetang adat istiadat, tata krama dan juga sebuah kisah cinta.
Keberadaan portal buku on line ini tentu sangat membantu bagi pecinta buku. Selain itu juga mampu meningkatkan minat membaca di masyarakat. Karena membaca itu bukan hanya di dapat dari melahap lembar demi lembaran kertas bertinta. Tapi juga dapat kita akses dengan mudah melalui ponsel yang kita punya.
Resensi ini saya buat setelah membaca karya sastra Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk di portal buku on line padi.qbca.com.
|
Title: Room
Category: Cerita Pendek
Text:
Room
Kebaikan bisa mengubah segalanya, katamu. Termasuk cinta. Ya, aku bisa jadi setuju jika kau katakan itu di hadapanku dua puluh tahun silam. Bukan di saat sekarang, ketika aku tidak lagi bersepakat dengan banyak hal termasuk tentang kebaikan yang hanya berjarak sesenti dari ketidakberdayaan.
Lagipula untuk apa? Di dunia ini kau tidak selalu harus menjadi orang baik untuk bisa dicintai.
Dan juga, bukankah ditakuti lebih baik daripada dicintai?
“Katakan padaku bahwa kau mencintaiku.”
“Kumohon, jangan lakukan ini padaku.”
“Katakan kau mencintaiku atau kuledakkan kepalamu.”
“Aku.. Aku mencintaimu.”
“Aku juga.”
­_
Seberkas cahaya menembus kaca jendela kemudian menikam kelopak mataku. Sedetik kemudian aku menggeliat di atas double bed sambil mengerang panjang. Aku mengibas ujung blonde hair yang menempel di dadaku dengan sebelah tangan sambil mengerjap perlahan, setelahnya kudapati diriku yang ternyata begitu polos. Tidak dibalut sehelai benang pun. Selimut yang kukenakan semalam sepertinya merosot ke kolong tempat tidur. Ah, biarkan saja, kepala ini masih terlalu berat untuk bangun dan mengambil sesuatu untuk membungkus lekukan padatku yang begitu digilai para lelaki. Salah satunya, anak muda yang semalam mabuk kepayang oleh dua hal, alkohol dan tubuhku. Aku tahu ia sudah lama menginginkan momen bercinta sejak pertama kali kami bertemu di klub malam. Berawal dari tatapan yang tak disengaja, yang kemudian ia berpikir, ketika aku menatapnya untuk kedua kali adalah sebuah isyarat untuk segera mendekat dan duduk di sebelahku. Terlalu percaya diri. Walau sebenarnya malam itu aku memang sedang ingin-inginnya berkencan.
Siapa yang tidak menginginkan Annelise? Perempuan cantik, cerdas dan kaya sepertiku sudah pasti akan membuat siapa saja hilang kesadaran. Usiaku benar sudah menginjak kepala empat namun bisa kupastikan lelaki yang tadinya begitu kau percayai, akan berpaling juga meski aku baru mengajaknya mengobrol barang satu dua menit. Dan pemuda itu sama saja. Maksudku, ia tak jauh beda dengan orang-orang yang pernah kukencani. Terlalu liar dan cepat mabuk. Padahal aku tipikal perempuan yang lebih suka berdiskusi daripada berdisko. Meski pada akhirnya semua kisah selalu berakhir di atas ranjang.
Seperti semalam, untuk pertama kalinya aku mengajak pemuda itu bertamu di rumahku yang megah. Sebelum mabuk dan melorotkan mini dress-ku, aku sempat bertanya apa yang ia sukai dariku dan jawaban yang sudah kuduga aromanya menguar dari sepasang mata yang penuh birahi. Bukan hanya cairan alkohol, bukan hanya kemolekan tubuh ini, keparat itu juga mabuk karena hal lain.
Mengingat hal konyol semacam itu selalu membuatku geli. Bagaimana mungkin sebuah adegan percintaan terjadi tanpa cinta di dalamnya? Tidak, segala hal yang dilakukan seseorang tentunya didasari oleh cinta. Seperti para lelaki yang pernah bersanggama denganku di kamar ini, mereka semua jatuh cinta padaku. Setidaknya dengan sebuah alasan, jika tidak dengan tubuhku, mungkin dengan uang yang kumiliki. Atau keduanya.
_
Aku mengerang sekali lagi dan melirik jam di meja. Pukul 10:36 AM. Terang saja aku merasa begitu lapar dan juga ingin segera bertemu Jean. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Aku segera bangkit dan mengenakan lingerie berwarna hitam. Sepasang kaki jenjangku melangkahi mayat dengan selimut berlumur darah yang kutudungkan sembarangan di atasnya. Pintu terbuka, seorang berkepala plontos berdiri gagah di baliknya.
“Kau mencariku?” Tanyanya.
Aku tersenyum kecil sambil menggigit bibir.
“Haruskah kupersiapkan sekarang liang lahat untuk lelaki di dalam?” Sosok itu berbicara tanpa tergoda meluaskan pandangan ke arahku yang tampak transparan.
“Bagaimana kau tahu dia sudah mati, Jean?” Tanyaku padanya yang sekilas mirip Vin Diesel. Kekar dan berkharisma.
“Karena tidak seorang pun yang keluar dari kamarmu dalam keadaan hidup-hidup.”
“Cah tampanku yang cerdas. Bereskan bangkai itu secepatnya dan pastikan tidak ada barang bukti yang tersisa.”
Jean mengangguk mantap. Aku mendekat dua langkah lalu mendekatkan bibir ke arahnya.
“Setelahnya, temani kekasihmu ini sarapan.” Bisikku dengan sangat lembut.
-
Kurasa usianya sekitar sepuluh tahun ketika aku membawa Jean ke rumah ini. Dia bukan kekasihku. Tapi aku juga tak begitu suka menyebutnya sebagai anak buah. Bagiku posisi Jean jauh lebih tinggi dibanding para pelayan dan bodyguard yang kumiliki. Selama ini, hanya Jean yang boleh duduk dan makan bersamaku. Hanya Jean yang boleh memanggilku tanpa menyebut ‘nyonya’. Hanya Jean yang boleh bercanda denganku. Hanya Jean yang boleh memakai baju mandiku. Jean juga bebas menggunakan kendaraan dan fasilitas lain yang kumiliki. Hanya Jean yang boleh menyentuh pistolku. Dan yang leluasa memelukku, hanya Jean.
Mengapa?
Sejak ia menjajakkan kaki kecilnya dan berlarian di rumah ini, aku akhirnya mendapatkan setitik kebahagian yang disisakan takdir. Jean kecil adalah alasanku bertahan ketika pikiran untuk mengakhiri hidup tak hentinya berkelindan setiap waktu. Jean sama sepertiku. Seorang yatim piatu. Itulah mengapa ketika aku menatap bola matanya yang bening, aku merasa seperti sedang menatap diriku sendiri. Diriku yang malang.
“Tenanglah, ada aku.”
Dulu, Jean amat sering membisikkan kalimat itu, yang acapkali berhasil melukis senyum pada bibir dan mataku. Mataku yang sembap. Jean yang baik, Jean yang penurut. Ia sekalipun tak pernah membantah perkataan dan selalu melaksanakan apa yang kuperintahkan. Jadi, jangan tanya mengapa aku begitu mengandalkan cah tampanku itu. Walaupun kini sebagian orang mengenalku sebagai pemimpin sekelompok manusia yang tidak lagi memiliki nurani, walaupun semenakutkan itu, Jean tak pernah meninggalkanku. Dan satu-satunya hal baik yang pernah kulakukan semenjak menjadi seorang pembunuh adalah aku tidak pernah menyakiti Jean.
“Kau ingin waffle lagi, Anne?” Pertanyaan Jean membuyarkan ingatanku. Lelaki itu tersenyum samar. Aku menggeleng lalu memperhatikan wajahnya lamat-lamat. Terkesiap. Setelah beberapa tahun, baru kusadari bahwa Jean bukan hanya mirip aktor Hollywood tapi juga sudah berubah menjadi lelaki dewasa.
“Jean bukan bocah mungilku lagi.” Gumamku pelan tapi terdengar olehnya.
“Tapi kau masih Anneku yang dulu, Anneku yang suka melenyapkan nyawa orang lain.”
“Mereka semua adalah penjahat dan bukan kesalahan jika aku menghabisinya. Aku hanya membunuh binatang, bukan manusia. Kau jelas tahu, lelaki yang senang bermain gila dan menyakiti perempuan adalah binatang.”
“Lagipula sudah takdir mereka,” Lanjutku.
“Sejak kapan membunuh adalah takdir?”
“Jean, kita sudah melakukan hal yang benar.”
“Lalu mengapa kau membiarkan orang lain tidur di kamarmu sedangkan aku tidak? Bukankah aku kekasihmu?”
“Ya. kau kekasihku. Kau memang kekasihku.”
--
Sebuah ciuman batal mendarat karena bibir di hadapanku malah bergerak seolah memerintahku untuk menoleh ke belakang. Jean berada di ambang pintu dengan tatapan yang sulit kuterka. Kurasa ia belum lama mematung di sana mengingat aku pun baru saja masuk bersama pemuda yang kesekian, yang sebentar lagi disapa maut.
“Siapa dia?” Tanya pemuda itu.
“Bukan siapa-siapa. Kemarilah, Jean.”
Jean mendekat dan berdiri satu meter di hadapan kami. Ia mengeluarkan sebuah Beretta m-92 dari saku celananya lalu menyodorkannya padaku. Pemuda disebelahku tergagap sembari melangkah mundur.
“Ap—Apa yang akan kalian lakukan?”
Aku sigap meraih dan membiarkan pistol itu menjawab. Sebuah peluru kini bertengger di dahi pemuda itu. Satu lagi bangkai dengan mata melotot malam ini.
“Maaf aku lancang masuk ke kamarmu. Aku hanya berpikir, pistol itu mungkin saja kau butuhkan,” Ujar Jean.
Aku tertawa lalu tak sengaja menjatuhkan pandangan ke sebuah gambar yang mirip tattoo di lengannya. Tidak begitu jelas bentuknya karena terhalang kaus yang ia kenakan. Tak menunggu lama, aku segera meraih tangan dan menyingkap lengan baju Jean.
“Apa ini?” Tanyaku.
Ia tak menjawab. Hanya memunggungiku lalu melepas pakaiannya untuk memperlihatkan goresan-goresan berwarna hitam itu. Cukup lebar, dari lengan, tengkuk bersambung hingga ke tengah punggungnya. Sekilas seperti tulisan sansekerta. Ia memutar tubuhnya. Mataku membola memperhatikan garis lekuk otot dan dada bidangnya. Jean menyihirku saat itu juga.
“Apa arti tulisannya?”
“Namamu,” Sahut Jean dengan mata berbinar.
Jawabannya mengukir senyum yang tak biasa di bibirku. Aku lalu mengusap lembut rambut tipis di sekitar wajah lelaki itu.
“Terima kasih,” Kataku.
Jean lalu meraih telapak tanganku dan menciumnya. Darimana datangnya debar aneh ini?
“Bolehkah aku mencium bibirmu juga?”
Jean tak menunggu jawaban, ia menarik tubuhku lalu menjatuhkan bibirnya. Salju. Pikiranku langsung menebak rasa dari lumatan bibir Jean. Dingin dan lembut. Dentuman dadaku semakin meriah. Jantung ini memompa lebih kencang hingga membuatku lebih keras berpeluh dalam peluk. Hanya sebentar saja, aku segera mendorong Jean lalu menariknya kembali. Melumatnya lagi dengan lebih bergairah. Jean, harusnya ia tidak melakukan ini padaku. Aku jatuh cinta dan dia akan menyesal.
Bentakan peluru mendengingkan telingaku kemudian. Seluruh anggota badan di hadapanku mendadak gemetar. Bisa kusaksikan dengan jelas warna mata Jean yang berubah merah. Cengkeraman Jean mengeras dan sebelah tangannya sigap menjambak rambutku. Aku menyeringai lebar.
“Jean, untuk waktu yang lama aku tidak tahu alasan mengapa ayah membunuh ibuku. Dan—” Suaraku tercekat namun aku tetap berusaha melanjutkan.
"Dan ketika aku membawa keparat itu ke kamar ini lalu membiarkannya keluar dengan tidak membawa apa-apa selain bau kematian, aku sadar bahwa aku telah melakukan hal yang benar."
“Sebab seiring berjalannya waktu, aku akhirnya paham bahwa para pemuda membuatku jatuh cinta padahal mereka tidak menginginkan cintaku sama sekali. Bukankah itu sebuah kejahatan? Maka aku membunuh sebelum mereka benar-benar membuktikan bahwa mereka memang tidak mencintaiku sementara aku mencintainya. Jean, hanya orang yang mencintaimu yang mampu membunuhmu."
Kini pipiku telah basah namun mataku tetap tersenyum melihat lelaki yang baru saja membuatku jatuh cinta itu kehabisan napas. Aku menyeringai lebar sambil melepas peluk. Aku terpaku menyaksikan dadanya memuntahkan darah segar. Jean menatapku dengan ekspresi menyedihkan. Mulutnya menganga seolah sedang berusaha mengatakan sesuatu.
Sedetik setelah ia melontarkan kalimatnya, aku melepas pelatuk dan membiarkan peluru bersarang di rongga mulutnya, membuat mata yang dulu begitu kusukai membelalak.
“Kau bilang itu namaku? Untuk kebohongan yang sia-sia, seharusnya kau tidak perlu meminta maaf, Jean.”
Dengan mata basah, aku tertawa terbahak di dalam ruangan megah beraroma darah ini, tempat di mana surga dan neraka saling berpelukan. Jika ada yang menginginkan Annelise, katakan,
I’m waiting in my room..
End-
Description: Tidak ada manusia baik dan manusia jahat. Semua hanya tergantung apakah mereka sedang bersepakat dengan pemikiranmu atau sebaliknya. Ketahuilah, di dunia ini, baik atau jahat tidak lebih dari sebuah permainan pikiran.
-Mayounice.
|
Title: REVIEW NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK
Category: Review
Text:
Review Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Judul : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Pengarang : Hamka
Genre : Novel kesusastraan
Penerbit : Cetakan pertama (1939) dan cet-2 (1949) hingga pada cetakan ke 7 diterbitkan oleh Balai Pustaka
Kota Terbit : Jakarta
Novel dengan judul “Tenggelamnya Kapal Van Der wijck” merupakan salah satu novel populer pada zamannya. Isi ceritanya mengambil kisah nyata yang memang pernah terjadi yaitu tenggelamnya sebuah kapal muatan di pantai utara Lamongan pada tanggal 20 Oktober 1936, tepatnya di kecamata Brondong. Saat ini juga telah dibuatkan sebuah monumen van der wijck di dekat pelabuhan Brondong untuk mengenang tragedi memilukan tersebut. Pada review novel ini akan terbagi menjadi dua ulasan utama, pertama tentang sejarah kehidupan semasa muda tokoh utama yang dihabiskan di Sulawesi dan Sematera, kisah tersebut tergambar sebagai berikut.
Zainuddin remaja 19 lahir di mengkasar hasil buah cinta selama 4 tahun seorang pemuda bernama pendekar sutan dengan perawan keturunan bangsa melayu bernama Daeng Habibah. Dalam perkembangannya Zainuddin tumbuh besar oleh seorang ibu pengasuh bernama emak base, Zainuddi mendengarkan hikayat yang disampaikan oleh emak base tentang ibu dan bapaknya yang meninggal dunia. Ibunya meninggal pada saat Zainudin masih berusia 9 bulan karena sebuah penyakit pernafasan. Sepeninggalan ibunya, udin diasuh oleh bapaknya (pendekar sutan) yang sangat mencintai istrinya. Telah banyak tawaran bagi bapaknya untuk kawin lagi dan balik pulang ke tanah minang, tapi dia menolak karena rasa cinta kepada istrinya sangatlah mendalam. "Separo dari hatinya dibawa ibumu ke kuburan, dia tinggal di dunia ini dengan hati yang separo lagi.", kata yang diucapkan oleh emak base ini merupakan ungkapan dari bapaknya udin kepada ibunya yang telah meninggal. Zainudin akhirnya menjadi yatim piatu sebelum tumbuh besar setelah bapaknya meninggal dunia saat sedang duduk sembayang diatas tikar. Zainuddin memutuskan untuk meninggalkan mekasang tempat dia dibesarkan untuk pergi merantau ke negeri nenek moyangnya yaitu di Minangkabau, disana dia ingin menimbah ilmu dan agama sesuai dengan pesan dari sang ayah. Zainuddin juga perlu ke Minangkabau untuk bertemu dengan neneknya berharap dapat diterima untuk tinggal disana. Namun mimpi hanya sekedar mimpi, bukan malah diterima dengan baik di rumah neneknya Zainuddin justru harus rela menerima rasa kecewa karena tidak dianggap disana, dan akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah sang nenek.
Kisah asmara muncul ditengah kesedihan dan kenestapaan yang menyelimuti kehidupan Zainuddin semasa tinggal di tanah Minang. Asmara datang pada sosok perempuan cantik bernama Hayati yang merupakan gadis perawan. Pertemuan mereka berawal dari sebuah payung dan hujan yang muncul ditengah kepedihan yang dialami oleh Zainuddin, dari payung dan hujan akhirnya berlanjut kesebuah surat yang menandakan gelora asmara yang mulai tumbuh diantara keduanya. Surat yang membuat Zainuddin susah tidur ditulis langsung oleh Hayati yang berbunyi :
Tuan Zainuddin
Bersamaan dengan anak ini saya kirimkan kembali payung yang telah saya pinjam kemaren. Alangkah besar terima kasih saya atas pertolongan itu, tak dapat di sini saya nyatakan. Pertama, di waktu hari hujan saya tak bersedia payung, tuan telah sudi berbasah-basah untuk memeliharakan diri seorang anak perempuan yang belum tuan kenal. Kedua, kesyukuran saya lebih lagi dapat berkenalan dan bersahutan mulut dengan tuan, orang yang "selama ini terkenal baik budi. Sehingga bukan saja rupanya hujan mendatangkan basah, tetapi mendatangkan rahmat.
Moga-moga pada suatu waktu kelak, dapatlah saya membalas budi tuan.
Drama percintaan terjadi diantara Zainuddin dan Hayati, balas membalas surat terjadi dan berlangsung lama hingga pada akhirnya Hayati menginginkan kejelasan isi surat yang di tulis Zainuddin dengan mengajaknya bertemu dikala sore tiba. Pertemuan tersaji dengan tetesan air mata seorang Hayati, bukan karena dia tersakiti secara fisik oleh Zainuddin tapi karena dia hanya seorang gadis yang takut untuk bercinta-cintaan. Drama terus berlanjut hingga akhirnya Hayati memutuskan untuk menolak tawaran dari Zainuddin dengan sebuah perkataan yang sangat halus.
"Segala perkataan tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan tertawanya, tiba-tiba kita diberinya tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita tempuh."
"Jadi ........?"
"Lebih baik kita tinggal bersahabat saja."
Perkataan Hayati merupakan titik awal drama cinta antara dia dan Zainuddin memang tak bisa bersama, sempat memang Hayati menerima cinta Zainuddin setelah dia menarik kembali perkataannya tersebut. Seiring berjalannya waktu drama asmara antara dua insan tersebut terus berlanjut dan semakin berlikuh, kepergian Zainuddin untuk menimbah agama, tradisi dan kesukuan dari Hayati yang menolak keberadaan Zainuddin serta pertemuan Hayati dengan seorang bernama Aziz membuat perjuangan cintanya kepada Zainuddin memudar. Keluarga, adat dan tradisi suku menghendaki Hayati untuk menerima lamaran yang datang dari Aziz, dan dengan berat Hayati memilih untuk mentaati tradisi dari sukunya daripada mempertahankan percintaannya dengan Zainuddin.
"Bagaimana ......yang akan baik kata ninik-mamak raja ....... saya menurut!"
Perkataan tersebut menjadi akhir dari percintaan Hayati dan Zainuddin, surat lamaran dari Zainuddin ditolak dan lebih memilih lamaran dari Aziz. Seluruh keluarga bersorak atas pernyataan Hayati dengan mengucap syukur atas peristiwa yang telah terjadi.
"Alhamdulillah," ujar yang hadir. Do'a pun dibacakan. Apakah lagi jalan yang lain yang harus dipilihnya lain dari pada itu. Dia menyerah kepada takdir, terpaksa mungkir akan janjinya yang terdorong, sebagaimana kebanyakan anak-anak perempuan yang lain juga, sebab yang memutuskan janji bukan dia, hidupnya tersangkut dengan keluarganya ........
Ulasan kedua menceritakan kehidupan Zainuddin setelah meninggalkan Sumatera dan pergi ke tanah Jawa untuk mengadu nasib menjadi orang sukses setelah hati dan hidupnya tercabik semasa masih hidup di Sumatera.
"Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih maslahat bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan ditempuh di zaman depan, saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke tanah Jawa. Di tanah Jawa nasehat bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula kalau Padang Panjang kelihatan juga, pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!"
Perkataan tersebut menandai awal perjalanan Zainuddin ke tanah Jawa untuk melupakah kisah cintanya dengan Hayati yang kandas karena tradisi dan penolakan yang teramat menyakitkan. Di tanah Jawa dia merantau bersama sahabat bernama bang Muluk, Zainuddin merengku sukses sebagai penyair dan penulis setelah hijrah ke Surabaya. Letter “Z” atau sering dikenal dengan tuan Shabir merupakan panggilan baru Zainuddin di kalangan para penyair maupun masyarakat yang mengikuti karya-karyanya. Surabaya menjadi tempat pertemuannya kembali dengan Hayati dan Aziz yang tidak lain adalah suami dari Hayati. Di Surabaya juga Aziz meninggalkan Hayati untuk tinggal sementara di rumah Zainuddin sementara dia pergi ke Banyuwangi untuk mencari pekerjaan baru dan hingga pada akhirnya dia sekarat tak dapat pekerjaan dan kemudian menceraikan Hayati.
Kebahagiaan Hayati di Jawa memang tak semanis hidupnya dulu di Sumatera, setelah diceraikan oleh Aziz, dia yang kembali mengharap cinta dari Zainuddin juga mengalami penolakan yang teramat mendalam. Zainuddin memang bukanlah yang dulu saat masih tinggal susah di Sumatera, dia sekarang lebih tegas, lebih kaya dan mapan dalam segala urusan.
"siapakah diantara kata yang kejam? Bukankah kau telah berjanji, seketika saya diusir ninik mamakmu, sebab saya tak tentu asal, orang hina dina, tidak tulen Minangkabau”.
Salah satu perkataan Zainuddin yang disampaikan kepada Hayati tersebut menjadi bagian dari penderitaan Hayati yang ditolak mentah-mentah cintanya oleh Zainuddin yang telah berjanji kepada Hayati semenjak dia bilang dalam suratnya penolakan lamaran“ubahlah cinta menjadi sebuah persahabatan saja”. Perasaan cinta dari seorang Zainudin kepada Hayati memang sangatlah mendalam, walaupun dia telah menolak untuk balikan dengan Hayati namun dia tetap menjaga Hayati selama tinggal dirumahnya. Pada akhirnya Hayati harus menerima kenyataan bahwa Zainuddin memintanya untuk pulang ke tanah minang, karena dianggapnya hidup Hayati akan jauh lebih makmur disana dari pada harus menahan paitnya hidup di Surabaya dengan dia.
PAGI-PAGI hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van der Wijck yang menjalani ijin K.P.M. dari Mengkasar telah berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak dan Dengan kapal itulah Hayati akan menumpang. Demikian putusan yang telah diambil oleh Zainuddin.
Penggalan kata tersebut menandakan jalan hidup Hayati di Surabaya harus berakhir dan dia kembali ke tanah asalnya di Sumatera. Berat hatinya meninggalkan Surabaya dan cintanya kepada Zainuddin, tidak ada rasa benci yang terpancar diwajahnya terhadap Zainuddin. Hanya air mata yang sesekali menetes mengiringi kepergiannya untuk pulang dan meninggalkan Zainuddin, dan sebelum kapal berangkat dia sempatkan menitipkan sebuah surat kepada bang Muluk untuk diberikan kepada Zainuddin. Setelah pulang dari Malang, Zainuddin tersadar bahwa hatinya terlalu terbawa dendam masa lalu sehingga memaksanya untuk meminta Hayati pulang. Namun nasib telah berkata lain, Hayati telah pergi dan hanya meninggalkan sebuah pesan yang tersurat.
Zainuddin! Kalau saya tak ada, hidupmu tidak juga akan beruntung, percayalah !
Di dalam jiwaku ada suatu kekayaan besar yang engkau sangat perlu kepadanya, dan kekayaan itu belum pernah kuberikan kepada orang lain, wulaupun kepada Aziz, ialah kekayaan cinta. Saya tahu bahwa engkau keku nangan itu. Saya merasa bahwa saya sanggup memberimu bahagia pada tiap-tiap saat hidupmu, yang tiada seorang perempuan agaknya yang sanggup menandingi saya di dalam alam ini dalam kesetiaan memegangnya, sebab sudah lebih dahulu digiling oleh sengsara dan kedukaan, dipupuk dengan air mata dan penderitaan.
Kata tersebut merupakan penggalan dari isi surat yang dituliskan Hayati kepada Zainuddin, pesan itulah yang menjadi akhir dari kisah cinta pilu antara kedua anak manusia tersebut. Pada tanggal 20 Oktober pukul 1 malam kapal van der wijck yang ditumpangi oleh Hayati tenggelam di perairan lepas daerah Lamongan, 59 penumpang dari kapal tersebut belum ditemukan, sebagian telah meregang nyawa, ada juga yang dapat diselamatkan oleh warga dan di bawa ke jururawat. Hayati yang sempat diselamatkan oleh salah seorang warga akhirnya harus meregang nyawa setelah mengalami pendarahan parah di kepalanya.
"Sabar ........ Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku ! Cuma, jika kumati. ........ hatiku telah senang, sebab, telah kuketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!".
Perkataan terakhir Hayati kepada Zainuddin yang meremukkan hati lelaki tersebut, permintaan terakhir dari Hayati adalah dibacakan dua kalimat syahadat dan dibacakanlah 3 kali kalimat syahadat oleh Zainuddin yang mengiringi kepergian sang kekasih untuk selamanya. Setelah meninggalnya Hayati kehidupan Zainuddin menjadi tidak teratur dan sering sakit-sakitan hingga pada akhirnya setahun setelah meninggalnya Hayati, kematian menghampiri Zainuddin. Pengarang terkenal itu meninggal karena sakit, segala harta benda diwasiatkan untuk bang muluk karena dia tidak punya istri dan anak maupun keluarga lainnya. Zainuddin dimakamkan disamping pusara Hayati, dan itulah tempat abadi dari sebuah cinta sejati yang tidak pernah terjalin secara sah namun selalu suci.
Cerita novel ini menggambarkan tentang nilai yang dipegang oleh sebuah masyarakat, adat istiadat, tradisi yang sangat kental dan mengakar menjadi ciri khas dari berbagai daerah di Indonesia. Kisah ini menjelaskan bahwa perjuangan cinta tak semulus yang dibayangkan, perbedaan keyakinan, tradisi, suku, silsilah keluarga, dan harta benda menjadi penghalang yang sulit untuk dihadapi oleh seseorang yang sedang mencinta. Banyak diantara cinta mereka yang kandas hanya karena adanya perbedaan tersebut, namun ada pula yang nekad menerjang penghalang tersebut dengan cara-cara yang sebenarnya tidak dibenarkan secara moral dan norma di masyarakat. Novel ini tidak hanya menceritakan tentang pilunya peristiwa tenggelamnya kapal mewah yang terjadi sekitar jaman Indonesia belum merdeka dulu, namun novel ini juga bercerita tentang perjuangan hidup seorang pemuda dalam mencari keadilan, bertahan hidup, dan mencapai masa depan yang diinginkan.
Kisah pilu tenggelamnya kapal van der wijck tidak hanya dapat dikenang dalam novel ini saja, karena di tempat kejadian tenggelamnya kapal ini yaitu di Brondong, Lamongan telah dibuatkan sebuah monumen van der wijck untuk memberikan pengetahuan sejarah kepada masyarakat bahwa daerah tersebut menjadi saksi bisu peristiwa tersebut.
Description: Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" menceritakan tentang perjuangan seseorang untuk mendapatkan pengakuan, impian dan harapan tentang cinta sejati. Dalam kesempatan kali ini penulis akan melakukan review terhadap novel tersebut, dan diharapkan review ini dapat memberikan gambaran cerita yang memantik minat pembaca terhadap novel ini.
|
Title: Rindu sang penolong cahaya
Category: Fantasi
Text:
Rindu sang penolong cahaya
Pada suatu hari ada seekor kucing yang tertabrak motor di jalan. Saat itu Cahaya melihat kejadian itu dan segera menolong kucing tersebut lalu dibawa ke rumah. Kemudian di rawatnya di rumah sampai sembuh. Setiap hari Cahaya memberi makan, mengobati luka pada bagian kaki kucing.
Akhirnya setelah di rawat dengan baik oleh Cahaya, si Kucing sembuh. Setiap hari Cahaya bermain dan bersenang senang dengan kucing itu,kucingnya dia beri nama Rindu. Suatu hari Cahaya jatuh sakit, dia mengalami demam tinggi yang mengakibatkan kelumpuhan pada kakinya sehingga tidak bisa beraktifitas seperti biasanya.
Setiap harinya Cahaya selalu mencari kayu bakar kering di sekitar rumahnya yang masih hutan belantara, tetapi keajaiban terjadi pada si Rindu, Rindu yang selama ini di rawatnya dan dianggap seperti saudaranya oleh Cahaya ternyata adalah seekor kucing yang luar biasa.
Rindu mampu mencarikan kayu bakar yang akan digunakan untuk Cahaya memasak dan bahkan Cahaya sangat terkejut ketika Rindu bisa berbicara dan menanyakan keadaan Cahaya.
“ Apakah kakimu masih sakit Cahaya?”
Begitu terkejutnya Cahaya dan langsung memeluk si Rindu dan berkata “ Apakah kamu bisa membantu menyembuhkan kakiku ini?”
Sang Rindu menjawab “ Ya aku akan segera mencari obatnya di hutan.”
Akhirnya sang Rindu mencari obat di tengah hutan. Rindu mendapatkan obatnya setelah hari menjelang senja. Rindu segera pulang dan memberikan obatnya kepada Cahaya. Rindu pun mengobati kaki Cahaya dengan sangat hati hati.
Keesokan harinya Rindu senang melihat Cahaya bisa berjalan kembali. Akhirnya Cahaya bisa berakifitas kembali seperti biasanya.
Lalu suatu hari ketika Cahaya sedang mencari kayu bakar di sekeliling hutan bersama Rindu, tiba tiba ada seekor harimau yang hendak menerkamnya dari kejauhan. Mengetahui hal itu Rindu bersama Cahaya langsung lari dan berlindung di semak semak pohon. Untuk melindungi Cahaya dari cengkraman harimau, Rindu rela mengerjai harimau dengan lari ke arah berlawanan dari Cahaya. Akhirnya si harimaupun mengejar Rindu.
Tetapi melihat keadaannya yang seperti itu, Cahayapun tidak tega melihatnya. Harimau berkata “Awas kau kucing akanku cabik-cabik tubuhmu.” Rindu berkata lebih keras “Ayo kejar aku sampai dapat.“
Cahaya sedih melihat Rindu yang terus dikejar oleh harimau. Di balik berlindungnya, dia berdoa semoga sang Rindu selamat dari cengkraman harimau.
Pada akhirnya sang Rindupun mampu keluar dari cengkraman harimau. Setelah sang Rindu keluar dari cengkraman, dia dengan cerdiknya mampu mengalahkan seekor harimau dengan keajiban yang dia punya. Rindu mencakar dan mencabik tubuh harimau dengan tiada beban. Harimau seakan kehilangan arah akibat perbuatan kucing ajaib itu. Dengan berlumuran darah sang harimaupun akhirnya pergi menjauh entah kemana. Sungguh lega perasaan Cahaya setelah tau sang Rindu baik baik saja.
Sang Rindu dan Cahaya segera bergegas kembali ke rumah. Setelah sampai di rumah, Cahaya kaget melihat kondisi tubuh sang Rindu yang banyak luka akibat bertarung dengan sang harimau. Cahayapun langsung merawat sang Rindu yang kondisinya sangat kritis sambil berkata “ Bangunlah Rindu kamu harus sehat kembali ayo kita bermain main lagi.”
Dengan kondisi yang sangat lemah sang Rindu hanya bisa mengerlipkan matanya seakan berkata “ Aku akan baik baik saja .” Pagi harinya Cahaya sangat bergembira sekali melihat sang Rindu yang sedang berloncat loncat di luar rumah bermain dengan kupu kupu . Cahaya berkata “ Aku senang kamu bisa sehat kembali Rindu”.
“ Yayaya” jawab Rindu
“ Mulai sekarang kita harus selalu bersama sama dalam keadaan apapun aku akan melindungi kamu Rindu.” Kata Cahaya sambil mengelus bulu Rindu.
Akhirnya keadaan kembali normal seperti biasanya. Cahaya yang selalu mencari kayu bakar ditemani sang Rindu si kucing penolong.
Description: Seekor kucing bernama Rindu yang mempunyai kelebihan menolong manusia bernama Cahaya
|
Title: Romantic Irony
Category: Novel
Text:
Adhitama Arshad
Saat Maya berusia 9 tahun, dia telah tumbuh menjadi anak perempuan yang luar biasa. Sesuai dengan harapan kedua orang tuanya, dia sangat luar biasa dalam pendidikan dan bakat yang sangat membanggakan.
Di usianya yang 9 tahun, dia telah menjadi salah satu anak yang mewakili sekolahnya untuk lomba melukis internasional. Dia tidak pernah keluar dari 3 besar di kelasnya, dan adalah anak yang periang dan menyenangkan.
Richard semakin menyukai Maya dan selalu tak sabar untuk selalu bertemu dengan sang cucu setiap kali dia pulang ke rumah.
"Kakek, gimana kabarnya?" Maya tersenyum riang saat dia memeluk kakeknya yang baru saja datang dari Australia.
"Sehat. Bagaimana lomba melukisnya?" Jawab Richard dan menghentikan asistennya yang berusaha untuk melarang dia menggendong Maya.
"Kata pembimbingku aku harus ke Prancis untuk dapat bimbingan yang lebih bagus. Oh, aku menang kok Kakek. Adhyastha tidak boleh kalah dalam perang" Jawab Maya saat Richard terkekeh mendengar perkataan cucunya, dia lalu menggendongnya ke ruang keluarga.
Mona yang duduk di sofa langsung terkejut sangat melihat ayah mertuanya sedang menggendong Maya yang sudah terlalu besar untuk digendong lagi. Dia buru-buru berdiri dan beranjak ke kedua kakek dan cucu itu.
"Ayah, apa Maya tidak berat?" Tanya Mona khawatir.
"Cucuku tidak berat. Jangan bicara yang tidak-tidak" jawab Richard.
Mona mengangguk mengerti dan membiarkan Richard menggendong Maya ke sofa. Selama beberapa tahun terakhir ini, perlakuan Richard sudah tidak terlalu parah lagi. Dia akan menjawab beberapa perkataan Mona, walaupun dia masih tidak ramah dan tidak menatapnya saat berbicara.
"Hari ini aku belajar ilmu penjualan dan laba rugi dari buku Papa. Aku juga baca di laporan kalau saham kita sedang bagus, produk yang Papa sarankan juga penjualannya bagus." Kata Maya saat sang Kakek meletakkannya di sofa.
Richard tersenyum bangga dengan perkataan cucunya tersebut. Perkara laba rugi dan saham bukanlah hal yang harusnya dibicarakan oleh anak berusia 9 tahun. Gilang yang berusia 14 tahun dan sudah SMP bahkan tidak pernah membahas perkara bisnis dengannya. Yang dibahas adalah bagaimana dia baru saja menang lomba berkuda, atau minta dibelikan video game atau gadget terbaru yang bahkan baru akan dirilis untuk dipamerkan ke teman-temannya.
Lisa Adhyastha, cucu perempuannya yang hanya dua tahun lebih tua dari Maya akan menceritakan bagaimana semua orang memujinya karena dia selalu menggunakan baju-baju cantik dan mahal yang dibelikan oleh Richard setiap kali kakeknya itu pulang dari Eropa. Dalam kesempatan lain, dia akan mengingatkan Richard untuk mengadakan pesta ulang tahunnya yang kesebelas di Disneyland Tokyo dan mengundang seluruh teman sekelasnya.
Tapi Maya berbeda. Baru saja minggu lalu, Maya bertanya apakah dia bisa ikut Harison untuk meyakinkan Richard bahwa memberikan beasiswa untuk teman sekelasnya yang selalu juara satu namun kurang mampu untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih baik adalah bentuk investasi yang menjanjikan. Maya bersikeras bahwa nanti temannya tersebut bisa menjadi aset yang bisa membantu perkembangan perusahaan milik Adhyastha di masa depan.
Dan kali ini dia bahkan melaporkan bahwa dia membaca laporan tentang saham dan penjualan produk. Apakah hal semacam itu mungkin dilakukan oleh anak berusia 9 tahun?
"Sebaiknya kamu ke Prancis. Disana sekolah melukisnya lumayan bagus. Kamu bisa jadi lebih hebat nantinya. Bagaimana menurutmu?" Tanya Richard dan mengalihkan pandangannya ke Mona yang sedang menatap bangga ke putrinya. Mona terlihat kaget saat Richard melihat ke arahnya, namun dia langsung menjawab tanpa ragu.
"Kami sangat mendukung pendidikan dan bakat Maya, kalau Maya mau aku akan ikut pindah ke Prancis" jawab Mona. Dia dan suaminya memang sudah setuju akan mendukung jika Maya mau bersekolah di Prancis. Bagi mereka bakat Maya sangat sayang jika tidak diasah, pengajar disini juga menyarankan agar Maya ditangani oleh pengajar yang lebih profesional dan ahli.
"Nggak mau!" Maya berseru dengan nada jengkel, mengagetkan Richard dan Mona serta beberapa asisten rumah tersebut yang kebetulan ada di ruangan.
"Sayang, kenapa teriak-teriak depan kakek?" Mona buru-buru menghampiri Maya yang sangat jarang berteriak dan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sesuatu.
Biasanya Maya adalah anak yang sangat penurut dan selalu berbicara sopan, namun entah kenapa dia kali ini berteriak tak suka, belum lagi dihadapan seorang Richard Adhyastha yang memiliki kepribadian tidak sabaran dan tak bisa ditebak.
"Kalau Maya ke Prancis nanti kakek kesepian. Kakek kan suka gak sehat, Kek nanti kita ke rumah sakit ya. Kakek harus ketemu dokter kan hari ini" Maya melepaskan diri dari Ibunya dan menghampiri Richard lalu memegang tangannya.
Richard kaget luar biasa melihat kelakuan cucunya. Sedikit banyak dia entah kenapa seperti melihat mendiang istrinya yang selalu mengingatkan jadwalnya untuk check up di rumah sakit dulu.
"Apa Maya tak mau jadi pelukis?" tanya Richard
"Maya lebih suka jadi pebisnis seperti Kakek. Adhyastha harus selalu realistis melihat peluang yang lebih menguntungkan." Maya tersenyum bangga setiap kali dia menyebutkan nama Adhyastha.
Richard tertegun, cucu sembilan tahunnya baru saja memberikannya jawaban yang menjelaskan bahwa dia adalah orang realistis dan melihat peluang sebagai pebisnis lebih menguntungkan daripada menjadi seorang pelukis. Belum lagi cucunya itu sangat bangga menjadi seorang Adhyastha dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keluarga yang selalu Richard ajarkan kepadanya. Sedikit demi sedikit Richard menjadi semakin menyayangi Maya dan tertarik untuk menyerahkan posisi yang besar pada Maya di masa depan.
"Baik nona pebisnis. Kalau begitu nanti sore kita ke rumah sakit" ucap Richard dan memeluk Maya yang tertawa kegirangan, meninggalkan Mona yang terlihat bingung sekaligus lega putrinya itu tidak membuat sang kakek marah.
---------------------------
Sore harinya, seperti yang sudah direncanakan. Maya ikut menemani Richard untuk ke rumah sakit. Sementara dia menunggu kakeknya untuk check up, Maya menunggu dengan sabar di tempat bermain yang disediakan khusus untuk anak-anak di salah satu ruangan. Ketika semua anak-anak seusianya sedang bermain dan berlarian kesana kemari, Maya duduk menyendiri sambil mengemut permen lolipop karamel favoritnya di samping jendela. Matanya menatap tulisan-tulisan yang menceritakan tentang cerita favoritnya The Little Mermaid.
Dia selalu menggelengkan kepala karena heran dengan tindakan sang putri duyung saat membaca bagian yang menceritakan bahwa sang putri rela jika sang laki-laki tidak mencintainya dan menjadi buih di lautan.
"Seperti biasa Little Mermaid menyedihkan dan jadi buih di laut" Maya menghela nafas dan menutup bukunya. Dia memutar permen lolipop di mulutnya sebelum mengeluarkan dan menyadari bahwa permen itu hampir habis. Maya menghela nafas lagi karena merasa permennya juga seperti menjadi buih di laut seperti Little Mermaid, diam-diam dia membatin bahwa suatu saat dia harus membuat produk permen lolipop karamel yang porsinya lebih besar.
Saat dia berniat untuk memasukkan bukunya ke dalam tas, matanya menangkap sebuah sosok yang ada di luar jendela. Sesosok anak laki-laki yang terlihat tidak asing baginya, sedang tertunduk lesu di bangku taman.
Merasa kasihan, Maya buru-buru beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruang bermain. Dia menghampiri anak laki-laki tersebut yang ternyata sedang menangis dalam diam.
"Kamu sakit?" Tanya Maya membuat anak laki-laki itu mendongakkan kepalanya kaget dan menatap Maya. Buru-buru dia hapus air mata yang tertera di wajahnya
"Mamaku" jawabnya membuat Maya menaikkan alis dan segera sadar bahwa anak laki-laki itu pernah dia lihat sekolahnya.
"Aku lagi nunggu Kakek. Sepertinya dia sakit parah" Kata Maya lalu duduk di sampingnya.
"Kata dokter Mama sakit parah juga. Mama bilang gak usah khawatir padahal dia ga bisa bangun dari tempat tidur" jawabnya sambil menatap kedua kakinya di tanah.
"Tapi dia pasti berjuang hidup. Kayak kakek yang selalu ke dokter biar bisa sembuh. Kakek berjuang buat keluarga kami. Dia gak kayak Little Mermaid yang jadi buih di laut" Maya merogoh kantong celananya dan menarik permen lolipop yang sepertinya adalah stok terakhir.
Dia menimbang beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk memberikan permen tersebut ke anak laki-laki itu. Sepertinya dia lebih butuh daripadanya saat ini. Maya selalu makan permen saat dia merasa sedih atau khawatir, itu membuatnya merasa tenang saat rasa manis yang dihasilkan karamel menyebar di mulutnya dan meringankan beban di kepalanya.
"Aku Maya" katanya lalu menyodorkan permen karamel itu .
Si anak laki-laki terlihat ragu karena dia tidak begitu suka permen namun akhirnya mengambilnya.
"Aku tahu. Namaku Adhit kelas 4A, kita satu sekolah" katanya sembari membuka bungkusan permen tersebut. Mata Maya langsung membulat karena tekejut, Adhit bukan teman sekelasnya namun benar bahwa dia memang terlihat familiar. Tapi bagaimana dia bisa tahu namanya?
"Adhit kelas 4A? Oh aku tau, si nomor dua" jawab Maya antusias saat dia akhirnya bisa mengingat anak laki-laki di depannya
"Hah? nomor dua? " Adhit terlihat bingung
"Iya, aku tahu karena Benny selalu nomor satu di angkatan kita. Adhitama siapa gitu" katanya polos membuat Adhit menjadi salah tingkah karena namanya hanya diingat karena dia selalu peringkat dua di angkatan kelas mereka
"Adhitama Arshad." katanya mengingatkan
"Ah iya. Benny selalu ngomel karena nilaimu selalu bikin dia takut karena tiap ujian naik terus" Balas Maya mengingat Benny, teman sebangkunya yang selalu sibuk belajar dan membaca di setiap kesempatan.
Saat istirahat dia akan duduk di kursinya dan makan roti bekalnya sambil membaca ulang catatan pelajaran yang akan datang. Benny selalu mengeluh karena nilai Adhit yang walau peringkat dua selalu naik setiap kali ujian, membuat jarak nilai diantara keduanya semakin sempit. Jadi dia bersikeras untuk belajar lebih keras dari sebelumnya, membuat Maya jadi makin kesepian karena Benny selalu jadi teman diskusinya tentang buku-buku ensiklopedia yang dibelikan Ayahnya. Meski demikian Benny adalah satu-satunya temannya yang memperlakukan Maya seperti teman biasa, sedangkan anak-anak lain cenderung menjauh atau takut karena Maya adalah seorang Adhyastha. Tapi Benny berbeda walaupun dia berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja.
"Non Maya!" Sebuah suara memecah suasana diantara mereka saat seorang pengawal Richard berlari-lari kecil untuk menghampiri mereka berdua.
Maya terlihat malas saat dia melihat pengawal itu menghampiri mereka. Segera dia bangkit dan merapikan baju terusan yang dia gunakan, menepuk-nepuk debu di bajunya sebelum memberikan buku Little Mermaid ke Adhit.
"Kupinjamkan, kamu harus baca dan tahu kalau mamamu jauh lebih hebat dibandingkan Little Mermaid yang terkenal itu. Balikin di sekolah ya Adhitama siapa tadi... " Maya menggaruk telinganya saat ia merasa bersalah karena tidak bisa mengingat nama belakang Adhit.
"Adhitama Arshad" jawab Adhit membenarkan lagi. Dia tidak terlalu suka dengan dongeng-dongeng yang selalu dibacakan ibunya sejak kecil, tapi saat Maya meminjamkam buku miliknya dia tahu bahwa Maya hanya berusaha menghibur.
"Oke" Maya menaikkan jempolnya sebelum berbalik dan disambut oleh sang pengawal yang langsung memegang tangan kecilnya, khawatir kalau Maya akan kabur lagi.
"Saya hampir pingsan karena Non Maya gak ada di ruang main. Kalau tuan besar tahu saya pasti bisa dipecat" Pengawal tersebut mengelap keringat dingin yang bercucuran di jidatnya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya tetap memegang Maya yang berjalan riang.
"Om Gino gak mungkin dipecat. Kakek gak bakalan mecat orang yang bisa tahan lebih dari 3 tahun." Maya berusaha menenangkan Gino sang pengawal yang sekarang sedang mengelus dadanya, sedikit merasa lega. Hanya sedikit orang yang bisa bertahan bekerja dengan Richard Adhyastha, tapi jika orang tersebut bisa dia percaya dia tidak akan memecat orang tersebut dengan mudah.
"Non Maya jangan kabur-kabur lagi ya. Saya bisa pingsan mendadak nanti" kata Gino
"Tenang om, kita lagi di rumah sakit kok. Kalo om Gino pingsan nanti Maya panggilin dokter." balas Maya membuat Gino sedikit tersenyum karena perhatian nona kecil di sampingnya itu.
Sementara itu Adhit menatap sosok Maya yang berjalan pergi ke arah gedung rumah sakit. Dia memeluk Little Mermaid di dadanya dan memasukkan permen lolipop karamel ke mulutnya. Segera rasa manis sedikit menenangkannya dari pikiran-pikiran buruk yang tadi menghantuinya. Sepertinya sesekali makan permen enak juga, pikirnya. Dia memutuskan akan segera membaca buku tersebut dan mengembalikannya ke Maya, bagaimanapun juga siapa yang tahu Maya akan marah atau tidak jika dia terlambat mengembalikannya.
Yang dia tahu adalah satu, perkataan ayahnya sebelum dia masuk sekolah setiap tahun. Dia boleh bertingkah, membuat masalah, atau berkelahi di sekolah jika dia terpaksa tapi apapun yang terjadi jangan pernah bermasalah dengan seseorang dengan nama belakang Adhyastha, dan Adhit sangat tahu bahwa yang menghiburnya barusan adalah Maya Adhyastha.
terasah waktu
9 Tahun Kemudian.
Maya melangkahkan kakinya memasuki gedung universitas megah yang terlihat mewah dengan kaca-kaca yang memantulkan sinar matahari. Tangannya memeluk rangkuman catatan kuliah bisnis dan terapan yang menurutnya harus dibahas dengan Benny hari ini . Baru saja dia akan berbelok masuk ke dalam gedung yang akan menjadi tujuannya, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.
"Adhit!" Maya berseru lalu berlari menghampiri Adhit yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya.
Adhitama Arshad telah tumbuh dewasa. Rambut hitamnya dimode ke samping sehingga menampakkan jidatnya. DIa telah tumbuh dua puluh centi lebih tinggi dari Maya dan tubuhnya tegap dengan bahu yang lebar.
Maya juga telah tumbuh dewasa. Rambut panjangnya diikat kebelakang dan gaya berpakaiannya yang dulu sangat feminim telah berubah sedikit. Dia lebih suka menggunakan celana jeans atau celana panjang dibandinkan rok=rok pendek yang merepotkan dan baju terusan yang membuat masalah saat tertiup angina.
"Tunangan Adhit sudah datang nih!" Kata salah satu teman Adhit saat dia melihat Maya menghampiri mereka.
Adhit terlihat bosan namun berusaha tersenyum saat Maya menghampirinya.
"Kok telpon aku ga diangkat?" Tanya Maya sambil merangkul tangan Adhit, dia tersenyum ke kedua teman tunangannya itu sebelum berjalan bersama ke kelas.
"Aku lumayan sibuk. Kemarin ikut ke proyek Papa" Balasnya namun tidak meminta maaf. Adhit memang agak sedikit kaku perihal perhatian ke Maya. Tapi meski demikian toh dia juga bertemu Maya hampir setiap hari dalam 6 tahun terakhir sejak SMP sampai SMA kecuali saat liburan. Tidak menjawab telepon beberapa kali bukanlah suatu kesalahan besar.
Namun dalam sembilan tahun, siapa yang akan menyangka bahwa Maya dan Adhit akan bertunangan. Rasanya baru kemarin saat Adhit berlari terburu-buru ke kelas 4B di jam istirahat dan menghampiri Maya lalu dengan berapi-api bercerita bahwa dia sangat terkejut dengan kematian little mermaid yang sangat sia-sia.
Maya akan bertemu Adhit beberapa kali dalam seminggu di rumah sakit saat mengantar kakeknya yang saat itu harus menjalani operasi besar, dan mereka berdua akan saling menghibur sembari bermain berdua.
Tak terasa saat mereka kelas 6 SD Maya dan Adhit semakin dekat, terutama saat kesehatan ibunya Adhit tidak begitu baik. Maya akan datang untuk membawakan lollipop caramel untuk Adhit dan Adhit akan mengantarkannya ke pintu depan rumah sakit setiap kali Maya selesai berkunjung.
Sayangnya ibu Adhit harus pergi dan itu membuat kepribadiannya sedikit berubah. Dia menjadi lebih pendiam dan sedikit pemarah dengan orang lain. Tapi Maya mengenalnya jauh sebelum itu, dia tetap setia untuk selalu menemaninya, dan Adhit tidak pernah menolak kehadiran Maya.
"Kayaknya aku suka kamu deh" kata Maya suatu hari di musim liburan mereka waktu kelas dua SMP.
"Apa?" Balas Adhit terkejut.
"Habisnya akhir-akhir ini aku selalu mikirin Adhit." jawabnya lagi membuat Adhit yang sedang menulis rangkuman catatannya berhenti dan menatap balik ke Maya yang kebingungan.
"Mungkin cuman perasaan kamu aja" Adhit berusaha berpikir positif. Mana mungkin seorang Maya Adhyastha bisa menyukainya, dan kalaupun hal itu benar Adhit tidak akan menerimanya. Punya hubungan dengan seorang Adhyastha memang tidak buruk, namun dia tidak ingin buru-buru, belum lagi berbagai beban yang akan dia miliki. Satu kesalahan saja bisa berpengaruh dengan investasi yang dibuat Harison ke perusahaan Ayahnya saat tahu bahwa Adhit membantu Maya untuk belajar dan sukses selalu meraih peringkat satu di kelasnya sejak kelas satu SMP. Tentu saja hal itu akan menjadi sulit jika Maya masih sekelas dengan Benny, namun sekarang Adhitlah yang harus berjuang meraih juara satu karena Benny sekelas dengannya.
"Apa jangan-jangan kamu gak suka aku? Aku ngejengkelin ya?" Tanya Maya harap-harap cemas, dia melirik Adhit dengan sedikit salah tingkah.
Rambutnya yang kian panjang terurai ke bahunya, mata bulatnya yang tampak sedikit khawatir dan tangan yang termasuk kecil untuk anak seusia mereka sedang mengenggam pulpen mililnya dengan rasa gugup.
"Kamu cuma cerewet, tapi gak ngejengkelin" Kata Adhit sambil lalu. Dia memutuskan untuk tidak memberikan jawaban yang pasti pada Maya dan melanjutkan rangkuman catatannya.
Namun Maya yang baru pertama kali merasakan perasaan suka tidak memperhatikan hal itu. Untuk anak secerdas dan seberbakat Maya, dia sangat kurang pengalaman dan tidak paham dengan kondisi Adhit yang takut salah dalam memberi jawaban.
Jadi yang terjadi selanjutnya adalah dia akan secara tidak sadar selalu bercerita tentang Adhit ke Ibu dan Ayahnya. Dia akan bercerita bagaimana Adhit membuatnya jengkel karena harus membaca rangkuman catatan matematika sebanyak dua kali, atau menghafal 100 kosa baru kata bahasa Inggris setiap hari. Di lain waktu dia akan memuji Adhit yang jago bermain basket dan sepakbola, berkata dia akan pergi menonton pertandingannya setiap akhir minggu dan telah berjanji akan membawakan bekal untuk seanggota tim.
Hingga akhirnya nama Adhitama Arshad sampai ke telinga Richard Adhyastha.
"Kakek dengar kamu sedang seseorang" Richard bertanya pada suatu malam saat mereka sedang makan malam bersama keluarga besar mereka.
Wajah Maya mendadak merah padam saat Richard melontarkan kata-katanya bak menjatuhkan bom secara tiba-tiba tepat di depan keluarga besar mereka.
Lissa Adhyastha yang duduk disebelah Maya terlihat mengernyit tidak suka saat sang kakek menanyakan hal itu pada Maya. Dia sudah menduga bahwa yang dimaksudkan adalah Adhit, orang yang sedang disukainya sejak tahun lalu.
"Adhit cuman teman kok Kek" Balas Maya malu-malu, membuat Lisa memutar bola matanya.
"Kalian ke mana-mana udah kayak prangko tapi cuman teman?" Kali ini Rissa Adhyastha, kakak Lissa yang berada di seberang Maya melirik curiga kearahnya.
Walaupun dia sudah SMA namun karena mereka bersama-sama sekolah di SMP dan SMA Angkasa Satya, semua rumor yang terjadi pasti akan diketahui walaupun beda jenjang sekolah.
Apalagi rumor tentang seorang Maya Adhyastha sepertinya sangat dekat dengan Adhitama Arshad yang adalah putra pemilik salah satu perusahaan kontraktor yang cukup terkenal. Fakta tersebut membuat banyak orang mulai menyebut-nyebut dan mendekati Adhit dengan maksud dan tujuan agar bisa masuk dalam lingkaran pertemanannya dengan Maya Adhyastha.
"Bagaimana menurut kamu Gilang, tentang teman Maya? Apa kamu tahu siapa dia? " Richard mengarahkan pandangannya ke Gilang yang sibuk dengan makanannya.
Gilang yang bisa merasakan pandangan semua tertuju ke arahnya mengangkat wajah lalu melihat ke arah Richard. Bisa dibilang Gilang tidak terlalu tertarik dengan perihal siapa teman dari saudara atau sepupunya. Tapi meski demikian orang yang dia anggap bisa memberi keuntungan atau kontribusi pada keluarga Adhyastha akan dia ingat.
"Adhitama Arshad, anak pertama dari CEO Arshad Contractors. Aku dengar dia juga lumayan pintar. Proyek terakhir mereka lumayan besar, tahun lalu Om Harison juga masukin investasi kecil-kecilan di perusahaan mereka dan lumayan berkembang. Singkatnya dia gak buruk." Gilang memberi penjelasan yang membuat Maya terkejut.
Bukannya Maya tidak tahu perihal perusahaan keluarga Adhit, tapi dia tidak terlalu memperhatikan semua background dan asal keluarga Adhit. Dia menyukainya murni karna Adhit adalah seorang Adhit. Tapi fakta bahwa Gilang yang terlihat tidak pernah terlalu perduli dengan kkehidupan Maya atau saudaranya yang lain ditambah dia sekarang sudah kelas 3 SMA dan sibuk untuk mendaftar kuliah di Inggris membuat dia terkejut. Apakah ini artinya Gilang diam-diam memperhatikan semua perihal yang berhubungan dengan keluarganya? Maya lalu menoleh ke Kakeknya yang terlihat mengangguk mengerti mendengar perkataan Gilang
"Hmm.. Kalau memang kamu suka sama temanmu itu, gak ada salahnya kalau dibuat serius. Arshad Contractors bukan pilihan yang buruk, walaupun kakek berharap kamu bisa memilih yang lebih" Kata Richard sesaat kemudian, membuat semua orang di meja makan terkejut.
"Ayah, Maya masih smp. Kayaknya belum saatnya." Harison langsung mengutarakan pendapatnya. Dibawah meja, Mona sedang memegang erat tangan suaminya dengan gugup.
Sementara itu Fuad Adhyastha terlihat sedikit gembira dengan keputusan Ayahnya. Dia sempat khawatir karna Richard malah lebih mendahulukan Maya dibandingkan putrinya, Vania yang lebih tua. Tapi memilih Arshad Contractors untuk dijadikan besan memang tidak buruk, dan setidaknya pasangan Gilang, anaknya berasal dari keluarga yang lebih baik.
"Gilang juga dulu masih SMP waktu Ayah ngenalin dia ke putri keluarga Bacharuddin. Sekarang lihat, mereka masih awet dan bisnis dagang export kita jadi yang paling maju. Aku rasa ga ada salahnya Kak Haris, kita bisa buat koneksi dan diresmikan nanti saat mereka sudah lebih dewasa. Seperti Gilang kemarin." Fuad berusaha meyakinkan Harison yang terlihat semakin khawatir.
Maya adalah putri mereka satu-satunya. Tentu saja mereka tidak rela jika anak mereka yang baru berusia 13 tahun itu sudah akan dijodohkan. Mereka tahu hubungan dan pernikahan politik pasti suatu saat akan terjadi pada Maya, namun mereka tidak mengantisipasi hal ini karena Vania, Rissa, dan Lissa Adhyastha ketiga kakak sepupu Maya belum memiliki pasangan.
"Fuad benar. Gimana Haris?" Tanya Richard kepada putera pertamanya itu yang sedang mengenggam erat balik tangan istrinya, meminta persetujuan.
"Aku akan hubungi Mahendra Arshad untuk makan siang besok. Apa Ayah mau ikut?" Tanya Harison akhirnya membuat Richard tersenyum puas dengan keputusan puteranya.
Bagaimanapun menurut Richard hubungan politik, bisnis dan masa depan Adhyastha harus lebih diutamakan dibandingkan perasaan khawatir yang tak berarti. Terlebih Harison tidak boleh mengulangii hal yang sama dengan Maya seperti dia memilih Mona dulu, mungkin itu juga alasan mengapa Harison langsung setuju dengan Ayahnya.
"Tentu saja. Aku harus tahu bagaimana Mahendra Arshad menjalankan perusahaannya. Fuad dan Armand juga harus ikut. Aku butuh penilaian kalian" Kata Richard ke pada kedua putranya yang lain.
"Besok kebetulan aku ada rapat direksi yah, sepertinya tidak bisa" Kata Armand buru-buru. Sejujurnya dia sedikit kecewa dengan keputusannya Ayahnya yang malah mendahulukan Maya untuk mendapatkan pasangan. Apalagi, kedua putrinya Rissa dan Lissa lebih tua dibandingkan Maya.
"Kau harus ikut. Setidaknya kau harus belajar bagaimana memilih pasangan untuk anak-anak keluarga kita. Siapa yang tahu besok-besok giliran Rissa?" Balas Richard membuat Armand langsung berpikir kalau-kalau sebenarnya sang Ayah sudah memiliki kandidat untuk putrinya.
Dan tentu saja kalimat Richard Adhyastha adalah mutlak dan tak boleh dibantah. Dengan persetujuan istrinya yang langsung mengangguk saat ia berusaha meminta persetujuan. Dia akhirnya menyetujui Richard.
Begitulah awal dari pertemuan keluarga Adhyastha dan Arshad yang berujung pada persetujuan kalau Maya dan Adhit akan bertunangan. Mahendra Arshad tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Richard Adhyastha dan dia malah merasa telah memenangkan Jackpot. Tidak sia-sia dia membesarkan putranya yang bebal itu.
Apalagi sejak Ibunya meninggal dan ia menikah lagi. Adhit jadi sangan susah diatur dan tidak mau mendengarkan perkataannya. Namun diluar itu semua dia sangat lega dan bangga karena untuk persoalan memilih pasangan putranya tidak mengecewakan dan bahkan berhasil memikat putri dari keluarga tersohor Adhyastha. Dan jika rumor yang beredar benar, Maya Adhyastha adalah cucu kesayangan Richard. Berbakat, cerdas, dan memiliki kemampuan untuk memimpin keluarga Adhyastha di masa depan, semuanya dimiliki seorang Maya. Belum lagi dengan suntikan dana segar untuk perusahaan yang diberikan Richard sesaat setelah mereka sepakat untuk menjodohkan Maya dan Adhit. Mahendra merasa bahwa dia sangat beruntung hari itu.
Beberapa tahun kemudian, Maya dan Adhit telah resmi menjadi murid universitas di salah satu kampus swasta ternama yang masih berada di yayasan Angkasa Satya. Meski demikian, sebenarnya Maya akan melanjutkan studinya di Inggris semester depan, seperti layaknya semua anak-anak Adhyastha. Karena itu beberapa minggu terakhir ini, Maya akan semakin manja dan dekat ke Adhit.
Dia akan menghubunginya hampir setiap jam saat tidak bersama, dan memintanya bertemu setiap hari terutama jika tidak ada kuliah. Adhit bahkan hampir tidak punya waktu untuk dirinya sendiri.
"Kamu marah?" Tanya Maya saat mereka sampai di kelas dan duduk di bangku kuliah.
Adhit memang hanya diam sejak tadi walaupun Maya sudah bercerita panjang lebar. Dia hanya menghela nafas dan melihat ke belakang Maya dimana kedua temannya sedang mempraktekkan bagaimana Maya bergelayut di lengan Adhit.
"Gak. Kita bahas nanti aja ya. Kuliah udah mau mulai" Kata Adhit membuat Maya sedikit tersadar kalau tunangannya ini sedang tidak mood.
"Oke" Balas Maya tersenyum kecil kearahnya
Dia lalu segera melepaskan tangannya dari lengan Adhit dan duduk tegap di kursinya, menyusun buku2 kuliahnya dengan rapi dan membuka tabletnya untuk menulis catatannya di sana.
Adhit memperhatikannya. Dari samping sosok Maya yang terdiam terlihat cantik dan anggun. Dia terlihat seperti seorang Adhyastha layaknya semua sepupunya yang seperti sulit didekati, misterius, dan memiliki dunia yang berbeda dengan mereka. Namun Adhit tahu bahwa saat Maya serius dan belajar dia memang tidak akan memperdulikan hal yang lainnya kecuali itu memang benar-benar penting. Dan saat-saat itulah saat yang menenangkan untuk Adhit.
Saat dimana dia tidak akan mendengar keluh kesah Maya yang bercerita tentang kekesalannya ke kedua orang tuanya yang tidak mengajaknya berlibur ke Eropa, atau soal Kakeknya yang sering membandingkan prestasi Lisa dengannya, membuat Lisa yang tidak begitu suka dengan Maya menjadi semakin kesal padanya. Maya bersumpah bahwa dia tidak membenci Lisa dan itu semua karena kakeknya yang suka berlebihan memuji di depan Lisa.
Entah kenapa semua cerita-cerita Maya membuatnya mulai bosan, atau entah sejak kapan Adhit mulai malas untuk mengangkat telepon Maya, atau mengajaknya berlibur. Dan entah mengapa dia mulai merasa lelah untuk mendampingi seorang Maya Adhyastha.
bernaung hujan
Maya sangat menyukai hujan. Dia menyukai bagaimana suara tiap tetesan hujan akan bertabrakan dengan atap, atau saat menyentuh permukaan air laut yang terlihat di jendelanya. Dia akan menyandarkan kepalanya di jendela sambil menatap bagaimana langit kelabu yang meneteskan titik demi titik butiran air yang membasahi bumi. Suara angin yang bergemuruh di luar sana entah mengapa bisa menghiburnya, dan sekilas dia bisa mencium aroma tanah yang dibasahi oleh hujan menguar dari balik jendelanya. Ombak yang bergemuruh dan terhempas ke baru karang terlihat dingin dan sedikit menyedihkan, membuat Maya entah kenapa teringat ke cerita favoritnya saat masih kecil, Little Mermaid yang menyedihkan.
Dia sedang berada di salah satu Villa pantai milik temannya untuk berlibur akhir pekan saat semua perkuliahannya telah selesai. Kehidupannya di Inggris sedikit sepi, namun setelah hampir 4 tahun dia hampir terbiasa. Beruntung Benny ada disini, walaupun seringkali Maya akan diacuhkan saat Benny tenggelam dibalik buku materi hukum atau berdiskusi dengan teman-temannya.
Seperti permintaan Maya, Benny berhasil mendapatkan beasiswa dari Yayasan Adhyastha dan bahkan dijanjikan posisi bagus begitu dia selesai studi di perusahaan. Memang benar sebagian besar hal itu adalah karena rekomendasi Maya, namun yayasan juga melakukan seleksi dan menilai Benny sebagai orang yang berkualitas dan memiliki kecerdasan yang luar biasa. Terbukti dengan kegigihannya untuk mengambil dua jurusan di bisnis dan hukum secara bersamaan.
Namun karena itu Benny jadi tidak bisa tinggal di rumah yang disiapkan oleh Yayasan, dia harus tinggal di asrama karena jadwalnya yang super padat. Dia akan menyempatkan diri untuk menyapa Maya di setiap kelas dan mengajaknya makan siang bersama, namun diluar itu dia akan sangat sibuk, membuat Maya sering mengacuhkannya saat dia meminta maaf karena terkadang lupa dengan janji untuk hangout dan sebagainya.
Kali ini pergi berlibur ke villa adalah salah satu dari permintaan maaf Benny. Brianna, teman Benny di kelas hukum yang kebetulan menyukai Benny mengajaknya untuk berlibur ke villa miliknya di pantai bersama beberapa teman lain. Benny setuju asalkan mereka mengizinkan Maya untuk ikut. Awalnya Brianna tidak mau, mengira Maya adalah pacar Benny. Namun setelah menjelaskan bahwa Maya sudah memiliki tunangan dan berbohong sedikit bahwa dia masih sepupu dengan Maya, Brianna langsung setuju.
Maya masih ingat bagaimana Benny mengiklankan bahwa liburan ini akan membuatnya lupa dengan segala kegalauan yang dia rasakan. Namun tentu saja setelah sampai Maya tidak merasakan itu.
Buktinya, saat semua orang sedang asik sendiri dengan pesta kecil mereka di ruang tengah, Maya memilih duduk sendirian di pinggir jendela, beralasan bahwa dia merasa kurang enak badan. Padahal dia hanya merasa kesepian, Lissa yang sudah lulus kuliah sudah pulang dari tahun lalu. Sementara itu dia harus tetap berada di Inggris karena itulah peraturan Richard. Mereka tidak boleh kembali ke Indonesia sampai mereka selesai kuliah. Sesekali Kakek atau orang tuanya akan menjenguknya. Namun di luar itu semua dia merindukan Adhit.
Dia sedikit kecewa karena Adhit hanya menjenguknya 2 kali dalam 4 tahun ini. Belum lagi mereka juga jarang berkomunikasi. Maya merasa sedih karena merasa mungkin Adhit tidak lagi menyanyanginya, atau mungkin dia telah menyukai orang lain. Namun fakta bahwa mereka jarang berkomunikasi dan tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka berdua lebih menyakitinya.
Maya berjanji akan membicarakan ini saat dia pulang ke Indonesia dengan Adhit. Bagaimana 9 tahun bertunangan bukanlah waktu yang singkat untuk Maya. Dia tidak pernah melihat orang lain selain Adhit. Baginya Adhit adalah awal baginya dan dia juga ingin Adhit menjadi orang yang terakhir, walaupun sekarang Maya tidak begitu yakin apakah Adhit juga menginginkan hal yang sama dengannya.
Hujan diluar entah kenapa semakin deras, membuat Maya semakin merasa pilu walaupun dia sangat menyukai hujan. Dinginnya cuaca membuatnya semakin meringkuk dibalik sweater besar yang diberikan Ibunya bulan lalu saat berkunjung. Dia mengingatkan dirinya untuk membeli beberapa oleh-oleh saat pulang ke Indonesia nanti. Sepatu kulit baru untuk ayahnya bekerja, dan tas branded baru yang baru rilis untuk ibunya. Dia sudah mencatat itu semua di list belanjanya bulan depan.
Dia baru saja ingin mengingatkan dirinya untuk membeli tas yang serupa untuk kedua istri pamannya saat Benny terburu-buru mendatanginya dari ruang tengah. Wajahnya nampak panik saat dia akhirnya menemukan sosok Maya yang duduk di pinggir jendela.
"Maya?!" Serunya membuat Maya menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
"HP kamu dimana?" Tanya Benny bahkan sebelum dia sampai ke samping Maya
"Ketinggalan di kamar. Kenapa sih Ben?" Maya bertanya, bingung saat Benny yang biasanya selalu terlihat tenang dan menguasai diri terlihat panik dan sedikit khawatir.
"Sepertinya kita harus ke balik ke London sekarang juga." Benny terlihat semakin panik, dan Maya baru menyadari bahwa dia sudah membawa tas ranselnya yang setengah terbuka dan sedang berusaha menjejalkan sweater hitam miliknya secara paksa sebelum menutup resletingnya.
"Ben kita baru semalam disini. Aku gak enak sama Brianna yang udah ngajak dan.. "
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya Benny langsung menyela
"Pak Gino telpon aku barusan. Kamu harus balik Indonesia malam ini." Benny berkata dengan nada serius, berusaha mencari reaksi yang akan dibuat oleh Maya.
"Apa kakek sakit?" Tanya Maya khawatir, dia segera bangkit dan mulai terlihat panik, membuat Benny sedikit ragu untuk menyampaikan informasi selanjutnya.
"Ben?" Mata Maya mulai berkaca-kaca. Memang kesehatan kakeknya selalu membuatnya khawatir. Operasi besar yang dulu dia lakukan saat kecil adalah hasil dari bujukan Maya. Dia selalu berusaha untuk mengontrol kesehatan Richard saat di Indonesia, namun sekarang saat dia berada di Inggris sudah pasti kakeknya akan mengabaikan nasehat-nasehat dokter yang menurutnya merepotkan.
"Maya.. Sebenarnya.. " Benny terlihat bingung bagaimana menyampaikan berita itu. Dia meraih bahu Maya berusaha untuk menenangkannya yang terlihat mulai berlinang air matanya.
"Kenapa sih Benny?! Aku ga tau kalo kamu ga ngomong!" Seru Maya mulai jengkel karena Benny yang membuatnya frustasi dengan berita yang tidak lengkap mengenai Kakeknya.
Benny menarik nafas sebelum akhirnya mengatakan kalimat yang berat itu.
"Orang tua kamu kecelakaan mobil di Jakarta. Mereka ga selamat Maya." Kata Benny.
Entah apakah itu sudah kehendak takdir atau hanya fenomena alam semata. Petir dan kilat menyambar diluar sana, menemani hujan yang turun semakin deras. Layaknya alunan orkestra yang sambung menyambung dan memilukan hati.
Maya tertegun, tak bisa berkata-kata. Air matanya entah kenapa tertahan dan yang pertama kalinya dia rasakan adalah pikirannya kosong, diikuti dengan kedua kakinya yang terasa lemas, membuatnya merosot ke lantai sebelum Benny bahkan bisa meraihnya.
"Maya? Maya?!" Panggil Benny sambil mengguncang tubuh Maya yang terlihat lunglai dan wajahnya memucat.
Maya tak bisa berpikir apapun. Perkataan Benny terdengar seperti sebuah imajinasi, atau mungkin Maya berharap itu hanya sebuah imajinasi, sebuah perkataan yang sambil lalu dan mungkin tidak pernah terjadi.
"Maya?! " Benny berseru lagi dan kali ini orang-orang di ruang tengah yang dari tadi melihat ke arah mereka berdua mulai berdatangan, khawatir kalau-kalau Maya pingsan .
Namun shock yang dirasakan Maya membuatnya bingung untuk mengeluarkan kata-kata walaupun Benny telah memanggilnya berkali-kali. Benny sedikit takut karena Maya bahkan tidak menangis atau menjawab dirinya.
Lalu tiba-tiba entah apa yang menggerakkan Maya, dia bangkit dari lantai dengan pandangan yang kosong lalu berlari ke pintu depan untuk keluar dari Villa.
"Maya!!! " Benny yang terkejut berusaha meraih Maya namun dia sudah terlanjur berlari keluar villa, dia segera menyusulnya takut jika terjadi apa-apa.
Maya berlari hingga dia mencapai tebing dimana pemandangan lautan akan terlihat sangat indah bagi Maya saat hujan. Namun pemandangan yang biasanya dia lihat sangat indah saat itu terlihat gelap dan kelabu layaknya saat orang lain pada umumnya melihat pemandangan itu. Pemandangan yang biasanya dia sukai itu entah kenapa terlihat menyedihkan di hadapannya dan Maya bisa merasakan goretan-goretan perih mulai terasa di dadanya, diikuti dengan teriakan pilu yang bahkan tak sadar dia keluarkan.
Air matanya mengalir dan Maya memukul dadanya yang terasa sakit bagaikan terhimpit dan sesak seperti seseorang menggenggam organ-organ dalamnya. Teriakan Benny dari kejauhan terbawa hujan dan Maya terjatuh ke tanah, lutunya terasa mati rasa meski dia tahu bahwa ada bebatuan yang menusuk kulitnya.
"Maya!!!" Benny segera memeluk Maya yang menangis pilu, dia takut Maya yang sedang shock bisa melompat dari tebing.
Dan Maya menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Benny, sahabatnya yang paling tulus padanya, yang lebih sering melihat dan memperlakukan Maya sebagai teman dan gadis biasa dan bukan seorang anggota keluarga Adhyaksa. Benny yang saat itu memeluk Maya merasakan bagaimana tubuh Maya bergetar di dalam rangkulannya, dia merasa bersalah. Karena setelah semua yang Maya lakukan untuknya, dia tidak menjadi sahabat yang baik dan selalu ada untuknya. Maya selalu kesepian karena meninggalkan kakek, orang tua, dan Adhit, dan sepupunya yang lain tidak begitu memperdulikannya walaupun mereka sama-sama berkuliah di Inggris.
Lissa dan Vania Adhyastha telah menyebarkan rumor bahwa Maya adalah anggota keluarga Adhyaksa yang kejam dan tak segan-segan menggunakan hartanya untuk menindas dan memperlakukan orang lain dengan buruk, dia juga menyebarkan berita kalau Maya senang merendahkan orang yang tidak mampu dan masuk ke jurusan bisnis kampus mereka karena sogokan dan semua nilainya yang bagus adalah karena Richard Adhyastha adalah salah satu penyumbang terbesar untuk kampus dalam 3 tahun terakhir sejak Maya masuk kuliah.
Hasilnya Maya tidak memiliki teman, beberapa berusaha mendekatinya karena tujuan tertentu tapi Maya tidak pernah menggubrisnya karena tahu alasan mereka. Ini membuat rumor bahwa dia suka merendahkan orang lain menjadi semakin besar.
Benny merasa menyesal karena dia tidak lebih memperhatikan Maya. Memang itu bukanlah kewajibannya saat berkuliah disini, tapi sebagai sahabat seharusnya Benny mampu melakukan itu dan membuat beberapa pengorbanan untuk Maya, sama seperti Maya yang selalu memperjuangkan Benny di depan Yayasan Adhyastha. Dia mengeratkan pelukannya pada Maya dengan perasaan menyesal dan tanpa terasa juga mengalirkan air mata.
Maya yang merasakan pelukan Benny yang semakin mengerat, menggengam lengan baju sahabatnyanya yang juga basah kuyup. Dia mulai merasa kedinginan tapi itu tidak sebesar kesedihannya. Dan ketika luapan kesedihannya itu kian membesar dibawah naungan hujan, Maya mulai merasakan perasaan yang aneh, yang membawanya ke dalam keadaan yang terasa seperti mimpi, dan ketika dia berusaha untuk keluar dari mimpi tersebut yang dia lihat adalah gelap yang menyelimutinya.
bersandar pilu
Pemakaman Harison dan Mona Adhyastha berlangsung tertutup dan media tidak diizinkan untuk meliput. Hanya keluarga besar Adhyastha dan beberapa relasi dekat perusahaan yang hadir dalam pemakaman tersebut. Hujan yang menemani Maya saat berita tentang kedua orang tuanya sampai padanya masih setia menemani hingga disaat ini.
Beruntung pada saat pemakaman, hujan berhenti untuk beberapa waktu sebelum turun lebat seperti tumpahan air tak lama begitu pemakaman selesai.
Maya terduduk di depan taman belakang rumahnya, menatap bunga-bunga favorit milik ibunya diguyur hujan lebat dan kolam koi milik ayahnya mulai terlalu penuh dengan air. Ini pertama kalinya Maya pulang kerumahnya dalma empat tahun terakhir dan untuk pertamakalinya dia merasa sangat kesepian di rumahnya sendiri.
Dia sedikit menyesalkan fakta bahwa dia tidak memiliki saudara, dan membayangkan betapa kesepiannya Mona di rumah ini saat dia berkuliah di Inggris. Dan sekarang saat kedua orang tuanya sudah tidak ada, dia merasa rumah ini seperti terlalu besar untuknya. Padahal kalau dibandingkan dengan rumah kedua Paman atau Kakeknya, rumah ini tidak ada apa-apanya. Rumah Harison Adhyastha hanya memiliki empat kamar tidur dan dua diantaranya digunakan masing-masing oleh asisten pribadi Harison dan Mona. Ukurannya tidak begitu luas dibandingkan posisi Ayahnya yang adalah pewaris utama saham dan harta Adhyastha.
Sekarang dia merasa bahwa dia harus menerima ajakan kakeknya untuk tinggal bersama. Kakeknya juga tinggal sendiri, dan dia tidak mau menyesal dan tidak menghabiskan waktu lebih banyak bersama kakeknya sama seperti dia dengan kedua orangtuanya.
"Maya" Sebuah suara berat memanggil dirinya dengan lembut. Tanpa dilihat dia juga sudah tahu kalau itu adalah Adhit.
Memang sejak kepulangannya dari Inggris kemarin, Maya tak sekalipun berbicara dengan Adhit. Dia terlalu sibuk bersedih dan menangis hingga dia lupa bahwa dari awal hingga akhir prosesi pemakaman Adhit selalu ada di sampingnya.
Adhit duduk di sampingnya lalu menggengam tangan Maya dengan tangan kirinya, tangan Maya terasa dingin karena udara yang lumayan menusuk akibat hujan. Lalu dengan tangan kanannya dia merangkul bahu Maya yang masih tidak merespon panggilannya tadi.
"Kamu boleh sandar kok, aku izinin." Kata Adhit membuat Maya teringat bahwa Adhit biasanya tidak suka jika dia terlalu bersandar atau bergelayut di bahu atau lengannya.
Tapi Maya saat itu tidak bisa berpikir, jadi Adhit memiringkan kepala Maya dengan tangannya dan membuatnya bersandar di bahunya sebelum mengusap-ngusap kepalanya.
"Apa aku boleh sandar lebih lama?" Tanya Maya pelan
"Iya. Aku akan berusaha selalu ada untuk kamu. Maaf aku ga sering jenguk kamu di Inggris" Adhit meminta maaf walaupun mungkin ini bukan saat yang tepat untuk membahas apa yang terjadi diantara mereka berdua.
"Aku sudah maafin bahkan sebelum kamu minta maaf" Balas Maya pelan.
"Aku ga hebat ngehibur orang kayak kamu. Padahal dulu kamu selalu ngehibur aku" Adhit mengingatkan Maya pada masa dimana dia akan selalu berusaha untuk menghiburnya. Maya akan selalu berusaha untuk hadir bagi Adhit, dan Adhit bukanlah orang yang bisa mengutarakan perasaan atau kekhawatirannya dengan baik.
"Gapapa, kamu disini aja udah cukup."
Jawaban Maya membuat Adhit mengeratkan rangkulannya pada Maya. Dan entah kenapa kali ini Maya yang kembali menangis merasakan perasaan lain selain kesedihan, rasa rindu yang tertahan selama beberapa tahun ini pada Adhit, atau mungkin rasa khawatir tentang bagaimana dia akan menjalani hidupnya nanti saat harus menjalani hidupnya sendiri tanpa kedua orang tuanya.
Maya tahu bahwa diluar sana masih banyak yang lebih menderita dibandingkan dirinya, setidaknya dia masih memiliki kakeknya, dan walaupun tidak disukai oleh kedua paman dan keluarga mereka di keluarga inti Adhyastha. Setidaknya dia masih memiliki keluarga, hidupnya tidak akan kesusahan, dan masa depannya masih bisa terlihat dengan jelas.
Tapi entah kenapa perasaannya yang campur aduk tidak bisa di kontrol saat ini, Maya tidak bisa menemukan alasan untuk berhenti menangis, dan dia juga tidak bisa mengendalikan air matanya yang terus mengalir hingga membasahi baju Adhit.
Maya juga tahu bahwa dia terlihat menyedihkan ditambah lagi fakta bahwa kehadiran Adhit saat ini untuk dia kemungkinan besar karna rasa iba dan kasihan. Sedikit banyak terbersit pikiran dalam benaknya, apakah Adhit memang menyukainya atau tidak. Apakah selama ini dia hanya menjadi orang egois yang yang memaksakan perasaannya pada Adhit? Apakah pertunangan yang terjadi diantara mereka berdua ini hanya atas dasar rasa suka seorang Maya Adhyastha yang membuat Kakek dan mendiang Ayahnya ikut ambil andil dalam terlaksananya pertunangan ini?
Maya merasa bahwa mungkin itulah yang terjadi, tapi Adhit tidak memiliki alasan untuk tetap bersamanya selama ini jika dia membencinya bukan? 9 tahun bertunangan bukanlah waktu yang sebentar. Dalam waktu selama itu Maya tidak pernah sekalipun mendengar Adhit mengatakan sayang atau cinta padanya. Apakah selama ini memang Adhit hanya bersama Maya karena mereka dijodohkan, mungkinkan selama ini Adhit tidak pernah sekalipun menyukai Maya?
"Apa kamu ga suka sama aku?"Maya mendongakkan kepalanya untuk menatap Adhit yang sedang melihat kebawah ke arahnya.
Mata Maya kemerahan dan masih penuh air mata saat dia bertanya padanya, membuat Adhit sedikit terkejut dengan pertanyaan yang sangat jauh dari topik yang dia harapkan. Maya menunggunya menjawab pertanyaan yang mestinya bisa langsung dia jawab itu.
"Kamu cuman cerewet." Balas Adhit akhirnya.
Maya menatapnya dalam diam sebelum bersandar kembali ke Adhit. Jawaban yang sama dengan jawabannya dulu saat Maya mengakui bahwa dia menyukainya. Kenapa Adhit tidak pernah bisa mengakui yang sebenarnya pada Maya.
Dia sedikit merasa bersalah karena akhirnya sadar bahwa mungkin selama ini dia terlalu memaksakan perasaannya pada Adhit. Kata orang cinta dan rasa suka itu bisa bertumbuh seiring berjalannya waktu, tapi selama bertahun-tahun itu tidak terjadi pada Adhit. Mungkin sudah saatnya untuk menerima kenyataan bahwa Adhit tidak pernah melihat Maya sebagai sosok yang dicintainya, dan hanya seorang teman. Namun perjodohon politik yang terjadi diantara mereka berdua membuatnya mungkin tidak bisa meninggalkan Maya begitu saja.
Dan sekarang saat semuanya telah seperti ini, Walaupun Maya tahu mungkin Adhit tidak mencintai atau menyayanginya dia merasa tidak apa-apa asalkan Adhit bisa terus di sampingnya. Asalkan Adhit tidak membencinya dan berkata bahwa dia tidak ingin bersamanya, Maya cukup merasa puas dengan memiliki Adhit sebagai tunangannya. Seketika gambaran cerita little mermaid kembali terlintas di pikirannya. Dulu dia terlalu kecil dan muda untuk memahami apa yang sebenarnya dirasakan oleh Little Mermaid, mengapa dia rela tidak dicintai oleh sang pangeran. Sekarang Maya bisa sedikit mengerti, mencintai seseorang tidak semudah dan segampang itu, bersama dengan rasa cinta maka seseorang harus siap menerima semua yang akan datang mendampingi rasa cinta tersebut. Rasa sakit dan menyedihkan yang bisa membuat semuanya terasa menyiksa, namun semua itu harus dilalui jika kamu mencintai seseorang.
Sekarang Maya yang kehilangan kedua orang tuanya tidak ingin kehilangan yang lain lagi. Dia hanya memiliki Kakek dan Adhit, karena itu dia akan melakukan apapun untuk mempertahankan Adhit. Karena baginya jika Adhit tidak ada, maka dia akan kehilangan tempat untuk bersandar pada tempat bernama realita yang meliputi kehidupan.
Description: Sebulan sebelum pernikahannya dengan Adhitama, Maya Adhyastha kecelakaan dan koma selama berbulan-bulan hingga akhirnya dia sadar dan bertemu dokter Ravindra yang ternyata pernah dia sukai dan mulai mendekati Maya. Namun ternyata Adhit dan Ravin sama-sama punya rahasia dan tujuan masing- masing yang mereka sembunyikan darinya.
|
Title: Rafhan
Category: Novel
Text:
Prolog
Perkenalan menjadi awal dari sebuah cerita yang panjang, tentang lika - liku, keraguan, perasaan atau bahkan cerita cinta
___________________________________________
Kadang mereka yang menjadi prolog
Tak akan menjadi epilog
Kadang mereka yang menjadi prolog
Tak akan ikut setiap alur cerita
Tak akan sampai di tengah cerita
Mereka hanya pengantar
Cerita lama yang direvisi ulang
Tentang rima dan sajak - sajak indah
Pengiring puisi tak bermakna
Mereka tak singgah
Hanya berlalu lalang bagai angin terasa tapi tak dapat kau sentuh
Mereka laksana arunika
Arunika yang merindukan senja
Tak kunjung bertemu
Karena waktu tak
Mengajarkan mereka satu
alur cerita
Ada cerita tersendiri
Dengan alur
yang tak akan sama
Mereka hanya prolog
Bukan epilogmu
Dia tak ditakdirkan untukmu
Dia hanya prolog
____
Jumpa
Jangan pandang seseorang cuma satu sisi aja , siapa tau lo nemuin sisi lain yang buat lo ngerasa nyaman dan lo ngerasa bahagia
--------------------------------------------------
Dia datang dan menyapa dengan ramah
Ada seselip kata yang dia sisipkan pada secarik kertas
Dia tak bercerita tentang rasa suka
Mungkin saja belum
Dia bercerita tentang samudra biru
Dan cakrawala yang dia lihat dengan sejuta cerita
Dia bercerita tentang deburan ombak dan tukikan camar yang menari berirama
Lalu dia bercerita tentang awan
Awan yang mengajaknya berkeliling dunia , tapi tidak dengan semesta
Dia bilang dunia luas,
bahkan tak mungkin menjamah setiap hal yang paling sunyi pada waktu yang bersamaan
Dunia itu penuh misteri, sama dengan hati
Tapi kata dia, perasaan lebih luas dari dunia,
Perasaan setiap hal terkecil dapat kau jamah
Dengan intuisi yang penuh melody
Tanpa nada yang indah tapi cukup nyaman didengar
Tapi "dia" yang diceritakan ada atau khayalan?
________________________________
Jakarta sudah menjadi teman akrabnya sejak dirinya masih memakai seragam putih merah untuk pertama kalinya. Bahkan dirinya sudah paham betul seluk beluk kemacetan yang terjadi pada jam- jam tertentu. Sayangnya, hari ini dirinya salah memperhitungkannya. Komik terbaru yang dibelinya kemarin sore mengajaknya untuk begdang hingga larut malam tanpa memikirkan hari esok yang siap menunggunya. Akan tetapi gadis itu tau batasannya, dia tidak terlambat, hanya saja dia adalah tipe orang yang sangat terburu-buru soal waktu
Gadis itu terburu - buru memakai seragam putih birunya berjalan dan terus berjalan tanpa memeperdulikan apa yang ada di depannya.Langkahnya dipercepat, dia tidak ingin hari ini telat untuk mengikuti hari pertama orientasi sekolah SMA Favorit di Jakarta, sebagai siswa pindahan kegiatan Orientasi tetap diwajibkan kecuali, jika pindahannya tengah semester ataupun sudah kelas tiga SMA
Masih dengan seragam putih biru gadis cantik tersebut tengah sibuk dengan topi koran yang dia pakai berbentuk kerucut, selain itu dia juga sibuk emmebenarkan rambutnya yang dikucir dua dengan pita berwarna ungu. Fidya berjalan seperti seseorang tak tau arah, saat ini bumi mengajaknya untuk berpura - pura menyembunyikan beban yang tersimpan erat pada suatu ruang yang sangat tersembunyi, dikunci . Hanya dirinya saja yang tau, orang lain tidak akan pernah tau rahasia tersebut. Tapi gadis itu berjanji pada dirinya akan selalu tersenyum degan seseorang seolah - olah dia sedang baik -baik saja. Sebenarnya, Fidya tidak mau mengikuti aturan aneh ini akan tetapi tetap saja aturan tersebut tidak bisa dielak.
Fidya duduk di bangku taman seraya menatap langit biru yang mengajaknya berkeliling angkasa luas ini, tapi Fidya enggan dirinya masih ingin tinggal di bumi dengan segala persoalan yang ada. Tak ada yang bisa diajaknya mengobrol saat ini. Seakan dunianya benar - benar sendiri, atau memang dirinya yang memilih untuk sendiri dengan apapun pada keramain bumi dengan segala aktivitasnya yang menyesakkkan.
" Kak Candra, " Sapa Fidya pada seseorang yang tak jauh dari pandangannya
Pria yang dipanggil Fidya berbalik ke arahnya
" Sudah makan," tanya cowok tersebut ramah
" Sudah."
"Kak, aku ada komik baru. Ada diskon besar-besaran. Mangkanya aku beli, kak Candra mau minjem?"
Baginya gak ada yang lebih asyik dibicarakan selain komik dan komik. Itu sudah menjadi dunianya yang menyatu dengan jiwa dan raganya. Tidak bisa dipisahkan.
Pria tersebut menjawab dengan ramah.Candra hanya menggelengkan kepala seraya tersenyum, pentas semi masih sangat lama sedangakan Fidya mengabarinya lebih cepat. Itulah kebiasaan lama Fidya, mengabari sesuatu hal yang ternyata masih sangat lama.
" Ingat! jangan baca komik di dalam aula," peringat Candra, Fidya pura-pura tak mendengarnya.
Langit tak secerah tadi tapi wajah gadis tersebut selalu cerah.
Sekarang ini Fidya tak bisa menatap langit lebih luas lagi, dia berada ada suatu ruangan yang dia sendiri melihatnya asing, ya aula SMA. Bahakan dia belum mempunyai teman seorangpun. Begitu santainya Fidya duduk di bangku depan sambil membaca komik favoritnya. One Pice,
yang merupakan Manga karya Eichiiro Oda ini, bercerita tentang petualangan hebat para bajak laut mencari harta karun
Pemimpin bajak laut tersebut bernama Monkey D. Luffy yang sangat terkenal dengan topi jeraminya berwarna coklat dan baju berwarna merah. Sampai sekarang ini manga tersebut masih memegang rekor penjualan terbanyak dan tercepat di seluruh dunia. Begitulah yang Fidya tau dari situs google yang belum lama dia baca. Menurut seorang peneliti bahwa seorang pembaca komik memiliki tingkat kecerdasan yang unik daripada yang lain, mereka lebih mengekspresikan kecerdasan lewat apa yang merrka lihat dan ekspresikan dari sebuah gambar.
"Kamu," seorang panitia menunjuk dirinya secara tiba - tiba
Padahal Fidya sedang asyik membaca komik one piece kesukaannya
"Saya?" tanya Fidya seraya menunjuk pada dirinya sendiri.
"Iya kamu!" Gertak senior tersebut membuat Fidya geram seraya menggenggam tangannya.
Fidya meneguk ludahnya
"Dasar senioritas."Kata Fidya sangat lirih hampir tak terdengar
Fidya meneguk ludahnya berkali-kali sudah pasti ditebak karena dirinya teledor saat senior menjelaskan materi. Bukankah tidak ada yang boleh melaeang seseorang saat sedang membaca komik? masalahnya saat ini yang bersalah adalah dirinya.
" Satu kali dua kali tiga kali empat kali nol berapa?" Tanya senior tersebut
"Empat belas," jawab Fidya santai seolah-olah tak ada beban apapun.
Fidya tersentak kaget, betapa bodohnya dirinya. Fidya menarik bibirnya sendiri
"Bodoh-bodoh....... " Omel Fidya sendiri
Seketika ruangan tersebut penuh dengan gelak tawa.
"Bahkan anak sd aja bisa menjawabnya." Ejeknya
"Dasar bodoh, sini komikmu. Imi orientasi bukan tempat ajang baca komik. Keluar!" Tunjuk senior tersebut
Fidya merasa dipermalukan dengan diikuti oleh perasaan yang menumpuk pada dirinya, dia berlari menjauh diikuti oleh suara tangis kecil.
Fidya melihat seseorang menatapnya dengan tatapan aneh, Fidya memandangnya seraya menyeka air matanya. Orang tersebut menatapnya aneh seakan - akan memberikan sebuah jawaban yang tidak bisa dijelaskan dengan epik.
Walaupun Fidya sudah berada di lur tetapi dirinya masih mendengar orang- orang menertawakannya. Fidya yakin tak ada yang memperdulikannya. Namun dia salah, benar - benar salah, di dalam sana ad seseorang yang mencoba meluruskan yang benar.
"Kenapa ada seorang menangis di luar sana!"Marah seorang senior yang memakai almamater yang sama, menandakan dia anggota OSIS.
Almamater biru, artinya dia tegas.
Mereka diam, tak ada yang berani merespon. Lalu tiba-tiba seseorang meresponnya
"Dianya aja bodoh, masak angka nol aja gak bisa" tawanya diikuti oleh seisi orang diruangan tersebut.
"Dia tidak mendengarkan kami menjelaskan materi, dia juga membaca komik di ruangan ini!" Tegasnya
"Maksud lo itu apa? gak gitu caranya. Seolah - olah sangat senioritas" Dia sangat geram
Cowok yang bertuliskan nama Rafhan kemudian memberikan kode, supaya temannya ikut keluar bersamanya.
Rafhan kemudian membawa temannya menuju salah satu gudang dekat kantin.
" Gue... bisa jelasin..." Jawabnya lirih
" Gue gak pengen Candra dengar semua ini. Lo tau kan siapa Candra?"
"Tapi memang begitu aturannya, siapa yang mainan bakal keluar dari ruangan ini dan ikut orientasi lagi tahun depan." Elesnya
"Lo ngasih pertanyaan kaya gitu dan lo juga tertawa bangga? lo udah ngerasa hebat!" Rafhan mencoba menahan amarahnya.
"Gue gak sengaja gitu Fhan," Elak cowok tersebut
" Lo mau minta maaf sama cewek tersebut atau masalah ini bakal kedengaran sampai telinga Candra. Lo tau kan kita masih senior? harus tau batasan kita. Jangan sok-sok an dan senioritas!" Bentak Rafhan sangat keras
Cowok tersebut hanya tertunduk pasrah.
****
"Ambil tuh tissu gak usah mewek."
Fidya menatap cowok di depan matanya. Tatapan matanya meneduhkan, namun Fidya kesal tatapan tersebut seolah-olah ingin mengejeknya.
"Tampan, tapi sayang kata serigala . Menyeramkan" memang dasar Fidya masih sempat - sempatnya memandang cowok tersebut.
"Lo bilang apa barusan?" Sentak Rafhan
Dia galak ternyata, aku jadi ngerasa bersalah pada diriku sendiri kalau dia tampan. Fidya bermonolog pada dirinya sendiri.
Fidya memilih diam.
" Cepet ambil tissunya gue gak suka cewek cengeng, masih mau nolak gue?"
" Gak mau," balas Fidya
"Udah, gak usah nangis. Lo makin jelek nangis kaya gitu." Ejek Rafhan sangat telak .
"Emang aku jelek, goblok, cengeng, kumel masih...."
"Masih apa? lo itu pinter mereka aja yang goblok!" Balas Rafhan dengan nada tinggi
"Kalau lo goblok mana mungkin lo diterima di sekolah ini."
"Gue gak perduli lo itu siapa, tapi gue paling gak suka ada cewek yang nangis di depan gue."
Fidya terus menangis.
"Udah dong gak usah nangis," pinta Rafhan
Bodo amat, Fidya bukan tipe orang yang penurut. Menurutnya tidak begitu penting omongan orang di depanya
"Lo makin kelihatan kaya bocah." Bisik Rafhan
"Bodoh amat!" Tegas Fidya
"Dan kelihatan bodoh." tambah Rafhan
"Gak peduli!"
"Gue juga gak peduli sama lo."
"Yaudah kalau gak peduli sana pergi." Kesal Fidya
"Nggak akan, gue gak akan ninggalin cewek nangis."
"Kenapa?" Tanya Fidya
"Cewek tuh dilindungi bukan disakiti." Tutur Rafan
"Udah sana pergi." Usir Fidya
"Gue gak akan pergi sebelum lo berhenti nangis."
Fidya mendengus kesal ingin rasanya dia melempar cowok ke orbital saturnus , ada manusia yang tidak menganggapnya sebagai mana mestinya. Fidya ingin manusia seperti itu tidak pernah menampakan dirinya , sepertinya cowok tersebut akan menjadi jamur yang sangat beracun. Selalu menjadi cendawan yang selalu ingin menempel pada tumbuhan perdu.Fidya benr - benar benci dengan makhluk yang ada di depannya.
" Eh bocah," sapa Rafhan
Benar - benar menyebalkan, sebenarnya apa sih maunya Rafhan, sosok itu benar - benar menjadi setan yang gentayangan, padahal dia msih hidup. Apa ingin Rafhan menjadi sosok yang mengerikan tersebut, sedang Fidya hanya bergidik ngeri membayangkan setiap argumen yang tengah ia pikirkan di dalam hatinya. Bisa - bisa Fidya menjadi gila memikirkan hal aneh tersebut! tidak , tidak Fidya tidak mau.
"Mau lo itu apa sih?"
"Berhenti nangis." Pinta Rafan
" Kalo gue gak mau!" Jawab Fidya kasar.
" Lo gak tau siapa gue?" Tanya Cowok tersebut.
" Gak tau dan gak tau." Jawab Fidya kasar.
" Kalo kamu gak respect sama saya. Saya juga bisa." Balas cowok tersebut.
" Terserah lo mau ngomong apa!"
" Besok gue kasih tau gimana caranya ngomong sopan."
" Gue gak butuh!" Balas Fidya
****
Hari - hari berikutnya orientasi berjalan dengan baik, para siswa yang mengejek Fidya saat orientasi telah mendapatkan surat peringatan dari kepala sekolah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Perjanjian tersebut ditulis pada materai 6000 sebagai bukti penguatnya.
Hari ini orientasi terakhir, penutupan biasanya ditutup dengan kegiatan pentas seni dari panitia dan puncak acaranya adalah pelepasan balon.
Dengan memakai make up tipis dan memakai topeng para anak snaggar tari mulai melegak - legok diatas panggung. Fidya membayangkan kalau itu adalah dirinya.
"Lo suka nari?" Tanyanya
Fidya tersentak kaget mendengar seseorang dibelakangnya. Fidya segera menjauh bertemwu dengan cowok tersebut adalah masalah terbarunya.
" Apa yang salah dari gue sehingga lo jauh kaya gitu."
"Gue gak suka " Jawab Fidya ketus
"Seharusnya lo hargai gue sebagai kakak kelas."
Kemana saja pikiran Fidya, sampai dia tidak memperdulikan kalau yang di depannya adalah kakak kelas. Siapa yang peduli.
"Harus ya?" Tanya Fidya
"Kenapa balik nanya?"
" Gue suka ngelakuin apapun terserah hati gue, gak ada yang bisa maksain gue. Sekali pun itu lo!"
" Lo ada masalah hidup apa sih, dibaikin malah nyolot terus."
Fidya tersnyum miris. Dirinya sama sekali gak suk ada orang lain yang tiba-tiba datang ke ceritanya dan merusak alur yang sudah tertata rapih.
" Masalah hidup gue banyak. Dan lo gak ada kaitannya sama hal tersebut!" Balas Fidya ketus.
" Lo itu gak bisa ditebak ya? kaya teka-teki silang. Gue kira benar ternyata jawabannya salah. Susah kenal sama lo,"
Fidya hanya tertawa terbahak-bahak.
" Emang gue dan lo udah kenalan? nggak kan?" kata Fidya sinis.
Fidya berbalik dan mengacungkan telunjuknya di depan mata Rachman.
" Asal Lo tau, gue bukan anak baru dan gue gak berhak panggil lo kakak. Ya walaupun Lo udah kelas dua belas sekalipun. Gue anak kelas sebelas, dengan terpaksa gue ikut aturan nyeleneh kaya gini, gue gak bisa nolak sekalipun kakak gue ketua osisnya."
Fidya berjalan meninggalkan cowok menyebalkan tersebut yang masih mencerna ucapannya.
" Oh ya, kayaknya gue sama Lo gak perlu kenalin lagi deh. Lo udah baca on nama gue di name tag?" Fidya menunjukan name tag yang terbuat dari kardus. " Dan gue juga gak mau kenal nama Lo."
Rafhan melihat name tagnya. Cewek tersebut benar-benar tidak membaca name tagnya.
****
"Lo gak kenal sama Rafhan?" Tanya Hera kepada Fidya
"Rafhan yang mana sih, gak pernah denger gue tuh." Balas Fidya
"Masa lo gak kenal sama Rafhan, dia itu Juara olimpiade Fisika. Keren, cakep, ganteng. Jadi inceran tapi gak ada satupun yang dia pilih."
"Kok lo bisa kenal sih?" Bingung Fidya
"Eriss tau dong mana aja cowok terkenal di SMA galaksi,"
"Jangan Candra aja yang lo kenal," celetuk Hera
"Bahkan Rafhan selalu dapet coklat setiap hari di bangkunya." Tambah Hera, dia benar - benar stalker sejati
"Lalu coklat itu?" Tanya Fidya
"Di buang di kotak sampah."
Jawab Eriss
"Serius?" Mata Fidya terbelalak heran
"Gue bercanda." Jawab Eriss santai
"Asal lo tau coklat itu selalu dia bagikan untuk anak kecil yang selalu jualan air mineral di depan gerbang sekolah."
"Baik ya dia."
"Namun sayang, orangnya dingin sama yang belum pernah dia kenal ataupun akrab." Sahut Hera
"Penasaran gue sama dia."
****
Fidya memilih tempat untuk duduk di bangku perpustakaan. Kedua teman barunya dengan tega meninggalkan Fidya sendiri di perpustakaan, mereka katanya tidak betah dengan suasana horor di ruang perpustakaan yang penuh dengan buku - buku.
"Masih mau bohongin gue lo gak suka nari?"
Fidya mendongakan wajahnya, sambil mengumpat dalam hati dia lagi.
"Kenapa si lo selalu aja muncul tiba - tiba kaya jailangkung."
"Apa lo bilang jailangkung? bisa sopan gak kalau ngomong sama pnitia
"Ciuh sombong," ledek Fidya
Fidya tetap saja tidak peduli dengan cowok berisik tersebut, kenapa mahkluk aneh dari planet luat bumi bisa ada di dalam ruangan ini. Apakah oksigen dengan iklas memberikan kepada cowok menyebalkan ini. Jika diizinkan Fidya benar - benar ingin mengusir cowok di depannya menjauh dari bumi.
"Lo kenapa gak tinggal di saturnus biar gak gangguin orang?"
"Lo kira di saturnus ada oksigen"
"Ya biarin lo kehabisan oksigen terus mati jadi sejarah baru."
"Emang kalau ngomong suka basing - basing,"
"Bodo ah,"
Fidya melanjutkan membaca buku sejarah tari.
"Apa istimewanya coba membaca buku sejarah kaya gitu, apalagi sampek bener - bener menghayati. Ingat ya sejarah itu kisah masa lalu, gak akan bisa kembali ke masa depan."
Fidya termenung, ada hal yang tiba - tiba mengingatkannya tentang suatu hal. Entah kenapa air matanya tiba - tiba mengalir membasahi pipinya. Hal tersebut mengingatkannya akan hal indah yang menjadi kenangan pahit.
"Kenapa lo nangis?"
"Bawa gue ke saturmus biarkan gue mati aja. Dunia ini hanya menjadi sejarah."
Cowok tersebut ragu lagi memberikan uluran tangannya untuk menenangkan cewek di depannya.
"Gue Rafhan Adliana gak bakal biarin lo sedih."
Fidya menatap cowok tersebut, dia Rafhan. Baik, tetapi kenapa tetap saja terlihat menyebalkan. Masa bodoh yang penting aku tenang, pikir Fidya
"Masih mau ke saturnus?"
Fidya mengeleng
Ruang Sepi
Awalnya dia diam tak bersuara, mungkin saja dia ragu mengucapkan kata sekedar untuk menyapa
____________________________________
Petikan Nada
Pada sebuah petikan
Nada - nada bercampur deru
Dentuman gejolak kata
Terselip diselubung perih
Kata terucap kecewa
Menepis tepian sunyi
Pada senja yang lalu
Angin menyeruh bergemuruh
Mesin - mesin waktu
Yang berputar maju
Roda - roda pedati
Gerobak - gerobak berlaju
Petikan sebuah nada
Jam - jam berdenting
Kapal - kapal berlabuh
Yang bergerak tak bersuara
Petikan nada
Tentang diam tak bersuara
Tanpa syair
Dia diam lalu bersuara
_______________________________
Fidya duduk disebuah bangku taman menikmati sejuknya udara pagi. Sebisa mungkin dirinya tersenyum dan menyapa rerumputan. Fidya berpendapat bahwa dengan tersenyum dirinya akan selalu awet muda. Dia tidak ingin terlihat tua seperti tetangga samping rumahnya yang seumuran dengannya yang hobinya marah - marah. Fidya masih dengan kebiasaan lamanya mengemut permen lolipop sebesar koin lima ratusan. Dia suka yang manis - manis tetapi tidak suka kalau dirinya dibilang manis. Memang aneh, padahal dirinya adalah manusia cantik yang lahir dan besar dibumi.
"Tumben sendiri, mana temen lo.
Dia lagi, kenapa suka sekali datang di waktu yang tepat. Apakah dia sengaja seperti itu. Padahal saat ini aku benar- benar ingiw melemparnya ke saturnus, bodohlh biar mati saja dia, pikir Fidya dalam hatinya.
"Heran ya biasanya orang akrab itu karena tau namanya. Sedangakn lo hanya pura pura akrab dan gak tau nam gue sama sekali."
Rafhan hanya tertawa kecut.
"Lo pikir gue gak tau nama lo?"
Fidya tertawa mengejek.
"Nggak, lo kan gak tau nama gue."
"Siapa sih yang gak tau lo. Cewek yang nangis gara- gara perkalian angka nol gak bisa."
Fidya memukul bangku taman.
"Kalau niatnya mau ngejek mending lo pergi aja deh ke planet saturnus, disana gak ada oksigen. Gue pingin lo ngemis oksigen sama gue." Cerca Fidya
"Oke, oke gue minta maaf."
Fidya mengambil coklat dari saku sebelah kanannya.
Rafhan membaca name tag. "Fidya Bestari. Cewek yang hobbinya nari dan gak punya sopan - santun sama kakak kelas, suka permen lolipop, suka banget nonton film horror, suka baca komik serial one pice dan gak suka keju. Oh ya satu lagi dia paling hobby kalau disuruh ngehalu."
Fidya tersentak kaget, bagaimana cowok semenyebalkan Rafhan bisa tau segalanya tentang dirinya, Fidya melupakan satu hal bahwa Rafhan adalah seseorang yang sudah terkenal, tentunya setelah Candra sang ketua osis SMA Galaksi.
"Lo pasti bingung gimana gue bisa tau banyak tentang lo." Kata Rafhan penuh percaya diri
"Sayangnya sih gue gak cukup terkejut dengarnya, kan secara lo itu anak olimpiade Fisika. Pinternya titisan dari seorang bapak Albert Einstein, jadi kepiawaian lo itu gak bisa diragukan lagi."
"Ternyata pinter juga lo."
"Gue pinter? hahahaha.... emang iya."
*****
"Dimana rumah lo?" Tanya Rafhan tiba-tiba
Seddangkan Fidya asyik menunggu angkot lewat di depan SMA Galaksi. Gerah juga suasana siang hari ini. Dia lagi, padahl Fidya berusaha menghindar.
Fidya tertawa saat Rafhan memghadapi para penggemarnya yang masih berstatus murid baru.
"Kak Rafhan, anterin aku pulang ya. Hari ini sopir jemputanku sibuk." Kata seorang cewek sambil merengek
"Sibuk kenapa?" Tanya Rafhan kemudian
"Aku suruh jangan jemput aku, soalnya aku mau pulang sama kakak."
Sedangkan Fidya tertawa girang sambil membaca komik One Pice.
"Udah anterin aja, kasihan tuh. Takutnya orang tuanya punya kekuatan superhero, gue takut lo kenapa - napa."
Rafhan menggerutu dalam hati, apa hubungannya bocah. Gue ikhlas kok kalau sekarng lo pergi ke saturnus.
"Gue bisa baca pikiran orang
Hati- hati kalau ngomong."
Rafhan tersentak kaget dengan ucapan Fidya, entah itu jujur ataupun bohong Rafhan mulai mempercayainya, walaupun dirinya ragu.
"Eh itu sopir lo "
Entah kebetulan atau gimana sopir tersebut menghampiri cewek manja tadi.
Dalam hatinya Rafhan tertawa girang
"Udah sana, dengerin ya.Kamu itu gak ditakdirin pulang sama kakak, lagian juga kakak ada urusan. Udah cepet sana." Kata Rafhan mencoba memberi penjelasan
"Tapi kak, aku maunya sama kakak, ayo kak ayo."
Benar - benar manja, ingin rasanya Rafhan memarahi adik kelansya, namun demi gengsi Rafhan menahan hal tersebut.
"Udah kak anterin aja, kasihan mukanya." Kata Fidya sambil tertawa riang.
Rafhan mencoba memutar akal. Rafhan gak mau terlihat bodoh di depan Fidya yang ternyata lebih pintr daripada dirinya.
"Aduh maaf dek kakak lupa, ada kontes robotika bulan depan jadi kakak harus mulai latuhan dari sekarang." Rafhan asal beralasan
Cewek tersebut menahan rasa kecewa.
"Yaudah deh kak, lain waktu lagi." Kata cewek tersebut pasrah
Fidya tidak memperdulikan Rafhan yang sedang sibuk memperhatikankannya. Lama - lama berada di dekat Rafhan terlihat sangat membosankan.
" Pulang yuks?"
Gak ada langit gak ada hujan Rafhan tiba - tiba mengajaknya pulang. Mungkin saja Rafhan terpengaruh oleh alien yang kemarin tetsesat dari planet Saturnus. Pikiran Fidya mulai halu ke arah yang benar - benar tidak masuk akal sama halnya dengan imajinasi yang ada di kepalanya. Isinya hanya bajak laut dan kapal - kapal perompak.
"Emang lo tau rumah gue?" Balas Fidya sengut
Itu adalah pertanyaan yang Rafhan tunggu - tunggu sedari tadi.
"Udah ayo ikut pulang sama gue."
Rafhan menarik lengan Fidya. Tepat saat itu angkot berwarna biru telur asin lewat depan Fidya.
"Gue mau naik angkot aja, biar lo tau gue punya duit buat ongkos. Lo kira gue ngemis gitu."
"Tapi bukan gitu maksud gue.".
Salah lagi, memang benar bhwa pikiran seorang cewek snagat silit sekali ditebak. Ketika niatnya baik malah justru semakin disalah artikan. Apakah semua hal itu harus tentang kepura - puraan. Entah apa yang merasuki Fidya sehingga pikirannya seolah - olah menganggap Rafhan sebagai seorang penganggu.
"Fidya, turun! " Pekik Rafhan
Rafhan menarik lengan Fidya, kemudian dirinya justru malahan yang naik ke dalam angkot tersebut.
"Fhan gue gak bisa naik motor lo." Fidya bingung dengan Rafhan
Rafhan turun kemudian Fidya naik ke dalam angkot tersebut. Rafhan menarik lagi lengan Fidya, persis Fidya yang sekarang berada di luar angkot sedangkan Rafhan berada di luar angkot.
Sopir angkot tersebut mulai kesal dengan tingkah absurd mereka.
"Siapa sebenarnya yang ingin naik!"
"Saya bang." Teriak Fidya
Secara bebarengan Rafhan juga menjawab. " Tidak ada, tidak ada yang naik."
Rafhan menarik lengan Fidya, "Ayo naik."
Sopir angkot tersebut mulai menghidupkan angkotnya yang mulai mogok. Menurut dia lebih baik sedikit penumpangnya daripada harus berdebat dengan mereka berdua.
"Bikin kesal saja."
Knalpot tersebut berhasil membuat Fidya batuk - batuk oleh asap berwarna hitam tersebut.
"Ini semua gara - gara lo."
"Udah puas? ayo naik."
Rafhan membuka bagasi vespanya dan menyerahkan helm tersebut kepada Fidya.
" Pake nih," Rafhan menyodorkan helmnya
Fidya nampak kesulitan memakai helm tersebut.
"Ini gimana makenya?" Protea Fidya
"Mangkanya kalau sulit itu ngomong."
Balas Rafhan rak mau kalah
Rafhan membenarkan helm tersebut, banyak yang menggerutu kesal dengan tingkah Rafhan. Entah apa yang merasuki Rafhan sehingga dia lebih memilih cewek absurd seperti Fidya.
Rafhan menatap lekat Fidya manik mata mereka saling bertemu pada titik yang sama. Semakin lama semakin ada rasa yang lain dari biasanya, Rafhan menatap tanpa ada kedipan mata sekalipun.
"Ngapain lo natap gue kaya gitu. Lihat noh," Fidya mulai menunjuk para penggemar Rafhan yang tengah asyik berbisik - bisik. "Gue gak mau jadi bahan gibahan mereka."
"Udah selesai kan? ayo naik."
Dengan perasaan sangat terpaksa Fidya naik vespa tersebut. Untuk pertama kalinya Fidya benar - benar menikmati sensasi naik vespa seperti drama korea yang penuh dengan cerita romantis. Dirinya membayangkan dirinya berduan dengan Candra berkeliling kota menikmati senja berdua.
"Cie yang senyum - senyum sendiri."
Rafhan meledek Fidya.
"Apaan sih Fhan, gak usah halu."
Fidya menabok pundak Rafhan sehingga menyebabkan Rafhan meringis kesakitan.
Entah kenapa Fidya merasa bahwa ruang yang dia miliki sekarang ini tak sesepi sebelumnya. Bertambah satu orang yang mampu membuat ruang sepinya semakin ramai. Padahal sikap Fidya terhadap Rafhan terkadang sering tidak menyenangkan. Mungkin saja Fidya perlu beradaptasi denganbprang baru yang perlahan - lahan mampu mengisi ruang sepinya.
Tak setiap orang itu mempunyai cerita yang harus diceritakan. Fidya meneteskan air matanya. Ada kisah yang benar - benar mengingatkannya akan masa lalu. Tak ada seorangpun yang tau, bahkan Candra.
"Harusnya tuh dibonceng tuh seneng, lo malah nangis. Heran gue."
"Gue tuh nangis karena takut lo bakal nyasarin gue. Mangkanya gue nangis. Ya takut aja gitu." Fidya menghapus air matanya. Sial banget, kenapa kaca motor Rafhan sangat besar melebihi ukuran pada umumnya.
"Lo kira gue sejahat itu sama lo, gue gak bakal nyasarin lo. Khawatir banget sih sama gue."
Fidya hanya diam saja, dia tak peduli.
Saat jalanan mulai ramai, sempat - sempatnya Rafhan menggoda Fidya.
"Cewek tuh kalau diboncengin bakal pegangan. Lha lo malah gak pegangan sama sekali. Gak romantis" Protws Rafhan
"Gitu ya." Fidya malah mencubit pinggang Rafhan.
" Sakit tau, gak gitu caranya."
"Emang lo kira gue pacaran apa sama lo. Nggak kan, bahkan gak sama sekali."
Fidya mendengus kesal.
"Udah pergi aja sana ke saturnus. Gue ikhlas kok."
"Gue gak mau !"
****
" Bener ini rumah lo ?" Tanya Rafhan
Rafhan menyandarkan motornya.
" Bener kok." Jawab Fidya
Fidya mulai turun dan membenarkan posisi roknya yang miring. Baru saja dia turun, Fidya mendengar teriakan keras dari dalam rumahnya. Hal tersebut yang akhir - akhir ino selalu mengganggu pikiranya. Sudah lama hal tersebut membut dirinya terasa sangat tertekan. Fidya berlari tanpa memperdulikan Rafhan yang bingung dengan tingkah Fidya.
"Ini helm lo." Kata Fidya seraya menyerahkan helmnya
Fidya segera berlari sambil berterika kencang.
" Mama..."
Rafhan menatap Fidya penuh heran, dia bingung sebenarnya ada apa dengan cewek absurd tersebut. Akan tetapi Rafhan tidak mau semakin lama mempertanyakannya, Rafhan takut semakin dia bertanya maka semakin Fidya menjauhinya.
Kemudian Rafhan menyalakan vespanya dan melaju di jalanan kompleks perumahan diliputi dengan tanda tanya.
****
Fidya mengunci kamarnya, malam semakin gelap. Hari - harinya seakan udah gak ada maknanya lagi. Semua yang dia miliki selama ini seakan - akan percuma saja. Bahkan seorang yang sangat disayanginya hatinya sedang terluka, sama seperti dirinya.
Fidya berusaha untuk menahan air matanya supaya tidak tumpah. Hujan turun dengan derasnya di luar sana seakan - akan ikut merasakan hati yang penuh tekanan. Semua berkecambuk pada dirinya, tak ada yang mampu menghibur dirinya. Seakan - akan dirinya yang hanya hidup sendirian di kota yang begitu ramai.
Fidya membuka satu persatu album lama tersebut, suasana itu mengingatkannya akan kisah lama yang memudar seiring dengan buramnya foto tersebut yang telah termakan usia. Yang sangat Fidya inginkan saat ini adalah dunianya yang benar - benar kembali untuknya, jika boleh Fidya meminta dia ingin waktu yang telah pergi berputar maju mundur ke belakang seperti masa lalu yang menurutnya lebih baik.
Fidya meneteskan air matanya saat ini tak ada yang mampu mendengarkan ceritanya. Biarkan saja semua terasa semakin buruk, memang seperti itu apa - adanya.
Terdengar bunyi pintu kamarnya diketuk keras.
"Nak, buka pintunya. Ini mama, mama perlu bicara sama kamu."
"Fidya ngantuk Ma."
Fidya tidak mau mamanya semakin tersakiti pula.
"Jangan bohong nak, mama tau itu."
Fidya beranjak dari kamarnya, dia masih memakai baju sekolah. Dari pulang sekolah dia belum ganti baju sama sekali. Fidya beranggapan bahwa duninya sedang sangat kacau, tapi Fidya berusaha untuk tegar dan kuat. Rambutnya masih berantakan sama seperti perasaan hatinya.
Fidya justru mengacuhkan mamanya, walupun terdengar jahat tapi begitulah yang terjadi dengannya.
" Tidak apa - apa, semua baik-baik saja" Tukas mamanya sambil meneangknkan perasaanya
Kemudian mama menutup pintu dan membelai rambut Fidya dengan lembut.
"Tidak ada yang perlu ditakutkan."
Dalam hatinya Fidya berpikir bahwa yang dilakukan mamanya bukanlah sebuah kepura-puraan belaka, melainkan kesungguhan hatinya
Fidya meneteskan air matanya. Hal tersebut membuat hati mamanya terasa pilu, tapi ia berusaha untuo tegat di depan anaknya. Seorang ibu tidak akan meneteskan air matanya di depan anaknya karena beliau sangat menyayangi anaknya, beliau tidak ingin anaknya merasakan apa yang dirasakan oleh beliau. Berpura - pura bahagia justru lebih baik walaupun itu tidak baik untuk dilakukan. Dengan menyembunyikan sebuah masalah dari seorang anak mampu meredam tekanan batin seorang anak.
"Mama takut Fidya kenapa - napa. Ini biar jadi masalah mama. Fidya tenang saja, yang terpenting sekarang ini Fidya fokus untuk belajar supaya Fidya tau mana yang seharusnya baik dilakukan mana yang seharusnya tidak dilakukan. Mama tau apa yang Fidya rasakan saat ini, tapi Fidya gak usah khawatir mama bakalan baik - baik saja." Tenang mamanya Fidya
"Bohong, Mama bohong!"tampil Fidya
Mamanya memeluk erat Fidya.
Bahwa ruang tersebut semakin lama semakin kosong, nampak sepi walaupun kehangatan masih sedikit celah menyelimutinya. Dunia yang sekarang Fidya miliki tak sama seperti dulu, semuanya telah berubah menjadi cerita yang tidak dia inginkan tetapi harus mengikuti alur dari sang pencipta, alur dimana tak seorang pun boleh mengubahnya.
Fidya berusaha memberontak namun ternyata dirinya terjebak, diam-diam Fidya benar-benar rindu pelukan kasih sayang tersebut.
Di luar hujan semakin deras, tak terdengar bunyi - bunyian lain selain air hujan yang membasahi bumi yang mulai kering kerontong. Kesunyian malam beriringan dengan kesunyian hati seseorang, entah sampai kapan ruang kosong tersebut semakin menjadi cerita pilu. Entahlah.
____________________________
Langit Malam Seperti Pada Khayalan
Langit malam memang indah, hanya saja jika cuacanya terang. Tapi maaf seindahnya langit malam tak seindah suasana hati seseorang yang memilih untuk memenuhi dirinya dengan
masalah
_________________________________
Lihatlah
Sinar - sinar pagi
Menerobos celah jendela
Memberikan sebuah kehangatan
Lihatlah bunga bermekaran
Kupu - kupu menari riang
Tanah yang basah
Akan dikeringkan oleh sinarnya
Kemarahanku
Keegosianku
Kau tutupi semua
Mentariku
Tentang keangkuhan seseorang
Kesombongan
Kau telah berhasil menyapunya
Mentari kehangatanku
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡

Shen Yue as Eriss
_____________________________
Rafhan membuka jendela kamarnya dengan perlahan - lahan . Tepat di lantai dua, dengan mudah dia melihat langit malam yang sendu. Hampir diluaran sana tak terdengar nada - nada malam yang lain dari biasanya. Ramalan cuaca tentang siang hari biasanya akan terlihat dari suasana langit malam. Tak terlihat bintang - bintang yang menghiasi semesta , seakan bintang - bintang memilih untuk segera menjauh mendengarkan kata hati yang pilu. Rafhan ingin di dengar, tapi dia terlalu menutupi semuanya.
Tentang hati yang penuh dengan sendu yang dia sembunyikan dari tawa sederhana, Rafhan pandai bersandiwara . Siapun yang melihat wajahnya tak akan mampu membaca apa yang sebenarnya ada di pikirannya.
Kemudian Rafhan membuka pintu kamarnya. Rafhan keluar dengan langkah perlahan mengikuti apapun tentang suara hatinya, dimana dia mempunyai ketenangan tersendiri. Di sebuah Rooftop dengan kursi berbentuk cekung Rafhan menggoyangkan kursi tersebut. Kerlap - kerlip lampu masih terlihat dengan indah, menambah kesan estetis di gelapnya malam. Mendung, langit kelabu tanpa bintang dan juga bulan. Apakah esok akan hujan deras?atau bahkan malam ini. Bukankah Rafhan seharusnya bahagia jika hujan berhasil membasahi bunga anggrek bulan yang kemarin dia pindahkan dari pot?
Tapi bukan soalan itu Rafhan tak ingin hujan apalagi saat ini pula.
Mendung, tak ada seberkas sinar dari rembulan. Awan - awan begitu tebal dengan warna tak lagi putih. Kelabu bercampur dengan gelapnya malam, yang bila dengan tak seksama melihat akan sulit untuk membedakannya. Langit malam sekarang tak seperti langit malam pada hari - hari sebelumnya, bahkan langit malam sebelumnya tetaplah sama di matanya. Rafhan rindu langit malam beberapa tahun yang lalu, langit yang selalu menceritakan dongeng indah. Dongeng pertama yang dia dengar dari kasih sayang mentarinya tentang cerita puguk yang merindukan bulan, tapi sayang cerita itu telah lama dia tidak menghafal setiap detailnya. Akan selalu ada cerita baru disetiap malamnya. Terkadang masa lalu tak sepenuhnya untuk dilupakan. Ada secuil cerita dimasa lalu yang selalu dirindukan untuk segera hadir di masa depan. Cerita yang dimasa depan akan sulit mendapat hal serupa yang sama persis. Diruangan terbuka ini Rafhan rindu, rindu beberapa cuil cerita lalu tersebut.
Kemudian Rafhan berdiri, memegang besi pembatas. Mengamati sekitarnya. Sunyi, sepi. Entah kenapa knalpot motor tak terdengar. Rafhan ingin berteriak, dia yakin dengan seperti itu dirinya akan jauh lebih baik.
Aaaaaaaaa.....
Rafhan berteriak, jujur sekarang dia lebih baik. Sebenarnya pantang dia mengeluarkan air matanya. Baginya itu tidaklah penting.
Kemudian pikirannya teralihkan pada suara ponselnya yang berbunyi nyaring, ada pesan masuk dari seseorang yang pertama kali mengirimkan pesan untuknya setelah sekian lama Rafhan memberikan nomor telephonnya, mungkin juga pengirim berusaha meyakinkan dirinya untuk percaya diri mengirimkan pesan tersebut. Tepat pada pukul 8 malam Rafhan membaca pesan tersebut.
Gue butuh ruang untuk bercerita, gue tunggu dekat lampu jalan rumah
Fidya
Rafhan segera memakai jaket bomber navy kesayangannya, tanpa memperdulikan sikap menyebalkan Fidya waktu itu, bagi Rafhan yang terpenting cewek tersebut punya ruang untuk bercerita. Jangan sampai ruang tersebut kosong, tidak ada cerita sama sekali.
Rafhan keluar membawa motor vespa biru dengan lukisan starry night kesayangannya, Rafhan melaju di keramain jalan yang penuh sesak dengan langit cerah penuh bintang.
" Gue udah nunggu lo lama," kata Fidya dengan senyum kecut.
" Gak biasanya lo ngajak gue kaya gini." Rafhan mengambil helm dari bagasi motornya.
" Gue butuh ruang buat cerita."
" Untuk gue mau, kalau gue gak mau lo pasti cerita sama tembok." Ucap Rafhan kejam
Fidya mendelik menatap Rafhan dengan kesal.
" Takut gue liat lo kaya gitu," Rafhan menyalakan motornya dan berpura - pura melajukan motornya
"Fhan!" Fidya menyilangkan kedua tangannya di dada.
" Gue bercenda, cepet naik." Perintah Rafhan
Fidya segera naik motor tersebut.
" Fhan!" Teriak Fidya
Angin malam mulai berhembus bebas, suasana kerlap - kerlip lampu mulai membius suasana menjadi sedikit lebih baik.
" Kenapa Fid?" Kata Rafhan, dia tetap fokus menyetir motornya.
" Gue mau jadi kupu - kupu aja,"
Rafhan terbelalak hrran dengan pernyataan cewek tersebut, pikirannya sudah sejauh itu
" Jadi kupu - kupi itu perbuatan dosa, ngelanggar aturan agama Fid. Lo harus ingat itu."
Fidya menepuk pelan pundak Rafhan.
" Ishh bukan itu maksud gue Fhan, gue gak mau jadi kupu - kupu malam. Gue mau jadi kupu - kupu cantik yang pagi hari beterbangan di sekitar bunga. Mereka bebas, seakan tidak pernah punya masalah."
"Lo salah Fid, manusia itu bersyukur diciptakan menjadi makhluk yang sempurna . Bukan berandai-andai menjadi hewan. Asal lo tau, mereka itu punya masalah, bagaimana caranya untuk berkompetisi mencuri nekstar. Bukankah mencuri itu juga perbuatan dosa?" Rafhan menjadi sangat bijak hari ini, tentunya supaya Fidya tidak merubah karakternya.
" Lo juga salah Fhan, kalau mereka gak mencuri nekstar mungkin penyerbukan tidak akan pernah terjadi, sehingga ya lo tau sendiri kan." Fidya berusah untuk meyakinkan bahwa dirinya juga benar.
" Kata ay... tidak jadi."Rafhan sengaja menghentikan kata - katanya
" Kenapa?"
" Kalau gue lanjutin lo bakalan marah kaya waktu itu." Kata Rafhan mengingatkan.
" Gue minta maaf, gue salah."
Fidya tertunduk diam dan mengakui kesalahannya.
" Di dunia ini gak hanya salah dan permintaan maaf, tapi kesadaran untuk tidak mengulanginya lagi."
Fidya terdiam.
" Gue gak tau persis dengan apa yang terjadi sama gue, kadang gue ngerasa gue bukan gue. Ingin rasanya menjadi seperti dulu lagi."
Rafhan berusaha bagaiman caranya agar topik pembicaraan tidak mengarah pada masalah pribadi Fidya.
" Fid, gue mau nanya sama lo. Kenapa jam dinding di pasang di dinding?"
" Gak tau, emang kenapa.?"
" Biar dia gak kalah saing sama cicak?"
" Ko bisa, kan ada lagunya cicak - cicak di dinding."
Fidya tertawa terbahak - bahak.
" Lucu kan gue." Kata Rafhan penuh percaya diri.
" Lo salah Fhan, gue ketawa bukan karena lucu, tapi karena gak nyambung sama sekali." Fidya menghentikan tawanya.
Fidya melingkarkan tangannya pada pinggang Rafhan. Hal tersebut cukup membuat Rafhan terkejut, tetapi Rafhan tak mampu untuk berkomentar banyak
" Fhan,"
" Hmm"
" Bikin gue nyaman ya?"
" Pasti. Gue gak tau lo itu manusia atau bukan tapi gue bakal jadi ruang untuk bercerita."
" Rafhan! gue manusia tau!"
Rafhan hanya tertawa tidak lebih dari itu.
****
"Fhan tempat apa ini? "
Fidya memandang suasana disekitarnya, suasana lampu malam yang menyatu dengan kerlap - kerlip bintang. Disana juga terdapat komunitas photografi yang tengah asyik memotret objek foto di dekitarnya. Fidya benar - benar berada pada dunia fiksi Walt Disney, sedang dia sendiri menjadi salah satu Princessnya. Fidya bertanya - tanya pada hatinya sendiri, sejak kapan tempat seindah ini ada di wilayah Jakarta? yang selama ini Fidya tau hanyalah masalah, masalah dan masalah. Entah itu masalah kota atau bahkan masalah keluarga yang Fidya enggan untuk menceritakannya.
" Lo gak tau tempat seindah ini?" Kata Rafhan yang hanya dibahas gelengan oleh Fidya.
" Lain kali lo harus sering keluar rumah, nggak cuma tau rumah, jalan sekolah sama sekolah aja. Masa taman menteng aja gak tau."
Taman Menteng adalah tempat favorit anak muda untuk sekedar menikmati indahnya malam dan juga tempat berkumpul komunitas, disana menjadi destinasi wisata murah tapi juga nyamana, disebarang taman menteng juga terdapat jejeran penjual yan menjual aneka makanan dengan harga kantong anak muda.
" Mungkin terlalu banyak masalah yang gak pernah selesai."
" Lo aja yang selalu mempermasalahkannya. Masalah tuh jangan dijadiin beban, tapi jadiin pengalaman berharga."
" Gue lebih memilih untuk sembunyi," jawab Fidya pasti
" Sedangkan sembunyi gak jamin masalah lo kelar atau justru hidup lo yang kelar."
" Maksudnya mati gitu?"
Fidya bergidik ngeri.
" Ya gue gak tau pasti."
Fidya meneguk ludahnya.
" Gue bosan jadi diri gue sendiri."
Fidya kemudian duduk menengkukan kakinya lalu menelengkupkan kepalanya.
" Tatap gue?"
Fidya perlahan - lahan menatap wajah Rafhan.
" Warna mata lo tetep sama gak pernah berubah."
" Bukan itu maksud gue,"
" Maksudnya?"
" Gue pastiin, suasana hati lo tetap tenang."
Fidya memalingkan wajahnya. Lalu menatap mata Rafhan lekat, suasana hatinya sedikit lebih tenang.
" Tapi gue gak bisa mastiin suasana hati gue selalu tenang. Gue gak bisa Fhan!"
Rafhan memegang pundak Fidya.
" Dengerin gue Fid, gue gak bakal maksa lo untuk selalu nyaman sama gue. Gue gak bakal juga maksain lo untuk cerita apa masalah lo, tapi gue bakal mencoba menjadi ruang untuk bercerita. Gue bukan siapa - siapa lo, bahkan mungkin saja lo nganggep gue makhluk aneh, alien atau bahkan musuh lo. Tapi yang harus lo tau, gue gak bakal jadi radio rusak setiap lo bercerita."
" Tapi gue gak bisa mastiin selalu baik sama lo, gue belum bisa nerima lo seutuhnya. Gue gak bisa mastiin lo bisa jadi sahabat gue, cuma terkadang gue butuh orang yang perlu mendengar suara gue, bukan hanya sekeder di dengar tapi mampu memberikan solusi, walaupun sampai saat ini gue gak bisa cerita apapun masalah gue."
Setelah mereka puas menikmati langit malam sambil mnegbrol kemudian mereka memilih tempat yang pas unuk mengisi amunisu mereka, makanan sea food menjadi incaran mereka berdua. Kepiting balado pedas mampu mengajak mereka berdua untuk menikmatinya.
" Lo harus makan yang banyak Fid."
Kata Rafhan sambil menyodorkan kepiting balodo. " Biar lo itu melupakan masalah lo, kata orang hobby makan dapat menghibur diri sendiri."
" Kalau lo ngutang sama aja, masalah baru malah muncul lagi."
Fidya tertawa sambil menikmati indahnya langit malam, walaupun mendung tapi dia dapat melihat kerlap-kerlip lampu di sekitar
Rafhan memperhatikan Fidya yang tengah menatap langit malam, " pikiran lo pasti gak berada di tempat ini. Jiwa lo disini tapi raga lo gak disini, berkelana pada dunia imajinasi."
" Gue selalu berharap langit cerah setiap hari, dan saat itu gue berharap Dewi Bintang datang kepadaku dengan memberikanku tiga permintaan seperti lampu ajaib aladin, tapi gue cuma butuh satu permintaan saja. "
Rafhan berguman dalam hatinya, aneh.
" Tapi sayang semua hanya khayalan."Jawab Fidya kemudian
" Lo mau minta apa? kalo lo minta supaya lo masuk surga gue gak bisa, soalnya gue sendiri masih banyak dosa."
Fidya terdiam. Merenungi tentang dirinya sendiri.
" Lo mau minta apa? sebutkan saja." Pinta Rafhan
Fidya tersenyum kecut. " Gue cuma pingin semua berjalan seperti yang dulu, datang tanpa masalah."
" Sedangkan gue aja gak tau apa masalah lo, bagaimana gue bisa bantu lo."
" Lain waktu gue bakal cerita, gak sekarang. Ruang cerita sedang bercanda. Tidak pas kalau gue cerita sekarang."
" Terserah, gue gak pernah maksa." Rafhan menatap langit malam lagi. Katanya dalam hati gue juga berharap semua berjalan seperti dulu lagi.
" Fhan?"
" Kenapa? gue salah apa lagi."
" Kenapa lo gak pernah marah saat gue ngobrol gak pake aku kamu?"
Rafhan tertawa. " Kalo pake aku kamu lo gak bakal bisa nganggep gue sebagai ruang untuk cerita."
****
" Masih suka ya natap langit malam kaya gitu? nggak bosan?" kata Rafhan
Fidya berusaha menahan dinginnya angin laut yang menembus kulitnya.
" Dingin," Fidya memegangi tangannya padahal dirinya sudah memakai baju panjang.
Rafhan segera memakaikan jaket navy kesayangannya.
" Kenapa gak bilang kalau ngajak ke pantai padahal gue pingin nikmatin langit malam sendiri."
Rafhan berjalan melewati dermaga sambil membawa tas ransel kecil berwarna coklat, angin malam berhembus perlahan-lahan. Kerlap - kerlip lampu di pinggiran pantai menambah kesan eksotisnya malam. Langkah Rafhan terhenti pada tengah dermaga yang terbuat dari kayu yang dirakit menggunakan paku. Fidya menghampiri Rafhan, dirinya hanya penasaran dengan ransel kecil yang dibawa Rafhan.
" Fhan, lo mau ngajak gue berpetualang kemana?" tanya Fidya penasaran

" Menurut lo?"
" Ya gue gak tau." Jawab Fidya apa adanya
Tak lama kemudian ada perahu nelayan yang bersandar pada dermaga tersebut. Kira - kira cukup untuk dua orang lebih, disana terdapat juga lampu petromaks dengan bahan bakar berupa minyak tanah.
Nelayan tersebut menghampiri Rafhan.
" Mas Rafhan kan?" tanya nelayan tersebut.
" Iya pak, saya Rafhan."
" Ayo mas silahkan naik ke perahu." Ajak nelayan tersebut.
Fidya masih terlihat bingung.
" Ayo Fidya, tunggu apa lagi." Rafhan menarik tangan Fidya untuk menaiki perahu tersebut.
Fidya berusaha untuk menolaknya. " Gue takut gelombang Fhan."
" Nggak papa, cuma dipinggir saja."
Fidya masih tidak percaya. " Beneran Pak?"
Nelayan tersebut mengangguk mengiyakan.
Fidya memegang tangan Rafhan,
dirinya berusaha menahan keseimbangan tubuhnya supaya tidak terpeleset dan jatuh.
" Fhan takut," Fidya berusaha untuk menenangkan hatinya, tapi tetap saja tidak bisa
" Udah gak papa, ombak laut tau suara hati lo. Dia gak bakal nyakitin lo."
Rafhan memegangi Fidya, dia merasakan sesuatu hal yang sangat berbeda, sedangkan Fidya masih terlihat ketakutan yang sangat jelas.
Fidya mendongakan wajahnya, dia menatap langit malam daribatas perahu. Fidya belum pernah merasakan suasana yang dia rasakan saat ini. Suara gelombang laut yang kecil seakan-akan mengajaknya untuk ikut bermain bersama. Burung-burung camar menukik mencari ikan di lautan. Sedangkan mercu suar memancarkan cahaya yang indah. Saat ini Fidya mrrasa menjadi tuan putri yang duduk diatas singgasana. Tangan Fidya menyentuh air laut yang sangat jernuh. Air mulai beriak mengikuti gerakan tangan Fidya. Gerakan tangan tersebut diikuti oleh Rafhan. Sorotan lampu - lampu di pinggiran pantai memantul dengan sangat indah. Fidya menatap air tersebut nampak pantulan wajahanya yang tidak begitu jelas, kemudian pantulan tersebut berubah menjadi wajah seseorang pada saat itu pula tangannya menggoyangkan air tersebut sehingga pantulan wajahnya hilang bersama pergerakan gelombang air.
" Lo gak tanya isi dari tas ini apa?"
Fidya hanya menjawab dengan gelengan saja.
" Mungkin isinya bisa bom molotof, lo gak takut?"
" Kalau benar isinya bom molotof pada saat itu pula gue milih nyebur ke laut dan bertemu dengan mermaid."
Rafhan tertawa terbahak-bahak.
" Gue bohong tapi,"
" Gue udah tau kalo lo bohong."
Rafhan mengeluarkan isi dari tas tersebut, sebuah lampion sederhana yang bergambar bintang- bintang dengan sinar rembulan di tengahnya.
" Gue jadi inget Film Tangled Walt Disney. Pada saat itu Rapunzel dan pasangannya menyalakan lampion pada sebuah perahu."
" Dan pada malam ini gue ingin lo jadi Rapunzel untuk sehari ini saja."
Rafhan mengeluarkan wig panjang berwarna pirang.
" Lo pake."
" Lucu Fhan."
Fidya memakai wig Rapunzel yang panjangnya sampai pinggangnya tidak sampai lutut. Kemudian Eafhan menyalakan lampion tersebut.
" Penjamkan mata Fidya. Minta satu permintaan."
Fidya memejamkan mata seraya berdo'a dalam hati.
Pencipta aku ingin takdir yang diberikan kepada benar - benar yang terbaik, jika buruk aku berharap aku mampu melaluinya.
Rafhan berbicara di dalam hatinya.
Aku berharap, aku tetap menjadi ruang untuk bercerita.
Mereka membuka matanya secara perlahan - lahan pada saat itu pula lampion yang mereka terbangkan mulai meninggi, mereka menatap lampion tersebut seraya tersenyum bahagia. Pada saat itu langit benar - benar sangat indah dan entah kenapa Fidya mulai merasa sangat menyukai malam ini, dia berjanji tidak akan pernah lupa pada malam ini dan akan menuliskannya pada suatu dinding ruang ceritanya sendiri. Pada tulisan khayalan tersebut dia menuliskan kata, terima kasih.
Description: Rafhan bukanlah sosok badboy yang terkenal onar. Dia adalah makhluk dari saturnus yang tanpa sengaja bertemu di bumi dengan cewek yang tak pernah absen menangis dalam kehidupan sehari - harinya. Rafhan adalah ruang cerita bagi Fidya yang siap mendengarkan keluh kesahnya. Awalnya Rafhan mendekati Fidya karena rasa kasihan,tapi dia sadar apa yang dilakukannya salah. Entah kenapa semakin lama semakin merasakan hal yang lain. Sikap tulus yang ditujukan Rafhan memberikan ruang kenyamanan sendiri bagi Fidya. Kehadiran Rafhan mampu membuat kehidupan Fidya yang awalnya monokrom menjadi penuh warna seperti permen lolipop, dan juga penuh cerita manis. Mereka mengikuti alur tanpa adanya drama, tidak ada yang pernah tau isi hati yang sesungguhnya.
Akankah mereka berada pada ruang rasa yang sama?
Kita tidak pernah tau ada tidaknya rasa yang sama, karena enggan saling bertanya.
|
Title: Rumah Pilihan Dedek
Category: Cerita Pendek
Text:
Rumah Pilihan Dedek
Rumah Dedek di Surga
(Arroyyan Dwi Andini)
Tumpukan kardus tak beraturan, peralatan dapur yang masih berserakan dan kamar yang lebih berantakan dari kapal pecah. Belum lagi tangisan Rasya yang mewarnai suasana memjadi kelabu. Debu yang menempel disana sini, mainan Adit yang entah bagaimana caranya bisa bercampur dengan tanah plus makanan ringan yang tabur dari tempatnya. Beginilah suasana setiap kali pindah kontrakan rumah.
Letih!
Emosi jiwa seperti berlari kencang ke puncaknya. Membuat kepalaku pusing dan badan seperti masuk angin parah.
Namun suamiku dengan sabar membereskan segala sesuatunya tanpa banyak bicara. Tak lama dia telah menyusun tempat tidur, memasang seprei, mengepel lantai kamar. Lalu diajaknya Adit dan Rasya mandi. Selesai itu mereka beristirahat di kamar sambil berbincang.
“Adek Rasya suka rumahnya?”
“Suka, tapi nanti dindingnya dikasih gambar Pororo ya ayah” dengan penyebutan ‘r’ yang belum sempurna, Rasya meminta tokoh kartun kesukaannya itu dipajang.
“Iya, nanti kita cari gambarnya. Kalo mas Adit?”
“Adit maunya di rumah lama. Disana temen Adit banyak”
“Disini juga nanti kenalan dong, biar banyak lagi temennya”
Aku menghela nafas.
Lembayung senja nan jingga menghantarkan aku pada untaian khayalan tak bertepi. Sebuah keinginan yang sepertinya mustahil jadi nyata. Aku ingin sekali memiliki rumah sendiri.
Letih rasanya harus berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lain. Karena berat bagi ke dua anakku untuk bisa beradaptasi setiap kali menempati lingkungan baru. Dan saat ini semburat senja seperti mengerti gundah hati, jingganya teramat indah terlihat dari sini.
Demi keinginan itu, aku mati-matian berhemat. Beginilah jika menjadi istri yang hanya berkutat seputar sumur, dapur, kasur, tanpa ada predikat “wanita karir” di selipan pekerjaan ibu rumah tangga.
Jika tak pintar berhemat, bisa-bisa pemasukan akan selip dalam arus belanja yang deras. Menjadikan jatuh bangkrut di tengah bulan.
Menyisihkan setiap sisa uang belanja dari suami, rupiah demi rupiah dengan tabah. Aku menahan diri untuk tidak ngemil, tidak membeli baju baru, berusaha tidak tergoda membeli segala pernak-pernik dan menghindar dari tawaran kredit yang menggiurkan. Benar-benar memperketat pengeluaran demi rumah idaman.
Suamiku hanya tersenyum melihat kelakuanku. Seperti biasa dia bersikap ‘cool’ dengan hanya berkomentar “Jika sudah saatnya, pasti kita punya rumah Bun”.
Mingkin benar, namun kapan? Dikeseharianku di rumah, amatlah berbeda dengan kesehariannya di tempat kerja. Suamiku hanya memikirkan kerja tanpa memikirkan rumah. Setidaknya itu pendapatku.
Tidak banyak yang bisa disimpan dari gaji yang tak seberapa. Namun aku tak akan menyerah. Walau harus menabung belasan tahun, yang penting sudah ada tabungan untuk membeli rumah.
Dan aku mulai belajar berbisnis. Sambil menjemput Adit yang baru duduk di kelas dua Sekolah Dasar, aku berjualan baju daster. Menawarkan pada sesama ibu penjemput. Biarpun tak banyak, lumayan untuk membuat tarikan dua garis di bibir.
Inilah perjuangan. Rumah yang katanya murah dan bersubsidi pemerintah pun masih terasa amat mahaaal sekali! Terlebih tahun ini Rasya masuk Taman Kanak-kanak. Sekolah pun bukan sesuatu yang murah.
Ditengah semangat mewujudkan rumah impian, hal mengejutkan terjadi. Tak disangka-sangka, benar-benar diluar perkiraan dan tak direncanakan.
Aku hamil!
Hamil anak ke tiga. Sebuah kejadian yang tentunya akan menambah beban pengeluaran. Tapi mau bagaimana lagi?
Siksaan saat masa ngidam meningkahi rasa kecewa. Mengapa harus hamil? Mual, muntah, sakit kepala, tak bisa mencium bau odol hingga keinginan makan buah Naga Merah. Sampai asupan vitamin dan susu yang bukan saja harus ku telan tapi juga memperbesar pengeluaran. Membuat aku stress.
“Bersyukur Bunda. Di luar sana banyak perempuan yang tidak diberi kesempatan hamil” begitu komentar suamiku. Aduh! Bersyukur mungkin akan membuat hati lebih tenang di tengah laut kegalauan. Mau tak mau, sebisa mungkin menjalani ini tanpa sesal.
Namun karena tekadku sudah tak bisa ditawar lagi. Semampunya aku menabung.
“Bunda, pengen jajan” rengek Adit. Sebenarnya rengekan ini sudah biasa terjadi.
“Tidak perlu jajan, itu bunda sudah buatkan pisang goreng”
“Tapi Roni jajan, Bunda. Adit juga mau” Adit menunjuk temannya yang berdiri di depan pintu dengan membawa sebungkus makanan ringan. Ini membuat aku kesal, jika boros apa yang bisa ditabung?
“Roni, sini masuk” ajakkku dengan senyum yang terpaksa. Roni masuk dengan senyum pula.
“Roni mau pisang goreng?”
“Mau tante. Udah lama mama Roni gak beli pisang goreng”
Aku mengambil beberapa potong pisang, kumasukkan dalam plastik. “Ini untuk Roni. Tapi tante minta sedikit jajannya ya?” Roni mengangguk sambil menyodorkan jajanannya. Aku mengambil sejumput lalu kuberikan pada Adit. Roni tersenyum, kulihat dia langsung memakan pisang goreng itu.
“Ini, tidak usah jajan!” tegasku pada Adit. Anakku itu menurut dan tak menuntut. Lalu mereka pergi ke teras lagi untuk bermain. Aku menarik nafas panjang sambil mengusap perutku yang makin membesar.
Sebenarnya kehamilanku tidak terlalu bermasalah. Setiap kali kontrol, ibu bidan mengatakan kandunganku baik-baik saja. Sampai saatnya aku disarankan untuk USG ke dokter spesialis kandungan. Pergilah aku dengan berat hati. Pastilah akan lebih mahal biayanya.
“Bunda baik-baik saja kok, ayah. Sepertinya kita tidak perlu ke dokter kandungan. Uangnya kita tabung saja ya?”
“Bunda, ini kan untuk kebaikan bunda juga. Biar lebih yakin dan lebih tenang. Apalagi tanggalnya semakin dekat”
Aku tidak bisa membantah. Dan benar saja, di ruang pemeriksaan dokter itu hatiku terasa patah.
“Sepertinya harus caesar Bu, posisi bayi melintang” begitu kalimat dokter Iwan yang terasa membahana. Aku memandang wajah suamiku. Seperti biasa, dia terlihat tenang. Sedang aku galau tak karuan. Caesar?! Pastilah ini memakan biaya tidak sedikit.
“Kami ikut yang terbaik menurut dokter” jawab suamiku. Aku terhenyak.
“Tidak adakah kemungkinan bayiku akan memutar sendiri ke posisi normal, Dok?” tanyaku penuh harap.
“Kemungkinan selalu ada bu, namun ini posisi sulit. Lihatlah tali pusar yang menghalangi bayi memutar. Terlebih masa persalinan sudah dekat” Dokter Iwan menjelaskan foto USG yang baru saja aku jalani.
“Tidak bisa ya...” lirihku lemah.
“Ibu berdoa saja, saya hanya melihat dari sisi medis. Tapi operasi bukan sesuatu yang menakutkan. Ini adalah hal biasa dan sering terjadi”
Dokter Iwan bisa ringan berkata, tapi berat di hatiku.
Melipat kata sedih dalam senyum suamiku yang berpamitan dengan berjabat tangan. “Terimakasih Dok”
“Jangan khawatir pak, bayi anda tetap sehat” Dokter Iwan membalas senyum suamiku. Dan aku amat sangat berat untuk tersenyum.
“Ayah, dari mana kita dapatkan uang untuk operasi?” tanyaku begitu kaki ini melangkah keluar ruang praktek dokter.
Rumah Pilihan Dedek
“Ambil saja uang tabungan”
“Tapi Yah, uang itu Bunda kumpulkan untuk membeli rumah. Bukan untuk caesar!”
“Dedek yang di perut bunda lebih penting dari rumah” jawaban suamiku ini membuat mukaku terlipat 12. Aku kesal sekali. Pastilah impian memiliki rumah sendiri akan tertunda. Tertunda sampai waktu yang tak terhingga. Aku merasa sia-sia saja mengumpulkan sedikit demi sedikit uang itu. Kapan bisa memiliki rumah jika uang itu kerap diambil ?!
“Bunda, kapan Dedeknya hidup?” tanya Rasya, anakku nomer dua yang baru berusia empat tahun.
“Bukan hidup sayang, tapi lahir”
“Iya, kapan Dedek lahir Bunda? Rasya mau main petak umpet sama Dedek nanti”
“Tidak lama, mungkin seminggu lagi sudah lahir”
“Pasti Dedeknya mirip Rasya ya Bunda?”
“Iya, kita lihat saja saat Dedek lahir nanti” celotehan Rasya membuat hatiku sedih. Untunglah Adit, kakaknya tak begitu peduli.
Senja berlembayung malu. Mengantarkan aku menuju rumah sakit bersalin. Jingganya yang semu, menyamai semu hati yang terperi. Operasi yang tak dinanti.
Akhirnya, caesar itu berlangsung. “Yang kuat ya Bunda, pasti operasinya lancar. Jangan takut, Dedek pasti lahir selamat dan bunda juga sehat” mesra suamiku mengenggam tanganku. Lalu mengecup keningku, saat perawat mulai mendorong tempat tidur menuju kamar operasi. Entahlah, aku harus sedih atau harus bahagia.
Begitu tersadar dari pengaruh obat bius, aku merasa hampa. “Dedek, betapa mahalnya dirimu” kata hatiku sedih.
Namun naluri keibuanku berbicara. Perasaan suka cita menyambut si kecil menyelimuti hati. Melihatnya seolah melihat harapan yang merajut tambalan kain kehidupan yang terkoyak.
Ku susui Dedek dengan pelukan hangat. Ku perhatikan dia. Matanya adalah mataku, aku mengusapnya mesra dengan ujung telunjuk. Mulutnya, mulut ayah. Dan hidungnya, hidung Rasya. Ya benar sekali tebakannya, bahwa Dedek akan mirip dirinya. Paduan sempurna dari Ayah, Bunda dan Kakaknya.
Hei, matanya berkedip memandangku. Sungguh keindahan yang meneduhkan. Aku memberinya senyuman manis. Rasa sayangku membuncah. Ku usap pipinya dengan punggung telunjuk. Dedek menggeliat, dia tersenyum kembali. Betapa aku suka melihatnya. Tapi Dedek memejamkan matanya lagi, sampai suster membawanya kembali ke kamar bayi.
“Ayah, seberapa besar tabungan bunda yang diambil?”
“Lebih dari separuh. Ikhlaskan Bunda, jika sudah saatnya nanti, pasti kita akan punya rumah sendiri. Sabarlah”
Aku menarik nafas panjang. Perih rasa hati ini jika mengingatnya. Aku sudah berkorban untuk tidak membeli camilan kesukaanku. Menghentikan kebiasaan ngemil ini butuh perjuangan. Menahan diri sekuatnya untuk hanya membeli sesuai kebutuhan dan mematikan semua keinginan. Berbulan dan bertahun-tahun. Lalu uang itu nyaris habis hanya dalam waktu sehari. Di rumah sakit ini.
Tak terasa air mataku mengalir. Menerjuni relung hati yang ingin tetap terbasahi oleh harapan. Sebuah cita-cita sebagai pelipur lara. Kuusap jahitan diperut yang masih menyisakan nyeri. Terbayang senyum manis Dedek yang tak berdosa. Air mataku mengalir lagi.
Esoknya, suamiku tergopoh-gopoh menghampiriku dengan membawa kursi roda. Dengan nafas tersengal-sengal dia berucap “Bunda, ayo bangun. Kita lihat Dedek” lalu tanpa sepertujuanku, dia langsung menggendongku, memindahkan aku ke kursi roda. Lalu mendorongnya dengan cepat.
“Ada apa ayah?”
“Dedek sakit” jawaban pendek suamiku membuatku jatuh lemas. “Duh, jangan sakit Dedek. Karena, sakit adalah uang. Mengertilah” batinku menjerit.
“Tapi semalam Dedek baik-baik saja. Bunda masih menyusuinya”
Suamiku tidak menjawab. Dia terus mendorongku ke sebuah ruang.
Terlihat Dedek terbaring lemah dengan infus. “Dedek, kenapa sayaaang...” Air mataku meleleh. Kulihat matanya sejenak terbuka, lalu bibirnya tersenyum. Senyum manis sambil memandangku. Aku membalas senyumnya. Dedek cantik sekali. Lalu mata itu menutup lagi.
Semalam memang pipinya terlihat lebih kurus. Tapi aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang membahayakan.
“Semalam setelah menyusu, dedek muntah-muntah” cerita suamiku.
Belum sempat aku menanggapi kata-kata suamiku, tiba-tiba suster terlihat sibuk. Mencari dokter dengan panik.
Rumah Pilihan Dedek
Suamiku menghela nafas panjang. Memeluk Dedek dengan erat. Aku tak mengerti. Apa yang terjadi?! Aku ikut panik. “Ada apa ini?!” jeritku, tapi mereka tak peduli. Sibuk menangani Dedek. Sejenak, lalu kesibukan itu mereda. Aku masih saja bingung.
Sampai suamiku melafazkan “Innalillahi wa innailaihi roji’uuun” dan para suster itu melepas semua peralatan yang menempel di tubuh dedek.
Aku tersentak tak percaya. Air mataku yang meleleh kini mengalir deras.
“Ayah, kenapa Dedek Yah? Kenapa?!”
Suamiku berlutut dihadapan kursi roda, sambil mengenggam erat tanganku. “Sabar ya Bunda, Dedek sudah pulang ke rumah Allah”
Aku histeris. “Tidak mungkiinn...! Tidak mungkin, ayah!” Suamiku memelukku erat, tanpa berkata-kata.
“Ayah, ambil semua tabungan Bunda. Bilang sama dokternya supaya dokter menyembuhkannya. Pergilah ayah, ambil semua uang Bunda” aku sesenggukan hebat. hatiku bagai tersayat, menumpahkan segala rasa kepedihan, keperihan dan sesal yang mendalam.
“Sudahlah bunda, Dedek tidak memerlukan uang. Yang Dedek perlukan adalah keikhlasan hati Bunda melepasnya supaya Dedek kelak bisa memberikan bunda rumah di surga” kata-kata suamiku membuat hatiku hancur. Menjadi serpihan kecil yang tertiup angin lalu hilang tak kembali.
Dedek, maafkan bunda. Ternyata Dedek tidak memilih tinggal di rumah sendiri atau di rumah kontrakkan. Tapi Dedek memilih tinggal di rumah indah nan abadi, rumah di surga. Selamat jalan Dedek. Maafkan,maafkan Bunda...
Lembayung senja ini runtuh, jingga indahnya tertutup awan kelabu. Hingga saat hujan kan mengusir mendung dan akan menggantinya dengan pelangi.
Description: Sangat mengimpikan memiliki rumah sendiri. Karena jiwa raga telah letih berpindah-pindah kontrakan.
Menabung mati-matian sampai mengabaikan camilan kesukaan.
Tapi kehamilan adalah kejadian tak terduga yang memupuskan impian. Hamil itu biaya, rumah juga biaya. Pilihan yang tak bisa dipilih.
Dan dedek pun mempunyai pilihan rumahnya sendiri
|
Title: Recognize
Category: Cerita Pendek
Text:
Recognize
Sirine jam istirahat yang baru saja terdengar membuat hampir seluruh murid keluar dari kelas, walaupun beberapa guru masih berada di dalam kelas. Ada yang langsung pergi ke kantin, ada yang pergi ke kelas lain dan ada yang tetap duduk di bangku masing-masing. Langit yang mendung semakin mengundang siapa pun meminta untuk diisi, namun hal berbeda terjadi pada Mina yang tetap duduk tenang dibangkunya. Mina tetap duduk dibangkunya, mengeluarkan laptop dan bekal dari dalam tasnya yang jarang sekali terasa ringan.
Mina kembali mengerjakan tulisan yang harus segera ia posting di blog baru miliknya, dengan sesekali menyuap roti bakar yang sengaja ia siapkan sebagai teman mengetiknya. Mina ingat sekali untuk tidak langsung menulis postingan langsung dari blog miliknya, karena menurutnya hal itu akan sangat membahayakan jika laptop tua miliknya tiba-tiba mati. Mina kembali memfokuskan diri pada tulisan yang masih setengah jadi dan roti yang mulai habis, namun gangguan tiba-tiba saja datang.
Segerombolan anggota OSIS yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan masuk ke dalam kelas, firasat Mina sudah sangat buruk melihat wajah anggota OSIS yang selalu terlihat menyebalkan baginya. Segerombolan itu meminta para murid yang ada di kelasnya untuk duduk dibangku masing-masing karena akan menyampaikan informasi yang cukup penting, tentu saja ada beberapa yang menurut dan ada yang tidak. Mina selalu menaruh perhatian penuh pada setiap informasi, karena Mina duduk dimeja paling depan.
“Selamat pagi semuanya! Saya selaku anggota OSIS ingin mengingatkan kembali bahwa kita akan melakukan kegiatan outbound di Bandung, dan menginap semalam. Untuk batas pendaftaran administrasi untuk kegiatan Outbound tersebut, sampai minggu ini ya?! Jadi diharapkan untuk membayar secepatnya”.
Mina kembali mengalihkan fokusnya pada layar laptopnya setelah anggota OSIS perempuan yang berambut panjang itu selesai berbicara, memikirkan kembali dirinya yang sebenarnya yang tidak ingin ikut. Perempuan berambut pendek yang berada di samping perempuan yang sebelumnya berbicara mengajukan permintaan untuk bertanya jika ada yang belum mengerti, namun tidak ada sama menyaut tidak mengerti dan seolah tidak perduli. Lalu salah satu laki-laki yang memiliki tubuh paling tinggi diantara mereka perlahan berjalan kedepan beberapa langkah, mencoba menghampiri Mina.
“Kamu ada yang mau ditanyain gak?”. Ucap laki-laki itu sembari menyesuaikan tubuhnya agar dapat terlihat oleh Mina yang kembali memfokuskan tatapannya pada layar laptop.
”Ha?”. Mina terkejut karena tiba-tiba saja ada wajah didekat layar laptopnya.
Laki-laki itu mencoba meyakinkan, bahwa Mina sebenarnya mendengar apa yang baru saja diucapkannya, yang tentu saja membuat Mina harus benar-benar membuat sebuah pertanyaan.
“Mau tanya, kalau misalnya gak ikut gimana?”. Mina mencoba bertanya tentang hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan.
“Untuk hal itu, tetap bayar setengah dari harga administrasi”. Jawab perempuan yang berambut panjang.
Lalu Iza, Melody dan Tassa masuk kedalam kelas dan langsung duduk di kursi mereka yang berada di belakang meja Mina. Perhatian mereka bertiga langsung jatuh pada laki-laki bertubuh tinggi yang kembali mundur menyamakan keberadaannya dengan teman-temannya.
“Ndre, kamu ikutkan?”. Tanya Melody dengan nada suara sedikit menggoda.
“Tentu saja! Anggota OSIS diwajibkan ikut karena akan jadi panitia juga disana”. Jawabnya dengan jelas dan wajah yang sangat meyakinkan.
Karena sudah membuang waktu cukup banyak dan jam istirahat yang akan segera habis, maka perempuan berambut panjang menutup kedatangan mereka dan pergi dari kelas. Mina kembali memfokuskan diri untuk mengerjakan tulisannya yang harus diposting nanti malam, namun bell masuk yang baru saja berbunyi membuat Mina sedikit kesal karena tidak memberikan sedikit lagi waktu untuknya melanjutkan tugasnya.
Kebiasaan baru Mina setelah pulang sekolah adalah datang ke perpustakaan untuk mengetik, karena mungkin perpustakaan adalah satu-satunya tempat yang tenang di sekolah. Lagi pula hanya akan ada beberapa anak yang ada di perpustakaan. Bukan untuk membaca, melainkan meenjadi tempat pelarian untuk tidur siang. Mina langsung pergi dari kelas setelah mendengar suara bell pulang berbunyi, ketika murid yang lainnya malah sibuk berkumpul di depan kelas untuk mengobrol.
Mina masuk kedalam ruangan perpustakaan dan tidak melihat siapa pun, Mina pun langsung mencari tempat yang siapa pun tidak bisa melihat keberadaannya. Ruangan perpustakaan memiliki 2 meja besar yang letaknya berjauhan, salah satu meja berada di bagian depan yang langsung terlihat saat kita memasuki ruangan perpustakaan dan meja yang satunya berada di bagian dalam, yang harus melewati beberapa rak buku. Mina memilih untuk duduk di meja yang ada dibalik rak buku agar siapa pun tidak dapat melihat dan menganggunya. Segera memakai jaket tebal miliknya dan memilih posisi yang aman.
Mina mengeluarkan laptopnya dan sedikit bekal siang untuk mengganjal perutnya, Mina kembali memperhatikan sekitar dan berharap tidak ada siapa pun yang ada di ruangan perpustakaan. Mina kembali asyik melanjutkan tulisannya yang sudah hampir selesai dengan sesekali menyuap nasi dan sayur buncis kedalam mulutnya, suasana perpustakaan sangat membantunya untuk fokus dan menyelesaikan tugas yang dirinya sendiri buat.
“Hei! Disini kan dilarang makan dan minum!”. Suara itu tiba-tiba saja berada tepat disamping telinga Mina dan membuatnya terkejut.
Suara itu sangat membuat Mina takut dan terkejut, sehingga langsung membuat Mina merapikan kotak makan miliknya. Namun, suara itu malah tertawa, meletakkan tas diatas meja dan duduk disamping Mina. Mina terdiam memperhatikan laki-laki yang baru saja membuatnya takut setengah mati jika harus dipanggil guru hanya karena makan di dalam perpustakaan.
“Udah, lanjutin aja makannya. Tenang, gak bakal dilaporin!”. Laki-laki itu kini meletakkan kepalanya diatas tas, seolah itu adalah bantal. Laki-laki itu menatap Mina yang melanjutkan lagi kegiatannya; mengetik dan makan.
“Kamu beneran nggak mau ikut?”. Tanya laki-laki itu.
Mina hanya menggelengkan kepalanya dan sama sekali tidak mengalihkan pandangannya. Namun, hal itu malah membuat laki-laki itu penasaran dengan yang dilakukan Mina. Laki-laki itu mengangkat kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada layar laptop Mina, mencari tau apa yang tengah dikerjakan perempuan yang tidak pernah lepas dari laptop dan buku catatan.
“Blognya baru lagi ya? Gue dulu pembaca blog kamu yang lama...”. Ucapnya kembali meletakkan kepalanya diatas tas miliknya dan perlahan menutup matanya.
Ucapan laki-laki itu membuat perhatian Mina sedikit terganggu, Mina sampai melepaskan pandangannya dari layar laptop hanya untuk menatap wajah laki-laki itu. Memperhatikan dengan jelas wajah laki-laki yang ada dihadapannya; wajah lonjong, rahang yang lancip, kumis tipis, rambut berponi yang disisir kesamping dengan tangan dan tahi lalat yang ada di pipi sebelah kiri. Karena menyadari bahwa dirinya diperhatikan, membuat laki-laki itu membuka matanya dan merasa bingung dengan yang dilakukan Mina.
“Kenapa ?”. Dengan wajah yang kebingungan.
“Gue Andre...”. Menyebutkan namanya.
“Oh...”. Mina kembali memandang layar laptopnya seolah sudah tidak penasaran lagi.
“Bukannya kita saling kenal ya? Waktu itu kita udah kenalan, waktu kita jadi anggota English Club waktu kelas 1?”. Ucap Andre mencoba mengingatkan.
Namun, Mina hanya mengangguk tanpa memandang lagi laki-laki yang ada disampingnya. Fokusnya terus tertuju pada laptop yang ada dihadapannya, berharap nanti malam Mina bisa langsung memposting tulisannya tentang Petrichor. Mina menghela nafas panjang sebelum benar-benar menutup layar laptopnya, senyum pun sedikit terlihat dari kedua sudut bibirnya. Mina langsung memasukkan laptop dan kotak makan yang sudah kosong miliknya ke dalam tas tanpa memperdulikan Andre yang masih tertidur disampingnya, seolah tidak ada siapa pun di sana. Mina beranjak dari kursinya untuk pulang ketika laki-laki itu mulai bangun dari tidurnya.
“Mina harus ikut outbound ya!”. Dengan suara yang pelan.
7 bis sudah berbaris rapi di lapangan sekolah, para murid yang ikut pun sudah diminta berbaris rapi sesuai dengan kelas mereka masing-masing. Para guru dan panitia yang terdiri dari OSIS pun sudah berbaris didepan barisan sebagai tanda bahwa pemberangkatan akan segera dilaksanakan. Mina sudah berada didalam barisan dengan tas yang dua kali lebih berat dari sebelumnya dan tote bag yang cukup berat, dan seluruh murid yang terlihat membawa banyak peralatan yang harus dibawa sebelum semuanya dimasukkan kedalam bagasi bus.
Perjalanan menuju Bandung menempuh 4 jam perjalanan, seperti didalam kelas, Mina harus duduk bersama Iza, sedangkan Melody dan Tassa berada di kursi belakang . Mina selalu merasa bahwa dirinya lebih baik duduk sendiri dari pada dengan Iza atau orang lain. Disetiap bus diisi oleh 3 anggota OSIS sebagai perwakilan bus tersebut, di bus di mana Mina berada ditugaskan 2 orang laki-laki dan 1 perempuan; yang salah satunya adalah Andre. Pemberangkatan hanya diisi dengan games kecil dan penyetelan beberapa lagu yang membangkitkan semangat, namun tetap saja Mina memilih mendengarkan lagu-lagu yang ada di playslist handphone-nya.
Pemandangan perkotaan kini berganti dengan pemandangan penuh dengan pepohonan, sudah dapat dibayangkan bahwa udara yang akan terhirup setelah keluar dari bus akan sangat berbeda dari sebelumnya. Bus pun sudah terparkir dan beberapa murid sudah turun dari bus menuju lapangan luas yang teduh dengan rindangnya pepohonan, para panitia meminta para murid untuk mengambil tas masing-masing.
Acara dimulai dengan upacara dan segala sambutan dengan diadakannya acara outbound, lalu dilanjutkan dengan makan siang dan pembagian kelompok. Mina hanya mengikuti kemana kerumunan itu pergi dengan langkahnya sendiri, tidak ada siapa pun yang ingin bersama Mina dan Mina pun merasa dia tidak ingin bersama siapa pun. Setelah mengambil makanan yang disediakan Mina langsung memilih meja yang berada di sudut ruangan, meja yang masih kosong karena ukuran meja yang kecil.
“Boleh duduk disini?”. Tanya seseorang yang menunjuk kursi kosong yang ada di hadapan Mina. Namun, seorang laki-laki menabrak bahu Andre tanpa menyadarinya. Andre yang menyadari hal itu langsung menoleh kearah laki-laki itu yang berlalu begitu saja, menghela nafas panjang dan kembali menoleh kearah Mina.
Mina menoleh ke arah suara itu berasal, laki-laki yang masih berdiri mengenakan kaos panitia dengan piring yang masih dibawanya. Mina hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Andre, melihat sinyal yang diberikan andre pun langsung duduk.
“Kamu selalu makan sendirian ya?”. Tanya Andre.
“Kalau aku makan ramean, aku gak kenyang. Hahaha”. Jawab Mina dengan tawa kecilnya yang ditahan.
“Hahah akhirnya aku dengar suara kamu. Iya, Juga sih. Aku juga makan sendirian”. Sahut Andre dengan wajah yang begitu senang.
Mina langsung beranjak dari kursinya setelah menghabiskan makannya dan minum, meninggalkan Andre dengan rasa bingung karena Mina pergi begitu saja. Andre yang memperhatikan gerak-gerik Mina hanya keheranan melihat sikap Mina yang berbeda dengan perempuan lainnya yang pernah Andre temui, bahkan pada Andre yang selalu didekati oleh banyak siswa perempuan kelas 1 SMA sampai 3 SMA.
Satu persatu permainan pun mulai, Mina harus berkelompok dengan orang yang tidak Mina kenal karena kelompok dibuat secara acak dari tingakatan kelas yang berbeda. Mina kembali menyesuaikan dirinya pada kelompoknya, yang terdiri dari 2 laki-laki; Aryo dan Dimas, dan satu perempuan; Ara. Mina berusaha mengingat wajah dan nama-nama mereka.
Saat permainan mengoper bola dengan bambu berukuran 1 meter yang dipegang perorangan di sebuah sungai keukuran kecil, para anggota akan membuat jembatan kecil dengan bambu agar bola dapat menyebrangi sungai. Para anggota kelompok harus turun kesungai sebatas perut, perlombaan itu diikuti oleh 2 kelompok. Perlombaan pun dimulai yang dimenangkan oleh kelompok lawan yang mampu memindahkan 3 bola, sedangkan kelompok Mina hanya 2 bola.
Mina keluar dari sungai dan duduk dipinggir sungai untuk melihat kelompok lain yang akan bertanding, namun semua menjadi panik saat seorang laki-laki berteriak panik. Mina dengan santainya menggulung bagian bawah celana traningnya agar tidak terlalu berat karena air yang masih menetes dari celananya.
“Garam.. garam!”. Teriaknya sambil meminta pada salah satu panita yang sedang mengawas jalannya pertandingan.
Salah satu panitia yang ada langsung mengeluarkan plastik kecil berisi garam dan langsung memberikannya pada laki-laki yang sangat panik itu, laki-laki yang panik itu langsung berlari kearah Mina. Mina yang terkejut hanya diam kebingungan dengan apa yang terjadi, laki-laki itu langsung duduk disamping Mina dan langsungmeluruskan kaki Mina. Dengan sangat cepat langsung membuka plastik kecil itu dan menaburkan garam dibetis Mina, Mina yang terkejut pun bertambah terkejut.
Laki-laki itu menaburkan garam pada lintah kecil yang menempel di bagian luar betis mina, Mina hanya pasrah dan sesekali meringis. Tak lama kemudian lintah itu pun lepas dari betis Mina dengan sedikit darah yang ikut keluar, Mina hanya diam dengan wajah yang masih kebingungan.
“Mana? Mana?”. Suara Andre yang datang dengan kotak P3K .
Kedatangan Andre langsung menjadi penolong, dengan kotak P3K langsung mengobati luka yang tidak begitu parah. Andre pun langsung mengecek bagian kaki Mina yang lainnya, memastikan bahwa tidak ada lagi lintah yang menempel di kaki Mina.
Kelompok lain yang tengah berada didalam sungai langsung naik ketepian sungai, dan beberapa guru yang tengah mengawasi langsung membantu mengecek kaki anggota yang baru saja naik dari sungai.
“Pak kalau saya digigit terus nanti infeksi gimana?”. Tanya salah seorang siswi perempuan yang dengan paniknya mengecek kaki untuk memastikan tidak ada lintah yang menempel.
“Engga sakit kok, Cuma kayak digigit semut kecil. Geli!”. Sahut Mina dengan tawa kecil.
Karena murid yang tengah berada di games sungai menjadi sangat panik membuat ketua dari permainan tersebut menghapus permainan tersebut, membuat beberapa murid yang belum berendam dalam air sungai merasa lega.
“Udah selesai! Lain kali hati-hati ya?!”. Ucap Andre yang langsung pergi setelah memastikan luka di kaki Mina tertutupi.
Waktu dengan sangat cepat berlalu, langit yang terang perlahan mulai gelap dan udara menjadi semakin dingin. Acara outbound kali ini mempersilahkan para anggotanya untuk tidur didalam tenda yang sudah disediakan, setiap tenda diisi oleh 8 orang dari kelompok yang berbeda. Agenda yang terakhir adalah acara pentas seni yang di mana setiap kelompok diharuskan untuk menunjukkan kemampuan seni mereka, waktu yang diberikan untuk latihan pun tidak sampai 1 jam sebelum acara pentas seni dimulai. Pentas seni yang digabung dengan acara api unggun.
Sejak jam 5 sore semua anggota diberikan waktu untuk beristirahat dan mempersiapkan diri untuk penampilan di acara pentas seni, namun udara yang sangat dingin menghambat beberapa murid untuk mandi.
“Mina, kamu mandi ga?”. Tanya Ara didalam tenda.
Mina terdiam sesaat, mengingat antrean yang akan sangat panjang karena jumlah kamar mandi yang tidak banyak dengan jumlah para murid yang cukup banyak. Terlebih lagi siswa perempuan akan menghabiskan banyak waktu di kamar mandi, Mina pun mengambil keputusan dengan mengiyakan pertanyaan Ara.
Waktu menuju acara pentas seni semakin dekat, Mina, Ara, Aryo dan Dimas berkumpul untuk membicarakan tentang penampilan yang akan mereka tampilkan di acara pentas seni. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, udara dingin yang menusuk membuat beberapa murid memakai jaket tebal dan celana panjang untuk menghalau udara dingin. Dimas dengan baju lengan panjang dan hoodie biru, Aryo dengan baju lengan panjang dan jaket kulitnya, Ara dengan baju lengan panjang dan cardigan rajut, sedangkan Mina menggunakan baju lengan panjang, flannel, jaket dan selendang.
“Gimana kalau kitanya nyanyi aja? Dimas kan bisa main gitar, dan Aryo bisa kan main cajon?”. Tanya Ara serius dengan cahaya yang remang-remang dari lampu minyak didepan tenda.
“Bisa kok!”. Dimas dan Aryo menjawab bersamaan.
“Mina bisa nyanyi?”. Tanya Ara menoleh ke arah Mina.
“Aku diam juga bisa!”. Jawab singat Mina yang disambut dengan senyum lebar miliknya.
“Jadi, menurut aku kita nyanyi lagu yang everlasting. Gimana kalau I’m Yours punyanya Jason Mraz?”. Ara selalu punya ide-ide cemerlang.
Jam pun sudah menunjukkan waktunya, dan malam sudah semakin menunjukkan dinginnya. Beberapa penampil sudah menampilkan bakat seni yang mereka miliki bersamaan dengan api unggun yang membara dibelakang para penampil, membuat udara yang dingin sedikit berkurang. Kini saatnya kelompok Mina untuk maju.
Semuanya terhibur dengan permainan gitar Dimas, cajon dari Aryo dan suara merdu dari Ara dan Mina. Malam yang dingin pun terasa hangat dengan lagu yang mereka nyanyikan dengan merdu dan seru, Mina dan Ara menjadi perpaduan cantik pada malam berbintang. Beberapa murid ada yang sampai ikut menari dan beberapa ada yang menyalakan senter menambah meriah penampilan dari kelompok Mina, dan begitu pun dengan Andre yang sangat terkejut dengan suara merdu yang dimiliki Mina. Kelompok Mina pun mendapat sorak dan tepuk tangan yang sangat meriah.
“Akhirnya kita berhasil! Walaupun latihannya gak sampe satu jam!”. Sorak Ara dipinggir lapangan.
“Semoga kita menang!”. Seru Dimas.
“Ha? Emangnya dilombain ya?”. Tanya Aryo kebingungan.
“Yang penting kita udah nampil keren! Ternyata suara kamu bagus banget, beda banget waktu kita latihan tadi!”. Ucap Ara yang langsung menoleh kearah Mina.
“Suara kamu juga bagus Ara!”. Sahut Mina yang langsung menggenggam tangan Ara.
“Mina, boleh ngobrol sebentar?”. Suara laki-laki itu tiba-tiba saja terdengar dari arah belakang Mina.
Mina yang mendengar suara itu langsung mengerti maksutnya dan langsung memberi sinyal pada Ara bahwa dirinya pergi sebentar, dan langsung mengikuti langkah kaki laki-laki yang memimpin jalan. Langkah kaki itu menuju aula, bangunan satu-satunya yang menjadi tempat untuk menyimpan barang-barang penting. Laki-laki itu langsung mempersilahkan Mina untuk duduk dibangku yang berada di beranda aula.
“Kaki kamu gimana? Masih sakit ga?”. Tanya Andre yang langsung mengambil kotak P3K untuk mengganti perban.
“Baik-baik aja kok!”. Jawab singkat Mina.
“Emang kenapa sih harus diganti? Ini kan Cuma digigit lintah”.
“Takutnya infeksi aja! Kan kita gak tau lintahnya bersih atau engga...”. Andre langsung berlutut untuk mengganti perban pada luka mina.
Tidak ada percakapan apa pun kecuali mina yang memperhatikan Andre yang sedang mengganti perban, Bahkan andre pun hanya diam walaupun banyak yang ia ingin ucapkan. Belum benar-benar selesai, Andre dibuat bingung dengan hal lain yang membuat dirinya semakin khawatir.
“Kamu bener gak apa-apa?”. Andre memperhatikan gerak gerik Mina.
Mina hanya diam dan memperhatikan ke arah lain untuk menghindari dirinya menjawab pertanyaan Andre yang itu itu saja.
“Kamu bener kan gak apa-apa?”. Tanya Andre yang mendekatkan wajahnya kewajah Mina.
Mina membeku saat melihat wajah andre tepat didepan matanya, lalu terkejut dengan isi kepalanya sendiri. Mina langsung bangun dari duduknya dan beranjak pergi, namun Andre berhasil menghentikan Mina.
“Bahkan kamu sendiri gak sadar, Mina!”. Seru Andre yang langsung meminta Mina untuk duduk kembali.
“Liat! Kamu garuk-garuk terus dari tadi, badan kamu juga merah-merah, wajah kamu juga!”. Andre membuka kotak P3K untuk mencari obat alergi.
“Duh, gak ada lagi. Kamu tunggu sini! Aku cari obat dulu, Awal kalau kemana-mana!”. Suruh Andre yang langsung pergi kedalam ruangan untuk mencari kotak obat yang lebih besar dan lengkap.
Mina duduk di luar sendirian, menyadarkan dirinya sendiri bahwa sejak tadi tangannya tidak berhenti mengusap tubuh dan wajahnya. Tangannya sudah dipenuhi bercak merah dan wajahnya sedikit terasa panas, rasa gatal yang terasa sangat sulit untuk tidak menggaruknya. Lalu seseorang datang mendekat kearah mina membawa sebotol air mineral, tanpa duduk laki-laki itu langsung meletakkan sebotol air mineral dan 2 tablet obat alergi.
“Don’t force yourself! Kalau kamu emang alergi dingin, gak apa-apa. Siapa tau badan kamu bisa mentolerir dingin lainnya”.
“Gue tau lu suka sama dingin. Tapi, harus tetep diminum obatnya, jangan sampe alerginya ngundang penyakit yang lain!”. Ucap laki-laki itu yang langsung beranjak pergi.
Mina hanya terdiam, mencoba mengingat-ingat siapa nama laki-laki itu. Namun, semakin mencobanya mengingatnya semakin pula pusing yang Mina rasakan. Rasa gatal yang sangat menganggu membuat Mina meminum obat yang baru saja diberikan padanya, dan tanpa sadar membuatnya mengingat tentang blog lamanya yang terhapus. Blog yang tidak hanya membahas tentang informasi yang Mina sengaja cari tahu, tapi juga tentang cerita pribadinya. Namun, sayang tulisan-tulisan yang Mina sukai hilang bersama blog kesayangannya. Mina langsung pergi ke tenda untuk lekas tidur, kegiatan seharian penuh membuat energinya terkuras banyak.
Seseorang menggerak-gerakkan tubuh Mina dengan cukup kencang, beberapa wajah yang panik menatap dengan cemas mengelilingi Mina yang suhu tubuhnya sangat tinggi. Mina sayup-sayup mendengar suara orang-orang yang ada dihadapannya, namun matanya sangat sulit dibuka dan tubuhnya terasa berat untuk digerakkan. Salah seorang guru perempuan langsung menghubungi orang tua Mina setelah sepakat untuk segera memulangkan Mina karena sakit, dan juga mengucapkan maaf karena tidak bisa menjaga Mina dengan baik.
“Mina memang gampang sakit, jadi cepat dibawa ke sini biar di rawat!”. Ucap Ibu Mina dari telfon.
Semua guru memulai pembicaraan dengan membuat lingkaran kecil, mendiskusikan bahwa lebih baik Mina segera dipulangkan dengan mobil pribadi agar tidak menganggu murid lain dan mempercepat perjalanan. Wajah Mina yang pucat perlahan dapat membuka kedua mata tanpa memperdulikan selimut yang sudah berlapis-lapis yang ada di atas tubuhnya, itu karena Ara yang panik dan meminta teman lainnya untuk memberikan selimut untuk Mina yang mengigil saat malam hari.
Andre yang panik pun langsung membantu guru untuk mempersiapkan keberangkatan Mina, walaupun seharusnya dalam agenda acara selesai pada jam 10 pagi setelah sarapan dan olah raga. Namun, keadaan Mina sangat tidak memungkinkan untuk tetap berada di tempat perkemahan. Mobil pun sudah siap, salah seorang guru laki-laki menggotong Mina yang masih belum sepenuhnya sadar kedalam mobil, sedangkan didalam mobil sudah ada guru perempuan yang siap menjaga Mina agar tetap dalam posisi yang nyaman.
“Andre, kamu gak perlu ikut. Kamukan panitia, jadi pastikan acara ini selesai! Okay?!”. Pinta salah seorang guru laki-laki yang ikut masuk kedalam mobil.
Andre tidak bisa memaksa untuk ikut sedangkan dirinya masih banyak tanggung jawab sebagai anggota panitia, wajahnya pun tak pernah lepas dari resah karena ingin segala agar acara cepat selesai agar dirinya dapat melihat keadaan Mina.
Mina sedang tertidur lelap di kamar bernomor 17, sejak kemarin pagi kesadarannya masih belum berkumpul. Mina ditemani Ibunya yang sudah sigap karena Mina sudah beberapa kali masuk rumah sakit karena hal yang sama. Mina mencoba membuka matanya yang masih sedikit bengkak, perlahan melihat tangannya untuk memastikan bercak merah pada tubuhnya memudar. Namun, bercak merah itu masih terlihat jelas. Mina menghela nafasnya panjang dan memalingkan pandangannya pada Ibunya yang tengah membaca buku, mengamati lekat-lekat wajah Ibunya yang begitu tenang.
“Bu, aku mau tinggal di negara yang udaranya dingin. Kalau aku alergi dingin, gimana aku bisa tinggal di sana?!”. Ucap Mina seolah pasrah dengan keadaannya.
“Kamu bisa tinggal disini, kalau gitu!”. Ucap Ibunya memandang wajah Mina yang masih begitu lemas.
“Aku gerah, Bu. Tapi, aku gak bisa kedinginan”. Mina bingung dengan ucapannya sendiri.
Lalu terdengar suara pintu diketuk beberapa kali, membuat Ibu langsung beranjak untuk membukanya. Datanglah beberapa orang yang yang berjumlah 4 orang masuk kedalam ruangan Mina dan Duduk memandang Mina yang masih lemas, mengajukan beberapa pertanyaan pada Ibu.
“Gimana keadaan Mina, Bu? Sudah mendingan bukan?”. Tanya seorang guru perempuan berkerudung.
“Udah mendingan, sih, kalau dibandingkan kemarin. Ini bengkaknya juga sudah mulai kempesm dan bercak merahnya sudah mulai pudar...”. Ibu menceritakan keadaan Mina.
“Mina memang punya alergi ya, Bu?”. Tanya seorang guru laki-laki yang bertubuh gemuk.
“Hihi Iya, Pak. Sejak kecil memang sudah alergi...”. Ibu mencoba memberi penjelasan dengan sedikit tertawa karena mulai bosan dengan pertanyaan seperti itu.
Seorang laki-laki muda berjalan kearah Mina yang masih terbaring, memberikan selembaran kertas dengan sangat yakin. Awalnya Mina kebingungan dengan maksut laki-laki tersebut, Mina pun menerima kertas tersebut. Saat Mina mulai membacanya laki-laki itu pun berjalan keluar dari ruangan.
“Apa-apaan ini?! Mana ada orang sakit dikasih pertanyaan tentang kutub utara dan selatan pake bahasa inggris...”. Teriak Mina dengan suara yang sedikit serak.
Mendengar suara teriakkan Mina yang terdengar menyeramkan membuat laki-laki itu kembali dan menoleh kearah Mina yang penuh dengan rasa marah dan bingung yang bercampur, sedangkan para tamu yang datang terdiam menoleh kearah Mina dan laki-laki itu. Laki-laki itu berjalan kearah Mina dan megambil kertas itu dengan cepat, lalu berjalan dengan angkuh kearah seorang guru yang belum melontarkan pertanyaan pada Ibu.
Laki-laki itu kembali mendekati Mina, dan diam dihadapan Mina beberapa waktu hanya untuk mengambil beberapa lembar kertas dari dalam tasnya. Sebelum memberikannya, laki-laki itu melihat ulang kertas yang ingin ia berikan pada Mina. Setelah dirasa yakin, laki-laki itu pun memberikan kertas itu pada Mina dan beranjak pergi lagi dengan cepat.
Mina memandang beberapa lembar kertas dengan tulisan yang tidak asing baginya, membaca berulang-ulang hingga dirinya yakin dengan apa yang dibacanya; yakin dengan apa yang diberikan laki-laki itu. Hal tersebut membuat guru-guru memilih untuk pamit pulang karena jam masih menunjukkan jam sekolah, Ibu pun mengantarakan guru-guru tersebut keluar dari ruangan.
Mina kembali membaca lembar-lembar itu, lembar-lembar yang berisi tulisan yang tidak asing untuknya. Tulisan dengan beberapa judul yang mengingatkannya pada blog lamanya yang terhapus dan beberapa tulisan yang sangat penting baginya, melihat ekspresi Mina yang berubah membuat Ibu menghampiri Mina untuk melihat apa yang ada digenggaman Mina. Mina menemukan 1 lembar yang terletak dibagian belakang.
“Untuk Mina yang paling sombong sedunia. Ini aku fans-mu, dari akun openureys. Terima kasih sudah membagikan kisah yang tidak mudahnya saat menjadi manusia, walaupun aku tidak tau kamu akan jadi apa nanti. Terima kasih informasi yang dengan susah payah dibuat, walaupun pada akhirnya terhapus. Tapi, untung saja ada beberapa tulisan yang masih dapat diselamatkan. Walaupun gak semuanya. Jadi cuma beberapa tulisan aja yang disimpan, tulisan yang ada tulisan “Favorite” nya aja. Semoga dengan ini kamu jadi semangat menulis lagi, walaupun jarang ada yang baca tulisan kamu. Tapi, aku akan selalu jadi pembaca setia blog kamu. Semangat isi blog barunya...”.
“Laki-laki tadi, kemarin juga ke sini. Dia bahkan cerita sama Ibu tentang kamu, walaupun katanya Cuma kenal kamu lewat tulisan kamu. Katanya dia sudah baca tulisan kamu dari awal kamu nulis blog, katanya tulisan kamu seru. Dia juga cerita sama Ibu, katanya kamu pas digigit lintah bukannya takut malah bilang geli. Katanya juga, waktu kamu kedinginan kayak wafer, lapisannya selimutnya banyak banget”.
Mina masih sibuk membaca tulisannya yang diprint menjadi beberapa lembar kertas, membaca ulang tulisan lamanya diblog yang sudah terhapus.
“Dia juga tau kamu suka dingin, tapi kamu alergi dingin. Katanya untung dia kemarin bawa obat alergi untuk kamu”.
“Dia juga tau, kalau kamu kesusahan mengenali wajah orang lain...”. Ibu perlahan menggenggam tangan Mina.
Mina sekejap diam dengan pandangannya yang kosong, menatap pikirannya yang tib-tiba saja kosong. Mina menoleh kearah Ibunya dengan wajah yang begitu sedih.
“Ibu inget orangnya?”. Tanya Mina dengan suara yang sedikit serak dan menahan tangis.
“Inget...”.
“Namanya, siapa Bu?”. Tanya Mina kembali.
“Namanya Jaemy...”. Ucap Ibu.
Mina menatap penuh harap berharap bahwa ia dapat bertemu dengan seseorang yang selalu memberikan komentar pada blog lama dan barunya.
Description: Mina seorang blogger yang mulai sejak sekolah menengah pertama harus kecewa karena blog yang cukup banyak pengunjungnya harus terhapus, rasa kesal selalu terasa ketika mengingat perjalanan hidupnya yang pernah ia tulis pada blog sebelumnya. Mina mulai membuat kembali blog barunya dengan cerita yang baru, tentang hidupnya yang selalu dianggap aneh oleh orang lain.
Namun, kali ini cukup berbeda dengan kehadiran laki-laki yang membuatnya tersadar bahwa apa yang dialaminya dapat diterima dengab baik tanpa pengecualian.
Siapakah laki-laki itu...
|
Title: Rintik Hujan
Category: Novel
Text:
Kinar Maharani
Lulusan terbaik universitas nomer satu di Indonesia. Kinar Maharani, meraih gelar sarjana di usia 21 tahun. Acara pelepasan cukup meriah di kampus kesayangan. Rasa bangga tertanam dalam diri. Mengenang kisah dengan pemotretan di depan gedung rektorat. Pigura foto mengenakan pakaian wisuda terpajang di dinding ruang tamu. Senyuman tipis terukir di wajah gadis cantik kerap kali di sapa Kinar. Tinggal di rumah mewah dan serba kecukupan. Rumah berlantai dua dihiasi berbagai barang mewah.
Memiliki kekayaan berlimpah, tak menjamin keluarga harmonis. Rina kerap sabar menghadapi sikap putrinya. Menyiapkan makan malam bersama pembantu. Cumi saus tiram, makanan favorit Kinar. Jus stroberi, minuman terenak di hidup Kinar. Menuruni anak tangga, Kinar melihat pembantu mengenakan daster terdapat serbet di bahu kiri.
"Masakan Bibi aromanya sedap." Kinar duduk di kursi. Pembantu tersenyum mendapat pujian dari anak majikan. Rina ikut tersenyum dan menuangkan nasi ke piring Kinar.
"Bibi aja, nih, yang di puji?" ujar Rina. Tidak ada tanggapan dari Kinar.
"Mama Non Kinar yang susah payah masak makanan favorit Non, lho. Cumi saus tiram. Bibi cuma buat jus stroberi aja," ucap Ani tersenyum. Perut lapar tidak bisa dihentikan, Kinar melahap makanan. Kemudian, menghabiskan segelas jus stroberi.
"Jus stroberi buatan Bibi itu emang andalan. Tiada tandinganya, paling enak," ucap Kinar berdiri untuk memuji pembantu. Kemudian, meninggalkan Rina belum selesai menghabiskan makanan.
"Kinar, mau kemana?" tanya Rina. Kinar menaiki anak tangga menuju tempat ternyaman untuk tidur.
Suara alarm membangunkan Kinar dari tidur nyenyak. Bukan waktunya bermalas-malasan di pagi hari. Mengenakan setelan jas warna abu-abu bak seorang direktur. Kinar harus pergi ke kantor di hari pertama bekerja. Tidak melewatkan sarapan di rumah. Bosan, jika setiap hari harus makan cumi saus tiram. Pembantu memasak nasi goreng dan menyiapkan segelas susu untuk menambah energi agar lebih semangat.
Sopir pribadi bergegas membukakan pintu mobil untuk majikan beserta putrinya. Rina diikuti Kinar menaiki anak tangga. Dua satpam membukakan pintu masuk. Kedatangan Rina dan Kinar disambut cukup hening. Perempuan elegan menarik perhatian seisi kantor. Satu kata yang terucap pertama kali melihat Kinar.
"Cantik."
Seluruh sepasang mata menatap penasaran. Karyawan di kantor berbisik-bisik tentang perempuan rambut hitam panjang yang berjalan tegap di belakang Rina. Lima tahun, Rina menjabat sebagai direktur di perusahaan milik suaminya sekaligus ayah Kinar. Kejadian tidak diinginkan telah merenggut nyawa suami tercinta bernama Aditya. Sejak itu, Rina berperan besar mengurus semua dari membesarkan Kinar sampai memimpin perusahaan. Aura kekeluargaan dalam diri Rina menimbulkan suasana hangat di kantor, sehingga terasa nyaman. Berbeda dengan seseorang yang berdiri tepat di sebelah Rina. Aura dingin amat terasa dan tidak ada senyum di wajah Kinar. Beruntung, aura Rina lebih kuat sampai mampu mengalahkan.
"Hari ini, saya ingin memperkenalkan seseorang. Perkenalkan, ini anak saya namanya Kinar Maharani. Kinar baru saja meraih gelar sarjana sebagai lulusan terbaik. Kinar mulai sekarang menggantikan posisi saya sebagai direktur perusahaan. Saya yakin potensi di dalam diri Kinar mampu memberikan yang terbaik untuk perusahaan," kata Rina. Suara tepuk tepuk tangan begitu meriah di acara sambutan.
Kinar melihat setiap sudut ruangan direktur. Ruangan yang menjadi tempat Kinar bekerja atau sekadar duduk manis. Nama lengkap Kinar terukir di papan nama meja. Ruangan cukup luas dan nyaman, sepertinya Kinar akan betah berada di ruangan sehari penuh. Sepasang bola mata tertuju di tembok belakang kursi kerja. Bingkai foto keluarga terdiri dari pria memakai setelan jas hitam berdiri di sebelah wanita duduk manis memakai rok panjang sedang memangku Kinar saat berusia balita. Kinar menatap datar bingkai foto tanpa berkedip.
Kinar meminta dua office boy memindahkan pigura ke gudang. Mengisi dinding kosong dengan lukisan abstrak. Kinar bersantai di sofa sembari menikmati secangkir teh. Beberapa menit kemudian, Kinar melihat suasana kantor dan mengecek para karyawan kalau mereka bekerja dengan baik. Tatapan mata tajam dan aura dingin di dalam diri Kinar sangat terasa di ruangan.
Mobil jemputan menunggu di depan kantor. Sopir pribadi membukakan pintu untuk Kinar. Mobil melaju berkecepatan sedang. Mobil tejebak di tengah kemacetan. Kinar melihat tetasan air di kaca mobil saat melihat suasana jalan di sebelah kiri. Langit mendung dan tetesan air tak berhenti memasahi kaca, pertanda hujan akan turun. Kinar berpikir daripada bosan menunggu kemacetan yang belum jelas kapan lancarnya, lebih baik keluar dari mobil memakai payung. Kinar menikmati gerimis di sore hari. Berjalan kesana-kemari di trotoar dan mencari tempat duduk. Seseorang juga memakai payung tidak sengaja menyenggol payung Kinar.
"Maaf, Mbak, saya nggak sengaja," ucap Arya mengenakan kaos dan celana panjang. Cowok berpenampilan sederhana yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Kinar tampak jalan terburu-buru. Kinar hanya menatap datar. Sopir pribadi menghampiri Kinar dan memintanya kembali ke mobil.
Berlari sembari membawa payung. Arya melihat jam di tangan kiri. Pemilik toko menggelengkan kepala melihat Arya baru tiba. Arya bergegas masuk ke toko dan mulai bekerja. Mengangkat kardus berisi barang pesanan pembeli ke mobil pikap. Gerimis belum berhenti dan langit bertambah mendung. Suara gemuruh terdengar di telinga dan kilat tampak jelas di langit. Hujan turun deras. Arya dan karyawan lain bergegas menutupi barang-barang menggunakan terpal agar tidak basah kehujanan.
Kegelapan malam hari bersinar terang jutaan bintang di langit. Arya menatap langit dari dalam bus. Tangan kanan membawa plastik bening berisi dua bungkus nasi dan tangan kiri membawa plastik hitam berisi satu kilo beras. Rumah Arya tidak jauh dari halte tempat bus berhenti. Mengucap salam sebelum masuk ke rumah. Arya melihat ibunya tidur di sofa. Meletakkan dua plastik di atas meja ruang tamu. Arya mengambil selimut di kamar. Ia tidak tega membangunkan ibunya yang tertidur nyenyak. Ibu terbangun dan melihat putranya telah pulang bekerja membawa makanan.
"Aku belikan ibu nasi ayam goreng," kata Arya.
"Arya, sayang uangnya kalau kamu beli ayam goreng," ucap Nia.
"Nggak papa, lah, Ibu. Nggak tiap hari juga, kan, beli ayam goreng lagipula di rumah juga nggak ada lauk. Aku juga sudah beli beras satu kilo titipan Ibu," ujar Arya.
Kinar membuka pintu rumah dan melihat Rina sedari tadi menunggu kedatangannya. Kinar mengabaikan dan menaiki anak tangga.
"Kinar, bagaimana hari pertama bekerja? Apa ada masalah di kantor? Semua pasti berjalan lancar, kan?" Rina menanyakan satu persatu secara pelan. Rasa penasaran ingin mendengar jawaban Kinar. Kinar tidak mengucap sepatah kata dan berjalan santai menuju kamar. Badan tampak lelah usai seharian di kantor dan terkena macet di jalan.
November
Suara alarm membangunkan Kinar dari tidur berselimut. Sarapan telah siap di meja makan. Kinar terburu-buru menyatap sepiring makanan dan menghabiskan segelas susu putih. Mobil sudah menunggu di halaman rumah. Kinar memakai setelan jas warna hitam bergegas masuk ke mobil. Rina berniat membawakan bekal makanan untuk Kinar, tetapi mobil telah meninggalkan halaman rumah. Suasana pagi yang tenang dan jalanan cukup sepi. Kinar tidak ingin kena macet di jalan, sehingga berangkat lebih pagi. Mobil berhenti di lampu merah. Di sebelah kiri mobil, Kinar melihat seorang pria memboncengkan seorang anak mengenakan seragam sekolah dasar. Anak berjenis kelamin perempuan berpegangan erat tubuh sang ayah agar tidak terjatuh. Mereka terlihat amat senang menyambut pagi.
Rumah kecil sederhana bercat dinding biru. Arya berpamitan kepada ibu. Nia mengenakan daster warna ungu motif bunga mengusap kepala Arya dan memberikan senyum. Ibu dan anak saling tersenyum satu sama lain.
"Arya berangkat kerja dulu, Ibu," kata Arya.
"Hati-hati, Arya," teriak Nia melambaikan tangan ke putranya yang mempercepat langkah kaki.
Arya menunggu angkutan umum di pinggir jalan. Arya tidak sendiri, ada banyak orang yang juga menunggu angkot. Berdesakan di dalam angkot dan tidak dapat tempat duduk. Arya terpaksa jongkok tepat di belakang kernet yang bergelantungan di tengah pintu angkot. Setelah sampai tujuan, Arya bergegas turun dari angkot. Ia tidak betah suasana sesak di dalam angkot. Arya bekerja di toko mebel. Arah jarum jam di tangan kiri menunjukkan pukul delapan pagi dan waktunya toko buka.
Pertemuan dengan klien berlangsung lancar. Kinar memimpin rapat dan mempresentasikan tentang perusahaan yang di kelola dengan baik. Kinar memberi kepuasan tersendiri dalam bekerja dan tidak pernah mengecewakan. Berjabat tangan antara kedua belah pihak tandak kesepakatan.
Cuaca panas di luar berganti mendung. Suara gemuruh terdengar. Selang beberapa menit, hujan turun deras membuat orang-orang berlari mencari tempat berteduh. Arya mengamati hujan dari dalam toko. Pemilik toko menawari secangkir kopi. Arya dengan senyum ramahnya menerima tawaran. Mereka duduk sembari mengobrol santai bersama karyawan lain.
Kinar berdiri di dekat jendela ruang kerja. Tetesan air hujan membasahi kaca jendela. Kinar melihat kalander di atas meja. Bulan November di minggu pertama. Menunggu beberapa waktu sampai hujan sedikit reda. Kinar mengambil payung di sudut ruangan. Naik lift menuju lantai satu. Berjalan tegap membawa payung di jam istirahat kantor. Satpam segera membuka pintu melihat direktur hendak keluar.
Seandainya kesempatan datang dua kali, ada satu hal yang ingin Kinar lakukan. Waktu yang tak dapat terulang kembali, yaitu menghabiskan waktu bersama ayah. Harta paling berharga dalam hidup Kinar. Kinar menyayangi ayah melebihi apapun. Bulan November lima tahun lalu, hujan datang membawa kabar yang tak pernah Kinar harapkan. Pesawat jatuh ketika terbang ke Amerika. Memberikan duka mendalam. Kecelakaan pesawat merenggut nyawa Aditya.
Berjalan tanpa arah tujuan di trotoar. Jalanan basah dan terdapat genangan air. Kinar hanyut dalam kenangan. Sepeninggalan ayah, Kinar mulai tertarik menyusuri jalan ketika hujan datang. Rambut panjang terurai dan memiliki kulit bersih. Kinar berjalan tegap dengan tatapan fokus ke depan. Hujan tidak bisa di katakan sebagai salah satu kegiatan yang di suka Kinar, meskipun ia tertarik berada di bawah rintik hujan.
Kinar ingin membuat hidupnya berarti di bawah rintik hujan. Pengendara sepeda motor terpeleset di jalanan sepi. Kinar segera membantu pengendara yang terjatuh untuk berdiri. Tidak ada luka cukup serius. Setelah mengucap terima kasih, pengendara motor tersebut kembali melanjutkan perjalanan.
Kinar berjalan mengikuti kemanapun pikiran, hati, mata, dan kaki akan menuntunnya. Jembatan bunga, tempat favorit Kinar semasa sekolah. Penduduk menamakan jembatan bunga, karena saat melihat ke bawah jembatan akan memanjakan mata. Beragam bunga cantik tumbuh. Sudah lama sekali, Kinar tidak menengok ke bawah tuk melihat pemandangan taman di bawah jembatan begitu indah. Selepas lulus sekolah menengah atas, Kinar memutuskan merantau ke luar kota untuk menuntut ilmu ke jenjang lebih tinggi. Kinar juga jarang pulang ke rumah.
Kinar ingin turun ke bawah, tetapi rerumputan hijau basah terdapat genangan air. Sepatu kerja pantofel yang dikenakan Kinar pasti akan kotor. Tidak mungkin bagi Kinar harus telanjang kaki.
Pukul tiga sore waktunya Arya selesai bekerja di toko mebel. Mengenakan jaket dan bergegas meninggalkan toko. Arya berjalan kaki di trotoar dan sebentar lagi akan menyeberang jalan raya cukup banyak kendaraan lalu lalang. Pergi ke bengkel yang tidak jauh dari tempat bekerja. Arya mengambil motor dan butuh waktu dua hari untuk servis. Memakai helm dan menghidupkan mesin motor. Motor model lama sudah bisa digunakan seperti biasa. Arya melajukan motor berkecepatan sedang. Lampu lalu lintas dari warna hijau berganti merah. Tidak mengenal satu sama lain, motor Arya bersebelahan dengan taksi yang ditumpangi Kinar. Lampu lalu lintas berganti hijau, taksi belok ke kanan dan motor melaju lurus. Arya memarkirkan motor di depan toko sembako. Bekerja di toko mebel selama tujuh jam, kemudian mencari uang tambahan bekerja di toko sembako dari sore sampai malam.
Kinar menolak makan malam bersama ibu. Meminta pembantu mengantarkan makanan dan minuman ke kamar. Kinar membuka album foto kenangan bersama ayah. Meneteskan air mata mengungkapkan rasa rindu yang tidak tertahankan.
"Ayah," ucap Kinar mengusap wajah Aditya di foto.
Mengucap salam saat masuk ke rumah. Pintu rumah tidak terkunci. Arya melihat jam dinding pukul setengah sebelas malam. Makan malam telah tersaji dan Nia menunggu putra sulung pulang kerja sampai ketiduran di meja makan. Kerja lembur membuat Arya pulang larut malam. Arya tidak ingin mengecewakan ibu yang susah payah memasak makan malam. Arya mengambil piring dan menyendok nasi. Telur ceplok, tahu, dan tempe di atas meja. Arya makan ditemani ibu sedang tidur nyenyak. Arya tidak tega membangunkan ibu tampak kelelahan. Ibu terbangun mendengar suara sendok.
"Jam berapa ini?" Nia menengok jam dinding.
"Ibu lanjut tidur aja di kamar," ucap Arya.
"Arya, kamu baru pulang?" tanya Nia.
"Baru aja tadi, ada lembur di toko," jawab Arya.
"Kayak kerja di kantoran aja ada lembur," ujar Nia. Arya membalas ucapan Nia dengan senyuman. Tiga sendok nasi lagi, Arya bisa tidur di kamar.
Kinar tidak bisa tidur, karena belum bisa berhenti memikirkan ayah. Berdiri dan melamun di dekat jendela kamar dengan gorden terbuka. Suara gemuruh membuyarkan lamunan. Kinar melihat hujan turun deras. Setengah dua belas malam, Kinar baru merasakan kantuk. Meletakkan album foto ke tempat semula. Berbaring di atas kasur dan menarik selimut. Kinar memejamkan mata dan tertidur pulas.
Description: Di bawah rintik hujan, Kinar bertemu Arya. Kinar memiliki trauma di masa lalu. Apakah Arya mampu memberikan cinta untuk Kinar?
|
Title: Relationship Goals
Category: Adult Romance
Text:
Day 1
Gina
Giving birth is such a crazy thing! It made me terrified and excited at the very same time. It’s definitely not pretty and not easy at all (it’s actually the hardest thing I’ve done in my life) but I know it’s totally worth it. And now, the baby that I carried in my belly for 9 months is finally here!
Aku masih ingat jelas rasa takut yang aku hadapi di ruang operasi beberapa waktu lalu. Bukan, aku bukan takut dioperasi. Aku justru takut melihat ekspresi wajah Bara saat menemaniku di ruang operasi. Tangan kanannya menggenggam erat tanganku, tangan kirinya menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya melotot melihat apa yang dokter lakukan kepadaku. Wajahnya benar-benar seperti baru melihat kuntilanak makan durian. Sumpah, aku takut Bara pingsan di tengah-tengah proses dokter berusaha mengeluarkan bayi dari dalam perutku!
Akan tetapi, syukurlah Bara nggak pingsan. Kalau dia sampai pingsan, bisa-bisa semua suster di ruang operasi malah sibuk gotong dia. Kasihan susternya, soalnya berat badan Bara ikut melambung tinggi gara-gara menemani aku yang jadi doyan banget makan selama hamil. Solidaritas kata Bara. Cih, alasan!
Thank God, semua berjalan lancar. Setidaknya itu yang aku tahu sebelum aku tertidur setelah operasi selesai tadi. And here I am now, berada di ruang observasi pascaoperasi. Entah sudah berapa jam aku terlelap.
Now I wanna meet my baby!
Seperti apa, ya, wajah anakku? Apa mirip aku? Apa mirip Bara? Atau, jangan-jangan mirip Kendal Jenner?! Soalnya selama hamil aku tiba-tiba ngefans berat sama Kendal Jenner. Cantiknya itu, lho, bikin aku merasa mirip itik buruk rupa!
“Lho, sudah bangun, Bu?” tanya seorang suster sambil menghampiriku.
“Sudah, Sus,” jawabku dengan suara serak. Sepertinya aku benar-benar tidur cukup lama.
“Dok, Ibu Gina sudah bangun,” kata suster sambil memanggil obgyn-ku yang tampak baru memasuki ruangan.
“Bu, selamat ya. Bayinya perempuan. Sehat dan cantik kayak Ibu,” kata obgyn-ku sambil tersenyum lebar.
Aku hanya tersenyum. Obgyn-ku satu ini memang paling pintar berkata-kata manis. Ini salah satu hal yang bikin aku betah dan nggak ganti-ganti dokter selama hamil. Padahal, ini juga yang bikin muka Bara selalu sepet setiap mengantarku check up. Pernah sekali waktu Bara bilang, “Kayaknya aku dianggap keset sama dia. Seenaknya aja dia flirting-flirting sama kamu!”
Dasar pencemburu!
Menurutku, Pak Dokter satu ini sama sekali nggak flirting sama aku. He’s just nice. Terbukti dari review tentang dokter ini yang berseliweran di forum ibu-ibu di internet. Not to mention, dia juga ganteng banget, sih.
Sebetulnya Bara agak kurang setuju aku memilih obgyn laki-laki. Katanya, dia nggak rela aku disentuh laki-laki lain. Duh, suamiku itu memang suka lebay cemburunya. Masa sama dokter aja cemburu, sih? Lagi pula, menurutku Bara nggak perlu cemburu sama sekali. Meskipun sekarang pipi Bara sedikit chubby dan perut Bara sudah agak buncit khas bapak-bapak, buatku dia masih yang paling ganteng. Alisnya yang tebal selalu bikin aku iri.
Matanya yang teduh selalu membuatku gagal ngambek terlalu lama. Dan, kumisnya yang sekarang sering dia biarkan tumbuh tipis-tipis, justru membuatnya tampak lebih mature dan seksi. Tingginya yang lebih dari 180 cm bisa saja bikin dia jadi model andai perut buncitnya hilang. Namun, kadang karena tingginya itu, aku harus loncat-loncat kalau mau kasih surprise kiss ke dia. Sebal!
Ok, back to my doctor! Banyak yang menjadi pertimbanganku untuk tetap bertahan dengan dokter satu ini. Selain karena memang dia cakep, menurutku dia adalah dokter yang selalu bisa menenangkanku setiap kali aku panik selama proses hamil. Maklum, aku kan baru sekali hamil, jadi sedikit-sedikit gampang panik. Sakit perut setelah makan sambal saja bisa bikin aku heboh banget. Bukankah penting untuk ibu hamil selalu merasa nyaman? Akhirnya, dengan seribu satu alasan, Bara mengalah dan setuju untuk nggak ganti obgyn.
“Ibu istirahat dulu saja, ya. Sebentar lagi biar saya suruh suster panggil suami Ibu,” kata obgyn-ku sambil tersenyum. Berani jamin, setiap ibu hamil yang kontrol ke dia pasti berdoa dalam hati supaya anaknya setampan si dokter.
“Iya, terima kasih, Dok. Oh, iya Dok, saya mau ketemu bayi saya.”
“Bayinya sudah dibawa ke ruang bayi, Bu. Nanti bisa ketemu di kamar setelah Ibu pulih benar, ya. Sabar, ya, Bu,” jawab dokter sambil berlalu.
Duh, rasanya aku pengin loncat sekarang juga dari tempat tidur ini dan berlari ke ruang bayi. Sumpah, aku pengin ketemu anakku! Aku sudah menunggu sembilan bulan untuk melihat wajah anakku. Sekarang saat dia sudah lahir, masa aku masih harus nunggu lagi, sih? Tega banget!
“Halo, sayang.” Wajah ibu mertuaku tiba-tiba menyembul dari balik pintu.
Lho, bukannya suster manggil Bara, ya? Don’t get me wrong, I love my mother in-law. Namun, orang pertama yang aku harapkan bisa aku temui setelah melahirkan adalah Bara. Ke mana, sih, orang itu? Memangnya dia nggak mau lihat kondisi istrinya pasca-melahirkan?
“Hai, Bu,” jawabku.
“Selamat, ya, Nak. Bayinya cantik sekali. Gemuk, putih, sipit kayak anak Jepang.”
Anak Jepang? Sepertinya anakku batal mirip Kendal Jenner, nih!
“Aku pengin lihat, Bu,” kataku.
“Sebentar lagi, Nak. Kamu istirahat dulu aja. Kan, kamu habis operasi,” jawab ibu mertuaku sambil membelai rambutku.
“Bara mana?” tanyaku.
“Tadi, sih, masih di depan ruang bayi sama mama papa kamu juga,” kata ibu mertuaku.
Astaga, baru beberapa jam anakku lahir, tapi sekarang seluruh perhatian sudah tertuju kepadanya. Ya, mengingat dia cucu pertama, baik dari orangtuaku maupun orangtua Bara, aku bisa jamin dia bakal mendapatkan rasa cinta setinggi gunung seluas samudra. Nggak punya saingan, sih!
Thank God, ibu mertuaku memilih untuk berada di sini, menemaniku. Aku memang jarang bertemu dengannya karena beliau tinggal di Surabaya. Namun, setiap kali aku berada di dekatnya, aku merasa begitu nyaman. Ini pasti karena dia selalu memperlakukanku seperti anaknya sendiri. Saat orang lain banyak yang bermusuhan dengan mertuanya, aku begitu beruntung punya ibu mertua sebaik dia.
Ting ting ....
“Eh, ini kayaknya handphone kamu getar deh dari tadi. Tadi Bara titip ke Ibu,” kata ibu mertuaku sambil mengeluarkan ponselku dari dalam tasnya.
Tanganku masih terasa agak kaku saat menerima ponsel yang disodorkan ibu mertuaku. Mungkin karena efek bius yang masih belum hilang. Namun, melihat sederet notifikasi di ponsel membuat jempolku lebih bersemangat daripada obat bius. Setelah notifikasi paling atas terbuka, sebuah foto bayi mungil muncul di layar. Bara mem-posting-nya di Path beberapa waktu lalu.
Ya Tuhan, ini pasti Fadya Aluna. Putriku.
Tanpa sadar air mataku menitik saat mengamati foto itu. Benar kata ibu mertuaku, dia cantik, gendut, dan sipit. She’s so adorable (meskipun dia benar-benar nggak mirip Kendal Jenner). Dadaku seolah penuh sesak dengan rasa cinta. Sumpah, belum pernah aku merasakan cinta yang sebesar ini. Begini, ya, rasanya jadi ibu?
Wait!
Ini, kok, nggak seru banget, sih? Masa aku harus melihat anakku sendiri untuk kali pertama via Path, sih? Tanda love di foto itu juga sudah banyak banget, artinya aku hanyalah orang kesekian yang melihatnya.
Oh well, teknologi memang kadang menghilangkan momen yang harusnya sangat spesial dan sentimental seperti ini. Huh!
***
Bara
Baru sepuluh menit gue berdiri di depan kaca ruang bayi ini, tapi entah sudah berapa ratus foto bertambah di memory iPhone gue. Gue yakin, sebentar lagi bayi mungil di hadapan gue ini nggak cuma akan bikin memory iPhone gue penuh, tapi juga bakal bikin media sosial gue dan Gina penuh dengan foto bayi.
Fadya Aluna, kesayangan baru Ayah.
Oh My God, this feels so surreal. Gue udah jadi ayah! I can’t believe this!
Waktu berjalan begitu cepat. Sepertinya baru kemarin gue kenalan sama Gina di acara ulang tahun teman gue. Sekarang wanita itu sudah memberikan gue seorang anak yang lucu banget. Men, cengeng nggak, sih, gue kalau nangis sekarang? Gue benar-benar terharu!
Sepertinya bukan cuma gue yang merasa ini semua seperti mimpi, tapi juga ibu mertua gue. Dia sudah berdiri di samping gue sejak tadi. Berbeda dengan gue yang sibuk mengambil foto Fadya, ibu mertua gue hanya menatap lurus Fadya. Bibirnya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
Tumben, padahal biasanya judes.
Bapak mertua gue beda lagi. Sejak tadi dia tampak sibuk menelepon semua sanak saudaranya dari Sabang sampai Merauke untuk mengabarkan bahwa Gina sudah melahirkan. Sepertinya setelah ini gue harus mengajarkan mereka bikin grup WhatsApp supaya berita seperti ini bisa disebarluaskan dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
“Kamu sudah pilih nama, Bar?” Ibu mertua gue akhirnya memecah keheningan.
“Sudah, Ma. Namanya Fadya. Fadya Aluna.”
“Fadya siapa?”
“Aluna!”
Wajah ibu mertua gue seperti baru saja melihat zombi joget. Apa muka gue yang kurang tidur beberapa hari ini memang sudah berubah jadi mirip zombi?
“Mama nggak setuju!”
Gue tersentak. Nama itu sudah gue pikirkan masak-masak dengan Gina sejak beberapa bulan lalu. Bahkan, Gina sudah pesan beberapa pernak-pernik bayi bertuliskan Fadya Aluna. Apa-apaan ini ibu mertua gue tiba-tiba bilang nggak setuju!
“Mama nggak suka dengan nama Aluna. Seperti nama artis sinetron yang sempat terkena kasus narkoba!”
What? Nggak ada alasan yang lebih cetek lagi, nih? This is nonsense!
“Artis siapa, sih, Ma?”
“Kamu pernah nonton TV, nggak, sih?”
Gue menggeleng pasrah. Satu-satunya artis sinetron yang gue pernah dengar namanya hanya Raffi Ahmad.
Eh, tunggu, Raffi Ahmad itu artis sinetron bukan, sih?
“Kalau kamu nggak pernah nonton TV, gimana kamu bisa tahu?” kata ibu mertua gue sinis.
“Tapi, Ma, aku dan Gina sudah memikirkan nama itu masak-masak.”
Gue berusaha mencari alasan supaya nggak perlu mengubah nama Fadya hanya karena alasan konyol yang nggak masuk akal. Namun, kurang tidur beberapa hari sepertinya membuat otak gue ogah-ogahan bekerja.
“Bara, nama itu doa. Kalaupun meniru nama orang, harus nama orang-orang besar. Kalaupun artis, harus yang berprestasi. Reza Rahardian gitu misalnya. Bukan nama artis sinetron pecandu narkoba!”
Eh, buset! Masa anak perempuan gue yang dari orok saja udah kelihatan cantiknya ini harus dikasih nama Reza Rahardian? Yang benar aja!
“Tapi, aku bukan meniru nama artis sinetron, Ma.”
“Sudah, sudah. Mama nggak mau berdebat. Pokoknya jangan pakai nama itu. Nanti bawa sial!”
Pengin banget gue bilang ke ibu mertua gue, pikiran-pikiran negatif yang nggak penting gitu tuh yang bawa sial! Tapi, gue takut ibu mertua gue ngamuk. Gina pernah bilang, ibunya ini paling nggak suka didebat. Nggak lucu, kan, kalau hal pertama yang dilihat Fadya setelah lahir ke dunia adalah ayah dan neneknya berantem.
Gue melirik bapak mertua gue, tapi dia tampak masih asyik dengan ponselnya dan sama sekali nggak sadar dengan perdebatan yang terjadi. Bukan, gue bukan mau mencari pertolongan, tapi gue mau mengajukan satu pertanyaan penting buat dia: bagaimana dia bisa tahan hidup puluhan tahun dengan ibu mertua gue ini? Gue yang baru beberapa menit berdiri di sampingnya saja, rasanya pengin langsung terjun ke kolam ikan cupang!
Day 2
Bara
“Ibu pamit dulu, ya. Kamu jaga Gina dan Fadya baik-baik,” kata ibu gue sambil memegang lengan gue. Pagi ini ibu gue yang sangat gue sayang ini sudah harus kembali ke Surabaya. Padahal, gue yakin, dia pasti masih pengin melihat cucunya lebih lama.
“Pasti, Bu. Ibu beneran nggak mau diantar ke bandara?” tanya gue.
“Ndak usah, Bar. Sore-sore gini, kan, macet. Lagian kasihan Gina kalau kamu tinggal sendirian. Dia masih butuh bantuan kamu. Masih sakit, ya, jahitannya, Sayang?” tanya ibu gue ke Gina.
“Lumayan, Bu. Tapi, kalau Ibu mau diantar Bara dulu juga nggak apa-apa, kok. Aku bisa panggil suster nanti kalau butuh bantuan,” jawab Gina.
“Ndak usah. Ibu naik taksi aja. Tapi, jangan lupa, ya, sering-sering kirim foto Fadya. Ibu pengin lihat perkembangannya.”
“Siap, Bu,” jawab Gina sambil mengangguk.
“Oke deh, Ibu pamit, ya,” kata Ibu sambil mencium pipi Gina.
Gue mengantar Ibu sampai lobi rumah sakit. Sebetulnya gue pengin antar Ibu ke bandara, tapi Ibu selalu begini. Sejak Bapak meninggal belasan tahun lalu, Ibu selalu jadi sosok yang kuat dan mandiri. Bahkan, pada saat gue sudah dewasa, Ibu tetap melakukan semua sendiri dan nggak pernah mau merepotkan gue.
Well, tapi selain itu, benar juga, sih, kata Ibu, kasihan Gina kalau gue tinggal sendiri. Kebetulan ibu mertua gue juga sudah pulang lebih dulu.
“Bara, kamu temani Gina, ya. Fadya mungkin belum butuh kamu sekarang. Tapi, Gina sangat amat butuh kamu di sisinya,” kata Ibu sebelum masuk taksi.
“Siap, Bu. Hati-hati, ya, Bu,” kata gue sambil melambaikan tangan.
Buru-buru gue kembali ke kamar tempat Gina dirawat. Bilang gue norak, tapi gue nggak mau berpisah terlalu lama dengan bayi gue. Begini kali, ya, rasanya jadi bapak baru?
For the first time in my life, I feel complete and enough. And I know for sure that I’m the happiest man alive.
Seharian ini gue habiskan di kamar rumah sakit dengan Gina dan Baby Fadya. Semua masih terasa seperti mimpi. This is crazy. Gue dan Gina sudah benar-benar jadi orangtua sekarang.
First we had each other, now we have everything, Gin.
“Look at our baby girl, she’s so adorable!” kata gue sambil duduk di sisi tempat tidur Gina.
“I know,” kata Gina sambil tersenyum.
“Thank you, Gin.”
“Untuk apa?”
“For giving me a daughter. Now that you’re officially the mother of my kid, I promise I will always protect you and our little family,” kata gue sambil mengecup lembut bibir Gina.
Gina cuma bengong. Mungkin dia nggak tahu dari mana datangnya kata-kata manis barusan karena gue juga nggak tahu. Ternyata punya anak benar-benar bisa bikin gue jadi metal. Mellow total!
Gue segera beranjak dari tempat tidur Gina, lalu untuk kali kesejuta gue mendekati Fadya yang sedang tertidur pulas, lalu mencolek-colek pipinya yang gembul dan bikin gemas. Kalau dia sudah bisa protes, mungkin dia bakal bilang, Ayah, aku bukan sabun colek!
Oh, my Baby Fadya, you are the most wonderful thing in my life. You’re a little angel sent from heaven. Ayah janji bakal jagain kamu dari buaya-buaya keparat ibu kota.
Harapan gue cuma satu, semoga saat besar nanti, Fadya nanti nggak hobi belanja kayak bundanya. Kebayang, dong, satu manusia kayak Gina saja rasanya sudah bikin gue pengin menghancurkan semua server e-commerce di Indonesia Raya supaya Gina nggak keseringan belanja online. Apalagi ada dua!
Asli, gue nggak ngerti kenapa kebanyakan perempuan punya hobi beli baju. Hobi tuh cuci baju, kek, lumayan kan jadi bisa buka usaha penatu kiloan. Lebih menghasilkan uang.
“Bar! Bara!” tiba-tiba saja Gina membuyarkan lamunan gue.
“Kenapa, sih, Gin? Heboh banget!”
“Kamu udah lihat Instagram aku?”
Beberapa jam lalu gue sudah lihat Instagram Gina yang sekarang isinya penuh dengan foto bayi. Tapi, sepertinya nggak ada yang aneh. Masih ada ratusan orang yang nge-like. Masih ada banyak orang numpang jualan di kolom komentar. Dan, pastinya, masih bikin gue nggak ngerti kenapa Gina bisa punya puluhan ribu follower. Apa sebutannya? Selebgram? Silly!
Ok, I adore my wife so much. Setiap kali melihat foto Gina di Instagram, gue masih selalu bersyukur bisa dapat istri sekece dia. Gue nggak ngerti fesyen, tapi gue setuju bahwa Gina memang selalu enak dilihat. Rambutnya yang dibiarkan panjang melewati bahu selalu bersinar kayak model iklan sampo. Tak hanya rambutnya, wajahnya pun tak kalah cantik dengan model iklan. Hidung Gina tak terlalu mancung, tapi mungil dan tampak sempurna di wajah ovalnya. Matanya yang bulat tampak selalu berbinar dan membuat wajahnya selalu segar. Dia sangat detail soal penampilan, bajunya nggak pernah lecek dan selalu matching. Dan, satu hal yang selalu dibanggakan Gina, alisnya selalu simetris (yang ini sebetulnya gue nggak terlalu perhatikan). But still, gue nggak habis pikir kenapa hal seperti ini saja bisa bikin Gina punya follower sebanyak itu? Do women find that inspiring?
“Ada apa memang?” tanya gue.
“Barusan banget ada yang komentar kalau anak kita nggak mirip siapa-siapa,” kata Gina dengan wajah sebal.
“Ah, itu dia pasti baru bangun tidur dan masih belekan waktu lihat foto Fadya,” jawab gue asal.
“Iya! Jelas-jelas Fadya mirip banget aku, ya, Bar,” kata Gina penuh keyakinan.
Wait. What? Nggak salah, nih?
“Gina, Fadya mirip banget aku kali,” kata gue nggak kalah yakin.
“Mirip aku!” kata Gina ngotot.
“Aku!” jawab gue nggak mau kalah.
“Aku! Lihat dong rambutnya, hitam gitu. Udah cocok jadi model iklan sampo bayi. Nurun dari aku banget,” kata Gina congkak.
“Ya, iyalah hitam. Kalau pirang, patut dicurigai! Lihat tuh hidungnya mancung, kayak hidung aku,” kata gue penuh percaya diri.
“Ih, hidung aku juga mancung!” jawab Gina nggak mau kalah.
“Tapi, hidung aku lebih mancung!” jawab gue sambil menunjuk hidung kebanggaan gue.
Kalau ada orang lain mendengar percakapan gue dan Gina sekarang, mungkin kami sudah dilempar panci gosong kali, ya. Kami bakal dikira dua orang narsis yang berdebat dan nggak mau kalah.
“Terserah kamu deh, Pinokio!” kata Gina akhirnya dengan ekspresi kesal.
Ih, mungkin Gina juga masih belekan kali, ya, kelamaan tidur pascaoperasi kemarin. Jelas-jelas mirip gue!
***
Gina
Begini amat, ya, rasanya pascaoperasi. Gerak dikit, nyeri. Nggak gerak, pegal. Kapan, sih, rasa nggak nyaman pascaoperasi ini bakal hilang? Sumpah aku iri banget lihat Bara yang bisa kayak gasing motretin Fadya dari segala penjuru.
Well, at least Fadya boleh berada di kamar ini sepanjang hari sehingga aku bisa memandanginya sepuasku. Meskipun semakin lama aku mengamati Fadya, semakin aku menyadari dia memang lebih mirip ayahnya daripada aku. Life is unfair sometimes. Sembilan bulan aku mengandung Fadya, tapi begitu nongol kenapa mirip ayahnya, sih? Sebal!
Fadya sayang, I love you more than anything! Cepat gede, ya, anakku. Nanti Bunda bakal ajak kamu ke salon, shopping, dan menghabiskan duit Ayah bareng-bareng.
I can’t explain how happy I am now. Nggak nyaman karena perut yang begitu besar. Kesal karena nggak bisa tidur enak. Galau berat karena Fadya nggak menunjukkan tanda-tanda mau keluar dari dalam perutku. Pokoknya semua hal menyebalkan yang aku rasakan sebelum melahirkan, akhirnya terbayar sekarang. Kalau saja saat itu aku sadar semua akan berujung dengan bayi mungil selucu Fadya, aku pasti nggak akan mengeluh.
Gosh, mengenang masa-masa hamil saja membuatku pengin nangis. Bagaimanapun, sembilan bulan terakhir adalah salah satu masa-masa paling indah dalam hidupku. Dan sumpah, detik ini tiba-tiba saja aku merasa sedih dan kangen saat-saat hamil. Bukankah barusan aku bilang aku bahagia, ya?
Atau, jangan-jangan, ini adalah mood swing yang kata orang sering terjadi pasca-melahirkan? Damn you, hormones!
“Halooo!” Seorang pria berbadan gempal dan berkacamata tiba-tiba muncul dari balik pintu. Suara cemprengnya menarikku kembali ke dunia nyata.
“Hai, Baby Fadya!” Dari balik pria itu mendadak muncul wanita berkacamata juga.
Dondon dan Larisa. Kalau saja dua manusia ini bukan anak buahnya Bara di kantor, mereka berdua pasti sudah aku timpuk pakai popok kotor. Berisik banget! Mereka nggak lihat, ya, Fadya sedang tertidur pulas?
“Hai, masuk-masuk!” sapa Bara dengan senyum lebar.
“Mbak Gina, selamat, ya!” Larisa langsung mencium pipi kanan dan kiriku.
“Thanks, ya!” jawabku sambil tersenyum.
Beberapa detik kemudian, tanpa rasa bersalah Larisa langsung duduk di sisi tempat tidurku. Oh gosh, dia kan masih bawa kuman dari luar. Kok, bisa-bisanya sih duduk di tempat tidurku? Jelas-jelas ada sofa di samping tempat tidur.
“Mbak Gina, selamat!” kata Dondon sambil menyalamiku.
“Thanks, Don,” jawabku.
“Wih, cute banget baby-nya,” kata Dondon sambil mencolek pipi Fadya.
Astaga, bisa-bisanya Dondon colek-colek Fadya, bukannya tadi dia belum cuci tangan, ya? Bara juga, bukannya melarang, tapi malah diam saja. Dia sadar, kan, tugas seorang ayah nggak cuma foto-foto anaknya dari segala arah mata angin, tapi juga menjaga anaknya dari segala mara bahaya!
Gimana kalau ternyata tangan Dondon penuh dengan kuman penyakit? Atau, yang lebih menjijikkan, gimana kalau ternyata tadi Dondon belum cuci tangan setelah pipis? Crap, membayangkannya saja sudah membuatku mual!
I have to do something. I’m a mom now, I always always always have to protect my baby from any kind of danger. Yup, I have to be a superhero for Fadya. A superhero with no cape!
Oke oke, aku mulai lebay. But still, aku harus melindungi Fadya dari tangan-tangan penuh kuman!
Secepat kilat aku memencet tombol pemanggil suster. Kenapa pada jam visit seperti sekarang, bayi di kamar nggak dipindah ke ruang bayi, sih? Harusnya suster tahu, orang-orang yang visit pasti bawa kuman dari luar dan akan sangat berbahaya kalau bayi terpapar kuman, bakteri, atau virus dari luar.
Memikirkan kemungkinan Fadya bakal sakit saja aku sudah nggak tega. Mending aku yang sakit daripada Fadya. Well, setelah aku pikir-pikir, sepertinya aku rela melakukan apa pun demi Fadya. When you’re a mom, you are no longer the center of the universe. Your children are.
“Mirip siapa anak gue?” tanya Bara sambil cengengesan.
“Siapa, ya?” kata Larisa. Kali ini dia beranjak dari tempat tidurku dan mendekat ke tempat tidur Fadya.
“Kayaknya mirip lo, Mas Bara. Lihat tuh alisnya, dari bayi udah kelihatan tebal kayak Mas Bara,” kata Dondon sambil mendekatkan mukanya ke arah Fadya.
“Tapi, bentuk alisnya udah on banget kayak Mbak Gina. Eh, tapi iya ding, lebih mirip Mas Bara ini, sih. Sama-sama tembem,” lanjut Larisa sambil tertawa di depan muka Fadya.
Oh, no. Oh, no. Aku mau nangis sekarang! Bisa nggak, sih, mereka jaga jarak? Minimal sepuluh meter gitu? Nggak perlu sedekat itu juga, kan, kalau cuma mau mengamati alis Fadya? Mungkin aku harus kasih pengumuman di depan pintu: Jaga jarak aman dengan bayi!
“Tuh, kan, Gin. Apa aku bilang, Fadya mirip aku!” kata Bara dengan hidung kembang kempis saking bangganya.
Aku hanya tersenyum masam. Aku sudah nggak peduli Fadya mirip siapa, yang ada di kepalaku sekarang cuma kuman-kuman yang semakin mendekati Fadya. For God’s sake, Fadya dalam bahaya!
“Ada apa, Bu?” Akhirnya, seorang suster muncul dari balik pintu.
“Sus, bayinya dibawa aja,” kataku jutek sambil melirik ke arah Fadya yang sekarang sudah dikepung oleh Bara, Dondon, dan Larisa.
“Oh, baik, Bu!” jawab suster.
Seolah mengerti isi kepalaku, si suster bergegas mendorong tempat tidur Fadya keluar ruangan. Suster bahkan nggak berani melirik ke arahku lagi. Mungkin dia tahu, keterlambatannya mengambil bayi saat jam visit ini bisa bikin ibu-ibu seperti aku mengeluarkan api dari mulut. Persis kayak naga ngamuk.
“Yah, kok diambil. Aku belum gendong nih, Mbak Gin!” kata Larisa dengan wajah sedih.
“Aku, kan, mau ajak selfie!” tambah Dondon.
Selfie gundulmu! Bisa pingsan aku kalau mereka selfie sambil gendong Fadya!
Day 4
Gina
Sebagus-bagusnya kamar tempat aku dirawat di rumah sakit, bisa pulang ke rumah tetap memberi kelegaan tersendiri. Meskipun aku dirawat di rumah sakit bukan karena sakit, aura rumah sakit tetap saja nggak menyenangkan buatku. Mungkin karena sebagian besar orang yang datang ke rumah sakit sedang menahan sakit atau dirundung duka karena menemani orang terkasih yang sedang sakit.
Sekarang, saat aku bisa kembali ke rumah Mama, senyumku terkembang lebar. Sudah hampir satu tahun aku nggak tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan ini. Rumah yang selalu wangi masakan Mama dan selalu ramai dengan statement-statement ajaib Papa. Memang, sih, setelah menikah dengan Bara sebetulnya aku masih sering ke sini setiap weekend, tapi tetap saja beda rasanya dengan tinggal di sini. I definitely miss living here! Semoga Bara juga betah tinggal di sini.
Mama langsung meletakkan Fadya yang sedang tertidur di boks bayi setelah kami memasuki kamarku di rumah orangtuaku. Papa nggak berhenti memotret Fadya sejak tadi. Bara masih sibuk memindahkan satu per satu barang-barang bawaan dari rumah sakit. Sedangkan aku, bekas operasiku yang masih agak nyeri membuatku hanya sanggup duduk manis di sebuah kursi yang terletak di samping boks bayi Fadya.
Fadya tampak tertidur pulas tanpa beban di tempat tidur barunya. Dia tampak semakin menggemaskan dikelilingi boneka-boneka kecil yang disusun sesuai urutan warna pelangi di sisi dalam tempat tidurnya. Aku yakin, boneka-boneka ini sudah di-laundry berkali-kali oleh Mama sebelum diletakkan di sini. Di tangan Mama, aku yakin Fadya bakal jauh dari segala macam kuman dan bakteri. Mungkin kuman dan bakteri juga takut kali melihat muka Mama yang galak.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kamar. Sepertinya baru dua minggu lalu aku berkunjung ke rumah orangtuaku dan menumpang tidur siang sebentar di kamar ini, tapi hari ini aku sudah nyaris nggak mengenali kamar ini. Semuanya berubah.
Meja riasku sudah nggak ada dan entah disimpan di mana oleh Mama. Sekarang posisinya sudah digantikan oleh boks bayi. Di samping lemari pakaianku juga sekarang ada lemari kecil yang sudah penuh dengan baju bayi hasil belanjaku saat hamil. Dan, yang paling bikin pangling, kamar yang dulunya putih bersih sekarang berganti wallpaper pink dengan gambar Winnie The Pooh versi bayi di beberapa bagian. Kamar ini benar-benar sudah bertransformasi jadi kamar bayi!
Hmmm, kayaknya aku sudah bilang, deh, bahwa aku kembali ke rumah ini hanya sementara. Hanya sampai rumah yang sudah dibeli Bara beberapa waktu lalu siap ditempati dan pastinya sampai aku mahir mengurus bayiku sendiri tanpa bantuan Mama.
Sebetulnya, awalnya Bara nggak setuju saat aku bilang mau tinggal di rumah orangtuaku setelah melahirkan. Bara mau tetap tinggal di apartemen sampai rumah yang sudah dibelinya siap ditempati. Alasannya sederhana, dia takut nggak bisa bebas. Entah kebebasan apa yang dia maksud.
Untung saja dengan dalih aku belum berpengalaman mengurus bayi dan butuh bantuan Mama sampai aku mahir mengurus Fadya sendiri, akhirnya Bara mengalah. Demi Fadya katanya. Ah, paling-paling setelah tinggal beberapa hari di sini, Bara bakal ketagihan sama masakan Mama dan jadi betah banget tinggal di rumah ini.
“Gin, mandi dulu, terus istirahat. Mama udah siapkan daster-daster di lemari kamu,” kata Mama sambil mengibas-ngibas tempat tidurku, padahal aku yakin dia sudah melakukannya berjuta-juta kali sebelum aku datang tadi. Mama itu OCD akut. Lebih kronis daripada aku.
“Daster, Ma?” tanyaku memastikan.
“Iya, biar lebih leluasa nyusuinnya. Dasternya Mama pesan langsung dari teman Mama di Malang, lho,” jawab Mama. “Nggak usah khawatir, dasternya sudah Mama rendam dengan air panas dan cuci dua kali. Nggak ada lagi bau toko!”
Aku hanya bisa mengernyit. Jadi, aku harus pakai daster, nih?
Jangan salah. Aku adalah pecinta berat daster. Masalahnya, aku sama sekali nggak pernah pakai daster di depan Bara. Bukankah seorang istri harus selalu berusaha tampak menarik di depan suami? Sedangkan pakai daster selalu membuatku merasa mirip karung beras.
Bahkan, selama aku hamil besar, aku lebih sering memakai kaus milik Bara daripada pakai daster. Biasanya aku melipat dan menggulung lengan kaus Bara supaya aku tetap merasa fashionable dengan kaus kegedean itu. Hey, life is too short to wear boring clothes. That’s why I always try to have fun with fashion because I dress to entertain myself.
Sayangnya sampai detik ini aku belum juga bisa menemukan cara untuk bersenang-senang dengan daster. Harusnya ada desainer andal yang bikin daster jadi sedikit lebih fashionable. Paling nggak, bikin nggak jelek-jelek amatlah buat selfie untuk di-post di Instagram atau bahkan fashion blog-ku. Kebayang nggak kalau aku selfie pakai daster, bisa bersorak-sorai kegirangan semua haters-ku.
Ah, aku jadi ingat, aku mau post foto aku dan Fadya saat perjalanan pulang dari rumah sakit tadi. Biasalah, hidup pada era media sosial seperti sekarang, pulang dari rumah sakit juga harus pengumuman di Instagram.
Sebagai seorang fashion blogger yang aktif banget di Instagram, aku sering banget dapat undangan untuk event fashion di Jakarta. Namun, sayang, aku sering kali nggak bisa hadir karena masih harus kerja kantoran. Karena nggak bisa eksis dengan maksimal, jadi setidaknya aku harus tetap rajin update Instagram-ku. Aku nggak mau orang-orang di industri ini dan juga follower-ku melupakan aku!
Ngomong-ngomong kerja kantoran, sekarang ini aku sedang cuti melahirkan selama 3 bulan. Gila, membayangkan nggak masuk kantor 3 bulan saja rasanya bikin aku pengin jingkrak-jingkrak sekarang juga. Honestly, pekerjaanku sebagai brand executive di salah satu perusahaan fast moving consumer goods sama sekali nggak menarik bagiku. Entah kenapa aku masih juga bertahan di perusahaan itu.
“Gina, jangan main hape terus! Buruan mandi. Kalau Fadya tidur, kamu harus ikutan tidur supaya nggak kecapekan,” kata Mama lagi.
“Iya, sebentar lagi, Ma,” jawabku.
“Biarin ajalah, Ma. Baru juga masuk rumah. Mungkin Gina masih mau istirahat,” bela Papa masih sambil tetap sibuk memotret Fadya.
“Sekarang!” kata Mama tegas. “Itu penyakit-penyakit dari rumah sakit masih pada nempel di baju kamu! Kamu mau penyakit-penyakit itu nempel ke Fadya? Papa juga belum mandi, kan?” kata Mama sambil berjalan keluar pintu.
Seperti anak balita yang habis dimarahi ibunya, Papa langsung menghentikan aktivitasnya dan menuruti kata-kata Mama. Sekarang aku ingat, Mama memang paling senang memperlakukan seisi rumah ini seperti anak balita.
Kembali ke rumah Mama artinya kembali diperlakukan seperti anak kecil. I know I will always be her little princess. Namun, aku sudah terlalu dewasa untuk diatur-atur begini. For God’s sake, memangnya Mama pikir aku adalah tipe orang yang sanggup nggak mandi setelah menginjakkan kaki keluar rumah? Mama lupa, ya, sudah menurunkan OCD-nya ke aku?
Aku menarik napas dalam. Baru beberapa menit kembali ke rumah ini, aku mulai bertanya kepada diriku sendiri: benarkah keputusanku untuk kembali ke rumah ini meskipun hanya untuk sementara waktu?
“Gin, kenapa kamu bengong gitu?” tanya Bara ketika masuk kamar. Wajahnya berkeringat karena sibuk bolak-balik memindahkan barang-barang.
“Nggak apa-apa. Aku mau mandi dulu. Kamu jagain Fadya, ya.”
“Oh, ok.”
Aku baru saja hendak mengambil bajuku di lemari ketika aku melihat bayangan diriku di kaca lemari. Aku baru sadar bahwa aku sama sekali belum melihat seluruh badanku di kaca selama masih di rumah sakit. Astaga, ternyata badanku masih kayak ibu-ibu hamil 5 bulan begini?
Pipiku masih gembung seperti kerasukan siluman angin. Jari-jari tanganku masih gendut. Kakiku masih bengkak. Dan, yang paling menyita perhatianku, perutku persis seperti tas pinggang kepenuhan isi.
Aku sama sekali belum kempis!
“Bara!” pekikku.
“Ya, ya, ada apa, Gin?” tanya Bara panik setelah mendengar jeritanku.
“Aku kenapa kayak pesut gini?”
Tanpa simpati sedikit pun, tawa Bara langsung meledak. Sialan!
***
Bara
Harus gue akui, Gina memang tampak semakin gemuk setelah hamil. Tapi, gue justru lebih suka melihat Gina lebih berisi. Menurut gue, dia jadi terlihat lebih segar. Ini bikin gue merasa sukses sebagai suami. Sukses ngasih makan maksudnya.
“Bara, kamu jahat banget!” kata Gina sambil menekuk mukanya.
“Gina, you look fabulous!” kata gue.
“Fabulous dari Hongkong! Kapan, ya, aku mulai boleh olahraga? Aku harus cepat kurus. Bagaimana aku bisa foto-foto buat Instagram dan fashion blog-ku kalau aku kayak buntelan begini? Gila, bisa happy banget haters-ku lihat aku begini!” cerocos Gina panjang lebar sambil merengut.
“Gina, sudahlah. Kamu fokus menyusui dan ngurusin Fadya dulu aja, deh. Nggak usah sibuk mikirin yang nggak penting.”
Seriously, setelah melihat semua yang harus dilalui Gina untuk proses melahirkan ini, menurutku saat ini dia hanya perlu menikmati waktunya bersama Fadya. Bukan mikirin cara cepat kurus, bukan mikirin blognya, apalagi haters-nya.
I really don’t understand why women always try to impress people that hate them. It’s stupid and it is definitely a waste of time!
“Aku gendut begini kamu bilang nggak penting?” kata Gina judes.
“Gina sayang, kamu tuh habis melahirkan. Wajar dong gemuk sedikit.”
“Jadi, benar, kan aku gendut!” kata Gina judes.
Gue diam, merasa terjebak dalam omongan gue sendiri. Ya Tuhan, kenapa jenis makhluk ciptaan-Mu ini selalu bikin pusing, ya? Kayaknya ngomong sama jepit jemuran lebih gampang, deh.
“Bukan itu maksud aku, Gin. Kamu masih cantik, kok. Cantik banget!” kata gue. Gue sudah kehabisan kata-kata, yang gue tahu, semua perempuan senang kalau dibilang cantik.
“Beneran?”
“Beneran!” kata gue sambil membungkuk, lalu mencium pipi Gina. Tinggi Gina yang 20 cm di bawah gue, bikin gue selalu harus membungkuk setiap kali mau menciumnya sambil berdiri.
“Bohong! Aku gendut, Bara! Gendut!” kata Gina histeris.
“Uhhh .... Uhhh .... Owaaa ....”
Fadya yang semula tertidur pulas, mulai ngulet-ngulet. Tak menunggu lama, dia mulai menangis. Ini pasti gara-gara Gina histeris barusan.
“Eh, dia kenapa, Bar?” wajah Gina berubah panik.
“Yah, mana aku tahu, Gin. Gendong aja kali, ya.”
Perlahan Gina mengangkat Fadya dari tempat tidur. Wajahnya mengernyit sesaat, sepertinya dia sedang menahan rasa nyeri pascaoperasi.
Gue baru sadar Gina nyaris nggak pernah mengeluhkan rasa sakit pascaoperasi. Padahal, nggak mungkin banget bekas operasinya nggak sakit kalau dia aja bahkan harus belajar duduk dan jalan lagi pascaoperasi. Awalnya, gue pikir Gina bakal manja banget setelah operasi. Ternyata gue salah. She’s definitely so strong!
Melihat Gina sekarang, menahan sakit, tapi tetap berusaha memberi rasa nyaman ke Fadya, bikin gue percaya bahwa Gina pasti akan jadi ibu yang luar biasa buat Fadya dan adik-adiknya kelak. Iya, gue pengin punya lima anak biar ramai.
“Bintang kecil di langit yang biru ....” Gue mulai menyanyi di samping Gina sambil membelai rambut Fadya.
“What are you doing?” tanya Gina sambil menatap gue.
“Nyanyi. Biar berhenti nangisnya,” jawab gue.
“Bara, dia nangis makin kencang, nih. Suara kamu seram. Dia takut kali, Bar,” kata Gina tanpa rasa bersalah.
Enak saja suara gue dibilang seram! Memang suara gue mirip kuntilanak nangis?
“Fadya sayang, ini Bunda. Yuk bobo lagi, Nak,” kata Gina ke Fadya.
Bukannya berhenti, Fadya justru menangis semakin kencang. Mungkin suara Gina lebih seram lagi daripada suara gue.
“You know what? Baby should come with a manual!” kata Gina dengan muka bingung karena Fadya masih terus menangis dalam gendongannya.
Menurut gue, bukan cuma bayi yang harus dilengkapi dengan manual. Wanita juga! Kalau ada penulis yang bikin buku manual menghadapi wanita, mungkin bakal langsung jadi bestseller di seluruh dunia atau bahkan di luar angkasa.
“Mungkin dia haus!” tebak gue.
“Kan, dia baru nenen di perjalanan pulang dari rumah sakit tadi,” jawab Gina.
“Mungkin dia kedinginan,” tebak gue lagi.
“Kita bahkan belum nyalain AC,” bantah Gina.
“Nah, mungkin dia kepanasan.” Kali ini gue yakin tebakan gue benar.
“Nggaklah, Bar. Udaranya adem gini, kan habis hujan barusan.”
“Terus dia kenapa dong, Gin?” tanya gue putus asa.
“Mungkin dia kaget gara-gara kamu tadi ngetawain aku!” jawab Gina jutek.
Yah, gue lagi yang kena! Cumi!
Day 7
Gina
Azan Shubuh sudah berkumandang sejak beberapa menit lalu. Ayam-ayam tetangga sudah mulai berkokok. Bibi juga sudah mulai terdengar sibuk di dapur. Namun, aku belum juga tidur. Sumpah, ini malam paling melelahkan yang pernah aku lalui. Ganti popok Fadya, nenenin, lalu lanjut gendong-gendong supaya tertidur. Belum sampai tertidur, popoknya sudah basah lagi dan harus diganti lagi. Begitu terus sepanjang malam.
Aku pengin banget kasih Fadya popok sekali pakai, jadi nggak perlu bolak-balik ganti popok kain seperti sekarang ini. Aku juga nggak perlu repot-repot mencuci tumpukan popok. Bahkan, sebelum melahirkan, aku sudah googling tentang merek popok sekali pakai yang paling recommended. Namun, sayangnya, ternyata Mama nggak setuju Fadya pakai popok sekali pakai. Katanya bikin kaki nggak bisa tertutup rapat. Entah dia dapat teori dari mana.
Gosh, kepalaku sakit banget. Mungkin karena sebentar lagi bakal keluar tanduk di kepalaku.
Yang bikin keadaan semakin buruk sekarang adalah gara-gara nggak tidur semalaman, aku jadi ngunyah terus. Entah kenapa aku merasa lapar terus. Aku sudah menghabiskan makanan sisa semalam, satu stoples Pringles, satu pack Astor, dan entah berapa galon air putih. Ini perut kenapa nggak kenyang-kenyang, ya? Kayaknya nafsu makanku saat hamil pun nggak sebesar ini, deh.
Bahkan, aku sampai melanggar aturanku sendiri. Aku yang biasanya paling anti bawa makanan ke kamar, malam ini sampai bawa beberapa camilan ke tempat tidur supaya bisa menyusui sambil makan. Duh, kalau begini caranya, kapan aku bisa kurus? Bisa-bisa aku bukan cuma kayak pesut, melainkan kayak pesut hamil!
“Kamu belum tidur dari semalam, Gin?” tanya Bara setelah selesai shalat Shubuh.
“Belum. Fadya nggak mau tidur,” jawabku masih sambil menggendong Fadya. Mata Fadya tertutup rapat, tapi aku yakin, dia bakal langsung nangis kalau aku meletakkannya di boks bayi.
“Kok, nggak bangunin aku. Kan bisa gantian,” kata Bara.
“Aku udah bangunin kamu berjuta-juta kali, tapi kamu tetap aja ngorok,” jawabku sebal.
“Masa, sih?” kata Bara sambil cengengesan.
Seriously, aku kadang bertanya-tanya, apa Bara nggak pernah keberisikan dengan suara ngoroknya sendiri? Suara ngorok Bara itu lebih heboh daripada suara sapi melahirkan. Sumpah!
“Kayaknya Fadya nggak bisa tidur karena kamu ngorok, deh,” kataku.
“Enak aja!” jawab Bara nggak terima.
“Beneran, Bar. Nanti malam kamu bisa coba tidur di luar, deh. Kita tes apa Fadya jadi gampang tidur kalau kamu tidur di luar.”
“Jangan kejam gitu, deh, Gin. Kamu tega aku jadi sasaran makan malam nyamuk?” kata Bara dengan muka memelas.
“Ya, tega aja sih. Demi Fadya!” jawabku asal.
“Durhaka kamu sama suami!” jawab Bara sambil pura-pura marah.
Mau nggak mau aku tertawa melihat ekspresi muka Bara. Suamiku satu ini memang manusia yang paling nggak bisa marah. Lihat saja mukanya kalau lagi pura-pura marah begitu, bukannya seram malah kayak orang lagi nahan buang air.
“Sini gantian aku yang gendong. Kamu istirahat dulu,” kata Bara sambil mengambil Fadya dari gendonganku.
Aku tahu, Bara sebetulnya selalu berusaha membantuku mengurus Fadya. Meskipun kalau malam dia nggak bisa bangun dan menemaniku begadang sampai pagi, pada siang hari dia sebetulnya sangat bisa diandalkan. Dia memang nggak bisa gantiin aku menyusui Fadya, tapi paling nggak, dia bisa mijitin aku kalau sudah mulai pegal-pegal karena Fadya nenen terus tanpa henti.
Sekarang aku mengerti kenapa kehadiran suami dibilang penting setelah melahirkan. Bara ada di sampingku membuatku merasa nggak sendirian menghadapi ritme hidup yang baru ini. Aku merasa punya teman seperjuangan dalam beradaptasi dengan kehidupan baruku.
Nggak kebayang bagaimana aku harus melewati hari-hariku setelah Bara masuk kantor lagi nanti. Mungkin aku harus bikin petisi supaya cuti melahirkan juga diterapkan untuk ayah di Indonesia Raya ini.
“Aku mau cuci popok dulu, ya,” kataku sambil memunguti popok basah Fadya dari keranjang di pojok kamar.
“Hah? Mending kamu istirahat dulu, deh. Minta tolong Bibi aja buat cuci popoknya,” jawab Bara.
“Kalau nggak bersih, gimana? Kamu mau Fadya gatal-gatal? Dia masih bayi, semua harus bersih dan higienis,” kataku.
“Tapi, kamu butuh istirahat, Gin. Kamu, kan, belum tidur semalaman,” paksa Bara.
“Tapi, Fadya butuh popok bersih, Bar!” jawabku.
“Gina, kamu sudah begadang sepanjang malam, menyusui sepanjang hari. Kamu harus belajar menyerahkan hal-hal nggak penting lainnya ke orang lain, Gin,” kata Bara.
“Nggak ada yang nggak penting kalau berhubungan sama Fadya!” jawabku.
“Terserah kamu, deh,” jawab Bara pasrah.
Sebetulnya mataku sudah super duper berat. Badanku sudah sangat lelah. Udara dingin yang menusuk akibat hujan semalam membuatku benar-benar pengin selimutan sekarang juga. Bara benar, aku harus istirahat. Namun, aku belum bisa percaya kepada orang lain untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan Fadya. Apalagi yang berpotensi membuat Fadya terpapar kuman dan bakteri.
Langkahku terhenti di depan jemuran. Astaga, popok-popok Fadya yang sebelumnya aku cuci basah semua karena kehujanan. Aku benar-benar lupa mengangkatnya. Artinya, aku harus mencuci ulang semuanya sekarang.
Duh, Fadya, kenapa sih kamu harus lahir pada musim hujan?
***
Bara
Baru beberapa menit gue menggendong Fadya, tangan gue sudah hampir kram. Nggak kebayang bagaimana rasanya jadi Gina yang harus menggendong anak ini semalaman, bisa-bisa dalam waktu beberapa bulan, lengan tangan Gina berubah jadi berotot kayak Hulk. Coba bayangkan sosok Hulk, tapi wajahnya kayak Gina.
Sialan, membayangkannya saja gue mau jedotin kepala gue ke tembok!
“Fadya sayang, ayo bobo. Ayah pegal!” kata gue sambil menimang-nimang Fadya. Gue bersenandung pelan supaya Fadya segera terlelap. Tapi, bukannya tidur, mata Fadya justru semakin terbuka lebar. Mungkin dia pengin dengar suara ayahnya dengan lebih jelas. Apa gue nyanyiin lagu Rolling Stone aja, ya?
“Bara, tadi suara apa?” Ibu mertua gue tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar yang dibiarkan terbuka.
“Hah? Suara apa, ya?” tanya gue bingung.
“Kok, kayak ada suara kucing kejepit. Apa dari atap, ya?” tanyanya bingung.
Cumi! Maksudnya suara gue nyanyi tadi kayak suara kucing kejepit gitu? Kejam banget, nih, ibu mertua gue! Dia nggak tahu, ya, zaman masih SMA dulu, gue selalu jadi vokalis setiap kali nge-band sama teman-teman gue. Iya, sih, bukan karena suara gue bagus, melainkan karena gue nggak bisa main alat musik apa pun. But still, itu kan artinya gue cukup terlatih untuk nyanyi!
“Oh, nggak tahu suara apa, Ma,” jawab gue pura-pura dongo.
“Gina mana?” tanyanya kemudian.
“Cuci popok,” jawab gue.
Seperti batu kejatuhan pisang sepohon-pohonnya, ibu mertua gue langsung pasang muka horor. Serius deh, cuma cuci popok, nggak usah kaget-kaget banget gitu kali. Gimana kalau dia tahu gue mantan vokalis band?
“Cuci? Kok, kamu biarin dia cuci, sih? Dia itu, kan, belum pulih benar pascaoperasi. Gimana kalau jahitannya kenapa-kenapa. Aduh, gimana sih kamu, Bar!” cerocos ibu mertua gue.
“Katanya, takut nggak bersih kalau dicuci Bibi,” jawab gue.
“Ya, kamu cegah, dong, Bar! Kalau perlu, kamu yang cuci. Bagi tugas dong sama Gina. Fadya, kan, anak kamu juga,” kata ibu mertua gue dengan wajah jutek.
Mungkin ibu mertua paling gue cinta di seluruh jagat raya ini perlu beli kacamata baru. Bisa-bisanya dia ceramah tentang bagi tugas mengurus Fadya saat gue sedang menggendong Fadya begini.
Belum sempat gue menjawab omongannya, tiba-tiba ibu mertua gue masuk kamar gue. Dia berdiri beberapa detik di depan tempat tidur. Lalu, kepalanya kembali geleng-geleng. Gue menarik napas dalam-dalam, bersiap-siap dengan topik baru untuk ceramah ke gue. I know she will do it. Gatal-gatal kayaknya ibu mertua gue ini kalau nggak nemu hal yang bisa diprotes!
Kadang gue heran, dia nggak capek, ya, ngomel melulu sepanjang hari. Gue yang baru beberapa hari tinggal di sini aja dengarnya capek banget. Rasanya gue selalu mau ambil earphone setiap kali ibu mertua gue mendekat supaya gue nggak perlu dengar dia ngomel.
“Bara, jangan bawa makanan ke kamar dong. Ini namanya mengundang semut. Kalau Fadya sampai digigit semut, gimana? Kasihan, kan!” kata ibu mertua gue.
See! I told you!
“Kamu harus bersih dan higienis, Bara. Kamu punya bayi sekarang. Kalau kamu jorok, nanti dicontoh, lho, sama Fadya. Kamu mau anak kamu jorok dan nanti punya suami berewokan?”
Ada dua hal yang gue pengin bilang ke ibu mertua gue. Pertama, bukan gue yang bawa makanan-makanan itu ke dalam kamar. Bisa diselepet Gina kalau gue sampai bawa makanan ke kamar. Kedua, memang kenapa kalau Fadya nanti punya suami berewokan? Mending dia punya punya suami berewokan daripada punya suami yang sukanya sama suami orang.
Akan tetapi, demi menghindari perdebatan pada pagi hari, gue hanya mengangguk-anggukkan kepala gue. Iya aja, biar cepat dan ibu mertua gue segera keluar dari kamar gue ini.
“Eh, cucu Eyang sudah bangun!” suara papanya Gina membuat mata Fadya terbuka semakin lebar.
Tanpa diundang, bapak mertua gue ikutan masuk ke kamar, berdiri di samping gue, dan bermain-main dengan Fadya. Kayaknya gue akan kehilangan privasi gue selama tinggal di sini. Duh, gue benar-benar nggak sabar buat pindah!
“Belum tidur, Pa. Bukan sudah bangun,” kata gue ke bapak mertua gue.
“Foto dulu, yuk!” kata bapak mertua gue sambil mengeluarkan ponsel dari kantong celana pendeknya.
Gue hanya bisa berdiri mematung tanpa bisa melakukan apa pun. Ibu mertua gue masih asyik membersihkan tempat tidur sambil sesekali ngedumel, sedangkan bapak mertua gue sudah bergaya bak fotografer profesional. Matahari belum terbit sempurna, tapi rumah ini sudah super duper meriah.
“Aduh fotonya nggak bagus, nih. Kebanyakan bulu tangan kamu!” kata bapak mertua gue sambil berlalu.
Lah, dia yang ambil fotonya kenapa bulu tangan gue yang disalahin? Kayaknya gue belum berubah wujud jadi kambing hitam, tapi sejak pindah ke sini kenapa gue selalu jadi sasaran disalahkan orang-orang, ya? Cumi asin!
Day 10
Gina
Satu kegiatan yang paling sering aku lakukan setiap kali sedang menyusui adalah mengecek media sosial. Favoritku tentu saja Instagram. Meskipun rambutku kayak singa, bajuku bau ASI, dan mukaku superkucel, tapi melihat foto-foto cantik di Instagram dan membaca komentar-komentar yang masuk adalah hiburan tersendiri untukku.
Sejak Fadya lahir, Instagram-ku tentu saja didominasi foto Fadya. Fadya lagi tidur, Fadya lagi menguap, Fadya lagi ngulet-ngulet, sampai Fadya lagi pup juga ada. Pokoknya semua Fadya, fotoku jarang banget muncul. Aku rasa semua ibu mengerti hal ini, di balik bayi yang lucu dan menggemaskan, ada seorang ibu yang kucel dan jarang mandi. Bagaimana mungkin aku selfie saat mukaku lebih mirip handuk kotor begini?
Sejujurnya, aku sudah kangen banget dengan aku yang dulu. Yang kurus dan selalu cocok pakai baju apa pun. Sekarang sih boro-boro, setiap coba-coba pakai baju sebelum aku hamil dulu, aku langsung merasa badanku kayak lemper. Belum lagi rambutku yang superkusut, bawah...
Day 13
Gina
Kenapa nggak pernah ada yang memberitahuku bahwa proses menyusui itu bisa lebih menyeramkan daripada nonton film horor sendirian pada malam Jumat Kliwon?
Sebetulnya awalnya proses menyusui terasa begitu mudah untukku. Aku bahkan sudah menguasai beberapa posisi yang diajarkan di kelas laktasi saat aku hamil dulu. Namun, entah kenapa, memasuki minggu kedua, perlahan tapi pasti, proses menyusui justru terasa semakin berat. Puting semakin lecet dan bahkan berdarah. Setiap kali Fadya membuka mulutnya, jantungku langsung terpacu cepat, keringat mengucur, dan sekarang, aku bahkan sudah nggak bisa menahan air mataku.
Aku memejamkan mataku, menahan rasa sakit sekuat tenaga. Jadi, seperti ini, ya, perjuangan menjadi seorang ibu?
“Sakit banget, ya, Gin?” kata Bara sambil membelai rambutku saat aku baru saja menyusui Fadya.
“Iya, Bar,” jawabku pelan sambil tetap menahan sakit.
“Fadya sayang,”—Bara membelai rambut Fadya—“cukup kali ini aja kamu bikin Bunda kamu nangis, ya. Jangan sampai saat sudah besar nanti kamu bikin Bunda...
Day 15
Bara
Matahari belum terbit sempurna, tapi pagi ini wajah Gina sudah tampak cerah. Padahal, biasanya pagi-pagi begini, mukanya lagi kusut-kusutnya. Mungkin ini efek dari proses menyusui yang nggak lagi sakit. Atau, mungkin juga karena Gina bisa tidur nyenyak sekitar 3 jam tadi malam. Apa pun alasannya, gue senang melihat istri gue kembali tersenyum ceria.
“Kamu ngapain lihatin aku melulu?” tanya Gina setelah meletakkan Fadya di boks bayi.
“Istriku cantik banget kalau senyum gitu,” jawab gue cengengesan sambil memeluk Gina dari belakang, lalu mencium lehernya.
“Pagi-pagi nggak usah gombal, deh, Bar.”
“Beneran!” kata gue sambil mencium lehernya. Oh my God, I miss touching her.
“Bara, kamu ngapain, sih?” kata Gina sambil melepas pelukan gue.
“Kenapa sih, Gin? Aku kan kangen,” jawab gue sambil tersenyum nakal. Senyuman yang gue yakin banget Gina tahu maksud dan tujuannya.
“Nggak usah aneh-aneh, deh. Nggak enak, ah, nanti kalau kedengaran Papa-Mama,” jawab Gina.
“Tapi, Gin ....”...
Day 16
Bara
Sejak kejadian kemarin, gue berjanji kepada diri gue sendiri. Gue nggak akan berkomentar apa pun atas semua omongan ibu mertua gue. Seperti pagi ini saat ibu mertua gue mengomentari mobil gue yang kotor, gue diam aja. Atau, saat gue pulang kantor tadi dan mendengar ibu mertua gue bilang ke Gina bahwa Gina nggak boleh minum air dingin karena takut Fadya pilek, gue juga diam aja. Diam adalah emas, itu moto baru hidup gue!
Nggak enak banget, sih, sebetulnya nggak bisa menyampaikan pendapat kita. Tapi, daripada gue salah ngomong dan berujung ribut, lebih baik ditahan. Toh ini hanya sementara, sampai keluarga kecil gue ini pindah ke rumah baru.
Bukan apa-apa, repot juga setiap Gina ngambek. Gue harus membujuk rayu dia semalaman. Dibawain martabak pun nggak akan membantu banyak. Paling-paling bapak mertua gue yang sibuk menghabiskan martabak itu.
Lagi pula, gue masih ingat betul kata dokter. Mood Gina harus bagus supaya...
Day 20
Gina
Ada satu hal yang baru aku sadari setelah menjalankan proses menyusui, yaitu ASI mampu jadi indikator kebahagiaan! Well, setidaknya indikator kebahagiaanku. Percaya atau nggak, setiap kali aku lagi happy, biasanya hasil dari memompa ASI-ku bakal melimpah. Namun, setiap kali aku lagi stres, pasti produksi ASI-ku turun (meskipun sudah makan sayur daun katuk sebaskom!).
Karena itulah, supaya produksi ASI-ku bisa terus melimpah, aku selalu memompa ASI sambil belanja online. You know, shopping is the easiest way to make myself happy! Bara sebetulnya sering protes tentang hobi belanjaku ini, padahal menurutku harusnya dia bersyukur. Bagaimana kalau aku bilang aku harus jalan-jalan keliling dunia dulu biar happy? Pasti dia makin pusing, kan?
Sebetulnya belanja online bukanlah hobi yang baru buatku. Sejak masih single pun aku sudah keranjingan belanja online. Praktis banget, tinggal duduk manis, lalu besoknya pesanan datang. Terkadang satu paket belum dibuka, sudah datang paket yang...
Day 21
Gina
“Gin, ada Dimas!” kata Bara saat memasuki kamar. Beberapa detik kemudian kepala Dimas, sahabatnya Bara, muncul dari balik pintu.
Bilang aku aneh, tapi sejujurnya aku nggak pernah senang setiap kali ada yang menjengukku setelah melahirkan. Simply karena aku merasa penampilanku masih kacau banget dan aku nggak mau ada orang yang melihat aku dalam keadaan berantakan seperti ini. Aku bahkan belum sempat mandi pagi ini. Ini sama sekali nggak sesuai dengan personal branding-ku.
Bahkan, beberapa kali aku protes ke Mama karena teman-teman arisannya datang menjenguk silih berganti. Tapi, kata Mama, mereka mau lihat Fadya, bukan mau lihat aku. Resek, kan?
Setelah aku ingat-ingat, dulu aku sering banget menjenguk ibu baru tepat beberapa hari setelah mereka melahirkan. Mereka selalu terlihat tersenyum dan bahagia. Sekarang setelah mengalaminya sendiri, aku tahu apa yang tampak di luar belum tentu sama dengan apa yang sebetulnya mereka rasakan. Bisa jadi sebetulnya saat aku menjenguk mereka...
Day 29
Bara
Baby is definitely a gift from heaven. Kalau disuruh duduk bengong sambil mengamati segala gerak-gerik Fadya selama satu jam penuh, sepertinya gue nggak akan keberatan sama sekali. Pipinya yang tambah gembil, tangannya yang montok, dan kakinya yang minta digigit benar-benar bikin gue gemas. Anak ini baru lahir beberapa minggu, tapi kenapa dia sudah terlihat begitu besar, ya?
“Fadya sayang, jangan cepat-cepat besar, dong. Nanti Ayah pusing usir cowok-cowok yang naksir sama kamu,” kata gue sambil membelai rambut putri gue yang cantiknya kebangetan ini.
Kalau melihat wajah Fadya sekarang, gue yakin Fadya bakal tumbuh jadi wanita cantik dan menawan. Sepertinya Gina benar-benar merawat Fadya dengan baik sampai putri semata wayang gue ini sekarang tampak begitu sehat, bersih, dan segar.
Sayangnya yang terjadi pada Gina justru kebalikannya. Dia tampak semakin layu, wajahnya pucat kurang tidur, pakaiannya berantakan. Mungkin karena ini juga sekarang media sosial Gina semakin penuh dengan foto Fadya dan...
Day 34
Gina
Tanpa terasa, cuti hamilku sudah berlalu lebih dari satu bulan. Artinya, nggak sampai dua bulan lagi, aku sudah harus kembali masuk kantor. Gosh, kenapa waktu berjalan begitu cepat, sih? Aku bahkan belum rindu sama sekali untuk kembali bekerja!
Selama ini, setiap kali membayangkan harus kembali ke kantor, aku pasti galau berat. Nggak jarang bahkan sampai menitikkan air mata. Bilang aku lebay, tapi aku benar-benar nggak tega meninggalkan makhluk kecil ini di rumah. Bagaimana kalau dia merindukan pelukanku saat bangun tidur? Bukankah selama ini pelukanku adalah hal yang pertama dia dapat setiap kali dia baru bangun tidur?
Iya, sih, aku selalu bilang mengurus Fadya bukan hal yang mudah, tapi ternyata kembali ke kantor sepertinya jauh lebih sulit. Saking sulitnya, aku bahkan selalu membuang jauh ingatan bahwa aku harus kembali ke kantor suatu hari nanti.
Aku duduk termenung sambil mengamati Fadya yang sedang tertidur pulas dalam gendonganku. Fadya tampak begitu...
Day 36
Gina
Aku mengelap keringat di dahiku. Sudah lama rasanya nggak sesibuk hari ini. Biasanya aku selalu ikut tidur setiap kali Fadya tidur, tapi hari ini, aku belum tidur sama sekali. Padahal, semalam aku hanya tidur 4 jam. Mukaku pasti sudah nggak karuan bentuknya sekarang ini.
“Fadya tidur, Gin?” tanya Mama sambil duduk di sofa depan TV.
“Iya,” jawabku singkat.
“Kamu ngapain, sih, dari tadi? Kayaknya Mama lihat seharian ini sibuk banget.”
“Ini lagi bungkusin paket, Ma,” jawabku sambil sibuk membungkus salah satu baju Fadya dengan kertas kado.
Sejak Mama melarangku bikin garage sale, aku terus memutar otakku agar baju-baju Fadya ini bisa keluar dari lemari. Kalau sampai baju-baju ini nggak keluar, aku yakin Bara nggak akan mengizinkanku beli-beli baju lagi untuk Fadya. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjual baju-baju Fadya ini melalui Instagram. Aku sudah menemukan jasa ekspedisi yang mau mengambil paket yang ingin dikirim. Jadi, aku nggak perlu keluar...
Day 37
Gina
Sejak ada Fadya, hampir seluruh waktuku tercurah hanya untuk Fadya. Aku nggak pernah menyangka sebelumnya bahwa aktivitas menyusui, mengganti popok, dan sejenisnya itu benar-benar menyita hampir seluruh perhatianku. Satu-satunya yang masih menghubungkan aku dengan dunia luar hanyalah interaksiku dengan teman-teman di Instagram. Pathetic, huh?
Akan tetapi, di antara semua kesibukan itu, setiap hari selalu ada beberapa menit yang selalu aku sisihkan. Untuk apa lagi kalau bukan untuk membuka semua paket-paket yang datang. Ada yang dari online shop yang minta di-endorse, ada juga yang memang hasil belanjaanku sendiri. Bagiku, membuka paket-paket itu rasanya seperti membuka kado ulang tahun. Jadi, jangan heran kalau aktivitas satu ini adalah salah satu ASI booster paling jitu bagiku.
Aku nggak punya waktu khusus untuk melakukan ini. Sesempatnya saja. Kadang pagi-pagi saat Fadya baru terlelap setelah ngajak begadang semalaman. Kadang malam hari saat Fadya sedang khilaf nggak rewel minta nenen. Namun, tentu saja aku...
Day 39
Gina
I’ve made my decision!
Setelah beberapa hari galau memikirkan harus meninggalkan Fadya ngantor lagi, akhirnya aku memutuskan untuk benar-benar resign. Well, sebetulnya nggak langsung resign begitu masuk kantor nanti, sih. Nggak mungkin, kan, aku langsung minta resign setelah 3 bulan cuti melahirkan? Jadi, aku bakal tetap kerja beberapa bulan. Dan, dalam waktu yang bersamaan, aku bakal mulai merintis bisnis baruku, clothing line baju bayi! Jadi, saat aku resign, aku sudah punya kesibukan dan, hopefully, penghasilan.
Kalau semua rencanaku ini berjalan lancar, aku bisa bekerja dari rumah sambil menjaga Fadya. Bahkan, Fadya juga bisa jadi modelku. Gosh, membayangkannya saja aku sudah super duper excited! Pasti bakal seru banget, deh!
Sebetulnya ide ini datang karena respons yang luar biasa bagus saat aku menjual beberapa baju Fadya beberapa waktu lalu. Asumsiku, kalau aku bisnis baju bayi, pasti bakal laku juga, kan? Selain itu, koleksi baju Fadya...
Day 41
Bara
Jam di mobil hampir menunjukkan pukul 6.00 malam. Lumayanlah, hari ini gue bisa kabur lebih cepat dari kantor. Keajaiban ini terjadi karena bos gue, Mas Hutomo tercinta, cuti sakit hari ini. Kalau kata sekretarisnya, sih, Mas Hutomo diare sejak semalam. And, of course, menurut si sekretaris, Mas Hutomo menyalahkan gue karena kemarin tiba-tiba aja dia memutuskan untuk ikut gue, Dondon, dan Larisa makan di pinggir jalan. Gue nggak ajak, dia yang mau ikut. Seenaknya aja tuh orang nyalahin gue!
Setelah memasuki pekarangan rumah mertua, buru-buru gue keluar mobil, menguncinya kembali, dan lari ke dalam rumah. Dulu-dulu setiap kali pulang cepat, gue selalu berusaha nyetir sambil menikmati matahari sore yang jarang gue lihat. Tapi, sekarang gue nggak ada waktu untuk menikmati matahari, gue cuma pengin buru-buru ketemu Fadya dan main sama dia.
I miss my baby so much. Entah kekuatan supranatural apa yang dia punya, tapi encok pegal linu...
Day 42
Bara
Entah kapan gue akan benar-benar belajar bahwa bikin perempuan ngambek itu bakal merepotkan diri sendiri. Pagi tadi gue sudah minta maaf berkali-kali ke Gina. Bukan karena gue merasa salah, melainkan karena gue nggak tahan lihat muka Gina yang judes. Gue butuh memulai pagi gue dengan damai supaya bisa bekerja dengan tenang. Hasilnya? Gina tetap saja pasang muka judes.
Belum lagi ibu mertua gue yang setiap papasan dengan gue, dia selalu mulai menggerutu. Gue benci banget dengar orang menggerutu! Setiap kali mendengar orang menggerutu, gue bingung sebetulnya mereka mau omongannya didengar atau mau gue pura-pura budek aja?
Seriously, berada di rumah jadi terasa sangat amat nggak nyaman. And honestly, gue nggak mau Fadya terlalu lama berada di rumah dengan energi negatif sebesar itu. Ah, ini mengingatkan gue bahwa gue harus follow up tentang perkembangan rumah yang sudah gue beli. Gue pengin pindah rumah secepatnya! Hari ini juga kalau...
Day 44
Bara
“Bar, sini sarapan dulu!” sapa bapak mertua gue pagi ini. Dia sudah duduk manis di meja makan dan siap melahap makanan di depannya.
Di meja makan sudah ada udang goreng, sambal terasi, dan juga cah kangkung. Semua kelihatan enak. Tapi, bakal lebih enak lagi kalau itu jadi menu makan siang, bukan sarapan saat masih subuh begini.
Gue melirik ke luar jendela. Matahari bahkan belum terbit sempurna, tapi sarapan sudah siap di atas meja. Selalu begitu setiap harinya. Sebetulnya ibu mertua gue dan si bibi bangun jam berapa, sih?
“Aku nanti aja, deh, Pa,” jawab gue halus. Nyawa gue aja belum sepenuhnya ngumpul, masa perut gue sudah harus mencerna udang goreng?
“Sekarang aja, Bar. Temenin Papa,” kata bapak mertua gue.
Gue diam sejenak. Nggak pernah banget, nih, bapak mertua gue minta temenin gue sarapan pagi-pagi begini. Kenapa dia nggak minta temenin istrinya? Apa jangan-jangan dia mau menegur gue karena masalah...
Day 46
Gina
“Kamu mau beli baju lagi buat Fadya? Masih kurang bajunya?”
Mama tiba-tiba sudah berdiri di belakangku ketika aku sedang browsing baju bayi di meja makan sambil ngemil pisang goreng buatan Bibi.
“Bukan untuk Fadya, Ma. Tapi, untuk bisnis baru aku,” jawabku.
“Bisnis baru kamu?” tanya Mama bingung. “Sejak kapan kamu punya bisnis?”
“Lho, aku belum cerita, ya? Aku, kan, ke Mayestik tempo hari untuk beli bahan untuk bikin baju bayi. Bisnis baru aku itu jualan baju bayi.”
“Memangnya kamu sempat ngurusin bisnis sambil kerja? Kasihan nanti Fadya malah nggak keurus. Nggak usah aneh-aneh, lah.”
“Aku sudah bicarakan semuanya dengan Bara. Kami sudah sepakat aku nggak akan terlalu lama lanjut kerja kantorannya. Aku mau jalanin bisnis ini aja dari rumah jadi bisa sambil jagain Fadya.”
Raut muka Mama langsung berubah mendengar kata-kataku. Perasaanku langsung nggak enak. Jangan-jangan Mama punya mitos aneh-aneh juga tentang bisnis baju bayi.
“Jadi, kamu mau berhenti...
Day 48
Bara
Pada akhirnya kita memang harus beradaptasi dengan tempat di mana kita tinggal. Setelah sebelumnya beberapa kali ribut dengan Gina dan ibu mertua gue, akhirnya gue memutuskan untuk mengikuti saran bapak mertua gue untuk melakukan apa pun yang mereka minta selama gue bisa memenuhinya. Bukan untuk memenuhi ego mereka, melainkan untuk ketenangan batin gue.
Salah satu hal yang akhirnya gue coba lakukan adalah ikut sarapan subuh-subuh. Meskipun menunya berat, gue mencoba beradaptasi dengan mengambil porsi yang sangat kecil. Paling nggak, gue ada di meja makan dan memakan makanan yang disiapkan ibu mertua gue.
Hikmahnya adalah asalkan Fadya sedang tidur, Gina selalu berusaha menemani gue sarapan. Momen ngobrol pagi-pagi yang dulu sempat hilang, sudah beberapa hari ini akhirnya kembali lagi. Meskipun nggak enaknya adalah setiap kami ngobrol, pasti bapak mertua gue ikut mendengarkan.
“Kamu udah sempat ngobrol lagi sama Mama tentang rencana resign kamu?” tanya gue sambil menikmati pepes ikan lele...
Day 50
Bara
Surprisingly, setelah beberapa hari membiasakan diri untuk sarapan pagi-pagi buta, semakin lama ternyata gue semakin terbiasa. Subuh-subuh, saat ayam masih mimpi indah, biasanya gue udah duduk manis di meja makan berdua dengan bapak mertua gue. Naga-naga di perut gue yang dulu-dulu nggak pernah dapat jatah makan subuh-subuh, sekarang selalu kekenyangan setiap pagi.
Tak terkecuali pagi ini. Bapak mertua gue sedang makan dengan lahap di meja makan saat gue baru selesai mandi. Gina pun sudah duduk manis menemani papanya.
Melihat wajah Gina yang kayak zombi karena Fadya lagi-lagi ngajak begadang semalaman, gue yakin dia sebetulnya ngantuk parah. Tapi, mungkin rasa laparnya mengalahkan ngantuknya. Luar biasa emang nafsu makan istri gue selama masa menyusui ini.
“Ayo makan, Bar. Enak banget, nih!” kata bapak mertua gue di sela-sela aktivitas makannya.
“Mama sengaja masak opor ayam buat kamu gara-gara aku bilang kamu suka opor,” kata Gina sambil menyodorkan sepiring nasi ke gue....
Day 52
Gina
Fadya has been so good lately. Sudah beberapa malam ini aku berhasil tidur seperti manusia normal karena Fadya tidur sepanjang malam. Aku bahkan bisa melihat kantong mataku sudah sedikit membaik. Mungkinkah masa-masa begadangku akan segera berakhir?
Kondisi ini juga membuatku bisa lebih sering menemani Bara sarapan setiap pagi. Akhirnya, sekarang kami bisa ngobrol-ngobrol lagi sambil sarapan seperti saat masih tinggal di apartemen dulu. Memang, sih, nggak bisa romantis-romantisan atau manja-manjaan kayak dulu lagi karena ada Papa di meja yang sama, tapi tetap saja, kembalinya rutinitas ini adalah sesuatu yang menyenangkan bagiku. It’s a perfect way to start the day!
Akan tetapi, pagi ini berbeda. Bara tampak terburu-buru untuk berangkat ke kantor. Bahkan, sekarang saat jam dinding belum genap menunjukkan pukul 5.30 pagi, Bara sudah rapi dan siap berangkat ke kantor.
“Kamu nggak sarapan dulu?” tanyaku.
“Hari ini aku sarapan di kantor aja, deh.”
“Ada apa, sih? Kok, tumben...
Day 52 - 2
Bara
Hujan turun semakin deras ketika gue keluar dari Harvest Dharmawangsa. Jalanan yang sebelumnya sudah macet parah, sekarang berubah menjadi parkiran massal. Asli, mobil-mobil yang ada dalam jarak pandang gue berhenti total. Jakarta selalu begini setiap hujan turun terlalu deras. Menyebalkan!
Jam di iPhone gue sudah menunjukkan pukul 18.30. Artinya gue sudah 30 menit terlambat dari waktu yang ditentukan Gina tadi pagi. Tapi, paling nggak, gue masih punya waktu 29 menit sebelum semua om dan tantenya Gina datang duluan. Yang perlu gue lakukan sekarang adalah memikirkan cara supaya bisa sampai Pondok Indah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Sebetulnya Pondok Indah nggak jauh-jauh banget, sih, dari tempat gue berada sekarang. Tapi, kalau melihat jalanan di depan gue sekarang, gue nggak yakin bisa sampai sana dalam waktu relatif singkat.
Tiba-tiba sebuah ide brilian muncul saat gue melihat seorang mamang-mamang ojek online berteduh di bawah teras toko kue ini. Dia sedang asyik dengan ponselnya...
Day 53
Bara
Terbangun dari tempat tidur dan menemukan jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi sukses membuat gue loncat dari tempat tidur. Gila, biasanya jam segini gue sudah ada di tengah kemacetan ibu kota, sedangkan sekarang, iler di bibir gue saja masih menempel.
Buru-buru gue mandi, sikat gigi, mengenakan kemeja gue, lalu siap-siap berangkat kantor. Sekilas gue melihat bayangan gue di cermin. Rambut gue acak-acakan, mata gue tampak lelah, dan, yang paling parah, muka gue pucat kayak zombi. Kayaknya semalam gue nggak begadang, deh.
Refleks gue memegang dahi gue. Panas. Panas banget malah. Pantas saja sejak bangun tadi gue merasa agak pusing. Gue pikir memang efek kelamaan tidur, ternyata gue memang sakit. Yang harus gue lakukan sekarang adalah segera menenggak parasetamol, kerjaan gue lagi banyak banget dan ada meeting dengan klien penting sore nanti. Gue nggak boleh sakit.
Gina sedang duduk di sofa depan TV saat gue keluar kamar....
Day 54
Bara
Kepala gue rasanya seperti baru dihantam bola kasti. Suhu badan gue panas, tapi gue justru merasa kedinginan. Tenggorokan gue sakit kayak digaruk-garuk dari dalam. Dan, yang paling parah, otak gue nggak mau bekerja sama sekali.
Ini sudah hari kedua gue sakit, tapi gue masih juga memaksakan diri gue untuk berangkat ke kantor. Gina yang biasanya selalu sibuk memaksa gue ke dokter setiap kali gue sakit, sampai hari ini masih juga diam seribu bahasa. Dan, gue, masih belum tertarik untuk membujuk rayu dia.
Pagi tadi, rumah masih terasa seperti neraka jahanam. Ibu mertua gue pastinya masih ngambek dan pasang muka jutek andalannya. Sedangkan bapak mertua gue yang biasanya paling hobi kasih wejangan tiap ada yang ngambek, pagi tadi memilih diam saja juga. Mungkin dia juga sudah nggak tahu harus bagaimana lagi.
Sebetulnya dosa apa yang telah gue lakukan di kehidupan sebelumnya sampai-sampai sekarang gue harus tinggal di rumah seperti itu?...
Day 55
Bara
“Bara, ayo bangun. Sudah pagi.” Suara lembut Ibu membangunkan pagi ini. Ah, gue kangen mendengar suara ini pagi-pagi. Entah kapan kali terakhir gue dibangunkan dengan suara selembut ini.
Perlahan gue membuka mata dan mengamati sekeliling gue. Ingatan gue berangsur kembali berbarengan dengan nyawa gue yang mulai mengumpul. Gue teringat saat kemarin gue mendadak memutuskan pulang ke Surabaya. Wajah Ibu kaget luar biasa melihat gue ada di depan pintu rumahnya. Tapi, nggak lama setelah memasuki rumah Ibu, gue langsung tumbang karena demam yang semakin tinggi. Beberapa kali gue sempat terbangun karena suara telepon masuk dari Gina, tapi nggak pernah sekali pun gue angkat. Bilang gue egois, tapi gue pengin istirahat.
And here I am now, bangun tidur di kamar gue yang dulu. Kamar yang jadi saksi bisu gue beranjak dewasa.
Bertahun-tahun gue meninggalkan Surabaya, tapi nggak banyak yang berubah dari kamar ini. Komik-komik zaman sekolah masih tersusun di rak...
Day 56
Gina
“Gimana, Neng Gina?” tanya penjahitku.
“Bagus, Bu,” jawabku datar.
Sampel baru baju bayi untuk bisnis baruku sudah selesai dijahit. Semuanya bagus dan menggemaskan, tetapi entah kenapa aku tidak merasa antusias sama sekali. Pikiranku sedang nggak ada di baju-baju kecil yang sedang aku pegang. Pikiranku masih saja ke Bara yang belum juga ada kabar sampai hari ini. Ini sudah hari kedua Bara menghilang tanpa kabar. Sesibuk-sibuknya Bara, dia nggak pernah lupa kasih kabar. Semoga saja dia nggak diculik alien!
“Ada yang kurang, ya, Neng?” tanya penjahitku dengan nada takut. Mungkin dia bisa membaca ekspresiku yang nggak seantusias sebelumnya.
“Oh, nggak ada, kok, Bu. Sudah bagus semua,” jawabku.
“Biasanya langsung difoto, Neng?” tanyanya lagi.
“Nanti aja, Bu,” kataku. “Sampelnya sudah oke, kok, Bu, bisa mulai produksi saja dari bahan yang aku kasih. Masing-masing model dibikin lima dulu saja, ya, Bu. Ukuran bayi semua saja dulu. Saya mau tes market,” kataku.
“Siap,...
Day 57
Bara
Setelah berjam-jam menempuh perjalanan balik ke Jakarta, gue masih belum bisa menemukan kalimat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya kepada Gina. Mengungkapkan bahwa sebetulnya gue bukan dinas ke Surabaya. Mengungkapkan bahwa gue merasa tertekan tinggal di rumah itu. Dan, yang paling penting, mengungkapkan bahwa gue pengin ajak Gina dan Fadya pindah. Bagaimana cara mengatakan itu semua tanpa membuat Gina lebih ngambek lagi?
Cumi! Sejak kapan bicara dengan Gina jadi lebih sulit daripada menyiapkan presentasi untuk ke klien?
Kata orang, bagian paling penting dari sebuah pernikahan adalah komunikasi yang baik dan lancar. I thought it was easy. Dari awal kenal dengan Gina, komunikasi kami selalu mengalir baik. Memang, sih, sesekali kami berbeda pendapat. Sesekali Gina ngambek. Sesekali gue merasa agak bete. Tapi, dulu semua masih terasa wajar dan justru jadi bumbu hubungan kami.
Sekarang mendadak semuanya berubah. Ibu bilang kemungkinan ini semua karena Gina kelelahan mengurus Fadya. Semoga Ibu benar. Kalau...
Day 63
Gina
Aku membanting tubuhku di sofa ruang tamu. Badanku pegal-pegal setelah keliling ke sana kemari mencari rumah kontrakan. Apa penduduk Jakarta makin banyak, ya, jadi semakin susah mencari tempat tinggal?
“Jadi, gimana, Bar?” tanyaku kepada Bara. Wajahnya tampak sama kusutnya denganku.
“Belum ada yang cocok,” jawabnya.
“Kamu cari yang kayak apa, sih?”
“I don’t know. Cuma rasanya belum ada yang klik. Coba, deh, kamu ingat-ingat waktu kita cari apartemen dan rumah dulu, rasanya langsung klik aja begitu lihat. Nah, kali ini belum ada yang kayak gitu.”
Aku menarik napas panjang. Bakal susah, deh, kalau Bara sendiri nggak punya bayangan rumah kontrakan seperti apa yang dia mau. Ya, aku nggak bisa menyalahkan dia juga, sih. Kami nggak pernah ada planning kontrak rumah sebelumnya. Wajar juga, sih, kalau kali ini kami nggak tahu apa yang kami mau cari. Beda seperti waktu cari apartemen dan rumah beberapa waktu lalu.
“Yang terakhir...
Day 76
Bara
Aneka makanan sudah tersedia di meja makan. Mulai dari jajanan pasar, aneka gorengan, rawon buatan Ibu, dan juga buah-buahan. Baru kali ini meja makan ini terasa begitu penuh, biasanya cuma ada satu dua kotak makanan hasil delivery karena Gina nggak sempat masak. Sekarang, begitu Ibu ke Jakarta dan menginap di rumah baru kami, semua terjamin.
Sudah dua hari Ibu di Jakarta. Kangen cucu katanya. Dan, mumpung ada Ibu, gue dan Gina memutuskan untuk mengundang orangtua Gina ke rumah. Sekalian house warming.
Seingat gue, gue udah bilang ke Ibu bahwa gue hanya mengundang mertua gue, tapi Ibu malah masak kayak mau menyambut tamu 20 orang. Ditambah dengan makanan hasil bawaan ibu mertua gue, kayaknya gue bisa mengerahkan orang-orang satu RT buat makan siang di sini sekarang. Sayangnya rumah gue sepertinya nggak cukup besar untuk menampung orang-orang satu RT.
Gue nggak akan bilang kalau gue nggak tertarik punya rumah besar....
Description: Gina hanya bisa miris tiap melihat komentar para follower-nya di Instagram yang mengatakan ia dan bara adalah #relationshipgoals. Mama muda yang cantik, suami ganteng, anak bayi lucu, foto-foto mesra dan artsy, semua itu memang tampak sempurna di jendela media sosial Gina sebagai selebgram. Sayangnya, tidak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini.
Pada kenyataannya, Gina sering senewen menghadapi hidup barunya sebagai ibu. Sejak menumpang tinggal di rumah mamanya setelah melahirkan, semuanya jadi serbakacau. Mama dengan kumpulan mitosnya selalu melarang ini-itu. Bara, suaminya, juga sering kerja lembur. Belum lagi baby blues yang enggan pergi dari dirinya. Adakah yang bisa dilakukan Gina agar lebih tenang menghadapi peliknya kehidupan rumah tangga?
|
Title: Review Suka-Suka
Category: Review
Text:
The Bucket List
Resensi film
Judul : The bucket list https://www.youtube.com/watch?v=vc3mkG21ob4
Produksi : Warner bross
Director : Rob Reiner
Writer : Justin Zackham
Stars : Jack Nicholson, Morgan Freeman, Sean Hayes
“Even now I cannot understand the measure of a life, but I can tell you this. I know that when he died, his eyes were closed and his heart was open. And I'm pretty sure he was happy with his final resting place, because he was buried on the mountain. And that was against the law.”
Tulisan diatas merupakan kutipan dari salah satu film favorite saya, Mengisahkan tentang jalan kehidupan 2 anak manusia yang uniq dimana kedua tokoh edward cole (jack nicholson), dan carter (morgan freeman) dipertemukan untuk pertama kali dalam situasi yang sama di sebuah rumah sakit milik edward cole, seorang pengusaha dan pemilik rumah sakit yang kaya raya.
Carter adalah seorang montir amatir yang bercita-cita menjadi seorang profesor ahli sejarah, yang pada akhirnya harus dropout dan menghidupi keluarganya dengan menggeluti usaha montir, cerita menjadi menarik ketika dia dipertemukan dengan edward cole seorang pengusaha urakan dalam sebuah rumah sakit milik edward cole. dimana keduanya harus berbagi ruangan. pertemuan kedua orang dengan latar belakang yang berbeda menambah manis cerita hingga akhirnya mereka menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya.
SPLINTERCELL GAME REVIEW
SPLINTERCELL REVIEW
https://www.youtube.com/watch?v=6khEWv6xThs
Game ini merupakan Game yang cocok bagi anda penghoby game “Gelap terang” dimana cahaya sangat berpengaruh terhadap kualitas dan karakter anda sebagai seorang penyusup handal, di awal game anda akan diberikan beberapa level kesulitan sebagai seorang agent.
Level permainan yang anda pilih mungkin mewakili karakter anda dalam memainkan game ini semakin handal anda dalam menyelinap dalam kegelapan melenyapkan musuh-mush tanpa terdeteksi, atau anda sebagai pemula memilih bermain ala rookie dimana sering membuat gaduh dengan kombat terbuka, pilihan ada pada anda.
Seperti halnya agent militer pada umumnya anda dilengkapi dengan beberapa persenjataan utama seperti pisau untuk hand in hand combat kemudian beragam senjata api dengan peredam serta night vision yang memudahkan anda dalam menyelinap dalam kegelapan.
Mungkin anda bertanya-tanya mengenai siapa sosok misterius dibalik game splinter cell berikut profil singkatnya :
PROFIL
Nama : Samuel fishers
Nickname : sam
Tinggi badan : 177,8 cm
Berat badan : 77 KG
Tempat lahir : Towston, Maryland 1957
Warna Rambut : Coklat Gelap dan beruban
KARIER
Militer : usia 17 tahun
CIA : usia 22 tahun
NSA : Usia 33 Tahun
Agent : usia 45 aktif sebagai splinter cell
Sosok sam fisher adalah seorang special agent dengan karier cemerlang digambarkan sebagai seorang pria matang penyendiri yang bertugas menjadi mata-mata dan penyusup menyelesaikan tugas tugas rahasia yang tidak bisa di lakukan melaui diplomasi, pendekatan politik maupun peperangan, sam adalah asset bagi tempatnya bertugas NSA yang langsung berada di bawah kewenangan third eccelone.
Gam ini pertama kali diluncurkan tahun 2022 ole Ubisoft salah satu pentolan industry game bukan kaleng-kaleng hingga saat ini telah di rilis sebanyak 7 sequel. salah satu sequelnya berlokasi di Indonesia, sam ditugaskan untuk menyelinap ke kartel di wilayah tomor-timor karena dianggap membahayakan kepentingan USA dan di sinyalir memiliki senjata bilogis berupa virus cacar yang mematikan. Sequel-sequel lainya tidak kalah memukau kemampuan dan perlengkapan sam pun semakin lengkap.
Game ini saya rekomendasikan bagi anda yang suka game dengan type permainan penyelinapan terutama anda yang memiliki obsesi sebagai seorang spionase :P
selamat bermain game
Description: menghadirkan kegiatan harian dengan beragam sudut pandang film, game, makanan, buku dan hal lainnya
|
Title: Rencana Amira
Category: Flash fiction
Text:
Rencana Amira
Rencanaku sudah bulat. Tak bisa ditunda lagi. Aku akan melakukannya hari ini. Semalam aku bangun tiga kali untuk menyusui. Subuh harus menyiapkan sarapan. Setelah Farhan ke kantor, aku ke pasar dekat rumah. Usai belanja, aku harus memasak, dan beres-beres rumah.
Seperti hari-hari yang lain, ibu mertuaku akan datang sebelum jam makan siang. Lagaknya bagaikan inspektur polisi. Dia memeriksa semuanya. Lalu melemparkan setumpuk keluhan.
"Kapan rumahmu akan rapi?"
"Masakanmu terlalu asin. Kurangi garamnya, tidak baik untuk kesehatan!"
"Jangan nonton teve terus! Baca koran nanti saja!"
"Baju sudah menumpuk, kapan kau akan menyetrika?"
Itu baru sebagian omelan ibu mertuaku. Kebiasaan yang berulang setiap hari. Berlangsung sejak aku menikahi Farhan, enam tahun yang lalu. Setelah aku melahirkan Edo, kebiasaan itu tak berkurang sedikit pun.
Suamiku tak mau mendengar keluhanku. “Begitulah ibuku,” katanya. “Kau harus menerimanya.”
Di lain kesempatan, Farhan berkata, “Sudahlah… Kalau tidak ada Ibu, aku tidak akan mencapai posisi seperti ini. Kau juga menikmatinya, kan?”
" Menikmati apa?" batinku. Aku bingung. Dan hatiku semakin beku.
“Biarkan sajalah,” kata Farhan di waktu yang berbeda. “Cobalah memahami Ibu. Dia hanya ingin melihat aku baik-baik selalu.”
Betul. Farhan baik-baik saja. Aku jelas tidak baik-baik saja.
“Amira!” terdengar teriakan ibu mertuaku dari depan rumah. Aku tersentak dari lamunan. Kini waktunya menjalankan rencana. Aku bergegas membuka pintu.
“Di mana Edo? Ah, cucu ibu yang manis… Nenek kangen.”
Tanpa menunggu jawabanku, Ibu menyelinap masuk kamar. Dipandanginya Edo yang sedang tidur pulas. Kemudian, dia keluar kamar dan mulai mengecek ke sana sini. Aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk.
Aku membuat kopi di dapur dan membawanya ke ruang tamu. Ibu mertuaku mengambil cangkir dari tanganku. Selama beberapa saat, bibirnya meniup-niup uap panas yang menguar di atas cangkir.
“Hmm… Harum sekali,” gumam perempuan tua itu. Dia menyesapnya perlahan.
Aku tersenyum tipis. Melihatnya menikmati cairan hitam pekat bercampur dua tetes sianida.
SELESAI
Description: -
|
Title: Rebellious
Category: Cerita Pendek
Text:
Rebellious
“ADUH! Gue harus ngomong apa dong ke nyokap gue?”
Gia memutar tubuhnya sehingga kepalanya hampir terkulai di sisi tempat tidur dan kakinya menumpu di dinding. Ia gelisah sepanjang voice call itu. Kalau sudah gelisah, Gia mirip belut disiram garam–tak bisa diam. Dia akan terus bergerak, termasuk melempar apapun yang ada di dekatnya. Alhasil keadaan kamarnya seperti kapal oleng–selimut bercokol menutupi lampu tidur, bantal tersangkut di atas lemari, sprei tersingkap setengah panjang matras, dan boneka beruangnya jungkir balik di keranjang baju kotor.
Bukan. Gianna bukan gelisah karena dia hamil di luar nikah. Pacaran saja belum pernah, bagaimana bisa hamil? Dia gelisah karena sedang merencanakan sebuah misi (yang menurutnya) sangat berbahaya dan liar–MEMBOLOS.
Bagi mereka yang sudah sering melakukannya, membolos mungkin terasa biasa saja. Tapi bagi Gia yang belum pernah sama sekali membolos seumur hidupnya, aktivitas terlarang ini benar-benar menguras mentalnya. Dadanya berdengup dan perutnya tiap kali memikirkannya. Dia jadi susah tidur karena bermimpi buruk tertangkap basah oleh gurunya. Gia tak tahu kalau merencanakan bolos sekolah itu rasanya seburuk merencanakan sebuah pembunuhan.
Laki-laki yang menjadi lawan voice call-nya kali ini bernama Yosa–mentor membolosnya untuk besok. Yosa adalah cowok paling aneh di sekolah menurut Gia. Yosa sebenarnya adalah salah satu murid terpintar dan tertampan di angkatannya, tapi dia punya hobi yang menyebalkan–tidur dan bolos. Yosa melakukan hobinya hampir di semua pelajaran kecuali olahraga. Oh, bukan karena dia suka olahraga. Tapi karena guru olahraga mereka selalu membawa penggaris kayu raksasa untuk menghajar mereka yang bolos.
Sialnya cowok itu menjadi lab partner Kimia Gia untuk semester ini. Gia selalu menahan diri untuk tidak menjejalkan spiritus ke tenggorokan Yosa tiap kali Gia ditinggal tidur untuk menyelesaikan semua eksperimen mereka sendirian. Tapi, satu hari Yosa memergoki Gia menangis. Saat itu Gia menangis bukan hanya karena ditolak, tapi karena alasan konyol yang diterima Gia. Kata si penolak, Gia terlalu ‘anak baik-baik’. Di sanalah ide membolos itu berasal.
“Lo harus tenang. Santai aja. Kalau mau bolos itu harus santai. Enjoy. Ini cuma bolos lho, bukannya mau nyulik panda di Taman Safari…” Yosa memberi petuah dengan suara yang semakin lama semakin lambat–
Lalu menguap.
“LO UDAH NGANTUK AJA JAM SEGINI?! INI BARU JAM 3 SORE!”
Percuma Gia berteriak marah-marah sampai membanting bantal gulingnya ke lantai. Lawan bicaranya sudah tewas.
* * *
Begini rasanya bolos? Apa enaknya?
Gia tak bisa menyembunyikan wajah cemberutnya. Bagaimana tidak? Pagi-pagi dia harus mengarang cerita pada ibunya kenapa berangkat agak siang. Dia juga harus diam-diam meminta supirnya menurunkannya di minimarket dekat sekolah, menunggu supirnya menghilang lalu pindah ke mobil Yosa. Lalu dia lupa–tak ada tempat menarik untuk membolos di Jakarta kecuali mall.
Gia mengerang, campuran antara kesal dan bosan. Semua pengorbanan yang dilakukannya, baik mental, moral, maupun material (dia harus merelakan kulit ayam KFC-nya untuk adiknya sebagai upah tutup mulut), hanya untuk berakhir di arena permainan mall, menontoni Yosa menguras karcis hadiah sebuah mesin permainan basket.
Serius deh, kenapa anak yang jam tidurnya melebihi kucing bisa sejago itu melakukan shooting? Dan MAU SAMPAI KAPAN DIA MAIN? Tumpukan karcisnya sudah menggunung!
Setelah mengancam akan mematahkan kartu bermainnya, akhirnya Yosa berhenti main dan menukarkan semua karcis-karcis yang didapatkannya tadi dengan sebuah boneka kelinci raksasa berwarna merah muda. Luar biasa, sindir Gia dalam hati. Cowok itu sempat-sempatnya menyuruh Gia menungguinya bermain demi mendapatkan boneka kelinci untuk pacarnya!
Dan sekarang kelinci itu ikut duduk bersama mereka di sebuah restoran cepat saji.
Gia meletakkan kedua tangannya di atas meja untuk menopang dagu, wajahnya perlahan layu penuh penyesalan. “Gue nggak mau bolos lagi. Nggak enak. Gue mau pulang aja, trus minta maaf ke nyokap gue–MAMPUS!” Matanya yang tadi sudah siap untuk mengucurkan air mata sekarang ukurannya membesar dua kali lipat menyaksikan guru wali kelasnya berjalan dari meja kasir. “Bu Intan! Ayo ngumpet!”
Gia segera memagari wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tapi terlambat. Wanita itu sudah menangkap keberadaan mereka terlebih dahulu. “Lho, kalian berdua di sini?”
Gia tak sanggup lagi menangkal semua kebohongan ini. Perlahan Gia menurunkan tangannya dan matanya berair kembali, bersiap meledakkan tangis yang sudah ia tahan-tahan dari tadi. “Ibuuu! Saya minta maaaf! Saya bolooos! Janji, habis ini nggak bolos lagiii!”
Gia yang tadinya sudah bersiap disetrap saat itu juga menjadi linglung saat menyaksikan tak ada yang terjadi. Ternyata bukan dia saja yang linglung. Wali kelasnya juga memasang tampang yang sama terhadapnya. “Yosa, dia demam?” bisik Bu Intan pada lawan bolos Gia hari itu. Yosa hanya mengangkat bahu tanpa mengatakan sepatah katapun.
“Bu, saya bolos! Hukum saya, cepat!” Gia mengingatkan gurunya.
“Bolos? Gia, hari ini libur. Ada rapat guru. Kamu lupa?”
ASTAGA!
Gia meleleh di kursinya seperti es yang mencair. Ucapan Bu Intan seperti mengangkat biji mangga yang tersangkut di tenggorokannya dari tadi pagi. Akhirnya dia bisa bernapas lagi–persis balon yang dibuka ikatannya. Bagaimana dia bisa lupa kalau hari ini libur!
“Apa lo ketawa-ketawa?” sergah Gia saat menyadari manekin di hadapannya untuk pertama kalinya berekspresi. Gia tidak bohong. Ini yang pertama Gia melihat Yosa mendengus menahan tawa. “Jangan ketawa! Harusnya lo ingetin gue kalo hari ini libur! Gimana sih!” Gia menyerang cowok itu dengan hujan kentang goreng.
Setelah menepis peluru kentang goreng yang terakhir, akhirnya Yosa membuka mulutnya. “Gue inget kok.”
Gia menganga. Cowok ini ingat? Lalu, kenapa–
“Kalau gue kasih tahu, nanti lo nggak mau pergi sama gue.”
Eh?
Yosa menegakkan tubuhnya. Matanya yang biasanya sayu karena mengantuk, kini tampak sangat cerah. Dan ternyata ada lesung pipit kecil di kedua pipi Yosa. “Jadi, kita pulang? Tapi gue udah beli tiket nonton untuk kita berdua,” Yosa mengeluarkan dua lembar tiket bioskop dari sakunya.
Gia terdiam sejenak. Belum pernah ada cowok yang mengajaknya menonton sebelumnya. Lagipula, jam les pianonya juga sudah lewat. Untuk apa dia pulang?
“Oke,” Gia mengangguk, mengakhiri pertimbangannya. “Tapi, awas! Jangan cium-cium ya! Nanti gue hamil!”
Ada jeda beberapa detik sebelum Yosa menghela napas cukup panjang. “Sebelum kita nonton, ke toko buku dulu ya,” cowok itu berdiri dari kursi bersama kelinci merah mudanya.
“Ngapain?”
“Beli buku biologi buat lo. Ada bab judulnya reproduksi. Baca sampe habis,” ucapnya sembari menjejalkan boneka tadi ke pangkuan Gia.
* * *
Description: Gia tak tahu kalau merencanakan membolos untuk pertama kali sama stresnya dengan merencanakan sebuah pembunuhan.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi menulis cerita pendek yang diadakan oleh Storial, Nulisbuku, dan Giordano #ALLisWELL!
|
Title: Renjana
Category: Novel
Text:
Bagian 1
1
Boleh aku cerita? Namaku Yana, Sastra Barayana. Bukan. Itu bukan nama sebenarnya. Tempat-tempat yang akan kalian tahu pun, itu bukan nama tempat sebenarnya. Bukan posisi sebenarnya.
Cerita ini adalah tentang cinta tanpa karena. Kalian tahu itu apa? Jika tidak, bacalah. Resapi. Pahami. Setelah itu, tanyakan pada diri kalian sendiri; apa itu cinta tanpa karena.
Minggu, 09 Oktober 2016. Jam 2.30 Sore.
“Kamu kenapa, sih, masih saja nggak berubah! Mana Janjimu yang bakal selalu jaga hubungan kita. Mana! Kamu bilang nggak akan ngulangin kesalahan lagi, mana? Justru sekarang kamu makin lali, makin jarang perhatiin aku. Janji-janjimu pun sekarang bohong semua. Kamu penipu. Jangan-jangan emang bener kata temen-temen aku kalau kamu Cuma mau main-main sama aku?!” Rara memulai pertengkaran kami dengan begitu memberi tekanan pada tiap kata di pesan singkatnya, "kamu tahu nggak sih, aku tuh capek, Yan, capek. Kamu bisa nggak sih ngertiin aku bentar? Kamu kan tahu kita ini jauh. Ngejalanin hubungan jarak jauh itu nggak mudah, Yan, nggak mudah. Harusnya kamu itu. Harusnya kamu sadar. Ini bukannya sadar malah menjadi-jadi."
"Iya, maaf. Tadi aku ada urusan. Banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Tapi ini juga sudah mau berangkat, kok. Kamu tunggu aja di sana, ok?"
"Berangkat darimana. Ini sudah jam 2.30 sore. Kamu mau sampai sini jam berapa? Kuningan-Semarang itu jauh Yana, jauh. Masakan Emih juga kayaknya sudah dingin dan nggak enak. Kamu mau aku makan makanan basi dan jatuh sakit?!"
"Ya udah. Ini aku lagi jalan. Kamu tunggu aja di sana. Doakan agar aku sampai tepat waktu. Dan soal makanan, nanti aku tanya ke Emih; apa masih layak makan atau nggak."
"Terserah..."
Jam 2.40 sore aku beranjak dari kediaman Rara menuju Semarang. Pantura sudah aku lalui. Jalan yang panas dan penuh debu itu sudah aku lewati dengan hati was-was dan khawatir, takut. Takut kalau akhirnya yang ku temui hanya amarah, dan duga sangka. Setelah 5 jam berkendara, sepeda motorku telah sampai juga di Kota Semarang; kota yang sarat sejarah dan bangunan yang indah. Kecantikannya mungkin membuat siapa pun yang berkunjung terlena, tapi tidak denganku. Aku yang terburu-buru tidak mungkin berhenti menyaksikan keindahan Semarang seperti saat ini. Lagian, hari juga sudah mulai gelap, makanan yang ku bawa juga sudah sangat dingin terpapar angin pantura yang kencang dan lembab.
Tanpa terasa laju motorku mulai tak normal, tak stabil. Benar saja, ban motorku kempes. Padahal hampir 100 meter lagi aku sampai kost Rara. Banku sayang, banku malang. Ia memang sudah gundul sejak lama. 4 kali sebulan ku geber Kuningan-Semarang membuatnya rapuh dan berteriak ingin diganti. Cuma sayang, uang ganti tak kunjung hadir. Ada juga uang bensin. Jumlahnya pun tak cukup untuk mengganti roda motor baru.
Hari sudah makin gelap–mungkin sudah lewat Isya–jalan menuju kost Rara sudah hampir dekat. Kupikir menemuinya dulu akan lebih baik daripada mencari tukang tambal ban di malam hari seperti ini. Terpaksa, ban yang sudah kempes itu, aku gelindingkan juga.
Sesampainya di depan kost aku hubungi Rara melalui pesan singkat.
"Ra... Rara, kamu di mana. Coba keluar sebentar. Ini aku sudah di depan kost kamu. Kamu keluar, yah?"
"Ra, ini aku sudah jauh-jauh, loh. Masa kamu nggak mau keluar, sih. Ini makanannya keburu basi nanti."
"Ra... ayo, dong. Jangan marah-marah terus. Ini kan aku sudah sampai."
"Ra..."
"Ra... kamu marah banget, yah? Ya sudah. Makanannya aku gantung di pagar. Kamu tinggal ambil saja. Kata Emih, sampai pagi juga nggak akan basi, kok. Aku pulang dulu, yah. Maaf sudah ngecewain."
Tidak. Aku berbohong saat itu. Aku tidak pulang, aku menunggu, menunggu di malam hari yang sepi tak ada orang. 1-2 jam aku menunggu, lalu lanjut di jam ke-3, Rara masih belum memberikan kabar. Frustasi, kecewa. Dengan keduanya aku meninggalkan kost Rara sendiri, tanpa ditemui. Motor ku dorong hingga menemui jalan raya. Beruntung, 300 meter dari belokan tempat kost kost Rara, ku temui tukang tambal ban yang masih buka. Aku meminta jasanya, dan ku kembali ke kotaku tercinta, Kuningan.
Tiga jam setelah kepulanganku, Rara mulai mengirimi pesan.
"Yana, kamu sudah sampai mana?"
"Hi. Aku baru sampai Kabupaten Tegal, Ra. Di sini hujan. Aku lupa bawa jas hujan karena buru-buru."
"Kamu mah kebiasaan. Kalau udah sampai jangan lupa kabari, ya?" Suruhnya padaku, "Wajib!"
"Siap!"
"Ini aku lagi makan makanan yang kamu kirim, hehe. Enak. Emang juara si Emih kalau masak." Pernyataanya kini mulai menyalahkan, "coba kalau kamu tadi nggak bikin marah, nggak bikin kesel. Mungkin aku nggak pergi sama Akbar buat cari makan tadi, dan bisa makan masakan mamah bareng kamu."
"Oh, iya. Maaf."
"Ya lagian. Udah tahu aku nungguin kamu dari pagi. Sengaja nggak makan dulu biar makan bareng. Eh, kamu malah molor. Alasan ngerjain tugaslah, ngerjain deadline-lah, ngerjain ini, ngerjain itu. Emang sih ya, kalau orang udah bosen tuh biasanya gini; suka nyepelein. Udah tahu pacarnya kangen, pengen ketemu. Eh dianya malah enak-enakan tidur. Dasar!"
"Aku nggak tidur, emang ada urusan bentar. Da dari malem kan begadang ngurusin kerjaan."
"Alah, alasan. Emang ya dari dulu kamu tuh nggak berubah, ngeles mulu!" Bahasannya mulai merambah, "lagian ngerjain tugas dari mana, ngerjain kerjaan dari mana, orang semalem aku liat IG kamu aktif terus, kok."
"Ya IG aktif kan bukan berarti aku lagi stalking juga. Bisa aja aku tinggalin pas lagi aktif. Lagian nge-IG juga buat refresh bentar buat ngilangin stres." Cobaku melempar tuduh, "lagian mau hubungin kamu juga nggak bales. Jangankan mau nemenin, dihubungi aja susah. Di whatsapp nggak dibales. Terus dengan cara apa aku ngilangin stress kalau bukan dengan cara itu?"
"Udah deh, nggak usah ngeles. Iya mah iya aja, nggak usah ngerambah ke topik lain. Emang kamu pikir aku nggak ngeliatin semua medsos kamu apa? Tiap hari kerjaannya nge-like foto cewek semua. Ada yang manis dikit, di-like. Ada yang solehah dikit, di-follow. Ada yang cantik dikit, di-comment. emang ya, cowok tuh sama aja. Nggak pernah nge-hargain pasangan. Bukannya merhatiin ceweknya, malah merhatiin yang lain" Pernyataannya kini semakin memberondong, "lagian nih ya, kita ini kan LDR, hubungan jarak jauh, ketemunya jarang. Ya sekali-kali kek video call. Nanyain kabar pacar kek. Nanyain lagi apa kek. Nanyain udah makan belum kek. Ini mah boro-boro. Jangankan nanyain gitu, hubungin pacarnya aja jarang-jarang. Itu juga kalau senggang, kalau lagi nggak ada kerjaan. Kalau lagi sibuk mah, ya, client-nya terus yang dihubungin. Heran. Tahu gitu pacaran aja sama client kamu sana!"
"Gimana kita mau video call kalau kamu aja dihubunginnya susah?" balasku dengan emoticon senyum, mencoba mencairkan suasana.
"Halah, alasan. Dasar aja kamu nggak pengen, nggak mau merjuangin."
"Ya udah, iya. Aku minta maaf. Ya udah aku berangkat lagi, ya. Kebetulan udah mulai reda hujannya."
"Tuh kan, malah kabur dari masalah. Emang ya kalau udah bosen tuh kaya gini, ada masalah dikit, kabur. Ada problem dikit, lepas tangan."
"Apa sih, Ra. Iya nanti dilanjutin, ini aku baru nyampe Tegal. Perjalananku masih jauh. Nanti dilanjutin lagi, ya, cantik."
"Kamu mau aku diambil Akbar yang selalu ada buat aku?"
Aku tak jadi melanjutkan perjalanan. Entah dari mana hujan besar datang dengan tiba-tiba, lengkap dengan angin besar yang membuatku berpikir untuk tak lanjutkan perjalanan. Mungkin Tuhan ikut membuka ponselku, mungkin Ia ikut membaca pesan dari Rara. Pesan yang singkat, namun benar-benar mematahkan semangat.
Geram, emosi, tapi juga mencoba tenang.
"Ra, Rara, entah siapa pun Akbar itu, baik atau buruk dia, yang jelas, di sini aku masih sanggup denganmu, sanggup memperjuangkanmu. Aku masih sangat menjagamu. Walau dengan caraku; cara yang menurutmu kurang tepat; cara yang menurutmu kurang pantas; dan cara yang menurutmu tak seperti kebanyakan laki-laki lain. Tapi percayalah, seberapa pun banyak keburukanku di matamu, perasaan dan perjuanganku telah lebih besar daripada itu. Dan aku pun tahu; aku tak seperti itu di matamu. Aku tak sebagaimana citra yang ku sampaikan itu." Aku pun mencoba menjelaskan posisiku, dan perasaanku, pada perempuan yang ku cintai itu, "Jika kau tahu apa yang telah ku lakukan padamu, dan di saat itu ku tahu kau justru telah beralih pada apa yang menjadi pilihan hatimu, percayalah, aku di sini akan tetap sama. Tetap di posisi semula. Tetap di perasaan yang sama. Sebab bisaku sekarang hanya mencintaimu, dan memperjuangkanmu dengan caraku; cara yang tidak dan takkan pernah kau mau tahu."
"Ra, jika kau benar-benar tak ingin lagi denganku, lelah dengan cara-caraku, serta telah menemukan laki-laki baik dan bisa menjaga menurutmu, pergilah. Pergilah padanya. Aku tak apa. Tapi jika kelak laki-laki itu menjahatimu, membiarkanmu seorang diri di tengah kesakitanmu, bukalah lagi pintumu, sebab aku masih menunggu untuk bisa kembali bersamamu."
Rara benar-benar jadi guru yang baik. Ia mengajarkanku untuk bagaimana menghargainya dengan ada atau tanpa lebih-kurangnya. Ia jujur, Ia menjadi dirinya sendiri. Dan mencintainya, adalah uji yang harus ku hadapi.
Sabar, adalah hal yang kini harus ku perkokoh untuk bisa terus bersamanya. Sabar, adalah senjata paling baik untuk menjaga hubunganku dan dia. Dan sabar, adalah caraku untuk bisa jadi sosok yang mampu mencinta tanpa mata; sosok yang mampu mencinta tapi melihat rupa; sosok yang mencinta tanpa meminta rasa; dan lebihnya, aku ingin jadi sosok yang mampu mencinta tanpa karena.
Ya, aku ingin alasan tak menemuiku saat aku bersama dia. Aku tak ingin menemui karena. Sebab buatku, mencintai dengan karena adalah cara paling bodoh untuk dapat bersama. Karena akan hilang, karena akan musnah. Ia akan berganti dengan hal yang baru, hal, yang mungkin buatmu tak suka. Sederhananya, karena yang kau idamkan akan berubah dan mengubah, untuk kemudian menjadikan pasangan sebagai sosok yang berbeda.
Hujan di malam itu masih juga besar. Ia masih bersikukuh untuk tinggal. Entah karena memang seharusnya begitu, atau Tuhan memang mengirimkannya untuk menahanku. Pikirku sekelebat; mungkin Tuhan baik. Ia mengirimkan hujan yang begitu besarnya agar aku tak melanjutkan perjalanan. Ya, bagaimana mau melanjutkan perjalanan, orang hati juga masih hancur dan berantakan. Ia kalau selamat sampai tujuan, kalau terkapar di tengah jalan? Ya, benar. Dan di tengah gemuruh di hatiku, aku masih juga bersyukur.
Senin, 10 Oktober 2016, jam 2.30 dini hari,
Hujan benar-benar telah redup, langit telah berhias dengan bulan dan bintang, cerah. Aku lekas memanaskan mesin motor untuk melanjutkan perjalananku yang masih panjang. Sebenarnya alasan utamaku bukan itu, tapi lebih pada takut. Bukan takut terlambat masuk kuliah besok, tapi lebih pada takut terjadi hal yang tak dinginkan di sini, di jalan yang sesepi ini, tanpa penerangan, rumah, dan jalanan yang penuh lubang. Rasanya, orang seperti apapun akan enggan untuk berlama-lama di tempat seperti ini. Apalagi ini malam hari, waktu di mana hal tidak diinginkan sangat sering terjadi.
Setelah beberapa menit mesin motor ku panaskan, aku lekas menggeber motorku untuk lanjutkan perjalanan.
Kupikir hujan besar yang menahanku tadi benar-benar membantu meredakan emosiku. Hati yang tadinya bergemuruh sekarang tenang seakan tak terjadi sesuatu. Tuhan memang menjadi juru adil nomor satu. Ia menolong saat ketenangan tak membersamaiku.
Sepeda motor kulajukan dengan sedikit perlahan. Bukan karena sedang ingin bersantai dan menikmati langit bergemintang, tapi lebih pada menjaga ban agar terhindar dari gesekan yang membuatnya kembali berlubang. Kata tukang tambal ban di Semarang, banku sudah seharusnya diganti. Lapisannya sudah menipis. Terkena gesekan benda tajam sedikit saja Ia akan berlubang. Kan tidak lucu harus mendorong motor di tengah jalanan sepi tanpa lampu malam-malam?
Senin, 10 Oktober 2016, jam 6.30 pagi,
Sepeda motorku telah mengantar hingga depan rumah. Lega rasanya. Tapi aku harus buru-buru sampai, mandi dan menyiapkan tugas kuliah yang belum ku kerjakan. Bukan lupa, memang sengaja ku kesampingkan, dengan asumsi, pada malam setelah aku pulang, aku bisa langsung kerjakan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ia kirimkan hujan dan membuatku mengubah semua yang telah direncakan.
Lepas mandi aku langsung membuka laptop dan mengerjakan apa yang harusnya ku kerjakan. Mengerjakan 3 makalah beda mata kuliah sudah biasa ku lakukan. Bukan perkara menyepelekan, namun pekerjaan copywriter membuatku mudah mengerjakan tugas makalah perkuliahan. Ya, jangankan makalah, skripsi orang saja ku kerjakan. Jadi 3 makalah ku pikir akan sangat mudah.
Benar saja, baru jam 7.30, tapi semua makalah sudah selesai ku buat. Masih ada 30 menit sebelum ku berangkat kuliah.
Dari belakang rumah suara piring bergeminting, sudah bisa ditebak, ibu sudah menyiapkan sarapan spesial untuk aku; anaknya yang tak pulang semalaman. Lepas suara piring-piring itu berhenti ibu mulai memanggilku.
"Nak, ayo sarapan dulu."
Ibu memang seperti itu, terlalu sayang pada anaknya. Karenanya, pagiku selalu diisi dengan suara panggilannya, kadang lengkap dengan cerewetan dan kemarahannya. Tapi biar begini, aku tahu, Ia melakukan karena sayang, sayang seorang ibu pada anaknya.
"Iya, bu. Bentar lagi."
"Ini sudah mau jam 8, Yana.?"
"Iya, bu, aku sarapan, kok." Jawabku sembari mengambil sarapan dan membuka percakapan, "Oh ya, bu. Kemarin gimana kata dokter?"
"Kata dokter ibu Cuma kecapean aja, nak. Katanya ibu butuh istirahat. Jadi, ya, hari ini ibu izin kerja, mau istirahat dulu."
"Terus kata dokter apalagi, bu? Obat yang dikasih apa aja? Nanti ibu minum, ya, obatnya. Jangan sampai enggak. Nanti kalau lupa aku ingetin, kalau males aku yang nyuapin. Kan gantian, dulu ibu ngerawat aku kalau sakit. Sekarang giliranku, aku mau ngerawat ibu pas lagi sakit kaya gini."
"Halah kamu ini, sok-sokan. Boro-boro mau ngerawat ibu, orang tiap pagi aja musti ibu yang bangunin."
"Ya nggak apa-apalah, bu. Ibu bangunin aku dulu, baru nanti aku rawat ibu setelahnya."
"Terus nanti siapa yang masak?"
"Ibu dong, emang mau tiap hari kita sarapan nasi goreng doang? Iya kalau enak. Kalau keasinan, kan repot. Bisa-bisa selain gula, ibu juga kena darah tinggi karena nasi gorengku."
"Ya gitu mah sama aja ibu nggak istirahat."
Kami pun tertawa.
"Oh, iya bu. Aku minta maaf ya kemarin nggak sempet antar ibu." Lanjutku, "aku lupa kalau jam 2.30 sore ada janji sama temen. Tapi kemarin ojek onlinenya bener jemput dan antar ibu sampai ke rumah kan?" Aku berbohong. Sebenarnya bukan teman. Bukan teman biasa. Tapi Rara.
"Iya, nak. Nggakpapa. Janji itu hutang. Lagian ibu masih sehat kok, masih bisa diantar sama mamang ojol." Ibu lalu menanyakan perihal temanku, yang tidak lain adalah Rara, "terus kemarin temenmu gimana, baik-baik aja? Ya, memang, sesama temen harus menjenguk, apalagi kalau dia sedang sakit."
"Oh, dia baik, bu. Alhamdulillah kondisi sudah baikkan. Katanya dia Cuma butuh teman yang selalu ada untuk menyembuhkannya, bu."
"Oh, memang dia sakit apa?"
"Hati, bu."
"Ya sudah, ibu doakan agar temenmu cepet sembuh, cepet sehat lagi seperti dulu. Kan kasian anak ibu tiap hari melamun memikirkan temannya yang sakit itu." Ibu lalu menyuruhku untuk segera berangkat ke kampus, " udah jam 7.50 tuh, nak. Kamu berangkat gih ke kampus."
"Iya, bu. Aku berangkat, yah. Makasih doanya."
Senin, 10 Oktober 2016, jam 12.30 siang setelah selesai kuliah, teleponku berdering,
"Iya mas?"
"Kang, kok kemarin artikel di blog saya nggak naik, yah?" tanyanya menuduh, "kang Yana nggak bisa upload karena ada kesibukan atau sudah nggak sanggup, nih?"
"Aduh iya, mas. Maaf. Kemarin di sini ada gangguan internet. Makanya aktivitas blog lumpuh, saya nggak bisa upload dan lain-lain, mohon maaf ya mas?"
"Ya, kalau ada apa-apa bilang, dong, kang. Kan bisa SMS. Atau kalau nggak ya WA. Jalan beberapa kilo kan bisa buat nyari sinyal?" Lanjutnya kecewa, "Jangan kaya gini, dong, kang. Kan blog saya harus hidup, harus tiap hari upload. Kalau kaya gini gimana saya bisa berpenghasilan. Saya kan bayar kang Yana buat bisa bantu naikin trafik blog saya. Kalau uploadnya jarang-jarang kaya gini, gimana saya bisa berpenghasilan, kang."
"Iya, mas, iya. Saya minta maaf udah ngecewain."
"Ya, maaf-maaf nih, mas. Kalau bisa sadar dirilah. Dua hari kemarin kan kang Yana sendiri yang minta bayaran dicepetin. Kalau toh ujungnya kerjanya kaya gini, ya, saya juga kecewa, kang."
"Iya, mas, saya janji nggak akan ngulangin lagi."
"Ya udah, nggakpapa. Tapi tolong bener, ya, jangan ulangin lagi."
"Iya, mas. Bener."
"Ya udah, hari ini naik upload, ya?"
"Iya, mas. Hari ini naik upload. Nanti sekalian dua kalau perlu. Itung-itung buat bayar yang kemarin."
"Ya udah, atur aja deh. Yang penting saya tahu hari ini ada artikel yang di-upload aja."
"Iya, mas. Makasih."
"Sip, sama-sama."
Yang tadi meneleponku adalah mas Agus. Ia orang yang cukup berjasa dalam hidupku. Ia seorang blogger. Blognya cukup banyak, jenis dan alirannya beragam. Yang sedang kuurus ini adalah blog pertama dia, literasi.id. Sebuah blog yang sudah berumur 10 tahun. Blog ini berisi tentang puisi dan cerpen. Aku sendiri bertemu mas Agus secara tak sengaja. Dimulai dari forum diskusi internet marketing, kita mulai perbincangan seputar blog dan Google Adsense. Saat itu aku tak memiliki blog, hanya kegemaranku menulis menuntunku untuk mencari tahu bagaimana seorang penulis blog bisa menghasilkan. Singkat kata, ditawarilah aku untuk mengurus literasi.id. Aku sendiri mengurus literasi.id sudah 2 tahun. Kegemeranku menulis akhirnya menemui jalan. Bukan hanya publikasi, namun juga menghasilkan. Banyak karya yang sudah ku tulis di sana. Sebagian besar berbentuk puisi, sisanya karangan bebas.
2 tahun menjalani pekerjaan sebagai blogger nampaknya membuatku jadi pribadi yang lebih terbuka, lebih jujur. Banyak karyaku yang berisi mengenai pandangan, pengalaman, dan cerita. Banyak pembacaku yang memberi apresiasi. Katanya mereka tergugah, terinspirasi. Beberapa orang juga mengatakan aku sosok yang romantis, sangat menghargai sebuah hubungan. Tapi apapun yang mereka anggap terhadapku, aku adalah aku. Aku hanya menulis apa yang ku mau, apa yang ku rasa, dan apa yang ku pandang. Tulisanku bukanlah sajak manis-manis yang mampu memerahkan pipi seorang gadis. Ia adalah kejujuran. Jika kemudian darinya ada yang tergugah, ku bersyukur. Sebab dengannya tulisanku telah naik satu level; bukan saja bercerita, namun juga menginspirasi. Terima kasih.
Lepas ku unggah tulisan, aku tak langsung pulang. Padahal saat itu hari sudah mulai malam, langit telah temaran dan indah bergemintang. Kesunyian menahanku untuk tidak langsung berlalu. Ia berbisik untuk menyuruhkan bertahan menikmati malam ini, seorang diri menikmati sesuatu yang disebut, sunyi.
"Bu, aku mohon izin ya, aku pulang telat. Aku masih di kampus, ada kegiatan."
"Ngapain, nak, malam-malam kaya gini?"
"Nggak kok, bu. Cuma mau sendiri aja."
"Hummm kamu ini. Jangan lupa makan ya, nak. Kamu kan baru sembuh dari tifus. Jangan sampai tifus lagi. Kasian ibu liat kamu sakit-sakitan terus. Udah sih sekarang makannya nambah susah."
"Iya ibu yang cantik. Aku udah makan kok"
"Makan apa?"
"Makan angin, haha"
"Yana..."
"Iya, bu. Nanti aku makan."
Semilir angin malam ini terasa cukup dingin. Wajar. Beberapa hari ini memang langit lagi rajin-rajinnya menurunkan hujan. Entah untuk malam ini. Jika pun hujan, aku tak mempersalahkannya. Setidaknya lamunanku nanti akan diiringi suara hujan dan gemuruh petir. Dengannya lamunanku akan jadi lebih indah, lebih romantis.
Ya, beberapa hari terakhir memang aku sering melamun, tak terkecuali hari ini. Banyak hal yang ku lamunkan; hidupku, hubunganku, atau urusan orang yang tak ada pentingnya untukku, semuanya seakan jadi topik yang tak mungkin aku lewatkan.
Kalian tahu kenapa apa aku hobi melamun? Semuanya berawal dari kejadian itu, Sabtu 24 September 2016. Kejadian yang takkan ku lupa. Ia akan selalu aku ingat, selalu. Entah bagaimana kondisiku nanti, dengan atau tanpa dia di akhir cerita ini, kejadian itu akan selalu jadi cerita abadi.
Sabtu, 24 September 2016 pagi, saat di mana matahari sudah naik meninggalkan peraduannya untuk menyapa seluruh alam semesta selain aku. Ya, aku. Aku yang pagi itu masih tertidur dengan kamar yang masih rapat tertutup, akhirnya terbangun juga oleh alarm ponsel. Tidak. Aku tidak langsung bangun, mandi, dan bergegas memanaskan motor seperti tetangga sebelah rumah. pagi itu, aku Cuma mengumpat. Sial benar memang. Baru juga 5 menit tidur, sudah terbangun lagi. Apa hidupku akan selalu begini; jadi nokturnal dan manusia biasa di pagi harinya? Tuhan memang benar-benar bijak.
"Eh, tumben anak ibu sudah bangun? Udah bosan jadi manusia noktornal?" Ibu meledek lewat intipannya di depan kamar tidurku, "kalau laper ibu udah buatin sarapan, nak. Kamu jangan lupa makan ya."
"Hmmm..." bukan aku tak sudi untuk jawab pesan ibu. Aku hanya masih ngantuk. Sungguh. Aku masih ngantuk.
Aku membaringkan lagi tubuh tinggi kurusku di dipan kasur yang tingginya tak sampai sepahaku.
Ponselku berbunyi lagi,
"Yana, kamu jadi jemput aku kan hari ini?"
"Hmmm..."
"Jadi nggak, Yana?"
"Iya, jadi kok Ra. Kamu jangan khawatir."
"Awas kamu kalau ketiduran."
"Ya..."
"Yaudah, bye Yanaku sayang"
"Hmmm..."
Heuh, persetan dengan seruan Rara. Mataku ini perlu tidur, perlu istirahat. Pokoknya pagi ini aku harus tidur, titik.
Aku menuruti apa yang dibutuhkan oleh tubuhku, aku tidur. Bukan aku tak mau menuruti permintaan Rara. Saat itu aku hanya ingin menuruti tubuhku sendiri. Tubuh ini sudah sangat jarang tidur. Sekalinya tidur hanya 1-2 jam. Itu pun harus dilakukan sambil duduk agar tak bablas dan membuat pekerjaanku berantakan.
Badanku bergoyang-goyang, terguncang-cuncang. Aku yang sedari tadi lelap tertidur bangun dengan mata melotot ditambah muka panik. Dan, begitulah ibu membangunkanku dengan sebegitu kencangnya.
"Nak, ada telepon dari Rara." Karena tak kunjung tersadar, sembari berbicara, ibu terus menggoyang-goyangkan badanku, "dari tadi dia telepon. Mungkin penting, nak"
Aku yang setengah tersadar akhirnya mengambil ponselku,
"Halo, Ra."
"Yana, kamu gimana sih, aku udah telat ini."
"Ya ampun, iya-iya,"
Karena kurang tidur, alarmku sampai-sampai tak berfungsi–tak mampu membangunkanku. Aku terlambat; terlambat menjemput Rara. Kata Rara, saat itu, Ia ada janji untuk bertemu teman lama. Oh, bukan teman. Lebih tepatnya mantan pacar yang kini masih berteman baik.
"Kamu mah."
"Iya, iya sayang. Aku berangkat nih."
Telepon ku matikan. Sepeda motor yang setia membawaku ke Semarang, aku keluarkan. Aku panaskan. Setelah menyala ia ku tinggal mandi, kemudian sarapan.
Aku berangkat ke rumah Rara dengan kekhawatiran. Yang ku takutkan adalah kemarahannya, kekecewaannya. Kalian tentu tahu, sebagai lelaki, aku tak ingin mengecewakan perempuanku. Membuatnya cemberut saja aku tak berani, tak sanggup. Pikirku, lebih baik aku yang jatuh bangun mengumpulkan bulir-bulir senyum dari bibirnya, habis-habisan membuatnya tertawa, dan mati-matian membuat bangga. Dibanding aku melihatnya merana. Lebih parah, dan akan lebih membuatku sedih adalah, bila kemeranaan itu adalah karena ulahku. Aku tak mau. Biar begini saja. Biar jadi lelaki yang seperti ini saja. Untuk Rara. Untuk hubunganku dan Rara.
Laju sepeda motorku sudah tak stabil. Bannya sudah tipis. Aku lupa menggantinya. Tapi, biarlah. Biar sehabisnya. Aku yakin motorku kuat. Dan benar saja, meski tak stabil ia berhasil membawaku menemui Rara yang sudah berdiri di depan rumahnya.
Rara nampak begitu cantik, anggun. Gamis pink yang tak pernah ku lihat itu begitu nampak menyempurnakan parasnya. Cantik. Benar-benar cantik. Betapa beruntungnya mantanmu, Ra, betapa istimewanya. Sampai denganku yang sudah 2 tahun pacaran saja kau tak begini.
"Hai, maaf ya, aku tadi ketiduran."
"Hehe... iya, nggakpapa kok, aku nggak buru-buru. Rian juga katanya baru mau jalan."
"Ya udah, yuk, naik!"
"Nggak cium tangan, nih?"
Aku mengangkat tanganku untuk dia cium dengan hidunya yang minimalis itu, "Nah, gitu dong, kan udah pas kaya suami istri." Candanya menggugurkan ketakutanku.
"Hahaha, bisa aja kamu ini. Buru naik."
"Siap komandan!"
Berkata siap pun ia tak kunjung nai. Rara justru menunjuk-nunjuk kepalanya, isyarat, ia ingin dipakaikan helm olehku, dan aku mengamini. Aku memakaikan helm pada kepalanya yang wangi. Itu pun ku cium dari jauh, bukan dari dekat. Betapa kau sudah mempersiapkan pertemuanmu dengan mantanmu, ya Ra. Aku jadi iri.
"Sudah siap?"
"Udah, dong." Dia menjawab dengan senyuman manis. Tumben, "yuk, yang. Jangan ngebut-ngebut yah." Kini tangannya sudah dilingkarkan di pinggangku.
"Ngebut aja boleh?"
"Nggakpapa kok, yang. Santai aja."
"Bukan. Maksudku aku mau kamu terus meluk aku kaya gini. Sebab aku suka kamu begini. Jarang-jarang, kan?"
"Ah, sayang." dan dia kini semakin kencang memelukku. Semakin memanja dengan ulahnya. Dan kubiarkan seperti itu, sebab ku suka.
Kami pun berangkat dengan rasa bahagia di masing-masing hati. Aku bahagia karena sifatnya yang hari ini begitu hangat, tidak dingin, tidak marah-marah. Aku bahagia karena hari ini dia begitu cantik. Entah itu dipersiapkan untukku, atau orang yang akan dia temui nanti. Aku bahagia karena baru pertama kali ini aku dipeluknya. Dipeluk dari belakang. Dipeluk selayaknya pangeran bermotor yang mengantarkan putri yang dikasihinya. Aku bahagia. Aku bahagia. Dia, entah bahagianya bagaimana? Seperti apa? Karena apa? Dan entah untuk siapa? Aku tak peduli. Yang jelas, aku bahagia.
Sepeda motorku masih saja melaju dengan tak stabil. Tapi aku tak mengindahkan. Entah dengannya. Yang jelas pelukannya semakin luas, duduknya semakin dekat, menempel, melekatkan tubuhnya padaku.
Setelah sampir 15 menit berkendara tanpa suara, sepeda motorku sampai juga di kawasan alun-alun Kuningan,
"Rian nunggu di mana?"
"Enggak tahu, nih. Aku coba telepon dulu kali ya?"
"Coba,"
"Iya"
Rara turun dari sepeda motor tanpa melepas helm. Ia berjalan menjauhiku mencari keberadaan Rian. Wajah kecilnya dipalingkan ke kiri dan kanan, mencari keberadaan Rian. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Sesekali ponselnya ditempelkan ke telinga untuk menelepon. Dari jauh wajahnya memperlihatkan kegelisahan. Mungkin Rian tak jadi datang. Mungkin dia ingkar. Mungkin dia ada perlu lain. Entah, segala kemungkinan bisa terjadi.
"Gimana, Ra," Rara kini mulai mendekat. Mungkin dia lelah mencari Rian yang sampai 15-20 menit tak juga memunculkan batang hidung, "ada kabar dari Rian?"
"Hmmm..."
"Ra, gimana?"
"Nggak tahu ah." Muka Rara mulai berubah, khawatirnya kini berubah jadi jengkel, "sebel tuh, orang udah janji-janji malah nggak jadi dateng."
"Dia nggak jadi dateng?"
"Tahu!"
"Ya udah, mungkin dia sibuk."
"Sibuk-sibuk!"
"Ya kali bener sibuk, kan?"
"Sibuk-sibuk. Emangnya kamu!" firasatku benar, kejengkelannya kini beralih padaku, "dia tuh nggak kaya kamu. Dia mah perhatian, selalu tepatin janji. Nggak kaya kamu yang bisanya janji doang netapinnya enggak!"
Aku tak menjawab. Hanya kucubit pipinya dengan ibu jari dan telunjukku. Pelan. lalu ku geleng-gelengkan mukanya seperti mainan kesayangan.
"Isshh, apa sih." Desisnya membuang tanganku dari wajahnya.
Aku hanya membalasnya dengan menatap. Menatap dalam senyum tipis. Senyum yang sebenarnya enggan, tapi ku paksakan.
Badannya masih tegak berdiri di samping motor. Aku mengartikan itu sebagai kata tunggu. Mungkin dia benar-benar ingin bertemu Rian. Mungkin ada hal penting yang harus diselesaikan dengan pria itu. Mungkin ada barang yang ingin disampaikan Rian. Mungkin hadiah. Mungkin kenang-kenangan. Mungkin bingkisan. Mungkin barang baru yang diberikan Rian pada Rara. Mungkin barang lama. Mungkin, mungkin dan mungkin. Aku hanya bisa menebak dengan mungkin.
Aku sendiri tidak sering memberikan hadiah pada Rara. Wajar, uangku pas-pasan. Aku membiaya kuliahku sendiri. Aku juga harus memberi sebagian uang untuk belanja ibu. Kerjaku bukan kerja kantoran. Gajiku tak seberapa. Jadi tak apa bila aku tak rajin-rajin memberikan Rara hadiah. Tapi itu pikirku. Tak tahu bagaimana pikirnya. Mungkin sama. Mungkin pula berbeda. Entahlah.
Badan Rara makin lama makin menyandar ke jok motor. Aku mengartikannya sebagai sebuah bentuk kelelahan. Dia lelah menunggu. Menunggu Rian yang sampai sekarang tak juga memberi kabar pada kekasihku itu.
Hari sudah menjelang sore. Alun-alun Kuningan semakin ramai dengan lalu lalang orang jalan-jalan. Di kiri-kanan juga sudah banyak orang berjualan.
Aku meraba kantong. Kudapati 3 lembar uang, selembar uang pecahan 10 ribu, dan lainnya pecahan 5 ribu. Oh, aku salah. Aku juga mendapati receh di kantong kiriku. Kuhitung seluruhnya. Benar, seluruhnya ada 21 ribu. Berbekal uang itu aku meninggalkan Rara yang sedang melamun. Aku membeli 2 botol teh dingin dan 1 bungkus seblak yang tak begitu pedas. Aku menyodorkan seblak dan minuman itu ke Rara.
"Capek kalau terus-terusan berdiri. Di belakang kita ada bangku kosong, yuk ke sana," Rara hanya melihatku, kemudian ia melihat Seblak dan minuman yang ku sodorkan padanya "ini Seblak yang waktu itu kamu pengenin. Nggak pedes, kok. Aku udah bilang ke mamangnya. Teh ini juga rasa madu, manis. Kamu pasti suka."
"Makasih, yuk duduk." Rara hanya mengambil seblak yang ku sodorkan, kemudian berlalu pergi.
Kursi belakang yang ku bilang harusnya berkapasitas untuk dua orang. Bentuknya seperti kuri taman biasa, Cuma di bagian tempat duduk agak sedikit cembung dan terbuat dari plastik. Dan payahnya, bagian yang harusnya ku duduki malah robek. Nahas, aku harus berdiri di tengah badan yang payah karena kurang tidur ini.
"Emang Rian janjinya jam berapa?"
"Pas kamu baru nyampe dia baru berangkat." Rara menjawab dengan mendongak, lalu dibuang lagi mukanya dariku.
"Coba dihubungi lagi, kali kejebak macet. Kan sekarang weekend."
Rara kembali mengirim pesan pada Rian. Selang beberapa lama, mukanya berubah. Dia tersenyum. Aku pikir pesannya dibalas, selanjutnya biar kupastikan; Rian sebentar lagi akan datang dan penantian kami selama lebih dari 1 jam ini akan segera terselesaikan.
"Katanya baru nyampe Manis Kidul." Benar dugaanku. Rian akan datang dan wajah Rara telah berubah jadi lebih menggemaskan.
"Syukur kalo gitu."
"Yeayy..." Rara berteriak girang, dia juga mengangkat tangan. Betapa bahagianya bisa bertemu mantan.
"Seneng banget. Seblaknya di makan dulu. Dari siang kamu belum makan kan?"
"Belum," Rara menjawab gemas. Kepalanya digelengkan manja. Gemas. Senyumnya kembali terpancar. Bahagianya kembali menyeruak. Dan seperti biasanya, meminta dengan manja, aku kembali disuruh menyuapinya "heem aku makan, tapi suapin yah?"
"Iya, sini."
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima dan pada suapan keenam Rara menghentikan makannya. Teleponnya berbunyi, ia bangkit, lalu menjauhiku. Mungkin itu Rian yang sudah datang.
"Yang, Rian udah dateng." Rara kembali dengan senyum sumringah di wajahnya, dia kembali dengan berlari, bergegas, dia mengambil tas dan barang-barangnya. Pun dengan helm yang dipakainya kembali, lalu dilepaskannya lagi, "katanya dia males parkir. Dia nunggu di depan. Aku ke sana dulu, ya, yang."
"Oh, ya udah, ini seblaknya di bawa."
Rara pergi. Dia menjauh. Semakin menjauh. Dijawabnya perkataanku dari jarak yang sangat jauh, "nggak usah. Buat kamu aja. Kan kamu juga belum makan."
Benar. Aku juga belum makan. Seblak ini juga ku beli dari uangku. Biar aku yang makan.
Sementara Rara, Rara ku lepaskan dengan tanpa curiga, pergi tinggalkan lelakinya. Aku percaya, dia takkan kemana-mana. Mungkin hanya bertemu sebentar, berbincang, lalu kembali menemuiku. Toh dia juga tak bawa helm. Helm yang sudah dia pakai, ia lepas kembali. Itu berarti ia takkan pergi. Mungkin dia Cuma bertemu sebentar lalu kembali. Ya, kembali. Kembali dengan senyum puas karena telah berhasil bertemu Rian di hari ini. Ah, Rara, lekaslah kembali.
Seblak yang ku beli untuk Rara kini telah habis ku makan. Semuanya telah habis tak tersisa. Pun dengan 2 botol minuman yang telah ku beli, semuanya telah kosong, telah ku minum habis. 2 jam telah berlalu sejak Rara memutuskan untuk menemui Rian. Ku pikir lebih baik ku susul. Tanpa maksud menganggunya, aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, dan aku bisa tenang menunggunya di tempat yang sewajarnya aku bisa memandangnya, memandangnya dari kejauhan.
Ku hampiri tempat yang dimaksud Rara sebagai depan alun-alun. Aku putari tempat itu. Aku perhatikan lagi, lagi, namun tak ada Rara dan Rian di sana. Kemana mereka? Kemana perempuanku yang belum selesai kusuapi itu?
Tutt...Tutt... Tutt... Tutt...
Nomor yang kamu hubungi sedang di luar jangkauan...
Tutt...Tutt... Tutt... Tutt...
Nomor yang kamu hubungi sedang di luar jangkauan...
Tutt...Tutt... Tutt... Tutt...
Nomor yang kamu hubungi sedang di luar jangkauan...
20 kali panggilan telepon yang ku lakukan, namun Rara tak juga memberi jawaban. Kemana kamu, Ra?
"Ra, kamu di mana?"
"Ra..."
"Ya udah aku nggak mau ganggu. Nanti bilangin ke Rian, anterin kamu ke alun-alun lagi, ya, biar aku yang anter kamu ke rumah. Hati-hati."
Adzan magrib sudah berkumandang. Gelap sudah mulai nampak. Alun-alun sudah begitu ramai dipadati muda mudi yang menghabiskan malam minggunya berdua. Mereka tertawa, bahagia, lupa bahwa di sampingnya ada aku yang khawatir, sedih, sakit, kehilangan pasangan yang harusnya ku bahagiakan malam ini.
Satu dua jam sudah lewat sejak adzan magrib terakhir yang ku dengar sayup di tengah keramaian. Malam sudah semakin gelap. Gemintang sudah kian redup tertutup awan. Satu dua tiga pedagang sudah membereskan dagangan untuk bersiap pulang, istirahat, dan kembali bercengkrama dengan keluarga yang dikasihinya. Namun muda mudi yang sedari tadi wara wiri masih saja tetap berada di tempat, bercengkrama, bahagia, dan masih lupa bahwa ada aku yang lara di sana.
Aku khawatir pada kondisi Rara. Aku juga khawatir bila khawatirku melupakanku pada ibu.
"Bu, aku pulang telat lagi, ya. Mungkin agak larut."
"Emang kamu lagi di mana, nak?"
"Lagi main, bu, sama temen."
"Udah makan?"
"Udah, bu, tadi pake seblak."
"Kok seblak, sih, nak. Perutmu kan rewel sama makanan, nak"
"Enggak, kok, bu, seblaknya nggak pedes. Tadi ada temen yang nggak abis. Daripada mubazir, lebih baik aku habisin," sengaja ku bercandai agar ibu tak bertambah khawatir, "kan ibu sendiri yang bilang; makan tuh jangan sampai nyisa, mubazir."
"Lah tapi nggak sisa temen juga anakku, kasep, ganteng..."
"Kan biar nggak mubazir, ibuku, yang cantiknya ngalahin bulan..."
"Ah... kamu ini, jawab aja. Ya udah nanti pulangnya ati-ati. Jangan ngebut-ngebut."
"Siap komandan!"
Bu... ibu. Kamu selalu saja jadi penentram di kala khawatirku. Terima kasih, bu. Doakan anakmu agar selalu baik-baik saja. Baik-baik di raganya, baik-baik di hatinya.
Satu dua jam telah berlalu. Malam benar-benar semakin larut. Alun-alun sudah bersih dari pedagang yang menjajakan barang dagangannya. Alun-alun juga sudah bersih dari muda mudi yang sedari tadi wara wiri tak acuh pada jiwa yang dirundung sepi ini. Sementara ponsel masih juga tak bernotifikasi, layarnya sepi, sedang baterianya kian menit kian mendekati mati.
"Ra, kamu lagi di mana?
"Ra, aku masih nunggu di alun-alun. Kamu cepet balik ke sini, ya"
"Ra, bateriaku udah mau abis."
"Ra...Rara"
"Ra, bateriaku tinggal 2%, aku tunggu di sini sampai 12 ya. Setelah itu aku ke rumahmu, mengabari Abah dan Emih."
Mati. Ponselku mati. Ponselku kehabisan daya. Setelah 5 menit dari sisa dayanya, ponselku mati. Dan Rara masih juga tak memberi kabar apa-apa. Jangankan kabar, petunjuk pun tak ada. Ra... Rara, betapa mencintaimu harus jadi seperti ini.
Seperti yang kusampaikan pada Rara, aku menunggu, menunggu sampai jam 12 malam tiba. Ya, menunggu, aku menunggu. Menunggu sendiri. Menunggu untuk ketidakpastian. Menunggu untuk pengorbanan. Menunggu, dan menunggu. Ra, aku menunggumu, menunggu di tengah gulita malam tak bergemintang. Ra, aku menunggumu, menungu di tengah malam dengan dingin setia di dekapan. Ra, aku menunggumu, menunggu dengan badan yang kian ringkih menahan perih yang tak berkesudahan. Cepatlah kembali, lekaslah ke sini. Atau beri aku kabar agar aku beranjak dari tempat ini. Ra... Rara, lekaslah kembali.
Malam sudah kelabu redam. Gemintang telah padam. Bulan sudah enggan bersinar dan temaran. Dingin kini setia menunggu hujan. Sedang aku, aku masih juga menunggu tanpa kepastian, kepahaman. Tak ada intuisi, logika terkubur menjauhi hati. Pikirku hanya menanti, menunggu hingga malam telah sampai di ujung diri.
Teng... teng... suara itu tiba. Yang ku tunggu telah sampai ke puncaknya. Lalu ku hitung jumlahnya, tepat, 12. Sekarang sudah jam 12 malam, larut malam. Ku sela sepeda motorku yang payah itu. Kunyalakan mesinnya dengan penyelaan beberapa kali. Masih juga juga belum nyala. Ku lakukan lagi, dan berhasil. Sepeda motorku menyala. Ku bereskan barang-barangku yang tergelatak di bangku, termasuk sampah botol dan bungkus seblak yang sudah sangat dingin terpapar embun malam Kuningan. Lepas ku bereskan lingkungan yang ku kotori, bergegas aku menuju rumah Rara untuk temui Abah dan Emih.
Jika kalian berpikir aku lambat baru bertindak sekarang, kalian salah. Aku tak lambat. Aku kenal Rara. Aku kenal Rian. Aku tahu mereka itu siapa. Ya, Rian, mantan Rara yang sore tadi menculiknya dariku. Aku mengenalnya dari cerita Rara. Diceritakan bahwa Rian adalah orang yang baik, bertanggung jawab. Rara selalu memuji kebertanggung-jawaban Rian, janjinya yang selalu terpenuhi, dan omongannya yang dapat dipegang selayaknya lelaki. Dan aku percaya itu. Aku percaya Rara. Setidaknya, untuk urusan ini, dia tahu betul apa yang diomongkannya adalah benar, nyata. Jika saja ada komparasi, tentu komporasinya adalah aku dan dia. Dan Rara; Rara kenal aku sudah lama. Rara juga tahu bagaimana aku adalah lelaki pengumbar janji, namun payah, sebab tak semua–bahkan sebagian besar–tak ku tepati.
Bergegas. Aku kemudian menaiki sepeda motorku dengan agak cepat. Ya, agak cepat. Aku tak berani menggeber motorku di jalanan Kuningan. Selain berkelok, beberapa jalan juga tak diterangan lampu. Sangat gelap dan berbahaya. Belum lagi masalah jurang. Biarlah ku lajukan sepeda motorku dengan agak cepat saja. Setidaknya, tujuanku adalah sampai rumah Emih dan Abah, menyampaikan kondisi anaknya yang tak ada kabar, dan entah setelah itu bagaimana, aku akan ikut mereka.
Jalanan Cigugur cukup padam, temaram. Benar, beberapa kelokan yang berujung jurang tak diberi lampu. Sepeda motorku yang tadinya hanya berjalan agak cepat, kini harus lebih bersabar memperlambat diri, menjaga empunya agar selamat dan sampai di rumah Emih. Mendung sudah sedari tadi menutupi langit, membuat jalanan jadi lebih gelap, lebih padam. Belum lagi dingin yang sedari tadi menusuk tulang. Ra... Ra... apa mencintaimu harus seperti ini?
Rumah Emih telah nampak di kejauhan. Lampu depannya masih menyala, terang, pertanda seiisi rumah masih menunggu anaknya yang tak kunjung pulang ke peraduan. Ah, Emih, Abah, aku mohon maaf telah menjadi lelaki yang tak bertanggung jawab seperti ini. Membiarkan anak kalian seorang diri menemui mantan kekasih. Ah, Emih, Abah, aku mohon ampun...
Rumah Emih dan Abah berada di ujung jalan. Lampu rumahnya hanya padam beberapa, sedang sisanya menyala semua.
<p class="ql-al
Bagian 2
2
Ya, cinta adalah cinta, setiap orang berhak atasnya. Ya, cinta adalah cinta, setiap orang memiliki hak yang sama untuk merasakannya. Dan cinta adalah cinta, setiap orang pula memiliki hak yang sama untuk memperlakukannya, menginterpretasikannya. Sedang aku? Aku hanya hamba cinta yang tak bisa berdiri untuk melawannya. Jangankan melawan, meminta keterangan pun tidak. Aku justru memilih diam dan menganggap semua baik-baik saja.
Kalian mungkin merasakan hal sepertiku. Mungkin lebih parah. Atau lebih ringan. Tergantung seberapa baik dan buruk hubungan kalian dengan pasangan.
Oh, maaf. Bukan baik dan buruk; tapi bagaimana kalian melihat hubungan kalian, dan seperti apa kalian menjalaninya.
Sebuah hubungan tidak ada yang baik atau buruk, semuanya relatif. Baik atau buruk hanya penilaian, dan bagaimana penilaian pada umumnya, hasilnya akan berbeda-beda; tergantung pada perspektif mana kita melihatnya.
Aku dan Rara contohnya. Mungkin kalian akan berpikir aku adalah korban, teraniaya, dan jadi pria bodoh yang maunya diperbudak. Nyatanya, tidak selalu demikian. Sekilas mungkin iya, tapi untuk seterusnya, tidak begitu. Tidak benar-benar begitu. Jika kalian melihat dari sisi Rara, citraku mungkin berbeda. Jika kau melihat aku dari sisi ibu, citraku juga pasti berbeda. Pun bila kau melihat aku dari sisi Emih atau Abah; semuanya berbeda.
Hidup hanya tentang bagaimana kita memandang. Dan cinta, adalah sesuatu yang aku samai maknanya.
Minggu, 25 September 2016.
Hari itu aku benar-benar tak mendapat kabar dari Rara. Entah kemana dia, tak memberi kabar berita, biasa. Apa dia sedang pergi dengan Rian? Mungkin. Tanpaku, dia bisa bebas, berkeliaran, pergi ke mana saja yang ia suka. Mungkin juga dia berdiam diri di rumah, menantikanku mengunjunginya. Tapi entahnya, persetan dengan segala kemungkinan. Hati ini masih lara. Terlebih dengan apa yang aku alami semalam.
Siang itu aku sedang duduk di depan rumah. Aku menikmati perkampungan yang masih hijau, dan udara Kuningan yang segar meski siang hari. Lalu teleponku berbunyi, tanda ada pesan.
“Yana… kamu masih marah?”
“A… kamu marah? Maaf, ya. Tadi aku Cuma makan bakso doang kok sama Rian. Nggak ke mana-mana lagi.”
“A… ih, jangan marah, dong. Kan aku Cuma ketemu sama temen aku, nggak ada yang lain. Itu juga kamu tahu, kan? Kamu juga kenal siapa Rian, udah aku ceritain kan dulu-dulu? Please… maafin aku.”
Bukan masalah dengan siapa kamu pergi. Bukan masalah ke mana kamu menikmati hari. Ini masalah perlakuanmu, perlakuanmu padaku, Ra. Kau anggap apa aku ini? Iya. Mungkin menurutmu dia lebih baik, jauh melampauiku. Tapi aku adalah aku, dan dia adalah dia, kami tidak sama. Jika kau benar-benar mencintaiku, harusnya kau paham bagaimana perlakukan aku, perlakukan seseorang yang sedari dulu memperjuangkanmu, jatuh bangun untukmu, pulang pergi Semarang-Kuningan hanya untuk mengantarkan sebuah makanan untukmu, dan rela ngutang hanya karena ingin mengunjungimu, menghiburmu di saat sedihmu.
Jika kau tak mampu perlakukanku dengan baik, dengan apa yang orang lain lakukan untuk pasangannya, minimal jangan lukai aku, jangan lukai laki-laki yang sudah perjuangkanmu sejauh itu.
“A Yana… please, jangan marah.”
“Aku nggak marah.”
“Bener, nih?” Balas dia dengan emoticon meledek.
“Bener.”
“Ya udah kalau nggak marah, syukur deh, dan makasih.” Beberapa detik kemudian balasan berikutnya datang. Balasan yang sebenarnya menambah amarahku, “Tadi jam 8 Rian dateng, dia bawa nasi kuning. Bawanya 4 bungkus besar, lengkap sama gorengan dan ayam satu potong. Katanya hari ini dia dapat kabar kalau diterima kerja di sebuah hotel. Aku kurang tahu pasti daerahnya apa dan nama hotelnya apa. Yang jelas, waktu datang, dia sudah bawa makanan dan menyampaikan apa yang ku sampaikan tadi.”
Sial betul itu Rian, sok kaya!
“A Yana nggak marah kan?”
“Emih dan Abah juga makan?”
“Niatnya Rian juga makan bareng, makan berempat. Cuma mereka keburu pergi ke ladang jam 7 tadi, makanya Cuma kita berdua di rumah.”
“Berdua makan di rumah?”
“Hehe… iya.”
“Enak bener kalian.”
“Eh udah dulu ya A, filmnya udah mau mulai. Dah…”
“Kamu lagi di mana?”
“Ra… Rara…”
Whatsapp Rara masih aktif, ku rasa, dia masih memegang ponselnya. Tapi kemana dia? Kemana dia dengan Rian? Ah, tidak.
Aku bergegas menemui ibu untuk pamit. Ibu sedikit melarangku. Katanya, aku belum makan. Aku menolak kali ini, aku harus benar-benar pergi.
“Tapi, nak, kamu belum makan. Ini nasi goreng kesukaan kamu udah jadi, makanlah dulu.” Tangan kiri ibu masih juga menahan tanganku, sedang yang kanan masih setia pada sepatula yang lincah mengaduk-aduk nasi, “Yana, kamu ini punya maag. Tadi pagi kamu udah ngeluh sakit, ini ibu udah masakin nasi goreng, bela-belain minta nasi ke tetanggu buat bisa masakin kamu. Kalau kamu pergi, nasi ini mau diapakan. Dibuang?”
Iya, ibu memang benar minta nasi. Bulan ini memang aku belum memberi uang belanja pada ibu. Aku belum mampu. Uangku belum ada, belum juga datang. Beberapa juga habis aku belanjakan untuk perjalanku ke Semarang beberapa hari kemarin.
“Nasinya buat ibu saja, ibu juga kan belum makan.”
“Ibu udah makan, nak. Kamu yang belum makan.”
“Memang ibu makan apa tadi?”
“Ibu udah makan, itu buktinya.” Satu pising[1] kecil dengan sisa nasi memang tergeletak di atas meja. Pikirku, ibu mungkin menggunakan itu untuk makan. “Tadi ibu minta barang 2-3 sendok untuk dimakan dengan bawang dan kecap. Sedang sisanya untukmu, untuk kau makan. Tapi kalau kau pergi juga, bagaimana nasi ini dihabiskan, sedang ibu sendiri sudah kenyang?”
“Buat ibu saja, biar ibu lebih kenyang.”
“Tapi kau belum makan, nak?”
“Aku masih ada uang 10 ribu, bu. Masih bisa ku gunakan untuk membeli panganan. Mungkin nggak banyak, tapi in syaa Allah cukup buat ganjal perut.”
“Memang kau mau pergi ke mana?”
“Cigugur, bu, cari angin.”
“Cari angin atau cari masalah?”
“Cari angin. Kalau nanti ketemu masalah, ya, tinggal disapa masalahnya; hi…. Gitu?” sengaja aku mengajak ibu bercanda. Itu agar ibu tidak khawatir, tidak panik.
Kruyuk-kruyuk-kruyuk
“Nak, makanlah dulu. Jangan dzolim dengan dirimu sendiri. Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau menunda makan sama dengan mendzolimi diri sendiri? Makanlah, nak. Ibu takut terjadi apa-apa.”
Aku tatap ibuku, ibu yang melahirkanku, membesarkanku. Ku tatap dalam-dalam. Semakin dalam aku semakin sesak, sakit. Jika aku pergi sekarang, aku mungkin mengecewakannya, mengecewakan untuk yang kesekian kalinya.
“Aku nggak apa-apa kok, bu.”
“Sebentar” ibu beranjak dari dekat penggorengan. Ia lalu mengambil kotak nasi yang sering dibawa ayah sewaktu bekerja di Kuningan, “Dulu ayahmu sering ibu masakin nasi goreng juga buat bekal kerja. Biasanya bekal ayahmu ibu taruh di kotak nasi ini. Nanti bekal ini kamu bawa, kamu makan di mana pun kamu mau. Ingat, dimakan, jangan tidak.”
Nasi goreng itu sudah semakin harum, tanda bahwa ia sudah siap diangkat dan dihidangkan. Ibu lalu mengangkat wajan ke atas meja makan, ia memindahkan nasi-nasi itu ke kotak.
“Kamu harus makan. Makan yang banyak. Ibu tak mau kamu sakit lagi. Ibu bukan tak mau mengurusimu kalau sakit, ibu Cuma tak mau, ibu cuma khawatir,” suara ibu sudah bergetar, tanda bahwa sebentar lagi air kesedihannya akan tumpah, “Yana, kamu ini anak yang paling ibu sayang. Ibu tak mau anak ibu jatuh sakit, baik itu karena diri sendiri, Tuhan, ataupun karena wanita yang dicintainya.”
“Bu…”
“Kamu ini sudah besar, sudah dewasa. Kamu pantas kejar yang harus kamu kejar. Kamu pantas dapat apa yang harus kamu dapat.”
“Bu…”
“Sebentar, ibu ambilkan sendok dulu.” Ibu meninggalkanku. Ia pergi ke kamar mandi mengambil sendok yang belum sempat aku cuci, “Maaf ya ibu tak bisa kasih yang terbaik buat kamu, bahkan nasi goreng ini juga tak ada telur setengah matang kesukaanmu.”
Ibu masih saja tersedu meski pipinya telah basah dibanjiri air mata. Tak lupa aku juga menyeka air matanya, air mata yang untuk kesekian kali jatuh karena aku, anak yang katanya paling disayang ibu.
“Sini, biar aku saja, bu.” Aku mengambil kota nasi itu dari tangannya. “Ibu nggak usah khawatir, Yana akan baik-baik aja. Yana Cuma pergi sebentar, nggak lama.”
Sesekali air matanya masih nenetes. Aku yakin, ada hantaman besar yang telah bersarang di hatinya; hati yang sebenarnya rapuh, namun berpura kuat demi anak yang disayanginya.
“Ibu belum makan, kan? Kita makan ya, bu. Makan bareng.”
“Tak usah, nak. Nanti kamu terlambat.”
“Tidak ada kata terlambat, bu. Semuanya akan baik. Aku justru mendapat keburukan jika meninggalkan ibu dalam kondisi seperti ini.” Mata ibu kini terlihat sembab, benar-benar membengkak. “Bu, aku ini anak ibu, anak kesayangan ibu. Aku mohon ampun bila kata dan perbuatanku tadi menyakiti ibu. Tapi bu, percayalah, nggak ada satu niat pun untuk menyakiti hati wanita yang melahirkanku, nggak ada.”
“Kau sudah sebijak ini, nak. Tapi itu saja tak cukup untuk jadi dewasa. Kau harus juga adil dengan perasaanmu, adil dengan orang di sekelilingmu; adil pada tiap kata dan perbuatanmu.” Ibu menyeka air matanya sendiri dengan jilbab yang ia kenakan, “mulailah adil. Lelaki itu harus adil, nak, adil. Adil untuk dirinya sendiri, lingkungan, dan orang-orang yang mengasihimu.”
“Akan, bu.”
“Kamu bawa saja makanan ini. Tadi pagi ibu yang memanaskan motormu. Ibu juga lihat bensinnya sudah 1 bar.” Ibu mengambil kotak nasi itu kembali, merapihkannya, memasukannya ke dalam tas yang akan ku bawa, “ibu tahu, kamu tak akan pulang cepat. Kamu lebih sering berbohong soal pulang pada ibu. Dan soal uang 10 ribu itu, ibu tahu, kamu tak akan pakai buat beli makanan. Ibu tahu, anak ibu hanya akan membeli bensin. Ya, nak. Pakailah uang itu untuk bensin, dan bawa makanan ini sebagai bekalmu. Kau kan perlu bensin. Mengantar Rara tidak cukup hanya dengan sebuah sepeda motor. Motor pun butuh makan, sama dengan kau.”
Aku menunduk, malu.
“Nak, Yana, ibu sudah sayang kamu sejak saat ibu tahu ada kau di perut ibu.” Ibu memegang pipiku, lembut. Tangannya yang sudah berkerut begitu terasa olehku, “Lihat, kau begini kurus, nak. Kau terlalu banyak pikiran, banyak masalah. Jangan hanya sekotak nasi membuat anakku jatuh sakit lagi. Bawalah, nak. Bawa sebagai bekalmu.”
Ibu masih juga mengelus pipiku. Ulasannya kini semakin lembut, semakin menenangkan aku.
Sekejap kami hanya saling menatap. Elusan tangan ibu pada pipiku telah merambah pada pipi yang lainnya. Tidak hanya satu, dua. Kini dua tangan ibu yang sudah mulai menua itu mengelus kedua pipiku. Di tangannya aku seperti anak kecil yang masih layak disayang, dikasihani.
Ibu masih saja mengelusi wajahku sama 2-3 menit. Di tatapnya aku sebagaimana bayi yang menggemaskannya. Lucu. Mungkin itu yang ada di pikirannya, pikiran seorang ibu pada anaknya.
“Nak, boleh ibu cium pipi kamu lagi? Ibu rindu.”
Kini wajah ibu didekatkan padaku. Hidung dan mulutnya menuju pipiku. Benar, pipiku akan diciumnya, sesuatu yang biasa dilakukannya dahulu. Aku tak bisa menolak. Ini untuk ibu.
Ibu menciumku dengan begitu tenang, damai. Diciumnya pipiku dengan perlahan. Dihirupnya aroma pipiku olehnya. Perlahan, sangat perlahan.
Wajah ibu kini beralih ke pipi kananku. Dilakukannya sama dengan pipi kiriku. Namun sekarang agak berbeda. Ciumannya kini begitu dalam. Sangat dalam. Hingga aku sadar pipiku terasa basah dan dingin. Tetesan air mata ibu mengenai pipiku, basah. Tidak bisa tidak. Aku tak bisa menolak hatiku. Getaran demi getaran semakin menuntunku untuk memeluk tubuh ibu, tubuh yang kian mengurus dan tak terurus karena memikirkanku.
Pelukku pada pinggang ibu. Erat. Ibu masih belum melepaskan ciumannya pada pipiku, ciuman yang belum pernah aku dapatkan dari siapapun selain dia.
Selang beberapa menit, ciumannya melemah, cenderung dilepaskan. Namun kepalaku masih digenggamnya erat, sangat erat, seperti tak mau kehilangan aku. Seperti tak ingin kehilangan anak yang paling disayanginya. Kepalaku ditariknya dalam, mendekatkan mulutnya pada telingaku.
“Nak, ibu sangat menyayangimu. Ibu tak tahu lagi harus kemana selain kamu. Tolong jangan kecewakan ibu. Cukup keluarga ibu saja yang kecewakan, kamu, jangan.” Suara ibu lirih, pelan. Sambil sesekali ia terisak. “Nasi itu bukan ibu minta, tapi beli. Beli dari pamanmu. Tapi kamu tak usah khawatir, makan saja nasi itu, makan untuk kesehatanmu.”
Bergetar. Satu dua bulir air mataku mengalir, menetes. Isak telah terlantun dari mulutku. Dan ibu, ibu masih juga memelukku dalam, seakan tak ingin aku ia tinggalkan.
Kami tenggelam dalam dekapan, larut tak terbantahkan.
“Loh, kok kamu yang jadi nangis.” Ibu sadar tangisku makin mengeras, isakku membuat tubuh kecilnya berguncang, terdorong dadaku yang kembang kempis oleh tangis.
“Ibu Cuma tak mau anak ibu jatuh, apalagi karena ibu, sakit hati ibu. Hidupmu masih panjang, nak.” Wajah ibu kini dihadapkannya padaku, pada wajahku. Kening kami bertemu.
“Maafin aku ya, bu.” Air mataku kian deras membasahi pipi. Dan ibu masih juga menenangkanku, seperti menenangkan bayi yang sedang menangis.
“Usss uss sstt… sudah, nak, ibu tak apa-apa.” Ibu melepaskan keningnya dari keningku. Diciuminya keningku, disuruhnya berhenti menangis, “anak laki tidak boleh menangis di hadapan wanita.”
“Ayah juga menangis di pangkuan ibu saat aku berkeras ingin kuliah, bu.”
“Kau lihat itu, nak?” ibu kini sudah berhenti menangis, mungkin tak tega. Ia tak ingin aku terlarut dalam tangisan yang tiada hentinya. Diarahkannya kepalaku ke wajahnya. Diusapnya pipiku dari derai air mata yang masih membasah. Dan, ditataplah aku dengan pandangnya yang hangat, pandang yang khas seorang ibu untuk anaknya, iba. Digantinya topik pembicaraan. Dihentikannya aku membahas soal ayah “Duh, duh, duh, anak perjaka ibu sudah begini gagah masih juga menangis. Bagaimana mau jadi imam yang baik kalau begini saja menangis.”
Diusapnya seluruh wajahku, pipiku, mataku. Diajaknya aku duduk menikmati sekotak nasi goreng buatannya. Disodorkannya kotak nasi itu padaku. Aku menolak, menggeleng. Seketika tatapan ibu kembali sayu. Buru-buru aku memegangnya, lalu menjelaskan.
“Aku nggak mau makan ini sendirian. Ibu sudah masakin aku segini payahnya, membeli nasi pada saudara kandung ibu sendiri, berjalan sebegitu jauh hanya untuk menyiapkan makanku.” Aku membuka kota nasi itu, diambilnya satu sendok nasi menggunakan sendok, “kita makan bareng-bareng, ya, bu. Sini, biar Yana suapi, a…”
“Tapi, nak…” Tak diteruskan. Ku memasukkan nasi-nasi itu ke mulut ibu. Ibu tak menolak, justru menikmati.
“Enak, kan bu?” ku goreskan senyum pada bibirku. Aku tak mau ibu menolak suapanku hanya karena aku yang masih terisak.
“Katanya kamu mau pergi, nak?”
“Iya, aku akan pergi, tapi setelah aku selesai suapi ibu.”
“Kau sendiri belum makan, nak?”
“Aku sudah kenyang hanya dengan melihat ibu makan dari suapanku.
“Ya sudah, ini buat ibu semua saja.” Iya menggoda.
Aku menarik napas panjang, dan menelan ludah kemudian.
“Tidak, nak. Ibu akan sangat khawatir bila anaknya sakit. Makanlah. Katamu kita makan bersama. Makanlah, makan jatahmu. Ibu sudah cukup, ibu sudah makan beberapa sendok sebelum kamu, dan beberapa sendok saat mencicipi nasi yang sedang dimasak.”
Ibu cegukan. Ku ambilkan minum untuknya, dan setelah aku datang, kota nasi itu sudah berpindah ke tangannya.
“Sekarang giliran ibu, a...” diarahkannya satu sendok nasi ke dalam mulutku.
“Aku mau, tapi tanpa sendok. Sebentar.” Aku ambilkan baskom kecil yang sedikit berdebu karena jarang digunakan. Ku cuci, lalu ku isi dengan air. “Sini, aku cuci tangan ibu.”
“Ibu bisa nyuci tangan sendiri, nak.” guratan senyumnya mulai nampak mengiasi wajah yang mulai menua. “Lagian, kamu ini, ada juga kaki ibu yang kamu cuci, bukan tangan ibu.”
“Hehehe… ya nggak apa-apa sih, bu, namanya juga usaha.”
Tak lama. Ibu membersihkan tangannya hanya beberapa saat lalu mengeringkannya dengan lap yang ada di meja.
“Kamu yakin tak terlambat buat pergi, nak?” tangan ibu tak ragu menyiapkan sepuluk nasi untukku. Diarahkannya nasi itu ke dalam depan mulutnya, “a… nak”. Aku melahap nasi itu dengan rasa puas, senang, bahagia. Lebih bahagia lagi bisa melihat ibu seperti ini. Mungkin benar kata ibu, aku menyakitinya dengan menolak makan. Padahal, nasi yang ia masak ini, nasi yang tak seberapa ini, nasi yang ia beli dari saudara kandungnya sendiri; saudara yang harusnya memberi Cuma-Cuma pada ibu, bukan malah menjualnya.
Satu, dua, tiga, empat suap sudah aku makan dari tangan ibu. Empat suapan pula aku rasai kenikmatan yang tak ku dapatkan selain daripadanya. Pada suapan kelima, sekaligus suapan terakhir, aku menghentikan tangan ibu.
“Suapan ini bukan buat aku, bu. Buat ibu aja. Sini aku suapi.”
“Barang satu suap begini, nak?”
“Tentu, kalau ibu nggak keberatan.”
“Lakukan kalau itu bisa menenangkan hatimu, nak.”
Ku ambil kotak nasi itu dari tangan ibu. Ku siapkan satu suap nasi dari kotak itu, aku tekan-tekan, aku padatkan, itu untuk memudahkan aku dalam menyuapi ibu.
“A… bu” ku arahkan suapanku pada mulut ibu, perlahan. Kusengajakan menyentuh bibir tipis itu yang mulai mengendur. Tak lupa aku bersihkan sisa-sisa makanan yang ada di sekitar mulutnya.
Selepas membersihkan sisa makanan di mulut ibu, kami semua terdiam terdiam, beradu tatap. Kami saling menatap dalam pandang yang kuat.
“Bu… maafin Yana, ya?” tangan ibu yang tadi menyuapiku, tangan yang masih juga kotor karena nasi, aku angkat, aku kecup. Tidak sekali, tapi berulang-ulang. “Aku menyesal telah membuat ibu menangis. Betapa berdosanya seorang anak membuat ibu kandungnya menangis.”
“Dosamu telah terampuni Tuhan, nak. Yang ada kini hanya pahala yang mengalir di dirimu. Pahala yang terhitung dari tiap bulir-bulir nasi yang kau berikan pada ibu. Pahala itu mengalir di dirimu, nak, dirimu.” Ibu mengambil kotak nasi yang telah kosong dariku, meletakkannya di atas meja, dan dipegangnya tanganku lembut. “Ibu bahagia punya anak sepertimu. Ibu bangga.” Dikecupnya lagi keningku oleh ibu. Kali ini tidak lama, hanya sebentar. Lalu ku balas kecupan itu dengan pelukan hangat pada tubuh kurusnya. Sama. Pelukan itu pun hanya sebentar. Selanjutnya kami hanya berbalas pandang, kemudian diteruskan dengan melakukan kegiatan masing-masing. Ibu membereskan kotak nasi dan wajan, sedang aku membereskan barang-barang di tasku, tas yang seharusnya aku bawa pergi menemui Rara.
“Kau tak jadi pergi, nak?”
“Ragu, bu.”
“Hal apa yang membuatmu ragu?”
“Aku tak tahu, bu.”
“Nak, di lemari ibu ada mukenah untuk solat. Ukurannya agak besar untuk ibu. Kamu pakailah untuk solat.” Gurau ibu sembari membersihkan wajan sisa nasi gorengku.
“Ibu…”
“Apa yang salah?”
“Aku kan laki-laki, kenapa ibu menyuruhkan solat dengan memakai mukenah?”
“Kau selain hobi menangis juga tak punya pendirian. Lelaki bukan seperti itu, nak. Kalau ditanya apa ya dijawab, dijawab dengan sejujur-jujurnya, bukan malah bilang nggak tahu.” Wajan yang ibu bersihkan sudah tak berkerak, sudah benar-benar mengkilat disikat ibu. Sembari membenahi letak wajan digantungan, ibu meneruskan, “Kau sendiri sudah memulainya, nak. Pantang seorang laki-laki mundur sebelum final.”
Ponselku berbunyi, notifikasinya menunjukkan sebuah pesan dari Rara.
“Maaf, aku nggak tahu ada pesan dari kamu, tadi aku nonton bioskop. Kata Rian ada film bagus hari ini. Lagian, suntuk juga di rumah sendiri. Apalagi ini hari terakhir aku di sini. Kamu yang aku tungguin ngapel juga nggak dateng hari ini, malah keduluan Rian. Tapi nggak apa-apa, sih, aku ngerti kok.”
“Kamu udah di rumah?”
“Udah, kok. Ini lagi makan bareng. Tadi Rian juga beli makanan buat Abah sama Emih.” Beberapa detik kamudian pesan terusan muncul, “Tadi setelah nonton kita jalan-jalan bentar. Kebetulan abis nonton kami liat KFC dan lagi ada promo, jadi aku sama Rian mutusin beli makanan di sana. Rian juga beli dua-tiga makanan lagi buat Abah dan Emih di rumah.”
“Iya, aku minta maaf.”
“Nggak apa-apa, kok. Tapi sebagai gantinya, anterin aku ke stasiun, ya, malam ini?”
“Stasiun Cirebon? Malam ini?”
“Iya. Keretaku jam 10an, Kereta Sembrani. Bisa, ya? Rian nggak bisa katanya, harus tidur cepet, besok ada meeting. Kan kasian kalau dia sampai kesiangan gara-gara aku. Kalau kerjanya dipecat gimana?”
“Katamu libur sampai hari Senin, kenapa sekarang buru-buru pulang? Lagian kan biasanya aku yang nganterin kamu ke sana? Kenapa sekarang buru-buru beli tiket kereta? Ada tugas mendadak?”
“Tadi pas jalan kami ngobrol soal waktu libur dan kepulanganku. Aku udah ngomong ke Rian kalau emang biasanya aku dianterin sama kamu ke sana. Cuma Rian bersikeras, dia nggak setuju, katanya lebih baik naik kereta. Katanya kasian, badanku pasti kecapean kalau naik motor, Kuningan-Semaranga jauh. Jadi pas siang tadi kami ke stasiun buat beli tiket. Untunya, masih ada kursi buat aku, dan jamnya juga nggak terlalu malem, jam 10an.”
“Oh, Rian yang beliin? Rian yang ngelarang kamu naik motor bareng aku?”
“A… “
Aku menarik napas panjang, mencoba memahami dan memaklumi apa yang kuhadapi. Baik, aku mengerti. Rian yang membelikan Rara tiket karena takut Rara kelelahan. Ok, aku setuju untuk ini. Tapi kenapa aku juga yang harus mengantarnya? Karena aku pacarnya? Sialan.
Minggu, 25 September 2016 pukul 8 malam.
Teleponku berdering, Rara menelpon.
"Kenapa, Ra?”
"Kamu udah nyampe mana? Ini udah jam 8. Kan kamu janji buat jemput aku. Keretaku jam 10an loh, Yan.”
“Iya, sebentar. Aku masih ngerjain satu judul lagi. Tunggu, sabar.”
“Kamu, mah.”
Telepon mati. Komunikasi itu dihentikan oleh Rara. Dan aku; aku hanya menerima. Tak menolak. Aku harus menyelesaikan tulisankan barang satu judul lagi. Uangnya lumayan, bisa untuk beli bensin dan uang ibu.
Beberapa menit setelah menutup telepon Rara, seluruh tulisanku telah rampung. Aku lekas menghubungi Mas Agus, meminta upah. Aku menghubunginya lewat telepon, tak diangkat. Ku hubungi lewat WA, masih juga tak direspon. Mungkin sibuk, ada kegiatan. Tapi keperluanku dengan Rara tak bisa ditunda.
Benar saja, beberapa detik setelah pesanku terkirim ke mas Agus, Rara telepon lagi.
“Yana, kamu di mana, sih. Ini udah mau setengah 9 malem. Kamu mau nganter jam berapa? Perjalanan bisa 1 jam, loh?”
“Iya, sabar. Aku lagi nunggu uang dari Mas Agus.”
“Uang apalagi sih, Yana…”
“Uang bensin, biar bisa nganter kamu.”
“Ah, kamu ini.”
Telepon pun dimatikan lagi. Rara benar-benar marah. Mungkin jengkel, lelah. Setiap kali aku janjikan sesuatu, setiap kali itu juga ia dihadapkan dengan kondisi yang tak menentu. Ra, maaf, aku belum bisa jadi pasanganmu yang baik.
Melihat air mukaku yang tetiba berubah murung, ibu menghampiriku, ia bertanya.
“Kenapa lagi, nak.”
Aku diam, sengaja menutupi.
“Kau tak mau bercerita pada ibu kandungmu sendiri? Ceritalah, nak.” Ibu menatapku dengan pandangannya yang lembut “Seorang ibu selalu jadi telinga untuk setiap anak-anaknya. Ceritalah, nak. Masalah mana yang kau hadapi?”
“Harusnya sekarang aku sudah berangkat mengantar Rara ke stasiun Cirebon, bu.”
“Malam ini juga?”
“Iya, bu, malam ini juga?”
“Lalu mengapa kau masih menunggu di sini? Takut kau pada begal?”
“Bensinku tak cukup untuk sampai sana, bu. Tadi sudah aku kerjakan apa yang jadi tanggung jawabku. Sudah ku selesaikan semua. Hanya mas Agus, pemilik blog itu, belum memberi respon padaku. Uangku belum bisa dikirim malam ini.”
“Sebentar, nak.” Ibu meninggalkanku pergi ke ruang belakang, “Ini, tadi ibu nemu uang 50 ribu di bawah taplak meja. Mungkin rejekimu, nak?” Disodorkannya uang itu padaku, uang 50 ribu, uang yang asal muasalnya sendiri aku tak yakin. Tapi tak ada pilihan lain. Aku harus ambil uang itu untuk bisa mengantar Rara ke stasiun.
Ra, aku datang. Tunggu aku.
Jam 8.45. Aku mengeluarkan motor dari teras rumah dan langsung menuju Cigugur, ke Rumah Rara.
Motor ku lajukan ke rumah Rara. Beberapa jalan masih juga gelap tanpa penerangan. Lebih parah, kabut juga semakin turun dan mengganggu pandangan. Lampu motor yang redup, yang tak bisa menembus kabut, membuatku harus mengurangi kecepatan. Namun biar begitu, beberapa pesepeda motor masih saja melajukan kendaraannya dengan kencang. Salah satunya bahkan sempat menyalipku dengan sembarang, agak menyenggol sepeda motorku hingga hampir oleng, namun ia tak mengindahkanku. Didahuluinya aku seperti kambing bodoh yang berjalan di jalanan berkabut.
Beberapa menit berjalan pelan akhirnya ku temukan rumah Rara. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 9.10. Aku mengetok pintu rumah Rara dengan dada yang lega. Aku berhasil sampai di rumah ini dan menjemput Rara, berkendara malam bersamanya, dan mengantarkannya hingga stasiun keberangkatannya.
“Assalamu’alaikum…”
“Walaikumsalam, nak Yana. Tadi baru aja Rara pergi.”
“Loh, pergi sama siapa Bah?”
“Tadi sama temennya. Siapa tuh namanya?” Abah terdiam sebentar, ia berpikir. “Oh, ya, Rian. Dia pergi bareng Rian barusan.”
“Barusan banget, Bah?”
“Iya. Abah pikir kamu berpapasan tadi?”
“Nggak, Bah, tadi kabutnya tebal, nggak keliatan.”
“Ya udah ayo masuk.”
“Makasih, Bah. Saya susul Rara aja, Assalamu’alaikum.”
“Tapi, nak….”
Tak mendengarkan. Aku langsung menyusul Rara dan Rian yang menurut kesaksian Abah baru saja pergi. Ya, mereka baru saja pergi, Rian mendahului aku lagi. Baiklah, akan ku kencangkan laju motorku agar mereka tersusul.
Ku lajukan sepeda motorku menembus kabut tebal dan dingin. Mata yang terpapar kabut sudah benar-benar perih dan aku tak tahan lagi. Helm yang ku pakai tidak benar-benar membantu menangkal kabut dari mataku. Mereka justru masuk ke rongga kaca helm yang pecah dan menampar mataku hingga perih.
Perjalananku telah sampai di Cilimus, tapi masih juga belum menemukan titik terang, Rara dan Rian masih juga tak terlihat. Sepeda motorku lebih ku lajukan lagi, lebih kencang. Jalanan yang bersih dan udara tanpa kabut membuatku semakin terdorong untuk menambah kecepatan. Meski harus ku akui, aku sendiri khawatir dengan kondisi sepeda motorku. Apalagi mengingat ban yang sudah tipis dan harus diganti. Tapi, aku harus bagaimana? Kalau bukan dengan cara begini, mustahil aku menemukan Rian dan Rara.
Malam yang kelam di Kuningan tak membuatku gentar, terjang. Tak peduli kabut atau jalanan gelap, sepeda motor yang hampir ambruk ini aku pacu dengan kecapatan tinggi, menembusi udara yang kian malam kian menggigili diri.
Setelah 30 menit berkendara dengan kencang aku masih tak menemukan Rara dan Rian. Mereka kemana? Menghilang? Ah, tidak. Mereka tak mungkin menghilang. Mereka mungkin lewat jalan yang lebih cepat dibanding jalan umum. Tapi kemana? Tak ada jalan yang lebih aman dan terang dibanding jalan yang aku lalui ini.
Ra…. Kamu kemana?
Kini aku telah memasuki Cirebon. Aku melalui jalan Kesambi yang mengarah langsung ke stasiun. Tak kukurangi kecepatan sepeda motorku, masih ku pacu, ku adu dengan derai angin yang kian malam kian kencang memukuliku. Tak jauh setelah aku lewati stasiun Prujakan, kudapati seorang wanita yang memakai jaket yang sama dengan Rara, jaketku, jaket yang kuberikan saat Rara menggigil kedinginan saat ku antarkan ke Semarang. Ku percepat sepeda motorku. Ku lajukan sepeda motor ini agar aku bisa mendekati mereka, mengiringi motor mereka dari samping.
Saat aku hampir beriring dengan mereka, ban sepeda motorku bocor lagi.
Rara dan Rian tak memperdulikan keadaan sekitar. Mereka masih juga melaju dengan cepat untuk mengejar keberangkatan kereta. Sementara aku? Aku masih juga harus mendorong sepeda motor dengan ban yang kempes ini. Dan yang lebih sialnya lagi, di daerah ini, di waktu segini, tidak ada tukang tambal ban yang buka. Dan seperti yang telah sudah-sudah, aku harus mendorong sepeda motorku lagi, sepeda motor yang telah membersamaiku berjuang sejauh ini.
Beruntung, jarak kejadian ban bocor itu dengan stasiun tidaklah jauh, kira-kira beberapa ratus meter dari pintu masuk stasiun. Aku yang sudah panik tak memikirkan jalan lain selain berlari sembari mendorong motorku. Jalan arah ke stasiun yang lumayan sepi membantuku. Setidaknya, aksiku tidak dilihat orang. Jika iya, mungkin aku disangka maling, aku bisa dihajar warga karena salah paham. Bisa babak belur aku sebelum bertemu dan menjelaskan kejadian sebenarnya pada Rara.
Mendekati pintu masuk stasiun orang-orang makin banyak. Lariku yang sedari tadi kencang aku pelankan hingga berubah jadi jalan.
Aku memasuki stasiun Cirebon dengan tetap mendorong motor. Tak peduli dlihat orang, dipandang jelek, atau dikira maling; aku tetap maju untuk bertemu Rara.
Setelah ku parkirkan sepeda motor, aku langsung berlari ke ruang tunggu, berharap belum terlambat, berharap dapat menjelaskan hal sebenarnya pada Rara. Sesampainya di ruang tunggu aku tak menemui Rara. Jangankan Rara, bahkan dengan Rian yang mengantarnya pun, aku tak bertemu. Berpapasan pun tidak. Padahal saat itu masih jam 10 malam tepat, masih ada 17 menit lagi sebelum kereta berangkat.
Kereta sendiri sudah ada di rute perjalanannya, siap-siap berangkat menuju Semarang dan berakhir di Surabaya.
Ra… kamu di mana?
Lelahku tak membuahkan hasil. Rara dan Rian tak ada di ruang tunggu. Tidak ada sama sekali.
Pintu boarding pass sendiri sudah sejak tadi terbuka. Dan makin mendekati jam keberangkatan, makin banyak pula orang yang berbondong memasuki pintu itu. Tapi Rara tak terlihat. Ia tidak ada di antara gerombolan orang ini. Kemana dia? Padahal jam sudah menunjukkan pukul 22.10 malam.
Ku coba telepon dia, beberapa kali, tapi tak diangkat. Aku coba whatsapp untuk menanyakan posisinya, tetap tak dibalas. Whatsapp-ku justru diblokirnya. Entah karena alasan apa selain hanya kecewa.
Minggu malam pukul 22.15, saat di mana aku membenamkan wajah yang penuh kecewa, seorang perempuan dan pria muda berlari mendekati pintu boarding pass. Mereka tergesa-gesa. Dan ya, itu Rara. Juga Rian.
Ku panggil Rara dari tempat dudukku.
“Ra…”
“Rara…”
Tak dibalasnya. Ia hanya menoleh, memasang wajah yang memberengut, lalu pergi. Pergi tanpa perduli aku yang sudah sedari tadi mengejarnya sampai sejauh ini.
Rian yang sedari tadi membawa pergi Rara juga tak menggubrisku. Tatapnya kosong, seperti tak ada masalah, tak ada salah. Jangankan bertegur sapa. Basa-basi menanyakan keberadaanku di sana pun, dia tidak. Hanya ngeloyor pergi. Pun dengan wajah memberengut, sama seperti Rara, perempuan yang sudah dia bawa lari dariku.
Rian tak ku kejar, Rara tak terkejar, dan sakit lebih jauh menjalar. Hati yang telah kuperjuangkan sejauh ini, sepayah ini, masih juga tak menghargai. Ia justru percaya pada orang lain, orang yang telah lukai dia. Ah, Yana, betapa kau sangat mengenaskan.
Aku tak langsung pulang saat Rian meninggalkanku. Di sana, di stasiun itu, aku masih juga bergumul dengan rasa sakitku, rasa sakit yang mungkin jadi makanan utamaku setelah nasi. Hati yang terluka membuat tubuhku tak memiliki tenaga. Aku masih tak beranjak dari kursiku hingga ibu menelepon, menanyakan keadaanku.
“Kamu udah nganterin Rara, nak?”
“Nggak, bu.”
“Loh, katanya tadi pamit mau nganter Rara?”
“Keduluan, bu.”
“Keduluan siapa? Kan kalian sudah janjian?”
“Mantannya.”
“Aih…” ibu melanjutkan kata-katanya dengan lebih lembut, sembari menasehati. “Yaudah, kamu pulang, nak. Pulang. Nanti kamu sakit. Mungkin Rara kesal sampai dia memilih mantannya dibanding kamu. Toh kamu juga terlambat jemput, kan?”
“Iya, bu.”
“Pulanglah…”
“ Aku pulang terlambat, bu.”
“Nak…”
“Maaf, bu.”
Ku matikan telepon itu.
***
Senin 26 September 2016, jam 2 dini hari, aku memutuskan untuk pulang ke rumah, ke peraduan. Tidak. Aku tidak mengendari sepeda motorku. Sepeda motorku masih juga kempes, bannya belum ditambal.
Aku dorong sepeda motorku hingga jalan Kesambi. Bukan karena aku ingin mendrama, hanya, baru di sanalah aku menemukan tukang tambal ban yang masih buka. Sampai di tukang tambal ban itu aku tak langsung dilayani. Masih ada usahaku untuk bisa mendapatkan pelayanan dari tukang tambal ban ini. Ya. Aku masih harus membangunkannya untuk mendapatkan pelayanan. Beruntung, bapak-bapak tukang tambal ban ini tak begitu lelap tidur, hingga mudah bagiku membangunkannya.
“Tambal, mas?”
“Iya, pak.”
Tukang tambal ban itu langsung mengecek ban yang ku maksud. Cukup lama. Hingga akhirnya baru ku tahu ternyata ban dalam sepeda motorku terlalu banyak tambalan dan harus diganti.
“Kudu ganti, pak? Nggak bisa diakalin?”
“Susah, mas. Kalau mau sih bisa aja. Tapi 100-200 meter juga kempes lagi. Kasian masnya malem-malem dorong motor begini.”
“Emang berapa kalau ganti, pak?”
“50 ribu aja.”
“Yah, pak, nggak bisa kurang lagi? Saya Cuma punya segini (sambil menunjukkan uang). Ini juga belum termasuk bensin malam ini dan besok ke kampus.”
Tukang tambal ban itu berdiam sebentar. Ia melihatku, menyapu pandangan ke sekujur tubuhku.
“Boleh, pak?”
“Masnya dari mana?”
“Asli Kuningan, pak. Tadi abis ke stasiun. Uang saya tinggal segini-segininya. Ini juga saya belum ngisi bensin.”
“Ya udah deh 35 ribu aja, nggak apa-apa. Tapi ban dalamnya yang grade rendah aja, ya? Nggak masalah kan?”
“Asal itu bisa sampai pulang, saya nggak masalah, pak.”
“Ya udah, masnya duduk aja dulu.”
Aku duduk di bale yang ditiduri tukang tambal ban tadi. Di sana sudah tersedia bantal, kipas dari anyaman bambu, juga perlengkapan bongkar pasang ban.
“Nganter siapa mas ke stasiun?”
“Bukan siapa-siapa, pak.”
“Ah, nggak mungkin. Bukan siapa-siapa kok mau-maunya nganter sampai malem gini. Mustahil, mas.”
“Hehehe… iya, pak. Bukan siapa-siapa.”
“Pacar ya?”
“Nggak salah, pak.”
“Oalah. Dulu saya juga sama kaya mas. Cuma saya mah nggak nganterin pake motor, tapi jalan kaki. Maklum, jaman dulu motor Cuma buat orang kaya doang. Orang macam saya gini ya jalan kaki aja. Sehat.”
Tidak salah. Usia tukang tambal ban ini kalau dikira-kira lebih dari 55-60 tahun. Bahkan bisa lebih lagi. Di zaman mudanya tukang tambal ban ini memang sepeda motor jadi barang yang sangat mahal. Sangat sedikit orang memilikinya. Yang ada sepeda. Itu pun jumlahnya terbatas. Harga yang cukup tinggi membuat orang lebih memilih menggunakan angkutan umum seperti becak atau delman. Beberapa orang bahkan memiliki jalan kaki karena tak sanggup sewa ongkos keduanya.
“Nganterin ke mana emang, pak?”
“Sama, ke stasiun.”
“Kenapa nggak pake sepeda aja, pak?”
“Sama, mas. Saya juga nggak punya sepeda. Ada juga sepeda punya tetangga.”
“Kenapa nggak pinjem, pak. Kan enak kalau pakai sepeda, nggak capek.”
“Saya lebih milih capek daripada pake sepeda, mas.”
“Hahaha, bapak ini ada-ada aja.” Aku tertawa mendengar cerita tukang tambal ban ini. Caranya bercerita mengingatkanku pada sosok pelawak Doyok. “Kenapa milih capek dibanding sepeda, pak?”
“Yang punya sepeda itu bapaknya mantan pacar saya dulu, mas. Malu dong kalau pinjem. Apalagi kalau alasannya nganterin pacar baru saya.”
“Iya juga sih pak, hahaha.”
Kami kehabisan bahan pembicaraan setelah selesainya cerita bapak-bapak si tukang tambal ban. Hingga pada akhirnya ban dalam sepeda motorku sudah terpasang dan aku sudah siap untuk melanjutkan perjalanan panjangku.
“Sudah, mas.”
“Jadi 35 ya pak?”
“Iya, mas. 35 ribu.”
“Makasih, ya, pak.”
“Iya, mas. Hati-hati di jalan.”
Ku-starter sepeda motorku. Ku biarkan mesin motorku memanas sebelum aku gas menuju ke Kuningan.
“Lampunya hampir mati, tuh, mas. Awas.” Tukang tambal ban itu juga berjongkok melihat ban depanku yang sudah gundul. “Bannya udah bentar lagi pecah. Sebaiknya mas jalannya agak pelan aja, jangan ngebut. Ban kaya gini bisa meledak kalau kena benda tajam. Hati-hati.”
“Iya, pak, belum sempet diganti. Uangnya belum ada.”
“Ya semoga cepet ada uang biar diganti bannya ya mas.”
“Aamiin. Makasih ya pak.”
“Sama-sama, mas. Hati-hati.”
Kata hati-hati dari tukang tambal ban itu mengawali perjalananku lagi ke Kuningan. Perjalanan yang akan panjang dan melelahkan. Belum lagi urusan hati yang juga belum terselesaikan.
Di tengah perjalanan petir menyambar. Beberapa saat kemudian langit begitu gelap dengan awan hitam yang menutupi. Persis, 10-15 menit setelah petir tadi, hujan pun mengguyur wilayah Kuningan. Aku yang tak membawa jas hujan terpaksa meneduh untuk menghindari derasnya air. Aku berteduh di pom bensin dekat gerbang selamat datang Kota Kuningan. Hujan, pom bensin, dan angin, membawa memoriku jauh ke masa lalu, masa di mana aku dan Rara masih asyik-asyiknya menikmati hari tanpa mengegoiskan diri.
Ya, aku ingat betul, di tempat ini, di tempat aku duduk ini, kami berteduh menunggu hujan berhenti. Saat itu kami dari Cirebon. Hujan yang datang tiba-tiba membuat kami tak bisa menghindarinya. Baju kami pun basah tanpa terkecuali. Kami yang menggigil kedinginan saling mengusahakan untuk menghangatkan diri. Saat itu tubuh Rara menggigil hebat. Bibirnya pucat, bahkan sudah kebiru-biruan. Aku yang khawatir lekas mengambil kedua tangannya dan meniupinya. Selang beberapa saat aku juga menggosok-gosokkan tanganku dan menempelkannya ke pipi Rara. Harapannya, itu bisa membantu mengurangi kedinginanya.
Rara yang sadar aku hangatkan badannya membaca maksudku. Ia secara perlahan menggeser duduknya hingga menempel padaku, bersandar. Sementara aku memberi masih meniupi tangan Rara, memberi kehangatan padanya, kehangatan yang seadanya. Aku sendiri sebenarnya menggigil, juga kedinginan. Rara yang membaca tubuhku akhirnya lebih mendekatkan lagi tubuhnya. Kini, ia benar-benar telah bersandar dan menggelendot padaku, pada tubuh yang juga kedinginan ini.
Ah, tapi itu hanya masa lalu. Masa yang sudah lewat. Masa yang akan datang, siapa yang tahu?
Hujan masih juga deras hingga mendekati subuh. Aku yang menggigil dan kedinginan di sini masih juga harus bersabar, berteduh dan menghangatkan diri sendiri hingga hujan benar-benar berhenti dan aku bisa melanjutkan perjalananku kembali.
Hujan kemudian reda setelah jam 5 pagi.
Aku yang sedari tadi menahan dingin dan kantuk langsung memanaskan motor dan kembali memacunya hingga ke rumah, tidur, bermimpi, dan bangun untuk melanjutkan hidup.
***
Senin 26 September 2016, saat matahari belum benar-benar beranjak dari peraduannya, aku terbangun. Bukan tanpa sebab. Suara berisik di depan rumah membuat kantukku seketika hilang. Dan saat itu juga aku bangkit dari tempat tidur melihat apa yang terjadi. Benar saja, itu ibu, dan adiknya, Mang Asep. Mereka bertengkar.
“Ya nanti atuh Sep, masih pagi, jangan bikin malu.”
“Malu-malu. Teteh yang harusnya malu, minjem uang belum dibalik-balikin. Saya juga kan butuh makan, teh, butuh buat jajan anak-anak saya.”
“Iya, nanti sore saya kembalikan uangmu.”
“Teteh kemarin bilang pagi ini mau nyicil 50 ribu dulu. Mana? Masa sekarang molor lagi. Saya butuh teh. Kalau nggak butuh juga saya nggak ke sini.”
“Iya, maaf, Sep. Tapi tadi uangnya dipake Yana buat benerin motor. Bannya pecah, harus diganti. Kasian dia, Sep. Hari ini motor Yana mau dipake ke kampus.”
“Halah, alasan aja. Lagian nih ya, teh, umur kaya Yana itu harusnya kerja, bantu teteh, bukan malah nerusin kuliah. Udah telat. Teteh nggak capek seusia gini masih harus banting tulang sendiri? Minjem sana sini kalau kurang?” Suara Mang Asep semakin meninggi, tanda amarah sudah sampai puncak, “pokoknya saya nggak mau tahu, hari ini juga uang saya harus balik semuanya. Paham?”
Aku yang sedari tadi mendengar pertengkaran mereka, akhir melebur, masuk ke dalam lingkaran pembicaraan ini. Membantu ibu.
“Iya, mang. Hari ini saya usahakan buat bayar. Berapa semuanya?”
“Nak…” Ibu memegang tanganku, tanda bahwa ia melarangku untuk ikut campur dalam urusannya, urusan piutangnya. Tapi apa hendak di kata. Aku harus. Sudah jadi tanggung jawabku. Aku anaknya. Jika bukan aku, siapa lagi?
“Nah gitu dong. Jadi anak itu harus bantu orang tuanya, jangan malah nyusahin.” Mang Asep lalu membuka buku catetannya, buku yang biasa ia gunakan untuk mencatat semua pengutang, termasuk ibu, kakak kandungnya sendiri. “Semuanya 500 ribu”
“Baik, saya minta waktu hingga malam untuk bayar semua.”
“Mau cash atau transfer?”
“Transfer.”
“Baik.”
“Kirimkan nomor rekeningnya, mang. Lengkap dengan kode dan nama banknya.”
Setelah mengirimkan apa yang diperlukan, mang Asep pergi meninggalkan kami. Dan ibu, ibu masih juga memegang tanganku, dan sekarang malah lebih kencang. Aku masih juga berdiri di tempat yang sama, menatap ibu, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan sebagaimana orang tua pada umumnya, ibu tetap khawatir.
“Kau yakin dengan ucapanmu, nak?”
“Apa yang bisa dipegang dari laki-laki selain ucapannya, bu?”
“Tapi kau tak punya uang untuk itu. Bahkan untuk semalam saja kau harus bekerja lebih dulu. Itu pun tak langsung dibayarkan. Bagaimana kau bisa dapat uang sebanyak itu nanti?”
Aku memegang pundaknya, membalikkan tubuhnya agar membelakangiku, dan memijit bahunya lembut. “Ibu nggak usah khawatir. Anakmu ini terlahir cerdas. Aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan mudah. Ibu hanya perlu doakan. Itu pun sudah lebih dari cukup.”
“Bagaimana kau bisa selesaikan masalah ini?”
“Aku akan bekerja.”
“Bekerja?”
“Ya, bu.”
“Sebagai apa?”
“Sebagai makhluk Tuhan yang dikaruniai akal pikiran, hehehe”
Ibu membalikkan badannya lagi, menghadapku, “Apapun nak, lakukanlah. Semoga kau dijadikan insan yang baik, yang menebar manfaat ke semua orang.”
“Aamiin. Doain Yana ya, bu.”
“Pasti, nak.” Ibu menyapu pandangannya padaku. Dilihatnya aku dari atas ke bawah. “Kau belum mandi, nak?”
“Kapan aku mandi pagi, bu?”
“Benar juga.” Ibu meninggalkanku. Ia pergi dari ke ruang belakang, mungkin melanjutkan aktivitasnya di dapur. “mandi pagilah sekali-kali. Segar. Kau mau makan apa, nak?”
“Apa pun asal dibuat oleh tanganmu, bu.” Sebelum ibu masuk ruang belakang, seketika aku sadar, “jadi uang 50 ribu semalam untuk membayar mang Asep, bu?”
Ibu berpaling melihatku. Wajahnya meredup, antara tidak enak dan takut, ia tak menatapku, “iya, nak.”
“Kenapa ibu nggak jujur?”
“Jika ibu jujur kau takkan pergi, semakin kecewalah dia denganmu nak. Ibu
“Lain kali jujur saja, bu, aku nggak apa-apa. Lebih baik begitu.”
“Jujur itu bukan disembarang tempat, nak. Ada momen tertentu di mana kita harus menahan kejujuran kita.” ibu kembali berjalan ke ruang belakang, aku mengikutinya sekalian, sembari berjalan ke kamar mandi, “toh kalau selalu jujur juga masalah. Jujur di waktu yang kurang tepat akan membuat orang sakit hati dan kecewa. Dan kamu pasti tahu, seorang ibu n
Bagian 3
3
Aku dan Rara sudah menjalani hubungan selama 1 tahun. Dalam 1 tahun ini banyak yang telah kami alami. Tawa, tangis, sedih, gembira, semuanya. Semuanya menjadi bumbu hubungan kami. Pun dengan pertengkaran. Baik kecil atau pun besar, keduanya, selalu menjadikan kami kembali memeluk hati yang telah kami yakini.
Aku yakin, Rara adalah anak yang baik, gadis yang baik. Tidak ada satu apapun yang menyangkal itu. Satu apapun. Kecuali kejadian besar itu, kejadian terkenang.
Ra… i can feel you, if you’re not with me.
***
Sabtu 15 Oktober 2016, sudah 6 hari Rara menghilang dari notifikasi ponselku. Jangankan menghubungi. Dihubungimu pun, ia susah. Entah apa yang terjadi, aku tak tahu.
Tapi meski begitu, tak kurang satu hari pun aku menghubungi Rara, menanyai kabarnya, menyuruhnya makan, semuanya. Semuanya ku lakukan. Walau aku tahu, pesanku, tiada pernah dibalasnya. Tiada pernah dibacanya. Kalian tahu kenapa aku melakukan ini? Tahu? Aku, yang juga melakukan ini pun, tak tahu dengan diriku sendiri.
Sejujurnya aku nyaman. Hanya nyaman. Nyaman menjalani ini. Dengan Rara.
Menjalani hubungan tanpa balasan seperti ini memang menyakitkan, menyedihkan. Itu untuk beberapa orang. Tapi menurutku, yang tak pernah menjalani hubungan sebelumnya, menjalani hubungan seperti ini adalah suatu kenyamanan. Entah. Apakah aku yang bodoh atau tak tahu. Aku tak mengerti. Tapi jangan pernah salahkan aku untuk urusan ini. Bukankah setiap orang punya perspektif yang berbeda dalam menjalankan hubungan dan cinta? Dan inilah caraku, cara yang menurut banyak orang adalah cara yang bodoh.
Minggu 16 Oktober 2016 adalah hari di mana kita mengikat janji untuk saling membersamai. Hari spesial. Hari di mana kami akhirnya menjalani hubungan. Ya, besok adalah hari anniversary kami.
Kami sendiri tak merayakan hari jadi ini setiap bulan. Tidak. Aku bukan anak kecil yang mau-maunya merayakan ini tiap bulan. Buat apa? Buang-buang waktu.
Sedang Rara, ia ingin. Baginya, merayakan hubungan setiap bulan akan meningkatkan kecintaan satu sama lain. Bagiku, tidak. Kami bahkan sempat berseteru untuk urusan ini. Kami, bahkan sempat berhenti berkomunikasi selama 3 hari. Selama 3 hari pula Rara menolak telepon dariku, menolak bicara padaku, dan haruslah aku menemuinya, menjelajah Kuningan-Semarang juga untuk menjelaskan dan mendamaikan hatinya.
Minggu besok aku akan ke Semarang lagi untuk mengunjunginya, merayakan hari jadi kami berdua. Beruntung pada hari Kamis kemarin aku baru selesai mengerjakan projek yang lumayan besar, satu buah skripsi manajemen. Harganya pun lumayan, bisa dipakai untuk bolak-balik Kuningan Semarang selama 2-3 bulan.
Sabtu malam aku sempatkan membeli kue brownies kesukaannya. Semoga dengan ini kau bahagia, ya, Ra. Semoga.
***
Minggu 16 Oktober jam 4 pagi, saat di mana kabut masih memeluk Kuningan, aku sudah keluar untuk memanaskan sepeda motorku. Saat itu ibu belum bangun. Sabtu sore ia memang mengeluh sakit lagi, tapi Sabtu sore aku sudah berikan obat. Semoga lekas sembuh, ya, bu.
Tepat pukul 4.30 aku berangkat ke pasar untuk membelikan hadiah untuk Rara.
Satu buah mukenah aku pilih. Mukenah warna putih dengan pinggiran berwarna emas. Cantik. Warnanya cocok dengan tubuh Rara yang putih bersih khas wanita priangan. Walau harus ku akui, mukenah ini memang sedikit besar. Mungkin untuk ukuran ibu-ibu. Tapi tak apa, ku beli saja. Semoga kau suka, ya, Ra!
Selesai dari pasar aku lanjutkan perjalanan ke kota tujuan, Semarang.
Jalanan yang masih gelap membuat kecepatan motor aku pelankan. Takut terjadi apa-apa. Selain takut begal dan rampok, aku juga takut jalanan yang ku lalui mencelakaiku. Maklum. Jalanan mana di Indonesia yang tidak berlubang?
Ku saksikan mata hari terbit setelah sampai di Cirebon timur. Kalau tidak salah, daerah Pangenan. Mendapatkan cahaya dari sang surya, aku pun kencangkan laju sepeda motorku. Ku lajukan dengan sangat kencang. Harapanku, sebelum Rara bangun, aku sudah sampai di depan kostannya, memberinya kejutan.
Saat jam sudah menunjukkan pukul 10.30 aku sudah memasuki daerah Semarang, daerah tujuan. Sebentar lagi Rara aku temui dengan kejutan ini. Ah, Rara, semoga ini bisa membahagiakanmu, ya!
Saat jam sudah menunjukkan pukul 10.50, aku sudah sampai di depan kost Rara, Kost yang tiap minggu aku kunjungi.
Ku coba melepon Rara.
Tak diangkat. Ku coba lagi, hasilnya sama. Beralih dengan cara lain, aku menghubungi Rara melalui whatsapp.
“Ra… bangun, aku sudah di depan kostan kamu, nih!”
“Ra…. Rara….”
“Raraku sayang… keluar dong….”
Pesan pun tak juga memberikan jawaban.
Ah, mungkin dia masih tidur. Biar aku ketuk saja pintu pagarnya, semoga dia bangun. Semoga.
“Permisi… assalamu’alaikum…”
“Permisi…”
“Permisi… assalamu’alaikum…”
Beberapa menit kemudian seorang wanita keluar. Semoga itu Rara. Ku siapkan kejutanku; kueku, juga hadiahku untuk Rara. Saat hendak ku angkat, aku sadar, itu bukan Rara. Itu orang lain, Amel, teman kost Rara.
“Eh, mas Yana, nyari Rara ya mas?”
“Iya, Mel. Raranya ada?”
“Wah, tadi sih bilangnya lagi nyari makan, mas.” Amel membukakan pintu, menyuruhku masih dengan gerakan tangannya, “masuk, mas. Tungguin aja di dalem.”
“Lama nggak ya, Mel?”
“Biasanya sih dia kalau beli makan cepet, mas. Tungguin aja.”
“Nggak apa-apa nih nungguin di dalem? Nggak dimahari ibu kost?”
“Alah, kaya nggak pernah ke sini aja.”
“Hehehe… iya deh. Saya masuk ya.”
Kami masuk. Aku masuk ke ruang tengah dan Amel ke kamarnya. Selang beberapa menit Amel keluar lagi, ia pamit.
“Mas Yana, tungguin di sini aja, ya, saya mau keluar dulu, ada janji sama temen.”
“Nggak apa-apa nih saya sendirian?”
“Kaya nggak biasanya aja ke sini.”
“Iya, sih, tapi nggak sendirian juga. Kan kalau main ke sini sama Rara juga masih ada anak-anak yang lain.” Aku menengkok ke sana kemari, mencari keberadaan anak-anak kost lain. Hasilnya, mereka tak ada. “Ngomong-ngomong yang lain ke mana, kok sepi?”
“Iya, masing-masing lagi ada acara.” Amel kemudian mengecek tasnya, memastikan semua barangnya ada dan tak tertinggi. Beberapa saat kemudian ia benar-benar pamit, pergi. “Ya udah ya mas, aku pamit dulu, temen aku udah nunggu di depan soalnya.”
“Ya udah deh. Tolong kabari Rara aku di sini, ya.”
“Siap, deh. Siap jaga rahasia, mumpung sepi nih, hahaha.”
“Hussttt sembarangan!”
“Hahaha bercanda, mas.” Amel mulai melangkah keluar dan pergi meninggalkanku. “Ya udah aku pamit, ya, mas. Nanti kalau mas sama Rara mau keluar, bilangin ke Rara, kuncinya taro di ventilasi aja, gitu. Ok? Bye.”
“Hati-hati.”
Ya, sekarang, aku sendiri di tempat kost ini. Sendiri. Sendiri menunggu Rara.
Satu, dua, tiga jam aku menunggu Rara. Namun sampai pada jam keempat, Rara belum juga menampakan batang hidungnya. Kemana dia? Dengan siapa dia pergi? Jika hanya membeli makanan, kenapa selama ini? Ah, pikiranku melayang, mengarang.
Ah, sudahlah Yana, mungkin dia Cuma berkumpul dengan temannya, mengerjakan tugas kelompok dan belajar bersama. Atau, mungkin, dia sedang jalan dengan temannya? Teman lelakinya. Siapa ya namanya? Oh ya, Akbar, si akbar. Apa mungkin dia jalan dengan Akbar? Ah, ayolah, masa iya, kan aku akan ke sini hari ini. Sedang apa dia? Sedang melakukan apa dia? Sedang di mana dia? Ah, Tuhan, hentikanlah segala pikiran buruknya; pikiran dengan segala kemungkinan-kemungkinan muncul dan menggenang.
Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore, dan Rara, masih juga tak terlihat dan memberi kabar.
Aku coba menghubunginya kembali dengan telepon. Satu dua kali dicoba, Rara tak mengangkat. Dan pada percobaan ketiga, Teleponku dimatikan. Di percobaan keempat, ponsel Rara, tidak aktif.
Aku masih menunggu di tempat dan ruang sama sejak jam 11 lalu. Di sini aku tak melakukan apa-apa. Tak bisa melakukan apa-apa kecuali menunggu. Mungkin Rara benar-benar pergi dengan Akbar. Jika pun tidak, tiada mungkin hingga sesore ini ia belum juga pulang. Rara bukan begini. Bukan begini kalau sendiri. Rara pasti diajak oleh seseorang hingga sesore ini ia belum juga pulang.
Ra… kamu kemana, aku menunggu di sini.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Langit yang tadinya terang sudah semakin menguning, tanda bahwa sang Raja langit akan turun tahta. Sedang Rara, hingga sesore ini, ia masih juga tak pulang.
Menyerah. Aku pikir lebih baik aku batalkan surprise ini. Ku tinggalkan saja semua barang-barang ini dan ku beri satu lembar surat untuk Rara.
Isi surat itu kurang lebih begini:
“Dear Rara…
Hai gadisku, betapa aku bahagia menantikan saat ini. Saat di mana kita berdua satu tahun lalu mengikat janji, janji untuk saling membersamai, janji untuk saling berkomitmen hingga mati.
Non, aku sudah belikanmu brownies kesukaan, brownies yang waktu itu kau inginkan dan belum sempat aku belikan. Alhamdulillah, aku ada rejeki, aku belikan untukmu, untuk gadisku yang paling ku rindu.
Non, jika kamu berkenan, aku juga membelikan seperangkat mukenah untukmu. Mukenahnya mungkin kebesaran. Tapi entah mengapa, pas aku melihatnya, aku sudah merasa cocok. Ku pikir ini cocok untukmu. Semoga kamu suka. Semoga kamu pakai di setiap solat dan doamu.
Aku membelikannya untuk kau pakai setiap waktu.
Non, kalau kau ingin tahu, aku ingin jadi pria yang hadir dalam setiap doamu. Doa yang kau panjatkan pada Tuhanmu. Jika aku menurutmu kurang baik, doakanlah aku jadi baik. Jika aku menurutmu sudah baik, doakan aku agar jadi lebih baik. Yakinlah, doamu akan membantuku membaik.
Oh ya, Non, kau kan pernah bilang, kau ingin aku memulai tabungan berjangka? Alhamdulillah, bebeberapa hari lalu aku dapat proyek yang lumayan. Uangnya cukup besar. Malah lebih untukku. Rencana, besok, aku akan membuat tabungan berjangka. Aku akan memulai menabung. Aku akan mengamini apa yang menjadi doamu. Dan sekali lagi, doakan aku. Doakan aku agar mampu memenuhi tiap tanggungan dari tabungan itu. Doakan aku agar mampu memenuhi nominal yang diwajibkan dalam tabungan itu.
Doakan aku, Non.
Sudah dulu, ya, aku pamit. Sudah sore. Aku pulang dulu.
Browniesnya di makan. Kalau mau bagi-bagi dengan temen juga nggak apa-apa. Kalau mau dimakan sendiri malah lebih bagus, lebih baik. Kan itung-itung usaha buat naikin berat badan kamu.
Mukenahnya juga dipakai. Jangan sampai enggak.
Sudah dulu, ya, sayang. Aku pamit.
Love you more, Non.”
Selesai. Semua pesan sudah ku tuliskan dalam surat itu. Semuanya. Semoga dengan ini kamu senang, ya, Ra. Semoga. Aku senang melihatmu senang. Aku bahagia melihatmu bahagia. Ra, aku pamit dulu, ya. Aku pulang.
Aku mulai membereskan barang-barangku. Hadiah dan kue untuk Rara ku tinggalkan. Ku tinggalkan besama surat di atas meja.
Saat aku mulai berdiri ada suara mobil yang berhenti. Berhenti tepat di depan rumah kost ini. Ah, mungkin tamu dari tetangga, pikirku. Tak ku hiraukan. Aku lanjutkan keluar rumah kost dengan hati yang pasrah. Saat aku hendak membuka pintu, pintu itu terlebih dulu terbuka. Dan kalian tahu siapa yang membuka pintu itu?
Ya, itu Rara, dan seorang laki-laki seusianya.
“Yana…”
Aku tak menjawab. Diam. Membisu. Aku lihat Rara masuk ke rumah kostnya dengan menggandeng tangan pria asing. Ya, akhirnya, aku melihat gadisku yang selama ini aku perjuangkan, menggandeng pria asing di depanku, depan lelakinya sendiri. Dan bukan hanya itu. Gandengan itu juga sangat erat, tanda bahwa mereka sudah sangat akrab, sangat dekat.
Dan yang paling membuatku sakit adalah, gandengan itu, ya, gandengan itu, membawa mereka berdua masuk ke dalam sebuah rumah kost yang tak berisi selain aku.
“Yana… ka.. ka.. ka.. kamu ngapain di sini?” Rara panik, bingung, kaget, semuanya. “ Kenapa nggak bilang mau ke sini.”
“Aku mau memberimu kejutan.”
“Hah?”
“Ya, kejutan.”
“Maksudmu?”
“Hari ini Anniversary kita yang ke-1. Semoga kau ingat.” Rara tak menjawab. Sesekali ku lihat wajah lelaki itu. Lalu meneruskan. “Di atas meja sudah ada yang kau butuhkan. Semuanya. Di sana juga ada surat. Itu akan memberimu penjelasan selengkap-lengkapnya, seterang-terangnya.”
Rara masih juga tak menjawab. Aku lagi yang meneruskan, “dan ini?” aku mununjuk lelaki itu, meminta Rara untuk mengenalkan.
“Oh, saya Akbar, mas.” Lelaki itu mengenalkan dirinya sendiri. Ia mengangkat tangannya untuk ku jabat. “Mas sendiri?”
“Oh, saya? Saya Yana, tukang ojek Emihnya Rara.” Aku mengenalkan dengan setenang-tenangnya.
“Tukang ojeg?”
“Iya. Tadi saya disuruh ngirim barang sama Emih. Barang untuk Rara.”
“Oh…”
“Ya udah, Ra, bro, saya pamit dulu. Takut ganggu.” Aku melangkah menjauhi mereka. Saat ku naiki sepeda motorku, baru aku tahu, Rara tidak sama sekali bergerak. Bicara pun tidak. Bahkan sampai aku pamit pun, ia tidak bersuara. Baru saat aku menyalakan mesin motor Rara bersuara.
“A…” Rara memanggil. Tapi hanya A. Ku anggap itu untuk Akbar, bukan untukku. Mana mungkin Rara memanggil kurir dan tukang ojeg sepertiku.
Aku pun pulang, tanpa perayaan yang ku inginkan.
Jangan tanyakan perasaanku saat itu. Jangan. Tak perlu menanyakan. Kalian semua pasti tahu, mengerti.
Jika kalian tanya mengapa aku tak marah? Aku marah. Marah besar. Hanya aku tahan. Aku redam. Aku hanya tak mau Rara sakit. Aku hanya tak mau Rara menangis karena amarahku, kebodohanku.
Ya, aku tak mau.
Perjalanan Semarang-Kuningan pun ku lalui dengan sangat pelan. Dan, ya, baru kali ini aku menikmati perjalanan pulang. Sayang. Kenikmatan ini bukan mengenai kebahagiaan. Justru sebaliknya, kekecewaan.
Perjalananku sudah sampai pada jam ke-2. Langit malam juga sudah bergemintang. Sesampainya di Pemalang aku buka ponselku. Semuanya notifikasi dari perempuanku, Nona Rara Tirta Ayudia, orang yang tadi melukaiku. SMS, telepon, whatsapp, semuanya dari Rara. Totalnya hampir 100.
Ku tepikan sepeda motorku di sebuah lahan kosong bekas sawah. Aku buka ponselku, ku bacai pesan Rara satu-satu. Dan, benar, sudah ku duga. Hanya permintaan maaf dan janji untuk tak mengulangi lagi. Dan semua penjelasan, permintaan maaf, serta janjinya itu, ku jawab begini, melalui whatsapp.
“Ya, Ra.”
Beberapa menit kemudian Rara menjawab. Diawali emoticon tangis, peluk, tangis lagi, kemudian penjelasan. Isi penjelasannya sama; bahwa dia hanya main ke luar dan mengajak Akbar ke kostan karena kelelahan. Penjelasan itu pun ditutup dengan anjurannya agar aku tak berpikir apapun atas kejadian itu.
Baik, aku mengerti. Tapi mengapa itu dilakukan saat aku masih jadi lelakimu, Ra?
Rara kemudian menjawab. Jawabannya panjang.
“aku minta maaf, A. Tapi di sini aku kesepian. Nggak ada yang mau nemenin. Kamu juga sibuk. Boro-boro mau nelepon aku, ngehibur aku, ngejagain aku. Kamu mah kerjaaaaaannnn terus yang diurusin. Aku nggak diperhatiin.”
“Aku sudah hubungin kamu semingu terakhir. Ku telepon, kamu nggak angkat. Ku whatsapp, kamu nggak balas. Jika jalur komunikasiku denganmu saja begitu, bagaimana aku bisa menghiburmu, menemanimu?”
“Iya… maaf, seminggu itu ponselku ketinggalan di mobilnya Akbar, mau hubungin dia susah, nggak hafal nomornya.” Beberapa detik kemudian ia juga menjelaskan, “tadi pagi Akbar ke kostan, nganterin HP aku.”
“Terus kamu pergi bareng dia?”
“Iya, katanya dia mau ngajak aku jalan, mau nemenin aku.”
“Terus aku ditinggalin, gitu?”
“Kan kamu nggak bilang kalau mau ke sini.”
“Kalau aku bilang kamu bakal nolak ajakan Akbar?”
“Iyalah. Aku pilih kamu.” Sedikit lega. Tapi beberapa saat kemudian kembali sesak. Bahkan yang paling membuat sesak. “Tapi nanti sama Akbarnya lain hari aja, ya. Kan lumayan ada yang ngehibur di lain hari.”
“Oh, jadi dia bisa ngehibur kamu, ngejagain kamu?”
“Iya.”
“Aku?”
“Kan kamu jauh A.”
“Jadi kalau ada yang lebih dekat, kamu pilih yang dekat?”
“Iya.”
“Sejak kapan kamu begini?”
“A….”
“Sejak kapan kamu begini?”
"Udah dong A, jangan marah-marah terus.”
“Sejak kapan kamu begini?”
“Udah deuh, marah-marah terus, tuh.”
“Sejak kapan kamu begini?”
“Apaan sih.”
“Sejak kapan kamu begini?”
“Tahu deuh.”
“Sejak kapan kamu begini?”
“Tahu ah, pusing, kalian sama aja!”
Dan itu pesan terakhirnya di hari itu. Setelah pesan itu, pesanku kembali tak terkirim. Teleponku juga tak lagi dibalas. Malam itu aku terpukul. Sangat terpukul. Betapa wanita yang sedari dulu ku perjuangkan malah perlakukanku seperti ini.
Aku melanjutkan perjalanan kembali. Perjalanan yang masih panjang, dan dada yang sakit bak dirajam.
Aku mengendarai sepeda motor dengan tanpa konsentrasi. Jalanan yang gelap dan aspal yang berlubang memperparah jalan pulangku. Pikiranku melayang, konsentrasiku terbang. Aku tak di tubuhku kala itu.
Setelah melewati Pemalang jalanan sudah sangat sepi, hanya bekas-bekas sawah dan kebun tak berpenghuni. Rumah-rumah pun jarang. Sementara pikiranku masih juga melayang. Beberapa lubang sempat menyadarkanku. Motor yang sedikit oleh membuat kesadaranku kembali. Tapi itu tak lama. Setelah itu, kesadaranku, terbang lagi. Hingga pada akhirnya seluruh kesadaranku berkumpul kembali. Kalian tahu itu saat apa? Ya, saat sepeda motorku benar-benar oleng dan terjatuh di jalanan sepi tak berpenghuni.
Tanganku berdarah saat itu. Pun dengan kakiku. Sweater rajut pemberian ibuku pun rusak, terkoyak.
Selepas jatuh aku tak langsung berdiri. Aku hanya bisa duduk merasakan nyeri di tangan, kaki, juga hati. Sepeda motorku pun tak ku angkat kembali. Ku biarkan tersungkur dan terbalik. Mungkin ia telah rusak. Mungkin juga tak bisa dinyalakan lagi. Entahlah. Aku tahu tahu. Yang jelas Tuhan telah memberikan hadiah selengkap ini.
Aku yang masih merasa sakit di sekujur kaki mencoba bangun, berdiri. Belum sempat berdiri, sepasang lampu mobil menyoroti dengan kecepatan tinggi, semakin dekat sinarnya semakin menerangi, menusuki diri.
Bagian 4
4
Mobil MPV itu tepat berada di depanku, hampir menabrakku. Kalau saja mobil ini tidak dilengkapi dengan rem, kakiku mungkin batah, hancur, rusak. Pun dengan masa depanku yang selalu bertumpu padanya.
Mobil itu terdiam dengan mesin yang masih menyala. Tidak biasanya sebuah mobil yang hampir menabrak seseorang berlaku seperti itu. Aneh.
Aku sendiri tidak melihat siapa yang ada di dalam mobil. Jalanan gelap yang tak diterangi lampu membuat pandanganku tak mampu menusuk hingga interior mobil. Selain itu pengemudi juga tak menyalakan lampu interiornya. Entah karena sengaja untuk menutupi identitas atau apa, aku tak tahu. Yang ku tahu aku hampir tertabrak olehnya.
Selang beberapa menit pengendara mobil itu keluar, iya memanggil.
“Yana… dek.”
Sesosok perempuan keluar dengan manggil namaku, Yana. Ya. Iya kenal namaku. Darimana dia kenal namaku? Siapa dia? Apa urusannya denganku? Ah. Persetan dengan itu semua. Nasibku lebih buruk dari hanya memikirkan segala kemungkinan dan praduga yang bodoh itu.
Perempuan itu berjalan mendekat. Kian mendekat. Pancaran sinar lampu dari mobilnya membentuk bayangan tubuhnya, menyinari badannya dan, ah, bukankah itu, teh Rere?
“Yana, kamu habis ngapain dek? Kok bisa ada di sini?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Biarlah. Masa lalu membuat mulutku membisu sesaat. Membisu untuknya.
“Yana… kamu ngapain di sini de? Kamu jatuh?”
“Apa peduli teteh sama aku?”
Raut wajahnya berubah setelah ku tunjukan sikap dingin, kaku, dan ketus. Entah dia sedih atau terpukul. Yang jelas, air mukanya benar-benar berubah. Kesan kecewa dan sedih benar-benar nampak dari goresan wajahnya.
“Aku ini tetehmu, kakak kandungmu.”
“Kakak kandung? Anak dari ibu dan bapak?”
“Iya.”
“Kalau teteh masih anggap mereka ibu dan bapak, kenapa teteh selama ini? Kemana teteh dengan lelaki itu?”
“Kamu luka. Teteh takut lukamu infeksi. Lebih baik kita ke rumah. Teteh punya rumah di sekitar sini.”
“Teteh belum jawab pertanyaanku.”
“Teteh akan jawab setelah ikut teteh ke rumah.”
Aku memandangani dari atas hingga bawah kakinya. Sangat berubah. Sangat berbeda. Ia sudah tak lagi kenali sebagai teh Rere, Rere Novita, kakak kandungku.
“Masuklah ke mobil. Sepeda motormu akan dibawa supirku.”
“Bukan punyaku. Punya bapak.”
“Pak Mardi.” Seseorang keluar dari dalam mobil. Usianya cukup tua. Rambutnya sudah mulai beruban. Namun biar begitu, badannya cukup berisi. Mungkin tanda kalau hidupnya enak bersama teh Rere. “Nanti mobil saya yang bawa. Kamu bawa motor adik saya ke rumah.”
“Baik, bu. Untuk STNK dan kuncinya?”
“Kasikan, dek. Lalu naiklah ke mobil. Kita ke rumah.”
Aku menurutinya. Kunaiki mobil itu dengan tanpa suara. Bisu. Dingin. Ku biarkan begitu agar ia tahu bahwa aku masih sangat kecewa dengannya. Tak berbeda dengan teh Rere. Dia yang melihatku dingin dan bisu justru ikut-ikutan diam. Entah karena tak enak atau tak berani memulai pembicaraan. Hingga akhirnya sebuah lubang membuat kami buka mulut.
“Ah, sial. Kenapa pemerintah nggak benerin jalan ini. Lubang semua.”
“Bukan Cuma lubang, tapi gelap. Beberapa malah mirip kolam ikan.”
“Kok kamu tahu, dek.”
“Sering lewat sini.”
“Ngapain?”
“Berjuang.”
“Maksudnya?”
Tak ku jawab. Ku biarkan mulut ini kembali terdiam.
Mobil yang kami tumpangi akhirnya masuk ke perkotaan Pemalang. Berbeda dengan jalanan tadi. Jalanan ini sudah benar-benar dipenuhi lampu dan gemerlap bangunan. Sangat berbeda dengan jalanan yang membuatku terjatuh tadi.
Mobil akhirnya memasuki sebuah perumahan. Perumahan itu diisi oleh rumah-rumah yang lumayan besar, gedong.
Tapi, apa mungkin teh Rere tinggal di sini? Bagaimana bisa? Kemana suaminya? Eh, maksudnya, pacarnya. Eh, entahlah. Entah pacar atau bukan. Yang jelas, dialah yang membuat kakak kandungku memilih pergi dan meninggalkan keluarganya di Kuningan.
Mobil itu akhirnya berhenti di depan rumah besar dengan pagar yang cukup tinggi. Di depan mobil sudah ada satpam yang membukakan gerbang.
“Pak, jangan ditutup dulu. Ada pak Mardi yang bawa motor.
“Baik, bu.”
Setelah mobil parkir di depan garasi, kami pun turun. Setelah aku turun dari mobil aku hanya terdiam di samping mobil, perperanga. Mobil sebagus ini, rumah se mewah ini, dari mana kakakku dapat? Apa dia dan pasangannya sukses? Apa usaha mereka? Apa pekerjaan pasangannya? Mengapa setelah jadi begini ia belum juga pulang ke rumah? Kenapa?
“Ayo masuk, dek.”
Aku berhenti dari lamunanku, mencoba tenang, lalu ku langkahkan kaki memasuki rumah itu.
“Hari sudah malam begini. Kau tinggallah dulu barang beberapa hari.”
“Tak mau mengkhawatirkan ibu.”
“Kau teleponlah dia. Minta izin.”
“Minta izin untuk apa?”
“Ya, menginap di sini.”
“Aku lebih suka kalau teteh yang izin.”
“Kita akan benar-benar putus hubungan kalau aku yang meminta izin ke ibu.”
“Siapa yang menjamin?”
“Aku.”
“Dari mana teteh tahu.”
“Aku lebih tahu ibu daripada kamu.”
“Dan aku lebih lama hidup bersama ibu dibanding teteh.”
“Kamu nggak paham, dek.”
“Aku mahasiswa, terpelajar. Ketidakmengertian dalam suatu hal adalah sesuatu yang harus dituntaskan, bukan malah jadi alasan.”
“Bicaramu sudah kaya dosen.”
“Aku lebih tahu dosen daripada teteh.”
“Sudahlah. Lekaslah mandi. Ayo ikut aku.” Ia mengantarkanku pada sebuah kamar. Kamar yang berada di lantai dua dengan pintu yang lebarnya 2 kali pintu biasa. “ini kamarmu. Mandilah. Di dalam ada kamar mandi.”
“Aku tak punya baju ganti kalau mandi. Aku tak usah mandi saja.”
“Ada. Mandilah. Nanti kusiapkan baju untukmu.”
Lagi dan lagi. Di sini aku seperti anak kecil yang diasuh oleh pengasuhku sendiri. Tak ada pilihan lain selain menurut. Yah, mau bagaimana lagi. Toh di sini aku hanya sekedar numpang.
Belum sempat aku membuka pintu pak Mardi mendatangi kami.
“Bu, ini kuncinya.” Pak Mardi memberikan kunci itu dan sedikit memberi penjelasan. “Tadi kemudi motornya agak bengkok. Knalpotnya juga hampir copot. Pas saya cek di garasi ternyata ada baut yang hilang. Kedua bannya juga benar-benar gundul. Remnya pun jauh, agak blong. Mungkin alasan kenapa mas-masnya jatuh tadi.”
“Bukan mas-mas. Ini Yana, adikku, pak.”
“Oh… mohon maaf, bu.” Pak Mardi kemudian memberi penawaran, “kalau memang ibu mau, saya bisa bawa motor ini ke bengkel besok. Kalau dipaksakan dibawa dengan keadaan kaya gitu, saya takut mas Yana kenapa-kenapa nantinya.”
“Kau dengar sendiri, dek?”
“Berapa lama service-nya pak?”
“Tergantung, mas. Tergantung bengkel dan kerusakan. Tapi kalau mas mau benerin semuanya bisa 1 hari penuh. Bahkan 2 hari kalau bengkelnya lagi padet-padetnya.”
“Ya udah, pak, makasih. Nanti saya kasih tahu kalau memang harus dibawa ke bengkel.” Pak Mardi memohon diri, dan teh Rere beralih berpesan padaku, “Kau dengar sendiri, dek. Motormu sudah rusak. Nggak baik dibawa pulang. Bahaya.”
“Pulang pun nggak masalah, teh. Saya laki-laki.”
“Laki-laki pun kalau jatuh pasti terluka.”
“Aku sudah jatuh berkali-kali, dan bangkit berkali-kali pula.”
“Ah, kau ini. Sudah, mandi sana. Sabun dan perlengkapan lainnya sudah ada. Setelah kau mandi kan ku antarkan pakaian untukmu.”
Aku menuruti. Aku memasuki kamar dan langsung ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi aku tetap berada di kamar, menunggu teh Rere datang. Setelah sekian menit menunggu teh Rere akhirnya datang juga. Ia membawakanku beberapa pakaian. Entah milik siapa. Tapi yang jelas pakaian ini cukup mahal. Itu terlihat dari merknya yang seluruhnya tersohor.
“Ini ada beberapa pakaian, kamu pakailah.”
“Punya siapa?”
“Pakai saja. Ini buat kamu.”
Aku mengambil pakaian itu. Sedang teh Rere, dia masih saja berdiri dan berdiam di depanku tanpa beranjak sedikit pun.
“Bagaimana aku ganti baju kalau teteh nggak pergi?”
“Oh, hehehehe, maaf.” Ia mulai beranjak dari tempatnya berdiri tadi. Beberapa langkah kemudian ia berhenti dan berbalik padaku, “Nanti kalau udah selesai temuin teteh di bawah yah, nanti kita makan bareng.”
“Aku nggak lapar.”
“Aku sudah masak banyak.”
“Baiklah. Buatmu.”
“Nah, gitu dong, itu baru adik teteh.”
Aku yang sudah mengganti baju akhirnya keluar kamar untuk menemui teh Rere. Tapi, aku harus temui dia di mana? Rumah sebesar ini?
“Sini, dek. Di bawah.” Ia meneriakiku dari ruang keluarga di bawah.
“Ya…”
Beberapa saat ia memandangaiku menuruni tangka. Bak putri kecantikan aku diperlakukannya. Ah, sial. Wanita ini tahu betul bagaimana membuatku salah tingkah.
“Kau sudah segagah ini, ya, dek. Lihat, janggutmu juga sudah tumbuh, lebat.” Ia berdiri tepat di depan tangga, melihatku, menyapu pandang dari atas tubuh hingga ujung kaki, “ayo kita makan.”
Aku mengikutinya dari belakang. Dirinya kini sudah berubah, sudah tak lagi menggunakan kerudung. Pakaiannya pun sudah berubah. Bukan lagi tertutup dan tebal. Sekarang, tepat di depan adik kandungnya ini, pakaiannya justru dipilih yang tipis dan kekurangan bahan.
Ah, untungnya dia kakakku. Mustahil aku berpikir macam-macam.
Kami pun duduk di meja makan berdua. Seluruh masakan sudah dihidangkan. Pun dengan minuman dan buah-buahan yang siap disantap.
Teh Rere menyiapkan piring untukku. Beberapa lauk dipilihnya. Porsi yang disiapkannya itu tidak terlalu besar, malah terkesan sedikit. Kalau aku perkirakan, kurang lebih tak sampai setengah porsi makanku yang biasa. Tapi tak apalah. Toh aku juga numpang sebentar di sini.
“Kemana mas Sandy, teh?”
“Nggak ada.”
“Kemana?”
“Pergi.”
“Teteh di sini sendiri?”
“Nggak. Kan ada supir, satpam sama pembantuku.” Setelah menyiapkan makananku, ia kemudian menyiapkan makanan untuk dirinya sendiri. “toh sekarang juga sudah ada kamu di sini nemenin teteh.”
“Lantas, darimana semua rumah dan barang-barang ini? Teteh usaha apa?”
“Bukan punya teteh. Temen mas Sandy yang kasih.”
“Mas Sandynya?”
“Pergi.”
“Kemana?”
“Panjang ceritanya.”
“Sekarang belum terlalu larut. Makanan ini juga masih banyak, masih cukup untuk menemani kita tukar cerita.”
“Yakin kamu mau dengar?”
“Nggak ada yang lain.”
Setelah aku meyakinkannya, dia akhirnya mulai bercerita. Cerita yang sangat panjang. Kurang lebih isinya begini.
Setelah dia ketemu dengan mas Sandy, teh Rere mulai naksir sama dia. Dia mulai jatuh cinta. Wajar. Saat itu usia dia baru menginjak umur 18 tahun. Di usia yang belum lulus SMA itu teh Rere sudah benar-benar tergila-gila dengan mas Sandy yang notabene berusia 15 tahun lebih tua daripadanya. Singkat cerita akhirnya mas Sandy memberanikan diri untuk melamar teh Rere. Namun aral melintang, bapak tidak mengizinkan keduanya menikah. Alasannya karena teh Rere belum lulus SMA.
Karena kecewa dan malu, mas Sandy akhirnya menghilang. Ia tak bertemu lagi dengan teh Rere. Pun dengan teh Rere. Ia pun menghilang beberapa hari setelah penolakan lamaran itu.
Teh Rere yang nekat mencari mas Sandy akhirnya bertemu di Pemalang. Saat itu mas Sandy sedang bekerja sebagai arsitek di sebuah perumahan mewah di daerah itu. Teh Rere yang tak memiliki tempat tinggal akhirnya ikut dengan lelaki yang dicintainya itu. Mereka akhirnya tinggal satu rumah, tanpa menikah.
Pekerjaan dan karir mas Sandy semakin hari semakin baik. Kesuksesannya mencapai puncak tatkala memiliki sebuah perusahaan di bidang desain dan arsitektur.
Mas Sandy sendiri tak punya keluarga. Selain teh Rere, ia tak sama sekali memiliki sandaran untuk semua lelahnya. Hingga beberapa bulan kemudian teh Rere diikutkan sekolah paket C. Ia lulus. Mas Sandy kemudian mendaftarkan teh Rere ke salah satu perguruan tinggi di daerah Semarang. Saat itu mas Sandy sendiri yang mengantar-jemput teh Rere dari Semarang ke Pemalang. Hingga akhirnya teh Rere lulus, mas Sandy mempercayakan beberapa proyek pada kakak kandungku. Menurutnya, teh Rere cukup bagus dalam urusan rancang merancang. Desainnya juga rapi, cantik, juga unik.
Perusahaan yang dirintih mas Sandy semakin hari semakin besar. Hingga pada akhirnya perusahaan itu membutuhkan karyawan.
Ada beberapa karyawan yang masuk. Hampir seluruhnya adalah perempuan.
Beberapa tahun 2 tahun setelah mengawali bisnis akhirnya mas Sandy dan Rere bisa membeli rumah di tempat yang ditinggalinya sekarang.
Perusahaan mereka semakin berkembang. Beberapa investor akhirnya datang untuk memberi modal. Mas Sandy semakin hari semakin sibuk, semakin tak punya waktu untuk teh Rere. Sadar dengan pekerjaan pasangannya, teh Rere pun hanya bisa pasrah dan menerima. Ia pun memilih menyibukkan diri dengan segala pekerjaannya.
Hingga pada suatu saat mas Sandy akhirnya terpincut dengan salah satu karyawan di perusahaan mereka. Karyawan yang juga diinterview langsung oleh teh Rere.
Memang. Kata teh Rere, karyawan itu jauh lebih cantik daripada dirinya. Badannya juga bagus, molek. Sempat beberapa kali juga keluar masuk rumah mereka di depan mata teh Rere sendiri. Sedih, kecewa, namun tak ada pilihan lain selain hanya pasrah. Hubungan tanpa ikatan mereka memaksa teh Rere untuk diam dan tak bertindak. Percuma juga untuk marah dan melabrak. Statusnya bukan siapa-siapa. Istri, bukan. Pacar pun tak pernah ditembak. Kurang lebih dia hanya wanita bodoh yang memilih pergi dari orang tua dan tidur satu rumah bersama lelaki yang dipilihnya.
Pada suatu waktu teh Rere yang pulang dari kantor melihat mas Sandy sedang bertiga dengan karyawan perempuannya.
Marah, kecewa, teh Rere akhirnya mengusir semua wanita-wanita tersebut. Ia akhirnya menanyakan status dirinya pada mas Sandy. Tapi lelaki itu tidak menjawab. Ia memilih dia dan membisu. Teh Rere yang kesal akhirnya memilih pergi ke kantor dan menetap sementara waktu di sana.
Setelah kejadian itu kondisi kantor semakin tak terkendali. Mas Sandy pergi entah kemana arahnya. Semua pekerjaan kantor berantakan. Karyawan yang waktu itu teh Rere dapati pun tak lagi menunjukkan batang hidungnya.
Teh Rere yang bingung akhirnya menunjuk mas Panji untuk membantunya memperbaiki kantor.
Beruntung. Mas Panji adalah karyawan terbaik di kantor itu. Prestasinya yang memuaskan membuatnya diangkat menjadi general manajer di kantor itu menggantikan teh Rere. Sedang teh Rere, ia menjabat sebagai direktur utama, menggantikan mas Sandy yang tak tahu rimbanya.
“Lalu rumah itu milik siapa? Atas nama siapa?”
“Teteh.”
“Kok bisa?”
“Mas Sandy dulu janji untuk nikahin teteh. Sebagai jaminannya, saat membeli rumah ini, dia menggunakan nama teteh sebagai nama pemilik.”
“Mobil itu?”
“Teteh juga.”
‘Sudah seperti ini, kenapa teteh nggak pulang ke Kuningan untuk sekedar menengok ibu?”
“Ibu dan bapak.”
“Ibu saja. Bapak sudah meninggal.”
“Kenapa nggak kasih tahu teteh?”
“Kasih tahu kemana? Teteh nggak ngasih telepon atau petunjuk sama sekali. Sedang mas Sandy? Siapa dia? Dia sama sekali nggak punya kerabat di Kuningan. Orang yang kenal dia pun nggak ada. Kemana kami harus mencarinya?”
Teh Rere Cuma terdiam, menunduk.
“Kalau teteh tahu, bapak selalu nunggu teteh pas lebaran. Beliau juga belikan teteh baju baru setiap menjelang lebaran. Baju itu selalu digantung di lemari teteh. Sekarang nggak tahu udah berapa banyak bapak beliin baju buat teteh. Semua baju yang bapak beliin ada di lemari. Kata bapak, baju ini untuk teh Rere, kalau nanti lebaran dia pulang.”
“Kalau teteh tahu, bapak juga pernah minjem uang buat Cuma beli baju teteh; baju yag nggak pernah teteh pakai karena nggak pernah pulang. Bapak minjem ke Mang Asep. Teteh tahu kalau minjem ke mang Asep itu resikonya apa? Bunga teh. Bapak malah sampai kerja sampai malam buat bayar mang Asep. Kadang kalau dipikir kasian sama bapak. Beberapa hari menjelang kematiannya, bapak selalu nunggu di depan rumah. Padahal waktu itu kondisi badan bapak lumayan lemah. Tapi bapak kekeh. Mungkin nungguin teteh pulang. Kata bapak, beliau pengen jadi yang pertama nyambut teteh, nyium teteh, dan meluk teteh kalau pulang. Tapi sampai di hari terakhirnya, teteh masih juga belum pulang.”
“Tak berbeda dengan bapak. Ibu juga masih rindu sama teteh. Ibu sampai-sampai ikut nungguin teteh di depan rumah, sekalian ngejaga bapak. Sempat aku ikut nunggu di ruang depan. Nggak sengaja aku dengar omongan mereka. Kata mereka, bapak dan ibu udah maafin teteh. Bapak dan ibu nungguin teteh pulang, nungguin cucu, nungguin anak dari teteh. Aku juga sering liat kalau abis nungguin teteh, mereka berdua langsung masuk kamar mandi buat wudhu, mereka solat hajat untuk teteh, doain teteh biar selamat dan sukses di sini.”
Wajah teh Rere semakin lama semakin terbenam. Wajahnya menghilang di balik tunduknya.
“Teh, kalau teteh tahu, di hari terakhir bapak mau pergi, bapak bisikin aku buat sampein maaf ke teteh. Bapak sayang sama teteh. Bapak rindu sama teteh. Di hari itu juga, aku mencetak foto teteh. Aku kasih ke bapak. Teteh tahu apa yang bapak lakuin? Iya, teh, sama seperti seorang bapak yang rindu sama putrinya. Foto teteh dipeluk bapak erat. Air mata bapak juga pecah saat itu. Tapi pas itu bapak udah nggak bisa nangis. Mulut bapak kaku. Cuma air mata yang bisa gambarin kalau bapak bener-bener pengen liat teteh pas itu juga.”
Tangis teh Rere pecah. Pipinya basah dengan air mata yang mengalir dari matanya.
Aku memeluknya, menenangkannya.
“Sudah, teh. Semua udah terjadi. Kita sekarang hanya bisa mendoakan.” Perlahan pelukanku dibalasnya. Erat. Sangat erat. Itu cukup menggambarkan bahwa teh Rere pun sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya. “Teh, aku yakin, bapak ikut seneng dengan ketemunya kita.”
“Aku anak yang durhaka, dek.”
“Ssstttt… jangan bilang begitu. Nggak ada anak durhaka yang begitu dirindukan orang tuanya.”
Aku tahu, semua ini akan sulit untuk diterima olehnya. Teh Rere, dengan segala keputusan bodohnya, akan sulit menerima semua berita ini. Berita dariku. Kehidupannya di sini pun tak bisa dibilang mudah. Perjuangannya gigih. Semangatnya tak kenal duri. Bahkan hingga tujuannya menghilang pun ia bertahan. Memilih tinggal walau takdir tak memberi dia kejelasan.
“Teh, bapak udah tenang di sana. Bapak udah bahagia lihat kita ketemu kaya gini. Besok teteh pulang, ya, bareng aku. Nanti ku anter ke ibu. Kita makan masakan ibu lagi. Teteh nggak kangen sama masakan ibu?”
Tagis teh Rere pun makin lama makin pecah. Seluruh wajahnya kini basah terbasuh air mata penyesalan.
Aku yang tak tega dengan kondisi ini akhir membawa teh Rere ke kamar yang tadi aku masuki. Teh Rere pasrah, langkahnya mengikuti langkahku. Di kamar yang cukup besar ini aku menenangkan teh Rere. Tangisnya masih stagnan, tak juga ada indikasi untuk berhenti. Peluknya makin kencang, makin kentara kalau dia benar-benar menyesal atas pilihannya selama ini.
“Teteh anak baik. Teteh udah memilih jalan teteh sendiri. Teteh nggak usah nyesel. Kita jalani aja apa yang ada.”
Tangis teh Rere masih juga belum mereda hingga hampir 1 jam. Dari balik pintu muncul seorang ibu-ibu setengah baya yang menanyakan status makanan yang di meja. Karena sudah tak ku makan, dan teh Rere pun sudah kepalang begini, ku putuskan untuk dibereskan saja makanan-makanan tadi. Ibu-ibu itu pun mengiyakan.
“Teh, bapak itu sayang sama kita, anak-anaknya. Seburuk-buruknya pilihan teteh, bapak tetep maafin teteh, tetep nungguin teteh pulang.” Aku mencoba menenangkan teh Rere dengan mengelus-elus rambutnya yang terurai dan lurus. “Bapak sayang sama teteh. Teteh anak kesayangan bapak. Teteh jangan sedih lagi. Bapak udah bahagia di sana. Bapak udah tersenyum di sana. Bapak tersenyum bahagia melihat kita ketemu kaya gini.”
Hampir mendekati jam 1 malam. Teh Rere masih juga menangis tersedu dan menyesal. Sementara aku, aku hanya memeluknya erat, memegangi kepalanya dan mengelus rambutnya sesekali waktu.
Saat bapak masih ada, dan setelah teteh pergi, bapak banyak cerita soal teh Rere. Kata bapak, teh Rere memang senang dipeluk dan dielus kepalanya seperti yang ku lakukan padanya sekarang. Harapanku, dengan begitu, teh Rere jadi lebih tenang, tangisnya berangsur hilang dan kesedihannya berangsur padam. Dan bodohnya, cara ini justru menambah tangisnya, membuatnya lebih mengingat bapak.
“Kau mirip bapak, Yana. Cara bicaramu. Cara menenangkan tangisku. Kau mirip bapak.”
“Sengaja. Agar teteh lebih nyaman, lebih tenang. Kalau memang dengan memelukku teteh bisa tenang, peluklah. Peluklah erat. Kalau memang dengan tangan ini teteh merasa nyaman, biarkanlah begini. Biarkan tangan ini mengelus kepala teteh sampai tenang, sampai nyaman.”
Benar. Teh Rere mendekapku erat, kencang. Peluknya benar-benar membuat tak ada cela antara badanku dan badannya. Benar-benar dekat. Benar-benar rapat. Andai aku adalah bapak, betapa bahagia kakakku ini. Tanganku kembali diarahkannya ke kepala, perintah agar aku mengelus kepalanya, sama seperti yang bapak lakukan dulu. Dan aku menurutinya. Menuruti untuk buatnya bahagia.
Tanpa tersadar aku bersenandung seperti bapak. Senandung yang selalu bapak bawakan saat hendak menidurkan aku dan teh Rere saat kecil dulu, senanti yang selalu bapak nyanyikan saat menunggu teh Rere di depan rumah, senandung yang pasti sangat dirindukan teh Rere saat ini.
“Dek, terus kaya gini sampai teteh tidur, ya. Teteh rindu bapak.” Pesan teh Rere sebelum akhirnya dia mencium pipiku perlahan. Ciuman yang sama dengan ibu saat itu. Ciuman yang menandakan betapa dia sangat merindukan sosok keluarga dalam hidupnya yang sekarang.
Aku tak menjawab apa yang dipesankannya padaku. Aku terus bersenandung seperti bapak. Aku terus memeluk teh Rere dengan pelukan ternyaman. Dan aku terus membelai kepalanya hingga kami semua tertidur di satu ranjang yang sama malam itu.
***
Senin 17 Oktober 2016 pukul 5.30 pagi. Matahari tak langsung menampakan diri. Sinarnya masih sembunyi di antara mega yang menyelimuti angkasa. Sementara aku; aku masih setengah sadar saat itu. Tak kudapai teh Rere diranjang saat itu. Ia tak ada, menghilang. Tapi biarlah. Toh ini rumahnya. Bukankah seorang nyonya besar takkan tersasar di rumahnya sendiri?
Ku rapihkan tempat tidur. Sebenarnya tak begitu berantakan, hanya sekedar memantaskan. Kan di sini aku adalah tamu. Walau sebenarnya dilayani, hati rasanya tak enak bila terus menerus merepoti.
Selepas merapihkan tempat tidur aku berniat untuk berjalan-jalan, mengitari seiri rumah. Belum genap 7 langkah dari pintu kamarku, kudapati sebuah tangga menuju lantai berikutnya. Penasaran, aku akhirnya mengikuti tangga tersebut hingga ku temukan sebuah rooftop yang cukup luas. Di sana ku temukan teh Rere yang sedang duduk melamuni sesuatu. Mungkin bapak. Mungkin ibu. Atau mas Sandy.
“Apa yang harus dilamuni perempuan sesukses teteh?”
“Hei, kamu sudah bangun, dek?”
“Teteh yang nggak bangunin aku.” Saat mendekatinya, ku lihat ia sedang memegang ponsel. Ponsel yang mahal tentunya. Dan, ah, baru aku ingat; ponselku sedari malam tadi mati. Apa kabar ibu? Oh, Tuhan. “Teh boleh minjem charger enggak, aku lupa ngabarin ibu?”
“Dari semalam?”
“Iya. Ponselku mati soalnya.”
“Astaga. Ibu pasti khawatir banget, de.”
“Iya, kak. Kelupaan.”
“Ya udah nih, coba yang ini, cocok nggak?” teh Rere menyodorkan sebuah charger miliknya padaku. “di ujung sana ada colokan, kamu pakai aja. Nyalain ponsel kamu, terus telepon ibu sekarang.”
“Iya, teh.”
Aku berjalan mendekati teh Rere, mengambil charger itu, dan diteruskan dengan nge-charge ponselku di tempat yang sudah ditunjukan. Beberapa saat kemudian aku nyalakan ponselku, juga data internetku. Dan, ah, benar saja. Pesan dari ibu sudah sampai 23. Ah… Yana, bodoh sekali kau ini.
“Teh, ibu nanyain posisiku lagi di mana, sekarang harus ku jawab apa?”
“Begitu doang nanya? Duh, percuma kamu kuliah kalau gitu.”
“Ye… malah bawa-bawa kuliah.”
Aku membalas ibu. Ku jawab; aku sedang di rumah salah seorang yang ibu kenal, ibu sayang. Doain. Biar aku bisa bawa pulang dia, ya, bu.
“Teh, aku jawab begini.” Sembari ku tunjukan pesan yang ku tunjukan untuk ibu padanya, “berarti teteh harus pulang kalau aku udah ngomong kaya gini.”
“Yana…” teh Rere pun berteriak sebal. “Kamu mah nggak koordinasi dulu kalau apa-apa.”
“Ye… tadi pas ditanya malah jawabnya bawa-bawa kuliah. Udah aku jawab gini malah bilangnya nggak kordinasi, gimana sih teteh ini.”
“Ya tapi kan…”
“Ibu udah rindu sama teteh. Pulanglah.”
“Aku nggak mau jadi omongan orang. Kasian sama ibu.”
“Halah, persetan sama orang. Emang orang-orang ngasih makan kita? Ngasih kita duit? Da orang mah Cuma bisa ngomongin doang.”
“Alah, kamu ini.”
“Lah, emang bener, kan?”
“Terserahlah…”
“Jadi kapan pulang?”
“Secepatnya”
“Berarti hari ini.”
“Eh lama-lama kamu ngeselin, ya, Yana.” Teh Rere yang sudah gemas sedari tadi mencubit pipiku, ditariknya kepala ke dalam perutnya, mendekati ketiaknya. “Awas kamu, deuh….”
“Dih dih dih, apaan, bau ih. Orang belum mandi juga.”
“Bodo amat.”
Kami pun tertawa bersama, tertawa yang lepas, tertawa yang setelah sekian lama tertundu karena berpisah. Teteh masih saja memelukku, menciumiku seperti anak kecil. Rindu katanya. Rindu seorang kakak perempuan pada adik laki-lakinya. Pun denganku yang juga rindu. Tak ku ciumi dia, hanya ku balas peluknya saja.
“Teteh mandi dulu, gih, kita pulang pagi ini, ya.”
“Ibu nggak ngajar?”
“Ngajar.”
“Terus?”
“Kita pulang aja dulu, masuk rumah. Kan emang niatnya ngasih kejutan.”
“Emang kamu megang kuncinya?”
“Eh, iya juga sih.”
“Ah, Yana… Yana…”
“Ya udah teteh mandi aja dulu, pokoknya kita pulang hari ini juga.”
“Ok, deh.” Teh Rere bangkit dari tempat duduknya. Sebelum melangkah ia terlebih dulu bertanya padaku, “kamu mau sarapan apa?”
“Apapun dari tangan teteh sendiri.”
“Nasi goreng dengan telor mata sapi?”
“Ternyata selama pelarian, teteh nggak ngalamin amnesia juga, ya?”
“Dasar!”
***
Hari sudah menunjukkan pukul 3 sore, dan aku masih juga berada di Pemalang. Khawatir dengan kondisi ibu, aku memilih untuk menagih janji ke teh Rere.
“Teh, kapan mau pulang. Ini udah jam 3?”
“Kita pulang hari ini juga. Tapi nanti, kalau motormu udah selesai diperbaiki.”
“Emang kapan selesainya?”
“Katanya sore. Mungkin bentar lagi.”
Benar, selang beberapa menit kemudian sepeda motorku telah selesai diperbaiki. Stang motor itu sudah kembali baik. Ban depan dan belakang sudah baru, sudah diganti. Body yang tadinya pecah pun sudah diganti.
“Jadi semuanya berapa, teh?”
“Serius mau bayar?”
“Emang berapa?”
“Pak Mardi, semuanya berapa kata Yana?”
Pak Mardi pun mendekat. “Oh, ini sudah dibayar sama ibu, mas.”
“Nggak, pak. Kata Yana semuanya berapa, di mau ganti katanya.”
“Oh. Kalau diitung sama ongkos jadi 1 juta, mas. Soalnya banyak yang harus diganti. Mesinnya juga. Remnya juga. Bahkan V-belt pun harus ganti.
“Walah” mendengar itu aku langsur mengernyitkan dahi. Mana mungkin aku punya uang sebanyak itu.
“Jadi kapan mau dibayar? Mau cash atau transfer.”
“Hehehe…”
“Loh, kok ketawa. Katanya mau bayar?”
“Kan teh Rere tetehku satu-satunya. Masa sama adik sendiri gitu.”
“Alah, sok-sokan.”
“Ya udah, yuk siap-siap. Kita pulang sekarang, kan?”
“Iya. Teteh mah udah siap dari tadi.”
“Kamu. Teteh yang bonceng.”
“Serius?”
“Emang kenapa?”
“Ya nggak apa-apa sih.”
“Ya udah, ayo berangkat.”
Kami pun berangkat ke Kuningan dengan menggunakan motor. Sepanjang perjalanan teteh nggak banyak bicara. Dia hanya diam dan menikmati pemandangan. Mungkin, pikirku, dia tak pernah merasakan perjalanan sejauh ini dengan motor. Wanita sepandai ini, seberani ini, lebih sering menggunakan mobil untuk menempuh perjalanan jauh.
Beberapa kali aku sempat berhenti untuk menanyakan kondisinya. Khawatir. Takut kalau-kalau dia sakit atau kelelalan. Tapi tiap kali aku tanya, jawabnya selalu sama; nggak apa-apa, jalan aja terus.
Kami akhirnya sampai di Kuningan menjelang Isya. Perjalanan yang sangat panjang, sangat melelahkan. Kalau dihitung-hitung, ini adalah perjalanan yang lama menurutku. Tapi wajar, aku sendiri tak memacu kendara ini dengan kencang. Aku takut teh Rere tak nyaman dengan sepeda motor yang melaju dengan cepat. Belum lagi masalah jalanan yang berlubang. Ketimbang jatuh dan celaka, aku memilih untuk melajukan motor dengan lebih pelan dan hati-hati.
Kami akhirnya sampai di depan rumah. Setelah ku matikan motor, untuk beberapa menit teteh tak juga mau turun. Dan untuk kesekian kali, akulah yang mencoba menenangkannya, meyakinkannya.
Ku tuntun teteh untuk turun dari motor. Aku pegangi tangannya, juga pinggulnya. Teteh berjalan sebagaimana orang sakit, orang yang ringkih. Langkahnya perlahan seperti tak yakin. Pada saat itu aku terus bicara, meyakinkannya, memberi pemahaman padanya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Saat itu rumah sudah tertutup rapat. Dari depan rumah lampu kamar ibu masih terlihat menyala, tanda bahwa ia masih terjaga.
“Assalamu’alaikum, bu, bu, ini Yana.” Ku ketuk pintu rumah untuk beberapa kali. Dan pada ketukan kesekian ibu pun menjawab.
“Iya, nak, sebentar.”
Mendengar suara itu, mendengar jawaban itu, badan teh Rere mendadak dingin. Tangan mencengkram tanganku kuat, tanda bawah ia sedang khawatir, takut.
“Dek”
“Teteh nggak usah khawatir…”
Pintu akhirnya terbuka. Ibu keluar dengan menggunakan mukenah pemberian bapak. Tatapan ibu langsung menuju ke teh Rere.
Bagian 5
5
“Rere?”
“Iya, bu, ini Rere.”
“Kau kemana saja, nak?”
“Ampun, bu. Rere salah. Rere bodoh.”
“Hm…. Setiap manusia pasti punya salah dan khilaf.” Ibu mendekati teh Rere dan memeluknya erat. “Jangan pergi lagi, nak. Ibu tak mau kehilangan kamu.”
“Rere nggak akan pergi lagi, bu, nggak akan.”
“Bu, banyak nyamuk. Kita nggak disuruh masuk nih.” Aku pun mencoba memecahkan suasana dua orang yang telah lama berpisah ini. Tapi tak apa. Memang benar banyak nyamuk. Aku tak suka dengan nyamuk. Lagian, kakiku juga capek. Juga pantatku. Semuanya capek. Berkendara ratusan kilometer membuatku ingin cepat beristirahat.
“Ayo, nak, ayo. Kalian semua masuk.” Ibu mengambil tas milik teh Rere dan mempersilakan kami masuk, “Kalian mau makan apa? Ayam, ikan, telur, atau apa?”
“Emang ibu punya daging ayam?” Tanyaku heran saat itu.
“Enggak sih. Tapi tadi ibu sudah pesen ke tetangga. Mungkin dia sudah belikan.”
“Yana, kamu beli gih ke supermarket.”
“Ya ampun, teh. Di kota ini mana ada supermarket kali. Lagian ini bukan di tengah kota. Ini di kampung. Di pelosok.” Aku yang sudah sedari tadi pegal akhirnya merebahkan diri di lantai ruang depan. “Gini nih kalau orang yang udah sukses. Apa-apa ke mall. Apa-apa ke supermarket. Lupa kalau di sini belum ada tempat seperti itu?”
“Aih, kau sudah sukses, Re?”
“Sudah, bu. Sudah punya rumah dua lantai, mobil, sama perusahaan sendiri.” Jawabku mewakili. Jawaban yang juga dilengkapi dengan keketusan.
“Alhamdulillah…” Saat itu ibu nampak bangga. Betapa tidak, anak yang hilang bertahun-tahun pergi kini telah tumbuh besar dan sukses. Dan seperti yang diketahui, kesuksesan anak, adalah sesuatu yang diidamkan oleh semua orang tua. Semua.
“Nggak, kok, bu. Hanya rumah sederhana dan perusahaan kecil.” Teh Rere mengambil tas dari tangan ibu. Ibu mengizinkan. “Nanti ibu harus tinggal di sana. Tinggal bareng Rere.”
“Ah, ibu lebih suka tinggal di sini, nak. Sejuk.” Ibu lalu mengantarkan teh Rere ke kamarnya, kamar yang sempat menjadi tempat tertumpahnya tangis dan keluh kesah teh Rere.. “Kamarmu masih sama seperti dulu. Ibu dan almarhum bapak sengaja tak merubahnya. Ibu dan bapak tahu kamu pasti pulang.”
Teh Rere yang masuk ke kamar langsung menuju lemari. Dibukanya lemari itu. Sorot matanya langsung tertuju pada rentetan baju-baju baru yang tak pernah terpakai.
“Itu baju-bajumu, nak. Baju-baju lebaran yang bapak belikan buatmu. Bapak sayang sama kamu. Berharap kamu pulang. Tapi…”
“Maafin Rere, ya, bu. Maaf.”
“Tak apa, nak. Yang lalu biar berlalu. Sekarang kau sudah pulang. Menetaplah. Tinggallah lagi bersama kami.”
“Akan, bu. Akan.”
Ibu lalu pergi meninggalkan teh Rere di kamarnya. Beliau ke dapur, menyiapkan makan seadanya untuk kami.
Sementara aku; aku masih juga menikmati lantai yang paling nyaman di dunia ini, lantai rumahku sendiri. Ah, betapa rebahan di tempat seperti ini sangatlah enak, nyaman. Mungkin kalau ada bantal dan guling, aku akan tidur, terlelap. Sayang keduanya tak ada. Sayang malasku terlampau tinggi untuk hanya bangun, beranjak, dan mengambil keduanya dari kamarku.
Sedang asyik-asyiknya menikmati lantai, teleponku berbunyi.
“Halo, nak, Yana? Abah masuk ICU, nak.”
“Innalillahi wa innailaihi rojiun. Rara udah di kasih kabar, Mih?”
“Belum, nak. Ponselnya susah dihubungi.”
“SMS ke temennya barang kali, Mih?”
“Emih nggak punya nomor temennya, nak. Cuma nomor kamu yang Emih punya.”
“Aku coba hubungi Rara, ya, Mih.”
“Iya, nak. Tolong kasih tahu.”
Aku menghubungi Rara. Tak terjawab. Ku coba Whatsapp, tak dibalas. Malah tak terkirim. Aku mencoba SMS juga tak balas. Tak ada jalan lain. Aku harus menyusulnya. Menyusul wanitaku.
Setelah berpamitan dengan ibu dan teh Rere, aku akhirnya pergi lagi, dengan tujuan akhir yang ku tutupi.
Perjalanan kali ini cukup menantang. Jalanan yang gelap dengan lubang membuat konsentrasiku bertambah. Apalagi dengan kejadian kemarin malam. Tentu semuanya harus lebih dipersiapkan. Beruntung motorku sudah diperbaiki. Lajunya kini sudah bisa ku percepat. Hingga akhirnya aku sampai di Semarang dengan waktu yang sedikit lebih singkat.
Sesampainya di Semarang waktu sudah menunjukkan tengah malam. Aku yang tak punya tujuan lain akhirnya menuju kost Rara dan memanggilnya dari luar gerbang.
“Assalamu’alaikum, Ra…”
“Assalamu’alaikum, Ra…”
Tak ada jawaban.
Aku yang takut terjadi apa-apa dengan Abah memilih untuk terus memanggil dan menggedor-gedor gerbang. Beruntung, setelah 5-7 menit ada yang keluar juga. Tapi itu bukan Rara. Itu Amel.
“Malam-malam begini ngapain, mas?”
“Nyari Rara, Mel. Dia ada?”
“Bentar, aku ke kamarnya.”
Amel masuk lagi. Mungkin ke kamar Rara. Saat dia keluar satu jawaban tak mengenakkan keluar dari mulutnya.
“Rara belum pulang, mas.”
“Loh… kemana dia, Mel?”
“Nggak tahu, mas. Pergi dari tadi pagi.”
“Kamu tahu kemana?”
“Nggak, mas.”
“Kamu tahu pulang jam berapa?”
“Kalau Rara pulangnya nggak nentu. Bisa sore bisa malam banget. Beberapa waktu malah pulang tengah malam. Amel sendiri nggak tahu dia ke mana.”
“Aku minta tolong boleh?”
“Gimana, mas?”
“Telepon dia kalau aku udah di sini buat jemput.”
“Aku telepon, ya, mas?”
Amel mencoba menelepon Rara. Tapi hasilnya sama saja. Telepon Rara masih juga belum aktif. Kemana dia? Kemana wanitaku?
“Jadi gimana, mas?”
“Ya udah aku tungguin aja, Mel.”
“Serius?”
“Iya. Aku harus jemput dia sekarang.”
“Tapi mas nggak boleh masuk kalau malam-malam gini. Amel takut dimahari ibu kost kalau bawa tamu tengah malam gini.”
“Nggak apa-apa. Aku tunggu di luar.”
“Serius, mas? Bentar lagi hujan, loh.”
“Nggak ada pilihan lain, Mel. Mau nggak mau.”
“Yaudah aku masuk dulu, mas. Kalau mas Yana ada perlu apa-apa tinggal hubungin Amel aja. Ini nomor Amel.” Dia lalu memberikan nomor ponselnya padaku. Wanita itu. Wanita yang asing itu. Dia. Dia yang bukan siapa-siapa justru memberikan perhatiannya. Sementara Rara. Ah… “nanti kalau ada apa-apa telepon aja. Mas Yana nggak usah gedor-gedor gerbang lagi. Takut yang lain pada bangun. Kasian.”
“Iya. Makasih, ya, Mel.”
“Sama-sama, mas.”
Ada pos ronda persis di depan kostan Rara. Aku memilih tempat itu untuk hanya melepas lelah setelah berkendara. Tak lupa ku hubungi Rara. Telepon, SMS, Whatsapp, semuanya aku coba. Tapi hasilnya sama, tak ada jawaban.
Jam demi jam berlalu. Rara masih juga belum memberi jawaban. Sementara aku, lelahku, akhirnya terkalahkan, oleh kantuk yang tak tertahankan. Aku tidur dengan rasa khawatir dan takutku.
Selasa, 18 Oktober 2016. Pukul 5 pagi. Aku dibangunkan oleh Amel.
“Mas…”
Aku tak langsung sadar. Setengah tidur aku mendengarkannya.
“Mas, itu ponselnya jangan dibiarkan gitu. Takut diambil orang.”
Ah, ya. Aku tidur dengan ponsel yang bebas. Ponsel yang bisa diambil siapapun karena tergeletak tak bertutup. Beruntung malam itu sepi, tak ada yang lalu lalang. Jika pun ada hanya beberapa hansip. Itu pun hanya berjaga, tak lebih.
Ponselku sendiri sudah tak berada di tempatnya. Dipindahkan. Mungkin itu ulah para hansip tadi. Mereka memindahkan ponselku ke tempat yang sedikit tak terjamah dari pandangan luar. Beruntung. Masih banyak orang baik di dunia ini.
“Ini Amel bawain mie. Mungkin mas Yana lapar. Buat sarapan.”
Dia memang membawa dua piring mie goreng. Satu untukku. Satu untuknya. Entah kenapa wanita ini begitu baik padaku.
“Amel Cuma kasian sama mas. Mas udah dateng sejauh ini Cuma buat jemput Rara. Tengah malam baru sampe. Iya kalau orang yang dijemput ada. Ini malah nggak ada. Malah pergi sama orang lain. Dan sampai jam segini masih juga belum ngasih kabar.”
“Aku bukan untuk dikasihani.”
“Maaf, mas. Bukan maksud Amel begitu. Cuma…”
“Nggak apa-apa. Aku paham, Mel.” Aku sesekali melihat layar ponsel, memastikan ada atau tidaknya notifikasi dari Rara. Sayang. Yang ku harapkan tak ada. Yang ada hanya sesuatu yang tak diharapkan, notifikasi baterai yang melemah. “Mel, boleh pinjem charger nggak?”
“Oh, ada, mas. Bentar.” Dia masuk ke dalam kostan untuk mengambil charger miliknya. “ini, mas. Charge di situ aja.” Dia menunjuk salah satu terminal listrik di ujung pos ronda.
Kami tak lagi bicara. Saling segan. Mungkin dia tak enak dengan jawabanku; jawaban untuk tak dikasihani. Tapi begitulah. Aku memang bukan untuk dikasihani. Diri ini masih terlalu teguh untuk melakukan semuanya dengan sungguh-sungguh. Tak ada yang lain jika memang aku ingin sesuatu. Kan ku kejar itu, kan ku gapai itu, walau akhirnya harus darah dan peluh yang menyelimuti perjuanganku.
“Makasih mienya, ya, Mel.”
“Sama-sama, mas.” Dia mencoba mengambil piringku untuk dirapihkannya. “Mas nggak capek kaya gini? Amel lihat mas hampir setiap minggu ke sini. Bolak balik Kuningan-Semarang sebanyak itu, mas nggak capek?”
“Nggak ada capek kalau kita pengen.”
“Tapi kan, mas…”
“Tapi apa?”
“Lelaki sekarang lebih banyak memilih seadanya dalam menjalani hubungan. Nggak kaya, mas, memilih berjuang dan menembus batas kebiasaan.”
“Aku Cuma lakuin yang aku mau, Mel.”
“Semoga Rara sadar dengan apa yang mas lakuin, ya.”
“Aamiin…”
Mie yang Amel beri sudah habis sedari tadi. Piringnya pun sudah dirapihkan oleh Amel. Kini di tenganku hanya terpegang sebuah ponsel. Ponsel yang darinya ku nantikan balasan dari Rara.
Jam sudah menunjukkan pukul 6.30 pagi. Setelah aku menumpang mandi di kost Rara melalui Amel, ku coba untuk menghubungi Rara lagi. Hasilnya masih sama, masih tak dijawab. Sebelum mencoba untuk yang berpuluh-puluh kalinya, aku justru mendapat kabar dari nomor Emih.
“Assalamu’alaikum, nak, Yana. Ini Bi Nining, adiknya Emih. Nak, Abah meninggal di ICU jam 6 tadi.”
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Abah…
“Tapi Rara belum juga pulang, Bi. Aku masih di kostan Rara buat jemput dia. Sejak tadi malam belum ada jawaban.”
“Rara udah di sini, nak. Tadi malem dianter sama temennya.”
“Pakai mobil, bi?”
“Iya, nak.”
Dan terjadi lagi. Saat di mana aku sudah sejauh ini berjuang, sudah sejauh ini berkorban, masih saja kalah dengan seseorang yang lebih dekat dengannya, lebih bisa ada untuknya. Aku, laki-laki yang telah jatuh bangun untuknya ini, kini sekedar sisi yang perlahan tak mendapat sinarnya lagi.
“Saya ke sana, bi.”
Tak kudapati Amel dalam ruanganku berdiri. Pun dengan penghuni lain yang mungkin masih terlelap. Saat ku ketuk pintu kamarnya, yang kudapati hanya sebuah kamar kosong yang telah rapih dan bersih.
Amel yang mendengar panggilan pelanku akhirnya masuk dari pintu depan.
“Tadi Amel ke depan bentar, mas, nyari angin.”
“Aku pamit, ya, Mel.”
“Loh, Rara kan belum pulang, mas.”
“Rara udah pulang. Udah diantar sama Akbar.”
Amel tak merespon selain hanya tersenyum kecil, senyum yang mencoba menenangkan.
“Aku ucapin makasih atas bantuannya, ya, Mel. Makasih untuk mienya.”
“Iya sama-sama, mas.”
“Ya udah aku pamit, ya, Mel.”
“Iya, Amel juga ada jam pagi, mas.”
“Oh… mau bareng ke kampus?”
“Mas Yana pasti buru-buru. Amel sendiri aja.”
“Pacar kamu nggak jemput?”
“Udah bukan pacar Amel lagi, mas.”
“Oh… maaf, Mel.”
“Nggak apa-apa, mas.”
“Ya udah aku pamit, ya. Assalamu’alaikum.”
Aku meninggalkan Semarang dengan rasa pedih yang masih menancap. Sakit. Selalu begini. Selalu seperti ini. Jika saja kamu tahu, Ra. Tahu perasaan ini.
Perjalanan ke Kuningan ku lakukan dengan cepat. Sepeda motorku ku pacu dengan begitu kencang, berharap tak terlambat ke pemakaman Abah. Namun semua tak seperti yang ku harapkan. Sesuatu yang menyakitkan. Bukan karena pelayat yang sudah membubarkan diri, atau prosesi pemakaman yang selesai. Tapi lebih karena melihat Rara dan Akbar. Mereka. Mereka berdua. Saling memeluk di depan rumah. Di depan rumah yang sedang berduka.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa lelaki asing itu bisa sedekat itu dengan Rara? Apa yang mereka lakukan? Apa yang telah mereka lakukan di belakangku?
Ah, sial. Kau gagal Yana. Kau gagal. Kau gagal menjadi lelaki yang baik untuk perempuanmu, Rara. Lihat itu Yana, lihat. Bahkan Rara lebih nyaman memeluk lelaki lain dibandingkan kau. Lihat itu Yana, lihat.
Baiklah. Aku paham sekarang. Aku mencoba mengerti posisiku.
“Nak Yana? Masuk sini, nak.” Dari dalam rumah terdengar suara bi Nining memanggilku. Dan karena sudah kepalang basah, serta ingin memberi ucapan duka cita pada Emih, aku pun masuk. Tanpa memperdulikan Rara ataupun Akbar.
“Emih ada di dalem, masuklah.”
“Iya, bi.”
Di sana, di dekat keranda Abah, Emih masih juga menangisi kepergian suaminya. Raut wajahnya mengisyaratkan kesedihan yang mendalam. Aku bisa memaklumi itu. Wajar. Kalau boleh dibilang, Emih dan Abah bukan lagi pasangan serasi. Lebih dari itu. Mereka kompak dalam berbagai hal. Abah sebagai laki-laki yang bijak mampu membimbing Emih dan Rara.
Bukan hanya pada Emih dan Rara. Kebaikan abah juga dikesani oleh banyak masyarakat. Tetangganya, perangkat desa, bahkan para tuan tanah begitu terkesan dengan sosok Abah. Sosoknya di luar terkenal ramah, santun, juga suka menolong. Almarhum benar-benar menjadi sosok yang baik.
Bah… selamat jalan. Tenanglah di sana.
Setelah aku mengucapkan duka cita, aku segera undur diri untuk berwudhu dan bersama pelayat lain menyolati Abah. Ya, jenazah abah memang belum disolati sampai akhirnya aku datang dan mengucapkan bela sungkawa ke Emih. Kata beberapa kerabat almarhum, Abah memang berpesan untuk menunggu seluruh keluarganya datang agar bisa menyolatkannya secara bersama-sama, kemudian mengantarkannya ke liang lahat secara bersama-sama pula. Setelah disolati, kami pun langsung bersiap untuk mengantar Abah ke tempat peristirahatan yang terakhir.
Setelah prosesi pemakaman selesai, aku berniat untuk langsung berpamitan pada Emih. Dan Emih menerimaku dengan air mata yang masih terburai di pipinya yang sudah mengendur itu.
“Mih, Yana pulang, ya. Mih yang kuat. In syaa Allah Abah udah tenang di sana.”
“Iya, nak. Jangan lupa doakan Abah, ya.”
“In syaa Allah, Mih.”
Wajah perempuan tua ini kemudian ditengokkan ke kiri dan kanan. Ia mencari sesuatu. Tapi hingga tiba di ujung pencarian, sesuatu itu tak kunjung nampak.
“Kau tadi tak pulang bersama Rara, nak?”
“Nggak, Mih.”
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa, Mih.”
“Hmmm… ya sudah. Hati-hati di jalan, ya, nak. Terima kasih.”
“Yana pamit, Mih. Assalamu’alaikum.”
Aku pergi meninggalkan rumah itu. Pergi tanpa menoleh ke belakang. Pergi tanpa berpamitan pada Rara. Bukan karena aku setega itu. Aku hanya tak mau mengganggu momennya. Dia jelas butuh sosok lelaki untuk menenangkannya; sosok yang juga mau berbagi pundak untuk tempatnya menangis dan mengeluh. Dan jelas. Pada momen ini, lelaki itu adalah Akbar; bukan aku.
Aku kembali ke rumah dengan perasaan kurang nyaman. Betapa bodohnya aku mempersilakan orang lain untuk masuk ke kehidupan perempuanku. Betapa tololnya aku membiarkan perempuanku jatuh ke pelukan orang lain.
Ah, tidak. Aku tidak mau itu terjadi. Itu Raraku. Dia perempuanku. Dia yang kuperjuangkan sampai berdarah-darah. Dia yang ku perjuangkan sampai berjatuh-jatuh. Jika bukan dia yang ku dapatkan, tak mungkin aku rasai hidup lagi. Tak mungkin.
Ya. Aku akan menemuinya di saat yang tepat; saat di mana hati dan perasaannya sedang baik-baik saja.
Setelah sekian lama berkendara, Aku sampai di rumah. Rumah yang seperti biasanya, sepi, seperti tidak berpenghuni.
Ah, apa pedulinya aku dengan semua sepi ini. Masa bodoh. Pokoknya aku harus masuk dan tidur sekarang juga! Badan ini sudah seperti kapal Titanic yang telah hancur dan terbelah gunung es. Hancur. Hancur yang benar-benar hancur.
***
Hari masih juga sore, aku sudah dibangunkan oleh dering telepon yang mengganggu. Ah, ternyata dari Emih.
“Assalamu’alaikum, nak. Kamu di mana? Bisa ke rumah nggak?”
“Bisa, Mih. Kenapa?”
“Nak Yana ke rumah aja dulu, nanti Emih ceritain.”
Aku menurut. Rumah yang masih sepi ini terpaksa aku tinggalkan lagi. Ku sampaikan pesan pamitku via whatsapp. Pesan itu ku kirim pada ibu dan teh Rere. Semoga mereka tak khawatir.
Aku menuju ke rumah Emih dalam wajah dan badan yang masih juga lelah. Motor yang biasanya ku pacu dengan kecepatan tinggi pun sekarang berjalan dengan lebih pelan. Sengaja. Aku hanya tak ingin terburu-buru. Kesadaranku belum pulih betul. Aku tak mau sampai terjadi kecelakaan lagi.
Aku sampai rumah Emih mendekati magrib. Saat itu sudah ada beberapa orang yang sudah berkumpul untuk Yasinan.
Dari dalam rumah Emih manggil. Tangannya melambai padaku.
Aku yang melihatnya segera menuju ke dalam rumah. Diajaknya aku masuk ke dalam kamarnya. Saat itu pikirku buruk. Terlebih, mobil Akbar tak ada di sana. Dan Rara, dia tak ada di rumah. Kamarnya pun kosong, ku lihat saat menuju ke kamar Emih.
“Nak, Emih mau minta tolong, boleh?”
“Minta tolong apa, Mih?”
“Kamu bicara ke Rara supaya temennya menginap di tempat lain saja.”
“Loh… maksud Emih?”
“Rara, dia minta Akbar buat nginep di sini.”
Mendengar itu pikiranku langsung kacau. Marah, kesal, benci, semuanya jadi satu. Semuanya tertumpuk dan tertahan dalam tarikan napas yang panjang.
“Rara yang minta, nak.” Emih pun menarik napas panjang. Itu mengesani kalau dirinya sudah pasrah, hampir menyerah. “Rara minta ditemani. Emih sudah melarang, tapi dia keukeuh. Dia pengen Akbar ada di dekatnya sekarang.”
Baik. Sudah cukup penjelasan dari Emih. Dari sini jelas bahwa mereka bukan hanya sekedar teman, atau pacaran biasa. Ada yang salah.
Tapi aku tetap berpikir positif. Di situasi seperti ini, di waktu seperti ini, tak mungkin melakukan tindakan yang asal-asalan. Tak mungkin aku memberi komentar yang justru menjeremuskan. Soal sakit hati? Ah, biar. Biar aku saja yang merasakan. Emih jangan. Sedihnya cukup untuk kepergian Abah saja.
“Iya, Mih. Nanti Yana yang ngomong ke mereka.” Sekali-kali aku menengok ke kiri dan kanan, basa-basi menanyakan keberadaan mereka. “Mereka kemana, mih?”
“Tadi Rara nangis. Dia terpukul hebat. Dia histeris. Nggak ada orang lain yang bisa nenangin dia selain Akbar.”
Ah, bertambah sakitku setelah mendengar cerita ini.
“Ya udah Yana tungguin aja, ya, Mih. Sekalian Yasinan buat Abah.”
“Iya, nak.”
“Boleh Yana pinjam sarung Abah, Mih?”
“Ada. Biar Emih ambilkan.”
Beberapa jam telah berlalu. Yasinan telah juga usai. Tapi Rara dan Akbar tak memunculkan batang hitungnya. Kemana mereka? Sedang apa mereka? Melakukan apa mereka? Ah Tuhan, kenapa segala pikiran ini muncul padaku? Kenapa segala kemungkinan-kemungkinan bodoh ini terlintas dalam nalarku?
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Langit telah benar-benar temaram. Bintang gemintang telah meredam. Pun dengan bulan. Sinarnya sayu selemah nalarku.
Aku yang sedari tadi menunggu di ruang depan telah merasa bosan. Hanya bisa memandangi jam dan layar ponsel. Lebihnya tidak. Hanya harap dan kemungkinan buruk saja yang berkembang; berkembang menyesatkan.
“Sudah dihubungi, Mih?”
“Ponsel Rara di tinggal di rumah, nak.”
Tepat pukul jam 11.30 suara mobil Akbar mulai terdengar.
Aku yang sedari tadi menunggu segera menyusul mereka. Dan sekali lagi, untuk yang kedua kalinya, ku dapati Rara memeluk erat tubuh Akbar; lelaki yang tak sekali pun layak untuk menjaga dan menemani Rara.
“Kalian habis dari mana?” Aku menghadang mereka masuk dengan berdiri di depan pintu. Mereka tak menjawab, pura-pura bisu. “Ra, hari ini kan Abah baru berpulamg, kenapa nggak tinggal dulu di rumah. Emih kasian dari tadi nungguin kamu.”
“Apaan, sih, sok tahu banget!”
“Bukan masalah sok tahu atau nggaknya. Cuma apa nggak enak sama orang-orang, masa Abah baru berpulang kamu udah pulang malam kaya gini.”
“Ya terserah akulah, mau pulang malam kek, mau pulang pagi kek.” Kami pun berdebat seperti biasa. Dan Akbar hanya diam menyaksikan. “lagian kamu ini siapa, sok ngelarang-ngelarang aku!”
“Aku ini pacar kamu, Ra!”
“Hah, pacar? Nggak salah?”
“Ra…”
“Kapan kamu ada buat aku? Kapan kamu bisa jagain aku? Kapan kamu punya waktu buat aku? Aku ini siapa kamu? Pacar kamu? Pacar yang model apa? Yang kalau mau chat aja harus izin dulu, iya? Yang kalau mau nelpon harus bilang dulu, iya? Yang kalau video call harus kasih tahu kamu dulu, iya?” Tatapannya sekarang benar-benar tajam, menusuk. “Aku nggak mau terus menerus ngemis waktu ke kamu, Yana. Aku nggak mau. Harusnya kamu paham itu. Aku juga butuh kamu, tapi kamu nggak pernah ada!”
“Ra!” Untuk yang pertama kali dalam hubungan kami, aku membentaknya.
Dan untuk pertama kali dalam percek-cokan ini, Akbar mulai ikut campur.
“Udahlah, bro. Lu sendiri yang sia-siain dia. Ngapain sekarang lu ngatur-ngatur dia. Lu nggak punya hak, bro.”
“Dan lu juga nggak punya hak buat ikut campur dalam urusan gue. Ini urusan gue. Ini hubungan gue. Dan Rara; dia masih jadi cewek gue. Lu nggak usah ikut campur. Lu bukan siapa-siapa!”
“Hei… nyadar dong. Ngapain kamu bilang ke Akbar kaya gitu. Yang bukan siapa-siapa itu kamu, bukan Akbar!”
Sakit. Yang ku rasai hanya sakit.
“Kenapa? Sakit? Perih? Hancur? Itu yang aku alamin pas nungguin kamu, Yana! Itu yang aku alamain pas kamu nolak pas aku minta teleponan! Itu yang aku rasain pas kamu reject panggilang video call aku! Dan sekarang kamu rasain itu, kan? Gimana Rasanya, enak?”
“Kok kamu ngomongnya gitu?”
“Hah? Kok aku ngomongnya gitu? Kamu tahu nggak kenapa aku minta telepon? Kamu tahu nggak kenapa aku minta buat video call? Kamu tahu nggak kenapa aku minta buat diperhatiin kamu terus? Kamu tahu nggak?” Pandangnya kini semakin meruncing, tajam. Pun dengan jarinya yang menunjuk persis ke wajahku. “Kamu nggak tahu apa yang aku rasain, Yana. Kamu nggak tahu. Yang kamu tahu itu kerja-kerja-kerja. Udah, itu doang. Kamu punya pacar tapi kaya nggak punya pacar. Kamu anggapa apa aku ini? Boneka? Robot? Atau apa? Jawab, Yana, jawab.”
“Udah malem, yang. Udah. Masuk, yuk!” Seperti tak punya dosa. Akbar menarik tangan Rara masuk ke dalam rumah.
“Lu nggak boleh masuk!” aku menahan mereka.
“Apaan sih, rumah-rumah aku, kok kamu yang ngelarang.”
“Dia nggak boleh masuk, Ra!”
“Eh biasa aja, dong, nggak usah ngegas!”
“Kenapa kalau gue ngegas, nggak suka?”
Plak! Tamparan itu akhinya mendarat juga padaku, pada pipiku.
“Itu buat kamu yang sok ngatur-ngatur.” Ia mengecam. Tangannya menunjuk. Ya, tangan yang masih merah karena telah menampar itu, kembali menunjuk wajahku. “Kamu nggak berhak ngatur-ngatur aku lagi. Inget, Yana, kamu udah bukan siapa-siapa aku.”
“Tapi Ra?”
“Tapi apa? Kamu nggak inget masa-masa di mana kamu nyakitin aku? Kamu nggak inget?” Ia tak melanjutkan selain mengajak Akbar untuk masuk ke dalam rumah. “Yuk, yang, masuk!”
Tak ada hal lain yang bisa ku lakukan selain diam dan bertahan di tempatku berdiri.
Perasaan ini, perjuangan ini, keringat ini, segala upaya ini, kini, semuanya telah sia-sia. Semuanya telah hilang, hanyut terbawa tsunami kebencian.
Ra… jika kamu kasih aku kesempatan buat ngasih penjelasan. Mungkin agaknya kamu akan berpikir ulang mengenai pilihanmu itu. Ra… jika kamu mau sebentar saja mendengar, mungkin tamparanmu tidak semerta-merta langsung menyambar. Ra… jika saja kau mau melihat lebih dalam, aku, adalah orang yang tidak pernah menyia-nyiakanmu. Aku, adalah orang yang senantiasa menanti kabarmu. Aku, adalah orang yang senantiasa suka dimaharimu. Dan aku, adalah orang yang senantiasa senang bila jatuh dan bangkit hanya karena memperjuangkanmu.
Tapi Ra… kalau memang itu keputusanmu, aku terima.
Semoga kau lekas bahagia. Semoga kau lekas ceria seperti sedia kala. Senang bila bisa melihat kau bahagia. Meski aku tahu, bahagiamu bukan karena aku yang ada di sampingmu.
Description: Ini adalah kisah tentang seorang pemuda dan kehidupannya. Kisah ini akan membawamu pada sebuah makna bahwa cinta mampu tumbuh tanpa karena. Kamu, atau siapapun, dapat mencintai seseorang tanpa alasan. Dengan tanpa alasan seseorang bisa mencintai pasangannya dengan lebih baik, lebih dekat, lebih mendalam. Kamu juga tidak akan bisa meninggalkan pasanganmu tanpa sebab. Karena sebagaimana kita tahu, kita memulainya dengan tanpa karena; sesuatu yang menjadi alasan untukmu bisa meninggalkannya.
Dan pada akhirnya, cinta seperti ini akan bertahan seutuhnya; dengan atau tanpa dia sebagai pasangan yang ada di sampingmu.
|
Title: Rainy Tears - Antari
Category: Cerita Pendek
Text:
Rainy Tears - Antari
“I can do it. Thank you, sir.”
Klik.
Aku menghela napas lelah ketika akhirnya bisa menutup telepon yang terus berdering sejak dua jam yang lalu tanpa henti. Jam dinding sudah menunjukan pukul 17:33, artinya jam kerjaku seharusnya sudah berakhir sejak tiga puluh tiga menit yang lalu.
“Belum pulang, Win?”
Hampir saja aku melompat dari kursi karena suara itu.
“Hahaha, lebay deh lu, makanya jangan bengong aja! Yuk, pulang bareng gue,” tawar Marcel, salah satu staf akunting yang terkenal super playboy. Sepertinya hampir seluruh wanita cantik di kantor sudah terkena rayuan maut pria 29 tahun itu.
“Ogah!” jawabku, kembali menatap layar komputer, berpura-pura menyibukkan diri.
“Oy, Win, besok itu imlek, long weekend, waktunya liburan. Ngapain juga lu masih kerja?”
“Justru karena besok libur makanya gue mau lembur sekarang biar kerjaan gue nggak numpuk pas senin!” jawabku dari balik komputer. Namun, tentu saja itu tidak benar. Aku sudah sangat lelah seharian menatap layar komputer dengan tumpukan berkas yang menggunung di atas meja. Belum lagi ujung-ujung jariku mulai terasa keram karena terlalu sering menekan keyboard.
“Hahaha, bohong! Seumur-umur Winda kerja di sini, dia nggak pernah lembur!”
Aku melotot kepada Mbak Resti, salah satu teman kantorku yang baru melahirkan empat bulan lalu. Ia menyeringai lebar sambil mengangkat telunjuk dan jari tengahnya -membentuk huruf V- ketika berjalan melewati kami. Satu buah ransel besar tergantung di punggungnya, berisi cooler bag ASI yang ia perah selama jam istirahat.
“Udah deh, Marcel, dari pada lo sibuk ngegodain anak orang, mending lo bantuin bawain tas gue ke bawah, berat banget.” Mbak Resti melepaskan tasnya, lalu memberikan kepada Marcel yang menunjukan mimik penolakan, tapi tak berani bersuara. Walau bagaimana pun, Mbak Resti adalah seniornya di tim akunting.
“Astaga Mbak Res, berat banget sih tas lu. Pasti isinya susu dah. Ngapain sih itu lu peres-peres segala?”
Aku terkikik ketika melihat Mbak Resti melayangkan pukulan ke punggung Marcel yang berjalan sambil menggerutu. Ia melambaikan tangannya kepadaku, sambil terus mendorong Marcel agar tidak berbalik lagi.
Satu pembuat onar baru saja pergi. Kepalaku yang hampir pecah karena kebisingan kantor sejak tadi akhirnya bisa sedikit beristirahat. Semua orang tampak sibuk membereskan barang-barang mereka, bersiap menikmati liburan akhir pekan yang cukup panjang.
Aku kembali menyandarkan punggung ke kursi, mencoba beristirahat sejenak sambil menunggu orang-orang pulang terlebih dahulu. Aku paling tidak suka jika harus berdesakan di lift. Khawatir jika kelebihan muatan maka lift itu akan ambruk seperti yang kulihat di film-film thriller. Konyol bukan?!
Seorang gadis cantik dengan rok pensil selutut berjalan mendekati mejaku. Ia membawa tas berwarna merah muda di bahunya. “Lo pulang sama Andreas?” tanyanya, untuk ketiga kali pada sore ini.
Aku mendongkak, menatap wajah cantiknya yang selalu tampak segar.
“Abis mau pulang sama lo, lo pasti pulang sama Galang,” jawabku sambil memasang wajah yang pura-pura cemberut. Ia mendesah pelan, mungkin sedikit tidak nyaman dengan jawabanku. Kami satu kontrakan, satu kantor, jadi sudah pasti satu arah. Namun, kami tidak pernah bisa pulang atau pergi bersama. Sejak bekerja di gedung 16 lantai itu, Mia sudah berpacaran dengan Galang, supervisor di perusahaan elektronik di lantai dua yang overprotektif. Mereka sudah seperti suami istri, hanya saja tidak tinggal di satu rumah yang sama. “Udah sana pulang duluan, gue gampang. Supir bajaj masih numpuk noh di depan,” hiburku, tidak tega melihat wajah cantik Mia berubah muram. Cukup langit dan wajahku saja yang muram, wajah cantik Mia harus tetap bersinar, atau Galang akan mulai mengintrogasiku sebentar lagi.
“Serius Win, lo dijemput Andreas nggak?” tuntut Mia.
Aku mendesah, tidak memiliki jawaban.
“Kalau lo nggak dijemput Andreas, gue pulang bareng lo aja. Biar aja Galang pulang duluan. Kita bisa mampir beli cake.”
Dan dia akan membunuhku. Aku menggeleng tegas. “Udah sana pulang!!! Iya, gue dijemput Andreas. Puas?”
Kerutan di kening Mia masih tergambar jelas. Matanya memberikan sorot cemas yang tulus. “Oke, awas yah kalau lo bohong. Kalau Andreas nggak jemput lo, kabarin gue.”
“Terus lo mau ngirimin helikopter ke sini?” tantangku sambil terkekeh.
“Ya nggak, palingan gue kirimin abang ojek di gang kontrakan.” Ia tersenyum tipis yang kubalas dengan lambaian tangan untuk mengiringi kepergiannya, meninggalkanku dengan sebuah kesunyian.
Pukul 5:40
Keadaan kantor sudah benar-benar sepi. Hanya ada aku dan seorang pria berusia 50 tahun yang tengah membawa tempat sampah besar melewati lorong-lorong meja yang kosong. Ia tersenyum dan mengangguk santun ketika kami bersitatap.
Untuk beberapa saat aku hanya berdiri di depan jendela, memandang hujan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera mereda sejak siang tadi. Mungkin ketika sampai kontrakan aku akan melihat deretan berita banjir di beberapa tempat, lalu besok akan diberitakan kemacetan yang mengular.
Betapa melelahkannya.
Saat merasakan getaran ponsel di saku celanaku, sebuah harapan akan sinar mentari kembali hadir. Dengan cepat kubuka pesan yang masuk, berharap nama Andreas tertera di sana. Namun, ternyata nama Mia yang muncul, lengkap dengan fotonya bersama Galang.
Mia : ‘Udah di mana, Win?’
Winda : ‘Masih di kantor, Mi. Kenapa?’
Mia : ‘Andreas belum datang juga?’
Winda : ‘Sebentar lagi.’
Aku bahkan tidak tau apa ia akan datang atau tidak.
Menghela napas panjang, kutatap hujan dari balik jendela besar gedung kantor. Jalanan utama di depan gedung masih tampak ramai lancar. Beberapa lengkung payung tampak bergerak perlahan memenuhi trotoar yang basah.
“Belum pulang, Bu?”
Aku menoleh pada suara itu dan mendapati pak Darwo, office boy yang kulihat tadi, kini berdiri di belakangku. Sudah pukul 6 sore, memang sedikit aneh jika aku berada di tempat yang sepi itu, terlebih aku sudah mematikan komputer sejak tadi.
“Lagi tunggu jemputan, yah?” tanyanya, tersenyum ramah.
Aku tersenyum simpul. “Nunggu hujan reda, Pak,” jawabku sopan.
Pak Darwo melirik hujan di balik punggungku. “Saya ada payung, kalau Ibu mau pakai bisa saya ambilkan,” tawarannya terdengar tulus. Orang-orang seperti Pak Darwo terkadang memang lebih tulus dalam melakukan suatu kebaikan. Tidak seperti orang-orang yang biasanya memenuhi ruangan tempatku berdiri saat ini. Setiap waktu yang dipikirkan hanya bagaimana caranya untuk mendaki lebih tinggi lagi, tidak peduli jika itu harus menjatuhkan orang-orang yang ia panggil teman. Seakan kata teman tak lagi memiliki arti yang berarti.
Bapak tua itu masih menunggu jawabanku dengan sapu di tangannya ketika akhirnya aku menggeleng, toh sebenarnya aku juga membawa payung di dalam tasku. Di tengah cuaca seperti ini, payung seakan menjadi benda premier di Jakarta. Bahkan tidak jarang aku menemukan penjual payung dadakan di jembatan-jembatan penyebrangan.
“Nggak usah, Pak,” jawabku, tersenyum sambil mengabil tas. “Saya juga bawa payung, kok. Cuma mau tunggu sedikit reda aja tadinya,” tambahku sambil berlalu pergi setelah berpamitan dengan Pak Darwo.
Aku berjalan ke lift dengan langkah pelan, menatap lantai di bawah kakiku dengan malas. Ketika pintu lift akhirnya terbuka, aku mendesah lelah melihat kekosongan di dalam sana. Bagaimana kalau aku kena serangan jantung di dalam lift dan tidak ada satu orang pun yang tau?
Menoleh, kucoba mencari Pak Darwo, mungkin dia tidak akan keberatan jika aku memintanya menemani sampai ke lantai bawah. Namun, nihil. Pak Darwo sudah pergi entah kemana. Jadi, aku hanya bisa berdoa sebanyak mungkin dan meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sebuah pesan baru kembali masuk ketika pintu lift tertutup. Hatiku langsung kembali berdesir, berharap bahwa pada akhirnya nama pemuda itu lah yang akan tertera di sana. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kekecewaan lainnya. Itu pesan yang kesekian kalinya dari Mia. Kumasukkan kembali ponsel ke dalam tas tanpa membuka pesannya. Aku bisa memberikan alasan kalau sedang di mobil, dan deringan ponselku sama sekali tidak terdengar ketika kami bertemu di kontrakan nanti.
Hitam benar-benar mendominasi langit. Tetesan-tetesan gemericik hujan jatuh bersamaan membuat genangan-genangan kecil di jalan-jalan yang berlubang. Udara dingin dan basah membuatku sedikit menggigil, tapi aku juga tidak ingin tetap berada di kantor, kesunyian itu menjadi memuakkan jika diiringi kekecewaan yang tak kunjung usai. Dengan langkah gontai aku berjalan menuju halte terdekat, menunggu sesuatu yang bisa membawaku sampai ke kontrakan. Sesekali kuraba ponsel di dalam tas, berharap ia segera bersua, dan akhirnya harapanku terjawab.
Satu jam berlalu, lusinan angkutan umum melewatiku sambil membunyikan klakson, tapi aku tetap tak bergeming, padahal angkutan umum mana pun akan melewati gang kontrakanku yang sempit. Namun, agaknya egoku masih terlalu tinggi untuk menyerah pada harap yang ada.
Kutatap langit tanpa bintang yang gelap, apa mengharapkan kedatangannya adalah hal yang sama seperti upayaku menghitung tetesan hujan? Mustahil. Apakah aku benar-benar tidak boleh lagi menggantungkan harapku sekali lagi?
Punggung kemejaku mulai basah terkena tetesan hujan yang dibawa angin. Kuambil ponsel dan earphone dari dalam tas, memutar radio secara acak. Memenuhi kepalaku dengan suara penyiar radio yang riang sambil terus memperingatkan tentang hujan, seakan kami tidak bisa melihatnya secara langsung di hadapan kami.
Ketika ponselku bergetar, suara penyiar radio itu otomatis menghilang. Aku menekan ikon telepon berwarna hijau di ponsel, kemudian kembali menatap lalu lintas yang semakin ramai.
“Win!!!!!! Gue dilamar!” Suara Nilla langsung menyerbu tanpa basa-basi. Keceriaannya yang luar biasa begitu kontras dengan gelap langitku.
Bukankah sedikit aneh kalau saat ini aku masih menimbang respon apa yang harus kuberikan atas kabar yang dibawa sahabat karibku? Bukankah sudah semestinya aku mengucapkan selamat dengan kebahagiaan yang tulus? Dia sahabatku, sahabat terbaikku, seharusnya aku bahagia mendengar kebahagiaannya?
Tapi mengapa saat ini aku justru merasa sesak di dalam dada? Mengapa mataku memanas dan mulai berair? Mengapa aku begitu jahat?
Dia sahabatku, dan jika suatu hari ia mendapatkan sebuah keberuntungan, itu bukan salahnya. Mengapa aku justru merasa iri? Mengapa aku merasa kecewa?
Tapi, Tuhan, sungguh… mengapa semua orang di sekelilingku tampak sangat mudah menemukan kebahagiaan mereka? Sedangkan aku harus terus merasa kecewa dalam penantian yang tak pernah berakhir? Ini bukan 3 jam pertama di bawah guyuran hujan yang kulalui untuk menunggu pria itu. Namun, seakan semuanya takkan pernah menemukan titik terang.
“Astaga! Gue nggak percaya akhirnya dia ngelamar gue, Win!”
Saat ini Nilla pasti tengah tersenyum sangat lebar hingga meneteskan air mata di sudut-sudut indah kedua matanya, seperti yang selalu terjadi sejak kami kecil setiap kali ia merasa sangat bahagia.
Susah payah kutelan seluruh sesak di tenggorokanku. “Dia cinta lo, jadi itu pasti terjadi,” jawabku dengan perlahan. Gigiku masih mengeluarkan suara gemeretuk setiap kali tubuhku menggigil.
“Tapi rasanya masih nggak nyangka. Setelah 10 tahun loh! Besok tanggal merah, gue ke tempat lo yah?! Ada banyak hal yang mau gue certain.”
Aku tersenyum simpul. Nah, satu lagi gunanya teman, wadah menumpahkan seluruh keluh kesah, senang atau sedih. Tapi yang Lily tumpahkan selalu kebahagiaan, dan milikku selalu kisah muram.
“Sip, gue tunggu,” jawabku berusaha seriang mungkin.
“Okay!!! See you tomorrow!! Oya, happy birthday Winda. Tunggu kado gue besok, ya!”
Kugigit bibirku sekeras mungkin untuk menyembunyikan luapan emosi yang tiba-tiba saja menyeruak.
“Tapi kalau ada yang lo mau, bilang aja! Gue pasti berusaha penuhin itu! Love you my besties!!”
Tidak. Ia takkan pernah bisa memberikan yang kuinginkan saat ini. Tidak akan pernah. Bukan Nilla yang bisa membuatku berteriak sambil meneleponnya, menceritakan betapa bahagianya aku ketika mendapatkan kesempatan itu.
Aku dilamar!
Entah kapan aku bisa mengatakan hal yang seperti Nilla katakan hari ini kepadaku dengan penuh kebahagiaan.
Ketika sambungan teleponku dengan Nilla terputus, ponselku kembali bergetar. Telepon dari Mia untuk yang kesekian kalinya. Buru-buru kuseka air mata yang sempat tergenang.
“Ya, Mi,” jawabku pada deringan ketiga.
“Halo, Win. Astaga, susah banget sih nelpon lo. Lo udah sama Andreas, kan? Sorry ganggu sebentar, abis chat gue nggak lu baca dari tadi. Nanti kalau pulang mampir ke foto kopian yah sebentar, gue lupa mau beli double tip tadi.”
“Oke, ada lagi?” tanyaku.
“Win, lo udah sama Andreas, kan?” Suara Mia terdengar penuh curiga. Namun, belum sempat kujawab pertanyaannya, Mia sudah kembali meledak. “Astaga, jangan bilang lo masih nunggu dia sekarang?! Ini udah 3 jam, Winda! Lo di mana sekarang?! Gue jemput lo sekarang juga! Lo denger gue?! Halo!!! Winda???”
Aku tidak berani membuka mulutku, khawatir Mia bisa mendengar isak yang muncul perlahan.
“Winda, please…” panggil Mia lirih. Dan itu membuat hatiku semakin pedih. Biasanya Mia akan selalu meledak jika mendengar perlakuan Andreas kepadaku. Kantor kami hanya berjarak beberapa blok, akan sangat mudah untuknya mendatangiku, terlebih pada hari ini. Namun, bahkan Mia sudah mulai lelah untuk merasa marah. Tahu bahwa semua kemarahannya akan berakhir sia-sia.
“Gue jemput ya, Win. Lo masih di mana? Di kantor?” bujuk Mia melembut.
“Nggak usah, Mi,” jawabku setelah terdiam beberapa saat. “Gue pulang sekarang. Lo tunggu di rumah aja,” bisikku sebelum mematikan sambungan telepon dengan Mia dan bangkit berdiri.
Once upon a time I was falling in love, now I’m only falling apart…
Setetes air mata akhirnya mengalir perlahan. Mewakili rasa perih yang mengekang hati. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku adalah wanita mandiri yang bahagia. Perasaan tidak aman itu tidak boleh membunuhku seperti ini.
Kulirik ponselku yang kembali mati. Seharian aku menunggu pesannya, tapi tidak ada satu pesan pun yang masuk, dan aku terlalu pengecut untuk sekedar mengiriminya pesan terlebih dahulu. Khawatir ia justru akan membenciku karena mengiriminya pesan di saat-saat yang tidak tepat.
Entah sudah berapa lama aku merenung sendiri, menyibukan diri dengan lagu-lagu yang mengalun indah dari radio, mendengarkan celoteh riang sang penyiar, menapaki trotoar yang basah dengan payung tetap tertutup dalam genggamanku. Membiarkan tetesan air mata berbaur sempurna dengan tetesan hujan, hingga aku bisa kembali menipu diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Tanpa sadar aku sudah berada di gang kontrakanku. Kini tumitku mulai terasa nyeri karena terlalu jauh berjalan. Hujan membuat bangunan berdinding hijau itu terlihat sangat sunyi. Pintu-pintu tertutup rapat, hanya terdengar suara tawa renyah dari kamar satu, sedang tiga kamar di lantai bawah, dan empat kamar di lantai atas sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan apapun, kecuali lampu depan yang menyala terang.
Aku mulai menimbang untuk berbalik, mencari tempat foto kopi yang buka untuk membeli double tip titipan Mia yang terlupakan, ketika sebuah mobil silver yang terparkir di depan gerbang kontrakan menyita perhatianku.
Waktu seakan berhenti berdetak. Gelap malam dan rintik hujan diam membisu, memberikanku waktu untuk terkejut, seakan aku masih memiliki energi yang tersisa. Waktu yang berlalu, penantian yang tak pernah usai, kisah yang tak memiliki harapan, kini menari-nari di benakku.
Ia berdiri di sana. Di depan gerbang penuh karat yang tertutup rapat. Sebuah payung terbuka di tangannya, meski tidak membuat hujan hilang akal untuk membuat ujung-ujung sepatunya terlalap basah. Ia masih menggunakan kemeja kerja dua hari yang lalu, entah karena terlalu terburu-buru, atau karena tidak membawa pakaian lain. Namun, tidak peduli seberapa berantakannya sosok itu, ia tetap terlihat tampan.
Aku ingin berlari ke dalam pelukannya, seperti yang selama ini kulakukan, mengusap seluruh peluhnya, menyediakan tempat untuknya beristirahat dengan tenang, dan melupakan seluruh air mata yang mengalir di kedua mataku begitu saja. Seperti biasa.
Rindu menyerbu menjadi satu, hari-hari yang terlewati dengan penuh kekhawatiran kini menguap dan menyatu secara bersamaan. Ia sangat indah, tidak peduli betapa suramnya hujan dengan seluruh dinginnya, tapi ia tetap sempurna. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta kepadanya, jika ia seistimewa itu?
Tiba-tiba sosok itu menoleh, menyadari keberadaanku. Senyumannya mengembang indah, tangannya sontak terbuka, mengundangku ke dalam dekapannya yang hangat.
Langkahku bergerak seringan awan menghampiri matahari, menari bersama angin, terkekeh bersama birunya langit. Bersama pria itu, aku menemukan sebuah perasaan damai yang tak pernah kutemukan di tempat lain. Pelukannya yang hangat langsung membuat beku dalam dadaku mencair begitu saja.
“Aku kangen kamu,” katanya sambil mengecup puncak kepalaku. Aku membenamkan wajahku lebih dalam lagi ke dadanya. Mencoba mencari kebenaran kata-kata itu dari detak jantungnya. “Maaf karena nggak sempat jemput kamu di kantor.”
“Ya, jalanan bandung - jakarta memang macet,” potongku cepat. Informasi itu kudapatkan langsung dari penyiar radio di perjalanan pulang tadi. Tubuh Andreas mendadak membeku di dalam pelukanku, membuat sebuah senyuman simpul yang menyedihkan terukir begitu saja dari wajahku.
Aku melepaskan pelukannya. “Terima kasih sudah datang,” kataku sungguh-sungguh.
“Aku pasti datang, Winda. Happy birthday, sayang.” Andreas memberikan buket mawar merah yang sedikit layu kepadaku, kemudian mengecup pipiku. “Badanmu dingin banget,” katanya, membelai pipiku dengan lembut.
Begitukah? Aku bahkan tidak merasa dingin sama sekali. Mungkin jiwaku sudah terlalu lelah untuk menyadari perasaan lain. Kini semuanya terasa hampa, tak lagi semenyakitkan sebelumnya. Aku hanya lelah.
“Trims,” jawabku, menatap khidmat mawar tak beraroma itu, mungkin itu akna menjadi buket terakhir yang kudapatkan darinya. “Udah malam, kamu sebaiknya pulang.”
Andreas menatapku dengan bingung, seakan aku berbicara dengan bahasa alien yang tidak ia mengerti. “Pulang?”
Tersenyum, dan mengangguk, tubuhku mundur beberapa langkah darinya, tapi dengan cepat Andreas menahan lenganku. “Dan mungkin lebih baik kamu nggak usah datang lagi.”
“Win, aku benar-benar minta maaf soal hari ini. Aku janji nggak akan begini lagi. Aku janji, nggak akan bikin kamu nunggu tanpa kepastian kaya hari ini. Aku benar-benar minta maaf.”
Padahal aku tidak mengatakan apapun tentang hari ini. Bahkan kini wajahku tak lagi menyimpan amarah atau air mata. Seluruh emosi itu sudah mengalir bersama tetesan hujan, tak lagi tersisa. Dan betapa dangkalnya perasaanku jika kecewa hanya karena penantian di bawah guyuran hujan selama 3 jam ini. Aku pernah menunggunya berhari-hari lebih lama, dan tidak memiliki kesempatan untuk mengatakan bahwa aku sangat merindukannya selama ini.
“Kamu nggak boleh mengucapkan janji yang nggak bisa kamu tepati.” Sepertinya kata-kataku sedikit menohok egonya. Wajah tampan itu mulai memerah, marah.
“Winda, aku sayang kamu. Aku cinta kamu. Aku nggak mau kita pisah begini. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Betapa indah kata-kata itu. Tidak akan ada satu wanita pun yang takkan terlena ketika mendengarnya, terlebih diucapkan oleh pria sesempurna Andreas. Namun, semakin dalam aku mengamini kata-kata itu, semakin besar luka yang kugoreskan untuk diriku sendiri.
“Winda, please. Kita bisa lewati semuanya. Kamu adalah hal yang paling indah yang terjadi di hidupku selama ini. Kita bisa atasi semuanya. Aku sayang kamu. Aku nggak akan bisa hidup tanpa kamu, Win.”
“Tapi bukan aku yang kamu lamar hari ini, Andreas.”
Dunia kami berhenti berputar. Kenyataan yang selama ini kuingkari terasa seperti petir di tengah hari yang sangat panas. Padahal aku sudah mengetahuinya sejak awal, tapi ternyata rasanya sangat menyakitkan ketika aku mengatakan hal itu dengan mulutku sendiri.
Andreas membeku di tempatnya, wajahnya memucat.
Berbohonglah! Berikanlah alasan apapun, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun! Bicaralah! Katakan bahwa itu semua tidak benar! Hiburlah aku sekali lagi, dekap aku dan yakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja!
Tidak peduli meski ia berbohong sekalipun, aku pasti akan mempercayainya.
Namun, Andreas hanya terdiam. Membiarkan hujan mengambil alih untuk mengisi keheningan di antara kami. Mengantarkan dingin yang lebih mencekam dari sebelumnya.
“Aku minta maaf,” bisik Andreas, selirih embusan angin yang menyelinap dalam gelap.
Aku mendengus, menertawai diriku sendiri yang sempat berharap akhir lain dari kisah cinta terlarang kami.
“Aku lelah, pulanglah.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku meninggalkan Andreas. Selama ini, sejak pertama kali aku bertemu dengannya 10 tahun yang lalu, tak pernah sekalipun aku melangkah membelakangi Andreas. Aku akan selalu berdiri di tempatku sampai ia benar-benar menghilang dari pandanganku, lalu menunggunya hingga kembali datang tanpa menuntut.
Kini semua penantian itu berakhir sudah. Kisah cintaku yang menyakitkan berakhir tragis, seperti yang selalu Mia peringatkan.
Gadis cantik itu membukakan pintu tepat sebelum aku mengetuknya. Melihat betapa basahnya kedua mata itu, membuat dadaku kembali bergemuruh. Rasa kebas yang sejak tadi menyelimuti dadaku mulai menguap, menghadirkan sesak yang menyakitkan.
Mia membuka kedua tangannya, menarikku dalam pelukan yang kupikir takkan pernah kubutuhkan. Namun, ketika berada dalam pelukannya, tangisku pecah berantakan.
Ternyata, rasanya seperih itu.
***
Fin.
Description: Antara Bertahan dan Perpisahan,
dan Kau yang berada di antaranya.
|
Title: Rambut Gondrong Panjang Taringnya
Category: Cerita Pendek
Text:
mie tek tek
Teng... Teng... Teng...
"Aduh udah jam 12 lagi njul, balik nyok. Lagian dari tadi kita mabar kalah terus juga"
"Bentar lagi aja apa nyol baru jam 12, kita mabar sampe pagi"
Unyol dan panjul memutuskan untuk bergadang malam itu di pos ronda tua desa nya. Unyol yang memiliki sifat penakut selalu saja mengusik panjul yang terlihat sangat asik memainkan game online kesukaan mereka berdua
"Njul njul gua mau tanya dah, ini hari apa"
"Hari kamis nyol, bentar lagi jumat. Eh udah jumat malahan"
"Berarti malem ini malem jum'at njul"
"Iya emang kenapa sih, maen game aja berisik mulu luh. Gara gara lu nih kita kalah terus mabar nya"
Si unyol pun merasa semakin takut setelah mengetahui kalau hari ini adalah malam jumat.
"Njul njul"
"Apalagi si nyol ah elah lu, udah pokus apa. Lu di kata katain tuh pake MM ngga bener dari tadi"
"Kaga kenapa napa njul, gua laper"
"Udah lu tahan bentar lagi juga kang mie tek tek yang biasa lewat "
"Bener lu njul"
"Iyaaaaaaa unyol brisik amat lu"
Krukutttzzzzz... Krukuttttzzzzz...krukutttzzz suara cacing dalam perut unyol sudah berteriak meminta agar perutnya segera di isi. Si unyol hanya bisa termenung memandangi gadget kesayangan nya.karena lagi lagi dia mati dalam permmushun harus mengulangi game nya.
Ting ting ting ting, dari kejauhan seseorang memukul mukul wadah makan kaca sebagai tanda iya sedang bedagang.
"Nah tuh tukang mie tek tek nyol, bener kan kata gua"
"Iya njul tapi mana ya ko kaga keliatan"
"Itu paling dia baru sampe tikungan pak Rahmat, udah lu tungguin gua mau kencing dulu di musholla"
Panjul pun pergi meninggalkan unyol sendirian menunggu penjual mie tek tek tersebut lewat.
"Aduh lama banget lagi si panjul" dalam hatinya
Ting ting ting pedagang mie tek tek tersebut mendekat menuju pos ronda.
"Nah tuh dia si akang mie tek tek nya dateng" muka unyol senang karena tidak sendirian lagi.
Tapi dalam hatinya bertanya tanya,kenapa pedagang mie tek tek tersebut memakai masker dan topi tidak seperti biasanya.
"Ko si akang tumben pake masker sama topi si, ah bodo amat lagi covid kali yang penting gua kenyang ama ngga sendirian"dalam hatinya.
"Kang mie rebus kang"
"Siap mas"jawab pedagang mie
"Pedes ngga mas" sambil membuka masker dan topi nya
"Whaaaaaaaaa gunduruwo bawa grobak"
dengan sepontan si unyol lari ketakutan setelah melihat pedagang mie tek tek dan pergi menghampiri panjul di mushollah.
"Njullll gunduruwo bawa grobak njul"degan napas terengap engap menghampiri panjul
"Apaan si lu malem malem buta gini berisik amat"
"Ada gunduruwo bawa grobak njul"
"Ah yang bener lu dimana"
"Di pos ronda njul"
"Yang bener lu nyol, yaudah anyok kita samperin"
"Lu aja sono njul gua takut"
"Anyok bareng emang lu doang yang takut anterin gua, mau gua karungin tuh gunduruwo " menarik narik unyol
Sementara mereka berdua kembali menuju pos ronda, pedagang mie tek tek tersebut merasa bingung .mengapa mas yang tadi lari melihatoooo, inya ,apa karna dia gondrong, sambil duduk di pos memegangi rambut nya.
"Njul njul noh dia njul gunduruwo yang nyamar jadi kang mie tek tek"
"Waduh tumben bener lu nyol, emang iya sih biasanya tuh yg jualan mie tek tek orang nya kecil kaga gondrong " jelas panjul
"Iya njul sumpah mukanya serem amat"
Mereka berdua mengendap endap di belakang pagar rumah warga sambil merencanakan sesuatu.
"Yaudah nyol kita karungin aja dari blakang tuh gunduruwo"
"Iya njul kita iket abis itu kita lapor pak rt"
"Iya nyol yaudah ayo nyol"
Dengan sangat berhati hati mereka berdua mengendap endap menghampiri pedagang mie tek tek yang mereka duga sebagai sosok gunduruwo.
Grubbbaaakkkk....
"Hayo loh ketangkep lu " panjul dengan sombong
"Iya njul iket njul iket " jelas unyol sambil ketakutan
Toloooonggggg tolooooongggg toloooooonnnggggg
"Lah ko dia minta tolong nyol, emang ada gunduruwo minta tolong"tanya panjul
"Gua juga kurang tau si njul, mungkin dia minta tolong sama bangsanya " jelas unyol
"Ah ngaco lu coba buka"
Setelah mereka membukanya terkaget mereka melihat seseorang dengan wajah seram dan rambut gondrong terlihat di hadapan mereka.
"GUNDURUWOOO..." mereka berdua sepontan berteriak
"Enak aja gunduruwo, siapa gunduruwo "tanya pedangang dengan emosi
"Abang siapa"tanya panjul
"Ya gua dagang emang ngga boleh"jelas pedagang dengan nada kencang
"Lah biasanya bang ucup" tanya unyol
"Lagi pulang kampung dia saya abang nya" jelas si pedagang
"Oooooo abang nya " jelas unyol
"Aaa ooo aaa oooo lu nyol, sialan lu" panjul memarahi unyol
"Ya lagi abang nya dateng rapet bener pake masker topian, giliran di buka serem"pembelaan unyol
"Kita berdua minta maap ya bang, kita ngga tau dan udah keburu parno"jelas panjul
"Yaudah iya ngga apa apa" jawab pedagang dengan lapang
"Yaudah bang kita berdua pesen mie rebus 2 sedeng" jelas panjul
"Siap 2 sedeng "
Mereka berdua pun melanjutkan bergadang mereka hingga pagi di temani semangkuk mie rebus hangat yang nikmat....
IKLAN LOWONGAN
Hembusan angin malam yang kencang saat itu mengiringi perjalanan unyol dan panjul selepas melaksanankan ibadah sholat isya di musholah, seperti biasa mereka selalu berdua bersama bagaikan soudara kembar yang berbeda rupa. Panjul saat itu sangat asik memandangi seberkas koran yang baru saja iya beli dari pedagang yang saat itu bersama menjalankan ibadah sholat isya. "Yailah sepi amat ya njul" ucap unyol dalam perjalanan. "Iya nyol udah kaya desa hantu yang di youtube youtube" jawab panjul sambil memandangi koran nya. "Ngomong ngomong lu baca apa si njul serius bener sampe kaga liatin jalan, kesandung tuyul tau rasa lu"tanya unyol. "Kita tuh harus sering sering baca koran nyol, cari lowongan di koran biar cepet dapet kerjaan" terang panjul. Tiba tiba panjul berhenti melanjutkan perjalanannya, dan membuat nyol terkaget dan ketakutan. "Ada apa njul lu nyandung tuyul ya"tanya unyol ketakutan. "Tuyul tuyul, lu tuh biang tuyul"jawab panjul sambi marah. "Nih ada lowongan di rumah sakit jeruk Bali buat OB, lu mau kaga"lanjutnya. "Wah boleh tuh njul lumayan ngga apa apa deh OB"saut unyol sambil mengelap ingusnya. "Yaudah senin kita ngelamar bareng" kata panjul membuat kesepakatan. Mereka berdua pun melanjutkan perjalanannya menuju rumah sembari berbincang bincang perihal lowongan pekerjaan di rumah sakit jeruk Bali. Sungguh terlihat senang nya hati mereka terlihat tampak semangat terlihat di wajah mereka karena tidak lama lagi mereka akan mendapatkan pekerjaan.
Langkah mereka pun terhenti di persimpangan jalan kampung jeruk purut, karena terlihat dari jauh nampak seseorang bertubuh besar dan gelap seperti mengendap endap di balik rimbunya pohon jambu di sebrang jalan. Perasaan takut dan curiga pun meyelimuti fikiran mereka, unyol yang sedari dulu memiliki sifat penakut pun menambah tegangnya suasana saat itu. "Njulll apaan tuh serem amat" tanya unyol ketakutan. "Iya gua juga liat"jawab panjul dengan suara pelan. "Lu jangan berisik nyol, maling kayaknya nih mau gua tangkep terus gua hajar"lanjut panjul. "Bukan orang kali njul balik lagi aja nyok" unyol terlihat takut. "Bukan orang gimana si lu, maling itu"sambil menepok kepala unyol. "Masa orang gede gitu njul, buto kali. Udah nyok balik lagi aja"unyol semakin takut. "Yakin lu buto"tanya panjul. "Setau gua yang gede item itu buto njul" jawab unyol. "Waduh ngeri juga, yaudah kita balik lagi aja ke mushollah kita bilang pak ustad sama warga desa"terang panjul. Mereka berdua pun lari mengendap endap kembali menuju ke mushollah berharap masih ada pak ustad dan warga desa di mushollah.
Dari musollah sudah tampak mereka berdua berlari dengan sangat kencangnya menuju ke arah mushollah, dan membuat pak ustad dan warga desa panik dan kebingungan ada apa sebenarnya. "Astagfirullah panjul sama unyol itu"tanya pak ustad. "Iya pak, ada apa ya"sahut salah satu warga desa. Sesampainya di hadapan pak ustad dan warga desa di mushollah dengan nafas yang terengap engap dan kata kata yang terbelit belit mereka memaksakan diri untuk bercerita kepada pak ustad dan warga desa. "Aaaaa pak tolong pak" kata mereke berdua dengan kata kata terbelit. "Astagfirullah, ada apa ini panjul unyol"tanya pak ustad. "Anu pak, anu"jawab unyol masih tidak bisa berucap. "Coba coba kalian berdua napas dulu napas baru bicara"jawab pak ustad. "Yaudah biar panjul aja yang cerita coba"lanjut pak ustad. "Anu pak ada buto di pohon jambu"kata panjul sambil terbatah batah. "Ya allah" saut warga desa. "Ah yang bener kalian berdua"tanya pak ustad. "Bener pak badan nya gede item pak" jawab unyol. "Yang bener unyol panjul, jangan sampe bikin keributan nih kalian berdua"nasehat pak ustad. "Bener pak ayo kita liat dan tangkep bareng bareng aja kalo ngga percaya pak"jawab panjul. Akhirnya panjul ,unyol, di temani warga desa dan pak ustad pun melihat sosok yang di ceritakan unyol dan panjul di persimpangan jalan kampung jeruk purut. Sementara di sisi lain sosok besar dan hitam tersebut masih berada di dekat pohon jambu persimpangan dan terlihat seakan akan menggapai sesuatu.
"Nah itu pak itu pak" kata panjul dari kejauhan sambil menunjuk ke arah pohon jambu. "Ya allah bener itu"saut warga desa beramai ramai. "Bapak bapak inget jangan seujon dulu, yang namanya makhluk gaib ya tempatnya di alam ghaib" penerangan pak ustad. Sementara unyol hanya terdiam terlihat ketakutan di belakang kerumunan bapak bapak ,dan si panjul masih yakin bahwa sosok tersebut benar buto ijo ataupun orang yang mencoba melakukan kejahatan. Panjul masih saja membakar emosi bapak bapak warga desa jeruk purut agar mau menangkap sosok tersebut. "Bener bapak bapak,ayo kita cari kayu yang gede"panjul dengan nada kencang. "Panjul jangan main hakim sendiri"nasehat pak ustad. "Bapak bapak jangan emosi"lanjut pak ustad. Para warga desa jeruk purut yang sudah terlanjur kesal dan emosi pun akhirnya tidak menghiraukan kata kata dari pak ustad, dan lebih terpancing emosi akan kata kata dari panjul. Bapak bapak yang sudah terlanjur emosi akhirnya mengambil Batang Batang kayu yang berserakan di pinggir jalan. "Tangkep pak hajar" panjul dengan keras memancing emosi bapa bapa. Gbluuuuuukk...bakkk..buuuuukkk...paaaakkk..gedebuuuukkk bapak bapak dengan semangat nya menangkap dan memukuli sosok tersebut. "Ayok pak terus hajar"panjul mengompor ngompori sembari ikut memukul. "Aduuuuuuhhhh.. Ampun" Terdengar rintihan minta ampun dari sosok tersebut. "Lah ko buto minta ampun njul"tanya salah satu warga. "Tipu muslihat setan ini udah hajar" panjul dengan keringat yang bercucuran semangat. "Stop stop stop coba buka " kata pak ustad. Sungguh terkejut lah mereka semua setelah membuka kain sarung yang di gunakan untuk menangkap sosok tersebut, ternyata sosok tersebut bukan lain adalah pak Rahmat yang memiliki perawakan yang besar serta kulit tubuh yang hitam. Di tambah saat itu pak Rahmat mengenakan baju berwarna hitam. "Aduh ampun ada apa ini bapak bapak ko saya di hajar"tanya pak Rahmat dengan lantang. "Astagfirullah pak Rahmat ngapain"tanya pak ustad. "Saya lagi cari burung saya yang lepas pak terbang ke pohon ini"jawab pak Rahmat dengan nada kesakitan. "Ko saya di pukulin"lanjut nya. "Hhhhuuuuuu... Panjul sama unyol nih tadi bilang ada buto di pohon jambu"ungkap salah satu warga. "Hhhuuuuu tau nih unyol sama panjul bikin heboh terus" kata salah satu warga. "Siapa buto nya njul nyol" tanya pak Rahmat dengan nada kesal. "Tau nih unyol sama panjul pak, iket aja di pohon jambu"kata salah satu warga. "Kan saya sudah bilang tadi nyol njul jangan seuzon"nasehat pak ustad. "Iket aja pak Rahmat di pohon jambu"kata salah satu warga. "Anu, annuuu pak minta maap lagi bapa ngapain malem malem di pohon jambu" kata mereka ketakutan. "Iket aja pak"kata salah satu warga desa. Pak Rahmat yang mempunyai tampang sangar dan tempramentar tersebut akhirnya mengikat panjul dan unyol untuk memberikan nya pelajaran. "Kamu mau lihat buto hahhh, nih aku ikat kau di sini biar bisa liat buto" kata pak Rahmat dengn suara menggelegar. "Ampun pak , lagi bapak ngapain pake baju item gelap gelapan" pembelaan panjul"Ya suka suka saya"kata pak Rahmat dengan suara menggelegar. "Ayo pak ustad, bapak bapak kita tinggal biar jadi pelajaran" lanjut pak rahmat.Panjul dan unyol pun di ikat oleh dan di tinggalkan oleh pak rahmat dan warga desa di pohon jambu persimpangan kampung jeruk purut yang saat itu sedang sunyi sunyinya."Maaaakkk tolong unyol mak" unyol menangis minta tolong dengan sangat sedih."Udah berisik lu nyol,gara gara lu nih kita di iket" kata panjul merasa berisik mendengar tangisan unyol. APEZzzzzzzzzzz...
Description: menceritakan 2 remaja pengangguran desa jeruk purut unyol dan panjul yang giat dalam mencari pekerjaan bersama, unyol yang memiliki tingkat seperti orang bodoh dan panjul memiliki watak yang kasar. kisah mereka selalu di selimuti cerita mistis nan menggelitik.
|
Title: Reinkarnation Slow Life
Category: Fantasi
Text:
Prolog
"The Greatest Dragon" merupakan julukan sebuah naga purba yang pernah hidup dengan Dewa di duniaku ini. Kibasan sayapnya dapat dengan mudah membelah air sebuah danau, panas nafasnya sepanas magma, kulitnya sekeras berlian dan yang terburuk dari itu adalah...
Dia abadi...
Tidak ada orang yang mampu mengalahkan monster Naga itu, terkecuali aku. Semenjak mendengar seberapa hebat kekuatan Naga itu, aku melatih kecepatan, kekuatan dan kemampuan sihir ku terus menerus. Sampai akhirnya aku di berikan julukan, orang terkuat dan kemungkinan besar dapat mengalahkan "The Greatest Dragon".
Entah kenapa, berkat rumor itu sang Naga datang dan memintaku untuk bertarung dengannya. Tentu saja aku menyetujui tentang ajakannya tersebut dan sebelum kami memulai pertarungan kami. Naga berbicara kepadaku dengan nada yang penuh dengan keyakinan.
"Jika kau dapat membunuhku, aku akan memberikan sesuatu yang dapat membuatmu bahagia"
Tentu saja kata-kata itu membuatku tersenyum, siapa yang tidak akan tertawa mendengar omong kosong itu? Jika aku membunuhnya dan dia mati, bagaimana dia bisa memberikanku kebahagiaan sesuai janji yang dia berikan kepadaku?
Aku yakin dia hanya mengejekku, karena mungkin di matanya aku ini tidak memiliki harapan sama sekali untuk menang! Tapi, dengan kekuatanku saat ini, kemungkinanku menang melawannya adalah 40%!
******
Pertarungan berlangsung begitu sengit dan begitu sulit. Itu semua karena lawanku adalah Naga yang di kenal abadi/kekal, tapi nyatanya...
Dia tidaklah kekal seperti rumor yang beredar tentang dirinya.
Sang Naga tumbang, dengan leher yang sudah terpisah dari badannya. Dapat di pastikan kalau dirinya sudah mati dan tidak akan dapat bangkit lagi.
"Sudah aku duga kalau omongannya hanyalah omong kosong-"
Sang Naga tidak terbaring sendirian, diriku juga tumbang karena pertarungan kami berdua. Lukaku bisa dibilang sangat parah, tangan kiri dan kaki kananku putus, aku yakin mata kiriku sudah terlepas dan yang terburuk organ dalam yang ada di perutku keluar karena luka sayatan yang menganga lebar. Kondisiku sudah sangat buruk, aku tidak yakin dapat bertahan lebih lama dari ini! Kesadaranku sudah ingin menghilang, semua ingatanku yang dulu perlahan mulai bermunculan, tapi yang aku herankan. Kenapa ingatan yang muncul itu adalah ingatan tentang aku yang menjalani hidup dengan santai?
Apa itu keingananku?
Menikmati lambatnya waktu yang berjalan dengan cara bersantai?
"Jadi itu keinginanmu manusia! Kau sudah membantuku terlepas dari kutukan yang tak akan bisa mati! Karena itulah, biarkanlah aku membalas kebaikanmu dengan cara memberikanmu kebahagiaan yang kau inginkan!"
Aku yang bertanya-tanya apa yang sudah terjadi, tiba-tiba merasa tarikan yang kuat menarik tubuhku dari belakang, tarikan itu menyeretku ke sebuah tempat yang gelap dan ketika aku dapat kembali membuka mataku...
Aku sudah berubah menjadi seorang bayi yang sehat!
Kehidupan baru
Keluarga Donlatan,itulah nama keluarga yang sudah melahirkanku di dunia ini. Keluarga Donlatan merupakan keluarga kesatria kerajaan besar yang bernama Hoston dan sudah sejak lama penerus keluarga ini selalu menjadi anggota kesatria kerajaan terhebat di kerajaan ini, semua orang mengakui kekuatan keturunan dari keluarga ini. Aku memang mengakui kalau keturunan keluarga ini merupakan orang-orang hebat, untuk seorang amatiran.
Untuk orang terkuat dikehidupanku yang sebelumnya, pergerakan dan kekuatan mereka terlalu lambat dan mudah sekali untuk di tebak. Tidak sepertiku yang sudah menemukan bela diri pertahanan absolute! Tidak ada gerakan yang lambat dan tidak berarti sama sekali di dalam diriku! Akan tetapi, untuk sekarang....
Aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku yang sekarang adalah seorang anak-anak yang berumur baru 1 tahun lebih!
Oleh sebab itu, di pagi hari yang cerah dan terasa nyama ini, aku hanya bisa memperhatikan Gerald (Ayahku), Dioda dan Rizko yang sedang berlatih di halaman belakang dari pangkuan Ibuku yang selalu duduk di teras rumah untuk memperhatikan latihan mereka. Sebenarnya untuk orang terkuat sepertiku, harus memperhatikan latihan mereka yang terlihat payah, sudah membuatku sedikit kesal. Akan tetapi, ini cukup menyenangkan, karena aku bisa duduk di pangkuan ibuku yang cantik! Rambutnya yang putih dan matanya yang biru membuat dirinya sungguh terlihat cantik! Seandainya kita di pertemukan di kehidupanku yang dulu, aku pasti akan menikahimu Ibu!
"Ara, Stif kamu tersenyum senang menatap ibu seperti itu lagi. Apa kau sangat senang dapat memperhatikan ayah dan kakak-kakakmu berlatih?" Tanya Ibu tersenyum manja sambil mengelus kepalaku.
"Gugaga~" Jawabku tertawa sambil memeluk Ibu.
Hehe, bukan itu. Aku tidak perduli sama sekali dengan mereka.
Sial, aku selalu frustasi memikirkan tentang "Kenapa orang secantik dan sebaik dia ini harus menjadi Ibuku". Tapi sekarang aku tidak perduli, karena berkat Ibuku ini. Aku pasti akan memiliki wajah yang tampan! Ditambah lagi, Ayahku Gerald bisa dibilang tampan juga, selain itu wajah kakak-kakakku juga enak dipandang semua. Aku jadi ingin segera tau rupaku ketika besar nanti! Mungkinkah aku jadi orang yang lebih tampan dari Levine Adam kelak?!
"Gugugaga~"
hHahahah~
"Hey lihat Stif tertawa sendiri lagi! Sudah aku bilangkan kalau dia itu bayi yang aneh?" Ejek Rizko mendekatkan wajahnya ke arahku.
Tatapan Rizko yang terlihat meledek membuatku mengembungkan pipiku.
"Guuuu...."
Lagi-lagi si Rizko!
Rizko merupakan kakak ke duaku dan dia masih berumur 5 tahun. Dia memang selalu bertingkah seperti ini kepadaku, dia selalu meledekku yang masih bayi ini! Pada awalnya aku kasian kepadanya, aku yakin sebagai anak ke dua seperti dirinya, dia pasti selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya. Tapi dugaanku itu salah, dia memang seperti itu! Dia begitu bangga dengan dirinya yang di sebut-sebut sebagai anak berbakat! Tapi aku sama sekali tidak melihat sedikitpun bakat yang dimilikinya, selain meledek orang lain.
"Aduh, ada yang marah?-- Emang bayi sepertimu bisa melakukan apa?"
Jadi kau mencoba untuk meledekku? Tenang saja, aku masih punya tehnik andalan untuk melawanmu. Tehnik itu adalah Telekinesis! Tehnik ini dapat digunakan dengan mudah, karena hanya memerlukan ketajaman pikiran untuk mengendalikan kekuatan yang ada disebuah objek. Semua objek, termaksud yang mati di alam , memiliki sedikit kekuatan dan karena kekuatannya yang kecil, kita hanya bisa menggunakan kekuatan yang kecil juga untuk dapat menggendalikan dan disinilah peran pikiran bermain. Walaupun kekuatan pikiran itu kecil, jika kita mampu mengendalikannya tentunya akan menjadi kekuatan yang besar.
Secara diam-diam aku membuat cangkir berisi teh panas milik Ibu melayan ke atas kepala Rizko yang sedang menatapku dari dekat dengan tatapan yang menjengkelkan.
Dengan ini, akan ku hapus kesombonganmu itu!
Ku tuangkan teh panas yang ada didalam cangkir tepat diatas kepala, Rizko.
Air teh panas mengenai kepala Rizko, sampai-sampai membuat Rizko menutupi wajahnya sambil menjerit.
"Huuuwwwaaa! Panas!"
Kedatangan air teh panas yang tiba-tiba sontak membuat Ayah, Ibu dan juga kakakku Dioda melihat kearah atas tempat air teh itu berasal, tapi mereka tidak mendapati apapun karena aku sudah memindahkannya kembali ke meja tempat ibu meletakkan cangkir tehnya. Mendapati tidak ada apapun disana, Ibu dan juga Dioda mulai bergerak untuk membantu Rizko yang terlihat kesakitan karena teh panas yang datang entah dari mana itu.
"Rizko kau tak apa? Sebenarnya dari mana asal teh panas itu muncul?" Tanya Dioda sembari menghusap wajah Rizko dengan sapu tangannya.
Sambil menggendongku Ibu menghampiri Rizko dengan wajah yang terlihat khawatir "Sepertinya teh itu, teh milik Ibu? Tapi dari tadi Ibu belum meminumnya, syukurlah sepertinya air tehnya sudah tidak terlalu panas".
Berhasil! Itu hukuman untuk orang belagu seperti dirimu-
Ketika aku melihat kearah Ayah, Ia terlihat melihat kearahku dengan tatapan yang terlihat serius.
Apa Ayah menyadari kalau itu ulahku?! Tidak mungkin, aku sudah menggunakan kekuatanku secara hati-hati. Tapi ada kemungkinan perbedaan dalam menggunakan kekuatan di dunia ini! Aku sudah gegabah!
Ayah perlahan berjalan mengarah kearahku yang sedang di gendong oleh Ibu, aku begitu panik memikirkan hal apa yang akan terjadi kepadaku nanti bila Ayah mengetahui tentang ini? Bisa-bisa kehidupanku yang lambat dan bersantai akan sirna!
Aku mencoba untuk tetap tenang, disaat Ayah mulai berjalan mendekat ke arahku. Ayah memasukkan tangan kanannya kedalam saku yang ada di jas hitamnya dan terlihat jelas dia sedang ingin mengambil sesuatu dari sana.
Sial! Apa yang akan Ayahku sendiri lakukan kepada anaknya yang masih bayi?!
Aku langsung memejamkan mata ketika Ayah mendekat dan terlihat akan mengeluarkan sesuatu dari dalam saku kemejanya.
"Ada noda teh panas yang menempel di kemeja Stif!" Teriak Ayah dan terdengar begitu histeris.
Heeh? Jadi aku tidak ketawan?
"Dioda cepat panggil Giana untuk mengambilkan komperesan air dingin!!" Teriak Ayah sambil membuka baju kemeja bayi yang aku kenakan.
Dengan sigap dan wajah yang terlihat panik, Dioda langsung berlari ke arah rumah dan meninggalkan Rizko yang masih terlihat kesakitan "Bak yah!".
"Sayang! Ayo kita siapkan kuda untuk membawa Stif ke dokter kerajaan!"
Sial! Aku lupa, mereka selalu over protectif kepadaku!
"Uwaaaa!" Teriakku.
"Sayang! Stif kesakita! Stif kesakitan! Ayo kita cepat bawa Stif ke dokter dengan kereta kuda tercepat kita!"
Tidak! Bukan itu maksudku! Aku hanya ingin malas-malasan dihari yang cerah ini! Dan lagi aku benci dokter!
Dan akhirnya, aku mulai menangis, karena rencana menikmati di hari yang cerah ini sudah gagal!
"Bukankah aku yang seharusnya dikhawatirkan disini?!" Teriak Rizko frustasi.
Description: Menjadi seorang yang terkuat sungguh membosankan, banyak sekali tanggung jawab yang harus di pikul. Namun pada akhirnya aku mati ketika pertarungan hebatku melawan Naga terkuat dan entah kenapa, Naga terkuat mengabulkan permintaanku untuk hidup kembali, namun di dunia yang berbeda dan situasi yang berbeda. Dan di dunia inilah, aku bertekat untuk hidup bermalas-malasan.
|
Title: Rahasia Bola Bekel
Category: Cerita Pendek
Text:
Rahasia Bola Bekel
Sebelum aku mati, aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Sebuah rahasia yang kusimpan rapat selama ini, dan itu mungkin akan mempengaruhi kehidupanmu kedepannya.
Rahasia ini dimulai ketika aku masih berumur sepuluh tahun. Pagi hari setelah aku bangun dari mimpi aneh yang menyenangkan—yang ingin aku ulangi lagi kalau bisa—dan mendapati celana dalamku basah. Siang harinya, aku bertemu Nadia, teman sekelasku yang memiliki lesung pipi dan senyuman paling indah. Sejak itu rahasia ini di mulai. Tepat di ulang tahun gadis tersebut.
Aku membelikannya bola bekel sebagai hadiah, dan ia sangat senang menerimanya. Katanya, ia memang suka sekali bermain bola bekel dengan kerang. Meski kemudian ia berkata hampir waktunya untuk menghentikan permainan itu. Ia akan tumbuh dewasa, tentunya mainan yang ia gunakan bukan bola itu lagi, tetapi hal yang berbau kecantikan. Meski begitu, pada ulang tahun berikutnya, aku memberikan bola bekel yang lebih indah dari sebelumnya.
Ia menerimanya dengan senang hati. Ia tahu bola itu bukan bola bekel biasa, tetapi bola bekel koleksi. Dirinya sudah tak memainkan permainan bola itu sejak lama, meski begitu bola tahun lalu dan yang ia terima sekarang akan ia simpan dalam kotak khusus. Kotak masa lalu yang mungkin akan ia bagi pada anak-anaknya kelak, bersama kenangan yang masih ia ingat. Aku senang mendengarnya.
Ulang tahun berikutnya, aku membelikan bola bekel lagi. Kali ini aku meminta khusus pada pengrajin bola itu. Aku ingin sebuah bola yang jernih, dengan bentuk hati berwarna merah muda di dalamnya. Meski aku harus membayar lebih mahal, tetapi bola itu selesai persis seperti yang aku minta. Saat Nadia menerimanya, ia tertegun sebentar sebelum memandangku. Ia mungkin telah mencium maksud lain dari pemberian bola itu. Bukan hanya sekedar hadian atau keisengan semata.
Ia memintaku untuk menjelaskan kenapa selama tiga tahun ini memberinya hadiah bola bekel. Aku katakan padanya untuk menunggu lebih lama lagi. Kami masih kelas sembilan dan kiranya belum cukup dewasa untuk mengungkap rahasia dari hadiah bola bekel. Meski ia sedikit tidak suka, tetapi aku melihat senyum malu dan rona pipinya yang menandakan dirinya mau menunggu.
Pada ulang tahun berikutnya, aku kembali memberinya bola bekel. Kali ini aku buat sendiri bola itu. Kebetulan aku punya paman yang tinggal jauh di luar pulau, memiliki teman pengrajin bola bekel. Saat liburan semester dua di kelas sepuluh, aku pergi mengunjunginya. Aku kemudian dipertemukan dengan temannya itu, mempelajari cara pembuatan bola bekel, kemudian mencoba menciptakan benda bulat tersebut.
Perjalananku itu aku katakan pada Nadia saat ia menerima bola bekel dengan warna tak sempurna. Aku gagal ketika ingin menciptakan bola dengan warna pelangi yang memanjang dari satu kutub ke kutub lain. Hasilnya warna itu seperti lukisan abstrak anak kecil. Namun, Nadia menerimanya dengan riang. Katanya, benda buatan sendiri itu dinilai dari usaha dan niat orang yang memberinya, bukan dari bentuk atau hasil akhirnya. Kemudian ia bertanya lagi alasan dibalik hadiah bola tersebut.
Aku katakan bahwa sekarang belum waktunya. Ia sedikit cemberut mendengar jawaban itu, dan mengingatkan pada satu tahun yang lalu, ketika aku berjanji akan mengatakannya jika sudah lebih besar. Aku sedikit membujuknya untuk bersabar, dan ia menurutinya meski terlihat enggan.
Ulang tahun berikutnya aku tidak bisa bertemu Nadia. Ia telah pindah empat bulan sebelumnya ke kota lain. Mengikuti orang tuanya yang pindah tempat kerja. Meski begitu, aku tetap mengiriminya bola bekel sebagai hadiah ulang tahun. Kali ini aku membeli bola itu di depan sekolah dasar kami dulu. Selain hadiah tersebut, aku juga menulis surat. Aku katakan padanya soal asal bola itu, juga sedikit mengingat kenangan saat kami kecil. Kami selalu berangkat dan pulang bersama ketika di sekolah dasar, dan mencuri pandang pada mainan yang dijual orang dengan pentil seukuran biji kecambah di pipi kanannya. Uang jajan kami selalu tidak cukup membeli mainan itu, kecuali menyimpannya selama seminggu.
Nadia membalas surat itu seminggu kemudian. Ia merasa senang dengan hadiah itu dan bertanya apakah aku akan berniat mengatakan alasan dibalik pemberian bola bekel tersebut. Dari suratnya ia sepertinya sudah tidak terlalu tertarik mendengar jawabannya. Seakan perasaan bahagia telah menerima hadiah itu sudah cukup baginya. Aku pun tenang, karena merasa masih belum waktunya ia tahu kebenaran dibalik bola-bola bekel di hari ulang tahunnya tersebut.
Pada ulang tahun Nadia berikutnya, aku tidak leluasa memilih bola bekel untuknya. Aku terpaksa membeli bola itu dari anak kecil yang sedan menjenguk ayahnya yang berada di sebelah ranjangku. Aku dan ayah anak itu cuma kenal empat hari saja, tetapi kami sudah akrab. Jadi, mudah saja aku bercerita bahwa bola itu untuk ulang tahun gadis yang sekarang tinggal jauh dariku. Kali ini suratku cukup panjang, karena menceritakan ayah anak kecil itu, juga mimpi-mimpiku. Ayah dan ibu mendapat surat laporan nilai sekolahku, juga rekomendasi universitas dan jurusan yang paling tepat untukku. Tetapi tidak ada jalur untuk menjadi penulis di sana. Itu sedikit mengecewakanku.
Surat balasan Nadia datang lebih cepat. Ia berkata hal yang paling ia tunggu di ulang tahunnya adalah bola bekel dariku, juga cerita dibalik itu. Selain hal tersebut, ia juga bertanya agar diriku menjaga kesehatan dan jangan memaksakan diri untuk menulis sampai larut malam. Ketika aku bertanya-tanya dari mana ia tahu kebiasaanku itu, karena selama ini aku tidak pernah menceritakannya, pada lembar berikutnya jawaban itu datang. Nadia tahu dari kakak perempuanku. Mereka berteman di sosial media. Dan aku mulai merasa takut kakakku juga menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak ia ceritakan. Ketakutanku tak terjadi, karena Nadia tidak tahu apa-apa. Kakakku sedikit berbohong padanya.
Pada ulang tahun Nadia berikutnya, ia berumur sembilan belas tahun. Kali ini, aku berada di kamar khusus sendirian. Aku meminta pada kakak perempuanku membelikan bola bekel untuk ulang tahun Nadia. Aku katakan padanya untuk menulis surat yang menerangkan bola itu aku beli di depan sekolah dasar kami dulu. Tetapi kakakku tidak menurut, ia menulis hal lain. Fakta yang selama ini aku simpan rapat dari Nadia.
Gadis itu datang tiga hari setelah bola bekel itu terkirim. Wajahnya makin cantik, dan lesung pipi itu makin manis, meski ia tidak menunjukkan saat tersenyum, tetapi menangis. Setelah berhenti, aku katakan padanya untuk tersenyum. Biar kuingat lesung itu dengan senyuman, bukan tangisan. Ia berusaha tersenyum, meski detik berikutnya menangis lagi.
Setelah sedikit reda, aku berkata akan memberitahu alasan dibalik pemberian bola bekel itu. Jawaban yang selama ini aku simpan dan sangat ingin ia dengar. Suaraku makin sulit terdengar setelahnya, membuat Nadia harus mendekatkan telinganya ke wajahku.
Dalam detik yang hening itu, aku katakan sebaris kalimat yang akan menjawab rahasia di balik hadiah bola bekel di setiap ulang tahunnya. Setelah mendengar itu, ia tertegun beberapa saat, sebelum menangis lagi.
Ia menggenggam tanganku. Meremasnya seakan tidak akan pernah melepasnya lagi. Kehangatan tangan itu, kelembutannya, serta kedamaian yang ia salurkan, perlahan pudar. Tangisannya pun perlahan sirna di telingaku. Aku menutup mata. Membukanya lagi. Lalu untuk terakhir kali, menutupnya.
Aku harap, sebelum aku kehilangan kesadaran dan tenagaku, diriku sempat menarik senyum di bibir. Karena, aku telah mengatakan rahasia dibalik hadiah bola bekel tersebut pada Nadia.
Ia orang pertama dan terakhir yang mengetahui rahasiaku.
TAMAT.
Description: Ada rahasia di balik hari ulang tahun seorang gadis, bukan mengenai gadis tersebut, tetapi mengenai seorang pemuda yang setiap hari istimewa itu, memberinya bola bekel dengan lembaran kisahnya sebagai hadiah.
Apakah si gadis akhirnya bisa memaksa si pemuda untuk memberitahu rahasia dari pemberian bola bekel tersebut, atau si pemuda sendiri yang kemudian memberitahu di saat tak terduga?
Saya hanya berharap single ke-3 Keyakizaka46 tidak mengecewakan.
|
Title: Romantisme Realisme Merdeka
Category: Review
Text:
Pembuka
Jika Chairil Anwar dinobatkan sebagai pembaharu bidang puisi oleh mendiang H.B. Jassin, maka dari kubu prosa, Idruslah bintangnya.
Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma ditulis dalam rentang waktu zaman kedatangan Jepang ke Nusantara di tahun 1942 hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Tanpa pandang bulu, himpunan cerita ini sanggup mengais jiwa nasionalisme para pembacanya, entah mereka terlahir dari zaman yang sama dengan sang penulis ataupun tumbuh besar di era Reformasi.
Kumpulan cerpen ini memenuhi kaidah dulce et utile (indah dan berguna) yang dicetuskan oleh Horatius, seorang pujangga besar Yunani, di dalam bukunya yang berjudul Ars Poetica. Seia sekata dengan Horatius, Effendi menggambarkan sastra sebagai sesuatu yang membawa "kenikmatan dan kehikmahan".
Selayaknya sebuah karya fiksi, Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma merupakan suatu pustaka yang sungguh menghibur. Pemilihan diksi yang kaya, dipadu dengan gaya tutur memikat serta isi cerita yang sukar ditebak, membuktikan bahwa Idrus adalah seorang pencerita ulung.
Sebagai salah satu seri sastra adiluhung, antologi cerita ini seumpama samudera luas yang kepayahan dalam menampung tumpahan perasaan dan olah pikir pengarangnya. Pergolakan batin dan cara pandangnya yang tidak lazim dalam mengamati sejarah Indonesia berhasil ia ramu dan tuangkan menjadi suatu bacaan yang gurih.
Melalui Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Idrus selaku pelopor prosa Angkatan '45 menggandeng kita ke masa lalu untuk mengintip, menangis, dan gelisah melihat sejarah perkembangan Indonesia tercinta.
Selembar Kebenaran Lebih Baik Dari Puluhan Lembar Kebohongan
Di bagian pertama buku yang diberi nama Zaman Jepang, kita disambut oleh sebuah skenario berjudul Kejahatan Membalas Dendam, sebuah bentuk karangan yang langka dijumpai dalam buku kumpulan cerita sekarang ini.
Idrus terlihat ingin menampilkan sandiwara ini dengan penuh sahaja, yaitu dengan menghadirkan enam tokoh serta latar berupa ruangan-ruangan ugahari pada bangunan perkotaan serta sawah di desa.
Karakter-karakter dalam sandiwara ini tampak sederhana dan klise, yaitu pengarang yang mengalami pemasungan kreativitas, tokoh dokter yang dihormati, ayah yang kolot, kawan karib jebolan sekolah hukum yang diplomatis, nenek tua dengan segudang rahasia dan seorang juru rawat perempuan yang vokal.
Bagian awal dari drama ini dipenuhi intrik romantika kehidupan penulis muda di zaman penjajahan, namun dari pertengahan hingga tamat, Idrus menyodorkan suatu kejutan yang menjadikan skenario ini laik dikategorikan sebagai cerita misteri.
Suasana penjajahan pada cerita ini memang digambarkan dengan gamblang, tetapi dibandingkan dengan cerita-cerita lainnya, hanya terkesan seperti tempelan belaka. Meski demikian, Idrus menambalnya dengan lihai melalui pendalaman sifat para karakternya yang merupakan produk dari penjajahan itu sendiri.
Penyampaian cerita dalam bentuk naskah drama dapat dianggap sebagai menu pembuka yang menyegarkan, namun bisa jadi sulit diikuti oleh pembaca yang baru mencoba menikmati karya Idrus.
Menuju akhir cerita, Idrus menyematkan pesan hangat untuk setiap pengarang Indonesia agar tetap bersemangat dalam menulis:
Ishak: Di bawah tumpukan kertas itu, di atas meja kutulis, Asmadiputera. Terpaksa kehabisan kertas.
Asmadiputera: Demikianlah hendaknya semangat pengarang Indonesia semua. Tidak ada kertas, tulis di mana saja. Jangan pikiran terbelenggu oleh yang kecil- kecil. Bagaimana semboyanmu itu, Ishak?
Ishak: (tersenyum) Lebih baik menulis kebenaran satu halaman dalam sebulan daripada membohong berpuluh halaman dalam sehari.
- Kejahatan Membalas Dendam
Idrus masih menerapkan gaya romantis untuk cerpen keduanya, Ave Maria, yang juga ditulis pada zaman penjajahan Jepang. Berbeda dengan sandiwara Kejahatan Membalas Dendam yang dicekal oleh Kantor Pusat Kebudayaan Jepang akibat dianggap terlalu individualistis, Ave Maria dilarang terbit karena judulnya yang dituduh berbau kebarat-baratan.
Di cerita kedua ini Idrus menanggalkan penggunaan diksi yang lugu, memasang ragam kosakata menawan, lalu merangkainya menjadi sebuah narasi yang elok. Tokoh utama yang sedari awal terlihat misterius akan dibanjiri simpati oleh pembaca setelah menyaksikan ujung kisah cinta segitiganya yang sendu. Seperti memakan sepotong kue, cerita ini sangat menyenangkan untuk diemut dan dicerna perlahan-lahan.
”Wartini, indah betul malam ini, seperti pada malam pertemuan kita. Lihatlah ke bintang yang berderet tiga buah itu.”​ - Ave Maria
Cerpen Ave Maria merupakan satu-satunya kisah di buku ini yang tidak menggunakan sudut pandang ketiga dan alur progresif. Alur maju-mundur di cerita ini memegang peranan penting, namun perubahan sudut pandang yang tidak kentara mengakibatkan transisi antara masa lalu dan masa kini kurang tertata dengan baik.
Sebagai penutup kisah, Idrus kembali menyisipkan kondisi negaranya dengan menjadikan sang tokoh utama sebagai abdi nusa dan bangsa.
Bagero
Bagian kedua buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang disebut dengan Corat-Coret Bawah Tanah ini ditulis pada periode akhir penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia.
Di sinilah Idrus bermutasi dari romantis menjadi realis. Deskripsi cerita yang sebelumnya manis manja kini menjadi garang dan bengis, seolah-olah kita melihat Idrus sedang terbakar dalam kegelisahannya di penghujung era penjajahan menuju kemerdekaan.
Kata makian 'bagero' yang berarti 'babi' dalam bahasa Jepang jadul nampaknya tepat sasaran dalam menggambarkan cara serdadu Nippon memperlakukan rakyat Indonesia. Perlakuan kejam oleh "saudara tua" kita itu ditelanjangi bulat-bulat oleh sang pengarang di bagian kedua buku ini. Idrus pun membebaskan diri dari kesantunan berbahasa yang ia bangun di bagian pertama dan tampil blak-blakan di dalam Corat-Coret Bawah Tanah.
Bagero: Semacam godverdomme, yang banyak dipergunakan Belanda biadab sebagai umpatan artinya: babi. - catatan kaki di cerita Kota-Harmoni.
Cerita Kota-Harmoni menyuguhkan karakter-karakter menarik di dalam sebuah trem ibukota yang disesaki penumpang. Dengan jeli Idrus menyingkap berbagai sifat manusia yang terjebak di tempat sempit dalam kondisi kepanasan dan terjajah. Moda transportasi yang sudah tak lagi digunakan ini mungkin akan menyulitkan pembaca dalam membayangkan latar cerita, namun kita dapat mengambil analogi bus gandeng Transjakarta yang berseliweran di ibukota sebagai gambaran latar.
Kisah-kisah berikutnya, yaitu Jawa Baru, Pasar Malam Zaman Jepang dan Sanyo, marak dengan sindiran ekstra pedas tentang akibat dari penjajahan Jepang yang menyebabkan rakyat Indonesia melarat.
Anak-anak muda yang masih berbaju pun tidak terhindar dari bahaya ini. Mereka semua pucat. Mereka melakukan onani ... untuk menghilangkan lapar. Akhirnya mereka ini pun mati. Kata dokter karena banyak onani .... – Jawa Baru
Tukang es lilin mengeluh sambil melihat ke badannya, ”Sekarang ini serba susah. Badan kita seperti es lilin saja. Bertambah kecil juga, akhirnya habis menjadi air. Dilemparkan orang.” Jawab Kadir, ”Aku melihat dari jurusan lain. Kita sama dengan es lilin. Sama-sama digigit dan dihirup orang.” – Sanyo
Cerita Fujinkai memiliki latar ruangan yang sederhana namun menjadi cerita luar biasa karena keunikan tokoh utama yang dilukiskan dengan penuh fantasi. Gaya bercerita yang lugas, tajam, pendek-pendek dengan taburan imajinasi ini juga ditemukan dalam salah satu novel Idrus yang berjudul Aki.
"Sepuluh menit ... dua puluh menit, Nyonya Sastra masih berbicara. Mulutnya yang seperti muncung tupai itu kembang kuncup seperti lubang puputan. Lubang hidungnya terbuka sebesar-besarnya, seperti jala dalam air. Tampak bulu-bulu hitam-hitam seperti ikan cumi-cumi. Sedang bicara keluar air ludahnya antara giginya, meleleh di alas dagunya, seperti ingus anak kecil." – Fujinkai
Di cerita Oh… Oh… Oh! dan Heiho, Idrus menyajikan berbagai ironi yang memaksa kita berkabung dan meratapi matinya hati nurani.
Dekat stasiun Bogor kereta api berjalan dengan cepatnya. Tangan orang yang berkaki sebelah itu terlepas dari pegangannya. Ia jatuh, dan mati. Kereta api terhenti. Kondektur membuat beberapa catatan. Kereta api berjalan lagi. - Oh... Oh... Oh!
Girang, katanya, ”Ti, lihat Ti.” Geram jawab Miarti, ”Apa yang dilihat? .... Pakaian monyet itu? Kau kira aku suka engkau jadi Heiho? Sehelai rambut pun aku tidak rela. Jika engkau mati, siapa yang akan mengembalikan engkau kepadaku, Nippon?” - Heiho
Kedua cerita penutup di bagian kedua ini memperlihatkan bahwa selain gaya romantis, Idrus juga menguasai gaya realis dan satir dengan prima.
Openhartig
Bagian ketiga yang berjudul Sesudah 17 Agustus 1945 ini juga merupakan bagian akhir dari buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang ditulis pasca kemerdekaan Indonesia. Cerita-cerita di bagian ini membuat Idrus sempat dikira acuh terhadap kegirangan rakyat Indonesia yang telah merdeka.
Kisah Sebuah Celana Pendek menceritakan tentang seorang warga yang menjadikan sehelai celana pendek sebagai poros kehidupannya di tengah penjajahan. Kontras yang dihadirkan oleh figur sepotong celana dalam kancah peperangan menjadi pesona tersendiri dalam cerita ini.
Akan tetapi, orang tinggi-tinggi dan besar-besar mau perang, yang satu untuk demokrasi, dan yang lain untuk kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Kusno tidak tahu arti demokrasi dan perkataan kemakmuran sangat menarik hatinya. Ia sebenarnya ingat kepada celananya. Kemakmuran berarti baginya celana. - Kisah Sebuah Celana Pendek
Cerita kedua di bagian ini, sebuah novelet berjudul Surabaya, merupakan kisah petualangan sarat aksi dan emosi. Idrus memandu kita dalam menyusuri sudut-sudut kota Surabaya yang dipenuhi dengan orang-orang mabuk kemenangan sehingga tak lagi bertingkah seperti manusia. Melalui cerita ini, Idrus tampak skeptis dan ingin menyikapi kemerdekaan Indonesia dengan hati-hati.
Kepercayaan kepada diri sendiri dan cinta tanah air meluap seperti luapan bir. Pemakaian pikiran menjadi berkurang, orang-orang bertindak seperti binatang dan hasilnya memuaskan. Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan. Tuhan baru datang dan namanya macam-macam, bom, mitraliur, mortir. - Surabaya
Buku ini kemudian diakhiri dengan cerita berjudul Jalan Lain ke Roma yang memiliki kekuatan dalam segi karakter. Nama tokoh utama cerita ini terdengar menarik, yaitu Open. Open sering menemui kesulitan akibat nilai kejujuran yang ditanamkan oleh orangtuanya sejak kecil, sesuai dengan namanya yang berasal dari bahasa Belanda 'openhartig', yang berarti jujur.
Awalnya Open menganggap keterusterangannya sebagai sesuatu hal yang membawa sial. Pada akhirnya, ia mempertahankan tabiat tersebut dan mendayagunakannya sekuat tenaga demi menyadarkan rakyat Indonesia yang terbuai oleh kemenangan.
Redaktur itu berkata, karanganku tai kebo. Ya, betul tai kebo. Kelihatannya jelek, tetapi jika dipakai sebagai pupuk, dapat menyuburkan kehidupan pohon-pohon. Dan pohon-pohon itu adalah bangsa Indonesia yang sedang tidur dengan nyenyaknya. - Jalan Lain ke Roma
Penutup
Keunikan teknik penulisan prosa Idrus mungkin sedikit banyak dipengaruhi oleh luasnya bacaan yang ia nikmati. Dengan tiga bahasa asing yang dikuasainya, yaitu Inggris, Belanda dan Jerman, Idrus semakin terpajan dengan khazanah kesusastraan yang digemarinya sejak dari bangku sekolah. Ia pun disebut-sebut sebagai orang yang memboyong tulisan-tulisan Anton Chekhov, cerpenis tersohor asal Rusia, ke Indonesia dengan karya terjemahannya.
Idrus, yang lahir pada tahun 1921 dan meninggal tahun 1979 di umur 57 tahun, dikenang sebagai sosok yang setia dan konsisten dalam hal menulis, walau beberapa kali karyanya ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Meski mendapatkan tempat terhormat di publik sastra sebagai pelopor prosa Angkatan '45, Idrus sendiri enggan disebut sebagai partisan Angkatan '45, namun ia mengakui karya-karyanya banyak menceritakan tentang zaman itu.
Tidak hanya kaya secara pengalaman, pada tahun 1974 Idrus juga mengantongi gelar akademis Master of Arts dari Australia dengan tesis berjudul In Content of Chairil Anwar's Poetry. Idrus masih tercatat sebagai kandidat program doktoral sekaligus dosen ketika ia tutup usia.
Buku kumpulan cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma yang telah dicetak ulang sebanyak dua puluh delapan kali ini berhasil menyorot kepiawaian Idrus dalam bercerita dengan gaya romantis maupun realistis dan tetap nasionalis, seolah ia selalu terbuka dan bersedia menyelami aneka gaya baru dalam kepenulisan.
Mungkin hal tersebut dipandang istimewa oleh sebagian pembaca yang menyukai gaya penulisan yang berlainan di setiap cerita, namun tidak menutup kemungkinan ada pula golongan pembaca yang kecewa ketika mereka menyadari betapa berbedanya cara bercerita Idrus di muka dan di ekor buku.
Ibarat secangkir espresso dengan aftertaste yang kuat, cerpen-cerpen Idrus yang tumpat makna akan menyisakan kesan yang dalam dan tak lekang digilas zaman. Format kumpulan cerita yang kebanyakan berbentuk cerpen singkat pun menjadikan sastra luhur ini dapat dinikmati sedikit demi sedikit di kala senggang.
Dengan rupa-rupa teknik penulisan dan kedalaman para karakter yang disajikan oleh Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma patut dibaca dan dipelihara oleh semua kalangan, baik penikmat sastra maupun pembaca yang menyukai gaya cerita yang tidak biasa.
Description: Sebuah resensi dari buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karangan Idrus.
Judul resensi: Romantisme, Realisme, Merdeka?
Judul buku: Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Pengarang: Idrus
Penerbit: Balai Pustaka
ISBN: 979-407-218-4
Tahun Terbit: 1948
Jumlah halaman: 176 halaman
Versi: Digital (PaDi - Qbaca)
Buku dapat dibaca gratis di http://padi.qbaca.com/product/585-dari-ave-maria-ke-jalan-lain-ke-roma
|
Title: Reyca, Kamu Tidak Sendirian
Category: Cerita Pendek
Text:
Reyca, Kamu Tidak Sendirian
BEL sekolah menjerit, memuaskan telinga yang sedang merindukannya. Siang yang terik memaksa raga lekas beranjak dari kursi kelas. Melangkahkan kaki menuju kantin tua di samping gerbang sekolah, guna membasuh dahaga yang kering. Bersama Ayu, sahabatku, yang sama rasa namun tak serupa. Singgah dan bersua bersama kawan lainnya di kantin sepulang sekolah, menjadi rutinitas yang enggan dilewati.
“Kemarin gue nggak sengaja denger Pak Rio nyanyi ‘Kasih Tak Sampai’, kereen banget suaranya. Emang keren tuh guru," cerita Ayu dengan ekspresi kagum bersatu genit malu-malu tapi mau. "Hmm.., oh si Bapak itu? Masih kerenan Fadli yang nyanyi kali Yu, hehehe. Lu jangan-jangan bukan kagum aja deh sama si Bapak itu. Jangan-jangan lu suka banget beneran yu? Waduh, bahaya yu! Mending lu jadian aja ama si Rangga! Dia udah lama nungguin jawaban lu juga, daripada mikirin si Bapak itu mulu!" cuek komentarku atas gelora cerita Ayu, tentang guru yang dijuluki keren itu. "Ah Rangga nggak keren sih, masih keren-an si Bapak, titik," ngotot jawaban Ayu diiringi beranjak dirinya dari bangku kantin disampingku.
"Sekeren apa sih Pak Rio? Kayanya biasa aja deh! Emang sih doi pinter dan cerdas , tapi wajar dong secara doi seorang guru kan! Kalau cool, emm.., ya doi masih muda, jadi enak diliatnya, ketimbang guru-guru lain yang udah tuwir, hihihi," kikik geliku di percakapan dalam hati. Mencari pesona Pak Rio, sang guru kimia yang banyak diidolakan para siswi di sekolahku. "Pasti ini karena doi juga jago manjat wall nih, yang bikin ada titel ‘guru keren’ di dirinya. Ah tapi kan doi pembina ekskul SISPALA, ya harus jago dong!" debat pikiran masih mengisi hatiku.
"Rey, gue balik duluan ya. Tuh tukang ojek lu juga udah nungguin lu tuh!" teriak Ayu menyadarkan lamunanku. Terlihat Bang Obet, tukang ojek langgananku di sebelah Ayu, yang sudah duduk dibonceng tukang ojeknya. "Oke Yu, titi dije ya," sahutku singkat, melepas perginya Ayu.
***
Sampai di rumah, aku pun disambut dengan pesan Mama, "Rey, sore ini jadwal ke dokter gigi ya. Untuk cek lubang di gigi kamu!" "Baik ma," sahutku singkat. “Kamu kira-kira bisa nggak kalau ke dokternya sendiri? Dianter sama Bang Obet. Kalau bisa kan mama jadi nggak begitu repot. Tahu sendiri kan kamu, kalau sore, harus mandiin adek, siapin makan malam,” sambung mama bertanya, lengkap dengan argumennya. “Kayanya nggak bisa deh Ma. Aku kan nggak ngerti tentang cara pake asuransi yang dari kantor Papa,” cepat kulontarkan argumen keberatanku. “Oh iya ya, Mama lupa,” singkat jawaban Mama. Teralihkan teriakan suara Adek yang memanggilnya di kamar. Aku pun langsung menuju kamar tidurku untuk salin baju dan beristirahat sejenak sembari menunggu sore tiba.
***
Sore pun tiba. Aku dan Mama sudah berada di klinik dokter gigi yang bertempat tak jauh dari kawasan rumah kami. "Bu, untuk lubang giginya bisa langsung ditambal permanent nih, karena nggak terlalu besar. Sikat giginya yang bersih lagi ya! Bisa pakai benang gigi untuk yang tidak terjangkau sikat ya. Tapi ini, kok saya lihat gusi Kakak ini pucat sekali ya. Saya curiga darah rendah Bu. Kakak suka merasa pusing nggak ?" penjelasan sekaligus pertanyaan dokter saat itu spontan membuatku mengangguk sambil termangu. "Oh iya, Dok. Dia emang sering ngeluh pusing. Pernah pingsan juga waktu SMP. Waktu kecil sering mimisan dia, Dok," sambung mamaku yang melihat aku tak berucap sedikit pun, merespon kalimat dokter sebelumnya. “Oh begitu. Baik, Bu. Saya kasih rujukan untuk cek laboratorium saja ya. Cek Hemoglobin aja, Bu. Jika rendah, dan diketahui sejak dini kan bisa ditambah suplemen vitamin darahnya!" saran Dokter sembari menulis di beberapa kertas. Dan tak lama kemudian, mengarahi kami untuk ke tempat pengecekan selanjutnya.
"Ananda Reyca Trihapsari," panggil petugas laboratorium, yang membuat Mamaku sigap berdiri dan menghampiri loket petugas tersebut. "Bu, ini hasil lab-nya, hasilnya harus langsung dikonsultasikan ke dokter umum yang sedang praktek sekarang ya!" tegas jelas petugas tersebut, sembari memberikan amplop berisi hasil cek darahku yang dilakukan sebelumnya. "Sudah kami daftarkan untuk ke dokter umumnya,Ibu dan anaknya silahkan langsung masuk saja ke ruangan dokter umum di sebelah sana!" sambil menunjuk ruangan di samping pintu masuk klinik, petugas laboratorium itu mengakhiri penjelasannya.
Setelah membuka amplop hasil laboratorium dan membacanya, sang dokter pun dengan raut muka serius, menyatakan "Bu, ini anaknya harus segera rujuk ke spesialis penyakit dalam dan kemungkinan perlu dirawat, Bu! Ibu mau rujuk ke rumah sakit mana?" pertanyaan sekaligus sambaran petir bagi aku dan Mamaku yang mendengar penjelasan singkat dokter saat itu. "Emm.., kenapa harus secepat itu, Dok? Anak saya baik-baik aja kan ini?" tanya Mama sambil memegangku yang duduk disampingnya.
"Anak Ibu Hb-nya rendah sekali, Bu. Empat koma delapan itu angka yang rendah. Angka normal untuk kadar Hemoglobin darah minimal dua belas, Bu. Biasanya pasien dengan Hb sangat rendah, harus mendapat transfusi darah. Jika tidak, bisa pingsan, hilang kesadaran dan bahkan bisa kritis kondisinya, Bu. Ini dituliskan, anak Ibu ada gejala sering pusing, bisa dikarenakan rendahnya jumlah Hemoglobin tersebut. Sehingga sel darah merah tidak dapat berfungsi dengan baik dalam mengangkut oksigen dan karbon dioksida oksigen di otak,” penjelasan panjang sang dokter, membuatku merasakan sakit di kepalaku kian terasa. "Baik, Dok. Saya ikuti saran Dokter. Rujuk ke rumah sakit provider saja, Dok," putus mamaku mengakhiri percakapan Dokter di klinik pada sore kelabu itu.
Keesokan harinya aku tidak masuk sekolah. Setelah menitipkan surat sakit ke tukang ojek langganan untuk disampaikan ke guru sekolahku, aku dan Mama serta adekku langsung menuju rumah sakit rujukan yang telah disepakati kemarin sore. Rumah sakit yang cukup jauh jaraknya dari rumahku, menuntut kami berangkat pagi. "Jauh pun tak apa, asal dijamin kantor Papa. Berobat butuh biaya yang tidak sedikit," begitu kata Mamaku. Sesampainya di rumah sakit tesebut, Mama mengisi formulir dan kami pun mengantri untuk dapat giliran diperiksa dokter spesialis.
"Ini langsung dirawat saja ya, Bu!" perintah dokter paruh baya itu, setelah membaca hasil lab-ku. "Oh langsung dirawat ya, Dok? Nggak bisa rawat jalan?" tanya Mama menegosiasi keputusan dokter. "Karena harus banyak pengecekan dan observasi yang dijalani, sepertinya harus dirawat, Bu! Lagipula anak Ibu dengan Hb rendah begini, rentan sekali terkena virus penyakit di luar, bisa memburuk kondisinya," jelas dokter yang membuat Mama terlihat melemas seketika. "Kira-kira berapa lama anak saya dirawatnya ya, Dok?" sambung tanya Mama. "Semoga nggak lama ya, Bu. Intinya kita observasi, jika sudah ketahuan penyebabnya, kita obati hingga Hb anak Ibuu mencapai normal kembali," jawab Dokter sembari memberikan lembar persetujuan rawat yang harus ditandatangani Mama.
Tak lama kemudian aku pun sudah diantar ke ruangan kamar rawat inapku. Kamar berisi dua ranjang tempat tidur. Beserta lemari meja kecil, juga bangku dan TV menjadi pelengkap di kamar yang akan aku huni tersebut. Satu kamar mandi terletak di dekat pintu masuk kamar. Dan ranjangku tepat disamping dinding kamar mandi tersebut. Di sisi berlawanan dengan ranjangku sudah terisi pasien lain yang masih anak-anak. Melihatku tanpa selang infus tertambat ditubuhku, Ibu pasien tersebut bertanya tentang penyakitku. Dan Mama menjawab sebagaimana penjelasan dokter, bahwa aku menjalani observasi atas kelainan di darahku. Sehingga tidak memerlukan bantuan infus, karena tidak ada indikasi kekurangan cairan.
Karena aku sudah mendapat kamar, Mama pamit pulang kembali ke rumah untuk mengambil baju dan segala keperluanku selama di rumah sakit. Yang belum terbawa karena tidak menyangka aku langsung dirawat. Tinggalah aku sendiri di bilik ranjangku yang tertutup sekat gorden, dengan bilik ranjang pasien sebelah. Aku pun mulai menyesuaikan diriku dengan kamar tersebut. Bersahabat dengan kasur dan bantal yang terbungkus kain serba putih. Dengan selimut berwarna cokelat kontras, membuat manis nuansa yang hampa itu. Bermain dengan lemari meja yang siap diisi segala perlengkapanku. Dan menonton penuh konsentrasi acara TV yang berada di kejauhan tersebut.
Malam pun tiba, Mama dan Papa datang membawakan beberapa setel bajuku dan perlengkapanku lainnya. Mama dan Papa memberi tahuku bahwa tidak bisa menemaniku di rumah sakit. Karena repot harus mengurus Adik yang masih kecil juga Kakak yang masih kuliah. Sehingga Mama akan ke rumah sakit dua atau tiga hari sekali. Dispensasi yang didapat, setelah orang tuaku meminta izin ke Kepala suster perawat dan Dokter yang merawatku. Dengan alasan jarak antar rumah kami dan rumah sakit yang cukup jauh. Tak bisa merubah keputusan itu, fasilitas handphone yang diberikan orang tuaku menjadi pelipur kesendirianku. "Yah, kalau ada handphone, aku tidak akan kesepian lah, bisa telpon atau SMS teman-teman sekolahku," gumamku dalam hati.
Esok hari pun tiba. Beberapa pengecekan laboratorium dan radiologi kujalani. Siangku pun disambut dengan beberapa SMS masuk dari sahabat-sahabatku yang menanyakan keadaanku. Ya, mereka pasti sudah tahu kabar aku dirawat di rumah sakit. Tak lama pun, dering handphone berbunyi. Dan terlihat nomor telepon rumah yang sudah sangat kuhafal, sahabatku, Ayu.
"Ya Allah, Rey. Lu sakit apa? Kok tiba-tiba dirawat?" tanya panik Ayu di seberang telepon. "Hehehe, iya nih. Hb darah gue rendah. Jadi mau diobservasi penyebabnya apa gitu kata dokter," jawabku santai mencoba menenangkan Ayu. "Gue sedih tau. Sepi nggak ada lo di sekolah," sambungnya sedih. "Apalagi gue disini nggak ada temennya, Yu, hehehe. Kabar sekolah gimana, ada gosip baru nggak?" tanyaku mengalihkan sedih. "Kabarnya ya heboh karena denger lu dirawat Rey. Wong kemarin kan masih baik-baik aja lu keliatannya," lugas jawaban Ayu yang menggagalkan pengalihan topikku. "Yaudah, gue doain lu cepet sehat ya, Rey. Cepet sekolah lagi, jangan lama-lama, nanti gue kangen berat," malarindu Ayu mengakhiri percakapannya di telepon. "Iya makasih banyak ya, Yu," singkat jawabku yang dapat keluar dari mulut ini. Karena tercekat oleh rasa sedih yang mulai menderita.
Seminggu pun berlalu. Posisi ranjangku pun sudah tak lagi dekat kamar mandi. Setelah pasien di sebelahku sembuh dan diizinkan pulang, aku minta pindah ke ranjang sebelah. Dengan jendela besar tepat di sebelah ranjang, aku merasa lebih terhibur. Karena bisa melihat pemandangan di luar kamar lewat jendela tersebut. Telepon dan SMS dari sahabatku dan beberapa temanku ternyata tetap tidak mengubah kosongnya hari ku selama di rumah sakit.
Tak lama handphone-ku pun berdering, terlihat nomor ponsel tak kukenal. Kuberanikan diri menjawab "Assalammualaikum," sapaku pelan. "Waalaikumsalam Reyca, ini Pak Rio. Gimana kabarnya? Masih dirawat ya? Sakit apa kata dokter?" jawaban serta rentetan pertanyaan keluar dari suara berat milik Pak Rio. Dengan rasa cukup terkejut ditelepon seorang guru, aku pun menyadarkan keadaan dengan cepat menjawab, "Oh, Pak Rio. Iya Pak, saya masih dirawat. Belum ada kabar terbaru, Pak, tentang kondisi penyakit saya, masih dicari penyebab rendahnya Hb saya." "Dirawat di Pelayaran ya Rey? Jauh ya," lanjut tanya Pak Rio. "Iya, Pak. Cari rumah sakit yang kerja sama dengan kantor Papa, Pak," jawabku pasrah. "Oh, gitu. Rey, mohon maaf, kami para guru belum bisa menjenguk kamu, karena jarak dan kesibukan lainnya. Jadi mewakili guru-guru yang lain, Bapak diminta menelpon kamu. InsyaAllah nanti sore sepulang sekolah, pengurus OSIS akan mewakili kami para guru, menjenguk kamu ya, Rey," jelas Pak Rio panjang. "Oh iya, Pak. Gapapa, ga usah repot-repot. Mohon doanya aja," balasku segan. "InsyaAllah selalu didoakan semoga Reyca lekas sehat dan kembali ke sekolah. Reyca yang sabar ya. Oh iya, kamar no.507, lantai 5 ya ?" tanya Pak Rio diakhir wejangan yang terasa mengisi relung hatiku. "Iya betul, Pak," hanya jawaban singkat yang keluar dari mulutku. Ketika hati ini masih memaknai relung hati yang baru terisi itu. "Oke kalau begitu Reyca, tetap semangat ya! wassalammualaikum," pamit Pak Rio menyudahi percakapan kami di telepon yang menyisakan hawa sejuk di diriku. "Waalaikumsalam," rapuh jawabku.
Masih terngiang suara berat Pak Rio di telepon tadi. Kesan mendalam yang tak asing kurasakan. Perhatian yang sarat makna tersampaikan hanya dalam beberapa menit dan tanpa melihat sosok yang berbicara. “Ah, aku sudah pasti rindu Papa,” gumamku. Papa belum menjenguk ku kembali karena sibuk bekerja. Posisi kantornya yang di Cengkareng, sudah jauh ditempuh dari rumah yang berada di bilangan Kebayoran Lama. Apalagi ditambah ke rumah sakit ini, yang ada di daerah Slipi. Kebiasaan tidak menelepon pun menjadi ciri khas Papaku. Ya, Papa adalah sosok ayah yang pendiam dan jarang berinteraksi dengan aku dan kakak, adikku.
Teringat kembali betapa banyak murid yang mengidolakan Pak Rio, termasuk sahabatku Ayu. Tanyaku sebelumnya apa yang membuat Pak Rio diidolakan banyak murid seakan-akan mulai terjawab. Kharisma perhatian yang tulus memang sangat kental kurasa dari Pak Rio setelah percakapan di telepon sebelumnya. Sosok laki-laki pengganti ayah yang mengisi relung hati setiap murid, hadir di sekolah.
Sore pun tiba. Teman-teman pengurus OSIS sekolahku pun tiba, seperti yang telah dijanjikan Pak Rio sebelumnya. Bingkisan buah, roti dan beberapa snack dijinjing beberapa orang dari mereka. Menambah marak pemandangan kedatangan mereka di kala itu. Namun yang membuat sore ku terasa berbeda, tidak lain adalah kehadiran mereka di kamarku. Bercakap-cakap seru dengan topik gosip yang sedang marak di sekolah, diiringi canda tawa sangat membuatku terhibur. Kosongnya diri ini sirna sesaat, digantikan oleh hati yang berbisik, “Reyca, kamu tidak sendirian.”
Dua minggu pun berlalu, tanpa ada jawaban pasti mengenai penyakit kelainan di darahku. Aku pun mendapat rujukan tambahan untuk dirawat dokter lain, yaitu dokter spesialis kelainan darah. Observasi pun semakin banyak. Datang pulang silih berganti pasien di sebelahku, membuatku mulai merasa terpuruk. Aku mulai sering jalan-jalan ke taman bawah rumah sakit untuk menghalau segala rasa pahit yang mulai kurasa.
Sebulan sudah berlalu. Aku mulai merasa putus asa. Sudah pasti pelajaranku banyak tertinggal. Kondisiku pun tak ada yang berubah. Perawatan di rumah sakit pun terasa begitu-begitu saja. Tak ada yang berbeda, hanya cek darah dan minum vitamin saja. Aku merasa diabaikan, dikurung, dipenjara dalam rumah sakit. Perlahan rasa pupus akan impian cita-citaku pun mulai menggerogoti diriku. Aku pun memberanikan diri marah dengan dokter yang merawatku saat kunjungannya kali itu. Aku katakan bahwa keputusan dokter yang memaksa aku dirawat, padahal kondisiku pun tidak darurat tanpa infus atau peralatan apapun tertambat di badanku, hanyalah dapat mematikan semua langkahku. Yang juga dapat mematikan jiwa dan ragaku perlahan-lahan. Amarah dan tangisanku pun membuat dokter cukup geram, dan kalimat mematikannya pun tercetuskan, "Kamu tahu nggak kenapa kamu tidak boleh keluar dari rumah sakit, karena diagnosa untuk penyakit kamu adalah gejala kanker darah. Kamu berdoa saja semoga hasil observasi akhir bukan positif kanker!" Mendengar hal itu pun, membuat tak ada satu kata pun yang dapat keluar dari mulutku. Aku shock. Aku mati suri membisu. Gemuruh tangis tak tertahankan pun berderai saat perawat dan dokter meninggalkan ruanganku. Tak ada lagi semangat. Tak ada lagi keinginan. Tak ada pegangan. Sendiri ku menangis hingga lelah terlelap.
Sepekan berlalu, aku dijadwalkan untuk dilakukan pengecekan sumsum tulang belakang. Untuk memastikan tegaknya diagnosa atas penyakitku. Hasil pengecekan tersebut pun memiliki waktu tunggu tujuh hari. Aku dan orang tuaku sudah pasrah atas apapun hasilnya. Menerima segala kenyataan yang kuhadapi seperti pil pahit yang harus kutelan. Keahlian bermain musik yang kumiliki dan kutekuni dengan kursus sudah kurelakan. Karena jika aku bisa sehat, sudah pasti mengejar pelajaran yang tertinggal adalah fokus utamaku. Aku yang duduk dibangku kelas XI SMA saat ini, harusnya sedang mempersiapkan penjurusan untuk di kelas XII selanjutnya. Cita-citaku ingin menjadi dokter, mengharuskan masuk ke jurusan IPA di kelas XII. Namun di kondisi ku saat ini, bisa naik kelas saja sudah bagus. Pupus harapanku.
Enam minggu sudah aku berada d rumah sakit. Menanti hasil pengecekan dengan perasaan yang mendua. Harapan besar tetap ada di lubuk yang terdalam, namun di sisi lain hati ini berusaha meredam, karena takut lebih sakit kecewa.
Sang Khalik Yang Maha Pengasih dan Penyayang pun memberikan takdir terbaik untuk hidupku. Bebas dari sel kanker dan terdapat kelainan di sumsum tulang belakangku menjadi diagnosa akhir penyakitku. Jiwa dengan penuh harapan pun terlahir kembali. Gelora semangat pun ku pupuk kembali. Semuanya beriringan dengan harus bersabar lagi, menjalankan terapi suntikan guna menormalkan kondisi sumsum tulang belakangku.
Masuk di minggu kedelapanku di rumah sakit. Terapi suntikan sudah berjalan tiga kali, dan sudah menunjukan kenaikan di Hb darahku. Kabar baik pun kudapat, bahwa aku boleh pulang dengan catatan tetap melakukan rawat jalan, untuk mendapatkan terapi suntikan dan beberapa hari sepulang dari rumah sakit, aku masih harus istirahat lagi selama tiga hari dirumah.
***
Aku kembali bersekolah. Perasaan haru senang dan semangat kembali meliputi diriku. Melepas rindu dengan sahabatku dan segala aktivitas di sekolah mengisi hari-hariku. Kesenangan tersebut pun tak bertahan lama, aku segera dihadapi dengan berbagai susulan ulangan harian dan di dua pekan depan akan ada pekan ujian semester.
Selama satu pekan tersebut aku isi belajar setiap malam. Mempelajari semua catatan yang kusalin dari catatan temanku di pagi harinya di sekolah. Beberapa materi pelajaran yang textbook bisa kupelajari sendiri, namun untuk pelajaran eksak seperti Matematika, Fisika dan Kimia, membuatku kesulitan memahaminya tanpa guru disampingku.
Karena kesulitan itu aku pun mendahulukan susulan ulangan harian non-eksak. Bertemu dengan guru-guru mata pelajaran non-eksak terlebih dahulu, lalu meminta jadwal ulangan harian. Aku mengerjakan ulangan susulan tersebut ketika jam istirahat atau setelah jam sekolah berakhir di ruangan guru, di meja tiap guru mata pelajaran yang bersangkutan.
Dua hari sudah aku melakukan susulan ulangan harian dan diketahui juga oleh Pak Rio dan guru lainnya. "Eh Reyca, sudah mulai susulan ulangan harian ya?" tanya Pak Agus, guru Fisika, yang melihatku sedang mengerjakan susulan ulangan PPKN di meja sebelahnya. "Iya Pak," jawabku singkat sembari senyum datar. Berharap tidak diminta mengerjakan susulan ulangan Fisika secepatnya. "Terus kapan mau susulan ulangan harian Fisika?" tanyanya kemudian yang berbeda dengan pengharapanku. "Untuk Fisika, saya belum siap, Pak, masih mempelajarinya, Pak," jawabku pasrah. "Yah, trus kapan dong? Jangan lama-lama, Bapak kan juga mau masukin nilai-nilai, biar nggak ada pendingan. Besok lusa ya kamu ulangan susulan jam istirahat di meja bapak," perintah Pak Agus yang membuatku pucat pasi. "Sepulang sekolah saja ya, Pak," mohonku menawar. "Hmmm, dia nawar lagi. Yaudah gapapa deh sepulang sekolah," jawabnya setengah hati. Pikiranku pun kalut, aku menunduk rapuh sembari mengerjakan susulan ulangan harian yang belum selesai itu. "Semangat ya, Reyca!" suara berat Pak Rio terdengar dari sisi belakangku. Ternyata sedari tadi Pak Rio pun ada di ruangan dan mengetahui segala yang terjadi. "Oh iya, Pak. Terima kasih," singkat jawabku mewakili perasaan yang tak menentu saat itu.
Pak Agus yang terkenal sebagai guru Fisika yang killer dan tidak mau tahu kondisi murid. Fisika yang diajarkan beliau pun kadang susah dimengerti karena gaya mengajar beliau yang satu arah dan kurang jelas bagiku. Bagaimana sekarang, diajar pun tidak kudapat, tetapi ulangan harus kukerjakan. Gundahku melanda. Pelajaran Kimia dan Matematika pun belum kuminta untuk susulan ulangan harian. Karena aku masih mempelajari sendiri, mencoba mengerjakan soal-soal latihan sendiri dan mencocokan ke kunci jawaban tanpa uraian penyelesaian yang ada di buku.
"Ah, Pak Agus kenapa menyebalkan sih?! Pak Rio dan Bu Siti saja nggak masalah aku belum susulan ulangan harian," kesalku dalam hati. Menghempas rasa kesal yang ada, aku kembali menyelesaikan susulan ulangan harian PPKN saat itu.
Sepulang sekolah aku meminta waktu beberapa temanku yang juara dalam pelajaran Fisika untuk membantuku memahami pelajaran Fisika yang tertinggal kupelajari. Banyaknya rumus dan keharusan banyak latihan soal untuk melancarkan ingatanku, sangat menguras tenaga, pikiran dan waktu. "Waktuku hanya sampai besok lusa, pasrah saja lah," putus asaku dalam hati.
Hari susulan ulangan Fisika pun tiba. Perasaan yang tak menentu kurasakan di siang itu. Rasa kantuk tak terelak kurasa, karena belajar latihan soal juga mengerjakan berbagai tugas susulan pelajaran lainku yang ketinggala. Melihat soal ulangan harian susulan Fisika pun membuat ku kalang kabut dan blank. Aku kerjakan dan isi saja sebisaku, yang penting terisi, entah jawabannya betul atau salah. Aku sudah tiada kesanggupan untuk peduli akan itu. Hanya ingin melewati semuanya secepatnya, yang ada di pikiranku.
Senin di pekan setelahnya pun tiba. Mata pelajaran pembuka di pagi hari tak lain adalah Fisika. Setelah memberikan penjelasan materi, beberapa soal latihan pun diberikan oleh Pak Agus. "Reyca, hasil susulan kamu jelek banget nilainya. Kamu nggak belajar ya?" laporan sekaligus tanya Pak Agus yang sembari berkeliling kelas saat kami mengerjakan soal latihan yang diberikannya. "Duh, oh,..gitu maaf, Pak. Saya banyak yang belum paham, Pak," terus terang jawabku pasrah. "Ya kalau nggak ngerti, belajar sama teman-teman kamu dong yang udah bisa. Kaya Hendy, Fitri, kan banyak tuh yang pinter-pinter, jangan diem aja!" sahutnya yang membuat patah hatiku. Merasa sia-sia menjawab panjang lebar, hanya "Iya, Pak", yang keluar dari mulutku. "Kalau nilai jelek begitu gimana ngejarnya biar bagus di rapor. Nanti ulangan semester harus dapat minimal delapan puluh, kalau mau aman nilai Fisika kamu Reyca!" sambung Pak Agus yang membuatku semakin sakit kepala. "I..iya, Pak," singkat jawabku berharap Pak Agus mengakhiri topik.
Badanku lemas, jalanku gontai, kepalaku samar terasa sakit. Berat sekali rasanya menjalani hidupku di bangku kelas XI ini, dengan penentuan penjurusan kelas untuk kelas XII selanjutnya. Tiada senyum lagi yang bisa kusunggingkan menghiasi hari-hariku, yang tak ramah ini.
Kegelisahanku, keputus-asaanku seakan-akan diketahui Pak Rio. "Reyca, karena sekarang menjelang ujian semester dan sudah masuk penilaian penjurusan. Satupala ngadain belajar malam. Setiap hari dari ba'da Ashar sampai jam sebelas malam di sekolah. Nanti ada kakak kelas XII yang akan menjadi tutor, mengajari kalian materi yang belum dipahami. Bapak juga hadir. Kalau kamu dapat izin dari orang tua dan tidak mengganggu kondisi kesehatan kamu, ikut saja, Rey!" info Pak Rio menjelaskan program ekskul SISPALA binaannya, yang terasa seperti angin sejuk di diriku yang gersang. "Oh iya, Pak. Saya ikut, saya izin dulu sama Mama Papa saya ya, Pak. Terima kasih banyak," jawabku sumringah. “Pasti aku dapat izin dari Mama Papa. Setiap harinya aku pun sudah selalu tidur larut malam, karena belajar sendiri mengejar ketinggalan. Ini pasti lebih efektif daripada aku belajar sendiri," optimisku dalam hati.
Sepulang sekolah aku pun meminta izin Mama untuk belajar malam. Juga menjelaskan tentang belajar malam dan kondisiku yang serba sulit mengejar pelajaran saat ini. Mama pada dasarnya mengizinkan, namun Mama tetap perlu meminta izin Papa dan memastikan tukang ojekku bisa menjemputku usai belajar malam. Allah Yang Maha Baik pun masih melihat kesusahanku, semua izin dan kemudahan kudapat untuk belajar malam.
Esok hari nya aku pun mulai mengikuti kelas belajar malam. Susulan ulangan harian Matematika dan Kimia pun bisa kukerjakan dengan baik setelahnya. Pekan ujian semester pun tiba, aku tetap mengikuti kelas belajar malam setiap harinya. Ujian semester pun bisa kukerjakan lebih baik dari sebelumnya.
Walau sudah bersusah payah dan berusaha sekuat tenaga dan pikiranku. Hidup tidak selalu mulus seperti harapan. Aku berhasil naik kelas ke kelas XII. Namun ternyata hasil nilai Fisikaku di ujian semester tidak bisa mendongkrak nilai ulangan harian susulanku yang terlanjur jelek. Hasil rapor nilai Fisikaku merah, bertolak belakang dengan syarat penjurusan kelas IPA yang sudah aku pilih sebelumnya. Berbeda dengan nilai Fisika, nilai Matematika dan Kimia ku cukup bagus, dan masuk persyaratan penjurusan kelas IPA.
Karena hal itu pun aku dipanggil ke ruangan guru, tepatnya ke ruang guru bimbingan konseling. Sesampainya disana sudah berkumpul beberapa guru, diantaranya Ibu Rima yang merupakan guru BK, Pak Rio dan Pak Agus. "Reyca, bagaimana kabarnya, sehat?" tanya Bu Rima membuka percakapan. "Alhamdulillah sehat, Bu," jawabku singkat yang mewakili perasaan tegangku. "Masih kontrol rawat jalan atau sudah selesai terapinya?" sambung tanya Bu Rima. "Alhamdulillah sudah selesai, Bu," jawabku tetap singkat.
"Oh alhamdulillah ya. Baik, Reyca. Jadi kamu dipanggil di sini karena terkait penjurusan di kelas XII. Di sini sudah ada Pak Rio sebagai guru penangggung jawab penjurusan kelas IPA dan Pak Agus sebagai guru Fisika. Sebagaimana kamu juga sudah tahu, nilai rapor Fisika kamu tidak masuk persyaratan lolos penjurusan kelas IPA. Oleh sebab itu, diadakan pertemuan ini untuk mendapatkan titik penyelesaian yang terbaik untuk kamu juga para guru yang bersangkutan di sini," panjang penjelasan Bu Rima. "Iya, Bu," kembali hanya kalimat tersebut yang dapat keluar dari mulutku. "Baik, Reyca. Jika kamu harus merubah kelas penjurusan kamu, kamu akan memilih kelas IPS atau kelas Bahasa?" tanya Bu Rima to the point. "Em..., saya sepertinya akan sulit memilih keduanya, Bu. Saya kurang suka dengan pelajaran di kelas tersebut. Saya agak sulit menghafal, Bu. Nilai rapor saya untuk Sosiologi dan Antropologi juga Bahasa Jerman juga rendah, dibawah rata-rata kelas walau memang tidak merah. Saya berharap tetap bisa masuk kelas IPA, dan saya akan berusaha mengejar ketinggalan saya, Bu," jawabku memohon. "Bagaimana Pak Agus, apa Reyca tidak bisa dibantu?" tanya Bu Rima yang sekarang merubah arah percakapan ke Pak Agus. "Ya nggak bisa, Bu. Kan nilai Fisikanya merah. Saya nggak mau disalahin jika nanti, nilai ujian akhir Fisikanya kelak, dibawah standard dan akan mempengaruhi kredibilitas sekolah kita," alot argumen Pak Agus yang sangat tak ramah terhadapku. "Saya yang akan menjadi jaminan untuk Reyca bisa masuk ke kelas IPA. Saya siap disalahkan jika keputusan saya tidak tepat," lantang suara berat Pak Rio meloloskan harapanku. Tak kusangka, Pak Rio akan kembali menolongku bangkit dan semangat meneruskan harapan dan cita-citaku. Air mata haruku pun tak terbendung. "Terima kasih Pak Rio," ucapku bergetar. "Emm, kalau gitu untuk menyesuaikan nilai kamu. Saya ada tugas untuk kamu, buat makalah berisi alat optik dan kumpulan rumus Fisika dari kelas X sampai kelas XII!" perintah Pak Agus menyela keharuan diriku. "Siap, Pak," jawabku lantang menyanggupi tugas yang tidak mudah itu.
"Baik kalau seperti itu, sudah didapat penyelesaian yang terbaik. Saya ucapkan terima kasih untuk Pak Rio dan Pak Agus, juga Reyca terus berjuang ya!" ucap Bu Rima menutup percakapan kami di ruangan itu. Kemudian kami pun keluar ruangan Bu Rima.
"Terima kasih banyak ya, Pak. Bapak selalu bantu saya,” ucapku tulus kepada Pak Rio. "Siap, Reyca. Tetap semangat ya! Kamu nggak sendirian, ada teman-teman kamu dan Bapak yang siap mendukung kamu." Jawaban serta penyemangat dari Pak Rio yang membakar gelora harapan di diriku.
Tanpa Teman - I
Burung-burung pun bernyanyi
Bunga-bunga pun tersenyum
Melihat kau hibur hatiku
Hatiku mekar kembali
Terhibur symphony
Pasti hidupku kan bahagia
LAGU indah yang mewakili hariku selanjutnya. Pepatah pamungkas : "Selalu akan ada pelangi, setelah hujan badai" pun nyata kurasakan. Mendapatkan kesempatan masuk kelas jurusan IPA di kelas XII, membuatku memiliki jiwa yang baru. Jiwa yang betul sudah sembuh dan sehat seutuhnya.
Menyadari semua terjadi atas kehendak dan kuasa Allah, Tuhan Yang Maha Baik, aku pun belajar berhijrah. Memperbaiki diriku dengan mengubah penampilan. Penampilan yang lebih Islami, dengan menutup aurat sesuai ajaran keyakinanku. Keluargaku pun antusias mendukung keputusanku.
Hal yang tidak terlalu sulit untuk menerapkannya. Dikarenakan, Mama dan kakakku sudah terlebih dahulu memakai jilbab dan menutup aurat pada penampilannya. Aku diajari cara memakai jilbab oleh kakakku. Bahkan jilbab dan pakaian serba panjang, yang sudah tidak dipakainya pun diberikan kepadaku. Postur badanku dengan kakakku yang tidak begitu berbeda, melancarkan segalanya. "Ah ada untungnya juga ternyata sebutan bongsor itu, hehehe," sumringahku dalam hati.
Beradaptasi dengan penampilan yang baru pun mudah kulakukan. Kebiasaanku memakai celana panjang sebelumnya, sudah pasti dilanjutkan. Hanya perbedaan di jilbab dan kaos gombrong yang biasa kupakai sebelumnya. Sekarang baju lengan panjang menjadi pilihan utama. Memakai jilbab pun tak kurasa sulit. Rambutku yang cenderung pendek tidak perlu diikat, cukup ditutup dengan topi ciput sebagai dalaman jilbab.
Di sekolah, dengan seragam yang serba panjang, aku merasakan nyaman. Selain kulit tak tersengat terik matahari juga hangat terselimuti dari angin, ada rasa aman yang kurasakan setelah berpenampilan lebih Islami tersebut.
Hari selanjutnya kujalani dengan penuh semangat. Aku diikutkan kursus bimbingan belajar di satu lembaga yang cukup bagus dan terkenal. Fokus belajar menjadi pengisi hari-hariku. Mendapatkan nilai terbaik dan diterima di kampus yang diinginkan menjadi tujuan semangat aku saat itu. Perjuanganku pun tidak sendirian, bersama teman-teman yang juga memiliki tujuan yang sama, menjadikan perjuangan belajar menjadi ringan dan menyenangkan.
Tak terasa ujian akhir pun sudah di depan mata. Satu bulan menjelang ujian, menjadi waktu yang terasa sangat menguras tenaga dan pikiran. Banyaknya tugas makalah dan rangkuman yang harus dikumpulkan sebelum pekan ujian akhir, menjadi pelengkap perjuangan para anak kelas XII.
"Ma, koran-koran hari ini dan kemarin-kemarin, ada dimana ya? Reyca ada tugas kliping nih dari sekolah," tanyaku pada Mama. "Oalah, baru kemarin Mama loakin, abis numpuk bikin berantakan," jawaban Mama yang seketika membuatku lemas. "Yah, Mama. Terus gimana ini tugas Reyca," sambungku kecewa. "Emang kamu nggak bisa minta sama temen-temen kamu? Masa nggak ada yang punya koran?!" Mama balik bertanya. "Hmmm.., temen-temen juga mintanya ke aku, kan mereka tahu kita langganan koran, sedangkan mereka nggak langganan," sanggahku kemudian. "Ya sudah, besok pagi-pagi banget, coba kamu tungguin loper koran yang suka anter koran ke rumah kita. Minta tolong sama Mas-nya, bawain koran bekas, pasti banyak di agen koran. Nanti kita kasih ongkos gantinya!" saran enteng Mama yang tak dapat kutolak. Mengingat banyaknya tugas lain, yang sudah melambai-lambai minta kukerjakan, membuatku tak ada waktu untuk mencari koran bekas di tempat lain.
Keesokan harinya, di ufuk subuh. Matahari pun masih enggan memunculkan diri. Kesemuannya di langit pun seakan dipaksa keluar oleh kejamnya pacu roda putaran bumi yang terus bergulir tanpa henti. Sama seperti diriku, yang juga terpaksa bersiaga di halaman rumah. Menunggu sang loper koran, demi menyelesaikan tugas sekolahku.
"Bentar lagi biasanya datang!" seru Papaku yang sudah berada di bangku sebelahku sembari memakai sepatu pantofel kerjanya. Pemandangan yang asing kulihat. Papa yang selalu berangkat kerja sebelum matahari terbit, memang hampir tak pernah kutemui di kala pagi. Masih terlelap atau tergoda tidur kembali setelah solat subuh menjadi rutinitas aku sehari-hari, sehingga tidak heran, jika hanya melihat dan bertemu papa di kala malam, sepulang beliau bekerja.
"Oh iya, Pa," jawabku cepat seiring melihat papa telah selesai memakai sepatunya. Papa pun lekas berdiri dan pamit berkata, "Papa berangkat dulu ya, assalammualaikum." "Waalaikumsalam, hati-hati di jalan, Pa," jawab sekaligus pesan ku pada Papa yang selanjutnya hanya dibalas anggukan senyum ramah Papa.
Jauh mata memandang mengiringi keberangkatan Papa. Dapat kulihat seseorang dengan sepeda dan tas obrok penuh dengan koran di bagian belakang sepeda, mendekat ke arah rumahku. Lelaki bercelana abu-abu khas celana sekolah, memakai jaket dan topi serba hitam itu mengarah pandangannya ke diriku yang berada di depan rumah.
"Ini koran hari ini!" serunya singkat sembari memberikan koran kepadaku yang masih mengamatinya. Melihat penampilan dan gayanya yang santai khas anak sekolahan. Juga tanpa basa basi membuka percakapaan dengan embel-embel kata panggilan sapaan "mbak" atau "adek" ke diriku, saat memberikan koran. Membuatku yakin, lelaki sang loper koran ini memiliki umur sebaya denganku.
"Eh tunggu, gue mo minta tolong dong!" seruku cepat sembari menghadang sepeda sang loper. "Ya, kenapa?" tanyanya tetap dengan gaya yang santai, namun sembari menaiki sepedanya. Menyadari bahwa lawan bicaraku sepertinya sedang terburu-buru, langsung aku sampaikan maksud permintaanku. "Gue ada tugas kliping dari sekolah. Cuma Nyokap kemarin udah terlanjur loakin koran bekas. Di tempat lo kerja, ada koran bekas nggak? Gue butuh lima sampai sepuluh koran aja. Kalau ada, minta tolong bawain buat gue ya!" pintaku memohon. "Hmm.., yaudah nanti gue liat dulu," jawabnya tanggung. Yang kemudian dengan cueknya dia pun mengayuh sepedanya dan berlalu begitu saja dari hadapanku.
Meninggalkan diriku yang masih diam terpaku mencerna kalimat jawaban singkat darinya. Jawaban yang bagiku tidak memberikan kepastian. "Aduh, tuh orang, kenapa nggak jelas sih. Kalau ada, bilang kek ada. Kalau nggak ada, bilang nggak ada. Jadi gue kan nggak h2c gini," gerutuku cemas dalam hati. Ketidakpastian sang loper koran dalam membantuku menyelesaikan tugas kliping dari sekolah, terpaksa kuabaikan dulu. Rutinitas bersiap berangkat dan belajar di sekolah yang meminta fokusku, harus kujalani.
Waktu pun berlalu. Selesainya jam sekolah tak ayal hanya menjadi jeda waktu perpindahan tempat belajar dari sekolah menuju rumah. Dengan tugas yang begitu banyak dan materi pelajaran yang harus dicicil untuk menyambut pekan ujian, membuat setiap murid kelas XII, termasuk aku lekas bergegas pulang ke rumah dan melanjutkan belajar serta mengerjakan tugas-tugas.
"Reyca, tadi kamu jadi ketemu sama loper koran kita?" tanya Mama menyambut aku sesampainya di rumah. "Oh iya, Ma. Tadi pagi udah ketemu," jawabku lemas. Teringat kembali ketidakpastian adanya koran bekas yang kubutuhkan. "Oh alhamdulillah deh, udah beres kan berarti masalah tugas kliping kamu itu," sambung Mama sambil berlalu. "Semoga, Ma," sahutku lemah dalam hati. "Besok subuh, gue bakal tungguin lagi si gaje itu!" tekadku berbicara dalam hati. "Semoga aja ada koran bekas yang kubutuhkan," harapku dalam hati.
Sama seperti subuh di pagi hari sebelumnya. Aku sudah berdiri menanti sang loper koran. Tetap dengan muka datarnya dan gaya cueknya, sang loper koran tiba di hadapanku. "Ini koran hari ini," katanya. "Terus pesenan gue mana?" tanyaku lantang kemudian. "Tenang mbak, ada kok pesenan lo. Cuma ini nggak gratis ya, Nona!" jawabnya puas menjebak kepanikanku. "Oh iya, gue ngerti. Yaudah jadi berapa?" sambungku santai menghalau panik berlebihan yang membuatku malu. "Makasih ya," ucapku seraya memberikan uang sesuai harga yang telah disepakati sebelumnya. "Yoi, sama-sama Nona," jawabnya sambil mengayuh sepedanya. "Fiuh, alhamdulillaaah, akhirnya bisa beres juga urusan tugas kliping," legaku dalam hati.
***
Siang menjelang sore, ketika matahari sudah mulai lelah menyebarkan sinarnya. Membuat hawa udara terasa sempurna. Teduh sekaligus hangat mentari yang masih tersisa, menjadi perpaduan ciamik yang dirasakan tubuh. Angin sepoi-sepoi kurasa, akibat laju motor tukang ojek yang kuboncengi, menambah nikmatnya suasana sore itu. Namun sayang tak bertahan, cakrawalaku pun terfokus pada pemandangan jauh di depanku. Seorang laki-laki dengan jaket juga topi yang tak asing bagiku, sedang dikerumuni anak-anak STM khas dengan aksesori senjata yang melengkapi mereka.
"Bang, Bang, berhenti dulu di deket warung sebrang kerumunan itu, Bang!" pintaku pada tukang ojek langgananku. "Mo ngapain neng? Itu mo ada tawuran. Bahaya neng, kita kudu ngacir buru-buru sebelum keos neng!" tanya sekaligus tolakan dari Bang Obet, nama tukang ojek langgananku, yang masih tancap gas motor itu. "Ish si Abang, itu ada temen saya di situ, bentar aja. Kasihan itu dia sendirian gitu, mau dikeroyok kayanya," sambungku memohon. "Et deh, ada-ada aja dah si Eneng. Abang panggil temen-temen Abang dulu dah. Bahaya kalau kaga bawa temen. Itu berandalan udah pada bawa senjata semua!" serunya sembari memberhentikan motor dan kemudian mengambil handphone dari sakunya.
"Woi bubar! Bubar! Gue panggil polisi nih!" seru galak Bang Obet. "Ga usah ikut campur, Bang. Ini urusan kita. Urus aja urusan Abang sendiri! Kalau nggak mau kena imbas maenan kita!" sahut salah satu dari gerombolan anak STM itu, sembari mengayunkan parang di tangannya. "Wah, kurang ajar banget ya lu emang pada bocah ingusan. Berani nantangin ya, nyesel lu nanti!" jawab Bang Obet semakin galak.
Tak lama, datanglah gerombolan pengendara motor berjaket warna hijau, yang diketahui sebagai kawan-kawan seprofesi Bang Obet. Kemudian terjadilah adu mulut antara gerombolan anak-anak STM dengan gerombolan tukang ojek teman Bang Obet. "Neng, cepet panggil temennya. Suruh kabur!" perintah Bang Obet padaku, yang membuat ku termenung sebentar. "Haduh, siapa ya namanya?! Kemarin lupa nanya namanya," gerutu bingungku dalam hati.
"Woi, woi, cowok yang pake topi item!" teriakku lantang memanggil sang loper koran. Beruntung, sosok yang dimaksud mendengar dan menoleh ke arahku."Sini cepetan!" perintahku sembari mengayunkan tanganku mengajak mendekat ke arahku. Setelah tengok kanan kiri memperhatikan keadaan, dan merasa aman, dia pun berlari ke arah warung, tempatku berada.
"Lu ngapain sendirian di situ? Mo dipalak apa dikeroyok dendam tawuran belum selesai?" tanyaku menyambut kedatangannya. "Elah, mo malak apaan dari loper koran kaya gue?!" jawabnya ketus. "Oh, berarti lu suka tawuran ya. Tau gitu nggak gue tolongin lu, biar kapok sekalian!" sahutku kesal kemudian. "Gue nggak ada waktu kali buat tawuran. Emang nggak cape sekolah sambil nyari duit?! Lagian lu nggak usah repot-repot, bikin gue kapok tawuran! Cukup satu perempuan aja, yang udah bikin gue kapok tawuran!” balasnya panjang juga ketus. “Oh, maksudnya pasti nyokap lo ya? Nah, tadi lo masih di kerumunan tawuran itu. Kalau nyokap lo liat, lo mo ngomong apa? Katanya udah kapok?!” cerocos tanyaku yang tak kalah ketus juga sinis. “Tadi itu gue apes, dan nyokap gue nggak bakal tahu. Nyokap udah di surga,” jawabnya lugas sambil memandang kosong ke depan, seakan melepas beban yang tertahan di dirinya.
“Udah diberesin polisi tuh! Gue lanjut balik ya, tuh tukang ojek lu juga lagi jalan ke sini!” infonya sembari mengangkat dagu menunjuk ke arah pemandangan di depan. Mengajakku melihat satu mobil polisi yang sudah ada di tengah-tengah kerumunan gerombolan anak STM dan para tukang ojek yang mulai pergi berlalu satu per satu. Termasuk Bang Obet, yang kembali menghampiriku untuk mengantarku pulang ke rumah. “Eh, tunggu! Nama lo siapa?” tanyaku segera, tak ingin kehilangan kesempatan lagi. “Gue Danu, dan lo Reyca kan?!” jawabannya sekaligus tebakan jitu yang dilontarkan bak peluru yang membuatku hanya mengangguk bisu.
Danu pun berjalan menjauh. Dan aku kembali diboncengi Bang Obet dalam perjalanan menuju rumah. Kembali terngiang kalimat Danu, “Nyokap udah di surga”, membuat diriku mendadak hanyut dalam kesedihan semu. Entah bagaimana rasanya jika ditinggalkan seorang Ibu dalam hidup ini. Kemudian kalimatnya, ”Emang nggak cape sekolah sambil nyari duit?!”, juga menyusul terngiang dalam pikiranku. “Apa dia sesendiri itu? Sampai seusianya sudah harus mencari nafkah. Kemana Ayahnya?!” tanyaku bergejolak dalam hati. Danu yang terlihat acuh tak acuh ternyata banyak menyimpan luka dan juga beban di hidupnya. Luka dan beban yang seperti tak asing pernah kurasakan.
Baru beberapa bulan yang lalu, aku merasakan menjadi orang yang terpuruk sendirian, dengan luka kecewa atas takdir kehidupan yang kurasa kurang ramah dan tak sesuai dengan harapanku. Dan sekarang, dipertemukan dengan Danu, sosok sebayaku. Dia sehat dan tak mengalami penyakit seperti ku. Namun ditinggalkan seorang Ibu, sosok wonder woman berhati lembut yang tanpa lelah merawat setiap anaknya, memberikan Danu sakit kehilangan yang sulit terobati. Ditambah entah persoalan ekonomi yang bagaimana yang menderanya, sehingga membuat dia harus mencari nafkah sedini ini. Membuat hatiku menangis bergemuruh, membayangkan luka dan beban yang dipikulnya.
“Danu, kita temenan ya sekarang. Gue janji akan berusaha bantu lo, di kala lo butuh bantuan. Gue nggak akan ngebiarin lo ngerasa sendirian!” tekadku membara dalam hati.
Tanpa Teman - II
MEMULAI hari menjadi teman Danu, aku memikirkan apa-apa saja yang bisa kulakukan untuk meringankan beban Danu. Membayangkan Danu yang kerja sambilan menjadi loper koran, pikiranku berkata, "Bekerja dari sebelum subuh, pasti Danu tidak sempat sarapan. Ongkos sepertinya juga kurang deh, kemarin saja jalan kaki pulangnya. Sampai-sampai apes ketemu berandalan STM."
Kemudian, aku pun berinisiatif untuk membuatkan bekal setangkup roti untuk Danu. Setangkup roti yang kadang kupanggang, sesekali digoreng, bahkan mungkin hanya kuoles selai saja. Sebagaimana moodku nanti saat membuatnya. Setangkup roti yang sekalian kubuat untuk sarapanku sendiri, juga bekalku di sekolah. Setangkup roti yang kubungkus rapih dengan kertas minyak dan kumasukkan ke dalam plastik kresek, bersama uang pecahan lima ribu rupiah. Uang pecahan lima ribu rupiah yang kusisihkan dari uang jajanku.
Satu paket plastik kresek putih, yang juga kutuliskan "Danu, Take it, Please" itu, kemudian kugantung di jeruji pagar rumahku. Ada rasa segan yang merundung diriku, untuk memberikannya langsung ke Danu. Mengetahui iktikadku tersebut, Mama dan Papa tidak melarangku, asalkan konsekuensi berkurangnya uang jajanku, bisa ku siasati sendiri sebaik-baiknya.
Hari pertama misi paket kresek putih untuk Danu, sukses dilancarkan. Kulihat dari dalam jendela rumah, Danu mengambil paket kresek tersebut. Senang dan puas sekali melihatnya. Hari-hari selanjutnya selalu kulancarkan misi paket kresek putih tersebut untuk Danu.
***
Tak terasa pekan ujian nasional pun telah kulalui. Nilai yang memuaskan pun kudapat. Semua tak luput dari andil belajar malam, yang selalu kusambangi. Walau nilai ujian sudah diumumkan, para siswa masih tetap berangkat ke sekolah. Dengan alasan masa kegiatan belajar mengajar belum usai dengan belum adanya pembagian Rapor dan juga banyaknya persiapan untuk acara malam kelulusan atau yang biasa disebut prom nite.
"Pengumuman-pengumuman. Untuk seluruh siswa kelas dua belas, yang mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur PMDK. Harap berkumpul di depan papan pengumuman yang berada di depan Laboratorium! Karena pengumuman nama-nama yang lulus seleksi jalur PMDK sudah keluar dan sudah ditempel di papan pengumuman. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih." Suara berat khas milik Pak Rio bergema di seluruh penjuru sekolah. Dan membuat beberapa siswa berlarian ke depan ruang Laborarotium, termasuk sahabatku, Ayu.
"Yeay, alhamdulillah, gue lolos, Rey!" seru Ayu kegirangan yang juga sekaligus memeluk erat diriku. "Alhamdulillah, selamat ya, Yu. Gue ikut seneng," balasku menyambut kebahagiaannya. Selanjutnya ucapan yang sama kulontarkan kepada beberapa temanku yang juga mendapatkan nama mereka tercantum di papan pengumuman tersebut. Sebaliknya, ucapan itu tak kembali kudapatkan untuk diriku sendiri. Ya, aku tidak ikut jalur PMDK, karena nilai raporku yang tidak konsisten, akibat dirawat sakit dan lama tak sekolah itu. Hampir semua teman yang kukenal dekat, mendapatkan lulus seleksi jalur PMDK. Kembali sendiri berbeda kurasakan.
"Rey, tetap semangat ya! Masih ada kesempatan di tes SPMB dan jalur mandiri," seru Pak Rio kembali menyemangati diriku. "Oh, iya, Pak," jawabku singkat. "Nanti bareng Nayla aja nih," sambung Pak Rio sembari memegang pundak Nayla dan seakan menyodorkan ke arahku. Nayla, siswi kelas XII IPA 1 yang berbeda kelas denganku, juga anggota ekskul SISPALA, ekskul binaan Pak Rio. Menyadari ketidak akraban antara kami berdua, dengan cepat Nayla mencairkan suasana, "Ya, nanti lo belajar malam bareng gue sampai menjelang tes SPMB atau sampai ujian jalur mandiri, Rey! Hahaha." Seruannya yang khas dengan iringan tawa hambar, seakan berkata, yang lain sudah selesai berjuang, kita doang yang terus berjuang. "Hehehe, oke, Nay!" sahutku tak kalah hambar, menghalau pahit yang kembali memaksa ditelan.
Perjuangan selanjutnya kulalui bersama Nayla. Nayla, sang anak bungsu dari dua bersaudara dengan latar belakang keluarga yang cukup berbeda dengan keluargaku. Nayla menjadi anak dari kalangan orang berada, dengan rumah mewah dan fasilitas serba ada. Namun perceraian kedua orang tuanya, membuat dirinya menjadi sosok bak layangan putus. Kesana kemari tanpa arah, mencari kenyamanan yang tak kunjung didapatinya.
Overall, Nayla merupakan sosok yang cukup asik untuk diajak berteman. Cukup perhatian, suka memberi dan membantu teman, menjadi ciri khas Nayla. Sering ditraktir menjadi kesatuan paket lengkap yang didapat jika berteman dengannya. Namun jiwa petualangnya yang seperti tiada habis, membuat dirinya selalu berpindah-pindah berkawan. Banyak teman, namun tanpa sahabat. Tidak ada sahabat yang selalu mengikutinya. Tak ada sahabat yang bisa mengikuti moodnya yang setiap hari selalu berbeda.
Aku pun hanya bisa dekat dengan Nayla, saat belajar malam. Karena saat siang di sekolah, setiap harinya yang dia lakukan selalu berbeda. Semisal kemarin lusa, dia menghabiskan jam istirahat di lapangan basket, bermain basket dengan anak ekskul basket. Kemudian kemarin, menghabiskan waktu istirahat nge-band bareng anak klub musik. Dan hari ini dia menghabiskan waktu luang di sekolah dengan beraksi manjat di wall climbing.
Terbesit rasa ingin lebih dekat dengan Nayla. Ingin mencoba merangkulnya lebih dekat, dengan harapan bisa mengisi ruang kosong yang selalu dicarinya kesana kemari. Namun, keterbatasanku yang berbeda kebisaan dengan Nayla, menjadi dinding yang menghalangi keinginan sepihakku tersebut.
Sampai pada hari, di mana tes SPMB tinggal menghitung hari. Nayla mengajakku untuk ikut bersamanya menghadiri suatu pentas seni yang diadakan salah satu SMA terkenal di Jakarta. Pentas seni yang di dalamnya mengundang grup band musik terkenal untuk mengisi acara pentas tersebut. Pentas seni yang untuk masuk ke dalamnya, dikenakan biaya HTM yang kepanjangannya yaitu harga tiket masuk.
"Ayo, Rey! Gue udah beli tiket nih buat lo!" seruan ajaknya yang bernada memaksa. "Lo repot-repot deh, Nay," sahutku basa basi, mengulur waktu untuk mempertimbangkan ajakannya. Ada rasa asing untuk langsung menerima ajakan Nayla. Aku yang belum pernah ke acara pentas seni tersebut, merasa kurang pede menerima ajakannya. Membayangkan seketika harus berbaur dengan teman-teman Nayla yang suka dengan pentas seni, dan situasi pentas seni yang diselenggarakan pada malam hari, yang tak bisa kuraba penafsirannya. Membuatku tak sontak menyambut ajakan Nayla.
"Berapa sih harga tiketnya, Nay?" tanyaku basa-basi kemudian. "Emang kenapa, Rey? Lu mo ngajak siapa? Gampang! Bilang aja butuh berapa? Gue udah beli banyak, hahaha," jawab remeh Nayla yang khas gaya santainya, membuatku membayangkan seseorang yang ingin kuajak. Seseorang yang sudah kukenal, yang kurasa bisa menjadi penghalau rasa asing saat berada di pentas seni tersebut. "Yaudah, gue bagi satu lagi ya, Nay," pintaku ke Nayla. "Ashiap, nih dua buat lo! Lo mo ngajak cowo lo ya, Rey? Hihihi," tanya jahil Nayla sembari memberikan dua tiket pentas seni yang sudah dibungkus plastik transparan itu. "Ish, bukan. Gue nggak punya pacar. Asal banget lo!" jawabku protes yang hanya disambut dengan tawa geli Nayla. Dua tiket pentas seni yang kugenggam, kusimpan baik dalam tasku. Besok pagi-pagi sekali, akan kuberikan kepada sosok yang kumaksud.
Ufuk subuh khas dengan kesyahduan warnanya mantap menghiasi langit. Seiring dengan hatiku yang mantap memberikan tiket pentas seni untuk Danu. Hari itu hari Sabtu, hari di mana pentas seni pun digelar. Kutemui sosok yang sudah mendekat ke pagar rumahku itu. Tanpa basa-basi namun tetap dengan paket plastik kresek putih di tanganku, aku membuka percakapanku dengan Danu, "Dan, apa kabar, lo?"
"Oh, baik, Rey. Lo repot-repot aja nyiapin begituan buat gue," jawabnya sembari menunjuk plastik kresek putih di tanganku. "Gue nggak repot, ini sekalian bikin buat gue sendiri. Dan, ikut pensi anak sakti, yuk!" jawabku sekaligus ajakan untuk Danu. "Gue udah ada tiketnya, ini juga dibeliin temen gue. Jadi sayang aja, kalo nggak dipake," sambungku karena melihat Danu yang bergelagat kurang minat. "Yuk, Dan. Temenin gue, pliiis," pintaku beruntun memaksa Danu yang belum berucap satu kata pun. "Hmmm, yaudah. Kapan sih acaranya?" tanyanya berat kemudian. "Malam ini, Dan. Nanti kita berangkat bareng aja ya, dianter bokap gue," jawabku semangat. "Yaudah, nanti sore gue ke sini," sahutnya singkat tanpa ekspresi. "Yeay, makasih ya, Danu," ucapku sumringah. Yang hanya dibalas anggukan Danu, dan lambaian tangannya yang mengiringi kayuhan sepedanya yang kembali berjalan.
Sesampainya di depan gerbang acara pensi malam itu, setelah bertemu Nayla, Papaku pamit pulang ke rumah. Kemudian, aku dan Danu mengikuti Nayla, mengonfirmasi tiket di meja pemeriksaan tiket. Yang selanjutnya menjadi akses dibukakan gerbang untuk kita dapat masuk ke acara pensi tersebut. Tiket masuk yang diberikan, ditukar dengan beberapa voucer diskon untuk membeli makanan, minuman, glow stick, dan juga CD kompilasi yang berisi lagu-lagu yang dibawakan seluruh grup band musik yang mengisi acara tersebut.
Setelah melewati gerbang, Nayla pun lekas meminta voucer glow stick kami. Dan dengan cepat ke arah deretan meja stan yang berada di sisi dalam setelah gerbang masuk acara tersebut. Meja stan yang menjual beraneka produk, seperti makanan, minuman, CD, musik, kaos, topi, glow stick, dan lain-lain. Terlihat Nayla menyerahkan voucer kami beserta beberapa lembar uang untuk membeli dua glow stick untuk kami. "Nih glow stick kalian! Penting, Guys! Gelap soalnya, hehehe," serunya santai sembari menyodorkan dua glow stick kepada kami. "Gue ke sana dulu ya, Rey. Gue ikut manggung isi acara, hehhehe. Kalian have fun ya!" seru Nayla yang sesaat kemudian menghilang ditelan larinya ke arah panggung.
Terkejut diriku mengetahui bahwa Nayla menjadi salah satu pengisi acara tersebut. Membawa diriku menyadari asingnya acara itu tanpa Nayla di dekatku. Juga semakin aku merasa pilihan mengajak Danu, merupakan pilihan yang tepat di tengah segala keasingan yang kurasa di pensi tersebut. Terlanjur masuk dan mau nggak mau menikmati acara tersebut menjadi pilihan kami saat itu. Menunggu sampai waktu yang telah dijanjikan Papa menjemput kembali aku dan Danu.
"Kita cari makanan yuk, Dan," ajakku ke Danu yang membisu. "Gue nggak laper," jawabnya singkat. "Yaudah, cari dulu! Nanti pas laper, tinggal makan," paksaku mengatur Danu. Danu pun terlihat acuh tak acuh. Sesampainya di depan stan penjual makanan, aku meminta paksa voucer makanan dan minuman milik Danu. Terlihat raut kesal di mukanya. Namun tak terungkap, mungkin karena di depan orang banyak.
Kemudian kami menempati kembali kursi penonton, dengan beberapa kantong makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang kutukar dengan voucer milik kami berdua dan beberapa lembar uang milikku pribadi. Makanan dan minuman yang kubeli tanpa persetujuan Danu, yang sepertinya sudah setengah hati mengikuti jalannya acara tersebut.
Beberapa jam kemudian, aku dan Danu sudah menghabiskan makanan dan minuman yang kubeli sebelumnya itu. Dan terdengar suara Nayla dari Panggung. Memperkenalkan dirinya sekaligus grup band musik yang mengiringinya bernyanyi. Nayla juga memberikan informasi bahwa penampilannya yang akan membawakan beberapa lagu itu, akan menjadi penampilan penutup acara malam tersebut. "Dan terakhir, jangan lupa tukar voucer CD kalian dengan CD kompilasi lagu yang dibawakan hanya di acara pensi ini. Nggak ada yang jual di luar, Guys. So jangan sampai kalian nggak punya kenang-kenangan dengan acara keren ini yaa," seru Nayla sebelum memulai menyanyikan lagu pertamanya.
Mendengar hal itu, sontak membuatku mengajak Danu, menukar CD seperti ajakan Nayla dari panggung tersebut. Tak sabar, aku berdiri dan menarik jaket hitam Danu agar mengikuti langkahku. Namun tak kusangka, Danu menepis ajakanku dan berkata, "Gue nggak mau! Gue nggak mau lu paksa-paksa nerima semua pemberian lo! Lo pikir gue seneng dikasih ini itu sama lo? Lo pikir gue yang menyedihkan ini, yang nggak punya duit ini, nggak ada hak untuk memilih dan bicara? Mulai sekarang, lo nggak usah berlagak jadi malaikat! Nggak usah lo kasihani gue! Nggak usah kenal gue!" Bagai tersambar petir di siang bolong, amarah Danu membuatku mematung membisu. Membisu tak bergerak walau sudah ditinggal kembali sendiri. Sendiri mencerna semua perkataan Danu, juga lagu yang dibawakan Nayla, yang terasa bertaut dengan segala carut-marut rasa di malam itu.
Whatever makes you happy
Whatever you want
You're so fuckin' special
I wish I was special
But I'm a creep
I'm a weirdo
What the hell am I doin' here?
I don't belong here
I don't belong here
Hilang - I
SIAPA yang lebih menyedihkan; seseorang yang selalu sendirian, bebas melakukan apa yang diinginkan. Dengan; seseorang yang ditemani, namun merasa tak bisa memilih apa yang diinginkan. Tidak diberikan kesempatan memilih apa yang diinginkan, selayaknya orang bodoh dan lemah. Orang bodoh dan lemah, yang tidak didengar suaranya, juga tidak dilihat gelagat kemauannya.
Wajar tidak senang ditemani, merasa tidak dihargai dan tidak dianggap, sudah pasti ditelannya. Meninggalkan dan memilih tidak mengenal, memang reaksi yang tepat, memberi ganjaran kepada sosok yang menemani, namun tak layak disebut teman. Sosok yang lupa makna teman sesungguhnya. Teman yang membersamai dan melengkapi, yang mendengar dan melihat saksama satu sama lain dengan perasaan murni tanpa ego pribadi. Teman yang tidak dibutakan, untuk membodohi dan melemahkan satu sama lain.
Kebutaan yang entah dari mana asalnya, menjadi penyebab kepiluan di diri yang bodoh ini. Menambah lemahnya diri, yang tak kuasa beranjak dari tidur mengubur pilu semalam. Pilu yang jelas kehadirannya, namun miris terasa akrab. Terlalu sering merasakannya, terlalu sering mengalaminya, membuat kalbu ini bak gugup menjelaskan rasa yang ada.
Di tengah kesuraman, azan subuh tetap memaksa diri yang kerdil ini untuk beranjak. Mujur masih mendapat kesempatan bernafas, menjadi cambuk menghadap Sang Khalik, Allah pemilik semua isi langit dan bumi. Mensyukuri setiap detak jantung yang melaju, memohon ampunan segala dosa kebodohan serta meminta untuk tidak pernah ditinggalkan-Nya, menjadi rangkaian utuh niat ibadahku. "Ya, Robb, sesepi ini rasanya ditinggalkan teman, hancur pastilah hamba jika Kau tinggalkan juga," isakku pilu dalam genangan sujudku.
Selepas meluruhkan beban di hati, raga ini kembali memeluk ranjang. Mencari sandaran, menguatkan hati menanti hari esok. Hari esok yang sudah sangat dinanti, untuk bertemu sosok yang telah terluka hatinya olehku. Sosok yang patut mendapatkan permohonan maaf dari diri yang bodoh ini. Sosok yang di hari minggu ini, libur dari aktivitas ufuk subuhnya, dan mungkin saat ini pun sedang mengobati goresan pilu di hatinya. Pilu yang ketika mengingatnya kembali, membuatku hanya ingin memejamkan mata. Memejamkan mata, meraih pulas, melupakan semua penyemainya di dada.
"Rey, mau tidur sampai jam berapa? Ayo, bangun! Kakak ajarin make up dan pakai hijab untuk acara kamu, besok malam!" seru Kak Ineth, menyadarkanku. "Oh, hmmm, nggak usah, Kak. Reyca, nggak tau jadi berangkat atau nggak, hehehe," jawabku jujur. "Loh, kenapa? Kan seru pesta bareng temen-temen! Lagi pula, nanti mama pasti ngomel deh, kalau kamu nggak ikutan, padahal sudah bayar mahal," kalimat Kak Ineth yang sekonyong-konyong juga membangunkanku dari zona kebaperanku. Wake up, Reyca. You served for this!
Gaun pesta lengkap dengan hijabnya, high heels serta aksesori ; bros, gelang, hingga tas pesta sudah apik disiapkan bersama Kak ineth. Semuanya khas bercirikan warna keemasan, menggambarkan hatiku yang selalu bersinar dan semangatku yang tak pernah pudar, bak warna logam mulia tersebut. Seperti itu deskripsi saran dari Kak Ineth, yang memilihkan kostum untuk penampilanku di pesta promnite, besok malam. Pesta Perpisahan seluruh angkatan kelas XII, yang akan diadakan di ballroom salah satu hotel terkenal di kawasan Jakarta Selatan itu, memilih hari senin untuk mendapatkan harga sewa gedung yang lebih murah, juga tarif grup band musisi terkenal yang lebih hemat.
Ufuk subuh yang mengawali hari senin yang dinanti pun tiba. Raga yang ringan dan semangat yang kembali mengisi jiwa pun mengiringi. Setelah menghadap Sang Kuasa, raga ini lekas beranjak menuju teras halaman depan rumah. Tanpa membawa plastik kresek putih, diri ini menanti sosok bersepeda yang telah dilukai. Padi ditanam, tumbuh Ilalang. Tepat seperti yang kulihat saat itu, bukan sosok Danu dengan sepedanya yang datang. Melainkan laki-laki paruh baya dengan sepeda motor tuanya.
"Selamat pagi. Ini koran hari ini, Dek," serunya dengan suara serak yang ikut menua. "Oh, iya, Pak. Terima kasih. Kok, bukan Danu yang mengantar korannya, Pak?" tanyaku kemudian. "Oh, dia minta dikurangi area pengantarannya. Kalau nggak salah dengar, katanya, mau fokus belajar untuk tes SPMB pekan depan. Saya pamit ya, Dek," jawaban penutup dari Bapak pengantar koran yang menggantikan Danu. "I..iya, Pak," sahutku setengah tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Menyedihkan sekali diri ini. Semua yang kudengar dan kusadari, bertolak belakang dengan apa yang aku harapkan. Harapan kesempatan untuk memperbaiki semua, sirna dengan mudahnya. Bahkan, untuk meminta maaf pun tak mendapat ruang. Pupus tanpa memedulikan rasa bersalah, yang dianggap mutlak terlambat. Lenyap sudah energi yang sedari kemarin dikumpulkan. Hilang semua, bersama angin yang berhembus kencang di pagi itu. Menghembus ingatan untuk menghilangkan semua kisah yang sepertinya hanya patut untuk dilupakan.
"Reyca, nanti sore kita berangkat bareng temen-temen yang rumahnya di Ciledug, ya! Berempat, patungan ongkos Taksi, jadi murmer, Rey. Lo tunggu kita jemput aja ya, Rey," seru Ayu di seberang telepon, di antara waktu pagi menjelang siang itu. "Oh, gitu. Oke deh," jawabku datar. "See you tonight, Reykong! Dandan yang kece, ya!" tutup percakapan Ayu di telepon, yang hanya kujawab, "Ya, Yu."
Seperti wajahku yang bertelungkup, gagang telepon pun kututup, kutelungkupkan kembali bersama induknya. Menikmati terbenamnya gundah untuk sesaat. Bimbang merebak, mewakili keengganan lubuk hati, menghadiri pesta yang sudah dinanti seluruh siswa kelas XII. Pesta yang tak bisa kumaknai perayaannya saat ini.
"Astaghfirullah, Ya Allah. Hilang semua, Pa? Nggak ada sisa sedikit, Pa? Gimana nanti nasib Reyca dan Adek, Pa?" histeris suara Mama yang lambat laun terdengar parau. Cukup terdengar dari kamar Kak Ineth, di mana aku sedang merias penampilanku untuk menghadiri pesta promnite malam ini. Sontak, aku menghentikan aktivitasku, memperhatikan Kak Ineth yang segera beranjak dari kursi kamarnya, yang baru saja didudukinya sepulang kuliah sesaat sebelumnya. Beranjak melaju ke ruang keluarga, di mana Mama berbicara histeris dengan seseorang di seberang telepon, yang dipastikan adalah Papa.
Aku pun ikut mengekori Kak Ineth, menuju ruang keluarga, penasaran mengapa namaku ikut tersebut di kalimat histeris Mama. Namun apa yang kulihat, Mama yang terisak dan jatuh tersungkur lemah di pelukan Kak Ineth, membuatku menunda mencari tahu apa yang telah terjadi. Tiin, tiin. Suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. "Reyca, dah cepat sana berangkat! Temen-temen kamu sudah datang jemput tuh. Biar Kak Ineth yang urus Mama dan Adek. Kamu hati-hati ya!" seru Kak Ineth tegas menenangkanku untuk tetap berangkat ke acaraku nanti malam.
Perjalanan yang cukup macet, membuat aku dan teman-teman sampai di tempat acara promnite tepat setelah azan Magrib berkumandang. Hampir selama dua jam, dan mungkin terus berlanjut, kecamuk membelah fokus diri ini. Aku pun mengajak teman-teman, untuk menuju ke musala dahulu, beribadah menghadap Tuhan Yang Maha Mengetahui segala isi hati hamba-Nya. Mencari kesejukan air wudu dan ketenangan beribadah, guna meredakan kecamuk yang menyelimuti diri ini. Kemudian, kami pun menuju ballroom hotel, mengikuti acara yang sudah tersusun rapi susunannya itu.
Bertemu teman-teman satu angkatan, dengan berbagai kostum mewah dan unik bercirikan khas karakter masing-masing dari mereka, membuat suasana pesta kental dirasakan. Bercakap-cakap satu sama lain, bersenda gurau sembari mencicipi hidangan prasmanan yang telah disediakan secara mewah, membuatku terhibur dan melupakan sejenak kekalutan hati sebelumnya.
Dibuka oleh dua orang MC yang tak lain penyiar radio yang cukup terkenal, membuat hampir seluruh mata tertuju ke atas panggung, sekonyong-konyong menarik perhatian untuk saksama menyaksikan acara malam hari itu. Acara pertama yaitu sambutan Kepala Sekolah, disusul sambutan Ketua Osis, dan sambutan terakhir dari Ketua Pelaksana acara perpisahan tersebut.
Derrt, derrrt, derrt. Getar handphone-ku terasa dari dalam tas pesta yang kujinjing. Tertera nomor telepon rumah dari layar handphone. Lekas kujawab panggilan tersebut, "Assalammualaikum?" "Waalaikumsalam. Rey, kamu cepat pulang ya! Papa kecelakaan," suara Kak Ineth bergetar terdengar dari seberang telepon, yang membuat jantungku mencelos sesaat.
Description: Damatriyani/ Thea Damatriyani, FB. @Thea DamaTriyani, IG. @salonzaina
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #KamuTidakSendiri
|
Title: Regret For Lesson
Category: Fantasi
Text:
MEMENDAM PERASAAN
Seorang Siswi SMA Kelas 1 Bernama Milla Memiliki Sahabat Se-bangku Yang Sering Kali Menjadi Tempat ia Mencurahkan isi Hatinya Dia Bernama Melani, Pada Suatu Hari Milla Curhat Pada Melani, Milla Berkata
"Mel gua suka nih sama cowok"
"Hahh sama siapa?"
"Sama ibra tapi gua g mau ngomong duluan" Jawab Milla
"Tenang mill serahin sama gua biar gua yang bilang"
"Jangan ga usah" Jawab Milla dengan nada tinggi
"Yaudah iyaaa"
Suatu Ketika Melani bertemu dengan ibra dan Melani pun menyampaikan isi hati sahabatnya Melani menyarankan agar ibra segera menembak Milla,
"braaa gua mau ngomong penting sama lu"
"Ngomong apa?" Tanya ibra
"Milla suka sama lu!"
"Ahh masa g percaya gua!"
pada saat itu sedang dilaksanakan penilaian akhir semester kenaikan kelas, seandainya ibra tak segera menembak Milla Mereka akan segera naik kelas dan mereka belum tentu satu kelas lagi, maka intensitas mereka bertemu tidak seperti dulu lagi.
kemudian ibra bertanya langsung kepada Milla "mill apa benar yang dibilang sama Melani",
"Nggakkk"
Milla menjawab dengan ketus
Kemudian Milla pun pergi
, namun ibra mencoba mengejar Milla dan segera mengungkapkan isi hatinya
"Milla tunggu gua suka sama lu, lu mau ga jadi pacar gua"
namun Milla tidak bisa menjawab sekarang dan ibra memberi waktu untuk Milla menjawab.
penilaian akhir semester pun berakhir dan mereka pun naik ke kelas 2, dan apa yg Melani katakan benar mereka tak lagi satu kelas, ibra dan Milla pun jarang bertemu dan Milla belum memberi kepastian kepada ibra,
Dikelas barunya ibra bertemu teman baru bernama indra,riski,dan bima
Indra adalah ketua OSIS di sekolah sekaligus cowok terpopuler disekolah
,Kemudian Mereka berempat membentuk sebuah genk bernama BROTHERHOODFAMILY(BHF)
"Bro gua boleh ga duduk sini" Tanya indra pada ibra
"Iya silahkan" Jawab ibra dengan sopan
suatu hari ibra meminta nomor handphone indra
"Ndraa gua minta nomor handphone lu dong"
yang memiliki nomor handphone indra adalah teman Dekatnya saja, ibra memberikan nomor handphone nya kepada ibra namun dengan satu
Syarat
"Yaudah ini tapi ada satu syarat lu ga boleh nyebarin nomor gua ke siapapun"
"Amannn" Jawab ibra
apabila ibra memberitahu nomor indra kepada seseorang maka ibra tak lagi dianggap teman oleh indra.
"Tapi kalo lo sampai nyebarin nomor gua lu ga lagi gua anggap jadi temen gua"
"Hmmm okee" Jawab ibra dengan nada santai
Masa orientasi sekolah baru saja dimulai, tiga hari yang mengerikan bagi anak kelas 10,indra selalu ketua OSIS kewalahan menghadapi anak kelas 10 karena anggota OSIS ada yang izin tidak bisa ikut
Telfon indra berbunyi
"halo ya ada apa? "
"Maaf draa gua g bisa masuk hari ini g bisa bantu bantu diosis"
"Aduhhh mana angota kita gak banyak lagi" Jawab indra dengan nada panik
"Maaf ya ndraa maaf banget"
"Yaudah gpp tapi lo besok masukkan?" Tanya indra
"Iyaaaa"
"Yaudah oke byeee"
indra pun meminta bantuan kepada ibra untuk membantunya diorganisasi OSIS, sebelumnya ibra menolak karena ia bukan anggota
Osis
"Braaa lo bisa bantu gua gak ?di OSIS ga gua kurang anggota nih temen gua ga masuk hari ini"
"Duhhh ga bisa gua kan bukan anggota OSIS"
namun indra mencoba meyakinkan ibra dan ia pun mau untuk membantu diorganisasi OSIS
"Udah gapapa lu kan temen gua" "Yaudah iya tapi lu yang izinin gua sama wali kelas ya" Jawab ibra
"Iyaaa Gampang itu mah"
Ditengah masa orientasi sekolah ada satu siswi bernama sella yang tak lain dan tak bukan adalah adik dari Milla bersama temannya bernama intan,
Sella diam diam suka sama indra dan intan suka sama ibra, mereka berdua sepakat untung saling membantu agar mereka dapat dekat dengan satu sama lain.
"Sell kakak kelas kita ganteng ganteng ya"
"Emang kenapa lo suka? "
"Kayaknya gua suka sama kak ibra"
"Ahh elo baru ketemu sekali aja udah suka"
"Yehh biarin, kayaknya lo cocok sama kak indra"
"Ya kali dia kan ketua OSIS mana bisa gua dapetin dia" Jawab Sella
"Gimana kalo kita kerja sama?"
"Maksud lo apa?"
"Lo bantuin gua deket sama kak ibra cariin nomor handphone nya buat gua, gua bantuin lu deket sama kak indra"
"Yaudah oke deal?"
"Deal"
Masa orientasi sekolah hari pertama pun selesai seluruh anak kelas 10 sudah kembali kerumah, sella bertanya kepada kakanya yaitu Milla
" Kak Milla punya nomor handphone kak ibra gak ?
Milla pun menjawab
"buat apa?"
"Ada perlu kak" Jawab Sella
Milla curiga Sella suka sama ibra Milla menasehati Sella agar tidak dekat dekat dengan ibra
"Kamu ga usah deket deket Sama dia itu playboy"
Sella meyakinkan kakanya agar memberikan nomer ibra
"Kenapa emang kak kakak ada masalah sama dia? Tenang kak aku minta nomor ibra buat temenku bukan buat aku"
"Bukanya begitu kaka ga mau dia macam macam sama kamu, yaudah ini" Jawab Milla dengan nada tinggi "Makasih kak" Ucap Sella dengan senyum
Sella pun bergegas nge-chat ibra
"Save kak"
"Siapa ? " Tanya ibra
"Ini Sella kak adik kelas kaka"
"dapet nomorku dari mana? "
Tanya ibra
"Dari kakakku kak"
"Siapa?"
"Kakak aku kak Milla dia satu kelas sama kak ibra pas kelas 10"
"Owhh aku adiknya Milla salam kenal ya"
"Iyaa kak" Jawab Sella.
Handphone Sella bergetar "grgrrrgrg"
Sella bergegas mengangkat telfon ternyata telfon dari intan
"Hallo sell"
"Iyaa ada apa nelfon malem malem begini? tumben" Tanya Sella
Jawab intan
"iyaa nih gua gagal dapetin nomornya kak indra tanya tanya ke kakak kelas pada ga punya katanya yang punya hanya temen deketnya"
"Yaudah gapapa besok biar gua yang cari"
"Yaudahh sell byeee"
"Byeeee" Jawab sella.
Description: Apa Yang Sudah Ibra Alami Membuat ia Menjadi Lebih Selektif Dalam Mengambil Keputusan,
Dan Itu Semua Membuat ia Menjadi Seseorang Yang Selalu Memikirkan Resiko Sebelum ia Melakukan Sesuatu, Takut Menyesal DiKemudian Hari, Dan Membuatnya Tidak Berani Mencoba Hal baru
Suatu Ketika Setelah ia Bertemu Dengan Sella Hidupnya Berubah 180° Dari Sebelumnya ia Menjadi Seorang Yang Lebih Berani Dalam Mengambil Keputusan, Dan Menjadikan Penyesalan Sebagai Pelajaran
"REGRET FOR LESSON"
"IBRA & SELLA"
|
Title: RINDU ZUBAIDAH
Category: BNNS
Text:
BAB 1
Malam semakin meninggi. Sepoi angin mendesau sesekali datang dan pergi. Bintang dan rembulan seumpama sahabat karib yang bekerja sama meneruskan cahaya hingga ke bumi. Riuh jangkrik seolah kegirangan dengan suasana temaram. Dan di sudut halaman rumah kontrakan, seorang wanita bergamis hijau dengan jilbab yang menjulur menutupi dada sedang menikmati keindahan alam malam ini. Wajahnya putih bersih. Dekik di pipinya lenyap saat ia berdiam diri, duduk bersanding mekar bunga melati. Namanya Zubaidah. Ia akrab dengan sapaan Mbak Idah.
Zubaidah, wanita biasa yang sudah dua tahun ini mengabdikan dirinya di sebuah Yayasan Pendidikan dan Dakwah Al-Hijrah. Delapan tahun sudah ia menyandang status santri di Pondok Pesantren Daarussalam yang diasuh oleh Romo K.H Zainal Abidin. Menjadi khodimul mahad bukan hal sepele bagi Zubaidah. Di saat seperti itulah, setiap detik ia manfaatkan untuk mengabdi dan berbakti pada keluarga ndalem Romo Kiai.
Pagi hari saat mentari mampu menerobos celah bangunan pesantren, terdengar suara lembut berseru pada Zubaidah.
"Zubaidah, nanti sore Bu Nyai Maimunah didampingi Romo Kiai hendak berangkat ke Pondok langitan. Hari ini waktunya beliau silaturrahim dengan keluarga ndalem di sana. Tolong isi pengajian kitab untuk santri putri ya! Sebab mendadak saya juga ada undangan khotmil Quran di Masjid Baiturrahman."
"Inggih, Neng. Biasanya, sore hari Bu Nyai mengisi pengajian dengan kitab Tafsirul Jalalain. Saya rasa saya kurang pantas menggantikan beliau. Ibarat gelas yang diisi air, ilmu saya belum mampu memenuhi kekosongan gelas tersebut. Kalau boleh, saya tetap menggantikan Bu Nyai hari ini, tapi dengan kitab lain."
"Kitab apa Idah?"
"Nashoihul Ibad, Neng."
"Ya sudah kalau begitu. Nanti saya sampaikan ke Bu Nyai. Sebenarnya kami semua percaya bahwa kau mampu, Idah. Apapun kitabnya."
"Jangan berlebihan, Neng. Saya ini gadis kampung yang kebetulan saja ada niat dan tekad kuat untuk ngaji dan ngabdi di pesantren ini. Oh, iya, lantas bagaimana dengan rutinitas pengajian kitab untuk santri putra?"
"Untuk santri putra sudah ada yang menangani. Sudah diambil alih oleh Gus Badrus."
"Baiklah, Neng Ima. Alhamdulillah."
Neng Ima, menantu Romo Kiai yang aktif berperan dalam dunia dakwah. Ia sudah paham dengan seluk beluk pesantren. Semasa muda, ia menimba ilmu dari pesantren ke pesantren. Berawal dari pesantren Mambaus Sholihin yang merupakan pesantren pilihan orangtuanya. Setelah lulus dan mengabdi satu tahun, seakan masih haus dengan ilmu, Neng Ima berangkat ke pesantren Fathul Ulum. Namun tidak begitu lama, Neng Ima merasa ingin sekali mencicipi ilmu agama di pesantren-pesantren lain. Tanpa berpikir panjang, Pondok Pesantren Daarussalam menjadi tujuan terakhirnya sebab Neng Ima pun dijodohkan dengan putra Romo Kiai, Gus Badrus. Neng Ima termasuk wanita yang paling dihormati Zubaidah setelah Bu Nyai Maimunah. Pasalnya, dari Neng Ima, sosok Zubaidah dapat belajar menggali potensi yang ada dalam dirinya. Neng Ima yang pernah dipercaya menjadi redaksi majalah sebuah pesantren pun telah menyalurkan bakat menulisnya pada Zubaidah. Lambat laun Zubaidah semakin tergiur dan merasakan banyak manfaat dari dunia kepenulisan.
"Ingat, menulis tanpa membaca sama dengan bohong, Idah. Keduanya harus seimbang. Jika kita tak terbiasa berdakwah dengan lisan. Tulisan pun tidak jadi masalah. Dakwah bil qolam," ujar Neng Ima saat Zubaidah duduk bersandar di mushollah pesantren sambil memancing inspirasi terkait apa yang akan ia tulis agar bermanfaat untuk para santri.
Pada dasarnya, pesantren memang tidak pernah membatasi santri untuk terus berkembang. Semua itu tergantung pada diri masing-masing santri, apakah mereka ingin tetap berdiam diri atau melangkah dengan tidak hanya mengandalkan mimpi. Pesantren identik dengan hafalan. Adakalanya hafalan Alquran, Juz amma, nadzam, dan juga surat-surat pilihan. Di pesantren Daarussalam, seluruh santri berkewajiban menyetor hafalan 1002 nadzam Alfiyah Ibnu Malik pada masing-masing pengurus kamar di setiap malam menjelang jam istirahat. Tak ada yang berani memejamkan mata sebelum kewajiban tersebut terlaksana sudah. Selain dipercaya menjadi pengurus keamanan pondok putri, di sini Zubaidah pun berperan. Memastikan kamar para santri benar-benar kosong dan tak berpenghuni hingga waktu setoran hafalan yang dijadwalkan telah usai. Saat larut malam menjadi pertanda bahwa Zubaidah tak pernah lupa untuk menutup gerbang pondok putri, derap langkah kaki mendekat, menyentuh pundak Zubaidah. Sontak Zubaidah kaget dengan sosok Neng Ima yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
"Idah, ini ambillah! Sembari menyerahkan satu kotak berisi makanan pada Zubaidah, Neng Ima pun melanjutkan.
"Sudah mau tidurkah?"
"Belum, Neng Ima. Saya tidak mengantuk." Mata Zubaidah melirik pada jarum jam yang menggantung tepat di atas pintu gerbang. Sudah lewat pukul sebelas.
"Mari kuajak masuk ke ndalem, sedikit ingin berbincang denganmu, Idah. Kalau kau tak keberatan sih." Neng Ima menawarkan.
"Inggih, Neng." Neng Ima menarik tangan Zubaidah lalu menggandengnya.
Sesampai di ruang tamu ndalem, Romo Kiai dan Bu Nyai menyambut Zubaidah dengan senyum bak selebar bulan sabit menerangi malam yang gulita. Sebentar kemudian Zubaidah menoleh ke arah Neng Ima dengan raut muka penasaran apa yang hendak diperbincangkan dengannya. Takdzim santri terhadap guru terkenal sangat tinggi. Bahkan seorang santri rela turun dan menuntun sepedanya saat sampai di depan ndalem Romo Kiai. Sekalipun Romo Kiai ataupun keluarga ndalem lainnya sedang tidak berada di dalam. Maka, tidak diragukan lagi dengan apa yang dilakukan Zubaidah. Ia berjalan merangkak saat mencari posisi duduk di hadapan Romo Kiai dan Bu Nyai. Zubaidah seketika mencium lembut punggung tangan beliau.
Hening suasana di ruang tamu ndalem dibuyarkan oleh suara petir yang menggelegar. Suara angin terdengar menghempaskan pepohonan sehingga daun gugur tak terbilang. Tetes air hujan menjadikan hawa semakin dingin pada malam itu.
Zubaidah tersipu malu dengan tutur kata Romo Kiai. Zubaidah tertunduk lalu kembali mengangkat mukanya. Sorot kedua mata Zubaidah memperhatikan wajah teduh Romo Kiai dan Bu Nyai yang memiliki niat begitu tulus untuk menjodohkannya dengan keponakan beliau yang sedang menyelesaikan studi di Universitas Al-Azhar, Kairo.
“Apa kau bersedia, Idah?” Bu Nyai Maimunah angkat bicara demi mendapat jawaban dari Zubaidah.
“Jika Allah berkehendak ini yang terbaik buat saya, Insyaallah saya siap, Bu Nyai. Tapi sebelumnya, izinkan saya untuk istikhoroh dan berpikir matang dalam waktu dua hari, Bu. Saya juga harus merundingkan dengan kedua orangtua saya di kampung halaman sebelum kemudian saya mengambil keputusan.”
“Baiklah, Idah. Segera temui kami setelah kau mantap untuk memutuskan. Semoga Allah ridlo.” Bu Nyai Maimunah mendekat lalu memeluk Zubaidah. Selaku wanita, Bu Nyai paham dengan apa yang dirasakan Zubaidah. Berada pada puncak gelisah, cemas, dan perasaan yang diselimuti was-was.
Pelukan hangat Bu Nyai Maimunah pun sedikit mampu menenteramkan hati Zubaidah.
Description: Malam semakin meninggi. Namun tetap saja gelisah yang mendera hati Zubaidah tak kunjung pergi. Malam ini ia tak merasakan kantuk sama sekali. Berulang kali mimpi-mimpi indah tentang sosok yang didamba dan entah itu siapa membuatnya tertatih untuk mulai membuka hati kembali setelah sekian lama ia hanya menjadi sebuah pelampiasan beberapa lelaki yang mendekati namun tak pernah pasti.
Siapakah sosok dalam mimpi Zubaidah? Akankah ini pertanda bahwa tak lama lagi gelisah Zubaidah segera sirna dan tergantikan oleh rindu yang sudah sepantasnya?
Novel ini ditulis untuk mengikuti proyek Bulan Nulis Novel Storial #BNNS2018 yang diadakan oleh storial dan Nulisbuku
|
Title: Rahasia yang Sering Kita Bicarakan
Category: Puisi Sahabat
Text:
Bisik
Tenang kau mengenang
tentang jiwa yang kau miliki sekarang
yang pernah sekarat dan mendendang
tembang yang mengguruh suarakan perang
menantang dan menghunus pedang.
Asyik kau membisik
mengusik rasa yang penuh luka cabik,
burik dan cacat yang perlahan membaik
tabik diucap nyaring namun tak berisik
menarik perhatian ingatan yang ingin dilupa dan tak ingin diusik.
Gagap kau mengucap
mengecap ludah yang sudah bersiap
menggarap kata dari ruangan pengap
gelap di setiap sudut dan berbau tak sedap
berharap semua terutarakan dan hilang bagai sulap.
Senja Oranye
senja musim ini begitu oranyemenyelinap masuk kamar juga kalbupara tuan senang beradu sampanyelah aku, sedang bergelut dengan rindusampaikan saja pesanmu pada senjahingga dia datang pun membawa kabarsubuh untukmu dia bawa balasnyasemoga kau bisa sedikit bersabar.(Heidelberg, 14. Oktober 2017)
Pergi
jika pada saat senja saya pergi
biar gelap samarkan air mata
jika pada saat subuh saya pergi
biar terik keringkan air mata
biar semakin lapar jiwa akan temu
kutuk matahari 'tuk cepat terbenam
buyar semakin gelegar akal merindu
cerca bulan cepat subuh ganti malam
temu merupa hal yang begitu mahal
tapi murah 'tuk si juragan minyak
aku tak ingin berkata banyak perihal
tentang ini-itu yang sungguh menyesak
Bandung, 03 Oktober 2017
Hanya Laju
bawah tanah bukan tempat yang begitu hangat
apalagi di permukaan yang dingin sangat
aku menggigil dan kereta terlambat
ketika aku dan kau berbeda tempat.
menunggu kereta tepat waktu
kini bukan seperti menunggu waktu
untuk nantinya bertemu denganmu
mungkin hanya laju kemudian lagi laju.
(München, 19. 11. 2017)
Sebelum Senja Menjadi Cahaya Lampu
sebelum senja pamitkabarkan malam datangcamar-camar di langitsambut gelap menjelangorang-orang yang sakitsembunyi dalam terang.
cahaya lampu kotamerupa bara apiaku kini terbatabukannya meratapiada sebuah kotakurindu tanpa tapi.
(Heidelberg, 23. November 2017)
Langit Tetap Biru, Kau Tetap Rindu
pandangi saja langitjika saja sengitkau bertikai dengan rindudan kalah melulu
disini, atau disana nantilangit tetap samabiruatau kelabu
puan, tak usah raguaku pun rindu
(Cicalengka, 25 Agustus 2017)
Jika Saja Bandung Lebih Kecil
aku berharap Bandung seukuran jempol tangankuakan aku masukkan kota ini kedalam kantung celanaku.
akan kubawa kemanapunakan kulihat dimanapun.
Bandung, jauh terlihatlebih cantik saat dirindukanlebih wangi saat aroma kota lain mengharumi parujuga lebih mengagumkan saat pandangan tak tertuju padanya.
(Bandung, 13 Mei 2017)
Tidak Ada Esok Pagi
Tidak ada pagi untuk esok hari,
tidak ada juga siang setelahnya.
Aku lebih memilih untuk mendikte hari
agar gelap tiba segera.
Bukan senja yang kunanti
Bukan juga maghrib setelahnya.
Aku lebih suka saat menahan diri
dari pikir, yang ada kau di dalamnya.
Description: Kau dan aku punya rahasia, yang seringkali tak lagi dibicarakan. Dia terlupakan, tapi samar masih diingat.
|
Title: Robusta Mocca
Category: Cerita Pendek
Text:
1 Robusta Mocca
Menjadi seorang mahasiswa sambil bekerja paruh waktu tidak semudah dan seenak yang dibayangkan. Pasti banyak dari kalian yang berpikir 'wah, menyenangkan deh nyari duit sambil kuliah!' Padahal kenyataannya, sama saja. Kita tetap memiliki masalahnya sendiri. Walaupun berbeda-beda, namun tak akan jauh dari hal yang menyangkut kehidupan.
Hidup. Omong-omong soal hidup. Sebenarnya aku tidak terlalu semangat untuk menjalaninya. Tapi tidak terlalu membosankan juga. Aku hanya mengikuti arusnya saja, seperti air yang mengalir. Karena, aku pernah berada di posisi yang sangat bersemangat. Justru masalah lebih sering datang. Entahlah, apa mungkin hanya sebagai ujian untuk diriku lebih kuat lagi. Untuk sekarang, aku tidak ingin terlalu memikirkannya.
Aku ingin hidup dengan santai, tanpa beban. Walau aku tahu, itu sangatlah mustahil. Klakson mobil dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Jalanan Kulon Progo begitu padat, apalagi di hari senin. Bahkan untuk mencari angkot saja harus berkelok-kelok kesana-kemari. Jika tidak, bakal ketinggalan. Tinggal jauh dari keluarga, harus bisa hidup mandiri dan gesit. Agar tidak mudah mengeluh hanya karena hal sepele.
Sesampainya di kampus, aku bertemu dengan seseorang yang begitu membenciku. Duh, hancur dah mood ku hari ini, dalam hatiku menggerutu. Orang yang dari dulu sampai sekarang tidak pernah ingin bersahabat denganku. Kalau lagi bertengkar biasanya aku memanggil dia dengan sebutan.
“ Eh! Upik Abu! Kalau jalan lihat-lihat dong, tuh di sana masih luas! “ dalam hati, aku selalu menasehati diri sendiri untuk bersabar menghadapi orang yang sekarang ada dihadapanku ini.
“ Apa Lo bilang, dari tadi yang gak lihat jalan siapa ya!? Salahin Gue lagi! “ balasnya yang tak kalah pedas.
Aku pun langsung menyelonong pergi tanpa melihat ke arahnya. Aku tidak ingin mengacaukan mood ku yang sedang baik ini. Aku langsung menutup telinga saat dia berteriak seakan menggunjingku.
***
Saat aku sedang membuat kopi untuk pelanggan setia di kedai tempatku bekerja. Tiba-tiba Big Bos memanggilku, aku pun langsung mendekat ke arahnya. Dan Silvi teman kerjaku yang menggantikan posisiku.
“ Ikut Saya! “ apa lagi ini ya tuhan, keluhku dalam hati.
Aku hanya pasrah berjalan mengikutinya. Dia pun berhenti tepat di kursi dalam ruangannya. Aku hanya menunduk tak berani menatap matanya yang tajam.
“ Kamu tahu, kenapa Saya membawamu ke sini?! “ tanyanya, dengan penuh penekanan.
Yaa, mana saya tahu bapak. Kan belum dikasih tahu! Jawabku dalam hati, yang tak mungkin aku ucapkan kepadanya. Mana berani aku, yang ada makin memperkeruh suasana.
“ Kamu Saya pecat! “ tepat dia mengatakannya, aku langsung mengangkat kepala. Benar-benar membuatku terkejut. Bergeming.
“ Loh! Emang salah Saya apa Pak? “ tanyaku akhirnya, sedikit mengeraskan suara.
“ Pikir aja sendiri! “ jawabnya, yang semakin membuatku frustasi.
Mana ada yang bisa tahu kesalahan, tanpa diberitahu. Dan langsung main pecat seperti ini. Tanpa memedulikannya, yang aku rasa dia pun juga tidak peduli. Aku langsung berlari dan berganti pakaian. Lalu keluar sambil menenteng ranselku. Aku berhenti sebentar di depan tulisan ‘ Setjangkir Kopi Coffee House ‘, dan melihat kedai sederhana itu dengan tatapan dongkol. Dalam hati aku meraung sambil melangkah maju di tengah keramaian jalan.
Brukkkkk!!!
Semua isi ranselku terjatuh di jalan, dan aku pun langsung terduduk di depan ranselku yang berserak. Kesialan apa lagi ini? Huh!
Tanpa melihat siapa penabrakku ini. Aku langsung membereskan ranselku. Namun, saat aku ingin melangkah menjauh dari keramaian. Si penabrak langsung menahan lenganku.
“ Apa-apaan sih?! “ saat aku melihatnya, aku hampir jantungan. Sungguh. Ternyata, hari ini benar-benar sial.
“ Ih, apaan sih Upik Abu! Udah nabrak, gak minta maaf. Malah pegang-pegang lagi tanpa izin! “ ucapku, benar-benar tak tahan. Sebenarnya kesalahannya tidak seberapa. Tapi, karena kejadian di tempat kerjaku tadi. Membuat aku melampiaskan kepadanya.
“ Kalau mau marah, marah aja sama Aku. Gapapa. “ ucapnya dengan ekspresi datar.
Kerasukkan ini orang! Gumamku dalam hati.
Tak ingin berurusan dengannya lagi, aku pun langsung berlari. Genggamannya pun perlahan terlepas dari tanganku. Saat ini aku benar-benar sedang tidak ingin diganggu. Aku terus berlari tanpa arah. Sepertinya kakiku tahu harus ke mana. Tempat yang membuatku selalu tenang.
***
2 Robusta Mocca
Suasana di depan gazebo yang ku duduki begitu damai. Ada begitu banyak pohon cemara dan berbagai tanaman lainnya. Sambil menghapus air mata yang masih membendung, aku menghirup udara segar di sekitarku. Hingga pandanganku jatuh pada anak-anak kecil yang sedang berlari di atas konblok berwarna-warni. Entah kenapa saat melihat mereka, hatiku merasa kian nyaman. Rasanya ingin menjadi salah satu bagian dari mereka. Huh! Pikiranku mulai tak masuk akal.
Walaupun suasana di sini sedikit ramai, tapi tidak membuatku sesak. Tak seperti di jalanan yang kulewati tadi. Mana ketemu si Upik Abu lagi. Eh! Omong-omong, kok Upik Abu ada di daerah situ ya? Perasaan dia orangnya kurang suka nongkrong deh. Setauku setelah kuliahpun, dia langsung pulang. Ah entahlah. Kok aku jadi mikirin dia sih!
“ Salsa ya? “ tiba-tiba ada seorang cewek yang samperin aku dan langsung duduk di sampingku tanpa permisi.
“ Hmm, iya. Kamu siapa? Kok tau nama Aku? “ tanyaku, menampakkan raut curiga. Sambil sedikit menggeser duduk ku.
“ Aku teman se-fakultas Kamu, jurusan Administrasi! “ jawabnya, begitu semangat. “ Eh, dulu Kita juga satu SMP loh, masa gak ingat? Nama Aku Intan.”
Aku sedikit memicingkan mata sambil mengingat-ingat ‘Apakah aku mempunyai teman SMP yang bernama Intan?‘. Saking gak pekanya aku sama lingkungan sekitar, aku dibuat kelimpungan ketika mengingatnya.
“ Oh! I see! Intan yang dulu sering jadi bendahara ya? Iya enggak sih? “ tanyaku, sangat antusias. Sambil menunjukkan jariku ke arahnya.
“ Haha! Masih ingat juga Kamu. Iya, dari kelas 7-9 Aku yang jadi bendahara. Karena yang lain pada gak bisa dipercaya. “ jawabnya, sambil tertawa mengingat zaman kami ‘masih lumayan’ polos.
“ Hehe, iya juga ya. Kamu kenapa bisa di sini? “ tanyaku, basa-basi saja.
“ Aku mah biasanya kalo lari pagi atau sore emang sering ke taman Wana Winulang ini. Suasana di sini mendukung soalnya. “ jawabnya, dan hanya kutanggapi dengan anggukan mengerti. “ Kamu sendiri? ada apa ke sini? “ tanyanya balik.
Aku hanya tersenyum tipis, dan berpikir kata apa yang tepat untuk menjawab pertanyaannya. Karena gak mungkin aku harus jujur dengan masalahku tadi. Aku tidak ingin membuat orang sekitarku merasakan kedukaanku.
Dan sepertinya dia paham bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Terlihat dari caranya mengalihkan pembicaraan. Kami pun mulai membahas ‘kenang-kenangan’ waktu SMP sambil bersenda gurau. Emang ya, kalau ke taman ini lebih enaknya bareng teman. Ngobrol ditengah terpaan angin, dengan pemandangan yang dikelilingi pohon-pohon. Aku sedikit melupakan kejadian sialku hari ini. Walau hanya sedikit, setidaknya aku tidak terlalu terpuruk.
***
Setelah jam kuliah ku berakhir, aku tak mengacuhkan ajakan teman kelas ku untuk nge-cafe. Hari ini aku sudah mempunyai list, mencari kerja paruh waktu secara online. Dan jika bisa, aku ingin langsung bekerja hari ini juga. Karena aku tidak ingin membebani ayah dan ibu, yang sudah membayar biaya kuliah ku yang tidak sedikit.
Tanpa babibu, aku bergegas keluar kampus untuk mencari angkot. Kalau jam-jam segini, biasanya jarang ada angkot. Makanya aku harus cepat jika ingin mendapatkan angkot. Saat aku sedang menunggu di depan gerbang kampus, tiba-tiba ada bunyi klakson dari arah sampingku.
Perasaan udah di pinggir deh dari tadi, kenapa nge-klakson terus sih nih orang! Dalam hatiku bersungut. Tepat di depanku motor tersebut berhenti. Aku hanya menekuk muka saat tahu siapa yang mengemudinya. Oh ternyata!
“ Mau bareng sama Gue gak? “ tanyanya sambil melirik-lirik ke arahku.
“ Idih! Gak banget! “ jawabku, langsung menolak dengan ogah.
“ Yakin gak mau? Setau Gue angkot jam segini gak lewat arah kampus deh! “ ucapnya, meyakinkanku. “ Entar Lo tambah hitam nunggu di sini kelamaan. “ lanjutnya kemudian, yang mengandung sedikit hinaan.
“ Ih, Upik Abu! Kalau mau berbuat baik itu gak usah diikuti dengan hinaan. Gimana mau dapat pahala! “ ucapku, nge-gas karena perkataannya tadi.
“ Yee, gitu aja marah. Lo mah baperan! “ balasnya, sambil menyodorkan helm satunya lagi. “ Udah deh, ayo naik! Sebelum Gue berubah pikiran. “ ajaknya lagi, yang masih bersikeras.
Aku hanya diam, tak menanggapi ocehannya. Duh! Mana sih mang angkot, kagak lewat-lewat! Gerutuku dalam hati.
“ Hei, Sasul! Cepatan naik, kepanasan nih Gue. Jadi item kulit Gue nanti, kayak Lo. “ pancingnya lagi, yang semakin membuat sekitar jadi panas.
Aku tetap tak menanggapinya, dan hanya mendengus napas dengan gusar. Hingga dia pun turun dari motor sambil berkata dengan suara kecil, tapi penuh penekanan.
“ Lo mau Gue gendong atau naik sendiri? Hah? “ Pertanyaan yang berhasil membuatku terdiam. Kaku.
Nih orang, kenapa maksa banget sih! Lagi-lagi, gerutuku dalam hati.
Dengan terpaksa aku mengambil helm dari tangannya, dan langsung naik ke atas motor sport warna putih miliknya. Si empunya tersenyum miring, sambil bersiap akan menancap gas. Tanpa bilang-bilang, dia langsung menancap gas motornya dengan kecepatan tinggi. Spontan aku langsung memeluknya dari jok belakang. Saat dia sadar aku begitu ketakutan, dia langsung memelankan laju motornya. Alhasil, aku bisa mengomelinya sambil memukulnya. Tapi tidak terlalu keras, gak tega juga aku.
“ Eh, Upik Abu! Kalau mau gas itu bilang-bilang dong, mana kencang banget lagi! Gak lihat Lo bawa anak orang, bisa jantungan Gue! “ omelku sedikit cempreng, tepat di samping telinganya.
“ Duh, bisa pelan dikit gak sih ngomongnya, sakit nih telinga Gue! “ balasnya, sambil meringis menahan sakit.
Kesal dengan responnya, yang kagak minta maaf. Aku memintanya berhenti di tengah hiruk-pikuk Kulon Progo. Namun, dia tetap mengendarai motornya.
“ Gue minta maaf. “ ucapnya seketika. Walau suaranya agak pelan, dan ditelan keramaian. Namun, aku masih bisa mendengarnya.
***
3 Robusta Mocca
“ Hai, Intan! “ sapaku, saat aku berpapasan dengan Intan di koridor kampus Fakultas Ekonomi.
“ Eh, kamu Sa? Gak ada kelas? “ tanyanya, sambil menunjuk ke arahku.
“ Nih, barusan selesai. Kamu sendiri? “ tanyaku balik.
“ Aku masuk nanti jam dua kok. “ jawabnya, sambil mengajak ku untuk duduk di bangku dekat kampus.
“ Wah, kebetulan banget Tan. Aku mau nanya sama Kamu, “ ucapku, sambil mendudukkan pantatku. “ Kamu tahu gak tempat kerja paruh waktu yang bisa ikut jadwal kuliah? “ tanyaku, antusias.
“ Hm, kurang tahu juga Aku Sa. Tapi, kayaknya Aku pernah dengar ada di dekat kampus Kita. “ jawabnya, membuat semangatku berkurang. “ Kok, Kamu enggak cari di internet aja? Biasanya kan banyak. “ lanjut Intan, bertanya.
“ Aku udah cari di intenet kok, cuma susah kalau mau ikut jadwal kuliah. Kalau diskusi langsung kan, siapa tau bisa buat kesepakatan gitu, Tan. “ jawabku, menjelaskan.
“ Eh, gimana kalau Kamu buka usaha kecil-kecilan aja? Kayak olshop-olshop gitu? Kan lebih leluasa juga. “ ide Intan, yang membuatku berpikir keras.
“ Gak bisa, Tan. Aku gak punya modal. Aku juga susah kalau disuruh jual-jual gitu. “ jawabku jujur.
“ Duh, Sa. Kalau modal mah, pakai uang Aku aja dulu. Entar Aku bantuin promosi deh. “ jawab Intan, membuatku terperangah.
“ Taaann, enggak ah! Aku gak mau punya utang sama Kamu, merepotkan tau. Apa lagi kalau jualan kan, harus bisa kapanpun. Stand by gitu, kuliah ku gimana? “ jawabku lagi, tetap menolak.
“ Kita rekrut karyawan aja. Bantu-bantu Kamu, kalau kebentrok sama jadwal kuliah. “ jawab Intan, aku hanya melihatnya dengan tatapan sangsi. “ Pokoknya, Kamu gak usah pikirin modal. Ada Aku kok. “ lanjut Intan, membuatku semakin sungkan.
“ Gila kamu Tan! Aku kan cuma mau kerja paruh waktu. Kamu malah suruh Aku buka usaha. Gak banget lah! “ tolak ku lagi, membuat Intan mendengus kesal.
“ Gini aja deh .... “ perkataan Intan terjeda, karena tiba-tiba ‘Si Upik Abu’ lewat ke arah kami. “ Eh, Alvin!! Kok Lo bisa ada di sini? “ tanya Intan, yang memang satu SMP juga dengan Alvin.
“ Ya iya lah, kan ini tempat umum. “ jawabnya, hanya berbalik sekilas.
“ Songong banget si Lo! Bantu nih sahabat Lo, lagi nyari kerjaan. “ balas Intan kemudian, sambil menunjuk ke arahku.
Aku hanya menatapnya sebentar, tidak tahan melihat mukanya yang bawaannya ingin marah aja.
“ Sahabat? Emang Dia sahabat Gue? Idih, Gak banget. “ jawabnya, tanpa melihat ke arahku.
“ Eh, Pik Abu! Gue gak tau ya, maksud Lo apa! Gue kira yang Lo lakuin kemaren, biar bisa baikan sama Gue. Gue kira Lo udah anggap Gue sahabat Lo lagi. Ternyata Gue salah! “ tanpa berpikir atau bahkan melihat dia. Aku hanya berlari sambil menahan tangis. Akhirnya, unek-unek yang aku pendam keluar juga.
Saat aku ingin membuka pintu kos ku, tiba-tiba ada seseorang yang menahan tanganku. Aku pun melihat ke samping, ternyata dia lagi. Ahhh, kenapa sih aku harus berhubungan dengan orang labil kayak dia? Gerutuku dalam hati, sambil menghela napas.
Aku hanya diam, dan melangkah menuju kursi di depan kos ku. “ Mau apa Lo ke sini? “ tanyaku kemudian, dengan tatapan sinis.
“ Gue mau ... “ belum sempat dia melanjutkan, aku langsung memotong perkataannya.
“ Udah cukup ya Vin, Lo sakitin Gue selama ini. Gue benar-benar gak ngerti mau Lo itu apa! “ aku hanya menatap rumput yang dipantul oleh sinar mentari.
Dia berjalan mendekat ke arahku, aku tetap tak ingin menatapnya. “ Yaudah, ikut Gue yuk! “ ajaknya, sambil menarik lenganku agar mengikutinya ke motor.
Aku berusaha melepas genggamannya, namun apalah daya. Genggamannya begitu kuat, seperti tak ada celah untuk melepaskannya.
“ Lepas Vin! Lo mau ngajak Gue ke mana lagi? “ tanyaku, masih meronta dengan hebat.
“ Gue mau ngajak Lo ke suatu tempat, pasti Lo suka deh! “ jawabnya, ke-PD-an.
“ Entar Lo culik Gue lagi! “ balasku kemudian.
“ Idih! Siapa juga yang mau culik Lo! Orang-orang juga pasti harus mikir keras dulu sebelum culik Lo. “ katanya, dengan sedikit ketus.
Dengan wajah keki, aku mengikuti saja perintahnya. Lama-lama bisa berbuih-buih mulutku, gak kelar-kelar.
***
Tepat motor berhenti, Alvin langsung membangunkan ku yang menyandar di bahunya. Tanpa sadar, aku telah tertidur selama di perjalanan. Entah karena kelelahan, atau emang perjalanannya yang begitu jauh.
“ Kita ada di mana sih, Pik Abu? “ tanyaku, ketika aku melihat ke sekitar.
“ Bisa baca gak sih Lo, itu tulisannya segede gitu. “ jawabnya, membuatku jengkel.
“ Ya, kan Gue baru bangun kali. Kagak lihat ke sana! “ balasku, membela diri.
“ Makanya jangan tidur mulu, nyandar di bahu Gue lagi. Gak iler Lo kan? “ tanyanya, sambil bergidik menatap ku ke belakang.
“ Yaelah Lo mah, kagak lah. Gue mah tidur cantik kali. “ jawabku, kemudian memeletkan lidah.
Tak ingin keterusan, aku pun langsung turun dari motornya. Menyodorkan helm yang aku pakai ke pemiliknya. Aku membaca papan nama di depan motor Alvin berhenti. ‘ Kedai Kopi Menoreh Pak Rohmat ‘.
Hm, kenapa sih Pik Abu, ajak aku ke sini? Masa mau minum kopi doang, harus jauh-jauh ke sini? Cerocosku dalam hati, sambil menautkan kedua alisku.
“ Ayo masuk, Sul. Entar Lo juga tau kenapa Gue ngajak Lo ke sini. “ ucapnya, yang kubalas dengan tatapan sinis.
Saat aku masuk ke dalam kedai tersebut, aku benar-benar dibuat terperangah. Suasana yang begitu menyejukkan, membuat ku nyaman dengan tempatnya. Pemandangan taman yang begitu asri, terdapat sebuah gazebo sederhana di pojok taman. Taman tersebut hanya bisa dilihat, saat kita memasuki kedai.
Gazebo yang dibentuk dari material bambu dan ijuk, terlihat begitu menawan. Barisan kursi dan kayu tersusun rapi di dalamnya, juga meja besar yang berada di dalam gubuk. Suasana sejuk ala pedesaan terlukis di tempat ini.
Tak disangka, rintik hujan membasahi kedai Pak Rohmat. Aku khawatir, jika hujan tidak berhenti sampai malam. Bagaimana aku dan Alvin pulang. Aku pun melirik ke Alvin, memberi isyarat ‘gimana kita pulang?’.
“ Kalau hujannya gak berhenti-berhenti, terpaksa Kita numpang tidur di sini. “ jawab Alvin, yang berbisik ke telingaku.
“ Assalamualaikum, Nak Alvin. Wah, udah lama gak ke sini ya. Apa kabarnya, Nak? “ tanya seorang bapak, sepertinya pemilik kedai kopi ini.
“ Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik Pak. Bapak sekeluarga baik juga kan? “ jawab Alvin, terlihat sangat sopan. Aku dibuat terperangah, benar-benar berbeda jika berbicara denganku.
“ Iya, Alhamdulillah baik juga Nak. Eh, ini siapanya Nak Alvin? Pacarnya ya? “ tanya si bapak, membuat suasana menjadi sedikit panas. Padahal di luar sedang hujan.
“ Bukan kok Pak, Aku teman kuliahnya Alvin Pak. Salam kenal Pak, Aku Sasa! “ belum sempat Alvin menjawab, sudah kedahuluan denganku. Aku pun sambil menyalami si bapak.
“ Alvin, di makan dulu Nak. Ini kopinya, dan cemilannya. Seperti biasa! “ Tiba-tiba datang seorang ibu paru baya, sambil membawa nampan. Dan meletakkannya di atas meja kami.
“ Kalau nanti hujan di luar belum kelar, Kalian bermalam di sini aja ya. Entar biar Bapak yang temani Nak Alvin tidur di ruang tamu. “ ucap si ibu, membuatku tersenyum kikuk sambil mengangguk kepadanya.
Aku adalah tipikal orang yang ‘sungkan’, apalagi sama orang baru. Rasanya tidak enak aja, kalau harus merepoti.
“ Udah, engak apa. Di sini Kita cuma tinggal berdua kok. Sepi kalau gak ada tamu. “ ucap si ibu, seakan tahu apa yang aku pikirkan.
“ Iya Bu, Terimakasih ya Bu. Saya tidur di ruang tamu sendiri juga tidak apa bu. “ balas Alvin, sambil mengangguk kepada si ibu.
Kami berempat pun mengobrol banyak, dan bercerita tentang hal-hal yang sedang menarik diperbincangkan. Tak terasa sudah 5 jam berlalu, namun hujan di luar belum bosan untuk menurunkan rintiknya. Akhirnya, kami pun menginap di kedai ‘Pak Rohmat’.
***
4 Robusta Mocca
Keesokan paginya, aku dan Alvin membantu bapak dan ibu di kedainya. Karena hari ini weekend, sehingga pengunjung lebih banyak 2 kali lipat dari hari biasa. Kata si bapak, banyak pelanggan setia yang selalu datang ke kedai ini, bahkan bapak sampai hapal pesanan mereka. Aku benar-benar kagum kepada beliau, padahal usianya terbilang sudah lanjut, tapi ingatan tentang pelanggan tetap lengket.
“ Neng, katanya lagi cari kerja ya? “ tanya ibu, saat aku kembali ke meja kasir sambil menenteng nampan.
“ Hehe, iya Bu. Aku lagi cari kerja paruh waktu, yang bisa ngikut jadwal kuliah. “ jawabku, sambil menyengir kepada ibu. “ Kok Ibu bisa tahu? “ tanyaku kemudian.
“ Itu loh, Nak Alvin tadi malam cerita sama Ibu dan Bapak. Dia kelihatan semangat banget tuh ceritain tentang Kamu. “ jawab ibu, membuat pipiku menjadi panas. Layaknya kepiting rebus.
“ Ah Ibu mah, melebih-lebihkan. Gak mungkin Dia begitu, Bu. Setiap Kami ketemu aja bertengkar terus, Bu. “ balasku kepada ibu, sambil menyilangkan tanganku.
“ Benaran Ibu Neng, kenapa juga Ibu bohong sama kamu. “ ibu tetap kekeh, seperti tak peka dengan maksudku. “ Oh iya, kalau Neng mau, Neng bisa kerja di kedai Ibu kok. Kebetulan juga di sini kekurangan karyawan. “ tawar ibu, kemudian.
“ Aduh, Ibu benaran? Tapi kalau hari biasa Aku gak bisa Bu, soalnya kan kalau ke sini harus 1 jam. Paling hari minggu bisanya Bu, karena hari libur hehe. “ jawabku, dengan cengiran andal.
“ Enggak apa atuh Neng. Ibu paham kok, nanti biar Alvin yang antar-jemput Kamu. “ balas ibu, sambil ngelirik Alvin yang sedang mengelap meja.
Merasa diomongin, Alvin pun melangkah mendekat ke arah kami. Duh, tuh anak ya, sok cool banget deh jalannya! Gerutuku dalam hati.
“ Sampai disamperin tuh Neng. “ goda si Ibu, saat Alvin sudah berdiri di dekat kami.
“ Ih, Ibu mah. Jangan begitulah Bu, malu Aku. “ ucapku kepada ibu, sambil menggandeng tangan ibu.
“ Najis banget Lo, sok malu-malu. Padahal gak tahu malu. “ cerocos Alvin tiba-tiba.
“ Apaan sih Lo, sewot banget jadi orang. Huh! “ balasku, begitu kesal.
“ Duh Kalian ya, udah-udah. Ribut terus, entar jodoh loh nanti. “ ucap si ibu, melerai kami.
Spontan aku dan Alvin pun berpura-pura ingin muntah. “ Amit-amit dah Bu, gak banget! “ jawabku, sambil melirik Alvin sinis.
“ Apa lagi Aku Bu, gak mungkin Aku suka sama Dia. “ balas Alvin, yang tak pernah mau kalah.
Ibu hanya tertawa melihat kelakuan kami, si bapak pun ikut tertawa yang diam-diam mendengar keributan antara aku dan Alvin.
***
2 tahun kemudian.
Di pagi hari yang sejuk, aku sedang menikmati kopi buatanku sendiri. Hingga, tiba-tiba ada seseorang yang membuka pintu.
Triiinggggg.......
“ Halo, dengan Coffe Shopul! Selamat datang, silahkan memesan! “ ucapku kepada pelanggan pertama di pagi ini.
“ Pesan Robusta satu ya Mbak, gak pakai gula. “ ucap pria tersebut, membuatku sedikit tertegun.
“ Mau dicampur Mocca gak, Mas? Kita lagi buka promo untuk campuran Mocca-nya. “ tanyaku, dengan senyum yang tulus.
“ Gak usah Mbak, terimakasih. Saya suka yang pahit-pahit saja. “ jawabnya kemudian.
“ Baik Mas, silahkan menunggu. “ ucapku lagi, menyuruhnya untuk duduk di kursi kosong.
Menjadi seorang barista di ‘Coffe Shop’ milik sendiri itu rasanya adem banget. Dulu aku gak pernah terpikir akan membuka usaha kopi. Tapi, takdir membuatku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur kok. Entah kenapa kalau membuat kopi untuk pelanggan, dan pelanggan itu suka. Rasanya itu bikin semangat lagi aja. Layaknya, kita udah berhasil membuat orang-orang bahagia. Walau hanya dengan secangkir kopi.
“ Selamat menikmati, Mas. Semoga suka dengan kopinya! “ ucapku, dengan senyum yang terlihat ceria.
Robusta. Kopi pahit yang begitu pekat, tapi punya kenikmatannya sendiri bagi pecandunya. Iya, kayak hidup ini. Walaupun sedang berduka, tapi kita masih bisa menikmatinya. Kita bisa menyukai hidup kita sendiri. Dan aku setuju akan hal itu. Karena semakin kita sering bersyukur, bakal ada aja bahagia yang datang menghampiri.
Bunyi dering telepon yang melengking, membuyarkan lamunanku.
“ Halo, dengan Coffe Shopul. Ada yang ingin dipesan? “ ucapku kepada si penelepon.
“ Pesan Robusta Mocca-nya satu ya, harus sepaket dengan Mbaknya yang cantik! “ jawab diseberang telepon, sangat terkesan menggoda. Spontan aku menjauhkan handphoneku, dan melihat nama di atas layar. Ya ampuunn!
“ Aduh, Kamu Sayang. Kirain siapa! “ balasku kemudian, dengan senyum yang mengembang. Walau aku tahu dia tak bisa melihatnya.
“ Coba balik ke belakang. “ aku pun langsung berbalik mengikuti perintahnya. Dan tidak menemukan apa-apa.
“ Ih, ada apa sih? Aku udah balik belakang nih. “ ucapku dengan nada manja.
Tiba-tiba ada seseorang yang merangkulku dari arah belakang. Aku pun terlonjat kaget.
“ Kamu mah, suka banget bikin Aku kaget. “ ucapku, yang langsung memeluknya. Seperti melepas rindu, padahal hanya ditinggal sebentar.
“ Aku mau dong, dibuatkan kopi juga sama Istriku ini. “ ucapnya seketika, yang langsung kubalas dengan anggukan. Dan tangan membentuk huruf ‘O’, sebagai tanda ‘oke’.
“ Seperti biasa, Robusta dicampur Mocca-nya. Selamat menikmati, Sayang. “ sambil meletakkan kopi tersebut di atas meja. Aku ikut duduk di sampingnya.
“ Kamu cuma buat satu, Sayang? Kamu-nya enggak minum juga, masa lihatin Aku aja. “ tanyanya sambil menatap ke arahku.
“ Udah, enggak apa Sayang. Aku lihat Kamu minum aja udah buat Aku bahagia. Apalagi senyum Kamu setelah minum kopi itu. Terlihat sangat tulus dan manis. “ jawabku dengan begitu semangat.
“ Pintar gombal Kamu sekarang ya, ayo diajarin siapa? “ tanyanya, sambil mencubit hidungku.
“ Ih, kan diajarin Kamu. Tiap malam tahu! “ ucapku, sambil memonyongkan bibirku. Berpura-pura mengambek.
Kami berdua pun akhirnya tertawa. Apalagi saat kami mengingat tingkah kami dulu. Mirip sekali seperti ‘Tom and Jerry’. Memang ya, hidup itu gak pernah terduga. Aku pun menyenderkan kepalaku di bahunya, sambil melihat pemandangan ke arah laut.
Robusta dan Mocca. Menurutku keduanya mirip sekali seperti aku dan Alvin. Saling melengkapi. Jika tidak ada Mocca, maka akan terasa pahit. Dan jika tak ada Robusta, maka akan terasa hampa. Keduanya pun menjadi favorit kami sejak dulu.
***
Description: .
Padahal Salsa tidak terlalu lama bekerja di kedai tersebut, tapi tiba-tiba dia harus dipecat tanpa sebab. Dan sahabat yang dulu begitu dekat, begitu baik dengan tiba-tiba juga berubah menjadi membencinya.
Alvin sahabat kecil Salsa.
Intan teman SMP mereka berdua.
Bagaimana Salsa menghadapi kehidupan yang tak terduga tersebut?
Ketika dia harus menjalani kewajiban sebagai Mahasiswa dan juga sebagai Pekerja paruh waktu.
Saat dia jauh dari orang tua, dan tidak mempunyai tempat untuk mengadu semua keluh kesah.
Apakah dia sanggup melewatinya?
.
Nama : Hafidzah Khairunnisa
Instagram : @hafidzahk10
Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob 2020.
|
Title: Rona Biru
Category: Fantasi
Text:
Prolog
Hari Minggu adalah hari dimana seharusnya Biru Langit keluar rumah dan berjalan-jalan orangtuanya ke luar. Biru selalu bersemangat menunggu hari Minggu, sedari pukul 8 saja dia sudah berjalan kesana kemari di rumah, membangunkan Ayah dan Mama. Tentu saja, dia akan pergi kalau sudah selesai membantu ibu menyiapkan bekal nasi telur kesukaan Biru. Bahkan, hari Minggu ini dia, Ayah dan Mama akan berjalan-jalan ke Dunia Fantasi.
“Ayah….”
“Iyaaa, sayang?”
Tangan Biru sibuk menempel di jendela mobil dan dia tertawa kecil, “Manggil aja Ayah!”
“Biru suka jahil ya, sekarang?” Mama terkekeh mendengar anaknya barusan, sementara suaminya sibuk cemberut sambil menyetir tapi ikut tertawa juga. “Sama kayak Ayahnya”
“Nggak, kok” si Biru malah berkilah. “Aku suka manggil Ayah! Ayah, Ayah, Ayah!”
“Iya, Ayah juga suka kok manggil Biru!” Ayahnya membalas lagi, nadanya pun mengikuti anaknya. “Biru, Biru, Biru, Biru!”
Mamanya kemudian memutar lagu di radio, dan Biru mulai bernyanyi. Sampai Mama mengingatkan, “Biru semangat banget, ya! Kamu nanti nggak capek kalau nanti sudah sampai?”
“Nggak, tuh!” Biru menggeleng. “Tapi Biru lapar, Ma… Tadi Mama bawa sandwich, kan?”
“Hmmm, bawa nggak ya?”
“Mama??”
“Eh, ayo, jangan nangis” Mamanya tertawa. “Mama bawa dong…. Ayo, kalo mau minta sesuatu sama Mama bilang apa?”
“Please?”
“Kurang tepat… Kemarin Mama sudah ajarkan kamu kan, pesan rahasianya?”
“Iya, Ma!”
“Gimana pesan rahasianya?”
“Mama, Biru boleh minta tolong… minta sandwich sama Mama nggak? Please?”
“Pinteeeerrr!!”
Mamanya menyodorkan sekotak sandwich isi keju pada Biru, tidak lupa dengan bertanya “Biru, sekarang apa pesan rahasianya?”
Biru menjawab dengan semangat, “Terima kasih!”
“Tangan manisnya?”
“Ini, Ma!”
Dalam hitungan detik, satu potong sudah habis dilahap Biru.
“Itu mah, bukan pesan rahasia” Ayahnya berkomentar.
“Ssstt, biarin aja!” Mama menyahut sambil berbisik, “Biar belajar dia”
“Iya, iyaa… Biru makannya banyak yaa sekarang!”
“Iya, kan aku mau kayak Ayah! Tinggi, besar, ganteng!”
Ayahnya malah tertawa keras.
Biru senang sekali, merasakan tipikal perjalanan mobil bersama Ayah dan Mama setelah sekian lama. Sekian lama dalam hitungan versi Biru sebenarnya satu minggu, bahkan tiga hari yang lalu Ayah dan Mama mengajak Biru makan pizza. Biru suka sekali dengan pizza, dia bahkan melingkari setiap tanggal 30 di kalender dengan spidol merah, karena Ayahnya bilang makanan itu hanya ada di tanggal 30. Maksud Biru tentu saja, supaya Ayah dan Mama tidak lupa untuk makan pizza di hari itu.
Kebetulan sekali, hari ini tanggal 30. Biru berlari kencang menuju mainan komidi putar, biasanya kalau sudah begini, Biru akan bermain di komidi putar sampai satu jam lebih. Mama dan Ayah sampai harus bergantian karena kepala mereka pusing, mendampingi Biru di atas wahana. Itu baru komidi putar. Belum lagi wahana favorit Biru lainnya seperti Bom Bom Car, Istana Boneka, Perang Bintang dan Bianglala.
“Mama, aku duduk disana ya!” Biru menunjuk kursi tidak jauh dari mereka. “Aku pegel niih”
“Iyaa, tapi kamu jangan kemana-mana, ya!” Mamanya berpesan. “Nanti Ayah duduk sama kamu”
“Ayah di toilet masih lama, ya?”
“Iyaa, Ayah kamu lagi ngantri, Nak” Mama teringat tadi Ayahnya harus menahan sakit perut karena Ayah tidak suka makanan pedas, tapi Biru salah mengambil saus ketika makan ayam, bukan saus tomat tapi saus sambal. Mama dan Ayah harus berbagi ayam itu dan menukar ayam tadi dengan ayam jatah ayahnya, sebelum Biru menangis karena kepedasan. Untungnya, Mama tahan pedas, tapi tidak dengan Ayah yang suka berlagak jagoan di depan jagoan kecilnya itu.
Biru akhirnya duduk di kursi itu, sementara Mamanya mulai tidak terlihat diantara kerumunan orang. Dia tidak terlihat khawatir, karena toh Ayah akan datang dan duduk di sebelahnya, dengan entah makanan kejutan apalagi. Biru senang kalau ayahnya datang, karena Ayah selalu mengeluarkan permen dari kantongnya. Sibuk menebak-nebak makanan apa yang akan Ayahnya bawa, Biru berpikir juga mungkin Ayahnya sedang membeli makanan. Biru ingin sekali kapas terbang warna warni yang ada di dalam kotak, baru saja mereka lewati sebelum mengantri masuk Bianglala. Lama kelamaan, Biru Langit mengantuk, bersamaan dengan birunya langit yang perlahan dihinggapi kapas-kapas terbang berwarna kelabu.
Banyak hal yang Biru Langit masih belum paham. Seperti bagaimana ada kapas terbang warna-warni yang ia lihat ketika dia menutup mata. Atau bagaimana sekitarnya begitu cepat berubah, rubuh diatasnya dalam mimpinya. Biru Langit sedang bermimpi melihat kapas yang terbang ketika langit dan seisinya seperti rubuh diatasnya, bersamaan dengan gelap yang datang seperti kantuk pada waktu tidur. Hari itu, Biru melihat hitam yang begitu besar dan panjang, tapi tidak dengan warna merah yang ada di sekujur tubuhnya.
Sementara itu, ada sosok lain yang melihat kejadian itu, menghela napas seraya melihat insiden nahas tersebut. Ia membuka tabletnya, layarnya berkedip dan muncul tulisan itu.
Selamat Datang di Nostalgic Souls Inc.
Tidak ada lagi kehidupan setelah ini. Silahkan mengikuti perjalanan prosedur yang sudah disediakan oleh aplikasi Nostalgic Souls Inc. dan prosedur akan dibantu oleh Pemandu. Anda akan dikenal sebagai Subjek, atau orang yang sudah wafat.
Subjek: Biru Langit
Pemandu: 110
Waktu: 168 jam dalam waktu Nostalgic Souls Inc.
Bersedia mengikuti prosedur kematian dari Nostalgic Souls Inc.?
[Ya ] [ Tidak]
1 - Kasus Khusus
Layar aplikasi di tablet milikku pun berkedip. Biru Langit. Lahir 28 Desember 2042. Ciri-cirinya, laki-laki, berkulit putih dengan tinggi seratus sepuluh sentimeter. Seharusnya aku bisa memanggil namanya sekarang.
“Biru Langit?”
Aku menoleh dan melihat sepasang mata biru di hadapanku. Anak itu seperti terbangun dari tidur siangnya, dan aku heran, bisa-bisanya dia berjalan seperti biasa.
“Biru Langit” aku mencoba memanggil namanya. Anak itu tidak menjawab.
“Biru Langit”
Anak itu malah bengong di hadapanku. “Namamu Biru Langit, bukan?”
Aku yakin aku tidak salah orang. Benar itu dia. Di antara kerumunan manusia yang tidak terlihat jelas ini, hanya dia yang terlihat jelas dan berbeda. Seharusnya dia menjawab.
“Maaf, Kakak… tapi aku nggak boleh ngomong sama orang nggak dikenal” dia menjawab, akhirnya. “Kata Mama begitu. Aku nggak kenal sama Kakak… jadi Kakak nggak boleh ngomong sama aku”
“Kalau Kakak mau kenalan sama kamu, gimana?” aku berjongkok, menyamakan tinggiku dengan mata birunya itu. “Mamamu ngajarin kamu untuk kenalan kan?”
“Boleh, kok” Biru tersenyum. “Kata Ayah aku harus cari teman. Kamu mau jadi temanku, ya?”
Wah, anak ini. Betul-betul dia tidak sadar, ya? Ternyata lebih sulit dari yang aku kira. Inilah kenapa aku malas kalau harus mengurusi anak-anak. Bisa-bisa aku dikira Santa Klaus setelah ini.
“Kakak namanya siapa?” Biru bertanya duluan.
Baru kali ini juga ada yang menanyakan namaku. Ini akan sangat sulit, sepertinya. Bodoh, kenapa juga aku menghampiri dia, ya?
“Emm… aku biasa dipanggil Sepuluh”
“Sepuluh?”
“Iya, Sepuluh”
“Hahahaha!” Biru Langit malah tertawa. “Kakak namanya lucu banget! Kayak angka sepuluh!”
“Kamu mau tau nama panjangku?”
“Apa nama panjangnya? Kalau aku, Biru Langit!”
“Seratus Sepuluh”
Biru malah tertawa lebih keras lagi. “Kata Ibu Guru, seratus itu angka! 1, 0, 0, masa nama kakak Seratus Sepuluh, sih!”
“Ya memang begitu!”
Aku mengecek jam tanganku, sekarang sudah pukul 1 waktu kerjaku. Setidaknya aku harus membawa minimal 1 jam sebelum sampai di kantorku. Sekali lagi, aku melirik Biru Langit dan benar, sudah ada nama dia di layar tabletku. Apa disini sepi sekali jadi tidak ada yang mengambil dia? Bahkan Biru tidak sadar sama sekali, keadaan sekitarnya yang ramai sekali dengan manusia. Prosedur pertama berarti sudah benar-benar masuk.
“110!”
Seseorang memecah perkiraanku. Aku menoleh dan melihat 108 yang menghampiriku. “Aduh, ini kacau sekali!”
Dia malah terlihat panik, sedangkan Biru sibuk memainkan permen yang ada di kantungnya. 108 menatapku cemas sebelum mengomel, “Itu harusnya subjekku! Ah, aku yang harusnya menjemputnya!”
“Salah sendiri, malah pergi lihat roller coaster”
“Aku sudah lama nggak melihat roller coaster! Kamu tahu kan, jarang sekali kita menjemput di tempat seperti ini?”
“Iya, gara-gara kamu juga aku ikutan kena!”
“Makanya, sebelum tambah kacau, aku ikut dengan kamu! Sebelum nama baru muncul di aplikasi, cepat laporan. Nanti aku bantu jelaskan dengan atasanmu si 210”
“Oke” aku memulai laporan pada 108. “Namanya Biru Langit. Laki-laki. Umurnya tujuh tahun sepuluh bulan, dia lahir tanggal 20 Desember”
“Oke, tadi bagaimana kejadiannya?”
“Biru Langit tadi terakhir melihat ibunya sebelum dia duduk di kursi taman Dunia Fantasi. Di belakangnya ada wahana yang masih baru dibangun, tapi wahana itu rubuh tepat kursi taman tempat dia duduk. Biru Langit terakhir sedang tidur sebelum wahana itu ambruk di hadapannya”
108 menyadari ada yang aneh. “Kacau, nih. Dia berarti tidak sadar kalau…”
“Kamu mau didengar dia?” aku mengingatkan dia lagi. “Bisa habis kita sama 210 kalau kita beritahu dia!”
“Loh, itu kan prosedurnya! Kamu belum kasih tau dia?”
“Beda kasus! Ini anak-anak! Seingatku, prosedurnya berbeda!”
108 malah panik sekarang. “Aduh, kacau banget ini…” dia memegangi kepalanya. “110, jangan bilang kamu baru kasus pertama pada anak-anak ya?”
“Aku lebih takut dia menanyakan orangtuanya daripada mengikuti prosedurnya” aku menghela napas. “Kamu sendiri, apa kamu pernah menangani kasus anak-anak?”
“Baru-baru ini aku ikut pelatihan” 108 mungkin bisa membantu. “Seharusnya kamu dipindah, 110. Hanya yang tersertifikasi pelatihan yang boleh menangani”
“Tapi aku nggak dapat notifikasinya, tuh?”
“Masa? Coba lihat aplikasinya!”
Aku buru-buru membuka tablet dan melihat aplikasi. “Gimana ini? Nggak ada notifikasi pengalihan kasus! Subjek ini berarti tugasku sepenuhnya!”
“Tenang, tenang….” 108 mengambil tabletku. “Setidaknya kalau tidak ada itu, pasti ada panduannya. Prosedur pertama pasti sudah dibuat sedemikian rupa, terutama buat anak-anak. Kita hanya perlu mengikutinya”
Setelah mempelajari prosedur pertama secara singkat, 108 menghampiri Biru dan melambaikan tangannya, “Namamu Biru Langit, ya? Aku Seratus Delapan, biasa dipanggil Delapan. Kamu mau ikut kami beli pizza? Aku sama Sepuluh laper banget, nih!”
“Mau!”
Memang merepotkan bekerja di Nostalgic Souls Inc. ini. Bagaimana bisa aku bilang kepada anak ini kalau aku dan 108 adalah pemandu jalan selama kematiannya sebelum dia akhirnya masuk fase lenyap? Aku mengingat-ingat briefing singkat 108 waktu kami tengah makan siang waktu bagian Nostal, kalau dihitung-hitung aku bisa beradaptasi sedikit dan dibantu oleh 108 yang pada dasarnya memang mudah dekat dengan anak-anak, berbeda denganku yang tidak begitu suka anak kecil.
“Ingat ya, ini subjek anak-anak” 108 mengajarkanku sedikit. “Biasanya kita akan memperkenalkan diri, kan? Halo, nama saya 110, saya dari Nostalgic Souls Inc., kamu sudah meninggal pada tanggal sekian, pukul sekian karena sakit kulit mematikan dan saya akan menjadi pemandu jalan Anda dalam prosedur dari Nostalgic Souls Inc….. well, lupakan itu”
“Jadi? Kita harus bagaimana?”
“Lihat ini. Prosedur pertama untuk anak-anak biasanya akan dimodifikasi mengikuti bagaimana anak itu di kehidupannya. Jadi kita tidak berkenalan sebagai orang dari Nostalgic Souls Inc. Kita bisa jadi apa saja, biasanya paling mudah kita ini teman dia. Aku pernah dengar ada yang menjadi Santa Klaus di prosedur pertama, bahkan jadi hewan khayalan anak itu. Yah, namanya juga anak-anak”
“Merepotkan sekali. Aku nggak mau megang subjek anak-anak kalau begitu”
“Iya, itulah fungsi pelatihan, sebenarnya. Subjek anak-anak itu memang susah-susah-gampang, tapi tidak menutup kemungkinan kita juga akan dapat. Mereka harus dibujuk cukup lama, terutama di prosedur pertama ini”
“Terus? Apalagi yang pelatihan itu ajarkan?”
“Kalau sudah mulai prosedur pertama, sebisa mungkin kita harus bawa dia ke kantor dulu. Tidak bisa langsung ke prosedur selanjutnya seperti kasus-kasus lainnya, karena kita juga belum mendapat banyak informasi dari subjek, anak-anak itu ingatannya tidak sebaik subjek lain”
“Oke, kalau begitu nanti akan dibantu kantor, kan? Sepertinya itu tidak sulit kalau hanya membawa ke kantor saja”
“Ya, sulit lah! Apa kamu lupa, anak-anak itu mahluk yang penasaran? Pertanyaan mereka itu suka membuat kita bingung! Salah sedikit, kita bisa dianggap kena pelanggaran!”
Benar juga, seperti tangan mungil Biru Langit yang menyentuh dan menarik lengan kemeja milikku. “Kakak kok, diem aja?” dia bertanya.
“Enggak, kok. Aku melamun aja”
“Kalau gitu, aku mau nanya boleh?” Biru tersenyum lebar, mengeluarkan pertanyaan yang paling tidak bisa aku jawab. “Kakak lihat orangtuaku, nggak?”
Aduh, bukan itu pertanyaan yang ingin kujawab, adik kecil!
1.5 - Handphone Baru Mama
Bukan sekali dua kali Biru Langit sering membuat orangtuanya gemas.
Lagi-lagi di hari Minggu, Mama mengantar Biru pergi ke mall. Handphone Mama rusak, dan Biru ini sangat pintar, dia tahu bagaimana handphone tersebut rusak, baru saja Biru mau meminjamnya handphone itu masuk ke dalam air. Biru yang merusaknya, tapi dia juga yang paling semangat membeli Mama handphone baru.
“Mama suka warna apa?” Biru bertanya. “Biru cariin sini, nanti Biru ngomong ke om-om penjualnya!”
Di luar dugaan, memang, tapi ibunya tahu, Biru ini sedang bertanggungjawab atas kesalahannya. Tingkahnya sama sekali tidak seperti anak yang habis dimarahi, ia tadi hanya mengomel sebentar. Lebih baik Biru merusak handphonenya daripada Biru tersiram air atau terkena pecahan gelas.
“Mama mau kamu yang pilih, gimana?” tanya Mamanya. “Biru mau beliin Mama yang mana?”
“Yang ini aja!” tangan mungilnya menunjuk sebuah handphone berwarna rose gold. Modelnya terbaru dan harganya cukup mahal, tetapi tidak apa-apa.
“Mama, nanti kapan-kapan, Biru belikan handphone ya, buat Mama” anaknya ini tahu sekali cara membuat Mamanya terharu. Bisa-bisanya anak sekecil ini berpikir sejauh itu. “Biru pengen deh, kasih hadiah buat Mama”
“Iya sayang…”
Description: Biru Langit, anak dari Mama dan Ayah, terpisah di Dunia Fantasi dalam suatu tidur siang yang mempertemukan dia dengan Nostalgic Souls Inc., sebuah aplikasi yang menangani perjalanan nostalgia untuk manusia. Biru kemudian memulai suatu perjalanan yang terasa seperti mimpi: tentang arti keluarga, hidup, mati dan cinta, tentunya dengan pemandunya, seseorang dengan nama aneh yaitu 110.
|
Title: RINDU
Category: Puisi
Text:
RINDU
Tentang rindu. . .
Yang kerap datang ketika ingin dilupakan
Seperti daun mengering yang jatuh dari pohon
Seperti hujan yang sirna di timpa matahari
Kemudian berubah menjadi embun dari tetesan hujan
Sejuk terlihat di pangkal rumput yang tersinari
Puluhan purnama telah terlewati,
Namun tentangmu yang tak kunjung sirna
Selalu hadir ketika hati ingin melupakanmu
Rindu memuncak pada ubun-ubunku,
Tersampaikan angin, terbalaskan mimpi, namun fana
Kebiasaanku hanya merindukanmu,
Lantas apalagi?
Jika kau biarkan waktu yang menjawab,
Maaf. . . Aku mundur, Aku tak pandai untuk itu.
-Anita Puspita
June 26th, 2019
Description: Rindu itu candu dan kamu harus tahu...:)
|
Title: Romansa Perjalanan
Category: Puisi
Text:
Di Muka Pintu
di muka pintu
kita sama-sama
menunggu
ketidaktahuan;
ruang gelap yang
belum disentuh cahaya
dan tersembunyi
di balik anasir
malam
kau dan aku, dalam
setiap tanda
saling bertanya
– di sana –
penasaran ini
dan karenanya, kita
dalam setiap risau
selalu mencari
– di sini –
penjelasan itu
untuk sesuatu
yang dapat diterima
isi kepala
sebagai
jawaban
Description: Puisi adalah dunia yang penuh misteri. Di dalamnya kata-kata menjelma jadi jendela yang menghantarkan hamparan kemungkinan kepada para pembaca. Begitupun dengan Romansa Perjalanan, barangkali ia adalah salah satu jendela itu sekaligus cermin bagi pembacanya untuk mengakrabi dunia batinnya sendiri.
Sebagai catatan, judul Romansa Perjalanan terinspirasi dari sang penyair alam, Kirdjomulyo, salah seorang sastrawan angkatan 1966.
|
Title: Rahasia Hujan
Category: Cerita Pendek
Text:
Rahasia Hujan
Riana memiliki rahasia. Ia bisa berbicara pada hujan yang selalu mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Tak ada yang tahu jika Riana bisa tertawa atau mencurahkan kekesalannya pada titik air yang dianggap orang lain menyebalkan itu. Tak ada yang paham jika Riana dan hujan memiliki satu rahasia, yang satu sama lain tidak saling tahu. Hujan itu jenis kelaminnya perempuan, Riana yakin itu. Sebab hanya sesama perempuanlah yang bisa betah curhat berlama-lama.
“Hai Hujan, bagaimana kabarmu? Lama sekali kamu tidak mampir kesini. Lihat bunga-bungaku sudah semakin layu. Apa kamu punya teman baru sampai lupa mengunjungiku?” Riana sedikit menggerutu pada Hujan yang baru turun beberapa tetes.
Melihat sahabat kesayangannya yang mulai ngambek, Hujan menyapa Riana dengan memberi hadiah beberapa tetes air yang sangat sejuk ketika terserap dalam pori-pori.
”Maaf, Ri, aku sedang mendapat tugas untuk mengunjungi kota lain yang dilanda kekeringan. Desamu kan sedang panen raya, tidak hujan seminggu tidak akan membuat desamu kekeringan,” jawab Hujan dengan bijak dan lembut.
Riana sangat mengerti. Hujan sedikit sekali memiliki waktu senggang di musimnya. Berbeda saat kemarau di mana Hujan akan memiliki banyak waktu senggang. Hujan akan sering datang meski secara diam-diam lewat beberapa tetes gerimis yang hanya turun di sekitar rumah Riana.
“Hujan, tebak sekarang aku sedang merasakan apa,” Riana memberikan sahabatnya teka-teki. Kini gerimis sudah berubah menjadi buncahan air yang semakin deras. Riana melongokkan kepalanya keluar jendela agar suara sahabatnya bisa terdengar.
“Kamu sedang jatuh cinta, sama pemuda dari kota itu kan?” tebak Hujan.
Siapa yang tidak tahu jika Riana sedang jatuh cinta. Senyawa feromon telah menguap di sepanjang tubuh dan juga nafasnya. Sekali pandang, orang lain bisa menebak jika gadis tujuh belas tahun itu sedang dilanda virus merah muda. Pemuda kota itu baru sebulan di desa Riana. Katanya ia sedang melakukan penelitian untuk tugas akhirnya. Tentu saja ia tampan dan juga pintar.
“Ceritakan padaku bagaimana bisa kamu jatuh cinta,” lanjut Hujan lagi.
Lalu Riana menceritakan tentang seorang pemuda yang mengembalikan novel kesayangannya yang teringgal di halte bus. Ada nama dan nomor telepon Riana di situ. Riana pada mulanya takut untuk bertemu dengan laki-laki asing itu, ia mengajak Cika, sahabatnya, agar tidak sendirian.
“Dari situ aku tahu jika benar cinta akan menemukan muaranya. Aku tahu dari segala kesungguhan dan kejutan kecil yang membuatku makin merindu kepadanya. Namanya Jim,”.
-Hujan-
Aku tersentak ketika mendengar nama itu disebut. Ah, tidak, nama Jim itu sungguh banyak sekali di dunia ini kan, Ri. Masalahnya aku mengenal seseorang bernama Jim dan sungguh aku jadi sangat membenci nama itu. Jim yang kukenal telah menyakiti hati seorang gadis hingga hancur berantakan. Aku tak ingin tahu jika Jim yang kucintai pun adalah orang yang sama.
“Kenapa gerimismu menjadi deras dan menyakitkan? Hujan, apakah kamu sedang kesal?” Ri bisa menebak jalan pikiranku.
Aku mengontrol emosi dan melembutkan gerimisku lagi,”Tidak, aku hanya penasaran dengan laki-laki idamanmu,” ujarku berbohong.
“Hari ini dia akan datang ke rumah untuk bertemu dengan ayah ibuku. Kamu bisa melihatnya,” katanya lagi.
Oke, aku menunggu dengan khidmat sosok pria pujaan Riana itu. Ternyata tak lama kemudian, ia datang. Astaga, mobil itu sepertinya kukenal, dan ya, laki-laki tampan yang keluar dari mobil itu adalah Jim yang kukenal jahat.
“Ayo, Jim. Ayah dan Ibu sudah menunggu,” ajak Riana dengan riang.
Aku berteriak berusaha memanggil Ri, titik air yang jatuh pun semakin deras dengan gemuruh petir pertanda kemarahanku,”Jangan dengan dia, Ri! Dia adalah laki-laki penipu yang hanya akan menghancurkan hatimu!”
Tapi Ri tak lagi mendengar suaraku. Ia sudah terlanjur terpaku dengan pesona Jim. Bagaimana bisa aku mencegahnya agar tidak larut sementara aku dulu juga pernah tersedot dalam pusaran mata yang sama. Dahulu, aku pernah terbius pesona mata Jim, sebelum aku menjadi hujan dan masih menjadi seorang gadis biasa.
Dulu namaku Rainy, dulu aku juga sama jatuh cintanya seperti Riana. Tapi Jim malah mengkhianatiku dan tidak ingin berjuang bersamaku hanya karena bosan. Ia memang tidak berkhianat, tapi rasa bosan itulah yang membuatnya meninggalkanku. Jangan bersamanya, Ri. Aku dulu melepasnya dengan rasa sakit hingga aku terus menangis dan tubuhku berubah menjadi hujan yang kaukenal.
“Selamat tinggal, Ri,” sapaku lemah, mungkin Riana tidak akan bisa mendengarkanku.
Aku melihat mata yang kubenci itu kini sudah mengalami banyak perubahan. Ia sangat memuja Riana, matanya tak pernah selembut itu saat menatapku dulu.
“Minggu depan kedua orang tua saya akan datang kemari untuk meminang,” itulah kalimat terahir yang kudengar keluar dari mulut indah Jim.
Ri, maaf aku pergi tanpa pamit. Aku melepasmu dengan doa dan juga tangis. Kamu akan semakin sulit mendengarkan bahasaku. Aku melepasmu dengannya. Jim akan menjagamu. Meski kau sahabatku, namun aku masih terbelit cemburu. Semoga kau bahagia. Semoga kau tak pernah menangis hingga berubah menjadi hujan, sepertiku.
Description: Riana memiliki rahasia.
Ia bisa berbicara pada hujan yang selalu mengetuk-ngetuk jendela kamarnya.
|
Title: Remedy
Category: Fan Fiction
Text:
River Lea
Tinggal di sebuah rumah antik yang berdiri tepat di depan sungai sungguh bukanlah hal yang patut dibanggakan. Perhatikan, DEPAN sungai. Bukan pinggir.
Aku masih takjub dengan kegilaan sang arsitek yang mau membangun rumah ini tepat di atas jembatan solid yang menghubungkan sisi kiri dan kanan sungai ini. Mungkin dua abad yang lalu, di sini ada air bah, sehingga mereka terpaksa memblok aliran air dengan setumpuk bata, yang tahu-tahu kemudian berlanjut menjadi jembatan. Entahlah itu semua hanya legenda atau fakta.
Arsitektur abad pertengahannya terasa amat kental di berbagai sudut. Setiap aku menyentuh dindingnya, aku bisa membayangkan hawa klasik masa revolusi industri hingga ke denyut terdalam. Pijakan menuju pilar tangga tuanya yang berukir kokoh dan dingin, memang agak menyeramkan, dan terkadang menguarkan aroma angker. Namun, aku telah terbiasa dengan aroma ini selama bertahun-tahun. Tiga lantai di dalamnya menyimpan begitu banyak kemegahan, sekaligus debu dan misteri. Perjalananku memasuki rumah pun terhenti di sebuah deretan pintu dan jendela panjang dari kaca di lantai tiga. Lapisan transparan ini mengarah ke balkon, yang berada tepat di atas aliran sungai itu. Inilah yang membuatku sering duduk diam di sana, hingga berjam-jam, hanya untuk sekadar menyaksikan gerakan airnya dan dinamika permukaannya.
Di saat hujan, tetes demi tetes air berlomba melepaskan diri dari payungan langit kelabu gelap pun terlihat amat menarik di atas lapangan air itu. Tak ada satupun tetes air yang mau kalah. Tak ada balap motor atau balap mobil pun, aku dapat tontonan balap yang menarik. Aku pun betah menyaksikannya sampai berjam-jam.
Hingga aku melihat sesuatu di permukaannya. Aku tak bisa melepaskan pandanganku. Aku tak bisa melupakannya.
Di sana beredar mitos bahwa sungai ajaib itu punya penunggu di dasarnya. Jika kau cukup bernyali untuk masuk ke dalam sungai ini hingga dasar dan menemui sang penunggu, ia akan membuatmu enteng jodoh. Pada mulanya aku terpingkal-pingkal mendengar mitos bodoh itu, meskipun di sudut otakku yang lain masih mengingat pemandangan ketika hujan dulu.
Sayangnya, kolam renang amat jauh dari rumahku. Lagipula, sungai itu bersih. Perahu jarang datang. Teman sepantaran sering mengajak berenang di sana, tapi hanya di tepi-tepiannya.
Suatu hari, kuberanikan diri terjun ke sana. Sendirian. Aku memang sudah bisa berenang, tapi lama tak menggerakkan lengan dan tungkai secara terpadu demi usaha tetap ada di atas, telah membuatku sekejap lupa tentang cara bertahan hidup di air. Ditambah rasa terkejutku bahwa...
Air di sungai itu hangat. Amat hangat, meskipun hawa sekitar lumayan dingin.
Sekilas muncul keinginanku untuk menjajal mitos itu; benar adanya, ataukah bohong belaka. Sudah lama aku tidak merendamkan kepalaku di dalam air hingga lebih dari semenit. Kuberanikan diri mencobanya. Kalau kata pepatah sambil menyelam minum air, kali ini aku menyelam sambil menahan napas dan rasa penasaran.
Dua puluh detik. Tiga puluh detik. Empat puluh detik. Sambil bergerak aku mencari, tapi tetap tak kutemukan apapun. Berarti hanya mitos, pikirku sambil mencoba merangkak naik dan menghitung menuju detik keenam puluh.
Tiba-tiba muncul suatu perasaan tidak enak. Perasaan ingin masuk kembali ke dasar. Pikiranku mencoba melawannya, tapi percuma. Semakin kulawan semakin timbul rasa yang tak jelas lagi apa namanya. Bukan takut, bukan galau, bukan sedih. Ketika semua rasa, yang bernama dan tak bernama itu, menjadi satu, kulihat lagi dia.
Dia berenang perlahan ke arahku. Kedua tangannya membentuk lingkaran besar di atas kepalaku, hendak merengkuh bagian atas tubuhku. Begitu tangan kokohnya mendarat, kepalanya terdorong begitu saja oleh arus air, hingga sisi depan kepalaku dan sisi depan kepalanya bertemu.
Hal terakhir yang kuingat adalah sesuatu darinya yang menempel tepat di hidungku dan di bibir bawahku, sebelum semua menjadi gelap.
Sepuluh tahun kemudian, aku masih tinggal di sini. Aku belum yakin, kejadian yang dulu itu mimpi atau bukan. Hari ini masih hujan lebat. Sudah dua hari begini. Jalanan sudah banjir, warga tak berani keluar rumah. Entah mana batas tepi sungai dan badan sungainya pun, tak terlihat lagi.
Kuberanikan diri menerjang balapan air dari langit yang telah terselenggara dua hari dua malam itu. Lebatnya curah air dari langit betul-betul terasa hebat di sini. Entah karena lama tinggal di sana, atau karena ikatan batinku dengan sesuatu di dalam sungai itulah, yang membuat instingku tahu begitu saja mana tepian sungai dan mana dasarnya. Meskipun secara fisik aku telah berada di badan sungai, aku sungguh tak peduli apakah aku sedang berjalan, sedang berenang, ataukah sedang menggapai-gapai karena akan tenggelam. Aku ingin membuktikannya sekali lagi.
Dia ada di sana! Namun sayang. Pertama, karena ia tengah menghadap ke arah lain; dan yang kedua, karena dia tidak menyadari kehadiranku. Mungkin ia tengah gundah karena rumahnya terendam hujan yang menyapu polusi udara. Mungkin ia tengah menimbang ingin pindah ke sungai lain. Oh, jangan! Atau jangan-jangan ... ia tengah menungguku datang? Selama sepuluh tahun?
Seketika aku seperti tersengat rasa bersalah. Ini bukan tersetrum, tapi aku menggelenyar sesaat.
Namun ketika aku tersadar dari kebas sekilas itu, aku terlambat. Aku hanya mendapati ia tengah berenang menjauh. Sempat kulihat seluruh tubuhnya putih seperti pualam. Lebih pucat dari yang dulu. Sekilas, aku khawatir padanya. Mungkin benar ia sakit. Sayang, ia keburu menghilang di balik kegelapan di dasar sana.
Kini, sepuluh tahun kemudian, aku kembali ke rumah itu untuk mengambil kardus barang terakhir sebelum meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Sambil memeriksa barang-barang kecil yang mungkin tertinggal, aku naik ke lantai tiga. Barangkali banyak benda yang masih terselip di sana sini.
Seolah ditarik oleh semilir udara dari jendela besar, perlahan aku berjalan menuju balkon. Dan aku tersentak.
Beberapa alat berat bercokol di dasar sungai. Tak disangka, air sungai itu telah habis sehabis-habisnya. Mengering hingga ke dasarnya. Tapi bukan itu yang kuingat. Karena dalam sekejap, mataku mengedar pandang dan terhenti di suatu benda. Kemudian, mataku tak lagi bisa lepas dari ciptaan Yang Maha Kuasa, yang satu itu.
Aku melihatnya. Patung pria serupa dia, yang menciumku dua puluh tahun yang lalu. Serupa dia, yang kulihat berenang menjauh sepuluh tahun yang lalu, saat aku kebas tersengat rasa bersalah. Kini ia benar-benar putih, ia adalah pualam. Sebentuk pualam dalam bayangan di retinaku dulu, adalah serupa dengan imaji dalam mimpiku kemudian, dan seindah ukirannya kini.
Dan hingga kini aku belum mendapatkan jodoh.
Water Under The Bridge
(Hari ke-1)
Kevin
“Say that our love ain’t water under the bridge....”
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk jatuh cinta?
Untukku butuh 4 menit. Setelah gadis itu selesai bernyanyi dan turun dari panggung untuk kembali pada teman-temannya-mungkin dia habis ditantang untuk maju mencoba open mic, di pikiranku hanya ada satu: bagaimana cara berkenalan dengannya.
Jadi aku melakukan hal paling berani yang pernah aku lakukan dalam hidupku. Berjalan ke mejanya dengan detak jantung yang bertalu-talu. Aku hampir berbalik. Namun paras gadis itu terus menarikku kembali, suaranya terus terngiang dalam pikiranku.
Sampailah aku di depan meja si gadis. Di hadapan dua temannya yang berhenti bicara begitu aku mulai membungkuk untuk menyamakan pandanganku dengannya. “Permisi, maaf kalau aku menganggumu tapi aku perlu memberitahumu ini: suaramu indah sekali.”
Pandangan matanya langsung turun, tetapi dia tertawa–suara tawanya saja enak didengar. “Terima kasih,” jawabnya.
“Destiny is overrated but what if we are meant to be?”
//
(Hari ke-128)
Kevin
“Aku belum siap."
Bagus. Setelah 128 hari Lara menghambur-hamburkan harapanku, dia menembakku telak dengan sebuah penolakan. Tidak peduli cara mengemasnya dengan wajah memelas dan suara gemetar seperti hampir menangis. Rasanya tetap sakit.
“Memangnya kamu sudah yakin denganku?” lanjutnya.
Persetan soal yakin tidak yakin. Memangnya dia tidak hitung sudah berapa kali aku berdiri di sini, di depan pagarnya, tengah malam dengan sorotan lampu jalanan dari atasku, menunggunya terus menerus. Menyedihkan. Hanya untuk mendengar keluhannya lagi–taruhan sebentar lagi dia akan pakai senjata air matanya itu.
“Maksudmu?” tanyaku.
“Memangnya kamu sudah yakin kamu sudah benar-benar mengenalku?”
Pertanyaan itu lagi. Sebentar lagi aku akan mendengarnya bicara soal kehilangannya. Satu demi satu. Moodswing–nya mengalahkan cuaca di Jakarta yang terik tiba-tiba hujan. Lagipula, apa masalahnya jika aku belum sepenuhnya tahu aku benar-benar cinta atau tidak? Yang paling penting aku sudah memilihnya. Aku menginginkannya. Sudah, kan?
Apa lagi yang dipusingkan?
//
(Hari ke-1)
Lara
“Destiny is overrated, but what if we are meant to be?”
Itu kata katanya. Aku kira hanya kaum perempuan yang percaya hal-hal se-naif ‘melihat seseorang di seberang ruangan dan merasa itu adalah orang yang ditakdirkan untuknya’. Flash news: tidak ada cinta sejati. Tidak ada cinta pada pandangan pertama. Tidak ada cinta yang bertahan. Waktu menggerus semua itu.
Seperti sebelum-sebelumnya. Sebentar lagi laki-laki ini akan menanyakan siapa namaku. Dia akan mengeluarkan ponselnya atau bagaimana pun caranya itu, dan akan menanyakan nomor ponselku.
Kemudian, bagianku yang tidak pernah bisa aku tolak, aku harus memberikan nomorku karena dia sudah memujiku dengan cara yang baik.
Aku mulai merasa hidupku ini seperti kutukan. Terakhir kali aku bertemu seseorang aku mengagalkan hubungan kami setelah tiga kali pertemuan. Tidak pernah kutemukan seseorang yang cukup membuatku yakin dia tidak akan meninggalkanku. Kalau pun aku sudah yakin, orang itu yang sudah keburu lari.
Sudah biasa. Jari-jariku selalu bergerak sembari menghitung di dalam hati.
Malam ini, sekali lagi aku harus memperkenalkan siapa aku. Mengulang setiap tahap dalam perkenalan. Dari mulai yang manis–membuat malam-malam terasa panjang karena dimabuk perasaan jatuh cinta, sampai akhirnya seseorang akan berbalik menyumpahiku.
//
(Hari ke-33)
Kevin
Sore ini terasa damai sekali. Lara kelihatan manis dibalik blus warna merah mudanya. Rambutnya digerai dan dia banyak tertawa. Aku punya harapan. Dia mulai membuka diri dan aku suka dirinya yang ceria.
Akan aku catat bahwa membawanya jalan-jalan ke taman membuatnya lebih menyenangkan.
Namun tidak lama kemudian segala sesuatunya berubah lagi. Entah kalimat salah apalagi yang telah aku gunakan. Sesuatu yang menjadi pemicu kesedihannya.
“Kamu tahu aku pernah kehilangan Ibuku,” katanya.
Iya. Aku juga masih ingat cerita bagaimana Ibumu merengut nyawanya sendiri karena Ayahmu meninggalkannya. Bagaimana perjalananmu sampai bisa bertahan hari ini. Kamu sudah menceritakannya saat pertama kali kita pergi bersama. Kupikir perempuan yang berani menceritakan kisahnya di kencan pertama adalah sesuatu yang berani. Sangat terbuka. Dan, itu berarti kamu sudah tahu alasanku mendekatimu. Kamu tahu apa yang kamu inginkan.
“Menurutku kamu kuat.”
Lara menggelengkan kepalanya dan tiba-tiba dia sudah menangis.
//
(Hari ke-115)
Lara
Setelah dua minggu tidak bertemu, sekarang aku duduk dengan Kevin di sampingku. Tubuhnya panas dan berulang kali–sejak tadi, dia sibuk masuk-keluar kamar mandi untuk membuang ingus. Tetapi tetap saja dia memaksa untuk bertemu denganku.
Jadi kubiarkan dia bercerita tentang hari-harinya.
“Jadi begitulah … I’m officially jobless,” katanya.
“Kamu bisa cari lagi. Anggap saja sekarang ini liburan. Walaupun ya, kamu akan lebih pusing dari sebelumnya,” kataku berusaha menenangkan.
“Aku selalu gagal.”
“Kamu tidak gagal. Ini latihan.”
Dia terkekeh dan mulai menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku tidak mengantisipasinya. Tangannya mengenggam tanganku. Dia meremasnya. “Terima kasih sudah mendengar ceritaku hari ini. Maaf kalau kamu jadi bosan.”
Entah kenapa aku merasa senang sama sekali aku berhasil menghiburnya. Tetapi aku tetap tersenyum dan mengatakan, “kamu selalu setia mendengarkanku. Masa aku tidak mau melakukan hal yang sama?”
//
(Hari ke-84)
Kevin
“Masih belum mengerti juga?” tanyaku.
Lara menggeleng. “Tentu saja aku mengerti. Aku bodoh kalau tidak mengerti maksudmu. Tapi bagiku ini terlalu cepat.”
“Maksudmu?”
“Kamu membuatku merasa kamu terburu-buru. Aku bahkan belum mengenalmu.”
Bagaimana bisa saat kamu sibuk bercerita tentang dirimu?
“Aku bahkan belum yakin apa mauku–”
Alasan klise untuk menghindari pertanyaanku.
“Kamu tahu semua yang aku lakukan ini, karena di awal kamu juga bilang kamu ingin hubungan yang serius. Kamu mencari seseorang yang sudah siap berkomitmen.”
Dia membuka mulutnya namun tidak ada kata-kata yang keluar. Mungkin kehilangan alasan yang cukup untuk membuatku mengikuti permainannya ini. “Ini hal baru bagiku. Aku tidak terbiasa dengan semua ini. Kehadiranmu kadang membuatku tidak merasa nyaman.”
Iya, iya, iya. Kamu terbiasa sendiri. Semua dilakukan tanpa bantuan siapa pun. Karena kamu terbiasa melihat semua orang pergi meninggalkanmu. Kamu harus selalu siap mengandalkan dirimu sendiri. Aku muak, sungguh muak.
//
(Hari ke-32)
Lara
“Lara, si Kevin kemarin telpon aku loh, curhat tentang kamu,” kata Sarah.
“Kenapa sih dia harus cari-cari informasi sama kamu,” kataku dengan nada terusik.
“Ya dia kan kepingin tahu kamu suka apa.”
Aku menggeleng. “Aku takut sama dia.”
“Loh kenapa? Anaknya baik kelihatannya,” kata Sarah.
“Ya dia memang baik … tapi aku gak merasa dia benar-benar suka denganku. Aku menangkap hanya ingin segera menikah saja. Aku untuk status. Dia tidak benar-benar peduli padaku.”
“Loh, bukannya bagus kalau dia serius? Memangnya apa yang buat kamu tidak nyaman selama kalian jalan bareng?”
“Aku merasa dia menunjukkan yang bagus-bagus saja. Sudahlah, aku tidak mau lanjut dengannya. Paling ujung-ujungnya sama seperti yang kemarin–”
“Loh yang kemarin kan beda. Dia memang gak dewasa dan gak serius sama kamu.”
“Apa bedanya dengan yang ini? Sekarang saja dia suka denganku, makanya dia mau ikutin apa mauku. Setahun, dia juga akan bosan denganku. Dia akan lupa semuanya. Ujung-ujungnya dari semua ini apa? Aku akan kembali sendirian.”
//
(Hari ke-128)
Kevin
Karena pada akhirnya seperti yang aku tebak dan inilah kata-kata yang paling kutakuti, hindari untuk mendengarnya.
“Aku tidak bisa bersamamu.”
“Karena?”
“Aku membuat semuanya jadi berputar-putar sedangkan kamu mau jawaban sekarang.”
“Jadi? Kamu mau aku menyerah?”
“Tolong … aku tidak ingin mengacaukan semuanya.”
“Tidak ada yang kacau.” aku bisa merasakan suaraku meninggi. Kutarik nafas dan menghelanya sebelum aku kelepasan bicara satu-dua kata bernada kasar. Bayangkan, aku bahkan tidak perlu 365 hari untuk tahu betapa mudahnya gadis satu ini menangis kalau mulai merasa terpojokkan.
“Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Lalu? Kamu butuh waktu lagi?” tanyaku.
Tidak ada suara. Hening begitu lama. Sampai aku mulai paranoid tetangga depan rumah Lara sedang mengintip di balik jendela menerka apa yang sedang terjadi. Sebuah drama yang tidak ada harganya.
“Kamu tahu ini bukan soal waktu,” kata Lara.
Aku menghela nafas. “Lalu apa? Lara … apa yang membuatmu tidak yakin padaku?”
Dia diam begitu lama, entah apa yang sedang terjadi di dalam pikirannya. Aku menduga dia membayangkan Ibunya bunuh diri. Sejauh ini hal itulah yang memotivasi segala macam tindak tanduknya. Dan aku berdoa, gadis ini membiarkanku tahu isi hatinya.
“Aku ingin kamu mundur. Biarkan aku sendiri.”
Bukan jawaban yang ingin aku dengar. Dia tidak ingin aku tahu isi hatinya–isi pikirannya yang sebenarnya. Aku membuang muka. Setelah semua yang telah kami–oh ya aku lupa maksudku aku, lewati untuk hubungan ini. Berakhir begitu saja seperti ujicoba.
“Baiklah. Kalau itu yang terbaik menurutmu.”
//
Beberapa bulan kemudian...
(Hari ke-0)
Lara
Aku sedang menunggu Sarah yang terjebak kemacetan di dekat kantornya menuju Kafe ini. Seorang pramusaji mengantarkan segelas minuman ke atas mejaku. Aku langsung mendongak dan menahan tangan si pramusaji, “Saya gak pesan ini.”
“Oh, ini dari Mas yang di sana, Mbak.”
Seseorang yang tidak aku kenal melempar senyum ke arahku. Mulai lagi.
//
Remedy
Lagi-lagi Anna terbangun dengan gusar. Keringat dingin bercucuran di dahi dan mengalir pelan ke pipi, rahang hingga terjatuh ke atas selimut tipisnya yang kusam. Dari ruangan sebelah ia bisa mendengar suara desahan yang sarat akan hasrat. Gadis 13 tahun itu menutup telinganya erat-erat dengan tangan. Ia memejamkan mata dan membiarkan keningnya berkerut. Berusaha setengah mati tidak terganggu.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka secara kasar. Di sana sosok ibu datang bersama dengan seorang pria menakutkan yang tubuhnya besar, berotot, penuh tato dan terlihat semakin mengerikan dengan brewok yang dibiarkan tidak terurus. Tumben sekali ibu membawa pria yang sama selama seminggu berturut-turut ini. Biasanya ia akan membawa pria yang berbeda, kadang tua, kadang anak muda yang bahkan terlihat jauh lebih muda dari ibunya.
“Heh, pergi dari kamar ini sekarang! Jangan ganggu tamu Ibu!” teriak Tantri tanpa mengindahkan raut wajah anaknya yang ketakutan. Dengan panik Anna pun segera berlalu dari hadapan mereka. Ia tidak mau dipukuli seperti kemarin karena masuk ke kamar disaat ibu dan tamunya sedang bersama.
“Mau kemana kamu?” tanya seorang wanita yang Anna ketahui sebagai Bos ibunya.
Ragu-ragu gadis itu pun menjawab,“E-eh mau keluar, Tante.”
Wanita yang dipanggil tante itu menatap Anna dengan padangan merendahkan.
“Ibu kamu lagi di dalam ya?”
“Iya, Tante.”
Wanita itu mencibir. Bibirnya yang dipoles kemerahan memberikan kesan angkuh. “Hebat juga dia, kuat dari pagi sampai malam begini. Baguslah gue bisa dapat banyak uang dari dia kalau gitu.”
Dan wanita itu pun segera masuk ke kamar sebelah, tepat di samping kamar ibunya bekerja. Ternyata wanita tadi adalah orang yang membangunkan Anna dari tidur.
Gadis itu melangkah keluar dari rumah dan duduk sebentar di teras. Pikirannya melayang-layang jauh, meratap, lalu terdiam. Dari dulu ia selalu kesepian. Di sekolah tak banyak yang menjadi temannya. Beberapa di antara mereka sudah kabur duluan sebelum Anna mengajak berkenalan.
“Jangan main sama dia,” pesan seorang ibu muda kepada anaknya. Secara terang-terangan ibu itu berkata, padalah Anna berada tak jauh darinya.
“Memang kenapa, Mam?” tanya anak kecil berambut kepang itu pada sang ibu.
“Dia anak jadah.”
Dan seperti itulah Anna dikenal. Anak jadah. Anak haram. Lalu, semua orang mulai memandangnya sebelah mata. Tidak menghiraukan keberadaanya seakan ia tak kasatmata.
Gadis itu menghembuskan napas keras. Dia lelah dan merasa tersakiti. Tuhan yang Maha Adil ternyata tidak seadil yang ia pikirkan. Anak-anak seusianya yang lain memiliki keluarga lengkap yang bahagia, bahkan berkecukupan. Sedangkan ia tidak.
Anna menatap langit di atas. Warnanya hitam, pekat. Bulan pun tak terlihat oleh karena tertutup awan yang lebat. Sekelebat bayang-bayang tak lama kemudian mulai menghantui pikiran, menyeretnya pada sebuah ruang dan waktu lain yang kita kenal dengan sebutan kenangan. Ciuman malam yang ibunya selalu beri.
Gadis itu memang tahu jelas kalau sang ibu sayang padanya. Setiap malam ia sering berpura-pura tidur, karena ia tahu kalau ibu akan datang dan memberikannya ciuman pelan di pipi. Begitu pelan karena tidak ingin membangunkan sang anak. Tak hanya itu, sang ibu juga selalu mengucapkan ulang tahun pada Anna, tak pernah telat sehari pun, meski sang ibu sedang tak berada bersamanya. Karena memang terkadang ibu harus pergi keluar kota demi memenuhi panggilan kerja.
Dan lagi-lagi Anna sendiri, kesepian. Gadis itu memeluk erat lulutnya. Di luar sini dingin, tetapi ia tidak mau masuk ke dalam lagi.
Anna mendesah. Mata gadis itu sudah tak tertuju lagi pada langit hitam di atas, tetapi pikirannya masih berkelana pergi. Seakan mencari sesuatu yang belum hilang. Barangkali namanya, cinta.
Sikap ibu memang aneh. Sebentar lembut, sebentar lagi kasar. Suatu hari saat ia pulang dari sekolah, ibunya sedang tergeletak di lantai rumah. Pintu dibiarkan terbuka dan rumah itu terlihat luar biasa kotor. Pakaian dalam tersebar dimana-mana, botol-botol bir berhamburan dengan cairan di dalamnya yang tertumpah di lantai, dan para lelaki tidur dengan bertelanjang dada. Mereka pasti tamu ibu lagi, pikir Anna.
Seperti biasa, gadis itu pun langsung membersihkan segala sesuatu. Menaruh pakaian kotor di mesin cuci, membuang botol bir, mengepel lantai, dan terakhir membangunkan sang ibu.
“Bu, bangun, jangan tidur di lantai.”
Mata sang ibu mulai terbuka, lalu detik berikutnya ia mengucapkan sumpah serapah.
“Anak setan! Ngapain di sini! Ibu kan sudah bilang untuk jangan pulang dulu! Dasar susah diatur!”
Dan kali ini Anna pun menurut. Ia pergi dari rumah, bermain sebentar di taman. Lucunya anak itu memang selalu bersikap baik. Tidak pernah mengeluh, karena ia tidak mau menambah beban sang ibu. Anna selalu menyimpan semuanya sendiri. Barangkali dalam hatinya terdalam, ia sadar kalau wanita itu memang tidak sempurna, namun bagaimana pun juga, wanita itu satu-satunya yang ia miliki. Wanita itu kadang kasar tapi tidak pernah menjauhinya seperti teman-teman di sekolah. Wanita itu kadang tidak pulang, tapi tak pernah lupa mengucapkan selamat ulang tahun.
Dan Anna mencintainya. Dari seluruh borok dan luka yang ada, dari setiap makian dan pukulan yang ada, ia tetap tidak membenci sang ibu. Perlahan gadis itu berbisik, membiarkan semilir angin yang mendengar.
“Ibu...ibu...” rintihnya lembut. Satu tetes bertambah menjadi dua hingga tak terasa pipinya sudah membasah. Suatu memori buruk teringat dalam benaknya, begitu monohok hati Anna.
Malam itu, waktu ia sempat terjaga dari tidurnya, diam-diam ia merintih menyerukan nama ibu persis seperti sekarang ini. Saat itu, sang ibu sedang berjalan ke dapur dan mengambil sebuah pisau. Hendak memotong pembuluh darahnya, demi menghentikan denyut nadi sialan yang membuat dia terus menderita dalam hidup.
Yang membuat Tantri terus tersakiti setiap harinya oleh karena gunjingan-gunjingan tetangga, permintaan uang setoran untuk Ibu Bos, dan terakhir untuk melihat kesedihan anaknya sendiri. Lalu darah pun menetes seiring tangisan Anna yang melihat semua itu.
Ternyata tanpa ia sadari, jauh lebih sakit hati ketika ia melihat sang ibu hendak bunuh diri ketimbang ketika ia dimarahi oleh wanita itu.
Anna mulai menjambaki rambutnya. Ia menangis dan meraung. Memukul pelan dadanya berharap rasa sakit bisa hilang. Namun sial. Perasaan sedih menggerogoti dirinya hingga habis.
Awan yang sedari tadi menutupi bulan, kini mulai menurunkan rintik-rintik hujan. Menyirami tanah yang tandus, namun sayang sekali tidak mampu membasahi hati yang hancur. Dalam hidup, kita memang tidak bisa memilih siapa dan bagaimana orang tua kita. Kita hanyalah manusia yang harus ingat kalau diri kita hanya sebatas manusia. Tidak bisa memerintah Tuhan. Tidak bisa memaksa Tuhan untuk menuruti semua kemauan kita.
Sama seperti luka yang sembuh, Anna juga berharap kalau ibunya bisa berubah. Mencari pekerjaan baru yang lebih baik untuk keduanya.
“Ibu kenapa tidak cari kerja yang lain?” tanya Anna dulu.
“Cari kerja itu susah. Kalau sudah punya satu, jangan ditinggalkan. Nanti mau makan apa kita?” balas ibunya.
Maka Anna pun yang saat itu berusia 10 tahun berjanji dalam hati, kalau ia yang akan menjadi pintar, mendapat pekerjaan yang layak supaya bisa membahagiakan ibu. Membentuk keluarga bahagia dan berkecukupan seperti maunya. Anna yang akan menjadi obat bagi sang ibu. Obat bagi seluruh luka gores yang sudah tertoreh dalam hidup mereka.
Cause every story has it’s scars.
Kemudian lagi-lagi ada suara terdengar. Bukan suara desahan seperti tadi, melainkan teriakan. Dan Anna tahu jelas itu suara ibunya. Lalu gadis itu pun segera berlari ke dalam, membuka pintu kamar, mendapati pisau yang menancap pada tubuh ibu dan sebuah surat yang berada di atas kasur.
“Maafkan Ibu ya? Ibu tidak bermaksud mengusir kamu dari kamar. Ibu hanya tidak mau kamu melihat pekerjaan kotor Ibu dan mencontohnya. Sama juga hal nya sewaktu Ibu menyuruhmu pergi padahal kamu baru pulang dari sekolah. Ibu tidak mau kamu melihat betapa hinanya Ibu ini. Ibu ini tidak layak jadi orang tua, Anna. Ibu ini lebih layak mati. Maafkan Ibu, dan Ibu berjanji tidak akan menyakitimu lagi.”
Kali ini gadis itu tidak menangis. Ia akan menepati janjinya. Maka dengan segera gadis itu memanggil semua orang untuk mengantar sang ibu ke rumah sakit.
Cause when the pain cuts you deep... I promise you will see that I will be your remedy.
I Miss You
Mantra
(I Miss You)
Mantranya adalah: aku merindukanmu. Diulang delapan kali. Masing-masing diberi jeda 197 detik. Tidak boleh lebih, apalagi kurang. Harus tepat. Jika tidak, ritual harus diulang dari awal.
Aku menghela napas pelan dan teratur. Cahaya sore menembus jendela. Memberi sedikit kehangatan di kamar ini. Mencetak bayangan pada dinding dan ranjang yang kupunggungi. Mereka adalah saksi berapa lama aku menyiapkan ini semua. Aku tidak menerima kegagalan.
Aku merindukanmu.
Bibirku menggigil. Apakah aku mengucapkannya dengan benar? Jeritan melengking dari penghuni flat sebelah menelan suaraku. Sekarang perempuan itu menggerung. Pastilah dia bertengkar lagi dengan suaminya perihal anak-anak mereka yang lenyap.
Jemariku menggenggam keras pinggiran bangku kayu yang kududuki. Aku menyilangkan kaki di atas karpet bulu sintetis. Di sampingku ada sebuah meja bundar, wadah bagi seperangkat penyaji teh—teko dan cangkir keramik bermotif kembang ungu bergagang keemasan. Barang cantik yang jauh-jauh kubeli di London tanpa tahu itu adalah produksi Tiongkok.
Uap tebal mengepul dari sana. Berbaur dengan aroma vanilla dari lilin yang kusebar di lantai. Membayangi penghitung waktu yang angkanya terus berubah.
Aku merindukanmu.
Yang kedua, bersamaan dengan memori sewaktu kamu memberitahu mengenai mantra. Hari itu adalah senja yang berkabut. Pantai di seberang kamar ini pun ikut ditelan halimun. Kamar ini sungguh tenang tanpa keributan tetangga sebelah yang sedang berlibur ke utara.
Aku dalam dekapanmu. “Tapi bagaimana kamu bisa mendengarku? Aku di sini mengucapkan itu. Kamu di tempat yang lain....”
Kamu menarikku lebih erat. Napasmu menderu dekat di telingaku. Kukecupi tanganmu yang kasar dan tebal. Yang selalu menghadirkan keheranan dalam benakku—sebegitu beratkah pekerjaanmu sebagai penulis?
Aku menunggu jawaban. Aku mendapatkan ciuman.
Aku merindukanmu.
Perlu diingat: mantra hanya dapat digunakan sekali. Saat mencoba boleh gagal, setelah berhasil—tak ada lagi kesempatan kedua.
Maka aku memilih hari ini. Hari ulang tahunmu di penghujung bulan Juli. Ada hadiah yang penuh pita-pita biru muda. Ada bunga-bunga seroja yang kugunduli agar mahkotanya bisa kutabur di sini. Ada teriakan anak-anak yang selalu membuatmu tertawa, tapi menjengkelkanku. Setiap hari mendengar mereka bertengkar sudah lebih dari cukup. Sekarang, aku butuh merdunya suaramu mendesahkan namaku.
Datanglah, Sayang.
Aku merindukanmu.
Laut semakin menyala. Langit kian memerah. Aku bermandikan rona jingga yang tersisa. Pita-pita halus warna biru muda melilit badanku. Menghiasi rambut panjangku yang hitam arang. Pita itu merayap, membelit leher jenjang. Turun hingga ke dada dan terus kusebatkan sesuka hati. Agak sia-sia karena tidak akan menghalangimu mendapatkan bagian yang paling kausuka. Lalu pita-pita itu jatuh menjuntai hingga ke lantai.
Aku adalah hadiah yang kamu idamkan.
Aku merindukanmu.
Anak-anak tetangga sebelah dinamai Arthur dan Lancelot. Tampaknya jiwa ksatria tidak menitis pada begundal-begundal kecil tersebut. Sungguh kasian si ibu yang selalu mereka jaili setiap hari. Namun kisah-kisah mereka adalah satu yang selalu ingin kaudengar setelah kita bercinta.
Masih dengan peluh di sekujur tubuh, aku menaruh kepalaku di dadamu. Kususuri rambut dadamu sambil menuturkan cerita. Arthur si mata cokelat. Lancelot si mata hijau. Mereka yang suka meludahi pejalan kaki yang lewat. Mereka yang sering membuang kucing peliharaan Borges dari lantai tiga. Mereka yang takut kepadamu karena cambang tebal di wajahmu. Lucu sekali kengerian mereka. Andai mereka tahu kamu hanya berani melukai orang lain dalam lembar tulisan yang kaubuat.
“Aku akan mengajarimu, Sayang. Tidak ada pengajar yang lebih baik daripada gadis jelita yang sejak kecil belajar langsung kepada ahlinya—ayah yang selalu menghajar ibu dan hampir memanggang anak-anak perempuannya.”
Aku merindukanmu.
Pelajaran pertama kamu dapatkan ketika aku menggeletak di ranjang. Telentang dengan tangan dan kaki terikat. Kamu menghantamkan tangan. Pipiku hanya ngilu-ngilu kesemutan.
Aku tertawa dan merintih setiap kali menerima. Tawa melolong yang hanya tersaingi Arthur dan Lancelot saat meneriaki ibu mereka.
“Aku lebih suka mencium daripada harus memukulmu, Sayang,” ujarmu yang menjulang di atasku.
Meski awalnya kamu enggan dan menolak, akhirnya kamu mengerti setiap ayunan tangan akan berbuah ciuman yang lebih dahsyat. Permainan yang lebih menyenangkan dan menegangkan. Kadang-kadang ditemani alunan David Bowie. Kadang-kadang dengan lilin wangi kayu manis atau kopi. Kadang-kadang di lantai atau di kamar mandi.
Yang sama hanya rasa yang kudapat dari bibirmu. Rasa teh yang kental. Ritual keluarga sejak kecil. Jejaknya menguningkan deretan gigimu yang rapi. Sekarang teh yang kupunya berangsur dingin. Aku harap kamu segera datang.
Aku merindukanmu.
Jawaban itu kudapat di hari ulang tahunku dua tahun lalu. Di kamar ini, kita menari berahi di sore hari. Seluruh tubuhku adalah arena dansa untukmu. Tarian yang basah dan menyengat. Hingga kaki-kaki keluarga sebelah berderap keras di lorong flat. Disertai tawa-tawa yang begitu kencang.
Pengganggu.
Aku mencakar punggungmu. Kamu memelukku semakin ketat.
“Kamu ingin tahu?” bisikmu menatapku. Sepasang mata biru yang terbaik. Keringat di dahimu menetesi pipiku.
“Mau.” Aku menciummu. Mencari jawaban itu dalam mulutmu.
Percaya pada keheningan. Percaya pada kekosongan. Merekalah yang akan membawamu kembali ke ruangan ini. Turun-temurun sudah banyak pasangan kekasih yang membuktikan keampuhan mantra tersebut. Setiap aksaranya mengandung magi yang akan mengangkut atom-atom badanmu. Mengirimkannya lewat jasa angin yang akan mengantar lewat celah kamar.
“Bagaimana bisa? Apa mereka harus membunuhmu dulu, mencacahmu jadi atom-atom, dan merekonstruksimu kembali di sini?”
Aku merindukanmu.
Keremangan meluas. Senja sudah surut. Satu-satunya lilin aroma yang tertinggal, telah padam saat aku menggenapi mantra. Sepi sama sekali. Anak-anak tetangga tak pernah terdengar lagi sejak beberapa waktu lalu. Mereka membesar dan semakin bebal, sementara orangtua mereka seolah abai.
Bersama dengan menghilangnya mereka, kamu pun musnah tanpa jejak. Padahal kamu janji akan kembali. Aku tidak peduli jika mantra ini harus membunuhmu dan membangun dirimu yang baru di sini. Aku membutuhkanmu. Aku merindukanmu.
Kamu tidak seharusnya takut. Tak akan ada orang yang menemukan abu anak-anak nakal itu—mereka yang sudah mengintip kita, lalu mencuri manuskripmu dan menjadikannya lebu. Biar mereka pergi, tapi jangan kamu.
Mendadak angin berembus. Membanting jendela dengan keras. Menerpa dan melayangkan pita-pita. Membelai tubuhku begitu liar. Aku menggapai-gapai udara kosong. Aku meraba kehadiranmu pada diriku sendiri. Itukah dirimu?
All I Ask
Clue:
Jika ayah dan ibuku bertengkar, mereka mengurungku dalam kamar, katanya tak ingin aku mendengar. Sejak itu aku benci pintu. Itu menghalangiku.
“Apa yang kau harapkan dari orang yang kau cintai, Nat?”
“Sederhana saja, orang itu balas mencintaiku.”
“Bukankah itu keinginan yang rumit?”
“Lalu kau sendiri apa?”
“Aku berharap, orang yang kucintai tidak tahu perasaanku.”
“Sepengecut itu?”
“Jika bisa berharap lebih, aku memilih tidak jatuh cinta barang sekali pun.”
***
Satu jam sebelum pagi datang, aku masih memutar-mutar tubuh, bergerak lentur ke kanan-kiri hingga ujung dress putih selututku ikut menari-nari. Dalam keremangan, ritmeku tetap berderap harmoni. Sesekali berjeda, pura-pura mematung, lalu sesaat kemudian kembali kuayun sepasang kaki jenjang telanjang ini di atas keramik.
Meski tanpa setitik pun polesan wajah, aku tampak menawan. Nathan sering mengatakan itu. Ia bilang, jika pun aku tak tersenyum sama sekali, parasku sudah memancarkan kecerahan, juga keindahan. Keindahan yang tidak pernah lekang dari tempatnya, menjalari setiap sudut ruangan yang selalu menjadi wadahku merayakan kebahagiaan.
Di putaran kesekian, aku mendadak terpaku. Musik dalam kepalaku mengecil, disusupi gelak tawa bocah mungil yang berlari masuk ke kamar disusul seorang lelaki paruh baya. Melihat itu, tanpa sadar mataku berbinar menangkap sosok mereka yang sedang berkejaran di sisi ranjang.
“Alena, hey, jangan lari ya…”
“Tangkap aku kalau bisa, Ayah,” ledek bocah mungil bernama Alena itu.
“Alena, ayolah, kan sudah janji memeluk Ayah setiap pulang kerja?”
“Tapi mana es krimnya? Bukankah setiap satu pelukan dibayar es krim?”
“Bagaimana dengan ini?”
Mata Alena membulat. Takjub melihat kostum balet kini berada di hadapannya. “Cantik sekali, aku suka,” gumamnya seraya mendekat, menggamit benda berwarna merah muda itu, semringah.
Baru saja Ayah, Ayah kami memajukan tubuh, hendak memeluk Alena, bocah berambut kucir itu tangkas menghindar.
“Tetap saja, tidak ada es krim berarti tidak ada pelukan.”
“Alena, awas ya mengerjai Ayah terus.”
Dan begitu saja, aku akhirnya tersenyum. Senyum yang mekar menyaksikan tingkah jenaka dua manusia yang kembali berkejaran riang, kemudian hilang di balik pintu.
***
Tiga puluh menit sebelum pagi datang, ruangan ini kembali kosong. Lengang. Tak ada siapa-siapa. Penerangan hanya bersumber dari candlebara yang menyala cukup terang di atas meja, namun tak sepenuhnya menghangatkan. Desauan angin menembus tirai jendela sekaligus mengisi rongga di antara rentangan tanganku. Rasanya tajam menusuk.
Sejurus, irama bertempo lambat tak kunyana kembali terngiang. Segera derapku menyambut, berarak bak kupu-kupu di musim semi yang tenang. Rindu. Aku rindu musim semacam ini, setiap detik yang tidak lagi berlalu kelabu. Aku merindukan banyak wajah.
Seperti sedang terhisap dalam pusaran waktu, aku kemudian mendongak menatap langit-langit kamar sembari terus menari, beriring bersama angin. Di sana, dadaku mulai terasa berat dan penglihatanku perlahan mengabur. Terserak kebingungan, layaknya tiba di persimpangan entah di mana. Aku tenggelam dalam gelap, tenggelam dalam lamunan yang dalam. Dan tiba-tiba suara hantaman pintu menyentakku keras.
“Ale, masuk ke kamar sekarang!”
“Tapi, Bunda, Ale masih mau di sini, mau main sama Ayah.”
“Ale! Cepat masuk!
Alena belum membantah lagi ketika Bunda, Bunda kami, mendadak dirasuki sesuatu entah apa. Dengan langkah gusar, Alena diseret bak karung sampah yang harus dilemparkan sejauh-jauhnya.
Dan kamar ini adalah tempat sampah itu.
Tubuh Alena terhuyung ke lantai seraya meringis. Aku tergopoh mendekat. Dalam diam, mata bulat Alena mengerjap-ngerjap ke arahku, seolah menuntut jawaban. Barangkali ia sedang ketakutan, tak ubahnya menerka-nerka mengapa malam ini Bunda menjadi kesetanan, menjerit sana-sini. Dan juga mengapa di saat yang bersamaan, Ayah di luar sana tiba-tiba menjadi tuli. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, kudapati punggung bidang itu menghadap kamar. Bergeming. Tidak berkutik sama sekali.
Hanya berselang sebentar, setelah membanting foto keluarga yang bertengger di dinding ruang tamu, Bunda berjalan ke arah dapur lalu mulai melemparkan barang-barang lainnya. Aku dan Alena menyaksikannya sembari menahan kepanikan. Piring beterbangan, pecah satu persatu. Gelas menabrak tembok. Beling dan suara tangis berserakan di mana.
“Hentikan!”
Bisa kurasakan ruang napas gadis mungil itu kian menyempit. Seruan Ayah menggema. Hanya sekali bentak, meretakkan gendang telinga. Ayah tidak lagi sehangat biasanya. Di hadapan mata, lelaki itu kini menjadi panas, membakar seperti bara api.
“Ceraikan aku mas!”
“Diam! Kamu sudah kelewatan! Dasar wanita jalang!”
“Brengsek kamu! Tidak tahu diri! Kamu yang selingkuh dan malah mengataiku seperti itu?!”
Ayah tergesa menghampiri Bunda, menampar berkali-kali lalu mencengkeram rambutnya dengan geram. Terdengar sesengukan, terdengar kesakitan tapi lagi-lagi Ayah tidak peduli.
Menit-menit berlangsung penuh guncangan batin. Di luar dugaan, kemunculan bayangan Ayah yang tiba-tiba, kemudian mengunci pintu adalah kabar buruk. Aku tertahan di balik pintu. Aku juga Alena tak bisa melihat apa-apa lagi. Hanya telinga, telinga yang kemudian menjelaskan bahwa jeritan panjang di luar sana, pertanda malaikat maut telah datang menjemput Bunda.
Pintu itu, aku benci pintu itu. Ia menghalangiku dan aku mengutuknya.
***
Sepuluh menit sebelum pagi datang, pada tepian piano akustik berpelitur cokelat, jemari-jemariku sempat berkitar di sana sebelum berlembar partitur jatuh, tak sengaja dihalau gerai rambut bergelombang milikku. Menyaksikan itu, aku sigap meraih semua hasil gubahan Nathan lalu kulemparkan ke udara. Dengan bebas, aku kemudian melebarkan tangan, berputar di bawah hujan not seraya mengikuti irama musik yang terus mengalun dalam kepalaku.
“Sudah jam dua belas kurang, aku akan pulang. Kita latihan lagi minggu depan.”
Aku mematung dan segera menoleh, mengira bahwa pianis itu baru saja berbicara padaku. Nyatanya tidak, kalimat itu tertuju pada gadis yang sedang bertopang dagu di hadapannya. Gadis dengan banyak guratan di pergelangan tangan.
“Setelahnya, semua pasti akan terasa beda, Nat.” ujar sang gadis. Raut wajahnya berubah muram. Ia buru-buru mengalihkan mata ketika menyadari Nathan bangkit, menjauh dari barisan tuts. Gadis itu hendak menghapus airmata, namun lelaki yang kini berdiri di sebelahnya, meraih tangannya.
Suasana tiba-tiba berubah hening. Darahku ikut berdesir melihat Nathan membelai lembut pipi gadis itu.
Dengan suara parau, gadis itu berkata sambil menatap Nathan dalam-dalam,“Tidakkah kau ingin menanyakan satu hal padaku sebelum malam berakhir? Sebelum matahari datang dan menyihirmu menjadi seseorang yang tak boleh lagi kupeluk sebebas dulu?”
“Apa yang kau harapkan dari orang yang kau cintai?” tanya Nathan tanpa mengalihkan pandangan.
Aku bisa merasakan tenggorakanku mengering. Tercekat melihat ekspresi penuh luka dari mata sang gadis yang mencoba mengutarakan isi hatinya.
“Jika pun orang yang kucintai tahu perasaanku, aku berharap ia tetap berpura-pura tidak tahu.”
Sejurus senyum lelaki itu terbit kemudian berujar pelan, “Berjanjilah padaku satu hal, kau harus segera ke luar dari sini dan mengatakan yang sebenarnya. Berhenti mengurung diri. Kau tidak boleh menanggung dosa Ayahmu lebih lama lagi. Tidak lagi.”
“Aku tidak bisa keluar.” Gadis itu menarik napas dalam. Mengumpulkan kekuatan lagi sebelum melanjutkan,” Pintu itu membuatku gila.”
“Kau tidak gila. Kau hanya perlu memberanikan diri membuka pintu itu dengan tanganmu sendiri.”
Bulir bening kembali menghias sepasang mata rapuh di sana. Sebelah tangan Nathan menarik lembut, merengkuh tubuh sang gadis hingga merapat ke dadanya yang hangat. Selama beberapa saat suasana membeku. Kesenjangan merambat, aku tidak bergerak sama sekali. Hanya terus memandangi sebuah potret serupa di dalam mimpi.
Sementara, waktu enggan berhenti hingga hening merangkak perlahan, menelan jarak yang tersisa. Di hadapanku sekarang, kusaksikan sepasang manusia saling berpelukan dengan bibir terpaut satu sama lain. Saat itu pun aku tahu bahwa sebuah perasaan cinta, tak selamanya butuh kejujuran.
***
Pagi datang, dan aku bukan lagi seorang Ballerina. Juga bukan lagi penari latar dari setiap instrumen yang dimainkan Nathan, guru les pianoku. Kini, aku menjelmakan diri sebagai pengantin wanita yang tengah bersiap menyambut hari bahagia. Dengan tangan menggenggam sebuket mawar merah yang baru saja kuraih dari tepian piano, benda itu lalu kubawa serta ke depan bilik pintu yang tertutup rapat. Dari tempatku berdiri, jantungku berdegup tak sabaran, gugup menanti kedatangan seseorang sebentar lagi.
Seperti janjiku, aku akan membuka pintu ini dengan tanganku sendiri.
Sayup-sayup suara dari luar refleks menggerakkan tanganku memutar daun pintu. Sekat terbuka. Ada sepasang manusia berdiri di baliknya. Kami bersehadap, namun mereka bertingkah seolah tak ada aku di sana.
“Mengapa membawaku ke sini, Nat? Kamar siapa ini?” ujar sang wanita.
“Kau ingat gadis yang kuceritakan kemarin? Gadis yang meninggal tepat di hari pernikahan kita.”
“Alena?”
Lelaki itu mengangguk pelan.
Kebekuan seketika menyergap, membelengguku. Ada sekelumit luka yang berpendar dalam dada. Seluruh tubuhku tiba-tiba saja terasa ngilu lalu perlahan mengabur. Sejenak kubiarkan retinaku merekam wajah teduh lelaki yang selamanya kucintai dalam diam, lalu kemudian melintas, terbang sejauh-jauhnya mengikuti angin.
Sudah saatnya pergi, tempatku bukan lagi di sini.
Source: weheartit
***
When We Were Young
“Tak perlu mencemaskan perpisahan karena semuanya tidak akan berakhir begitu saja. Percayalah kita akan bertemu lagi.” Kataku pada seorang gadis yang selalu menjadi pemeran utama dalam panggung hidupku. Tak ada yang didustai karena seperti itulah nyatanya. Perpisahan tidak menjadi skenario akhir yang Tuhan ciptakan. Dia pada akhirnya menjadi pemeran utama yang tak tergantikan, sekarang dan sampai waktuku habis.
Saat itu aku pikir akan baik-baik saja. Hingga Dia tidak pernah kembali. Dan sosoknya hanya menjadi imajinerku kini.
***
Hari ini, tepatnya di musim gugur 30 tahun yang lalu Kamu mencoba diam-diam pergi. Tapi Tuhan memiliki rencana lain. Saat daun berguguran, rintik hujan mulai berjatuhan menimpa dedaunan yang kering. Di sudut Kedai Kopi yang mengarah ke luar sana, sosok gadis yang aku cari tengah mengawasi setiap butiran air hujan yang berlomba-lomba menyentuh bumi. Kamu sangat menikmati momen itu. Setiap kali hujan datang menyapa, duniamu tak terusik dengan kehadiran apapun.
Cappuccino yang tersaji pun belum sempat ditenggak. Hingga asap yang mengepul dari cangkir disergap dingin. Hujan dan dirimu seperti menyatu. Namun, sorot teduh itu selalu menyiratkan kesepian. Aku tidak paham dengan perasaanku, dirimu yang selalu ceria menjelma bermuram durja. Acap kali aku menanyakannya, namun tak pernah ada jawaban. Pikirku karena keluguanmu tak kunjung hilang setiap hal tak selalu memiliki alasan.
“Hey, mana ada orang kabur lupa bawa paspor.” Sapaku berhasil mengalihkan duniamu. Kamu menoleh dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Tersirat kekecewaan dari sorot mata yang layu.
“Jika tua nanti apakah kamu akan ingat masa muda kita?” Tanyamu tanpa balas menyapaku.
“Tentu saja kan? Mana bisa aku lupa tentang kamu. Gadis ceroboh dan egois. Kembalilah secepatnya jangan lama-lama di negeri orang.” Aku menarik satu kursi sambil menyerahkan paspor.
“Um… Bagaimana jika aku tidak kembali? Akankah kamu menyusulku ke sana?” Tanyanya lagi.
“Tentu saja! Aku tidak akan membiarkan gadisku menghabiskan masa tuanya di sana.”
“Seperti saat kita masih muda, tapi tidak akan ada yang sama kan? Aku tidak akan bebas meraih tanganmu karena ada yang lebih berhak bersamamu. Aku tidak akan puas memandangmu karena sudah ada yang memilikimu. Jujur, aku tidak ingin secepatnya menua.”
Aku tertawa, walau usia kita sama kamu selalu menghawatirkan masa depan. Tak dapat kupungkiri juga dirimu yang lugu sangat manis dan menggemaskan. “Tidak ada yang salah menjadi tua. Dan tidak akan ada yang berubah dengan kita.”
“I was so scared to face my fears. Cause nobody told me that you’d be here.” Suaranya melemah dan retinanya kembali memalingkan pada hujan di luar sana. Aku tidak paham dengan yang diucapkannya. Hal yang tak bisa aku pecahkan adalah jalan pikirannya yang rumit.
“Then, why you avoid me? Jika takut berpisah seharusnya kamu menolak dipindahtugaskan ke London.” Sindirku. Aku tahu sesuatu sedang disembunyikan. Kamu terdiam. “Tak perlu mencemaskan perpisahan karena semuanya tidak akan berakhir begitu saja. Percayalah kita akan bertemu lagi.” Lanjutku karena tak kunjung mendapat penjelasan.
“Itulah kenyatannya, kita tidak akan pernah bersama. Aku berangkat. Thank you and goodbye.” Kamu beranjak sambil menarik koper. Pun, aku ikut bangkit.
“Aku antar sampai bandara.” Tawarku. Belum sempat mengayunkan kaki, kamu menghentikannya.
“Tidak. Biarkan aku pergi sendiri.” Tanpa menoleh kamu meneruskan langkah.
“Baiklah. Tapi….” Aku tak mampu melanjutkannya, memandangi sosoknya yang semakin jauh, hingga tak dapat dijangkau dengan retinaku lagi. Timbul rasa takut yang menjelma.
***
Bukankah takdir begitu kejam. Kita dipertemukan tanpa ikatan darah. Tapi sampai kapanpun aku tidak akan bisa memilikimu. Lalu, untuk apa kita dipertemukan? Atau ini semua memang salahku yang menempatkanmu atas nama lelaki di hatiku. Tak hanya sekedar saudara sesusuan. Ya. Harusnya seperti itulah aku menganggapmu. Tapi, akulah yang sesungguhnya ingin menyalahkanmu.
Kenapa kamu harus hadir dihidupku. Kenapa kamu tinggal di sebelah rumahku? Kenapa kamu mengajakku menghabiskan waktu di setiap detik hidupmu? Saat kusadari ada yang lain dengan perasaanku. Aku hanya mampu terdiam menatapmu, memahamimu dan meyakinkan hatiku bahwa perasaanku yang salah. Sayangnya yang lebih mengerikan dari jatuh cinta adalah tak mampu melupakan. Aku tak kuasa mengganti tempatmu dengan yang lain. Bagiku sekarang tak ada cara lain selain melarikan diri.
Aku tak pernah bosan membaca surat yang entah bagaimana caranya kutemukan setelah kamu benar-benar pergi. Mungkin angin surga sengaja menunjukannya. Salah! Aku yang telat menemukannya. Jikalau aku biarkan Bunda yang menyerahkan paspor waktu itu. Dan aku membaca surat pelarian diri ini, secepat mungkin akan kubelokan alur cerita yang tak berakhir pilu seperti ini.
Aku menyesal karena membiarkanmu menderita. Waktu pun tak mampu kutebus. Bertahun-tahun aku mencari cara. Kamu, penyesalan seumur hidupku.
Jika kamu bertanya kapan aku menyukaimu? Entahlah! Aku tidak yakin. Tapi memang sejak di bangku SMP kamu sudah lebih dari kata istimewa. Semua murid perempuan mengidolakan parasmu yang menawan, tubuh yang tinggi dan maskulin, ditambah prestasi yang gemilang. Saat banyak gadis yang memujamu ingin sekali aku berteriak bahwa kamu adalah milikku.
Kamu tahu? Kuteriakan sekerasnya dalam hening jiwaku. Dibandingkan mereka ada yang lebih membutaku gelisah. Mantan-mantanmu yang mencoba memonopoli hidupmu. Karenanya aku senang saat mereka pergi. Aku bebas menggenggam tanganmu lagi tanpa tatapan sinis dari mereka. Aku mengaku dulu pernah sengaja mengacaukan kencanmu. Tapi tidak sepenuhnya aku bahagia, karena sikapku yang kekanak-kanakan.
Kamu memang selalu sigap saat aku putus dengan pacar-pacarku walau aku tak mengatakannya. Mungkin memang benar perasaan wanita lebih peka. Seandainya aku juga dapat lebih peka dengan perasaanmu.
Aku ingat saat itu hujan lebat, hatiku masih berkabung karena harus putus dengan gadis yang sejak kelas satu SMA aku incar. Sayangnya hubungan kami hanya bertahan satu tahun. Kamu, gadis kecilku menarik tanganku dan menerobos hujan lebat. Menari dibawah guyuran air hujan.
“Kamu tahu hujan itu bisa mendinginkan kepala yang berasap.” Ungkapmu dengan senyum mengejek. Reaksinya memang luar biasa aku langsung tenang dan merasakan kelegaan. Kamu seperti obat mujarab. Kini aku memahaminya semua itu karena ketulusan hatimu.
“Kamu harus bertanggung jawab jika aku sakit.” Candaku.
“Sakit? Lalu untuk apa obat dibuat jika masih takut sakit? Masa muda itu untuk dinikmati. Santai aja.” Ocehmu.
“Okey…” Seperti itulah aku selalu terhipnotis dengan tingkahmu. Kamu semakin asyik menari di bawah guyuran air hujan. Tidak ada yang mampu menghentikan selain reda pun tiba.
***
Pernahkah kamu melihatku berbeda? Maksudku, pernahkah kamu menyukaiku sebagai wanita? Aku selalu berharap kamu melihatku lebih dari sekedar teman masa kecilmu, teman di setiap langkahmu. Aku ingin sekali saja mendengarmu ‘aku mencintaimu’ walau hanya sebuah kebohongan. Selama itu terucap dari mulutmu aku akan sangat bahagia.
Bodohnya aku tidak berani mengakui kebenaran yang selama ini terpendam rapat. Aku takut kamu menghindariku. Aku takut kamu membenciku. Kamu tahu betul aku sangat membenci perpisahan. Terutama sejak ayah meninggal kemudian ibu menyusul. Hingga, aku tak sanggup saat kamu memutuskan serius dengan wanitamu sekarang. Kenapa orang yang kusayangi pergi secepat itu? Karenanya aku benci tumbuh dewasa. Semua yang aku miliki satu persatu pergi. Rasa takut dan kecewa membuatku memutuskan melarikan diri ke London. Kamu pasti akan bertanya kenapa aku tidak menemuimu di hari keberangkatan. Tak perlu aku katakana kan jawabannya? Ini keputusanku semoga kamu menghargainya.
Kamu memang bodoh. Seharusnya kamu jujur dari awal bukannya menyimpan rapat sendirian. Tak akan kujawab juga. Kebodohanmu masih melekat ternyata, untuk apa bertanya jika kamu tahu jawabannya. Ya. Aku pasti akan membencimu, menghindarimu. Sayangnya, aku lah yang lebih bodoh di sini. Aku tak akan mampu mengabulkan ketakutanmu hanya karena sebuah pengakuan.
Dari kecil aku menyeretmu dalam kehidupanku. Teman bermain yang menyenangkan, adik yang menggemaskan, lalu kita tumbuh dewasa bersama-sama. Sama seperti dirimu, sejujurnya aku pun tak ingin cepat tua. Karena, semakin dewasa aku sadar, ada hari dimana aku akan melepasmu. Jujur, aku sampai akhir ingin memonopolimu. Tapi, kita tahu semua orang menentang kita. Lalu, kuputuskan untuk segera menikah. Karena, aku takut rasaku yang sesungguhnya padamu akan terungkap. Aku juga takut jika reaksimu akan membuat kita menjauh.
Andai saja ayahku bertanggung jawab atas hidupku. Bunda tidak akan menjadi single parent. Menghabiskan waktunya dengan bekerja untuk menghidupiku. Andai saja aku tidak alergi dengan susu sapi dan kedelai, ibu mu tak harus menyusuiku. Seharusnya, aku hanya menjadi tetanggamu saja. Lalu, tak akan ada yang tersakiti seperti ini. Kita akan terus berjalan berdampingan hingga akhir. Harusnya begitu kan alur ceritanya? Aku sangat menyesal atas hidupku. Dan, aku menyesal karena diriku lah kamu harus menanggung derita.
Thank you already become the Great Brother. Aku tak akan pernah melupakanmu. Namun, jika suatu hari aku tidak kembali jangan pernah mencariku. Cukup sampai di sini bebanmu menjaga dan melindungiku. Karena aku tak yakin masih sanggup berdiri di sampingmu. Biarkan aku dan waktu menata hati yang harus diperbaiki.
Goodbye.
Sejak dalam kandungan aku sudah ditinggalkan oleh orang yang sangat penting. Kamu tahu anak-anak sering mengataiku anak haram. Dan kamu selalu menenangkanku. Semakin hari aku semakin bebal dengan hinaan. Tak di duga itu menjadi benteng pertahanan hidupku. Rasa sakit bukanlah hal besar. Ditinggalkan tak menjadi beban. Terkecuali, dirimu. Ditinggalkan olehmu menghentikan duniaku. Bahkan, aku belum sempat mengakui bahwa selama ini aku memandangmu sebagai wanita. Tapi apa daya kita yang terlahir dengan kerumitan.
***
Di tempat yang sama dulu kita terakhir bertemu. Sambil menyesap Cappuccino kesukaanmu. Anehnya, hujan selalu turun saat aku berada di sini. Seakan kamu hadir dari langit menemaniku. Kucoba menemukan sosokmu dalam kerumunan air hujan. Kenangan pun satu persatu bermunculan. Tidak ada yang terlewatkan. Termasuk kecelakan yang terjadi saat kamu kembali setelah lima tahun.
“Hallo, gadisku. Sudah sampai di bandara? Aku sebentar lagi sampai.”
“Sudah. Sekarang aku di taxi.”
“Apa? Aku kan sudah bilang akan menjemputmu.”
“Aku lelah kalau harus menunggu.”
Sebelum benar-benar terputus aku hanya mendengar suara teriakan dan sebuah hantaman keras. Kamu pergi begitu saja dengan luka yang tak sempat aku obati. Menyisakan kepedihan dan penyesalan. Bergulat dengan kenangan-kenangan kita. Hingga waktu menyadarkanku aku sudah menjadi tua. Tak terasa usiaku hampir berkepala 6.
Katamu, Cappuccino kopi terbaik di dunia. Perpaduan 1/3 espresso, 1/3 susu yang dipanaskan dan 1/3 susu yang dikocok menimbulkan perpaduan rasa yang creamy dan foamy. Ah, Aku tidak mengerti yang kamu katakan, tapi kamu tak pernah bosan.
“Aku tidak suka Cappuccino! Kamu tahu itu.”
“Aku ingat. Tapi, aku percaya suatu saat kamu akan mencobanya.”
Kamu benar, tak sekedar mencoba. Setiap hari aku menikmatinya. Tepatnya setelah kamu pergi. 1/3 kenangan pahit seperti kopi. 1/3 kenangan manis seperti susu. 1/3 lagi penyesalan seumur hidupku.
“Enak Bukan?” tanyamu dari balik cahaya yang perlahan lesap membawa sisa senyuman yang selalu kurindukan itu.
____ End ____
Love In The Dark
Caraku mencintaimu tak akan sesederhana Sapardi Djoko Damono. Mencintai orang spesial sepertimu perlu perlakuan yang istimewa dan pengorbanan yang tak murah. Kadang aku heran mengapa aku rela menjadi cangkir kopi demi bisa kau sesap bibirku tiap pagi, lalu aku membalasnya dengan mencium bawah hidungmu yang kering dengan sedikit aroma pasta gigi.
Aku rela menjadi kopi hitam yang kamu seduh dengan air panas. Aku terlalu ingin menenangkan rasa dingin yang telah menyergapmu semalam suntuk. Aku ingin menghangatkan lidahku, lalu kerongkonganmu lalu lambungku dan seluruh tubuhmu. Lalu kamu bahagia karena efek endorfin yang kuhadirkan ketika aku menjelma menjadi cangkir dan kopi yang kamu seduh tiap pagi.
Mencintaimu itu buta yang bodoh. Naif yang tolol. Dan aku mau-mau saja melakukannya.
Aku benci dengan tengah malam. Tapi demi kamu, aku rela mematut diriku dari pukul sembilan. Berdandan. Mencoba-coba pakaian mana yang pantas kukenakan. Gaun hitam, bibir merah, juga pipi yang tiba-tiba saja terpoles bedak. Juga wewangian lain yang ikut berkerumun di tubuhku. Semuanya gara-gara kamu. Oh maaf, demi kamu.
Demi kamu aku gila dan menggadaikan ketidaknyamananku dalam berpakaian dan berpenampilan. Kurang gila apa aku mencintaimu?
Ini hari Selasa, dini hari kurang lima menit. Kamu mengajakku ke pinggir pantai. Katamu, aku suka sekali pantai dan ombak. Iya, aku suka pantai dan ombak, tapi kamu lupa kalau aku tak suka keluar tengah malam. Tapi aku pura-pura bahagia, semuanya demi kamu.
Kamu menggelar tikar kain di pinggir pantai lengkap dengan obor bambu empat biji yang mengelilingi. Kamu menyeduh kopi hitam, membakar roti selai srikaya dan seafood yang kamu tangkap tadi sore juga bunga Kamboja merah muda yang kamu selipkan di telingaku.
Katamu, aku cantik dan aku tersipu.
Cuaca sedang cerah dan langit penuh sekali bintang. Ombak terdengar tanpa intimidasi siapapun. Kamu bercerita tentang rencana perjalanan panjangmu lalu menculikku lagi ke yang tempat-tempat baru. Dan aku tertawa mendengarnya.
"Aku ingin melihatmu sekarat tepat pukul 12.06," kujawab rencanamu itu dengan rencana
"Maksudmu?"
"Iya. Aku ingin melihatmu sekarat dan aku akan mengundang semua mantan pacarmu."
"Maksudmu?"
"Aku ingin mengetes mantan pacarmu dan gebetanmu, akan sepatah apa mereka ketika kehilangan seorang kekasih."
Kamu terkekeh, lalu menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap.
"Kira-kira siapa yang paling patah hatinya?"
"Jelas aku," tukasku cepat.
Kamu tertawa lagi. Kali ini sedikit terbahak-bahak. Aku menahan nyeri yang sangat di hatiku. Kamu masih mengira ini main-main?
"Aku benci kehilangan,"
"Kamu tak akan kehilangan apapun dan siapapun,"
Aku tertawa kecil. Ada rasa nyeri yang menyerang tiba-tiba, seperti firasatku semakin memburuk.
"Aku ingin bertanya,"
"Ya," jawabmu sambil mengunyah udang di mulutmu.
Aku menyesap kopi yang masih mengepulkan asap, menyusun kata demi kata yang pas.
"Jika kamu adalah pangeran, maka aku adalah putri yang terperangkap di atas kastil. Kamu ingin menyelamatkanku dengan menunggangi kuda. Kira-kira, kuda warna apa yang akan kamu pakai?"
"Hitam," jawabmu cepat sekali. Aku meringis dan tertawa kecil.
Ada jeda yang panjang seperti aku enggan melanjutkan teka-teki murahan itu. Tapi aku masih penasaran.
"Kamu masih mencintaiku?"
"Ya," kamu menjawab lebih lambat dari bibirmu yang mengacaukan lipstik merahku. Aku pasrah. Kedua tanganmu memegang pinggangku, seperti menyeimbangkan tubuhku agar tak oleng. Aku memegang pipi kananmu, berharap kamu bisa memberi jeda untuk melanjutkan penjelasanku.
Dan kamu berhenti. Aku menarik napas panjang, memberi jeda lagi untuk mengakhiri semua ini. Bibirku masih beberapa senti dari telingamu dan aku berbisik, "Sayangnya aku tahu kamu bohong,"
Aku bangkit dari dudukku dan membiarkan kamu kebingungan. Kutinggalkan kamu yang sibuk mematung, sibuk berpikir atau apalah.
Malam ini aku sudah mengetahui jawabannya. Aku mencintamu dengan banyak pengorbanan dan kamu mendustaiku. Kamu mencintaiku. Dulu. Dan sayangnya sekarang kamu membiarkan kuda putihmu berubah hitam...
... dan menyakitiku.
25
Mendung menggelayut rendah di tepian langit. Angin berembus semilir, cukup untuk menggoyangkan kuntum-kuntum kamboja yang mulai layu sore itu. Pekuburan lengang selayaknya tempat peristirahatan terakhir orang mati.
Sampai sedan putih dengan rem berdecit itu datang.
Seorang wanita separuh baya berpakaian serba hitam keluar dengan tergesa. Sendirian. Tangannya merogoh bergantian ke dalam saku mantel panjangnya seakan mencari sesuatu sedangkan langkahnya masih secepat mobilnya datang.
Dia menemukan apa yang ingin dicari. Langkahnya terhenti.
Wanita itu menegakkan leher dan menarik napas dalam sebelum membuka kacamata hitamnya. Untuk sesaat pekuburan kembali lengang, wanita itu masih mematung. Hanya pandangannya yang menyapu sekitar. Tadi tangannya, kini matanya.
Mencari sesuatu.
Kemudian kembali dia melangkah, kali ini pelan. Terlalu pelan, untuk ukuran betisnya yang jenjang. Tiba di nisan tujuan, dia berhenti dan kembali menarik napas panjang.
Pekuburan kembali lengang. Kuntum kamboja kembali bergoyang.
“Hai," Wanita itu menelan ludah, "ini aku.”
*****
25.
Dia membakar dua lilin tersebut dengan hati-hati. Meletakkannya di atas batu datar yang banyak berserakan --- pernah satu kali dia ingin meletakkannya di atas nisan tapi pikiran bahwa dia membakar kepala orang mati mengganggunya. Terlebih lagi, ini bukan sembarang orang. Ditariknya napas panjang sebelum lirih berkata, “Selamat ulang tahun. Kelahiranmu. Kematianku.
Aku minta maaf karena hanya datang sekali setahun. Ini tak pernah mudah, meski sudah sekian lama. Berbeda dengan kebanyakan orang yang berkabung, setiap hari yang menjelang justru semakin berat bagiku.
Terlebih hari ini. Namun aku telah berjanji akan datang jadi di sinilah aku. Menemanimu. Karena pria yang seharusnya menemaniku seumur hidup sepanjang hayat, apalah namanya --- membatalkan pertunangannya denganku hari ini.
Mungkin orang bilang lebih baik gagal menikah daripada bercerai. Benarkah demikian?
Kautahu aku belum pernah menikah, jadi tak bisa tahu tentang itu. Tak menikah berarti tak bisa punya anak. Aku tak mau punya anak tanpa ada suami.
Kautahu benar itu.”
Wanita itu merapikan rambutnya yang tertiup angin. Sempat dia memindahkan posisi lilin, melindunginya agar tak padam, meski tindakan itu dirasakannya konyol, seperti menjaga lilin babi. Akan tetapi dilakukannya juga. Selepas itu dia menyeka hidungnya yang beringus, lalu kembali bicara, kali ini lebih lancar dan santai.
“Saat aku membeli lilin, si penjual bertanya untuk siapa aku membeli lilin. Kukatakan saja, untuk mantan pacarku yang selamanya berusia dua puluh lima.
Bukankah seharusnya dua lima itu melambangkan kebijaksanaan? Nabi menikah saat usia dua puluh lima, kan? Jangan salah, aku tidak sedang membandingkan dia dengan nabi. Astaga. Dunia langsung kiamat jika dia seorang nabi.”
Wanita itu tersenyum. Kembali menghapus ingus.
“Aku merindukanmu. Bukankah itu aneh? Merindukan sosok yang bahkan tak pernah ada. Bisakah rindu membuatmu gila? Semoga tidak. Mencari suami saat waras saja sudah susah setengah mati. Ya, ya... aku masih berharap menemukan suami meski baru ditinggal pergi.
Ah.
Aku merindukanmu. Sungguh. Aku sering berandai-andai jika kita berdua tumbuh dewasa bersamaan. Kau dan aku. Kita bisa jadi teman baik, bukan? Aku melihat masa kanakmu. Kau melihatku. Mungkin saja aku akan tumbuh jadi orang yang berbeda, dan kau tak akan ada di sini, dipasangi lilin setiap tahun oleh wanita yang tidak gadis, tetapi bukan pula janda.
Ibu dan anak, menua bersama. Mendengarnya saja romantis.
Kautahu, sepanjang tahun aku memikirkan apa saja yang ingin kubicarakan denganmu jika kita bertemu. Hai. Hello. Apa kabarmu? Aku takut terlihat gila jika bicara sendiri, makanya kubawa kitab suci. Setidaknya aku terlihat sedang mengaji.
Sebenarnya mana yang lebih kauperlukan? Obrolanku? Atau surat-surat di kitab ini?”
Senja mulai turun tetapi wanita itu belum selesai. Dia kini duduk bersimpuh, menepuk-nepuk gundukan di depannya dengan tangan yang tak memegang kitab.
“Aku berharap kedatanganku tidak memberatkanmu. Peziarah harusnya jadi penawar luka, bukan? Mantan pacarku pernah memasang fotonya saat sedang berziarah --- bukan ke kuburanmu tentu saja, dan dia sangat bergaya di sana. Maksudku, itu normal sekarang. Bergaya di kuburan. Aku tak pernah bisa melakukannya. Jika kau bisa melihatku sekarang, aku benar-benar kacau. Hitam. Serupa gagak pemakan bangkai.
Apakah gagak akan memakan bangkai anaknya sendiri?
Seperti biasa, aku merasa kau akan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan konyolku. Aku merasa, jika saja kau terus hidup, akan jauh lebih bijaksana daripada aku yang konyol ini.
Bicara tentang bijaksana, aku ingin cerita tentang perjalananku hari ini. Selepas putus dengan mantanku, aku terniat untuk lompat dari jembatan. Bukan karena ingin mati --- seseorang yang hatinya sudah mati tak butuh bunuh diri ---, tetapi karena aku lelah dan bosan. Mungkin lain waktu akan kupertimbangkan bungee jumping. Rasanya pasti menyenangkan; jatuh tetapi tahu pasti akan ada yang menahan. Serapuh apa pun tali yang memegang betisku nanti, setidaknya aku tahu tak sendirian.
Menurutmu, apa aku sudah layak untuk mati?
Atau, mantanku itu, mungkin dia belum layak mati, tetapi apa yang paling baik aku doakan untuknya? Jelas aku tak mendoakan kebahagiaan. Brengsek sekali. Dia memang sudah brengsek sejak lama, tapi setidaknya belum memutuskan aku seperti hari ini. Lama-lama terpikir kalau aku memang pantas untuk jatuh dari jembatan, bukan sebagai manusia, tapi sampah --- atau percikan kotoran gigi yang ikut keluar saat kaumeludah keluar jendela.”
Wanita itu berhenti bicara. Sebagai ganti dia menarik sepucuk surat usang dari sakunya.
Maafkan aku.
Setiap tahun aku akan meminta maaf padamu. Berharap Tuhan mengampuniku.
Aku berpikiran pendek, hanya ingin senang. Nyatanya aku menyesal sekarang. Sesal selalu datang belakangan dan tak ada yang bisa kulakukan kecuali meratapi keputusan buruk itu.
Aku menyesal tak menyadari datangnya cinta di hatiku. Bahkan sejak di dalam rahim, aku ternyata telah jatuh cinta padamu.
Aku meninggalkanmu karena tak punya suami. Kuulangi lagi ini setiap tahun, agar kau memaafkanku. Seorang wanita bisa tolol melebihi hewan jika hamil sendiri. Tentu saja aku tak seberuntung Maryam, --- jika kita menganggap Maryam beruntung, karena saat Isa lahir, orang juga berpikiran kotor tentangnya dan itu sama sekali tidak beruntung. Mereka tidak tahu saja siapa Isa.
Wanita itu memejamkan mata. Lilinnya telah padam. Habis ditelan api. Tinggal sumbunya yang kini serupa abu.
Pada gundukan dan nisan di depannya, dia kembali bicara.
“Dua puluh lima. Itu usiamu sekarang, seandainya malam laknat itu tidak kulakukan apa yang telah kulakukan. Mati berkali-kali pun tak bisa aku menebus nyawamu yang kucampakkan. Satu yang selalu kuminta, bertemu denganmu.
Hanya satu. Tak pernah bisa.
Lalu bisakah cinta yang datang terlambat, tiba di pangkuanmu tepat waktu?”​
******
Million Years Ago
Rumah bordil Madame Helen memang tak pernah sepi. Banyak pejabat Belanda maupun petinggi pribumi yang mendamba tempat laknat ini diam-diam. Lebih tepatnya memujaku. Aku, primadona rumah bordil ini dengan jam terbang paling tinggi di antara perempuan-perempuan lain di sini. Kebanyakan anak asuhan Madame Helen adalah perempuan lokal, namun tak sedikit yang anak gundik. Meski begitu, kebanyakan tamu lebih menyukaiku di antara gadis peranakan lain karena, kalian tahu, tidak semua anak hasil percampuran selalu berparas cantik. Dan tentu saja, sebab itu mereka dibuang dari keluarga Ayahnya.
Aku? Oh, aku tidak dibuang, yang benar saja. Aku memang terlihat seperti keturunan, namun Ibuku bukan simpanan Meneer. Aku justru ada di sini untuk memperbaiki garis keturunan keluargaku yang berantakan. Ah, kisah ini terlalu panjang untuk dituturkan, lebih baik kalian menyaksikan saja sendiri. Kebetulan tamu kesayanganku sebentar lagi akan datang, Meneer Damian van Leeuwen. Dia adalah kepala gudang senjata, sekaligus seseorang yang sangat ingin kuubah takdirnya.
Karena dia adalah kunci utama dari segala penyesalan tak berkepanjanganku, yang kini membatu menjadi dendam.
"Ah, Anneke. Je kijk mooi vandaag," katanya seraya mengecup bibirku. Aku memang cantik, Meneer. Aku tahu. Itu sebabnya aku memilih pekerjaan ini sebagai sarana tercepat untuk mendekatimu. Kubiarkan Meneer Damian–aku agak risih memanggilnya dengan nama belakang–menciumi garis rahang hingga leherku.
"Mengapa kita harus terburu-buru, Meneer? Waktumu masih lima puluh lima menit lagi," pura-pura kulirik arloji saku yang menggantung dari kantong jasnya, meski sebenarnya tanpa benda itu aku sudah mengetahui waktu dengan persis.
"Aku tidak bisa berlama-lama di sini, Anneke mooi," katanya dengan napas terengah. Damian semakin tua saja, belum apa-apa dia mulai kelelahan. "Wilhelmina sudah mencurigai ke mana selama ini aku pergi."
Sudah kubilang di awal tadi, kan? Mereka semua diam-diam mendambaku di balik punggung istri-istri mereka. Dan aku tak sabar mengetahui betapa penantianku selama satu tahun ini akan mencapai ujungnya.
"Ck, bukankah sudah rahasia umum kalau kalian juga meniduri wanita pribumi." Ini bukan pertanyaan. Aku sedang mengujinya dengan pernyataan yang sudah jadi rahasia umum. "Aku bukan satu-satunya tempatmu melampiaskan napsu. Tak perlu sekhawatir itu tentangku."
Damian mendengus, "Tidak ada, Anneke." Jemarinya bergerak cepat membuka tali pengikat pakaian tidur transparanku. "Kamu satu-satunya yang bisa membuatku seperti ini."
"Bagaimana dengan ..." Aku mendesah. Ketergesaan membuatnya melumatku dengan cepat dan rakus. Tidak. Biasanya aku tidak semudah itu takluk. Damian menyeringai puas. Kujernihkan pikiranku dengan mengingat seraut wajah cantik yang paling kubenci, dan berhasil. "Bagaimana dengan Sumiati?"
Keningnya mengernyit, "Sumiati?"
"Penari ronggeng kampung itu."
Damian menghentikan aktivitasnya di payudaraku. "Dari mana kau mendengar tentang Sumiati?"
Kudecakkan lidah dengan gemas, "Rumah bordil ini dindingnya tak setebal yang kau kira, Meneer. Suara lenguhanmu bahkan bisa didengar hingga jalan masuk."
Damian mendengus kesal, "Kau tak tahu apa-apa tentang ini, Anneke. Sekarang diamlah dan layani aku seperti semestinya. Aku tak sabar ingin menikmatimu."
Kudorong pinggulnya dengan lututku. Tidak semudah itu aku membiarkan kelamin-kelamin kotor itu memasukiku dengan mudah, atau aku tidak akan disebut primadona. Mereka mengejarku bukan hanya untuk memburu permainan panas dan menggebu, tapi karena aku juga tidak mudah didapatkan.
"Jawab aku dulu. Sudah sejauh apa hubunganmu dengannya?"
Di luar dugaan, Meneer Damian justru mengangkat tubuhnya dari atasku seraya mengancingkan kembali pakaiannya. "Lebih baik aku pulang daripada harus menjawab pertanyaanmu."
Cepat kutarik kemeja Damian hingga kancing-kancingnya robek, "Kau tahu kau tidak bisa memperlakukanku semurahan itu, Damian. Aku bisa saja berteriak memanggil para penjaga atau Madame Helen itu sendiri, dan kau tidak akan bisa masuk ke rumah ini lagi."
Damian mengembuskan napas berat, "Lakukan sesukamu, Anneke, aku tak peduli. Sumiati tidak sama denganmu, jangan terlalu repot meninggikan derajatmu sendiri, di saat tempatmu yang selayaknya adalah membuka selangkanganmu lebar-lebar untuk kami." Damian mencibir, "Sumiati wanita istimewa yang ingin kujadikan istri ketika Wilhelmina nanti kembali ke Belanda. Dia perempuan yang kudekati selayaknya laki-laki bangsawan dengan wanita terhormat."
Darahku mendidih mendengarnya. Aku tahu orang-orang seperti mereka memang tak bisa dipercaya, tapi kebohongan Damian benar-benar terlalu. Bukan seperti itu yang kudengar dari cerita orang-orang. Dan aku tak akan membiarkannya menang, karena aku yang akan menulis kembali sejarah dengan seakurat mungkin.
"Bedebah kau, Damian. Berani-beraninya kau bicara seperti itu padaku," kurapikan kembali pakaianku yang terbuka dan sebelah tangan meraba ke bawah bantal. Kuraih gagang pisau kecilku dan menodongkannya ke arah Damian. "Kau mengancam keluarga Sumiati dengan senjatamu jika mereka tak menyerahkan Sumiati untuk dijadikan gundikmu. Kau mengancam Wilhelmina untuk mendaftarkan anak kalian ke militer jika Wilhelmina tidak bisa menerima Sumiati. Kau tahu betapa berharganya Olivier bagi Wilhelmina. Meski kau mendapatkan Sumiati, kau tetap akan membunuh keluarganya dan membuang mayatnya di hutan Halimun. Jangan berpura-pura menjadi laki-laki baik di depanku."
Wajah Damian pucat pasi, namun beberapa saat setelahnya berubah mengerikan, kalian tahu, dahi dan alis berkerut, mata membelalak, Ia menatap bergantian dari pisau di tanganku lalu ke wajahku. Damian tertawa terbahak-bahak.
"Anneke, kau mendengar lebih banyak dari yang bisa dinding tipis ini perdengarkan untukmu," ia tendang dinding kamarku beberapa kali untuk mengujinya. Tentu saja dinding-dinding rumah bordil ini amatlah tebal untuk mencegah orang luar mendengar suara aktivitas kami yang bising. Itu semua bukan hal-hal yang biasa kudengar dari gosip sesama pelacur. "Kau takkan bisa melukaiku dengan benda sekecil itu."
Aku tersenyum sinis, "Benarkah?" Kupandangi pisauku seraya mengusapnya perlahan dengan jari. "Kau tahu, Damian? Aku sudah menggunakan benda ini ratusan kali dalam hidupku. Tapi kesemuanya bertujuan untuk menyembuhkan. Alangkah menyenangkannya jika bisa kembali menggunakan benda ini sesuai fungsi sebenarnya."
"Aku tak mengerti maksudmu, Anneke."
Dalam satu dorongan kuat, Damian terjatuh di lantai berkarpet, lekas-lekas aku duduk di atas perutnya. Dia memang sudah tua, Damian tak sekuat yang kubayangkan. Aku tak terlalu memahami kekuatan laki-laki empat puluhan tahun belakangan ini. Kutempelkan bagian tajam mata pisauku ke satu titik di lehernya, "Pisau ini ... kami menyebutnya pisau scalpel. Meski kecil, ketajamannya bisa membunuhmu dalam sekali gores di titik yang tepat."
Tubuh Damian mulai gemetar hebat, "S-siapa kau ini sebenarnya?"
Kuangkat bahuku sekilas, "Masih ingat Damian, mengapa aku tak pernah memakai nama keluargaku? Kalian semua hanya mengenalku sebagai Anneke." Kusayat tipis leher Damian. "Namaku Anneke van Leeuwen, aku datang dari masa depan untuk mengakhiri hidupmu karena hubungan gelapmu dengan Sumiati membuatku memiliki wajah cantik ini." Kusayat pipiku, kemudian kembali menempelkan mata pisau tersebut di pembuluh leher Damian. "Aku benci memiliki wajah cantik," teriakku histeris di depan wajahnya, "Kecantikan ini membuat orang-orang tolol itu merenggut kesucianku!" Aku tertawa nyaring mengingat wajah-wajah menjijikkan yang memerkosaku telah menemukan ajalnya di tanganku. "Aku membenci mata biruku, aku benci rambut pirangku. Aku benci!" Kuhujamkan pisauku ke abdomen telanjangnya berkali-kali. Damian tersengal, terbatuk-batuk dan menghela napas panjang lamat-lamat. Betapa indahnya melihat Damian sekarat di hadapanku.
Membunuh sekali libas akan membuat momen ini jadi terbuang sia-sia, bukan?
"Ann ... ke ... Sumi ... ndung."
Tebasanku ke lehernya memutus kata-kata Damian. "Sumiati mengandung, katamu? Berarti tugasku bertambah satu.
Stasiun Luar Angkasa Melangit, Bekasi, 20016.
Aku lapar.
Itu yang pertama kali kurasakan ketika aku membuka mata. Aku menggeliat lalu meninggalkan ranjangku untuk mencari makanan. Dari luar jendela, aku hanya bisa melihat kegelapan sejauh mata memandang. Dalam beberapa menit satelit pemancar telekomunikasi akan melintasi orbit kami. Aku selalu mengetahui hal-hal kecil semacam ini, seolah waktu telah menjadi bagian dari dirimu, atau mungkin ini bagian dari seorang pelintas waktu.
Aku ingat ketika para ilmuwan siap menguji mesin mereka, aku mengajukan diri menjadi relawan. Kau yakin, Dokter? Ini masih prototipe. Kami akan merasa sangat, sangat bersalah jika dokter bedah terbaik kami hilang dalam percobaan ini, begitu kata mereka. Tapi percobaan ini toh berhasil. Aku bisa kembali dengan selamat. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Satelit telekomunikasi yang kunanti melintas juga. Tak tahu mengapa, aku selalu punya ketertarikan dengan detail. Aku suka mengamati panel surya di sayapnya, dan menghitung berapa kali dalam semenit tubuh satelit berotasi untuk mempertahankan posisi dalam orbit. Terlebih lagi, aku tak sabar ingin segera tahu bagaimana rupaku saat ini. Dilihat dari kondisi dan lama kepergianku, setahun di masa lalu sepertinya hanya berselang dua jam saja sejak terakhir kali tempat ini kutinggalkan.
Dari permukaan panel surya, aku melihat pantulan bayangan besar melayang-layang mrnghampiriku, lalu menggendongku seolah aku tak memiliki beban–meski sebetulnya secara teknis di tempat ini kami semua tak terikat gravitasi.
"Di sini kamu rupanya!" Ia dekatkan wajahnya ke leherku dan menggosok-gosokkan hidungnya yang bengkok. Aku berusaha berontak dan memukulinya.
Rotasi berikutnya menunjukkan pantulanku, bersamaan dengan teriakan kemarahanku, "Meow!"
Seekor Maine Coon putih dengan mata biru yang cantik.
Surabaya, 31 Juli 2016
Direvisi pada 18 Agustus 2016
Sweetest Devotion
Malia
Aku terbangun karena suara air yang mengucur di kamar mandi. Kulihat bayangan tubuhmu yang sedang menggosok tubuh dengan busa sabun dengan sangat teliti, tanpa membiarkan sesenti pun yang luput dari busa-busa wangi itu. Seperti itu pula yang selalu kau lakukan terhadap tubuhku saat kita menyemplungkan diri dalam api asmara yang membara.
Setiap kali aku bersamamu, aku selalu berusaha menghadirkan akal sehatku, karena aku tahu bahwa aku tak akan dapat memilikimu seutuhnya. Namun, kehadiran dan kehangatanmu selalu mampu mengaburkan semua batasan. Otakku lumpuh. Kamu semacam candu yang tak dapat kuhilangkan begitu saja. Semakin aku mencoba, rasa cinta ini justru semakin kuat menjerat.
"Sudah bangun, Sayang?"
Kamu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk putih yang kusediakan khusus untukmu saat kamu bermalam di apartemenku. Aku hanya mengangguk, tersenyum, menunggumu yang akan menghampiriku beberapa detik kemudian, lalu mendaratkan ciuman lembut yang hangat.
"Aku harus ke Padang selama dua minggu, Sayang."
"Dinas lagi?"
"Seminggu dinas, seminggu ada acara keluarga. Keponakan istriku ada yang mau menikah."
Selalu begitu. Aku harus mau menerima diduakan seperti ini. Kamu layaknya lintah yang akan pergi setelah kenyang menghisapku. Sedangkan aku selalu ada untukmu untuk kau hisap kapan pun kau mau, dan selalu enggan melepasmu. Ini sungguh gila. Namun, aku telah memutuskan untuk mencintaimu dengan segala luka dan duka yang menjadi konsekuensinya.
"Sayang, aku berangkat dulu, ya. Jangan telat sarapannya. Baik-baik kamu di sini."
"Thanks, Yang."
Sekali lagi, kamu menciumku yang bahkan belum sikat gigi dan beranjak dari tempat tidur, lalu mengacak-acak rambutku sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuatku tak mampu kehilanganmu. Cengeng? Mungkin. Tapi seperti yang sudah kukatakan tadi, bersamamu, aku seperti kehilangan akal sehatku.
***
Sinta
Cinta benar-benar hal yang absurd. Ia mampu mengacak-acak kebahagiaan dengan sesuatu yang sebenarnya tak masuk akal. Akan tetapi, itu sudah menjadi paradigma umum, sehingga dianggap normal-normal saja. Semua dilakukan atas nama cinta. Padahal, terkadang sebuah cinta —hal yang absurd itu— yang diperjuangkan, hanya akan menyakiti dan mematikan cinta yang lain.
Cintaku padamu sudah mati. Benar-benar mati. Beberapa bulan terakhir ini, rasa sakit karena dikhianati sudah benar-benar hilang. Tak ada lagi malam-malam penuh airmata. Tak ada lagi penyesalan telah menjalin dan menjalani ini semua. Tak ada suatu kejadian pun yang sia-sia dalam hidup ini. Seperti dalam fase hidupku ini, aku belajar berkorban dan mematikan cinta sendiri.
Meski cintaku padamu telah mati, aku tak pernah berpikir sedikit pun untuk melepaskanmu. Aku punya cinta lain yang harus selalu kujaga. Aku tak mau membuat anak kita hidup dalam rumah tangga yang retak. Ya, meski sebenarnya juga terlalu rapuh dan dingin untuk dipertahankan. Tapi, kita harus menjalaninya. Kukira kau juga berpikir demikian, kan?
"Maaa...." Bocah yang amat kusayangi ini berlari kencang ke arahku sambil mengangkat tinggi-tinggi action figure Superman favoritnya.
"Hati-hati, Jagoan! Lantainya masih basah."
"Nggak bakalan kepeleset kok, Ma. Tenang aja. Aku kan terbang kayak Superman."
"Kamu ini...." Aku mengacak-acak rambutnya, gemas. Anak ini selalu saja dapat membuatku tersenyum dan tertawa dengan tingkah maupun perkataannya.
"Ma, minggu depan jadi ke rumah Budhe di Padang, kan?"
"Jadi, dong."
"Kita berangkat bareng Papa kan, Ma?"
Aku terdiam sesaat. Aku merasakan wajahku mengeras. Namun, segera kukembangkan senyum kembali.
"Kali ini tidak, Sayang. Papa berangkat duluan hari ini. Ada kerjaan kantor di sana."
"Yaaah...."
Aku tahu, dia sangat kecewa. Bagaimana jika kita bercerai? Membayangkan kesedihan yang dirasakannya saja aku tak sanggup. Takkan pernah sanggup.
***
Malia
"Sayang, aku sudah sampai Padang. Dua minggu ini, aku akan merasa sangat tersiksa oleh rindu."
Kamu selalu saja pandai menggombal kalau sedang tak bertatap muka. Hal begini saja sudah mampu membangkitkan semangatku menghadapi hari-hari tanpa kehadiranmu. Aku pun segera membalas pesanmu di WhatsApp ini.
"Aku lebih tersiksa, Ren."
***
Sinta
"Ma, Papa udah di Padang."
Hanya satu kalimat pendek itu. Dan aku tahu betul, tak akan ada lagi kalimat-kalimat lain sebagai balasan jika aku membalas dengan kalimat sepanjang apa pun.
Dengan malas-malasan, kubalas, "Syukurlah. Hati-hati, Pa."
***
Malia
Aku terkaget oleh dering ponselku sendiri. Telepon dari nomor asing. Sebenarnya, agak malas menerima panggilan telepon dari nomor tak dikenal seperti ini. Apalagi kalau ternyata orang yang menawarkan asuransi, yang omongannya bertempo cepat dan tak dapat diputus. Namun, akhirnya kuangkat juga.
"Halo. Bisa bicara dengan Malia Saraswati?" Suara wanita yang terkesan dingin dan berwibawa.
"Iya, saya sendiri."
"Bisakah kita bertemu malam ini? Ada yang perlu saya bicarakan."
"Maaf, ini dengan siapa, ya?"
"Saya istrinya Rendy."
Aku terdiam. Tak menyangka sama sekali akan mendapatkan panggilan dan ajakan ini.
"Halo? Bisakah?"
"B... baik. Di mana kita bisa bertemu?"
Sinta menyebutkan nama sebuah kafe tak jauh dari kediamannya dan jam berapa mereka bisa bertemu.
Telepon langsung ditutup. Kuhela napas panjang, sambil menerka-terka apa yang akan dilakukannya terhadapku.
***
Sinta
Wanita jalang yang kau cintai setengah mati ini datang tepat waktu. Kuakui dia cantik, lebih cantik daripadaku. Namun, tak peduli rupanya seindah apa pun, dia terjebak juga dalam hal absurd bernama cinta.
"Silakan duduk."
Aku dapat merasakan kecanggungan perempuan simpananmu ini. Saat memilih menu pun, aku tahu ekor matanya diam-diam menatapku satu-dua detik. Dapat kurasakan pula kekhawatiran yang bersarang dalam tatapan dan gerak bibirnya. Perempuanmu ini tak pandai menyembunyikan sesuatu ternyata. Mungkin itu pula yang membuatnya tak cukup mencintaimu diam-diam? Entahlah. Aku sudah terlalu lelah menerka-terka hal absurd bernama cinta ini.
"Maaf, bisakah... apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya?"
"Santai dululah, Nona Malia. Kita isi perut kita dulu, agar bisa konsentrasi dengan apa yang akan saya bicarakan nanti."
Jujur, aku sangat menikmati pemandangan ini. Perempuan simpananmu ini salah tingkah di hadapanku. Detak jantungnya juga pasti tidak karuan, bisa dilihat dari sikap duduknya yang tak nyaman. Kubiarkan kebisuan menjadi pihak ketiga antaraku dengannya. Ini jauh lebih menghibur daripada aku menghamburkan energi dengan berbasa-basi.
Saat makan pun, dia terlihat tak dapat menikmatinya dan terkesan malas-malasan. Bodoh sekali dia. Bukankah dengan dia bertingkah seperti itu malah akan membuatnya lebih lama berada dalam situasi ini?
"Baiklah, kelihatannya Anda sudah tidak nyaman berada di sini. Saya akan mengatakan ini sekali saja. Jadi, dengarkanlah baik-baik."
Wajahnya terlihat sangat tegang. Namun, lama-lama aku muak juga melihat kegugupannya seperti ini.
"Menikahlah dengan Rendy. Jadilah istri kedua baginya, karena saya tidak akan menceraikannya. Kami sudah punya anak yang tak akan kukorbankan kalau kami bercerai. Aku juga sudah tak tahan melihat perzinaan yang menimpa keluarga kecilku. Jadi, jika kau mencintainya, menikahlah!"
"Ke... kenapa Anda mengatakan ini pada saya, bukannya pada Mas Rendy?"
"Karena malas saja bicara panjang lebar dengannya. Sudah, ya, saya harus pulang."
Aku beranjak dari kursi, terburu-buru meninggalkan kafe itu sambil sekuat tenaga menahan airmata yang tiba-tiba saja hendak tumpah. Benarkah cintaku kepadamu telah benar-benar mati?
Send My Love (To Your New Lover)
Hujan pukul sembilan ini mengingatkanku padamu. Juga tentang apa-apa yang terjadi sebelum derainya mengguyurmu dan apa-apa sesudahnya. Tentang pilu yang kautuai meski telah menyemai tulus dalam rasa. Tentang gigil yang dipertubi rinai di malam terlampau buta. Tentang kau dan dia, sepasang jiwa yang pernah bersama hanya untuk melimbang luka.
Dan itu adalah sedu sedan terhebatmu, Dinda. Sungguh.
Masih tercetak jelas entah di mana di dalam diriku bayangmu yang kala itu hancur sehancur-hancurnya. Tubuh yang kuyup. Wajah pucat. Jemari yang mengepal gelisah. Dan matamu... Ah! Bagaimana bisa kumemaparkannya? Bola-bola mata itu menyimpan berjuta kepedihan hingga tak lagi kuasa kumengingatnya.
Kau begitu memilukan sekaligus mengagumkan, Dinda. Sungguh.
Aku teramat mengerti bahwa saat itu kau tengah setengah mati menahan sakitnya dikhianati. Mungkin lebih sakit daripada yang dirasakan Ariel kepada Pangeran Eric, Black Mamba kepada Bill, atau bahkan Yesus kepada Yudas. Entahlah, aku tak pernah tahu pun mengerti apakah rasa yang diuraikan dalam manuskrip-manuskrip fiksi mampu mengalahkan betapa dahsyat dan rumitnya perkara sesak dalam dada. Sesak yang mencucuk raga. Sesak yang mengoyak jiwa.
Namun itu semua tidaklah penting, Dinda. Sungguh.
Aku teramat mengerti jikalau kau sempurna ranap. Itu tercermin pada kedua manik matamu yang basah sebab air asin, bukan karena derasnya hujan yang kala itu hanya berupa gerimis. Tergambar dari keduanya betapa kau, sekali lagi, setengah mati menahan sakitnya dikhianati. Dan aku yakin, di detik dua-tiga nanti akan ada sungai yang memercikkan air, melimpah ke tebing pipimu.
“Kau baik-baik saja?”
Tentu dia tidak baik-baik saja, Pak Tua! Aih! Betapa bodohnya!
Andai saja mampu kuberikan kau peluk hangat yang dapat menjaminkanmu rasa aman. Atau sekadar menepuk-nepuk punggungmu yang begitu ringkih demi menguatkanmu. Atau setidak-tidaknya, meminjamkanmu saputangan yang kuharap tak hanya menghapus jejak luka di pipi, namun juga dalam memori.
“Kau... butuh sesuatu?”
Kukira kau akan menggelengkan kepala untuk kedua kalinya, namun ternyata aku salah. Samar-samar kudengar kau mengutuki dirimu sendiri, tentang betapa bodohnya, konyolnya, dan gilanya dirimu saat itu. Kau merutuki pilihan yang akan kauambil, kausebut bahwa kau akan teramat menyesalinya beberapa bulan mendatang. Kau bersikap seperti kau tak akan pernah rela jika sampai melakukannya.
Kau digulung dilema.
“A-aku... mau... i-itu...”
Dan aku mengerti maksudmu, Dinda. Sungguh.
*
Pekat malam pukul sepuluh ini mengingatkanku padamu. Juga tentang beratus-ratus malam yang sedianya telah kita habiskan berdua. Malam-malam di mana bibir dari masing-masing kita berpagut erat dan saling mengikat. Malam-malam di mana tubuh dari masing-masing kita melekat dalam satu geliat.
Rasa gembira membuncah di dalamku bagai Krakatau yang meletus berabad silam. Bayangkan saja, aku yang bukan apa-apa dipilih olehmu yang maha segala. Aduhai nian rasanya, Dinda!
Aku teramat bahagia, Dinda. Sungguh! Pastinya lebih bahagia daripada yang dirasakan Cinderella ketika sepatu kacanya membuktikan bahwa ialah cinta sejati Sang Pangeran. Lebih bahagia daripada Willy Wonka ketika ia memakan cokelat pertamanya. Atau bahkan lebih bahagia daripada Muhammad ketika menikahi Aisyah. Entahlah, aku tak terlalu peduli, yang terpenting kini adalah bagaimana caranya agar sesak yang menyenangkan ini tetap ada di sana. Sesak yang menggelitik raga. Sesak yang menggenapi jiwa.
“Hanya kau yang kini kupunya, Kanda,” bisikmu kala pertama kau membawaku ke dalam apartemenmu yang pengap oleh sepi. Apartemen yang dulu sempat menjadi sarang cinta antara kau dan pengkhianat itu. Apartemen yang di tiap-tiap inci dindingnya tertera desahmu, desahnya. Melekat berahimu, berahinya.
“Hanya kau yang kupunya.”
Terlepas kau membisikkannya dengan penuh kesadaran atau sebab kau teramat membutuhkan pelarian, aku tak peduli. Kandamu ini telah terlanjur kaubuai dengan azimat dan mantra-mantra hingga membuatnya tak mampu berbicara.
“Hanya engkau...”
Dan baru kali ini kurasakan api gairah yang membara di sekujur aku, Dinda. Menjilat-jilat api yang jua mengobar dari tubuhmu.
Basahnya lidahmu... Kenyalnya kulitmu... Panasnya napasmu...
Lalu aku meledak, Dinda. Begitu dahsyat. Meledak dalam rasa entah apa di tengah lantangnya eranganmu.
*
Dingin dan hampa pukul sebelas ini mengingatkanku padamu. Juga tentang apa-apa yang patah sebulan terakhir ini. Tentang sepi yang menghantui, pun sunyi yang menyambangi. Tentang dinginnya malam-malam renta tanpa kau yang tak lagi berada di sisi. Jua tentang rasa sendiri yang semakin hari semakin akrab kukenali.
Bagai kopi subuh yang hilang panasnya kini kau menjelma. Dingin berbalut pahit. Entah lesap ke mana segala cinta yang dulu untukku dan hanya untukku.
Kau berubah, Dinda. Sangat.
“Iya, iya... Hahaha... Apa? Mau ke sini? Oh... Boleh kok.”
Ah... tawamu, Dinda! Begitu merdu, begitu madu. Terkutuklah aku yang pernah berharap agar enyah saja melodi syahdu itu dari mulutmu. Sebab, siapa yang tak terpanggang bara cemburu jika kau menggunakannya kepada selain aku?
Dan teramatlah jelas jika kini posisiku telah kaugantikan. Tak lagi ada kecup hangat, cumbu rayu, juga dekap erat di antara kita. Kau membiarkanku usang, teronggok di bagian terdalam almari hingga tiada seorang pun yang mampu menemukanku. Sebab aku tahu, kau tahu, jika kehadiranku adalah aib bagimu.
Mana ada wanita baik-baik yang memiliki dildo di apartemennya.
Jika benar eksistensiku membuatmu merupa wanita yang tidak baik, mengapa tak kaubuang saja Kandamu ini, Dinda? Mengapa? Keambiguan sikapmu inilah yang membuatku masih memupuk harap yang hampir mati, merawat mimpi yang setengah jadi.
“Selamat datang, Sayang!”
Dan sempurna hancurlah hatiku jika memang aku memilikinya. Bisa kubayangkan kau memeluknya erat selayaknya dulu kau memelukku. Mengecupnya hangat selayaknya kecupanmu yang kupikir hanya untukku. Lalu menatap matanya dalam, sedalam kau memujaku dulu.
Kupikir inilah saatnya untukku mundur dan mati lalu pergi entah ke mana. Menurutmu dildo punya jiwa, Dinda? Lalu ke manakah perginya jiwa-jiwa itu nantinya? Adakah tempat di semesta yang mampu menampung jiwa-jiwa dildo yang patah itu? Yang terluka? Yang tak lagi sempurna?
Akhir kata, Dinda. Semoga berbahagia. Sampaikan salam dan cintaku untuk kekasih barumu itu.
Aku... mencintaimu. Sungguh.
***
“Sayang! Di mana kau simpan kondom semalam?”
Suara berat nan asing itu terasa begitu dekat hingga mengejutkanku. Detik berikutnya, kulihat pintu almari terbuka, mengundang cahaya yang lahir dari lampu di langit-langit kamar untuk menerangi kotak gelap yang pengap ini.
“Cari saja di dalam almari!” jawabmu, Dinda, wanita yang sampai saat ini masih lekat dalam jiwa.
Lalu kurasakan sebuah tangan yang kasar merogoh-rogoh isi almari. “Di mana kondom sial itu,” gerutunya dalam bisik, seraya menjangkau hingga ke tiap-tiap sudut. Dan kemudian satu hal yang teramat kutakutkan terjadi.
Meski telah kugelungkan tubuhku kecil-kecil, tangan yang terasa kasar itu entah bagaimana tetap bisa menggapaiku.
“A-apa ini?” tanyanya pelan. Wajahnya yang tegas dan maskulin terlihat terperangah atas apa yang telah ditemukannya. Tak lama setelah itu, lamat-lamat bisa kulihat bahwa ia akhirnya mengerti tentang apa-apa yang terjadi selama ini. Dan dengan sembunyi-sembunyi, ia memasukkanku ke dalam tasnya.
Buat apa?
***
Hello
Mad Max berkata kepadaku kalau dia terlahir dari dalam telepon. Ini gagasan yang harus diteliti lebih lanjut karena siapa pun yang terlahir dari dalam telepon tidak seharusnya membenci telepon. Mad Max membenci telepon—terutama nada deringnya.
“Aku tidak lahir dari dalam telepon secara harfiah, idiot. Aku berasal dari telepon karena ayahku menelepon ibuku dan mengajaknya untuk bercinta dan ia bertanya apakah ibuku keberatan yang dijawab dengan ‘oh tentu saja tidak, tapi rumahku sedang ramai, bagaimana kalau minggu depan saat semuanya sedang pergi ibadah?’ dan minggu depannya aku menggeliat bagai cacing sekarat menuju sel telur ibuku.”
Apa yang dijelaskan Mad Max tidak dapat kusalin ke atas kertas. Bagaimana bisa sebuah biografi dimulai dengan adegan seks yang prosesnya begitu kampungan.
“Mad Max, begini, aku tidak bisa menuliskan itu. Mari kita ulang pertanyaannya. Maksudku, tidak dengan proses kelahiranmu. Kita bisa mulai dengan sesuatu yang ada hubungannya dengan—cinta?” kataku dengan nada yang sebisa mungkin mempertahankan integritasku sebagai penulis biografi.
“Cinta?” Mad Max yang sudah menginjak umur 67 tahun mengerutkan keningnya sehingga bagian itu terlihat seperti terbuat dari kayu yang dicabik-cabik.
“Ya, seperti pertemuan pertamamu dengan istrimu,” kataku.
“Aku tidak punya istri.”
“Tapi kau punya anak?”
“Ya, aku bisa mengambil siapa pun di panti asuhan dan mengklaimnya sebagai anakku.”
Aku mulai mempertimbangkan melepas pekerjaan ini. Mad Max adalah salah satu orang gila kaya yang perlu diberi planet sendiri untuk hidup.
“Tapi, aku akan menceritakannya. Aku hampir punya suatu cerita tentang cinta. Dan semua itu karena satu dering telepon sialan,” kata Mad Max dan aku langsung menyiapkan pena.
Mad Max
Aku benci pindah rumah. Ini adalah kesimpulan paling tepat karena setiap kali aku pindah rumah pasti selalu ke rumah yang lebih kecil dan murah. Ini semua karena ibuku terlalu bodoh untuk dimanipulasi orang-orang dari perusahaan properti yang entah bagaimana selalu berhasil meyakinkannya bahwa rumah baru kami yang kecil itu nantinya akan dibeli oleh pemerintah dengan harga selangit. Kenyataannya adalah; bahkan pemerintah tidak tahu kalau rumah baru kami itu ada di bumi.
Kami memiliki telepon rumah yang suaranya selalu diiringi efek hujan, maksudku, siapa pun yang menelepon kami suaranya tidak pernah terdengar jelas. Bahkan jika Georgia Brown menelepon ke rumahku dan mengeluarkan suara 8 oktafnya, ia bisa kedengaran seperti perempuan yang mengalami kanker tenggorokan. Jadi untuk menghindari kesalah pahaman di dalam telepon, sumpah demi Tuhan aku tidak akan mengangkat telepon apa pun yang terjadi.
Sampai satu hari, ketika acara MTV begitu membuatku merasa bersyukur pernah hidup di dunia ini, telepon sialan itu berdering. Dan kabar buruk lainnya, ibuku sedang pergi mengurus sesuatu yang tidak bisa ia urus sehingga urusan itu tidak pernah selesai.
Friday I’m in love sedang diputar.
Telepon berdering.
Friday I’m in love masih diputar.
Telepon masih berdering.
Aku memikirkan mana yang lebih efektif antara membanting telepon itu sampai hancur yang akan menambah anggaran keuangan ibuku atau mengangkat telepon itu dan berkata salah sambung. Yang kedua lumayan.
“Halo, salah sambung,” kataku persis setelah mengangkat telepon.
“Apa?” suara perempuan. Meskipun hampir terdengar seperti perempuan keturunan Godzilla, ini semua hanya ilusi telepon busuk.
“Aku pikir, kau salah sambung,” kataku lagi.
“Bagaimana bisa? Bahkan aku belum memberitahumu kalau aku mencari siapa.” Suara perempuan itu makin kuat. Kuat dalam arti yang lembut.
Aku mulai berpikir untuk menutup telepon sampai ia berkata;
“Aku mencari Jordan.”
Dan ini membuatku bertanya-tanya karena selama 16 tahun hidupku, inilah pertama kalinya aku dicari lewat telepon. Namaku Jordan sebelum mendapat julukan Mad Max.
“Aku sendiri,” kataku.
“Oh, Aku Mabel, tetanggamu. Ibuku bilang ‘berilah salam pada tetangga barumu’ dan inilah yang kulakukan sekarang.”
“Apa itu artinya aku harus mengirim salam balik?” tanyaku. Aku tidak yakin suaraku akan terdengar sama ketika sudah masuk ke telepon. Jadi, aku sedikit meninggikan suara atau apalah.
“Ya, menurutku harus.”
"Baiklah, titipkan salamku pada siapa pun yang mau menerimanya, Mabel." Dan aku menutup telepon, tidak habis pikir kalau ada orang yang diciptakan Tuhan khusus untuk menggangguku menonton MTV.
Aku melewatkan The Cure. Dan ibuku pulang. Dan ia berkata;
"Besok kau sudah bisa sekolah di Grunge. Ditempuh 20 menit dengan jalan kaki."
Seluruh siswa sekolah Grunge menganggapku sebagai kuman pembawa segala jenis kesialan. Seolah-olah kami semua pernah hidup di masa lampau dan mereka berperan sebagai Orang Yahudi dan aku Hitler.
Di hari pertama saat pelajaran olahraga seseorang bernama Sammy terang-terangan membenciku. Dia bilang kalau aku ancaman untuk pacarnya. Aku merasa tersanjung sekaligus merasa dekat dengan kematian.
Jenis kematian yang diberikan Sammy ternyata lebih parah dari mati pada umumnya. Sammy memanfaatkan celana olahragaku yang karetnya kendur. Ia menarik celanaku sampai ke bawah dan diinjak dari belakang sehingga usahaku menarik celana kembali ke atas mirip adegan-adegan dalam film komedi sampah.
Semua orang tertawa. Bahkan kupikir Tuhan pun tertawa.
Ibuku bertanya bagaimana hariku dan kujawab dengan lumayan. Aku sedang tidak berminat membuat dosa dengan membentaknya dan menulis daftar kesalahannya sehingga kami bisa terjebak di sini. Aku lebih memilih untuk tidur karena siang itu hujan. Dan aku gagal melakukannya karena telepon sialan itu kembali berdering.
Aku ingin berpura-pura tidak dengar karena hujan begitu deras, aku pun berteriak agar ibu mengangkat teleponnya tapi sepertinya suara hujan membenamkan suaraku lebih dulu sebelum sampai ke tujuan.
Suara dering itu tidak pernah kehabisan kesabaran.
Suara dering itu terus menunggu sampai kiamat.
"Halo," kataku. Aku mengangkatnya dengan harapan ini berjalan dengan cepat.
"Halo, Jordan. Apakah sekolahmu menyenangkan?"
"Siapa ini?"
"Mabel."
"Apa pedulimu?"
"Kau memakai celana dalam yang keren hari ini."
Dan wajahku seakan ingin meledak karena rasa malu.
"Kau sekolah di Grunge?"
"Menurutmu?"
"Aku akan menghajarmu besok." Dan aku menutup telepon. Lupa kalau aku baru saja mengancam seorang perempuan.
Keesokkan harinya aku mencari sosok Mabel di Grunge. Tanpa sedikit pun meminta bantuan karena siapa pun yang membantuku diyakini bakal tertular Penyakit Sial yang kuidap--menurut mereka.
Aku mengendap-endap ke dalam ruang guru dan mencari daftar absen seluruh siswa kelas 10. Tidak ada nama Mabel. Mabel pasti lebih tua dariku.
Telepon berdering tepat setelah aku sampai di ambang pintu rumah. Tidak ada tanda-tanda kehadiran ibu. Dan telepon ini menjadi tanggung jawabku lagi.
"Halo," kataku.
"Aku tidak dihajar hari ini." Suara Mabel semakin tidak asing di telingaku.
"Aku tidak benar-benar ingin menghajarmu. Maksudku, aku tidak mungkin menghajar perempuan."
"Mm, kau terlalu banyak mengeluarkan suara saat menyelinap ke ruang guru."
"Kau melihatku?"
"Ya."
"Baiklah, kau harus menunjukkan dirimu besok di depanku."
"Kenapa? Aku tidak ingin semua orang di Grunge membenciku."
"Kau benar. Aku juga tidak ingin. Bagaimana kalau kita atur janji? Maksudku, kita bisa bertemu di luar jam sekolah. Tanpa kelihatan satu pun makhluk Grunge."
"Secara teknis kita ini makhluk Grunge."
Dan aku tertawa. Cara Mabel mengucapkan 'secara teknis' menurutku amat konyol.
"Jam 2, di depan Oliver Klaiver?"
"Apa yang akan kita lakukan setelah bertemu?" Suara Mabel terdengar makin jelas. Membuatku bertanya-tanya apakah ada seseorang yang memperbaiki telepon ini.
"Entahlah," kataku, "kita bisa menentukannya nanti setelah bertemu."
"Ide bagus." Dan kami mengucapkan salam perpisahan khas di telepon.
Keesokkan harinya Mabel tidak datang. Aku menunggu di depan Oliver Klaiver--toko hotdog--selama 2 jam. Dan kupikir ini tidak bisa disebut keterlambatan.
Malam harinya telepon berdering. Dan akhir-akhir ini aku jarang mengeluh ketika mengangkatnya.
"Jordan." suara Mabel mendahuluiku mengucapkan halo.
"Mabel," kataku.
"Maaf--aku tidak bisa datang." Mabel terdengar seperti berbicara sambil terkena asma.
"Tidak masalah," kataku.
"Ini masalah besar. Aku ketahuan pacarku kalau aku ingin bertemu denganmu. Dan dia bilang kalau aku ini jalang yang akan menghabiskan masa mudanya untuk tidur dengan ribuan pria. Dan suatu hari nanti aku akan dibunuh anak haramku sendiri. Dia mengatakan itu tanpa keraguan dan aku sangat takut kalau itu jadi kenyataan."
"Pacarmu perlu dihajar."
"Tidak, dia yang akan menghajarmu."
"Kau tidak akan tidur dengan ribuan pria--maksudku, entahlah, puluhan, mungkin? Dan kau juga tidak akan dibunuh anakmu sendiri."
"Kau mengatakan itu barusan tanpa sedikit pun keyakinan. Berbeda dengan pacarku yang berkata seperti tadi seolah semua sudah terjadi."
"Aku terlahir dengan nada monoton. Jadi, maaf kalau aku membosankan."
"Tidak, kau tidak membosankan. Itulah kenapa seluruh anak di Grunge ingin membunuhmu."
"Aku anggap itu pujian."
"Itu memang pujian."
"Oh, aku benar-benar menanti momen itu terjadi."
"Aku harus pergi. Ibuku ingin memakai telepon."
"Oke. Ibuku juga," dustaku dan kami menghabiskan waktu hampir 5 menit untuk menentukan siapa yang menutup telepon duluan.
Di Grunge, aku tidak membiarkan perhatianku lepas dari para siswa perempuan. Mungkin dengan begitu kesempatanku memergoki Mabel terbuka lebih lebar. Tapi nyatanya tidak semudah itu. Mencuri daftar absen seluruh siswa Grunge pun tidak semudah memasuki ruang guru tanpa izin.
Mabel meneleponku setiap hari, setelah pulang sekolah, kadang malam hari, dan kami membicarakan segalanya. Pacarnya yang brengsek, kamarnya yang mungil, ibunya yang gemar membagikan waffle ke para tetangga, ayahnya yang seorang pemadam kebakaran. Gambaran keluarga sempurna yang seperti sedang meledek kehidupanku. Jadi, supaya aku tidak terlihat menderita banget, aku tidak pernah membicarakan kamar, atau ibu, atau ayah-yang-entah- di mana. Aku membicarakan masa depan. Aku bilang kepada Mabel kalau satu hari nanti aku tidak akan lagi jadi orang miskin yang diincar oleh satu sekolah untuk dijadikan mainan. Aku juga bilang kalau suatu hari aku jatuh cinta padanya, aku akan benar-benar menghajar pacarnya yang brengsek itu. Tapi Mabel bilang itu tidak masuk akal.
"Bagaimana bisa kau jatuh cinta padaku hanya karena pembicaraan di telepon?" Tanyanya.
"Suaramu. Aku bisa jatuh cinta dengan suaramu. Yang menurutku itu sudah sangat cukup untuk mencintaimu sebagaimana wajarnya," jawabku.
Dan semua itu berubah hanya dalam satu malam.
Malam itu datang begitu cepat. Malam yang lebih buruk dari hari kiamat. Saat itu hampir jam 1 dan aku terbangun dari tidurku karena dering telepon. Sebelum bertanya-tanya pada diri sendiri siapa yang masih memegang gagang telepon semalam ini, aku mengangkatnya.
"Tolong aku." Kata pertama Mabel. "Tolong aku." Kata kedua Mabel. "Tolong aku." Kata ketiga Mabel. Dan telepon terputus.
Dengan celana pendek dan kaos setipis kulit, aku berlari menuju pintu keluar dan memandangi jalanan yang segelap dasar jurang, hanya tersisa suara keheningan sejati dan bayangan-bayangan yang mungkin rumah atau mungkin pohon atau mungkin jalan buntu.
Perampokan?
Pembunuhan?
Pacarnya yang brengsek mencoba memperkosanya?
Segala kemungkinan itu mendorongku menerobos jalanan tanpa alas kaki dan menggedor setiap pintu rumah dan bertanya;
"Apakah ada seseorang bernama Mabel di sini?" Berulang kali.
Tidak ada satu pun seseorang bernama Mabel dalam 32 rumah.
Kembali pulang dengan wajah ingin menangis adalah pilihan terakhir, dan ibuku sudah menunggu di depan pintu dengan tatapan kombinasi antara lelah dan jijik dan marah.
"Seorang tetangga menasehatiku cara mengurus anak. Dia bilang seorang ibu yang baik tidak akan membiarkan anaknya keluar jam 1 malam dengan pakaian tidur dan membangunkan orang-orang yang cukup lelah akan kehidupannya masing-masing." Aku terdiam, belum siap memberitahunya. "Kau mencoba mempermalukanku, Jordan?"
"Ada masalah serius! Seseorang dalam bahaya!"
"Siapa?!"
Dan telepon berdering.
Aku mengabaikan pertanyaan ibuku dan mengangkat telepon.
"Mabel?" Tanyaku.
"Berjanjilah padaku," kata Mabel.
"Apa? Berjanji apa?"
"Aku harus pergi." Suara Mabel makin mirip orang yang sedang terkena asma lalu dicekik. Dia menangis.
"Ke mana? Apa yang terjadi?"
"Aku tidak tahu. Aku harus pergi. Dan kupikir aku membenci pacarku. Dan aku pikir aku juga bisa jatuh cinta dengan suaramu. Apa kau berjanji akan menungguku kembali?"
"Kau mau ke mana? Apa ada pembunuh di rumahmu? Perampok? Beritahu nomor rumahmu dan aku akan menelepon polisi."
"Ini lebih kejam dari pembunuh dan lebih rakus dari perampok. Aku hanya ingin kau berjanji untuk menungguku kembali."
"Sialan! Aku berjanji!"
"Begini lebih baik. Jadi, apa ini saatnya menentukan siapa yang lebih dulu menutup telepon?"
"Tidak. Beritahu padaku yang sebenarnya."
"Sepertinya aku harus menutup telepon."
"Beritahu aku nomor teleponmu. Aku akan menghubungimu."
"Tidak. Aku yang akan menghubungimu," kata Mabel dan telepon terputus.
Aku meletakkan telepon pada tempatnya dan mulai menangis. Ibuku menghampiriku dan kupikir ia mulai mengerti kerumitan kisah cinta remaja. Ia memegang kepalaku dan berulang kali bertanya;
"Apa yang terjadi padamu, Jordan?"
Aku tidak menjawab sampai ia bertanya;
"Kau berbicara dengan siapa di telepon?" Yang kujawab dengan; "Mabel. Dia sekolah di Grunge. Dia tetangga kita. Aku perlu tidur." Aku meninggalkan telepon serta ibuku. Dan langkahku terhenti ketika ibuku memanggil, "Jordan," dan berkata;
"Telepon ini bahkan tidak tersambung ke jaringan. Telepon Ini hanya pajangan antik."
*********
Aku mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Mad Max sambil memotongnya dengan sedikit pertanyaan agar tidak tertinggal bagian-bagian yang penting.
"Setelah itu aku kabur dari rumah. Berjualan es krim Italia, masuk ke perusahaan bursa saham, mencuci uang di umur 32, membuat NASDAQ terlihat seperti anak TK yang masih suka buang air di celana, dipenjara selama 2 tahun, menyewa psikiater seksi yang berusaha membuktikan kalau aku gila namun selalu gagal," kata Mad Max.
"Lantas, kenapa kau mengubah namamu, Max?"
"Rekan berjualan es krim Italiaku memberi julukan ini karena baginya aku selalu terdengar seperti sedang marah. Dan kupikir ini juga berguna agar orang-orang melupakan nama Jordan. Karena aku masih menunggu Mabel. Sampai detik ini hanya dia yang masih mengenalku sebagai Jordan. Dan kau. Karena kau penulis biografi sialan yang suka mengorek kehidupan pribadi orang lain."
"Kupikir cukup untuk hari ini."
"Ya, aku juga sudah bosan melihatmu. Biarkan aku pergi lebih dulu."
Dan gedung setinggi 13 lantai itu kini hanya diisi olehku yang masih menganalisa cerita Mad Max. Dalam upayaku menganalisa, telepon ruangan Mad Max berdering dan aku melihat jam menunjukkan pukul 1 malam.
Aku tidak berani mengangkatnya dalam dering kedua.
Dan keberanian itu muncul dalam dering kelima.
"Halo?" kataku.
"Halo?" Suara perempuan.
Description: Cerpen terinspirasi lagu-lagu pada album 25, Adele.
Hello - Reza Reinaldo
Send My Love (To Your New Lover) - Irfan Rizky
I Miss You - Aditia Yudis
When We Were Young - Rin Herlina
Remedy - Cindy Tiara
Water Under The Bridge - Shindy Farrahdiba
River Lea - Henny
Love in The Dark - Tutut Laraswati
Million Years Ago - Nadia Pratiwi
All I Ask - Mayounice
Sweetest Devotion - Nevesy Qd.
Serta satu judul tambahan
25 - Harun Malaia
*gambar untuk halaman depan buku dan latar bukan milikku.
|
Title: RESTRAINT
Category: Fan Fiction
Text:
Bab 1

Lee Eun Hye.
Sore ini memasuki musim dingin dengan udara kelewat sadis membuat pucat membeku. Tulang terdalam sampai pilu dan lemah membeku tak dapat bergerak. Andai aku bisa memilih, lebih baik meringkuk dalam kamar berbalut selimut tebal dan mendengarkan lagu-lagu Ed Sheeran yang memenuhi memori handphoneku.
Sayang sekali, aku harus keluar menyusuri jalanan kota Seoul sambil memeluk erat tubuhku sendiri dengan erat. Walau aku memakai jaket kelewat tebal, namun tetap saja hawa dingin menembusnya.
Aku sedang menuju Café Blind tempatku bekerja part time setiap harinya.
Oh iya, aku Lee Eun Hye. Mahasiswa tingkat akhir disalah satu perguruan tinggi yang terkenal di Seoul. Aku fakultas Instrumental Music, dengan jurusan Piano. Aku mendapatkan beasiswa untuk masuk disini tentunya. Aku memenangkan Festival Musik tahunan saat masih di bangku SMA kelas 3. Oleh karena itu aku mendapat beasiswa hingga masuk kesini.
Orangtuaku sudah tidak ada. Bagaimana ya menjelaskannya. Aku sudah hidup dip anti asuhan dari kecil. Aku bahkan tidak tahu siapa orangtuaku, dimana mereka, bagaimana wajah mereka, semua tentang mereka aku tidak tahu. Aku hidup bersama Ibu Kim dan anak panti lainnya.
Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup sendiri. Sebisa mungkin aku berjuang dengan usahaku sendiri. Apalagi Ibu Kim adalah orang yang cukup disiplin, dia mengajarkan kami anak-anak panti untuk disiplin dan bekerja keras. Untuk itu aku sudah terbiasa berusaha dan bekerja keras dari kecil.
Dan kebiasaan itu aku bawa sampai aku merantau di Seoul sekarang. Panti asuhan ku di daerah Gwangju, dan tempatnya cukup layak walau di pinggiran kota.
Selama masa kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampus untuk belajar dan berlatih. Apalagi untuk jurusanku yang focus pada Piano, aku benar-benar harus berlatih.
Awal mula aku tahu bermain piano adalah saat aku hidup di panti. Ada piano tua disana yang masih dapat digunakan. Katanya itu milik ibu Kim dulu. Dari semua anak panti, hanya aku yang tertarik untuk memainkannya. Hingga ibu Kim mengajariku. Aku belajar dari umur 7 tahun. Karenanya aku dapat memenangkan Festival Musik tahunan di Gwangju saat itu.
Aku bukan wanita yang suka bergaya atau jalan-jalan menghabiskan uang seperti teman-teman kampusku. Aku tahu diri bahwa uang yang kudapat adalah dari Ibu Kim, bisa kuliah karena beasiswa, jadi aku menggunakan uang dengan sebaik mungkin.
Selama masa perkuliahan, ada beberapa temanku, juga kaka tingkat yang mendekatiku. Aku heran, apa yang mereka lihat dariku. Pakaian atau tas bermerk tak pernah ku pakai, untuk merias diripun saat aku ingin. Itupun hanya bedak bayi dan pelembab bibir. Rambutku yang panjang pun tak pernah merasakan salon. Kurasa mereka mau mendekatiku karena aku mahasiswa yang terkenal karena bakat bermain piano saja, atau karena aku pernah menjadi asisten dosen. Well, aku melakukan itu juga agar mendapat sedikit uang jajan. Saat itu aku ingin sekali membeli mesin cuci. Uang hasil menjadi asisten dosen selama satu semester kutabung dan membeli mesin cuci.
Kini di semester terakhir, kurasa waktuku semakin lenggang. Aku memutuskan untuk mencari kerja part time. Dua bulan lalu aku melakukan sesi wawancara dan 3 hari kemudian aku sudah mulai bekerja.
Aku bekerja di Café Blind, tak jauh dari pusat kota. Café itu bagiku cukup eksotis. Ornament kayu dan lampu putih cerah membuat suasana tenang dan indah. Apalagi di sudut ruangan ada piano. Beberapa kali aku memainkannya sesuai permintaan manajer. Ia berkata, pelanggan banyak yang menyukai saat aku memainkan piano. Aku sempat bingung, aku bekerja sebagai pelayan atau pemain piano disini sebenarnya.
Tidak, sebenarnya aku hanya berharap dia menambah gajiku karena memainkan piano walau tidak setiap hari.
"Hye, kau dipanggil manajer diruangannya."
"Sekarang?"
"iya."
"Tolong antar pesanan ini ke meja 13."
Aku melangkah menuju ruangan manajer di lantai 2. sedikit merapikan seragam yang ku kenakan, lalu mengetuk pintu beberapa kali. Setelah mendengar ijin dari manajer, aku membuka pintu pelan dan menutup pintu kembali setelah berada didalam.
"Permisi manajer-nim, kau memanggilku?"
"Ya, duduk disana."
Manajer menatapku dengan wajah serius, kurasa hal yang akan dikatakannya begitu penting, atau mungkin darurat.
"Begini Hye, sekitar sebulan lagi Café ini akan mengadakan acara pertunangan Tuan Cho dan kekasihnya. Kau tahu Tuan Cho?"
Aku menggeleng. Aku sama sekali belum pernah mendengar nama Tuan Cho. Walau langganan Café ini banyak, ada beberapa yang ku hafal. Tapi untuk nama Tuan Cho, aku belum pernah mendengarnya.
"Dia pemilik Café ini."
Ah, pemilik Café. Aku menganggu samar. Memang sih aku tidak pernah bertanya pemilik Café ini. Kan aku disini untuk bekerja, bukan untuk tahu seluk beluk Café. Lagipula aku hanya pekerja part time, mungkin saja saat bukan jadwalku baru dia datang.
"Dia ingin kau bermain piano saat hari pertunangannya."
"Hah? Aku?" aku kaget. Kenapa harus aku? Dia kaya raya. Sudah jelas dia bisa membayar yang jauh lebih mahir, bukan?
"Beliau memberi perintah seperti itu. Beliau sudah tahu kau sering bermain piano disini. Bagaimana. Kau sanggup?"
Kurasa dia memang mau memaksimalkan pegawainya seperti aku, biar gratis. Ck!
It's Ok! Anggap saja cari pengalaman.
"Baik manajer-nim. Aku sanggup."
"Akan ku infokan lebih lanjut nanti. Kau bisa kembali bekerja."
Setelah keluar dari ruangan manajer, aku menuju toilet. Entah mengapa aku jadi gugup setelah keluar dari ruangan itu. Aku akan tampil di pertunangan pemilik Café tempatku bekerja. Jelas itu hari yang penting, aku harus sering berlatih. Tak mau sampai ada kesalahan atau kekurangan sedikitpun nantinya. Aku juga penasaran, seperti apa sosok Tuan Cho itu? Berapa umurnya? Lebih tua? Lebih muda? Seumuran?
Setelah membasuh wajah, aku mengambil tissue lalu mengeringkan wajahku.
"Hye eonni, kau ditunggu di ruang boss."
Aku mendengar suara Yena memanggilku, namun dahiku berkerut. Ruang boss? Maksudnya boss, pemilik Café? Wah! Ini pertama kali dia datang ke Café saat jam kerja part time ku.
"Boss? Sekarang?"
"Iya, dia sudah menunggumu. Segeralah kesana. Aku harus kembali bekerja."
Segera aku melangkahkan kaki menuju ruangan boss yang tidak pernah aku masuki. Ini saja pertama kali dia datang saat jam kerjaku. Aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Sepanjang perjalanan, aku merapikan seragamku, Merapikan rambut dan mengelap wajahku dengan tissue kering. Aku berasa seperti saat pertama kali melamar kerja, seperti akan di wawancara, Fiiuuhhh.
Tok.. Tok..
Aku memutar kenop pintu pelan, lalu membawa diriku ke ruangan bernuansa ungu gelap itu.
"Permisi Pak."
Oke mari kita bicarakan Boss ku ini.
Pertama, dia tampan! Oke, setiap bentuk wajahnya menggambarkan mahakarya Tuhan, aku sampai terperangah memandangnya. tubuhnya tegap, tinggi, dan yang paling menarik perhatian ku adalah tai lalat di hidungnya.
Kedua, cara dia berpakaian seperti seorang model. Setelan jas kantor, jam tangan coklat yang ku yakini harganya sebuah mobil, dan kacamata yang dipakainya menambah kesan manly.
Ku rasa harus berhenti membahas penampilannya sekarang. Why? Karena sekarang dia sedang memandangiku dari atas sampai bawah.
Entahlah, mungkin aku kurang rapi, atau pakaianku terlalu terbuka. tapi ini kan seragam Cafe ini, kenapa jadi aku yang salah? Dia tak tersenyum, wajahnya datar, dan tatapannya seakan menelanjangiku.
"Duduklah." suara beratnya bahkan sangat keren.
Aku terburai dari lamunan dan prasangka meluas dikepalaku setelah mendengar suaranya, perlahan aku mendekat dan duduk di salah satu kursi dihadapannya.
"Ini list lagu yang harus kau pelajari saat pertunanganku nanti." Ia meletakan secarik kertas dihadapanku. Aku lalu memajukan kepalaku untuk melihat lebih jelas.
"Baik, Pak. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Tidak usah bekerja untuk 1 bulan kedepan, kau hanya harus berlatih. Latihan di Apartemenku."
"Hah?!" Aku sontak melebarkan mataku. Apa maksudnya dia menyuruhku latihan di apartemennya? Memangnya latihan di Cafe tidak bisa?
"Ah.. Maaf Pak. Aku hanya kaget. Tapi bukankah aku bisa berlatih disini, maaf sebelumnya." aku berusaha mengatur kata-kataku sebaik mungkin. masalahnya dihadapanku ini Boss Cafe tempatku bekerja.
"Akan ada orang yang bermain piano di Cafe ini jadi tidak mungkin kau latihan disini. Di apartemen bukan hanya ada aku, tapi ada adikku. Kekasihku pun akan sering berkunjung."
Aku mengangguk kepala pelan sembari tersenyum dengan mulut membentuk huruf 'O'.
"Jam 7 sepulang kerja."
"Baik Pak. Saya permisi.."
Aku membungkuk lalu melangkah keluar dari ruangan.
Selama dia berbicara, dia tak memandangku, atau merubah ekspresinya sama sekali. aku jadi khawatir kalau sikapku tadi kurang sopan atau tak menghargainya.
Oke, aku tak mau memikirkannya.
*
Setelah keluar dari ruangan itu, Yena menarik tanganku. Ia tampak khawatir. Tapi, aku bingung kenapa juga dia harus khawatir?
"Apa eonni baik-baik saja?"
Aku menatapnya bingung. Dahiku sedikit berkerut karena pikiranku mulai liar mencari alasan apa Yena mengajukan pertanyaan itu.
"Aku baik-baik saja, memangnya kenapa?"
Yena terdengar menghembuskan napasnya. Apa dia baru saja habis berlari? Ini mengejutkan. Karena dia tampak cemas dan lelah.
"Ikut aku eonni.."
Aku mengikuti kata Yena, karena dalam diriku juga penasaran. Paling tidak aku mengantungi beberapa informasi sebelum aku berlatih bukan? Berbaur bagiku tidak sulit, tapi paling tidak aku harus punya sesuatu untuk diketahui.
Yena menarik tanganku dan menuju tempat ganti karyawan di belakang.
Disitulah Yena mulai bercerita tentang Cho Taehyung, Boss pemilik Cafe Blind ini.
Ternyata, Cafe ini bukan satu-satunya milik di boss itu. Dia memiliki perusahaan yang bergerak dibidang makanan dan minuman. Perusahaan Taehyung adalah Lion Corp. Termasuk perusahaan kelas atas yang terkenal.
Yena bercerita kalau Cafe kecil ini tidak ada apa-apanya dibanding Lion Corp. Tapi, Taehyung sangat menyayangi Cafe ini, dia memberi perhatian penuh pada Cafe ini.
Bahkan Taehyung mau menyelenggarakan acara pertunangannya disini. Hari pentingnya.
Dari kabar yang beredar, Cafe ini keinginan Ibu Taehyung sebelum meinggal. Makanya Cafe ini sangat diperhatikan. Padahal tanpa Cafe ini pun Lion Corp sanggup menghidupi taehyung dan Adik semata wayangnya hingga keturunan ketujuh.
Dan satu kabar lagi, perbedaan umur Taehyung dan adiknya cukup jauh.
Gosipnya kalau Yeonjun bukan adik kandung Taehyung, karena ayahnya selingkuh. Sampai sang ibu meninggal. Tapi, semua itu seolah terbantahkan karena Taehyung benar-benar menunjukan kepeduliannya dan kasihsayang besar pada sang Adik.
Bahkan saat Taehyung sudah disahkan menjalankan Lion Corp karena sang ayah yang meninggal, Taehyung tetap mengurus Adiknya dengan tangannya sendiri, tanpa melibatkan siapapun.
Taehyung terkenal dingin dan kaku. Dia tidak dekat dengan keluarga manapun selain nenek dari ibunya di Daegu. Nenek mereka ingin tetap berada disana karena kenangan bersama kakek mereka sangat banyak. Ia merasa berat jika harus bergabung bersama Taehyung disini.
Sebenarnya Taehyung memiliki rumah bak istana, tapi anehnya Taehyung menjualnya lalu uangnya disumbangkan kepada salah satu panti asuhan di Daegu. Dia memilih apartemen bak penthouse untuk ditempati bersama adiknya.
Bilang saja Taehyung gila.
Tapi dikepalaku, Taehyung pasti memiliki alasan tersendiri sampai dia bisa melakukan ssemua itu, bahkan mengapa dia bisa dingin dan kaku seperti sekarang.
Mendengar ocehan Yena, aku jadi was-was.
Apakah aku bisa bertahan menghadapi bossku itu selama beberapa minggu kedepan? Adiknya juga, apakah dia juga dingin dan kaku seperti kakaknya? yena bilang adik Taehyung adalah seorang namja.
Waduh, aku semakin gugup.
**
Saat ini aku berada didepan pintu apartemen bossku, si Cho Taehyung itu. Setelah aku meminta alamatnya pada manajer, aku langsung menuju kesini. kurasa aku sudah terlambat 30 menit karena macet dijalan tadi.
Aku bukan orang yang tidak disiplin, tapi sore ini benar-benar macet. Bukan hanya aku yang menggerutu, banyak sekelilingku saat naik bus tadi yang mengomel. Katanya sih didepan jalan sana ada terjadi kecelakaan mobil.
Setelah menekan bel, pintu apartemen lalu terbuka. Aku kaget karena yang membuka bukan bossku, tapi seorang anak lelaki yang ku yakini bukan asisten rumah tangga atau pembantunya. Dia tampan, rapi dan manis. Kurasa umurnya lebih muda dariku.
"Halo Noona. Silahkan masuk."
Anak lelaki dihadapanku menyambutku dengan senyuman manisnya. Wajahnya sumringah, aku heran mengapa juga Ia memasang wajah begitu.

"Silahkan duduk Noona. Aku Yeonjun, adik Tae-Hyung."
Aku sontak berdiri dan membungkuk. "Oh maaf. Aku Lee Eun Hye, pegawainya di Cafe Blind." Wajahku memerah karena malu, kupikir dia siapa, ternyata adik Tuan Cho yang dibicarakannya tadi di Cafe.
"Santai saja Noona. Aku juga adik tingkatmu di Kampus. Qta di Fakultas yang sama, hanya beda jurusan. Aku jurusan Biola."
"Benarkah?" kedua bola mataku membola. Ah, wajar sih. Aku juga jarang membaur dengan adik tingkatku.
Dengan angkatanku saja, aku jarang berkumpul bersama. Teman saja aku tak punya. Yah, mereka dari kalangan atas tak mungkin mau berteman denganku yang berkuliah di universitas bagus itu karena beasiswa bukan?
"Semester lalu noona tampil diacara wisuda. Aku bahkan merekamnya." setelah berkata begitu, Ia malah semakin tersenyum kepadaku. Aku lalu membalas senyuman padanya walau kalah manis darinya. Dia lebih bersahabat dibanding kakaknya, ya, bossku itu.
Kurasa bisa bertahan jika ada anak ini dirumah, bukan hanya bersama bossku itu saja.
"Noona kesini untuk latihan bukan? Tadi Hyung sudah menelpon. Dia masih ada rapat jadi akan terlambat."
Aku hanya mengangguk karena bingung harus menanggapi seperti apa. Aku memang berharap tidak ada boss ku itu sih, karena pasti suasana akan tegang dan aku tak akan bisa berlatih dengan lebih baik.
"Akan ku ambilkan minum, noona tunggu sebentar ya.. Kalau mau melihat-lihat juga tak apa. Di ruangan ujung sana tempat Pianonya."
Setelah Yeonjung pergi, aku mulai mengambil napas sebanyak-banyaknya.
Sudah kakaknya tampan, Adiknya pun tampan. Aku semakin sesak saja disamping mereka. Apa mereka tidak terlalu maruk?
Oke berhenti membahas kedua kakak beradik itu. Aku harus fokus pada tujuanku kesini.
Aku berdiri dari sofa lalu mulai melihat-lihat keadaan apartemen itu. Figura foto mengelilingi dinding ruang tamu, foto masa kecil kedua kakak beradik itu pun ada. Lucu, menggemaskan. Kata-kata itu tepat untuk keduanya.
Yeonjun kecil sangat mirip dengan Taehyung kecil. Hanya saja Yeonjun memiliki mata yang sedikit lebih besar. Dan dari penglihatannya, Yeonjun banyak senyum. Beda dengan Taehyung yang berwajah dingin.
Oh Tuhan jangan bilang dia sejak dirahim memang memiliki wajah sekaku itu.
Aku terlalu asik melihat-lihat berbagai figura foto, sampai tak sadar jemariku menyentuh sebuah bingkai foto yang sangat mencuri perhatiannya. Sebuah foto pria dan wanita. Sangat manis.
Aku penasaran, ingin melihat lebih dekat lagi.
Aku mengerjap beberapa kali, perlahan ku dekatkan wajahku, jemariku mulai menyentuhnya.
dan..
Bukk!!!
Ahh!! Aku menjatuhkannya.
SIAL.
*
*
*
*
*
HAIII..
INI CERITA BARU TENTANG URI WINTER BEAR, KIM TAEHYUNG..
DISINI NAMA DIA CHO TAEHYUNG.. ADA ADEKNYA JUGA CHO YEONJUN.. ???
MEREKA EMANG MIRIP BANGET SIH..
DISINI AKU PAKE JIWON CHERRY BULET SEBAGAI CAST LEE EUN HYE.. AKU RASA VISUAL DIA DISINI COCOK AJA SAMA KARAKTER, GA RECEH, GA RAME, GA DINGIN JUGA, TAPI KALEM DAN MURAH SENYUM..
NEXT CHAPTER AKAN AKU JELASIN LEBIH DALAM TENTANG LATAR BELAKANG MEREKA YAAA...
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK♓?
OKE, SEE YOU IN NEXT CHAPTER ?
WITH LOVE,
KEKE ?
Bab 2
HAPPY READING !!!!!!
.
.
.
"Maaf, sungguh.. aku tidak sengaja.." Eunhye berulang kali meminta maaf kepada Yeonjun.
Ia tidak sengaja menjatuhkan sebuah figura foto saat sedang melihat-lihat keadaan apartemen. berbagai foto masa kecil Tuan Cho dan adiknya dilihat dari ujung hingga matanya terpaku pada salah satu foto yang membuatnya terperangah kaget.
"Tidak apa, noona. Santai saja.. Bisa diganti bingkai yang baru, kok." jawab Yeonjun menenangkan Eunhye yang sedari tadi memohon maaf dengan wajah cemasnya.
Eunhye juga cemas apabila Tuan Cho, sang boss mengetahui kelakuannya saat pertama kali datang dirumahnya. Bukan hal yang baik membuat masalah dihari pertama latihan, apalagi di apartemen sang boss. Bisa saja Ia dipecat hari ini juga.
"Aku tidak akan melaporkan pada Hyung, tenang saja noona.." Yeonjun tersenyum setelah mengambil foto dari serpihan kaca yang sedang dibersihkan Eunhye.
Eunhye tersenyum getir, ternyata adik sang boss itu juga bisa membaca kecemasan lain diwajah Eunhye selain tak enak pada Yeonjun dan merasa bersalah merusak bingkai foto tersebut.
Eunhye tetap beberapa kali masih meminta maaf dengan wajah takut-takutnya.
Drrtt..
Drrtt..
"Halo hyung?"
"................................"
"Dia masih disini."
"..............................."
"Belum, dia menunggumu."
"................................"
"Oke."
Beep..
Eunhye mencuci tangan setelah selesai membersihkan semua serpihan kaca, lalu kembali menemui Yeonjun diruang piano. Dia bersama Yeonjun membersihkan kekacauan itu, hanya saja Eunhye sengaja berlama-lama di dapur membersihkan yang lain.
Dia benar-benar tak enak hati. Sembari mengatur gugupnya, ia menegak beberapa gelas air. Padahal Yeonjun sudah menuju ruang piano.
Langkah Eunhye tiba di bangku panjang yang diduduki Yeonjun. Yeonjun masih menatapi lembar kertas list lagu yang harus dipelajari Eunhye. List yang diberikan Taehyung, sang boss.
Eunhye mendaratkan tubuhnya disisi Yeonjun, dan tersenyum tenang saat melihat Yeonjun menoleh menatapnya.
"30 menit lagi hyung datang."
Eunhye mendengar samar-samar tadi percakapan Yeonjun dan Taehyung melalui telpon saat menuju ruang piano. Ia was-was, mungkin saja Yeonjun berbohong dan akan melaporkan kelakuan buruknya dihari pertama latihan.
"Terima kasih tidak melaporkan kekacauan ini."
Yeonjun tersenyum lalu menepuk bantalan kursi sebelahnya, tepat didepan piano klasik di sudut ruangan. "Aku kan sudah bilang tidak akan lapor. Noona tidak perlu khawatir, anggap saja hari ini tidak terjadi apapa."
Eunhye menarik napas panjangnya. Sikap ramah Yeonjun membuatnya merasa diterima dan dianggap teman. Walaupun selama ini temannya hanya anak panti, sekarang Ia bisa merasakan memiliki teman baru diluar panti.
"Maaf, kalau boleh aku tanya, siapa wanita difoto tadi?" tanya Eunhye hati-hati. Ia tak dapat menahan rasa penasarannya sedari tadi saat memandang wajah Yeonjun yang duduk tepat disebelahnya itu.
Yeonjun tersenyum lalu menghela napas panjang. "My Angel, mungkin?"
Eunhye masih mencerna baik-baik perkataan Yeonjun, 'malaikatnya'? Apakah itu pacar, tunangan, atau?
"Dia sudah meninggal 3 tahun yang lalu." Yeonjun menarik napas dalam kembali. Dalam senyumannya, tersirat pilu dan perih yang tertahan. Sedangkan disebelahnya Eunhye membelalak matanya, Ia bisa melihat jelas perasaan Yeonjun yang sesungguhnya dari raut wajah. Wajah sendu itu, wajah yang menyimpan banyak luka.
Eunhye memang pernah merasakannya saat seorang teman di pantinya meninggal karena sakit. Saat itu Eunhye tidak tahu penyakit apa, karena Ibu Kim tidak mau menceritakan apapun. Tapi, saat Ia SMA di tahun akhir, Ia menyadari, 'SAKIT' apa yang membuat teman pantinya itu sampai meninggal.
"Kami berteman sejak kecil, dan saat memasuki SMA, aku berpacaran dengannya." Eunhye mendengar dengan seksama, hatinya mendadak sendu. Apalagi melihat wajah pilu Yeonjun disampingnya.
Kenapa harus tentang urusan hati, sih? Eunhye jadi mengingat masa lalunya juga. Jadi mengingat bahwa dulu dia juga pernah merasakan itu. Rasa yang hampir saja membuatnya hancur. Membuatnya sempat kehilangan harapan.
"Wajahnya--"
"Ya... Dia mirip denganmu, noona." Yeonjun tersenyum memandang wajah Eunhye lekat-lekat.
Ting!!
"Itu pasti hyung. Latihanlah dengan santai dan baik. Hyung memang dingin. Tapi dia orang yang baik, kok." setelah mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak menenangkan bagi Eunhye, Yeonjun segera melangkahkan kaki meninggalkan ruang piano menuju kamarnya.
Eunhye bertukar senyum dengan Yeonjun seperti salam perpisahan. Yeonjun sudah menghilang dari ruang piano. Eunhye sebenarnya gugup, Ia tahu Taehyung si bossnya itu tidak seperti Yeonjun yang ramah.
Eunhye terpikir sejenak, bagaimana proses latihan ini dengan sikap Taehyung yang cukup dingin dan kaku. Obrolan seperti apa yang harus dia lakukan agar latihannya bisa santai. Atau mungkin dia tak perlu melakukan apapun dan menunggu instruksi saja, atau mungkin Taehyung hanya memantaunya.
Tapi beberapa lagu di list adalah lagu yang akan dinyanyikan Taehyung di hari pertunangan. Dan harus berlatih bersama. Setidaknya Eunhye harus memberi beberapa saran dan pertimbangan.
Tapi bagaimana cara memulainya. Apakah Eunhye harus bersikap sebagai pemain piano yang mengiring saja atau berlaku seperti biasa Eunhye di kampus sebagai pelatih dan asisten dosen. Ia merasa tak enak hati kalau harus bersikap seolah guru kepada boss nya itu.
Terdengar langkah kaki di tangga, Eunhye meyakini itu langkah kaki Taehyung karena kamar Taehyung diatas, sedangkan Yeonjun satu lantai dengan ruang piano. Yeonjun sudah menjelaskan beberapa hal didalam penthouse ini. Termasuk untuk memasuki kamar Taehyung harus menggunakan scan bola mata kanan Taehyung.
Entah apa yang ada didalam kamar itu, Yeonjun pun tak memedulikannya karena kamar Yeonjun pun memakai sidik jari.
Apa saja yang disembunyikan kedua kakak beradik itu dikamar sampai harus menggunakan sistem keamanan seperti itu. Rahasia negara? Atau jangan-jangan mereka agen FBI atau CIA? Eunhye tidak peduli. Selama dia tidak di sandera disini.
Eunhye memainkan piano itu sembari menunggu Taehyung turun kembali. Ia yakin bossnya itu masih membersihkan diri terlebih dahulu barulah latihan bersama.
"Sudah pemanasan?" suara berat itu membuat Eunhye sontak membalikan badan.
"A-ah.. Sedikit Tuan.."
"Saya mandi dulu, baru kita latihan bersama. Ada makanan dimeja, siapkan itu untuk makan malam.."
Mandi? Eunhye pikir tadi dia sudah mandi sampai lama begitu. Suara ditangga tadi juga suara langkah kakinya kan? Atau pendengaran Eunhye sudah mulai memburuk.
Entahlah.
Eunhye tidak mau pusing.
Ia menjalankan apa titah sang boss untuk meletakan makanan di meja.
Penthouse sebesar ini dan mereka hanya berdua.
WOW!
Apakah tidak sepi? Kalau Eunhye sih tak masalah karena dia memang menyukainya.
Tapi, kalau begini kan mereka jadi mengurus semuanya sendiri. Tidak ada yang masak, tidak ada yang menemani atau menyambut.
Suara berat Taehyung tadi sebenarnya membuat suasana terkesan horor. Setelah memberi perintah dengan wajah tanpa ekspresi, sang boss meninggalkan Eunhye begitu saja.
Eunhye kembali ke hadapan piano klasik antik itu setelah melakukan apa yang diperintahkan sang boss. Ia memainkan tuts sembari menunggu.
Namun telinganya menangkap langkah kaki seseorang yang mendekat.
"Noona, Hyung mengajak makan bersama." Yeonjun tersenyum menunggu Eunhye yang masih terdiam.
"Serius? Maksudku, aku kan hanya--"
"Hyung yang mengajak, ayo.." Yeonjun mengedikan alisnya lalu tersenyum hangat, Eunhye segera berdiri dari dudukannya, menghela napas dalam.
Ia gugup, ini hari pertama ia bertemu sang boss, langsung disuruh latihan diapartemennya, bertemu adiknya, bahkan sekarang diajak makan bersama. Apa tidak terlalu cepat? Bahkan Eunhye masih merasakan was-was tentang ketidakhati-hatiannya yang menyebabkan foto Yeonjun bersama 'Angel'-nya itu pecah.
"Santai saja noona. Kan sudah kubilang, Hyung orang baik. Wajahnya saja yang jutek." diperjalanan Yeonjun menenangkan Eunhye sembari terkekeh pelan.
Ia melihat jelas wajah Eunhye yang gugup dan cemas. bahkan untuk tersenyum pun kakak tingkat perempuannya itu tak melakukannya.
**
Ini sudah memasuki minggu ke dua Eunhye berlatih bersama di penthouse bossnya.
Kalau diingat kembali, hari pertama latihan berjalan cukup hening. Eunhye memainkan tuts piano, dan Taehyung memperhatikan dengan seksama. Lagu yang seharusnya Taehyung nyanyikan pun Taehyung meminta Eunhye memainkan nadanya saja dulu. Taehyung belum berlatih bernyanyi dengannya sama sekali.
Selama latihan, Eunhye melakukan apapun yang diinstruksikan Taehyung. Kadang ia menangkap Yeonjun yang sedang mengintip memperhatikan mereka berdua.
Kadang pula adik tingkat jahilnya itu sengaja mengedipkan mata saat lewat, ia tersenyum nakal dan mengangkat kedua jempolnya.
Entah maksud apa dibalik itu, Eunhye menganggap hal itu hanya untuk lucu-lucuan saja.
Tapi yang membuat Eunhye penasaran, calon tunangan Taehyung belum pernah datang selama Eunhye berlatih. Sebenarnya Eunhye ingin bertanya pada Yeonjun. Tapi dia takut dikira terlalu ingin tahu atau melewati batas.
Kembali lagi, Eunhye ini hanyalah karyawan part time di Cafe Taehyung.
Selama dua minggu latihan, Eunhye jadi menarik kesimpulan sementara.
Taehyung itu kaku dan dingin. Namun dia memperhatikan secara detail. Seperti saat Eunhye menambah beberapa improve, Taehyung akan langsung bertanya 'Apakah kau mengubahnya?' , atau 'Apakah kau menambahkan bla bla bla?'. Bukan hanya itu. Taehyung bahkan tahu kalau Eunhye sedikit tidak nyaman kalau Taehyung dan Yeonjun menolak Eunhye untuk membersihkan peralatan makan setelah mereka makan bersama.
Jadi, Taehyung membiarkan, seolah tak peduli padahal Eunhye tahu kalau Taehyung sengaja membiarkan agar Eunhye juga merasa nyaman.
Berkali-kali Eunhye berkata pada Yeonjun kalau dia tak mau di anggap cuma numpang makan. Tak mau dianggap diistimewakan. Karena,dia ini orang baru dan hanyalah karyawan biasa.
Yeonjun memang selalu menolak anggapan Eunhye tersebut. Tetapi, pada akhirnya Yeonjun akan ikut membantu Eunhye kalau dia memang tak ada kesibukan.
Dari sepengetahuan Eunhye, Yeonjun sedang mengerjakan sesuatu. Sesuatu yang suatu saat nanti akan Yeonjun tunjukan pada Eunhye.
Hampir tiga hari ini, Eunhye memperhatikan cara Taehyung membuat kopi. Biasanya Ia hanya menunggu diruang piano saat Taehyung membuat kopi dan membawanya ke ruang piano. Eunhye sengaja berlama-lama didapur agar dapat melihat takaran yang disukai Taehyung.
Dan ya, Eunhye memutuskan membuat kopi untuk Taehyung. Ia sebenarnya sedang berusaha membuat suasana lebih baik. karena jujur saja. Tak ada yang berbeda selama dua minggu ini, Taehyung tetap kaku dan dingin, bahkan tak pernah tersenyum. Taehyung yang selalu pulang terlambat dengan membawa makan malam. Dan Yeonjun selalu yang menyapanya, mengajaknya bercerita tentang perkuliahan dan keadaan dikampus. Eunhye pun menceritakan kesibukan lainnya yang sedang mengerjakan skripsi sambil latihan piano untuk pertunangan kakaknya Yeonjun, Tuan Cho.
Latihan malam ini telah berakhir, namun ada sesuatu yang baru, dan cukup mengagetkan. Taehyung menawarkan untuk mengantar Eunhye pulang!
"Tidak usah, Tuan. Saya akan naik bus seperti biasa."
"Tapi ini sudah terlalu malam. Biarkan aku mengantarmu pulang."
"Itu tak masalah Tuan. Ini terjadi juga karena tadi saya terlalu lelah hingga ketiduran saat menunggu Tuan."
Hari ini saat Eunhye tiba di penthouse Taehyung, ada seorang lelaki bertubuh kekar, tinggi, dan memakai setelan jas yang sudah menunggu di depan pintu. Dia memperkenalkan diri sebagai suruhan Taehyung yang bertugas untuk membuka pintu. Hanya membuka pintu dan pergi.
Setelah lelaki itu menyodorkan sebuah kartu berlapis emas, pintu penthouse lalu terbuka.
Eunhye pikir si pria kekar itu akan menemaninya menunggu Taehyung.
Namun setelah membuka pintu malah pria itu langsung pamit pergi!
Apakah Taehyung memang segampang itu percaya pada orang baru?
Aneh!
Apa dua kakak beradik itu tidak takut ada yang hilang?
Ah, benar..
Setiap sudut ruangan ini pasti ada CCTV tak terlihat. Eunhye saja yang tidak tahu letak kamera pemantau itu ada dimana.
Awalnya Eunhye hanya duduk diruang tamu. Namun setelah hampir setengah jam menunggu, Eunhye hampir saha tertidur.
Ia memutuskan memainkan piano diruang piano sana agar tak mengantuk. Ternyata, sama saja!
Sampai disana dia tetap saja mengantuk.
Dan akhirnya memutuskan menaruh kepalanya diatas lipatan tangannya, berharap tidak ketiduran tapi tetap bisa menuruti matanya yang mau tertutup itu.
Eunhye ketiduran saat menunggu Tuan Cho, sekitar lebih dari 1 jam Ia tertidur. Tuan Cho memang sedang menghadiri rapat penting hingga sangat terlambat untuk pulang. Saat tiba di apartemen, tak ada Yeonjun dan hanya terlihat Eunhye yang sedang terlelap.
Tuan Cho kasihan jika harus membangunkannya, Ia terlihat sangat lelah. Apalagi saat tertidur seperti itu wajahnya sangat teduh dan damai, Ia jadi teringat wajah Yeonjun adik kecilnya saat tertidur.
Cho Taehyung sangat menyayangi sang adik. Sejak Yeonjun lahir, Ia adalah pihak paling menjaga dan melindungi sang adik. Ibu mereka meninggal saat melahirkan Yeonjun, dan ayahnya meninggal beberapa tahun setelah lahirnya Yeonjun karena stress akan kepergian sang istri.
Beruntung Taehyung sudah SMA sehingga sudah cukup kuat dan bertanggungjawab menjaga dan merawat Yeonjun dibantu sang nenek.
Nenek mereka tak mengijinkan siapapun dipekerjakan untuk menjaga kedua cucu kesayangannya itu. Sang nenek memilih untuk merawat dengan tangannya sendiri daripada menyerahkan kepada orang lain.
Itulah mengapa Taehyung terbiasa mengurus Yeonjun dan dirinya sendiri saat lulus SMA.
Taehyung tak mau menyusahkan neneknya yang sudah tua itu.
Semenjak meninggalnya sang ayah, seluruh warisan dari kedua orangtuanya menjadi tanggungjawab Taehyung. Awalnya dia kesulitan, namun bekal yang diberi sang ayah mampu membuat Taehyung sekuat dan setangguh sekarang. Taehyung sudah mengetahui sebagian rahasia yang membuatnya harus menjadi kuat dan tangguh seperti ini.
Kadang yang membuat orang menjadi seperti hari ini adalah karena masalalu mereka.
Bagi Taehyung, Yeonjun adalah satu-satunya alasan Ia berjuang dan melakukan segalanya hingga kini. Kebahagiaan Yeonjun adalah segalanya untuknya. Ia tak ada keluarga dekat lagi selain Yeonjun. Beban yang dipikulnya terasa ringan bila melihat tawa dan senyum Yeonjun.
Perihal sang nenek, warisan kakek mereka membuat nenek memiliki kesibukan dan pekerjaannya sendiri
Di Daegu, hampir 40% tanah adalah milik kakeknya. Sudah dibangun mall, perumahan, dan pabrik tertentu. Itulah mengapa sang nenek memilih tinggal di Daegu daripada di Seoul bersama Taehyung dan Yeonjun. Ada tanggungjawab yang harus dilakukannya.
"Aku tidak menerima penolakan malam ini. Masuk ke mobilku sekarang." titah Taehyung tegas lalu menyalakan mobilnya.
Eunhye yang mendengar kalimat tegas dan suara berat itu hanya bisa menurut. Bagi gadis itu tak masalah juga karena sudah terlalu larut memang, pukul 11 malam.
Ia hanya tak mau ada kesalah pahaman nantinya. Mungkin saja dijalan HaRi melihat mereka. Atau temannya HaRi.
Siapapun.
Setelah sampai diperumahan mahasiswa tempat Eunhye tinggal, Taehyung menghentikan mobilnya sebentar lalu menoleh pada Eunhye yang sedang tertidur. Sepertinya gadis itu benar-benar kelelahan. Ia mengerti dengan baik bagaimana usaha Eunhye bekerja sambil kuliah, karena dulu Ia melakukannya. Perasaannya menghangat.
"Eunhye.." panggil Taehyung pelan sembari mengguncang pundak Eunhye.
"Eunhye.. Lee Eunhye.."
Eunhye mengerjap matanya lalu menghembuskan napas kasar. Ia segera mengatur sikap dan wajahnya kala melihat sang boss sedang menatapnya lekat.
"A-ah.. Maaf Tuan, saya ketiduran lagi." ucap Eunhye serak karena belum sepenuhnya kembali dari dunia mimpi.
Taehyung mengangguk, Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Eunhye. Sontak Eunhye membuka lebar matanya menahan napas.
Klik!
"Turunlah. Nanti semakin larut. Kau sudah sangat lelah, bukan?" ucap Taehyung setelah membuka pintu Eunhye. Ia sadar Eunhye sedang stagnan dan menahan napasnya.
Taehyung menahan senyumnya, namun segera menegakan tubuhnya kembali di dudukannya. Ia masih setia menatap wajah Eunhye yang terdiam.
"Hei! Kau kenapa, sih?" ucap Taehyung dengan nada ejeknya, ia terkekeh samar.
"Ah.. Maaf Tuan. Saya sangat mengantuk.. Terima kasih. Saya pamit." Eunhye membungkuk setelah keluar dari mobil Taehyung dan menutup pintu pelan. Taehyung yang melihatnya tersenyum menggeleng pelan kepalanya, lalu melajukan mobil pergi. Gadis itu begitu lucu. Ini bukan pertama kali Taehyung melihat wajah kikuk Eunhye.
Beberapa kali Taehyung tak sengaja menyentuh tangan Eunhye saat sedang latihan, atau tiba-tiba membawa minuman untuknya, semua itu membuat gadis yang sebagai karyawannya itu stagnan dan wajahnya memerah.
**
"Besok ulang tahun
Hyung. Datang yaa..
Aku mengundangmu,
Noona.."
"Baiklah, tapi bagaimana
dengan Tuan Cho? Apakah
dia akan setuju?"
"Dia akan setuju jika aku
yang mengatakannya.
Yang penting
Noona harus datang.
Oke?"
"Oke.. Terima kasih
sudah mengundangku."
Eunhye tengah sibuk memilih pakaian yang dirasa cocok untuk menghadiri acara ulang tahun sang boss. Walaupun bukan acara resmi, tetap saja Ia gugup. Ia diundang oleh Yeonjun bukan bossnya sendiri. Sebenarnya Ia malu, namun Ia memberanikan diri untuk datang. Selain karena ia sudah menganggap Yeonjun sebagai adiknya sendiri, Yeonjun juga sangat manis dan sopan padanya.
Setelah tiba didepan pintu apartemen sang boss, Eunhye mengetik pesan pada Yeonjun untuk membuka pintu. Ia begitu gugup dan cemas hingga membutuhkan bantuan Yeonjun agar selalu disisinya. Ia takut malah sang boss tak menerima dirinya ikut dalam perayaan ulang tahun. Ini merupakan acara privasi, dan Eunhye hanya seorang karyawan yang belum sebulan mengenal dan dekat dengan mereka.

"Woah.. Noona, kau cantiikkkk sekali." Yeonjun memuji gadis yang lebih tua 2 tahun darinya itu.
Eunhye mengenakan gaun putih sederhana, karena selama ini uangnya untuk kebutuhan hidupnya, bukan untuk mengoleksi pakaian seperti gadis lain. Gaun putih ini saja hadiah ulang tahun dari Ibu Kim padanya.
"Terimakasih, Jun.." ungkap Eunhye malu-malu. Senyuman Yeonjun dan matanya yang meneliti setiap inci tubuh Eunhye sukses membuat dadanya berdebar. Ia semakin gugup malam itu.
Hingga suara seorang wanita menginterupsi keduanya yang tengah terdiam dan hanya saling tatap.
"Siapa?"
.
.
.
.
SEE YOU NEXT CHAPTER!!
HAI..
MINTA TANGGAPANNYA DONG TENTANG CERITA INI.
TENTANG KARAKTER MASING-MASING TOKOH..
JANGAN LUPA CEK STORYKU "SCATTERBRAIN" ???
ITU STORY PERTAMAKU DAN INI STORY KEDUAKU... SILAHKAN AJAK TEMAN-TEMAN KALIAN UNTUK BACA DAN SHARE JUGA YAAA..

TAEHYUNG : "JANGAN LUPA KOMEN DAN VOTE!!"

YEONJUN : "JANGAN LUPA ADD DI DAFTAR BACAAN KALIAN YAAAA!"

WITH LOVE,
KEKE ?



HAPPY READING !!!!!!
.
.
.
"Maaf, sungguh.. aku tidak sengaja.." Eunhye berulang kali meminta maaf kepada Yeonjun.
Ia tidak sengaja menjatuhkan sebuah figura foto saat sedang melihat-lihat keadaan apartemen. berbagai foto masa kecil Tuan Cho dan adiknya dilihat dari ujung hingga matanya terpaku pada salah satu foto yang membuatnya terperangah kaget.
"Tidak apa, noona. Santai saja.. Bisa diganti bingkai yang baru, kok." jawab Yeonjun menenangkan Eunhye yang sedari tadi memohon maaf dengan wajah cemasnya.
Eunhye juga cemas apabila Tuan Cho, sang boss mengetahui kelakuannya saat pertama kali datang dirumahnya. Bukan hal yang baik membuat masalah dihari pertama latihan, apalagi di apartemen sang boss. Bisa saja Ia dipecat hari ini juga.
"Aku tidak akan melaporkan pada Hyung, tenang saja noona.." Yeonjun tersenyum setelah mengambil foto dari serpihan kaca yang sedang dibersihkan Eunhye.
Eunhye tersenyum getir, ternyata adik sang boss itu juga bisa membaca kecemasan lain diwajah Eunhye selain tak enak pada Yeonjun dan merasa bersalah merusak bingkai foto tersebut.
Eunhye tetap beberapa kali masih meminta maaf dengan wajah takut-takutnya.
Drrtt..
Drrtt..
"Halo hyung?"
"................................"
"Dia masih disini."
"..............................."
"Belum, dia menunggumu."
"................................"
"Oke."
Beep..
Eunhye mencuci tangan setelah selesai membersihkan semua serpihan kaca, lalu kembali menemui Yeonjun diruang piano. Dia bersama Yeonjun membersihkan kekacauan itu, hanya saja Eunhye sengaja berlama-lama di dapur membersihkan yang lain.
Dia benar-benar tak enak hati. Sembari mengatur gugupnya, ia menegak beberapa gelas air. Padahal Yeonjun sudah menuju ruang piano.
Langkah Eunhye tiba di bangku panjang yang diduduki Yeonjun. Yeonjun masih menatapi lembar kertas list lagu yang harus dipelajari Eunhye. List yang diberikan Taehyung, sang boss.
Eunhye mendaratkan tubuhnya disisi Yeonjun, dan tersenyum tenang saat melihat Yeonjun menoleh menatapnya.
"30 menit lagi hyung datang."
Eunhye mendengar samar-samar tadi percakapan Yeonjun dan Taehyung melalui telpon saat menuju ruang piano. Ia was-was, mungkin saja Yeonjun berbohong dan akan melaporkan kelakuan buruknya dihari pertama latihan.
"Terima kasih tidak melaporkan kekacauan ini."
Yeonjun tersenyum lalu menepuk bantalan kursi sebelahnya, tepat didepan piano klasik di sudut ruangan. "Aku kan sudah bilang tidak akan lapor. Noona tidak perlu khawatir, anggap saja hari ini tidak terjadi apapa."
Eunhye menarik napas panjangnya. Sikap ramah Yeonjun membuatnya merasa diterima dan dianggap teman. Walaupun selama ini temannya hanya anak panti, sekarang Ia bisa merasakan memiliki teman baru diluar panti.
"Maaf, kalau boleh aku tanya, siapa wanita difoto tadi?" tanya Eunhye hati-hati. Ia tak dapat menahan rasa penasarannya sedari tadi saat memandang wajah Yeonjun yang duduk tepat disebelahnya itu.
Yeonjun tersenyum lalu menghela napas panjang. "My Angel, mungkin?"
Eunhye masih mencerna baik-baik perkataan Yeonjun, 'malaikatnya'? Apakah itu pacar, tunangan, atau?
"Dia sudah meninggal 3 tahun yang lalu." Yeonjun menarik napas dalam kembali. Dalam senyumannya, tersirat pilu dan perih yang tertahan. Sedangkan disebelahnya Eunhye membelalak matanya, Ia bisa melihat jelas perasaan Yeonjun yang sesungguhnya dari raut wajah. Wajah sendu itu, wajah yang menyimpan banyak luka.
Eunhye memang pernah merasakannya saat seorang teman di pantinya meninggal karena sakit. Saat itu Eunhye tidak tahu penyakit apa, karena Ibu Kim tidak mau menceritakan apapun. Tapi, saat Ia SMA di tahun akhir, Ia menyadari, 'SAKIT' apa yang membuat teman pantinya itu sampai meninggal.
"Kami berteman sejak kecil, dan saat memasuki SMA, aku berpacaran dengannya." Eunhye mendengar dengan seksama, hatinya mendadak sendu. Apalagi melihat wajah pilu Yeonjun disampingnya.
Kenapa harus tentang urusan hati, sih? Eunhye jadi mengingat masa lalunya juga. Jadi mengingat bahwa dulu dia juga pernah merasakan itu. Rasa yang hampir saja membuatnya hancur. Membuatnya sempat kehilangan harapan.
"Wajahnya--"
"Ya... Dia mirip denganmu, noona." Yeonjun tersenyum memandang wajah Eunhye lekat-lekat.
Ting!!
"Itu pasti hyung. Latihanlah dengan santai dan baik. Hyung memang dingin. Tapi dia orang yang baik, kok." setelah mengucapkan kalimat yang sebenarnya tak menenangkan bagi Eunhye, Yeonjun segera melangkahkan kaki meninggalkan ruang piano menuju kamarnya.
Eunhye bertukar senyum dengan Yeonjun seperti salam perpisahan. Yeonjun sudah menghilang dari ruang piano. Eunhye sebenarnya gugup, Ia tahu Taehyung si bossnya itu tidak seperti Yeonjun yang ramah.
Eunhye terpikir sejenak, bagaimana proses latihan ini dengan sikap Taehyung yang cukup dingin dan kaku. Obrolan seperti apa yang harus dia lakukan agar latihannya bisa santai. Atau mungkin dia tak perlu melakukan apapun dan menunggu instruksi saja, atau mungkin Taehyung hanya memantaunya.
Tapi beberapa lagu di list adalah lagu yang akan dinyanyikan Taehyung di hari pertunangan. Dan harus berlatih bersama. Setidaknya Eunhye harus memberi beberapa saran dan pertimbangan.
Tapi bagaimana cara memulainya. Apakah Eunhye harus bersikap sebagai pemain piano yang mengiring saja atau berlaku seperti biasa Eunhye di kampus sebagai pelatih dan asisten dosen. Ia merasa tak enak hati kalau harus bersikap seolah guru kepada boss nya itu.
Terdengar langkah kaki di tangga, Eunhye meyakini itu langkah kaki Taehyung karena kamar Taehyung diatas, sedangkan Yeonjun satu lantai dengan ruang piano. Yeonjun sudah menjelaskan beberapa hal didalam penthouse ini. Termasuk untuk memasuki kamar Taehyung harus menggunakan scan bola mata kanan Taehyung.
Entah apa yang ada didalam kamar itu, Yeonjun pun tak memedulikannya karena kamar Yeonjun pun memakai sidik jari.
Apa saja yang disembunyikan kedua kakak beradik itu dikamar sampai harus menggunakan sistem keamanan seperti itu. Rahasia negara? Atau jangan-jangan mereka agen FBI atau CIA? Eunhye tidak peduli. Selama dia tidak di sandera disini.
Eunhye memainkan piano itu sembari menunggu Taehyung turun kembali. Ia yakin bossnya itu masih membersihkan diri terlebih dahulu barulah latihan bersama.
"Sudah pemanasan?" suara berat itu membuat Eunhye sontak membalikan badan.
"A-ah.. Sedikit Tuan.."
"Saya mandi dulu, baru kita latihan bersama. Ada makanan dimeja, siapkan itu untuk makan malam.."
Mandi? Eunhye pikir tadi dia sudah mandi sampai lama begitu. Suara ditangga tadi juga suara langkah kakinya kan? Atau pendengaran Eunhye sudah mulai memburuk.
Entahlah.
Eunhye tidak mau pusing.
Ia menjalankan apa titah sang boss untuk meletakan makanan di meja.
Penthouse sebesar ini dan mereka hanya berdua.
WOW!
Apakah tidak sepi? Kalau Eunhye sih tak masalah karena dia memang menyukainya.
Tapi, kalau begini kan mereka jadi mengurus semuanya sendiri. Tidak ada yang masak, tidak ada yang menemani atau menyambut.
Suara berat Taehyung tadi sebenarnya membuat suasana terkesan horor. Setelah memberi perintah dengan wajah tanpa ekspresi, sang boss meninggalkan Eunhye begitu saja.
Eunhye kembali ke hadapan piano klasik antik itu setelah melakukan apa yang diperintahkan sang boss. Ia memainkan tuts sembari menunggu.
Namun telinganya menangkap langkah kaki seseorang yang mendekat.
"Noona, Hyung mengajak makan bersama." Yeonjun tersenyum menunggu Eunhye yang masih terdiam.
"Serius? Maksudku, aku kan hanya--"
"Hyung yang mengajak, ayo.." Yeonjun mengedikan alisnya lalu tersenyum hangat, Eunhye segera berdiri dari dudukannya, menghela napas dalam.
Ia gugup, ini hari pertama ia bertemu sang boss, langsung disuruh latihan diapartemennya, bertemu adiknya, bahkan sekarang diajak makan bersama. Apa tidak terlalu cepat? Bahkan Eunhye masih merasakan was-was tentang ketidakhati-hatiannya yang menyebabkan foto Yeonjun bersama 'Angel'-nya itu pecah.
"Santai saja noona. Kan sudah kubilang, Hyung orang baik. Wajahnya saja yang jutek." diperjalanan Yeonjun menenangkan Eunhye sembari terkekeh pelan.
Ia melihat jelas wajah Eunhye yang gugup dan cemas. bahkan untuk tersenyum pun kakak tingkat perempuannya itu tak melakukannya.
**
Ini sudah memasuki minggu ke dua Eunhye berlatih bersama di penthouse bossnya.
Kalau diingat kembali, hari pertama latihan berjalan cukup hening. Eunhye memainkan tuts piano, dan Taehyung memperhatikan dengan seksama. Lagu yang seharusnya Taehyung nyanyikan pun Taehyung meminta Eunhye memainkan nadanya saja dulu. Taehyung belum berlatih bernyanyi dengannya sama sekali.
Selama latihan, Eunhye melakukan apapun yang diinstruksikan Taehyung. Kadang ia menangkap Yeonjun yang sedang mengintip memperhatikan mereka berdua.
Kadang pula adik tingkat jahilnya itu sengaja mengedipkan mata saat lewat, ia tersenyum nakal dan mengangkat kedua jempolnya.
Entah maksud apa dibalik itu, Eunhye menganggap hal itu hanya untuk lucu-lucuan saja.
Tapi yang membuat Eunhye penasaran, calon tunangan Taehyung belum pernah datang selama Eunhye berlatih. Sebenarnya Eunhye ingin bertanya pada Yeonjun. Tapi dia takut dikira terlalu ingin tahu atau melewati batas.
Kembali lagi, Eunhye ini hanyalah karyawan part time di Cafe Taehyung.
Selama dua minggu latihan, Eunhye jadi menarik kesimpulan sementara.
Taehyung itu kaku dan dingin. Namun dia memperhatikan secara detail. Seperti saat Eunhye menambah beberapa improve, Taehyung akan langsung bertanya 'Apakah kau mengubahnya?' , atau 'Apakah kau menambahkan bla bla bla?'. Bukan hanya itu. Taehyung bahkan tahu kalau Eunhye sedikit tidak nyaman kalau Taehyung dan Yeonjun menolak Eunhye untuk membersihkan peralatan makan setelah mereka makan bersama.
Jadi, Taehyung membiarkan, seolah tak peduli padahal Eunhye tahu kalau Taehyung sengaja membiarkan agar Eunhye juga merasa nyaman.
Berkali-kali Eunhye berkata pada Yeonjun kalau dia tak mau di anggap cuma numpang makan. Tak mau dianggap diistimewakan. Karena,dia ini orang baru dan hanyalah karyawan biasa.
Yeonjun memang selalu menolak anggapan Eunhye tersebut. Tetapi, pada akhirnya Yeonjun akan ikut membantu Eunhye kalau dia memang tak ada kesibukan.
Dari sepengetahuan Eunhye, Yeonjun sedang mengerjakan sesuatu. Sesuatu yang suatu saat nanti akan Yeonjun tunjukan pada Eunhye.
Hampir tiga hari ini, Eunhye memperhatikan cara Taehyung membuat kopi. Biasanya Ia hanya menunggu diruang piano saat Taehyung membuat kopi dan membawanya ke ruang piano. Eunhye sengaja berlama-lama didapur agar dapat melihat takaran yang disukai Taehyung.
Dan ya, Eunhye memutuskan membuat kopi untuk Taehyung. Ia sebenarnya sedang berusaha membuat suasana lebih baik. karena jujur saja. Tak ada yang berbeda selama dua minggu ini, Taehyung tetap kaku dan dingin, bahkan tak pernah tersenyum. Taehyung yang selalu pulang terlambat dengan membawa makan malam. Dan Yeonjun selalu yang menyapanya, mengajaknya bercerita tentang perkuliahan dan keadaan dikampus. Eunhye pun menceritakan kesibukan lainnya yang sedang mengerjakan skripsi sambil latihan piano untuk pertunangan kakaknya Yeonjun, Tuan Cho.
Latihan malam ini telah berakhir, namun ada sesuatu yang baru, dan cukup mengagetkan. Taehyung menawarkan untuk mengantar Eunhye pulang!
"Tidak usah, Tuan. Saya akan naik bus seperti biasa."
"Tapi ini sudah terlalu malam. Biarkan aku mengantarmu pulang."
"Itu tak masalah Tuan. Ini terjadi juga karena tadi saya terlalu lelah hingga ketiduran saat menunggu Tuan."
Hari ini saat Eunhye tiba di penthouse Taehyung, ada seorang lelaki bertubuh kekar, tinggi, dan memakai setelan jas yang sudah menunggu di depan pintu. Dia memperkenalkan diri sebagai suruhan Taehyung yang bertugas untuk membuka pintu. Hanya membuka pintu dan pergi.
Setelah lelaki itu menyodorkan sebuah kartu berlapis emas, pintu penthouse lalu terbuka.
Eunhye pikir si pria kekar itu akan menemaninya menunggu Taehyung.
Namun setelah membuka pintu malah pria itu langsung pamit pergi!
Apakah Taehyung memang segampang itu percaya pada orang baru?
Aneh!
Apa dua kakak beradik itu tidak takut ada yang hilang?
Ah, benar..
Setiap sudut ruangan ini pasti ada CCTV tak terlihat. Eunhye saja yang tidak tahu letak kamera pemantau itu ada dimana.
Awalnya Eunhye hanya duduk diruang tamu. Namun setelah hampir setengah jam menunggu, Eunhye hampir saha tertidur.
Ia memutuskan memainkan piano diruang piano sana agar tak mengantuk. Ternyata, sama saja!
Sampai disana dia tetap saja mengantuk.
Dan akhirnya memutuskan menaruh kepalanya diatas lipatan tangannya, berharap tidak ketiduran tapi tetap bisa menuruti matanya yang mau tertutup itu.
Eunhye ketiduran saat menunggu Tuan Cho, sekitar lebih dari 1 jam Ia tertidur. Tuan Cho memang sedang menghadiri rapat penting hingga sangat terlambat untuk pulang. Saat tiba di apartemen, tak ada Yeonjun dan hanya terlihat Eunhye yang sedang terlelap.
Tuan Cho kasihan jika harus membangunkannya, Ia terlihat sangat lelah. Apalagi saat tertidur seperti itu wajahnya sangat teduh dan damai, Ia jadi teringat wajah Yeonjun adik kecilnya saat tertidur.
Cho Taehyung sangat menyayangi sang adik. Sejak Yeonjun lahir, Ia adalah pihak paling menjaga dan melindungi sang adik. Ibu mereka meninggal saat melahirkan Yeonjun, dan ayahnya meninggal beberapa tahun setelah lahirnya Yeonjun karena stress akan kepergian sang istri.
Beruntung Taehyung sudah SMA sehingga sudah cukup kuat dan bertanggungjawab menjaga dan merawat Yeonjun dibantu sang nenek.
Nenek mereka tak mengijinkan siapapun dipekerjakan untuk menjaga kedua cucu kesayangannya itu. Sang nenek memilih untuk merawat dengan tangannya sendiri daripada menyerahkan kepada orang lain.
Itulah mengapa Taehyung terbiasa mengurus Yeonjun dan dirinya sendiri saat lulus SMA.
Taehyung tak mau menyusahkan neneknya yang sudah tua itu.
Semenjak meninggalnya sang ayah, seluruh warisan dari kedua orangtuanya menjadi tanggungjawab Taehyung. Awalnya dia kesulitan, namun bekal yang diberi sang ayah mampu membuat Taehyung sekuat dan setangguh sekarang. Taehyung sudah mengetahui sebagian rahasia yang membuatnya harus menjadi kuat dan tangguh seperti ini.
Kadang yang membuat orang menjadi seperti hari ini adalah karena masalalu mereka.
Bagi Taehyung, Yeonjun adalah satu-satunya alasan Ia berjuang dan melakukan segalanya hingga kini. Kebahagiaan Yeonjun adalah segalanya untuknya. Ia tak ada keluarga dekat lagi selain Yeonjun. Beban yang dipikulnya terasa ringan bila melihat tawa dan senyum Yeonjun.
Perihal sang nenek, warisan kakek mereka membuat nenek memiliki kesibukan dan pekerjaannya sendiri
Di Daegu, hampir 40% tanah adalah milik kakeknya. Sudah dibangun mall, perumahan, dan pabrik tertentu. Itulah mengapa sang nenek memilih tinggal di Daegu daripada di Seoul bersama Taehyung dan Yeonjun. Ada tanggungjawab yang harus dilakukannya.
"Aku tidak menerima penolakan malam ini. Masuk ke mobilku sekarang." titah Taehyung tegas lalu menyalakan mobilnya.
Eunhye yang mendengar kalimat tegas dan suara berat itu hanya bisa menurut. Bagi gadis itu tak masalah juga karena sudah terlalu larut memang, pukul 11 malam.
Ia hanya tak mau ada kesalah pahaman nantinya. Mungkin saja dijalan HaRi melihat mereka. Atau temannya HaRi.
Siapapun.
Setelah sampai diperumahan mahasiswa tempat Eunhye tinggal, Taehyung menghentikan mobilnya sebentar lalu menoleh pada Eunhye yang sedang tertidur. Sepertinya gadis itu benar-benar kelelahan. Ia mengerti dengan baik bagaimana usaha Eunhye bekerja sambil kuliah, karena dulu Ia melakukannya. Perasaannya menghangat.
"Eunhye.." panggil Taehyung pelan sembari mengguncang pundak Eunhye.
"Eunhye.. Lee Eunhye.."
Eunhye mengerjap matanya lalu menghembuskan napas kasar. Ia segera mengatur sikap dan wajahnya kala melihat sang boss sedang menatapnya lekat.
"A-ah.. Maaf Tuan, saya ketiduran lagi." ucap Eunhye serak karena belum sepenuhnya kembali dari dunia mimpi.
Taehyung mengangguk, Ia lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Eunhye. Sontak Eunhye membuka lebar matanya menahan napas.
Klik!
"Turunlah. Nanti semakin larut. Kau sudah sangat lelah, bukan?" ucap Taehyung setelah membuka pintu Eunhye. Ia sadar Eunhye sedang stagnan dan menahan napasnya.
Taehyung menahan senyumnya, namun segera menegakan tubuhnya kembali di dudukannya. Ia masih setia menatap wajah Eunhye yang terdiam.
"Hei! Kau kenapa, sih?" ucap Taehyung dengan nada ejeknya, ia terkekeh samar.
"Ah.. Maaf Tuan. Saya sangat mengantuk.. Terima kasih. Saya pamit." Eunhye membungkuk setelah keluar dari mobil Taehyung dan menutup pintu pelan. Taehyung yang melihatnya tersenyum menggeleng pelan kepalanya, lalu melajukan mobil pergi. Gadis itu begitu lucu. Ini bukan pertama kali Taehyung melihat wajah kikuk Eunhye.
Beberapa kali Taehyung tak sengaja menyentuh tangan Eunhye saat sedang latihan, atau tiba-tiba membawa minuman untuknya, semua itu membuat gadis yang sebagai karyawannya itu stagnan dan wajahnya memerah.
**
"Besok ulang tahun
Hyung. Datang yaa..
Aku mengundangmu,
Noona.."
"Baiklah, tapi bagaimana
dengan Tuan Cho? Apakah
dia akan setuju?"
"Dia akan setuju jika aku
yang mengatakannya.
Yang penting
Noona harus datang.
Oke?"
"Oke.. Terima kasih
sudah mengundangku."
Eunhye tengah sibuk memilih pakaian yang dirasa cocok untuk menghadiri acara ulang tahun sang boss. Walaupun bukan acara resmi, tetap saja Ia gugup. Ia diundang oleh Yeonjun bukan bossnya sendiri. Sebenarnya Ia malu, namun Ia memberanikan diri untuk datang. Selain karena ia sudah menganggap Yeonjun sebagai adiknya sendiri, Yeonjun juga sangat manis dan sopan padanya.
Setelah tiba didepan pintu apartemen sang boss, Eunhye mengetik pesan pada Yeonjun untuk membuka pintu. Ia begitu gugup dan cemas hingga membutuhkan bantuan Yeonjun agar selalu disisinya. Ia takut malah sang boss tak menerima dirinya ikut dalam perayaan ulang tahun. Ini merupakan acara privasi, dan Eunhye hanya seorang karyawan yang belum sebulan mengenal dan dekat dengan mereka.

"Woah.. Noona, kau cantiikkkk sekali." Yeonjun memuji gadis yang lebih tua 2 tahun darinya itu.
Eunhye mengenakan gaun putih sederhana, karena selama ini uangnya untuk kebutuhan hidupnya, bukan untuk mengoleksi pakaian seperti gadis lain. Gaun putih ini saja hadiah ulang tahun dari Ibu Kim padanya.
"Terimakasih, Jun.." ungkap Eunhye malu-malu. Senyuman Yeonjun dan matanya yang meneliti setiap inci tubuh Eunhye sukses membuat dadanya berdebar. Ia semakin gugup malam itu.
Hingga suara seorang wanita menginterupsi keduanya yang tengah terdiam dan hanya saling tatap.
"Siapa?"
.
.
.
.
SEE YOU NEXT CHAPTER!

WITH LOVE,
KEKE ?
BAB 3
⚠️Ada maturecontent, BE WISE⚠️
Donotread under ?
I warn you!!!
.
.
.
HAPPY READING ^^
.
..
...
"Oh.. jadi kau pacarnya Yeonjun.. " ujar Ha Ri setelah mendudukan diri di sofa apartemen itu sambil memangku kaki kirinya.
Eunhye yang sedang duduk dihadapannya mengangguk kepalanya samar. Ia seperti sedang disidang. Namun perawakannya sungguh memancing emosi bagi Ha Ri.
Ini adalah pertemuan pertama Eunhye dan HaRi, calon tunangan Taehyung, si boss.
Boleh Eunhye mendeskripsikan Ha Ri?
Gadis ini sebenarnya cantik, kalau saja dia tidak jutek dan melirik orang lain dengan ekor matanya. Itu mengganggu tahu! Untung saja ini Eunhye. Dia tak peduli dan tak penting juga. Sudah terlalu sering manusia lain menatapnya sinis atau melirik dengan ekor mata, entah karena skill nya, kekurangannya, kelebihannya, atau karena sifat Eunhye yang sangat santai dan malas tahu.
Dan HaRi pun merasakan itu.
Percayalah sekarang HaRi sedang menahan emosinya.
Bagaimana ya, Eunhye tak memandangnya sedikitpun. Bahkan wajahnya tak menunjukan rasa terintimidasi sedikitpun. Bibirnya tak mengeluarkan sepatah katapun sejak wanita itu berbicara pertama kali.
Langkah kaki menhampiri keduanya, seperti secercah harapan di pagi hari, Eunhye mengembangkan senyuman saat melihat Yeonjun tadi mengambil alih dialog bersama calon kakak iparnya itu dengan mengakui Eunhye sebagai pacarnya.
Eunhye bukan antisosial, dia hanya tak suka diadili atau ditanyai hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dan tidak penting.
"Aku baru tahu calon adik iparku itu suka kepada wanita yang lebih tua. Mungkin saja dia dulu pernah menyukaiku—"
TIITTT..
"Pasti itu Hyung!"
Yeonjun kembali dengan segelas jus jeruk. Bunyi pintu apartemen yang mengeluarkan bunyi hasil peng-scan-nan sidik jari di pintu, membuat semuanya terfokus disana, kemudian pintu pun terbuka.
Ketiga presensi itu berdiri bersamaan, Ha Ri mendekati Taehyung dan memeluknya erat. Sedangkan Yeonjun mendekati Eunhye untuk memberikan segelas jus jeruk. Ia tahu bahwa Ha Ri akan bertanya dan berkata banyak hal pada Eunhye akibat pengakuannya tadi.
"Minum dulu, noona. Maaf membuatmu sulit."
Eunhye menerima jus jeruk dan tersenyum pada Yeonjun. Kedua bibirnya yang tak mengeluarkan suara namun member gesture 'tidak apapa' itu membuat Yeonjun tersenyum hangat.
"Maaf lama, sedang ada pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan." Taehyung melangkahkan kaki menuju kamarnya bersama Ha Ri meninggalkan Yeonjun dan Eunhye setelah memberikan penjelasan akan keterlambatannya.
**
Setelah makan malam bersama itu, Ha Ri memberikan kado yang dipersiapkannya diruang piano. Taehyung memang menyukai ruangan ini. Banyak figuranya bersama kedua orang tua, Yeonjun sejak bayi, hingga semua prestasinya dan Yeonjun terpampang disini.
Kadang Ia menghabiskan waktu diruangan ini sekedar mendengar music Mozzart dari piringan besar disamping piano sambil membaca atau memandangi figura foto satu per satu.
Saat Ha Ri memberikan kotak kado, Taehyung tersenyum kecil. Namun yang membuat wajah Taehyung bahagia adalah saat sang adik memberikan sebuah buku yang ditulis oleh dirinya sendiri.
Ya, Yeonjun memang suka menulis sejak SMA. Dan yang membuat lebih bahagia adalah buku itu menceritakan rasa sayangnya kepada sang kakak, Taehyung. Ini buku pertama sang adik yang ditulis nya semenjak masuk kuliah. Dan 2 tahun setelahnya barulah diterbitkan atas upaya keras adik kakak itu. Taehyung benar-benar berjuang agar buku ini dapat terbit.
"Terbit hari ini?"
Yeonjun menggeleng. "Belum terbit. Ini aku memaksa tim penerbit untuk mencetak satu agar bisa memberikan ini pada hyung malam ini.."
Taehyung menggeleng sembari mengacak surai rambut adiknya.
"Boleh aku memainkan sebuah lagu untukmu, Tuan?"
Suara Eunhye membelah interaksi ketiga orang lain disana. Taehyung dan Yeonjun sempat kaget, namun reaksi setelahnya mengangguk pelan sembari tersenyum. Apalagi Yeonjun, Ia selalu senang dan merasa damai jika jemari Eunhye mulai menyentuh tuts piano.
Taehyung menyadari, Eunhye mungkin tak enak datang tak memberi apapun, padahal, kehadiran Eunhye disini sehingga membuat Yeonjun lebih bahagia dan bersemangat saja sudah cukup. Taehyung bahagia melihat Yeonjun sebersemangat malam ini dalam menikmati pesta ulang tahunnya.
Yeonjun memang tidak dingin dan kaku sepertinya, tapi Taehyung tahu kalau Yeonjun di tahun-tahun terakhir setelah lulus SMA adalah tahun yang sangat berat bagi adiknya. Ia mengalami hal-hal yang cukup membuatnya menjadi mayat hidup.
"Silahkan.."
Ha Ri menoleh memandang wajah Taehyung, sirat kekesalan terpampang jelas diwajah gadis bertubuh mungil itu. Namun apa yang bisa dilakukan? Taehyung memang suka piano dan dia sebagai kekasihpun tak bisa memainkan piano. Apalagi ini hari ulang tahun kekasihnya itu, Ia tak ingin merusak suasana.

"Wahhh...Rachmaninoff Prelude in C Sharp Minor No.2? It's amazing noona!!!" Yeonjun mendekat lalu duduk disampiing Eunhye.
Eunhye tersenyum hingga matanya menyipit.
"Sebenarnya menurutku lebih indah kalau Chopin. Tapi kurasa Rachamaninoff lebih cocok saja untuk sekarang.."
Yeonjun mendekat, dia lalu menatap Eunhye, "Bach juga bagus kalau dibanding Chopin. Aku pernah mencoba yang Bach A Minor BMV 1041, walau belum lancar. Tapi kurasa yang tadi noona mainkan lebih.. sedikit rumit."
Yeonjun dan Eunhye terkekeh, sedetik setelahnya Eunhye berdiri, membalik badannya menghadap Taehyung dan membungkuk.
"Terima kasih untuk instrumen tadi.."
Eunhye belum sempat menjawab namun Taehyung sudah mengucapkan terima kasih. Eunhye hanya bisa tersenyum kepada Taehyung dan HaRi, walau dia tahu HaRi seperti memandangnya sinis.
"Noona, aku ambil biola dulu, ya.. Aku mau menunjukan sesuatu.. Akhir-akhir ini aku sedang mencoba memainkan Bach Sonata No.1 G Minor BMV 1001 Grumiaux.. Berikan saran dan pendapatmu, oke?"
Eunhye mengangguk, sedetik kemudian Yeonjun sudah melangkah pergi.
Jauh diseberang Taehyung tersenyum kecil, hatinya menghangat melihat kedua orang dihadapannya akrab dan bercakap seolah sudah mengenal sangat lama. Adiknya memang anak yang supel dan gampang bergaul. Tapi senyuman kebahagiaan di wajah Yeonjun ini sudah lama tak dilihatnya.
Taehyung menuju meja tempat HaRi duduk dan mengambil segelas coktail, menyesapnya sedikit. Samar ingatannya kembali untuk moment akhir-akhir ini.
Melihat track record Eunhye semenjak menginjakan kaki dirumah ini, Taehyung paham wanita itu bukan orang yang berisik dan cerewet. Dia tidak sesupel Yeonjun, namun entah bagaimana Yeonjun menjadi sangat menyukainya. Yeonjun menemaninya menunggu Taehyung yang sering pulang telat, kadang saat tiba dirumah keduanya sedang menonton TV bersama. Yeonjun benar-benar mengikis jarak yang ada diantara mereka semua.
Memang Taehyung bukan pria yang suka mendekati banyak wanita atau suka didekati banyak wanita juga. Dia terlalu bekerja keras untuk kehidupannya bersama sang adik hingga tak memedulikan hal seperti itu. Tapi melihat Eunhye, ada rasa penasaran tersendiri. Walau mungkin sedikit.
Yang membuat Taehyung membatasi rasa penasarannya adalah HaRi, kekasihnya ini.
Song Ha Ri adalah teman semasa kecilnya hingga Taehyung mampu menerimanya, itupun atas saran dan argumen sang nenek. Walau mengenal sedari kecil, sifat asli Ha Ri baru terkuak saat resmi menjadi kekasih Taehyung dan disetujui oleh sang nenek.
Taehyung dan Ha Ri sama-sama keras kepala. Namun Ha Ri lebih parah menurut Taehyung. Ha Ri wanita pemberontak yang memiliki pride tinggi. Sedangkan Taehyung pun sama, keras kepala yang memiliki ambisius tinggi tentang pekerjaan. Ha Ri memang memiliki andil besar dalam dunia bisnis yang digeluti Taehyung. Namun Taehyung pun memiliki pengaruh besar dalam hati dan hidup Ha Ri. Ya, saling membutuhkan dan mengontrol walau sama-sama keras dan egois.
Mata Taehyung melirik Eunhye yang sedang sibuk dengan tuts piano dijauh sana. Seolah hobi baru, Taehyung selalu suka saat Eunhye mulai sibuk dengan kesibukannya melirik not balok dihadapannya dan memainkan jemari diatas tuts putih-hitam tersebut dengan lihai dan pelan.
"Matamu Taehyung. Aku tidak suka!" Ha Ri berkata dengan tegas setelah menyenggol lengan Taehyung.
Taehyung mengerjap beberapa kali, lalu tersenyum manis ke arah HaRi.
Ya begitulah Ha Ri, ia bukan wanita yang mudah mengendalikan ekspresi wajah jika sedang tersulut emosi seperti ini. Tidak seperti Taehyung yang sangat mahir dalam mengendalikan ekspresi wajah dalam keadaan seperti apapun. HaRi memang jarang cemburu, tapi sekalinya cemburu, itu memusingkan dan merepotkan.
Sama seperti dulu Taehyung harus memecat hampir 10 orang karyawan wanita sesuai kemauan HaRi karena kecemburuannya. Taehyung menyadari orang-orang yang dipecatnya memang sengaja mendekati atau merayu Taehyung. Tapi ia tak terlalu memedulikan hingga HaRi sendiri yang tahu dan meminta untuk memecat mereka.
Taehyung bahkan harus mengganti sekertaris beberapa kali dalam setahun karena HaRi. Untuk sekarang Taehyung memilih mempekerjakan Sekertaris Pria. Menghindari masalah. Ia juga bosan harus mencari karyawan baru terus menerus agar menjadi sekertarisnya.
Walau memiliki seorang Bodyguard kepercayaan, Ia tetap membutuhkan seorang sekertaris. Sudah cukup Taehyung menambah beban pekerjaan pada Bodyguard kesayangannya itu karena tak ada sekertaris.
Kembali lagi ke HaRi yang sedang menatapnya kesal. Taehyung tersenyum lalu mendekati kekasihnya itu.
HaRi masih tak mau menatapnya. Ya, high pride.
Taehyung lalu menggeleng. "Mau ke kamar denganku?"
**
Taehyung mengangkat tubuh Ha Ri dan mendudukannya di atas meja kerjanya. Ha Ri melingkarkan lengannya pada leher Taehyung, sedangkan tangan Taehyung meraba pahanya dan mengangkat dress selutut yang digunakannya.
Setelah membuka ikat pinggangnya dan menurunkan celana, Taehyung menghentak liang terdalam Ha Ri hingga sang empunya terperanjat kaget. Kekuatan Taehyung dalam menghentak membuatnya tersiksa karena tangannya yang digenggam Taehyung erat di atas kepala membuatnya tak dapat menyalurkan gairah.
Taehyung mempercepat temponya hingga tubuh Ha Ri bergetar hebat, hingga isapan di leher Ha Ri semakin kuat kala keduanya mencapai orgasme bersama.
"Aku tidak suka kau cemburu seperti tadi. Kita akan menikah. Apa itu belum cukup untukmu?" Tanya Taehyung di sela-sela cairan yang dikeluarkannya begitu banyak.
Ha Ri mendaratkan ciuman di sudut bibir Taehyung. Sedikit melumat dan mengecup setelahnya.
"Terima kasih untuk hari ini, sayang. Kau sangat hebat. Aku menyukainya." Ha Ri memuji Taehyung lalu memeluknya erat.
Satu-satunya hal yang bisa membujuk Ha Ri adalah seperti ini. Taehyung tahu akan hal itu. Jika Ha Ri sudah tersulut emosi seperti tadi, jelas akan di ungkitnya untuk beberapa hari kedepan. Dan Taehyung benci dengan hal itu. Dia memang suka memendam, tapi tidak suka mengungkit.
Saat membawa kekasihnya tadi ke kamar, Ha Ri semakin emosi dan mulai membentak dan mencecarnya dengan bebagai perkataan kasar bahkan dengan nada tinggi. Berkata yang ngelantur tentang Taehyung yang tertarik pada kekasih adiknya.
Tunggu dulu, Taehyung bukan kaget karena bentakan dari Ha Ri, namun kaget saat Ha Ri menyebut Eunhye sebagai kekasih Yeonjun. Sejak kapan? Yeonjun itu sudah bertahun-tahun setelah kepergian Nana tidak berpacaran.
Taehyung tahu jelas bagaimana hancurnya Yeonjun saat kehilangan kekasihnya dulu. Dan kini mendengar Yeonjun berpacaran dengan Eunhye sungguh menggelitik rasa penasaran dan jiwa ingin menyelidiki Taehyung.
Eunhye? Really?
Eunhye mungkin gadis yang santai dan terkesan malastahu, tapi disaat dia menunjukan kepeduliannya, itu sangat menyentuh. Seperti Ia memakan makanan yang ada bawang putih saja karena Yeonjun alergi bawang putih. Atau sengaja berlama-lama didapur agar tahu apa yang Taehyung lakukan.
Taehyung memang tadi tak bisa menahan matanya untuk memperhatikan Eunhye. Gadis itu seperti magnet. Siapapun yang melihatnya akan memusatkan atensi padanya.
Siapapun yang ada disekitarnya akan merasa nyaman tanpa ajakan dan tanpa dialog tertentu. Hanya melihat gelagat dan senyumannya, mampu membuat sekitarnya merasa nyaman dan tenang.
Eunhye itu seperti memiliki energi untuk menenangkan siapa saja. Dan Taehyung baru menyadari itu saat tadi mengamati lekat-lekat. Dan karena itu juga HaRi menjadi cemburu dan marah.
Namun saat itu yang ada di kepala Taehyung adalah harus meredakan emosi Ha Ri terlebih dahulu. Bukan hal yang tepat untuk membiarkan bibir kekasihnya itu semakin banyak bicara dengan nada meninggi, sedangkan diluar jelas ada Yeonjun dan Eunhye yang bisa saja mendengar.
**


"Maaf.."
Eunhye menoleh dan memandang wajah Yeonjun hangat.
"Santai saja. Aku tahu dia tidak menyukai keberadaanku sejak disana."
Yeonjun mengantar pulang Eunhye setelah sang kakak dan calon tunangannya itu adu mulut di kamar. Yeonjun mungkin tidak tahu kalau saja Eunhye tak memberi tahunya.
Terlalu asyik dengan obrolan seputar music dan kampus, Eunhye dan Yeonjun tak sadar jika Taehyung dan Ha Ri telah menghilang dibalik mereka. Yeonjun yang sudah sibuk dengan biolanya, menampilkan apa yang dilatihnya akhir-akhir ini pada Eunhye. keduanya terlalu larut dalam suasana itu dan tak menyadari apapun lagi.
Hingga waktu menunjukan pukul 11 malam, Eunhye ingin pamit pulang. Menunggu sang boss kembali ke ruang piano mungkin akan semakin larut. Eunhye memutuskan untuk menyusul ke depan pintu kerja sang Boss, dan mendengar dengan jelas pertikaian pasangan didalamnya.
Eunhye jelas tahu Ha Ri tak menyukai keberadaannya. Entah karena apa, Eunhye tak mempedulikannya. Ia kesini atas undangan Yeonjun, dan Taehyung menerimanya dengan baik. Walau Ha Ri adalah calon tunangan sang boss, Eunhye sangat cuek menanggapi atau bahkan tak menanggapi sama sekali. Bukan tidak sopan dan tidak mau bersikap sopan, tapi cara HaRi menatapnya, mengajaknya bicara, terlihat jelas HaRi menolak kedatangannya, atau memandangnya dengan sinis. Eunhye adalah orang yang memperlakukan sama seperti diperlakukan.
Perhatikan bagaimana perbedaan saat Ia bersama Taehyung dan Yeonjun bukan? Nah.. Seperti itu. Dan kini HaRi. Baiklah, mungkin Eunhye harus menunjukan betapa dia adalah gadis paling santai dan malas tahu, tapi tahu cara sopan dan menghargai orang lain. Agar HaRi juga tahu kalau Eunhye tidak peduli apapun yang HaRi kesalkan.
"Aku juga minta maaf dengan pernyataanku, noona. Maksudku itu untuk membuat Ha Ri noona menerima kedatanganmu. Karena kalau tidak begitu, dia akan bertengkar dengan hyung untuk mengusirmu. Tapi malah sama saja. Itu semakin membuatmu dalam posisi sulit.." Yeonjun menampilkan wajah tak enaknya.
Ia memang merasa tak enak karena Eunhye jadi harus mengetahui bagaimana perangai calon kakak iparrnya itu. Bahkan Yeonjun itu bingung mengapa sang kakak selalu bertahan padahal jelas keduanya tidak cocok. Tapi, Yeonjun pikir mungkin saja sang kakak memang sudah jatuh dalam pesona Song Ha Ri sehingga keduanya tak bisa saling melepaskan.
"Terima kasih sudah gabung dengan kami hari ini.."
"Hm.. Hati-hati dijalan. Dan jangan lupa sampaikan maafku pada boss ku itu." Eunhye berujar dengan kekehan pelannya. Mencoba mencairkan suasana.
Ia mengerti mungkin Yeonjun merasa tak enak hati perihal pertikaian sang kakak dan calon tunangannya. Namun Eunhye benar-benar santai, tak mempermasalahkan sama sekali.
Sebelum Eunhye berbalik meninggalkan Yeonjun, lelaki itu meraih lengan Eunhye, menahannya. "Besok noona mau ke kampus kan?"
Eunhye berbalik, Yeonjun lalu melepas lengannya.
Gadis itu mengangguk pelan sembari menyampirkan surai kebelakang telinga kanannya, "Kenapa?"
"Aku mau traktir di kantin."
"Oke, kebetulan uangku sudah mau habis." Kedua nya terkekeh hingga tak menyangka ada yang memperhatikan tingkah keduanya dari sudut jalan.
*
*
*

WITH LOVE,
KEKE ?
Description: ON GOING!!!
Cho Taehyung jatuh cinta pada pegawainya sendiri, Lee Eun Hye.
Bukan hal yang wajar karena selama ini para pegawai mengenalnya sebagai seorang boss yang dingin. Bahkan kabar pertunangannya saja mengagetkan banyak orang.
Hingga Lee Eun Hye, mahasiswa semester akhirnya melamar kerja part time di salah satu Cafe miliknya. Taehyung jatuh cinta akan segala hal yang ada dalam diri Hye. Sikapnya, Cara tersenyum, hingga setiap gerak-gerik yang dilakukannya semakin membuat sang boss tertarik dan ingin mengenal lebih.
Pertunangan Cho Taehyung dengan Song Ha Ri yang semakin dekat membuat kegelisahan luar biasa dalam diri Taehyung karena hatinya semakin jatuh terlalu dalam kepada Eun Hye. Namun, Eun Hye pun merasa semua adalah kesalahan, hingga ia memutuskan untuk perlahan menjauhi sang boss.
Kerumitan menjadi-jadi karena cinta pertama Eun Hye hadir kembali kedalam kehidupannya, Kim Chanu.
Kim Chanu bukan orang baru dalam hidup EunHye. Chanu kembali membawa janji dan rahasia.
Namun semua itu menjadi tambah rumit, karena terungkap rahasia Yeonjun tentang Eun Hye. Segala jalan yang ditempuh, malah membuat semua pihak menjadi saling menyakiti.
(INTROVERT AREA)
|
Title: Ruang Hampa
Category: Novel
Text:
Aku dan Kesendirianku
Seringkali aku terhanyut dengan diriku sendiri sampai-sampai aku mengabaikan sekitarku
Hal yang tidak pernah kuduga sebelumnya bahwa semua yang terjadi benar-benar tidak baik-baik saja. Aku yang saat itu sedang berjuang menyelesaikan pendidikanku, harus runtuh dan berantakan. Aku sendiri selalu benci jika kisah itu menjadi kenangan yang tak lekang oleh waktu dan takkan sirna oleh zaman. Kenangan itu sewaktu-waktu dapat berubah menjadi sebuah pedang tajam yang datang entah darimana dan mendarat tepat di dadaku menembus jantung dan seketika itu denyut nadiku seakan berhenti tak mampu bertahan. Hari-hari itu adalah awal kekacauan itu terjadi.
Aku Nadine, si melankolis yang terkenal perfeksionis. Tadinya aku menganggap diriku seorang introvert yang sangat menyukai kesendirian. Namun ternyata aku salah. Aku seorang introvert dan juga seorang ekstrovert. Katanya sih gabungan kedua kepribadian ini disebut ambivert. Aku sangat menyukai kesendirian. Seringkali aku terhanyut dengan diriku sendiri sampai-sampai aku mengabaikan sekitarku. Tidak jarang orang-orang menyebutku aneh. Tingkahku yang sangat sulit berbaur dengan orang sekitar sering menjadi kesalahpahaman yang cukup rumit. Katanya aku sombong, tinggi hati, bodoh, aneh dan kadang dibilang kampungan. Awalnya, aku cukup tersiksa dengan kata-kata itu. Tapi, bagaimana pun memang akulah yang payah. Entah mengapa aku seperti gugup bertemu orang baru dan kehabisan kata jika harus mengobrol dengan mereka. Terkadang rasa gugupku mengacaukan pikiranku sehingga yang terjadi adalah jawabanku sering melenceng dari pertanyaan mereka. Saat itu aku benar-benar tidak menyukai bertemu orang baru.Tidak, sebelum aku bertemu gadis mungil energik dan penuh tawa. Namanya Soraya.
Hari pertama kami berjumpa tepat di hari pertama kuliah dimulai. Hari yang tentunya sangat menggembirakan bagiku karena memiliki kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi di salah satu perguruan tinggi negeri setelah dua tahun berhenti dari dunia pendidikan dan memilih untuk bekerja terlebih dahulu. Hari itu aku datang cukup cepat dibandingkan dengan teman yang lain. Seperti yang biasa kulakukan sewaktu di bangku sekolah, yaitu langsung memilih tempat duduk paling depan tepat di bawah jendela. Tempat itu selalu menjadi tempat ternyaman bagiku menuliskan tinta di atas lembaran putihku.
Menit demi menit berlalu, ruangan pun mulai penuh. Mulai kulirikkan mata sayu ku ke sekeliling ruangan. Di sudut ruangan ada beberapa orang yang membentuk lingkaran kecil dengan obrolan-obrolan kecil mereka dan mencoba mengakrabkan diri. Beberapa lainnya kulihat saling melirik seolah memberi tanda nyaman untuk berteman. Dan hal lainnya yang menjadi sorotan utamaku, mereka semua sudah duduk dengan masing-masing teman satu mejanya. Yah, maklum waktu itu masih sangat terbatas ruangan dengan kursi lipatnya. Kulirik lagi samping kananku yang ternyata masih kosong. Aku mencoba mengingat daftar nama-nama satu ruanganku dan benar saja, jumlah yang kuingat itu ganjil. Kukelilingi lagi ruangan itu sekali lagi dengan cepat menggunakan bola mataku. "Masih kurang satu orang lagi." Ucapku dalam hati. Seorang laki-laki di sudut lain ruangan masih sendiri. "Astaga, jika dia laki-laki aku akan benar-benar sendiri." Gumamku lagi. Ketika itu aku masih belum berbicara dengan seorang pun di dalam ruangan itu.
Aku mencoba mengalihkan perhatianku dengan membaca buku yang sudah kubawa sebagai persiapan kalau-kalau aku tidak bisa menempatkan diri di kerumunan orang baru itu. Beberapa lembar kuhabiskan, tiba-tiba seorang perempuan dengan suara bassnya menyapaku, "hai, kursinya kosong yah? mau berbagi meja?" wajahnya tampak panik karena terlambat masuk ruangan. Sontak aku pun menjawab, "belum ada siapa-siapa kok, duduk aja.." namun yang ada di pikiranku adalah apa benar dia mau berbagi meja denganku? Yah.. selalu saja itu yang muncul di benakku jika aku memiliki teman baru. Aku selalu berpikir bahwa tidak ada seorang pun yang mau dekat dan berteman denganku.
Kami pun mulai berkenalan, saling berbagi cerita, berbagi petualangan dan pengalaman di masa lalu. Untuk pertama kalinya tidak ada keheningan di tengah obrolanku dan orang baru yang kutemui. Banyak hal yang kami bagi dan hampir semua adalah hal yang seru. Untuk pertama kalinya aku bernyanyi dengan orang yang baru saja kutemui. Kami sama-sama suka bernyanyi, sama-sama memiliki wawasan musik, musisi, dan kisah di balik sebuah karya sang musisi. Waktu itu kami menyanyikan 'When I Look at You' dari Miley Cyrus dengan suara tipis . Saat itulah pertemanan kami dimulai dan pertama kalinya aku menjadi diri sendiri di dalam berteman.
Setiap Orang Pasti Memiliki Beban
Katanya kuat itu diuji dengan datangnya badai,
kataku aku tak mau kuat itu.
Katanya setiap orang punya porsi tersendiri, kataku porsiku ini tidak adil.
Ada orang pernah berkata "Musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri". Inilah yang benar-benar kurasakan. Aku mengenal betul diriku. Aku tahu betapa besarnya semangat dan ambisiku. Namun, yang sering terjadi adalah aku dan perasaanku kerap kali menjadi batu sandungan untuk perjuanganku. Aku tidak mengerti mengapa aku begitu dalam menghayati setiap persoalan yang datang menghampiri. Seperti aku terhanyut dibawa oleh arus kehidupan. Aku berpikir seribu kali bagaimana caranya agar bersikap tidak acuh terhadap hal-hal di sekitar, tapi tak kutemukan. Aku merasa menjadi orang paling jahat jika kutemukan diriku abai terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarku. Pikiranku terus berperang dengan batinku dan itulah yang terjadi di setiap malam-malam panjangku.
Aku bangkit dari tempat tidurku, ku lihat jam di telepon genggam mungilku yang ternyata masih menunjukkan angka yg nyaris sama dengan 15 menit lalu. Pukul 23.25. "Ahhh, kenapa jam lambat sekali?", gerutuku dalam hati. Aku harap malam ini cepat berlalu, tidak seperti malam sebelumnya. Sementara itu, perutku terus berbunyi seolah unjuk rasa atas ketidakpedulianku. Oh tidak, lebih ke kondisi keuanganku. Ini adalah malam kedua aku belum mengisi perut. Ku ingat, terakhir aku kenyang adalah kemarin pagi sebelum berangkat kuliah bermodal nasi dengan taburan garam dan sedikit air hangat agar lebih mudah untuk menelannya. Ku coba untuk memejamkan mata kalau-kalau aku terbangun, matahari sudah menunjukkan dirinya dan senyumnya. Namun ternyata memejamkan mata menjadi hal yang sulit untuk dilakukan. Pikiranku tidak berhenti untuk memikirkan bagaimana cara bertahan dengan keadaan itu. Aku merogoh kantong kecil di dalam tasku dan melihat berapa banyak uang yang kumiliki setidaknya untuk satu bulan sebagai mahasiswi dan anak kos. "Oh Tuhan!!" seruku. Ini tidak cukup. Ku ambil pena dan mulai membuat coretan-coretan pengeluaran sebulan ke depan. Yah, hasilnya cukup memprihatinkan. Makan dua kali dalam sehari tidak mungkin untuk memenuhi kebutuhanku, aku juga harus menyimpan beberapa untuk jaga-jaga sekiranya aku memerlukannya untuk kebutuhan kuliah. Kuputuskan untuk memotong jatah makanku sehari sekali dan berhenti untuk tidak menggunakan angkutan umum, berjuang menapaki jalan yang cukup panjang itu dari rumah ke kampus dan sebaliknya. Perjalanan itu cukup mampu membentuk otot di antara lutut dan pergelangan kakiku. Begitulah hari-hari kujalani.
Sibuknya pikiran ternyata mampu melelapkanku dan menghantarku ke pagi yang cerah. Aku bangkit dengan semangat yang membara dan bersiap untuk berangkat. "Kak, Ra, Dirga, aku berangkat yah, semangat.." teriakku sambil berlari dan tak sempat mendengar sahutan mereka, takut kalau aku akan terlambat karena ini hari pertama aku berjalan kaki.
Aku tinggal bersama tiga orang sepupuku di sebuah rumah milik Ayah mereka. Ayahku adalah sepupu dari ibu mereka. Lebih tepatnya, aku menumpang bersama mereka. Sudah sepuluh bulan kami bersama. Awalnya, terasa indah sekali. Kami hidup rukun, bercanda, bercerita, sesekali sambil menangis, kemudian bernyanyi dan seru-seruan bersama. Aku ingat ketika pertama kali aku sampai di kota itu, Kak Rima yang menemaniku keliling mall-mall untuk mencari pekerjaanku hingga aku menemukan pekerjaan yang sudah kutinggalkan sebulan lalu agar lebih fokus kuliah dan aku sangat berterimakasih kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang sangat enerjik dan berprestasi. Itu mengapa aku sangat terinspirasi oleh mereka. Ka Rima yang kuliah di Fakultas Kedokteran tidak enggan untuk membawaku ke ruangan kelas mengikuti kegiatan belajarnya. Rara yang kuliah di Fakultas Hukum sangat aktif di beberapa organisasi politik mahasiswa. Tak jarang dia mengajakku menonton debat politik dan memperlihatkan bagaimana dia menganalisis kasus-kasus yang diperbincangkan. Sedangkan Dirga baru menduduki semester satu di fakultas yang sama dengan Kak Rima. Dan aku, aku cukup rendah diri karena tidak memiliki apa-apa untuk dibanggakan.
Ah.. Aku sudah hampir sampai. Kuseka keringatku dengan lengan panjang cardiganku. Aku terus berjalan tentunya dengan kepala menunduk dan tiba-tiba seseorang menarik tas punggungku kebelakang "Udah berapa langkah nih? serius amat ngitung langkahnya" katanya dengan tangan masih memegang tas lusuh itu. Aku hanya menyeringai. Sepertinya aku terlalu menikmati perjalananku pagi itu dan belum bersedia keluar dari imajinasi-imajinasi yang kuciptakan sendiri selama di jalan. Soraya berlari kecil dan berhenti tepat di depanku.
"Astaga Nadine, itu keringat apa air hujan? kok bisa kuyup begitu? jangan bilang kamu jalan dari rumah?". Sepertinya ketiga pertanyaan Soraya ini mencakup ke satu jawaban yang sama.
"Iya nih ya, iseng aja sih. Itung-itung olahraga. Lagian dekat kok, gak jauh-jauh amat" demikian jawabku.
Aku masih saja diserbu pertanyaan-pertanyaan dari Soraya yang masih tidak percaya aku berjalan sejauh itu. Sesampainya di kelas, aku buru-buru ke kamar kecil untuk mengganti pakaianku yang sudah basah oleh keringat. Untuk kali pertama itu cukup lelah bagiku, mungkin kalau lebih sering tidak akan terasa. Begitu aku menyemangati diriku.
Aku masuk kelas dan suasana kelas cukup berisik. Kulihat teman-teman berkerumun, bukan hanya penduduk kelasku tapi juga penduduk kelas sebelah. Kuhampiri kerumunan itu dan ternyata seorang teman dari kelasku sedang menjajakan dagangannya berupa cemilan dan permen yang biasa dijual di warung-warung kecil dengan harga Rp.1000,00 hingga Rp.2000,00. "Aduh, kirain ada apa" bisikku dalam hati. Dia adalah Trinita. Seorang penerima beasiswa bidikmisi yang cukup aktif dalam setiap pertemuan pembelajaran. Sejauh ini, itu yang kutahu tentang dia. Terkadang kami mengobrol namun kami belum dekat. Ku akui, dia sangat cepat dalam berbaur dan memiliki banyak teman. Rasa penasaranku terhadapnya semakin tinggi.
Saat jam kosong tiba setelah dua pertemuan kami selesaikan, soraya mengajakku ke kantin. "Aya sorry, aku ada bawa roti sih. gimana kalau aku temanin ke kantin dan makanannya kita bawa ke taman aja?" ucapku mencoba memberi pengertian ke Soraya. Aku memang menyempatkan diri membeli roti pagi harinya, yah.. setidaknya untuk mengisi kekosongan perut. Selepas dari kantin, seperti biasa kami ke taman sekedar duduk dan mengobrol. "Aya.. Aya, kita duduk di situ aja yuk!", ajakku sambil menunjuk Trinita yang sedang sendiri dan asik dengan ponsel mungilnya. Lebih mungil dari milikku.
"Hey tri, sendirian aja nih? sibuk amat, sama pacar yah? sapa Soraya sambil menunjuk ponsel yang digenggam Trinita.
"Pacar apaan..?" Jawab Trinita
"Yah kali aja kan lagi sms-an sama si doi. Ntar, kita ganggu lagi" kucoba menimpali.
"Oh bukan, ini kayaknya lagi ada gangguan sinyal deh. Tadi pagi aku isi saldo tapi sampai sekarang belum masuk nih saldonya. Udah gitu aku buru-buru lagi tadi pagi, takut telat." Jawab Tri dengan cemas
"Iya, jaringan mah itu.. tunggu bentar lagi kali yah" Soraya mencoba menenangkan.
"Sebal tau.. kan jadi terkendala buat isi pulsa teman-teman. Lagi banyak yang minta isi pulsa ehh malah gini" Sahut Tri.
"Eh, kalau mau isi pulsa ke aku aja yah.. Untuk harga sama kayak di warung kok" tambahnya lagi.
Kami hanya menyahut pelan dan mencoba mengakrabkan diri. Kami mengobrol cukup banyak. Ternyata dia anak pertama dari delapan orang bersaudara. Kondisi ekonomi yang cukup sulit membuatnya harus berjuang dengan berjualan seperti itu. Aku sangat salut dengan Tri. Sejak itu kami mulai berteman dan mulai berbagi cerita. Beberapa minggu setelahnya, aku mulai membagi kondisiku yang cukup kesulitan. Hingga akhirnya dia membantuku, meminjamkanku modal untuk berjualan dengan jualan yang sama sepertinya yaitu cemilan dan permen. Yang paling aku ingat, dia rela menghentikan jualannya itu demi aku. Dia fokus ke jualan pulsanya. Aku sayang dia. Dia teman dekat keduaku setelah Soraya.
Description: Nadine, seorang wanita yang terjebak dalam labirin kebodohannya sendiri membuat ia seolah tak mengenal dirinya,keluarganya dan orang-orang terdekatnya hingga suatu ketika seorang pria hadir dalam kisahnya.
|
Title: Run for your life
Category: Cerita Pendek
Text:
Run For Your Life
Run For Your Life
Maaf, aku terus-menerus membuatmu berlari. Bukan maksudku, tapi hidup seringkali membawaku pada pilihan yang tanpa pilihan lain. Aku memang harus memisahkanmu darinya. Sungguh, aku tak pernah menginginkan menjadi peran antagonis dalam lakon hidup ini. Aku telah berusaha melepaskan perasaan yang melekat erat di hatiku. Tapi apa daya, aku terlalu mencintainya, terlalu menginginkannya. Aku benar-benar menyesal, terkadang. Tapi aku tak bisa berhenti. Maaf.
Karena dia tak pernah berhenti mencarimu. Tidak sejak pertama kali.
Kau masih ingat? Saat itu aku tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit ketika kau datang. Tanganmu menjinjing sekeranjang jeruk mandarin. Aroma segarnya terhisap penciumanku begitu kau meletakkannya di meja samping ranjang. Ah, kau memang selalu menjadi tokoh protagonis berhati suci. Kau datang menjengukku padahal aku adalah perempuan yang hendak merebut kekasihmu. Barangkali pula, kau hanya merasa aku terlalu menyedihkan; mengiris urat nadi sendiri, nyaris mati kehabisan darah hanya karena cinta yang tak berbalas. Aku tahu kau bermaksud baik, tapi kedatanganmu membangkitkan iblis dalam diriku.
“Tadinya, aku tak tahu kalau sekarat ternyata begitu menyakitkan.” Aku berhenti sejenak untuk menatapmu,” Tapi sayangnya, cuma aku yang merasakannya,” lanjutku dalam desisan. Tatapanku tajam menembus matamu. Kau terkesiap.
“Karena itu, pergilah,” kataku lagi, suaraku berubah memohon. Kau memandangku bingung.
“Aku tidak ingin membunuhmu, sungguh,” bisikku namun cukup jelas tertangkap telingamu. Aku pun mulai tersedu. Matamu memandangku ngeri.
“Kau tahu aku akan sanggup melakukannya, jika terpaksa,” lanjutku. Kuperlihatkan kesungguhan di mataku.
Kau gemetaran, kakimu terbata-bata melangkah mundur. Bisa ku dengar gema langkah kakimu yang tergesa dalam lorong rumah sakit. Lalu, kau pun berlari. Sejak saat itu, tak pernah berhenti.
Karena dia tak pernah berhenti mencarimu. Tidak sejak pertama kali kau melarikan diri. Tidak bahkan setelah tahun-tahun berlalu. Dan dia nyaris menemukanmu. Seperti waktu-waktu itu: Kau sedang mengajar di sekolah kumuh di pinggiran kota kecil saat mendengar kabar kedatangannya. Serta merta, kau menjatuhkan kapurmu, tak sempat menyelesaikan rumus persamaan di papan tulis. Lain waktu, kau bersembunyi di sebuah dusun pesisir pantai utara dan dia nyaris melihat punggungmu kalau saja kau tidak segera melompat dan menyusup ke kapal barang . Dan terakhir, kau bahkan mengganti nama, bercocok tanam jauh di pedalaman perbukitan ketika dia lagi lagi nyaris menemukanmu. Tapi kau selalu bisa berlari. Gadis pintar. Memang seharusnya begitu.
Karena akulah yang selalu lebih dulu menemukanmu. Ini sangat lucu sebenarnya. Bagaimana mungkin dia bisa menemukanmu jika akulah yang pertama kali mendapatkan informasi keberadaanmu dari orang kepercayaannya. Membeli kepercayaan dengan harga yang pantas. Ah, lelaki bodoh, bagaimana bisa aku begitu mencintainya?
Sayang sekali, kita bahkan tak sempat bertukar sapa saat kita berjumpa. Kau hanya selalu berlari begitu melihatku. Tapi memang cuma itu yang kubutuhkan. Berlarilah lebih jauh! Aku berteriak sementara kakimu terus memacu.
Lalu, sampai kapan semua ini berakhir? Ah, semestinya kaulah yang berhak mempertanyakannya. Tapi ingat, jangan pernah sekalipun kau mengira bahwa kaulah satu-satunya korban yang tersiksa, teraniaya, menderita atau apapun itu. Bahwa hanya kaulah satu-satunya yang berlari. Sekali-kali tidak! Andai saja kau tahu. Tidak satu malam pun terlewati melainkan mimpi —mimpi itu selalu datang.
Aku sendirian di keremangan sebuah hutan. Barangkali saat itu waktu senja karena langit terlihat kelabu atau mungkin hanya siang yang mendung. Entah, apa saja bisa di dalam mimpi. Lalu aku melihat kelebatan bayangan di antara kerapatan pohon pinus. Bisa kurasakan bayangan itu sedang memburuku. Maka aku pun berlari dan terus berlari. Tak sejenak pun aku berhenti melepas lelah meski untuk satu saja helaan napas panjang. Semakin jauh aku berlari, semakin dekat bayangan itu hendak memerangkapku. Pada akhirnya aku pun terjatuh. Dan aku melihatnya. Bayangan itu; Kau dan lelakiku. Kalian erat dalam pelukan. Lekat tak mungkin bisa dipisahkan. Seketika ribuan jarum menusuk seluruh tubuhku, menembus ulu hatiku yang lalu mengucurkan darah. Aku sekarat dalam rasa sakit melebihi apa yang kurasakan saat kutorehkan pisau di urat nadiku kala itu. Lalu aku pun bangkit dan kembali berlari, tanpa bisa berhenti. Jadi, jangan salahkan aku. Kalau kau mengerti, sejatinya kaulah yang memburuku. Kau yang menyakiti. Kaulah penjahatnya!
Apakah aku terlihat begitu sangat membencimu? Kau salah. Aku tersengat oleh rasa takut setiap kali dia nyaris menemukanmu. Jadi, kuputuskan untuk mengakhirinya. Apa kau senang?
Maaf. Kali ini aku benar-benar minta maaf. Memikirkan apa yang akan kulakukan padamu membuatku merasa seperti tunggul pohon yang mati. Hitam dan kering. Tangisku meledak sementara jari- jemariku mencakar mengoyak dada. Aku membenci diriku. Tapi seperti yang kubilang, hidup seringkali membawaku pada pilihan yang tanpa pilihan.
Tapi rupanya kau memang cari mati. Berani-beraninya kau kembali ke kota ini.
Tapi kenapa? Aku datang dan kini berdiri tepat di hadapanmu tapi kau sama sekali tak tergerak untuk berlari. Kau hanya terduduk diam di sofa cokelat lusuh rumah lamamu sedang matamu seperti lorong panjang yang kosong. Tak lagi kutemukan ketakutan yang sama disana.
“Aku tidak mencintainya lagi” katamu setelah hening yang panjang.
Kenapa kau harus mengatakan itu? Apa kau sedang meminta belas kasihanku untuk melepaskanmu? Maaf, kau tahu tidak ada yang akan berubah selama dia masih mencarimu dan dia memang tetap begitu. Akulah yang memohon belas kasihmu. Tolong lenyaplah dari dunia ini.
“Aku bertemu seseorang yang baik dan jatuh cinta padanya.” Kau mulai bercerita tanpa kuminta.” Tapi mustahil, bukan? Jika aku harus membawanya berlari bersamaku dari kehidupanya yang damai?” suaramu serak, tapi dengan berani matamu nanar menatapku. Lalu sekonyong-konyong, kau tersenyum getir.
“Tenang saja, aku tidak sedang memohon padamu. Aku tahu kau tidak akan melepaskanku. Aku hanya terlalu lelah untuk berlari lagi. Bukankah kau pun begitu?” tanyamu, tatapanmu berubah tajam. Aku terkesiap. Kau berkata lagi, “Jadi, ayo lakukanlah. Kau datang untuk mengakhirinya, bukan?” Kini mataku membelalak sempurna. Aku berusaha mengendalikan kegugupanku. Aku hanya tidak mengira kau tahu segalanya. Kau tahu.
Lihat, apa yang sedang kau lakukan? Sekarang kau bahkan membaringkan tubuhmu penuh kepasrahan. Matamu terpejam dengan kedua tangan terlipat di dada, selayaknya korban persembahan yang rela di tumbalkan. Sementara itu, tubuhku gemetar diserang rasa kalut yang datang tiba-tiba . Ku gigit jariku hingga nyeri, beharap dengan begitu kesadaranku akan kembali dan membawaku pada tujuan yang semestinya.
Baiklah. Seharusnya sekarang akan lebih mudah. Kau takkan lari kemanapun. Begitu pula aku. Oh, mungkin aku membutuhkan pil penenangku. Ku rogoh ke dalam tas hitamku. Tak kutemukan. Tanganku hanya menangkap gagang pistol yang teronggok di dasar tas. Aku menariknya keluar dan bersiap.
Ku arahkan moncong pistol tepat di mana jantungmu berada. Berusaha tepat, sedikit sulit dengan tanganku yang terus bergetar. Tapi tak apa, akan tetap mudah karena kau takkan lari kemanapun, bukan?
"Maafkan aku", kataku dengan jelas untuk pertama juga terakhir kalinya.
Pada detik yang sama: Pelatuk pistol di tarik. Bunyi letusan. Pintu yang terbuka keras.
***
Tempat ini rasa-rasanya terlalu putih. Dindingnya, tirainya, bahkan pakaian yang kukenakan. Pakaian yang aneh, membuat tubuhku terikat. Aku tak tahu kenapa mereka membawaku ke tempat ini. Mengurungku di ruangan putih ini. Aku sakit. Itu yang mereka katakan. Tapi aku merasa baik-baik saja. Tidak pernah lebih baik dari ini. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihatnya tersenyum dan memandangiku seperti yang selalu aku inginkan; penuh cinta. Benar, lelakiku, dia di sini. Selalu di dekatku, takkan lari kemanapun. Hanya milikku. Dan hanya aku yang bisa melihatnya, anehnya. Kurasa itu sebabnya mereka menganggapku sakit. Tapi persetan! Apa peduliku selama aku bisa tetap bersamanya. Dia jelas-jelas ada dan aku bahagia. Sangat bahagia.
Kecuali saat- saat ketika ingatan mengerikan itu berwujud di pelupuk mata. Ah, tidak! Bukan ingatan, karena itu tidak pernah terjadi. Pasti hanya halusinasi akibat pil-pil yang selalu mereka paksakan ke dalam mulutku. Ya, pasti begitu.
***
Pada detik yang sama: Pelatuk ditarik. Bunyi letusan. Pintu yang terbuka keras.
Aku terkesiap menarik napas. Sontak kutolehkan kepala. Ah, ternyata bukan dia. Bukan lelakiku yang muncul di ambang pintu yang terbuka. Sesaat aku lega. Aku mengalihkan pandangan padamu. Sayangnya, tembakan dari tanganku yang gemetar rupanya meleset. Sebuah lubang membekas di dinding. Kau membuka mata. Wajahmu pias dan napasmu masih tertahan karena shock.
Sementara itu, lelaki informan yang telah ku suap- rupanya dia yang datang- masih berdiri di sana. Lalu, ia mengatakan sesuatu yang sanggup mencerabut nyawa dari jasadku.
“Dia mati. Dia mati, nyonya,” katanya di sela napas yang masih tersengal. Tubuhku mengejang dan pistol di tanganku terlepas lalu jatuh dengan bunyi klotak di atas lantai.
“Siapa maksudmu?" Suaraku tercekat nyaris tak terdengar. Seharusnya aku tidak pernah bertanya.
“Tuan, nyonya. Dia mengalami kecelakaan saat menuju kemari. Menabrak truk di tikungan. Dia mengemudi dengan cepat. Tubuhnya terlempar sejauh...” Aku tidak bisa mendengarnya lagi. Suaranya seperti gaung samar dari tempat yang jauh.
Lelaki informan itu dan apa yang di sampaikannya pastilah malaikat maut yang dikirim Tuhan. Barangkali untuk menghukumku.
Tapi seperti yang kubilang, itu cuma halusinasi, ataukah mimpi buruk yang datang bahkan di saat aku terjaga?
Sup Tulang Sapi Dan Lelaki Tua
Sup Tulang Sapi dan Lelaki Tua
Sejak peristiwa itu, nyaris tak ada hal lain yang dikerjakan Lyn selain membuat sup tulang sapi. Panci berisi kaldu di atas kompor menyala mulai mendidih. Lyn memasukkan potongan daun bawang. Lalu, ia hanya duduk diam, menunggu dengan pandangan kosong. Satu satunya isi kepala Lyn hanyalah ingatan bahwa Lee teramat sangat menyukai sup buatannya dan tak bisa, walau sehari pun, tanpa menyeruput kuah sup tulang sapi yang tak pernah alpa disediakan Lyn di atas meja setiap makan malam.
***
Lee, dengan wajah lelah sehabis pulang bekerja, akan dengan cepat kembali bugar setelah menghabiskan semangkuk sup. Maka ketika makan malam selesai, biasanya ia akan bercerita panjang lebar tentang apa yang ditemuinya seharian itu. Seringkali, tawa Lyn pecah mendengar beberapa kisah konyol yang dibawakan Lee. Tapi malam itu, setelah menyeruput sisa kuah sup langsung dari mangkuknya, Lee menceritakan sesuatu yang menjadi awal segala kekacauan ini.
Lee membuka pembicaraan dengan mengatakan bahwa sup tulang sapi kali itu terasa lebih enak dari biasanya. Lyn yang merasa heran bertanya tanya dalam hati kenapa suaminya mengatakan itu, mungkinkah Lee telah berbuat salah dan hendak mengakuinya? Tapi kemudian Lee hanya bercerita tentang seorang lelaki tua yang ditemuinya.
***
Seorang lelaki tua mendatangi kantor tempat Lee bekerja pada jam kepulangan karyawan. Ia membawa sebuah lemari kayu di atas gerobak yang tampak susah payah didorongnya. Setelah itu, entah apa yang ada dipikirannya, ia akan memaksa memasuki gerbang dan menawarkan satu satunya barang dagangan yang ia miliki; lemari kayunya yang kusam, pada setiap orang yang berjalan atau berkendara pulang. Ketika mereka satu persatu memberinya penolakan, si lelaki tua akan terduduk lemas di atas aspal jalan, merintih, wajahnya pucat dan berkeringat. Dia pun mulai mengeluhkan betapa jauhnya perjalanan yang ia tempuh untuk mendorong lemari itu. Ia juga berkata seharian belum makan, tak punya ongkos pulang dan lelaki tua memang terlihat seperti mau pingsan.
Nah, pada saat itulah, ketika tak seorang pun memedulikannya, Lee, yang juga tak luput dari penawaran si lelaki tua, tertegun memandangnya. Seketika hatinya dijatuhi rasa kasihan oleh gurat penderitaan yang kentara menggaris wajah lelaki tua, tak sampai hati meninggalkan begitu saja. Lee tidak membeli lemari lelaki tua, tapi ia mengangsurkan beberapa lembar uang. Si lelaki tua, serta merta menerima, memandangi lembaran uang di tangannya, berkata jumlahnya takkan cukup untuk ongkos pulang ke luar kota. Ia minta dilebihkan. Lee terperangah sesaat, tapi kemudian ia kembali merogoh dompetnya.
Adapun kejanggalan tentang bagaimana bisa lelaki tua menjual lemari dengan mendatangi sebuah gedung perkantoran atau mungkinkah ia mendorong gerobaknya sejauh dari luar kota? Lee tidak merasakan keanehan itu. Bahkan, ketika salah satu rekan kerjanya pagi itu berkomentar;
“Kau sudah tertipu, kawan. Kata satpam depan gerbang, lelaki tua itu sudah dikenal pembohong. Dia selalu menggunakan alasan menjual lemari, lalu memasang tampang menyedihkan, bercerita soal kehabisan ongkos dan lainnya itu, semua hanya untuk membuatmu memberinya uang. Bah! Kalau mau mengemis, mengemis saja, tak usah berakting segala!” umpatnya
Tapi Lee tetap tak menyesali uang yang telah dihabiskannya sedikitpun. Dan yang lebih tak masuk akal, di hari hari berikutnya, ketika lelaki tua datang lagi dan lagi- penjaga pintu gerbang mengusirnya berkali kali- tapi Lee tak pernah kuasa mengacuhkannya. Seolah kemalangan yang menggurat dalam wajah lelaki tua telah memerangkap hati Lee dalam rasa kasihan yang tak terelakkan.
***
“Bagaimana bisa kau jadi sedungu itu? Dan kenapa baru menceritakannya sekarang? Aku tak rela kau hamburkan uang kita begitu saja!” seru Lyn beruntun. Jangankan untuk seorang penipu, dimintai sumbangan untuk panti asuhan saja, Lyn seringkali merasa berat hati mengeluarkan recehannya.
“Ah, sudah kuduga kau akan begini, karena itu kurasa tak perlu menceritakannya padamu. Baiklah, aku akan menghindarinya, pulang lewat jalan belakang agar dia tak bisa menemuiku. Jadi, masalahnya sudah selesai, kan?” jawab Lee tenang. Tapi tidak bagi Lyn, kesedihan yang lain segera menyelimutinya.
“Tapi selama ini kau selalu menceritakan segalanya padaku,” keluh Lyn. Kata katanya menggantung dilangit langit.
Setelah malam itu, rasa sup tulang sapi Lyn tak pernah sama lagi. Pagi hari saat merebus supnya, pikiran Lyn justru tak tertuju pada panci berisi kaldu di atas kompor menyala atau takaran bumbu yang mesti dimasukkannya. Lyn tengah sibuk diserbu tanya yang berebut memasuki batok kepalanya. Adakah hal lain yang disembunyikan Lee darinya? Mungkinkah selama ini ia hanya menceritakan hal yang tidak membuatnya marah? Jika dia tidak mengatakan semuanya, bukankah Lee juga bisa saja diam diam berselingkuh dengan wanita lain? Sendok pengaduk yang dipegang Lyn seketika terjatuh memikirkan kemungkinan Lee mengkhianatinya. Rasa was was dan prasangka yang makin liar membuat pikiran Lyn terlalu jauh melayang melewati akal sehatnya. Kecemasan meletup letup dalam dadanya, seperti gelembung gelembung kaldu sup dalam panci yang mulai mendidih.
Saat makan malam, Lee tak mengeluhkan supnya yang rasanya berubah. Seperti biasa, Lee meminum habis kuah sup dari mangkuknya. Lyn yang menunggu tidak sabar hingga Lee selesai makan, tak memperhatikan dahi suaminya yang berkerut menahan rasa keasinan. Tak ambil tempo lagi, saat Lee baru saja meletakkan mangkuknya, Lyn memberondong suaminya dengan pertanyaan yang menyesaki kepalanya sedari pagi. Lee menghela napas sebelum menjawab istrinya.
“Lima tahun menikah, kukira kita telah saling mempercayai”
“Kau sendiri yang telah merusaknya!”
“Aku menceritakan lelaki tua itu justru karena aku tidak ingin menyembunyikan apapun darimu, seharusnya sekarang kau lebih mempercayaiku.” Nada suara Lee mulai naik.
“Siapa yang tahu? Mungkin saja itu hanya kebohonganmu untuk menutupi kesalahanmu yang lain. Kau habiskan uangmu untuk berselingkuh misalnya!”
Brak! Tangan Lee memukul meja, Lyn menangis keras. Ini sudah keterlaluan, pikir Lee. Ia tahu betapa istrinya memang memiliki perasaan yang amat sensitif dan pencemburu, tapi Lee tak menyangka, bagaimana bisa Lyn menghubungkan cerita lelaki tua dengan tuduhan perselingkuhan? Benar benar tidak masuk akal!
Lee bergeming. Percuma berkata kata, tak ada yang bisa mengubah pikiran seseorang yang telah dibutakan oleh emosi dan prasangkanya. Lee memilih untuk menunggu.
Hari hari selanjutnya, makan malam mereka lebih kerap diisi pertengkaran keduanya dan berakhir dengan tangisan Lyn. Lee tetap berusaha menghabiskan supnya, masih tak mengatakan pada Lyn kalau rasanya semakin tak keruan.
Larut malam, Lee belum pulang. Lyn masih duduk menunggu di meja makan. Sup tulang sapi sudah dingin. Jam berdentang dua belas kali. Lyn menggeser mangkuk sup ke arahnya, menyuapkan sesendok melewati bibir keringnya. Lyn tersentak! Menyadari kejanggalan rasa sup buatannya.
Lyn masih terpaku kebingungan dengan sendok menggantung di tangan, ketika tiba tiba telepon di sudut berdering. Tergopoh gopoh Lyn menjangkau gagang telepon, berharap sepenuhnya, suara Lee yang terdengar disana.
Tapi Lyn keliru. Suara berat yang berbicara padanya dari seberang sana menjelaskan bahwa Lee takkan pernah pulang.
***
Sejak saat itu, nyaris tak ada hal lain yang dikerjakan Lyn selain membuat sup tulang sapi. Panci berisi kaldu di atas kompor menyala mulai mendidih, Lyn memasukkan potongan bawang daun ke dalamnya. Lalu ia hanya diam, menunggu dengan pandangan kosong.
Ibu Lyn sudah melarang putrinya membuat sup sebanyak itu, tapi telinga Lyn seolah tuli. Akhirnya, agar sup yang berpanci panci itu tak terbuang sia sia, setiap hari ibu Lyn membagikannya pada para tetangga. Lyn juga tak mencegahnya .Yang mengherankan, dengan kondisi Lyn yang semacam itu, ia kembali bisa membuat sup dengan benar, bahkan lebih baik. Semua yang mencicipi sup tulang sapi Lyn berkata kalau rasanya luar biasa enak. Tapi anehnya lagi, sup tulang sapi Lyn juga menyebabkan siapapun yang memakannya merasakan semacam kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Seakan akan kuah hangat yang turun melewati kerongkongan, turut jatuh pula ke dalam hati, meresap, lalu memedihkan, membuat mereka merasakan rasa kasihan yang dalam pada kemalangan Lyn.
Bel berdenting di pintu. Lyn sendirian di rumah. Ibunya pergi membagikan sup. Tapi entah bagaimana itu bisa membangunkan kesadaran Lyn. Hatinya tergerak untuk melangkahkan kaki. Kunci diputar, pegangan ditarik, pintu terbuka. Di hadapannya, lelaki tua berdiri kepayahan berpegangan pada dinding. Di belakangnya ada lemari kayu teronggok di atas gerobak. Dan meluncurlah kata kata dari bibir pucat lelaki tua.Ucapan sama yang telah berkali diulangnya.
Lyn tetap bergeming di ambang pintu. Dipandanginya segala yang tampak pada lelaki tua dan lemari kayunya. Lyn pun menyadarinya, ia tak lain lelaki tua yang diceritakan Lee. Lelaki tua penyebab kehancuran hidupnya! Mungkin Lyn bisa mengatakan padanya untuk menunggu sementara Lyn mengambil pisau di dapur? Untuk apa? Tentu saja untuk dihunjamkan ke ulu hatinya agar lelaki tua merasakan sama seperti yang dirasakan Lee saat perampok menusuk perut Lee di pintu belakang gedung! Segalanya berawal dari si penipu ini. Kalau bukan karena dia, Lyn takkan pernah meragukan suaminya. Hidup Lyn masih akan tetap bahagia dengan Lee berada di sisinya hidup-hidup. Lelaki tua pantas mati!
Tapi Lyn justru menangis dengan keras. Lelaki tua terkejut keheranan. Bukankah biasanya dialah yang selalu menunjukkan kesengsaraan? Lyn terus saja menangis hingga jatuh terduduk di lantai.
“Aku punya semangkuk sup tulang sapi hangat di dapurku. Kalau kau mau, masuk dan cobalah. Kau pasti menyukainya.” ujar Lyn sambil mengusap sisa-sisa air mata di wajah.
Description: Aku, kau dan dia. Kita selalu berlari dalam labirin yang tidak punya ujung. Apakah aku yang mengejarmu? Apa aku si penjahat? Bagaimanapun, hanya aku yang bisa mengakhirinya. Jadi, apa kau sudah siap? Sekali lagi, maaf.
|
Title: Reymell story
Category: Novel
Text:
Melly in the house
Hari ini adalah pengumuman kelulusan yang sangat menggemparkan bagi siswa kelas 3 SMU global, yang mana semua siswa sedang menunggu pengumuman kelulusan akhir..
Pagi itu, Melly cemas memandangi layar HP..
" deg degan banget deh huuuuuft", ucap melly yang mondar mandir di kamarnya...
"Melly! sayang", papa mengetok pintu kamar putri semata wayangnya..
"Iyaa paaaa", Melly segera membukakan pintu kamarnya...
"sayang, itu pengumumannya pasti udah kluar, papa harap kamu lulus yaaa?", ucap papa mirza menatap putrinya penuh harapan...
"Iyaa dong paaa, Melly pasti lulus kok, papa tenang ajaaa yaaa", ucap melly optimis...
" hayuuk sarapan sayaaang", ajak papa mirza merangkul putri kesayangannya itu..
Melly pun menurut papa dan mereka berjalan menuju ke ruang makan..
"pa, mama pasti udah duluan nungguin kita di meja makan yaaa??", tanya Melly
"bisa Jadi sayang, karna tadi waktu papa bangun, papa ga lihat mama di kamar", ujar papa yang berjalan merangkul manja putrinya...
"Hai sayaang, yuuuk sarapan dulu, mama udah masak makanan kesukaan anak gadis mama dan buat papa jugaa", celutuk mama yang berjalan dari arah dapur menuju meja makan...
"Hmmmm pasti enak banget ni maaa", puji papa...
"pasti dong pa, mama siapa dulu dong", ucap melly bangga..
Mama Marlina tersenyum malu.
"hayuuk kita makan sayang, hmmm keburu makanannya dingin nanti Jadi ga enak lagi deh", ucap mama Marlina yang menyodorkan piring berisi nasi uduk dan ayam ketsu untuk suaminya..
Nasi uduk dan ayam ketsu itu adalah masakan kesukaan papa dan Melly. Mama sering memasak makanan tersebut. Nasi uduk yang memiliki keharuman daun pandan yang khas itu ditambah berbagai aroma dari rempah2 itu membuat keluarga ini membuat mereka lahap makan, apalagi dipadukan dengan ayam ketsu yang begitu renyah, bikin ketagihan dan ketagihan. Suasana sarapan pagi itu begitu menyenangkan.
"papa, hari ini Melly pengumuman", ucap mama marlina yang tiba2 berhenti menguyah makanannya...
"Iyaaa, maa, papa juga udah tau", ujar papa tersenyum sekilas memandangi istrinya...
"mel, sayang, kamu itu keturunan papa satu satunya sayaaang, Jadi papa berharap qamu bisa menjadi pewaris papa dan semua hartaaa yang papa miliki itu buat Melly", ucap papa yang membuka pembicaraannya tentang masa depan putrinya...
"iyaa, pa, Melly tau kok, Melly akan berusaha menjadi seorang anak yang bisa papa banggakan, jangan mengkhawatirkan melly yaa?", ucapku
"iyaa, papa percaya sayaang".
" Melly mau kuliah dimana sayaang", Tanya mama Marlina...
"Melly inginnya di Jakarta aja, tapi", aku menggantungkan ucapanku...
"Melly akan kuliah di Harvard maa", sambung papa tersenyum sambil mengacak rambut putrinya...
Aku hanya bisa tersenyum, tak bisa membantah papaku. Aku sangat menyayangi mama dan papanya. Di sekolah aku memang sedikit bandel tapi di rumah aku menjadi anak yang penurut.
"oke, bagus sayang, tapi mama jadi kesepian dong, kalo melly kuliah di Harvad", ucap mama Marlina menghela napasnya...
"masih bisa video call mama", ucap papa Mirza yang mencoba menghibur mama Marlina merasa sedih ditinggalkan oleh putri semata wayangnya.
"Iyaaa maa, Melly akan slalu video call dengan mama", ucapku yang menyakinkan mamanya meskipun sebenarnya aku juga ragu tentang keputusanku..
"Janji yaa sayaang", pinta mama Marlina..
"Iyaaa maa", ucapku melly
"sarapannya dilanjutkan yaa, mau nambah lagi", tanya mama ke anak dan suaminya...
"udah cukup maa, Melly udah kenyang ni", pamitku yang beranjak bangun dari meja.
"eits mau kemana sih, sayang, mama dan papa mau bicara yaa, jangan kemana dulu, ini penting", pinta papa yang menarik lembut pergelangan tangan Melly...
"iyaa paa, Melly mandi dulu yaa paa, jadi nanti selesai kita bicara Melly bisa langsung chek pengumumannya di sekolah paa", ucapku
"Iyaa baik laah sayang", ucap papa sambil melepaskan pelan tangan melly..
Aku pun berjalan dan berlalu pergi meninggalkan orang tuaku di ruang makan.. Aku bergegas mandi. Sementara papa Mirza dan mama Marlina yang masih berada di ruang makan itu masih berdiskusi tentang masa depan putri kesayangannya...
"paa, mama khawatir deh dengan Melly kalo seandainya melly itu kuliah di Harvad paa, slama ini Melly gak pernah pergi jauh dari kita paaa", ucap mama Marlina yang mencemaskan keadaan Melly...
"mama gak boleh yaa, mikir yang aneh dengan putri mama sendiri, mama harus kasih kepercayaan dengan Melly, dia udah Janji dengan papa, papa yakin melly bisaa kok, Jadi mama gak usah khawatir yaaa", papa mencoba menenangkan istrinya...
"huuuuuft, semoga yaaa paaa", ucap mama Marlina menghela nafasnya...
"Kalo Melly ingkar Janji, dia udah tau akibatnya, papa akan cabut semua fasilitas papa dan papa akan jodohin dia dengan Ben", sambung papa...
"Ben?, siapa dia paa? ", tanya mama Marlina penasaran..
"Ben, putra pertama dari Hermawan pengusaha sukses", jawab papa Mirza santai...
"yaaah papa kok papanya sih yang sukses?, anaknyaa juga dong yang sukses", ucap mama Marlina yang mengerutkan keningnya mendengar ucapan suaminya..
"dengar dulu maaa, Ben itu dosen di Harvad, jadi ada yang mantau perkembangan melly di Harvad, Itulah kenapa papa ingin Melly itu melanjutkan kuliah di Harvad, itu alasannya maa", jelaskan papa Mirza kepada istrinya...
"Ooooh gitu yaa, boleh jugaaa tu paaa, mama jadi gak khawatir lagi ni", ucap mama Marlina yang mulai menyetujui sarannya papa tentang keputusan Melly untuk melanjutkan kuliah di Harvad..
"Ben itu maa, anak yang baik loeh, papa kagum dengan dia maa", cerita papa..
"kagum?",Tanya mama Marlina penasaran dan semakin bingung dibuat papa..
"Maksutnya papa kagum gimana paaa?", sambung mama Marlina yang semakin Penasaran dengan ucapan suaminya itu..
"Ben, dosen berprestasi di Harvad maa, dulu waktu kuliah di Harvad itu nilainya itu cumlode maa, orang tua mana siih yang gak bangga anaknyaa itu bisa mendapatkan nilai yang istimewa, pastilah maa, orang tuanya itu bangga sekali dengan Ben, segudang prestasi yang diraihnya", ucap papa bercerita kepada mama marlina...
"mama sih terseraah melly kalo dia mau menikah dengan siapa aja, yang penting itu kuliahnya paa, mama itu juga mau dong paa, kayak teman mama, anaknyaa itu loeh papa, hebat. Setiap kita ketemuan pasti mereka bahas anaknya.. “Wah gitu paa, naah nama pingin banget melly itu juga bisa kayak anak temen mama, bisa dibanggakan kan paaa", ucap mama marlina yang kurang setuju dengan rencana suaminya yang ingin menjodohkan putrinya terlalu cepat..
"Iyaaa maa, kan papa bilang siapa tau cocok", papa Mirza mengiyakan ucapan istrinya..
"oh yaa maa, Kevin anaknya Ratih rencananya akan kuliah dimana maa, mungkin Ratih ada cerita dengan mama", Tanya papa..
"katanya sih ke Amerika juga deh kayaknya paa, mungkin sama dengan melly kali yaa?", ucap mama marlina
"Wira gak bilang sih dengan papa, kalo Kevin akan kuliah di Harvad, tapi kalo Seandainya iyaa, gak papa kandung maa, ada yang jagaen melly", ucap papa...
"maa, papa mau disuapin maa", pinta papa Mirza manja..
"iiih papa manja bangeeet siih", celutukku yang berjalan dari arah kamarnya dan menuju ke ruang makan...
"iyaa dong dengan istri sendiri juga hehe", gumam papa cengengesan..
Aku menggerutkan keningnyaa dan menghampiri mamanya...
"wangi banget sayaang", ucap mama Marlina dan cipika cipiki..
Senyumku melebar saat mendengar pujian dari mamaku..
"papa mau ngomongin apa dengan Melly? ", tanya aku dan duduk disamping papa..
"kita duduk di ruang tengah aja yuuk, biar lebih enak, papa mau ngomong serius ni demi masa depan Melly sayaang", ucap papa yang merangkul putri dan istrinya menuju ke ruang tv...
"Iyaa, hayuuuk paa", ucapku
"papa mau ngomong tentang apa siih?", batinku
"sini duduk sayaang", perintah papa..
"iyaa paa", sahutku
"sayaang, Melly, hmmm papa mau, Mmm mau, Mmm mau", tiba-tiba Papa mengantungkan ucapannya dan membuat aku semakin Penasaran..
"papa mau apaa paa?", tanyaku menatap papa...
mama Marlina menyenggol lengan papa dan mengelengkan kepalanya agar suaminya tidak meneruskan ucapannya.
Ben adalah kakak dari Reyhan. Reyhan itu ternyata teman sekolahku. Cowok playboy dan juga teman berantemku
Aku makin penasaran dengan mamanya yang tiba-tiba memotong pembicaraan..
"ada apa sih maaa, paaa", ucapku melirik papa dan mama..
"gak ada apaa-apa sayaang, papa itu cuma mau bilang kalo papa mau Melly itu arus serius kuliahnya nanti yaa sayaang, karna mama dan papa pingin cerita-cerita ke temannya mama kalo anak mama itu bisa mama banggakan", ucap mama Marlina yang mengalihkan pembicaraannya...
"Iyaaa maaa, pasti Melly bisa, doaaen yaa maaa", ucapku tersenyum tanpa mencurigai ucapan mamaku..
"oh yaa, ma Melly mau ke sekolah dulu yaa, siapa tau ada info yang bagus", pamitku..
Ternyata diluar Kevin dan Aryo sudah sampai di rumah Melly..
Mereka teman sepermainan, dari kecil sudah main bersama.
Kevin juga punya papa yang sepadan dengan Melly.. Papahnya seorang pengusaha property dan mamanya memiliki butik serta merupakan putra semata wayang..
Sementara Aryo hanya tinggal bersama ibunya dan ayahnya telah meninggal saat Aryo masih kecil. ibunya bekerja sebagai tenaga menjahit di pabrik milik om farhan dan tante Ratna. Aryo bekerja sebagai supir online selepas sekolah untuk membantu ibunya . Kehidupan yang sederhana tak membuat ia mengeluh dengan keadaannya.
Pagi itu, Aryo dan Kevin mengunjungi Rumah Melly Sahabat kecillnya...
"bik, ada Melly?, kita mau ajak melly ke sekolah liat pengumuman yaa", ucap Aryo dan Kevin serentak..
"adaa den, sebentar yaa, bibik panggilkan", ucap bibik yang berlalu meninggalkan Aryo dan Kevin di teras depan...
"permisi non, ada den Aryo dan Kevin di Luar, Katanya mau ajak non ke sekolah barengan mau liat pengumuman kelulusan non", ucap bibik...
"oh iyaa bik, makasih yaa bik",
"permisi non", pamit bibik dan berlalu pergi meninggalkan melly dan mama papanya di ruang tv..
Aku hanya mengangguk-angguk ucapannya bibik yang sudah berlalu pergi meninggalkan dirinya...
"maa, paa, Melly pamit yaa", pamitku sambil menciumi tangannya kedua orang tuanya...
"Iyaaa sayaang, hati hati sayang muaaach".
Melly dan sahabatnya
"eeeh Kok duduk disini siih?, tu ada kursi", ucapku yang menunjukan kearah teras...
"Gak pa kali Mell, enak disini kok, dingin", ucap Aryo yang menoleh ke arah Melly...
"yuuuk, kita berangkat", ucap Kevin..
"hayuuuuk, cap cus bro", ucapku girang dan segera naik mobil Kevin..
Aryo mengikuti melly dari belakang dan juga naik di jok belakang..
Pergilah mereka menuju ke sekolah...
Diperjalanan menuju kesekolah, "Mel, lo rencananya mau lanjutkan kuliah dimana??", tanya Kevin yang sedang fokus nyetir...
"gue ga yakin dengan apa yang gue ambil, ntah ini keputusan yang terbaik atau salah yaaa?", ucap Kirana yang ragu dengan pilihan tersebut...
"emang lo mau kuliah kemana siih? Hemmm", tanya Aryo mengulang pertanyaan Kevin..
"kampus Harvard", ucapku singkat...
"Waaah kok sama dengan gue siih, gue makin ga bisa ngelupaen lo Mell, gue cinta sama lo", Kevin membatin...
"Kok lo diem siiih Vin, Keviiin ?, aku melambai2kan tangannya ke wajaahnya Kevin, yang tiba-tiba dua orang Sahabatnya itu terdiam mendengar ucapan Melly...
"sediih yaa, bakal ga jumpa lagi dengan gue", ucap Melly pede...
"hmmm iya iiya bener tu", ucap Aryo lesu...
"lo ga sedih gue tinggalin ya Vin?", tanya Melly sambil mencolek Kevin yang sedang menyetir...
"Haaaa iyaaa Iyaaaa Iyaaa mel, pasti laah gue sedih banget", ucap Kevin yang tiba-tiba salting...
"Hiiiiiiiiiitssssss", Kevin mendadak rem mobilnya...
"iiih apaaan siih Kevin, hampir aja nambrak pohon kan ?", ucapku cemas
"maaaaf Mel, lo siih colek-colek gue yang lagi nyetir, uuuuuuuch", ucap Kevin yang menyalahkan Melly...
Aku melirik Kevin dengan wajaahku manyun...
"udah udah, sini gue nyetir aja", perintah Aryo yang menyuruh Kevin pindah di jok belakang...
"oke dengan senang hati bro", ucap Kevin yang turun dari mobil dan kembali duduk di jok belakang...
"lagian lo ngelamunin apa siih, sampek gak konsentrasi gitu hemmm", Tanya aryo melirik menatap Kevin..
"jangan jangan lo lagi mikirin someone yaa?, cie cie cie", guyon Aryo...
"sok tau lo huuuuu!!!!", ujar Kevin yang mengacak-ngacak rambutnya Aryo...
"kok rambut di acak-acak sih, jadi gak rapi lagi kan huuu", ucapku yang merapikan rambut Aryo...
"woi woi fokus nyetir woi, jangan pacaran di Mobil, ntar kenapa2 lagi", celutuk Kevin yang gak nerima melihat kalo Melly sedang merapikan rambut Aryo...
"Iyaaa Iyaaaa, aaah cemburu kan lo", ucapku pede..
"iih pedean lo", balas Kevin..
"stooooop!!! gue pusing ni gegara denger kalian ribut, daaah yaa diem yaa, gue lagi fokus nyetir", perintah Aryo yang fokus menyetir kembali.
"oke oke gue duduk diem deh sekarang, cus nyetir", gumamku
Aku dan Kevin pun akhirnya pun diam dan mereka duduk dengan manis.. Aku dan Kevin memang sering banget berantem-beranteman tapi nanti kita juga baikan lagi. berbeda dengan Reyhan teman sekolah Melly yang super nyebelin itu.. Tadinya kepala sekolah telah memindahkan Melly di kelas yang berbeda dengan Reyhan namun, mereka kembali di pertemukan di kelas 3..
lampu merah menyala, Aryo berhenti meluncur. Aku memandangi situasi yang ramai kota Jakarta.. Pandanganku tertuju pada mobil BMW berwarna merah pekat yang tiba-tiba berhenti di samping mobil Kevin..
"Reyhaaan", batinku reflek memalingkan wajahku kedepan..
Kevin yang sedari tadi memerhatikan gerak gerik Melly jadi bingung..
"Mel, Lo kenapa siih?, kayak orang kaget gitu deh", tanya Kevin mengerutkan kening..
"gak papa gue cuma bosen aja nunggu lampu hijau, lama banget ya?", ucapku yang mencoba menutupi apa yang kulihat tadi..
"sabar mel, orang badannya lebar ahahaha", ngeledek Kevin..
"apa siih lo, kok lo jadi ikut2an reyhan sih, ngatain gue, uuuuch nyebelin lo", ucapku kesal..
"udah udah yaa, jangan mulai lagi yaa", ucap Aryo yang slalu menjadi penegah saat sahabatnya itu berselisih paham..
"udah lo ga usah ngangguin melly yaa", tu bentar lagi juga nyala lampu hijaunya kok, sabar yaa, senyum dong hemm", sambung Aryo lagi yang mencoba menghibur Melly..
30 menit kemudian, lampu hijau pun menyala.. Mobil Kevin dan Reyhan kembali meluncur kesekolah..
"Reyhan Reyhan, Lo ya gak pernah berubah slalu mainin cewek, dasar playboy cap bunglon, kemarin godain Rani, trus godain Micel trus hari gue liat lo jalan dengan Tata",
"eeeh tapi gue kok jadi kepikiran Reyhan yaa, Bodo amat dia mau jalan sama siapa kek, emang gue pikirin, siapa dia mesti gue pikirin hemmm?", batinku
"lo kenapa siih mel, dari tadi bengong hemm", tanya Aryo lembut...
"huuuuuft",
"pasti lagi mikirin si Devan, yaa kan mel?", celetuk Kevin..
"sok tau lo, lo diem deh gue lagi gak mood ngomong sama lo", cibirku.
"gini ni yo cewek cantik tapi galak, pantes gak ada cowok yg mau jadi pacar lo, galak siih, wuuuuuu", ucap Kevin yang masih gak mau kalah...
"paan siih lo, slalu deh ngeledek gue, untung lo sahabat gue, kalo gak, udah tinju lo", ucap ku melirik Kevin..
"huuuuuft, lo yaa, Melly udah diem malah mulai pertengkaran lagi", "capek gue dengernya", ucap Aryo yang menggelengkan kepalanya...
"udah lo diem yaa Vin", "oke lanjutkan Mel", perintah Aryo..
"lanjutkan ??", "lanjutkan apaa", tanyaku bingung...
"iyaa, lo kenapa bengong dari tadi, apa ada masalah Haaah?, ceritain dong ke kita yaa kan Vin, kita kan Sahabat lo", bujuk Aryo..
"Gak ada apa-apa kok", ucapku tersenyum sekilas...
"Akhirnya sampek juga di sekolah, huuuuuft, seharusnya dari tadi kita udah sampai kan tapi kejebak lampu merah dan macet Jakarta", sambung lagi...
"iyaa", ucap Aryo yang mematikan mesin mobil.
Kevin bergegas turun dari mobil dan membuka pintu mobil untuk Melly..
"Eeh silahkan tuan putri", ucap Kevin.
Melly tersimpuh malu melihat kelakuan Sahabatnya itu.
"makasi yaa kevin, uuuch baik banget siiih",
kevin jadi cengengesan..
"yuuk, kita masuk ke dalam", ajak Aryo yang merangkul kedua sahabatnya itu..
di Sekolah
"Akhirnya sampek juga di sekolah, huuuuuft, seharusnya dari tadi kita udah sampai kan tapi kejebak lampu merah dan macet Jakarta", ucapku...
"iyaa", ucap Aryo yang mematikan mesin mobil.
Kevin bergegas turun dari mobil dan membuka pintu mobil untuk Melly..
"Eeh silahkan tuan putri", ucap Kevin.
Aku tersimpuh malu melihat kelakuan Sahabatku.
"makasi yaa kevin, uuuch baik banget siiih", ucap ku mencolek dagu Kevin
kevin jadi cengengesan..
"yuuk, kita masuk ke dalam", ajak Aryo yang merangkul kedua sahabatnya..
Aku dan sahabatku pun masuk kedalam halaman sekolah dan menuju ke papan mading. Ternyata sudah di penuhi siswa kelas 3 SMU global...
"rame banget woi, woi woi", gumamku
"Iyaaa yaaa, tapi kita mesti dapat info tentang kelulusan kita bro", ucap Kevin
"tumben lo pinter?", ucapku gemes
"emang gue pinter, lo kan slalu minjam catatan gue wleeeek", ucap Kevin sombong.
"Iyaaa iyaaa, gue ga bantah kalo yang gituan deh, makasi yaa, semoga gue lulus ya Allah??", ucapku menatap Kedua Sahabatku
"amiiiiiin", ucap Aryo dan Kevin serentak.
"yuuuk kita kesana, duuh deg degan deh" ucap Kevin yang reflek memegang dadanya.
"udah santai bro kita pasti lulus kok, kan kita selama ini udah berjuang keras, jadi yaa arus tetap semangat dan Optimis", ujarku menyakinkan sahabatku.
Aku dan kedua sahabatku itu berjalan menghampiri papan mading yang dipenuhi siswa kelas 3.
"permisi mbak", ucapku...
"mana yaaa, mana yaa nama gue, hmmm ini diaaa, aaah yang bener ni, yeeee gue luluuus".
"mel, gue juga lulus mel, yeeeee alhamdulilah yaaa Allah luluuuus", teriak kedua sahabatnya.
"ya Allah bener gue lulus", aku reflek memeluk seseorang yg kupikir Kevin.
"Mel woi woi lo meluk siapa siih??", kita disini woi woi", ucap Kevin menarik tangan melly...
Seketika aku kaget dan reflek melepaskan pelukan dari seorang pria tampan itu..
"maaaf, gue salah peluk, gue kira sahabat gue Kevin", ucap ku menunduk...
"gak masalah kok, gak perlu menundukan juga", ucap pria tampan tersebut dan menarik lembut daguku.
"makasih yaa", ucapku tersimpuh malu
"iyaa sama2", balas pria tersebut..
"qamu mau lihat pengumuman juga yaa?", tanya ku yang mulai membuka pembicaraan.
"iyaaa", ucapnya.
"Perkenalkan gue melly kelas 3 IPA 3", ucapku sambil mengulurkan tangannya...
"iyaaaa, nama gue Irvan kelas 3 IPA 1", balas Irvan tersenyum.
" Irvan nama yang keren kayak orangnya yang keren", pujiku
Irvan hanya tersenyum melihat tingkah lakuku yang ceplas ceplos.
"selamat yaa, elo juara umumnya", ucapku
"iyaa, makasih yaa melly", "oh yaa gue duluan yaa", ucap Irvan tersenyum dan berpamitan dengan melly...
Aku hanya mengangguk dan tersenyum memandang Irvan yang sedari tadi pergi berlalu meninggalkanku..
"iiih gilaaa, ganteng banget yuhuuuuuuuuu cowok, cool man, macho waw pokoknya deh", gumamku
Tiba-tiba Reyhan datang menyelonong dan menabrak bahuku sampai terjatuh
"eh sorry yaa", ucap Reyhan cuek..
"Dasar lo gak punya mataaaa!!!, "jalan pakek mata dong, maen nabrak gue ajaa loeh???" "eh siapa lo", ucapku yang reflek bangun sendiri dan menarik kaca mata reyhan...
"Eeh, berani banget lo menyentuh gue", ucap Reyhan
"biar lo nampak jangan ketutup mata lo!, ucapku menatapnya dengan tajam.
"eeeh berani lo nasehatin gue, iyaaa hemm, berani banget siih lo?", ucap Reyhan yang membalas menatap mata melly..
Raut wajahnya memerah.
"eh berani bangeeeet tu cewek nasehatin lo Rey", ucap Ali mengompori Reyhan...
"Iyaaa Rey", timpal Tata..
"untung lo cewek, coba kalo lo cowok udah gueee???", Reyhaan mengantungkan ucapannya...
"gue apaa haaaa?, gue ga akan takut dengan lo", ucapku menantang Reyhan.
"Mel Mel udah yaa berantemnya", ucap Aryo datang dan menarik Melly pergi dari hadapan Reyhan.
"yo yo belum selesai, gue cuma mau kasi pelajaran dengan Reyhan, kalo jalan itu pakek mata jangan pake kaki doang", ucap ku kesal.
"bawel aaah, diem", Kevin membekap mulutku
"iiih Kevin lepasin, tangan lo bau tau", ucapku yang memberontak
"maasaa siih", "gak ada bau apa-apa deh", Kevin reflek melepaskan tangannya menciumi telapak tangannya..
"udaah yaaa, gue pusing ni lo berdua brantem-brantem terus dari tadi", ucap Aryo berjalan cepat menuju mobilnya..
"eeeh tungguin yoo, cepat bangeeeet sih jalannya", seruku yang berlari mengejar Aryo..
Sementara Reyhan yang sedari tadi masih ngedumel karena ia ga terima dinasehatin oleh Melly didepan umum itu..
"bete bangeeeet sih gue, tuh cewek gilaa, dasar cewek gilaa, sok cantek lo, mana ada cowok yang mau jadi pacar lo, kalo gitu kelakuannya", "untung lo cewek, coba kalo lo cowok, udah gue abisin lo", Reyhan mengerutu.
"udah laa Rey, mending kita ngerayain kelulusan kita dengan liburan ke puncak gimana hemmm?", ucap Toni salah satu Sahabat Reyhan yang cinta damai..
"ngapaen sih mikirin yang gak penting, mending kita happy iyaa kan sayang", celutuk Rani yang berjalan menghampiri Reyhan.
"oke deh, gue denger apa kata lo Ran", ucap Reyhan mengedipkan matanya...
ngapaen sih mikirin yang gak penting, mending kita happy iyaa kan beibs", celutuk Rani yang berjalan menghampiri Reyhan...
"oke deh, gue denger apa kata lo ran","lo emang bikin mood gue jadi baek", "yaudah kalo gitu kita cabut yuuk",
Tiba-tiba Suara mikropon dari ruang guru memberikan pengumuman agar tidak pulang dulu..
“kepada siswa kelas 3 SMU Global diharapkan berkumpul di lapangan karena ada yg ingin disampaikan kepala sekolah sebagai wujud perpisahan"
Semua siswa pun berkumpul, Melly yang tadinya hendak menaiki mobil kembali ke halaman untuk mendengar pengumuman selanjutnya.
"berhubung semua kita sudah berkumpul jadi langsung saja kita mulai yaa", ucap pak Tofan kepala sekolah SMU Global..
"iyaaaaaa paaaak", ucap siswa kelas 3 serentak...
"alhamdulilah kita lulus semua kan yaaa? ",
"Iyaaaa paaaak", ucap siswa serentak
"Nah kita sepakat ngerayain kelulusan ini dengan liburan ke puncak gimana setuju gak?",
"boleh juga tu paak, tapi kita naik apa pak", tanyaku
"wuuuuu, ya naek mobil laa, kecuali lo mau jalan kaki ahahaha", celutuk Reyhan yang menghampiri melly...
"lo lagi, lo lagi, aah males gue liat muka lo",
Reyhan menarik pergelangan tangan melly sehingga badannya melly reflek memutar menghadap reyhan dan mereka saling pandang memandang...
gleeek", reyhan menelan ludahnya..
"Melly cantik juga kalo dilihat dari deket", "kok gue baru nyadar yaaa?", ucap Reyhan membatin..
"lepasin tangan gue",
"siapa juga siih yang megang tangan lo",
"laaaah ini",
Reyhan reflek melepaskan tangannya...
"Reyhan Melly ngapaen tatap tatapan disitu pindaah"
"ini ni pak, Reyhan yang cari masalah dengan melly", ucapku tersenyum dan bergeser menjauhi Reyhan...
"tolong dengar yaa, kita naik bus aja yaa, biar bisa bareng2 oke",
"iyaa paak",
"ya udah 3 hari lagi kita akan berangkat yaa, kita akan nginap disana selama 1 minggu yaa, sekarang boleh pulang",
bersambung ke bab selanjutnya..
Lunch
Semua siswa pulang, sementara aku dan kedua sahabatku pergi ke mall, jalan-jalan..
"eh gue traktir lo yaa", ucap melly girang..
"gue maah ikutan aja ya gak yo", ucap Kevin
"iyaaa Vin”
"kita makan sepuasnya yaa",
"lo yang nyetir yaaa yo, gue lagi galau ni", perintah Kevin…
"galau?, lo bisa galau juga yaa", tanyakumengerutkan kening
"Menurut lo",
"emang lo galau kenapa siih Vin, cerita dong dengan kita, yaa kan mel", tanya Aryo.
"Aaah lupaen ga penting tauu", ucap Kevin yang menghela napasnya.
"Melly gak boleh tau kalo gue itu sayang dengan dia lebih dari seorang Sahabat, Aryo pun ga boleh tau, biar gue pendam dalam hati, karena gue akan kehilangan Melly untuk selamanya kalo melly tau, enggak, itu gak boleh terjadi", Kevin membatin.
"yuuuk cepetan naik, masih bengong aja lo", perintah Melly..
Kedua sahabatnya masuk mobil..
"brangkat yoo cuss", teriak melly bahagia..
"gue kabari papa dulu ya", ucap melly yang menekan icon call dan menelpon papanya.
"papa, Melly lulus paa, Melly lulus paa", cerita melly bahagia..
"Iyaaa sayaang, slamat yaa sayaaang", ucap papa lega
"papa, tolong kasi tau mama ya, oh yaa pas, Melly pulangnya sorean yaa, mau jalan-jalan dulu", pinta melly.
"iyaa sayang, hati hati yaa, jangan pulang malem yaa",
"siapa paa yang nelpon?", tanya mama marlina menghampiri papa mirza..
"melly nelpon, dia bilang kalo dia itu lulus maa, waaah papa rasanya seneng banget maaa", ucap papa bangga..
"iyaa syukur laa paa, mama juga lega dengernya", ucap mama marlina tersenyum.
"gimana kalo besok kita rayaain kelulusan melly, kita ngundang makan malam teman papa, pak Hermawan itu loeh maa, sekalian kita kenalin Ben dengan melly",
"papa gak ada niat maksa Melly nikah dengan Ben kan paa?", tanya mama melirik papa...
"hehehe mama, jujur papa sih ingin menjodohkan melly dengan Ben, tapi ini kenalan dulu, siapa tau mereka itu Cocok maa, siapa tau loeh maa",
"iyaa boleh paaa kalau hanya sekedar kenalan dulu yaa, tapi jangan di paksaain yaa paa, mama gak mau anak kesayangan kita itu frustasi jadi menghambat kuliahnya",
"Iyaaa dong pasti itu maa", ucap papa.
"Kalo gitu papa telpon pak hermawan yaa",
"iyaa paa", mama Marlina menganguk setuju...
"makasih sayaang",
"Tililit Tililit Tililit Tililit"
"Hallo Mirza, gimana apa kabarnya ni", om hermawan mencoba menyambungi telpon dari papa Mirza.
"iyaa ni, kabar baik bro, lo gimana?", tanya papa Mirza balik...
"gue alhamdulilah baik, eeh ada apa ni tumbennya nelpon gue", tanya om Hermawan..
"gue dan istri mau ngundang lo sekeluarga buat acara syukuran kelulusan putri gue besok malam.. Cuma elo aja sebagai sohib gue bro, lagian udah lama kita gak jumpa bro, gue harap lo bisa datang yaa bro",
Ternyata om Hermawan itu Sahabat papa mirza yang udah lama gak jumpa setelah om hermawan pindah ke bonne..
Namun Karena baru-baru ini om Hermawan kembali tinggal di Jakarta Karna ingin mengurusi bisnis klinik kecantikan milik tante kania istrinya yang merupakan orang tua dari Ben dan Reyhaan..
Mereka baru 3 tahun di Jakarta, meskipun demikian papa Mirza belum pernah bertemu dengan putra dari sahabatnya itu karna mereka yang masing-masing sibuk dengan pendidikan mereka.
"oke, Terima kasih atas undangannya ya zaa, InsyaAllah gue sekeluarga akan datang",
"iyaa sama-sama, gue tunggu yaa, jangan lupa ajak Ben dan adiknya juga",
"gimana paa, apa kata mas Hermawan",
"iyaa, dia akan datang bersama keluarganya",
"besok pagi papa temanin belanja yaa, masak yang enak yaa maa",
"Semoga Ben menyukai Melly yaa dan Melly juga mau menerima Ben yaa",
"terseraah Melly yaa paa, ingat jangan memaksakan kehendak sendiri tapi ujung2nya anak yang menderita, mama gak mau kehilangan melly paa",
Sementara melly sedang di mall bersama Aryo dan Kevin.
"lo mau pesen apa yo, Vin?",
"gue mau kebab dong, minumnya jus mangga dingin yaa", ucap Kevin..
"gue mau mie goreng seafood dan teh hijau aja”, ucap Aryo..
"gue mau twisted, hazelnut frape",
"mbaak, Sini mbak, ini pesanan kita",
"Iyaaa mas, Mohon di tunggu yaa",
"kok melly ada disini yaa, sejak kapan dia ada disini, jangan-jangan dia buntutin gue lagi", ucap Reyhan membatin dan kepedean...
"tapi ga mungkin laa, Melly ngikutin gue, buat apa coba, kan belum tentu gue mau dengan lo, iiih Siapaa juga yang mau dengan lo mmm",
"bro, silahkan pesan yaa, gue yang akan bayarin lo semua oke",
"lo kenapa siih rey," tanya Rani bingung..
"lo cari siapa siih", sambung Kevin dan Ali serentak...
"gak pa bro, gue lagi cari pelayannya ni, kok ga datang dimari siih, gue udah lapar ni kelles",
"tu diaa, pesanan kita Mel, hmmm lezat banget guys",
"asyik enak ni",
"makasi mbak",
"lo rencananya mau kuliah dimana yo and jurusan apa",
"gue di Universitas Indonesia aja jurusan kreatif", jawab aryo..
"lo gimana vin?, ..
"gue siih, Ke harvad mell, papa gue nyaranin gue ke amerika, yaa gue setuju aja siih, bokap gue pasti mau yang terbaek laah buat gue, yang gak yo",
"anak sholeh", gumam Aryo..
"lo ngeledek gue yaa?, hemmm", ucap Kevin mengacak2 rambutnya Aryo..
"enggaaaak, gue serius tau", seru Aryo polos...
"udaaah, udah, jangan brantem yaa, bentar lagi kita gak akan ada yang kayak gini lagi, udah pada jauh huuuuuft", ucap Melly lesu...
"Kok lo sedih siih Mel, kenapa hemmm?', tanya Kevin yang meraih tangan Melly…
"kita kan bisa video call, sekarang jaman canggih Mell, jadi lo gak usah khawatir, lagian gak ada Aryo, kan ada gue, meskipun nantinya kita berbeda jurusan tapi kan kita masih satu kampus, gue akan berusaha datang ke kosan lo",
"iya Mell, bener itu yang dibilang kevin ",
Melly tersenyum dan melanjutkan makannya kembali...
sementara Reyhan kepo..
"Melly kenapa yaa, kok sedih gitu yaa?", ucap Reyhan membatin
"Kok gue sedih yaa, liat Melly sedih, kenapa dengan gue yang tiba-tiba jadi aneh gini, jangan bilang gue suka dengan cewek sinting itu, ogaah gue, iiiih", sambung Reyhan membatin...
"Rey, reyhaan", sapa micel yang baru saja sampai..
"eeeh cantik, silahkan duduk yaa",
"Lo kenapa siih Rey bengong gitu hemmm?", tanya Ali bingung.
"iyaa nih dari tadi juga, gue perhatiin lo gak banyak ngomongnya gak kayak pada biasanya", timpal Raja dan Rani bersamaan...
"Gak ada apa-apa kok", sahut Reyhan tersenyum sekilas..
"eeh ngomong-ngomong kok cewek lo cepat amat siih pulangnya?", tanya Toni
"dia lagi PMS kali", Tata itu bukan cewek gue lagi, gue cuma anggap dia temen aja sekarang huuuuuft",
"Eeh bantuin gue dekatin dengan aulia dong Ton, lo kan sepupu auliaaa?", gue mau pacari aulia",
"Aulia itu suka Aryo kelles", sahut Toni...
"cinta ga bisa dipaksakan, cinta itu suci dan murni", celutuk Aldi..
"wudiiih romantis bangeeeet",
"sok romantis lo", ucap Rani mengacak2 rambut Aldi...
"gue rela deh lo acak2 rambut gue asal lo yang ngacaknya", sambung Aldi..
"iih paan siih lo", cibir Rani.
"lo itu Cocok kali Ran dengan Aldi", ucap Ali dan Toni serentak...
"gue ga cinta dengan Aldi, gue cinta dengan Reyhan" ucap Rani keceplosan..
"lo ngomong apa sih Rani, lo udah gue anggap adek gue, sejak kita putus sejak itu gue udah ga cinta lo, pahaam hemm",
"semua Mantan gue, gue jadien teman gue, itu pun kalo dia si mantan masih mau dekat dengan gue ahahahaha", ...
"3 orang cewek yang belum gue pacarin ahahaha, bakal gue pacarin 3 cewek itu ahaha",
"yeelaah, gue gak akan bantah", ucap Toni dan Ali serentak..
"Eeh tapi 3 orang cewek itu siapa siih?", tanya Aldi polos...
"micel, Aulia melly", celutuk Tata yang tiba-tiba muncul didepan Reyhan...
" Tata ngapaen coba berdiri didepan gue, ngalangin gue buat liat Melly, iiih nyebelin deh Tata ", Reyhan membatin...
"kenapa siih dari tadi gue mikirin Melly yaa, ada apa dengan gue yaa", ucap Reyhan yang menghela napasnya...
"emang lo mau pacarin melly yaa Rey, Iyaaa, gak salaaah?", tanya Rani meremehkan Melly dan menertawakan Reyhan..
"gak mungkin kelles gue suka dengan abang-abang gitu", Reyhan ngeledek...
Tiba-tiba melly Lewat didepan Reyhan dan mendengar ucapan Reyhan tadi..
"heh siapa juga yang mau sama lo, playboy bunglon uuuuuch",
"mel sabar yaa, Lo ga usah ambil hati ucapan Reyhan", pinta Aryo.
"Iyaa gue gak perduli dengan reyhan", ucap Melly yang langsung masuk ke dalam mobil Aryo...
"kita langsung pulang aja yaa yo", pinta melly...
"makasi untuk hari ini yaa mel", ucap Aryo dan Kevin bersamaan...
reyhan dan melly pulang masing-masing ke rumah
"iyaa bro",
Melly dan ke 2 Sahabatnya itu pulang kerumah masing2..
30 menit kemudian sampailah mereka di rumaah Melly.. Melly turun dan bergegas memasuki Rumah... Ia tampak lelah sekali...
"sayaang, udah pulang yaa, pasti Bahagia banget yaa, hari ini",
"kok lemas gitu siih, hemm?",
"melly ngantuuuk banget ni maa, paaa, Melly masuk ke kamar dulu yaa",
"yaudah gi sana, istirahat sayang",
Melly pun berlalu pergi meninggalkan mama dan papanya di ruang tv...
"Whoaaaam, ngantuuuk banget ni gue",
"hari ini banyak tragedy aneh2 deh, gue brantem-brantem dengan reyhan trus sempat pula gue natap2 ama reyhan, tapi kalo dilihat ni, ternyata Reyhan ganteng juga siiiih hihihi", gumamku
"eh gue kok jadi mikirin si Reyhan siih, gak banget deh aah, mending gue tidur", ucap melly yang terus memandangi HP namun, setelah beberapa menit kemudian melly pun tertidur pulas...
Sementara Reyhan yang masih di restaurant mall lagi asyik seneng2nya dengan teman-temannya...
"eeh HP lo tu berdering Rey",
"Hallo maaa", Reyhan menyambung telponnya...
"sayaang gimana, kamu lulus gak, kok ga kabarin mama sihh?",
"ooh maaafin aku maa, aku lupa kabari mama",
"Iyaaa maaa, aku lulus maaaaaa",
"alhamdulilah mama senang banget dengarnya",
"oh yaa reyhaan, pulang cepat yaa naak, Ada yg ingin mama bicarakan, penting",
"oke maa, aqu mau pulang ni maa",
"lo mau pulang yaa Rey",
"iyaa, nyokap gue yang nyuruh gue pulang, ada yang mau dibicarain penting Katanya, apa ya?", ucap Reyhan menatap teman2nya satu persatu...
"gue cabut duluan yaa",
"eeeh kita pulangnya pake apa dong", ucap Kevin..
"ya pake taxi laa, maasa pakek kaki siih?", celutuk Rani...
"gue juga cabut deh", ucap Rani beranjak keluar dari restaurant...
Akhirnya semua teman2 reyhan pun bubar dan pulang ke rumah mereka masing2...
20 menit kemudian, sampai laa reyhan di rumahnya. Reyhan berjalan dan memasuki Rumah. Ternyata di rumaah ada Kak Ben yang barusan sampai dari Amerika.
"loh ada kak Ben yaa, kapan pulangnya ni kaak? ", tanya Reyhan yang menghampiri kakak kesayangannya...
"baru aja sampeknya ni Rey, gimana kabarnya kamu hemmm? ", "oh yaa kakak dengar dari papa kamu hari ini Pengumumannya yaa?",
"iyaa kak, aqu lulus kak",
"Wah selamat yaa, kakak Senang banget dengarnya",
"eh sayaangnya mama udah pulang dua-duanya yaa, muaaaaach muaaaaach",
Ben berhambur memeluk mama. Mama kania membalas pelukannya anak2nya..
"hayuuk Ben istirahat dulu sayang, pasti kelelahan kan",
"oke maa", "kakak tidur dengan reyhan aja boleh yaa?"
"yaa boleh laaa kak, kecuali aku atau kakak yang uda nikah itu yang gak boleh kak?",
"hayuuuuk kak",
"ini dia kamarnya aku kaak", gumam Reyhan
"Wah masih kayak dulu, udah lama kakak ga pulang, selama kakak kuliah selama itu kakak ga pulang", ucap Ben yang menatap inci demi Inci setiap sudut kamar Reyhan...
"Hahaha iyaa kak, 10 tahun ada gak kak?",
"iya begitu laah",
Tak lama kemudian Ben dan reyhan pun tertidur lelap sampai magrib...
"Rey, Ben sayaang, bangun uda magrib loe",
"Iyaaa maaa, ucap Reyhan yang reflek mengubah posisinya menjadi duduk dan mengucek2 mataanya....
"Wah ternyata udah magrib ni",
brum brum brum, Suara air membasahi sekujur tubuh Reyhan.
"Melly lagi ngapaen yaa sekarang?", "eh gue kok jadi kepikiran Melly terus yaa?", ucap Reyhan bingung
Ia melingkarkan handuk di tubuhnya dan keluar dari kamar mandi. kemudian membangungkan kakaknya.
"kak, bangun kk, udah magrib ni, kita shalat magrib bareng kk",
"hmmm iyaaa, rey",
"kamu udah mandi yaa, pasti udah seger banget yaa?",
"iyaa pasti dong kk",
"kakak mandi gi sana biar lebih fresh",..
"oke sip kapten",.
Lalu Ben pun masuk ke kamar mandi dan mulai menghidupkan shower...
"smoga papa dan mama menemukan wanita yang bisa gantiin lo Rin",
"gue akan coba lupakan lo, kenapa lo tega nyakitin gue hemmm? ",
"lo lebih memilih dia dari pada gue, kurang apa gue dimata lo", "Rin kita hampir aja menikah tapi takdir berkata lain, Jujur gue belum bisa melupakan lo Rin, gue sayaang sama lo",
Sementara Reyhan, lagi-lagi ia mengingat Melly.
"melly ngapaen yaa, apa dia udah sampek di rumaah?", "Kok gue jadi kepikiran Melly terus yaa", "iiih apa siiiih gue", gumam reyhan yang sedang berpakaian hendak menunaikan shalat magrib...
30 menit kemudian, Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar...
Azan berkumandang, semua anggota keluarga menunaikan shalat magrib...
"kaaak, udah belum, udah azan ni Kakak, kita shalat berjamah barengan papa dan mama yaaa",
"hmmm Iyaaa rey, udah ni", sahut kak Ben yang keluar dari kamar mandi...
"Buruan pakai baju kita mau shalat magrib bareng kak",
"iyaaaa",.
"hayuuuk",
"yuuuk”..
Reyhan sangat menyayangi kakaknya demikian kak Ben yang sangat menyayanginya. Reyhan yang suka caper dengan bokapnya karena papanya sering ngebandingin dirinya dengan kakaknya.
"Ben, Rey, sini kita shalat magrib berjamaah ya", ajak papa yang sudah berdiri di ruang shalat dengan mama...
"iyaa paa", ucap Ben dan reyhan serentak...
Ben, reyhan, mama dan papa menunaikan shalat magrib bareng. 20 menit kemudian, mereka selesai juga shalat magrib...
"alhamdulilah kita bisa berkumpul lagi yaa sayaang", ucap mama kania bahagia..
"iyaa maaa", papa bahagia sekali..
"jadi Ben sedang libur yaa?", tanya papa
"Iyaaa paaa", ucap Ben tersenyum...
"oh yaa maa, papa besok malam mau ngajak mama, Ben dan Reyhan dinner ke rumah Sahabatnya papa, Di mirza suami dari marlinaa sahabatnya mama juga, mama Ingatkan?, mereka sekeluarga mengundang kita untuk dinner ke rumahnya",
"Waaah Kebetulan sekali yaa paa, mama udah lama gak jumpa marlina, Iyaaaa paaa mama mau pergi paa", ucap mama kania tersenyum...
"Ben, Rey, papa harap kalian bisa yaa?, om mirza punya anak perempuan yang cantik loeh", ucap papa menatap satu persatu anaknyaa...
"iyaa", sahut Ben dan Reyhan serentak...
"kita silaturrahmi ke rumah Sahabatnya papa dan mama", "Siapa tau anak perempuan om mirza bisa menarik hatiinya kak Ben yaaa kan rey",...
"iyaa kaak siapa tau tu cewek bisa naksir sama kakak, yaa kan", ucap Reyhan mengedipkan matanya dan mengangkat kedua jempolnya..
"hmmm terseraah aah", ucap Ben yang mencoba menyembunyikan kesedihannya...
"mirza cuma punya seorang gadis kan paa", tanya mama kania..
"iyaa, kan anak perempuan mirza seumuran dengan Reyhan, mama kok jadi lupa siih, ingat gak kalo mirza bilang, kalo Seandainya istrinya melahirkan anak cewek, mirza mau kita menjodohkan anaknyaa dengan salah satu anak kita, Coba mama ingat2 yaaa", ucap papa Hermawan...
# flashback
Mbak, reyhan udah 6 bulan yaa, eeh lucunya, kakak Ben jugaa udah sekolah sayaang", ucap mama marlina yang sedang mengandung melly...
"hati2 Mar, kandungan qamu itu udah membesar, tinggal nungguin hari yaa", tanya mama kania sambil mengelus2 perut mamanya melly...
"eh udaah USG belum tu", celutuk papa Hermawan yang berjalan menghampiri istrinya...
"udaah mas, kemarin kata dokter sih bayi perempuan, aku siih apaa aja yang penting sehat dan lancaar persalinannya", ucap mama Marlina yang memandangi perut buncitnya....
"Iyaaa, apa ajaa sayaang, papa siih udah ga sabar mau ketemu dengan anaknyaa papa", ujar papa mirza yang menghampiri istrinya...
"tuuh kak Ben dan kak Reyhan juga gak sabar nungguin kamu naak, mau main katanya, Iyaaaa haaa aaah, uuuuch lucunya", sambung papa mirza yang menciumi perut istrinya...
"Kalo lahir cewek, aqu mau kita itu jadi sebuah keluarga yang lebih dekat yaa mbak", ucap mama Marlina...
"iyaa pasti kita akan tetap dekat kok Mar", ucap ucap mama kania polos...
'kan kalo bayiku cewek, aq mau dia menikah dengan Ben atau reyhan bukan dengan yang laennya mbak", ucap mama marlina lagi sambil tersenyum...
"oooh itu Maksutnya", mama kania baru ngeh...
"iyaa mbak", ucap mama marlina tertawa lepas..
"papa setuju maa", gumam papa Hermawan.
"apa lagi gue, lebih setuju bro, ahahahaha", ucap papa mirza yang ikut tertawa bahagia...
************
"Iyaaa paaa, mama baru ingat paaa, dengan ucapan Marlina", ujar mama kania tersenyum mengingat peristiwa 18 tahun yang lalu..
18 tahun yang lalu, saat itu mereka masih tinggal tetanggaan..
Namun sejak papa hermawan mendapatkan tugas di Amerika, papa mirza dan papa hermawan pun jadi jauh dan gak pernah bertemu tapi meskipun demikian mereka tetap bisa berhubungan dengan baik melalui telepon genggam.. Sesekali papa mirza yang menelpon papa Hermawan dan sebaliknya papa hermawan yang menghubungi papa mirza.
Waktu itu reyhan berumur 4 tahun mereka pindah ke Amerika sedangkan Ben berumur 9 tahun... Ben dan reyhan selisih umur 5 tahun..
Sedangkan melly berumur hampir 4 tahun, usia Melly dan Reyhan hanya brbeda 6 bulan..
Dulu setiap harinya mereka bermain bersama, Melly gadis kecil yang cantik sedari dulu dan juga penurut.. Ben dan reyhan sering sekali mengunjungi rumah melly demikian juga melly yang sering sekali ketiduran di rumah Ben dan reyhan karena kelelahan saat bermain..
Mereka memang tetangga tapi Rumah melly hanya berjarak 200 meter dari Rumah Ben dan Reyhan.. Nah saat itu Ben berusia 7 tahun, ia sering sekali mengendong melly, is sangat menyayangi melly karna ia gak punya adik perempuan.. Setiap sepulang dari sekolah tak lupa Ben mengunjungi melly di rumaahnya.. Semua itu ia lewati bersama selama hampir 4 tahun mereka bermain dengan melly..
Namun waktu itu Begitu cepat berlalu, jarak dan waktu yang memisahkan mereka..
Papa mirza, mama marlina dan melly saat itu tinggal di Bandung, Akhirnya pindah ke Jakarta dan menetap di Jakarta.. Sementara papa Hermawan, mama Kania, Ben dan Reyhan tinggal di Amerika saat itu dan menetap disana beberapa tahun...
Sejak melly dan keluarga pindah ke Jakarta saat itulah hilang kontak dari papa Hermawan karna ketika itulah papa mirza sedang mencari rumah untuk tempat tinggal istri dan anaknyaa HP nya kecopetan dan ia kehilangan no HP sahabatnya.
Namun takdir berkata lain, setelah belasan taun lamanya. Allah mempertemukan mereka di sebuah acara syukuran yg dihadiri para pengusaha se Asia. Di situlah papa Mirza dan papa Hermawan dipertemukan kembali... Mereka sama2 menjadi pengusaha sukses dan sangat terkenal...
********
"hayuk diner kita", "mama udah masakin makanan kesukaan Ben Hemm", ajak mama kania yang menarik pergelangan putranya..
"kok cuma kak Ben siih maaa", ucap Reyhan cemberut...
"uuuuch anak mama, buat Reyhan juga sayaang", ucap mama mengacak2 rambut Reyhan...
"iyaa adek Kakak cemberut Jelek tauuu gantengnya pudaar tuuuh", guyon Ben...
"apaa siih", "siapa juga yang cemberut", weeek", ucap Reyhan yang melirik kakaknya..
Reyhan menikmati makan malam bersama keluarganya...
Sementara melly di rumah yang sudah dari tadi mandi dan juga menikmati dinner bersama keluarga tercintanya...
"maaa, Melly mau ijin pergi piknik 1 minggu ke puncak yaa", ucap Melly..
"puncaak? ", tanya mama marlina..
"Iyaaa maa, Melly pergi dengan guru2 disekolah dan semua wajib ikut kata pak Kepsek", jawab Melly menjelaskan...
"iyaa boleh kalo pergi dengan guru, jadi ada yang mantau anaknya mama", ucap mama Marlina tersenyum...
"Iyaa papa setuju sayaaang", ucap papa Mirza mengiyakan pendapat istrinya..
"jadi mama sama papa ga khawatir lagi, kan ada yang ngawasin yaa paa", sambung mama Marlina lagi...
"kapan berangkatnya ni", tanya papa Mirza
"besok minggu depan paaa", ucap melly tersenyum sambil menguyah makanannya.
"oh yaa sayang, malam besok papa sama mama mau ngadain syukuran ke lulusan melly tapi keluarga aja kok sayaang", ucap papa mirza yang memberitahukan tentang acara pertemuan dua keluarga tersebut...
"waah boleh paa, Melly boleh mengundang Kevin dan Aryo yaa”.
"Eeh sayaang, ini tamunya teman papa dan mama loeh, jadi papa dan mama maunya melly ga mengundang temennya melly, please yaa sayaang?", ucap papa Mirza menatap putrinya penuh harapan...
"oke paa, Melly ikut aja deh"...
"terima kasi sayaang, princesnya papa", ucap papa Mirza...
"melly ingat gak dengan om Hermawan sayaang hemmm?", tanya papa Mirza...
"gak paa", Melly menggeleng2kan kepalanya, sama sekali iya tak ingat siapa itu om Hermawan...
"itu om Hermawan, Sahabatnya papa saat masih tinggal di Bandung..
"gak ingat paa, maafin melly yaa paa"..
"iya gak pa2 sayang", ucap papa Mirza..
"Nah om Hermawan itu yang papa undang jadi tamu kita besok malam", "papa juga mengundang istri dan anak2nyaa", papa mulai bercerita...
"dulu Melly sering sekali main di rumahnya, main sama Ben dan Reyhan", cerita papa...
"uhuhuk uhuhuk uhuuk", Melly keselek saat mendengar papa menyebut nama Reyhan..
"pelan2 sayaaang, ini minum dulu dong", mama marlina menyodorkan segelas air untuk putrinya...
"iyaaa", ucap melly Menurut..
"melly kenapa sayaang", tanya papa.
"gak ada apa2 kok paa", ucap melly yang juga bingung tiba2 ia teringat dengan reyhan...
"Yaudah lanjutkan makannya sayaang", perintah mama marlina...
Melly hanya mengangguk2 dan kembali melanjutkan makannya...
"tadi papa, sebut nama Reyhan, apa jangan2 reyhan temen brantem gue", "Eeh tunggu kan nama Reyhan banyak", Melly membatin..
"moga bukan Reyhan temen brantem gue, Moga2 namanya aja yang sama", "tapi kalo Seandainya iya gimana dong, jangan bilang kalau papa mau jodohin gue dengan dia, bisa pecah piring setiap harinya, amit-amit deh", sambung melly membatin...
bersambung ke bab selanhutnya
pertemuan yang tak sengaja
tadi dia senyum dengan kakak, manis banget tau", "kayacnya anaknyaa sopan deh", ucap Ben...
"wudiiih sopan apaaan?", "ga ada sopan2nya tau kaaak", bantah Reyhan..
"buktinya tadi dia pamit ke kakak dan menundukan kepalanya"..
"ntar kakak liat gimana aslinya", ucap Reyhan yang masih menjelek2an melly...
"udah cepetan naik, kakak mau makan ni laper",
"iyaa kak", reyhan menuruti perintah kak Ben...
Ben dan Reyhan pun meluncur ke mall, setelah beberapa menit kemudian tibalah Ben dan Reyhan disana..
"weew udah sampek kaak”.
"iyaaa", sahut Ben singkat...
"kita makan dulu yaa, terus baru belanja",.
"iyaa kaak, cus di restaurant mana ni kaak",...
"ini aja yang deket", jawab kak Ben...
"oke kaak"..
reyhan dan kak Ben memasuki KFC tersebut...
Sementara melly dan raisa juga ada disana, mereka baru aja selesai memesan makanannya Dan duduk di meja pojok..
"Wah penuh yaa mbak",
"masih ada kok 1 lagi mejanya mas, mari saya tunjukin",
"iyaa, bentar Saya ambil makanan yang udah Saya pesan",
Pelayan hanya mengangguk ucapan Ben..
"mari mbak, di mana meja yang masih tersedia",
"hayuuuk mas",.
Ben dan Reyhan pun Berjalan mengikuti pelayan tersebut.. Sampai mereka disana ternyata meja tersebut sudah terlebih dahulu di duduki melly..
"Waaah penuh mas, Saya Pikir masih tersedia, maaaf yaaa mas",
"waduh kita udah terlanjur pesan ni kaak",..
"kok berdiri",
"tadi kata pelayannya masih ada meja yang kosong, ternyata setelah pesanannya siap penuh", curhat Ben..
"Yaudah disini ajaa kaaak",
"emangnya boleh?",
"boleh laaah kaak, duduk aja, capek tau berdiri terus kaak",
"makasi yaa", ucap kak Ben...
"Rey, hei kita udah ada tempat duduk ini", ucap Ben sambil menarik tangan Reyhan...
"mana kaak", tanya Reyhan yang masih berdiri membelakangi Ben..
"iniiiii"..
"Oh iyaaa", "haaaah lo", ucap Reyhan kaget melihat melly...
"kok kakak ga bilang siih, kalo ada melly", ucap Reyhan berbisik pelan...
"udaah duduk aja, dia udah nawarin kakak duduk", ucap Ben pelan...
"tapi kaaak"...
"Eeh ga ada tapi tapian yaaa, jangan buat onar yaa", perintah Ben..
"baik laah kaak", reyhan menuruti ucapan kak Ben...
Akhirnya duduk laah mereka semeja dengan melly...
"oh ya Perkenalkan nama Saya, Beni, Panggil aja kak Ben yaa", Ben mengulurkan tangannya memperkenalkan dirinya dan membuka pembicaraannya..
"Iyaaa, melly"..
"Iyaa raisa"...
"ini adeknya kakak, reyhaaan", "melly pasti udah kenal kan dengan reyhan kan?", tanya kak Ben...
"iyaa kaaak", ucap melly tersenyum..
"melly rencananya mau kuliah dimana?", tanya Ben..
"Di Amerika kaaak", jawab melly..
"oh yaaa, Waaah Kebetulan banget yaa, kak Ben tinggal di Amerika, nanti kalo melly perlu bantuan kakak, jangan sungkan2 menghubungi kak Ben, dengan Senang hati kak Ben bantuin melly",.
"Iyaaaa kaaak, terima kasih yaaa kaak",
"raisa gimana?", ...
"raisa akan kuliah di ingris”.
. "Waaah2 Kebetulan sekali yaa, warga Sydney jumpa dengan warga amerika yang lain?",
"hehehehe"
Sementara reyhan hanya diam tanpa bicara..
"hei reyhan kok diem ajaa siih?",
"lagi makan ga boleh bicara kan kaak",
"Iyaaa, maaaf deh, ya udah lanjutkn makannya yaa",...
"Kok tumben2nya reyhan diem ajaa dari tadi yaa?", Melly membatin...
"melly kok tumben ga bikin rusuh yaa, biasanya sih gak banget deh", reyhan membatin
"Melly asyik banget sih ngobrol dengan kak Ben", "trus melly hari ini cantik banget, sumpaaah cantik banget", sambung Reyhan membatin...
Tiba2 HP melly berdering,
"Hallo maaa", Melly mencoba menyambungkan telponnya..
"sayaang, Melly dimana?",
"lagi lunch maa",
"jangan lupa pesannya mama ya", mama marlina kembali mengingatkan putrinya...
"iyaa sip maa, bentar lagi melly mau cari maa", ucap melly...
'oke, udah dulu yaa sayaang", ucap mama marlina yang menutup telponnya..
"oh yaa kaak, kita duluan yaa, mau ke mall, Ada yang mau dibeli, yaaa saaa yaaa", ucap melly mengiyakan pada raisaa..
"Ya udah sekalian ajaa, kak Ben juga lagi mau beli sesuatu ni", ucap Ben menatap melly...
Melly hanya mengangguk ucapan kak Ben..
Pergilah mereka ke mall, mencari sesuatu itu...
"kaaak, kita kesana dulu yaa", ucap melly yang menarik tangan raisaa..
"iyaa", ucap Ben melambaikan tangannya...
Waktu pun berlalu,
"saa udah sore ni, pulang duluan yaa, lo gak pa2 kan gue tinggalin disini", pamit melly..
"gak paa mel, bentar lagi cowok gue jemput", ucap raisa tersenyum...
"byee",
Melly pun bergegas menaiki mobil dan meluncur menuju ke rumahnya..
30 menit kemudian sampailah melly di rumaahnyaa..
Melly berjalan menuju ke kamarnya..
"udaah pulang sayaang", celutuk papa yang berjalan dari araah dapur dan menghampiri melly..
"Eeh papa", sapa melly..
"istirahat yaa saayang, nanti malam biar lebih fresh", perintah mama marlina..
"iyaa maa, Melly masuk kamar dulu yaa", ucap melly yang berlalu pergi dan memasuki kamarnya...
"uuuuuch ngantuuuk banget nii",
"kok gue bisa2nya yaa ketemu reyhan hari ini, dari di spaa, lunch trus ke mall",
"kok reyhaan hari ini baek budinyaa yaa, biasanya kan suka cari ribut, tapi hari ini Reyhan ganteng banget loeh", Melly membatin..
"Kok gue jadi kepikiran dengan reyhaan terus yaaa, aaah apa siih?", sambung melly lagi...
Tak lama kemudian melly pun tertidur lelap..
Sementara reyhan dan kakaknya pun pulang ke rumah beristirahat.. Menyimpan tenaga agar nanti malam lebih fresh dan ga mengantuk...
Sahabat papa
Waktu pun berlalu, hari semakin sore...
# mimpi melly
"mel, gue mau minta maaf dengan lo karna gue itu sering banget marah2 dengan lo, gue harap lo bisaa maaafin gue yaa"...
"Iyaaa gue maaafin lo",..
"Reyhan mana Reyhaan, aaah gue cuma mimpi tadi huuuuuft", "mimpi disiang bolong, tau aah, mimpi itukan hanya bunga tidur",
"mana mungkin Reyhan mau minta maaaf, yang ada ngengsi gitu orangnya, takot pamornya jatoh",
"yaudah aqu shalat dulu trus bantuin mama menyiapkan makanan untuk tamu spesialnya papa",
"gue bantuin mama dulu aah",
"hei sayaang, udah bangun yaa",
"Iyaaa maa, ada yang bisa melly bantuin maa",
"iyaa boleh sayaang, cuma diisi air putih di gelas",
ini buaahnya sayaang",
"iyaa maaa"...
"udah cuma itu aja sayaang, makasih yaaa udah mau bantuin mama"...
"oh yaa, mama mau liat dong, gaun yang melly beli tadi?",
"iyaa maa, sebentar melly ambilkan dulu yaa",
"ini maaa",
"Waaah cantik banget sayaang, Pinter milihnya yaa, pasti Cantik banget deeh melly yang pakek yaa",
"aah mama berlebihan", Melly tersenyum malu2...
"Iyaaa loeh saayang, apa yang di ucapkan oleh mama itu benar sayaang",
"itu bener kata papa sayaang",
" sayaang, kalo Seandainya anak dari Temennya papa itu naksir dengan melly?",
"naksir dengan melly?, "Maksutnya gimana paa, Melly ga paham paa",
"Iyaaa maksutnya papa, dia itu suka dengan melly trus melamar melly gimana respon melly?",
"oooh, itu", "melly tinggal bilang, kalo melly mau meraih cita2 melly jadi melly tunda menikah dulu", ucap melly bijak...
"Iyaaa, maaama setuju banget dengan keputusan melly"
"kalo Seandainya cowok tersebut itu bilang lamar dulu, nikahnya nanti selesai kuliah itu gimana responya melly?",.
"jangan bilang acara dinner entar malam itu acara perjodohan melly dengan anak Sahabatnya papa, Melly ga mau di jodohin paaa",
"melly mau kuliah dulu pokoknya titik",
"Iyaaa sayaang, kan Seandainya papa bilang hemm?", "iih Jelek tauuu manyun gitu", "kenalan aja dulu yaa", ucap papa sambil mengangkat dagu melly...
"anak Sahabatnya papa itu, anak yang baik dan berasal dari keluarga terpandang, selain itu ia mandiri sayaang",
Melly hanya menghela napasnya..
"dia itu dosen berprestasi di kampus Amerika loeh, kan melly bisa tanya2 informasi tentang kampus Amerika dengan putra om Hermawan, kan melly pernah bilang dengan papa, Melly suka Berteman dengan Siapa saja",
"papa ga akan maksa melly menikah dengan Siapaa aja, yang penting Itulah kebahagiaan anaknya papa",
"iyaa paaa",.
Hari semakin Senja, matahari mulai tenggelamkan dan malampun akan segera datang...
Jam dinding pun berdenting menujukan pukul 7 malam, Melly dan keluarganya sudah siap menyambut tamu spesialnya papa...
"Waaah cantik banget siih princesnya papa hemmm?",
"hmmm wangi lagi",
"cie cie yang udah ga sabar ketemu dengan sahabatnya",
"ahahahaha, Melly tau aja siih sayaaang",
Sementara keluarganya reyhan disana juga sedang bersiap-siap memenuhi undangan dari papa Mirza...
"Ben, udah siap sayaang", tanya papa yang sudah dari tadi nungguin...
"udaaah paa", jawab Ben yang sedang memakai jam tangannya...
"reyhan mana yaa?", tanya papa Hermawan...
"ini aqu udah siap kok paa", "tinggal nungguin mama berdandan ahaha", celutuk reyhan yang berjalan menghampiri papa dan kak Ben...
"hayuuk, mama udah siap ni, mama udah ga sabar pingin cepet-cepet ketemu marlina, sahabatnya mama dulu", ucap mama kania girang...
"Iyaaa maaa, papa juga, udah lama kita gak ketemu dengan mereka", sambung papa lagi...
"yuuuuuuuk, kita berangkat tunggu apa lagi", ucap Reyhan...
"hayuuuk", ucap mama, papa dan kak Ben kompak...
Mereka pun berangkat menuju ke rumah melly untuk memenuhi undangan dinner..
20 menit kemudian sampailah reyhan dan keluarganya di rumaah melly..
Ternyata melly tinggal di Rumah yang mewah...
"papa udah sampai", "Kalo dilihat dari alamat yang papa kasih siih, ini rumaahnya paaa", ucap Reyhan...
"yaudah Coba papa cek dulu yaa, kalo salah kita telpon om Mirza aja", ucap papa Hermawan...
"permisi, numpang Nanyak ni mas", papa Hermawan bertanya ke security...
"iyaa silahkan pak"..
"apa benar ini Rumah pak mirza pengusaha PT melindo property", tanya papa Hermawan...
"Iyaaa pak, bener, Bpak dengan siapa biar saya bilang Ke pak mirza sekarang", tanya security...
"Saya Hermawan", ucap papa...
"oooh jadi tamunya bpaak yaa, waah silahkan masuk paaak, tadi pak mirza sudah berpesan dengan Saya", ucap security yang membukakan pintu gerbang Rumah mewah milik melly...
"iyaa Terima kasih", papa kembali masuk ke dalam mobilnya...
"gimana paa?", tanya Reyhan
"iyaa Rey, ini rumahnya.. ucap papa
Reyhan pun memasuki mobil sampai Ke depan halaman Rumah melly.
Security langsung memberitahukan kepada pak mirza tentang kedatangan tamu..
Papa mirza dan mama marlina sudah menunggu kedatangan keluarganya reyhan di teras depan...
Sementara melly berada di dalam Rumah...
"Eeh mawan", sapa papa mirza sambil berpelukan dan nenepuk2 punggung om hermawan..
Begitu juga dengan mama marlina yang menyapa mama kania..
"udah lama kita gak ketemu yaa mbak", ucap mama kania sambil cipika cipiki...
"Iyaaa, hayuuuuk masuk kedalam yuuk", ucap mama marlina mempersilahkan mereka masuk..
"oh yaa, ini Ben dan Reyhan", ucap papa hermawan yang memperkenalkan putra2nya...
"Waaah udah besar Dan gagah yaa", ucap papa mirza...
Ben dan reyhan menyalami om mirza...
"hayuuk kita masuk yuuk", ajak papa mirza...
Mereka pun masuk kedalam Rumah om mirza..
Dari kejauhan melly melihat Reyhan dan Ben, matanya melek merem..
"ituuu Reyhan dan kak Ben deeh, aah masa siih anak Sahabatnya papa?", Melly membatin
"Whaaat, bener itu Reyhaan", "gue ga boleh kecewain papa, malam ini gue arus bersikap baik dengan reyhan dan ramaah", sambung melly...
"silahkan Ben, Rey, Wan, Kania",
"sayaaang", sini dong papa mau kenalin dengan Sahabatnya papa", Panggil papa mirza...
Melly pun menghampiri meja makan..
"melly yang jumpa di mall tadi yaaa", tanya ben...
"Iyaaa kaaak", gumam melly sambil tersenyum sekilas
"Waaah ternyata kalian udah saling kenal yaa?", tanya papa hermawan Dan om mirza serentak...
"baru tadi waktu lunch paa", ucap Ben
"yaudah duduk sayaang",
"Iyaa paaa"..
"Oh jadi putri Cantik dari Sahabatnya papa itu ternyata melly hemm",
Melly hanya tersenyum...
"gilaaa, ini Melly, Wah cantik banget siih lo mell", "Jujur gue gak kenalin lo tadi, gilaa cantik banget tau", batin reyhan..
"tapi kenapa melly gak marah2 dengan gue trus ngusir gue dari Rumahnya, brarti melly anak orang kaya dong", "tapi penampilan harian biasa aja deh, sederhana gitu", sambung Reyhan lagi...
"reyhan udah lebih dulu kenal dengan melly paa, iyaaa kan Rey", ucap Ben mengiyakan ke Reyhan ..
"Iyaaa paa", ucap Reyhan tersenyum sekilas...
"melly temen sekelas reyhan", sambung Ben yang bercerita ke papanya...
"kenapa ga cerita Ke papa"..
"kan Reyhan ga tau, kalo ternyata melly itu anak dari om mirza",
"Yaudah kita makan dulu, entar makanannya keburu dingin ni, Silahkan mbak kania, reyhan, Ben, mas",
"iyaa terima kasiih", ucap mama kania...
"Sebenarnya kalian itu pernah bermain bersama loeh sayang, waktu itu umur Melly 2 tahun yaa paaa",
"Ben slalu menggendong melly loeeh", "suka adek cewek Katanya, iyaa ben",
"kalian itu bermain ber 3 loeh sampai melly itu ketiduran di rumaah om", sambung om hermawan..
"iyaa sayang, Melly sama reyhan itu hanya beda 6 bulan loeh", ucap mama marlina lagi...
Reyhan melirik melly dan memperhatikan melly.. Matanya memandang melly tanpa berkedip..Reyhan terpesona dengan penampilan melly malam ini...
"papa itu dulu menjodohkan melly dengan salah satu dari kalian, bisa Ben atau reyhaan",.
"uhuhuk uhuhuk uhuhuk", Reyhan keselek mendengar ucapan om mirza tentang perjodohan tersebut...
"hati2 sayaaang, minum dulu yaaa", mama kania yang menyodorkan segelas minuman..
"gimana sayaang",
"gak papa maa, aqu baek baek ajaa kok",..
"melly kok diem yaa, ga keselek, apa dia setuju tentang perjodohan ini? ", batin reyhan...
"kasiaan Reyhan keselek, pasti perih banget tu", ucap melly membatin ibaa...
"Reyhan tambah lagi dong",.
"udah cukup tante, terima kasih".
"Ben tambah dong",.
"udah tante, terima kasih",
"putrinya cantik banget siih hemm?", puji om hermawan..
"tumben reyhan malam ini gak buat onar", batin melly..
"oh yaa sayang, jangan lupa yaa di save no kak Ben dan Reyhan yaa, siapa tau entar melly membutuhkan bantuan mereka",.
"Iyaaa paaa",
"berapa no melly, biar kak Ben miscall yaa",
"iyaa kaaak",
"oke ini no melly yaa, Sekarang kakak miscall yaa?",.
"nanti selama di Sydney tolong dibantuin melly yaa ben",
"Iyaaa om, dengan Senang hati",..
Makan malam yang sangat menyenangkan Kedua Sahabat lama di pertemuukan kembali setelah sekian lama berpisah...
Description: cerpen ini ditulis karena terispirasi dari 2 karakter yaitu Reyhan dan Melly dalam sinetron Cinta Buta, yang dimainkan oleh Jihane Almira, Nikita Willy dan Rezky Aditya.
Reyhan berkarakter playboy sementara Melly gadis yang tomboi dan baik hati.
jadi jangan lupa baca dan kalau kalian suka jangan lupa like serta share juga komenannya
|
Title: Remaja
Category: Puisi
Text:
Puisi remaja
REMAJA
mentari mulai muncul
ayam mulai berkokok
burung burung saling bersautan
tanda fajar telah tiba
pelajar bersiap untuk memulai hari
sekolah telah menanti
untuk mereka datangi
doa dan harapan orangtua menemani
langkah demi langkah
keringat demi keringat
keluh dan resah mereka lalui
untuk masa depan ibu pertiwi
peluh dan darah para pahlawan
yang telah berjuang
untuk memperjuangkan bangsa
agar para pahlawan bangga
giat untuk sukses
jangan biarkan otak membeku
hingga menjadi abu
masa depan ada ditangan kita
Description: puisi tentang remaja
|
Title: Resep Menulisku
Category: Pengembangan Diri
Text:
Preambule
Sepengetahuanku 'Preambule' artinya pembukaan. Semoga tidak salah..
Sejak kepulangan keluarga dari India waktu aku kelas 4 di SD Ora et Labora Jakarta Selatan aku mengalami kesulitan dalam mengikuti satu mata pelajaran yang mungkin bagi sebagian besar teman-temanku merupakan mata pelajaran yang paling mudah yaitu Bahasa Indonesia.
Aku tidak mampu mengarang.
Entah karena trauma atau karena minim vocabulary ku dalam bahasa Indonesia atau mungkin juga karena jarang membaca buku Indonesia. Setiap kali aku berhadapan dengan kertas kosong, rasanya ingin menangis karena tak satupun kata yang bisa mengalir melalui penaku.
Walhasil di raportku ada warna merah...yup..Bahasa Indonesia...
Jangankan mengarang, Undang -Undang Dasar dan Pancasila saja aku tidak mengerti isinya apalagi menghafalkannya. Oh my dear God. Help me please.
Dulu Papa bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang oil services Schlumberger namanya. Agak susah sih mengejanya, apalagi menulisnya. Tapi karena sejak kecil aku selalu membacanya di "wear pack" papa sehingga tidak sulit untuk mengingatnya
Wah, jadi teringet Papa...
Papa sudah dipanggil Tuhan 5 tahun yang lalu karena penyakit leukimia...aku kangen papa... Sosok yang mengajarkanku banyak hal. Selalu mengajarkanku untuk fleksible harus selalu creative, tidak manja dan harus kuat supaya bisa survive bertahan hidup.
Papa sangat 'fluent' dalam bahasa Inggris, sabar dan sangat pintar mengajar dan sepertinya aku mewarisi hobi membaca dan mengajar dari papaku. Masih terbayang di benakku setiap kali papa pulang dari 'Off shore' oleh-oleh mainan sudah pasti Papa bawakan untuk aku dan adik - adikku. Tapi selain itu, setumpukan Novel Bahasa Inggris karangan Sidney Sheldon, Agatha Christie dan teman-temannya yang lain pasti sudah bertumpuk di meja kerjanya. Semua sudah dilahapnya dalam sebulan papa di off shore saat menghabiskan waktu di 'rig'. Dan seperti kalian ketahui saat itu belum ada internet, hanya ada tv dan buku.
Buku Novel Bahasa Inggris pertama yang papa belikan buat aku berjudul "Black Beauty" sebuah kisah klasik tentang perjalanan hidup seekor kuda...well..cukup menarik menurutku. Not to fascinating honestly but I quite understand the story. It's very classic.
dan sejak saat itu aku jadi suka membaca. Membaca novel berbahasa inggris tentunya.
Nah yang menjadi permasalahannya sekarang adalah I need to learn to write in Bahasa. Mungkin teman - temanku berpikir "kok sombong banget ya., masak orang Indonesia ga bisa menulis dalam bahasanya sendiri"
well that's the truth...
So, aku mengambil keputusan hari ini untuk belajar menulis dan membuat jurnal perjalananku mempelajari 'this subject'.
Mastering my own language. dituangkan dalam buku "Resep Menulisku".
RESEP PERTAMA : Kejujuran
Sebuah hikmat : Menulis dianalogikan seperti membuat kue.....
"Kejujuran adalah bab pertama dalam kitab hikmat" - Thomas Jefferson
RESEP PERTAMA
"Siapkanlah mangkok kejujuran, sebuah mangkok milik kamu pribadi...dengan bentuk dan ukuran yang unik seunik pemiliknya"
Bagiku...bagian tersulit dalam 'menulis' adalah saat kita harus 'memulai'.....Saat kita berpikir.....bahkan terlalu banyak berpikir.....
berpikir tentang teori menulis....
berpikir tentang hasil menulis....
berpikir tentang gaya menulis....
berpikir tentang bentuk tulisannya....
berpikir tentang pendapat pembaca ...
arghh pusing jadinya...
Akhirnya...aku menaruh kembali penaku dan aku belajar...aku membaca ...membaca banyak tulisan...
ada satu garis merah yang aku lihat di setiap tulisan yaitu..."kejujuran"...jujur pada diri sendiri...jujur pada tulisan...jujur dalam menulis...
menuliskan kesukaan...
menuliskan harapkan...
menuliskan bayangan...
menuliskan impian...
menulis 'apa adanya"...
apa adanya mereka...
Keunikan bentuk dan ukuran mangkok 'kejujuran' kita akan mencetak sebuah kue 'tulisan' yang tidak akan ada bandingannya....
karena kejujuran menjadikan kita berbeda...
RESEP KEDUA : Membaca, Membaca dan Membaca
Semakin banyak kita membaca, semakin banyak hal yang kita ketahui, semakin banyak yang kita pelajari, semakin banyak pula tempat yang kita kunjungi." - Dr.Seuss
2. RESEP KEDUA : Membaca, membaca dan membaca
Aku teringat....
26 tahun yang lalu...
Penatnya siang hari sepulang sekolah....membuatku ingin cepat pulang berlari dari ujung jalan tempat turun angkot...ke rumahku kira kira 100 m berjalan kaki jaraknya. Pengen cepet cepet sampai rumah...menegak sebotol air es...wahhh segarnya...menghilangkan dahaga.
Sudah menjadi kebiasaanku di waktu itu.. setelah sampai di rumah, aku akan..minum air es yang banyak....ganti baju...cuci tangan, cuci kaki...langsung cepat cepat mengambil buku kesayanganku karangan "Mira W"..tidak lupa dengan sebatang coklat pastinya....
Naik ke tempat tidur mengambil posisi paling nyaman..lalu membiarkan diriku hanyut dalam novel percintaan yang saat itu sedang digandrungi teman teman sekelasku. Ehmmn Nikmat benar....aku suka banget novel dan coklat...
26 tahun yang lalu adalah....masa dimana aku mulai beranjak dewasa, masa penuh keingintahuan, masa mengenal diri sendiri, masa diperkenalkan artinya cinta....namun saat itu jaman belum ada internet...jadi aku mencari semua jawaban dari pertanyaanku dari sebuah buku...aku masih SMP saat itu.
Membaca kisah kisah percintaan Mira W selalu membawaku ke tempat yang tak pernah terjangkau olehku, merasakan hal hal yang belum pernah terlintas dalam pikiran dan emosiku.... sebenarnya aku masih terlalu dini untuk mengkonsumsi bacaan seperti ini. Namun hasrat keingintahuanku jauh lebih besar...akhirnya aku banyak membaca. .membaca dan membaca....sampai terkadang lupa waktu, lupa makan, lupa diri..dan lupa segalanya....ooops...
Itulah asyiknya membaca...
"Membaca membawa kita ke tempat tempat terindah saat kita harus tetap tinggal diam di tempat kita saat ini.." .Sebuah quote tentang membaca yang saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia..
Jadikan 'membaca' sebagai sebuah gaya hidup kita, setujukah anda jika aku berkata..'tanpa membaca kita tidak dapat hidup'...?
Otak kita akan merekam segala macam tulisan yang kita baca hari lepas tiap hari..dan memory itu akan menjadi sangat berguna saat kita mengimplementasikannya dalam 'kue' tulisan kita.
RESEP KETIGA : Belanja
Apa korelasi belanja dengan tulisan?
Belanja merupakan pemerolehan barang atau jasa dari penjual dengan tujuan membeli pada waktu itu. Belanja adalah aktivitas pemilihan dan/atau membeli.
"Belanja" merupakan sebuah aktifitas yang sangat digemari oleh 90% wanita.
"Belanja" merupakan sebuah aktifitas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kita.
"Belanja" tidak selalu berkonotasi negatif.
"Belanja" bahan - bahan dasar untuk membuat kue dilakukan sebelum kita membuat kue itu sendiri.
Jadi jika kita ingin membuat sebuah "kue" tulisan, pertama - tama kita harus ber "belanja". Lalu bagaimanakah cara kita belanja?
1. Perhatikan bentuk "kue" tulisan yang kita inginkan, fiksi, non fiksi, cerpen, novel,puisi dsb.
2. Detail mencermati gaya bahasa bentuk "kue" tulisan yang kita inginkan.
3. Kecap dan rasakan "kue" tulisan yang enak untuk dibaca.
4. Cermati "bumbu" apa yang ada dalam "kue" tulisan yang super itu.
5. Belajar dari berbagai penulis pembuat "kue" tulisan.
6. Belilah buku mereka lalu buatlah catatan dan coretan, agar terekam dalam memori kita.
7. Survei dan mengumpulkan bahan untuk "kue" tulisan kita sendiri, bisa berupa latar belakang budaya, setting, sejarah, cerita teman, lingkungan, kejadian atau apa pun yang dapat dijadikan inspirasi.
8. Setelah bahan telah dibelanjakan, barulah kita mulai proses pembuatan "kue" tersebut.
Catatan : Umumnya kita berbelanja menggunakan "uang", tetapi dalam konteks ini kita berbelanja menggunakan "waktu".
RESEP KEEMPAT : Mari Memasak
Bahan- bahan yang dibutuhkan:
1. Ide dan Konsep dasar
2. Pengetahuan dan pengalaman
3. Tujuan menulis
4. Keunikan
5. Alur cerita
Cara membuat kue 'tulisan'
1. Siapkanlah ide unik dan konsep dari buku yang akan kita tulis.
2. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki , fakta berikut data dapat kita kumpulkan sebagai dasar tulisan yang akan kita olah. Alangkah baiknya jika kita melakukan penelitian khusus untuk tema yang kita pilih.
3. Tujuan kita membuat kue "tulisan" ini pun harus jelas, kepada siapa dan untuk apa kue "tulisan" ini dibuat agar terjaga motivasi, ritme dan konsistensi kita dalam menulis.
4. Temukan keunikan kue "tulisan" kita agar menarik untuk dibaca, dan sebagai seorang "chef" - penulis memiliki sebuah karakter dan gaya yang tidak dimiliki penulis lain.
5. Dengan memikirkan alur cerita yang jelas di awal pembuatan kue "tulisan", akan memudahkan kita untuk menulis dari bab ke bab selanjutnya.
6. Sebuah tips agar tekun dalam menulis. Jadikanlah menulis sebuah gaya hidup, biasakanlah mencatat setiap ide yang muncul di benak kita. "Menulislah setiap hari, minimal 15 menit dalam sehari", begitu ujar sahabat saya yang juga penulis.
7. Setelah semua bahan dicampur menjadi satu, ada baiknya tulisan dibiarkan beberapa lama agar "mengembang", dengan tujuan agar penulis membaca berulang-ulang dan alangkah baiknya jika ada pendapat dan masukan dari pembaca lain. Tidak ada tulisan atau karya yang "sempurna". Kita belajar menjadi sempurna melalui proses.
8. Sebagai bumbu pelengkap kue "tulisan" kita, bubuhkanlah sesendok "rasa percaya diri" kedalamnya. Percayalah bahwa jika kita merasa diberkati melalui kue "tulisan" kita, niscaya minimal satu orang akan mendapat berkat yang sama.
9. Saat kue "tulisan kita telah matang", proses selanjutnya adalah proses akhir yaitu mengedit buku. Pekerjaan ini dapat dilakukan oleh seorang editor yang kita pilih dengan tujuan untuk mengoreksi dan mempertajam tulisan maupun "rasa" tulisan kita, agar pembaca dapat menikmati kue "tulisan" ini.
Akhir kata, kita tidak akan tahu jika kita tidak pernah mencoba. Selamat memasak teman-teman ! Selamat menulis !
Description: Bagiku menulis dalam Bahasa Indonesia adalah sebuah 'momok', terasa selalu 'kaku' hasilnya. Untuk itu di buku keduaku ini aku sedang belajar menulis Resep Menulis, nah lho..bingung kan..hihihi..sama..aku juga. Entah sampai berapa bab buku ini akan ditulis, yang penting target tercapai... yup ..bisa menulis dalam bahasa Indonesia.
Mohon masukan dan petuah dari temen - temen penulis yang kece - kece yaaa....terima kasih..
|
Title: Renungan
Category: Puisi
Text:
Mimpi Ke Ujung Dunia
Suatu saat yang kulihat di depan ku adalah keunikan bangunan-bangunan Eropa
Suatu saat nanti yang kurasakan bukan sepoinya angin Asia
Namun dinginnya Salju yang ditemani dengan kopi hangat
Aku bermimpi
Aku bisa menjelajahi dunia sampai ujungnya
Akupun bermimpi
bisa menebar manfaat ke setiap titik dunia dengan delta perubahan posisi yang cukup kecil
Sungguh hambamu ini dipenuhi dengan kelemahan dan kekurangan
dan
Sungguh, maha besar dan kuasa Engkau wahai Tuhan semesta alam
~ Sang Pemimpi
Description: Siapa yang mengerti tentang jiwa. Jiwa yang luas dan siap dieksplorasi. Dia menjadi satu anugerah yang sungguh menakjubkan sehingga sampai saat ini belum ada penjelasan yang memuaskan tentang jiwa. Apakah sampai saat ini kita pernah mencoba untuk bercakap-cakap dengan jiwa kita?, tentang tujuan kehidupan, tentang mimpi-mimpi kita, tentang semua hal mendasar dalam hidup ini. Jika belum, marilah kita sama-sama sejenak menghindar dari keramaian, merenung dan mulailah menikmati percakapan dengan jiwa itu.
|
Title: Rahasia Mimpi Ambu
Category: Cerita Pendek
Text:
Rahasia Mimpi Ambu
“Cuma sepuluh juta, Is. Insya Allah bulan depan Ambu ganti,” suara Ambu kembali berirama di seberang sana.
”Untuk apa dulu Ambu?” tanyaku bimbang.
Setelah tigapuluh tahun aku jadi anaknya, baru kali ini Ambu meminta. Aneh. Dan jumlahnya cukup besar. Rasa ingin tahuku semakin bergelayut ketika Ambu mengatakan ini rahasia kita berdua.
”Untuk apa sih Mbu?” aku kembali bertanya ketika ia sengaja mampir di kantorku.
”Rahasia Is, kali ini Ambu minta tolooong banget jangan katakan pada siapapun, terutama Ayah.” jawabnya sambil tertawa.
Tawa yang lepas namun tetap penuh misteri. Ambu kelihatan bahagia. Bahkan ada kerlip bintang di mata Ambu. Tak nampak kesulitan sedikitpun, jadi untuk apa uang itu? Kucoba selami apa yang ada di dalam pikiran Ambu. Argh, ku tak mampu menguak rencana besar apa yang Ambu buat.
”Paling telat minggu depan yah, gak usah ditransfer. Nanti Ambu ambil di kantormu saja,” katanya percaya diri meninggalkanku yang hanya termangu.
*****
”Mungkin untuk hadiah,” setengah bergumam suamiku berkomentar. Matanya tak lepas dari monitor komputer. Hal yang tidak kusukai ketika kuajak ngobrol.
Aku tak tahan untuk merahasiakan seperti kata Ambu. Apalagi pada suamiku. Bagiku sudah tidak ada rahasia di antara kami berdua, itu sudah jadi komitmen cara kami berkomunikasi.
Itu pemahaman yang kudapat dari Ambu. Tapi mengapa sekarang Ambu malah bermain rahasia?
”Hadiah sebesar itu?” aku mengernyitkan alis.
”Mungkin Ambu mau ngasih kejutan buat Ayah kayak kamu yang suka ngasih kejutan,” suamiku menoleh dengan senyuman.
”Mhh... mungkin sih, dalam rangka apa kira-kira?” aku terbawa pikiran suamiku walau rasanya aneh. Ambu bukan orang yang suka ngasih kejutan apalagi jumlahnya besar.
Kamipun menyusuri tanggal-tanggal di kalender.
”Minggu depan berarti tanggal 23 Juli, acara apa yah?” aku ribut menunjuk kalender digital di komputer suami.
”Huh gak ada kaitan apa-apa sepertinya,” aku melenguh panjang.
Seharian itu pikiranku masih digelayuti misteri uang sepuluh juta untuk Ambu. Suamiku tampak cemas melihatku hanya mematung.
”Sudah berikan saja, uang segitu kamu pasti punya kan? Jangan sok pelit lah, kamu kan baru dapat proyek,” katanya sambil menggilik pinggangku.
Aku tak bereaksi. Rasa penasaranku makin menggantung, aku harus tahu dulu untuk apa uang itu.
*****
”Teh, tebak, aku ada dimana dan siapa yang kulihat di depanku?” suara Arif, adik bungsuku bergema di seberang telepon.
”Hah, dimana? Ambu kamu lihat sama siapa?” aku bertanya bertubi-tubi.
Arif memang kutugaskan jadi detektif dadakan. Setelah berulang kali kucoba mengorek sendiri keterangan dari Ambu, hasilnya nihil. Lagi-lagi Ambu selalu mengatakan rahasia. Dan kembali dengan senyum misteriusnya.
”Ups, tenang Bu! Aku di Toko Buku dan Ambu lagi borong buku, buaaaanyaaak!” serunya riang.
”Heh, buku?” Aku juga kaget.
”Coba kamu lihat buku apa ajah itu?” tanyaku lagi.
”Diktat kuliah sepertinya, buku tebel-tebel kayak kamus, iiih mengerikan deh!” seru adikku.
Aku tersenyum geli, adikku yang satu itu memang paling anti baca buku, walaupun sudah bergelar mahasiswa. Mungkin nurun dari Ambu, dia juga tidak hobi baca. Eh ya, jadi buku itu untuk siapa yah? Masa Ambu mau baca diktat kuliah?
”Teh seharian ini Ambu baca terus,” adikku menelepon lagi.
”Heh?” aku terkaget-kaget.
”Iya bener, tapi sembunyi di loteng. Di bekas kamar Kang Farid.” bisiknya lagi.
Aku kembali termangu. Ada apa dengan Ambu? Kenapa ia jadi kutu buku? Argh misteri ini semakin ngejelimet.
”Mas, ke rumah Ambu yuk,” ajakku tiba-tiba.
Suamiku terlonjak. Ia sedang berada di ruang praktikum menekuni penelitiannya.
”Hush, aku kan lagi kerja. Ntar dipecat pula,” ia mengerlingkan sebelah matanya.
”Nggak dong, ntar aku bilang ke Ayah,” aku balas menggoda.
”Huh, senjatanya!” Ia terbahak. Tapi tak urung meraih jaket dan ranselnya mengikutiku ke luar ruangan. Ayahku adalah Dekan di fakultas yang sama dengan suamiku, akupun mengenalnya lewat Ayah.
”Enak yah, jadi dosen. Bisa ngabur gini!” kataku setelah sukses menculiknya.
”Lebih enak jadi notaris, bisa nyulik dosen ganteng,” ia balas menggoda.
”Ngapain sih siang-siang gini ke rumah Ambu? Besok Sabtu ajah napa sih?” Tanyanya heran.
”Aku gak tahan pengen Sidak,” jawabku singkat.
”Huh, dasar notaris, pake inspeksi mendadak kayak apaan ajah, terus ngapain juga bawa-bawa aku?” ia memonyongkan bibir.
”Iya, yah ngapain ajak-ajak kamu,” aku tertawa menyadari keribetan ini.
”Dah nanggung diculik, sekarang Mas jadi supir ajah yah,” akhirnya kuserahkan kendali mobil.
”Belok kanan, Mas.. kita jemput Arif dulu, Mas tahu kan kantin Boulevard?” kataku.
”Arif?” suamiku balik nanya.
”Hooh, tuh dia!” seruku.
“Arif.. oiii.. Arif,” aku melambaikan tangan dari balik jendela.
”Mau ngapain sih kalian pake rame-rame?” tanya suamiku heran.
”Masih kurang rame, ada satu orang lagi, kita meluncur ke stasiun Mas,” kataku riang.
Suamiku hanya geleng-geleng kepala.
”Heh Farid juga ikut?” suamiku terbahak.
”Iya sengaja gak bilang-bilang Ambu. Tau nih aku kan emang rencana pulang. Eh si Ibu cerewet ini bilang gak usah bilang siapa-siapa, gak tau kenapa pula,” Farid nyerocos begitu naik ke kursi belakang mobil.
”Hush, tenang, ntar aku jelaskan sambil jalan,” kataku mantap.
”Emang Singapur Bandung deket, aku kan pengen dijemput di Jakarta ama Ambu. Biar romantis,” rutuk Farid.
”Alah kamu kan udah sering pulang Rid. Kali-kali bikin kejutan buat Ambu yok,” aku mengerlingkan mata dan menjelaskan rencanaku.
Suamiku hanya senyum-senyum di balik setir. Kami bertiga seperti masa kanak-kanak dulu. Memberi kejutan pada Ambu dan tentu saja aku selalu jadi pencetusnya.
”Ah, Teteh.. emang Ambu masih mau gituh? Ambu kan udah tua?” Farid garuk-garuk kepala.
”Biar tua masih semangat, tanya Arif deh!”
”Iya Kang, Akang bakal heran deh. Kamarmu disulap jadi kamar kerja Ambu,” Arif bercerita heboh.
”Ayah tahu?” tanya suamiku.
”Nggak,” jawabku pendek.
”Bagusnya kamu kasih tahu Ayah juga, Is. Gimana juga Ayah kepala keluarga,” nasehatnya.
”Ntar deh kalau Ambu setuju,” jawabku lagi.
*****
”Waduh kalian masuk gak bilang-bilang,” Ambu berseru dari balik tumpukan buku.
Benar kata Arif, kamar Farid berubah total. Farid geleng-geleng kepala melihat kamarnya.
”Ambu, kamarku diambil alih juga gak bilang-bilang,” ia menghambur ke pelukan Ambu.
Muka Ambu memerah. Ia kelihatan malu ketahuan sedang berkutat dengan buku-buku. Buku-buku yang sebenarnya terpaksa ia lahap untuk sebuah harap.
”Ambu Sayang, kami sudah tahu,” kataku lirih menepuk bahunya.
Ada kilat di matanya tapi sebentar ia menunduk.
”Jadi kamu sudah tahu uang sepuluh juta itu untuk apa?” tanyanya terbata.
”Ambu, Ambu gak usah malu untuk berbuat kebaikan, kami dukung Ambu kok!” Arif mengacungkan dua tangannya.
”Dukung apaan sih?” Ambu tersenyum pura-pura tak mengerti.
”Ini yang Teteh pesan,” Farid menyodorkan formulir pendaftaran.
”Ini untuk Ambu. Universitas Farid menerima mahasiswa dari segala umur. Bahkan bisa kuliah jarak jauh,” sodorku.
”Tapi.. tapi... bukan ini yang Ambu maksud,” Ambu tersenyum geli.
”Loh, bukannya Ambu mau kuliah lagi?” tanya Arif heran.
Perasaan, ia telah investigasi tuntas. Dan menurut Mbok Parti, Ambu mulai berubah jadi kutu buku setelah menerima surat. Surat dari sebuah universitas di luar negeri yang Mbok Parti tak mengerti. Tapi yang jelas, setelah itu Ambu berkata pada Mbok Parti bahwa Ambu akhirnya akan bisa jadi Doktor seperti Ayah. Bukankah itu sudah jelas?
”Ngg, kamu dapet bocoran yah?” Ambu malu-malu mengeluarkan amplop putih.
”Ini loh!” katanya.
Di kop suratnya tertera Schimberg University Germany. Tapi di dalamnya berbahasa Indonesia.
Selamat kepada Saudara Mustika Prihatini
Anda berhak mendapat Gelar
Doktor Honorary Causa in Art dan Cultural
Empat pasang mata kami terbelalak dan akhirnya terbahak. Suamiku yang jenaka sampai berlelehan air mata melihatnya.
”Aduh kenapa kalian ngetawain Ambu sih,” Ambu jadi salah tingkah.
”Aduh Ambu, kenapa sih percaya sama surat beginian,” kataku miris.
Sudah sering aku mendengar kasus penipuan seperti ini. Herannya Ambuku yang istri Dekan kok percaya. Lebih tragis lagi, beliau mencoba merahasiakannya.
”Ambu gak bilang-bilang soalnya malu,” muka Ambu memerah.
”Jadi buat apa gelar itu kalau Ambu malah sembunyikan hayoh?” kejarku.
Ambu tercenung.
”Terus uang sepuluh juta itu buat beli gelar ini?”selidikku lagi.
”Bukan beli, Is.. buat admistrasi katanya. Ung, sebenarnya lima belas juta sih mintanya, tapi Ambu tawar jadi sepuluh,” Ambu menggigit-gigit bibir.
”Tuh kan Ambu, masa bisa ditawar segala?” Farid ikut berkomentar.
”Ambu juga disuruh belajar, pake test kok.. jadi Ambu gak begitu ajah dapet gelar dong,” kata Ambu membela diri.
”Terus kuliahnya berapa lama?” selidik Arif geli.
”Woy bidang apa tadi? Art and Cultural. Emang Ambuku artis apa?” Haha...” Arif terus menggoda.
Kami juga tak henti berkomentar, suasana sahut-sahutan membahas surat tadi. Farid malah membolak balik kertas dan lampirannya Hanya suamiku yang terdiam, ia memberi isyarat padaku. Aku menyambung isyarat dengan menarik tangan Arif yang masih nyerocos. Tampak butiran bening di sudut mata Ambu.
”Eh, maaf Ambu, kami tak bermaksud mengejek,” Arif tampak menyesal.
”Taukah kalian, Ambu sudah lama menanti kesempatan ini. Dulu Ambu meninggalkan bangku kuliah demi mengikuti Ayahmu yang kuliah di luar negeri. Lalu Ambu sibuk mengurus kalian. Dan sekarang tawaran itu datang, tidak bolehkah Ambu masih punya mimpi?” katanya terbata dengan mata masih berkaca.
”Ambu hanya ingin mendapat gelar seperti Ayahmu.. Ambu hanya ingin sebuah pengakuan,” ia makin terisak.
Kami terkejut, Ambu ternyata masih memendam keinginan seperti itu. Keinginan untuk mempunyai gelar yang sepertinya sudah puluhan tahun ia lupakan. Tidak, Ambu ternyata tak pernah melupakan impiannya.
”Ambu, Ambu telah menjadi Doktor di hari yang sama dengan Ayah kan? Tanpa perlu pengakuan resmi. Ayah mengakui Ambulah Doktor yang sebenarnya.” tiba-tiba Ayah sudah di ambang pintu dengan senyum mengembang.
”Bahkan Ambu juga Sarjana Hukum, karena Ambu yang menggiring Teh Isma. Ambu juga Master seperti Kang Farid, dan mungkin bentar lagi jadi ST, sepertiku” Arif mengelus punggung Ambu.
”Tanpa Ambu kami tak mungkin punya gelar,” bergantian kami merangkul Ambu.
Kami sangat faham ini berat bagi Ambu. Keluarga kami dari sejak kakek buyut dari golongan berpendidikan. Begitu juga teman-temannya, banyak yang sudah meraih gelar tinggi. Istri-istri dosen di kampus Ayah yang satu organisasi dengan Ambu jarang tak bergelar. Wajar Ambu merasa minder dan ingin pengakuan. Hanya Ambu sendiri yang ”tertinggal”. Tapi tidak menurut kami, Ambu telah sangat berhasil mejalankan satu profesi istimewa.
”Yah, dan Ambu sudah dapat gelar agung, seorang IBU!” suamiku ikut menegaskan.
”Sebuah gelar mulia yang tak semua orang dapat menanggungnya sebaik Ambu,” aku merangkul Ambu erat. Teringat diriku yang juga belum diberi amanah, juga teringat almarhumah kakak Ambu yang Professor tapi tak pernah sempat jadi Ibu karena tak pernah menikah.
Ambu tersenyum lebar merangkul kami. Wajahnya terlihat puas atas sebuah pengakuan. Pengakuan gelar kehormatan untuk seorang Ibu. Tiada kepuasan di atas mencintai dan dicintai dalam rumah cintanya Ambu.
Tapi benarkah Ambu puas?
*****
Ternyata cerita Ambu belum selesai....
“Sepuluh juta, Is. Nanti Ambu ganti,” Ambu lagi-lagi mau meminjam uang. Angka yang sama.
Suamiku terkekeh melihat raut wajah bingungku. Bukankah Ambu tidak jadi mau kuliah lagi?
Masih kuingat kata-kata Ambu bulan lalu…
Mbu, formulirnya udah diisi belum?” Farid bertanya sambil memasukkan barang-barang ke tas. Ia akan kembali ke Singapura sore ini.
”Gimana yah Rid?” Ambu malah bengong menatap formulir.
”Loh katanya mau jadi Sarjana?” Arif tiba-tiba muncul menggoda Ambu.
”Tapi Ambu rasanya malas kalau musti baca buku setumpuk itu!” Ambu menunjuk gunungan buku.
”Yey, namanya mau kuliah, yah musti baca dan baca. Ambu tau kan Ayah jungkir balik mau dapet Doktor,” Farid menimpali.
“Nggak, Ambu nggak akan sekolah lagi. Capek ah . Udah tidak usah dibahas.” Kata Ambu tegas.
*****
Jelas dan tegas Ambu berkata tidak akan sekolah lagi. Lalu uang sepuluh jutanya buat apa?
”Mungkin buat hadiah,” kata suamiku ngasal.
Kucubit tangan suamiku gemas. Apa tidak ada jawaban lain. Heran pak dosen satu ini kok minim ide.
”Lah, kamu aja anaknya tidak tahu, gimana aku bisa tahu?”
”Kata Ambu rahasia sih,” keluhku.
Suamiku tergelak hingga terjengkang, ” Hahaha... kenapa sih wanita itu misterius. Suka main kode-kodean rahasia.”
Aku cemberut sebal. Suamiku merangkulku, ”Sudah, kasih saja. Uang segitu sih sekali kasus doang buatmu.”
”Tapi aku khawatir Ambu berbuat yang aneh-aneh,” lirih kujawab.
Ya akhir-akhir ini Ambu memang aneh. Mungkinkah usia segitu Ambu mulai post power sindrome atau ada perubahan hormon karena monopause.
Mbok Parti banyak bercerita kepadaku, Ambu banyak berubah. Yang biasanya senang di rumah saja, Ambu sekarang suka berpergian. Banyak sekali kegiatan Ambu dari pagi hingga sore. Tapi mbok Parti tak tahu Ambu pergi kemana. Ambu sibuk sekali.
Kuingat-ingat biasanya Ambu sering meneleponku. Sekarang sudah jarang Ambu menelepon. Biasanya sekali telepon bisa berjam-jam. Tapi sudah agak lama aku tidak mengobrol lama di telepon. Hei, kenapa aku baru sadar.
Berarti benar kata Mbok Parti, Ambuku berubah!
”Halah, mungkin Ambu lagi bosen saja. Pengen jalan-jalan. Kamu sih anaknya jarang nengok,” ledek suamiku.
Aku terperanjat. Bagaimana kalau benar itu uang untuk jalan-jalan. Ke luar negeri. Ke tempat Ambu yang tidak tahu. Lalu tersesat. Oh tidak.
Tanpa ditunda aku segera meluncur ke rumah Ambu. Aku tidak mengajak suamiku, aku ingin mengobrol leluasa dengan Ambu. Aku juga tidak memberitahu Arif yang suka nyinyir. Mungkin jika Ambu mengobrol hanya denganku, Ambu akan terbuka.
Di jalan, hatiku tak tenang. Lampu merah berkelip berganti ke hijau rasanya seratus purnama. Jalanan tiba-tiba terasa sesak, lambat sekali mobilku melaju. Hatiku gelisah. Terbayang wajah Ambu yang ceria. Mungkin benar Ambu kesepian. Tak ada lagi kawan bercerita. Aku memacu terus mobilku. Bersegera ingin memeluk Ambu. Ah, inikah yang namanya rindu.
Mobilku masuk ke pekarangan. Tidak ada mbok Parti yang biasa membukakan pagar. Tidak ada juga Ambu yang biasa berlari kecil menyambutku. Hei, pada kemana? Salamku tidak ada yang menjawab. Hatiku berdesir.
Tapi pintu belakang tidak dikunci. Aku langsung masuk. Kudapati Ambu sedang sibuk masak di dapur. Dapur Ambu terlihat penuh dengan segala peralatan dan bahan masakan. Aku mengernyit, sampai-sampai kedatanganku dicuekin oleh Ambu. Aduh.
”Ambu lagi apa?” tanyaku.
”Masak lah, nih masa masih tanya?” waduh jawaban Ambu kok begitu.
”Eh, kemana mbok Parti?” tanyaku heran.
Ambu ini tipikal ibu yang jarang ke dapur. Tumben-tumbennya Ambu masak. Sebanyak ini pula.
”Mbok Parti lagi belanja, masih ada yang kurang,” kata Ambu.
”Ambu mau arisan ya? Kok masak banyak banget?” tanyaku heran.
”Nggak.” Jawab Ambu pendek.
”Lalu untuk apa?” kejarku.
Ambu menghela nafas. Menatapku dalam-dalam. ”Rahasia,” ucapnya pendek.
Ugh Ambu menggemaskan, sebagai seorang sarjana hukum yang biasa segala sesuatu harus jelas, jelas-jelas membuatku penasaran.
”Ambuuu,” jeritku manja.
”Ayo, dong jangan main rahasia-rahasiaan. Nih, Isna bawain uang yang diminta Ambu,” pancingku.
Wajah Ambu terlihat sumringah. Ia menarikku ke ruang makan dan duduk disana.
”Mana?” tagihnya.
”Tapi bilang dulu dong, rahasia apa?” tanyaku.
”Ngg.. takkan bilang ayah?”
Aku garuk kepala, ugh ayah si kepo, rasanya sulit main rahasia sama ayah.
”Ayolah Is, ini penting. Ayah jangan sampai tahu,” Ambu tampak tergugu.
Aduh apa sih yang membuat Ambu main rahasia lagi. Soal gelar itu lagikah?
Ambu mengajakku duduk. Sepertinya serius.
”Ambu ingin membuka restoran kecil-kecilan. Di ujung jalan sana, ada kios dikontrakkan. Sewa tiga bulannya murah, sepuluh juta, Is.”
Aha, jadi itu maksud sepuluh juta buat Ambu.
”Kenapa tidak minta ayah? Uang ayah pasti banyak, dan Ambu pasti dikasih,” kataku.
Ambu menggeleng, ”Kali ini Ambu ingin usaha sendiri. Itu modal juga dari Ambu semua. Biarkan ayahmu tak usah tahu.”
”Heh?” Aku terperanjat.
Orangtuaku sudah menikah 32 tahun. Pernikahan yang harmonis, walaupun dulu menikah muda. Tak pernah kulihat mereka bertengkar hebat. Sweet couple lah. Tapi kok tiba-tiba Ambu berkata ketus begitu?
Ah, banyak rahasia Ambu dan Ayah yang ternyata aku tak tahu.
”Ayah, tak pernah mendukung cita-cita Ambu,” kata Ambu lirih.
”Jadi sarjana?” tanyaku.
”Jadi koki.”
Jawaban Ambu membuatku tersentak. Apa???
Jadi cita-cita Ambu jadi koki? Bukankah Ambu tidak suka masak?
”Ambu sebetulnya senang masak, Is. Tapi ayahmu tidak menghargai. Tak pernah.”
Ambu bercerita bagaimana sejak kecil ia bercita-cita jadi koki. Ambu sudah senang masak sejak kelas lima sekolah dasar.
”Ambu bikin kue-kue, teman-teman Ambu beli,” Ambu bercerita dengan mata berbinar.
”Wah, Ambuku ternyata mantan pengusaha cilik,” aku mengacungkan jempol.
”Pengusaha apa. Ambu jual lebih murah dari modal, hahaha...” Ambu tertawa mengenang keculunan masa kecilnya.
”Tapi keren anak kecil sudah bisa bikin kue, Is aja belum bisa, payah hahaha...” aku memuji Ambu tulus.
Tapi aneh Ambu malah menangis.
”Maafkan Ambu, tak mengajarimu masak. Padahal memasak adalah hobi paling banyak yang disukai perempuan.”
Aku menutup mulut, duh Ambu rupanya lagi sensi nih. Harus hati-hati bicara.
”Tenang Ambu, Is tidak menyalahkan Ambu. Dan Is tidak merasa bersalah karena tidak bisa masak. Itu bukan sebuah dosa bagi wanita,” hiburku.
”Lagi pula banyak penjual makanan, Mbu. Tuh jejer di jalan, mau apa. Malas keluar ya bisa pesan online. Tinggal klik pesan, langsung diantar,” aku mencoba menghibur lagi.
Ambu melotot, wajahnya memerah. Reaksinya tak terduga.
”Hei, itulah yang dikatakan ayahmu. Persis!”
”Kalian memang tak ada yang mendukung impian Ambu,” Ambu berdiri hendak meninggalkanku.
Oow salah lagi. Ada apa sih sebenarnya?
Kutarik tangan Ambu untuk kembali duduk. Kuusap tangannya yang sudah mulai keriput.
”Oh Ambu, maafkan Isna, bukan Is tak mendukung impian Ambu. Tapi Ambu tak pernah bercerita, jadi Is tak tahu,” bujukku.
Bahu Ambu naik turun. Kurasa persoalannya tak semudah seperti soal gelar bulan lalu. Ada luka di mata Ambu.
”Impian Ambu itu bagus. Isna dukung seratus satu persen,” aku menepuk-nepuk bahu Ambu.
”Bukan pekerjaan hina?” tanya Ambu.
Aku terkejut, ”Kenapa hina Ambu?”
”Ya, karena itu seperti pekerjaan babu,” Ambu mendekap kedua tangan.
”Heh?” tanyaku heran.
Jaman begini masih ada yang beranggapan begitu? Bukankah koki sudah jadi pekerjaan bergengsi? Ah aku lupa, ini luka lama Ambu. Terlalu lama, sehingga mitos pekerjaan jaman dulu terasa janggal di jaman sekarang.
Ambu pelan-pelan mulai bercerita. Ternyata dulu di awal menikah, Ambu sudah menceritakan mimpi-mimpinya pada ayah. Ambu ingin menjadi koki dan membuka restoran. Tapi Ayah melarang. Katanya masak adalah pekerjaan pembantu. Ambu sih ratu, tugasnya ya jadi istri ayah saja.
Aku terkikik geli tapi kutahan dalam hati. Rupanya Ambu sakit hati terpendam puluhan tahun lamanya. Baru sekarang terungkap. Luar biasa Ambu merahasiakan dan mengubur dalam-dalam mimpinya. Dan tiba-tiba Ambu punya keberanian untuk meraih mimpi itu lagi. Peristiwa gelar palsu bulan lalu sepertinya hanyalah puncak gunung es. Mulai meleleh semuanya. Sekarang.
”Ambu...,” kataku perlahan sambil kurangkul Ambu.
”Mungkin itu karena ayah sayang sama Ambu. Ambu beruntung punya suami yang tak banyak menuntut Ambu bekerja. Di saat istri lain luar biasa lelah. Ambu malah sudah disediakan pembantu sejak awal menikah.”
Ambu terdiam. Ya, mbok Parti adalah hadiah dari nenek Isna, alias ibu ayah. Di keluarga Ayah yang priyayi, pembantu adalah keharusan. Ndoro seperti Ambu seperti tabu untuk memegang pekerjaan masak dan mencuci.
Rupanya itu menjadi pertentangan tersendiri. Ambu seorang yang mandiri sejak kecil, harus memasrahkan istananya yakni dapur ke mbok Parti. Kurasa itu tak mudah. Tapi budaya keluarga ayah membuat Ambu tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi Ambu tinggal lama di rumah keluarga besar Ayah.
Ambu tampak melamun. Aku memberi waktu pada Ambu. Kurasa ini hanya masalah komunikasi saja dengan ayah. Pe er besar pernikahan ayah dan Ambu ternyata ini. Tampak luar harmonis dan tak pernah bertengkar. Ternyata tepatnya mereka menghindar berbicara masalah. Malah tak selesai dan membuahkan luka-luka yang tak surut kering oleh waktu. Hanya di-pause saja tapi tak terlupakan.
Hup, aku mulai bersyukur walaupun suka berantem dan berdebat dengan suami, tak ada jurang komunikasi di antara kami. Ternyata pernikahan yang sehat bukanlah yang tak pernah bertengkar. Lamunanku pecah oleh suara Ambu.
”Jadi Is, Ambu harus bagaimana?”
Aku mengepalkan tangan, ”Ambu harus melanjutkan cita-cita Ambu. Raih mimpi Ambu. Isna akan mendukung Ambu. Isna yang pasang badan ke ayah!” janjiku tulus.
Aku akan memperjuangkan mimpi Ambu. Jaman sudah berubah, bahwa wanita tak boleh berkarya hanyalah anggapan kuno. Dimanapun, siapapun wanita itu berhak meraih mimpinya.
Aku terus menyemangati Ambu. Ambu tersenyum lebar. Baru kali ini anak-anaknya tahu impian pekerjaan Ambu yang sebenarnya. Usia tak menghalangi Ambu untuk mengejar mimpinya, bukan?
Sepuluh juta? Ah kecil itu. Senyum Ambu tak bisa terbayarkan.
Description: “Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #DreamJob 2020.”
Penulis: Tethy Ezokanzo
FB: Tethy Ezokanzo
IG: @tethy_ezokanzo
Sinopsis: Ambu ternyata masih menyimpan mimpi-mimpinya hingga usia senja. Ambu merahasiakan kepada anak-anaknya. Sekarang saatnya Ambu membuka rahasia itu. Usia tak menghalanginya untuk mengejar mimpi.
|
Title: Rumput yang Bergoyang
Category: Cerita Pendek
Text:
Putri yang Ditukar
Ada masa tertentu dari karir saya sebagai novelis dan produser yang menyebabkan saya membuat keputusan yang mungkin melanggar batas kebiasaan. Saya Maswendo Hardwick, saya adalah penulis novel Rumput yang Bergoyang. Novel tersebut berhasil menjadi sensasi di pasaran yang membuatnya masuk dalam daftar buku-buku best seller. Prestasi tersebut berhasil menarik hati IBS Television Studios dan The IW untuk membuat adaptasi novel Rumput yang Bergoyang menjadi sebuah drama seri yang seharusnya tayang mingguan di The IW. Rumput yang Bergoyang mulai syuting Agustus 2013, namun sayangnya, terpaksa berakhir pada September 2013. Itu karena The IW, selaku saluran televisi yang seharusnya menayangkan drama Rumput yang Bergoyang, ingin menjadikan drama ini sebagai sinetron kejar tayang yang terdiri dari 23 episode dan mengudara setiap hari pada waktu prime time. Hal itu menyebabkan perdebatan seru antara saya, IBS Television Studios, dan The IW. Menurut saya seharusnya Rumput yang Bergoyang tayang secara mingguan, yang berarti saya harus memotong semua episode tersebut menjadi enam episode saja. Dengan memotong 23 episode menjadi enam episode, maka adegan yang menurut saya tidak penting yang telah direkam bisa saya cut. Namun, The IW tidak ingin menerima saran saya yang menyebabkan pembatalan penayangan Rumput yang Bergoyang Meskipun drama ini tidak tayang sama sekali di The IW, novel Rumput yang Bergoyang tetap laris di pasaran. Setidaknya, IBS Home Entertainment bersedia merilis drama yang terdiri dari enam episode ini dalam bentuk DVD. Berikut adalah episode pertama dari Rumput yang Bergoyang. Selamat menikmati!
IBS
TELEVISION STUDIOS
Mempersembahkan
SEBUAH MAHAKARYA TERBESAR DALAM SEJARAH TELEVISI INDONESIA
Disajikan dengan Dolby Surround Sound 7.1
THE IW ORIGINAL PRODUCTION
LEMBAGA SENSOR FILM MENYATAKAN
RUMPUT YANG BERGOYANG
TELAH LULUS SENSOR
NO.3226/DVD/R./PH.IBSTVS/11.2018/2013
TANGGAL: 9 NOVEMBER 2013
REMAJA
Cerita dimulai di sebuah rumah yang sangat mewah, di mana sebuah keluarga yang kaya raya menguasai rumah tersebut dengan sombongnya, mereka adalah keluarga terkaya di seluruh komplek, harta mereka milyaran, maka mereka menyombongkan diri di depan seluruh keluarga sekomplek.
Keluarga tersebut terdiri dari sang kepala keluarga yang bernama Erlanda, pria yang memiliki rambut coklat kehitaman dengan kumis dan jenggot tipis; beserta istrinya yang bernama Malena, gadis agak gendut berambut merah panjang yang sangat materialistik dengan memakai perhiasan yang berlebihan; dan anaknya Aira, gadis berambut pirang kehitaman panjang dengan eyeliner hitam di sekitar kedua matanya yang juga memiliki sifat yang kurang lebih sama dngan ibunya; terakhir, Nurhaliza, gadis rambut hitam panjang yang malang yang ternyata menjadi pembantu keluarga Erlanda, namun keluarganya sering menyiksa dirinya karena hanya satu kesalahan kecil dan hal sepele bagaikan yang diderita oleh TKW.
Misalnya, saat Nurhaliza disuruh membersihkan setiap sisi rumah oleh Malena saking kejamnya, ia mendapat ancaman bahwa ia tidak boleh ikut pergi berbelanja di mall bersama seluruh keluarga. Meskipun Nurhaliza berhasil membereskan seisi rumah, Malena menemukan pecahan kaca tepat di ruang makan yang saking mewahnya tidak boleh kotor sekalipun. Pecahan kaca tersebut berada tepat di atas lantai dekat meja makan.
Nurhaliza pun protes saat musik menegangkan diputar “Tidak! Tidak! Tidak! Aku sudah membersihkan segalanya! Aku sudah membersihkan setiap ruangan di ruangan ini, Mama! Pecahan itu hanya hal sepele saja, Mama!”
Malena yang berdiri tepat dihadapan Nurhaliza langsung mendorong Nurhaliza hingga terjatuh dengan keras. Bukan hanya itu, tetapi Malena juga menyiksa Nurhaliza dengan menusukkan tangan kirinya dengan pecahan kaca tersebut hingga berdarah, siksaan tersebut bagaikan majikan yang sedang menyiksa TKW.
Malena pun berteriak “Itu akibatnya kalau kamu kerjanya tidak becus, gadis bangsat! Mulai sekarang, kamu lakukan segala hal yang saya suruh!”
“Tapi, ma…”
Malena langsung memotong “Tidak ada tapi-tapian!” Ia sengaja menampar wajah Nurhaliza yang sudah buruk rupa itu sebelum pergi, ia berkata lagi “Kamu tidak boleh pergi untuk selamanya! Mama, Papa, dan kakakmu mau pergi, selamat tinggal.” Malena pun berlalu dari ruang makan begitu saja yang sudah bersih dengan susah payah oleh Nurhaliza.
Saat mendengar suara mobil berangkat dari rumah tersebut, Nurhaliza meratapi dan memandang ke bawah lantai, ia pun menangis tersedu-sedu akibat sering tersiksa oleh Erlanda, Malena, dan Aira, karena hanya beberapa kesalahan sepele pun.
Gadis malang tersebut segera berdiri ke ruangan paling belakang, di mana ia melihat sebuah pintu terbuka. Ia segera berjalan menuju pintu itu, tentunya ruangan paling belakang itu bersebelahan dengan dapur.
Nurhaliza berjalan keluar melewati pintu itu. Ia pun melihat solokan di tengah-tengah jalan yang berbau sangat tidak sedap. Ia pun berbelok kanan melewati jalanan tersebut, di mana dia bisa melihat bagian belakang dari masing-masing rumah dekat kediaman Erlanda.
Setelah beberapa meter, Nurhaliza akhirnya keluar dari jalanan yang terdiri dari selokan menjijikan itu. Nurhaliza melihat sebuah jalan raya yang penuh dengan mobil dan motor berjalan ke sana kemari.
Saat ia melihat bus malam berwarna hitam, ia mengacungkan tangannya ke arah bus tersebut. Jadi… Kesimpulannya, Nurhaliza tengah melarikan diri dari keluarganya sendiri! Maka, ia menaiki bus malam tersebut untuk melarikan diri.
***
[Musik instrumental perlahan-lahan masuk]
CUE TITLE
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
[Musik semacam jazz masuk]
CUE TITLE
TAHNEE WARE sebagai Nurhaliza
Klip gambar Nurhaliza yang berada di sebuah sekolah bergengsi di Bandung.
MUSIK
Sudah jelas apa yang terjadi telah kuketahui
CUE TITLE
GREGORY ALAN HERLAMBANG sebagai Alan
Klip gambar Alan yang memandang Nurhaliza dengan manis.
MUSIK
Bagaikan orang asing yang menjadi TKW, aku pun telah menderita
CUE TITLE
MARISSA ASHWORTH sebagai Fitri
Klip gambar Fitri yang berpenampilan sebagai gadis kampungan.
MUSIK
Selamat tinggal, kehidupan suramku
CUE TITLE
MATTHEW PETERSEN sebagai Farel
Klip gambar Farel yang menarik tangan Fitri saat berdansa.
MUSIK
Aku telah melarikan diri demi kejujuran
CUE TITLE
GUSTAV SMITH sebagai Prabu
Klip gambar Gustav yang berlari mencari Fitri, anaknya.
MUSIK
Aku ingin mencari yang sebenarnya
CUE TITLE
ASHLEY MARIN sebagai Aira
Klip gambar Aira yang sedang bersolek di depan cermin.
MUSIK
Demi kejujuran bagaikan rumput yang bergoyang
[Suara terompet jazz masuk]
CUE TITLE
CHRIS HAMMER sebagai Erlanda
Klip gambar Erlanda yang menarik Nurhaliza dengan keras
MUSIK
Apakah kejujuran benar-benar menyakitkan?
CUE TITLE
SNOOKIE HOWARD sebagai Malena
Klip gambar Malena yang menampar wajah Nurhaliza
MUSIK
Apakah kebohongan tidak bisa terhindari?
CUE TITLE
PHILLIP SMITH sebagai Erik
Klip gambar Erik yang berhadapan dengan Farel
MUSIK
Kejujuran memang obat terampuh
CUE TITLE
Lagu Tema:
“RUMPUT YANG BERGOYANG”
Penyanyi: SHAWN RODAY
Pencipta: SHAWN RODAY
Label: BALBOA HEIGHTS RECORDS
Klip Fitri dan Farel akan berciuman, namun batal.
MUSIK
Demi cinta dan kebenaran, ini bagaikan… rumput yang bergoyang…
[Suara terompet jazz masuk lagi]
Klip Nurhaliza dan Alan berdansa di pesta dansa.
CUE TITLE
Penulis Skenario:
MASWENDO HARDWICK
Klip Fitri berteriak.
CUE TITLE
Diadaptasi dari novel
RUMPUT YANG BERGOYANG
Karya
MASWENDO HARWICK
MUSIK
Kehidupan lamaku sudah tiada
CUE TITLE
Produser Eksekutif
MASWENDO HARDWICK
Klip close-up Malena dan Aira
MUSIK
Aku ingin melarikan diri
CUE TITLE
Sutradara
MASWENDO HARDWICK
MUSIK
Aku ingin mencari yang sebenarnya
Klip Nurhaliza dan Alan berduaan di taman lalu berciuman.
MUSIK
Demi kejujuran… Bagaikan rumput yang bergoyang
Klip semua karakter berkumpul menghadap kamera.
CUE TITLE
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
***
Episode 1: Putri yang Ditukar
16 tahun yang lalu, di sebuah rumah sakit yang bergengsi di Jakarta, pokoknya kelihatannya sudah jelas-jelas tidak menggambarkan rumah sakit. Banyak suster yang berjalan kesana kemari, papan tanda yang jelas-jelas palsu dan menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah rumah sakit.
Di ruangan bayi, di mana banyak ranjang bayi yang terkumpul di ruangan tersebut. Seorang suster telah selesai mengurusi bayi-bayi tersebut sebelum akhirnya pergi keluar dari ruangan tersebut.
Tanpa sepengetahuan suster tersebut, Erlanda dan Malena diam-diam memasuki ruangan bayi tersebut. Tanpa berkata apapun lagi, mereka segera menukarkan bayi mereka yang terlihat tidak cantik dengan bayi yang terlihat paling cantik sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Atau lebih tepatnya, bayi bernama Nurhaliza ditukar dengan bayi yang bernama Fitri.
***
Empat hari setelah melarikan diri dari keluarganya sendiri, Nurhaliza tengah duduk sambil mengemis di alun-alun Bandung pada jam 10 malam, dia hanya duduk di depan lingkungan Mesjid Raya Bandung yang sudah sangat sepi itu, meskipun di jalan alun-alun masih ada beberapa mobil dan motor yang berjalan kesana kemari.
Nurhaliza tidak punya uang sama sekali sejak dia kabur dari rumahnya sendiri di Jakarta, maka ia sama sekali belum makan. Dia merasa kelaparan dan butuh makanan, meskipun sudah memakan makanan dari tempat sampah.
Tidak ada yang memperhatian Nurhaliza sama sekali, bahkan tidak ada satu orang pun yang berbelas kasihan pada gadis malang itu. Tetapi ada seorang gadis dengan rambut pirang yang melihat Nurhaliza dengan merasa kasihan.
Gadis rambut pirang itu menunjuk Nurhaliza kepada ayahnya “Lihat, ayah, kasihan sekali gadis itu.” Dia menatap bekas luka pada tubuh Nurhaliza “Dia pasti disiksa habis-habisan,”
Pria yang merupakan seorang ayah dari gadis rambut pirang itu berkata “Masya Allah, kasihan sekali gadis itu.”
“Sebaiknya kita temui dia.” ucap gadis rambut pirang itu lagi sebelum mereka berdua menemui Nurhaliza yang sedang duduk menangis.
Pria tersebut bertanya “Kamu tidak apa-apa? Kamu kenapa?”
Nurhaliza tidak menjawab.
Gadis rambut pirang itu berpikir, Wah, dia pasti telah menderita, masya Allah. Pasti dia diusir dari rumahnya sendiri. Atau mungkin dia kabur dari rumah setelah disiksa. Gadis tersebut berkata pada Nurhaliza “Kau tidak perlu takut, kami berdua adalah orang baik-baik.” Dia memperkenalkan diri “Namaku Fitri, aku hanya ingin membantumu. Siapa namamu?”
Pria itu berkata “Sudahlah, Fitri,” Dia berkata pada Nurhaliza “Tenanglah. Kamu bisa pulang bersama kami. Sesampai di rumah, mungkin kau bisa menjelaskan apa yang terjadi. Saya Prabu, ayah Fitri. Ayo, kau bisa pulang bersama kami. Mungkin mulai sekarang kau bisa tinggal bersama kami.” Pria itu membantu Nurhaliza berdiri sebelum mereka bertiga pergi meninggalkan alun-alun dengan menaiki bus malam.
***
Sesampai di rumah Prabu yang ternyata kontrakan, Nurhaliza menceritakan segalanya sambil memakan sepiring nasi, tahu, tempe, dengan lalap, di depan Prabu dan Fitri di ruang makan tanpa meja dan kursi, melainkan hanya karpet sebagai alas duduk.
Nurhaliza bercerita sambil bersedih “Aku sebenarnya kabur dari keluargaku sendiri yang kerap kali menyiksaku. Mereka memperlakukanku bagaikan pembantu yang berperan sebagai TKW di luar negeri. Aku seringkali bolos sekolah akibat aku menderita dari siksaan seluruh keluargaku. Makanya aku kabur ke kota ini,” Nurhaliza selesai memakan makan malamnya “Aku sudah kenyang.”
Fitri melihat masih ada banyak sisa di piring makan malam Nurhaliza, ia bertutur “Itu belum habis, Nurhaliza. Makanlah, kau lapar sekali. Kamu selama beberapa hari…”
Nurhaliza tidak nafsu makan “Aku tidak lapar.”
Prabu menambah “Sudahlah, kalau kamu tidak mau menghabiskan makan malammu, kamu harus beristirahat beberapa hari. Kamu bisa tinggal bersama kami selama yang kau mau.”
Fitri berkata “Katanya tadi dia bisa tinggal bersama kita untuk selamanya, Ayah,”
“Kita sedang dilanda musibah, Fitri! Rumah kita sudah disita untuk selamanya sejak Ayah di-PHK. Uang kita habis, Fitri. Bagaimana kita mau menampung seorang tamu jika kita masih tidak punya uang?!” Prabu pun mendesah “Sudahlah, kau harus tidur sekamar dengan gadis itu, Fitri. Besok kau harus berangkat ke sekolah.”
“Baik, Ayah.” Ucap Fitri “Ayo,” Ia mengajak Nurhaliza berjalan menuju kamarnya.
Saat mereka berdua memasuki kamar Fitri, mereka melihat cat dinding warna kuning yang sudah mengelupas, lantai kotor dan hanya beralaskan tikar hitam. Jangan harap ada kasur sungguhan di kamar tersebut.
Fitri bertanya pada Nurhaliza setelah mereka berdua duduk di atas tikar “Omong-omong, siapa namamu?”
“Nurhaliza,”
“Kau bisa menjadi saudariku, Nurhaliza, jika keluargamu benar-benar menyiksamu. Atau aku anggap kau saudariku sekarang, Nurhaliza.”
“Apa maksudnya?”
Fitri pun mengganti topik pembicaraan “Besok kau sebaiknya pergi ke sekolah bersamaku,”
Nurhaliza menjawab dengan ragu “Ta… Tapi, aku tidak masuk sekolah yang sama denganmu.”
“Tidak apa-apa, kita ‘kan harus selalu bersama sebagai saudari,”
“Kamu bahkan bukan saudariku,”
“Meski bukan saudari sedarah, tetap saja kamu saudariku sekarang. Kau butuh teman selain diriku juga, Nurhaliza. Aku masih punya banyak teman, kok, meskipun ayahku di-PHK dan kami jatuh miskin.”
“Aku hanya ingin istirahat,” Nurhaliza segera berbaring.
“Ya, kamu harus istirahat, besok kamu harus pergi ke sekolah bersamaku,”
“Aku bukan murid yang belajar di sekolahmu,”
“Memang bukan,” Fitri berbaring di samping Nurhaliza “Omong-omong, maaf ini kelihatannya bukan kamar yang layak untukmu,”
“Aku tinggal di kamar yang lebih buruk,” Nurhaliza mengungkapkan sebelum akhirnya tertidur.
***
Pukul 09:20 pagi, semua siswa berseragam putih abu-abu berlari atau berjalan keluar dari kelas masing-masing menuju kantin atau pedagang kaki lima di depan lingkungan sekolah untuk menikmati waktu istirahat.
Jangan bayangkan sekolah negeri tersebut seperti SMA 3 ataupun SMA 5 Bandung, lingkungan sekolah tersebut sangat kumuh, banyak debu di setiap sudut sekolah tersebut, bahkan tembok, kursi taman, dan bahkan terlihat sudah kuno dan tidak modern lagi.
Fitri, tidak seperti siswa-siswi yang lain, ia menemui Nurhaliza yang hanya memandang setiap siswa yang mengantre untuk membeli makanan dari beberapa pedagang kaki lima yang berjualan itu.
Fitri pun menyapa Nurhaliza “Nurhaliza, kau sudah dapat teman?”
Nurhaliza menggeleng “Tidak ada yang ingin berkenalan denganku hanya dengan melihat wajah mereka saja, sekarang aku hanya ingin pulang.”
“Ayolah, Nurhaliza, kau butuh teman yang banyak,”
Lalu seorang lelaki yang berwajah seperti orang Kanada dengan rambut hitam pendek menemui Fitri “Hai, Fitri,”
“Hai, Farel,” Fitri mencium pipi Farel “Oh, ini teman gue, Nurhaliza, dia… baru-baru saja pindah rumah, maksudku…” Fitri mencoba untuk berbohong agar pandangan Farel terhadap Nurhaliza tidak buruk “Dia adalah siswa yang sedang menjalani pertukaran pelajar kok. Dia sementara ini tinggal di rumah gue.”
Farel pun heran, padahal ia baru-baru ini mengetahui bahwa ayah Fitri, Prabu, telah di-PHK dan jatuh miskin. Ia juga memandangi seragam Fitri yang cukup kotor dan kampungan.
Farel hanya berkata “Um… Hebat sekali ada siswa pertukaran pelajar yang tinggal di rumah lo, Fit,”
“Ah, biasa saja,”
Farel pun berpikir, Kenapa tiba-tiba saja Fitri menerima siswi pertukaran pelajar sih? Padahal dia akhir-akhir ini banyak menghadapi kesulitan.
Sementara Fitri berpikir, Gue harus merahasiakan identitas Nurhaliza yang sebenarnya dari siapapun di sekolah ini. Jika ada orang yang mengetahui yang sebenarnya, gimana Nurhaliza bisa… Sudahlah, meski aku sudah bagaikan gadis kampungan, pokoknya semuanya tidak boleh tahu apapun yang berkaitan dengan Nurhaliza.
Nurhaliza yang hanya memandang Fitri dan Farel mengobrol merasa tidak ingin menganggu kedekatan mereka, maka ia memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua berbicara dengan satu sama lain. Ia berjalan melewati beberapa siswa yang sedang duduk di pinggir pagar sekolah menikmati jajanan mereka mulai dari mie bakso, batagor, cireng, bubur ayam, sate ayam, hingga cakue.
Beberapa gadis sekolah tersebut yang tengah berkumpul memandang Nurhaliza yang memiliki beberapa luka bekas siksaan keluarganya sendiri. Mereka mulai bergosip buruk tentang Nurhaliza, ada yang berkata bahwa Nurhaliza merupakan gadis yang tidak pantas apapun, pokoknya hal tersebut tidak terdengar oleh Nurhaliza.
Nurhaliza sangat tersinggung saat menganggap gadis-gadis sekolah tersebut membicarakan hal buruk tentang dirinya. Gadis malang itu berjalan keluar dari lingkungan sekolah tersebut. Namun, saat ia akan berjalan meninggalkan lingkungan sekolah tersebut, ia memandang dua orang siswa laki-laki berseragam sekolah.
Salah satu siswa yang memiliki rambut pendek kecoklatan berbicara pada siswa yang memiliki rambut pendek rapi dengan wajah blasteran Inggris “Ayolah, Alan, pasti ada cewek yang lo sukai di sekolah ini! Pasti ada!”
“Erik, lihat, gua enggak minat dengan cewek-cewek yang ada di sekolah. Mereka cantik? Emang, Rik. Tapi mereka bukan tipe gua, Rik. Gue sebenernya butuh istri yang baik, taat, setia, lembut…”
“Stop,” Erik segera memotong kalimat Alan “Terus lo mau cewek macam mana, Alan?! Bilang aja cewek cantik kek! Cewek cantik kayak Fitri lah!” Erik pun menunjuk Fitri, namun ia melihat Fitri sedang berbicara dengan Farel. Hal tersebut membuat dirinya cemburu, sangat cemburu saat kamera close-up ke wajahnya.
“Rik? Rik?” Alan memanggil Erik.
“Ngapain si cowok brengsek itu deket-deket sama Fitri, cewek cantik sedunia?!”
“Bung, dia udah ada yang punya. Farel udah punya Fitri,”
“Tetep aja! Gue enggak setuju! Seharusnya gue punya Fitri! Gue cinta mati sama Fitri! Gue cinta mati!” Erik pun berjalan meninggalkan Alan.
Sementara Alan tidak mengikuti Erik, melainkan melihat Nurhaliza yang terlihat sangat malang sekali. Alan pun berpikir, Kasihan sekali gadis itu, dia… dia… mengemis di sekolah ini. Tapi… Dia benar-benar gadis yang… dia… Gue enggak bisa berkata apa-apa, dia…
Alan pun berjalan menemui Nurhaliza yang meratapi dirinya. Nurhaliza menatap beberapa gadis yang sedang bergosip tentang dirinya. Laki-laki tampan itu menemui Nurhaliza “Kau tidak apa-apa?” Nurhaliza terkejut ada seorang cowok berseragam sekolah seperti Alan menemuinya. Alan pun melihat bekas luka pada lengan Nurhaliza “Kau kenapa luka-luka begitu? Apa mereka menyiksamu saat kau mengemis?”
Nurhaliza pun berpikir, Astaga, kenapa cowok ini ke sini sih? Ya Tuhan, kenapa cowok setampan ini datang kepadaku? Padahal ‘kan aku luka-luka begini dan berpenampilan seperti pembantu murahan.
Alan pun berkata “Ayolah, jangan sembunyikan. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Sebaiknya kau jawab secara halus dan pelan-pelan saja. Aku takkan bilang siapapun,”
Nurhaliza hanya menjawab “Tidak, tidak, tidak. Kau adalah cowok yang baik mau menemuiku meski aku dekil kayak gini, tapi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Aku tidak bisa…”
Alan pun mengambil secarik kertas dan pulpen dari saku celana abu-abunya, ia menulis sesuatu “Ini,” Ia memberi secarik kertas tersebut kepada Nurhaliza “Jika kau butuh curhat, telepon atau SMS saja aku. Kau tidak perlu menjadi tertutup.”
Nurhaliza bertanya “Um… Kenapa… Kenapa kamu menemuiku? Padahal aku ini terlihat buruk,”
Alan hanya menjawab “Aku… aku sepertinya… ingin berteman dengan gadis sederhana seperti dirimu,” Ia menyentuh pipi kanan Nurhaliza bersamaan dengan lagu “Dilema” yang dipopulerkan oleh Cherrybelle terdengar bersamaan dengan beberapa backup dancer siswa-siswi mulai menari meniru koreografi Cherrybelle seperti dalam video klip lagu tersebut di sekitar mereka,
Koreografi siswa-siswi terhadap lagu “Dilema” itu bahkan tidak mirip dengan yang aslinya, sebaliknya, justru terlihat kaku dan robotik, lebih buruknya, tarian tersebut sepertinya terlihat tidak perlu.
Tuhan tolong aku
Ku tak dapat menahan rasa di dadaku
Ingin aku memiliki
Namun dia ada yang punya
Tuhan bantu aku
Ternyata dia kekasih sahabatku
Entah apa yang harus ku katakan
Hatiku bimbang jadi tak menentu
Bukan maksud diriku melukai hatimu
Namun aku juga wanita
Yang ingin merasakan cinta
Never never want you
Really really love you
Maafkan aku mengecewakanmu
Really really love you
Never never leave you
Segera aku melupakan dirinya
“Nurhaliza,” panggil Fitri menemui Alan dan Nurhaliza saat musik berhenti.
Alan pun terkejut dengan kedatangan Fitri “Fitri?” Dia juga menatap Nurhaliza “Fitri, lo kenal gadis ini?”
Fitri pun menjawab “Ya…” Dia berbohong lagi “Dia adalah siswa pertukaran pelajar yang numpang di rumah gue.”
Alan memperhatikan bekas luka pada kedua lengan Nurhaliza, ia heran “Benarkah? Dia siswa pertukaran pelajar? Dia belajar di sini nanti?”
“Um… Tidak, dia akan belajar di… SMA 3, ya SMA 3.”
Alan terlihat tidak yakin “Ya, oke, bagus untuk dia,” katanya sebelum bel masuk berdering.
“Nah, Nurhaliza, aku masuk kelas dulu ya, kita nanti pulang bareng, oke?” Fitri berkata pada Nurhaliza “Ayo, Alan, kita masuk.” Ia kembali memasuki gedung sekolah bersama Alan.
Nurhaliza pun berpikir, Mereka tampak baik banget, apalagi si Alan, dia cakep banget…
***
Kembali ke kediaman keluarga Nurhaliza sendiri, setelah lima hari meninggalkan rumah tersebut, Malena, Aira, dan Erlanda kembali memasuki rumah tersebut pukul 19:15. Mereka melihat rumah tersebut kembali dipenuhi oleh debu-debu pada setiap sudut rumah tersebut. Padahal, hanya ada sedikit debu di rumah tersebut.
Aira berkata “Ah, mama, gue capek banget, gue lapar! Gue mau makan malam yang enak banget! Pokoknya yang super duper enak. Eh, si Nurhaliza bisa bikinin kita makan malam yang istimewa banget, tapi dia enggak bisa makan sama sekali, masakannya sendiri,”
Malena pun menjawab “Ya, jika lagi-lagi si Nurhaliza menyajikan makanan mentah, tidak enak, dan hambar, akan Mama siksa habis-habisan biar dia tahu rasa bagaimana dia…”
Erlanda memotong “Sudah, Ma, biar Papa saja,”
“Pa, Mama kan biasa menghukum dia, jadi Mama ‘kan bisa menghukum lebih dia secara keras,”
Erlanda pun berkata dengan nada jahat “Papa bisa menghukum dia habis-habisan, biar dia kapok membuat kesalahan yang sama, dia sering mengecewakan kita, dia bahkan sering ingin menjatuhkan kita!” Ia pun mulai menyebar fitnah “Dia bahkan pernah mencoba untuk membunuh kita,”
“Astaganaga,” Aira berteriak dengan nada berlebihan, kamera pun close-up pada wajahnya “Ah, gue udah lapar banget, Ma!! Nurhaliza!!”
“Nurhaliza!!” teriak Malena saat mereka bertiga sudah duduk di depan meja makan yang mewah terlapisi dengan taplak meja putih bersih.
Erlanda berteriak dengan nada tinggi “Nurhaliza! Kamu lama banget sih! Gimana sih kamu! Cepat ke sini!! Ke sini!! Cepat!!”
Aira pun berkata dengan santai “Cepat buatkan makanan,”
“Nurhaliza, cepat buatin makan malam! Cepat!!” teriak Malena.
Meskipun mereka berteriak, tidak ada tanda-tanda dari Nurhaliza. Nurhaliza tidak muncul ke ruang makan sama sekali, mereka pun sangat tidak suka menunggu kedatangannya. Bagi mereka, Nurhaliza itu bagaikan TKW yang terjebak di Arab Saudi dan terpaksa bekerja untuk mereka, majikan yang kejam dan stereotipikal serta sering dilaporkan di berbagai media.
“Di mana sih itu anak?!” Erlanda pun berdiri sebelum berjalan menuju lantai bawah tanah untuk mencari Nurhaliza.
Malena pun berkata “Dia kerjaannya tidur melulu! Tidur melulu!”
Erlanda pun berteriak “AAAAAAAAAAAAARRRRGH!!!”
“Ada apa, Pa?”
“Nurhaliza!! Nurhaliza!! Anak badung itu menghilang! Dia hilang!!!”
Kamera pun close up ke arah wajah Malena yang berteriak seiring musik dramatis diputar “APA?!”
***
“Kita harus makan seadanya, wajar, kita sedang kesulitan, apalagi kita berdua memiliki tamu yang sama-sama menderita dengan kita,” ucap Prabu pada Fitri sambil memakan sepiring nasi, usus goreng, dan lalap dengan sambal dan duduk di atas tikar. Kalimat tersebut selalu diulang setiap makan malam bersama Fitri sejak Prabu kena PHK dan jatuh miskin.
Nurhaliza pun berkata “Ya, aku tidak pernah merasakan masakan enak seperti kue red velvet, spageti, pizza, dan makanan mahal. Tapi setidaknya aku masih bisa makan,”
“Fitri,” Farel memanggil di depan pintu yang kebetulan terbuka “Gue bisa ngomong sama lo ga?”
Fitri pun bangkit dari atas tikar “Ya,” Ia pun berjalan menemui Farel “Lo ingat gue cium pipi lo di depan rumah kontrakan lo pas pertama kali pindah, ‘kan?”
“Gue ingat kok,” Fitri mencium pipi Farel.
“Fitri, gue pengen membantumu, tapi…”
“Enggak, enggak usah, lo enggak usah repot-repot, Farel.”
“Ayolah, gue pengen ngebantu lo.”
“Enggak usah, dibilangin enggak usah, gue yakin Allah pasti akan ngebantu keluarga gua.” Fitri berkata.
“Ya, gue setuju,” Farel pun ingin berciuman dengan Fitri.
“Farel, lu ngapain?” Fitri menyadari tingkah laku Farel.
“Gue pengen cium lo,”
“Cium pipi gue aja,”
“Enggak, gue pengen cium bibir lo, gue pengen first kiss yang sebenernya,”
“Tapi Farel…”
“Sudahlah,” Farel pun berupaya untuk berciuman dengan Fitri, namun hal itu terhenti.
“Stop! Stop! Stop! Stop!! Stop!!!” Seorang wanita berambut merah panjang muncul dari entah dari mana menemui Farel.
“Mama?!” Farel memandang wanita tersebut.
“Ngapain kamu di sini, Farel?! Siapa dia?!”
“Dia pacar Farel, Ma. Dia Fitri,”
Fitri pun memperkenalkan dirinya “Saya Fitri, Bu…”
Wanita tersebut langsung menolak “Enggak, enggak, enggak, enggak! Farel, Mama enggak sudi kamu pacaran dengan gadis yang dekil kayak dia!!” kamera pun segera close-up ke arah wajah wanita itu dengan musik dramatis yang dimainkan berulang-ulang. Ia segera menarik Farel meninggalkan Fitri “Ayo kita pulang!!”
“Tapi, Ma!!” Farel berteriak.
“Farel!” Fitri pun berlutut saat Farel meninggalkan dirinya.
Nurhaliza menghampiri Fitri “Fitri, kau kenapa?”
Musik dramatis menghiasi Fitri yang menjerit dengan nada sumbang dan sangat panjang “Farel, tidak! Farel! Farel, cintaku!!!!”
Bersambung
IBS
TELEVISION STUDIOS
Cinta Fitri
Ah, Jakarta, tempat di mana semua mimpi terwujud, kecuali jika mimpi Anda benar-benar orisinil dan tidak ada yang meng-copy paste. Nama saya Maswendo Hardwick, seperti yang Anda ketahui, saya penulis novel yang berjudul Rumput yang Bergoyang. Seperti yang Anda ketahui, sekali lagi, Rumput yang Bergoyang telah diadaptasi sebagai sebuah sinetron Indonesia yang seharusnya tidak kejar tayang, melainkan tayang secara mingguan, seperti serial drama Cinta Cenat Cenut di Trans TV. Saya sebenarnya bertanya-tanya pada seluruh produser atau yang sering disebut sebagai production house seperti SinemArt, MD Entertainment, ScreenPlay, dan Amanah Surga Productions, apa dasar mereka membuat sinetron kejar tayang sampai sekarang? Mengapa mereka seperti wajib membuat sinetron kejar tayang yang sudah jelas-jelas tidak jelas lagi ceritanya lama kelamaan? Sebenarnya sinetron kejar tayang sekarang ceritanya macam apa ini? Anda tahu bahwa sebelumnya sinetron Rumput yang Bergoyang juga dibuat sebagai sinetron kejar tayang, hal itu membuat saya benar-benar tidak setuju pada production house IBS Television Studios dan saluran The IW yang ingin menjadikan sinetron ini kejar tayang. Hal itu membuat semacam sebuah drama di balik layar sebelum akhirnya produksi sinetron dihentikan secara tiba-tiba setelah 23 episode. Pada akhirnya, IBS Home Entertainment, sekali lagi, merilis DVD berisi enam episode dari Rumput yang Bergoyang versi editan saya, bukan editan IBS Television Studios maupun The IW. Baiklah, inilah episode kedua dari sinetron Rumput yang Bergoyang. Selamat menyaksikan. Dan saya bersumpah bahwa saya tidak akan menonton sinetron kejar tayang lagi! Sinetron kejar tayang benar-benar tidak kreatif, tidak bermutu, dan…
Episode sebelumnya
Saat ia melihat bus malam berwarna hitam, ia mengacungkan tangannya ke arah bus tersebut. Jadi… Kesimpulannya, Nurhaliza tengah melarikan diri dari keluarganya sendiri! Maka, ia menaiki bus malam tersebut untuk melarikan diri.
Gadis rambut pirang itu menunjuk Nurhaliza kepada ayahnya “Lihat, ayah, kasihan sekali gadis itu.”
Fitri pun mengganti topik pembicaraan “Besok kau sebaiknya pergi ke sekolah bersamaku,”
Nurhaliza menjawab dengan ragu “Ta… Tapi, aku tidak masuk sekolah yang sama denganmu.”
“Tidak apa-apa, kita ‘kan harus selalu bersama sebagai saudari,”
“Kau bahkan bukan saudariku,”
“Makanya kuanggap kau saudariku sekarang. Kau butuh teman selain diriku juga, Nurhaliza. Aku masih punya banyak teman, kok, meskipun ayahku di-PHK dan kami jatuh miskin.”
“Hai, Farel,” Fitri mencium pipi Farel “Oh, ini teman gue, Nurhaliza, dia… baru-baru saja pindah rumah, maksudku…” Fitri mencoba untuk berbohong agar pandangan Farel terhadap Nurhaliza tidak buruk “Dia adalah siswa yang sedang menjalani pertukaran pelajar kok. Dia sementara ini tinggal di rumah gue.”
Farel pun heran, padahal ia baru-baru ini mengetahui bahwa ayah Fitri, Prabu, telah di-PHK dan jatuh miskin. Ia juga memandangi seragam Fitri yang cukup kotor dan kampungan.
Alan pun berjalan menemui Nurhaliza yang meratapi dirinya. Nurhaliza menatap beberapa gadis yang sedang bergosip tentang dirinya. Laki-laki tampan itu menemui Nurhaliza “Kau tidak apa-apa?” Nurhaliza terkejut ada seorang cowok berseragam sekolah seperti Alan menemuinya. Alan pun melihat bekas luka pada lengan Nurhaliza “Kau kenapa luka-luka begitu? Apa mereka menyiksamu saat kau mengemis?”
Nurhaliza pun berpikir, Astaga, kenapa cowok ini ke sini sih? Ya Tuhan, kenapa cowok setampan ini datang kepadaku? Padahal ‘kan aku luka-luka begini dan berpenampilan seperti pembantu murahan.
Alan pun berkata “Ayolah, jangan sembunyikan. Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Sebaiknya kau jawab secara halus dan pelan-pelan saja. Aku takkan bilang siapapun,”
Nurhaliza hanya menjawab “Tidak, tidak, tidak. Kau adalah cowok yang baik mau menemuiku meski aku dekil kayak gini, tapi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Aku tidak bisa…”
Alan pun mengambil secarik kertas dan pulpen dari saku celana abu-abunya, ia menulis sesuatu “Ini,” Ia memberi secarik kertas tersebut kepada Nurhaliza “Jika kau butuh curhat, telepon atau SMS saja aku. Kau tidak perlu menjadi tertutup.”
“Di mana sih itu anak?!” Erlanda pun berdiri sebelum berjalan menuju lantai bawah tanah untuk mencari Nurhaliza.
Malena pun berkata “Dia kerjaannya tidur melulu! Tidur melulu!”
Erlanda pun berteriak “AAAAAAAAAAAAARRRRGH!!!”
“Ada apa, Pa?”
“Nurhaliza!! Nurhaliza!! Anak badung itu menghilang! Dia hilang!!!”
Kamera pun close up ke arah wajah Malena yang berteriak seiring musik dramatis diputar “APA?!”
Di ruangan bayi, di mana banyak ranjang bayi yang terkumpul di ruangan tersebut. Seorang suster telah selesai mengurusi bayi-bayi tersebut sebelum akhirnya pergi keluar dari ruangan tersebut.
Tanpa sepengetahuan suster tersebut, Erlanda dan Malena diam-diam memasuki ruangan bayi tersebut. Tanpa berkata apapun lagi, mereka segera menukarkan bayi mereka yang terlihat tidak cantik dengan bayi yang terlihat paling cantik sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Atau lebih tepatnya, bayi bernama Nurhaliza ditukar dengan bayi yang bernama Fitri.
“Stop! Stop! Stop! Stop!! Stop!!!” Seorang wanita berambut merah panjang muncul dari entah dari mana menemui Farel.
“Mama?!” Farel memandang wanita tersebut.
“Ngapain kamu di sini, Farel?! Siapa dia?!”
“Dia pacar Farel, Ma. Dia Fitri,”
Fitri pun memperkenalkan dirinya “Saya Fitri, Bu…”
Wanita tersebut langsung menolak “Ga, ga, ga, ga! Farel, Mama ga sudi kamu pacaran dengan gadis yang dekil kayak dia!!” kamera pun segera close-up ke arah wajah wanita itu dengan musik dramatis yang dimainkan berulang-ulang. Ia segera menarik Farel meninggalkan Fitri “Ayo kita pulang!!”
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
Episode 2: Cinta Fitri
Kembali ke enam belas tahun yang lalu, di mana kedua bayi yang bernama Nurhaliza dan Fitri lahir secara bersamaan, di rumah sakit yang sama. Sang ibunda “Fitri” pun sangat bangga bisa menggendong bayinya sendiri, sementara kedua orangtua “Nurhaliza” terlihat sangat iri pada kedua orangtua “Fitri”, karena mereka berdua memiliki luka yang paling dalam, sangat dalam pada hati mereka.
Mau tahu kenapa? Sebenarnya ini terjadi tepat pada seminggu yang lalu, di saat Prabu menuduh Erlanda telah melakukan korupsi berupa pencurian uang secara diam-diam dari sebuah perusahaan bergengsi di mana mereka sebelumnya bekerja. Konfrontasi Prabu terhadap Erlanda pun dilihat oleh seluruh karyawan di sebuah ruangan kantoran yang sudah umum di sinetron Indonesia, sangat umum. Hanya ada meja, kursi, dan komputer beserta sebuah laci, ditambah cat dinding putih.
Prabu menuduh Erlanda seiring musik dramatis terdengar “Anda jangan macam-macam dengan perusahaan ini, Erlanda! Saya tahu segala apa yang diperbuat oleh Anda, Erlanda! Saya tahu apa yang Anda perbuat pada perusahaan ini!”
Erlanda pun membantah “Enak aja, lu! Lu ga punya bukti, tau! Saya tidak pernah melakukan pencurian uang dari perusahaan sama sekali! Kamu sama sekali ga punya bukti!!” tak lama kemudian, kamera pun close up pada wajah Erlanda seiring musik dramatis terdengar kembali.
Kamera pun juga close up pada Prabu “Anda jangan macam-macam dengan perusahaan ini, Pak! Saya mungkin tidak punya bukti, tapi saya tahu! Saya melihat Anda mengambil uang dengan jumlah yang banyak! Saya akan bilang pada direktur agar Anda dipecat! Titik!”
Kamera close up pada Erlanda lagi “Anda tidak punya bukti sama sekali bahwa saya mencuri uang dari perusahaan! Anda tahu bahwa istri saya sedang hamil!!”
“Oh ya! Istri saya juga sedang hamil tahu! Dia akan melahirkan seorang putri yang cantik dibanding putri kamu!!”
Kembali ke rumah sakit tersebut, Erlanda menatap Prabu dan istrinya bersama bayi mereka yang bernama “Fitri” dan terlihat cantik. Kamera pun close up pada Prabu yang tersenyum pada istrinya yang baru melahirkan, dan kebetulan di ruangan yang sama.
Erlanda pun membisikkan sebuah rencana pada istrinya, Malena, yang sedang memegang bayinya yang bernama “Nurhaliza”, ia pun menggunakan rencana tersebut sebagai balas dendam pada Prabu yang membuat dirinya dipecat dari perusahaan.
***
Kembali ke masa kini, di sebuah rumah mewah yang sudah jelas-jelas merupakan rumah milik keluarga Erlanda. Erlanda, Malena, dan Aira mencari Nurhaliza di setiap sudut sambil merasa marah dan frustasi. Nurhaliza pun belum ketemu, mereka belum mengetahui bahwa Nurhaliza kabur ke luar kota.
“Nurhaliza!! Di mana itu si anak!!” teriak Erlanda seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar.
“Nurhaliza, keluar dari tempat persembunyianmu! Cepat!!” teriak Malena mencari di kamar lantai bawah tanah milik Nurhaliza yang terlihat kotor.
Aira pun menyela “Ma, Pa, ingat, Nurhaliza itu kabur dari rumah! Ingat-ingat pake otak dong, Ma!! Jangan pake mulut aja, Ma, Pa!”
“Di mana itu si anak! Dia harusnya bikin makan malam yang mewah dan enak buat kita! Kita udah kelaparan!!” teriak Malena keluar dari bawah tanah menemui Aira.
“Iya, Aira tau, Ma! Aira tau! Aira juga lapar! Aira juga ga bisa masak makanan enak, Ma!!”
“Udahlah, mulai besok kita cari Nurhaliza di seluruh tempat di kota ini! Kalau ketemu, kita siksa habis-habisan itu anak!” teriak Erlanda menemui Malena dan Aira sebelum musik dramatis terdengar kembali.
***
“Farel!! Farel!!” teriak Fitri sambil menangis berlutut membelakangi halaman rumahnya “Farel!! Kenapa lo ga boleh ketemu gue!!!” musik sedih pun terdengar seiring Fitri menangis secara berlebihan bagaikan memelas seperti kebanyakan adegan menangis seorang tokoh perempuan di sinetron tipikal Indonesia.
Nurhaliza pun menemui Fitri “Fit, kamu kenapa sih?”
Tak lama kemudian, turun hujan yang sangat deras, tepat sekali saat Fitri menangis, hujan tersebut membuat pakaian Nurhaliza dan pakaian Fitri basah, mereka berdua pun basah kuyup, sangat basah kuyup. Fitri pun masih memelas sedih setelah mengetahui bahwa Farel tidak bisa mendekati dirinya lagi karena perbedaan kekayaan. Farel berasal dari keluarga kaya raya, sementara Fitri, sebelumnya dari keluarga kaya raya, tetapi akibat ayahnya, Prabu, di-PHK, dirinya akhirnya harus menderita sebagai orang miskin.
Fitri menangis “Farel!! Farel!! Kenapa lo harus tinggalin gue!!”
Nurhaliza berusaha mengajak Fitri masuk “Fit, ayo kita masuk, ini udah hujan gede, kita juga udah basah kuyup kayak gini, ayolah, Fitri. Kita masuk yuk.” Ia membantu Fitri berdiri dari kesedihannya setelah “dicampakkan” secara tidak langsung oleh Farel, sungguh dramatis, dan lagu melankolis pun terdengar saat mereka berdua berjalan memasuki rumah kontrakan Prabu kembali.
Prabu pun duduk di karpet menatap kedua gadis malang itu basah kuyup “Astaghfirullah, nak! Kalian berdua basah kuyup gini! Udah tahu hujan gede, tapi kalian malah masih di luar!”
Fitri pun segera memeluk ayahnya “Ayah!! Farel!! Farel!! Farel ga boleh kunjungi aku lagi! Coba aja kalo ayah ga di-PHK, semuanya jadi ga kayak gini, Yah!!”
Prabu hanya berkata “Fit, kita lagi diberi ujian sama Allah,”
“Fitri ga mau ujian kayak gini, Yah! Ga mau!! Fitri hanya mau ujian yang sesungguhnya, ujian di sekolah saja! Ga mau ujian kayak gini!!”
“Masya Allah, Fitri. Kita, umat manusia, selalu diberi ujian sama Allah. Allah tuh memberi ujian karena Allah tahu kalau kita mampu menghadapinya. Allah ga mungkin memberi ujian yang menyusahkan hambanya. Fitri juga ga boleh berkata gitu, Fitri ga boleh berkata kalo Allah ga boleh kasih ujian kayak gini ke kita.” Prabu pun menatap Nurhaliza “Kau lihat Nurhaliza, dia juga diberi ujian, dia sering disiksa bagaikan TKW, tapi dia mampu melarikan diri ke Bandung, dia menemui kita berdua.” Fitri memeluk erat Prabu lagi sambil menangis tersedu-sedu. Prabu pun meninggalkan Fitri ke kamarnya, sementara Nurhaliza hanya berjalan menuju kamar mandi.
Fitri pun akhirnya komplain “Farel!! Gue ga bisa move on dari lo! Kenapa lo harus begini sama gue!”
***
Sementara itu, Alan sedang berada di sebuah balkon apartemennya memandangi pemandangan kota Bandung yang bersinar dari lampu setiap gedung, ia pun memegang iPhone-nya.
Alan berpikir, Nurhaliza, sesungguhnya dirimu adalah gadis cantik dan sederhana yang aku ingin temui. Aku hanya ingin bersama dirimu daripada gadis-gadis populer yang boring dan terlalu cerewet. Berarti Alan ingin bertemu Nurhaliza bukan hanya sekali, tetapi juga beberapa kali.
***
“Apa, Ma?! Jadi Farel ga bisa ketemu sama Fitri lagi cuma gara-gara ayahnya di-PHK dan menjadi orang miskin?!” ucap Farel di ruang tamu rumahnya yang tampak terlihat megah, terlihat sofa merah dengan meja yang terbuat dari perak keemasan dan jelas-jelas tidak alami.
Mama Farel pun menjawab “Farel, kamu tahu kalo ayahnya Fitri, gadis kampungan itu, baru saja di-PHK dan jatuh miskin! Kamu ga bisa menikah dengan gadis yang kampungan, dekil, dan kotor itu!”
Farel pun membantah “Fitri ga mungkin kayak gitu, Ma! Jangan lihat luarnya, Ma!”
“Alah! Jangan lihat luarnya lagi! Dia jelas-jelas ingin menggunakan kamu untuk memperkaya dirinya!” teriak Mama Farel “Mulai sekarang kamu ga boleh berpacaran dengan Fitri lagi! Titik! Itu sudah final!”
“Tapi, Ma!” teriak Farel saat Mamanya berjalan pergi dari ruang tamu menuju ruang makan.
“Tidak ada tapi, Farel!” teriak Mama Farel “Pokoknya, mulai sekarang kamu harus SMS gadis yang mama rekomendasikan untuk jadi pacar kamu yang lebih baik daripada gadis kampungan itu! Titik!” Beliau pun berjalan menuju kamarnya dari ruang makan sambil mengambil ponselnya. Ia menelepon seseorang saat ia tiba di kamarnya yang sangat mewah, tempat tidur berbentuk hati berwarna merah, cermin, meja, kursi, dan lemari besar terlihat di ruangan besar tersebut. Mama Farel pun berkata pada orang yang ia telepon “Ya, Pak, Anda punya gadis cantik dan kaya raya itu, ‘kan? Ya, suruh dia SMS ke anak saya yang bernama Farel, mungkin aja dia jatuh cinta pada dirinya,” Ia berkata lagi “Ya, ini Bu Hutama, saya pernah menjadi tetangga Anda, Pak. Saya tahu bahwa anak perempuan Anda jatuh cinta pada anak saya.” Musik dramatis lagi-lagi terdengar.
***
Keesokan harinya, kembali ke Jakarta, ke sebuah rumah mewah yang dimiliki oleh Erlanda, di mana mereka bersiap untuk pergi ke tempat tujuan masing-masing, Erlanda ke kantor yang ia pimpin, Malena ke salon kecantikan untuk merawat dirinya agar awet muda, sedangkan Aira pergi ke sekolah.
Erlanda berkata “Papa akan pulang dari kantor lebih awal, kira-kira jam satu siang, kita akan cari Nurhaliza, si pembantu yang brengsek itu!” Musik dramatis lagi-lagi terdengar.
Malena berkata “Ya! Jika dia ketemu, kita akan hajar dia habis-habisan, kita siksa dia!” Malena memang berniat untuk memperlakukan Nurhaliza bagaikan TKW yang bekerja di luar negeri. Beliau melihat Aira yang sedang asyik-asyiknya mengirim SMS pada seseorang, maka beliau berkata “Aira, jangan asyik SMS dong, mentang-mentang udah punya cowok idaman!”
“Ah, Mama, aku lagi sibuk nih, aku ada ekskul habis sekolah, bisa ga besok aja, hari Sabtu?”
Malena membantah seiring musik dramatis kembali terdengar “Heh! Cerewet banget kamu! Mentang-mentang udah dikasih libur panjang, kita bersenang-senang hingga kemarin, kamu patuh dong sama Mama Papa! Sudahlah, Mama antar kamu ke sekolah, kalo Mama sudah di sekolah sepulang sekolah, kamu harus ikut Mama cari Nurhaliza.”
Erlanda pamit “Papa pergi duluan,” Ia menaiki sebuah mobil mahal yang sudah paling umum di sinetron Indonesia, yaitu mobil berwarna putih mengkilap hingga bisa menyilaukan mata. Erlanda pun mulai menyetir mobil mewah itu meninggalkan rumah mewahnya.
“Ayo, Aira,” Malena mengajak masuk Aira ke dalam mobil merah yang lagi-lagi mengkilap hingga menyilaukan mata.
Saat Malena mulai menyetir meninggalkan rumah mewah itu, Aira mulai mengirim SMS pada seorang pria idamannya seiring lagu Baby Doll yang dipopulerkan Utopia terdengar:
Hai, masih ingat gue, ‘kan? Gue Aira, sebelumnya gue tetangga lo, gue pengen aja tau gimana keadaan lo. Gue kirim SMS ke nomor lama lo ga kekirim, lo ganti nomor sih, hehe. Gue cuma pengen tau kabar lo, hehe… Bls plz… Aira.
Seperti menjamah boneka terindah
Waktu aku mengenalmu
Ku buat kau buta dengan pesonaku
Tersesat kau karena silaumu
Ku ajak kau melayang tinggi
Dan ku hempaskan ke bumi
Ku mainkan sesuka hati
Lalu kau ku tinggal pergi
***
Di SMA di mana Fitri bersekolah, pada pukul 12:25, Farel, masih memakai seragam putih abu-abu dengan rapi, berjalan meninggalkan kelas sambil membawa tas dan menerima SMS dari nomor yang tidak dikenal. Ia membaca SMS tersebut dan mengetahui bahwa pengirim SMS itu adalah Aira. Saat ia melihat Fitri yang berdiri di hadapan siswa siswi yang membawa tas masing-masing berjalan ke sana kemari, ia segera menemuinya.
“Fitri,” panggil Farel mendekati Fitri “Fitri, maafin gue soal nyokap gue, nyokap gue tu ga bisa nerima kalo bokap lo di-PHK.” Saat Fitri mencium kening Farel, di halaman sekolah, sudah ada mobil hitam yang dikendarai oleh Mama Farel. Mama Farel pun memata-matai mereka berdua, ia melihat Fitri dengan wajah benci, benci hanya karena gadis itu terlihat kampungan.
Fitri pun memaafkan Farel “Ya, gue tau nyokap lo ga bisa nerima, tapi lo masih cinta gue, ‘kan?” Namun ia melihat Farel memegang ponselnya menerima SMS yang tidak dikenal “Lo ngapain sih?” Fitri pun menyadari seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar dan kamera close-up pada wajahnya.
Kamera juga close-up pada wajah Farel, yang berkata “Apa?”
“Lo… Lo… Lo… SMS siapa sih?”
Farel menjawab “Ini SMS ga jelas, dari…”
“Gue udah tahu!” Fitri langsung menerka “Gue tahu itu! Itu gadis yang…”
“Fitri, dengarin gue dulu!” Farel berusaha menjelaskan “Fit, nyokap gue bilang gue ga boleh dekat-dekat lo, tapi… dia minta gue SMS gadis yang harusnya gue cintai kata nyokap gue, itu bukan berarti…”
Fitri berteriak secara keras hingga terdengar di segala penjuru sekolah itu seiring musik dramatis terdengar dengan keras “TIDAK!!!!” Ia pun langsung meninggalkan Farel.
“Fitri!!” teriak Farel.
Mama Farel pun akhirnya menyalakan mobilnya dan segera mengebut dengan kecepatan tinggi menuju depan gerbang sekolah, di mana Fitri berlari menuju jalanan yang baru diaspal itu. Jelas-jelas niat Mama Farel, yaitu ia ingin mencelakakan Fitri, hanya karena ia sering dekat-dekat dengan Farel.
Saat Fitri berlari sambil menangis, ia kaget saat melihat mobil Mama Farel mengebut ke arah dirinya. Inilah salah satu adegan terbodoh di dunia sinetron Indonesia, Fitri bukannya lari atau menghindar, dia malah diam saja memandangi mobil Mama Farel yang mengebut akan menabrak dirinya. Ditambah, musik dramatis terdengar kembali seiring Fitri berteriak “AAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRRRGH!!!!”
Mama Farel pun menyadari bahwa ia tidak bisa mencelakakan Fitri dengan cara seperti itu, maka ia menginjak rem untuk menghentikan mobilnya. Mobil tersebut berhenti hampir menabrak Fitri, melainkan tepat di depan Fitri.
Mama Farel pun langsung turun dari mobil dan membujuk Fitri “Aduh, kamu ga apa-apa, ‘kan?”
“Ya, aku ga apa-apa, Tante,”
Mama Farel memandangi di sekitar bahwa kebanyakan siswa siswi melihat kejadian tersebut, maka ia berkata “Makanya, jangan diam aja, coba lari atau jalan kek.”
“Fitri!!” Erik langsung mendatangi Fitri “Fitri, lo ga apa-apa?” Ia menyentuh tubuh Fitri, namun Fitri memukul tangannya.
“Jangan sentuh gue!” Fitri langsung pergi meninggalkan halaman sekolah tersebut.
Erik berteriak “Fitri! Fitri!!”
***
Kembali ke rumah Prabu yang berupa kontrakan, Nurhaliza mengambil sebuah foto dari lemari Fitri, yaitu foto kelas Fitri. Ia bisa melihat teman-teman sekelas Fitri pada foto tersebut memakai pakaian casual masing-masing. Fitri yang berdiri di barisan paling belakang terlihat memakai kemeja putih dan rok panjang biru serta memegang tangan Farel dengan mesranya. Ia juga melihat Erik yang memakai kaus oblong abu-abu dan celana panjang hitam sambil memegang pundak Alan. Alan terlihat memakai kemeja biru, jas hitam, dan celana hitam seakan-akan dirinya sedang berpakaian formal. Mata Nurhaliza tidak bisa berhenti berpaling dari Alan.
Nurhaliza pun berpikir, Alan, kamu tuh cakep banget, kamu juga bahkan muji aku kemarin meski aku ini dekil, kotor, dan kampungan. Aku ingin ketemu kamu lagi, Alan, sekali lagi saja, aku tidak tahu perasaan apa yang kurasa sekarang. Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya sejak aku disiksa oleh seluruh keluargaku. Hal itu membuat Nurhaliza flash back:
Alan pun berjalan menemui Nurhaliza yang meratapi dirinya. Nurhaliza menatap beberapa gadis yang sedang bergosip tentang dirinya. Laki-laki tampan itu menemui Nurhaliza “Kau tidak apa-apa?” Nurhaliza terkejut ada seorang cowok berseragam sekolah seperti Alan menemuinya. Alan pun melihat bekas luka pada lengan Nurhaliza “Kau kenapa luka-luka begitu? Apa mereka menyiksamu saat kau mengemis?”
Nurhaliza bertanya “Um… Kenapa… Kenapa kau menemuiku? Padahal aku ini terlihat buruk,”
Alan hanya menjawab “Aku… aku sepertinya… ingin berteman dengan gadis sederhana seperti dirimu,” Ia menyentuh pipi kanan Nurhaliza.
Kembali ke masa kini, Nurhaliza tetap melihat foto tersebut sambil menyentuh gambar wajah Alan, ia berkata “Aku ingin bertemu kamu lagi, Alan.”
***
Berbicara soal Alan, ia sedang berada di sebuah kantin dekat sekolah yang dipenuhi oleh beberapa siswa sehabis pulang sekolah. Kantin tersebut sangat ramai, banyak siswa-siswi yang duduk menikmati makanan masing-masing di depan meja masing-masing yang tampak biasa saja. Alan tampak menunggu seseorang sambil memakan sepiring nasi dengan ikan goreng dan lotek. Erik pun bergabung dengannya, ia duduk di depan Alan sambil menaruh sepiring ayam krispi dengan nasi.
Erik pun bertanya “Jadi lo nunggu gue buat makan siang?”
Alan berkata “Ya, sebenarnya aku suka sama seorang gadis,”
“Beruntung kamu, siapa gadis itu? Pasti gadis populer di sekolah ‘kan?”
“Bukan, dia bukan gadis sekolah ini, dia adalah gadis yang kemarin kutemui, namanya Nurhaliza,”
Erik pun sedikit merasa aneh “Ya… gue… setidaknya dia gadis yang lebih baik menurut lo.”
Alan bertanya “Mengapa lo mendadak kayak gini, Rik?”
“Gue ga tau, setidaknya cewek populer itu ga penting banget. Apalagi, gue masih cinta sama Fitri. Gue denger kalo Farel udah ga boleh deket sama Fitri lagi,”
“Berarti ini kesempatan lo dong!” ucap Alan.
“Ya iyalah, Fitri bakal jadi gue sepenuhnya!” ucap Erik sebelum Farel menemui mereka berdua seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar.
Farel pun berkata pada Erik “Apa kata lo? Fitri?”
Erik membalas setelah berdiri di hadapan Farel “Farel, seandainya kita adalah teman, tapi lo udah ga boleh deket sama Fitri lagi,”
“Ya,”
“Gue tau lo dapet SMS dari gadis lain yang cinta sama lo,” lanjut Erik “Sepertinya kalian akan bersama untuk selamanya, karena Fitri bakal jadi milik gue. Fitri bakal nikah sama gue, dia bakal cinta, amat sangat cinta banget sama gue. Sementara lo, sama mama lo, lo udah ga boleh jatuh cinta sama Fitri lagi.”
Farel membalas “Ada sesuatu yang lo harus tau, Fitri cinta gue, gue cinta Fitri sampe mati. Kalaupun ada seseorang yang ngelarang gue untuk ngelihat Fitri lagi, itu ga mengubah perasaan gue padanya. Fitri adalah gadis terlembut yang pernah gue kenal, tidak peduli dia dari mana kek, pokoknya Fitri bakal jadi milik gue. Gadis yang gue SMS gue ga cinta.”
Erik berkata “Ya, lo mentang-mentang orang kaya raya, lo harusnya nyerahin Fitri ke gue, bokap dia di-PHK, berarti itu alasan mama lo tepat, lo ga cocok sama Fitri. Lo cocok sama gadis yang lu SMS. Fitri pantes yang lebih baik daripada lo. Fitri bakal jadi milik gua.”
“Emang lo cocok darimana, lo orangnya kasar, pantes aja ga ada cewek yang jatuh hati sama lo.”
Erik pun berteriak akan memukul Farel “Tega banget lo!” Musik dramatis lagi-lagi berputar.
Namun hal itu terhenti saat Fitri memasuki kantin tersebut, ia berkata “Ada apa?”
Erik menjawab “Ya… Dia ngejek gue karena… gue pemain basket yang kurang sportif.”
“Ya, pantas aja, lo kan kasar banget, Erik,”
Erik pun pergi meninggalkan setelah berkata “Sialan, gue udah kenyang,”
Alan pun memanggil “Erik, makanan lo belum habis!”
Erik pun berjalan meninggalkan kantin tersebut menuju jalan raya seiring lagu Atas Nama Cinta yang dipopulerkan Rossa terdengar. Saat Erik menutup pintu kantin tersebut dan tiba di trotoar jalan raya, hujan pun turun dengan derasnya, membuat seluruh pakaiannya basah kuyup seiring ia berjalan.
Aku wanita yang punya cinta di hati
Ada dirimu dan dirinya dalam hidupku
Mengapa terlambat cintamu telah termiliki
Sedang diriku dengan dia tak begitu cinta
Mengapa yang lain bisa
Mendua dengan mudahnya
Namun kita terbelenggu
Dalam ikatan tanpa cinta
Atas nama cinta
Hati ini tak mungkin terbagi
Sampai nanti bila aku mati
Cinta ini hanya untuk engkau
Atas nama cinta
Kurelakan jalanku merana
Asal engkau akhirnya denganku
Kubersumpah atas nama cinta
***
Bagaimana dengan keadaan Erlanda? Erlanda sedang berjalan keluar dari gedung perusahaan yang ia miliki sambil memakai jas hitamnya, ia pun sedang menelepon Malena “Ma, Nurhaliza sudah ketemu belum?”
Malena sedang duduk di dalam mobil depan setir sambil memandangi sebuah restoran fast food dan menelepon balik Erlanda “Ini gadis badung susah banget carinya! Dia hilang kemana sih!”
“Omong kosong! Mustahil! Nurhaliza pasti ada di kota ini! Dia ga mungkin ke luar kota jika keadaannya kayak gitu!”
“Apa mungkin…”
“Ah, Ma, jangan berpikir kayak gitu, mustahil Nurhaliza ke luar kota, Papa udah bilang! Kita cari aja dia sampe ketemu!” Musik dramatis terdengar saat Erlanda mengungkapkan rencananya “Jika dia ketemu, kita sekap dia, jangan kasih makan dia sama sekali, kita harus paksa dan siksa dia melakukan hal-hal biasa kita lakukan,”
“Ya, Mama setuju,” Malena pun tersenyum jahat.
Bersambung
IBS
TELEVISION STUDIOS
Diam-Diam Suka
Dunia pertelevisian Indonesia memang sedang berantakan, setiap stasiun televisi memiliki sinetron dan FTV pada siang hari. Saya Maswendo Hardwick, penulis novel best seller yang berjudul Rumput yang Bergoyang, yang juga diadaptasi menjadi sinetron berjudul sama. Setiap adegan wajib dalam sinetron ada di episode kali ini. Saat produksi Rumput yang Bergoyang berlangsung, aku ingin kesempurnaan, seperti yang ada di serial drama yang ada di barat seperti Dallas, Revenge, dan Mistresses. Aku juga ingin sinetron ini menjadi sebuah guilty pleasure dan sebuah mahakarya terbaru di pertelevisian Indonesia. Tetapi drama dibalik layar antara saya, IBS Television Studios, dan The IW menghancurkan tujuan saya, mereka ingin membuat sinetron klise seperti sinetron yang sudah ada. Aku juga sebenarnya siap untuk ditegur KPI, tapi The IW tidak berani ambil risiko dikarenakan aturan-aturan yang berlaku oleh KPI, jadi setiap acara televisi harus patuh pada aturan KPI, sehingga televisi Indonesia menjadi jenuh dan membosankan gara-gara penuh dengan acara yang tidak berguna seperti sinetron kejar tayang dan FTV. Apa? Saya mengatakan “dikarenakan”? Terserah saya mau berkata seperti apa! Konten-konten yang ada di televisi Indonesia benar-benar sampah! Hampir tidak ada variasi genre sama sekali! Sejujurnya, saya bangga dengan akting para aktor di episode kali ini, saya harap Anda setuju. Selamat menikmati episode ketiga dari Rumput yang Bergoyang. Gara-gara KPI, pertelevisian Indonesia menjadi sampah dan tidak kreatif serta…
Episode sebelumnya
“Nurhaliza!! Di mana itu si anak!!” teriak Erlanda seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar.
“Nurhaliza, keluar dari tempat persembunyianmu! Cepat!!” teriak Malena mencari di kamar lantai bawah tanah milik Nurhaliza yang terlihat kotor.
Fitri menangis “Farel!! Farel!! Kenapa lo harus tinggalin gue!!”
Mama Farel pun menjawab “Farel, kamu tahu kalo ayahnya Fitri, gadis kampungan itu, baru saja di-PHK dan jatuh miskin! Kamu ga bisa menikah dengan gadis yang kampungan, dekil, dan kotor itu!”
Farel pun membantah “Fitri ga mungkin kayak gitu, Ma! Jangan lihat luarnya, Ma!”
“Alah! Jangan lihat luarnya lagi! Dia jelas-jelas ingin menggunakan kamu untuk memperkaya dirinya!” teriak Mama Farel “Mulai sekarang kamu ga boleh berpacaran dengan Fitri lagi! Titik! Itu sudah final!”
Fitri pun memaafkan Farel “Ya, gue tau nyokap lo ga bisa nerima, tapi lo masih cinta gue, ‘kan?” Namun ia melihat Farel memegang ponselnya menerima SMS yang tidak dikenal “Lo ngapain sih?” Fitri pun menyadari seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar dan kamera close-up pada wajahnya.
Kamera juga close-up pada wajah Farel, yang berkata “Apa?”
“Lo… Lo… Lo… SMS siapa sih?”
Farel menjawab “Ini SMS ga jelas, dari…”
“Gue udah tahu!” Fitri langsung menerka “Gue tahu itu! Itu gadis yang…”
“Fitri, dengarin gue dulu!” Farel berusaha menjelaskan “Fit, nyokap gue bilang gue ga boleh dekat-dekat lo, tapi… dia minta gue SMS gadis yang harusnya gue cintai kata nyokap gue, itu bukan berarti…”
Fitri berteriak secara keras hingga terdengar di segala penjuru sekolah itu seiring musik dramatis terdengar dengan keras “TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAK!!!!” Ia pun langsung meninggalkan Farel.
“Fitri!!” teriak Farel.
Farel membalas “Ada sesuatu yang lo harus tau, Fitri cinta gue, gue cinta Fitri sampe mati. Kalaupun ada seseorang yang ngelarang gue untuk ngelihat Fitri lagi, itu ga mengubah perasaan gue padanya. Fitri adalah gadis terlembut yang pernah gue kenal, tidak peduli dia dari mana kek, pokoknya Fitri bakal jadi milik gue. Gadis yang gue SMS gue ga cinta.”
Erik berkata “Ya, lo mentang-mentang orang kaya raya, lo harusnya nyerahin Fitri ke gue, bokap dia di-PHK, berarti itu alasan mama lo tepat, lo ga cocok sama Fitri. Lo cocok sama gadis yang lu SMS. Fitri pantes yang lebih baik daripada lo. Fitri bakal jadi milik gua.”
“Emang lo cocok darimana, lo orangnya kasar, pantes aja ga ada cewek yang jatuh hati sama lo.”
Erik pun berteriak akan memukul Farel “Tega banget lo!” Musik dramatis lagi-lagi berputar.
“Ah, Ma, jangan berpikir kayak gitu, mustahil Nurhaliza ke luar kota, Papa udah bilang! Kita cari aja dia sampe ketemu!” Musik dramatis terdengar saat Erlanda mengungkapkan rencananya “Jika dia ketemu, kita sekap dia, jangan kasih makan dia sama sekali, kita harus paksa dan siksa dia melakukan hal-hal biasa kita lakukan,”
“Ya, Mama setuju,” Malena pun tersenyum jahat.
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
Episode 3: Diam-Diam Suka
Kembali ke rumah Farel, di mana sang Mama Farel menerima sebuah panggilan telepon dari seseorang pada malam hari, ia pun kaget, kagetnya bukan kepalang, ia berteriak “APA?!” Dengan raut wajah yang sudah paling umum di sinetron Indonesia, mata melotot, bibir atas kedutan, ekspresi kek nahan boker “Oke, saya akan bilang Farel ya,”
Farel pun berjalan menuruni tangga dari kamarnya sebelum menemui sang Mama “Ma, ada apa?”
Mama Farel memalsukan ekspresi senangnya sambil bertanya “Wah, Farel, kau pasti lagi belajar ya? Kau sibuk banget ya?”
“Ya, Ma, ada tugas, tugas numpuk banget,” jawab Farel.
“Lagipula kau ada motivasi untuk belajar setelah melihat cewek kamu ya?”
“Ya, Ma, dia cewek favorit Farel,”
“Ya, Mama tahu kok apa yang terbaik, Farel, Mama hanya pengen kamu senang aja, pengen kalo kamu itu hidup bahagia bergelimpangan harta warisan Mama nanti.”
Farel pun menjawab “Ya, apalagi ‘kan Farel tau kalo nanti akan meneruskan perusahaan Mama.”
“Bagaimana SMS-annya dengan gadis itu?”
Farel pun menjawab dengan jujur “Farel ga suka sama gadis yang SMS Farel, Ma. Farel ga cinta sama dia.”
Mama Farel pun langsung marah seiring musik dramatis lagi-lagi terdengar, kamera pun zoom in terhadap wajahnya “Kamu masih cinta sama si gadis dekil dan kampungan itu, Farel?! Hah?! Apa kamu pikir kalo kamu masih bisa hidup kaya raya kalo kamu menikahi gadis itu?!”
Farel pun mengungkapkan “Ma, udah Farel bilang kalo Farel maunya…”
“Diam! Diam! Kamu patuhi apa yang Mama mau!”
“Ga, Ma! Maaf, kalo soal cinta, Farel maunya Fitri! Mama ga bisa minta jatuh cinta sama orang lain!” Farel pun berjalan kembali menuju kamarnya.
Mama Farel pun berpikir saat musik dramatis lagi-lagi terdengar, Sial, Farel tetep aja maunya sama gadis yang kampungan, bajingan, dan kotor lagi! Kalo gitu Mama harus menghilangkan gadis itu dari hidupnya.
***
Di rumah kontrakan Prabu, saat Nurhaliza dan Fitri duduk di atas tikar, mereka tidak melakukan apapun, tidak melakukan apa-apa sama sekali, hanya duduk diam! Namun terdengar suara bunyi handphone yang sudah ketinggalan zamannya. Fitri pun mengambil handphone yang sudah kuno dari sakunya, yaitu dari merek Nokia, yang sudah sangat butut.
Fitri menjawab telepon itu “Halo,”
Ternyata panggilan telepon tersebut dari Farel “Fitri, gue mau ngomong sama kamu, sori gue jadi kayak orang gimana lah, yang penting, gue mau bilang kalo gue masih cinta sama lu, cuma lu satu-satunya yang gue cinta, Fit. Gue ga ada hubungan apa-apa sama cewek yang SMS gue, itu emang cewek suka gue dari kecil sebelum pindah ke sini, gue bahkan ga suka sama kelakuan cewek itu, gue…”
Fitri memotong “Ya, Farel, gue…”
“Fit, gue ga peduli mau Mama bilang apa kek, pokoknya gue masih cinta sama lu, gue sumpah, gue cinta sama lu.”
Fitri pun kaget “Farel, lo beneran?! Lu masih cinta sama gue?!”
“Ya, Fit, nanti kita kencan diam-diam aja, itu mending daripada gue harus ngejauh dari lo.”
“Ya, gue cinta sama lo, udah dulu ya.” Fitri menutup percakapan, ia pun tersenyum lagi pada Nurhaliza “Alhamdulillah, Farel masih cinta gue! Dia masih cinta gue! Ah!!”
Nurhaliza hanya berkata “Ya, selamat buat lo, Fit,”
Fitri pun teringat “Eh, kamu udah ada cowok taksiran belum?”
Nurhaliza menjawab dengan jujur “Sebenarnya… aku… suka… sama… cowok… di… sekolah… kamu…”
“Jangan malu ngomong dong, gue ga bakal bilang siapa-siapa kok. Cowoknya siapa?”
“Dia… itu… cowok yang mirip orang Inggris gitu ya? Namanya Alan.”
“Wow! Alan? Dia orang keren tuh!” seru Fitri.
Mereka tidak mengetahui bahwa di halaman belakang, ada seseorang yang menyalakan korek api setelah menuangkan minyak pada tembok belakang rumah itu, orang itu pun meletakkan korek api yang sudah terbakar api itu pada tembok itu, sehingga rumah tersebut mulai terbakar dengan hebat. Orang misterius itu pun pergi.
Kembali ke Nurhaliza dan Fitri, mereka belum menyadari bahwa dapur mereka terbakar, maka Nurhaliza berkata “Ya, dia itu orangnya bukan cuma cakep, dia peduli sama aku, dia simpel banget.”
Fitri berkata “Ya, dia emang populer di kalangan gadis, tapi gue udah punya Farel dong.” Ia pun mencium sebuah bau yang tidak sedap “Kau mencium bau ga?”
“Ya,” Nurhaliza melihat dapur yang sudah terbakar dengan hebatnya, apinya pun sangat besar memenuhi dapur itu seiring musik dramatis terdengar “Kebakaran!!!”
“Tidak!! AAAAAAAAAAAARRRGH!!!” teriak Fitri secara berlebihan “Tolong!! Tolong!!”
“Tolong!!!” teriak Nurhaliza “Kebakaran!!”
Mereka berdua seharusnya berlari keluar rumah saat kebakaran terjadi di dapur, bukannya hanya diam berteriak minta tolong, tipikal sinetron Indonesia. Sangat tidak logis…
Mereka pun tidak sempat lari ke luar rumah untuk meloloskan diri, melainkan api besar pun mulai muncul tepat pada pintu keluar dari rumah. Mereka berdua, Fitri dan Nurhaliza, terus meminta tolong meskipun terkepung di ambang api.
“Kebakaran!! Tolong!!” teriak Nurhaliza.
“AAAAAAAAAAAAAARRRRGH!!!” teriak Fitri.
Lalu datanglah Prabu dan Alan dari antah berantah memasuki rumah yang sudah terbakar dengan hebat itu untuk menyelamatkan Fitri dan Nurhaliza. Prabu pun memegang Fitri keluar dari rumah tersebut, sementara Alan menggendong Nurhaliza keluar.
Ajaibnya, mereka berhasil keluar dari rumah yang sudah terbakar itu dengan selamat, tanpa luka bakar sama sekali, kulit mereka masih utuh. Setelah mereka berhasil keluar dengan selamat yang terlihat sangat mustahil, mustahil sekali!
Prabu pun memandangi rumah kontrakannya yang sudah terbakar habis di samping Fitri, ia hanya berkata “Astagfirullah, siapa yang tega membakar rumah kontrakan saya? Ini bukan rumah saya, ini masih kontrakan. Bagaimana saya bisa mengatakan hal ini pada pemiliknya?”
Sementara itu, Nurhaliza menatap Alan dengan rasa suka yang terpendam, bertepatan dengan itu, lagu Biarkan Aku Jatuh Cinta yang dipopulerkan ST12 terdengar seiring kedua insan muda ini menatap satu sama lain.
“Astaghfirullah, Fitri, Nurhaliza, rumah kita terbakar habis, tetapi kalian berdua selamat, alhamdulillah.” ucap Prabu “Bagaimana ini bisa terjadi?”
“Aku tidak tahu, tiba-tiba saja apinya muncul dari dalam dapur,” jawab Fitri.
Alan menjawab “Ini… ini… pasti ada seseorang, aku yakin, kebakaran ini disengaja, benar-benar disengaja!” Sementara Nurhaliza tidak berkata apapun seiring tetap melihat diri tubuh Alan yang tampak biasa saja, tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk.
“Astaghfirullah, kita bakal tinggal di mana?!” teriak Fitri “Kita ga punya uang sama sekali buat bayar kerugian dikarenakan kebakaran ini!! Kita ga punya rumah sama sekali!! Kita terpaksa harus tinggal di jalanan, Ayah!!” teriak Fitri “Ga ada harapan lagi!”
Alan pun menawarkan “Fitri, Nurhaliza, Pak Prabu, kalian sebaiknya pindah ke tempat tinggal saya saja.”
Fitri pun menolak “Apa? Tidak usah, Alan, tidak usah, lo ga usah repot-repot,”
“Tidak, gue ngerasa kasihan pada lo, bokap lo, dan Nurhaliza kehilangan rumah kalian, maka kalian bisa tinggal di rumah gue, bokap dan nyokap gue lagi di London. Dan masalahnya, gue ga bisa ngebantu bayar kerugian akibat kebakaran ini.”
Fitri pun berteriak lagi secara berlebihan “Apa?!” Ia menatap ayahnya sambil berteriak “Fitri ga mau ujian kayak gini lagi! Fitri ga mau ujian kayak gini lagi!!!”
Mata ini indah melihatmu
Rasa ini rasakan cintamu
Jiwa ini getarkan jiwamu
Jantung ini detakkan jantungmu
Biarkan aku jatuh cinta
Pesona ku pada pandangan
Saat kita jumpa
Biarkan aku 'kan mencoba
Tak perduli kau berkata
'Tuk mau atau tidak
***
Kembali ke kediaman keluarga Erlanda, pada waktu itu kebetulan bertepatan dengan waktu terbakarnya rumah kontrakan Prabu. Erlanda, Malena, dan Aira memasuki rumah mewah itu, mereka pun duduk di sofa pink di ruang tamu yang berhiaskan segala apapun yang mewah, lukisan yang terlihat indah dan otentik terpasang pada dinding, vas berwarna coklat antik terletak di dekat meja ruang tamu.
Mereka bertiga pun terlihat sangat frustasi, sangat frustasi, sehingga Erlanda berkata “Di mana sih itu anak?! Dia ga ketemu itu anak!”
Malena berkata lagi “Pa, emang ya, Nurhaliza udah tahu kita semua bakalan nyiksa dia ya!”
“Alah, kita ‘kan sering menyiksa dia kayak TKW di luar negeri,”
Aira pun menutup kupingnya “Ma, Pa, sudah, sudah, kenapa sih kalian begitu peduli sama Nurhaliza, kenapa ga sama Aira sih?!”
Erlanda langsung berkata “Aira, sebenarnya kami tuh sayang kamu, lebih sayang daripada Nurhaliza si gadis dekil itu,”
Malena menghina anaknya sendiri “Iya, Aira, Nurhaliza itu kotor, bedebah, dan pengkhianat lagi setelah ia melarikan diri dari rumah ini,” Alasan Malena pun tidak jelas, mereka seakan-akan tidak jelas ingin membicarakan tentang Nurhaliza, beginilah, dialog bertele-tele.
“Sudahlah, Aira capek banget, Aira mau tidur,” Aira berjalan meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
Malena pun bertanya “Kenapa bisa begini, Pa?”
“Jangan-jangan Nurhaliza sudah tahu segalanya.”
“Tahu apanya, Pa?”
Erlanda menjawab “Rencana kita sebelumnya!!”
“Alah, kita ga kasih tahu pada siapapun tentang masa itu, kita bahkan ga bilang ke Aira sama sekali!” Malena berbicara dengan jujur “Sudahlah, masa lalu tetaplah berlalu, yang penting masa kini,”
“Ya, Mama benar.” ucap Erlanda “Rencana kita baru saja dimulai.”
***
“Selamat datang di apartemen Alan, maaf tidak ada apa-apa, jadi anggap saja di rumah sendiri,” ucap Alan saat ia, Nurhaliza, Prabu, dan Fitri memasuki apartemen yang terlihat sangat sempit, tetapi setidaknya cocok untuk dihuni dan sangat mewah.
Mereka bisa melihat dapur yang lengkap terdiri dari kulkas, kompor, wastafel, meja, kursi bar, dispenser, lemari, dan kursi bar, semuanya berwarna putih, kecuali kompor, wastafel, dan kursi bar. Di ruang utama, mereka juga bisa melihat sofa berwarna putih yang terletak di depan LCD TV HD. Tak heran jika Fitri sangat gembira, seakan-akan kehidupannya berjalan kembali seperti dulu.
“Subhanallah, Alan, kamu orang yang baik banget,” ucap Prabu “Saya pasti tidak bisa membayar kebaikan kamu,”
“Sudah, Pak, anggap saja rumah sendiri, Bapak bisa tinggal di sini selama yang Bapak mau, lagipula orangtua saya sudah mengizinkan.” ucap Alan.
Fitri pun bergembira “Makasih, Alan!” Ia memeluk Alan tepat di depan pintu masuk “Kamu baik banget!!”
“Ya, terima kasih.” Alan pun melihat Nurhaliza berjalan menuju dapur “Sebaiknya aku berbicara sama Nurhaliza,”
“Ya, silakan,” ucap Prabu dan Fitri bersamaan. Fitri berbisik pada Prabu agar segera berjalan memasuki sebuah kamar tidur untuk membiarkan Alan dan Nurhaliza berbicara secara pribadi.
Nurhaliza melihat-lihat dapur tersebut dengan rasa penasaran, ia berkata “Dapur ini hampir mirip di rumahku di Jakarta, tapi sayang, aku tidak dapat…”
“Nurhaliza,” panggil Alan “Bisakah kita bicara?”
Nurhaliza berbalik melihat Alan sambil kaget “Alan…” Ia bertanya “Kau tadi menyelamatkanku dari kebakaran, kenapa?”
Alan menjawab “Aku harus menyelamatkanmu, mana mungkin aku akan membiarkanmu celaka, lagipula kau ‘kan gadis tercantik yang pernah kutemui, kau juga beruntung kuajak tinggal di sini bersama Fitri dan ayahnya.” Ia menyentuh pipi kiri Nurhaliza.
“Kamu baik banget, Alan, toh. Kamu menyebut aku ini cantik meskipun aku ini dekil dan kotor,” Nurhaliza tersipu malu, ia seakan-akan ingin mengungkapkan perasaan yang mendalam pada Alan, tetapi ia tidak mampu. Terdengar lagu Diam-Diam Suka yang dipopulerkan oleh Cherrybelle untuk menunjukkan perasaan tersebut.
Kau adalah incaran hatiku
Ku slalu memperhatikanmu
Tak henti menjadi teman berbagi
Semoga kau rasa apa yang kurasa
Dibalik senyumku ada cinta untukmu
Dibalik matamu ada hati yang menunggu
Aku diam diam suka kamu
Ku coba mendekat
Ku coba mendekati hatimu
Aku diam diam suka kamu
Semua kan indah seandainya aku bisa memilikimu
“Boleh aku mengatakan sesuatu padamu?” tanya Alan.
“Ada apa?”
“Aku… Aku…”
“Ya??”
Alan pun mengungkapkan “Sejak pertama aku melihatmu, Nurhaliza, aku merasa… sudahlah, lupakan saja,”
“Sudahlah, jangan malu-malu. Aku ungkapin ya…” Namun Nurhaliza merasa malu “Ah, tidak jadi, mungkin…”
Alan berkata “Aku sebenernya suka sama kamu,”
Nurhaliza heran “Lho?”
“Ya, lagian kamu cewek yang paling beda daripada cewek-cewek populer di sekolahku, aku tahu kalau kamu memiliki hati yang lemah lembut dan sopan kepada suami suatu saat nanti.” Alan berkata jujur “Di dalam, kamu bukan seperti yang terlihat, kamu cantik banget,”
Nurhaliza juga mengungkapkan “Wow,” Momen stereotipikal muncul “Aku juga sebenarnya suka sama kamu, Alan,”
Alan kaget “Wow, benarkah? Maksudku, beneran? Wow.” Alan terlihat syok tidak percaya “Kau benar-benar suka sama aku,”
“Ya iyalah! Aku ‘kan terus mikirin kamu habis ketemu pertama kali,” Nurhaliza memukul pundak Alan dengan lembut “Ya, jadi aku suka sama kamu, untuk pertama kalinya, akhirnya aku suka sama cowok ganteng seperti kamu, Alan.”
“Jadi gimana?” tanya Alan “Kau mau jadian sama aku?”
“Ya,” Nurhaliza mengangguk tersenyum “Jadi kita mau ke mana?”
***
Di rumah Farel, Farel membukakan pintu kepada Mamanya yang baru saja tiba. Sang Mama berjalan dengan sikap angkuh sambil berkata “Farel, kamu baik-baik aja, ‘kan?”
“Mama, ya iyalah, Farel baik-baik aja.” Farel berkata “Ma, meskipun Mama nyuruh Farel menjauhi Fitri, Farel ga akan mau patuhi Mama kayak gitu. Menurut Farel, Fitri itu cinta sejati Farel, Ma.”
Kamera close-up terhadap wajah Mama Farel yang terus terang melarang dengan nada tinggi “Apa?! Ga boleh! Kamu ga boleh jatuh cinta sama gadis kampungan itu!” Mama Farel keceplosan “Mama udah capek-capek biar Fitri ga ada dalam hidup kamu!”
Farel pun menyadari “Jadi…”
Mama Farel menampar wajah anaknya berkali-kali sambil berteriak “Ga boleh!! Ga boleh!! Ga boleh!! Kamu ga boleh jatuh cinta sama gadis kampungan itu! Ga boleh!! Ga boleh!!” Tiba-tiba wanita itu terkena serangan jantung seiring ia menyentuh payudara bagian kirinya, ia batuk-batuk “Uhuk! Uhuk!!”
“Ma, Mama baik-baik aja?”
Mama Farel pun terjatuh setelah batuk berkali-kali “Uhuk! Uhuk!! Ti… dak… Mama… uhuk… udah ga… kuat.. lagi…” Beginilah adegan sekarat tipikal sinetron Indonesia.
“Ma?” Farel hanya memanggil.
Mama Farel berusaha untuk berdiri kembali, namun, naas, ia pun tergeletak dan terjatuh di lantai menghembuskan napas terakhirnya.
“Mama! Mama!” teriak Farel sambil memegang tubuh Mamanya yang sudah tidak bernyawa itu “TIDAAAAAAAAAAK!!!!”
Bersambung
IBS
TELEVISION STUDIOS
Nada Cinta
Halo, nama saya Maswendo Hardwick. Kalian akan melihat episode keempat dari mahakarya saya, Rumput yang Bergoyang. Mahakarya? Dengar, saya tidak bisa mengatakan sinetron ini sebuah mahakarya! Mahakarya apanya? Ini bukan mahakarya sama sekali dikarenakan konflik saya dan IBS Television Studios dan The IW! Mengapa saya berkata “Dikarenakan” lagi?!! Dalam episode kali ini, Farel dan Fitri sangat jatuh cinta satu sama lain meskipun kematian Mama Farel, sementara Erlanda dan Malena melanjutkan pencarian Nurhaliza, anak mereka sendiri yang diperlakukan bagaikan TKW di luar negeri. Inilah episode keempat dari Rumput yang Bergoyang, selamat menyaksikan! Aku telah dikhianati oleh PH sinetron sialan itu! Mereka pengennya bikin sinetron yang biasa saja!
Episode sebelumnya
“Tidak!! AAAAAAAAAAAARRRGH!!!” teriak Fitri secara berlebihan “Tolong!! Tolong!!”
“Tolong!!!” teriak Nurhaliza “Kebakaran!!”
Mereka berdua seharusnya berlari keluar rumah saat kebakaran terjadi di dapur, bukannya hanya diam berteriak minta tolong, tipikal sinetron Indonesia. Sangat tidak logis…
Prabu pun memandangi rumah kontrakannya yang sudah terbakar habis di samping Fitri, ia hanya berkata “Astagfirullah, siapa yang tega membakar rumah kontrakan saya? Ini bukan rumah saya, ini masih kontrakan. Bagaimana saya bisa mengatakan hal ini pada pemiliknya?”
Aira pun menutup kupingnya “Ma, Pa, sudah, sudah, kenapa sih kalian begitu peduli sama Nurhaliza, kenapa ga sama Aira sih?!”
Erlanda langsung berkata “Aira, sebenarnya kami tuh sayang kamu, lebih sayang daripada Nurhaliza si gadis dekil itu,”
Malena menghina anaknya sendiri “Iya, Aira, Nurhaliza itu kotor, bedebah, dan pengkhianat lagi setelah ia melarikan diri dari rumah ini,” Alasan Malena pun tidak jelas, mereka seakan-akan tidak jelas ingin membicarakan tentang Nurhaliza, beginilah, dialog bertele-tele.
“Ya, lagian kamu cewek yang paling beda daripada cewek-cewek populer di sekolahku, aku tahu kalau kamu memiliki hati yang lemah lembut dan sopan kepada suami suatu saat nanti.” Alan berkata jujur “Di dalam, kamu bukan seperti yang terlihat, kamu cantik banget,”
Nurhaliza juga mengungkapkan “Wow,” Momen stereotipikal muncul “Aku juga sebenarnya suka sama kamu, Alan,”
Alan kaget “Wow, benarkah? Maksudku, beneran? Wow.” Alan terlihat syok tidak percaya “Kau benar-benar suka sama aku,”
Farel pun menyadari “Jadi…”
Mama Farel menampar wajah anaknya berkali-kali sambil berteriak “Ga boleh!! Ga boleh!! Ga boleh!! Kamu ga boleh jatuh cinta sama gadis kampungan itu! Ga boleh!! Ga boleh!!” Tiba-tiba wanita itu terkena serangan jantung seiring ia menyentuh payudara bagian kirinya, ia batuk-batuk “Uhuk! Uhuk!!”
“Mama! Mama!” teriak Farel sambil memegang tubuh Mamanya yang sudah tidak bernyawa itu “TIDAAAAAAAAAAK!!!!”
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
Episode 4: Nada Cinta
Enambelas tahun yang lalu, di saat pernikahan Prabu dan seorang wanita yang wajahnya disensor, pada waktu itu, semua tamu menyaksikan proses pernikahan tersebut dengan gembira seiring Prabu menjabat tangan kanan seorang penghulu yang duduk di depannya.
Penghulu tersebut berkata “Saya terima nikahnya Prabu Siliwangi Yahya bin *nama disensor* dan Larissa Anugrah Putri binti *nama disensor* dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai,”
Prabu yang memakai jas hitam, kemeja putih, celana hitam, dan topi peci itu membalas “Saya terima nikahnya Larissa Anugrah Putri binti *nama disensor* dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
Penghulu tersebut bertanya pada para tamu “Bagaimana para saksi? Sah?”
“Tunggu!!” muncullah seorang perempuan yang berupaya untuk menggagalkan pernikahan tersebut, ya, adegan tersebut sudah basi di sinetron Indonesia, sangat basi! Perempuan itu berjalan menghampiri Prabu dan calon istrinya serta penghulu akad nikah itu. Perempuan itu tak lain adalah Malena! “Jangan sahkan pernikahan ini! Jangan! Jangan!”
Prabu pun berdiri berbalik menghadap Malena “Malena?”
“Prabu, saya belum menyerah, saya yakin! Benar-benar yakin! Anda akan menikahi dengan wanita yang tidak kau cintai! Sama sekali tidak kau cintai!” Malena berteriak seiring musik dramatis terdengar “Prabu, saya mohon! Saya benar-benar mencintaimu! Saya mencintaimu dengan sepenuh hati! Saya tahu kalau kamu juga cinta aku!” Lalu terdengarlah lagu You Belong to Me yang dipopulerkan Jo Stafford seiring Malena berkata “Aku jujur sama kamu, Prabu! Prabu, aku cinta mati sama kamu! Kamu juga cinta aku!!”
Prabu menolak cinta Malena mentah-mentah seiring lagu berhenti terdengar “Malena, maafkan aku, tapi aku lebih cinta *nama disensor* daripada kamu. Aku tidak cinta kamu, Malena,” Ia pun berbalik duduk di depan penghulu dan di samping calon istrinya “Penghulu,”
“Bagaimana, para saksi? Sah?”
Semua tamu berteriak”SAH!”
***
Kembali ke masa kini, yaitu pada pagi hari di kamar Aira yang penuh motif Ken dan Barbie, warna cat dinding serba pink dan ungu, lampu chandelier menghiasi kamar tersebut, semua furniture, termasuk tempat tidur dan lemari, serba pink dan ungu. Bahkan TV juga sampai dihiasi motif Ken dan Barbie!
Aira sedang terlihat memegang mikrofon sambil berdiri sedang bernyanyi karaoke, ia juga menari dengan koreografi asal-asalan, ia bernyanyi lagu dengan keras dan suara sumbang “Nada-nada cinta ini terangkai dari hatiku, dulu tak pernah terpikir mengalir seperti ini. Kamu takkan bisa menahan semua rasa, katakan katakan katakan saja yang ada di hatimu. Coba cobalah kau lihat kau lihat diriku, coba cobalah kau dengar kau dengar suaraku. Eh! Eh! Eo! Eh! Eh! Eo! Nada-nada cinta ini terangkai dari hatiku, dulu tak pernah terpikir mengalir seperti ini. Kamu takkan bisa menahan semua rasa, katakan katakan katakan saja yang ada di hatimu. Coba cobalah kau lihat kau lihat diriku, coba cobalah kau dengar kau dengar suaraku. Coba cobalah kau lihat kau lihat diriku, coba cobalah kau dengar kau dengar suaraku. Kamu takkan bisa menahan semua rasa nada-nada cinta.”
“Aira!!” panggil Malena mendobrak pintu kamar Aira dengan keras “Berisik! Pagi-pagi begini udah nyanyi nadanya sumbang lagi!”
“Mama! Ini ‘kan hari libur!” ucap Aira “Lagian si Nurhaliza juga mana lagi? Harusnya sekarang udah ketemu! Dia kabur kemana sih?!!”
“Eh! Kamu jadi anak jangan manja ya!” teriak Malena.
“Lagian kenapa Mama nyuruh-nyuruh Nurhaliza segala? Palingan Mama itu ga bisa masak, ga bisa nyuci, ga bisa melakukan pekerjaan rumah tangga seperti ibu rumah tangga,”
“Kamu ‘kan juga sama aja, Aira,”
Erlanda pun muncul memasuki kamar Aira “Ma, Papa baru dapat kabar dari teman lama di Bandung,”
“Apa?” tanya Malena.
“Mereka melihat gadis yang mirip si brengsek Nurhaliza!” seru Erlanda.
“Bagus! Kalau begitu kita akan ke Bandung untuk cari si anak gadis badung itu! Kita ke Bandung sekarang juga!” ucap Malena.
Aira kaget “Ma, ke Bandung sekarang?! Tapi Ma…”
“Ga ada tapi Aira, ayo kita ke Bandung, cari si anak badung sialan itu!” seru Malena.
***
Di bekas rumah kontrakan Prabu, yaitu hanya menyisakan abu, seorang wanita berambut pirang berjalan menghampiri rumah yang sudah terbakar itu. Wanita itu tak lain adalah Larissa, istri Prabu dan ibunda Fitri.
Larissa pun memandang hampir seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah yang sudah rusak menjadi abu itu, ia pun bertanya kepada ibu berkerudung putih “Mba, maaf, ini rumah kenapa ya?”
Ibu tersebut menjawab “Oh, rumah ini udah terbakar tiga hari yang lalu, Mba,”
Larissa pun berkata “Astaghfirullah…” Ia pun bertanya “Di mana mereka sekarang? Yang tinggal di rumah ini?” Ia terlihat membawa sebuah file “Saya ingin bicara dengan suami saya tentang anak saya,”
Farel pun akhirnya tiba menemui Larissa dan ibu berkerudung putih itu “Bu, ini ada apa?” Farel memandang rumah kontrakan Prabu yang sudah rusak berat akibat kebakaran “Astaghfirullah al adzim, Bu, ini rumah kenapa?”
“Farel?” Larissa memanggil.
Farel pun mengenal Larissa sebagai ibunda Fitri “Bu, Anda ibunya Fitri, ‘kan?”
“Ya,”
“Bu, ini Fitri kemana?”
“Ga tau, rumah ini udah kebakaran ga tau kenapa,”
Farel pun menyadari saat kamera close up terhadap wajahnya dan musik dramatis terdengar “Mama, mama saya yang membakar rumah ini. Mama saya tidak setuju saya mencintai Fitri, sebelum Mama meninggal, Mama saya membakar rumah ini.”
“Astaghfirullah… Innalillahi wa inna ilaihi rojiun… Naudzubillahi min dzalik…”
“Ibu mau ketemu Fitri ‘kan?” tanya Farel “Saya SMS dia ya.”
***
Kembali ke apartemen Alan, di mana Nurhaliza dan Alan sedang duduk di atas sofa, mereka pun sedang bersenang-senang dengan satu sama lain, mereka pun mulai berbicara untuk mencari sesuatu yang bisa menjadi kesukaan mereka. Alan juga sedang memegang gitar sehingga ia mengajak Nurhaliza untuk bernyanyi. Alan pun memulai memainkan gitarnya seiring mereka berdua mulai bernyanyi “Whoa… Whoa… Whoa… Oh…”
Alan bernyanyi “Seluas langit di atas…”
Nurhaliza bernyanyi “Tak seluas cintaku ini,”
Mereka berdua bernyanyi bersama dengan merdu “Mengalir di dalam darahku, sedekat hembusan nafasku, cintaku untukmu ooh. Biar dunia menghina, hatiku tetap cinta, cause i miss you, cause i need you. Biar dunia saksinya, cinta kita berdua, cause i miss you, cause i need you. Whoa whoa whoa… Cause i miss you, cause i miss you and cause i need you, baby…”
Fitri pun berjalan keluar dari suatu kamar tidur “Wah, kalian serasi banget loh… Ciyeee…”
Alan berkata “Ya iyalah, untung gue pilih cewe yang suaranya merdu banget, merdu banget.”
Nurhaliza membalas “Ah, Mas Alan biasa saja.”
Fitri pun mengambil HP bututnya “OMG Hello! Farel! Farel! Farel bakalan ke sini!!!”
“Masa?!” teriak Nurhaliza.
“Tapi dia nanya kita tinggal di mana, gue balas aja,” Fitri pun berjalan memasuki kamar tersebut lagi untuk membiarkan Nurhaliza dan Alan berduaan.
Alan berkata “Oke, sampai mana kita?”
***
Farel dan Larissa sedang duduk di dalam angkot yang sangat panas dan penuh dengan penumpang, bahkan mereka harus bersempit-sempit ria sambil menunggu tiba di apartemen Alan di jalan Soekarno Hatta.
Larissa berkata pada Farel “Ibu dapat kabar dari rumah sakit di mana ibu melahirkan Fitri kalau ternyata Fitri bukan anak biologis saya.”
Farel bertanya “Dari mana mereka tahu? Tes DNA?”
“Mereka mengabarkannya lewat file yang ibu pegang.” ucap Larissa.
“File itu isinya apa?”
“Itu hasil tes DNA, mereka berkata bahwa Fitri dan bayi perempuan yang lain tertukar secara sengaja.”
“Apa?” ucap Farel “Jadi… Fitri bukan anak ibu?”
“Ya, Fitri bukan anak ibu, tapi anak perempuan yang lain.” Larissa pun tidak menyadari bahwa seorang pria perlente yang duduk tepat di samping dirinya tengah mencopet sesuatu dari saku celananya.
Farel pun memandang pria perlente pencopet itu dan berteriak “Masya Allah! Copet! Copet!!”
Larissa pun berteriak sambil memukul pria perlente itu secara berlebihan “AAAAAAARRRGH!! Copet!! Copet!! Copet!! Copet!!”
***
Kembali ke apartemen Alan, di mana Alan, Prabu, Fitri, dan Nurhaliza sedang makan siang sambil duduk di atas sofa, mereka hanya memakan sepiring nasi dengan ayam goreng, meskipun Alan hanya tinggal di apartemen.
Alan berkata “Cuma ini makanannya, soalnya ga ada apa-apa di rumah,” ucap Greg meminta maaf.
“Tidak apa-apa.” ucap Fitri.
Prabu berucap “Fit, maafkan ayah,”
Fitri membalas “Kenapa, Yah?”
“Seharusnya, kita ga jadi kayak gini, ayah di-PHK, rumah kontrakan kita kebakar habis, terus kamu juga pengen ulang tahun kamu yang sweet seventeen besar-besaran, ayah merasa ga mampu.”
Fitri berkata “Ayah ga usah ngomong gitu lagi, Fitri udah sadar bagaimana cara hidup orang miskin, meskipun Fitri masih belum terima. Pesta besar atau bukan, Fitri udah ga peduli lagi mau ngerayain ulang tahun Fitri. Fitri ulang tahun besok.”
Nurhaliza kaget “Fit, kamu ulang tahun besok?”
“Ya,”
“Besok juga ulang tahunku!” Nurhaliza menjawab.
Fitri kaget “Kamu juga ulang tahun besok?!”
Alan berkata “Wah, ternyata ada hari ulang tahun yang sama,” Lalu ia berkata “Gimana kalo gini, aku bakal ngebantu untuk ngerayain pesta…”
Fitri memotong “Udah, ga usah, ga usah, kamu ga usah repot-repot.”
“Udahlah, Fitri, kita, di sekolah, semuanya teman lo, kita akan ngebantu lo dan Nurhaliza ngerayain pesta ulang tahun, lagian gue dan Farel udah ngerencanain pesta ini.”
“Udah, ga usah, Alan,”
“Ga apa-apa, lagian ini salah satu rencana hidup besar lo, sweet seventeen birthday party? Kita bakalan ngebantu lo, tenang aja.”
Fitri pun akhirnya menerima “Ya, oke, lo boleh ngerayain pesta ulang tahun, tapi hanya teman terdekat aja yang boleh datang. Makasih banyak, Alan,”
Alan pun tersenyum “Sama-sama, gue bakal telepon Farel dulu.”
***
Kembali ke angkot, seiring lagu Rondo Alla Turca yang dipopulerkan Mozart terdengar, sangat tidak nyambung! Pencopet yang berupaya untuk mencopet dompet Larissa sudah pergi setelah gagal. Kini di tempat duduk penumpang, sudah lebih luas, hanya Farel dan Larissa saja yang duduk di sana dekat pintu keluar.
Farel mengambil ponselnya untuk menerima telepon dari Alan “Ya, assalamualaikum?”
“Waalaikum salam, Rel. Lo masih ingat rencana kita ngerayain ulang tahunnya Fitri?”
“Ya iyalah, gue masih ingat,”
“Lagian lo ‘kan orang kaya raya,”
“Tapi Mama gue…”
“Ya, gue tau. Tapi lo bisa ga ngebohong untuk ngambil uang dari Mama lo?”
“Mama gue udah meninggal, Alan,”
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun… Jadi gimana dong?”
“Gue bakalan balik ke rumah malam ini buat ngambil duit dan ngerencanain pesta ulang tahun Fitri, kita adain pestanya di rumah gue aja.” usul Farel.
Larissa bertanya pada Farel “Itu dari siapa, Alan?”
Farel menjawab pertanyaan Larissa “Teman Farel, Alan,” Ia melanjutkan percakapan dengan Alan “Alan, tapi lo bantu gue ngedekorasi rumah gue ya, dan hanya teman-teman terdekat aja yang boleh datang. Oke, gue udah mau nyampe rumah lo, ada yang pengen ketemu bokapnya Fitri,” Farel mengakhiri percakapan.
“Kamu baik banget pengen ngerayain pesta buat Fitri,” ucap Larissa.
“Bisa saja, Bu, saya ‘kan jatuh cinta sama Fitri,” ucap Farel seiring lagu Jatuh Cinta yang dipopulerkan Project Pop terdengar.
“Bagus buat kalian berdua,”
***
Alan berjalan keluar dari apartemennya, dan kebetulan sekali, Erik juga berjalan keluar dari apartemen tepat di depannya sebelum menutup pintu.
“Eh, Erik,” panggil Alan “Lo mau kemana?”
“Gue mau ke rumah Fitri, gue denger kalo rumahnya kebakaran,”
“Mereka udah pindah kok, lagian rumahnya udah ga bisa ditinggalin lagi.”
“Jadi mereka tinggal di mana dong?”
Nurhaliza berjalan keluar dari apartemen Alan “Alan, ayo,”
Erik kaget saat melihat Nurhaliza “Alan, itu cewek yang lo sukai?”
“Ya, namanya Nurhaliza, gue mau bawa dia ke salon, gue yang traktir. Dia butuh penampilan lebih dari ini,” Alan menunjukkan penampilan Nurhaliza yang bobrok.
“Oh, Fitri juga pindah ke sini juga ‘kan?”
“Ya iyalah,” seru Alan “Gue duluan, mau bawa Nurhaliza ke salon.”
Erik pun tersenyum pada Nurhaliza “Senang bertemu dengan lo, Nurhaliza.”
“Senang bertemu dengan kamu,” balas Nurhaliza sebelum pergi meninggalkan Erik menuju lift.
Erik pun berjalan mengikuti Alan dan Nurhaliza “Eh, Alan, gue ikut ke bawah!”
***
“Astaga! Lama banget sih! Macet banget!” teriak Malena di dalam mobil mewah duduk di kursi depan dekat Erlanda yang menyetir, sementara Aira duduk di kursi belakang. Tentu saja, mereka terjebak dalam kemacetan jalan tol penuh dengan mobil. Malena berkata lagi “Ini lama banget! Gimana kita mau cepat-cepat menemui gadis badung itu?!”
Erlanda hanya menjawab “Ayolah, ini Jakarta, macet banget! Macet!”
“Tapi ga macet gini-gini amat dong!”
Aira bertanya “Kalo gitu kita makan di tempat istirahat, ‘kan?”
Malena berkata “Kita harus cepat-cepat ke Bandung untuk ketemu dan bawa si gadis badung itu ke rumah agar dia makin menderita! Jika kita ketemu dia, kita kejar dia!” Malena tersenyum jahat.
Bersambung
IBS
TELEVISION STUDIOS
Yang Muda, Yang Bercinta
Halo, saya Maswendo Hardwick. Tentu saja saya menulis episode kali ini. Berdasarkan novel best seller saya, Rumput yang Bergoyang. Tentu saja saya tidak asing dengan novel best seller, saya membaca semua novel best seller di Indonesia sebanyak mungkin misalnya Laskar Pelangi untuk inspirasi dan bersantai. Banyak kejadian yang tidak mencegangkan terjadi saat drama dibalik layar saya dengan IBS Television Studios dan The IW. Kedua pihak itu ingin sinetron yang stereotipikal! Sangat stereotipikal! Pada episode kelima, Fitri dan Nurhaliza berencana untuk merayakan pesta ulang tahun mereka dengan bantuan Alan dan Farel dan juga teman-teman mereka. Serta, akan ada adegan perkelahian yang super duper klise di sinetron Indonesia! Semoga Anda menikmati episode kelima dari Rumput yang Bergoyang.
Episode sebelumnya
Larissa pun memandang hampir seluruh warga berkumpul menyaksikan rumah yang sudah rusak menjadi abu itu, ia pun bertanya kepada ibu berkerudung putih “Mba, maaf, ini rumah kenapa ya?”
Ibu tersebut menjawab “Oh, rumah ini udah terbakar tiga hari yang lalu, Mba,”
Larissa pun berkata “Astaghfirullah…” Ia pun bertanya “Di mana mereka sekarang? Yang tinggal di rumah ini?” Ia terlihat membawa sebuah file “Saya ingin bicara dengan suami saya tentang anak saya,”
Larissa berkata pada Farel “Ibu dapat kabar dari rumah sakit di mana ibu melahirkan Fitri kalau ternyata Fitri bukan anak biologis saya.”
Farel bertanya “Dari mana mereka tahu? Tes DNA?”
“Mereka mengabarkannya lewat file yang ibu pegang.” ucap Larissa.
Erlanda hanya menjawab “Ayolah, ini Jakarta, macet banget! Macet!”
“Tapi ga macet gini-gini amat dong!”
Aira bertanya “Kalo gitu kita makan di tempat istirahat, ‘kan?”
Malena berkata “Kita harus cepat-cepat ke Bandung untuk ketemu dan bawa si gadis badung itu ke rumah agar dia makin menderita! Jika kita ketemu dia, kita kejar dia!” Malena tersenyum jahat.
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
Episode 5: Yang Muda Yang Bercinta
Alan, Nurhaliza, dan Erik berjalan keluar dari apartemen tersebut seiring lagu My Songs Know What You Did in the Dark yang dipopulerkan Fall Out Boy terdengar. Mereka bertiga berjalan seperti melakukan catwalk di sebuah fashion show tepat di depan para penghuni apartemen yang berjalan kesana-kemari dan yang sedang duduk di sofa.
Erik berkata “Ngapain kita catwalk kayak ginian, ga macho ah!”
“Erik, ya gaya dikit kek, lo kan jalannya mirip banget sama model, lagian banyak cowok yang jadi model kok.” Alan berkata.
“Kebanyakan mereka itu penyuka sesama jenis, hiii…” Erik merasa jijik.
Nurhaliza bertanya “Kita bakalan ke salon mana?”
“Salon di dekat sini, kita cari dulu yang mana salon khusus cewek cantik.” ucap Alan “Lagian, kamu butuh perombakan yang istimewa sebelum ulang tahun kamu, jadi kamu harus terlihat cantik banget, bukan terlihat seperti kamu yang terlihat sekarang.”
Erik bertanya “Sebenernya, apa yang membawa kamu ke sini, Nurhaliza?”
Alan pun menolak agar Nurhaliza tidak menjawab “Hush, lo jangan tanya yang kayak gitu dong, kasian dia.”
Nurhaliza menjawab “Ga apa-apa, kok, udah,”
“Tapi aku ngerasa…”
“Udah, udah,” Nurhaliza berkata saat mereka berjalan keluar melewati pintu depan.
Kebetulan sekali, mereka bertiga melihat Farel dan Larissa yang berjalan ke arah mereka. Mereka berlima masing-masing menghentikan langkah mereka saat Erik memandang Farel dengan sinisnya. Erik dan Farel masing-masing berjalan berhadapan satu sama lain seiring musik western yang dramatis terdengar dan beberapa orang yang berdiri di sekitar mereka melarikan diri tidak ingin melihat showdown antara Erik dan Farel. Kini, Erik dan Farel saling berhadapan dan berdekatan, sementara Nurhaliza, Alan, dan Larissa hanya menyaksikan showdown antara mereka.
Erik berteriak “Lo ngapain ke sini?! Bukannya lo harusnya ada di rumah lo, mama lo ‘kan udah ngelarang lo pergi dari rumah.”
Farel membalas “Ya elah, Erik, kata siapa gue ga boleh keluar rumah, mama gua ga pernah bilang gitu ke gua. Lagian, sorry ya, mama gue udah meninggal dengan tragis.”
“Gue ga ada belas kasihan sama lo, soalnya lo tau, meski mama lo udah meninggal, tapi tetep aja lo ga boleh deket-deket sama Fitri, itu katanya sebelum dia meninggal!”
“Erik, gue berhak cinta siapapun, termasuk Fitri, ga ada yang boleh ngelarang siapapun untuk jatuh cinta sama cewek yang gue suka,”
Nurhaliza berkata pada Alan “Masya Allah, ini kenapa ya? Erik sama Farel kok musuhan sih?”
“Jelas banget, mereka suka sama gadis yang sama, Fitri,” Alan menjawab.
Sementara Larissa malah mengambil ponselnya setelah berdiri di antara Nurhaliza dan Alan “Jadi ini showdown demi mendapat putri saya ya?”
“Fitri emang udah cinta sejati gua dari dulu,” Farel berkata pada Erik.
Erik membalas dengan pukulan pada wajah Farel sebelum berkata “Lo ga pantes sama Fitri. Lo emang durhaka sama mama lo!”
Farel pun kaget “Teganya lo manggil gue gitu! Gue berhak dong menolak apa yang mama mau dari gua, termasuk cinta.”
Erik memukul wajah Farel lagi “Lo emang anak durhaka ya, Rel!”
Farel memukul wajah Erik “Oh ya! Gue bukan anak durhaka! Mama gua udah maksa gua untuk ngejauhin Fitri!”
Erik memukul wajah Farel lagi “Sama aja lo!”
Farel memukul perut Erik dengan keras“Kalo lo mau mukul lagi, lo harusnya jangan itu-itu aja!”
“Lo bilang itu pukulan?” tanya Erik.
“Ya, p-u-k-u…” jawab Farel sampai-sampai mengeja yang sebetulnya tidak perlu segala sehingga terhenti saat Erik menendang paha kirinya “Tendang,”
“Ya, tendang, ini baru berantem yang asli daripada cuma pukul-pukulan doang!” Erik menendang perut Farel dengan keras.
“Kalo gitu, ayo kita berantem!” Farel berteriak sebelum menabrakkan kepalanya pada tubuh Erik.
“Ya, sepakat!” teriak Erik sambil memukul wajah Farel lagi.
“Buat apa? Jadi preman?!” Farel memukul wajah Erik lagi.
Namun Erik menahan pukulan Farel “Untuk jadi PRIA SEJATI!!”
Pertempuran epik antara Farel dan Erik baru saja dimulai! Mereka saling memukul dan menendang tubuh masing-masing dengan sound effect yang berlebihan ditambah musik dramatis yang juga sangat berlebihan. Adegan kekerasan tersebut bisa saja menyebabkan sinetron Rumput yang Bergoyang ditegur KPI karena bisa menimbulkan penonton meniru adegan tersebut. Erik dan Farel saling mendorong dan membanting satu sama lain bagaikan dalam pertandingan gulat WWE.
Sementara itu, Larissa, Nurhaliza, dan Alan bukannya berteriak untuk menghentikan pertempuran epik tersebut, melainkan hanya menyaksikan saja bagaikan pertempuran Main Event. Larissa malah merekam pertempuran epik itu menggunakan ponselnya sambil tersenyum.
Saat Erik memukul wajah Farel lagi, Farel menunduk sebelum akhirnya bersiul dan melanjutkan pertempuran epik itu lagi. Pertempuran itu lagi-lagi terjadi dengan Erik dan Farel memukul, menendang, dan menunduk pada tubuh mereka masing-masing. Pada akhirnya, tidak seperti pada kebanyakan sinetron, di mana sang pahlawan selalu menang tidak peduli akan keahlian bertarungnya, Erik dan Farel sama-sama terjatuh setelah kalah dari pertempuran epik itu.
Alan berkomentar “Wow, hasilnya seri,”
Erik pun berdiri “Baiklah, gue mau pergi,” Ia pun berjalan meninggalkan halaman gedung apartemen itu.
Alan berkata pada Larissa dan Farel “Oh ya, gue dan Nurhaliza mau ke salon dulu, buat ngerombak penampilan Nurhaliza.” Ia dan Nurhaliza berjalan pergi meninggalkan Farel dan Larissa seiring musik dramatis terdengar kembali.
***
Sementara itu, Erlanda, Malena, dan Aira masih terjebak macet di tengah-tengah jalan tol, sementara Aira sedang tertdur di kursi belakang, Malena dan Erlanda masih tidak sabaran memandangi jalan tol penuh dengan mobil yang berhenti di depan mereka.
Erlanda tiba-tiba berkata saat ia teringat “Papa jadi ingat, gimana si gadis badung itu bisa kabur dari rumah kita? Padahal kita sudah mengunci setiap pintu dan jendela rumah?!”
Malena membalas “Papa ceroboh banget, Nurhaliza pasti kabur dari pintu belakang,”
“Papa teringat dengan konflik antara saya dan pria brengsek yang bernama Prabu! Prabu yang membuat saya dipecat dari perusahaan yang sama karena tuduhan korupsi! Akibat konflik itu, kita sepakat buat rencana itu! Rencana untuk menukar kedua bayi, kita siksa bayinya Prabu habis-habisan!”
“Jika Nurhaliza tau rencana kita atau apa yang kita lakukan pada masa lalu, habislah kita.”
“Ya, aku benci Prabu Siliwangi Yahya, si pria brengsek itu, anaknya sudah disiksa habis-habisan setelah bayi aslinya ditukar dengan bayi asli kita. Pokoknya Papa ga peduli mau rencana kita terbongkar kek, kita akan siksa Nurhaliza alias Fitri, putri asli Prabu Siliwangi Yahya, habis-habisan!”
***
“Bagaimana cara memberitahukan hasil tes DNA ini, Farel? Ibu juga bingung mau bilang kayak gimana.” ucap Larissa.
“Itu juga, Bu, Farel juga pikir pasti Fitri dan Pak Prabu terkejut banget habis ngedengar kabar ini.”
Fitri pun membuka pintu secara kebetulan ingin keluar, ia melihat Farel dan Larissa berdiri di depannya “Farel? Ibu?”
“Fitri,” Larissa segera memeluk putrinya “Fitri, maafkan ibu udah ninggalin kamu habis ayahmu di-PHK.”
Prabu pun pergi menemui Larissa “Sayang, kamu dari mana aja?”
Larissa memeluk Prabu “Oh, Prabu, maafin aku, aku udah kabur sehabis kamu udah di-PHK, maafkan aku.” Lalu ia berkata “Tapi aku ada sebuah kabar untuk kalian semua?”
Fitri bertanya sambil menirukan nada sebuah iklan “Kabar gembira untuk kita semua?”
“Bukan, ini sebenernya…” Larissa berkata.
Prabu sudah mengetahui dari nada bicara istrinya berarti kabar buruk “Jangan bilang…”
Larissa menyerahkan file yang dipegangnya “Ini hasil tes DNA dari rumah sakit,”
Musik dramatis pun terdengar sangat kencang seiring Prabu mengambil file tersebut dan membukanya, ia mengambil sebuah kertas dari file tersebut, Prabu membaca surat tersebut dan ia sangat shock seiring musik dramatis terdengar kembali.
“Ayah, ayah, ada apa?” tanya Fitri, ia pun melihat surat tersebut, ia juga sangat kaget.
Larissa mengungkapkan “Fitri, kamu bukan anak ibu, kamu juga bukan anak ayah…”
***
Perombakan Nurhaliza pun akhirnya dimulai di sebuah mall, tak lain adalah Bandung Indah Plaza, sebuah mall rekreasi keluarga yang juga sering dipakai tempat hang out remaja selain Paris Van Java dan Trans Studio Mall. Nurhaliza pun terlihat sangat senang bisa meninjakkan kakinya di sebuah mall bersama Alan dan Erik.
“Jadi ini ya mall?” tanya Nurhaliza.
“Ya iyalah, Nur, ini juga namanya mall, pusat perbelanjaan dan tempat hang out para remaja masa kini kayak kita-kita gini.” Erik menyindir.
“Orang aku belum pernah pergi ke mall.”
Alan segera menghentikan sebelum pertengkaran terjadi “Sudah, sudah, mending kita bawa ke salon aja, kita bakalan ngerombak penampilan Nurhaliza, mulai tahap pertama.”
Mereka bertiga berjalan melewati pusat mall tersebut menuju eskalator yang akan mengantar mereka ke lantai satu, mereka naik lagi hingga tiba di lantai tiga. Lalu mereka segera berjalan mencari sebuah salon kecantikan demi tahap pertama perombakan Nurhaliza.
Alan menunjuk sebuah salon saat mereka berjalan belok kanan setelah melihat outlet Yopie Salon, ia berkata “Ini salon yang bagus buat cewek kayak kamu, kamu bakalan dimakeover, biar gue dan Erik yang tanggung semuanya.” Lalu ia berbisik pada Erik.
Erik pun mengangguk “Oke, gue lihat-lihat yang lain dulu.”
Nurhaliza memanggil saat Erik pergi “Erik, mau kemana?”
Alan berkata “Udah, udah, tenang aja, dia bakalan nyiapin semua buat pesta ulang tahun buat kamu dan Fitri, udah ayo kita masuk.” Ia mengajak masuk Nurhaliza ke dalam salon tersebut.
***
“Jadi Fitri bukan anak ayah dan ibu?!” tanya Fitri kepada Prabu dan Larissa.
“Fit,” panggil Farel.
“Jadi sebenarnya ada apa sih?” tanya Fitri “Apa yang sebenernya terjadi?”
Larissa hanya menjawab “Ibu juga tidak tahu apa penyebabnya, tapi ibu hanya ingin tahu apakah dugaan ibu benar. Ibu sudah merasa… kalau kamu bukan anak ibu, Nak, semenjak kita pindah saat kau masih berusia lima tahun,”
Prabu juga melanjutkan “Bu, besok ‘kan ulang tahunnya Fitri juga, lebih baik Ibu jangan ngomong kayak gini dulu.”
Fitri tidak keberatan “Tidak apa-apa, Ayah, Fitri cuma butuh penjelasan aja.”
Prabu juga membantu melanjutkan cerita Larissa ”Fit…” Adegan tersebut tanpa sengaja terpotong hingga tiba-tiba melompat menuju adegan berikutnya
***
“Kamu cantik banget, Nurhaliza,” ucap Erik sambil memandang rambut panjang bergelombang Nurhaliza saat mereka hampir tiba di apartemen Alan.
“Makasih,” ucap Nurhaliza sambil membawa barang belanjaannya yang terdiri dari baju-baju untuk pesta ulang tahun besok.
Alan menambah “Ya, setidaknya kamu akan terlihat cantik banget buat pesta ulang tahun besok.” Ia membukakan pintu apartemennya, saat mereka memandang Prabu, Fitri, Farel, dan Larissa.
Nurhaliza tentunya tidak mengenal Larissa, maka ia bertanya “Fitri, itu siapa?”
“Ini ibuku,” jawab Fitri “Nurhaliza, ada yang harus kita bicarakan.”
Bersambung
IBS
TELEVISION STUDIOS
Anakku Bukan Anakku
Akhirnya… Saya senang semua ini akhirnya berakhir. Kita akhirnya sampai di episode terakhir Rumput yang Bergoyang. Mungkin saya akan singkat saja. Beruntung sekali, pihak The IW dan IBS Television Studios memperbolehkan saya untuk membuat akhir dari Rumput yang Bergoyang setelah sinetron ini diumumkan batal tayang. Akhir yang sungguh memuaskan, bahkan sesuai dengan akhir novelnya. Ini dia, episode terakhir dari Rumput yang Bergoyang. Selamat menyaksikan.
Episode sebelumnya
Erik membalas dengan pukulan pada wajah Farel sebelum berkata “Lo ga pantes sama Fitri. Lo emang durhaka sama mama lo!”
Farel pun kaget “Teganya lo manggil gue gitu! Gue berhak dong menolak apa yang mama mau dari gua, termasuk cinta.”
Pertempuran epik antara Farel dan Erik baru saja dimulai! Mereka saling memukul dan menendang tubuh masing-masing dengan sound effect yang berlebihan ditambah musik dramatis yang juga sangat berlebihan. Adegan kekerasan tersebut bisa saja menyebabkan sinetron Rumput yang Bergoyang ditegur KPI karena bisa menimbulkan penonton meniru adegan tersebut. Erik dan Farel saling mendorong dan membanting satu sama lain bagaikan dalam pertandingan gulat WWE.
“Papa teringat dengan konflik antara saya dan pria brengsek yang bernama Prabu! Prabu yang membuat saya dipecat dari perusahaan yang sama karena tuduhan korupsi! Akibat konflik itu, kita sepakat buat rencana itu! Rencana untuk menukar kedua bayi, kita siksa bayinya Prabu habis-habisan!”
“Jika Nurhaliza tau rencana kita atau apa yang kita lakukan pada masa lalu, habislah kita.”
Larissa menyerahkan file yang dipegangnya “Ini hasil tes DNA dari rumah sakit,”
Musik dramatis pun terdengar sangat kencang seiring Prabu mengambil file tersebut dan membukanya, ia mengambil sebuah kertas dari file tersebut, Prabu membaca surat tersebut dan ia sangat shock seiring musik dramatis terdengar kembali.
Larissa mengungkapkan “Fitri, kamu bukan anak ibu, kamu juga bukan anak ayah…”
Maswendo Hardwick’s
RUMPUT YANG BERGOYANG
© IBS Television Studios
Episode Terakhir: Anakku Bukan Anakku
“Nurhaliza, duduklah.” ucap Prabu menyambut Nurhaliza yang baru tiba di apartemen Alan.
Nurhaliza tidak mengerti ekspresi yang sedang terpampang pada wajah Prabu, Larissa, Fitri, dan Farel, begitu juga dengan Alan dan Erik.
Alan mengangkat tangan kanannya “Tante, kita gimana? Apa kita tunggu di luar aja nih?”
Fitri menggeleng “Enggak usah, Alan.”
“Tapi ini urusan kalian juga. Jadi, mending gue sama Erik keluar aja.” ucap Alan.
Fitri berdiri “Alan, Erik, mungkin Nurhaliza enggak siap mental buat ngedengar ini, mending kalian temanin dia.”
Begitu mendengar kata ‘enggak siap mental’, Nurhaliza tahu pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Terlihat dari wajah masam Prabu dan Larissa, Nurhaliza tahu sebuah rahasia tersembunyi akan terungkap.
Musik dramatis mengiringi keheningan, tak ada yang berbicara, saking sulitnya untuk mengungkapkan kebenaran. Prabu dan Larissa kehabisan kata-kata untuk menjelaskan yang sebenarnya pada Nurhaliza.
Fitri menarik napas sejenak sebelum mengungkapkan “Nurhaliza, kamu… kamu anak kandung Prabu dan Larissa.”
Musik dramatis kembali menghiasi adegan pengungkapan itu. Nurhaliza menggeleng tidak mengerti, dirinya kebingungan dengan pengungkapan kejujuran itu.
“Fitri, kamu bicara apa sih?”
“Nurhaliza. Dia benar.” Larissa berdiri “Kamu anak kandung ibu.”
Alan memotong pembicaraan “Tante, saya enggak ngerti. Nurhaliza anak kandung om dan tante?”
Fitri menjawab “Iya. Nurhaliza anak mereka seutuhnya. Bukan aku.”
Tangan kanan Nurhaliza menyentuh mulutnya sendiri, saking kagetnya menerima kenyataan itu. Selama ini dia memang tinggal bersama keluarga yang bukan keluarga kandungnya. Di saat yang sama, dia bisa sedikit bernapas lega ketika dia mengingat keluarga yang bukan dari darah dagingnya itu sering menyiksanya.
“Nurhaliza.” Larissa berlari menemui anak kandungnya sendiri dan memeluknya “Nurhaliza! Kamu anak ibu! Alhamdulilah! Alhamdulillah!”
“Ibu…” ucap Nurhaliza tidak bisa berkata-kata.
Prabu bangkit dari sofa dan ikut memeluk Nurhaliza dengan air mata terlintas pada wajah. Dia sungguh bahagia telah menemukan anak kandungnya sendiri. Farel, Alan, dan Erik hanya bisa menyaksikan dengan lega bahwa kejujuran telah terungkap.
Fitri mulai menangis terluka karena kejujuran telah terungkap. Dirinya bukan anak kandung Prabu dan Nurhaliza, melainkan anak kandung dari orangtua Nurhaliza yang sering menyiksa.
“Fitri.” Larissa mengajak.
“Bu…” Fitri berjalan menemui Larissa yang masih memeluk Nurhaliza. Air mata juga ikut terlintas pada wajahnya.
Farel berdiri menemui Alan dan Erik, dia menunjuk pintu apartemen dengan kepalanya, mengisyaratkan untuk membiarkan Prabu, Larissa, Nurhaliza, dan Fitri urusan mereka sebagai keluarga agar tidak terganggu.
Alan dan Erik mengangguk dan berjalan mengikuti Farel yang membukakan pintu. Ketiga pemuda itu berjalan keluar dari apartemen itu. Alan menutup pintu dengan rapat.
Prabu berbicara “Fitri, kamu memang bukan anak kandung ayah, tapi kamu sudah ayah anggap sebagai anak kandung sendiri. Kamu dari kecil berada di tangan ayah.”
“Ayah…” tangisan Fitri meledak “Maafkan Fitri, Yah. Maafkan…”
***
“Erik, Farel, soal urusan Fitri. Fitri udah memilih salah satu dari lo, dan tentunya lo pada tahu lah.” ucap Alan.
Kini giliran mereka membereskan urusan mereka sendiri, yakni perseteruan antara Farel dan Erik karena mereka sama-sama mencintai gadis yang sama, Fitri.
Erik duluan yang berbicara “Farel, gue kalah. Gue ngaku gue kalah. Enggak bisa disangkal lagi kalau Fitri emang lebih cinta sama lo.”
“Erik.” ucap Farel.
“Gue punya pesan sama lo. Lo harus bikin Fitri bahagia, itu doang. Kalau gue ngelihat Fitri enggak bahagia, gue hajar lo habis-habisan.”
Erik mengulurkan tangan kanannya meminta damai pada Farel. Farel mengangguk dan berjabat tangan dengan Erik, menandakan damai, tidak akan lagi perseteruan di antara mereka.
“Erik, gue janji, gue bakal bikin Fitri bahagia.” itulah pernyataan damai dari Farel.
“Gitu dong, laki-laki sejati harus saling damai dong, masa gelut gara-gara satu cewek sih.” ucap Alan.
“Ah! Lo mah!” Erik menepuk belakang kepala Alan.
“Udah deh. Mending kita nyiapin buat pesta ulang tahun besok. Terus kita bagi-bagi undangan pas malam nanti. Ya dadakan sih undangannya.” ucap Alan.
“Ayo.” ucap Farel bersemangat sebelum mereka bertiga berlalu demi menyiapkan pesta ulang tahun untuk Fitri dan Nurhaliza.
***
Beberapa orang tengah menyiapkan beberapa dekorasi pesta di depan sebuah rumah mewah berwarna putih. Terlihat banquet bunga berwarna-warni mulai diletakkan pada halaman rumah itu di samping pilar pagar.
Alan yang memberitahu dan mengatur setiap orang agar meletakkan setiap dekorasi pesta dengan sempurna dan dapat menarik perhatian. Erik dan Farel berdiri menatap kepemimpinan Alan yang begitu alami dan berdiskusi bagaimana jadinya pesta ini berlangsung.
Entah kebetulan atau tidak, sebuah mobil berhenti di sebuah jalan aspal tepat di depan rumah itu. Terlihat jendela pada pintu kanan depan terbuka, menunjukkan sosok Erlanda.
Musik dramatis mengiringi sosok Erlanda yang begitu iri dengan persiapan pesta seperti itu, begitu juga dengan Marlena dan Aira. Mereka bahkan tercengang ketika melihat pesan “Selamat ulang tahun” kepada seorang gadis bernama Nurhaliza.
“Sepertinya sudah Papa duga, Nurhaliza memang berada di Bandung.” ucap Erlanda.
“Dan ulang tahunnya sampai harus dirayain segala lagi. Bahkan harus mewah segala sih.” lanjut Aira iri.
“Artinya dia memang sedang berbahagia setelah meloloskan diri dari kita dan menjadi anak manja. Tidak, pokoknya Nurhaliza enggak boleh ngerayain ulang tahunnya sendiri, selama kita masih ada di dalam kehidupannya.” Marlena mengungkapkan nada jahatnya.
Aira mendukung ibunya “Gitu, Ma! Gitu dong, Ma! Nurhaliza emang enggak boleh bahagia selagi dia masih jadi pembantu dekil yang enggak becus!”
“Dia enggak bisa ngerayain hari ulang tahunnya dengan bahagia. Kita emang bakal datang ke pestanya dan hancurkan kehidupannya di depan semua orang.” Erlanda mengungkapkan rencana jahatnya.
Suara klakson dari belakang memperingatkan mereka untuk kembali berjalan.
“Sabar, kek! Bisa diam enggak sih! Gandeng tahu!” ucap Marlena.
***
Hari yang diimpi-impikan akhirnya datang juga. Meskipun undangan secara dadakan, beberapa teman sekelas Fitri akhirnya tiba di tempat pesta, ingin ikut menyambut hari bahagianya. Terlihat masing-masing telah tiba membawa sebuah kado yang terbungkus dengan rapi.
Semua tamu undangan memasuki tempat pesta dengan rasa bahagia karena mereka tidak hanya merayakan ulang tahun Fitri, tetapi juga ulang tahun sahabat dekatnya, Nurhaliza, yang sudah dianggap saudari sendiri.
Alan dan Farel yang berdiri di halaman rumah itu menyambut para tamu, kebanyakan merupakan teman sekelas mereka. Mereka pula mendapat pujian telah mengadakan pesta untuk para gadis yang membutuhkan.
Alan berbicara pada Farel “Alhamdulillah, meski dadakan, ternyata mereka pada mau datang.”
“Emang sekarang lagi libur lah, Alan. Lo enggak lihat kalender ya?”
Tanpa mereka sadari, Erlanda, Marlena, dan Aira berjalan melewati halaman rumah dan memasuki suasana pesta itu. Alan dan Farel memang tidak tahu bahwa keluarga Nurhaliza yang sering menyiksanya juga ikut datang ke pesta.
Aira berhenti sejenak saat memasuki ruang tamu yang sudah terhiasi dekorasi pesta seperti balon dan bunga “Siapa mereka? Kenapa Nurhaliza dapat teman cowok-cowok ganteng kayak mereka sih?”
“Udah deh, Aira. Jangan ngeluh kayak gitu dong. Ingat rencana kita, kita harus cari Nurhaliza. Lalu kita cari momen yang tepat untuk melakukan sesuatu pada dia.” ucap Marlena.
“Setidaknya, kita akan hancurkan hari bahagia dia, terus kita bawa dia pulang ke Jakarta dan menghukumnya sepuas kita.” lanjut Erlanda,
Erik yang kebetulan lewat mencuri dengar percakapan ketiga orang itu. Dia memutuskan untuk mengawasi ketiga orang itu begitu mereka berpencar. Di saat yang sama, para tamu mulai masuk ke dalam suasana pesta itu.
“Nurhaliza sama Fitri gimana?” tanya Alan menepuk pundak Erik.
Erik berbalik berbicara pada Alan dan Farel yang bergabung dalam suasana pesta itu “Mereka masih ganti baju kok. Mereka bakalan turun kalau udah selesai ganti bajunya. Pada enggak sabar nih ngelihat cewek lo cantik pakai gaun.”
“Emang lo yang milihin gaunnya, Rik.” Alan tertawa “Udah deh, kita mending tungguin mereka di depan tangga.”
“Ternyata Alan memang orang yang baik banget, rela ngadain pesta ulang tahun semewah ini cuma buat dua gadis yang memang membutuhkan.” Larissa tengah berbicara dengan kedua orangtua Alan.
“Saya dengar Fitri sama Nurhaliza memang gadis cantik. Tak disangka dia memberitahu kami untuk meminta dana untuk membuat pesta buat orang yang kurang mampu.” ayah Alan berbicara sebelum semuanya tertawa.
Prabu berterima kasih pada kedua orangtua Alan “Anak Anda memang perhatian banget sama temannya. Dia sampai rela berkorban demi mengadakan pesta ini. Kami saja kurang mampu mengadakan pesta semewah begini.”
***
Pusat perhatian kini telah turun dari tangga, semua tamu bertepuk tangan menyaksikan pusat perhatian dengan anggun mengenakan gaun yang begitu indah dipandang mata. Nurhaliza mengenakan gaun kuning berbunga, sedangkan Fitri mengenakan gaun ungu muda.
Di saat yang sama Alan dan Farel mengantar kue ulang tahun yang begitu besar menuju tepat hadapan kedua gadis itu. Alan dan Farel tersenyum mempersembahkan kue ulang tahun pada Fitri dan Nurhaliza yang berhenti ketika tiba di lantai bawah menyaksikan kue ulang tahun itu.
Semua tamu bersorak-sorai menyambut hari bahagia kedua gadis itu dengan menyanyikan lagu “Happy Birthday”. Kecuali Erlanda, Marlena, dan Aira yang diam dengan iri menyaksikan Nurhaliza tengah berbahagia merayakan hari ulang tahunnya.
Erlanda mengangguk dan mereka kembali berpencar bahwa momen ini merupakan momen yang tepat untuk menghancurkan momen kebahagiaan Nurhaliza. Erlanda melangkah dengan cepat melewati para tamu.
Begitu Erlanda mengeluarkan pistol, semua orang menjerit panik tidak menyangka hal berbahaya akan terjadi di tengah-tengah kebahagiaan dalam suasana pesta. Alan dan Farel dengan cepat melindungi Nurhaliza dan Fitri yang ikut menjerit ketakutan.
Erik dengan cepat melangkah dan memukul Erlanda tepat pada dada. Erik menjatuhkan Erlanda pada lantai dengan mengikat kedua tangan dari belakang. Pistol pun terjatuh dari tangan Erlanda.
“Gue udah duga ini bakal terjadi sejak lo datang.” Erik mengungkapkan.
“Nurhaliza!!” Marlena menjambak rambut Nurhaliza dari belakang.
“AAH!” teriak Nurhaliza kesakitan.
“Nurhaliza!” teriak Larissa yang berada di tengah-tengah keramaian tamu.
Marlena mengejek “Mau kemana lagi kamu, anak badung?! Kamu puas ya kabur dari rumah, terus ngerayain ulang tahun ginian ya? Hah?!”
Aira ikut menampar Nurhaliza “Lo memang sudah bahagia tanpa kami! Sekarang, lo puas dapat perhatian semua orang kayak ginian?!”
“Lepasin dia!” teriak Fitri mencoba untuk melerai.
‘Diam lo!” Aira mendorong Fitri dengan keras.
Fitri menjerit terjatuh ke lantai akibat dorongan keras itu “Ah!”
“Fitri!” Farel berlutut menemui Fitri dan berusaha untuk menenangkannya.
Musik dramatis berputar seiring Marlena menatap dengan mata lebar terhadap Prabu di tengah-tengah keramaian para tamu.
Prabu menyahut “Lepaskan Nurhaliza! Lepaskan anak saya!”
“Anak kamu?!” Marlena tertawa terbahak-bahak.
Erlanda bangkit begitu dia menendang Erik pada bagian perut hingga terjatuh. Dia kembali mengambil pistolnya dan mengakui semua kesalahannya “Prabu! Kamu lihat sendiri! Anak kamu, Nurhaliza, bakal mati di tangan saya! Di tengah-tengah semua kemegahan pesta yang seharusnya menjadi kebahagiaan ini!”
“Kamu yang menukar mereka saat bayi! Sudah saya duga kalian memang ingin balas dendam sama saya!” teriak Prabu.
“Hentikan pertengkaran kalian.” ucap seorang wanita paruh baya di tengah-tengah keramaian dan menemui Prabu dan Larissa “Pak Prabu, Bu Larissa, Pak Erlanda, dan Bu Marlena, saya masih ingat pada Anda semua. Saya juga tidak pernah lupa selama bertahun-tahun.”
Semua tamu kebingungan dengan apa yang telah dibicarakan oleh wanita paruh baya itu. Prabu dan Larissa tidak mengerti apa yang dimaksud oleh wanita itu.
“Saya seorang perawat yang membantu persalinan bayi kalian.” wanita itu menambah.
“Siapa Anda?!” teriak Erlanda.
“Saat itu, saya pernah memergoki Bapak sedang menukar bayi.”
Erlanda tertawa terbahak-bahak “Masa?”
“Saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri. Sekarang, Anda memang berhak untuk membunuh gadis di depan Anda.”
Erik berdiri berupaya untuk menghentikan percakapan “Apa-apaan ini?! Anda ingin Nurhaliza terbunuh apa?!”
“Jangan khawatir, dia tidak akan membunuh anak Pak Prabu.”
Prabu menggeleng “Tunggu dulu. Apa maksud Anda?”
“Dia memang akan membunuh anaknya sendiri.” Wanita paruh baya itu mengungkapkan.
Larissa mengangkat tangannya “Tunggu! Tapi tes DNA membuktikan kalau Nurhaliza memang anak saya!”
Wanita itu mengungkapkan lagi “Itu hanyalah hasil tes DNA yang sudah ketinggalan zaman. Saya telah meminta pihak rumah sakit untuk memalsukan tes DNA itu hingga kebenaran terungkap. Saya rela masuk penjara hanya karena saya melakukan hal yang benar.
“Bagaimana, Pak Erlanda? Anda masih ingat dengan peristiwa pada malam itu? Saat saya mengetahui Anda telah menukar bayi. Jangan harap Anda telah berhasil menukar anak Anda dengan anak Pak Prabu.
“Pak Prabu, Nurhaliza memang bukan anak kandung Anda. Tapi Fitri memang anak kandung Anda.”
Semua tercengang dengan pengungkapan seorang wanita itu, kaget dan kebingungan. Atmosfer yang semua berawal dari kebahagiaan menuju kepanikan berujung kebingungan. Semua tamu tengah berbicara pada satu sama lain tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Fitri…” ucap Farel.
Marlena melepas rambut Nurhaliza begitu kebenaran yang sebenarnya telah terungkap, menyadari bahwa selama ini dia tengah menyiksa anaknya sendiri. Aira juga berlutut begitu mengetahui bahwa Nurhaliza saudari kandungnya.
“Pak Erlanda, Anda sudah tahu kebenarannya. Anda berhak menembak Nurhaliza jika tidak bisa menerima kenyataan ini.” ucap wanita itu.
Erik menambah “Kalau Anda memang ingin membunuh anak Anda sendiri, silakan!”
Erlanda mengarahkan pistolnya pada Nurhaliza yang tidak berkata apapun. Terlihat Nurhaliza begitu tegar dan rela ayah kandungnya sendiri tega membunuhnya. Dia menyaksikan sang ayah begitu gemetar memegang pistol.
Lama kelamaan, Erlanda berlutut menjatuhkan pistolnya, tidak percaya dengan kebenaran yang telah terungkap. Erlanda tidak mampu untuk membunuh anaknya sendiri, hal itu membuat semua tamu kaget dan tidak bisa berkata-kata lagi.
***
Kini, Erlanda dan Marlena harus rela mendekam di penjara karena kejahatan yang mereka perbuat. Penyesalan tersirat pada wajah sang suami istri itu. Mereka mengetahui bahwa Aira rela menjadi saudari Nurhaliza setelah meminta maaf.
Seorang petugas membukakan gerbang sel mereka “Anda kedatangan tamu.”
“Siapa yang rela mengunjungi kami?” tanya Erlanda.
“Dia berkata bahwa dia adalah putri Anda.” jawab sang petugas yang membuka kunci pada jeruji besi itu.
Erlanda dan Marlena sangat tertekan bahwa mereka telah menyiksa putrinya sendiri selama ini. Erlanda menggeleng, berpikir bahwa mereka tidak pantas menemui Nurhaliza. Marlena menjawab menggeleng menolak.
“Tuan, Nyonya, setidaknya putri kalian ingin berbicara pada kalian. Tak peduli apa yang kalian lakukan padanya, dia sebenarnya masih sayang pada kalian. Dia adalah darah daging kalian.” ucap petugas itu.
“Tidak… Tidak… Nurhaliza pasti tidak ingin melihat kami. Dia pasti marah sama kita, orangtua kandungnya…” Marlena tetap menolak.
“Kita hadapi saja. Kita pantas mendapat ini.” ucap Erlanda mulai keluar dari sel jeruji besi itu.
***
Nurhaliza terdiam berdiri di depan meja petugas menunggu kedua orangtuanya dengan Alan berdiri di sampingnya. Petugas terlihat berbicara dengan mereka agar bersabar untuk menunuggu.
Begitu Nurhaliza melihat Erlanda dan Marlena keluar dari ruangan sel, dia dengan bahagia berlari menemui mereka.
“Papa! Mama!” panggil Nurhaliza.
Begitu Nurhaliza mendekati kedua orangtuanya, mereka berlutut sambil meneteskan air mata penyesalan atas apa yang mereka lakukan terhadap putrinya sendiri. Mereka begitu tertekan saat merasa Nurhaliza dengan antusias menemui orangtuanya sendiri yang telah dipenjara.
“Nurhaliza…” ucap Marlena meneteskan air matanya.
“Maafkan kami, Nak… Maafkan…”
“Maafkan kami…”
Nurhaliza menggeleng “Ma, Pa, jangan. Tidak usah minta maaf. Mama dan Papa tetap orangtua Nurhaliza. Nurhaliza tetap anak Mama dan Papa.”
“Maafkan kami, Nurhaliza… Kami benar-benar menyesal…” ucap Erlanda.
Nurhaliza mengajak kedua orangtuanya untuk kembali berdiri dan memeluk mereka “Ma, Pa, sudah, tidak usah dipikirkan lagi apa yang telah terjadi. Nurhaliza senang bisa bertemu Mama dan Papa lagi.”
Erlanda dan Marlena dengan haru membalas pelukan Nurhaliza begitu mereka tahu bahwa Nurhaliza tetap memaafkan perbuatan yang selama ini mereka lakukan. Alan berjalan mendatangi mereka, begitu juga dengan Prabu, Larissa, Fitri, Farel, Erik, dan Aira yang berkumpul.
Erlanda berlutut sambil mengangkat kedua tangannya pada dada “Ya Allah… Ampuni aku, Ya Allah… Ampunkan semua kesalahan hamba di masa lalu, Ya Allah…”
“Ya Allah, ampunkanlah segala kesalahan hambamu ini…” ucap Marlena.
Semuanya juga ikut menitipkan doa, Prabu yang mengucapkan doa tersebut “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami di masa lalu. Semoga masa depan kami dapat menjadi lebih baik lagi…”
“Aamiin…” ucap semua menyelesaikan doa.
TAMAT
Akhirnya, Rumput yang Bergoyang, sinetron adaptasi dari novel best seller saya, resmi berakhir dengan enam episode yang dirilis secara eksklusif dalam bentuk DVD, meski pada adegan terakhir harus terasa dipaksakan. Sayang sekali, kalian tidak melihat adegan ciuman Nurhaliza dan Alan yang susah payah kami buat, entah itu karena sensor atau bukan, yang penting, kalau tidak salah, ada dalam bonus features deleted scene-nya. Selamat untuk kalian yang setia menonton sinetron ini sampai akhir, kalian telah melewati penderitaan yang panjang, sepertiku. Sekali lagi, terima kasih telah menonton semua enam episode Rumput yang Bergoyang. Terima kasih.
Description: Storial Editor's Choice on January 10, 2017!
[Sebuah miniseri]
Dari pengarang best seller, Maswendo Hardwick, hadir sebuah sinetron adaptasi dari novel best sellernya, Rumput yang Bergoyang. Sebuah kisah epik tentang dua putri yang ditukar tepat setelah lahir di sebuah rumah sakit.
Catatan: Semua "aktor" yang berperan dalam sinetron ini merupakan tokoh-tokoh cerita karya Dimas Pettigrew sebelumnya.
WARNING: This story is not for redistribution for other websites and platforms, but distributed by its own author. Furthermore, redistribution and copy paste without any permission from its’ author violate copyright and trademark laws and violators may be subject to severe penalties. The use of this story without mentioning its’ author is considered plagiarism and strictly prohibited.
|
Title: Romansa Masa SMU
Category: Teenlit
Text:
Telat
Tak ada yang tahu kapan cinta akan datang. Sanggupkah kau mengutarakannya saat kau sadar ia telah
“ Murid murid perkenalkan teman baru kalian yang datang dari Jakarta”
Serentak siswa siswi yang bersiap menerima pelajaran langsung mendongak ke atas. Darah mereka terkesiap melihat betapa jelitanya wanita itu. Dia seorang gadis dengan tinggi seratus dua puluh lima, bertubuh semampai dengan balutan kulit putih. Bibirnya yang merah merekah itu bak buah delima yang merekah.
“Hello everybody, perkenalkan namaku Anne, saya berasal Jakarta, papiku namanya Arifin dan mom Rachel. Sory kalau bahasa Indonesiaku belepotan, coz iam anak blasteran”
Beberapa cowok tampak curi curi pandang ke anak itu yang sekarang duduk bersama Irul. Pasti dibenak mereka sudah tergambar bagaimana cara pedekate dengan anak baru itu.
Oh ayolah Tar, bagaimana kamu bisa membalas jasa orang tuamu kalau kamu sendiri lebih mikirin anak itu ketimbang fokus belajar di sekolah.
Meski ia berkata seperti itu. tapi gadis itu tidak bisa membohongi dirinya sendiri. kalau ia sebenarnya ada rasa dengan cowok berkulit langsat yang duduk di bangku depannya.
Apakah cowok itu akan tertarik dengan si gadis bule.
Pertanyaan itu terjawab tatkala tanpa sengaja ia berjalan menuju perpus, letaknya yang berdekatan dengan lapangan basket, membuatnya berhenti beberapa saat. Tak lama kemudian matanya berkaca kaca...
Bagaimana tidak berkaca kaca, jikalau ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Teguh membopong perempuan itu menuju bangku panjang, lalu mengurut kakinya....
“Kau tidak apa apa Anne”
Gadis itu mengggangguk, lalu pemuda itu menelantangkan kakinya ke atas kursi. Ia mengurut kaki Anne, membuat gadis itu meringis kesakitan, sedangkan beberapa lelaki berpakaian oranye dan bercelana biru tampak mengeremuni mereka berdua.
Entah kenapa mata Tari terasa memanas, cepat cepat ia berlari ke arah waruh hingga tanpa sengaja ia menabrak seorang pemuda berkulit hitam.
“Itu mata atau centelan panci sih non”
Seolah ingin menumpahkan kemarahannya pada makanan yang akan ia santap. Gadis itu terus saja menumpahkan botol cabe pada semangkok bakso yang akan dia santap, hingga sebuah tangan seorang pemuda menghentikan tindakan bodoh itu.
“Kalau kamu lagi punya masalah lebih baik curhat sama orang lain, jangan menyakiti diri sendiri”
Gadis itu mendongakkan kepala. Pemuda yang tadi ia tabrak tersenyum manis padanya, sementara itu di sekeliling mereka nampak remaja bertubuh kecil mungil berpakaian biru putih tengah memesan bakso.
“Makasih ya Jul sarannya”
Dia menghembuskan nafas panjang. Ditatapnya atap warung yang berdaun rumbia.
“Mungkin lo bener gue udah jatuh cinta, tapi susah banget ungkapinnya”
“ Loh kok gitu gimana ceritanya”
Pertanyaan Juli barusan seolah memutar kembali jarum jam yang telah usang. Membuat Tari teringat pengalaman bersamanya dengan cowok itu.
Kesan Pertama
Setahu Ita, gadis manis berambut lurus sebahu yang demen makan permen karet, salah satu orang yang paling saklek soal cowok di SMA Bakti Husada itu adalah Tari. Masih terngiang di kepalanya bagaimana sikap gadis itu saat temen temennya bergerombol di kelas saat jam kosong.
“Gue paling kesel saat dua orang suruhan A Si berusaha memperkosa San Cai”
“Tapi itu kan cuma gurauan ta” ujar anak perempuan bertubuh gemuk memakai seragam kuning
Mendengar hal itu si Ita langsung menggebrak meja, matanya melotot memandang cewek itu
“Ndah, lo jadi wanita kok gak peka banget, kalo lu diperkosa orang, lu bakal nganggep kejadian itu biasa aja”
“Ya enggaklah” jawab anak itu.
si Ita menengok ke belakang. Ada seorang cewek yang duduk sendirian di kantin sambil makan bakso. Pandangannya lurus menatap jendela. Di luar sana ada segerombolan siswa berseragam putih abu abu sedang bermain basket.
Tumben ada anak yang nggak suka sama meteor garden.
“Lu nggak ikut ngerumpi Ri”
Anak itu cuman berkata
“Males, ceritanya palingan cuma cewek miskin jatuh cinta sama anak orang kaya”
Si Ita kelihatan nggak suka dengan opini itu. dia langsung menggeret bangku dan berkata
“Eh Ri, cerita meteor garden itu beda, ya meskipun temanya hampir mirip, tapi....”
Tari langsung buru buru ke kantin, diikuti ama Ita. Dia paling anti sama yang namanya debat
“Ri, boleh tahu nggak, kenapa sih lo, kok nggak suka banget ama drama percintaan kayak gitu, ”
“Gue tuh udah pernah dikhianati cowok, tiga kali pula pacaran putus nyambung, cowok tuh dimana mana sama, pas pertama kali aja disayang sayang, nanti kalau udah sembilan bulan pasti deh lu dilepehin”
Makanya anak itu merasa bete banget waktu pak Joko nugasi dia tugas wawancara.
“Jangan saya dong pak yang mewawancarai Teguh, kasih yng lain. Ita kek. saya ini sudah jadi seksi konsumsi agustusan, belum lagi pe ermatematika yang seabrek. Mbok ya diserahi orang lain yang lebih kompeten”
Memang sih alasan anak itu masuk akal, tapi gadis remaja itu tak tahu beban berat yang disandang lelaki itu. Mengajar empat puluh anak didik, belum lagi tugas administrasi yang seabrek.
“Kamu tahu siapa pembina majalah Didaktik di sini”
Gak ada alasan lain bagi Tari. Jadilah sore itu anak itu nongkrong di lapangan basket.
Lapangan itu dipenuhi oleh gadis gadis yang tengah menonton pertandingan basket. Di kanan kiri mereka ada cheerleader yang tengah bersorak sorak sambil mengangkat kedua tangan mereka ke udara.
Teguh melompat tinggi. Kedua tangannya menggenggam bola basket. Lima detik kemudian ia melemparkan basket itu kedalam ring. Berhasil. Bola itu masuk, tak lama wasitpun membunyikan peluitnya. Sekor kini menjadi 21-18.
Itu menjadi adegan terakhir yang mengakhiri pertandingan ini. SMA Bakti Husada menang agregat melawan SMK 8 Malang. Cewek itu mengulurkan sebotol pocari sweat kepadanya.
“ Makasih”
“Sejak kapan suka main basket”
“ Olahraga ini sudah dikenalkan papi sejak es de”
Lalu sekarang harus ngomong apalagi. Tari bener bener blank. Ia tak tahu apa apa kalo soal olahraga. Ah daripada malu mending langsung cabut aja deh, perkara tugas dipikir belakangan.
Lain halnya dengan Teguh, ia merasa heran, baru pertama kali ini ada cewek yang bersikap dingin padanya.Meski begitu ekor matanya menangkap ada dompet cokelat yang tergeletak dibangku. Ini pasti milik tuh cewek. Cepat ia mengejar gadis yang sekarang akan naik angkot itu.
“Kiri bang” angkot warna biru itu menepi. Tak lama kemudian Taripun melompat turun. Masalah baru datang saat dia akan membayar. Dompetnya hilang!!!
Wajahnya langsung pucat pasi seketika. Diaduk aduknya tas cangklong itu berulang kali. Tetap tak ketemu. Sampai terngiang suara halus.
“ Ini bukan dompetnya”
Dengan cepat ia menyambar dompet itu. Bajirut tinggal dua ratus ribu. Padahal seingatnya tadi masih ada lima ratus rebu.
“Elu nyolong duit gue ya, kok tinggal dua ratus rebu”kata Tari sambil berkacak pinggang. Teguh langsung sewot, matanya tajam memandang gadis itu.
“Dasar cewek gak tahu balas budi, disitu tuh ada struk belanja. Lo hitung deh belanjaan lo, siapa tahu ada yang lo lupa”
Tunggu sebentar. Tadi tari beli fanta tujuh ribu plus KFC dua puluh lima ribu, ditambah nonton bioskop lima puluh ribu ditmbah pulsa dan nraktir temen temen dua ratus ribu. Total jendral dua ratus delapan puluh ribu. Belum lagi biaya angkotnya.
Yang jadi persoalan disini adalah. Tari gak mau mengakui kesalahannya. Enak saja dimana mana cowok dong yang minta maaf duluan bukan cewek!!!
Keesokan harinya sebungkus cokelat silverqueen tergeletak di laci meja cowok berkulit kuning langsat, beserta sebuah kartu ucapan bertuliskan permintaan maaf.
“Itu permintaan maaf dari gue, puas lo”
“ Gue gak ngarapin permintaan maaf dari elo kok”
Gombal, dimana mana cowok tuh sama aja. Kalau ada maunya baru deh ngasih perhatian. Kayak Dion. Cowok yang udah diputusin Tari setahun yang lalu, tapi tetep aja ngejar ngejar si doi.
“ Ri, gue perlu ngomong ama elo, sekali aja, gue pengen jelasin kejadian malam itu”
Jadi cowok kok nggak bisa terima kenyataan. Dibilangin putus, ya putus.
Merasa tak diperhatikan, siswa abege itu nekat. Ia naik ke atas atap majid dan berteriak
“Ri, kalau lo gak mau menerima cinta gue, gue bakal lompat dari atas, biar lo tahu sedalam apa cinta gue ke elo”
Kehebohan langsung terjadi. Siswa siswa langsung bergerombol menyaksikan kejadian itu, beberapa dari mereka bahkan langsung mengabadikan moment itu pake ponsel.
Lalu respon Tari gimana, anak itu ya tetep aja jalan ke kelas. Cuek bebek. Masa bego, mau dia mati, gadis itu tidak peduli.
Merasa gak diperhatikan si Dion langsung loncat dari atap masjid.
Bruk. Tubuh anak itu menimpa matras pramuka yang sudah dipasang di lapangan,t rupanya Teguh tak lama kemudian anak itu dibopong ke ruang BP buat diintrogasi.
“ Makasih ya bantuannya, ini padle pop buat lo”
Teguh hanya berlalu begitu saja sambil berkata pendek
“ Sori, gue bukan cowok matre, ngapain lo musti repot repot terima kasih ama gue”
Waktu seolah membuktikan ucapan anak itu.
Keesokan seorang laki laki memakai topi dan celana hitam selutut beserta cowok abege memakai kaos putih dan celana cokelat selutut datang ke rumah Tari.
“Mo apa lo, kemari”
“Mau bantuin papi mbeneri rumah lo”
Tari tersenyum simpul. Masak sih ada anak remaja cowok yang terbiasa kerja kasar. untuk menjawab rasa penasarannya, anak itu menjadi mandor bagi kedua orang itu.
Ternyata, ia memang cakap bekerja. Bola bali anak menggotong genteng dan naik tangga, hingga dahinya mengeluarkan keringat.
“Weish lo memang cowok yang rajin. Gue salut ama lo”
Teguh mengambil satu pisang goreng dan meminum satu gelas teh.
“Ini mah kerjaan gue sedari balita”
“Oke deh, elu emang udah jempolan kalau hal ginian,tapi gimana kalau soal memasak”
“Taruhan berapa kalau gue gak bisa masak”
Tari gak menjawab, dengan cepat anak itu menuju dapur yang letaknya gak jauh dari tempatnya bekerja. Dinyalakannya kompor, kemudian sreng... sreng... sreng. Sebuah omelet telur telah tersaji.
“Ternyata masakanmu enak juga. wanita yang jadi istrimu pasti bakal bahagia”
Tari terperangah, kenapa kata kata itu terlontar dari mulutnya. Apakah ini karena hatinya tertambat oleh keluhuran budi cowok abege yang kini ada depannya.
Perlahan tapi pasti, kuncup kuncup cinta mulai bertunas kembali pada diri anak itu. Tapi egonya sebagai wanita terlalu mengatakan hal itu. Baginya dimana mana cowok duluan yang harus mengatan cinta.
Tapi dengan adanya anak baru ,apakah hal itu memungkinkan....
Nembak si Doi
Usai sekolah Tari langsung berganti pakaian, tak lama kemudian ia makan siang dan rebahan di kasur. Rasa lelah yang mendera lantaran terus menerus memikirkan sang kekasih membuatnya jatuh terlelap.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Pergantian waktu dari siang menuju sore ditandai dengan bunyi jam weker yang keras.
Kring.....
Dengan tergopoh gopoh Tari bangun dari tempat tidur. Ia langsung menyambar handuk dan tergopoh gopoh pergi ke kamar mandi.
Pukul 16.30.
Sebuah mobil melaju di parkiran gedung Sasanagraha. Seorang anak perempuan memakai blouse warna putih dipadukan dengan kerudung kuning tampak tergesa gesa masuk ke ruangan itu.
Tatkala ia sudah sampai,disitu sudah ada banyak orang. Mata mereka tidak bisa lepas dari adegan drama yang tersaji di atas panggung.
Seorang pemuda memakai pakaian adat prajurit keraton Jogja lengkap dengan beskap. Sementara lawan mainnya adalah seorang gadis berambut pirang memakai gaun putih tengah memeluk dirinya yang tengah berbaring di lantai.
Anne :
“ Aku mencintaimu kakang Adi”
Teguh : (perlahan lahan membuka mata dan memeluk Juliet)
“Aku juga mencintaimu diajeng, jadi maukah kau menjadi kekasihku”
Anne:
(tampak kebingungan, adegan ini tidak ada dalam script naskah tapi tak lama ia sadar bahwa drama kolosal yang dirancang oleh Teguh adalah sarana untuk mengutarakan cintanya, tatkala ia menyaksikan sepuluh orang prajurit melakukan sembah sujud padanya diikuti Teguh yang memberikan setangkai bunga)
Teguh bersama sepuluh orang prajurit:
“Maukah tuan putri menerima cinta saya”
Anne: ( matanya berkaca kaca)
“ Maaf aku tidak bisa menerima cintamu”
Usai berkata seperti itu ia berlari meninggalkan panggung drama. Semua penonton bertepuk tangan, tinggallah anak itu yang bertanya tanya,kenapa Anne menolak cintanya.
Jawaban itu ia dapatkan tatkala keesokan hari. Ia menyaksikan darah keluar dari hidung anak itu. serta merta ia mengulurkan tisu, tapi apa tindakan Anne. Serta merta tangannya membuang tisu itu ke lantai, ia heran, dan keheranan itu dijawab dengan pernyataan yang mengagetkan.
“Aku tak mau ketularan virus AIDS guh”
Jadi karena itukah Anne menolak cintanya, karena ia tak mau menjadi penyandang gelar ODHA sama seperti dirinya, tapi apakah penyakit itu harus menisbikan perasaan cinta yang mekar di sanubari Teguh .
Tunggu kau bilang cinta, kalau benar itu cinta mengapa dengan teganya Teguh menyebarluaskan aib itu ke seantero penjuru SMA Bakti Husada saat praktikum biologi.
“Jadi dalam organisme dibagi menjadi dua, organisme bersel satu dan bersel banyak. Bersel satu seperti bakteri dan virus, untuk membuktikan adanya bakteri, kalian dapat melihatnya lewat irisan penampang bawang merah”
Mungkin karena kurang hati hati Anne tanpa sengaja mengiris jaris kelingkingnya hingga berdarah, tapi sayang gadis itu lupa untuk mengusap darah yang keluar menggunakan tisu. Teguh yang tahu kejadian itu, langsung berkata
“Rul, awas ketularan virus AIDS’
Pemuda berambut jabrik itu tolah toleh ke kanan dan ke kiri.
“Lu barusan bilang apa”
Teguh salah tingkah. Beberapa detik lamanya ia cuman bengong. Tapi haruskah ia mengorbankan teman hanya demi ego semata
“ Itu Anne, kan jarinya kegores pisau. Darahnya kok gak dilap pakai pisau. Dia kan terkena AIDS”
“ Beneran Ne”
Gadis itu mengangguk lemah. Tak lama kemudian berita itu menyebar dan ia pun dipanggil oleh guru BK.
“Benar kau menjadi ODHA”
Anne menunduk, didepannya ada seorang guru perempuan berkacamata dan berkerudung kuning menengok ke arah lelaki berseragam korps PGRI berwarna biru. Ia tampak cemas,
“Bagaimana ini pak, apa kita harus test darah semua murid disini”
Lelaki berkumis tipis itu berkata
“Gimana ceritanya kok bisa mengidap HIV”
Selalu saja pertanyaan yang sama, lantas semua orang akan mengkarantinanya dan memperlakukan ia seperti seekor anjing yang terkena rabies. Diperlakukan khusus hingga tak diperkenankan menyentuh barang barang selain miliknya sendiri. seakan akan ia adalah kuman yang harus dibasmi keberadaannya dimuka bumi.
Anne lelah dengan itu semua. hanya satu yang ia inginkan, hidup tenang dan diterima sebagai individu yang sama seperti yang lain. Tapi kenapa tuhan, kenapa Kau membongkar penyakit memalukan ini di depan orang banyak. Kenapa....
Bel pun berkumandang, dengan malas Anne menuju ke ruang kelas. Di sana ia sudah dicegat oleh cowok itu. cowok yang kemarin mengatakan kosa kata cinta padanya. Apakah ia sungguh sungguh....
“Ne, gue gak bermaksud untuk...”
Perkataan itu malah membuatnya naik darah, dengan berkaca kaca dia beteriak
“ Ngapain sih kamu minta maaf, emangnya kalau kamu minta maaf aku bakal punya banyak teman”
Beberapa murid yang masuk ke kelas cuman bisa melihat adegan mirip sinetron tersanjung itu. Bagaimana tidak bisa disebut sinetron kalau mereka melihat dengan mata kepala sendiri, Anne menangis sesenggukan di bangku pojok. Sementara Teguh hanya bisa terdiam seribu bahasa.
Lalu apa yang harus ia lakukan untuk memperbaiki kondisi ini.
Rival
Salah satu pelajaran eskul di SMA Bakti Husada adalah Tataboga. Untuk menunjang mata kuliah itu,mereka memiliki satu ruangan khusus. Setiap meja panjang yang diisi dua orang siswa dilengkapi dengan peralatan sederhana seperti magic com dan loyang. Di kanan kiri terdapat piring dan garpu
“Untuk merayakan keberhasilan kalian membuat kue nastar, kalian bisa berbagi bersama”
Ibu guru memakai pakaian jilbab putih itu tidak bisa tinggal diam manakala ia melihat dengan mata kepala sendiri, ada seorang siswi yang diperlakukan dengan tidak manusiawi lantaran penyakit yang ia idap.
“Adakah yang bersedia berbagi bersama Anne”
Tak ada yang bersedia, lagipula anak itu sudah menyerah, ia sudah menelungkupkan wajah di meja panjang.
“Aku kok penasaran dengan rasa nastarmu, boleh ya kucicipi sedikit”
Anne mendongak, seorang cowok berkulit sawo matang berdiri disampingnya. Lantas tanpa ragu ia mencomot kue nastar itu.
“Enak ne”
Senyum sumringah menghiasi wajah Anne. Kini ada orang yang bersedia menerimanya,setelah sekian lama tiada yang mau menerima pemberiannya lantaran penyakit terkutuk itu.
“Makasih”
Dalam lubuk hati terdalam ia berterimakasih pada tuhan telah mengirim orang seperti Teguh kedalam kehidupannya. Sementara Tari hanya bisa meneteskan air mata, ia merasa cinta Teguh itu suci banget. Seolah olah anak itu hendak mengatakan bahwa ia rela menerima kekasihnya apa adanya meski nanti ia akan meninggal karenanya.
“ Ri lu musti care ama Teguh” ujar Juli
Yah itu mungkin adalah nasihat terbaik baginya untuk mendapatkan cinta dari lelaki itu,meski jujur saja ia merasa kemungkinan itu keciiiil sekali.
Maka tak heran, Juli pernah memergoki Tari berdiri lamaaa sekali di sebuah pintu rumah bercat hijau dengan pagar putih, meski keadaan saat itu mendung tapi ia seakan akan tidak peduli.
“Ngapain anak itu berdiri lama sekali di situ”
Tak tahan melihat anak mematung lama, anak berbaju putih bersulamkan gambar donald bebek itu segera menghampirinya.
“ Ne, ngapain lu berdiri lama banget di rumah Teguh”
“Oh ini gue lagi nganterin kue pesenan mami, kok tuh anak gak dateng dateng ya, padahal udah gue bel berkali kali”
Ini sudah keterlaluan, dengan cepat anak itu menggedor gedor pintu gerbang.
Klonteng klonteng...
Suaranya keras membuat Teguh bergegas keluar.
“Udah lama ya ne, nungguinnya” ujar anak itu sambil cengengesan.
“Baru sekitar tiga puluh menit kok”
Tak lama setelah Tari berlalu, Juli memaksa Teguh untuk berbicara empat mata.
“ Guh, gue mau ngomong ama elo penting”
Sebenarnya sih Teguh mo nolak. Tapi kok enggak enak ya, kesannya tuh nggak menghargai temen gitu loh. Jadilah mereka berdua duduk di ruang tamu. Ruangan itu terdiri dari sebuah meja panjang dengan dua buah kursi sofa, ruangan itu dikelilingi tembok berwarna hijau dihiasi oleh foto pigura presiden SBY-Budiono.
“Elo mau minum apa”
“Enggak usah, gue nggak haus”
“ So, apa yang pengen lo omongin”
“ Jadi gini, gue pengen elo berteman ama Tari”
“Udah, lo tahu sendiri kan tiap hari gue ketemuan ama dia di sekolah terus kitsa ngobrol bareng apa itu bukan temenan”
“Maksud gue, elo bukan sekedar temenan tapi juga memperlakukan dia kayak kekasih gitu. Ngajak nonton kek, nge date kek”
“ Kenapa gue harus ngelakuin hal itu”
“ Karena gue ngerasa Tari itu lebih baik dalam segala hal, coba aja lo bayangin, dia itu pinter, selalu nolongin lo, dan tajir pula. Coba kalau lo jadian ama dia, pasti lo bakal hura hura tiap pekan, lah Anne, udah penyakitan, pinter juga kagak”
Mendengar hal itu kemarahan Teguh gak bisa dibendung lagi, ia langsung mencengkeram kerah Juli,
“ Elo kalau mau jadi pacarnya Tari, sono gih lamar, gue sih ogah”
Dengan cepat anak itu menangkis tangan lelaki itu.
“Enak aja, emang siapa yang mau pacaran ama dia”
Teguh mencibir, bibirnya dimonyongkan ke arah Juli.
“Udahlah elo gak usah sok jaim,asal lo tahu ya, ciri ciri cowok yang jatuh cinta itu, dia nggak bakal tinggal diam kalau cewek yang ia suka dicuekin, ya kayak elo tadi”
Entah kenapa anak itu terdiam seketika. Apa dia jatuh cinta sama Tari.
“Gini aja deh, buat mbuktiin opini gue tadi, gue tantang elo buat ikut cerdas cermat, kalau lo menang,lo boleh dapet duuit lima puluh rebu,tapi kalau kalah lo harus nyoba pacaran ama Tari selama seminggu. lo berani”
“Siapa takut”
Cerdas Cermat
Ruangan berukuran empat kali enam itu dipenuhi oleh para siswa yang berpakaian putih abu abu. Di aula depan sudah terdapat dua buah meja yang masing masing diisi oleh tiga orang siswa. Dua orang siswi perempuan dan satu orang siswa laki laki.
“ Pertanyaan pertama Dahulu Indonesia pernah diberi nama dwipantara oleh India, apakah artinya”
Bel meja pertama langsung dibunyikan. Juli langsung memberikan jawaban telak bahkan sebelum pertanyaan diberikan seutuhnya. Jawabanya telak dan tepat sasaran.
“ Pulau seberang”
“ Seratus untuk team Juli” ujar pak Bahlia
“Pertanyaan kedua”
“ Pemimpin pemberontakan DI/TII di Jawa Barat adalah...”
Kali ini giliran Teguh yang menjawab dengan telak.
“Kartosuwiryo”
“Tepat”
Terjadilah kejar kejaran nilai,tapi tidak bisa disangkal bahwasanya manusia memiliki kelemahan, pun demikian dengan Teguh, anak itu tidak berkutik saat soal aritmatika keluar. dari lima soal yang keluar, hanya satu soal yang dijawab dengan betul. Sisanya.....
Jangankan mengingat rumus, membacanya soalnya saja sudah membuat Teguh pusing....
“Dari 48 orang mahasiswa di suatu kelas, 27 mahasiswa gemar matematika, 20 mahasiswa gemar fisika, dan 7 orang gemar matematika dan fisika. Banyaknya mahasiswa yang tidak gemar matematika dan fisika adalah… “
Pluk, ia langsung membuang pensilnya, batinnya berkata, ngapain sih harus repot repot nyari orang yang gemar matematika saja, kurang kerjaan banget,
Berbeda halnya dengan Juli, anak itu dengan tenang menuliskan sesuatu di kertas putih yang tersedia, lima detik kemudian ia memencet bell
Kring....
“ Ya Juli silahkan”
“ Delapan orang”
“ Seratus untukmu”
Sesuai janji, orang yang kalah harus mengajak Tari kencan. Maka sore itu Teguh mengajak anak itu berjalan jalan di mall salah satu sudut kota Malang...
“Lo mau mesen apa Guh”
Anak itu gak menjawab, dia malah asyik memencet tombol handphone.
“Guh”
Anak itu kelihatan terkejut, dengan terbata bata ia menjawab.
“Nasgor ayam satu plus es teh satu”
Tak berapa lama pelayanpun menyajikan pesanan yang tersaji. sambil makan,cowok itu melihat lihat pemandangan sekitar. Mall itu memiliki dua lantai. lantai satu digunakan sebagai area tempat makan, sedangkan lantai dua digunakan sebagai tempat orang berbelanja baju dan nonton bioskop. Antara lantai satu dan lantai terhubung dengan eskalator, tadi Teguh sempet melirik tempat itu, banyak tante tante dan om om yang berjalan ke eskelator itu. Kayaknya nonton bioskop disitusasi kayak gini asyik nih.
“Ri, setelah ini,nonton bioskop yuk”
Tari nggak menjawab, ia cuman mempercepat makan, lagu meneguk es tehnya hingga tandas. Tak lama kemudian anak itu berdiri dan berkata
Merasa gak enak, Teguh langsung berlari menyusul gadis itu dan berkata.
“Ri, kalau gue salah, lu ngomong dong,salah gue dimana”
Gadis itu berhenti berjalan, lalu menoleh ke arah Teguh. Ada titik air mata pada pipi gadis itu.
“Guh,gue tahu lo amat cinta sama Anne, jadi lo nggak usah sok akrab gitu, gue juga tahu lo ngadain ini terpaksa kan. Gue paling nggak suka maksa maksa orang”
Seorang pria berjalan tergesa gesa dari arah kanan membuat Tari tersungkur hingga tanggannya menyenggol patung porselin lumba lumba.
Pyar, keramik itu pecah, dan seorang pria berjas hitam datang mendatangi tempat itu.
“Siapa yang memecahkan patung lumba lumba”
Tari langsung pucat pasi,dengan terbata bata ia menjawab
“Sa... saya pak”
“Memecahkan barang berarti membeli, harga patung itu lima ratus ribu”
Busyet mahal amat, mana uangnya gak ada lagi. pikir Tari.
Gadis itu melirik ke arah Teguh. Cowok itu paham, dengan cepat ia membuka dompet, alamak yang keluar dari sana cuman duit lusuh lima ribuan ama selembar lagi uang sepuluh ribuan.
“I’ll pay these cost”ujar pria bule itu.
Tari menarik nafas lega. Usai transaksi itu, pria bercambang, dan memakai kaos oblong itu menoleh ke arah mereka berdua.
“Excusme, would you going together with me today to the pasar blimbing”
Kata kata dalam bahasa Inggris itu terdengar aneh ditelinga mereka berdua. Yang tertangkap dimemori otak mereka adalah would you em... maka tak heran kalau kedua anak itu saling berpandangan. Hanya saja Teguh duluan yang memulai inisiatif percakapan.
“Maksud anda, Iam and Tari goes with you to the pasar blimbing” ujar anak itu sambil telunjuknya ke pada dirinya sendiri dan pada Tari.
“Yes, off course”
Singkat cerita malam itu mereka berdua berjalan jalan ke pasar tradisional bersama mr bule. Tapi apa yang terjadi, baru saja mereka nyampe di gapura, ada banyak orang sambil membawa timba besar berisi air, atau selang air yang dipanggul di atas pinggang.
“Ada ya bang ini ya, kok ada rame rame kayak gini
“ Lah, mana aku tahu”
Dengan penuh rasa ingin tahu mereka berjalan ke arah utara, sesampainya di sana mata Tari langsung terbelalak, bagaimana tidak, asap api membumbung tinggi disalah satu kios pedagang. Di kanan kiri mereka berdua ada banyak orang yang menonton pemadam kebakaran sedang beraksi dengan truk pemadam kebakaran yang menggelontorkan air dalam jumlah besar!!!
Jealous
“Ne, gue mau ceritain kejadian seru yang gue alami bareng Tari”
“ Apa itu bang”
“Kemarin kan, gue bareng Tari pergi ke mall, nah disana kita ketemu sama bule. Orang itu ngajak kita ke pasar tradisional blimbing, eh pas nyampe ke sana, terjadi kebakaran hebat. Api berkobar menggulung kios pedagang ayam,ampe petugas damkar nyrempotin air selang besar banget”
Dengan antusias Teguh bercerita pada Anne mengenai kejadian semalam, sedangkan gadis itu cuma menunduk lesu.
Ah tiba tiba ia merasa semua orang lerbih sayang pada Anne. Lihat saja bagaimana Teguh membelai rambut anak itu. Mesra dan penuh kasih sayang.
“Gimana kalo kita adakan baksos buat korban kebakaran itu Guh”
Bakti sosial, alah palingan kegiatannya cuman ngedarin kardus di jalan bertuliskan sumbangan buat pasar tradisional blimbing, sambil membawa toa di jalan jalan.
“Ri, lo gak nyumbang” ujar Ita
Tari langsung nyolot, ia memandang gadis memakai pakaian kuning dipadukan dengan rok cokelat itu. dan berkata dengan keras
“Ta, bilangin si penyandang odha itu, kalau mau bikin kegiatan itu, jangan yang menjual penderitaan orang dong”
Beberapa siswa yang tengah nyalin pe er, langsung menengok ke arah mereka berdua.
“ Yaelah Ri, kalau lo nggak mau, ya enggak usah nyumbang, dan nggak usah tereak tereak”
Perkataan itu malah bikin emosi Tari tambah meledak. Dia langsung berkacak pinggang.
“Jadi menurut lo, gue gak punya sifat dermawan gitu, menurut lo, gue orang angkuh gitu”
“ Enggak gitu Ri, gue cuma...”
Anak itu berlari ke kamar mandi. Di tempat itu ia menangis tersedu sedu.
Tok... tok... tok.
Saat ia membuka pintu, sudah ada seorang cowok berkulit sawo matang tersenyum padanya.
“Kenapa lo nangis”
“Gue cemburu ama Anne Jul, Gue ngerasa dia itu sok baek udah tahu mengidap HIV malah mau kerja berat ngedarin kotak sumbangan ke anak anak buat sumbangan pasar tradisional blimbing yang terbakar”
Cowok itu tersenyum lalu berkata
“Ri, kalo lo merasa, cemburu, lo harusnya bisa nyaingin amal ibadahnya”
Ucapan itu bener bener dilaksanakan oleh Tari. Saat anak anak yang lain bikin acara serah terima bingkisan sumbangan di masjid. Dia tak mau kalah. Ia juga mbagiin buku sidu satu bundel di rumah rumah warga secara door to door. Tak lupa tiap mejeng foto status di facebook.
“Kue kue, kuenya om, tante”
Seorang anak lelaki memakai kaos oblong berwarna biru, memanggul sebuah keranjang kue. Tari yang sedang makan di warung pojok, berseru.
“ Beli”
Dia menurunkan keranjang hijaunya, ada kue talas,tempe goreng, serabi, hingga lumpia.
“Lumpia dua “
“Lima ribu mbak”
Anak itu memberikan uang pas. Nah saat itu ia iseng iseng nawarin bantuannya.
“ Dek, kamu mau buku baru”
“Nggak mbak, makasih”
“Nggak papa, ini gratis kok dek”
“ Kata ibu, saya nggak boleh mengharap belas kasihan orang”
“ Emang kamu dapet berapa dari jualan gorengan kayak gitu”
“Nggak seberapa sih kak, tapi yang penting kan usaha, Allah pasti akan beri jalan kalau kita berusaha”
Deg! kata kata itu seperti menyindir halus Tari. Betapa ia dulu sering banget nyontek pe er matematika tanpa berusaha terlebih dahulu.Minimal nanya nanya dulu lah. Jangan langsung ngomong nggak bisa.
“Kalau boleh tahu tujuanmu jualan gorengan itu apa sih”
“Buat bantu mami, kios daging ayam papi juga ikut dilalap si jago merah kak”
Alangkah mulianya anak ini. Diumur sebelia ini sudah mbantuin papi dan mami. Ah tiba tiba rasa malu itu menyembul di dada. Ia di rumah keerjanya ngeluh aja. Gak seperti anak ini, diusianya yang belia ia sudah membantu orang tuanya.
Mungkin himpitan rasa iba dan kagum membuat Tari memutuskan untuk menyelidiki kasus itu. hal itu ia utarakan pas istirahat.
“Bayangin deh,kalau kita berhasil membongkar misteri kebakaran di pasar blimbing. Pasti seru, hidup kita gak monoton,cuman sekolah, belajar,nge date, gitu doang”
Teguh melirik Anne, anak itu gak bergeming, dia cuman menunduk doang. Tari yang melihat hal itu langsung iri
“Guh, kalo lo nggak mau ikutan hggak papa kok, gue bisa ajak yang lain. Gue maklum, lo pasti sibuk njagain kekasih lo biar nggak sakit”
Anak itu tersentak kaget, matanya membulat memandang Tari, tapi tak lama kemudian ia berangsung angsur bisa menguasai amarahnya, matanya kembali redup.
“Guh,lo boleh kok ikut acaranya Tari”
Anak itu menggandeng lengan Anne, keduanya lalu berdiri di dekat papan tulis putih.
“Guh, gue gak mau gara gara gue lo kehilangan temen, lo ngerti kagak, gue maunya elo tetep bahagia walau gue gak ada di sisi elo lagi”
Tenggorokannya tercekat mendengar perkataan kata kata itu, dada Teguh terasa sesak. Sebegitu dalam kah rasa cinta Anne padanya, sementara ia sendiri....
“ Tapi...”
Anne meletakkan telunjuknya dibibir Teguh.
“Gak ada tapi tapi, aku mau kau bahagia untuk selama lamanya, sekarang dan nanti”
Teguh berjalan mendekati Tari tanpaa ekspresi sedikitpun ia menyanggupi ajakan itu.
“Kalau elu ”
Anak itu terlihat gugup, rupanya sedari tadi mblayang ke galaksi yang lain. Pupil matanya mengecil, tapi sedetik kemudian ia bisa menguasai dirinya.
“Gue musyawarahin dulu ama bokap ya Ri”
Dengan tertunduk lesu Juli pulang ke rumah. Dia sudah menduga hal ini akan menjadi permasalahan besar dengan orang itu. Tebakannya tak meleset, sewaktu ia melangkahkan kaki ke lantai atas, seseorang menegurnya.
“Kau punya teman yang berusia tujuh belas tahun, ia memakai bando dan berkulit putih”
“Ya namanya Tari”
“Tadi ia mondar mandir ke proyek om, om gak suka dengan orang yang sok ikut campur urusan orang lain”
Lelaki itu mendekat, dielus elusnya rambut Juli.
“Om janji, kalau proyek ini berhasil, om bakalan ngobati stroke ayahmu ke Singapore, tapi syaratnya satu, kamu harus ikut apa kata om. Ya nak ya”
Juli tak berkata apa apa selain menghela nafas panjang, saat ia masuk kedalam kamar,ditengoknya lelaki yang kini berbaring di ranjang sebelah kamar tidurnya. Ia menggenggam erat tangan pria itu sambil meneteskan air mata
“Pi, maafin aku ya,andai saja waktu itu aku gak ngelakuin hal itu, kejadian ini gak bakal terjadi”
Maafin aku Ri. Aku nggak punya maksud untuk ngelakuin hal ini ke kamu, sekali lagi maaf banget.
Insiden itu....
Seperti biasa hari ini adalah jadwal piket Tari, dengan cekatan anak itu mulai menyapu lantai dengan sapu lantai berwarna merah.
Dengan sabar, dirogohnya satu persatu kotoran yang ada di bangku depan mulai dirogoh. Debu lantai mulai beterbangan hingga membuat anak itu terbatuk batuk, tetapi ia tetap saja melanjutkan kegiatan itu.
Tanpa ia sadari, ada seseorang yang memperhatikan gerak geriknya, saat dia keluar kelas untuk berganti pakaian, orang itu mulai melesat ke tempat duduk Tari, ia merogoh meja cokelat pendek itu lalu bergabung dengan anak anak yang lain.
Kericuhan terjadi usai kegiatan olahraga. Anne terlihat mengacak ngacak tas berulangkali,sesekali ia melihat kolong meja. benda itu tetap tak ketemu.
“Cari apa ne” ujar seorang pria berkulit sawo matang memakai pakaian oranye.
“ Hp gue, yang gue taruh di kolong meja, kok gak ada ya” ujar cewek itu dengan nada sedih, kedua alisnya ditekuk ke bawah.
“ Coba lo telusuri ditempat yang lo datengi siang ini, wc kek, kantin kek, siapa tahu lo lung lpa”
Anak itu menuruti nasehat itu,sedangkan Teguh langsung nyoba miscall hp kekasih pujaan hatinya itu. sia sia saja, tidak ada yang mengangkat panggilannya.
“Gimana ketemu” ujar Teguh tatkala gadis itu kembali ia menggeleng lemah.
Merasa jengah dengan keributan itu, sang ketua kelas Hari langsung berdiri di depan meja guru,
“Perhatian semuanya”
Beberapa anak yang bergerombol di meja tengah menghentikan kegiatan mencatat pe ernya. Pandangan mereka tertuju pada cowok berkulit hitam itu.
“Ada temen kita yang kehilangan hp, ada yang keberatan kalu saya geledah satu persatu tasnya”
Gak ada satupun yang protes saat cowok itu mulai menggeledah satu persatu tas siswa termasuk tasnya Tari.
“Ini bukan” seru Hari saat menemukan handphone berwarna hitam berada tepat di tas bermotif kembang kembang pink.
Tari langsung terbelalak, belum sempat ia membela diri Teguh langsung merebut benda itu. sementara Anne langsung memeluk pria itu seraya berkata
“ Gak usah marah Guh, yang penting barangnya udah kembali”
Merasa tersudut, Tari langsung membela diri.
“Dari pagi tadi gue nyapu lantai, tanya noh Juli kalau gak percaya”
Anak itu membenamkam kepala pada buku Fisika yang baca, pura pura tak mendengar, padahal sedari tadi telinganya dipasang baik baik.
“ Kayak gini kok katanya mau jadi pahlawan pembela kebenaran” ujar perempuan berambut hitam sebahu.
Kata kata itu merajam relung hatinya, padahal niatnya baik ingin menolong warga yang kiosnya terbakar. Tapi kenapa Kau berikan aku cobaan seberat ini tuhan., ujar Tari dalam hati. Gadis itu menelungkupkan kepala ke bawah meja, air matanya terurai sementara itu Juli hanya bisa menyaksikan kesedihan gadis itu dibalik bingkai kaca mata hitamnya. Ia ingin memeluk perempuan itu, tapi tak bisa, sebab... sebab... ah sudahlah mungkin ini sudah kodrat ilahi Rabbi.
Malam pun menjemput, Juli tak berselera untuk makan. Agaknya orang itu tahu apa yang berkecamuk dalam benaknya. Ia membelai rambut anak itu seraya berkata.
“Aku tahu gadis itu wanita yang kau sayangi, tapi kau juga tidak boleh egois, hanya memikirkan kesenanganmu sendiri tanpa memikirkan kebahagiaan orang lain”
Pria itu benar, tak seharusnya Teguh memikirkan dirinya sendiri. dengan cepat ia memutar nomor telepon.
“Halo Tari, ini gue Teguh”
“Ada apa”
“ Besok Minggu ada acara , gue mo ajak lo ke desa nenek gue”
“ Enggak ada, jaraknya jauh”
“Enggak, paling cuman dua puluh lima kilometer dari terminal arjosari”
“Gue tunggu, awas kalau besok gak dateng”
“ Siip”
Kehilangan handphone
Yang paling diingat Tari saat ke rumah neneknya Juli ada dua. Satu makanan, dua tatacara penduduk mandi. Satu makanan, gak perlu diragukan lagi kalau soal mengolah masakan, penduduk desa itu jagonya, Tari masih ingat. Pas dia dateng langsung disuruh makan sop buntut sama nenek Marsinah, neneknya Juli.
Sop buntut yang Tari makan, kaldunya kuning kecoklatan, dagingnya besar besar tapi gak alot. Digigit sedikit saja daging itu langsung hancur. Yang lebih istimewa lagi, nasi yang Tari makan itu nasi gurih. Kedua hidangan itu dimakan pas gerimis mengundang... luar biasa sedapnyaaaa
Yang kedua adalah tatacara penduduk mandi. Tari tak pernah menyangka, penduduk desa tidak punya kamar mandi. Mereka terbiasa mandi di belik. Gadis itu ingat bagaimana ia berjalan beriringan dengan Juli sementara di depannya ada semacam sungai kecil dan ada beberapa wanita dan pria mandi bebarengan.
“Ayo masuk”
Anak itu ragu ragu, rasa malu rupanya masih menghimpit dirinya. Tahu akan hal itu tanpa ragu ragu Juli masuk kedalam sendang.
“Apa gak ada penduduk sini yang kamar mandi”
“Gak ada Ri, buat apa mandi di kamar mandi kalau alam sudah menyediakan sungai berair jernih seperti ini”
“Lha terus, nanti bajunya ditaruh dimana”
“ Ditaruh di situ tuh” ujar Juli sambil menunjuk sebatang pohon mangga
Mulanya sih anak itu kikuk banget , tapi mau gak mau, Tari ikut juga perkataan Juli, habis gimana lagi daripada badan lengket semua, lebih baik ya mandi ditempat gak bonafide.
“HP gue kemana, kok gak ada” ujar Tari sambil merogoh rogoh saku celana rok putih yang ia pakai. Juli cuman ngomong
“Udah balik aja ke rumah dulu, siapa tahu elo lupa naruh”
Sampe sore, tuh hape tetep gak ketemu, Tari sudah nyari dimana mana, seprei tempat tidur dibuka,laci laci meja juga ditelusuri. Tapi nihil. Hingga....
Ada sebuah foto dirinya yang tengah mandi telanjang di sungai, dibelakangnya ada sebuah catatan: kalau gak mau foto bugil lo kesebar siapin lima ratus ribu dan temui gue di warung deket terminal.
“Jul... juli” teriak Tari
“ Ada apa sih kok lo teriak teriak” Ucap anak itu. sekarang anak itu memakai kaos putih bersulamkan kapal phinisi bermotif keemaasan.
“Gue nemu foto kayak gini, gue musti gimana Jul” ujar Tari sambil mulai terisak isak.
Singkat cerita, sore itu juga Juli memutuskan buat nangkep si pencuri handphone Tari. caranya, cowok itu nyuruh Tari pura pura ngelakuin yang diminta oleh si penjahat, sementara ia bakal mengawasi transaksi itu dari meja samping, begitu ada kesempatan langsung dibekuk.
Lah soal uangnya, kalau itu mah gampang, kita akalin aja, yang kita serahin cuman sepuluh ribu, biar keliatan banyak, duit tebusan itu dicampur dengan kertas kosong yang dipotong tipis uang asli, terus bundelan duit itu diikat dengan tali kuning.
Sejujurnya sih Tari pengen ngelaporin pemerasan itu ke orang yang lebih tua gitu, tapi Juli melarang, katanya sih, lebih baik persoalan ini diselesaikan sendiri saja, kalau ngelibatin orang dewasa malah tambah ribut, soalnya pasti bakal ngelaporin hal ini sama pihak berwajib. Ya udahlah, Tari mengalah,....
Mungkin Benar
“ Mana uangnya”
Tari kaget, ada orang yang tiba tiba berada disampingnya. Saat ia ingin menoleh. Orang itu menempelkan pisau pada pergelangan lehernya.
“Serahin uang lo”
“Ada di tas kecambang”
Tas ransel itu dibuka, orang itu mengeluarkan segepok uang yang ada. Belum sempat ia menghitungnya, seseorang menodongkan pistol padanya.
“Serahin, handphonenya Tari, sekarang, atau...”
Tanpa basa basi pria itu lalu meletakkan benda kotak panjang itu ke meja deket gadis. Lalu ia pun pergi begitu saja.
“Bahaya udah berlalu Ri”
Anak itu menarik nafas lega, tak lama kemudian juli duduk disamping gadis itu. di deket mereka duduk seorang bapak bapak memakai topi hitam tengah menghisap rokok.
“Thanks banget ya”
“Ri, tolong jawab pertanyaan gue dengan jujur ya”
Gadis itu memandang Juli tajam, telinganya dipasang tajam tajam.
“Lo kan katanya mau jadi detektif nih, emang lo siap dengan resiko terburuknya, ingat Ri, setiap pekerjaan itu ada resikonya, gimana kalo lo disekap ama penjahat di sebuah gudang tua, sementara lo sendiri gak punya kemampuan beladiri yang mumpuni, lo mau diperkosa orang yang gak lo kenal”
Kata kata barusan seolah menampar kesadaran Tari, membuat anak itu sadar selama ini ia belum memiliki ilmu yang memadai untuk menangkap penjahat. Jangankan menangkap penjahat. Melihat orang kecelakaan hingga berlumuran darah pun, di gak kuat kok.
“Makasih ya Jul, mungkin lo benar, gue gak pantes jadi detektif”
Minggu pagi, ia diantar pulang ke kediamannya. Sesampainya rumah yang magrong magrong kayak istana, ia langsung menyalakan hotspot, dan berselancar di dunia maya
Ce_ cutie: Aloo, ada orang gak
Ce_muslimah: Kalo lo muslim seharusnya bukan aloo aloo gitu kan
Ce_Cutie: Assalamualaikum.
Ce_muslimah: nah gitu dong,
Ce _cutie: Tari.15. MLG
Ce_ muslimah: Anne. 16. MLG
Ce _cutie: Ini bukan Anne temen sekelas gue di SMA Bakti Husada kan
Ce_muslimah: Ini gue Anne, temen lo satu SMA
Ce_cutie: Masa
Ce_muslimah: Kalo lo gak percaya, dateng aja di rumah gue, jalan gotong royong 34 Ndau
Perasaan Anne
“ Hari Minggu kayak gini, lu jualan Ne”
Anne menjawab pertanyaan itu dengan sebuah senyuman, dia sibuk mengemasi sendok dan piring seng di laci gerobak batagor yang akan ia jajakan.
“Emang ada yang mau beli Ne, semua orang kan udah tahu lu penderita HIV”
“ Yang penting usaha” ujar anak itu sambil tersenyum.
Penasaran dengan apa yang bakal Anne lakuin, membuat Tari membuntuti gadis itu. Ia berjalan mendorong gerobak batagor itu menuju alun alun.
Di sana ada sebuah lapangan luas dengan gapura bertuliskan malang kucecwara. Di tempat itu sudah ada sekumpulan ibu ibu yang sedang berkumpul, Anne ikut bergabung, tak lama kemudian senam pun berjalan. Ibu ibu dengan antusias mengikuti gerakan senam. Kedua tangan direntangkan selama lima menit, kemudian berganti posisi, kali ini giliran kaki yang diangkat ke atas dan ditekuk menggunakan tangan. Tak ketinggalan, suara alunan music disco menghentak seisi lapangan.
“Lu gak rugi Ne jualan makanan kayak gitu, ini udah pukul dua belas siang dan gak ada satupun yang beli”
Anak itu tersenyum simpul seraya berkata.
“Kamu tahu nggak Ri, motivasi aku berdagang?”
Dia menggeleng
“Aku tuh pengen menghadirkan senyum orang lain, pernah enggak Ri, kamu bahagia banget cuman karena melihat orang lain makan dengan lahap masakanmu”
Tari tercekat, dadanya terasa sesak,selama ini ia merasa bahagia hanya saat orang tuanya memberi uang saku itu saja.
“ Ri, aku boleh nanya satu hal ke kamu. Kamu cinta ama Teguh”
Entah kenapa Tari gelagapan nggak bisa jawab.
“Aku tahu kok, kamu cinta Teguh, buktinya ngapain kamu ampe tereak tereak pas aku mau adakan baksos. Ngaku deh, saat itu kamu merasa jealous kan”
Gadis itu menunduk, Anne menggenggam tangan Tari dan mengajaknya duduk ke taman.
“Aku boleh minta satu hal ke kamu, tolong kamu terima cinta Teguh, aku nggak bisa ngasih kebahagiaan ke dia, toh sebentar lagi, aku juga bakal kembali menghadap tuhan, jadi kumohon”
“Jangan bicara seperti itu Ne” ujar Tari setengah berteriak. Dadanya penuh dengan rasa haru, dia tak pernah menyangka bahwa anak itu akan merelakan kebahagiaannya, tapi apakah Teguh akan bersedia menerimanya.
Ah tiba tiba Tari merasa dirinya kecil, orang lain bersedia mengorbankan kebahagiaannya, sementara ia....
Hanya karena kehilangan handphone dan ulah orang iseng saja, sudah membuatnya memutuskan niatnya untuk menolong orang lain. Apa gak ciri ciri cewek lemah itu namanya?
Jadi haruskah ia berhenti jadi detektif hanya karena masalah sepele seperti itu....
Tentu saja jawabannya tidak....
Penyelidikan
Dari semua pegawai pabrik PT Syailendra hanya satu orang yang membuat Tari penasaran setengah mati. Ia bertemu dengannya pas acara halal bihalal dengan papi, Selasa sore. Masih terekam jelas bagaimana pertemuannya dengan pria itu.
“Pak Samiun”
“ Tari”
Lelaki itu menyalami gadis berambut hitam memakai sweater putih itu.
Anak itu memandang lelaki itu lekat lekat. Tidak ada yang aneh dengan dirinya, ia hanya seorang lelaki berumur dua puluh tiga tahun dan berkulit putih dan memakai kumis dan cambang.
Sekilas tidak ada yang aneh, tetapi keseluruhan postur tubuh pak Samiun itu sama banget dengan penjahat yang ditemui oleh bu Endah.
“Baiklah, mari kita berfoto bersama untuk mengenang moment ini” ujar pak Rio, ayah Tari.
Kesempatan itu tidak disia siakan oleh anak itu, ia langsung memotret pak Samiun. Selanjutnya, ia langsung mengotak ngatik fitur adobe photoshop. Lalu....
“Halo bu Endah. Ini Tari bu”
“ Ya nak, ada apa”
“ Ibu sudah melihat foto yang Tari kirim”
“Sudah”
“Gimana, apa foto itu cocog dengan orang yang menabrak ibu kemarin malam”
“ Cocog sekali, kamu dapat darimana foto itu”
Tut.... anak itu memutus telepon begitu saja. Kecurigaannya kian terbukti.... tapi apa motifnya....
“ Baik semuanya, setelah selesai halal bihalal, saya akan mengajak kalian semua tur keliling pabrik Fanta”
Mereka semua menyaksikan deretan botol air minum dari tempat sampah. Botol botol itu dimasukkan kedalam kolam air mendidih. Botol botol yang sudah bersih lantas dikeringkan menggunakan ozon. Pengeringan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kuman yang ada di dalam botol telah musnah. Selanjutnya botol berjalan di papan eskalator, ditempat itu pula botol diisi dengan air minum lewat sedotan raksasa. Lalu botol fanta yang sudah terisi minuman soda akan diberi tutup secara otomatis. Eit proses pembuatan minuman bersoda belum berakhir lho, sebelum minuman itu dipasarkan, mereka harus memasuki lantai eskalator terakhir, disitu botol fanta tadi berbaris rapi menuju dus besar untuk diedarkan di pasar. Terkadang, ada botol minuman yang kurang memenuhi standart. Ditempat inilah, botol botol seperti itu akan dikeluarkan dari barisan.
Usai berkeliling pabrik, sampailah mereka pada basement ruang karyawan. Basement itu mirip dengan ruang kamar TNI AL. Ruangan itu hanyalah sebuah ruangan luas dengan kasur dua tingkap yang terjejer rapi di kanan dan kiri ruang kamar itu.
“ Nah disinilah ruang istirahat para karyawan”
“ Pap, dimana kamar tidurnya pak Samiun”
Lelaki itu menuding kamar yang paling ujung. Tari mendekat, di ujung kasur itu ada sebuah meja dan kursi serta sebuah koran lawas. Ia membacanya
Jawapos, 12 September 1999
Polisi berhasil menangkap kawanan perampok yang menggasak patung ganesha yang terbuat dari emas di museum Airlangga. Mereka adalah SM (25), ED (21), NS (24). SM yang sehari hari hanya bekerja tukang ojek pengkolan mengaku baru pertama kali ini melakukan tindakan kejahatan.
Meski berhasil meringkus kawanan perampok, polisi mash kesulitan menelusuri harta hasil rampokan.
“Sampai saat ini saya masih kesulitan melacak harta hasil rampokan yang meliputi patung ganesha yang terbuat dari emas seberat 25 kg. Mudah mudahan dengan ditangkanya gembong perampokan ini bisa melacak benda bersejarah itu” Ujar AKBP Sentot Abiyasa
Kring.... kring... kring...
“ Ada apa bu Endah”
“Saya baru inget mbak, tiga hari yang lalu sebelum peristiwa perampokan itu terjadi, lelaki itu datang bersama dua orang temannya”
“ Ibu masih tahu dimana tempat tinggal mereka”
“ Dua orang temannya, tempat tinggalnya di...”
Tari berjalan menjauh, ia merasa tak nyaman, karena merasa diawasi oleh seseorang. Tebakannya tidak meleset, setelah ia pulang orang itu mengirim pesan pendek pada seseorang. Isinya jelas, padat, ringkas.
“Kau harus membungkam gadis itu”
Harta Karun
Sebuah SMS nyangkut di smartphone Tari disaat ia baru bangun dari tidur
+62856302229
Ri, elo ada acara hari Minggu begini
+628563022224
Enggak ada , ada apa Jul
+62856302229
Kalo gak keberatan gue mau ngajak lo ikut temu kangen temen temen masa es de dulu, lo mau gak.
+628563022224
Boleh
Pesta reuni ternyata hanya dihadiri oleh tiga orang sahabat Juli. Acara berlangsung seperti biasa. Potong kue, makan nasi tumpeng, buka hadiah yang dibawa masing dan tak ketinggalan doorprize. Khusus untuk doorprize anak itu membawa hadiah yang udah dibungkus sama kertas karton berwarna merah muda dan diikat dengan pita merah.
“Apaan tuh Dro” Ujar Tari yang merasa kepo saat Pedro membuka kado doorprize setelah diundi. Bungkusan itu ternyata berisi sebuah kertas putih bergambar terminal kereta api plus semacam kode kode rahasia gitu
“ Ini peta harta karun” jawab Juli yang duduk di bangku sofa .
“ Harta karun” ujar Tari sambil memandang pria berambut jabrik itu, sementara anak berkulit hitam yang bernama Pedro itu menengok ke arahnya tanpa berkedip.
“Lu masih inget Dro, waktu acara perpisahan dulu pas esde, gue melempar satu album foto isinya full perangko. Kalo gue inget kejadian itu, gue ngerasa nyesel bangeeet. Kan benda itu bisa dijual mahal lewat internet”
Anak berkulit hitam itu magut magut, tangannya mengusap usap dagu, seolah berpikir. Lalu ia berseru.
“Maksudmu kaleng khong guan yang kita tanem di pohon pakis dekat warung makan itu”
“ Iyaaaa”
Didorong rasa penasaran, mereka bertiga mencoba mencari sisa sisa kenangan masa kecil. Dimulai dari tempat pemberhentian moda transportasi yang setia mengantar mereka ke sekolah inpress, lalu selebihnya, blank.
Mereka bertiga tertegun menatap bus kopaja berwarna biru yang berlalu lalang di jalan yang mengular di depan, disamping mereka ada deretan bus berwarna putih.
“Dari sini lalu carilah rumah tekken 3 di sana ada sangkar burung perkutut, lalu belok kanan. Rumah tekken 3, dimana tuh Li”
Orang yang ditanya hanya garuk garuk kepala. Sedangkan Tari cuma berpikir sebentar lalu berkata
“Di sini ada rental playstation enggak”
“Emang kenapa” tanya Pedro si anak berkulit gelap
“ Mungkin yang dimaksud dengan rumah tekken 3, mungkin rental playstation, kan anak generasi 90 an suka banget minjem vcd playstation di rental”
Seolah mendapat ilham. Wajah anak itu tiba tiba menjadi sumringah, senyumnya mengembang seketika.
“Gue inget, dulu gue suka pinjem vcd tekken di rental takwa. Kalau gak salah tempatnya lima kilo dari sini.”
Sampailah mereka pada toko kelontong kecil dengan jendela berwarna hitam. Tidak ada tanda tanda bahwa tempat itu adalah tempat rental vcd lantaran di atas kios itu telah tergantung papan nama “Anisa Boutique”
“ Gue masih inget, di sini dulu tempat gue nyewa vcd tekken, terus dimainin ramai ramai sama temen sekampung pas Sabtu Sore” ujar Juli berkaca kaca,
Gak cuman dia seorang yang larut dalam nostalgia masa lalu,Tari dan Pedro juga. terbayang di kepala mereka, asyiknya jadi seorang anak es de di tahun 90 an. Maen gembot, playstation, dan kartu bongkar pasang bersama temen temen.
Cet ceruceet. Suara burung prenjak menyadarkan lamunan mereka bertiga. Juli cepat cepat menengok sangkar burung kenari yang tergantung di tiang samping genteng. Ah burung berwarna hijau itu masih ada di sana dengan suaranya yang khas.
“Dari sini kita ke tempat Nike Ardila mendendangkan lagunya, lalu belok kanan ke tempat getuk gemuk biasa mangkal”
Juli yang mendengar langsung menyahut
“Kalau itu aku tahu, itu toko kaset “hitam putih” biasanya gue sering beli kaset Nike Ardila di situ”
Rintangan kedua berhasil mereka lalui dengan mudah. Tinggal selangkah lagi, dengan penuh semangat Juli membentangkan peta harta karun itu.
“Ada yang tahu maksud gethuk gemuk mangkal”
“ Di sekolahmu dulu ada anak perempuan gemuk yang menjual getuk ya Jul. Soalnya kata kata gemuk itu mengingatkan gue pada anak perempuan”
Mendengar hal itu, si Pedro langsung nyengir
“Iya dulu ps es de, ada temen kami yang jadi penjual gethuk, anaknya perempuan dan berkulit hitam dan berbadan gemuk. Biasanya dia sering mangkal di lapangan sepakbola deket es de inpres Sumberingin dua, biasanya kami olok olok gethuk gemuk”
Si Juli langsung nyahut “Gue inget di lapangan es de itu ada pohon Trambesi kan, gue tanem kapsul waktunya di situ”
Lapangan itu masih sama seperti yang dulu. Suket tekinya yang tumbuh besar dan gawang dengan jaring berwarna biru seolah menyambut mereka. Tanpa menunggu lama Juli segera mengambil sekop dan menggali di bawah pohon Trambesi.
“Ada”
Tari kegirangan, matanya memandang kotak tembaga khong guan yang terkubur di tanah. Saat kotak itu dibuka, isinya berupa tiga puluh kartu potrex, satu set game bot tamagochi, dan tak ketinggalan satu album foto berisi full perangko bekas.
Juli meraba ikat pingganggnya. Cuter itu masih ada disana. sedetik lagi ia akan menghunjamkannya pada gadis itu.... tapi jikalau boleh ia bertanya... apakah cinta namanya jikalau ada seorang cowok yang tega menyakiti kekasihnya hanya karena ancaman seseorang. Apakah cinta namanya.... jika seseorang tidak berani berkorban demi kekasih yang ia cintai.... apakah cinta namanya....
“ Jul lo gak ngambil perangko lo katanya lo kemari buat nyari barang itu”
Mendengar hal itu dia langsung memeluk Tari kuat kuat. Pisau itu jatuh menggelinding, membuat Tari bertanya tanya. Apa Juli hendak membunuhnya. Kalau itu benar lantas apa yang membuat cowok itu mengurungkan niatnya....
“ Jul... Juli elo hendak membunuh gue"
Tak ada jawaban yang tersisa, hanya sebuah suara pelan dan tersendat sendat
“Ri, gue sayang ama elo, gu... gue sayang dan gak mau elo terluka”
Mentari tenggelam di ufuk barat. Juli berjalan dengan tegap. Ia siap memikul hukuman apapun...
Kecurigaan
Hari itu Tari merasa perasaannya gak enak, ia merasa cemas, takut Juli kenapa napa. Sesekali ia menengok jam dinding,sudah jam tujuh lebih sepuluh menit. Kok tumben anak itu belum datang juga. Sesekali ia mencoba mengontak pria abege lewat hp. Sia sia saja. Tidak ada yang mengangkat.
“Ne, lu nggak melihat si Juli”
Anne cuman menggeleng. Baru saja ia berkata seperti itu, pria itu datang dengan membawa tubuh yang lebam. Nampak mata yang kebiru biruan. Tari yang melihat hal itu lngsung bertanya.
“Siapa yang mukuli lo Jul, jawab”
Dia meletakkan tas cangklong berwarna hitam di atas bangku dan berkata lantang
“ Lo tuh gak usah ikut campur urusan gue, urus aja hidup lo sendiri”
Beberapa siswa memakai baju seragam putih abu abu yang bergerombol menyalin pe er menatap mereka berdua, Tak lama kemudian kembali ke pekerjaan masing masing. Pastilah kedua remaja itu sibuk bertengkar lantaran urusan cinta monyet, pikir mereka
Anak perempuan itu lekat memperhatikan Juli, saat ia berganti pakaian olahraga di kamar mandi cowok. Ada bekas bekas luka memar merah panjang di pundak anak itu.
“Guh, gue bisa ngomong, ini masalah serius, menyangkut nyawa seseorang”
Teguh yang duduk di meja pojok kantin terkejut mendengar penuturan itu. Demikian pula dengan Ita, yang tengah mengunyah singkong goreng. Ia langsung menelan makanan itu dan menatap Tari bulet bulet.
“ Elo perhatikan si Juli gak, dia tadi masuk ke sekolah dengan wajah lebam kan”
“ Terus kenapa”
“Gue takut dia itu terlibat sindikat kejahatan, terus diperas untuk melakukan sesuatu yang gak bener, kalau dia menolak nyawanya bakal melayang”
“ Lu kok bisa ngambil kesimpulan kayak gitu”
Tari menarik nafas panjang, beberapa siswa yang memakai kaos panjang berwarna kuning kemasan dengan logo bola basket mereguk es milo. Siang siang begini memang cocok minum es.
“ Kan gini ceritanya, kemarin kan si Juli ngajak gue ikut reuni temen temen es de, gak ada yang istimewa, acaranya ya makan makan gitu doang”
“Terus”
“Hingga dia ngajak cari peta harta karun, seisi kota Malang udah gue obrak abrik, lo tahu isinya, hanya sebuah album foto berisi perangko bekas doang, tapi anak itu bawa pisau tajam kayak pisau komando yang biasa dipakai kopassus”
“ Elunya kali yang parno, palingan....”
Belum sempat Teguh menyelesaikan kata katanya, sudah dipotong oleh sebuah bentakan.
“Elu diem dulu, dengerin gue sampe habis ceritanya” bentak Tari.
Mau gak mau ke tiga temennya langsung pasang muka serius. Si Teguh malah langsung bersidekap.
“ Elu semua masih inget cerita saat gue ngedate ama Juli terus ketemu ama bule lalu kita berdua berjalan bareng dan menyaksikan pasar blimbing terbakar”
“ Iya” Jawab Teguh, sedangkan Anne langsung mengangguk.
“Gini, waktu gue diajak berkunjung ke pabrik Fanta papi, gue berkenalan sama orang ini” Ujar gadis itu sambil menunjukkan foto pak Samiun.
“Gila ini mirip banget”
“ Menurut lo aneh gak, kalo ada orang yang tiba tiba nyerang lu, cuman gara gara lu ngambil fotonya sambil lo utak atik sedikit pake photoshop”
“Tunggu maksud lu, si Samiun ini orang bule yang kemarin bersama kita berdua saat di mall itu terlibat dalam kasus kebakaran di pasar Turi, lalu dia nyuruh Juli buat menghabisi nyawa elo karena gak takut kedoknya kebongkar”
Tari mengangangguk. Keheningan menyelimuti tempat itu hingga....
“Gini guh, gue, entar sore gue bermaksud menyelidiki peristiwa kebakaran itu sekali lagi, gue gak maksa lo ikut. Lo ikut boleh, gak, juga gak papa. Gue tunggu jawaban lo sampe jam tiga sore”
“ Gue ikut” ujar Ita sambil mengacungkan tangan.
Kalau boleh jujur, dalam lubuk hati terdalam, Tari pengen banget Teguh ikut, tapi dia tahu dirinya bukanlah siapa siapa. Lalu untuk apa ia menunggu jawaban lelaki itu. mungkin yang ia butuhkan hanyalah sebuah kepastian. Kepastian bahwa Teguh telah melabuhkan segenap hatinya pada Anne hingga tak menyisakan ruang untuk wanita lain. Tapi kalau lelaki itu mengannggapnya hanya sebagai sahabat, apa dia siap terluka tiap kali melihat dia bermesraan dengan gadis itu?
Tok tok tok. Tari menghapus air matanya, saat ia membuka pintu, cowok itu datang dengan sweater putih dan celana jeans. Rambutnya yang jabrik, menambah maskulin penampilannya.
“ Ayo berangkat”
Mereka berdua menaiki sepeda motor honda beat berwarna hitam diikuti sebuah taksi blue bird berwarna biru. Di dalamnya ada seorang remaja tengah memeriksa smartphonenya.
“Ikuti motor itu pak”ujarnya
Pemecahan Misteri
“Oke kita susun puzzle satu persatu, biar semuanya clear” ujar Tari,
Disamping anak itu telah duduk dua orang perempuan dan satu orang lelaki. Mereka duduk di sebuah meja panjang berwarna hijau ditemani segelas teh hangat.
“ Pada hari Kamis tanggal lima belas Februari, gue sama Teguh nge date bareng di mall matos. Disana gue ketemu ama orang kebule ini” kata gadis itu sambil meletakkan foto di atas meja disaksikan ketiga mereka bertiga”
“Terus pas halal bihalal di pabrik papi gue ketemu sama lelaki bernama Samiun, orangnya memiliki postur seperti ini”
Anak itu meletakkan foto pak Samiun. Kalau diperhatikan baik baik, foto kedua orang itu emang sangat mirip. Hanya satu perbedaannya. Kumis dan cambang. Itu saja.
“ Menurut saya mereka orang yang sama” ujar bu Endah
“ Kalau begitu pelakunya sudah ketemu”
Dari perempuan itu didapat informasi, dua hari sebelum kebakaran, ada tiga orang lelaki yang ikut menyelidiki kondisi pasar tradisional itu.
Lelaki pertama bernama Roy (25). Rumah dalam keadaan kosong dan dikunci saat Tari dkk pergi ke rumah bercat hijau itu. Di pintu depan ada pamflet bergambar mainan anak sembilan puluh an, seperti gambar potrex, game bot tamagotchi, tak ketinggalan mainan tamiya. Saat ia melongok jendela, semua mainan itu terhampar di karpet berwarna hijau, beserta selusin petasan berwarna merah.
“Ibu tahu apa penyebab kebakaran di pasar blimbing”
“Entahlah, kata anak ibu yang bertugas di kepolisian, polisi masih belum bisa menjelaskan apa penyebab kebakaran”
Lelaki kedua bernama Ilham (24). Dia berprofesi sebagai sebagai pemilik warung. Kata tetangga kanan kiri, lelaki itu pendatang dari Sulawesi tapi sering cekcok dengan pemilik kios beras yang terbakar.
“Kata orang, pemuda yang bernama Ilham itu pernah memaki pemilik kios sampai mengancam akan membakar warungnya segala”
Mereka melihat kerumunan anak sekolahan yang mengantri membeli jajanan. Saat Ita mencoba melongok ke sana, di etalase toko,berjajar chiki hingga gerry chocolatos yang ditumpuk dalam toples kecil, sementara di sisi sebelah kiri ada minyak tanah yang ditumpuk dalam drum berwarna hitam.
“Permisi pak, bapak sudah tahu kalau sudah tahu ada kebakaran di kios beras itu”
Lelaki itu mendengus pelan dan berkata
“ Emang apa urusannya dengan saya”
Rumah ketiga adalah sebuah rumah bercat putih, saat Tari kesana rumah itu dalam keadaan tertutup. Saat ia mengintip di jendela, di situ ada foto Juli dengan pak Samiun. Ketika ditelusuri ternyata di garasi mobil, ada tumpukan kertas karton dan drum kecil berwarna merah berisi minyak pertalite berwarna biru. Saat dibuka ternyata isinya kapur berwarna putih.
“Mau apa Ri”
Anak itu gak menjawab, dia hanya membawa sejumput kapur barus ke dalam kertas, lalu membasahinya dengan pertalite . Ajaib kertas itu terbakar.
“ Kok bisa”
“Ta lu masih ingat,kapur itu mengandung potassium permangate apabila dicampur dengan benda yang mengandung glycerin, seperti pertalite maka akan timbul percikan api
“Lebih baik kita sekarang, ke kios yang terbakar, buat ngumpulin bukti”
Tidak ada yang berubah pada kios yang terbakar itu. Hanya lantai putih yang telah diplester beserta cagak hitam yang teronggok di tempat itu. Tari diikuti anak anak yang lain berjalan ke arah mreteran listrik yang masih utuh itu, ia jongkok. Di lantai putih itu teronggok potongan potongan kapur barus.
“ Ta elo, punya sarung tangan”
“ Sini biar gue aja yang mberesi”
“Kenapa ya, orang yang bernama pak Samiun itu kok sampai hati membakar kios ini”
“ Demi mendapat patung ganesha emas bu”
“ Patung ganesha?”
Gadis itu menoleh
“Saat saya mengunjungi pabrik bersama ayah saya, saya sempat ke basement rumah buruh. Disana saya membaca koran lama, isinya tentang perampokan di museum apa gitu”
“ Terus”
“Mungkin, ia salah residivis yang mencari harta hasil perampokan lima tahun yang lalu”
“ Kamu bisa enggak cari patung itu”
“ Cari dimana”
Wanita itu jongkok dan berkata
“Dulu, pasar tradisional ini adalah tempat orang menyabung ayam. Pak Samiun dulu sering menyabung di babah Liong”
Kata kata itu seperti sihir yang memberikan ilham pada Tari. Anak itu berlari, diikuti oleh Teguh dan Ita. Kandang ayam yang disusun bertingkat, kios semangka dengan meja panjang berwarna putih dan pisang yang tergantung telah dilewati. Anak itu berbelok ke kanan. Disitu ada sebidang tanah lapang di belakang kandang kambing. Hewan hewan itu mengunyah rumput saat gadis itu datang.
“ Lo pinjam cangkul ke penduduk Ta”
Gadis itu langsung menggali tanah. Tak lama kemudian, mata cangkulnya membentur benda keras, Tari menarik keluar patung gajah berbelai panjang berwarna kuning keemasan.
“Baiknya benda itu kamu serahin ke kantor polisi,dan sebagai ucapan terima kasih, gimana kalau kalian makan makan di rumah tante setuju”
Berhubung perut sudah laper banget dan badan sudah lengket, anak anak menerima aja permintaan itu, begitu pula dengan Tari, tapi semua itu berubah saat dia melangkahkan kaki menuju tangga kamar atas. Matanya menangkap sebuah foto hitam putih bergambar pak Samiun dengan seorang wanita dan lelaki bertubuh tambun. Mereka berpose di depan SMA Bakti Husada dengan ring basket sebagai background.
Tari jongkok dan membatin, apakah inisial ED yang tertera di surat kabar itu adalah Endah. Apakah wanita itu terlibat pada kasus perampokan yang terjadi di museum Airlangga. Atau perempuan itu adalah kawanan perampok yang membelot dan mengincar harta rampasan itu sendiruian, makanya ia pura pura deket ama Tari.
“Ternyata kau harus kulenyapkan”
Belum sempat ia merespon, sebuah pukulan bertubi tubi bersarang di kepalanya. Bu Endah memukul anak itu hingga semuanya menjadi gelap!!!
Penggebrekan polisi
“Tarinya sudah pulang duluan, tadi ada telepon dari mamanya, nyuruh cepat pulang, katanya papanya kecelakaan, motor yang dikendarai remnya blong dan tertabrak pohon di jalan”
Aneh, biasanya kalau anak itu pergi kemana mana selalu minta ditemani, kok tumben ini pergi sendirian. Batin Teguh.
Terdengar empat ketukan yang menggema dibalik atap rumah, lalu disusul dengan tiga ketukan lagi. lalu ada empat ketukan diikuti dengan tiga ketukan tangan. Tak lama kemudian ketukan itu berulang ke nada awal, kemudian hilang.
Teguh pucat pasi. Itu tadi kode morse. Jika diartikan artinya, save our soul. Apakah tari disekap di rumah ini. Ibu Endah tampaknya perempuan itu tahu apa yang dipikiran lelaki itu. buru buru, dia berkata
“Maaf mas, saya mau istirahat. Rumahnya mau saya tutup”
Anak itu mematung di depan halaman luas itu. ia lalu berkata
“ Ta, lo tadi denger suara ketukan itu”
“Kamu ngerti sesuatu”
“Itu tadi kode morse. Biasanya digunakan saat kemping di alam terbuka gitu. Biasanya anggota pramuka menggunakan kode morse dalam bentuk bendera semapore. Lo pernah lihat kan”
Dia mengangguk.
“Selain menggunakan semapore, sandi morse biasanya menggunakan sandi suara, kayak yang tadi. Masalahnya, sandi tadi bermakna SOS.
“Maksudmu, Tari sekarang dalam bahaya, dan kita gak bisa nolongin dia gitu
Cowok itu mengangguk.
“Gini aja deh bang, kita puteri rumah ini, barangkali aja ada pintu tersembunyi buat masuk ke dalam. seperti robbery bob itu lho”
Mereka berjalan mengitari rumah itu. Di halaman belakang, ada tumpukan kayu kering yang ditumpuk, mereka mendekati pintu merah dan membuka gerendelnya. Aman.
Ruangan itu terdiri darisebuah amben besar, dengan sebuah meja kecil ditutup tudung saji, disebelah kanan benda itu ada sebuah almari besar.
Kriet, pintu itu sedetik lagi akan terbuka. Juli cepat cepat tiarap ke bawah amben, sedangkan Ita sembunyi disamping almari. Bu Endah muncul, dia membuka tudung saji. Kesempatan itu tidak disia siakan oleh Juli, ia langsung lari, sedangkan Ita hanya berdiri mematung.
Di situ ada dua buah kamar beserta satu tangga menuju ke atas. Juli langsung naik ke atas tangga, sewaktu pintu putih itu didobrak, ia melihat Tari yang kedua tangannya diikat tali putih.
Langsung saja, ia melepaskan ikatannya, sial saat itu nenek lampir itu muncul. Dengan cepat Juli langsung melancarkan tendangan hingga membuat wanita tua itu terhuyung, tanpa memberi kesempatan membalas dia langsung memitingnya, dan mengikat kedua tangannya, lantas ia dudukkan di kursi yang ada di ruang tengah.
“ Berhenti, atau kalian akan kutembak”
Pak Samiun berdiri sambil menenteng senapan, Teguh terkesiap. Namun ketegangan itu segera sirna saat sebuah tongkat pemukul memukul pria itu berkali kali.
“ Kau gak papa Guh” ujar Anne.
“ Dasar tikus tikus keparat”
Lelaki itu ternyata sangat kuat. Dia hanya terhuyung huyung, tak lama kemudian langsung mengokang timah panas ke arah gadis itu, membuat gadis itu limbung, darah segar keluar dari dada perempuan itu. Teguh yang melihat kejadian itu langsung kalap, ia langsung melancarkan tendangan. Tiba tiba....
Dor.. dor... dor... sebuah timah panas menembus tubuh pak Samiun.
“ Angkat tangan”
Seorang polisi menembak kaki lelaki itu. membuat ia terjatuh. Sementara itu Ita berdiri disampingnya
Mereka berempat lalu memapah Anne, di saat saat kritis, gadis itu berbisik.
“ Guh, lo mau ya, menerima cinta Tari”
Why do you love me
Upacara penerimaan hadiah di kantor polisi itu berlangsung dengan singkat dan formal. Bagaimana tidak formal, kalau upacara itu mirip dengan upacara bendera yang diadakan di SMA Bakti Husada.
“Uang sepuluh juta itu akan kau gunakan untuk apa Guh”
“Gue mau gunakan untuk perluasan usaha, bikin booth batagor mungkin”
Sekarang usaha anak itu berkembang pesat. Dia gak harus dorong gerobak batagor dan siomay, tapi udah bikin outlet di samping kantin UMM, demikian pula dengan hubungannya dengan Tari.
“ Mau makan apa guh”
“Terserah”
Tak lama kemudian sepiring nasi goreng dan dua buah fanta terhidang di atas meja.
“Bagaimana kalau setelah ini kita nonton bioskop, ada film bagus AADC 2”
“ Boleh”
Tak lama kemudian pertunjukan itu berakhir. Mereka berdua berjalan keluar dari bioskop, diikuti pasangan muda yang menggandeng mesra kekasihnya masing masing.
“Bagusan mana seri satu atau seri yang kedua”
“ Semuanya bagus”
Ah seharusnya lelaki itu menjawab, menurut gue AADC seri pertama lebih baik karena bla bla bla. Lalu mereka akan melanjutkan obrolan itu di watts app, dan diakhiri dengan ucapan selamat tidur.
Tapi itu semua hanya khayalan. Tidak, Tari tidak ingin diperlakukan oleh seperti seorang permaisuri, tapi ia butuh hangatnya perhatian. Apakah sulit bagi seorang lelaki untuk mengatakan. Bagaimana kabarmu, pada kekasihnya.
Sering anak itu bertanya. Apakah Teguh akan memperlakukan Anne seperti ini. Ia merasa lelaki itu menganggap dirinya tak lebih dari seonggok boneka porselin yang harus dirawat baik baik, lalu ditinggalkan teronggok di almari kaca begitu saja.
Dan hari ini seperti hari keberuntungan bagi Tari. ia menyaksikan Teguh buru buru membereskan booth batagornya di hari Jum’at siang. Padahal ini masih pukul satu siang. Cepat cepat diikutinya anak itu.
Dia berlari menyeberang jalan, lalu naik gojeg, adegan kejar kejaran antara gojeg dan taksi blue bird berakhir saat anak itu menuju rumah sakit.
“Udah merasa baikan Ne”
Gadis yang tengah diinfus itu tersenyum.
“Mas rencana kedepan mau kuliah kemana, terus kalau kalian pisah mau LDR an”
Anak itu terlihat tak suka. Bibirnya manyun, lalu berkata
“ Ne, jawab pertanyaan aku dengan jujur, kenapa kau tak pernah mencintai diri kamu sendiri. Apa kamu pernah makan makanan bergizi, sekali kali makan salad buah kek”
Gadis itu tidak menjawab, ia menangis terisak isak.
“Ne, aku tahu kamu itu mencoba baik pada semua orang buat bekal untuk menghadap ke hadirat tuhan. tapi aku mohon, kamu juga mencintai diri kamu sendiri, selama belum dipanggil olehNya, ya Ne ya, kamu mau kan berjanji seperti itu sama aku” ujar Teguh sambil memeluk anak itu.
Hati Tari hancur berkeping keping saat melihat kejadian itu. Dia berlari sambil berurai air mata. Saat di dalam kamar ia menemukan sebuah kertas berwarna murah muda bertuliskan.
Saat cintamu tersayat sembilu. Ingatlah tuhan telah memberikan beragam karunia untukmu. Hidangan lezat yang kau kecap. Pendidikan yang kau nikmati. Panca Indera yang kau dapat. Sudahkah kau mensyukuri itu semua.
Kata kata itu seakan menjadi pelipur lara bagi Tari. Tiap kali ia merasa bersedih. Ia selalu mengingat karunia yang telah tuhan berikan padanya.
Tak ada yang menyangka kata kata dalam secarik kertas kecil itu menjadi penopang hidup gadis itu. Tiap kali ada ia bersedih, ia akan mengambil kertas itu dan mendekapnya di dada. pertanyaannya sekarang, siapa penulisnya.
“ Ri, lo udah denger Juli masuk rumah sakit” tanya Ita.
Tari yang lagi makan bakso, hanya bisa mendelik. Mulutnya tengah mengunyah bakso dan tahu secara bersamaan. Jadi ya omak amuk gitu. Setelah minum segelas es teh, barulah ia bicara.
“ Belum”
“Gimana kalo Minggu pagi kita besuk”
Jadilah Minggu pagi itu. Tari membesuk cowok itu. Di atas meja pasien ada beragam buah buahan, beserta lembaran kertas warna warni. Tergelitik oleh rasa penasaran, Ia mengambilnya dan mulai membaca. Ternyata itu adalah kumpulan kata kata motivasi. Ditilik dari cara penulisannya. Ternyata sama persis dengan kertas motivasi yang dulu terdapat di kamar tidur gadis itu.
Ia bertanya tanya, kenapa ia selalu menghibur dirinya, hanya karena sahabat, bullshit, sejak dikhianati oleh cowok ia tidak pernah percaya ada cowok yang tulus berteman dengan cewek.
“Hayo lagi ngelamunin apaan”
Tepukan halus itu mengagetkan Tari, ia menoleh ternyata Ita sudah ada di sampingnya.
“ Elu Ta, ngagetin aja, gue perlu second opinion lo tuh. Kita duduk di bangku situ aja ya”
Mereka berdua duduk di bangku deket ruang tunggu pasien. Di tempat itu banyak orang yang berlalu lalang. Diantara mereka memakai jas putih.
“Gini Ta, lo kan udah berpengalaman dalam percowokan. Gimana sih caranya mengetahui cinta cowok itu tulus apa enggak”
“ Kalau gue sih, gue bakalan nge prank in dia, dengan begitukan dia bakalan bete tuh. Nah saat bete itulah, gue bakalan nanya, motifnya pacaran ama gue apa”
Boleh juga nih anak idenya... gua coba ah.
Prank
Tiga hari kemudian.
Kring kring, smartphone berdering, seorang pria memakai kaos hitam langsung mengeratkan selimut. Berharap dering itu berhenti, sia sia saja. benda itu tetap berbunyi. dengan malas ia mengangkat telepon itu.
“ Halo dengan Juli disini”
“ Ya dengan siapa”
“Ini saya pak Samsul,temen anda Tari baru saja menabrak rombong bakso saya, sekarang saya minta ganti rugi sebesar lima juta rupiah”
Gragab. Si Juli langsung melek. Lima juta rupiah. Dapet darimana duit sebanyak itu.
“ Tunggu pak, bisa tolong ceritakan gimana kronologinya”
“Gini pak, temen anda Tari tadi motornya melaju kencang banget, saking kencangnya dia sampai gak lihat kalau ada rombong batagor yang diparkir di pinggir jalan. Jadi deh tabrakan, anak itu terjungkal dari motornya dan sekarang rombong saya rusak”
“ Lalu sekarang Tarinya gimana
“Dia sudah ditangani dokter di puskesmas, gimana dengan rombong saya”
“ Tunggu sebentar, ciri ciri gadis bernama Tari itu kayak apa sih”
Maksud Juli berkata seperti itu untuk jaga jaga aja. Siapa tahu itu ulah penipu. Tapi apa yang terjadi, orang itu dengan lancar menyebutkan ciri cirinya. Malah ia sempet mengirim screenshot foto gadis itu yang tengah digotong warga.
Haruskah ia mencuri demi cinta.... tidak... tidak... ia tak boleh mengotori keagungan cinta dengan prilaku yang tak terpuji... tapi bagaimana ia menolong gadis itu.
“ Jul.. Juli”
Anak itu berjalan ke arah kamar depan. Seorang perempuan memakai blouse putih tengah berbaring di kamar.
“ Tolong ambilkan obat batuk di almari ruang kerja papi nak”
Anak itu berjalan menaiki tangga. Tatkala ia membuka almari besar di ruang kerja papi matanya tanpa sengaja menatap sebuah kotak berwarna merah. Penasaran, ia membukanya, ternyata isinya adalah sebuah jam tangan mewah.
Ia bimbang.... apakah... ia harus mencurinya....
“Juliiii....”
Tak ada pilihan lain. Sesaat setelah urusan itu usai,anak itu langsung beranjak ke pegadaian.
“Permisi bu, saya mo menjual jam tangan rolex ini lima juta rupiah,bisa nggak bu”
Perempuan gemuk memakai kerudung hitam itu meletakkan jam rolex berlapis emas itu ke dalam air. Ternyata jam tangan itu mengambang.
“Dek, ini kan gak ada surat surat berharganya. Saya cuman berani membeli dua juta setengah”
Ada kekecewaan menyelusup dihatinya mendengar penawaran wanita itu.
Masalah baru muncul tatkala seorang wanita berpakaian blouse putih datang ke tempat itu, keringat dingin langsung menetes di dahi. Tak salah lagi itu pasti mama!!!!
“ Mbak, mbak , mbak dapet darimana jam tangan mewah ini”
“Dari anak itu” ujar wanita itu sambil menuding cowok berkemeja biru bergambar donald bebek. Anak itu langsung menundukkan kepala.
“Kamu mencuri jam tangan papa Juli”
Bentak perempuan itu. Beberapa pengunjung yang didominasi oleh perempuan berjilbab bahkan langsung menoleh ke arah mereka berdua
“Iya ma”Jawab anak itu sambil menundukkan kepala.
Perempuan itu berkacak pinggang, matanya melotot menatap anak itu
“Kenapa kau lakukan itu Jul”
“Untuk menolong Tari bu, kan anak itu mengalami kecelakaan, sepeda motornya menyerempet rombong siomay, nah si penjualnya minta ganti rugi ke aku mi”
“Kamu jatuh cinta sama gadis itu ya,”
Anak itu menatap langit langit, ia menghembuskan nafas panjang.
“Tari itu sudah kuanggap seperti adik aku sendiri mi, wajahnya itu mengingatkanku pada dik Keysha yang udah meninggal”
“Terus kenapa kok nggak ngomong ke orangnya”
“Mi, mami pernah enggak mikir, gimana reaksi ibunya Tari saat dia nikahan nanti. Pasti dia bakalan malu ama menantunya, yang punya paman seorang penjahat kambuhan”
“Aku bersyukur kamu mau menyayangiku seperti adik sendiri. Tapi aku sedih banget Jul, pas tahu lo menodai cintamu dengan perbuatan tak terpuji seperti ini. Tindakanmu ini sama aja seperti ommu yang masuk penjara”
Juli terkesiap mendengar suara itu. saat ia menoleh, Tari sudah ada di sana. Ia memakai kemeja lengan panjang berwarna kuning beserta jilbab putih, disampingnya ada pria berkumis dan bercambang lebat dan memakai sorban putih
“Selamat nak, kamu berhak mendapat cinta gadis ini, dan semua kejadian ini hanyalah ujian untuk mengetahui seberapa dalam cintamu pada gadis ini ”
Tidak ada kata yang terucap dibibir Juli selain sebuah rangkulan hangat dan fakta bahwa ia bahwa gadis itu telah resmi menjadi kekasihnya.
THE END
Description: Kegagalan dalam bercinta seringkali membuat hati wanita membeku. Demikian pula dengan Tari. Setelah sekian lama mengalami patah hati. Ia bertemu dengan Teguh, seorang remaja yang mampu menawan hatinya. Tapi apa yang terjadi, bibirnya terasa kelu untuk mengatakan perasaan sayang.
Keadaan itu makin diperparah dengan datangnya Anne, seorang murid baru yang memiliki paras gadis bule. Bisa ditebak, Teguh pun lebih memilih Anne daripada gadis itu. Ditengah kegalauan itu, muncul Juli seorang cowok yang bersedia memberikan perhatian pada Tari.
Namun siapa sangka, kejadian kebakaran di pasar tradisional memaksa anak lelaki itu melukai si gadis pemberani yang diam diam ia cintai.
Namun Tari berhasil menyingkap dalang dibalik aksi kejahatan itu beserta motivasi Juli mencintainya berkat bantuan teman temannya.
|
Title: Recovery
Category: Slice of Life
Text:
Sapaan
Haiii All
aku yang random ini cuma ingin menyapa
semoga dari sapaan ini dapat membuat kita saling mengenal
semoga tulisan yang dibuat dapat memberikan energi positif buat yang membacanya
aku seorang wanita yang menolak tua, seorang anak yang ingin melihat orang tuanya selalu tersenyum, seorang kakak yang selalu menjadi teman untuk adik - adiknya dan seorang sahabat yang selalu ada untuk orang terdekat ku.
Sebenarnya aku orangnya sedikit mageran hehehe, jadi gak janji untuk daily post cerita
okeee guys, so happy to start now
See You next chapter
Sinopsis
Impian Tera jatuh seketika, kehidupannya kini berantakan, semua impian yang Tera sudah rencanakan terpaksa harus dirinya pendam bahkan terancam tidak mungkin dapat terwujud.
Wanita yang memiliki nama lengkap Tera Darendas Jusuf harus menelan pil pahit atas kesalahan yang dirinya perbuat.
"Aku salah Tuhan, aku akui kesalahan itu namun jangan hukum aku Tuhan dan jangan hukum keluarga aku atas itu." Jerit Tera sambil meneteskan air mata, Tera menyalahkan diri nya atas apa yang terjadi pada kehidupannya.
Tera kehilangan kepercayaan dirinya, kehilangan semangat hidupnya dan perlahan kehilangan orang - orang terdekat nya. Apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan Tera ?? Kesalahan apa yang membuat kehidupannya hancur ?? Mampukah Tera bertahan menghadapi ujian kehidupan ini dan terus melanjutkan mimpinya ??
Recovery by Tiwy Patra
Murni ide Penulis - Don't Plagiat
Description: Kisah dari semua yang patah mencoba untuk utuh kembali
|
Title: RUANG HATIMU
Category: Cerita Pendek
Text:
SEBUAH RASA
Disebuah lorong yang hampa
Tanpa setitik cahaya apapun
Meraba, mengendus,berfikir.
Aku .
berada dimana.
Sunyi.
Entah mengapa aku terhanyut kedalam sini
Ruang yang selalu aku hindari
Mengapa hampa sekali disini.
Berdebu.
Apakah ini sudah tidak berfungsi lagi.
Mengapa sarang laba² menutupi.
Hingga penuh dengan debu .
Apakah sudah tidak ada lagi rasa.
Aku mencoba membersihkan, menata, merapaikan, menerangi.
Semua hal yang membuat ruang itu kembali hidup.
Aku membuat bintang² dan bulan kembali terlihat.
Aku membuka semua jendela agar sinar mentari kembali masuk.
Semilir angin yang membawa aroma
bunga.
Wangi.
Bunga² yang sengaja ku tanam di bawah jendela.
Hari demi hari ruang itu mulai terasa sangat hangat.
Tak lagi hampa dan gelap menyelimuti
Tak lagi debu dan sarang laba² mengotori
Kini kau tau beratnya perjuangan rasa ku untuk menghidupkan kembali hatimu .
insecure
Lantunan melodi yang terdengar saat kau memetik senar senar gitar itu.
Membuat hatiku tenang.
Romantis.
Adalah gambaran bagaimana sosok mu yang terlihat.
Aroma tubuhmu yang begitu khas seakan kau lah udara ku.
Begitu membuatku tak ingin melepaskan gengaman mu
Semilir angin ini mengingatkan ku bagaimana dinginya dirimu dan matinya rasamu dulu.
Bagaimana bisa dirimu terjebak dalam perasaan yang mematikan dan begitu menakutkan.
Seberapa tulusnya rasamu hingga saat kehilangan kau seakan tenggelam dalam lautan es hingga membekukan seluruh rasa yang kau miliki.
Bagaimana jika aku tak pernah menemukanmu dalam lautan itu?
Apakah kau akan mati?
Seberapa berartinya dirinya bagimu .
Seberapa jauh kau menjatuhkan hatimu untuk dirinya?
Pertanyaan itu selalu ingin aku tanyakan padamu bagaimana jika dirimu saat ini masih memikirkanya
Bagaimana jika rasa mu yang selama ini masih miliknya.
Bagaimana jika namanya yang masih menduduki tahta di hatimu.
Description: menceritakan tentang perasaan wanita yang mencoba menghidupkan Kembali sebuah hati yang mati.
|
Title: RINJANI
Category: Novel
Text:
PROLOG
PROLOG
Namaku Rinjani, nama lahirku Camellaudya Barunjanni di sini aku tidak ingin menceritakan asal usul namaku mengapa namaku bisa berubah, ah tapi aku greget pengen cerita nih, btw semasa MTS aku suka banget diledekin onta, karena mereka suka mengejek nama lahirku.
Tgl 17 desember aku dilahirkan tepatnya pada tahun kericuhan menurutku, ya pada tahun 1999, aku termasuk salah satu generasi The Golden Era, karena lahir pada tahun 90-an, ayah ibu ku memiliki 6 orang anak 4 laki-laki dan 2 perempuan, aku adalah anak prempuan pertama dari ayah ibuku, oiya kembali lagi kepada pembahasan mengapa namaku berubah. Ayahku menginginkan nama yang sederhana, ya namaku hanya Rinjani saja, aku terbiasa dipanggil ani dan adikku bernama ami, orang bilang kita berdua kembar karena umur kita hanya berjarak 7 bulan. Sedari kecil aku dimanja oleh ayah dan kakak-kakakku, sampai pada akhirnya satu persatu mereka pergi meninggalkanku aku menjadi seorang gadis yang liar, nakal, tapi tau batasan, hanya saja nakalku karena jarang pulang kerumah ibuku aku lebih sering menginap di rumah keluargaku yang lain bahkan aku terkadang menginap dirumah teman-temanku dan bahkan aku sering menginap di warnet untuk main game online semalaman.
Dalam pandangan orang-orang kampung seorang gadis yang pulang pada subuh hari bahkan jarang pulang itu adalah gadis yang gabaik. Tapi aku tidak sedikitpun peduli apa kata pandangan orang lain, karena aku diluar rumah tidak melakukan apapun jadi terserah mereka berpandangan apa, toh aku gamasalah.
Tapi karena pandangan orang-orang kampung yang seperti itu akhirnya aku dipondokkan ayahku disalah satu Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an didaerah Cikarang, milik ustadz terkenal Ustadz Yusuf Mansur. OH MY LORD THIS IS SO HARD FOR ME!!!!! Dalam fikiranku ini adalah akhir cerita bahagiaku, dipondok aku bukannya jadi anak alim malah sebaliknya, aku masih ga terima dimasukkan ketempat yang kemanapun aku harus izin, bahkan sangat sulit mendapat izin, dirumah aku terbiasa tidak meminta izin ketika ingin keluar rumah.
Ini akhirnya, ketika aku naik ke kelas 9 MTS aku mendapatkan berita yang sangat menyayat hati ini, ayahku meninggalkanku untuk selamanya pada saat itu aku sangat terpukul, aku lemah, aku depresi aku memutuskan untuk tidak kembali kepondokku. Aku benci pondok itu, pondok itu yang membuatku jauh dari ayah.
Ibuku memindahkanku disalah satu pondok dikotaku, dipondok ini aku menjadi gadis yang sangat pendiam, aku pendiam aku tidak pandai bergaul aku sangat introvert tetapi prestasiku dari semenjak SD selalu membanggakan, aku menjadi kebanggaan ustadz ustadzah dipondok ini, pondok ini sangat kecil bahkan santriwan dan santriwati digabung dalam KBM. Ustadz dan ustadzah bahkan pimpinan pesantren disini sangat mempercayaiku, aku dijadikan wakil dalam kepengurusan OPPM kalau diluar biasa disebut OSIS, ketika pemilihan banyak sekali yang memilihku, bahkan suara untukku lebih banyak akan tetapi seorang santriwati dipondokku dilarang untuk menjadi seorang pemimpin untuk itu aku hanya dijadikan seorang wakil.
Singkat cerita aku akhirnya lulus dengan prestasi yang membanggakan, tetapi aku merasa biasa aja, karena apa yang aku lakukan mungkin hanya sebuah keberuntungan. Karena aku tidak pernah bersungguh-sungguh, semua yang aku dapatkan selama hidupku menurutku hanyalah sebuah keberuntungan tidak selayaknya aku banggakan.
Dari ketiga sekolahku semenjak MTS ini aku tidak menemukan orang special, sahabat bahkan kawan dari sekolahku karena aku sangat trauma dalam berteman, bahkan sahabatku d iluar hanya ada satu orang dan saat ini sahabatku kini telah tiada, dia wafat ketika usianya terbilang masih sangat muda, ya dia sahabat aku ketika aku masih leluasa berkeliaran dikotaku, dia menemaniku kemanapun aku pergi, sampai pada akhirnya aku dipesantrenkan, dia mulai menghilang, ketika aku lulus dari pesantren barulah aku mendapat kabar bahwa dia telah diambil yang Maha Kuasa karena terserang leukemia, aku menangis sejadi-jadinya ketika aku mendengar kabar menyakitkan ini dari keluarganya, keluarganya saat ini menjadi bagian dari hidup aku.
Dimasa MTS aku juga mempunyai cinta pertama, ya seseorang yang sangat tulus aku sayangi sepenuh hati jiwa dan raga, ah lebay memang aku ini.hehe; saat dia mengungkapkan perasaan kepadaku aku menjadi gadis paling beruntung seantaro jagat raya ini, aku tidak percaya aku ditembak oleh seorang pria yang menurutku mirip sekali dengan idolaku yang ada dikorea, bagaimana aku bisa tidak merasa beruntung, selain dia tampan, dia seorang yang kaya raya. Akan tetapi kita berbeda keyakinan, tapi aku rasa aku jalani saja dulu yang terpenting didalam hidupku dulu aku ada yang memperhatikan, aku ada yang memberi semangat aku ada yang menspesialkan tidak pernah berfikir kedepannya akan seperti apa. Kita menjalani hubungan jarak jauh selama 5 tahun dengan berbagai problematika.
Inilah kisahku ….
FLASHBACK MODE ON
Flashback mode on
“Aniiiii………!!!” seseorang meneriaku ku dari kejauhan dengan nadanya yang khas, ya aku tau cara dia memanggilku. Dia sahabat pertamaku dikampus namanya Renada Aprilia, sangat akrab dipanggil Rere, Rere seorang gadis yang modis, pakaiannya selalu meching dengan tubuhnya yang bagaikan model, meskipun dia agak nyentrik tetapi cantik, akupun jika menjadi pria pasti menyukainya.
“Ani lu ngapain diem-diem dikelas aja, cowok dikelas jelek-jelek kali, tuh liat diluar sana banyak kakak-kakak senior cakep buangeetttt, lu pasti bisa move on lah dari mantan lu yang udeh ninggalin lu kawin, wake up lah ani, let it go dia sudah pergi untuk apa lu pikirin.”
Aku tetap terdiam, seperi biasa hanya senyuman yang aku berikan untuk Rere, aku dan Rere sebenarnya masih bersaudara, hanya saja Rere dan aku baru pertama dipertemukan dikampusku saat ini, karena dari dulu aku memang anti social, bahkan dengan saudar-saudaraku pun aku anti bergabung.
Rere tidak pernah lelah menyemangatiku untuk bangkit, tapi menurutku cara Rere salah, Rere menyarankanku untuk mencari pelarian, ya mencari cinta yang baru, karena caranya yang salah pada akhirnya aku mendapatkan sakit untuk kedua kalinya, ketika dibangku kuliah ini.
Sebenarnya aku pernah melakukan hal ini, saat pertama kali aku mengetahui kalau mantanku itu dijodohkan, aku mengetahui hal itu dari sahabatku, ketika saat itu sahabatku sangat iba melihatku, aku selalu merenung dan melamun, sahabatku seketika membuatku nyaman, dia sudah lama mencintaiku, pada malam itu tiba-tiba tanpa aku sadari sepenuhnya keluarlah dari mulutku kalimat “Rel, lu suka kan sama gua? Dari dulu, dari gua masih jadi pacar Daniel. Saat ini btw lu masih ada perasaan ga ke gua?”
Karel langsung kaget dan melongo seolah tak percaya mendengar tutur kata yang keluar dari mulutku. Nama sahabatku itu Karel Aditia *dibaca kerel* dia sahabatku dari zaman dinosaurus, kita sahabatan sudah sangat lama, bohong kita memang sudah kenal lama tetapi kita mulai akrab dan menjadi sahabat ketika kita satu SMK dan satu Organisasi, dari situ kita mulai jadi sahabat paketan, kemanapun kapanpun kita selalu bersama, bahkan sampai semua fans karel murka padaku, karel salah satu cowok idaman wanita disekolahku, tapi yang aku heran kenapa aku tidak pernah sedikitpun tertarik padanya.
Karel langsung meminum expresso yang dia pesan dan berkata “Omaygattt anii, gua dari dulu sampai saat ini bahkan masih cinta banget sama lu, tapi gua kaga pernah ada maksud buat milikin lu bahkan ngerebut lu dari Daniel, dan gua juga gaseneng ketika ngedenger kabar kalo mantan lu itu sebentar lagi merit dan ninggalin lu, asalkan gua selalu bisa deket lu dan selalu komunikasi sama lu gua udeh cukup bahagia ni, jadi maksud lu apa nanya kayak gini? Lu curiga sebenernya gua seneng ngeliat lu putus sama dia?”
Aku tersenyum mendengar penjelasannya yang ngelantur “Karel Aditia maksud gua gini loh, lu berusahalah bikin gua baper gitu, atau dari malam ini kita nyoba buat ngejalin hubungan lebih dari seorang sahabat gitu, mungkin ini salah satu cara bikin gua move on dari Daniel, lu mau kan bantu sahabat lu ini yang paling unyu-unyu, hehehe.”
Bodohnya saat itu karel malah mengiyakan permintaan konyolku itu, yang pada akhirnya hanya berselang 1 bulan kita putus, karena malah karel yang semakin baper denganku bahkan dia menjadi sangat posesif, karena aku dan karel harus LDR, dia melanjutkan study dibandung dan aku tetap dikotaku, karena hubungan jarak jauh dia menjadi sangat cemburuan, aku merasa tidak nyaman. Pada akhirmya ketika kita bertemu lagi, disitu akhirnya aku menemukan sebuah kesalahannya, aku memutuskan hubungan kita dimalam itu juga tepat pada anniv kita yang ke 1 bulan ditempat yang sama ketika kita pertama mencoba menjalin hubungan.
Pada saat aku memutuskan hubungan kita dia mencaci makiku dengan kata-kata yang menurutku sangat pedas “bangsat emang lu tuh, emang dari awal lu cuma mau jadiin gua pelarian, pada akhirnya lu cari-cari cara buat mutusin hubungan kita kan, bangsat gua kaga mau lagi kenal sama lu, lu kaga usah cari-cari gua lagi.”
Pada malam itu aku kehilangan sahabat terbaikku, karel blokir semua akun social mediaku termasuk whatsapp, aku menangis kenapa satu bulan yang lalu aku melakukan hal konyol itu, malam ini aku kehilangan sahabatku, “karel andai kamu mengerti keadaanku, aku tidak bisa mencintai orang lain selain dia dan aku tidak mau merusak persahabatan kita.” Malam itu aku mengikhlaskan karel pergi tanpa mau untuk menjelaskan dari semua maksudku, aku hanya tidak ingin menyakiti karel terus menerus karena aku masih terlalu mencintai mantanku, biar saja waktu yang menjawab.
*********
“Ani oi oi ani, ngelamun lagi lu, sini Rere kenalin sama kating kenalan Rere yang super keceeee badai, mirip oppa korea.” Rere menyadarkanku dari lamunan
“yaAllah, sorry Re gua ngelamun lagi ya hehe.” Jawabku sambil cengengesan.
“ya gua paham kok kan hobby lu sekaramg itu ngelamun, kuyy ikut gua kenalan sama kating cakep.” Rere menarik tanganku. Rere memang cewek yang supel, dia pandai bergaul dan easy going dengan siapapun, makanya dengan siapapun dia kenal, dia mirip sekali dengan sifat ibunya.
“Udahlah Re, gua udah bosen pacaran gua juga udah ga suka oppa-oppa korea, gua ga suka cowok tajir, gua juga bahkan ga suka cowok cakep lu harus ngertiin gua lah Re, udah lu gausah capek-capek nyariin gua cowok, kalo gua mau dari dulu gua udah punya pacar segudang malah, gua capek, gua capek banget Re, ngejalanin hubungan yang ga ada kepastian, dia aja yang janjinya mau nikahin gua semester 5 tapi nyatanya nikah sama orang lain, gimana sama yang lainnya yang ga ngasih kepastian sama sekali, yang ga punya target buat nikahin gua, gua mau punya pacar nanti setela nikah tapi gua maunya sama anak pesantren lulusan gontor itukan impian gua sebelum ketemu si china itu, ada gak ya anak gontor di kampus sini, kalo anak pesantern gua yakin ga akan nyakitin gua apalagi anak gontor udah terbuktilah.”
Rere langsung ngebentak “heyyy ani tou, mana mungkin dah anak pesantren mau diajak pacaran, mikir dong cantiiik!”
“kan gua bilangnya gua mau paunya pacar tapi setelah nikah, tapi sebelum merit gua mau berjuang bareng , buka usaha bareng, belajar bareng, ngerjain tugas bareng, berproses bareng-barenglah, anak pesantren pasti ga akan berani sentuh-sentuh gua, beda sama cowok-cowok modus.”
Kembali lagi teringat ketika mantanku mencaci makiku, bahkan dia menamparku, saat malam itu aku menangis sejadi-jadinya saat itu aku putus dengannya. Aku dan mantanku itu melakukan hubungan jarak jauh, dia semasa pacaran denganku bersekolah di Jakarta, dan setelah lulus dia melanjutkan study di malang di Universitas Brawijaya, dan pada akhirnya dia pindah kuliah ditanah kelahirannya di china, itu detik dari akhir kisah kita. Umur kita berbeda 3 tahun, kita bertemu setahun hanya 2 kali, 5 tahun aku menjalani hal seperti itu, kita bertemu hanya ketika dia libur semester, selama liburan pasti dia berlibur kekotaku untuk menemuiku, dan itu menjadi hari-hari yang sangat membahagiakan untukku, tetapi pada malam itu, dia menamparku, dia mencaci makiku karena aku terlalu patuh dengan agamaku, saat itu entah dia terprofokasi dengan siapa, sampai dia tega melakukan itu padaku.
“Tatap mata aku sekarang, liat aku.” Dia membentakku, dan plak tangannya menyentuh pipiku.
“Kita sudah 3 tahun pacaran, aku selalu menghabiskan liburan bareng sama kamu, sampe aku cuma nyempetin beberapa hari libur bersama keluargaku aku cuma kasih sisa waktu liburku di keluargaku keluargaku Cuma aku kasih sisa, sedangkan kamu prioritas aku, tapi apa balasan kamu, kamu menatap mata aku aja tidak pernah, aku pegang tangan kamu aja, kamu lepasin, ini pacaran macam apa? Tidak ada sentuhan sama sekali, tapi herannya aku malah tetep pertahanin kamu.”
Aku diam menahan sakit dipipiku, air mata mulai membasahi pipiku. Aku tidak sanggup berkata apapun.
Dia kembali membentakku “Ani, what happen with you? Or what happen with me, apa aku salah meminta hakku sebagai pacar, selama ini kamu juga cuek sama aku, ngucapin selamat pagi aja kamu gapernah, nelpon aku duluan kamu gapernah, ngcehatt duluan pun karena kamu lagi bete aja, jarang banget bahkan bisa keitung, kamu terlalu asik sama dunia kamu dunia kamu bersama karel, atau jangan-jangan kalian saling mencintai, oke 2 tahun lalu aku maklumin kamu jarang ngehubungin aku, karena kamu dipesantren, tapi sekarang? Kamu udah diluar pesantren, udahlah jangan terlalu fanatic juga dengan agama kamu, pegangan tangan, tatap mata semua itu dilarang oleh agama kamu? Ribet ya agama kamu, sama seperti agama papi aku, pantes mami gamau ikut agama papi.”
Emosiku semakin meluap ketika dia mempermasalahkan agama, dan menjelek-jelekkan agamaku “Daniel, kamu sudah keterlaluan, aku selalu memegang teguh ajaran-ajaran yang pernah aku pelajari dipesantren, aku kayak gini karena aku cuma gak mau kita terjerumus ke dalam api neraka, aku pernah bilang sama kamu agama aku bialng lebih baik tangan seseorang itu di pukul; dengan besi panas dari pada harus memegang tangan seorang wanita, tatapan mata itu juga zina, aku cuma meminimalisir, kita belum halal kita masih banyak batasan, kalau kamu mau nyentuh aku ya kamu harus nikahin aku sekaramg juga, agama aku melarang kita juga untuk berpacaran.”
“Hahaha, bulshitt dengan ajaran agama kamu, lagi-lagi kamu berargumen berdasarkan agama kamu, kalau agama kamu melarang berpacaran yasudah mulai malam ini kita putus, aku tau kamu terpaksa nerima perasaan aku karena kamu taruhan kan sama temen-temen kamu!”
Daniel meninggalkanku sendirian, pada malam itu sialnya hujan turun. Aku bingung harus pulang dengan siapa, Daniel sudah melaju pergi dengan mobil putihnya yang sangat bermerk.
Satu jam berlalu hujan semakin deras, seolah-olah hujan mengerti dengan perasaan hatiku malam itu, aku kedinginan, dan aku mulai menangis lagi. Apa yang sudah terjadi satu jam yang lalu sangat menyakitkan, bahkan aku tidak terima dengan tamparan darinya bahkan caci makinya, aku rasa itu sudah keterlaluan. Aku membenci Daniel malam itu.
Tiba-tiba saja dari belakang sebuah jaket mendarat dipundakku, Daniel kembali lagi, dia minta maaf atas perlakuannya, lalu dia menjelaskan apa penyebab dia bisa seperti itu.
Ternyata Daniel dari kemarin malam sudah berada dikotaku, dia berniat memberikanku sebuah kejutan, dia sengaja tidak memberitahuku bahkan sejak kemarin malam dia sudah sampai, dia kerumahku tapi aku tidak ada, Daniel mencariku ketempat-tempat yang biasa kita kunjungi, naas pada malam itu Daniel malah melihatku ditoko buku bersama karel, Daniel cemburu buta, dia langsung pergi dari toko itu dan langsung menelfonku, aku tidak mengangkat telfon darinya 11 kali dia menelfonku, dan notifnya memenuhi bar handphoneku. Jika aku sudah bersama karel, aku pasti menonaktifkan handphone ku karena kita sudah melakukan perjanjian, jika kita sedang bersama tidak ada yang boleh mengaktifkan handphone, Daniel sangat murka pada malam itu, kalau Daniel mau bisa saja ketika dia bertemu ditoko buku malam itu dia melabrak karel, tetapi aku tahu Daniel adalah seorang penyabar yang sangat dewasa dalam bersikap, karena itu aku sangat mencintainya.
Sesampainya dirumah, aku langsung mengaktifkan handphoneku karena aku sangat merindukan Daniel, aku sangat bahagia esok malam Daniel main kekotaku, dan menghabiskan liburan bersamaku, aku sangat tidak sabar. Ketika aku baru menyalakan handphone notif dari Daniel memborbardir handphoneku, pikirku Daniel pasti juga sangat merindukanku makanya dia bom hp aku dengan notif-notifnya, notif dengan nada yang sangat khas dan mampu membuat hatiku selalu berdebar.
Aku langsung balas chatt Daniel
“yaAmpuun koh, kalo rindu jangan segininya dong handphone ku jadi lemot nih.” Meski aku mencintainya, aku terbiasa cuek dan tidak bisa romantis, karena aku takut melapaui batasan dan menghianati ajaran agamaku terlalu dalam.
Ketika Daniel tau aku sudah online dia langsung menelfonku, dan bertanya
“Kamu dari mana? Kok baru online?” tanyanya dengan nada lembut, itu ciri khas dia, dia tidak pernah kasar padaku dan dia selalu sabar.
“Aku tadi ketiduran koh, maaf ya.” Jawaban terbodoh, kalau saja aku menjawab apa adanya kalau aku tadi abis beli buku bersama karel untuk tugas sekolahku mungkin kejadiannya tidak akan separah malam ini, aku hanya ingin menjaga perasaan Daniel, karena aku tau Daniel selalu cemburu ketika aku menyebutkan nama karel, aku tidak mau membuat Daniel salah paham lagi dengan persahabatan aku dengan karel.
Dengan nada yang pura-pura tidak mengetahui apa-apa dia menjawab “Oh gitu, lanjut atuh neng tidurnya sorry nih chatt aku malah gangguin kamu yang lagi tidur.”
Aku menjawab dengan senangnya “santai kali koh, lagian aku juga kan rindu sama kamu, tapi bohong hehehe.” Meskipun aku rindu dengannya, aku tidak pernah berani mengatakan.
Daniel menjawab “Udeh dulu ya neng, gua lagi gak pengen chattan sama lu dulu, gua capek mau istirahat.” Daniel langsung menutup telfon tanpa ucapan selamat tidur seperti hal yang biasa dia lakukan, Daniel pun pertama kalinya semenjak pacaran mengucap dirinya dengan kata “gua” aku curiga ada hal yang tidak beres, tapi aku masih saja tidak peka, itulah kelemahanku cuek dan tidak pernah peka, untungnya Daniel selalu bisa memaklumiku.
******
Selesai Daniel menjelaskan alasan dia mengapa seperti itu, karena dia kecewa terhadapku yang sudah membohonginya, bahkan Daniel memberiku pilihan jika dugaan Daniel benar aku dan karel diam-diam menjalin hubungan Daniel akan mengiklaskan aku untuk karel.
Aku langsung membantah “koh, aku tulus cinta dan sayang sama kamu, percaya sama aku, karel sama aku cuma sebatas sahabat, karel yang selalu membantu aku, nemenin aku kemana aja, cuma kemarin malam aku ga jujur karena aku pengen jaga perasaan kamu, kalo kokoh mau aku jauhin karel aku jauhin dia kok, asal kokoh bilang sama aku. Tapi aku cuma percaya sama karel koh disekolah, karena karel cowok yang baik, dia gapernah bersikap gasopan sama aku, dia selalu menghargai aku sebagai wanita yang baru lulus dari pesantren, kokoh harus hargain aku sebagai wanita juga, aku gamungkin kayak cewek murahan diluar sana yang mau aja dipegang-pegang, kalau kokoh mau kayak gitu nikahin aku secepatnya. Aku dan karel cuma sebatas sahabat.”
Dengan lembutnya Daniel menjawab “aku percaya sama kamu ani, malam ini aku sudah keterlaluan, jika kondisi keluarga aku sudah membaik, dan bisnis aku lancar ketika kamu semester 5 aku janji akan lamar kamu, dan aku juga pengen masuk agama kamu yang sangat suci itu. Aku tidak akan melakukan kesalahan lagi, karena kamu berbeda dengan wanita-wanita diluaran sana, aku harus menjaga kamu bukan malah merusak kamu, maafkan aku. Lain kali kalau kamu kemana-mana sama karel bilang ke aku ya, jangan ada yang kamu tutup-tutupin lagi.”
Malam itu malah menjadi malam yang indah juga untukku, karena Daniel kembali dan cepat menyadari, aku tau Daniel tidak akan pernah tega melakukan hal itu, Daniel adalah pria terpengertian yang aku kenal, cinta pertama aku, meskipun sebelum bertemu dengannya aku menjalin hubungan dengan orang lain, tapi aku tidak pernah mencintai mereka, aku cuma gatega kalo menolak ungkapan cinta monyet dari mereka, ujung-ujungnya mereka yang mutusin aku karena ga pernah tahan sama sikap cueknya aku, hanya Daniel yang bertahan dan hanya Daniel yang bisa membuat aku jatuh cinta.
***********
Itu semua hanya masa lalu, sekarang aku sendiri aku merasa sebagian hidupku hilang, hilang terbawa oleh kepergian Daniel.
“yang patah tumbuh,
Yang hilang berganti.” —Banda Neira
TRY TO MOVE ON
Move on mode on
“Re, kayaknya gua harus mulai nyari anak pesantren itu dari sekarang dah, btw gua besok mau daftar organisasi pramuka, kemarin gua ikut seminarnya kayaknya anak pramuka dikampus kita orangnya asik-asik, kali aja gua nemuin sahabat yang kayak karel lagi, gua kan akrab sama dia sewaktu sama-sama ikut pramuka di SMK dan kali aja gua nemuin anak pesantren yang tersembunyi itu, auto move on deh gua dan kali aja gua nemu temen-temen yang bakalan ngajakin gua nanjak gunung rinjani, yaAllah re impian gua banget nanjak dipuncak rinjani bahkan dilamar disono sama anak pesantren dari gontor, ini impian gua sebelum ketemu Daniel, gua mau ngewujudin.” Dengan penuh semangat aku mengungkapkan ini kepada Rere.
Rere melotot sambil berkata “yaaa amsyong rinjaniku, kalo lu mau nemuin anak pesantren ya lu masuknya ke LDK dan kalo lu mau nemuin anak yang suka nanjak-nanjak gunung ya lu ikut nya di Mahapeka, mana ada anak pramuka yang sesaui impian lu aduh cyiin sadar ey sadar.” Rere mengejekku
Aku terdiam dan tersenyum
“tapi gua yakin re, gua bakal nemuin orang itu disana.”
“jadi lu mau masuk organisasi pramuka cuma mau nemuin orang itu? Kalau orang itu kaga ada lu bakal tetep aktif?” Rere manyun kurang yakin.
“In syaa Allah re, gua balik ngampus mau langsung ke stand pramuka dah byee, lagian gua punya kenalan banyak tuh dipramuka kampus kita.” Semangatku mulai membara, menuju move on mode on.
“iyadah serahlu, gua juga daftar supaya bisa mantau lu, tapi daftar doang kelanjutannya gimana nanti aja hehehe semangat ani cantik.” Rere menyemangatiku
“thanks ya re, lu emang sahabat sekaligus saudara terdabessssttttt.”
***********
Sepulang ngampus Rere mengantarkanku ke stand pramuka, kami mengisi formulir pendaftaran, kami mengenal salah satu panitia yang dulu menjadi pembawa acara ketika kami sedang di oprek. Setelah selesai mengisi formulir esoknya kita menyiapkan persyaratan untuk mengikuti orientasi pramuka. UKM pramuka menurutku UKM yang keren, meskipun dari SD aku selalu aktif dikegiatan pramuka tetapi aku tidak berjiwa pramuka, aku hanya sekedar ngikut-ngikut aja, aku juga khawatir saat ini aku Cuma ngikut doang, tapi aku harus merubah prilakuku, pokoknya harus berubah.
*******
Esoknya aku membayar registrasi dan membawa semua persyaratan, tapi Rere dia malah berubah fikiran, dia tidak mau lanjut, aku terpaksa sendiri dan mengikuti pra orientasi sendiri, untungnya aku bertemu dengan kawan lama ku ketika di Saka yang aku ikuti dulu, mereka adalah Rani, Dinda dan Yofita mereka satu SMA dulunya.
*******
Pada pra- orientasi pertama aku ikut, tetapi di pra- orientasi kedua aku tidak bisa mengikuti dikarenakan ada ospek jurusan. Karena rumornya ospek jurusan wajib diikuti maka aku l;ebih memilih untuk mengikuti ospek jurusan.
Karena pada pra-orientasi kedua aku tidak mengikuti, rasanya aku jadi malas untuk melanjutkan perjuanganku untuk menjadi salah satu anggota dipramuka kampusku. Orientasi pramuka dilaksanakan sebelum UTS, saat itu aku banyak sekali tugas. Tugas yang lainnya its okay lah, tetapi ada satu mata kuliah yang paling aku tidak suka, aku tida suka pada Matkul Bahasa Arab, pada saat itu aku ditugaskan untuk membuat sebuah makalah, untuk persyaratan mengikuti UTS, ya begini nasib Mahasiswa disetiap UTS atau UAS pasti ada tiket masuknya, tiket masuknya kehadiran dan tugas-tugas, this is so hard for me.
********
Kring-kring bunyi nada grup pra-orientasi pramuka semakin ramai, dan akhirnya aku memberanikan diri dan nimbrung digrup.
“Halo selamat siang, apakah disini ada yang punya reverensi buku bahasa arab buat bikin makalah?” aku pencet tombol send, aku sangat takut jika tidak ada yang respon, dan Alhamdulillah kekhawatiranku tidak menjadi nyata, ada satu orang yang respond an aku langsung chatt pribadi kedia
Kurang lebih chattnya seperti ini “Assalamualaikum, ente beneran punya buku Bahasa Arab buat reverensi ane bikin makalah? Kalo beneran ada ane pinjem ya, penting banget nih buat masa depan ane.” Karena aku pengen banget ketemu sama anak pesantren aku ubah gaya bicaraku dar gua-lu menjadi ane-ente.
Dan jreeeeeng dia langsung bales “Nama lu siapa? Makalahnya buat kapan? Gw masih sibuk dipandeglang nih, tar kalo gw balik keserang gw kabarin lagi deh.” Tidak sesuai harapan, aku yakin ini anak bukan anak pesantren, tapi aku belum tau dia itu cowok apa cewek.
Aku read dan membaca secara seksama, mencoba memilih kata-kata agar terlihat sopan untuk membalas chatt darinya.
“Panggil aja ane Ani, makalahnya untuk minggu ini dan harus ane kumpulin sebelum UTS, biasalah dosen ngasih persyaratan ribet banget mana ane bukan lulusan pesantren, mana bisa ngomong arab coba. Nama ente siapa? Ente asli pandeglang ya?”
Dia langsung typing, mungkin orang ini lagi gabut parah kali ya sampe chatt dari aku cepet banget dia balas.
“Hadeuuh, gw Dedi, gw asli serang, dipandeglang lagi ngajar pramuka dikaduhejo.”
Dan akhirnya aku tahu ternyata dia seorang lelaki, dan semoga saja dia lelaki yang baik, yang mau bantu aku buat ngerjain tugas makalah ini hehe, dan ternyata dia asli serang, sama seperti aku, kupikir hanya diriku orang serang yang kuliah dikampus itu.
“Dedi tuh yang manasih? nanti kalo lu udeh diserang kabarin gua ye.” Mulai juga dah bahasa asli aku keluar
“Masa lu ga tau gw, gw terkenal kali.” Ungkapnya
“Yee ngapain gua harus tau lu, lu nya aja kaga tau gua kan?” dalem hati aku bilang, nih anak sok ngartis ammat.
*********
Tibalah hari dimana Dedi sudah kembali ke serang. Dia langsung mengabariku.
“Ani, sore ini gw nyampe serang, mau ketemuan dimana?”
Aku langsung berantusias membalas chatt darinya, karena aku sangat butuh buku darinya.
“Oh oke, kita ketemu di stadion ya dipohon beringin ba’da isya.”
“oke.” Jawabnya singkat
*********
Malam harinya ketika bertemu pertama kali distadion, dan aku kaget ternyata muka dia dewasa banget, kupikir dia masih seumuran denganku.
Ketika kita bertemu kurang lebih percakapannya seperti ini
“Rumah lu dimana?” Tanya dedi kepadaku
“Rumah gua ga kemana-mana ka masih disitu-situ aja.” Aku mengajaknya becanda, dan tiba-tiba aku memanggilnya dengan sebutan kaka, karena aku menghargai dia yang lebih tua dariku.
“Hadeuh, gw serius… Dosen Bahasa Arab lu siapa?” dia mulai mengintrogasiku.
“Pak siapa ya gua lupa namanya, emang kenapa?” aku emang tidak pernah menghafal nama dosen-dosenku apalagi gelar-gelarnya itu terlalu rumit menurutku.
“Aneh, nama dosen sendiri dilupakan. Dulu babeh gw ngajar Bahasa Arab juga, tapi lagi cuti karena lagi ngambil S3 di Semarang.” Dia bercerita
“Ohh lu dedi anak nya siapasih tuh dosen yg dulunya jadi bagian dari pramuka, apaan dah namanya gua lupa, pantes aja waktu itu lu sedikit ngartis.” Tanyaku ikut mengintrogasi
“Hahaha, yaudah gw buru-buru, bukunya ini bukan?” dia menyodorkan 2 buah buku yang bertuliskan Arab kepadaku.
“Dih, kok tulisannya arab gundul gini mana bisa gua bacanya.” Protesku
“Jadi pinjem kaga nih, gw buru-buru.” Dia bergegas ingin pergi
“Gajadideh percumah gua kaga paham.”
“Yaudah nanti gw kasih contoh makalah Bahasa Arab deh buat lu, nanti gw kabarin lagi.”
********
Singkat cerita itulah awal pertama aku mengenal Dedi, aku jadi sering chatting dengan Dedi dan bertanya banyak hal, bahkan dia menjadi penyemangat aku ketika aku down dan tidak mau mengikuti orientasi pramuka, dia bilang dia akan sangat kecewa jika aku tidak lanjut dalam perjuangan ini.
Dan pada akhirnya aku resmi menjadi salah satu anggota Gerakan Pramuka diakampusku, aku disana hanya mengenal Dedi, karena aku anti sosial dan sulit untuk mendapatkan teman, dan si Dedi berinisiatif memberiku sebuah tantangan, jika dalam satu minggu aku tidak mendapatkan 5 orang teman dipramuka dan tidak mempresentasikan didepannya, Dedi akan menjauhiku.
Aku dikenalkan dengan teman-teman Dedi, dan salah seorang sahabat Dedi yang satu kelas dengannya, nama sahabat Dedi adalah Zayn, Dedi kemanapun selalu bersama Zayn, aku sedikit tertarik dengan Zayn karena Zayn sangat lucu sampai suatu ketika aku mulai berkomunikasi juga dengan zayn aku memberanikan diri chatt dia duluan lewat whatsapp .
“Assalamualaikum, Zayn save nomor gua ye.” Begitulah isi chattku
“Wa’alaikumsalam, siapa ya?” balasnya membuat ku kesal
“Gua Ani, temennya Dedi lu inget kan?” balasku greget.
“Oh Ani, oke ane save ya, main sini kesanggar tapi bawa makanan.” Balasnya membuatku senang.
“Hahaha, makanan aja lu mah. In Syaa Allah ane main kesanggar.” Dia berbicara dengan kata ane-ente wah aku yakin pasti zayn lulusan pesantren.
Aku mulai sering chattan dengan zayn, bahkan membahas hal-hal yang tidak penting sama sekali, hingga pada suatu hari Dedi mengajakku berlibur bersama kawan-kawan ke anyer, kita ngecamp disana, dan ternyata tanpa disengaja aku satu motor dengan zayn, bahagiakah aku? Ah biasa saja.
Sepulang dari pantai aku diajak kerumah zayn, aku sangat malu, rumat zayn dipandeglang.
ternyata zayn adalah anak seorang guru, ketika aku diajak kerumah zayn aku bertemu umi dan abinya bahkan saudara-saudaranya beserta satu anak balita. Disana aku diam saja, aku malu ini memang bukan pertama kalinya aku kerumah zayn, sebelumnya aku Dedi, beserta teman pramuka lain pernah berkunjung kerumah Zayn sepulang berenang dari cikaromoy, tetapi pada saat itu aku tidak sendirian.
sebelum melanjutkan perjalanan keserang, Zayn tidur terlebih dahulu dirumahnya, aku tau ketika dipantai semalaman Zayn tidak tidur, sesungguhnya akupun ngantuk tetapi pada saat itu Zayn tidak peka sama sekali, aku kesal ketika zayn bangun aku cemberut saja.
Zayn bertanya "Kenapa diem aja? ente gaseneng ya main kerumah ane?"
aku tersenyum dan menjawab "Malu gue, tadi ditawarin makan sama umi lo, lo dibangunin dari tadi ga bangun-bangun, coba kemarin gua gaikut kepantai gua ga akan kesini deh."
"Jadi ente nyesel ikut ane?" zayn seperti kecewa dan langsung bersiap untuk berangkat.
Aku merasa bersalah dengan zayn, mengapa aku berkata seperti itu, seharusnya aku berterimakasih karena dia sudah memberiku tumpangan.
*******
Setelah berpamitan dengan umi zayn, kita melanjutkan perjalanan. sebelum mengantarku zayn mampir dulu disekolah milik orangtuanya, entah aku tidak tau dia mau ngapain, mungkin Zayn ingin berpamitan dengan abinya, entah mengambil STNK motornya, yang kudengar dia membicarakan STNK ketika dia bercakap dengan uminya.
Diperjalanan menuju kota Serang kami kehujanan, kami berteduh sambil menyantap bekal dari umi zayn. Aku merasa Zayn masih kecewa denganku, bahkan aku tidak berani menajaknya mengobrol, aku melihat Zayn pendiam saat itu, tidak seperti Zayn periang yang aku kenal.
sesampainya dikota Serang Zayn mengantarku dikosan temanku, aku berterimaksih. keesokan harinya lewat chatt aku minta maaf jika kemarin aku merepotkannya, dia berkata santai aja, yang lalu biarlah berlalu.
*******
Singkat cerita, semenjak saat itu aku mulai menyukai Zayn, ketika aku merasa telah melakukan kesalahan aku selalu memikirkannya, ketika aku bertemu dengannya aku tidak bisa seasik pertama mengenalnya, aku sangat membenci hal ini. mengapa aku harus menyukai Zayn, bahkan zayn bisa saja menggantikan posisi Daniel, aku berhasil melupakan sedikit tentang daniel karena Zayn.
waktu terus berlalu, hingga akhirnya berita aku menyukai Zayn tersebar aku sangat malu, aku berusaha menutupi semuanya supaya hubunganku dengan zayn sebagai teman tetap baik-baik saja.
tetapi tetap saja aku menjadi canggung, dan aku tidak berani jika menyapanya terlebih dulu. Meskipun begitu sesekali kami kadang mengobrol, dan masih menjadi teman. Aku harus menghilangkan perasaanku pada Zayn, supaya pertemanan kita tetap baik. Pada akhirnya aku berhasil melakukannya, karena Dedi bilang kepadaku ada salah satu temanku yang menyukai Zayn juga, dari situ aku langsung mengalah sebelum jatuh terlalu dalam. Untungnya ada seseorang yang bisa membuatku menghapus Zayn dari hatiku. Nyatanya aku tidak menyukai Zayn aku hanya sekedar penasaran saja dengannya.
******
Akhirnya satu impianku akan terwujud, Dedi memang penuh dengan kejutan. Dedi mengajak kami semua untuk mendaki Gunung Merbabu, rasanya aku sangat bersyukur bisa mengenal Dedi, dan Dedi ternyata alumni Gontor, tapi kenapa aku malah tidak ada perasaan kedia. Aku hanya menyayanginya sebagai kakak dia seperti pengganti karel untukku. Aku sangat bersyukur bisa mengenal Dedi berkatnya aku mempunyai banyak teman, aku selalu berdoa untuk kebaikan Dedi yang telah merubah hidupku yang anti social menjadi wanita yang bersosial.
******
Ketika pertama kali Dedi mengumpulkan orang-orang yang fix ikut mendaki Merbabu dimasjid kampus, aku bertemu dengan seseorang yang familiar. Ternyata dia salah satu sahabat Dedi yang waktu itu pernah foto bareng aku di acara Milad Pramuka kampus kita, bahkan aku pernah diajari mengikat scraft sewaktu aku pertama kali main kesanggar.
*****
Aku menyapanya "Hey kita pernah foto barengkan? temen Dedi ya, eh follow ig aku dong." itu salah satu caraku untuk mengetahui namanya tanpa bertanya hahaha kebetulan saat itu dia sedang scroll Instagram, aku langsung rebut handphonenya dan mengetik nama ig ku dipencarian.
ternyara nama dia Erlangga, dan lebih akrab dipanggil Angga, nama yang bagus dan aku sangat menyukai nama Erlangga.
Dan ini adalah awal cerita pertama kali aku kenal dekat dengan seorang Angga, seorang Angga yang bisa masuk kedalam ruang hatiku, sampai aku merasakan sakit yang kedua kalinya karena harus kehilangannya juga.
*******
Auto Move On Mode On Ready.
inilah kisah perjalanan cintaku dengan Angga, kalian bisa mengambil banyak pelajaran dari kisah kami, kisah perjuangan kami, kisah proses hijrah kami, kisah yang sangat menyakitkan tetapi penuh hikmah didalamnya.
“Suatu hari nanti, pasti aka nada seseorang yang Allah datangkan,
Seseorang yang tidak akan pernah meninggalkan,
Seseorang yang tidak akan pernah menduakan,
Bahkan ia lebih baik dari yang kita harapkan,
Ia yang bersedia menerima kekurangan kita dan
Siap membimbing kita dalam ketaatan.”
*jangan lupa tinggalkan jejak love
I SAY WELCOME KECEWA KEDUA-KU
Kecewa kedua-ku
“kau tak bisa menjelaskannya,
Namun entah bagaimana, kau merasa cemburu.
Kau memendam, kau menyangkal.
Namun kau tahu benar, kau merasa cemburu.”
“P”
“P”
“P”
“Dedi, where are you? Katanya mba Lea kecelakaan? Lu mau jenguk?” tanyaku lewat chatt WA
Dedi langsung read dan typing WhatsApp dariku.
“Iya Ani, ba’da magrib gw mau jengukin Lea, lu mau ikut?”
“Iya gua mau ikut, tapi gua masih dikampus nih nunggu dijemput Angga.” Balasku, sambil menunggu Angga datang aku mondar-mandir didepan masjid kampus.
Mba Lea adalah cewek yang Dedi taksir, entah status mereka apa, yang jelas Dedi selalu ngode agar hubungan mereka lebih dari teman.
20 menit yang lalu aku menghubungi Angga, aku minta diantarkan pulang kerumah. Angga bilang dia sudah on the way, tapi sumpeh inutuh terlalu lama, menunggu itu gaenak ya, apalagi menunggu Angga putus sama pacarnya. Hahaha bercanda, aku tidak sejahat itu. Tapi aku selalu merasa cemburu, ketika dia sering sekali posting snapstory tentang ceweknya, aku belum tahu siapa nama ceweknya, tapi aku berusaha mencari tahu, entahlah kenapa aku se-kepo ini tentang Angga, dalam hal stalker aku memang paling jago, mencari informasi apapun aku langsung mendapatkannya, maklumlah dahulu aku bercita-cita ingin menjadi seorang detektif, dahulu pada zamannya aku masih kecil, aku sangat mengidolakan Detektif Conan. Masa kecilku terlalu bahagia, hidup serba berkecukupan, ayah masih ada bahkan abang-abangku pun masih satu rumah dengan kami. Semenjak ayahku sakit-sakitan dan akhirnya menemui azal, kehidupan kami berubah darstis, ibuku harus bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih menempuh pendidikan, ibuku adalah ibu yang sangat hebat, aku ingin menjadi seperti ibuku, kuat,tanggu, dan tahan banting.
Tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat Andra teman satu kos Angga sedang mengendarai motor Angga.
Andra menghampiriku, dan menyapa.
“Hey Ani, gw disuruh Angga buat ngejemput lu.”
Aku bingung “Lah kan gua nyuruhnya Angga, kenapa lu yang dateng.”
“Yaudah Ani naik aja, beruntung ada yang mau jemput lu kan?” Andra tersenyum, nada bicara dia selalu lembut, karena Andra pernah bercerita iya tidak suka dengan orang yang kasar terhadap perempuan, apalagi sampai menyakiti hatinya.
Dengan sangat kecewa aku menjawab “hehe, iyasih.” Aku duduk menaiki motor dan Andra melajukan motornya menuju rumah Rere.
Sesampainya dirumah, aku langsung menghubungi angga dan menyampaikan protesku
“Angga kampret, kenape lu kaga jemput gua?”
Angga lama membalas chattku, aku langsung vidiocall dia, aku tahu dia pasti sedang asyik main game bersama dengan Zayn dan kawan-kawan yang lainnya. Angga langsung menolak panggilanku, rasanya sakit tapi mengapa aku bisa merasakan sakit seperti ini? Aku tidak mengerti. Opsi kedua aku langsung menghubungi Andra.
“Andra? Lu udeh sampe kosan kan?”
“udah, ada apa ani?” jawab Andra aku baca dengan nada lembut, karena Andra orangnya lembut. “ohh kaga, w mau vcall boleh?” justru Andra yang malah Vcall aku.
“hay Ani, kenapa?” aku langsung ngebacot ngga jelas “coba-coba ndra liatin muka Angga dia lagi ngapain? Gua mau protes nih.”
“protes kenapa? Gara-gara tadi? Tuh si Angga lagi main game sama Zayn sambil minum coklat yang tadi kita beli, kata Angga coklatnya enak, sering-sering jajanin kita ya ani hehe.”
Aku langsung greget pengen nonjok muka Angga ketika Andra mengarahkan kamera Gadget nya ke muka Angga, tapi aku lumayan merasa senang karena Angga menyukai coklat yang aku belikan untuknya, tapi seharusnya kan aku sama Angga belinya bareng, kenapa aku malah jadi sama Andre, ekspetasiku tidak sesuai dengan realita. Angga kapan kamu peka?
“kasih HP lu ke Angga dra, gua mau ngomong.” Andra langsung memberikan handphonenya ke Angga.
“kenapa sih Ani, ane lagi serius main game nih.” Angga berbicara tanpa melihat kearah kamera, aku sangat kesal.
“Angga balas chatt gua, ada hal penting yang pengen gua sampaikan ke lu.” Aku langsung mematikan handphoneku, aku sangat kecewa dengannya. Ya aku tersadar aku bukan prioritas Angga, i’m just a friend rasanya sedih memang.
Beberapa saat kemudian, chatt Angga muncul dihandphoneku, aku memang mengaktifkan notifikasi khusus pada kontak Angga.
Angga : “Ani maaf ya tadi yang jemput ente Andra, tadi Andra yang pengen jemput lu, kayaknya semanget banget tuh si Andra, tapi kita lempar lotre dulu, ane berharapnya si Zayn yang dapet eh taunya malah Andra, hahaha sorry banget ya.”
Ani : “Ya santai aja, btw lu mau ikut jenguk Mba Lea kaga ba’da Magrib?”
Angga : “Oiya, Lea kecelakaan ya? Kuy ah jengukin, Dedi ikut kan?”
Ani : “Yapasti ikutlah, gua nebeng ke lu ya, gausah jemput gua, nanti kita ketemuan aja dihalte kampus, gua dianterin Rere.”
Angga : “Nebeng mulu nih, iya deh sebagai permohonan maaf ane mau nebengin ente, tapi nanti gpp kan nunggu bentar? Ane ada urusan dulu.”
Ani : “Yoay, santai aja, gua juga mau nganterin Rere dulu beli uduk ke pasar lama, nanti kalo gua belum dateng tungguin gua ya.”
Angga : “Oke Ani, ane mau mandi dulu ya.”
Ani : “Sip, jawabku singkat.”
Aku langsung bersiap-siap, berhubung aku sedang berada dirumahnya Rere jadi aku tidak bisa ganti baju, baju Rere terlalu ketat-ketat badan aku dengan Rere-pun tidak sama ukurannya jadi aku memutuskan untuk memakai baju ini saja. Sebenernya aku malu tidak ganti baju ketika bertemu Angga, tapi yang terpenting wangi ajalah.
******
Magrib telah tiba, Mba Lea mengubungiku.
Mbak Lea : “Ani dimana? Kamu jadi ke-kosanku kan?”
Ani : “Jadi dong mbak, aku mau nganterin Rere dulu mbak kepasar lama.”
Mbak Lea : “Oke, hati-hati Ani, sama siapa kesini?”
Ani : “Sama Angga mbak.”
Mbak Lea : “loh kenapa nggak sama Zayn?”
Ani : “Apaansih mbak Lea, hmmmm.”
Mbak Lea : “yaudah hati-hati ya sayang.”
Seperti biasa mbak Lea selalu manis, seperti senyumannya, pantas saja Dedi sangat menyukainya. Aku rasa, banyak sekali kaum pria yang menyukai gadis semanis dan sebaik Mbak Lea.
********
Rere mengantarkanku ke halte kampus, pada saat itu Rere pun akan dinner bersama dengan gebetan barunya, namanya Aldo. Rere dan Aldo sudah lama saling mengenal, akan tetapi Aldo dan Rere sempat terpisahkan. Mereka berasal dari kota yang sama, dan akrab kembali ketika Rere putus dengan pacarnya, Aldo pun sama saat itu sedang single, jadi sepertinya mereka akan memulai sebuah hubungan.
Aku duduk dihalte sambil terus menghubungi Angga.
“Angga lu dimana?” aku pandangi layar handphoneku, berharap Angga langsung membalas.
5 menit kemudian Angga is typing “Sebentar ya Ani, ane masih ada urusan, ente udah dihalte ya? Oke ane OTW.” Aku kesal, aku tidak membalas chatt Angga.
Aku langsung menghampiri Rere dan Aldo “Re, Do tungguin gua ya, si Angga OTW ceunah.”
Aldo dan Rere tersenyum lalu Rere menjawab
“santai aja kali, semoga sukses ya buat Auto Move On nya semoga Angga jadi orang yang tepat.” Rere menepuk pundakku.
aku merasa tidak nyaman Rere berkata seperti itu
“Apaan sih Re, Angga udeh punya pacar kali, lagian gua kaga mau berperasaan sama orang lagi, yang kayak gitu malah bikin gua pusing.” Didalam benakku aku berkata “Sebaiknya memang aku menghilangkan perasaanku untuk Angga.”
“Lah koq gitu, kan Angga itu orang yang selama ini lu cari, dia alumni pesantren yang lu impi-impikan, bahkan lu sama dia mau naik gunung bareng double impian lu kewujud Ani, siapa tau dia ngungkapin perasaan ke lu ketika dipuncak nanti, uuuch so sweet, nembak di Merbabu, dilamar nanti dipuncak Rinjani, tapi sayang lu udah terlanjur deket sama Zayn sih. Si Angga pasti ragu sama lu.” Rere kembali mengingatkan apa yang pernah menjadi impian ku dahulu.
“Terlalu rumit Re, gua mau cuek aja. Gua kaga mau terlalu nunjukin juga kalo gua suka sama Angga, meskipun suatu saat nanti pada akhirnya Angga menyadari kalau gua suka sama dia, gua akan tetep cuek, gua takut sakit hati lagi.” Aku berusaha menguatkan diriku.
“Yaileh dari dulu juga bukannya lu mah cuek banget ya, lu bahkan dulu nyia-nyiain Daniel, Daniel perhatian bangert sama lu, lu nya cuek bebek tapi tetep aja ketika Daniel pergi lu malah ga pernag nerima kenyataan.” Rere memarahiku
“Re, dari pertama gua dilahirkan kayaknya gua kaga ada niatan buat yang namanya pacaran sebelum nikah, nyia-nyiain matalu soek, gua itu berjuang dengan cara gua sendiri, gua kadang tersadar pacaran itu haram, ketika gua tersadar gua pasti jadi semakin cuek, gua pacaran selalu terpaksa, meskipun gua suka Daniel, gua kaga bahagia ketika dia Cuma nembak gua bukan ngelamar gua.” Aku kembali mengecek layar handphoneku, tak ada balasan dari Angga.
“yaileeeh, itukan lu masih SMP kampret, mana ada Daniel berani ngelamar lu, lagian seharusnya dari dulu lu sadar kalian itu beda agama, hubungan kayak gitu masih aja lu lanjut, pinter dikit napa, mikir rasional aja sih, Daniel itu tajir, cakep apa lu yakin dia cuma pacaran sama lu? Lu itu cewek yang terlalu polos, udah ah emang bener mending lu kaga usah pacar-pacaran lagi, cewek sebaik lu mah kerjaannya husnudzon mulu, kaga pernah curigaan, cari tau diluar sana dia sama siapa aja.” Rere kembali memarahiku.
“Rumit banget ya, husnudzon dibilang polos seuzon cuma ngerusak hubungan. Gua kaga mau posesif, gua emang cemburu ketika dia sama cewek lain apa lagi sama fans-fans Daniel, tapikan gua disini juga temennya kebanyakan cowok, tapi Daniel kaga pernah marah sama gua tuh, tapi dia cemburu kalo gua lagi sama Karel, tapi yaudahlah lupakan, yang jelas dulu gua mencintai Daniel dengan cara gua sendiri,cowok yang naksir dan deket sama gua banyak tapi dihati gua kan cuma ada Daniel, dan sekarang gua gamau pacaran lagi, gua trauma, gua gamau fanatic sama cinta sebelum halal tapi gua lagi suka sama orang sekarang duh gimana dong?”
“Semangat Ani, kalo lu lagi suka sama orang mending lu perjuangin, kayaknya udah ada lampu ijo tuh dari Angga, et tapi lu jangan gegabah, lu harus bermain cantik saat ini tetap bersikap professional sebagai teman, jangan sampe lu unjukin kalo lu cemburu liat dia posting snap tentang pacarnya, tuh Angga dateng.” Aku langsung menengok kebelakang dan menghampiri Angga.
Saran dari Rere sepertinya sangat bagus, aku harus tetap professional bersikap sebagai teman, kalau sudah jalannya pasti aku sama Angga bisa lebih dari teman, tapi aku kan seorang yang introvert, Jika suatu saat Angga mencintaiku juga apakah aku akan bisa memberikan perhatian? Apakah aku bisa membunuh sifat cuek dan gengsiku, aku yakin aku akan menyakitinya sama seperti aku menyakiti Daniel. Aku sangat takut, aku takut suatu saat aku merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya, Angga jika suatu saat aku menyakitimu tolong maafkan aku, aku juga akan merasakan sakit jika kamu tersakiti, aku tidak pandai dalam membahagiakan orang lain. Ungkapku dalam hati.
“Ani, maaf ya ane telat nih datengnya kalian dari tadi ya? Tadi ane abis nyari tahu bulat dulu, ga nemu-nemu.” Angga mencoba menghangatkan suasana
“Santai aja Angga, yuk ah cus ngeeeng.” Aku mengucapkan terimakasih kepada Rere dan Aldo karena sudah menemaniku, aku dan Angga pamit pergi.
*******
Sebelum kekosan Mba Lea, Angga mampir terlebih dulu kerumah temannya untuk mengantarkan leptop yang ia pinjam, Angga pernah bercerita jika ternyata laptop miliknya sudah hilang.
********
Akhirnya sampailah kita dikosan Mba Lea, pulangnya aku diantar Angga kerumah sepupuku yang ada di daerah Polda, malam ini adalah pertama kalinya aku dibonceng sama Angga, Ternyata dibalik sikapnya yang ga pernah serius kalau di chatt, ternyata Angga bisa bersikap sangat dewasa ketika merespon ceritaku, aku bercerita tentang mantanku, ternyata aku dan Angga sama saja pernah ditinggal merit oleh orang yang kita cintai. Aku sangat berharap malam ini Angga peka, aku bercerita seperti itu supaya Angga mau bantu aku buat Move On, tetapi Angga malah menyarankanku untuk download game Mobile Legend, itu pertama kalinya aku main ML, aku main ML karena Angga yang ngajak. Thanks for to night Angga, aku sangat senang malam ini bisa bercerita denganmu secara langsung.
Malam itu aku chattan intens dengan Angga, Angga bercerita tentang pacarnya saat ini, dia merasa sangat kecewa dengan pacarnya, dan ternyata tadi Angga telat datang karena Angga harus bertemu dengan pacarnya terlebih dulu. Aku cemburu, ya aku sangat cemburu, ternyata Angga benar-benar sudah memiliki kekasih. i must go for your life right now Angga.
Aku berusaha menghilangkan perasaanku terhadap Angga, dan kembali kepada Zayn. Aku mulai kembali akrab dengan Zayn, maafkan aku Angga aku harus melupakanmu, karena kamu masih miliknya, aku tidak mungkin merebutmu darinya. Meski ternyata aku mencintai Angga, tapi aku tetap mengelak dari kenyataan, aku tetap menguatkan hatiku, yang kamu cintai Zayn! Bukan Angga Ani, Ani kuat Ani kuat kamu dilahirkan untuk kuat.
****************************************************************
*jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan tanda love ya teman*
*Nantikan kisah selanjutnya bersama Ani, Angga dkk*
*bagaimanakah akhir hubungan Ani, Angga dan Zayn?*
ABOUT OF FIVE PANDAWA'S
“sahabat bukan matematika yang dapat dihitung jumlahnya,
Bukan PPKN yang dituntut hukum, bukan ekonomi yang mengharap materi,
Tapi sahabat adalah sejarah yang bisa dikenang sepanjang masa.” —unknown-
“Selamat Pagi Manda..” Sapaku pada sepupuku, yang sedang melipat mukena yang ia gunakan ketika solat subuh.
“Eh Rin, kamu udah bangun? Sejak kapan..” Amanda kaget melihatku tiba-tiba ada di pintu kamarnya. Beda dari yang lainnya, Amanda lebih terbiasa memanggilku “Rin”.
“Aku bangun dari pukul 4, aku baru selesai bantu bibi bikin gorengan nih.” Pekerjaan Bi Asih, ibunda Amanda setiap pagi adalah berjualan nasi uduk, gorengan dan menu sarapan pagi lainnya. Masakan Bi Asih sangatlah enak.
“Rajin banget kamu Rin, aku saja selalu bangun terlambat. Hehehe.” Amanda tertawa, tawanya mampu menghipnotis orang disekitarnya untuk ikut bahagia.
Amanda adalah sepupuku, dia gadis yang sangat manis dan cantik, perawakannya tinggi, bibirnya sangat mungil, mirip sekali dengan artis korea Gong Hyo Jin. Salah satu kelebihan Amanda adalah dia mempunyai IQ yang brilliant, dan multi talenta. Tapi sayang dia tidak memanfaatkan otak dan bakatnya itu, orang tua Amanda tidak mampu untuk membiyayai kuliah Amanda, Amanda hanya gadis lulusan SMK, setelah lulus SMK Amanda harus bekerja mencari uang untuk membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku sekolah Dasar. Amanda sangat penyabar, Amanda tidak pernah mengeluh, dia selalu ceria, seolah hidupnya tidak pernah ada beban, dia selalu bilang kepadaku.
“Mengeluh adalah perbuatan orang-orang merugi, jelas Allah sudah berfirman dalam QS. Ibrahim ayat 7 juz ke 13 : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan (nimat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. Lalu apa yang harus kita keluhkan, janji Allah sangat jelas.” Ucap Amanda kepadaku ketika aku bertanya, mengapa ia tidak pernah mengeluh dan selalu ceria.
*********
“Eh Rin, kamu libur kuliah..? Setelah solat dzuhur temenin aku antar makanan ke ayahku dikebun yuk.” Ajak Amanda kepadaku.
“Aku libur sampai bulan februari, januari aku mau naik gunung loh. Oiya paman sekarang nanem apaan da?” Tanyaku kepada Manda
“Asik juga ya, aku libur kerja hanya hari ini saja, tapi aku bersyukur kamu malah main kesini, naik gunung mana? Ayah saat ini sedang menanam singkong, ubi, kacang panjang sama ketimun.” Amanda tersenyum, hobby Amanda memang selalu tersenyum, tidak pernah aku melihatnya bersedih.
“Berlibur terlalu lama membuatku gabut, gunung merbabu sama temen-temen baru aku, yuk kita solat dzuhur aku pengen segera ke kebun, sepertinya disana sangat sejuk.” Aku bergegas mengambil air wudhu dan Amanda mengikutiku.
********
Benar dugaanku, dikebun begitu sejuk banyak pohon-pohon tumbuh dengar suburnya, kebun yang dikelola Paman Syam tidak jauh dari rumahnya. Amanda jika berlibur suka membantu ayahnya, Paman Syam mengelola kebun milik Pak RW. Hanya itu pekerjaan yang bisa Paman Syam lakukan, karena dikota ini sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Dari pada menganggur dirumah, Paman Syam memilih bekerja dikebun, meski kebunnya bukan milik sendiri, tapi Paman Syam sangat menikmati pekerjaan ini. Akhlak terpuji Paman Syam diwariskan kepada putrinya, selalu kuat dan sabar menghadapi ujian yang Allah berikan untuk keluarganya. Dahulu Paman Syam bekerja diperusahaan ayahku, tetapi semenjak ayahku sakit-sakitan hingga meninggal kemudian perusahaan ayahku bangkrut Paman Syam menjadi pengangguran.
Paman Syam dan keluarganya adalah saudara yang paling dekat denganku, karena sedari aku kecil aku selalu dititipkan kepada Bi Asih, karena itu aku dan Amanda sangat akrab karena dibesarkan bersama, tetapi Amanda lebih tua satu tahun dariku.
“Rin, aku boleh bertanya seputar dunia perkuliahan?” Tanya Amanda kepadaku
“Tentu saja boleh da, apa yang ingin kamu tanyakan kepadaku..?”
“Mata Kuliah yang paling kamu tidak sukai apa Rin..?
Pertanyaan Amanda mengingatkanku pada saat aku pertama kali belajar Bahasa Arab bersama Angga, pada saat itu aku akan menghadapi UAS bahasa Arab, awalnya aku ingin minta bantuan Dedi, tetapi Dedi tidak ada, dengan sangat terpaksa aku meminta bantuan Angga, karena menurutku Angga pun pintar berbahasa Arab karena dia satu almamater dengan Dedi.
Mengapa Angga lagi, angga terus yang selalu aku ingat, jelas-jelas Angga sudah ada yang punya. Angga seandainya kamu mengetahui.
**********
*flashback*
pada malam itu …..
“Re, besok UAS Bahasa Arab ya..?” tanyaku dengan nada yang agak kecewa
Rere melotot, dan memandangku aneh “Kenapa lu Re? kesambet hantu kampus ya?” tanyaku lagi
“Gua belum siap ni, gua belum siap menghadapi UAS esok hari.” Rere cemberut sambil mengacak-acak buku catatan Mata Kuliah Bahasa Arab miliknya.
Tetapi aku malah tersenyum masam dan merasa menang “Santai Re, dimana ada usaha disitu ada jalan, gua tadi sore berusaha buat nyari kisi-kisi, dan sekarang gua udah dapet kisi-kisi, bukan cuma kisi-kisi tapi gua malah dapet soalnya langsung Re.”
Rere terkejut dan tertawa bahagia “Gilalu Rinjaniii, proud of you baby.” Rere menepuk-nepuk pundakku
Aku dan Rere memang sangat tidak menyukai Mata Kuliah Bahasa Arab, karena kami berdua sama-sama bukan lulusan pesantren. Untungnya dosen yang mengajar mata kuliah ini baik terhadap kami, dan selalu sabar menghadapi para mahasiswanya, disetiap akhir pelajaran dosen ini selalu memberikan motivasi untuk kita semua.
Aku menyodorkan soal yang aku dapatkan dari kelas sebelah kepada Rere
“Gimana Re..? Lu bisa kan ngisi soal-soalnya..?” tanyaku pada Rere
“Gua kaga bisa Ani, ini sih sulit banget.” Jawab Rere, dengan raut wajah yang penuh kebingungan.
Seketika di dalam benakku teringat pada Dedi Cs, kalau Dedi mau membantu aku dan Rere pasti kita akan mendapatkan nilai yang bagus.
“Re, kayaknya kita harus minta bantuan ke si Dedi Cs deh, kebetulan malam ini juga gua mau minjem buku ke si Harun, Harun kan satu kosan sama Dedi Cs, tapi si Dedi sih kaga ikutan ngekos kan dia punya rumah sendiri disini” Ujarku pada Rere
“Hayulah berangkat ke kosannya Harun, ngomong-ngomong Harun tuh siapa ya…?” Rere bertanya
“Si Harun sih katanya salah satu anggota squadnya Dedi.” Jawabku sambil merapihkan buku-buku yang tadi Rere acak-acak.
“Nama Squadnya apa, kayaknya seru deh ya kalau punya Squad gitu.” Rere mulai penasaran.
Aku tersenyum dan menjelaskan “Namanya pandawa 5, menurut gua sih ber- Squad itu kaga ada seru-serunya.”
Rere menampakkan wajah polos, sepertinya ia masih bingung dengan jawaban dariku “Pandawa lima..? kok mirip nama wayang ya? Eh kok kamu mikirnya gitu? Bukannya kalau kita punya Squad itu bisa lebih ngerasa punya temen?”
Aku tertawa “Hahaha, mungkin wajah mereka mirip petruk semua kali ya Re.” aku dan Rere terbahak-bahak sambil membayangkan wajah mereka satu persatu. Tapi yang aku bayangkan saat itu adalah wajah Angga, wajah Angga tidak akan seperti petruk, wajah Angga ya tetap seperti Erlangga, salah satu tokoh wayang yang aku kagumi.
Kemudian aku menjelaskan pertanyaan Rere tentang mengapa aku tidak begitu menyukai orang-orang yang ber-Squad “Re, listen to me ber-Squad itu menurut cara berfikir gua dan menurut survey yang gua dapetin itu dapat memecah belah, lu bayangin aja nih ya Re, misalnya lu disebuah acara dan lu lagi sama temen lu, temen lu punya Squad dan lu kaga, nah mereka foto bareng disitu lu nimbrung pengen ikutan tapi mereka malah nyuruh lu pergi, dan ngomong ke lu kita mau foto Squad dulu ya. Lu sakit hati ngga? Kalo gua sih auto sakit hati karena gua kan orangnya baperan, gua lebih suka orang netral Re, gua kaga suka berteman dengan orang yang punya Squad, karena ketika dia kalo lagi main sama Squadnya kita auto dilupakan, dan itu juga alesan gua males nyari temen, bagi gua semua orang yang gua kenal itu ga semuanya gua anggep temen, kata bang Reza Rustandi juga ga gampang nyari temen yang baik itu, tapi lebih ga gampang lagi jadi seorang teman yang baik, gua ga bisa-bisa. Masih sering salah ngomong, sering salah prilaku. Makanya lebih enak sendirian, kadang sepi sih, tapi jadi ga bikin orang lain jengkel, jadinya gua ga beban, itu bikin gua lebih bisa tersenyum kaya yang lo liat saat ini.” Aku tersenyum dan memeluk Rere “Re, jangan tinggalin gua ya, cuma lu saat ini yang bisa ngertiin gua, gua paling susah bergaul dan sering ngerasa ngga nyaman kalau dikeramaian, sahabat gua satu persatu ilang, gua sebenernya ngga bisa kalau ngelakuin apa-apa sendiri, tapi gua juga ga bisa nyari temen, gua pernah punya sahabat tapi sahabat gua semuanya pergi, dan dulu gua pun sama punya Squad, tapi gua ngelakuin satu kesalahan, padahal menurut gua, gua itu ga salah, tapi cara berfikir mereka beda sama gua, niat gua cuma ngingetin aja , lalu mereka semua pergi ninggalin gua, gua juga takut lu pergi, lu kan saudara gua lu pasti ga akan ninggalin gua, beruntung gua bisa satu kampus dan satu kelas sama lu tanpa rencana, takdir Allah memang selalu indah.” Aku memeluk Rere dengan mata berkaca-kaca.
Aku memang gadis yang cengeng, tidak dapat mengendalikan emosi dan selalu kesulitan dalam mencari teman yang bisa mengerti aku, mengerti akan sikapku yang sangat labil, padahal aku selalu berusaha mengerti mereka. Terkadang aku berfikir, dahulu teman-teman yang selalu bersamaku hanya memanfaatkanku saja, disaat aku jatuh dan terpuruk ketika ayahku wafat dan bisnis ayahku bangkrut mereka semua menghilang, padahal dulu aku yang selalu membantu mereka, aku pernah marah, aku pernah kecewa dan aku sempat depresi mengurung diri didalam kamar selama satu bulan, hingga aku takut pada keramaian. Tapi pada akhirnya aku menemukan kebahagiaanku kembali, ketika aku berjumpa dengan Karel, Karel sahabat yang saat ini telah pergi, karena hatinya telah aku lukai, dulu Karel-lah yang mengajarkanku agar bisa berdamai dengan keadaan, dan memaafkan semua orang-orang yang telah menyakitiku, mengikhlaskan apa yang sudah terjadi, maka hati akan kembali berdamai, benar apa yang karel ucapkan, ketika aku mencoba mengikhlaskan dan memaafkan semuanya hatiku kembali tentram dan sejuk seperti pegunungan, selama ini aku melakukan banyak hal tehadap mereka ternyata aku melakukannya pun tidak tulus, aku salah untuk itu aku kecewa. Semenjak bertemu karel, aku mengetahui makna ketulusan. Akan tetapi mengapa malam itu Karel malah tidak mempraktekkan apa yang pernah dia ajarkan kepadaku, dia malah pergi dan membenciku. Memang benar apa yang dikatakan pepatah lama berkata itu lebih mudah dari pada mempraktekkan.
Rere memelukku juga dan berkata “Oh jadi ini salah satu alasan lu yang doyan banget menyendiri, mainin handphone doang dan kadang cuma nunduk baca novel, Ani gua saudara lu, gua ga mungkin ninggalin lu, ayuk kita berangkat buat ketemu Pandawa 5, keburu malem nih.” Rere melepaskan pelukannya.
Jam menunjukkan pukul 19.45 WIB.
************
Pandawa lima adalah nama dari Squadnya Dedi, mereka beranggotakan lima orang pria-pria kocak lulusan pesantren membernya adalah Dedi, Angga, Zeyn, Harun, dan Malik, Andra bukan salah satu dari anggota pandawa lima, meskipun Andra satu kosan dengan mereka tapi Andra bukan dari pesantren dan bukan anggota pramuka, terkadang aku merasa Andra dikucilkan diantara mereka, dan Andra memang paling pendiam.
***********
Rere mengendarai motor, dan aku duduk dibelakang Rere. Rere sangat cekatan dalam berkendara, dia selalu protes jika aku yang menjadi drivernya. Karena aku tidak sehebat Rere dalam berkendara.
“Re, kalau ada warung makan mampir dulu ya, tadi gua nge-Chatt Zayn katanya dia pengen dibawain lauk.” Ucapku.
Rere mengiyakan, lalu kami menemukan warung makan di persimpangan jalan. Rere memberhentikan motornya, aku pun bergegas turun dan membeli lima telur sambal balado untuk Zayn dan kawan-kawan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Kosan pandawa lima.
********
Sesampainya di kosan kami mengucapkan salam “Assalamualaikum….”
Mereka kompak menjawab “Wa’alaikumsalam.”
"Hay guys kenalin, ini Renada saudara gua." Aku memperkenalkan Rere kepada mereka.
Kosan mereka sangat acak-acakan, mataku sibuk celingukan mencari Dedi, tapi disana tidak ada Dedi, disana hanya ada Angga,Harun,Andra dan Zayn. Padahal aku ingin minta bantuan Dedi tetapi Dedi tidak ada, terpaksa aku meminta bantuan kepada Angga, aku sangat gengsi menyapa Angga, karena aku tidak begitu akrab kepadanya.
Tiba-tiba Zayn datang, dan menagih lauk yang ia minta “hey Ani lauknya mana…?”
Aku menyodorkan lauk yang aku beli tadi di warung makan kepada Zayn.
“Syarat buat ketemu sama Zayn itu harus bawa makanan ya.? Ucap Rere kesal
Zayn lalu menjawab dan tertawa “Oiya dong, hahaha.”
Zayn tak henti-hentinya membuat kami semua tertawa dengan tingkah konyolnya, aku menghampiri Harun dan menagih buku yang aku pinjam tadi sore lewat chatt WA, kemudian Harun memberikan aku buku yang aku cari. Harun merupakan yang paling muda dari mereka.
Setelah Angga membantu aku dan Rere menyelesaikan soal-soal Bahasa Arab, kami berdua izin pamit karena malam semakin larut, sesampainya dirumah Rere kami berdua melanjutkan untuk belajar ilmu kalam.
Kejadian itu terjadi ketika aku belum terlalu dekat dengan Angga, dan itu awal pertamakali aku memperkenalkan Rere pada pandawa lima. Aku sangat merindukan moment-moment dimana aku masih bisa bercanda bebas dengan Angga dan belum memiliki perasaan terhadap Angga, karena saat itu aku lebih tertarik dengan Zayn.
“Jika kantong doraemon dengan alat pemutar waktunya bisa aku miliki, ingin rasanya aku kembali.” Ucapku lirih sambil menikmati udara sejuk dikebun milik pamanku.
“Hey Rin, aku bertanya koq kamu malah ngomong ngelantur gitu, ga nyambung sama jawabannya, bawa-bawa kantong doraemon pula, emang apa yang mau kamu kembaliin…?” tiba-tiba saja suara Amanda membangunkanku dari lamunanku.
“Oh iya da, maaf…” jawabku singkat.
“Jadi apa jawabannya?” Tanya Amanda penasaran.
“Jawabannya Bahasa Arab.” Jawabku kembali singkat.
Amanda tidak bertanya lagi, sepertinya Amanda mengerti kalau aku sedang tidak ingin ditanya lebih banyak lagi, Amanda memang sepupu yang paling pengertian, jika aku sudah menjawab singkat akan pertanyaannya, pasti dia tidak akan banyak bertanya lagi.
Aku mengaktifkan data seluler dihandphoneku, dan notif dari Angga seketika memenuhi layar handphoneku, ketika aku membuka chatt dari Angga aku sangat terkejut karena aku tak menyangka Angga akan mencariku, dan setelah kejadian malam itu Angga sangat perhatian padaku, apakah dia sudah peka dengan perasaanku? Angga plis jangan berikan aku harapan palsu.
-----------------------------------------------------
*jangan lupa tekan love yang ada dibawah*
*berikan kritik dan masukannya pada kolom komentar*
*nantikan kelanjutan cerita Rinjani di Bab selanjutnya*
Description: Ani adalah seorang gadis yang cuek akan dunia percintaan, tetapi dia tulus berjuang dibelakang.
ini dibuktikan ketika ia harus LDR dengan Danial, cowok berkebangsaan china yang meninggalkan ani denagn berjuta komitmennya, ketika ani berusaha untuk move on dan menemukan cinta yang baru ternyata ani kembali tersakiti, akankah ani berhasil menggapai impian-impiannya, dan akan kah Ani menemukan kebenaran Cinta dalam proses hijrahnya?
baca sampai ending ya...
|
Title: RUMAH
Category: Cerita Pendek
Text:
Rumah
Tuhan, jika aku bisa meminta padamu satu hal yang pasti akan kau kabulkan detik ini juga maka aku akan meminta-Mu untuk memutar balikan waktu beberapa hari saja. Aku ingin bisa merubah keadaan ku hari ini, aku ingin kembali duduk disofa tua bersama mamak dan bapak, tertawa lagi bersama mereka sambil mengingat masa kecilku, memeluk mereka sebelum aku menutup mataku dan terlelap dalam tidur. Aku ingin pulang.
3 hari sebelum hari ini
"Mak, rafael pulang!"
Teriakku dari pintu rumah yang baru saja aku buka, aku tersenyum ketika mencium wangi masakan mamak yang memenuhi seluruh rumah. wah! mamak pasti masak makanan lezat. Ucapku dalam hati. "Iya, Fa! Mamak ada di dapur, yah.., lagi masak makan siang," balas mamak sambil mengoseng oseng. Aku hanya senyum dan berjalan memasuki kamar ku yang tak jauh dari pintu masuk.
Namaku Rafael, aku adalah anak tunggal dari pasangan Rika dan Reyhan. Mereka adalah orangtua paling hebat yang pernah ada. Bukan, bukan karena mereka kaya atau selalu membelikan apapun yang aku inginkan, tapi karena mereka adalah orang tua yang selalu bisa mengerti perasaanku sebagai anaknya, mengerti apa yang aku butuhkan dan selalu mendukung apapun pilihan yang aku ambil juga selalu mempercayaiku sepenuhnya. Itu adalah hal yang membuatku sangat beruntung memiliki mamak dan bapak walaupun jujur secara finansial kami bukanlah keluarga yang berada, mamak hanya seorang ibu rumah tangga dan bapak adalah seorang pengajar yang tergerak atas dasar kemanusiaan untuk mengajar anak-anak dikampung kami, yang dimana itu membuatnya tidaklah berpenghasilan besar layaknya para pengajar lain.
Lagipula aku adalah anak yang bodoh, aku selalu mendapat nilai kecil saat ulangan dan selalu mendapat posisi ranking ke 2 (dari bawah pastinya) saat pembagian rapot tiba. Rasanya tidak mudah menerima anak yang bodoh sepertiku, tapi tidak untuk mamak dan bapak. Setiap aku pulang sambil membawa kertas ulangan yang memiliki angka 3 dikolom nilai, bapak dan mamak hanya tersenyum dan mengelus kepalaku sambil berkata, "ga apa-apa, nanti kamu coba lagi." Dan kejadian ini tidak terjadi 1 kali, ini terjadi berkali-kali. Itulah mengapa....,
Itulah mengapa aku sangat beruntung memiliki mamak dan bapak.
krek. Pintu kamarku tiba-tiba terbuka, mamak sambil tersenyum menyuruhku untuk makan siang terlebih dahulu. Mamak masak ikan hari ini, aku langsung menuangkan nasi ke piring dan mamak memberiku 1 badan ikan yang sempurna. Saat sedang asyik mengunyah mamak tiba-tiba bertanya, "kapan kamu ujian akhir, Fa?" Aku segera menelan makanan yang ada di mulutku, "masih satu minggu lagi, mak. Kenapa memangnya?"
"Ah enggak, mamak hanya bertanya. Kamu sudah tau mau ke smp mana nantinya?"
"Belum tau, mak. Kalo rafa, sih mau kemana-mana juga ga apa apa kok. Hehe.." Jawabku sambil tertawa. Bapak belum pulang, biasanya saat maghrib bapak baru pulang karena bapak juga adalah ketua DKM di kampung kami, biasanya bapak mampir ke masjid sebentar untuk melihat keadaan masjid.
selesai makan aku langsung duduk di sofa tua yang bapak dapat dari awal bapak menikah dengan mamak, walaupun sudah tua tapi sofa ini masih enak untuk diduduki. Mamak menyusul dari belakang, sambil menunggu bapak biasanya aku dan mamak menonton acara tv kesukaan bersama-sama.
"Bapak pulang!" ucap bapak dari pintu masuk, aku dan mamak langsung menuju pintu dan menyambut bapak dengan senyuman. Bapak lalu mandi dan makan masakan mamak yang tadi siang. Selesai makan, bapak lalu berjalan menuju sofa tua dan menyuruh aku dan mamak untuk duduk juga bersamanya. Ini sudah menjadi kebiasaan bapak, mengajak kami dan berkumpul sambil bercerita tentang semua yang kami alami selama satu hari penuh. Aku bercerita kalau tadi aku bermain bola dengan anak perempuan dan dia mengalahkanku. Bapak lalu tertawa,
"Kamu ini ada-ada aja, Fa. Masa kalah sama anak perempuan," canda bapak. "Ih bapak, lagipula tadi itu Rafa sengaja kalah biar dia seneng, lagian inikan baru pertama kalinya aku kalah dari anak perempuan. Nanti-nanti aku menang, deh." Balasku sambil melipat kedua tangan didada.
"Kali pertama apanya, kamu juga dulu pernah kalah dari anak perempuan, Fa. Masa kamu lupa, ituloh yang waktu lomba agustusan," mamak tiba-tiba mengatakan hal yang sudah lama aku lupakan. Tapi lalu aku jadi ingat kejadian itu, kejadian dimana aku dikalahkan oleh seorang anak perempuan yang bahkan lebih pendek dariku waktu itu. "Ah mamak, rafa jadi inget lagi kaaan.." rengek ku yang disusul dengan tawa bapak dan mamak. "Eh udah jam delapan, ayo shalat!" Ajak bapak padaku dan mamak. Kami lalu melaksanakan shalat isya berjamaah dan bersiap untuk tidur. Walaupun umurku sudah 12 tahun, tapi aku masih suka memeluk bapak dan mamak sebelum tidur. Aku selalu memeluk mereka seolah-olah besok aku tidak akan bisa melihat mereka lagi, tapi itu hanya karena bentuk rasa sayangku. Lagipula memangnya hal buruk apa yang mungkin terjadi pada mereka. Iya, kan?
Description: Bagi rafael rumah adalah segalanya, tempat dimana dia bisa menjadi diri sendiri, berkeluh kesah, meminta pertolongan dan juga mendapatkan kasih sayang. Tapi, bagaimana jadinya kalau rumah yang selama ini menjadi tempat berpulang sudah berubah menjadi tempat yang harus ditinggal.
|
Title: Ranita Story
Category: Spiritual
Text:
BAB 1 (Pertanyaan Random)
‘Sebagian orang memilih untuk meninggalkan, sebagian orang memilih untuk bertahan’
Ranita duduk di kursi kantor sambil melihat ke arah layar laptopnya, ia sedang mengerjakan beberapa tugasnya. Perempuan berumur 27 tahun itu nampak anggun dengan balutan gamis warna cokelat susu dengan kerudung yang berwarna senada dengan bajunya. Dengan kacamata yang bertengger manis di hidungnya, ia masih nampak terlihat muda. Mungkin karena postur tubuhnya yang kecil dan mungil. Segelas teh hangat yang sudah disiapkan oleh office boy masih setia tergeletak tanpa dilirik sedikit pun oleh Ranita. Ia terlalu sibuk. Bahkan waktu makan siang yang sudah berlalu 30 menit tidak ia pakai. Kesibukan mengejar deadline serta padatnya jadwal membuat dirinya tidak memperhatikan jadwal makan. Jika ibunya sampai tahu, tidak bisa dipungkiri Ranita akan diceramahi habis-habisan berjam-jam lamanya. Suara ketukan pintu kantor membuat Ranita menoleh dan mempersilahkan si pengetuk pintu untuk masuk. Tampak gadis muda yang memakai cardigan hitam dipadukan kaos berwarna putih serta hijab hitam itu masuk dengan senyuman yang menghiasi paras cantiknya. Ranita mendirikan usaha busana muslimah ini baru satu tahun yang lalu. Sebelumnya ia bekerja di pabrik garment milik ayahnya sendiri. Karena keinginan untuk mandiri maka dirinya memberanikan diri untuk membeli sebuah bangunan yang ia jadikan kantor untuk mengurus marketing dan menjahit baju. Ia mempekerjakan 10 karyawan. Ada 4 penjahit yang ia tugaskan untuk menjahit baju hasil desain terbarunya. Maklum, baru kecil-kecilan. Jika orderannya sudah banyak, maka Ranita akan menambah jumlah pegawai. “Ada perlu apa, Kay?” tanya Ranita yang mengamati Kayla dari balik kacamatanya. Kayla yang secara resmi menjabat sebagai sekretaris Ranita mengulum senyum lebih lebar lagi. Ia memang dekat sekali dengan atasannya itu.“Ada yang perlu diperiksa, Mbak. Ini berkas-berkasnya.” Kayla menyerahkan berkas-berkas itu kepada Ranita.“Duduk dulu.” Kayla duduk di kursi yang berada di depan meja kantor Ranita. Kedua matanya melihat ke arah tumpukan kertas yang ada di sebelah Ranita. Bisa ditebak bahwa atasannya itu sedang menyelesaikan pekerjaan yang sempat mangkrak, karena Ranita beberapa hari yang lalu tidak bisa bekerja karena demam tinggi. “Kamu baru saja sakit, Mbak. Kenapa sudah memporsir pekerjaan banyak sekaligus. Bisa-bisa ayahmu marah, Mbak,” ucap Kayla. Memang ayah Ranita terlihat menyeramkan dengan sifatnya yang otoriter. Bahkan ketika mendengar Ranita demam karena telat makan dan nekat naik ojek menuju kantor saat hujan, putrinya sendiri dihukum agar tidak ke kantor dan tidak boleh keluar rumah selama seminggu. Pratama, ayah Ranita adalah direktur utama dari pabrik garment tempat Ranita bekerja dulu. “Ayah itu memang begitu. Padahal anaknya sudah berumur 27 tahun tetapi tetap saja diperlakukan seperti gadis yang berusia 7 tahun.” Ranita menggelengkan kepala, “seperti balita malah,” lanjutnya. Kayla tertawa. Ia mengenal mama dan ayah Ranita. Karena mereka saudara sepupu. Mama Ranita merupakan kakak dari ayah Kayla. Kayla melebarkan senyumannya, “Oh iya, Mbak, Reno gimana kabarnya sekarang? Masih bulan madu?” tanyanya. Adik Ranita baru saja menikah sebulan yang lalu. Ranita menyesap tehnya. “Ya gitu. Dia lagi bulan madu sama istrinya di Amerika. Dia memang adik kurang ajar, katanya nggak mau diganggu sama aku yang masih jomblo. Takut aku iri katanya,” ucap Ranita yang kesal kalau mengingat ucapan Reno. Kayla tidak tahan untuk tidak tertawa. Ranita mendengus sebal karena pasti siapa pun yang diajak curhat tentang ke-jom-lo-an-nya pasti tertawa. “Maaf Mbak Ran. Aku ketawa aja denger Reno berani bilang gitu ke Mbak. Padahal dia masih bocah banget ya. Udah bisa-bisanya nikahin anak orang,” kata Kayla yang mengingat umur Reno masih 22 tahun. Adik Ranita itu baru saja wisuda S-1 teknik sipil. “Biarin aja tuh Reno. Aku doain biar dia cepat-cepat dapet anak. Biar tahu rasanya repot ngurus anak,” ujar Ranita. “Ngomong-ngomong nih, Mbak. Boleh tanya nggak tentang suatu hal?” kata Kayla dengan ekspresi yang serius. “Apa?” Ranita memiliki firasat sudah tidak enak. “Mbak udah punya niatan untuk nikah belum? Jangan tersinggung ya Mbak. Aku mau tanya aja. Soalnya kalau belum, aku punya temen yang masih single, kali aja berjodoh sama Mbak.” Selalu saja pertanyaan semacam ini yang ditujukan pada Ranita. Sampai-sampai ia sudah tidak kaget atau terkejut jika ditanya tentang ‘Kapan nikah?’ “Belum ada target nikah untuk tahun ini. Dan aku juga nggak mau sama temen kamu itu. Pasti umurnya di bawahku,” ucap Ranita. Perempuan berjilbab abu-abu itu meringis, benar tebakan Ranita kalau umur temannya itu di bawah Ranita. Sebaya dengan Kayla yakni 23 tahun. Yang artinya lebih muda 4 tahun jika dibandingkan dengan Ranita. “Nggak papa, Mbak, kalau suami lebih muda. Bukannya nggak ada larangan kalau dalam memilih pasangan harus laki-laki yang lebih tua,” ucap Kayla yang merasa bahwa perbedaan umur bukan masalah serius yang harus dibesar-besarkan. “Memang tidak ada larangan. Tapi laki-laki itu mana mungkin mau sama perempuan seperti aku. Sudah tua. Nanti kalau jalan, aku dikira kakaknya,” ujar Ranita. “Tapi dia sudah mapan dan pekerjaannya menjanjikan lho. Dia punya kafe di beberapa tempat,” ucap Kayla. “Yasudah kamu dengannya saja. Sebagai saudara sepupu yang lebih tua, aku ngizinin kamu untuk menikah duluan kok. Seperti Reno,” kata Ranita. “Aku sudah punya pacar, Mbak. Kami sudah hampir 2 tahun pacaran.” “Jangan pacaran mulu! Itu hubungan nggak serius. Masa’ kamu mau ngejalanin hubungan yang kayak gitu. Kalau aku pribadi sih ‘no’,” kata Ranita sambil menggelengkan kepala. Dalam hidupnya Ranita berprinsip satu untuk selamanya. Hal inilah yang mungkin menjadikan ia sebagai tipe perempuan yang amat rumit dalam memilih pasangan hidup. Sehingga tak jarang, banyak orang-orang yang mencibirnya sebagai perempuan angkuh dalam mengejar kriteria suami. Padahal, hati manusia siapa yang tahu. Ranita sudah berjuang untuk membuka hatinya. Namun sampai saat ini, kenyataan menampar Ranita ke jurang penantian. Ia masih menunggu seseorang. “Aku sebenarnya nggak mau pacaran lama-lama, Mbak. Tapi dia belum siap kalau ke jenjang pernikahan. Banyak yang harus dipikirin dulu katanya. Seperti rumah dan rencana-rencana ke depannya, Mbak,” ucap Kayla. “Aduh, Kay. Kalau masalah hal-hal begitu. Kamu bisa cari solusinya. Rumah bisa ngontrak atau ke rumah mertua dulu. Sambil nabung buat semua itu. Kalau kamu pacaran, itu artinya dia belum kasih kepastian. Bisa aja dia bosan dan ninggalin kamu. Pasti kamu yang paling tersakiti. Karena perempuan itu susah lupa, Kay,” ucap Ranita menasehati. Dia tidak mau adik sepupunya itu terpuruk nantinya. Benar apa yang diucapkan Ranita. Tidak ada yang salah meskipun terdengar menyakitkan. Kalau menjalani pacaran apa yang bisa dituntut jika salah satu pihak berselingkuh atau meninggalkan, berbeda jika sudah menikah, ada hukum yang berlaku. “Aku simpan nasehatnya, Mbak. Biar aku sampaikan ke dia,” ucap Kayla. Ranita tersenyum karena Kayla mau menerima sarannya.-0-
BAB 2 (Pertemuan)
‘Kalau jodoh sudah dipertemukan, rasa yang tadinya biasa saja, esok menjadi luar biasa’
Di hari Senin yang terik ini, Ranita harus mengunjungi acara yang diadakan salah satu teman dekatnya. Ratih, temannya itu akan mengadakan fashion show untuk memperkenalkan beberapa desain baju terbarunya. Yang diadakan di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta.Ranita harus bersabar karena jalanan ibukota macet dan memang selalu begitu. Ia harus menenggak beberapa kali air mineral untuk mengusir hausnya. Setelah memarkirkan mobilnya di basement, ia segera melangkahkan kaki ke lokasi. Karena Ranita terburu-buru, ia menabrak seseorang yang sedang membawa es krim di tangannya. Dan parahnya, es krim tersebut mengenai kemeja orang itu.“Maaf, saya tidak sengaja. Biar saya bantu lap,” ujar Ranita yang nampak panik. Ia segera mencari tisu di dalam tasnya.Laki-laki itu menatap Ranita dengan wajah sedikit kesal.“Papa! Papa lama sekali. Tara udah nunggu dari tadi.” Suara anak kecil yang terdengar sedang marah itu membuat Ranita menoleh. Ia melihat seorang gadis kecil sekitar 5 tahun yang sedang mengenakan seragam sekolahnya. Manis dan lucu namun sayang ia sedang cemberut.“Maafkan, Papa ya. Tadi harus antre lama.”“Lalu Tante ini siapa?” tanya gadis kecil itu kepada Ranita. Ranita mengeluarkan tisu dari tasnya, perasaan bersalah menjalar ke hatinya. Dikarenakan dirinya, es krim pesanan gadis kecil itu tumpah.“Lho, Pa, es krimnya kok malah ke baju Papa? Pasti Tante ini yang bikin es krimnya tumpah,” kata anak kecil itu sambil menatap Ranita dengan raut kecewa.“Biar Papa balik lagi ke sana. Kamu tunggu di mobil saja ya,” kata sang Ayah gadis itu. Jika dilihat dari penampilannya, Ranita menebak kalau laki-laki itu berusia sekitar 25 tahun ke atas. Wajahnya tampan dan terlihat aura kebapakannya. Betapa beruntung istrinya mendapat suami seperhatian laki-laki itu.“Nggak mau! Tante itu yang harus bertanggung jawab!” kata anak kecil itu sambil menunjuk Ranita.Ranita yang merasa ditunjuk juga merasa harus bertanggung jawab karena perbuatannya. “Iya, Tante akan bertanggung jawab. Mari Tante belikan sebagai gantinya,” ucap Ranita sambil mendekati gadis kecil itu.Gadis kecil itu mengulurkan tangannya yang kecil, “Tara, namaku Tara Areswara, putri dari Papa Deva Areswara.” Ia memperkenalkan dirinya kepada Ranita tanpa diperintah. Sungguh menggemaskan memiliki anak yang pemberani dan pintar bergaul seperti ini.“Hai Tara. Aku Ranita Widyatama. Putra dari Papa Pratama dan Ibu Hartamy,” balas Ranita yang serupa dengan cara Tara memperkenalkan diri.Ranita menjabat tangan mungil itu. “Mulai sekarang kita berteman Tante Rani,” ucap Tara sambil tersenyum lebar yang memperlihatkan deretan gigi susunya yang nampak terawat. Gadis kecil dengan rambut sebahu itu benar-benar mengagumkan bagi Ranita.-0-“Maaf ya, gara-gara Tara, Anda jadi harus ke sini,” ucap Deva yang terlihat tidak enak hati karena putrinya mengajak Ranita untuk ikut membeli es krim di kedai yang berada di dalam mall.“Harusnya saya yang meminta maaf. Karena kecerobohan saya, es krim Tara menjadi tumpah,” ujar Ranita.Awalnya Ranita ingin menemani Tara memesan es krim, tetapi gadis kecil itu menolak untuk ditemani. Sehingga Ranita memutuskan untuk memberi Tara uang kemudian duduk berdua bersama Deva. Hal ini membuatnya harus terjebak dalam kondisi awkward moment.Selang beberapa menit, Tara datang membawa es krim dengan ukuran jumbo. Dua orang yang tadinya merasa canggung itu kini menjadi sedikit lega. Gadis itu memang penyegar suasana.“Kamu bisa menghabiskan es krim itu sendirian?” tanya Ranita.“Nggak dong, Tante. Nanti aku bisa gendut. Tante sama Papa ‘kan bisa bantuin aku habisin ini,” kata Tara yang ternyata membawa 3 sendok untuk dipakai dirinya, Ranita, dan Deva.“Tante nggak makan es krim, Tara. Kamu saja yang memakannya ya,” tolak Ranita. Mana mungkin ia makan bersama keluarga itu. Ia bisa disangka pelakor oleh istri Deva.“Lho kenapa Tante nggak mau, Mama Tara dulu sangat suka es krim. Apa Tante takut gendut?” tanya Tara.“Tara, mungkin Tante Rani tidak suka es krim, Sayang. Kamu makan saja, nanti kalau tidak habis biar Papa yang habisin ya,” ucap Deva sambil mengelus rambut Tara yang sebahu.“Yah, kalau sama Papa, Tara sudah biasa. Tara mau makan bareng Tante Rani,” ucap Tara yang tetap keras kepala memaksa Ranita untuk memakan es krim.“Kenapa Anda tidak memanggil istri Anda untuk datang kemari saja, Pak?” usul Ranita.Deva tersenyum meski senyumnya sangat kontradiksi dengan pandangannya yang terlihat sendu ketika Ranita menanyakan perihal istrinya.“Andai saya bisa memanggil istri saya kemari, maka sudah saya lakukan. Sayangnya, istri saya sudah meninggal satu tahun yang lalu,” ucap Deva.Perkataan Deva membuat Ranita menjadi merasa bersalah lagi. Tidak seharusnya ia menanyakan soal istri Deva.“Mama Tara sudah ada di surga, Tante. Jadi Tara nggak bisa makan bareng Mama. Tante mau kan makan es krim bareng Tara. Soalnya Papa alergi es krim. Papa pasti selalu bersin-bersin kalau abis makan,” pinta Tara dengan mata bulatnya.Ranita tersenyum melihat gadis yang ada di depan matanya nampak tegar.“Baik, Tara. Karena Tara mau berbagi es krim sama Tante. Maka Tante Rani akan membantu Tara,” ucap Rani yang mengambil sendok yang sudah diberikan Tara.Mereka menghabiskan es krim itu hingga tak tersisa.Ranita yang teringat dengan tujuannya ke mall menepuk dahinya. Ia tidak berani melihat ponselnya yang pasti sudah dipenuhi dengan beberapa notifikasi dari Ratih.“Anda kenapa Nona Rani?” tanya Deva yang melihat keresahan pada raut wajah Ranita.“Tidak ada apa-apa. Tetapi saya harus pergi sekarang, Pak,” pamit Ranita.“Kok Tante mau pergi? Kita ‘kan baru makan es krim. Tante belum makan nasi,” cegah Tara yang belum puas ditemani Ranita.“Maaf, Tara. Tante harus pergi karena sudah ditunggu teman. Lain kali kita bisa bertemu lagi, Tara,” kata Ranita memberi pengertian.“Tante janji?” ujar Tara.“Insya Allah.”Tara mengeluarkan ponselnya dari tas sekolahnya. “Kalau begitu aku minta nomor telepon Tante. Kalau sewaktu-waktu aku mau ketemu Tante, tinggal telepon,” ujar Tara.Sepertinya Ranita sudah menarik perhatian Tara sehingga gadis kecil itu meminta nomor telepon Ranita. Bagi Deva, hal ini sangat langka. Karena biasanya, anaknya itu akan menyuruhnya untuk menjauhi perempuan lain. Karena Tara tidak mau Deva menikah lagi.-0- Ranita yang telat menghadiri acara temannya itu langsung dihadiahi pertanyaan dari Ratih. “Rani, kamu itu kemana aja sih?! Aku udah telepon kamu berkali-kali tapi nggak kamu angkat. Aku mau kamu jadi salah satu pembuka acara tadi karena selaku pemegang saham Rara-Collection.” Memang Ranita mempunyai sedikit saham di usaha yang dirintis Ratih dari nol. Tentu Ratih merasa kesal karena ia tidak bisa menghadirkan Ranita yang bisa dijadikan inspire woman dalam acara pembuka tadi. “Aku telat banget ya? Maaf ya, Rat. Tadi aku ada masalah kecil di jalan,” ucap Ranita sambil memegang tangan Ratih. “Jangan marah dong,” rayu Ranita. Ranita sekarang sedang duduk di kursi yang disediakan untuk dirinya. Kursi VIP dimana kanan kirinya terdapat beberapa model, public figure, bahkan pengamat fashion datang ke acara ini. Sahabat Ranita yang satu ini memang sudah populer di kalangan selebriti. Karena keluarganya memang bergerak di bidang seni. Ayahnya seorang fotografer dan mamanya seorang model sekaligus pemilik butik ternama di Jakarta. “Aku nggak mau tahu. Pokoknya nanti di acara penutupan, kamu kasih beberapa sambutan. Supaya semua tahu, kalau kamu itu juga pemilik usaha ini. Kamu selalu bekerja di balik layar sih,” omel Ratih. Memang benar kata Ratih, Ranita selalu bekerja di balik layar. Ranita tidak mau menjadi sorotan orang banyak. Tidak mau terekspos media. Ia takut jika ada media yang meliput berita yang aneh-aneh tentang dirinya. Misalnya mengenai kasus percintaannya yang tidak sesukses karirnya.-0-
pemberitahuan
Maaf untuk pembaca yang ingin membaca cerita ini. Dikarenakan cerita ini dalam proses penerbitan maka beberapa bagian telah dihapus untuk itu.
?
Kabar Gembira
Halo teman teman semua
Alhamdulillah buku ini telah diterbitkan oleh penerbit Bhuana Sastra
Untuk info pemesanan buku ini silakan hubungi nomor saya 085820397801
Judul buku : Afeksi
Penulis : Nurin
Penerbit : Bhuana Sastra
Description: Tentang mencintai yang indah. Meskipun mengharuskanmu menunggu dan menanti,~
27 tahun lamanya, Ranita Widyatama harus melajang. Ia sudah pasrah kalau ternyata takdir cintanya tidak sebaik karirnya. Sampai ia berhasil membuka hatinya untuk seorang laki-laki.
|
Title: Romansa Lintas Dunia
Category: Flash fiction
Text:
Bab I
Sore
.
Aku menunggu Jingga di sebuah kedai teh tak jauh dari galeri lukisan yang biasa ku kunjungi di akhir pekan. Katanya kami harus bertemu sore itu juga. Meski belum tahu pasti apa motif mengajak ku bertemu, toh nyatanya ku iyakan juga.
4.00 pm
Angka yang muncul di layar jam digital ku saat aku meliriknya sekilas karena mendengar bunyi bib-nya. Lalu mata ku beralih ke layar ponsel yang masih anteng-anteng saja, tidak ada tanda-tanda balasan dari Jingga pada pesan yang ku kirim. "Anak ini kemana sih?" Batin ku mulai tak sabar. Pasalnya aku harus menemui seseorang tiga puluh menit lagi.
Akhirnya aku berinisiatif meneleponnya. Setelah nada sambung berkali-kali ku dengar, suara Jingga pun menyahut. "Maaf, aku terlambat! Tapi ini sudah sampai di depan kedai kok. Bentar, ya. Aku masuk dulu."
Tak sepatah kata pun sempat ku ucap, panggilan itu lantas diputus. Dari kejauhan aku melihatnya memasuki kedai dengan tergopoh-gopoh.
"Brukkk!" Dia menabrak meja, memandangku, lantas menyeringai. Napasnya terengah-engah seolah baru saja keliling lapangan bola sepuluh kali.
"Kamu baru ngapain, hah?"
"Mbak, mineral dingin satu botol." Jingga mangacuhkan pertanyaan ku seketika matanya melihat pelayan kedai melintas di depan meja kami.
"Jadi......." Ku tahan rasa dongkol yang mulai mencapai level klimaksnya. "Kamu pingin kita ketemu itu karena apa, sih?"
Jingga membenarkan posisi duduknya. "Ada hal SUPER PENTING yang mau ku bahas. Oh, maaf ya telat. He heee~" Dia menyeringai lagi, memamerkan gigi putihnya yang rapi.
"Oke," aku mengedikan bahu. "Tapi kamu cuma punya waktu lima belas menit." Ku seruput matcha latte di hadapan ku yang kini sudah dingin.
"Yaaaaaaahhhhhhh~ kok cuma lima belas menit, sih!?" Protesnya tak terima.
"Lah, kan kamu yang pingin kita ketemu di kedai jam tiga. Jam t-i-g-a," aku sengaja memberi penekanan pada kata tiga, agar Jingga tahu bahwa aku memang sudah lama menunggunya di kedai itu. "Terus kalau kamu datang telat sementara aku punya agenda lain setelah ini yaaa.. sorry to say aku ngga bisa. Lagian kamu tadi susah dihubungi. Kemana aja sih?"
"Itu juga yang mau ku ceritakan ke kamu. Makasih, mbak," tiba-tiba pandangan Jingga beralih saat pelayan kedai datang membawa pesanannya. Dengan gerakan cepat tangannya membuka segel dan tutup botol, lalu meminum isinya. "Jadi ada hal penting yang harus ku beritahu pada mu."
Aku mendengar apa yang diceritakan Jingga dengan seksama. Dan janji di jam setengah lima yang seharusnya ku penuhi terpaksa ku batalkan. Ada perasaan aneh yang menjalar setehlah Jingga memberitahu ku mengenai sesuatu yang tak pernah ku duga sebelumnya.
Jingga
"Nah, ituu! Aku bilang penting karena aku tahu kamu kenal dia! Kemarin kamu bilang dia ngajak kamu ke gallery, ini kan orangnya?" Aku menyodorkan layar gawai hingga Sore menjauhkan dirinya karena jarak layar dan matanya terlalu dekat.
Sore memandangi layar itu. Masih bergeming.
Aku menunggu reaksinya, "Hei, Halooo! Ih malah ngelamun. Bener ngga?" tanyaku penuh selidik pada Sore. Wajahnya meredup. Aku mencoba memberinya waktu untuk berpikir dan mencerna segala yang terjadi.
Aku mengatur nafasku yang masih ngos-ngosan karena setengah berlari untuk memenuhi janji dengan Sore. Air mineral dingin di tanganku sudah habis. Kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 16.30.
"Iya, ini Aldo." Jawab Sore, akhirnya. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke cangkir matcha lattenya yang tampaknya sudah habis.
Aku jadi merasa bersalah, tapi aku tak akan membiarkan Aldo memainkan hati Sore lebih jauh. Secepatnya Sore harus tahu soal ini.
"Kita cuma kenalan sih, tapi aku aneh aja dia ngajak kencan dua cewek sekaligus. Aplikasi tinder buat apa coba kalau bukan buat kencan?"
"Iya juga sih, sebenarnya jam setengah lima ini aku ada janji sama Aldo. Pas banget ngga sih?" Sore langsung bersemangat, matanya berbinar. Aku jadi ikut bersemangat. .
. "Kamu temui dia aja. Jangan bilang soal hari ini. Aku pengen tahu aja sikapnya nanti ke aku dan kamu. Siapa tahu bisa jadi tukang ojek kita berdua, hahaha.."
.
.
Sore ikut tertawa mendengar ide busukku.
. "Udah buruan sana, aku masih mau kerjain deadline artikel disini. " Ucapku sambil mengambil laptop dari tas. Sore mulai bersiap-siap memasukkan earphone dan gawai ke dalam tas mungilnya.
. "Yaudah, ntar kabarin yah. See you darl!"
Sore mengecup pipiku, kemudian berlalu meninggalkanku di kedai ini sendirian.
Baiklah, saatnya bekerja keras. .
Description: Karekter:
Sore - Mahasiswa S2 jurusan teknik yang suka dengan seni.
Aldo - Mahasiswa teknik semester tua.
Jingga - Freelance writer di salah satu platform media elektronik.
Ryan - Dosen muda idola mahasiswa.
|
Title: rasa dan rindu
Category: Cerita Pendek
Text:
rasa dan rindu
Turki, 1 September 20XX
Binar kebahagiaan menghiasi wajah ayu gadis berdarah melayu asal Aceh, lebih tepatnya Dataran Tinggi Gayo, bernama Marissa Putri. Gadis yang kini sedang merantau ke Negeri Dua Benua untuk mengenyam pendidikan strata 1 di universitas ternama negara tersebut. Senyum tak jua luntur dari bibirnya sejak ia kembali dari kampus tempatnya menimba ilmu. Marissa melangkah riang memasuki kamar yang diisi oleh dua temannya yang lain.
“Hei Nai,”
“Hei, ada berita baik apa nih?”
Naila Afifah teman sekamar yang juga berasal dari Indonesia, langsung mengerti apa yang tengah Marissa rasakan bahkan hanya dengan melihat raut wajahnya. Marissa melangkah mendekati Naila yang terbaring setengah terduduk di kasurnya.
“Syaima mana?” tanya Risa.
“Masih di kampus, ada remedy katanya.”
Marissa mengangguk mendengar jawaban Naila, ia bingung akan memulai dari mana semuanya terasa sangat mengejutkan juga untuknya.
“Nai, aku mau balik ke Indo.”
“Seriusan?” tanya Naila terkejut.
Marissa mengangguk semangat, menjawab keterkejutan yang Naila tampilkan. Lantas keduanya tertawa histeris dan berpelukan erat, tiga tahun sudah Marissa berada di Turki tanpa pernah sekalipun ia pulang ke kampung halaman. Entah kesempatan dari mana yang menghampiri Marissa, selama ini ia hanya bisa merindu untuk pulang karena biaya transportasi yang terlampau tinggi.
“Berapa lama pulangnya?” tanya Naila.
“Entahlah Nai, mungkin dua atau tiga minggu.”
Keduanya tenggelam dalam perbincangan menyiapkan kepulangan Marissa, sebenarnya ia bisa pulang karena ada kakak senior asal Indonesia juga —Kak Hasan- yang dengan baik hati memberikannya tiket pulang. Marissa bingung harus membalas dengan apa, ia sudah terlalu sering merepotkan seniornya itu selama di sini.
“Ris, itu tanda dia itu suka sama kamu.”
“Apasih Nai, Kak Hasan bilang dia gak ada maksud apa-apa, Cuma pengen bantu kok,”
Naila menggeleng tak habis pikir dengan Marissa yang kelewat tak peka, padahal sudah jelas sekali Kak hasan menyukainya. Dan Marissa bukan tak mengerti dengan semua itu, hanya saja dalam hatinya telah ada seorang laki-laki yang Marissa anggap spesial. Teman masa kecil yang memberikannya rasa nyaman dan aman ketika ia sendirian setelah kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan bertahun-tahun lalu.
…
“Hati-hati Ris,” Naila memeluk Marissa erat.
“Don’t forget to call us, okay?”
Marissa mengangguk mendengar perkataan Syaima, teman asal Filipina yang sekamar dengannya juga. ia melangkah menuju antrian para penumpang pesawat, sesekali kepalanya menoleh ke arah Naila dan Syaima kemudian membalas lambaian tangan mereka.
…
Marissa meregangkan badannya merasa pegal karena duduk berjam-jam di pesawat. Ia segera menarik kopernya dan berjalan keluar dari bandara, sebuah taxi mendekat kearahnya menawarkan tumpangan.
“Taxi?”
“Iya pak, ke terminal.”
Marissa duduk bersandar, sesekali sopir taxi bertanya padanya, menciptakan obrolan singkat. Marissa melihat ke jendela, menikmati hiruk pikuk kota di luar sana. Semua orang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing.
Marissa sampai di terminal bus antarkota, ia menarik kopernya mendekati bus yang tertulis kota tujuannya. Ia mencari tempat duduk di tengah di samping jendela, seseorang yang telah duduk disana dengan baik hati bertukar tempat dengannya. Marissa segera memasang earphone bersisi murottal alquran favoritnya, ia teringat kembali dengan Kak Hasan yang memberikan murottal itu kepadanya. Naila sering mengatakan tentang Kak Hasan yang memiliki perasaan khusus kepadanya, namun Marissa lebih memilih mengabaikan itu semua. Jauh didalam hatinya tersimpan nama seseorang yang selalu ia sebut dalam doanya di sepertiga malam. Marissa membangun harapan yang tinggi pada sosok itu, teman masa kecil yang selalu menemaninya bahkan ketika ia tak punya siapapun lagi setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Marissa hidup sorang diri, ia anak tunggal dan tak tahu apakah masih memilki keluarga atau tidak. Dan yang membuatnya bertahan hingga sekarang ini adalah Azmi Muhammad, laki-laki tampan asal Padang yang pindah ke Dataran Tinggi Gayo sejak SD. Laki-laki pertama yang membuatnya merasakan getaran di dada, dan rona merah di pipi ketika ia merasa malu. Dan Marissa membangun harapan yang terlalu tinggi pada Azmi, tanpa takut akan jatuh dan terluka.
…
Deretan bukit indah yang membentengi desanya mulai terlihat, seolah benteng kuat yang meneguhkan hati manusia-manusia didalamnya. Marissa tak tahu keadaan rumahnya setelah ia tinggalkan tiga tahun lalu, ia hanya menitipkannya kepada tetangga untuk selalu dirawat.
“Mbak ini mau kemana?” seseorang disampingnya tiba-tiba bertanya.
“Ke Gayo, pulang kampung.” Jawabnya dengan senyum.
“Lebaran masih lama toh buat pulang kampung.” Marissa tertawa mendengar ucapan perempuan itu.
“Perkenalkan saya Ana.” Uluran tangan terarah padanya.
Marissa membalas uluran tangan wanita itu dan ikut mengenalkan diri. Keduanya terlibat perbincangan seru, sesekali tawa menghiasi bibir mereka, seperti teman lama yang baru bertemu kembali. Cepat sekali keakraban itu terjalin, Ana wanita asal Jawa Tengah yang ternyata baru menikah dengan laki-laki Aceh seminggu lalu. Marissa sesekali menggodanya karena menikah di usia muda.
“Kiri pak!”
“Kiri pak!”
Keduanya menoleh berbarengan, merasa lucu dengan kebetulan yang terjadi. Berjalan bersisian di sepanjang jalan desa, kemudian terpisah di persimpangan jalan. Marissa menoleh kearah Ana yang berbelok, merasa familiar dengan gang yang dilewati Ana.
…
Keesokan harinya Marissa segera menziarahi makam Aba dan Uma, berjam-jam ia terduduk disana mendoakan mereka. Setelah ini Marissa harus segera membereskan rumahnya dan bersilaturahmi kepada tetangga sekaligus memberikan bingkisan oleh-oleh dari Turki.
Tiga hari ia lalui dengan mengunjungi tetangga dan teman lama, tersisa satu bingkisan lagi untuk Azmi tapi Marissa merasa malu dan tidak tahu harus mengatakan apa nanti.
Marissa memantapkan hatinya, mencoba menghalau gugup yang mulai terasa. Ia tekadkan hari ini untuk menemui Azmi. Marissa menunggu agak jauh dari rumah Azmi, rasa berdesir segera melilit perutnya menciptakan rasa geli yang berusaha ia tahan.
“Uda!”
“Uda!”
Azmi menoleh bingung mendapati dua panggilan sekaligus terarah padanya. Marissa hendak melangkah namun segera terhenti saat ia sadar ada seseorang yang lain memanggil Azmi juga. Perempuan berkerudung biru segera menghampiri Azmi dan mencium tangannya.
“Selamat datang Uda.”
Marissa merasakan gejolak tak terduga melihat itu semua, kaget, kecewa, dan sedih semua bercampur dalam hatinya.
“Risa?” tanya Azmi yang baru menyadari keberadaannya.
“A-Ana?”
tenggorokan Marissa tercekat menyadari kenyaatan pahit yang ia lihat. Marissa segera melangkah pergi tak mempedulikan teriakan Azmi yang memanggilnya.
….
Seminggu berlalu di Dataran Tinggi Gayo, semua keindahan yang disuguhkannya tak pernah terasa membosankan. Udara dingin yang selalu menyelimuti desa seperti tidak berarti apa-apa oleh kehangatan masyarakat yang ramah kepada siapapun. Tak memandang kedudukan dan jabatan semua selaras dalam kesederhanaan, seperti sungai-sungai yang mengalir jernih, semua saling mengerti dan saling memahami. Dan yang tak pernah tergantikan keindahannya adalah deretan bukit menjulang, melindungi dan mengokohkan desa ini. Menjadi benteng yang dibangun begitu dalam dan kuat. Namun ada mendung tak terduga yang menghampiri Marissa, meruntuhkan harapan yang bangun bertahun-tahun lalu.
Marissa terduduk di kaki bukit dengan pohon-pohon rindang, menghadap danau yang jernih di kejauhan. Teringat semua kenangan masa kecil ketika Aba dan Uma masih ada ia selalu bertingkah bandel kepada keduanya, dan ketika ia kelas 2 SMP Aba dan Uma dengan tiba-tiba meninggalkannya seorang diri disini. Marissa terpuruk, ia berada di titik terendah kehidupannya. Bingung karena tak memiliki sanak keluarga yang lain, hidup sebatang kara di dunia ini. Namun Marissa salah, Tuhan tak setega itu membuatnya sendirian di dunia ini. Ada seseorang yang Tuhan kirimkan pada Marissa untuk menjaga dan melindunginya, menemaninya hidup di dunia ini. Azmi Muhammad dialah manusia yang Tuhan ciptakan untuk menemani Marissa, namun ternyata takdir tak seindah itu. Azmi ternyata bukan diciptakan untuk menemaninya, ia mempunyai takdir lain yang tak bisa Marissa terima dengan lapang.
BRUKK..
Bunyi sesuatu jatuh dari pohon di belakangnya membuat Marissa menoleh kaget.
“Kak Hasan!”
Marissa segera beranjak menghampiri seniornya itu. Sementara Hasan Fadli meringis memegang pinggangnya yang sakit.
“Kok bisa ada disini?”
Pertanyaan Marissa terabaikan. Hasan sibuk mengelus pinggangnya yang masih sakit. Setelah mereda Hasan segera tertawa, membuat Marissa bingung dengan tingkahnya. Memang tawa itu menular entah kenapa Marissa ikut tertawa tanpa tahu apa yang lucu sebenarnya.
“Aku emang lagi liburan disini.”
“Kok gitu? Kan tiketnya aku yang pake,”
Hasan mengedikkan bahu, ia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya kepada Marissa.
“Kenapa murung terus dari tadi?”
“Murung? Dari tadi kakak ngintipin aku ya?”
Hasan menutup mulutnya ketahuan salah bicara. Mau tak mau Hasan harus menjelaskan semuanya pada Marissa, perihal kedatangannya ke Aceh. Sebenarnya ia berangkat bersamaan dengan Marissa, namun ia mengubah penampilan agar Marissa tak menyadarinya.
“Kenapa?”
Hasan bungkam tak menjawab pertanyaan itu, ia berbalik bertanya tentang Marissa yang terlihat murung. Marissa menjelaskan semuanya, sejujurnya ia membutuhkan tempat curhat untuk melepas semua kegundahan yang ia hadapi.
“Aku punya solusi biar kamu bias lupa soal Azmi,”
“Solusi apa?”
“Ayo kita jalan-jalan keliling Dataran Tinggi Gayo, sekalian kamu jadi tourguidenya.”
Marissa bingung dengan ajakan itu, tak mungkin ia hanya jalan berdua dengan Kak Hasan. Mereka jelas bukan mahrom.
“Tenang aja, kita gak bakal Cuma berdua kok,”
Marissa mengangguk karena tak punya alasan lain untuk menolak.
“Besok aku tunggu disini jam 9.”
…
Seminggu lagi berlalu, Marissa dan Hasan menjelajahi kota Gayo. Mendaki bukit-bukit yang berbaris, menyelami danau jernih di depannya, dan mengelilingi danau itu dari setiap sudutnya. Menikmati api unggun di malam hari yang menjadi kebiasaan para warga, tak lupa menikmati kopi khas Gayo. Marissa selalu tersenyum bahagia seolah kesedihan sebelumnya tak pernah terjadi, hilang semua beban berat yang ia rasakan seminggu kemarin. Digantikan dengan kelucuan tingkah Kak Hasan, baru Marissa sadari pemuda tampan itu tidak hanya ringan membantu orang lain yang tidak dikenalnya tetapi juga mudah berinteraksi dengan warga setempat yang berbeda adat dengannya. Hasan adalah pemuda asal Bandung, yang diam-diam mengikuti Marissa ke Aceh. Tak pernah sekalipun ia menjawab apa tujuannya itu, ia selalu menghindar bahkan mengabaikan pertanyaan yang selalu Marissa tanyakan itu.
Marissa melamun memandang langit cerah di atasnya. Sementara Hasan sedang terduduk satu meter di sampingnya, sebuah kesepakatan jarak yang tak boleh terlampaui.
“Untuk apa kamu masih memikirkan harapan yang mustahil itu Ris?
Ada banyak hal yang memang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, tapi apakah harus memaksakan kehendak? Mungkin Tuhan menyiapkan sesuatu yang lebih baik untukmu. Aku tahu ini sangat tiba-tiba, tapi bisakah kau membuka hatimu untukku, beri aku kesempatan untuk membuatnya hilang dalam ingatanmu-“
“Maksud kakak apa?”
“Menikahlah denganku Risa.” Marissa menyernyit bingung dengan apa yang Hasan katakan.
“Maaf, ini masih sangat membingungkan untukku. Tapi satu hal yang harus kakak tahu, aku tidak mungkin melupakan Azmi begitu saja dia orang yang sangat berarti untukku.” Marissa menoleh mencoba melihat reaksi Hasan.
Hasan menghela napas, kenangan seminggu lalu seperti tak berarti apa-apa untuk Marissa.
“Besok malam aku balik ke Turki, dan aku masih berharap kamu bisa berubah pikiran.”
Hasan melangkah pergi meninggalkan Marissa yang termenung. Semua ini terlalu cepat untuk Marissa meski ia merasa nyaman dengan semua yang telah dilaluinya bersama Hasan, tetap saja Marissa takut perasaan itu hanya pelampiasan rasa sakitnya kemarin. Ia takut membuat keputusan yang salah, dan justru menyakiti Hasan. Sebenarnya dari awal Hasan muncul disini getaran aneh tak bisa berhenti ia rasakan, sekuat tenaga ia menahan agar rona merah tak muncul terlalu kentara di pipinya.
Apa yang dikatakan Hasan memang benar untuk apa masih mengharapakan sesuatu yang mustahil terjadi, tapi tidak semudah itu menata perasaan seperti semula.
...
Marissa akan memasuki rumah namun seorang tetangga tiba-tiba mendatanginya.
“Ris ini ada yang titip tiket buat kamu.”
“Dari siapa bu?”
“Tidak tahu, pas ibu nanya juga gak dijawab.”
Marissa tertegun mendapati tiket ke Turki yang dipegangnya, tidak salah lagi ini memang dari Hasan. Perasaannya kembali tak karuan, Marissa beranjak membersihkan diri. Ia menyerah dengan semua masalah ini, Marissa menggelar sajadah di kamarnya mengadukan semua kepada Tuhan. Ia terpekur menangis sepanjang malam hingga tertidur di atas sajadah.
....
Marissa terengah mencari kesemua penjuru, namun tak juga ia temukan. Ia bahkan lupa dimana tadi meninggalkan kopernya. Marissa terus mencoba menghubungi seseorang berkali-kali namun hanya bunyi operator yang ia dapati, Marissa menyerah ia memilih duduk di kursi tunggu. Tak ia hiraukan wajah bingung orang-orang yang melihat tingkahnya.
“Aku memang tak berniat untuk melupakannya karena dia seorang yang berharga untukku, tapi aku tak mengatakan aku menolaknya, aku ingin membangun harapan yang baru yang tak mustahil mewujudkannya. Masihkah jawabanku kamu harapakan ? aku tak tahu harus kemana mencarimu, maafkan aku karena membuatmu menunggu.”
Marissa membuat voice note panjang dengan terengah, tapi notifikasi smartphonenya tak juga memberi kabar baik. Rasa dingin tiba-tiba menyentuh pipinya membuat ia berjengit kaget.
“Kak Hasan,”
Seseorang yang ia cari sedari tadi, menyentuhkan botol minuman dingin ke pipinya. Senyum yang kemarin luntur dari wajah tampannya kini terbit kembali, menyejukkan hati Marissa yang sedari tadi gundah.
“Minumlah.”
Selesai...
Description: menjemput rindu yang tertinggal di Dataran Tinggi Gayo
|
Title: Reparasi Waktu
Category: Puisi Cinta
Text:
Titip Hati
Diberitahukan kepada para pembaca yang Budiman:
Nitip hati dulu ya
kalau pemiliknya udah datang
aku ambil lagi.
Selembar Daun yang Jatuh
Memang, aku pernah bertanya
Kepada Tuhan
Tentang selembar daun
Yang akan jatuh ke tanah
Engkau langsung menjawabnya
Dengan semilir anginmu yang
Menggugurkan daun-daun maple
Aku pun bertanya kepada Tuhan
Kapan aku akan jatuh cinta
Lalu panah-panah cinta itu
Menembus perisaiku
Di saat kuncupku belum mekar
Hatiku pun gugur dan hancur
Description: Terkadang detik waktu yang kita lihat tidak sama dengan detik waktu yang dilihat orang lain. Hal itu menyebabkan terjadinya ketidaktepatan waktu.
|
Title: Red Lotus
Category: Fantasi
Text:
Prolog
"Woosh..woosh .."
Suara angin berdesing..
Seorang pria duduk mengembuskan asap rokok di balik pintu kereta ekonomi tujuan Jakarta-Surabaya, sembari melirik ke dalam kabin, berjaga-jaga jika ada petugas keamanan yang berpatroli.
“Heh.. benar-benar akhir-akhir ini.. merokok di kereta begitu susah” dia terkekeh sambil melihat ke luar pintu.
Pemandangan langit malam ini akan memberikan sensasi yang menakutkan bagi kebanyakan orang, tetapi dia terlihat menikmatinya.
Pikirannya melayang kembali ke masa remaja, di suatu sore, saat sedang memancing bersama ayahnya di telaga belakang rumah.
“Bapak, ada cerita apa dibalik namaku?”
Namanya terdengar sangat aneh pada masa itu, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepada ayahnya. Ayahnya tersenyum sambil menatap ke kejauhan.
"Teratai itu bersinar terang saat kau lahir.." ucapnya sambil menunjuk ke telaga.
"Kakekmu memberimu nama itu, yang artinya Teratai Merah dari bahasa Sansekerta.."
"Saat kau siap, kembalilah ke sini.. Misteri di dalamnya hanya bisa terungkap denganmu..”
***
Hari ini dia dalam perjalanan, setelah berhasil memohon bosnya absen selama seminggu dari pekerjaan.
Ia berencana mengunjungi kampung halamannya untuk mencari jawaban atas mimpi yang selama ini mengganggunya.
Pria itu tidak menyadari, keputusan nya ini menjadi awal dari perubahan besar bagi hidupnya dan juga seluruh dunia.
Istana Teratai
Fajar baru saja menyingsing ketika seorang pemuda tiba didepan bangunan yang nampak tua.
Pemuda itu memiliki penampilan yang sederhana, dengan fitur wajah jawa yang tidak terlalu tampan ataupun buruk. Biasa adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkannya. Rambutnya yang bergelombang tidak disisir dengan rapi, menutupi telinganya dan sesekali tertiup angin. Matanya sayu seakan mampu menceritakan perjalanan pahit dalam hidupnya.
Dia memiliki perawakan yang cukup tinggi untuk ukuran orang indonesia. Mengenakan jaket parka berwarna abu-abu, celana jeans biru gelap, sepatu bot kulit sambil membawa ransel dipunggung, dia berdiri diam memandang bangunan itu untuk waktu yang lama.
Entah sejak kapan bangunan itu berdiri. Sejauh yang pemuda itu tahu, rumah milik kakek moyangnya itu setidaknya sudah ada sejak awal jaman kolonial belanda. Tidak ada yang masih hidup, tahu dengan pasti asal usulnya.
Rumah itu terletak di sudut desa, bergaya klasik standar eropa yang sama sekali tidak sesuai dengan bangunan-bangunan lain di daerah sekitarnya.
Halamannya cukup luas, ditumbuhi pepohonan kapuk menjulang tinggi mengitarinya, yang entah bagaimana menambah kesan kuno.
Dibelakang rumah terdapat telaga yang dipenuhi tanaman teratai sejauh mata memandang.
“Sudah lama, den Natha”. tepat ketika pemuda itu hendak melangkah masuk, suara tua terdengar dari arah belakang.
Adhinatha Aurobindo nama pemuda itu, yang memiliki arti Teratai Merah Paling Unggul. Aurobindo nama yang diberi oleh kakeknya.
Dia berbalik dan tersenyum menatap suara tua itu. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berkata: “Bagaimana kabarmu paman Abyaz? Yah, lama tidak bertemu”
Pemilik suara tua itu kemudian menjawab: "Kabar baik den, masih sanggup berjalan dan sedikit membantu dengan tubuh rapuh ini". Dia tersenyum dan mengangguk pelan dengan sikap sopan, memperlihatkan sedikit keriput tua disekitar pipinya.
Natha terkekeh dan berkata: "Sungguh ajaib, penampilanmu sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali yang aku ingat".
Lelaki tua itu bernama Abyaz1 Arvind, dia merupakan salah satu dari sedikit tetua yang Natha kenal sedari kecil. Dia memiliki perawakan yang tegap, mengkhianati pernyataan rapuh yang baru diakuinya. Rambutnya hitam diselingi putih, diikat model sanggul pendek agak ke atas, dengan tali kain berwarna merah.
Semua keturunan dari keluarga Natha memakai nama Arvind dibelakang, yang berarti Teratai. Natha adalah Teratai Merah, sebuah pengecualian.
Dia tidak pernah memikirkan alasan penamaan teratai dalam nama keluarganya, dia berpikir mungkin itu dilakukan karena ada banyak teratai di telaga belakang rumah.
Namun beberapa waktu belakangan ini, Natha merasa segalanya tidak sesederhana itu.
Lelaki tua itu tersenyum dan berkata: “Mari kita masuk den”. Dengan ekspresi yang sama Abyaz mulai pergi memimpin jalan.
***
Rumah itu disebut Istana Teratai, tidak ada yg tahu mengapa itu disebut istana.
Setidak nya menurut Natha.. karena pada masa kecilnya Natha sudah bertanya kepada semua penghuni istana. "Mengapa ini tidak terlihat seperti istana di dongeng dan televisi?” namun dia tidak pernah mendengar jawaban.
Meskipun konon sudah ada selama lebih dari ratusan tahun, Istana Teratai masih berdiri dengan kokoh di sini.
Abyaz memimpin Natha menuju suatu ruangan. Ruangan itu terlihat bersih dan rapih. Tanda bahwa selalu ada yang merawatnya meski sudah lebih dari 10 tahun dia tinggalkan.
Natha masuk dan melihat sekeliling dengan emosional.
"Sigh.." dia tidak bisa menahan untuk menghela nafas dengan berat.
Dia tumbuh dan besar di tempat ini, sebagian hari-hari masa kecil hingga remajanya dihabiskan disini. Begitu banyak pikiran melintas dalam benak Natha, siapa yang tahu apa yang ada dipikirannya..
“Paman Abyaz"
"Aku ingin pergi ke tempat itu..”
Abyaz terdiam selama beberapa saat, kemudian menjawab dengan nada sopan yang masih sama: “Apakah anda sudah membuat pilihan, den Natha?”
“Iya.."
"Tidak perlu lagi berlarian di sekitar semak belukar. Sudah waktunya bagiku untuk mengetahui alasannya.”
Natha terdiam, dan kembali mengingat kejadian pada saat itu.
***
Lebih dari 10 tahun yang lalu Natha pergi meninggalkan Istana ini. Pada waktu itu, Natha berusia 17 tahun. Sekembali dari memancing dengan ayahnya, Istana itu begitu gempar karena sesuatu yang Natha tidak ketahui.
Para pengurus rumah berlarian tunggang langgang kesana kemari, anak-anak muda memasang wajah panik menuju bungker bawah tanah dibawah penjagaan ketat para tetua.
Masih segar dalam ingatan Natha, ayahnya tersenyum dan berkata: “Jika waktu sudah matang kau akan tau alasannya.."
"Sampai saat itu, jangan bertanya dan jangan pernah mencari tahu..”
Itu adalah hal terakhir yang Natha ingat dari ayahnya..
Setelah itu pandangannya menjadi gelap dan dia tidak sadarkan diri.
Begitu saja, ketika tersadar kembali dia sudah berada di tempat tinggal salah satu tetua nya yang bernama Jayantaka2, di ibukota jakarta. Setelah berhasil menenangkan diri Natha bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Namun Jayantaka berkata: "Semuanya sudah ditakdirkan". Dengan wajah penuh kebijaksanaan dia melanjutkan, "Tidak ada gunanya mengetahui apa yang belum waktunya untuk diketahui. Melawan takdir sama sekali tidak akan memberikan hasil yang baik. Untuk saat ini hiduplah dengan tenang dan damai disini den. Jika waktunya tiba tirai takdir akan tersingkap dengan sendirinya"
Natha tidak bisa berkata-kata mendengar Jayantaka, emosi memenuhi hatinya. Tinjunya terkepal erat tidak bisa menerima jawaban tersebut. Dia berkata: "Jika paman tidak mau memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maka aku tidak akan lagi repot-repot bertanya. Akan kucari tahu sendiri jawabannya". Dia bergegas memutuskan untuk pergi.
Jayantaka tetap diam dengan ekspresi yang tenang, tidak berusaha untuk menahan atau menghalanginya. Tepat ketika Natha akan pergi, kata-kata terakhir ayahnya muncul dalam benaknya..
Natha kemudian jatuh ke lantai, menangis dengan keras dan terisak-isak. Ayahnya adalah salah satu orang yang paling dia hormati di dunia ini. Begitu pula dengan kata-katanya, akan selalu dia hormati.
"Sigh.." Jayantaka menghela nafas. Kemudian berkata dengan tenang: "Satu hal yang bisa saya beri tahu pada raden, jika raden sudah merasa cukup. Kembalilah kesana, datanglah ke tempat itu". Dengan mata yang menerawang jauh dia melanjutkan. "Namun, tetap tinggal disini dan hidup dengan tenang merupakan pilihan".
***
"Jika begitu, mari saya antar den". Natha kembali dari keadaan melamun setelah mendengar suara Abyaz.
Abyaz meminpin Natha menuruni lorong bawah tanah Istana Teratai. Lorong ini sangat misterius, hanya sedikit orang yang memiliki otoritas untuk memasukinya. Lebih dari selusin penjaga ditempatkan disini.
Natha hanya memiliki ingatan terbatas tentang lorong ini. Pada masa remajanya, dia sering mengendap-endap mengamati lorong ini. Berusaha mencari celah untuk menyelinap masuk. Sayang usahanya selalu berakhir dengan kegagalan. Setiap dinding seakan memiliki mata dan telinga, yang menyebabkan para penjaga selalu mengetahui apa yang ada disekitarnya.
Mereka berjalan cukup lama sebelum akhirnya melihat cahaya diujung lorong itu.
"Splash"
Natha tidak bisa menahan untuk menutup mata dengan tangannya akibat cahaya yang menyilaukan. Setelah cukup lama, akhirnya dia berhasil membuka mata dan terkejut dengan pemandangan yang dia lihat, di sisi lain lorong itu.
1 Abyaz: Takwa, Taat
2 Jayantaka: Orang Yang Bijaksana
Wilayah Misterius
Padang rumput hijau terhampar sejauh mata memandang. Terdapat juga banyak tanaman dengan berbagai bentuk aneh yang tidak bisa dikenali berjajar dengan rapih, terlihat seperti dibedakan menurut jenisnya.
Diujung cakrawala terlihat deretan bukit yang perkasa memamerkan kejayaannya. Ini persis dunia lain yang sama sekali berbeda dengan tempat dari mana mereka berasal.
Dan yang paling mengherankan adalah kenyataan bahwa ada langit dan juga matahari di sini.
Natha tercengang melihat itu. Rahangnya terbuka lebar, cukup untuk memasukkan dua butir telur ayam kedalam mulutnya. Dia sangat jelas dan yakin mereka menuruni lorong menuju bawah tanah, namun pemandangan didepan matanya benar-benar menjungkir balikan semua pengetahuannya tentang ruang bawah tanah.
Abyaz sedikit berdeham kemudian berkata: "Anda tidak perlu kaget den, tidak lama lagi anda akan memahami semuanya." Kemudian dia terus memimpin jalan untuk Natha.
Ditengah-tengah hamparan rumput dan tumbuhan yang tidak diketahui jenisnya, terdapat jalan setapak yang membentang horizontal terbuat dari sejenis batu alam. Mereka berjalan cukup lama melalui jalan berbatu tersebut sebelum akhirnya sebuah istana terlihat di ujung jalan. Meskipun masih terkejut, kali ini Natha hampir berhasil menjaga ketenangannya.
Istana ini begitu besar. Melampaui semua pemahaman Natha tentang Istana dalam dongeng atau televisi yang pernah dia pikirkan. Itu bersinar terang seakan memamerkan keagungannya.
Memandang Natha, Abyaz berkata: "Ini adalah Istana Teratai yang sebenarnya den."
Natha pulih dari keterkejutan nya dan berbalik menatap Abyaz dengan tidak percaya.
"Istana ini yang sebenarnya disebut Istana Teratai. Tempat ini adalah wilayah misterius yg dijaga oleh keluarga kita secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dahulu kala, entah berapa banyak keputusan penting yang mempengaruhi seluruh dunia dikeluarkan dari tempat ini." Abyaz menceritakan dengan ekspresi bangga diwajahnya.
"Apa kamu bercanda paman?" Natha berkata dengan tidak percaya. "Seluruh dunia? Apakah keluarga kita adalah pelindung dunia atau semacamnya?"
"Anda benar den." Diluar harapan Natha, Abyaz menjawab dengan tegas penuh dengan rasa hormat tanpa sedikitpun keteledoran di matanya.
"Mungkin sulit diterima akal sehat, namun itu adalah kebenaran. Meski saat ini hanya segelintir kekuatan yang masih mengingat tentang kejayaan Keluarga Teratai, tapi semua itu tidak merubah fakta."
"Mari den." Abyaz terus berjalan, Natha kehilangan kata-kata mendengar jawaban Abyaz. Namun dia tetap patuh mengikuti dari belakang.
Awalnya Natha mengira tempat ini kosong tanpa ada yang menghuni. Namun diluar harapan nya ada manusia lain disini.
Tepat ketika mereka tiba di depan pintu istana, lebih dari selusin orang terlihat sedang berjaga-jaga. Sekelompok orang ini melihat kedatangan mereka kemudian datang menghampiri.
Mereka tampak seperti penjaga, namun mereka sama sekali tidak sama dengan penjaga yang Natha temui di pintu masuk lorong sebelumnya.
Mereka menggunakan baju besi seputih salju, lengkap dengan helm, pelindung lengan serta bot panjang sampai ke lutut. Memegang tombak putih dengan mata runcing. Benar-benar terlihat seperti prajurit spartan dalam Film 300.
Seperti biasa Natha terbelalak dengan pemandangan ini, namun dia tetap tenang. Semua yang dialaminya sejak sampai di sini benar-benar keluar dari imajinasi manusia normal. Perlahan dia mulai terbiasa.
Dari fitur wajahnya, mereka terlihat di usia yang sama dengan Natha.
Para penjaga itu berbaris dengan tertib kemudian berlutut di depan Abyaz dengan satu kaki bersandar di atas tanah dan yang lainnya di tekuk menopang lengan: "Salam tetua Abyaz!" Mereka memberi hormat.
"Bangkit" Abyaz mengangguk, kemudian memerintahkan: "Lanjutkan tugas kalian, tidak perlu memperhatikan kami" Abyaz kemudian terus berjalan bersama Natha.
"Baik tetua" Para penjaga menjawab dengan hormat.
Setelah Abyaz dan Natha memasuki gerbang, salah seorang penjaga berkata: "Siapa orang itu? Aku rasa, aku tidak pernah melihatnya." tentu saja, Nathalah yg mereka maksud.
"Aku tidak tahu"
"Ya aku tidak pernah melihatnya"
"Aku juga." Banyak penjaga lain menanggapi dengan serupa.
"Namun memiliki otoritas untuk berada disini, orang itu pasti bukan karakter sederhana"
"Ya Kau benar, lebih baik kita mengingat penampilannya. Menghindari kesalahan dimasa depan." Para penjaga lain mengangguk.
Tiba-tiba seorang pemuda dengan postur tubuh agak besar maju dari kerumunan. Dia berbicara sambil merobek sebungkus camilan, yang dia dapat entah dari mana : "Heh kalian sekumpulan orang bodoh hanya memiliki otot, tidak tahu apa-apa." dia berkata sambil memakan keripik kentangnya.
"Hahaha.. hey gendut, berhenti makan keripik kentangmu dimana-mana. Jika ketua melihatmu habislah kau"
"Sialan kau, siapa yang kau sebut gendut? Kau yang gendut.. kakekmu gendut.. Seluruh keluargamu gendut!" Kesal pemuda gendut itu mengumpat. (hahaha aku juga mulai menyebutnya gendut, apakah itu berarti kakekku gendut?)
Mendengar umpatan itu, sisa penjaga yang lain hanya tertawa dengan terbahak-bahak.
"Hahaha gendut, seolah-olah kau tahu siapa dia." Suara merendahkan datang dari kerumunan.
"Tentu saja aku tahu, kalian semua terlalu meremehkanku." Pemuda gendut itu menjawab dengan muka masam. Kemudian dia melanjutkan dengan nada yang serius. "Jika aku tidak salah, orang itu pasti Raden Natha."
"Raden Natha? Maksudmu Raden Adhinatha?" Penjaga lain mengkonfirmasi.
"Raden Natha siapa lagi kalau bukan Raden Adhinatha? Dasar bodoh." Pemuda gendut itu mencibir. Kemudian dengan mata menyipit dia menatap kearah gerbang istana.
"Sepertinya hari-hari membosankan akan segera berakhir." Dia berkata dengan lirih.
***
Dibalik gerbang Istana terdapat 5 pelataran besar, berbaris dari ujung timur ke barat dengan masing-masing jarak sekitar 100 meter. Di depan setiap pelataran itu terdapat 2 pilar batu yang berdiri sejajar, pilar itu cukup besar untuk dipeluk 2 orang pria dewasa dan memiliki ketinggian sekitar 5 meter. Masing-masing pilar terpisah dengan jarak sekitar 3 atau 4 meter. Itu terlihat seperti gerbang, namun tidak ada jeruji pagar diantaranya. Sekilas, pilar batu itu terlihat seperti portal dimensi atau protal tansportasi di film fantasi atau sci-fi.
Meski penasaran, Natha menahan diri untuk bertanya. Dia khawatir jawaban dari Abyaz akan memberikan kejutan lain untuk hatinya. Namun, dia cukup yakin bahwa hal itu tidak sederhana.
Disetiap pelataran itu kerumunan pasukan dapat dilihat, mereka tampak sedang berlatih. Pakaian mereka masih sama, zirah seputih salju. Namun ada beberapa motif yang samar-samar terlihat berbeda di masing-masing pasukan. Mereka memperagakan gerakan-gerakan silat yang terlihat seperti jenis seni bela diri tertentu.
Kerumunan itu menghentikan semua aktifitas mereka melihat kedatangan Abyaz dan Natha. Kemudian mereka bergegas untuk memberikan hormat, namun dipotong oleh Abyaz: "Tidak perlu, lanjutkan pelatihan kalian"
"Ya tetua" mereka menjawab serentak meuju pelatarannya masing-masing dan kembali berlatih.
Abyaz memimpin melewati pelataran itu menaiki tangga menuju aula utama istana. Ada 2 orang yang berjaga disana didepan pintu.
"Gunakan panggilan Pedang, beritahukan kepada semua tetua aula untuk sampai disini secepatnya. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Kepada penjaga Abyaz memerintahkan.
"Baik tetua." Penjaga itu mempersilahkan mereka masuk, kemudian pergi untuk mengumpulkan tetua lainnya.
Sepuluh Pedang Teratai
Hal pertama yang orang akan lihat saat memasuki aula utama adalah spanduk yang tergantung tinggi di langit-langit. Spanduk itu memiliki gambar teratai di tengahnya, dibordir dengan benang putih bersih dengan latar belakang berwarna merah.
Ditengah ruangan ada sepuluh kursi dan meja bundar tersusun dengan rapih, seperti ruang konferensi. engan Tahta utama diposisikan agak tinggi di tengah barisan. Tahta itu tampak kuno dan memancarkan aura yang tidak bisa dijelaskan.
Abyaz dan Natha berdiri diam di tengah aula, menunggu dengan sabar. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan beberapa orang dengan wajah tenang memasuki aula utama.
Orang-orang ini terdiri dari pria dan wanita dari segala usia, dengan ketinggian dan aura yang berbeda. Satu-satunya kesamaan yang mereka miliki adalah aura yang mereka pancarkan. Ruangan itu bisa dikatakan besar, cukup untuk menampung seribu orang. Namun kehadiran mereka membuatnya terkesan sesak dengan udara yang menyesakkan.
Selain senioritas, orang-orang ini harus sejajar dengan Abyaz dalam keluarga. Tapi Natha belum pernah melihat aura seperti ini dari Abyaz.
Mereka masing-masing berjalan ke kursi yang berbeda, Meninggalkan Tahta utama, dan satu kursi di sebelah kirinya.
Di balik penampilan mereka yang tenang, Panggilan Pedang membuat mereka bertanya apa yang sedang terjadi. Beberapa orang tua bisa menebak secara samar-samar, beberapa terlihat tidak terlalu khawatir tetapi memiliki wajah penuh antisipasi.
Ketika semua orang duduk, mereka terdiam dalam pikirannya masing-masing. Aula otomatis menjadi sunyi.
Akhirnya setelah sekian lama Seorang pria tua berjubah hijau yang duduk di sebelah kanan Tahta memecah kesunyian: “Pria tua, lama tidak bertemu.” Dia berkata pada Abyaz sambil tersenyum.
Orang tua ini memiliki penampilan yang pantas dan benar, baik secara perawakan maupun wajahnya. Sosoknya kokoh, berbeda dengan wajah tuanya. Matanya biru cerah dan serius, seperti safir. Jubah hijaunya membuatnya terlihat berpengalaman dan galak seperti tentara, dia terlihat acuh tak acuh namun penuh hormat.
Abyaz hanya mengangguk tanpa menjawab, lalu dia melihat sekeliling. "Aku akan melewatkan formalitas, dan langsung ke intinya." Dia berkata dengan nada datar.
Tidak mendapat tanggapan, lelaki tua berjubah hijau itu tidak menjadi marah dan hanya tersenyum seolah-olah dia sudah terbiasa dengan gayanya.
"Masalah apa yang begitu penting sehingga Anda menggunakan panggilan pedang untuk memanggil kami semua, Tetua Abyaz?" Seorang wanita yang masih terlihat muda bertanya: “Jika saya ingat dengan benar, terakhir kali Pedang Teratai berkumpul adalah sepuluh tahun yang lalu. Saat itu ayah saya masih hidup dan dialah yang datang, saya belum memenuhi syarat.”
Yang lain mengangguk mengenang masa itu sambil menunggu tanggapan Abyaz.
"Ya itu benar." Abyaz menjawab dengan datar. “Panggilan Pedang adalah otoritas tertinggi kerajaan yang hanya akan di gunakan apabila ada peristiwa-peristiwa penting dan mendesak, yang berkaitan dengan kelangsungan hidup kerajaan. Terakhir digunakan 10 tahun yang lalu oleh Tuanku. Ketika segel portal yang menghubungkan dunia misterius ini melemah, dan hampir dipatahkan oleh pihak dari sisi lain yang mencoba untuk menerobos."
Ruangan itu sunyi, semua orang yang hadir mendengarkan Abyaz dengan seksama.
“Pada saat itu, tuanku mengumpulkan semua Pedang Teratai untuk memperbaiki segel di portal. Tetapi karena kerusakan segel di portal sudah terlalu parah, butuh waktu lebih lama untuk memperbaikinya. Sedangkan pada saat itu juga, satu-satunya hal yang tidak kita punya adalah waktu.” Abyaz berhenti dan memejamkan mata, mengingat kejadian itu.
"Setelah pertimbangan singkat, kami memutuskan untuk membuka segel sepenuhnya alih-alih memperbaikinya. Tuanku dan beberapa tetua yang lebih senior memutuskan untuk memasuki portal dan menangkis para penyerang, sambil mencoba memberi kami lebih banyak waktu untuk membuat kembali segel dari awal." Abyaz kemudian melihat wanita itu dan melanjutkan: "Tapi keputusan itu juga berarti mengorbankan hidup mereka.. termasuk ayahmu."
Perempuan itu terdiam dan tidak bergeming mendengarkan cerita Abyaz. Hal-hal ini seperti yang dia harapkan. Sepertinya dia sudah lama menguatkan hatinya untuk mendengar pernyataan ini.
Abyaz mengalihkan perhatiannya sejenak ke Natha, dan melanjutkan: "Yang tersisa dari kami kemudian bertugas membuat segel baru di portal. Dan ya.. kami berhasil."
"Namun, segel yang berhasil kami buat pasti tidak bisa dibandingkan dengan segel sebelumnya." Abyaz berjalan ke arah tahta sambil melanjutkan: "Seperti yang kita semua tahu. Segel pada portal itu awalnya dibuat oleh Kaisar Teratai ribuan tahun yang lalu, pada masa kejayaan Kaisar. Saat itu Kaisar Teratai adalah eksistensi terkuat di dunia ini, tidak ada satu kekuatanpun yang bisa melawan otoritasnya."
“Adapun segel yang berhasil kami buat, tentu saja jauh lebih lemah. Hingga saya perkirakan, segel itu hanya bisa bertahan paling lama lima belas tahun, dan paling cepat sepuluh tahun."
Semua orang di aula utama tiba-tiba memasang wajah serius setelah mendengar kalimat terakhir Abyaz. Yang lebih muda terkejut sedangkan yang lebih tua menghela nafas dengan berat, karena mereka sudah mengetahui kenyataan ini sejak lama, sama hal nya dengan Abyaz.
Namun terlepas dari semua itu, Ini jelas bukan merupakan kabar yang baik, melemahnya segel berarti orang-orang dari sisi lain akan kembali dan mencoba menyerang seperti di masa lalu.
Saat ini sudah sepuluh tahun berlalu, jika perkiraannya akurat itu berarti mereka hanya punya waktu paling lama lima tahun. Dan paling buruk, tidak ada waktu tersisa untuk mereka.
Natha mendengarkan seluruh percakapan di aula dalam diam. Dia secara samar-samar mengumpulkan informasi yang baru saja dia terima, dan mengaitkannya dengan potongan-potongan ingatan dari apa yang terjadi sepuluh tahun lalu.
Dia tidak bisa menahan untuk mengepalkan tinjunya dengan erat. Jika orang membuka kepalan tangannya mereka akan melihat garis garis merah di kulit tangannya akibat kuku yang ditekan dengan keras.
Dia berpikir dalam benaknya “Ayah dan kakekku pasti termasuk dari orang-orang yang menerobos memasuki portal itu!”
Melihat ekspresi Natha, Abyaz berkata: “Benar den, ayah anda Pangeran Bryatta .. dan kakek anda Raja Bhadrika yang juga tuanku. Termasuk orang-orang yang memasuki portal untuk memberi kami waktu.”
Natha menggertakkan giginya dengan keras mendengar konfirmasi Abyaz.
Sementara itu, semua orang di aula memandang Natha dengan ekspresi kaget. Jelas mereka akhirnya menyadari siapa Natha sebenarnya. Mereka semua langsung berdiri dan memberi hormat pada Natha dengan serentak: “Salam Raden Adhinatha, maafkan kelancangan kami karena tidak mengenal Anda sejak awal.”
Natha pulih dari amarahnya mendengarkan salam mereka. Setelah sedikit penyesuaian, dia lalu berkata dengan nada datar: "Ketidaktahuan bukanlah kesalahan, silakan duduk kembali Pedang Teratai." Natha mengangguk sopan dan mengajak mereka kembali ke posisi semula.
Natha bukanlah orang bodoh, nyatanya sejak kecil dia termasuk anak yang jenius. Dia dengan mudah mengambil kesimpulan dari semua informasi yang dia dapatkan dalam perjalanannya ke wilayah misterius ini, dan memperoleh pemahaman sederhana tentang siapa dia dan apa posisinya dalam keluarga.
Meskipun semua fakta datang terlalu tiba-tiba, dengan sedikit sentakan di benaknya dia bisa segera menyesuaikan diri dengan situasi yang sedang dia hadapi.
Description: “Bapak, ada cerita apa dibalik namaku?”. Namanya terdengar sangat aneh pada masa itu..
Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya kepada ayahnya.
Ayahnya tersenyum sambil menatap ke kejauhan. "Teratai itu bersinar terang saat kau lahir" ucapnya sambil menunjuk ke telaga.
"Kakekmu memberimu nama itu, yang artinya Teratai Merah dari bahasa Sansekerta.."
"Saat kau siap, kembalilah ke sini.. Misteri di dalamnya hanya bisa terungkap denganmu..”
|
Title: Replika Rindu
Category: Puisi Rindu
Text:
Pertemuan
Jika ku sadari dari awal
Pertemuan hanyalah beberapa saat di kemudian
Akan kuubah waktuku untuk mengulang
Aku ingin menulis cerita yang lebih baik dari yang pernah terbayang
Terima kasih kehadiran
Hadirlah berulang-ulang
Hingga kita sama-sama pulang
Jakarta, 02 Februari 2018
Di Dalam Buku
Ketika aku hidup kembali dalam sebuah buku.
Aku tak peduli kau membolak-baliknya atau tidak
Kau menyadarinya atau tidak
Kau memahaminya atau tidak
Di dalam buku ini kuabadikan kerinduanku.
Selalu,
Menulis adalah terapiku dalam melupakan
Dan kembali mencintaimu
Dalam waktu yang bersamaan
Jakarta, 04 Maret 2018
Setiap Hari
Selamat datang
Aku ingin katakan
Rindu yang terulang
Tidak bisa dihalang-halang
Biarpun sungkan
Akan kuabaikan
Asalkan kau pulang
Kureka ulang
Semalam ada yang tanyakan
Seberapa besar kerinduanku hilang
Ku katakan, belum sekalipun terbuang
Jakarta, 05 Maret 2018
Perbedaan Waktu
Jika kemarin aku pura-pura lupa tentangmu
Maafkan, itu bentuk kesengajaan
Menutupi cinta yang dalam
Jika sekarang aku menggebu-gebu datang
Maafkan, itu bentuk sapaan
Menyatakan besar perhatian
Jika esok aku jujur mengatakan rindu
Maafkan, itu benar selalu
Menampakkan tulus padamu
Jakarta, 05 Maret 2018
Kemarin
Kemarin aku menulis
Lupa bagaimana susun kata
Persis bagaimana aku membicarakannya
Mungkin tak lagi sama
Kucoba kembali menerka
Aksara terbaik kupilih mana
Tulisanku membicarakanmu dari sudut berbeda
Keberhasilanmu mewarna dunia dalam gulita
Sekarang aku menulis, tertera
Sudah halaman berapa
Tidak kuhitung rupa
Sebab rinduku takkan rubah rasa
Tulisan terus abadi hingga berlembar-lembar kita
Dan di saat itu
Kau akan sadar
Kalimatku sebuah bentuk replika jiwa
Jakarta, 05 Maret 2018
Mencari
Aku menelusuri jalan panjang
Di perkiraan jarak, tersebut histori masa silam
Perpaduan khayalan dan kenangan
Berpadu satu dalam harmoni perjumpaan
Sempat kutanyakan
Adakah sepenggal cerita mungkin terulang?
Di depan orang yang didatangkan?
Namun, tetap takdirku ialah
Aku dipasangkan
Kepergianmu memang kesengajaan
Kehilanganmu bukan kebetulan
Sekembalinya kamu adalah pembuktian
Kesetian menjadi pengikat jarak yang panjang
Takdir mengatakan
Jakarta, 05 Maret 2018
Aku Ingin Memanggilmu
Aku ingin memanggilmu dengan nama keseharian
Tapi kurasa, nama panggilanku lebih membuatmu kuat, kesayangan
Aku ingin memanggilmu dengan sebutan cinta
Tapi kurasa, belum saatnya tiba
Aku ingin memanggilmu dengan setia
Tapi kurasa ada waktu tertentu juga
Aku ingin menjagamu selamanya
Tapi kurasa ada baiknya jarak
Memisahkan kita berdua
Untuk sementara
Rindu menggelayut dan mengubah-ngubah kita
Tenang saja
Tidak akan lama
Kau dan aku akan bersatu jiwa
Jakarta, 06 Maret 2018
Aku Pemalu
Aku pemalu
Di awal kita bertemu aku sudah seperti itu
Lama mengenalmu
Aku semakin pamalu
Ternyata cinta memilihmu
Aku pemalu, apa kau tau?
Kau tau bagaimana aku mengungkapkan rindu?
Menulisnya dalam bentuk buku dan lagu
Kuserahkan tulisan dan nadaku
Seperti yang pernah kuceritakan dulu
Aku sekarang mengagumimu
Semakin banyak tulisanku
Yang menjadi alasan bahwa rindu terus berulang kepadamu
Aku menulis kembali padamu
Jika kau tau
Aku menulis semua ini untukmu
Terima kasih telah ajarkan rindu
Jakarta, 06 Maret 2018
Jangan Menyesal
Jangan menyesal dengan keputusan yang kau buat, ya
Baik buruk hasilnya selalu menjadi pelajaran berharga
Tuhan ajarkanmu menjadi lebih dewasa
Bertumbuh kuat dan jadi pribadi utama
Kamu harus percaya
Jalan selalu ada dimana-mana
Jangan diendapkan lama
Intuisiku berkata
Kamu akan dapat yang lebih indah dari sebelumnya
Jangan menyerah pada nyata yang ada
Sebelum semua tertutup rupa
Semesta penerang kan bantu wujudkannya
Jakarta, 07 Maret 2018
Pagi
Selamat pagi
Hari ini di jam yang sama
Hari yang sama
Dan tempat yang sama
Aku mencari-carimu
Barangkali masih ada pemilik parfum yang kurindukan
Kuputar bola mata
Tidak ada tanda-tanda
Sepertinya aku belum terbiasa
Selamat pagi (kembali)
Di hari berikutnya belum kutemui juga
Apa aku sudah gila?
Tak bisa terima nyata
Kamu pergi hingga cepatnya
Aku tidak menyukai perpisahan
Gulana menerjang
Selamat pagi (kesekian kali)
Kamu benar-benar sudah pergi?
Kapan kembali?
Aku rindu, sudah berkali-kali
Jakarta, 08 Maret 2018
Malam
Biasanya malam terasa singkat
Hari ini tidak
Sebelumnya aku menghitung waktu seberapa cepat
Sekarang, seberapa hebat?
Aku ingin menulis saja
Barangkala di tempat sana
Kau sempat-sempatkan membaca
Ruang yang kucipta tanpa sengaja
Ternyata bisa menjadi diorama
Kutunggu kamu, ya
Manatau setelah membaca rindu
Kau langsung ingin temuiku
Aku masih di tempat yang sama
Berada setia
Melebihi rasa yang ada
Mungkin sebaiknya
Kau berterima kasih pada keadaan
Kita terpisahkan
Tidak saling menyalahkan
Namun, kita masih sama-sama sungkan
Jakarta, 08 Maret 2018
Senja dan Jingga
Senja itu, Jingga bersamaku
Ia duduk termangu
Apa yang dipikirkannya aku tiada tahu
Ada yang mengganjal
Ada beban
Aku diam
Diamku adalah bentuk perhatian
Senja itu Jingga mengalih-ngalihkan pembicaraan
Menutup-nutupi perasaan
Aku rasa ia mencoba tegar
Aku diam
Diamku adalah lingkar sayang
Senja itu aku tidak bisa diam
Apa ada yang ingin kau ceritakan?
Kau diam
Diammu adalah rahasia disembunyikan
Kau benar pintar
Senja itu aku tetap jatuh cinta kepadamu
Kurangkul peluk seluruhmu
Pindahkanlah ke pundakku
Kita cipta gembira baru
Jakarta, 09 Maret 2018
Mengalir Saja
Aku tidak bisa memprediksi akan mencintai siapa
Meluangkan waktu kemana
Menjajal tempat apa
Tapi yang kutuju
Hatimu
Selalu membentuk rongga-rongga rindu
Aku tidak tau persis kapan mencintaimu
Tanpa penjelasan aku mensyukuri
Sebab mencintai adalah kesenangan
Kamu adalah tempat ternyaman
Mengalir saja
Tidak hitung-hitung waktu dan penyebab
Aku tidak bisa memberi penjelasan
Jakarta, 09 Maret 2018
Kita
Terkadang kita membenci keadaan
Kita senang mengait-ngaitkan
Menemu titik seolah terang
Padahal terkecoh dengan kenyataan
Tidak pernah ada kesedihan
Mungkin yang kau maksud membalik kebahagian
Berhati-hatilah
Jika merasa belum terbiasa
Jangan sekena
Baiknya simpulkan bahagia
Seperti sekarang
Aku mencoba terlihat kehilangan
Padahal mencinta lebih banyak kenangan
Bahkan untuk mengingat susah hilangkan
Bahagiaku tersembunyikan
Jakarta, 09 Maret 2018
Maaf, Semesta
Maaf, semesta
Hari ini aku ambisius mencintainya
Jakarta, 09 Maret 2018
Lebih Berat
Kamu tau?
Mencintaimu ternyata lebih berat dari yang kuduga
Dari awalnya biasa
Jatuh cinta,
Kemudian jarak mencoba menguji kita
Aku kira biasa saja
Lambat laun aku mengira-ngira
Sekuat apa aku ditinggal lama?
Nyatanya tak mampu juga
Jakarta, 09 Maret 2018
Disegerakan
Jika mencintai adalah ketidaksengajaan
Aku bersyukur dalam harapan
Penjelmaan cinta dalam balutan
Semoga segera disegerakan
Selingkar
Panjang jarak perlahan menghapus rindu
Khawatir apa sehabis-habisnya
Tak tau bertahan berapa lama
Aku jatuh cinta, tidak pada orang yang berbeda
Yang menanti kembali
Rinduku masih bertahan
Walau tak sebanyak di awal perpisahan
Jakarta, 09 April 2018
Kembali
Rinduku lahir kembali
Setelah berminggu-minggu dalam masa inkubasi
Apa kabar?
Seperti biasa,
Dengan pertanyaan ini
Sepertinya tidak lagi sepi sendiri
Jakarta, 07 Mei 2018
Jangan Pernah
Jangan pernah merasa sendiri
Sebab, percuma aku ada di sini
Jangan pernah merasa bebanmu melampaui kapasitas diri
Kau punya kemampuan membahagiakan diri sendiri
Jika tak sanggup lagi
Masih ada aku
Dalam penantian kabar serupa setiap hari
Sampaikan saja
Aku bersedia terbagi bebanmu meski tak lagi berada di sini
Jakarta, 07 Mei 2018
Lemah
Terkadang aku benci pertemuan
Sebab jika kelak dipisahkan,
Melahirkan kerinduan mendalam.
Aku lemah jika dihadapkan kepada yang demikian
Jakarta, 10 Mei 2018
Terulang
Aku tidak pernah takut (lagi) dengan perpisahanYang aku takutkan adalahRindu yang tiba-tiba datang di waktu-waktu yang tidak dimintaDan aku paling lemah jika di hadapkan padanya
Aku menyebutnya kebencian yang terulang
Dan mereka tetap saja pulang
Jalarta, 13 Mei 2018
Terulang
Sudah lama tidak bersama.Sudah lama tidak bercengkrama.Sudah lama tidak meluangkan waktu untuk "sibuk sendiri" maupun "sibuk berdua".Ada yang hilang,Ada yg kosong, Dan ada yang datang,Aku selalu diingatkan bahwa waktu tidak pernah sungkan untuk melupakan.Tapi, sekembalinya kamu selalu menjadi topik pembicaraan.
Jakarta, 25 Mei 2018
Bayang
Aku lebih baik bersahabat dengan bayang
Ia takkan pernah pergi tinggalkan
Kalaupun hilang,
Kapan kupanggil ia kan datang
Jakarta, 02 Juni 2018
Hujan
Aku ingin, ketika bertemu kembali denganmu, menumbuhkan kerinduan yang mendalam.Seperti hujan yang telah lama tidak datang
Jakarta, 26 Juni 2018
Bayang
Selamat malam,
aku mencintaimu seperti aku melihat bayangku.
Di tengah malam, ia memilih hilang
Jakarta, 08 Oktober 2018
Takut
Pagiku takkan kuperlihatkan kepadamu
Cukup kusimpan
Dan setiap hari akan kuceritakan samar-samar
Bahwa rasa cinta yang begitu besar, dipendam atau diungkapkan memiliki dua kemungkinan
Dijauhi atau dijauhi
Dan aku takut karena setiap katanya sama
Dan berkemungkinan kecewa
Jakarta, 11 Agustus 2018
Bisu
Ketika hidup melahirkan kebisuan,percayalah ada yang mendengar tanpa perlu diucapkan.Semua kita sama,hanya saja, ada manusia yang mencoba mengkotak-kotakkan.
Jakarta, 14 Agustus 2018
Keputusan
Pada akhirnya kita akan memutuskan. Memilih bertahan atau pergi meninggalkan kenangan dan angan.
Bukan siapa yang lebih cepat, tapi apa yang lebih tepat.
Jakarta, 14 Agustus 2018
Bungkam
Aku membungkam rasa rindu
Bicara dadakan mengenai kepergianku
Menurutmu aku kuat menahan suara?
Aku berpura-pura,
Ketika kau katakan kesedihanmu luar biasa
Aku berkali-kali lipat adanya
Jakarta, 31 Agustus 2018
Waktu, Tempat
Terkadang aku senang menyalahkan waktu, menyalahkan tempatPadahal tanpa keduanya takkan ada rasa kehadiran dan menghargai setiap pertemuanTerima kasih waktu, terima kasih tempatKau selalu menjadi alasan kenapa aku menduga bahwa aku dan mereka tak pernah selalu bersama
Terulang
Lagi-lagi aku rindu
Dan malu untuk mengatakan
Lagi-lagi aku rindu
Dan takut untuk menyatakan
Lagi-lagi aku rindu
Berpura-pura tidak merasakan
Lagi-lagi aku rindu
Mencoba tidak memperlihatkan
Lagi-lagi rindu
Datang menyiksa perasaan
Jakarta, 02 September 2018
Ini aku lagi
Oh Tuhan,
Ini aku lagi
Mengadu rindu kembali
Sampaikan suara hati
Ingin jumpa ia kembali
Terima kasih Tuhan
Telah mempertemukanku
Dengan ia yang luar biasa
Mengajarku tanpa kata
Bahasa tubuh dan wajahnya memberi isyarat semua
Saat itu kagum dan cinta
Menjelma menjadi rindu untuk sementara
Jarak yang begitu jauh memisahkan kami berdua
Tuhan, sampaikan rindu dan titip sayang untuknya
Jakarta, 01 November 2018
Bagiku
Bagiku hidup adalah pertanyaan
Kenapa?
Untuk apa?
Mengapa?
Siapa dan kepada siapa kita mencinta?
Jakarta, 01 Februari 2019
Masalah
Setiap orang punya masalah
Kamu punya masalah
Akupun punya masalah
Dan salah satu masalah terberatku adalah kamu
Rindu yang berkepanjangan dan belum tersampaikan
Jakarta, 04 Februari 2019
Hancur
Kususun kembali kerinduan
Berharap akan waktu yang tepat tuk sampaikan
Yang semula hancur berantakan
Sesal kemudian takkan terulang
Jakarta, 04 Februari 2019
Puisi Kosong
Kita tak pernah tau untuk siapa kita ditakdirkan dan siapa yang akan ditakdirkan.
Kadang yang kita butuhkan adalah kepura-puraan.
Menunjukkan rasa berlebihan padahal sebenarnya ada sebuah tempat yang kita kosongkan.
Dan bercerita, ini sudah terisi semenjak tadi
Jakarta, 13 Februari 2019
Tuhan, bolehkah?
Tuhan bolehkah aku merindukan orang yang belum terlalu kukenal?
Dan dia yang belum terlalu mengenalku..?
Atau dia yang teramat kukenal?
Dan dia yang teramat mengenalku..?
Untuk menyampaikannya,
Mendadak aku menjadi bisu.
Takut
Padang, 14 Februari 2019
Hai
Hai, kira-kira berapa detik kau menyadari kepulanganku?
Berapa detik kau menatapku?
Maaf, silau
Aku tidak sadar ada kau
Matahari sedang berbaik hati memberimu waktu
Dan maaf. Aku menghancurkan di detik ke sekian.
Aku berjalan
Seperti biasa, aku berpura-pura
Padang, 14 Februari 2019
Sepakat
Hai, aku belum siap
Dan tak tau kapan akan siap
Atau takkan pernah siap
Muncul pertanyaan, apa yang disebut sandiwara.
Perlahan kita dituntut melafalkannya
Dan orang-orang bertepuk tangan
Sebab sesuai dengan ekspektasi mereka
Mereka anggap, kita saling melupakan rindu
Kenyataannya, kita tetap bersatu
19 Februari 2019
Dianggap Baik
Kenapa kita harus mengalah?
Apa karena itu sifat yang baik?
Atau jalan terbaik?
Atau barangkali agar dianggap baik
Atau sedang jadi baik
Atau juga dipaksa jadi baik
Kau pilih yang mana, wahai orang baik?
Padang, 19 Februari 2019
Riwayat
Jarak kita sungguh dekat
Riwayat itu menjadikannya sekat
Jika hendak memilih
Inginlah kiranya bertukar tempat
Tapi semesta mencipta syarat
Adakah hendak terjerat?
Padang, 19 Februari 2019
Isyarat
Apa kau masih di sana?
Atau sudah pergi sedari tadi tak kusadari
Aku percaya pada pesan tak bersuara,
Tak berbentuk rupa warna
Kusampaikan dalam bentuk khayal dan imajinasi sederhana
Ada rasa dan sepanjang itu aku membawanya.
Selamat menjalani hari dengan isyarat yang kukirim selama-lamanya.
Padang, 24 Februari 2019
Sela-sela
Hai, aku menyukai hujan
Sebab di sela-sela jatuhnya
Kutemukan rindu yang berulang
Dengan pertanyaan, apakah kau akan pulang?
Padang, 05 Maret 2019
Masa
Suatu hari,
Akan tiba satu masa.
Kamu akan merindukan,
Dan bersyukur telah ditemukan
Dia
Jakarta, 10 Juli 2018
Amarah
Aku mencintai amarah dan kebencian
Sebab dengan itu
perlahan kau bisa menepis rindu
Tapi bagiku, rindu takkan kuselesaikan sampai di sini
Aku masih memeliharanya dalam kalimat-kalimat pendek ini
Bukan sekarang, 5 atau 10 tahun lagi
Akan kuterangkan
Bahwa itu bentuk kesengajaan.
Aku saja yang merasakan, kamu harus melupakan
Padang, 14 Maret 2019
Bayang
Pada akhirnya aku ingin mengatakan
Aku sudah cukup dengan bayangku sendiri
Semua rinduku padamu kuambil kembali
Akan ku simpan untuk diriku lagi
Padang, 24 Maret 2019
Perasaan
Aku tidak butuh penjelasan
Dan tak suka menjelaskan
Pikirkan saja semuanya sendiri
Aku juga memaksa diriku menjadi mandiri
Mandiri mengolah perasaan.
Meski terkadang membuat jawaban yang tak beralasan
Padang, 24 Maret 2019
Janji
Jangan terlalu banyak berjanji
Jika tidak ingin menyakiti
Orang yang jatuh cinta takkan berani menyakiti pasangannya sendiri
Detik di mana aku berhenti sampai di sini
Padang, 24 Maret 2019
Waktu
Izinkanku aku lupa akan waktu
Agar ketika ia balik
Aku tak perlu tau berapa lama ia tinggalkanku
Jakarta, 29 Juni 2018
Rasa-rasa
Bagiku kau adalah rasa-rasa
Yang kutolak untuk didiamkan
yang ku rela untuk dibahagiakan
Maka, jangan pernah sekali bertanya
"apakah kau telah jenuh menyimpan rasa?"
Mungkin jika saat itu tiba, jawabanku hanya sekedar tawa
Itulah ajaibnya jatuh cinta kepada kamu
Aku menikmatinya, aku mensyukurinya
Seluruh rasa ini selalu, adalah kamu
Jakarta, 17 Juni 2019
Sepertinya
Mungkin lebih senang menjadi kamu
Tidak ada beban untuk merindukan
Menjadi aku, berarti merindu dan berpura-pura melepaskan
Jakarta, 14 Juli 2019
Hari Manis
Hai, lagi-lagi aku menyapa duluan
Barangkali kamu sibuk
Bagaimana kabarmu?
Hmm, masih ingat hari manis itu?
Saat di setiap pertemuan ada kejutan
Coklat, gundam, makan
Saat dimana kita tertawa berdua dan tak seorangpun tau apa penyebabnya
Padahal alasannya sederhana
Kita sama-sama saling jatuh cinta
Jakarta, 25 Juli 2019
Lelah
Aku lelah menghitung jumlah sabar yang kukerjakan
Lelah menunggu kabar
Lelah menunggu kepulangan
Kapan kita sama-sama kembali dipertemukan?
Jakarta, 29 Juli 2019
Bertemu
Suatu hari
Akan tiba satu masa
Kamu akan merindukan
Dan beruntung telah ditemukan
Jakarta, 2018
Pagi
Selamat pagi (kesekian kali)
Kamu benar-benar pergi?
Kapan kembali?
Aku rindu sudah berkali-kali
Jakarta, 2018
Kenapa Jika
Jika tidak kuat berpisah,
Kenapa memilih jalan berpisah.
Untuk melatih rasa?
Atau memang pilihan berdua?
Atau terpaksa mengiyakan pilihan dia?
Kenapa menjadi bodoh?
Kenapa tidak memilih jalan yang disenangi saja.
Kenapa memilih jalan yang sifatnya memaksa?
Jakarta, 20 Agustus 2019
Sembunyi
Seperti hilang tadi pagi.
Padahal perjumpaan sudah lama tak terjadi.
Dimana kau sembunyi?
Setiap pagi kucari-cari, barangkali sepekan lagi,
Kita berjumpa kembali.
Rinduku tak pernah mati.
Jakarta, 24 September 2019
Jenuh
Pernahkah kalian menemukan kejenuhan?
Jenuh dalam merindu, jenuh dalam menunggu, jenuh dalam mengatur sesuatu, jenuh dalam aktivitas yang berlalu.
Dan yang menjenuhkan adalah memendam rasa, yang kalian tahu takkan tersampaikan hingga ujung usia.
Seberapa hebat kamu untuk itu?
Jakarta, 2019
Description: Jika alasan adalah cara terbaik sembunyikan rasa, maka lahirnya tulisan ini ialah sebab rindu yang tak berkesampaian, tak berkesudahan.
Aku malu jika mengatakan berulang.
Khawatir kau ragu, khawatir kau tak lagi menunggu.
Kutulis rinduku dalam bentuk replika buku
|
Title: REVIEW RAHASIA SALINEM
Category: Review
Text:
REVIEW RAHASIA SALINEM
ORIGINALITAS
Novel "Rahasia Salinem" ini mengingatkan saya pada novel berjudul "Gadis Kretek" karya Ratih Kumala. Sama-sama dibuka dengan seseorang yang menyimpan misteri dan mesti diungkap. Alurnya pun kurang lebih sama sekalipun saya merasa novel ini dalam segi alur baik saat menampilkan kejadian di masa sekarang maupun yang berlangsung di masa lalu masih terkesan kurang rapih–saya terkadang masih menemukan kejadian di masa sekarang disisipi kenangan atau cerita dari masa lalu dan itu cukup mengganggu bagi saya terlebih sejak mula novel ini berjalan dengan konsep yang memisahkan alur maju-mundur. Dikatakan pula, novel ini semacam fiksi sejarah. Namun jika dibaca lebih mendalam, novel ini sebenarnya hanyalah fiksi yang mengambil latar sejarah. Sejarah di sini bukanlah menu utama, melainkan hanya tunggangan untuk kisah yang sebenarnya, yaitu: ketabahan dan pengabdian Salinem. Memang sempat diceritakan pula penggalan-penggalan sejarah, semisal: soal kedatangan Jepang ke Indonesia yang membawa masa-masa sulit juga, kemerdekaan Indonesia, juga pembantaian para komunis. Namun tokoh-tokoh–utamanya Salinem, Soegiyo, Gusti Kartinah, Gusti Soekatmo–di dalamnya bukanlah orang yang terlibat langsung dengan sejarah tersebut, melainkan hanyalah orang-orang yang menerima dampak dari kejadian sejarah tersebut. Terlebih lagi penggalan-penggalan sejarah tadi diceritakan secara kebut, terkesan meringkas saja, terkesan "pokoknya-ada". Lupakan soal Salinem yang membantu memasok senjata, itu hanya alasan si penulis mempertemukan Salinem dengan Parjo–satu-satunya saksi hidup yang tahu banyak soal Salinem. Dan agaknya lebih tepat jika novel ini disebut novel drama saja ketimbang novel fiksi sejarah.
Saya adalah orang yang percaya bahwa sebuah novel terlahir dari keresahan. Selalu ada sesuatu–meskipun tak melulu harus mengandung pesan moral–yang ingin dibagi dan disampaikan oleh si penulis kepada pembacanya. Di sini saya tidak melihat sesuatu (keresahan) yang urgensi yang perlu dibagi oleh si penulis. Apa yang dibagikan di novel ini pun terkesan biasa-biasa saja, tidak ada orisinalitas–sesuatu yang segar–di dalamnya. Kita bisa mendapatkan cerita-cerita semacam ini dari sinetron di televisi dan kita sudah muak–harusnya–dengan cerita seperti ini. Sayangnya, cara bercerita si penulis pun tidak membuat cerita biasa-biasa ini menjadi berbeda. Cerita yang biasa-biasa saja ini diceritakan dengan cara yang biasa pula sehingga menjadi sangat hambar. Terlebih lagi si penulis seperti kehilangan kesabaran menjelang akhir cerita, ada kesan terburu-buru di sana, sehingga bagian di mana Salinem menunjukkan mengapa ia perlu diberi penghormatan begitu besar oleh keluarga bangsawan tersebut, justru tidak tergali dengan maksimal, membuat saya sulit kagum pada sosoknya sedemikian rupa selayaknya yang ditampilkan keluarga bangsawan tersebut.
DIALOG BUILDING & CHARACTER CHEMISTRY
Di awal-awal cerita si penulis lebih banyak menggunakan narasi ketimbang dialog, dan terlihat sekali si penulis sangat sabar dalam membangun latar cerita–utamanya suasana. Karakter Salinem tua (Mbah Nem) yang keras kepala tergambar dengan jelas di bagian ini, terasa betul keras kepalanya Mbah Nem yang menolak rumah sakit dan lain sebagainya, satu hal yang kemudian tak lagi saya dapati di bagian-bagian selanjutnya, ketika Salinem masih muda. Salinem muda lebih terkesan pasrah, nerimo, lugu, dan nyaris dungu apalagi dengan sikap menghambanya itu. Ini cukup membuat saya heran, bagaimana Salinem muda yang seperti itu bisa menjadi keras kepala ketika ia tua. Ya, memang banyak yang terjadi, kejadian-kejadian getir dan tidak menyenangkan, hanya saja seperti tidak membawa perubahan dalam diri Salinem. Si penulis sempat mengatakan dalam suatu narasi bahwa sejak kematian Giyo, Salinem sangat membenci orang Jepang, membenci perang atau apalah itu, namun hanya sebatas itu saja. Salinem muda saat bersikap masih seperti orang lugu, tidak digambarkan dengan baik bahwa ada yang berubah dari dalam Salinem, bahwa akhirnya ada bara api yang menyala di dalam diri Salinem–meskipun sudah dijelaskan begitu. Narasi yang menceritakan perihal perubahan dalam diri Salinem hanya jadi seperti keterangan tanpa kejelasan, tanpa kedalaman karakter. Bahkan saat berdialog pun perubahan dalam diri Salinem muda tidak kentara, tak seperti saat ia sudah tua dan digambarkan keras kepala tidak hanya berupa keterangan tetapi juga mendalam.
Menjelang akhir, pace cerita meningkat, dialog makin banyak, dan beberapa saya rasa agak percuma, beberapa dialog rasanya tidak membawa efek apa pun, kosong belaka yang, jika dihilangkan pun atau diciutkan ke dalam narasi tidak akan berdampak besar pada cerita.
Lalu soal chemistry antartokoh. Mengenai ini, saya mau ambil contoh bagaimana Kazuo Ishiguro membangun chemistry antartokohnya memalui karyanya bertajuk "Never Let Me Go". Dalam novel tersebut, Ishiguro membuat interaksi antartokohnya terutama saat berdialog, bisa menampilkan secara benderang bagaimana karakter dari setiap tokohnya. Tidak sulit membedakan tokoh mana yang menyebalkan, mana yang berpikiran tenang dan stabil, mana yang pemarah. Bisa dibilang interaksi tersebut menciptakan gradasi karakter antartokoh yang membuat pembaca mudah mengenali tokoh tersebut meskipun tidak diberitahu nama tokoh tersebut.
Berbeda dengan novel ini. Di sini yang jelas adalah karakter Salinem tua (Mbah Nem) yang keras kepala, yang lainnya tidak sama sekali, bahkan nyaris kembar. Pembaca akan kesulitan mengetahui siapa yang berdialog tanpa ada keterangan siapa yang bicara karena baik jenis kalimat, intonasi, dan cara pengucapan terasa sama belaka. Sebagai contoh Parjo dan Giyo, dua lelaki yang dicintai Salinem dalam waktu yang berlainan dan dengan berbeda latar belakang, menggunakan kalimat yang nyaris sama saat berbicara dengan Salinem. Jadi, bisa dibilang, chemistry antartokoh tidak terjalin dengan baik dan menjadikan karya ini makin hambar.
Terakhir, perihal dialog dalam bahasa Jawa, di sini kebanyakan hanya seperti agar novel ini ada rasa Jawanya mengingat memang latar tempatnya berada di sekitaran Solo. Tidak lebih dari itu. Setidaknya begitu yang saya rasakan.
Oya, satu lagi, saya ingin bertanya, bagaimana Salinem yang diceritakan bisa menulis namanya di awal-awal bab, bisa dikatakan tidak bisa baca tulis (alfabet) dalam bab-bab akhir.
GAYA TULISAN
Di awal-awal detail terasa betul. Si penulis sangat tahu bagaimana membangun suasana, latar, dan mengungkapkan pikiran tokoh-tokohnya. Penggunaan ibarat-ibarat dengan penganalogian suatu hal dengan hal lainnnya membantu membuat cara bercerita menjadi menarik. Namun, di bab-bab berikutnya, narasi penutur terasa seperti keterangan, terlalu banyak penjelasan sehingga kesannya jadi membaca berita di susat kabar yang diperparah dengan dialog-dialog yang percuma. Entah apa sebabnya, namun satu yang pasti itu sangat membosankan. Apalagi ditambah dengan penggalan-penggalan sejarah yang terasa numpang lewat.
KAIDAH (TANDA BACA)
Si penulis tahu meletakkan tanpa baca pada tempatnya. Dan terlihat betul si penulis paham betul dengan aturan kepenulisan. Jikapun ada salah eja, itu pun hanya sedikit sekali, dan saya yakin itu kelalaian yang tidak disengaja, dan layak dimaafkan. Lalu perihal dialog tanpa tanda petik, tentu saja itu bukan kesalahan. Beberapa penulis pernah menggunakan dialog semacam itu, sebagai contoh: Eka Kurniawan, Ben Loory, dan Etgar Keret.
SAMPUL
Sampulnya bagus, hanya saja tidak mencerminkan cerita di dalamnya. Saya bertanya-tanya, mengapa tidak ada "sepiring pecel" atau "bakul pecel" di sana, padahal di novel ini pecel punya andil yang besar.
Description: Ulasan untuk novel berjudul "Rahasia Salinem"
|
Title: Ruang Senandika
Category: Cerita Pendek
Text:
Bayangan yang Sedang Mencari Kawan
Semalam, bayangan itu terus berkelebat. Mondar-mandir di dalam mimpi. Apa yang diinginkannya? Entahlah. Aku tidak peduli maupun mencoba ingin tahu. Sebab itu hanya bayangan yang beberapa hari terakhir membangun sebuah ruang di sisi lain alam bawah sadarku. Aku tidak pernah berniat mengusirnya, toh dia tidak mengganggu. Hanya saja dia dia selalu berjalan. Gelisah.
Pagi tadi aku mematut diri di depan cermin dan ya, jelas ada diriku di dalam cermin itu. Hanya saja aku melihatnya berbeda. Lama-lama bayanganku dalam cermin pudar, kemudian berubah menjadi sebuah bayangan yang sepertinya tidak asing.
Yaps! Bayangan yang selama ini di dalam mimpi. Dan dia disini. Memasuki dunia nyataku juga. Ahh..dia benar — benar sudah mengusikku. Apakah di dalam mimpi saja tidak cukup? Apakah harus merenggut kehidupan nyataku juga?
Aku menghela nafas panjang. Kemudian memalingkan wajah, menarik engsel pintu dan mengunci kamar rapat-rapat. Langkah kaki yang sukarela melangkah selama 20 menit menuju tempat kerja. Ada bau basah namun gerah. Dingin agaknya. Semalam sempat dingin, tapi hanya beberapa saat. Paginya, suhu menjadi seperti biasa. Panas.
Bayangan itu terus mengikuti. Mengekor di belakang. Dia tidak berani menyapa, menundukkan kepala, menatap jalanan yang agak basah karena embun. Akupun juga enggan menyapanya. Hanya merusak mood saja. Sampai di tempat kerja, dia masih terus di belakangku hingga aku benar-benar jengah.
“Enyahlah!” Dia tidak bergeming.
“Enyahlah! Kumohon, aku hanya punya satu kehidupan disini. Kehidupan mimpiku bahkan sudah kau renggut. Tidakkah itu cukup ?” Air mata mulai berdesakkan keluar, hanya saja aku tetap menahannya. Membuat mata menjadi panas dan merah. Aku tidak ingin marah, tidak ingin mengiba, tapi pada akhirnya aku melakukannya.
Ya. Aku mengiba pada sebuah bayangan.
Dia tetap disini. Dia tidak ingin enyah. Sepertinya. Entah bagaimana, aku bisa mengerti apa yang dia katakan meskipun dia tidak berbicara sepatah katapun. aku memberanikan diri, menatap kedua matanya. Sendu. Bahkan lebih sendu dari kehidupanku, seolah semua beban yang ada dalam diriku dia bawa. Dan bayangan itu mencerminkan betapa beratnya hidup yang sudah dia bawa kepadaku. Aku tidak tega, biarkan saja. Biar dia disini. Mungkin saja dia hanya butuh teman, sebab dalam mimpi dia terabaikan.
Hampir satu bulan, dia masih tetap disini. Aku sudah tidak menghiraukannya. Terserah saja. Aku sudah tak peduli. Aku hanya berpikir bagaimana cara bertahan esok hari. Bagaimana caranya merangkai semangat untuk pagi yang terlalu cepat datang, tepatnya bagaimana aku harus memasang wajah yang setidaknya terlihat ceria. Sejak bayangan itu datang, aku tidak memiliki malam. Semuanya berubah menjadi pagi dan siang. Lalu sore hanya sekelebat, malam hanya sekedipan. Kemudian kembali lagi menjadi pagi yang tidak bersudah.
Menggunjing waktu sepertinya bukan hal yang bagus. Karena itu percuma. Bahkan dia masih tetap disini, di mimpi juga. Aku kembali mematut diri di depan cermin. Hari ini sepertinya aku butuh beberapa bacaan baru untuk mengisi ruangan kosong dalam otak. Dan di dalam cermin sudah tak lagi ku temui diriku disana.
Benar.
Bayangan itu juga disana.
Kami saling beradu tatap, aku dapat merasakan rasa kesepiannya, hatinya yang mulai membeku dan perasaan-perasaan terabaikan dalam jiwanya yang kosong. mungkin itu yang membuat dia bersedih, sehingga dia berkelana mencari kawan. Setelahnya, bayangan itu memudar perlahan dari cermin,
Menjadi diriku.
Pikiran yang tersesat di Rumah Coklat
Rumah coklat.
Sebenarnya namanya cafe coklat. Tapi dari awal aku mengenalnya dengan nama Rumah Coklat. Tempat ini masih sama seperti tahun sebelumnya, bahkan masih sama seperti awal waktu datang kemari. Ruangan yang minimalis dengan sofa dan kursi kayu yang dominan berwarna putih, juga air yang mengalir di dinding kaca lengkap dengan suara gemericiknya yang membuat sejuk ruangan kecil itu. Biasanya kursi sofa adalah pilihan tiap kemari, hanya saja saat itu cafe sedang ramai dan hanya ada kursi kayu warna putih dekat kamar mandi. Tanpa basa basi, aku langsung meletakkan sling bag dan notebook di meja, tak lama waiter membawakan buku menunya. Tak banyak yang berubah dari menu cafe ini. Semuanya masih tentang coklat. Hanya saja disini aku tidak pernah memesan coklat.
“Hmm.. Saya mau matcha latte dengan sedikit es dan juga matchapresso.”
“Baik kak, silahkan ditunggu.” waiter itu tersenyum manis, sementara aku hanya mengangguk tanpa memberi senyuman. Kuraih sling bag yang kuletakkan di depanku mencoba menemukan sesuatu dan ternyata tidak ada. Aku yakin aku sudah meletakkannya pagi ini, namun sepertinya aku salah mengingat. Aku butuh bolpoin, dan lupa adalah kebiasaan terburuk sampai saat ini. Aku mendengus kesal, padahal banyak sekali yang ingin ditulis. Sementara di sebelahku segerombolan mahasiswi sedang asik bercanda namun suara mereka terlalu keras. Aku melirik ke arah mereka sinis namun tak ada yang menyadarinya. Oke, aku hanya akan menunggu pesananku datang, menghabiskannya, kemudian pergi.
Sepuluh menit kemudian matchapresso ku datang terlebih dahulu, padahal sebenarnya aku merasa sangat haus. Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. matchapresso adalah sebuah kue yang imut, hanya berbentuk lingkaran kecil seperti mochi namun matcha ice cream memenuhi bagian perut kue. Jadilah namanya matchapresso karena kulit bagian luar yang melapisinya ada rasa moka yang tidak terlalu kuat, dan masih dengan warna hijau khas matcha. Selang lima menit setelah mencicipi matchapresso yang ternyata cocok di lidah, pesanan keduaku datang. Tanpa babibu aku langsung menyeruputnya. Pahit. Aku lupa, ada madu di sebelahnya dan belum kucampur dalam gelas matchaku. Namun begitulah rasa matcha, pahit, ada harum seperti obat namun menenangkan, dan aku menyukainya. Tidak seperti kopi yang selalu disukai banyak orang, matcha adalah favorit dari sedikit orang. Kopi mungkin pahit. Namun, matcha juga pahit. Bahkan lebih pahit dari kopi, menurutku. Tapi kopi punya daya tarik yang membuat orang banyak mencintainya. Gelap, pekat, pahit. Sedangkan matcha, dia berwarna hijau yang terang, namun pahit. Diapun rupanya juga memakai topeng yang sama. Begitulah mungkin aku dan matcha sangat terhubung.
Aku melamun, melihat beberapa orang sekelilingku. Mereka bersama kawan mereka masing-masing atau bersama pasangan mereka. Hanya aku dan salah satu pengunjung di depanku yang datang sendiri ke kafe. Seorang perempuan Asia yang sedang asik tersenyum-senyum melihat ponsel. Kadang, aku melirik ke arahnya ingin sekedar menyapa. Namun keinginan itu urung. Beberapa kali aku ingin sesekali melatih diriku untuk mampu memulai mengajak orang lain berbicara terlebih dahulu, rupanya aku belum mampu. Sejujurnya, Aku tidak pandai memulai percakapan, atau memecah keheningan atau apalah itu. Sebenarnya aku kehilangan kemampuan itu. Kemampuan yang dulu dibanggakan oleh diriku. Jiwa yang bebas dan mudah beradaptasi. Aku teringat sebuah diary yang aku tulis bersama 4 kawanku saat masih duduk di bangku SMA. Kami menamainya twitbook.
Yaps!
Seperti twitter tapi berbentuk buku. Kami bisa mengutip kalimat masing-masing sesuka hati. Ya, istilahnya adalah retweet. Ada hal yang selalu kuingat sampai sekarang. Salah seorang temanku memberikan kolom survey yang gunanya untuk menilai kepribadian kami masing-masing. Tentunya aku mendapatkan poin yang bagus kecuali, ke 3 temanku melingkari sebuah kata “introvert”. Aku tidak pernah menyadarinya saat itu. Aku baru menyadari beberapa tahun setelahnya. Setelah kita selesai dengan masa SMA dan melanjutkan kehidupan kami masing-masing. Hingga kami semakin jauh terpisah. Tapi tidak untuk pertemanan kami, kecuali satu orang yang sudah tidak pernah ingin kami kenal lagi atau mungkin sebaliknya.
Entah kenapa, aku kembali memikirkan diary itu. Yang sudah lama tidak terbaca. Aku memikirkan diriku sendiri. Ketika ke tiga temanku dahulu sama-sama memberikan tanda pada kata introvert. Apakah aku sedemikian itu? Apakah hatiku terlalu tertutup?
Setelah aku kembali berpikir, mungkin saja benar. Mungkin saja aku introvert. Tapi aku tidak menganggap diriku demikian. Itu hanya penilaian mereka saja. Tapi mungkin bagi beberapa orang yang mengenalku, mereka juga berpikir demikian.
Dan sebenarnya, dulu aku adalah manusia berjiwa transparan. Aku selalu mudah bercerita kepada siapapun. Maksudku, hanya dengan orang-orang yang kukenal dan kupercayai. Bukankah aku tidak terlalu introvert? Aku cukup mudah membuka hati. Berbahagia, dan menjalani kehidupan yang sangat menakjubkan. Sepertinya.
Dan sepertinya aku salah.
Tidak ada yang menakjubkan. Ketika dunia diputarbalikkan begitu saja. Keadaan sama sekali berbeda. Dan aku baru menyadari bahwa aku sampai pada titik ini. Titik dimana kebanyakan orang mengatakan ku introvert. Bukankah itu hakku? Bukan salahku jika aku berubah. Aku hanya menuruti keinginan orang-orang. Orang-orang yang hanya minta untuk didengarkan tapi tak pernah mendengarkan. Kemudian mereka suka berasumsi sendiri, memutuskan sendiri, kemudian aku hanya mengikuti apa yang mereka katakan tanpa bisa beropini. Jadi, mungkin itulah kenapa aku menjadi memilih diam. Bukan berarti aku mengalah. Hanya saja sudah cukup lelah dengan semua hal.
TIDAK!!
KEMBALIKAN PIKIRANKU TOLONG! AKU SEDANG TERSESAT!
(Sementara suara gemericik terus menggema bergulir menjadi melodi yang stagnan di telinga, sedangkan pikiran masih terus berkelana mencari jalan pulang.)
Suara Liar yang Mencari Jalan Keluar
60 km/jam
Pukul setengah 10 malam. Sudah tidak banyak kendaraan yang lewat. Suasana saat itu sepi, hanya sesekali suara jangkrik saling bersahutan. Sementara suara angin terdengar lirih mulai meresap ke semua pori-pori kulit. lampu-lampu rumah mulai dipadamkan, hanya menyisakan penerangan di teras ataupun di balkon. Sepertinya manusia-manusia sudah terlelap tidur. Sepasang mataku menoleh ke kiri dan ke kanan, beberapa saat agak hilang fokus.
70 km/jam
Aku mulai terbiasa dengan udara yang semakin dingin dan menepuk tengkuk dengan agak kasar. Waktu sedang berjalan lambat, sesuai permintaan yang tidak tersirat. Aku menikmatinya perlahan, sesekali ingin memejamkan mata sementara suara-suara liar mulai menggema di kepala.
80 km/jam
Mataku menerawang ke depan. Kosong. Sisi kiri mataku agak terasa hangat, dan sebulir air mata menetes, jatuh dihempas udara.
90 km/jam
Lagi-lagi, suara jangkrik bercampur kesunyian berlomba menjadi nada yang tak beraturan. Ditambah terdengar suara bising dari mesin motor yang kulajukan perlahan semakin cepat. Sempat kulirik, jarum di spido meter semakin bergerak.
100 Km/jam
Pertama kalinya jarum di spidometer motor mencapai angka 100. Yaps! Bukan mimpi, itu benar-benar angka 100! Angka yang sempurna bukan? Harusnya begitu. Darahku mulai berdesir, sementara angin mulai menghempas dengan keras namun menenangkan. Dingin, namun terasa damai. Jantung mulai berdegup dengan cepat, dan pikiran seolah memaksa tanganku yang mulai dingin untuk terangkat. Aku meluncur di jalanan yang agak menurun.
AKU AKAN MATI!
Ada yang berteriak di dalam sana. gelisah, takut, dan gembira. Otakku sudah tak berfungsi dengan baik. Dan mengontrol sedemikian rupa untuk menikmati udara yang terus menampar dengan kasar. Sementara mata terpejam, sesuatu menelisik kedalam pikiran. Tanganku mulai terangkat perlahan dan mataku kupaksa untuk menutup sesaat.
Sebuah kilatan cahaya berhasil menyentak dan mengembalikan kesadaranku, memaksa membuka kedua mata dan mengambil alih logika yang sedari tadi tertutup.
100...90...80...70...60...50...
50 Km/jam
Motorku kembali melaju secara normal. Namun diriku masih dengan tatapan kosong dan pikiran yang amat kacau. buliran airmata tadi semakin banyak, jatuh dari kedua mata dihempas kembali oleh udara menjadi titik-titik yang tak kentara.
Sesampainya di rumah, kuhempas tubuhku di atas ranjang setelah mengunci pintu dengan rapat. Menenggelamkan wajah ke bantal dan terisak lirih takut suara isakanku akan terdengar orang serumah. Sebab, yang mereka tahu, aku adalah sosok yang ceria. Ya, dan aku selalu menjadi seperti itu.
***
7 tahun berlalu dengan cepat. Kejadian demi kejadian masih terekam dengan baik. Banyak alasan-alasan yang berani dimunculkan supaya bisa bertahan yang meyertai secara perlahan dan tanpa sadar. Ada sesuatu di dalam diri yang dianggap mati dan ditahan supaya tidak muncul lagi. 7 tahun juga sebenarnya masih seperti neraka, meskipun tak sejahanam waktu itu. Waktu pikiran picik sempat menguasai diri.
2 tahun belakangan banyak hal cukup romantis terjadi dan sempat membuat terlena. Sempat juga lupa bahwa aku sedang ‘tidak baik-baik saja’. 2 tahun yang sangat singkat. Yang sebenarnya tetap menjadi sebuah neraka. Aku masih belum menemukan sosok yang mampu menjadi telinga. Padahal airmataku sudah ingin tertumpah semua, tapi rupanya belum waktunya.
Belum.
Belum saatnya untuk menangis, belum saatnya bersedih, belum saatnya.
Jadi kupaksa wajahku mengenakan topeng yang sedemikian rupa, meskipun topeng itu sekarang sudah cukup lusuh, mulai tipis terkikis waktu, dan hampir menampakkan wajah asliku.
Beberapa orang berbasa-basi bertanya apa yang salah denganku?
Tidak ada.
Hanya saja...
Gamang.
Di sebelahku ada sebuah pisau kecil yang cukup tajam. kerap kali aku memainkannya, menyapu dengan jari-jari pada bagian tajamnya. menekannya sedikit sampai menimbulkan sensasi sakit dan gatal yang menyenangkan. atau bahkan menggaruk beberapa bagian tubuh dengan benda itu. tidak sampai terluka. hanya saja aku menyukai sensasinya. Dan seperti menjadi hobi baru yang menyenangkan.
Sesekali kupandangi pisau yang ada di genggamanku, dan pikiran yang kosong menyuarakan satu-persatu opini namun berakhir dengan ketidakpastian. karena nyatanya sampai saat ini aku masih memilih untuk tidak mendengarkan opini itu. opini yang jahat yang sering muncul atau mungkin tepatnya sering kubuat sendiri untuk meyakinkan bahwa sebenarnya aku harus memilih.
Suatu saat aku bercakap-cakap dengan seorang teman.
“Aku benci hujan. Aku benci air di pantai, laut, sungai dan dimanapun. Aku benci kopi yang disukai orang-orang. Aku benci alpukat yang terasa lembek di lidah. Aku benci berlari. Aku benci orang-orang yang suka mencibir. Aku benci orang-orang yang berbohong kepadaku. Aku benci dengan segala hal yang pasti...” aku memejamkan mata, menghela nafas yang cukup panjang yang mengisyaratkan bahwa banyak hal yang dibenci dan belum disebutkan dalam satu tarikan nafas.
“Kenapa kamu banyak membenci? Kenapa hidupmu penuh dengan kebencian?” Sepertinya temanku tak dapat menahan rasa penasarannya.
“Tidak, aku tidak membenci semua hal.” Aku menatap lurus ke depan. Kalimatku masih menggantung, terhenti disitu. Aku mengikuti kemana bola mataku berkelana. Tak ada apa-apa hanya udara yang semestinya tak terlihat. Namun bagiku mereka menggumpal menjadi sesuatu yang amat besar dan menyesakkan.
Aku menghela nafas cukup panjang, “Ya, aku menyukainya. Aku menyukai ombak, aku menyukai pantai. Bahkan kalau aku mati di tempat itu, aku rela. Atau aku mati sekarang saja?”
Merayakan Kesunyian
Lagi-lagi bagian diriku menyeruak. meronta untuk diakui kehadirannya. Selama ini kami hanya membuat kesepakatan untuk tetap sama-sama diam. Melewati agustus dengan perasaan yang terlalu datar, tidak ada kata bahagia. Senyum hanya sekedar pemoles saja. Kami masih bernegosisasi, di balik kegelapan.
Mengutuk diri sendiri adalah kewajiban tiap hari. Bercengkrama dengan cermin sebelum melakukan rutinitas adalah awalan di pagi hari, dan mendengarkan lagu-lagu sedih adalah cara kami berkomunikasi.
Bagaimanapun kami juga ingin diakui kehadirannya.
Namun kami menemukan sebuah kenyataan bahwa hidup kami terlewati begitu saja. Benar, kehidupan melewati kami. Tanpa melihat bahwa kami juga masih bernafas dalam bumi yang dibentuk Tuhan.
Katanya semesta suka melucu?
Memang. Dia suka sekali bermain-main dengan kami.
Suatu malam, seorang kawan bercerita tentang hal yang menyenangkan. Namun tidak menyenangkan buatku. Pikiran jahat yang lama hilang, tiba-tiba melesap ke permukaan. Seketika tawa memecah keheningan, sementara airmata tak berhenti merangsek keluar dari kedua mata yang sudah cukup lelah untuk selalu terbuka melihat dunia yang bahkan tidak menghargai kehadiran kami.
Seolah memang kami adalah satu kesatuan yang tak tertembus oleh penglihatan siapapun. tidak satu orangpun. Keeksistensian kami mulai diragukan, mulai dipertanyakan oleh diri sendiri.
Di malam yang sama, kami merayakan kesunyian ditemani beberapa gema hewan-hewan malam yang terdengar merdu sesaat. Aku sering melakukannya sendiri, tidak kali ini. Aku hanya ingin memanggilnya keluar dan bersenang-senang, merayakan kesunyian dan berbagi beberapa kegelapan yang asik mengelilingi
Apakah masih layak untuk mengambil beberapa oksigen di semesta ini untuk memenuhi sisa-sisa hidup yang entah akan beranjak kapan. Apakah semesta mengijinkan? bahkan dia tidak peduli bukan?
Kami hampir menyerah.
Pikiran itu menggelitik hingga kini. Kami tak pernah mencoba menyerah, tapi kami ingin mencoba untuk menyerah.
Haruskah?
Layang-layang yang Lengkara
“Apakah akhir-akhir ini kamu masih bersama rutinitasmu?
terlelap di bawah selimut, merebahkan badan di atas kasur ketika pukul 10 malam?
Kemudian bangun di pagi hari untuk berolah raga? Membuka laptopmu, menghabiskan waktu di cafe menikmati seduhan kopi yang mulai menghangat? Jika boleh jujur, saat itu aku ingin berlari menghampiri dan bertanya; apakah aku boleh hanya sekedar duduk menemani? Di belakangmu pun tidak masalah.
Benar. Seputus asa itunya diriku yang sekarang.
Apakah hujan juga menyambangimu setiap hari?
Dan memikirkan percakapan singkat kita sesekali?
Beberapa hari terakhir cuaca di Jakarta tidak menentu, kan? Selalu berada di bawah 30 derajad.
Aku mulai bisa menikmati suaranya yang berjatuhan di atap, menimbulkan suara keras yang terasa hangat. Meskipun saat ini, dingin adalah cara paling tepat untuk menggambarkan sebuah malam yang tidak pernah datang terlambat.
Semalam, kamu menyapa tiba-tiba di dalam mimpi. Kupikir, kita benar-benar bertemu sehingga kamu bersedia membagikan beberapa hal di pundakmu. Seseorang naif sepertiku mungkin lebih bersukacita tenggelam dengan beberapa kenangan, sedangkan dirimu yang terus merajut masa depan. Kamu terus melangkah, bahkan tak pernah ada lagi bahasan tentang pertemuan.
Kenapa aku tidak pernah melihatmu berada di beranda Instagram? Menyebarkan beberapa lagu favoritmu. Atau menyukai beberapa postingan lucu di Line.
Beberapa hari terakhir kepalaku seolah ingin meledak. Rupanya aku terlambat menyadari, bagaimana muaknya dirimu saat itu menghadapi manusia yang menyebalkan ini terlalu mengganggu bukan?
Kamu seperti sesuatu yang lengkara, tanpa sadar menimbulkan lara.
Seperti seseorang yang memainkan layang-layang, membawanya ke tanah lapang dan menerbangkannya tepat saat angin berhembus ke segala arah. Melepasnya hingga tinggi, namun mempertahannkannya dengan pasti. Namun kamu tidak sadar kan, angin-angin itu bisa membuat layang-layangmu putus. kamu merasa ingin membiarkannya, namun kamu terlalu takut. Lama-kelamaan, tanganmu kebas karena tak kuat lagi menahan benang layangan itu. Kemudian, kamu hanya menyudahinya. Kamu beranjak dari tanah lapang itu, kembali tanpa layang-layang yang awalnya ingin kamu biarkan terbang. Sementara, layang-layang itu terhempas, mendarat ke segala tempat. Tercabik-cabik tak berbentuk lagi badannya yang dilapisi kertas emas. Dia tidak lagi sebuah ‘layang-layang’.
Meskipun begitu, aku masih merajut doa yang sama meskipun bagimu aku hanya sebuah manusia yang sekedar lewat sambil mengucapkan kata ‘permisi’. Aku selalu berharap dan berdoa tentang sebuah pertemuan mungkin yang sangat tidak terduga. Atau memang kita tidak akan pernah bertemu dan hanya sebatas hari-hari berlalu seperti biasa. Maaf, aku terlalu menyebalkan.
Satu hal yang mengganggu di kepala: apakah kamu masih ingin bertemu?”
Gadis itu meremukkan sekaleng susu yang sudah habis di tangan kanannya setelah berbicara panjang lebar, menoleh ke arah samping. Dia tidak menemukannya. Udara malam berhembus dengan kencang, menghempaskan sosok yang tidak pernah ada.
A L L E G R O
Sekali waktu aku memikirkan bagaimana bisa mengenalimu pada sosok manusia yang lain. Bagaimana pun, tidak ada yang semenenyenangkan dirimu. Kita sering membicarakan hal-hal yang tidak pernah berujung, berdebat kemudian saling diam, lalu kembali bercengkrama seolah tidak ada yang terjadi. Kamu begitu riang, memendam banyak hal seorang diri, membeberkan segala makian untuk menyadarkan diri. Sebab saat itu aku nyaris tak bisa lari.
Seperti halnya yang lain, setelah ‘dia’ menjadi hantu hujan, lalu kamu pun mengucapkan salam perpisahan. Apakah kamu menjelma menjadi lautan?
Karena aku mendapat ketenangan darinya seperti aku pernah mendapat ketenangan yang sama darimu.
Kamu datang dan berlalu dengan cepat. Seperti irama pada lagu-lagu penyemangat, tapi kamu tidak. Kamu berkebalikan. Kamu adalah kumpulan dari lagu sedih dengan tempo cepat. Secepat angin menghembuskanmu pergi.
Lagi-lagi, aku masih mencari dirimu pada sosok manusia di masa depan. Namun rupanya kamu benar-benar tidak pernah kembali.
Dan aku mati, untuk ke sekian kali.
Aku makin bisa mengendalikan diri, untuk tidak menumpahkan semuanya dengan senang hati.’
Pembenci Hujan
Suara gemerisik sore tadi rupanya hembusan angin yang menerpa pohon-pohon hingga mengeluarkan bunyi berisik yang kupikir hujan. Beberapa hari belakangan, atap rumah selau ramai kejatuhan hujan yang bertubi-tubi. Mungkin karena itulah, aku berpikir kali ini pasti juga sedang hujan. Ah, rupanya tidak hari ini.
Ah sepertinya aku mulai merindukan hujan. Atau tepatnya percakapan-percakapan yang ada tentang hujan. Sebuah obrolan yang basi namun menyenangkan. Singkat namun mengundang berbagai macam kenangan. Padahal sebelumnya aku bukanlah penggemarnya. Aku pembenci nomor satu. Sebelum aku benar-benar mulai bercengkrama dengannya.
Semua percakan kebanyakan akan kumulai dengan hujan yang datang saat itu. Sebuah notifikasi pesan pribadi menunjukkan namanya.
“Enak buat tidur kayaknya”
“tidur mulu. Yang lain gitu"
Lalu percakapan kami selalu disudahi dengan sticker2 yang dikirimkannya.
Lama-lama pesan-pesan kami menjadi hambar. Atau mungkin pesanku membuatnya menjadi hambar. Padahal, aku mulai ingin meraba pelan-pelan, seperti gerimis yang datang layaknya ucapan permisi ketika ingin menghadirkan hujan lebat. Namun sepertinya, caraku ‘permisi’ tidak berkenan. Lalu dia menghilang. Tepat setelah hujan.
Dan kali ini aku tidak membencinya.
Hallo Reza!
(karena aku tahu surat ini tidak Akan pernah sampai pada tuannya)
Halo Reza,Apa kabar ?Pertanyaan yg klasik, kan? Padahal aku tau kamu baik-baik saja. basa basi yg sudah tidak lagi layak digunakan. Tapi, aku benar-benar penasaran. Sebab tidak ada jejak apapun yang kamu tinggalkan.Sungguh, aku tidak tahu cara berbicara. Tiba2 kamu datang entah darimana kemudian menyapa.Seperti biasa, firasatku selalu berkata bahwa kamu sama seperti manusia lainnya. Yang kemudian akan pergi tiba-tiba.Aku pernah membenci hujan, tapi membicarakannya denganmu begitu mengasyikkan. Dan berusaha mencari hal-hal lucu untuk berbincang denganmu adalah pengupayaan yang menyenangkan.Sejujurnya, aku menunggu ketika kita merencanakan pertemuan. Sebuah ajakan yang berakhir tanpa jawaban.Mungkin kamu sudah berubah pikiran.Atau aku memang tak mencapai ekspektasi yang kamu inginkan.Padahal aku hanya ingin berteman. Atau karena aku hanya bayangan? dan menurutmu mudah saja untuk diabaikan.Padahal,Aku senang berteman denganmu, meskipun kamu hanya sekedar memberi jawaban. Dan aku yang lebih sering memperpanjang percakapan. Aku sadar, kamu mulai menarik diri pelan2, tapi aku berupaya membuatmu bertahan. Namun sepertinya kamu sudah kelelahan, dan mulai berpikir Bahwa aku tak layak dijadikan teman. Atau mungkin aku sebuah gangguan?Entahlah, aku hanya sedang belajar untuk berbicara. Aku sedang belajar untuk bertanya. Dan aku benar-benar sedang berusaha.Aku selalu menyukai teman-teman baruku. Mendengarkan cerita-cerita yang lucu. namun mereka, pun kamu tidak suka rupanya berlama-lama denganku.3 bulan mungkin waktu yang cukup bagimu untuk merasa jengah dan terbelenggu.Maaf.Aku hanya tidak tahu cara untuk berteman, membuat mereka pun dirimu tetap bertahan dalam kilas waktuku.Kali ini aku benar-benar rindu berbincang denganmu.Selamat tidur.Dari seseorang yang ingin berkawan denganmu.
PSEUDO
“Apa yang kamu harapkan dari seorang manusia?”
“Tidak ada. Tidak ada yang bisa diharapkan.”
Sosok di sebelahku tersenyum setelah menjawab pertanyaan konyol yang terucap dari mulutku begitu saja. Saat itu, kami sedang duduk di tepi pantai sambil menunggu malam. Hanya ada suara riuh ombak disertai hembusan angin yang sesekali mengelus permukaan pipi.
Dingin.
Sedingin sosok yang masih diam terpaku menatap ke satu arah. Aku bahkan bisa melihat segala hal di balik tubuhnya dengan jelas, meskipun saat itu hari sudah mulai gelap.
“Apakah benar-benar tidak ada yang bisa diharapkan dari manusia?” Aku masih penasaran dengan jawabannya. Atau setidaknya aku ingin mendapat kepastian untuk diriku sendiri. Namun, sosok di sampingku menggeleng dengan tegas.
“Ketika kamu menjadi manusia, kamu tidak sadar juga akan menyakiti manusia lainnya. Kamu tidak sadar bahwa kamu selalu merasa luka namun kamu juga melukai. Manusia adalah makhluk paling berkuasa untuk memberi harapan, namun tidak memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Jadi, apalagi yang harus kamu harapkan? Mereka hanya ciptaan yang paling pembangkang!”
“Tapi... aku juga manusia..” Ucapku lirih.
“Lalu kamu sama seperti mereka. Tidak diragukan lagi.” Aku kembali terdiam. Perkataannya tadi membuatku tersadar, bahwa aku memang manusia. Atau sedang berpura-pura menjadi manusia? Atau malah hanya sedang berpura-pura menjalankan kehidupan normal seperti manusia?
“Jadi apakah aku tidak boleh berharap kepada manusia?”
“Mereka memang hanya mesin pembuat harapan, namun kamu berhak untuk menentukan pilihan. Ingin menjatuhkan harapan pada manusia yang seperti apa. Tapi aku tidak akan menjamin bahwa harapanmu akan sejalan. Harapan itu semu. Bukankah kamu sudah termakan kesemuan itu berulang kali? Kamu tidak ingat, ketika semua harapanmu hancur karena manusia-manusia itu, kamu hanya akan berkutat dengan kesendirian, mengunci kamar lalu membiarkan pikiran buruk menggerogoti. Kamu bahkan tidak pandai menangis. Kamu tidak bisa mengandalkan siapapun bukan? Tidak ada yang tersisa selain dirimu, semuanya pergi. Apa kamu tidak lelah?”
Aku menghirup nafas panjang sebelum akhirnya menghembuskannya dengan kasar. Otakku seolah berputar dengan lambat untuk mencerna segala hal yang baru-baru ini terjadi. Satu-persatu semua menghilang bagai buih.
“Aku sangat lelah..” ucapku getir.
“Beristirahatlah...” Suara itu terdengar sangat lirih, namun aku dapat mendengarnya dengan jelas.
Kami berdua terdiam, menikmati kesunyian masing-masing. Seiring dengan suara deburan ombak, lama-lama sosok di sampingku pun menjadi samar, makin tak terlihat, kemudian memudar.
Kulacino Secankir Matcha
Di sebuah cafe, kopi, matcha dan coklat dijejerkan dalam masing-masing toples bening sehingga para pelanggan dapat bebas memilih dan menunjuk minuman kesukaan mereka. Warna hijau cukup mencolok diantara coklat dan kopi yang memiliki warna gelap, selain itu mereka memiliki rasa yang sama. Pahit.
Para pelanggan asik berdatangan. Tidak peduli dengan denting jam dinding tua yang selalu berbunyi tiap satu jam sekali. Meja-meja terlihat penuh, tentunya dengan minuman mereka masing-masing. Di dalam masing-masing cangkir tersebut ada beberapa yang berisi kopi dingin dan juga coklat di setiap meja. Namun, kopi menjadi pilihan yang disenangi para pelanggan. Mereka bisa menambah sekali atau bahkan dua kali.
Lihat saja, bahkan toples bening milik kopi sudah tinggal sedikit. Disusul dengan coklat yang sudah habis lebih dari setengah. Berbeda dengan toples bening milik matcha yang hanya berkurang sedikit. Warna hijau mencolok itu sepertinya membuat para pelanggan ragu untuk menyesapnya. Dengar-dengar, rasa matcha itu palsu. Mereka perlu menambahkan satu sendok susu kental manis atau madu untuk mengubah rasa yang katanya ‘palsu’ itu, pun matcha memiliki aroma yang aneh, seperti obat kata mereka.
Berbeda dengan kopi. Katanya, kopi adalah sebuah simbol pergaulan, ada pula yang menyukainya cuma-cuma, aromanya juga menenangkan. mau ditambah apapun sesuka hati atau tanpa menambah apapun sesuka hati kata mereka, kopi adalah rasa paling jujur. Pahit. Hitam. Tidak seperti matcha, warnanya menggairahkan, namun itulah cara matcha berkamuflase dengan warnanya yang ternyata rasanya bahkan sama pahitnya dengan kopi dan coklat.
Coklat memiliki prestige tersendiri bagi penggemarnya. Siapapun pasti akan menyukainya dengan senang hati. Meskipun pahit, atau bahkan manis sekalipun tidak ada yang menggunjingnya dan menyebutnya dengan kepalsuan. Bagi para pelanggan, coklat bisa menjadi simbol romansa yang menarik.
“Tolong matcha 1 ya.” Terdengar suara pelanggan yang akhirnya menginginkan secangkir matcha. Matcha melirik ke arahku dengan berbunga-bunga. “Oh iya, hampir lupa, tolong kasih madu yang agak banyak ya. Thanks.” Suara pelanggan yang sama terdengar lagi, dan hal itu membuat Matcha menjadi sedih seketika. Mungkin, memang sudah semestinya matcha harus disandingkan dengan sesuatu untuk menutupi ‘kepalsuan’-nya, seperti itulah kira-kira perasaan yg digambarkan Matcha kepadaku. Hari-hari begitu melelahkan bukan?
Bahkan aku tidak menyadari sudah lewat sebulan dengan rutinitas yang hampir sama. Toples bening Matcha masih belum berkurang terlalu banyak. Sementara toples kopi dan coklat sudah diganti isinya lebih dari 10 kali dalam satu minggu.
“Hmm permisi, saya ingin memesan matcha dingin ya. Tidak usah pakai gula atau apapun. Saya duduk di sebelah sana.” Aku terkejut. Tiba-tiba ada suara pelanggan yang memesan matcha tanpa ingin disandingkan dengan apapun. “Baik, Kak. Betul matchanya tidak ingin ditambah apapun, Kak? Saran saya mungkin ditambah sedikit madu, karena rasa pahit matcha berbeda dengan minuman lainnya. Takutnya nanti kakak malah tidak nyaman dengan rasanya.” “Tidak apa-apa, saya menyukai rasa matcha yang apa adanya.” Ucap pelanggan itu dengan suara halus dan lembut. Tentu saja, matcha seolah tidak percaya ada yang menginginkannya setelah sekian lama. Aku melihatnya tersenyum dengan bahagia. Kali ini dia benar-benar bahagia, karena setelah sekian lama, ada yang menginginkannya kembali. Secangkir matcha dingin sudah dihidangkan kepada pelanggan tadi. Kuperhatikan dia menyesapnya dengan senang hati. Bahkan tidak menunjukkan bahwa dia tidak nyaman dengan rasa pahit yang orang-orang bilang seperti obat. Dia menghabiskan gelas pertamanya dalam hitungan menit kemudian memesan cangkir kedua.
“Kamu mungkin berbeda. Tidak seperti kopi yang dicintai banyak orang, tidak seperti coklat yang digilai sebagai simbol romansa. Bukan perkara waktu, menunggu memang makanan penutup paling menyebalkan. Kamu bukan kepalsuan, hanya saja tidak semua bisa mengerti dirimu. Kamu ada, dan kamu juga adalah sebuah pilihan.” Setelah aku berbicara seperti itu, Matcha memelukku dengan erat. Aku dan Matcha, masih berada dibarisan antara kopi dan coklat, namun kali ini dengan harapan yang berbeda. Sementara, pelanggan tadi sudah pergi dengan menghabiskan dua gelas matcha dingin. Meninggalkan bekas air berbentuk lingkaran di atas meja.
Description: Tokoh Alter yang sedang meracau tentang perasaan-perasaan yang enggan disampaikan.
|
Title: Red Lips under Moonlight
Category: Fantasi
Text:
PROLOG
"Tanpa malam aku tak akan terlihat", ujar Luna, sang dewi malam, atau orang di bumi menyebutnya Bulan, banyak sebutan untuk paras cantiknya. Malam yang mulanya hanya gelap dan dipenuhi melodi melodi liar, kini menjadi lebih sempurna saat sang Luna muncul tuk menerangi setapak jalan. Malam menjadi tak begitu gelap lagi dan keindahannya mulai mengumpulkan para pengagum. Perlahan malam mempunyai dunianya sendiri, yang gemerlap dan dipenuhi lampu lampu yang tampak lebih terang tetapi cahayanya fana. Dan kadang malam lupa kepada sang bulan, ketika gemerlap lampion tampak lebih indah terangnya.
Bulan tetaplah setia dengan sinar pucat pasih karena lelah dan keputusasaannya, tetapi selalu ada seberkas sinar harapan yang mampu menembus hutan kegelapan sekalipun.Tuhan tidaklah tidur, tak dibiarkannya malam kunjung larut dan lupa kepada sang bulan yang memang diciptakannya teruntuk malam. Ditakdirkannya lilin yang sewaktu waktu dapat meleleh, obor yang kalah di terpa angin dan bahkan teknologi masa kini sekalipun yang energinya tentu mempunyai batasan. Ketika cahaya fana redup, sang malam kembali hitam dan muram, di saat itulah sang Luna tersenyum dengan kehangatan dan cahaya cinta sejatinya. Sekalipun gerhana selalu akan datang menerpa, selalu ada cerita yang akan berhasil menyatukan mereka kembali. Tamat".
Laki-laki itu mengakhiri cerita dan menatap ke arah gadis yang terikat di atas kursi, sambil mengingat ratusan peringatan dari orang-orang yang ia temui untuk jangan pernah berurusan dengan perempuan manis ini. Pria itu bergidik, menutup buku dengan cepat ketika menyadari satu hal yang ia duga selama ini adalah benar. Ia mulai panik ketika gadis yang ia sekap sebelumnya pingsan, kini terbuka matanya tanpa bola mata, benar-benar mengerikan karena hampir seperti akan keluar dari kelopaknya, bibir pucat perempuan itu berubah merah semerah darah, namun tak lebih pekat dari mawar Wiennix yang tersohor. Rantai kokoh yang terlilit di lengan rapuh bagaikan kapas, lepas hanya dalam satu hentakan. Tubuhnya melayang mengingatkan pria tersebut akan pelajaran hukum levitasi yang paling ia benci ternyata eksis.
Perempuan dengan rambut perak itu menghilang, lampu berkedip dan ruangan ini dirasa sedikit berguncang hingga menjatuhkan salah satu buku yang tertata di dalam rak sebelumnya. Suara-suara aneh muncul dari dalam kepala pria itu, bisikan-bisikan perempuan yang kesakitwn, lalu berganti dengan suara berat laki-laki atau lebih tepatnya seperti suara monster. Dalam hitungan detik pria itu tahu persis ia akan segera mati, namun anehnya ketimbang menyesal telah dengan dungu mengundang iblis untuk menghabisi nyawanya sendiri, di akhir sisa hidupnya ia mendapati dirinya lebih tersadar bahwa suatu kebodohan telah menganggap surga dan neraka adalah dongeng sebagaimana masyarakat di Wiennix kebanyakan. Kini ruangan itu gelap gulita, pria itu berandai-andai mempunyai agama dan bisa berdoa pada saat-saat seperti ini. Diantara kegelapan, dua buah mata putih dan bibir merah muncul bagai melayang di udara.
"Siapa yang memberitahumu tentang buku sialan itu?"
tanya iblis perempuan itu dengan suara yang amat mengerikan, pria gemuk itu benar-benar sudah hampir mati lebih dulu sebelum dibunuh oleh perempuan itu karena ketakutan. Mulutnya tak bisa bergerak lagi, dan itu membuat sosok berambut perak itu semakin marah.
"Aku akan membunuhmu secara perlahan, laki-laki gendut yang nakal, HA HA HAAA!"
bisik bibir merah di samping telinga pria tersebut sebelum akhirnya merobek mulut dan rahang pria itu dengan sadis, perlahan... dengan kedua tangan iblisnya.
Kota Wiennix terlalu besar untuk mendengar jerit pedih seorang laki-laki yang tewas malam ini, penduduk elit terlalu menutup kuping walaupun malam hari tak banyak dari mereka yang tidur. Hanya kucing, binatang liar dan tunawisma yang tinggal di lorong-lorong sempit di antara bangunan mewah kota Wiennix yang masih bisa mendengar betapa mengerikannya suara jerit itu, namun hanya bisa bersembunyi ke pojok paling sempit dan gelap lagi karena ketakutan mereka lebih besar daripada kekuatannya di kota seribu mawar ini.
Keesokan paginya mayat pria itu ditemukan tewas mengenaskan di dalam apartemennya sendiri. Di sampingnya terdapat robekan buku dongeng yang ia baca pada malam kematiannya tersebut, beserta secarik kertas yang bertuliskan :
AKU SUDAH TERLALU KUAT UNTUK INI.
Seperti kasus- kasus sebelumnya, kasus ini tidak diangkat ke media massa atau muncul di koran Wiennix, para elit dan salah satu organisasi hitam di kota ini menutupinya dengan cepat dan rapih menggunakan uang dan kekuasaannya. Untuk apa? Tentu saja karena mereka terkait dalam hal ini.
Takdir
Seorang gadis kecil duduk di sudut gang sempit antara toko roti dan toko buku, di tangannya dua lusin surat kabar yang harusnya di jual justru tampak basah kuyup. Ia kebingungan untuk menyelesaikan masalah ini, tentu saja tidak ada uang yang dimiliki untuk menggantinya, di sisi lain berkata jujur kepada pemilik toko buku yang juga merupakan agen dari koran-koran murahan yang dijual anak-anak miskin Wiennix bukanlah keputusan yang tepat. Bapak tua itu adalah orang yang kasar tutur katanya, sedang anak bujangnya yang selalu membantu dalam usaha toko buku itu sangat bengis dan ringan tangan. Perempuan kecil itu terjongkok menghitungi bekat luka di tangannya, beberapa luka masih terlihat segar. Kepalanya pitak di bagian kanan atas, salah satu bekas dari perlakuan kasar anak bosnya, si bujang bengis. Namun bagi bocah kecil itu dampratan yang ia dapat dari anak bosnya masih bukan apa-apa, anak-anak jalanan di kota Wiennix diperlakukan seperti binatang oleh orang-orang kaya dan sombong yang menjadi majikan dadakan tiap waktu, entah mereka tiba-tiba menyuruh membantu mengangkut barang, memberikan pekerjaan dadakan, atau minta di jagakan kereta kudanya yang ditinggalkan di pinggir jalan. Bahkan yang lebih parahnya lagi, bocah-bocah pejuang di jalan ini sering ditendang dan didorong hanya karena mereka sedikit menghalangi jalan oleh orang-orang arogan yang merasa waktunya lebih berharga daripada nyawa malaikat-malaikat kecil ini.
"Laluna!"
Gadis itu terperanjat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang paling ia hindari, si pemilik toko buku!
"Kenapa bersembunyi disana? Apalagi yang kau curi? Ah. Kau habis mengambil sesuatu dari toko roti itu, ya?!"
Laki-laki tua itu terpincang-pincang, kesusahan bertumpu pada tongkatnya untuk mencoba berjalan menghampiri Luna.
"Jangan kemari, tuan Robert. Banyak genangan air, nanti kau terpeleset. Aku akan segera kesana."
Luna berlari, cipratan air mengotori rok kremnya, menjadi semakin kumuh.
"Luna tidak mencuri apapun, Luna hanya mendapat masalah lagi, tuan Robert."
Ia menjelaskan, dengan wajah kecilnya yang tampak murung. Pemilik toko buku justru berdecak dan menatapnya sinis,
"Kau itu pembuat masalah, bodoh. Bukan mendapat masalah."
Luna mengeluarkan dua bungkus koran yang sudah basah dan hampir menjadi bubur dari balik roknya. Bapak tua itu tampak terbelalak, dia tahu benar tak mungkin gadis miskin ini bisa menebusnya. Oh, tidak! Merugi lagi, hanya itu yang satu-satunya dapat muncul di pikirannya yang dengki. Meski tangannya tak mampu lagi tuk memukul, hatinya terlalu jahat dan tak akan bisa melepas mangsa kecil ini pergi begitu saja, ia ingin melihatnya dipukul habis-habisan, ia ingin menikmatinya saat gadis pembuat masalah itu berdarah.
"Canon! Canon, kemarilah. Lihat apa yang jalang kecil ini sudah lakukan."
Luna panik karena sebentar lagi ia akan dihajar habis-habisan, ini adalah tempat strategis, di belakang lorong sempit, tak menutup kemungkinan Canon menghajarnya hingga tewas dan dengan mudah membuang atau mengubur mayatnya disini tanpa seorang pun mengetahui, lagipula siapa yang akan peduli, pasti tak satupun orang di kota ini mau repot-repot menegakan keadilan untuk seorang anak kecil yang lahir dari rahim seorang wanita malam, tak jelas siapa ayahnya, jelas tak akan mendapatkan apa-apa. Sekujur tubuhnya terguncang oleh ketakutan, Luna bisa mendengar derap kaki Canon datang sangat terburu-buru. 'Bagaimana ini? Apakah aku sanggup menahan siksaan kali ini? Toh sudah biasa,' pikirnya dalam hati saat melihat Canon muncul di depan lorong. Bahu kokoh, dada yang bidang ditambah jambangnya yang panjang dan lebat semakin membuat Luna ngeri, dan akhirnya berbulat tekad untuk lari. Ya, dia harus lari karena ia baru ingat belum makan dari pagi hari, terlalu lemah untuk menahan diri. Dengan tergesa-gesa ia beranjak, tak sengaja ditabraknya laki-laki tua itu hingga ia meringis kesakitan, pinggangnya yang penyakitan tepat membentur lantai terlebih dahulu, bisa diprediksi setelah ini laki-laki tua itu tak bisa berjalan lagi.
"Maaf kan aku, tuan Robert!"
Setelah meminta maaf Luna bergegas lari, Canon panik melihat ayahnya terbaring sehingga Luna bisa melesat menghindari tangkapannya dengan mudah.
"Ayah, bangun, Ayah tak apa?"
Canon berlari ke arah ayahnya tanpa memperdulikan Luna lagi, mencoba membantu ayahnya untuk berdiri.
"Kembali kau jalang kecil! Ahk..! Sialan. Bodoh!, kenapa tak kau tangkap dia, kau malah berlari kesini, anak tak berguna!"
Tuan Robert geram karena harapan untuk memenuhi hasrat menyiksa orang tak berdosa itu telah sirna. Ia terus memaki-maki anaknya sambil berteriak-teriak menahan sakit tiap melangkahkan kakinya. Canon tak pernah dendam dan lelah dengan ayahnya, meski seribu sumpah serapah dan nama-nama binatang tertumpah ruah dari mulut ayahnya karena ia memilih meyelamatkan ayahnya terlebih dahulu daripada mengejar Luna, Canon benar-benar tak sakit hati. Karena di dalam hatinya, ketakutan untuk kehilangan satu-satunya orang yang ia punya lebih besar.
Sekitar tiga blok dari gang sempit tersebut Luna masih berlari sekencang-kencangnya tanpa arah yang jelas, ia tak sedikitpun menoleh ke belakang dari tadi dengan kaki telanjang, beberapa kali rambutnya yang terkibas-kibas lengket oleh keringat dan menutupi mata membuatnya telah menabrak sekitar empat orang dewasa dan menjatuhkan sebuah keranjang tomat yang sedang di pegang wanita muda berkepang dua. Mereka semua berteriak namun tak akan menghentikan langkah Luna, dan kini nafas Luna terasa akan putus. Ia harus bersembunyi sekarang juga, dilihatnya segerombolan orang di depan matanya, Luna berpikir masuk ke antara kerumunan itu mungkin ide yang bagus. Setelah berada di tengah-tengah kumpulan orang-orang ini Luna baru bisa merasa aman. Luna mengatur nafas, mencoba mengisi udara kedalam paru-parunya, namun disini ternyata terlalu sesak, sehingga ia menyelip-nyelip agar bisa ke barisan depan. Dilihatnya para ibu rumah tangga yang masih mengenakan gaun rumahan sehari-hari yang sederhana dan tak banyak pernik berkumpul disini, begitu pula dengan laki-lakinya, mereka masih memakai setelan rompi kulit dan sepatu boot menandakan mereka sehabis dari hutan, beberapa pedagang ikan juga berkumpul disini membawa bau amisnya, ada pulanyang baru pulang dari kerja masih mengebakan topi tabung panjang keatas dan jam disakunya. Mereka semua meninggalkan pekerjaanya dan terburu-buru datang kesini, ada apa? Luna penasaran, sampai ia tiba di barisan depan menemukan jawabannya. Sebuah kereta kuda berwarna hitam dengan empat ekor kuda putih yang menariknya sedang berhenti disini, disekelikingnya laki-laki dewasa bertubuh atletis dan sedikit berukuran raksasa menjaga. Di depan kereta itu berbaris tiga buah mobil mewah berwarna hitam dan begitu pula di belakangnya. Luna penasaran siapa yang berada di dalam kereta tersebut, di tebakannya bisa jadi seorang putri raja! Ah, tidak mungkin. Luna ingat Wiennix tak memiliki raja meski masyarakat disini bertingkah, berdandan, membangun rumah dan bangunan persis seperti kehidupan abad pertengahan, tapi mereka tak menganut sistem pemerintahan abad pertengahan. Karena ibunya pernah berkata
"Salahkan saja wali kota mata keranjang keparat itu, tak becus memimpin kota kita hingga masih ada janda miskin sepertiku yang menanggung beban seorang anak sialan tak tahu di untung sepertimu."
Sungguh bukan kalimat manis untuk diingat, tapi setidaknya masih ada pengetahuan yang bisa Luna dapatkan dari situ, tentang kota ini tidak diperintah oleh Raja dan itu membuatnya cukup bersyukur.
Tidak ada putri raja, kalau begitu siapa dia?
"Mainkan sebuah lagu untuk kami, Angelo!"
pekik salah satu pria yang berada di barisan depan, semua massa tampak berdesas-desus satu sama lain sebelum pada akhirnya ikut meneriakan hal yang sama. Penjaga kereta mulai melangkah lebih dekat ke gerombolan massa yang berteriak-teriak, Luna pun melangkah mundur, gerakan reflek hasil trauma pada perlakuan kasar yang ia terima dari setiap laki-laki dewasa yang mendekatinya dengan wajah dingin, respon siaga karena prasangkanya selalu mengatakan orang-orang yang mendekat hanya akan menindasnya.
Semua hiruk pikuk seketika tenang, para penjaga menoleh ke arah kereta. Oh, rupanya Sergio, malaikat kecil yang berada di dalam kereta tersebut keluar, menyita semua perhatian dengan musiknya. Ia mulai menggesekan bow biola, suaranya seharusnya pecah karena Sergio lupa menggosok rosin pada helai-helai senarnya pagi ini, tapi tidak. Suaranya begitu halus, jelas dan indah. Kemampuannya sudah diatas rata-rata, karena itu orang menyebutnya anugerah. Semua menikmati permainan dari bocah berkulit pucat itu, beberapa orang sampai menitikan air mata, yang lainnya khusyuk. Hampir semua warga Wiennix paham akan musik, mereka mengagungkan musik, memujanya seperti agama sendiri. Luna ikut terperangah namun bukan karena alunan melodinya, tapi mata biru jernih yang terus menatap ke arah depan milik sang violinist.
Apa dia buta?
Penasaran, Luna melangkah perlahan, satu langkah, dua langkah, tiga langkah, seperti terhipnotis, langkah keempat ia berhenti. Mengerjapkan mata memukul pelan kepala agar tersadar, tapi sekali lagi lantunan yang mendayu-dayu dari biola itu turut mengaduk-aduk emosinya, membuat rasa penasaran semakin memuncak, memaksa matanya untuk melihat kembali mata biru jernih itu, membiarkan dirinya berjalan lagi bagai tak sadarkan diri, seolah lupa akan eksistensi penjaga menyeramkan yang dapat dengan mudah mengangkat tubuh mungilnya ke udara lalu melemparkan tubuh Luna hingga membentur tanah. Baru saja penjaga itu akan mengambil langkah, permainan biola Sergio berhenti, maka berhenti pula Luna berjalan mendekat. Semua orang bertepuk tangan, kecuali Luna, ia protes.
"Jangan berhenti."
Luna berhasil membuat orang-orang dewasa sekitarnya terkejut, beberapa laki-laki mulai mengatakannya bocah gila, dan beberapa ibu-ibu kerepotan menutup mulut anak-anaknya yang ternyata senang dengan protes Luna sehingga mereka mengikuti kata-kata Luna berulang-ulang dengan lidah cadel mereka.
Kali ini para penjaga berbadan besar itu tampak sudah kehabisan kesabaran, salah satu dari mereka berdeham sangar lalu mengangkat tubuh mungil Luna berhasil membuat gadis kecil itu memekik melengking, suaranya lebih tinggi dari nada do tertinggi pada senar e biola Sergio.
Sergio berdecak kesal, telinganya sangat peka akan suara dan ia benci kebisingan tak berharmoni yang sedang berlangsung sekarang, selain itu Sergio juga menimbang-nimbang perilaku penjaganya yang sedang ditonton oleh banyak orang ini bisa-bisa menimbulkan berita tak sedap yang tentu akan merusak nama baiknya, ibunya tak akan suka jika hal ini terjadi.
"Kak, lepaskan dia."
Laki-laki berbadan besar itu menurut seketika, ia melepaskan Luna lalu sedikit melirik dengan tatapan mengancam seolah dari matanya terbaca suatu peringatan 'sekali lagi berulah, kau tak akan kulepaskan'. Luna membalasnya dengan cemberut dan sedikit menyipitkan matanya sebelum membuang muka, ia berani melawan karena mengira Sergio sang maestro sudah berada di pihaknya.
"Aku akan memainkan satu lagi untuk kalian semua,"
Ucap Sergio yang berhasil membuat semua orang terperangah sebentar dan bersorak senang. Harga tiket untuk menonton konser Sergio sangat mahal, karena itu mendapatkan pertunjukan darinya secara cuma-cuma tentu membuat mereka merasa beruntung sore ini. Dengan piawai dan memukau seperti biasa sepotong lagu dari Vivaldi di bawakannya. Sore yang hangat terasa makin bercengkrama oleh alunan melodi Summer, violin berwarna coklat gelap itu dengan kokoh bersandar di pundak Sergio meskipun badannya sedikit menari-nari menikmati permainannya sendiri. Semua menyimak, tidak ada yang membuat keributan atau bertepuk tangan sampai pada lagubitu benar-benar selsai barulah rentetan tepuk tangan dan siulan berdatangan. Meskipun kaoangan bawah, masyarakat Wiennix paham etika dalam menonton sebuah pertunjukan musik. Sergio sedikit membungkukan badan tanda terimakasih, ia tersenyum puas, lalu memberikan kode kepada salah satu pengawalnya untuk menyimpan kembali violinnya. Saat pelayan perempuan turun dari kereta untuk menjemputnya kembali masuk, Sergio menolak. Ia justru minta tolong untuk dibukakan rompi merah hatinya sehingga kini ia hanya mengenakan kemeja putih polos dengan bordiran huruf S kecil di pinggir kerahnya, lalu memerintahkan satu hal sambil menunjuk ke arah Luna, perempuan itu menoleh ke arah gadis kecil kumal bergaun rumahan yang sudah compang camping dengan rambut hitam yang potongannya tak beraturan, pelayan itu tampak ragu dan kembali bertanya apakah Sergio yakin, namun Sergio menegaskan sekali lagi perintahnya sehingga pelayan itu mengangguk paham dan membiarkan Sergio masuk ke kereta bersama pelayan perempuan lainnya. Beberapa pengawal mengarahkan masyarakat untuk mulai membubarkan barisan mereka karena mobil-mobil serta kereta kuda akan segera berjalan kembali. Saat Luna hendak pergi mencari tempat persembunyian yang lain- karena mungkin Canon masih mengejarnya-, seorang perempuan muda dengan gaun hitam sepanjang bawah lutut menghampirinya, tersenyum manis menciptakan dua buah lesung pipit yang dalam. Luna melongo ke atas, wanita itu tinggi sekali dengan rambut coklat yang digelung kedalam, lalu ia membungkuk ke arah Luna, mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Luna dan membisikan suatu ajakan.
Menemani Sergio keliling kota? Tidak mungkin,
batin Luna dalam hati. Sepanjang menjadi anak jalan membuatnya paham sedikit soal tipu menipu.
" Kau siapa?"
tanya Luna cemas, perlahan-lahan mundur.
Wanita itu mengeluarkan sebuah roti coklat dengan pita merah sebagai perekatnya, sangat menggiurkan dan menarik, terlebih perut bocah kecil itu belum makan dari pagi tadi.
"Kau benar, aku harus memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Maaf telah berlaku tak sopan padamu gadis kecil, namaku Bellera McHolden. Panggil aku Lady Bell, atau Kak Bell saja jika kau tak keberatan. Aku pelayan pribadi Tuan Sergio Pagamozsky dan Ny. Rose Benrash, dan Tuan muda menginginkan kau setuju karena lagipula itu adalah permintaan terlalu mudah untuk membayar permintaanmu memainkan satu buah lagu tambahan tadi."
Luna tak menghiraukan nama-nama aneh yang perempuan itu sebutkan, ia terlalu fokus pada roti coklat tersebut, perempuan itu rupanya memperhatikan.
"Ah, ya, kau mau? Ini untukmu."
Luna merampas roti coklat itu dengan cepat lalu melahapnya, Bellera mencemooh bocah kecil itu dalam hati, raut mukanya mengejek memandang Luna, teringat perkataan Ny. Rose tentang orang miskin yang tak ada bedanya dengan anjing kelaparan, beri mereka makanan dan apa yang mengenyangkan mereka maka akan mudah berurusan dengan mereka setelahnya, dan kini pelayan lupa diri itu membenarkan pernyataan tersebut dalam hatinya, merasa seolah ia adalah bagian dari keluarga kaya, lupa bahwa ibu kandungnya tinggal di desa perbatasan barat Wiennix sedang bekerja dan menahan lapar karena harus mengurusi kebun anggur milik orang lain dan di upah sedikit.
Luna setuju untuk ikut dengan Bellera dan pelayan perempuan itu mengantarkan Luna ke dalam kereta kuda. Luna masih tidak bisa percaya bahwa ini sungguhan, selama berjualan, bermain, tidur dan hidup di segala boulevard kota Wiennix, ini adalah kereta kuda terindah dan terbesar yang pernah ia lihat. Tiga buah anak tangga untuk masuk ke pintunya dihiasi oleh permata putih kecil yang mengkilat-kilat di terpa cahaya matahari sore. Di dalamnya ternyata sangat luas dan megah, terdapat pengatur suhu ruangan dan enam deret kursi panjang dengan sela di pinggir kiri sebagai jalan, di tengah-tengah tak jauh dari pintu masuk kereta terdapat kursi sofa empuk berhadapan dengan meja kecil ditengahnya berwarna krem pucat terbuat dari batu marmer. Senada dengan warna lapisan dinding kereta di bagian dalam. Di barisan kedua, kursi terisi penuh oleh tiga wanita berpakaian seperti Bellera. Di barisan kedua seberangnya ada dua orang laki-laki berseragam mirip prajurit tanpa topi dan boot, dengan kerah tegak sampai leher memberikan kesan mereka semakin kaku, belum lagi senapan di pinggang mereka yang Luna tebak mengharuskan mereka duduk tegap tak bersandar. Wangi kue jahe dan teh mint dari meja itu langsung menyambut Luna. Sergio sedang mengaduk-aduk teh di cangkirnya. Bellera mempersilahkan Luna duduk di sofa berhadapan dengan Sergio, ia membisikan sesuatu ke Sergio sebelum turun dari kereta. Luna memanggilnya keras saat Bellera hendak turun.
"Hey, Tinker Bell, kau mau kemana?, bagaimana denganku?"
Pelayan dan pengawal di dalam kereta itu tampak terkekeh kecil mendengarnya, Sergio tersedak saat sedang menyeruput teh nya.
"LADY BELL, Nak."
Tukas Bellera lalu menutup pintu kereta dan meninggalkan Luna yang kebingungan.
"Dia akan naik mobil, kau disini temani Sergio,"
ujar salah seorang pelayan yang langsung berdiri membersihkan tumpahan teh di baju Sergio. Lalu perempuan itu duduk di samping Sergio, hendak membuatkan kembali tehnya.
"Tak usah, Kak."
cegah Sergio kepada perempuan itu lalu pelayan itu kembali duduk ketempatnya semula.
Ternyata keinginan Sergio sederhana, ia hanya ingin mencari teman hari ini, sebagai seorang jenius ia tak punya teman, hanya beberapa orang yang ia kenal dan tau namanya saja, buakn teman. Lalu mereka berkenalan, perkenalan yang sangat menggemaskan antara gadis cilik berumur tujuh tahun dan bocah laki-laki berumur sepuluh tahun. Luna yang polos banyak memuji tentang kehebatan Sergio, juga indah matanya . Mereka saling bertukar cerita, Sergio menceritakan tentang Ibunya yang menyebalkan, kehidupannya sehari-hari, dan mengenalkan satu persatu pelayan dan pengawalnya kepada Luna. Sedangkan Luna menceritakan setiap cerita di balik luka-luka yang ada pada tubuhnya karena salah seorang pelatan bertanya mengapa kepalanya pitak. Para perempuan pelayan itu ada yang tak sampai hati mendengarnya, mereka saling menoleh dan menyembunyikan air mata masing-masing. Namun lucunya gadis kecil itu bercerita sambil tertawa seolah itu adalah sebuah petualangan yang keren baginya, seisi kereta kuda ini banyak belajar dari Luna, andai Bellera berada disini juga.
Malamnya sebelum mengantarkan Luna pulang, Sergio mengajak Luna makan malam di salah satu restoran mewah, membelikannya lima potong baju baru, peralatan tulis menulis, boneka, mainan, pernak pernik untuk Ibu Luna dan banyak sekali roti coklat. Luna teringat dengan Ibunya yang sangat suka kue cake keju dan Sergio membelikan satu buah kue keju terbesar yang pernah Luna lihat. Ia bersorak gembira, lupa dengan masalahnya tadi sore pasal Canon dan Tuan Robert. Karena sudah cukup larut, mereka mengantarkan Luna pulang dengan salah satu mobil yang mengkawal kereta kuda tadi sore. Menyusuri jalan gelap dan becek di belakang pasar, masuk ke lorong kumuh dan terpaksa berhenti di gang sempit karena mobil tak bisa masuk lebih dalam lagi. Terlalu berbahaya untuk Sergio ikut ke dalam menyusuri gang ini, jadi Luna dan Sergio berpisah disini, di persimpangan gang. Luna mengucapkan banyak terimakasih, mengutarakan perasaan senangnya, begitu juga Sergio, ia bahagia memiliki teman sekarang meskipun harus sembunyi-sembunyi dari ibunya. Sergio berkata akan sangat merindukan Luna dan meminta Luna tak menceritakan pertemanan mereka kepada siapapun, Sergio juga berjanji akan mengunjungi Luna kapan saja ada kesempatan lagi. Mereka berpelukan, para pelayan dan pengawal Sergio tersenyum bahagia melihat kegemasan mereka. Lalu Luna diantar sampai ke depan rumahnya oleh dua orang pria yang juga merupakan pengawal Sergio, tapi tidak mengenakan pakaian seragam yang mencolok. Tetangga yang masih terbangun sibuk mengintip dari jendela rumah mereka, melihat Luna pulang dengan orang asing, mengenakan baju yang bagus, membawa banyak sekali barang dan satu kotak kue keju berukuran besar dan mahal yang tentu aromanya menyebar kemana-mana. Sesampai di depan pintu rumah Luna, pengawal itu mengetuk pintu beberapa kali dan disambut oleh ibu Luna yang tampaknya turun tergesa-gesa hingga hanya menutupi badannya dengan selimut tebal, menyembunyikan setengah badannya di balik pintu.
"Selamat malam, Nyonya...?"
pengawal itu menyapa dan bertanya nama Ibu Luna secara tak langsung.
"Pelle,"
jawab wanita itu agak lama karena masih bingung dengan apa yang ada di hadapannya.
"Baiklah, Nyonya Pelle. Maaf mengantarkan Luna larut malam, kami mengajak anak anda untuk bermain bersama Tuan muda kami tadi sore, anda sedang tidak dirumah saat kami ingin meminta izin terlebih dahulu.Um.. boleh kami izin masuk menaruh barang ini?"
mereka tampak sudah keberatan menopangnya.
"Oh iya, ya. Silahkan.."
Pelle membuka pintu lebih lebar, mengikat selimut dibawah ketiaknya dan menarik Luna kepelukannya, lalu membisikan gadis kecil itu.
"Apa yang terjadi?"
Luna menyeringai, membuat tanda seperti sedang menarik reseleting di depan mulutnya yang berarti RAHASIA. Pelle tertawa gemas, mencubit hidung anaknya kemudian menciumnya bahagia.
"Sayang, ada apa?"
Seorang pria tanpa busana sehelai pun muncul di tangga atas mencoba melihat kebawah, lalu segera naik kembali ke atas terburu- buru dengan muka memerah karena malu dan terkejut dengan keramaian dan keberadaan orang lain yang ia dapati dirumah ini. Para pengawal langsung membuang pandangan dan Luna tertawa terbahak-bahak.
"Ah, maafkan kami,"
ujar Pelle.
"Tidak, kami yang seharusnya minta maaf telah mengganggu jam istirahat anda."
tukas pengawal itu cepat.
Setelah dua pria itu berpamitan dan meninggalkan rumah Luna, Pelle mulai memperhatikan semua barang yang dibawa Luna. Ia menitiskan air mata bahagia melihat anaknya bisa mengenakan gaun cantik yang tak pernah sanggup ia belikan untuk anaknya. Kekasihnya, Jack, turun telah mengenakan pakaian lengkap. Pelle dan Luna sedang asik melahap kue keju mahal dan terenak yang pernah mereka cicipi.
"Kemana mereka?"
tanya Jack kebingungan.
Pelle dan Luna saling melempar pandangan, lalu terkekeh-kekeh.
"Jangan banyak tanya, ayo sini, makan"
Pelle menarik Jack untuk bergabung.
Mereka sangat senang hati malam ini, Pelle memperhatikan anaknya lebih seksama, sudah lama ia tak memangkunya dan bersenda gurau dengan Laluna. Laluna sudah lebih berat, tawa anak ini selalu riang padahal hidupnya sangat berat, Pelle mengakui dalam hati kalau ia bukanlah ibu yang baik, ia adalah seorang ibu yang egois, apalagi semenjak pertemuannya dengan Jack, kekasih tampan yang lebih muda darinya 5 tahun, tidak bekerja dan hanya bisa menghabiskan uang Pelle. Diam diam keresahan timbul di benaknya, memikirkan pertemuan anaknya yang melulu dirundung malang dengan bocah jenius dan tersohor di kota ini, ini memang tampak seperti awal yang bahagia, namun siapa yang bisa menjamin bahwa tidak ada akhir yang tragis, bisa saja.
Description: Luna telah menjual jiwanya kepada Iblis, demi cintanya yang buta dan keinginannya untuk bersatu dengan seorang musisi tersohor. Sebagai gantinya ia harus menjadi pelayan iblis dan bergabung ke dalam perkumpulan gelap yang berkedok industri musik. Pertemuan yang manis, melodi melodi cinta dan kisah yang muram menemani perjalannya. Namun Luna tak pernah tahu cinta yang ia dapatkan dari Sergio adalah sihir semata atau justru cinta yang memang murni dari hati Sergio. Jika suatu saat semua sisi gelap Luna terbongkar, masihkah Sergio menerimanya?
|
Title: r i n a i
Category: Cerita Pendek
Text:
antara 2 beda
Musim penghujan awal tahun menorehkan lansekap langit yang kelabu. Hampir jam empat sore, dan hujan siang tadi masih menyisakan gerimis satu-satu.
Ema kian gelisah di beranda sekolah. Melongokkan badan ke arah gerbang, berharap pak Man —sopir penjemputnya- segera datang.
“Please Tuhan, pleasee…ini les hari pertama. Dan aku nggak mau telat!” Ema mengucap doa, nyaris putus asa.
Sekali lagi ditengoknya arloji di pergelangan tangan. Sekadar mengusir penat. “Aaah…” waktu berjalan cepat. Sementara kegelisahan kian menyergap.
Ema menakar hujan dari ujung teritisan “Masih cukup deras..” bisiknya. Tapi Ia gegas berlari. Memotong lapangan basket, menyusur lab IPA dan lorong samping Musholla. Rumah Tuhan, yang tak sekali jua pernah dikunjunginya.
Lewat samping Musholla, sekilas terlihat Miko tengah khusyuk berdoa. Yuup, Miko! Cowok pendiem itu. Ketua OSIS yang cakep, cool dan smart itu ternyata juga dekat dengan Tuhan. Makin sempurnalah bayangan Miko di kedalaman palung hati Ema.
“Haahhh…” Ema menarik nafas berat, berharap dapat mereduksi bayangan Miko. Kembali memikirkan cowok itu menumbuhkan simpati, sayang, bangga, bahagia sekaligus nelangsa yang tak berujung batas.
Tak hendak larut terlalu lama, Ema segera menuju gerbang. “Aku mau less..!!!” teriaknya dalam hati, mencoba mengusir gulana yang kian mendera.
* * *
Sampai halte depan sekolah, udah jam empat lebih. Ema masih juga mengharap pak Man yang tak kunjung datang. Kegelisahan makin menghantuinya. Celakanya dalam kondisi begini, gambaran Miko kian hadir dan tak mampu dihindari.
“Mik, bayanganmu tetap nakal mengusik hati…”
Ema benci! Mengutuki dirinya sendiri. Bayangan itu yang selama ini selalu menyiksa hari-harinya. Merajam tiap detik siang dan malamnya. Meski harus diakui, Ia kerap merasa bahagia karenanya..
Pada Miko, sudah sejak awal masuk di Sekolah ini, Ema menaruhkan hati. Meski pendulum waktu seperti enggan berbagi sempat buat mereka dekat. Hingga kini, telah dua tahun berlalu dan Ema tak pernah sekelas dengan Miko. Belum sekalipun mereka sempat bertegur sapa. Ema hanya kenal nama, tapi jatuh cinta pada Miko kian hari kian niscaya..
Menghitung rerintik di ujung atap halte, sesukar memahami perasaannya pada Miko. Suka yang tumbuh begitu saja. Sosok Miko seolah misteri, yang selalu ingin diselami.
“Tapi bukankah tak butuh alasan buat jatuh cinta?” gumam Ema sembari beringsut ke tengah,menghindar tampias hujan. Seulas senyum coba disunggingkan, meski rasanya tak cukup sanggup mengusir lelah hati.
Bukan semata karena mereka tak jua dekat yang bikin Ema tercekat. Lebih dari itu, keyakinan yang berbeda mencipta jurang yang menganga. Setapak cinta itu seolah membentur takdirnya. Menutup pintu sebelum terbuka, menguncupkan kembang sebelum mekar.
Ingin rasanya Ema protes pada Tuhan. Jika cinta adalah berkah, mencintai Miko adalah anugrah yang teramat berat ditanggungnya. Perasaan tanpa muasal ini, membuatnya menutup hati pada yang lain. Berkali ada teman seiman mencoba mendekatinya, tapi Ema menafikan. Entah demi apa, entah untuk siapa? Entah…
Ngungun memandang genangan air di jalan, Ema kian mendekap erat tas ranselnya. Mencoba menahan dingin. Selebihnya adalah upaya mengusir sesak jiwa, menutup rapat-rapat perasaannya. Perih menahan cinta agar tidak tumbuh dan meraja. Berbulat tekad memupus semua ini, meski ia tahu : hingga detik ini Ia gagal!
“Hai….belum pulang?” tiba-tiba Miko udah berdiri di samping “Ema kan,, Anak Ipa tiga?”
Sapa semenjana itu menyudahi kelana jiwa Ema. Mencipta surya diantara rinai hujan yang bersetia mengalir. Ema tergagap, senyum dan mengangguk sambil berbisik pelan, tanpa satu makhluk pun yang mendengar,
“ Ahh, Kau permainkan aku, Tuhan.. “
kriiiing...!
Semarang pukul dua siang!
Matahari bertampang garang. Panasnya menampar-nampar tiap inci isi bumi, termasuk di dalam kamar Alga. Panas itu pula yang memaksa Alga menghabiskan lima gelas air es. Semuanya tuntas, tas!
Gerah siang ini memang bikin kesibukan baru bagi Alga. Selain harus ngipas-ngipas juga harus ke kamar mandi karena terjangkit HIV (hasrat ingin vivis). Usai meneguk isi gelas kelima, Alga rebhan di ranjang. Sementara itu dari radio di sudut kamar, KLa Project melantunkan “Jogjakarta”. Syahdu, mendayu… dan memaksa Alga menyusuri lorong-lorong sukma untuk mencari bayangan Nike, pasangan jiwa yang berada di Yogya…
* * *
Matahari tak segarang tadi siang. Udah pukul empat sore, tapi SMU Media masih aja ramai. Hari ini emang lagi ada Persami. Itu tuh, acara Perkemahan Sabtu Minggu yang oleh anak-anak diplesetin jadi Perpisahan sama mami. Habisnya buat yang bener-bener anak mami, mesti rela gak dikelonin semaleman. Sedangkan yang udah punya pacar, harus nggak ngapelin “mami”nya malam ini. Gitu.
Anak-anak kelas satu masih pada sibuk. Ada yang berusaha ndiriin tenda, bikin pager, nyalain lampu, masang bendera, mejeng foto-foto dan makan bakso. Looh? Alga ada diantara mereka. Bukan anak baru, tapi termasuk yang disibukkan oleh acara itu. Kerennya sih, jadi panitia…
Habis upacara pembukaaan, anak-anak baru dipaksa (kesannya nggak demokratis banget, ya?) untuk minta tanda tangan sama kakak-kakak panitia. Ngerasa dibutuhin, para senior jadi kayak selebritas.
Sok jual mahal, bahkan ada yang minta diwawancara dan dijepret pake kamera. Padahal kan nggak ada yang bawa kamera, paling-paling juga bawa karet gelang. Untung nggak ada yang berani njepret pakai karet gelang!
Alga mangkal (kayak oplet Si doel) di bawah akasia depan perpus. Pengin dia ketawa ngeliat teman-temannya yang sok di depan anak-anak baru. Acting mereka persis bintang sinetron.
Alga berlagak cuek ketika ada cewek anak baru yang menghampirinya. “Saatnya jadi bintang sinetron, nih.” Pikirnya.
“Selamat sore, mas?”
“Sore,” jawab Alga sedikit ketus.
Ditatapnya sekilas wajah cewek itu, “Manis juga!” pikirnya.
“Mas, mau minta nama dan tanda tangan.”
“Waduhh, namaku cuman satu!” Alga berlagak mikir. “Kalau kamu minta, aku nggak punya nama lagi dong.”
Gadis itu bengong, nggak tau mesti berbuat apa lagi. Pelan-pelan dia tekuk wajahnya, diam. Alga jadi khawatir cewek itu nggak jadi meminta-minta sama dia. Selanjutnya, nggak bisa kenalan. Wah, jelang rugi dos!
“Mana bukunya?” Tanya Alga sedetik kemudian.
“Ini, Mas…” Wajah gadis itu memancarkan harapan untuk dapat tanda tangan.
“Kamu anak mana, sih?” Tanya Alga sambil mbaca buku dengan (sok) serius.
“Semarang, Mas..”
“Mana??” Tanya Alga sedikit lebih keras.
“Semarang!” jawab gadis itu nggak kalah keras.
“Mana, Dik?” kembali Alga mengulangi pertanyaannya, setengah berteriak.
Gadis itu tergagap, kaget, bingung, “Se.. Semar…”
“Kamu itu anak Indonesia, tahu!” potong Alga.
Gadis itu mengangguk. “Iya Mas, maaf. Saya anak Indonesia”
“nah, gitu dong..” kata Alga kesenengan. “Kamu mesti bangga jadi anak Indonesia. Meski lagi krisis dan provinsinya ilang satu. Kamu bangga nggak sih?”
“Bangga, mas.”
“Bangga nggak?” bentak Alga lebih keras.
“Bangga, Mas!”
“Bagus. Sekarang bilang sama semua orang, ‘Aku bangga Indonesia!’ cepaaatt!”
“Siap, Mas!” gadis itu member hormat dan beranjak pergi sambil teriak-teriak, “Aku bangga Indonesia!”
Alga tersenyum, antara geli dan kasian. Dibacanya kembali buku yang dipegangnya dari tadi, “Nike” itu yang tertera di kolom nama.
“Yess…!” bisik Alga gembira.
* * *
Matahari udah nggak kelihatan!
Sepenggal bulan terlena dalam buaian awan. Malam mulai mengantarkan kepekatan. Dari tengah lapangan, nyala api unggun mulai membiaskan keremangan. Anak-anak udah pada duduk melingkar, berhadapan dengan panitia pada seberang yang lain. Alga sengaja misah dari panitia dan milih duduk dekat Nike. Agak menjauh dari api unggun. Lagi pdkt cing!
“Nama kamu Nike ya?” Alga membuka percakapan.
“Kok tahu, sih?”
Alga tersenyum, “Just Do it, dong?”
“Emang gue sepatu?” protes Nike sambil ketawa.
“Maafin yang tadi sore ya Nik. Kali aja aku kelewatan.”
“Ah, nggak papa Mas. Santai aja!” kata Nike sambil menyodorkan sebungkus cokelat.
“No, thanks..” tolak Alga.
“Mas, boleh nanya nggak?” Tanya Nike Serius.
“Nanya apaan??”
“Kok namanya aneh sih, Alga. Emang masih sodara ama lumut-lumutan ya?”
“Eit… mulai berani, ya?”
Alga ketawa, Nike ketawa, disaksikan nyala api unggun, ilalang, bintang-bintang, dan Tuhan di atas segalanya…
* * *
Itulah awalnya dan tanpa terasa tiga bulan berlalu.kini Alga sudah berdiri di depan rumah Nike dengan sebungkus cokelat berpita pink di saku kemeja. Tekadnya udah bulat: mengutarakan segenap isi hati.
Alga memencet bel dengan degup jantung yang tak kunjung reda.
“Teng…tong!”
“Hai Ga, kebetulan kamu dating.” Sambut Nike dari balik pintu.
“Ada yang penting Nik? Kok serius banget?”
“Nggak sih. Cuman mau bilang kalo senin aku udah harus pindah,” terang Nike datar, nyaris tanpa ekspresi.
Alga terdiam, kaget. “Secepat inikah, Nik?” tanyanya kemudian.
Nike mengangguk. “Papa pindah tugas ke Yogya.”
“Aku sedih Nik…” suara Alga berat. “Kita harus berpisah saat aku mau memulai.”
Alga terdiam, Nike juga diam. Hening. Atmosfer kedukaan menyelimuti mereka setelah hari-hari indah terenda. Perlahan Alga mengeluarkan cokelat berpita pink,
“Nik, aku sayang kamu…” digenggamnya tangan gadis itu erat-erat.
“Aku… aku juga, Ga.” Ada rona merah menghias kedua ujung pipi Nike.
“Tapi aku takut Nik. Takut jauh dari kamu, kehilangan kamu…” Alga mempererat genggamannya.
“Ga…” suara Nike lembut. “Cinta itu sebuah dimensi lain, diluar jarak dan waktu.”
“Terimakasih tuhan..” bisik Alga penuh syukur. Ditatapnya wajah Nike dalam-dalam, hingga demikian dekat. Dekat, kian dekat,,, dan….
“Kriiiing!”
Dering telepon menghancurlantakkan semua khayalan Alga.
Ia terlonjak dari ranjang. Dan sesaat kemudian,
“Gaaa… ada telpon dari Yogya…!”
Are You, Batman?
“Bawa parcel ya, Ngga?” teriak Anggi dari teras pas ngelihat Angga datang sambil nenteng bungkusan ber-cover taplak meja. Angga diem aja. Cuek. Jangankan nyaut, noleh aja enggak!
“Atau…” Anggi mikir sejenak. “Kado ultah gua? Kan entar april Ngga?”
“Diem lu, brisiik!” bentak Angga serius.
Anggi menatap kakaknya dengan perasaan campur aduk. Antara bengong, heran, takjub dan nggak percaya plus royal jelly dan ginseng (kayak obat kuat ya?). yang jelas dia kaget banget. Nggak biasanya kakak semata wayangnya itu seserius ini.
“Pasti barang istimewa,” kata Anggi penuh curiga.
Perlahan dia buntuti Angga. Sesekali ekor matanya melirik bungkusan misterius itu.
“Ngintip aja lu. Porno!” tiba-tiba Angga berhenti dan menoleh ke belakang.
“He..hee…” Anggi cengengesan tertangkap basah.
“Kalau pengin lihat, ikut ke kamar!” kata Angga sambil berlalu.
Whatt?? Ke kamar Angga?
Anggi bergidik. Buru-buru langkahnya terhenti. Dia emang paling alergi sama kamar Angga, sejak kakaknya itu ketrima di arsitektur. Angga jadi aneh: nyentrik, semrawut, norak dikit dan penuh barang-barang antik.
Anggi pasti gatal-gatal tiap kali dari kamar Angga. Sayang kan, kalo cewek semanis dia mesti punya penyakit gatal?
Anggi masih bimbang antara ke kamar Angga dan enggak. Tapi rasa penasaran itu memaksanya menuju kamar Angga.
***
Anggi berjingkat masuk kamar Angga. Dua binar matanya langsung menyapu isi ruangan. Ah… kamar ini kian nggak keruan! Banyak barang antik terdampar di setiap sisi.
Salah satunya adalah lampu petromaks yang tergantung tepat di tengah kamar. Sekilas emang lampu biasa, yang bikin antik adalah kaus lampunya yang makai kaus kaki Mark Westlife lengkap dengan tanda tangannya. Asli!
Anggi menggeser sudut matanya sedikit ke kiri, ke sebelah meja gambar. Tampak Angga masih mengutak-atik sesuatu.
“Apaan sih, Ngga?” Anggi melongok.
“Eit, sabar dong…” Angga ngrentangin dua tangannya lebar-lebar.
“Cepetan doong!” protes Anggi nggak sabar.
Angga membuka bungkusan itu pelan-pelan. Gayanya persis pesulap Deddy Corbuzier. Anggi jadi ikutan tegang. Duduk gelisah, padahal dia nggak ambeien. Sungguh!
“Inilah TV pertama yang diciptakan dalam sejarah peradaban manusia,” kata Angga semangat ketika bungkusan telah terbuka.
“Ngapain sih, beli tv kayak gitu?” tanya Anggi. “Kita kan udah punya. Lebih gede, berwarna, bisa karaoke lagi!”
“ini juga warna,” kata Angga nggak mau kalah.
“Ahh, yang beneer?”
“Nih, lihat…” Angga ngidupin tv antiknya.
Anggi mendekat, penuh semangat.
“Tuh, kan. Berwarnaa… hitam putih.” Angga tertawa menang.
“Nggak lucuuu!” kata Anggi sambil berlalu dan membanting pintu. “Jeder!”
***
Jam baru saja tergelincir dari pukul dua belas malam. Setelah beres dengan tugas studio perancangan arsitekturnya, Angga langsung nongkrongin tv antik itu dengan sekantung popcorn sisa tadi sore.
Di layar tv lagi film Batman, serial favorit Angga. Dia melotot dengan seksama. Dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, berpuluh-puluh popcorn udah pindah ke mulut dan meluncur ke perut.
“Lho, batman kok masang bom sih?” tanya Angga heran, sendirian.
“Halo!” mendadak muncul tokoh yang di shoot close up pada layar.
“Sss… sayaa?” tanya Angga
Tokoh itu mengangguk, “Are you Batman?”
Angga kaget. Dia cuman bisa bengong. Dirabanya dada, pipi dan dia ucek-ucek kedua matanya. Dia nggak percaya hingga tokoh itu kembali bertanya: “Are you Batman?”
“Nnn…” Angga menggigil, nggak bisa njawab.
“Hi, man… are you Batman?!”
“Nn… no, sir!” jawab Angga buru-buru. “I’m architect, sir!”
“Whaat??!”
“I am architect…” eja Angga sedikit sombong, “Architect is a nite man, but not batman, sir!”
“Ooo…” sang tokoh tersenyum. “I’m sorry…”
“Nggak pa pa, Om…”
“Kenalkan…” sang tokoh njulurin tangannya keluar dari kotak tv.
Kembali Angga ternganga. Mengucek dua matanya, lalu buru-buru menerima uluran tangan itu.
“Batman.”
“Angga!” sahutnya cepat setelah vakum beberapa detik
“Zaya lagi nyari batman..”
“Lho, katanya you batman?”
“Zaya nyari oknum yang mengaku-aku Batman. Dia jadi provokator kerusuhan dan dalang peledakan bom akhir-akhir ini.”
“Tungguu…” lonjak Angga sambil mikir, “Kayaknya lagi masang bom deh.”
“Dimana??”
“Gue inget…!” teriak Angga tiba-tiba. “Di… gereja. Ya, di gereja!”
“Thanks, Ngga. Aku segera ke sana sebelum bom itu meledak,” ujar batman buru-buru.
“Coba ada satu aja Batman di negeri ini. Pasti Indonesia nggak bakalan kacau kayak gini” gumam Angga.
“O ya, nih…kenang-kenangan buat kamu.” kata Batman sambil ngelemparin sesuatu pada Angga dan melesat pergi.
Angga kembali bengong, nggak tahu mesti ngapain. Bahkan untuk bilang terimakasih pun dia nggak sempet. Badannya terpuruk lemes, bersandar pada kursi males depan tv.
***
“Ngga… banguuun!!” vokal sember Anggi tiba-tiba mengoyak-koyak gendang telinga Angga. “Wooi, bangun! Udah tidur di kursi, pake kalung batman lagii.. kayak anak kecil!”
Angga terjaga, kaget. Susah payah ngumpulin kesadaran, lalu meraba lehernya. Benerr…ada seuntai kalung berliontin batman. Jadi pertemuannya dengan Batman semalem itu…
Wallahu a’lam!
*bagimu negeri yang lagi musim bom
Description: tentang ciNta yang datang tanpa peduli. dan tak bisa dihindari..
|
Title: Rahasia
Category: Slice of Life
Text:
Bebas
Aku menatap tempat itu lagi. Tempat yang seharusnya tidak pernah kusinggahi. Tempat yang telah menjauhkanku dari orang orang yang kusayangi. Kulangkahkan kakiku untuk menjauh dari tempat itu. Hal pertama yang ingin kulakukan adalah mencari orang yang telah menjerumuskanku ke tempat itu. Orang yang dulu kuanggap sebagai malaikatku. Ketika hari pertama aku menginjakkan kaki di kota Jakarta, aku dirampok dan ditinggalkan di emperan toko. Si bapak yang punya toko kemudian memungutku dan merawatku. Menjadikanku seperti anak kandungnya sendiri. Aku menjadi orang kepercayaannya di toko. Dan dia sungguh sudah kuanggap seperti ayahku sendiri. Jauh dari keluarga besarku diperantauan tidaklah membuatku merasa kosong karena kehadiran beliau. Aku sangat menghormatinya. Hingga suatu saat, anak perempuannya jatuh cinta kepadaku. Walaupun aku sudah berusaha untuk tidak mengikuti kata hatiku, tetapi ternyata cinta dalam hati kami sangat besar. Karena beliau menentang hubungan kami, akhirnya aku pun membawa kabur Vong ke kampung halamanku. Disana kami pun dinikahkan secara adat oleh keluargaku. Aku pikir karena kami telah menikah, ayah mertua akan menerimaku sebagai orang yang dipilih Vong putrinya. Ternyata aku salah. Ketika kembali ke Jakarta, aku justru dimasukkan ke penjara oleh mertuaku sendiri dengan tuduhan penculikan. Entah apa yang terjadi kepada Vong. Kali ini aku akan mencari tau dimana Vong berada. Setelah 5 tahun berada di penjara, aku mulai mencari Vong ke tempat tinggal mereka dulu. Semoga mereka tidak pernah pindah.
Aku tiba kurang lebih 2 jam kemudian. Di tempat yang dulu merupakan istanaku juga. Tempatku bernaung dari hujan dan teriknya matahari. Tempatku mengabdikan diri menjadi pekerja tanpa gaji. Tempatku bertemu dengan Vong. Rumah ini belum berganti cat. Semoga juga belum berganti penghuni. Aku mendatangi pos satpam. Syukurlah, ternyata satpamnya juga belum berganti. Berarti ada kemungkinan Vong berada di dalam. Aku menyapa Pak Julfri satpam yang sedang jaga.
“sore pak Jul. masih kenal sama saya?”
“hei…Rinaldi. Kapan keluar dari penjara? Ssshhhhsss.. jauh jauh dari sini. Jangan cari masalah dengan Bos. Sudah cukup kamu dimasukkan ke penjara beberapa tahun yang lalu tanpa ada kesalahan. Negara kita ini kan siapa yang berduit dia menang. Kita yang miskin ini mah selalu jadi korban.”
“justru aku mau mengambil apa yang sudah dirampas dari saya Pak. Aku mau menjemput Vong”
“VONG??? Gini Rinaldi. Sejak kamu masuk penjara, Bos mengirim Vong ke luar negeri. Tak satupun dari kami yang tau kemana Vong. Sudah beberapa tahun ini kami tidak pernah melihat Vong.”
“Tak pernah sekalipun keliatan?”
“Eng…tidak. Bahkan kabarnya Vong sudah meninggal. Bunuh diri. Tapi kami tidak pernah melihat mayat Vong atau mengadakan acara kematiannya. Begitu kabar yang beredar”
“Tidak mungkin. Vong ga mungkin bunuh diri”
“Itulah Rinaldi. Kami ga tau kebenarannya. Kami ga boleh ikut campur. Tapi untuk lebih akuratnya, coba kamu hubungi pak Syukur. Sopir pribadi Bos. Mungkin ada sedikit banyak yang diketahuinya. Aku catat nomor dan alamatnya. Semoga berhasil Rinaldi. Tapi pesanku, jauhi rumah dan lingkungan ini. ada banyak cctv di daerah sini. Jika bos sampai tahu kamu berkeliaran disini, syukur syukur kamu ga dijebloskan ke penjara lagi. Dan satu lagi. Saranku, lupakanlah Vong. Mulai hidupmu yang baru. Kamu masih muda. Kasian keluargamu di kampung. Jangan cari masalah di kota besar ini. apalagi kamu ga ada kenalan disini. Seperti pepatah, ibukota lebih kejam dari ibu tiri. Belajarlah Rinaldi. Semoga berhasil untukmu”
Akupun meninggalkan rumah itu dengan segala kekosongan hatiku. Vong bunuh diri? Tidak mungkin. Tidak mungkin Vong berpikir sependek itu. Aku mengenalnya sebagai orang yang tangguh. Karena itulah aku mencintainya. Oh…..Vong… Maafkan aku Vong. Aku membuatmu menderita.
Aku bahagia
Aku tiba dikontrakan pak Syukur. Sesuai alamat yang diberikan pak Julfri, aku disuruh menunggu oleh istri pak Syukur. Hanya beberapa menit kemudian sosok yang kutunggu pun pulang ke rumahnya.
“Selamat malam pak Syukur”
“Hei. Rinaldi. Ada kabar apa datang kesini? Kapan keluar?”
“Maaf pak mengganggu. Mau nanya sesuatu tentang Vong. Tadi siang saya keluar dari penjara pak”
“Hhhhhmmm. Itulah tadi saya juga udah dikasih tau pak Julfri. Sebentar saya kebelakang dulu”
Tak lama kemudian pak Syukur kembali duduk di sofa bersamaku.
“Begini Naldi. Waktu itu sebulan setelah kamu dipenjara, Vong dikirim ke singapura atau Hongkong saya kurang jelas. Tapi yang pasti saya mengantar Vong dengan ibu ke bandara waktu itu. Saya hanya dapat info sedikit sedikit dari mencuri dengar telepon Bapak. Ternyata Vong mengandung. Dan isu yang kudengar, Vong meninggal setelah melahirkan. Bayi kalian dibawa ke Indonesia diserahkan ke keluargamu.”
“APA???? BAYI????”
“Iya. perempuan. Aku hanya mengantar Bapak ke pelabuhan waktu itu dan tau ternyata ada bayi perempuan. Ibu menyerahkannya kepada orangtuamu. Hanya itu yang aku tau. Selebihnya mungkin bisa kamu tanya kepada keluargamu. Dan sudah 5 tahun Vong tidak pernah saya tau masih hidup. Berarti memang Vong sudah meninggal. Jadi mulailah hidupmu. Lupakan masa lalu itu. Dan jauhi rumah keluarga Vong. Mereka masih dendam terhadapmu”
Aku pergi dari rumah pak Syukur dengan langkah gontai. Seluruh duniaku runtuh didepan mataku. Vong… Tidak… Bagaimana mungkin kamu meninggalkanku Vong? Maafkan aku. Sambil menangis, aku berjalan ke taman dekat rumah pak Syukur. Kuistirahatkan kakiku dengan duduk di salah satu kursi taman. Lama merenung membuatku sadar bahwa akupun tidak punya tujuan pulang. Kuputuskan untuk bermalam ditaman ini. mudah mudahan tidak ada satpol PP yang akan menggusurku.
Hari hariku kemudian terasa sangat berat. Aku tidak punya uang, tidak punya pakaian, tidak punya tempat tinggal, tidak punya keluarga. Beberapa kali saya mengemis meminta pekerjaan sebagai tukang angkat barang di pasar tradisional. Hasil yang kudapat tidak setimpal dengan lelah yang kurasakan. Demi sesuap nasi, aku terus menjalaninya. Malam malam kuhabiskan tidur dikolong jembatan. Kadang di emperan toko di pasar, kadang di rumah sakit, dimanapun asalkan bisa memejamkan mataku. Belum sepeserpun bisa tersimpan. Bagaimana caraku untuk kembali ke kampung halamanku. Aku hanya ingin melihat putriku. Aku menangis setiap malam. Betapa susahnya nasibku. Akhirnya dorongan perut membuatku menjadi seorang pencuri. Beberapa teman di terminal mengajakku melakukan aksi pencurian di angkutan kota. Biasanya targetnya adalah perempuan. Mungkin ini jalan untukku bisa mengumpulkan uang untuk melihat wajah putriku. Walaupun hati kecilku mengutuk perbuatanku, tetapi kondisiku sebagai tukang angkat barang hanya mendapat upah Rp 5000 sekali pundak. Sehari kadang hanya dapat Rp 10.000 hanya cukup untuk sekali makan. Bahkan sudah setahun, aku masih tidur di kolong jembatan. Dengan mencuri, akhirnya akupun diperbolehkan menumpang tinggal dirumah salah seorang teman seprofesiku. Tentu saja kami berbagi uang sewa. Dia juga tinggal sendirian. Keluarganya berada di Jawa Timur.
Ternyata dengan mencuri, aku hanya memerlukan waktu selama 4 bulan untuk mengumpulkan uang tiket naik kapal laut ke Medan. Tetapi uang itu tentu saja belum cukup. Aku harus bersabar untuk beberapa bulan lagi. Aku hanya ingin membawa putrid kecilku yang kini sudah berusia 7 tahun. Aku ingin memulai hidup baruku. Sepulang dari Medan, mungkin aku harus mempersiapkan rumah kontrakan baru untuk kami berdua. Aku pun harus memulai pekerjaan sebagai penjual air mineral di terminal biar putriku kelak tidak akan malu jika sampai tahu ayahnya pencuri. Dengan mantap, pekerjaanku sebagai pencuri kutekuni dengan sangat serius. Wajah Vong kecil menari nari dalam mimpiku. Membuatku semangat untuk menjemput putriku.
kecewa
“Dimana putriku” tanyaku kepada ayahku setibanya dirumah. Aku menempuh perjalanan selama 2 hari 1 malam di kapal laut.
“Istirahat dulu. Tidak pedulikah kau lagi dengan Bapakmu yang sudah tua ini?”
“aku hanya ingin melihat anakku. Kenapa Bapak tidak pernah cerita?”
“cerita bagaimana? Kemana aku akan kirim surat atau telegram? Kamu sendiri bukanlah harusnya juga memberi kabar? Selepas dari penjara, pernahkah terpikirkan olehmu memberitahukan kepada Bapakmu ini?”
“..”aku terdiam
“kamu selalu seperti ini. dari kecil tidak pernah bisa menurut. Berbuat semaumu saja”
“..”aku tetap membisu
Beberapa saat kemudian, Bapak mulai berbicara pelan
“Dia diasuh oleh abangmu. Waktu itu ada telegram. Kabar dari Jakarta. Mereka menyuruhku untuk menjemput bayimu. Kalau aku tidak menjemput, mungkin bayimu akan diadopsi oleh orang lain. Sungguh berat waktu itu. Bayi merah yang masih berumur 2 minggu itu harus mengalami perjalanan panjang. Kudengar dia lahir di Hongkong. Aku mengantarnya ke tempat abangmu. Ternyata kakak iparmu sedang mengandung anak keempatnya. Akan semakin repot mengingat anak abangmu semua masih tergolong kecil. Akupun membawanya kembali ke Medan. Setelah kakakmu melahirkan, kuserahkan anakmu untuk dirawat disana. Mungkin juga untuk disusui. Kasihan anakmu. Aku hanya lelaki tua yang tidak tau bagaimana mengurus anak bayi. Sewaktu kalian kecil dulu, ibumulah yang mengurus kalian. Jadi aku bingung. Umur 3 tahun, ada masalah sedikit. Abangmu mengantar anakmu ke sini lagi. Aku kembali mengurusnya. Tetapi karena sudah waktunya untuk sekolah, umur 5 tahun dia kuantar lagi dan diasuh abangmu. Semua orang beranggapan kalo kakakmu melahirkan anak kembar. Jadi tidak ada yang tahu bahwa Lolita, itu namanya, adalah bukan anak kandung abangmu”
“…”aku tidak bisa bersuara
“biarkanlah Lolita tumbuh seperti itu. Kelak suatu saat, ada waktunya dia akan mencarimu. Pikirkan masa depannya. Sekarang dia sungguh bahagia. Setiap Tahun Baru berkunjung ke sini, Lolita terlihat tidak dibedakan dengan saudaranya yang lain. Biarkan dia menjalani kehidupan barunya bersama abangmu. Abangmu lebih bisa memberikan kebahagiaan untuk Lolita dibandingkan olehmu. Apa yang bisa kau berikan kepadanya? Apa pekerjaanmu? Bisakah kamu memberikan Lolita semua kebutuhannya? Jangan jangan nanti malah Lolita menderita dibawah tekanan ibu tiri lagi. Sampai kapan kamu tahan tidak beristri? Sudahlah. Lupakan Lolita. Jangan membuat suasana semakin parah”
Terus terang, aku merasa tertampar oleh ucapan Bapakku. Aku memang tidak pernah memikirkan sampai seperti itu. Memang ada benarnya Lolita lebih aman dengan abangku. Aku berniat mengunjungi abangku hanya sebentar. Tetapi Bapak melarangku. Dan menyuruhku untuk segera pulang.
keluarga baru
Aku sedang duduk di teras kontrakan sambil menikmati secangkir kopi ketika kabar tentang Bapak yang meninggal dikampung disampaikan oleh sepupu jauh. Sudah 11 tahun sejak pertemuan kami terakhir. Kehidupanku tidak jauh berbeda. Aku masih berstatus sebagai pencuri professional di bus. Setiap hari kulakukan pekerjaan haram itu demi menyambung hidup di kota Jakarta. Selama 11 tahun ini aku juga sudah memiliki keluarga baru. 10 tahun yang lalu aku meminang istriku dan 5 tahun kemudian anak laki lakiku dilahirkan. Aku belum pernah membelikan susu sekotak untuk Bapak. Aku menangis. Bahkan untuk ongkos pulang ke kampung pun aku tidak punya. Hatiku hancur. Aku akan mendatangi pak Jhon. Dia biasa mau meminjamkan uang untuk kami dengan imbalan membantu pencurian yang lebih besar untuknya. Biasanya mencuri toko perhiasan atau rumah mewah. Demi Bapak, aku akan melakukan pekerjaan apapun. Karena aku tidak mau menyesal tidak melihat Bapak untuk terakhir kalinya. Istriku sedang memberi anakku makan ketika aku mengambil jaket dari kamar. Dia sudah hapal gerak gerikku. Untungnya memang dia tidak pernah memprotes pekerjaanku. Dia hanya berpesan jika anakku sedang berada di bus yang kebetulan tempatku beraksi, agar tidak melakukan pencurian didepan anakku. Anakku memang tidak tau apa profesiku.
Sembari berjalan menyelusuri lorong kecil menuju kediaman pak Jhon, aku mengenang masa masa perkenalanku dengan Saidah istriku. Waktu itu Saidah sering memperhatikan aksiku mencuri di bus. Kebetulan Saidah setiap hari naik bus langgananku ke tempat kerjanya. Walaupun kami hanya pencuri kecil, kami juga memiliki daerah masing masing. Sama dengan bus ini. setiap hasil yang kami dapat, kami akan membagi beberapa uang kepada sopir bus. Hal inilah yang membuat kami semakin gampang untuk melakukan aksi kami. Karena kami bersekongkol dengan sopir bus nya. Penampilan kami pun bukanlah seperti penampilan preman pasar biasa. Kami memakai pakaian rapi seolah olah kami memang sedang melakukan perjalanan ke kantor. Saidah selalu memperhatikan tindakanku yang katanya sangat halus. Karena Saidah selalu duduk paling belakang. Tempat favoritnya. Katanya dari belakang dia bisa melihat semua aktivitas penumpang bus. Membuat perjalanannya tidak begitu membosankan. Biasanya kami hanya naik selama 5 menit. Setelah melakukan aksi, biasanya kami memberi kode dari spion kepada sopir untuk menurunkan kami di halte selanjutnya. Untuk lebih halus, kami tetap membayar ongkos dengan besaran tetap untuk memudahkan perhitungan pemotongan komisi nantinya. Walaupun ada kesempatan untuk membohongi jumlah hasil curian, anehnya kami tidak pernah berbohong satu sama lain tentang total hasil pencurian kami. Mungkin hal itulah yang membuat kami semakin kompak dan bersatu.
Suatu saat, aku hampir ketiban sial. Baru beberapa saat melakukan aksiku, korban yang merupakan seorang wanita langsung memeriksa tas nya untuk mengambil ongkos. Halte masih jauh. Aku mulai panik karena aku bertepatan berada dibelakang si korban. Untunglah Saidah langsung menarikku dan mendudukkanku dengan paksa disebelahnya. Dia pura pura bercerita tentang film yang tidak pernah kami tonton. Si korban terlihat sangat gelisah dan tidak mencurigaiku sedikit pun. Kemudian halte tujuan kami pun tiba. Aku turun dan belum sempat mengucapkan terima kasih kepada Saidah. Dari situlah perkenalan kami. Setiap hari, biasanya aku akan menunggu Saidah pulang kerja. Kemudian mengajaknya berjalan di taman. Sampai akhirnya aku melamarnya dan kami bahagia dalam kesederhanaan kami.
Tidak terasa aku sampai ke rumah pak Jhon. Untunglah semua berjalan lancar. Pak Jhon mau meminjamkan uang yang lumayan besar. Lebih dari cukup untuk ongkos kami sekeluarga ke kampung halaman. Aku pun cepat cepat kembali ke rumah untuk memberitahukan istriku tentang perjalanan kami.
pertemuan pertama
Kami tiba di bandara Polonia setelah melakukan penerbangan selama kurang lebih 2 jam dari Jakarta. Menurut Abang semalam sewaktu saya telepon dari wartel, Bapak dibawa ke kampung leluhur dan dimakamkan secara adat disana. Kira kira lusa adalah puncak acaranya. Karena memang biasanya para orang tua akan dibiarkan beberapa malam berada dirumah sembari menunggu anak anaknya berkumpul. Setelah semua keluarga yang ditunggu sudah berkumpul, baru akan dilaksanakan prosesi adat penguburannya. Aku menyewa taksi menuju stasiun bus ke kampung halaman. Ini pengalaman pertama bagi Saidah dan anakku. Aku membiarkan mereka menikmati perjalanan selayaknya orang kaya. Untuk pak Jhon, dia adalah malaikat bagi kami komplotannya. Tidak susah untuk mengembalikan uangnya nanti. Aku hanya perlu melaksanakan perintahnya untuk merampok rumah mewah seperti dulu. Sekali merampok itu, memang penuh resiko, aku mendapatkan upah sebesar pinjamanku sekarang. Jadi tidak ada yang perlu kutakutkan. Senyum kebahagiaan di wajah anakku tidak akan bisa ditukar dengan apapun. Kami tiba di stasiun. Bus berangkat 25 menit lagi. Perjalanan akan kami tempuh selama 7 jam. Sepanjang jalan disuguhkan pemandangan hijau dari hutan dan sawah. Sesuatu yang tidak pernah ditemui di Jakarta. Membuat anakku semakin berdecak kagum dan tidak mau memejamkan matanya barang sedikitpun. Sayang untuk dilewatkan katanya.
***
Senyumku langsung berubah menjadi tangis menjadi jadi ketika sampai di kampung langsung melihat Bapakku yang terbujur kaku. Aku menangis seperti anak kecil. Memang aku adalah anaknya yang paling bungsu. Aku tidak pernah mengenal ibuku karena meninggal sewaktu melahirkanku. Aku tidak tau berapa lama aku menangisi Bapak. Hingga tidak ada lagi airmata yang tersisa. Tiba tiba Vong memberikanku air minum. Aku sangat bahagia. Vong…. Vong-ku masih hidup. Tapi lamunanku dibuyarkan ketika Vong malah memanggilku Bapauda (sebutan untuk adik dari ayah). Aku menitikkan airmata lagi. Vong.. kamu sangat mirip dengan putri kecil kita. Lolita.
Lolita menyapa kami semua. Begitu juga dengan keponakanku yang lain. Mereka bergantian menyalami kami dan mencium tangan kami. Anakku Sultan langsung berbaur dengan mereka. Bermain kelereng dihalaman belakang rumah dengan sepupunya laki laki. Lolita dan kakaknya membantu para anak gadis dan wanita untuk menyiapkan bumbu bumbu untuk acara lusa hari. Karena tidak ada jasa catering, tradisi di kampung halamanku memang bergotong royong satu sama lain untuk menyiapkan acara pesta adat seperti ini. biasanya 2 hari sebelum acara, sudah banyak pekerjaan yang dilakukan beramai ramai. Ada yang membersihkan beras, ada yang menggiling kopi, mengupas bumbu bahkan menyiapkan kayu bakar dari hutan. Sifat kekeluargaan dan sependeritaan masih sangat terasa di kampung ini.
***
Acara adat Bapak berlangsung dengan lancar. Aku dan keluargaku ikut ke kediaman Abang. Mengingat dia adalah saudara kami yang paling tua, maka posisi Bapak akan digantikan oleh Abang. Selama dirumah Abang, kerinduanku terhadap Vong semakin menjadi jadi. Ternyata istriku Saidah merasakannya. Aku memang pernah menceritakan kisah hidupku dengan Vong kepadanya. Tetapi tidak sedikitpun istriku mencampuri urusanku. Dia lebih banyak diam dan tersenyum. Mungkin karena dia tidak tau bahasa kami atau memang mungkin karena kepribadian kakak iparku yang juga sangat ramah. Saidah sering menahanku dengan matanya ketika aku sudah tidak tahan untuk memeluk Lolita dan mengajaknya ikut ke Jakarta. Aku tau Saidah sengaja mengingatkanku agar Lolita nantinya tidak bingung apalagi sepertinya Lolita tidak pernah diberitahu tentang rahasia itu.
Ternyata, aku mendapatkan harta warisan dari keluargaku. Lebih dari cukup untuk memulai hidup baru yang lebih halal. Kabar tentang pekerjaanku yang tidak jelas sampai kepada keluargaku. Dengan modal warisan, aku bisa membuka warung kecil dirumah. Bahkan masih cukup untuk membayar hutangku kepada pak Jhon. Disela canda sebelum kembali ke Jakarta, aku mengajak Lolita ikut. Lolita ga bisa karena alasannya dia sedang duduk di kelas 3 SMA. Aku pun menyuruhnya untuk mencoba PTN di Jakarta biar nanti bisa tinggal sama sama. Lolita hanya tersenyum.
Aku tau Lolita anak yang cerdas. Dari beberapa piagam yang dipajang di rumah Abang, menandakan bahwa Lolita memang tidak sulit untuk masuk ke PTN. Apalagi kudengar katanya dari kecil dia mau masuk ke Fakultas Kedokteran UI. Mungkin aku akan mencari kontrakan di Depok agar Lolita tidak terlalu jauh kuliah jika nanti masuk ke sana.
karma
Baru beberapa jam mengistirahatkan badan setelah kembali dari Medan, keluarga kami langsung dikejutkan dengan kabar bahwa adik iparku mengalami kecelakaan dan harus menjalani operasi. Otaknya mengalami pendarahan parah dan memerlukan banyak uang untuk operasinya. Istriku Saidah menangis sejadi jadinya. Saidah memang bukan orang kaya. Bahkan tergolong miskin. Mereka tinggal di bantaran sungai. Daerah kumuh. Tinggal adik laki lakinya dengan ibu yang sudah tua. Adiknya berprofesi sebagai kernet di bengkel las. Hanya cukup untuk makan sehari hari. Tidak punya saudara lain sebagai tempat untuk mengadu. Aku mengingat uang warisan. Kurelakan uang tersebut untuk mengobati Sutono adik iparku. Keluarga adalah yang terutama. Mungkin aku akan mencari jalan keluar untuk pengganti warisan tersebut. Untunglah, uang warisan itu masih cukup untuk menebus Tono dari rumah sakit. Dia juga bisa melanjutkan pengobatannya dirumah. Akhirnya sisa uang warisan kami buat sebagai modal Sutono berjualan di rumah mertuaku. Aku kembali ke profesiku sebagai pencuri. Demi membayar hutang kepada pak Jhon dan menyambung hidup di Jakarta. Anakku masuk sekolah dan kebutuhan kami mulai bertambah. Aku tetap terjebak dengan profesiku yang haram. Mungkin sudah takdir aku tidak bisa lepas dari jeratan hitam ini.
Lolita lulus PTN tetapi di Medan. Sempat terkabar dia akan melanjut ke Bogor, tetapi karena sesuatu hal, mungkin itu hanya isu belaka. Aku terpaksa menahan hasratku untuk tinggal bersama dengan putri kecilku. Bahkan untuk mengirim uang sekedar membeli pulpen saja aku tidak mampu. Aku hanya ingin Lolita mengingat ada sedikit kebaikanku walaupun hanya sebagai keluarga. Aku sungguh tidak berguna. Aku mulai minum minuman keras untuk menghapus kegundahan hatiku. Aku orang gagal. Padahal yang kuinginkan dulu hanyalah hidup sebagai orang normal lainnya. Hidup bahagia dengan Vong dan putri kecilku Lolita. Setiap hari kerjaanku hanya mabuk. Pulang kerumah kadang sesekali aku melakukan kekerasan terhadap istriku Saidah. Aku mulai lelah. Jika bukan karena menghidupi keluarga Saidah, mungkin aku sudah bisa mengirimkan rejeki halal untuk Lolita. Untuk membeli sepatu kuliah ataupun buku kuliahnya. Tidak mungkin jiwa suci Lolita akan kukotori dengan penghasilan haramku. Aku sering berteriak dan memaki istriku. Apalagi setiap ada hasil pencurianku, aku tau Saidah diam diam mengantar uang ke rumah ibunya. Aku tau Saidah membiayai persalinan adik iparnya. Aku tau biaya pernikahan adiknya juga Saidah yang menanggungnya. Dengan apa?? Dengan uangku. Padahal untuk membayar warisan Bapak sekarang aku sudah tidak punya harapan. Entahlah. Aku sudah tidak tau sejauh mana langkah kakiku dari jalan benar itu. Hingga akhirnya karma itupun datang. Aku divonis mengidap kanker hati. Hidupku tamat sudah.
tetap menjadi rahasia terindah
Aku menjalani kemoterapi untuk kesekian kalinya. Biaya perobatanku yang mahal ditanggung oleh Abangku. Sehari hari aku hanya bertopang kepada orang orang disekitarku. Aku tau Abang memang lumayan berduit. Tetapi bukan cuma aku saudara yang ditanggungnya. Banyak saudaraku yang lain juga bergantung kepada belas kasihan Abang. Tetapi karena kebaikan hatinya, Tuhan memberikan banyak berkat kepada mereka. Anak anaknya semua telah bekerja. Kini aku tau kabar bahwa putri kecilku Lolita akan menikah. Kabar ini disampaikan oleh kakakku ketika datang menjengukku di rumah sakit.
“nanti ga usah dulu banyak minta uang sama Abang ya. Loli mau nikah kudengar. Banyak persiapan mereka ke sana. Kalo perlu uang sama kakak aja nanti bilang. Nanti kakak usahakan pun. Tunggu siap dulu acara nikahan si Loli baru bisa kita minta tolong lagi sama Abang”
“kapan Loli nikah kak?” tanya istriku Saidah
“kira kira 1 minggu lagi kudengar. Hari Rabu kemaren tunangan.”
“kami titip salam aja kak sama Lolita. Semoga dia bahagia sama suaminya”
“iya. nanti kusampaikan. Banyak istirahat ya Naldi. Jangan lupa ikuti pengobatan dari dokter. Masih ada harapan untuk sembuh. Ingat Sultan udah mau SMA”
Sepeninggal kakak, istriku tau sebegitu besarnya keinginanku untuk melihat pernikahan putriku Lolita. Siapa yang dapat menahan gejolak seperti ini? melepaskan putrimu untuk seseorang yang dicintainya adalah moment yang paling ditunggu oleh ayahnya. Tetapi hal itu tidak mungkin terjadi padaku. Aku sekarat. Tidak punya uang. Hanya menggantungkan hidup dari belas kasihan orang lain. Kesehatanku menurun drastis. Mungkin pengaruh dari rasa stessku yang berlebihan.
“Mas… tolonglah jauhkan kesedihan dari hatimu. Bahagialah karena Lolita juga bahagia dengan kehidupannya. Berhenti menyiksa diri. Mungkin memang Lolita tidak pernah mengetahui bahwa Mas adalah ayah kandungnya. Iklas Mas. Demi anak kita Sultan. Tolong jangan bersedih seperti ini. aku tidak tau lagi harus berbuat apa untuk Mas.”
Hanya itu yang kudengar ketika kemudian aku mengantuk sekali. Sangat lelah. Apakah aku sudah meninggal? Aku rasa belum. Karena aku masih merasakan ada tangan hangat menyentuhku. Kubuka mataku dengan susah payah. Apakah ini surga? Tidak mungkin aku masuk surga. Aku berlumuran dosa. Mana mungkin bisa diterima Tuhan. Ada sesosok lelaki dengan postur badan yang tinggi dan sangat tampan. Tersenyum hangat dan menyapaku.
“Halo Amang. Aku suaminya Lolita. Ada kerjaan ke Jakarta jadi singgah sebentar ngeliat Amang”
Nikmat apakah ini? Tuhan sungguh baik. Aku bisa melihat rupa menantuku. Menantu yang sangat dicintai oleh putri kecilku.
Aku sangat damai. Walaupun hanya bertemu dengan singkat, tetapi tidak pernah kurasakan hal yang sangat bahagia dalam hidupku. Menantuku meninggalkan uang yang cukup besar untuk biaya pengobatanku. Dokter pun heran melihat kondisiku yang sangat bugar. Aku diperbolehkan pulang. Setelah dirawat selama 2 minggu dirumah sakit. Ternyata selama 2 minggu itu aku koma. Sudah 4 bulan berlalu sejak Lolita menikah. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengan suaminya.
Malam itu, aku menghabiskan seluruh makananku. Bahkan tanpa disuruh, aku juga memakan obat yang selama ini selalu menjadi kelemahanku. Obat herbal buatan Ibu mertuaku. Dan yang paling aneh dari semuanya adalah aku berdoa. Pertama kali dalam hidupku aku berdoa. Semoga Lolita dan menantuku bahagia sampai mereka nanti tua, beranak cucu dan dipisahkan oleh kematian. Doa tulus dari seorang ayah kepada putrinya. Sambil berlinang air mata, aku mendoakan hal yang sangat kuimpikan. Kebahagiaan anakku. Hanya itu yang kuminta dari Tuhan. Aku pun tertidur dengan senyum mengembang. Aku bahagia.
rahasia yang kuharap hanya mimpi (1)
Aku menahan tangisku di kamar. Sambil tersedu sedu, kuusap perutku agar bayiku tidak ikut merasakan kesedihan hatiku. Aku mendapat telepon dari orangtuaku. Bapaudaku meninggal tadi malam sekitar jam 10 malam. Padahal baru beberapa jam sebelumnya dia diperbolehkan dokter kembali ke rumah karena dinyatakan kondisinya sudah membaik dan dapat dirawat jalan. Dan suamiku Andrian yang mengurus administrasi kepulangannya. Andrian sedang ada proyek besar di Jakarta. Karena Andrian tidak pernah bertemu dengan Bapauda, jadi dia sempatkan untuk mengunjunginya. Andrian tidak tau kerumitan keluargaku. Orangtuaku sekarang bukanlah orangtua kandungku. Rahasia ini bukan mereka yang membeberkannya kepadaku. Bahkan orang orang disekelilingku juga tidak pernah mengetahuinya. Termasuk Andrian suamiku.
Waktu itu aku mengurus KTP. Aku tinggal di rumah kakek biar ada yang mengurus kakek. Umurku sudah beranjak 17 tahun, jadi akupun bersama dengan kakek menghadap kepala lingkungan. Selama disana, aku tidak tau apa apa sampai muncul surat keterangan lahir yang selama ini kupercaya ternyata palsu. Ketika tiba di rumah, kakek mulai bercerita.
“sebelum kakek cerita, ada beberapa hal yang perlu kamu ketahui. Apapun yang terjadi, semata mata adalah bahwa semua orang menginginkan kamu itu bahagia. Jangan pernah menghakimi karena bukan tugasmu untuk menghakimi. Penghakiman itu adalah milik Tuhan. Kamu harus bisa memaafkan dan menghargai setiap usaha orang lain terhadapmu. Baik atau pun buruk semua harus bisa kamu terima dan syukuri.”
Aku memang sering mendapat pendidikan berharga seperti itu dari kakek. Jadi tidak jarang aku dianggap cukup bijak diantara saudaraku yang lain.
“pernahkah kamu merasa berbeda? Coba utarakan apa perasaanmu selama ini kepada kakek. Biar bisa kakek jelaskan dengan baik.”
Aku tau kakek mau mengambil waktu untuk berpikir pendekatan yang lebih tepat untuk emosiku yang labil.
“ya aku memang merasa dari kecil aku berbeda dengan saudaraku yang lain. Aku dianggap terlalu putih dan sipit dibandingkan mereka. Mereka sering memanggilku cina kesasar. Tetapi aku mirip sama Ayah. Jadi aku menganggap semua itu hanya candaan biasa. Bahkan aku bangga jika mereka menyebutku demikian. Aku merasa tidak ada yang salah. Dan tidak ada yang perlu kupertanyakan”
Aku jujur dengan perkataanku. Aku tidak pernah merasa ada yang aneh selain fisikku. Memang kadang aku merasa tidak bisa mendapatkan kasih sayang ibuku sebesar adikku mendapatkannya. Tetapi itu karena adikku perlu lebih banyak perhatian. Karena dia sering sakit dan lebih kurus dariku. Kami kembar tidak identik. Begitulah ceritanya sehingga kasih sayang ibu bukanlah sesuatu yang perlu keperebutkan dengan adikku. Kami saling menyayangi. Bahkan saling melengkapi.
rahasia yang kuharap hanya mimpi (2)
“ayah kandungmu adalah yang kau kenal dengan Bapauda Sultan yang ada di Jakarta. Kamu memang tidak pernah bertemu dengannya. Itu karena kakek melarangnya karena beberapa kesempatan dia mau membawamu ke Jakarta. Mungkin beberapa kabar negative tentang pekerjaan Bapaudamu pasti pernah terdengar olehmu. Untuk itulah kakek melarangnya untuk menemuimu. Dia tidak mungkin bisa merawatmu dengan baik. Aku akan tunjukkan beberapa foto”
Aku mengikuti kakek ke dalam kamarnya. Dibawah tempat tidur, ada beberapa kotak. Kakek mengambil kotak coklat. Disitu terdapat banyak foto pernikahan orangtua kandungku. Aku seolah olah melihat diriku dibalik gaun pengantin itu. Aku ternyata sangat mirip dengan ibuku yang keturunan cina.
“aku ga tau apa yang terjadi. Tetapi setelah kembali ke Jakarta, bapakmu masuk penjara karena pencurian atau ntahlah. Yang pasti kami tidak tau berapa lama dia dipenjara. Setahun kemudian, ada telegram menyuruhku ke Jakarta menjemputmu. Karena jika aku tidak datang, maka kamu akan diserahkan untuk diadopsi. Tidak mungkin aku membiarkan keturunanku diasuh orang lain. Makanya aku langsung mengambilmu dan mengetahui bahwa ibumu meninggal saat melahirkanmu. Aku kemudian menyerahkanmu kepada ayahmu sekarang. Karena ibumu lebih paham mengurusmu. Jadilah kamu dan Lovita dianggap kembar tidak identik. Ayahmu berusaha menutupi bulan kelahiranmu yang lebih cepat 4 bulan dari Lovita dengan membiarkanmu bersamaku selama 4 bulan itu. Ibumu sengaja melahirkan disini agar semua orang tidak tau bahwa kamu bukanlah anak kandungnya. Begitulah bahkan kakak dan abangmu tidak mengetahui cerita itu.”
Aku menghela nafas. Aku tidak bisa mengatakan apa apa. Aku hanya terdiam. Kakek melihatku dalam kebisuan yang dalam.
“aku tau keputusan yang kuambil waktu itu adalah keputusan terbaik untukmu. Bapak kandungmu sebenarnya sangat ingin tinggal bersamamu. Tetapi untuk makan sehari hari saja dia harus bekerja keras di Jakarta. Aku tidak mungkin membiarkan bapakmu menelantarkanmu nantinya. Aku tidak mungkin tega membiarkan dirimu tumbuh menjadi pribadi yang kurang dalam segala hal. Dan ayahmu terbukti dapat merawatmu dan membesarkanmu dengan baik dan tidak pernah membedakanmu dengan saudaramu yang lain. Kamu harus mensyukurinya. Cerita ini saya beritahukan kepadamu, agar kamu lebih bijak menyikapi sikap orangtuamu yang sekarang. Kamu harus menjadi pribadi yang lebih baik setelah mendengarkan cerita tentangmu. Berjanjilah kamu tidak akan mengatakan bahwa kamu sudah mengetahui rahasia hidupmu yang tidak akan dibocorkan oleh orangtuamu sekarang. Jika bapak kandungmu suatu saat datang dan memintamu untuk tinggal bersamanya, mohon untuk bijak menyikapinya. Ingat, jangan pernah menghakimi. Tidak semua manusia itu memiliki keputusan yang baik untuk semua orang yang dikasihinya. Terkadang, kita perlu berkorban besar demi kebahagiaan orang yang paling kita sayangi. Percayalah, bapak kandungmu pasti sangat menderita setiap hari mengingat dia tidak bisa mendekatimu dan memelukmu selayaknya bapak kepada anaknya”
Aku mengingat kembali ayahku dan ibuku. Terlepas ibuku yang sangat sibuk memperhatikan adikku, ayahku selalu membelikan baju natal dan tahun baru untukku sama dengan saudaraku yang lain. Ketika Lovita dibelikan boneka warna merah, maka ayah juga membelikan boneka warna biru untukku. Bahkan kami semua masuk ke sekolah favorit masing masing sesuai dengan kemampuan akademis kami. Ayah tidak pernah sekalipun menolak permintaanku. Aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Dan aku juga bahagia bahwa aku mengetahui rahasia tentangku dari orang yang menyayangiku. Aku tidak merasa bingung. Justru aku menjadi semakin mengerti. Kecakapanku dalam belajar dan raut wajahku ternyata memang diturunkan dari keluarga ibuku. Aku bahagia dan bangga. Aku bahkan tidak berencana mengunjungi bapak kandungku. Aku tidak penasaran dengan raut wajahnya ataupun dengan keluarga barunya yang juga adalah keluargaku.
pertemuan pertama
Setahun kemudian kakek meninggal. Mayatnya dibawa ke kampung leluhur untuk dimakamkan disana. Biasanya makam leluhur itu disebut tugu. Kami pergi ke kampung untuk melaksanakan adat penguburan kakek. Aku mendengar kabar bahwa Bapauda Sultan juga akan datang ke sana. Sangat susah untuk berpura pura tidak mengetahui rahasia besar itu. Tetapi aku dapat mengatasinya dengan baik. Mungkin aku memang sudah sangat dewasa.
Aku melihat Bapauda datang dan langsung menangisi mayat kakek. Sungguh menyedihkan. Aku menitikkan airmata. Untunglah memang banyak juga yang ikut bersedih mendengar jeritan Bapauda. Padahal sebenarnya aku menangis karena begitu rindu ingin bertemu dengan bapak kandungku. Tetapi aku tidak boleh gegabah. Aku harus tetap seperti biasa. Syukur kepada keadaan yang bisa menutupi kesedihanku. Aku menyiapkan minum sama seperti sebelumnya. Tugasku melayani tamu dengan menyuguhkan minuman hangat bagi mereka. Aku menyapa Bapauda dengan istri dan anaknya Sultan. Masih sama seperti menyapa keluarga yang lain. Mereka tidak tau seberapa besar keinginanku untuk memeluknya dan menangis dipelukannya. Tapi memang sekali lagi aku sudah sangat dewasa. Aku sanggup menahan gejolak itu dan menganggap semua tidak pernah ada rahasia yang terungkap. Aku memuji diriku sendiri.
Acara penguburan telah berakhir dengan lancar. Bapauda ikut kerumah keluargaku. Mereka membicarakan tentang warisan. Dihari terakhir mereka menginap, Bapauda mengajakku untuk tinggal bersama di Jakarta. Aku hanya menyikapinya dengan biasa. Memang aku berencana mengambil kuliah jurusan kedokteran di UI. Tetapi sepertinya aku sudah tidak tertarik lagi. Bukan karena rahasia itu, tetapi memang aku agak sedikit tidak tega melihat darah. Aku berubah cita cita menjadi arsitek.
Aku lulus di USU jurusan Teknik Arsitektur. Sebenarnya besar keinginanku untuk lulus di Jawa. Tetapi mengingat biaya yang cukup besar, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Medan. Aku bisa menghemat sewa rumah karena tinggal dirumah kakek. Aku juga bisa melanjutkan toko sembako kakek. Jadi bisa meringankan beban orangtuaku. Lovita juga lulus di USU tetapi jurusan Psikologi. Kami selalu bersama sama dan masih menganggap bahwa dia adalah kembaranku. Tidak ada yang berubah dari kehidupanku sebelumnya. Menyelesaikan kuliah dan bekerja dengan gaji yang lumayan.
percayalah aku merindukanmu
Sejak menerima gaji, aku sungguh sangat ingin mengirimkan uang untuk bapak kandungku. Tetapi seperti janjiku, aku tidak akan mengungkapkan bahwa aku sudah mengetahui rahasia besar itu. Akhirnya aku membantu semua keluargaku yang perlu bantuan melalui orangtuaku. Aku selalu mengirim uang untuk ibuku dan dia yang akan menyampaikan kepada keluarga. Aku memang tidak pernah mengharapkan ada namaku disebut dalam pemberian itu. Tetapi memang ibu sungguh bangga anaknya telah berhasil dan dapat membantu keluarganya. Sampai kabar itu datang dengan tiba tiba. Bapak kandungku menderita kanker hati dan memerlukan banyak biaya perobatan. Aku yang masih status lajang, memberikan uangku sebanyak mungkin kepada orangtuaku untuk membantu. Setiap hari aku mendoakan semoga bapak kandungku kembali pulih walaupun aku tahu itu tidak mungkin.
Setelah menikah, aku memiliki keluarga baru. Aku tidak bisa lagi memberikan banyak sumbangan seperti masa lajangku. Sudah ada tanggungjawab yang kupegang. Memang Andrian bukanlah orang yang pelit. Tetapi aku tidak mau jika seluruh gajiku kusumbangkan kepada keluargaku, mertuaku nanti menjadi tidak menyukaiku karena terlalu sayang pihak keluargaku. Selama 4 bulan aku tidak pernah memberikan uang kepada ibu. Hingga Bapauda meninggal.
“gimana sayang. Mau ikut rombongan ke Jakarta melayat?”
Ibuku menelepon pagi hari sekali. Aku baru selesai mandi dan bersiap siap untuk berangkat kerja.
“ga usah ma. Lagian Mas Andrian masih disana. Biar jadi perwakilan kami. Aku ga akan diijinkan dokter naik pesawat. Masih terlalu muda kehamilanku. Aku titip salam saja ya ma sama semua keluarga disana”
Aku mengatur suaraku senormal mungkin. Padahal hatiku menjerit. Mungkin aku terlalu pengecut. Ini adalah pertemuan terakhir dengan bapak kandungku. Tetapi aku memilih tidak menjenguknya karena aku tau, selangkah kakiku menuju Jakarta, maka kehidupanku tidak akan sama lagi. Aku tidak mungkin sanggup menahan gejolak dalam hatiku. Menumpahkan seluruh kerinduan yang ada. Aku hanya tidak berani menghadapi kehidupanku nanti jika semua kenyataan pahit terkuak dari hidupku. Aku belum bisa melepaskan semua kasih sayang orangtuaku yang sekarang. Aku ga mau Mas Andrian merasa dibohongi olehku dan keluargaku. Biarlah terjadi seperti biasanya.
“baiklah. Jaga dirimu ya sayang. Banyak makan buah dan sayur. Selalu periksa ke dokter”
“iya ma. Mama juga hati hati selama perjalanan”
***
6 bulan kemudian, kami dikaruniai seorang gadis kecil. Begitu mirip denganku. Kami memberinya nama Sheline Vong Margaretha. Aku tau, nama ibuku adalah Vong dari surat yang ditulis bapak kandungku kepada kakek. Sebenarnya nama Indonesianya adalah Carolina. Hanya saja jika Carolina yang aku sematkan untuk nama anakku, aku akan menjadi merasa bersalah karena telah membohongi orangtuaku karena tidak memberitahukan bahwa aku sudah mengetahui rahasia itu. Makanya aku mengambil nama Vong. Untuk mengingatkanku bahwa aku adalah diriku yang sekarang, yang dilahirkan oleh seorang wanita kuat bernama Vong. Dan dibesarkan oleh wanita hebat yaitu ibuku.
Description: Aku membenci hidupku. Membenci ketidakberanianku. Seharusnya aku sudah berbahagia dengan keluarga yang kucintai. Tapi takdir berkata lain. Aku hanya bisa menangisinya dari jauh dengan menahan kerinduan ini.
*****
Aku sungguh tidak memahami, mengapa kehidupan kita tidak bisa sederhana seperti kehidupan orang lain. aku terlahir bukan karena dosa, tetapi kenapa kamu begitu susah untuk mengakuinya. jika aku diinginkan, mengapa aku dilahirkan tanpa dibesarkan.
*****
Aku menjadi seperti ini karena cintaku yang tidak berbalas. Mungkin inilah bentuk balas dendam untukku kepada kaummu. Padahal aku begitu tulus mencintaimu dan mempertahankan anak hasil perbuatanmu padaku. Walaupun rasa bersalah ini terus membayangiku, tetapi jauh dilubuk hatiku aku selalu berharap yang terbaik untuk putrimu
|
Title: Raja Sangkala dan Ratu Elishabeth
Category: Adult Romance
Text:
Raja Sangkala dan Ratu Elishabeth
Ratu dan Raja tinggal di istana yang sangat besar dan mewah, mereka sudah tinggal di istana selama 18 tahun. Istana tersebut berada di Singapura, Ratu berasal dari Singapura dan Madura sedangkan Raja berasal dari Malaysia dan Banten, mereka sempat tinggal di negara masing-masing yang ada indonesia selama 5 tahun saja mereka di sini hanya sekolah dan kuliah tetapi untuk bekerja di luar negeri. Orang tua mereka berasal dari luar negeri papanya berasal dari Surabaya dan Thailand sedangkan mamanya berasal dari Palestina dan India. Mereka sangat hidup enak, nyaman, dan mewah kadang-kadang hidup yang sangat hidup susah karena perekonomian menurun kadang bisa naik lagi. Usaha dari orang tua laki adalah Pabrik kopi dan pabrik mesin cuci merekaSasmilax sedangkan usaha dari orang tua perempuan yaitu kebun buah-buahan, koran bernama marstika, dan pabrik patung di disney. Ratu namanya Elishabet Kurniawan Marina berumur 25 tahun sedangkan raja namanya adalah Roy Mariska Magdalena berumur 30 tahun, Ratu bekerja sebagai membuat kue, pabrik bahan-bahan kue, dan pabrik mesin tercanggih. Orang tua dari ratu mengajak raja dan ratu ke desa untuk mengunjungi rumah seseorang, ibu dari ratu bercerita tentang nenek tersebut. Nama nenek tersebut adalah Rayana Caca Saputra berumur 34 tahun, Rayana sudah tinggal di desa 24 tahun dan nama desanya adalah Lumajang di indonesia. Sebelum mereka ke indonesia ibunya bercerita dan menjelaskan dan lain-lain baru pergi ke Indonesia. Mereka akan pergi ke indonesia untuk mengunjungi pulau lumajang selama 15 hari dan mereka akan menginap di hotel lumajang. Bahwa sebenarnya nenek tersebut nenek dari ibu karena dulu suami dari nenek membawa nenek ke desa untuk menginap tetapi nenek di tinggalkan oleh suaminya begitu saja, dibohongi oleh suaminya bahwa suaminya ingin membeli barang-barang keperluan tetapi tidak kembali untungnya nenek mempunyai uang dan sudah menemukan tempat tinggal tersebut. Pernah suatu ketika ada orang datang ke rumah nenek bahwa katanya sekarang suaminya duduk di kursi roda, kena penyakit epilepsi tidak bisa apa-apa padahal waktu bersama nenek masih sehat-sehat dan dll sebagainya. Suaminya tersebut namanya adalah Hendra, sekarang sudah masuk di rumah sakit jiwa Lumajang Jadi Ratu, Raja dan ibu akan pergi ke rumah sakit jiwa untuk mengunjungi apabila mau akan di bawa pulang ke luar negeri atau tempat tinggal mereka. Ternyata kondisi suaminya sangat parah, dan kondisinya sangat krisis sehingga suaminya akan di bawa ke rumah sakit di luar negeri sehingga mereka tidak jadi 15 hari tetapi hari ke 7 akan pulang ke luar negeri, tidak hanya suaminya tetapi neneknya juga akan tinggal di luar negeri. Pada tahun 2019 Tuhan berkata lain suaminya meninggal dunia dan sekarang hanya tinggal istiranya, sekarang nenek meninggal juga. Ratu dan Raja mempunyai istiadat setiap bulan yaitu memesan nasi bungkus untuk semua pegawai dan anak-anaknya, selain itu membuat acara ulang tahun dan acara-acara lainnya. Ratu mengadakan hari perempuan di kerajaan pada tanggal 13 Juni 2016 dengan cara makan-makan bersama dengan teman-teman yang perempuan dari jam 10 pagi sampai 3 siang. acara tersebut diisi dengan makan-makan bersama, bergosip atau bercerita, bermain bersama, menjawab pertanyaan, bagi-bagi uang, dan lain-lain begitu dengan acara laki-laki. Ratu elishabet membuka laundry dan membuka toko kue sedangkan Raja membuka bengkel transportasi, membuka notaris, jual beli mobil dan motor dan membuka toko mainan. Usahanya tidak hanya 1 tempat dengan berbagai tempat, sangat berkualitas, enak, nyaman, kredibilitas, bagus dan mewah. Ratu Elishabet mempunyai anak sebanyak 15 anak terdiri dari 10 perempuan dan 5 perempuan semuanya normal dan sudah tumbuh besar, sekarang ingin tambah lagi sebanyak 8 laki-laki dan 7 perempuan, sebelum dibangun sudah direncanakan rumah yang diinginkan dan sesuai isi rumah. Mereka anak-anak dapat dari panti asuhan sedangkan anak yang dilahirkan ada 4 anak terdiri dari 2 laki-laki dan 2 perempuan, jadi jumlah anaknya ada 34 anak. Semua anak-anaknya diberikan fasilitas yang terbaik mulai dari pengasuh dan fasilitas lainnya. Keluarga elishabet hidup yang sangat mewah, bagus, nyaman, tentram. Kebahagian, indah, dan harmonis. Anak-anaknya dapat membawa nama baik keluarga dan dapat menjaga keluarganya, mereka sudah dapat menerima setiap saudara masing-masing dan keluarga Elishabet. Nenek dan kakek sekarang sudah meninggal, tetapi masih ada keluarga lain mulai dari pihak mama dan papa, anak-anak sudah bekerja mulai dari bekerja bikin kue, dropshipper atau bekerja dari rumah, dokter, membuat rumah, mempunyai sekolah, guru sekolah, dan banyak sekali. Ratu dan Raja masih membiayai anak-anak yang cukup banyak, Dulu sebelum ada 34 anak ada kesusahaan keuangan pada tahun 2009 karena raja mendapatkan pekerjaan yang sangat bagus sehingga dapat membangun kerajaan yang sampai sekarang menjadi kuat. Kerajaan mendapatkan kesulitasn seperti tidak bisa makan, tidak bisa naik keuangan, tidak dapat anak, tidak dapat jalan-jalan dan banyak sekali masalah masalah ini terjadi pada tahun 2009. Kebetulan dari raja maupun ratu beragama kristen protestan anak-anak yang masuk dalam keluarga elishabet diajarkan tentang agama kristen, Dirumah atau kerajaan melakukan berdoa bersama, dan melakukan ritual agama kristen. Dulu diberikan pembantu atau suster masing-masing sekarang hanya ada pembantu rumah tangga sebanyak 11 orang saja dapat mengurus anak sebanyak itu, dan dikerajaan banyak pengawai, mereka atau setiap anak-anak dapat mengikuti lomba dari kumon, inggris, sepak bola, karate, dan segala macamnya. Hal-hal inilah yang dapat membangun atau membangkitkan derajat keluarga. Mereka tidak hanya dirumah melakukan ritual agama kristen tetapi juga pergi ke gereja bersama anak-anak dan keluarga, keluarga sangat benar-benar kuat dalam kristen. Motivasi dari keluarga elishabet adalah kuatkanlah dan sukses menjadi orang yang benar dan menjadi orang tegas untuk dapat menjalankan kehidupan yang benar, inilah salah satu motivasi yang dapat diberikan contoh bagi rakyat elishabet atau diluar rakyat elishabet. Setiap anak diberikan rumah dan fasilitas setiap anak-anak maka sekarang kerajaan akan direnovasi yang lebih bagus dan diubah lebih baik, anak-anaknya sudah mendapatkan pelatihan dikerajaan mulai dari berpakaian, rumah tangga, kehidupan, dan banyak sekali yang sudah dilatih. Mereka sudah dikasih keamanan yang sangat kuat dan cukup terjaga sekali di kerajaan, sangat bagus menangani setiap permasalahan anak, mereka sangat bagus dalam materi maupun dalam kelangsungan materi, walaupun begitu kadang raja dan ratu ada masalah dalam hal besar dan kecil. Raja dan Ratu sudah memberikan kebahagiaan yang cukup bagus dan sangat keren, karena anak-anaknya sudah keluarga dari kerajaan sekarang pembantu rumah tangga hanya ada 5 saja. Kerajaan yang sangat besar masih bisa diuruskan dengan sangat gampang walaupun gampang masih ada orang yang membantu mengurus dan merawat kerajaan. Raja dan Ratu yang sangat bersih, mandiri, kuat, ceria, ganteng, cantik, teladan, bertanggung jawab, kuat dalam jasmani dan rohani, bijaksana, adil, hemat, cerdas, pintar, dan percaya diri,tidak hanya anak-anaknya saja mendapatkan juara tetapi juga dengan orang tuanya. Pekerjaan dari kedua orang tua raja dan ratu maupun usaha sendiri masih tetap kuat, lancar dan sangat berkembang, dulu sering dibiayai oleh orang tua sekarang harus membiayai sendiri. Mereka semua yang sudah mempunyai rumah sendiri sudah menikahi pasangan yang sama pasangan yang sangat kaya raya dan sesua keinginan mereka masing-masing, semua sudah mempunyai anak-anak yang cukup banyak. Tidak hanya menikah tetapi juga sudah mempunyai usaha sendiri dan sudah mengurusi raja dan ratu sesuai seperti di kerajaan atau apa yang sudah diberikan oleh raja dan ratu dan usaha orang tua sudah tidak jalan lagi karena raja dan ratu sudah tua dan sudah tidak kuat lagi, hanya menunggu waktu meninggal. Raja berumur sekarang 65 tahun sedangkan ratu berumur 71 tahun, keluarga elishabet keturunan china jadi setiap tahun ada pertemuan orang china dari sebelum menikah maupun sampai sekarang. Keluarga elishabet sering mendapatkan kupon, acara, makan-makan bersama dan acara-acara yang sangat besar dan terhebat, tidak hanya mendapatkan kupon tetapi acara dari keluarga elishabet. Setelah 11 tahun kemudian raja dan ratu sudah meninggal dan hanya keluarga dari pasangan hidup, dan keluarga raja dan ratu. Keluarga elishabet sudah terkenal di negara Singapura yang sangat hebat, dan bagus, setiap anak-anak mempunyai bisa berbahasa lain selain bahasa inggris yaitu china, jerman, bahasa indonesia, dan bahasa-bahasa lainnya, Ayu ingin membuat film sehingga harus mempersiapkan segala apapun dengan secara langsung. Mau membuat film dari princess dan film-film lainnya tidak hanya film dunia tetapi juga ingin membuat film keluarga walaupun tidak ada orang tua, dan itupun mendapatkan komisi karena berhubungan atau bekerja sama dengan salah satu media film, Ayu akan membuat film dan saudara-saudara di indonesia yaitu di Sumatra. Ayu dan saudara-saudaranya akan tinggal di sumatra selama 2 tahun, ingin merasakan tinggal di indonesia dan ingin belajar apapun yang ada di indonesia tidak hanya ke sumatra tetapi negara lain yang ada di indonesia. Karena ingin tinggal di indonesia setiap keluarga saudara ikut ke indonesia, sebelum mereka pindah ke indonesia dan mereka akan mengurusi kerajaan dan akan meliburkan pegawai yang ada di kerajaan. Mereka memutuskan bahwa akan menjual kerajaan dengan harga Rp 15.000.000, dan semua pegawai akan disebar ke tempat saudara-saudara atau anak-anak dari elishabet. Setelah dijual yang sudah membeli kerajaan akan dibagi sama rata uang yang sudah didapatkan dari penjualan kerajaan. Bagi yang tidak mendapatkan akan diberikan hasil yang lain yaitu usaha yang sudah tidak dipakai akan dijual dan akan dibagikan bagi yang tidak mendapatkan hasil uang kerajaan. Kalau memang ada sisa akan dibagikan kepada panti asuhan tidak hanya uang tetapi ada barang-barang bekas yang akan disumbangkan ke tempat mereka yang diambil oleh orang tua tidak hanya tempat sana tetapi di beberapa tempat, tidak hanya barang-barang bekas tetapi berupa makanan dan lain-lain. Tidak hanya keluarganya saja mengambil anak-anak dari panti asuhan tetapi juga dengan anak-anaknya, mereka semua akan pergi ke Sumatra pada tanggal 8 mei 2016.
No Nama Perempuan/laki-laki Umur Pekerjaan Kota
Erikka Michael Dewi Perempuan 18 Cleanning Service SurabayaSumantri Kadek Aprilia Laki 23 Pelatih karate Jakarta TimurAyu Olivia Made Putra Perempuan 20 Toko kue SulawesiAsanthi Mawar Melati Perempuan 19 Pabrik pembuatan bahan-bahan kue Jakarta TimurAndi Agung Adeline Perempuan 24 Pemilik fotocopy KalimantanSangkala Andi Agung Laki 25 Penjual bunga SurabayaTimoty Sanuri Laki 26 Penjual alat tulis SurabayaAxel Timotius Esra Laki 27 Penjaga kos-kosan Lombok timurCinderella Amelia Robert Perempuan 18 Akuntansi perusahaan Lombok baratAndre Esma Erni Laki 19 Operator Setrika MalangReza Ajeng Zakia Laki 21 Operator setrika MagelangCaca Rajawali Kiki Perempuan 22 Operator setrika Jawa TengahErna Karnila Ramawati Perempuan 23 Pemilik laundry DonggalaSinta Marnila Andika Perempuan 28 Sekretaris + Pemilik koperasi sekolah DonggalaNatalia Dewi Clara Perempuan 16 Koperasi sekolah + pemilik usaha Wallpaper Denpasar SelatanJojo Yenni Rondowati Laki 17 Pengacara, Jual beli mobil dan Jual beli rumah Denpasar selatanJason Arel Gilang Laki 21 Peneliti dan Penerjemah Bahasa Riau Sarmila Karyo Atik Laki 22 Penerjemah bahasa + guru bahasa mandarin RiauHendi Aria Gunawan Laki 28 Pengurus Gereja + Sekretaris gereja SurabayaFungfang Samson Sanyang Laki 29 Ketua Komunitas + Pemilik toko baju SurabayaNanda Kadek Amelia Randita Perempuan 30 Pemilik pasar + Arsitektur rumah + jual beli rumahJakarta Barat
22.Deswita Shianie Ayu Clara Yashinta Perempuan 24 Pembuatan website, jasa tugas, pemilik laundry dan pemilik kos Sulawesi
23.Ajeng Jonathan Axel Ranoto Perempuan 25 Admin, sekretaris dan guru tk Maluku
24.Sanjaya Gintang Rasasa Laki 26 Guru piano + guru les baca tulis Maluku
25.Merry Shieny Caca Abita Perempuan 27 Guru les baca tulis, matapelajaran dan guru sekolah Surabaya
26.Ashinta Sekar Wangi Perempuan 16 Tukang jahit dan buka toko butik/ baju Banten
27.Agung Mandalika Erinka Alinka Laki 21 Tukang jahit dan penyalur pembantu Magelang
28.Yunyun Janti Lila Dunta Perempuan 18 Penyalur suster dan Pemilik kos Banten
29.Udin Warnita Tigor Welas Laki 22 Penjual martabak dan terangbulan Jakarta Tengah
30.Sasinta Tantri Karlila Sanjaya Ernita Perempuan 29 Pembuat dan penjual bahan-bahan atau alat-alat boneka barbie Maluku
Inilah nama-nama saudara-saudara dari panti asuhan
Inilah nama-nama anak kandung
no Nama Perempuan/laki Umur Pekerjaan Kota
1.Adika Saroro Rere Rayanka Perempuan 19 Pemilik tempat olahraga Buleleng
2.Gerinta Porinta Marinka Perempuan 24 Pemilik elektronik Lombok
3.Ben Raditya Faizal Sarara Laki 25 Pemilik martabak dan terangbulan Riau
Setelah orang tuanya sudah tidak ada maka mereka semua berpencar ke wilayah-wilayah indonesia mereka inginkan selama ini, sebelum benar-benar pindah ke indonesia mempelajari tentang indonesia sekarang paham dan mengerti tentang indonesia dan sudah terbiasa kehidupan dengan di indonesia. Mereka sudah mengambil keputusan yang benar-benar matang, mereka sudah mencari informasi matang-matang tentang indonesia dan mereka ingin merasakan tinggal di indonesia bersama keluarga masing-masing. Mereka selalu melakukan kumpul-kumpul bersama dilakukan 1-2 tahun sekali biasanya dilakukan di anak pertama dari panti asuhan maupun anak kandung 1 atau bergilir ke pulau-pulau dan tidak hanya di rumah tetapi juga jalan-jalan bersama, mereka sebenarnya kalau ada orang tuanya masih hidup akan berbagi kebahagiaan. Mereka tidak berkumpul dengan saudara tetapi juga berkumpul dengan keluarga papa dan mama juga melakukan acara-acara menarik, dan suatu ketika anak pertama melakukan rapat bahwa semua anak-anak atau saudara-saudara harus menyiapkan hasil atau usaha yang sudah bangun selama yang akan ditujukan bagi anak pertama dari anak kandung melakukan itu semua dilaksanakan langsung. Anak pertama tidak mengikuti karena sebagai pembawa acara dan akan mencari anggota untuk membantu acara ini, acara ini dinamakan meluncurkan atau membuktikan minat dan bakat yang selama ini sudah diperjuangkan selama ini atau ingin mengetahui minat dan bakat setiap saudara-saudaranya. Apabila paling bagus akan diberikan hadiah tidak hanya paling bagus tetapi juga bagi yang tidak bagus hadiah diberikan harus sama tidak boleh berbeda tidak hanya satu tetapi banyak antara lain bagi perempuan boneka, bunga, coklat, sepatu, tas, perhiasaan, kacamata, dan hadiah yang cocok bagi perempuan sedangkan laki-laki adalah Skateboard, sepeda elektrik, speaker, microphone bluetooth, alat tulis, dan hadiah cocok bagi laki-laki, inilah salah satu kebahagiaan bagi anak-anak elishabeth ini dilaksanakan pada tanggal 15 mei 2018. Sebelum mereka pulang ke pulau masing-masing mereka ingin ke pemakaman ke orangtua yang ada di Singapore, Pada tanggal 24 Mei 2018 berangkat ke singapore dengan seluruh orang yang ada di indonesia dan mereka akan pulang pada tanggal 10 April 2018. Usaha dan anak-anak mereka dititipkan dengan pembantu dan orang-orang yang dapat diandalkan atau dapat menggantikan orangtua berarti anak-anaknya tidak sekolah, apa yang orangtuanya sudah dilakukan pada saat bersama orang tua elishabet akan diberikan juga kepada anak-anak dari setiap saudara-saudara yang sudah menikah, sampai sekarang tidak ada kasus berat setiap saudara-saudaranya, mereka ke pemakaman dengan cara membaca alkitab bersama, memuji tuhan, mendoakan dan sebagainya untuk ke kuburan orangtuanya. Sekarang banyak keluarga papa dan mama meninggal karena ada sakit, kecelakaan, dan sebagainya, tidak hanya ke tempat orangtuanya tetapi juga dengan keluarga mama dan papa. Setelah acara-acara yang sudah dilaksanakan mereka sekarang sibuk lagi dan pulang ke rumah masing-masing, Keluarga Arel dan istrinya pergi ke panti asuhan yang ada di Surabaya, membawa makanan, dan barang-barang yang dibutuhkan di panti asuhan. Mereka sangat sedih, sakit hati, dan rasa lain bercampur aduk melihat anak-anak tersebut, setiap saudara mempunyai anak dari panti asuhan dan dari anak rahim sendiri, ada yang mengambil anak dari panti asuhan sebanyak 10, 11, 1, 2, 6, 8, 9, 20, dan beda-beda mengambil anak dari panti asuhan. Semua anak-anak setiapsaudara sudah besar, sehat selalu, berhasil, sukses, tinggi, cantik, ganteng, limpahkan dalam rejeki dan kekayaan, imut, dan lucu. Sekarang anak-anak dari panti asuhan ada di Surabaya, Argentina, Singapura, Malang, Jakarta timur, Jakarta Selatan, Magelang, Jogjakarta, Bali, Sumatera, dan kota-kota lainnya.
No Nama Perempuan/laki-laki Anak dari panti asuhan
1.Erikka Michael Dewi Perempuan 5
2.Sumantri Kadek Aprilia Laki 6
3.Ayu Olivia Made Putra Perempuan 7
4.Asanthi Mawar Melati Perempuan 2
5.Andi Agung Adeline Perempuan 4
6.Sangkala Andi Agung Laki 8
7.Timoty Sanuri Laki 12
8.Axel Timotius Esra Laki 16
9.Cinderella Amelia Robert Perempuan 29
10.Andre Esma Erni Laki 34
11.Reza Ajeng Zakia Laki 8
12.Caca Rajawali Kiki Perempuan 11
13.Erna Karnila Ramawati Perempuan 10
14.Sinta Marnila Andika Perempuan 9
15.Natalia Dewi Clara Perempuan 6
16.Jojo Yenni Rondowati Laki 3
17.Jason Arel Gilang Laki 4
18.Sarmila Karyo Atik Laki 16
19.Hendi Aria Gunawan Laki 31
20.Fungfang Samson Sanyang Laki 29
21.Nanda Kadek Amelia Randita Perempuan 28
22.Deswita Shianie Ayu Clara Yashinta Perempuan 12
23.Ajeng Jonathan Axel Ranoto Perempuan 24
24.Sanjaya Gintang Rasasa Laki 31
25.Merry Shieny Caca Abita Perempuan 30
26.Ashinta Sekar Wangi Perempuan 14
27.Agung Mandalika Erinka Alinka Laki 7
28.Yunyun Janti Lila Dunta Perempuan 6
29.Udin Warnita Tigor Welas Laki 9
30.Sasinta Tantri Karlila Sanjaya Ernita Perempuan 9
Inilah anak-anak yang diambil dari panti asuhan dan yang sudah besar-besar, mereka juga mendapatkan kehidupan seperti keluarga Elishabeth. Kehidupan mereka sangat bahagia, sehat selalu, kuat, mandiri, tegas, bijaksana, bertanggung, menerima duka maupun suka peduli, saling sayang, dan tidak berantem, tidak membuat kecewa. Setiap yang mengadopsi tujuan mengadopsi adalah untuk membantu mengurus anak-anak yang tidak terawat, kasihan, ada rasa peduli kepada mereka, ada rasa tega, ada rasa membantu, ingin melihat anak-anak tersebut tumbuh besar, dan sehat selalu. Mereka selalu mendukung anak-anaknya dalam segala apapun dari keluarga mama dan papa, mertua dan maupun keluarga lain sudah mendukung apapun yang dilakukan oleh setiap anak-anaknya. Setiap anak-anak dan saudara-saudaranya untuk berdoa dan tidak akan lupa dengan keluarga dan apapun itu juga. Mereka sampai saat ini sangat kuat dalam segala apapun dan hanya kadang-kadang seketika jatuh waktu susah tetapi kadang-kadang kuat dalam setiap kondisi, sangat percaya diri dalam segala dalam dilakukan, dalam keluarga selalu mendukung dan tidak pantang menyerah. Mereka tidak hanya mengadopsi anak tetapi memelihara kucing, kelinci, sapi, burung merpati, ayam, itik, ikan, dan anjing peliharaan-peliharaan ini sangat cukup banyak, cukup dilengkapi dan dirawat seperti manusia mulai mandi, makan, jalan-jalan, dan sebagainya, mereka cukup suka dengan peliharaan, tidak hanya dalam setiap saudara tetapi pada keluarga elishabet hampir semua sama peliharaan yang barusan disebut peliharaan. Tidak pernah jahat sama binatang, disayangi peliharaan seperti manusia, dan mereka sampai saat ini tidak pernah menjual binatang dan kadang menerima suka maupun duka melihat binatang, sampai diberi pengasuh binatang. Setelah mereka hidup mandiri, mereka menambah anak ada 5, 6, 7, 9, 11, 12, dan masih banyak lainnya. Sekarang semua sudah tua dan tidak bisa bekerja lagi sekarang anaknya semua sudah besar sudah bisa mengurusi orangtuanya dan segala apapun, anak-anaknya ingin membuat film dan cerita yang dibukukan yang dinamakan adalah Sebuah petani tinggal di desa dan apapun yang sudah dikerjakan akan dikirim ke kota. Tujuannya adalah setiap apapun yang dikerjakan dari desa dan dikirimkan ke kota akan mendapatkan uang setiap bulan dan akan menghasilkan sesuatu yang sangat besar. Nama penerbitnya adalah Samosir Lindawati Ramawati berumur 22 tahun dan akan membagikan hasil dari buku kepada saudara-saudara dan orang yang membutuhkan uang tersebut. Tidak hanya orangtuanya tetapi juga kepada anak-anak dan saudara-saudaranya membagikan barang-barang bekas kepada panti asuhan maupun kepada orang yang membutuhkan. Anak-anaknya sangat berprestasi sampai mendapatkan juara dunia dan sangat saling berbagi dalam segala apapun dan setiap anak-anaknya tidak pernah diri apa yang dilakukan setiap orang. Pada saat orang tuanya sudah tua sangat kurang dalam keuangan dan segala apapun padahal pada saat orang tuanya masih kuat dalam masih bisa bekerja, Mereka setiap anak-anaknya ingin membuat pemakaman di rumahnya masing-masing atau dalam satu tempat rumah, dan diberikan nama pemakan adalah Pemakaman Rosella dan Elizabeth. Pemakaman tersebut letak di Surabaya dan lagi proses membuat lahan pemakaman, Setelah beberapa bulan akhirnya sudah jadi dan sudah diresmikan tanggal 24 Mei 2019. Jadi pada saat siapapun yang meninggal sudah disiapkan jadi tidak perlu mencari pemakaman lagi dan hanya untuk mencari orang yang mengurus keperluan pemakaman, Mereka semua disuruh datang ke rumah Merry yang ada di Surabaya dan sebagai reunian dan mengurus keperluan penting yang harus diuruskan, mereka kalau menyelesaikan masalah pasti selesai dan beres. Dari cerita ini memang senang dan bahagia tetapi mereka semua tidak mau diceritakan tentang masalah yang sudah ada dan hanya menceritakan tentang cerita kebahagian, karena tidak mau menceritakan masalah nanti bagi pembaca tidak menyukai cerita ini, Rumah dan Usaha milik Elishabet sekarang menjadi banyak penghuni setan dan tidak diurus kembali, awalnya rumah dan usaha dibeli sama orang sekarang dikembalikan lagi dan mereka atau anak-anaknya ingin mengurusnya kembali pada tanggal 18 maret 2021 sekarang mereka semua kembali ke sana untuk membereskan akan selama 22 hari di sana dan mereka merundingkan atau membicarakan hal ini akhirnya diberikan pembantu dan rumah ini dijadikan sebagai panti asuhan dan panti jompo sedangkan usaha sebagai usaha apotik dan ada yang mengurus kedua tempat ini. Sebelum menjadi usaha tersebut direnovasi selama 24 hari dengan sangat cepat dan efisien, dan sudah dapat dijadikan usaha tempat yang barusan direnovasi. Pada saat semua selesai setiap urusan, Pada tanggal 18 April 2021 ternyata papa dan mama sudah meninggal, sebelum mereka kembali ke surabaya ada kejadian seperti benda jatuh, benda bergerak, rumah menjadi berantakan dan banyak yang kerasukan tetapi tidak rusak parah atau kejadian parah hal-hal tersebut hanya 2 hari saja dan mereka semua sudah membereskan kembali dan mereka lusa akan berangkat ke Surabaya, dan setelah itu baru melakukan pemakaman orangtuanya. pekerjaan-pekerjaan setiap anak-anak atau saudara-saudaranya memang sangat berat dan banyak walaupun begitu tetap bekerja keras dan harus tetap jalankan sekarang apa yang dilakukan dalam hidup dan tetap akan berjuang untuk mencapai kesuksesan. Untungnya saja sudah menikah dan mempunyai usaha kalau tidak mereka semua menjadi yatim piatu dan tidak mempunyai orang tua karena semua sudah tidak ada hanya beberapa saja keluarga dari mama dan keluarga papa. Semakin bertambah ilmu yang di dapat tambah banyak yang berkembang setiap usaha dan tambah banyak orang mau membeli di toko masing-masing, mereka selalu mengikuti pelatihan-pelatihan dan melanjutkan pendidikan karena masih bisa untuk melanjutkan walaupun sudah menikah dan mempunyai usaha bagi mereka usia dan waktu tidak penting yang penting bekerja dan belajar lagi. Ternyata sekarang ada yang membuka usaha baru lagi dalam bidang kue tetapi sebelumnya ada yang melanjutkan sekolah bakery, dan menjalankan sekolah bakery selama 3 tahun, setelah sudah bisa baru melanjutkan untuk membuka sekolah bakery. Walaupun sudah ada usaha baru usaha lama tetap berjalan dan selalu menambah terus dalam keuangan dan segala apapun, nama pemilik roti adalah Yunyun dan orangnya sudah pintar, sehat selalu, dan tinggi dan cantik. Usaha orangtua dari mereka sudah ditutup dan mereka lah yang akan melanjutkan masa depan dan menggantikan orang tua dan sudah di jual usahanya baru saja 4 bulan pemilik kembalikan lagi akhirnya tempat usaha tersebut digantikan sebagai tempat pelatihan public speaking dan tempat jualan martabak dan terang bulan, kini atau sekarang lagi di renovasi, dibersihkan, dan siap untuk dijadikan usaha. Dari sini mendapatkan pelajaran tidak ada yang terbuang tempat, waktu, usia, kehidupan digunakan dengan baik, tidak mau menjadi gagal dalam hidup, dan selalu belajar terus, setiap saudara berganti dan mengawas setiap usaha yang banyak jauh dari pemilik saja tidak yang lain ada pemiliknya dan masih dekat dengan pengawas pemilik. Tidak hanya itu saja tidak menyiakan-menyiakan apa yang sudah dilakukan yang harus ditingkatkan dan tidak mau meninggalkan begitu saja, mereka harus bisa menghasilkan sesuatu dan mereka selalu mendapatkan pelajaran setiap apapun yang dikerjakan dan dipelajari, tidak ada yang rugi pelajaran sekolah dan semua di pakai, hanya beberapa saja matapelajaran tidak dipakai dan semua matapelajaran sudah dipelajaran dengan baik, paham dan mengerti dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan langsung. Pepatah atau seseorang yang bilang seperti ini yaitu Janganlah menjadi orang yang lemah tetap menjadi orang teguh dan kuat, apabila lemah kalian akan dikalahkan sama orang lain dan belum tentu sama bisa berdiri tegak seperti orang yang berhasil dan orang yang teguh akan berhasil dan berdiri yang kuat dan gagah di depan orang lain inilah pepatah berkata oleh saudara-saudara atau anak-anak keluarga elishabet. Kerajaan berkaitan dengan ciptaan, sesuatu kerajaan yang sangat bagus dalam pelajaran dan materi-materi yang bagus untuk dicontoh masyarakat, masyarakat perlu mencari dan melihat apa yang baik dan tidak baik untuk dipilih dan menilai, masyarakat juga ingin melakukan apa saja yang dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak hanya dilihat dalam perlakuan dan aktivitas sosial tetapi juga melakukan dengan dalam materi-materi yang penting dan sebagai contoh dalam kehidupan baik dalam diri sendiri maupun orang lain, bukannya tidak boleh melakukan kesalahan lebih baik melakukan yang terbaik supaya tidak disalahkan sama orang lain dan dikatakan normal sama orang lain. Melakukan kesalahan yang bukan di buat-buat kesalahan dan kebenaran secara langsung terjadi maupun di buat-buat terjadi dan tidak hanya satu saja tetapi lebih apapun yang menjadi bisa dilakukan dalam dunia ini banyak bidang-bidang dan banyak aktivitas sosial dalam masyarakat, ada materi-materi yang harus dipelajari dan dipahami dengan berbagai ragam atau macam-macam materi. Materi ada yang bagus, unik, penting, cantik dan materi-materi materi-materi ditulis atau ditemukan oleh penemuan-penemuan orang dunia yang sudah diciptakan sebagai contoh dan materi yang harus dipahami oleh manusia dan di setujui untuk sebagai bahan ajaran dalam pendidikan maupun bidang-bidang menyetujui materi-materi yang sudah ada dalam dunia ini. inilah sebagai berikut cerita dari Ratu dan Raja Elishabet semoga paham dan mengerti untuk di baca makasih.
menceritakan kehidupan Sangkala Andi Agung
Elishabet mempunyai anak salah satu dari panti asuhan adalah Sangkala Andi Agung sekarang berumur 30 tahun, sangkala berulang tahun tanggal 18 Mei 2001. Sangkala seorang anak laki-laki mempunyai sifat dan sikap yang baik yaitu sopan santun, ramah, bertanggung jawab, teladan, mempunyai kehormatan yang sangat tinggi dan besar, orangnya sangat kurus, ganteng, kuat dalam jasmani dan rohani, kerja keras, pantang menyerah, sangat mandiri dan rajin, tegas.
Sebagai berikut kehidupan sehari-hari sangkala mulai dari pagi sampai malam hari:
Jadwal pagi:
1. melakukan ibadah pagi
2. membereskan rumah
3. membersihkan diri seperti makan, mandi dan aktivitas lainnya
4. mulai berangkat kerja dan mulai bekerja
untuk membereskan rumah dan melakukan ibadah pagi itu dilakukan selama 4-5 jam
Jadwal siang
1. selesai pekerjaan pagi melanjutkan dengan makan siang setelah makan siang melanjutkan dengan pekerjaan siang sampai selesai pekerjaan.
2. setelah selesai pekerjaan melanjutkan dengan kumpul-kumpul bersama teman-teman di sebuah tempat makan dan mall dan setelah itu pulang kerja.
3. membereskan rumah dan beberapa aktivitas lainnya
ini sebagai urutan aktivitas sangkala walaupun tidak seluruh di jelaskan, pekerjaan dari sangkala adalah penjual bunga saja, Sangkala sangat taat dalam melakukan agama kristen protestan tidak hanya dalam agama tetapi segala pekerjaan.
sebagai berikut contoh percakapan antara sangkala dengan temannya:
percakapan ini dilakukan secara langsung tempatnya berada di sebuah restaurant Surabaya
Sangkala: halo Andre, apa kabar?
Andre: halo juga sangkala baik, apa kabar sangkala?
Sangkala: baik, sekarang pekerjaan apa yang dilakukan?
Andre: bisnis pabrik coklat dan jual beli mobil, apa hobi dari sangkala?
Sangkala: sepeda, membaca, menulis, mengambar, dan mengetik, apa hobi dari andre?
Andre: Jalan-jalan, makan, dan menjadi penulis, bagaimana sangkala dapat menyelesaikan masalah dengan cara yang efisien dan cepat?
Sangkala: sangkala dapat menyelesaikan dengan cara yaitu sikap dan sifat yang baik, melakukan pembicaraan dengan baik dan dicari jalan keluar dalam masalah sampai sudah benar-benar selesai dalam masalah, apakah andre juga begitu cara menyelesaikan masalah?
Andre: saya juga begitu cara menyelesaikan masalah, kita mau makan apa ya?
Sangkala: makan sushi, apakah kamu mau makan sushi sekarang?
Andre: mau, paling enak dimana ya makanan sushi?
Sangkala: saya kurang tahu kurang enak tetapi saya paling tahu paling enak di mall Galaxy Surabaya. apakah kita mau ke sana?
Andre: mau mari kita kesana sebelum bayar dulu ya di kasir, saya atau andre mau bayar?
Sangkala: saya aja yang bayar nanti kamu ada waktunya untuk bayar, setelah itu mereka berangkat ke mall.
Andre: kita di sini tidak hanya makan saja tetapi kita ingin jalan-jalan juga, kita belanja mulai dari alat tulis, baju, ada makan langsung dan juga bawa pulang makanan, dan belanja yang lainnya. Sangkala kita sampai sini mungkin lain kita akan ketemu lagi terimakasih atas waktunya pada hari ini sampai jumpa lagi. inilah contoh percakapan antara sangkala dengan temannya. Kalau sangkala bekerja mulai dari jam 11 siang sampai 5 sore dan usahanya biasanya dibuka dari hari senin-minggu, sangkala mempunyai di toko maupun dirumah. Walaupun dilakukan sendiri tetapi ada juga yang membantu di rumah dan makanan kesukaan sangkala adalah sushi, martabak, terang bulan, intinya makanan indonesia maupun makanan luar negeri. Sangkala belum mempunyai istri masih sendiri dan sekarang lagi mencari pasangan hidup, ke depannya sangkala ingin menjual ice cream di rumah dan akan menambah pegawai di rumah. Kalau suatu saat sudah menikah sangkala ingin merawat anak dari panti asuhan kira-kira ingin mempunyai anak sebanyak 14 orang saja, apabila sudah memiliki keuangan cukup akan menambah anak, Sangkala sudah memiliki motivasi, misi, visi, dan masih ada perjuangan dalam hidup. Sangkala sudah mempunyai persiapan yang panjang untuk masa depan dan Sangkala sudah memiliki keinginan sesuatu untuk membuat perencanaan yang besar dan berguna bagi hidup sangkala. Suatu ketika "Andre bilang memberikan saran bagi sangkala yaitu bekerja sebuah pabrik keju di Surabaya dan kalau sangkala bekerja di pabrik keju akan meningkatkan keuangan, ketika mendengarkan saran dari pabrik keju dari sana sangkala menerima saran dari andre. Setelah berbulan-bulan bekerja di sana akhirnya sangkala merasa keuangan cukup meningkat, sangkala sudah berulang kali mencoba dengan wanita tetapi belum ada yang cocok dan suatu ketika sangkala pergi ke cafe menemui perempuan yang cocok untuk menjadi pasangan hidup. Perempuan yang di temui dan cocok namanya adalah Zaskia Ferdinand Ayu berumur 27 tahun, zaskia bekerja sebagai pemilik kos-kosan dan pemilik toko hp. Zaskia sangat suka dengan sangkala begitu juga dengan sangkala terhadap zaskia, Sangkala sangat bertanggung jawab dengan zaskia. Sangkala sudah sering berpacaran terhadap zaskia selama 2 tahun dan sangkala sudah sangat dekat dengan zaskia dan cocok sekali apa yang diinginkan dengan sangkala sehingga keluarga zaskia dan keluarga sangkala bertemu dan merestui hubungan mereka. Akhirnya Zaskia dan Sangkala merencanakan pernikahan pada tanggal 18 agustust 2025 dan sebelum mencari pasangan yang teman sangkala sudah membuat rumah. Setelah menikah rumah yang sudah jadi sudah siap di tempatkan dan sekarang sudah mengambil dari panti asuhan sebelum ke panti asuhan sudah berbicara dengan zaskia, kehidupan anak-anak dari panti asuhan diperlakukan yang sama pada saat sangkala yang di rawat dalam keluarga elishabeth. Setelah Sangkala dan Zaskia mendapatkan anak-anak dari panti asuhan tetapi sekarang zaskia sudah hamil selama 11 bulan dan setelah 11 bulan Zaskia melahirkan anak perempuan. Setelah melahirkan anak perempuan sekarang zaskia melakukan pemulihan setelah melahirkan selama 2 setengah tahun dan setelah 2 tahun setengah sekarang mengandung anak yang kedua selama 11 bulan, dan setelah 11 bulan melahirkan anak laki-laki. Mereka tidak pernah menghina pada anak saling sayang, menerima apa adanya anak-anak dan saling menghormati terhadap saudara. Mereka dengan pelan-pelan untuk mengumpulkan usaha-usaha, harta benda untuk dijadikan warisan yang nanti akan dibagikan kepada anak-anak kalau sudah besar, mereka mengambil anak-anak mulai umur dari 6th-12th. setiap anak-anak mempunyai kekurangan dan kelebihan tetap menerima apa adanya dan menerima bakat dan minat setiap anak, mereka tidak diberikan fasilitas juga di tes psikolog, minat dan bakat dengan orang yang mengerti tentang akademik mereka dan dilaksanakan di rumah zaskia. Zaskia sudah menemui bakat dan minat mereka, zaskia sudah tahu apa saja yang dimiliki mereka dan mereka memiliki cita-cita adalah menjadi pemilik kue, koki, pemilik jualan galon, sekretaris, pemilik toko bunga, jadi guru senam, jadi guru koki, dan beberapa cita-cita lainnya. anak-anak kalau sudah selesai sekolah mereka akan di sekolah alkitab dan pada saat selesai sekolah alkitab akan dibagikan usaha dan harta warisan. Setelah diketahui cita-cita sebagai menjadi usaha mereka dan mereka sudah siap dengan apapun yang menjadi keputusan dan keluarga zaskia dan keluarga sangkala sangat senang dengan didikan mereka terhadap anak-anaknya, setelah didikan yang diberikan kepada anak-anaknya sangat hebat, sukses dan berhasil dimasa depannya sekarang mereka sudah besar dan bisa menjadi pimpinan yang hebat. Tidak disangka akan hidup seperti ini mereka sudah bisa hidup mandiri dan bisa lebih mengerti daripada orang tuanya sangat melebihi dari orang tuanya mereka sangat sempurna dalam menjalankan masa depan dan kehidupannya. orang-orang yang mengenal keluarga zaskia sangat kagum, terheran-heran dan terkejut apa yang mereka lakukan terhadap masa depan keluarga dan anak-anak mereka besarkan. Zaskia dan Sangkala sudah mulai tua sekarang usaha yang dimiliki zaskia dan sangkala sudah diberikan kepada anak-anaknya, zaskia dan sangkala sudah tidak khawatir dengan anak-anaknya karena anak-anaknya sangat normal dan bisa melakukan segala apapun dengan sendiri tanpa bantuan orang tua. Mereka setiap anak-anaknya sudah memiliki pasangan hidup, usaha, harta benda dan mempunyai teman yang banyak, sudah banyak keuangan dan penghasilan yang cukup dan setelah mendapatkan pasangan hidup datang mendapatkan restu setiap anak-anaknya. Setiap anak-anaknya sudah siap untuk menikah, tidak hanya siap untuk menikah tetapi juga melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap apapun yang menjadi bagian dari anak-anak semua. Setelah dulu anak-anaknya bersatu dirumah zaskia sekarang sudah berpisah semua dan berpencar untuk mencari penghasilan yang kuat seperti orang tuanya dan akan menepati janji orang tuanya yang mereka sudah sampaikan, mereka sekarang yang harus bekerja keras dan merawat orang tuanya dan tidak membuat orang tua sedih dan susah hidup. Apa yang zaskia sudah memberikan kepada anak-anaknya sekarang waktunya untuk membalas kebaikan kepada orang tuanya dan membuat kebahagian bagi orang tua dan keluarga besar, sebagai orang tua sangat senang dengan apa yang mereka tunjukkan kepada orang tua. Sekarang mereka semua setiap anak-anaknya sudah memiliki keluarga sendiri, memiliki harta benda dan mempunyai penghasilan yang kuat dan apa yang orang tua lakukan akan dilakukan juga terhadap anak-anaknya, dan akan berani mengambil keputusan. Usaha yang diberikan kepada anak-anak akan dikembangkan oleh anak-anaknya sehingga besar, berkembang, usaha menjadi terkenal di dunia dan akan dikenal banyak orang di dunia. anak-anaknya sangat senang, sangat mengenang setiap kebersamaan dengan orang tua dan keluarga, dan sangat berterima kasih kepada orang tua yang sudah menjadi orang tua kandung, dapat menerima apa adanya mereka, dan dapat membahagiakan mereka yang sebelumnya mendapatkan. semoga suka, share, dan baca ya cerita dari saya semoga bagus dan selalu suka dengan cerita-cerita saya.
keluarga Raja Sangkala dan Ratu Elishabet
Ratu dan Raja tinggal di istana yang sangat besar dan mewah, mereka sudah tinggal di istana selama 18 tahun. Istana tersebut berada di Singapura, Ratu berasal dari Singapura dan Madura sedangkan Raja berasal dari Malaysia dan Banten, mereka sempat tinggal di negara masing-masing yang ada indonesia selama 5 tahun saja mereka di sini hanya sekolah dan kuliah tetapi untuk bekerja di luar negeri. Orang tua mereka berasal dari luar negeri papanya berasal dari Surabaya dan Thailand sedangkan mamanya berasal dari Palestina dan India. Mereka sangat hidup enak, nyaman, dan mewah kadang-kadang hidup yang sangat hidup susah karena perekonomian menurun kadang bisa naik lagi. Usaha dari orang tua laki adalah Pabrik kopi dan pabrik mesin cuci mereka Sasmilax sedangkan usaha dari orang tua perempuan yaitu kebun buah-buahan, koran bernama Marstika, dan pabrik patung di Disney. Ratu namanya Elishabet Kurniawan Marina berumur 25 tahun sedangkan raja namanya adalah Roy Mariska Magdalena berumur 30 tahun, Ratu bekerja sebagai membuat kue, pabrik bahan-bahan kue, dan pabrik mesin tercanggih. Orang tua dari ratu mengajak raja dan ratu ke Desa untuk mengunjungi rumah seseorang, ibu dari ratu bercerita tentang nenek tersebut. Nama nenek tersebut adalah Rayana Caca Saputra berumur 34 tahun, Rayana sudah tinggal di desa 24 tahun dan nama desanya adalah Lumajang di indonesia. Sebelum mereka ke indonesia ibunya bercerita dan menjelaskan dan dll baru pergi ke indonesia. Mereka akan pergi ke indonesia untuk mengunjungi pulau lumajang selama 15 hari dan mereka akan menginap di hotel Lumajang. Bahwa sebenarnya nenek tersebut nenek dari ibu karena dulu suami dari nenek membawa nenek ke Desa untuk menginap tetapi nenek di tinggalkan oleh suaminya begitu saja, dibohongi oleh suaminya bahwa suaminya ingin membeli barang-barang keperluan tetapi tidak kembali untungnya nenek mempunyai uang dan sudah menemukan tempat tinggal tersebut. Pernah suatu ketika ada orang datang ke rumah nenek bahwa katanya sekarang suaminya duduk di kursi roda, mengalami penyakit epilepsi tidak bisa apa-apa padahal waktu bersama nenek masih sehat-sehat dan dll sebagainya. Suaminya tersebut namanya adalah Hendra, sekarang sudah masuk di rumah sakit jiwa Lumajang Jadi Ratu, Raja dan ibu akan pergi ke rumah sakit jiwa untuk mengunjungi apabila mau akan di bawa pulang ke luar negeri atau tempat tinggal mereka. Ternyata kondisi suaminya sangat parah, dan kondisinya sangat krisis sehingga suaminya akan di bawa ke rumah sakit di luar negeri sehingga mereka tidak jadi 15 hari tetapi hari ke akan pulang ke luar negeri, tidak hanya suaminya tetapi neneknya juga akan tinggal di luar negeri. Pada tahun 2019 Tuhan berkata lain suaminya meninggal dunia dan sekarang hanya tinggal istiranya, sekarang nenek meninggal juga. Ratu dan Raja mempunyai istiadat setiap bulan yaitu memesan nasi bungkus untuk semua pegawai dan anak-anaknya, selain itu membuat acara ulang tahun dan acara-acara lainnya. Ratu mengadakan hari perempuan di Kerajaan pada tanggal 13 Juni 2016 dengan cara makan-makan bersama dengan teman-teman yang perempuan dari jam 10 pagi sampai 3 siang. acara tersebut diisi dengan makan-makan bersama, bergosip atau bercerita, bermain bersama, menjawab pertanyaan, bagi-bagi uang, dan lain-lain begitu dengan acara laki-laki. Ratu elishabet membuka laundry dan membuka toko kue sedangkan Raja membuka bengkel transportasi, membuka notaris, jual beli mobil dan motor dan membuka toko mainan. Usahanya tidak hanya 1 tempat dengan berbagai tempat, sangat berkualitas, enak, nyaman, kredibilitas, bagus dan mewah. Ratu Elishabet mempunyai anak sebanyak 15 anak terdiri dari 10 perempuan dan 5 perempuan semuanya normal dan sudah tumbuh besar, sekarang ingin tambah lagi sebanyak 8 laki-laki dan 7 perempuan, sebelum dibangun sudah direncanakan rumah yang diinginkan dan sesuai isi rumah. Mereka anak-anak dapat dari panti asuhan sedangkan anak yang dilahirkan ada 4 anak terdiri dari 2 laki-laki dan 2 perempuan, jadi jumlah anaknya ada 34 anak. Semua anak-anaknya diberikan fasilitas yang terbaik mulai dari pengasuh dan fasilitas lainnya. Keluarga elishabet hidup yang sangat mewah, bagus, nyaman, tentram. Kebahagian, indah, dan harmonis, anak-anaknya dapat membawa nama baik keluarga dan dapat menjaga keluarganya, mereka sudah dapat menerima setiap saudara masing-masing dan keluarga Elishabet. Nenek dan kakek sekarang sudah meninggal, tetapi masih ada keluarga lain mulai dari pihak mama dan papa, anak-anak sudah bekerja mulai dari bekerja bikin kue, dropshipper atau bekerja dari rumah, dokter, membuat rumah, mempunyai sekolah, guru sekolah, dan banyak sekali. Ratu dan Raja masih membiayai anak-anak yang cukup banyak, Dulu sebelum ada 34 anak ada kesusahaan keuangan pada tahun 2009 karena raja mendapatkan pekerjaan yang sangat bagus sehingga dapat membangun kerajaan yang sampai sekarang menjadi kuat. Kerajaan mendapatkan kesulitan seperti belum bisa melakukan makan, belum bisa kembali naik keuangan, tidak dapat anak, tidak dapat jalan-jalan dan banyak sekali masalah masalah ini terjadi pada tahun 2009. Kebetulan dari raja maupun ratu beragama kristen protestan anak-anak yang masuk dalam keluarga elishabet diajarkan tentang agama kristen, Dirumah atau kerajaan melakukan berdoa bersama, dan melakukan ritual atau menjalankan agama kristen. Dulu diberikan pembantu atau suster masing-masing sekarang hanya ada pembantu rumah tangga sebanyak 11 orang saja dapat mengurus anak sebanyak itu, dan dikerajaan banyak pengawai, mereka atau setiap anak-anak dapat mengikuti lomba dari kumon, inggris, sepak bola, karate, dan segala macamnya. Hal-hal inilah yang dapat membangun atau membangkitkan derajat keluarga. Mereka tidak hanya dirumah melakukan ritual agama kristen tetapi juga pergi ke gereja bersama anak-anak dan keluarga, keluarga sangat benar-benar kuat dalam kristen. Motivasi dari keluarga Elishabet adalah kuatkanlah dan sukses menjadi orang yang benar dan menjadi orang tegas untuk dapat menjalankan kehidupan yang benar, inilah salah satu motivasi yang dapat diberikan contoh bagi rakyat elishabet atau diluar rakyat elishabet. Setiap anak diberikan rumah dan fasilitas setiap anak-anak maka sekarang kerajaan akan direnovasi yang lebih bagus dan diubah lebih baik, anak-anaknya sudah mendapatkan pelatihan dikerajaan mulai dari berpakaian, rumah tangga, kehidupan, dan banyak sekali yang sudah dilatih. Mereka sudah dikasih keamanan yang sangat kuat dan cukup terjaga sekali di kerajaan, sangat bagus menangani setiap permasalahan anak, mereka sangat bagus dalam materi maupun dalam kelangsungan materi, walaupun begitu kadang raja dan ratu ada masalah dalam hal besar dan kecil. Raja dan Ratu sudah memberikan kebahagiaan yang cukup bagus dan sangat keren, karena anak-anaknya sudah keluarga dari kerajaan sekarang pembantu rumah tangga hanya ada 5 saja. Kerajaan yang sangat besar masih bisa diuruskan dengan sangat gampang walaupun gampang masih ada orang yang membantu mengurus dan merawat kerajaan. Raja dan Ratu yang sangat bersih, mandiri, kuat, ceria, ganteng, cantik, teladan, bertanggung jawab, kuat dalam jasmani dan rohani, bijaksana, adil, hemat, cerdas, pintar, dan percaya diri,tidak hanya anak-anaknya saja mendapatkan juara tetapi juga dengan orang tuanya. Pekerjaan dari kedua orang tua raja dan ratu maupun usaha sendiri masih tetap kuat, lancar dan sangat berkembang, dulu sering dibiayai oleh orang tua sekarang harus membiayai sendiri. Mereka semua yang sudah mempunyai rumah sendiri sudah menikahi pasangan yang sama pasangan yang sangat kaya raya dan sesuai keinginan mereka masing-masing, semua sudah mempunyai anak-anak yang cukup banyak. Tidak hanya menikah tetapi juga sudah mempunyai usaha sendiri dan sudah mengurusi raja dan ratu sesuai seperti di kerajaan atau apa yang sudah diberikan oleh raja dan ratu dan usaha orang tua sudah tidak jalan lagi karena raja dan ratu sudah tua dan sudah tidak kuat lagi dalam menjalankan dalam hidupnya harus memerlukan bantuan kepada anak-anaknya, hanya menunggu waktu meninggal. Raja berumur sekarang 65 tahun sedangkan ratu berumur 71 tahun, keluarga elishabet keturunan china jadi setiap tahun ada pertemuan orang china dari sebelum menikah maupun sampai sekarang. Keluarga elishabet sering mendapatkan kupon, acara, makan-makan bersama dan acara-acara yang sangat besar dan terhebat, tidak hanya mendapatkan penghargaan tetapi acara dari keluarga elishabet. Setelah 11 tahun kemudian raja dan ratu sudah meninggal dan hanya keluarga dari pasangan hidup, dan keluarga raja dan ratu, keluarga Elishabet sudah terkenal di negara Singapura yang sangat hebat, dan bagus, setiap anak-anak mempunyai bisa berbahasa lain selain bahasa inggris yaitu China, Jerman, bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa lainnya, Ayu ingin membuat film sehingga harus mempersiapkan segala apapun dengan secara langsung. mereka semua mau membuat film dari princess dan film-film lainnya tidak hanya film dunia tetapi juga ingin membuat film keluarga walaupun tidak ada orang tua, dan itupun mendapatkan komisi karena berhubungan atau bekerja sama dengan salah satu media film, Ayu akan membuat film dan saudara-saudara di indonesia yaitu di Sumatera. Ayu dan saudara-saudaranya akan tinggal di Sumatera selama 2 tahun, ingin merasakan tinggal di indonesia dan ingin belajar apapun yang ada di indonesia tidak hanya ke Sumatera tetapi negara lain yang ada di indonesia. Karena ingin tinggal di indonesia setiap keluarga saudara ikut ke Indonesia, sebelum mereka pindah ke ndonesia dan mereka akan mengurusi kerajaan dan akan meliburkan pegawai yang ada di kerajaan. Mereka memutuskan bahwa akan menjual kerajaan dengan harga Rp 15.000.000, dan semua pegawai akan ditebarkan ke tempat saudara-saudara atau anak-anak dari elishabet. Setelah dijual yang sudah membeli kerajaan akan dibagi sama rata uang yang sudah didapatkan dari penjualan kerajaan. Bagi yang tidak mendapatkan akan diberikan hasil yang lain yaitu usaha yang sudah tidak dipakai akan dijual dan akan dibagikan bagi yang tidak mendapatkan hasil uang kerajaan. Kalau memang ada sisa akan dibagikan kepada panti asuhan tidak hanya uang tetapi ada barang-barang bekas yang akan disumbangkan ke tempat mereka yang diambil oleh orang tua tidak hanya tempat sana tetapi di beberapa tempat, tidak hanya barang-barang bekas tetapi berupa makanan dan lain-lain. Tidak hanya keluarganya saja mengambil anak-anak dari panti asuhan tetapi juga dengan anak-anaknya, mereka semua akan pergi ke Sumatera pada tanggal 8 mei 2016. tunggu saja cerita selanjutnya dari cerita ratu elizabeth dan raja sangkala, jangan lupa bagi, baca, like, dan komentar
Description: keluarga menjadi salah satu contoh dan terbaik, bisa mendapatkan kesimpulan dalam cerita ini dan pembaca berbeda-beda mempunyai kesimpulan sendiri. Keluarga yang kaya raya dan hal-hal yang bagus dicontoh dalam lingkungan masyarakat.
|
Subsets and Splits
No community queries yet
The top public SQL queries from the community will appear here once available.