text
stringlengths 478
2.18M
|
---|
Title: RAKA
Category: Cerita Pendek
Text:
RAKA
“selamat ulang tahun...”
Hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku, disandingi dengan senyuman tipis. Dia hanya terpana, barangkali ini kejutan pertamanya atau entah, aku tak tahu.
Pelan aku berjalan membawa kue yang kubeli tadi sore bersama teman sekamarku. Kue tart coklat sederhana yang kubeli khusus untuk laki-laki yang sedang berdiri di depanku malam ini.
Ini tahun pertamaku merayakan ulang tahunnya, sebelum-sebelumnya biasa saja. Karena memang tidak ada yang special. Tahun lalu, dua tahun lalu, bahkan tiga tahun lalu kita berdua hanya sekedar sahabat tempat bercerita satu sama lain.
Aku nyaman menceritakan apapun, dia lebih nyaman mendengarkan apapun yang keluar dari mulutku. Baginya lelucon-lelucon yang setengah mati kubuat-buat atau kupungut dari buku-buku humor sangat menghibur nya.
Setahun berlalu di usia persahabatan kami, aku menemukan laki-laki yang membuatku gila selama hampir dua tahun lamanya. Pembawaanku yang terlalu melankolis membuat cerita cintaku terkesan mengada-ada, tapi kenyataannya memang seperti itu.
Jantungku selalu berdegung lebih kencang dari biasanya setiap kali bertemu secara tak sengaja. Hal itu beberapa kali terjadi sebelum kita benar-benar berstatus sebagai pasangan. Dia menatapku dengan pandangan yang sama sekali tak bisa dimengerti, kadang aku harus memutuskan cepat-cepat menghilang kalau tak mau terus menerus dipandangi seperti itu. Risih.
Namanya sam –Laki-laki yang membuatku menyadarai banyak hal setelah aku menjalin hubungan dengannya, baik cinta ataupun perasaan adalah hal yang realistis- dia laki-laki yang sepenuhnya belum kupahami. Aku dan dia tak pernah bisa bebas mengungkap perasaan satu sama lain. Terutama aku, perempuan yang merasa dipermainkan olehnya.
Saat sedang berdua, dia seringkali bercerita tentang mantan kekasih yang sangat di puja-pujanya bak dewi matahari. kalau sudah begitu, aku hanya diam dan mengutuk diri sendiri dalam hati, kenapa mau diajak jalan oleh laki-laki tak tahu diri ini?
Kejengkelanku hanya sebatas menceritakan balik, bagaimana aku juga pernah memiliki mantan kekasih yang tak kalah hebat darinya. Padahal sebenarnya tidak ada, justru Sam lah orang pertama yang berani kusukai. Tapi prasangka-prasangka yang tak berani diucap, membuat banyak kekeliruan dalam hidup.
Aku menjadi perempuan yang merasa tak dicintai, hanya menjadi perempuan dibalik semua perempuan yang diakuinya sebagai kekasih di depan banyak orang. Dia hanya datang padaku saat sedang benar-benar payah dan butuh hiburan saja.
Selanjutnya, pada banyak orang dia memamerkan kekasihnya adalah perempuan cantik, sholehah, berkulit putih idaman kebanyakan pria. Tapi entah kenapa aku tak bisa marah, aku menduga ada yang tidak normal dalam diriku.
Tiga tahun menangis dalam diam, tiga tahun pula aku membutuhkan teman untuk menumpahkan seluruhnya. Kalau tidak, aku benar-benar menjadi frustasi hanya karena masalah perasaan saja. Laki-laki yang sedang kurayakan ulang tahunnya malam ini adalah orangnya.
Pendengar setia, teman yang mau diajak gila, pendukung langkah-langkah, atau penyemangat impian-impianku yang utopis hingga hari ini. Tapi aku tidak merasakan getar seperti dulu, getar yang bagiku istimewa atau sebaliknya, sama sekali tak seharusnya istimewa.
“apa-apaan kamu Af...ga usah repot-repot gini lah,tapi makasih udah inget hari ultaku..” senyum tipisnya melegahkan, itu tanda Raka benar-benar tulus mengucapnya. Aku mengajaknya duduk dikursi depan kos, menyuruhnya masuk setelah lama duduk diatas sepeda motor diluar pagar. Ia melepas helm dan masuk.
“make a wish dulu ya Ka’...semoga semua kebaikan bertambah,” ia mengangguk setuju, didekapnya tangan didepan dada sambil memejamkan mata beberapa menit dan meniup lilin-lilin kecil yang sengaja kupasang melingkar di samping-samping kuenya.
“makasih ya Afra...katanya aku suruh incip masakan kesini, taunya di kasih kue..padahal beneran laper Ra’..heheh,” kata-kata jujur itu yang membuat aku percaya, masih ada laki-laki yang menghargaiku.
Menghargai dalam arti sebenarnya, bukan yang berkata “masakan apa ini?” dengan nada mencibir. Duh, aku masih sakit kalau mengingatnya.
“hei..malah ngelamun. Aku potong ya kuenya, boleh?”
“kan udah dikasih..ya boleh lah. Oh ya, satu lagi..ini,” Raka menghentikan potongan kuenya, menatapku penuh tanya saat melihatku menyerahkan bingkisan kecil dari tangan kanan yang sejak tadi kusembunyikan.
“apalagi?”
“quote of the life’s book, buku penulis favoritku Paulo coelho..jangan dibuka disini, ntar aja kalo nyampe kos. Di foto dulu..hahaha”
“tipis..beliin yang lebih tebel dong..hahaha, tau gitu aku request bukunya. Kasih tau dulu judulnya apa? Penasaran nih...,” aku nyengir senang, dalam hati ingin rasanya berucap banyak terimakasih untuk perjalanan selama ini.
Ya, perjalanan selama hampir empat tahun berlalu. Perjalanan panjang menemaniku menangis, menasehatiku bahwa laki-laki seperti Sam hanya berniat menyakiti saja (tapi dua kali dinasehati, dua kali itu juga aku membuat lagi kesalahan yang sama, masih mau keluar ketika Sam mengajakku, payah).
“apa?” lagi-lagi pertanyaan mendasar yang tidak berguna. Aku mengangkat bahu, menjawab pertanyaannnya tak paham apalagi yang hendak kukatakan.
“makasih kue nya, bukunya dan yang terakhir masakannya..kenyang ra’ kalau gini tiap hari hahah”
“maunya...kadonya jangan dilihat harga bukunya kalau besok kamu nemu ditoko buku, yang harus dilihat kenapa aku ngasih itu. baca pelan-pelan, kalau perlu direview..hihihi”
“emmm..siapa tadi penulisnya?”
“Paulo Coelho..salah satu bukunya yang terkenal The Alkhemis” dia ber-oh pelan. Mencoba mengingat-ingat mungkin. Aku sibuk menata potongan kue yang hampir berantakan.
“Ra..keluar yuk. Kita perlu bicara banyak...” hei! bahkan saat seperti inipun aku masih biasa saja, degupan jantung sama sekali tak bereaksi.
Aku meng-iya kan seperti malam-malam biasanya. Duduk-duduk di bundaran kampus sambil menikmati wedang ronde yang sudah jadi hobi kita berdua, sambil bercerita kemana-mana. Yogyakarta, hampir seluruh pojoknya adalah romantisme, begitu kata salah satu temanku.
Sepanjang jalan Raka bercerita kegiatan kuliah S2 nya yang sangat memusingkan. Banyak sekali tugas yang harus dikerjakan dalam waktu dekat, perlu banyak referensi, pikiran dan konsentrasi yang harus dicurahkan.
Aku hanya mendengarkan sambil mengomentari sedikit-sedikit. Ah, impian S2 ku pun belum terwujud bagaimana bisa aku memberikan komentar panjang. Enam bulan lalu kita saling berbagi cerita tentang keinginan melanjutkan kuliah S2 ditempat yang sama setelah kelulusan kita dihari dan tanggal yang sama, tapi hasilnya nihil.
Aku menyerah dan mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan tahun ini, karena tidak ingin membebani ayah dirumah dan kuputuskan mencari kerja untuk mengumpulkan modal sambil menulis dan dikirim ke media-media, semoga tahun depan tuhan masih memberi kesempatan.
“kamu kenapa repot-repot ngasih kejutan segala...sok romantis” dasar sok cuek, padahal seneng. Aku bereaksi manyun saja.
“rasa terimakasih...terimakasih untuk semuanya. Sudah empat tahun berlalu loh ka’..sadar nggak sih. Jata umur kamu berkurang mulai hari ini, makanya lebih banyak belajar lagi, belajar jadi imam yang baik buat istrinya nanti...” aku kelepasan bicara rupanya. Lihat saja Raka menatapku curiga sambil memicingkan matanya. Aih, rupanya dibuat-buat, tak serius sama sekali. Aku meninju lengannya.
“iya bu...kayaknya malam ini aku bakal dapat banyak wejangan nih. Siap-siap jadi pendengar setia kalau gitu. Hahaha”
“.....”
“eh tapi kan aku yang ulang tahun ra’ jadi sekarang giliranku. Dengerin, Master Raka mau pidato kebangsaan. Saya atas nama Raka setiawan mengucapkan banyak terimakasih kepada Afra karena telah diberi kejutan berupa kue dan sebuah kado berupa buku serta masakan yang sip, enak, mantap”
“aih...nggak bagus sama sekali. nggak ada serius-seriusnya dari tadi ih, males ah” aku mulai bosan dengan cara bercandanya, menurutku garing setengah mati.
Aku mengalihkan pandangan ke arah jalan raya yang ramai kendaraan beroda dua, bergantian menoleh ke arah kanan dan kiri. Kebiasaan yang kulakukan kalau sudah tak ada lagi pembicaraan.
“Ra’..jangan ngambek ih. Oke, serius nih. Makasih banget udah repot-repot ngerayain ultah ku. Aku minta maaf karena Cuma bikin hubungan kita berdua jadi ngambang nggak tentu mau di bawah kemana.” Topik pembicaraan yang kutunggu-tunggu.
“kalau memang masih banyak yang harus dikejar, kejar saja dulu..” aku menyelahnya cepat.
“sebenarnya kalau boleh jujur..aku juga nggak nargetin apa-apa kok ka’..aku tetep pingin ngelanjutin S2 di luar negeri dulu. Kalau usai S2 ini kamu pingin kemanapun, bebas. Aku tetep pingin kerja dulu sambil persiapan ngumpulin score TOEFL disini. Sampai aku benar-benar mantap untuk memutuskan pulang atau sebaliknya malah pergi jauh”
“ra’..si Sam udah nggak ada kabarnya kah?” huft, kenapa tiba-tiba banting setir ke pembahasan ini. Raka benar-benar menyebalkan.
“dia belum lulus...tapi nggak tau mau ujian kapan. Udah nggak pernah nanya. Bosen dibohongi. Terserah mau balik sama mantannya yang kayak dewi matahari itu ato nggak..”
“aih...mana ada di dunia ini dewi matahari. di puja sampe mati-matian pun kalau nggak jadi miliknya percuma kali ra’..nanti ujung-ujungnya kasian ceweknya loh”
“sama aku aja kali Sam kayak gitu. Mungkin pikirnya aku perempuan yang tepat untuk dibodohi. Salah sendiri belum pernah pacaran..gitu mungkin pikirnya”
“aih, udahlah nggak usah dibahas. Eh kamu beneran masih pingin ke Leiden? Sama siapa nanti disana? Kan aku nggak disana?” hmm..lagi-lagi bercandanya menyebalkan. Fokus pembicaraan loncat sana lompat sini. Aku menunduk memainkan ujung-ujung jari kakiku. Ya, mau bagaimana lagi aku harus jujur.
Aku sudah tidak bisa lagi sakit hati, pun mengandaikan dicintai. Sam menghabiskan semuanya, semua kemarahanku. Laki-laki yang tadinya begitu kusayangi, seenaknya begitu saja mempermainkan perasaanku. Diam-diam dibelakang, jalan dengan perempuan lain.
Dulu aku menduganya hanya atas dasar prasangka saja, tapi belakangan saat dua teman kuliahnya pindah dan tinggal di kosku menceritakan banyak hal, ternyata semua pra dugaku benar. Sekarang, kalaupun Raka ingin melakukan hal yang sama pun aku sama sekali tak akan sudi menghabiskan air mataku untuk urusan perasaan, bosan.
“jangan ke Leiden kalau Cuma untuk lari dari semua urusan perasaan..harus dikejar dengan setulus hati, itu kan cita-cita luhur seorang afra. Aku belum punya planing apa-apa setelah S2 selesai ra’. Bisa jadi kembali ke jawa timur untuk ngajar disana..atau malah lanjut Doktor di luar. Mau ikut?” aku tersenyum simpul saja mendengarnya.
Ah, ada apa dengan mataku, kenapa seketika sembab. Bekali-kali ditahan, akhirnya tumpah ruah sudah disini. Tapi aku gengsi, jangan sampai menangis di depan Raka. Bisa kena olok nanti ujung-ujungnya. Aku memalingkan muka.
“berjanjilah...jangan lagi mati rasa. Kalaupun aku melakukan hal yang tidak kamu suka, marahlah ra’ jangan diam saja. Itu artinya aku dihargai, ada untuk kamu. dan lagi..ingat aku bukan Sam, aku Raka yang sudah lama kamu kenal” bisa saja membujukku, pikirku.
“yasudahlah..habiskan ronde nya, setelah itu pulang” Raka melihatkan ekspresi terkejut mendengarnya. Aku cuek saja, sambil menghabiskan wedang ronde yang sudah dingin.
“ini bukan hari ulang tahunku afra...”
Plak!! Aku seperti ditampar dan langsung tersadar. Sepersekian menit aku membayangkan sepanjang sore, adegan dengan ekspresi bahagia yang akan terjadi setelah kedatangannya di depan kosku. Tersenyum tulus dan berucap terimakasih.
Tapi takdir berkata lain. Aku hanya bisa diam dan menggumam panik dalam hati, iya kah hari ini bukan tanggal ulang tahunnya? berarti aku bukan orang yang harus benar-benar tahu sampai dia tak menceritakan apapun? bukankah tanggal di KTP dan ijazah yang tertulis adalah tanggal di hari ini? Berarti benar lilin dengan angka dua puluh lima yang kulihat di kamarnya adalah pemberian teman dekat yang lebih tahu daripada aku. Aku lunglai, lemas. Sedih, malu, marah, salah tingkah dan entah apalagi. Aku diam sejenak, mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
“lalu...tanggal berapa ka’ kalau bukan sekarang?”
“ada dech...” dia sekenanya menjawab.
Aku diam saja, tapi terus mengutuk dalam hati. Berarti aku memang tidak boleh tahu hari ulang tahunnya kah? apakah ini adalah badai kedua dalam perjalanan cerita cintaku?.
Aku mencoba tetap tenang sambil meletakkan kue di salah satu sisi kursi. Raka mengikuti dari belakang dan duduk di sampingku.
“I am so sock..waktu kamu bawa kue tadi, siapa yang ulang tahun? Hahaha...kan aku udah bilang, bintangku bukan virgo. Bulan ini yang ulang tahun kan kamu, ya udah kita rayain ulang tahun mu. Tanggal berapa? Delapan belas?” ya tuhan..aku tidak bisa berkata apa-apa.
Aku baru ingat dia pernah berkata begitu, tapi pasti setiap kali ku tanya kapan dan tanggal berapa selalu saja jawabannya rahasia. Beberapa hari aku mencoba mengingat kenangan empat tahun silam, ya kulihat di KTP nya bulan lahirnya sama denganku.
Kulihat diijazah nya, dibuku kenang-kenangan wisuda kami, dua hari lalu kubolak balik berkali-kali sekedar memastikan tanggalnya benar.
Aku baru pertama kali ini membelikan kue untuk seseorang. Merayakannya seorang diri karena hendak memberi kejutan yang mungkin menjadi special dan bisa dikenang. Sejak sore atau bahkan pagi, aku mengingatkan teman sekamar agar jangan lupa nanti aku minta temani beli kue tart. Membungkus buku yang kemarin hari tak sengaja kubeli di toko buku.
Berusaha menuliskan kata-kata sesederhana mungkin agar tidak berlebihan. Buku yang kupilih pun buku sederhana saja. Tapi aku sudah terlanjur menuliskan tanggal dan ucapan selamat didalamnya. Tapi belum kubawa serta kadonya masih didalam kamar.
“jadi beneran ka’..bukan hari ini ulang tahunmu?” dia mengangguk berkali-kali sambil tertawa lebar.
Mataku sudah sembab rasanya. Ada sedih yang menjalar seketika. Aku memalingkan muka, dia dengan santai meniup lilin dan memotong kue yang sudah berpindah ke tangannya sekarang.
“Afra...gak apa-apa ih. Liat sini lah. Jangan ngambek gitu..this is my second birthday, thanks for all, udah mau ngasih surprise. Kuenya enak ra’..yuk dimakan bareng” sungguh aku sudah tidak berselerah sama sekali.
Aku gusar dalam hati, bahkan berjanji mulai hari ini tidak akan lagi memberi surprise dan semacamnya ke Raka. Cukup hari ini saja. Tidak akan ada lagi. Benar-benar memalukan, gerutuku.
Hampir dua tahun berlalu, udara dingin kota impian ini membuatku terus merangkul blazer hitam panjang yang kukenakan sejak tadi pagi. Beberapa kali kubenahi kerudung biru yang melayang diterpa angin kota Leiden di sepanjang kanal-kanal.
Sangat mengasyikkan melihat pemandangan lalu lalang orang-orang menaiki gondola. Sudah berjalan tiga semester aku belajar di negara yang selalu ku impikan.
Belajar di Universitas terkemuka di dunia adalah impian termahalku, itu hal yang sama sekali tidak muda, aku terus berusaha menebusnya dengan menyicil banyak hal. Memperbaiki nilai TOEFL, banyak membaca buku dan mencari info apapun yang terkait dengan tujuanku.
Dua tahun lalu setelah perayaan ulang tahun itu, aku tak pernah lagi menghubungi Raka. Meskipun berkali-kali dia mencoba menelfon, chatting di facebook, SMS -kecuali WA aku belum punya smartphone bagus waktu itu- tidak pernah kutanggapi. Ada rasa kecewa yang sangat dalam hati.
Bahkan dua belas hari setelah itu, di hari ulang tahunku, dia dengan usaha keras meminta tolong teman-teman kos untuk menyuruhku keluar menemuinya yang sudah berjam-jam menungguku. Tapi aku tak bergeming sama sekali, hari itu rasanya sama persis seperti tahun sebelumnya.
Sam menungguku berjam-jam hanya ingin melihatku katanya, tapi aku enggan keluar meski barang sebentar saja, aku lelah dibohonginya. Selelah itu aku merasa dipermainkan Raka.
Aku duduk dikursi panjang menghadap kanal. Kulihat beberapa pasangan menikmati soreh hari di jalanan kota seribu kanal ini dengan menggendong bayi-bayi mereka, atau mendorongnya di troli. Sepasang kakek nenek terlihat romantis bersepeda tertawa berdua.
Dua buku yang sama persis kukeluarkan dari dalam tas punggungku, yang satu terlihat bersampul biru dan satunya masih rapih terbungkus koran dengan kertas HVS putih diatasnya bertuliskan “this is quote of the life’s book...selamat ulang tahun ^^ “, sengaja masih kusimpan dalam plastik agar tidak rusak jika sewaktu-waktu terkena air.
“Paulo Coelho...kitab suci ksatria cahaya” buku itu masih terus kubawa kemanapun. Aku membelinya dua eksemplar sebenarnya, satu untukku dan satu untuk Raka. Buku motivasi, penuh quotes yang seringkali kubahas dengan Raka.
Aku membiarkannya menginap di rak bukuku bertahun-tahun setelah malam itu. sudah terlanjur kutulis tanggal dan tahun di sampulnya, tapi tidak ada yang berulang tahun hari itu juga. Aku akan menyimpannya saja atau kalau mau kubuat sayembara siapa yang berulang tahun tanggal itu akan kuberikan bukunya? Konyol, pikirku.
Beberapa bulan lalu, bertepatan dengan hari sidang tesisnya, saat Raka mengirimkan pesan singkat “hari ini aku sidang tesis dan ini hari ulang tahunku” aku sedang sibuk sekali mempersiapkan tugas akhir kuliah masterku. Tidak akan ada ucapan selamat, kado ataupun kue lagi.
Nun jauh di Yogyakarta sana, semoga lilin dengan angka dua puluh tujuh kamu dapatkan lagi dari orang special yang tahu kapan kamu harus berulang tahun, itu balasan pesan singkatku setelah dua tahun mencoba menghilang.
“Ting” ponselku berbunyi, dia membalas secepat kilat.
“semoga angka dua puluh delapannya dari kamu, cepat pulang, ku tunggu di Indonesia landing di Yogyakarta saja. Pulangnya kita nge-bis bareng ke terminal Surabaya lagi” aku menutupnya cepat.
Pesan lain kubuka dari Zack, teman sekelasku. Aku harus segera sampai di kos untuk membuka lagi tugas kuliah yang akan dipresentasikan besok pagi. This is my last year in Leiden, waktunya melunasi utang piutang impianku dan menjemput impian berikutnya, mungkin kamu Ka.
Description: -
|
Title: Rumah-Rumah yang Tak Utuh
Category: Pengembangan Diri
Text:
Remuk
Memantapkan diri dengan riuh dunia yang serasanya tidak memberikan arus tenang, sering kali remuk menjadi teman pulang. Buku ini ditulis tidak dengan janji akan mampu membasuh remuk tiap orang dengan hati yang tegar dan besar. Aku mau, kita semua tidak sibuk mencari penawar untuk tenangkan diri yang gusar. Bisa jadi, luka itu tidak membutuhkan penawar. Hanya perlu kita ajak duduk, nikmati, larutkan, dan mengerti. Tidak ada yang mengatakan itu mudah, mencoba atau dipaksa stabil ditengah keluarga yang berdiri di ujung tombak, menyeimbangkan gerak angin untuk mencoba mendekap semua agar tidak jatuh satu per satu, atau mulai dihujani pikiran diusia dua puluh melihat mereka yang melahirkan kita menua. Tangan ini masih belum bisa memberi, meminta segan- tak meminta selalu ada yang dibutuhkan, atau terlalu lama berjalan sendiri masih saja tidak menemukan pendamping, bukan tidak kuat berdiri sendiri. Terkadang mempunyai sebuah ikatan untuk berbagi sakit dan tawa adalah kepuasan. Begitu banyak ‘remuk’ yang hadir dalam hidup kita, yang tidak akan cukup saya tulis disini. Tidak ada remuk yang ‘hanya segitu’ atau tidak ada remuk yang ‘cuman segitu belum seberapa’ ketahuilah setiap orang mempunyai porsi untuk menerima ‘remuk’ mereka masing-masing. Pun kamu mapun aku, kita sama-sama diremukan oleh arus dunia yang dirasa kejam. Ada begitu banyak prioritas, yang dirasa semuanya harus tuntas.
Memperbaiki rumah yang isinya sudah entah berada dimana, rasanya ingin sekali didekap, dan dibisikan bahwa “remuk ini akan segera usai.” Atau sudah sering? bukan oleh siapa. Didekap, dibisikan oleh batin yang selalu mencoba membuat skenario bahwa semua ini akan usai. Entah kapan, entah seberapa lama, yang sudah kita lakukan adalah mencoba menenangkan hati yang jalanya tidak selaras dengan pikiran. Egois! meminta diri sendiri tenang ditengah keadaan yang kacau, hancur, jauh dari kata tenang yang kita coba simulasikan. Egois meminta diri terus tegar, kuat, berdiri, utuh, dan kokoh. Egois terus meminta pikiran tenang dari begitu banyak suara bising dunia yang rasanya berteriak di telinga tiap saat. “Hari ini bayar ini, besok bayar itu”, “tugas sudah direvisi?”, “Skripsi udah bab berapa?”, “Anak tante kemarin dapet gaji pertama lima juta”, “Kemarin aku liat dia nongkrong sama si itu, kamu gak diajak?”, “Mama sama papa udah gak tidur bareng ya?”, “Jual cincin hari ini ya, pake uang makan besok,” “Besok jual apa lagi ya?” Dipaksa tenang dengan semua suara bising itu, terlalu egois bukan?
Aku izinkan kalian menangis disini, sekali saja. Sebab diluar sana kita semua harus tetap tertawa.
Tidak usah ditahan, akan ku rahasiakan. Ada satu hal lain yang ingin ku sampaikan disini, tentang kejam nya mereka yang tidak pernah memberitahu padahal hanya kata ‘dewasa’ tapi begitu banyak ketakutan untuk menjalaninya. Jangan egois, aku dan kalian sedang tidak baik-baik saja, lebur semua, hancurkan, remuk-kan. Sekali-kali sempat berfikir untuk hilang dari semua kacau dunia yang kita sebut ‘dewasa’. Maksudku kita tidak benar-benar hilang, hanya saling membalikan badan, memilih jalan pulang. Mari kita rayakan ‘remuk’ ini bersama. Jangan beritau mereka kita menangis disini.
Untuk aku dan kamu, mungkin kita tidak tahu nanti akan menjadi apa, atau siapa, dalam keadaan bagaimana, atau mungkin buruknya masih hidup atau tidak. Tapi semoga semesta beserta isi baiknya, memberikan amin-nya untuk apapun yang sudah kita rancang seindah mungkin di isi kepala.
Kepada mama, terimakasih banyak atas segala pengertiannya kepada aku, yang sampai sekarang masih belum paham siapa aku.
Kepada papa, terimakasih banyak atas segala pelajaran hidup yang sama kerasnya dengan pribadimu.
Kepada aku dimasa depan, terimakasih banyak atas segala langkah, jatuh, bangkit, tangis, tawa, senyum tulus, dan tipu yang dilakukan selama ini. Lihat betapa banyak hal hebat yang telah aku lakukan hingga saat ini.
Remukan bersama, hancurkan, lebur, larutkan.
-Remuk
Runtuh
Titik terberat dalam hidup adalah melihat orangtua yang menua, dan kita yang belum menjadi apa-apa. Setelah semua remuk yang coba dirangkul untuk utuh, ternyata runtuh. Setelah mencoba hancurkan, puingnya justru tak mampu ditopang, runtuh, diterbangkan angin. Usaha demi usaha, seakan semua beban yang mereka berikan harus dibalas hari ini. Takut tidak sempat jika bergerak melambat, takut tidak sempat akhirnya terlambat.
Semua harapan runtuh. Rasanya tidak semua tapi dicari yang tersisa, nyatanya tidak ada. Sudah berapa banyak meruntuhkan mimpi karena keadaan yang mengikis diri?
Begitu banyak remuk yang runtuh tak berwujud.
Waktu kecil dulu, entah hanya aku atau kalian juga meminta waktu agar cepat melaju, dalam pikiran polos terlintas ‘gak sabar menggunakan jas’, ‘ga sabar bisa naik motor’, ‘ga sabar pake dasi di kemeja.” Atau cita-cita pertama kita waktu kecil apa? kalau aku polisi. Karena badan tinggi merasa cocok dengan itu, atau karena tertarik sama angkasa dari polisi jadi astronot. Sering kali menuntut waktu untuk berjalan cepat saat itu.
Tapi sekarang memohon dengan sangat waktu berjalan pelan, ada banyak yang belum kita lakukan. Bukan untuk mengejar mimpi-mimpi besar yang dulu pernah tergambarkan oleh kepala, tetapi menjadi si kecil yang sekarang dewasa, mencoba meraba sebenarnya apa dewasa yang sangat kita inginkan dulu. Bukan untuk mengejar mimpi-mimpi besar yang kian mengecil, saat ini hanya meminta waktu berjalan pelan, agar menunggu kita yang bergerak perlahan, meraba jalanan, mengasah kerikil batuan, menerpa angin topan.
Begitu banyak hambatan yang tidak pernah dipikirkan oleh si kecil dulu. Mereka banyak bohongnya “Makan yang banyak agar cepat besar.” Seakan ‘besar’ dan ‘dewasa’ adalah tujuan yang tiap orang inginkan, tanpa pernah bercerita apa itu dewasa dan mendewasakan. Tanpa pernah berkata ‘nikmati masa kecilmu, sebelum dewasa itu merenggut semua yang nyata menjadi semu.’ Tidak pernah ada yang bercerita tentang berat nya dewasa yang menjadi impian indah saat kecil dan sampai pada titik semua menjadi binasa. Saat kecil yang mana kita belum mengerti, tetapi masih ingat rasanya, kata mereka mendidik keras agar menjadi penurut. Ku katakan ‘baik’, ku ikuti terus jalan ceritanya, harus mandiri, sakit sendiri, kuat sendiri.
Tapi sekarang dewasa, kalimat itu salah. Si kecil itu tumbuh menjadi sosok yang emosional, mudah tersinggung, tidak percaya diri, takut mengambil langkah dan berbuat salah. Kadang terasa keluarga yang katanya rumah, keluarga yang katanya pelindung selalu terpatri seperti musuh dalam diri.
Ingin memangis lagi? silahkan saja, kita semua adalah penipu mahir dengan segala tawa. Pandai menguatkan yang lain, seakan bahagianya mereka adalah tanggung jawab kita. Sampai-sampai lupa mempertanggungjawabkan diri sendiri.
“Kamu sudah besar Nak, dewasalah.” Jika benar dewasa adalah alasan kehilangan rasa sayang, biarkan aku menjadi anak kecil yang tak pernah bermimpi menjadi dewasa yang kamu bicarakan.
Kita resah, membantah
memutar arah.
Kita linglung tersambung
dalam relung.
Kita ahli mengadili,
tak kembali.
Untuk diri kecil ku dulu, yang amat polos menghaikim waktu untuk bergerak melaju, maafkan kini kita tumbuh dengan banyak ke-tidak bahagiaan. Maaf sesekali pernah berfikir untuk menyerah pada dunia. Tentang polisi dan astronot kita simpan dulu, entah terwujud saat ini atau di kehidupan nanti, maaf telah mengubur lama mimpi-mimpi yang sempat membuat mu tersenyum bodoh. Maafkan versi dewasa-mu yang mengingkar begitu banyak angan-angan yang kita rencanakan.
Orang mengenalku tangguh, mereka menaruh harap bahwa aku sanggup, lara tak mungkin ada dalam hidupku. Tapi mereka terkadang lupa bahwa aku manusia, tidak diriku sendiri juga lupa, bahwa aku makhluk yang punya hati, saking terbiasanya menyusun ‘runtuh’ orang lain sampai lupa mengajak diri untuk beranjak berdiri.
Melawan Dunia
Setelah banyak yang remuk dan diruntuhkan, dunia dan isinya seperti ribuan ancaman. Sampai pada titik, dunia ini sudah penuh dengan ketidak-bahagiaan. Kata mereka coba syukuri apa yang kita punya, nyatanya bukan tidak mampu bersyukur, kita hanya ingin mencoba menjadi versi terbaik yang bisa dilakukan diri ini. "Lihat sisi baiknya", "ambil hikmah nya" kata-kata itu sering kali muncul dan diberikan oleh mereka yang ingin menenangkan hati yang kacau. Tapi bukan itu, kadang kala pernah lelah mencari sisi baiknya, tak kunjung ada. Kadang kala menenangkan isi hati yang berlalu-lalang tidak dengan memaksa melihat baik dari setiap masalah yang hadir. Bisa jadi dengan tidak menjadi baik-baik saja adalah alasan baik untuk tetap stabil. Bisa jadi membenci dunia dan isinya adalah seni sederhana untuk tidak menderita. Bisa jadi hal-hal buruk yang mereka katakan tidak boleh dipikirkan menjadi penenang. Bisa jadi dengan tidak meminta mereka melihat sisi baik adalah realita dunia yang mereka maksud. Karena terkadang kita lupa, melihat terlalu banyak hal baik adalah bentuk tidak baik yang lain.
Meminta seseorang melihat sisi baik dunia saat pikiran keruh adalah wujud nyata manusia yang tidak mampu memahami manusia lain. Atau mungkin, kamu tidak perlu paham duka ku, cukup nikmati saja jenakaku. Sudah berusaha menutup luka, sudah berusaha agar bunyinya redam dan tidak terdengar. Berkali-kali menahan amarah, tak berbekas tapi masih saja basah. Satu persatu meronta keluar, hingga pilihan akhir adalah melawan.
Berdiri lagi, ajak lagi diri ini untuk tangguh dari banyaknya runtuh, sekali lagi tidak ada yang bilang ini mudah. Semua luka dan amarah memberi kendali yang tak terarah. Berdiri lagi untuk apa yang kita mulai dan apa yang telah memuai. Berdiri lagi untuk nasi kuning pagi hari, berdiri lagi untuk tugas-tugas revisi, berdiri lagi untuk gunung yang belum didaki. Berdiri lagi untuk hal-hal kecil yang dapat dinikmati di dunia. Atau jika tidak ada yang nikmat, lakukan perlahan apa yang menghilangkan penat, menangis misalnya. Berdiri lagi untuk lihat langit sore, berdiri lagi untuk bantu mama masak. Berdiri lagi untuk diri sendiri. Berjalan terus meski pelan, karena yang terpenting bukan siapa yang paling cepat sampai pada tujuan tapi siapa dari mereka yang tidak pernah berhenti menata langkah kecil untuk pergerakan yang tidak seberapa.
Kosong
Jadi selama ini kita sering menghabiskan waktu dikamar sendiri, berusahan cari apa yang bisa disibukan, atau pura-pura pake headphone, gak isi lagu, agar orang-orang tidak mengajak kita berbicara. Menjadi asing dirumah sendiri adalah keahlian lain yang sering dilakukan oleh orang-orang yang sudah lupa bagaimana caranya menjadi dirinya sendiri dibawah atap rumah yang selama ini disangka ramah.
Mari berasumsi kita tidak menyalahkan mereka yang sibuk untuk memberi air dan nasi tiap pagi. Mereka ada benarnya, mencari rupiah untuk kita adalah beban yang berat juga jika dirasa. Kita lapar, sakit, butuh baju baru, bayar sekolah, semua menjadi tanggung jawabnya dan beban yang amat berat. Tapi aku punya cerita yang rasa nya lebih berat, atau mungkin hanya asumsi ku.
Beberapa anak yang beruntung belum bisa merasakan secara langsung beban itu, karena orangtuanya pandai menyembunyikan keringat dan lelah tiap pulang ke rumah. Seakan mereka belum siap untuk menunjukan kepada darah dagingnya betapa melelahkannya dunia diluar sana. Sebagian orangtua pandai menyembunyikan maslah dan duka hidup. Seakan egoisnya mereka adalah bentuk pengorbanan agar buah hati tidak ikut memikirkan hal-hal berat yang selama ini menggangu isi kepala.
Sebagian dari kita lahir dengan banyak tuntutan dari mereka. Rasanya mereka ingin membagi beban berat itu kepada kita yang masih meraba semesta. Bukan untuk menyalahkan, berbagi duka terkadang bentuk kalah seseorang dari bertahan yang cukup panjang. Sebagian dari kita lahir tidak untuk dijauhkan dari luka, duka, dan masalah itu, mereka lebih senang kita melihat mereka menderita, karena hadirnya kita. Mereka lebih senang kalau kita merasa hadirnya kita adalah alasan mereka untuk menderita. Ada banyak tuntutan yang dikemas dalam bentuk ‘hormat’. Mari kita semua berjanji pada halaman ini. Baik kalian yang sudah mempunyai keluarga atau untuk kita yang nantinya punya buah hati tercinta. Mari kita berjanji untuk membuka kepala bahwa mereka yang kita hadirkan kedunia tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan mengemban tanggung jawab begitu besar.
“Enggak inget udah dikandung 9 bulan? mama lahirin kamu itu bertaruh nyawa, Terus pas kamu kecil sakit mama yang keluar uang, belum lagi untuk kamu sekolah. Berapa banyak uang dan tenaga buat ngehidupin kamu. Sekarang mana balas budinya?”
Bukan kejadian langka kalimat-kalimat itu terdengar saat masalah mulai muncul ke permukaan. Disini janji yang sempat aku minta sebelumnya. Berjanjilah untuk kelak kita yang akan menghadirkan mereka kedunia tidak pernah mengucapkan kalimat-kalimat itu. Berjanji untuk lebih membuka isi kepala, Buah hati yang hadir nanti bukanlah investasi jangka panjang yang bisa selalu memberikan timbal balik. Padahal nyatanya jika ditelusuri lebih jauh seorang anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari diri kita. Bukankah kita yang memintanya untuk hadir? sehingga memuliakan mereka adalah sebuah keharusan, meski tanpa timbal balik sekalipun.
Description: Buku ini ditulis tidak dengan janji akan mampu membasuh remuk tiap orang dengan hati yang tegar dan besar.
|
Title: Rantang Lebaran
Category: Cerita Pendek
Text:
Rantang Lebaran Terakhir
Aku masih ingat benar peristiwa itu, Kamis, 28 Nopember 1968, kira-kira jam 19.40 wib. Aku baru saja mematikan lampu petromak yang setiap malam setia menemaniku belajar. Sebagaimana biasa durasi belajarku hanya satu jam dan selalu selesai pada pukul 19.30 wib, tiga puluh menit setelah jam dinding tua di ruang depan berdentang tujuh kali. Ayah bilang belajar selama dua kali tiga puluh menit cukup asal dijalani dengan sunguh-sungguh. Setelah doa malam singkat, aku merebahkan tubuhku di tempat tidur berharap bisa langsung terlelap. Ibu sedang menidurkan dua adikku. Surya dan Pertiwi. Hari itu sikecil, Pertiwi, rewel dari pagi hingga sore hari, badannya agak panas. Sudah diberi obat oleh mantri Suratman, tetapi tangisan dan rengekannya tidak juga berhenti. Ayah masih nanti sekitar pukul 22.00 wib baru tiba di rumah. Setiap Senin dan Kamis, ia mengajar agama para transmigran di daerah bernama Way Kandis. Sebelum dibuka untuk para transmigran dari Jawa, wilayah itu dipenuhi mangga hutan yang buahnya sangat masam, biasa diiris-iris, kemudian dijemur untuk bumbu masak sebagai pengganti jeruk. Belum ada moda transportasi ke daerah itu. Untuk sampai ke Way Kandis ayah naik sepeda onthel. Ayah menjuluki tempat itu sebagai firdaus baru, mungkin lantaran daerah itu di kiri dan kanannya masih diselimuti hutan yang cukup lebat. Aku beberapa kali ikut menemani ayah. Ia mengajar – kalau boleh disebut demikian -- azas-azas agama Katolik dalam Jawa, seperti ketika ia kerap mendoktrin kami, anak-anaknya dan ibu, tentang Trinitas, Bunda Maria, Paus yang tidak pernah salah, Yesus Kristus Putra Allah, serta surga dan neraka. Ia sejatinya bukan guru agama, tetapi berprofesi sebagai pengajar di SMP Xaverius di kota Tanjungkarang, sekolah swasta yang dikelola suster-suster Fransiskan. Barangkali urusan mengajar agama para transmigran itu dari gereja, aku tidak tahu. Mataku sudah semakin berat ketika telingaku sayup-sayup mendengar suara-suara perempuan dan ketukan-ketukan yang tidak terlampau keras di pintu depan. Aku merasakan ada sesuatu yang urgen dan penting dari suara-suara perempuan yang kudengar itu. Dan lagi, sangat jarang di kampungku, Sidodadi, orang bertamu pada jam-jam seperti itu. Kecuali ada sesuatu yang luar biasa. Pada masa itu, di kampungku listrik belum ada, sehingga selepas magrip langit seakan-akan langsung berwarna hitam. Gelap.
“Mbakyu Sum, mbakyu Sum?” aku mengenalnya sebagai suara bu Dibyo. “Teh Sum, teh Sum?” suara bu Dedeh. “Bu Harno?” suara bu Kasmin. Dan beberapa suara perempuan lainnya yang asing di telingaku. Karena suara-suara perempuan dan ketukannya semakin bertambah keras, aku beranjak dari tempat tidur dan menggedor pintu kamar ibu. “Ada apa?” tanya ibu sambil mengucek matanya. “Ada tamu, kalau tidak salah bu Dibyo, bu Dedeh, dan bu Kasmin dan beberapa ibu-ibu lainnya,” jawabku dengan cepat. Karena itu urusan para ibu, aku kembali ke kamar dan melemparkan tubuhku ke kasur yang sudah agak kempes dimakan usia. Aku masih bisa mendengar suara ibu dalam Jawa dan Indonesia, monggo, monggo, dan mari masuk. Hanya itu.
***
Kami -- aku, ayah, dan Surya, -- sudah duduk di meja makan. Itu ritual kami sebelum aku dan adikku pergi ke sekolah dan ayah berangkat mengajar di kota. Sarapan pagi. Tetapi pagi itu, makanan yang diletakkan di meja oleh ibu adalah hangatan makan malam kemarin. Aku dan adikku saling berpandangan. Ayah cuma tersenyum. Begitu pula ibu. Tetapi senyum ibu tidak secerah biasanya, seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Ada yang disimpan di hatinya. Aku sangat mengenal watak ibu kendati waktu itu aku baru menginjak usia 11 tahun. Ibu seorang yang periang. Ia lulusan sekolah perawat di Boro, Muntilan, DIY. Kendati lulusan perawat, aku merasa ibu memiliki otak yang cerdas. Ia bisa omong Belanda, tetapi tidak dalam tulisan. Kalau aku mengalami kesulitan mengerjakan PR ilmu hitung dan datang kepada ayah, ayah selalu punya alasan : “Kalau hitung-hitungan tanya ibu, yang lainnya boleh kepada ayah.” Semenjak itu kalau ada PR ilmu hitung dan aku mentok, aku datang kepada ibu, tidak kepada ayah. Begitu melihat soal ilmu hitung yang aku sodorkan, ibu langsung memecahkan dan menjelaskannnya setahap demi setahap sehingga aku mengerti. Tidak sampai lima menit, selesai. Setelah aku beranjak dewasa, aku menjuluki ibu “si jenius.” Julukan itu membuat ayah sedikit cemburu. Tetapi ayah mempunyai kebisaan lain, yang tak kalah hebatnya : menulis puisi dan membuat cerbung – cerita bersambung. Puisi-puisi ciptaan ayah kerap nongol di Majalah Basis, majalah sastra yang pada waktu itu aku enggan membacanya lantaran tidak mengerti. Jika puisinya ada di sana, ayah selalu dengan bangga memamerkan kepada kami, anak-anak dan ibu. Pernah puisi ayah dimuat pada halaman yang sama dengan puisi W.S Rendra, yang kelak di kemudian hari terkenal sebagai seorang tokoh penyair Indonesia. Cerbung ayah pernah dimuat di Mingguan Penabur, Jakarta, selama 68 episode. Menginjak episode ke-7, banyak surat dari pembaca cerbung berdatangan ke rumah. Isi surat beraneka motif dan tujuan. Kebanyakan menanyakan episode beberapa minggu ke depan, seolah-olah mereka tidak sabar akan jalannya cerbung. Tetapi ada beberapa surat yang berisi pernyataan cinta kepada ayah. Mendengar itu, ibu selalu “mengancam” ayah : “Awas kalau surat-surat cinta itu ditanggapi, ibu pulang ke Mboro.” Tetapi ayah termasuk orang yang tulus cintanya kepada ibu. Kami, anak-anaknya, tidak pernah mendengar mereka ribut atau bertengkar. Entah kalau kami sudah pada tidur, atau adu mulut secara berbisik di kamar. Ayah dan ibu memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria dan setiap hari mereka berdoa Rosario. Kami, anak-anak, kadang-kadang diajak ikut serta, tetapi tidak kuat karena kemudian tertidur di tengah Rosario.
“Maaf, pagi ini ibu tidak menyiapkan sarapan seperti biasa. Nanti siang sudah ada hantaran rantang lebaran dari bu Dibyo,” ujar ibu dengan suara datar dengan mimik muka yang tidak sebagaimana biasanya. Mendengar omongan ibu, aku jadi teringat bahwa setiap tahun keluarga kami, Soeharno, selama tujuh belas hari mendapat hantaran rantang lebaran. Entah siapa yang memulainya, tetangga kami yang Muslim, secara bergilir mengirim rantang kepada keluarga kami. Dan siapa yang menjadwal kiriman rantang itu, kami juga tidak tahu. Yang jelas tidak ada hantaran yang dobel dalam satu hari. Mereka sudah tahu jumlah person keluarga kami, sehingga makanan habis dalam satu hari. Dan esok hari datang lagi hantaran. Begitu setiap hari hingga malam Takbiran. Bagi kami, rantang lebaran sungguh merupakan berkat, karena kami bisa menyantap makanan yang cukup istimewa, masuk dalam kategori empat sehat. Beraneka macam olahan dan rasa, tergantung dari mana tetangga kami berasal. Selalu ada daging, entah ayam atau sapi. Ditambah dengan buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan kadang-kadang apel. Belum terhitung sayuran.
Sebagaimana ibu bilang dan seperti tahun-tahun sebelumnya, rantang yang pertama datang dari bu Dibyo, masakan Jawa, rumahnya tidak jauh dari rumah kami, hanya beda jalan. Di kampung kami, keluarga Sudibyo Wiyono sangat dihormati dan dituakan. Kendati pak Dibyo menganut Budha, bu Dibyo dan anak-anaknya beragama Islam. Menurut ayah, pak Dibyo dan beberapa orang lain termasuk ayah yang mengawali membuka hutan karet di bawah Bukit Perahu yang kemudian menjadi kampung bernama Sisodadi.
Setelah bu Dibyo, lalu bu Dedeh, masakan Sunda, keluarga ini pindahan dari Bandung, suaminya seorang pejabat di Jawatan Kereta Api, kata ibu. Hari ketiga dari bu Jaenab, masakan Padang, suaminya seorang pedagang kopi dan cengkeh, rumahnya paling mentereng di kampung kami. Seterusnya bu Joko, bu Widhi, bu Bambang, bu Kasmin, bu Wiyono, masakan Jawatimuran, rumah mereka agak jauh dari rumah kami. Lalu dari bu Nasution, masakan Batak, keluarga ini memiliki beberapa mobil bermerek Datsun yang disewakan dan difungsikan sebagai angkutan antar kota dari Tanjungkarang ke Kotabumi. Hari ke-10, datang dari bu Latanro, aku tidak akan pernah lupa, karena Andy anak ke-3 keluarga ini sekelas dengan aku. Ia dan kakaknya yang membawa rantang ditambah panci, yang isinya olahan daging yang melekat pada potongan tulang yang cukup panjang, sehingga tidak muat jika dimasukkan ke dalam rantang. Keluarga ini datang dari Makasar. Aku tidak tahu profesi pak Latanro.
Hari ke sebelas sampai dengan hari ke enam belas sangat disayangkan aku lupa nama-nama mereka. Bagi kami, mereka adalah orang-orang yang tulus, polos, guyup, ringan tangan, nyedulur, begitu ibu selalu bilang. Masih segar dalam ingatanku kalau ada keluarga sedang membangun atau merenovasi rumah dikerjakan secara bergotong royong oleh orang-orang kampung kami, tidak dibayar, cukup dengan makan bersama! Bila hari raya Idul Fitri tiba, ayah dan ibu berkunjung dan bersilaturahmi kepada tetangga-tetangga kami yang Muslim. Tidak cukup satu hari, terkadang memakan waktu dua hari. Biar adil dan merata kata ayah. Bagiku yang masih berumur 11 tahun pada waktu itu, hari raya Idul Fitri begitu membahagiakan. Ibu selalu membelikan baju baru. Supaya tidak memalukan kata ibu. Aku bersama teman-teman sebaya mendatangi keluarga-keluarga yang kerap membagi-bagikan uang kepada anak-anak. Salah satunya mbah Amat, orang asal Jawa Timur. Mbah Amat ini tergolong unik di mataku hingga hari ini. Barangkali untuk masa sekarang ia layak dijuluki sebagai tuan tanah. Entah bagaimana sejarahnya, ia bisa memiliki girik yang luasnya, kata ayah, mencapai hampir limapuluh hektar yang membentang mulai dari Bukit Perahu hingga jalan raya yang menghubungkan Tanjungkarang – Kedaton. Setiap pendatang yang ingin tinggal dan membeli tanah di kampung Sidodi dan seputaran Kedaton mau tak mau akan berurusan dengan mbah Amat, karena dialah penguasa tanah di sana. Membeli tanah dari mbah Amat tidak selalu harus dengan uang. Beras, kambing, sapi, atau babi pun diterima dengan tangan terbuka oleh mbah Amat sebagai pengganti uang. Ketika ayah membeli tanah -- yang kemudian di atasnya berdiri rumah tinggal kami yang sederhana -- hanya dengan lima ekor kambing dan beberapa kwintal beras. Lalu ayah disuruh mengukur dan mematok sendiri sesuka hati. Ketika kami, anak-anaknya, semakin bertambah dewasa, kami kerap me-loon-loon-kan ayah kenapa tidak mengukur dan mematok tiga atau empat kali lipat yang sekarang? Ayah hanya tersenyum sambil berkata : “Orang jaman dulu tidak seserakah orang sekarang, kami mematok secukupnya,” matanya tajam menatap kami, lalu lanjutnya, “dan siapa pula yang mau menebang pohon-pohon karet yang tingginya puluhan meter dan membersihkan tanahnya.” Memang rata-rata rumah di kampung kami memiliki luas tanah yang hampir sama. Itu bukti bahwa orang jaman dulu tidak tamak sebagaimana ayah katakan. Rupanya tanah mbah Amat itu dulunya merupakan bagian kecil dari tanah perkebunan milik perusahaan Belanda yang kemudian berpindah tangan kepada entah perusahaan atau perorangan Tionghoa atau Pribumi.
Bila Natal tiba, tetangga-tetangga kami yang Muslim, tanpa kecuali, akan membalas berkunjung ke rumah-rumah keluarga Kristen. Ayah dan ibu akan menjadi tuan rumah yang ramah dari pagi hingga larut malam bahkan kerap dilanjutkan esok hari. Entah kebetulan atau tidak di kampung Sidodadi pada waktu itu dihuni keluarga-keluarga Muslim dan Kristen utamanya Katolik dalam jumlah yang hampir seimbang. Kebanyakan yang beragama Kristen Katolik berprofesi sebagai guru, seperti ayah, dan para medis entah itu perawat atau bidan atau lainnya yang bekerja di beberapa rumah sakit yang dikelola para suster.
Sebagai balasan sehari sebelum Natal, keluarga kami menghantar rantang Natal kepada tujuh belas tetangga yang telah mengirim rantang lebaran kepada kami. Tugas mengirim rantang itu oleh ibu dipercayakan kepadaku, anak paling besar kelas 4 SD, dan mas Soeroso, SMP kelas 2, anak pakde yang belakangan dititipkan di keluarga kami. Aku tidak tahu, mengapa mas Soeroso yang anaknya pakde itu bisa tinggal bersama kami. Beberapa puluh tahun kemudian aku baru mafhum. Ayah mas Soeroso, pakde Soemarno, kakak ayah, sedang ditahan di pulau Buru. Ayah pernah membuntuti sepak-terjang pakde. Ia salah seorang tokoh komunis di Jakarta. Mahir berpidato, bahkan ketika sedang sakit malaria ia masih mampu berpidato di depan ribuan orang di sebuah lapangan bola, di wilayah Tangerang. Sebelum pidato selesai, pakde pingsan dan dilarikan ke rumah sakit. Pakde jago bisnis, kaya raya, memiliki pabrik sepatu dan lebih dari lima puluh taksi berwarna kuning yang berseliweran di jalan-jalan Jakarta. Ketika malam tiba, pabrik sepatunya berubah jadi markas partai, dengan ratusan mesin ketik, yang berbunyi hingga menjelang subuh. Beberapa saat setelah G-30 S meletus pada tahun 1965, pakde ditangkap dan semua kekayaannya disita negara. Ia dipenjara tanpa diadili dan kemudian dipulauburukan. Bude Soemarno syok berat lalu menghilang meninggalkan anak-anaknya yang berjumlah lima orang yang kemudian dititipkan kepada para kerabat pakde. Ayah kemudian membantu menyekolahkan salah satu dari lima anak pakde, mas Soeroso, hingga lulus STM.
***
“Ini rantang lebaran ke-17 dari bu Wito Candra,” kata ibu dengan nada suara agak bergetar dan sambil mengusap air mata, “ini rantang lebaran terakhir yang kita terima, karena tahun depan kita tidak akan menerima kiriman lagi dan sebaliknya kita tidak akan balas mengirim.” Ibu memindahkan makan dari rantang yang bersusun lima itu ke piring-piring di atas meja. Selera makan kami nyaris pupus. Tetapi ibu adalah seorang yang bijak, dengan cepat ia mencairkan suasana dengan menyebutkan nama-nama makanan yang sudah berpindah ke piring, yang bagi kami terasa aneh di telinga: bebek peking, ayam hainan, fuyung hai, tofu, kwetiau, dan beberapa nama aneh lainnya yang aku lupa. Setelah itu ibu mengajak kami berdoa. Tetapi upaya ibu tidak terlalu banyak menolong, karena kami kemudian makan sambil membisu. Kelezatan makanan dari bu Wito Chandra seakan-akan lenyap dari lidah-lidah kami. Di kemudian hari, setelah duduk di sekolah menengah pertama aku baru paham bahwa rantang ke-17 yang dikirim oleh bu Wito Chandra itu adalah makanan khas Tionghoa. Ibu Wito Chandra nama aslinya Lee Hoa bersuamikan seorang pengusaha dari Aceh. Keluarga ini pindah dan tinggal di kampung kami, barangkali, paling belakangan sehingga dapat giliran nomor 17 dalam urusan rantang.
Kesedihan dan tangisan ibu membawaku pada ingatan akan kunjungan beberapa ibu ke rumah di malam hari – bu Dibyo, bu Dedeh, dan bu Kasmin serta lainnya -- Kamis, tanggal 28 Nopember 1968, sekitar jam 19.40 wib. Apa ada korelasinya antara sikap ibu dengan kedatangan mereka? Aku hanya bisa menerka-nerka dengan pikiran seorang anak kecil. Malam itu tiba-tiba menjadi malam yang berbeda bagi keluarga kami, padahal di luar sana bedug-bedug masjid sudah mulai ditabuh bertalu-talu dan suara Takbir Lebaran turut dikumandangkan. Esok adalah Hari Lebaran! Semua orang bergembira, tetapi tidak bagi kami.
Setelah selesai makan dan berdoa ibu berbicara apa adanya kepada kami -- aku, ayah, Surya, dan mas Soeroso – dengan suara terbata-bata. “Dua minggu lalu, lima orang ibu sebagai wakil dari 17 keluarga datang malam-malam bertamu ke rumah. Intinya mulai Natal tahun depan, kita yang beragama Kristen tidak usah mengirim rantang kepada tetangga-tetangga yang Muslim, tetapi mereka masih tetap akan mengirim rantang lebaran kepada kita, kalau kita berkenan menerimanya,” ibu menarik nafas dalam-dalam lalu lanjutnya, “ibu belum meng-iyakan atau menolak tawaran mereka.” Air mata tampak menggenang di kelopak mata ibu dan ibu segera mengusapnya dengan lap yang berada di dekatnya. Ayah hanya membisu. Mas Soeroso jari-jemari tangannya mengetuk-ketuk meja. Surya dan Pertiwi sibuk memperebutkan sesuatu. Dua orang adikku itu – begitu pula aku – sejatinya belum memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi, sehingga membuat ibu menangis. Aku menatap wajah ibu yang malam itu diselimuti kabut tebal.
***
Sejak kampung Sidodadi kedatangan seorang da’i dari Jawa, konstelasi hubungan bertetangga Islam – Kristen sedikit agak berubah. Tetapi tidak menimbulkan gesekan atau permusuhan. Mereka menyadari bahwa kampung Sidodadi berdiri dan ada, berkat para pendahulunya baik yang beragama Islam maupun Kristen yang berani membuka hutan karet dan kemudian berdomisili di sana. Kampung itu terus bertumbuh dan semakin besar berkat rasa kebersamaan dan persaudaraan antar penghuninya. Tidak ada garis demarkasi atau pemisah antar agama, hingga hari ini. Keluarga kami masih menerima kiriman rantang setiap tahun menjelang Idul Fitri, tetapi bukan bernama rantang lebaran, melainkan rantang ucapan syukur. Begitu pula menjelang Natal kami masih sibuk menghantar rantang, tetapi bukan rantang natal tetapi rantang ucapan syukur. Tradisi itu masih berjalan hingga beberapa puluh tahun kemudian. Kapan berhentinya, aku sendiri tidak tahu, karena begitu lulus SMA aku meninggalkan kampung Sidodadi, yang sekarang merupakan bagian wilayah dari kota bernama Bandar Lampung..
***
50 tahun kemudian …
Selesai meletakkan bunga, berdoa, dan membersihkan rumput-rumput liar di makam ayah dan ibu yang berbentuk bangunan rumah mungil dengan bahan keramik, kami -- aku, istriku, dan tiga orang anakku -- melangkah menuju ke pintu gerbang. Sambil berjalan perlahan, kami melewati beberapa makam yang sangat aku kenal namanya. Beberapa nama yang tertampang pada kayu-kayu salib itu adalah mereka yang ketika masih hidup merupakan perintis, yang membuka hutan karet di Sidodadi. Setelah ke luar dari pintu gerbang makam orang-orang Kristen, aku menatap gundukan-gundukan tanah, batu-batu nisan, dan kayu-kayu pancang yang tidak terlampau jauh dari makam orang Kristen. Ya, itu pemakaman orang-orang Muslim. Dari aspek tempat pemakaman yang letaknya tak terlampau jauh satu dengan yang lainnya, menjadi bukti sejarah bahwa kerukunan antara Islam dan Kristen sudah terbangun sejak lama di Sidodadi. Kami melangkah ke sana dengan pasti. Seorang penjaga makam yang sudah agak tua menyapa kami dengan ramah, sepertinya ia tahu bahwa kami bukan dari daerah setempat. Hampir setengah abad aku meninggalkan Sidodadi, kendati setiap tahun aku menengok ayah-ibu ketika masih “sugeng.” Penjaga itu aku sodori secarik kertas yang berisi nama-nama yang memang aku cari makamnya. Dari sebelas pasang nama suami-istri yang kami cari, dengan bantuan penjaga makam kami menemukan empat setengah pasang nama yang ketika aku masih kecil hanya kukenal dari nama panggilannya : Sudibyo Wijoyo – Sri Sulasmi, Kasmin Pangestu – Fitrianingsih, Joko Wiryanto – Ambarwati, Bambang Brotoseno – Ayu Lestari, Binsar Nasution. Sisanya? Penjaga makam itu menggelengkan kepalanya dengan tegas bahwa nama-nama itu tidak ada di sana.
Tak terasa air mataku menetes mengenang mereka. Tawa dan suara mereka masih aku ingat dengan baik. “Iki anakmu sing paling gedhe, mas Harno? Lha wis arep joko ngono, kapan disunat?” tanya pak Bambang, ketika keluarga kami bersilaturahmi Lebaran di rumahnya. “Mengko, yen wis kelas enem,” jawab ayahku. “Ah lama kali kita tak saling jumpa, pak Harno,” sapa Pak Nasution dengan aksen Bataknya yang kental, “itulah gunanya Idul Fitri dan Natal, kita bisa saling berkunjung. Tanpa itu, susah kali kita berjumpa.”
Dan suara-suara serta tawa-tawa para sahabat lainnya tiba-tiba terngiang di telingaku …
***
“Pi, kenapa nangis?” tanya anakku yang paling kecil. “Nanti kalau kamu sudah dewasa akan mengerti,” jawabku singkat sambil mengajak istri dan anak-anakku berdoa bagi mereka. Dan kami pun berdoa dengan khusuk. Secara Kristen Katolik. Penjaga makam itu menatap kami dengan wajah penuh keheranan.
***
Catatan :
Rantang = Bisa 5 atau 6 susun satuan rantang tergantung yang mengirim
Bukit Perahu = Kira-kira 2 km dari Pasar Koga, Kedaton. Dinamakan Bukit Perahu karena dari jauh mirip perahu tengkurap.
Makam Islam dan Kristen = Berdampingan, terletak di lerang Bukit Perahu.
Loon = Tolol, tetapi dalam konteks cerita ini sambil humor. Tidak dalam arti tolol sebenarnya.
Sugeng = Hidup
Description: Ini cerita tentang sebuah kampung bernama Sidodadi yang terletak di bawah bukit Gunung Perahu, Kedaton, Bandar Lampung tahun 1970 an. Di kampung itu ditinggali oleh orang-orang yang beragam suku dan agama. Kebetulan agama yang terbanyak adalah Muslim dan Katolik. Kerukunan agama ditandai dengan pertukaran rantang ketika kedua agama ini merayakan hari besarnya. Namun itu tidak berjalan mulus, kendati para penghuninya ingin mempertahankan tradisi luhur tersebut.
|
Title: Rebirth as a Girl
Category: Fan Fiction
Text:
Prolog
"Aku bersumpah akan mengutukmu menjadi seorang gadis!!" ujar seorang wanita yang tengah menangis karena dicampakkan. Wajahnya tampak dipenuhi amarah dan kebencian.
Haechan, si oknum yang membuat wanita itu menangis dan bersumpah, hanya terkekeh dan mencibir. "Semua wanita itu sama!"
Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya dengan santai tanpa memandang wanita itu ataupun merasa bersalah karenanya.
Dia adalah seorang cassanova sekaligus bajingan tak tahu malu, yang selalu bergonta ganti kekasih layaknya berganti baju setiap hari.
Sudah banyak gadis-gadis disekolahnya yang menjadi korban seorang Seo Haechan, mereka tentu saja merasa patah hati dan kecewa dengan sikapnya. Tapi apa yang bisa mereka lakukan?
Haechan adalah putra dari pemilik sekolah, dan dia adalah siswa yang paling berkuasa. Bahkan kakaknya, Seo Hendery tidak memiliki sifat bajingan seperti itu. Mereka layaknya api dan air, Hendery dengan image baiknya dan selalu menolong serta Haechan yang seperti bajingan tak tahu malu dan suka menindas orang.
Ayahnya, Seo Johnny hanya bisa menghela nafas atas kelakuan tak pantas Haechan. Ia sudah berkali-kali menasihatinya agar dia bisa berubah dan tidak membuatnya malu, namun seperti memukul batu, Haechan tak peduli dengan nasihatnya.
Ia malah balas memarahi Johnny karena bercerai dengan ibunya. Padahal Haechan sangat menyayangi ibunya, tapi ia harus berpisah dengan sosok yang sudah melahirkannya itu.
Dan karena itu pula ia sangat membenci wanita, ia pikir andai saja ibunya lebih keras kepala dan tetap bertahan untuk tidak bercerai dengan ayahnya, ia pasti masih memiliki keluarga yang lengkap seperti anak lainnya.
Dia benci semua orang, termasuk keluarganya sendiri. Dia benci mereka semua.
Jika ia bisa memilih, ia lebih suka memiliki keluarga yang miskin tapi lengkap daripada keluarga berkecukupan tapi tercerai berai.
Tak satu kalipun ia bermimpi, suatu hari ada orang yang akan mengutuknya untuk menjadi seorang wanita. Ia pikir, bukankah itu lucu? Haha!
Ia tidak percaya dengan hal yang bernama kutukan itu!! Cih!
Saat ia sedang asyik berfikir, tiba-tiba saja ada sebuah truk yang melaju kencang menuju ke arahnya. Haechan lantas terkejut dan ingin menghindar, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak.
Alhasil, ia tertabrak dan terlempar beberapa puluh meter dan seketika berhenti bernafas. Hal terakhir yang dilihatnya adalah salju yang turun pertama kali.
Ya, ini hari pertama musim dingin. Hari dimana keluarganya berubah, hari dimana ia kehilangan kepercayaan pada sosok seorang ibu. Dan sekarang....
Itu adalah hari kematiannya. Haechan tersenyum masam. Tak lama, kesadarannya menghilang sepenuhnya.
To be continued
________
Hai, aku kembali hehe
Chapter 1
Haechan pikir dirinya akan berada di neraka, namun ia tidak merasakan apapun. Tidak ada hawa panas dan jeritan memekakkan telinga yang dikatakan orang-orang, lingkungan disekitarnya sangat sepi.
'Dimana ini? Apakah neraka sedang sepi?' pikirnya.
Dengan ragu ia membuka matanya perlahan dan melihat ruangan serba putih memenuhi indra penglihatannya, ia melihat ke kiri dan ke kanan untuk memastikan tempat apa itu.
"Haechan-ah? ! Kau sudah siuman?!" ujar seorang remaja laki-laki yang baru saja membuka pintu kamar mandi. Ia buru-buru mendekat dan menekan bel disamping tempat tidur. "Akhirnya kau bangun... Mama sangat khawatir karena kau!!" sambungnya.
'Mama?' pikir Haechan, setahunya ibunya sangat jarang menghubungi dirinya. Tapi sangat sering menelpon kakaknya, wanita itu sangat pilih kasih.
"Haechan?? Haechan-ah!" pemuda itu mengguncang bahunya pelan.
Haechan kembali tersadar dan kemudian menatap pemuda itu dengan penuh kebingungan, siapa dia?
"Siapa kau?" tanyanya, namun ia terkejut saat mendengar suara yang ia keluarkan. 'Astaga!! Tidak mungkin!!'
Haechan langsung menutup mulutnya dengan mata terbuka lebar, ia dengan ragu meraba dadanya sendiri dan merasakan dadanya tidak rata.
'Sial! Tidak mungkin!'
Jantungnya berdetak lebih cepat, lalu dengan ragu-ragu ia melihat ke tubuh bagian bawahnya.
....tidak mungkin kan adiknya tidak ada disana?
Ia memasukkan tangan kanannya dan meraba tempat itu. Pikiran Haechan melayang, dia menjadi seorang wanita....
'Tidak... Ini tidak mungkin... Kenapa aku bisa menjadi seorang wanita?! Jangan bilang itu karena ucapan wanita sialan itu?! Ahhh'
Wajahnya menjadi lebih pucat, pemuda yang duduk disampingnya juga jadi ikut khawatir karena Haechan yang tidak kunjung membalas pertanyaannya. Saat ia akan mengguncang bahunya lagi, Haechan tiba-tiba menatapnya dan berteriak kencang.
"Aaaaaa!!!!!"
Jeno, si pemuda itu merasa terkejut hingga ia hampir terjatuh dari kursi. Orang-orang di luar ruangan buru-buru masuk, mereka terlihat sangat khawatir karena suara teriakan Haechan barusan.
"Haechan, kau baik-baik?? Ada apa sayang??" tanya seorang wanita cantik yang menghampirinya.
Haechan dengan refleks mundur dan menghindari tangan wanita itu, ia menatap orang-orang itu dengan takut.
"Taeil hyung, kenapa putriku bisa seperti ini??" tanya seorang pria yang tampak sangat khawatir.
Seorang dokter yang Haechan yakini bernama Taeil itu menepuk pundak pria itu dan mendekati Haechan dengan hati-hati, dia lalu tersenyum tipis dan menepuk lengannya pelan.
"Jangan mendekat!!" Haechan kembali mundur dan menjauh dari tangannya. Ia kembali terkejut mendegar suaranya yang berubah menjadi melengking seperti seorang gadis.
"Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu..." ujar dokter Taeil. "Apa kau merasa lebih baik?" tanyanya.
"Kenapa aku seorang gadis?" tanya Haechan dengan serius.
Namun dimata Dr. Moon dia hanya merasa frustrasi karena masalah gendernya, oleh karena itu dia tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang serius. Dia hanya tersenyum, "menjadi seorang gadis bukanlah hal yang buruk, apalagi kau memiliki dua saudara yang selalu melindungimu..."
"Kau tidak bisa mengelak dari apa yang sudah menjadi takdirmu Haechan, hidupmu tidak seburuk yang kau pikirkan. Masih ada orang-orang yang menyayangimu di dunia ini." sambung Dr. Moon.
Mendengarnya, Haechan jadi memikirkan keluarga lamanya. Ia tahu ayahnya menyayanginya, neneknya sangat mencintainya, mereka selalu berusaha memberikan semua yang terbaik untuknya tapi ia malah melakukan semuanya seenaknya.
Saat itu, kepalanya tiba-tiba terasa sangat sakit. Dan ribuang kenangan asing muncul di kepalanya, ini bukanlah kenangan asli miliknya tapi kenangan milik tubuh yang sekarang ini.
Dia juga bernama Haechan, namun nama keluarga mereka berbeda. Gadis ini bernama Jung Haechan, ia memiliki keluarga yang lengkap. Dengan dua saudara laki-laki. Pemuda yang tadi menemaninya adalah saudara kembarnya, dia Jung Jeno.
Selain dia, ada satu lagi sosok kakak yang sedang belajar di luar negeri bernama Jung Minhyung. Dan wanita yang tadi bertanya padanya adalah ibu dari gadis ini, Lee Taeyong. Dan pria disampingnya adalah ayahnya, Jung Jaehyun.
Mereka bukan orang yang memiliki banyak uang, hanya keluarga biasa saja. Ayahnya adalah pemilik sebuah kafe di daerah distrik Gangnam, dan ibunya adalah pelatih balet di sebuah sekolah tari. Bahkan jika penghasilan keduanya digabungkan, itu hanya separuh dari uang jajannya dimasa lalu.
Sementara itu, pemilik asli tubuh ini adalah seorang gadis nerd yang selalu dibully karena penampilannya yang jelek. Ia berkulit lebih gelap, agak gendut, dan memiliki banyak jerawat di wajahnya.
Dan karena dia sudah tidak tahan dengan semua ini, gadis malang itu memutuskan untuk bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Untungnya saudaranya menemukan dia tepat waktu, dan segera keluarganya membawa pemilik tubuh asli ke rumah sakit.
Dan bahkan setelah dibawa ke rumah sakit gadis ini masih mencoba untuk mengakhiri hidupnya, dia mungkin mati saat Haechan datang dan menempati tubuhnya.
'Gadis yang malang...' pikir Haechan. 'Sepertinya kita berada di kapal yang sama, aku juga muak dengan hidupku. Tapi karena aku sudah menggantikanmu, aku akan pastikan orang-orang yang menghinamu akan menjilat sepatuku dan memanggilku ayah!' sambungnya.
Sepertinya tuhan mendengar perkataannya, dia mendapatkan kesempatan hidup lagi dengan tubuh yang berbeda dan di keluarga yang berbeda pula.
Lain kali ia harus menjaga mulut sialannya agar tidak asal mengucapkan kata-kata secara sembarangan, ia khawatir tuhan akan kembali mengabulkan perkataannya itu..
Jika perkataannya baik, maka bagus. Tapi bagaimana jika itu buruk? Dia tidak mau menanggung konsekuensi dari ucapannya yang tidak bisa dijaga!
________
To be continued
Hehe segini dulu ya
Description: Title : Rebirth as a Girl
Authors : lalalucha
Genre : gender bender, comedy, fanfiction, slice of life
Deskripsi :
Karena sifat bajingan nya, Haechan dikutuk oleh gadis-gadis yang menyukainya. Dan terlahir kembali menjadi seorang wanita.
Bagaimana kehidupannya setelah itu?
Tekan baca jika kalian tertarik~
A/n : ini cerita gs alias gender switch. If you don't like, please remove this story from your library :)
See you
|
Title: Rangkaian Bait Kata
Category: Puisi
Text:
Dessous de Table
Anak gembala menuangkan botol wiski ke
dalam secangkir gelas
Diberikannya pada pemakai topeng yang
jadi lawan bicaranya
Mereka terlibat perbincangan
Mereka mengucapkan candaan
Basa-basi diselipkan
Sampai berakhir pada kesepakatan
Saling berjabat tangan
Domba-domba merumput
Tak ada yang tahu apa tengah terjadi di
bawah meja pondok
Di Atas Meja Makan
Di atas meja makan kita ada seorang petani yang setiap hari pergi bertani menanam hasil bumi sampai menunggu waktu panen tiba
Di atas meja makan kita ada seorang peternak yang setiap pagi hari pergi ke kandang memberikan pakan untuk ternaknya merawat capai dewasa dan mengambil ternakan
Di atas meja makan kita ada seorang nelayan yang setiap pagi buta pergi melaut menangkap hasil laut mempertaruhkan nyawa jika laut mendadak murka
Di atas meja makan kita ada seorang pegawai toko yang dengan senang hati mengantarkan galon air ke rumah kita dengan upah rokok atau uang kecil
Di atas meja makan ada keharmonisan yang ingin dijaga seorang kepala keluarga yang siang-malam bekerja mencari nafkah demi satu hal yang membuatnya berjuang untuk mengasah asa,
mempertahankan senyuman kebersamaan itu.
Bola Lampu
Bola lampu pendarmu berwarna biru
Tanpa saklar dan fitting tempat menaruh rupamu
Melayang seperti hantu
Kau muncul saat tak terduga aku terduduk atau terlentang dalam diam
Di tempat duduk, di tempat tidur, di tempat aku bisa fokus sendirian
Energimu berlandaskan dari cara berpikirku
Terang-redup tergantung suplai bahan yang sempat terlintas
Kadang aku juga harus mencarinya untuk menjaga kau tetap bercahaya
Kau adalah penerang hidupku juga sumber pencahayaanku
Tepatnya buah penaku tergantung padamu.
Kulihat kau juga menerangi umbun-umbun setiap orang
Dengan pendar dan nyala yang berbeda-beda
Tak tahu betapa seberapa besar jasamu
Mengilhami setiap dunia khayalku
Entah bagaimana bila tak ada kamu
Bola lampu, kau imajinasi dari karyaku
Atas Langit
Matahari ada di atas langit
muncul sebagai pertanda pagi
saat ayam jantan berkokok ufuk timur
panggilan untuk manusia bangun dan menjalani rutinitas hari.
Dia juga membantu tanaman untuk tumbuh dalam proses fotosintesis
sebagai reaksi biokimia
mereka menyambung hidup.
Bulan berada di atas langit
muncul siang maupun malam
tak melulu dalam wujudnya yang sempurna
pengganti peran matahari di saat malam.
Dia juga menunjang terumbu karang, saat wujudnya yang sempurna
sebagai pemicu pasang-surut
mereka dapat berkembang biak.
Bintang berada di atas langit
muncul disaat malam
betebaran bagai kunang-kunang tak bergerak, memperindah malam
letaknya jadi tanda konstelasi ilmu astronomi.
Dia juga petunjuk bagi para pelaut
sebagai alat navigasi
mereka menentukan arah pergi-pulang.
Impianku ‘kah akan berada di atas langit?
Diriku yang tak pernah berusaha.
Bertolakan
Apakah arti dari sebuah kesepahaman,
ketika dua pemikiran dipertemukan dalam satu waktu.
Yang satu kaya akan pengalaman
sampai-sampai berpegang teguh tinggi pada keyakinan yang dipegangnya.
Yang satu hidup di dunia penuh kebusukan
hasil dari budaya orang-orang tak bertanggung jawab yang jadi peninggalan generasi sebelumnya, korban dari jaman.
Berbicara panjang lebar tak menemukan hasil sesuai dengan harapan kedua pihak.
Pada akhirnya emosi turut terlimpahkan ketika keduanya berselisih paham
bersikukuh merasa ideologinya yang paling benar diperkuat pengetahuan dan pengalaman yang menutup telinga keduanya.
Tempat mereka berpijak beserta benda-benda mati di sekitar menyaksikan pun menjadi saksi dari sebuah racun yang disebut keegoisan.
Manakah yang benar? Tak ada apapun yang dapat dipastikan
Kebenaran bagai dua sisi mata logam; tak ada yang gampang menebak begitu koin terlemparkan.
Hal yang salah adalah ketika semua itu hanya berdasar keegoisan semata hanya untuk dibilang benar
Dunia berjalan berdasar sesuatu yang tak dapat diprediksikan
sejarah manusia membuktikan hal itu.
Lalu adakah cara menyelesaikannya dengan pikiran terbuka
Hal itu hanya bisa diselesaikan oleh keduanya ketika tidak lagi mengikut campurkan ego diri di dalamnya.
Berkaca
Setiap hari betapa seringnya orang berkaca
Ketika di rumah mereka berkaca
Ketika hasil foto mereka berkaca
Ketika berkendaraan mereka berkaca
Ketika make up mereka berkaca
Ketika ke kamar mandi mereka berkaca
Ketika berjalan mereka berkaca
Manusia betapa seringnya mereka berkaca
Tapi memperbaiki luarnya tidak yang di dalamnya
Panutan
Kau yang selalu ada di depanku
Ku yang selalu melihat punggungmu
Menuturi jejak yang ditinggalkan setiap langkah awalmu
Tak pernah menundukan kepala untuk terus mengejarmu
Demi satu tujuan aku menginjaki bayang
Berjuang. Untuk nantinya berjalan setara denganmu
dan mangobrol masalah lika-liku kehidupan bersama
Problematika Berkeluarga
Satu tahun pertama harmonis.
Kedua tahun berikutnya makin mesra.
Ketiga tahun berikutnya teranugrahi buah hati.
Keempat tahun berikutnya puncak kebahagian.
Kelima tahun berikutnya perubahan sikap.
Keenam tahun berikutnya mulai timbul curiga.
Ketujuh tahun berikutnya sering pulang malam.
Kedelapan tahun berikutnya awal pertengkaran.
Kesembilan tahu berikutnya komunikasi merenggang.
Kesepuluh tahun berikutnya pisah ranjang.
Kesebelas tahun berikutnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Keduabelas tahun berikutnya pengadilan agama bertindak.
Tigabelas tahun berlalu ikatan terputus.
Kebenaran telah pergi
Kebenaran telah pergi:
ditusuk dan ditelanjangi oleh
perasaan yang hanya peduli
akan diri sendiri.
Kebenaran telah pergi:
hanya tertelungkup dalam
bibir dan raga-jiwa yang
kurus tak berani.
Kebenaran telah pergi:
menyisakan pedih dan
kepahitan yang berjaya
di negeri elok ini.
Jam Dinding
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Jam dinding berbunyi
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Menandakan suasana yang tengah sepi
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Tak ada kecerian kembali
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Langkah kaki telah angkat pergi
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Ikrar telah menjadi mati
Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Jam dinding berbunyi
Harga
Seorang pengujung datang ke sebuah toko buku
Niat mencari buku
Berhenti di satu rak yang menarik perhatian
Berdiam lama di situ, sampai akhirnya ia pergi
Beberapa minggu berselang sang pengunjung datang ke toko buku lagi
Berhenti di satu rak yang sama
Beberapa buku telah berganti
Berdiam, sampai ia pergi lagi
Beberapa bulan berganti sang pengunjung datang ke toko buku kembali
Berhenti di rak yang sama lagi
Setengah judul buku sudah berganti
Berdiam, lalu pergi
Beberapa tahun berlalu sang pengunjung singgah ke toko buku
Berdiri di depan rak yang sama tuk sekian kali
Hampir semua telah berganti semenjak datang pertama kali
Berdiam, kali ini ia mengambil buku
Pergi ke tempat bayar
Senyum merekah di bibirnya
Pada akhirnya dedikasi sang bapak tidak sia-sia
Jatuh Dalam Kecantikan
Aku bukanlah kesatria setangguh beowulf
Tanpa takut kalahkan monster tanpa sehelai
benang lapisi tubuh
Aku bukanlah mahluk seperkasa king kong
Dengan raungan dan memukul-mukul dada
membuat mahluk lain tunduk
Yang serupa dariku
Hanyalah, aku, jatuh seperti halnya, mereka
Terbuai oleh kecantikan
Kecantikan yang diturunkan hawa
Pada cucunya
Kasih di sampai ajal
Socrates bilang: jiwa tidak
akan hancur. Ia tidak
berubah. Ia abadi.
Maka ada kemungkinan kita
bisa bertemu kembali.
Kehidupan lebih baik
di kelahiran selanjutnya.
Pura-pura tak Bahagia
Pura-pura bahagia
Di depan orang tak mengenal diri
Pura-pura bahagia
Pada potret menampilkan diri
Pura-pura bahagia
Dalam senyum kepercayaan diri
Pura-pura bahagia
Hidup diatur yang mengekang diri
Pura-pura bahagia
Menyakiti diri
Pu.ra-pu.ra
Tak bahagia
Bogor, Januari 2020
Pengaruh
Selama hidup, manusia itu saling
memengaruhi dan dipengaruhi
memengaruhi orang
dipengaruhi orang
memengaruhi informasi
dipengaruhi informasi
memengaruhi kekuasaan
dipengaruhi kekuasaan
memengaruhi cinta
dipengaruhi cinta
memengaruhi dunia
dipengaruhi dunia
memengaruhi pengetahuaan
dipengaruhi pengetahuan
memengaruhi waktu
dipengaruhi waktu
memengaruhi takdir
dipengaruhi takdir
Selama hidup, manusia itu saling
memengaruhi dan dipengaruhi
lalu apa yang sejati?
Bodoh
Si bodoh yang ditertawakan. Si bodoh yang terperhatikan. Si bodoh yang mendapatkan keuntungan.
Bukti Cinta
Jika engkau inginkan,
Maka akan kuberikan,
Seluruh jiwa dan ragaku sebagai bukti rasa cinta
Yang kulakukan dalam lima waktu
Untuk, lebih dekat denganmu
Memperdalam takwaku
Ingat pada sesamaku
Menjaga duniaku
Bunga
Bunga kau lambang dari keindahan
Hamparan tanah yang ditumbuhi warna-warnimu
Menyejukan mata
Apalagi ketika dirimu dimaknakan dengan tambahan kata lain
Melenggak-lenggok badan ayumu
Membutakan mata pria yang sengaja melirikmu
Bunga kau lambang kasih sayang
Diberikanya tangkai dan mahkotamu sebagai curahan rasa cinta
Pada kekasih, istri, dan ketiga
Tapi sayangnya durimu juga dilambangkan sebagai rasa perih ketika cinta itu khianat
Bunga kau lambang dari kematian
Dirangkainya berbentuk papan pertanda duka cita
Sebagai belasungkawa untuk keluarga yang ditinggalkan
Keranjang helai demi helai warnamu memupuki tanah peristirahatan
Penghormatan untuk raga yang lelap tak bersuara
Bunga dirimulah lambang dari keabadian
Seperti diriku yang mengangankan keabadian
Namun bukan berdasar pada kematian
Cinta Dunia
Eros datang menjumpaiku dengan ikut serta menyerahkan anak panah sakti yang jadi kebanggaannya.
Dan ia pun berkata “Akan kau pergunakan untuk apakah panah saktiku ini?”
Sayangnya panah sakti yang dimilikinya hanya bisa menyihir objek hidup untuk memiliki rasa pada sang pemilik nama yang terukir mantra begitu anak panah menancab. Tidak objek yang tak nyata terdapat dalam ruh jiwa mencangkup setiap manusia punya.
Jika halnya bisa terwujud demikan maka aku hendak menjawab “Aku ingin semesta di dunia ini cinta dengan perdamaian, agar tak ada lagi namanya perang di tanah seantero planet ini.”
Walau kutahu yang terjadi sekarang justru sebaliknya.
Chocolate
Ketika kau merasa lapar
Chocolate mengenyangkanmu
Ketika kau merasa sedih
Chocolate pelampiasanmu
Ketika kau merasa antusias
Chocolate meninggikanmu
Ketika kau merasa berahi
Chocolate memicumu
Ketika kau merasa ungkap
Chocolate perantara perasaanmu
Chocolate berwarna hitam dan putih pucat
Ada juga chocolate yang lebih dikenal berwarna cokelat
Ada banyak hal terdapat dalam sebatang chocolate
Tapi tak terlalu banyak arti terdapat dalam sebuah warna cokelat
Hidup terasa manis dengan Chocolate
Cukup satu orang di dunia ini
Cukup satu orang di dunia ini,
—Yang mau tersenyum
Ketika kau kehilangan dirimu termakan kenyataan dunia yang ternyata begitu pahit membunuh segala tujuanmu.
—Yang mau menyadarkanmu
Ketika kau mengutuk dirimu karena kehilangan arah dan tak dapat menerima kata-kata apapun.
—Yang mau percaya
Ketika tak ada orang lain yang percaya dan mau mendengarkanmu.
—Yang mau memberikan perhatiannya
Ketika dia bahkan tak memperdulikan kepentingan dirinya sendiri, malah memperdulikan orang tak berguna seperti dirimu.
—Yang mau menangis
Ketika kau sendiri menahan dirimu untuk tidak menangis di tengah cobaan hidup yang mendera, di luar batas ketabahan yang dapat ditampung manusia.
—Yang mau menggenggam tanganmu
Ketika kau terjatuh dalam keterpurukan dan membutuhkan uluran tangan, membawamu ke dalam cahaya terang.
—Yang mau di sampingmu
Ketika kau merasa sendirian di sebuah ruangan sempit nan gelap tanpa pintu dan jendela.
Maka duniamu akan indah walau kau berada di dunia layaknya neraka yang akan menggelapkan hatimu, seberapapun kelam masa depan dan menyakitkan menanti yang akan menenggelamkan langkahmu dan membuatmu menyerah untuk kembali bangkit berdiri, terberdaya, tanpa dapat berbuat apa-apa berakhir sia-sia—akan selalu ada senyum matahari di balik awan hitam yang memperlihatkan langit cerah menunjukan segala pemandangan yang selama ini menutup matamu.
Kematian
Terbaring di tanah kuburan, dimakan mikroorganisme dan belatung
Sahabat
Orang yang mudah kita caci maki dan mudah menerima ungkapan sarkasme dari mulut yang sengaja secara natural.
Tapi setia menerima kekurangan kita.
Manusia
Kita diberikan tubuh dan
telanjang. Kita tidak
diberikan apa-apa, kecuali
kecerdasan. Menuju
suatu tujuan.
Maknai Arti Satu Tahun
Dalam 365 hari terlewat, terhitung menjadi tahun.
Dalam 30 hari terlewat, terhitung menjadi bulan.
Dalam 7 hari terlewat, terhitung menjadi minggu.
Dalam 1 hari terlewat, terhitung ada 24 jam.
Dalam 24 jam terlewat, terhitung ada 1.440 menit.
Dalam 1.440 menit terlewat, terhitung ada 86.400 detik.
Betapa banyak waktukah yang kita lewatkan untuk dapat memaknai waktu yang telah kita buang sia-siakan merayakan setiap jadi hari lahir.
Kelemahan
Aku adalah orang yang seperti ini!
Aku tak punya kekuatan… tapi aku selalu menginginkan segalanya
Aku tak punya kepintaran, dan yang bisa kulakukan hanyalah bermimpi
Aku tak bisa melakukan apapun, dan seluruh perjuanganku berakhir sia-sia
Aku… aku…
Aku membenci diriku sendiri!
Yang bisa kulakukan hanyalah mengatakan omong kosong belaka,
Dan menyombongkan diriku, padahal aku sendiri tak bisa melakukan apapun.
Aku tak pernah melakukan apapun,
Tapi aku hanya bisa protes terus.
Memangnya aku ini apa?!
Hebat juga selama ini aku masih bisa hidup tanpa merasa malu.
Aku kosong…
Tak ada apapun di dalam diriku
Aku tahu itu
Sudah pasti…
Aku tahu itu memang pasti
Aku tidak melakukan apapun…
Aku tak pernah melakukan apapun.
Padahal ada banyak waktu luang…
Padahal aku memiliki kebebasan…
Aku seharusnya bisa melakukan segalanya
Tapi aku tidak melakukan apapun.
Inilah hasilnya!
Hasilnya adalah diriku yang sekarang ini!
Semua kelemahanku ini…
Semua ketidakmampuanku,
Adalah hasil dari sifatku yang busuk ini.
Aku ingin mendapatkan sesuatu, padahal aku tak pernah melakukan apapun…
Tidak tahu diri juga ada batasnya!
Hasil dari kemalasan dan kehidupanku yang sia-sia dan hambur itu
Pada akhirnya membuat diriku menjadi manusia menyedihkan begitu saja.
Benar.
Aku tak punya karakter.
Padahal aku mengira kalau aku bisa hidup lebih baik, tapi tak ada yang berubah…
Orang-orang itu telah melihat diriku dengan baik.
Benarkan?
Aku tidak berniat untuk menjadi lebih kuat,
Ataupun memperbaiki segalanya.
Aku hanya membela diriku sendiri, untuk membuktikan kalau aku tidak diam saja dan tidak melakukan apaupun.
Aku ingin bilang:
“Mau bagaimana lagi”
Aku ngin mendengar perkataan:
“Tak ada pilihan lain lagi”,
Dari orang lain.
Aku hanya berpura-pura memaksakan diriku agar semuanya mungkin terjadi.
Bahkan saat diriku mencoba menyungging senyum kepada orang lain, aku hanya bertingkah untuk menutupi rasa maluku sendiri!
Pada akhinya, aku hanya sebuah sampah pengecut kacangan, yang hanya mengkhawatirkan pandangan orang lain tentang diriku
Tak ada yang berubah tentang diriku sejak dulu.
Aku sebenarnya menyadari segalanya
Sadar kalau semuanya adalah salahku…
Yah, aku hanyalah orang yang memuakan.
Aku lebih mengetahui tentang diriku daripada siapapun.
Apa yang kini sudah jadi salah
Dari tampilan luar tertera tulisan susu, setelah diminum berasa bir
Apa Yang Ada di Balik Sebuah Pandangan
Memandangi api
Tak bayangkan kah kau
Kemarahan
Memandangi air
Tak bayangkan kah kau
Ketenangan
Memandangi angin
Tak bayangkan kah kau
kehampaan
Memandangi tanah
Tak bayangkan kah kau
Ketetapan
Memandangi petir
Tak bayangkan kah kau
Kekacauan
Memandangi alam
Tak bayangkan kah kau
Keharmonisan
Memandangi mu
Tak bayangkan kah kau
Perasaan yang salalu digantung
Hal yang kecil
Karena kita menyepelekan hal yang kecil
Kita lupa hal besar berawal dari yang kecil
Maka, lihatlah! Indonesia yang kita kenal sekarang
Tak pernah maju-maju
Landasan berpikir meminggirkan hal yang kecil-kecil
Mengutamakan hal yang besar-besar
Kalau, Ya
Kalau ingin pintar
Ya pergi ke guru
Kalau lagi sakit
Ya pergi ke dokter
Kalau cinta ditolak
Ya pergi ke dukun
Kalau belajar cara menyembuhkan hati yang terluka diakibatkan putus cinta karena guna-guna dari dukun hilang
Yaaaaa… pikirkan sendiri
Pandangan mengenai politik negeri ini
Suatu kata yang terhenti sudah berada di
ujung bibirku
Dimana hendak terucap bangsat
Putus asa
Aku berdiri di jurang kesepian
Di tengah samudra tanpa angin
Hutan belantara memutus setiap jejak
Dalam kegelapan mata tak melihat
Aku mengembara di tanah kering yang tandus
Kehausan di gurun pasir afrika
Pulau tak berpenghuni terdampar—kelaparan
Badai putih jadi beban kaki untuk melangkah
Tak dapat mengejar matahari dan meraih bintang yang hanya berada di batas angan
Selamanya aku hanya naik-menuruni anak tangga yang sama
Senjata
Pedang melukai tubuh
Senapan melukai tubuh
Tombak melukai tubuh
Panah melukai tubuh
Kapak melukai tubuh
Sumpitan melukai tubuh
Palu melukai tubuh
Boomerang melukai tubuh
Pisau melukai tubuh
Batu melukai tubuh
Tongkat melukai tubuh
Knuckle melukai tubuh
Ruyung melukai tubuh
Sabit melukai tubuh
Cakar melukai tubuh
Shuriken melukai tubuh
Kata?
Siklus menjadi pecundang dan pahlawan
Hidup menertawakan, sebelum akhirnya
ditertawakan
Hidup ditertawakan, sebelum akhirnya
menertawakan
Moralitas Bangsa
Jika bodoh dianggap bodoh
Maka, disebut bodoh
Jika pintar dianggap pintar
Maka, disebut pintar
Jika bodoh disebut pintar
Maka, hancurlah moral
Pandora
Segala kesengsaraan yang ada di dunia ini tak terlepas apa yang sudah dilanggar oleh Pandora
Begitu terbuka, semua menyebar bebas ke dunia dan menyesatkan manusia masuk ke dalam kegelapan yang tak terjamah
Tapi meskipun kotak tersebut memiliki artian negatif penyebab malapetaka penderitaan manusia
Tetapi ada satu hal yang tertinggal saat semua hal negatif yang ada di dalamnya meneror seisi dunia dan menjangkiti umat manusia sebagai tempat berlabuhnya
Yaitu harapan. Cahaya kecil tersisa dalam kotak yang mencahayakan manusia dari kegelapan yang mengurungnya
Meja Kosong
Sekali lagi meja itu ditinggalkan para penikmatnya
Sunyi tak tertempati
Tak ada aktivitas obrolan menyelinginya
Apalagi secangkir kopi, susu hangat, dan makanan pengisi perut
Rice cooker tak terhubung dengan stopkontaknya
Tudung saji tak ada isinya
Hal inilah kenapa perceraian merajarela
Kehidupan
Bunga bermekaran
Daun berguguran
Air mengalir sebagai inti sari siklus kehidupan
Mengenal arti, makna, fungsi, bagian
Bunga yang cantik
Mahkotanya
Bunga yang sakit
Durinya
Bunga yang hidup
Daunnya
Tapi tanpa tangkai, bunga
Bukan apa-apa tanpa
rangka
Marak (Eris)
Perang
Konflik
Revolusi
Tawuran
Ricuh
Persaingan
Berlainan paham
Pertengkaran
Perceraian
Terpecah-belah
Ini hanya satu kemungkinan yang pasti
Eris tengah turun ke dunia
Bersenang-senang dengan hati rapuh manusia
Sengap
……………………………………………………………………………………………....
……Tak Ada Apapun…………………………………………………………….....
………………………………………S-U-A-R-A…………………….......................
…………………………..…………………………………Telah…Dibungkam……
…………………………………………………………………………………………………
Terlahir sebagai mahluk yang disebut manusia
Kita diberikan harapan, kemudian dijatuhkan
Kita diberikan harapan, kemudian dijatuhkan kembali
Kita diberikan harapan, kemudian dijatuhkan kembali
Kita diberikan harapan, kemudian dijatuhkan kembali
Kita diberikan harapan besar, kemudian dijatuhkan kembali
Kita diberikan harapan
Sebuah cerita
Seorang kekasih menangis di tepi sungai mimpi. Merelakan kekasihnya tuk pergi—mengembara ke balik dunia yang tak pernah dikenal—menuju tempat tak terjamah yang nun jauh di sana, kemudian mati. Meninggalkan nama. Tak terdengar oleh sang kekasih yang setia menunggu, tahun demi tahun, alam berganti musim, menatap di tepi sungai menanti.
Satu Kebangsaan
Tanah pertiwi ini berdiri bukan hanya dengan satu kepala, tapi kerja keras dari banyak kepala.
Dengan warna kulit yang berbeda,
satu kebangsaan mencapai puncak perjuangan proklamasi kemerdekaan.
Bhinneka tunggal ika jadi mark persatuan,
dicengkram sang garuda pasca tanah air leluhur ini beroleh pengakuan,
kumandangkan sebagai semboyan,
jati diri segenap jiwa kepada generasi ke generasi seantero pribumi nusantara.
Janganlah terpecah belah, apa yang setelah diperjuangkan para pahlawan.
Merelakan
Kunyanyikan lagu nina bobo pengantar tidur
Agar kau lelap dalam tidurmu
Menahan air mata dalam sudut mataku
Melihatmu terngiang keadaan masa lalu
Hatiku berkesiap melepas pelukan dan beranjak dari tempatku membaringkanmu
Hayatmu telah termakan oleh usiamu
Mimpilah indah dalam tidurmu
Di mana kau akan bahagia di tempat aku selalu mendoakan usai ibadahku
Merasakan Bebas
Jika ingin bebas
Pejamkan mata
Maka, mulai menarilah
Turutkan kaki dan tangan pada keserahan semesta
Membentuk aliran harmonis
Cosmos… chaos…
Hening suara menjadi pemisah antar kehidupan
Tak kuasa waktu tak kuasa ruang tak kuasa manusia
Rasakan jiwa tenggelam dalam kemegahan.
Sampai anda membuka mata dan kembali pada realita
Individu
Individu itu satu tanpa ada hubungan lain. Individu itu penyendiri.
Penyendiri
Di kamar
Sudut ruang kelas
Pinggiran tempat duduk lapangan
Perpustakaan
Menyisih dari kumpulan
Bawah jembatan
Kursi sunyi di taman
Tempat sepi dan tenang
Toko game
Mengasingkan diri di tengah publik keramaian
Di situlah tempat para penyendiri menyendirikan hidup dari dunia yang merundung
Realita Kehidupan (dalam sudut pandang jalanan)
Dalam mobil
Berpendingin AC
Siaran radio
Cuaca terik
Terjebak macet
Orchestra klakson
Padati jalan
Ihwal manusia
Hiasi jalan
Atur emosi
Ujian kesabaran
Keseharian hidup
Dunia sekarang
Realita Kehidupan (dalam sudut pandang mall)
Duduk di bangku mall, melihat orang-orang lalu lalang, dari berbagai profesi pekerjaan dan golongan kehidupan, membeli kebutuhan atau sekedar mampir mencari makanan dan hiburan, ada juga yang hanya sekedar gengsi ikut-ikutan, tren gaya hidup di jaman sekarang, tak ada yang peduli soal kemanusian apalagi orang-orang kurang beruntung mengenyam pendidikan, realitas hidup sekarang
Senjata Berbahaya
Jika ada pertanyaan:
Apa senjata yang paling berbahaya di dunia?
Jika dijawab pedang, kau
Salah
Jika dijawab senapan, kau
Salah
Jika dijawab bazooka, kau
Tetap salah
Jika dijawab rudal, kau
Masih salah
Jika dijawab bom atom, kau
Juga salah
Jika dijawab senjata biologis, kau
Masih tetap salah
Senjata yang paling berbahaya di dunia ini adalah pemikiran.
Pemikiranlah yang membuat semua senjata itu lahir dan merenggut miliaran korban manusia dan juga mahluk hidup tak bersalah lainnya.
Perang
Berbicara soal sejarah bicara soal perang
Perang perang perang
Perang perang perang
Sejarah agama tak lepas dari
Perang
Mitologi tak lepas dari
Perang
Literatur sastra tak lepas dari
Perang
Sejarah Negara tak lepas dari
Perang
Sejarah manusia tak lepas dari
Perang
Dalam diri sendiri tak lepas dari
Perang
Perang sudah mendarah daging dalam setiap nadi darah dan DNA manusia
Jadi perang akan selalu ada di setiap jaman
Dejavu∞
Satu lagi ingatan yang samar
Seolah aku pernah melaluinya
Entah kapan terjadinya
Ingatan itu meyakini membuka semesta dalam pikiran
Seperti kejadian itu pernah terjadi
Entah dalam waktu mana
Padahal aku baru melewatkannya
Malamnya dalam tidur aku coba ingat kembali
(berulang)
Esok
Lupa segala yang tejadi
Egos
Aku bertanya pada kalbuku sendiri
Apakah hal di dunia yang tak berlandasakan keegoisan
Dia tak menjawab
Hanya keterdiaman bisu tersamarkan suasana yang juga bisu
Aku bertanya pada diriku apakah alasanku untuk percaya akan agama yang kuyakini
Jika aku menjawab: karena aku ingin masuk surga
Bukankah hal itu hanyalah keegoisan semata
Aku bertanya pada diriku apakah alasanku bersikukuh dalam setiap perdebatan yang kuikuti
Jika aku menjawab: karena aku ingin dianggap benar
Bukankah hal itu hanyalah keegoisan semata
Aku bertanya pada diriku apakah alasanku berusaha keras mengejar sesuatu selama ini dari setiap pekerjaan pamrih yang kulakukan
Jika aku menjawab: karena aku ingin menjadi kaya
Bukankah hal itu hanyalah keegoisan semata
Aku bertanya pada diriku apakah alasanku berbohong dan membatasi kebebasan hak yang dimiliki demi keberlangsungan hidup orang lain
Jika aku menjawab: karena aku ingin menyelamatkan orang tersebut
Bukankah hal itu hanyalah keegoisan semata
Aku bertanya pada diriku apakah alasanku menghujat mereka yang bersalah tanpa mendengarkan apa yang jadi alasan (mereka berbuat demikian) dan hanya berpandangan pada apa yang sudah mereka perbuat
Jika aku menjawab: karena aku ingin menyatakan apa itu keadilan dan kebenaran
Bukankah hal itu hanyalah keegoisan semata
Aku bertanya pada sang penciptaku sendiri
Apakah hal di dunia ada yang tak berlandaskan keegoisan
Dia menjawab
Kenapa juga kau bertanya
Insomnia
Kuarahkan selongsong peluru tepat ke arahmu
Tepat di bagian jantungmu
Agar dirimu tak lagi mengisi hidupku
Yang sekarang dipenuhi duka olehmu
Kau saat ini terdiam di depanku
Senyum tak lagi terlihat di bibirmu
Emosi menguasai diriku
Pada akhirnya menembak kepalaku
Sayap Manusia
Kita manusia, yang sayap-sayap kita sendiri terkekang oleh apa yang kita bangun sendiri dalam kerajaan kita, hingga lupa akan terbang, selayaknya saat jatuh pada bumi, tanah membentang tanpa terbatas sejauh carawala mata kita lihat, kaki-kaki dapat melangkah ke manapun ia pijaki, tetapi sejarah waktu tidak lagi menuliskan hal itu, lebih banyak kita duduk dan menulis mengenai langit.
Hidup terasa lucu hingga berakhir luar biasa
Hidup terasa lucu jika melihat kemarin hidupku seperti lelucon setiap aku melangkah mereka menatap aneh senyum bernada menertawakan si badut tengah berjalan
Tapi sekarang hidup berakhir luar biasa dimana orang bertepuk tangan setiap jejak melangkah senyum menertawakan hidup sang pemenang mendapat akhir bahagia
Monoton
Terasa datar
Dunia
Semua berwarna sama
Hitam-putih
Klise
Waktu berjalan berulang-ulang
Siang bertemu malam bertemu siang
Menjalankan rutinitas sama
Bangun tidur naik kendaraan bekerja naik kendaraan tidur
Rekam dalam ingatan kebiasaan
Lenyap rasa keinginan
Terbunuh kepentingan
Ikan dalam akuarium
Melihat kaca di lantai 32
Menyaksikan realita
Tapi lebih bertanya pada apa yang dipantulkan kaca
Sudahkah kau puas
Raut lesu dalam raga jiwa entah ke mana
Apa yang dipikirkan sisifus?
Jenuh ‘kah?
Menjalankan hukuman mendorong batu
Naik ke atas bukit, sampai gelinding lagi ke bawah, mengangkat kembali
Apa yang berarti dari itu?
Pikiran manusia terlalu picik untuk sampai sana
Selamanya akan menjalankan hukuman ini
Sebatang Kayu
Aku sebatang kayu
Yang tetap di tanah termakan waktu lumut-lumut tumbuh di sekujur rumput-rumput tumbuh di kaki terbaring rumah para serangga saksi anak jadi orang tua
Yang terbawa arus air mengarungi jalur sungai menemui hal-hal baru tempat-tempat baru kehidupan baru lewati jeram jatuh dari air terjun timbul lagi di bawahnya sampai berakhir pada lautan dan terombang-ambing terdampar di pantai
Yang tumbang dihempas angin di antara mereka yang berdiri dari matahari terbit sampai tenggelam digantikan bulan berganti lagi matahari kadang juga dipaksa roboh demi kepentingan dimanfaatkan jadi bahan
Yang hangus terbakar api tanpa kenangan tanpa bekas oleh alam oleh manusia tersia-siakan asap mengepul lenyap dari dunia berakhir menjadi abu
Aku sebatang kayu
Sebuah kejadian menjelang malam
Seekor ayam terbang lewati pagar pinggir solokan dekat jalan samping rumah
Di tengah hujan rintik-rintik menjelang maghrib
Bertengger di pagar besi depan rumah
Warnanya hitam dengan jengger yang merah
Mereka ada dua
Tak berkokok
Ia unggas
Tapi tidak terbang
Hebatnya bisa seberangi tinggi tiga meter
Penghuni rumah melihat terganggu
Mencoba mengusir
Tak menginginkan hal tak diinginkan terjadi
Takut mengotori
Tetapi, mereka terus kembali
Akhirnya kubuatkan puisi sebagai rekaman kejadiannya
Tentang Hujan
Hujan bukanlah api yang membakar apa yang ia sentuh. Tapi ia mampu untuk membuat orang menyingkir ke bahu jalan.
Hujan bukanlah pembawa petaka yang mendatangkan bencana saat ia hadir. Tapi ia mampu menjadi pengingat pertanda jadinya.
Hujan adalah berkah yang diberikan pada dunia yang diliputi panas dan kering sebagai rangkaian siklus. Presensi menjaga segala mahluk hidup tetap eksis menyambung kelangsungan kehidupan.
Satu Burung
Apa yang terjadi jika burung memiliki satu sayap
Maka ia akan menggandeng burung lain untuk mereka dapat terbang
Membagi kekurangan satu sama lain
Memahami rasa untuk menyentuh sakit satu sama lain
Menyatukan hati untuk mereka bisa bertahan mengarungi langit
Menjadi satu dalam kesatuan
Satu burung dalam bayangan matahari
Jika tidak mereka akan jatuh
Melukai satu sama lain
Menghantam bumi
Lalu mati
Resesi
Waktu datang yang penuh peringatan
Juga pembuktian
Akar yang awal prediksi
Mulai tumbuh tanda-tanda
Angka jadi fakta
Dalam canvas statistik
Garis yang nyata dalam data pertanda
Tergelar dalam pertemuan meja
Terdiri banyak kepala
Publikasi akhir dari badan bersangkutan
Sorotan kamera pertanyaan
Semua kalang kabut
Bagi yang mengikuti maupun tidak peduli
Semua kena
Tak terkecuali
Berdasi maupun baju dinas
Dipusingkan dengan tumpukan masalah yang jadi pening lalat
Bagi pewarta ini adalah harta tanpa timbal balik
Borjuis merana
Ploretar makin derita
Judul-judul kiasan pembangkit interpretasi hiasi kancah informasi
Negara morat-marit tak karuan
Dalam segala bidang
Semua lumpuh seketika
Salah-menyalahkan
Protes disuarakan
Tulisan, suara, jagat maya
Sifat manusia mengambinghitamkan
Tumpah ke jalanan
Dunia saja takut jika terjadinya
Resesi jadi kata pembenaran dari kinerja pemerintah yang bobrok
Mimpi buruk bagi setiap kepala negara
Surat-surat kabar akan memampang dalam headline
Kehancuran ekonomi
Monolog
Monolog pada diri sendiri
Bicara tentang apa yang sudah terjadi
Semua yang terlewati
Tersimpan dalam hati
Perbuatan selama menjalani hari
Kata pemenuhan semua ini
Dengan rohani
Demi akuisisi
Sadar intropeksi perasaan sejati
Memperkirakan masa depan nanti
Monolog dengan diri sendiri
Paham akan jiwa sendiri
Realitas Dunia Sekarang 1
Perang sekarang bukan lagi dengan senjata dan kendaraan tempur, tapi dengan omongan serta tulisan saja di dunia yang bahkan tidak nyata. Masalahnya pun bukan lagi tentang konflik negara dan cekcok antar saudara di sebuah bangsa, tapi masalah sederhana seperti pertentangan antar fans fanatik yang menganggap idolanya adalah dewa.
Temu Tuhan
Aku menemukan tuhan di tengah melaksanakan ibadah
Aku menemukan tuhan di wajah para peminta berkah
Aku menemukan tuhan di senyum ibu yang tengah mengelus perut
Aku menemukan tuhan di mata bayi yang baru melihat dunia
Aku menemukan tuhan di tunas yang tumbuh dari tanah
Aku menemukan tuhan di binatang yang menjadi kawan
Aku menemukan tuhan di langit cerah yang perlahan tertutup awan hitam
Aku menemukan tuhan di bencana melahap segalanya
Aku menemukan tuhan di tempat berbaring terlihat banyak putih
Aku menemukan tuhan
Pendidikan Bapak-ku
Sekolahku pasar
Guruku realita
Bukuku waktu
Penaku kerja keras
Penghapusku kelurga
Kawanku derita
Impianku bahagia
Borjuis ke Proletar
Mengapit gelas sampanye di antara jari tangan, berdiri di balik ruang kaca VVIP, menyaksikan realita.
Letih Bermimpi Dalam Delusi
Terbunuh realita
Imajinasi berkata
Waktu bukan lagi sekedar kalender
Tujuan tak lagi idealistis
Mimpi terkikis
Hati miris
Hidup harus dilanjutkan esok
Terbunuh kepentingan
Rasa berkata
Aku telah mati
Tanpa kreasi
Perihal Rasa
Ada lubang di dadaku yang belum terisi oleh cinta
Burung-burung hinggap membuat sarang di sana
Berbincang tentang rasa
Tenggelam dalam canda
Sampai ditembak sang pemburu
Jatuh terkapar tak berdaya
Diterkam anjing
Waktu
Kau tahu apa yang tak berhenti
Yang mengubah laki-laki menjadi suami
Yang mengubah wanita menjadi ibu
Yang mengubah adik menjadi kakak
Yang mengubah orang tua menjadi kakek-nenek
Yang mengubah anak menjadi dewasa
Yang mengubah hidup menjadi mati
Yang mengubah awal menjadi akhir
Kau tahu apa yang tak berhenti
Ada dalam dirimu
Hari Kepada Senja
Sekali lagi hari hujan menutup senja
Terdiam di balik jendela, memikirkan sesuatu
"Senja akan datang 'kah esok?
Atau hujan kembali akan menidurinya."
Matahari tak dapat berkutik
Tanaman juga seakan menutup mata
Tinggal aku hanya diam berharap
"Senja, kembali pulang."
Menuju Mimpi
Untukmu atlas terima kasih telah menopang langit
Jadi aku berangan-angan menaruh mimpi dekat bintang
Biar kulihat sepanjang malam
Sebelum aku tidur
Untuk berjuang keesokan harinya melawan hari
Hal-hal yang menggelapkanku
Sampai mewujudkannya
Taruhan Dewa
Para dewa hadir dalam pertemuan
Satu meja mereka dihadapkan
Pion-pion disiapkan
Strategi diperhitungkan
Muslihat disisipkan
Menentukan nasib manusia
Masa depan mereka
Dunia memandang tinggi para dewa
Apel emas telah jatuh
Tinggal apa yang akan terjadi
Terima Kasih
Sudahkah kau berterima kasih hari ini
Pada burung berkicau menyapa pagi
Pada matahari yang merekah menutup malam menyambut siang menyelinap lalui jendela bangunkan kita dari mimpi
Jalankan hari
Pada tukang dagang yang menawarkan kita pilihan sarapan mengawali rutinitas hari
Pada supir umum yang mengantarkan kita ke tempat kerja
Pada tukang sayur yang menjajakan ke kita asupan gizi untuk nantinya kita masak
Pada tukang buah yang menjualkan pada kita buah-buah segar yang belum tentu kita bisa tanam
Pada tukang sampah yang membersihkan sampah yang kita buang tanpa kita pedulikan lagi
Pada tukang sapu yang membersihkan setiap hari jalan yang kita lewati lalu kotori
Pada tukang koran yang memberikan pada kita bacaan informasi terkini yang tengah terjadi walau terdiskriminasi oleh teknologi
Pada penjaga perlintasan kereta yang membantu kita saat kereta hendak melintas dan mengatur para pengendara tak sabaran saat palang pintu perlintasan naik
Pada polisi cepek yang membantu menertibkan jalan agar tidak padat saat kita mengendarai kendaraan di persimpangan tidak terjadi cekcok antara pengendara satu sama lain
Pada tukang parkir yang setia menjaga kendaraan kita saat ditinggalkan pergi mencari kesibukan mencari hiburan
Pada mereka yang telah berjasa dikesehariaan yang kita tak pernah pikirkan hingga kita tidur lelap
Selesai hari
Sudahkah kau berterima kasih hari ini
Pada sang maha kuasa yang telah memberikan nikmat hidup waktu ini
Pilihan Manusia
Aku melihat dalam dua segi pandangan
Yang terlihat dan tidak terlihat
Pada setiap kejadian
Pada setiap keadaan
Menilik kebenaran
Menguji pemahaman
Hal ambiguitas
Yang hanya dicapai tuhan
Pengetahuan mencapai segalanya
Tapi miliki sedikitnya
Kespesialan manusia
Cuman kadang salah guna
Pilihan manusia
Di Balik Hal Baik Kita Rasakan
Di balik tawa kita
Ada orang yang diam
Di balik senyum kita
Ada orang yang merengut
Di balik kebahagian kita
Ada orang yang derita
Di balik santai kita
Ada orang yang berjuang
Di balik penghaburan kita
Ada orang yang berhemat
Di balik kebersamaan kita
Ada orang yang sendiri
Di balik hal baik yang kita rasakan
Ingatlah, ada orang yang tak beruntung merasakan hal itu
Budaya Ketawa
Dunia ini terlalu indah untuk ditertawakan
Dunia ini terlalu kejam untuk ditertawakan
Dunia ini terlalu luas untuk ditertawakan
Dunia ini terlalu sempurna untuk ditertawakan
Ssst... dunia hambur jika hanya untuk tertawa
Kosong
Aku melihat lubang di dada setiap orang
Angin yang jalan berhembus melewatinya
Menciptakan suara tak terdengar telinga
Walau wajah mereka biasa dan menyungging senyuman
Tapi bunyinya mengatakan tangisan
Jadi musik kesuraman dunia
Bersama lubangku sendiri
Terbakar matahari
Yin-Yang dan Eksistensi
Salah benar
Terang gelap
Langit bumi
Air api
Malam siang
Laki-laki perempuan
Iya tidak
Mati hidup
Kejahatan kebenaran
Surga neraka
Iblis malaikat
Manusia di tengah
Tuhan penciptanya
Menilik yang tidak terlihat
Para pencari bahagia
Kau benamkan dirimu pada yang justru tidak membahagiakanmu
Merutuk pada sesuatu yang tidak mendasar
Menjauhkan diri pada rasa
Lihatlah para seniman mereka berkutat pada kuas dan tangan mereka
Lihatlah para filsuf mereka berkutat pada pikiran mereka
Lihatlah para pengarang berkutat dengan tulisan mereka
Mereka manusia biasa yang seperti manusia pada umumnya
Seperti kita juga, kalian juga, aku juga
Tapi mereka paham pada apa yang tidak terlihat
Mereka menikmati hidup dengan cara sederhana mengagumi keagungan tuhan
Sadari apa yang palsu
Ketika kau melihat cermin apa yang kau lihat
Diri sendiri
Ketika kau melihat diri sendiri apa yang kau lihat
Mata saya
Ketika kau melihat mata sendiri apa yang kau lihat
Pikiran saya
Ketika kau melihat pikiran sendiri apa yang kau lihat
Perbuatan saya
Ketika kau melihat perbuatan sendiri apa yang kau lihat
Sikap saya
Ketika kau melihat sikap sendiri apa yang kau lihat
Perasaan saya
Ketika kau melihat perasaan sendiri apa yang kau lihat
Saya melihat, tuhan
Anda boleh menangis
Tembok tak terlihat
Di waktu ini berdiri tembok tak terlihat sebesar di negeri china
Menghampar sampai penjuru dunia dengan tumbuh cabang
Memisah kita pada yang terdekat tapi tidak yang paling dekat
Akan ada saat di mana runtuh
Semua ada ditangan kita yang memegang palunya
Bogor, Mei 2020
Semua hendak berkarya
Aku perangkai kata yang terbatas oleh kata
Miliki banyak daya imajinasi dan hal yang ingin ditunjukan
Menuangkan hasil pemikiran melihat dunia dari dua mata,
mengenal semua dari sisa panca indra
Ada juga yang tak tersentuh mereka
Apa yang mereka sebut yang ada di dada
Aku seorang inventor yang haus mencipta sesuatu
Tapi aku manusia yang memiliki kelemahan
Semua tidak dapat teralisasikan dari pikiran
Kadang ekspektasi berjarak dengan realita
Sekali lagi aku terbatas oleh kata
Realita memakan hidup
Oleh realita
senyumku telah hilang
Jadi raut yang menelan kehidupan
Yang dekat dengan kata segan menjalankan
Ingin rasanya kembali ke masa kecil
Tanpa memikirkan apapun
Jalani kehidupan tanpa beban
Bermain dengan anak seangkatan
Tanpa urusan yang jadi halangan berkumpul bersama
Bebas melakukan apapun
Burung kecil yang baru belajar terbang
Paling dimarahi orang tua
Setelah dewasa malah hilang tujuan
Cita-cita jauh di mata
Burung yang dewasa kehilangan arah
Hanya mengikuti angin
Terbang terbatas
Terjebak modernisasi manusia
Muak
Tanpa kepastian
Tanpa kejelasan
Muak! Jadi kata pembenaran
Masalah kehidupan
Masalah kepentingan
Rupamu terlihat dikeseharian orang yang kerja dan duduk termenung tanpa ada
Kejelasan
Kepastian
Sampai melakukan pembenaran yang dianggap benar
Hilang kepercayaan salah dan benar
Pelampiasan
Wujud dari keinginan
Kau sisi gelap yang mulai terbangun
Kau menguasaiku lenyap kesadaran
Mengagungkan egoisme
Berpegang pada emosi
Pikiran dunia tidak ada memihak
Muak, kau lahir dari rasa putus asa yang termakan kecewa
Utopis
Wahai pemimpi
Sadarkah
Kau gila dalam fantasimu
Dan
Terluka dalam realitamu
Yang benar hanya ucapanmu, menurut pendapatmu
Di belakang tindakan dikekang keomongkosongan
Perjuangan sendiri
Sebuah padang pasir membentang di depanku
Berbekal seadanya dan ketetapan yang masih abu-abu
Menjelajahi petualangan
Aku berjuang melawan badai sendiri
Tubuh digerogot luka menghadap matahari
Di setiap waktunya muncul luka baru
Bernafas pun kesusahan
Hingga jalan pun susah
Jiwaku babak-belur
Tak ada kawan pendengar hati
Atau rekan petualang bersama
Semua hanya melihat yang jadi pintu mereka, sebuah wujud keinginan di baliknya
Catatan yang hanya jadi tuangan hati
Aku berjalan di padang gurun
lewati badai lewati malam lewati siang, badai
badan penuh luka jiwa melahap putus asa dunia
kehilangan jejak tempat berdiri atau sampai menemukan pintu
hanya sendiri
Cinta itu Buta …
Cinta itu buta. Buta yang tidak buta. Cinta yang bukan cinta. Itu tiada kita. Tapi kenal mana yang berkualitas.
Bahagia
Bahagia itu sederhana.
Kau menikmati hidup. Hidup mendapatimu. Tuhan memberikannya.
Ramalan negeri ini
Siapakah yang akan berdiri di tahta negeri ini
Pemerintahkah?
Masyarakatkah?
Pemuka agamakah?
Atau pihak asing?
Siapa yang berkata siapa
Siapa yang berteriak siapa
Siapa yang berpihak siapa
Siapa yang mengkhianati siapa
Siapa yang menjatuhkan siapa
Dan siapa yang membunuh siapa
Ikatan
Tahu kah kau ada tali tak terlihat sejak kita lahir
Mengikat kita pada masa depan yang belum kita lihat
Yang nantinya mungkin akan menentukan kita bahagia atau derita
Dalam realita dunia
Semakin besar dan cerdasnya manusia perlahan kita akan mengerti apakah itu
Atau tidak sama sekali yang pada akhirnya hanya protes mulu
Sebab kita akan hidup jatuh dan berkembang bersama itu
Sepanjang hidup kita, sampai kita mati
Kita tak pernah tahu karena kita tak tahu apa-apa
Kita tak pernah tahu karena kita tak tahu apa-apa
Mengenai dunia yang bahkan tak pernah kita jelajahi secara penuh
Mengenai manusia yang memiliki jiwa tapi tak pernah memahami jiwa yang lain
Mengenai hidup yang kita rasakan melalui indra padahal ada batas dari itu
Mengenai semesta yang luas hanya semua dibangun oleh teori dan prediksi
Mengenai tuhan sang pemilik segalanya, sang mengetahui segalanya
Kita tak pernah tahu karena kita tak tahu apa-apa
Mahluk picik
Tapi kita sok berpikir tahu
Selama hidup, melihat dunia
Selama hidupmu kau hidup dalam kandang
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidupmu kau hidup dalam gelap
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidupmu kau hidup dalam sunyi
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidupmu kau hidup dalam diam
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidupmu kau hidup dalam topeng
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidupmu kau hidup dalam sakit
Maka kau akan melihat dunia seperti apa?
Selama hidup yang kau jalani sampai waktu ini
Kau melihat dunia seperti apa?
Penunjuk jalan
Ada sosok sederhana dalam diriku yang memberitahu
jalan masih jauh menuju capai sana
Ada sosok sederhana dalam diriku yang memberitahu
usaha tidak akan mengkhianati kerja
Ada sosok sederhana dalam diriku memberitahu
ini bukan saatnya
Ada sosok sederhana dalam diriku memberitahu
kamu harus bangkit tuk kesekian kalinya
Ada sosok sederhana dalam diriku beritahu
kamu sudah mencapainya
Apa benda lebih penting?
Apakah arti kemanusian
Jika benda lebih penting
Apakah arti nurani
Jika benda lebih penting
Apakah arti cinta
Jika benda lebih penting
Apakah arti serasa
Jika benda lebih penting
Apakah arti setara
Jika benda lebih penting
Apakah arti sejati
Jika benda lebih penting
Apakah arti ketuhanan
Jika benda lebih penting
Sosok depan toko
Dalam keramaian aku merasa sakit
Semua kawan, saudara, keluarga dan yang kukenal tengah di sini
Seharusnya kulemparkan senyum dan wajah bahagia seperti aku biasa menyambut gembira kebersamaan ini
Tapi entah kenapa kali ini terasa berat
Yang ada malah kesan terpaksa
Ini bukan tanpa sebab
Pikiran menjelajah pada apa yang jadi renungan pikiran dan hati
Tanpa jawaban
Terbayang sebuah realita kehidupan yang terjadi pada seorang sosok
Umur tua yang sudah renta yang masih berjuang dalam dunia
Biasa duduk depan toko
Menunggu pengujung, yang jarang datang
Awalnya masih melihat biasa
Tapi kisahnya membuat mata dan hati tidak lagi bisa berpaling, setiap kali lewat
Terdengar cerita sendirian menjalani sisa hidup
Ditinggal yang terkasih yang lebih dulu berpulang, suami dan anak
Tempat tinggal yang dulu milik sendiri, kini ngontrak
Ini juga beralih menjadi toko
Kawannya sekarang mungkin hanya sesama pedagang di sebelah
Dan pedagang itu juga memiliki keluarga
Saat malam terjadi, kembali harus bergulat dengan sepi
Sekali lagi keramaian ini membuatku sakit
Berpikir betapa berharganya, tetapi di saat bersamaan diingatkan dengan pikiran kesepian yang tengah terjadi di toko kecil itu.
Nasib Petani
Petani tersesat
Hilang kenikmatan hidup
Demi keluarga di rumah
Merundung gaia
Menanam asa
Memanen perih
Mengemban tugas mulia
Menjaga keberlangsungan
Imbal yang didapat tidak seberapa
Kehidupan tidak layak
Kepentingan tidak terpenuhi
Kebahagian tidak terjamin
Panas terik
Seka keringat
Encok tubuh
Segala apa yang jadi nasibmu kini
Petani
Profesi sepertimu tinggal menunggu waktu
Pusaran
Dalam pusaran
Mimpi kehidupan tubuh jiwa sosial budaya seni esensei eksistentensi ruang waktu semesta
Diriku
Menuju titik
Membunuh Identitas
Seekor anak burung hidup di dalam sangkar
Masih memegang pemikiran tentang langit luas
Sebuah filosofis kehidupan sebagai mahluk langit
Apa yang sudah diwariskan estafet dalam DNA
Hingga beranjak dewasa ia tetap di sangkar
Perlahan ia mulai melupakan
Lama-lama
Bagi dia dalam sangkar adalah kehidupan
Dia mulai nyaman dengan hal itu
Konsep tentang langit kini sebuah bayangan semu memudar dalam dirinya
Sudah menjadi suatu ideal
Mahluk hidup yang dicabut kebebasan dan jati hidupnya
Membunuh dirinya sendiri dengan cara amat sangat perlahan
Dibentuk oleh satu pihak
Perjalanan Tulisan
Huruf membentuk kata
Kata membentuk frasa
Frasa membentuk klausa
Klausa membentuk kalimat
Kalimat membentuk paragraf
Paragraf membentuk teks
Teks membentuk halaman
Halaman membentuk bab
Bab membentuk buku
Buku sebuah cerita
Cerita dibaca kita
Suara di Waktu ini
Setiap hari aku selalu di rumah
Setahun lebih ini semua diharuskan di rumah
Tapi walaupun sebelum himbauan ini aku terbiasa hanya di rumah
Membuatku terbiasa mendengar apa saja yang terdengar depan rumah
Suara burung berkicau, kendaraan di jalan raya, dan bisikan tetangga
Hanya, sejak terjadinya kegemparan ini
Sering sekali yang kudengar suara-suara sebuah realita kehidupan yang membuat mengetuk rasa manusia
Mereka yang berjuang di masa sulit ini yang membuatku tak kuasa termenung sanubari tapi tidak pernah berbuat apa-apa
Padahal yang mereka harapkan tidak seberapa, seperti apa yang mereka bisa berikan tidak seberapa
Jika kau dengarkan setiap apa yang mereka katakan dan bunyikan berulang-ulang apa yang mereka bawa, mereka panggul, atau mereka dorong dan menunggu kamu memanggil mereka
Sekecil yang ada dalam dirimu
Suara yang menggetarkan hati jika kau pahami kesusahan mereka
Sebuah realita kehidupan berbeda dengan apa yang kamu jalani
Mereka nyata di sana
Sepanjang hari, selama masa sulit ini, suara-suara tersebut kuhitung makin sering lewat depan rumah
Suara yang makin kujarang dengarkan sebelumnya
Menunggu ada yang memanggil mereka melupakan sejenak beban yang ada mengurangi sedikit derita dunia
BOGOR, Juni 2021
Guru kita, alam
Tidak ada guru yang lebih baik mengajarkan kita tentang kehidupan selain alamSaat ini guru kita tersebut sedang sakitIa butuh tangan kitaIa telah korbankan segalaMembuat kita makin dewasaMemberi kita semua yang kita butuhkanApa yang terbaik untuk kitaRaganya perlahan terkikis hancurDi situ ada juga hasil kitaIa mengalami spaning iniTerpujilah guru kitaDedikasinya luar biasaAkankah kita sebagai murid terus membangkangTerus membuatnya terbebani atas perbuatan kitaMenjadi murid yang tidak tahu diri atas jasa gurunyaAkan jadi seperti apa kita dewasa nanti dikenal anak-anak kitaSekali lagi saudaraku saat ini guru kita tengah sakitIa membutuhkan kita
Penyesalan
Tak ada sebait katapun yang terlintas
Saat dihadapan canggung
Tak ada satu kali pun obrolan yang terciptaSaat cuitan burung taman menegur keheningan tak berkawan
Padahal ini adalah peluang, mungkin sekali seumur hidup Bangku panjang jadi saksi dari jarak yang hanya hitungan jengkal Mereka yang tadi datang bersama, memberi situasi ini membawa diri membeli keperluan Meninggalkan dua orang duduk tinggal berdua dilantuni gemerisik daun dicumbu angin
Tak ada gerakan apapun yang jadi penentu sikapSaat waktu seolah berhenti padahal dunia tetap berjalan momen ini tak berlangsung lama
Tak ada keberanian sedikitpun yang ingin disampaikan Saat aku bisa duduk berdua hingga kehilangan kesempatan begitu mereka tiba hinggap sudah penyesalan
Rumah Sakit
Hari ini pergi ke rumah sakit
Menjenguk yang dicinta
Yang sejak kecil selalu kulihat punggungnya
Semenjak duduk di kursi mobil
Perasaan resah menggangu hati dan pikiran selama perjalanan
Membuat mata menatap luar jendela tanpa rasa pikiran entah ke mana sepanjang jalan yang sore
Begitu mobil tiba
Hati mumudarkan hal yang sebelumnya dirasa
Begitu bertemu sosoknya tepat di ruangan ia dirawat
Tubuhnya terbaring lemah di tempat tidur
Tapi mampu untuk menyambut kedatangan
Pertemuan setelah beberapa hari yang terasa berat
Hanya beberapa kata yang mampu terucap
Lebih banyak yang datang bersama mengutarakan rasa yang terpendam ingin disampaikan
Selama satu jam kurang tidak banyak kata yang terucap tapi mata dan sanubari tidak pernah memudarkan pancaran kepedulian
Begitu keluar kamar sepanjang lorong rumah sakit melihat ke jendela pintu, setiap kamar, terlihat mereka yang sama seperti bapakku yang sakit terbaring di tempat tidur dengan berbagai keadaan
Tempat ini telah menjadi harapan untuk mereka yang datang untuk dirawat dan diriku yang menjenguk demi kesembuhan seseorang
9 Agustus, 2021
Satu keindahan di langit
Matahari bersembunyi di balik awan
Masih terlihat pancaran sinarnya
Memberi warna pada awan tempat ia bersembunyi
Untuk memancarkan keindahannya
Dilihat satu manusia yang diam mengagumi di balik jendela mobil
Keluarga
Seorang ayah memanggul gunung di punggungnya
Seorang ibu membendung laut di hatinya
Seorang anak menggapai langit di kepalanya
Seorang ayah menanam usaha di tubuhnya
Seorang ibu memanen rasa di jiwanya
Seorang anak mencari cara di pikirannya
Seorang ayah adalah fisika sebagai hukum alam dunia
Seorang ibu adalah kimia sebagai jembatan pembentukan dunia
Seorang anak adalah biologi sebagai penentu generasi kehidupan dunia
Description: Puisi adalah rangkaian bait kata yang sudah jadi sarana literasi berekspresi. Lewat puisi manusia bisa mengekspresikan diri melalui apa yang dirasanya melalui panca indra. Mengatakan atau memberitahukan. Puisi adalah setapak menuju semesta yang lahir lewat imajinasi seseorang melalui pandangan realitasnya yang dituangkan melalui kata perkata. Lewat puisi-puisi manusia menuangkan kreativitas.
|
Title: Rainbow Cookies
Category: Prompt
Text:
Rainbow Cookies - Day 1. Penantian
Rainbow Cookies - Day 1. Penantian
TAKDIR SEMESTA
Suatu saat akan kuceritakan kisah tentang bunga matahari dan malam.
Nanti. Tidak saat ini.
Tunggu sampai malam berlalu dan bunga matahari tak lagi berada di barat.
***
12:00
Bunga matahari menghadap timur.
Begitu mempesona.
Namun, ia tak nampak bahagia.
00:00
Kini bunga matahari telah sampai di barat, bersama malam.
Ia bahagia, namun sedikit letih.
07:00
Belum puas melepas rindu, semesta memaksa ia untuk berbalik arah.
Bahagianya lenyap, wajahnya kembali merona.
12:00
Bunga matahari berlari ke barat, menuju malam
Melawan hukum alam. Menentang semesta.
Tanpa menyadari bahwa itu akan membuatnya layu, kemudian tanggal.
Jatuh mengikuti gravitasi bumi.
Beraninya melawan semesta!
00:00
Malam berbisik bahwa ia bahagia.
Semakin lupa lah bunga matahari pada kesakitannya.
Biar saja aku sekarat, asal hatiku tak berkarat, gumamnya.
Cahaya bulan sedikit memberinya kekuatan.
Sedikit saja.
Jangan berharap meminta lebih, pada tentara yang begitu setia terhadap semesta..
Sedang kau mengkhianati tuannya.
07:00
Matahari jauh lebih angkuh dari bulan.
Ego nya tinggi.
Harga dirinya terhina, melihat perlawanan bunga matahari.
Sedikitpun tak rela ia memberi sinarnya untuk sang bunga.
Pulanglah sejenak, malam membujuk.
Bunga matahari menolak.
08:00
Kumohon pulanglah, nanti akan kujemput jika sudah waktunya.
Kali ini malam bersikeras.
12:00
Sungguh, ia akan mati.
00:00
“.. dikehidupan selanjutnya aku akan berdoa agar terlahir sebagai seroja. Hanya seroja yang ditakdirkan bersama malam…”
Suatu saat tidak akan kuceritakan lagi kisah tentang bunga matahari dan malam.
Tidak saat ini. Tidak juga nanti.
1.1 Mati Hati Merpati
Rainbow Cookies - Day 1
MATI HATI MERPATI
1/
Kuandaikan kita bagai merpati
Terbang bebas, lepas, tanpa henti
2/
Kuandaikan kita bagai merpati
Terbang bebas, lepas, lalu mati
Kau merpati, namun tak punya hati
Kuandaikan aku bagai mati
Ah, bahagianya menjadi merpati
Description: "Clap your hands together," clap, clap, clap "Then say it! Prompt, prompt, prompt ..."
|
Title: Remaja Cerdikiawan Bangsa
Category: Essai
Text:
Remaja Cerdikiawan bangsa
Remaja kerap menjadi sorotan masyarakat dalam perihal pembangunan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari betapa pemerintah menekankan pendidikan yang berkualitas bagi seluruh siswa meliputi jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Akhir (SMA). Program tersebut bukanlah tanpa tujuan semata, melainkan karena kepercayaan bahwa 10 tahun hingga 20 tahun mendatang kehidupan bangsa ini berada di
bawah pimpinan para generasi muda.
Mengenai hal inilah, orang tua turut memiliki andil dalam mewujudkan visi tersebut. Melalui
arahan dan dukungan yang baik dari orang tua, para remaja dapat menjadi insan-insan yang gemilang. Orang tua selalu menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya, seperti nilai, sekolah, dan universitas terbaik untuk anaknya, namun seringkali pilihan yang dikehendaki sebagai yang terbaik bagi orang tua belum tentu merupakan pilihan yang diidamkan oleh sang remaja. Hal ini tentu menjadi beban bagi para remaja yang memiliki pilihannya tersendiri namun tidak dapat
mengekspresikannya secara leluasa.
Merupakan sebuah dilema bagi para remaja dalam menentukan pilihan. Di satu sisi mereka harus mempertimbangkan pilihan yang dikehendaki oleh orang tua yang sudah sepatutnya mereka patuhi. Namun di sisi lain pilihan sang anak memberontak meminta untuk disuarakan.
Hal ini lazim terjadi kepada para remaja saat ini. Sebagai remaja yang masih mencari jati diri, mereka masih rentan terhadap berbagai macam pengaruh sosial. Di era teknologi internet ini, informasi dapat masuk dengan mudah tanpa batasan apapun. Sehingga hal-hal negatif dapat
diserap tanpa adanya hambatan. Selain itu, lingkungan sosial yang liar memberikan pengaruh buruk terhadap pembentukan karakter remaja. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa sebagian besar orang tua memiliki kekhawatiran terhadap setiap tindakan dan keputusan yang dibuat oleh anaknya. Mereka berpendapat bahwa anak remaja masihlah anak kecil yang labil
dan masih belum bijak dalam membuat keputusan.
Segala bentuk batasan yang ditentukan oleh orang tua dapat mengekang remaja dalam
berkreativitas. Adanya aturan-aturan kaku tersebut membuat remaja harus mengikuti aturan-aturan yang bisa dibilang tidak sesuai dengan zaman sekarang. Seperti contoh ketika orang tua
memiliki pandangan bahwa anak pintar adalah anak yang unggul dalam bidang akademik, terutama matematika, dan harus memasuki jurusan yang berkaitan dengan perhitungan seperti akuntansi, sehingga orang tua menetapkan target dan regulasi terhadap anaknya demi mencapai
ekspektasinya. Kenyataannya adalah unggul dalam bidang akademik tidak dapat dijadikan standarisasi dalam menentukan kepintaran seseorang. Sederhananya, terdapat sembilan jenis kepintaran
berdasarkan Teori Kecerdasan Ganda oleh Psikologis Amerika, Howard Gardner, yaitu kecerdasan naturalis, kecerdasan musikal, kecerdasan logis matematika, kecerdasan
eksistensial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan kinestetik jasmani, kecerdasan linguistik, kecerdasan intra-personal, dan kecerdasan spasial. Dari tipe-tipe kecerdasan tersebut, sangat memungkinkan apabila sang anak merupakan seseorang yang memiliki kecerdasan kinestetik
jasmani, yaitu dia pandai dalam aktivitas yang melibatkan gerak tubuh, seperti olahraga, menari, dan lain-lain.
Di zaman modern ini, semua hal dalam bidang kehidupan berkembang. Pendidikan berkembang, ekonomi berkembang, sosial berkembang, semuanya turut berkembang menuju kemajuan dan mengalami diversifikasi. Untuk itu, paradigma orang tua terhadap pendidikan yang terlalu
berpusat terhadap akademik, terutama matematika, sepatutnya dihilangkan berikut dengan jurusan-jurusan mainstream yang dipercaya memiliki lapangan pekerjaan yang berkualitas. Saya,
penulis yang merupakan bagian dari generasi remaja percaya bahwa para remaja saat ini merupakan generasi yang akan memimpin bangsa dengan caranya masing-masing. Setiap remaja akan memiliki andil dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Menjadi pemimpin
bangsa mungkin tidak harus memiliki kekuasaan dalam pemerintahan, tapi
berkontribusi sesuai dengan bidang masing-masing, kemudian akan terbentuk fondasi-fondasi yang saling bekerjasama dalam membangun bangsa yang maju. Namun, dalam menjadi manusia-manusia yang berguna dalam masyarakat dibutuhkan dukungan moral dan
dorongan semangat dari para generasi terdahulu, yaitu orang tua. Maka dari itu, marilah para orang tua untuk membuka pikiran dan membantu para remaja dalam mencapai pilihan hidupnya kelak.
Description: Remaja, sebuah masa dalam hidup manusia yang dapat dikatakan sebagai masa terindah, sebuah transisi dari masa anak menuju dewasa. Dirimu berprogres dalam segala hal, tanggung jawab yang dipikul belum lah berat, karena dirimu masih mencari jati diri sejati.
Mungkin itulah pola pikir orang awam, namun, sedikit yang mereka ketahui bahwa tanggung jawab remaja lebih besar dari itu, ini menyangkut masa depan bangsa.
|
Title: Rain From The Tears
Category: Novel
Text:
Bab 1
Hentak musik terdengar amat keras dari sebuah diskotik di tengah keramaian kota. Silih berganti orang lalu lalang dalam balutan pakaian mewah hingga minim, tak peduli hujan tengah turun deras membawa hawa dingin menusuk kulit.
Di sudut pintu masuk dengan hiasan lampu-lampu terang menyilaukan mata, seorang lelaki memuntahkan isi perutnya ke lantai dengan bau alkohol menyengat yang membuat orang yang berlalu melirik jijik. Lelaki sempoyongan itu seolah tak peduli dan membentak dengan keras, melihat tatapan tak suka yang tertuju ke arahnya.
Seorang gadis dalam balutan seragam cleaning service muncul menenteng ember dan alat pel di tangannya. Ia pergi ke tempat lelaki paruh baya itu berdiri dan mulai membersihkan tumpahan muntahan berbau asam yang membuat orang-orang jijik bahkan hanya untuk sekeder melihat sesaat.
Tangan kurusnya menyiramkan air perlahan, lelaki mabuk di sisinya menyipitkan mata memandangnya kesal. Air yang digunakan mengguyur muntahannya telah mengenai ujung sepatunya. Dengan jengkel di tendangnya ember wanita berambut ekor kuda itu.
"Kamu bisa bekerja atau tidak. Apa kamu sengaja mau mengotori pakaian saya?" teriaknya lantang, namun wanita itu seolah tak mendengar dan tenggelam dalam kesibukan.
"Hai, kamu punya telinga tidak?" bentaknya makin keras, namun sekali lagi wanita berkulit kuning langsat tersebut hanya diam dan abai. Ia tenggelam dalam pekerjaannya yang nampak menjijikkan.
Merasa kesal tak dipedulikan, tangan kasar lelaki tua bertubuh gemuk di hadapannya mendorong ia keras, hingga tubuhnya tersungkur jatuh tepat ke tengah derai hujan.
"Kamu itu tuli, hah?" sang pria menatapnya penuh rasa benci dengan tubuh terhuyung. Ia berpegang pada tembok untuk menyeimbangkan diri sambil terus berteriak lantang bersama makian kasar yang menyita perhatian beberapa pengunjung. Namun sekali lagi, semua orang acuh saja pada apa yang terjadi.
Wanita itu diam seolah tak mendengar. Tubuh dan rambutnya basah tergerus derai hujan, namun ia tak peduli. Matanya yang indah, bulat dan besar dengan air hujan menggantung di inci bulu matanya terhenti ke satu tempat. Pada sosok lelaki berambut coklat yang tengah terhuyung dengan kemeja yang kotor oleh noda tumpahan alkohol.
Pria tinggi itu melangkah beberapa kali dengan pelan dan terhuyung-huyung tampak bingung. Ia mencoba tetap menegakkan tubuh dengan berpegang pada sebagian sisi tembok diskotik. Matanya tampak memejam seolah menahan kantuk dan tak lama ia terjatuh ke atas lantai tanpa ada seorang yang peduli. Beberapa orang hanya sekedar melihat kemudian berlalu dengan senyum seolah hal tersebut telah biasa terjadi.
Tak peduli dengan makian pria di hadapannya wanita tersebut berdiri lalu berlari ke arah orang yang ia pandangi dengan begitu cermat, mencoba memberinya bantuan yang ia perlukan.
Tiba di hadapan lelaki asing itu ia terdiam, memandangnya sesaat kemudian dengan tangannya yang masih basah ia menyapu rambut yang menjuntai di antara alis dan kelopak matanya. Ia melirik sekeliling, mencoba menemukan rekan atau siapa pun dari pria tersebut, namun tak ada yang muncul memberi bantuan untuknya.
Deras hujan berganti gerimis. Gadis berusia 20 tahunan itu sedang berbincang dengan lelaki di dalam sebuah kantor kecil di sudut diskotik mewah tempatnya bekerja. Tatapannya selalu menunduk sementara mendengarkan lelaki dengan nama Hari di sudut jasnya terus berbicara sambil mengamatinya dengan begitu berlebihan seolah menggerayangi kecantikannya.
"Aku dengar kamu mendapat masalah dengan salah seorang pelanggan di sini. Apa kamu tidak apa-apa Dema?" kepala sang gadis menggeleng menatap jemarinya yang bertaut di depan tubuhnya.
Pria 40 tahunan di hadapannya nampak tersenyum puas. Ia memajukan tubuh. Ruas jemarinya mencoba meraba helai rambut Dema yang terurai berantakan di antara wajah bundarnya, namun lekas Dema bergidik menjauhkan wajahnya enggan untuk disentuh.
"Oh, maafkan aku. Kau pasti sudah ingin pulang sekarang?" Dema mengangguk. Hari menatap jam di tangannya, "Baik, kau boleh pergi. Hati-hati ya?" sekali lagi hanya anggukan yang diperlihatkan sang gadis.
Ia berdiri lekas dari duduknya lalu berlari menuju pintu mencoba meninggalkan ruangan di mana ia berada. Tubuhnya berlalu melewai kerumunan manusia yang tengah tenggelam dalam hentak musik keras dan bau alkhol menyengat.
Ia berjalan sedikit tertunduk sambil terus berusaha menjauhkan tubuh dari tiap orang yang ia temui di hadapannya. Matanya hanya terangkat sesekali namun singkat untuk melihat celah jalan yang bisa ia lewati dari sana dengan cemas sambil mencengkrami tiap ruas jemari pucatnya berusaha mencari celah jalan keluar.
Di depan pintu masuk diskotik langkahnya berhenti untuk menarik napas dalam telah berhasil lepas dari keramaian. Tatapannya berpaling ke tempat pria asing berambut coklat gelap dengan kelopak dalam yang tadi tersungkur jatuh di atas lantai.
Lelaki itu masih di sana, masih terbaring mengenakan sebuah jaket berwarna merah. Jaket yang diberikannya agar sang lelaki tak merasa kedinginan sambil menunggu keluarga atau sahabatnya muncul untuk menolong. Namun setelah ditinggalkan beberapa lama ia masih di sana, terbaring seorang diri seperti gelandangan.
Dema mendekat padanya. Menatap khusyuk sang pria asing, yang tubuhnya menggil oleh udara dingin sehabis hujan. Mata gelapnya menyala oleh belas kasihan melihat keadaan sang pria. Tak ada yang aneh dengan lelaki tersebut, pakaian yang ia kenakan bagus dan mewah, ditambah lagi diskotik tempatnya bekerja hanya dikujungi orang-orang berdompet tebal. Melihatnya terbaring begitu saja di lantai yang dingin membuat ia mengernyitkan kening tak habis pikir.
Dema merogoh saku kemeja dan celana kain yang lelaki tersebut kenakan, mencoba mencari identitas yang melekat padanya. Namun selama mencari tak ada apa pun yang ia temukan. Napasnya membuang dengan berat, ia bangkit dari duduknya tak peduli. Tak berapa langkah beranjak, kepalanya berbalik lagi penuh rasa ragu menengok pria yang terbaring seperti orang mati tak bergerak sejak tadi.
Susah payah ia menggendong pria itu di belakang tubuh kurusnya melewati gang sempit yang kumuh dengan rembesan air got yang seperti biasa meluap selepas hujan.
Tempat yang ia lewati cukup gelap hingga ia harus menyalakan senter dari ponsel yang ia gigit dengan mulutnya sambil terus menahan paha pria dibahunya agar tak jatuh. Tertatih ia menitih langkah berusaha meyeimbangkan diri agar mereka tak jatuh ke atas genangan air berwarna hitam pekat berbau busuk yang ia lewati.
Di depan pintu, jemarinya merogoh tas kecil yang ia bawa. Dengan sedikit kerja keras ia meraih kunci dan membuka pintu. Rumah tempat tinggal Dema hanya kamar petak kecil dengan sebuah kamar dan tempat tidur, serta sebuah lemari kayu yang dipernis dengan warna yang mulai memudar seperti warna cat dinding kamarnya yang berjamur terkena rembes air.
Tiba di dalam kamar ia meletakkan tubuh pria itu di atas tempat tidur kemudian melepaskan sepatu kulit berwarna jingga yang ia kenakan dengan kaos kaki berwarna biru. Tak berapa lama lelaki itu bergidik, bibir tipisnya terbuka lalu berbicara sayup.
Dema terpana, ia beranjak ke sisi sang pria dan meletakkan telinganya di dekatnya.
"Air, aku ingin air ..." keluhnya terkantuk tak kuasa membuka mata. Dema melirik sekitar mencoba mencari segelas air di dalam kamarnya. Tepat di atas lemari sebotol minuman kemasan tergeletak. Ia berdiri menjangkaunya dan memberikannya pada pria itu.
Ia mencoba membangunkannya dari nyenyak tidur, tapi sekali lagi lelaki itu bagai mayat tak bergeming seberapa kali pun ia mencoba membangunkannya. Hingga ia biarkan begitu saja.
Jam di dinding kamarnya menunjuk pukul tiga pagi. Kantuk mulai menguasai Dema. Namun ranjang di kamarnya telah ia berikan untuk tamu asing yang ditemuinya, membuat ia menggelar selembar selimut dari atas ranjang ke lantai sempit.
Setelah menyimpan semua benda yang melekat di tubuhnya ia mematikan lampu lalu memejamkan mata tanpa pikir panjang. Tak berapa lama setelah matanya memejam, langkah sepatu memantul keras dalam gelap. Dema terjaga dari tidur membuka matanya lebar-lebar.
Pintu di sampingnya telah terbuka. Ruangan tempatnya berada nampak sepi, lelaki yang ia bawa pun sudah tak ada di atas tempat tidur hingga ia nampak bingung melihat sekeliling.
Pintu berderit, wajah pucatnya berpaling ke pintu. Seseorang masuk ke dalam kamarnya dengan seringai picik penuh hasrat. Dema menahan napas, ia mencoba berdiri namun kakinya terikat tali. Ia terdiam dengan mata membelalak lebar, mulutnya terbuka mencoba berteriak, namun dengan cekap dibekap tiba-tiba.
Ia meronta dengan keras, mencoba melawan ketika pria itu menjamah inci tubuhnya. Satu tamparan keras membuat usaha Dema terhenti, hingga pipinya merah dan bibirnya berdarah. Air matanya mengalir, meski begitu ia masih meronta dengan memukulkan tangannya berulang kali agar bisa melepaskan diri dari cengkraman yang menahan tubuhnya yang tak berdaya.
"Kau cantik sekali, kemarilah nak" bisik mulut sang pria di telinganya hingga ia bergidik penuh ketakutan.
Tangannya yang memberontak di cengkram hingga merah seolah akan patah, membuatnya menangis berusaha berteriak namun bibirnya dibekap dengan ciuman yang tak ia harapkan sedikit pun. Seketika seluruh tubuhnya merasa kotor.
"Apa yang kau lakukan?" sebuah teriakan membuatnya terbangun dari tidur dengan wajah pucat dan air mata yang menggantung di sudut pipinya. Napasnya masih memburu terbawa mimpi buruk yang ia rasakan teramat nyata. Selama beberapa detik ia terdiam seolah tak berada di dunia, sementara pria mabuk yang ia bawa kemarin malam telah terbangun dan sedang duduk di pinggir tempat tidur dengan wajah kesal meraba kepalanya yang sedang sakit.
Matahari mulai tampak tinggi dari balik jendela, suasana sekitar tempat tinggalnya telah ramai dan berisik membuat pria itu makin tak nyaman dan menggosok wajahnya berulang kali.
Muka kusutnya terangkat menatap Dema yang terpaku lesu menatap tangannya seperti orang lingung. Tetes air mata jatuh di antara jemarinya tanpa ia sadari hingga lelaki itu beranjak ke di sisinya.
Dema yang terdasar keberadaan pria tersebut di hadapannya cepat-cepat mendorong tubuhnya menjauh tersudut ke tembok, penuh rasa takut. Sebuah seringai muncul dan menghilang cepat. Pria itu menarik kasar kerah pakaiannaya hingga wajah Dema mendongak.
"Kenapa aku bisa berada di rumah sempit dan kotor seperti ini. Apa kau yang membawaku? Apa aku membiarkanmu menyentuhku brengsek?" bibir Dema beku, bergetar melihat amukan kemarahan tepat di depan wajahnya, meski begitu ia tak bisa menjawab pertanyaan dan terus diam dengan air mata bercucuran tanpa henti.
Kasar lelaki itu mendorong tubuhnya menjauh, "Menyebalkan!" gerutunya, melirik tajam. "Apa kau punya telpon?"
Tergesa gadis bertubuh kurus dengan pakaian lengan panjang dan celana panjang besar yang menutup tubuhnya itu berlari mengambil ponsel yang berada dalam saku jaket yang ia gantung di sisi tembok. Ia menyerahkan pada pria tersebut tanpa berani menatapnya. Sedikit jijik pria itu melirik enggan dan meraih ponsel dengan telunjuk dan ibu jarinya tanpa ingin menyentuh tangan Dema sama sekali.
Ia mengamati ponsel merk lama di tangannya dan menyeringai geli tampak mengejek, "Kau sungguh miskin, ya? Semua orang bahkan bisa mendapatkan smarthphone dengan harga paling murah dan kau masih menggunakan ponsel yang hanya bisa menelpon ini?" mata besar itu melirik tempat tinggal Dema dengan mata memutar tak habis pikir, "kemiskinan begitu menjijikkan. Harusnya aku memilih tempat yang bagus untuk mabuk atau berakhir dengan seorang wanita di sebuah hotel. Kau membuatku sangat jijik berada di sini bersamamu"
Dema diam saja mendengar ucapan tajam yang tertuju padanya. Ia sibuk menyeka tangis yang menggantung di pipinya dan ia seka agar berhenti. Sementara sang lelaki sibuk menekan nomor di telpon yang kini ia genggam.
"Ini Zad, bodoh. Apa kau tidak bisa mengenali suaraku dengan baik? Kau pikir untuk apa aku menggajimu?" teriaknya lantang memekakkan telinga hingga Dema terkejut mendengar ia berbicara keras.
Zad berdiri dari duduknya membelakangi Dema, sibuk dengan obrolannya, "Dengar, sekarang aku terperangkap dengan seorang wanita miskin yang aneh. Aku mabuk semalam. Dompet dan ponselku tidak ada, aku rasa pelacur murahan itu mengambilnya saat aku mabuk. Sekarang aku ingin pulang, dan kau harus menjemputku dalam 10 menit, atau kulempar kau dari apartemenmu" tak lama ia bergumam kemudian menatap Dema yang masih duduk terpana di belakang punggungnya.
Zad beranjak ke sisinya, kemudian mencolek ujung lutut Dema dengan kakinya hingga gadis itu berpaling, "Apa nama tempat tinggalmu ini, seseorang akan datang menjemputku" sekali lagi gadis berambut sepanjang pundak yang diikat ekor kuda berantakan itu berdiri dari duduknya kemudian merogoh saku pakaiannya di tembok.
Zad mencoba menunggu sambil berusaha menahan kesal mengamati Dema, yang menghampirinya dengan membawa selembar kertas yang bertuliskan sebuah alamat. Sekali lagi Zad mengambil lembaran keras itu dengan raut wajah jijik dan sinis.
"Selain miskin kau juga bisu? Hidupmu pasti sangat keras!" hardiknya lalu terpaku pada lembaran kertas di tangannya. "Sudah lupakan saja! Alamatnya di Jl. Kenangan nomor 5 Jakarta Selatan. Kemari dalam 10 menit! Ingat, hanya 10 menit atau kau akan mati" ia menutup telpon kemudian melemparkannya ke arah Dema berdiri. Sigap gadis itu mengangkap ponselnya yang nyaris saja jatuh ke atas lantai. ia membuang napas lega setelah berhasil menangkap dengan kedua tangannya.
Suasana hening setelah Zad mengakhiri obrolan. Sekali lagi matanya mengitari ruangan di mana mereka berada. Keningnya mengernyit tak suka, melihat ruangan kecil dengan cat dinding mengelupas dan ranjang sempit yang dilapisi seprai dengan warna nyaris pudar, membuatnya bergidik tak percaya ia sempa tidur di tempat itu.
Letih berdiri Zad memaksakan diri duduk di sudut ranjang sambil melipat kakinya. Tangannya bersedekap di dada enggan menyentuh apa pun yang ia lihat dan ada sekelilingnya.
Selama beberapa saat tak ada obrolan di antara mereka. Dema yang sejak tadi berdiri memilih duduk di belakang pintu, berhadapan dengan Zad yang berada beberapa langkah jauhnya dari tempat ia berada.
Gadis itu terdiam kaku mirip patung sedang memeluk sepasang lututnya. Zad mengamati tak habis pikir sekaligus sinis. Ia berdecak di tengah keheningan mereka.
"Hai bisu" mata besar Dema melirik perlahan, tak nampak marah mendengar ucapan kasar yang ditujukan padanya sejak tadi. "Kepalaku sakit, kau punya obat atau makanan?" Dema menegakkan tubuh, namun serempak, Zad buka suara.
"Tidak, tidak perlu. Jangan memberiku apa pun dari tempatmu, aku khawatir terjangkit penyakit kalau kau memberikan sesuatu padaku. Kau mungkin bodoh, siapa yang tahu itu 'kan"
Sepasang mata Dema hanya memandanginya, setelah itu ia beranjak meninggalkan Zad seorang diri.
Description: Zad seorang anak pengusaha kaya bertemu gadis miskin bernama Dema. Zad yang saat itu akan menikah karena dijodhkan oleh ayahnya yang ia benci memperkenalkan Dema pada keluarga dan tunangannya dengan mengatakan bahwa ia adalah kekasihnya tanpa ia mengetahui lebih dulu siapa Dema sebenarnya.
Dema yang dijadikan Zad sebagai alat balas dendam tidak pernah membicarakan latar belakang hidupnya yang merupakan seorang anak yang ditinggalkan ibunya di panti asuhan. Sebuah masa lalu kelam menimpanya di tempat itu ketika seorang pria melakukan pelecehan padanya yang berujung pada trauma dan rasa takut yang ia alami pada pria selama selama bertahun-tahun, sampai ia bertemu Zad suatu hari yang mengubah sedikit perasaannya tanpa ia mengerti mengapa.
Rasa takut mengenai masa lalu yang ia sembunyikan membuatnya diam bahkan tak berani mengungkapkan perasaan yang ia pendam.
|
Title: Ruby & Diva
Category: Novel
Text:
Bab 1 Sebuah Buku
Setelah kepergian Ruby, Lina berbenah semua barang-barang Ruby di rumah dinasnya. Rumah dinas itu berjarak sekitar 50 meter dari Kantor Kodam (Komando Daerah Militer) XVIII/Kasuari di Manokwari, Papua Barat. Yang tak lain adalah tempat terakhir dinas kerjanya Ruby, suaminya. Beberapa bulan, Ruby di situ sempat menjabat sebagai PangDam (Panglima Kodam).
Di sebuah lemari, di rak paling atas di kamar Ruby, tak sengaja ia menemukan sebuah buku yang disimpan rapi dalam suatu wadah tertutup. Sebuah kotak yang terbuat dari kertas karton, mirip seperti kotak kado, berwarna biru dongker polos.
Di cover buku itu tertulis, “Kawan Kecilku yang Aneh” dengan warna putih dan pink dengan ukuran font agak besar. Sementara background cover-nya sendiri berwarna dasar ungu lembut. Ber-cover warna ungu tipis, terkesan mendayu dan sangat romantis, dengan gambar seorang lelaki tegap gagah tengah berdiri, dan dari kejauhan terlihat seorang wanita berjilbab tengah memandang kepergian laki-laki tadi. Seperti terkesan ada sesuatu diantara mereka, sesuatu yang sangat dekat tapi tak nampak oleh kasat mata.
Dengan hati-hati, diambil dan dibukanya buku itu secara perlahan. Sedikit mengobati rasa penasaran, halaman per halaman, dari mulai halaman judul, halaman prelim, kata pengantar, daftar isi, Lina buka satu per satu dan dibacanya sepintas-sepintas.
Lina tercengang, ketika memasuki bab pertama dari buku itu,
“Hahhh ... kok namanya Ruby, sama dengan nama suamiku???” tanyanya bingung entah pada siapa, setelah mendapati bahwa cerita di buku itu adalah tentang seorang tokoh bernama Ruby. Bahkan Ruby di cerita itu pun juga seorang TNI.
Buku itu menceritakan dari semasa Ruby kecil hingga menjadi Mayjen (Mayor Jenderal) sebagai pangkat terakhir yang ia sandang. Masa-masa ia memiliki impian, asa, dan cinta masa kecilnya, masa remajanya, bahkan sampai masa tuanya. Cinta yang tulus dan sangat suci. Semua kisah di buku itu diceritakan dengan apik, romantis, dan runtut. Seakan buku itu ditulis oleh seorang penulis yang punya talenta dan sangat profesional.
Tak sanggup Lina melanjutkan bacaannya, setelah beberapa bab ia buka dan baca sepintas secara lompat-lompat.
“Ohhh ... apa-apa an ini ...!” gerutu Lina kaget, penasaran, sekaligus tercengang dengan sedikit menahan emosi.
“Bab 1. Dia adalah Diva
Bab 2. Di Masjid Ijo Kota
Bab 3. Rindu yang Membuncah
...
Bab 15. Ruby Masuk Akmil
Bab 16. Diva Kuliah
...
Dan seterusnya, hingga Bab 27 ....” isi bab-bab di buku itu.
Tak tahan, Lina pun emosi ... mau marah, sama siapa, mau benci juga membenci siapa. Amarahnya benar-benar meledak tak terkendali.
“Brakkkk!!!” ia tutup buku itu dengan nada agak keras, dan dimasukkannya kembali ke wadah semula.
Bab 2 Dia adalah Diva
POV: Ruby
Ya, dia adalah Diva. Nama lengkapnya Diva Metania. Dia lahir sekitar 7 bulan setelah kelahiranku, dengan tahun yang berbeda. Lebih tua aku tentunya. Kami sama-sama berasal dari sebuah desa kecil di daerah Jawa Tengah. Dia anak ke-6 dari 7 bersaudara, sementara aku anak nomer 7 dari 7 bersaudara.
Oleh karena itu, takdir membawa kami masuk sekolah pada tahun yang sama. Di TK dan SD yang sama, dan sudah otomatis kami pun selalu satu kelas. Bahkan tak sengaja pula, hanya kami berdua yang bisa masuk di SMP dan SMA yang sama pula, sekolah favorite di kota kami.
Aku masih saja selalu ingat, ada anak perempuan kecil yang jika berangkat sekolah dibajunya selalu dicantelin peniti dengan sapu tangan menggantung di baju atasannya. Ya, Diva sedang pilek, mungkin ibunya ingin dia bisa mengusap-membersihkan sendiri ingusnya ketika di sekolah. Aneh memang, ya, aku saja masih usia TK, tetapi rasa-rasanya ingatan tentang temanku yang masih lekat diotakku, ya cuma dia.
Aku biasa dipanggil oleh teman-temanku, Ruby. Nama lengkapku, Ruby Abimanyu. Aku tumbuh menjadi anak laki-laki yang bertubuh sedikit lebih besar daripada yang lain, agak hitam, angkuh, cuek, jutek, nggak pernah kenal teman perempuan, semauku sendiri, mungkin sedikit nakal dan susah diatur ... tetapi aku selalu dipercaya menjadi ketua kelas, mungkin karena aku sering menjadi juara kelas.
Dan sainganku dalam hal rangking di kelas, adalah Diva. Diva … dia tumbuh menjadi gadis kecil yang berkulit sawo matang, berpostur tinggi dan lumayan besar untuk ukuran murid perempuan. Tak kalah jutek, cuek dan pendiam, dengan wajah yang sedikit manis dengan hidung dan bibir yang kecil, serta mata yang tajam dan terkesan galak.
Tahun demi tahun berjalan. Dan kami masih satu kelas. Tepatnya di tahun ke-enam, ketika kami kelas 5 SD. Saat itu, saat aku hendak masuk ke kelas, aku tak sengaja menatap wajah Diva yang terlihat sedikit bingung, resah, takut, kaget yang campur menjadi satu, seperti mau menangis. Wajahnya yang selalu berkeringat nampak terlihat sedikit pucat dan panik. Gigi depannya yang nongol dua karena panik tadi, ah ... terlihat sangat jelek sekali dia, tetapi justru lekat banget di otakku. Aku nggak tahu ada apa sebenarnya.
“Ruby!” sahut Hendi. “Dompet Diva hilang, ada yang nyuri!”
Oh, rupanya itu ... pantesan wajahnya terlihat aneh.
Siang itu juga, semua tas kami digeledah oleh bapak guru kami. Dan tak ada hasil.
Dan aku yakin, sampai sekarang pun mungkin Diva tidak tahu siapa sebenarnya yang mengambil dompetnya waktu itu, dimana di dompet itu ada uang yang cukup banyak dari mengumpulkan uang pembayaran teman-teman sekelas, yang kebetulan pak guru menunjuk Diva sebagai bendahara kelas.
Mungkin justru aku lebih tahu kelanjutan ceritanya, karena guru di kelas 5 itu kebetulan bapakku.
Setiap ada kegiatan olah raga lari, selalu aku yang tercepat, dan Diva pun demikian untuk versi murid perempuannya. Lompat tinggi, aku juga yang memiliki lompatan tertinggi, dan Diva juara di antara murid-murid perempuannya. Lompat jauh pun demikian adanya. Aku selalu ingat, Diva pandai sekali main kasti, olah raga paling populer waktu itu. Pukulannya selalu jauh.
Hingga juara kelas pun, selalu kami yang jadi juaranya, serasa selalu menjadi pasangan kecil yang serasi, begitulah kami. Tapi apakah kalian percaya, bahwa sebenarnya kami tak pernah sekalipun bertegur sapa.
Hingga suatu waktu, ketika menginjak kelas 6, kami berdua diutus sebagai perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba siswa teladan di kota kami. Berangkat dengan diantar Bapak/Ibu guru, dan kami siap mengikuti lomba. Tetapi entah bagaimana ceritanya, kami tidak ditunggui oleh Bapak/Ibu guru.
Setelah selesai lomba, aku berdiri sembari bersandar di dinding ruangan dimana Diva mengerjakan soal. Aku coba mengintipnya,
“Oh … dia belum keluar, masih sibuk mengerjakan soal!”. Hatiku sedikit tenang. Memang sengaja aku keluar lebih cepat, berharap jangan sampai Diva keluar ruangan lomba lebih dulu.
Tidak berselang lama, aku melihat sosok Diva keluar ruangan. Dia pun menatap ke arahku. Tanpa kode tanpa cakap, aku dekati dia dan kami bersiap pulang bersama menuju ke sekolah.
Sekitar 4 km, jalan yang kami berdua susuri. Tak ada tawa, tak ada sapa. Aku bingung jika harus memulai menyapanya lebih dulu. Aku tidak pernah berteman dengan anak perempuan. Aku hanya berjalan dan terus saja berjalan. Dan dengan setia, Diva pun mengikuti di belakangku. Ketika menyeberang di sebuah perempatan, tanpa sengaja Diva tertinggal. Aku dengan sabarnya menunggu Diva berjalan untuk sampai di seberang bersamaku, dan kami siap berjalan bersama kembali. Beriringan kadang berurutan, tetapi tak ada canda barang sedikit pun. Hingga akhirnya, kami tiba di sekolah lagi dan bercengkerama dengan teman-teman yang lain.
Ada rasa sedih, kecewa ... kok aku nggak berani menegurnya tadi, ya, tapi ah, sudahlah. Mungkin nanti, mungkin besok, mungkin lusa, mungkin suatu saat nanti ketika aku sudah berani. Mungkin ... mungkin!
Di kelas, aku selalu rajin berangkat pagi dan menunggu momen-momen Diva dinakalin Thiwul dan Beruk. Ya ... bagiku itu adalah pemandangan terindah. Melihat kerennya Diva melawan dua siswa laki-laki yang jauh lebih tua dan lebih besar badannya dari dia. Tapi Diva lah yang selalu memenangkannya.
Diva selalu berangkat siang, mungkin karena harus menunggu adiknya yang masih kelas satu, jadi selalu saja kesiangan.
“Div, sini-in tasmu!” sahut Thiwul dibarengi dengan aksinya menghadang dan menutup pintu kelas.
Di kelas itu tak ada satu pun murid perempuan, hanya Diva seorang. Sebenarnya aku kasihan melihatnya, tapi, ah ... andai aku menolong Diva, apa kata mereka. Sudahlah, mungkin lebih baik aku menikmati saja pemandangan pagi ini.
“Nggak akan!” sahut Diva dengan suara besarnya yang terdengar lantang.
“Sini-in tasmu!” ucapnya sekali lagi sembari mengayunkan tuding-kayu kecil sebagai penanda ketika guru mengajar, ke arah Diva.
Dengan gesit Diva menangkis tuding itu. Menangkap dan dengan sigap Diva memutarbalikkan jejari tanganya, kemudian menarik tuding itu dengan cepat. Dan sekarang kondisi berbalik, tuding itu telah berada di tangan Diva. Dan sekarang Diva lah yang menguasai medan perkelahian.
“Plakkkk …!!!” Diva mengayunkan tuding tadi ke arah Thiwul dan Beruk. Tak ayal mereka berlarian menjauh, sembari menguntit Diva, “Cithok bathok, cithok bathok … wuuueeeekkk!!!”.
“Sungguh keren kamu, Div!” gumamku yang segera saja aku buyarkan lamunanku, karena tak sengaja ternyata Diva secepat kilat segera menatapku. Untung aku segera buang muka, andai ketahuan dari tadi aku menontonnya, bisa bahaya.
Diva tidak menggubris untitan itu, dia duduk dan meletakkan tasnya yang berwarna putih agak ke warna pink, di bangku nomor urutan paling depan. Tidak lupa dia pun mengusap keringat di dahi dan hidungnya karena efek dari perkelahian tadi. Ya … Diva memang selalu saja berkeringat di wajahnya.
Tempat duduk itu, persis berada pada posisi letter L dari tempat dudukku. Dan dari sinilah, aku selalu bisa mengamati dia. Mengamati siluet wajahnya dari samping, mengamati lekuk mancung hidungnya yang kecil dari samping, hafal dengan cekungan pipinya yang mungkin tak banyak orang tahu, bahkan sampai terlalu hafal juga bagimana penggambaran posisi antara bibir atas dan bibir bawah Diva ketika mengatup. Sebegitunya aku, ya, ... menjadi observer paling handal hanya untuk bisa melihat Diva tanpa sepengetahuannya.
Tak lama berselang, bel masuk pun berbunyi, tanda jam pelajaran akan segera dimulai. Kekacauan di kelas sebab ulah Thiwul dan Beruk pun segera berakhir.
“Div, kamu memang jagoan!”.
***
Tiga puluh tahun kemudian.
Bab 3 Di Masjid Ijo Kota
“Salam. Masih ingat saya? Saya Diva Metania. Mohon maaf sebelumnya, jika tidak keberatan, bolehkah nomer WA (=WhatsApp)-mu saya masukin group kelas SD kita? Terima kasih!”.
Itu adalah ketikan yang dari tadi Diva tulis, dan hanya dia liatin dan dia baca berulang-ulang kali.
“Kirim nggak … kirim nggak … kirim nggak …? Hmm …,” gumamnya dalam hati, bingung.
“Memangnya Ruby belum masuk di group, Dek?” tanya Pram seakan paham dengan kegalauan istrinya.
“Dereng (= belum) Mas” sahut Diva lembut.
“Masukin saja, biar bisa ketemu, nyambung silaturahmi lagi!” lanjut Pram.
“Nggih (= iya) Mas!”
Setelah berpikir, akhirnya ….
“Bismillah! Semoga ke depannya, tidak terjadi apa-apa, Ya Alloh!” batin Diva. Dan ketikan WA, dia send ke Ruby.
Nomer Ruby, Diva dapat dari kakak iparnya yang kebetulan tidak sengaja berada di satu group alumni dengan Diva. Itu pun atas saran dari Pram untuk memintanya. Karena Diva juga bingung, ragu … dan akhirnya Diva pun nurut saja. Dan akhirnya, dapatlah nomer itu.
Meski hanya seorang teman ketika SD, Diva memang biasa bercerita ke Pram. Pram tak hanya suami, dia seperti teman akrab, teman bermain, teman berbagi cerita, pokoknya teman seperjuangan dunia akhirat bagi Diva. Yang jelas tak ada rahasia apapun yang Diva tutupi dari suaminya.
Dan segera saja mereka sekeluarga terpisah, Diva mengambil wudhu di tempat wanita, untuk melaksanakan jamaah Isya’ di masjid ini. Diva, Pram dan anaknya, mereka mengambil shaf masing-masing di dalam masjid.
Masjid ini berada di sekitaran mall ternama di kota kecil ini, di sebuah daerah di Jawa Barat. Dan momen ini, tentunya dapat dimanfaatkan oleh semua pengunjung mall. Tidak hanya sekadar Shalat Tarawih saja, tetapi juga bisa sekalian sekadar belanja-belanja buat persiapan lebaran.
Ini kebiasaan Diva sekeluarga. Sekalian belanja sekalian menyempatkan ikut Sholat Maghrib, buka puasa, dan ikut Sholat Tarawih juga di masjid tersebut. Masjid yang memang didominasi warna hijau, dengan komposisi 3 lantai, basement buat dapur dan DKM-nya (pengurus masjid), lantai 1 untuk hall (bisa disewa untuk hajatan pernikahan, dll), dan lantai 2 untuk tempat sholat berjamaahnya. Untuk menuju area masjid, tempat sholat jamaahnya, ada banyak anak tangga yang harus dinaiki. Paling asyik tuh, ketika sore menjelang/menunggu Maghrib dengan duduk santai di hamparan tangga-tangga tersebut, tentunya dengan diiringi silirnya angin yang sejuk dan membawa kedamaian.
Semua tempat didominasi warna hijau. Dengan halaman masjid yang cukup luas, area parkiran yang tak kalah luas, dan dihiasi hamparan rumput gajah mini yang luas serta Pohon Palm yang menjulang menambah elegannya aura Masjid Ijo ini.
Setelah Sholat Tarawih usai, mereka bertiga pun melakukan perjalanan pulang. Lumayan jauh, bisa mencapai satu jam jarak tempuhnya dari Masjid Ijo Kota ini. Melewati tol dengan berbayar sekitar lima puluh ribu-an, akhirnya dapat memperpendek waktu tempuh untuk sampai ke rumah.
Di mobil, Diva sempatkan buat melihat Hp, “Belum dibaca, sama dia!” gurat Diva sedikit kecewa.
Diva buyarkan harapan untuk mendapatkan balasan WA itu dengan memutar lagu-lagu yang Pram suka dari aplikasi Spotify, karena posisi Pram lah yang pegang setir mobil. Sekitar satu jam, sampailah mereka di rumah.
Karena sesampainya di rumah sudah malam, mereka pun langsung bersiap-siap tidur, istirahat. Diva harus bersiap masak dan bangun sahur pagi nanti. Apalagi Surya, dia sudah terlelap dari lima menit beranjak jalan dari Masjid Ijo tadi.
Diva pun tertidur lelap, tanpa ingat, sebenarnya dia masih penasaran dengan kiriman WA yang belum mendapatkan balasan dari Ruby.
***
Setelah anak dan suami berangkat ke sekolah, tak luput, Diva pun mengecek Hp yang dari semalam belum dia hidupkan data internetnya. Dan, “Waowww ... Ruby membalas pesanku!” decaknya kaget seakan nggak percaya.
Ya, gimana nggak kaget … setelah lebih dari 30 tahun mereka berdua tak pernah saling sapa, saling tegur, saling memanggil. Dan baru malam tadi Diva memberanikan diri untuk mengirim pesan yang sebenarnya terkesan sangat formal untuk sebuah percakapan teman sekolah. Terkesan seperti mahasiswa yang mengirimkan pesan ke dosen ter-killer-nya di kampus. Padahal Diva dan Ruby adalah teman TK, SD, SMP, dan SMA. Mereka berdua selalu satu almamater.
Apalagi jika ditelisik lebih jauh, keluarga Diva dan Ruby bukanlah keluarga jauh. Bahkan kedua orang tua mereka, berteman sangat baik. Saking baiknya, bahkan mereka biasa pinjam meminjam uang, bahkan sampai meminjam SK (=SK PNS) buat di sekolahin di bank. Saat bapaknya Ruby main ke rumah, Diva lah yang sering disuruh mbikinin minuman teh sama bapak/ibunya. Terkadang diajak ngobrol,
“Div, gimana Ruby, nakal nggak kalau di sekolah?” tanya Pak Handoko.
“Mboten (=nggak) kok, Pak!” jawab Diva asal. Bagaimana tidak asal, bahkan Diva saja tidak pernah berkomunikasi dengan Ruby.
Hampir semua kakak-kakak Diva dan Ruby selalu satu angkatan dari SD, SMP, hingga SMA. Dan mereka semua berteman baik. Kecuali Diva dan Ruby sendiri, mungkin tepatnya bisa disebut teman yang tak pernah berteman. Entah kenapa kok bisa demikian, Diva sendiri tak begitu memikirkannya.
“Sekarang tinggal di mana?” balasan dari Ruby.
“Masih di sini. Ikut suami” jawab Diva tak kalah singkat.
“Masih seperti dulu, dia nggak banyak cakap!”, agak kesal, karena niat Diva mengirim pesan padanya, bukan untuk membuka obrolan yang nggak penting seperti ini. “Simpel kan permintaanku, kenapa nggak to the point saja dia jawab, hhhrrrr!” Diva kesal.
Dan tidak bisa Diva pungkiri, Diva pun merasa ada yang aneh, ketika mendapati sekarang di daftar kontak Hp-nya tertulis “Ruby Abimanyu”. Aneh dan terasa asing.
“Salam. Mohon maaf sebelumnya, jika tidak keberatan, bolehkah nomer WA-mu saya masukin group kelas SD kita? Terima kasih!”. Pesen itu pun Diva kirim ulang, dengan meng-copy paste, dan sedikit meng-edit nya.
Lagi-lagi balasannya, “Kamu, sekarang ngajar di mana?”
Meski nggak pernah kenal tetapi bukan berarti mereka berdua tidak saling tahu. Karena semua informasi tentang mereka berdua, selepas lulus SMA, selalu menjadi bahan cerita ketika bapak-bapak mereka bertemu dan berbincang-bincang.
“Bandung”, jawab Diva singkat, sedikit mulai kesal.
Ya, Diva memang mengajar di sebuah universitas di Kota Bandung, tetapi demi berkumpul dengan keluarga, dan tetap bisa berperan maksimal sebagai istri dan ibu dari anak semata wayangnya, dia rela pp (=pulang pergi) Bandung-Jawa Tengah setiap kali berangkat. Hal itu dikarenakan suami dinasnya di daerah Jawa Tengah.
Diva seorang dosen yang memiliki potensi. Terbukti dengan ketidakhadirannya di kampus dapat ia ganti dengan kualitas hasil-hasil penelitiannya yang tidak bisa dianggap sembarang. Banyak dana-dana hibah mengalir lancar tiap tahun, tentunya diiringi dengan luaran/produk penelitian dan publikasi ilmiah yang Ok juga.
Diva pasti ke kampus jika memang ada jadwal mengajar, atau sekadar ada undangan penting rapat Prodi (=Program Studi), rapat penting di Pascasarjana, maupun rapat Reviewer Penelitian, maupun tugas penting lainnya. Selebihnya ia gunakan waktu secara maksimal untuk melakukan tugas kedosenan dari rumah.
“Mohon maaf sebelumnya, jika tidak keberatan, bolehkah nomer WA-mu saya masukin group kelas SD kita? Terima kasih” send.
Pesen itu pun Diva kirim ulang lagi, dengan meng-copy paste-nya, dan sedikit meng-edit-nya kembali.
“Ada berapa orang di situ?” sahut Ruby yang terkesan mulai mengikuti alur Diva.
“Nggak banyak, kok, sekitar belasan. Teman sekelas kita waktu kelas 6 dulu”, sembari Diva kirimkan juga screenshots group WA yang dia maksud.
“Boleh kan, aku masukin?” tegasnya.
“Boleh” jawab Ruby datar.
“Yess, misiku berhasil. Dan aku nggak perlu ngomong banyak dengan dia. Cukup ngobrol di group saja!” pikir Diva.
Dan singkat cerita, akhirnya Diva dan Ruby tergabung di group WA SD angkatannya.
Semua isinya teman sekelas sewaktu duduk di SD. Tidak banyak kok member-nya, cuma 15 orang. Karena yang dulu terkenal nakal-nakal banget seperti Thiwul dan Beruk, sepakat untuk tidak dimasukkan. Jahatnya mereka, berkomplot.
Awal-awal ada WAG (WhatsApp Group) tersebut, sangat ramai dan heboh. Karena banyak dari mereka yang meski se-desa, tetapi semenjak lulus SD bahkan belum pernah bertemu lagi.
Ceritanya pun mengalir indah, polos, dan lucu tanpa dibuat-buat. Maklum, mendadak mereka semua berasa usia SD lagi.
Menceritakan kisah-kisah lucu sewaktu SD, cerita siapa yang suka nakalin siapa. Cerita siapa yang paling jutek dan paling judes di kelas. Sampai-sampai ada yang saling meminta maaf atas kejahilan dan kenakalan sewaktu jaman SD. Bahkan sampai cerita guru-guru yang galak pun tak luput dari obrolan di group WA ini.
Saling mengolok-olok dan saling meledek … bener-bener berasa usia SD lagi pokoknya.
Dan karena sudah saling kenal dari kecil, setiap obrolan-obrolan tak perlu jaim. Semua mengalir secara natural.
***
Tetapi ada yang terasa aneh dengan Ruby.
Description: Jatuh cinta adalah soal harga diri, maka jangan pernah menjatuhkan cinta pada tempat yang salah ....
Mohon kritik & sarannya ...
IG: @diva_pangestu_jati
|
Title: Raisa
Category: Novel
Text:
Karel Sialan
Mantan sialan, mati aja sana!
Raisa bangkit dari duduknya karena merasa terhina, dengan wajah yang dibuat-buat songong Raisa melotot walau sebenarnya rasa gugup tengah mendera seluruh tubuhnya setengah mati. Keringat mulai menghampiri keningnya entah mengapa suasana rumah yang tadinya biasa saja jadi terasa panas. Raisa menyelipkan surainya ke belakang telinga lalu berganti melipat tangan di bawah dada sembari memandang sinis objek di depannya dengan segala umpatan yang berseliweran di kepalanya.
Timbul beberapa pertanyaan di kepalanya. Ia mimpi apa sih dulu sampai mempunyai mantan begini amat? Tak mengakuinya bahkan hanya sekadar kenal saja. Dianggap apa ia dulu kalau sekarang saja ia tak diingat sebagai label mantan tuan brengsek yang maha benar. Padahal ngomong aja sih kalau memang Karel menyesal karena mempunyai mantan burik seperti dirinya. Nggak usah pura-pura nggak kenal segala Raisa ikhlas kok walau harus sakit hati karena kejujuran Karel.
Raisa tahu dan menyadari kalau memang Raisa paling burik di antara jajaran para mantan cowok itu. Mengingat sebelum keduanya ada something, Raisa mengetahui kalau Karel memang selalu mempunyai gandengan cantik-cantik. Menurutnya hanya dirinya saja yang paling burik di antara para mantan cowok itu mungkin Raisa hanyalah kesialan Karel saja. Para teman perempuan cowok itu juga sialnya sama cantiknya seperti para mantan cowok itu sampai terkadang membuat Raisa minder dan cemburu sendiri. Serasa semut yang di kerumuni gula ya itu laki. Eh salah, maksudnya serasa gula yang di kerumuni semut saking manisnya semua semut sampai nempel sana- sini. Maka dari itu seringkali Raisa menyuruh Karel untuk menjauhi teman-teman perempuannya karena Raisa takut nanti Karel jatuh cinta kepada salah satunya dan akhirnya pergi meninggalkannya bersama kenangan indah yang kampretnya hanyalah tinggal kenangan.
Dulu akibat masalah itu juga hubungan keduanya mulai renggang. Raisa sampai menghindar satu bulan lamanya karena Karel waktu itu tak menurutinya untuk menjauhi teman perempuannya. Ia kecewa dan angan-angan yang tak diharapkankannya itu benar terjadi. Cowok itu malah dengan sengaja pulang dengan perempuan lain tak mempedulikan Raisa yang menangis sesenggukan di tengah-tengah parkiran. Waktu itu Raisa berakhir pulang sendiri dengan keadaan sembab. Ia bahkan tak mempedulikan orang-orang di sekitarnya yang selalu saja melirik-lirik ke arahnya. Malamnya Raisa diputuskan hanya lewat chat saja. Itupun tanpa kesepakatan keduanya cowok itu menghilang begitu saja.
Putaran memori kampretnya dipaksa untuk berhenti oleh sosok kampret si pencipta memori kampret yang sayangnya sangat susah Raisa lupakan. Ibaratnya lagu Raisa, mantan terindah. Ya, Raisa akui walupun Karel kampret tapi cowok itu berarti besar di hidupnya sampai dilabeli mantan terindah. Maka dari itu saking berartinya dan terindah rasanya Raisa ingin sekali memusnahkannya dari bumi ini kalau perlu sampai seluruh alam semesta hingga ia tak menemukannya barang sedetik saja. Tubuhnya berjengit saat ada sesuatu yang menepuk bahunya dengan pelan secara otomatis matanya juga mengerjap membuat Karel yang menyadarinya jadi kembali mengulangi pertanyaannya yang sayangnya membuat Raisa sangat muak.
"Siapa, ya?"
"Siapa pale lo!"
Entah keberanian dari mana Raisa mendorong kening Karel dengan segenap hati sampai membuat sang empunya terjungkal duduk di atas lantai. Cowok itu menampilkan wajah syok sambil memegang pelipisnya sedangkan Raisa menutup mulut tak percaya dengan apa yang dilakukannya. Tapi setelahnya Raisa malah bersorak dalam hati memuji diri sendiri karena telah melakukan sesuatu yang benar. Biarlah, sesekali tidak apa-apa kan kalau Karel dikasih ganjaran?
Karena takut di amuki Karel Raisa tanpa kata langsung ngacir keluar rumah itu lagian mumpung ibu Karel juga sedang tidak ada. Saat sampai di halaman rumahnya Raisa terbahak sendiri seperti orang gila lalu berjingkrak-jingkrak dengan heboh hingga suara deheman keras yang terdengar membuatnya terpaku di tempat. Dengan kaku Raisa menyengir, tangannya terangkat menggaruk belakang telinganya yang tak gatal.
"Lagi apa kamu? Pasti buat ulah yang nggak-nggak, ya?"
Mata ibunya menyipit tanda curiga Raisa mulai peka ia harus waspada.
"Hehe... nggak," ujarnya cengengesan. Sebelum ibunya kembali menodongnya dengan pertanyaan yang kemana-mana lagi Raisa sepertinya harus segera pergi.
"Aku ke dalam dulu ya, Bu."
Raisa perlahan berjalan ke sisi seperti kepiting. Raisa menyengir, setelah sampai pintu ia langsung saja berlari ke arah kamarnya sambil menghela nafas lega.
***
Hari pertama MPLS Raisa di SMAN Antariksa berlangsung dengan bangsul. Tadi pagi saat berangkat ke sekolah tiba-tiba di jalan sepeda motornya tiba-tiba mogok padahal Raisa sudah semangat empat lima mau tebang pilih para cogan-cogan di sekolah barunya yang siap menampung hatinya yang tidak mau lepas dari si kampret Karel.
Pada akhirnya ia harus mengandalkan kakinya yang panjang berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki eh ralat maksudnya setengah berlari. Raisa menyeka keringatnya yang mulai mengucur. Birahinya sudah tidak kuat lagi berjalan tapi pikirannya berteriak ia harus berjalan kembali kalau tidak mau kena hukum senior-senior yang maha benar.
Raisa refleks melambai saat motor hitam dari kejauhan melaju mendekatinya dengan kaki panjangnya itu ia melompat menghalangi sang empu yang siap menerjangnya kalau saja empunya sudah tidak waras. Motor itu akhirnya berhenti juga, tak sia-sia Raisa memiliki kaki panjang sepanjang jalan kenangannya bersama Karel. Eh kenapa jadi Karel? Lupakan, itu hanyalah pikiran fiktif belaka.
Sang empu membuka helmnya, alisnya sudah sebelah menukik dengan tatapan datar yang dilayangkan. Ada sedikit tatapan tak suka yang terpatri di mata gelapnya Raisa pikir mungkin karena kejadian tempo hari kemarin.
Mampus!
Apa setelah kejadian itu Karel akan dengan senang hati menampung dirinya di jok belakang motor hitamnya? Sepertinya tidak, karena sedetik kemudian ekspresi cowok itu berubah jelas kini dengan terang-terangan melengos di hadapannya.
Raisa mulai was-was karena ia sangat tahu kalau Karel sudah melengos pasti cowok itu sudah marah dan akan susah dibujuk.
"Em sebelumnya, gue mau minta maaf untuk kejadian kemarin. Maaf kalau karena gue lo tersinggung. Gue sangat minta maaf atas kelakuan gue yang nggak sopan. Maaaaf banget. Lo ganteng deh, lo baik deh, lo mau nganterin gue, kan?"
Ekspresi cowok itu tetap datar lalu selanjutnya tanpa banyak kata Karel menutup kaca helmnya melajukan kembali motor hitamnya dengan santai. Raisa mengumpat melihatnya, cowok edan emang! Menyesal ia tadi harus merendahkan harga diri dan memuji-mujinya.
Mengingat kejadian tadi membuat Raisa menyumpah serapahi cowok yang kini sedang berdiri di depan panggung sembari memberikan sedikit sambutan kepada peserta MPLS SMAN Antariksa. Ya, ternyata Raisa sesekolah dengan Karel. Cowok itu juga ternyata ketua osis di sekolahnya ini. Raisa tak heran, Karel memang mempunyai wibawa pemimpin yang sangat menguar di tubuhnya. Dari semenjak SMP Karel sering menjabat sebagai ketua di organisasi yang diikutinya dan Karena itu juga Raisa dulu sebegitu terpesonanya kepada Karel. Bangsulnya mungkin sampai sekarang.
Tepuk tangan yang riuh menyadarkannya. Raisa mendelik saat teman baru di sampingnya itu bergumam dengan mata melebar.
"Ganteng ya ketosnya, Sa?"
"Percuma ganteng juga kalau playboy dan suka mutusin seenaknya," ujar Raisa tanpa sadar.
"Ha? Lo ngomong apa, sih?"
Raisa melengos, "nggak, lupain aja."
Sekarang para siswa-siswi dibubarkan. Mereka kini digiring menuju kelasnya masing-masing dengan para panitia osis yang mendampinginya. Termasuk juga Raisa, gadis itu kini sudah duduk manis di kursinya bersama Hana. Kakak-kakak dari organisasi osis itu mulai bergerumul di depan kelas entah sedang membicarakan apa Raisa tak ingin tahu. Masing-masing kelas di berikan 5 pendamping osis dan kini pendampingnya baru datang 4 orang katanya kalau yang satu lagi surprise.
Sesi perkenalan dimulai, empat kakak panitia itu mulai memperkenalkan diri. Dari mulai yang paling kanan namanya Anggita Soraya, perempuan berambut sebahu dan memiliki senyum yang gummy dengan bibir tipis merah mungil, dia kelas XI-B. Selanjutnya Gahasya Radika, cowok berlesung pipi dengan rambut cepak yang tertata rapi, dia kelas XII-E. Kemudian Muhammad Khalifah Akmaludin, cowok ramah dengan senyum manis dan tahi lalat di sisi bibirnya, dia kelas XI-A. Dan yang keempat adalah Zahra Alam Pratiwi perempuan berhijab dengan mata sipit dan kulit putihnya, dia kelas XII-D dan yang kelima masih rahasia karena belum datang juga.
Sekarang berganti siswa-siswi kelas X yang perkenalan dari mulai paling belakang semuanya mulai memperkenalkan diri dan sekarang terakhir saatnya Raisa yang maju ke depan untuk memperkenalkan diri. Raisa bangkit dari duduknya ia dengan pelan mulai melangkah ke depan dengan semua mata yang tertuju kepadanya. Raisa menyunggingkan senyum tipisnya tapi sedetik kemudian senyumnya sirna saat seseorang datang dengan santainya.
"Assalamualaikum."
Tbc.
Description: Menurut Raisa, bertemu dengan mantan lebih menakutkan daripada bertemu dengan setan. Si mantan brengsek yang dulu memutuskannya saat Raisa lagi sayang-sayangnya. Dan sialnya ia setiap hari harus bertemu dengannya karena ternyata sang mantan sekarang tinggal di sebelah rumahnya dan juga se-SMA dengannya. Lebih double sialnya lagi ia ternyata masih menaruh perasaan pada cowok itu terbukti dengan jantungnya yang selalu jumpalitan kalau bertemu dengan si mantan. Jadi, kesimpulannya kapan Raisa move on kalau si mantan selalu ada di sekelilingnya?
|
Title: Red Queen #2: Glass Sword
Category: Adult Romance
Text:
Bab 1
Kain lusuh yang Farley berikan kepadaku memang bersih, tetapi masih berbau darah. Aku tidak berjengit gara-gara bau itu. Lagi pula, seluruh pakaianku sudah bersimbah darah. Tentu saja, darah merah adalah milikku. Sementara yang perak adalah darah orang-orang lain. Evangeline, Ptolemus, bangsawan nymph; semua orang yang mencoba membunuhku di arena. Kurasa sebagiannya adalah darah Cal juga. Darahnya sempat mengucur deras ke pasir, akibat disabet dan dibuat babak belur oleh orang-orang yang menjadi algojo kami.
Cal duduk di seberangku sambil memandangi kakinya, membiarkan luka-lukanya sembuh sendiri secara lambat dan alami. Aku melirik sekian banyak sayatan di lenganku, barangkali hasil perbuatan Evangeline. Masih baru, juga cukup dalam sehingga pasti berbekas. Sebagian dari diriku girang membayangkannya. Bekas sobek ini tak akan lenyap secara ajaib berkat sentuhan dingin seorang penyembuh. Karena Cal dan aku tak lagi di dunia Perak, tiada yang bisa menghapus parut-parut hasil perjuangan kami. Kami sudah meloloskan diri. Paling tidak, aku sudah. Sebaliknya, belenggu Cal menegaskan bahwa dia adalah seorang tawanan.
Farley menyenggol tanganku dengan sentuhan lembut yang mengagetkanku. “Sembunyikan wajahmu, Gadis Petir. Kau yang mereka cari.”
Sekali ini, aku menuruti perintah. Yang lain mengikuti dengan menarik kain merah hingga menutupi mulut dan hidung mereka. Wajah Cal adalah yang terakhir tak tertutupi, tetapi tidak lama. Cal tidak melawan sewaktu Farley mengikatkan topeng ke mukanya, menjadikannya persis seperti kami.
Andai saja benar begitu.
Dengung listrik menggelegakkan darahku, mengingatkanku akan denyut Kereta Bawah Tanah yang berkeriut-keriut. Kendaraan itu terus melaju, mengangkut kami menuju kota yang pernah menjadi suaka aman. Kereta memelesat sambil mendecit berisik di atas rel kuno, seperti rubah lincah yang berlari menyeberangi lahan terbuka. Aku mendengarkan bunyi logam yang bergesek, merasakannya dalam tulang-tulangku yang mulai ngilu kedinginan. Amukanku, kekuatanku yang menggila di arena, terkesan bak kenangan lama belaka, yang hanya menyisakan rasa nyeri dan takut. Tak terbayang apa yang tengah Cal pikirkan. Dia telah kehilangan segalanya, semua yang paling berarti baginya. Ayah, adik, kerajaan. Namun, entah bagaimana, dia mampu menjaga kendali diri, tubuhnya yang bergeming hanya diguncangkan oleh goyangan kereta.
Tiada yang perlu memberitahuku apa sebabnya kami tergesa-gesa. Penjelasan tersirat tampak dari postur kaku Farley dan Barisannya, yang setegang karet regang. Kami masih melarikan diri.
Maven pernah ke sini dan akan kembali ke sini. Kali berikut beserta angkara para prajurit, ibu, dan mahkota barunya. Kemarin dia pangeran, hari ini dia sudah menjadi raja. Semula aku mengira Maven adalah temanku, tunanganku, tetapi sekarang aku tahu bukan begitu halnya. Sekarang aku tahu, aku harus membencinya, harus takut kepadanya. Dia turut serta membunuh ayahnya demi merebut takhta, sekaligus menjebak dan mengambinghitamkan kakaknya sebagai pelaku kejahatan. Dia tahu radiasi di sekeliling reruntuhan kota adalah kebohongan—sebuah trik—dan dia tahu ke mana jalur kereta ini menuju. Suaka yang dibangun oleh Farley tak lagi aman, tidak untuk kami. Tidak untuk siapa pun. Saat ini saja, kami mungkin tengah menyongsong perangkap.
Sebuah lengan merangkul tubuhku semakin erat, rupanya merasakan kegelisahanku. Shade. Aku masih tak percaya bahwa kakakku berada di sini, masih hidup, dan—yang paling aneh—sama seperti aku. Merah sekaligus Perak—serta lebih kuat daripada kedua-duanya.
“Tak akan kubiarkan mereka membawamu lagi,” gumam Shade, pelan sekali sampai-sampai nyaris tak kedengaran. Barangkali karena bersumpah setia terhadap siapa pun selain Barisan Merah, bahkan keluarga, tidak diperbolehkan. “Aku janji.”
Keberadaannya menenangkan, mengantarkanku kembali ke masa lalu. Ke masa sebelum dia dijaring, ke suatu hari hujan pada musim semi ketika kami masih bisa berpura-pura menjadi anak kecil. Ketika yang hadir hanyalah lumpur, desa, dan kebiasaan bodoh kami, yaitu sengaja mengabaikan masa depan. Namun, sekarang, yang terpikirkan olehku hanyalah masa depan, jalan kelam yang mesti kami tempuh akibat perbuatanku.
“Apa yang akan kita lakukan sekarang?” Aku bertanya kepada Farley, tetapi mataku mengarah ke Kilorn. Dia berdiri di samping Farley, pengawal patuh dengan rahang digertakkan dan balutan perban bernoda darah. Sulit dipercaya bahwa belum lama ini dia adalah murid nelayan. Sama seperti Shade, dia terkesan salah tempat, bagaikan hantu dari masa sebelum semua ini.
“Kalaupun harus lari, tempat tujuan pasti selalu ada,” timpal Farley, memusatkan perhatian lebih kepada Cal ketimbang kepada yang lain.
Farley berharap Cal bakal melawan, bakal meronta, tetapi dia tidak melakukan kedua-duanya.
“Terus pegangi dia,” kata Farley sambil menoleh kembali kepada Shade, setelah lama berselang. Kakakku mengangguk, telapak tangannya terasa berat di pundakku. “Jangan sampai dia lepas.”
Aku bukan panglima ataupun ahli taktik, tetapi penalarannya jelas. Aku adalah si gadis petir. Orang-orang mengenal namaku, wajahku, dan kemampuanku. Aku bernilai, aku punya kekuatan, sedangkan Maven rela berbuat apa saja untuk mencegahku balas menyerang. Aku tidak tahu bagaimana kakakku bisa melindungiku dari si raja baru pendendam, sekalipun dia sama sepertiku, sekalipun dialah orang tergesit yang pernah kulihat. Rasanya mustahil, tetapi aku harus percaya. Lagi pula, aku sudah menyaksikan banyak peristiwa mustahil. Meloloskan diri dengan selamat justru bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Bunyi senjata yang dikokang bergema di sepenjuru kereta saat Barisan bersiap-siap. Kilorn bergeser berdiri di depanku, badannya berayun-ayun sedikit, semakin erat mencengkeram senapan yang tersandang ke dadanya. Dia melirik ke bawah dengan mimik lembut. Dia mencoba untuk menyeringai, supaya aku tertawa, tetapi mata hijaunya yang cerah menampakkan ekspresi serius dan takut.
Sebaliknya, Cal duduk tenang, hampir-hampir damai. Walaupun dialah yang seharusnya paling takut—dia dirantai, dikelilingi oleh musuh, diburu oleh adiknya sendiri—dia tampak kalem. Aku tidak terkejut, sebab dia prajurit tulen. Perang adalah sesuatu yang dia pahami, sedangkan pada saat ini kami jelas-jelas sedang berperang.
“Kuharap kalian tidak berencana untuk melawan,” ujar Cal, berbicara untuk pertama kalinya setelah lama sekali. Matanya terpaku kepadaku, tetapi kata-katanya menyasar Farley. “Kuharap kalian berencana untuk lari.”
“Jangan buang-buang napasmu, Perak.” Farley membusungkan dadanya. “Aku tahu kami mesti berbuat apa.”
Aku tak kuasa menyetop semburan kata-kata. “Cal juga tahu.” Farley membakarku dengan pelototannya, tetapi aku pernah merasakan yang lebih tidak enak. Aku bahkan tidak berjengit. “Cal tahu cara mereka bertarung, dia tahu mereka bakal melakukan apa saja untuk menghentikan kita. Manfaatkanlah dia.”
Bagaimanakah rasanya dimanfaatkan? Cal sempat memuntahkan kata-kata itu kepadaku dalam penjara di bawah Mangkuk Bengkarak sehingga membuatku serasa ingin mati. Sekarang, kata-kata itu bahkan tidak menyakitkanku.
Karena Farley tidak mengatakan apa-apa, Cal rupanya memersepsikan bahwa gadis itu mengiakan usulanku. Dia lantas berkata dengan muram, “Mereka punya Mulut Naga.”
Kilorn tertawa keras-keras. “Maksudmu bunga?”
“Pesawat jet,” kata Cal, matanya berkilat-kilat sebal. “Sayap jingga, bodi perak, pilot tunggal, mudah dikendalikan, pas untuk serangan ke kawasan urban. Tiap pesawat bisa membawa empat misil. Dikalikan satu skuadron, berarti 48 misil yang perlu kalian hindari, plus amunisi ringan. Bisakah kalian mengatasinya?”
Dia hanya disambut oleh keheningan. Tidak, kami tak bisa.
“Tapi, Naga bukan apa-apa. Ada yang lain yang lebih perlu kita khawatirkan. Pesawat-pesawat itu cuma akan berputar-putar, mempertahankan perimeter, mengurung kita di satu tempat sampai pasukan darat tiba.” Cal menundukkan pandangan, memutar otak dengan cepat. Dia sedang mempertimbangkan hendak berbuat apa, jika berada di pihak lawan. “Mereka akan mengepung kita dan kemudian mengajukan tawaran. Mempersilakan kalian pergi, asalkan kalian menyerahkan Mare dan aku.”
Lagi-lagi kurban. Aku menghela napas pelan-pelan. Pagi ini, kemarin, sebelum kemelut ini pecah, aku akan dengan senang hati mengorbankan diri sekadar demi menyelamatkan Kilorn dan kakakku. Namun, sekarang ... sekarang aku tahu diriku istimewa. Sekarang aku harus melindungi orang-orang lain. Sekarang aku tidak boleh kalah.
“Kita tidak boleh menyetujui tawaran itu,” kataku. Betul, tetapi alangkah pahitnya. Tatapan Kilorn membebaniku, tetapi aku tidak mendongak. Jangan sampai aku melihat ekspresi menghakimi di matanya.
Cal lebih toleran. Dia mengangguk setuju. “Raja tentu memperkirakan bahwa kita tak akan menyerah,” timpalnya. “Pesawat jet akan mengebom puing-puing sehingga roboh menimpa kita, lalu sisanya akan menyapu bersih orang-orang yang selamat. Intinya, kita akan dibantai.”
Sekalipun tersudut, Farley tetap menjunjung tinggi harga dirinya. “Apa saranmu?” tanyanya sambil mencondongkan badan ke arah Cal. Sarkasme begitu kental dalam suaranya. “Menyerah tanpa syarat?”
Ekspresi muak berkelebat di wajah Cal. “Maven tetap saja akan membunuh kalian. Di dalam sel atau di medan tempur, dia tak akan membiarkan satu pun dari kita tetap hidup.”
“Kalau begitu, lebih baik kita bertarung sampai mati.” Suara Kilorn kedengaran lebih gagah daripada seharusnya, tetapi jemarinya bergetar. Dia kelihatan sama seperti para pemberontak lain, bersedia berbuat apa saja demi perjuangan, tetapi temanku tetap saja takut. Masih anak di bawah umur, belum lagi delapan belas tahun, yang mendambakan banyak hal dari kehidupan dan tidak punya alasan untuk merindukan maut.
Sebagai tanggapan atas pernyataan Kilorn yang sok nekat, Cal hanya mendengus. Meski begitu, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia tahu bahwa paparan mendetail mengenai maut yang sudah di depan mata kami tak akan bermanfaat bagi siapa pun.
Farley rupanya tidak sependapat. Dia serta-merta melambaikan tangan untuk menepis sentimen Cal dan Kilorn. Di belakangku, kakakku meneladani ketetapan hati Farley. Mereka mengetahui sesuatu yang tidak kami ketahui, sesuatu yang belum mereka sampaikan. Maven sudah mengajari kami semua bahwa sembarang menaruh kepercayaan mesti dibayar mahal.
“Bukan kita yang akan mati hari ini,” cuma itu yang Farley katakan, sebelum dia berderap ke arah depan kereta. Bunyi sepatu botnya menyerupai palu yang menempa lantai logam, tiap langkah yang berdentang menyiratkan kebulatan tekad.
Aku menangkap bahwa kereta melambat, bahkan sebelum aku merasakannya. Aliran listrik menjadi surut dan melemah saat gerbong meluncur ke dalam stasiun bawah tanah. Entah apakah kami akan menjumpai kabut putih atau pesawat jet bersayap jingga di langit nanti. Yang lain sepertinya tidak gentar, justru keluar dari Kereta Bawah Tanah dengan langkah pasti. Barisan bersenjata dan bertopeng yang diam seribu bahasa menyerupai tentara sungguhan, tetapi aku tahu bukan begitu adanya. Mereka bukanlah tandingan bagi cobaan yang akan mengadang.
“Persiapkan dirimu.” Suara Cal mendesis di telingaku, membuatku bergidik. Aku jadi teringat akan hari-hari yang sudah lama berlalu, akan malam-malam ketika kami berdansa di bawah sinar rembulan. “Ingatlah betapa perkasanya dirimu.”
Kilorn mendesak ke sampingku, memisahkan kami berdua sebelum aku sempat memberi tahu Cal bahwa yang kuyakini saat ini hanyalah kekuatan dan keahlianku. Aliran listrik di dalam pembuluh darahku mungkin merupakan satu-satunya yang aku percayai di dunia ini.
Aku ingin menaruh kepercayaan terhadap Barisan Merah, juga ingin memercayai Shade dan Kilorn. Namun, aku tidak boleh memercayai siapa pun, apalagi sesudah kami terpuruk seperti ini karena aku percaya membabi buta terhadap Maven. Selain itu, memercayai Cal jelas dilarang. Dia tawanan, seorang Perak, musuh yang akan mengkhianati kami jika bisa, jika dia punya tempat tujuan untuk kabur—tapi entah bagaimana, aku merasa seperti ditarik bagaikan magnet ke arahnya.
Aku masih ingat si pemuda berhati resah yang memberiku koin perak ketika aku bukan apa-apa. Dia telah mengubah masa depanku, sekaligus menghancurkan masa depannya sendiri.
Walau begitu, benar pula bahwa kami adalah sekutu—yang dipersatukan oleh kucuran darah dan pengkhianatan. Kami memiliki persamaan dan kami mesti bersatu padu—untuk melawan Maven, untuk membalas dendam kepada semua yang telah mengelabui kami, untuk melawan dunia yang di ambang porak-poranda.
***
Bab 1-2
Kesunyian menanti kami. Kabut lembap kelabu yang menyelubungi puing-puing Naercey membaurkan langit sampai-sampai terkesan amat dekat dan dapat kujamah. Cuaca dingin menjanjikan musim gugur, musimnya perubahan dan kematian. Di langit, belum ada yang bergentayangan, belum ada pesawat jet yang menghujani kota hancur lebur dengan kehancuran. Farley berjalan paling depan, dengan sigap memandu rombongan dari rel ke jalan raya lebar lengang. Puing-puing menganga layaknya ngarai, lebih kelabu dan lebih rusak daripada yang kuingat.
Kami menyusuri jalan ke arah timur, menuju muka air yang tidak kelihatan. Bangunan-bangunan tinggi yang setengah roboh menjulang di kanan-kiri kami, jendela-jendelanya seperti mata yang memperhatikan kami melintas. Kaum Perak bisa saja sudah menanti di ceruk-ceruk kosong dan pelengkung-pelengkung berselimut bayangan, siap membunuh Barisan Merah. Maven pasti ingin aku menonton selagi dia menghabisi mereka satu demi satu. Dia tak akan memberiku hadiah berupa kematian yang rapi dan cepat. Bisa-bisa malah lebih parah lagi, pikirku. Dia sama sekali tak akan membiarkan aku mati. Pemikiran itu menggigilkan darahku layaknya sentuhan seorang pembeku Perak. Meskipun Maven sudah membohongiku, aku masih mengetahui sekeping kecil hatinya. Aku ingat dia sempat memegangiku dari sela jeruji sel, menggamitku dengan jemari gemetar. Aku ingat nama yang dia tanggung, nama yang mengingatkanku bahwa Maven masih punya hati. Namanya Thomas dan aku menyaksikannya meninggal. Dia tidak bisa menyelamatkan pemuda itu. Namun, dia bisa menyelamatkanku, dengan caranya sendiri yang tercela.
Tidak. Aku tidak sudi membuatnya berpuas diri. Lebih baik aku mati saja sekalian.
Namun, sekalipun mencoba, aku tak bisa melupakan bayang-bayangnya, sang pangeran yang terlupakan dan hilang arah. Kuharap orang itu memang nyata. Kuharap orang itu memang sungguhan dan bukan cuma berada dalam kenanganku.
Reruntuhan Naercey menghasilkan gema nan ganjil, lebih sepi daripada seharusnya. Aku mendadak tersadar apa sebabnya. Para pengungsi sudah pergi. Perempuan yang menyapu gundukan abu, anak-anak yang bersembunyi di gorong-gorong, bayang-bayang saudara-saudariku sesama kaum Merah, mereka semua sudah kabur. Tiada siapa-siapa lagi di sini selain kami.
“Terserah kau mau beranggapan apa soal Farley, tetapi kau harus tahu kalau dia tidak bodoh,” kata Shade, menjawab keingintahuanku sebelum aku sempat bertanya. “Dia memerintahkan evakuasi semalam, setelah dia meloloskan diri dari Archeon. Menurutnya kau atau Maven bakal buka mulut di bawah siksaan.”
Dia keliru. Tidak perlu menyiksa Maven. Dia menyerahkan informasi dan pikirannya secara sukarela. Maven membuka kepalanya kepada sang ibu, memperkenankan Elara mencermati semua yang dia lihat di sini. Kereta Bawah Tanah, kota rahasia, daftar itu. Semuanya sekarang menjadi milik Elara, sebagaimana Maven senantiasa menjadi milik ibunya.
Milisi karut-marut bersenjata anggota Barisan Merah memanjang di belakang kami. Farley memimpin barisan sementara Kilorn berderap tepat di belakangku dengan mata siaga ke depan. Dua prajurit tegap dengan muka dibebat syal merah mengawal Cal sambil memegangi lengannya kuat-kuat. Mereka tampak seperti bagian dari sebuah mimpi buruk. Namun, jumlah kami saat ini sedikit sekali, mungkin cuma tiga puluh orang, semuanya berjalan kaki dalam keadaan terluka. Alangkah sedikitnya yang masih bertahan hidup.
“Jumlah kita tidak mencukupi untuk terus mengobarkan pemberontakan, bahkan kalaupun kita berhasil kabur lagi,” bisikku kepada kakakku. Kabut yang menggelayut meredam suaraku, tetapi Shade bisa mendengarku.
Sudut mulutnya berkedut-kedut, menahan senyum. “Itu bukan urusanmu.”
Sebelum aku sempat mendesak Shade lebih lanjut, prajurit di depan kami berhenti. Dia bukanlah satu-satunya. Di kepala barisan, Farley mengangkat kepalan sambil memelototi langit kelabu buram. Yang lain menirukannya, mencari-cari sesuatu yang tidak terlihat oleh kami. Cuma Cal yang memakukan pandang ke tanah. Dia sudah tahu akan seperti apa maut yang menjemput kami.
Pekikan tak manusiawi dari kejauhan menembus kabut. Bunyinya konstan, seperti mesin, berputar-putar di atas, dan tidak tunggal. Dua belas bayangan berbentuk panah berpacu di langit, sayap jingganya berkelebat masuk-keluar awan. Aku tidak pernah melihat pesawat jet dengan saksama; kalaupun pernah, selalu di tengah gelapnya malam dan tidak dari jarak sedekat ini, maka aku mau tak mau melongo sewaktu pesawat-pesawat itu tampak di jarak pandangku. Farley meneriakkan perintah kepada Barisan, tetapi aku tidak mendengarnya. Aku terlalu sibuk menatap langit, memperhatikan tukikan maut bersayap di atas sana. Seperti sepeda Cal, mesin terbang itu indah, terdiri dari konstruksi baja dan kaca yang melengkung di sana-sini. Kuduga pembuatannya memanfaatkan magnetron—bagaimana lagi caranya hingga logam bisa terbang? Mesin di bawah sayap memercikkan kilatan biru, mengisyaratkan keberadaan listrik. Aku merasakan denyarnya samar-samar saja, seperti embusan napas di kulitku, tetapi jaraknya terlampau jauh sehingga tak bisa aku pengaruhi. Aku cuma bisa menonton—dengan ngeri.
Pesawat-pesawat mendesing dan mengitari pulau Naercey, membentuk lingkaran tak putus-putus. Aku hampir-hampir bisa berpura-pura bahwa pesawat-pesawat itu tak berbahaya, cuma burung-burung ganjil yang datang untuk menyaksikan sisa-sisa pemberontakan yang sudah luluh lantak. Kemudian sekelebat logam kelabu meluncur di atas sambil mengepulkan asap dari ekornya, bergerak terlalu cepat sehingga nyaris tak terlihat. Logam itu menabrak bangunan di pinggir jalan raya, menghilang lewat sebuah jendela yang pecah. Ledakan merah-jingga lantas merekah sepersekian detik berselang, menghancurkan satu lantai bangunan yang sudah bobrok. Gedung itu kemudian hancur sendiri, ambruk beserta fondasi berusia ribuan tahun yang patah seperti tusuk gigi. Seluruh bangunan terjungkal, roboh dengan teramat pelan sehingga pemandangan itu terkesan tidak nyata. Ketika puing-puingnya jatuh ke tanah, menghalangi jalan di depan kami, aku bisa merasakan gemuruhnya dalam tulang-tulangku. Kepulan asap dan debu langsung menyambar kami, tetapi aku tidak gentar. Perlu lebih daripada itu untuk menakut-nakutiku pada saat ini.
Dari balik kabut kelabu-cokelat, Cal berdiri tegak sama seperti aku, bahkan selagi para penawannya berjongkok. Mata kami berserobok sekejap saja, sedangkan bahunya merosot. Kalaupun Cal patah arang, cuma itu pertanda yang dia perbolehkan untuk aku lihat.
Farley menarik seorang anggota Barisan terdekat supaya berdiri. “Berpencar!” teriaknya sambil melambai ke gang-gang di kanan-kiri kami. “Ke utara, ke terowongan!” Dia berbicara sambil menunjuk letnan-letnannya, menyuruh mereka harus ke mana. “Shade, ke arah taman!” Kakakku mengangguk, memahami maksudnya. Sebuah misil lagi-lagi menukik ke bangunan dekat kami, menenggelamkan suara Farley. Namun, mudah saja untuk mengetahui apa yang dia teriakkan.
Lari.
Sebagian dari diriku ingin bertahan, ingin berdiri gagah, ingin melawan. Petir ungu-putihku akan menjadikanku target dan mengalihkan perhatian pesawat-pesawat jet dari Barisan yang kabur. Mungkin, aku bahkan bisa menjatuhkan satu atau dua pesawat. Namun, aku tidak boleh begitu. Aku lebih bernilai daripada yang lain, lebih bernilai daripada orang-orang bertopeng merah yang dibebat perban. Shade dan aku harus selamat, kalau bukan demi perjuangan maka demi yang lain. Untuk ratusan orang seperti kami, yang pasti mati jika kami gagal.
Shade mengetahui ini sama seperti aku dan mengaitkan lengannya ke lenganku sambil mencengkeramku erat sekali sehingga mungkin menghasilkan memar. Teramat mudah lari seirama Shade, membiarkannya memanduku dari jalan raya lebar ke balik pohon-pohon lebat hijau-kelabu yang menggelendot ke jalan. Semakin kami masuk ke dalam, semakin rimbun pohon-pohon itu, batang-batang bengkoknya berkelindan bak jemari cacat. Selepas diabaikan selama seribu tahun, sepetak kecil lahan yang ditumbuhi pohon-pohon ini telah menjadi hutan mati. Kerimbunannya melindungi kami dari langit, hingga pesawat-pesawat jet yang berputar di atas hanya kedengaran, tetapi tak terlihat. Kilorn tidak jauh di belakang kami. Sekejap aku bisa berpura-pura bahwa kami sudah pulang, sedang keluyuran di Desa Jangkungan, tengah mencari-cari hiburan dan masalah. Sekarang, ke mana pun kami melangkah hanya masalah yang kami temukan.
Ketika Shade akhirnya mengerem mendadak, tumitnya membekaskan selarik jejak pada tanah di bawah kami, kusempatkan diri untuk melirik ke sekeliling. Kilorn berhenti di sebelah kami, senapannya diacungkan sia-sia ke angkasa, tetapi tak seorang pun mengikuti kami. Aku bahkan tak bisa lagi melihat jalanan ataupun manusia-manusia berseragam merah compang-camping yang kabur ke dalam reruntuhan.
Kakakku memicingkan mata ke balik dahan-dahan pohon, memperhatikan dan menunggu sampai pesawat-pesawat jet terbang menjauh.
“Kita mau ke mana?” tanyaku kepada Shade sambil tersengal-sengal.
Justru Kilorn yang menjawab. “Sungai,” katanya. “Kemudian ke laut. Kau bisa antar kita ke sana?” imbuhnya sambil melirik tangan Shade seakan bisa melihat kemampuan kakakku, seakan kemampuan itu tercap di kulitnya. Padahal, kekuatan Shade tersembunyi sama seperti kekuatanku, tak kasatmata sampai dia memilih untuk menguaknya.
Kakakku menggeleng. “Kalau sekali lompat tidak bisa. Terlalu jauh. Lagi pula, lebih baik aku lari, untuk mengirit kekuatan.” Matanya menjadi kelam. “Sampai kita betul-betul membutuhkannya.”
Aku mengangguk setuju. Berdasarkan pengalaman pribadi, aku tahu rasanya mengumbar kekuatan sampai tulang-tulang kita letih sehingga bergerak saja susah, apalagi bertarung.
“Ke mana mereka akan membawa Cal?”
Pertanyaanku membuat Kilorn berjengit.
“Entah. Peduli setan.”
“Kau sebaiknya peduli,” aku balas menghardik, sekalipun suaraku gemetar karena bimbang. Dia tidak perlu peduli. Kau juga. Jika si pangeran pergi, biarkan saja dia pergi. “Dia bisa menolong kita untuk keluar dari situasi ini. Dia bisa bertarung bersama kita.”
“Dia bakal kabur atau membunuh kita begitu diberi kesempatan,” bentak Kilorn sambil menyibakkan syal, menyibakkan amarah di baliknya.
Dalam kepalaku, aku melihat kobaran api Cal. Api tersebut membakar semua di lintasannya, dari logam hingga daging. “Kalau mau, dia bisa saja membunuhmu.” Aku tidak melebih-lebihkan dan, dari mimiknya yang cemberut, Kilorn juga tahu.
“Kukira kalian berdua sudah berhenti adu mulut,” kata Shade, menengahi kami. “Tololnya aku.”
Kilorn mengeluarkan permohonan maaf yang terpaksa sambil menggertakkan gigi, tetapi aku tidak berbuat serupa. Fokusku tertuju pada pesawat-pesawat jet, menyimak detak jantung listriknya yang meningkahi degup jantungku. Kian detik detaknya kian lirih saja, kian lama kian jauh. “Pesawat-pesawat itu terbang menjauhi kita. Kalau kita ingin pergi, harus sekarang juga.”
Kakakku dan Kilorn sama-sama memandangiku keheranan, tetapi mereka tidak menyanggah. “Ke sini,” kata Shade sambil menunjuk ke sela-sela pepohonan. Jalan setapak kecil yang hampir tak kasatmata meliuk di sela-sela pepohonan, tanah sudah disapu darinya sehingga tampaklah batu-batu dan aspal. Shade lagi-lagi mengaitkan lengannya ke lenganku, sedangkan Kilorn menerjang ke depan sehingga kami berdua mesti cepat-cepat supaya bisa menyusulnya.
Ranting-ranting yang menggores kami, membengkok ke atas jalan setapak menyempit, hingga kami mustahil berlari bersisian. Alih-alih melepaskanku, Shade memaksa lewat sampai kami berdempetan sekali. Kemudian aku menyadari bahwa dia tidak mendempetku. Dia justru mengempiskan udara, mengempiskan dunia. Sekejap, segalanya menjadi gelap gulita, seakan-akan kami telah dipepatkan. Sesaat berselang kami sudah berada di seberang, sedang melihat Kilorn yang keluar dari balik pohon-pohon kelabu.
“Bukannya dia tadi di depan kita,” gumamku keras-keras sambil memandangi Shade dan jalan setapak silih berganti. Kami kini berada di tengah-tengah jalan, dilingkupi oleh langit dan asap yang membubung di atas. “Kau—”
Shade menyeringai. Tindakan itu terkesan salah tempat, apalagi pesawat jet masih meraung-raung di kejauhan. “Anggap saja aku ... melompat. Asalkan kau berpegangan kepadaku, kau bisa ikut,” dia berkata, lantas buru-buru menggiring kami ke gang berikut.
Jantungku berdebar kencang karena tersadar bahwa aku baru saja berteleportasi, hingga aku hampir melupakan situasi genting yang tengah kami hadapi. Namun demikian, pesawat-pesawat jet sontak mengingatkanku kembali. Sebuah misil lagi-lagi meledak, kali ini di sebelah utara, sembari membawa serta bangunan yang keruntuhannya menggetarkan bumi. Debu bergulung-gulung dari ujung gang, menyelubungkan lapisan kelabu ke sekujur tubuh kami. Saat ini asap dan api sudah tak lagi asing bagiku sehingga baunya nyaris tidak tercium, bahkan ketika jelaga mulai berjatuhan seperti salju. Kami meninggalkan tapak kaki di atas selimut jelaga. Barangkali itulah jejak terakhir yang kami buat.
Shade tahu mesti ke mana dan bagaimana mesti berlari. Kilorn tak kesulitan menyusul, sekalipun menyandang senapan nan membebani. Pada saat ini, kami sudah berputar sehingga kembali lagi ke jalan raya. Di sebelah timur, semburat cahaya fajar membelah kepulan debu dan kabut asap, sekaligus membawa serta udara laut berbau garam. Di sebelah barat, bangunan runtuh pertama tergeletak bagaikan raksasa ambruk, menghalangi gerak mundur ke kereta. Kaca pecah, kerangka besi bangunan, dan bongkahan putih pudar aneh berbentuk mirip ayakan menjulang di sekitar kami—puing-puing megah bak istana.
Apa kiranya ini? aku membatin. Julian pasti tahu. Memikirkan namanya saja menyakitkan dan aku buru-buru menyingkirkan kepedihan itu.
Segelintir orang bertopeng lusuh merah melejit menembus kabut asap dan debu. Kupicingkan mata untuk mencari-cari siluet yang familier. Namun, Cal tidak tampak batang hidungnya, dan itu membuatku teramat takut.
“Aku tak akan pergi tanpa dia.”
Shade tidak repot-repot menanyakan siapa yang kumaksud. Dia sudah tahu.
“Si pangeran ikut dengan kita, aku berjanji.”
Tanggapanku menyayat-nyayat sanubari. “Aku tidak percaya pada janjimu.”
Shade seorang prajurit. Hidupnya tidaklah mudah, sedangkan kepedihan bukanlah hal asing baginya. Namun, pernyataanku teramat menyakitkannya. Aku bisa melihatnya di wajah Shade.
Aku akan minta maaf nanti saja, kataku di dalam hati.
Kalau nanti itu tiba.
Sebuah misil meluncur di atas, kemudian jatuh selang beberapa jalan dari tempat kami berada. Gemuruh ledakan di kejauhan tidak menyembunyikan bunyi lebih kasar dan lebih menyeramkan yang menguar dari sekeliling kami.
Derap langkah ribuan pasang kaki.[]
Bab 2
Berkat udara pekat yang diselubungi jelaga, kami sempat menghabiskan beberapa detik untuk menyaksikan petaka yang datang menyongsong kami. Siluet para prajurit bertambah gelap, bergerak menyusuri jalan dari arah utara. Aku belum bisa melihat senjata mereka, tetapi pasukan Perak tidak butuh senjata api untuk membunuh.
Para anggota Barisan kabur mendahului kami, lari gila-gilaan sepanjang jalan raya. Untuk saat ini, kelihatannya mereka bisa saja meloloskan diri, tetapi ke mana? Di balik kabut asap, hanya terbentang sungai dan laut. Tiada tempat yang bisa dituju, tiada tempat untuk sembunyi. Pasukan Perak berderap pelan, langkah mereka janggal karena terkesan diseret-seret. Aku memicingkan mata ke balik kepulan debu, berusaha melihat mereka. Serta-merta aku tersadar apa tepatnya ini, apa yang telah Maven lakukan. Saking terguncangnya, badanku serasa tersetrum, memang dialiri setrum, memaksa Shade dan Kilorn untuk melompat ke belakang.
“Mare!” teriak Shade, setengah kaget-setengah marah. Kilorn tidak mengucapkan apa-apa, hanya memperhatikanku terhuyung-huyung di tempat.
Tanganku mencengkeram lengan Kilorn, tetapi dia tidak berjengit. Percik-percik listrik sudah sirna dari tubuhku—Kilorn tahu aku tak akan menyakitinya. “Lihat,” kataku sambil menunjuk.
Kami tahu para prajurit pasti datang. Cal sudah memberi tahu kami, memperingatkan kami, bahwa Maven akan mengirim selegiun prajurit sehabis pesawat jet. Namun, Cal sekalipun tak akan memprediksi ini. Hanya seseorang berhati sekeji Maven yang mampu menggagas mimpi buruk ini.
Sosok-sosok di baris pertama tidak mengenakan seragam abu-abu pupus seperti para prajurit Perak terlatih anak buah Cal. Mereka bahkan bukan tentara. Mereka adalah pelayan bermantel merah, berselendang merah, bertunik merah, bercelana merah, bersepatu merah. Merah di mana-mana sehingga terkesan seperti mengucurkan darah. Di seputar pergelangan kaki mereka, rantai besi berkelontangan saat menggesek tanah. Bunyi itu serasa menggaruk-garukku, menenggelamkan gemuruh pesawat jet serta misil dan bahkan perintah galak yang dibentakkan oleh para perwira Perak di balik tameng Merah. Yang aku dengar hanyalah gemerincing rantai mereka.
Kilorn naik pitam, hampir-hampir menggeram. Dia melangkah maju sambil mengangkat senapan untuk menembak, tetapi senjata itu bergetar di tangannya. Pasukan masih berada di seberang jalan raya, terlalu jauh untuk dibidik oleh penembak ahli kalaupun tidak ada tameng manusia. Kini, menembak prajurit Perak praktis mustahil.
“Kita harus terus bergerak,” gumam Shade. Amarah menyala-nyala di matanya, tetapi dia tahu mesti berbuat apa, mesti mengabaikan apa, demi bertahan hidup. “Kilorn, ayo ikut sekarang juga, kalau tidak mau kami tinggalkan.”
Kata-kata tajam Shade menyadarkan aku yang sempat linglung saking ngerinya. Ketika Kilorn tidak bergerak, kupegangi lengannya, lalu aku berbisik ke telinganya, berharap mudah-mudahan bisa menenggelamkan kelontang rantai.
“Kilorn.” Suara itulah yang kugunakan untuk menenangkan Ibu sewaktu kakak-kakakku pergi berperang, sewaktu Ayah sesak napas, sewaktu situasi sedang gawat. “Kilorn, tak ada yang bisa kita lakukan untuk mereka.”
Kilorn mendesiskan kata-kata dari balik giginya. “Itu tidak benar.” Dia melirik ke balik bahunya, ke arahku. “Kau harus bertindak. Kau bisa menyelamatkan mereka—”
Alangkah malunya aku karena justru menggeleng. “Tidak, aku tak bisa.”
Oleh sebab itu, kami kembali berlari. Kilorn juga mengikuti.
Kian banyak saja misil yang meledak, kian lama kian cepat dan kian dekat. Aku nyaris tak bisa mendengar karena telingaku berdenging. Baja dan kaca terombang-ambing bagaikan perumpung yang tertiup angin, doyong dan kemudian patah sampai keping-keping perak menggigit menghujani kami. Dalam waktu singkat, berlari menjadi kelewat berbahaya. Shade mencengkeramku semakin erat dan memegangi Kilorn juga, kemudian mengantar kami bertiga melompat saat dunia runtuh. Perutku melilit-lilit tiap kali kegelapan mengungkung kami. Tiap kali melompat, kota yang runtuh kian dekat pula. Abu dan debu beton mengaburkan penglihatan kami, menjadikan kami sulit bernapas. Kaca yang pecah berantakan memantulkan sinar cemerlang, menghasilkan luka-luka lecet di wajah serta tanganku, sekaligus merobek-robek pakaianku. Kilorn kelihatan lebih kepayahan daripada aku, perbannya menjadi merah karena kerembesan darah segar, tetapi dia terus bergerak, berhati-hati supaya tidak terlampau jauh meninggalkan kami. Cengkeraman kakakku tidak kunjung melemah, tetapi Shade mulai kelelahan, bertambah pucat seiring tiap lompatan anyar. Aku bukannya tidak berdaya, sebab aku bisa menggunakan percikan listrik untuk menepis serpih-serpih logam yang bahkan tak bisa Shade hindari. Namun, kami tidak cukup, bahkan tidak cukup untuk melindungi diri kami sendiri.
“Seberapa jauh lagi?” Suaraku kedengarannya kecil, ditenggelamkan oleh ingar-bingar perang. Di balik kabut asap dan jelaga, aku hanya bisa melihat sampai beberapa kaki saja. Namun, aku masih bisa merasa. Dan yang kurasakan adalah sayap, mesin, listrik yang mendenging nyaring di atas dan kian lama menukik kian dekat. Kami tak ubahnya tikus di permukaan tanah yang menunggu disambar oleh elang.
Shade menyetop kami, matanya yang sewarna madu melirik ke sana-kemari. Sekejap aku sempat takut kalau-kalau dia tersesat. “Tunggu,” kata Shade, mengetahui sesuatu yang tak kami ketahui.
Kakakku menatap ke atas, ke kerangka bangunan yang dulunya megah. Ukurannya mahabesar, malah lebih tinggi daripada menara tertinggi di Balairung Matahari, lebih lebar daripada Alun-alun Caesar di Archeon. Bulu kudukku berdiri sewaktu aku menyadari bahwa kerangka bangunan itu bergerak. Depan-belakang, kiri-kanan, kuda-kudanya yang sudah berabad-abad ditelantarkan bergoyang-goyang. Selagi kami memperhatikan, kerangka bangunan mulai miring, awalnya pelan-pelan, seperti lelaki tua yang hendak duduk. Lalu kian lama kian cepat, terjungkal ke sekeliling dan sepertinya bakal menimpa kami.
“Pegang aku,” teriak Shade untuk melampaui kegaduhan sambil memperbaiki pegangannya pada kami berdua. Lengannya yang sebelah mendekap pundakku demikian erat, hampir-hampir meremukkanku dan membuatku sesak napas. Aku menanti-nantikan sensasi melompat yang kini tak nyaman, tetapi kami tak kunjung melompat. Aku justru disambut oleh bunyi yang lebih akrab di telinga.
Letusan senjata api.
Yang kini menyelamatkanku bukanlah kekuatan Shade, melainkan darahnya. Peluru yang mengincarku justru mengenai lengan atas Shade, sedangkan sebutir peluru yang lain menyerempet tungkainya sehingga mencuil dagingnya. Shade meraung kesakitan, nyaris jatuh ke tanah retak-retak di bawah. Aku merasakan tembakan yang mendera Shade, tetapi aku tak punya waktu untuk merasa sakit. Makin banyak saja peluru yang mendesing di udara, terlalu cepat dan banyak untuk dilawan. Kami hanya bisa berlari, kabur dari bangunan-bangunan yang runtuh dan pasukan yang mendekat. Yang satu menafikan yang lain, sebab baja berkelindan yang roboh menjadi penghalang antara kami dengan legiun. Paling tidak, seharusnya begitu. Gravitasi dan api menjatuhkan bangunan-bangunan, tetapi daya magnetron menyingkirkan reruntuhan sehingga urung menamengi kami. Ketika menengok ke belakang, aku melihat kira-kira selusin orang berambut perak dan berbaju tempur hitam, sibuk menepiskan tiap kasau dan kuda-kuda baja yang ambruk. Aku kurang dekat sehingga tidak bisa melihat wajah mereka, tetapi aku sudah cukup mengenal Klan Samos. Evangeline dan Ptolemus mengarahkan keluarga mereka, membersihkan jalan terlebih dahulu supaya legiun dapat maju terus. Supaya mereka bisa memungkasi yang mereka awali dan membunuh kami semua.
Andaikan Cal menghabisi Ptolemus di arena, andaikan aku membalas “kebaikan” Evangeline dengan imbalan yang setimpal. Andai demikian, kami mungkin berpeluang menang. Namun, belas kasihan kami ternyata mesti dibayar mahal, sedangkan bayaran itu mungkin adalah nyawa kami.
Giliranku memegangi kakakku, untuk menyokongnya sebisa mungkin. Kilorn-lah yang lebih banyak bekerja berat. Dia menopang sebagian besar bobot Shade, setengah menyeret kakakku ke arah lubang bekas ledakan yang masih berasap. Kami terjun ke dalamnya dengan penuh syukur, berlindung ala kadarnya barang sejenak dari hujan peluru. Namun, tidak bisa lama-lama.
Kilorn tersengal-sengal, tetes-tetes keringat menempel di atas alisnya. Dia merobek sebelah lengan bajunya, menggunakan kain itu untuk memerban tungkai Shade. Darah segera saja menodai perban itu. “Bisakah kau melompat?”
Kakakku mengerutkan kening, bukan untuk merasakan sakitnya melainkan untuk meraba-raba kekuatannya. Kalau itu, aku paham. Dia lantas menggelengkan kepala lambat-lambat, matanya tampak mendung. “Belum bisa.”
Kilorn mengumpat pelan. “Kalau begitu, kita harus berbuat apa?”
Aku tidak langsung menyadari kalau Kilorn sedang bertanya kepadaku, bukan kepada kakakku. Bukan sang prajurit yang lebih mengenal pertempuran ketimbang kami berdua. Namun, dia sesungguhnya tidak minta saran dariku. Yang dia mintai saran bukan Mare Barrow dari Desa Jangkungan, si pencuri, si pembohong, temannya. Kilorn sedang melihat orang lain, yaitu aku yang terlahir dari balairung istana dan arena pasir.
Dia sedang menanyai si Gadis Petir.
“Mare, apa yang harus kita lakukan?”
“Tinggalkan aku, itu yang harus kalian lakukan!” geram Shade sambil menggertakkan gigi, menjawab sebelum aku sempat buka mulut. “Larilah ke sungai, cari Farley di sana. Begitu aku sanggup, aku akan melompat untuk menyusul kalian.”
“Jangan berbohong kepada tukang bohong,” ujarku, berusaha sebaik-baiknya agar tidak gemetaran. Kakakku baru saja dikembalikan kepadaku, bak hantu yang baru kembali dari kematian. Aku tidak sudi membiarkannya pergi lagi, demi apa pun juga. “Kita akan angkat kaki dari sini bersama-sama. Kita semua.”
Derap kaki legiun menggetarkan tanah. Dengan sekali lirik dari bibir lubang, bisa kulihat bahwa mereka tidak sampai seratus meter dari tempat kami berada dan tengah maju dengan cepat. Aku bisa melihat para prajurit Perak di sela-sela barisan Merah, seragam mereka abu-abu pupus. Sebagian mengenakan baju tempur, pelat-pelatnya selaras dengan warna klan mereka. Aku melihat warna biru, kuning, hitam, cokelat, dan masih banyak lagi. Para nymph dan telky serta sutra dan lengan perkasa, para kesatria terkuat yang dapat diutus kaum Perak untuk membabat kami. Mereka menganggap Cal sebagai pembunuh raja, aku teroris, dan mereka tentu sudi menghancurleburkan seisi kota untuk membinasakan kami.
Cal.
Hanya darah kakakku dan napas Kilorn yang tak teratur yang mencegahku meloncat ke luar lubang. Aku harus menemukan dirinya, harus. Kalau bukan demi diriku sendiri maka demi perjuangan, demi melindungi langkah mundur kami. Nilai dirinya setara dengan seratus prajurit ulung. Dia bagaikan perisai emas. Namun, dia mungkin sudah pergi, melarikan diri, meleburkan belenggunya dan kabur ketika kota mulai ambruk di sana-sini.
Tidak, dia tak akan lari. Mustahil dia melarikan diri dari pasukan itu, dari Maven, dari aku. Kuharap aku tidak keliru.
Kuharap dia belum mati.
“Bantu dia bangun, Kilorn.” Di Balairung Matahari, almarhumah Lady Blonos telah mengajariku berbicara laiknya putri. Caranya adalah dengan suara dingin, tak kenal kompromi, tak bisa diganggu gugat.
Kilorn menurut, tetapi Shade ternyata mampu memprotes. “Aku hanya akan memperlambat kalian.”
“Minta maafnya nanti saja,” timpalku sambil membantu Shade berdiri. Namun, aku hampir tidak memperhatikan kakakku ataupun Kilorn, sebab konsentrasiku tengah tertuju ke tempat lain. “Mulailah berlari.”
“Mare, kalau kau pikir kami rela meninggalkanmu—”
Ketika aku menoleh untuk menatap Kilorn, percik-percik listrik telah muncul di tanganku dan tekad telah membuncah dalam hatiku. Kata-kata terhapus begitu saja dari bibirnya. Dia melirik ke belakangku, memandangi pasukan yang kian lama kian dekat saja. Para telky dan magnetron menyingkirkan puing-puing dari jalan, menghasilkan keriat-keriut logam yang menggesek batu demi membukakan jalur penghancuran.
“Lari.”
Kilorn lagi-lagi menurut, sedangkan Shade tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti sambil terpincang-pincang, meninggalkanku di belakang. Selagi mereka memanjat untuk keluar dari lubang dan bergegas-gegas ke barat, aku mengayunkan langkah terukur ke sebelah timur. Pasukan pasti berhenti begitu melihat aku. Mereka harus berhenti.
Selepas satu detik nan mencekam, kaum Merah melambat, rantai yang membelenggu berkelontangan saat mereka berhenti. Di belakang mereka, para prajurit Perak menyeimbangkan senapan hitam ke pundak, seolah-olah senjata itu bukan apa-apa. Kendaraan-kendaraan perang, yang berupa mesin mahabesar beroda rantai, berhenti lambat laun di belakang pasukan disertai bunyi berkeriut. Aku bisa merasakan kekuatan mesin-mesin itu, berdenyut seirama detak nadiku.
Pasukan kini cukup dekat sehingga aku bisa mendengar teriakan para perwira. “Gadis Petir!” “Rapatkan barisan, tetaplah tegak!” “Bidik!” “Jangan tembak dulu!”
Hal yang paling mengerikan terdengar belakangan, berkumandang di jalan yang mendadak sepi. Suara Ptolemus sudah tak asing lagi, sarat dengan kebencian dan kemurkaan.
“Beri jalan untuk Baginda Raja!” teriaknya.
Aku terhuyung-huyung mundur. Kedatangan pasukan Maven sudah aku perkirakan, tetapi tidak Maven sendiri. Dia bukan prajurit seperti kakaknya dan dia tidak memiliki kemampuan untuk memimpin pasukan. Namun, ternyata, di sinilah dia, melenggang untuk menembus barisan prajurit yang tersibak, dibuntuti oleh Ptolemus dan Evangeline. Ketika dia melangkah dari balik barisan kaum Merah, lututku hampir melemas. Baju tempurnya hitam mengilap, jubahnya merah darah. Entah bagaimana, dia kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan tadi pagi. Dia masih mengenakan mahkota api ayahnya, sekalipun tutup kepala itu tidak semestinya dikenakan di medan tempur. Kuduga dia ingin memamerkan buah dustanya kepada dunia, ingin memamerkan hadiah hebat yang sudah dia menangi. Dari jarak sejauh ini saja, aku bisa merasakan panasnya tatapan Maven dan amarahnya yang menggelegak. Aku jadi terbakar dari dalam ke luar.
Tak terdengar apa-apa selain pesawat jet yang melesat di atas; itulah bunyi satu-satunya di dunia.
“Bisa kulihat bahwa kau masih pemberani,” kata Maven, suaranya terhanyut sepanjang jalan raya. Suara itu bergema ke antara reruntuhan, mengolok-olok aku. “Dan juga bodoh.”
Sama seperti di arena, aku tak akan menunjukkan rasa marah dan takutku. Aku tidak sudi membuat Maven puas.
Bab 2-2
“Kau semestinya dijuluki Gadis Kecil Pendiam,” kata Maven sambil tertawa dingin, diiringi oleh tawa pasukannya. Kaum Merah tetap membisu, mata mereka terpaku ke tanah. Mereka tidak ingin menyaksikan kejadian yang akan berlangsung. “Nah, Gadis Pendiam, silakan beri tahu tikus-tikus temanmu bahwa perlawanan sudah usai. Mereka sudah terkepung. Panggil mereka supaya keluar. Kalau mereka menurut, akan kuberi mereka kematian yang enak sebagai imbalan.”
Kalaupun bisa menyampaikan perintah macam itu, aku tak akan melakukannya. “Mereka sudah pergi.”
Jangan berbohong kepada pembohong. Padahal, Maven adalah tukang bohong paling lihai.
Meski demikian, Maven tampak bimbang. Barisan Merah sudah berkali-kali kabur, di Alun-Alun Caesar, di Archeon. Barangkali saat ini mereka juga bisa melarikan diri. Alangkah memalukannya jika sampai begitu. Bukan preseden yang bagus pada awal masa kekuasaannya.
“Si pengkhianat bagaimana?” Suara Maven bertambah menusuk, sedangkan Evangeline bergerak lebih dekat dengan Maven. Rambut perak gadis itu berkilauan laksana ujung silet, lebih terang daripada baju tempurnya yang bersepuh. Namun, Maven justru menjauhi Evangeline sambil mengibaskan lengan, seperti kucing yang membuang mainan begitu saja. “Bagaimana dengan kakakku yang terkutuk, si Pangeran Terbuang?”
Dia tak kunjung mendengar jawabanku, sebab aku tak punya jawaban.
Maven tertawa lagi dan kali ini, tawanya mengiris-iris hatiku. “Apa dia sudah meninggalkanmu juga? Apa dia kabur? Si pengecut membunuh ayah kami dan hendak merebut takhtaku, tetapi ujung-ujungnya malah pergi mengendap-endap untuk mengumpet?” Dia berlagak berang, sengaja menyajikan tontonan itu kepada para bangsawan dan prajuritnya. Bagi mereka, Maven pasti terkesan bak putra malang, raja yang tidak ditakdirkan untuk mengenakan mahkota, yang semata-mata menginginkan keadilan bagi sang mendiang.
Aku mengangkat dagu untuk menantangnya. “Apa menurutmu Cal bakal berbuat seperti itu?”
Maven sama sekali tidak bodoh. Dia jahat, tetapi tidak tolol, dan di antara semua orang yang hidup di dunia ini, dialah yang paling mengenal kakaknya. Cal bukan pengecut dan tak akan pernah menjadi pengecut. Membohongi rakyatnya tak akan mengubah kenyataan itu. Kilat-kilat di mata Maven tidak bisa bohong, mengungkapkan isi hatinya. Dia melirik ke samping, ke gang-gang dan jalan-jalan yang bercabang dari jalan raya babak belur. Cal bisa bersembunyi di mana saja, sedang ambil ancang-ancang untuk menyerang. Aku mungkin saja bertindak sebagai umpan, sebagai pancingan untuk memerangkap si licik yang dulu kupanggil teman dan tunangan. Ketika Maven menolehkan kepala, mahkotanya merosot, kebesaran di batok kepalanya. Logam itu saja tahu bahwa Maven bukanlah pemilik sahnya.
“Menurutku kau seorang diri, Mare.” Bicaranya lembut. Terlepas dari semua perbuatannya kepadaku, aku bergidik saat mendengar namaku terucap di mulutnya. Aku jadi teringat akan hari-hari yang telah berlalu. Dahulu, dia mengucap namaku dengan ramah dan penuh kasih sayang. Kini, kedengarannya seperti kutukan. “Teman-temanmu sudah pergi. Kalian sudah kalah. Dan kau adalah anomali, spesimen menyimpang satu-satunya di dunia ini. Menyingkirkanmu dari muka bumi justru merupakan tindakan welas asih.”
Lagi-lagi dusta, dan kami sama-sama mengetahuinya. Kutirukan tawa dingin Maven. Sekejap, kami seakan berkawan lagi. Namun, tidak demikian adanya.
Sebuah pesawat jet lewat di atas, sayap-sayapnya hampir menyenggol puncak reruntuhan dekat kami. Jaraknya dekat sekali. Terlalu dekat. Aku bisa merasakan jantung listriknya, mesin-mesin mendengung yang entah bagaimana mempertahankan kendaraan itu hingga tetap terbang. Aku menggapai intisari listrik itu sebisaku, sebagaimana yang sudah kulakukan berkali-kali sebelumnya. Sebagaimana aku menggapai lampu, kamera, tiap sambungan kabel dan sirkuit listrik sejak menjadi Gadis Petir. Kukuasai aliran listrik itu dan lantas aku matikan.
Pesawat jet menukik tajam, moncongnya berada di bawah. Pesawat itu sempat memanfaatkan sayap-sayap besarnya untuk melayang, tetapi hanya sekejap. Karena dimaksudkan untuk melindungi raja, lintasan asli pesawat berada tepat di atas legiun, jauh tinggi di angkasa. Kini, matinya daya menyebabkan pesawat itu bergerak tepat ke arah pasukan, melampaui barisan kaum Merah dan langsung menabrak ratusan prajurit Perak.
Para magnetron Samos dan telky kurang gesit, membuat pesawat jet keburu menggeret jalan, sekaligus membuat aspal dan tubuh-tubuh beterbangan. Gelegar membahana yang dihasilkan oleh ledakan pesawat nyaris menjatuhkanku dan mengempaskanku jauh-jauh. Ledakan itu memekakkan, menyakitkan, dan membuatku terdisorientasi. Tiada waktu untuk merasa sakit berulang-ulang di dalam kepalaku. Aku tidak repot-repot menonton pasukan Maven yang kacau-balau. Aku sudah keburu berlari sambil melecutkan petir.
Percik-percik ungu-putih menamengi punggungku, mengamankanku dari para manusia cepat yang mengejarku. Segelintir menumbuk petirku, berusaha untuk menerobos. Mereka kontan ambruk, teronggok lunglai dengan daging berasap dan tulang berkedut-kedut. Aku bersyukur tak dapat melihat wajah mereka karena bisa-bisa aku memimpikan mereka nanti. Peluru-peluru lantas datang menyusul, tetapi aku berlari zigzag sehingga susah disasar. Segelintir tembakan yang sampai ke dekatku seketika terpental dari perisai listrikku, sebagaimana yang mestinya dialami tubuhku ketika aku terjatuh ke jaring listrik saat Pemilihan Ratu. Momen itu serasa sudah lama sekali. Di atas, pesawat-pesawat jet kembali meraung-raung, kali ini dengan hati-hati menjaga jarak dariku. Namun, misil mereka tidak sesopan itu.
Sudah ribuan tahun reruntuhan Naercey berdiri, tetapi riwayatnya akan tamat hari ini. Bangunan-bangunan dan jalan-jalan hancur lebur, dibinasakan oleh kekuatan kaum Perak dan juga misil. Segalanya dan semua orang telah dikerahkan. Para magnetron memuntir dan mematahkan kuda-kuda baja, sedangkan para telky dan lengan perkasa melemparkan berangkal ke langit kelam berjelaga. Air menyembur dari selokan sementara para nymph berusaha membanjiri kota, menggelontor para anggota Barisan yang bersembunyi dalam gorong-gorong di bawah kami supaya keluar dari sana. Angin melolong, yang sedahsyat topan, diciptakan oleh para penenun angin anggota pasukan. Air dan berangkal memedihkan mataku, embusan angin demikian kencang sampai-sampai nyaris membutakan. Tanah berguncang di bawahku berkat ledakan yang dihasilkan oleh para penghancur, membuatku sempoyongan dan hampir-hampir linglung. Aku tak pernah jatuh. Namun, kini, wajahku menggores aspal, menyisakan jejak darah.
Jeritan seorang banshee memecahkan kaca-kaca dan kembali mengempaskanku ke tanah, sekaligus memaksaku untuk menutupi kuping. Darah lagi-lagi menetes deras kental, kali ini dari sela-sela jemariku. Kurasa aku semestinya berterima kasih kepada si banshee karena sudah memaksaku tiarap. Selagi aku menjatuhkan diri, misil lagi-lagi mendesing di atas kepalaku, dekat sekali sampai-sampai aku bisa merasakan sabetannya di udara.
Misil meledak terlalu dekat, hawa panasnya berdenyut-denyut menembus perisai listrik yang kutegakkan dengan terburu-buru. Samar-samar aku membatin akankah aku mati tanpa alis. Alih-alih membakarku, hawa panas itu berdenyar konstan, tidak nyaman tetapi masih tertahankan. Cengkeraman kuat nan kasar kemudian menarikku hingga berdiri. Dari balik terpaan angin ribut nan menggigit, aku bisa melihat rambut pirang yang berkilau diterpa cahaya api dan sesosok wajah. Farley. Senapannya hilang, pakaiannya robek-robek, sedangkan ototnya bergetar. Namun, dia tetap menahanku supaya berdiri.
Di belakang Farley, sosok jangkung yang tak asing lagi tampak sebagai siluet hitam berlatar belakang ledakan. Dengan tangan terulur, dihalaunya ledakan tersebut. Belenggunya sudah lenyap, melebur atau dilepaskan. Ketika dia membalikkan badan, lidah api membesar sehingga menjilat-jilat angkasa dan menghancurkan jalanan, tetapi tidak mengenai kami. Cal tahu persis apa yang dia lakukan, mengarahkan badai api itu ke sekeliling kami seperti air yang mengelilingi batu. Sama seperti di arena, dia membentuk dinding membara yang melintang jalan, melindungi kami dari adiknya dan legiun di seberang sana. Namun kini, kobaran apinya kuat, dikompori oleh oksigen dan amarah. Lidah api Cal meloncat-loncat ke udara, panas sekali sampai-sampai pangkalnya membiru seram.
Makin banyak saja misil yang berjatuhan, tetapi Cal lagi-lagi mengungkung dan memanfaatkan kekuatan ledakan. Cal mengulurkan lengan panjangnya, yang kemudian dia lengkungkan dan kibaskan, hingga mengubah kehancuran menjadi tameng pelindung. Transformasi itu berjalan dengan irama konstan, menghasilkan pemandangan yang hampir-hampir indah.
Farley berusaha menarikku menjauh, menelikungku. Dilindungi oleh kobaran api, bisa kulihat bahwa sungai berjarak tidak sampai seratus meter. Aku bahkan bisa melihat bayang-bayang Kilorn dan kakakku, yang terseok-seok demi mencapai—mudah-mudahan—keselamatan.
“Ayo, Mare,” hardik Farley sambil setengah menyeret badanku yang memar-memar dan lemas.
Sekejap, kubiarkan dia menyeretku. Aku terlampau kesakitan sehingga tidak bisa berpikir jernih. Namun, sekali lirik ke belakang, pahamlah aku apa yang Farley lakukan dan apa yang dia usahakan agar aku lakukan.
“Aku tak akan pergi tanpa dirinya!” teriakku untuk kali kedua hari ini.
“Menurutku dia baik-baik saja seorang diri,” kata Farley, mata birunya memantulkan api.
Dulu, pendapatku sama seperti Farley. Kukira kaum Perak tak terkalahkan, tak ubahnya dewa-dewi di muka bumi, terlalu perkasa sehingga mustahil dihabisi. Namun, aku sudah membunuh tiga orang Perak pagi ini: Arven, si lengan perkasa Rhambos, dan Osanos si bangsawan nymph. Mungkin aku malah sudah membunuh lebih banyak orang lagi, berkat badai petirku. Karena kalau tidak, mereka niscaya sudah membunuhku dan juga Cal. Kami harus saling menyelamatkan di arena. Kini kami harus kembali saling menyelamatkan.
Farley lebih besar daripada aku, lebih tinggi dan lebih kuat, tetapi aku lebih lincah. Sekalipun aku babak belur dan setengah tuli. Dengan menyentakkan pergelangan kakiku sekali saja, dengan mendorongnya sekali saja pada saat yang tepat, terlepaslah pegangan Farley dan dia jatuh ke belakang. Aku seketika membalikkan badan sambil mengulurkan telapak tangan, meraba-raba yang aku butuhkan. Listrik di Naercey lebih sedikit daripada di Archeon atau bahkan di Desa Jangkungan, tetapi aku tidak perlu menyedot tenaga listrik dari tempat lain. Aku bisa menghasilkan listrik sendiri.
Nymph mengirimkan semburan air pertama sedahsyat gelombang pasang yang menabrak kobaran api. Sebagian besar air kontan menguap, tetapi sisanya membasahi dinding api sehingga memadamkan kobarannya yang menjilat-jilat. Aku menanggapi air dengan listrikku sendiri, membidik ke gelombang yang mengombak dan menerpa udara. Di balik gelombang, legiun Perak berderap ke depan untuk menyerbu kami. Setidak-tidaknya kaum Merah yang terbelenggu sudah ditarik ke belakang, digiring ke ekor barisan. Pasti ulah Maven. Dia tak akan membiarkan mereka memperlambatnya.
Para prajurit Maven menjumpai petirku alih-alih udara terbuka dan, dari balik kilatan petir, api Cal menyala kembali dari onggokan bara.
“Mundur pelan-pelan,” kata Cal sambil mengedepankan telapak tangannya yang sebelah. Aku menirukan langkahnya yang terukur, berhati-hati sekali supaya tidak berpaling dari sumber ancaman. Bersama-sama, Cal dan aku bergantian melindungi langkah mundur kami. Ketika apinya padam, petirku menyambar-nyambar, begitu pula sebaliknya. Bersama-sama, kami bisa menciptakan peluang.
Dia menggumamkan perintah kecil-kecilan: kapan harus berhenti, kapan harus membangun dinding api, kapan harus merobohkannya. Baru kali ini aku melihatnya selelah itu, pembuluh darahnya tampak biru kehitaman di balik kulit nan pucat, sedangkan matanya berkantong keabu-abuan. Aku tahu penampilanku pasti lebih parah lagi. Namun, karena Cal cepat, kami urung menyerah, masih sempat memulihkan kekuatan barang sedikit tepat saat kami membutuhkannya.
“Sedikit lagi saja,” seru Farley, suaranya berkumandang dari belakang. Namun, dia tidak lari. Dia bertahan bersama kami, sekalipun dia hanyalah manusia biasa. Dia ternyata lebih pemberani daripada yang aku sangka.
“Sedikit lagi sampai kapan?” geramku sambil menggertakkan gigi, lagi-lagi melemparkan jejaring listrik. Walaupun dipandu oleh Cal, aku makin lambat saja dan sejumlah peretelan beton berhasil menerobos masuk. Beberapa meter selepas menembus tameng penghalang kreasi kami, keping-keping tersebut pecah menjadi debu halus. Tidak bisa begini terus. Kami kehabisan waktu.
Akan tetapi, Maven juga sama.
Aku bisa mencium bau sungai dan juga laut. Aroma garam nan menusuk memanggil-manggil, tetapi entah nyatanya seperti apa. Aku hanya tahu bahwa Farley dan Shade yakin perairan akan menyelamatkan kami dari cengkeraman Maven. Ketika melirik ke belakang, yang kulihat hanyalah jalan raya buntu yang berujung di muka sungai. Farley berdiri menanti, rambut pendeknya acak-acakan karena tertiup angin panas. “Lompat,” dia berucap tanpa suara, lalu meloncat dari bibir jalan ambrol.
Mau-maunya dia menjerumuskan diri ke dalam jurang?
“Dia ingin agar kita melompat,” aku memberi tahu Cal, buru-buru membalikkan badan untuk menggantikan dinding apinya dengan lecutan listrikku.
Cal menggerung setuju, tidak berbicara karena terlalu berkonsentrasi. Sama seperti petirku, apinya kian lemah dan tipis saja. Kami hampir-hampir bisa melihat ke balik kobaran api, melihat para prajurit di seberang sana. Lidah api bekerlap-kerlip mendistorsi sosok mereka, membuat mata mereka seperti batu bara yang menyala-nyala, mulut mereka menyerupai senyum bertaring, dan manusia menjadi iblis.
Salah seorang menghampiri dinding api, cukup dekat sehingga bisa-bisa terbakar. Namun, dia tak terbakar. Dia justru menyibakkan kobaran api seperti tirai. Cuma satu orang yang bisa melakukan itu.
Maven menggoyangkan jubah konyolnya untuk menepiskan bara, membiarkan kain sutra terbakar sementara baju tempurnya tetap kokoh. Malahan, dia berani-beraninya tersenyum.
Entah bagaimana, Cal sanggup untuk berpaling. Alih-alih mencabik-cabik Maven dengan tangan kosong, dia memegangi pergelanganku dengan cengkeramannya yang panas membara. Kami lalu berlari cepat bersama-sama, tidak repot-repot melindungi punggung kami. Maven bukanlah tandingan bagi kami berdua dan dia mengetahuinya. Oleh sebab itu, dia berteriak. Walaupun kepalanya bermahkota dan tangannya berlumur darah, dia masih muda belia.
“Larilah, Pembunuh! Larilah, Gadis Petir! Larilah cepat-cepat dan jauh-jauh!” Tawanya bergema ke reruntuhan. “Ke mana pun kalian pergi, aku pasti bisa menemukan kalian!”
Aku samar-samar menyadari bahwa petirku mati, meredup seiring dengan semakin jauhnya aku. Kobaran api Cal ikut mengecil, hingga legiun di belakang kami kini bebas untuk terus maju. Namun, kami keburu melompat ke udara untuk menyongsong sungai tiga meter di bawah kami.
Kami mendarat, bukan disertai deburan melainkan dentang logam nan nyaring. Aku harus berguling supaya pergelangan kakiku tidak patah, tetapi aku tetap saja merasakan nyeri yang berdenyut-denyut menjalari tulangku. Apa? Farley menunggu di sungai dingin setinggi lutut, di samping sebuah tabung logam yang atasnya terbuka. Tanpa bicara, masuklah dia ke tabung itu, menghilang ke dalam entah apa yang berada di bawah kami. Kami tak punya waktu untuk menyanggah atau bertanya, maka kami mengikutinya saja.
Setidak-tidaknya Cal ingat untuk menutup pintu tabung di belakang kami, menghalau sungai dan peperangan di luar. Pintu tertutup disertai bunyi berdesis, menyegel tabung rapat-rapat. Namun, pintu kedap udara tak akan melindungi kami lama-lama dari legiun.
“Terowongan lagi?” tanyaku megap-megap sambil menoleh ke arah Farley. Penglihatanku kontan bebercak-bercak hitam karena gerakan tiba-tiba dan aku harus menyandar ke dinding dengan kaki gemetaran.
Sama seperti di jalan tadi, Farley menopang pundakku dengan sebelah lengannya untuk memapahku. “Tidak, ini bukan terowongan,” katanya sambil cengar-cengir misterius.
Baru saat itulah aku merasakannya. Seperti baterai yang berdengung entah di mana, tetapi lebih besar. Lebih kuat. Dayanya berdenyut-denyut di sekeliling kami, di sepanjang koridor aneh yang disemarakkan tombol kerlap-kerlip dan lampu kuning rendah. Aku melihat syal merah yang berkelebat di lorong, menyembunyikan wajah anggota Barisan. Kelihatannya seperti bayangan merah buram. Disertai deritan, seisi koridor lantas bergoyang dan menurun, miring ke arah bawah. Ke dalam air.
“Kapal. Kapal bawah air,” kata Cal. Suaranya berjarak, gemetaran, dan lemah. Persis seperti yang kurasakan.
Kami hanya mampu maju beberapa kaki lagi, lalu ambruk sambil menyandar ke dinding miring.[]
Bab 3
Beberapa hari belakangan ini, aku terbangun dalam sel penjara dan di kereta. Sekarang, aku terbangun dalam kapal bawah air. Di mana aku akan terbangun besok?
Aku mulai mengira bahwa semua ini hanyalah mimpi, atau halusinasi, atau mungkin lebih parah lagi. Namun, bisakah kita merasa letih dalam mimpi? Karena aku jelas-jelas capek. Kelelahanku terasa sampai di tulang-tulang, di dalam otot dan saraf. Hatiku pun terluka karena sebab lain, masih berdarah-darah karena pengkhianatan dan kegagalan. Sewaktu aku membuka mata dan mendapati dinding kelabu menyesakkan, semua yang aku ingin lupakan muncul berturut-turut dalam benakku. Kesannya seolah-olah Ratu Elara kembali memasuki kepalaku, memaksaku menjalani kembali kenangan-kenangan terburukku. Sekalipun sudah mencoba, aku tidak bisa membungkam kenangan-kenangan itu.
Para pelayanku yang pendiam telah dieksekusi, tidak salah apa-apa kecuali melukisi kulitku. Tristan, disula seperti babi. Walsh. Dia seusia kakakku, pelayan dari Desa Jangkungan, temanku—salah seorang dari kami. Dan dia meninggal dengan tragis, di tangannya sendiri, demi melindungi Barisan, perjuangan kami, dan aku. Masih banyak lagi yang meninggal dalam terowongan-terowongan di Alun-Alun Caesar, anggota Barisan yang dibunuh oleh para prajurit Cal, tewas akibat rencana bodoh kami.
Kenangan akan darah merah serasa membakar, begitu pula pemikiran akan perak. Lucas, seorang kawan, seorang pelindung, seorang Perak berhati baik, dieksekusi karena perbuatan yang Julian dan aku paksakan. Lady Blonos, dipenggal karena mengajariku cara duduk yang benar. Kolonel Macanthos, Reynald Iral, Belicos Lerolan. Dikorbankan demi perjuangan kami. Aku hampir muntah ketika teringat akan si kembar Lerolan, sepasang bocah laki-laki yang baru berusia empat tahun, yang tewas dalam ledakan selepas tembakan. Maven memberitahuku bahwa ledakan itu adalah kecelakaan—pipa gas bocor terkena peluru.
Namun, sekarang aku tahu bahwa bukan begitu adanya. Saking terencananya kejahatan Maven, mustahil ledakan tersebut adalah kebetulan belaka. Menurutku, Maven tak akan keberatan mengorbankan beberapa mayat lagi demi meyakinkan dunia bahwa Barisan Merah adalah monster. Dia akan membunuh Julian dan juga Sara. Mereka barangkali malah sudah mati. Aku sama sekali tak sanggup memikirkan mereka. Rasanya terlalu menyakitkan. Kini pikiranku kembali mengembara kepadanya, ke mata biru nan dingin dan momen saat aku menyadari bahwa senyumnya yang memukau menyembunyikan kebuasan.
Kasur yang kutiduri keras, selimutnya tipis, serta tidak ada bantal, tetapi sebagian dari diriku ingin merebahkan badan. Sakit kepalaku kembali lagi, cenat-cenut seirama denyut listrik kapal ajaib ini. Denyut tak henti-henti tersebut menjadi pengingat tegas bahwa tiada kedamaian bagiku di sini. Mana boleh, padahal masih banyak yang perlu dikerjakan?! Daftar itu. Nama-nama. Aku harus menemukan mereka. Aku harus menyelamatkan mereka dari Maven dan ibunya. Panas merambati seluruh wajahku, kulitku memerah karena teringat akan buku kecil berisi rahasia berharga yang telah Julian kumpulkan dengan susah payah. Catatan tentang orang-orang seperti aku, yang mutasi ganjilnya memberi kami darah Merah dan kemampuan Perak. Daftar itu adalah warisan Julian. Juga warisanku.
Aku mengayunkan kaki ke samping, hampir membentur tempat tidur di atasku, dan menemukan sesetel pakaian yang terlipat rapi di lantai. Celana hitam kepanjangan, baju merah tua yang sikunya sudah aus, dan sepatu bot yang tidak ada talinya. Lain sekali dengan pakaian bagus yang kudapati di sel Perak, tetapi terasa pas di kulitku.
Aku baru memasukkan baju ke kepala ketika engsel besi besar yang berderit menandakan terbukanya pintu kompartemenku. Kilorn menanti penuh harap di balik pintu, senyumnya murung dan dipaksakan. Kilorn semestinya tidak merona, sebab dia sering melihatku berpakaian minim pada sekian banyak musim panas, tetapi pipinya tetap saja memerah.
“Tumben kau tidur lama,” katanya. Aku bisa menangkap kekhawatiran dalam suaranya.
Aku mengangkat bahu dan berdiri dengan kaki lemas. “Sepertinya aku memang butuh tidur.” Denging janggal terdengar di telingaku, memekakkan tetapi tak menyakitkan. Aku menggeleng-geleng seperti anjing kebasahan yang bermaksud mengeringkan diri, berusaha menyingkirkan denging itu.
“Pasti gara-gara teriakan banshee.” Kilorn menghampiriku dan memegang lembut kepalaku dengan tangannya yang kapalan. Sambil mendesah kesal, aku tunduk terhadap pemeriksaannya. Kilorn memutarku ke samping, melirik kuping yang sempat mengucurkan darah merah. “Kau beruntung tidak kena secara langsung.”
“Banyak yang sudah kudapat, tapi keberuntungan tidak termasuk di antaranya.”
“Kau masih hidup, Mare,” kata Kilorn tajam sambil menjauhkan diri. “Banyak yang tidak bisa berkata begitu.” Pelototannya membawaku kembali ke Naercey, ke momen saat aku memberi tahu kakakku aku tidak percaya kepada janjinya. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu aku masih tak memercayai janjinya.
“Maafkan aku,” ujarku cepat-cepat. Tentu saja aku tahu bahwa banyak yang sudah meninggal, demi perjuangan kami dan demi aku. Namun, aku juga sudah mati. Mare dari Desa Jangkungan telah mati pada hari ketika dia jatuh ke tameng petir. Mareena, putri yang hilang, telah mati di Mangkuk Bengkarak. Aku tidak tahu orang baru macam apa yang membuka matanya di dalam Kereta Bawah Tanah. Aku hanya tahu seperti apa diriku dulu dan apa saja kehilangan yang sudah aku derita, sedangkan itu saja sudah teramat membebaniku sampai-sampai aku merasa remuk redam.
“Apa kau bakal memberitahuku kita hendak ke mana, ataukah tujuan kita dirahasiakan juga?” Aku berusaha menghalau kegetiran dari suaraku, tetapi gagal total.
Kilorn dengan sopannya mengabaikan kegetiranku dan menyandarkan badannya ke pintu. “Kita meninggalkan Naercey lima jam lalu dan sekarang kita menuju timur laut. Jujur, cuma itu yang aku tahu.”
“Dan kau sama sekali tak keberatan?”
Dia hanya mengangkat bahu. “Memang menurutmu para petinggi memercayai aku atau kau? Kau sendiri tahu betapa bodohnya kita dan betapa besar harga yang mesti kita bayar gara-gara kebodohan itu.” Kenangan lagi-lagi menyayat hatiku. “Kau sendiri yang bilang, kau bahkan tak bisa memercayai Shade. Dalam waktu dekat ini, kuduga tak akan ada lagi yang berbagi rahasia.”
Celetukan Kilorn memang pedas, tetapi tidak semenohok yang kukira. “Bagaimana kondisi Shade?”
Kilorn mengedikkan kepala ke koridor. “Farley menyediakan pos medis kecil untuk korban luka. Kondisi Shade lebih baik daripada orang-orang lain. Banyak menyumpah, tetapi jelas-jelas lebih baik.” Mata hijaunya sedikit menggelap, lalu dia berpaling. “Kakinya—”
Aku terkesiap. “Terinfeksi?” Di Desa Jangkungan, infeksi sama artinya dengan lengan atau kaki buntung. Kami tidak memiliki obat sehingga, begitu darah terjangkit kuman, kita hanya bisa mengamputasi dengan harapan semoga demam dan pembuluh darah yang menghitam segera sembuh dan tidak menyebar.
Untungnya, Kilorn menggeleng. “Tidak, obat Farley mujarab dan lagi pula, peluru Perak bersih-bersih. Untuk itu, mereka patut diacungi jempol.” Dia tertawa muram, mengharapkanku untuk ikut serta. Sebaliknya, aku justru bergidik. Dingin sekali udara di bawah sini. “Tapi, dia bakal terpincang-pincang selama beberapa waktu.”
“Maukah kau mengantarkanku ke sana atau aku harus cari jalan sendiri?”
Lagi-lagi tawa muram, lalu Kilorn mengulurkan tangan. Yang mengejutkan, aku membutuhkan sokongannya supaya bisa berjalan. Naercey dan Mangkuk Bengkarak ternyata membekaskan dampaknya kepadaku.
***
Bab 3-2
Mersive. Demikianlah Kilorn menyebut kapal aneh bawah air ini. Kami sama-sama tidak tahu bagaimana bisa kapal itu berlayar di bawah laut, sekalipun aku yakin Cal mungkin akan memahaminya. Dialah orang berikut dalam daftarku. Akan kucari dia setelah aku memastikan bahwa kakakku masih bernapas. Aku ingat Cal sudah nyaris semaput sewaktu kami kabur, sama seperti aku. Namun, kuperkirakan Farley tak akan menempatkan Cal di pos medis, dikelilingi oleh anggota Barisan yang terluka. Bisa-bisa dendam kesumat meledak, padahal tak seorang pun menginginkan konfrontasi sengit dalam tabung logam yang tersegel.
Jeritan banshee masih terngiang di telingaku, denging rendahnya sulit kuabaikan sekalipun sudah berusaha. Seiring tiap langkah, aku menemukan rasa ngilu dan memar baru. Kilorn mencermati tiap kali aku berjengit dan lantas memperlambat lajunya, hingga memungkinkanku untuk bertopang ke lengan­nya. Dia mengabaikan cederanya sendiri, luka-luka sayat nan dalam yang tersembunyi di balik perban bersih. Tangannya sedari dulu memang babak belur, memar-memar dan teriris kail...
Bab 4
Farley tidak sejangkung Kilorn, tetapi langkah­nya lebih cepat, lebih pasti, dan sukar untuk disamai. Aku berusaha semaksimal mungkin, hampir-hampir berlari agar bisa menyamai kecepatannya di sepanjang koridor mersive. Sama seperti tadi, para anggota Barisan menepi untuk memberi kami jalan, tetapi kini mereka memberi hormat selagi kami melintas, menempelkan tangan ke dada atau ujung-ujung jari ke alis. Mesti kukatakan bahwa pembawaan Farley memang mengesankan. Luka-luka dan cederanya dia sandang dengan bangga, seperti perhiasan. Dia tampak tidak keberatan sekalipun bajunya bernoda darah, bahkan sempat mengusap-usapkan tangannya sambil lalu ke noda tersebut. Sebagiannya adalah darah Shade. Farley telah mengorek peluru dari pundak Shade tanpa berkedip.
“Kami tidak mengurung dia, kalau itu yang kau kira,” kata Farley dengan nada enteng, seolah-olah pembicaraan mengenai Cal yang dipenjarakan adalah gosip ringan.
Aku tidak sebegitu bodohnya sehingga terpancing oleh ucapan Farley, saat ini tidak. Farley sedang mengetes aku, meraba-raba reaksiku, kesetiaanku. Namun, aku bukan lagi gadis yang...
Bab 4-2
Sekalipun ruangan menanjak aneh dan kepalaku terus berdenging, kakiku tahu harus melakukan apa. Kakiku belum melupakan lumpur Desa Jangkungan, malam-malam yang dilewatkan di gang-gang, ataupun jalur rintangan di Kelas Latihan. Aku menarik pintu hingga terbuka, megap-megap mencari udara bagaikan gadis yang terbenam. Namun, udara apak hasil saringan di dalam mersive tidak melegakanku. Aku membutuhkan wangi pohon, air, hujan musim semi, bahkan gerahnya musim panas atau salju musim dingin. Sesuatu untuk mengingatkanku akan dunia di balik kaleng timah menyesakkan ini.
Beberapa saat berselang, barulah Cal ikut ke luar, langkahnya berat lambat di belakangku. Dia tidak berusaha menyusul, tapi memberiku ruang. Kalau saja Kilorn dapat berbuat serupa.
Kilorn muncul dari ujung koridor, menggunakan gagang pintu dan roda pengunci untuk meniti kapal yang sedang miring. Senyumnya pupus saat melihat Cal, digantikan bukan oleh mimik cemberut melainkan oleh ekspresi cuek nan dingin. Sepertinya Kilorn mengira bahwa mengabaikan sang pangeran akan membuatnya lebih marah ketimbang...
Bab 5
Dalih mereka yang payah masuk ke kuping kanan dan keluar dari kuping kiri. Kilorn dan Bree berusaha semaksimal mungkin untuk meyakinkanku, mengerahkan semua argumentasi yang harus mereka sampaikan. Dia berbahaya, bahkan untukmu. Namun, aku tahu lebih daripada siapa pun Cal tak akan menyakitiku. Sekalipun dia memiliki alasan untuk menyakitiku, aku tidak takut pada Cal.
Dia salah seorang dari mereka. Kita tidak boleh memercayainya. Selepas Maven merebut warisan Cal dan mencemari reputasinya, Cal tidak punya apa-apa dan tidak bisa mengandalkan siapa-siapa selain kami, sekalipun dia sendiri menolak mengakuinya. Dia bernilai. Panglima, pangeran Norta, dan buronan paling dicari di kerajaan. Pernyataan tersebut membuatku terpaku dan membangkitkan rasa ngeri jauh di dalam hatiku. Jika si pria dengan mata berdarah memutuskan untuk memanfaatkan Cal demi mendongkrak daya tawar kami di hadapan Maven, untuk menukar atau mengorbankan Cal, aku harus mencurahkan seluruh kemampuan demi menghentikannya. Seluruh pengaruhku, seluruh kekuatanku—namun, aku tak tahu apakah itu cukup....
Bab 5-2
Bau garam udara pesisir menyengatku hingga terbangun keesokan paginya. Seseorang membuka jendela, membiarkan masuknya udara musim gugur nan sejuk serta cahaya matahari terang. Badai telah berlalu. Sebelum aku membuka mata, kucoba untuk berpura-pura. Ini tempat tidurku sendiri, angin berasal dari sungai, sedangkan aku tinggal memilih hendak ke sekolah atau tidak.
Namun, khayalan itu tidak menghiburku. Kendati kehidupan itu lebih mudah, aku tidak ingin kembali ke sana kalaupun bisa.
Ada yang harus kukerjakan. Aku harus mengecek daftar Julian, harus bersiap-siap menyongsong misi besar-besaran itu. Dan jika aku meminta keikutsertaan Cal, mana boleh mereka menolak? Siapa yang tega menolak menyelamatkan sekian banyak orang dari tiang gantungan Maven?
Aku curiga jangan-jangan si lelaki dengan mata berdarah tega, tetapi kuenyahkan perasaan itu.
Gisa sedang berleha-leha di tempat tidur di seberangku, sedang menggunakan tangannya yang sehat untuk mencabuti benang-benang longgar dari sehelai kain hitam. Dia tidak memperhatikan selagi aku meregangkan badan dan membuat tulang-tulangku bergemeretak....
Bab 6
Sebagian besar makanan ternyata hambar, cuma bubur kelabu dan air yang samar-samar berasa zat kimia. Yang enak cuma ikan cod, yang segar karena langsung ditangkap dari laut. Cita rasanya menyiratkan garam dan laut, sama seperti udara. Kilorn sibuk mengagumi ikan sambil lalu, bertanya-tanya jaring macam apa yang digunakan oleh Barisan. Kita juga terjaring, Bego, aku ingin berteriak, tetapi kata-kata itu tidak pantas dikumandangkan di dalam mes. Di dalam sini ada pula kaum Lakelander, yang tampak serius dalam balutan baju biru tua. Sementara para anggota Barisan berseragam merah duduk dengan para pengungsi, orang-orang Lakelander tidak duduk, tapi senantiasa mondar-mandir. Mereka mengingatkanku pada petugas Keamanan dan membuatku bergidik. Tuck tidak lain-lain amat dengan Archeon. Faksi-faksi berlainan berebut kuasa, sedangkan aku terjebak di tengah-tengah. Celakanya, Kilorn temanku, sahabatku, mungkin tidak memercayai bahwa situasi ini berbahaya. Atau, lebih parah lagi, bisa-bisa dia tidak paham—dan tidak peduli.
Aku terus bungkam, hanya sesekali buka mulut untuk...
Bab 6-2
Ruang kesehatan Tuck tidak sesendu pos medis di mersive. Jendela tinggi sempit dibuka lebar-lebar, membanjiri ruangan dengan udara segar dan sinar matahari. Orang-orang berbaju putih mondar-mandir di antara para pasien yang perbannya bersih dari darah merah. Terdengar percakapan lirih, segelintir batuk kering, dan bahkan bersin di dalam ruangan itu. Tiada pekik nyeri atau derak tulang yang mengusik bunyi-bunyi nan lembut. Tiada yang sekarat di sini. Atau lebih tepatnya, yang sekarat sudah meninggal semua.
Shade tidak sulit ditemukan dan kali ini dia tidak pura-pura tidur. Kakinya masih terangkat, ditahan oleh penyangga yang tampak lebih meyakinkan, sedangkan perban di pundaknya baru diganti. Dia memiringkan badan ke kanan, menghadap tempat tidur di sebelahnya dengan ekspresi tabah. Entah siapa yang sedang dia ajak bicara. Tirai mengelilingi ranjang di dua sisi sehingga si penghuni tidak tampak dari bagian lain ruang kesehatan. Selagi kami mendekat, mulut Shade bergerak cepat untuk membisikkan kata-kata yang tidak bisa kutangkap....
Bab 7
Kilorn menggerutu sepanjang perjalanan kami meninggalkan ruang kesehatan dan menyusuri lapangan beton. Dia bahkan berjalan lambat-lambat, memaksa aku untuk ikut melamban. Aku mencoba mengabaikan Kilorn, demi Cal, demi perjuangan kami, tetapi ketika aku menangkap kata “bodoh” untuk ketiga kalinya, aku harus menghentikan langkah.
Kilorn menabrak punggungku. “Maaf,” kata Kilorn, kedengarannya sama sekali tak menyesal.
“Jangan. Aku yang harus minta maaf,” semburku sambil membalikkan badan untuk menghadap Kilorn. Kegeramanku terhadap Kolonel merembes dan memanaskan pipiku hingga memerah. “Aku menyesal kau tidak bisa berhenti bersikap tolol barang dua menit sehingga luput melihat situasi kritis saat ini.”
Kuduga dia bakal balas membentakku, menyamai seranganku dengan serangan balik seperti biasa. Namun demikian, dia malah menarik napas dan mundur selangkah, berusaha mati-matian untuk menenangkan diri.
“Kau pikir aku luar biasa dungu,” kata Kilorn, seperti hewan yang terpojokkan. “Kalau begitu, ajari aku, Mare. Beri aku pencerahan.”
Mulutku gatal ingin menumpahkan kata-kata. Namun, lapangan terlalu terbuka, diramaikan...
Bab 7-2
Dermaga berjarak beberapa ratus meter jauhnya, seperti pisau lebar yang mencuat ke tengah-tengah gelombang. Dari jarak sejauh ini, patroli Lakelander hanya tampak sebagai bercak-bercak biru tua yang mondar-mandir. Sebagian besar mereka memusatkan perhatian pada kapal kargo yang mendekat dari sisi jauh dermaga. Aku melongo saat melihat kapal sebesar itu yang jelas-jelas dikendalikan oleh kaum Merah. Sebaliknya, Kilorn jauh lebih berkonsentrasi.
“Perlindungan yang sempurna,” dia berkata, lalu mulai mencopot sepatu. Aku mengikuti, melepas sepatu bot yang tak bertali dan kaus kaki usangku. Namun, sewaktu Kilorn menarik bajunya ke atas kepala, menampakkan otot-otot familier yang padat ramping karena sering menarik jaring, aku tidak tertarik mengikutinya. Aku tidak mau keluyuran telanjang dada di bungker.
Kilorn meletakkan bajunya yang sudah terlipat di atas sepatunya. “Kutebak ini bukan misi penyelamatan.” Mana mungkin? Mau kabur ke mana?
“Aku hanya perlu bertemu dengannya. Memberitahunya tentang Julian. Menyampaikan kabar terbaru kepadanya.”
Kilorn berjengit, tetapi dia tetap saja mengangguk....
Bab 8
Kaki kursi logam menggesek lantai, menghasilkan satu-satunya bunyi di dalam sel segi empat. Aku membiarkan kursi yang satu lagi tergeletak begitu saja, terbalik dan penyok gara-gara dibanting ke dinding. Cal sudah banyak beraksi sebelum aku tiba di sini, melemparkan kedua kursi dan sekarang meja penyok. Di dinding, tepat di bawah jendela, terdapat bagian yang geripis karena terlempar meja. Namun, menurutku melempar perabot tidaklah berguna. Daripada membuang-buang tenaga, lebih baik aku menyimpannya. Oleh sebab itu, kududuki kursi di tengah-tengah ruangan. Cal terus mondar-mandir, berjalan bolak-balik di depan jendela, lebih menyerupai binatang alih-alih manusia. Tiap jengkal tubuhnya mendambakan api.
Kilorn sudah lama beranjak, pergi bersama teman barunya si Kolonel. Aku merasa bagaikan ikan yang luar biasa bodoh, senantiasa berpindah dari satu kait ke kait lain, tidak pernah belajar dari pengalaman. Namun, dibandingkan dengan Balairung Matahari, Archeon, dan Mangkuk Bengkarak, pulau ini tak ubahnya tempat liburan, sedangkan Kolonel bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan...
Bab 8-2
Perintah Kolonel, kuduga. Dia bersedia memberi putrinya sel, tetapi tidak luka memar.
Sayangnya, Kilorn tidak diam saja. Ketika para pengawal berhasil memiting Farley ke dinding, tiap orang mengimpit pundak dan tungkainya yang sebelah, Kolonel memberi isyarat kepada si bocah nelayan. Dengan tangan gemetar, Kilorn mengeluarkan kotak abu-abu pupus. Alat suntik berkilauan di dalamnya.
Aku tidak bisa mendengar suara-suara dari balik kaca, tetapi membaca bibir Farley mudah saja. Tidak. Jangan.
“Kilorn, setop!” Jendela mendadak terasa dingin dan mulus di bawah tanganku. Aku menggedor-gedornya, berusaha untuk menarik perhatian pemuda yang kukira adalah temanku. “Kilorn!”
Alih-alih mendengarkan, Kilorn justru menegakkan bahu sambil memunggungiku sehingga aku tak bisa melihat wajah­nya. Yang dilakukan Kolonel justru berkebalikan, yaitu memandangiku alih-alih alat suntik yang menusuk leher putrinya. Ekspresi ganjil berkelebat di matanya yang sehat—penyesalan, barangkali? Bukan, Kolonel bukanlah pria yang menyimpan keraguan. Dia akan melakukan apa pun yang memang perlu, kepada siapa pun apabila harus.
Kilorn mundur...
Bab 9
Bungker berkelebat terang berwarna-warni. Aku cuma melihat bagian-bagiannya sekilas saja sementara Shade melompat secepat kilat berturut-turut, mengantarkan kami melalui bangunan itu. Tangan dan tungkainya menggerapai, mencengkeram kuat-kuat sekaligus menyediakan cukup ruang sehingga kami semua dapat memeganginya. Dia ternyata cukup kuat untuk membawa kami semua, sebab tak seorang pun ditinggalkan.
Aku melihat sebuah pintu, dinding, lantai yang oleng ke arahku. Pengawal-pengawal yang mengejar seiring tiap kemunculan kami, berteriak-teriak, menembak, tetapi karena kami diam di satu tempat terlalu singkat, mereka selalu luput menangkap kami.
Satu kali, kami mendarat di ruangan penuh sesak yang semarak dengan listrik, dikelilingi oleh layar video serta perangkat radio. Aku bahkan sempat melihat sejumlah kamera yang bertumpuk di pojok, sebelum orang-orang di ruangan bereaksi terhadap kami dan kami melompat pergi. Kemudian, aku menyipitkan mata untuk menghalau sinar matahari di dermaga.
Kali ini, kaum Lakelander berada lumayan dekat dengan kami sehingga aku bisa melihat wajah mereka, tampak pucat di...
Bab 9-2
“Ada apa?” tanyaku sambil menarik peta dari tangannya. Lain dengan perkamen kuno raksasa yang sulit dibaca di ruang kelas Julian, peta ini menampilkan nama-nama dan tempat-tempat yang tak asing. Kota Teluk Harbor mendominasi wilayah selatan, berbatasan dengan laut, sedangkan Benteng Patriot bertempat di semenanjung yang menjorok ke air. Lahan cokelat tebal di sekeliling kota, yang terlalu seragam sehingga tidak mungkin alami, pasti ditumbuhi oleh pohon-pohon pelindung. Sama seperti di Archeon, para penghijau menciptakan hutan aneh untuk melindungi Teluk Harbor dari polusi. Dalam kasus ini, barangkali dari Kota Baru, area berlabel demikian yang memeluk pohon-pohon pelindung itu bagaikan sabuk, membentuk semacam dinding di perimeter luar Teluk Harbor.
Permukiman kumuh lain, aku tersadar. Sama seperti Kota Kelabu, tempat kaum Merah hidup dan mati di bawah langit penuh asap, dipaksa merakit truk, bola lampu, pesawat jet, segalanya dan apa saja yang tidak dipahami oleh kaum Perak. Para techie tidak boleh meninggalkan kota tempat...
Bab 10
Pelari Hitam adalah jet sang Kolonel, yang digunakan untuk pulang-pergi Norta-Lakelands secepat mungkin. Bagi kami, pesawat itu lebih daripada sekadar kendaraan. Pelari Hitam merupakan peti harta karun, masih mengangkut senjata, perlengkapan medis, dan bahkan ransum dari penerbangannya yang terakhir. Farley dan Kilorn memilah perbekalan itu sesuai jenis, memisahkan senjata api dari perban, sementara Shade mengganti perban di bahunya. Kakinya terjulur aneh, tidak bisa membengkok karena ditahan oleh bidai, tetapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya kesakitan. Walaupun berbadan lebih kecil ketimbang yang lain, Shade merupakan orang tertangguh dalam keluarga kami, nomor dua di belakang ayah kami yang harus menahan nyeri tak putus-putus.
Napasku mendadak tersendat, serasa perih di teng­gorok­anku, menusuk paru-paruku. Ayah, Ibu, Gisa, kakak-kakak. Saking tergesa-gesanya melarikan diri, aku sempat melupakan mereka sepenuhnya. Sama seperti sebelumnya, ketika aku mula-mula menjadi Mareena, ketika Raja Tiberias dan Ratu Elara mengambil baju compang-campingku dan memberiku sutra. Setelah berjam-jam berselang, barulah aku teringat...
Bab 10-2
Di kokpit, Cal menyibukkan diri di balik selusin kenop dan tuas, mempersiapkan jet untuk menyambut apa pun yang bakal mengadang. Dia memicingkan mata, menghalau sinar matahari terbenam yang menyilaukan. Cahaya senja seolah membakar siluet Cal, meneranginya dengan berkas-berkas merah dan jingga yang bisa saja merupakan kobaran apinya sendiri. Aku teringat akan Naercey, Mangkuk Bengkarak, bahkan ajang latih tanding kami, sewaktu Cal urung menjadi pangeran dan justru mewujud menjadi neraka berjalan.
Saat itu aku terperangah, terkejut tiap kali dia menampakkan sisi brutalnya, tetapi sekarang tidak lagi. Aku tak bisa melupakan bara di balik kulitnya, amarah yang mengomporinya, dan kekuatannya yang tiada tara. Setiap orang bisa mengkhianati siapa pun, sedangkan Cal bukan perkecualian.
Sentuhan di telingaku membuatku tersentak di kursi, menarik pengekangku hingga meregang. Aku menoleh dan melihat tangan Kilorn terangkat di udara, wajahnya tersenyum geli.
“Masih terpasang, rupanya,” kata Kilorn sambil menunjuk kepalaku.
Ya, Kilorn, telingaku masih terpasang, aku ingin menyergah....
Bab 11
Menurut peta, Coraunt terletak enam setengah kilometer di timur laut, di pertemuan antara Sungai Adipati dengan Jalan Pelabuhan nan ekstensif. Coraunt tak ubahnya pos dagang terluar belaka, salah satu desa terakhir sebelum Jalan Pelabuhan menikung ke pedalaman—berlika-liku mengitari tanah rawa tak terseberangi yang selalu tergenang air—sampai ke perbatasan utara.
Sebagai satu dari empat jalan raya Norta, Jalan Pelabuhan merupakan yang paling ramai, menghubungkan Delphie, Archeon, dan Teluk Harbor. Kaum Perak, baik militer maupun sipil, banyak berkeliaran di jalan itu—padahal, kalaupun mereka tidak secara aktif memburu kami, tak ada seorang Perak pun di kerajaan yang tidak mengenali Cal. Kebanyakan akan berusaha menangkap Cal, sebagian akan mencoba untuk langsung membunuhnya.
Dan mereka bisa saja berhasil, aku membatin. Aku seharusnya takut karena itu, tetapi aku malah merasa bersemangat. Maven, Elara, Evangeline dan Ptolemus Samos—terlepas dari kekuatan dan kemampuan yang mereka miliki, mereka semua fana. Mereka bisa dikalahkan.
Pemikiran itu memudahkanku untuk mengabaikan rasa...
Bab 11-2
Keheningan tegang nan pekat berlarut-larut selama mungkin setengah jam. Aku senang-senang saja, sebab suasana sepi memberiku waktu untuk berpikir, sedangkan Cal juga menggemari kesunyian. Selepas kejadian beberapa hari terakhir ini, Cal tentu mendambakan istirahat sama seperti aku. Kilorn sekalipun tidak berani bercanda. Dia justru berpuas diri dengan duduk-duduk di akar bengkok sambil menjalin rumput-rumput tinggi menjadi jaring rapuh tak berguna. Dia tersenyum kecil, menikmati membuat simpul-simpul yang sudah tak asing.
Aku memikirkan Nix di desa sebelah sana, barangkali sudah diseret dari tempat tidurnya, mungkin mulutnya malah dibekap, dijerat dalam jaring buatanku. Akankah Farley mengancam istrinya, anak-anaknya, untuk memaksanya ikut? Ataukah Shade semata-mata akan menyambar pergelangannya dan lantas melompat, berteleportasi dengan licik sampai mereka mendarat di antara pohon-pohon ini? Tanggal lahir 12/20/271. Nix hampir 49 tahun, seusia dengan ayahku. Apa Nix sama seperti ayahku, cedera dan patah arang? Ataukah dia masih utuh dan justru kami yang akan menghancurkannya?
Sebelum aku sempat...
Bab 12
Kami kembali tersaruk-saruk melalui hutan, tidak dikejar oleh apa pun kecuali angin laut dan awan. Kami tidak terluka, tetapi aku tidak bisa mengenyahkan rasa ngeri yang bersarang di hatiku.
Walaupun Nix hampir meretakkan tengkorak Cal, me­re­krutnya ternyata mudah. Terlalu mudah. Padahal dari pengalamanku selama tujuh belas tahun terakhir, selama be­berapa bulan terakhir, aku sudah memetik pelajaran bahwa tidak ada yang mudah. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Kalaupun Nix bukan perangkap itu sendiri, maka dia sudah pasti membahayakan. Setiap orang bisa mengkhianati siapa pun.
Jadi, sekalipun dia mengingatkanku pada Ayah, sekalipun dia hanyalah seorang lelaki paruh baya berjanggut kelabu yang dilanda kesedihan, aku menutup hati terhadap pria dari Coraunt. Aku telah menyelamatkannya dari Maven, memberitahunya siapa dirinya, dan mempersilakannya membuat pilihan sendiri. Kini aku harus maju terus, lantas menyumbangkan jasa serupa kepada orang lain, berkali-kali lagi. Yang penting hanyalah nama berikutnya dalam daftar.
Cahaya bintang menerangi hutan sekilas sehingga...
Bab 12-2
Gesekan antara roda dengan beton mengguncangkan badan pesawat sehingga menyentakkan badanku di kursi dan membangunkanku. Aku membuka mata dan seketika menutupnya lagi, untuk menghalau cahaya menyilaukan yang tumpah ruah dari jendela kokpit. Aku menengok ke belakang untuk menghadap teman-teman seperjalananku, yang sudah nyalang dan tengah berbincang-bincang pelan. Sekalipun kami sedang meluncur di landasan pacu, melambat tetapi masih bergerak, Kilorn sudah memelesat ke sampingku. Gerakan jet tampak tidak memengaruhinya sama sekali, barangkali karena dia sudah terbiasa menjaga keseimbangan di atas perahu.
“Mare Barrow, kalau aku memergokimu ketiduran sekali lagi, akan kulaporkan kau ke pos luar.” Dia menirukan guru kami dulu, yang mengajar kami berdua sampai Kilorn meninggalkan bangku sekolah di usia tujuh tahun untuk menjadi murid nelayan.
Aku mendongak ke arah Kilorn sambil tersenyum, teringat akan kenangan itu. “Kalau begitu, saya tidur di luar saja, Nona Vandark,” timpalku, membuat Kilorn terkekeh-kekeh.
Seiring dengan semakin pulihnya kesadaranku, kulihat tubuhku ditutupi sesuatu. Kain...
Bab 13
Mudah saja meyakinkan Nix untuk diam di tempat. Meskipun bertubuh kebal, dia tetap seorang penangkap kepiting dari desa yang tidak pernah jauh-jauh dari rawa asin di kampung halamannya. Nix tahu kalau dia tidak cocok ikut serta dalam misi penyelamatan ke kota berbenteng. Lain dengan Kilorn, yang susah dibujuk. Dia baru setuju untuk menunggu di jet setelah aku mengingatkannya bahwa Nix butuh teman. Kilorn tahu betapa pentingnya tugas ini bagiku—dan betapa inginnya aku mengamankan dirinya.
Ketika Kilorn memelukku erat-erat untuk menyampaikan selamat tinggal, kuduga bakal mendengarnya membisikkan peringatan atau mungkin saran. Namun, yang kudapat justru ucapan pemberi semangat, yang justru lebih menghibur daripada seharusnya. “Kau pasti bisa menyelamatkan mereka,” gumam Kilorn. “Aku yakin.”
Menyelamatkan mereka. Kata-kata itu bergema di dalam kepalaku, mengikutiku sepanjang perjalanan menuruni pesawat jet dan memasuki hutan yang diterangi sinar mentari. Aku pasti bisa, kataku di dalam hati, mengulang-ulangnya sampai aku meyakininya sama seperti Kilorn. Aku pasti bisa....
Bab 13-2
Aku berjengit tiap kali kendaraan besar melintas di atas dan, dalam waktu singkat, aku luput menghitung jumlah kendaraan yang melaju ke arah Naercey saking banyaknya. Jika kendaraan-kendaraan itu mengumpul berdekatan, aku pasti curiga sedang ada konvoi kerajaan yang mengangkut Maven, tetapi mesin-mesin tersebut berlalu lalang secara acak. Ini normal, kataku kepada diri sendiri, dalam rangka menenangkan sarafku supaya aku tidak mengorsletkan senter dan menjerembapkan kami semua ke dalam kegelapan.
Para pengikut Crance berjalan paling belakang dan ini semestinya membuatku tegang, tetapi aku ternyata tidak keberatan. Aku bisa mendatangkan listrik kapan saja dan, kalaupun ada yang membuat keputusan keliru, Cal berada di sisiku. Dia lebih menakutkan daripada aku, satu tangannya merah membara berkat lidah api yang berkobar-kobar. Apinya memancarkan bayangan kerlap-kerlip yang meliuk dan berubah bentuk, mewarnai terowongan dengan larik-larik merah dan hitam. Dahulu, itu adalah warna dirinya. Namun, warna itu tak lagi menjadi miliknya, sebab dia telah kehilangan segalanya.
Segalanya...
Bab 14
Kiri, kanan, kiri lagi, naik.
Crance membentakkan arahannya sepanjang perjalanan kami di terowongan, memandu langkah kami yang terburu-buru. Gema langit-langit runtuh yang sesekali terdengar memacu kami untuk bergerak secepat-cepatnya—kami telah memicu reaksi berantai, melesakkan terowongan. Satu atau dua kali, terowongan ambruk teramat dekat dengan kami sampai-sampai aku mendengar derak keras tiang penyangga yang patah. Tikus-tikus berlarian bersama kami, meluncur keluar dari keremangan. Aku bergidik ketika mereka menginjak kakiku, ekor mereka yang telanjang memecut-mecut seperti tali mungil.
Di kampung halaman kami tidak banyak tikus—banjir sungai akan menenggelamkan hewan-hewan itu—sehingga serbuan bulu berminyak membuatku merinding. Namun, aku berusaha sebaik-baiknya untuk menelan rasa jijik. Cal juga tidak menyukai tikus dan menebaskan kepalannya yang berapi ke lantai, untuk mengusir hewan tersebut tiap kali ada yang terlalu dekat.
Debu berpusing di kaki kami, memekatkan udara, sedangkan senter Crance praktis tak berguna di keremangan. Yang lain mengandalkan sentuhan, mengulurkan tangan untuk meraba-raba dinding terowongan, tetapi aku...
Bab 14-2
Yang mengejutkan, serangan pertama datang bukan dari belakang, melainkan tepat dari depan kami. Seorang wanita tua bungkuk yang bertongkat ternyata tak seperti kelihatannya dan dia mengait leher Crance dengan sebatang kayu bengkok. Wanita itu membanting Crance ke tanah dan menyibakkan jubahnya dalam sekejap, menampakkan kepala botak dan tato tengkorak.
“Pasar Ikan tidak cukup untukmu, Marinir?” geramnya sambil memperhatikan Crance yang telentang. Shade ikut jatuh bersamanya, tersangkut lengan Crance dan kruknya sendiri sehingga tak bisa tetap berdiri.
Aku beranjak ke depan untuk membantu, tetapi pinggangku didekap dan aku ditarik ke kerumunan di belakang. Yang lain terus menonton, menikmati hiburan yang sedikit mengusir kejemuan di pasar. Tidak seorang pun memperhatikan kami yang lebur ke dalam deretan wajah, termasuk keempat Tengkorak Laut yang membuntuti kami. Kami bukan target mereka—saat ini belum.
“Teruslah berjalan,” sergah Cal ke telingaku.
Namun, aku menjejakkan kaki kuat-kuat. Aku tidak mau digerakkan, bahkan olehnya. “Tidak tanpa Shade.”
Wanita Tengkorak...
Bab 15
Burung-burung camar bertengger di bintang yang menghiasi tiap atap, memperhatikan selagi kami melintasi petak-petak teduh tengah hari itu. Aku merasa ditelanjangi oleh tatapan mereka, seperti ikan yang hendak digasak untuk makan malam. Cal menggiring kami untuk terus bergerak cepat sehingga aku tahu bahwa dia juga merasakan bahaya. Di gang-gang sekalipun, yang hanya tersambung dengan pintu belakang dan tempat tinggal pelayan, kami masih tampak salah tempat dalam balutan baju bertudung nan usang.
Bagian kota yang ini tenang, damai, asri—dan berbahaya. Semakin jauh kami memasuki kota, semakin aku merasa tegang. Dengung rendah listrik terus terdengar, berdenyut konstan di tiap rumah yang kami lewati. Arusnya menjalar di atas, dibawa oleh kabel yang disamarkan oleh sulur-sulur berbelit atau awning bergaris-garis biru.
Namun, aku tak merasakan keberadaan kamera, sedangkan kendaraan hanya melalui jalan utama. Sejauh ini, kami bisa berjalan terus dengan selamat, berkat dua insiden berdarah yang menjadi pengalih perhatian.
Cal memandu kami dengan gesit...
Bab 15-2
Di sampingku, Farley merogoh ke dalam jaketnya untuk menggapai pisau yang dia simpan. Kupelototi Farley, supaya dia tidak menikam seseorang sebelum saat yang tepat.
Pintu baja Sentra serta-merta terbuka. Keluarlah seorang penjaga, yang kemudian bergumam kepada salah seorang petugas. Aku menangkap kata “rusak” dan “kamera”. Namun, si petugas hanya mengangkat bahu sambil mengedarkan pandang ke sekian banyak kamera keamanan yang bertengger di atas kami di dinding. Menurutnya tiada yang salah pada kamera itu—bukan berarti dia mampu mendeteksi kamera yang rusak.
“Pergi sana,” lanjut si banshee seraya melambaikan tangan seperti mengusir anjing. Ketika kami tidak bergerak, mata hitamnya semakin menyipit. “Atau perlukah kalian kutahan karena masuk tanpa izin?”
Dia menduga kami bakal buru-buru kabur. Pada saat seperti ini, penahanan sama saja seperti hukuman mati. Namun, kami tetap bertahan. Andaikan si banshee bodoh tidak kejam-kejam amat, aku akan merasa kasihan kepadanya.
“Coba saja,” aku berkata sambil meraih tudungku.
Selendang merosot ke bahuku,...
Bab 15-3
Sambil menggerung, Cal berputar dan mengayunkanku ke udara, menyasar sebuah jendela. Kacanya berkilauan dan sungguh aku berharap semoga itu bukan kaca berlian. Sepersekian detik sebelum benturan, percik-percik listrikku menuruti perintah Cal. Sambarannya menghancurkan jendela hingga berkeping-keping, membukakan jalan ke dalam untukku. Aku terempas ke karpet empuk keemasan di perpustakaan apak istana. Karpet meredam jatuhku, tetapi tidak membantu Farley, yang memelesat ke dalam sehabis aku. Saking sempurnanya bidikan Cal, Farley jatuh menimpaku.
“Bangun, Mare!” bentaknya, hampir mencabut lenganku dari persendian selagi membantuku berdiri. Otaknya lebih sigap daripada aku sehingga dia menghampiri jendela duluan dan langsung mengulurkan kedua tangan. Aku masih linglung karena kepalaku berputar-putar, tetapi kutirukan saja dia.
Di atas kami, di jembatan, para penjaga dan petugas Keamanan membanjir dari kedua sisi. Di tengah-tengah, badai api sedang menggila. Sekejap kobaran itu terkesan statis, diam di tempat. Namun, aku lantas menyadari bahwa badai api tersebut menuju ke arah kami, melompat, menukik, jatuh....
Bab 16
Kucoba untuk tidak mengingat-ingat wajah sekian banyak orang yang mati. Keharusan untuk lari demi menyelamatkan nyawa adalah metode efektif untuk mengalihkan perhatianku. Namun, maut yang senantiasa meng­an­cam sekalipun tidak dapat menghalau segalanya. Sejumlah kehilangan yang kualami mustahil dilupakan. Walsh, Tristan, dan kini Wolliver tersangkut di sudut benakku bagaikan sarang laba-laba kelabu berdebu. Eksistensiku adalah vonis mati bagi mereka. Dan tentu saja, ada pula orang-orang yang kubunuh secara langsung, atas pilihanku sendiri, dengan kedua tanganku sendiri. Namun, aku tidak berduka atas matinya mereka. Aku tidak boleh memikirkan perbuatanku, saat ini tidak, sebab kami masih terancam bahaya.
Cal adalah yang pertama memunggungi jasad Wolliver yang berayun-ayun. Dia sudah dibayang-bayangi parade wajah tewas dan tidak mau menambahkan satu hantu lagi ke dalam koleksinya. “Kita harus terus bergerak.”
“Tunggu—” Farley bertopang kuat-kuat ke dinding. Dia menutupi mulut sambil menelan ludah untuk mengusir rasa muak, berusaha untuk tidak muntah lagi.
“Santai,” kata Shade sambil memegangi...
Bab 17
“Bunuh aku.”
Kata-kata itu melepuhkan mulutku, menyayat keluar dari tenggorokan yang barangkali bengkak karena kebanyakan berteriak. Aku mengira bakal mengecap darah—tidak, aku tak punya perkiraan apa-apa. Aku mengira sudah mati. Mana mungkin aku selamat dari entah apa yang Maven perbuat terhadapku? Mana mungkin aku masih hidup? Yang paling parah, akankah kejadian itu terulang lagi? Air mata menggenang gara-gara pemikiran itu, terancam tumpah ke pipiku yang panas membara. Air mata asin tentu akan memedihkan luka-lukaku yang terbuka, tetapi kusambut sensasi itu. Selepas disiksa Maven, rasa perih akan menyerupai semilir sejuk musim semi
Namun, kepedihan itu tak kunjung datang. Begitu indraku pulih, kusadari bahwa aku tidak terlucuti menjadi daging dan tulang belaka. Aku masih utuh, sekalipun aku jelas-jelas tidak merasa demikian. Aku bahkan tak berdarah. Kukerahkan tekad untuk membuka paksa mataku. Alih-alih melihat Maven ataupun para algojonya, aku justru menjumpai mata hijau yang sudah tak asing.
“Mare.” Kilorn tidak memberiku kesempatan untuk...
Bab 17-2
“Dia tidak payah-payah amat kok,” kata Kilorn sambil mengedikkan kepala ke arah sang pangeran.
Cal tertawa. Suaranya lirih, diredam oleh sekian banyak peristiwa yang sudah terjadi. “Kau juga sama.”
Aku menotol-notol pundak Cal, sekadar untuk memastikan bahwa dia padat. “Sepertinya aku memang tidak bermimpi.”
“Demi warnaku, untung tidak,” gumam Cal, senyumnya kembali sirna. Dia meraba-raba rahangnya, yang samar-samar ditumbuhi janggut pendek kasar. Dia belum bercukur sejak di Archeon, sejak malam ketika dia menyaksikan ayahnya meninggal. “Ada lebih bermanfaat daripada para kriminal, asal tahu saja.”
“Oh ya?” Macam-macam kemampuan berkelebat dalam benakku, masing-masing lebih ahli daripada yang sebelumnya. “Dia bisa apa?”
“Kemampuan Ada tak ada duanya,” Cal mengakui. Gelang­nya meretih, memercikkan lidah api yang segera saja berubah menjadi bola. Bola api itu bertengger di tangannya sejenak, tak kunjung membakar lengan bajunya, dan kemudian Cal melemparkan bola api tersebut ke tungku galian kecil di tengah-tengah lantai. Api serta-merta memancarkan panas dan cahaya,...
Bab 18
Kalaupun kita mulanya kedinginan sekali, kalaupun kita membutuhkan kehangatan, terpapar panas terlalu lama tetap saja tidak mengenakkan. Aku teringat akan sekian banyak musim dingin yang kami lalui dengan jendela retak, membawa hawa dingin menggigilkan menyembur masuk dan melawan api yang menyala dalam ruang keluarga di bawah. Suhu sedingin es justru membantuku tertidur. Dan kini semilir angin musim gugur justru menenangkanku, membantuku melupakan Cal yang sendirian di rumah persembunyian. Aku seharusnya tidak melakukan itu, pikirku sambil menempelkan tangan ke kulitku yang kepanasan. Perhatianku tidak boleh teralihkan olehnya. Selain itu, pada akhirnya dia akan membuatku patah hati. Suatu hari nanti dia pasti angkat kaki, atau mati, atau mengkhianatiku seperti yang lain-lain. Suatu hari nanti, dia pasti menyakitiku.
Di atas, berkas-berkas merah dan jingga yang dilukis oleh matahari terbenam masih membekas di langit yang kian lama kian gelap. Mungkin. Aku tidak memercayai warna yang kulihat. Tiada lagi yang dapat kupercaya.
Rumah aman dibangun...
Bab 18-2
Mengerahkan pasukan adalah tahap yang mudah. Arsip dari Teluk Harbor memandu kami menuju para Darah Baru di kota-kota dan desa-desa di seluruh wilayah Mercusuar, dari Cancorda ke Taurus hingga ke pelabuhan-pelabuhan setengah kebanjiran di Kepulauan Bahrn. Daftar Julian menuntun kami untuk memperluas pencarian, sehingga tidak ada bagian Norta yang ketinggalan. Untung kami memiliki pesawat jet sehingga Delphie sekalipun, yang merupakan kota paling selatan di kerajaan, dapat dicapai hanya dalam hitungan jam.
Tiap sentra populasi, sekecil apa pun, kini diperkuat garnisun Perak baru yang ditugasi menangkap dan menyerahkan kami kepada raja. Namun, mereka tidak bisa menjaga semua target sepanjang waktu, sedangkan Maven belum memiliki kekuasaan mencukupi untuk menculik ratusan orang dalam semalam. Kami menyerbu serampangan, tanpa pola tertentu, dan kami biasanya mampu mengejutkan mereka. Terkadang kami beruntung sehingga mereka bahkan tidak tahu di mana kami berada. Shade membuktikan kebergunaannya berkali-kali, begitu pula Ada dan Nix. Kemampuan Ada membantu kami mencari jalan...
Bab 18-3
Yang melarikan diri bukan cuma keluarga kaum Darah Baru. Ketentuan telah mempersulit kehidupan sehari-hari, memaksa banyak orang Merah untuk kabur ke hutan dan tapal batas, supaya mereka tak akan dipekerjakan sampai mati atau digantung karena dianggap bertindak di luar batas. Sebagian berbelok-belok ke utara demi mencapai perbatasan yang sudah bebercak salju musim dingin dan lewat beberapa mil saja dari perkemahan kami. Kilorn dan Farley ingin membantu mereka, ingin memberi mereka makanan atau obat, tetapi aku dan Cal memveto permohonan mereka. Tak seorang pun boleh tahu tentang kami, termasuk kaum Merah bernasib malang yang sedang berderap cari selamat.
Mereka akan terus menuju utara, sampai mereka menjumpai perbatasan Lakelands. Sebagian akan terdesak ke dalam pelukan legiun penjaga perbatasan. Mereka yang beruntung bisa saja menyelinap ke seberang, untuk menyongsong hawa dingin dan kelaparan alih-alih tembakan peluru di parit.
Hari-hariku melebur menjadi satu. Rekrutmen, pelatihan, begitu seterusnya. Yang berubah hanya cuaca, seiring dengan semakin...
Bab 19
Setelah tiga hari tidak menemukan apa-apa selain Darah Baru yang sudah mati, tiga hari kegagalan, kami pergi ke Templyn. Kota sepi yang terletak di jalan menuju Delphie dan didominasi oleh hunian, yakni griya-griya Perak nan luas dan rumah-rumah deret Merah penuh sesak di pinggir sungai. Majikan dan pelayan. Templyn adalah tempat yang pelik—di sana tidak ada hutan luas, terowongan, ataupun jalan ramai untuk bersembunyi. Biasanya kami memanfaatkan Shade untuk mengantar kami ke balik tembok kota, tetapi dia tidak menyertai kami hari ini. Karena kakinya kemarin keseleo sehingga ototnya yang masih dalam masa penyembuhan menjadi bengkak, kusuruh dia tetap tinggal di perkemahan. Cal juga tidak ikut, sebab dia ingin mengajar hari itu, hingga menyerahkan tugas menerbangkan Pelari Hitam kepada Ada. Wanita itu duduk menunggu dengan nyaman di kursi pilot sambil membaca seperti biasa. Aku berusaha supaya tidak resek, tidak berlagak bak pemimpin seperti Cal, tetapi tanpa Cal dan kakakku, aku anehnya...
Bab 19-2
Aku menuju pintu, menyenggol bahu Farley, dan berlutut di depan lubang kunci. Saking sederhananya, ibu kunci itu bisa kubobol dalam tidurku. Dalam hitungan detik, aku disambut oleh bunyi klik familier nan memuaskan.
Pintu berayun ke belakang sambil berderit sehingga aku mematung, menantikan apa kiranya yang berada di dalam. Sama seperti rumah Ellie, interior rumah ini juga gelap dan terkesan terbengkalai. Namun begitu, aku tetap saja menunggu sambil memasang telinga baik-baik. Tiada yang bergerak di dalam, sedangkan aku tidak menangkap getar-getar listrik. Entah keluarga Marcher sudah kehabisan jatah atau rumah mereka memang tidak memiliki sambungan listrik. Puas karena situasi kelihatannya aman, aku melambai ke balik bahuku, tetapi tiada yang terjadi. Mereka tidak bisa melihatmu, Tolol.
“Masuk,” aku berbisik dan serta-merta merasakan Farley di belakangku.
Begitu pintu telah kembali tertutup, kami pun muncul. Aku tersenyum kepada Harrick, lagi-lagi berterima kasih atas kemampuan dan kekuatannya, tetapi aku mencium bau yang membuatku terpaku. Udara...
Bab 20
Sejak hari itu, kamarnya menjadi kamar kami berdua. Kesepakatan itu tercapai tanpa kata, tetapi memberi kami berdua pegangan. Kami terlampau letih sehingga hanya bisa tidur, meskipun aku yakin Kilorn berpikiran macam-macam. Dia pantang bicara kepadaku dan malah mengabaikan Cal sepenuhnya. Sebagian dari diriku ingin bergabung dengan yang lain di kamar tidur besar, tempat anak-anak berbisik-bisik hingga larut dan Nanny berdecak untuk menyuruh mereka diam. Berkat kebersamaan itulah mereka menjalin ikatan. Namun, aku hanya akan menakuti mereka, maka aku bertahan bersama Cal saja, satu-satunya orang yang betul-betul tidak takut kepadaku.
Cal tidak pernah secara sengaja membangunkanku, tetapi tiap malam aku merasakannya bergerak-gerak dalam tidur. Mimpi buruknya lebih menyeramkan daripada mimpi-mimpiku dan aku tahu persis apa yang dia impikan. Momen ketika dia memenggal kepala ayahnya. Aku pura-pura tidur terus, mengetahui bahwa Cal tidak ingin dilihat dalam kondisi seperti itu. Namun, aku merasakan air matanya di pipiku. Terkadang aku merasa terbakar oleh air...
Bab 20-2
Mulut Cal membuka, seolah-olah jawabannya bisa keluar sendiri. Tiada yang terjadi dan akhirnya, Cal menggeleng. “Aku tidak tahu pasti.”
Karena ini bukan manuver militer. Tujuan Maven lain, tujuan yang tidak dipahami oleh Cal. Bakatnya adalah di bidang perang, bukan dalam perihal intrik. Itu adalah kepakaran Maven dan ibunya, padahal kami kalah telak dari mereka di bidang tersebut. Sebaik-baiknya yang dapat kami lakukan adalah menantang mereka dengan kebisaan kami sendiri, dengan kekuatan alih-alih siasat. Namun, kami membutuhkan lebih banyak kekuatan. Secepatnya.
“Pitarus,” kataku keras-keras, tidak bisa diganggu gugat. “Beri tahu Nanny dia ikut juga.”
Perempuan tua itu sudah mengajukan diri untuk membantu sejak dia datang ke sini, dan Cal berpendapat bahwa dia sudah siap. Sebaliknya, Harrick tidak kunjung ikut serta lagi dalam perekrutan. Tidak sejak musibah di Templyn. Aku tidak menyalahkannya.
***
Aku tidak butuh Cal untuk menunjukkan kepadaku awal mula wilayah Retakan. Selagi kami melintas dari Negara Bagian Raja untuk...
Bab 20-3
“Dia bukan anak-anak, Mare. Kau tidak perlu melindungi­nya lagi.”
Ternyata selama ini Kilorn marah karena aku ingin menjaganya agar tetap hidup. Aku hampir tertawa karenanya. Berani-beraninya aku melakukan itu? Berani-beraninya aku menyelamatkannya? “Kalau begitu, ajak dia lain kali. Biarkan dia menjemput maut.” Aku tahu Cal mendengar getaran dalam suaraku, tetapi dengan sopan berpura-pura mengabaikannya. “Dan sejak kapan kau peduli kepada Kilorn?”
Tanpa menunggunya menjawab, aku berjalan menjauh. “Aku mengatakan ini bukan demi dia.”
Di landasan pacu, semua sudah menunggu. Farley sibuk mengaitkan Nanny ke badan Gareth, menggunakan cancang yang diambil dari salah satu kursi, tetapi Shade sedang memandangi kakinya. Dia mendengar tiap kata yang kami ucapkan, berdasarkan ekspresi kaku di wajahnya. Dia memelototiku selagi kami melintas, tetapi tak berkata apa-apa. Aku bakal ditegur lagi nanti, tetapi untuk saat ini, fokus kami terarah ke Pitarus dan misi perekrutan nan sukses, mudah-mudahan.
“Rapatkan lengan, tundukkan kepala,” perintah Gareth kepada Nanny. Di hadapan...
Bab 21
Setelah kami memasuki cangkang gosong kedai minum Rosen, barulah si pria kelabu berbicara lagi, kali ini memperkenalkan dirinya selagi kami duduk mengelilingi meja hangus. Namanya ternyata sederhana sekali. Jon. Dan kehadirannya adalah hal paling menggelisahkan yang pernah kurasakan. Tiap kali dia memandangku dengan matanya yang sewarna darah, aku mendapat firasat bahwa dia dapat melihat ke balik kulitku, ke dalam hatiku yang kelam karena berlumur terlalu banyak noda.
Namun, aku tidak menyiarkan pendapat tersebut kepada yang lain, setidak-tidaknya supaya Farley memperoleh lebih banyak kesempatan untuk mengumbar keluhannya. Farley menggerutu dan berteriak silih berganti, berargumen bahwa kami tidak boleh memercayai pria aneh yang muncul dari tengah-tengah abu. Sekali atau dua kali, Shade mesti memegangi lengan Farley untuk menenangkannya. Sementara itu, Jon terus saja duduk tenang sambil tersenyum kaku dan menatap para seterunya sampai mereka keder. Ketika Farley akhirnya tutup mulut, barulah Jon angkat bicara.
“Kalian berempat sudah aku kenal, jadi tidak perlu...
Bab 21-2
Aku merasa bagaikan tikus yang habis tenggelam setibanya kami di jet, selepas mengarungi medan berlumpur dan guyuran hujan lebat. Jon memacu kami dengan kecepatan tetap, bahkan sempat melambat sekali atau dua kali untuk “membuat penyesuaian”, menurut istilahnya. Beberapa detik setelah jet muncul dalam pandangan, aku menyadari maksudnya. Gareth meluncur dari langit bagaikan meteor melambat yang berdarah-darah dan berbaju kebasahan. Gareth mendarat dengan mulus, sedangkan buntalan dalam pelukan pria itu, yang kelihatannya adalah seorang bayi, mencelat ke udara serta bertransformasi di hadapan kami. Kaki Nanny menapak tanah keras-keras sehingga badannya sempoyongan, lantas jatuh bertumpu pada satu lutut bangkotan. Shade memelesat ke samping wanita itu untuk memeganginya, sedangkan Farley mengaitkan lengan Gareth ke pundaknya untuk memapah pria itu.
Gareth dengan senang hati bertopang kepada Farley, demi mengurangi beban yang mesti ditanggung oleh kakinya. Tetesan darah berasal dari salah satu tungkainya, yang tampak tak berdaya.
“Penyergapan di Pitarus,” erangnya, marah sekaligus kesakitan. “Nanny...
Bab 22
Caranya memegang pistol salah. Aku saja tahu. Pistol itu kebesaran untuknya, terbuat dari logam hitam berdenyar dan memiliki laras sepanjang hampir tiga puluh sentimeter. Lebih cocok untuk prajurit terlatih ketimbang remaja perempuan ramping yang menggigil. Prajurit, aku tersadar. Seorang Perak. Jenisnya sama seperti senjata api yang digunakan Sentinel untuk menembakku dahulu kala dalam sel di bawah Balairung Matahari. Pelurunya menghantam seperti palu dan langsung menembus tulang belakangku. Aku pasti sudah mati jika bukan karena Julian dan seorang penyembuh darah yang dia kendalikan. Walaupun punya kekuatan, aku justru angkat tangan tanda menyerah. Aku si Gadis Petir, tetapi aku tidak kebal peluru. Namun, dia menganggap gestur tersebut sebagai ancaman alih-alih bukti takluk. Dia menegang, jemarinya berkedut-kedut terlalu dekat ke pelatuk.
“Jangan bergerak,” desisnya sambil memberanikan diri untuk maju selangkah lagi ke arahku. Berkat kulitnya yang gelap sewarna batang kayu hitam, dia dapat bersembunyi tanpa ketahuan di dalam hutan. Namun, aku melihat noda...
Bab 22-2
Aku harus bertukar kursi dengan Farley, membiarkannya menduduki kursiku di samping pilot supaya aku bisa duduk di seberang Cameron dan mengawasinya. Dia dicancang kuat-kuat-kuat, sedangkan tangannya diikat dengan sabuk pengaman serep. Cameron mustahil kabur lagi karena selain diikat, kami berada di ketinggian. Meski demikian, aku tidak mau mengambil risiko karena siapa tahu dia bisa terbang atau selamat sekalipun jatuh dari pesawat jet. Walaupun aku ingin memanfaatkan perjalanan pulang ke Takik untuk menikmati tidur yang memang kubutuhkan, aku terus membuka mata lebar-lebar dan membalas pelototan Cameron dengan ekspresi berapi-api sebisa mungkin. Pilihannya keliru, kataku dalam hati tiap kali rasa bersalah mengemuka. Kami membutuhkannnya dan dia terlalu bernilai sehingga sayang kalau dilepaskan.
Nanny mengoceh di samping Cameron untuk menghibur gadis itu dengan kisah-kisah mengenai Takik serta pengalaman hidupnya sendiri. Aku duga dia bakal mengeluarkan foto lama cucu-cucunya, seperti biasa, tetapi Cameron ternyata lebih tangguh daripada kami. Sang perempuan sepuh baik hati bahkan...
Bab 23
Suaraku bergema janggal di jalan masuk lapang rumah persembunyian. Badai dari Retakan telah menyusul kami dan pada saat ini, hujan deras menggigilkan yang berpadu dengan salju lebat melolong di balik dinding tanah. Hawa dingin turut menyertai datangnya badai, tetapi Cal berusaha sebaik mungkin untuk mengusirnya. Para penghuni Takik menggerombol di dekat api unggun yang Cal nyalakan di lantai dalam rangka menghangatkan diri. Sekian banyak bola mata yang memantulkan nyala api tampak bak butir-butir permata merah dan jingga, yang bekerlap-kerlip seturut lenggak-lenggok lidah api, semuanya memandangiku.
Totalnya lima belas pasang. Selain Cameron, Cal, Farley, dan kakakku, semua orang dewasa di Takik hadir untuk mendengarkanku. Di sebelah Ada, duduklah Ketha, Harrick, dan Nix. Fletcher, seorang penyembuh kulit yang kebal terhadap rasa sakit, mengulurkan tangan pucatnya terlalu dekat dengan api. Gareth menariknya ke belakang sebelum tangannya terbakar. Ada pula Darmian, yang berbadan setangguh Nix, serta Lory dari Kepulauan Kentosport yang berbatu-batu. Bahkan Kilorn...
Bab 23-2
Cameron cuma mengangkat bahu, tidak tertarik. “Oke.”
“Jadi, kau menyelinap keluar sewaktu kalian digiring jalan-jalan,” Cal bergumam sendiri. Dia sedang berpikir, menempatkan dirinya pada posisi Cameron, membayangkan penjara itu selagi Cameron melarikan diri, supaya dia bisa menemukan cara untuk membobol masuk ke sana. “Para penerawang tidak bisa melihat rencanamu, jadi mereka tidak bisa menghentikanmu. Mereka menjaga portal, kan?”
Cameron mengangguk mengiakan. “Seorang penerawang mengawasi tiap blok. Kuambil senjatanya, lalu aku mengendap-endap dan lari.”
Crance bersiul pelan, kagum akan kenekatan Cameron. Namun, Cal tidak seterkesima itu dan dia terus mencecar si gadis remaja. “Bagaimana dengan portal-portal itu sendiri? Cuma magnetron yang bisa membukanya.”
Mendengar itu, Cameron sontak tersenyum sinis. “Kaum Perak sekarang tidak lagi memercayakan buka-tutup sel dan portal kepada segelintir manipulator logam. Sudah belajar dari kebodohan mereka sendiri, mungkin. Pintu-pintu dilengkapi panel pengunci, untuk membukanya kalau tidak ada magnetron—atau bisa juga diperkuat dengan pintu geser batu, kalau tawanan memutuskan untuk...
Bab 24
Anehnya, aku tidur lebih nyenyak selama tiga hari berikut ketimbang selama berminggu-minggu ini. Latihan berat di halaman beserta sesi perencanaan berkepanjangan menghabiskan tenaga kami semua. Misi perekrutan dihentikan total. Aku tidak merindukan kegiatan itu. Tiap misi mendatangkan desah lega atau kesiap ngeri, padahal keduanya sama-sama mengobrak-abrik ketenangan batinku. Terlalu banyak jasad di tiang gantungan, terlalu banyak anak yang memilih untuk meninggalkan ibu mereka, terlalu banyak orang yang dicerabut dari kehidupan yang mereka kenal.
Bisa dibilang bahwa semua adalah hasil perbuatanku, sehingga rasa bersalahku seberat batu. Namun, kini, setelah jet diistirahatkan dan waktuku dihabiskan dengan menelaah peta-peta serta denah, aku justru merasa malu. Aku telah mengabaikan orang-orang yang masih di luar sana, persis seperti kata Cameron yang menuduhku menelantarkan anak-anak anggota Legiun Cilik. Berapa banyak bayi dan anak-anak yang akan mati?
Namun, apa lagi yang dapat kuperbuat? Aku cuma satu orang, seorang gadis kecil yang tak lagi bisa tersenyum. Aku bersembunyi...
Bab 24-2
Memang masuk akal. Farley dan Shade tidak terpisahkan selama beberapa minggu terakhir. Meski demikian, aku tetap saja terkesiap keras-keras sambil menampar lengannya. “Shade Barrow!”
“Ah, sudahlah. Semua orang juga tahu. Bukan salahku kalau kau tidak sadar.”
“Kau bisa saja memberi tahu aku,” ujarku terbata, mencari-cari alasan untuk mengomelinya.
Shade cuma mengangkat bahu, masih sambil menyeringai. “Sama seperti kau memberitahuku segalanya mengenai Cal?”
“Itu—” lain, aku ingin berkata. Kami tidak pernah menyendiri diam-diam pada siang hari ataupun berbuat macam-macam pada malam hari. Namun, Shade mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikanku.
“Sejujurnya, aku sungguh tidak ingin tahu,” katanya. “Aku permisi dulu. Harus latihan, seperti yang sudah kau ingatkan barusan.”
Dia mundur sambil mengangkat kedua tangan, seperti orang yang menyerah kalah dalam pertempuran. Sambil menahan senyum, kutebaskan tanganku untuk menyuruh Shade pergi. Sekuncup kecil kebahagiaan mekar dalam hatiku, perasaan yang ganjil selepas berputus asa selama berhari-hari. Aku melindunginya seperti menjaga nyala lilin agar tetap hidup...
Bab 25
Takik berkedip-kedip di belakangku dan, dengan takjub, aku menyaksikan rumahku beberapa bulan terakhir ini menghilang seiring lambaian tangan Harrick. Bukit masih tampak, begitu pula dengan cerang, tetapi tanda-tanda keberadaan kami tersapu bersih bagaikan pasir yang dihapus dari selempeng batu pipih. Kami bahkan tak bisa mendengar anak-anak yang beberapa saat lalu berdiri di sana sambil melambai dan mengucap selamat tinggal dengan suara nyaring yang bergema di tengah malam. Farrah telah meredam semuanya dan, bersama Harrick, menghamparkan selubung yang melindungi anak-anak Darah Baru paling belia.
Tak seorang pun pernah melacak apalagi menemukan kami, tetapi pertahanan ekstra menenangkan hatiku lebih daripada yang mau kuakui. Yang lain mayoritas bersorak penuh kemenangan, seolah-olah aksi menyembunyikan Takik patut dirayakan. Yang mengesalkan, Kilorn memimpin sorak-sorai tersebut dengan bersiul-siul keras. Namun, aku tidak menegurnya karena enggan, apalagi kami baru saja berbaikan setelah sempat diam-diaman. Sebaliknya, aku malah tersenyum terpaksa sambil menggertakkan gigi sampai ngilu. Dengan begitu, aku bisa...
Bab 25-2
Secercah sinar mentari mewarnai cakrawala timur, tetapi langit di atas kami masih biru tua kelam ketika Pelari Hitam mendarat di landasan mulus Corros. Ini bukanlah pangkalan militer yang disesaki jet skuadron dan hanggar, tetapi karena statusnya sebagai fasilitas Perak, aura bahaya nan pekat tetap saja membayang di mana-mana. Kupasang helm penerbang di kepala sehingga menyembunyikan wajahku. Cal dan yang lain juga mengenakan helm masing-masing dan menurunkan pelindung wajah. Bagi orang luar, kami pasti terkesan menakutkan. Semua berbaju hitam, berkedok, untuk mengiringi raja belia yang tak kenal ampun ke penjara. Mudah-mudahan para penjaga terlalu sibuk memperhatikan sang raja sehingga tidak menggubris para pendampingnya.
Karena tidak sanggup duduk-duduk lebih lama lagi, aku bangkit dari kursi secepat-cepatnya. Sabuk pengaman yang menggelayut berdencing di belakangku. Kulakukan yang harus kulakukan, yang kuharap tak perlu kulakukan, yaitu menggaet lengan Nanny. Sentuhannya bahkan seperti Maven.
“Perlakukan orang dengan acuh tak acuh.” Aku memberitahunya dengan suara yang teredam...
Bab 25-3
Aku merasa bahwa pusat komando penjara mirip dengan saraf yang berdenyut-denyut dan mengontrol semua kamera di fasilitas tersebut. Aliran listrik dari sana menarikku dan membimbingku melalui belokan-belokan tajam di koridor penjara. Koridor juga berubin putih, sama seperti di serambi, tetapi tidak sebersih di sana. Jika aku memperhatikan baik-baik, aku bisa melihat darah di sela-sela ubin, yang berwarna cokelat seiring berjalannya waktu.
Seseorang sudah berusaha untuk mencuci bersih bekas-bekas kejadian entah apa, tetapi kurang tuntas. Darah merah susah sekali dibersihkan. Aku melihat campur tangan sang ratu dalam hal ini, dalam entah mimpi buruk apa yang dia racik di kedalaman Corros. Ratu Elara masih berada di sini, tengah melanjutkan pekerjaannya yang mengerikan. Dia mungkin saja sedang mendatangi kami pada saat ini, selepas diberi tahu bahwa ada yang tidak beres. Mudah-mudahan saja. Mudah-mudahan dia muncul dari belokan di depan sana, tepat saat ini, agar aku bisa langsung membunuhnya.
Namun, alih-alih menjumpai Ratu Elara...
Bab 26
Kamera-kamera yang buta tidak bisa melindungi kami lama-lama—dan waktu rupanya telah habis. Mula-mula, terdengarlah ledakan di koridor. Aku mendengar Ketha menjerit seiring tiap ledakan, takut akan perbuatannya serta dampak perbuatannya terhadap daging dan tulang. Namun, jeritan patah-patah mengguncangkan blok sel, mencegat para Darah Baru yang sudah lambat.
“Jalan terus!” teriak Farley. Semangatnya yang menggebu-gebu telah lenyap, digantikan oleh ketegasan nan lugas. “Ikuti Ada, ikuti Ada!” Dia menggiring para tawanan seperti domba, malah mendorong sekian banyak orang ke atas tangga. Shade lebih ringan tangan, yaitu dengan melompat bersama tawanan tertua dan paling sakit dari tingkat-tingkat terbawah, meskipun teleportasi membuat kebanyakan orang menjadi linglung. Sementara itu, Kilorn mengulurkan lengannya yang panjang untuk mencegah orang-orang jatuh terpeleset dari titian.
Ada melambai-lambai untuk mengarahkan para Darah Baru ke pintu bertuliskan C hitam besar, yang terletak di sebelahnya. “Ikuti aku,” teriaknya. Mata Ada jelalatan untuk mengamati segalanya dan semua orang, sambil menghitung. Aku harus mendorong...
Bab 26-2
Walaupun tiap blok sel tersegel secara tersendiri sehingga para tawanan sulit atau malah mustahil kabur, ketersegelan itu sekaligus menyusahkan para penjaga untuk saling berkomunikasi. Kebingungan ternyata seefektif petir atau api. Para penjaga enggan meninggalkan pos, terutama selepas tersiarnya rumor mengenai kedatangan raja, dan alhasil, setibanya di Blok G, kami mendapati empat magnetron yang sedang mondar-mandir sambil cekcok.
“Kau dengar sirene tadi, pasti ada yang tidak beres—”
“Barangkali cuma latihan, untuk pamer kepada si raja cilik—”
“Masalahnya, pusat komando tidak merespons pesan radioku.”
“Kau sudah mendengar apa kata mereka tadi. Kamera-kamera sedang mengalami malfungsi, mungkin radio juga. Mungkin ratu sedang main-main lagi, dasar penyihir.”
Aku menyambar salah seorang dengan petir untuk menarik perhatian mereka. “Bukan penyihir itu yang sedang main-main.”
Sebelum titian logam ambruk di bawahku, aku buru-buru memegangi jeruji di sebelah kiri pintu. Cal menuju ke kanan dan sentuhannya yang membara serta-merta membuat jeruji menjadi merah, lalu meleleh. Cameron bertahan...
Bab 26-3
Kekisruhan melanda Corros. Tembakan senjata bergema di tiap koridor, di balik tiap pintu. Gerombolan tawanan Perak mengikuti kami dengan loyo, tetapi tidak ada yang sanggup memprotes. Aku tidak memercayai mereka sama sekali dan harus berjalan mundur untuk mengawasi. Banyak yang mengitari belokan secara diam-diam untuk memisahkan diri, sudah tidak sabar untuk meninggalkan tempat ini. Yang lain masuk semakin dalam ke penjara untuk membalas dendam. Segelintir bertahan bersama kami sambil menundukkan pandangan, malu karena mengikuti si Gadis Petir. Walau begitu, mereka tetap saja mengikuti. Selain itu, mereka bertarung sebisanya. Penyerbuan ini bisa diibaratkan seperti menjatuhkan batu ke telaga tenang. Riak-riak mulanya kecil, tetapi makin lama makin membesar. Tiap blok ditumbangkan dengan lebih mudah ketimbang yang sebelumnya, sampai para magnetron di dalam mesti kabur dari kami. Kaum Perak membunuh lebih banyak daripada aku, menerkam pengkhianat mereka bagaikan serigala lapar. Namun, perkembangan yang positif ternyata tidak bisa berlangsung terus-menerus. Ketika seorang Lerolan penghancur...
Bab 27
Ini bukan Pelari Hitam.
Cal justru memiloti jet kargo mahabesar, yang berfungsi untuk mengangkut kendaraan berat atau mesin. Kini ruang kargo menampung tahanan kabur berjumlah tiga ratus lebih, banyak yang terluka, semuanya terguncang. Kebanyakan adalah Darah Baru, tetapi ada pula orang-orang Perak di antara mereka, yang menggerombol sendiri sambil menunggu waktu. Setidak-tidaknya untuk hari ini, mereka semua sama-sama berbaju compang-camping, kelelahan, dan kelaparan. Karena tidak mau mendatangi mereka, aku bertahan saja di bagian atas jet. Paling tidak, di sini lengang karena dipisahkan dari ruang kargo oleh tangga sempit dan dari kokpit oleh pintu yang tertutup.
Aku tidak sanggup beranjak dari dua jenazah yang dibaringkan di kakiku. Salah satu diselimuti seprai putih bernoda darah merah, mekar dari jantungnya yang tertusuk. Farley berlutut di sampingnya sambil mematung dan menyelipkan sebelah tangannya ke bawah seprai untuk mencengkeram jemari dingin mati kakakku. Jasad yang satu lagi tidak terselubung karena tak kuperbolehkan.
Elara yang tak...
Bab 27-2
Tuck sepi sunyi dan terlampau terang benderang. Tidak ada awan, tidak ada angin, hanya cahaya mentari dan hawa sejuk musim gugur. Shade tidak semestinya mati di hari seindah ini, tetapi nyatanya begitu. Nyatanya, terlalu banyak yang meninggal dunia.
Aku turun paling dulu dari pesawat kargo, diikuti oleh dua usungan berselubung. Kilorn dan Farley membayangi salah satu usungan sambil memegangi Shade. Namun, yang saat ini kupedulikan adalah usungan yang satu lagi. Para pria yang menggotongnya seakan takut akan jenazahnya, sama seperti aku. Beberapa jam terakhir yang kulewatkan dengan permenungan nan hening sambil memandangi jasad dingin Elara anehnya justru menghibur.
Wanita itu tak akan bangun lagi. Sama seperti Cal yang tak akan lagi bicara kepadaku, tidak selepas kami berkata-kata seperti tadi kepada satu sama lain. Aku tidak tahu di mana Cal berada di antara barisan, atau apakah dia akan ikut turun. Dalam hati, kusuruh diriku agar jangan cemas. Percuma memikirkan Cal.
Aku...
Bab 28
Tuck tampak lebih kecil daripada yang kuingat, apalagi karena pulau itu disesaki oleh tiga ratus pelarian dari Corros dan bala bantuan di bawah komando sang Kolonel. Dia membimbingku melewati mereka semua, berjalan dengan langkah cepat sehingga aku harus mengikuti dengan susah payah.
Kebanyakan prajurit adalah orang-orang Lakelander, diselundupkan dari utara seperti senjata dan makanan yang tumpah ruah dari geladak, tetapi ada pula orang-orang dari Norta. Petani, pelayan, desertir, dan bahkan techie bertato sedang berlatih di ruang terbuka antarbarak. Banyak yang datang ke sini di dalam kurun beberapa bulan terakhir. Mereka adalah gelombang pertama pengungsi yang kabur demi menyelamatkan diri dari Ketentuan dan tentu masih banyak yang akan menyusul.
Pemikiran itu semestinya menuai senyumku, tetapi akhir-akhir ini sukar sekali untuk tersenyum. Gerakan itu membuat parut-parutku dan kepalaku nyeri. Di landasan pacu, pesawat jet yang sudah tak asing lagi meraung kencang dan meluncurlah Pelari Hitam ke angkasa. Menuju Takik dan dikendarai oleh...
Bab 28-2
Ruang kesehatan yang sunyi sepi merupakan tempat yang cocok untuk menunggu. Sara diperbolehkan meninggalkan barak khusus Perak dan dia sempat sibuk ke sana-kemari untuk menyembuhkan siapa saja yang terluka. Kini semua ranjang sudah kosong, terkecuali satu. Aku berbaring menyamping sambil menatap jendela lonjong di depanku. Langit biru cerah telah menggelap menjadi sekelabu baja. Mungkin pertanda datangnya badai, atau mungkin penglihatanku yang kabur. Hari ini, aku tak sanggup lagi melihat sinar mentari. Seprai terasa lembut tetapi usang karena keseringan dicuci dan aku mesti menahan diri supaya tidak menarik seprai itu hingga menutupi kepalaku. Seolah-olah dengan demikian kenanganku bakal berhenti berdatangan, masing-masing berdebur keras laksana gelombang besi. Momen-momen terakhir Shade, matanya yang membelalak, tangannya yang menggapai ke arahku, sebelum darah tertumpah dari dadanya.
Dia kembali untuk menyelamatkanku dan dia justru tewas karenanya. Perasaanku sekarang seperti berbulan-bulan lalu, ketika aku bersembunyi di hutan karena tidak sanggup menghadapi Gisa dan tangannya yang patah. Kini...
Bab 29
Mes penuh sesak, tetapi bukan untuk acara makan-makan. Baru sejam lalu Kolonel menyerukan panggilan untuk “operasi prioritas utama”, tetapi orang pilihan dan relawan sudah berjejalan di dalam ruangan. Kaum Lakelander yang serius dan terlatih diam membisu. Para anggota Barisan lebih berisik, sekalipun Farley justru tidak seperti itu. Jabatannya sebagai kapten telah dikembalikan, tetapi Farley sepertinya tidak peduli. Dia duduk sambil tutup mulut dan memuntir-muntir syal merah dengan ekspresi hampa.
Ketika aku memasuki mes sambil diapit oleh kedua kakakku, keriuhan sontak sirna dan semua pasang mata mengamatiku. Terkecuali Farley, yang tidak mendongak sama sekali. Lory dan Darmian malah bertepuk tangan selagi aku menyeberangi ruangan, membuatku merona. Ada lantas turut serta, begitu pula dengan Nanny— membuatku kegirangan—yang berdiri di sebelahnya, dan Cameron. Mereka selamat. Aku mengembuskan napas pelan sambil berusaha menenangkan perasaanku sedikit.
Namun, Nix, Gareth, dan Ketha sama sekali belum terlihat. Mereka bisa saja memilih untuk tidak datang ke sini. Mereka...
Bab 29-2
“Aku membuatkan ini untukmu,” tukas Gisa sambil mengulurkan tangannya yang sehat. Dia mengayun-ayunkan secarik sutra hitam. Kain itu terasa sejuk dan licin di tanganku, seperti tenunan minyak. “Dari masa sebelum.”
Bordir apik yang berbentuk bunga-bunga merah dan emas menghiasi kain tersebut. “Aku ingat,” gumamku sambil mengelus bordir nan sempurna itu dengan satu jari. Gisa menjahit ini dahulu kala, pada malam hari ketika si petugas Keamanan mematahkan tangannya. Kreasi tersebut belum rampung, sama seperti nasibnya yang lama. Sama seperti Shade. Sambil gemetaran, kuikat kain tersebut ke seputar pergelanganku. “Terima kasih, Gisa.”
Aku merogoh saku. “Aku juga punya sesuatu untukmu, Dik.”
Pernak-pernik murahan. Satu anting yang serasi dengan warna rambut Gisa yang semerah darah.
Gisa mengambil anting itu dengan napas tersekat. Air mata mengalir ke wajahnya, tetapi aku tak kuasa melihat. Kubalikkan badanku untuk meninggalkan mereka semua, lalu naiklah aku ke Pelari Hitam. Jalur landai tertutup di belakangku dan, pada saat jantungku...
Bab 29-3
Terdapat hamparan rumput kaku di bawah lenganku yang menjulur, menyenggol ujung-ujung jariku. Bagaimana bisa? aku membatin sambil menarik tanganku ke belakang. Karena sulit untuk menyeimbangkan diri, aku terjatuh lagi. Kerangkeng berguncang-guncang selaras dengan gerakanku, seperti ayunan yang disangkutkan ke pohon.
“Jangan bergerak,” geram Cal sambil menempelkan tangan ke tengkukku. Tangannya yang sebelah mencengkeram jeruji besi, yang sontak menjadi merah membara dalam kepalannya.
Kuikuti pandangannya, yang tertuju ke seberang cerang hutan, yaitu ke arah orang-orang yang berdiri membentuk lingkaran lebar untuk mengepung kami. Rambut perak mereka mustahil salah dikenali. Para magnetron dari Klan Samos. Mereka mengulurkan tangan dan bergerak serempak sehingga turunlah kerangkeng secara berangsur-angsur. Ketika tinggal dua sentimeteran dari tanah, kurungan itu jatuh terempas begitu saja sehingga kami semua memekik.
“Lepaskan.”
Suara itu laksana sambaran petir. Aku melepaskan diri dari cengkeraman Cal sambil bersalto, kemudian mendarat dan berlari cepat-cepat ke tepi kurungan. Sebelum aku sempat melayangkan pukulan ke samping, jeruji...
Epilog
Hari demi hari berlalu. Setidak-tidaknya, menurutku masih beberapa hari. Aku menghabiskan sebagian besar waktu dalam kebutaan nan kebas karena deraan alat bunyi. Sekarang rasanya tidak sesakit dulu. Para sipirku telah menemukan—menurut istilah mereka—“dosis” yang pas untuk membuatku semaput, tetapi tidak menyebabkan sakit kepala bertubi-tubi. Tiap kali aku tersadar, penglihatanku yang bebercak-bercak menunjukkan pria-pria berjubah putih yang memutar kenop sehingga alat berbunyi kembali. Serangga seolah-olah bersarang di dalam otakku, senantiasa berbunyi klik klik klik. Terkadang aku merasa ditarik-tarik, tetapi kurang keras sehingga aku tetap tak terbangun. Terkadang aku mendengar suara Maven. Kemudian penjara putih berubah menjadi hitam dan merah, kedua warna terlalu mencolok sehingga terkesan menyilaukan.
Kali ini ketika aku terbangun, tak terdengar bunyi klik. Dunia kelewat terang dan agak kabur, tetapi aku tidak kehilangan kesadaran lagi. Aku betul-betul terjaga.
Rantai yang membelengguku bening, barangkali dari plastik atau bahkan kaca berlian. Rantai tersebut mengikat pergelangan tangan dan kakiku, tidak enak karena...
Description: �Gadis Petir,� bergema dari mereka, bergaung ke dinding-dinding logam. Julukan itu mengepungku sama seperti bisikan terkutuk Elara, yang lamat-lamat menyesaki otakku. Itulah julukannya untukku, itulah julukan mereka untukku.
Mare, gadis dari golongan Merah, memiliki kekuatan yang seharusnya hanya dimiliki mereka yang berdarah Perak. Bakat itulah yang membawanya masuk ke lingkungan istana kaum penguasa itu. Namun ternyata banyak pihak yang memusuhinya. Tunangannya sendiri, Maven�pemimpin baru Kerajaan Norta�bahkan tak segan mengancam keselamatan nyawa Mare.
Mendapati dirinya dan kaumnya terancam bahaya, Mare melarikan diri dari istana bersama para pejuang Merah dan Cal�pangeran Perak yang dikhianati keluarganya sendiri. Maven pun mengerahkan sejumlah pasukan untuk memburu Mare dan Barisan Merah.
Mampukah Mare menyelamatkan kaumnya? Dan di tengah sengitnya pertempuran, maukah dia membuka hati dan memercayai cinta?
|
Title: RED ZONE
Category: Science Fiction
Text:
BAB 1 HARI YANG MENGEJUTKAN
HARI PERTAMA
Sungguh pemandangan yang begitu indah. Tepat pada pukul enam pagi di dalam pesawat, akhirnya matahari mulai memberanikan diri naik, bersinar masuk melalui jendela bundar. Dari ufuk sana, terbentanglah pancaran oranye. Awan-awan terhampar bagai permadani, berlatar belakang langit: dan ini berarti sambutan pagi hari yang hangat.
Jumat tanggal satu, bulan Mei, tahun 2020. Pagi itu, seorang pria sedang duduk pada barisan kedua kiri kursi pesawat. Pria ini mengenakan kemeja putih dengan setelan jas kantor hitam. Alan Runner adalah namanya.
Postur badannya tegap, bidang, dan tentu saja suatu keberkatan atas kesehatannya. Ia tidak bertubuh tinggi dan tidak bertubuh pendek pula. Ada rambut halus yang tumbuh tipis di dagunya dengan bersih dan rapi. Ia juga memiliki rambut hitam yang cantik dan bergelombang. Sekarang pria ini sedang duduk bersandar dengan santai di atas kursi empuk pesawat.
Bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan teknologi jelas bukanlah perkara yang mudah. Rapat, negosiasi, dan ekspansi, membuatnya harus rela meninggalkan keluarga tercinta dari kota Philadelphia selama sebulan. Kota itu sangat penting baginya, sebab keluarganya tinggal di sana. Dan syukurlah! Hari ini Alan bisa lebih santai. Ia sudah sangat merindukan rumahnya: untuk berkumpul kembali bersama keluarganya.
Oh, ya, di samping kiri Alan juga duduk seorang laki-laki. Laki-laki ini berkemeja putih lengan pendek. Kemeja ini cukup konyol, karena kemeja tersebut terlihat seperti kemeja pantai dengan pola-pola nanas di atasnya. Selain itu, laki-laki ini juga memakai topi hitam dan headphone. Dan, yah, mungkin itu yang membuatnya tertidur pulas sambil mendengarkan musik. Laki-laki ini akan berpengaruh dalam cerita kita. Seberapa besar pengaruhnya? Nanti akan kita ketahui selanjutnya.
Tapi yang lebih menariknya lagi, ada banyak gumpalan-gumpalan awan yang tanpa henti melewati kaca jendela pesawat di samping laki ini, seolah kapas beterbangan. Tentu saja Alan sangat menikmati perhatian yang diperolehnya. Ia sampai tersenyum, meletakkan kedua tangannya di paha, dan bersandar kembali sambil menunggu dengan rasa tak sabaran. Yah, menurutnya sekitar lima menit lagi pesawat akan sampai di Philadelphia. Perjalanan ini tentu memakan waktu yang sangat panjang; kira-kira dibutuhkan delapan jam penerbangan dari kota London ke bandara Philadelphia International.
Beberapa saat kemudian, tangan Alan meraba-raba ke dalam saku celananya. Ia mengambil sebuah ponsel. Ponsel ini telah aktif ke dalam mode penerbangan semenjak keberangkatan dari kota London. Ia memandang ponsel ini cukup lama; sampai Alan mendapatkan sebuah simbol ‘X’.
“Apa-apaan ini?” katanya pada diri sendiri. “Ini tampak tak seperti biasanya. Kenapa tak ada jaringan?”
Tak lama kemudian, tiga notifikasi pop out, menampilkan panggilan tidak terjawab dari Sophie Runner (Sophie Runner adalah nama istri dari Alan Runner). Ternyata Sophie menelepon Alan pada pukul lima tadi pagi, di mana waktu itu dia sedang terlelap.
Hati Alan merasa tak enak tentang hal ini. Lalu ia mencoba menghidupkan ulang ponselnya, mengotak-atik lagi, sampai ia mencoba untuk mencabut kartu SIM; “mungkin saja kartunya longgar,” pikirnya. Tapi tetap tidak bekerja. Pesan suara juga tidak kunjung masuk. Ia mendapatkan firasat buruk. Ia khawatir jangan-jangan keluarganya dalam bahaya.
Akhirnya Alan menyerah, menghela napas panjang, kembali menyandarkan kepala ke belakang, serta berharap mendapatkan jaringan ponselnya kembali. Tapi entah mengapa tiba-tiba Alan mendengar bisikan-bisikan di sekitar. Ia menoleh ke kanan, mulai mencoba membaca situasi. Orang-orang berbicara pelan sambil memegang ponsel genggam masing-masing.
Lalu seorang lelaki paruh baya di sebelah kanannya, mencondongkan badan, dan berbicara, “Permisi,” katanya. “Bisakah saya pinjam smartphone Anda sebentar? Saya tidak mengerti smartphone saya tidak ada jaringan setengah jam yang lalu.”
“Mohon maaf, smartphone saya juga tidak ada jaringan,” jawab Alan. “Dan boleh saya tanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi?”
“Saya tidak tahu,” kata lelaki tersebut. “Semua orang di dalam pesawat ini mengalami keluhan jaringan yang sama. Padahal kita sudah memasuki kawasan Amerika Serikat. Baru saja saya mendengar seorang perempuan di sana mendapatkan pesan delapan jam lalu dari suaminya. Aku tidak tahu pasti. Tapi dia berkata ada kerusuhan besar di New York.”
“Apa? Kerusuhan besar?” kata Alan kaget. “Maaf, maksudku kerusuhan apa itu?”
Lelaki itu menggelengkan, sambil berkata, “Aku tidak tahu mengenai hal tersebut.”
Mendadak terdengar suara sepatu hak tinggi, berderap kencang dari belakang. Seorang wanita berjalan cepat melewati mereka; sampai embusan anginnya tertinggal. Rupanya yang dilihatnya adalah seorang pramugari yang sedang berjalan tergesa-gesa melewati barisan kursi para penumpang; dia menghampiri dek penerbangan.
Kapten pesawat mengedipkan tanda ‘Dilarang Merokok’. Lalu tubuh cantik wanita itu berbalik, mengambil sebuah telepon dengan kabel tergelung-tergelung. Pramugari itu berbicara sehingga suaranya terdengar ke seluruh kabin penumpang. Dan dia mengumumkan:
“Selamat pagi, ladies and gentlemen. Kapten baru saja telah memberi kabar bahwa jalur penerbangan kita sedang dialihkan ke salah satu bandara di New York. Pesawat ini tidak diizinkan untuk mendarat di bandara Philadelphia International. Ketika Anda sampai di sana, Anda akan dibimbing untuk menjalani prosedur-prosedur kesehatan. Selain itu, kami juga sudah menyediakan sebuah sarana bus transportasi untuk mengantar semua penumpang kembali ke tujuan awal, kota Philadelphia. Perjalanan ini akan menempuh waktu sepuluh menit. Harap pastikan untuk terakhir kali sabuk pengaman Anda dikencangkan dengan erat. Pramugari saat ini sedang melewati kabin untuk melakukan pemeriksaan kepatuhan akhir dan mengambil cangkir dan gelas yang tersisa. Terima kasih.”
Setelah mendengar pengumuman ini, para penumpang berbisik-bisik keheranan. Mendadak rasa penasaran mereka bangkit. Beberapa penumpang bertanya kepada pramugari-pramugari, “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kita harus dialihkan? Kami ingin berbicara dengan pilotnya!”
“Yeah, kami dengar ada situasi genting di New York,” sahut penumpang yang lain.
“Maaf, kami juga tidak tahu situasi apa ini. Kami hanya dapat perintah ini dari kapten,” jawab para pramugari-pramugara. Sementara dua orang kapten pesawat sedang sibuk berkomunikasi dengan menara ATC[1].
Pramugara dan pramugari yang lain juga datang menghampiri para penumpang pesawat. Mereka berkata dengan lemah lembut dan meminta, “Permisi, tolong untuk alihkan perangkat elektronik portabel Anda ke mode pesawat.”
Firasat Alan mulai tak enak. Nalurinya yang kuat terus menghasut perasaan yang tidak nyaman pada situasi pesawat yang dinaikinya. Ia cemas, seolah-olah ada selimut bayangan hitam datang menutupi dirinya.
***
Tiba-tiba tangan kanan Alan gemetar, dan segera ia memandangnya. Ia tahu ini akan terjadi, hal buruk akan datang. “Tidak, jangan dulu!” katanya pada diri sendiri. Lalu ia menggenggam tangannya sekejap, berusaha untuk menenangkan diri. Ia belum pernah mengalami perasaan gelisah yang begitu kuat seperti ini dalam hidupnya. Keringat dinginnya juga mulai berkucur di dahi dan leher. Sedangkan lelaki berkemeja nanas di sebelahnya, malah semakin terhanyut dalam tidurnya. Lelaki itu sempat mendengkur dua kali, sebelum akhirnya seorang pramugari datang untuk membangunkannya.
“Permisi, Pak, pesawat sebentar lagi akan mendarat. Kami tidak ingin Anda tertidur,” kata seorang pramugari sambil mengguncang bahu lelaki tersebut.
Lelaki itu terbangun, mukanya terlihat seperti orang tolol. Tapi Alan tak terlalu memedulikannya. Ia mengambil botol air dan meminum seteguk, berusaha menenangkan dirinya kembali.
Tidak berapa lama, roda-roda pesawat turun menyentuh landasan dengan baik dan mulus. Suasana mendadak hampa di dalam pesawat. Para penumpang langsung melihat ke jendela-jendela pesawat. Kepala mereka tergeleng-geleng melihat pemandangan yang ganjil atau yang belum sama sekali mereka lihat sebelumnya di luar. Raut muka mereka juga kebingungan. Susunan dan tata letak bandara terlihat berbeda dari biasanya. Di wajah Alan mulai tersirat suatu keraguan. Tanpa berpikir panjang, ketika pesawat berhenti, ia berbicara kepada seorang pramugari di dekatnya. “Permisi. Apakah kita benar mendarat di bandara John F. Kennedy? Ini tidak seperti biasanya,” tanyanya.
“Maafkan saya, Pak,” jawab salah satu pramugari tersebut dengan nada ragu. “Saya betul-betul tidak tahu kita sedang mendarat di mana. Kami hanya disuruh kapten untuk memberi laporan, bahwa jalur penerbangan kita telah digantikan ke jalur penerbangan alternatif lainnya. Kami juga mohon maaf atas terganggunya penerbangan Anda. Saya rasa ini adalah masalah yang sangat serius.”
Alan kembali menoleh ke jendela. Sekarang semua mata para penumpang juga terpaku melihat ke luar melalui jendela-jendela pesawat. Di luar sana mereka melihat dua truk datang, masing-masing seperti mengepung di antara ke dua sisi pesawat (kiri dan kanan). Lalu segerombolan tentara turun. Mereka bersenjata laras panjang; berseragam lengkap dilapisi rompi; dan memakai masker penuh menutupi seluruh muka.
Tatapan para tentara ini sangat tajam sekali memandang setiap jendela-jendela pesawat. Mereka tampak sudah siap memasuki pesawat, dan berhasrat besar untuk menggempur musuh di dalam. Tapi tidak seperti itu kenyataannya, karena tidak ada musuh di dalam pesawat Alan saat ini.
Atmosfer tambah panas, para penumpang semakin cemas, ada yang tak beres, dan semua penumpang di dalam dapat merasakannya. Jantung Alan semakin berdebar, kemudian mendadak terdengar bunyi gedebuk pada pintu depan pesawat. Tak lama disusul oleh bunyi sepatu menginjak-injak yang naik beriring-iringan. Pintu depan pesawat dibuka oleh pramugari di sana. Segera muncul moncong-moncong senjata, menodong setiap orang-orang di dalam, sehingga para penumpang berteriak, terkejut dan ketakutan dibuat.
“Jangan ada yang bergerak!” seru keras para tentara itu berulang-ulang. Dengan gesit mereka masuk. Mereka memeriksa semua wajah-wajah para penumpang.
Waktu seorang tentara berdiri di samping Alan, ia berkata, “Pak, angkat wajahmu!” Tentara itu memandang mata Alan, namun tidak ada yang mencurigakan. Kemudian ia memeriksa lelaki di samping Alan, dan sekali lagi tidak ada yang menarik perhatiannya. Lalu tentara itu beranjak memeriksa ke barisan penumpang selanjutnya. Begitulah sampai semua kabin penumpang diperiksa oleh mereka dengan cermat dan teliti, tanpa ada satupun yang terlewatkan dari hadapan mereka.
Setelah semua dirasa Aman, salah seorang tentara melambaikan tangan, memberikan isyarat di depan pintu masuk pesawat, dan berkata, “Pesawat aman, masuklah!”. Bergegas seorang tentara wanita memakai masker, berjalan cepat masuk sambil memegang megafon. Lalu dia berbicara ramah, tapi tidak memakai megafon; dia memakai telepon di pesawat.
“Ladies and Gentlemen please pay attention to me. Nama saya adalah Amy, dan saya adalah pemandu Anda sekarang…” Para penumpang menjadi bingung waktu itu, mereka sampai menoleh kiri—kanan untuk melihat semua yang dikerjakan para tentara. Sebab sekarang yang hanya terlintas di dalam pikiran mereka bukan untuk berlibur atau semacamnya, dan kenapa mereka harus memiliki pemandu. Ini betul-betul sangat janggal.
“… untuk saat ini kami akan menerapkan kebijakan regulasi keamanan. Anda akan kami kawal untuk pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu,” kata Amy, sambil tersenyum, menyembunyikan sebuah rahasia di wajahnya. “Setelah itu, kami akan membawa Anda ke kota Philadelphia sebagaimana tujuan awal Anda. Keluarlah satu persatu dengan hati-hati. Jangan panik dan ikutilah prosedur petugas yang lain. Berjalanlah dengan teratur menuju tenda putih yang telah kami sediakan di luar. Kami berharap penuh kepada Anda agar dapat bekerja sama dengan kami demi keselamatan Anda dan seluruhnya. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.”
Atas perintah itu, para penumpang beranjak keluar dari pesawat. Alan langsung berdiri dari tempat duduk, mengambil tas kerja hitam kulitnya, lalu berjalan pelan-pelan keluar bersama rombongan penumpang lainnya. Di sana mereka turun tanpa garbarata, hanyalah sebuah tangga. Di seberang sana Alan juga ada melihat penumpang lain yang baru turun dari pesawat yang berbeda, dan pesawat itu sudah mendarat terlebih dahulu sebelum pesawat mereka tiba. Mereka berjalan beriring-iringan, seperti sedang menuju pemakaman. Mereka berjalan ke tenda putih pleton. Tenda putih itu lumayan panjang dan lebar. Jika bisa digambarkan, tenda putih tersebut seperti tenda Rofi.
“Ada yang tidak beres,” pikir Alan. Ia mencoba memeriksa kembali jaringan ponsel, tapi hasilnya tetap sama, tak ada jaringan yang dapat dijangkau. Tak jauh di depan Alan, ada seorang penumpang. Ia kerap bertanya kepada para tentara tentang keadaan terkini.
“Pemandangan di sini seperti pangkal militer. Kalian membuat aku khawatir, sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?” berhenti seorang di sana, bertanya kepada salah satu tentara bersenjata.
“Teroris baru saja menyerang kota New York. Kami mohon perhatian untuk tetaplah berjalan pak!” jawab tegas tentara tersebut.
“Siapa teroris ini?” tanya yang lain. “Jawaban kalian tidak rasional. Kota New York itu sangat besar, dan aku rasa delapan jam suatu kegilaan untuk ditaklukkan oleh teroris dalam waktu yang singkat. Apa ada alien yang menginvasi kota New York? Aku sekarang sedang terburu-buru ke Philadelphia.”
Pertanyaan-pertanyaan terus dilontarkan berkali-kali kepada tentara lainnya oleh para penumpang. Tapi hasilnya para tentara tetap membisu, dan sebagian dari mereka tetap kukuh mempertahankan jawaban dengan menyebutkan kata ‘teroris sedang menyerang kota’ secara berulang kali. Sampai-sampai telinga Alan lelah mendengar kalimat berbohong itu. Kemungkinan sesuatu telah ditutup-tutupi dan tersimpan rapat di dalam mulut mereka.
“Harap semuanya, tetaplah bersamaku! Semakin cepat kita berjalan, semakin cepat kita pergi dari sini,” kata Amy menggunakan megafon, seorang wanita tentara pemandu mereka.
Semua penumpang setuju, mereka lanjut berjalan. Mereka masuk dengan antrean. Ketika giliran Alan masuk, terang benderang warna putih terhampar mengisi pemandangan dalam tenda. Alan begitu takjub membisu melihat seisi ruangan ini; di dalam ia melihat lantai dan dindingnya bersih, seakan di dalam laboratorium. Tapi ada satu yang masih menjadi perhatian besar Alan di dalam sana. Entah mengapa semua kru itu memakai hazmat putih. Ia sempat kebingungan, “Siapa sebenarnya orang-orang ini? Apa mereka dokter atau tentara? Dan apa yang sedang mereka lakukan?” Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang selalu berputar di kepala Alan.
Seseorang datang menghampiri Alan, lalu menyapa, “Selamat pagi, Pak!” Ternyata seorang gadis yang berbicara di dalam baju hazmatnya.
“Yeah, selamat pagi,” balas Alan.
“Kami ingin Anda untuk tetap tenang selama pemeriksaan kesehatan yang akan kami lakukan,” kata gadis ini. “Jadi kami akan mencoba memeriksa berbagai bagian di tubuh Anda seperti: hidung, telinga, mata, kerongkongan dan mulut Anda.”
Kemudian sebuah senter kecil dihidupkannya. Dia mulai memeriksa. Alan hanya bisa menurut, sebab ia sendiri tidak tahu apa mereka periksa, dan apa tujuannya. Setiap bagian yang diperiksa, gadis itu langsung mencentang selembar kertas; banyak tabel data tercetak di sana. “Tidak ada gejala pendarahan, kemerahan, dan bengkak,” katanya. “Kami rasa Anda negatif.”
“Maaf, aku tidak tahu apa yang Anda periksa,” kata Alan. “Semuanya kejanggalan ini datang secara tiba-tiba kepadaku. Aku tidak sakit sama sekali. Untuk apa Anda memeriksa kami? Dan kenapa ada banyak sekali tentara di sini?”
Gadis itu menggeleng. Dia menolak untuk menjawab pertanyaan Alan. “Maaf, saya tidak dapat memberitahu Anda akan hal ini. Tapi jika nanti ketika Anda telah keluar dari tempat evakuasi ini, Anda akan segera mengetahui apa yang sedang terjadi sekarang. Kami tidak ingin memberitahu siapapun di sini, dan kami tidak ingin membuat Anda panik. Dan sebaiknya Anda harus memberikan kursi tersebut kepada orang lain di belakang yang sedang menunggu.”
Alan menoleh ke belakang, memang benar di belakangnya masih ada beberapa orang yang sedang menunggu, tapi ia hanya bisa terdiam setelah mendengar jawaban gadis ini. Mungkin sebaiknya ia tidak mengganggu mereka kerja. Kemudian ia berjalan, memasuki sebuah jalur, yang sudah disekat menggunakan pita-pita garis di antara kedua sisinya. Alan melihat sebuah meja beroda dengan alat-alat seperti layar di atasnya; ada kamera juga yang diletakkan di atas tripod berdiri di sebelah sudut meja tersebut. Alat itu sebenarnya dinamakan termal pendeteksi suhu tubuh. Tapi ia tidak mengetahui apa tujuan alat-alat tersebut, karena di sana ada seorang kru yang sedang memantau layar, dan berdiri di dalam sebuah ruang kecil yang telah disekat dengan plastik-plastik transparan.
Setelah para penumpang melewati jalur pemindai suhu tubuh, mereka di arahkan pelan-pelan ke pintu terpal putih lainnya. Rupanya kamar tenda ini tersambung dengan tenda lainnya, ibarat gerbong kereta api. Tiba-tiba di samping Alan, ada seorang penumpang berkata. “Oi!” panggil penumpang laki-laki itu dengan aksen British. “Setelah melihat termal tadi, dan kenapa sekarang aku melihat banyak jarum dan botol-botol kaca di atas meja, tepatnya di sana!” tunjuk penumpang laki-laki ini kepada seorang kru yang sedang berdiri di muka pintu.
“Jangan Khawatir Pak,” jawab seseorang kru. “Kami akan melakukan suntikan vaksin untuk memberikan sedikit memori pada imun di tubuh Anda. Kami tidak ingin orang-orang sakit.”
“Sakit?” kata penumpang laki itu dengan suara menggeram. “Maksud Anda kami sedang sakit apa? Apa ada semacam pandemi virus?”
Bersamaan dengan itu Alan menguping dari depan seolah tidak mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi tepat setelahnya, mendadak bunyi entakkan sepatu terdengar, dan percakapan mereka terpotong. Rupanya seorang tentara bersenjata berkata dengan tegas dan lantang, “Tutup mulutmu! Jangan banyak tanya! Segeralah bergerak!”
Amy—pemandu rombongan mereka langsung menoleh ke belakang. Suara teriakan tentara itu sangat keras, jadi siapapun yang ada di sekitar sana pasti akan mendengarnya, bahkan kini seluruh mata memandang mereka berdua.
“Oi, kau kira aku ini bodoh!” teriak dengan lantang laki-laki penumpang itu. “Semua akting kebohongan kalian ini tambah membuatku seperti seorang keledai dungu! Dan kenapa tidak kalian terus terang saja kepada kami ada wabah yang mengancam?! Aku ini adalah seorang fisikawan medis, dan aku mengerti atas tindakan pencegahan kalian saat ini!”
“Tutup mulutmu! Dan terus bergerak!” teriak marah tentara itu.
“Aku tidak akan bergerak, sebelum kalian menjelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi!” hardik lelaki itu. Lalu sekali lagi tentara itu berteriak; sampai di hidungnya seperti ada keluar asap, dan tentara-tentara lain mendekatinya, “Tutup mulutmu! Atau kami akan menggunakan kekerasan!”
“Aku tidak takut,” kata lelaki itu. “Aku bisa sewa pengacara, dan aku punya kebebasan untuk mengetahuinya! Kami seperti tikus percobaan di sini.”
Lalu Amy datang. “Pak, ayo kita bergerak! Saya berjanji akan menjelaskan situasi ini setelah kita nanti sampai di dalam bandara,” kata Amy dengan lemah lembut dan ramah. Hampir saja terjadi perkelahian di sana. Tapi Amy dengan segera dapat meleraikan adu mulut mereka, hingga lelaki penumpang itu berbalik dan melanjut berjalan.
***
Di dalam sana, semua penumpang diberi vaksinasi. Alan duduk di atas bangku putar yang berbahan besi anti karat dengan polesan mengkilap. Lalu ia melihat sebuah suntik yang sudah terisi di dalam barelnya dengan likuid vaksin. Kru berbaju hazmat ini memasukkan jarum tersebut ke otot deltoid Alan. Rasanya seperti digigit semut.
Setelah proses vaksinasi selesai, para penumpang di arahkan oleh Amy untuk berjalan keluar dari tenda putih tersebut. “Oke, semuanya. Tetaplah ikut aku! Kita akan pergi ke bangunan bandara dan bergabung bersama yang lain.” Kini mereka berjalan menuju bangunan bandara. Penghalang telah dipasang di sepanjang rute yang sedang mereka ambil. Semua tentara memantau ke rombongan penumpang. Tentara-tentara ini memakai masker wajah penuh; mereka terus memandang setiap gerak langkah para penumpang. Ini tentu membuat Alan dan yang lain merasa risi. Dan jika dapat kita gambarkan sekarang, mereka sudah seperti kumpulan domba-domba yang sedang mengikuti anjing pemandu: tidak membiarkan salah satu keluar dari jalurnya.
“Permisi, permisi, Pak,” kata Alan memberanikan diri untuk bertanya ke seorang tentara. “Istri dan anak-anakku berencana mau menjemputku di Philadelphia. Apakah...”
“Tetaplah berjalan, Pak!” sela tentara itu dengan tegas. “Saya tidak punya waktu untuk itu.”
Lalu tiba-tiba terdengar bunyi sebuah dentuman, menggelegar sampai menusuk telinga. Bunyi ini sangat dahsyat nyaringnya, senyaring guntur. Siapapun yang mendengar akan dibuat terlonjak dan kaget.
“Apa itu?!” kata para penumpang. Tentara-tentara langsung berbalik, mencari-cari dari mana bunyi ledakan ini berasal. Mereka semua gemetar dan ketakutan. Dan kini mereka sadar bahwa bunyi-bunyi ledakan tersebut berasal dari arah selatan bandara.
Tak lama kemudian, bunyi ini berdentum lagi untuk kedua kalinya! Tidak! Rupanya tiga kali! Dan bunyi terakhir ini menyusul lebih keras, hingga mengguncang langit-langit! Langsung saja bunyi-bunyi alarm mobil terdengar berserakan jauh nan di sana; juga letusan-letusan tembakan terdengar bertubi-tubi. Asap hitam pekat mulai muncul dari pepohonan, dan terlihat membubung ke atas langit. Jantung Alan berdegup kencang; dan seluruh penumpang merasakan ketakutan yang tak dimengerti.
Kemudian selang tiga detik setelahnya, bunyi sirene alarm dibunyikan. Kali ini semakin menimbulkan kepanikan yang luar biasa dari para penumpang. Semua tentara berlari, bergerak dengan gesit mengambil tindakan cepat.
Di depan barisan—Amy menyeru dengan megafonnya; ia memberikan perintah, “Semuanya! Tetap bergerak! Ayo segera masuk ke dalam bandara! Cepat, dan ikutlah bersamaku!” Tangan Amy sampai menunjuk-nunjuk pintu bandara.
Maka segera semua penumpang, termasuk Alan, berlari tergesa-gesa ke pintu masuk bandara. Bukan kepalang paniknya mereka! Bunyi sirene alarm mampu menimbulkan rasa cemas berlebihan, karena bunyi ini semakin memekik besar menusuk sakit di gendang telinga, dan mampu memecah keras di udara menutupi pendengaran mereka di luar sana. Sampai ketika itu, yang terdengar hanyalah bunyi hembusan napas dari mereka sendiri, yang sedang berlari secepat mungkin.
-----------------------------------------------------------------------------------
CATATAN KAKI
[1] Air Traffic Control (ATC) adalah pemandu lalu lintas penerbangan yang berbasis di darat, bertujuan untuk mencegah tabrakan, mengatur dan memperlancar arus lalu lintas udara, dan memberikan informasi peran keamanan atau pertahanan, atau dioperasikan oleh militer.
BAB 2 EVAKUASI BERDARAH
Terminal bandara sudah dekat. Alan juga dapat melihat di ujung bangunan sana pintu terbuka lebar. Tatkala mereka terlalu sibuk berlarian, hampir saja Alan tidak menyadari ada seorang wanita berlari, lalu terjatuh di sampingnya. Wanita itu sedang menggendong anaknya yang berumur tiga tahun.
Ya, ampun! Alan menyadari hal ini. Ia berhenti menoleh ke belakang, melihat wanita itu serta anaknya yang sedang menjerit menangis, sudah jatuh telungkup di tengah jalan. Tapi tak ada seorangpun yang datang untuk membantu mereka, karena para penumpang sibuk menyelamati diri mereka sendiri.
Ketika ia melihat mereka, tiba-tiba saja Alan teringat dengan keluarganya, dan ia merasa kasihan kasihan. Tanpa berpikir apa pun Alan memutar balik tubuhnya seratus delapan puluh derajat, lari sejadi-jadinya mencoba menolong seorang ibu dan anaknya di sana. “Apakah kalian baik-baik saja? Apa kau tidak apa-apa?” tanya Alan setelah mendekati mereka.
“Ya, kami baik-baik saja,” mengangguk seorang wanita itu, walaupun dia berbohong. Dia langsung menyembunyikan luka kecil di salah satu lututnya dengan mantel panjang berwarna krim miliknya. Celana jeans biru yang dia pakai tersobek di daerah lutut, tapi tidak lebar. Alan melihat luka kecil itu sekilas, ia mengetahuinya, namun ia tidak ingin berpikir macam-macam lagi. Wajah anak itu memerah dan matanya menyipit sambil menangis menatap mamanya di hadapannya. Anak itu menangis sejadi-jadinya, tak tahan melihat mamanya jatuh di jalan. “Mari berdiri!” kata Alan terburu-buru. “Kita sudah tertinggal dengan yang lain! Kita harus segera masuk!”
Maka wanita itu bangkit berdiri, sambil menepuk-nepuk di paha dan lututnya. Alan dengan sigap menggendong anak tersebut, lalu menyodorkan tangan kanannya ke wanita itu untuk mengajaknya lanjut bergerak masuk ke dalam bandara. Bunyi sirene alarm semakin mengerikan, tapi mereka terus berlari. Mobil-mobil melaju sangat kencang melintas di belakang mereka. Para tentara sibuk berlarian ke sana kemari, bergerak memasuki posisi pertahanan tempur.
Saat mereka sampai di dalam, mereka melihat di dekat pintu ada dua orang sekuriti sedang berjaga, memegang pistol dan menilik-nilik ke luar jendela, dengan wajah tampak pesimistis. Suasana sungguh sibuk di dalam. Banyak tentara mondar-mandir mengemaskan barang-barang; sebagian fokus berbicara lewat radio komunikasi di lantai dasar; sebagiannya lagi terus mengatur prajurit lainnya untuk mengisi posisi.
“Move, move, move, lads!” seru seorang prajurit memberikan perintah kepada yang lain. “Hei, kalian yang di sana!” pekik prajurit satunya lagi. “Cepatlah angkat barang-barang lainnya! Kita tidak punya waktu. Kita harus segera pindah dari sini…”
“…kita membutuhkan dukungan di sini! Kami mendapatkan laporan dari regu pengintai kavaleri seratus satu, bahwa musuh sangat banyak dari arah selatan. Kami khawatir tak dapat mengontrol situasi nantinya. Jika bisa, kirimkan kami bantuan udara segera!” pinta marah-marah seorang prajurit ke radio komunikasi. Dan begitulah suasana di dalam yang hiruk-pikuk.
Lalu seorang tentara berkata kepada Alan, “Apa kalian rombongan penumpang terakhir? Naiklah ke lantai atas! Rombongan kalian sudah di atas sana.” Mereka lanjut berjalan, terkadang Alan harus menyesuaikan langkah kakinya dengan wanita ini. Dia terlihat berjalan agak tertimpang-timpang menahan rasa sakit luka di lututnya. “Lututmu berdarah. Apa mau aku bantu topang berjalan?” kata Alan.
Sambil berjalan wanita itu mengerling sejenak, melihat Alan. Dia melihat Alan sedang menggendong anaknya. Lalu wanita itu berubah pikiran, tidak ingin membuat repot pria di sampingnya ini. “Tidak, terima kasih,” senyumnya. “Aku tidak tahu. Sakitnya baru terasa sekarang. Mungkin kakiku terpelecok saat jatuh. Tapi aku sangat berterima kasih sekali telah membantu kami.”
***
Bunyi sirene alarm dari luar pun sudah tidak terdengar terlalu keras lagi semenjak mereka masuk. Sehingga mereka dapat mendengar derap sepatu mereka sendiri di bawah. Anak yang digendong Alan juga sudah tidak menangis lagi, tapi tampak di kedua bola matanya masih berkaca-kaca karena dilanda rasa haru.
Mereka bergerak, naik tangga eskalator yang sudah tidak bergerak lagi di sana. “Listrik pasti sudah mati beberapa jam yang lalu,” pikir Alan. “Entah kenapa bisa begitu, tapi seluruh ruangan terasa pengap dan suram. Dan sekarang kenapa ada suara-suara lain di atas?” Hati Alan mulai terasa tak enak. Semakin dekat mereka naik, maka semakin jelas suara ribut orang-orang terdengar dari lantai atas.
Kemudian mereka lanjut naik eskalator dengan hati-hati, memastikan setiap anak tangga eskalator yang mereka pijak dengan benar. Alan mendongak sejenak. Setelah sampai ke lantai atas, dilihatnya dengan gamblang banyak sekali orang-orang berkumpul di dalam ruangan tersebut. Sampai membuat mata mereka membelalak terpaku memandang. “Ya, Tuhan!” kata mereka tercengang.
Di sana mereka mendapati banyak koper-koper tergeletak lesu; sebagian ada yang terbuka di lantai, banyak di antaranya menumpuk di sebelah dinding bagai barang-barang rongsokan. Suara menangis anak-anak dan keluh kesah seluruh penumpang tak terbendung lagi. Suara percekcokan terus keluar dari setiap mulut antara para penumpang dan para tentara di sana. “Kenapa lama sekali?” mengeluh para penumpang. “Kenapa kami tidak berangkat-berangkat? Kalian membuat kami takut! Alarm ini membisingkan! Tembakan di luar membuat kami panik! Apa semua ini adalah latihan?”
“Semuanya tetaplah tenang!” balas Amy dengan megafonnya. “Kendaraan kalian sedang dalam perjalan menuju ke sini. Truk-truk kami yang lain juga sudah penuh. Jangan khawatir! Semuanya akan kebagian tempat duduk.” Padahal sebenarnya, regu logistik mereka sudah membawa para penumpang yang lain dalam perjalanan. Tapi masih belum cukup untuk mengangkut semua para penumpang yang masih banyak ini.
Begitulah kondisi sekarang. Jika bisa kita digambarkan, ruangan itu persis seperti kapal pecah, dan sekitar lima ratus penumpang di dalam ruangan tersebut masih menunggu. Padatnya kondisi di dalam juga membuat hawa semakin panas, ditambah lagi aliran listrik di bandara sudah lama mati total. Sekarang Alan sadar, bahwa mereka adalah rombongan penumpang terakhir yang sampai di lantai atas ini.
Beberapa detik kemudian, bunyi sirene alarm yang melengking dari luar mereda. Segera suasana di dalam mendadak hening, para penumpang di dalam terdiam dan terheran-heran. Mereka berjalan mendekati jendela bandara. Kini para penumpang berkerumun di depan jendela, entah apa yang mereka lihat. Tapi rasa penasaran mereka tak ada habis-habisnya. Bisikan-bisikan juga terdengar di sana, “Ada apa sebenarnya yang terjadi dengan kota New York? Benarkah semua ini akibat dari wabah yang mematikan?” kata mereka.
Kemudian Alan menyuruh wanita dan anak itu duduk di atas koper, yang tergeletak di dekat mereka; di bawah salah satu pilar, di dekat bangku-bangku. Alan memberikan anak itu kembali ke pangkuan mamanya. “Istirahatlah di sini,” katanya. “Aku akan mencoba mencari tahu apa yang terjadi di luar sana.”
“Terima kasih. Terima kasih banyak,” balas wanita itu, mengambil dan menggendong anaknya kembali.
Lalu Alan meninggalkan mereka berdua. Sekarang rasa penasaran menggebu-gebu di dalam benaknya. Ia sangat ingin sekali melihat ke luar. Satu persatu kerumunan ia lewati: ia berusaha masuk ke dalam kumpulan orang-orang ini. Beruntung semua penumpang ketika itu masih belum datang bersamaan ke sana, sehingga ia mendapatkan sedikit ruang gerak maju ke depan.
***
Kini Alan berdiri di belakang jendela bandara, posisinya juga sangat bagus. Ia bisa melihat pemandangan dengan jelas, terbuka lebar ke arah jalur terbang. Ia bisa melihat prajurit-prajurit dan kendaraan perang sedang bersiaga di bawah sana. Para penumpang berdiri diam membatu. Cukup lama juga mereka memandang ke luar. Mereka memeriksa dengan saksama setiap sudut-sudut dan pojok-pojok bangunan. Kepulan keriting asap naik ke atas seperti menara-menara tinggi; bergoyang-goyang, dan melayang ke arah mereka dari kejauhan. Atmosfer di dalam masih hening sekali, seakan kebahagiaan telah lenyap dilahap oleh rasa-rasa kebingungan. Bunyi sirene sudah berhenti semenit yang lalu. Para tentara seperti sedang menunggu. Senjata-senjata sudah terangkat di tangan-tangan mereka, dengan posisi siap membidik, sampai seorang tentara menelan ludah karena gugup.
Orang-orang terus memandang ke arah selatan, sambil bertanya, “Sedang apa mereka, dan siapa musuh kita?” Rasa penasaran Alan menjadi dahsyat. Tak berhenti-henti benaknya bertanya mencari tahu kondisi sekarang, “Apakah benar teroris mampu meluluhlantakkan kota sebesar New York dalam waktu yang singkat? Benarkah ini disebabkan ulah teroris, atau mungkin wabah? Informasi ini masih kabar angin bagiku. Jika benar, maka siapa mereka?”
Tiba-tiba seorang penumpang berseru, menunjuk-nunjuk ke arah barat, “Hei, lihat di sebelah kiri! Ada yang lari!”
Memang benar! Dari kejauhan mereka bisa melihat seorang pria sedang berlari di luar pagar bandara, tepatnya di sebelah kiri. Dengan singkat pria ini langsung menjadi perhatian para penumpang. Mereka memperhatikan pria itu dengan saksama. Tapi entah kenapa ada yang salah dengan orang tersebut: wajahnya bersimbah darah sambil menunjukkan ekspresi geram. Ia berlari dan memekik berkali-kali meminta pertolongan. Bunyi pekikannya sangat tinggi, bergaung-gaung di udara, sampai Alan bisa mendengarnya dari dalam bandara. Apalagi suasana di dalam sangat senyap; orang-orang pada membisu, dan pekikan itu mampu mendirikan bulu roma semua penumpang.
Kemudian pria itu entah mengapa tiba-tiba jatuh terguling-guling di atas rumput, sembari memukul-mukul dahi kepalanya dengan kuat. Ia terlihat seperti kesakitan, menahan rasa nyeri di otaknya. Pria itu kejang-kejang, lalu menangis tersedu-sedu, sambil memohon pertolongan. Maka para penumpang merasa kasihan dengan pria itu, sampai mereka mengetuk-ngetuk jendela. “Hei, apa yang kalian lakukan?” kata para penumpang. “Cepatlah tolong dia! Di mana rasa belas kasihan kalian?!” Namun para tentara tetap diam tak ada satupun yang mencoba menolong, ataupun berani mendekati pria kesakitan tersebut.
Tak berapa lama kemudian, dengan cepat pria itu bangkit berdiri; bola matanya berwarna merah—hidungnya berdarah, giginya menggertak marah bagai seorang yang sedang mendidih bengis. Gerakannya menjadi aneh. Ia menoleh ke kiri―kanan, memandang murka para tentara-tentara yang sudah bersiap siaga di seberang pagar. Lalu tanpa sepatah kata, pria itu berlari deras kencang-kincung menuju pagar. Ia memanjat pagar itu. Dan seketika itu pula lima kali letusan tembakan terdengar; peluru-peluru menabrak ke tubuh pria itu. Dalam waktu singkat pria itu pun terjungkal kembali ke rumput, sudah tak bernyawa lagi dengan wajah ke atas langit biru.
Penumpang kaget mematung, memandang dengan perasaan sentimen. Hati mereka terasa tertumbuk kesal. “Ya Tuhanku, apa yang baru saja mereka lakukan?” tersisip bisikan-bisikan dari belakang Alan. “Ya, ampun! Mereka sudah gila, ya?” Semua orang membelalak menatap peristiwa itu seakan-akan terhipnotis. Pikiran Alan benar-benar kosong sekarang. “Kenapa mereka menembak pria itu? Kenapa tak ada satupun yang menolong? Pasti ada yang salah di sana.”
Kemudian datanglah tiga sekuriti berseragam biru tua, menerobos masuk ke dalam kerumunan. Mereka mendesak para penumpang menjauh dari jendela. “Untuk keselamatan Anda, jauhkan kepala Anda dari jendela!” perintah mereka. “Kami tidak ingin Anda terkena peluru nyasar. Kami ingin Anda tetap bekerja sama dengan kami.”
Perlahan-lahan terdengar gemuruh berirama di langit. Mereka melihatnya: ternyata sebuah helikopter militer terbang rendah di atas. Lalu dari ujung kejauhan, Alan melihat ada sesuatu yang samar, bergerak, mengganggu penglihatannya di sana. Ia melihat banyak titik-titik berwarna-warni keluar dari kayu-kayu, tambah lama semakin mendekat dan mendekat.
Alan terpekik kaget, “Apa-apaan itu! Apa benar?” Semua mata terbuka lebar melihat ke luar. Amy dan para sekuriti yang sebelumnya sibuk menjauhkan para penumpang untuk tidak berdiri di dekat jendela, kini berhenti dan ikut melihat ke jendela.
Jantung Alan mulai berdegup kencang tak karuan. Kepalanya terasa ingin meletus, dan ia masih tidak percaya dengan apa yang sedang ia lihat di kejauhan sana. Banyak sekali orang-orang berlari keluar dari pepohonan, seolah-olah kerubungan semut keluar dari sarangnya. Mereka menggila dan berteriak. Mereka menyebar: satu datang dari selatan, dan satu lagi datang dari barat daya. Pagar-pagar bandara juga roboh dipanjati oleh mereka.
Segera tentara-tentara langsung menembak orang-orang itu tanpa rasa ampun. Kendaraan berlapis baja maju dengan gagah ke depan, memuntahkan semua peluru, hingga banyak selongsong-selongsong peluru berhamburan di atas aspal yang kasar itu. Berdentum-dentum suara dahsyat nan keras di udara, menggelegar menusuk sakit sampai ke gendang telinga. Kaca-kaca jendela bergetar akibat dahsyatnya peperangan di luar.
“MUNDURLAH! MENJAUHLAH DARI JENDELA! SEKARANG!” teriak para sekuriti dan tentara yang ada di sana, termasuk Amy dengan megafonnya.
“Katakan padaku, siapa mereka?” tanya Alan kepada seorang sekuriti di dekatnya sebelum menjauh dari jendela.
“Mereka sakit,” saking kalutnya sekuriti itu menjawab hampir di luar kesadarannya. “Mereka adalah orang-orang sakit, orang-orang yang terinfeksi. Sekarang mundurlah!”
Kini Alan Runner mengetahui siapa dibalik teroris yang disebut-sebut. Dan dengan begitu cepat keadaan mulai tidak dapat dikontrol lagi. Formasi para tentara di luar perlahan-lahan mulai terpecah. Satu per satu personel tentara lain berjatuhan ditikam, dipukul, dan digigit. Orang-orang terinfeksi itu datang dari berbagai arah. Para tentara kebingungan menentukan ke mana arah tembakan selanjutnya. Mereka terjepit dan kesulitan bertahan! Dengan langkah kecil ke belakang, mereka mundur: para prajurit itu bergegas masuk ke dalam bangunan bandara. Kendaraan-kendaraan perang memutar balik, menabrak siapa saja yang menghalangi. Sementara itu, di dalam para sekuriti tak henti-hentinya memerintah, “Mundurlah! Menjauhlah dari jendela!”
Sebuah helikopter Apache terbang berputar-putar di atas bandara. Tapi beberapa detik kemudian, di langit biru yang tak berawan terlihat sebuah benda asing, meluncur bagai ekor api, membelah awan seperti meteor kecil yang sedang jatuh. Segera Alan sadar bahwa helikopter tempur itu sudah melepaskan roket, dan menuju ke arahnya.
Lalu tiba-tiba, “KABOOM!”—Ledakan yang besar jatuh tepat tak jauh di depan bangunan bandara, seperti halilintar yang menyambar. “PRANG!”—Bunyi yang keras ledakan ini juga membuat semua kaca-kaca bandara pecah berkeping-keping, bagai butiran pasir yang terlempar ke mana-mana. Tekanan angin yang kuat dari ledakan tersebut mampu menjatuhkan Alan dan orang-orang di sekitarnya.
Secara refleks Alan tiarap, menutupi kepalanya dengan tangan. Kini napasnya terdengar berat. Jantungnya terasa seperti berhenti. Telinganya mulai berdenging hebat. Debu pekat masuk menyelimuti ruangan tunggu. Pandangan di sekitar tertutup, hampir tak terlihat sama sekali, hanya warna putih—kelabu yang terlihat. Alan menyadari dirinya gemetaran, tapi ia menarik napas dalam-dalam, lalu meraba-raba di sekitarnya. Banyak sekali serpihan-serpihan kecil tergeletak dari pecahan kaca di lantai. Alan juga bisa melihat para penumpang berlarian melewatinya, berteriak-teriak kepanikan. Tubuhnya seperti hampir mati rasa. Di sana ia hanya terdiam sejenak, mengambil napas, dan sebisa mungkin menenangkan dirinya, sambil bangkit kembali.
Kemudian mendadak sebuah tangan yang panjang dan kasar menyentuh di bahu kirinya. Alan terkejut. “Siapa? Jangan sentuh aku!” katanya sambil berpaling ke belakang. Alan jadi panik, sampai di dalam pikirannya terlintas, ‘mungkin orang terinfeksi sudah masuk ke lantai atas dan mencoba menerkamku’. Ternyata yang dilihatnya seorang sekuriti berseragam biru tua. Paparan debu telah menutupi seluruh wajah sekuriti ini, seolah-olah pria ini habis disiram sebaskom tepung. Dan Alan melongo melihat sekuriti ini sedang berbicara tepat di depan mukanya, tapi ia masih belum bisa mendengar. Laki-laki ini berbicara sambil menunjuk-nunjuk. Beruntung tak lama bunyi denging di telinganya lenyap. Alan bisa mendengar kembali bunyi keributan di sekitar, dan petugas itu berkata, “Sir, apakah Anda baik?”
Alan mengangguk, tanpa melepas pandangannya dari wajah sekuriti ini, “Yeah, aku baik-baik saja.”
“Sir, pergilah ke bawah lewat pintu yang ada di sana!” kata sekuriti ini sambil menunjuk dengan sarung tangan karet berwarna biru cerahnya. “Ikutilah penumpang lain! Semua penumpang akan dievakuasi keluar.” Maka Alan berlari kecil, tapi tidak tergesa-gesa. Orang-orang di sana juga sangat panik. Wajah dan baju mereka terkena paparan debu, sampai Alan baru menyadari bahwa dirinya juga demikian. Lantas sambil berlari, ia menepuk-nepuk wajah, jas, dan tas kulit kantor hitamnya. Ia juga memeluk tasnya dengan erat, seolah-olah di dalamnya ada barang yang penting.
Kemudian Alan turun melalui tangga eskalator yang sudah padam. Eskalator ini membawanya ke lantai dasar, menuju jalan ke pintu gerbang keluar terminal bandara. Tetapi jalan ini sudah penuh kerumunan penumpang: para sekuriti, polisi, dan tentara juga sudah berdiri di depan pintu gerbang bandara. Mereka menghalangi pintu keluar utama. Mereka saling bergandengan lengan, membentuk seperti tembok kastel yang berdiri kukuh, sampai tidak ada satupun celah yang dibiarkan terbuka. Dan di depan pintu gerbang sana, mereka sedang menahan semua para penumpang-penumpang yang ada. “Mundurlah!” teriak keras mereka.
Ada suara pecah bergema di dalam ruangan dekat gerbang tersebut. Ternyata suara Amy, dia sedang mengumumkan dengan megafonnya. “Semuanya harap dengarkan! Kami akan memprioritaskan untuk mengevakuasi anak-anak, wanita hamil, dan para difabel. Karenanya kami ingin membiarkan mereka keluar terlebih dahulu.”
“Apa?!” bentak para penumpang. “Biarkan kami lewat! Biarkan kami hidup! Kami tidak peduli lagi dengan evakuasi kalian! Cepat keluarkan kami dari sini!”
Para penumpang mengeluh, menghardik dan membentak. Mereka menjadi sangat marah. Keadaan menjadi kalut dan kacau-balau. Mereka juga tak acuh lagi mendengar perkataan-perkataan para petugas di sana. Orang-orang mulai sibuk mementingkan dirinya sendiri. Mereka saling mendorong; saling berimpitan, hingga membuat napas Alan sesak saat menuju pintu gerbang keluar terminal bandara. Udara sangat pengap. Kepanikan dan kepadatan penumpang semakin membuat kewalahan para petugas untuk mengevakuasi.
Ketika Alan masuk mengambil celah jalan ke kiri, ia tanpa disengaja melihat seorang wanita dan anak kecil yang tadi ia bantu sebelumnya. Mereka berdua berada di bagian pinggir dinding yang menonjol. Alan hampir tidak melihat mereka berdua di sana; karena wanita itu sedang melutut, dan anak itu sedang berdiri di hadapan mamanya, di antara para desakan kerumunan para penumpang. Anak itu menangis terisak-isak dan berkata, “Mama, aku sangat takut.”
“Tetaplah kuat, Billy!” kata mamanya, dan sekarang kita sudah mendapatkan siapa nama anak kecil yang berumur tiga tahun itu. “Bukankah suatu hari nanti kamu ingin menjadi seorang astronot? Untuk menjadi seorang astronot tentu dibutuhkan keberanian dan mimpi yang besar. Kamu memiliki itu, dan kamu adalah anak yang pemberani, sama seperti Papa-mu. Papa-mu adalah seorang tentara yang hebat. Sekarang tetaplah kuat, my darling, Billy!”
Tangisan anak itu mulai mereda. Mereka berpelukan. Tak berapa lama Alan datang. “Hei, apa kalian baik-baik saja?” tanyanya sambil ikut mendekam. “Apa ada yang terluka?”
“Kami baik-baik saja, dan tidak ada yang terluka,” kata wanita itu, walaupun masih ada debu yang tertinggal di rambut Billy dan wanita itu.
“Bagus,” kata Alan, “karena kita harus segera keluar dari bangunan ini. Militer akan mengevakuasi seluruh penumpang. Ayo bangkit dan ikuti aku!”
Mereka segera bangkit dan masuk ke dalam kerumunan yang sesak dan tidak nyaman. Billy digendong oleh mamanya. Pelan-pelan mereka maju, Alan sampai meminta kepada penumpang yang lain, “Permisi, kami punya seorang anak kecil di sini. Tolong, biarkan kami lewat terlebih dahulu!” Sayangnya, semua usaha itu sia-sia, karena para penumpang tidak memedulikan mereka: dan kini mereka terjebak di tengah-tengah kerumunan yang berdesakan.
Alan nyaris tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Wanita itu sampai berteriak, “Tolong, aku terjepit!” Sedangkan Billy hampir menangis, melihat ibunya terjepit di antara dua laki-laki yang bertubuh tinggi dan gemuk.
“Mama!” panggil Billy.
Alan langsung memutar balik, dan menolong wanita itu bersama anaknya. Ia sampai mendorong laki-laki gemuk yang ada di samping wanita itu. “Beri dia ruang! Kau hampir membunuhnya!” teriaknya.
Sekarang apa yang harus Alan perbuat. Bagaimana caranya agar ia dapat sampai ke depan dengan selamat bersama wanita dan anak ini, tanpa ada halangan sedikitpun. Lalu tiba-tiba terlintas olehnya sebuah ide. Ia bertanya, “Siapa namamu?”
“Liana,” jawab wanita itu.
“Oke, Liana, sini berikan anakmu padaku!”
“Apa?” jawab Liana tampak kebingungan.
“Kalau begini terus mereka tidak akan bisa mendengarkan kita,” kata Alan, meyakinkan Liana. “Aku punya ide. Sini berikan anakmu padaku, Liana! Percayalah kepadaku, kita harus mencobanya!”
Kemudian Liana menyerahkan Billy ke dalam gendongan Alan. Ia meraih Billy dengan hati-hati. Billy saat itu menangis sambil memanggil, “Mama!” Namun Liana berkata, “Jangan khawatir, my darling, kamu akan baik-baik saja.”
Sekarang Billy sudah ada di dalam gendongan Alan; dan ia pelan-pelan mengangkat Billy ke atas sampai menyentuh ubun-ubun kepalanya, seperti Simba yang sedang diangkat, layaknya dalam film The Lion King. “Hei, ada anak kecil di sini!” seru Alan berulang-ulang. “Dahulukan kami! Tolonglah kami!”
Sekarang Liana sudah mengerti maksud Alan. Tidak patah semangat, dia mencoba membantu Alan Runner untuk meraih kesempatan evakuasi pertolongan itu. Dia ikut berteriak sambil melambaikan tangan setinggi-tingginya. “Ada seorang anak tiga tahun di sini! Tolonglah! Kami butuh bantuan! Siapapun yang ada di sana! Kami terjebak!”
Pekikan mereka sangat kencang. Satu per satu para tentara dan sekuriti menoleh ke Billy, yang terangkat sambil menangis di atas kepala para penumpang, di tengah-tengah kerumunan. Amy, seorang wanita tentara berkata, “Di sana ada anak kecil! Kalian datanglah ke sini! Harap semuanya berikan mereka ruang gerak!” Beruntung, usaha itu dapat menarik perhatian para tentara-tentara yang lain, terutama yang ada di depan pintu gerbang keluar terminal bandara.
Melihat ini empat orang tentara langsung datang ke arah Alan. “Minggirlah kalian! Make a hole[1]! Make a hole! Coming through!” teriak mereka kepada para penumpang yang lain. Mereka datang, tapi para tentara ini hanya memakai masker N95, tidak seperti tentara-tentara yang ada di luar sebelumnya. Lalu seorang tentara menyeru kepada mereka, “Kalian berdua! Ikutilah dengan kami! Kami akan membantu membawa kalian sampai ke depan pintu keluar. Tetaplah bersama, jangan berpencar jauh!” Alan dan Liana mengangguk.
Akhirnya mereka bergerak. Empat tentara ini menerobos kerumunan para penumpang dengan kuat dan cepat, seperti sekelompok pasukan kavaleri yang mengacak-acak formasi pasukan infantri musuh. Dan akhirnya mereka sampai ke depan, di muka barisan para tentara dan sekuriti. Pandangan semakin terlihat jelas, pintu bandara terbuka di belakang barisan mereka. Para tentara dan sekuriti itu sedang membendung desakan penumpang-penumpang yang berupaya memaksa masuk. Barisan mereka memanjang layaknya tembok beton bendungan yang sedang menahan air keluar.
Kemudian seorang tentara dalam barisan itu tiba-tiba menahan dada Alan, dan berkata, “Maaf, Pak, Anda harus berhenti di sini!”
“Apa?” kata Alan. “Ada anak kecil di sini—kami bersamanya.”
“Tidak bisa,” kata tentara itu, lalu ia menunjuk ke belakang barisan, dekat pintu gerbang keluar. Di luar sana mereka baru saja mendahulukan seorang anak difabel dengan kursi roda, dan seorang wanita hamil yang sedang mengandung minggu ke-27[2]. “Kami tidak mampu mengusahakannya! Tempat duduk sudah penuh—hanya cukup untuk tiga orang! Kami punya satu orang difabel dan seorang wanita hamil. Hanya tersisa satu kursi lagi.”
Kini Alan sadar bahwa mereka tidak dapat naik. Dan tentara itu lanjut, “Kalian bisa menunggu, jika kalian mau. Pasukan bantuan akan segera datang. Kalian bisa pergi di gelombang evakuasi selanjutnya. Apa kau ayah dari anak ini?”
“Ya, ya, aku membawa istriku dan… dan anakku,” Alan mengangguk dan berbohong. Liana juga tahu itu; mereka bukanlah suami-istri, mereka harus tetap merahasiakannya, dan pergi dari tempat ini secepatnya.
“Begini!” kata tentara itu. “Jika kalian memaksa, sekarang kami hanya bisa membawa satu orang lagi.”
Beberapa detik kemudian, akhirnya Alan memutuskan untuk tinggal. Ia mengembalikan Billy ke dalam pangkuan gendongan Liana. “Pergilah duluan! Pangku dia, Billy!” katanya.
“Apa? Bagaimana denganmu?” tanya Liana.
“Aku akan baik-baik saja,” kata Alan. “Jangan khawatir, selamatkan keluargamu dulu. Aku akan bergabung di gelombang selanjutnya.”
“Terima kasih,” kata Liana dengan nada terharu. “Aku sangat berterima kasih banyak kepadamu. Terlalu banyak.” Dia memandang Alan sejenak sampai mengeluarkan air mata. Dia tak percaya masih ada orang asing yang baik hati kepadanya di dunia ini, walaupun dalam situasi genting seperti saat ini. Bahkan nama pria ini saja belum sempat diketahuinya.
Ucapan ‘terima kasih’ ini tentu dibalas oleh Alan dengan senyuman. Sekarang perlahan kita mengenal siap diri Alan sebenarnya. Tapi mari kita lihat, apakah senyuman itu dapat dipertahankan?
Well, sampai di mana kita? Oh, ya, benar! Tak lama kemudian, tentara itu berkata kepada Liana dan Billy, “Masuklah, cepat! Kami tidak punya banyak waktu.”
Dua orang tentara membuka celah di antara kedua ikatan lengan mereka. Liana dan Billy masuk, dan berhasil keluar dari pintu gerbang terminal bandara itu bersama tentara lainnya yang ada di belakang barisan. “Bawa mereka masuk ke dalam truk!” perintah tentara di luar. Liana dan Billy naik dan masuk ke dalam kargo truk.
Mendadak terdengar bunyi tembakan-tembakan dari belakang kerumunan Alan. “BLAM! BLAM! BOOM!” Bunyi tembakan bergema di lantai atas, di ruang tunggu, tempat di mana Alan menyaksikan fenomena kegilaan sebelumnya.
Semua orang yang ada di dalam ruangan itu terkejut, Alan yang mendengarnya langsung menoleh ke belakang. Tidak hanya para penumpang, bahkan para tentara dan sekuriti pun perhatiannya terpaku ke arah eskalator itu. Sebagian ada yang mencoba menjinjit kaki dan mengangkat kepala mereka dengan rasa penasaran. Para penumpang berhenti mendorong; ruangan itu menjadi hening sekejap. Suasana menjadi sangat horor. Ada teriakan keras dan terdengar jelas dari ujung sana.
“Fallback! Mundur!”
Lalu bunyi tembakan senapan keluar lagi berkali-kali; diikuti dengan suara-suara jeritan, pekikan, raungan, geraman, dan derap langkah larian, hingga membuat para penumpang melangkah mundur ketakutan. “Banyak sekali suara-suara di atas. Apa yang sebenarnya terjadi di atas sana? Ini sangat menakutkan,” kata Alan dalam hati dan merinding.
Kemudian terjatuhlah para orang-orang terinfeksi, berguling-guling dan menggelinding di atas eskalator. Segera mereka bangkit meloncat, seperti harimau yang sudah siap menerkam. Orang-orang terinfeksi itu menjerit sangat keras, lalu satu per satu datang dari atas eskalator. Mereka berlari cepat seperti orang kesurupan. Mulut mereka berliur seperti anjing rabies. Mereka berlari ganas menghampiri kerumunan, memekik, memukul-mukul penumpang-penumpang yang ada di dekat mereka.
Sontak para penumpang menjerit histeria, bukan main kuatnya. Para tentara yang sebelumnya berjaga, kini bergerak ke arah belakang kerumunan penumpang. Mereka menembak orang-orang terinfeksi itu. Suara teriakan ada di mana-mana, memenuhi udara: suara sebutan nama Tuhan pun juga ada. Kepanikan atau kegilaan mendadak seolah menimpa dalam ruangan itu. Dorongan para penumpang semakin kuat dari belakang, Alan bisa merasakan tekanan ini.
Suasana semakin benar-benar menakutkan. Atmosfer panas dan horor mampu menguasai semua orang-orang yang ada di dalam, sehingga situasi tidak dapat terkontrol lagi. Bahkan apabila kita dapat membaca isi pikiran para penumpang, yang ada hanyalah terlintas suatu niat lari keluar dan menjauh dari tempat itu.
Kepala Alan juga terasa seperti dihantam-hantam, hingga membuatnya tak bisa berpikir lagi. Ia menoleh. Dilihatnya dinding barisan tentara yang ada di depan pintu gerbang keluar mulai renggang. Dinding manusia itu seolah-olah perlahan sudah mulai rapuh, siap untuk runtuh. Satu demi satu penumpang masuk ke dalam renggangan itu, mereka melewati dinding para petugas di sana, dan berhasil keluar.
“JANGAN ADA YANG KELUAR! TETAPLAH TENANG!” teriak para tentara. Tapi Alan tidak peduli. Ia melihat sebuah celah di sisi kirinya. Lalu ia masuk, dan tiba-tiba secara tak sengaja sebuah siku menghantam kuat ke perutnya. “Aduh!” teriak Alan kesakitan. Maka ia langsung terjatuh bersama dengan seorang tentara. Mereka berdua tergeletak terbaring di atas lantai. Rupanya di tengah-tengah, dinding tentara ini pecah, sebab Alan menjatuhkan salah satu seorang tentara yang tadi. Para penumpang mengambil kesempatan ini. Mereka berlarian menuju pintu gerbang, keluar dari terminal bandara itu.
Karena begitu banyaknya para penumpang menerobos, satu-dua kali Alan terpijak-pijak di bawah. Beruntung, seseorang laki-laki menolong dan menariknya ke sudut pintu gerbang kaca keluar. “Bangunlah!” terdengar suara memanggil di muka Alan, dengan aksen British.
“Bangunlah, lad!” kata laki-laki itu sambil menggoyangkan bahu Alan. “Aku berani taruhan, jika kau tak segera bangun, pantatmu akan ditembaki oleh seorang tentara itu, yang kau buat jatuh itu. Tapi usaha yang bagus. Sekarang bangunlah!”
***
Detik berikutnya Alan membuka matanya. Kini ia melihat seorang laki-laki bertopi hitam, bergelantungan sebuah headphone di lehernya, dengan baju pantai nanas yang aneh. Alan kenal wajah lelaki ini, tapi ia tak tahu namanya. Ia adalah seorang penumpang yang duduk di sampingnya, di dalam pesawat tadi. Laki-laki ini bernama Aaron Wilson.
Aaron melemparkan perkataan ke muka Alan. “Ya, begitu seharusnya! Bangunlah! Pintu keluar tinggal selangkah lagi,” Alan melompat bangkit, dan segera lari tergesa-gesa bersama Aaron ke luar pintu gerbang bandara. Penumpang lain bayak yang sudah keluar, mereka berlarian ke jalan.
Di depan bandara, di arah barat laut, Alan dan Aaron melihat rombongan truk militer lenyap ke dalam tikungan jalan. “Kita terlambat! Lihat!” tunjuk Aaron. “Mereka sudah meninggalkan kita. Perlu kita kejar truk itu?” Alan tidak menjawab, karena ia tahu usaha tersebut akan sia-sia.
Tiba-tiba Alan dan Aaron terkejut. Mereka mendengar seorang laki-laki memekik tidak jauh dari sisi kanan. Mereka menoleh dan memandang, hingga mata mereka melebar ketakutan. “Oh, tidak!” kata Aaron.
Ada seorang pria, sedang marah-marah dengan wajah kemerahan, bagai orang yang habis disiram air panas. Mukanya bersimbah darah. Pria itu sedang menaiki badan seorang penumpang di sana, lalu ia mencengkeram dengan sangat kuat, bagai burung elang yang sedang menangkap mangsanya. Tangannya sangat kukuh, tidak ingin melepaskan seorang penumpang itu. Pria itu tampak gila dan agresif. Ia tampak kesulitan menggigit secara acak, karena penumpang itu melawan, tak mau diam. Kesal akan itu, pria gila itu langsung memukul berkali-kali penumpang itu tanpa rasa ampun, tepat di bagian kepala. Hanya dua—tiga pukulan, penumpang itu langsung tidak sadarkan diri.
“Golly wolly wolf!” Aaron terlonjak kaget melihat ini semua. Tapi teriakannya justru membuat pria terinfeksi itu menoleh ke mereka. Pria terinfeksi itu membalikkan badannya. Dan entah mengapa tiba-tiba ia malah jatuh, terkejang-kejang seperti orang yang mengidap penyakit epilepsi. Ia berguling-guling merintih di atas jalan. Badanya terasa seperti terbakar. Ia memukul-mukul kepalanya sendiri. “Sakit… aduhai, sakitnya kepalaku!” teriak pria terinfeksi itu.
Alan dan Aaron memandangnya terheran-heran. Mereka tidak tahu apa yang salah dengan si pria itu. “What on earth is happening here? Are you utterly madness?”[3] tanya Aaron keras-keras kepadanya. Si pria terinfeksi itu menggeletak tak bergerak, tengkurap. “Oi, chap! Apa kau baik-baik saja di sana?” kata Aaron dengan rasa penasaran, dan ia ingin melangkah untuk menolong pria terinfeksi itu. Tapi saat itu Alan langsung menarik bajunya. “Jangan!” kata Alan. “Ia sudah terinfeksi virus.”
"Terinfeksi virus?" tanya Aaron keheranan. “Apa maksudmu?” Pria terinfeksi itu mengangkat kepalanya, dan bangkit. Alan dan Aaron mematung memandang pria itu, seolah-olah ada hantu yang sedang berdiri di sana.
"Aku punya firasat buruk,” kata Aaron.
Lalu tiba-tiba pria terinfeksi itu berlari sejadi-jadinya ke arah Alan.
"AWAS!” teriak Aron memberi peringatan ke Alan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN KAKI
[1] Make a hole, adalah sebuah frasa yang digunakan dalam militer untuk memberitahu kepada sekelompok orang untuk “menyingkir dari jalan Anda”.
[2] Setiap maskapai penerbangan memiliki kebijakan sedikit berbeda untuk wanita hamil. Namun pada umumnya, maskapai penerbangan mengizinkan wanita hamil untuk terbang pada trimester ketiga sebelum minggu ke-36. Dan ada juga beberapa maskapai penerbangan memiliki batasan memerlukan sertifikat medis.
[3] “Apa-apaan ini? Apa kau sudah gila?”
Catatan dari Penulis
Apa yang terjadi dengan Alan selanjutnya?
Akankah dia selamat?
Ada apa dengan orang-orang? Kekacauan macam apa tadi?
Jika kamu ingin membaca cerita selanjutnya. Kamu bisa mendapatkan buku Red Zone, hanya di Shopee:
https://shopee.co.id/Novel-Red-Zone-i.459164968.8263538869
Atau bisa segera DM langsung sama kakak kita yang baik, cepat, dan ramah, hanya di sini:
https://wa.me/+6282245454891
Ayo, sebar luaskan cerita ini: ke teman-teman yang suka Horor, Action dan Sci-fi; Atau ke komunitas yang punya minat sama dengan kamu.
Colek penulisnya di media sosial:
Instagram : @alfandarmawan
Description: Apa jadinya jika Anda baru saja sampai di suatu tempat, dan mendapati bahwa situasi telah berubah total menjadi situasi yang paling mematikan? Penyakit, orang-orang sangat agresif, serangan teroris, huru-hara, bahkan pemusnahan masal sekalipun.
Dalam buku Red Zone menceritakan seorang pria, Alan Runner, yang hendak pulang kembali ke Philadelphia. Namun satu demi satu kejadian aneh dan mengejutkan muncul menimpa dirinya. Dari sinilah dimulai petualangan-petualangan yang menegangkan. Hal-hal yang tak di sang-sangkanya, bahkan rencana-rencana yang telah ia susun matang juga bisa meleset. Berbagai desas-desus tentang kiamat, serta dimensi: politik, ekonomi, sains, medis, militer, sosial, menjadi puncak kepanikan moral dalam cerita yang mengerikan ini.
|
Title: Relationship Goals
Category: Adult Romance
Text:
Prolog
-Raya Cantika Putri--
Seorang gadis yang sebentar lagi akan berusia 20 tahun dengan rambut hitam legam sepunggung itu tidak henti-hentinya memencet nomor di layar ponselnya dengan wajah cemberut. Kakinya berkali-kali ia hentakkan ke tanah karena panggilannya tidak kunjung diterima.
"Ish! Edo kemana sih!" Teriakan kecil di bibir mungil nan cerewet itu membuat para pejalan kaki di salah satu kota pelajar di Indonesia itu menoleh ke arahnya.
Sekali lagi gadis itu berusaha meneleponnya, dan bersumpah akan membuat pelajaran jika si cowok menyebalkan itu tidak juga menerima panggilannya. Kalau perlu, ia akan memblokir nomornya lagi!
Yah, salah satu kebiasaan buruk Raya adalah memblokir nomor orang yang membuatnya kesal ... dan Edo adalah cowok menyebalkan yang menjadi korban tersering yang Raya blokir!
***
--K. Edo Wirawan--
Alunan musik Cheap Thrills yang diremix sempurna oleh Adam, salah satu disk jockey di salah satu klub ternama di Yogyakarta membuat lelaki dengan tato di lengan kanannya mengangkat satu botol minuman miliknya untuk sang DJ.
"Good remix, Dam!" Teriaknya di antara kebisingan.
Walaupun klub ini tidak sebesar yang ada di ibukota, namun pemuda dengan rambut undercut-nya itu terlihat menikmatinya.
Lelaki itu cukup menonjol di antara beberapa pengunjung lainnya. Mungkin karena postur tubuhnya yang terlalu tinggi untuk kota kecil namun berbudaya ini, 187 cm. Matanya yang sipit didapat dari sang nenek yang memiliki darah Tionghoa. Ibunya lahir di Manado sementara sang ayah tumbuh dan besar di Bandung dengan perusahaan konstruksi yang menjadi menjadi usaha turun-temurun keluarga besar ayahnya. Dan sekarang, Edo mengikuti jejak sang ayah dan saudaranya dengan mengambil gelar sarjana di Fakultas Teknik yang berada di kota pelajar, Yogyakarta.
"Do, dari tadi ponsel lo bunyi nih!" Teriak pemuda berambut keriting kepada Edo.
"Bilang aja gua sibuk."
"Yakin? Ini Raya broh!"
Edo yang masih sibuk di lantai dansa tiba-tiba melotot. Ia memutar tubuhnya 180 derajat kepada Sigit.
"Sialan! Kenapa nggak bilang dari tadi sih!" Edo mengambil ponselnya dari tangan Sigit.
"Ya, ini juga baru dikasih ta—"
Edo mengabaikan ucapan Sigit dan berjalan cepat menuju ke tempat yang lebih tenang.
"Kemaren baru juga diblokir, sekarang bisa-bisa gua diblokir lagi nih." Edo bergumam saat ia berjalan melewati beberapa pengunjung yang malam ini tampak begitu ramai.
Setelah menemukan tempat yang tepat, Edo beralih menelpon Raya.
Dering pertama ...
Dering kedua ...
Dering ketiga ...
Edo tersenyum ketika Raya akhirnya mau menjawab panggilannya, "Maaf, beb ..."
"KAMU KEMANA AJA SIH?! CEPET JEMPUT AKU DI TEMPAT LES! SEKARANG!!"
Tutt!
Edo cengok.
"Sialan!" Edo menendang tong sampah yang ada di sampingnya hingga terlempar cukup jauh. Raya bahkan tidak memberikannya kesempatan untuk berbicara.
"Be patient, dude! Raya memang seperti itu." Edo mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Setelah merasa tenang, Edo kembali ke tempat ia pertama kali meletakkan barang bawaannya.
"Mau kemana lo, Do?" Tanya Rifqi dengan putung rokok terselip di sudut bibirnya.
Edo mengabaikannya dan lebih memilih untuk memakai kembali jaket kulitnya.
"Halah biasa, itu pasti karena Raya." Sahut temannya yang lain karena Edo tidak kunjung menjawab pertanyaan Rifqi.
"Ck, ngapain sih lo mau-maunya jadi pelayannya si Raya? Dua tahun usaha lo, tapi dia gak ngrespon elo, broh! Masih banyak cewek cantik di si-"
Bruk!
Ketika Edo marah ia senang melampiaskannya dengan menendang barang yang ada di dekatnya. Termasuk saat ini. Edo menendang meja yang ia arahkan langsung kepada Rifqi.
Sementara Sigit yang baru saja minum, tiba-tiba tersedak.
"Bacot!" Edo tidak suka ada orang yang menjelek-jelekkan Raya.
Walaupun Raya sangat egois, manja, dan cerewet namun bagi Edo sikap Raya itulah yang membuat Edo menyukainya. Raya begitu manis ketika sedang bermanja dengannya.
Dan ... walaupun hingga dua tahun ini cintanya masih belum berbalas, namun Edo yakin Raya akan menerimanya.
Ya. Itu pasti, karena hanya Edo sendiri yang bisa tahan dengan sifat-sifat Raya itu.
Tapi jika Raya masih saja menolaknya, Edo akan menggunakan cara-nya sendiri untuk mendapatkan Raya.
Description: ❌ Roman dewasa ❌
"Ishhh Edooo sakittttt!"
"Tahan bentar lagi, baby."
"Ishhh! Tapi sakit....Tanggung jawab!!"
Kisah si raja mesum "EDO" dengan si manja dan perlahan mulai menjadi ratu mesum "RAYA".
Kisah si introvert yang kaku "Raya", dengan si Ekstrovert yang bebas "Edo".
Kisah cinta dengan lika liku pola hidup yang berbeda menuju ke pelaminan...
********
Edo dan Raya. Mereka berbeda.
➡ Edo sang pecinta kebebasan, urakan, mesum, terbuka, dan begitu vulgar di mata Raya.
➡ Raya sang gadis manja, sensitif, cengeng, menjengkelkan namun menggemaskan di mata Edo.
Kisah cinta menuju ke pelaminan. Perbedaan karakter yang begitu mencolok... Dan 'Keyakinan' yang berbeda....
Inilah kisah mereka.
|
Title: Rohmu Dalam Puisiku
Category: Puisi
Text:
Pertemuan
Kesan
Jiwa ini penuh kesan,
Aku tertusuk oleh sinar matamu,
Raut wajah penuh senyum tepat berada di depan,
Kau begitu riang membuat mataku tak menjemu.
Benang merah lamanya penantian,
Ternyata semesta benar-benar menghadirkan dirimu,
Hatiku pun sekejap ada dalam taman,
Taman asmara berharap sekali lagi tatap matamu.
Jujur aku sakit dalam penantian,
Meskipun harusnya aku tak mengenalmu,
Kau imingi pikiranku dengan harapan,
Seolah sejalan antara aku dan kamu.
Tatap demi tatap kita mainkan,
Oh.... Aku benar-benar menyukaimu,
Begitu kau lontarkan pukulan,
Genaplah tentang pertanyaanku tentang kamu.
Genaplah pula pikirku tentang pernyataan,
Perasaan yang sama ada dihatimu,
Jika taman ini penuh bunga bermekaran,
Maka hatiku benar-benar tak salah memilihmu.
Garut, 3/3/2020
Detak-Detik
Berdetak masih mengisyaratkan,
Raut wajah yang telah lama ku nantikan,
Berdetik masih menggetarkan,
Bagian hati ini dengan kerinduan.
Aku tak pernah memaksakan,
Kehendak sang penguasa perasaan,
Kau hadir di antara kepingan,
Jutaan pengalaman yang mengesankan.
Detak-detik masih membicarakan,
Tentang kamu di pikiran,
Sungguh aku ingin segera ungkapkan,
Bahwa aku ingin bersamamu kala berjalan.
Lebih dari sekedar kiri dan kanan,
Aku ingin menjadi sebuah ikatan,
Layaknya tanah dan tumbuhan,
Berbeda tapi saling mempertahankan.
Garut, 3/3/2020
Malam Sabtu
Mungkin hanya malam sabtu
Yang menawarkan suasana indah untuk kita bertemu
Mungkin hanya malam sabtu
Yang menggoncangkan jiwa dan menyulap bibir normal menjadi bisu
Mungkin hanya malam sabtu
Yang memberiku ruang mengemis akan penerimaanmu
Mungkin hanya malam sabtu
Yang menyaksikan aku terikat pada dirimu
Garut, 5/3/2020
Gadis Berkacamata
Ia gadis berkacamata
Membawa wajah penuh sukacita
Riang selalu ketika aku memperhatikannya
Menggoda aku untuk mengencaninya
Ia gadis berkacamata
Perlahan pergi namun wajahnya masih bertahta
Dalam imaji ku melihat dirinya
Ia gadis berkacamata
Membuatku menginginkan keberpihakkan semesta
Mempertemukan aku dan dia ke sekian kalinya
Garut, 5/3/2020
Description: Apakah masalalu tak patut kita simpan? Jika arti kehadirannya memberikan suasana terang di belahan lain potongan duniaku. Bait demi bait puisi ini mengangkat, mengisi, menyatu dalam ruang pikir berisi kenangan-kenangan yang telah berlalu.
Penjelmaan kehidupan lampau yang menyusut dalam kata-kata yang di rima kan setiap baitnya dan di pikirkan setiap bunyinya agar melahirkan pesan yang terdalam dari rasa. Semoga kau menikmati, semoga kau mempelajari, semoga kau memahami. Sekumpulan puisi yang hidup oleh roh seseorang di masalalu.
temukan juga musikalisasinya di youtube channel aku :
Usep Deni Setiawan
pengn kenal lebih dekat denganku :
IG : Usepdeni.s
twitter : usepdeni.s
FB : Usep Deni Setiawan
|
Title: Ruang Sunyi
Category: Epistolary
Text:
Sebuah Prolog
Aku terjebak.
Lagi-lagi aku berada di sebuah ruangan. Ruangan sempit yang aku ciptakan sendiri. Ruangan yang asik untuk melarikan diri yang hanya aku dan pikiranku saja yang tahu. kalian tak akan bisa membayangkan, betapa kecil dan sesak ruangan ini. meskipun begitu aku menyukainya, karena ruangan ini memiliki banyak ruang yang dihubungkan dengan lorong-lorong kecil yang hanya bisa dilewati oleh diriku sendiri.
Ada banyak kisah di dunia, yang mungkin enggan untuk kalian dengar. Salah satunya adalah milikku. kisah yang terlalu klasik dan tidak berfaedah untuk didengar. Jadi jangan salahkan aku jika aku melarikan diri disini. Kalian boleh menganggap ini aneh, karena hampir semua orang yang mengenalku akan berkata demikian.
Kalian sudah membacanya di awal bukan?
Tentunya kalian akan tahu, di dalam ruangan ini aku akan berkisah tentang apa.
Hari ini, hampir menjelang akhir oktober. Sudah ada tanda-tanda turun hujan. pun beberapa pohon besar dua hari lalu roboh karena badai, hujan dan petir yang secara bersamaan membabi buta. di tengah porak poranda itu, aku hanya terdiam. Mendengar suara-suara berisik angin dan hujan. Sementara pikiranku melayang kepada seseorang yang harinya kini sedang dilanda badai juga.
Meskipun kita jauh, entah kenapa aku juga bisa merasakan kesedihannya. merasakan kebenciannya kepada dunia. Tak tahu, apa yang membuatnya begitu. perlahan-laahan dia mulai membuka topengnya. hanya sedikit sekali. hanya terlihat sudut kecilnya saja. Aku tak ingin mendesak, hanya saja rasanya juga sesak. Mungkin kalian juga pernah membayangkan bagaimana jika orang yang kalian sayangi sedang bersedih atau berduka? dan perasaan sedih itu juga turut menggelayut. Tentu saja hal ini bukan hal yang bagus untuk ditunjukkan. Mungkin aku hanya akan cukup diam dan menunggu di ruangan ini, suatu saat dia pasti akan membawaku lari dari ruangan ini. Meskipun aku juga ingin berteriak, bukan hanya dia saja yang membenci dunia ini, pun aku yang akhirnya hanya bisa melarikan diri kemari jika sedang membenci diri sendiri.
"Dont skip your meal, babe"
Hampir setiap pagi aku mengingatkannya untuk tidak melewatkan sarapan pagi. meskipun tidak ada respon yang berarti. Mendengar dia baik-baik saja sudah cukup membuatku lega. Sekali lagi, aku mengingat diriku yang dulu. Kembali menjadi orang bodoh. Mungkin kali ini lebih bodoh, karena harus melewati banyak tekanan.
menjelang tidur, banyak doa-doa yang dipanjatkan. Tentang dunia yang kami benci, dan orang-orang di dalamnya dan kehidupan yang kami jalani di dunia yang sangat kami benci. Entah apa dunia baginya. Aku tak membutuhkannya, aku hanya akan tetap disini. Di ruang yang terlalu nyaman untuk kutinggalkan. dimana semua pikiranku di dengarkan oleh pikiranku sendiri.
Kalian pasti bertanya-tanya bagiamana bisa pikiran berbicara dengan pikiran. bisa! disini, semua hal bisa dilakukan. Jangan tanya, karena aku yang menciptakannya. Sudah kubilang, kalian tak akan bisa membayangkan bagaimana ruang ini bekerja. Terlalu menyeramkan, dan memang kubuat seperti itu. Suatu saat, aku harap ada yang bisa membuat ruangan ini tidak lagi menyeramkan. dan sekali lagi, menjelang tidur mulai kupanjatkan doa satu-satu. Semoga kamu selalu baik-baik saja, selalu bahagia dengan kebahagiaan yang ingin kamu wujudkan. Andai saja aku bisa menyampaikannya secara langsung.
Jarak memang Keji.
Ruang Sunyi, 25 Oktober 2018
Kepada Biru
Padahal ini baru awal november. tapi sudah banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku.
Biru, aku ingin bertanya kepadamu;
Bagaimana caramu mengedarkan warna?
Bagaimana caramu membuat dirimu bermakna?
Bagaimana cara membuat dirimu dirindukan?
Atau
Bagaimana cara membuat mereka menyukaimu?
Apakah warnamu secerah itu?
Seindah itu?
Apakah sehangat itu?
Biru...
Aku ceritakan satu hal, Tentang seseorang yang menyukaimu
Mengagungkanmu. Mengagumimu.Dia juga memencarkan warnamu
Senyumnya bahkan menjadi kebahagiaan manusia di sekelilingnya
Tapi kamu tahu?
Sebenarnya dia tidak benar-benar tersenyum
Tidak benar-benar bahagia
Dia punya luka
Dia punya dunia
Yang aku pun tak pernah bisa menjamahnya
Dia tak pernah membiarkanku memasukinya
Menyembuhkan lukanya
Kemudian aku hanya merindu tanpa tahu apa-apa
pun aku juga punya banyak luka
bertahan sejauh ini adalah keajaiban
apa yang harus dilakukan, Biru?
Kenapa dirimu meredupkan harapannya?
Apakah warnamu hanya palsu?
Lalu. Selama ini apa sebenarnya dirimu?
Kenapa membuatnya pilu?
Biru, lalu apa yang bisa kulakukan?
Bagaimana aku bisa menyelamatkannya...
Bagaimana aku bisa mengembalikan harapannya....
Bagaimana aku bisa mengembangkan lagi senyumnya...
Bagaimana aku bisa mengangkat dukanya...
Bagaimana aku bisa menyentuh dunianya....
Tolong sampaikan pesanku
Aku akan mempergunakan waktu untuk menunggu pintunya terbuka
Di sini... aku tidak akan kemana-mana...
ah sepertinya lagi-lagi aku bermonolog bersama hati. menebak-nebak apa yang sedang dilakukannya. dengan kekhawatiran yang tak pernah bersudah. tapi aku yakin, Biru, warnamu akan menjaganya tetap dalam cahaya yang menyala. meskipun hanya sekedar pendar yang samar...
Ruang Sunyi, 05 November 2018
Perantara (Penghantar Rindu yang tak kentara)
(Tulisan yang sudah lama terabaikan. mungkin sudah beberapa tahun yang lalu)
Aku harap suatu saat kamu menyadari kalau aku mulai cemburu, merasa marah ketika kamu mengingat dan menceritakan masa lalumu.
Kemudian membingkainya dengan beberapa puisi berisi kerinduan, tentang sosok yang tidak pernah bisa kamu lupakan dan ingin kamu rengkuh kembali. Dan diapun juga sama. Membingkismu dengan kata-kata liar, tentang keberasamaan dan kisah yang telah kalian lewati.
Bukannya aku ingin memilikimu, karena itu mustahil.
Bukan juga aku (ingin) mencintaimu. Hanya saja, aku tetap cemburu.
Bagaimanapun, aku cuma sekedar perantara . Penghantar rindu yang tak kentara. Kalian manusia yang saling merindu. Mencoba menggapai tangan masing2. Kemudian aku hanya sanggup tersenyum menenangkan diri yang tak karuan. .
Kata-kata yang menari di udara
Tok... tok... tok...
Aku membuka knop pintu dengan perlahan. Menepis segala kemungkinan untuk kembali ke ruang sunyi, namun rupanya Aku kembali ke ruangan ini. Apa sebenarnya yang kuharapkan sehingga aku terlempar kembali ke dunia ini? ke ruangan yang penuh sesak oleh kata-kata yang bahkan hanya melayang layang di udara?
Aku mencoba menggapai mereka satu-satu, namun kata-kata yang menari di udara itu hanya bergerak kesana dan kemari seolah mencemooh. Ah, kalian begitu keji. Aku ingin berbicara, namun kenapa sesulit ini?
Aku putus asa, dan kuputuskan untuk bersandar di salah satu sisi ruangan sambil memandangi semua kata yang menari di udara.
Tepat di saat pikiranku benar-benar berlubang. Perlahan, mereka menghampiriku. Tepat di depan mataku.
Kucoba meraih perlahan, dan mereka jatuh di telapak tanganku. Tidak menghindar, tidak lagi menari, tidak lagi mencemooh.
Dan semua kata-kata itu berhasil kugenggam, tiba-tiba.
Aku bangkit, kemudian berlari dengan hati-hati ke arah satu-satunya meja panjang di ruangan ini dan menebarkan semua kata yang kudapat. Tapi nyatanya tak kutemukan susunan yang tepat. mereka bertebaran di hadapanku, namun lagi-lagi tanganku tercekat. tak ada satupun kalimat tersusun, dan mereka tergeletak pasrah di meja itu.
Menungguku.
Sedangkan aku?
Aku tidak tahu.
Aku harus apa?
Sebab jika kususun kalian, aku harus berkata kepada siapa?
Percuma,
bahkan satupun manusia tidak akan ada yang sudi mendengar.
Tidak ada.
Jadi, menarilah kembali...
Ruang Sunyi, 11 Desember 2019
Gaun yang Selalu Berdarah
(Aku kembali mengunjungi ruangan ini. Sebab hari-hari yang disertai hujan adalah hari yang cukup membosankan. Di meja panjang di tengah ruangan, aku merebahkan tubuhku di atasnya, kemudian mengingat sebuah kisah tentang seorang gadis yang selalu memakai gaun yang berdarah....)
Kalian tahu?
Beberapa orang bilang bahwa ada seorang gadis yang tinggal di sebuah tempat terpencil. Tempat di yang letaknya jauh di bawah bumi. Tempat yang bahkan tak satupun orang mengetahui, yang tak pernah tercetak di peta. Tempat yang katanya memiliki halaman yang luas dengan rumah yang kerdil. Tapi, tidak ada bunga. Tidak ada serangga. Bahkan angin-angin yang bersuara. Sebab, hanya sayup-sayupnya sendiri yang terdengar.
Katanya...
Gadis itu adalah pelajar yang tangguh. Namun, dia adalah gadis bodoh. Yang tak kenal kata jatuh, tak sekalipun juga mengaduh.
Gadis itu bodoh.
Sebab dia hanya pandai menanti. Meski semua berpaling menghianati.
Dan gadis itu bodoh, sebab dia selalu berdoa tentang kemustahilan. Tentang sesuatu yang katanya keajaiban.
Gadis itu benar-benar bodoh.
Karena kembali percaya. Padahal tidak ada yang memperdulikannya.
Gadis itu bodoh.
Karena memiliki hati yang luas, padahal tubuhnya dikoyak dengan buas.
Dan katanya...
Gadis bodoh itu mulai kehilangan hara. Mencoba memutus asa. Gaun yang setiap hari dikenakannya bahkan berubah warna.
Tiap kali dia berpura-pura, gaun itu akan berdarah membaluri semuanya dengan warna merah.
Tiap kali tertawa, gaun itu akan terus berdarah.
Tiap kali dia mencoba bahagia, gaun itu semakin merah.
Tiap kali dia berbicara, merahnya semakin merekah.
Lalu......
Dia menyerah.
Ruang Sunyi, 10 Januari 2020
Mimpi yang Selalu Menjejalkan Sunyi
Apakah kalian pernah bercakap dengan mimpi?
tolong, tunjukkan bagaimana cara mengatasinya. sebab dia enggan pergi...
Sejak pertama dia mengikuti, dia sudah merusak hidupku. merisaknya dengan pasti.
Awalnya, kubiarkan saja dia mengikuti. Dia akan bosan nanti.
Mungkin di saat dia lengah aku bisa melarikan diri.
Bahkan ketika waktu mulai menganiayaku dengan senang hati, dia juga tetap disini.
Tetap tak mau pergi.
Menjebakku tiap malam hari.
Sebetulnya, dia cukup ramah. Dahulu kala tapi.
Sampai pada akhirnya dia mulai mengacau tanpa di sadari.
Dia pikir aku menyukainya, namun aku tidak pernah sekalipun mengharapkan kehadirannya di setiap hari.
Malamku mulai menipis. aku tak lagi punya ruang untuk sekedar menangis.
Bahkan, pagi yang datangpun disambut dengan tatapan kosong dan harapan yang perlahan terkikis.
Sesekali kujejalkan beberapa makanan manis.
Namun tak pernah bekerja dengan baik, aku makin seperti pengemis.
Memohon adalah hal paling tragis.
Aku terbangun, di ruang sunyi. Dan dia tetap mengikutiku sampai sini.
Tolong sehari ini, jangan ikuti.
Namun rupanya, ‘mimpi’ tetap enggan pergi.
Mimpi yang katanya bunga tidur sejati, namun nyatanya dia pandai menjejalkan sunyi.
Aku mulai putus asa, sebab tak ada lagi cara untuk menyingkirkannya.
Dia hanya terus bertanya mengapa aku tak pernah menyukai kehadirannya?
Bukankah manusia akan dengan senang hati menantikannya?
“Tentu tidak!” Aku menjawabnya dengan tegas.
“Bukankah kamu sedang membutuhkanku?”
“Aku tidak pernah membutuhkanmu, namun kau terus saja datang. Bagaimana aku bisa memulai hariku dengan baik bahkan kau saja enggan mendengarku. Manusia saja sudah enggan, waktupun apalagi, kemudian kau. Lalu siapa yang akan mendengar?”
Ruang Sunyi, 18 Januari 2020
Kupikir Aku Tak Kembali
Aku terkesiap.
Ketika mataku terbuka aku kembali.
Padahal sudah hampir dua bulan tak pernah menyambangi tempat ini. Tempat yang selalu menawarkan sunyi. Tempat satu-satunya untuk berdiam diri ketika benar benar tak ada satupun yang bisa untuk diajak berdiskusi. Tempat yang selalu menahanku untuk pergi, dan tempat yang pada akhirnya membuatku kembali.
Aku menikmati bumi yang perlahan berubah menjadi tempat paling menyesakkan untuk bernafas. bukan lagi tempat yang layak untuk dijejali mimpi yang sudah sekian lama tertulis di atas kertas. Manusia semakin menggila dimana-mana, sedang aku tetap pada keadaan semula. Mereka mulai menyusun rencana-rencana namun aku tertahan disana.
Kupikir aku tak kembali.
Rupanya gravitasi ruang sunyi lebih kuat, lebih dari kesadaranku. Aku melihat segala kekacauan pikiranku melayang-layang di udara. Mereka menjadi serpihan-serpihan kaca yang mengkilap, berubah menjadi berwarna, lalu menghitam dan menjadi sebuah ledakan. Kemudian Jatuh tepat dihadapanku.
Mereka berserakan, di sekelilingku.
Ruang Sunyi, 16 Maret 2020
Ruangan yang Dipenuhi Hujan
Beberapa hari belakangan langit terlalu pekat, pun pikiran-pikiran yang selalu sesat. Ruang Sunyi menawarkan berbagai hal yang ingin kulakukan disana. berbagai hal dimana bumi tidak bisa menyajikan sesuatu yang dibutuhkan. Seperti biasa, ruangan yang selalu gelap itu pun memiliki hujan, hujan yang kuminta untuk disajikan. Sementara aku duduk di atas meja panjang favorit sambil merasakan hujan yang menampar tubuhku dengan keras.
Kali ini aku tidak membencinya, namun menginginkannya. Siapa tahu hujan bisa jadi sahabat baru yang kata orang-orang dia menjadi pelipur lara paling jahat, yang selalu membangkitkan kisah-kisah yang seharusnya tidak diulik, yang menenangkan sekaligus menyakitkan, namun manusia masih mencintainya.
Terdengar dari arah belakang, suara derap kaki yang lirih dan samar, bahkan hampir tak bisa terdengar. Apalagi, hujan membuat semua kebisingan menjadi buyar.
“Hey, apakah kamu tidak ingin berbicara denganku? Apakah kamu marah?”
Aku tak menggubris, mungkin saja hanya halusinasi, atau hanya gesekan udara dan hujan yang menimbulkan suara sembarangan. Aku sedang tidak ingin diganggu, dan menikmati hujan yang menjatuhi wajah bertubi-tubi, dengan suara yang kian tak terkendali.
“HEY!!”
Suara itu kembali terdengar di ruangan yang dipenuhi hujan. Kali ini suaranya berteriak. Mataku yg sedari tadi dipejamkan mencoba meresapi setiap tetes air hujan, kupaksa terbuka.
Dia disana. Berdiri di depanku, Menatap sayu padaku yang sedang duduk bersila di meja panjang. Wajah itu, aku sangat membencinya. Banyak luka dimana-mana, Bajunya koyak, dan matanya yang sipit terlihat membengkak, sembab akibat diguyur hujan yang dipaksakan. Mata kami saling beradu. Sementara aku hanya menatapnya datar tak ingin tertipu lagi oleh wajah naifnya.
“Kenapa tatapanmu seperti itu? Apakah kamu tidak ingin berbicara padaku?”
“Tidak! Jadi enyahlah!”
Hujan perlahan berhenti. Sementara dia masih tetap di depanku. Aku melirik ke segala penjuru, dan rupanya ruangan yang dipenuhi hujan sedari tadi masih tampak kering. Tidak ada jejak air. Tidak ada bekas hujan yang turun. Namun, badanku saja yang basah kuyup. Lalu sosok itu mulai bersuara kembali:
“Bagaimana aku bisa enyah, jika yang selalu kau ajak bercakap di cermin adalah aku?”
Ruang Sunyi, 18 April 2020
Tersesat di Musim yang Salah
Kali ini sebuah taman tanpa bunga dan mendung yang selalu menggelayut adalah pemandangan yang sudah biasa tersaji. Sejak saat itu, aku sepertinya memasuki dimensi yang tidak seharusnya, namun dimensi yang memang tepat untukku.
Kali ini aku menembus pusaran waktu Ruang Sunyi untuk mencapai kesini. Ruang sunyi tidak dengan sengaja menarikku, namun aku secara suka rela menjejalkan kaki dengan memaksakan diri karena ingin lari. Sebab kali ini aku adalah pengecut yang benar-benar tidak tahu diri.
Tempat itu begitu mencekam, dan tentu saja sunyi namun tidak akan sesunyi Ruang Sunyi. Kalian masih bisa mendengarkan udara yang sedari berputar-putar mengawasi.
“Seharusnya sekarang musim panas bukan? Kenapa hanya ada mendung dan udara yang aneh?” Pertanyaan itu hanya menggema dalam pikiranku sendiri.
Tidak ada siapapun, dan apapun seperti di Ruang Sunyi. Hanya sebuah taman yang tak terbatas dengan mendung yang juga tak terbatas. Lalu, aku harus berjalan kemana? Kenapa aku ada disini?
Untuk pertama kalinya dalam pikiranku, ingin bertanya kepada Ruang Sunyi apa yang telah dia lakukan terhadapku. Sudah sejak beberapa bulan terakhir aku terjebak, dan hanya berputar seorang diri. Dan Ruang Sunyi tidak kembali menarikku ke dalamnya. Aku terjebak dimana?
Tiba-tiba sebuah danau kecil terbentang di hadapanku. Aneh.
Namun, langkahku yang ringan menyeretku kesana, mendongakkan sedikit kepala untuk melihat air tenang yang bersih itu. Dan kalian tahu?
Aku tak menemukan pantulan diriku. Lalu aku menjadi apa? Aku siapa?
“Kau tidak menemukan dirimu bukan?” Entah keyakinan darimana, aku yakin itu suara Ruang Sunyi yang sedang ingin berbincang denganku.
“Apakah kau mengutukku?”
“Ya. kali ini kau adalah udara. Kau benar-benar menjadi udara. Dan siapapun tidak akan melihat keberadaanmu meskipun kau ada.”
“Haruskah kau sekejam itu?”
“Aku hanya bertindak sesuai alur pikirmu, bukan?”
Lalu suara itu menghilang.
Rupanya, Ruang sunyi mengubahku menjadi udara yang terus berputar-putar di tempat asing ini. Udara yang berputar-putar itu adalah diriku sendiri. Udara, yang bahkan tidak terlihat oleh makhluk hidup paling kecil di dunia sekalipun. Mungkin, kali ini dia begitu marah. Biasanya dia tidak sekejam ini, biasanya dia hanya akan menegurku dengan menyajikan pikiran-pikiran yang sedang mengusikku, namun kali ini aku adalah jelmaan dari pikiran itu sendiri. Dan kali ini aku tersesat di musim yang salah. Lalu bagaimana caraku untuk keluar?
Waktu yang Tidak Pernah Memberi Jeda
Dari semua waktu, apa yang paling kamu gemari?Menjelang pagi, menjelang siang, menjelang sore, menjelang malam, atau menjelang dini hari?"Bagiku, semua waktu sama saja. Selalu melelahkan ketika mulai memikirkan jika waktu terus mengikuti tanpa pernah memberi jeda. Terus mendesak, sekalipun sudah mulai berlari dan terngah-engah. Bahkan, waktu tak pernah membiarkanku bermimpi dengan indah. Dia selalu punya cara tersendiri untuk merundung.
Waktu itu, seharunya kita sama-sama membahas tentang ini. Tentang waktu yang makin terkikis dan kita sama-sama menolak beranjak. Padahal dia sudah memperingatkannya berkali-kali, dan kita enggan mengindahkan peringatan itu. Kita tenggelam, dalam beberapa pelukan saat pertemuan, menatap dalam-dalam ketika matamu mulai terlelap, dan aku tidak pernah menyesal melakukannya meskipun rasanya itu telah menyiakan segala waktu yang saat itu ku punya.
Mungkin saja, jika waktu mau berbaik hati mengembalikan kita pada saat itu, kita tak akan pernah menjadi seperti sekarang. Diam, bahkan ketika dunia memang sudah benar-benar sunyi. Seharusnya, kita sama-sama bisa belajar untuk jujur pada hal-hal yang telah melukai kita. Namun, kita sama-sama egois dan terus berpura-pura untuk bisa menanganinya dengan baik. Aku yang selalu memandang semua orang dengan wajah ceria, seolah semua beban tak pernah hinggap di kepala. Begitu pula ketika aku menghadapimu saat itu. Aku butuh bahu untuk sekedar melepas segala kepenatan yang selama ini aku kubur dalam-dalam, sementara dirimu butuh pelukan untuk hal-hal yang membuatmu tenggelam dalam kekalutan. Dan yang kita lakukan hanya saling memberikan senyuman dengan kata-kata yang hanya berdansa di udara. Seharusnya kita bisa melakukan dua hal itu bersamaan.
Ini adalah cara paling memuakkan, bahkan ketika waktu tak pernah memberikan sedikit spasi untuk sekedar bernafas dan memikirkan baik-baik apa yang telah dilalui. Kita paling tahu, bahwa waktu tidak pernah memberi jeda. Dia begitu berkuasa, membuat kita bahkan tak sempat untuk memiliki asa. Mengejar dan mengoyak tanpa henti, seolah – olah kita adalah tahanan yang baru saja lepas dari penjara. Kita terus berlari, dan waktu semakin mengejar, menyamai langkah hingga sejajar.
Benar-benar kejam.
Sama sepertimu, seperti bola lampu redup di kamar kawanku waktu itu. Udara dingin yang menusuk, dan suaraku yang parau karena udara dingin yang menghentak, sementara di seberang suaramu membias bersama waktu yang nyaris menjelang pagi. Kita sama-sama tertawa untuk sesuatu hal yang gila dan tidak masuk akal. Lalu, semuanya menguap. Persis seperti hembusan nafas yang kita hembuskan di kaca mobil.
Waktu bahkan juga tak pernah memberimu jeda, dia selalu membiarkanmu egois. Saat itu, jemari kita tertaut. Sepertinya kita sudah berjalan agak jauh, dan aku tahu raut wajahmu menunjukkan rasa lelah. Kutawarkan air saat itu, namun kamu hanya tersenyum dan terus menggenggam tanganku lalu kembali melangkah.
Kamu memintaku menutup mata dan membiarkanku mendengar suaramu yang makin lama makin samar. Lalu kubuka kedua mataku, dan kamu menghilang di antara dua jalan yang bercabang. Kamu tak pernah memberitahuku, jalan mana yang kamu pilih, dan hanya meninggalkanku di belakang. Aku masih mencarimu pada kedua jalan itu, namun yang ketemui hanya jalan yang makin menyempit dan berujung jurang. Seketika, tempat itu menjadi ruangan yang tidak kukenal. Ruangan yang biasanya kusinggahi untuk tempat berlindung. Ruangan yang siapapun tidak akan bisa memasukinya, kecuali diriku sendiri.
Ah, aku sudah sadar sekarang. Meskipun waktu tidak memberi kita jeda, dia berbaik hati menarikku kembali ke tempat semula dengan segala hal yang akan dibuat menjadi awal mula.
Kamu sudah mati. Sebab aku tak pernah menemukanmu dimanapun. Sekalipun nanti kamu datang lagi, aku akan pergi. Sebab, waktu tetap tidak pernah memberi jeda. Jadi, aku harus tetap berlari.”
Lagi-lagi suara itu. Suara yang kukenali. Aku sedang menjelma. Menjadi kabut, dan waktu sebagai pengikut.
Description: Ruangan yang diciptakan untuk melarikan diri...
|
Title: RENJANA
Category: Cerita Pendek
Text:
Serenade
Di pojok cafe kota pontianak aku duduk sendiri. Pesanan juga belum datang. Hanya segelas es teh yang berembun karena terlalu lama diluar. Sambil mengaduk air gula yang belum larut. Ingatan ku lurus menerawang kejadian lama sudah sangat lama.
Waktu itu sekitar 10 tahun yang lalu. Saat itu tak seperti sekarang. Aku pada 10 tahun yang lalu hanya remaja biasa yang belum punya harta. Saat itu pertama kali ku ajak pacar pertama ku untuk jalan pertama kali sejak aku tembak. Sebut saja namanya Ratih. Ratih adalah pacar pertamaku. Anak baik. Cerdas tapi sangat malas. Malas untuk belajar. Kira kira kelas 3 SMA pada waktu itu. Ku beranikan diri untuk mentraktirnya se porsi pecel lele di simpang jalan dekat sekolah ku. Dia yang tau modal ku tak banyak waktu itu menawarkan makan se porsi berdua. Baik sekali gadis ini.
Itulah gadis ku. Sangat baik. Benar benar sangat pengertian. Padahal dengan parasnya waktu itu banyak lelaki kaya yang bisa dia kencani. Tapi dia lebih memilih aku dan motor bebek pemberian ayah.
Aku dan ratih kenal sejak lama. Sejak SMP dan berlanjut di SMA.
Waktu itu hujan sore sangat deras. Aku yang lagi gabut mengirim sms ke Ratih. "Cepat juga dia balas" gumam ku pelan. Karena aku dan Ratih kenal sejak lama. Jarak kami hampir tiada celah. Saling terbuka dan apa adanya. Dan ku tahu waktu itu dia baru saja putus dari pacarnya. Irkham.
"Jangan sedih, sama ku saja. Aku selalu menyayangimu sejak dulu. " ketik ku di layar hape. Lalu kemudian aku hapus. Dan ku ganti dengan kalimat
"Hahaha... Mampos jomblo" lalu ku kirim. Entah dorongan apa aku menulis kalimat yang pertama itu.
5 menit...
10 menit...
30 menit...
Sejam kemudian tetap tak ada balasan. Aku yang sedari tadi menunggu balasan. Entah apa yang aku tunggu. Dan kenapa pula aku harus marah. Bukannya aku bukan siapa siapa. Aku pun beranjak. Ku tinggalkan hape di atas kursi. Selangkah aku berjalan. Hape ku berbunyi tanda SMS masuk. Ku buka nokia 2600c ku. Isinya
" Beli 6 GRATIS 6 Donut dari DUNKIN DONUTS MEGA MALL PONTIANAK. Tukarkan SMS ini segera.Hanya berlaku untuk hari ini. Selama persediaan masih ada.Promo *606#"
"BANGSAT !!!! " teriakku di derasnya hujan.
Sekitar pukul 7 malam. Hape berdering kembali. Namun aku abaikan. Palingan SMS dari operator.
Waktu aku hendak menonton ovj. Hape kembali bersering khas ringtone poliponik Nokia. Ku angkat tanpa melihat siaoa yang menelpon.
"BALAS SMS KU BANGSAT!!!!!" aku terperanjat dari berbaring langsung duduk. Aku kaget. Aku kira malaikat maut. Ku atur kesadaran dan melihat layar hape. Ternyata mak lampir. RATIH !!!
Kemudian tanpa firasat lain. Ku baca sms dari atas yang penuh dengan CURHAT. Dan berhenti di kalimat.
" Aku bosan mau cari cowok, aku mau kamu aja jadi pacar ku".
Aku kehilangan akal.
Langsung saja ku jawab.
" Oke aku mau"
Sejak kejadian itu kami jadian. Hari demi hari hari kami lalui seperti berteman pada umumnya. Hanya saja perhatian kami ke pasangan menjadi lebih.
Seperti sore selepas aku dan dia makan sepiring pecel lele. Kita pulang dengan motor bebek ku.
"Nih jaket ku , pakai. Hari mau hujan"
"Iya" jawabnya tersenyum.
Sepanjang jalan pulang kerumah. Waktu terasa cepat berdetak.
" Aku ingin sama kamu terus, sampai pecel lele tadi berubah jadi tai, lalu tainya jadi pupuk. Terus pupuknya bisa ngidupin pohon selama ratusan tahun" katanya mulai erat memelukku
" Kalau setelah ratusan tahun pohon itu ditebang , gimana ?" Tanyaku
" pohon itu ditebang lalu dijadikan rumah kita . I love you" sambil menyandarkan pipinya di pundakku.
Kisah kami berlanjut. Sampai lulus kuliah.
Karena aku tidak terlalu pintar. Dan ekonomi juga sulit. Aku tidak melanjutkan ke dunia perkuliahan walaupun aku punya niat belajar yang tinggi. Aku mencari pengalaman kerja menjadi OB di perusahaan. Sedangkan Ratih dipaksa orang tuannya untuk kuliah keperawatan. Walaupun aku tahu di pasti sangat malas untuk belajar.
Setiap minggu ku sempatkan waktu untuk bertemu. Walau susah mengatur jadwal karena dia di kota berbeda. Kami jalani ini sampai setahun berlalu.
Sampai pada suatu ketika.
"Aku mulai malas belajar. Aku ingin kerja saja seperti mu. " Kata Ratih sambil melihat lihat hape ku.
"Bagaimana orang tua mu?"
"Dari pada aku asal asalan kuliah?"
"Benar juga ya. Terserah kamu. Sini hape ku. Jangan kau cek terus. Nanti hape ku malu. Kamu liatin terus.. dan aku cemburu !"
" Tapi aku baru dapat beasiswa full sampai selesai dapat uang saku. Bagaimana ?" Balik bertanya.
"Itu terserah kamu. Laki laki memang harus punya ilmu yang banyak. Percuma uang banyak tapi ilmu sempit. Kejar cita cita mu itu. Perempuan seperti ku tak perlu pendidikan tinggi. Tugas ku kelak hanya dirumah bermain bersama anak anak ku. " Jawabnya sambil menatapku serius.
Ku letakkan jari telunjukku di keningnya. Dan sedikit ku dorong.
" Anak cerdas !"
Kami pun seperti bertukar nasib. Aku disibukkan dengan kuliah. Sedangkan dia sibuk dengan jabatan baru sebagai customer service di salah satu perusahaan.
Tahun demi Tahun kami lewati dengan biasa. Dan rasa sayangku kepadanya semakin besar.
Hingga pada suatu masa. Di menjadi lebih agak berubah menurutku. Dia jadi lebih curiga. Dia lebih menjadi cemburu. Sekarang dia suka marah marah tanpa kejelasan dan minta kita putus. Setiap bertemu dia selalu mengecek hp sampai ke history pencairan. Dia yang awalnya teramat menyenangkan semenjak kerja disinu menjadi sangat menyebalkan. Setiap ku jemput dia sepulang kerja. Dia ingin aku memakai helm full face. Seperti tak ingin orang lain tau aku ini pacarnya.
" Siapa lelaki yang tadi mengantarmu depan pintu ? " Tanya ku
Dia diam sambil erat memelukku di atas motor.
Tidak ku lanjutkan. Kami saling diam di perjalanan.
Semenjak hari itu. Ratih mulai susah di ajak ketemu. Tak ada lagi ucapan "selamat pagi" dari nya. Tak ada lagi ucapan "selamat makan siang" Dan saat aku sms di jam kerja tak pernah lagi di balas sampai dirumah baru dia balas. Katanya dia sibuk akhir akhir ini. Aku pun mencoba mengerti. Dia tak mau lagi di jemput saat weekend. Alasannya dia lembur sampai malam. Nanti bisa di jemput adiknya.
Perubahan Ratih ini aneh menurutku. Ada hal yang aku curigai. Tanpa sepengetahuannya dan berencana memberi kejutan. Aku sengaja tidak kuliah sore untuk pergi menjemputnya. Saat tepat di depan kantor. Ku lihat Ratih naik motor dengan lelaki yang kemarin aku temui saat menjemputnya. Aku tak berusaha memanggilnya. Aku ikuti saja mereka dari belakang. Ku lihat mereka berpelukan. Hati ku panas. Sangat panas. Sampai di depan rumah ratih. Aku berhenti agak jauh dari mereka. Dan ku lihat Ratih mencium tangan lelaki itu. Dadaku sesak terasa seperti ditusuk. Aku mencoba tenang. Tapi jantungku berdegup sangat kencang. Saat lelaki sudah jauh. Aku pura pura berpapasam dengan Ratih yang hendak menyebrang.
"Pulang pake apa ?"
" Pake bis " jawabnya
"Ayo mampir" katanya gugup menyembunyikan sesuatu.
"Terimakasih, aku duluan. Salam sama bapak dan ibu" kata ku tersenyum
"Tih, sadarlah " kata ku tersenyum dan menarik gas motor.
Sampai dirumah. Ku matikan hape. Aku marah semarah marahnya. Aku hanya bisa memikul rasa itu sendiri.
Mendekati tengah malam ku hidupkan kembali hape. Dan 124 sms dan 60 panggilan tak terjawab semua dari RATIH.
Di sms itu dia menjelaskan panjang lebar kisah kasihnya dengan lelaki itu. Ku ketahui lelaki itu bernama Galang. Anak pejabat yang kebetulan kerja disitu. Dia di kenalkan sama TEMAN TEMAN kerjanya. dan Ratih mulai sayang dengan Galang. Dia bingung dengan persaannya tetapi juga tak ingin menyakiti ku.
"DEG" Aku pun terdiam dan ku matikan hape. Aku sangat emosi waktu itu. Sampai tak tau aku tidur.
Ku diamkan ratih selama 3 hari. Dan berusaha mencari kebenaran yang terjadi. Untungnya di perusaahan Ratih bekerja aku kenal salah seorang teman ku dulu yang juga menjadi OB. Dari ceritanya ku tahu. Ratih awalnya sangat cuek dengan Galang. Tapi teman teman di sekitar nya terus mengompori Ratih untuk menjauhi ku.
Kata mereka
"untuk apa menunggu lelaki yang belum jelas masa depannya. Bahkan kalau makan kebanyakan kamu yang bayar "
Pendapat itu juga di benarkan BOS Ratih. Kata bos Ratih,
" anak kuliahan sangat tidak jelas masa depannya hidup mu sangat terpuruk nanti."
Aku kenal dekat teman ku ini. Aku yakin dia tak berbohong.
Lalu kemudian ada Telpon dari Ratih. Hati ku senang bukan kepalang. Aku rindu. Aku ingin dia "PULANG". TAPI.....
"Kita udahan. Kamu jangan temui aku"
Sambungan di matikan.
Aku turuti permintaannya.
Dan sampai sekarang. Sampai ku lalui Tahun demi Tahun ini. Tak pernah lagi ku temui Ratih. Dan tidak ingin tahu apa kabarnya.
Sepotong Kue Untuk Linda
Entah dari mana saya akan memulai cerita ini . Karena saya bingung menulis apa dicerita ini . Baiklah sebut saja nama tokoh utama dalam cerita ini adalah Naga(wah seram juga ya...???) . Ehemm tahan pertanyaan anda tentang nama tersebut . Sesunguhnya Naga adalah singkatan dari Nabdul Gapur . Nama ini terinspirasi dari pelangi yang dilihatnya(hhhh,,,nggak nyambung ya) . Pria dengan tinggi 165 cm ini berpenampilan sederhana tapi acak acakan . Sedikit manisnya namun banyak pahitnya . Ciri khasnya adalah jika bersepatu pasti tidak menggunakan kaos kaki . Naga adalah satu mahasiswa yang terdaftar di Universitas Tanjungpura Pontianak di Fakultas MIPA prodi Fisika yang 4 tahun lagi akan wisuda alias baru semester 1(hhhh,,ternyata masih MABA) . Pengagum berat grup band theRain ini tinggal di kost2an yang tidak jauh dari kampusnya . KerjaNya sehari hari ialah kuliah dan mengajar less serta jadi reseller sebuah konveksi percetaka , yah walaupun kemampuan akademiknya tidak begitu bagus tapi lumayanlah untuk mengajari ilmu — ilmu dasar pada anak muridnya . Berharaplah kita agar anak muridNya tidak mendapkan ajaran sesat (hihihi) .
Sosok lain dalam cerita ini adalah Aloy . Nah , Aloy ini adalah teman seperjuangannya dari semenjak TK , SD , SMP ,dan ,SMA bahkan mereka berdua pun masuk di tempat yang sama saat kuliah di perguruan tinggi . Bahkan boleh dikatakan Aloy ini sahabat sejati si Naga karena dimana Naga di junjung di situ Aloy di pijak(hahaha,,,luar biasa ) . Berbeda jauh dari Naga , aloy ini sangatlah CUPU ,KUPER(kurang pergaulan ),KUKU(kutu buku),KUMAL(kuat malu ) dan masih banyak lagi yang lain dan tak mungkin saya ungkap satu persatu . Penikmat musik Bondan ini hanya bisa di ajak bila Naga yanng memancingnya untuk berbicara. Saking dekatnya persahabatan ini tidak ada lagi rahasia diantara mereka . Jika ada suatu masalah mereka pasti menyelesaikan bersama sama . Jika makanan Aloy tidak habis pastilah si Naga yang menghabiskannya. Jika ada pr Aloy lah yang mengerjakannya sedangkan Naga hanya bertugas mencatat soalnya(alhamdulillah , ya sesuatu). Bagimanakah kelanjuan kisah mereka ini mari kita simak bersama-sama .
tak seperti biasanya hari ini Naga tidak menggunakan motor klasiknya. Mengapa saya sebut motor klasik ,ya karena motornya ini tidak begitu bagus namun juga tidak begitu istimewa(hhhh). Motor ini adalah motor peninggalan ayahnya. Cat nya berwarna putih , dengan less berwarna biru ,, spion nya 2 buah namun tidak beraturan letaknya , suara motornya halus bak gemuruh pesawat diatas langit , kalau berjalan bisanya cuman sampai gigi 3 , jika naik tanjakan siap" untuk turun kembali , itu lah alasannya dia tidak mau lewat jembatan yang tinggi(husss,,,ini rahasia kita jangan sampai Naga tau , , ,)dan yanng paling aneh dari semua itu adalah nomor polisi motornya , jika di pandang dari belakang "KB 4645 SM" tapi dari depan "N 46 A" ,entah apa maksud dari semua itu hanya dia dan tuhan yang tahu maksudnya.Baiklah kita lancuutkan kecerita awal. Dengan tergesa gesa dia ke kost Aloy yang tidak jauh dari kost an nya kira- kira berjarak 5langkah(mirip lagu dangdut).“ loy loy ,, elo dimana ?”“gue lagi mandi “.“gue tunggu diluar ya ““ emang elo kepingin masuk mandi bareng gue ya ?”“NAJIS TRA LALA!!!” jawab Naga *ambil pedang Setelah selesai mandi Aloy pun menemuinya. Betapa terkejutnya Aloy ketika di lihatnya kue untuk Linda gebetan yang ingin di tembaknya dimakan kucing. “ARGHHH..KUCING BANGSAT DASAR KECOA BUNTING PERANAKAN LO KUCING SEMUA YA “ teriaknya memaki kucing. Naga yang menunggu diluar kos sambil mainin gitar sontok melompat dan terkejut mendengar suara teriakan Aloy dari dalam kost. Baru saja hendak masuk kedalam sebuah sapu melayang kewajah Naga. Sapu itu berasal dari lemparan Aloy ke kucing. Aloy memang pendiam tapi jika dia marah dia bisa lebih ganas dari naga naga yang ada di televisi. “kampret tu kucing memang gak punya hati “ katannya kesal. Aku pun coba menenangkannya.
“gue kesal loy , kue itu buat linda gebetan gue. Gue ingin nyatain cinta ke doi. Gue bosen gak ada kepastian dalam hubungan ini”. Katanya serius. Dia menjelaskan semua alasannya kenapa dia kepingin banget jadi pacar Linda. Dari mulai dia ingin menjaganya , nemenin Linda ke mall jalan jalan , nemenin maen facebook dan banyak sekali cita cita norak yang ingin di wujudkan nya bersama Linda. Aloy sebagai sahabat mencoba mendukung apapun ke inginanya.”sekarang gimana apa yang gue lakuin?”. Mereka pun berpikir keras bagaimana caranya agar Aloy bisa nyatain cinta ke Linda. Lama mereka berpikir akan tetapi belum juga menemukan ide yang bagus. Ada sih ide tapi terlalu norak. Ide nya dari Naga. Naga bilang dia dan teman teman pura pura jadi penjahat dan Aloy nanti yang sok sok an jadi super hero. Rencana ini di tolak mentah mentah oleh Aloy. Begitu panjang mereka berpikir tapi gak juga nemuin caranya . “eh elo , ngomong ngomong ngapain kesini ?.” tanya kepada Naga. Naga yang sudah lupa dengan maksud kedatangannya ke kost Aloy juga bingung. “oh iya . gue ngapin ya kemari ?? ooooo gue tadinya pingin ngajakin lu ke toko buku “ kata naga. Tanpa pikir pikir lagi mereka pun pergi. Karena mereka pun suntuk merencanakan sesuatu yang sebenarnya gak ada dalam otak nya Tiba tiba langkah kaki Aloy terhenti. Naga yang berjalan sambil menunduk di belakangnya melanggar bokong Aloy. Dan mereka melihat Linda bersama seorang laki laki. Awalnya mereka mengira itu adalah adik atau saudaranya. Tapi semakin di buntuti mereka semakin mesra. Dan ternyata mreka juga pakai kaos cuople. Linda makai kaos yang gambar love nya setengah dan cowoknya juga makai kaos yang sama dengan love setengah. Dikerumunan mall mereka kehilangan jejak Linda dan cowoknya. Dan betapa terkejutnya mereka ternyata yang di buntuti ada di belakang.“woy , ngapain???.”“eh Linda “ kata mereka kompak“oh ya kenalin nih pacar gue”Mereka berjabat tangan dengan pacar baru Linda. Wajahnya begitu tampan beda banget sama aloy. Naga yang tahu banget perasaan aloy berdoa dalam hati agar Aloy tetap kuat melihat ini. Setelah lama bercakap cakap. Naga dan Aloy pamit untuk pulang. ditengah perjalanan pulang mereka tak banyak bicara hingga sampai akhirnya naga bertanya kepada Aloy. “loy lu gak kenapa kenapa kan liat yang barusan”. Aloy menarik nafas panjang dan menjawab.“ga cinta itu anugerah terindah yang Tuhan berikan kepada kita. Proses cinta itu gak simple seperti kue yang gue buat. Cinta itu tulus mengerti dan menerima. Gue gak sedih saat tau Linda sudah ada yang punya. Gue hanya nyesel kenapa gue bisa jatuh cinta semudah ini. Karena untuk jatuh cinta sebenarnya butuh proses yang panjang. Jadi gue hanya berdoa dalam hati agar Linda dan cowoknya jodoh yang di tuliskan. Gue yakin kata teman di facebook . bila dia tulang rusuk gue. Dia bakalan kembali ke gue.”“ walaupun dalam ke adaan janda” potong NagaMereka pun tertawa sepanjang. Menertawai nasib mereka.
Rintik di Musim Hujan
Dulu aku sangat mencintai seorang lelaki yang sangat tampan dan kaya. Hari — hari ku lalui sangat menyenangkan dan tak ada sedetikpun terlewatkan tanpa suka dan tawa. Rasanya kebahagian tersebut sungguh tak bisa tergambarkan. Hingga pada suatu hari kebahagian tersebut semakin lengkap karena lelaki pujaanku tersebut meminang ku dan menikahiku.
Lelaki yang sangat aku cintai ini kini duduk tegak berjabat erat bersama penghulu mengucap janji suci pernikahan. Setelah kami sah, semua keluarga dari kedua keluarga besar begitu bahagia. Waktu itu dunia seakan ikut bahagia bersama kami. Kebahagian kami berlipat ganda ketika dokter berkata bahwa aku hamil 3 bulan setelah lima bulan menikah bersamanya. Hari hari aku lalui dengan sangat bahagia , bahkan aku semakin manja kepada suamiku. Selayaknya ibu ibu yang sedang hamil muda, rasa sensitif ku semakin berlipat ganda. Aku semakin manja kepadanya , aku semakin tak mau jauh jauh darinya , dan semakin cemburu pula rasanya bila sejam saja dia tak mengabari kabarnya,
Hingga pada suatu hari , aku ingin sekali makan mangga muda. Karena aku sedang ngidam waktu. Aku menelpon suami ku agar cepat pulang dan membawa mangga keiinginanku. Padahal baru 3 jam dia berangkat ke kantornya. Dengan penuh rasa sayang suamiku mengiyakan permintaan ku.Sejam berlalu suamiku belum juga tiba, dan berulang kali kucoba menghubungi tapi tak ada jawaban. Jam jam berikutnya ku lalui dengan sangat cemas. Perasaanku sangat kacau waktu itu. Hingga ketika hp ku berbunyi dan itu dari polisi yang memberi kabar bahwa suamiku tabrakan tunggal dijalan menuju rumah dan sekarang suamiku sedang dirumah sakit. Aku yang sangat shok tak bisa berbuat apa apa. Aku dibawa kerumah sakit oleh ibu dan mertuaku. Semua orang terlihat cemas dan aku hanya bisa menangis tak berhenti. Ibu dan mertua hanya bisa menenangkanku. Dan ketika dokter keluar dari ruang operasi dan mengatakan bahwa suamiku kini telah tiada seketika itu pun aku jatuh pingsan. Bangun bangun ku lihat suamiku telah terbujur kaku dengan kain kapan diseluruh tubuhnya akupun kembali pingsan.Kemudian aku sadar dan mendapati keadaan bahwa suamiku tercinta kini telah tiada. Setelah selesai pemakaman seluruh keluarga berusaha menghiburku. Dan semua keluarga terdekat sepakat untuk tinggal beberapa hari agar aku tak merasa kesepian. Tapi bagiamanapun mereka menghiburku aku tetap merasa hampa. Hari demi hari berlalu dan keluarga pun satu per satu untuk pulang karena mereka juga punya kehidupan. Hingga tinggal aku sendiri dirumah ini. Kulihat perutku dan kurasakan emosi yang begitu dalam. Aku berpikir bahwa gara gara anak yang berada dalam perutku suamiku tiada. Gara gara ingin memenuhi ngidamku suami yang aku sayangi kini pergi selamanya. Aku menyesal mengandung anak ini. Jika bisa memilih aku ingin anak ini saja yang mati. Dan niat untuk menggugurkan kandunganku pun timbul. Aku pun mencoba menggugurkan anak ini dengan segala cara. Akan tetapi niat jahat ku ini diketahui ibu dan mertua ku dan selalu mereka gagalkan.Perutku pun semakin membesar. Kini kandunganku sudah waktunya untuk melahirkan anak yang sangat aku benci dan tak kuinginkan. Hingga suatu Pagi januari yang mendung anak ku pun lahir kedunia. Suara tangisannya kudengar dan semakin benci pula akumendengarnya. Karena semakin aku melihat dan mendengar anak ku rasa penyesalanku pun timbul. Dan karena usaha ku yang selalu berusaha membunuhnya dari dalam kandungan mengakibatkan anakku buta permanen. Kenyataan ini membuatku semakin membenci dia. Aku pun hanya memberi ASI selama 3 bulan dan sejak usianya 3bulan tersebut kusuruh ibu dan mertua ku yang mengasuh dan membesarkannnya.Akupun memulai hidup yang baru. Mencoba melupakan semaunya termasuk anak yang baru saja aku lahirkan. Aku menyibukkan diri dengan berbisnis dan kegiatan sosial. Bisnis ku pun maju dengan pesat dan membuat ku semakin sibuk dan sedetikpun aku tak mengingat anakku. Sepuluh tahun berlalu , usaha ku semakin maju. Tak lupa aku mentranfer uang ke ibu dan mertuaku untuk biaya anak ku. Sepuluh tahun juga aku tak bertemu dengan Umar. Bahkan nama umar pun diberikan oleh mertua ku sendiri.Suatu hari aku berkunjung ke panti asuhan yang aku kelola dengan teman temanku. Disana aku baru tahu bahwa banyak sekali anak yang terlantar. Anak yang di buang oleh ibunya. Dan rata rata anak yang di buang itu baru berumur sebulan dua bulan. Dan aku sangat tersentuh mendengar cerita ibu penjaga panti yang menceritakan ada seorang anak yang dibuang ibunya yang bayinya masih merah dan tali pusarnya juga masih menempel.Aku tak kuasa lagi menahan airmata ini. Ibu macam apa aku ini yang meninggalkan anakku begitu saja. Bahkan aku tak dapat membayangkan bagaimana sekarang rupanya. Akupun menangis sejadi jadinya mengingat apa yang telah aku berbuat kepada anakku. Seketika itu pula ku pacu mobil ku pergi kerumah ibu dan dan mertuaku untuk menemui umar. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis dan menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.Setibanya aku dirumah kulihat seorang aak sedang duduk didapn rumah sambil memegang quran ditangannya. Dia yang menyadari kedatangan ku lalu memanggilku “ BUNDA” . kata yang baru pertama kali aku dengar selama 10 tahun ini. Dia berlari memelukku dan aku pun tak kuasa menahan tangis. Aku memeluk nya erat, rasa benci yang begitu besar tiba tiba runtuh begitu saja ketika memeluk anak ku darah dagingku. Umar kemudian menghapus air mataku dan membawaku masuk kedalam rumah. Umar membawaku kesebuah ruangan yang penuh dengan lukisan. Dan betapa terkejutnya aku melihat lukisan yang banyak dalam kamar itu adalah wajah ku dengan segala ekprisi dan ekpresi tertawa , sedih , gembira dan lain lain. Aku kembali memeluk aak ku ini. Dari mana dia bisa begitu detail melukis rupaku sedangkan matanya saja buta sejak kecil. Kemudian ibu ku bercerita bahwa itu semua didapatnya hanya lewat mimpi. Saat malam dia bermimpi berjumpa dengan ku siang nya dia lalu melukis wajahku. Dan itu berkat doanya sepanjang malam. Dia berdoa agar allah menemukannya dengan ku walau lewat mimpi. Dan setiap kali rasa rindunya kepadaku muncul dia selalu membaca quran yang selalu dibawanya. Aku yang tak bisa lagi berkata kata hanya bisa menangis. Tak ada rasa benci sedikitpun padaku. Dan semenjak saat itu aku berjanji akan mengganti waktu selama 10 tahun tersebut dengan penuh rasa cinta yang tak pernah ia dapatkan dari siapapun.
Description: RENJANA RENCANANYA AKAN BERISI 20 CERITA PENDEK
TENTANG BETAPA DUNIA TAK SELALU IKUTI APA YANG KITA MAU. TAPI SELALU MEMBERI PILIHAN JALAN YANG TERBAIK
|
Title: Remaja Zaman Now Haus Ilmu Banjir Prestasi
Category: Artikel
Text:
Ingin Berprestasi? Yuk, Pelajari Akibatnya!
Terkadang banyak remaja berdecak kagum ketika melihat remaja lainnya yang mendapatkan prestasi. Prestasi apa pun itu pasti tidak mudah dalam meraihnya, karena tidak mungkin bisa berprestasi tanpa ada usaha yang maksimal.
Prestasi adalah hasil dari usaha, tanpa usaha maka tidak akan mengantongi prestasi apa-apa. Dan sebuah prestasi tidak akan bermakna jika didapatkan dari ketidakjujuran atau kecurangan. Ingat, akan berbeda rasa dan nikmat yang diterima jika jalur yang ditempuh tidak lurus.
Jika ingin berprestasi kita harus mengetahui akibat dari apa saja kah prestasi itu bisa muncul, karena menjadi orang yang berprestasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di bawah ini adalah akibat-akibat yang bisa memunculkan prestasi:
Akibat semangat
Tanpa semangat yang menggebu, prestasi akan sulit diraih. Oleh karena itu, orang-orang yang berprestasi yang sering kita lihat adalah orang yang gairah berjuangnya kuat, dan tidak apatis.
Akibat berusaha
Tanpa usaha maka tidak akan ada prestasi, dibutuhkan usaha yang maksimal untuk meraih sebuah prestasi. Akan berbeda hasil yang diperoleh antara orang yang usahanya maksimal dengan orang yang usahanya seadanya. Karena sudah menjadi konsumsi umum bahwa hasil tidak akan mengkhianati usaha. Usaha untuk meraih prestasi banyak sekali diantaranya senantiasa tekun serta tetap fokus dengan yang ingin dicapai.
Akibat kejujuran
Prestasi adalah buah dari kerja keras dengan menjunjung tinggi kejujuran. Kejujuran adalah modal agar tidak menciderai kepercayaan semua orang. Sekali tidak jujur, maka semua orang tidak akan percaya lagi. Percuma kan berprestasi tapi tidak jujur.
Akibat berdoa
Usaha tanpa doa adalah kesombongan, doa tanpa usaha adalah kesia-siaan. Kalimat fenomenal ini benar adanya. Prestasi tidak terlepas dari doa-doa yang mendukung usaha kita. Karena prestasi merupakan salah satu rezeki yang diberikan-Nya atas semua usaha dan doa yang kita panjatkan.
Mau jadi remaja berprestasi? Yuk tetap semangat, berusaha sekuat tenaga, berpegang teguh pada kejujuran dan terus berdoa agar prestasi bisa kita raih.
Ngaku Kids Zaman Now, Tapi Banyak Gaya? Hati-hati Tertekan!
Pergaulan anak-anak zaman sekarang berbeda dengan zaman dulu, ingin coba ini dan itu tapi tidak pernah memikirkan efek ke depannya. Urusan gaya hidup, kids zaman now tak perlu diragukan lagi, dari cara berpakaian, kebiasaan, jenis handphone keluaran terbaru, merk motor yang lagi ngehits bahkan kamera sekelas fotografer pun mereka pada paham.
Gaya Hidup (Bahasa Inggris: lifestyle) adalah bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang bisa berubah bergantung zaman atau keinginan seseorang untuk mengubah gaya hidupnya. Istilah gaya hidup pada awalnya dibuat oleh psikolog Austria, Alfred Adler, pada tahun 1929. (Wikipedia)
Coba kita pikir, mungkin mengikuti gaya hidup tidak menjadi masalah bagi mereka yang memiliki kecukupan, tapi bagaimana dengan yang hidupnya masih pas-pasan? Otomatis gaya hidup ini akan menjadi boomerang bagi keluarganya. Seperti kata-kata yang sering kita dengar, hidup ini murah, tapi yang membuatnya mahal adalah gengsi dan gaya hidup.
Ternyata rumus fisika bisa kita kaitkan dengan gaya hidup:
Tekanan (P)= Gaya (F) / Luas Permukaan (A)
Mungkin selama ini para pelajar atau yang mengaku kids zaman now menggunakan rumus tersebut apa adanya, tanpa adanya rasa penasaran akan makna dari rumus tersebut. Dari rumus tersebut bisa kita baca, bahwa tekanan selalu sebanding dengan gaya, dan berbanding terbalik dengan luas permukaan, berarti semakin besar gaya, tekanan pun akan semakin besar, sebaliknya semakin kecil gayanya maka tekanan yang dihasilkan pun akan kecil.
Bagaimana dengan hidup? Hidup pun jika kebanyakan gaya maka akan tertekan, tekanan yang dihasilkan bermacam-macam seperti stres dan depresi. Namun, jika kita mempunyai kelapangan hati yang luas, berapa pun besar gayanya, maka akan menghasilkan tekanan di hati yang tidak terlalu besar. Sekarang, kids zaman now tinggal pilih, memperluas kelapangan hati, atau memperbesar gaya hidup?
Menjadi kids zaman now seharusnya bisa peka dengan pelajaran semesta, lewat ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah bisa dikaitkan dengan makna hidup bukan sebaliknya, mengabaikan ilmu pengetahuan dan lebih fokus pada gaya hidup.
Selamat menjadi kids zaman now yang cerdas dan tidak banyak gaya.
Remaja Harus Bergerak Cepat
Siapa yang tidak ingin cepat sampai pada tujuan? Semua orang menginginkan agar cepat sampai tujuan, namun tidak memiliki strategi dalam mengatur kecepatan. Salah dalam mengatur strategi, maka akan menghabiskan banyak waktu, karna waktu tidak akan menunggu orang yang terlambat.
Dalam mata pelajaran fisika, ada yang namanya persamaan kecepatan, yaitu
Kecepatan (v) = Jarak (s) / Waktu (t)
Di mana kecepatan berbanding lurus dengan jarak dan berbanding terbalik dengan waktu. Dalam kehidupan, semakin jauh jarak yang harus kita tempuh, berarti kita harus meningkatkan kecepatan. Karena, waktu yang tersedia semakin sedikit, maka kecepatan harus semakin tinggi.
Perjalanan kita di dunia ini hanya sebentar dibanding perjalanan menuju kehidupan yang lebih kekal selanjutnya. Di dunia adalah waktu yang tepat untuk kita mengumpulkan bekal sabanyak-banyaknya, terutama di masa remaja. Jika di dunia kita mengabaikan waktu, maka jangan heran posisi kita akan menjadi paling belakang, karena kita kalah cepat dengan mereka yang berlomba-lomba mengumpulkan bekal untuk kehidupan selanjutnya.
Apa saja yang harus dipercepat ditengah waktu yang semakin singkat? Yuk simak!
1. Taubat
Kembali taat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dengan menyesali semua dosa-dosa dan kesalahan yang diperbuat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Semoga ampunan-Nya kita dapat, karena semakin cepat kita bertaubat maka semakin sedikit waktu yang terbuang percuma untuk hal-hal yang tidak berguna.
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat(nya), dan bahwa Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang.” (QS.At-taubah:104)
2. Berbuat Baik
Tidak menunggu esok untuk melakukan kebaikan, karena kita tidak tahu jatah umur kita sampai hitungan keberapa. Kebaikan yang disegerakan lebih baik daripada yang ditunda, jika kita bisa berbuat baik hari ini, kenapa kita harus menunggu esok? Semoga kita senantiasa bergerak cepat dalam melakukan kebaikan.
“... Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS.Al-Hajj:37)
Jadi, masih menjadi remaja yang lamban dalam bergerak?
Mari kita sama-sama mengatur kecepatan untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya untuk kehidupan yang kekal selanjutnya.
Remaja Cerdas Memilih Kata
Remaja zaman sekarang sering menganggap sepele kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Asal bunyi pun tak bisa dihindari dari semua kalangan remaja, kata-kata yang semestinya tidak dilontarkan, keluar begitu saja dari mulut para remaja. Karena memang manusia terutama remaja, suka berkata-kata tanpa menyaring dan memikirkan efeknya. Tanpa sadar, kata yang dianggap sepele itu mengandung murka-Nya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusan), serta jangan sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Tetapi katakanlah, ‘ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki’. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan”.(HR. Muslim)
Satu kata yang dianggap sepele namun akan mengundang murka-Nya adalah kata seandainya. Kok bisa? Karena dibalik kata seandainya yang diucapakan manusia akan membuka pintu untuk setan mempengaruhi hati dan pikiran manusia, sehingga manusia tidak ridha dengan apa yang terjadi. Misalnya tetap meratapi masa lalu, berharap seandainya begini, seandainya begitu. Padahal, kata seandainya tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi.
Kapan kata seandainya itu mudah diucapkan dan dianggap sepele?
1. Ketika seseorang tidak bisa menerima kenyataan hidup.
2. Ketika seseorang mengalami kesedihan yang mendalam atas apa-apa yang tidak sesuai dengan harapan.
3. Ketika hilangnya kesabaran dalam diri.
4. Ketika masa lalu tidak bisa dijadikan pelajaran hidup.
5. Ketika perasaan was-was mendominasi pikiran.
6. Ketika gagal dalam meraih sesuatu.
Jika pernah berada dalam posisi satu sampai enam, bisa dipastikan kita pernah mengucapkan kata “seandainya”.
Stop mengatakan, ‘seandainya aku berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu’. Karena berandai-andai hanya akan mengundang murka-Nya dan membuat jiwa semakin rapuh.
Mari menjadi remaja cerdas, berpikir dulu sebelum berucap agar tidak pernah menyepelekan kata-kata.
Jika ingin menjadi remaja yang sangat berkualitas, perhatikan kata-kata yang dikeluarkan dari mulut, dan kata-kata itu akan menjadi tertata dan rapi jika jadwal membaca bukunya ditingkatkan lagi.
Uppsss, Kamu Remaja Cewek Yang Mudah Baper? Ini dia Cara Ampuh Menepis Kebaperan!
Sering melihat kebaperan remaja cewek di media sosial? Cewek yang kebawa perasaan atau dikenal dengan cewek baper itu banyak, mungkin karena cewek-cewek lebih mengedapankan perasaan, dibanding cowok-cowok yang mengedepankan logika. Sehingga, yang berhubungan dengan perasaan sangat mudah dituangkan.
Baper itu menyiksa, karena semua dipikirkan, semua dirasakan tanpa ada solusi untuk menghindari kebaperan tersebut. Jika sudah baper, pasti kerjaannya mengeluh akan perasaan yang tak kunjung jelas arahnya, sering galau dan murung. Jika sudah galau dan murung, maka kebaperan sudah mencapai level tertinggi.
Kebaperan itu terjadi biasanya ketika berhadapan dengan lawan jenis, ibarat magnet yang hanya akan menarik kutub berlawanan utara-selatan, jika magnet bertemu kutub senama utara-utara, selatan-selatan maka akan terjadi tolak menolak, begitu pun dengan kebaperan sering muncul antara cewek-cowok. Namun, kebaperan itu bisa dimusnahkan, asal bisa mengontrol perasaan dengan baik.
Masih susah mengontrol kebaperan? Yuk simak tips di bawah ini agar tidak mudah baper:
1. Cuek
Menjadi cewek cuek itu perlu agar tidak mudah baper pada sesuatu, cuek bukan berarti tidak peka akan perasaan, tapi cuek di sini adalah untuk menghindar dari yang namanya boros perasaan. Sikap cuek sangat penting dimiliki oleh cewek-cewek, agar bisa mengontrol diri untuk tidak mudah kebawa peraaan. Jika kamu sudah cuek, kamu akan dengan mudah menepis semua kebaperan yang menghampiri.
2. Menjaga hati
Menjaga hati itu perlu, agar hati kita tidak tercemar dengan perasaan-perasaan aneh yang belum saatnya hadir. Tujuan dari menjaga hati adalah agar di hati kita tidak bertahta sosok makhluk bernama manusia, sehingga singgasana hati kita hanya ditempati oleh Sang Maha Pemilik Hati. Dengan menjaga hati kita tetap bersih dan jernih, maka kebaperan bisa kita tepis jauh-jauh.
3. Sibuk
Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat itu sangat penting, untuk menjaga diri agar terhindar dari waktu kosong. Karena waktu kosong selalu bisa menawan cewek-cewek untuk melamun dan memikirkan sesuatu yang tidak penting, sehingga cewek-cewek mudah baper. Jika kita sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang meningkatkan kualitas diri, maka kita tidak akan mudah baper akan sesuatu.
Wow, untuk mengontrol kebaperan sangat mudah, bukan?
Semoga kita bukan termasuk cewek bape apalagi jika masih remaja, karena baper yang tidak pada tempatnya itu hanya menyiksa diri sendiri.
Senior dan Junior di mata Remaja
Dalam keseharian para remaja, tak pernah lepas dari bersosialisasi dengan orang lain, ada yang senior dan ada yang junior. Jenis senior dan junior yang kita temui pun beragam. Ada yang ramah, ada yang jutek, ada yang baik, ada yang jahat, ada yang peduli, namun ada juga yang cuek. Kesemuanya itu akan mewarnai hari-hari kita.
Di sekolah, kampus, tempat kerja akan kita temui senior dan junior berbagai versi, kadang para senior tidak menampakkan keseniorannya, yang ada malah mereka menjatuhkan diri sendiri dengan sikap buruknya. Dan tidak sedikit para senior yang meremehkan para juniornya.
Ada 3 ciri senior yang tidak disukai junior, adalah:
1. Sombong
Merasa diri paling hebat dan benar dibandingkan dengan orang lain. Padahal yang kita tahu yang berhak sombong itu hanya Maha Pencipta dengan segala Ke-Maha-annya. Namun di sekolah, kampus, dan tempat kerja akan kita temui senior yang teramat sombong, entah merasa diri lebih tua, atau alasan lainnya. Yang jelas sikap sombongnya hanya akan menjauhkan dirinya dengan orang lain.
“Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR. Muslim no.91)
2. Sok pintar
Setiap orang memiliki kelebihan ditiap bidangnya, berarti dia mengilmui bidangnya tersebut. Kadang ada senior yang merasa diri sok pintar padahal tidak ada apa-apanya, namun apa-apanya ingin terlihat. Percayalah, semua orang akan tahu, mana yang benar-benar pintar dan mana yang sok pintar. Belajar sama junior juga gak masalah, selama itu positif. Ingat, ilmu itu bukan membuat orang menjadi sok pintar, tapi membuat orang untuk tetap belajar, tidak banyak bicara dan mengamalkan ilmu padi.
3. Suka berkomentar
Namanya juga manusia, tidak terlepas dari yang namanya menilai dan berkomentar. Lihat junior sukses, komentar. Dengar junior naik pangkat, komentar. Apalagi kalau ada yang keliru dari para junior, komentarnya semakin menjadi. Semua dikomentarin, manfaat dari berkomentar itu apa? Berkomentar akan bagus jika pada tempatnya, dan tidak ngomong di belakang. Hati-hati dengan ghibah dan fitnah, senior.
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)
Wow! Ternyata senior ada yang cirinya seperti itu ya. Kamu tidak termasuk, kan?
Senior dan junior sama saja, bukan merasa diri senioritas lantas meremehkan junior. Saling berbagi akan lebih menentramkan daripada saling sikut-menyikut.
Semoga kita senantiasa dipertemukan dengan senior yang bijaksana dan baik hati.
Description: Berisi tentang manis, asam, asinnya dunia remaja.
|
Title: Radiks Patah Hati
Category: Puisi
Text:
Alam Senang Bergurau, sebab itu Inginnya
Tidak ada yang menyalahkan malam
Kenapa sang penyair tetap terjaga
Karena alam senang berjenaka
Membicarakanmu hingga pukul lima dini
Tidak ada yang mengubris kehangatan
Kenapa kopi tetap utuh pada cangkirnya
Karena alam senang bergurau
Ku habiskan sisa waktu ria dengannya
Sambil memuja kata adanya namamu
Tidak ada suka mengapa ia ingin datang
Sebab itu inginnya
Sat, May 25
Lesap
Aku tersenggol-senggol
Dalam mimpiku yang memimpikanmu
Aku patah-patah
Pada kaki ibu kota tanpa kehadiranmu
Sun, May 26
Ah, Candu
Aku membeli kafein rindumu
Ku teguk sisa senyummu
Ku habiskan merengkuhmu
Ku pesan lagi secangkir aroma tubuhmu
Mon, May 27
Penyap
May pada punggungmu pergi
Ia singgah tak kurasa sekelebat
Memilih tertinggal
Tanpa kenangan
Menjauh untuk kembali hadir
Dalam tanggal-tanggal tua
Yang tangannya lumpuh penderitaan
Tue, May 28
Distingsi
Kau tersesat dibawa angin;
Aku rumah sepi
Menunggu penghuninya datang.
Kau ombang-ambing dibawa laut;
Aku dermaga kelelahan
Menunggu perahunya singgah.
TGR
Antipati
Aku membenci
Jaket yang memelukmu
Kemacetan yang menahanmu
Hujan dan matahari yang menyentuhmu
Sekalipun
Rumah tujuan akhirmu
TGR
WED, MAY 29
Hirau
Suka duka dua pendam satu rasa
Awal akhir kembali pergi beda jalan
Kau buat aku hirau
Kan ku buat kau sajak
2019
Melanglang
Kelak bukuku akan
Menjelajahi isi pikiranmu
Di sana terdapat
Rindu, cinta dan aku
2019
Manifesto
Di kayu lumpuh seorang pria jatuh cinta
Pada tulisan yang mengandung seluruh rasanya
Di bolak balik kertas aku jatuh cinta
Pada seorang pria yang lumpuh rasanya
2019
Gelebah
Kota asing peralihan
Menjadikan mu tak kembali
Membuat sama rinduku pun; berkali-kali
2019
Nalar
Aku berlari-lari
Di tengah keramaian manusia
Pikiranku menyendiri
Memikirkanmu
Yang belum memikirkanku
2019
Terangan Ingin
Aku tinggalkan puisi yang tertanggal
Agar ruang sela menjadi selipan kehangatan
Agar seribu menjadi satu kalbu
Agar kau tetap mengenal keadaan atas ketiadaanku
2019
Dera
Aku bermuara atas pergimu yang menjadi dera
Celupan balok tidak bisa mengembalikan detak jam dan jantungmu
Setelah malam menghilang, disusul susupan temaram
Fajar tetap fajar yang ada
Menghilangkan waktu kita
2019
Untuk Pria Pecinta Frasa
Ada yang mengalahkan rasa sukaku telak
Pada frasa yang kau makan tadi
Tiap baitnya terkunyah rapi
Ada yang mengalahkan rasa cemburuku telak
Pada angin malam yang belai kau nikmati
Tiap sensasinya merasuki kudapan hati
Ada yang mengalahkan rasa kangenku telak
Pada malam yang dianggap jemu
Tiap rengkuhannya selalu membawa temu
2019
Delusi dan Fantasi
Kita tenggelam dalam halusinasi
Kau menyebutku delusi
Aku menyebutmu fantasi
Sampai akal habis tercekat ambisi
2019
Kesepianku
Pada suatu hari nanti
Angin akan bercerita
Tentang kesepianku
Batu-batu melapuk
Tanaman merambat
Rumah meroboh
Aku habis termakan
Dalam tungku api
Kau damai air dalam cangkir
Yang hanya menikmati
2019
Merebak
Kau ada di aliran gemuruh malam
Yang membuatku menunggu
Kau kedinginan pada bekas air
Yang masuk menyerap mantelku
Kau kebisingan kendaraan
Kau dari segala apa yang ada
Pada kebiasaanku menulis diwaktu senggang
Usai hujan reda
2019
Mari Rayakan Patah Hatimu
Tiap hari aku menggelitiki perutku
Ibu jari bersekongkol padu dengan kelingking
Mereka merangkul sisiran rambut
Kakiku derita tak ujung bergerak
Paru-paru menghisap banyak karbon bebas
Aku tidak peduli
Mari kita rayakan patah hatimu saja
2019
Kokoh
Malam kemarin
Kita sepasang kata dalam paragraf
Pagi ini
Kita menjadi cerita tak berkesudahan
Aku ingin melihat bagaimana
Puisi tumbuh menjadi anak kita
Syair menemani kelopak mata pukul tiga
Polemik senang memeluk tiap hari selasa
Cinta tetap mengokohkan asa kita
2019
Hatinya Buta
Aku mencintaimu seperti hujan kepada atap rumah
Atap rumah kepada lantai
Dan lantai yang terinjak atas kakimu
Ku teriaki, "hey, mata kau buta?"
Seisi rumah menjawab, "hatinya yang buta."
2019
Pukul 4
Aku paling suka pukul empat sore
Dimana jerit keramaian mulai mengisi depan rumah
Semesta mengajarkanku bahwa petang
Yang ku anggap jalang dari akar kebahagiaan
Membawaku jatuh cinta padamu
Pada hal-hal yang bisa membuat aku patah hati
Dan berhenti
2019
Pirsa
Aku tahu
Ada dekap yang diam-diam kau titipkan
Dalam rahasiamu melihat tulisanku disini
Seolah, rasaku mungkin saja untukmu
Mereka yang tidak mengenal wajahku
Adalah kekasih
Sebab jatuh cintanya bukan semata hasrat
Cintanya tumbuh terhadap keingintahuan
Memikili puisiku
2019
Temui Matamu
Aku mau menulis sesuatu yang baru
Tentang tak ada lagi kesedihan
Tak ada lagi kesepian
Saat aku temukan matamu
2019
Berjebah
Tahu kau mengapa aku cinta kau lebih
Karena kau denyut dari semua tulisanku
Kau ayah dari semua anak yang kita buat
Bersama dalam isi otak yang berceceran
Malam itu, dalam kegelapan
Tawa kita meriuh rebah
2019
Distansi
Kakiku tidak lagi menyusuri jalanan sebrang rumahmu
Jejakku seiring waktu terseret musim
Kita suka karena membiasakan ada
Kita lupa bahwa waktu tidak selamanya merekatkan
2019
Senyap
Aku ingin menjadi sunyi
Dalam ramainya pikiranmu
Agar tiap malam
Dalam segala bentuk kesendirianmu
Yang terlintas hanya ada aku
2019
Dua Doa
Tuhan yang syahdu
Terimalah dua doa
Yang ingin menjadi satu padu
2019
Terjerembap
Sebelum aku jatuh
Mencintai melodi yang kau alunkan
Dan senar-senar terpetik padu
Cintaku jatuh sudah terlebih dulu
kepadamu
2019
Perihal mencintai
Malam ini dalam perjalanan
Sampai habis kata-kataku
Aku hanya ingin mengucapkan
Aku mencintaimu
Malam ini dalam perjalanan
Sampai habis pikiranku
Aku hanya ingin merenungkan
Aku mencintaimu
Malam ini dalam perjalanan
Sampai habis bersemayam tubuhku
Aku hanya ingin memelukmu
Dan aku semakin mencintaimu
2019
Fragmen
Saat waktu menyapu usia
Usai pinta hilang resah pada masa
Aku pautkan bulan diatas sana
Tak boleh menyentuhmu selain dalam doa
Lihat di sana matahari tenggelam
Desau desur hilang katamu kelam
Biar ceritaku menjadi penutup hari silam
Tak ada makna lebih indah dari ilham
Kau orang penuh percaya diri
Aku mengakui
Kau layak dicintai
Biar satu titik dua temu
Kita biarkan waktu menyamakan rindu
2019
Saru
Nantinya kalau kau merasa luka
Entah pada tubuhmu atau hatimu
Lihat langit pagi dan malam
Itu aku yang menyamar
Senantiasa mendoakan kesembuhanmu
2019
Dalam Ingatan
Kapalmu berlabuh pada dermaga entah berantah
Aku hilang yang kau tinggalkan
Pada cerita usang kepada ombak
Tanpa rasi dan kompas
Meninggalkan bekas sisa api unggunCeritamu tak pernah hilang dalam ingatan seorang
Aku
2021
Description: KUMPULAN PUISI
|
Title: REDA-1
Category: Adult Romance
Text:
Prolog
Terpuruk...
Satu kata mewakili sejuta rasa, entah suka maupun tergelincir dalam duka nestapa.
Banyaknya masalah dan rintangan telah berhasil mencabik kehidupan Griselda Pitaloka. Griselda merupakan gadis tangguh yg tak pernah sedikitpun terbesit di pikirannya tuk menyerah, baginya menyerah di tengah jalan merupakan prinsip orang lemah. Arti nama dari Griselda sendiri merupakan Gadis yg tangguh.
Tak ada henti-hentinya ia bertahan dalam keterpurukan.
Tak ada kata lelah untuk berjuang.
Tak ada kata berhenti untuk berusaha.
Tak ada kata terlambat untuk memulai.
Tak ada kata stop untuk melaju.
Semua itu ia lalui dengan penuh kesabaran, bahunya harus sekuat baja, hatinya harus setegar karang, walaupun kesedihan dan masalah terus mengelabuhi nan menghantui semua pikirannya, ia harus mencoba kuat, mencoba tegar.
Hitam dan kelam itulah yg menggambarkan sosok kehidupan Griselda.
Sendiri itulah teman Griselda.
Semuanya perlu waktu, semua perlu proses, semua akan indah pada waktunya jika kita terus mencoba.
.......
Griselda Pitaloka, gadis blasteran Inggris Indonesia, mempunyai hobi menulis, hanya dengan cara menulis lah Griselda mampu membagi ceritanya dengan buku. Goresan pena, rangkaian huruf, rangkaian kata, sudah mampu membuat Griselda semakin yakin jika ia kuat dan tangguh menghadapi semuanya, mulai dari peristiwa, kejadian, bahkan kehidupan pun ia tuliskan, buku dan pena lah saksi bisu antara perjuangan dan ketangguhan Griselda.
-13 Desember 2020-
Part 1
"aku harus bisa" gumaman kecil yg berasal dari Grisel yg sedang menatap nanar buku-buku pelajaran sekolahnya yg sudah menumpuk rapi di meja belajarnya, sejak kemarin ia tak ada henti-hentinya membaca buku-buku sekolah, dikarenakan 1 minggu lagi ia akan mengikuti kompetisi yg diadakan di tingkat nasional. Sedari tadi ia tak bisa diam, mondar-mandir, kekanan kekiri, sembari membaca buku paket Geografi yg tebalnya mencapai 200 lembar.
"Non, itu dibawah ada nyonya" ucap perempuan paruh baya yg sedang berdiri di depan pintu abu-abu kamar Grisel.
"Sebentar, aku akan kebawah nanti" ucap Grisel yg masih fokus dengan pandangan yg masih tertaut pada buku Geografinya.
"Baiklah non, saya kembali dulu" ucap perempuan paruh baya yg dikenal sebagai bi Ina selaku asisten rumah tangga.
--------
"Ada apa ma?" Tanya Grisel yg sedang menuruni tangga menuju ruang keluarga yg sudah ada mamanya sedang duduk di sofa.
"Lancang kamu ya!" Bentak mamanya sambil berdiri dengan wajah merah padam seperti menahan gejolak api amarah yg sudah meronta-ronta di sekujur tubuhnya.
"Mama kenapa?" Ucap Grisel mencoba tenang dam santai dengan kepala yg agak menunduk.
"Saya bukan mama kamu!" Ucap mama Grisel dengan nada tak suka.
Langit dan awan yg cerah kini berubah menjadi petir petir yg berhasil menyambar jantung Grisel, walaupun perkataan mama nya sudah biasa menyakitkan, namun nyatanya baru perkataan ini sungguh menyakitkan baginya. Sudah 6 tahun ia ditinggal oleh sang papa tanpa alasan, kini ia tak mau melepaskan mamanya. Sepahit apapun perkataan sang mama, ia rela.
"Besok saya akan pergi ke Berlin, jadi kamu harus jaga rumah ini, jangan lupakan belajar, jangan sampai rangking kamu turun! Jangan malu-maluin kamu!" Ucap sang mama sembari melenggang pergi meninggalkan Grisel.
Grisel hanya mampu mendengarkan ucapan sang mama, ia harus menerima semuanya, ia hanya menunduk diterpa kenyataan. Yg ada dipikiran mama hanyalah bisnis, mamanya tak tahu betapa besar kegigihan dan perjuangan seorang Grisel dalam menempuh semuanya, jika boleh menyerah ia pasti akan menyerah, namun Grisel tetaplah Grisel, tak akan pernah menjadi orang lain, ia akan tetap kokoh dengan perjuangannya selama ini.
Ia mendongak ke atas, ia mencegah air matanya berlinang, dilihatnya sebuah pigura yg bergambarkan sesosok pria yg memakai jas hitam dan disebuah ruangan kantor, yg semakin menambah kesan gagah .
"Ayah, jika aku ingin menyerah, tolong bilang padaku jika masih ada orang lain yg ingin melihatku berjuang dan bahagia" gumam Grisel dengan suara parau.
------------
Hari ini merupakan hari Senin, dimana hari Senin merupakan hari kesialan bagi sebagian para siswa, namun teori itu tak berlaku bagi Grisel, dari hari Senin sampai hari Minggu merupakan hari biasa saja menurut Grisel.
Grisel yg sedari tadi tersenyum melihat pemandangan sekolahnya dan udara yg menyeruak, membuat Grisel semakin yakin bahwa ia mampu bahagia, ia bisa bahagia dengan caranya sendiri.
"Grisel" Ucap seorang gadis sambil menepuk pelan bahu Grisel, hal tersebut membuat Grisel menoleh ke arah sumber suara.
"Hai Yur" Ucap Grisel sambil tersenyum menanggapi gadis tersebut
Siapa lagi kalau bukan Yurike Tanaya. Gadis cantik yg seumuran dengan Grisel, mereka berdua sudah menjalin persahabatan selama 5 tahun, mulai dari SMP. Yurike atau kerap biasa dipanggil Yuri itu sudah tahu bagaimana seluk beluk cerita tentang kehidupan Grisel. Yuri merupakan sahabat satu-satunya Grisel.
"Ayo ke kelas" ajak Yuri dengan satu tangan menyeret lengan Grisel, memang seperti itulah Yuri, hobinya adalah menyeret tangan Grisel.
Mereka berdua jalan beriringan, jika dilihat lihat mereka berdua memang seperti adik kakak, Grisel dengan senyuman manisnya dan gigi gingsul nya. Sedangkan Yuri dengan senyuman ditambah lesung pipi yg berada di sebelah pipi kanannya. Mereka sangat mirip, sama-sama cantik, tinggi dan alis yg agak tebal. Namun sayang seribu sayang, mereka berdua agak tomboy, suka dengan hal yg berbau otomotif, namun ketomboy an itu tak menjadi halangan untuk menjadi murid berprestasi.
"Ngapain liat-liat" ketus Yuri dengan lirikan mata andalannya itu yg ditujukan kepada adik kelas yg sangat julid.
"Sabar dikit napa" sambar Grisel mencoba menenangkan Yuri dengan perkataan.
Mereka berdua telah sampai di depan ruang kelas yg bertuliskan XI IPS 1.
Grisel dan Yuri merupakan murid berprestasi yg ada disekolah SMA PARIPURNA NEGARA atau yg biasa disebut SMAPARA. Hal ini membuktikan bahwa murid berprestasi tak harus berada di kelas IPA.
....
Disisi lain.....
"LO KALO NGGAK TERIMA BILANG" Teriak dari seorang laki-laki yg sedang berlari di dalam kelas, yg sangat mirip seperti anak TK yg tidak mau disuntik.
"SIAPA JUGA YG IRI SAMA MAKHLUK KAYAK LO ELGA!" Teriak dari laki-laki yg sedang duduk santai dan ditemani dengan sebuah handphone genggamnya.
"IRI BILANG BOSS" Teriak dari laki-laki yg dipanggil Elga itu.
Elga Cakrabirawa yg kerap biasa dipanggil Elga, lelaki humoris yg mempunyai otak gesrek setengah sengklek, namun jika ada yg mengusik kehidupannya ataupun ketenangannya ia tak segan segan untuk mematahkan kaki orang tersebut.
"Gue gak mau jadi bos lo, dan gue juga gak mau punya karyawan kayak lo" ucap lelaki yg tadi.
"Emang apasih dosa gue, kok sampe segitunya gue dinistain, Aldan emang berdosa banget" ucap Elga dengan nada yg sangat dramatis, siapapun yg melihatnya pasti akan ngeri, mungkin cocoknya ia diberi gelar king drama.
Aldan Naranta yg biasa akrab dipanggil Aldan. Dia merupakan laki-laki yg sama seperti Elga, namun dia lebih mempunyai urat malu dibanding dengan Elga.
"Jijik!" Umpat dari seorang laki-laki yg melihat betapa anehnya wajah Elga yg sangat mendramatisir.
"Ucapan Lo nylekit banget Re" ucap Elga yg kembali duduk di bangku depan laki-laki itu.
Reagan Waratmaja yg biasa dipanggil Re atau Reagan. Reagan merupakan lelaki cuek terhadap siapapun, namun ia masih punya hati untuk orang yg berani mengusik ketenangan hidupnya.
"Lagian lo jijik banget Ga!" Ucap seorang laki-laki yg duduk di sebelah Elga.
"Kenapa lo juga ikut-ikutan bully gue sih Sar?!" Kesal Elga dengan tampang sedih yg dibuatnya.
Kaisar Fernanda kerap dipanggil Kaisar, ia sosok lelaki yg paling baik dari semuanya, tidak gesrek dan tidak cuek, dia orangnya selalu welcome jika ada yg mendekatinya. Namun ia juga tak pernah menyakiti perasaan seseorang.
"Tampang Lo emang pantes buat di bully" sambar dari seorang laki-laki yg duduk di bangku paling depan sambil bermain handphone nya.
"Gue setuju sama lo Rei" sambar Aldan yg sedari tadi ngakak melihat tampang Elga yg terlalu sering terkena bully dari teman-temannya.
Reiko Mahardika akrab disapa Rei atau Reiko, dia laki-laki yg juga memiliki otak dan sifat sama seperti Kaisar.
-13 Desember 2020-
Part 2
Suasana kantin kini sangat ramai seperti pasar malam, siswa siswi mulai berjalan kesana kemari guna mencari tempat duduk dan memesan makanan. Grisel dan Yuri sudah terduduk manis di salah satu bangku paling belakang pojok kiri, tempat duduk itu merupakan tempat duduk khusus milik Grisel dan Yuri.
"Lo sadar gak sih kalo Reagan dari tadi ngelirik lo terus" bisik Yuri dengan menyenggol lengan kanan Grisel.
"Reagan siapa?" Tanya Grisel yg masih menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Demi apa lo gak tau Reagan?!" Ucap Yuri yg nampak kaget dengan penuturan Grisel tadi.
"Demi emak lo kawin lagi" ucap Grisel dengan asal-asalan.
"Gue serius woy" kesal Yuri dengan menghentakkan kakinya ke lantai.
"Yg bilang bercanda emang siapa?" Skak dari Grisel yg mulai kesal dengan Yuri.
"Serah lo" pasrah Yuri dengan menghela napas yg panjang.
-------
Disisi lain.....
"Eh bos ngeliatin siapa sih?" Tanya Aldan ketika melihat Reagan sedari tadi melirik bangku belakang pojok kiri.
"Oh gue tau, pasti si bos ngeliatin Wati noh" ucap Elga ketika melihat Wati lewat, dengan membawa dua buah mangkuk baso.
"Mak mu Wati!" Ketus Reagan dengan mengeluarkan tatapan tajam andalannya.
"Ya kali si bos tampan kepincut sama Wati si gigi item" Ucap Kaisar denagn menahan tawanya agar tidak terbahak didepan Reagan. Kan bisa berabe kalau Reagan sampai marah hanya karena seorang Wati.
"Lo ngeliatin Yuri?" Tanya Kaisar dengan serius.
"Bukan!" Elak Reagan dengan cepat sambil menggelengkan kepalanya.
"Nah berarti betul yg dibilang Elga" Ucap Reiko dengan jari telunjuk yg menunjukkan ke arah Elga.
"Apaan?" Tanya Aldan dengan salah satu alis yg terangkat.
"Bos kepincut Wati" ucap Elga dengan tampang tak berdosa nya.
Pfffttt-
"BWAHAHAHAHAHAHAHAH" Tawa mereka berempat dengan tawa yg sangat menggelegar di dalam kantin, hingga membuat semuanya langsung menoleh ke arah sumber akibat gelakan tawa mereka.
Sedangkan Reagan???
Reagan sedang menyumpah serapahi mereka berempat dan mengumpat serta mendengus kesal melihat mereka menertawai dirinya. Bagaimana bisa, seorang Reagan sang cowok cuek, most wanted, kepincut dengan seorang Wati Maemunah sang cewek bergigi hitam, dan terkenal dengan kaos kakinya yg sudah sekitar 5 bulan tidak dicuci. Memang kampret mereka berempat. Jujur jika mereka berempat adalah musuh bebuyutan nya, sudah ia pastikan jika nanti mereka berempat sudah berada di alam kubur.
"Lo ngeliatin Grisel?" Tanya Reiko dengan menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya.
"Grisel?" Gumaman Reagan yg naas masih bisa didengar oleh temannya.
"Oh jadi lo ngeliatin Grisel?" Ucap Aldan dengan senyuman jahilnya, siapapun yg melihat senyuman jahil Aldan, semuanya pasti peka.
"Gausah aneh-aneh!" Ketus Reagan dengan sebuah lirikan mata.
"WOYY GRIISEEELLL LO DILIATIN BOS MULU, KAYAKNYA BOS SUKA SAMA LO!" Teriakan Aldan menggema di seluruh sudut ruangan, hingga semua warga kantin pun menengok ke arahnya dan ke arah Grisel.
-----------
"WOYY GRIISEEELLL LO DILIATIN BOS MULU, KAYAKNYA BOS SUKA SAMA LO!"
Uhukk
Perkataan Alden berhasil membuat Grisel tersedak nasi goreng nya.
"Nah kan dugaan gue bener kalo Reagan suka sama lo" Ucap Yuri sambil mencolek-colek lengan Grisel.
"Gausah ngarang lo!" Elak Grisel dengan menepis tangan Yuri yg sedari tadi mencolek lengannya.
----------
"Aldan tamatlah riwayatmu" Gumam Kaisar terapi masih bisa didengar.
"Pulang lewat mana lo?" Tanya Reagan dengan salah satu alis yg terangkat.
"Mau koma dulu atau langsung ke TPU?" Kata tambahan dari Reiko.
"Patah tulang atau kepala lo ditebas?" Imbuhan kata dari Elga.
"Hehe maap bos canda" cengiran dari Aldan yg juga memamerkan giginya.
"Emang namanya Grisel ya?" Tanya Reagan dengan pelan, hingga membuat keempat temannya menoleh padanya seketika.
"Ternyata kudet juga lo" Ucap Elga dengan senyuman penuh makna.
"Gue cuma gak tau bukan kudet!" Bantah Reagan dengan wajah tak terima bila ia diledek kudet.
"Dia itu Griselda Pitaloka, agak tomboy sih, anak kelas XI IPS 1, dia udah terkenal sejak lama, lo aja kali yg terlalu cuek" ucap Reiko.
----------
"GRISEL! KENAPA KAMU TIDUR SAAT JAM PELAJARAN BAPAK!!" Teriakan dari Pak Hendra pun terdengar dengan sangat menggelegar di telinga seluruh murid XI IPS 1.
"Sel, di teriakin pak Hendra tuh" Ucap Yuri sambil mengguncang badan Grisel agar terbangun dari tidurnya.
"Apasih!" Kesal Grisel ketika tidurnya diganggu oleh Yuri.
"Pak Hendra tuh" ucap Yuri berbisik-bisik.
"Biarin aja sih" Ucap Grisel dengan entengnya, padahal Pak Hendra sudah berada di samping bangku yg diduduki oleh nya.
"BERANI KAMU! SILAHKAN LARI KELILING LAPANGAN 25 KALI!" Teriakan pak Hendra menggema di seluruh ruang.
"Kapan?" Tanya Grisel.
"TAHUN DEPAN!" Ucap Pak Hendra yg mulai tersulut emosi gegara Grisel.
"Yaudah!" Ucap Grisel yg hendak melanjutkan tidurnya lagi.
"SEKARANG GRISEL!" Teriakan Pak Hendra membuat seluruh murid menutup telinga masing-masing.
---------
"Bos lo lihat deh, tu si Grisel ngapain lari-larian kek gitu" Ucap Aldan sambil berjalan menuju bangkunya.
"Lo kayak gak tau Grisel aja, mana tenang hidup dia kalo gak ada hukuman" Ucap Kaisar kelewat santai.
"Iya juga, secara kan dia itu badgirl sekaligus good girl" Ucap Elga dengan ekspresi seolah-olah berpikir keras.
Karena tertimpa dalam rasa penasaran, akhirnya Reagan lebih memilih untuk melihat Grisel.
"Akhirnya bos nggak homo" Ucap Kaisar dengan mengelus dadanya.
"Sekate-kate lo kalo ngomong, nanti kalo bos denger gimana?" Ucap Elga dengan suara yg dikeraskan.
Reagan lebih memilih untuk keluar kelas daripada ia terkena semprotan bullyan dari teman kampret nya itu.
--------
"Panas banget, capek lagi, kurang 10 putaran" ucap Grisel dengan mengeluh dan mengusap buliran keringat yg keluar di dahinya.
Jujur, kali ini kepalanya sangat pusing berkunang-kunang, kedua kakinya seperti tak mampu lagi menopang tubuhnya, semuanya seolah berputar-putar, yg ia lihat hanyalah gelap dan-
Brakk
"GRISEELL!" Teriakan dari Yuri yg tiba-tiba muncul dari dalam pintu kelas.
"Reagan! Tolongin Grisel cepetan!" Suara lantang Yuri terdengar di indra pendengaran Reagan yg hendak berjalan menuju rooftop.
"Kenapa?" Tanya Reagan yg mulai berjalan menghampiri Yuri yg sudah memangku kepala Grisel di pahanya.
"Dia pingsan" ucap Yuri dengan menepuk-nepuk kedua pipi Grisel.
--------
Disinilah Grisel, Yuri dan Reagan berada, di sebuah ruang UKS sekolah, yg bernuansa putih yg lengkap dengan obat-obatan.
"Kenapa bisa begini sih Sel?" Gumam Yuri yg sedari tadi mondar-mandir di depan Reagan dan petugas PMR yg sedang menangani Grisel.
"Duduk napa!" Kesal Reagan yg dari tadi melihat Yuri si gadis cempreng mondar-mandir.
"Serah gue lah, kaki juga kaki gue!" Ucap Yuri yg tak kalah sewotnya.
"Kok bisa Reiko punya gebetan kayak lo" Ucap Reagan dengan lirikan mata yg tak biasa.
"Kampret juga Lo ternyata" Kesal Yuri yg dari tadi emosi nya dipancing oleh Reagan.
"Cepat panggil dokter, atau kita yg ke rumah sakit!" Titah dari salah satu dokter yg bernama Dr. Elliza yg selama ini selalu berjaga-jaga di SMAPARA.
"Ada apa dok?" Tanya Yuri yg terlarut dalam rasa khawatirnya.
"Ada yg janggal disini" ucap Dokter Elliza yg langsung melenggang keluar dengan langkah cepat.
"Lo kenapa sih Sel" ucap Yuri yg sedang mengelus puncak kepala Grisel.
-13 Desember 2020-
Part 3
"Dok, Grisel baik-baik aja kan?" Sambar dari Yuri ketika Dokter Elliza keluar yg baru saja selesai mengatasi Grisel.
"Dia hanya kecapean saja, dikarenakan faktor dari tidak sarapan tadi pagi, dan mungkin imun tubuhnya juga sedang tidak mendukung" ucap Dokter Elliza meyakinkan.
"Lalu kenapa harus dilarikan ke rumah sakit?" Tanya Yuri yg sudah terlarut dalam rasa penasaran yg haqiqi.
"Ya karena tadi kondisinya sangat lemah" ucap Dokter Elliza yg langsung melenggang pergi meninggalkan Yuri.
"Oh" Ucap Yuri dengan singkat, ya walaupun ia sendiri masih tidak yakin dengan penuturan Dr.Elliza
"Gimana keadaan Grisel?" Tanya seseorang yg berjalan menghampiri Yuri yg tengah berdiri hendak membuka kenop pintu.
"Katanya kecapean doang Ga" Ucap Yuri dengan menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Ternyata yg menghampiri Yuri adalah Elga. Tak hanya Elga, masih ada Aldan, Kaisar, Reiko, dan terutama Reagan yg berdiri paling belakang sambil bersedekap dada dan punggung nya bersender di dinding rumah sakit.
"Gue masuk dulu ya, kalo kalian mau masuk, ya masuk aja" Ucap Yuri dengan senyuman tipisnya yg membuat lesung pipinya terlihat.
"Nanti aja kalo Grisel sadar, kita mau ke kantin rumah sakit" Ucap Kaisar dengan salah satu tangannya merangkul pundak Reiko.
"Nanti kalian balik ke sini lagi ya, biar kita bisa kenal lebih dekat" Ucap Yuri.
"Halah bilang aja kalo lo mau pacaran sama Rei" Ucap Elga dengan julid.
"Syirik wae lo jomblo" Ledek dari Rei.
"Iyalah, gue kan jomblo fisabilillah" Ucap Elga dengan bangganya setelah mengatakan dirinya jomblo.
"Tumben Aldan gak rese?" Tanya Yuri dengan cengengesan.
"Dia lagi patah hati, abis diputusin Wati" Ucap Kaisar dengan tertawa terbahak bahak.
"Bapak kau Wati!" Ucap Aldan tak terima.
---------
"Sel, dah bangun lo" Ucap Yuri yg baru saja masuk ke ruang inap Grisel.
"Dari tadi, lo nya aja yg gak tau" Ucap Grisel dengan memutar kedua bola matanya dengan malas.
"Ya maap, tadi ada Reagan lo" Ucap Yuri menggoda, sambil menaik turunkan sebelah alisnya.
"Gak lucu" Kesal Grisel, bagaimana tidak! Dari tadi sekolah sampai ia pingsan dan dilarikan ke rumah sakit masih saja digoda oleh Yuri.
"Beneran loh, gue gak bohong" Ucap Yuri dengan jari telunjuk dan tengahnya membentuk pose peace.
"Gak bohong tapi berbohong" Ucap Grisel dengan jengah.
"Kalo gak percaya yaudah, nanti mereka kesini kok, mereka lagi ke kantin sekarang" Ucap Yuri yg beranjak menuju ke arah sofa yg telah disediakan.
"Lo beneran kecapean Sel?" Tanya Yuri dengan curiga. Pasalnya, sedari tadi Yuri kurang yakin dengan jawaban yg diberikan oleh Doker Elliza mengenai pingsannya Grisel.
"I-iya kok gue kecapean" Ucap Grisel meyakinkan.
"Kok lo gugup?" Tanya Yuri penuh selidik.
"Sebenernya gue-
"ASSALAMUALAIKUM" Teriakan dari makhluk tak kasat mata, eh makhluk halus, eh maksudnya makhluk ghaib, eh kok salah mulu, ini keyboard kenapa sih,,oke oke kita replay...
Kembali ke topik....
"ASSALAMUALAIKUM" Teriakan dari makhluk spesies Aldan dan Elga yg sudah kembali dari kantin, yg tiba-tiba muncul di depan pintu sambil berteriak.
Seketika Grisel dan Yuri langsung menutup telinga, dikarenakan suara keduanya yg sangat cetar membahana dan merdu alias merusak dunia.
"Untung ada Elga dan Aldan" batin Grisel yg sedang menyembunyikan sesuatu dari semua orang.
"Waalaikumsalam" Ucap Grisel yg kemudian disusul dengan Yuri.
"Gimana keadaan lo Sel?" Tanya Kaisar yg sudah duduk di kursi kayu sebelah sofa yg ditempati oleh Yuri.
"Baik Sar" Ucap Grisel sambil memakan buah jeruk yg sudah disediakan oleh Suster tadi yg juga mengantarkan makanan untuknya.
"Lo daritadi dicariin Bi Ina, dia sampe mau lapor ke polisi" Ucap Kaisar dengan kekehan.
"Segitu khawatirnya ya Bu Ina" Ucap Grisel yg juga membalas kekehan juga.
Sedangkan semua orang???
Semua orang dilanda kebingungan, bagaimana bisa Grisel dekat dengan Kaisar, sedangkan disekolah mereka seperti tak kenal, lalu mengapa bisa sedekat ini.
"Gak usah mikir yg aneh-aneh, gue dan Grisel tetanggaan" Ucap Kaisar yg sepertinya peka dengan wajah semua teman-temanya.
"Oh, kok gue baru tau?" Ucap sekaligus tanya dari Alden sang pembela ke gesrek an.
"Ya mana gue tau" Imbuh dari Elga.
Sepertinya debat antara orang gesrek dan orang sengklek akan segera dimulai, tak akan ada akhirannya jika mereka berdua sudah debat seperti ini. Kalau mereka sudah dilanda perdebatan seperti ini, pasti mereka tak tau tempat.
"Lah katanya lo tau!" Ucap Alden dengan ngegas.
"Gue gak bilang, kalo gue tau!" Kesal Elga yg juga tak mau mengalah.
"Diam atau gue seret keluar!" Desis dari Reagan yg sudah jengah melihat perdebatan hebat antara keduanya.
"Iya maap bos" Ucap Aldan dan Elga secara bergantian.
"Sel gue mewakili semuanya, gue minta maaf ya kalo lo keganggu gara-gara kita, Kayak lo gak tau Aldan dan Elga aja" Ucap Reiko dengan sungkannya.
Bagaimana tak sungkan, heiii ini Rumah Sakit, bukan hutan woiii.
"Gapapa kok Rei" Ucap Grisel dengan senyuman ramahnya.
"Rei, kita jalan-jalan yok" Ajak Yuri yg langsung menarik tangan kanan Reiko.
"Sel, gue ijin jalan-jalan ya, lo gapapa kan sendiri?" Tanya Yuri yg masih setia disamping Reiko.
"Sebenernya sih gak boleh, tapi karena gue baik hati, yaudah jalan-jalan aja sana" Usir Grisel secara tidak langsung.
"Lo jangan terlalu jujur gitu dong Sel hehehe" Ucap Yuri dengan cengengesan seolah-olah dirinya tak bersalah.
"Yaudah, ayok Yur" Ajak Rei yg juga mengenggam tangan kiri Yuri.
"Sel, gue balik dulu ya, sekalian mau ngabarin ke Bi Ina kalo lo ada di sini, besok gue balik lagi, sekalian mama juga mau kesini jenguk lo selaku ponakan kesayangannya mama" Ucap Kaisar dengan senyuman.
"Titip salam ya ke mama Nita" Ucap Grisel yg juga membalasnya dengan senyuman. Yg kemudian di angguki oleh Kaisar.
Mama Nita adalah mamanya Kaisar, Kaisar sudah menganggap Grisel sebagai adik kandungnya sendiri, bahkan mamanya Kaisar juga menganggap bahwa Grisel adalah putrinya sendiri.
"Sel, gue dan Alden keluar dulu ya, mau cari gebetan, siapa tau ada suster cantik disini" Ucap Elga dengan gurauan yg garing.
"Ada kok suster cantik disini" Ucap Grisel dengan senyuman jahilnya. Gapapa lah sekali-kali Grisel jahil pada temannya, setelah Yanto yg dijahili biasanya.
Yanto adalah teman sekelas Grisel dan Yuri, nama lengkapnya adalah Yanto Bambang tiano. Yanto biasanya dibully, karena dia sangat mirip seperti Wati Maemunah. Bedanya adalah, Yanto itu bergigi kuning, sedangkan Wati bergigi hitam.
"Oh ya? Ada dimana Sel?" Pertanyaan yg terlontar dari mulut Elga berhasil membuat Grisel mengumpat tawanya.
"Ada di lantai ke 2, ruang nomor 11, pintunya warna putih, disana ada tulisan Mortuary" Ucap Grisel dengan wajah yg memerah akibat menahan tawa.
"Oh ya,,oke kita kesana ya Aldan" Ajak Elga dengan antusias.
"Mortuary itu apaan artinya Sel?" Tanya Aldan.
"Artinya itu Ruang kecantikan" Sambar Reagan yg juga paham akan alur yg dibuat oleh Grisel, karena Reagan tau arti Mortuary.
"Nah iya, jadi udah pasti kalo di dalam ruangan itu ada suster kecantikan yg glowing dan putih" Ucap Grisel dengan menahan tawanya sedari tadi.
"Yok kesana Dan" ajak Elga yg sudah menyeret tangan Aldan.
"Bwahahahahahaha" gelegar tawa Grisel dan Reagan yg berhasil menjahili Aldan dan Elga.
Pasalnya, Mortuary adalah Ruang Mayat, sedangkan Aldan dan Elga tak tau apa artinya, masa bodo lah dengan spesies seperti Aldan dan Elga, biar tau rasa, sekali-kali lah menjahili teman kampret.
"Sakit perut gue, ketawa mulu" Ucap Grisel yg diselingi dengan tawa yg sudah agak mereda.
"Lo yg mulai duluan" Ucap Reagan yg juga tertawa lepas.
"Gue Grisel anak XI IPS 1" Ucap Grisel sambil mengulurkan tangannya ke arah Reagan, mumpung disini hanya ada mereka berdua, jadi Grisel menggunakan kesempatan ini untuk perkenalan.
"Gue Reagan anak XI IPS 4" Ucap Reagan yg menerima uluran dari Grisel.
-13 Desember 2020-
Description: "Lo nggak perlu khawatir, cukup lo diam, maka gue akan pergi secepat gelap menelan bayangan"
|
Title: REMORSEFUL
Category: Cerita Pendek
Text:
Chapter I
"Pak bisa lebih cepet gak?"
"Maaf neng di depan lampu merah"
"Saya turun disini aja deh pak"
"Tapi di luar lagi hujan deres loh neng"
"Gak apa-apa pak, ini ongkosnya ya pak, makasih"
Aku keluar dari taksi dengan tergesa-gesa setelah memberikan selembar uang seratus ribu dari dompetku. Suara hujan yang deras menyamarkan isak tangisku, sambil berlari sekencang mungkin aku terus mengusap air mata yang bercampur dengan air hujan. Ketika hampir sampai ke depan pintu UGD
Brukk
Seketika badanku terjatuh ke lantai rumah sakit yang dingin. Aku bangun dengan cepat dan menoleh kebelakang, ternyata kakiku tersandung anak tangga hingga sandalku putus sebelah. Aku kembali berlari tanpa menhiraukan perih di lututku yang sepertinya terluka saat aku jatuh. Dari kejauhan aku melihat mamaku yang sedang menangis meraung-raung di sebelah bangsal rumah sakit.
Ketika aku mendekat, aku melihat tubuh seseorang yang ditutupi kain putih diatas bangsal, tanpa perlu bertanya aku sangat yakin bahwa itu adalah papaku. Dengan tangan gemetar aku mencoba membuka kain putih itu, air hujan yang menetes dari tanganku bercucuran membasahi kain putih itu.
Tangisku semakin kencang ketika melihat wajah papaku yang sudah pucat
"Pah bangun! Papa bangun! Pah!" sambil teriak aku terus mengguncangkan tubuh papaku berharap ia akan bangun.
Seorang suster datang untuk menenangkanku, tapi sama sekali tidak kuhiraukan, aku terus berteriak dan mengguncangkan tubuh papaku. Hingga akhirnya mamaku datang mendekati aku dan mendorong bahuku menjauhi tubuh papaku.
"Ngapain kamu datang kesini? Hah?! Pergi kamu dari sini! Pergi!"
Mama terus berteriak sambil mendorong-dorong badanku hingga aku terjatuh, seketika perutku terasa begitu sakit.
"Ah... perutku..." sambil menggumam aku memegang perutku.
Mama langsung berhenti mendorongku dan terdiam dengan raut terkejut sambil menutup mulutnya.
Suster yang ada di dekatku langsung membawaku ke bangsal yang kosong dan membaringkanku, setelah itu memanggil dokter untuk memeriksaku. Tak berapa lama suster tadi datang dengan seorang dokter perempuan. Dokter tersebut langsung memeriksa tubuhku.
"Namamu siapa?" tanya dokter itu kepadaku sambil memeriksaku
"Rania" jawabku
"Kamu umur berapa Rania?"
"17 tahun dok"
"Kenapa kamu basah kuyup begini?"
Aku hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dokter itu. Tiba-tiba mamaku datang dan bertanya kepada dokter itu
"Anak saya kenapa dok?"
"Ibu orang tua Rania?" tanya dokter itu
"Iya, saya ibunya, dia sakit apa dok?" tanya mamaku lagi
"Rania tidak sakit apa-apa kok bu, apa dek Rania sudah menikah bu?"
"Belum dok, saya masih kelas 3 SMA" jawabku dengan cepat.
Dokter itu memandangku dan mama bergantian dengan raut wajah sungkan, lalu ia berkata pelan
"Maaf Rania, kamu sedang hamil"
Brukk
Mamaku jatuh pingsan.
Description: Seandainya, kata yang sedang memenuhi kepalaku. Seandainya aku tidak mengejar dia, seandainya aku mendengarkan ibuku, seandainya aku menghiraukan sahabatku, seandainya aku tak seberani itu...
|
Title: ROSE
Category: Cerita Pendek
Text:
CINTA KEDUA ROSE
Pengetahuanku tentang Rose memang tidak pernah sampai di angka 2. Baru nyaris menyentuh angka 1, lalu aku tersadar sepertinya hanya selalu berhenti di angka 0. Aku tidak mengenal dengan jelas seluk beluk Rose. Pernah kutanya sekali waktu apakah dia memiliki pasangan, dan jawabannya adalah:
"Aku kadang bertanya-tanya apakah pria bisa tumbuh? Mereka terlihat seperti selalu menjadi laki-laki.”
Dapatkah kusimpulkan sesuatu dari itu? Sekarang bisa. Tapi lain hal empat tahun lalu. Pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba ketika kami makan malam di kondominium milik Rose. Salad buah adalah hidangan yang istimewa untukku yang sedang diet, sementara Rose menyantap Sirloin Medium Rear dengan lahap. “Kurasa, pekerjaan tambahan akan menyenangkan untukku, Lavie. Pekerjaan yang tidak bersinggungan dengan manusia-manusia lain. Adakah ide pekerjaan apa yang tepat untukku? Uang bukan tujuannya. Aku hanya ingin ada sedikit variasi dalam hidup.” Pertanyaan yang membuatku berpikir keras.
“Maka temukanlah pasangan, Rose” godaku. “Hahaha, adakah pria yang sanggup denganku, Lavie? Bila kau menemukannya, maka akan kupertimbangkan.” Jawabnya. Aku tersedak. "Hati-hati Lavie, tidak akan lucu bila besok ada kabar bahwa penyebab kematianmu karena tersedak sepotong melon.” Ucap Rose sambil mengunyah dengan anggun.
Aku heran mengapa seringkali hal-hal aneh, rumit, dan sedikit gila muncul dari kepalanya yang cantik itu. Begitulah kira-kira dugaanku kalau Rose tak memiliki pasangan, hingga pada suatu malam, di bulan September yang dingin, Rose justru terlihat ceria. Sedikit bahagia kubayangkan mungkin dia akan pergi berkencan? Atau entahlah bagaimana dia menyebutnya.
Hal itu bukan tanpa alasan. Rose memang selalu terlihat menawan dengan berbagai riasan. Terkadang kupikir-pikir, apa dia berkepribadian ganda? Karena riasannya berubah-ubah. Meski begitu jujur saja tetap sama-sama misterius. Banyak yang dia persiapkan sebelum pergi. Dia tidak memintaku bersiap-siap, tidak juga dengan Brian.
“Apapun yang ada di kepala cantikmu itu, Lavie. Sama sekali tidak benar.”
“Memangnya apa yang kupikirkan?”
“Aku akan pergi ke Naked (sebuah nama asing entah tempat apa itu), dan bukannya ke Vosco."
Mengapa dia selalu bisa menebak apa yang kupikirkan? Sungguh mengherankan, pikirku. Terhentilah percakapan kami sampai di situ, dan Rose pergi. Aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah pada sekitar pukul 01.00 dini hari. Rupanya Rose yang datang. Dia pulang dengan baju dan riasan yang berbeda. Tadi dia mengenakan setelan jas berwarna hijau tosca gelap dan lipstick merah menyelimuti bibirnya.
Sekarang yang kulihat dari balik jendela kamarku di lantai 1, adalah dia mengenakan dress bermotif bunga dan rambut yang terurai. Pemandangan ini lumayan jarang kulihat. Dan siapa yang mengantarnya pulang? Lagi-lagi tidak biasanya.Kudengar Langkah kaki Rose kian dekat, dan suara pintu dibuka lalu ditutup. Lalu tak terdengar apapun lagi. Aku tidak bisa tidur, jadi kuputuskan untuk menonton reality show kesukaanku. Pukul 03.22, aku mulai agak mengantuk dan memutuskan untuk tidur tanpa mematikan tv. Tidur yang kepagian membuatku bangun terlambat. Sudah pukul 08.10 ketika aku terbangun, tetapi tidak ada yang membangunkanku. Kemana orang-orang? Biasanya Bibi Marry akan mengetuk kamarku, bila aku terlambat bangun dan bertanya apa aku baik-baik saja.
Hanya dalam waktu kurang lebih 10 menit, aku telah siap untuk turun dan menyapa Rose. Ketika kucari-kucari di mana gerangan bosku satu itu, dan kemana pula Bibi Mary, yang kudapati hanyalah kekosongan. Namun sayup-sayup kudengar suara percakapan dari arah taman samping. Kuikuti arah suara itu, dan mendapati Rose tengah menyiram koleksi tanamannya. Ini bukan hari minggu, tidak biasanya lagi-lagi Rose pagi hari sudah bersibuk ria dengan tanamannya. Kuhampiri dia, dan dia mendengarku mendekat.
“Morning, Lavie!”, sapanya.
“Morning, Rose. Tumben sekali?” dia mengerti yang kumaksud.
“Ah yaaaa, hari ini cerah dan aku lelah dengan pasien-pasienku. Ingin rehat sejenak saja hari ini. Setelah ini aku akan pergi ke suatu tempat. Mau ikut?” ujarnya sembari melepas sarung tangan lateks tanda dia sudah selesai berkebun.
“Sure. Aku juga sudah rapi dan siap menemanimu pergi kemanapun.” Jawabku.
Sebuah perpaduan yang terlampau anggun dan mewah dikenakan Rose pagi ini. Dia berjalan melewatiku sambil tersenyum dan melempar sarung tangan ke keranjang.
“Aku akan pergi menemui seseorang yang spesial, Lavie.
"Dia adalah mantan kekasihku yang mungkin akan jadi kekasihku lagi?” godanya.
Aku terkejut sekali. Tapi aku tidak langsung percaya pada ucapannya. Bisa saja dia hanya sedang bermetafora. Aku tidak berkomentar apapun, tapi sangat antusias dengan arah perjalanan kami hari ini. Rose pun pasti dapat melihat itu dengan jelas, karena aku bukanlah orang yang sulit ditebak seperti dirinya. Kepribadian kami sangat bertolak belakang.
Beberapa menit kemudian, tibalah kami di sebuah showroom bergaya klasik, dengan koleksi mobil-mobil klasik yang kutaksir harganya sangat mahal berjejer dengan cantik. Dugaanku benar: pasti pemilik showroom ini adalah laki-laki yang dimaksud Rose. Ternyata benar. Saat kami turun dari mobil, ada seorang laki-laki dengan setelan jas serba hitam tidak dikancingkan, tanpa dasi, lengkap dengan kacamata hitam menghampiri kami. Percakapan di antara dia dengan beberapa orang di sini mengisyaratkan dengan jelas, dia adalah boss. Wah bukan main bila dia adalah mantan kekasih Rose. Pantas saja dia sulit kagum dengan laki-laki, rupanya seleranya memang seperti dia. Berkelas.
“Dia bukan mantan kekasih yang kau pikirkan, Lavie. Kami berpisah karena sesuatu yang sangat krusial dan membuatku tidak bisa bersamanya lagi, dulu. Lalu kini dia ada masalah, dan aku akan mencoba membantunya.”
“Ah begitu rupanya. Lantas mengapa kita bertemu di sini?” bisikku pada Rose.
Kami membicarakan sosok di depan kami. Namanya Adam. Kira-kira tingginya 178 cm. tangannya sangat kuat, terbukti dari caranya menjabat tanganku tadi. Meski lembut, tetap ada kekuatan yang tidak bisa ditahan. Badannya tegap dan atletis. Kini sangat dekat kuperhatikan jujur saja punggungnya adalah idaman wanita-wanita yang kesepian. Kucium aroma sangat menyengat keluar dari tubuhnya. Wangi chypre berbaur dengan coklat atau mungkin ada sedikit aroma woody, menguar lebih pekat seiring kami memasuki ruangannya yang ber-Ac.
“Kau akan tahu sendiri, Lavie. Dia bukanlah orang biasa.”
Ucapan Rose jujur saja membuatku berspekulasi. Tapi lagi-lagi, aku tidak pernah terlampau percaya diri menerka apa maksud dari ucapannya yang berbau peringatan macam barusan.
“Oke.” Hanya itu yang keluar dari bibirku.
Adam adalah pribadi yang ramah. Dia mempersilakan kami duduk di sofa beludru abu-abu di tengah ruangan. Menuangkan sendiri segelas soda dan meminta kami meminumnya selagi masih dingin. Rose sama sekali tidak canggung dengan sikap Adam, tapi kulihat ada sesuatu yang dia sembunyikan atau tahan di depanku.
“Thank you. Kedatanganmu dan temanmu sangat berarti bagiku, Rose. Aku sudah tidak tahu lagi harus membicarakan ini pada siapa. Aku tidak lagi percaya pada siapapun termasuk dokter yang merawatku selama ini.” Ucap Adam dengan tenang.
Merawatnya? Kulihat dia tidak tampak sakit baik fisik maupun psikis. Apa maksudnya? Kini kami duduk berhadapan dan kuperhatikan dengan saksama, dia memang tipe ideal untuk wanita seperti Rose. Wajahnya tampan. Tentu saja bukan tertampan, tapi jenis wajah yang tidak akan membuatmu bosan melihatnya. Makin diperhatikan, makin membuat kagum dan penasaran.
“Tenang saja, aku akan datang selagi bisa dan kamu memang membutuhkanku.” Sebuah pernyataan yang sepanjang aku mengenal dan bekerja dengan Rose, tak pernah mendengarnya.
Kubiarkan mereka bercakap-cakap tentang kondisi saat ini, beberapa hal tentang masa lalu yang mungkin tidak perlu kutuliskan di sini karena bersifat sangat personal. Reputasi Rose sangat kujaga. Meski sejujurnya tidak ada aib, hanya saja bagiku beberapa hal yang kudengar lebih baik hanya kami bertiga yang tahu.
“Aku tidak akan malu dan menutupi apapun dari kalian. Sekarang aku sangat membutuhkan pertolongan. Bisa saja dia muncul kapan saja. Intensitasnya semakin sering dan sangat tidak terkondisi. Aku bahkan harus mempercayakan perusahaanku pada paman Alex, dan perkebunan pada Robi karena aku tidak bisa menemui client. Aku takut sekali mengganggu image bisnis yang sudah kubangun dan berpengaruh buruk pada rekan-rekan lainnya.”
“Sudah berapa lama sejak terakhir kali kamu berkonsultasi dengan dokter Peto?” tanya Rose penuh perhatian.
“Mungkin sekitar 8 bulan. Aku lelah, Rose. Aku ingin menjadi orang normal yang biasa-biasa saja. Aku ingin bisa mencintai orang dengan wajar, hidup bahagia, tenang dan mati dengan damai. Aku lelah minum obat yang tidak bisa menyembuhkan. Aku bosan dengan dia yang muncul tanpa kuminta. Aku sudah berusaha keras mengubur dia dari diriku, tapi ternyata tidak semudah itu.” Tutur Adam dengan emosional.
Dia masih tenang dan tidak bergeming sedikitpun dari posisi duduknya.Tetapi dapat kulihat dari sorot matanya ada ketakutan yang nyata. Kedua tangannya kini bertaut. Menggenggam satu sama lain, seolah itu mampu menguatkan dirinya. Setidaknya ada hal yang terlintas di benakku. Apakah dia punya keluarga yang sakit jiwa? Karena sedari tadi Adam menyebut dia. Siapa dia ini?
“Aku mengerti, Adam. Oke, ceritakan secara detail bagaimana sifat, dan segalanya yang kamu ingat tentang dia. Agar aku tahu cara menanganinya ketika tiba-tiba dia muncul.”
“Baiklah. Seperti yang akhirnya kamu tahu 6 tahun lalu. Dia muncul di hidupku pertama kali saat aku marah besar melihat ibuku dianiaya orang tidak bertanggung jawab itu. Aku tidak sudi menyebutnya ayah lagi. Kuanggap sudah mati.” Dia berhenti sejenak dan melirikku.
"Silakan lanjutkan, saya memang asisten Rose. Jadi saya yang akan me-record laporan untuk agenda resmi kami. Anda tidak perlu khawatir.” Ujarku meyakinkan tanpa diminta.Adam melihat ke arah Rose, dan Rose mengangguk tanda setuju.
“Aku tidak pernah menggubris saat Bibi Lea mengatakan bahwa terkadang sifatku sangat berbeda, makanan kesukaanku berbeda, atau cara berpakaianku berbeda. Kuanggap mungkin saja waktu itu Bibi Lea hanya lupa. Tapi lama kelamaan, ada hal aneh yang terjadi. Aku lupa saat kata Bibi Lea aku meminta semangkuk sup daging pedas, padahal kamu pun tahu aku tidak terlalu sukamakan pedas. Aku juga menjadi bingung mengapa di lemariku ada beberapa baju yang aku bahkan merasa tidak pernah membelinya. Bukan aku. Itu bukan aku, dan semakin yakin kusadari, ketika ada seorang wanita yang bukan dirimu, berada di sampingku pada suatu pagi tanggal 17 Desember. Demi Tuhan aku tidak mengenalnya. Aku terus mengatakan padanya bahwa aku tidak ingat siapa dia dan bagaimana bisa kami tidur seranjang di sebuah hotel yang sangat jauh dari rumahku. Perempuan itu tentu saja marah dan pergi. Tapi aku tidak peduli tentang pemikirannya padaku. Aku hanya peduli perasaanmu, dan bagaimana aku harus menjelaskan padamu. Akankah kamu percaya padaku? Bahwa memang yang kucintai hanya kamu, Rose. Hingga kuberanikan diri mengatakan padamu, bahwa ada sosok lain dari diriku yang sesekali mengambil alih kesadaranku dan aku tidak berdaya mengendalikannya.”
Sebuah cerita yang memukauku. Sangat mencengangkan. Rupanya ini maksud dari ucapan Rose di depan tadi. Mereka mengalami hubungan yang sangat berbeda.
“Lalu, kita berpisah. Aku telah mempercayaimu, Adam. Kita berpisah dengan baik-baik karena kamu jujur dan mengatakan dengan berani karena memikirkan keselamatan dan perasaanku. Bagaimanapun, keputusan kita saat itu adalah keputusan terbaik. Tapi aku juga tidak dapat memungkiri, bahwa perpisahan kita membuatku belum bisa mempercayai laki-laki manapun bahkan tidak berencana menjalin hubungan baru.”
“Aku pun begitu. Dia tidak akan mengizinkanku mencintai satu pun wanita dengan setia. Aku sangat kesal dengan situasi ini, tapi aku tidak tahu harus apa lagi. Tolong aku, Rose. Aku ingin menghilangkan dia dari diriku untuk selamanya. Aku mengisolasi diri di villa selama 5 bulan terakhir dan meminta Bibi Lea yang mengurusku. Hanya dia. Untungnya dia juga setuju dengan hal itu, menurut pada ucapan Bibi Lea pula. Setidaknya, ketika dia muncul selama beberapa waktu, aku tidak berkeliaran mengencani sembarang wanita. Itu sangat menjijikkan.”
“Oke oke. Aku akan ikut denganmu ke villa itu. Aku akan menunggu dia muncul dan berbicara dengannya. Sekarang, tenangkan dirimu dan aku sudah mengerti apa yang harus kulakukan. Kamu tunggu saja di villa. Aku perlu berkemas dan langsung ke sana. Aku akan mengajak Lavie dan satu supir kami bernama Brian, bila kamu tidak keberatan.”
“Tentu saja aku sangat senang bila kamu mau menemaniku di saat-saat seperti ini Rose. Sudah terlalu lama aku sendiri dan menahan diri tidak menghubungimu, karena aku cukup tahu diri untuk tidak mengganggumu lagi.”
“Tidak perlu merasa mengganggu. Aku masih menganggapmu orang terdekatku. Tidak ada pria yang menggantikan posisimu meski kita sudah tidak bersama. Jadi, kami pamit dulu ya. Tunggu di villa. Dan oh, jangan terlalu memikirkan macam-macam. Makanlah sesuatu yang manis dan tidurlah sejenak di mobil dalam perjalanan. Aku tahu kamu tidak mau tidur beberapa hari karena ini.”
Rose berdiri, aku pun refleks ikut berdiri. Rose berjalan menuju pintu, dan dengan sigap Adam meraih handle pintu dan mempersilakan Rose lewat. Aku pun ikut keluar. Kulihat dengan jelas masih ada cinta di antara mereka padahal hubungan itu telah berakhir begitu lama. Pantas saja Rose masih sendiri sampai sekarang. Sungguh tidak kuduga.
Di depan gedung, Adam meraih tangan Rose dan aku tahu sebenarnya sedari tadi dia telah menahan diri namun kini sudah tidak kuasa lagi. Rose tidak menolak. Mereka berpegangan tangan beberapa menit, saling menatap, dan itulah cara mereka saling menguatkan. Hanya itu. Lalu Adam menggandeng tangan Rose dan membukakan pintu mobil dengan tangan kiri.
Mereka saling melepaskan pegangan setelah pintu tertutup. Aku melihat dari dekat, dan merasakan Rose menghela napas dalam-dalam dan berusaha menyembunyikan keresahannya dari balik kacamata hitamnya sepanjang jalan pulang.
Kami berkemas dengan cepat. Sore hari sekitar pukul 16.20, kami tiba di lokasi yang disebut villa tadi. Villanya sangat mewah. Bergaya minimalis namun sangat rimbun karena dikelilingi tanaman-tanaman yang besar. Ada monstera raksasa, beberapa bunga mawar merah dan kuning, bonsai yang terawat, dan tanaman lain yang tidak kutahu apa namanya. Antara rumah satu dengan lainnya berjarak lumayan jauh, karena luas bangunannya. Ini kompleks elit yang dihuni para konglomerat.
Rupanya Adam begitu gelisah menunggu kedatangan kami. Dia terkejut agak berlebihan sampai hampir tersedak begitu tahu kami datang.
“Aku pikir, kalian berubah pikiran dan tidak jadi datang. Syukurlah kalian tetap datang. Lega.”
“Tentu saja tidak. Kamu sudah makan?” tanya Rose sembari menatap lurus ke arah dapur.
Tidak ada apapun di meja makan, dan dapur terlihat kosong dari jauh. Rose sangat suka memasak. Dia tidak hanya suka, dia jago memasak. Tidak ada makanan yang tidak enak bila dia yang memasak.
Adam hanya menggeleng lemah, dan Rose tampak tidak suka dengan jawabannya itu. Bergegas Rose berjalan ke arah dapur di ujung ruangan, dan menguncir rambutnya. Aku pun ikut di belakang Adam yang juga bingung dengan tingkah Rose yang tiba-tiba. Ruangan di lantai satu saja sudah luas. Bagaimana di atas ya?
“Apa ada bahan makanan di kulkas?” Rose hanya bertanya lebih kepada dirinya sendiri, karena dia sudah membuka kulkas dan memperhatikan isinya dengan serius.
“Sepertinya ada. Tapi entahlah, Bibi Lea yang mengurus keperluan rumah tangga. Aku pun juga lebih sering memesan makanan cepat saji.” Jawab Adam tanpa basa-basi.
“Aku akan memasak untuk makan malam. Tunggulah. Tidur lebih baik sekarang. Aku akan membangunkanmu ketika sudah siap. Apa ada yang ingin kamu makan?” Rose mengatakan itu seolah dia adalah nyonya di rumah ini. Pemandangan yang lucu.
“Apapun buatanmu, adalah makanan terlezat yang selalu ingin kunikmati. Jadi lakukan sesukamu. Dapur ini milikmu.”
Adam rupanya pernah mengajak Rose ke sini saat dulu mereka masih bersama. Terlihat dari sikap Rose yang familiar dengan letak perkakas di dapur, tidak meminta dikirimkan alamat, dan tidak canggung lagi memasak di sini.
Selama Rose sibuk memasak, aku memperhatikannya. Dia menyuruhku beristirahat, tetapi aku lebih tertarik melihatnya mengolah bahan masakan. Dia terlihat seperti orang lain saat mencincang daging, mengiris bawang, dan lain-lain. Cekatan dan sangat wanita. Itulah yang kulihat sekarang. Di dapapan client dan pasien, dia seorang psikolog. Tapi di hadapanku kini dia adalah chef cantik.
“Sebenarnya siapa yang kalian bahas sedari tadi, Rose?” tanyaku yang sudah sangat penasaran. “Dia adalah diri Adam yang lain.”
“Wait. Adam berkepribadian ganda?! What???!” pekikku tertahan lalu tersadar menoleh ke kanan-kiri. Rose mengangguk pelan tanpa menoleh. Dia hanya melambat dalam menumis bumbu. Aku yakin dia pun terguncang karena kenyataan ini dulu saaat pertama kali mengetahuinya.
“Aku harap kamu benar-benar menjaga rahasia ini, Lavie. Aku sungguh tidak tahu awalnya, sampai dia mengatakannya sendiri kepadaku dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami 6 tahun lalu. Padahal waktu itu, kami sedang mempersiapkan pernikahan. Pertengahan November.”
Wah pantas saja Rose selalu merayakan ulang tahunnya dengan mewah. Dia ingin menutupi memori yang menyakitkan di bulan November. Sedikit-sedikit, rahasia hidup pilu yang dialami Rose, aku tahu. Hanya aku. Bulu kudukku berdiri. Merinding. Makanan tersaji di meja makan dengan cantik. Rose bahkan memetik bunga mawar di taman dan menatanya di dalam vas bunga lalu meletakkannya di tengah meja. Dia pun melipat tisu berbentuk angsa, seolah ini sebuah perayaan yang megah untuk hari jadi mereka. Aku semakin yakin dia begitu mencintai Adam.
Kami makan malam dengan tenang. Tidak ada perbincangan tentang Adam maupun mereka. Adam mengenakan kemeja berwarna navy dan celana hitam. Sedangkan Rose mengenakan dress berwarna ungu pucat. Meski tidak sama, mereka tampak serasi. Ada sesuatu yang berbeda dari Adam. Sikapnya masih sama ramahnya, dia bahkan menawarkan pada kami sebotol wisky, tapi Rose menolak. Aku pun tidak meminum alkohol lagi.
Rose mengerti yang kurasakan. Dia bertanya beberapa kali apa Adam baik-baik saja, dan kami terkejut saat Adam meletakkan gelas dengan keras.
“Aku tidak apa-apa, Rose. Berhenti bertanya dan habiskan saja daging pucat ini. Kurang pedas! Tidak ada rasanya selain gurih. Membosankan.” Ucap Adam dengan sinis. Dia tidak mampu lagi menutupi jati dirinya.
“Aku tahu sejak awal kamu bukan Adam. Tidak perlu berpura-pura.” Rose menyilangkan garpu dan pisau dengan anggun sambil tersenyum. Dia sudah tidak selera makan, meski steak kali ini sangat enak. Komentar Adam sangat aneh. Untuk apa steak pedas?
“Aku Adam. Apa yang kamu maksud?” Dia masih berkilah.
“Kalau benar kamu Adam, coba jelaskan mengapa kami sampai berada di sini.” Rose memang pintar menjebak.
“Ya karena kita lama tidak bertemu, dan aku mengundangmu.” Aku merinding saat dia mengatakan kebohongan itu. “Sudahlah mengaku saja, Rose menuang Red Wine ke gelas Adam. Mempersilakan Adam meminumnya. Adam tersenyum. Senyum yang misterius. Menyimpan sejuta makna.
“Ok. Let me introduce myself. Andrew. Call me Andrew. Aku semakin merinding saat dia membuka dua kancing kemejanya yang teratas. Meminum wine sekali teguk, dan berdiri.
Dia sama sekali tidak mengacuhkanku. Dia fokus pada Rose. Sangat fokus sampai dapat kulihat Andrew, ya Andrew menelanjangi Rose.
Rose tidak bergeming. Dia menatap lurus ke arah kolam renang di ujung luar depan meja makan. Kudengar jantung Rose berdegup kencang, namun tak terlihat sedikitpun dari wajahnya. Aku hampir saja berdiri, ketika Andrew mendekati Rose yang masih duduk dengan anggun. Tangan besarnya itu sudah merangkul Rose. Aku tercekat. Tapi sungguh bukan Rose apabila tidak mampu mengatasi segala situasi.
“Jangan sentuh aku. Sejengkal saja kau lanjutkan, akan kupatahkan semua jarimu tanpa sisa.” Ujar Rose dengan nada setenang dialog dalam drama. Air mukanya tak terbaca.
“Wah, seleranya Adam sangat menarik dan kuakui kau berkelas. Sayangnya kau milik Adam. Dan aku tidak pernah mengganggu apapun milik Adam. Ok. Aku tidak akan mengganggumu, Rose. Bahkan namamu saja sexy.” Bisik Andrew sebelum kembali ke tempat duduknya. Seketika lututku terasa lemas. Aku begitu tegang sampai kaku.
“Aku merasa tidak cukup hanya dengan tidak diganggu. Jaga sikapmu di depanku. Aku bukan seperti mainanmu yang lain. Aku datang karena aku masih peduli pada Adam. Mari kita bicara sambil minum teh? Jangan mabuk di depanku. Aku tidak suka bicara dengan orang yang sedang meracau.” Rose berdiri dan menuangkan secangkir teh untuknya dan untuk Andrew.
“Dia asistenku. Tidak perlu memedulikannya. Dia hanya bekerja denganku.” Aku tahu deskripsi Rose tentangku agak blak-blakan, tapi itu karena dia ingin melindungiku, dan agar aku bisa tetap menemaninya berbincang dengan Andrew.
Aku mengangguk dan meminum air mineral. Tiba-tiba rasanya sangat haus ketika Andrew menatapku tanpa ekspresi. Dia hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Tapi rupanya dia sudah mulai jaga sikap. Rose berjalan melewati Andrew, yang juga ikut berdiri dan mereka pergi ke arah kamar Adam. Well, aku sangat kagum ketika melihat betapa megahnya kamar itu. Ketika kami masuk, penerangan dari berbagai sisi otomatis menyala. Megah, namun juga sederhana. Perpaduan kemewahan dan kerendahan hati. Koleksi jam mahal seperti Rolex, berjejer rapi di etalase kaca. Lengkap pula dengan kacamata dan kunci mobil yang ditata dengan sangat rapi.
Di sisi kanan ruangan aku lihat lemari besar menjulang dari kayu akasia namun dipernis dengan sentuhan beberapa ukiran di setiap sudutnya. Tidak ada yang terlalu mencolok sesungguhnya dari semua benda di kamar ini. Semua berpadu dengan selaras. Meski begitu, tatapanku akhirnya tertuju pada sebuah lukisan di atas ranjang. Tampak jelas Jaguar duduk dengan yang anggun di sana. Seorang diri dengan tatapan tajam ke arah kami. Sempurna seperti aslinya.
Suasananya semakin syahdu, ketika Rose memutar lagu dari tape recorder yang baru kusadari kontras dengan semua barang modern di sini. Ternyata kecil saja memang ukurannya, ada di sudut ruangan dekat single sofa. Lagu klasik yang asing bagiku, mengalun. Mungkin lagu era 80-an? Penyanyi wanita.
…..Oh Kiss me like, like you just did . Oh baby do that to me once again.
Semakin kudengar semakin syahdu. Ketika kutulis cerita ini, kutahu judulnya adalah Do That to Me One More Time. Enak sekali.
Tiba-tiba Andrew membuyarkan lamunanku dengan suaranya yang besar itu.
“Jadul. Aku tidak tahu kenapa Adam dan kau sangat suka. Jelas lebih enak lagu-lagu terbaru. Sangat ketinggalan zaman." Seru Andrew sambil menyalakan pembuka tirai. Aku duduk di sisi lurus jendela, sehingga dapat kulihat pemandangan indahnya malam secara leluasa.
“Lavie, ya itu kan namamu? Apa kamu sanggup melihat adegan dewasa?” ucapan Andrew membuatku terkejut. Hello, apa maksudnya?
Belum sempat kujawab, Rose menyela “Jangan ganggu dia, And. Yang butuh berbicara denganmu hanyalah aku. Dan tentunya Adam.”
“Oke…oke. Langsung saja.” Andrew duduk di ranjang dan menatap Rose dengan tatapan seperti tadi. Mendamba.
Dia rupanya sangat suka dengan Rose. Atau memang dia begitu pada semua wanita? Tatapan player.Rose duduk di single sofa dan menatap ke lurus ke arah Adam. Kini auranya berbeda sekali. Dia dingin. Bahkan aku jadi merinding melihatnya.
“Dengarkan aku mulai sekarang. Kau sudah melampaui batas kesabaranku. Melihatmu bertingkah dan mengambil alih kesadaran Adam, bertindak seolah kau benar-benar ada, dan menjadi pemisahku dengan dia rupanya belum cukup? Kau terus menyiksanya hingga sekarang. Aku tidak akan memintamu pergi. Kaulah yang akan pergi sendiri setelah ini.”
“Well, kuakui pesonamu memabukkan Rose. Tapi kau tidak punya kendali untuk mengusirku. Haha” Andrew terkekeh.
“Mari kita coba saja. Siapapun yang kalah kali ini, harus pergi meninggalkan Adam. Entah kau, atau aku.” Tantang Rose.
“Berani kau menantangku? Sudah siap kehilangan Adam untuk selamanya? Oke. Aku juga penasaran.” Andrew membetulkan letak duduknya. Dia meremehkan Rose, pikirku.
“Dengarkan ucapanku tanpa berkilah apapun, tanpa menjawab. Dari situ kau akan tahu apa yang kumaksud.”
“Oke. Malah enak, aku hanya perlu diam mendengarkan ceramahmu.” Balas Andrew.
“Kau pikir, kehadiranmu membuat aku pergi dari Adam? No. Aku hanya membiarkan Adam yang terlalu baik dan tentunya kucintai, melakukan upaya melindungiku. Kami saling mencintai. Aku yakin sekali dia sangat mengenalmu sampai-sampai setakut itu aku bertemu atau bahkan mencintaimu. Nyatanya benar. Kau brengsek.”
Andrew terkejut. Dia tampak kesal dengan ucapan Rose. Tapi dia diam saja. itulah perjanjiannya. Rasakan itu, pikirku.
“Aku, menjauhi Adam karena Adam yang meminta. Maka kuturuti. Kubiarkan dia menanganimu. Waktu itu kupikir kau tidak seberingas ini. Masih punya etika, dan logika yang tidak jauh dari Adam. Kau tahu kan Adam sangat sopan, pemaaf, ramah, dan semua orang suka padanya. Jadi aku tenang-tenang saja, meski ada kekhawatiran, karena tidak bisa memastikan.”
Andrew makin tercekat. Dia rupanya tidak suka saat Rose memuji Adam. Apa yang membuatnya begitu ya? Bukannya mereka sebenarnya orang yang sama. Oooh rupanya orang berkepribadian ganda memang sangat berbeda begini sampai ke jiwa dan pemikiran.
Rose masih menatap Andrew, meski Andrew kini melihat ke arah luar jendela dan duduk membeku.
“Setelah Adam memintaku datang tadi, aku sadari dari getar suara dan sorot matanya bahwa dia terganggu dengan kehadiranmu. Sekarang jawab aku. Apa pernah Adam memintamu pergi?”
Andrew ragu dan berpikir, lalu menjawab dengan lesu. "Kurasa tidak.”
“Nah! Itulah dia. Bahkan pada pengganggu, dia pun tak tega dan berlaku baik.” Rose memberi penekanan pada kata pengganggku yang membuat Andrew makin menunduk. Dia kini memainkan kancing lengan kemejanya.
“Aku tidak ingin kau terus membuat Adam menderita. Dia meminta tolong padaku, tapi meminta untuk tidak menyakitimu. Jadi, sekarang apa yang harus kulakukan kalau kau terus begini.”
“Adam bicara begitu?”
“Ya. Dia bahkan mengatakan padaku bahwa kau adalah pria yang juga baik dan lebih kuat darinya. Lalu untuk apa kau menjadi dia? Jadilah dirimu sendiri di pribadimu yang sesungguhnya. Tidak perlu bersembunyi di tubuh Adam.” Rose mulai memberikan afirmasi yang positif kepada Andrew. Kurasa Andrew terpengaruh.
“Apa yang harus aku lakukan agar Adam tidak menderita?”dengan ragu Andrew bertanya dan menatap Rose.
“Tinggalkan dia. Adam baik-baik saja tanpamu. Dia bisa mencintaiku lagi, dan aku akan mencintai dia.”“Tapi Adam itu lemah. Dia bisa mudah terlukai kalau tidak kujaga. Terlalu baik. aku harus menjaganya.”
“Kau hadir karena ingin menjaganya?” tanya Rose. Andrew berjalan ke arah jendela dan menatap nanar ke depan. Diabergumam, “Jauh sebelum ada aku, dia kesepian. Tertindas di batin, dan selalu mengalah. Dia tidak bisa melawan karena hatinya lemah. Lalu aku datang, dan membantunya bersikap sebagai sejatinya pria. Membuatnya sadar bahwa pria itu kuat dan tidak bisa disakiti siapapun. Sepanjang hidupnya dia merasakan trauma. Laki-laki yang seharusnya jadi panutan tidak bisa diandalkan. Sangat bobrok. Apalagi wanita. Ibunya tidak bisa membela diri. Lemah. Dia tidak boleh seperti mereka.”
Rose tampak berpikir sejenak. Dia mengatakan sesuatu yang tidak kusangka-sangka. “Rupanya karena itu. Meski begitu, maafkan aku, Adam. Rupanya yang membuat dirimu seperti ini adalah aku. Aku tidak tahu jika akulah yang menyakitimu. Maafkan aku.” Rose menunduk dan jatuhlah air mata yang sepanjang aku mengenalnya tak pernah nampak. Wah sungguh aku takut harus bersikap bagaimana, karena kini Rose tampak begitu sedih.
Andrew mendekati Rose. Dia berdiri di samping Rose dan membelai rambut Rose. Rose semakin sedih dan terus menunduk. Lalu, tiba-tiba Andrew berbisik pada Rose namun tetap dapat kudengar dengan samar.
“Aku mencintaimu, Rose. Jangan biarkan Adam tersakiti atau bahkan disakiti siapapun lagi. Biarkan dia mencintai dan dicintai olehmu dengan cara yang paling damai dan indah. Jaga dia, seperti aku menjaganya.”
Rose menatap ke arah Andrew tanpa berkedip. Lalu sikap Andrew berubah. Dia tiba-tiba bersimpuh di hadapan Rose. Dia menggenggam tangan Rose. “Aku kembali, Rose. Aku kembali!” dia begitu senang.
Rose memeluk Andrew, dan oh bukan. Itu adalah Adam! Mereka berpelukan dan Rose terlihat lega sekali. Dia tidak megatakan apapun. Adam pun bertanya berkali-kali kepada Rose dan hanya dibalas dengan senyuman. Rose pun tersenyum padaku dari kejauhan sambil memeluk Adam. Aku balastersenyum dan tak terasa air mataku mengalir deras.
“Apa sih yang kalian lakukan. Berpelukan di depanku begitu! Kan aku sendirian.” Mereka tertawa mendengar ucapanku.
Kutinggalkan mereka berdua. Dari luar dapat kudengar:
“Terima kasih, Rose. Terima kasih. Kini aku bisa kembali mencintai dan melindungimu” dari Adam.
“Kini aku bisa mencintaimu lagi. Dan Maaf.” dari Rose.
Lalu lagu tadi berlanjut dan mengalun lebih syahdu. Menjadi latar belakang pemantik kerinduan yang berjarak bertahun-tahun di antara untuk mereka.Sebuah pengalaman yang unik sepanjang karirku menjadi asisten Rose. Malam itu, aku habiskan dengan menyantap steak yang sudah dingin. Tapi entah mengapa hatiku terasa sangat hangat. Mungkin karena baru saja kulihat rekan kerja dan juga teman baikku mendapatkan cinta keduanya lagi. Selamat, Rose! Berbahagialah sekarang.
Do that to me one more timeOnce is never enough with a man like yo
…..
Oooooh
Do that to me one more time
I can never get enough for a man like you
Lagu yang sangat indah dan pas untuk kisah cinta kedua Rose, yang ternyata sekaligus cinta pertama Rose: Adam
Description: Rose adalah sebuah buku kumpulan cerpen yang bercerita tentang Rose dan Lavie. Rose adalah seorang Psikolog cantik yang telah menangani berbagai macam problematika Psikologis dari berbagai client. Pribadinya yang memikat, membuat cerita ini sangat mampu menarik minat pembaca untuk menelusuri kehidupannya yang bersinggungan dengan kasus-kasus abnormal. Lavie yang dulunya berprofesi sebagai penulis harian di salah satu Redaksi Koran, memutuskan untuk menjadi asisten Rose dan mengabadikan kasus-kasus dari client Rose dalam tulisannya.
Kalian akan diajak bertemu dengan berbagai jiwa yang sakit dan malang. Tariklah pelajaran hidup dari pengalaman sosok-sosok yang kalian temukan.
Selamat Membaca!
|
Title: Ramuan Ungu
Category: Cerita Pendek
Text:
Ramuan Ungu
Reza terus menatap botol kecil berisi cairan ungu di depannya itu. Pikirannya terus menimbang-nimbang apakah akan meneteskan ke dalam air mineralnya atau tidak.
Satu tetesnya akan membuat orang-orang tidak bisa melihatmu kecuali mereka yang tidak menyukai atau yang membencimu.
Begitulah kata seorang nenek misterius kemarin sore di taman kota.
Meskipun baru pertama kali bertemu, Reza sangat nyaman berbincang-bincang dengan nenek itu. Bahkan tanpa sadar ia juga mengeluhkan kehidupan dunia kerjanya, dimana ia sulit membedakan mana kawan dan mana lawan.
Nenek tersebut mendengarkan setiap “curhatannya” dengan khusyuk. Dia juga masih ingat wajah teduh nenek itu yang sesekali memanggut-manggutkan kepalanya. Sampai akhirnya nenek beraroma minyak angin itu mengeluarkan sesuatu dari saku kanan sweater rajut abu-abunya. Sebuah botol kecil yang kira-kira berukuran seibu jari.
“Ini ramuan ajaib. Jika satu tetesnya kamu masukkan ke dalam minumanmu dan meminumnya, maka selama setengah jam orang-orang tidak akan bisa melihatmu kecuali mereka yang tidak menyukai atau yang membencimu.”
“Ini dulu sering diminum sama cucu nenek. Dia juga mengeluhkan hal yang sama sepertimu.”
“Nak Reza mengingatkan nenek sama cucu nenek itu.”
Dan di sinilah dia sekarang. Memandangi botol itu dengan penuh kebimbangan.
Semua orang tidak akan bisa melihatnya kecuali yang membencinya.
Kata-kata itu selalu terngiang di kepalanya. Bagaimana mungkin?? Sebenarnya dia bukanlah tipe orang yang percaya akan hal-hal aneh seperti itu. Tapi rasa penasaran semakin memenuhi rongga tubuhnya. Karena jika ternyata berhasil, maka dia akan bisa mengetahui orang-orang yang bermuka dua di perusahaannya ini. Orang-orang yang berusaha menjilatinya.
Akhirnya dia memutuskan untuk meneteskan dua tetes dulu.
Tidak ada salahnya dicoba, pikirnya.
Reza mengguncang-guncangkan botol air mineralnya. Setelah dirasa ramuan itu sudah bercampur dengan sempurna, dia membuka penutup botolnya. Dadanya berdebar kencang dan tubuhnya sedikit menegang. Dia pun meminum sedikit dan menunggu sesaat. Menunggu reaksi yang dia tidak tahu juga itu apa. Tapi selang beberapa detik dia tidak merasa ada yang berbeda. Dia melihat sekelilingnya. Semuanya tetap sama. Tidak ada yang “berubah”. Dia meneguk lagi air mineralnya sedikit lebih banyak.
Tok! Tok!
Reza tergagap dan sedikit tersedak. Dia mengelap bibirnya dengan ujung lengan kanan kemejanya.
“Masuk!”
Ternyata Tika. Sekretaris kepercayaannya itu masuk sambil membawa sebuah map berwarna biru.
“Pak Reza?”
Reza mengernyitkan dahinya. Dia bingung. Tika seperti mencari-cari dirinya. Padahal mata sekretarisnya itu tepat melihat ke arahnya. Begitu dia ingin memanggil Tika, Reza tercekat. Dia langsung melihat botol di genggamannya. Tubuhnya kontan bergetar hebat.
Sedangkan Tika dengan wajah penuh keheranan meninggalkan ruangannya.
Reza langsung mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Dia sangat shock dengan apa yang barusan terjadi. Ramuan itu ternyata bekerja! Dia tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Semua emosi berkecamuk di dalam dirinya.
Kemudian dia bangkit dari kursinya. Pria bertubuh tegap ini pun berjalan mondar-mandir di depan meja kerjanya. Dia mengurut-urut dahinya yang sudah deras mengeluarkan keringat. Berkali-kali juga dia menampar pipinya kanan dan kiri.
Setelah merasa agak tenang. Sudah mencerna apa yang barusan terjadi. Reza kembali duduk di kursinya. Dia menghembuskan napasnya kuat-kuat. Walaupun rasa shocknya belum sepenuhnya hilang, dia rasa sudah siap sekarang. Sudah siap dengan “keajaiban” yang tidak masuk akal ini. Reza menanti siapa lagi yang akan datang ke ruangannya.
Tok! Tok!
Reza terkesiap. Dia menghembuskan napas lagi lewat mulutnya kuat-kuat.
“Masuk!”
Seorang office boy memasuki ruangannya. Bang Maman. Sudah jadwalnya mengantarkan teh atau kopi untuk para karyawan termasuk untuk Reza. Langkahnya terhenti begitu melihat ke arah meja kerja bosnya itu.
“Pak Reza?”
Reza hanya diam. Menahan segala suara yang tertahan di tenggorokannya.
“Pak?”
Nampan office boy senior ini sedikit bergetar. Bang Maman langsung keluar dengan raut wajah ketakutan.
Reza tertawa tertahan. Wajah Bang Maman yang ketakutan barusan sangat menggelikan. Tapi dia senang. Ternyata office boy kesayangannya itu tidak bermuka dua.
Setelah Bang Maman, ada 3 orang lagi yang masuk ke ruangannya. Dan tidak ada satu pun yang bisa melihatnya.
“Apakah tidak ada orang yang bermuka dua ya? Tidak ada yang membenciku?”
Reza melihat jam tangannya. Sudah jam 9 pagi. Ini sudah lewat dari satu jam. Dia menitikkan dua tetes ramuan ajaibnya lagi ke dalam air mineralnya. Setelah meminumnya dan menunggu selama satu menit. Reza berdiri dari kursinya. Kali ini dia ingin bereksperimen. Dia ingin berjalan-jalan di kantor.
* * *
Sepertinya semua orang mencintainya. Ada rasa sejuk dan haru yang hinggap di dada pria berumur 39 tahun ini. Reza masih menjelajahi kantornya yang berdesain modern dan futuristik itu. Beberapa orang hanya berjalan melewatinya sedari tadi. Padahal mereka biasa menyapanya sambil tersenyum hormat.
“Pagi, Pak Reza!” Reza terperanjat. Dia berusaha membalas senyum dan sapa pria bertubuh gempal itu. Dia pun menoleh ke belakang dan menatap punggung pria itu yang semakin menjauhinya. Bibirnya langsung tersenyum sinis. Dia pun segera mencatat nama pria itu di ponselnya, “Rudi Darmanto”.
Sudah satu orang. Adakah lagi?
* * *
BUK!
Reza menghempaskan tubuh ke sofa empuk di ruangannya. Rasa lelah menjalari tubuhnya setelah berjalan kesana-kemari menyusuri kantornya yang bertingkat tiga itu.
Ternyata selama berkeliling tadi, ada 10 orang yang masuk ke dalam catatan di ponselnya. Dan diantara semua nama tersebut, terdapat 7 nama yang tidak ia duga bisa melihatnya tadi. Terutama nama “Hadi Prasetya”. Dia adalah orang yang dipecat dari perusahaan jasa konsultan arsitektur saingannya beberapa bulan yang lalu. Karena talentanya yang mumpuni, Reza merekrutnya untuk bekerja di tempatnya dan langsung dia posisikan sebagai kepala divisi tim ahli. Dan selama bekerja dengannya, Hadi menunjukkan kinerja yang impresif dan tidak ada tanda-tanda Hadi membenci dirinya.
Reza menarik napasnya dalam-dalam. Dia berharap Hadi hanya sekedar tidak menyukainya. Tidak sampai taraf membencinya. Mungkin saja selama kepemimpinannya di perusahaannya ini, dia pernah melakukan sesuatu yang membuat Hadi tersinggung. Nanti dia akan coba berbicara dengan salah satu karyawan terbaiknya itu. Dia harus mengklarifikasi semuanya. Agar selain memastikan perusahaannya tidak berisi orang yang berpotensi merusaknya dari dalam, dia juga tidak ingin memiliki musuh di kehidupan pribadinya.
Sudah jam 10. Reza lelah dan mengantuk. Sekarang ia berbaring di sofa. Menghadap jendela kaca yang super besar di belakang kursi kerjanya. Dia meluruskan tulang punggung dan kakinya senyaman mungkin. Dan tidak lupa tadi dia meminum dulu ramuan ajaibnya dengan kadar 2 tetes lagi. Sebelum akhirnya ia merebahkan diri di sofa biru kesayangannya itu.
Dalam beberapa menit Reza pun sudah berada di alam antara dunia nyata dan dunia tidur. Sampai akhirnya tak butuh waktu lama dia pun terlelap.
Tok! Tok!
Reza tidak bergerak dari sofanya.
Tok! Tok!
Pemilik jasa konsultan arsitektur ternama di Jakarta itu sedikit tersentak. Pintunya diketuk sekali lagi. Dia mengucek-ngucek matanya yang tidak setuju untuk dibuka. Kepalanya menyesuaikan diri dengan sedikit rasa pusing.
“Masuk!”
Seorang wanita tinggi semampai memasuki ruangannya.
“Sayaaaang!” Wanita itu langsung memeluk Reza. Senyum Reza mengembang luas sambil membalas pelukan wanita berkulit putih kemerahan itu. Sebelum akhirnya Reza mengerjap-ngerjapkan matanya. Menyadari sesuatu yang sedang terjadi. Dia langsung melihat jam tangannya. Baru jam 10 lewat 15 menit.
“Suamiku apa kabar? Ini aku bawakan sesuatu untukmu.” Tanpa menunggu jawaban dari Reza, wanita yang tak lain adalah istrinya itu meletakkan sebuah kotak makanan ke atas meja kecil di dekat sofa.
“Ini ada ayam goreng, tumis kangkung, dan sambal tumis perut ikan kesukaanmu.” wanita itu juga meletakkan sendok dan garpu di samping kotak makanan tersebut. “Mau makan sekarang?”
Reza tidak menjawab.
“Sayang, kamu kenapa? Lagi sakit? Kok lemas banget?”
“Eh, nggak kok. Hanya sedikit pusing saja.”
Wanita itu meletakkan punggung tangan kirinya ke dahi suaminya itu.
“Nggak panas.”
“Aku cuma sedikit pusing. Maklum pekerjaan suamimu ini kan banyak menguras pikiran dan tenaga.” Reza tersenyum tipis.
Wanita itu tersenyum. Dia menasihati Reza untuk banyak beristirahat, tidak lupa makan, dan segala macam yang lain. Mereka pun lanjut mengobrol sambil Reza melahap masakan buatan istrinya. Tak lupa juga dia memuji masakan yang selalu disambut istrinya dengan kalimat, “Ah…kamu ini berlebihan.”.
Reza berusaha sekuat tenaga menjaga sikapnya seperti biasa saat ini.
Wajah wanita itu tampak sumringah ketika Reza sudah menghabiskan makanannya. Dia pun segera mengemaskan kotak makanan beserta sendok dan garpunya, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik putih. Reza selalu bersyukur memiliki pendamping seperti istrinya ini. Tapi kali ini rasa syukurnya bercampur dengan kegelisahan yang tak menentu dari tadi.
Setelah mengobrol sebentar, wanita itu pamit pulang kepada Reza.
“Ya, udah. Aku pulang dulu ya. Aku nggak mau mengganggu pekerjaan suamiku lebih lama lagi.” Wanita itu tersenyum manis sambil mengait tas tangannya dan membawa kantong plastik putih di tangan kirinya. “Yang penting ingat pesanku tadi.”
Reza langsung tergamang begitu istrinya keluar dari ruangannya. Berbagai pertanyaan langsung bertumpuk hinggap di kepalanya. Bagaimana mungkin? Kenapa malah istrinya yang bisa melihatnya? Perasaannya semakin runyam. Ingin sekali dia berteriak saat itu juga.
* * *
Jam dinding mengarahkan jarum pendeknya ke arah angka 1. Efek ramuan itu sudah habis. Reza tidak memperpanjang lagi efek tersebut. Dia tidak peduli lagi dengan orang bermuka dua atau orang-orang yang berusaha menjilatinya. Reza hanya memikirkan istrinya saat ini.
Matanya menatap kosong ke arah meja kecil tempat dia makan tadi.
Dia mengingat-ingat istrinya begitu baik kepadanya selama ini. Hampir tiap hari ia mengantarkan makanan untuknya, baik sarapan bahkan makan siang. Ditambah lagi istrinya itu begitu perhatian kepada dirinya. Seperti tadi, dia sangat memerhatikan kondisi kesehatannya.
Tapi bagaimana mungkin?? Pertanyaan itu selalu berputar-putar di kepalanya.
Selama 13 tahun menikah, Reza tidak pernah melihat gelagat benci atau bahkan sekedar tidak suka dari Wina, istrinya. Pikirannya memutar kembali rekaman kehidupan berkeluarganya. Mengingat kembali ketika pertama kali bertemu dengan istrinya. Mereka berpacaran selama setahun sebelum akhirnya menikah. Dan ketika itu mereka bahagia-bahagia saja. Tidak ada keterpaksaan dalam pernikahan mereka berdua. Mereka menikah memang murni karena cinta.
Dia flashback lagi.
Rasa bahagia itu semakin memuncak ketika akhirnya sebuah impian terbesar dalam berumah tangga tercapai, yaitu hadirnya seorang putra yang lucu di tahun kedua pernikahan mereka. Keluarga kecil mereka semakin lengkap. Semakin sempurna. Tidak ada cacat sama sekali.
Lantas apa yang membuat istrinya itu bisa melihatnya tadi? Apa mungkin ramuan dari nenek misterius itu mengalami masalah? Sehingga efeknya tidak bekerja?
Wajah Reza semakin mengerut. Dia terus memijit-mijit dahinya dari tadi.
Tiba-tiba Reza menegakkan tubuhnya! Dia tahu! Ya! Akhirnya dia tahu! Tubuhnya langsung melemas. Kelopak matanya memanas. Dia merutuki dirinya sendiri.
* * *
“Bagaimana tadi kerjaannya di kantor, Sayang?” tanya Wina sambil mengenakan piyamanya. Wina berbeda dengan Reza yang lebih suka memakai celana pendek saja ketika tidur. Gerah kata suaminya itu.
“Baik-baik saja seperti biasanya. Aku kan pimpinan dan arsitek yang handal.” Reza terkekeh. Wina tersenyum sambil menghampiri tempat tidur mereka. Duduk di dekat Reza yang telah berbaring duluan.
“Wajahmu kelihatan lelah,” kata Wina sambil mengusap-usap bahu suaminya itu.
“Hanya sedikit capek,” senyum Reza. “Oh ya, aku punya sesuatu buat kamu.”
“Hah? Sesuatu? Apa itu, Sayang?”
Reza bangkit dari tempat tidurnya, “Ada deh. Kamu tunggu di sini sebentar ya.”
Dia segera memakai kaosnya putihnya dan bergegas keluar kamar.
Wina menunggu dengan pikiran bertanya-tanya. Semakin lama menunggu, dia semakin deg-degan. Sudah 10 menit tapi suaminya itu belum juga kembali ke kamar.
Kemudian terdengar suara ketukan di pintu yang sedikit terbuka.
“Boleh aku masuk?”
Wina tertawa. “Boleh dong, Sayang.”
Bola Mata Wina langsung membesar begitu pintu terbuka. Dia menutup mulut dengan telapak tangan kanannya. Dengan masih mengenakan celana pendek dan kaosnya tadi, Reza membawa sesuatu di kedua tangannya. Wina menahan haru. Dia melihat di tangan kanan suaminya itu ada sebuket besar mawar merah yang sangat indah. Itu mawar merah terindah yang pernah ia lihat. Dan di tangan kirinya! Dia serasa mau meleleh melihat apa yang ada di tangan kiri suaminya itu. Sebuah piring kecil dengan potongan tiramisu cake favoritnya!
“Ini untukmu, Sayang.” Reza menyerahkan kejutannya sambil berlutut. Wina yang duduk di pinggir tempat tidur segera mengambil bunga mawar dan tiramisu cake favoritnya itu. Kilau matanya terus berbinar melihat keduanya.
“Ini…untuk apa, Sayang? Ulang tahun pernikahan kita kan bukan hari ini. Mmm…ulang tahunku juga bukan hari ini deh.”
Reza menggeleng sambil tersenyum, “Memang bukan.”
“Tunggu,” Reza mengacungkan telunjuknya dan bangkit berdiri. Dia mengambil sesuatu dari dalam lemari. Sebuah kepingan CD. Kemudian ia menuju CD player di bawah meja televisi dan memutarnya. Setiap sisi tubuh Wina langsung merinding begitu mendengar opening piano yang menggema pelan.
My Love
There’s only you in my life
The only thing that’s right
Lagu Endless Love mengalun lembut di kamar mereka.
“Lagu wajib kita,” kata Reza sambil duduk dengan kursi yang digeser ke hadapan istrinya.
Wina tersenyum. Matanya terasa panas. Dia mengulum bibirnya.
“Sayang, aku sangat mencintaimu. Aku adalah pria yang paling beruntung sedunia. Pria yang mendapatkan seorang bidadari di sisinya. Bidadari yang bernama Wina Dianasari.” Reza menggenggam kedua tangan istrinya itu dan menatap matanya dalam-dalam. Lagu Endless Love masih mengalun dengan tenang.
“Dan aku ingin minta maaf jika selama ini belum menjadi pria yang terbaik bagimu. Belum menjadi imam yang baik bagi keluarga kecil kita. Belum menjadi ayah yang hebat bagi Dafa.”
Wina menggeleng cepat. Air mata mulai menggenangi kedua kelopak matanya.
“Kamu jangan berkata begitu, Sayang. Kamu adalah pria terbaik yang aku dapatkan. Dafa juga beruntung bisa memiliki ayah yang hebat seperti kamu.”
Reza turun dari kursi dan berlutut di depan istrinya.
“Aku ingin minta maaf…”
“Minta maaf apalagi, Reza sayang?”
Reza terdiam. Dadanya bergemuruh.
“Aku minta maaf karena dulu telah meminta babysitter untuk mengasuh putra kita yang masih kecil. Yang akhirnya malah membuat kamu berhenti bekerja untuk mengurus Dafa.”
Wina menggeleng cepat dan singkat. Dia memegang bahu Reza.
“Kamu tidak perlu minta maaf untuk itu. Aku nggak papa kok. Aku malah senang berhenti dari kerja untuk mengurus anak kita.” Wina tersenyum menenangkan.
“Dan aku ingin minta maaf untuk yang satu lagi…”
Wina mengedikkan kepalanya. Dia hanya diam kali ini dan menunggu suaminya itu untuk melanjutkan.
“Aku minta maaf…” Reza terhenti. Suaranya bergetar. “Aku minta maaf karena sudah menuduhmu berselingkuh…”
Wina langsung mengangkat kepala sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Air kepiluan memenuhi setiap rongga matanya dan mulai menjatuhi pipinya yang putih.
Wina memang merasakan sakit yang teramat dalam karena itu. Hatinya seperti ditusuk belati berkali-kali ketika Reza, suami yang sangat dicintainya itu menuduhnya berselingkuh dengan mantan rekan kerja di kantornya dulu. Seorang pria yang sebenarnya juga hanyalah sahabatnya dari kecil. Yang mungkin saja karena saking dekatnya membuat orang lain berpikir yang bukan-bukan, termasuk Reza yang dikenalnya sangat pencemburu. Tapi mau bagaimana pun, siapa yang tidak sakit hati ketika suaminya tercinta mengatakan dirinya adalah seorang wanita peselingkuh. Menuduhnya yang tidak-tidak di tahun ke-10 pernikahan mereka.
Walaupun perdebatan mereka saat itu perlahan menguap seiring berjalannya waktu. Rasa sakit itu tetap melekat. Hati yang retak tak pernah bisa kembali utuh dengan mudahnya. Apalagi Reza tidak pernah meminta maaf atau menarik kata-katanya tersebut.
Kalau ditanya apakah dia membenci suaminya? Wina tidak tahu. Yang dia tahu pasti, rasa cinta dan kasih sayangnya kepada Reza tidak pernah berkurang sedikit pun. Tak pernah juga ia terpikir ingin meninggalkan suaminya itu.
Dia juga sudah berusaha mengusir sakit hatinya berkali-kali. Berpikir positif mungkin saja suaminya hanya khilaf. Atau pun berusaha memahami jika Reza berpikir seperti itu karena dia memang seseorang yang sangat pencemburu. Tapi semua upaya itu selalu gagal. Rasa perih itu tidak mau menghilang.
Dan saat ini permintaan maaf dari suaminya akhirnya datang juga. Sebuah maaf yang diminta dengan kejutan yang tidak ia pungkiri membuatnya sangat terharu.
Reza menangis terisak-isak sambil menunduk menatap lantai. Dia terus meluapkan permintaan maafnya.
“Sayang…” ucap Wina lembut.
Reza masih menunduk. Wina memegang dagu Reza dan mengangkat wajah suaminya itu dengan pelan. Wina dapat melihat mata yang sembab dari pria gagah di depannya ini.
“Rasa sakit itu sudah hilang sejak kamu membawa ini semua…” Wina mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.
“Lagu ini…”
“Mawar ini…” Wina memegang buket mawar merah yang tergeletak di samping kirinya.
“Tiramisu cake favoritku…” Dia tersenyum dengan mata sembab sambil mengangkat tiramisu cake di samping kanannya. Kemudian meletakkannya lagi.
Wina turun dari tempat tidurnya. Ikut berlutut di depan Reza. Kedua lututnya bersentuhan dengan lutut suaminya itu.
“Dan ini…” Wina meletakkan telapak tangannya di dada Reza. “Kamu telah membawa maaf yang tulus dari hatimu, Sayang.”
Air mata Reza semakin banyak mengaliri pipinya. Dia semakin terisak.
“Aku memang suami yang buruk. Lidahku memang pantas untuk dipo…”
Reza terkesiap ketika Wina langsung mencium bibirnya. Sebuah kecupan lembut yang merasuk hangat ke dalam jiwa.
“Aku nggak mau dengar apa-apa lagi. Aku sangat mencintaimu dan aku sudah memaafkan semuanya.”
Reza terdiam cukup lama menatap mata hangat istrinya. Kemudian dia memeluk wanita yang sangat dicintainya itu. Wina pun balas memeluknya. Pelukan mereka sangat erat seakan-akan lem yang tidak bisa dipisahkan lagi. Rasa cinta antara mereka kembali tumbuh dengan lebih lebat. Lebih dahsyat dari sebelum-sebelumnya. Sudah tidak ada lagi hama-hama negatif di antara mereka berdua.
“Terima kasih, Sayang, karena sudah setia mendampingiku walaupun aku telah melukai hatimu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Dan aku akan selalu berusaha menjadi pria yang terbaik bagi kamu dan juga bagi Dafa. Kamu bisa pegang kata-kataku. Aku janji.” Wina tersenyum bahagia. Dia menjawab kata-kata Reza barusan dengan pelukan yang lebih erat lagi.
Mereka pun bangkit berdiri. Mereka meletakkan bunga mawar dan tiramisu cake ke meja di sebelah tempat tidur. Reza dan Wina pun segera naik ke atas ranjang sambil saling berpandangan mesra. Dan kemudian pasangan sejoli ini pun larut dalam irama cinta sepasang kekasih.
Sebuah penutup malam yang indah sambil ditemani bunyi derit ranjang dan buaian lagu yang masih mengalun anggun.
* * *
Ruangan dengan dominasi warna putih itu tampak lebih menyenangkan dilihat dari biasanya. Mmm…bukan hanya ruangannya ini saja, tapi juga apa pun yang dilihat Reza hari ini terlihat lebih menyenangkan. Contohnya juga dia tidak ngedumel di mobil selama perjalanan ke kantornya tadi, padahal biasanya dia akan mengomel sendiri melihat jalanan Kota Jakarta yang macetnya gila-gilaan. Sesampainya di kantor, dia pun tidak terburu-buru berjalan menuju ke ruangannya seperti biasa. Dia berjalan perlahan menikmati setiap langkahnya sambil menanggapi senyum dan sapa karyawannya dengan wajah berseri-seri.
Sebagai manusia, Reza tidak luput dari kesalahan, dia juga sering meminta maaf untuk kesalahannya itu. Tapi dia tidak pernah merasakan kelegaan seperti ini ketika dimaafkan seseorang. Mungkin inilah yang dirasakan jika permintaan maaf yang dimintai dengan sungguh-sungguh bertemu dengan pemberian maaf yang tulus dari orang sangat kita cintai.
Reza sedang menata meja kerjanyanya dengan hati yang lapang. Dia meletakkan buku, bolpoin, map-map berwarna-warni, draft proyek, dan lain-lain dengan rapi. Semua peralatan kerjanya pun terlihat lebih menyenangkan hari ini.
Ketika dia menarik laci ingin mengambil penggaris dan pensil gambarnya, dia melihat botol kecil tergeletak di dalamnya. Reza tersenyum melihat ramuan yang sudah “membantu” kehidupan rumah tangganya itu. Dia mengucapkan terima kasih berkali-kali dalam hati untuk ramuan itu dan nenek misterius yang memberinya. Reza jadi ingin pergi ke taman kota nanti sore, siapa tahu dia akan bertemu dengan nenek itu lagi dan bisa mengucapkan terima kasih langsung kepadanya.
Ramuan ajaib itu masih tersisa beberapa tetes. Tapi Reza tidak berminat lagi menggunakannya. Dia mengambil botol itu dan berjalan menuju tempat sampah di pojok ruangan. Reza ingin membuang saja ramuan ini. Tapi ketika dia hendak melemparkannya ke tempat sampah, terbersit rasa ingin menggunakannya sekali lagi. Dia memandang ramuan ajaibnya, tempat sampah dan botol mineral di atas meja kerjanya secara bergantian.
Akhirnya dia memutuskan untuk menggunakannya sekali lagi.
Dia kembali menuju mejanya dan meneteskan satu tetes ramuan ajaibnya ke dalam air mineral. Anggap saja ini sebagai tetes perpisahan dan terima kasih darinya.
Reza pun segera meminumnya dan menunggu selama satu menit. Kali ini tidak ada lagi rasa deg-degan, tidak ada lagi rasa takut. Dia pun duduk di kursinya dengan tenang. Reza tersenyum sambil menatap pintu. Menanti siapa yang akan masuk ke ruangannya.
Tok! Tok!
Description: Walaupun sudah sukses memiliki perusahaan jasa konsultan arsitektur ternama, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiran Reza. Dia menyadari tidak semua orang tulus menyukainya, bisa jadi ada orang-orang yang bermuka dua atau yang berusaha "menjilatinya" selama ini.
Reza sangat ingin mengetahui semua orang tersebut tapi tidak tahu bagaimana caranya, sampai akhirnya dia bertemu dengan seorang nenek misterius. Nenek tersebut memberikannya sebuah ramuan ajaib berwarna ungu.
Sebuah kalimat dari nenek itu seketika membuatnya tercengang,
"Satu tetesnya akan membuat orang-orang tidak bisa melihatmu kecuali mereka yang tidak menyukai atau yang membencimu."
Bagaimana mungkin?!
|
Title: RPL Kingdom
Category: Science Fiction
Text:
Daftar Pangeran RPL Kingdom
Baskara Amerta
(Matahari yang tidak pernah padam)
Pangeran pertama yang selalu bersikap dingin, dan tidak ada yang boleh mengatur hidupnya.
"Aku mencari wanita yang bisa membuat aku mengejarnya."
(Aska)
~~~
Barata Amerta
(Pria baik yang pernah ada)
Pangeran kedua yang fasih, menjadi penengah di antara pertikaian saudara nya.
"Ketika saudara-saudara mu meributkan suatu hal, pejamkanlah matamu."
(Bara)
~~~
Dewananda Amerta
(Karunia pencipta yang abadi)
Pangeran ketiga yang cerdas, sudah banyak mengenal patah hati.
"Aku akui bahwa aku playboy, aku banyak menembak hati wanita tapi Kyla adalah wanita pertama yang menembak hati ku."
(Dewa)
~~~
Haridra Amerta
(Jiwa cemerlang yang pernah ada)
Pangeran keempat juga seorang penyair, si penemu ide atau gagasan.
"Salah satu hal yang menyenangkan ketika berkenalan dengan seseorang yaitu mencari tahu arti nama nya."
(Ari)
~~~
Karunasankara Amerta
(Ksatria Pemberani)
Pangeran kelima yang menggeluti dunia kedokteran, juga sedikit misterius.
"Menghafal anatomi tubuh sambil mendengar keributan adalah hal yang jarang bisa dilakukan oleh banyak orang."
(Sanka)
~~~
Mahawira Amerta
(Prajurit paling kuat yang tidak terlupakan)
Pangeran keenam yang selalu terbully oleh saudaranya yang lain, angka 6 merupakan kesialan baginya.
"Arti namaku adalah prajurit terkuat, tidak berlaku jika aku bersama saudaraku yang lain."
(Wira)
~~~
Abimanyu Amerta
(Gagah berani)
Pangeran ketujuh yang cuek dan terlihat tidak peduli dengan masalah orang lain kecuali ikut menjahili saudara nya.
"Aku mau sedingin kak Aska, tapi aku tidak tahan terlalu cuek ketika yang lain sedang bertengkar."
(Abi)
~~~
Rawindra Amerta
(Cahaya yang bersinar selamanya)
Penutup para pangeran, si bungsu yang menyukai musik dan olahraga.
"Melihat dunia saudara ku yang sudah dewasa membuat ku berpikir masa kecil adalah hal yang membahagiakan."
(Indra)
~~~
Mereka bukanlah seperti pangeran dalam sebuah drama atau sebuah dongeng yang kalian kenal, mereka hanya manusia biasa yang di takdirkan terlahir sebagai pangeran dalam cerita ini.
Untuk visual, kalian bisa bayangin orang lain sesuai keinginan kalian masing-masing.
----
(Inspired by RPL Class Elite 2019)
Tentang Prime Land
RPL Kingdom adalah kerajaan yang di dirikan di Swiss tepatnya di kota Zurich. Di sejarah aslinya Swiss merupakan negara federal negara yang netral tanpa memandang perang atau damai (tidak pernah terlibat dalam perang terhadap pemerintahan asing sejak tahun 1815.)
RPL Kingdom adalah sebuah negara monarki konstitusional federal yang terdiri dari delapan puluh satu negara bagian dengan pembagian empat wilayah yang dipimpin oleh kepala pemerintahan dari setiap wilayah yang secara langsung di bawah perdana menteri.
Awal pembentukan kerajaan bermula di awal masehi yang di teruskan secara turun-temurun dari keluarga kerajaan, keberhasilannya dalam menaklukkan beberapa wilayah membuat RPL Kingdom memiliki wilayah yang luas separuh dari muka bumi.
Pembagian empat wilayah nya terdiri atas :
* Wilayah 1 (Caelum)
Caelum merupakan pusat wilayah kerajaan yang terdiri atas beberapa negara bagian yang mencakup seluruh bagian eropa, terpusat pada ibu kota Zurich tempat keluarga kerajaan tinggal. Caelum menjadi pusat wilayah metropolitan yang memberi pengaruh besar dalam perdagangan, keuangan, media, teknologi, hingga dunia hiburan.
* Wilayah 2 (Zephyr)
Zephyr merupakan wilayah kedua yang berhasil di taklukkan oleh RPL Kingdom menjadi wilayah nya setelah tunduk nya sekutu Rusia kepada RPL Kingdom yang menjanjikan kenyamanan buat negeri nya. Zephyr menjadi wilayah sumber kekuatan kerajaan karena di sanalah industri peralatan militer di buat.
*Wilayah 3 (Leal)
Leal termasuk dalam wilayah ketiga yang berhasil terbentuk dari beberapa negara bagian asia barat dan selatan. Menjadi wilayah dengan populasi jiwa terbanyak di kerajaan, tempat sumber minyak bumi terluas di dunia dan juga pusat peradaban keagamaan terbentuk.
*Wilayah 4 (Seraphic)
Seraphic merupakan wilayah terakhir yang di ambil alih oleh kerajaan sampai saat ini. Wilayah nya yang menjadi sumber rempah-rempah dan tanah nya yang subur membuat RPL Kingdom merasa tertarik untuk memimpin wilayah tersebut. Setelah menghasilkan beberapa negara bagian di sana yang mencakup seluruh asia tenggara, menjadikan kerajaan memiliki ragam budaya yang lahir dari sini. Juga ada sebuah rumor yang mengatakan jika raja pertama lahir di wilayah ke empat ini.
Dalam dunia aslinya, Swiss hanyalah negara kecil yang berada di tengah-tengah benua eropa yang di kelilingi negara dengan wilayah yang lebih besar dan keindahan yang tidak kalah indahnya dengan Swiss.
DI Prime Land, kalian bisa melihat keindahan istana RPL Kingdom berdiri kokoh di pusat kota Zurich yang letaknya tidak jauh dengan Sungai Limmat. Luas istana tersebut sama luasnya dengan istana Versailles yang berada di Prancis jika kalian sangat penasaran dengan istana dalam dunia paralel tersebut.
Denga berdirinya kerajaan RPL Kingdom membuat dunia tersebut berbeda dengan dunia yang selama ini kita tempati, namun untuk nama tempat tetap sama begitu pula keindahan alam yang dimiliki.
♡♡♡
Di kepalai oleh seorang ratu, menggantikan posisi suami nya yang telah tiada didampingi oleh delapan pangeran yang mulai beranjak dewasa yang menjadi idola bagi rakyat kerajaan tersebut.
Karena untuk menguatkan keturunan raja agar tidak keluar dari sistem aturan, membuat Arunika menjadi ratu selama lima belas tahun setelah Pawana Amerta meninggal.
RPL Kingdom berasal dari singkatan Right Prime Land, para masyarakat nya biasa menyebut Prime Land untuk tanah mereka.
Istana Prime Land berdiri kokoh di pusat kota Zurich menjadi salah satu keindahan yang bisa di lihat dari kemegahan kota ini.
Istana ini berdiri sebagian besar terbuat dari material marmer dan kaca, seluruh lantai dan dinding di lapisi oleh material tersebut, dan juga taman istana yang sangat luas yang bisa dilihat dari atas melalui objek udara. Setiap taman memiliki kolam yang di tengah nya terdapat air mancur.
Pagi ini seperti biasa semua berjalan dengan normal, sarapan pagi keluarga kerajaan yang tak boleh mereka lewati sebelum melakukan aktivitas lainnya.
Arunika berjalan menyusuri sepanjang koridor istana, semenjak musim dingin tiba matahari selalu bersembunyi di balik kabut awan membuat tetesan salju dapat turun menyentuh bumi.
Para maid dan pengawal berseragam terlihat menunduk saat ratu melewati mereka ketika berpapasan bertemu.
"Biar saya sendiri yang masuk," ucap Arunika pada pengawal nya saat sampai di depan dua pintu yang cukup lebar itu tertutup. Para pengawal mengangguk dan menunggu dengan sabar di sana.
Arunika memasuki ruangan besar tersebut yang nampak seperti kamar tidur yang cukup berantakan, di balik dinding sekat yang membatasi ruang tidur terdapat ruangan yang hampir seperti perpustakaan dengan lemari tinggi yang dipenuhi oleh buku dan meja khusus untuk bekerja.
Ratu tersenyum ketika melihat orang yang dia cari tersebut sedang duduk di atas kursi besar nya, dia belum menyadari kedatangan Arunika di ruangan.
"Sedang sibuk?" tanya Arunika pada anak pertama nya tersebut.
Baskara Amerta, pangeran pertama sekaligus anak sulung nya itu mendongakkan kepala nya ketika mendengar sahutan ibu nya. Dengan senyum khas nya, Baskara menggelengkan kepala nya.
"Tidak juga, ibu perlu sesuatu?" tanya Baskara.
Arunika mendekat ke meja anak nya tersebut dan mengambil kursi kosong tepat di hadapan Baskara.
"Hanya ingin menjenguk anak sulung ibu, kamarmu terlihat berantakan Aska," ucap Arunika memanggil nama kecil anaknya.
Aska menarik nafas. "Aku hanya tidak suka kamar ku dimasuki seseorang tanpa seizinku."
"Lalu, ibu sendiri bagaimana?"
"Ibu punya kebebasan, tapi seharusnya Anda mengetuk pintu terdahulu agar saya bisa menyambut dengan baik," kata Aska sopan.
Arunika tersenyum, dia bangkit dari kursi nya dan melihat foto keluarga mereka di atas meja kerja Baskara.
Dia memandang foto keluarga bahagia tersebut saat suaminya Pawana Amerta masih hidup.
"Kamu itu mirip sama ayah, dari kedelapan anak laki-laki ibu kamu yang paling menonjol sama kemiripan nya."
"Seharusnya ibu mengatakan hal itu ketika sarapan tadi, pasti anak ibu yang lain tidak menerima nya."
"Adik-adik mu itu, juga punya khas nya sendiri. Ibu sama sekali tidal pernah berniat membandingkan kalian," ucap Arunika.
Beberapa saat mereka terdiam, sampai akhirnya sebuah pertanyaan tersebut keluar,
"Sudah saatnya nak, mau sampai kapan lagi?" tanya Arunika pada Aska.
Baskara mulai sadar arah pembicaraan mereka, mengenai pasangan hidup nya karena umur nya sekarang beranjak tiga puluh tahun.
"Aku belum menemukan yang tepat, bu."
"Bagaimana kalau kamu mencoba terlebih dahulu, jika kita tidak mencoba bagaimana bisa menemukan yang tepat kan?"
Baskara bangkit dari duduk nya, menuju jendela besar dengan pandangan kota Zurich yang mulai dituruni butiran salju. Perkataan ibunya ada benarnya juga, tapi hati nya belum siap. Dia belum menemukan seseorang yang pantas dia kejar.
"Sedang aku usahakan," jawab Baskara.
"Sebagai posisi terkuat, kemungkinan besar dirimu lah yang kelak memimpin Prime Land selanjutnya. Sebelum saat itu terjadi, sudah seharusnya kamu sudah memiliki dambaan hati mu."
"Ibu tenang saja, ratu RPL Kingdom pasti berumur panjang," ungkap Aska.
"Minggu depan kita menjadi tuan rumah festival olahraga tahun ini, sebagai pembukaan seluruh kerajaan hadir di Prime Land. Di sana kamu harus mencari wanita yang tepat untukmu, sebelum ibu yang menjodohkan mu secara paksa!"
"Ini bukan zaman kakek lagi ibu yang melakukan perjodohan," kata Aska lembut menghadapi sikap ibunya.
"Ini sebagai ancaman buat dirimu sendiri, dan sikap lembutmu seperti ini seharus nya kamu tunjukkan pada mereka, mungkin karena itu para wanita takut mendekati mu."
Aska tertawa. "Ibu sudah tahu sendiri aku seperti ayah bukan? Dulu juga ayah yang mengejar ibu mati-matian, dan aku belum menemukan wanita yang perlu aku kejar seperti Pawana mengejar Arunika."
"Dari mana kamu mendengar cerita lama itu?" tanya Arunika pada anak nya yang sedang memperlihatkan senyum lebar pada dirinya, senyum yang begitu langka di musim dingin ini.
"Ari, dia menceritakan hal tersebut tadi malam pada kami semua," jawab Baskara menyebut nama adik keempat nya.
Arunika menggelengkan kepala nya. "Pasti oma mu lagi yang menceritakan nya pada Ari."
"Kisah seperti itu memang pantas untuk diceritakan, dan asal ibu tahu aku selama ini tidak diam dan menunggu, aku sedang mencari wanita yang pantas untuk aku kejar sampai aku mendapatkan nya bu."
Arunika menyentuh wajah anak sulung nya yang di tumbuhi bulu-bulu halus di bawah rahang nya yang tegas. "Bawakan pada ibu, carilah wanita itu."
Baskara mengangguk dan memeluk Arunika dengan erat. "Aku menyayangi mu ibu, ratu ku."
Baskara Amerta dikenal sebagai sosok yang berwatak keras dan dingin di kerajaan bahkan seluruh pelosok mengenal kepribadian pangeran pertama ini.
Namun, sikap seperti itulah membuat dirinya sangat dihormati dan tidak sedikitpun yang berani bermain-main dengan dirinya.
Kehebatan nya dalam menguasai lawan serta aktif nya dalam urusan politik kerajaan karena saat ini dia menjabat sebagai kepala pemerintahan untuk wilayah Caelum membuat dia semakin di kagumi banyak kalangan termasuk perempuan yang merasa tertantang dan penasaran dengan siapa nanti dia bersanding.
Tidak sedikit para putri bangsawan silih berganti untuk mendekat dengan Baskara, namun sampai usia nya saat ini hati nya masih tertutup rapat.
Hanya dengan tujuh adik nya serta Arunika lah, sikap Baskara ini menjadi sedikit hangat. Sebagai kakak tertua dan dewasa dia perlu memperhatikan dan membantu Arunika mendidik adik-adik nya.
...
*Note Penulis :
Jadi, wilayah pilihan mana yang membuat kalian tertarik buat tinggal di dunia sana? :')
.....
Ucapan Baik
Aska berjalan menyusuri koridor istana, terlihat para maid menunduk dari kejauhan karena sudah menjadi sebuah peraturan jika seorang pangeran Baskara sedang berjalan maka semua berhak menjauh karena dia sangat tidak suka dengan orang yang terlalu gila hormat padanya, meskipun begitu mereka yang berpapasan padanya tetap menunduk hormat pada pangeran pertama tersebut.
Langkahnya berhenti pada sebuah ruangan yang berdinding kaca di dalamnya semua ketujuh saudaranya berada di dalam sedang bersama, bukannya melakukan tugas harian mereka justru terlihat sedang bermain. Aska menggerutu sebentar sebelum mendekat ke arah pintu yang terbuka otomatis.
Tugas harian adalah serangkaian tugas dari pihak kerajaan yang diberikan pada pangeran tergantung dengan minat dan bakat mereka, mereka mempunyai pendidikan tersendiri untuk keluarga para bangsawan.
Keadaan yang sebelumnya riuh dan dipenuhi gelak tawa mendadak sepi dan semua kembali fokus dengan beberapa buku dan lembaran yang tadinya berhamburan. Ketujuh adiknya tak ada yang berani menatap mata Baskara.
Aska berdehem ringan dan mengambil tempat duduk yang tidak jauh dari mereka, karena mereka saat ini sedang duduk bersama di sofa.
Aska memandang mereka yang tetap dengan aksi kompak diam tersebut. "Tidak usah takut begitu, aku bukan musuh kalian."
"Ratu menyuruh kita mempersiapkan diri sebelum pembukaan festival olahraga dua minggu lagi."
"Bukannya bulan depan?" tanya Bara, pangeran kedua.
Pandangan ketujuh pangeran tersebut mengarah pada Aska menunggu jawaban sebab jadwal pembukaan festival olahraga yang berubah secepat itu.
"Aku juga tidak tahu, dia baru memberitahuku tadi."
"Sebaiknya kalian secepat mungkin memilih olahraga apa yang ingin kalian wakilkan di pembukaan nanti," ucap Aska mengarah pada saudaranya yang tidak begitu tertarik dengan dunia olahraga.
"Aku sih gampang, olahraga adalah bidang yang aku kuasai dari kecil," ucap si bungsu, pangeran kedelapan bernama Indra.
Aska tersenyum mendengarnya, adik terakhirnya itu memang sangat berbakat di bidangnya.
"Jadi kamu memilih mewakili olahraga apa nanti?" tanya Ari.
"Hmm... mungkin lebih baik kalian memilih olahraga yang kalian sukai terlebih dahulu, sisanya biar menjadi pilihan ku."
"Waahh ternyata dia sudah dewasa ya?!" Sanka, pangeran kelima yang kebetulan duduk di samping Indra membawa kepala adiknya tersebut di bawah ketiaknya.
Saudara lainnya ikut bermain dengan Indra dan Sanka, setelah melihat Indra mulai melemah dengan perbuatan keenam kakak nya barulah mereka berhenti.
Mereka duduk menyandarkan diri di sofa sembari menarik nafas dengan cepat. "Aku pilih renang!" ucap Wira mengacungkan tangan.
"Itu pilihanku tadi, tarik kata-katamu sebelumnya!!" ujar Ari tidak terima.
Wira menaikkan senyum sinisnya. "Siapa cepat, dia dapat."
Ari sudah memasang tinjuan tangannya pada Wira, namun ditahan oleh Bara yang duduk disamping nya. "Sebaiknya kamu mengalah, kalau dia tenggelam dan mati bukannya kita harus bersyukur?"
Wira mengumpat dalam hati tidak berani membalas Ari karena saat ini dia tidak jauh dengan letak duduk Aska yang semenjak tadi fokus dengan layar persegi panjang tersebut.
"Ucapanmu Bar! Tapi ada benarnya juga setidaknya bebanku berkurang mengurus kalian," ucap Aska yang tak beralih dari ponselnya.
Wira memerosotkan diri dari sofa berbulu itu mendengar ucapan Aska yang dia kira akan membela nya. "Aku lebih baik mati sekarang juga," ucap Wira yang setelah itu mendapat lemparan bantal dan snack dari ketujuh saudara nya, lagi.
...
Setelah merundingkan olahraga apa saja yang beruntung dipilih oleh kedelapan pangeran tersebut, mereka sedang dipersiapkan untuk berlatih karena mereka sendiri juga akan ikut bertanding dengan lawan main para anggota kerajaan lainnya, sudah pasti mereka harus memenangkan olahraga yang mereka pilih tersebut.
"Wihhh kapten basket kita sudah datang," ucap Dewa melihat Abi memasuki ruangan olahraga yang luas seperti stadion tersebut.
"Aku yakin perempuan yang sudah menaruh hati makin tersika melihatmu memakai baju seperti ini," ujar Ari melihat Abi memakai baju tanpa lengan dan celana selutut memperlihatkan separuh tubuh indahnya terutama lengan bajunya yang lumayan longgar sehingga dada bidangnya tampak terlihat.
"Sudah puas melihat keseksian ku?" tanya Abi, membuat Ari menelan ludahnya sendiri.
Abi memang terlihat tampan dan tidak berbeda jauh dengan Aska, jika Aska memiliki kulit putih maka Abi dua kali lipatnya dengan bentuk tubuh yang tak berbeda jauh dengan kakak-kakanya yang usia dua puluhan, serta bentuk alis dan bulu mata yang tebal tak lupa bibir warna merah muda yang membentuk sempurna membuat para wanita menaruh ingin.
"Kenapa kamu tidak terlahir perempuan aja sih? Tiap dekat rasanya kesal melulu," ujar Ari kemudian meninggalkan nya dari ruangan yang salah dia masuki, setelah urusannya dengan Dewa telah selesai.
Bara memasuki ruangan berpapasan dengan Ari, di kepalanya terdapat earphone yang terpasang mengalun sebuah lagu membuat tubuhnya ikut bergoyang menari mengikuti irama.
Abi dan Dewa melihatnya, Dewa mengulum bibirnya berusaha menahan tawa.
"Kenapa dia harus memilih anggar? Seharusnya aku memberitahu kak Aska untuk menyeretnya menjadi wakil penari balet di pembukaan nanti." tawa Dewa menggelegar, meskipun itu tidak terlihat lucu, namun melihat Bara menari seperti itu membuat ucapan Abi ada benarnya juga terutama membayangkan Bara memakai baju manset khas penari balet sehingga memperlihatkan tubuh kekarnya.
Bara mendekat ke arah mereka, Dewa masih dengan sisa tawa receh nya sedangkan Abi yang memandangnya aneh ingin mengatakan dia bukan anak kandung Ratu.
"Ada apa?" Bara bertanya pada dua adiknya yang masing-masing berjarak tujuh tahun tersebut.
Bara melepas earphone dan menaruh di lehernya, sehingga suara musik mengalun lembut itu terdengar.
"Cowok kok selera nya aneh," gumam Abi yang didengar Bara.
"Emang salah?" tanya Bara, membiarkan maid membantu memasangkan baju berbahan kuat untuk melindunginya dari serangan lawan.
"Sudah cukup, aku bisa memasang nya sendiri," ucap Bara ketika baju putih tersebut sudah terpasang di badannya, dia sebenarnya cukup risih memandang maid yang memasangkan baju untuk nya.
"Enggak salah sih Bar, tapi yang kamu lakukan itu berbanding terbalik sama apa yang orang kenal terhadapmu," ucap Dewa setelah menyelesaikan tawanya.
"Tidak apa-apa, i love my self ," ucap Bara dengan bangga menyentuh dadanya.
Aska datang menghampiri mereka bertiga. "Kalian masih betah di situ?"
"Aku segera pergi, entah terhasut apa aku ngobrol sama mereka," ucap Abi meninggalkan mereka menuju lapangan basket meninggalkan kata-kata umpatan Dewa dan Bara.
"Pelatih sudah menunggumu," ucap Aska pada Dewa. Dewa memang meminta pelatih khusus untuk dirinya.
"Bersikap baiklah padanya, aku dengar dia cukup keras takutnya kamu dendam untuk menembaknya," lanjut Aska.
"Paling-paling dia yang dendam untuk menembak Dewa karena sikapnya," ucap Bara.
Dewa memejamkan mata, baru saja dia menertawai Bara kali ini dia yang sedang di-bully.
"Lebih mudah menembak cewek dibanding pelatih, kalian harus tau itu," ucap Dewa meninggalkan mereka berdua.
Keduanya tersenyum, Dewa merupakan pangeran yang paling mudah mendapatkan perempuan dibandingkan mereka berdua tapi dia juga yang paling sering mengenal patah hati.
"Kalau pendapatmu bagaimana?" tanya Bara pada Aska.
"Pendapat apa?"
"Lebih mudah panah target melingkar atau panah hati perempuan?"
"Lebih enak kalau aku panah jantung mu sekarang!" ucap Aska mengambil panahan yang bergantung di punggungnya.
Sebelum itu terjadi, Bara meninggalkan Aska. Bagaimana dia mau mengenal perempuan kembali kalau kakaknya sendiri yang berusia tiga puluh tahun itu belum menaruh hati meskipun antrian wanita sudah sangat panjang.
"Oh iya, aku penasaran bagaimana nasib Wira apakah dia sudah tewas tenggelam?" teriak Bara yang belum begitu jauh.
"Jaga ucapan baik mu Barata!!" ucap Aska disusul tawa para pengawal yang tak begitu jauh mendengar nya. Jarang-jarang dia melihat secara langsung sikap Aska yang seperti itu kecuali pada adik-adik nya.
Saat ini hanya lima pangeran yang berada di tempat latihan yang sama karena Sanka, Wira, dan Indra berada di tempat lain. Karena tempat olahraga yang berbeda dan kebetulan olahraga yang mereka pilih berada di tempat yang sama.
---
Pintu Waktu
Jakarta dengan segala keruwetannya. Cuaca panas menguap dari aspal jalan yang tak pernah sepi oleh pijakan kendaraan berlalu-lalang, sebentar lagi pasti hujan karena cuaca terik begini biasanya hujan lebat segera tiba.
Seorang perempuan tengah melempar pandangan pada suasana kota Jakarta dari balik gedung-gedung bercakwala, sudah hampir sejam dia berdiri di situ namun tidak membuatnya sedikit lelah.
Dari sini dia dapat melihat suasana panasnya matahari di bawah sana, dan sebuah gumpalan awan gelap dari kejauhan yang sebentar lagi tiba. Karena baru tiba kembali di kota ini hampir tujuh tahun lamanya, membuat dia harus menyesuaikan kondisi iklim yang berbeda. Padahal negara di belahan utara sana sedang musim dingin.
"Kamu yakin dengan keputusan mu?" tanya seseorang yang bersamanya.
"Mengambil studi kembali perlu memakan waktu yang panjang lagi, biarkan dirimu istirahat seje—"
"Keputusanku sudah bulat pah."
Lelaki berusia pertengahan abad itu ikut berdiri di samping, lengannya terangkat untuk mengelus kepala anaknya namun tertahan, kembali dia menurunkan lengannya.
"Papah cukup memberiku izin maka aku akan pergi, dan jika tidak aku tetap pada keputusanku," ucapnya tidak melepaskan pandangannya, anaknya ini punya jiwa ambisi yang kuat seperti dirinya dia harus mengakui itu.
Lelaki itu menghembuskan nafasnya, dia ikut melihat ke arah luar jendela. "Kota mana lagi selanjutnya? Atau tetap di Cambridge?"
"Aku ingin mencari suasana baru, pilihanku di Zurich" ucapnya menoleh pada lelaki yang berdiri di samping nya.
Papahnya tersenyum dan menyentuh pundak anaknya tersebut. "Tempat kuliah nya papah?"
"Iya, aku juga punya proyek dari Harvard yang belum aku selesaikan, mungkin di Zurich aku bisa menyelesaikannya."
"Baiklah, sebelum kamu pergi lagi sebaiknya kamu istirahat yang cukup dulu hari ini." Papah nya menepuk pundak anaknya pelan, dan beranjak dari kamar putrinya tersebut.
Baru saja menutup pintu, pintu kamarnya kembali dibuka oleh orang yang sama.
"Grizelle, temanmu Kyla sedang menunggu di luar. Kamu sudah janji bertemu dengannya hari ini?" tanya Alex.
Perempuan yang dipanggil Grizelle itu menepuk dahinya pelan. "Iya aku hampir lupa, beri tahu dia aku akan bersiap."
Alex kembali menutup pintu, dan mengabari bahwa Grizelle akan bersiap-siap.
...
Xaviera Grizelle dan Varischa Kyla merupakan sepasang sahabat yang tidak mampu terpisahkan oleh apapun, kecuali maut. Mereka berdua telah bertemu semenjak sekolah menengah atas, memiliki hal favorit yang sama entah itu makanan sampai tentang mimpi dan misi-misi rahasia mereka lainnya.
Dari mereka yang selalu menghabiskan waktu bersama, membuat sebagian orang menganggap mereka adalah saudara kembar tidak identik karena selain wajah, postur tubuh dan tinggi mereka memiliki persamaan yang tidak begitu jauh.
Setelah lulus SMA, mereka berdua memutuskan untuk melanjutkan di universitas yang sama pula begitupun seterusnya mereka berjanji akan selalu mengambil langkah yang sama, mereka dengan keras kepala yang sama dan juga ambisi yang kuat untuk menggapai mimpi.
"Aku pikir kamu sudah menunggu lama, ternyata malah sebaliknya," ujar Kyla setelah meneguk habis jus mangga pemberian dari tuan rumah.
"Tapi terbayarkan sama jus mangga, kan?" tanya Grizelle ikut duduk disamping Kyla, melihat gelas berisi jus mangga tadi habis seketika.
"Iya, mau kemana kita hari ini?" Kyla memandang sahabat nya tersebut sedang menguncir rambutnya asal, meski begitu dia tetap terlihat cantik.
"Kemana saja," jawab Grizelle singkat.
"Hmm sebenarnya aku masih lelah karena penerbangan semalam," keluh Kyla menyandarkan badannya pada sofa.
"Terus kenapa datang kesini?"
"Emang gak boleh, rumah sahabat berarti rumah nya sendiri juga dong."
"Ya sudah, ayok ke kamar."
"Ngapain? Jangan macam-macam ya!"
"Ya kali, kita sudah tujuh tahun sekamar buktinya kamu masih utuh jadi perempuan."
"Jadi selama ini aku tiduran sama cowok?"
Grizelle memandang Kyla aneh, lagi dan lagi mereka membahas hal yang tak seharus nya dibicarakan.
"Kalau emang iya, mau lihat?" tanya Grizelle mengarah pada hal yang di maksud.
"TIDAK MAU!!!" Kyla refleks menutup erat kedua matanya.
"Oke kita ke kamar, daripada di sini," ajak Grizelle.
"Enggak jadi, kita jalan aja. Waktu kita di sini cuma sebentar, sudah kangen berat aku sama Jakarta," ucap Kyla mengingat besok malam mereka kembali terbang ke Zurich.
"Oke, kiranya kamu takut aku betulan jadi laki-laki."
Mendengar itu, membuat Kyla merinding dan segera meninggalkan Grizelle yang sedang kumat.
"Kalian hati-hati, jangan pulang terlalu malam Cambridge sama Jakarta itu sama," ucap Alex, mereka berdua sedang pamit padanya.
"Siap papah," ucap mereka berdua serempak.
Mereka berdua juga sudah tidak asing di mata keluarga mereka masing-masing, orang tua mereka adalah orang tua sahabat nya juga.
...
Kyla menyodorkan selembaran kertas yang berklip pada Grizelle yang sedang duduk di samping nya, sekarang mereka sedang berada di dalam mobil dan Kyla yang bertugas untuk mengendarai setelah gunting batu kertas yang di menangkan oleh Grizelle.
"Aku dapat riset dari temanku di Seoul, aku yakin itu bisa jadi alat bantu buat proyek kita," ucap Kyla.
"Lumayan bagus riset nya, sepertinya dia juga punya proyek yang sama dengan kita."
"Aku tidak mempertanyakan hal itu sebelum nya, ternyata bukan hanya kita yang mencoba."
"Sudah lima tahun percobaan, sepertinya pintu waktu itu memang tidak ada," ucap Grizelle menjatuhkan pandangan pada jalanan kota.
"Kamu suruh kita berhenti?" tanya Kyla yang dibalas tarikan nafas dari Grizelle.
"Aku tetap mau kita coba sampai S3 ini selesai, kenapa berubah pikiran?"
"Entahlah, aku tidak menyerah hanya saja mempelajari sesuatu yang melewati batas itu rasanya kita tidak akan mampu. Waktu juga akan terus berjalan begitupun waktu di dunia lainnya meskipun kita tidak tahu mereka benar adanya atau hanyalah sebuah cerita yang kita buat."
"Tapi mari kita selesaikan proyek ini, nanti malam aku baca riset yang kamu berikan," kata Grizelle.
"Albert Einstein dan ilmuwan lainnya saja perlu waktu untuk membuat ciptaan nya, seharusnya kita tidak dikalahkan sama dia," ucap Kyla.
"Aku percaya mereka ada, yang pasti teori fisika mereka itu berbeda dan mungkin belum kita ketahui sama sekali dan aku yakin teori-teori Albert Einstein dan ilmuwan lain punya kelanjutan yang belum di ketahui sampai sekarang."
"Benar, kalau kita berhasil apa yang kita lakukan?" tanya Grizelle.
"Belum terpikirkan, mungkin kita merahasiakannya atau mengabari dunia untuk mendapatkan hadiah nobel."
"Dan masuk dalam sejarah abad 21."
"Dan terjadilah perjalanan antar dunia paralel dengan paralel lainnya."
Mereka berdua sama-sama menghayal tentang peristiwa yang tidak biasa tersebut. Jika itu terjadi, sejarah dunia mungkin kembali berbeda dan memulai sesuatu hal yang baru.
Mobil berhenti tepat di lampu merah, beberapa pejalan kaki lalu lalang melewati zebra cross kebanyakan berseragam putih abu-abu. Grizelle melihat mereka tertawa bersama, sudah lama ternyata kehidupan SMA nya berlalu.
"Aku selalu ingat dengan kalimat Profesor John sewaktu dia mengajari teori relativitas di kelas, kalau ada sesuatu yang sulit untuk dipecahkan pasti ada cara yang mudah dan ringkas dibalik cara yang sulit tersebut," ucap Grizelle kembali mengingat.
"Dan semenjak itu, proyek dunia fantasi kita dimulai," lanjut Kyla mengingat dengan niat mereka dahulu yang berlanjut sampai sekarang.
"Karena kita percaya dunia fisika itu luas dan rumit, tapi jika kita mau mencoba untuk memahami pasti ada jalan pintasnya."
"Mungkin perjalanan waktu itu ibarat rumus gabungan dari rumus lainnya, hanya saja kita belum bisa menemukan apa saja yang perlu kita campur untuk membuka sebuah pintu waktu."
Mereka kembali mendiskusikan perjalanan mereka apakah bisa terwujud apa tidak, mengingat ini dunia nyata bukan dunia perfilman atau drama.
"Griz, kamu tahu kenapa kita tidak pernah punya pacar?" tanya Kyla mengalihkan pembicaraan.
"Karena kita selalu sibuk dengan dunia kita," jawab Grizelle.
"Bukan, karena mereka tidak akan kuat mendengarkan kita mengobrol hal yang gila seperti ini. Siapa juga yang mau memacari ilmuwan? Rata-rata ilmuwan bahkan tidak memiliki pasangan."
"Jadi, setelah lulus tidak berpikir untuk cari pasangan hidup atau kenalanmu, kan banyak juga?" tanya Grizelle.
"Sekali lagi, aku belum terfikirkan hal itu. Kamu sendiri?" Kyla berbalik tanya.
"Kamu sudah tau jawabannya, untuk apa bertanya lagi?" jawab Grizelle menyandarkan kepalanya pada kursi mobil dan mencoba memejamkan mata.
Kyla memandang Grizelle yang sedang menutup mata, dia sudah tahu jawabannya sudah pasti tidak akan mencoba jatuh hati lagi pada siapapun.
"Tapi setidaknya kamu tahu kan perasaanmu misalnya kamu ketemu cowok ganteng, terus jantungmu atau perasaanmu berbunga-bunga, kan?" tanya Kyla lagi memastikan kondisi batin normal sahabat nya tersebut, dia takut karena trauma nya Grizelle menjadikannya laki-laki sungguhan.
"Aku masih normal Kyla! Buktinya saja aku masih bermimpi jadi isteri nya Ji Chang Wook, aku mau saja menikah jika bersamanya" jawab Grizelle yang masih terpejam menghindari tatapan maut Kyla.
"Tidak usah mimpi ketinggian, oh iya di sosial media sempat viral yang mirip sama Ji Chang Wook bagaimana kamu berkenalan sama dia saja?"
"Aku mau yang ORI!"
"Itu tidak akan terjadi!" ucap Kyla cepat.
"Ku pastikan terjadi, tidak ada yang bisa menyembuhkan luka ku dibandingkan dirinya."
"Awwsshh." Grizelle meringis setelah mendapatkan jitakan dari Kyla membuatnya membuka mata.
"Bangunlah dari mimpimu nona, karena tujuan kita sudah sampai," ucap Kyla tanpa merasa bersalah dan keluar dari mobil.
"Sorry !" ucap Kyla mengelus kening Grizelle saat ia keluar mobil.
"Maaf ya," ucap Kyla lagi menggandeng tangan sahabatnya tersebut.
"Kena kau!!" Grizelle menjitak kening Kyla dan meinggalkan dirinya, Kyla lupa jika sahabatnya itu akan selalu membalas perbuatan nya.
Kyla tersenyum kala melihat Grizelle tertawa tak jauh darinya, jika bukan dirinya Grizelle tidak bisa melewati trauma nya semudah ini dan tertawa lepas seperti itu. Alasan kenapa dia melewati beberapa orang yang singgah di hatinya karena Grizelle adalah sahabat dan saudara nya, menghabiskan waktu bersama sahabat dan mengejar impian yang sama itu lebih menyenangkan rupanya.
...
Description: Grizelle dan Kyla adalah sahabat sejati, siapapun tahu itu. Peristiwa masa lalu membuat mereka semakin dekat. Mereka sedang mencari keberadaan dunia paralel untuk penelitian, sampai suatu hari di musim dingin mereka terjebak di dunia asing. Dunia yang dihuni oleh para pangeran tampan seperti imajinasi dua sahabat itu.
Baskara Amerta, pangeran juga sekaligus putra mahkota RPL Kingdom. Memiliki kriteria yang sangat diidolakan banyak wanita. Namun siapa yang tahu jika dia punya kelemahan yaitu sulit mengungkapkan isi hati. Dia dingin, tegas, berwibawa dan tidak boleh ada satupun yang mengatur hidupnya. Tapi dibalik itu, Baskara sangat menyayangi ibu dan adik-adiknya.
Bagaimana reaksi para pangeran yang di jatuhi dua bidadari tersebut? Apa sebenarnya yang di alami Grizelle di masa lalu? Apakah persahabatan dua gadis itu dapat bertahan?
|
Title: REMEMBER LOVE
Category: Adult Romance
Text:
PROLOG
Shin-hye dan Soo-hyun dipertemukan di Sekolah yang sama. Soo-hyun yang terpesona dengan kecantikan Shin-hye selalu memperhatikannya secara diam-diam. Karena beberapa kesalahan Soo-hyun sehingga dia harus tinggal di rumah Kepala Sekolah Seo-young yang ternyata rumahnya berdekatan dengan rumah Bibi Hyun-Rim yang adalah bibi Shin-hye. Ibarat tetanggaku idolaku, benih-benih cinta mulai tumbuh seiring seringnya mereka berdua bertemu. Namun menjalin hubungan bukanlah sesuatu yang mudah, ditambah sikap Shin-hye yang cuek.
"Shin-hye, biarkan hubungan tetap ada walaupun kita akan berpisah"
"Soo-hyun? Aku sudah punya pacar, tolong jangan ganggu aku lagi."
Mendengar kalimat Shin-hye, hati Soo-hyun terasa hancur. Dia bingung apa yang harus dikatakan lagi malam itu, padahal malam itu adalah malam terakhir bagi mereka untuk bertemu, karena mereka harus melanjutkan studi ditempat yang berbeda. Dengan penuh keyakinan Soo-hyun berkata....
"Shin.. Shin-hye? Bolehkah aku menciummu untuk yang terakhir kalinya, selepas ini mungkin kita takan pernah bertemu lagi."
Tanpa mendengar jawaban dari Shin-hye, Soo-hyun dengan cepat memeluk tubuh yang terdiam kaku itu dan perlahan menciumnya tepat dibibir Shin-hye."
Shin-hye berlari masuk ke kamarnya dengan perasaan tersayat, karena bukan saja membohongi hati dan dirinya sendiri namun juga membohongi cinta Soo-hyun yang begitu tulus untuknya. Dibalik jendela, Soo-hyun hanya berdiri mematung tak tahu apa lagi yang dia pikirkan saat ini. Karena satu-satunya kesempatan bahkan satu-satunya wanita yang dia perjuangkan cintanya selama ini begitu membingungkan perasaannya.
Tak bisakah kau memedulikan dan memeperhatikan perasaanku selama ini? Kalau perasaanmu sama denganku, pertahankan hubungan ini.....
Shin-hye yang duduk termenung di kamar merasa gelisah dalam hatinya.. Akankah hubungan Shin-hye dan soo-hyun tetap berlanjut? dirinya yang tak menyampaikan perasaannya dengan jujur, membuatnya hanya bisa terisak. Pilu.
Intip terus cerita ini Yach teman-teman.....
Salam Hormat .... Remember Love
Sekolah Baru
Shin-hye, gadis remaja yang lugu dan lembut melangkah masuk ke kamarnya menyiapkan berbagai perlengkapan sekolah yang akan di bawah hari ini segera melangkah keluar. Matanya tertuju pada jam ditangannya yang saat ini menunjukan pukul tujuh, dengan cepat dia berlari sambil memanggil kedua saudara sepupunya JIna dan Min-young.
"Sudah hampir terlambat. Ayo cepat, jangan lupa kalau hari ini adalah hari pertama bagi kita bersekolah."
"Pasti kakak kelas sudah bnayak yang hadir, kita bisa dikasih hukuman kalau terlambat."
"Sudahlah.. kenapa harus takut? Walaupun ini Masa Orientasi Sekolah, tapi kita termasuk anak baru yang belum paham aturan di sekolah baru, kan? Kita tinggal mengatakan demikian, pasti tidak dihukum." Jina sama sekali tidak gugup dihari pertama dia bersekolah di sekolah baru. Sikapnya tampak biasa saja, berbeda dengan Shin-hye dan Min-young yang sudah ketakutan stengah mati jika terlambat dan harus dihukum.
Emang Jina ya tetap Jina, kapan dia akan takut sama orang?
Shin-hye yang sudah tahu sifat Jina hanya bisa mengikuti apa yang Jina katakan, karena begitulah sifat Jina yang dikenal Shin-hye, keras tapi cerdas juga pemberani.
"Apa yang kalian lakukan? belum juga ke sekolah? gaya lambat?" Bibi yang dari tadi memperhatikan mereka semakin kesal karena mereka akan mengikuti MOS namun mereka begitu lamban dan terlihat santai.
"Bibi, kita sebenarnya takut.." Min-young yang keceplosan karena rasa takut mulai berbicara
"Bibi.. bibi, kan Guru di sekolah ini, bibi Hyun-Rim pasti bisa membantu kita. apalagi kalau nanti ada kakak tingkat yang iseng dan mengerjai kita."
"Ehemm.... ahahahaha.. Min-young?! Apa yang kamu katakan? Bibi itu punya pengaruh besar di sekolah, mana mungkin mereka mau mengerjai kita kalau ada bibi," Sela Jina.
"Apa yang kalian pikirkan? walapun nanti ada bibi Hyun-Rim, kita tetap akan mengikuti peraturan sekolah kalau anak baru wajib aturannya unyuk mengikuti MOS. Jadi jangan berharap banyak dulu ya?" Timpal Shin-hye sambil tertawa geli melihat sikap Jina yang sepertinya juga mulai takut.
"Sudahlah, daripada kalian bertiga hanya berbicara dan menrka-nerka dari tadi, lebih baik kalian bergeas ke sekolah sekarang sebelum bibi yang duluan sampai di sekolah.'
Akhirnya mereka berangkat ke sekolah. Suasana sekolah yang baru juga melihat teman-teman yang baru begitu terasa, Shin-hye yang memikirkan banyak hal duduk diam di bangkunya. Terlihat Jina yang mulai memperkenalkan diri di depan kelas diikuti dengan beberapa anak baru mebuat suasana kelas terasa seperti sudah akrab. Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh...
"Memangnya kamu siapa? Kamu itu hanya wanita, jangan bertingkah seolah-olah kamu adalah pria. Pria dan wanita itu berebeda."
"Justru mataku yang salah melihat, kalian dikatan pria? hahaha.. kalian tidak pantas menjadi seorang pria."
"Apa maksudmu? kalu bukan wanita sudah ku hajar dari tadi."
"wuuuu.... wuuuuu...." Serempak sekelompok anak-anak berteriak meledek Jina yang terlihat sangat marah.
Shin-hye baru sadar akan kegaduhan itu berlari mendekati Jina dan berusaha menenangkannya. Sementara itu, ruang kelas terdengar sangat gaduh oleh suara anak-anak yang meledek Jina tadi.
"Buummmpphh.... " Jina yang semakin kesal mendorong sebuah meja di depannya dan terjatuh. suara meja yang jatuh terdengar hingga ke ruang guru. Sekelompok anak-anak yang sedang meledek seketika terdiam...
"Kalian pikir aku akan takut atau malu jika diledekin, hah?! Bibi ku guru di sekolah ini, kalian pikir aku akan takut dengan kalian?" Jina yang sudah terlarut dalam emosi tidak bisa mengendalikan diri. Kelas yang tiba-tiba tenang oleh suara dentuman jatuhnya meja juga membuat beberapa guru berdatanaga.
"Apa yang terjadi, anak-anak." Tanya Lee-sooin, salah satu guru yang akan menjadi wali kelas tujuh nanti.
Semua anak-anak menunduk. Tidak ada dari mereka yang berani berbicara atau memberi penjelasan. Namun tiba-tiba...
"Bu, kami tadi saling menyapa dan mencari kenal, tapi karena kami tidak hati-hati hingga tak sengaja kami menjatuhlkan meja."
"Apa? Apa kalian sudah gila. hanya berkenalan sampai seperti ini."
"Baiklah, belum saatnya untuk kalian berkenalan karena itu ada dalam materi MOS nanti supaya kalian lebih teratur. jadi Ibu harap kalian duduk tenang, karena kita masih menunggu anak-anak yang lain. Ada sedikit kendala yang terjadi hingga mereka terlambat tiba disini, untuk itu ibu harap kalian bisa duduk dengan tenang karena semua para guru saat ini sedang sibuk."
Setelah Bu Sooin memberikan beberapa nasihat, ia keluar dari ruangan. Berbeda dengan suasan tadi, suasana saat ini begitu hening tanpa suara sedikitpun. Ternyata anak-anak ini mendengar nasihat dari Ibu Sooin.
Beberapa saat kemudian....
Tiba-tiba pintu ruangan kelas terbuka, segerombolan anak-anak berlarian masuk ke kelas diikuti oleh wali kelas Frie.
"Halo anak-anak, hari ini adalah hari pertama kalian di Sekolah yang baru. Semoga kalian semua tetap bertahan hingga akhir."
"Perkenalkan anak-anak, mereka adalah teman kelas kalian yang baru saja tiba di sekolah karena ada beberapa kendala, harap kalian memilih teman sebangku."
Tiba-tiba terdengar suara yang mendekat dan berbisik ditelinga Shin-hye.
"Hei, bolehkah aku duduk disini? Aku ingin memilihmu sebagai teman sebangku ku karena kamu terlihat cantik." Dengan wajah malu-malu Eun-hwa bertanya.
"Eh.... Ia, silahkan."
"Aku Eun-hwa, siapa nama mu?"
"Kim Shin-hye, bisa dipanggil Shin-hye."
Dari depan kelas Ibu Sooin berteriak sambil menunjukan jari telunjuknya ke arah seorang murud. "Kamu yang berdempetan sini perkenlkan namamu."
Wali kelas Frie memanggil seorang murid yang juga baru masuk bersama segerombolan anak-anak tadi.
"Ayo, Soo-hyun. Maju dan perkenalkan namamu." Teriak Jungmin sahabat baik Soo-hyun yang duduk berdempetan dengannya. Dengan malu-malu Soo-hyun maju ke depan kelas dan mulai memperkenalkan namanya bahkan identitas orang tuanya dia perkenalkan. Dengan cepat dan lantang Soo-hyun melakukannya, diikuti dengan teman- teman yang lain sehingga membuat suasana kelas kembali gaduh dan ribut karena perkenalan Soo-hyun dan teman-temannya yang baru tiba disekolah hari itu.
Didalam kelas yang begitu ramai dan gaduh karena perkenalan itu, membuat suasana kelas hari itu begitu menyenangkan bahkan semua anak-anak tertawa bahagia, demikian pula dengan Ibu Sooin yang cantik juga tertawa dan bercanda dengan anak walinya hingga memancarkan senyuman diwajah cantiknya. Bu sooin begitu cantik dan terlihat hangat kepada mereka. Dari hari itu, Bu Sooin sudah menjadi wali kelas idaman mereka karena keramahannya. Begitulah hari perkenalan dikelas pertama hari itu. Semua anak-anak memiliki teman sebangku dan mendapat teman baru, hal itu juga dirasakan oleh Shin-hye dan Eun-hwa.
"Kringg.... Kring.... Kring!...."
Bel sekolah berbunyi, hari pertama disekolah yang baru telah usai, dengan penuh kegirangan anak-anak berlarian untuk pulang, namun tidak begitu dengan Shin-hye dan kedua saudara sepupunya, karena ketika tiba dirumah mereka harus melaksanakan tugas rumah tangga yang di usia mereka masih belum terbiasa untuk dilakukan, tapi karena mereka bertiga bukan hanya seorang, sehingga pekerjaan itu tidaklah terlalu berat atau sulit untuk mereka lakukan.
****
Malam itu, terdengar suara tangisan yang tertahan, Shin-hye terbangun dan membalikan badan melihat Min-young yang sedang menangis.
"Min-young.. apa yang terjadi?"
"Dia sedang menangis memangnya kamu tidak melihat dan mendengar," jawab Jina dengan kesal. Kesal karena tangisan Min-young yang membuat tidurnya terganggu.
"Min-young, katakan sesuatu jangan hanya menangis bagaimana kalau ada yang terbangun karena tangisanmu." Jina semakin kesal.
Shin-hye yang tidak tahan dengan amarah Jina, akhirnya bangun dan bertanya dengan nada pelan untuk membujuk Min-young berbicara.
Akhirnya Min-young mulai menghentikan tangisannya, dia bangun dan berkata..
"Aku ingin pulang... Shin-hye.. aku merindukan ibu ku, makanya aku menangis. Maaf kaerena sudah membangunkan kalian di jam begini."
Mendengar kalimat Min-young, raut wajah Shin-hye berubah menjadi sedih karena hal yang sama juga selalu dirasakannya beberapa Minggu ini. Dia tak tahu harus mengatakan kalimat apa yang bisa menghibur Min-young dari kesedihannya. Jina yang termangu di pojok tempat tidur, melihat ke arah Min-young dan berkata......
"Min-young disini bukan hanya ada kamu seorang tapi kami bertiga, untuk apa harus menangis? Kamu kan sudah dewasa, sudah bisa mengerti kalau bersekolah dan ingin menuntut ilmu kamu harus berpisah dari orangtua. Menangis tidak akan mengubah apapun."
Mendengar perkataan Jina, bukan saja Nin-young yang terdiam namun Emilia pun tersentuh dengan kalimat itu. Walaupun perkataan Jina sedikit kasar untuk didengar baginya, namun kalimat itu seakan mengandung arti yang besar. Akhirnya mereka kembali tidur.
"Shin-hye...Min-young.... Jina.... Sudah jam berapa ini, apakah kalian tidak bersekolah hari ini?" Bibi berteriak membangunkan mereka yang tertidur pulas dan tidak sadar kalau hari sudah pagi.
"Bangun.. bangun... Hari sudah pagi, bibi sudah bangun mampuslah kita." Jina dengan cepat membangunkan Shin-hye dan Min-young yang tertidur pulas. Serentak mereka bangun dan berlarian mengerjakan tugas rumah sebelum ke sekolah.
Suasana itu terasa lucu namun sangat menegangkan, suasana berlarian kesana kemari mengerjakan tugas rumah sebelum ke sekolah membuat mereka sangat panik dan bingung apa yang harus mereka lakukan dahulu karena masih terbawa rasa kantuk. Bibi yang melihat mereka kebingungan malah menjadi marah dan berteriak-teriak.
"Beginilah kalau kalian bangun terlambat, kan? Mengerjakan tugas rumah terlambat bahkan nanti ke sekolah juga terlambat." Walaupun teriakan Bibi Hyun-Rim sekuat apapun, mereka hanya mendengarnya sekilas karena terburu-buru dan sibuk mengerjakan tugas rumah sambil memikirkan pelajaran hari ini.
Sesampainya mereka disekolah, mereka terlambat dan dihari ini juga, bibi bertugas sebagai guru piket. Susana menegangkan dirasakan mereka bertiga karena mereka tahu seperti hari-hari sebelumya mereka akan dimarahi didepan teman-teman lain dan kakak-kakak kelas. Perasaan malu bercampur marah yang ada dalam pikiran mereka, namun apa yang bisa mereka lakukan itulah akibat karena bangun terlambat dan tinggal dengan bibi.
Demikian hari-hari di sekolah baru berganti, Shin-hye dan kedua saudara sepupunya mulai terbiasa dengan sekolah baru, teman-teman baru, rumah bibi, terbiasa dengan lingkungan baru dan akhirnya mereka tak lagi merasa asing dengan tempat tinggal baru mereka. Sekolah tetap mereka lakukan, belajar adalah kewajiban mereka, mengerjakan tugas rumah sebelum dan sesudah sekolah, mengerjakan tugas sekolah dimalam hari juga belajar kelompok, berbagai aktivitas mereka kerjakan dan mulai terbiasa hingga kadang mereka lupa akan keluarga mereka yang jauh karena setiap hari-hari mereka diisi dengan berbagai aktivitas.
Follow Ig: @maylendert
Pindah Rumah
Hari itu juga, Soo-hyun yang ditemani ayah dan ibunya pindah ke rumah Bu Kepsek Seo-yeong yang ternyata rumahnya berdekatan dengan rumah Shin-hye. Hal itu terjadi karena Soo-hyun yang malas belajar dan sulit diatur kedua oarang tuanya, sehingga dia harus dititipkan dirumah Bu Kepsek Seo-yeong agar bisa diatur waktu belajarnya.
"Bu Kepsek Seo-yeong, kami meminta maaf kerena harus membebani anda dengan menitipkan soo-hyun di rumah ini." Ayah Soo-hyun yang merasa bersalah menundukan kepala meminta maaf.
"Kami tahu, pasti akan terasa berat bagi anda untuk menjaga Soo-hyun, Namun kami merasa anda bisa menjaganya." Ibu Soo-hyun membungkukan kepalanya dan dengan tegas meminta anak semata wayangnya dijaga oleh Bu Kepsek Seo-yeong.
"Hahaha... apa yang sedang kalian lakukan?" Bu Kepsek Seo-young yang melihat suasana canggung itu akhirnya mulai mencairkan suasana saat itu.
Soo-hyun yang melihat niat kedua orang tuanya hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang terjadi saat itu. Dari arah pintu terdengar suara yang tak lazim bagi Soo-hyun.
"Selamat datang kawan." Jungmin yang sudah tak sabar menantikan kedatangan sahabatnya beberapa hari lalu akhirnya keluar dari kamarnya. Hal itu membuat Soo-hyun kaget.
"Jungmin? Apa yang kamu lakukan disini?"
"Begitulah, yang kamu lihat. Selama ini aku merahasiakannya dari mu kawan."
"Apa yang kamu maksudkan?"
Tanpa menjawab pertanyaan Soo-hyun, Jungmin menarik tangan sahabatnya itu dan membawanya masuk ke kamar.
"Nanti kita bicarakan di kamar sayang." Sambil menyipitkan mata menggoda pada Soo-hyun mereka berjalan masuk ke kamar dan ketika hendak masuk ke kamar, Soo-hyun dikagetkan dengan satu sosok wanita yang dia kenal, juga ternyata tinggal di rumah ini.
"Eun-hwa?"
"Hai, Soo-hyun. Selamat datang."
"Apa yang sebenarnya terjadi ini, kalian berdua tinggal serumah dengan Bu Kepsek Seo.........?"
"Memangnya kenapa kalau tinggal serumah?" Eun-hwa dengan cepat memotong perkataan Soo-hyun
"Astaga Eun-hwa, jangan terburu-buru seperti itu."
Jungmin yang melihat mereka hanya bisa tertawa. Sebenarnya karena dia sangat kenal dengan sahabatnya yang jail itu.
Di ruang tamu, Bu Kepsek yang sedang menjelaskan beberapa hal terkait sekolah dengan oarangtua Soo-hyun telah selesai. Orang tua soo-hyun yang terburu-buru pulang karena beberapa hal yang harus diselesaikan meimta pamit. Tak lupa sebelum pamit, mereka menyam,paikan bebrapa pesan kepada Soo-hyun. Soo-hyun yang hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanda bersedia dan menerima nasihat orangtuanya, membuat hati oarang mereka bahagia.
"Baiklah, ayah.. ibu, kalian pulanglah."
"Ingat nasihat ayah dan ibu. Ayah Soo-hyun yang sakit-sakitan tampak bahagia karena kini anaknya sudah tumbuh besar.
Dari arah jendela rumah sebelah, tampak seorang gadis yang sedang menatap kearah Soo-hyun dan orangtuanya. Soo-hyun yang melihat hal itu menjadi penasaran, siapa sosok wanita itu. Dia merasa mengenalinya tapi tak berani menerka. Shin-hye yang asyik menatap tiga orang yang berbincang di halaman depan rumah Bu Kepsek Seo-yeong, kaget akan tatapan pria yang ditatapnya itu. Dengan cepat dia menutup jendela kamarnya dan pergi ke ruang tamu.
"Sepertinya kompleks kita ada anak pindahan."
"Hmmmm? apa maksudmu?" Tanya Jina.
"Itu... di rumah Bu Kepsek."
"Mungkin temannya jungmin." Timpal Min-young.
"Maybe" pikir Shin-hye dalam hati.
Malam itu, Soo-hyun yang penasaran dengan sosok gadis yang menatapnya tadi sore dari arah jendela akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Jungmin.
"Jungmin, kamu kenal dengan gadis yang di rumah sebelah?"
"Gadis yang mana?"
"Apa maksudmu? ada seorang gadis kira-kira seumuran kita tinggal di rumah sebelah."
"Yang cantik, tomboy, atau yang rambut kriwil?"
Cantik, tomboy dan rambut kriwil? apa yang di maksud Jungmin. Soo-hyun yang kesal dengan jawaban Jungmin langsung merebahkan diri di tempat tidur. Jungmin yang melihat hal itu mendekat ke arah tempat tidur, padahal dia ingin membuat penasaran sahabatnya ini, karena pikirnya sepertinya sahabatnya ini sangat penasaran dengan sosok gadis di balik jendela itu.
"Mau tahu, siapa gadis itu?" sikap Jungmin yang jail membuat soo-hyun tampak kesal. Namun wajah Soo-hyun yang terlihat kesal membuat Jungmin ingin terus mengerjainya.
"Baiklah kawan, aku orang baru di daerah sini. Senior, please..... " Soo-hyun memelas.
Melihat wajah Soo-hyun yang serius, akhirnya Jungmin menagalh..
"Jadi ada tiga gadis yang tinggal di rumah Bu Hyun-Rim..."
"What you say? rumah Bu Hyun-Rim?"
"Why? kaget, kamu?"
"Sedikit. ehh... jangan katakan kalau meerka anak Bu Hyun-Rim."
"Hahahaha..... apa yang kamu pikirkan kawan."
"Semester satu hampir selesai, kamu yakin tidak kenal dengan mereka bertiga? ahh, sebaiknya kamu tanya sama Eun-hwa. Aku akan tidur."
Melihat Jungmin yang langsung tertidur pulas, hati Soo-hyun semakin kesal dibuatnya. Terpaksa dia harus melanjutkan tidurnya, karena tidak mungkin dia harus bertanya pada Eun-hwa yang mungkin juga sudah tidur.
****
Di dalam kamar mandi, Soo-hyun yang sementara membersihkan diri untuk bersiap-siap pergi ke sekolah, masih penasaran dengan sosok gadis di balik jendela. Ahh.. mungkin aku bisa tanya pada Eun-hwa pagi ini.
"Soo-hyun, berapa lama lagi kamu di dalam sana." Eun-hwa yang sudah rapi dengan pakaian seragamnya, lupa membawa keluar jepit rambutnya dari kamar mandi sehabis mandi tadi.
"Ia, sebentar. Dua menit lagi."
"Soo-hyun... awas ya, kalau aku sampai terlambat hari ini."
Mendengar suara Eun-hwa yang marah-marah, dengan cepat Soo-hyun keluar dari kamar mandi, namun ketika dia keluar tidak terdengar sosok seorangpun di dalam rumah. Ada apa ini? kenapa terasa sunyi sekali?
"Jungmin... Eun-hwa..." Pergi kemana semua orang disini. Tanpa sengaja mata soo-hyun menatap kearah jam dinding yang berputar, ternyata sudah menunjukan pukul tujuh lewat sepuluh.
"Hehe, ter... ter... terlambat!" Dengan cepat dia memakai pakaian seragam dan berlari ke sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Setibanya di sekolah, tampak tiga gadis sedang dihukum oleh guru piket. Sepertinya aku terlambat.
"Hei, kamu... bergabung dengan mereka." Guru piket memanggil Soo-hyun bergabung dengan tiga gadis yang sedang dihukum itu.
"Ba.. baik Bu." tanpa Soo-hyun sadari bahwa tiga gadis itu adalah Shin-hye dan kedua sepupunya.
Hukuman selesai diberikan, mereka berempat masuk ke kelas. Bu Sooin yang bersiap mengajar, menyuruh mereka semua mengeluarkan catatan bahasa inggris. Namun sebelum materi diberikan...
"Shin-hye, hari ini kalian terlambat lagi."
Shin-hye yang sibuk mengeluarkan buku catatnya, tak mendengar apa yang dikatakan Bu sooin. Jina yang melihat hal itu dengan cepat menjawab Bu Sooin.
"Maaf Bu, lain kali kami tidak terlambat lagi."
Bu sooin yang menunggu jawaban Shin-hye, hanya bisa menanggapi jawaban dari Jina. Dia kemudian melanjutkan pelajaran hari itu.
"Shin hye, apa yang kamu pikirkan." Bisik Eun-hwa pelan.
"Ah, tidak. Tidak ada yang aku pikirkan, memnagnya kenapa?"
"Kamu tadi ditanya sama Bu Sooin, kamu tidak menjawab dan Jina yang menjawabnya."
"Hmmm.. apa yang kamu katakan? aku tidak mendengarnya."
"Kalau begitu, perhatikan saja pelajaran hari ini."
Shin-hye melanjutkan pandangannya pada papan tulis. Dalam benaknya bertanya.. apa yangb sebenarnya terjadi? apakah benar yang dikatakan Eun-hwa, kalau memnag benar berarti dia sudah mempermalukan Bu Sooin.
"Kringg.... kring.. kring.."
Bel jam pelajaran pertama berakhir. Bu Sooin segera keluar dari ruang kelas diiringi salam dari semua murid. Pelajaran berikut di mulai, semuanya berjalan dengan lancar. Tiba saatnya jam istirahat, seperti biasanya semua murid berlarian keluar untuk membeli jajan dan lain-lain. Berbeda dengan Soo-hyun yang selalu menempatkan dirinya di bangku duduknya yang terletak di pojok kelas.
"Soo-hyun... apa harus selalu begini?"
"Maaf, aku masih memikirkan perkataanmu tadi Eun-hwa."
"Apa yang harus dipikirkan, bagaimana kalau dengan meminta maaf."
"Ohia, benar yang kamu katakan. Terima kasih Eun-hwa."
Memang Eun-hwa yang bisa memahami Shin-hye saat itu. Shin-hye berencana untuk pergi ke ruang guru dan meminta maaf. Dari arah kantin, Soo-hyun yang kaget melihat sosok gadis cantik dengan rambut panjang terurai yang berjalan melewatinya, akhirnya sadar bahwa gadis itu adalah gadis di balik jendela kemarin. Namun ketika dia menoleh kebelakang, sosok tersebut telah menghilang.
"Dimana gadis itu."
Pikiran Soo-hyun berkecamuk, banyak pertanyaan dalam benaknya yang tak mampu dia jawab sendiri.. dimana gadis itu, kelas berapa gadis itu dan kenapa dia menghilang begitu cepat.
Jam pelajaran berikut si mulai, soo-hyun memperhatikan dengan saksama setiap gadis yang masuk ke kelasnya, namun dia tidak menjumpai sosok gadis yang dia lihat tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? apa aku sedang berkhyal?
Jungmin yang melihat tingkah sahabtnya yang aneh akhirnya bertanya,
"Ada apa lagi kamu, kesambet di siang bolong?"
"sepertinya begitu."
"ya?"
Jungmin yang bingung hanya bisa membiarkan sahabtnya yang seoerti dirasuki setan di siang bolong seperti itu dan memgikuti pelajaran. Di dalam ruang guru, masih ada Shin-hye yang di minta Bu Kepsek Seo-yeong untuk menulis beberapa kop surat undangan sekolah.
Hingga sekolah selesai, Soo-hyun yang sedang memperhatikan wajah setiap gadis di sekolah, masih penasaran dengan gadis dibalik jendela itu. Setiap gadis yang keuar untuk mengikuti apel diperhatikan dengan hati-hati olehnya, namun dia tidak menemukan sosok gadis tersebut. Soo-hyun yang tak kuat lagi hanya pasrah. Apakah gadis yang aku lihat kemarin itu hanya khayalan ku saja? dia tak tahu lagi harus sampai mana terkaannya.
Gadis di Balik Jendela
Soo-hyun duduk tenggelam dalam khyalannya di dapur.
"Apa yang kamu lakukan?"
Lelaki itu perlahan menengok saat mendengar suara yang menyapa.
"Bu Kepsek Seo-yeong."
"Ya?" Bu Kepsek seo-yeong balik menjawab.
"Ah! Tidak, aku sedang memikirkan pelajaran bahasa inggris kemarin." Soo-hyun berbohong.
Jungmin yang mendengar jawaban Soo-hyun tertawa geli karena sikap sahabatnya itu. Dengan sifat jailnya dia kembali..
"Begitulah kalau sedang jatuh cinta!" Suara Jungmin yang keras, didengar oleh Bu Kepsek seo-yeong.
"Jatuh cinta?" Dia bertanya sambil ,menatap Soo-hyun.
"Bukan jatuh cinta Bu Kepsek Seo-yeoung. Hanya penasaran." Jawabnya malu.
"hehehehe... kalau penasaran, lama-kelamaan pasti jatuh cinta,"
"Uuuuuuuu...." serempak Jungmin dan Eun-hwa bersorak.
Soo-hyun yang tersipu malu, wajahnya memerah. Bu Kepsek Seo-yeong yang melihat hal itu akhirnya mengerti.
"Siapa gadis yang sudah mencuri hati pria tampan ini?"
"Uuuuuuuu..." Jungmin dan eun-hwa kembali bersorak.
"Baiklah, katakan padaku. Siapa tahu aku bisa membantu."
"Katakan saja dengan jujur Soo-hyun." Ledek Jungmin
"Eh.. eh.. itu..."
"jangan malu, katakan saja." pinta bu Kepsek seo-yeong.
"Gadis di balik jendela...."
"Apa?... apa yang kamu maksudkan nak?"
Jawaban yang di lontarkan oleh Soo-hyun membuat semuanya bingung dan bertanya-tanya, siapa gadis dibawah jendela ini?
Sedangkan di rumah Bibi Hyun-Rim, Shin-hye yang sedang mengerjakan tugas bersama Min-young juga membicarakan anak pindahan di rumah Bu Kepsek Seo-yeong.
"Aku tidak percaya, ternyata mereka satu kelas dengan kita." Kata Min-young.
"Oh ya? memangnya kamu memperhatikannya?
"ia. Saat pulang sekolah kemarin. Kamu kenal dengan Soo-hyun?"
"Siapa memangnya?"
"Kamu tidak mengenalinya? hmmm.. itu karena bangku dudukmu terlalu jauh di pojok kelas."
"Sudahlah, lama-lama juga pasti kenal, kan?" jawab Shin-hye sambil meraih buku di sampingnya untuk di baca.
Jawaban Shin-hye membuat Min-young tersenyum. Dia bingung dengan sikap sepupunya ini, dia merasa bahwa Shin-hye seperti anak kuper dan kutu buku yang yang setiap hari-harinya hanya berteman dengan berbagai macam buku aneh.
"Shin-hye! Apa yang kamu lakukan? setiap hari selalu mebaca buku itu."
"Ya?"
"Ah.. Entahlah, kamu membuatku bosan." Min-young yang kesal dengan tindakan shin-hye langsung berdiri dan pergi.
"Jangan mengikutiku." Ujar Min-young yang berjalan keluar.
"Ada apa dengannya? shin-hye merasa aneh dengan sikap Min-youn yang tiba-tiba. Dia kembali membuka lembar demi lembar bagian akhir dari novel yang ada di tangannya dan perlahan sampai pada bagian epilog, yang adalah bagian akhir dari novel tersebut.
"Hmm... Mimpi dan cinta. Cinta? Shin-hye yang belum mengerti cinta, memiliki banyak pertanyyan di kepalanya.
"Karakter tokoh laki-lakinya sangat gigih."
maybe suatu saat nanti, aku akanmengerti. Bisakah aku? sepertinya sangat sulit meraih keduanya bersama-sama. Hanya orang gigih yang bisa.
Shin-hye yang begitu menghayati karakter laki-laki dalam novel romance berjudul Love Story in Harvard itu, mengagumi karakter laki-laki yang gigih tersebut dalam meraih mimpi dan cintanya dan akhirnya mendaptakan keduanya bersamaan.
****
Pagi yang cerah, saat yang tepat untuk olahraga bagi seorang Soo-hyun. Dengan setelan pakaian olahraga yang rapih, dia berlari ke arah jalan raya, masuk melalui lorong sekolah dan kemudian balik lagi. Empat kali putaran sudah dia lakukan dan kali ini adalah putaran terakhir, namun matanya dikagetkan akan sosok gadis dengan rambut terurai yang sibuk menanam bunga di halaman rumah bibi Hyun-Rim. Perlahan dia mendekati gadis yang tidak menyadari keberadaanya.
"Bunga yang cantik," Sapanya pelan.
"Makasih."
Jawaban yang begitu datar, bahkan wajah yang masih difokuskan pada bunga yang sedang ditanam, membuat Soo-hyun semakin penasaran akan wajah yang samar seperti yang dilihatnya dari arah jendela rumah bibi hyun-Rim.
"Hei, begitukah caramu menyahuti seseorang?"
"Ng?" jawab Shin-hye sambil memalingkan wajahnya ke arah Soo-hyun yang begitu penasaran.
"Kau?! dengan serempak mereka berkata dengan arah tangan yang saling menunjuk.
"Hai," shin-hye yang panik menyapa lembut.
"Gadis di balik jendela, kan?" Soo-hyun yang juga panik bertanya.
"Ya?" pertanyaan soo-hyun membuat Shin-hye semakin panik.
astaga.. dia pria yang waktu itu, apa yang harus ku lakukan?
Shin-hye terlihat semakin panik memikirkan kejadian waktu itu semakin bingung harus mengatakan apa, sementara soo-hyun yang melihat wajah panik yang terlintas di wajah gadis cantik yang berdiri di depannya hanya tersenyum tipis bahagia karena akhirnya dia menemukan gadis di balik jendela waktu itu.
"Ehmm! Kalau boleh aku tahu, siapa namamu?"
"Ya?"
"Hehe.. jangan takut, aku hanya menanyakan namamu saja," ujar Soo-hyun pelan.
"Ma... maaf, untuk waktu itu," sambil menundukan kepala, Shin-hye meminta maaf.
Apa yang sedang dilakukan gadis ini? Apa sesulit itu aku harus menegtahui siapa namanya? Soo-hyun dibuat bingung dengan tingkah Shin-hye. Padahal dia sama sekali tidak menghiraukan kejadian waktu itu, karena yang hanya dia pedulikan adalah siapa gadis di balik jendela itu.
"Ah! jangan meminta maaf."
"Nona, lupakan kejadian waktu itu."
"Benarkah? Kamu tidak marah padaku?" Tanya Shin-hye dengan cepat.
"Untuk apa aku marah?"
"Kamu tidak melakukan kesalahan, kan?"
"Baiklah, terimakasih," Shin-hye segera berdiri dan hendak kembali ke rumah, namun...
"Nona..."
"Kamu belum memberitahuku siapa namamu," dengan cepat Soo-hyun memotong langkah shin-hye.
"Kim-Shin-hye," Jawab Shin-hye
"Hai, Shin-hye... senang berkenalan denganmu. Aku Soo-hyun," goda Soo-hyun.
"Soo-hyun?"
"Kau mengenali ku?"
"Gadis cantik, aku senang sudah tahu namamu."
"Maaf, tapi aku harus mengatakannya, kamu sangat cantik."
Shin-hye yang mendengar kalimat Soo-hyun, seketika wajahnya memerah, dia tak bisa membendung rasa bahagianya karena dibilang cantik. Bahkan kalimat itu dikatakan oleh pria seperti Soo-hyun. shin-hye tak bisa mengelak kalau pria yang mengatakan bahwa dia cantik adalah pria tampan yang belum dia kenal dengan baik.
"Terimakasih, maaf aku harus pergi," dengan cepat Shin-hye berjalan melewati Soo-hyun dan masuk ke rumah. Dari arah berlawanan, soo-hyun yang begitu bahagia berlari kecil ke arah rumahnya. Dia tidak membayangkan jika hari ini dia tak keluar rumah untuk olahraga, maka misteri sosok gadis di balik jendela tidak akan terpecahkan.
"Huhu... nanana.. nanana.." sambil bersiul Soo-hyun masuk ke kamar mandi.
"Aku tahu namanya, huuuu..."
"Gadis di balik jendela, I know who are you..."
"Ada apa dengannya?"
"Mungkinkah sesuatu yang baik sedang terjadi?"
"Hanya dewa yang tahu, hahaha.."
Jungmin yang tidak mendengar dan mengetahui apa yang terjadi dan melihat tingkah sahabatnya menjadi bingung karena sebelum ini, sahabatnya seperti manusia yang tak bernyawa kini kembali ceria.
"
Maksud Hati
Tidak seperti hari-hari sekolah yang biasanya, hari itu murid-murid terlihat begitu serius dalam mengikuti pelajaran, karena ujian pergantian semester akan tiba. Shin-hye tampak serius mendengar pelajaran saat itu, karena dipikirannya dia harus masuk lima besar agar tidak mempermalukan bibi Hyun-Rim. Dari arah tempat duduk bagian kiri, tampak wajah Soo-hyun yang menoleh ke samping, dikagetkan dengan pemandangan saat ini.
Gadis di balik jendela! kapan dia duduk di tempat itu? apa yang dia lakukan dengan Eun-Hwa? jangan-jangan dia juga murid di kelas ini.
Shin-hye yang mulai merasa ada yang memperhatikan dirinya, pelan-pelan mengangkat wajahnya, dan pandangan mata yang begitu tajam sedang melihatnya seakan sedang membutuhkan sebuah jawaban darinya. Dia memperhatiakn dengan saksama dan akhirnya dia mengerti.
astaga! ternyata anak itu... Soo-hyun?
Shin-hye tiba-tiba teringat akan percakapannya dengan Min-young kemarin. Gadis itu hanya menganggukan kepala dan kembali memperhatikan pelajarannya.
Soo-hyun yang melihat sikap Shin-hye kembali melanjutkan pelajarannya juga. Dalam hatinya diam-diam dia merasa bahagaia karena ternyata Shin-hye sekelas dengannya.
hehehe... Jodoh memang tak kemana!
Bu Sooin berjalan keluar dari kelas, ruangan mulai gaduh dengan suara murid-murid yang mulai menggeser meja dan bangku untuk berdiri. Dengan cepat Eun-Hwa menarik tangan Shin-hye untuk keluar kelas, namun Shin-hye yang tidak suka keluar kelas atau ke kantin melepaskan tangannya.
"Eun-Hwa... apa yang kamu lakukan!"
"shin-hye, keluarlah denganku."
"apa kamu tidak bosan hanya di dalam kelas?"
"Tidak. aku selalu punya ini, kan? shin-hye mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, dan ternyata...
"Novel lagi!?"
Eun-Hwa yang kesal berjalan keluar. Min-young yang melihat sepupunya pun langsung keluar. Jina yang melihat hal itu hanya tersenyum sinis, karena dirinya saat ini juga tidak ingin beristirahat, atau keluar ke kantin.
"Memangnya apa lagi yang bisa dipikrkan Min-young selain bermain?"
"hehehe... memangnya kenapa kalau membaca novel atau komik?"
"Tidak seru." Jawab Jina
Jawaban Jina yang tiba-tiba hanya diabaikan oleh Shin-hye. Lembar demi lembar buku itu di buka dan di bacanya. Hal itu membuat dirinya terlihat kadang tersenyum dan kadang begitu serius dengan wajah yang datar. Namun tiba-tiba dia kembali memikirkan jawaban Jina.
Kenapa tidak seru? hanya orang yang tidak mengerti yang berkata demikian.
"Belajarlah, ujian semester akan tiba," kata Jina.
"Belajar?"
"Ohia, aku hampir lupa kalau minggu ini ada ujian."
"Berapa banyak materi yang sudah kamu pelajari?" tanya Shin-hye
"Matematika dan Bahasa Inggris."
"Wow!"
Ada apa dengan diriku? kenapa aku mendadak takut?
Shin-hye mulai ketakutan, karena yang dikatakan Jina benar bahwa dia seharusnya belajar daripada hanya membaca novel atau komik.
"Baiklah......"
****
"Hai, kamu Shin-hye, kan?"
Seorang gadis menyapa Shin-hye yang baru saja keluar dari toko ice cream.
"Hai..."
Sambil melambaikan tangannya, Shin-hye berjalan pergi, walaupun dalam ingatannya yang samar dia seperti mengingat siapa gadis itu. Langkahnya tiba-tiba terhenti karena sebuah pelukan pada lengannya.
"Ji-Hyun," sambil mengulurkan tangan, Ji-Hyun memperkenalkan diri.
" Oh.... Ji.. Ji.. "
"Ji-Hyun, astaga... kamu tidak tuli,kan?"
"hehe.. Ji-hyun ya."
"kamu sekelas denganku, kan?"
"hmmmm..."
Ji-Hyun yang mendapat kesempatan, akhirnya bertanya.
"Maaf, tapi buku apa yang selalu kamu baca di kelas?"
"Ng?"
"hehe, buku... yang selalu kamu baca setiap jam istirahat."
apa yang dikatakan gadis ini adalah novel dan komik? Shin-hye yang masih ragu membuat ji-Hyun akhirnya jujur.
"Sebenarnya, aku juga memiliki beberapa..."
"Ya?"
"Novel dan Komik, kan? aku juga ada." kata Ji-Hyun
"Aku sering melihat kamu membacanya."
"kalau kamu mau, aku bisa pinjamkan."
Shin-Hye yang mendengar kalimat Ji-Hyun mendadak panik.
"Kamu juga punya novel dan komik?"
"kapan kamu bisa meminjamkannya!?"
"Cepat sekali responnya," Ujar ji-Hyun. dalam hatinya berpikir bagaimana bisa seorang gadis remaja seperti ini suka membaca novel dan komik?
"Baiklah, aku ikut ke rumah kamu ya?"
"Untuk apa," tanya shin-hye bingung.
"Main... Aku lagi malas di rumah, bosan."
Shin-hye yang berpikir dua kali akhirnya setuju, dan mereka berjalan pulang ke rumah bibi hyun-Rim yang hanya berjarak 5 meter dari toko ice cream.
"Dari mana?"
Sebuah suara tak bersahabat membuat Shin-hye dan ji-Hyun berbalik. Ternyata itu adalah Soo-hyun yang berjalan menghampiri mereka.
"Apa maksud kamu!" tanya Ji-Hyun dengan tegas
Namun Ji-Hyun yang merasa pandangan mata soo-hyun yang tak lepas dari gadis di sampingnya akhirnya mengerti dan mulai diam. Shin-hye yang tak peduli, merasa aneh dengan suasan saat ini. Apa yang sedang terjadi, kenapa mereka hanya diam? Dia berbalik dan melihat bahwa pria di depannya sedang memandanginya dengan pandangan menyelidik.
"Habis beli ice cream," Jawab Sin-hye.
"Kenapa bertanya?" Shin-hye yang merasa aneh dengan pertanyaan Soo-hyun melontarkan pertanyaan balik
Pertanyaan Shin-hye seketika membuat Soo-hyun terdiam. Apa dia tidak mengerti? aku bertanya karena merasa mengenal dirimu dan ingin lebih mengenalmu.
"Hanya bertanya," ujar soo-hyun pelan.
Ji-Hyun yang sudah mengerti akhirnya kembali berbicara..
"Apa salahnya kalau dia bertanya?"
"Kamu pasti khawatir, kan? Ji-Hyun mengedipkan matanya pada Soohyun, memberi tanda.
Mereka berdua dikagetkankan dengan perkataan Ji-Hyun.
"Khawatir?" tanya Shin-hye bingung.
Namun Soo-hyun yang mulai mengerti dengan tanda yang diberikan Ji-Hyun, ingin menggunakan kesempatan itu untuk mengunkapkan maksud hatinya, bahwa dia ingin mengenal shin-hye lebih dari pertemuan mereka waktu itu.
"Sebenarnya...."
"Kembalilah bersama kami, kita searah, kan?" Ujar Shin-hye lalu menarik tangan Ji-Hyun untuk pergi.
Soo-hyun yang kebingungan tak tahu harus menjawab apa, akhirnya pasrah dan berjalan bersama mereka kembali.
Andai saja aku sedikit lebih berani. Maybe masih terlalu dini. hehehe
Soo-hyun hanya bisa tertawa kecil karena sikapnya yang berubah drastis saat berhadapan dengan gadis cantik di depannya tadi. Memikirkannya membuatnya tak percaya, bahwa berhadapan seorang shin-hye mampu memporak-porandakan hatinya, sehingga maksud yang sudah dia pikirkan untuk disampaikan ketika bertemu, hilang begitu saja dari ingatannya.
Persaingan Saudara
Suasana kelas yang diam, membuat pikiran jauh lebih tenang. Bu Ha-Kyo yang bertugas mengawasi ruang kelas tujuh dalam mengikuti ujian Bahasa inggris saat itu.
"Are you ready guys?"
"Yes Mam," jawab Shin-hye singkat.
"Ehemmm..." Bu Ha-Kyo berdehem karena pertanyaannya hanya di jawab oleh satu orang.
"Have you studied before?"
"I've studied it," Jawab Shin-hye
"Attantion please!" Bu Ha-Kyo yang merasa tak diperhatikan murid-murid, sedikit kecewa.
apa mungkin mereka tidak mengerti yang aku katakan, pikirnya. Dari arah belakang, shin-hye mengangkat tangan hendak bertanya.
"Can we open the dictionary?" Tanya Shin-hye.
"You guys can open it."
Bu Ha-Kyo yang melihat bahwa hanya Shin-hye yang bisa menjawab dan bertanya dalam Bahasa Inggris akhirnya paham, bahwa murid-murid kelas tujuh belum semuanya bisa menggunakan bahasa asing itu.
"Baiklah... semoga kalian bisa menjawab dengan baik."
"Shin-hye, kamu dilarang memberi contekan jika ada yang bertanya." Ujar Bu Ho-Kyo
"Baik Bu."
Murid-murid mulai menegrjakan soal ujian saat itu. Shin-hye yang merasa bangga akn diri sendiri karena bisa walaupun sedikit dalam menggunakan Bahasa Inggris tersenyum tipis. Fighting.... Memberikan semangat bagi dirinya sendiri.
Beberapa saat kemudian Bu Sooin masuk ke kelas. Sebagai walikelas dia tampak mengkhawatirkan murid-muridnya, karena sebenarnya dia juga tahu bahwa mereka masih lemah dalam mata pelajaran yang dia ajarkan itu.
"Kalian tidak perlu khawatir."
"Dalam soal essay, harus di jawab walaupun beberapa kalimat."
"Adakah bonus poin Bu?" tanya Jina sedikit khawatir.
"Ya. Ada bonus poin, jika kalian tidak mengosongkannya."
Selesai menjawab, Bu Sooin berpamitan pada Bu Ha-Kyo dan keluar. Beberapa menit berakhir dan waktinya mengumpulkan lembaran jawaban. Bu Ha-Kyo pun memberi perintah.
''Time Up!"
namun murid-murid masih belum mengumpulkan, Bu Ha-Kyo memberikan lima menit tambahan waktu. tak lama kemudian tambahahan waktu berakhir.
"Kumpulkan segera!" Bu Ha-Kyo berteriak.
Baik Bu," Shin-hye dengan cepat menyerahkan lembar jawabannya. Murid-murid yang melihat hal itu tak berdaya, namun sebagian dari mereka memuji Shin-hye yang cukup mahir sebagai pemula. Akhirnya semua lembar jawaban terkumpulkan, Bu Ha-Kyo pergi meninggalkan ruang kelas.
"Shin-hye..." sapa Ha Jin
"Ng!" Jawab Shin-hye spontan.
Ha Jin, si gadis berambut pirang yang selama ini hanya terlihat diam dan kurang bersahabat juga, bisa dikatakan hampir mirip dengan Shin-hye.
"The best," Katanya, sambil mengacungkan jempol.
"Thanks ...." jawab shin-hye dengan wajah tersenyum.
"Jika....."
Dari belakang Ha Jin, Jina yang melihat mereka semakin kesal dan langsung memotong pembicaraan mereka.
"Jika terlalu sok pintar juga tidak baik." Sindir Jina.
Shin-hye yang mendengar kalimat Jina terdiam. Sejenak dia berpikir. Mungkinkah Jina membenci aku? Bukannya dia juga sering memamerkan kepintarannya di jam pelajaran matematika? Whats wrong with her? pikinya bingung.
"Jika terus belajar pasti bisa!" Shin-hye menyambung kalimatnya yang terpotong tadi.
"Sepertinya aku harus belajar darimu, kawan."
"Kamu harus mengajari diriku yang lemah ini, hehehe," ledek Eun-Hwa
Baiklah, dengan senang hati babe," jawab shin-hye, sambil diam-diam melirik jina yang tampak cemberut dari tadi.
Murid-murid lain yang mendengar percakapan mereka hanya terdiam, karena mereka tahu akan sifat Jina yang kasar walaupun dia seorang gadis. Soo-hyun yang melihat juga hanya bisa diam, kali ini juga dia merasa bangga dengan Shin-hye yang memiliki kemampuan berbahasa asing. Di balik itu juga, ada eun-Hwa yang menemani, semuanya pasti baik-baik saja.
****
"Apa yang terjadi," tanya Min-young sedikit cemas.
"Apa kalian bertengkar tadi?"
Min-young bertanya dengan cemas. Namun kedua sepupunya yang diam saja tanpa merespon membuatnya menebak, pasti mereka bertengkar, dimana? apa di sekolah tadi? dia bertanya-tanya dalam benaknya.
Beberapa menit kemudian, melihat mereka yang tak kunjung merespon,
Ke. Eun-Hwa:
Apa yang terjadi di sekolah selesai ujian tadi.
Eun-Hwa yang sedang memeriksa beberapa soal ujian tadi di buku catatannya, mendengar bunyi ponselnya berbunyi menandakan pesan yang masuk. Perlahan dia membuka dan membaca pesan tersebut. Pesan dari min-young?
"Apa maksudnya?"
"Ohia!" Baru terpikirkan oleh Eun-Hwa pesan dari Min-young.
"Kenapa dia bertanya?" Walaupun sedikit bingung, Eun-Hwa membalas.
Dari. Eun-Hwa:
Tadi, setelah selesai ujian, terjadi sedikit
pertengkaran kedua sepupumu. Kemana saja kamu?
Kenapa bertanya?
Min-young yang mendapat balasan pesan segera membaca. Oh.. ternyata benar mereka bertengkar tadi. Ah! Eun-Hwa kenapa begitu plin-plan kalau menjawab, kenapa tidak lansung menjelaskan!
Ke. Eun-Hwa:
Apa yang mereka pertengkarkan?
Aku ke toilet tadi. Sepertinya akan
terjadi perang saudara disni
jadi jawablah dengan cepat dan benar.
Bunyi pesan masuk, Min-young yang cemas membuka pesan.
Dari. Eun-Hwa:
Jina yang duluan, sepertinya dia tidak suka
karena Shin-hye bisa berbahasa Inggris tadi.
Kamu pasti mengerti dengan sikap Jina yang jeolus.
Dari. Eun-Hwa:
Baiklah, aku mengerti.
Min-young yang menghadapi mereka hanya bisa diam. Dia tahu jelas bagaimana sifat Jina dan dia peduli pada Shin-hye. Dia tahu kalau itulah kelebihan Shin-hye. Hanya ada satu cara yang membuat suasan kembali tenang.
"Kalian akan seperti ini sampai kapan?"
"sampai bubu Hyun-Rim pulang?"
"Silahkan saja, aku tidak peduli lagi."
Min-young yang kehabisan akal hanya bisa menakuti mereka dengan membawa nam bibi Hyun-Rim.
"Aku tidak sedang marah," kata Shin-hye yang mengerti dengan akal-akalan Min-young.
"Memangnya aku sedang marah?" tanya Jina sambil menatap tajam ke arah Min-young. Dia merasa bahwa Min-young sedang membantu Shin-hye, dan dia semakin jengkel.
"Oh! maaf, berarti aku yang salah."
"Habisnya kalian hanya diam dari tadi," Ujar Min-young berusaha mengelak.
Shin-hye yang mendengarnya akhirnya tertawa..
"Hahaha..... "
"Apa yang kamu lakukan Min-young?"
Shin-hye melirik ke arah Jina yang masih kesal, berdiri perlahan mendekati Min-young..
"Aku tahu apa maksudmu nona.." Bisiknya pelan, lalu berjalan masuk ke kamar.
Min-young yang penasaran, akhirnya berlari mengikuti Shin-hye sambil berteriak..
"Shin-hye! kamu kejam..."
"Hahaha..."
Dari dalam kamar, terdengar suara tawa mereka, Jina yang dibuat semakin kesal akhirnya berjalan keluar dari sana. Dia merasa tersaingi dengan kemampuan Shin-hye di Sekolah, mulai dari teman-teman yang membantu Shin-hye, bahkan Ibu Ha-Kyo yang memuji Shin-hye atas kemampuannya dalam bahasa Inggris.
"O,ya... apa kalian mengerjaiku?"
"suatu hari nanti kalian akan menyesal."
"Ah! Tidak ada bibi disini!"
Gadis itu menggigit bibirnya dengan marah. Semakin dia marah, wajahnya semakin terlihat jahat, itulah yang membuat shin-hye tak suka bertengkar dengannya dan menghormatinya, karena jina lebih tua setahun darinya.
Description: Kenangan itu terasa indah hingga tak mampu dilupakan. Hanya bisa tersimpan dan dituangkan sebagai cerita yang berarti dalam hidupnya. Cinta pertama yang tak bisa dimiliki, namun harus dibiarkan pergi karena tak sanggup memiliki dan mempertahankannya. Shin-hye menarik nafas panjang sambil memikirkan bagaimana cara menghadapi cinta dari Soo-hyun, pria yang begitu dicintai sepanjang perjalanan hidupnya sampai dia tak tau kapan harus melupakannya.
Puncaknya, Shin-hye dihadapkan dengan pilihan yang sulit ketika Soo-hyun memilih untuk pergi melanjutkan pendidikannya, sedangkan Shin-hye yang menunggu tanpa sedikitpun kabar dari Soo-hyun akhinya mulai lengah akan harapan bahwa Soo-hyun akan kembali. Dapatkah mereka tetap bahagia dan saling mencintai meski tak bersama?
|
Title: Renjana yang Berbinar
Category: Novel
Text:
00 : Prolog
"Binar!!!" Seru seorang gadis manis di meja no 30
Gadis bernama Binar itu, lantas menghampiri sumber suara. Binar Kiani Klandestin, anak bungsu dari pasangan Sekala dan Arunika. Dia manja sekali kalau sudah bertemu mas dan mbanya, masnya bernama Bagaskara Lazuardi Bumantara dan mbanya bermana Rekah Abadi Klandestin. Gadis cantik yang memiliki banyak sekali rahasia dan kejutan. Gadis cantik yang selalu di puja-puja lelaki. Golongan anak hits yang di kenal akan kecantikan dan kecerdasannya.
"Bandung panas banget ya” Katanya
“Udah gausah ngode gitu, mas udah paham kok. Nih, milkshake oreo buat kamu" Jawab seorang lelaki di hadapannya
“Makasih masku yang ganteng” kata Binar di selingi senyuman manis yang bisa membuat siapapun tertarik kepadanya.
“Udah ke kampus? Maaf ya mba Rekah gabisa nemenin tadi” Sambung gadis di sebelah Binar
“Gapapa kali mba, lagian tadi aku ketemu temen-temenku yang di grup angkatan loh mba. Mereka baik-baik banget loh mba. mas. Tadi aku ketemu sama bang Renjana juga, dia ngospek ya?”
“Iya si Renjana nanti ngospek, tapi pas jurusan doang sih setau mas. De, kalo ada yang cantik boleh kali ya mas pacarin” Goda Bagas
“ih mas apaan sih?” serempak Binar dan Rekah protes
“kalian gamau ya perhatian mas yang ganteng ini terbagi?”
“ih apaan sih ya mba”
“Sini Nar ngobrol sama mba aja”
“Iya mba gausah sama dia, ga jelas” Timpal Binar
"Yah masa mas nya yang ganteng ini di anggurin sih?" Bagas merengek manja.
"Habis dari sini makan Taichan di Jln Bengawan yu" Ajak Rekah antusias
"Eh iya sekalian ibu nitip Srabi Notosuman katanya" Kata Bagas
"Aku mau gelato boleh ga?"
Hari itu di habiskan oleh mereka dengan berkeliling kota Bandung. Besok Binar ospek, dan satu rumah heboh bantu Binar buat nyiapin apa aja yang di butuhin dan harus di bawa Binar besok. Lagi-lagi Binar menghela nafas entah harus berapa kali dia protes pada semua anggota keluarganya. Mungkin, karena dia anak bungsu jadi semua perhatian tertuju padanya. "bu, perasaan waktu mas sama mba yang kuliah ibu sama baba ga seheboh ini deh" Protes Binar "Banyak protes kamu de" timpal Bagas "Iya banyak protes deh yang penting beres aja Nar, soalnya kalo kamu ngeberesin sendiri bisa-bisa besok kamu di hukum karena ada yang ketinggalan" Jawab Rekah "Aku kan udah gede mba,mas aku bisa kok nyiapin semuanya sendiri" Protesku lagi "Udah-udah, mba ini udah semua kan?" Ibu melerai, mungkin pusing mendengar anak-anaknya berdebat "Udah kok bu, besok yang megang kelompok Binar itu Rekah sama Adit bu. Jadi kalo ada apa-apa ibu telpon Rekah atau Mas Bagas aja ya? Soalnya handphone Binar besok di pegang Rekah" "Siap sayang, udah sana pada tidur besok kan harus pada bangun subuh" Ujar ibu Arun lembut sekali suaranya "Siap Ibunda Ratu" Ujar Bagas,Rekah dan Binar.
Seperti pada malam-malam yang lalu, mereka satu persatu saling berpelukan dan mengucap sayang. Itu sudah menjadi tradisi di keluarga Bapak Sekala. Tradisi ini menjadi sebuah kewajiban dan menjadi alasan keeratan hubungan mereka. Binar,Rekah dan Bagas berpelukan dan saling berterimakasih untuk hari yang panjang itu.
Description: “Kita seperti kereta api yang berbeda tujuan namun bertemu di stasiun yang sama. Ga lama lagi juga kita saling meninggalkan. Mau itu aku yang ninggalin kamu atau kamu yang ninggalin aku” Binar
"Aku gaakan pernah ninggalin kamu Bi, aku janji aku gaakan pernah ninggalin kamu dan aku gaakan buat kamu sedih, aku akan selalu treat you like a queen bi, janji" Renjana
"Jangan janji Re, jangan janji kamu ga mungkin bisa nepatin itu"
"Aku janji Binar, tapi kamu jangan pergi"
Seperti kereta api yang berbeda tujuan, namun selalu dipertemukan di sebuah pemberhentian. Yang lantas, saling meninggalkan menuju tempat tujuannya masing-masing. Seperti Bumi yang mengharap sinar Bulan di siang hari, Renjana dan Binar tidak bisa saling menutupi rasanya masing-masing.
Binar sayang Renjana, begitupun sebaliknya. Tapi satu hal yang tidak bisa di maafkan. Renjana berhasil, berhasil membuat Binar kecewa, berhasil membuat Binar pergi. Benar, Renjana tidak pergi tapi Binar yang pergi. Lantas, akankah semesta mempersatukan mereka? akankah akhir kisah mereka seperti apa yang mereka harapkan?
|
Title: Rembulan
Category: Puisi
Text:
Rembulan
Rembulan adalah saksi ketika kegaduhan berhenti sejenak dalam keriuhannya, amarah yang terlelap dalam kemurkaannya, dan duka yang terlupa dalam kesedihannya
Begitupun rembulan menjadi saksi atas deretan naskah yang mencoba dibacakan esok hari, alinea demi alinea yang siap menjadi bahan bakar matahari kegundahan, dan kalimat demi kalimat mantera yang akan ditiupkan dalam riuhnya kemunafikan
Dan drama kehidupan pun akan siap diperankan esok hari, kita tinggal menunggu apakah alur cerita akan tetap teguh dalam istoqamah, mundur dalam kegelisahan, atau maju dalam kedustaan
Kita tunggu sambutan mentari yang akan jadi saksi kedua dalam drama kehidupan eposode berikutnya, semoga saja secercah harapan masih terbesit dalam tumpukan gelap
Description: Rembulan menjadi saksi
|
Title: Rahasia Si Introvert
Category: Novel
Text:
perkenalan
Bagaimana perasaanmu jika kau berada di posisi di mana kau tidak dianggap berarti. Ketika diammu menjadi masalah, kejujuran menjadi sebuah pertanyaan, dan keinginan menjadi sebuah tawa. Kau ingin menjelaskan pada mereka bahwa bukan seperti itu maksud dirimu, tapi seolah mereka menutup rapat telinganya.
Malam itu hujan begitu deras dan petir menyambar hebat. Membuat rumah yang begitu sederhana begitu dingin karena angin masih bisa masuk menerobos ke dalam.
Rumah itu dihuni oleh sebuah keluarga yang terdiri dari sang Ayah, Ibu, anak laki-laki yang bernama Leo dan seorang gadis perempuan bernama Nasya Wulandari atau akrab disapa Nasya.
Pandangan, cibiran sering diterima oleh sosok gadis yang terkenal pendiam itu. Dia adalah sosok gadis dengan rambut panjang yang selalu di ikat rapi, dengan tinggi tubuh 150 cm, mata sipit, kulit sawo matang, pintar, tapi Introvert. Begitulah kata sebagian orang-orang mengatakannya.
Nasya Wulandari adalah anak pertama dari dua bersaudara dan ia memiliki adik laki-laki yang bernama Leo. Saat ini Nasya tengah duduk di bangku SMA kelas XII jurusan IPS.
Dia termasuk salah satu siswa berprestasi yang bisa masuk di sekolah favorit. Dia juga termasuk anak yang pintar dan tahu sopan santun.
Banyak orang yang menyukai Nasya, namun banyak juga yang membenci entah karena iri, ataupun masalah hati.
Terdengar langkah kaki mulai mendekati sosok gadis yang tengah menatap serius layar laptop di depannya.
"Lagi sibuk Nas?" tanya wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibu dari Nasya.Wanita itu duduk tepat di samping putrinya duduk.
"Iya, " jawab Nasya pelan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop di depannya.
"Nas, ini dimakan dulu. Jangan sampai lupa waktu. Kamu paham kan maksud saya?" Nasya mengangguk paham. Wanita paruh baya itu lantas pergi meninggalkan Basyah yang kini mulai memakan makanannya.
Saat ini Basyah tengah menulis sebuah cerita di blog pribadinya. Entah mengapa Nasyah lebih suka menghabiskan waktunya untuk menulis daripada membuang waktu dengan percuma.
"Menulis adalah sebuah cara di mana kita bebas mengekspresikan perasaan kita tanpa terkekang. Lalu jadikan tulisanmu menjadi sebuah mahakarya terindah dalam sejarah kehidupanmu," batin Nasyah pelan.
Nasya Wulandari
Apakah aku terlihat bodoh hanya karena tidak mengikuti gayamu? Atau bahkan aku terlihat aneh, karena prinsip ku itu?
Angin mendesah perlahan bersama dengan sayup angin yang membelai wajah seorang gadis berambut hitam panjang yang di ikat rapi. Mata lebar dan pipi yang bulat seperti bakpau membuatnya sering menjadi bahan bulian. Nasyah Wulandari adalah nama gadis pendiam itu. Seorang gadis yang sangat jarang sekali berbicara, bahkan untuk bergaul dengan teman-temannya saja sangat jarang kecuali untuk mengerjakan tugas sekolah saja. Nasyah sebenarnya bukan gadis Introvert namun karena lingungan dan sebuah rahasia yang di sem unyikan membuat gadis itu mendapatkan julukan si Introvert.
"Hai, sendiri saja Nas?" tanya seorang gadis sebaya yang kini duduk tepat di samping kiri Nasya.
"Emm ... Tania. Iya ," ucap Nasya terbata-bata. Lalu kembali fokus pada buku yang ia baca.
Gadis itu bernama Tania Alaska, teman sekelas Nasya. Gadis itu tiba-tiba duduk di samping Nasya, dan mengambil alih buku yang sedang dibaca Nasya.
"Memang apa sih hebatnya baca buku! Kamu cuma membuang waktu dengan sia-sia! Lebih baik kamu kan ngobrol sama teman-teman kamu lainnya. Semisal ngomongin guru, cowok ganteng atau artis yang kini terjerat banyak masalah!" ucap Tania dengan nada ketus dan melempar asal buku ke Nasya. Nasya yang terkejut langsung memegang buku itu tiba-tiba.
"Karena dengan buku aku ....," ucap Nasya terputus karena tiba-tiba Tania kembali bersuara.
Tania mulai mendekat, tersenyum sinis dan kembali bersuara lagi.
"Kamu Introvert kan?" tanya Tania dengan mengerutkan dahinya. Tania terlihat berpikir sejenak, lalu jari-jarinya mengetuk pelan meja Nasya.
"Tapi kalo kamu Introvert aku sepertinya tidak suka deh," gumam Tania lirih.
"Harusnya kamu itu tidak boleh pintar! Kamu sengaja kan caper sama guru-guru biar dapat nilai plus?" tanya Tania dengan ekspresi yang mengintimidasi.
"Ennn ....gakk kok," jawab Nasya sedikit terputus.
Sebenarnya Nasya bukanlah seorang introvert, entah kenapa label itu melekat pada dirinya. Dia sebenarnya adalah seorang gadis yang benar-benar selektif dalam pergaulan. Dia akan benar-benar menjauhi seseorang yang membawa pengaruh buruk. Baginya ajaran agama yang sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya sejak kecil telah menjadi landasan baginya.
Meskipun bagi teman-teman Nasya berbicara kasar itu adalah hal yang biasa, tetapi bagi Nasya itu adalah sesuatu yang sangat tabu. Dan itu tidak sesuai dengan moral sebagaimana seorang pelajar.
Karena itu Nasya dijauhi, karena kejujuran dan prinsip kuatnya ia dianggap lemah. Lalu sebenarnya dimanakah salah Nasya?
Mengapa dengan prinsip dan kejujuran itu menjadi sebuah pertentangan?
"Kalian tidak pernah tahu apapun tentang diriku. Dan penilaian kalian tidak akan berpengaruh apapun pada diriku."
~~~~~~~~~Nasya Wulandari~~~~~~~~~
Description: Terkadang aku ingin menjadi seperti yang kalian mau, tetapi prinsip dan keyakinan ku membuat hatiku menolak dengan keras semua kebohongan dan segala basa-basi itu.
Aku tidak bisa banyak berbicara, karena aku tidak sanggup untuk mempertanggungjawabkannya kelak. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri andai kau tahu itu. Tak pernah ku miliki maksud dan niat buruk pada kalian temanku, tapi kalian mengajariku apa arti kebohongan itu.
Nasyah Wulandari~
|
Title: Remember Me Margareth
Category: Novel
Text:
KENANGAN
"KEMATIAN ADALAH SUATU HAL YANG TIDAK BISA DIHINDARI DAN KENANGAN AKAN SESEORANG YANG SUDAH MATI ADALAH PENGHARGAAN TERHADAP KEMATIAN" -Poedd
BAB 1. KENANGAN
Hura-hura tahun baru yang baru seperti kemarin, dan dia masih menari-nari sambil menginjak-injak bayanganku. Kucoba untuk pejamkan mata untuk bertemu peterpan di Neverland dan melupakan semua masalahku. Bau tanah basah, suara teriakan petir, yang bersiap untuk membuat awan menangis lagi, suasana senyap dan diam terdengar angin meniup jendelanya membuatku agak sedikit mengigil kedinginan, penghangat ruangan rusak lagi. Menuju senyap yang tidak abadi, aku mencoba tidur sebentar saja.
Baru sebentar margareth memejamkan mata, dering telpon membuatnya terloncat dari tempat tidur membuatnya harus menunda pertemuannya dengan peter.
Margareth lansung berlari menuju arah suara itu, ia tahu telepon itu tidak biasa, telepon tengah malam selalu tidak berakhir bagus, Tapi dia harus. Di depan telepon yang masih bordering itu dia terdiam sejenak, mengambil napas dalam dalam sebelum menghembuskannya, dia meraih gagang telpon hitam yang agak berdebu itu dan menempelkannya di telingannya, tangannya agak sedikit gemetaran tidak siap dengan apa yang akan dia dengar.”Halo ini kau margareth?” Suara itu dia sangat mengenalnya dengan baik tapi agak serak karena sakit tenggorokan. “Aku punya berita baik yang sebenarnya berita buruk” tambah lelaki itu.
“Apa itu Tuan Edmund?” Kata margareth sambil mengusap usap bibir atasnya dengan tangan kirinya, bersiap membungkam mulutnya yang akan menganga, seakan tahu apa yang dia katakan selanjutnya.
“Kabar Baiknya aku tahu apa yang terjadi, dan kabar buruknya kita seharusnya tidak tau apa yang terjadi.”
***
Margareth tidak ingin membicarakan masa lalu bersama Rebecca, Margareth selalu mencoba mengganti topik ketika pembicaraan mengarah tentang pernikahan, dia merasa agak canggung dan tersinggung.
Tentu saja Rebecca mengetahui perasaan tidak nyaman adiknya saat membicarakannya, sambil melihat wajah adiknya yang masam dia menyeringai, terkadang Rebecca bisa menjadi sangat manipulatif membuatnya sedikit takut.
Terkutuklah orang-orang yang masih menganggap perempuan tidak bisa berdiri sendiri tanpa laki-laki, Margareth di buat gatal akan hal itu.
Bunyi jam dinding yang bergema keseluruh ruang tamu mengingatkan sudah jam 12 tepat waktu makan siang berakhir, Margareth bersyukur tidak erlu bicara lebih lama lagi dengan Rebecca, dia selalu menganggap Margaret adalah boneka yang bisa di tertawakan, Rebecca melihat jam yang ada di tangan kanannya, tidak percaya dengan jam dinding tua hitam milik kakeknya dan segera menelpon taksi, dia berlari agak cepat dan nyaris tersandung akibat sepatu jerapanya kesayangannya itu membuatnya tampak sedikit tinggi, dia pergi ke bandara, dia tidak berkata apa-apa, tentang keadaan ibu, atau mengeluh menjadi putri tanpa ayah.
Dia tidak memikirkan itu lagi semenjak dia menikah dan memiliki anak, Margareth tahu di umur kakaknya yang sudah 31 tahun dia pasti merasa kulitnya sudah menjuntai ke bawah, garis-garis halus di wajahnya yang dia anggap penjahat super membuatnya semakin merasa seperti orang yang berumur 100 tahun, hormone wanitanya membuatnya hidup di dalam kekhawatiran hari tua, dia menganggap dirinya sudah cukup tua untuk tidak memedulikan keluarga lamanya, ibunya yang sakit dia anggap angin lewat. “Oh, benarkah?” katanya, saat margareth memberitahukan tentang keadaan ibunya yng semakin memburuk saja. Dia tidak memperdulikan itu lagi.
Rebecca kakaknya menikah dengan seorang pria kaya bernama Rickson 8 tahun yang lalu dan memiliki 2 orang anak perempuan yang sama cantiknya seperti Rebecca, mata biru agak cerah sama seperti blue lagoon di grindavik. Rebecca kakaknya yang menikah dengan pengusaha yang mapan, tampan, rahang yang kuat, badan berotot, rambut pirang, dan mata birunya membuat para ibu-ibu muda selalu berusaha menggodanya, layaknya macaca nigra saat musim kawin yang memperlihatkan pantatnya yang merah dan berair ke lawan jenisnya dan tidak pernah setia ke pasangannya. Sangat menjijikan.
Dibandingkan kakaknya yang humoris, feminim, dan anggun, Margareth lebih memilih untuk duduk di sofa tua yang dia dapat dari lelang barang bekas tetangganya, sambil membaca buku-buku cerita detektif, komik, dan buku berbau feminist, sambil menyilangkan kaki dan menyeruput kopi hitam instant tanpa gula.
Ada seorang teman Rebecca yang terlihat “sosialita” menyinggung gaya berpakaian Margareth yang dia rasa agak “Tomboy”, Tentu saja Margareth sadar betul . Rambut pendek yang jarang di mandikan sehingga berbau seperti manga busuk, mata tegas seperti elang, badan masculine yang sedikit berotot di bagian lengan khususnya, hanya rahang kecil dan wajah yang manisnya saja yang membuatnya terlihat seperti gadis. Dia tahu diri ,cuman tidak peduli dan tidak mau di atur.
Natal kali ini tidak akan sama. Rebecca tidak akan hadir kali ini, katanya dia sibuk. Bibi rose juga akan pergi berkumpul sama teman-temannya dari club “banana pie” dan pulang sebelum jam 12 malam, dia berjanji akan membawakan Margareth pie pisang buatannya yang sangat enak, pie crustnya yang gurih sedikit asin dan crumbly, banana custard yang padat dan tidak terlalu manis, whip cream, dan di tabur potongan pisang caramel dan “dulce de leche” yang kental dan manis, waktu margareth berumur 9 tahun dia selalu menangis jika dia tidak mendapatkan 2 slice pie pisang buatan bibi rose.
Malam natal kali ini hanya ibu dan siaran paduan suara natal beserta acara-acara yang biasanya di tayangkan untuk dihiraukan, biasanya Rebecca menyalakannya hanya untuk memeriahkan suasana saja. Margareth pasti berbohong jika dia mengatakan dia tidak kesepian ditinggalkan rebecca, saat malam natal besok lusa setelah merawat ibunya dia mungkin akan tidur lebih cepat.
Di samping itu, tidak banyak yang tahu margareth adalah detektif swasta, tidak main-main dia sudah memecahkan banyak kasus mulai dari pencurian minimarket sampai pembunuhan di umurnya yang baru 23 Tahun! Terimakasih berkat buku detektifya margareth menjadi lebih memerhatikan hal-hal kecildalam menuntaskan kasusnya. Dia selalu membawa kaca pembesar di kantung celananya, walaupun dia tidak pernah memakainya, alat itu membuatnya terlihat seperti detektif asli.
Tidak ada yang menyetujui pekerjaan itu bibi rose atau bahkan Rebecca, tapi jiwa pemberontak saat remaja masih hidup dalam jiwa margareth seakan tidak akan lepas dalam waktu dekat, tidak bahkan sedetik pun.
Perempuan seumurannya seharusnya menunggu pangeran kaya yang naik kuda putih yang kemudian mengangkat wanita itu dengan lengannya yang besar, kemudian menciumnya, cinta sejati. Bahkan merpati tau cinta sejati. Mungkin monyet tidak tau, berarti sebagian besar teori Darwin benar. Seandainya saja Margareth tau apa itu cinta sejati, dia mungkin tidak akan menjadi feminist. Kemudian dia melihat ibunya yang sudah koma, terakhir dia berbicara dengan margareth 8 tahun yang lalu, Dia tidak pernah bangun dari komanya, tanpa di dampingi pangerannya. Hanya margareth si perawan yang feminist, sensitive, melancolis dan bibi rose yang sedikit gemuk tapi cekatan. Hanya mereka berdua yang bersedia yang merawatnya.
Salju Turun lebih awal. Angin dingin dengan tenang masuk ke sela-sela jendela yang tidak rapat. Margareth mengambil selotip di atas televisi yang dia simpan agar selalu terlihat, dia menarik selotip itu panjang-panjang kemudian momotongnya dengan giginya yang kuat. Matahari agak redup akibat di halangi awan salju, membuat suasana yang pas untuk diam di rumah selama berjam-jam sambil di temani selimut hangat dan kopi panas. Dia kemudian duduk di sofa kesayangannya sambil memakai selimut yang sangat tebal.
Margareth teringat kopinya yang belum dia sentuh dari tadi sejak kedatangan Rebecca yang datang tiba-tiba seperti pencuri di siang hari, tidak ada yang menduga dia datang. Kopinya agak sudah mulai dingin, Margaret menggapai kopinya yng ada dimeja kecil di samping sofanya , Dia segera menyeruputnya sebelum menjadi air es jika dibiarkan, bibirnya condong kedepan jaga-jaga jika kopi itu menyembunyikan uap panasnya, dia meminum kopi itu dengan cepat sehingga ampas di bawah gelas kopi ikut terminum. Caffeine membuat margareth terasa hidup kembali, dia menggosok matanya yang mengantuk kemudian membukanya lebar-lebar seakan-akan bisa menyala, kemudian dia menguap sambil meregangkan badannya.
Sangat mengantuk matanya sangat berat, kepalanya turun naik dengan pelan, alam bawah sadar nya menolak untuk tidur. Bahkan kopi hitam instant tidak membantunya. Dia tertidur, dengan pelan menutup matanya dia merilekskan pikiran dan jiwanya, dia tertidur dengan di sofa kuningnya dengan cantiknya terselimuti selimut hangat dan tidur seperti kepompong.
Tiba-tiba, bunyi keras bunyi orang mengetok pintu depan rumah margareth, dia terbangun dengan mata yang layu, dia melihat sekeliling sambil mengeluarkan suara seperti mengunyah sesuatu padahal tidak.
Dia mendongak ke atas untuk melihat jam dinding tua itu, terlihat sudah hampir jam 1 siang dia terlambat 30 menit dari janji pertemuan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Sepertinya aku terlambat kata margareth sambil msaih saja mencoba untuk tidur, dia memadatkan badanya akibat cuaca dingin, bunyi ketukan itu semakin kuat dan cepat, dia sama sekali tidak bisa melanjutkan tidur siangnya. Demi tuhan dia meloncat dari sofa empuknya berjalan tanpa alas kaki, tehel keramik yang dingin seprti es batu membuat margareth lari berjinjit-jinjit kearah jendela depan dekat pintu, mencoba mengintip siapa gerangan yang datang di siang bolong yang sangat dingin ini, dia membuka sedikit gorden sehingga cukup untuk satu mata yang melihat.
Ternyata orang itu mengintip jendela sedari tadi sehingga mata mereka bertemu Cuma kaca setebal 15 mm yang memisahkan mata dua orang ini. Margareth langsung meloncat ke belakang dan jatuh jungkir balik , kagetnya bukan main. “ Aku tahu margareth kau ada di dalam, Apakah aku menganggu tidur siang mu? Maaf, Kau tidak melupakan sesuatukan seperti pertemuan yang tidak penting yang kau buat untuk memangkas waktu makan siang kami?” Kata orang itu.
“Baiklah Tuan amol, Aku akan keluar setelah aku bersiap-siap kira-kira 15 menit” teriak margareth dari dalam rumah.
“5 menit ” desak dia.
Margareth berlari dan hampir tersandung, menyisir rambutnya dengan cepat, mencuci wajahnya, untunglah margareth bukan wanita biasa sehingga dia tidak memakai make-up, dia memakai baju yang belum dicuci berhari-hari, dia mengendus-endus baju itu, mengecek apakah masih layak di pakai. Dia memakai baju itu kemudian menyambar jaket dari Rebecca yang tebal dan agak feminim di dekat pintu keluar kamarnya. Dia berlari ke arah pintu keluar depan rumah sambil mencoba memakai sepatu sambil berdiri. Kemudian belum sampai 5 menit dia sudah keluar, sambil tersenyum lebar dia mengatakan “bagaimana kabarmu tuan amol?”
“Baik” Dia menjawabnya deengan cepat, dengan cepat aku masuk ke mobil tuan amol yang agak usang mirip seperti mobil kakekku, tapi agak berbau rempah-rempah india di joknya. Dia mengoceh sepanjang perjalanan, aku hanya mengangguk sok merasa peduli padahal sama sekali aku tidak mendengarnya.
Kami tiba di sebuah café yang agak jauh dari pusat kota, café sederhana di pinggiran kota adaah tempat yang pas untuk membicarakan pekerjannya. Totalnya ada 6 orang yang ada di tim yang terdiri dari para veteran di bidang itu. Seperti Harry misalnya dia seorang ahli membaca wajah pelaku bahkan ada yang bilang dia bisa membaca pikiran, Thomas dan Timmy si kembar yang hebat dalam mencari informasi tidak aneh mereka hebat dalam bersosialisasi dengan orang-orang, lidahnya licin seperti belut. Joshua si hacker yang selalu mencoba menggoda timmy, ngomong-ngomong dia gay. Tuan amol Aladdin-Amerika sangat hebat dalam mengemudi, itu saja. Dan Margareth si jenius muda yang sangat hebat dalam olah Tkp, si perfeksionis selalu memerhatikan hal kecil.
Saat margareth dan mr.amol datang, mereka duduk tenang tetapi wajah mereka yang terlihat jengkel semunya menghadap ke margareth, untuk menghangatkan suasana dan meminta maaf secara expresi wajah, margareth tersenyum selebar mungkin sahingga terlihat seperti badut di acara ulang tahun anak-anak yang sangat menyeramkan. “biar ku tebak tidur siang?” Harry menebak. Tuan amol hanya mengangkat alisnya tingi-tinggi menandakan tebakan harry benar. Margareth menjelaskan itu cuma istirahat makan siang biasa. Setelah mereka menasihati Margareth mereka kembali ke topik awal, mencari pelaku pembunuhan berantai yang terjadi selama 3 hari berturut-turut Hingga larut malam.
***
"Mr. Amol ada baiknya kau mengajariku mengemudi mobil" Kata Margareth tiba-tiba. Mr.Amol hanya terus mengemudi sambil memikirkan kejadian-kejadian buruk jika dia mengajarkan gadis kikuk seperti margareth, misalnya seperti tabrakan pemula. Tapi sisi baiknya dia akan membuat seorang gadis menjadi mandiri. Dia melihat wajah margareth dengan ekspresi memaksa. "Baiklah" kataTuan Amol mengerutkan dahinya sambil menghembuskan napas yang sangat panjang. Mr.amol menyalakan lampu sen untuk meminggirkan mobil, dan mereka berganti posisi.
Wajah Mr.amol yang tenang tiba-tiba menjadi murung dan ketakutan, matanya sangat dalam sehingga terlihat seolah-olah ingin menelan margareth, kemudian berubah menjadi pasrah dan agak takut. Margareth duduk di kursi pengemudi dan mr.amol duduk disamping untuk mengawasi, sebenarnya margareth sudah agak bisa mengemudikan mobil karena sering mengamati Mr.Amol mengemudi, apalagi mobil automatic tidaklah terlalu susah bahkan untuk orang kikuk.
Margareth menginjak pedal gas dengan pelan, sambil menoleh sering-sering ke arah spion, sebenrnya bukan hal yang bagus belajar mengemudi di jalan bersalju tengah malam, tapi entah mengapa dia seperti ingin memaksa, perasaan yang kuat dalam dirinya yang memaksa, hanya jalanan sepi, lagi pula ini jalan menuju rumahnya dia tahu selak beluknya, walaupun dia tahu itu tetap berbahaya. Ekor matanya melihat mr.Amol yang dari tadi diam saja tiba-tiba menolehnya sambil tersenyum, tentu bukan karena dia berduaan dengan gadis muda. Matanya terlihat bahagia. Margareth yang agak sedikit risih dengan tatapan itu langusung bertanya ke mr.amol "Ada masalah Mr.Amol, Apakah kau lagi senang? atau karena mantan istrimu merujuk kembali?" kata margareth bercanda untuk mengubah suasana yang canggung itu.
Matanya tiba-tiba berkaca-kaca dia berkata "Kau tahu margareth, aku sebenarnya bukan orang yang baik, aku tidak pantas berada disini, disampingmu, disamping harry, disamping si kembar atau yang lain. Aku bisa duduk di mobil ini karena aku merebut hidup seseorang lain lucunya aku tidak menyesal sama sekali, betapa menjijikannya diriku, berlagak seperti orang baik selama beberapa tahun. Aku tidak menyesal sama sekali, aku bersyukur hidup di dunia ini" Dia menangis sambil menutup wajahnya. Margareth hanya menahan napas sambil terus fokus mengemudi, tidak pernah dia melihat Mr.amol sesedih ini bahkan lebih parahnya dia seperti bersungguh-sungguh. Ini jelas pengakuan pembunuhan tapi siapa yang dia bunuh dan mengapa dia tidak menyesal. Pikiran jadi margareth kemana-mana dia tidak berpikiran jernih, dia berpikir seperti pemikir. Sampai cahaya putih agak kekuningan sangat dekat di samping Mr.amol.
Silau Sekali. Klakson berbunyi sangat nyaring seperti ingin memecahkan gendang telinga. Waktu seakan berhenti. sampai bunyi tabrakan yang sangat keras menghantam sisi kanan mobil, Mengulingkan mobil mr.amol sejauh 11 meter dari perempatan lampu merah. Suara orang-orang histeris , margareth mencoba memahami apa yang sedang terjadi, tabrakan pemula. Benar-benar buruk, dia melihat kesamping melihat sisi mobil di sisi mr.amol yang ditabrak dan remuk.
Mr.amol bercucuran darah di sekujur tubuhnya seperti disirami tinta merah pekat. Mata margareth agak redup semuanya terlihat bergoyang dan tidak jelas, dia mulai kehilangan kesadarannya, cairan hangat mengalir dari atas kepalanya. Harus tetap sadar, napasnya terengah-engah seperti dicekik, apapun yang dilakukannya untuk membuatnya tetap sadar sia-sia, dia pingsan. Percakapan yang tidak selesai, pengakuan pembunuhan dari Mr.amol hanya akan menjadi misteri dalam hidupnya.
Bersambung..
PENYESALAN
“Setidaknya aku mengingat dosaku sampai akhir hayatku, dan mereka akan melupakan dosaku sampai akhir hayat mereka.”-Poedd (Remember me Margareth)
BAB 2. PENYESALAN.
“Pak ini di bungkus? “ kata seorang pegawai di restorant india yang selalu menanyakan hal yang sama ketika aku selalu mampir kesini. Padahal dia tahu persis apa jawabannya, tentu saja dia tidak ingin ada kesalahpahaman, Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya sedikit risih dibuatnya. “Dibungkus.” Kujawab dengan cepat, dengan sedikit tersenyum ramah kepadanya. Dia berbalik tersenyum dan segera membungkus makananku. Aku memberikan tip 50 sen, kemudian aku keluar dari pintu restoran dengan cepat, dan masuk ke mobil karena udara dingin yang menusuk ku seperti jarum.
Seperti biasa aku berkendara di sekitar pinggiran kota untuk berpatroli, mencari informasi yang di butuhkan untuk pekerjaanku sebagai detektif swasta. Walaupun sulit dan mempunyai upah yang relative kecil, jiwa kebenaranku sangat ingin membantu orang yang kesusahan, memecahkan kasus, seperti pahlawan yang ada di buku-buku detektif yang sering ku baca saat waktu masih kecil dulu. Ya,itu adalah alassan kedua, Alasan pertama ku adalah karena tidak ingin bekerja sebagai pegawai kantoran.
Aku berjalan pelan di sekitar danau pontchartain, di anak sungai tchefuncte, Madisonville. Perjalanan ku dari new Orleans membuatku sangat lelah, dan ingin segera memakan bekal makan siangku yang dibungkus tadi. Kemudian aku berhenti dan memakan bekalku makan siang dengan segera sebelum mereka menjadi dingin, walaupun itu sudah menjadi dingin. Suhu di kota bisa sampai -2 derajat celcius, apalagi penghangat di mobilku juga agak rusak, sehingga membuatku memakai baju penghangat yang sangat tebal.
Mungkin aku memakan terlalu cepat, semua orang selalu berkata itu kepadaku, bukannya aku rakus atau kelaparan sekali, aku hanya berusaha menghargai waktuku. Kare india dengan nasi biryani adalah kesukaanku, aku kadang sampai menumpahkannya karena makan terburu-buru sehingga kuahnya tumpah sedikit ke jok, bau kari sangat susah di bersihkan, membuat mobilku berbau rempah-rempah india.
Selesai istirahat makan siang kemudian aku merokok sampai sore di dekat sungai, meratapi masa depan, masa lalu. Tidak ada yang special, hanya seorang pria paruh baya yang sedang merenungkan nasib di pinggiran sungai di musim semi.
Sebelum matahari terbenam aku memutuskan untuk pergi berkeliling lagi di sekitar kota new Orleans sampai tengah malam, jika tidak ada yang mencurigakan, atau situasi kota sedang tenang, aku akan pulang sebelum tepat jam 12 malam ke apartement murahku yang sangat sempit. Tidak ada sambutan hangat dari siapapun, Hanya sebuah ruangan yang berantakan, gelap, dan dingin.
Sudah hampir 2 tahun yang lalu, aku bercerai dengan istriku, Gyana. Malam itu kami bertengkar sangat hebat sehingga membangunkan anak perempuanku gulika, yang membuatnya menangis sangat keras.
Berkali-kali aku pulang mabuk, berkali-kali aku pulang membawa wanita lain, berkali-kali dia menahan emosinya, berkali kali dia memaafkanku. Aku benar-benar tidak menghargai kesetiaan istriku. Berkali-kali aku menyakitinya sampai pada suatu saat aku pulang dan mendapati istriku tidak ada beserta gulika.
Aku melihat di atas meja yang rapi terdapat sebuah surat putih yang terlipat rapih, dari lipatannya terlihat bahwa surat itu sudah lama terlipat dan tersimpan, menunggu untuk di keluarkan. Tintanya sudah kering, tidak basah sama sekali. Aku sadar betul, istriku sudah lama tidak tahan dengan sikapku yang brengsek. Aku memilih untuk tidak membukannya , aku sudah tau apa isinya, pasti akhirnya akan menuju ke perceraian dan perebutan hak asuh anak.
Terakhir kali aku bertemu dengan istri dan anakku, adalah pada saat persidangan perceraian, dia datang bersama seorang pria kulit putih yang kelihatannya seperti orang yang baik, Badannya agak padat, dan wajahnya bersih tanpa jenggot atau kumis, terlihat seperto pengusaha atau akuntan yang mapan, matanya coklat seperti istriku, coklat terang, beserta gulika yang terlihat bahagia dan bayi kecil yang digendong giyana istriku. “itu mungkin anaknya” pikirku saat melihat matanya.
Tanpa perlawanan, aku menyetujui apapun permintaan istriku, mau itu perceraian, hak asuh anak, lepas tanggungan. Di hari itu aku merasa seperti lumut di kamar mandi , yang harus segera di bersihkan. Aku tidak ingin mengacaukan kebahagiaan istri dan anakku, yang terpenting sekarang adalah aku harus pergi jauh dari mereka, jauh sekali sehingga tidak terlihat dari pandangan mereka, kehidupan mereka.
Setelah selesai persidangan, istriku menemuiku dan memberikanku amplop berisi uang cash, kira-kira 10.000 dolar usd, aku menolaknya dengan halus. Sebenarnya aku sedikit tersinggung, terhina. Namun apa dayaku?
Aku berkata kepadanya, aku menemukan pekerjaan baru yang bagus, jadi aku tidak membutuhkan sesuatu dari istriku, aku juga mengatakan akan pindah dari rumah lama kami di boston.
Wajahnya terlihat sedih, aku hanya memperlihatkan wajahku yang tanpa emosi. Aku pergi tanpa berkata apapun tentang perasaanku yang sebenarnya, Membelakangi wajah istri dan anakku, aku tidak ingin berkata minta maaf atau menangis di hadapan mereka. Aku tidak ingin istriku merasa menyesal meninggalkanku. Aku berjanji akan sering-sering menelpon gulika, kemudian aku pergi meninggalkan gedung sidang dengan mobilku.
Keputusanku yang sudah bulat untuk pergi menjauh, aku pulang kerumah lama kami di boston untuk mengambil barang-barang ytang penting, aku berjalan di ruang tamu yang sepi dan terasa asing tanpa 2 gadis cantic kesayanganku.
Kulihat foto-foto lama, kenangan lama, sengaja membukannya untuk mengingatkan kebodohanku, penyesalanku yang kutanam dalam pikiranku, layaknya tumor yang akan membunuhku suatu hari nanti. Aku membuka album pernikahan kami, meningat betapa miskinnya kami dulu, kami menikah di sebuah tenda kecil seadanya di Mumbai 7 tahun lalu, dihadiri orang-orang terdekat, kami bersumpah akan setia selamanya sampai ajal menjemput salah satu dari kami.
Tapi di matanya aku sudah mati 2 tahun yang lalu.
***
2 minggu lagi sebelum natal, aku terbangun melihat wajahku di cermin. “Siapa kau? Siapa aku?” ingatan yang aneh menggerogoti otakku akhir-akhir ini, mimpi-mimpi aneh, seakan-akan semuanya terjadi begitu nyata. Perang berdarah yang terjadi begitu membekas. Bukan di dunia sini tapi dunia sana, dunia yang lain. Penyihir. Itu saja yang ku ingat.
Tanggal 13 desember, 12 hari sebelum natal tiba. Ingatanku , semua mimpi-mimpi aneh itu menjelaskan kebingunganku, seakan-akan semua informasi di tumpuk-tumpuk di atas kepalaku. Penyihir? Mengapa? Aku tidak percaya akan hal mistis selama ini. Aku melihat ke cermin, Urat-urat nadiku, seluruh aliran darahku menyala, aku tahu itu apa, energi sihir dalam diriku ingin meledak dan malapetaka dari dunia ini akan membunuhku bagaimanapun caranya, kemudian semua hal tentangku, eksistensiku, pernikahan ku dengan gyana, anakku gulika. Akan terhapus dari dalam pikiran seseorang, dari dalam sejarah, verbal dan non-verbal, menghilang seperti tidak pernah terjadi.
Ahli-ahli sihir, raksasa, monster-monster, makhluk makhluk gaib semuanya ada disana, hampir setiap hari disana terjadi pertempuran, kematian adalah hal yang biasa, dunia di sana memiliki energy sihir yang sangat kuat berbeda dengan dunia disini.
Sampi suatu hari ratusan ribu sampai jutaan orang dari dunia kami memanggil si penyihir yang bernama “myth” adik dari penyihir “Realis” turun ke dunia kami, Salah satu dari 2 Penyihir Alam semesta yang menciptakan Dunia manusia dulu. Myth dan Realis bekerja sama membuat dunia, sampai suatu saat sihir-sihir di dunia yang dia ciptakan sangatlah bersifat menghancurkan. Realis yang tidak menyukai hal tersebut langsung ingin menyerap kekuatan sihir dari dunia itu, untuk kebaikan. Namun myth yang tidak setuju, menentang kakaknya. Mereka bertarung siang dan malam, sampai dunia yang mereka ciptakan menjadi arenanya.
Dunia yang mereka bangun terlihat begitu hancur sekarang, mereka kemudian sadar tidak akan ada pemenang dari pertarungan ini. Realis kemudian membuat dunia baru berpisah dengan adiknya, tempat manusia berada tanpa sihir, kerja keras dan pikiran adalah kunci keberhasilan dunia itu. Myth tertawa melihat kakaknya yang sangat naif.
Karena kelelahan akibat pertarungan dan membuat dunia baru, Realis tertidur selama berabad abad lamanya sampai sekarang.
Myth bukanlah penyihir yang baik seperti Realis, Kami yang memanggilnya ke dunia, malah di buat semakin sengsara, Setengah dari kami yang memanggilnya lenyap menjadi abu, kami tahu konsekuensinya, tapi kami terpaksa melakukannya.
“Mengapa kalian memamangilku?” kata myth
“kami ingin engkau menolong kami, yang maha hebat”Kami menjawab
“Membantu seperti apa? Mengelap bokong kalian? Heh!” dia mencemoh kami dengan entengnya.
“Membuat hidup kami menjadi lebih baik, merubah dunia ini menjadi lebih baik tuanku” kata salah seorang ahli sihir.
Perkataan itu membuatnya sangat marah, penyihir itu dia makan hidup-hidup, dan Myth berkata “Barangsiapa yang tidak menyukai dunia ini harus lenyap! Aku teringat belum makan jiwa manusia-manusia yang lezat selama berabad-abad lamanya, kalau kalian memang tidak suka dengan dunia ini baiklah aku akan membantu kalian pergi dari dunia ini, dan pergi ke dunia milik realis, tapi ingat! Setengah jiwa kalian bayarannya, kalian tidak akan bisa menggunakan sihir disana, ingatan kalian akan aku manipulasi agar sesuai dengan kehidupan disana, tubuh kalian akan menjadi satu dengan para manusia asli dunia sana, kalian akan menjadi parasite dalam tubuh mereka dan memakan jiwa mereka, bisa dibilang kalian mengambil badan mereka, ingatan mereka, eksistensi mereka. Ingatan kalian akan hilang sepenuhnya terhadap dunia ini.”
“apakah kami bisa hidup di sana selamanya tuanku?” Salah seorang pemuda berbicara lantang.
“Tentu Tidak bodoh, kalian hanya hidup 5-10 tahun kemudian mati dan menghilang selamanya, kemudian eksistensi kalian di ganti dengan orang lain, kalian tidak seharusnya kesana, jiwa kalian terlalu kuat untuk tubuh mereka, aliran sihir masih mengalir kuat di dalam jiwamu dan boom! Kalian meledak, ironisnya kalian akan mengingat semua ingatan kalian 10 hari sebelum kematian, rasa bersalah, rasa takut, dan perasaan kalian campur aduk. Percayalah padaku kalian akan mati dengan rasa sakit, dan itu tidak bisa dihentikan, kematian tidak akan kalian bisa hindari, saat hari ke-10 malapetaka akan mencari kalian seperti magnet, dan jika kalian memberitahukan siapapun tentang kematian kalian yang menjemput…. Mereka akan mati bersama kalian, mulut kalian seperti akan mengeluarkan malapetaka atau kutukan bagi siapapun yang mengetahui dunia sihir ini” Myth mengatakan itu sambil tersenyum menyeringai licik.
“Jadi siapa yang mau kesana duluan?” Myth menambahkan.
Setengah dari kami ada yang mundur, mereka tidak ingin mengambil jiwa orang yang ada di dunia lain. Rasa kasihan dari sebagian dari kami termasuk aku mati rasa, akibat rasa takut akan dunia yang hancur ini lebih besar, sangat besar. Akhirnya sebagian dari kami menyetujui persyaratan Myth dan pergi ke dunia Realis. Dunia dimana aku bertemu dengan Gyana dan galika.
Bersambung..
KENYATAAN YANG MENGGELISAHKAN
"KEGELISAHAN TIDAK AKAN PERNAH MENANG MELAWAN KENYATAAN YANG SUDAH TERJADI SEBELUMNYA"-Poedd (Remember Me Margareth)
BAB 3.KENYATAAN YANG MENGGELISAHKAN
“Hey…”
“Hei Margareth..” Suara halus terdengar di telinga margareth samar-samar. Dia membuka matanya secara perlahan untuk melihat siapa orang yang memanggilnya itu.
“Rebecca? Aku kira kau sedang sibuk?” kata margareth dengan suara agak layu dan parau, karena belum berbicara selama 3 hari. Tenggorokannya terasa agak kering dan sempit.
“Jangan bodoh, mana mungkin setelah mengetahui adikku dapat musibah aku akan sibuk mengerjakan sesuatu, focus ku akan pergi semuanya ke keadaanmu yang menyedihkan sekarang.” Kata Rebecca yang membuat Margareth sedikit terharu akan kepedulian kakaknya.
“Bagaimana keadaanku? Apakah aku bertambah cantik sekarang?” Margareth bercanda dengan nada ‘baik-baik saja.’
Rebecca menyentuh pipi Margareth.
“Sejujurnya, kau kelihatan lebih cantik dari biasanya dengan luka-luka itu.” Rebecca meninggikan alisnya dan tersenyum lega kearah mata margareth, menatapnya dalam-dalam dan mensyukuri semuanya baik-baik saja.
Mereka berdua terdiam sejenak, sampai mata Margareth mulai memindai kamar besar VVIP rumah sakit yang dia tempati. Seperti mencari sesuatu, seseorang? Entahlah. Dia juga tidak tahu. Lagi pula tidak ada yang bisa ditanyai, cuman Rebecca berdua bersama Margareth di ruangan besar itu. Rebecca tidak ada waktu itu, tapi mungkin dia tahu kejadiannya.
“Jadi.., Bagaimana kejadiannya? Apakah aku kecelakaan tunggal?..” margareth memberi jeda sebentar, kemudian berbicara lagi “ atau ada orang bersamaku?” Tanya margareth dengan penuh harap dia mendapatkan jawaban yang memuaskan kegelisahannya.
“Ada banyak saksi mata yang melihat kejadian itu, kau menabrak tiang lampu jalanan dengan keras, lalu kau terlempar keluar kaca mobil bagian depan.” Kata Rebecca.
“Dan katanya kau meminjam mobil milik tuan Edmund untuk pergi ke minimarket, dan coba tebak? Seorang gadis yang belum mendapatkan sim dan feminist, juga bertanggung jawab akan kehidupan singlenya dan tidak akan mau menikah menabrakkannya.” Tambah Rebecca dengan nada yang ditekan-tekan.
Ah, Topik tentang pernikahan lagi. Margareth benci itu. Dia hanya tesenyum kecut karena tidak bisa menyalahkan perkataan kakaknya sepenuhnya, sebagian memang benar dia yang salah. Lagipula jika margareth mencari alibi dan mengelak kata-kata Rebecca, kakaknya akan bicara panjang lebar sampai dia bosan dan kapok menjadikan Rebecca lawan debatnya. Namun kata-kata Rebecca tentang kejadian awal kecelakaan terdengar ganjil, selalu ada lubang, dia mencoba mengingatnya, mencoba meraih ingatan yang mungkin saja bisa mengakhiri rasa kejanggalannya, sia-sia saja pecahan ingatan itu semakin dalam menunggu hilang dan dilupakan sepenuhnya dalam bayang-bayang.
Margareth mengerutkan dahi dan berkata ”Siapa itu tuan Edmund?”
“kau serius? Kau ingin menyembunyikan kejahatanmu dengan berpura-pura amnesia?” kata Rebecca sambil membelalakkan mata birunya dan menatapku dengan wajah sedikit miring.
“Demi Tuhan Rebecca, aku agak sedikit lupa saja hanya itu.” Kata margareth dengan cepat meluruskan kesalapahaman kecil Rebecca.
Rebecca melirik jam digital di samping ranjang margareth tanpa sengaja yang menunjukkan sudah jam setengah enam sore (05.31 pm)
“Astaga aku terlambat menjemput bibi rose! Nanti saja kita lanjutkan. Aku harus pergi.” Rebecca menggapai tas tangannya dengan ujung jarinya dan terburu-buru keluar ruangan.
“eh..Rebecca!” Margareth dengan spontan memanggil Rebecca.
Rebecca membalikan badannya ke arahnya, menunggu kalimat yang akan dia ucapkan selanjutnya.
“Apakah Tuan Edmund suka makan kari india?” Margareth bertanya, seolah-olah itu adalah pertanyaan paling asal yang ada dalam pikirannya. Dia bahkan tidak terlalu yakin apa yang dia tanyakan kepada Rebecca.
“tidak tau, kau Tanya sendiri saja! Dia akan datang bersama bibi rose dan gangmu , si hary dan yang lainnya” Dia menjawab cepat sebelum berlari meninggalkan margareth seorang diri.
Entah apa yang mengganggu pikiran margareth, dia pun bingung dengan gelagatnya sendiri. Dia merasa kecelakaan itu tidak seperti apa yang dikatakan Rebecca namun kegelisahannya ditimpa kenyataan yang ada kemudian.
***
Harry mengambil jaket musim dinginnya yang menggantung di kursi ruang tamunya. Suhu di kota new Orleans sekarang musim dingin dan agak bersalju. Dia ingin pergi menjenguk temannya margareth, tanpa dia, pencarian si pembunuh berantai tidak akan bisa di temukan. Bahkan untuk sekelas detektif dari pemerintah tidak dapat menuntaskannya. Ini hari ke 6 si pembunuh masih berkeliaran dengan korban yang semakin banyak, total sudah ada 13 korban. Tidak membunuh secara khususda dia terkesan membunuh secara amatir bagi harry. Secara acak dan asal-asalan.
Tidak bagi margareth. Dia mengatakan si pembunuh orang yang tau cara membunuh dengan cepat sebelum korbannya berteriak. Kemungkinan besar orang yang pernah ikut ke militeran atau orang yang tahu bagaimana cara membunuh seperti profesional.
Para detektif yang di tugaskan pemerintah berkata hal yang sama dengan Harry, orang-orang amatir yang gila dan hobi menjagal orang-orang, itu saja kasus di tutup. Kadang ada yang mati sekaligus, padahal satunya ada di New Orleans dan lainnya ada di Houston. Bagi orang biasa seperti harry, merasa itu perbuatan dua orang yang berbeda, namun margareth merasa itu perbuatan orang yang sama, si pembunuh yang sama, entah bagaimana caranya dia melakukan itu tapi dia yakin betul.
Kadang Harry merasa Margareth “agak tidak wajar” namun dia meliat sudah banyak Tkp pembunuhan yang di luar nalar orang awam Margareth tuntaskan. Penjahat dengan kecerdasan yang hebat ataupun penjagal yang maniak. Sehingga kata-kata ketidaksetujuan Harry tidak akan pernah tertuju atas keputusan margareth. Pokoknya mutlak.
Lamunan harry tentang kejadian pembunuhan ini membuatnya sedikit tidak focus dengan kesehariannya. Apalagi dengan kecelakaan yang di alami margareth memperburuk itu, dia sama sekali tidak bisa tidur.
Harry keluar rumahnya, tidak lupa mengunci pintu depan dan segera berlari masuk mobilnya sebelum salju akan lebih lebat. Dia berpikir akan singgah di tempat Donat bacon kesukaan margareth dan membeli beberapa, untuk bingkisan.
Harry mengambil telepon genggam nya untuk menelpon Joshua dan si kembar, Thomas dan timmy untuk menjenguk margareth. Namun belum juga dia menelpon, tiba-tiba ada telepon dari Rebecca, dia mengangkatnya cepat.
“Halo Rebecca ada apa?” Harry membuka percakapan.
“Margareth sudah sadar tadi, cepat datang kesini dia lagi sendirian dan sepertinya dia agak bingung.” Kata Rebecca.
“Dia butuh kekasihnya datang menjenguknya.” timpal Rebecca, terdengar suara tawa kecil di belakang kata-katanya.
“baiklah aku akan kesana dengan cepat.” Harry senang sekali, rasanya semua kekhawatiran tentang si pembunuh hilang.
“Tapi aku bukan kekasihnya” sambung dia dengan nada datar. Kemudian menutup teleponnya.
Harry melajukan mobilnya, dia lupa membeli bingkisannya dan sampai di rumah sakit dalam 12 menit. Dia agak berjalan cepat di sekitar rumah sakit dan pergi ke ruangan VVIP lantai 4 rumah sakit tempat ruangan margareth di rawat.
“Margaret!” teriak Harry spontan saat membuka pintu kamar.
Margareth terbangun kaget dari tidurnya yang singkat.
“Astaga, Harry kau mengagetkanku! Memangnya ada apa?” kata margareth sambil mengosok-gosok mata ngantuknya dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi seperti kucing yang sedang peregangan.
“Tidak aku cuman senang kau sudah bangun, malam itu aku kira kau sudah mati!”
“wah sialan kau! Jadi..” Margareth diam sejenak sebelum mulai berbicara lagi “ bagaimana perkembangan kasus?” mata mereka bertemu, margareth ingin mengetahui kebenaran dari mata harry.
Harry hanya memberikan isyarat dengan menutup kedua matanya dan menggelengkan kepala tanpa sepatah kata darinya.
Margareth mengerti apa artinya.
“Mana yang lainnya?” kata margaeth sambil melihat ke pintu masuk kemudian melihat wajah harry lagi.
“Astaga aku lupa menelponnya, karena Rebecca menelpon ku tadi tiba-tiba.”
Harry segera menelpon si kembar dan menyuruh mereka naik taxi ke rumah sakit.
“Aku kira bibi rose bersama mu?” Tanya margareth.
“Tidak dia akan datang bersama tuan Edmund dan istrinya”
“Tuan Edmund huh..” Suara kecil margareth yang di penuhi nada penasaran walupun dia tahu siapa itu Tuan Edmund.
Bersambung..
MR. EDMUND
“Aku bukanlah orang jahat, selama itu tidak menyangkut hidup dan mati” -Poedd (Remember Me Margareth)
Bab.4 Mr.Edmund
Tuan Edmund sampai di rumah sakit dengan istrinya cecil, juga bersama bibi rose. Dia baru teringat jika kue bingkisan untuk Margareth tertinggal di rumahnya, kesalahan klasik pria paruh baya. Dirinya bertanya-tanya apakah Margareth menyesali perbuatannya atau tidak, atau mngkin margareth akan malu bertemu dengannya.
Lagipula mobil itu dia tidak terlalu suka sebenarnya, tidak akan ada yang menyalahkan gadis tanpa sim yang di biarkan mengemudi sendiri akibat dibolehkan oleh dirinya. Dia tahu ini sebagian kesalahannya, dan bisa jadi sepenuhnya jika Margareth lebih parah dari ini. Dia berpikir untuk meminta maaf dengan Margareth saat bertemu nanti.
Yah lagipula, dia sudah ada dirumah sakit sebaiknya dia tidak mundur. Dan sebaiknya dia tidak mengecewakan orang-orang, karena Tuan Edmund di kenal tegas mengambil keputusan oleh rekan-rekannya. Malahan sekali saja dia membuat keputusan yang tidak tegas membuat gadis malang kikuk kecelakaan dan terluka parah.
Mereka lalu berjalan cepat di koridor rumah sakit. Kemudian dengan cepat melewati anak tangga rumah sakit yang sengaja di buat pendek-pendek agar tidak membuat para orang yang berumur senior tidak kesulitan untuk naik. Mereka sampai di ruangan margareth dengan cepat padahal ada di lantai 4.
Tuan Edmund mengetuk, terdengar suara rekan-rekan kerjanya dari dalam serentak berbicara “silakan masuk!” kepadanya.
Tuan Edmund membuka pintu, sedikit takut dengan pandangan yang akan dia dapat.
Ternyata saat masuk kedalam ruangan itu, mereka berbincang-bincang dengan ringan dan hangat, Bahkan Rebecca terlihat tidak sakit sama sekali. “Pasti karena penghangat ruanganya.” pikir Tuan Edmund.
Bibi Rose dan cecil langsung memeluk Margareth seakan-akan margareth adalah korban perang yang sudah hilang bertahun-tahun dan suatu hari ditemukan selamat entah bagaimana. Bibi Rose Sangat khawatir dengan margareth katanya, bahkan dia tidak jadi datang ke pertemuan club “Banana Pie”-nya.
Suasana Di dalam ruangan itu mempermudah Tuan Edmund apabila dia ingin meminta maaf dengan santainya. Seperi “Maaf margareth aku seharusnya tidak membiarkanmu mengemudi” atau “Aku seharusnya menemanimu berkendara di malam itu” pikirnya. Seolah-olah kata-kata permintaan maaf akan keluar licin dari mulutnya.
“Margareth..” Kata Tuan Edmund Tiba-tiba membuat semua orang menoleh kepadanya, dia menyadari semua orang menatapnya. Dia menelan ludahnya pelan sebelum mulai berbicara lagi, “Aku mau minta ma-“
Perkataanya langsung dicegat oleh Margareth. “ Jangan, Tolong.. Jangan meminta maaf Tuan Edmund ini salahku” Kata Margareth dengan suara tegas.
Tuan Edmund hanya melipat bibirnya kedalam dan mengerutkan dahinya yang sudah bergaris-garis. “Well, sebenarnya sebagian salahku.”Pikirnya lagi.
Tuan Edmund tidak ingin merusak suasana sebenarnya, makanya dia tidak ingin melanjutkannya. Lagi pula permintaan maaf dapat di lakukan besok, besok lusa, atau kapan-kapan. Yang terpenting sekarang adalah kesehatan Margareth. Suasana tiba-tiba berubah jadi sedikit diam membisu. Bahkan suara air di wastafel kamar mandi kamar vvip yang agak jauh, terdengar cukp jelas. Diikuti suara langkah kaki cepat bibi Rose bolak-balik mencari Tupperware nya yang ketinggalan kemarin di suatu tempat kamar Margareth.
Thomas yang menyadari suasana yang agak mulai menegang kemudian melontarkan candaannya.
“Mari kita main tebak-tebakan, Kalian tahu apa Persamaan Dokter Gigi dan Brokoli?”
“Mereka Sama-sama menyehatkan?” Tebak Harry.
“Mereka sama diciptakan oleh Tuhan” Ucap Bibi Rose yakin.
“Wah sepertinya bibi rose sangat rajin pergi ibadah, kalian berdua salah!” Kata Thomas bangga tebakannya menyulitkan mereka.
“Mereka sama-sama hijau?” Tebak Joshua
“Aku tidak tahu kalau monitor computer membuatmu menjadi buta warna.” Hina Thomas
“Jawabanya mereka sama-sama tidak disukai anak-anak” Kata Thomas dengan nada agak ditekan-tekan supaya semua orang tertawa, padahal cuman dia yang tertawa terpingkal-pingkal seorang diri seakan itu adalah candaan yang pernah dia ucapkan.
Bibi Rose mengeluarkan termosnya yang diisi coklat panas untuk semua orang. Kemudian membagikan kepada mereka semua. Cuaca yang sedang Dingin membuat coklat panas dari bibi rose sangat nikmat.
“Jadi bagaimana perkembangan kasus itu?” Kata Margareth sambil memutar-mutar coklat panasnya dengan sendok.
Sesaat Tuan Edmund menatapnya kosong “Ah,ya itu dia” Katanya. “Aku Baru ingat Detektif dari pemerintahan sepertinya punya sesuatu hal terkait si pembunuh ini”
Margareth menyeruput coklat itu. Masih panas.
“Detektif pemerintahan? Astaga aku tidak percaya sama mereka.. Bahkan kasus akhir-akhir ini apalagi kalau soal pembunuhan mereka(pemerintah) menyewa kita.” Cetus Maragreth meremehkan.
Tuan Edmund mengambil kursi dan menariknya mendekat ke margareth. Kemudian berbicara agak pelan. “Katanya Si pembunuh ke-13 orang ini adalah orang yang sama” ungkap Tuan Edmund.
Margareth berbalik menatap Harry dan menyeringai puas dengan kesimpulannya yang dia dulu katakan sebelum detektif pemerintah menyelidikinya lebih dalam. “Apa ku bilang?”
“Ya, aku mengerti Miss Holmes. Lagi pula aku tidak pernah meragukanmu lagi setelah ini.” Ucap Harry.
“Tapi, Bagaimana bisa? Dia membunuh orang lain dalam 2 menit padahal orang itu sangat jauh? Apakah dia bisa teleportasi atau semacamnya?” Timpal Harry yang sebenarnya masih agak ragu.
Tuan Edmund menyatukan ujung-ujung jemarinya dan menghela napas yang panjang .“Aku juga tidak mengerti”
Margareth meniup-niup coklat “panas”-nya yang sudah agak dingin. Dia menghirup nya dalam-dalam sebelum meminumnya dengan cepat.
“Well, manusia baru bisa mengetahui misteri laut 5% yang sudah diexplorasi dan sisanya? Tetap menjadi pertanyaan” ucap Margareth dengan tenang.
Kata-kata itu seolah membuka mata mereka. Seakan-akan saat kejadian pembunuhan mereka seperti Terikat oleh adannya fakta yang sudah ada. “Out of the box” mungkin itu adalah kuncinya untuk menyelesaikan kasus ini.
Tiba-tiba bunyi Jam Digital Margareth menginterupsi pembicaraan itu. Sudah jam 10 malam (10 p.m). Waktu berlalu begitu cepat. Sudah hampir tengah malam.
“Sudahlah, Margareth harus istirahat, kalian para lelaki boleh pulang dan istirahat” Kata bibi Rose memaksa.
Tidak ada yang berargumen dengan bibi rose. Mereka pulang dengan rapi. Sebelum pulang mereka berpamitan. Sebelum Pulang, terlihat tuan Edmund masih berbicara dengan istrinya, yang lain sudah pulang. Kemudian Tuan Edmund Berjalan pelan mengambil Jaketnya dekat pintu dan akan segera keluar.
“Tuan Edmund!” Lagi-lagi panggilan tiba-tiba sama seperti Rebecca sarankan. “Tanyakan sendiri.”
“Apakah kau suka makan kare india?” Tanya Margareth.
“Tidak, rasanya terlalu kuat untukku” Dia menjawabnya dengan cepat.
“Oh.. Begitu” Gumam margareth.
Tuan Edmund berpamitan dengan margareth dan segera pergi keluar pintu.
Rasa Kegelisahan yang aneh. Lagi pula itu pemikiran konyol tentang makanan india, sebaiknya dia ikut arus saja dari pada terus memikirkannya dan tidak bisa tidur.
Lagi pula begadang tidak bagus untuk seorang gadis.
Bersambung..
Kalau suka Like dan komen yah J
JALAN PIKIRAN SANG PEMBUNUH
“Aku minum ketika haus, aku makan saat aku lapar, dan membunuh saat itu diharuskan”-Poedd (REMEMBER ME MARGARETH)
BAB 5. JALAN PIKIRAN SANG PEMBUNUH.
Pagi hari, 27 Desember. Margareth membuka matanya. Terdengar suara berat oleh pria-pria yang berkerumun. Tampak olehnya teman-teman para detektif swastanya ada semua disini, aroma kopi dengan semerbak segera tercium oleh margareth. Sewaktu mencoba untuk duduk. Tangan seseorang yang dengan lembut membantunya. Itu bibi Rose, dia dari tadi ada di samping ku duduk menatapku khawatir. Bahkan dia lebih dari ibuku, kurasa. Bahkan dia sudah agak lupa menanyakan keadaan ibunya yang sedang koma saat kemarin terbangun dari tidur panjangnya yang cuman 3 hari 2 malam. “Bibi Rose bagaimana keadaan ibuku?” Tanya Margareth.
“Ibumu baik-baik saja, Rebecca menjaganya.”
“Rebecca??!” Nada suara magareth meninggi kaget.
“Kau tenang saja, sebenarnya Rebecca sangat menyayangi ibumu tapi dia tidak ingin bilang-bilang.” Bisik bibi Rose di telinga margareth.
Margareth yakin sekali Rebecca tidak peduli dengan ibunya makanya dia agak risau.
“Ah, Margareth kau sudah terbangun rupanya!” Suara bersemangat itu pasti Thomas, pikir margareth.
“Ya, aku sudah bangun. Kalian kenapa pagi-pagi sekali datang ?
“Maafkan kami jika membuatmu terbangun, tapi ini sangat darurat dan kami membutuhkanmu.” Ucap Harry dengan raut wajah agak tegang dan nada suara yang serius.
“Kenapa memangnya?” Margareth penasaran.
Suara Joshua agak bergetar sembari mengatakannya. “Dia(pembunuh) membunuh lagi hari ini, lebih banyak dari biasanya.”
Margareth tahu Joshua memang agak penakut, tapi dia tidak pernah melihatnya bergetar.
Margareth mengerutkan dahinya ”Benarkah, berapa orang korbannya?”
“28 orang subuh ini, salah satunya tetangga Joshua, dia mati di rumahnya sendiri. Lainnya di bunuh beberapa menit kemudian, mereka semua di tempat yang berbeda.” Jawab Harry.
“Dari mana kalian tahu itu si pembunuh yang sama?” Margareth agak tidak percaya. Itu bahkan tidak mendekati teorinya yang selama ini dia pikirkan.
“Detektif pemerintahan menyelidikinya, dan para korban mendapatkan luka dengan senjata tajam yang sama, sebuah tusukan cepat menembus tengkorak. Mereka mati tanpa rasa sakit.” Kata Harry mencoba menjelaskan.
Ini benar-benar pembunuhan dengan cara yang ganjil, bahkan margareth tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia menggaruk kepalanya, dia kesal akan dirinya yang tidak kompeten mengatasi kasus ini.
Egois memang tapi yang dipikirkan margareth adalah jika dia tidak bisa, siapa lagi yang bisa? Detektif pemerintahan tidak bisa di andalkan. Polisi? Apalagi. Jika polisi yang menangani kasus sebesar ini, dia akan mengambil tumbal dari orang biasa atau di rumah sakit jiwa untuk di jadikan tersangka.
Bukannya dia tidak memercayai teman-temannya seperti Harry atau Thomas, yang dia anggap kompeten. Namun ini mungkin terlalu berbahaya, satu langkah yang gegabah mungkin akan membuat teman, keluarga, atau dirinya sendiri akan masuk ke pasir hisap dan tidak akan pernah bisa keluar.
Mafia? Tidak mungkin. Mafia adalah makhluk yang bersifat brutal dan diam-diam. Mereka tidak akan mengambil resiko dengan membunuh orang dengan cara membabi buta. Lagi pula hati mfia tidak cukup besar untuk membut seseorang tewas dengan sekali gerakan.
Bagaimana dengan psychopath? Atau seorang yang hobi membunuh? Atau mungkin Necrophilia? Tidak. Tidak mungkin Necrophilia, orang aneh dengan fetish mayat tidak mungkin bisa membunuh sebanyak ini. Lagi pula mereka biasanya lebih suka mengambil mayat yang masih “hangat” di kuburan.
Bagaimana jik-
“Margareth apa kau bersama kami?” Terdengar suara Tuan Edmund memanggil, memecahkan segala asumsi margareth yang berputar-putar.
“Kau jangan terlalu memikirkan sehingga melupakan sarapan, Ayo makan” tambah tuan Edmund sambil mengambilkanku Sup Ayam hangat dan Daging sapi asap khas texas yang di beli untuk di makan bersama-sama.
Margareth sebenarnya lapar sekali. Dia harus makan supaya luka-luka di badannya cepat hilang. “Baiklah aku memang agak lapar”
Margareth meminta semangkuk penuh sup ayam hangat dengan extra daging. Aroma khas seleri dan wortel, kaldu ayam hangat yang sangat sedikit berlemak, serat daging yang pecah saat digigit, Membuat margareth terasa hidup kembali. Dia tambah setelah selesai menghabiskan mangkuk pertamanya.
Kemudian dia meminta 4 iris daging sapi asap, di potong tebal. Dia memakanya dengan lahap. Rasa lapar membuatnya sangat rakus. Padahal dia tidak pernah makan sebanyak ini.
Setelah Selesai makan dia bersendawa dengan keras. Dia puas. Rasa laparnya tidak ada lagi. Dia tidak harus lagi makan sampai malam. Lagi pula jika dia tidak makan banyak luka-lukanya tidak akan sembuh dengan cepat.
“Rasa lapar?” Pikir margareth. Sesuatu yang mengharuskan mu untuk makan. Kadang rasa lapar yang amat sangat membuat hilang kendali dan makan banyak ketika melihat makanan. Padahal tubuh manusia kadang tidak butuh sebanyak itu. Tiba-tiba saja margreth memikirkan orang di bagian benua afrika yang kelaparan dan tidak bisa makan sebanyak dirinya. Bahkan mereka kadang kanibal jika itu diharuskan oleh rasa lapar.
“Diharuskan?” Matanya terbelalak. “Itu dia!”
“Harry apakah kau akan membunuh sapi peliharaanmu padahal kau sangat tidak ingin membunuhnya, jika tidak ada sama sekali makanan di entah berantah?” Tanya Margareth tiba-tiba.
“Mungkin? Jika aku punya sapi peliharaan, mengapa kau bertanya hal aneh setelah makan sapi? Itu membuatku mual.”
“Kadang Seseorang yang tidak ingin membunuh saja, akan membunuh jika itu sangat terpaksa.” Kata margareth.
“Namun pertanyaannya mengapa dia terpaksa melakukannya dan Bagaimana caranya?” timpal Margareth.
Jalan pikiran si pembunuh, Margareth mungkin benar akan teorinya. Berkat daging sapi dan rasa laparnya. Tapi bagaimana pun, dia harus pergi ke TKP pembunuhan, teori dari sebuah kamar rumah sakit, tidak akan terlalu membantu. Jika dia meminta untuk di antar ke TKP dengan luka-luka seperti ini mungkin akan ditolak mentah-mentah oleh tuan Edmund.
Dia tidak bisa tenang sampai si pembunuh di ketahui. Setidaknya dia harus tahu siapa orang ini. 28 Tempat pembunuhan pasti salah satunya terdapat sebuah petunjuk, itu harus dia dapatkan sebelum detektif pemerintah mengacaukan TKP-nya.
Bersambung..
Kalau suka like dan komen yah! J
Description: Genre: Dark Fiction, Romance, Thriller, Mistery, Fantasi.
“Setidaknya aku mengingat dosaku sampai akhir hayatku, dan mereka akan melupakan dosaku sampai akhir hayat mereka.”-Poedd (Remember me Margareth)
Akan Di Update 5-6 kali Seminggu :)
|
Title: RALY
Category: Teenlit
Text:
Murid baru bernama Ily
Musim hujan telah datang. Gerimis membungkus pagi, terus turun tak berkesudahan sejak tadi malam. Jendela mobil berembun, udara terasa dingin. Aku menguap lebar.
"Ra, kamu masih mengantuk?" tanya papa. Sejenak papa menoleh ke arahku, lalu lanjut menatap ke depan, serius menyetir mobil.
Aku menggeleng, buru-buru menutup mulutku. Pandanganku tertuju ke luar jendela mobil. Jalanan padat, angkot, bis, mobil-mobil penuh dengan warga kota yang menuju tempat aktivitas. Sepeda motor tak kalah gesit, merangsek di setiap jengkal celah tersisa. Pengemudi dan penumpangnya mengenakan jaket hujan.
Sekolah sudah ramai saat aku tiba. Gerimis tidak membuat murid-murid kehilangan semangat. Beberapa terlihat berkerumun mengobrol seru, tertawa, satu-dua murid duduk di kursi mengerjakan sesuatu -sepertinya pr-. Sisanya berdiri sembarangan menunggu bel masuk. Aku menyapa dan membalas sapaan saat menuju mejaku.
"Hei, Ra." Seli tersenyum dia sudah datang, duduk membaca buku. Aku balas tersenyum. Mataku menatap ruangan kelas, dari satu dinding ke dinding lainnya. Ali belum terlihat. Ke mana si biang kerok itu? Seluruh murid kelasku sudah datang, sebentar lagi bel tanda masuk berbunyi, tapi Ali belum kelihatan batang hidungnya.
"Cari siapa, Ra? Ali?"Aku mengangkat bahu. Malas menanggapi. Suara bel terdengar membahana di seluruh sudut sekolah. Aku, Seli, dan teman-teman sekelas bergegas duduk di bangku masing-masing.
Dari ruang guru, para guru mulai menuju kelas membawa tas dan peralatan mengajar. Pak Gun, guru biologi, berjalan menuju kelas kami. Pada saat yang sama, Ali melesat di selasar, juga menuju kelas. Maka terjadilah, di ambamg pintu Ali dan Pak Gun nyaris bertabrakan. Ali berusaha masuk lebih dulu.
"Ali!" Pak Gun berseru kaget. "Maaf, Pak. Saya hampir terlambat." Ali meliuk menuju mejanya.
Teman-teman tertawa kecil melihat Ali dengan rambut kusut, seragam berantakan, mengambil posisi duduk di belakang mejanya.
Dia menyisir rambut dengan jemari, meluruskan kaki, tidak peduli dengan reaksi teman sekelas. Aku menatap dari jarak dua meter.
Ali beruntung karena Pak Gun segera memulai pelajaran, melupakan kejadian itu. Seli menyikutku, menyuruhku memperhatikan ke depan.
"Hari ini kalian kedatangan teman baru." Pak Gun berseru.Kelas ramai oleh celetukan tentang murid baru.
"Kamu bisa masuk." Pak Gun menoleh ke pintu, mungkin murid baru itu ada di depan pintu.
Semua murid sekelasku serempak menoleh ke pintu. Pikiranku sibuk menerka kira-kira siapa murid baru itu. Belum habis benakku menerka, murid baru itu muncul di hadapan kami.
Tubuhnya tinggi, perawakannya gagah, wajahnya amat tampan, dengan bola mata hitam. Dia berdiri di samping Pak Gun.
Aku mendongak menatapnya, bahkan teman-teman perempuanku tidak berkedip melihatnya, seperti sedang menatap bintang film paling tampan yang pernah ada.
"Perkenalkan namaku Ily." Dia melambaikan tangannya kepada kami.
"Apa ada yang ingin kalian tanyakan kepada Ily? Sebelum kita memulai pelajaran."
"Jomblo gak? Kalau jomblo boleh gak aku isi?" celetuk salah satu siswi. Sontak semua murid sekelasku tertawa.
"Sudah-sudah, sesi tanya jawabnya bisa dilanjut nanti istirahat sekarang kita mulai pelajarannya. Ily kamu bisa duduk di kursi kosong belakang Raib." Pak Gun berseru, mengatasi suara bising teman-teman sekelas.
Ily mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kelas. Tatapannya terhenti saat memandangku. Dia berjalan ke arahku, berhenti sejenak di sebelahku, kemudian lanjut berjalan menuju tempat duduk nya yang berada di belakangku.
Pak Gun memukul papan tulis dengan penggaris kayu panjang, menuruh semua murid fokus dengan pelajaran. Teman-teman sekelas fokus mendengarkan setiap penjelasan Pak Gun.
Aku menoleh ke arah meja Ali yang berada di belakang pojok. Ali menguap lebar. Dilihat dari wajahnya sepertinya Ali kurang tidur. Mungkin semalam dia sibuk dengan basemant berantakannya.
Dia terlihat tidak peduli dengan penjelasan Pak Gun. Tiba-tiba dia balas menatap ku. Kedua matanya menatap tajam mataku. Aku menunduk. Wajahku seketika terasa panas, aku yakin saat ini wajahku memerah seperti kepiting rebus.
Aku tetap menunduk, menyembunyikan malu. Tidak berani mendongak sedikit pun takut kalau Ali masih melihat ku, bahkan hingga bel istirahat berbunyi.
Aku segera merapikan buku-buku, alat tulis, dan memasukkannya ke laci meja.
"Perut ku lapar, Ra. Ayo makan semangkuk bakso di kantin." "Aku ikut, aku yang traktir." Ali beranjak hendak keluar kelas. Seli langsung ngacir di belakang Ali.
Aku menatap kesal. Aku yang di ajak Seli malah aku yang ditinggal Seli. "Hei! Tunggu aku."Ali dan Seli sudah melintasi ambang pintu. Tidak mendengarkanku.
Aku mendengus, aku beranjak hendak berlari mengejar mereka. Sebuah tangan menarik tanganku. Aku sedikit tersentak. Aku menoleh ke pemilik tangan.
"Ternyata Ily." batinku. "Hai, senang bertemu denganmu, Ra." Ily mengulurkan tangannya yang satunya, tersenyum. Lesung pipi muncul saat dia tersenyum, membuat wajahnya semakin memesona.
Aku menyambut uluran tangannya, balas tersenyum. "Kau tidak keberatan kan jika aku ikut ke kantin dengan mu?"
Aku menggeleng. Aku melangkah keluar kelas di ikuti Ily yang terus memegang tanganku. Sesekali aku merasa risih karena siswi-siswi yang melihat kami melintas ramai berbisik-bisik, apalagi dengan tangan Ily yang terus menggandengku.
Sepertinya Ily menjadi cowok populer baru di sekolah ini. Lihat saja, baru pertama kali masuk dia sudah memiliki fans.
Telingaku terasa panas, tak sedikit siswi membicarakanku, menyindir. Sindiran itu tetap terdengar sampai kami tiba di kantin.
Ily terlihat tidak peduli dengan sindiran-sindiran itu. Dia masih menggandengku bahkan sampai kami bergabung dengan Ali dan Seli.
Ali dan Seli memperhatikanku yang datang bersama Ily. Oh tidak Ali tidak memperhatikanku tapi dia memperhatikan tangan Ily yang menggenggam erat tanganku.
Ily menatap Ali, tersenyum. Ali balas menatap Ily dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan. Sedangkan Seli menatap ku dengan pandangan menggoda.
Aku duduk di depan Seli di ikuti Ily yang duduk di sebelahku. Tepat di depan Ali. "Pasangan serasi." Seli memajukan bibir, menahan tawa melihat muka masam ku.
Aku tidak menanggapi, hanya mengangkat sedotan dari gelas. Awas saja kalau keterusan, akan aku lempar dengan sedotan ini.
"Bercanda, Ra." Wajah Seli memerah, separuh karena kepedasan, separuh karena menahan tawa.
"Sebenernya sih... eh, tapi kamu jangan marah ya?" Seli tiba-tiba terlihat seperti menahan tawa.Apa lagi ini? Tidak bisakah Seli berhenti membicarakan Ily di depan orang nya. Tanganku yang menyendok bakso terhenti.
Aku menggeleng. "Kenapa aku harus marah?" "Ily tuh termasuk gwi yeo wun..." "Gwi yeo wun?" Dahiku terlipat. "Cute, Ra. Atau kau mau dengan Ali? Kalau saja Ali lebih rapi, sikap nya lebih manis, rambutnya diurus, pasti mirip serial Korea yang aku tonton. Ily atau pun Ali serasi sekali dengan Ra yang manis dan berambut panjang." Air muka Seli terlihat berubah saat menyangkut-pautkan Ali denganku.
Kali ini aku menimpuk Seli dengan bola bakso. Seli tertawa, cekatan menghindar. Baksoku mengenai kepala Ali. Aku nyengir lebar memasang wajah tak berdosa.
Salah siapa dia duduk di sebelah Seli, jangan salahkan aku jika bola baksoku salah sasaran. Ali melotot ke arahku, bersungut-sungut. Seli dan Ily tertawa semakin keras melihat aku dan Ali.
Untungnya Ali tidak memperpanjang masalah, dia kembali sibuk dengan semangkuk baksonya. Aku melotot ke arah Seli.
Seli mengangkat bahu, memasang wajah tidak berdosa, kembali berkutat dengan semangkuk baksonya. Aku mendengus.
Description: Ini adalah kisah cinta antara Raib, Ali, Seli, dan Ily yang merupakan tokoh dalam serial bumi karya tere liye. Dalam serial bumi menceritakan tentang petualangan mereka di dunia pararel klan bulan, klan matahari, klan bintang, klan komet, klan komet minor, dan pulau antah berantah lainnya. Sedangkan buku ini menceritakan tentang persahabatan yang berujung kisah cinta yang rumit. Kisah Raib dan Ali yang diam-diam saling mencintai, kisah Seli yang diam-diam mencintai Ali, dan Ily yang diam-diam mencintai Raib. Apakah Raib dan Ali akan bersatu? Bagaimana dengan Seli dan Ily? Bagaimana persahabatan mereka?
|
Title: Rantau
Category: Novel
Text:
Berita Tak Menyenangkan
Di suatu tempat di New York ada seorang remaja yang melamun di depan jendela kafe. Remaja itu bernama Jona, ia perantau ilegal dari Indonesia yang bekerja sebagai pelayan di kafe New York. Saat itu kafe sedang sepi, hanya ada beberapa orang saja yang ada di dalam kafe itu karena memang sudah larut malam dan hujan deras melanda New York malam itu. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, jam di dinding kafe menunjukan pukul sebelas lebih lebih lima menit yang berarti jam kerja sudah habis dan kafe mau tutup.
"Jona sudah larut malam, ayo bereskan meja di belakangmu, setelah itu kita tutup" ucap pemilik kafe yang juga berasal dari Indonesia itu.
"Oh.. iya baiklah" sahut Jona gugup karena lamunannya tadi.
Setelah membersihkan meja dia mengambil jaketnya lalu keluar ke teras kafe.
"Duh hujan masih deras gini ya, malah gak bawa payung lagi" jelasnya sambil melihat jalanan yang terguyur hujan.
"Ayo kuantar kau pulang!" teriak pemilik kafe itu.
Jona tidak punya pilihan lain lagi sehingga dia menuruti apa kata bosnya itu. Dia masuk ke mobil bossnya dan pulang. Mobil melaju agak pelan karena hujan semakin deras, bosnya mengaktifkan radio untuk didengar agar tidak jenuh. Selang sepuluh menit kemudian mobil berhenti di depan pagar rumah Jona, Jona berterima kasih dan turun. Dia membuka pagar dan menutupnya lalu berlari menuju pintu masuk, Jona masuk dan langsung menyalakan perapian dan pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat. Selesai mandi dia duduk di depan komputer untuk bermain game. Saat bermain game, ada pesan email masuk dan ia langsung membukanya. Betapa terkejutnya dia mengetahui email itu dari sepupunya di Indonesia.
"Ada apa dia mengirim email, biasanya tidak pernah?" ucapnya.
Dia terkejut dan sedih saat membaca email itu karena disitu tertulis bahwa bibinya sakit dan kata dokter neneknya hanya memiliki waktu beberapa minggu saja bisa bertahan. Sepupunya menginginkan dia pulang ke Indonesia. Dia bingung bahkan sampai depresi mengingat bahwa hanya bibinya saja yang merawat dan menjaganya dari kecil sampai besar karena ayah dan ibunya telah pergi saat dia kecil dan sampai kini belum juga kembali. Komputer ia matikan lalu ke sofa depan perapian rebahan, saat itu hujan masih deras suara petir yang bergemuruh. Dia memikirkan tentang kembali pulang ke desanya saat rebahan hingga akhirnya dia tertidur di sofa.
Pagi telah tiba dan hari ini seharusnya ia bekerja namun keputusannya telah bulat, dia harus pulang ke desa. Dia menelpon bosnya untuk berhenti bekerja sambil menjelaskan alasannya dia mempersiapkan baju dan perlengkapan yang mau dia bawa. Setelah semuanya siap dia pergi ke dapur untuk membuat sarapan terlebih dahulu, setelah sarapan dia pergi keluar rumah dan berhenti di halte bis tak jauh dari rumahnya di situ. Bis jurusan Pennsylvania datang dan dia langsung naik, dia tak bisa naik pesawat karena biayanya terlalu mahal, dia tak punya cukup uang untuk itu. Di bis dia mulai membuat strategi untuk melewati tempat-tempat di america itu dengan minim biaya. Hari itu panas sekali, dia melihat keluar jendela sambil memandangi pohon, rumah dan mobil yang terlewati oleh bis. Dua jam kemudian dia sampai dan turun di kota Pennsylvania, sekarang tujuannya adalah Ohio namun dia mau istirahat makan dulu di kota ini rencananya dia akan berangkat nanti malam saja. Di Pennsylvania dia membeli burger dibungkus dan pergi ke taman di dekat situ untuk beristirahat, dia langsung melahap burgernya itu lalu minum soda. Sambil duduk di bangku taman, dia memandangi pemandangan sekitar.
"Terasa berat meninggalkan impianku" cetusnya.
Impian Jona memang ingin hidup di amerika untuk menjadi orang sukses, walaupun kenyataanya dia belum sukses di amerika, dahulu dia berangkat pergi dari Surabaya hanya bermodalkan naik kapal barang dan menjadi TKI di amerika secara ilegal. Semua itu dia lakukan demi kesuksesan, namun semua itu terasa sangat jauh untuk digapainya.
Sambil tiduran dia memikirkan itu, sampai beberapa saat dia tertidur lelap disitu. Tempat yang dia impikan itu harus dia tinggalkan, namun semua itu sepadan dengan pulang ke kampung halaman untuk menemui bibi dan merawatnya. Langit sore mulai terlihat, warna oranye yang indah itu menyambut Jona saat bangun dari tidurnya. Dia langsung mengambil barang-barangnya dan pergi ke halte bis. Sepertinya bis akan agak lama datangnya, dia mengambil handphone dari sakunya dengan headset nya. Dia mendengarkan lagu sambil menunggu, ada beberapa orang disampingnya juga menunggu bis datang, disitu ada satu nenek tua dan seorang wanita dengan dua anak kecilnya. Jona tertidur saat mendengarkan musik di handphonenya, wanita dua anak itu terkejut saat Jona tidak sengaja kepalanya tersandar di bahunya. Wanita itu ingin membangunkanya namun dia kasihan melihat Jona yang tertidur, dia tidak merasa takut akan Jona karena walaupun Jona berumur sembilan belas tahun namun masih terlihat umur 14 tahun di Amerika apalagi walaupun dia tinggi di Indonesia, dia tetap terlihat pendek di Amerika.
Wanita dua anak itu membiarkan Jona tidur di pundaknya, dia akan membangunkanya saat bis telah tiba. Langit mulai malam, wanita itu melihat jam tangannya terlihat disitu sudah pukul delapan lebih dua puluh enam menit, tapi bis masih belum juga datang. Selang beberapa menit bis pun datang lalu wanita itu membangunkan Jona dan menyuruhnya naik. Jona terbangun dan terkejut, kepalanya malah jatuh di pangkuan wanita itu. Dia langsung minta maaf ke wanita itu, wanita itu memaafkanya dan menyuruhnya cepat naik ke bis sebelum bisnya berangkat. Wanita dan dua anaknya sudah masuk ke bis, Jona pun masuk ke bis dan duduk di depan
Bersambung
Description: seorang pekerja di luar negeri yang pulang ke kampung halaman dengan caranya sendiri
|
Title: Ruang Segala Kemungkinan
Category: Adult Romance
Text:
Prolog : Kronologi
Tahun 1999, aku bersekolah di sekolah yang sama dengan Arlan. Kami tidak saling mengenal karena terlalu kanak dan belajar di kelas berbeda.
Pada tahun 2004, aku bertemu dengan Arlan di tempat kursus matematika. Dia adalah anak terpintar di kelas dan suka bermain gim. Ponsel kami sama, N-Gage QD, tetapi kupikir itu cuma kebetulan saja.
Pada tahun 2005, kami semakin dekat. Awalnya setiap kali bertemu, kami selalu bertengkar, saling mengejek, bahkan sempat ada satu ejekannya yang membuat aku menangis.
Pada tahun 2006, Arlan berkata bahwa dia menyukai aku, tetapi aku pikir aku dan dia sedang fokus ujian nasional, sehingga merupakan hal bodoh kalau berpikir soal itu.
Pada tahun 2007, aku dan Arlan masuk ke SMU yang sama. Kami suka jajan es podeng sepulang sekolah. Rasanya segar, tetapi yang lebih segar adalah setiap kata-kata yang bertukar di antara kami.
Pada tahun 2010, aku dan Arlan putus. Aku jelaskan kelak bagaimana rasanya, apa alasannya, dan mengapa itu adalah titik balik dari segala perasaan dan persepsiku akan cinta. Kami berkuliah di kampus yang berbeda.
Tahun 2015, aku menikah, bukan dengan Arlan. Karena aku hanya tahu sekelibat kabarnya dari media sosial foto, media sosial kata-kata, media sosial jejaring kerja. Pria itu lebih baik daripada Arlan, kalau ditinjau dari segi rupa, sifat, dan tanggung jawab.
Tahun 2019, Arlan menikah. Aku tidak mendengarnya dari dia sendiri karena kami tidak saling mengikuti lagi. Namun aku mencari tahu data diri istrinya dan dia adalah perempuan yang lebih pintar dariku.
Dan tahun 2020 kelak, mungkin aku masih mencintainya.
Aku tahu bahwa aku sudah menikah dengan orang lain begitu pun Arlan. Namun aku terkadang masih mengharapkan adanya kemungkinan-kemungkinan lain dalam hidup di mana jalanku dan Arlan bisa saling bertemu, kembali.
Dan sebentar lagi, adalah awal dari perjalananku di ruang segala kemungkinan.
Daisy Bell
IBM 704 menyanyi dalam mimpiku dengan suara khas mesin yang patah-patah, sedikit fals di beberapa bagian, membuatku tersentak dan kehidupan tenangku selama beberapa tahun terakhir ini menjadi beriak, kelanggenganku terganggu dan itu menyebalkan. Jika ditanya apakah beberapa tahun terakhir yang kuhabiskan bersama Feri, suamiku, membahagiakan atau tidak, aku tak mau membahasnya karena kebahagiaan relatif. Tolok ukur hidup yang berkualitas bagiku yang sudah dewasa ini adalah ketenangan, rumah tangga ayem, tenteram, damai, pemasukan lancar, tidak ada utang, keluarga minim konflik.
IBM 704 ialah komputer pertama yang berhasil menyanyi dalam percobaan computer speech-synthesis, produksi artifisial suara manusia. Lagu yang dinyanyikannya adalah Daisy Bell. There is a flower within my heart, Daisy Daisy! Planted one day by a glancing dart, planted by Daisy Bell! Lagu itu sentimental sekali buatku karena Arlan, mantan pacarku satu-satunya, pernah menunjukkan sebuah video nyanyian IBM 074 itu sepulang sekolah.

Kami setuju bahwa di samping suara mesin yang fals dan tentu saja tak bisa dibandingkan dengan paduan suara Rusia On The Hill of Manchuria, sebuah lagu yang juga mengingatkanku padanya (nanti akan kuceritakan di lain waktu), Daisy Bell-nya IBM 704 memekarkan perasaan. Ia seperti bunga yang hidup pada pukul empat sore, padahal ia adalah lonte sore dan bukan bunga pukul empat. Karena kami berdua sama-sama menyukainya, Arlan, mantanku yang jago IPA, matematika, sekaligus main piano (tipikal sekali, anak cerdas kebanggaan orang tua), berkata bahwa ia akan memainkannya dengan piano di rumah, "Ayo ke rumah, sebentar saja, aku nggak kalah sama komputer , aku bisa memainkannya lebih bagus daripada itu, lagipula aku pikir kamu adalah Daisy Bell dan aku mau menikahimu."
Benar saja, Arlan langsung bisa memainkannya dan aku terlarut ke dalamnya. Aku membayangkan bahwa masa depanku adalah menjadi Daisy Bell. Suatu saat Arlan akan melamarku dan aku akan berkata ya! Pernikahan kami tidak perlu mewah, aku hanya perlu mengundang sedikit teman, band yang bisa melantunkan Daisy Bell dalam model akustik (bagus lagi kalau bisa membuat On The Hill of Manchuria jadi riang), dan setelahnya kami tidak pulang dengan mobil, melainkan sepeda. Kau akan cantik saat duduk di sepeda yang dibuat khusus untuk sepasang kekasih! Begitu kiranya terjemahan kalimat terakhir dalam refrain Daisy Bell.
Daisy Bell adalah lagu yang dimainkan oleh Arlan sebelum pada akhirnya ciuman pertama kami terjadi begitu saja. Adiknya lagi tidur di kamar atas, orang tuanya pergi semua. Setelah itu, kami diam-diaman, tidak berkirim pesan sampai keesokan harinya ia menemuiku di depan kelas, bilang maaf, dan berkata bahwa cintanya lebih dari sekadar kecupan bibir karena aku adalah Daisy Bell.
Kiranya itulah alasan mengapa aku begitu terikat dengan lagu Daisy Bell, dan ketika aku memimpikan Arlan pada suatu malam, tiba-tiba, sepertinya lantunan lagu Daisy Bell oleh IBM 704 mengalun di kupingku. Saat bangun, lagu itu masih mengalun dan aku memukul kupingku tiga kali supaya ia berhenti berhalusinasi, tetapi bagaimana bisa lagu itu berhenti kalau yang memainkannya adalah kenangan yang punya tempat khusus di otakmu?
Pada dasarnya, aku tidak mau lagi mengingat hal-hal tentang Arlan karena aku sudah menikah. Perkara aku mungkin selalu mencintainya, itu soal lain, tetapi aku malas mengingatnya dan kemudian seolah jadi berlebihan dengan terus-menerus mengeja kata cinta dan nama Arlan setiap hari.
Aku mencoba untuk jadi istri yang setia dengan memblokir seluruh media sosial Arlan, tidak ikutan reuni, tidak mendekati rumah Arlan waktu pulang kampung, tidak lagi kepo-kepo rumahnya di Google Maps seperti psikopat obsesif, tidak berteman dengan adiknya, tidak membahas soal Arlan dengan Budi, sahabatku saat SMA, membuang buku 7 Habits of Highly Effective Peoples yang diberikan Arlan saat kelulusan, dan tidak pernah mendoakannya lagi.
Namun aku dan Feri boleh dibilang mengalami masalah besar dalam pernikahan dan pada akhirnya itu membuat aku mau tidak mau mengingat Arlan sebagai upaya balas dendam terhadap Feri yang seolah tak mau menyelesaikan masalah rumah tangga kami. Tolok ukur kehidupan tenangku yang terakhir, keluarga minim konflik, mulai pecah.
Sungguh tadinya aku hanya memfabrikasi perasaanku, mengingat Arlan sebagai cara untuk melarikan diri dari konflik keluarga. Feri adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Ibunya janda, sama seperti ibuku. Bedanya, ibuku ditinggal oleh bapakku, nikah lagi sama sekretarisnya, kalau ibu Feri, ditinggal karena kematian. Ibu Feri sangat baik kepadaku dan tidak pernah sok-sokan menerapkan bibit bebet bobot layaknya ibunya si Arlan.
Namun, masalah datang dari kakaknya Feri, Deni alias Deden, seorang pria perlente, badan berisi, bekerja di bank BUMN, punya istri arsitek, anak tiga. Ia bertemu dengan seorang perempuan saat event bank, dua tahun di atasku dan Feri, sepuluh tahun di bawah Deden. Semenjak bertemu gundiknya yang tinggal di Cirebon itu, kehidupan Deden jadi agak berantakan. Namun yang jadi masalah adalah ketika ia turut menyeret kami berdua ke dalam masalah berantakan itu.
Deden kerap kali meminjam duit buat gundiknya, kepada Feri, seorang PNS guru bahasa Prancis di sebuah SMA, yang gajinya tidak besar-besar amat dan istrinya hanya berprofresi sebagai copywriter di sebuah agensi. Deden juga sering mengirim foto-foto seksi Nindya --nama perempuan itu-- ke Whatsapp Feri, meskipun tak pernah ditanggapi. Kemarahanku memuncak saat Feri ditelepon oleh Nindya yang mengaku tak bisa menghubungi Deden seharian, dan Feri yang tidak enakan itu malah menyambutnya dengan kata-kata sopan!
Aku merasa sakit hati, cemburu, mual, jijik, semua dalam waktu yang sama dan entah kenapa mengingat Arlan menjadi pilihan obat mualku secara otomatis. Aku mengingat kota kelahiran kami berdua, sebuah kota besar di Jawa Tengah, tempat kami besar, bersekolah di TK yang sama, bertemu di tempat les matematika, bersekolah di SMA yang sama, pisah karena sebuah konflik ditambah masuk ke kampus negeri yang berbeda kota. Aku mengingat rumah Arlan yang berpagar kayu seperempat, tiga perempat batuan alam pastel. Pohon mangga rimbun di depan rumahnya. Kompleks rumahnya yang ditandai dengan nama sebuah pohon asal Timur Tengah. Piano di lantai satu rumahnya. Mobil keluarganya yang berwarna merah. Senyumnya yang saat dipulas akan membuat matanya sipit. Kesukaannya pada banyak lagu klasik.
Perasaan kesalku pada Feri usai masalah Deden dan selingkuhannya ini naik turun. Terkadang aku ngamuk besar, kemudian memaafkannya setelah mengingat betapa baiknya Feri dan ibunya kepadaku. Namun kenangan tentang Arlan tidak lantas hilang begitu saja. Aku lalu mengobatinya dengan mengingat saat ketika aku dan Feri bertemu. Dua kali. Takdir bermain dengan agresif.
Pertemuan kami terjadi secara tak sengaja di sebuah pekan Frankofoni di kampusku. Itu adalah acara jurusan lain dan kebetulan Feri mengambil jurusan itu di kampus negeri lain. Dia datang ke sana bersama empat temannya, tiga perempuan satu pria. Waktu itu aku dan dia sama-sama berdiri menatap foto banlieu, sebutan untuk daerah pinggiran Prancis yang terkenal dengan nuansa kumuhnya, rapat, dan tindak-tindak kriminal akibat kemiskinan. Feri menyebut tentang impresi orang yang salah terkait Prancis : itu bukan negara yang akan memberikanmu romansa sepanjang waktu.
"Pernah dengar Paris Syndrome? Sebuah sindrom yang biasa dialami oleh para wisatawan saat menemukan kenyataan, bahwa Paris tak seindah yang mereka bayangkan. Pencopetan, pengemis, rasisme, sampah di mana-mana, ya mungkin tidak semua tentang Paris buruk, tetapi tidak semuanya bikin kamu jatuh cinta."
Aku tidak bisa bilang bahwa aku langsung jatuh cinta kepada Feri sesaat setelah dia berkata begitu, lalu mengajakku berkenalan dan bertanya di jurusan mana aku belajar, tetapi aku cukup tertarik kepadanya. Terlebih bisa dibilang Feri agak tampan, lembut, dan mengerti banyak hal soal sastra. Kami pun saling bertukar media sosial dan sempat saling berkirim pesan beberapa kali. Namun, kesibukan skripsi, tugas-tugas kuliah, dan hal-hal lain terkait isi perut dan masa depan membuat komunikasi kami tidak intens.
Uniknya, kami dipertemukan kembali beberapa tahun kemudian, saat aku dan dia sama-sama sudah bekerja. Waktu itu aku menyambangi sebuah sekolah internasional tempat Erika, temanku, bekerja. Rencananya kami mau bikin agensi kecil-kecilan karena aku, sebagai copywriter, muak dengan perusahaanku dan Erika kesal dengan para orang tua murid. Kami pikir, agensi kecil-kecilan dengan modal media sosial dan situs ini bisa jadi ladang untuk melarikan diri dari kenyataan bahwa setelah kamu lulus, kamu tidak benar-benar keluar dari penjara. Kamu memasuki penjara baru yang lebih luas dengan tantangan yang lebih besar dan mengintimidasi.
Rupanya Feri mengajar di sekolah yang sama dan ia kenal dengan Erika. Kami mengawali pertemuan dengan raut wajah terkejut, mengatakan bahwa pertemuan ini adalah sebuah hal yang tak disangka-sangka. Erika bertanya di mana kami bertemu, dan kami pun bercerita soal pekan Prancis, obrolan banlieue, dan Paris yang tak sesempurna ungkapan "i want to go to Paris and fall in love."
Sejak saat itu, kami sering melakukan pertemuan. Makan, nongkrong, nonton film. Erika mengompori dengan bilang bahwa pertemuan kami berdua terlalu kebetulan untuk tidak dibilang takdir. Jodoh, mungkin? Motivasi yang menyenangkan dari seorang kawan, meskipun Erika menutupnya dengan kalimat : Dania pernah trauma, sama mantannya dari SMP..
Bagaimana ya? Bisa dibilang ada dua irisan perasaan dalam hatiku saat membicarakan mantanku satu-satunya, Arlan. Di satu sisi, membicarakannya, apalagi dengan orang yang sedang mengusahakan hubungan denganku saat ini, sedikit membuat canggung, dan bagiku sedikit menyakitkan mengingat hal-hal buruk yang menimpaku saat putus. Di sisi lain, aku sedikit bangga karena mantanku berkualitas. Arlan adalah sarjana teknik dari sebuah kampus bergengsi yang kini bekerja di sebuah perusahaan bonafid. Ia tidak tampan-tampan amat, tetapi berkelas, dan mungkin masih bisa main piano (apakah sekarang dia masih bisa memainkan lagu Daisy Bell untukku? Entahlah.)
Kepada Feri, aku bercerita saja soal Arlan. Tentang bagaimana kami bertemu. Ia adalah temanku di Taman Kanak-Kanak, berpisah saat SD, bertemu lagi saat SMP di sebuah lembaga kursus matematika, berpacaran, saling berkirim pesan, bertengkar, membicarakan musik, membicarakan pelajaran, membicarakan orang tua, membicarakan kehidupan. Kami semakin dekat saat masuk ke SMA yang sama. Kemudian, kami berpisah saat menjalankan hubungan jarak jauh di saat kuliah.
Kamu tahu, Fer? Aku memang sudah lama tahu kalau ibunya nggak suka-suka amat sama aku. Namun kupikir, suatu saat pikirannya bakalan terbuka. Nyatanya, waktu kami LDR, Arlan bilang kalau hubungan ini nggak bisa diteruskan karena ibunya kurang suka sama aku dan nggak akan pernah suka sampai kapan pun. Dia bilang, hubungan ini mengganggu konsentrasinya saat kuliah karena dia selalu kepikiran soal ibunya yang nggak suka sama aku.
Kalau aku perempuan brengsek, mungkin aku terima kenyataan kalau ibunya nggak pernah suka sama aku. Bayangkan saja, aku selalu disambut dengan wajah dingin setiap kali main ke rumah Arlan. Entah aku goblok atau nggak punya harga diri, aku selalu berdoa kalau suatu saat ibunya bakal berubah dan aku tetap mengiyakan ajakan buat ke rumahnya hanya demi membuat ibunya senang padaku. Ibunya nggak akan pernah senang kepadaku karena hal yang dia benci bukanlah sifatku atau hal-hal lain di dalam diriku. Ia benci karena bapakku menceraikan ibuku, katanya keluarga berantakan akan menyusahkan anaknya. Menyusahkan? Minta duit ke Arlan saja aku nggak pernah.
Yang lebih menyebalkan lagi, sebetulnya Arlan berhenti berusaha karena kupikir dia naksir temannya satu angkatan. Berasal dari keluarga baik-baik, sama pintarnya sama dirinya. Tahu nggak kamu? Karena jatuh cinta sama Daisy Bell, aku lalu masuk sastra Inggris. Arlan bertanya kepadaku karier seperti apa yang bisa diharapkan dari jurusan sastra Inggris? Aku pikir, setelah masuk ke dunia perkuliahan, Arlan jadi orang yang berbeda. Sok realistis, lupa sama hal-hal yang dulu kami sukai.
Aku masih suka memperbincangkan hal-hal yang suka kami bicarakan waktu sekolah dulu, misalnya soal sejarah lagu On The Hill of Manchuria, Hamlet, kupu-kupu biston bercorak cerah yang berkurang jumlahnya setelah revolusi Inggris, lalu menanyakan banyak hal kepadanya terkait musisi-musisi lawas dan musik, tetapi kupikir dia nggak tertarik lagi. Katanya, itu obrolan yang sebaiknya nggak perlu banyak diperdebatkan dan diperdalam setelah kita dewasa. Orang dewasa membicarakan hal-hal yang menunjang karier, katanya. Wah, aku seperti nggak terlalu kenal Arlan. Yah, dia memang punya bakat jadi orang ambisius dan kaku seperti ini sejak SMP, tetapi musik membantunya buat jadi nggak menyebalkan.
Beberapa temanku di SMP dan SMA memang bilang omongan Arlan itu sedikit pedas, tetapi kupikir nggak masalah, lah, selama dia rajin, nggak nakal, nggak ngerokok, nggak memasuki pergaulan bebas. Menurutku Arlan itu orang yang cocok diseriusin, dan omongan pedas menunjukkan kalau dia punya prinsip. Namun, kayaknya segala kegiatan himpunan jurusan membuat dia makin apa ya, chauvinis? Membuat dia semakin sok-sokan, semakin nggak asyik, meremehkan orang lain. Aku nggak nyalahin jurusannya, aku menyalahkan dia yang semakin jumawa karena jurusan dan kampusnya dielu-elukan banyak orang dan mengelu-elukan dirinya sendiri.
Arlan memang mungkin nggak selingkuh dan pada akhirnya dia memang nggak pacaran sama orang yang kucemburui. Kayaknya, mereka memang cuma teman. Namun, aku nggak suka karena ketika kami berjauhan, dia malah sering terlihat berinteraksi sama cewek itu di Facebook dan Twitter. Nggak menjaga perasaanku kan? Padahal aku lagi stress karena dia bilang, hubungan ini susah diperjuangkan kalau restunya nggak ada.
Apakah aku salah, kalau minta diperjuangkan, Fer? Apa aku salah kalau dia sama sekali nggak menghargaiku yang rela naik travel setiap minggu cuma buat nyamperin dia? Keluar uang buat penginapan yang nggak jauh dari rumah kostnya?
Dia belum memutuskan aku sih Fer, sampai pada suatu waktu, aku marah besar karena dia malah balas-balasan status dengan Rani, teman seangkatan yang kucemburui itu, pada saat aku nyamperin dia ke kost dan ngajak makan. Aku jauh-jauh menempuh perjalanan tiga jam, capek, masih banyak tugas, dan dia nggak menghargai aku. Aku bahkan nggak menuntut dia untuk nyamperin aku, seperti saat awal-awal kuliah.
Lalu, karena aku begitu muak, Fer, aku bilang saja begini kepadanya, "Wow, masih aja ya sama Rani. Coba kamu nyanyiin Daisy Bell buat dia, deh. Kayaknya sebutan itu lebih cocok buat Rani daripada aku."
Dia lalu menjawab, "Maksudmu apa sih, Dan?".
"Kamu tahu nggak bunga Daisy Bell itu disebut apa dalam bahasa Indonesia? Lonte sore. Perempuan yang doyan ganggu hubungan orang memang cocok disebut lonte.".
Tiba-tiba, Fer, dia marah besar lho kepadaku. Katanya aku semakin kasar semenjak masuk kuliah. Dia bahkan menyalahkan teman-temanku yang katanya buruk, terlalu bebas, tidak punya masa depan jelas. Aku jelas marah karena justru teman-temanku yang selalu ada, bukannya dia. Aku juga muak dengan kebanggaan berlebihannya terhadap jurusannya, terhadap kampusnya, terhadap masa depannya yang katanya gemilang. Memangnya, dia siapa menganggap kalau masa depan dia dan teman seangkatannya itu pasti cemerlang?
Aku lebih kesal dan menuduh bahwa dia memang ada apa-apa sama Rani, karena dia membela Rani waktu kubilang dia lonte. Bahkan, aku berkata kepadanya bahwa saat itu juga, aku mau ke rumah kost Rani. Kita luruskan masalah dengan si lonte itu. Dan kata Arlan, aku jadi gila, semakin gila karena kekurangan sosok ayah.
Aku sangat jijik saat Arlan membawa-bawa keluargaku. Maka, aku melempar gelas yang tinggal berisi es batu ke mukanya, hingga muka itu basah. Dia marah besar. Dia mencengkeram lenganku, mengajak pulang. Aku bilang kepadanya : aku pulang sendirian. Kamu mending sama Rani yang selalu kamu bela itu, brengsek.
Dan benar saja. Aku ditinggalkan di pujasera yang ramai itu. Lalu aku pulang sendiri.
Keesokan harinya, aku menerima telepon dari Arlan yang meminta maaf dan bilang bahwa hubungan ini tidak bisa diteruskan. Aku dan dia berbeda. Kami berasal dari planet yang tidak sama. Latar belakang keluarga berbeda, jurusan kuliah tidak sama, dan nantinya kami akan menempati dunia yang jauh berbeda. Aku paham maksudnya, tetapi aku menegasikan semua yang dia omongkan saat itu, Fer.
Itu terakhir kalinya aku berkomunikasi dengannya.
Aku jatuh dalam depresi. Makanya itu alasan kenapa aku telat lulus, Fer. Setengah tahun kuhadapi dengan meratapi nasib. Ya banyak sih yang mendekati, tetapi semuanya kubandingkan sama Arlan. Aku yakin cuma dengannya aku punya masa depan yang baik. Aku yakin kalau dia bisa memberikanku rumah nyaman, pernikahan idaman, anak-anak cerdas, dan kupikir dia bukan orang yang mata keranjang. Aku juga berpikir kalau memang dia selingkuh sama Rani, itu bukan karena dia playboy, tetapi karena Rani membuatnya nyaman. Dibandingkan aku, Rani itu jauh lebih jelek. Nggak ada cantik-cantiknya, maka kalau dia jatuh cinta, itu pasti karena hal lain yang lebih prinsipal.
Aku menghabiskan waktu dengan menyalahkan diriku yang nggak punya minat di bidang yang Arlan sukai. Kenapa aku nggak suka hal-hal eksak seperti Rani? Kenapa keluargaku berantakan? Kenapa aku masih suka berkhayal dan menulis ketika Arlan sudah tidak suka musik? Dulu, waktu masih sekolah, aku bercita-cita jadi penulis dan Arlan mengamini itu walaupun dia tidak suka membaca fiksi. Saat kuliah, dia bilang impianku mulai tidak realistis.
Waktu aku berhasil menerbitkan kumpulan cerpen, Fer, aku pamerkan di media sosial, supaya Arlan, yang masih berteman denganku, jadi kagum. Nyatanya, menyukai postinganku saja nggak. Dan, Arlan ternyata nggak pacaran sama Rani, lho. Dia pacaran sama orang lain, tetapi orang itu nggak cantik (sambil aku menunjukkan fotonya ke Feri). Nggak cantik kan? (Feri mengiyakan, aku lihat pernyataannya tulus).
Kalau aku diselingkuhi sama perempuan yang secara fisik menarik, mudah bagiku untuk move-on, Fer. Namun, kelihatannya aku nggak diselingkuhi. Sepertinya Arlan menyerah karena aku makin menyebalkan dan ibunya makin nggak suka sama aku.
Setelah mendengarkan curhatku yang panjang lebar, Feri kemudian menyampaikan pendapatnya.
Aku mungkin nggak paham soal hubungan karena aku hanya pernah pacaran satu kali, saat SMA, itu pun tidak serius dan hanya bertahan lima bulan. Namun, aku pikir, kamu dan dia memang sebaiknya nggak bersama. Dia nggak paham duniamu, lho. Bayangkan, memang dia tahu apa itu copywriting? Kamu mau menghabiskan waktu dengan orang yang nggak paham seberapa penting profesimu dan menganggap kalau profesimu nggak penting? Kamu mau menghabiskan malam dengan orang yang merasa kalau obrolan santai soal segala hal yang berseni itu omong kosong? Kamu mau apa yang kamu pelajari diremehkan dan dianggap nggak sepenting apa yang dia pelajari? Dan memangnya kamu mau menghabiskan setiap Lebaran ke rumah perempuan yang benci sama kamu?
Omongan Feri memang benar sepenuhnya dan aku rasa, aku harusnya bersyukur karena putus dari Arlan. Kupikir, kalau aku terus bersamanya, itu akan buruk bagi kehidupanku. Lantas, aku semakin nyaman bersama Feri. Sifatnya sedikit berbeda dengan Arlan. Dia sama-sama bukan pria mata keranjang, tidak merokok, dan pekerja keras. Namun, memang Feri tidak seambisius Arlan dan dia tidak bisa main musik serta berbahasa Jawa, karena Feri adalah orang Sunda. Rumahnya di daerah Buahbatu. Ayahnya sudah meninggal. Kakaknya satu, pria, adiknya satu, pria.
Ketika hubungan kami berlanjut semakin serius, Feri memperkenalkan aku kepada keluarganya. Ibunya sangat baik. Menerimaku walau tahu latar belakang keluargaku. Adiknya agak pendiam dan alay. Aku hanya kurang suka pada kakaknya, si Deni alias Deden. Obrolannya agak mesum. Terlihat ia orang yang oportunis.
Deden memiliki perbedaan umur sepuluh tahun dengan Feri. Kata Feri, dia anak paling dimanja, paling diandalkan, maka itulah yang menyebabkan kepercayaan dirinya tinggi. Ia bekerja di Bank BUMN, istrinya arsitek. Anaknya tiga. Kehidupannya mapan, sebetulnya. Namun, Deden adalah tipikal orang yang self-centered, pelit, suka memanfaatkan orang, bahkan sering berkata begini soal ibunya sendiri di depan orang-orang : beginilah nasib punya ibu yang hanya lulusan SMA, kurang pintar, jadi sulit memutuskan sesuatu, suka dimanfaatkan saudara-saudaranya, apalagi setelah Bapak (yang notabene orang berpendidikan), meninggal.
Menurutku, itu adalah omongan bangsat dari seorang anak yang sedari kecil disayang, disekolahkan baik-baik, dan dirawat penuh kasih. Deden juga acapkali mengejek Feri, bahkan kabarnya dulu sempat mengejek pilihan jurusan Feri yang kebanyakan diisi oleh perempuan. "Jurusanmu ngajarin cara make-up juga? Atau cara membedakan Hermes asli dan palsu?". Ia menyebut Hermes dengan huruf H yang kental, padahal, cara bacanya adalah Érmés, bahasa Prancis mengenal H sebagai huruf yang muet alias bisu, tidak dibaca.
Aku tahu bahwa dilihat dari pendapatan, Deden lebih unggul dibandingkan Feri. Namun, apapun yang dilakukan oleh Feri tidak akan pernah dihargai oleh Deden, meskipun Feri menikah pakai uang kami sendiri pada tahun 2015, meskipun setelahnya Feri ikut CPNS dan berhasil menjadi guru SMA --sebuah pekerjaan yang lebih melegakan ketimbang pekerjaan di sekolah lamanya yang melelahkan, penuh tekanan terhadap guru-guru yang merupakan WNI, dengan orang tua serba menuntut dan gaji yang jauh jika dibandingkan dengan uang masuk dan uang semesteran anak-anak kecil kaya itu.
Menurut Deden, Feri selamanya akan menjadi adik payah, adik pendiam yang kurang jantan, tidak sekaya dirinya, tidak sepintar dirinya, tidak sekeren dirinya. Deden yang juga ikut-ikutan geng motor lokal menganggap kalau kejantanan murni dilihat dari seberapa keren gayamu, posisimu di kantor, dan komunitas yang kamu ikuti. Feri, yang merupakan family man, tidak suka ikut-ikutan hal semacam itu dan aku bersyukur karenanya. Dan setelah aku tahu kalau Deden ternyata selingkuh dan hubungannya dengan sang istri, Mbak Farah, sudah dingin, aku tertawa setiap kali dia meremehkan Feri. Namun, aku tidak bisa tertawa lagi setelah menyadari bahwa perselingkuhan Deden adalah jalan masuk pernikahan kami menuju masalah besar, menuju ketidakharmonisan, dan mengembalikan segala kenangan tentang Arlan yang sudah kukubur rapat-rapat.
Shoo, Fly Don't Bother Me
Beberapa bulan sebelum menikah dengan Feri aku menghubungi ayahku. Semenjak ia meninggalkan ibu untuk menikahi sekretarisnya, aku tak berhubungan dengannya lagi. Ia tidak lagi mengirimkanku uang bulanan dua tahun semenjak ibuku bercerai dengannya.
Aku ingin memahami mengapa Ayah menceraikan ibuku tetapi aku tidak sanggup. Ayahku punya posisi strategis di sebuah perusahaan minuman swasta berskala internasional dan ibuku tidak bisa bahasa Inggris. Ini terdengar konyol, tetapi rupanya ayahku sering menelepon sekretarisnya dengan bahasa Inggris dan apa yang mereka bicarakan bukanlah tentang pekerjaan tetapi perkara cinta. Ibuku tidak paham karena dia tidak bisa bahasa Inggris. Setidaknya itulah yang diceritakan oleh Tante Ais, sahabat ibuku, dan oleh ibuku sendiri, berdasarkan pengamatan sahabatnya karena lagi-lagi, dia tidak bisa berbahasa Inggris.
Ibuku pernah bilang bahwa ia mau memasang chicken set baru di rumah. Rupanya, yang ia maksud adalah kitchen set. Jika aku masuk ke dalam kulit ayahku dan mengambil sudut pandangnya, barangkali aku akan ilfil tetapi aku tidak akan berselingkuh hanya karena istriku tidak pintar dan tidak eksklusif seperti sekretarisnya yang bisa bahasa Inggris, Prancis ,atau mungkin bahasa-bahasa yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga ia direkrut oleh Badan Intelijen Negara karena masuk kategori poliglot.
Selingkuhannya, yang seumur hidup akan kupanggil perek --perempuan eksperimen-- berusaha untuk mengambil hatiku pasca pernikahan tetapi aku sungguh jengah kepadanya. Waktu itu aku masih SMA, belum punya keberanian dalam untuk meludah. Saat aku meminta ayahku buat datang ke pernikahan, aku melarang pelacur itu untuk datang dan untungnya ayahku mengiyakan kemauanku. Saat resepsi, aku melarang Ayah untuk naik ke pelaminan. Oh, tidak ada pelaminan, karena aku sengaja membuat konsep pesta kebun sederhana di bukit daerah Bogor, bukan dj kampung halamanku. Murah, eksklusif, tidak kentara kalau ibuku ditinggal pergi dan keluargaku berantakan.
Sejak bertemu dengan Feri, lelaki baik hati ini mencoba untuk menyambung hubunganku dan adik lelakiku dengan ayah kami. Feri boleh saja mengajarkanku menjadi lebih sabar, tetapi selama ayah masih menikahi perempuan itu, aku tidak akan pernah mau memperbaiki hubungan. Meskipun kabarnya ibuku yang menolak uang bulanan dari ayah, tetap saja ia bukan ayah yang bertanggung jawab. Kebrengsekan ayahku adalah hal yang menjadikanku pribadi semacam ini : skeptis, tidak percaya diri, mudah berpikiran negatif, benci lelaki tidak setia, dan sedikit keras soal karier. Aku hanya takut kalau suatu saat nanti aku ditinggalkan oleh suamiku dan aku harus kerja serabutan seperti ibuku, dibantu oleh saudara-saudaranya yang puji syukur, agak berada.
Ketika Arlan diduga berselingkuh, aku tidak bisa memaafkannya. Namun, ketika dia ternyata tidak berpacaran sama Rani, aku merasa sedikit menyesal dan ada rasa ingin kembali. Arlan menikahi rekan kerjanya, berbeda divisi, sama-sama anak teknik. Namanya Asrilia Nusantara, cumlaude, berasal dari keluarga Jawa baik-baik yang tinggal di Jakarta. Sungguh perempuan monoton yang ideal, dicintai Arlan dan Ibunya.
Bagaimana aku bisa tahu? Aku memang berjanji pada diriku untuk tidak kepo Arlan, tetapi aku mencari tahu kabar kakaknya, adiknya, kabar ibunya, dan dari sanalah aku tahu soal Asrilia. Pernikahan mereka berjalan beberapa tahun setelah pernikahanku dan mereka sepertinya bahagia.
Aku sendiri cukup bahagia dengan Feri. Feri lebih mudah dikendalikan daripada Arlan, dalam cara yang positif. Maksudku, bersama Arlan terkadang membuatku seperti main teka-teki. Kata teman SMA-ku, Arlan itu sedikit kemaki (istilah Jawa untuk orang yang sok-sokan), keras hati, terlalu ambisius, sedikit mudah tersinggung.
Feri tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Dia bahkan tidak pernah punya ambisi karier khusus. Dia hanya ingin bahagia dengan perempuan yang ia cintai lalu setelah pensiun nanti tinggal di Bandung yang dingin bersamaku sambil mendengarkan musik. Cita-cita yang sederhana bukan?
****
Jika diibaratkan wahana, Feri adalah komidi putar yang menyenangkan, manis, tidak membuat jantung berdebar, tetapi terkadang membosankan. Pada dasarnya aku takut naik kora-kora, apalagi halilintar (hubunganku dengan Arlan di masa kuliah kuibaratkan seperti Halilintar --singkat tetapi menyeramkan. Jadi, naik komidi putar bukan masalah, aku masih punya toleransi terhadap rasa bosan.
Namun, ketika ada anak nakal yang merebut tempat dudukku di komidi putar, kemudian teriak-teriak, berlompatan, hingga komidi putar itu bergetar kencang, inilah yang kemudian menjadi titik di mana aku ingin keluar dari komidi putar itu dan berkata : "Mungkin naik halilintar lebih asyik dan realistis.".
Anak nakal itu adalah Deden.
Ini adalah tahun keempat pernikahanku dan Feri. Kabarnya, lima tahun pernikahan adalah hal terberat dan masalah kami cuma berpusat di situ-situ saja : kakak Feri yang doyan mengganggu, omongan pedasnya, dan satu tahun terakhir ini, hobi meminjam uang.
Aku adalah seorang copywriter dan Feri adalah seorang PNS guru. Gaji kami mungkin tidak kecil-kecil amat tetapi dengan cicilan rumah sederhana, cicilan motor, dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bolak-balik Bogor-Jakarta, belum lagi dengan tabungan berjangka dan rencana buat punya anak dengan bayi tabung, tentu saja kami jadi kekurangan!
Seringkali uang yang dipinjam oleh Deden tidak dikembalikan, "Cuma lima ratus ribu!", begitu katanya, tetapi kalikan lima ratus ribu dengan lima, berapa yang kamu dapatkan? Ini belum termasuk pinjaman-pinjaman kecilnya.
Sebagai pegawai tetap di bank BUMN dan beristrikan arsitek, seharusnya Deden tak perlu berutang kepada kami. Namun, Deden harus menghidupi satu mulut ilegal, dan dia sering bolak-balik Jakarta-Cirebon menemui gundiknya. Ini yang kemudian membuatnya jadi kekurangan. Perselingkuhan selalu menebarkan teror baru, tidak cuma buat dirimu tetapi buat orang lain.
Aku mengeluh kepada Feri soal masalah ini! "Kalau buat ibu atau Ardi (adiknya), nggak masalah, Mas. Kakak kamu ini udah dewasa, punya pekerjaan, dan kamu tahu kan buat apa uangnya?"
"Anaknya tiga, Dan. Yang satu mau masuk kuliah. Ya mungkin saja memang nggak cukup?"
"Bisa stop bela kakakmu nggak? Aku nggak tahu kamu goblok apa pura-pura goblok, tetapi kakakmu jadi kere karena harus ngempanin congor gundiknya, tau??"
Feri sebetulnya selalu marah kalau aku mengatainya --dia berpesan kepadaku untuk tidak bicara kasar lagi--. Namun, dia tidak akan berani marah kalau sudah menyangkut Deden. Ada dua alasan yang membuat Feri terus berusaha membantu Deden. Pertama, bahwa dulu Deden juga membayar uang sekolah dan kuliahnya. Kedua, bahwa Deden sangat sayang kepada tiga anaknya.
"Ya kamu ngapain kek, aduin aja ke Ibu soal kelakuan Deden. Apa aku bilang ke Mbak Farah?"
"Kamu mau bikin ibu drop tiba-tiba?"
Feri tidak pernah membuka soal perselingkuhan Deden karena dia takut ibunya akan jatuh sakit. Betapa baiknya memang suamiku ini! Kupikir perjalanan pernikahan akan lebih menyenangkan bersama pria berhati emas, tetapi tidak saat emas itu berdekatan dengan lumpur hisap seperti Deden.
Aku mengingatkan pada Feri tentang Deden yang sering menyebutnya payah, tidak jantan, tidak punya inisiatif, kurang pintar. Kepadaku, seringkali Feri mengeluh soal kakaknya yang jumawa, tetapi beberapa kali ia membela saat teringat kalau kakaknya juga ikut membiayai sekolahnya, melindunginya, dan hal-hal lain yang sudah selayaknya dilakukan kakak lelaki usai ayah meninggal, sehingga tidak perlu dianggap heroik.
"Aku juga biayain adikku, Mas. Tapi ya nggak minta pengakuan juga."
Feri akan menerima nasehat apapun, kecuali jika itu menyangkut keluarga intinya. Apakah itu masalah besar? Bagi Dania lajang tentu bukan, karena buat Dania, selama seorang pria punya pekerjaan, menafkahi, bertanggung jawab, sabar, tidak ghosting alias menghilang seperti ayahnya yang sempat kabur sama sekretarisnya, tidak selingkuh, tidak main fisik, itu bukan masalah besar. Namun, bagi Nyonya Dania, itu adalah masalah besar karena uang dan kejujuran adalah hal penting rupanya. Itu soal harga diri dan juga soal perut.
Beberapa waktu yang lalu, aku melarang Feri untuk memberikan uang kepada Deden selama Deden belum meninggalkan selingkuhannya. Kutekankan padanya : kalau memang kamu orang Islam ya, Feri, yang katanya taat, yang katanya khusyuk saat salat, harusnya kamu tahu bahwa kamu tidak boleh keluar uang tanpa seizin aku apalagi buat membiayai perselingkuhan!
Awalnya Feri menuruti kemauanku, sampai pada akhirnya, Feri memohon-mohon kepadaku untuk meminjamkan tiga ratus ribu kepada Deden, karena kebutuhan anak yang mendesak. "Kamu tahu sendiri lah, segede-gedenya gaji agensi Mbak Farah berapa, sih?". Oh, Feri, tentu lebih besar daripada aku! Namun Feri kembali menekankan soal tiga anak yang harus diurus, dan lagi-lagi aku luluh. Pada dasarnya aku bukan orang yang pelit, apalagi menyangkut kebutuhan sekolah. Namun, ketika aku kembali waras, aku suka mengungkit-ungkit masalah itu dan aku kembali memaksa Feri buat menagih uang tiga ratus ribu itu dan uang-uang lainnya yang belum dikembalikan.
The Autumn Leaves
Di antara sekian banyak kemungkinan lagu yang bisa diputar oleh sebuah radio dari Indonesia --radio yang menyajikan musik-musik jadul di jam-jam tertentu-- entah mengapa salah satu kemungkinan itu jatuh pada Autumn Leaves-nya Nat King Cole.
Aku mengasosiasikan banyak kenangan, pahit atau manis, indah ataupun buruk, semuanya ke dalam berbagai macam hal dan itu termasuk lagu. Tentu saja aku tidak benar-benar sengaja melakukannya karena bukankah menyakitkan saat melihat kembali kenangan-kenangan pahit itu diputar di depan matamu, persis seperti saat kamu menonton film? Aku selalu menutup mata saat film-film di bioskop dan televisi menyajikan adegan-adegan sadis atau adegan-adegan yang tidak memihak tokoh protagonis, kurang lebih, beberapa hal yang tidak memihakku di dalam kehidupan memberikan efek penyiksaan yang sama.
Feri sangat suka lagu Autumn Leaves, lebih tepatnya, versi bahasa Prancisnya : Les Feuilles Mortes. Dinyanyikan oleh Edith Piaf dan memberikan rasa sakit pada siapapun yang mendengarnya, walaupun mereka tak bisa berbahasa Prancis. Setidaknya sebelum Feri cerita soal lagu itu, aku sudah sering mendengarkan versi Inggrisnya. Since you when away, the days grow long. And soon i'll hear old's winter song. But i miss you most of all my darling. When autumn leaves, start to fall.
Kami sedang berada di dalam perjalanan pulang saat lagu itu diputar di radio. Sontak Feri menyanyikan versi Prancisnya, masih fasih. C'est une chanson. Qui nous ressemble. Toi tu m'aimais, et je t'aimais. Et nous vivions tout les deux ensemble. Toi qui m'aimais, moi qui t'aimes.
Inilah sebuah lagu, yang mengingatkan akan kita. Kamu yang aku cintai. Aku yang mencintaimu. Dan kita hidup berdua, bersama. Kamu mencintaiku. Aku mencintaimu. Sesederhana itu maknanya.
Ironisnya, setiap kali lagu itu berputar, aku malah mengingat Arlan. Maka dari itu, waktu kencan kami dulu, saat tiba-tiba lagu ini terputar di sebuah kafe indie yang kini sudah menjual kopi kekinian, cepat-cepat aku meneguk wedang uwuh yang tinggal sedikit dan kuajak Feri pulang. Namun, Feri berkata kepadaku. "Tunggu deh sampai lagunya selesai.". Feri adalah lulusan bahasa Prancis, otomatis suka lagu berbahasa Prancis. Sebetulnya, aku berpotensi suka. Apalagi, ada banyak lagu Prancis tentang kegagalan cinta dan tentang cinta yang manis. Namun, aku tidak bisa berbahasa Prancis.
Kemarin, kami bertengkar lagi, karena kami tidak punya uang dan belum punya anak. Lagi-lagi aku menyalahkan Feri karena akibat kakaknya, kami tidak punya uang buat mengikuti program bayi tabung secepatnya. Semalaman kami bertengkar sampai mata kami berdua cekung. Namun, pagi harinya, kami baikan. Mungkin karena lelah meributkan sesuatu yang tak bisa kami kendalikan.
Ketika lagu ini berputar, Feri bercerita tentang masa-masa bahagia itu. Saat kami kencan. Namun, dosakah aku apabila aku malah mengingat Arlan? Sungguh aku ingin mengingat Feri seutuhnya. Namun, karena masalah kami begitu banyak dan aku benci setengah mati sama kakaknya, aku tidak bisa tidak mengingat Arlan lebih banyak daripada dulu.
Tidak, Feri bukan pelarian. Aku pernah jatuh cinta kepada Feri. Bahkan, di awal-awal pernikahan, aku berpikir bahwa aku tidak akan mau menikahi Arlan. Feri adalah pria baik yang pengertian. Tidak sepintar Arlan. Mungkin tidak sekaya Arlan, tetapi dia baik, dia tidak pernah benar-benar meninggalkanku.
Beberapa waktu terakhir ini, terutama kalau Deden bikin masalah, ingatan tentang Arlan semakin cepat mengejarku. Aku berusaha untuk sembunyi di tempat mana pun, tetapi kenangan itu senantiasa menemuiku. Mungkin ini kebalikan dari film Eternal Sunshine of The Spotless Mind : Joel dan Clementine yang melupakan satu sama lain dengan sebuah teknologi penghapus ingatan dari dokter bernama belakang Polandia. Aku pikir aku membutuhkan mesin itu. Aku ingin melupakan Arlan. Aku sebetulnya tidak ingin mengingatnya di kala pernikahan kami bermasalah.
Aku tidak mau membayangkan bahwa jika aku menjadi istrinya, aku sudah hidup bahagia dengan gajinya yang besar. Tidak ada masalah keluarga karena sepertinya tidak ada saudara Arlan yang pecundang. Tidak ada ketakutan akan pundi-pundi tabungan yang menipis. Atau tabungan berjangka yang cairnya masih lama. Atau laki-laki yang tidak bisa berbahasa Jawa. Laki-laki poliglot yang bisa banyak bahasa, tetapi sayang ya bahasa-bahasa yang ia pahami tak kupahami sepenuhnya.
Perasaan bersalahku sebagai seorang istri kemudian memaksaku untuk menemukan berbagai cara agar jatuh cinta dengan Feri lagi, berbunga-bunga seperti dulu. Ayo, Dania. Kamu bisa. Coba diingat-ingat. Feri yang lebih tampan dibandingkan Arlan. Feri yang tidak mata keranjang seperti bapakmu yang kabur dengan sekretarisnya. Feri yang bertanggung jawab. Ibu Feri yang begitu sayang kepadamu. Lagu-lagu Prancis romantis. Sous le ciel de Paris marchent des amoureux. J'ai si peur de ces romances, qui finissent avant qu'elles commencent. Jamais je n'aurai marre de toi. Aku tidak akan pernah lelah terhadapmu.
Nyatanya, aku begitu lelah. Daisy Bell IBM 704 berbunyi kembali. Otakku menyimpan setiap nadanya dengan begitu rinci hingga tanpa kusadari ia berbunyi sendiri. Aku pernah memimpikan menikahi Arlan, menaiki sepeda untuk dua orang. Aku mengingat matanya yang sebetulnya tidak secemerlang Feri, tetapi aku melihat keindahan Daisy Bell di sana. Ah, Daisy, Daisy, give me your answer do. I am half crazy over the love of you.
It won't be a stylish marriage. Itu tidak akan menjadi pernikahan keren. Memang tidak akan pernah terjadi karena aku menikahi orang lain.
Di perjalanan pulang, aku banyak diam, memandang jauh dari kaca jendela. Jakarta begitu panas sepertinya dan macet di mana-mana. Kadang, di antara keramaian jalan Jakarta, aku berharap mataku menemukan sosok Arlan. Lalu, aku akan berpura-pura mau turun untuk membeli minum di minimarket atau pedagang asongan, dan pura-pura tak sengaja bertemu Arlan. Sayangnya, Arlan tidak di Jakarta dan angan-anganku itu hanyalah sebuah bayangan yang tak jelas manfaatnya. Mungkin, pertemuanku sembilan tahun lalu dengan Arlan adalah pertemuan terakhir. Mungkin, aku tidak ditakdirkan untuk bertemu dengannya lagi.
"Kamu sakit? Kok banyak diem? Nanti mau makan di mana?"
"Makan di rumah lah, memang ada uang? Uangnya kan dipinjem.."
Feri nampak tidak mau meneruskan obrolan itu, dan aku juga sedang malas bertengkar. Entah sampai kapan hubungan ini akan terus begini, entah sampai kapan Deden berhubungan dengan perempuan muda itu dan menggerogoti uang kami, dan entah sampai kapan aku mengingat Arlan. Aku pikir, ingatan ini tak bertahan lama seperti sebelum-sebelumnya, tetapi ternyata sudah tiga minggu lebih aku terus-menerus memimpikan Arlan.
Description: Dania telah menikah dengan Feri. Segalanya berjalan dengan lancar, awalnya. Namun, layaknya pernikahan lain, ada masalah yang pada akhirnya membuat Dania merasa bahwa mereka berdua tak saling mengenal satu sama lain.
Ia kemudian teringat pada Arlan, kekasihnya sejak sekolah menengah pertama. Mereka berpisah bertahun-tahun setelahnya.
Dan pada suatu hari, seorang sales promotion girl menawarkan sebuah program baru perusahaan start-up : aplikasi untuk kembali pada masa ketika hubungan Dania dan Arlan, mungkin masih bisa diperbaiki.
"Apakah hal itu memang indah buatmu, atau sekarang jadi indah hanya karena itu adalah kenangan saja?"
|
Title: Reinkarnasi Biji Pohon Dunia
Category: Fantasi
Text:
CHAPTER 1 : DIREINKARNASI KEDUNIA LAIN
"ukh, hah hah hah, dimana ini?"
"Kenapa gelap sekali disini?"
"Apa yang telah terjadi padaku?"
"Bukan kah, tadi aku sedang dalam berjalan pulang setelah seharian mengamen?"
"Ah, aku ingat sekarang. Aku telah ditusuk oleh sekumpulan preman yang berusaha memperkosa dua wanita cantik tadi."
"Aduh, betapa sialnya aku ini. Mungkinkah ini yang nama nya diambang kematian."
System: "selamat datang tuan, berkat catatan kebaikan milik anda, dan bahkan setelah diberikan seribu kesialan, anda masih tetap melakukan banyak kebaikan. Jadi, anda telah diberikan izin untuk bereinkarnasi di dunia lain."
"HAH!! kenapa bisa ada suara dikepalaku?"
"Hei siapa kau?"
"Apakah kau wanita yang sudah aku selamatkan tadi?"
"Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan."
"tolong selamatkan aku, kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi padaku."
System: "maaf tuan, sebelumnya perkenalkan nama saya adalah KIA. Saya merupakan roh yang akan menjadi pemandu anda. Tugas saya adalah memandu anda hingga sampai didunia lain nanti. Didunia anda sebelumnya, saya biasa disebut sebagai system, dan saya juga kelak akan tetap menjadi pembimbing anda setelah direinkarnasi kedunia lain. Baiklah tuan, didunia baru anda nanti ada berbagai makhluk hidup seperti manusia, manusia setengah binantang, manusia burung, bahkan monster. Jadi, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"KIA. Jadi itu nama kamu??"
"Roh???"
"System???"
"Reinkarnasi????"
"Dunia lain????"
"Apa maksudnya?"
"Dari tadi kamu itu bicara apa?"
"aku sama sekali tidak mengerti."
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"Apa aku beneran sudah mati?"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"hei, jawab dulu pertanyaanku."
"Ini dimana?"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"Kenapa gelap sekali disini?"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"heii !!!"
"Apa kau tidak mendengar dari tadi aku bertanya??"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"Setidaknya jawab dulu pertanyaanku….."
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"Atau jangan – jangan, kamu dewa kematian ya?"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"waaaaaaahhh, aku belum mau mati tolong selamatkan akuuu…."
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"kenapa tidak ada yang mendengarku????"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"Kenapa ini??"
"kakiku, tanganku, seluruh tubuhku kenapa aku gak bisa merasakannya?"
System KIA: "maaf tuan, sebelum direinkarnasikan, anda ingin memiliki bentuk yang seperti apa?"
"aaaarrrrrggghhh, terserahlah. Terserah."
"kamu mau aku direinkarnasi dalam bentuk apapun juga terserah kamu."
"mau jadi burung."
"Jadi manusia."
"Jadi ikan"
"bahkan bentuk biji pohonpun jadi."
"yang penting selamatkan dulu akuuuu…"
System KIA: " baiklah tuan. Sesuai dengan keinginan anda. Anda akan direinkarnasi dalam bentuk biji pohon."
System KIA : "Selamat tuan, Karen anda telah mendapatkan ijin dari dewa untuk bereinkarnasi dengan wujud tubuh yang anda inginkan. Jadi, Anda akan direinkarnasi menjadi Biji Pohon Dunia dan anda juga mendapatkan beberapa bonus dari dewa."
System KIA : "Informasi tambahan tuan, Walaupun anda berada dalam bentuk biji pohon dunia kelak. anda akan tetap memiliki kesadaran serta seluruh ingatan anda didunia sebelumnya, dan juga anda dapat bergerak sesuai dengan kemampuan yang telah diberikan. Silahkan mempersiapkan diri anda. Sekali lagi saya ucapkan Selamat menikmati hidup didunia baru anda."
" apaaa??? eh tunggu dulu."
"Hei,hei,hei. uwaaaaaaaahhhhhh..." Tiba – tiba aku merasa tubuhku seperti terjatuh dari langit.
o
o
o
o
o
"uuuuukkh, apa yang terjadi??" perlahan aku membuka mataku.
"Ah, itu langit biru yang sangat cerah, Aku merindukannya."
"apa aku tidak jadi mati?"
"atau apakah ini surga?"
"(whuuuuussssshhh) gggrraaaaaaahh" tiba – tiba ada yang melintas terbang dilangit.
"hei, hei. Tunggu."
"Bukankah itu seekor naga?"
"Apakah aku sedang bermimpi?"
"kiiiiiiiiiiiikkkk, (whuuusssh)" Muncul seekor grifhon yang terbang tepat diatasku.
angin dari kepakan sayapnya membuat tubuhku menggelinding.
"hei, hei, kenapa ini."
"Aduh, akh, ukh, aw, aw, aw."
"kenapa.."
"aku.."
"berputar.."
"putar.."
"seperti.."
"ini.."
"auch, auch, aaaaaaaaaaahhahh. (jeduk)" akhirnya tubuhku terhenti akibat terbentur batu yang besar.
"adu du du duuuh. Sakitnya."
"Dasar grifhon sialan."
"awas saja kalok ketemu lagi."
"Kujadikan peliharaanku kau nanti."
"hah, tunggu dulu."
"ini terasa sakit"
"Berarti. ini bukan mimpi kan."
"Tetapi, kenapa aku masih tidak bisa merasakan tangan dan kaki ku?"
"Loh, loh, loh dimana tangan dan kaki ku?"
"woooii, apakah ada orang?"
"suaraku..."
"Suara ku juga kenapa sepertinya tidak keluar ya??"
"WOOOOIIIII. APAKAH ADA YANG MENDENGARKUUUU???"
"TOLOOONG AAAKUUUU….."
System KIA: "selamat tuan, anda telah berhasil direinkarnasi menjadi biji pohon dunia."
"selamat, selamat."
"Apanya yang selamat?"
"Mana ada orang yang sedang kesakitan itu senang diucapin selamat."
"mana aku gak bisa berdiri lagi."
"aaaaah, suara itu."
"Kau, kau KIA kan?"
"Dimana kau?"
"Tunjukkan dirimu."
System KIA : "maaf tuan, saya hanyalah system yang diinput dalam diri tuan. Saya berbentuk roh, jadi anda tidak bisa melihat wujud saya saat ini. Jika anda memerlukan bantuan cukup panggil nama saya. sebagai pemandu anda System KIA akan berusaha semaksimal mungkin membantu anda."
o
o
o
o
o
Aku terdiam sejenak, berpikir dan mencoba menerima semua kejadian ini.
"haaaah, baiklah kalau begitu."
"kia, bagaimana caraku agar bisa berdiri."
System KIA : "tuan saat ini, anda hanya bisa berdiri dengan melompat. Silahkan tuan mencoba melakukan gerakan melompat, dan konsentrasikan berat badan anda pada titik dibawah badan anda."
"ooohh, oke. Uupps. Eeiiiit." Kemudian aku mencoba melompat dan.
"waaaa, waaa, waaaaa." Tubuhku terombang – ambing dan kemudian jatuh kembali berbaring.
System KIA : "tuan, yang saya katakan konsentarikan berat badan anda pada titik dibawah badan anda, bukan diatas."
"jadi yang tadi itu bagian atas ya, maaf kia. He he he."
Kemudian aku mencoba lompat lagi dan memberatkan badanku dibawah, dan aku benar – benar dalam posisi berdiri. Aku mencoba melihat sekitar, ternyata aku berada ditengah hutan yang luas.
"Kia, bisakah kau jelaskan saat ini kita berada dimana?"
System KIA : "Nama dunia ini adalah LISTDUM, saat ini kita berada dihutan PANEI benua SUMUT daerah perbatasan antara Kerajaan manusia ASACHAN, Kerajaan Beastman BATBAR, Kerajaan suci roh dan elf ATCH, juga Kerajaan Manusia Burung MAIDAEN. Sudah 100 tahun lebih Kerajaan ASACHAN, BATBAR dan MAIDAEN saling melakukan perang satu dengan yang lain. Kemudian 30 tahun lalu Kerajaan yang besar dan dianugerahi dengan kekuatan roh, Kerajaan ATCH menghentikan perang tersebut dengan melakukan persyaratan bahwa hutan PANEI ini adalah hutan perbatasan suci yang merdeka dan tidak ada yang boleh melakukan perang dihutan ini."
"hmmmmm, ini benar – benar dunia lain ya?"
"semua nama tempat dan bahkan dunia ini pun baru kali ini aku mendengarnya."
System KIA : " benar sekali tuan."
"Kia, kenapa sekarang kau bisa menjawab semua pertanyaanku dengan lancar?"
"sedang ditempat gelap tadi kau sangat dingin sekali dan menjengkelkan kia?"
System KIA : "maaf tuan, ditempat itu saya hanya diprogram untuk membimbing anda bereinkarnasi bukan menjawab pertanyaan anda."
"oh, begitu. Kalok gitu aku mau bertanya"
"kenapa aku tidak memiliki tangan dan kaki?"
System KIA : "tuan, anda sendiri yang meminta untuk direinkarnasikan dalam bentuk biji pohon. Dan anda pasti tahukan bahwa tidak ada biji pohon yang memiliki tangan dan kaki."
"oh. iya juga sih, tapi saat itu aku sedang kesal."
"tidak bisakah kau merubahku lagi kebentuk lain?"
System KIA : "maaf tuan, saya tidak bisa melakukannya."
"(hmmm tidak bisa dibatalkan ya?)" tanyaku dalam hati
"Kia, bukankah sebelumnya kau ada bilang kalau dewa memberikan ku beberapa bonus?"
System KIA : "anda bisa melihat distatus anda tuan, silahkan katakan BUKA STATUS."
"BUKA STATUS" setelah aku mengatakannya muncul layar status dihadapanku.
_________________________
STATUS
Name : ...….....
Titles : [The Reincarnated]
[Seed of The World Trees]
Evolution : Fase 0 (Baby)
Species : Plant Ras : Seed
Level : 1 / 5 EXP : 0 / 300
HP : 174 / 174 MP : 60 / 60
[STR : 47] [INT : 35] [STA : 51]
[AGI : 38] [DEF : 47] [SPD : 39]
[DEX : 37] [LUK : 20] [RES : 56]
[WEIGHT : 13]
Skills : > Jump : [Level 1]
> Rolling : [Level 1]
> Headbutt : [Level 1]
>> Consume 1 HP/Hit
......
_________________________
"hmmm. Ini mirip papan status seperti didalam anime dan game yang dulu pernah aku mainkan."
"Bahkan kejadian yang kualami saat ini sama persis seperti manga isekai yang pernah kubaca dulu."
"KIA, kenapa nama ku disini kosong?"
System KIA : "tuan, anda bisa menentukan nama anda sendiri didunia ini. Apakah anda ingin memberikan nama untuk diri anda?"
"(nama diduniaku sebelumnya adalah DHARMA nama keluargaku ASTONO. Didunia baru ini sebaiknya aku memakai nama baru.)" gumam ku dalam hati
"oke, KIA namaku saat ini adalah ALZAM AZTON."
System KIA : "baiklah tuan, nama telah dikonfirmasi. silahkan anda cek dipapan status anda."
__________________________
STATUS
Name : ALZAM AZTON
Titles : [The Reincarnated]
[Seed of The World Trees]
Evolution : Fase 0 (Baby)
Species : Plant Ras : Seed
Level : 1 / 5 EXP : 0 / 300
HP : 174 / 174 MP : 60 / 60
[STR : 47] [INT : 35] [STA : 51]
[AGI : 38] [DEF : 47] [SPD : 39]
[DEX : 37] [LUK : 20] [RES : 56]
[WEIGHT : 13]
Skills : > Jump : [Level 1]
> Rolling : [Level 1]
> Headbutt : [Level 1]
>> Consume 1 HP/Hit
Unique Skills :
> Blessings From The God : [Level 1]
>> Regent 1 HP/Second
>> Have Awareness
>> Can Move
>> Have Knowledge About Listdum
Language
>> Can Use KIA System Ability
> Blessings From The World Tree :
[Level 1]
>> Absorb 1 MP/Second by
Attaching the Body to Plants
>> Take Skill From the Absorbed
Core
>> Tree Map
>>> By Touching a Tree You Can
See a Map as far as 1 KM
> Combining Skill : [Level 1]
>> Combining 2 Basic Skills to
Create a New Skill by
Consuming 50 MP
....................
_______________________
"hmmmm, benar juga, disini tertulis namaku sudah menjadi Alzam Azton."
"Spesies ku Tumbuhan dan Rasku adalah Biji."
"aku memiliki 2 Title yaitu Yang direinkanasikan dan Biji Pohon Dunia."
"Levelku 1/5, ini berarti batasan levelku adalah 5."
"Dan juga Experience (pengalaman) ku 0/300, jadi butuh 300 exp untuk naik kelevel selanjutnya."
"KIA bagaimana caranya agar aku bisa menaikkan Exp ku?"
System KIA : "ada dua cara untuk menaikkan exp tuan, pertama jika anda berhasil membunuh monster atau makhluk hidup yang ada didunia ini. Dan yang kedua jika anda berhasil menyerap inti makhluk hidup yang telah mati. Tetapi, kalau anda berhasil membunuh monster atau makhluk hidup didunia ini kemudian langsung menyerap intinya maka anda akan mendapatkan Exp 2 kali lipat."
"Lalu apa yang terjadi jika aku sudah mencapai batas levelku?"
System KIA : "Jika tuan berhasil mencapai batas level anda, maka anda dapat berevolusi dan berkembang ketingkat selanjutnya. Saat ini anda berada pada tahap 0, bagi monster bisa dianggap anda sama seperti masih dalam tahap didalam cangkang telur atau bayi."
"hmmmm, aku butuh menaikkan exp untuk meningkatkan level serta statusku."
"dan saat ini aku hanya bisa menaikkan level dengan cara mencari inti makhluk hidup yang telah mati didunia ini."
"Baiklah, mari kita lihat kemampuan apa saja yang aku punya"
"disini tertulis kemampuan: Jump (lompat), Roll (menggelinding), Headbutt (menyundul)."
"pada kemampuan Headbutt (menyundul) terdapat keterangan bahwa dalam menggunakannya akan mengurangi 1 Hit Point (darah) milikku, dan hanya kemampuan ini yang memiliki resiko. Berbeda dengan kemampuan lainnya."
"Selanjutnya Kemampuan Unik : Berkah dewa (regenerasi Hit Point 1 point/detik, memiliki kesadaran, bergerak, memahami bahasa Listdum, System KIA)"
"Berkah pohon dunia (menyerap Mana dari alam dengan menempelkan tubuh pada tumbuhan 1 point/detik, mengambil kemampuan dari inti yang telah diserap, Peta pohon)"
"Pada Peta pohon juga terdapat keterangan cara menggunakannya, yaitu dengan menyentuh pohon dapat melihat keadaan daerah sekitar sejauh 1 kilometer."
"Combining Skill (menciptakan kemampuan baru dengan menggabungkan 2 kemampuan dasar yang mengkonsumsi 50 MP)."
"wah, wah, wah, ini mah namanya ngecheat cuk."
"dan ternyata System KIA termasuk kemampuan cheat milikku dari berkah dewa ya?"
"kemampuan dasar dan kemampuan unikku semuanya memiliki keterangan level 1, itu artinya setiap kemampuan juga bisa ditingkatkan."
"Dan aku juga bisa menggabungkan 2 kemampuan dasarku menjadi kemampuan baru dengan menggunakan Combining Skill."
"tetapi jika kulakukan sekarang maka MP ku akan tersisa 5 Point, dan bisa saja skill baruku tersebut memiliki resiko yang bahkan bisa jadi tidak dapat aku gunakan sama sekali, sebaiknya nanti saja kucoba."
System KIA : "Pemberitahuan…. Pemberitahuan….. Pemberitahuan..."
"kia, tunggu sebentar !"
System KIA : "tuan, ada yang mau saya beritahukan."
"oh kia sabarlah aku sedang berkonsentrasi"
System KIA : "maaf tuan, ini mendesak. Sebaiknya anda mendengarkan saya."
"ya ampun, kia kamu mulai menyebalkan lagi ya?"
"Bisa gak tidak mengganggu orang yang sedang berkonsentrasi."
System KIA : "maafkan saya tuan, tetapi anda sedang berada dalam bahaya. Diarah jam 6 ada seekor slime yang sedang mengincar anda. Slime adalah makhluk yang menyerap tumbuhan dan biji – bijian yang mengandung Mana (kekuatan alam) didalamnya, jadi anda merupakan makanan kesukaannya."
"Astagaaaa, KIAAAAAA. ....!!!!!!!!" Aku membentak Kia.
" Tunggu dulu"
o
o
o
o
o
"APA!!!" teriakku kaget dan sontak aku melompat serta melihat kearah yang ditunjukkan System Kia.
Benar saja, seekor slime berjalan pelan kearahku.
Aku yang terkejutpun langsung melompat – lompat berusaha untuk menghindari slime tersebut.
Menyadari aku yang berusaha lari, Slime tersebut malah mengejarku dan mengikuti setiap gerakanku.
Ketika aku melompat, slime tersebut pun ikut lompat.
ketika aku bergelinding, dia pun bergelinding.
"uuuaaaaaaaaaahhhhhh, kenapa jadi seperti ini!!!"
"Hei Kia, bagaimana ini?"
"Apakah sebenarnya yang bisa dilakukan oleh biji pohon dunia seperti aku ini?"
Bersambung
"Tanamlah benih kebaikan. Walau 1000 kesialan menimpahmu, kau tetap akan merasakan manisnya buah kehidupan."
CHAPTER 2 : TEMPAT YANG PALING AMAN
"Kia, bagaimana ini?"
"Apakah sebenarnya yang harus dilakukan biji pohon dunia seperti aku ini?" kataku pada system Kia sambil terus bergelinding berusaha menjauhi slime yang mengejarku.
System KIA : "saran tuan, untuk saat ini sebaiknya yang anda lakukan adalah berusaha untuk bisa bertahan hidup."
"KALAU ITU AKU SUDAH TAHUUUUU.." Bentakku dengan nada kesal.
"Kia, adakah cara agar aku bisa mengetahui status slime yang mengejar kita?"
System KIA : "ada tuan. Anda bisa menggunakan salah satu kemampuan System KIA, anda hanya cukup mengucapkan SYSTEM KIA OBSERV, maka akan tampil papan status monster yang anda lihat."
"kenapa tidak bilang dari awal?"
"lagian kenapa tadi tidak ada penjelasan penggunaannya dipapan status milikku?"
"baiklah, SYSTEM KIA OBSERV" teriakku, dan kemudian tepat diatas slime muncul papan status miliknya.__________________________ STATUS Name : BLUE SLIME Element : Water Species : Monster Ras : Slime Level : 1 EXP : 78 / 200 HP : 126 / 126 MP : 24 / 24 [STR : 24] [INT : 21] [STA : 72] [AGI : 30] [DEF : 29] [SPD : 34] [DEX : 26] [LUK : 22] [RES : 38] [WEIGHT : 8] Skills : > Jump : [Level 1] > Rolling : [Level 1] Unique Skills : > Jelly Body : [Level 1] >> Cover The Orb Body With Jelly Liquid _________________________ "hmmmm, pantas saja slime nya tidak bisa menyusulku."
"ternyata kecepatannya berada dibawahku 5 Point."
"dan staminanya jauh diatasku, padahal kami memiliki level yang sama – sama 1."
"walaupun begitu, Pertahanan miliknya lebih rendah dari pertahanan milikku."
"ini peluang sangat bagus buatku."
"baiklah, aku akan mencoba untuk menyerangnya."
Sejenak aku berhenti, kemudian memasang kuda – kuda untuk menyundul blue slime tersebut. Setelah aku merasa waktunya pas untuk melancarkan serangan, aku pun mulai menyundul slime yang mencoba mengejarku tersebut. Tetapi, tubuh slime yang lunak malah membuat tubuhku terpental, dan hp (darah) blue slime tersebut tidak berkurang sedikitpun.
System KIA : "lapor tuan, kelemahan Slime terletak pada Orb yang terdapat ditengah tubuhnya. Tubuh luarnya hanyalah jelly lunak yang akan memantulkan serangan anda. Pada umumnya slime bisa diserang dengan menggunakan senjata yang tajam seperti pedang, tombak atau anak panah."
"astaganaga, kenapa gak dari tadi ngomongnya kia????" Kataku sambil berbalik dan mencoba untuk bergelinding lagi.
Meskipun jarak antar aku dengan blue slime sudah sedikit lebih jauh akibat dampak dari tubuhku yang terpental tadi. tetapi, Blue Slime tersebut dengan gigihnya masih terus berusaha mengejarku.
"apa selanjutnya yang dapat kulakukan."
"ayo dong, berpikirlah diriku."
"Berpikir."
"Berpikir."
"Berpikiiiiirrr"
"Aaaaarrrrrghhh." Teriakku kalut sambil melihat kearah kanan dan kiri untuk mencari celah kabur.
o o o o o
30 menit bergelinding sepertinya membuatku sudah mulai merasakan kelelahan dan sulit untuk bernafas.
"kia, aku sudah mulai merasa kelelahan."
"apa kau tak memiliki saran yang cocok untuk keadaanku saat ini?"
System KIA : "tuan, bagaimana jika anda mencoba menggabungkan dua kemampuan dasar yang anda miliki dengan kemampuan Combining Skill (menggabungkan kemampuan)?"
"oh iya, kau benar kia. aku lupa kalau ada kemampuan itu." saran KIA membuatku teringat dengan kemampuanku Combining Skill yang dapat menggabungkan 2 buah kemampuan dasarku.
"tapi bagaimana jika kemampuan barunya nanti malah ada resikonya juga???"
System KIA : "maaf tuan, saya tidak bisa menjamin 100 % kemampuan baru itu memiliki resiko atau malah tidak berguna."
"iya, iya. aku paham."
"Hmmmmmmmmmmmm…...." lama aku berpikir sambil terus berusaha bergelinding menjauhi blue slime tersebut.
o o o
"Aaaaaah, perduli amat dengan resiko."
"Kia bagaimana cara mengaktifkan combining skill??"
System KIA : "tuan, anda cukup mengucapkan COMBINING SKILL lalu memikirkan dua kemampuan yang hendak anda gabungkan."
"COMBINING SKILL" teriakku.
Tanpa berpikir panjang aku menggabungkan skill menggelinding dan menyundul.
System KIA : "selamat tuan, anda telah berhasil menciptakan kemampuan baru, Shoting seed."
"iya, iya Ucapan selamatnya nanti saja kalau slime nya sudah berhasil dikalahkan." Sela ku.
"sekarang jelaskan saja kegunaannya, cepetan jangan panjang – panjang."
System KIA : "baik tuan, shoting seed adalah kemampuan menembakkan biji sebagai peluru dengan mengkonsumsi hp secara random."
"HAH??" "Apa maksudnya itu secara random?"
System KIA : "dikarenakan tuan saat ini berada dalam bentuk Biji pohon, jadi anda masih belum bisa menumbuhkan biji dari dalam tubuh anda, sehingga yang akan menjadi biji sebagai peluru tersebut adalah tubuh anda sendiri. Oleh sebab itu Kemampuan tersebut akan mengakibatkan hp anda berkurang berdasarkan seberapa kuat tubuh anda membenturkan diri dengan musuh dan seberapa kuat tubuh anda menahan benturan tersebut."
"tuhkan, beneran instingku."
"mendapatkan kemampuan itu saja sudah menguras 50 MP milikku, dan malah resikonya aneh – aneh gini lagi."
"aduuuuuhhh. Kenapa didunia ini pun aku masih sial jugaaa??"
System KIA : "maaf tuan, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu."
"IIIYAAAAA. AKU BUKAN LAGI BERTANYA TAPI MENGELUH." Bentakku pada kia karena keadaan ini sudah semakin membuatku jengkel.
Untuk sejenak aku berpikir lagi dan mencoba untuk menenangkan diriku.
"aaaaaaarrrrgggh, ya sudahlah nasi sudah menjadi bubur." Aku berhenti bergelinding mencoba memasang kuda – kuda.
"tidak ada pilihan, akan kucoba kemampuan baru ini." Aku berusaha membidik Orb slime tersebut, kemudian sekali lagi menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
"SHOOTING SEED" "(werwerwerwerwerwerwer)"
setelah aku rasa waktunya sudah tepat untuk menyerang, akupun mengucapkan kemampuan tersebut dan tiba – tiba tubuhku berputar – putar kencang seperti gasing, dan kemudian.....
"(Shhuuuuusss)" tubuhku langsung melesat cepat menuju slime, dan aku terus mendorong tubuhku karena Slime itu mencoba berusaha menahan seranganku.
Setelah melancarkan serangan dan tepat mengenai orb blue slime tersebut, aku merasakan tubuhku semakin lemas. Dan kesadaranku mulai hilang.
Lagi – lagi aku merasa sekelilingku gelap, dan semuanyapun terasa sunyi. Aku tidak mendengarkan suara apapun.
Kucoba membuka mata, tetapi mataku berat sekali dan aku sudah tidak lagi merasakan tubuhku sanggup melakukan apa saja sedikitpun. Selanjutnya tubuhku terasa seperti melayang – layang.
"(haaahh, belum satu hari aku direinkarnasikan, dan sekarang malah sudah mati lagi.)" gumamku dalam hati.
System KIA : "uan, tuan, sadarlah tuan. tuan." Sayup – sayup aku mendengar suara Kia memanggilku.
"(Kia. Maafkan aku.)"
"(melawan slime saja aku sudah mati. Sebagai tuanmu aku telah gagal.)"
"(Apakah kau juga akan ikut mati bersamaku??)"
"(tidak apa – apa kan jika kau ikut bersamaku??)" gumamku didalam hati.
System KIA : "enak saja, siapa yang mau mati. Hei TUAAAANNN, bangunlah." Kia berteriak sangat kuat dikepalaku.
"huaaaah." Teriakan Kia tadi membuatku terkejut dan perlahan kekuatanku kembali. kemudian aku mencoba mengumpulkan kembali tenagaku dan melompat untuk berdiri.
"kia, apa yang telah terjadi tadi?" sambil mebcoba untuk berdiri aku bertanya pada kia.
System KIA : "selamat tuan, anda telah berhasil mengalahkan Blue Slime. Dan kini anda telah naik level 2."
"BUKA STATUS" untuk menyakinkan diriku dengan jawaban kia, akupun langsung membuka dan melihat papan status milikku.________________________ STATUS Name : ALZAM AZTON Titles : [The Reincarnated] [Seed of The World Trees] Evolution : Fase 0 (Baby) Species : Plant Ras : Seed Level : 2 / 5 EXP : 200 / 400 HP : 68 / 224 MP : 60 / 110 [STR : 57] [INT : 45] [STA : 61] [AGI : 48] [DEF : 57] [SPD : 49] [DEX : 47] [LUK : 30] [RES : 66] [WEIGHT : 13] Skills : > Jump : [Level 1] > Rolling : [Level 1] > Headbutt : [Level 1] >> Consume 1 HP/Hit > Shooting Seed : [Level 1] >> Consume Random HP/Hit Unique Skills : > Blessings From The God : [Level 1] >> Regent 1 HP/Second _______________________ Ternyata benar apa yang kia katakan, levelku telah naik menjadi level 2. Dan juga pengaruh dari berkah dewa pada kemampuan unikku lah yang telah membuat hp ku perlahan terus bertambah setiap detiknya.
System KIA : "tuan, setelah anda melancarkan serangan tadi, HP anda berkurang drastis. Dan ketika hp anda mencapai Nol…."
"HUAH, APA – APAAN INI!!" teriakku memotong kalimat kia.________________________ ......................Unique Skills : > Blessings From The God : [Level 1] >> Regent 1 HP/Second >> Have Awareness >> Can Move >> Have Knowledge About Listdum Language >> Can Use KIA System Ability > Blessings From The World Tree : [Level 1] >> Absorb 1 MP/Second by Attaching the Body to Plants >> Take Skill From the Absorbed Core >> Tree Map >>> By Touching a Tree You Can See a Map as far as 1 KM > Combining Skill : [Level 1] >> Combining 2 Basic Skills to Create a New Skills by Consuming 50 MP > Survive : [Level 1] >> Give 1 HP if Your HP Become to 0 _______________________ "kenapa bisa tiba – tiba ada ini pada kemampuan unikku?" tanyaku heran.
aku melihat pada kemampuan unikku terdapat sebuah skill SURVIVE Lv 1 dengan keterangan akan memberikan 1 point hp ketika hp milikku telah mencapai titik nol. Kemampuan ini hanya dapat aktif sekali dalam satu hari.
"ternyata kemampuan ini yang telah menyelamatkanku."
System KIA : "mungkin tuan tidak sempat membaca skill tersebut karna tiba – tiba datang slime yang mencoba mengincar anda. Dan sekali lagi saya ucapkan selamat karna anda berhasil bertahan hidup serta membunuh slime. Apakah anda tidak ingin menyerap inti dari blue slime?"
"oh, iya. Hampir saja aku lupa." Kia mengingatkanku dengan kemampuanku untuk menyerap inti Slime. Dan kemudian aku mendekati jasad slime yang hanya tinggal pecahan – pecahan orbnya.
Dari penjelasan kia, orb slime adalah tubuh aslinya dan didalam orb tersebut terdapat inti berbentuk bulat kecil dan seperti kristal. Ukuran inti monster pada setiap makhluk hidup berbeda dan tergantung pada levelnya. Begitu juga letaknya pun berbeda – beda. Untung Blue Slime tubuhnya hanya berbentuk orb dan aku jadi tidak perlu repot - repot membedah tubuhnya untuk mendapatkan intinya.
o o o o o
Setelah 5 menit aku mencari, Hingga akhirnya kudapatkan juga inti blue slime tersebut.
Langsung saja aku menyentuhnya dengan menggunakan bagian bawah tubuhku dan kemudian menyerap inti tersebut.
Dan ketika inti slimenya kuserap, orb slime yang telah pecah dan tubuh lendirnya yang meleleh juga ikut masuk kedalam tubuhku.
System KIA : "Selamat tuan, anda telah mencapai level 3. Dari inti yang telah diserap apakah anda ingin mengambil kemampuannya juga? Kemampuan dasar yang dimiliki slime adalah Roll dan Jump. Kemampuan uniknya adalah Slime Guard (membuat pertahanan dengan melapisi jelly yang solid pada sekujur tubuh. Dampaknya tidak dapat melakukan penyerangan fisik jika slime Guard masih diaktifkan)"
"kia, bisakah aku mengambil kemampuan Roll dan Jump miliknya? sedangkan aku sudah memiliki kedua kemampuan tersebut."
System KIA : "bisa tuan, karena anda memiliki kemampuan unik Combine skill, maka secara otomatis kalau anda mengambil kemampuan yang sama dari makhluk lain, kemampuan milik anda yang sama tersebut akan bertambah levelnya dan itu terjadi tanpa mengeluarkan MP."
"hmmm, oke kia. Aku mau mengambil semua kemampuan milik blue slime."
System KIA : "selamat tuan, anda telah berhasil menaikkan level 2 kemampuan dasar Roll dengan Jump dan juga mendapatkan kemampuan unik yang baru Slime Guard."_________________________ STATUS Name : ALZAM AZTON Titles : [The Reincarnated] [Seed of The World Trees] Evolution : Fase 0 (Baby) Species : Plant Ras : Seed Level : 3 / 5 EXP : 300 / 900 HP : 350 / 350 MP : 260 / 260 [STR : 76] [INT : 68] [STA : 73] [AGI : 60] [DEF : 72] [SPD : 75] [DEX : 60] [LUK : 42] [RES : 78] [WEIGHT : 14] Skills : > Jump : [Level 2] > Rolling : [Level 2] > Headbutt : [Level 1] >> Consume 1 HP/Hit > Shooting Seed : [Level 2] >> Consume Random HP/Hit > Slime Guard [Level 1] >> Cover The Body with Solid Jelly. >> Can't Deal a Damage if it Attack. Unique Skills : > Blessings From The God : [Level 1] >> Regent 1 HP/Second >> Have Awareness >> Can Move >> Have Knowledge About Listdum Language >> Can Use KIA System Ability > Blessings From The World Tree : [Level 1] >> Absorb 1 MP/Second by Attaching the Body to Plants >> Take Skill From the Absorbed Core >> Tree Map >>> By Touching a Tree You Can See a Map as far as 1 KM > Combining Skill : [Level 1] >> Combining 2 Basic Skills to Create a New Skills by Consuming 50 MP > Survive : [Level 1] >> Give 1 HP if Your HP Become to 0 ________________________ "Jadi, ketika aku sudah naik level 3 batas exp point ku pun naik menjadi 900 ya?"
"dan tinggal 600 point lagi agar aku naik ke level 4."
Aku melihat setiap status milikkupun juga ikut bertambah naik, ada yang kurasakan berbeda antara naik level 2 dengan naik ke level 3. Setelah kuingat – ingat lagi, ternyata ketika naik level dengan membunuh monster dan naik level dengan menyerap inti terjadi perbedaan pada penambahan status milikku. Keanehan selanjutnya, semua kemampuan unikku tidak naik level. Tetapi kemampuan dasarku Rolling dan Jump naik dan itupun karna aku menyerap kemampuan yang sama dari blue slime.
"aneh, kenapa kemampuan shooting seedku juga naik kelevel 2?"
"Apa ada pengaruh dari aku naik ke level 3 ya?"
"Hmmmmm, Ah Sudahlah. Yang penting saat ini aku telah berhasil bertahan hidup." Aku tertawa bangga dan puas.
System KIA : "tuan, untuk selanjutnya apakah rencana anda?"
"kia, untuk sekarang sebaiknya aku mencari tempat istirahat yang aman."
"Karena kulihat sepertinya langitpun sudah menunjukkan tanda – tanda mau gelap."
"Oh iya, kia bisa kah kau memberitahukanku sekarang jam berapa?"
System KIA : "berdasarkan ingatan tuan didunia sebelumnya, bisa dikatakan ini sudah jam 17.30 wib."
"beneran sudah mau gelap nih."
"Didunia ini 1 hari berlaku berapa jam kia?"
System KIA : "pada dasarnya, pola waktu dan berputarnya planet dunia ini sama saja dengan yang berada didunia anda tuan. Jadi seluruh konsep waktu pun berlaku sama. Hanya saja dalam penamaan bulan dan hari yang berbeda karena ada perbedaan bahasa."
"oh, begitu. Baiklah." Aku melompat dan menempelkan tubuhku pada pohon terdekat.
Dengan kemampuan unik berkah dari pohon dunia, aku bermaksud menggunakan kemampuan peta agar aku bisa mengetahui keadaan sekitar, dan aku juga bermaksud mencari tempat yang aman untuk ditinggali sementara.
System KIA : "silahkan tutup mata anda tuan. Secara otomatis nanti akan muncul peta dalam pikiran anda"
"wah, kia kau semakin aktif saja ya?"
"Sebelum aku bertanya, kau sudah menjawab."
"Sepertinya kau memang bisa membaca apa yang aku pikirkan."
System KIA : "saya adalah bagian dari kemampuan anda tuan, tentu saja saya bisa membaca apa yang anda pikirkan dan saya kan berusaha untuk mengerti apa yang anda inginkan."
" oh begitu." Selanjutnya aku memejamkan mata.
Lalu tiba – tiba muncul layar berbentuk bulat dan menampilkan gambar peta 3 dimensi didalam pikiranku. Pada gambar peta tersebut terdapat tanda bulat dan segitiga yang memiliki warna berbeda – beda.
"kia bisa kah kau jelaskan padaku tentang semua yang tanda didalam peta ini?"
System KIA : "baik tuan, tanda bulat menunjukkan keberadaan makhluk hidup, tanda bulat yang berwarna hijau menunjukkan keberadaan anda. Berwarna merah menunjukkan keberadaan monster, dan yang berwarna orange menunjukkan keberadaan Makhluk Cerdas seperti manusia, elf, roh, beastmen, birdia, dan lain – lain."
System KIA : "untuk tanda berbentuk segitiga menunjukkan keberadaan dungeon, dungeon terbagi menjadi 4 kelas. Kelas mudah tandanya berwarna kuning, kelas normal atau menengah tandanya berwarna ungu, kelas susah tandanya berwarna coklat, dan kelas neraka tandanya berwarna hitam."
System KIA : "didalam hutan dungeon sering ditemui dalam bentuk gua, walaupun terkadang ada juga dungeon yang ditemui dalam bentuk menara ataupun reruntuhan kuno. Dan biasanya dungeon dijauhi oleh monster. karena ketika monster berada pada jarak yang dekat dengan dungeon, dungeon tersebut akan menariknya masuk kedalam. Bagi para monster, dungeon itu seperti penjara seumur hidup. Tetapi untuk petualang, dungeon adalah tempatnya harta karun dan paling dicari."
"hmmm, pantas saja yang berwarna merah ini kulihat banyak yang bergerak, ternyata ini adalah para monster yang tinggal disekitar sini."
"tanda merah tersebutpun ada yang bergerak dan ada yang diam."
"tetapi disekitar sini tidak kutemui adanya tanda orange."
"berarti disekitar sini, yang ada hanyalah monster."
" Kia, bisakah aku melihat status mereka dengan kemampuan observasimu?"
System KIA : "maaf tuan, saat ini level anda masih belum cukup untuk menggabungkan 2 kemampuan unik. Dan jika anda berkembang, saya beserta kemampuan anda yang lain juga akan ikut berkembang. Jadi, mungkin saja kemampuan Peta atau combine skill pun kelak akan berkembang."
" oh, jadi begitu ya."
"Kia apa kah aku termasuk dalam kategori monster atau makhluk cerdas?"
System KIA : "tuan, anda adalah makhluk baru yang biasa disebut makhluk unik. Jadi tenang saja. dungeon tidak akan menarik diri anda. Dan anda bebas untuk keluar masuk dugeon seperti halnya makhluk cerdas yang berada didunia ini. Tetapi saya menyarankan kepada anda, untuk mencari tempat berteduh yang paling aman. sebaiknya anda mencari dungeon berlevel mudah. Tetapi walaupun begitu level anda sendiri masih terlalu rendah untuk masuk jauh kedalam dungeon yang paling mudah. Jadi alangkah baiknya anda tetap tinggal disekitar pintu dungeon untuk berlatih dan menaikkan level. Dungeon yang saya anjurkan untuk anda adalah dungeon yang ini. Karna jalan menuju dungeon ini aman juga tidak terlalu jauh."
Setelah kia berhenti berbicara, pada peta yang kulihat terdapat tanda segitiga berwarna hijau yang berkedip – kedip. Seolah – olah kia menunjukkan itu sebagai tempat yang dia sarankan tadi.
"hmmmm, kau benar juga kia."
"Sepertinya dungeon ini memang yang paling aman dan tidak terlalu jauh."
"Oke, ayo kita berangkat kedungeon tersebut kia."
System KIA : "silahkan tuan."
Lalu aku pun bergelinding dengan kecepatan penuh menuju dungeon yang disarankan kia. Dan sebelum berangkat aku mengaktifkan Slime Guard terlebih dahulu untuk berjaga – jaga.
Bersambung
"WAKTU TAK DAPAT KAU BELI, DAN TAK DAPAT PULA KAU ULANG KEMBALI. JADI, JALANILAH WAKTU ITU DENGAN BIJAKSANA."
CHAPTER 3 : BERLATIH UNTUK BERTAHAN HIDUP
Sudah 30 menit lebih aku bergelinding, dan kini aku telah sampai didekat dungeon.dari semak – semak aku mencoba melompat dengan hati – hati mendekati sebuah pohon, aku berniat untuk memeriksa sekali lagi apa saja yang ada disekitar dungeon dengan menggunakan peta pohon.
Kali ini peta nya telah bergeser menyesuaikan posisi keberadaanku sebagai pusat peta, peta pohon tersebut hanya menunjukkan keadaan sekitarku sejauh 1 kilometer saja, dan seperti apa yang sebelumnya dijelaskan oleh kia. Sepertinya memang tidak ada monster yang berani mencoba mendekati dungeon ini.
Dengan jarak 1 kilometer dari sekitar dungeon hanya terdapat sedikit tanda – tanda dari monster, para monster terlihat seperti benar - benar menjauhi dungeon. Aku melihat dipeta terdapat tanda 2 ekor monster yang sepertinya sedang bertarung, dan ketika mereka sadar sudah telalu dekat dengan dungeon, kedua monter tersebut berhenti bertarung dan lari menjauh.
Aku juga melihat monster yang tanda nya tidak bercahaya, kurasa mungkin itu menandakan monster yang telah mati.
"Lebih baik aku masuk kedalam gua pintu dungeon lalu beristirahat sejenak dan berlatih serta memikirkan strategi untuk bisa bertahan hidup didunia yang keras ini besok." Gumamku sambil lompat meninggalkan pohon dan menuju dungeon.o o o o o {Didalam gua menuju pintu dungeon.}
Hari semakin gelap, pikiranku berkecamuk dan masih ada perasaan bingung serta bimbang dengan yang aku alami hari ini. Semuanya terjadi begitu cepat, dan sesaat entah mengapa aku merasa sedikit merindukan dunia ku sebelumnya. Aku juga teringat dengan kedua orang gadis yang aku tolong saat didunia sebelumnya, apakah mereka selamat atau tidak.
Terkadang aku pun menyadari bahwa sifat naif dan telalu baik ini lah yang menyebabkan aku menerima kesialan terus menerus. Aku sendiri juga bingung, dari mana dan juga entah sejak kapan sifat seperti ini ditanamkan dalam diriku.
untuk menghilangkan pikiran – pikiran yang tidak berguna tersebut, aku mencoba memikirkan hal yang lain.
"oh iya, kia aku penasaran.""kenapa dari tadi aku tidak merasakan lapar sedikitpun?"
System KIA : "iya tuan, sebuah biji hanya mengambil nutrisi didalam tanah, jadi anda tidak akan merasakan lapar. Cukup dengan anda menempel pada tanah, otomatis tubuh anda menyerap nutrisi yang terkandung didalam tanah sebagai makanan anda."
"benar juga, tubuhku ini kan biji."
"Lagi pula, aku juga tak memiliki mulut untuk makan atau pun minum."
"ada untungnya juga kalau memang jadi seperti ini."
"sebab aku tak perlu repot – repot mencari bahan makanan ataupun memasak."
"eh, apakah aku juga membutuhkan tidur kia?"
System KIA : "tidak tuan, anda tidak perlu melakukan tidur. Tetapi jika anda ingin menghabiskan waktu malam, anda bisa melakukannya. Tidur atau pun tidak tidur juga tetap tidak akan berdampak pada tubuh anda, dan anda tidak perlu khawatir karena tidak akan mengalami sakit karna tidak tidur."
"hmmmmm, Bagus lah. Jadi, aku bisa memanfaatkan waktuku sepenuhnya untuk berlatih."
"Hei, kia."
"Aku tidak punya lengan dan kaki untuk mencari kayu bakar serta menyalakan api."
"Dan didalam gua ini pun terlalu gelap."
"aku tak dapat melihat apa pun disini."
"Apakah kau tidak mempunyai solusi?"
System KIA : "ada tuan, system kia memiliki kemampuan lampu. Anda cukup mengatakan SYSTEM KIA LIGHT."
Lalu aku ucapkan apa yang kia beritahukan, Dan selanjutnya tubuhku memancarkan cahaya yang membuat keadaan disekitarku mulai terlihat jelas.
System KIA : "tuan, ini adalah kemampuan dari system kia. Dan kemampuan ini tidak termasuk dalam kategori sihir. Jadi, anda tidak akan bisa menggunakannya untuk mengusir ghoul, ghost ataupun zombie.""tunggu dulu."
"kau tadi bilang apa kia?"
System KIA : "tuan, kemampuan ini tidak bisa anda gunakan untuk mengusir ghoul, ghost ataupun zombie."
"bukan, bukan yang itu."
"yang sebelumnya kia"
System KIA : "tuan, ini adalah kemampuan dari system kia."
"nah, iya iya. terus….."
System KIA : "dan kemampuan ini tidak termasuk kedalam kategori sihir."
"SIHIR???"
"kamu beneran tadi bilang sihir kan kia?"
"jadi, didunia ini ada juga sihir."
"Wah, Ini bener – bener dunia fantasy."
"Kia bagaimana caranya agar aku dapat mempelajari dan menggunakan sihir?"
System KIA : "baiklah tuan, tetapi sebelum saya memberitahukan cara mempelajari dan menggunakannyanya, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu kepada anda tentang pengetahuan umum serta konsep dasar sihir didunia ini."
System KIA : "Sihir pada umumnya bisa dipelajari oleh setiap makhluk yang memiliki potensi untuk menggunakan ataupun mengendalikan MANA. Sihir didunia ini dibagi menjadi 3. Pertama sihir dasar atau biasanya disebut dengan sihir element, yang kedua sihir lanjutan yang biasanya disebut dengan sihir khusus. Dan terakhir adalah sihir unik atau spesial."
System KIA : "apakah tuan masih ingin saya lanjut menjelaskannya?"
"iya, iya. Lanjutkanlah kia."
System KIA : "sihir dasar atau sihir element bisa dipelajari dari perkamen ataupun buku sihir, dan dapat juga dipelajari dari seseorang yang memiliki sihir element bawaan dari lahir. Sihir element ialah api, air, tanah, dan angin. Sihir element ini saling memiliki kekurangan dan kelebihan, api kuat terhadap angin, angin kuat terhadap tanah, tanah kuat terhadap air, air kuat terhadap api, dan begitu juga sebaliknya. Api lemah terhadap air, air lemah terhadap tanah, tanah lemah terhadap angin dan angin lemah terhadap api. Ini disebut sebagai siklus keseimbangan sihir. Walaupun disebut sihir dasar, tetapi keempat sihir element memiliki dewa dari setiap element nya. Dan masing – masing dewa element dapat memberikan berkah sihir elementnya, sehingga setiap sihir element dapat berkembang sesuai dengan potensi yang mendapatkan berkah.."
"hmmm, iya ya ya. Kalok yang itu persis seperti didalam game." Gumamku karena sudah memahami sihir element yang kia jelaskan dari sebuah game.
System KIA : "apakah tuan masih ingin mendengarkan yang selanjutnya?"
"ya, lanjutkan kia."
System KIA : "baiklah. Selanjutnya, sihir tingkat lanjutan atau sering disebut sihir khusus. Sihir Khusus ini adalah sihir yang telah dipelajari sendiri oleh beberapa orang yang sudah memiliki dan menguasai dua jenis sihir element. Saat ini, Sihir khusus yang sudah diketahui serta sering digunakan atau yang selalu dipelajari adalah Sihir petir, Sihir Es, dan Sihir magma. Sihir lanjutan ini sangatlah kuat, tetapi waluapun ada dewa yang menjadi penjaga sihir ini, dewa tersebut tidak dapat memberikan berkahnya."
System KIA : "Dahulu kala terdapat 3 orang unik lahir dengan membawa 2 sihir element bawaan, berkat potensi dan penemuan mereka, dan juga atas permintaan keempat dewa sihir element. Mereka bertiga diangkat menjadi dewa oleh raja dewa. ketiganya telah menemukan sihir – sihir khusus tersebut dengan menggabungkan dua sihir elementnya. Nama mereka adalah JULI-YHA Wanita dari bangsa High Elf penemu sihir es yang menguasai sihir air dan angin, ARWAN Pria dari bangsa Birdia penemu sihir petir yang menguasai sihir api dan air, dan YUDHEA Pria dari bangsa Beastmen penemu sihir magma yang menguasai sihir tanah dan api. Ketiganya diangkat menjadi dewa, tetapi raja dewa tidak mengijinkan ketiganya memberikan berkah dewa. Hal itu disebabkan karena ketiga sihir tersebut sudah sangat kuat."
"oooh, kalau begitu. Berarti bisa saja seseorang menciptakan sihir ya kia?"
System KIA : "benar sekali tuan. Dan juga sihir khusus yang saya jelaskan tadi itu. Bisa diketahui karna telah ada dewa yang diangkat sebagai penjaga sihir tersebut. Namun, beberapa catatan mengatakan, bisa jadi terdapat sihir – sihir khusus lain yang sudah tercipta ataupun baru tercipta."
"oke. Kurang lebih aku sudah paham tentang sihir khusus."
"nah, sekarang lanjutkan sihir yang ketiga kia."
System KIA : "baiklah tuan. Yang terakhir adalah sihir unik, sihir unik ini tidak memiliki dewa dan tidak pula dapat diciptakan begitu saja, karena sihir unik merupakan pemberian langsung dari raja dewa. Sihir unik dianggap sihir yang terlalu sangat kuat, diatas sihir khusus. Tetapi sihir ini jarang ditemui dan sangat sulit dikembangkan ataupun dipelajari. Sihir Unik yang pernah muncul didunia ini adalah cahaya, kegelapan, besi dan grafitasi. Dahulu sihir ini diberikan raja dewa langsung untuk para penjelajah dari dunia lain yang dipanggil ataupun yang direinkarnasikan, namun kemudian para penjelajah itu tinggal didunia ini dan menikah. Keturunan merekalah yang pada umumnya akan membawa sihir unik milik para penjelajah tersebut."
"hmmmmm, Ternyata terdapat sedikit perbedaan konsep sihir didunia ini dengan pengetahuan dari game diduniaku sebelumnya."
System KIA : "satu hal lagi tuan, untuk sihir khusus dan sihir unik tidak berlaku siklus keseimbangan sihir, sebab kekuatan dan kekurangan sihirnya dihitung dari kemampuan sipengguna sihir. Dan pada umumnya setiap orang hanya bisa mendalami 1 sihir saja, jika pun dia adalah orang yang special atau unik, hanya bisa menguasai 2 jenis sihir element. Dan jika kedua sihir dasarnya sesuai, dia dapat belajar sihir khusus atau lanjutan. Dahulu kala memang pernah ada seorang pahlawan yang dipanggil kedunia ini. Dia merupakan satu – satunya seorang penjelajah dari dunia lain yang menguasai keempat element dan membawa sihir unik kegelapan dan grafitasi. Dia adalah pahlawan dari ras manusia yang membantu kerajaan atch untuk menghentikan peperangangan."
"Pahlawan yang dipanggil ya?"
"Berarti sebelum aku, ada orang – orang dari dunia lain yang datang kedunia ini." gumamku.
"Kia, apa perbedaan disummon (Panggil) dengan direinkarnasi?"
System KIA : "disummon (panggil) adalah penjelajah dari dunia lain yang dipanggil oleh orang dari dunia listdum ini dengan menggunakan ritual sihir pemanggil. Pada umumnya orang yang disummon didunia sebelumnya masih dalam keadaan hidup, jadi bisa saja setelah menyelesaikan misi di lidtdum ini, mereka dapat kembali kedunia mereka sebelumnya."
System KIA : "Sedangkan orang yang direinkarnasikan adalah orang yang dipilih raja dewa dengan meminta izin pada dewa yang mengatur dunia lain, untuk mengambil jiwa seseorang yang telah mati untuk direinkarnasikan kedunia listdum ini. yang memilihnya bisa saja raja dewa atau pun dewa yang mengatur dunia lain. Tetapi karena orang yang direinkarnasikan, didunia sebelumnya telah mati. jadi dia tidak akan bisa kembali lagi kedunia sebelumnya."
"oh, itu artinya aku tidak dapat kembali kedunia sebelumnya."
"Ya sudah lah, Mau dimanapun aku berada tetap saja ada enak dan sulitnya"
"Yang terpenting adalah tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menikmati serta bertahan hidup."
"kia, jam berapa sekarang?"
System KIA : "saat ini waktu menunjukkan jam 21.26 WIB tuan."
"sudah hampir tengah malam."
"Baiklah. BUKA STATUS." Aku mencoba melihat papan statusku kembali.__________________________ STATUS
Name : ALZAM AZTONTitles : [The Reincarnated] [Seed of The World Trees]Evolution : Fase 0 (Baby)Species : Plant Ras : SeedLevel : 3 / 5 EXP : 300 / 900HP : 350 / 350 MP : 260 / 260 [STR : 76] [INT : 68] [STA : 73] [AGI : 60] [DEF : 72] [SPD : 75] [DEX : 60] [LUK : 42] [RES : 78] [WEIGHT : 14]
Skills :> Jump : [Level 2]> Rolling : [Level 2]> Headbutt : [Level 1]>> Consume 1 HP/Hit> Shooting Seed : [Level 2]>> Consume Random HP/Hit> Slime Guard [Level 1]>>Cover The Body with Solid Jelly.>> Can't Deal a Damage if it Attack.
Unique Skills :> Blessings From The God : [Level 1]>> Regent 1 HP/Second>> Have Awareness>> Can Move>> Have Knowledge About Listdum Language>> KIA System Ability> Blessings From The World Tree : [Level 1]>> Absorb 1 MP/Second by Attaching the Body to Plants>> Take Skill From the Absorbed Core>> Tree Map>>> By Touching a Tree You Can See a Map as far as 1 Kilometer> Combining Skill : [Level 1]>> Combining 2 Basic Skills to Create a New Skills by Consuming 50 MP> Survive : [Level 1]>> Give 1 HP if Your HP Become to 0__________________________"oh iya aku lupa."
"kia berdasarkan penjelasanmu tentang sihir tadi, bisakah aku mempelajari sihir juga."
System KIA : "tuan, untuk pengaktifan sihir, kunci utamanya memang terletak pada penguasaan mana serta pengucapan mantra. Tetapi tangan dan kaki merupakan sarana penting untuk mengarahkan sihir kemana sihir tersebut akan diaktifkan. Bahkan penyihir yang terbiasa menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan sihirnya, bisa jadi akan gagal jika mencoba menggunakan tangan kirinya. Itu artinya jika mana dan mantra adalah kunci untuk mengaktifkan sihir, maka tangan dan kaki juga kunci untuk mengendalikan sihir. Saat ini anda tidak memiliki mulut untuk membaca mantra dan juga kaki atau tangan untuk mengendalikan sihir, itu sebabnya saat ini anda masih belum bisa menggunakan ataupun mempelajari sihir."
"jadi untuk Sekarang beneran belum bisa ya?" Jawabku sedikit kecewa.
"Kia, ada satu hal yang mengganggu pikiranku daritadi."
"Ketika aku bertarung dengan Slime dan menggunakan System Observasi mu aku melihat kemampuan uniknya adalah Jelly Body."
"tetapi ketika aku menyerapnya, kenapa berubah menjadi Slime Guard?"
System KIA : "tuan, ketika anda mencoba menyerap kemampuan unik dari makhluk lain. kemampuan tersebut akan menjadi kemampuan dasar anda bukan Unique Skill. Karena kemampuan unik anda sudah ditetapkan oleh dewa, jadi tidak akan bisa unique skill makhluk lain yang tidak terdapat pada cabang unique skill milik anda dapat menjadi unique skill anda. Perubahan nama dan status Skill tersebut pun terjadi akibat dari penyesuaian dengan pohon Skill milik anda."
"Pohon Skill?"
System KIA : "maaf tuan, untuk saat ini anda belum bisa mengakses pohon skill. Jadi saya tidak bisa menjelaskan lebih lanjut."
Setelah puas dengan penjelasan Kia, Kemudian akupun melihat sekeliling ruangan.Ternyata ruangan ini cukup besar, aku masuk terus kedalam untuk mencari tempat yang nyaman untuk berlatih.
Didalam gua memang luas, dan untuk masuk kedalam dungeon terdapat pintu yang besar dan berukiran naga menyemburkan api.
Didekat pintu pun cukup luas, tetapi aku mencoba mengambil jarak sedikit menjauh dari pintu.
Setelah berhasil menemukan tempat yang tepat, aku mencoba menggabungkan kemampuan menggelinding dan lompat.
Dan juga menggabungkan kemampuan menyundul dengan lompat, Tetapi keduanya gagal.
Ternyata ada kemampuan yang tidak dapat menghasilkan apa – apa jika digabung, ironisnya MP ku terbuang sia – sia sebanyak 100 Point.
Setelah puas mencoba menggabungkan kemampuan dan memeriksa papan statusku, Aku pun mulai melatih kemampuan milikku.Pertama, aku berlatih untuk mempelajari penggunaan Slime Guard.
Dan ketika menggunakanSlime Guard, aku benar – benar tidak dapat melakukan penyerangan apapun.
Aku mencoba menyerang gundukan batu besar disekitar menggunakan kemampuan menyundul.
Ketika seranganku dilancarkan, tubuhku terpental dan sepertinya gundukan batu tersebut tidak mengalami dampak apapun.
Anehnya, dampak konsumsi hp secara random dari shooting seed ketika menggunakan Slime Guard juga tidak muncul, mungkin ini disebabkan tubuhku yang diselimuti jelly bersifat seperti karet.
Tetapi ada pengetahuan baru yang aku dapatkan ketika menggunakan Slime Guard, yaitu apapun yang disentuh oleh tubuhku akan ikut masuk didalam perisai jelly.Aku mengetahuinya, karna beberapa pecahan batu yang menempel dibawah badanku juga terlihat masuk didalam jelly Slime Guard.
dan juga ketika aku memakai kemampuan menggelinding dan shooting seed disaatSlime Guard aktif, yang berputar bukanlah tubuhku, tetapi perisai jelly lapisan terdepan. Akupun dapat mengaktifkan perisai jelly sebanyak 3 lapisan.
Setelah puas mempelajari Slime Guard, aku mencoba mempelajari shooting seed tanpa menggunakan Slime Guard.
Awalnya aku mencoba menyerang dengan gundukan batu yang sedikit lebih kecil, aku melakukannya untuk mengetahui dampak penggunaan shooting seed.
Ternyata memang benar, setiap penggunaan shooting seed, Dampak hp yang dikonsumsi beragam, ini bisa saja berdasarkan putaran tubuhku, kekuatan dorongannya dan pertahananku.
Sedikit demi sedikit aku memahami kemampuan ini, dan mencoba meminimalisir dampaknya.
Karna seriusnya aku berlatih, tak terasa cahaya perlahan masuk menyinari seisi gua dipintu dungeon.
Selanjutnya aku menonaktifkan kemampuan cahaya kia dan kemudian berlompat – lompat keluar gua.
"huaaaaaaah, segarnya." Ucapku sembari melihat langit dan menghirup udara segar.
Bersambung
"JANGAN SEKALIPUN BERHARAP UNTUK DAPAT KEMBALI KEMASA LALU, TETAPI JADIKAN MASA LALUMU PELAJARAN UNTUK TERUS MAJU KEMASA DEPAN."
CHAPTER 4 : SUPERIOR
(HARI KEDUA SETELAH DIREINKARNASI)
Akhirnya malam pun telah terlewati. Aku yang telah berlatih selama semalaman suntuk ingin mencoba langsung semua kemampuan - kemampuan yang aku miliki. Dengan bangga aku menyatakan sekarang sudah saatnya bagiku untuk berburu.
System Kia : "maaf tuan. Apakah anda sedang bercanda? Walaupun anda sudah level 3, kekuatan anda saat ini masih dikategorikan yang paling lemah. Paling tidak anda hanya bisa berburu mayat monster yang tidak menjadi zombie, atau anda berburu slime yang ber level 1 dan 2."
"ASTAGA NAGAAAA KIAAAA."
"bisa enggak kau jangan membaca apa yang kupikirkan?"
"apa tidak ada kemampuan unik yang dapat memblokirmu agar tidak dapat membaca pikirankuuuuu??"
System Kia : "sekali lagi maaf tuan. Berdasarkan informasi yang saya terima. Anda masih belum bisa melakukan hal tersebut. Untuk bisa melakukannya, mungkin tuan harus level up atau berevolusi."
"haaah. kau ini memang pemandu yang sangat menjengkelkan."
System Kia : "terima kasih telah memuji saya tuan."
"ITU BUKAN PUJIAAAAAAAAN."
Setelah berdebat dengan kia yang mulai mengatakan kata - kata yang sangat menjengkelkan buatku. Aku melompat - lompat keluar dari dalam gua dungeon. Dengan sedikit kesal, aku mencari dan mendekati sebuah pohon untuk membuka peta.
Yah sejujurnya aku memang setuju dengan apa yang tadi diucapkan oleh kia. Saat ini, aku sebaiknya hanya menyerap inti monster yang telah mati. Sedangkan untuk mencari slime dengan peta akan sangat sulit, karena peta hanya menunjukkan symbol bulat berwarna merah dan tidak menunjukkan itu monster apa.
Jadi, aku memutuskan untuk mencari mayat monster yang berada dekat dengan dungeon. Aku mendapat informasi dari kia sebelumnya, bahwa dungeon akan menangkap monster yang berada 2 meter dari gua menuju pintu dungeon.
Pertama, yang aku lakukan adalah membuka peta dari pohon yang berada tepat berhadapan dengan mulut gua menuju pintu dungeon. Sejauh 1 kilometer kedepan dungeon, aku dapat melihat 8 ekor monster berada di sekitar tempat yang dekat dengan posisiku saat ini. Walaupun 8 monster tersebut berpisah - pisah, aku memutuskan untuk tidak pergi kesana karena kulihat tidak ada tanda - tanda monster yang sekarat atau sudah mati.
Selanjutnya, Aku begeser kearah pohon yang berada disebelah kanan dungeon. Monster disini malah lebih banyak daripada tempat sebelumnya. Dan yang aku lihat paling dekat dengan dungeon pun sampai sebanyak 14 ekor. terdapat beberapa monster yang berkelompok, dan juga ada yang kelihatan sedang bertarung satu sama lain. Yah, menurutku ini bukan arah yang harus aku kunjungi.
Kemudian, Aku mencoba pohon yang berada tepat diarah belakang pintu dungeon, memang moster yang paling dekat disini hanya ada 3 ekor, tetapi tidak ada monster yang mati disisi ini. Walaupun 3 ekor, aku akan tetap cari aman. Jadi, Aku akan mengikuti saran Kia untuk mencari monster yang telah mati.
"yooosssh, ini pilihan terakhir." Lalu akupun mencoba mendekati pohon yang berada diarah sebelah kiri dungeon.
Dan voila. Aku melihat banyak sekali tanda - tanda monster yang sepertinya bergelimpangan disisi ini. Terutama yang paling dekat dengan dungeon saja ada sekitar 7 ekor.
"ini, ini, ini..."
"INI KEBERUNTUNGAN KU." Teriakku bahagia seperti layaknya seseorang yang menerima hadiah jackpot undian berharga dari sebuah BANK.
Tanpa ragu, aku bergegas menggelinding menuju arah sebelah kiri dungeon tersebut. Walaupun yang aku lihat tempat tersebut aman, aku masih tetap waspada dan hanya akan berburu dari jarak sekitar 3 meter dari dungeon.
o
o
o
o
o
Sesampainya aku diposisi mayat para monster, aku memperhatikan daerah sekitar terlebih dahulu dari semak - semak.
Benar - benar keadaan yang sangat mengenaskan. Disekitar tempat kejadian terlihat sepertinya telah terjadi pertarungan yang sangat luar biasa hebatnya. Aku melihat terdapat seekor monster yang bertubuh sangat besar memiliki luka cakar panjang dibagian dada sampai perutnya, ada juga monster yang terbelah badannya dan terpisah kepalanya, dan terdapat beberapa monster sisanya yang hangus terbakar.
"System Kia Observ" aku mengaktifkan system kia untuk melihat status para monster tersebut.
_____________________________________
STATUS
Name : YAR'HA ♂
Element : Normal
Species : Monster
Ras : Yar'ha
Level : 1 EXP : 30 / 200
HP : 0 / 175 MP : 26 / 26
[STR : 47] [INT : 29] [STA : 38]
[AGI : 35] [DEF : 32] [SPD : 31]
[DEX 30] [LUK : 30] [RES : 34]
[WEIGHT : 54]
Skills :
> Bite : [Level 1]
> Growl : [Level 1]
Unique Skills :
> Strong Sense of Smell : [Level 1]
______________________________________
______________________________________
STATUS
Name : YAR'HA ♀
Element : Normal
Species : Monster
Ras : Yar'ha
Level : 4 EXP : 160 / 500
HP : 0 / 275 MP : 66 / 66
[STR : 67] [INT : 49] [STA : 58]
[AGI : 55] [DEF : 52] [SPD : 51]
[DEX : 50] [LUK : 50] [RES : 54]
[WEIGHT : 28]
Skills :
> Bite : [Level 2]
> Growl : [Level 1]
Unique Skills :
> Move Swiftly : [Level 2]
_____________________________________
______________________________________
STATUS
Name : YAR'HA ♀
Element : Normal
Species : Monster
Ras : Yar'ha
Level : 7 EXP : 540 / 800
HP : 0 / 350 MP : 96 / 96
[STR : 82] [INT : 64] [STA : 73]
[AGI : 70] [DEF : 67] [SPD : 66]
[DEX : 65] [LUK : 65] [RES : 69]
[WEIGHT : 46]
Skills :
> Bite : [Level 5]
> Growl : [Level 2]
> Paw : [Level 1]
Unique Skills :
> Strong Fangs : [Level 2]
______________________________________
______________________________________
STATUS
Name : YAR'HA ♂
Element : Normal
Species : Monster
Ras : Yar'ha
Level : 11 EXP : 1100 / 1200
HP : 0 / 450 MP : 136 / 136
[STR : 102] [INT : 84] [STA : 93]
[AGI : 90] [DEF : 87] [SPD : 86]
[DEX : 85] [LUK : 85] [RES : 89]
[WEIGHT : 64]
Skills :
> Bite : [Level 4]
> Growl : [Level 5]
> Paw : [Level 2]
Unique Skills :
> Intimidate : [Level 2]
______________________________________
System Kia : "Yar'ha Monster Kelas D. Yar'ha berbentuk seperti beruang yang memiliki ekor rakun. Yar'ha hidup dengan cara berkelompok, makanan utamanya adalah Slime. Walaupun terkadang Yar'ha memakan tumbuh - tumbuhan atau buah - buahan dan tidak memakan daging monster lain, mereka sering memburu slime hidup - hidup karena sangat menyukai cairan lendir dari slime. Mereka menyerang dengan menggunakan kuku dan gigitannya yang tajam. Yar'ha sangat ahli dalam memanjat dan bergerak diatas pepohonan."
"Wow. Kia, pengetahuanmu tentang monster itu luar biasa keren. Dan juga penjelasanmu yang mendetail sangat membantuku yang dari tadi penasaran dengan monster yang terbakar hangus itu, terima kasih ya?
System Kia : "sama - sama tuan. Terima kasih karena anda telah memuji saya. Sebagai bonus, saya akan memberikan informasi tambahan. Biasanya yar'ha akan bergerak secara berkelompok, setiap kelompok memiliki pemimpin yang tubuhnya lebih besar dan memiliki bulu berwarna seperti tato yang memiliki corak sangat cerah.
System Kia : "Berarti mayat - mayat yar'ha yang berada didepan anda ini sepertinya merupakan yar'ha yang terpisah dari kelompoknya, karna pemimpin Yar'ha berlevel diatas 40. Jika kita lihat dari level - level mereka, para yar'ha ini masih dikategorikan anak - anak yang baru belajar berburu."
4 ekor monster yang disebutkan Kia memang tidak bisa aku lihat bentuknya dengan jelas karna mereka hangus terbakar. Dan sepertinya ada monster yang menyerang mereka dengan mengeluarkan api, sedangkan induk serta pimpinan mereka mungkin telah berhasil kabur.
"oh iya. Kia. Ada satu hal lagi yang mau aku tanyakan."
System KIA : "silahkan tuan."
"hmmmm, pada papan statusku, level milikku terdapat batasannya. Dan batasku adalah 5. Tetapi kenapa monster slime dan Yar'ha tidak memilikinya?"
System KIA : "baiklah tuan, saya akan menjelaskan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertama, anda adalah makhluk yang memiliki species juga ras baru. Jika dibandingkan dengan pengetahuan yang saya miliki, Anda tidak termasuk kedalam Spesies Humanoid ataupun Monster. Didalam diri anda telah tertanam aturan makhluk baru yang berbeda dengan yang lainnya."
System KIA : "yang kedua, anda juga memiliki sistem evolusi. Dimana sebelumnya tidak pernah ada yang memiliki sistem tersebut. Didunia ini terdapat dewa keseimbangan yang selalu memberi batas agar potensi keseimbangan tetap berjalan. Batas tersebut adalah permintaan dari dewa keseimbangan kepada raja dewa. Karena baru kali ini sistem evolusi diberikan, dewa keseimbangan khawatir keberadaan anda sebagai makhluk yang dapat berevolusi akan mengakibatkan miringnya keseimbangan."
"lagi - lagi karna keinginan dewa?"
"hmmmmm, ya sudahlah. mau bagaimana lagi."
"Kia selanjutnya bantu aku jelaskan monster yang terbelah dan yang kepalanya terpotong itu."
______________________________________
STATUS
Name : ATHRAK ♀
Element : Water
Species : Monster
Ras : Athrak
Level : 17 EXP : 1320 / 2000
HP : 0 / 1050 MP : 45 / 965
[STR : 133] [INT : 141] [STA : 121]
[AGI : 123] [DEF : 130] [SPD : 135]
[DEX : 128] [LUK : 132] [MAG : 127]
[RES : 130] [WEIGHT : 179]
Skills :
> Hard Bite : [Level 2]
> Roar : [Level 2]
> Tail Strike : [Level 3]
Magic :
> Water Shoot : [Level 3]
Unique Skills :
> Strong Fangs : [Level 4]
______________________________________
______________________________________
STATUS
Name : ATHRAK ♂
Element : Water
Species : Monster
Ras : Athrak
Level : 26 EXP : 2540 / 2900
HP : 0 / 1500 MP : 220 / 1415
[STR : 178] [INT : 186] [STA : 166]
[AGI : 168] [DEF : 175] [SPD : 180]
[DEX : 173] [LUK : 177] [MAG : 178]
[RES : 174] [WEIGHT : 228]
Skills :
> Hard Bite : [Level 2]
> Glare : [Level 1]
> Tail Stab : [Level 4]
> Constrict : [Level 2]
Magic :
> Water Cannon : [Level 1]
Unique Skills :
> Strong Tails : [Level 6]
_____________________________________
System Kia : "Athrak Monster Kelas C. Athrak memiliki bentuk seperti Beruang yang memiliki ekor panjang dan memiliki 6 kaki, Habitat nya adalah daerah yang memiliki aliran sungai jernih. Makanannya sejenis monster air sungai, kalau dalam bahasa dunia anda sebelumnya disebut dengan ikan. Athrak dikategorikan sebagai monster yang tidak berkelompok. Tetapi Athrak monster yang setia, ketika Athrak jantan dan Betina saling suka. Mereka tidak akan terpisahkan. Dan ketika mereka melahirkan anak, disaat anaknya merasa sudah dapat hidup mandiri dan telah siap berburu sendirian, anaknya akan meninggalkan orang tuanya."
"tunggu dulu. Kia, jika Yar'ha dan Athrak memiliki bentuk yang sama seperti beruang bukankah berarti mereka itu seharusnya 1 Ras?"
System Kia : "benar tuan, tetapi ada beberapa hal yang tuan salah paham. Pertama, didunia ini tidak ada yang namanya beruang. Semua binatang yang terdapat di dunia anda sebelumnya, tidak ada disini. Oleh sebab itu Species ataupun Ras binatang tidak ada. Didunia ini makhluk tanpa akal biasanya berspecies monster. Tetapi saya tadi ingin menjelaskan kepada anda kemiripan bentuk simonster dengan binatang - binatang yang terdapat didunia anda sebelumnya, agar dapat membantu anda untuk mengenali ataupun mengingat bentuk tubuh monsternya. makanya kedua monster tersebut saya menyebutkan bentuknya seperti beruang, walaupun bentuknya mirip, tapi mereka adalah monster yang berbeda."
System Kia : "Kedua, didunia ini. Ras untuk Spesies monster tidak berdasarkan bentuk tubuhnya. Dan ras yang pada umumnya diketahui terdapat pada species monster sama seperti namanya, karena terdapat beberapa monster yang bentuk tubuhnya sedikit berbeda akibat perkembangannya sehingga namanya pun ikut berubah, tetapi rasnya akan menunjukkan nama awal monster tersebut sebelum berubah."
Sistem KIA : "dan ketiga. didunia ini memang terdapat makhluk yang bukan hanya spesies monster ataupun humanoid. Tetapi di dunia ini juga terdapat makhluk yang memiliki spesies Superior, Artificial dan Chimera yang jarang ditemui tapi tidak dipungkiri keberadaannya. Dan ketiga species tersebut memiliki Ras yang berbeda dari monster."
"oke kia. Nanti saja dilanjutkan penjelasannya tentang Spesies dan Ras. Kurang lebih aku sudah sedikit memahaminya. Nah selanjutnya monster yang besar tersebut."
______________________________________
STATUS
Name : T?R#KO#? ??
Element : ???
Species : S?p#ri??
Ras : ??a#t**s!
Level : ?#? EXP : ???5 / ?????
HP : ?#? / ?????? MP : ??# / ????
[STR : ????] [INT : ????] [STA : ????]
[AGI : ????] [DEF : ????] [SPD : ????]
[DEX : ????] [LUK : ????] [RES : ????]
[WEIGHT : ????]
Skills :
> ??????????? : [Le??? ???]
> ???????????? : [?ev?? ???]
> ???????? : [L?v?? ???]
> ???????????? : [##vel ???]
> ??????????? : [Le??? ???]
> ???????????? : [?ev?? ???]
> ???????? : [L?v?? ???]
> ???????????? : [##vel ???]
Unique Skills :
> ???????????? : [??vel ???]
> ?????????????????? : [L??el ???]
> ?????????????????? : [L??el ???]
> ????????????? : [L???l ???]
> ????????????????? : [?e?el ???]
> ???????????? : [Le?el ???]
> ????????????????? : [L?vel ???]
> ????????????????? : [???vel ???]
> ??????????????? : [Le?el ???]
______________________________________
"hah!!! Ada apa dengan papan status ini kia?"
System Kia : "maaf tuan, monster raksasa tersebut sepertinya spesies superior. System Kia belum memiliki pemahaman apapun tentang spesies selain spesies monster dan humanoid. Tolong maaf kan saya tuan."
"ya sudah, tidak apa - apa kia."
Kemudian sekali lagi aku memperhatikan para monster dan sekelilingnya, mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi disini.
"hmmmm, sekarang aku sudah sedikit paham situasinya. Menurutku sepertinya monster superior tersebut sedang bertarung dengan monster superior lainnya. Yah'ra dan Athrak terkena merupakan korban yang terkena dampak dari pertempuran mereka."
System Kia : "benar tuan, saya setuju dengan prediksi anda. Tetapi sebaiknya anda....."
"yooooossss, kelihatannya sudah benar - benar aman."
Akupun langsung melompat menuju monster yang paling besar tersebut. Karena aku merasa beruntung dan terlalu senang, aku tak menghiraukan perkataan yang kia ucapkan. Aku berpikir dengan menyerap inti monster yang besar aku pasti akan langsung level up dengan cepat bahkan bisa jadi statusku meningkat dengan pesat dan berevolusi.
"kia, kau tahu dimana letak inti monster besar ini?"
System Kia : "saran tuan, sebaiknya anda berhati - hati. Bisa jadi peta pohon membuat kesalahan dalam menunjukkan keadaan monster superior tersebut."
"oh kia. Tenanglah, aku yakin pasti sudah aman kok."
"jawab saja dulu pertanyaanku."
System Kia : "....."
"Kenapa kau diam saja kia?"
System Kia : "....."
"hei kiaa. Kau mendengarkan ku?"
System Kia : "....."
"kia, sekali lagi aku katakan."
"tenanglah, Ini sudah aman. Dari tadi kita juga melihat monster superior ini hanya diam terus seperti ini dan tidak ada tanda - tanda kalau dia masih hidup."
System Kia : "....."
"mulai lagi sikapmu yang sangat dingin dan menjengkelkan itu ya?"
System Kia : "......."
"oke fine. Aku akan mencarinya sendiri."
Kesal dengan Kia yang hanya diam, Akupun melompat - lompat memanjati tubuh monster superior tersebut. Aku berusaha untuk mencari intinya disekitar luka cakar yang besar dibagian dada hingga pinggang monster superior tersebut.
o
o
o
o
o
"Tubuh monster superior ini ternyata sangat besar."
"Jika aku menghitungnya dengan tinggi badan ku dulu saat masih menjadi manusia, besarnya bisa sampai 2 kali lipat dari tubuh manusiaku."
"Dan bahkan tubuh bijiku ini bisa masuk kedalam mulutnya itu." Gumamku mengagumi monster superior yang memiliki tubuh sangat besar.
Disaat aku sedang mencari - cari intinya diantara perut dengan dada sang monster. Akupun mulai merasa sedikit ada yang aneh dengan dada monster superior tersebut, dan ketika aku mencoba memastikan kembali dada sang monster. Tiba - tiba Kia pun berteriak.
System Kia : "TUUAAAN. SEBELAH KANAN ANDA...."
Spontan aku melihat kekanan dan tiba - tiba .......
"Aaaaaaaaaaarrrrrkkkkkhhhh...." Aku menjerit kuat dan tubuhku terlempar jauh dari tubuh monster besar tersebut.
Sebuah tangan dengan cakar yang tajam dengan cepatnya menyerangku dengan kuat, hingga Cangkang biji bagian belakangku pecah sedikit. Dari cangkang yang pecah tersebut, keluar cairan berwarna hijau dan kental seperti getah pohon.
Terlalu cepat serangannya sehingga aku tidak sempat menghindar atau pun mengaktifkan Slime Guard.
"AAUUUCCCCH, HIISSS. ADUUUH." Aku mulai merasakan sangat sakit sekali pada bagian cangkangku yang pecah.
Sakitnya mengingatkanku dengan luka tikaman pisau para preman. Aku mencoba lompat dan bangkit. Kulihat sang monster pun perlahan bangkit. Dan yang lebih seram lagi, aku mendengar suara tertawa dari mulut si monster.
Monster : "HE HE HE HE HE HE HEE HE HEEE,, YA HA HA HA HA HAAA."
Bersambung.
"AIR BERIAK TANDA TAK DALAM DAN JANGANLAH MENILAI BUKU DARI SAMPULNYA SAJA."
CHAPTER 5 : BERUNTUNG DAN SIAL BAGIAN 1
System Kia : "TUUAAAN. AWAAAS SEBELAH KANAN ANDA…."
Spontan aku melihat kekanan dan tiba – tiba ….…
"AAAAAARRRRRGGGGHHHH…." Aku menjerit dan tubuhku terlempar jauh dari tubuh monster besar tersebut.
Sebuah tangan dengan cakar yang tajam menyerangku. Serangannya sangat kuat, hingga Cangkang biji pada bagian belakang tubuhku sedikit pecah. Dari cangkang yang pecah tersebut, keluar cairan berwarna hijau dan kental seperti getah pada pohon.
serangannya terlalu cepat sehingga membuat aku tidak sempat menghindar atau pun mengaktifkan Slime Guard.
"AAUUUCCCCH, SSSHHHH. ADUUUH." Aku mulai merasakan sakit sekali pada bagian cangkangku yang pecah.
Sakitnya mengingatkanku kembali dengan luka tikaman pisau dari para preman. Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat aku mencoba lompat untuk dapat berdiri.
Kulihat monster superior tersebut pun secara perlahan – lahan juga berdiri. Dan yang lebih seram lagi, aku mendengar suara tertawa yang kuat dari mulut si monster superior.
Monster : "HE HE HE HE HE HE HEE HE HEEE, JE HA HA HA HA HAAA."o o o o o "Uuukkkkkkhhhhhh…" sambil berusaha untuk tetap berdiri, akupun merintih merasakan kesakitan.
Dengan sigapnya, kia membuka papan status milikku. Dan aku melihat HP ku berkurang lebih dari setengah dan point HP ku pun mulai terus berkurang. Sesaat aku mulai menyadari bahwa cairan getah hijau kental tersebut ternyata adalah darah dari dalam tubuhku, karena darah yang terus mengalir keluar membuat HP pada papan status milikku juga perlahan terus berkurang.
Walaupun begitu aku masih beruntung karena memiliki kemampuan unik dari berkah dewa yang terus menambahkan HP milikku sebanyak 1 point perdetiknya. Sehingga darahku yang keluar tetap kembali.
System Kia : "tuan, tolong cepat hentikan pendarahan anda. Tentu anda masih ingat latihan tadi malam kan?"
"latihan ya???" perkataan kia membuatku teringat saat aku berlatih dimalam itu.o o o o o {Kita mundur disaat malam hari sebelumnya pada waktu alzam mulai berlatih.}
"SLIME GUARD" ucapku.
Disaat aku mengaktifkan Skill Slime Guard, aku mencoba untuk mengetahui berapa lama aku dapat mengaktifkan skill ini. Dan ternyata skill ini memang tidak memiliki batasan waktu. Kelemahan satu – satunya dari Slime Guard hanyalah ketika kemampuan ini dalam mode aktif melindungi tubuhku maka seranganku tidak akan menghasilkan damage pada musuh.
"woah, woah, woaaaahhh. Hebaaat." Tiba – tiba terjadi sesuatu pada Slime Guard yang aku aktifkan.
Tanpa sengaja pada saat aku mencoba memusatkan konsentrasiku, ternyata ukuran Slime Guard dapat diperbesar atau diperkecil. Jelly pada Slime Guard tersebut seperti karet ataupun balon. Semakin aku memperbesarnya, jellynya pun akan terlihat semakin menipis.
Ketika tadinya Slime Guardku kuperbesar secara maksimal. Aku teringat untuk mencoba sesuatu.
"(apa mungkin Slime Guard bisa dipanggil lagi menjadi 2 lapisan?)" gumamku didalam hati.
"oh iya, SLIME GUARD." Aku mencoba memanggil kemampuanku lagi.
Dan ternyata benar, ketika aku memanggil Slime Guard untuk yang kedua kalinya. Muncul lagi perisai jelly didalam perisai jelly slime guard pertama yang sebelumnya masih tetap aku aktifkan.
Aku juga dapat mengatur ukuran Jelly kedua tersebut dan membuatnya membesar secara maksimal. Batas maksimal jelly kedua adalah menempel dibelakang dengan jelly pertama.
"oke, sekali lagi. SLIME GUARD."
Aku memanggil jelly ketiga, dan jelly yang baru pun muncul satu lagi didalam jelly kedua. Akupun mencoba memperbesarnya sehingga maksimal dan menempel dengan jelly kedua.
"bagus, bagus. Baiklah. Kucoba satu lagi. SLIME GUARD."
Aku mencoba memanggil jelly yang keempat, tetapi tidak keluar jelly baru.
"loh, kok gak bisa ya?"
"coba sekali lagi."
"SLIME GUARD."
"......." Masih tetap tidak muncul jelly keempat.
"SLIME GUARD."
"......" Masih juga tidak muncul.
"SLIME GUARD."
"......…." Masih saja tidak muncul, tetapi tetap kucoba lagi.
"SLIME GUARD."
"........" dan lagi.
"SLIME GUUUAAAARRRRDDDD." Teriakku mencoba mengeluarkan jelly keempat yang sama sekali tidak ada muncul.
"hah, hah,hah, hah. Ternyata batasnya hanya sampai tiga jelly."
System Kia : "Lapor tuan, saat ini anda berada di level 3. Jadi Slime Guard yang dapat dikeluarkan hanya sebatas 3 lapisan, dan jika nanti anda sudah naik ke level 4, maka Slime Guard yang dapat anda panggilpun akan bertambah menjadi 4 lapis juga. Begitu seterusnya."
"pantas saja."
"lalu kenapa kau baru menjelaskannya sekarang kia."
"haaah, tapi terima kasih karena sudah menjelaskannya kia."
"oh iya, kia. Bisakah ketika aku mengaktifkan Slime Guard langsung keluar 3 lapisan."
System Kia : "saya dapat mengaturnya jika anda mau tuan."
"benarkah? Baiklah, tunggu ya aku atur dulu jarak muncul jellynya."
Aku kemudian mengecilkan jelly ketiga tepat menyelimuti seluruh tubuhku. Lalu jelly kedua aku atur berjarak 40 cm dari tubuhku, dan jelly pertama aku atur berjarak kurang lebih 1 meter dari jelly pertama.
"oke kia, bisa kah kau atur agar muncul seperti ini?"
System Kia : "baiklah tuan, akan saya program terlebih dahulu."
System Kia : "...…"
System Kia : "sukses, silahkan anda coba tuan."
Aku pun menonaktifkan Slime Guard dan mencoba memanggilnya kembali. Dan benar saja, Slime Guard muncul sesuai seperti yang telah aku minta pada kia.
Lalu aku teringat sesuatu pada duniaku sebelumnya dan mencoba untuk bertanya pada kia.
"oh, benar juga aku baru saja ingat."
"Kia, bisa kau jelaskan pada ku apa itu MANA didunia ini?"
System Kia : "baik tuan, MANA adalah energi yang tercipta dari alam yang terus mengalir didunia listdum ini. Jika didunia tuan MANA itu sama seperti Energi Qi atau Chi yang dapat diserap oleh seseorang yang bertapa."
"Seperti dugaanku. Ini sama persis seperti anime fantasy yang pernah aku lihat."
"Yosh, akan aku coba dulu."
Aku teringat pernah menonton sebuah anime dahulu ketika diduia sebelumnya. Dalam anime tersebut terdapat seorang anak yang menjadi tokoh utamanya sedang berlatih ilmu beladiri. Guru si tokoh utama tersebut mengajarinya tentang cara merasakan Energi alam dan memusatkan energi Energi alam tersebut.
"Tutup matamu. Tenangkan pikiranmu, dan rasakan puluhan, ratusan dan ribuan energi alam masuk kedalam tubuhmu dan mengalir disetiap titik tubuhmu."
"lalu pusatkan energy tersebut mengalir menuju kedua matamu, lalu secara perlahan buka matamu dan lihatlah sekelilingmu."
Aku mengucapkan apa yang dikatakan sang guru tersebut dan melakukan sesuai arahan tadi. Setelah aku membuka mata perlahan, kulihat ribuan bulir – bulir cahaya kekuningan muncul dari bawah tanah dan melayang – layang disekitarku.
System Kia : "Selamat tuan, anda telah mendapatkan Unique Skill Tambahan. MANA MANIPULATION [Level 1]. Skill ini didapat karena anda telah mempelajari sendiri cara mengendalikan MANA tersebut. Mana Manipulation adalah kemampuan dimana anda dapat mengolah, mengkonsentrasikan, mengumpulkan, serta menyerap mana yang mengalir disekitar anda untuk memperkuat bagian tubuh yang anda inginkan.
"oooh, skill ini termasuk skill unik ya?"
"dan hanya dengan mempelajarinya saja sudah otomatis bertambah didalam kemampuanku. Berarti terdapat beberapa kemampuan yang bisa aku pelajari sendiri."
"baiklah, saat ini aku akan mencoba untuk melatih cara memanipulasi mana dulu agar tubuhku terbiasa menggunakannya."
"BUKA STATUS"_________________________ STATUSName : ALZAM AZTONTitles : [The Reincarnated] [Seed of The World Trees]Evolution : Fase 0 (Baby)Species : Plant Ras : SeedLevel : 3 / 5 EXP : 300 / 900HP : 350 / 350 MP : 255 / 260 [STR : 76] [INT : 68] [STA : 73] [AGI : 60] [DEF : 72] [SPD : 75] [DEX : 60] [LUK : 42] [RES : 78] [WEIGHT : 14]
Skills :> Jump : [Level 2] > Rolling : [Level 2]> Headbutt : [Level 1]>> Consume 1 HP/Hit.> Shooting Seed : [Level 2]>> Consume Random HP/Hit.> Slime Guard : [Level 1]>> Cover The Body with Solid Jelly.>> Can't Deal a Damage if it Attack.
Unique Skills :> Blessings From The God : [Level 1]>> Regent 1 HP/Second>> Have Awareness>> Can Move>> Have Knowledge About Listdum Language>> KIA System Ability> Blessings From The World Tree : [Level 1]>> Absorb 1 MP/Second by Attaching the Body to Plants>> Take Skill From the Absorbed Core>> Tree Map>>> By Touching a Tree You Can See a Map as far as 1 Kilometer> Combining Skill : [Level 1]>> Combining 2 Basic Skills to Create a New Skills by Consuming 50 MP> Survive : [Level 1]>> Give 1 HP if Your HP Become to 0> Mana Manipulation : [Level 1]>> Controlling Mana to Strengthen The Body_________________________
"ternyata MP milikku berkurang 5 point karena mencoba mengkonsentrasikan mana disekitar mataku tadi. Tapi dengan 5 Point ini apakah kegunanya hanya untuk dapat melihat aliran mana yang keluar dari tanah atau yang melayang – layang diudara?"
"tanpa harus mataku dapat melihat butiran – butiran mana yang berterbangan ini saja, aku masih bisa merasakannya ditubuhku. Tetapi, tunggu dulu." Sejenak aku mengingat sesuatu lagi.
Kemudian aku mencoba berkonsentrasi merasakan inti Manaku. Ternyata benar, terdapat pusat mana didalam tubuhku yang menjadi wadah bagi MANA yang aku kumpulkan. Dengan begitu aku mencoba menarik butiran Mana yang berterbangan disekitarku dengan menggunakan inti Manaku tersebut. Caranya mirip sekali seperti menghirup nafas. Dan kemudian, ketika wadah Mana ku penuh, MP milikku pun juga kembali penuh.
"ternyata fungsinya dapat digunakan seperti ini."
"aku dapat menngunakan Mata MANA ini agar aku bisa melihat kapasitas mana yang kuserap. Hanya saja, penyerapan dengan metode ini rasanya memakan waktu lebih lama dari pada menggunakan kemampuan berkah pohon dunia."
System Kia : "Informasi tambahan tuan, dengan mata tersebut. Anda dapat melihat aliran Mana monster atau manusia yang menggunakan serangan dengan kekuatan Mana dan sihir. Jadi, anda bisa memutus titik jalur energinya agar serangan tersebut gagal."
"oooohhhh, maksudmu sama seperti titik akupuntur yang memutus jalur energi ya kia?"
System Kia : "kurang lebih dapat memang dapat dikatakan seperti itu."
"oke, sekali lagi terima kasih atas informasinya kia."
System Kia : "Senang dapat membantu anda tuan."
Selanjutnya aku mencoba untuk berkonsentrasi pada pusat Manaku kembali. Kali ini aku mencoba untuk megumpulkan Mana didalam tubuhku kemudian mengalirkannya keseleruh tubuh untuk menyelimuti Kulit cangkang pada tubuhku, lalu aku memadatkan Mana tersebut yang menempel pada kulit cangkangku. Dan ketika aku selesai melakukannya, cangkangku terasa semakin mengeras.
"Wah, sepertinya aku berhasil. Ada untungnya juga aku menjadi seorang OTAKU dahulu kala. He he he." Aku membanggakan keberhasilanku yang bisa mengolah Mana dengan sempurna untuk dapat memperkuat tubuhku. Dan ketika aku melihat Papan Statusku lagi._________________________ STATUSName : ALZAM AZTONTitles : [The Reincarnated] [Seed of The World Trees]Evolution : Fase 0 (Baby)Species : Plant Ras : SeedLevel : 3 / 5 EXP : 300 / 900HP : 350 / 350 MP : 250 / 260 [STR : 76 5] [INT : 68] [STA : 73] [AGI : 60] [DEF : 72 5] [SPD : 75] [DEX : 60] [LUK : 42] [RES : 78] [WEIGHT : 14]_________________________
"ternyata Mana ku yang telah berkurang malah jadi menambah serangan dan pertahananku."
Selanjutnya aku mengulangi lagi, dan pertahananku serta seranganku bertambah lagi. Setiap kali aku mencoba mengkonsentrasikan MANA untuk memperkuat tubuhku, maka MP ku akan berkurang sebanyak 10 Point tetapi Pertahanan serta Serangan milikku bertambah sebanyak 5 Point.
Lalu, setelah itu aku mempelajari kemampuan Shooting Seed dengan menggunakan Mana Manipulation untuk mengurangi dampak penggunaan shooting seednya.oo
ooo{Kembali pada waktu saat ini.}
Monster : "HE HE HE HE HE HE HEE HE HEEE, JE HA HA HA HA HAAA."
"Uuukkkkkkhhhhhh…" sambil berusaha untuk berdiri, akupun merintih merasakan kesakitan.
Dengan sigap, kia membuka papan statusku, aku melihat HP ku berkurang setengah dan point HP ku pun mulai terus berkurang. Sesaat akupun mulai menyadari bahwa cairan getah hijau kental tersebut ternyata adalah darah dari dalam tubuhku, karena darah tersebut terus mengalir membuat HP ku juga perlahan terus berkurang.
System Kia : "tuan, hentikan pendarahan anda dengan Slime Guard. Tentu anda masih ingat latihan anda tadi malam kan?"
"latihan ya???" perkataan kia membuatku teringat dengan hasil latihanku.
"ah, iya. kau benar kia, SLIME GUARD."
Akupun langsung mengeluarkan Slime Guard 3 lapisan dan mengecilkan lapisan Ketiga untuk menutupi luka ku. Kemudian lapisan kedua juga aku perkecil mendekati tubuhku untuk melindungi aku agar tidak terguncang dan membuat lukaku melebar.
Monster : "HA HA HA HA HA, DASAR MAKHLUK BODOH."
Aku terperangah terkejut, karena mendengar monster tersebut dapat berbicara bahasa Listdum. Monster superior tersebut memang tidak menggunakan bahasa Indonesia bahasa dari duniaku sebelumnya, tetapi apa yang diucapkannya dengan bahasa listdum secara otomatis diterjemahkan didalam pikiranku. Ini merupakan salah satu kemampuan unikku dari berkah dewa. Aku yang tercengang kebingungan tidak menyadari monster seuperior tersebut berlari kearahku dan mencoba menyerangku.
Lalu tubuhku terpental jauh akibat serangannya. Dan untung saja aku memiliki Slime Guard lapisan kedua dan pertama yang melindungiku, meskipun tidak terluka. Kekuatan serangan monster superior terseut terlalu besar, sehingga aku tetap merasakan sedikit goncangan akibat dari serangannya. Bahkan lapisan pertama yang merupakan jelly solid terdapat bekas cakarannya.
Monster : "GRRRRRR, HUAK, HAK HAK." Setelah menyerangku, Monster superior tersebut tiba – tiba memuntahkan darah dan menggeram marah.
Monster : "KEMARI KAU MAKHLUK KECIL. BIARKAN AKU MEMAKANMU AGAR AKU BISA MENGAMBIL BERKAH MILIKMU ITU."
Sang monster berjalan mendekatiku dengan menunjukkan ekspresi yang sangat menyeramkan. Aku gemetaran ketakutan ketika melihat mata merahnya. Pikiranku sangat kacau dan tiba – tiba Kia berteriak.
System Kia : "TUAN SADARLAH."
"hah???" "Oh Kia."
"Kia. Bagaimana ini?"
"dia. dia datang mendekatiku."
"Tubuhku. tubuhku terasa kaku dan sangat sakit sekali."
"aku, aku tak bisa bergerak."
"Kia. Bagaimana ini????"
"tolonglah kia, cepat bantu aku."
"hah hah hah." Aku mulai panik dan berbicara tidak jelas.
System Kia : "Tuan, tenangkan dulu diri anda. Pertama yang harus anda lakukan adalah mencoba untuk menjauhinya. Sepertinya monster superior itu sedang terluka parah sehingga tidak bisa berlari. Untuk sekarang saya sarankan anda sebaiknya kembali kedungeon."
"bagaimana kia????"
"bagaimana caranya aku dapat menjauhinya???"
"aku tidak dapat bergerak sedikitpun kia."
"kia. Cepatlah, dia semakin mendekat."
System Kia : "TUAN, sekali lagi saya katakan. tenangkan diri anda terlebih dahulu. Jika anda tenang, saya yakin pasti anda akan dapat menyelamatkan diri. anda selalu bisa mengatasi hal seperti ini. Ingatlah dan cobalah untuk tenang."
Setelah mendengarkan Kia yang mencoba membuatku tenang, aku menutup mata sesaat dan berusaha menarik nafas dan membuat kepalaku untuk tetap dingin. Aku mencoba menghilangkan rasa takutku pada monster superior itu.
"Terima kasih kia."
"aku sudah tenang sekarang."
Aku perhatikan dengan seksama, sang monster berjalan secara perlahan – lahan. Mungkin hal itu memang disebabkan luka yang ia miliki, karena aku melihat dia berjalan sambil mencoba menutupi luka nya dengan tangan kirinya.
"baiklah, mulai dari sekarang aku akan lebih mendengarkanmu kia."
"nah, untuk sekarang apa yang harus kita lakukan???"
"oh iya, tadi kau menyuruhku kembali kedungeon kan kia?"
"maaf, aku lupa sudah diarah mana jalan menuju dungeon."
System Kia : "tuan, sebelumnya saya juga minta maaf. Ketika serangan monster superior itu tadi mengenai anda, itu membuat saya juga sempat merasakan panik. Sehingga saya juga tidak tahu dimana arah dungeon berada. Tetapi, walaupun seperti itu saya masih memiliki sebuah rencana."
System Kia : "Untuk sekarang ini anda dan dia sedang dalam kondisi terluka. Monster superior itu sepertinya tak dapat lagi berlari, tetapi anda juga tidak bisa bergelinding dengan cepat, karena dikhawatirkan luka dibelakang tubuh anda akan semakin parah."
System Kia : "ini merupakan pertarungan stamina serta pertahanan antara anda dengan monster superior itu. Saran saya, anda terus bergerak menghindarinya dengan bergelinding pada kecepatan normal. Saya minta anda untuk mengulur waktu. Berikan saya sedikit saja waktu. saya akan mencoba memperhatikan pergeseran matahari agar mengetahui posisi keberadaan kita."
System Kia : "dari pergeseran matahari tersebut saya dapat menentukan arah mata angin, dan jugga akan mengetahui dimana arah menuju dungeon."
"oke, aku paham."
Kemudian aku mengaktifkan Skill Rolling (Bergelinding). Ketika aku mengaktifkan kemampuan bergelinding tersebut. Yang berputar bukan tubuhku melainkan jelly slime lapisan pertama.
Aku menggelinding menuju arah kiri dari posisiku berdiri tadi. Karna pengaruh dari tubuhku yang terluka, jadi kecepatan menggelindingku pun juga mulai berkurang. Ini terpaksa aku lakukan untuk menjaga agar aku tidak terguncang dan lukaku pun tidak semakin parah.
Melihat aku yang berusaha menjauh dari monster superior tersebut. Monster itupun juga sedikit menambah kecepatan langkahnya dan mulai mengejarku. Walaupun begitu, monster superior tersebut hanya tetap berjalan dengan sedikit cepat dan sepertinya tidak sanggup untuk berlari.
Monster : "JANGAN LARI KAU MAKHLUK KECIL, TAKKAN KUBIARKAN KAU LEPAS." teriak monster superior tersebut.o o o o o 15 menit telah berlalu, dan monster superior tersebut masih tetap mengincarku. Walaupun tidak dapat berlari dan menangkapu, tetapi sesekali dia sempat hampir dapat mengejarku. Untung lukanya membuat monster superior itu dapat aku hindari.
"Kia, apa masih belum terlihat?"
System Kia : "maaf tuan, hutan disini pohonnya terlalu lebat. Saya tak bisa melihat posisi pergerakan matahari dengan baik."
"oh, sialnya aku. Malah monster superior sialan itu masih semangat mengejarku lagi."
Monster : "JANGAN KAU KIRA BISA LARI DARI KU MONSTER KECIL SIALAN. BERHENTI KAU."
"kia, apakah dia bisa mendengar suaraku."
System Kia : "tidak bisa tuan. Anda tidak memiliki mulut sehingga tak dapat mengeluarkan suara. Yang dapat mendengarkan anda hanyalah saya saja."
"Oooooohhhhh, Begituuuu.."
"HOOOOIII, MONSTER BRENGSEK. PERGI SAJA KAU SANA."
"SUDAHLAH MENYERAH SAJA."
"HANYA ORANG GILAYANG MAU MENDENGARKAN PERINTAHMU UNTUK BERHENTI."
"KAU MAU MEMAKANKU??"
"YANG BENAR SAJA."
"SIAPA JUGA YANG MAU MASUK KEDALAM MULUT BAUMU ITUUUU." Aku mengejek monster superior tersebut untuk menghibur diriku dan perasaan ketakutanku pun sedikit demi sedikit semakin berkurang.
System Kia : "hmmm. Ha ha ha ha ha ha."
"Wah, baru kali ini aku mendengarmu tertawa kia?"
"ha ha ha ha ha ha." Mendengar kia yang tertawa, Aku pun ikutan tertawa.
Kemudian sejenak kami diam sambil aku terus bergelinding mencari tempat agar kia dapat melihat arah pergeseran matahari. Mendadak muncul perasaan bersalah dihatiku karena tidak mendengarkan peringatan kia dari awal. Kecerobohanku membuat kami jadi terjebak disituasi yang sangat rumit. "maafkan aku ya kia?"
"Kalau saja aku lebih mendengarkanmu dari awal."
System Kia : "tidak apa – apa tuan, apa yang sudah terjadi tidak perlu lagi anda sesali. Ayolah. Jangan dipikirkan hal itu, sekarang anda harus tetap semangat. Saya selalu percaya dengan kekuatan dalam diri anda."
"benarkah?"
"apa didalam diriku ini benar – benar ada kekuatan tersembunyi??"
"yooooooossssshhhhh. Kata – katamu membuatku jadi semakin semangat kia."
"baiklah, dengan semangat penuh ayo kita terus bergeliiiinnndddiiiiiiiing....."
System Kia : "tuan, tolong jangan tambah kecepatan anda. Ingatlah luka anda bisa....."
"ora ora ora ora oraaaaaaaaaa...…"
Bersambung
"PAKAILAH AKAL SEBELUM BERTINDAK, KARENA AWAN YANG HITAM BELUM TENTU HANYA AKAN MENURUNKAN HUJAN."
CHAPTER 6 : BERUNTUNG DAN SIAL BAGIAN 2
40 menit atau mungkin saja lebih aku terus bergelinding dan monster superior tersebut pun juga masih saja mengejarku.
"kia, didepan sepertinya ada beberapa ekor monster. Aku akan mencoba memancing simonster superior menuju mereka."
"Dan ketika mereka sibuk bertarung aku akan langsung mencari tempat untuk bersembunyi."
Dengan menggunakan manipulation mana dimataku, penglihatanku juga semakin bertambah jauh. Dan aku melihat 3 ekor monster didepanku.
System KIA : "ide yang bagus tuan."
Ketika aku keluar dari hutan, aku pun mulai menambah sedikit kecepatanku. Kemudian 3 ekor monster yang wajah serta kedua tangan dan kakinya berbentuk seperti kelinci, tetapi tubuh serta ekornya mirip seperti kangguru terkejut melihat aku yang bergelinding terus kearah mereka.
Kemampuan observasi kia yang masih aktif menunjukkan nama monster tersebut adalah THERWELU. 2 ekor Therwelu jantan dan 1 ekor lagi Betina. Sepertinya salah satu Therwelu jantan dan yang betina merupakan indukan, karena ukuran tubuh mereka lebih besar dari therwelu jantan yang satu lagi.
Seekor Therwelu jantan yang bertubuh lebih besar daripada Therwelu jantan lainnya dari tadi bersiaga seperti ingin melindungi keduanya. Dan tiba – tiba dia melompat kearahku serta menendangku hingga aku terpental ke semak – semak hutan.
"maaf kan aku dan terima kasih." Aku mengucapkan itu kepada Therwelu yang menendangku tadi, karena aku tak perlu lagi bergelinding untuk bersembunyi disemak – semak hutan yang berlawanan dengan arah si monster superior yang mengejarku.
Disaat aku dalam posisi terpental, sebelumnya aku sempat melihat status Therwelu betina. Aku merasa ada yang aneh dengan papan status Therwelu betina tersebut.
Therwelu yang menendangku tadi mencoba menghampiriku di arah tempat aku terpental. Dan kedua Therwelu dibelakangnya juga mengikuti dengan melangkah waspada. Namun baru saja beberapa langkah, tiba – tiba mereka terhenti.
Kemudian, Therwelu betina menghadap kearah belakangnya sambil mendesis kuat. Dan ternyata diarah tersebut sang monster superior yang mengejarku tadi muncul dan menggeram dengan kuat.
Monster : "GRROOAAARRRRHHHH….."
Monster : "DIMANA KAU MAKHLUK KECIL. JANGAN COBA – COBA BERMAIN – MAIN DENGANKUUUUU."
Dia mulai kesal dan melihat kekanan juga kekiri untuk mencari jejak ku. Tetapi, entah kenapa sepertinya dia mengetahui dimana aku bersembunyi. Pada hal aku tidak meninggalkan jejak yang dapat dilihatnya, sebab tadi tubuhku terpental akibat tendangan Therwelu jantan.
Monster : "HE HE HE HE, DISANA KAU RUPANYA."
Dia berjalan ke arahku dan para Therwelu yang tepat berada didepan tempatku bersembunyi. Kemudian langkahnya terhenti karena Therwelu jantan yang lebih kecil mencoba menghalangi langkahnya. Dia mendesis pada monster superior tersebut, tetapi dengan cepat monster superior itu melancarkan serangan padanya. Monster : "DASAR SERANGGA, BERANI SEKALI KAU MENGHALANGI JALANKU DAN MENCOBA UNTUK MENGANCAMKU. HA HA HA HA HA."
Serangan yang sama dengan serangan yang telah membuat cangkang tubuh bagian belakangku terluka. Serangan Monster superior tersebut mengakibatkan therwelu jantan yang menghadangnya tadi terlempar jauh dan terluka parah. Pada papan statusnya aku melihat HP therwelu tersebut sudah mencapai 0 point. Ternyata sekali saja monster itu melakukan serangan, therwelu jantan tersebut telah mati.
Therwelu betina menggeram marah, kemudian melompat dan berusaha menendang monster superior tersebut. Dengan cepat monster superior tersebut menangkap kaki therwelu betina itu. Therwelu betina terus meronta – ronta berusaha melepaskan kaki nya dari tangkapan monster superior.
Dari tempat aku bersembunyi. Sekali lagi aku melihat ada sesuatu yang aneh. Therwelu betina hanya menyerang menggunakan kaki nya, sedangkan kedua tangannya terus memegangi sekitar bagian perutnya. Seperti ada yang dia lindungi dari dalam perutnya tersebut.
Therwelu jantan yang tadi menyerangku, langsung berlari kearah monster superior tersebut. Dia melompat dan berusaha memukul wajah monster superior tersebut. Tetapi sialnya, serangannya tidak membuat monster superior tersebut bergeming sedikitpun. Dalam posisi tetap berdiri dan menahan tinju dari therwelu jantan, monster superior tersebut melemparkan tubuh therwelu betina. Lalu dengan sigap therwelu jantan menangkap therwelu betina. Kekuatan lemparan monster superior tersebut sangatlah luar biasa kuatnya. Sehingga, walaupun therwelu jantan berhasil menangkap therwelu betina. Therwelu jantan juga ikut terlempar dan keduanya jatuh bergelinding ditanah. Therwelu jantan segera bangkit dan memeriksa keadaan therwelu betina.
Dan untuk yang ketiga kalinya aku melihat lagi ada sesuatu yang aneh, mulai dari saat therwelu betina ditangkap hingga tubuhnya dilemparkan oleh monster superior tersebut. Therwelu betina selalu memegangi perutnya. Yang lebih aneh lagi, therwelu jantan yang menghampirinya pun ikut memegang perut therwelu betina, seolah – olah dia memastikan sesuatu yang berada diperut therwelu betina dalam keadaan baik – baik saja.
Therwelu jantan mengusap – usapken kepala serta wajahnyanya ke kening Therwelu betina, mirip seperti halnya seekor kucing yang sedang bermanja – manja dengan pasangannya ataupun majikannya. Sesaat setelah itu, Therwelu jantan bangkit dan memasang kuda – kuda. Kemudian dengan cepat Therwelu jantan berlari dan berusaha menyerang monster superior tersebut. Therwelu jantan memiliki Unique Skill High Speed ber Level 5, ditambah dia memiliki kemampuan Quick Attack ber Level 4. Perpaduan Skill ini membuat Therwelu jantan tersebut dapat bergerak dengan lincah dan melakukan serangan beruntun pada monster superior dengan kecepatan yang luar biasa.
Pertarungan sengit pun terjadi. Selagi mereka bertarung. Dari semak – semak aku bertanya pada Kia.
"Kia, aku melihat ada yang aneh dari tadi?"
System Kia : "maaf tuan, saat ini saya dalam keadaan tidak dapat menjawab pertanyaan anda."
"aku yakin, kau pun pasti sudah mengetahuinya kan?"
System Kia : "sekali lagi maafkan saya tuan, saya sedang berkonsentrasi untuk mencari tahu dimana arah pintu dungeon."
Mendengar ucapan kia, akupun hanya diam dan memperhatikan pertarungan monster superior dan Therwelu Jantan.
Pertarungan antara Therwelu Jantan dan monster superior tersebut berlangsung sengit, semakin lama gerakan therwelu jantan semakin cepat. Semua serangan yang dilancarkan monster superior tersebut selalu saja dapat dihindari oleh therwelu jantan.
Dan setiap kali therwelu jantan menghindari serangan monster superior itu, therwelu jantan juga langsung melancarkan serangan balasan bertubi – tubi yang tepat mengenai luka cakar pada tubuh monster superior itu. Terlihat monster superior tersebut semakin kesal dan mulai menggeram akibat merasakan sakit dari lukanya yang diserang oleh therwelu jantan.
System Kia : "Tuan, saya sudah mengetahui dimana arah menuju dungeon. Sebaiknya anda segera bergerak kearah kanan anda."
"tetapi kia, bagaimana dengan para therwelu itu."
System Kia : "tuan, monster superior itu sangatlah kuat. Tidak ada yang bisa anda lakukan sedikitpun untuk melawannya. Apalagi saat ini anda sedang terluka parah."
"Tapi… Tapi kia."
"Therwelu betina itu sedang memiliki bayi dikantung perutnya kan?"
System Kia : "tuan, saya tahu anda memang memiliki hati yang sangat baik, akan tetapi kebaikan hati anda hanya akan membuat anda celaka lagi kali ini. Anda belum cukup kuat untuk membantunya. Ini juga bagian dari hukum alam, yang kuat memangsa yang lemah. Dan yang lemah memakai akalnya untuk bertahan hidup."
"......" sekali lagi aku terdiam mendengar jawaban dari kia.
"MAAFKAN AKUUU KALIAAAN SEEEMUUUAAAA." Aku berteriak lalu dengan berat hati mencoba bergerak meninggalkan mereka dan menuju arah dungeon yang tadi ditunjukkan kia.
System Kia : "tuan, tetaplah tenang dan perhatikan luka anda. Dengan kecepatan seperti ini, setengah jam lagi anda akan sampai di dungeon."
Aku terus bergelinding menuju dungeon dengan pikiran yang mulai berkecamuk, bingung dan terasa sesak didadaku.
Sekilas aku teringat kejadian dimasa lalu, kejadian dimana aku yang lemah tak mampu sedikitpun menyelamatkan seorang gadis kecil. Gadis itu dalam keadaan sakit parah, tubuhnya lemah dan tidak berdaya tidur dipangkuanku. Pada saat itu aku tidak sanggup melakukan apapun untuk menolongnya. Sehingga gadis tersebut meninggal tepat dipelukanku.
Mengingat kejadian itu membuat tubuhku tiba – tiba terhenti. Sesaat kemudian pikiranku mengarah pada bayi didalam kantung perut therwelu betina. Bayi tersebut tidak bersalah dan dia lemah, timbul perasaan bersalah dihatiku karena menjebak monster superior kearah para therwelu tersebut.
"Kia. Maafkan aku." Lalu aku bergelinding kembali kearah tempat yang tadi kugunakan untuk bersembunyi.
System Kia : "tuan, apa yang akan anda lakukan sekarang?"
"tenanglah kia. Aku sedang memikirkan sebuah rencana."
Dari tempat persembunyian, aku melihat monster besar tersebut masih terus bertarung dengan Therwelu jantan. Namun sepertinya Therwelu Jantan sudah mulai kelelahan. Kecepatannya semakin berkurang.
Aku menghentikan Slime Guard lapisan pertama dan kedua. Dan aku membiarkan slime guard lapisan ketiga yang menutup luka ku untuk tetap aktif. Kemudian aku mencoba menyerap seluruh energi mana hingga penuh, lalu menggunakan 240 point MP ku untuk memperkuat serangan dan ketahanan pada tubuhku.
Monster : "KALI INI KENA KAU."
"TIIIDAAAAKKK." Teriakku dari balik tempat persembunyianku.
Ternyata monster superior tersebut berhasil menyerang therwelu jantan. Sehingga therwelu jantan itu terlempar kembali dekat dengan Therwelu betina. Syukurlah, aku melihat pada papan status therwelu jantan HP nya (Darah) masih tersisa 60 point lagi. Terdapat luka cakar pada Therwelu jantan tersebut, walaupun begitu dia menahan luka dengan tangannya dan tetap berusaha untuk berdiri dan dibantu oleh therwelu betina yang langsung menghampirinya.
Monster superior tersebut berjalan mendekati Therwelu jantan dan betina dengan sangat kesal. Dan ketika monster superior itu berusaha menyerang, aku langsung mengaktifkan kemampuan Shooting seed dan segera mengarahkan serangan ku pada satu titik dipundak bagian belakang monster superior, dimana letak jalur energi MANA mengalir melalui wadah MANA nya menuju sekitar tangan monster superior tersebut.
Monster superior tersebut gagal melakukan serangannya karena titik aliran Mana nya tertutup akibat serangan ku tadi, dan tangan kanannya pun juga tiba – tiba lemas.
Sepertinya monster superior tersebut tidak mampu lagi untuk mengangkat ataupun menggerakkan tangan kanannya. Aku merasa kalau kali ini aku benar – benar beruntung, karena seranganku tadi bukan hanya menutup titik energi Mana miliknya tetapi juga mengakibatkan dislocation (dislokasi) pada pundaknya. Sehingga dia tidak dapat menggunakan lagi tangan kanannya untuk menyerang.
Monster : "MAKHLUK KECIL SIALAN. BERANI SEKALI KAU MENYERANGKU."
Lalu monster tersebut mencoba menyerangku dengan tangan kiri nya. Dan sekali lagi aku beruntung, mungkin karena monster superior tersebut lebih sering menggunakan tangan kanannya untuk menyerang. Jadi, ketika dia menggunakan tangan kirinya, gerakan tangan kirinya lambat sehingga aku dapat menghindari setiap serangannya.
"he he he he"
"ups gak kenak."
"eits. Ha ha ha ha"
"ayo coba lagi."
Aku semakin terbiasa menghindari serangan monster superior tersebut. Dan entah kenapa aku jadi mulai tidak takut padanya, malah aku seperti sangat menikmati pertarunganku dengannya. Walaupun kenyataannya aku hanya terus menghindari dan membuatnya terus mengikutiku.
System Kia : "tuan. Kenapa anda tertawa?"
"hah?"
"oh iya, maaf kia. Aku terbawa suasana. He he he he"
System Kia : "tuan selanjutnya apa yang anda rencanakan?"
"pertama. Aku akan membuat simonster menjauh dari para therwelu terlebih dahulu kia."
"dan kedua aku akan membuat monster superior ini agar terus mengkutiku."
"kemudian terakhir aku akan memancingnya menuju dungeon."
"kau paham dengan rencanaku kan kia?"
System Kia : "hmmmmm. Saya sudah paham tuan, berarti kali ini anda berencana memancingnya mendekati dungeron agar dungeon aktif dan menangkap monster superior ini."
"yaps, kau benar sekali kia."
"kia perhatikanlah muka kesalnya itu. Kelihatannya lucu juga ya?"
System Kia : "saran tuan. Sebaiknya anda tetaplah berhati – hati."
"oke kia."
Setelah kami berdua semakin jauh dengan para therwelu. Kemudian aku membalikkan badanku dan mengaktifkan kembali 2 lapis Slime Guard.
Ternyata baru kusadari, ketika Slime Guard diaktifkan, kemampuan mana manipulation milikku tetap dalam kondisi aktif bahkan semakin menambah kekuatan lompatan dari jelly slime guard milikku.
System Kia : "tuan, sebaiknya anda berhenti bermain – main. Kita harus segera menyembuhkan luka anda secepatnya. Saran saya anda bergelinding agar segera cepat sampai ke dungeon."
Mendengarkan saran kia, kemudian aku membalik badanku kearah dungeon berada. Lalu kami kembali melakukan kejar – kejaran lagi.
Selama 24 menit aku bergelinding. Dan ternyata posisiku yang sedang dikejar monster superior tersebut berada tepat diatas bukit. Dari bawah kaki bukit hingga pintu dungeon berjarak kurang lebih 2 meter. Aku berpikir kalau aku sudah hampir sampai pada zona aman. Jadi, tanpa pikir panjang lagi aku terus bergelinding turun dari bukit tersebut.
"Uwaaaaaaahhhhh, wah, wah waaaaaaa..."
Aku berteriak menahan setiap benturan bebatuan. Beruntung Slime Guard melindungiku. Jadi walaupun darahku ada yang keluar sedikit, tetapi benturan tersebut tidak membuat lukaku semakin melebar.
"Tinggi juga bukit ini." Gumamku.
Aku mencoba bangkit dan melihat kearah atas bukit tempat aku tadi terjatuh. Monster superior tersebut terhenti ditepi bukit. Melihatku dengan mata merahnya yang membara.
"ha ha ha. Aku selamat. Beruntung nya aku."
"HOOOOIII….. KAU TAKUT UNTUK TURUN YA?"
"UDAH DULU KEJAR – KEJARANNYA YA?"
"PULANG SANA, BESOK KITA MAIN – MAIN LAGI."
"HA HA HA HA HA HA HA."
Merasa telah aman, aku kembali meledek monster superior yang terus memperhatikanku dari atas bukit. Setelah puas, aku berbalik dan melompat – lompat menuju dungeon. Akan tetapi....
"(JEDDUAAAAAAARRRR)"
Terdengar suara dentuman yang kuat, seperti ada sesuatu yang terjatuh dari atas bukit. Aku terdiam sejenak, berharap itu bukan monster superior yang lompat turun dari bukit. Melainkan batu atau sesuatu yang dilemparkan oleh monster superior tersebut. Dengan sedikit takut, perlahan aku memutar badanku. Dan sialnya aku, si monster ternyata sudah berada tepat dibelakangku.
Monster : "HA HA HA HA HA HA HA KENAK KAU MAKHLUK KECIL"
Tangan kirinya menyerangku dengan sangat kuat. Terlalu kuatnya serangan monster tersebut, sehingga perisai jelly lapisan pertama milikku koyak dan perlahan mulai menghilang.
"uuuugggghhhh..." rintihku.
System Kia : "tuan. Anda baik – baik saja."
"ya, tenang saja kia. Aku tidak apa – apa. Dan luka ku pun tidak bertambah parah."
Aku mencoba untuk lompat dan dengan sigap berdiri, aku pun berusaha agar tetap tenang serta memperhatikan setiap arah serangan monster superior tersebut. Syukurlah aku masih dapat menghindari setiap serangannya. Walaupun begitu, tetap saja aku mulai merasa sedikit panik. Karena aku sudah merasakan staminaku sepertinya sudah hampir sampai batasnya.
"kia, bukan kah jarak ini sudah terlalu dekat dengan dungeon?"
System Kia : "benar tuan. Dan seharusnya dengan jarak ini dari dalam pintu dungeon akan keluar ….."
Sebelum kia menyelesaikan ucapannya, dengan cepat dari belakang kami muncul bayangan tangan yang besar menangkap tubuh monster superior tersebut.
Tangan bayangan yang berasal dari dalam dungeon sepertinya berusaha menarik monster superior tersebut. Tetapi anehnya, tangan bayangan itu seolah – olah tidak sanggup menarik monster superiornya.
Terlihat dari kaki monster superior yang menahan tubuhnya dan perlahan monster superior itu berjalan mundur lalu dengan mengumpulkan Energi ditangan kirinya hingga memancarkan cahaya kemerahan, monster superior itu mencakar tangan bayangan tersebut.
Aku terpaku, dan mulai merasakan dingin serta ketakutan. Dengan jelas aku melihat tangan bayangan yang menarik monster superior dari dalam dungeon tersebut hancur hanya dengan sekali cakar.
Kali ini aku benar – benar merasa sangat kalut. Aku berusaha bergelinding menuju pintu dungeon. Ketika aku sudah melihat pintu dungeon, si monster besar berhasil mengejarku dan menangkapku. Cengkraman tangannya sangatlah kuat. Sehinga jelly lapisan kedua milikku pun pecah.
Aku menggunakan kemampuan bergelinding ditangan monster superior tersebut. Dan tubuhku pun berputar – putar digenggamannya. Aku juga melompat – lompat meronta berusaha lepas dari genggamannya. Tetapi semua usahaku tidak ada yang berhasil, dan genggaman monster superior itu pun sama sekali tidak mengendur sedikitpun. Pikiranku mulai kembali panik lagi.o o o o o Namun, ternyata keberuntungan masih memihak kepadaku. Dari dalam gua dungeon muncul 2 buah tangan bayangan yang langsung menangkap kedua lengan si monster. Akibat dari rasa sakit ditangan kanannya, dengan reflek monster tersebut melepaskanku dan mengerang kesakitan.
Aku melompat menjauhkan diri dari monster superior tersebut, aku melihat monster superior tersebut mencoba berusaha menahan tubuhnya agar tidak dapat ditarik kedua tangan bayangan yang muncul dari dalam pintu dungeon. Monster superior tersebut mencoba menggigit tangan bayangan yang disebelah kanannya. Dari jarak yang sedikit menjauh, aku mencoba menyerang monster superior dengan shooting seed.
Target ku adalah titik aliran energi Mana pada bagian tangan kirinya. Namun sayang sekali, seranganku gagal total. Monster tersebut mengepalkan tangannya dan memukulku ketika seranganku sudah hampir sampai.
Ternyata, disaat sedang berusaha melepaskan dirinya dari kedua tangan bayangan pun monster superior itu masih bisa melihat aku yang berusaha menyerangnya, bahkan dia dapat membalas seranganku tersebut.
Ini lah perbedaan pengalaman bertarungku dengan monster superior tersebut. Aku mulai putus asa dan mengambil inisiatif cepat untuk bergelinding masuk kedalam gua menuju pintu dungeon.o . o o o o Setelah masuk didalam gua pintu dungeon, aku mendengar langkah kaki yang kuat. Dan dari balik batu besar aku mencoba mengintip kearah pintu masuk gua.
"oooohhhh, sial. Ternyata dia berhasil lepas lagi dari kedua tangan tersebut." Gumamku.
Monster : "WAH WAH WAH, KALI INI KAU MAU MAIN PETAK UMPET YA?"
Monster : "AYOLAH MAKHLUK KECIL, BERHENTI MAIN – MAINNYA."
Monster : "KAU PIKIR DUNGEON INI BISA MENANGKAP KU HAH?"
Monster : "KAU MEREMEHKAN AKU YA?"
Monster : "KELUAR KAAAAUUUU…."
Monster tersebut semakin ganas. Aku jadi teringat sebuah kemampuan Bersek yang terdapat pada seekor monster didalam game yang dulu pernah aku mainkan. Kemampuan ini akan meningkatkan serangan dengan membuat monster dalam mode ganas dan marah. Semakin besar amarahnya semakin besar pula serangannya.
"jangan – jangan dia berada dalam mode Berserk (mengamuk)."
"aku telah melakukan kesalahan yang fatal kali ini. Habis lah aku." Sekali lagi aku bergumam karna panik.
Monster superior tersebut perlahan masuk kedalam gua dan menghancurkan semua gundukan bebatuan yang berada disekitarku.
Disaat dia mencoba menghancurkan gundukan bebatuan tempatku bersembunyi, aku lompat sekuat tenagaku berusaha menghindar dari dampak serangannya.
Monster : "HE HE HE HE HE HE. KETEMU JUGA KAU."o o o o o Posisiku berdiri tepat membelakangi pintu dungeon, dan lagi – lagi aku benar – benar dikasih kesempatan.
Kali ini 5 buah tangan bayangan muncul dari pintu dungeon dan mencoba menangkap monster superior tersebut. Tangan – tangan tersebut tak mampu melilitnya, sehingga tangan – tangan tersebut menangkap kepala serta kedua tangan dan kedua kaki monster superior itu.
Aku merasa ragu dengan semua tangan bayangan tersebut. Lalu dengan sigap aku menyerap energi Mana disekelilingku hingga penuh dan langsung menghabiskannya untuk memperkuat tubuhku.
"ini pertaruhan terakhirku."
Aku mengaktifkan shooting seed serta mencoba membuat putarannya semakin kencang. Targetku adalah luka cakar yang berada tepat didada si monster. Aku pun melihat dengan Mana pada mataku bahwa terdapat energi besar dari monster superior tersebut yang berada disekitar dadanya.o o o o o Aku mulai melancarkan serangan, dan ketika tubuhku yang berputar mulai mengenai dadanya. Aku terus mempercepat putaranku. Aku teringat akan mesin Bor yang dapat menjebol dinding padahal ujungnya tidak terlalu tajam. Yang terpenting adalah kekuatan putarannya. Dan aku berharap kejadian kali ini sama seperti saat melawan Slime. Aku berusaha terus – terusan berputar dengan kuat. Lalu akupun mendengar monster superior tersebut mulai mengerang kesakitan.
Kemudian disaat suara monster superior itu tiba – tiba berhenti. Tangan – tangan bayangan melepasnya dan kembali ke dalam pintu dungeon. Seranganku pun juga ikut berhenti karena aku sudah sampai pada batas milikku.
Aku mulai terjatuh berguling – guling ditanah, dan akupun langsung mencoba untuk berdiri lalu melihat kearah monster superior itu. Berharap aku telah berhasil membunuhnya. Dan disaat aku melihat wajah dan tepat sampai dimatanya.
"OH SIIIAAAAALLLLL." Teriakku dengan sangat kuat.
BERSAMBUNG
"MELAKUKAN 1 KEBAIKAN AKAN MEMBERIKAN 1000 KEBAIKAN. JANGAN LUPAKAN ITU."
CHAPTER 7 : PERTUMBUHAN BAGIAN 1
aku berharap kejadian kali ini sama seperti saat melawan Slime. Aku berusaha terus – menerus berputar dengan seluruh kekuatanku yang tersisa. Dan aku mulai mendengar monster superior tersebut mengerang kesakitan.
Kemudian disaat suara monster superior itu tiba – tiba berhenti. Tangan – tangan bayangan melepasnya dan kembali ke dalam pintu dungeon. Seranganku pun juga ikut berhenti karena aku sudah sampai pada batas kekuatanku.
Selanjutnya aku mulai terjatuh berguling – guling ditanah, dan akupun langsung dengan sigap mencoba untuk berdiri lalu melihat kearah monster superior itu. Berharap aku telah berhasil membunuhnya.
Dan disaat aku melihat wajah monster superior tersebut dan tepat sampai dimatanya.
"OH SIIIAAAAALLLLL!!!!!" Aku berteriak dengan sangat kuat sambil berusaha menggelinding menjauhi monster superior tersebut.
"hah, hah, hah (ngos - ngosan). Syukurlah. Aku berhasil membunuhnya."
"Untung saja aku masih dapat bergerak dan cepat - cepat menghindarinya."
"Kalau terlambat sedikit saja pasti tubuh monster superior yang besar ini akan menimpahku." gumamku yang lega karena telah berhasil mengalahkan seekor monster superior.
"uuuuuukkkkhhhh, aduuuh…." Aku mulai kembali merasakan sakit dibelakang tubuhku yang sebelumnya terluka akibat serangan monster superior itu, dan Slime Guard yang dari tadi aku gunakan khusus untuk menutup lukaku ternyata telah menghilang. Darahku mengalir keluar terus menerus.
"UWAAAAAAAAAAHHHHH!!!!" lalu tiba – tiba aku menjerit sekuat - kuatnya karena pada bagian cangkang tubuhku yang terluka tersebut, aku merasakan sakit serta panas seperti terbakar bara api.
Kucoba menahan rasa sakitnya dan mengeluarkan kembali slime guard untuk menutupi lagi luka tersebut, tetapi slime guardnya tidak ada yang muncul. Lalu kemudian dari luka tersebut keluar rumput jalar dan akar yang perlahan merambat menutupi seluruh tubuhku.
"(KRETAAK, KRUUTAAK, KROTAAK.)" Terdengar suara retak disetiap cangkang tubuhku dibarengi dengan rumput jalar dan akar yang masih terus merambat menutupi tubuhku.
Rasa sakitnya benar - benar sangat luar biasa. Aku terus berteriak kuat tanpa henti. lalu aku merasakan perlahan – lahan kesadaranku mulai menghilang, dan sebelum aku benar – benar kehilangan kesadaranku. Sayup – sayup aku mendengar suara Kia berkata.
Sistem Kia : "SELAMAT TUAN. ANDA TELAH NAIK LEVEL DAN BERHASIL EVOLUSI."
Setelah mendengar suara kia tersebut. Akar dan jalar rumput yang keluar dari tubuhku mulai menutupi pandanganku. Dan semuanya kembali menjadi gelap.
o
o
o
o
o
Sekali lagi aku merasakan suatu hal yang membuatku terasa sangat nostalgia dengan perasaan ini.
"(ini, sepertinya aku mengalami perasaan deja vu.)"
"(aaaahhhh, tidak, tidak. ini bukan deja vu, melainkan aku memang pernah berada dalam situasi seperti ini.)"
("Ruangan yang sama gelapnya dengan saat pertama kali aku direinkarnasikan.)"
"(tempat yang terasa dingin dan sunyi.)"
"(Tubuhku yang sepertinya melayang – layang diruangan ini.)"
"(ya. ini kejadian yang benar - benar sama persis.)"
aku mulai menggumam didalam pikiranku. berbicara sendiri tanpa adanya suara ataupun orang yang akan mendengarku. lagi - lagi dan selalu saja aku merasakan hal seperti ini.
Sistem Kia : "Selamat datang kembali di alam pikiran anda tuan. Silahkan buka mata anda."
Sekali lagi aku mendengarkan suara kia yang selalu saja tak pernah berhenti mengucapkan kata selamat nya padaku, dan kemudian aku mencoba membuka mataku perlahan - lahan.
Selanjutnya aku tidak lagi berada diruangan yang dingin dan gelap tadi, melainkan ruangan serba putih yang sejuk dan hangat.
"aaaahhh, kia. Apakah aku mati lagi?"
"ini kah yang namanya jalan menuju surga kia??"
Sistem Kia : "tidak tuan, anda belum mati dan ini bukan lah jalan menuju kesurga. Tempat ini adalah alam pikiran anda, lebih tepatnya sekarang kita berada didalam inti kehidupan milik anda. sebelumnya saya sudah pernah mengatakan kepada anda bahwa setiap makhluk hidup yang ada didunia listdum ini memiliki inti kehidupan yang disebut dengan CORE. baik itu monster sampai tumbuhan, hingga manusia atau makhluk yang disummon (panggil) atau direinkarnasikan pun akan memilikinya, begitu juga anda. ketika anda direinkarnasikan, CORE akan muncul didalam tubuh anda."
Sistem KIA : "tuan, saat ini anda sedang dalam fase berevolusi. Dan diluar (dunia listdum), tubuh anda sedang direkonstruksi ulang. Jadi, nanti ketika anda bangun tubuh anda akan berubah dan berkembang bukan lagi dalam bentuk biji."
Sistem Kia : "Sekarang tuan, kenapa anda tidak mencoba untuk berdiri? Atau anda lebih senang tiduran seperti itu?"
"hah. Berdiri?" tanyaku heran dengan perintah kia.
Baru kusadari, ternyata didalam ruangan serba putih tersebut aku tidak lagi berbentuk biji pohon dunia, melainkan tubuh manusiaku seperti saat didunia sebelumnya. Setelah Menyadari hal tersebut perlahan aku mencoba untuk berdiri.
"ini tanganku." Aku mengangkat tanganku, menggenggam dan menggerakkannya ke atas ke bawah.
"ini wajahku." Dengan tanganku, aku menyentuh rambut hingga wajahku.
"ini kaki ku." Aku juga mengangkat kakiku, berjalan, berlari, lompat dan mencoba menendang didalam ruangan serba putih tersebut.
" ini tubuhku." Aku pun juga menyentuh tubuhku dari dada hingga kaki.
"tapi….. tunggu dulu."
"hei, kia. Kenapa aku telanjang seperti ini?"
Baru aku sadari, ternyata dari tadi tidak terdapat Benang sehelaipun yang menutupi tubuhku.
Sistem Kia : "tidak perlu malu tuan, didalam ruangan ini yang ada hanyalah anda. Jadi, anda tenang saja."
"tapi kau kan wanita kia?"
Sistem Kia: "ehehehe. anda benar sekali. saya adalah roh yang berkelamin wanita. jadi anda bisa tenang."
"APAAN DENGAN JAWABANMU ITU."
"JUSTRU KARENA ITU AKU JADI TIDAK BISA TENANG." Teriakku.
Sistem Kia : "baiklah tuan, saya rasa kita sudahi dulu main – mainnya. Dan sekarang kita kembali ke topik yang sangat penting."
Sistem Kia : "tuan, anda telah berhasil mengalahkan monster superior dengan tubuh masih dalam fase 0. Berkat itu anda telah mendapatkan 999.999.999 Exp. anda dapat melihatnya dipapan status milik anda."
Belum sempat aku mengatakan OPEN STATUS, ternyata papan statusnya langsung muncul dihadapan ku.
_________________________
STATUS
Name : ALZAM AZTON
Titles : [The Reincarnated]
[Seed of The World Trees]
[The Luckiest]
[Superior Killer]
[The Kindness]
[The Careless]
Evolution : Fase 1
SP : 100
Species : Plant
Ras : -
Level : 0 / 0
EXP : 999.999.999 / 0
HP : 450 / 450
MP : 360 / 360
[STR : 96] [INT : 98] [STA : 93 ]
[AGI : 90] [DEF : 92] [SPD : 95]
[DEX : 90] [LUK : 92] [RES : 98]
[MAG : 91] [WEIGHT : 15]
◄ ►
_________________________
Sistem Kia : "tuan, ini adalah tampilan Menu Status terbaru milik anda. Sekarang anda dapat meningkatkan setiap status anda secara manual. Walaupun begitu, status anda akan tetap memiliki batas penambahannya."
Sistem Kia : "Anda juga dapat melihat ada menu tambahan yaitu SP (Skill Point). SP adalah point yang dapat digunakan sebagai alat tukar untuk menambahkan status ataupun kemampuan, misalkan jika anda ingin menambahkan STR/Strenght (Kekuatan) sebanyak 1 point akan mengurangi SP milik anda sebanyak 10 Point."
"Hmmm, ini juga mirip sekali seperti didalam game."
"oke kia, untuk hal ini kurang lebih aku sudah paham karena aku pernah melihatnya."
"Tetapi kenapa dipapan status ini Level dan batas Exp ku 0 point?"
Sistem Kia : "tuan, saat ini anda sedang dalam masa berevolusi. Jadi, pembatasan belum dapat ditentukan. Karena pembatasan akan muncul sesuai dengan kekuatan dan kemampuan - kemampuan yang anda miliki nanti setelah selesai berevolusi. begitu juga level anda direset kembali menjadi nol, karena pembatasnya masih belum dimiliki."
Sistem Kia : "dan satu hal lagi tuan, Sistem Kia telah mendapatkan fitur baru yaitu Converting EXP to SP. Yang berarti Sistem Kia dapat mengubah EXP menjadi SP dan begitu juga sebaliknya."
Sistem Kia :"Seperti yang telah saya katakan sebelumnya. Anda telah mendapatkan 999.999.999 EXP karena telah berhasil membunuh monster Superior dalam keadaan masih berbentuk fase 0 atau bayi. Apakah anda ingin Mengubahnya menjadi point SP atau tidak?"
"wah, ternyata bisa juga seperti itu ya?"
"tunggu dulu Kia, aku ingin memikirkannya terlebih dahulu."
"Hmmmmmmm, dengan EXP sebanyak itu kalau aku tetap membiarkannya dalam bentuk EXP, pasti aku nanti akan langsung naik level dan bisa jadi berevolusi lagi ke fase 2 atau fase 3."
"tetapi tidak ada jaminan kalau status milikku nantinya akan menjadi sangat kuat dan tentu saja aku tidak mau kejadian yang sama terulang kembali jika aku nanti ketemu lagi dengan monster yang lebih kuat dariku."
"lagipula kemampuan yang nanti bakalan aku dapatkan dengan naik level pastinya random serta aku khawatir jika nanti kemampuanku tidak memiliki manfaat atau memiliki resiko yang berbahaya lagi."
"jadi, aku rasa SP akan lebih bermanfaat, karna aku dapat meningkatkan seluruh statusku dari sekarang dan tak perlu menunggu naik level."
"lagian EXP dapat aku cari nanti dengan memburu monster yang superior lagi."
"karena, aku memiliki title Superior Killer (Pembunuh Superior) yang memberikanku efek berupa, peningkatan pada setiap seranganku yang akan bertambah berkali lipat ketika bertarung dengan monster superior. efek pertambahan nya disesuaikan dengan jarak antara levelku dengan monster superiornya."
"jika aku berlevel 1 dan monster superior berlevel 2 maka seranganku akan naik 1 kali lipat nya. dan jika aku berlevel 1 dan monster superior berlevel 3 maka seranganku baik kecepatan dan kekuatan serangannya akan naik 2 kali lipat. begitu seterusnya."
"hanya saja, jika kejadiannya monster superior berlevel dibawah level milikku, seranganku tidak akan bertambah sama sekali, tetapi pertahananku meningkat 5 kali lipat. ini benar - benar title yang sangat berguna."
"Hmmmm, baiklah kia, aku sudah memutuskan untuk menukar seluruh point EXP ku menjadi SP."
Sistem Kia : "baik tuan. Untuk menukarkan SP 1 point sama dengan EXP 10 Point. Jadi SP yang yang akan anda dapatkan ialah 99.999.999 point dan 9 point akan tetap menjadi EXP. Apakah anda setuju dengan ini?"
"AKU SETUJU." Kataku dengan mantap.
Sistem Kia : "harap tunggu sebentar tuan...."
Sistem Kia : "Sukses tuan, SP anda telah ditambahkan sebesar 99.999.999. Silahkan anda bisa cek langsung dipapan status milik anda"
Benar saja, setelah aku periksa lagi dipapan status milikku, point SP ku sudah menjadi 100.000.099 point.
"kia bisa kah aku langsung menaikkan seluruh point statusku menjadi maksimal?" kata ku pada kia.
Dari awal, aku memang sudah berencana untuk menaikkan seluruh Point Strenght/STR (Kekuatan Fisik), Defense/DEF (Pertahanan Serangan Fisik), Resistance/RES (Kekebalan dari Serangan Sihir), Inteligence/INT (Pengetahuan), Speed/SPD (Kecepatan), Magic/MAG (Kekuatan Sihir), Stamina/STA (Batas Stamina), Dexterity/DEX (Ketangkasan saat menyerang), Agility/AGI (Kelincahan dalam menghindari serangan), Luck/LUK (Keberuntungan), seluruhnya hingga maksimal.
Sistem Kia : "bisa tuan, anda membutuh kan SP 2.089.738 point untuk meningkatkan seluruh status anda hingga maksimal. Tetapi ini hanya menambahkan status point, bukan menaikkan level kemampuan anda. Apakah anda setuju?"
"iya iya, gak masalah. Itu lebih dari cukup."
"tolong lakukan ya Kia?"
Sistem Kia : "selamat tuan, status point anda telah dinaikkan hingga maksimum keseluruhannya. Silahkan anda bisa lihat di papan status milik anda."
_________________________
STATUS
Name : ALZAM AZTON
Titles : [The Reincarnated]
[Seed of The World Trees]
[The Luckiest]
[Superior Killer]
[The Kindness]
[The Careless]
Evolution : Fase 1
SP : 97.910.361
Species : Plant
Ras : Seed
Level : 0 / 0
EXP : 9 / 0
HP : 999999 / 999999
MP : 999999 / 999999
[STR : 999] [INT : 999] [STA : 999]
[AGI : 999] [DEF : 999] [SPD : 999]
[DEX : 999] [LUK : 999] [RES : 999]
[MAG : 999] [WEIGHT : 48]
◄ ►
_________________________
"ini benar – benar keberuntunganku. Inikah rasanya jadi karakter OP (Over Power)?"
"Waa haa ha ha ha ha ha ha ha." Tawaku dengan sangat puas.
Sistem Kia : "aha ha ha ha. Saya juga senang kalau anda puas tuan."
"Kia. kata - katamu itu bisa jadi buat orang salah paham."
Sistem Kia : "disini hanya ada kita berdua tuan, tenang saja."
Sistem Kia : "baiklah, selanjutnya kita akan upgrade Skill anda tuan. Silahkan anda tekan tanda ► dibawah."
"ettto, kalau gak salah tombol yang ini kan?"
Aku menekan tombol yang berkedip – kedip dipapan status ku dan layarpun bergeser kearah kanan.
_________________________
Skills :
> Jump 1 : [Level 1]
> Rolling 1 : [Level 1]
> Hard Headbutt : [Level 1]
> Slime Shield [Level 1]
> Shooting Seed Harder : [Level 1]
New Skill →
◄ ►
_________________________
Setiap nama Skillku telahbberubah dan Levelnya juga kembali menjadi 1.
"Kia, nama kemampuanku dan levelnya kembali 1 apakah ini pengaruh evolusi."
Sistem Kia : "bukan tuan, terdapat beberapa kemampuan yang diawali mulai dari kemampuan paling dasar dan setelah mencapai level tertentu kemampuan tersebut pun berkembang sehingga nama kemampuannya juga ikut berubah. Walaupun Skill yang ditunjukkan pada papan status adalah skill perkembangan terakhirnya, tetapi skill sebelumnya tetap dapat anda gunakan. Coba anda klik satu saja skill milik anda."
"hmmmm, oke aku coba klik kemampuan Jump 1 yang ini." kemudian muncul layar baru yang menampilkan kemampuan jump beserta tingkatannya.
pada layar baru tersebut bukan hanya memperlihatkan nama kemampuannya saja, tetapi jika aku menekan nama kemampuannya akan muncul penjelasan, kegunaan, effek dan cara menggunakan kemampuan tersebut.
_________________________
SP : 97.910.361
Skills :
> Jump : [Level 5] (MAX)
> Jump 1 : [Level 1] ( )
> ???????????????
> ???????????????
> ???????????????
> ???????????????
> ???????????????
> ???????????????
← Back Next →
________________________
Sistem Kia : "nah tuan, anda bisa menaikkan level kemampuan dengan menekan tombol ( ) disebelah kemampuan yang belum maksimal levelnya, untuk menaikkan 1 level kemampuan dasar menghabiskan 20 point SP. Jika Kemampuan Jump 1 telah sampai di level Max, maka akan terbuka Kemampuan ketiga dari perkembangan Jump."
Aku pun mencoba menaikkan Jump 1 hingga Level MAX. ternyata Jump 1 akan maksimal levelnya jika sampai ke Level 10 berbeda dengan kemampuan jump yang maksimal dengan hanya 5 level.
_________________________
SP : 97.910.161
Skills :
> Jump : [Level 5] (MAX)
> Jump 1 : [Level 10] (MAX)
> Jump 2 : [Level 1] ( )
> ??????????????
> ??????????????
> ??????????????
> ??????????????
> ??????????????
← Back Next →
_________________________
"oooohhhh, jadi seperti ini cara kerjanya."
"Oh iya, Kia bisa kah kau menaikkan kemampuan jump milikku ini hingga maksimal seluruhnya?"
Sistem Kia : "bisa tuan. Untuk menaikkan kemampuan Jump keseluruhannya hingga level maksimal dikenakan 2.500 Point SP. Apakah anda setuju untuk menaikkan semuanya?"
"Sudah jelas lah kia, Pastinya Aku Setuju. Tolong lakukan ya kia?"
Sistem Kia : "baik tuan, akan segera saya laksanakan."
Sistem Kia : "Kemampuan Jump dan Pengembangannya telah berhasil dinaikkan levelnya. Silahkan bisa anda periksa di papan Skill Jump milik anda."
_________________________
SP : 97.907.661
Skills :
> Jump : [Level 5] (MAX)
> Jump 1 : [Level 10] (MAX)
> Jump 2 : [Level 15] ( MAX)
> Jump 3 : [Level 20] (MAX)
> High Jump : [Level 15] (MAX)
> High Jump 1 : [Level 20] (MAX)
> High Jump 2 : [Level 25] (MAX)
> High Jump 3 : [Level 30] (MAX)
← Back Next →
_________________________
"wah, SP ku masih tersisa 97 juta lebih lagi."
"hmmmmm, baiklah."
"Kia jika aku ingin menaikkan seluruh kemampuan dasarku hingga maksimal. Berapa SP yang harus aku keluar kan?"
Sistem Kia : "tunggu tuan, saya akan menghitungnya terlebih dahulu."
Sistem Kia : "tuan. Untuk menaikkan keseluruhan Kemampuan dasar yang anda miliki hingga maksimal akan dikenakan 13.200 point SP. Apa anda ingin melakukannya?"
"hanya mengurangi sedikit dari SP yang aku miliki, bahkan tidak sampai separuhnya yang berkurang. Aku benar – benar sangat beruntung." Gumamku.
"baik kia, aku akan menukarkan 13.200 point SP ku untuk menaikkan keseluruhan kemampuan dasarku sampai level maksimal." pintaku pada Kia.
Sistem Kia : "baiklah tuan, akan saya lakukan sesuai keinginan anda."
o
o
o
o
o
Sistem Kia : "Berhasil. Selamat tuan, anda telah mengembangkan seluruh kemampuan dasar anda hingga maksimal. Silahkan lihat dipapan status anda."
_________________________
Skills :
> High Jump 3 : [Level 30]
> Strong Rolling : [Level 20]
> Metal Headbutt : [Level 80]
> Slime Shield 5 : [Level 50]
> Shooting Seed Magic Bullets :
[Level 60]
New Skill →
◄ ►
_________________________
"ini sangat luar bisa."
"Seluruh kemampuan dasarku sudah berkembang ketingkat akhir dan semuanya berada di level maksimal."
"terima kasih Kia. berkatmu aku tak perlu repot-repot menaikkan kemampuanku satu persatu."
Sistem Kia : "saya sangat senang dapat membantu anda tuan."
Selanjutnya aku membuka Kemampuan Dasarku tersebut satu persatu untuk melihat keterangan dan penggunaan skillnya.
_________________________
SP : 97.894.461
Skills :
> Rolling : [Level 5] (MAX)
> Rolling 1 : [Level 10] (MAX )
> Rolling 2 : [Level 20] ( MAX )
> Rolling Faster : [Level 10] (MAX )
> Rolling Faster 1 : [Level 20] (MAX )
> Rolling Faster 2 : [Level 25] (MAX )
> Strong Rolling : [Level 20] (MAX )
← Back Next →
_________________________
_________________________
SP : 97.894.461
Skills :
> Headbutt : [Level 5] (MAX)
> Hard Headbutt :
[Level 25] (MAX)
> Strong Headbutt :
[Level 40] ( MAX)
> Rock Headbutt :
[Level 60] (MAX)
> Metal Headbutt :
[Level 80] (MAX)
← Back Next →
__________________________
__________________________
SP : 97.894.461
Skills :
> Shooting Seed :
[Level 5] (MAX)
> Shooting Seed Harder :
[Level 20] (MAX)
> Shooting Seed Faster :
[Level 30] (MAX)
> Shooting Seed 2 Bullets :
[Level 35] (MAX)
> Shooting Seed 6 Bullets :
[Level 50] (MAX)
> Shooting Seed Magic Bullets :
[Level 60] (MAX)
← Back Next →
_________________________
_________________________
SP : 97.894.461
Skills :
> Slime Guard : [Level 5] (MAX)
> Slime Shield : [Level 15] (MAX)
> Slime Shield 1 : [Level 25] (MAX)
> Slime Shield 2 : [Level 30] (MAX)
> Slime Shield 3 : [Level 35] (MAX)
> Slime Shield 4 : [Level 40] (MAX)
> Slime Shield 5 : [Level 50] (MAX)
← Back Next →
_________________________
Ada banyak perubahan dalam skill yang berkembang, mulai dari nama, kekuatan dan bahkan resiko beserta effek setiap kemampuannya juga berubah.
Seperti contohnya saja kemampuan Metal Headbutt yang merupakan kemampuan perkembangan akhir dari Headbutt. ketika aku akan mulai menyundul, kepalaku akan menjadi sekeras besi. Tetapi serangan ini akan down atau tidak dapat digunakan lagi selama 5 menit, artinya jika aku ingin melakukan serangan ini untuk kedua kalinya aku harus menunggu selama 5 menit lagi.
Untuk Strong Rolling dan High Jump juga memiliki Downtime yang effeknya mirip dengan Metal Headbutt. Hanya saja waktu downtime nya selama 1 menit.
Lalu untuk Shooting Seed hingga Kemampuan akhirnya Shooting Seed Magic Bullets juga tidak lagi memiliki effek akan mengurangi point HP ku dan juga tidak memiliki downtime.
Akan tetapi khusus Shooting Seed Magic Bullets memiliki syarat untuk menggunakannya, aku harus bisa menciptakan Peluru Biji (Bullet Seed) yang dimasukkan mantra sihir didalamnya. Jika aku tidak memiliki peluru biji tersebut maka kemampuan itu tidak dapat digunakan.
Sistem Kia : "sekali lagi saya akan menjelaskan kembali tentang Kemampuan Dasar yang kini telah anda miliki tuan. Kemampuan yang tertulis dipapan status adalah kemampuan yang tertingginya. dan anda tetap dapat menggunakan kemampuan sebelumnya."
Sistem Kia :"Contohnya jika anda tidak memiliki Magic Bullet Seed (Peluru Biji Sihir), tetapi hanya memiliki Bullet Seed (Peluru Biji) biasa. anda dapat menggunakan Kemampuan Shooting seed, Shooting seed harder, shooting seed faster dan lainnya."
Sistem Kia : "Begitu juga misalnya anda telah menggunakan kemampuan Metal Headbutt dan ketika terjadi Downtime selama 5 menit, anda juga masih bisa menggunakan kemampuan Headbutt yang lainnya."
"hmmmmm, sekarang aku sudah paham cara kerjanya. akan terus kuingat, jadi terima kasih ya kia?"
Sistem Kia : "sama - sama tuan. Lagipula ini memang sudah menjadi tugas saya selaku pemandu anda didunia ini. Untuk selanjutnya silahkan anda tekan tanda ► ini lagi pada papan status milik anda."
"tunggu dulu kia, bukankah tanda ini untuk menambahkan Kemampuan baru ya?" lalu aku menunjukkan tanda yang bertuliskan New Skill pada papan status.
"kenapa kita tidak ke sesi ini dulu saja?"
"karena aku ingin tahu kemampuan baru apa saja yang dapat aku miliki." kataku dengan antusias yang tinggi.
Sistem Kia : "sebaiknya tuan mendengarkan dulu tutorial dari saya hingga selesai secara bertahap. Karena setiap sesi yang saya ajarkan sudah sesuai dengan urutan. Bukankah sebelumnya pun anda sudah berjanji akan selalu mendengarkan saya?"
"huuuuummm, iya deh iya." Akupun mengurungkan keinginanku karena telah berjanji untuk mendengarkan apa yang Kia katakan.
Bersambung
"KEGAGALAN TERJADI KARENA TERLALU BANYAK MIMPI NAMUN SEDIKIT REALISASI. JADI BANGKITLAH UNTUK MENGEJAR MIMPI – MIMPIMU."
Description: Dharma seorang pria paruh baya yang telah kehilangan perusahaan milik ayahnya terpaksa harus mengamen untuk mencari makan. Namun pada saat perjalanannya pulang kerumah, dia terbunuh karena berusaha menyelamatkan 2 orang wanita dari preman – preman jalanan. Akibat perbuatan baiknya, dia pun diizinkan bereinkarnasi ke dunia lain bernama Listdum. Dunia yang dipenuhi sihir, dungeon, monster dan konflik antar ras. Bagaimanakah kisah kehidupan baru Dharma yang mengganti namanya dengan Alzam didunia fantasy tersebut? Akankah dia menjadi pahlawan atau hanya ingin hidup bebas tanpa terikat apapun dengan dunia Listdum?
|
Title: Rumah Katamu
Category: Cerita Pendek
Text:
CHAPTER 1
Namaku Kia, Kiara Pramesti. Seorang gadis kecil yang kini mengenakan seragam putih biru dan selalu bermimpi menjadi seorang penulis besar.
Matahari sedang gencar-gencarnya memancarkan sinarnya. Pohon rindang di area sekolah menjadi penolong terbaik untuk saat ini. Aku memilih duduk di salah satu bangku di seberang lapangan sembari menunggu seseorang. Tidak lupa dengan buku kecil berwarna pink yang selalu kubawa. Aku suka menulis sesuatu yang selalu tiba-tiba terlintas di kepala menjadi sebuah cerita singkat.
“Kiara.” Teriak seseorang dari seberang lapangan.
Aku menoleh dan melambaikan tangan kananku, “Heii!!”
Ia pun bergegas menghampiriku. Sesampai dirinya di hadapanku ia langsung berkata, “Lima menit lagi ke lapangan ya. Anak-anak yang lain udah pada ganti baju.”
“Oke.” Ucapku mengacungkan jempol. Aku memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas kemudian bergegas menuju ruang ganti.
Hari ini adalah hari sabtu dan kegiatan rutin yang harus kujalankan sepulang sekolah adalah berlatih pramuka. Aku memang aktif pada ektrakurikuler ini sejak awal masuk sekolah.
Seseorang yang memanggilku tadi ialah Andini, sahabatku sejak duduk dibangku sekolah dasar. Pertemuan kami berawal dari perkemahan kabupaten. Kami mewakili sekolah yang berbeda dan bertemu dalam satu regu baru. Beruntungnya kami kembali bertemu saat penerimaan siswa baru di sekolah menengah pertama.
“Kali ini siapa yang mimpin latihan?” Tanyaku pada teman-temanku di depan ruang ganti.
“Kak Adhit sih kayaknya.” Sahut salah seorang temanku.
Latihan rutin yang dimaksud adalah latihan baris berbaris, semaphore, dan sandi morse serta dikombinasikan di lapangan. Tiga bulan lagi akan ada ajang kompetisi kepramukaan di tingkat kabupaten. Tentu semua dari kami menyambutnya dengan sangat excited. Namun sayangnya,
“Kompetisi tingkat kabupaten kali ini tidak hanya sekolah kita yang mewakili kecamatan, namun juga berkolaborasi dengan sekolah tetangga,” Tegas Pembina pramuka di sekolahku beberapa hari yang lalu, “Latihan gabungan akan dilaksanakan hari sabtu minggu depan untuk memilih siapa saja yang akan mewakili untuk maju dalam kompetisi itu.”
Walau begitu, latihan rutin setiap hari sabtu tetap dijalankan bagi seluruh anggota ektrakurikuler pramuka di sekolahku. Kali ini, latihan rutin berlangsung cukup singkat, dan disambung dengan latihan gabungan bersama sekolah tetangga. Kami menyambut kedatangan mereka dengan seruan salam pramuka.
“Selamat datang di sekolah kami.” Ujar Kak Adhit sebagai ketua umum di Dewan Kehormatan Galang (DKG) sekolah. Tidak lupa ia menjabat tangan ketua dari sekolah tetangga untuk memperkenalkan diri,
“Saya Adhitya ketua umum DKG di sekolah kami, dan sebelah saya adalah Kiara, sekretarisnya.”
Aku yang disebut namanya pun berusaha menampilkan senyum terbaik seraya mengangguk. Sosok yang disambut oleh Kak Adhit juga melakukan hal yang sama denganku. Setelahnya, dilakukan diskusi informal sebelum latihan gabungan dilaksanakan.
Kegiatan hari ini berlangsung dengan baik dan sesuai dengan harapan. Aku pun menyempatkan diri menuliskannya di buku pinky sebelum bergegas pulang. Bodohnya diriku yang melupakan bahwa hari sudah petang dan aku tidak membawa sepeda. Kalau seperti ini aku biasanya mengandalkan angkot di jalan depan sekolah, namun angkot terakhir hanya datang pukul 3 sore dan sekarang hampir pukul 6 petang.
Aku berjalan menuju gerbang sekolah seorang diri, mencoba berpikir positif. Aku mendengar suara motor mendekat ke arahku yang membuatku spontan menoleh.
“Mau bareng?” Tawar si pengendara to the point.
Aku tersenyum, “Tidak perlu. Terimakasih tawarannya”
“Tidak akan ada angkot di jam segini, hari sudah petang dan kamu sendirian sampai kapan disini. Udah yuk naik aja.” Cecarnya yang sialnya semua yang diucapkan adalah kebenaran.
“Tapi aku tidak bisa pulang dengan orang asing” Jawabku masih dalam mode menolaknya. Aku juga celingukan berharap ada orang yang ku kenali melintasi kami.
Kulihat ia mengulurkan tangan ke arahku, “Adrian.”
“Kurasa kamu sudah mengetahui namaku kan.”
Ia hanya menggaruk-garuk tengkuknya dan tersenyum kikuk bersamaan dengan deru motor dari arah yang berbeda.
“Kak Kia, kok masih disini?”
Pandanganku pun beralih ke sumber suara itu. Ternyata dia juniorku, “Eh. Iya nih mau pulang tapi gak ada kendaraan umum yang lewat.” Ucapku.
“Sama aku yuk Kak, kebetulan aku juga mau ke daerah rumah kakak, ada perlu. Hehehe” Jelasnya dengan jujur dan nyengir tidak jelas.
“Oke. Makasih yaa.” Responku dengan penuh syukur dalam hati. Aku tidak perlu berdebat lagi dengan orang asing itu, “Permisi.” Kataku saat melewati orang yang kusebut orang asing.
“Menarik.” Gumamnya sangat pelan sambil menatapku yang mulai menjauh dari pandangannya.
///
Aku membuka mataku di dering ketiga alarm di nakas yang langsung ku matikan tanpa melihatnya. Semenit berlalu, aku terbangun dengan malas menatap jam di dinding, ternyata jarum pendeknya berada di angka 10. Aku pun berjalan keluar kamar mencari ibu tanpa merapikan selimut terlebih dahulu. Biasanya aku benar-benar merapikan kamar setelah aku selesai mandi dan segar sepenuhnya.
Siang ini aku berencana untuk bermalasan di rumah karena hari ini hari minggu. Rasa lelah latihan kemarin baru terasa ketika aku bangun tidur. Ibu sudah menduga hal ini akan terjadi, maka dari itu beliau membiarkan anak bungsunya ini bersantai di rumah. Aku terbebas dari segala tugas rumah. Walau begitu tetap saja Ayah tidak akan membiarkan aku tidur seharian.
Meskipun gak ngapa-ngapain ya jangan di kamar terus tho, dek. Nonton TV atau apa gitu lo.
Begitu kalimat yang sering diucapkan Ayah kepadaku. Selain itu, Ayahku juga tidak akan membiarkan anak-anaknya terpaku dengan layar ponsel. Beliau lebih menyukai anaknya menonton TV daripada bermain ponsel. Itu pun alasan mengapa Ayah tidak memasang televisi di setiap kamar. Agar semua bisa bersantai menonton acara TV di ruang tengah, bukan berdiam diri di kamar masing-masing dengan ponselnya. Dan disinilah aku sekarang, di ayunan yang ada di halaman samping rumah dan tetap membawa ponsel.
Kiara lagi istirahat ya?
Iya nih Kak lagi santai aja di rumah.
Aku ganggu dong?
Biasa aja sih Kak. Memangnya ada apa?
Gak ada. Lagi gabut aja ehehehe
Dasar Kak Adhit. Gak ada ngelatih pramuka gitu?
Minggu ini libur dulu Kia, capek.
Tau capek juga ternyata ehehe
Chatting pun terus berlanjut yang sesekali membuat aku senyum-senyum sendiri akibat candaan Kak Adhit. Chatting tidak penting ini bukan kali pertama terjadi diantara kami. Kami hanya akan berbicara serius ketika sudah membahas tentang dunia kepramukaan.
///
CHAPTER 2
“Kiara!!!!” Sapa seorang lelaki dengan sedikit berteriak membuatku menghentikan langkah kaki.
“Iya Kak?” Jawabku saat sudah berhadapan dengannya.
“Nanti jadi pulang bareng kan?” Tanyanya tanpa basa basi.
Aku pun mengangguk, “Iya jadi kok Kak. Ketemu di pos satpam depan ya.”
“Okesip.” Jawabnya mengacungkan jempol.
“Yaudah Kak aku ke kantin dulu ya?” Pamitku padanya.
“Gak ada niat ngajakin aku gitu?” Tanyanya sambil menaik-turunkan alis.
“Eh? Mau gabung Kak?” Tawarku basa basi sambil melirik ke sebelahku. Iya, aku tidak sendirian disini. Aku bersama Andini. Ku lihat Kak Adhit hanya nyengir kemudian berlalu melewati diriku.
“Dasar kakak-kakakan lu aneh banget sih.” Sembur Andini setelah memastikan Kak Adhit jauh dari radarnya.
“Ishh apaan dah. Udah kuy jalan.” Alihku sambil menggandeng Andini.
Free class seperti ini memang waktu yang tepat untuk mengisi perut di kantin. Entah darimana kemunculan Kak Adhit tadi. Mungkin dia mengetahui aku keluar kelas atau mungkin tidak sengaja saja karena sekarang bukan jam istirahat. Kelasku dan kelas Kak Adhit memang saling berhadapan yang dibatasi oleh taman. Usia Kak Adhit satu tahun diatasku, itu artinya dia adalah kakak kelasku. Aku bisa akrab dengannya ya karena berada dalam satu organisasi yang sama. Dia memang terlewat humble sehingga mudah bagi seseorang untuk akrab dengannya. Kembali ke urusan perut, aku sedang berhadapan dengan semangkuk nasi goreng dan es jeruk sedangkan Andini masih berpikir harus makan apa kali ini.
Oh iya perihal pulang bareng tadi sudah direncanakan dari kemarin. Kak Adhit suka banget nawarin berangkat atau pulang bareng, jadi ya sesekali ku iyakan saja ajakannya. Seperti yang terjadi hari ini.
“Kak Adhit, kalo kita mampir ke toko buku sebentar mau nggak?” Tanyaku ketika kami bertemu di tempat yang kukatakan tadi.
Tanpa berpikir panjang Kak Adhit mengiyakan permintaanku. Terbukti dari ucapannya, “Yuk.”
Kalian jangan kaget ya. Aku dan Kak Adhit saat ini berboncengan menggunakan sepeda, bukan motor!!
Kebetulan kami melewati toko buku sehingga aku meminta untuk mampir sebentar. Aku memerlukan beberapa kertas untuk menyelesaikan tugasku dan aku baru saja ingat. Makhlumi saja Kiara yang pelupa ini.
Kak Adhit mengayuh sepeda dengan penuh semangat. Kami sama-sama membisu. Hanya semilir angin yang menyapa kami berdua. Aku tau Kak Adhit sedang berkonsentrasi mengayuh sepeda, tapi aku tidak suka dengan kebisuan seperti ini. Jadilah aku mencoba untuk kembali bersuara.
“Kak Adhit kenapa baik banget sih sama Kia?”
“Memangnya gak boleh?”
“Ih kok malah tanya balik sih.”
“Habisnya kamu kok tanyanya gitu banget.”
“Aku heran aja sih Kak.”
Dan Kak Adhit hanya tersenyum mengayuh sepedanya.
///
Aku menutup buku pinky yang selalu kubawa dan kumasukkan dalam tas, sedangkan buku pelajaran kubiarkan berserakan memenuhi meja. Jam pelajaran masih cukup lama untuk menuju bel pulang namun aku harus segera ke aula untuk berlatih paduan suara. Anak paduan suara tentu sudah mendapatkan ijin untuk tidak mengikuti pelajaran di kelas. Seminggu lagi akan ada purna siswa untuk kelas IX. Tim paduan suara mendapatkan amanah sebagai pengisi suara.
“Nitip yaaaaaaa.” Rayuku pada Andini, teman sebangkuku.
“Kebiasaan.” Jawab Andini memutar bola matanya malas.
Aku bergegas menuju Aula bersama temanku dari kelas lain.
Matahari mulai condong ke barat. Tanda senja akan segera tiba.
Latihan paduan suara berakhir ketika suara azan berkumandang. Semua orang menghela napas lega. Latihan hari ini berjalan lebih lancar daripada latihan-latihan sebelumnya. Aku mengusap peluh keringat yang membanjiri wajahku sebab aula ini tidak ber-AC.
“Kia sholat dulu yuk!” Ajak Aura, teman paduan suara yang duduk di sampingku.
“Boleh.” Jawabku melempar senyum padanya. Sholat dulu lalu pulang sepertinya lebih baik, pikirku.
Kami pun berjalan dengan santainya menuju mushola. Jarak aula dan mushola hanya terpisahkan oleh tempat parkir karyawan. Sesampainya di mushola aku dikejutkan oleh sesuatu yang tidak pernah kupikirkan.
Kak Adhit sedang duduk dengan santai di pelataran mushola. Ia lebih dulu tersenyum melihat kehadiranku. Mau tidak mau aku pun turut tersenyum melihatnya.
“Sudah selesai latihannya?” Tanyanya.
Aku mengerutkan keningku, “Kok Kakak tahu aku ada jadwal latihan hari ini?” Tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.
Dia kembali mengangkat sudut bibirnya ke atas, sedetik kemudian menatap seseorang di sebelahku seakan meminta jawaban atas pertanyaannya tadi.
“Eh. Sudah kok, Kak.” Sahut Aura kikuk karena ditatap seperti itu.
“Setelah ini pulang bersamaku ya.” Ucapnya kepadaku.
Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan ucapannya kemudian berlalu masuk ke mushola.
Manusia di sebelahku menyenggol bahuku, “Kak Adhit suka ya sama kamu, Kia?” Ucapnya kemudian.
Aku menghela napas sejenak, “Aku sudah kesekian kalinya mendapatkan pertanyaan semacam itu. Dan aku bosan.”
“Lalu?”
Aku meninggalkannya di tempat dan berjalan ringan menuju tempat wudhu wanita.
“Kebiasaan.” Ucap Aura kesal.
Selepas sholat aku benar-benar menemukan Kak Adhit yang masih menungguku di teras mushola.
“Kak Adhit kok mau sih nunggu aku? Kan bel pulang sudah dari tadi?”
“Biar bisa pulang bareng, Kiara.”
“Kan kasian Kak Adhit nunggunya lama, pasti bosen.”
Kak Adhit hanya menampakkan cengirannya. Matahari sudah mulai meredup. Aku dan Kak Adhit berjalan menuju parkiran tanpa basa basi, tidak ada tenaga untuk berdebat lebih lama lagi.
CHAPTER 3
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Hari dimana semua usaha harus dibayar lunas oleh hasil yang memuaskan. Semua pasukan sudah siap dengan perlengkapan masing-masing. Para Pembina sudah memerintahkan untuk segera menaiki kendaraan yang akan membawa kami ke medan yang sesungguhnya.
Sebelum menaiki kendaraan, aku sempat melihat ke sekitar sekolahku. Aku merasa ada yang sedang menatapku. Benar saja, disana ku temui seseorang sedang menatapku intens, kemudian tersenyum kikuk seperti orang yang baru saja tertangkap basah melakukan suatu hal. Ku sempatkan mengeluarkan pinky note ku dari saku dan menuliskan sesuatu,
Hari ini, dia lagi, di tempat yang sama.
Hari ini adalah hari dimana kompetisi tingkat kabupaten digelar. Kompetisi tahunan yang tidak pernah dilewatkan oleh sekolahku. Bedanya, kali ini kami harus berbagi kursi dengan sekolah lain untuk berkolaborasi mewakili kecamatan.
“Matahari,” Seru Andini, ketua regu putri yang tak lain adalah sahabatku.
Dan kami dengan penuh semangat menjawab “Jaya!!!”
“Rajawali,” Seru Kak Adhit tak kalah semangatnya.
“Jaya, Jaya, Jaya!!!” Sahut para lelaki dengan satu kali hentakan.
Kami semua bersemangat menjalani serangkaian kegiatan yang terbagi menjadi beberapa kategori perlombaan.
“Kita akan makan di restoran apabila kalian bisa membawa pulang piala tertinggi hari ini.” Janji pembinaku ketika kami akan bergegas turun ke lapangan.
Kami semua mengangguk dengan semangat, “Siap Kak!”
Satu yang aku suka dari pramuka, tidak ada tua dan muda, tidak ada senioritas, kami selalu memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan ‘Kakak’ tanpa ada gelar yang mengikuti.
///
Kami semua berpelukan, menangis mendengar pengumuman yang dibacakan oleh pembawa acara. Kami belum bisa memindahkan piala tertinggi ke tangan kami.
“Its okay. Masih ada event berikutnya. Tetap semangat!” Ujar kakak Pembina berdiri diantara kami, “Ayo semua masuk mobil.”
Kami berjalan mengikuti arahannya dengan malas. Semangat yang menggebu kini tidak bersisa.
Tidak lama kemudian mobil yang kami tumpangi berbelok memasuki salah satu restoran ternama.
Aku menginterupsi sebelum keluar dari mobil, “Tapi kan kita tidak juara Kak. Kenapa kesini?”
“Kalian tetap yang terhebat.” Jawab Pembinaku, “Ayo turun.”
Wajah semua temanku pun mulai berseri kembali. Bagaimana pun pembinaku selalu menghargai setiap usaha yang kami lakukan. Kami bahagia memilikinya.
Omong-omong, aku sangat lapar. Aku dan teman-temanku bersegera menempati posisinya masing-masing. Makanan cepat saji sudah tersedia di satu meja besar. Setidaknya makan bisa membuatku lupa dengan rasa kecewa walau hanya sejenak. Kami semua menikmati makanan dalam diam.
Aku tiba di rumah tengah malam. Berjalan tanpa semangat memasuki pelataran rumah yang cukup luas. Ku lihat Ibu sedang menungguku di ruang tamu. Kebiasaan orangtuaku jika anggota keluarganya belum lengkap.
“Alhamdulillah adek sudah pulang. Gimana lombanya?” Tanya Ibuku ketika mendapati aku yang datang. Sedangkan Ayahku yang membawakan tas ransel milikku.
Aku terduduk lesu di kursi, “Kalah, Bu.”
Ibu mendekat kepadaku dan mengelus lembut diriku, “Gakpapa, masih ada hari lain untuk menang.”
“Yaudah aku bersih-bersih terus istirahat ya Bu.”
Ibuku tersenyum. Beliau tahu bahwa mood-ku sedang tidak baik. Begitupun Ayah yang hanya memilih diam memperhatikan dua wanita di hadapannya.
Aku merebahkan badan di kasur setelah membersihkan diri. Ku raih pinky note di dalam tas dan bersiap menuliskan peristiwa hari ini, hingga mataku semakin berat kemudian terlelap.
Ting.
Telingaku masih mampu menangkap bunyi notifikasi dari ponselku. Namun mataku menolak untuk kembali membuka.
///
Selamat istirahat, Kiara.
Begitulah isi pesan yang masuk semalam. Kak adhit pengirimnya. Satu kebiasaan burukku, mudah mengabaikan pesan yang masuk.
Selayaknya anak jaman sekarang, bangun tidur diawali dengan menatap layar ponsel. Setelah puas membaca seluruh notifikasi yang masuk, aku baru akan bergegas untuk mandi dan sarapan. Aku tau, ibu sudah sejak satu jam yang lalu membangunkanku. Bukan sebuah masalah. Ibu seakan memahami kebiasaanku yang baru beranjak dari gulungan selimut ketika jarum pendek menunjuk ke angka 6. Walau begitu, seluruh aktivitas pagiku akan berakhir tepat pukul 06.30.
Aku mengecek ponselku sebelum berangkat ke sekolah.
Lima menit lagi aku sampai di rumahmu, Kia. Gak usah bawa sepeda.
Pesan dari Kak Adhit, lagi.
Eh, aku gak mau ngerepotin Kak Adhit.
Santai, lagipula rumahmu searah dengan jalan ke sekolah.
Oke deh, take care Kak.
Aku pun duduk santai di teras rumah. Sesekali kudapati teman sekolahku menyapaku. Pemandangan setiap hari.
“Kok belum berangkat, dek?” Tanya ibuku yang mungkin tak sengaja melihat anaknya masih nongkrong di depan.
“Nunggu Kak Adhit, Bu.” Jawabku. Ibu sudah cukup mengenal Kak Adhit yang sering menjemputku.
“Kenapa gak bawa sepeda sendiri aja sih?”
“Kak Adhit sendiri yang minta.”
“HMMMM.”
Ibuku seperti tidak habis pikir melihat kelakuan kita berdua.
Kring kringg…
Yang dibicarakan sudah tersenyum lebar di halaman depan.
“Kiara berangkat dulu ya, Bu.” Pamitku mencium punggung tangan ibuku.
“Adhit hati-hati ya sama Kiara,”
“Siap tante!” Jawab Kak Adhit mengacungkan jempolnya.
Aku segera berlari ke arahnya. Halaman rumahku terlalu luas untuk menggapai sisi tepi jalanan.
“Yuk, Kak.” Ajakku saat sudah memastikan posisiku di bangku belakang sepeda Kak Adhit.
Kak Adhit tersenyum menolehku, lalu mengayuh sepeda dengan semangat.
Aku diam-diam ikut tersenyum. Kak Adhit selalu memberiku perasaan nyaman ketika bersamanya.
“Nanti saat jam istirahat ada rapat evaluasi, Kia.” Tuturnya sambil menuntun sepeda. Dan aku mengambil posisi berjalan di sebelahnya.
“Siap, Kak.”
CHAPTER 4
Malam ini terasa sangat melelahkan. Tugas matematika amat sangat menguras perhatianku. Berulang kali aku membuang kertas hanya karena perhitunganku yang salah. Aku memang payah dalam hal counting semacam ini. Aku lebih menyukai hal-hal yang berhubungan dengan bahasa dan sastra. Aku memijit pelipisku sejenak, membiarkan otakku melakukan pendinginan setelah bekerja keras bagai kuda. Tugas memang sudah menjadi makanan pokok bagi pelajar sepertiku. Mau mengeluh sekeras apapun tugas tetaplah tugas, tidak bisa diselesaikan hanya dengan mengeluh.
Ting.
Satu pesan masuk.
Assalamualaikum, Kiara.
Dahiku mengernyit samar kemudian mengetikkan sebuah balasan.
Waalaikumsalam, siapa?
Adrian.
Adrian?
Ya. Ketua DKG sekolah yang ada di seberang gedung sekolahmu. Kita pernah bertemu sebelumnya.
Oh, Ya. Ada perlu apa menghubungiku?
Tidak ada. Hanya ingin berkenalan denganmu.
Darimana kamu mengetahui nomorku?
Temanku di sekolahmu tidak sedikit, Kiara.
Aku memilih untuk mengabaikan pesan darinya.
Hari ini, dia mendapatkan nomorku.! Tulisku pada pinky note kesayangku. Entah mengapa aku ingin menulisnya.
Beberapa detik selanjutnya aku kembali frustasi bersama angka yang berjajar diatas kertas. Tugasku adalah mempelajari kembali materi yang kudapatkan di sekolah dan mengkombinasikan dengan materi yang kuterima ketika bimbingan belajar. Namun sekali lagi aku lemah dalam hal ini, hanya karena rumus perhitungannya dibalik, aku bisa auto memeras otak untuk menyelesaikannya.
///
Seminggu setelah Adrian menghubungiku.
“Kiara!”
Seperti ada yang memanggilku. Aku pun menoleh ke sumber suara. Ada seseorang tersenyum di seberang jalan. Aku hanya menaikkan sebelah alisku tanpa bersuara.
“Semangat belajarnya.” Ucapnya tersenyum lebar.
Aku mengacungkan jempol sebagai jawaban untuknya dan kembali menuntun sepedaku memasuki gerbang sekolah.
Peraturan di sekolahku adalah mengharuskan siswa/siswi untuk turun dari sepeda ketika telah memasuki gerbang sekolah. Kami harus menuntun sepeda hingga ke parkiran di ujung lapangan. Namun tidak sedikit yang melanggar peraturannya. Seringkali ada siswa nakal yang tetap menaiki sepedanya dan selalu diteriaki oleh satpam sekolah. Ada yang pernah ditanya mengapa tidak patuh, katanya,
“Peraturan dibuat untuk dilanggar.”
Gila memang.
Menurutku peraturan itu tidak begitu menyusahkan. Hanya perlu dilakukan dan semuanya beres. Atau memang pada dasarnya aku bukan tipe orang pembangkang.
“Kiara ini ada titipan.” Ujar seseorang menghampiriku di depan pintu kelas. Aku menerimanya setelah mengucapkan terimakasih padanya.
Ki, nanti pulang bersamaku ya.
Begitu isi tulisan yang ada di selembar kertas putih ini.
“Eh ini dari siapa ya?” Ucapku sedikit teriak sebab si pembawa titipan tadi sudah berjalan menjauh dari hadapanku.
“Anak sekolah depan!” Teriaknya menjawab pertanyaanku.
Pasti Adrian. Batinku.
Aku melanjutkan jalanku dan mendaratkan bokong di bangku terdepan. Beberapa menit kemudian kelas menjadi hening sebab jam pelajaran telah dimulai. Aku pun sibuk mencatat materi yang disampaikan oleh guru di depan.
Dikarenakan hari ini adalah sabtu, maka kegiatan pembelajaran berhenti di pukul 10 pagi. Setelahnya adalah kegiatan pengembangan diri. Aku memilih untuk masuk ke ruang DKG. Ada banyak temanku sedang bersantai disana. Ada juga yang sedang berlatih tali temali, juga bermain semaphore. Selain latihan rutin, kami juga terbiasa belajar secara mandiri di ruang DKG.
“Kak aku pulang dulu ya.” Pamitku pada Kak Adhit yang sedng merebahkan diri di kursi.
Ia pun membenarkan posisinya, “Gak mau bareng aja Kia?”
“Nggak deh Kak, lagian udah mau sore juga.”
“Yaudah hati-hati ya.”
“Siippp.” Aku meresponnya dengan ceria, “Aku pulang dulu ya rekk.” Ujarku pada teman-teman yang lain.
Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak beberapa jam yang lalu. Artinya, semua kegiatan telah berakhir, aku bebas menaiki sepedaku dari parkiran menuju gerbang depan. Aku mengayuhnya dengan santai.
“Halo Ki!!” Sapa seseorang yang muncul dari balik gerbang sekolah.
“Allahuakbar!!!!” Aku reflek menghentikan sepedaku.
“Kaget ya. Maaf deh maaf.”
Aku menatapnya datar. “Kok kamu ada disini?”
“Kamu baca pesanku, kan?”
“Iya.” Jawabku dengan nada bertanya.
“Itu artinya kamu tau jawabannya.”
“Yaudah.” Seruku padanya.
Aku mengayuh kembali sepedaku. dia menaiki motornya di belakang mengekori diriku. Tidak jarang ketika jalanan sepi dia berjalan di sisiku.
“Aku bisa pulang sendiri, kenapa kamu mengikutiku?”
“Cuma mau memastikan kamu selamat sampai rumah.”
“Terserah.”
Aku kembali mengayuh sepeda dengan Adrian yang setia di sebelahku.
Hari ini dia mengantarku pulang sampai rumah.
Ku tutup pinky note yang berada di meja belajar.
///
CHAPTER 5
Aku meminta Adrian untuk menemuiku di gerbang belakang sekolah siang ini. Aku juga meminta Rika untuk datang. Ia sudah lebih dulu menunggu di gerbang belakang. Masa-masa classmeeting seperti sekarang ini memang lebih banyak freeclass sehingga para siswa menjadi lebih bebas.
Adrian datang berlari ke arahku.
Adrian menggenggam tanganku begitu erat, “Aku cinta sama kamu, Ki.” Ucapnya penuh harap kepadaku.
Aku melepas genggamannya dan tersenyum mengalihkan pandanganku, “Selesaikan masalahmu, Ian.”
Aku beralih membawa Rika ke hadapan Adrian kemudian melangkah mundur. Mereka harus saling bicara empat mata walaupun terhalang gerbang besi. Aku sempat mendengar Rika terisak memegang tangan Adrian. Entah apa yang terjadi aku memilih menunggu mereka di sebuah bangku kosong yang lumayan jauh dari mereka.
“Aku gak mau kita putus Adrian!!”
Adrian melepaskan tangannya dengan kasar, “Tapi aku gak cinta sama kamu Rika. Sejak awal kamu yang selalu maksa aku.”
“Aku cinta sama kamu Adrian. Aku cinta!!!” Rika berteriak frustasi dengan airmata yang mengalir deras disudut matanya.
Adrian seakan tidak mau kalah dengan ikut menaikkan volume suaranya, “Sayangnya aku lebih cinta sama Kiara!!”
Mendengar namaku disebut aku pun terperanjat kaget. Rika menghampiriku dan membawaku diantara mereka dengan kondisi mata yang sembab.
“Ucapkan sekali lagi kemudian aku akan pergi Adrian.” Ucapnya masih terisak.
Adrian mencoba meraih tanganku dan berucap, “Aku cinta sama Kiara.”
Aku diam tertegun dengan apa yang ada dihadapanku, pun aku tidak menerima uluran tangan Adrian.
Rika menarikku lagi dan berbisik, “Kamu boleh terima Adrian dengan syarat buat dia patah hati nanti.”
“Aku gak bisa.” Tolakku cepat.
Rika berlari entah kemana, meninggalkan gerbang belakang. Aku pun bergegas menyusulnya dan meninggalkan Adrian yang masih terus menatapku.
Rika wanita, aku wanita, dan aku tau apa yang sedang dirasakan olehnya saat ini.
“Kamu bohong, Kia, kamu bohong!” Teriaknya histeris dengan jari telunjuk tepat di depan mukaku.
Aku hanya menaikkan sebelah alis seakan tidak mengerti apa yang sedang ia katakan.
“Katamu kalian hanya berteman, nyatanya apa sekarang?”
Aku menarik napas sejenak.
“Aku memang berteman dengan Adrian. Perihal dia jatuh canta padaku, itu bukan salahku, aku tidak tahu. Tanyakan pada dirimu, hatimu, apakah kalian bahagia diatas hubungan kalian sendiri!” Tegasku padanya.
Flashback on.
Adrian mengajakku bertemu di taman sore ini. Dan aku mengiyakan. Keberadaan Adrian yang hampir setiap hari muncul di hadapanku membuatku terbiasa dengannya. Terbiasa dengan hal-hal ajaib yang sering ia lakukan hanya sekadar untuk menarik perhatianku. And he did it! Adrian bisa menjadi teman yang asik untukku.
“Gimana kamu sama Rika?” Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan yang sedari tadi hanya berputar di rayuan-rayuan Adrian untukku.
“Aku gak ada hubungan apa-apa, Ki.” Jawabnya.
“Halah!” Cibirku.
Tidak perlu heran kenapa aku bisa tahu hubungan diantara mereka, sebab Rika adalah teman sekelasku. Akhir-akhir ini kulihat Rika sering menampilkan tatapan ketidaksukaannya padaku. But I don’t care about that. Aku tidak merasa ada masalah dengan dirinya.
“Iya iyaa ngakuuu. Aku dulu pacaran sama dia, waktu SD—“
“Buset masih SD udah main pacaran aja,” Potongku semakin mengejeknya.
Ia menatapku kesal. Aku tertawa lepas.
“Iya iya lanjut!”
“Rika itu egois, maunya menang sendiri. Aku capek. Tapi aku gak pernah bisa menemukan alasan untuk ninggalin dia. Dia selalu bisa bikin aku tetep bertahan di kondisi ini.” Jelasnya dengan raut wajah yang serius. Sangat jarang kulihat seorang Adrian berbicara serius seperti ini.
“Ikuti kata hatimu. Jangan menyiksa diri sendiri di hubungan yang tidak sehat.” Nasihatku setelah ia usai bercerita.
Flashback off.
Aku memang telah mengetahui segalanya. Adrian telah menceritakan bagaimana dramanya kisah cinta dirinya bersama temanku ini. Aku hanya berniat membantu menyelesaikan permasalahannya. Namun bodohnya Adrian mengatakan bahwa ia mencintaiku.
So, drama baru akan segera dimulai.
Aku yakin itu akan mengganggu ketentraman hidupku setelah ini.
///
Hari ini adalah hari kelulusan Kak Adhit. Kebetulan aku ikut terlibat dalam grup paduan suara sekolahku sehingga aku bisa mengikuti serangkaian acaranya sampai akhir. Acara wisuda semacam ini hanya dapat dihadiri oleh peserta wisuda dan wali murid serta para pengisi acara saja. Selain dari itu tidak diperbolehkan untuk hadir walau hanya sekedar untuk menonton.
Aku melihat Kak Adhit sedang bercengkrama bersama teman seangkatannya. Ia terlihat lebih tampan dengan setelan jas hitam. Bukan bermaksud GR, tapi sesekali kulihat ia mencuri pandang ke arahku. Daripada terus merasa seperti itu, aku pun beranjak meninggalkan tempat dudukku untuk menghindarinya. Dan benar saja, belum juga lima langkah Kak Adhit sudah berdiri di sampingku.
“Kamu cantik, Kia.” Bisiknya padaku.
Blush. Aku tersipu mendengarnya. Alih-alih aku berusaha agar tidak terlihat memalukan. “Kakak bisa aja.”
“Sungguhan. Mau kemana?” Tanyanya.
“Emmm… itu mau ambil minum Kak.” Jawabku masih sedikit canggung karena ucapannya tadi.
“Setelah acara selesai kamu jangan pulang dulu ya.” Pesannya.
“Iya kan emang aku harus bersih-bersih dulu Kak jadi pulangnya agak telat.”
“Oh iyaa ya. Nanti aku mau ngobrol sebentar sama kamu, boleh?”
“Boleh Kak. Aku mau minum dulu ya.” Rasa hausku sudah tidak tertolong sehingga aku sesegera mungkin mengakhiri pembicaraan ini.
“Eh iyaa sorry malah kuajak ngobrol begini.”
Aku hanya tersenyum lalu meninggalkannya.
///
“Aku cinta sama kamu Kiara. Kamu mau kan jadi pacarku?” Ujar Kak Adhit begitu lembut. Berbeda dengan Kak Adhit biasanya.
“Tapi Kak…”
“Kamu belum ada pacar kan?” Sergahnya sebelum aku memberi jawaban untuknya.
“Belum.” Ucapku jujur.
Ada pancaran bahagia dari mata Kak Adhit, aku bisa melihat itu begitu jelas, “Jadi?”
“Tapi maaf Kak, aku anggap kakak seperti Abang aku sendiri. Aku gak bisa lebih dari itu.” Jawabku berusaha menolak dengan hati-hati agar tidak menyakiti hatinya.
“Jadi selama ini kedekatan kita hanya sebatas itu?” Tanyanya. Pancaran bahagia itu kini meredup. Aku jadi serba salah melihatnya.
“Maafkan aku Kak Adhit.”
Tiba-tiba saja Kak Adhit memelukku cukup erat. Gerak reflek Kak Adhit yang begitu cepat tidak bisa kutolak. Namun aku juga tidak membalas pelukannya. Aku hanya diam. Terkadang aku memang lemot diwaktu yang tidak tepat. Aku membiarkan Kak Adhit melakukan apa yang bisa membuat dirinya tidak kecewa lebih dalam karenaku.
Kak Adhit melepaskan pelukannya dan beralih menatapku, “Aku bisa ngerti kok. Jaga dirimu Kiara. Aku akan pergi jauh setelah ini.”
“Kakak mau kemana?” Tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“Melanjutkan hidup,” Ujarnya sendu, “yang tanpa kamu.”
Dan disitulah aku membalas pelukannya. Kenyamanan yang selalu aku rasakan seperti dipeluk oleh seorang Kakak aku sendiri.
Di tempat lain yang tidak jauh ada seseorang yang melihat adegan ini dengan tangan mengepal kuat. Di balik gerbang, tempat ia biasa menungguku.
Description: "Kemanapun aku pergi, aku akan tetap kembali padamu, sebab kamu adalah rumah, tempat aku pulang." Ucap Adrian.
"Rumah, katamu? Tempat yang kau datangi hanya ketika dunia menyakitimu lalu kau tinggalkan saat sembuh, maksudmu?" Balas Kiara.
|
Title: Remember That
Category: Teenlit
Text:
Prolog
Sabtu sore di ruang kecil itu aku dan kawanku tengah berkutat dengan urusan masing-masing. Dia dengan ipad 3 yang sudah ketinggalan jaman dan aku yang menggunakan laptop-nya untuk mengerjakan tugas. Tanpa basa-basi, kawanku bertanya,
“Berapa mantanmu?”
Aku tidak langsung menjawabnya. Pertanyaan itu membuatku terhenyak sejenak. Aku menghentikan jemariku mengetik pada keyboard, lalu kami bertukar tatap. Kupikir dia bercanda, tapi tidak ada satupun celah yang menjadikan ucapannya tadi hanya candaan. Dia tampak serius, sehingga aku pun mulai menghitung.
“Mm ... empat?” aku menjawab, agak ragu.
“Gila, serius?” Posisi kami kini tertukar. Dia tampak terkejut melihatku, dan aku ... kalau boleh jujur merasa tengah dilabeli macam-macam oleh kawanku itu di dalam kepalanya.
“Yah, kurasa empat walau yang satu itu tidak benar-benar jadi,” aku mendorong meja kecil yang menadah laptop itu, sebagaimana menjauhkan piring kala aku usai makan di atas meja makan.
Aku memutar tubuhku untuk menatap kawanku satu itu dan dia mulai bercerita.
Bab 1 - Andira
Hilda Renata adalah murid kelas dua di SMP Jaya, sekolah yang cukup terpandang di bidang akademisnya. Ia berasal dari keluarga yang sederhana dan begitu pula dengan tampilan maupun gaya hidupnya: sederhana. Namun, di sekolah dia cukup dikenal oleh banyak orang. Keaktifannya di OSIS menjadi salah satu alasan mengapa dia dikenal.
OSIS.
Mau dari jaman Elvis Presley sampai era Justin Bieber pun organisasi murid itu selalu menghasilkan pasangan-pasangan yang cinlok selagi bertugas. Di sekolah Hilda, ada petuah yang menyarankan para murid untuk mendaftar OSIS agar bisa menggaet pasangan. Namun, Hilda tidak bergabung OSIS karena hal itu.
Hilda bergabung karena ingin belajar memanajemen acara pula mengisi waktu luang. Dia mana tahu kalau di OSIS ia akan bertemu dengan Andira, cowok yang setelah masuk OSIS malah menjadi terkenal.
Andira itu teman seangkatannya. Mereka baru kenal di OSIS dan Hilda awalnya agak risih dengan pemuda itu. Mungkin karena peribahasa Jawa yang berbunyi “Witing tresno jalaran soko kulino” alias “Cinta datang karena terbiasa”, terlalu sering melihat Andira–atau dipanggil akrab dengan nama Dira–dan berinteraksi dengan pemuda itu, Hilda jadi menaruh rasa.
Semua orang di sekolah tahu hubungan mereka yang dekat, namun mereka tidak pernah tahu mengapa sejoli ini tidak bersatu menjadi sepasang kekasih. Mungkin gengsi. Mungkin belum waktunya. Dan mungkin ... mereka tidak berjodoh.
Namun, sering kali Hilda menjadi bahan pembicaraan anak-anak sekolah, setingkat maupun tidak. Pacar Andira, bahkan, pernah suatu hari mengajak Hilda bertemu hanya untuk melabraknya.
“Kalau jadi cewek jangan kegatelan!” itu kata anak berambut bob yang Hilda duga sebagai kawan karib pacarnya Andira. “Kak Dira kan sudah jadi punyanya Leila,” kata anak yang sama.
Hilda memutar mata. Ia melipat tangan di depan dada dan bilang, “Aku kakak kelas kalian, tahu?” pertanyaan retoris itu langsung Hilda lanjutkan dengan kalimat lain. “Aku enggak kegatelan, mandiku rajin.” Dia tahu itu bukan yang mereka maksud, tapi Hilda mengatakannya saja. “Kamu, kenapa diam saja?” ia menatap Leila, pacar Andira. “Aku dan Dira enggak ada apa-apa. Kami cuma teman, sama-sama di OSIS. Coba saja kamu gabung OSIS, nanti juga bakal dekat dengan Dira atau siapapun itu.” Setelah itu Hilda beranjak pergi.
Sebelumnya Hilda tidak pernah mempercayai ucapan bahwa dengan bergabung OSIS maka siapa saja bisa saling dekat dan cinlok terjadi. Namun, untuk kali itu saja ia menggunakan rumor tersebut untuk membela diri.
Di rumah, ia mengirim pesan singkat pada Andira mengenai kejadian tadi. Ia bilang kalau Leila berulah, tapi Andira seolah tidak memedulikannya dan menganggap kejadian yang Hilda alami lucu. Untuk sesaat Hilda merasa dongkol. Andira seolah tidak peduli padanya. Di sisi lain, ia merasa sedih karena itu dan membuatnya semakin yakin kalau Andira tidak peduli.
***
“Pokoknya semua anak kelas 7 pada kenal aku karena aku deket sama Andira,” Hilda menghela napas dengan berat lalu memandang kehampaan.
Layar laptop telah menggelap karena tidak tersentuh selama dua puluh menit sejak Hilda memulai ceritanya pada Lena. Lena menyimak sambil sesekali menyela untuk merekap ulang kisah mengenai Andira.
“Dan Andira yang punya sejarah panjang denganku,” kata Hilda dengan lirih.
“Maksudmu, kalian masih berhubungan sampai sekarang?” tanya Lena
“Bukan, sampai SMA saja. Kami satu SMA dan bahkan dia menjadi ketua OSIS di sekolahku.” Hilda tertawa getir. Sementara Lena menatapnya lekat, menanti kelanjutan ceritanya.
“Tapi di SMA kami tidak dekat. Ada suatu sebab.”
***
Ini pekan ujian. Setiap kali ujian, ponsel Hilda disita oleh ayahnya. Namun, hari itu entah kenapa ia ingin sekali mengecek ponselnya. Pagi hari, ia mencuri ponselnya sendiri dan terkejut saat melihat pesan dari Andira. Di hari terakhir UN, Andira meminta mereka bertemu. Berbicara empat mata pada pagi hari, pukul setengah tujuh tepatnya.
Hilda yang baru melihat pesan itu pukul 7, terbirit-birit pergi meninggalkan rumah. Ibunya sampai berseru, “Loh kamu enggak makan, Hil?”
“Enggak, Bu! Aku makan di kantin aja!” teriak Hilda yang sudah berlari ke luar rumah.
Sewaktu bertemu Andira di tempat yang dijanjikan, wajah Andira kelihatan tidak senang. Matanya tampak jengah, bibirnya mengerucut sedikit. Sedangkan Hilda yang berlari tergopoh-gopoh ke sana lekas bertanya, “Ada apa manggil aku pagi-pagi? Maaf ya, aku baru cek HP karena kamu tau sendiri HP aku disita kalau ujian.”
Segala alasan yang Hilda berikan pada Andira hanya masuk kuping kiri dan keluar dari kuping kanan. Andira tampak memutar mata, menghela napas dengan berat, serta mengetukkan jemarinya di paha.
“Enggak jadi. Momennya hilang.” Andira meninggalkan Hilda.
“Eh?” Hilda kebingungan. “Dir, serius enggak mau ngomong apa-apa? Dir?” karena sudah terlalu lelah berlari, Hilda menyerah untuk mengejar Andira.
Sepulang sekolah, di rumah Hilda segera menghubungi Andira. Hilda bertanya apa yang membuat Andira memintanya bertemu pagi sekali. Hilda bilang, dia tidak bisa untuk tidak memikirkan perkara mereka pagi tadi. Untung saja itu tidak mempengaruhi konsentrasinya sewaktu ujian. Lalu, Andira mengirim pesan untuk mengajak Hilda berteleponan. Hilda mengiyakan dan segera mengangkat telepon dari Andira.
Andira masih mencoba untuk mengelak, sampai Hilda bilang, “Kalau kamu terus begini, sampai pulsamu habis enggak bakal kelar-kelar, Dir.”
Andira akhirnya mengaku, “Aku menyimpan rasa ke kamu.”
Hilda diam sejenak, jantungnya berdegup kencang karena perasaannya dan Andira sama. Tapi, Hilda tidak bisa bilang langsung kalau dia juga menyukai Andira.
“Terus Leila bagaimana?” tanya Hilda.
“Ya, aku bisa bilang putus sekarang kalau mau.”
Hilda memukul keningnya, pelan. Opsi yang Andira tawarkan bukanlah sesuatu yang Hilda suka. Kalau Andira mengambil keputusan itu, yang terkena imbas pasti Hilda juga.
Hilda yang sudah memikirkan banyak skenario, sekalipun dia senang sekali mendengar Andira menyukainya, hanya bisa menjawab, “Kalau kayak begitu, aku belum siap.”
“Kenapa?”
“Aku enggak mau buat masalah sama Leila.”
Lalu keduanya sama-sama diam.
“Ya sudah, kalau begitu ... selamat malam,” kata Andira.
“... Malam,” jawab Hilda, lirih.
Malam itu Hilda tidak bisa tidur tenang. Dia memikirkan obrolannya dengan Andira. Kalau dia sedikit lebih egois, akankah dirinya bahagia?
Pertanyaan itu terus terngiang sampai akhirnya ia tertidur di pukul dua pagi.
Bab 2 - Pupus
Andira. Andira. Andira.
Hilda merasa dirinya dihantui oleh sosok pemuda berkulit sawo matang itu. Rambutnya cepak, tubuhnya yang tidak terlalu tinggi. Sosok Andira sebenarnya biasa-biasa saja, tapi entah kenapa dia bisa menjadi terkenal sewaktu SMP dan SMA.
Benar, SMA.
Setelah lulus dari SMP Jaya, Hilda lolos tes masuk ke SMA Mangunkusuma. SMA itu cukup ternama di tempat tinggalnya. Wajar saja bila semua anak di SMP Jaya mencoba untuk masuk ke SMA itu. Namun, Hilda tidak pernah habis pikir kalau Andira akan menghantuinya sampai SMA.
Andira. Andira. Andira.
Sebenarnya sewaktu tur perpisahan SMP mereka melakukan percakapan empat mata, sementara yang lain sibuk mengambil foto duduk di candi Borobudur. Mungkin mereka sadar ada dua orang yang hilang dari kelompok itu, tapi memilih tidak peduli karena kedekatan Andira dan Hilda adalah rahasia umum. Atau mungkin mereka benar-benar tidak sadar karena sibuk mencari sudut tertentu di candi itu agar mendapatkan foto yang bagus. Yang manapun itu, baik Andira dan Hilda sudah menyiapkan jawaban klise semisal ditanya mereka pergi kemana.
Kini mereka, yang hanya berdua, memiliki waktu cukup lama untuk bertukar kata pun sama-sama duduk di bawah pohon rindang.
“Aku sudah putus dengan Leila,” Andira mengawali percakapan mereka dengan pernyataan yang sama sekali tidak membuat Hilda terkejut.
Kabar mengenai putusnya Leila dan Andira sudah menyebar sejak tiga hari yang lalu. Kawan-kawan dekat Hilda menanyai status hubungannya dengan Andira setelah itu. Hilda menjawab apa adanya. Sampai saat ini ia dan Andira tidak memiliki hubungan lebih dari teman.
“Aku rasa terlalu cepat,” Hilda mengaku, sementara Andira mengangkat kedua alisnya.
“Lalu kapan?” tanya Andira.
“SMA ... kurasa?” jawab Hilda dengan ragu.
Hilda tidak mengerti. Seharusnya saat ini ia merasa senang. Ia menyukai Andira, tapi untuk berpacaran dengannya ... Hilda tidak sampai hati. Takut. Ragu. Orang-orang di sekitar mereka pasti akan membicarakan hubungan mereka–yang mungkin bukan hal baru–karena sejak lama Hilda dianggap sebagai orang ketiga dalam hubungan Leila dan Andira. Semua itu membuat dadanya berkecamuk. Dia ingin. Dia suka. Dia punya rasa. Tapi, keberanian untuk menjalin hubungan dengan Andira nyaris nol. Hilda merasa dirinya tidak berhak. Dibandingkan Leila yang ramping, mancung, dan cantik, Hilda bukan apa-apa. Tubuhnya cukup berisi, hidungnya pesek, dan pada wajahnya terdapat beberapa bintik noda bekas jerawat. Satu-satunya yang bisa ia pamerkan kepada dunia adalah kecerdasannya atau kemampuannya berbicara yang membuat ia memiliki banyak kawan.
Namun, menurut Hilda itu semua tidak cukup untuk membuat dirinya bersanding dengan Andira. Ia merasa Andira layak mendapatkan sosok yang lebih, tapi di satu sisi Hilda tidak rela hal itu terjadi.
Pergolakkan batin membuat kedua muda-mudi itu terdiam dalam lamunan. Angin sepoi-sepoi sore itu membuat Hilda mengerjapkan mata lalu mendongak ke arah candi. Ia melihat kawan-kawannya mulai turun. Lalu ia mengecek ponsel dan rupanya waktu bebas hampir habis dalam lima menit lagi.
“Aku akan menyusul yang lain,” kata Hilda yang kemudian beranjak tanpa menunggu Andira membalas izinnya untuk pamit.
Di belakang sana, Andira berseru, “Aku akan menunggumu!”
Hilda mendengarnya dengan jelas, tapi dia tidak sempat berbalik dan memastikan ucapan itu karena kawan-kawannya telah mendekat.
***
“Dia bilang akan menungguku,” Hilda memeluk bantal dan menghela napas dengan berat. Dagunya bertumpu pada bantal dan pandangan matanya menjadi kusam saat bercerita mengenai kejadian di candi waktu tur perpisahan sekolah.
“Tapi tahunya ... haha,” tawa Hilda terdengar getir.
“Lagian, bukannya kamu jawab saja langsung,” sahut Lena.
“Apa boleh buat,” Hilda mengangkat bahu. “Dia terlalu sempurna buatku. Dan pada akhirnya, tidak jadian juga.”
“Heee ... lalu bagaimana dengan tiga yang lainnya? Kamu bilang mantanmu ada empat kalau Andira masuk hitungan.”
“Ah, itu ... aku mulai dari kakak tingkat itu, mungkin ya.”
“Hah? Kamu pernah pacaran dengan kakak tingkat?”
Hilda terkekeh melihat reaksi terkejut Lena, lalu memulai ceritanya.
***
Andira masih mengisi kotak pesan di ponsel Hilda. Mereka masih berteman, meski berada di kelas yang berbeda. Rasa yang Hilda pendam makin lama makin membuncah, tapi realita tidak seindah apa yang Hilda idam-idamkan. Tiga bulan setelah masuk SMA, Andira telah memiliki pacar. Janji yang Andira buat untuknya retak begitu saja tanpa kejelasan.
Hilda tidak menuntut Andira. Sejak awal, Hilda memang tidak yakin dengan dirinya. Ia juga tidak yakin bisa menjalani hubungan dengan Andira. Namun, kisah cinta Hilda tidak berhenti di Andira.
Suatu hari ia mendapatkan pesan dari seseorang yang tidak dikenal. Setelah mereka bercakap-cakap–ya, Hilda terlalu bosan dan menganggur sampai-sampai mau meladeni pesan asing begitu lama–ia tahu kalau yang si pengirim pesan merupakan kakak tingkat, Anka dari 12 IPA 1.
Anka ini bukan murid yang terkenal seperti Andira, yang meski baru kelas satu tapi sudah menjadi idola siswi SMA Mangunkusuma. Ia berkacamata. Rambutnya tidak panjang, tapi ia memiliki poni yang menutupi sebagian keningnya. Sebagai salah satu murid 12 IPA 1, jangan meragukan soal kepintarannya. Jelas, Anka yang berada di peringkat sepuluh besar di kelasnya termasuk anak yang rajin.
Tapi, bukan itu yang membuat Hilda kepincut dan beralih hati. Anka bagi Hilda seumpama kakak yang tidak pernah Hilda miliki. Sebagai anak pertama, Hilda selalu membayangkan apa jadinya kalau dia memiliki kakak. Dan sosok Anka datang seperti sambatan Tuhan.
***
“Aku dengan Kak Anka hanya sebentar, tapi kami putus baik-baik. Dia seperti kakak untukku.”
“Aa, aku juga pernah dengar cerita yang seperti itu,” sahut Lena. “Tapi akhirnya tidak baik. Si kakak tingkat, saat kuliah, hilang tanpa kabar. Temanku sampai kewalahan mencarinya.”
“Untungnya aku dan kak Anka enggak begitu.”
“Tapi, bukannya kamu dulu jurusan Ips? Kok bisa nomormu nyasar ke dia?” tanya Lena.
“Aku juga tidak paham mereka dapat nomorku darimana.”
“Mereka?” Lena memberi penekanan pada tiap suku kata.
“Iya, bukan hanya kak Anka.” Hilda lagi-lagi menghela napas dengan berat. Ia memijit-mijit dahinya, merasa pening tiap kali ingat pada salah satu mantannya.
“Yang ini sungguh parah. Dia sampai-sampai mencaci pekerjaan ayahku.” Hilda terdiam sejenak. Sepasang mata cokelatnya memandang jauh kala ingatannya menggali ke masa itu. Ia pun mulai bercerita tentang mantannya yang kurang ajar itu.
Bab 3 - Perjumpaan Pertama
Hilda sendiri tidak mengerti bagaimana nomor ponselnya tersebar sembarangan. Ia tahu nomornya memang disimpan oleh anak sekelas, baik itu untuk membicarakan tugas atau mendapat pesan berisi pengumuman untuk acara kelas atau sekolah. Namun, ia tidak habis pikir kalau ada orang yang menyebar nomornya ke murid sekolah lain.
Suatu hari, Hilda lagi-lagi mendapat pesan dari nomor asing yang mengaku teman dari Dani, salah satu anak laki-laki di kelasnya. Laki-laki ini, Angga, mengaku hendak menghubungi nomor lain, tapi malah nyasar ke nomor milik Hilda.
Hilda tidak sebodoh itu dan pengalamannya sebelum ini dengan kak Anka membuat Hilda tahu itu akal-akalan Angga saja. Meski demikian, Hilda tertarik untuk melanjutkan obrolan yang menyenangkan itu hingga akhirnya mereka bertemu sungguhan di warung soto yang letaknya di seberang SMA Mangunkusuma. Hilda mengiyakan ajakan itu karena dia sendiri penasaran dengan Angga. Dia juga tidak akan berpikir kalau Angga benar-benar datang.
Hilda mengajak seorang temannya untuk menemani, Tania namanya. Walau prestise SMK 1 baik, Hilda tetap saja takut dan grogi bertemu dengan orang asing. Bagaimana kalau Angga itu identitas palsu? Pikir Hilda dalam hati.
Hilda sudah mengkonfirmasi pada Dani jauh hari mengenai identitas Angga. Dani hanya cengengesan karena ketahuan memberikan nomor Hilda ke Angga. Tapi, keterangan yang ia dapat dari Dani, sosok Angga sungguh nyata dan rupanya bertemu dengan Angga tidak semenakutkan yang Hilda kira.
Sewaktu Hilda dan Tania berdiri di depan warung soto, tiba-tiba ada sebuah motor yang mendekati warung tersebut dan berhenti untuk parkir di depan sana. Pemuda tinggi dengan seragam putih-abu dengan lambang SMK 1 di sisi kiri lengan. Rambutnya cepak, tanpa poni. Kulitnya cukup bersih, tapi pada kedua pipinya tampak bekas jerawat dan kumis halus itu tampak habis dicukur.
Hilda maupun Tania terperangah melihatnya. Dalam hati, Hilda tidak yakin kalau itu adalah Angga yang selama ini ia ajak bertukar pesan. Tapi, pemuda itu menyebut namanya.
“Hilda, ya?”
“Iya.” Hilda cengengesan.
“Sori ya lama, tadi kelas terakhir yang nanya banyak banget.” Tawanya berat, tapi ekspresi Angga saat tertawa membuat hati siapa saja yang melihatnya terasa ringan.
“Yuk, duduk.” Angga menaruh helm di atas motor, lalu masuk ke warung soto. Pada ibu yang berjualan soto, Angga bilang, “Bu, soto tiga dan ... kalian mau minum apa?”
“Es teh saja.”
Seperti janjinya, Angga mentraktir Hilda. Tania adalah tambahan yang tidak Angga duga akan menjadi obat nyamuk di antara mereka. Jujur saja, Angga berusaha untuk tidak kelihatan tidak senang dengan keberadaan Tania di sana. Ia berusaha untuk mengobrol dengan Hilda tanpa melupakan Tania.
“Oh, jadi kamu dulu dipaksa masuk IPA?” Angga yang mengambil elektro tentu punya otak yang encer di bidang Saintek, tapi Hilda tidak demikian. Hilda lebih pandai menghapal daripada berhitung. Biologi dan Kimia mungkin bisa Hilda lalui tanpa bersusah payah, tapi untuk Fisika dan Matematika, ia memilih angkat tangan.
“Ya, itu satu-satunya momen dalam hidupku berbohong pada ayahku,” aku Hilda yang kemudian menyeruput es teh dari sedotan. “Jadi aku meminta tanda tangan ayahku lebih dulu, baru aku isi pilihan jurusanku. Aku juga meminta bantuan guru BK untuk memberikan hasil nilaiku yang lebih tinggi di bidang IPS daripada IPA. Ayahku benar-benar marah saat itu. Tapi aku bisa gila kalau di IPA.”
Baik Tania maupun Angga tertawa mendengar cerita Hilda. Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul lima sore. Angga, sebagaimana janjinya pada Hilda, membayarkan mereka makan.
“Aku jadi enggak enak,” aku Hilda.
“Enggak apa-apa kok,” kata Angga.
“Tapi beneran loh, aku enggak enak ditraktir begini. Kapan-kapan aku balas, ya.”
“Iya, iya ... santai aja.”
Setelah itu Angga pergi meninggalkan Hilda dan Tania. di perjalanan pulang, Tania tidak berhenti mengagumi Angga.
“Gila! Kamu dapat yang seperti itu darimana sih? Baik banget tau. Aku bisa lihat dia suka banget sama kamu. Aku berasa jadi obat nyamuk tau! Untung ditraktir, kalau enggak males banget deh.”
“Maaf ya, abisnya aku takut. Dia temennya Dani. Katanya dapet nomorku dari Dani.”
“Si Dani, ckck,” Tania berdecak sambil menggelengkan kepala, tidak percaya.”Tapi aku jadi kepingin deh begitu.”
“Haha, coba minta Dani saja. Kurasa dia punya banyak kawan di SMK 1,” kata Hilda.
Hilda dan Tania terus membicarakan soal Angga maupun murid SMK 1 selama di angkot. Rumah mereka satu arah, tapi Tania akan turun lebih dulu dan sepuluh menit setelahnya barulah Hilda turun dan berjalan kaki menuju rumah.
Perutnya kenyang. Hatinya senang. Hilda merasa amat bahagia hari itu. ketika malam tiba, Angga mengirimnya pesan. Angga bilang dia juga senang sekali bertemu dengan Hilda. Hilda pun begitu. Sembari mengerjakan pr, ia membalas pesan dari Angga.
“Mainan HP terus,” celetuk ayah Hilda yang melihat anak gadisnya bermain ponsel.
Hilda meletakkan ponsel, lalu menyahut, “Aku belajar juga kok, Pak.”
“Jangan sering-sering mainan HP,” pesan ayah Hilda.
“Iya, Pak.”
Ayah Hilda meninggalkan Hilda yang masih di kamarnya dengan pintu terbuka. Hilda berpamitan pada Angga dengan bilang “Aku disuruh bapakku belajar, sudah dulu ya.”
Bagi Hilda, kata-kata yang dia ucapkan adalah sesuatu yang wajar, tapi Angga berpikir itu adalah pesona Hilda. Anak baik-baik, rajin, patuh pada orang tua. Ketiga poin itu membuat Hilda memesona dan membuat Angga ingin mendapatkan Hilda.
***
“Kedengaran seperti cowok baik-baik,” Lena berkomentar sembari membalas pesan yang masuk.
“Awalnya,” Hilda mempertegas. “Dia yang paling lama denganku.”
“Oh, ya? Berapa lama?” sekarang atensi Lena kembali pada Hilda sepenuhnya.
“Sekitar setahun. Kami putus-nyambung. Aku sampai-sampai turun 10 kilo dan jadi kurus karena dia,” Hilda menurunkan pandangannya. Ia mengingat masa-masa menyebalkan yang ia lalui karena seorang laki-laki.
“Kedengarannya buruk.”
“Sangat.” Hilda mengangguk. Dia kembali bercerita.
Bab 4 - Semanis Cokelat
Hilda dan Angga belakangan sering bertemu. Angga sering beralasan kalau ingin atau habis bertemu dengan Dani. Tapi lama kelamaan, karena saking terbiasanya Hilda melihat Angga di depan sekolah dengan motor bebeknya itu, Hilda jadi tidak bertanya lagi.
Hari ini juga sama. Angga berada di depan sekolah, duduk di atas motor bebek. Dia baru saja tiba lima menit yang lalu, tepat setelah bel SMA Mangunkusuma berbunyi–sedangkan bel SMK 1 berbunyi setengah jam yang lalu. Angga melepas helm dan melempar pandangan ke arah gerbang SMA Mangunkusuma. Ia membuka ponsel dan mengecek jam, tapi dari jauh dirinya tampak seperti menunggu seseorang datang.
Bukan Hilda. Bukan.
Dia memang datang untuk gadis itu, tapi dia tidak bisa terlihat seperti itu. Kawannya bilang, ini adalah teknik paling manjur untuk mendapatkan hati seseorang.
Ketika Hilda bersama Tania keluar dari gerbang, Hilda yang melihat Angga di depan sekolah menyapanya.
“Eh, Angga,” sapa Hilda. “Nyari Dani lagi?”
Angga tersenyum kecut dan mengangguk. “Iya, katanya mau bareng. Tapi gatau juga,” Angga mengangkat bahu. “Kuhubungi enggak bales-bales.”
“Oh, jam terakhir tadi Ekonomi sih.”
Jam pelajaran Ekonomi adalah jam pelajaran paling sakral, lebih parah dari matematika. Kalau diurutkan siapa guru paling menakutkan di sekolah, Hilda akan menaruh Bu Siti, si guru Ekonomi, dibandingkan Pak Ali, guru Matematika. Ada yang bilang, Bu Siti memang selalu PMS setiap saat. Tapi, setidaknya di kelas Hilda Bu Siti tidak segalak itu. Teman-temannya berkata ini berkat Hilda yang selalu bisa menjawab pertanyaan Bu Siti, sementara di kelas lain murid-murid selalu kena marah karena tidak ada yang bisa menjawab.
Sebenarnya, bukan hanya di pelajaran Ekonomi Hilda sering menjawab atau melemparkan pertanyaan kepada guru supaya kelasnya selamat dari amuk guru. Hilda memang terbiasa menyiapkan diri untuk pelajaran yang berlangsung di keesokan hari. Ia begitu karena tidak mau menyia-nyiakan uang yang dikais ayahnya dengan mengayuh becak. Beruntungnya, Hilda memiliki ingatan bagus, selain ia tekun belajar. Apa yang dibacanya langsung menempel di otak sesaat kemudian. Itu pun untuk jangka waktu yang cukup lama.
Kemampuan mengingat untuk jangka panjang milik Hilda bukan hanya berlaku di mata pelajaran. Ia ingat dengan kebiasaan Angga yang menjadikan Dani alasan melulu. Walau Hilda menaruh curiga, dia tidak mungkin menodongi Angga serentetan pertanyaan.
“Guru ekonomi killer banger ya?” tanya Angga.
“Begitulah,” jawab Hilda. “Ya sudah, aku pulang duluan ya.”
“Eh, sebentar!” suara berat Angga meninggi sedikit. Hilda dan Tania yang semula hendak melangkah pergi kini mengembalikan atensi mereka pada Angga. “Enggak mau bareng?” seolah melupakan keberadaan Tania, Angga bertanya demikian.
“Enggak usah, Ngga, nanti Tania enggak ada yang nemenin.” Tania langsung menyikut Hilda.
“Enggak apa, kok. Kalian bareng aja, aku–eh Sita!” kebetulan, Sita yang rumahnya searah dengan Tania maupun Hilda, baru saja keluar dari gerbang sekolah. “Aku bareng Sita aja, Daaah!” Tania langsung melesat pergi meninggalkan Hilda dan Angga.
Hilda sebenarnya tidak masalah ditinggal bersama dengan Angga, tapi dia selalu merasa tidak enak karena menyelonong naik motor tanpa helm kalau dibonceng Angga.
“Sampai pangkalan angkot, enggak apa-apa?” tanya Hilda.
“Oh, serius? Enggak mau sampai rumah aja?” setelah lima kali memboncengi Hilda, baru 2 kali Angga mengantarkan gadis itu sampai depan rumah.
“Iya, aku takut kalau ada polisi. Takut kenapa-kenapa juga.” Bayangan adegan kecelakaan yang mungkin terjadi berseliweran di dalam kepala Hilda.
“Oo, ya sudah. Ayo!” ajak Angga.
Hilda pun naik. Angga memutar kunci dan menyalakan motor itu. Tidak membutuhkan waktu lama untuk tiba di pangkalan angkot yang jaraknya hanya tiga ratus meter dari sekolah. Padahal, Angga sudah sengaja melambatkan laju motor. Tapi mereka akan tiba di sana dalam lima menit jika Angga tidak berbelok ke mini market.
“Ke sini sebentar, ya,” kata Angga saat mematikan mesin motor.
Hilda turun dari motor dan mengangguk. Angga melepas helm dan membawa masuk. Ia membuka pintu, lalu menahannya sampai Hilda ikut masuk ke dalam mini market. Setelah itu dia berjalan ke tempat es krim, tapi kemudian berlalu. Sementara itu, Hilda hanya berjalan mengekori.
“Mau nyari apa memangnya, Ngga?” tanya Hilda.
“Masih bingung. Aku ingin cemilan. Enaknya es krim atau cokelat?”
Hilda jadi membayangkan. Kalau dia menjadi Angga, yang ia inginkan sesampainya di rumah adalah, “Cokelat saja. Kalau es krim, takutnya pas sampai rumah harus dibekukan dulu. Kan kalau cokelat enggak akan lembek-lembek amat kalau nanti langsung dimakan.”
Angga mengangguk-angguk. Dia mengambil sebatang cokelat Silverqueen, lalu membayar di kasir. Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke pangkalan angkot. Tapi, sebelum Hilda pergi masuk ke dalam angkot, Angga menahan Hilda dengan menggamit lengan gadis itu.
“Buat kamu,” kata Angga seraya mengulurkan kantung plastik berisi cokelat yang tadi ia beli.
“E-eh?” Hilda kehabisan kata-kata, dia bingung harus bereaksi seperti apa.
“Dimakan, ya.” Angga menyerahkan plastik itu, lalu pergi meninggalkan Hilda.
Hilda menatap punggung Angga yang kian menjauh, lalu plastik berisi cokelat di tangan. Pipinya bersemu, tapi suara kenek angkot membuatnya buru-buru masuk ke dalam angkot yang segera berjalan.
Cokelat itu ia masukkan ke dalam tas. Ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kak Anka pernah membelikannya cokelat, tapi itu sewaktu mereka berpacaran. Sedangkan Andira, hanya membelikannya sebotol air mineral sewaktu kegiatan OSIS.
Angga, kalau menurut Dani, memang berasal dari keluarga berada. Hal ini membuat Hilda tidak mau berandai-andai untuk menjadi kekasih Angga atau memercayai Angga menyukainya sebagaimana yang Tania ucapkan berulang kali. Memang, kelakuan Angga seperti menyukai dirinya. Apalagi dengan kejadian barusan, dimana Angga membelikannya cokelat, membuat Hilda semakin merasa yakin kalau Angga memendam rasa padanya.
“Kenapa, Nak? Kok senyum-senyum sendiri.” Sewaktu melihat Hilda yang memakan cokelat di ruang tamu, ibu Hilda bertanya.
“Hehe, cokelatnya enak, Bu. Ibu mau?” pipi Hilda bersemu, tapi ia berpura-pura untuk tetap seperti biasa. Ia memotek cokelat itu, lalu memberikan potongannya pada sang ibu. Sore itu, Hilda bercerita pada ibunya tentang Angga. Ibunya mendengarkan cerita Hilda dan baru berkomentar saat pertamanya itu bertanya.
“Menurut ibu, Angga suka sama aku?”
“Kelihatannya begitu.”
“Ibu setuju enggak kalau aku sama Angga jadian?”
“Kalau memang kamu senang dan tidak bikin lupa belajar, ibu tidak masalah kok kamu pacaran.” Ibu Hilda menepuk pundak anaknya.
Bab 5 - Hadiah Terbesar
Kemarin, setelah berbicara dengan ibunya, Hilda membantu menyapu halaman dan menyisakan cokelat untuk adiknya, Rudi. Adiknya senang sekali karena sepulang bermain futsal di lapangan dirinya disuguhi sepotong cokelat. Rudi bukannya tidak bisa membeli cokelat dengan uang jajan yang ia tabung setiap harinya, tapi ia lebih memilih menyimpan duitnya untuk membeli sepatu futsal–yang mungkin baru bisa ia beli tiga sampai lima tahun lagi.
Sementara Hilda, dia senang bisa membuat adiknya senang. Hubungan mereka tidak akur melulu. Sesekali mereka bertengkar karena hal remeh, seperti Rudi yang mengambil pensilnya tanpa bilang-bilang, tapi bisa dibilang hubungan kakak-beradik ini akur. Bila bersama Angga bisa membuat keluarganya bahagia, Hilda tidak perlu dilema dan menerima segala perhatian yang Angga punya untuknya.
Akan tetapi, tiap kali Hilda mematut diri di cermin, perasaan segan itu kembali hadir mengisi hati. Ia membayangkan dirinya bersisian dengan Angga. Angga punya tubuh yang tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia. Sekitar 175 senti tingginya, beda sepuluh senti dengan Hilda yang termasuk tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia. Hilda pun tidak langsing. Makannya tidak banyak-banyak amat, tapi pipinya tembam dan bulat. Hilda sendiri selalu mengaku dirinya tidak cantik. Hidungnya pesek. Lebih sering wajahnya berkeringat. Kalau datang bulan, wajahnya ditumbuhi jerawat. Kulitnya memang bersih–keturunan ibunya, sementara ayahnya berkulit sawo gelap--, tapi selain itu dia tidak punya keunggulan lain kalau itu soal fisik.
Sementara itu Angga tampak berasal dari keluarga berada. Baik itu dari motor bebek yang selalu mengkilap seperti dibersihkan tiap hari, maupun dari tas merk Adidas yang ia gunakan–sebagaimana merk sepatu yang ia punya. Hilda tidak tahu banyak tentang merk barang, tapi ia sering mendengar Tania yang menyebutkan kalau apa yang Angga kenakan semuanya serba bermerk, termasuk jam Swatch yang Angga kenakan setiap hari. Modelnya biasa, tapi Hilda sendiri sudah memastikan ada tulisan “Swatch” seperti yang Tania tebak.
Harta bukanlah sesuatu yang Hilda pandang dari seseorang. Dia menganggap Angga maupun dirinya berada di strata yang sama, menurut klasifikasi yang ayah Hilda ucapkan. Ayah Hilda pernah bercerita di meja makan. Intinya, selama mereka masih berpikir besok akan makan apa, tandanya mereka masih belum miskin–masih lebih baik daripada bertanya besok bisa makan atau tidak.
Menurut Hilda, dirinya dan Angga berada di posisi yang sama. Keluarga mereka sama-sama membayangkan apa yang hendak dimakan besok. Perbedaannya hanya pada merk dan itu bukan hal besar.
Hari ini, tiga hari setelah Angga memberinya cokelat, hari Jumat, Hilda pulang lebih awal, yaitu pukul 9 pagi. Dia tidak kesampaian bertemu Angga hari itu. Ini sudah hari ketiga tanpa Angga. Hilda merindu, tapi dia sendiri merasa lucu dengan kelakuannya ini. Dia dan Angga bukan apa-apa, tidak ada hubungan yang lebih dari teman. Tapi rasa cokelat kemarin masih terasa di lidahnya. Tapi rasanya dibonceng Angga setiap saat masih terasa pada lengannya, yang tidak sengaja bersentuhan dengan punggung Angga saat pemuda itu mengerem.
“Si Angga enggak sms kamu lagi?” sewaktu Hilda dan Tania berjalan menuju pangkalan angkot, Tania bertanya.
“Masih, tapi enggak sesering dulu,” bahu Hilda melorot saat mengingat hal itu. “Katanya sih ada ujian praktek.” Lalu bahunya terangkat kembali mengeringi gelengan kepalanya.
“Hee ... jangan-jangan kamu lagi ditarik ulur,” Tania terkekeh saat berkata demikian. Ini bukan kali pertama Hilda meladeni laki-laki seperti itu. Tania mungkin belum tahu, hubungan Hilda dan Andira jauh lebih parah daripada ini–ya, saat itu Hilda berpikir begini.
“Mungkin, ya.” Hilda menjawab tanpa menoleh ke Tania yang berjalan di sisi kirinya. Pikirannya dipenuhi dengan beragam skenario, tapi sesaat ketika matanya mengerjap, semua itu hilang. “Tapi kupikir, sepertinya dia hanya menganggapku teman.”
“Mana mungkin!” bantah Tania dengan cepat. “Dia jelas-jelas suka kamu. Cepat atau lambat, paling-paling dia nembak kamu!”
“Haha, ya kali ...,” Hilda hanya bisa tertawa mendengar celetukkan Tania.
***
“Ceritamu terdengar menyenangkan,” Lena menginterupsi. Ia tengah membayangkan situasi yang Hilda hadapi saat itu. Semuanya terkesan manis, seperti kisah cinta yang tertulis di novel atau direkam oleh film.
“Kapan pdkt terasa tidak manis?” kekeh getir itu adalah milik Hilda. “Aku benar-benar menyesal, sungguh.”
“Ucapanmu ada benarnya,” Lena tampak mengamini.
“Dia menarik-ulurku, seperti yang Tania bilang. Kadang sms-nya pendek atau dia seolah memaksaku untuk mengirimi pesan lebih dulu, mencari-cari topik obrolan. Aku pernah menanyakan hal bodoh padanya.”
“Tentang apa?” tanya Lena.
“Tentang lampu bohlam. Aku bilang lampu kamarku mati–tidak bohong sebenarnya, tapi aku bisa bertanya ke tukang lampu daripada dia yang anak elektro,” Hilda menenggelamkan wajahnya pada bantal bersarung merah dengan motif batik.
“Haha, modus!” Lena menertawai Hilda, tapi itu tidak menghentikan Hilda untuk bercerita mengenai kisahnya dengan Angga. “Tapi setidaknya modusmu berhasil. Angga jadi pacarmu juga pada akhirnya. Bagaimana kalian jadian?”
“Ah, itu ....”
***
Itu adalah hari terburuk yang Hilda punya salam setahun penuh. Mood-nya sedari pagi berantakan. Dia menghilangkan pulpen yang ia suka semalam. Ayahnya bilang untuk tidak memperbesar perkara karena itu hanya pulpen. Melihat Ayahnya yang condong membela Rudi, Hilda menjadi kesal. Dia pergi sekolah dengan sepasang bola mata cokelat yang membara. Ia tidak menggubris semua sapaan di pagi itu dan jam pertama serta kedua yang kosong membuat kelas terasa ribut. Ia menyepi di perpustakaan selama dua jam itu. Ia mulai bisa tenang saat jam istirahat di pukul 12 siang.
Selang dua jam, Hilda mendapat pesan dari Angga. Sebenarnya Hilda capek sekali hari itu dan ingin mengatakan tidak pada Angga. Tapi karena Angga berkata harus hari itu mereka berjumpa dan Tania bilang untuk mengiyakan permintaan itu, Hilda akhirnya bertemu dengan Angga sepulang sekolah.
Hilda menunggu Angga di depan gerbang. Sewaktu Angga tiba dan membuka kaca helm, bibir Hilda merekahkan senyuman. Seperti ada tombol yang mengaktifkan rasa bahagianya sewaktu Angga datang, perasaan sebal akibat pulpen itu sirna sudah.
“Ayo, naik!” ajak Angga.
Hilda mengangguk lalu naik ke atas motor. Ia tidak tahu Angga mau mengajaknya kemana, tapi jalanan yang mereka lalui berupa gang, alih-alih jalan besar dimana polisi siap menilang mereka. Lalu mereka pun tiba di warung bakso. Aroma kuah bakso tercium lezat dan membuat Hilda merasa lapar.
“Kata temanku bakso di sini enak,” jelas Angga saat menaruh helm pada kaca spion sebelah kanan.
Angga memesan dua mangkuk bakso untuk mereka berdua. Hilda mencari-cari topik selagi melihat Angga yang memesan bakso. Sampai saat Angga berjalan kembali ke meja, Hilda tidak mendapatkan topik apapun yang bisa ia utarakan. Ia juga merasa tidak enak pada Angga yang membelikannya bakso. Selama ini, Angga selalu mentraktirnya macam-macam, sementara Hilda tidak melakukan hal selain meladeni ajakan Angga.
“Aku enggak enak kamu traktir mulu,” aku Hilda pada Angga yang baru saja duduk.
“Enggak apa-apa, aku yang ngajak kamu ke sini, kan.” Senyum Angga saat itu membuat Hilda merasa teduh, seperti ada angin sepoy-sepoy yang berhembus di sana dan menyejukannya lebih dari segelas es teh yang baru saja tiba.
“Terima kasih, Pak,” kata Angga maupun Hilda pada bapak yang baru saja menyajikan dua gelas es teh di meja.
“Kamu mau bicara apa?” Hilda bertanya langsung karena dia benar-benar tidak memiliki topik lain untuk dibicarakan.
“Nanti dulu,” jawab Angga. Lalu dua mangkuk bakso tiba di tempat. Lagi, keduanya mengatakan terima kasih pada bapak yang mengantarkan makanan. “Makan dulu baksonya.”
Selama memakan bakso, Hilda diam-diam tak sabar mendengar apa yang hendak Angga katakan padanya. Namun, Angga malah membicarakan tentang ujian prakteknya minggu lalu, menanyakan Tania atau Dani, dan mengakui kalau bakso di tempat itu enak. Sampai es teh diseruput habis oleh Hilda, Angga belum juga mengatakan maksud sms-nya. Angga malah mengajak Hilda naik ke motor lalu membawanya pergi ke toko yang menjual helm dengan berbagai bentuk.
“Aku mau ngasih hadiah,” kata Angga. “Bantuin aku pilihin, ya.”
“Mm ..., oke.” Hilda merasa enggan, tapi ia telah merepotkan Angga sehingga permintaan sederhana itu ia lakukan tanpa penolakan.
Mereka akhirnya membeli sebuah helm. Hilda yang menunjuknya, warnanya merah dan modelnya biasa. Angga menawarkan model yang lebih kekinian, tapi membayangkan sosok yang akan diberikan helm itu, Hilda tidak suka dan malah memilihkan yang biasa-biasa saja. Mood-nya memang sedang kurang bisa diajak berkompromi hari itu.
Sewaktu di depan toko, Angga menyerahkan helm itu pada Hilda.
“Dipakai helm-nya,” kata Angga dengan santai.
“Hah?” Hilda melongo. Matanya bolak-balik memperhatikan Angga maupun helm yang berada di tangan pemuda itu.
“Iya, buat kamu.” Angga tersenyum menahan tawa. Ekspresi Hilda ingin ia abadikan dalam ponselnya, tapi apa daya, gadis itu sudah mengganti ekspresinya dengan cepat.
“Serius? Buat aku? Ya ampun, Angga. Aku enggak mau ngerepotin kamu,” Hilda belum bisa menerima helm yang Angga berikan.
“Iya aku serius. Biar setelah ini aku bisa antar-jemput kamu dan enggak akan kena razia.” Alasan itu selalu Hilda ucapkan saat menolak tawaran Angga. Sekarang, dengan adanya helm itu, Hilda tidak akan menolak tawarannya lagi–begitu pikir Angga.
“Tapi, ini kan mahal.” Hilda lihat sendiri tadi berapa harganya. Memang tidak semahal hel model kekinian, tapi tetap saja mahal untuknya.
“Kalau begitu kamu harus membayarnya,” Angga mengusap pangkal hidungnya. Ia terlihat kikuk dan Hilda jadi kebingungan melihat tingkah Angga.
“Aku cicil, boleh?”
“Bukan, bukan uang,” Angga menggeleng pelan. “Aku mau kamu jadi pacar aku.” Saat mengatakan itu pipi Angga memerah. Matanya bergerak tidak karuan. Baginya, mengaku suka pada seseorang adalah pengalaman pertama yang ia punya. Selama ini tidak pernah ada perempuan yang mampu memikat hatinya. Walau tahu bagaimana latar belakang Hilda dari Dani, Angga tetap tertarik pada gadis itu dan rela memberikan apapun pada Hilda. Baginya, helm ini tidak seberapa.
“Bagaimana?” mereka berdiri lama di sisi motor yang terparkir. Untungnya mereka tidak terusir oleh tukang parkir yang sudah sedari tadi melihat ke arah sana untuk menagih uang. “Sudah ditunggu loh,” Angga mengedik ke arah tukang parkir yang kemudian mengalihkan pandangan mata.
Hilda terkekeh malu, lalu mengambil helm itu. Dia tidak bilang secara langsung kalau dirinya mau menjadi pacar Angga, tapi dengan menerima helm dari Angga, pemuda itu sudah tahu jawaban yang ia dapatkan. Hari itu Angga merasa menjadi laki-laki paling bahagia di dunia. Ia bisa melihat Hilda malu, menjadikan gadis itu kekasihnya, dan juga mengetahui tempat tinggal gadisnya–ya, ia bisa bilang itu sekarang.
Bab 6 - Kejutan di Hari Minggu
Mereka telah berpacaran sebulan. Helm merah itu menjadi saksi bisu terikatnya dua insan yang berbeda sekolah. Sejak saat itu, Hilda diantar jemput oleh Angga setiap hari. Ya. Setiap hari karena tak jarang di akhir pekan mereka menghabiskan waktu bersama.
Bedanya berpacaran dengan tidak adalah Hilda dan Angga punya alasan untuk bertemu di akhir pekan. Mereka bisa bertemu dengan alasan ingin mengunjungi tempat tertentu atau sesederhana merindu. Seperti hari Minggu itu, misalnya. Sejak dua hari yang lalu, yaitu hari Jumat, Angga berniat mengajak Hilda jalan-jalan ke mall untuk menonton film di bioskop. Pergi ke bioskop merupakan hal mewah untuk Hilda, tapi bukan berarti sebelum itu ia tidak pernah ke bioskop. Walau merasa tidak enak pada Angga yang sudah pasti akan membayarinya tiket, Hilda tidak bisa menolak ajakan Angga.
Akan tetapi, di hari H, Hilda mendadak merasa tidak nyaman. Ini hari keduanya datang bulan. Sesekali perutnya terasa sakit dan yang paling buruk adalah dia menjadi lebih sensitif. Hari Minggu adalah hari yang Hilda tunggu-tunggu, tapi akibat datang bulan, mood-nya hancur di hari itu. ia pun mengirim pesan pada Angga untuk bilang kalau dia tidak enak badan dan tidak bisa pergi ke bioskop bersama.
Biasanya Angga akan menanyainya macam-macam dan berulang kali meyakinkan apa benar Hilda menolak penawarannya, tapi kali itu Angga cenderung pasif dan berhubung fokus Hilda saat itu tidak di sana, ia tidak perbedaan dari cara Angga menjawab sms-nya.
Tiga puluh menit berlalu. Pesan terakhir Hilda tidak dibalas lagi oleh Angga. Agaknya, Hilda merasa kecewa dan sepi. Akhir pekan itu rumahnya sepi. Ayah, ibu, dan adiknya pergi ke rumah tante mereka yang belum lama melahirkan. Hilda memilih untuk tinggal di rumah. Alasannya sama, dia tidak enak badan.
Sewaktu Hilda hendak duduk di kursi dan menyalakan televisi, suara ketukan pintu terdengar. Gadis itu pun berjalan dengan lamban ke arah pintu. Ia sengaja melambatkan langkahnya karena merasa heran siapa gerangan yang mampir ke rumahnya. Rumah mereka memang jarang didatangi tamu. Jadi Hila sempat berpikir suara ketukan pintu barusan adalah milik pintu rumah di sebelahnya. Namun, suara ketukan pintu itu kembali terdengar. Hilda pun menyahut, “Sebentar.”
Waktu Hilda membuka pintu, matanya terbelalak. Ia mengatup mulutnya rapat-rapat, bahkan menggigit bibir bawahnya agar tidak mangap karena terkejut melihat Angga tiba di rumahnya.
“Loh, Angga, kok kamu ke sini?”
“Memangnya gak boleh?”
“Bukannya gak boleh, tapi ... kenapa?”
“Aku tahu kamu lagi dapet.” Angga mengulurkan seplastik apel pada Hilda.
“Ya ampun, maaf jadi ngerepotin.” Hilda bergeser lalu mempersilakan Angga untuk masuk. “Silakan, masuk.”
Angga pun masuk. Pintu rumah itu Hilda biarkan terbuka. Dia berjalan ke dapur dan bertanya pada Angga yang mengekori langkahnya. “Kamu mau minum apa? Jus mau?”
“Apa aja asal kamu gak repot. Kan katanya kamu lagi gak enak badan.”
“Ihh, apa deh!” Hilda mendengus. Baginya ucapan Angga barusan seperti ledekan daripada serangkaian perhatian. “Kamu duduk dulu aja di sini, aku mau bikinkan minum.”
Hilda pun menyiapkan dua gelas jus jeruk yang diberi es. Saat ini tengah kemarau dan di luar sana mataharinya amat terik. Meneguk segelas jus jeruk dingin pasti akan membuat dahaga lega, begitu pikir Hilda.
Hilda sajikan jus jeruk itu di atas meja lalu ia dan Angga duduk di ruang tamu. Selain membawa jus, Hilda juga sudah mencuci apel dan membawa pisau, piring, serta plastik untuk sampah kulit apel.
“Keluargaku lagi ke rumah tanteku,” ucap Hilda sambil mengupas apel.
“Oh, pantas sepi,” Angga mengangguk.
Ditinggal berduaan dengan Hilda di rumah yang sepi itu membuat Angga kikuk. Bukan hanya Angga rupanya, tapi Hilda pun merasa demikian. Maka dari itu dia membiarkan pintu terbuka. Setidaknya angin dari luar sana bisa menemani kedua sejoli yang gugup karena rumah itu begitu sepi apabila tidak ada percakapan yang berlangsung.
Setidaknya, Hilda tidak perlu berdiam diri dan mencari kesibukan. Tangan dan matanya fokus pada sebuah apel yang ia kupas dan potong, lalu ia sajikan di atas piring warna hijau. Sampahnya ia buang ke dalam kantung plastik yang tadi dibawa angga untuk menampung apel-apel itu.
“Dimakan apelnya, Ngga,” kata Hilda yang sudah memotong setengah apel itu dan menyajikannya pada piring.
“Aku kan bawa ini buat kamu.” Walau dia bilang begitu, Angga tetap mengambil garpu dan menancapkannya pada apel yang telah Hilda potong.
Potongan apel yang Hilda buat begitu rapi dan tidak membuang banyak bagian. Dia memotong kulitnya dengan tipis dan ciamik. Dari sana Angga tahu kalau Hilda sering berkutat di dapur. Caranya memotong apel persis seperti yang ibu Angga lakukan.
Bicara tentang keluarga Angga, dia anak semata wayang. Berbeda dengan Hilda yang memiliki adik laki-laki bernama Rudi, Angga hanya seorang diri. kasih dari ayah dan ibunya tercurahkan untuk Angga seorang. Belum lagi dia ini berasal dari keluarga berada. Makanya, membelikan helm atau membawakan apel untuk Hilda bukan perkara besar untuk Angga.
“Kamu juga, makan.” Angga menyodorkan apel yang menancap pada garpu. Sikap Angga yang tiba-tiba seperti itu selalu bisa membuat Hilda gugup. Degup jantungnya begitu kencang sampai-sampai ikut menabuh gendang telinga. Hilda mana mungkin mengabaikan uluran apel itu. Tapi, dia tidak bisa menerima suapan itu tanpa mengambil garpu yang dipegang Angga.
Angga tidak menyesal saat Hilda memilih untuk menyuapi dirinya sendiri dengan mengambil garpu yang semua ia pegang. Menurutnya, melihat Hilda yang gugup dan malu-malu sudah membuat perasaan Angga senang. Setidaknya ia tahu, Hilda sama-sama menyukai dirinya dan bisa dibuat jatuh hati semakin dalam dengan perlakuannya.
Satu jam berlalu dan lebih banyak mereka mengobrol membicarakan kegiatan yang akan dilakukan besok Senin. Setelah itu, Angga pamit untuk pulang. Hilda mengantar Angga keluar dan berdiri di depan rumah sampai motor Angga menjauh. Melihat Angga yang pergi meninggalkannya membuat hatinya terasa hampa. Seperti ada yang hilang, tapi Hilda segera masuk dan merapikan ruang tamu agar terlihat seperti semula. Entah mengapa ia merasa malu kalau keluarganya tahu Angga baru saja datang kemari.
Bab 7 - Sosok yang Sedap Dipandang
Ada kalanya Hilda tidak mengerti apa yang Angga maksud dalam pesan yang pemuda itu kirim. Seperti waktu pagi itu, misalnya. Hilda yang mencuri-curi waktu untuk mengirim pesan di saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, sedangkan Angga di pelajaran Fisika. Angga mengakhiri pesan mereka dengan tulisan “Ouuuuuu” untuk membalas sms Hilda mengenai tulisan Ahmad Tohari yang sedang Hilda baca untuk tugas Bahasa Indonesia kali itu. Karena tidak tahu harus bereaksi apa, Hilda memasukkan ponsel dan kembali membaca.
Saat ini jam pelajaran Bahasa Indonesia. Bu Susi, guru Bahasa Indonesia, mengharuskan tiap murid untuk berada di perpustakaan dan mengambil sebuah buku non-fiksi untuk dibaca. Perpustakaan SMA Mangunkusuma memiliki perpustakaan terlengkap, mengalahi perpustakaan daerah. Sekolah itu mempunyai kepala sekolah yang mewajibkan muridnya tidak ketinggalan soal literasi. Oleh karena itu, tidak jarang pada jam pelajaran Bahasa Indonesia para murid diajak ke perpustakaan untuk membaca.
Buku Ahmad Tohari yang tengah dibaca Hilda saat ini diambilnya secara acak. Ia tidak tahu kenapa, tapi sampul kuning seperti pisang itu memikatnya. Mata Yang Enak Dipandang adalah judul buku yang sedang Hilda baca, sebuah buku kumpulan cerpen dari Ahmad Tohari. Tidak Hilda duga, isi buku itu membuat Hilda berulang kali mengerutkan dahi. Selain adanya kata-kata yang sulit untuk Hilda mengerti, ia tidak mengira kalau kisah yang tertuang di buku itu akan membuatnya ngeri. Pada akhirnya Hilda menutup buku itu usai menamatkan dua cerpen dari sekian cerpen yang ada di buku kuning tersebut. Sewaktu ia mengerjapkan mata dan meluruskan pandangan, ia menyadari keberadaan pemuda lain di mejanya, yang duduk di hadapannya.
Pemuda itu memiliki rambut kecokelatan–sepertinya asli, tapi mungkin karena kelamaan terpapar matahari. Kulitnya putih, amat putih sampai-sampai Hilda bisa melihat nadi pemuda itu. Hilda jadi meragukan kembali soal keaslian rambut cokelat pemuda itu. Lalu bibirnya amat merah, seperti diberi gincu, tapi mana mungkin laki-laki menggunakannya. Yang jelas, sosok di hadapan Hilda membuat gadis berbando hitam itu mengerjapkan mata berulang kali dan tanpa ia sadari, sosok itu tahu kalau dirinya sedang dipandangi.
Jika judul buku yang baru saja Hilda baca mengisahkan tentang pengemis buta, alias yang tergambar di cerita itu tidak benar-benar sedap dipandang, sosok di hadapan Hilda saat ini benar-benar sedap dipandang. Selain kulitnya yang tampak bersih, aura di sekitar pemuda itu mengingatkannya akan Andira. Kharismatik, kata teman-temanya semasa SMP.
“Kau mau baca ini?” suara pemuda itu dalam, beda dengan penampilannya yang tampak segar.
Hilda tidak langsung menjawab. Matanya mengarah pada buku yang terangkat dan memamerkan sampul bertopeng hitam dengan latar oranye kemerahan, sewarna lembayung senja. Tulisannya besar: Lelaki Harimau Eka Kurniawan. Jelas saja Hilda tidak mengenal siapa itu Eka Kurniawan dan apa itu Lelaki Harimau. Hilda menggelengkan kepala. Ia tidak menutupi ketidaktahuannya akan buku itu. Ia bahkan sampai berkata,
“Aku takut isinya seperti ini.” Ia memegangi buku Ahmad Tohari itu kembali.
Baru Hilda sadari saat ia mengalihkan mata, mencari fokus lain selain dua mata cokelat terang milik pemuda anonim itu, murid kelasnya telah banyak yang menghilang dari perpustakaan. Ia bahkan tidak menemukan keberadaan Bu Susi yang tadi duduk di sofa dan mengobrol dengan penjaga perpustakaan. Mungkin Hilda melewatkan perintah untuk kembali ke kelas karena asyik mengirimi Angga pesan atau mungkin karena Hilda terlalu fokus pada cerpen yang ia baca. Yang manapun itu, Hilda tidak merasa perlu beranjak dari sana karena setelah jam pelajaran Bahasa Indonesia tuntas adalah waktu istirahat pertama.
“Menurutku tulisan Eka Kurniawan lebih bisa dinikmati, kecuali kamu tidak menyukai paragraf panjang,” kata pemuda itu.
Hilda menjatuhkan pandangan matanya pada buku yang dipegang jemari jenjang milik pemuda tersebut.
“Entahlah, panjang atau pendek belum tentu aku bisa mengerti.” Hilda menutup mata sejenak dan menghembuskan napas dengan berat. Ia memang kadang pergi ke perpustakaan, tapi untuk menyepi, bukan membaca buku karena gemar. Lagipula menurutnya buku yang perpustakaan sekolah punya terlalu berat. Ia ingin cerita yang biasa-biasa saja dan bisa dinikmati olehnya, membuatnya ketawa, seperti buku yang Tania punya tentang remaja yang kasmaran. Buku seperti itu bisa membuat Hilda tersenyum malu atau terkekeh pelan. Yah, intinya yang membuatnya bahagia, bukan sakit kepala atau ngeri. Hilda bahkan tidak tahu apa jadinya kalau sehabis ini ia bertemu dengan pengemis buta di pinggir jalan.
“Aku paling tidak bisa mengartikan makna tersirat,” Hilda mengaku. “Tapi kalau diberi bacaan yang frontal begini, aku malah takut.” Ia sekarang memperhatikan buku kuning itu lagi.
Perkataan barusan membuat Hilda tercenung. Ia mengingat-ingat kalau tadi dirinya sempat memusingkan isi pesan yang Angga kirim. Tidak lama setelah itu, Hilda memusingkan isi buku yang perlu ia buat resensinya nanti. Kalau dipikir-pikir, Hilda menjadi yakin kalau Bahasa bukan subjek yang bisa dirinya kuasai. Mengartikan sesuatu yang maknanya beraneka ragam terlalu sulit untuk ia cerna. Tanpa memahami kebutaan Hilda akan sastra, pemuda berkacamata itu merespon,
“Ahmad Tohari memang begitu. Kau tidak terbiasa membaca sastra?”
“Enggak,” Hilda menggeleng. “Paling-paling cerpen di majalah Horison.” Ia pernah mengambil secara acak majalah itu. Pengalamannya tidak jauh beda dengan apa yang ia alami sekarang. Cerpen yang ia baca tidak sesuai dengan selera Hilda.
“Seingatku perpustakaan memiliki koleksi bacaan remaja, tapi tidak banyak. Hm ... dimana, ya.” Pemuda itu terpekur dengan tangan yang menyentuh dagu. “Seingatku ada kok di jejeran fiksi.”
Hilda mengangguk lalu bilang, “Oh, baiklah. Kapan-kapan akan aku cari.”
Hilda tidak berniat mencari buku bacaan baru sehabis itu. Bu Susi menyuruhnya untuk memberi resensi buku yang baru dibaca. Hilda tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ia gunakan tadi untuk membaca kumpulan cerpen tersebut. Ia bisa memberikan opini jujur, seperti buku itu tidak pantas dibaca remaja seperti dirinya–walau nanti Hilda pasti tidak akan menulis opini seperti itu.
Denting bel istirahat terdengar. Hilda memperhatikan jam dan pemuda itu. Hilda meragu. Perlukah dirinya berpamitan atau pergi begitu saja. Pemuda itu hanya mengangguk mafhum setelah mendengar komentar terakhir Hilda dan kembali khusyuk membaca. Karena mereka tidak bertukar pandangan mata lagi, Hilda putuskan untuk pergi membawa buku Mata Yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari itu keluar perpustakaan. Tentunya Hilda membawa buku itu keluar setelah melewati proses peminjaman dengan Bu Maya, penjaga perpustakaan.
Bab 8 - Keanehan Pertama
jam iSMA Mangunkusuma memiliki dua jam istirahat. Istirahat pertama berlangsung pukul sepuluh hingga setengah sebelas. Sedangkan istirahat kedua berlangsung pukul dua belas hingga satu.
Sewaktu Hilda kembali ke kelas, ia menghampiri Tania yang sedang memakan Beng-Beng. Tania bertanya pada Hilda, “Loh, baru balik?”
“Iya,” Hilda mengangguk. “Memang tadi itu disuruh keluar sebelum jam matpel kelar, ya?”
“Iya, tapi Bu Susi bilang jangan keluar kelas sampai jam istirahat–mau di perpus atau di kelas.”
“Oh,” Hilda mengangguk lagi.
Berhubung dia tidak ingin ke kantin dan jajan di jam istirahat pertama, ia mengirim pesan pada Angga kalau dirinya hanya sanggup membaca dua cerpen saja dan akan langsung membuat resensi di rumah nanti. Angga yang merupakan murid jurusan elektro tidak pernah mendapat tugas Bahasa Indonesia yang serumit ini. Kalau pun ada, di sekolah Angga tidak akan membahas detil tentang meresensi buku.
Jam istirahat berakhir. Hilda mengirimi Angga pesan pamit sejenak–karena saat istirahat kedua nanti Hilda akan membalas pesan Angga. Selama pelajaran Geografi, Hilda mendengarkan perihal flora dan fauna yang Pak Raka terangkan. Hilda membolak-balikkan halaman buku paket Geografi. Sesekali ia menarik garis bawah pada kalimat di buku itu atau mencatat apa yang Pak Raka terangkan pada buku tulis.
Pelajaran Geografi berlangsung selama dua jam pelajaran alias 90 menit. Setelah itu, bel istirahat kedua berdentang. Wajah murid-murid di ruangan itu kembali cerah mendengar suara bel istirahat. Mereka menunggu sampai Pak Raka keluar, lalu semua baru beranjak dari meja untuk ikut keluar. Ada yang pergi ke musholla sekolah untuk beribadah, ada yang memilih untuk pergi ke kantin, atau ada pula yang tetap tinggal di kelas untuk memakan bekal seperti Hilda.
Hilda lebih sering membawa bekal daripada jajan di kantin. Hari itu bekalnya adalah mie goreng dengan telur, sawi, dan sosis. Menurutnya itu lebih hemat karena sekalipun bekal yang hari itu ia bawa bisa dibeli di kantin, kalau dibuat di rumah harganya lebih murah. Apalagi yang menjual mie di sekolahnya hanya menjual mie dengan telur, tanpa sosis dan sawi. Kalau Hilda bangun lebih awal–biasanya Hilda bangun jam setengah enam pagi–ia bisa menyiapkan bekal untuk Angga juga.
Membuat bekal untuk Angga sebenarnya baru berlangsung selama dua hari. Awalnya Hilda mengirim pesan mengenai bekalnya sewaktu istirahat kedua, dua hari yang lalu. Kemudian, Angga bilang ia ingin mencicipi masakan Hilda. Hilda pun rela untuk bangun pagi dan ia membuatkan bekal yang sama untuk Angga kemarin maupun hari ini. Menurut Hilda dengan membuat bekal untuk Angga, Hilda bisa membalas budi atas kebaikan Angga yang terlalu banyak dan tidak ada habis-habisnya.
***
“Enak ya jadi Angga,” ucap Lena usai mendengarkan cerita Hilda mengenai Angga.
“Enggak tahu adil apa enggak, tapi aku merasa aku sudah melakukan yang setimpal untuknya dengan membuatkan bekal atau yah ... menjadi ibu keduanya.”
“Ya, ya aku paham” Lena menganggukkan kepala. Lalu, ia memperhatikan jam pada ponselnya. “Udah jam segini!” seru Lena saat tahu sekarang sudah pukul setengah sembilan malam. “Mau pesan makan apa? Siomay, mau? Aku tahu tempat yang enak.”
“Berapa harganya?” tanya Hilda.
“12 ribu, aku jamin enak beneran! Bumbunya bikin ketagihan dan ikannya juga berasa,” terang Lena dengan mata yang tidak menutupi antusiasmenya pada siomay yang hendak mereka pesan.
“Oke deh.”
Lena memesan siomay pada aplikasi Grab. Ia berkutat dengan ponselnya untuk meladeni pertanyaan driver mengenai pemesanan dan posisi pengantaran, sementara Hilda melanjutkan tugas yang sempat terbengkalai karena cerita mengenai mantan-mantannya. Setelah selesai meladeni driver Grab, Lena kembali mengganggu Hilda.
“Tapi, Hil, selama kamu berhubungan dengan Angga, kamu masih berhubungan dengan Kak Anka?” pertanyaan itu sebenarnya sudah terngiang di benak Lena selama Hilda bercerita tentang Angga. Hilda tadi berkata kalau Anka sudah dia anggap seperti kakak sendiri dan putusnya hubungan mereka karena ia lebih nyaman memiliki “kakak-ketemu-gede” daripada “pacara-kakak-tingkat”.
“Awalnya, iya.” Hilda berhenti mengetik. Ia meninggalkan laptop itu lagi dan kembali memutar tubuh untuk menghadap Lena yang duduk di sisi kanan.
***
Ini sudah bulan ketiga Hilda dan Angga berpacaran. Hubungan mereka tampak awet-awet saja tanpa masalah. Mengenai bekal, karena Angga merasa telah merepotkan Hilda, hanya dua kali dalam seminggu Hilda akan membuatkan Angga bekal. Hilda tidak melulu membuatkan mie goreng untuk Angga. Kadang Hilda akan memasak capcay atau cah kangkung atau menu makanan lainnya yang lebih sehat dan variatif. Karena Angga, Hilda jadi belajar banyak masakan sambil menyambi membantu ibunya memasak sarapan.
Suatu waktu, sepulang sekolah, Hilda tidak langsung pulang ke rumah. Angga mengajaknya ke sebuah kafe yang sedang menawarkan diskon karena belum lama buka. Kafe itu menjajakan beraneka ragam teh dan makanan yang enak. Hilda sangat-sangat senang menerima tawaran dari Angga walau ia tidak bisa mengekspresikannya secara terang-terangan. Hanya pada Tania, Hilda menceritakan rasa girangnya diajak pergi ke kafe itu. Hilda telah membayangkan, pasti makanan dan teh yang dijual di sana enak sekali.
Seperti yang telah Hilda duga, kentang goreng dengan bumbu bolognese itu rasanya enak sekali. Hilda meminta Angga memesankan satu saja, tidak usah makan sendiri-sendiri. Sewaktu Angga menyodorkan garpu dengan kentang tertancap di sana, Hilda merasa jantungnya nyaris copot.
“Apaan sih, Ngga. Malu tau!” tukas Hilda yang memilih untuk mengambil garpu itu dan menyuapkan ke mulutnya sendiri.
“Hehe, sesekali kan gak apa-apa,” Angga tidak bisa menahan kekehannya. “Kalau di tempat sepi, malu gak?”
Kunyahan Hilda melambat sewaktu ia memikirkan pertanyaan Angga. Wajahnya sudah memerah lebih dulu sebelum Hilda bilang, “Iya lah.”
Lambat laun makanan dan minuman mereka hampir habis. Segelas es teh hitam yang Hilda pesan ia teguk sampai habis. Tidak lama setelahnya, Hilda merasa harus ke kamar mandi untuk buang air kecil. Ia tinggalkan Angga dan barang-barangnya sejenak. Tanpa sepengetahuan Hilda–ya, saat itu dia belum tahu–Angga mengecek isi ponsel Hilda dan melihat kotak pesan Hilda. Mata Angga menggelap dan ekspresinya berubah 180 derajat. Dari semula mengumbar senyum di depan Hilda, Angga kini tampak amat serius. Ia mengetik dengan cepat pada ponsel Hilda dan mengirim pesan pada Anka untuk tidak menghubungi Hilda lagi. Pesan itu langsung dia hapus dan ia memblokir nomor Anka dari ponsel Hilda–juga menghapus nomor Anka dari daftar kontak. Setelah itu Angga memasukkan ponsel Hilda ke dalam tas seperti semula dan duduk menunggu Hilda yang kembali setelah sepuluh menit ke kamar mandi.
“Lega?” tanya Angga sambil tersenyum tipis.
Dengan malu-malu Hilda menjawab, “Iya, hehe.”
Mereka menghabiskan kentang goreng itu tanpa sisa. Setelahnya Angga mengantar Hilda pulang. Sejak hari itu Hilda tidak pernah menerima pesan dari Anka.
***
“Aku baru sadar setelah hampir dua minggu kak Anka enggak sms,” terang Hilda. “Di sekolah sewaktu aku papasan sama kak Anka, dia seperti kesal gitu melihatku.”
“Lalu gimana kamu bisa sadar kalau itu semua karena Angga?” tanya Lena.
“Aduh, panjang deh itu. Nanti aku ceritakan–eh! Driver-nya udah tiba,” kata Hilda yang menunjuk ponsel Lena.
Lena segera keluar dari kamar dengan membawa uang 28 ribu rupiah untuk membayar siomay yang mereka pesan. Harum ikan dari siomay itu menguar sewaktu bungkus styrofoam itu dibuka. Mereka mulai memakannya.
“Iya, enak,” kata Hilda.
“Kan!” Lena yang sudah makan setengahnya berseru senang. “Dan nagih, sungguh! Kemarin aku beli dua. Satu siomaynya saja, satu lagi siomay dengan tahu. Yah, aku makan dua-duanya sendiri.”
“Gila ya kamu. Lagi ngidam siomay?”
“Enggak tau,” Lena mengangkat bahu. “Aku kepengin aja makan siomay dan siomay ini nagih. Sumpah.” Lena kembali makan dengan lahap. Kurang dari lima menit, siomay itu habis ia makan. Sementara itu, Hilda baru memakan setengahnya.
“Selama kamu dan Kak Anka gak berhubungan, hubunganmu dengan Angga bagaimana?”
Hilda nyaris tersedak mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Lena yang baru saja meneguk segelas air.
“Ya, begitu.” Hilda mengaduk siomay-nya. Ia tersenyum getir kalau mengingat apa saja yang pernah ia alami bersama Angga. Dulu dia benar-benar bodoh. Setiap kali ingat, dia malu. Tapi, di sisi lain ia juga merasa senang karena pernah mengalami itu semua. Kisah hubungannya dengan Angga sudah seperti FTV. Terlalu halu. Sudah seperti thread cerita-cerita yang tersebar di Twitter. Kenyataannya ia sungguh-sungguh melalui semua itu dan ia tidak masalah berbagi cerita pada Lena.
Bab 9 - Je t'aime
Keseharian Hilda berlangsung dengan normal selama dua minggu setelah ia pergi ke kafe dengan Angga. Ia tidak menyadari ada yang janggal pada ponselnya dan berpikir bahwa Anka mungkin jengah pada Hilda yang kadang kala menanyakan tentang cara pikir laki-laki supaya Hilda bisa semakin lengket dengan Angga.
Hari itu Hilda dan Anka tidak sengaja bertemu di kantin. Mereka berada tepat bersebelahan. Hilda berkata, “Kak Anka,” seraya tersenyum.
Alih-alih membalas salam Hilda, Anka tampak memutar mata dan tidak menggubris Hilda. Setelah membayar camilan, Anka langsung pergi tanpa pamit, meninggalkan Hilda yang bingung dengan reaksi seniornya.
Kejadian aneh dengan Anka yang seolah menghindari Hilda–ralat, Anka memang sepertinya menghindari Hilda–membuat Hilda merasa tidak enak hati. Ia ingin menghubungi Anka melalui sms, tapi Hilda menyadari nomor kontak Anka tidak ada di ponselnya. Hilda bingung. Mana mungkin dirinya tidak sengaja menghapus nomor Anka. Ia juga yakin keluarganya tidak mungkin mengutak-atik ponselnya.
Pikiran Hilda berseliweran kemana-mana oleh deduksi mengenai apa yang terjadi pada ponselnya. Sewaktu melangkah di tangga, karena tidak fokus pada langkahnya Hilda terpeleset. Namun, ada sebuah tangan yang menahannya, yang kini memeluk tubuhnya dan menahan agar dirinya tidak terjatuh.
Hilda tidak sempat berteriak saking kagetnya. Degup jantungnya berpacu cepat karena kejadian barusan membuatnya takut. Namun, di sisi lain dia juga deg-degan karena tangan asing yang merangkul tubuhnya tanpa sengaja untuk menahan beban dirinya.
Hilda pastikan kedua kakinya bertumpu dengan amat di salah satu anak tangga. Si pemilik tangan yang menahan tubuhnya tadi kini menarik tangannya kembali.
“Lain kali hati-hati,” suara berat itu terdengar familiar. Sewaktu Hilda menatap wajah penyelamatnya, ia diingatkan kembali pada buku Ahmad Tohari yang membuatnya sakit kepala, sementara pemuda itu membaca karya Eka Kurniawal soal harimau–yang Hilda pikir tokoh utamanya laki-laki jejadian dan bisa berubah menjadi harimau.
“Terima kasih.” Suara Hilda agak bergetar saat menghaturkan terima kasih. Jantungnya masih terasa nyaris copot. Kalau pemuda itu tidak menolongnya, entah apa yang akan terjadi pada Hilda.
Karena tidak tahu mau berkata apa lagi, Hilda berpamitan dengan lelaki itu lalu kembali berjalan menuju kantin. Selama perjalanan ke kantin, Hilda bertanya-tanya siapa gerangan pemuda dengan rambut kecokelatan itu.
SMA Mangunkusuma memiliki tiga lantai dan setiap angkatan berada sesuai dengan lantai tempat kelas mereka berada. jika pemuda tadi naik ke lantai dua, maka dia murid kelas dua. Mungkin IPA, karena wujudnya seperti anak baik-baik. Sebab di IPS wujud muridnya kebanyakan seram-seram, walau aslinya mereka baik.
Kalau bukan lantai dua, maka kelas pemuda itu mungkin berada di lantai tiga. Kalau memang begitu, bisa saja pemuda tersebut kenal dengan Anka. Hilda menyesal tidak mengajaknya mengobrol dan menanyai soal Anka–yah, siapa tahu kenal sungguhan.
Hilda menghela napas dengan berat. Perihal Anka membuatnya bingung sampai-sampai salah membeli air minum–seharusnya dia membeli yang botol, tapi dia malah membeli yang kemasan gelas. Karena sudah terlanjur berjalan balik ke kelas, dia pasrah saja.
Masih tentang Anka, Hilda ingin bertanya pendapat pada Angga. Maka sesampainya di kelas, Hilda mengirim pesan pada Angga. Hilda bercerita kalau Anka, sosok yang sudah dia anggap sebagai kakak sendiri, tiba-tiba menjauhinya. Namun, respon yang Angga berikan dalam pesan balasan itu membuat Hilda merasa tak enak hati. Katanya, tidak apa Anka menjauh. Paling-paling karena UN dan ujian masuk universitas membuatnya perlu fokus untuk belajar. Namun, alasan itu tidak bisa Hilda terima. Kalaupun memang benar begitu, lantas mengapa Anka menatapnya seolah kesal, jijik, dan Hilda merasa habis dicaci tanpa Anka bersuara.
Angga kemudian bertanya pada Hilda, “Boleh aku berkomentar?”
Hilda tentu tidak melarangnya. Hanya saja, Hilda merasa menyesal setelah melihat pesan lanjutan yang Angga kirimkan.
“Aku tidak suka kalau kamu membicarakan laki-laki lain,” itu isi pesan yang Angga kirim untuk Hilda.
Hilda merasa sedih tiba-tiba karena membaca pesan itu. Menurutnya Angga tidak mau mendengarkan cerita Hilda soal Anka–yang mungkin Angga tahu dari Dani kalau Anka merupakan mantan Hilda.
Beruntungnya, bel tanda istirahat kedua berakhir membuat Hilda punya alasan untuk tidak melanjutkan percakapan mereka di sms dan berpamitan saja karena sebentar lagi pelajaran matematika akan berlangsung.
Selama pelajaran, Hilda tidak bisa fokus. Isi kepalanya campur aduk. Ia belum tahu siapa yang menghapus nomor Anka dari ponselnya. Ia juga tidak mengerti mengapa Anka seolah menjauhinya. Lalu Angga ... Hilda merasa mulai detik ini dirinya harus membatasi topik pembicaraan. Ia tidak akan bercerita mengenai teman-temannya lagi pada Angga karena Hilda takut Angga tidak akan menyukainya.
Setelah jam pelajaran matematika berakhir, yang memakan waktu sembilan puluh menit alias dua jam pelajar, pelajaran Bahasa Prancis berlangsung. Untungnya guru mereka sedang tidak ada dan mereka disuruh untuk mengerjakan tugas yang boleh dikerjakan di kelas atau perpustakaan. Berhubung tugas itu dikumpulkan tidak hari ini melainkan di pertemuan selanjutnya, anak-anak kelas Hilda tidak banyak yang mengerjakan.
Namun, Hilda tidak seperti itu. Sebagai murid peringkat pertama di kelasnya–dan peringkat ketiga di seluruh angkatan untuk jurusan IPS–dia mengajak Tania untuk pergi ke perpus. Mereka sekalian membawa tas ke perpustakaan karena sehabis jam pelajaran Bahasa Prancis, maka bel pulang akan berbunyi.
Sewaktu masuk ke perpustakaan, Hilda celingak-celinguk. Ia berharap menemukan sosok anonim yang kemarin membantunya. Kalau sudah tahu kelasnya, mungkin Hilda akan memberikannya Beng-Beng beku sebagai ucapan terima kasih. Sebab, Hilda bukanlah Angga yang bisa membeli cokelat Silverqueen dengan mudah.
Amat disayangkan, ia tidak menemukan sosok itu. Tania yang sedari tadi memperhatikan Hilda merasa rasa penasarannya terusik. Setelah mengambil kamus bahasa Prancis dan duduk bersama Hilda di sebuah meja, Tania berbisik, “Kamu nyariin apa sih dari tadi?”
“Eh? Kok tau?” Hilda terkejut karena Tania sangat pemerhati.
“Lah, kamu dikit-dikit llihat sana-sini.” Ya, Tania memperhatikan bagaimana Hilda memindai seantero ruang perpus, bahkan berniat naik ke lantai 3 perpus itu, yang dipenuhi buku sastra atau novel macam-macam–padahal buku Bahasa Prancis ada di lantai 2.
“Aku mencari seseorang,” ucap Hilda seraya mulai membaca soal di LKS. “Jadi tadi aku hampir jatuh dari tangga dan dia menahan tubuhku.”
Tania berhenti menulis dan meletakkan penanya di atas buku. Tania mencondongkan tubuhnya ke depan dan matanya yang cokelat gelap itu seolah memancarkan kilat antusiasme.
“Ganteng gak?”
“Lumayan.” Sebetulnya Hilda ingin bilang sosok itu sangat tampan. Semua laki-laki yang Hilda kenal tidak ada yang bisa menandingi ketampanan lelaki anonim itu.
“Duh, kenapa ya hidupmu hoki banget,” keluh Tania.
“Tapi aku gak tau dia kelas berapa. Aku hanya bertemu dengannya dua kali, sewaktu di perpus yang Bu Susi menyuruh kita bikin resensi dan pas tadi di tangga.”
“Kalau jodoh, mungkin gak kemana,” ledek Tania.
“Ih, jangan begitu. Aku takut kalau Angga marah.”
“Loh, emang dia pernah marah?”
Hilda mengangguk lesu. “Aku ngobrolin soal Kak Anka kan ... sama seperti yang aku ceritakan ke kamu. Lalu dia gak suka aku bahas cowok lain.”
“Ah, ya wajar, sih.”
“Tapi belakangan aku jadi takut dengan Angga.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Intuisi, kurasa?”
“Semoga saja itu enggak benar.”
“Amin.”
Lalu kedua gadis itu mengganti topik diskusi mereka. keduanya mulai mengerjakan tugas LKS Bahasa Prancis yang menjadi pelajaran bahasa ketiga yang mereka dapatkan di sekolah ini selain Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Sebenarnya bukan hanya Bahasa Prancis saja. Setiap tingkat punya pelajaran bahasa tambahan berbeda, yaitu Bahasa Prancis, Bahasa Jerman, dan Bahasa Jepang.
Tidak terasa, bel pulang berbunyi. Tania dan Hilda membereskan meja dan memastikan tidak ada barang yang ketinggalan. Semenjak berpacaran dengan Angga, Hilda tidak lagi pulang dengan Tania. Hilda akan menunggu di gerbang sampai Angga datang.
Hilda mengecek ponselnya dan bilang kalau dia sudah pulang dan menunggu di gerbang. Lima menit setelah pesan itu terkirim. Sosok Angga dengan motor bebek datang menjemputnya. Ia membuka kaca helm.
“Yuk!” ajak Angga.
Hilda segera naik ke atas motor. Selama perjalanan, Hilda tidak mengungkit soal Anka maupun pemuda yang menolongnya di tangga. Ia berbicara tentang tugas Bahasa Prancis dan Angga menanyainya beberapa frase untuk diucapkan dalam Bahasa Prancis.
Sewaktu di rumah, sejam setelah Hilda berpisah dengan Angga, Hilda mendapatkan sms. Je t’aime–aku cinta kamu–kata Angga. Hilda menggigit bibirnya untuk menahan kikik yang keluar. Ia pun membalas pesan itu dalam Bahasa Prancis.
Perasaan senang itu membuatnya lupa perihal Anka. Hilda meladeni sms dari Angga sampai jam memasak untuk makan malam tiba. Ya, Hilda selalu membantu ibunya memasak di dapur kalau tidak ada PR. Hilda bilang pada Angga sebelum pamit kalau dirinya akan mengunggah gambar masakannya di Facebook–yang baru seminggu Hilda buat.
Bab 10 - Putus
Seminggu telah berlalu sejak Hilda bertemu dengan Anka di kantin. Dia sudah bercerita tentang hal ini ke Tania dan Tania khawatir, amat khawatir katanya, kalau yang melakukan itu adalah Angga.
Sebenarnya hal itu juga telah terlintas dalam benak Hilda. Kemungkinan terbesar adalah Angga diam-diam mengambil ponselnya dan membuat hubungan Anka dan Hilda memburuk. Sayangnya Hilda tidak punya bukti dan dia tidak mau hubungannya dengan Angga memburuk. Angga benar-benar tidak suka kalau Hilda bercerita tentang laki-laki lain. Mengungkit nama Dani saja haram hukumnya. Belakangan Hilda bingung dengan sikap Angga. Angga jadi membuat Hilda takut dan yang paling parah terjadi hari ini.
Ini pukul setengah 3 sore. Kelas Akuntansi baru saja selesai. Hilda diminta oleh Bu Fira untuk membawakan buku-buku LKS ke ruang guru. Sepanjang perjalanan ia mengobrol dengan Bu Fira mengenai anak-anak di kelasnya. Bu Fira bilang, ia khawatir pada Hilman. Katanya, nilai Hilman makin lama makin menurun.
“Saya bingung harus bilang apa ke Hilman. Dia kalau dibilangin hanya menyahut ‘iya’. Orang tuanya juga susah dihubungi.” Hilda mengangguk.
“Nanti saya bilang ke yang lain deh, Bu, buat ajak Hilman belajar bareng.” Semoga saja Hilda bisa melakukannya. Hilman susah untuk didekati karena sikapnya yang pendiam dan seolah tidak ingin memiliki teman. Hilda pun jarang berinteraksi dengan Hilman. Hilman lebih sering asyik bermain ponsel, entah siapa yang dia hubungi.
Sesudah membantu Bu Fira membawakan buku LKS ke ruang guru, Hilda bertemu dengan si Lelaki Harimau sewaktu keluar dari sana. Hilda tidak bersuara, dia mengangguk sebagai sapaan. Pemuda itu tersenyum, lebar, hingga matanya melengkung. Melihat pemuda itu tersenyum membuat Hilda menahan napasnya. Di saat bersamaan, ia berpikir mengapa bisa melewatkan sosok itu. Dia pasti terkenal, pikir Hilda.
“Dari ruang guru?” tanya suara berat itu.
“Iya, habis bantu Bu Fira bawa LKS,” jawab Hilda.
“Bu Fira yang guru Akuntansi itu?”
Hilda mengangguk.
“Oh, kamu anak IPS.”
“Iya,” Hilda meragu untuk sesaat, tapi ia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “kalau kamu? IPA?”
“Iya, IPA 1.”
Hilda hampir menganga, tapi ia langsung mengatupkan mulut dan mengangguk lagi. Sekolahnya mengelompokkan murid-murid berdasarkan IQ. Di sekolahnya, untuk kelas 11 ada 6 kelas IPA dan 5 kelas IPS. Yang berada di kelas nomor 1 adalah mereka yang memiliki IQ di atas rata-rata, superior, dan jenius. Sedangkan, kelas lainnya paling-paling diisi oleh segelintir murid dengan IQ di atas rata-rata dan yang pintar karena tekun. Bisa dibilang SMA Mangunkusuma adalah sekolah swasta dengan prestise tinggi. Hanya orang tertentu yang bisa masuk ke sekolah itu, terlebih mendapat beasiswa seperti Hilda.
“Aku IPS 3,” ujar Hilda. Walau bukan berada di IPS 1, Hilda merupakan pribadi yang tekun dan cerdas.
Pemuda itu mengangguk sewaktu Hilda memberi tahu kelasnya. Dalam hati, Hilda berpikir pasti pemuda itu pasti tidak terkesan karena Hilda bukan berasal dari kelas nomor satu.
“Aku duluan ya,” kata pemuda itu sambil mengangkat setumpuk buku tulis yang semuanya diberi sampul cokelat. Hilda ingat ada satu mata pelajaran yang mengharuskannya untuk menyampul buku.
“Matematika ya.”
“Iya, tau aja.”
Hilda hanya tertawa. Setelah itu mereka berjalan ke arah yang berlawanan. Hilda melangkah ke kelas untuk mengambil tasnya dan segera pulang. Hilda berharap dia tidak membuat Angga menunggu lama. Bu Fira tadi meminta tolong Hilda tiba-tiba. Hilda tidak sempat mengabari Angga dan obrolannya dengan pemuda anonim itu membuatnya lupa dengan Angga sesaat.
Sewaktu Hilda keluar, di seberang gerbang sekolah ia melihat Angga.
“Ngga, maaf ya aku gak sempet bilang ke kamu.”
“Setengah jam,” Angga bilang dengan suara yang datar.
“Aku habis bantu Bu Fira, ingat kan? Guru Akuntansiku. Baterai HP-ku juga mati.” Hilda pernah bercerita tentang Bu Fira sebelumnya sebab Bu Fira sering meminta tolong pada Hilda.
“Kamu apain sampai baterainya habis? Ngirim sms ke cowok lain?”
“Apaan sih, Ngga? Bateraiku habis ya karena kamu sekarang mengirim pesannya di fb.” Mata Hilda terbelalak. “Jangan berlebihan, ah!”
“Oh, jadi kamu anggap ini berlebihan? Aku tuh khawatir selama setengah jam nungguin kamu.”
Hilda memegang erat helm merah pemberian Angga. Dia memilih bungkam karena selain tidak memiliki pembelaan lain, dia tidak mau memperpanjang masalah sepele ini.
“Naik!” perintah Angga.
Sepanjang perjalanan pulang, mereka tidak mengobrol seperti biasanya. Hilda dirundung oleh rasa bersalah. Sedangkan Angga, ia mengendarai motor dengan perasaan kesal. Kecepatan motor bertambah, lebih dari biasanya. Hal itu membuat Hilda, yang duduk miring, memegangi bagian belakang pada jok motor dengan erat. Sewaktu mereka berhenti di lampu merah, Hilda memukul pundak Angga.
“Kalau kamu terus ngebut begini sampai tiba di rumahku, turunin aku sekarang!”
Angga tidak mengindahkan ucapan Hilda. Ia ingin menangis sejujurnya. Selain karena marah dengan sikap Angga, ia juga takut kalau dirinya kecelakaan. Dalam hati Hilda berdoa semoga dirinya bisa sampai rumah dengan selamat. Untungnya, Tuhan menyambut doanya. Hilda pulang dengan selamat, tapi emosinya pada Angga tidak reda.
“Ambil,” kata Hilda yang menyerahkan helm merah itu.
“Maksud kamu apa?”
“Kita putus.”
“Hilda ....”
Angga tidak mengambil helm itu, sehingga Hilda menaruh helm itu pada kaca spion. Setelah itu Hilda segera masuk ke dalam rumah, menutup pintu, dan menguncinya. Ibu Hilda yang berada di rumah berjalan ke arah pintu depan dan terkejut melihat Hilda yang berdiri di dekat pintu.
“Kok gak ngucap sa–loh, itu suranya Nak Angga, kan?”
“Hilda, dengerin aku dulu. Kamu gak bisa gini, Hil!” seru Angga di luar sana.
“Jangan dibukakan, Bu. Aku hampir mati gara-gara dia.” Hilda melangkah menghampiri ibunya lalu salim.
“Maksudnya, Nak?”
“Dia marah padaku, lalu ngebut.”
“Ya Allah, syukurlah kamu enggak kenapa-kenapa.” Ibu Hilda menepuk punggung Hilda. “Ya sudah, ibu yang keluar saja ya. Malu sama tetangga.”
Hilda mengangguk. Ia membiarkan ibunya mengurusi Angga sementara dirinya pergi mandi.
“Nak Angga,” kata ibu Hilda sewaktu keluar dan menemui pemuda berambut cepak itu yang wajahnya pucat pasi.
“Nak Angga sebaiknya pulang, sudah sore. Nanti kalau dicari orang tua Nak Angga, bagaimana?”
“Tapi saya harus bicara sama Hilda dulu, Bu.”
“Besok saja ya, Nak. Kalau menunggu Hilda, nanti Nak Angga pulangnya sehabis magrib. Ibu enggak enak sama orang tua Nak Angga.”
“Ya sudah, Bu.” Angga akhirnya menyerah. “Saya titip helm ini ya, Bu. “ Angga menyerahkan helm merah yang ia berikan pada Hilda. Ibu Hilda mengambilnya dan berkata, “Hati-hati di jalan ya, Nak Angga.”
Angga pun salim pada ibu Hilda sebelum pergi. Walau dinasehati untuk berhati-hati, Angga mengendarai motornya tidak jauh beda seperti tadi.
***
“Gila itu cowok!” cibir Lena. “Aku kalau jadi kamu udah turun pas lampu merah.”
“Waktu itu aku gak kepikiran. Sumpah, aku takut banget waktu itu,” balas Hilda.
Siomay yang mereka beli telah habis. Sampahnya Lena masukkan ke dalam plastik, dia ikat, lalu digantung di dekat pintu kamar sehingga nanti sewaktu keluar ia juga akan membawa keluar kantung sampah itu.
“Ibu kamu enggak nanya apa-apa?”
“Enggak, tapi aku kasih tahu ibuku dan ogah banget pakai helm itu lagi–awalnya.”
“Dia sms malam itu?”
“Iya, dia minta maaf panjang dan berkali-kali.”
“Lalu kamu terima?”
“Iya, akhirnya aku luluh. Enggak paham kenapa, waktu itu aku bucin–budak cinta–banget.”
“Cinta itu buta, katanya.” Lena tertawa.
“Sialan, kamu!” merasa ditertawai, Hilda kesal, tapi hanya bercanda. Tidak sampai sungguhan seperti dengan Angga.
“Tapi setelah itu Angga makin keterlaluan.”
“Ada yang lebih parah?”
“Ada.” Mengingatnya membuat Hilda menghela berat sebelum melanjutkan ceritanya lagi.
Bab 11 - Pekan Olahraga
Angga semakin keterlaluan, tapi bukan sekarang. Belum. Hilda saat itu belum menyadarinya.
Setelah berbaikan dengan Hilda, sikap Angga kembali melunak. Angga sering mentraktir Hilda atau menghadiahi Hilda dengan kata-kata romantis di sms. Sejak kejadian itu, mereka jarang bertukar pesan di Facebook supaya baterai ponsel Hilda tidak cepat habis. Namun, setiap saat Hilda merasa dirinya harus melapor apa saja yang sedang ia lakukan dan harus pamit misal tidak bisa membalas pesan.
Seperti saat ini di sekolah Hilda, misalkan, pekan olahraga tengah berlangsung. Walau bilangnya ‘pekan’, kegiatan itu tidak berlangsung dalam sepekan melainkan tiga hari saja. Hilda sudah bilang kalau dirinya meninggalkan ponsel di dalam tas, di kelas, karena malas mengantungi ponsel selama ikut lomba.
Lomba yang Hilda ikuti adalah tarik tambang. Selain itu ada lomba lain seperti futsal, basket, bulutangkis, dan lomba bakiak. Semua perlombaan ada dua macam, perempuan dan laki-laki. Masing-masing kelas diatur untuk melawan satu sama lain oleh OSIS. Tentu saja, sebagai ketua OSIS, Andira berkeliaran dimana-mana. Dia kelihatan sibuk, sementara Hilda tidak mau ambil pusing.
Kalau dulu, pasti mata Hilda akan mencari-cari sosok Andira di keramaian. Hilda akan diam-diam menguntit setiap gerak-gerik Andira hanya dengan sepasang bola mata cokelat miliknya. Lalu, Hilda akan tersenyum saat tatapan mereka bertemu. Sekarang, boro-boro Hilda memberi Andira senyuman. Lelaki itu bisa dibilang sudah masuk ke daftar hitamnya–alias Hilda tidak mau berhubungan lagi dengan Andira. Sayang sekali, Hilda harus berteman baik dengan Tania. Ya, Tania mengagumi sosok Andira.
“Eh, Hil, lihat deh!” Tania menyikut Hilda.
Saat ini keduanya sedang duduk di pinggir lapangan dan melihat pertandingan futsal kelas IPS 3 dengan IPS 4. Namun, Tania malah menyuruh Hilda melihat ke arah lain. Di lorong depan kelas X 3, terlihat Andira yang sedang berbicara dengan kawannya sambil membawa kertas di tangan. Pemuda itu mengalungkan name tag tanda panitia dan sesekali memperhatikan angka pada jam digital yang ia kenakan di tangan kiri. Ekspresi wajahnya tampak serius.
“Ugh, aku gak kuat lihatnya,” Tania, dengan sikap hiperbolisnya, merangkul tangan Hilda sambil masih memperhatikan Andira dari kejauhan.
“Apa bagusnya, sih?” pertanyaan retorik itu meluncur dari mulut Hilda.
Hilda dulu juga tertarik pada Andira. Alisnya tidak tebal, tapi juga tidak tipis–cukup lah porsinya. Dagunya lancip, wajahnya oval. Hidungnya agak mancung, sayangnya besar jadi dari sudut tertentu kadang tampak pesek–padahal tidak. Andira juga punya sepasang mata yang lebar. Bulu matanya panjang, tapi tidak lentik. Warna kulitnya tidak putih seperti Angga. Kulit Andira kecokelatan–sawo matang, orang biasa menyebutnya itu. Lalu rambutnya cepak. Selalu cepak.
“Aku juga gak paham, Hil, tapi kalau lihat Andira tuh rasanya bikin deg-degan aja. Apalagi kalau bisa ngobrol sama dia. Suanya, Hil ....” Tania menangkup pipinya yang merona. Ia tengah membayangkan suara berat Andira dan juga senyum ramah yang laki-laki itu punya.
Hilda memutar mata. Ia membiarkan kawannya berkhayal sementara dirinya kembali fokus menonton futsal. Hilda sebenarnya tidak begitu menyukai futsal, walau ia bisa mengerti keseruannya karena ia sering mendengar cerita Rudi yang amat gemar bermain futsal. Sesekali Hilda bertepuk tangan atau berseru seperti teman-temannya yang lain. Ia pikir itu bakal mengganggu konsentrasi pemain, tapi ia juga tidak mau ketinggalan euforia menyemangati kawannya.
Ada tiga lapangan yang SMA Mangunkusuma punya. Lapangan pertama hanya bisa digunakan untuk futsal, yaitu tempat Hilda berada sekarang. Lapangan kedua ukurannya lebih luas dan dapat digunakan untuk futsal (tinggal memindahkan gawang), voli, atau bulutangkis. Terakhir, ada lapangan untuk basket. Saat Hilda dan kawan-kawannya menonton futsal, pertandingan lain berlangsung di kedua lapangan lainnya. OSIS sudah mengatur jadwal pertandingan agar tidak bentrok sehingga murid-murid bisa mendukung teman sekelasnya di perlombaan. Selagi pertandingan futsal dilanjutkan dengan tim dari kelas lain, Hilda dan kawan-kawannya pergi menyemangati tim kelasnya di perlombaan bakiak laki-laki di lapangan dua.
Rupanya kelas yang menjadi lawan IPS 3 adalah IPA 1. Mata Hilda pun terbelalak saat melihat sosok si Lelaki Harimau–Hilda rasa ia harus mencari julukan lain, tapi belum ketemu–berada di depan karena tubuhnya paling pendek–sekitar 167 cm–dibandingkan teman-teman sekelasnya yang bongsor. Hilda segera mengerjapkan mata dan menyembunyikan rasa terkejutnya. Beberapa kali Hilda melirik Tania yang duduk di sampingnya, tapi temannya itu tidak berkomentar apapun selain, “Jangan bilang anak-anak IPA itu ngitung rumus buat lomba ini.”
Sebab, tim IPA 1 amat cepat sewaktu melangkah dan begitu kompak apabila dibandingkan dengan tim IPS 3 yang nyaris oleng beberapa kali.
“Masa iya,” Hilda tertawa singkat, lalu pandangannya kembali memperhatikan tim IPA 1 yang bersorak riang karena memenangkan babak penyisihan pertama.
Hilda melihat ke arah Lelaki Harimau yang sedang tertawa, lalu laki-laki itu bertukar tatap dengannya. Degup jantung Hilda seolah berhenti dan matanya terkunci menatap Lelaki Harimau–dia benar-benar harus mencari julukan lain–yang tersenyum singkat pada Hilda, lalu kembali berbicara dengan teman sekelasnya.
“Tapi, Hil, saudaraku itu memang apa aja dihitung ...,” Tania terus berbicara, tetapi Hilda tidak menyimak walau beberapa kali ia tampak mengangguk atau meladeni dengan “oh” atau “hm”. Fokusnya benar-benar kacau hanya oleh sebuah tatapan.
Lalu Hilda teringat pada Angga dan meyakinkan dirinya untuk tidak beralih hati ke Lelaki Harimau. Dia tidak mau menjadi seperti Andira yang dengan mudah memutuskan Leila, lalu berkata akan menunggu Hilda siap berpacaran dengannya, tapi tahu-tahu dia sudah punya pacar di SMA. Itu menyebalkan, dan Hilda tidak mau menjadi seperti itu.
Pertandingan demi pertandingan terus berlangsung. Hilda dan kawan-kawannya tidak berhasil lolos penyisihan kedua pada lomba tarik tambang, tapi tim futsal mereka berhasil lolos sampai semi final. Babak final akan dilanjutkan besok hari. Sewaktu Hilda kembali ke kelas, dia mengecek ponsel. Ada banyak pesan dari Angga yang mengaku dia sangat bosan hari itu. Hilda membalasnya dengan memberi tahu bahwa acara pekan olahraga untuk hari itu telah usai.
Saat ini tepat pukul empat sore. Biasanya Hilda pulang sekolah pukul dua, sementara Angga pukul satu. Tadi pagi Hilda sudah bilang pada Angga kalau tidak perlu menjemputnya, tapi Angga bersikeras untuk tetap menjemput Hilda dan mengatakan kalau dirinya sudah tiba di depan gerbang.
Hilda buru-buru melangkah keluar. Ia berpamitan dengan Tania dan juga teman-teman sekelasnya yang lain. Sewaktu berjalan menuju gerbang, dia melihat si lelaki Harimau berjalan di sebelahnya.
“Eh, kamu ...,” kata Hilda yang sampai detik itu belum mengetahui nama lelaki tersebut.
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum tipis. “Pulang naik motor?” tanya lelaki itu sambil memerhatikan helm yang dibawa Hilda.
“Iya, kamu?”
“Kalau hari ini sih dijemput.”
Hilda tidak bertanya lebih lanjut. Mereka berdua berjalan ke gerbang sekolah bersama-sama. Sewaktu tiba di luar gerbang, Hilda melihat Angga yang memberi tatapan dingin untuknya dan Lelaki Harimau.
“Naik!” perintah Angga.
Hilda buru-buru memasang helm dan naik ke motor Angga. Ia berpamitan dengan lelaki anonim itu dengan tatapan dan juga anggukkan semata. Selama perjalanan, Hilda benar-benar khawatir kalau Angga kembali menaruh curiga pada Hilda. Untungnya, kali itu Angga tidak melampiaskan emosinya dengan mengemudikan motor lebih cepat. Hanya saja, Angga tidak langsung membawanya pulang. Mereka pergi ke kafe dan Hilda tidak bisa menolaknya. Hilda diam dan turun sewaktu motor berhenti. Helm ia taruh di jok motor, lalu ia mengekor Angga untuk masuk ke dalam kafe itu–kafe yang sama yang menjual beraneka ragam teh.
Angga memesan dua gelas teh saja. Dia tidak menanyai pendapat Hilda dan langsung memesan. Perasaan Hilda semakin lama semakin tidak enak karena sikap Angga yang kembali menakutkan begini. Sewaktu duduk, Angga langsung bertanya,
“Dia siapa?”
“Siapa?”
“Jangan pura-pura tidak paham!” itu Angga katakan dengan tegas, walau volume suaranya tetap rendah.
“Aku benar-benar gak tahu, Ngga.”
“Laki-laki tadi,” perjelas Angga.
“Aku gak tahu, Ngga. Aku dan dia kebetulan saja jalan bersama.” Hilda tidak sepenuhnya berbohong, tapi dia merasa takut kalau Angga tahu kebohongan kecilnya itu.
Angga terdiam untuk beberapa saat sampai pelayan menghidangkan pesanan. Pemuda itu dengan cepat mengubah ekspresinya dan tersenyum ramah seraya berkata, “Terima kasih,” pada pelayan laki-laki yang mengantarkan pesanan sekaligus mengecek bahwa pesanan yang tiba sudah lengkap semua.
Melihat hal itu, Hilda menjadi curiga. Namun, kecurigaannya terlupakan dengan segera sewaktu Angga menyuruhnya meminum teh yang baru saja mereka pesan dan berbicara dengan santai.
“Jadi tadi gimana acaranya?”
“Aku kalah,” Hilda mengetuk-ngetukkan jemarinya pada gelas. “Padahal udah sakit-sakit narik tambang.”
“Coba kulihat.” Kata itu terucap bersamaan dengan tangan Angga yang terulur untuk menghentikan gerak tangan Hilda pada gelas teh. Hilda menunduk malu dan memperhatikan bagaimana Angga menyentuh tangannya.
“Sakit?” tanya Angga sewaktu menekan lembut permukaan tangan Hilda.
“Enggak terlalu, kok.” Hilda menggeleng, lalu menarik tangannya. Dia malu dan Angga sudah pasti tahu. Pipi Hilda merona. Rambutnya yang dikuncir kuda membuat kedua pipinya yang merona itu tampak jelas.
“Tapi setidaknya tim futsal kelasku besok masuk final. Dani keren banget loh pas jadi keeper.” Hilda segera mengatupkan mulutnya. Pupil gadis itu mengecil, syok pada ucapannya sendiri. Angga pernah menyuruhnya untuk tidak membicarakan laki-laki lain, Dani sekalipun, tapi baru saja Hilda melanggarnya. Namun, Angga malah berkata,
“Iya?” dengan suaranya yang renyah, lalu tak lagi memegangi tangan Hilda. “Dani emang jago. Kadang kami main bareng di gor.”
Angga yang mau meladeni bahasan tentang Dani membuat Hilda bisa bernapas lega. Hilda juga bercerita soal Rudi, adiknya, yang suka main futsal.
“Adikku juga suka banget main futsal. Dia sedang menabung buat beli sepatu.” Adik Hilda saat ini berada di kelas 2 SMP.
“Kapan-kapan aku ajak dia main bareng, boleh?” tanya Angga.
“Iya, nanti aku akan bilang ke Rudi. “
Setelah teh mereka habis dan jam dinding menunjukkan pukul setengah enam sore, mereka meninggalkan kafe itu. Hilda merasa ada yang berbeda dari Angga hari ini, tapi kalau diminta menyebutkan apa yang berbeda ... Hilda tidak bisa menjawabnya. Sementara Angga, setelah mengantar Hilda dan tiba di rumah, ia sibuk dengan komputernya. Ia mengabaikan panggilan sang ibu dan fokus memperhatikan halaman web yang muncul di layar komputer. Yang menampilkan sebuah profil Facebook dengan nama:
Atha Hafizh Alfarezi.
Bab 12 - Kembali Lagi
Atha Hafizh Alfarezi. Nama itu sudah berada di daftar teman Facebook Hilda sejak minggu lalu. Sebagaimana Hilda yang meladeni orang-orang asing yang mengiriminya sms–karena nomor Hilda tersebar entah oleh siapa–, Hilda selalu menerima permintaan pertemanan tanpa pandang bulu. Ia langsung pencet saja ‘terima’ dan kalau ada yang menghubunginya lewat chat atau menulis sesuatu di dindingnya, Hilda akan membalas.
Sayangnya, Atha tidak pernah begitu. Namanya hanya mejeng di daftar teman. Namun, nama itu membuat Angga–yang diam-diam meretas–hack–akun Facebook Hilda menaruh curiga pada sosok Atha yang tadi Angga lihat keluar bersama dengan Hilda. Tadi, diam-diam Angga mencuri foto Atha. Ia kirimkan foto itu lewat Facebook ke Dani dan ia pun tahu siapa gerangan sosok yang berjalan keluar gerbang besisian dengan Hilda. Walau begitu, Angga tidak menemukan satu bukti pun, sama halnya dengan dugaan Hilda mengenai Angga yang membuat hubungan Hilda dan Anka merenggang.
Bicara soal Anka, Hilda semakin hari semakin merasa biasa karena sosok Anka yang tidak lagi menjadi kakak-ketemu-gede. Bisa dikatakan, Hilda ikhlas pada perlakuan Anka kepadanya, walau ia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Daripada memikirkan soal Anka, hari itu benak Hilda dilanda sejuta kenangan.
Hilda baru saja keluar dari toilet. Dia ke sana seorang diri, tidak seperti anak perempuan kebanyakan yang minta ditemani kawan atau sampai-sampai ke toilet bergerombol. Setelah keluar dari toilet, dia bertemu dengan Andira di lorong.
Lorong itu sepi, orang-orang berada di lapangan satu hingga tiga untuk mendukung tim kelasnya masing-masing. Sewaktu Hilda berhenti melangkah dan matanya bertukar tatap dengan Andira. Waktu seolah berhenti. Sorak sorai dari kejauhan terdengar seperti dengung lebah di telinga Hilda. Tatkala Andira merekahkan senyuman, pupil Hilda mengecil oleh amarah alih-alih rasa kaget.
“Abis dari toilet, Hil?” pertanyaan kasual itu diucap Andira, yang sudah setahun lebih tidak menghubungi Hilda. Entah kenapa sikap Andira yang seolah lupa pada kesalahannya dulu membuat Hilda kesal.
“Ya.” Hilda tidak ingin menjawab, tapi mulutnya tidak bisa menahan diri untuk tidak berucap. Mungkin masih ada secercah rasa cinta yang telah lama tidak ia curahkan pada Andira. Atau mungkin ini semua salah keheningan. Keheningan membuatnya sesak dan dia perlu mendengar dirinya bersuara untuk lepas dari rasa sesak itu.
“Aku dengar kamu sudah ada pacar ... lagi, selain Kak Anka.” Hilda menyembunyikan tangannya di balik punggung lalu mengepal erat. Dia menahan sejuta emosi dalam kepalan tangannya. Cara Andira bertanya seolah-olah membuat Hilda tampak murahan. Tapi, Hilda tidak akan termakan oleh itu semua.
“Iya, Angga namanya. Dari SMK 1,” ucap Hilda dengan senyum bangga. Ya, Andira perlu tahu kalau Hilda bahagia tanpa kehadiran Andira di sisinya.
“Kamu kelihatannya senang, aku jadi ikut senang.”
Rasa-rasanya Hilda ingin membuang muka dan memutar mata, tapi gerak refleknya untuk bersandiwara–sebab dulu sewaktu SMP ia pernah terlibat di klub drama–membuat Hilda menebar senyum bahagia.
“Iya, dia baik banget sama aku.” Pengakuan itu Hilda katakan dengan tulus. Ia tersenyum lega dan melupakan segala keanehan yang Angga tunjukan sejak beberapa minggu terakhir untuk sesaat saja.
“Selamat ya.” Senyum Andira tampak getir. Pemuda itu menurunkan pandangannya pada lantai putih lorong yang masih juga sepi. Tidak menemukan topik lain dan membiarkan keheningan mengisi sejenak membuat Hilda mengambil inisiatif untuk pamit.
“Aku balik ke lapangan dulu ya,” ia bilang.
“Tunggu!” Andira mempercepat langkahnya, lalu menahan tangan Hilda. Kejadian ini seperti deja vu, menurut Hilda. Berbeda dengan dulu, Hilda tidak membiarkan Andira memegangi tangannya lama-lama. Hilda melepasnya dengan paksa dan bilang,
“Apaan sih, Dir?” hentaknya. “Kalau orang lain lihat, mereka bisa salah paham. Aku gak mau buat masalah sama pacarmu.”
“Aku dah putus.” Pengakuan Andira tidak membuat Hilda lega, melainkan makin geram.
“Terus kalau kamu udah putus, kamu bebas nyentuh aku?” suara Hilda meninggi. “Aku udah punya pacar. Aku enggak mau kamu ngerusak hidupku lagi dengan omong kosongmu.” Kata-kata itu meluncur mulus dari mulut Hilda. Dia geram, tapi masih bisa mengontrol volume suaranya agar tidak terlalu keras.
“ ... Maaf.”
Hilda tidak mengindahkannya. Gadis dengan rambut kuncir kuda itu melenggang pergi dengan dada yang bergemuruh. Jujur saja, dia amat sebal dengan sikap kurang ajar Andira. Memangnya dia pikir Hilda mau menjadi pengganti. Hilda sudah menjadi kekasih Angga. Untuk sejenak, Hilda melupakan segala keburukan atau keanehan yang Angga pernah lakukan padanya. Menurut Hilda, Angga berkali-kali lipat lebih baik daripada Andira. Ya, setidaknya untuk saat ini.
***
“Andira benar-benar brengsek,” ujar Lena yang memeluk guling.
“Tapi, aku salah, Len. Angga berkali-kali lipat lebih parah daripada Andira,” terang Hilda.
“Kok bisa? Karena dia nge-hack akun kamu sama bikin kamu dan Kak Anka jauh?”
“Iya ... dan ada lagi.” Hilda tercenung. Tanpa sengaja matanya melihat jam yang menunjukkan pukul sepuluh. “Eng, kurasa aku haru pulang, Len. Udah jam sepuluh.”
“Eh, jangan!” Lena menahan Hilda untuk pergi. “Kamu nginep aja! Aku masih penasaran. Kubuatkan teh, deh!” sogok Lena.
“Haha, baiklah.”
Hilda kembali bercerita, sedangkan Lena menyimak sembari menyiapkan teh. Setiap kali Hilda melihat teh hitam, itu membuatnya ingat pada Angga. Dulu Angga sering kali membelikannya teh hitam di kafe. Kadang dingin dan dengan gula, kadang hangat tanpa gula–sama seperti sikap Angga kepadanya. Sampai sekarang Hilda masih bertanya-tanya mengapa Tuhan membuatnya perlu berjumpa dengan Angga atau Andira. Keduanya sama-sama membuat hidup Hilda kacau dan beruntungnya Anka seumpama penyejuk di antara mantan-mantan yang Hilda punya.
***
Sebulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir Hilda dengan Anka yang kebetulan di kantin. Hari ini, di waktu dan tempat yang kurang lebih sama dengan waktu itu, Hilda kembali berjumpa dengan Anka.
“Kak, aku mau bicara,” Hilda bilang begitu dengan ketegasan pada suara maupun sorot matanya.
Anka sebenarnya malas meladeni, tapi ia tidak mau memercikan api kebencian lantaran ia ingat ceramah Jumat tentang menebar dendam dan kebencian di hati orang dapat membuat rejekinya tersendat. Dalam hitungan bulan, Anka akan lulus dari SMA Mangunkusuma. Dia tidak mau menebar dosa, sehingga ia mencoba untuk membuka pintu maaf untuk Hilda.
Keduanya memilih untuk duduk pada sebuah meja di kantin. Hilda sebenarnya gugup dan bingung harus mulai bertanya dari mana. Dia juga perlu memikirkan intonasi yang tepat sewaktu bertanya. Berkat Angga, Hilda jadi selalu berhati-hati bersikap agar tidak membuat lawan bicaranya kesal.
“Kak,” Hilda memulai. “Aku mau tahu kenapa Kakak ngejauh tiba-tiba. Apa aku bikin kakak marah? Aku minta maaf kalau memang ada salah.”
Anka merasa dongkol. Jelas-jelas Hilda yang memutus hubungan di sms. “Bukannya dulu kamu bilang, ‘Maaf kak, aku sudah punya pacar. Aku gak enak kalau sms-an dengan kakak’?” Anka mendengus sebal, mengingat hal itu membuat tangan Anka terkepal. Dia kemudian memijit-mijit dahinya yang berkerut, sementara Hilda menatap Anka dengan bingung.
“Maksud Kakak ... aku kirim sms itu ke Kakak?” Hilda merasa bulu kuduknya meremang. “Aku benar-benar enggak tahu, Kak. Aku enggak pernah sekalipun kirim sms itu ke Kakak. Nomor Kakak saja mendadak hilang dari daftar kontakku.”
Anka menekan kacamatanya yang melorot. Dia mencoba untuk tenang dan berpikir bijak. Sebagai yang lebih tua, gengsi membuatnya bertahan untuk tidak tampak emosional. Ia harus tenang. Ia dengarkan penjelasan Hilda tanpa berpikir kalau gadis itu hanya mengada-ngada.
“Setelah sms itu, kamu enggak membalas lagi sms ku,” ujar Anka. Ia menghubungi Hilda berkali-kali hari itu karena sms dari Hilda membuatnya khawatir dan bingung.
“Aku enggak menerima satupun sms dari Kakak, sumpah!” aku Hilda.
Anka memandangi Hilda lama, lalu ia bertanya, “Boleh pinjam hp-mu?”
Hilda awalnya agak ragu, tapi di sini ia ingin mendapat kejelasan sekaligus memperbaiki hubungannya dengan Anka sehingga ia menyerahkan ponselnya pada Anka. Hilda melihat bagaimana Anka serius memijit tombol pada ponsel murahan milik Hilda, yang memang sudah berwarna, tapi tidak bisa diisi permainan macam-macam–toh, Hilda juga tidak bakal memainkannya dan hanya menggunakan ponsel untuk komunikasi saja.
“Kamu memblokirku.”
“Memblokir?” Hilda mengerutkan dahi. “Itu apa, Kak?”
Kalau Anka tidak paham karakter Hilda, Anka pasti sudah menuduh Hilda berbohong. Namun, Anka tahu sejak lama kalau Hilda ini gaptek–gagap teknologi. Hilda hanya bisa mengoperasikan ponselnya untuk sms dan telepon.
“Artinya, mau sejuta kali aku sms, enggak bakal ada yang masuk,” terang Anka. “Ada yang meminjam hp-mu?”
Hilda menggeleng. Dia kemudian menjatuhkan pandangan pada segelas es teh yang mereka pesan di kantin untuk menumpang tempat bicara.
“Tapi ... aku curiga dengan Angga.”
Anka tahu mengenai hubungan Hilda dan Angga. Dulu Hilda sering menanyai bagaimana respon laki-laki kalau diperlakukan begini dan begitu pada Anka.
“Dia juga yang membuatkan akun Facebook-mu?”
“Kok Kakak tau!” Hilda tampak kaget sampai-sampai suaranya mengeras, begitu pula dengan degup jantungnya. “Iya, Angga yang bikin dan ajarin aku.”
“Dia tahu password-nya?”
“Enggak,” geleng Hilda.
“Hm.” Anka tidak berbicara setelah menggeser ponsel Hilda di atas meja, menyerahkannya kembali pada pemiliknya. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu mengirim Hilda pesan.
Bab 13 - Meretas
Anka awalnya berpikir untuk meretas sebuah akun tidak memerlukan keahlian di bidang pemrograman yang tinggi. Tutorial yang ada di Google bisa membantunya asal ia melakukan semuanya dengan benar. ini ibarat meracik senyawa di waktu praktek pelajaran Kimia. Berhubung Anka memiliki otak yang encer, rasa percaya dirinya membawa ia pergi menuju ke warnet–warung internet–dekat sekolah ketika sekolah usai.
Di sana Anka mencoba meretas akun Hilda. Dia ke sana bukan karena tidak memiliki laptop atau komputer untuk digunakan, melainkan tidak mau laptop-nya kenapa-kenapa karena virus dari program untuk meretas akun Hilda. Sayangnya, setelah setengah jam berlalu otaknya terasa panas.
Rupanya, gadis yang duduk tepat di sebelah Anka memperhatikan apa yang Anka kerjakan sedari tadi.
“Kamu mau nge-hack akun pacarmu?” pertanyaan itu segera membuat Anka menoleh. Dia baru sadar kalau dirinya diperhatikan sejak awal dan segera menggeleng dan mulai menjelaskan.
“Mantan, tapi bukan itu. Dia butuh bantuanku. Pacarnya nge-hack akun dia. Aku mau coba supaya tidak di-hack lagi.” Entah kenapa, Anka merasa dirinya bisa berterus terang pada gadis anonim yang duduk di sebelahnya.
“Hm, kalau itu sih susah.” Gadis itu tidak memperhatikan Anka. “Lebih baik dia ganti akun atau suruh orangnya berhenti langsung.” Gadis itu masih sibuk dengan file film yang terpampang pada monitor, lalu setelah selesai dia baru menoleh ke pemuda itu lagi. “Kalau aku, mending nge-hack akun yang nge-hack lalu kasih lihat isinya ke mantanmu. Siapa tahu ada yang bisa dijadikan bukti kalau dia beneran hack akun mantanmu.”
Anka terdiam sewaktu mendengarkan penjelasan gadis itu. Menurutnya ide yang gadis itu sampaikan terdengar brilian.
“Aku bisa minta tolong?” tanya Anka.
“Yah, boleh, tapi kita enggak bisa melakukannya langsung,” gadis itu menjawab. “Cara nge-hack ada banyak. Hampir semua syaratnya mengharuskan kita punya kontak langsung dengan laptop atau gadget penggunga. Aku gak bisa nge-hack kalau gak satu saluran internet, tidak memasang program di gadget-nya, atau tahu alamat e-mail-nya.”
Anka mengangguk-angguk. Ia temukan satu jawaban mengapa bisa akun Hilda diretas Angga.
“Mantanku tidak punya laptop, kemungkinan dia menggunakan laptop pacarnya sewaktu membuat akun,” aku Angga.
“Astaga! Kalau itu mah gampang banget. Jangan-jangan dia disuruh menyimpan password di browser pacarnya.” Gadis itu menggeleng-gelengkan kepala. Itu merupakan cara mudah untuk bisa mengakses akun orang.
“Iya, dia gaptek. Jadi kurasa itu memungkinkan.”
“Kalau begitu, coba ganti password-nya dan jangan sampai hp-nya diapa-apakan dengan pacarnya. Kalau dia punya laptop, jangan sampai pacarnya nge-akses di laptop dia. Takutnya, dia masukin aplikasi buat nge-hack akun dia.”
“Oke, aku akan bilang ke dia.” Anka merasa ketumpahan banyak informasi penting dalam satu waktu. Ucapan gadis itu sudah pasti akan ia ingat-ingat dan sehabis ini akan ia langsung sampaikan pada Hilda.
“Ngomong-ngomong, aku Anka–12 Ipa 1.” Anka memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan untuk menjawab, Ia melihat nama sekolah di lengan kiri atas seragam gadis itu dan tahu kalau mereka sama-sama berasal dari SMA Mangunkusuma.
“Aku Gisel, 11 Ipa 1. Mantan anak olimpiade komputer, tapi mentok di provinsi.” Gadis bernama Gisel itu terkekeh. Anka mengangguk-angguk.
“Kalau mau tanya-tanya, kakak bisa nyamperin ke kelasku atau aku biasa di warnet ini tiap Jumat. Biasa ... download film, hehe.”
Anka mengangguk. Berhubung keperluannya di sana telah usai. Dia pun pamit untuk pulang. Sesampainya di rumah, ia menelepon Hilda.
“Halo, Hilda?”
“Iya, Kak. Ada apa?”
“Mengenai akun Facebook-mu, besok setelah dzuhur bisa ketemu di kantin?”
Hilda mengedutkan dahi, tapi ia tidak menanyakan alasan Anka memintanya bertemu untuk membicarakan Akun Facebook. “Iya, Kak, Bisa.”
Setelah itu, Anka pamit dan memutuskan sambungan telepon. Besok. Ia benar-benar harus berbicara empat mata dengan Hilda dan menyampaikan ulang apa yang Gisel katakan kepadanya.
***
Keesokan harinya, Hilda tidak sabar bertemu dengan Anka. Rasa penasarannya terusik karena Anka tidak menjelaskan maksud mereka bertemu selain soal akun Facebook Hilda. Setelah kejadian nomor Anka yang diblokir entah oleh siapa, kecurigaan Hilda jatuh pada Angga. Ia juga bercerita soal itu pada Tania dan Tania merasa Angga mencari tersangka utama.
Selain itu, Hilda tidak pernah bercerita pada Tania tentang keanehan Angga. Hilda tidak pernah bilang kalau Angga mengendarai motor dengan kencang karena emosi atau melarang Hilda membicarakan laki-laki lain–yang sepertinya sudah tidak begitu lagi karena minggu lalu Hilda bisa membicarakan tentang Dani. Tania hanya tahu soal Hilda yang tidak lagi dihubungi oleh Anka dan ternyata penyebabnya adalah nomor Hilda yang memblokir nomor Anka. Tania pun berdeduksi, katanya kemungkinan Angga mengambil ponselnya diam-diam dan sebaiknya mulai sekarang Hilda mengantungi ponselnya untuk berjaga-jaga. Ya, tentu saja Hilda menuruti saran Tania. Ia pun mengajak Tania untuk bertemu dengan Anka siang itu.
Ketika Hilda tiba di Kantin 3 yang menjual siomay, Anka kelihatan terkejut dengan keberadaan Tania di sebelah Hilda. Sebaliknya, Hilda merasa bingung dengan Anka yang duduk di salah satu meja dengan seorang gadis yang tidak Hilda kenal.
“Gak apa kan kak kalau Tania juga ikut?”
“Iya. Aku juga ngajak orang lain, dia Gisel, 11 Ipa 1.”
“Halo,” Hilda mengulurkan tangan. “Aku Hilda, 11 IPS 3.” Gisel menjabatnya dna tersenyum singkat. Setelah itu ia juga menjabat tangan Tania yang bilang, “Aku Tania, sekelas dengan Hilda.”
Setelah memesan siomay, Hilda dan Tania duduk di meja dan berhadap-hadapan dengan Anka dan Gisel.
“Aku mau bilang, kemungkinan Angga nge-hack akun kamu.” Sebelum Hilda bertanya apa itu hack, Anka segera menjelaskan. “Maksudnya dia bisa mengakses akun kamu juga. Apa kamu pernah login di laptop-nya Angga?”
Hilda mengerutkan dahi dan mencoba mengingat sekaligus mencerna maksud dari perkataan Anka. “Iya, waktu pertama kali. Aku bikin akunnya di laptop Angga. Sepertinya aku menekan pertanyaan, aku enggak paham, tapi kata Angga pencet saja ‘iya’.”
“Nah, kan!” Gisel berseru sambil menunjuk Hilda dengan sendok siomay. “Kalau begitu, gampang. Kamu hanya perlu ganti password aja.”
Hilda memperhatikan Gisel, lalu Anka yang mengangguk, begitu juga Tania yang tampaknya mulai paham dengan situasi yang berlangsung. Sayangnya, Hilda tidak begitu. Dia tidak mengerti mengapa Anka bisa menyimpulkan kalau Angga meretas akun Hilda.
“Tapi, Kak, memangnya Angga sungguh melakukan itu?”
“Ya.” Anka menjawab dengan tegas disertai anggukkan kepala. “Aku mencobanya. Aku mengirim permintaan pertemanan, tapi dengan cepat permintaan itu ditolak. Kamu tahu aku mengirimnya?”
Hilda menggeleng.
“Nah, itu pasti kerjaan Angga. Sejak nomorku kamu blokir, aku sudah menaruh curiga pada Angga.”
“Kan, Hil!” sekarang Tania yang berseru. “Aku juga begitu, Kak. Aku yakin banget Angga ini posesif banget sama Hilda.”
Semua menuding Angga, terkecuali Gisel karena dia tidak tahu banyak soal Angga yang disebut-sebut ini. Gisel hanya sesekali menimpali dan memberi komentar bahwa orang-orang seperti Angga, yang meretas akun pacarnya, tidak banyak.
“Teman-temanku suka minta tolong padaku untuk urusan begini. Mereka bilang, takut diomongin di belakang atau selingkuh. Kalau kamu mau minta tolong, aku bisa bantu.”
Pandangan Hilda bergeming pada Gisel. Dia terpekur untuk beberapa waktu, lalu mengangguk seraya berkata, “Terima kasih, akan kupertimbangkan.”
Setelah itu mereka menikmati makan siang, yaitu sepiring siomay, dan membicarakan hal lain. Anka dan Gisel tampak akrab dan menemukan kesamaan bahwa keduanya menyukai hal-hal berbau Jepang. Sementara Tania yang sedikit tahu, ikut dalam percakapan mereka. Walau Hilda tidak mengerti sama sekali yang mereka bicarakan, Hilda tidak merasa ditinggalkan dalam percakapan. Mereka menerangkan apa yang sedang menjadi bahan pembicaraan pada Hilda sehingga Hilda mendapatkan garis besar apa yang sedang mereka bicarakan.
Jam istirahat pun berakhir. Pelajaran selanjutnya adalah sejarah. Namun, guru Hilda yang bernama Pak Salman tidak pernah membuat jam pelajaran sejarah menjadi membosankan. Gurunya itu selalu bisa menerangkan seperti pewayang. Dia bercerita mengenai kisah raja-raja Mataram dengan ekspresif dan membuat murid-muridnya penasaran menunggu kisah lanjutan.
Sewaktu jam pelajaran berakhir, Pak Salman bilang, “Sisanya kalian baca sendiri mulai dari halaman 83. Minggu depan kita kuis.”
Murid-murid kelas itu tampak kecewa, termasuk Hilda. Serajin apapun dirinya, Hilda lebih senang mendengarkan cerita daripada mengerjakan kuis.
Setelah berdoa dan Pak Salman keluar dari kelas, anak-anak lain mulai meninggalkan kelas juga, termasuk Hilda dan Tania. Mereka berdua berpisah di depan kelas. Belakangan Tania dan Hilda berpisah di depan kelas alih-alih di depan gerbang. Katanya, ia sekarang pulang bareng sepupunya yang berada di IPA 1. Walau sudah tahu Tania memiliki sepupu, tidak pernah sekalipun Hilda bertemu dengannya.
Sepanjang perjalanan menuju gerbang sekolah, Hilda kembali mengingat obrolan di kantin 3 tadi. Dia menjadi gugup untuk bertemu dengan Angga. Namun, sewaktu tiba di depan gerbang sekolah dan melihat sosok Angga yang baru saja tiba dan melepas helm, entah mengapa itu membuat mata Hilda berkaca-kaca.
“Loh, kenapa?” Angga yang menyadari itu tampak panik.
“Kelilipan.” Hilda mengucek matanya, lalu naik ke atas motor dan memasang helm.
Sepanjang perjalanan Hilda cenderung pasif. Dia masih memikirkannya. Ia merasa sedih kalau dugaan buruk tentang Angga benar adanya. Dia tidak mau percaya, tapi dirinya pun meragukan kebaikan Angga.
Bab 14 - Arcade
Sampai malam tiba, Hilda masih tidak bisa mempercayai konklusi yang ia buat bersama Tania, Anka, dan Gisel di kantin tadi siang. Ia merasa mana mungkin Angga melakukan itu padanya. Namun, sejak peristiwa baterai habis akibat terlalu sering mengecek Facebook, sikap Angga memang melunak. Seolah-olah Angga tidak perlu khawatir karena ia tahu semua yang Hilda lakukan. Interaksi Hilda dengan orang-orang sekitarnya, perempuan maupun laki-laki, sama seperti ia memperlakukan Tania. Ya, sampai batas teman saja. Kotak pesannya sekarang juga tidak ada sms dari laki-laki manapun selain Basuki, ketua kelasnya, yang memberi pengumuman terkait agenda kelas–seperti pekan olahraga kemarin–yang tidak melulu Hilda balas, kecuali ia punya pertanyaan untuk memastikan kejelasan pengumuman yang Basuki berikan.
Sekarang pukul delapan malam. Sehabis makan malam dan membantu ibu mencuci piring, Hilda masuk ke kamar dan memandangi layar ponselnya. Di sana laman Facebook terpampang. Dia gamang.
Perlukah aku mengganti password?
Telunjuk Hilda mengetuk-ngetuk punggung ponsel. Pada akhirnya dia memutuskan untuk mengganti sandi dengan tanggal lahir adiknya.
***
“Itu keputusan terburuk dan terbaik yang aku lakukan pertama kalinya selama berhubungan dengan Angga,” tukas Hilda pada Lena.
Saat ini pukul sebelas lebih lima menit. Kedua mahasiswi tingkat akhir itu masih sibuk bercerita. Sebenarnya Hilda saja, sementara Lena mendengarkan dan sesekali bertanya. Menurut Lena, kisah Hilda benar-benar seperti kisah yang keluar dari novel. Benar-benar sesuatu yang menarik untuk didengarkan sampai-sampai ia melupakan tujuan Hilda datang ke kosannya, untuk mengerjakan tugas akhir karena laptop Hilda tidak bisa digunakan.
“Karena itu pertama kalinya kamu memberontak?” tanya Lena.
“Iya.” Hilda mengangguk. “Besoknya, waktu Angga menjemputku, dia menatapku dengan cara yang aneh.”
“Aneh gimana?”
“Enggak tahu, aku waktu itu ngerasa dia memperhatikanku seperti Pak Satria saat mengujiku di sidang kemarin.”
“Haha, masa gitu!” Lena terkekeh pada perumpamaan yang Hilda buat. Lena, bisa dibilang, adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak menganggap Pak Satria menakutkan. Sebab, dibandingkan yang lain Lena selalu dengan mudah lulus di mata kuliah yang Pak Satria ajar.
“Setelah itu, dia jadi posesif lagi?” tanya Lena.
“Enggak, tapi aku mengikuti saran Tania, Gisel, maupun Kak Anka.”
“Yang jangan sampai ada kesempatan biar dia ngecek hp kamu?”
“Iya. Beberapa kali dia mencobanya.”
“Mencoba meminta hp kamu?”
“Iya ... dan ...,” Hilda tidak langsung melanjutkan ucapannya, tapi tatapan penasaran yang terpancar dari sepasang mata cokelat gelap milik Lena membuat Hilda meneruskan ucapannya. “Dia mencoba menyentuhku.” Hilda pertegas kata-kata yang dia ucap pelan.
Lena terperangah. Dia sendiri pernah mengalami kejadian ganjil seperti itu dan keesokan harinya, seperti terpelatuk hingga hilang ingatan, dirinya menjauhi seseorang yang mencoba berlaku lebih padanya.
“Aku tepis tangannya,” aku Hilda. “Dia kelihatan enggak suka.”
Hilda mengusap-usap lengan atas tangannya. Dia merasa bulu kuduknya meremang membayangkan kenangan di masa SMA-nya dulu.
“Habis itu kalian putus?”
“Enggak.” Hilda menggeleng. “Aku tetap bertahan dengannya dan bilang agar dia tidak memegang lebih dari berpegangan tangan.”
“Dia terima?” Lena terkekeh.
“Iya. Jadi kami masih berhubungan sampai tahun berganti.”
***
Tahun telah berganti, tapi tidak ada yang berubah dari hubungan Hilda dan Angga. Hilda merasa demikian, sementara tidak dengan Angga. Pemuda itu kerap menaruh kecurigaan dan semakin kesulitan untuk mendapat peluang supaya dirinya bisa mengintai Hilda. Sekarang ini ia tidak sampai bisa melihat isi kotak pesan Hilda atau kotak pesan di akun Facebook Hilda. Yang bisa ia lakukan sehari-hari adalah memantau dinding Facebook Hilda untuk melihat siapa saja yang mengajak Hilda mengobrol dan aktivitas hariannya. Ia juga sering datang lebih awal untuk menjemput Hilda agar bisa melihat apakah laki-laki yang dulu itu masih mendekati Hilda atau tidak.
Jujur saja, Angga merasa khawatir Hilda jatuh hati pada laki-laki yang waktu itu. dari segi penampilan, pemuda itu jauh lebih menawan daripada dirinya. Kelihatannya juga pintar dan punya uang. Perempuan seperti Hilda, mana mungkin tidak akan terpikat dengan laki-laki begitu, pikir Angga.
Suatu hari, Angga mengajak Hilda pergi ke mall untuk ke tempat bermain. Ini bukan pertama kalinya mereka pergi ke sana. Kadang Angga suka beralasan ibunya menitip barang. Namun, kali itu alasan yang Angga sampaikan berbeda.
“Habis UTS ... pusing banget,” kata Angga. “Kamu emang enggak pengin main?”
“Mm, mau sih, tapi kalau ke sana kan mahal.”
“Enggak kok. Kamu tenang aja.”
Karena memang sejak awal berhubungan Hilda tidak pernah bisa menolak tawaran Angga, Hilda menurutinya seperti biasa. Mereka pergi ke tempat bermain–Time Zone–dan membeli koin. Lebih banyak Angga yang menuntun Hilda untuk bermain apa; mulai dari tembak-tembakan, menari, sampai mobil-mobilan. Tawa Hilda terdengar lepas sewaktu mereka bermain. Angga pun begitu.
“Udah tinggal segini,” kata Angga yang menunjukkan enam buah koin di tangannya. “Kamu mau boneka di sana?” Angga menunjuk mesin capit boneka yang letaknya sekitar lima langkah dari tempat keduanya berdiri.
“Memangnya kamu bisa?”
“Yah, siapa tahu hoki.” Angga mengulurkan tangannya. Kedua remaja itu berjalan bergandengan tangan menuju mesin capit.
Untuk sekali capit, Angga memasukkan dua buah koin ke dalam mesin. Ia tampak serius dan mengincar boneka yang letaknya dekat lubang. Boneka terangkat, Hilda kelihatan takjub dan menyoraki Angga, “Ayo, Ngga!” tapi kemudian keceriaannya berganti karena boneka itu tidak bergulung ke kiri, masuk ke dalam lubang keluar, melainkan ke kanan.
“Yah, tanggung banget!” kata Hilda.
“Tenang, masih bisa dua kali lagi.”
Pada percobaan kedua, Angga kembali gagal. Hilda menepuk pundak Angga sebagai bentuk penyemangat. Di percobaan ketiga, alias terakhir, Angga tampak lebih serius. Ia menggigit bibirnya–kebiasaan yang Angga lakukan kalau sedang serius–lalu memasukkan dua buah koin terakhir yang ia punya. Ia gerakkan capit dengan penuh perhitungan. Boneka sapi di dekat lubang keluar yang sedari tadi ia incar tertangkap oleh capit, sama seperti percobaan pertama. Hilda mengatupkan kedua tangannya di depan dada dan berdoa semoga percobaan terakhir itu berhasil.
Sewaktu boneka sapi itu masuk ke lubang keluar, Hilda bertepuk tangan.
“Hebat banget, Ngga!”
Angga membungkuk untuk mengambil boneka itu. Dia tersenyum bangga dan menyerahkan boneka sapi yang ia ambil dengan susah payah untuk Hilda.
“Terima kasih banyak ya, Ngga. Aku senang banget,” kata Hilda.
“Iya, gapapa. Aku seneng kalau kamu seneng,” jawab Angga.
Setelah itu mereka keluar meninggalkan Time Zone dengan perasaan ceria. Sewaktu turun ke lantai dasar, di eskalator mata Hilda menangkap seseorang yang seperti Tania dan Lelaki Harimau di sebelah Tania. Hilda mengerjapkan matanya berulang kali untuk meyakinkan kalau itu benar-benar Tania atau bukan.
“Kenapa?” tanya Angga.
“Sepertinya aku lihat Tania.”
“Mana?”
“Eng, di ...,” sewaktu Hilda menoleh ke arah sebelumnya, sosok Tania dan Lelaki Harimau menghilang. “Sepertinya aku salah lihat.”
Angga mengangguk. Setelah itu mereka turun satu lantai lagi, ke parkiran yang letaknya di basement.
Hari itu Hilda merasa senang. Ia tidur sambil memeluk boneka sapi pemberian Angga. Namun, di satu sisi ada sesuatu yang mengusik Hilda. Ia penasaran dengan yang dilihatnya tadi. Besok, Hilda akan memastikannya sendiri pada Tania.
Bab 15 - Atha
Hilda benar-benar penasaran setengah mati. Hari itu dia tidak sabar bertemu dengan Tania, sampai-sampai sewaktu Tania tiba di kelas, Hilda segera berdiri dan menghampirinya.
“Kenapa kamu, Hil?” tanya Tania yang berjalan menuju tempat duduknya, sebelah meja Hilda.
“Aku penasaran pada sesuatu,” aku Hilda.
“Apaan deh?” Tania menggeleng-gelengkan kepala, menganggap tingkah Hilda pagi itu benar-benar aneh.
“Kemarin kamu ke mall?”
“Ih, kok tau?” Tania terkejut dan langsung menghadap Hilda.
“Aku lihat kamu sewaktu aku turun dari eskalator dengan Angga.”
“Kok gak nyapa sih?” tanya Tania yang agaknya kesal.
“Aku gak yakin itu kamu, habisnya di sebelah kamu ada cowok.”
“Ih, kok jahat! Memangnya aku gak boleh jalan sama cowok?” Tania menyikut lengan Hilda.
“Bukan begitu, tidak biasa aja.” Hilda mengelus lengannya.
“Itu sepupuku, Atha. Bukannya aku sering cerita?”
Untuk sejenak, Hilda tidak berkomentar. Otaknya memproses semua percakapan yang pernah terjadi antara dirinya dengan Tania, ia memang pernah mendengar Tania membicarakan sepupunya, yang senang hitung-hitungan dan merupakan pribadi serius–amat serius. Namun, Tania tidak pernah bilang kalau dia memiliki sepupu seganteng Lelaki Harimau–ralat–Atha.
“Hil?” Tania memanggil Hilda sembari mengibaskan tangannya di depan wajah Hilda. “Emang aneh banget ya sampai-sampai kamu bengong gitu?”
“Enggak,” Hilda buru-buru menggeleng. “Aku baru tahu kalau dia sepupumu.”
Tiba-tiba saja tatapan Tania berubah menjadi tatapan menyelidiki. Sudut bibirnya ia tarik membentuk sebuah seringai. Matanya lalu menatap jenaka Hilda. “Kamu naksir Atha ya!”
“Ssssst! Jangan bikin gosip yang enggak-enggak deh!” Hilda membekap mulut Tania.
Kelas mereka masih sepi sebenarnya. Baru ada lima orang di sana termasuk Hilda dan Tania. Satu orang, Alfian, sedang tertidur sambil memangku dagu. Kemudian dua lainnya, Gina dan Cika, sedang menonton drama korea di laptop. Mereka tidak menggubris ucapan Tania yang sebenarnya diucapkan dalam volume pelan, sama seperti percakapan yang sedari tadi mereka lakukan.
“Kalau enggak, kenapa kamu takut digosipin? Santai aja kali.” Tania menyingkirkan tangan Hilda dari mulutnya. “Tapi, Atha emang pernah nanyain kamu.”
“Eh, kok bisa?”
“Mana aku tahu.” Tania mengangkat bahu. “Katanya kalian temenan di Facebook.”
“Oh, ya?” Hilda tidak mengingat melihat wajah Atha di beranda–home–akun Facebook-nya.
“Oh ya?” Tania mengulangi apa yang Hilda katakan sebagai ledekan. “Ya ampun, Hilda, kamu gak memperhatikan siapa aja yang kamu jadikan teman?”
Hilda menggeleng. Sama halnya dengan sms asing yang suka dia dapatkan, karena entah bagaimana ceritanya ada banyak orang yang menyimpan nomor ponselnya, Hilda selalu menerima tawaran pertemanan dari siapapun itu. Omong-omong, semenjak Hilda memiliki Facebook, sms asing berkurang.
“Yah, jadi Atha nanyain kamu. Aku tanya kenapa dia nanyain kamu, katanya dia ngerasa akun Facebook-nya kamu blokir.”
Hilda mengerutkan dahi. Ia mengingat-ingat arti kata blokir yang dulu pernah Anka ajarkan. Ketika sudah paham, dia baru berpikir kapan dia pernah melakukan itu. mengetahui merupakan satu dari sekian ratus temannya di Facebook saja tidak. Bagaimana bisa dirinya memblokir Atha?
“Aku tidak yakin aku pernah memblokirnya,” aku Hilda.
“Jangan-jangan karena Angga!” tuding Tania. “Atha sebenernya bilang itu udah lama. Sekitar beberapa hari setelah pekan olahraga, seingatku.” Tania mengelus-elus dagunya. Lagaknya sekarang sudah seperti seorang detektif. Seperti Holmes, sementara Hilda menjadi Watson.
“Tapi masa Angga melakukan hal itu?” Hilda menolak hal tersebut menjadi sebuah fakta. Itu hanya opini Tania belaka, pikir Hilda.
“Tapi Angga yang kamu bela itu memblokir nomor Kak Anka, ingat?” Tania segera menggampar Hilda dengan realita. Satu-satunya tersangka yang memblokir nomor Anka adalah Angga. Hilda tidak bisa memberikan pembelaan untuk hal itu, tapi soal Atha ... Hilda belum sepenuhnya yakin.
Ruang kelas yang semula sepi kini mulai terisi oleh banyak orang. Seruan Dani mengenai kuis Sejarah nanti membuat Alfian yang duduk di pojok tersentak dan terbangun dari tidurnya, buru-buru dia bergerak dari meja dan berjalan menuju Dani. Bukan hanya Alfian, anak-anak lain juga mengerubungi Dani dan menghafal kisi-kisi untuk kuis Sejarah yang bakal berlangsung 30 menit lagi, alias pada jam pertama.
Hilda maupun Tania hanya bisa menggeleng melihat kelakuan anak-anak kelas mereka. Namun, hal itu membuat kedua gadis ini kembali bersiap-siap untuk menghadapi kuis Sejarah sehabis ini. Mereka saling menguji satu sama lain setelah saling diam selama sepuluh menit untuk membaca materi pada buku paket.
***
“Angga ini benar-benar deh, dia memblokir semua akses cowok ke kamu? Terus kamu dan Atha gimana? Kok kayaknya dia ganteng banget. Ada Ig gak?” Lena menanyai Hilda tanpa henti. Hal itu membuat Hilda terkekeh. Dia menyesap teh hitam yang baru saja Lena siapkan untuknya.
“Satu-satu, Len,” kata Hilda. “Iya, Angga ternyata melakukan itu. Aku dan Atha ... ah, nanti akan kuceritakan. Soal Angga masih sedikit lagi.”
“Tidak lama setelah itu kalian putus?” tebak Lena.
Hilda mengangguk.
“Aku pada akhirnya menuruti saran dari Gisel, Tania, dan Kak Anka.”
***
Kantin tiga sudah menjadi markas keempat anak itu sewaktu istirahat kedua. Saat ini pukul setengah satu siang, semuanya telah kembali dari musholla sekolah untuk melaksanakan ibadah sholat Dzuhur. Pertemuan mereka di kantin tiga kali itu baru direncanakan kemarin sore karena kecurigaan Hilda semakin bertambah setelah kasus Atha.
Bicara tentang Atha, tiba-tiba pemuda itu muncul di antara mereka berempat. Mata Hilda terbelalak, lalu menatap Tania untuk meminta kepastian.
“Ini Atha sepupuku, Gisel mah udah tau. Kalian sekelas, kan,” jelas Tania. “Aku ngajak dia karena dia jadi korban blokir part 2 si Angga.” Tania menepuk-nepuk tempat kosong di sampingnya untuk Atha. Atha mengangguk pada yang lain dan duduk di sana. “Jadi Atha, bagaimana ceritanya?”
“Em,” Atha menggaruk pipinya. “Jadi aku nge-add Hilda beberapa bulan yang lalu, kebetulan aku menemukannya dan aku ingat wajahmu–kamu juga menulis 11 IPS 3 di akunmu, jadi aku tahu itu kamu.”
“Sebentar, sebentar. Kalian saling kenal?” Tania menyela.
“Kurang lebih.”
Gisel, Anka, dan Tania menatap Hilda dan Atha seolah kedua orang itu merupakan saksi dalam persidangan yang perlu memberikan kejelasan pada mereka. Namun, keduanya tidak mungkin menceritakan pertemuan mereka di perpustakaan, ruang guru, maupun berjalan bersama sewaktu pekan olahraga.
Mengenai pekan olahraga, Hilda tiba-tiba berseru, “Ah!” dia ingat sesuatu. Waktu itu, saat pekan olahraga, Angga melihatnya bersama dengan Atha. Kata Tania, Atha menyadari akunnya diblokir tidak lama setelah pekan olahraga.
“Kenapa, Hil?” tanya Tania. Keempat pasang mata itu memperhatikan Hilda, menunggu jawaban.
Hilda tidak enak mengatakannya karena dengan begitu dirinya setuju–lagi-lagi–pada Tania, Gisel, dan Anka yang menghakimi sikap absurd Angga yang senang memblokir orang lain.
“Aku rasa Angga memblokir akun Atha sewaktu dia masih punya akses ke akunku. Habisnya ... Aku dan Atha pernah jalan ke gerbang bareng dan Angga melihatnya.”
Daripada memperhatikan Hilda, Tania melihat sepupunya dengan tatapan yang sulit diartikan oleh Atha. Tania tampak tersenyum penuh rahasia, sementara Gisel yang memergoki Tania hanya angkat bahu dan tidak mau peduli.
“Karena akses akunmu sekarang tidak tersentuh oleh Angga, kamu bisa berhenti memblokirnya.” Setelah itu Gisel mengajarkan Hilda bagaimana caranya sampai bel istirahat berakhir.
Bab 16 - Semua Terungkap
Semakin banyak bukti bahwa Angga melakukan hal yang tidak-tidak di belakang Hilda. Namun, Hilda masih menolak untuk percaya. Waktu itu istirahat kedua–lagi-lagi–mereka berkumpul di kantin 3 dan memesan siomay. Saat ini mereka sedang membicarakan Angga dan bagaimana menghadapinya. Tania sampai-sampai geregetan dengan sikap Hilda. Gisel yang ikut terseret ke dalam geng Anti-Angga–yang diketuai Tania, wakilnya Anka, dan anggotanya Gisel dan Atha–juga geregetan dengan sikap Hilda padahal belum kenal lama.
“Begini saja deh,” Gisel menginterupsi Tania yang ngotot kalau Hilda sebaiknya putus dengan Angga. “Ada orang yang dekat dengan Angga dan kamu percaya?”
Sosok Dani langsung terbayang di benak Hilda. Namun, apakah Dani bisa dipercaya? Hilda tidak tahu.
“Bagaimana dengan Dani? Dia kan yang ngasih nomormu?” Tania seolah mengetahui kalau Hilda juga berpikiran untuk meminta tolong Dani.
“Tapi kalau dia ngasih nomor Hilda, bukannya dia lebih akrab dengan Angga?” tanya Anka. Anka berpikir kalau Dani dekat dengan Hilda, maka sebagai teman dia tidak akan membiarkan nomor temannya tersebar ke orang seperti Angga–yang menurut Anka benar-benar aneh, bahkan untuknya yang laki-laki.
Atha yang sedari tadi diam dan menyimak mulai bersuara, “Hm, sepertinya aku ada teman anak SMK 1.” Semua mata tertuju padanya.
Tania segera bilang, “Ya sudah, pulang sekolah kita ajak dia ketemuan!”
“Terus bagaimana denganku?” tanya Hilda. Setiap pulang sekolah dia dijemput oleh Angga.
Tania mengerutkan dahi. “Bilang aja ada kerja kelompok,” sebuah solusi terucap oleh Tania. Hilda mengangguk dan segera mengirim sms ke Angga yang mengatakan kalau dirinya akan kerja kelompok. Sementara itu Atha mengirim sms ke temannya, Judil, untuk bertemu sepulang sekolah.
“Tempat bertemunya dimana?” tanya Atha.
“Rumahku saja,” sahut Anka. “Ayah dan ibuku dinas, di rumah hanya ada aku doang kok.”
Setahu Hilda, Anka memang anak tunggal dan kedua orang tuanya bekerja. Sehingga fakta soal Anka yang ditinggal sendiri tidak membuat Hilda terkejut. Selagi yang lain membicarakan apa saja yang akan mereka lakukan di rumah Anka, ada sebuah pesan masuk untuk Hilda.
“Aduh, gimana nih? Angga bilang mau ngejemput.”
Gisel dan Tania tampak jengkel, Atha dan Anka tampak terpekur. Kedua laki-laki itu mencoba memikirkan alasan yang masuk akal untuk Hilda. “Kalau bilang pulang larut pun, dia bakal makin ngotot menjemput,” gumam Anka.
“Bilang saja kamu sekelompok dengan Tania dan ayah Tania bakal menjemput Tania dan mengantarmu sekalian?” Atha menawarkan solusi. Tania segera menepuk pundak Atha dengan keras sampai-sampai lelaki itu mengaduh.
“Sepupuku memang paling hebat buat mikir beginian!” Tania tampak bangga, tapi Atha terlihat tidak senang karena punggungnya ditepuk. Sementara itu, Hilda segera memberikan balasan sesuai dengan yang Atha sarankan. Tidak lama, Angga membalasnya dengan jawaban singkat.
“Syukurlah, dia sepertinya percaya.”
Tania beralih pada Atha, “Temanmu bagaimana?”
“Katanya juga oke.”
***
Sewaktu pulang sekolah, mereka berenam berkumpul di rumah Anka. Saat Tania, Gisel, Hilda, Anka, dan Judil duduk di ruang tamu, Anka masuk ke kamarnya untuk menaruh tas dan berganti baju. Setelah itu dia menyiapkan sirop jeruk dingin di dalam teko dan enam gelas untuk mereka semua.
Selama Anka menyiapkan minuman di dapur, kelimanya mengobrol mengenai Angga.
“Aku enggak begitu dekat dengan Angga, tapi kami saling berteman di Facebook. Biasanya sepulang sekolah dia sering online,” kata Judil.
“Enggak apa, yang penting kenal. Aku sudah menyiapkan skenarionya!” seru Tania dengan bangga.
Hilda melihat kawannya dengan tatapan tidak percaya. Sejelek apapun tudingan mereka soal Angga, sekalipun sekarang Hilda mulai sedikit percaya, ia merasa dikhianati sahabatnya sendiri. Tania begitu yakin kalau bersama Angga adalah pilihan yang buruk untuk Hilda. Sementara Hilda masih terkena tipu muslihat kebaikan Angga yang mengasup keperluan materil Hilda–yang membuat Hilda tampak seperti cewek matre, padahal Hilda tidak pernah meminta Angga memperlakukannya demikian.
Anka datang membawa nampak berisi seteko es jeruk dan enam buah gelas kaca.
“Ya ampun, Kak, maaf ngerepotin,” kata Hilda.
“Enggak apa-apa, aku malah senang rumahku ramai.” Anka terkekeh. “Kalian butuh laptop?”
“Enggak usah, Kak, pakai punyaku saja,” kata Gisel yang mengeluarkan laptop miliknya dari dalam tas.
Mereka membuka halaman Facebook dan menyuruh Judil masuk ke akunnya. Tentu saja Gisel mengingatkan jangan sampai Judil menekan permintaan untuk menyimpan password pada browser yang Gisel gunakan.
Seperti kata Judil tadi, setiap pulang sekolah Angga selalu online. Tania menyuruh Judil untuk menyapa Angga di chat.
“Yo!” sapa Judil dalam chat.
Tidak lama, tampak Angga sedang mengetik, “Napa? Tumben nge-chat.”
Judil tampak melihat Tania. Dia menunggu instruksi dari Tania yang kemudian menyuruh Judil menulis, “Pengin tanya soal pacar kamu, Hilda.”
Angga langsung membalas, “Kenapa?”
Tania menyuruh Judil bergeser, “Biar aku aja yang ngetik,” katanya. Ia pun menulis, “Katanya dia clbk–cinta lama bersemi kembali–dengan mantannya, Anka.”
Anka dan Hilda yang melihat apa yang Tania tulis melemparkan pandangan penuh tanya pada gadis itu. “Kok malah bilang gitu?” tanya Hilda.
“Aku lagi mancing dia. Kalau dugaanku tepat, dia pasti sudah menduga kalau kamu dan Kak Anka kembali dekat.”
“Anj*ng!” balasan Angga pada chat membuat Hilda terkejut. Ia tidak pernah tahu kalau Angga yang selalu berkata baik di depannya mengumpat kasar. “Dia balik lagi sama kakak tingkat itu? Padahal sudah aku blok nomornya.”
“Kan!” Tania berseru. “Kubilang juga apa, Hil.” Wajah Hilda tampak pucat melihat balasan yang Angga kirim. Anka mengulurkan gelas yang sudah ia isi dengan jus dan menyuruh Hilda untuk meminumnya.
“Jangan-jangan dia hari ini ketemuan sama si kakak kelas. Aku dengan dari Dani, sejak SMP itu cewek suka kegatelan.” Itu yang Angga tuliskan pada chat-nya.
Tania segera membalas, “Oh ya? Kata temanku yang satu smp dengannya, dia pernah gebet pacar orang.” Tania segera menoleh ke Hilda. “Maaf ya, Hil, aku nulis begini.” Walau di chat Tania tampak menggebu-gebu mengejek Hilda, sebenarnya dia tidak enak hati karena Hilda adalah sahabat baiknya. Soal hubungan Andira dan Hilda yang pernah dekat sewaktu SMP baru Tania ketahui belum lama.
“Enggak apa-apa, Tan.” Hilda menggeleng lesu. Dia melihat pada layar dan menantikan apa yang Angga balas untuk ucapan Tania tersebut.
“Iya, aku tahu. Dasar pel*cur. Padahal sudah sering ku traktir itu cewek! Kurang apa coba?”
Melihat tulisan itu, mata Hilda terasa panas. Menyadari perubahan ekspresi pada Hilda, Anka yang paling dewasa di antara mereka menyuruh Tania untuk menyudahi chat.
“Sudahlah, Tan, lihat Hilda,” kata Anka.
Tania menggigit bibirnya. Dia merasa tidak enak hati pada Hilda, tapi ia melakukan ini semua demi temannya. Tania tidak suka kalau temannya ditipu dan Angga benar-benar telah melewati batas dengan berbicara seperti ini.
“Ehm,” Judil berdeham. “Sebenarnya Angga memang begitu.” Judil menjelaskan kalau omongan Angga memang sering kali kasar. Angga yang berasal dari keluarga berada sering kali menyombongkan diri. namun, karena dia sering mentraktir kawan-kawannya, dia jadi disukai.
Hilda tidak tahu mau merespon apa. Sedari tadi Atha terus memperhatikan perubah mimik wajah Hilda. Melihat pesan yang ada pada layar, Atha yakin semua orang di sana kesal. Angga benar-benar sebrengsek yang Tania duga, tapi melihat Hilda yang kelihatan terkejut dan sakit hati membuat Atha mengasihaninya. Gisel pun begitu. Dia memang baru kenal sebentar dengan Hilda, tapi dia tahu Hilda gadis baik-baik. Gisel tahu dari Anka kalau Hilda bukan berasal dari keluarga berada. Ayahnya hanya seorang tukang becak, tapi karena Hilda merupakan murid yang tekun dan pintar, dia berhasil mendapatkan beasiswa di SMA Mangunkusuma.
Tania masih melanjutkan chat-nya dengan Angga sembari sesekali memperhatikan Hilda. Ucapan Angga yang semakin lama-semakin kurang ajar membuat Tania memilih untuk mengabaikan apa yang tertulis di sana.
***
Hari berganti dengan cepat. Hilda memutuskan untuk berangkat pagi sekali naik angkot untuk menghindari Angga. Dia tidak menyahuti sms Angga dan membiarkan ponselnya berdering. Gisel kemarin menyarankan untuk memblokir nomor Angga, tapi Hilda tidak melakukannya karena ia ingin menyelesaikan perkara ini nanti sore.
Sepanjang hari, Tania kerap memperhatikan teman sebangkunya itu. Dia menanyakan keadaan Hilda di pagi hari dan Hilda mengaku dirinya baik-baik saja. Seperti yang Hilda katakan, Hilda melewati hari dengan baik-baik saja. Namun, saat jam terakhir datang dia mulai gugup.
Setelah bel pulang terdengar, Tania menepuk pundak Hilda.
“Mau kutemani?”
“Tidak usah. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Kalian sudah membantuku banyak,” terang Hilda.
Hilda berjalan keluar gerbang dan menenteng helm merah pemberian Angga. Di sana ia lihat Angga dengan pandangan dingin sekaligus jijik. Sementara itu, Angga memandangi Hilda dengan heran. Apa gerangan yang membuat Hilda menatapnya demikian? Tanya Angga dalam hati.
“Tadi pagi kamu ke–“
Hilda memotong ucapan Angga. Ia mengulurkan helm itu dan bilang, “Mulai besok gak perlu jemput aku lagi.”
“Maksud kamu, Hil?”
“Udah jelas, kan?”
“Kamu mau putus? Kenapa?” suara Angga tampak kasihan, tapi mengingat bagaimana Angga memanggilnya di chat dengan Judil membuat Hilda yakin dirinya tidaik perlu mengasihani Angga.
“Aku lihat chat-mu dengan Judil.”
Mata Angga terbelalak. Ia amat terkejut mendengar nama teman sekolahnya terucap oleh mulut Hilda. Ia pun mengingat kembali percakapannya dengan Judil kemarin.
“Chat apa?” namun, Angga masih berusaha untuk pura-pura tidak tahu.
“Jangan pura-pura bloon. Kamu mengataiku pelac*r!” lidah Hilda terasa kelu mengatakannya.
Angga segera melepas topeng yang selama dia pasang. Wajahnya tidak pernah tampak segeram itu, setidaknya di depan Hilda. Dari tatapannya dia mencerca Hilda. Namun, tidak cukup dengan itu mulutnya pun berkata, “Kalau kamu gak nempel-nempel sama mantanmu, akugak bakalan bilang kamu pelac*r.”
Hati Hilda tertohok. Tanpa ia sadari matanya yang panas mulai mengucurkan air mata.
“Kenapa nangis? Bisanya hanya nangis doang.”
Padahal baru kali itu Hilda menangis di depan Angga. Dia tidak paham. Otaknya pusing, emosinya berkecamuk. Dia tidak mengerti mengapa Angga menjadi sosok yang berbeda. Dia pun tidak mengerti mengapa Angga tidak lagi bersikap lembut padanya.
“Benar kata ibuku. Harusnya dari awal aku menuruti kata ibuku. Berpacaran dengan anak tukang becak tidak cocok buatku.”
Kata-kata Angga itu semakin membuat hati Hilda tercabik-cabik. Aliran air mata Hilda makin deras, tapi dia gigit bibirnya untuk menahan isak. Kemudian, dia mengepalkan tangannya dengan erat. Dengan mata yang menatap lurus Angga, meski basah oleh air mata, Hilda berkata, “Kamu boleh mengejekku, tapi tidak orang tuaku.” Kata-kata Hilda barusan merupakan akhir pertemuan mereka.
Hilda menyerahkan helm itu dengan paksa. Dia melepasnya, persetan kalau helm merah itu bergulis jatuh sebagaimana kepercayaannya pada Angga. Ia tinggalkan Angga dengan mata yang basah. Dari gerbang, Tania dan Atha yang menunggui Hilda karena khawatir, tapi mereka tidak bisa mendengar percakapan antara Hilda dan Angga. Tania dan Atha segera menghampiri Hilda. Tania memeluk Hilda tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Atha memperhatikan Angga yang terpaku di atas motor. Keduanya bertukar tatap, sengit.
Atha tidak begitu paham, tapi dia tidak bebal. Dia tahu Angga membencinya karena menduga Atha merupakan satu dari sekian lelaki yang patut dicemburui. Beruntungnya, mobil ayah Tania datang sebelum Angga turun dari motor.
“Buruan, Tan,” kata Atha yang membukakan pintu untuk kedua gadis itu. Atha duduk di kursi depan dan melihat pamannya yang heran. Ayah Tania bertanya pada Atha lewat kontak mata. Atha berbisik, “Ada sedikit asalah om. Sebaiknya kita buruan pergi, habisnya cowok itu ... begini.” Atha mengangkat telunjuk ke depan dahi. Ayah Tania langsung menjalankan mobil sambil sesekali melihat kaca.
“Pa, aku nginep di rumah Hilda ya,” kata Tania sambil mengusap-usap punggung Hilda yang mulai reda menangis.
“Iya, tidak apa-apa, Nak. Nanti papa antarkan bajunya ke rumah Hilda, ya.”
Ayah Tania tidak bertanya alasan mengapa anaknya meminta menginap di rumah Hilda. Kedua sahabat itu bukan sekali dua kali menginap di rumah masing-masing, baik itu untuk mengerjakan tugas atau bermain. Ayah Tania sudah tahu bagaimana watak Hilda dan juga keluarganya, sehingga dia merasa aman-aman saja membiarkan anaknya menginap di tempat Hilda.
“Tha,” ayah Tania memanggil Atha. Tatapannya tertuju dari Atha, lalu ke kotak tisu. Atha yang paham langsung mengambilnya dan menyerahkan kotak tisu pada Tania.
“Ck, dia ngikutin,” Tania berdecak sewakti melihat kaca spion dimana ia melihat sosok Angga dengan motor bebeknya.
“Perlu Papa bilangin?”
“Ja-jangan, Om,” suara serak Hilda terdengar. Dia tidak ingin merepotkan orang lain. Ini adalah urusannya dengan Angga. Dia benar-benar berterima kasih pada Tania karena rupanya gadis itu menemani dirinya diam-diam sewaktu menemui Angga tadi, tapi lebih dari itu dia tidak mau merepotkan Tania ataupun keluarganya. “Aku enggak mau menyeret kalian ke masalahku.”
“Nak Hilda,” kata ayah Tania. “Nak Hilda tidak perlu khawatir. Om tidak merasa direpotkan. Nak Hilda teman baik anak Om. Om tahu bagaimana sifat Nak Hilda. Apabila pemuda yang membuntuti kita saat inilah yang membuat Nak Hilda menangis, Om tahu kalau dia bukan orang baik-baik.”
Tania mengangguk, mengamini ucapan ayahnya. “Tuh, dengar kata papaku, Hil.”
Hilda hanya bisa mengangguk pasrah. Mobil berhenti di pinggir jalan dan ayah Tania keluar dari mobil. Atha, Tania, dan Hilda memperhatikan dari dalam. Ekspresi Angga tampak keras dan dia tampak memohon pada ayah Tania. Namun, sesaat setelah ayah Tania berbicara, Angga tampak diam dan mendengarkan ucapan Ayah Tania, lalu berputar arah.
Ayah Tania masuk ke dalam mobil. Ketiga remaja itu penasaran dengan ucapan mujarab apa yang membuat Angga pergi.
“Kalian mau tahu apa yang Om bilang?”
Ketiganya mengangguk.
“Om bilang, teman Om ketua TNI.”
“Emangnya ada, Pa?”
“Enggak, hahaha.”
Atha dan Tania tertawa, sementara Hilda tersenyum kecil. Pada perjalanan pulang ke rumah, mereka menyanyikan lagu-lagu yang diputar di Radio. Mulai dari lagu Justin Bieber, sampai lagu Yovie & Nuno yang berjudul “Merindu Lagi (Pada Kekasih Orang)”.
“Tuhan tolong aku ingin dirinya, rindu padanya, memikirkannya!” Tania bernyanyi dan Hilda sesekali bersenandung. Atha melihatnya dari kaca. Senyum simpul tampak sewaktu ia melihat Hilda sudah tampak bahagia.
Bab 17 - Perpisahan
“Loh, kalau begitu masalah selesai dong? Kenapa tadi katamu kamu turun sepuluh kilo karena Angga?” tanya Lena.
“Karena sehabis itu dia menerorku.” Hilda memijat pelipisnya. Dia kembali diingatkan oleh memori buruk selama seminggu diteror oleh Angga.
***
Hilda tidak mengira kalau Angga terus berusaha mendekatinya. Ia sudah tidak paham lagi otak sinting yang Angga punya. Setelah mencerca dirinya dan ayahnya, Angga masih punya keberanian untuk menemui dirinya.
Hilda sendiri tidak habis pikir kalau Angga membuatnya jatuh sebegitu dalam. Tania yang menemaninya waktu itu merupakan hiburan sesaat. Namun, keesokan harinya Angga kerap muncul dan mengejar mobil ayah Tania yang mengantar Atha, Tania, dan Hilda ke sekolah. Angga benar-benar membuat Hilda takut. Dia membuat Hilda seolah-olah menjadi orang jahat. Atha dan Tania di hari kedua setelah Hilda putus dengan Angga mau menemani Hilda pulang seperti kemarin, tapi Hilda menolak karena tidak mau merepotkan mereka berdua. Begitu juga dengan Gisel dan Anka. Hilda tidak mau merepotkan Anka yang sebentar lagi akan menghadapi UN, sedangkan pada Gisel, Hilda merasa tidak mau merepotkan orang yang belum lama ia kenal.
Sifat itulah yang menjadi dua mata pisau bagi Hilda. Tanpa dia sadari, putusnya hubungan yang dia miliki dengan Angga membuatnya stres. Apa yang masuk ke mulutnya terasa tidak enak. Semuanya terasa ingin di muntahkan dan dia benar-benar memuntahkannya. Ibu Hilda tampak khawatir pada anaknya yang makin hari makin menyusut berat badannya.
Pada hari Sabtu, hari kelima Hilda dan Angga putus, Angga datang ke rumah Hilda. Namun, ayah Hilda tidak membiarkan pemuda itu menemui anaknya.
“Saya tidak akan bertanya apa yang kamu lakukan ke anak saya, Nak Angga,” pria tua itu berkata. “Namun, anak saya belum pernah seperti ini sebelumnya. Yang kamu lakukan padanya, apapun itu, saya yakini sudah membuat anak saya begini.”
“Sumpah, Pak, saya tidak menyakiti Hilda!” kebohongan itu meluncur dengan berani dari mulut Angga.
“Pulanglah, Nak Angga.” Ayah Hilda tersenyum sebelum ia masuk ke dalam, meninggalkan Angga.
Di dalam rumah, wajah tenang ayah Hilda surut. Dia tampak khawatir sewaktu bertanya pada istrinya, “Bagaimana Hilda?”
Ibu Hilda menggeleng. Hilda baru saja memuntahkan sarapannya dan berbaring lesu di kamar. Ayah Hilda masuk ke kamar anak pertamanya itu.
“Tadi Nak Angga datang ke rumah,” ucap ayah Hilda.
Hilda tampak tertekan hanya dengan mendengar nama Angga disebut. Apalagi Angga menemu ayahnya, sosok yang Angga sepelekan dan membuat Hilda amat membenci Angga saat ini.
“Ayah tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi ayah tahu yang anak ayah pilih adalah yang terbaik.”
Kata-kata itu membuat air mata Hilda tumpah. Selama ini dia diam saja tentang Angga yang mencerca ayahnya. Hilda bebricara sambil terisak, “Dia ... menghina ayah. Aku pikir ... dia baik, Yah. Aku pikir ... dia menerimaku.” Tentang latar belakang keluarganya, tentang fisiknya, tentang segalanya. Hilda pikir Angga menerimanya. Semua hal-hal manis yang mereka lakui bersama langsung hancur porak-poranda karena hilangnya rasa percaya. Angga yang selama ini ia pikir baik, rupanya berani mengatai Hilda di belakang. Angga yang selama ini bersikap santun pada orang tua Hilda, ternyata bisa mengatai orang tua Hilda sampai di titik yang tidak bisa Hilda toleransi.
Jika itu orang lain, Hilda mungkin tidak akan sebegininya. Namun, ini Angga. Orang yang pernah Hilda cintai.
***
Setelah itu Hilda tidak pernah lagi bertemu dengan Angga. Teman-teman Hilda tidak ada yang menyinggung soal berat badannya. Pipi tembam Hilda kini tampak tirus, tapi dia masih ingat caranya tersenyum. Soal Angga, dia sudah tidak mau peduli. Dani pun tampak menjauhi Hilda dan Tania, tapi kedua gadis itu tidak mau ambil pusing.
Minggu depan adalah pekan UN. Anka mulai jarang kelihatan batang hidungnya karena lebih memilih tinggal di kelas untuk bersemadi dengan buku soal UN. Dia les, tapi menurutnya les maupun ikut persiapan UN di sekolah masih kurang. Sementara Atha, pemuda itu memilih untuk berada di perpustakaan lebih lama karena pelajaran sebelumnya anak-anak kelas 11 IPA 1 ditugaskan ke perpustakaan. Jadi, yang hanya nongkrong di kantin tiga sama dengan jumlah mereka; hanya Gisel, Tania, dan Hilda.
“Sehabis kak Anka lulus, tinggal kita-kita aja deh,” ujar Tania sambil mengacak-acak sendok dan garpu pada tempatnya, tapi tidak sampai membuatnya berserakan di atas meja.
Hilda memperhatikan tangan Tania yang tidak bisa diam, lalu ia membayangkan hari-hari ke depan di mana hanya mereka bertiga yang menghabiskan waktu bersama di kantin. Lalu, dia teringat dengan kewajiban mereka sebagai pelajar yang harus menghadapi UN. Hari-hari ke depan pasti akan melelahkan seperti sewaktu SMP dulu.
“Aku berharap dapat undangan saja,” kata Gisel yang langsung menyuap segulung mie di garpu yang ia pegang dengan tangan kanan.
“Kamu mah pasti bisa, IPA 1 kan,” sahut Tania. “Hilda juga. Dia kan peringkat satu melulu. Kalau aku ... hh, kalau enggak dapet PTN–Perguruan Tinggi Negeri–aku udah bilang ke papa buat di swasta aja.”
“Jangan patah semangat dulu dong, Tan.” Hilda menepuk pundak Tania. “Kan masih ada SBMPT dan ujian tulis lainnya.”
Lalu Tania melihat Hilda dengan mata yang terbelalak. “Maksudmu ... aku harus ikutan semua ujian itu? Ew ....” Membayangkannya sudah membuat Tania pusing. Dia menggelengkan kepala. “Aku enggak kuat bisa tahan tekanannya. Lagipula kata mamaku, yang penting aku bahagia. Masuk swasta juga enggak apa-apa.”
“Kalian sudah tahu mau ambil jurusan apa?” tanya Gisel.
“Aku sih belum, tapi paling-paling hukum, bisnis, atau ekonomi. Yah ... sedapetnya lah. Habisnya mama dan papaku ingin aku di salah satu dari tiga jurusan.” Tania telah diberi keringanan dengan masuk universitas swasta yang bisa dia masuki tanpa perlu susah-susah ikut tes. Tinggal setor nilai dan siap uang–walau ini tidak berlaku di semua universitas swasta. Namun, kalau dia berhasil masuk PTN, orang tuanya pasti nangis darah.
Dibandingkan Tania, Hilda merasa jurusan yang dia pilih nanti tidak sebanding. “Aku pengin jadi guru,” katanya. Ia memangku dagu dengan kedua tangan yang membingkai wajah. “Namun, aku belum tahu menjadi guru apa. Aku suka mengajar. Rasanya menyenangkan bisa melihat orang lain paham dengan apa yang kusampaikan.”
“Kedengaran cocok buatmu,” ujar Gisel.
“Kalau kamu, Sel?” tanya Tania.
“Aku ... entahlah. Orang-orang berpikir aku bakal masuk IT, tapi kalau mepet sampai hari penentuan aku enggak tahu harus pilih jurusan apalagi, aku bakal pilih itu.”
Pembicaraan tentang masa depan itu membuat ketiga gadis ini terhenyak dalam keheningan sewaktu mengunyah makanan masing-masing. Hilda yang memakan siomay, Tania yang mengunyah permen karet, dan Gisel yang mengunyah mie goreng yang tinggal sedikit.
“Kita bakal terpisah-pisah, ya ... LDR, gitu.” Tania membuang permen karetnya pada bungkus yang dia simpan. Kemudian dia lipat rapi dan menggenggamnya sampai nanti beranjak pergi.
“Iya, haha.” Hilda tertawa. Mereka belum tahu bakal melanjutkan sekolah dimana. Bisa melanjutkan saja sudah Hilda syukuri betul. Namun, membayangkan hari-hari tanpa suara Tania yang mencerocos tanpa henti atau Gisel yang menyahut dengan kalem pasti akan membuat Hilda rindu.
“Kan ada teknologi,” sahut Gisel.
“Tapi kamu kan tahu kalau teman kesayangan kita satu ini, yang peringkat satu melulu, itu gaptek,” terang Tania sambil melirik geli Hilda.
“Hei! Aku jangan mendoakan aku bakal gaptek terus dong!” Hilda meninggikan suara. Wajahnya tampak tidak terima, tapi bibirnya mengerut menahan geli karena hendak tertawa.
Bel istirahat berbunyi. Gisel berpisah dari Tania dan Hilda. Dalam perjalanan ke kelas masing-masing, ketiga gadis itu memikirkan obrolan mereka tadi. Akankah mereka siap untuk berpisah dan hidup berjauhan ?
Bab 18 - Fake Love
Hari itu hari perpisahan. Tidak terasa waktu perpisahan datang dengan cepat. Menjadi murid kelas tiga SMA berlalu dengan cepat seolah kemarin Hilda dan kawan-kawannya baru masuk sekolah.
Panitia perpisahan yang ketuai oleh Andira menyiapkan perpisahan di gor depan sekolah. Padahal angkatan mereka mengingat perpisahan yang lebih mewah dan menyenangkan dengan melakukan perjalanan ke pantai. Namun, pihak sekolah menolak untuk melakukan itu sehingga Andira dan teman-teman panitia lainnya hanya sanggup membuat acara di gor depan sekolah.
Anak-anak biasa seperti Tania agaknya menyayangkan, tapi yang seperti Hilda merasa bersyukur dirinya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk wisuda. Untuk pakaian saja, kebaya yang warna per kelas dibedakan, sudah memakan banyak uang untuknya. Apalagi kalau ditambah dengan biaya perjalanan menuju lokasi perpisahan.
Berbicara tentang pakaian, kelas Hilda mendapat warna hijau daun. Para gadis menggunakan kebaya warna tersebut sementara yang laki-laki menggunakan jas hitam yang dipadu dengan kemeja hijau. Agak aneh memang warnanya, tapi anak laki-laki di kelas Hilda bersyukur tidak mendapat warna merah jambu seperti anak-anak di IPA 1. Bukan perkara warna merah jambu-nya, tapi mereka menggunakan jas putih yang mana tidak umum dimiliki ayah mereka–kebanyakan dari mereka menggunakan jas milik ayah atau kakak laki-laki; atau tetangga.
“Gisel! Ayo foto bareng!” Tania berseru dari kejauhan. Dia berlari-lari kecil walau sedang menggunakan sepatu wedges dengan tali hijau. Di belakangnya, Hilda menyusul dengan tersenyum malu. Kedua gadis itu merias wajahnya oleh perias yang sama: ibu Tania. Hilda semalam menginap di rumah Tania untuk bisa dirias oleh ibu Tania. Sementara itu, Gisel tidak memasang riasan yang mewah seperti Tania dan Hilda. Gadis itu hanya menggunakan bedak dan mengolesi bibirnya dengan lipbalm. Namun, itu tidak membuat Gisel terlihat biasa. Ia sudah memiliki warna kelopak mata yang cokelat dan bulu matanya lentik dan tebal. Begitu juga dengan alisnya. Hanya dengan bedak dan lipbalm sudah membuat Gisel tampak diberi banyak make up.
“Atha! Tolongin!” seru Tania untuk kedua kalinya.
Atha yang menggunakan kemeja merah jambu dan jas putih itu melangkah mendekati sepupunya. Dia menghela berat dan tampak pasrah sewaktu mengambil ponsel yang Tania ulurkan padanya. Sewaktu dia berpapasan dengan Hilda dia berbisik, “Riasan tanteku bagus juga.”
Ucapan Atha membuat Hilda bersemu. Selama setahun, mereka jarak berinteraksi seperti dulu. Atha kembali memilih menyendiri di perpustakaan atau di kelas seperti sebelum perkara tentang Angga muncul. Di Facebook pun, Atha tidak melulu online sebagaimana dengan Hilda. Pernah suatu waktu Tania bertanya pada Hilda apakah temannya ini tertarik pada sepupunya. Hilda hanya bisa bersemu dan Tania mengartikan bahwa memang benar Hilda tertarik dengan sepupunya. Tania sudah melakukan banyak cara agar mereka berdua jadian, tapi ujung-ujungnya tidak ada status di antara mereka berdua.
Kini ketika gadis itu berpose dengan latar berupa kain hitam dengan tulisan “Happy Graduation” yang dibuat dari balon berwarna emas yang ditempel di kain hitam itu.
Upaya Tania untuk menjodohkan Atha dengan Hilda rupanya masih terus berlanjut sampai detik ini. “Atha, ayo foto sama Hilda!” serunya, lebih seperti memerintah.
Atha melangkah mendekati ketiga gadis itu sambil menyerahkan ponsel milik Tania yang tadi ia gunakan untuk memotret mereka. Tania dan gisel menyingkir dari area foto.
“Deketan dikit dong,” keluh Tania dengan tangan yang siap memotret Hilda dan Atha. “Satu ... dua ... tiga!”
***
“Aku masih menyimpan fotonya sampai sekarang.” Hilda membuka ponsel. Tidak sulit untuk menemukan foto lima tahun yang lalu itu sebab ia menyimpannya di folder khusus. Dia perlihatkan foto itu bada Lena dan Lena tampak terkesan melihat rupa Hilda maupun Atha.
“Oh, dulu kamu enggak pakai kerudung,” kata Lena. Pada foto itu Hilda menyanggul rambutnya. Sementara sejak masuk kuliah, Hilda sudah menggunakan kerudung. Ibunya yang membuat Hilda mengganti penampilannya. Sebagai anak rantau, akan lebih aman kalau Hilda menggunakan kerudung.
“Iya, aku baru pakai kerudung sewaktu kuliah.”
“Terus ... mantan keempatmu berarti dia?” Lena menyerahkan ponsel Hilda kembali ke pemiliknya.
“Entahlah. Aku tidak bisa mengatakannya mantan. Kami dekat dan sama-sama nyaman, lagi-lagi ini mirip seperti Andira, tapi sampai sekarang status kami bukan pacaran.”
“Sampai sekarang?” Lena menyipitkan mata dan menegaskan tiap silabel yang ia ucapkan.
Hilda merasa dirinya sedang diintrogasi lagi dan tanpa sadar melentingkan badan ke belakang, serta menghindari tatapan Lena dengan menoleh ke arah jam. Alangkah terkejutnya Hilda sewaktu melihat jarum jam telah menunjukkan pukul tiga pagi. Biasanya jam segini dia sudah menguap, tapi dengan mengobrol bersama Lena rasa mengantuk itu hilang.
“Len, udah jam tiga loh.”
“Jangan ngalihin topik Hil, jadi kamu sama Atha masih berhubungan?”
Hilda mengangguk lemah. “Dia di fakultas MIPA–Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.”
“Dia juga di universitas ini?” Lena meninggikan suaranya. Langsung saja ia mengatupkan mulutnya karena tahu itu pagi hari dan penghuni kosan yang lain tengah terlelap dibuai mimpi.
“Iya ....”
“Kalian masih suka ketemu?”
Hilda mengangguk, sementara Lena terlihat tidak percaya. Tubuhnya menegak walau posisi duduknya, yang bersila di atas kasur, tidak berubah.
“Jadi itu alasannya pas semua teman-teman kita cinlok, kamu enggak cinlok?”
“Eh ... kamu juga cinlok?”
“Enggak, aku ada yang lain.” Lena mengibaskan tangan. “Jadi benar begitu?”
Hilda mengangguk.
“Astaga! Aku. Iri.” Sekarang Lena merebahkan tubuhnya pada kasur. Kakinya tidak berubah dan dia memiringkan badan. “Kenapa ya aku enggak begitu?”
“Tapi masa sih enggak ada yang suka sama kamu?”
“Ya ada, tapi aku enggak suka.”
Hilda langsung mengatupkan mulutnya. Dia tidak tahu harus berkomentar apa pada pernyataan Lena. Lena memang sering begitu. Pernyataannya terkesan sombong, padahal tidak bermaksud demikian.
Hilda melihat jarum jam panjang yang sudah menunjuk ke angka satu. Lima menit telah berlalu sejak Hilda menyadari bahwa sekarang sudah pagi hari.
“Aku akan lanjut revisi. Kamu mau aku bangunin pas subuh?” tanya Hilda.
“Enggak usah, aku kayaknya juga bakal melek kok.” Lena mengambil Ipad dan mengambil earphone. “Aku ke dunia lain dulu.” Itu adalah kata-kata yang selalu lena sampaikan apabila dia akan menggunakan earphone dan tidak akan menyahut kalau dipanggil karena volume yang ia gunakan cukup kencang.
Sementara itu, Hilda tidak mengingkari kata-katanya. Dia merenggangkan tubuh lebih dulu, lalu membenahi hal-hal yang ia lewatkan selama sekian jam karena bercerita tentang mantan-mantannya. Lagu Fake Love milik BTS dia putar dalam volume pelan. Sesekali dia ikut bernyanyi, dalam volume pelan, menyambi pekerjaannya pada laptop milik Lena. Lalu tiba-tiba jemari dan mulutnya berhenti. Dia menyadari arti lagu yang didengarnya persis seperti kisahnya dengan Angga.
Hilda tampak memijat-mijat dahi. Lalu dia menggelengkan kepala dan mengetik. Namun, obrolannya dengan Lena sejak tadi terus terngiang di kepala, membuatnya susah fokus. Tentang Atha pun, ia masih belum tahu. Ia tidak mau kejadian dengan Andira terulang lagi, tapi Atha sejauh ini tidak pernah mengingkari ucapannya. Mereka seperti teman–ralat, mereka memang teman. Mereka amat akrab dan hubungan ini terkesan platonik. Bukannya Hilda tidak suka, tiga teman lainnya yang mengetahui kisah ini menuntut status. Sementara itu, Hilda dan Atha sama-sama nyaman dan merasa tidak membutuhkan status pacaran. Hilda dan Atha sama-sama bahagia dengan hubungan mereka sekarang.
Bab 19 - Tugas Akhir
Lena berujung ketiduran sewaktu Hilda menengok gadis itu setengah jam kemudian. Ketika waktu Subuh tiba, Hilda membangunkan Lena dengan melepas earphone gadis itu pelan-pelan, lalu menepuk-nepuk pundak Lena sama pelannya. Tidak begitu sulit untuk membangunkan Lena. Hilda pernah diberi tahu Lena kalau memang begitu mudah untuk membangunkannya, tapi sulit untuk membuatnya terlelap sungguh-sungguh kecuali kelelahan sekali.
Hilda menunggu Lena solat Subuh. Mereka tidak bisa melakukan solat sama-sama karena tidak ada ruang yang cukup di kamar kos itu karena keberadaan kamar mandi di dalamnya. Setelah solat, Lena kembali merebahkan tubuh di kasur, tapi tidak tidur. Ia menunggu Hilda selesai solat dan berdoa.
Sewaktu Hilda menggantungkan mukena, Lena bertanya pada kawannya itu. “Kamu mau pulang sekarang atau tidur di sini sampai siang?”
“Aku pulang aja deh.”
“Serius? Gak capek?”
“Aku mau pesan ojek online aja.”
Lena mengangguk-angguk dan ikut menunggu bersama Hilda sampai ojek pesanannya tiba di depan kos Lena. Sebenarnya kosan mereka tidak jauh, sekitar 50 meter paling-paling dan masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki kurang dari sepuluh menit. Berhubung Hilda belum tidur dan di luar masih gelap, ia memilih untuk naik ojek online agar sampai ke kosan dengan selamat.
Setibanya di kamar kos, Hilda merebahkan tubuhnya di atas kasur. Tidak lama untuk menunggunya menutup mata dan akhirnya terlelap selama tiga jam, tepatnya pukul delapan pagi. Dengan enggan Hilda mengecek ponselnya untuk melihat saat ini pukul berapa. Kemudian dia memejamkan matanya selama sejam, baru kali itu ia beranjak dari kasur untuk pergi mandi di kamar mandi yang berada tepat di depan kamarnya.
Berhubung ini sudah jam kuliah, anak-anak kos yang masih punya jam kuliah sudah pada menghilang meninggalkan kos atau masih mendekam di kamar karena mendapat jadwal siang. Hilda yang merupakan mahasiswa tingkat akhir tidak lagi mempunyai jam pasti untuk berangkat ke kampus. Untuk hari ini dia juga tidak berencana ke kampus untuk menjumpai dosen pembimbing karena revisi yang ia dapat belum dikerjakan semuanya. Namun, ia berniat pergi keluar sehabis mandi menuju perpustakaan.
Hilda lebih senang mengerjakan tugas akhirnya di perpustakaan alih-alih di kos. Di perpustakaan ia bisa menumpang mengadem gratis, meski di samping kosnya terdapat kafe baru yang menjual makanan maupun minuman yang bisa membuat Hilda mengerutkan dahi. Pasalnya, harga satu makanan dan minuman setara dengan makannya selama sehari atau dua hari–kalau dia mau makan sayur saja tiga kali sehari, berarti setara dua hari. Jadi, dia memilih perpustakaan untuk mengerjakan tugas akhir.
Dari kos Hilda menuju perpustakaan tidaklah jauh. Hanya butuh 15 sampai 20 menit tergantung kecepatan langkah. Berhubung Hilda berjalan pelan-pelan untuk menikmati udara pagi, ia tiba di perpustakaan 18 menit kemudian. Ia langsung pergi menuju ruang loker untuk menyimpan tasnya. Ia pindahkan laptop, kabel, ponsel, dompet, dan alat tulis ke dalam tas perpustakaan, sementara tasnya ia simpan di dalam loker yang kemudian ia kunci.
Hilda menekan tombol lift, tapi ada tangan lain yang lebih dulu menekannya. Hilda melirik ke samping dan matanya terbelalak sewaktu melihat Atha di sebelahnya.
“Loh, kok kamu di sini?”
Selama enam bulan mengerjakan tugas akhir dan setidaknya dalam seminggu Hilda sekitar tiga kali ke perpustakaan, baru kali ini Hilda bertemu dengan Atha.
“Masa aku enggak boleh ke perpustakaan.” Atha terkekeh.
“Yee, bukannya begitu ... aku kaget tahu.” Pintu lift terbuka, mereka berdua masuk ke dalam. Hilda menekan nomor empat, lantai yang ia tuju, sementara Atha berdiri di sebelah Hilda.
“Loh, lantai empat juga?” tanya Hilda.
“Iya, referensiku di sana semua.”
“Oh, ya. Benar juga.”
Hilda baru ingat kalau di lantai empat adalah tempat buku-buku MIPA berada. Dirinya memang bukan berasal dari jurusan MIPA, tapi ada buku-buku referensi yang ia perlukan di sana. Walau begitu, hari ini Hilda tidak berniat mencari referensi lain, melainkan untuk membenarkan tugas akhirnya saja.
“Kalau kamu?”
“Aku hanya numpang ngadem,” ucap Hilda yang kemudian dilanjutkan oleh tawa.
Pintu lift terbuka setibanya mereka di lantai empat. Hilda mengetikkan nomor induk mahasiswa-nya di komputer untuk daftar hadir, begitu juga dengan Atha.
“Mau semeja, Tha?”
“Masa pakai nanya,” kekeh Atha mengalun syahdu sewaktu mengetuk gendang telinga Hilda.
“Kupikir ada temanmu juga.”
“Biasanya aku sendirian aja.”
“Kalau butuh teman, seharusnya kamu kabari aku dong.”
“Tapi biasanya kan jadwal kita gak sama.”
“Ya juga.”
Mereka berjalan mencari tempat duduk yang jauh dari jendela yang menghadap Timur. Mereka tidak mau terkena silaunya matahari, yang membuat mereka perlu meningkatkan brightness laptop masing-masing. Selain itu, ya karena panas.
Setelah menemukan tempat yang teduh, Hilda mengeluarkan laptop dari tas milik perpustakaan dan memasang kabel charger. Sementara itu Atha hanya menaruh tas perpus dan laptop-nya di atas meja.
“Aku tinggal sebentar ya, mau cari buku.” Atha pergi meninggalkan Hilda di meja. Pemuda itu hanya membawa buku dan pena bersamanya. Ia pergi ke bagian depan, dekat tempat daftar hadir. Namun, yang ia tuju bukanlah komputer untuk daftar hadir, melainkan komputer lain untuk mengecek letak buku-buku yang perlu ia cari.
Atha menghabiskan waktu selama lima belas menit untuk mencari empat buku utama yang ia perlukan untuk isian di bab 2, bagian kajian pustaka, tugas akhir yang sedang ia bikin. Sebenarnya ia sudah sampai bab 4 dan bahkan sudah menyiapkan draft untuk bab 5, tapi dosennya masih saja menyuruh dia untuk merapikan dan menambah isi bab 2. Kebetulan, Atha mendapat dosen yang amat idealis dan perfeksionis. Untungnya, Atha bisa mengimbangi dosennya itu walau tidak sepenuhnya selamat dari revisi yang amit-amit jumlahnya.
Untuk mencari buku, Atha hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit. Katakanlah itu kemampuan yang ia dapat karena sejak SMA sudah rajin pergi ke perpustakaan dan pandai dalam memindai. Memang awalnya Atha hanya membutuhkan empat buku, tapi ia melihat buku-buku lain yang nampaknya sesuai dan ia berakhir mengambil buku-buku itu juga, sehingga buku yang Atha bawa kembali ke meja berjumlah tujuh; dua buku tebal seperti kamus, empat lainnya masih berukuran normal.
Sewaktu Atha berjalan menuju meja, ia memperhatikan Hilda yang terpekur memandangi layar laptop sambil bertopang dagu. Atha memelankan langkahnya dan tak kuasa menahan tawa sewaktu Hilda mendadak menegakkan tubuh lalu mengetik dengan cepat seperti baru saja kedapatan wangsit.
Saat Atha tiba di meja, Hilda langsung menoleh. Ia melihat buku-buku yang Atha bawa dan membaca judul-judulnya. Dari membaca judulnya saja sudah membuat Hilda pusing.
“Mekanika tanah ... Untung aku hanya belajar Ilmu Tanah.” Hilda menjadi ingat dengan mata kuliah itu. Ia harus bermain-main dengan tanah, seperti bocah yang bermain dengan tanah liat, mencocokan warna, dan sampai masuk ke lubang galian untuk menentukan lapisan tanah.
“Loh, dapat Ilmu Tanah?”
“Ya iyalah, Tha. Jurusanku kan belajar tanah juga, tapi enggak Mekanika Tanah.”
Berbeda dengan Atha yang berkuliah di jurusan Fisika Murni, Hilda mengambil jurusan Pendidikan Geografi. Di sana ia bukan hanya belajar tentang cara mendidik, tapi juga mata kuliah yang kurang lebih sama dengan anak Geografi Murni. Skripsi yang Hilda ambil juga tidak jauh-jauh dari tanah. Sewaktu mengambil sampel, ia memerlukan sampel tanah dari berbagai lokasi dan mengolahnya di lab.
“Oh ya ... tugas akhirmu.”
“Nah, itu ingat.”
Atha menarik kursi di sebelah Hilda lalu duduk. Ia mengambil satu buku dan mulai membaca bagian daftar isi. Melihat Atha yang sudah serius dengan bukunya membuat Hilda kembali menekuni apa yang sedang ia lakukan. Ia perlu menambah penjelasan di bagian pembahasan, tapi ia tidak bisa langsung menciptakan kata-kata yang lugas sehingga ia perlu tercenung sejenak, lalu tiba-tiba akan mengetik cepat dengan mulut komat-kamit–mendikte tanpa bersuara apa yang muncul di dalam kepala.
Sementara itu Atha membaca dan menulis hal apa yang layak ia kutip dari buku-buku yang setengah jam lalu ia ambil dari rak. Setelah semuanya ia rasa lengkap, Atha baru menyalakan laptop-nya, memasang pula kabel charger, dan menunggu laptop-nya menyala. Setelah itu, dia mulai mengetikkan kata-kata yang tadi ditulisnya pada buku.
“Loh?!” suara yang asing bagi Atha, tapi tidak bagi Hilda membuat sepasang muda-mudi ini berhenti mengetik.
Di sana Lena berdiri memergoki Hilda dan Atha. Lena merasa yakin sekali sosok yang duduk di sebelah Hilda itu Atha karena baru tadi pagi ia melihatnya.
“Temanku, Tha. Namanya Lena,” kata Hilda seolah tidak menggubris rasa terkejut Lena.
“Atha.” Atha berdiri lalu mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Lena.” Lena membalasnya dengan canggung, tapi dia tidak pernah lupa untuk menjabat siapa saja dengan erat–konon, itu akan membuat si pejabat tampak hangat dan ramah.
“Mau semeja?” tawar Hilda. Berhubung meja yang mereka pakai adalah meja untuk empat orang, tapi hanya dipakai oleh dua orang, maka masih ada ruang lebih untuk Lena.
“Boleh deh.” Walau serasa dirinya akan seperti obat nyamuk, Lena tidak menolak tawaran Hilda. Kalau dia hanya sendirian, siapa yang akan menjaga barang-barangnya sewaktu ia harus ke toilet atau ke kantin–kalau mendadak lapar.
Lena seperti biasa pamit saat akan memasang earphone pada Hilda maupun Atha. Sampai waktu Dzuhur tiba, Lena baru melepas earphone-nya. Mereka bergantian untuk solat, tapi Lena meminta tambahan waktu karena ingin makan sebentar di bawah–benar-benar sebentar karena tidak menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit.
Setelah itu mereka kembali mengerjakan tugas akhir masing-masing sampai sore datang. Lena tampak merenggangkan tubuhnya. Dia melepas earphone dan mematikan pemutar musik pada laptop-nya. Ia menepuk punggung Hilda sebanyak dua kali untuk mendapatkan atensi kawannya itu.
“Aku mau balik duluan gak apa-apa?”
“Oh, udah selesai?”
“Belum sih, tapi udah buntu.”
“Hm ... kamu pulang jalan kaki?”
“Enggak ah, aku naik ojek aja. Dua ribu ini,” tukas Lena.
“Ya udah, hati-hati ya.”
“Sip.” Lena merapikan barang-barangnya lalu pamit pada Hilda dan juga Atha.
Setelah Lena pergi, Atha bertanya pada Hilda, “Kamu mau pulang kapan?”
“Setengah jam lagi deh.”
“Solat di sini?”
“Iya sekalian nanti turun.”
“Mau pulang bareng? Aku bawa motor.”
“Gak apa-apa?”
“Ya masa gak boleh.”
Walau bukan kali pertama Hilda dibonceng oleh Atha sewaktu kuliah, tetap saja hal ini membuat degup jantung Hilda berpacu lebih cepat dan membuat perutnya terasa ada kupu-kupu yang terbang. Bikin geli, tapi juga senang. Perasaan yang benar-benar aneh. Namun, setiap kali ia ingat hubungan lampaunya dengan Andira maupun Angga, hal itu membuat Hilda tidak yakin. Bukannya dia tidak yakin dengan kebaikan hati Atha, hanya saja ia takut kalau dirinya harus berpisah dengan cara yang tidak mengenakkan dengan Atha.
“Hil.” Sapaan Atha membuat Hilda tersadar dari lamunan. “Sudah setengah lima nih.”
“Oh, oke.” Hilda merapikan barang-barangnya di atas meja. Atha yang sudah merapikan selama Hilda melamun hanya duduk dan memperhatikan gadis itu memperlakukan barang-barangnya dengan hati-hati. Hilda yang dulu, yang gaptek, tidak mungkin bisa menggunakan laptop kalau bukan karena dibantu Gisel. Namun, memang dasarnya mudah mengerti, tidak butuh waktu lama bagi Hilda untuk beradaptasi dengan gadget–apalagi atas bantuan Gisel.
“Yuk!” ajak Hilda.
Atha berdiri, lalu mendorong kursi untuk masuk ke dalam meja seperti posisi semua. Hilda juga melakukan hal yang sama pada kursinya. Kemudian, keduanya pergi menuju lift. Atha menekan tombol turun dan mereka menunggu lift terbuka.
“Besok-besok kalau mau ke perpus bilang-bilang aja.”
“Oke deh,” jawab Hilda.
Pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam. Setibanya di lantai satu, mereka berdua tidak langsung ke tempat parkir motor melainkan mushola untuk menunaikan ibadah solat Ashar. Setelah selesai solat, barulah keduanya pulang. Di motor, mereka tidak berbicara sama sekali. Memang seperti itulah Atha, sehingga kadang kala Hilda mempertanyakan keseriusan Atha terhadap dirinya.
“Terima kasih ya, Tha.”
“Iya. Ingat ya, kasih tahu kalau mau ke perpus.”
“Sip. Hati-hati di jalan.”
Namun, hal-hal kecil yang Atha lakukan seperti ucapannya barusan selalu bisa membuat Hilda tidak lagi meragu. Ia menjadi yakin dan percaya pada Atha bahwa pemuda itu akan menjadi sahabat hidupnya sampai akhir hayat.
Epilog
Suasana jalanan itu nampak ramai. Janur kuning melengkung, menjadi tanda kegiatan apa yang sedang berlangsung di sekitar sana. Di meja tamu, tampak dua orang perempuan yang menyanggul rambutnya dan menggunakan kebaya warna biru. Di samping meja tamu, terdapat kotak yang dipenuhi amplop uang. Selain kotak itu, terdapat pula setumpuk hadiah, salah satunya terdapat nama ‘Lena’ di sana.
“Titipan si Lena udah dikasih?” kata seorang perempuan bertubuh mungil.
“Udah, santai lah. Masa aku korup.”
“Mau langsung ke pelaminan?” tanya perempuan yang paling tinggi di antara mereka dan berkacamata.
“Nanti aja deh, kita makan dulu aja.” Ketiga perempuan itu melenggang ke tempat makanan berjejer.
Di meja tamu, kedua perempuan yang menjadi pagar ayu itu melempar pandangan ke pelaminan selagi tidak sedang melayani tamu yang berdatangan.
“Akhirnya ya, Sel.”
“Iya, akhirnya sepupumu itu berani juga maju.”
“Kita kapan ya.”
“Aku sih bulan depan.”
“Hah? Kak Anka udah lamar kamu?” suara Tania yang menggelegar membuat tamu yang berada tidak jauh dari sana menoleh.
“Sshh, jangan lebay deh.”
“Lah, kamu enggak kasih tahu kita!”
“Aku lupa karena bantuin Hilda, sorry ya.”
“Kalau begitu tinggal aku aja dong yang belum dapet pasangan?”
“Mau aku kenalin ke teman kantorku?” ledek Gisel.
“Temen kantormu kan seumuran bapakku semua!”
“Kan siapa tahu anaknya ada yang lajang. Gimana?” alis Gisel naik turun sewaktu ia meledeki Tania.
“Ogah!” bentak Tania.
Bersamaan dengan itu, ternyata ada seorang tamu yang baru saja menuliskan namanya di daftar tamu.
“Maaf, Mbak. Ada apa?”
“E-eh, enggak apa-apa, Mas. Maaf. Ini bingkisannya.” Tania menyerahkan bingkisan berupa talenan dengan nama Atha dan juga hilda di sana beserta tanggal mereka menikah, yaitu hari ini.
Setelah pemuda itu beranjak pergi, Tania berbisik pada Gisel.
“Lumayan ya.”
“Mau mepet nih?”
“Siapa tahu jodoh.”
Gisel tertawa mendengarnya sambil menggelengkan kepala.
“Heh, jangan ngetawain dong! Amin, gitu.”
“Iya, iya. Aamiin.”
Description: Hilda adalah anak dari keluarga biasa-biasa saja. Pada suatu hari kawan kuliahnya bertanya pada Hilda mengenai kisah percintaannya. Dia pun mulai bercerita, tentang kisahnya sewaktu zaman SMP dan SMA dengan 4A--mantan-mantannya.
______________________________________
Nama Lengkap: Denaner Nuzula Arya Pratama
Media Sosial: @vierseason (twitter/ig), Denaner Nuzula Arya Pratama (fb)
______________________________________
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi menulis cerita teenlit #HappyGirl 2019 yang diadakan oleh Storial dan Nulisbuku
|
Title: Relate-able
Category: Pengembangan Diri
Text:
Cita - cita dan Realita
"Cita-cita kamu apa kalo udah besar"
"Aku mau jadi dokter!"
Pertanyaan dan jawaban klasik yang sering kita jumpai di masa kecil kita. Berapa persentase anak yang menjawab ingin menjadi dokter ketika ditanya cita-cita pada saat sudah besar nanti? Mungkin menurut mereka dokter adalah profesi yang menyenangkan karena bisa menyembuhkan seseorang. Saya pun dulu menjawab seperti itu juga.
Tapi pada saat memasuki fase remaja menuju dewasa, permasalahan hidup yang datang kian pelik. Bahkan, rasanya ingin kembali saja ke masa kanak-kanak yang tidak harus pusing memikirkan karir, biaya hidup, masalah dengan teman, dan lain-lain. Dan kita akan menyadari, menjadi dewasa tidak sepenuhnya menyenangkan. Berat rasanya untuk mengejar cita-cita yang sudah kita mimpikan sejak kecil.
Realita kehidupan memang menyeramkan. Ketika kita sedang sibuk mengejar cita-cita, satu per satu tanjakan curam melewati jalur yang kita lewati. Kita pun ragu apakah kita bisa mencapai garis finish atau kita malah harus mundur ke belakang dan berputar arah, mencari jalan lain yang sesuai dengan latar belakang dan keadaan kita sekarang. Pasti tidak mudah rasanya ingin menggapai cita-cita setinggi langit namun keadaan yang kita punya hanya sedatar jalanan aspal.
Namun yang perlu kita yakini dan garisbawahi, tidak ada yang namanya tidak mungkin. Kita bisa kok mencapai cita-cita setinggi langit dengan yakin setinggi-tingginya bahwa kita bisa menggapai itu semua. Kita hanya butuh sedikit keringat dan usaha yang lebih dibandingkan orang-orang yang hanya tinggal ngesot untuk menduduki profesi yang kita inginkan. Dan perlu diingat, usaha tidak akan mengkhianati hasil.
Privilage bukan berarti hanya bisa didapat oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tertentu. Kita sendiri pun bisa mendapatkan privilage itu, namun tentunya dengan cara yang kita rancang sendiri yang bisa bikin kita bangga atas apa yang udah kita dapatkan. Tekun, fokus, konsisten, dan aktif, itu adalah kata kuncinya.
Salah satu inspirasi saya adalah sosok wanita inspirasi bernama Dewi Nur Aisyah. Beliau merupakan seorang epidemiologis yang berhasil meraih gelar pendidikan hingga ke jenjang S-3. Tak tanggung-tanggung, beliau menyelesaikan studinya di luar negeri dengan full-scholarship. Beliau bukan dari kalangan atas, namun beliau bisa membuktikan bahwa ia bisa mendapatkan privilage tersebut dengan hasil jerih payahnya sendiri. Dan kalian tau apa tujuan beliau sekolah setinggi-tingginya? yaitu agar dapat memberikan manfaat seluas-luasnya kepada orang banyak. Sejak mendengar cerita beliau, saya pun menjadi sadar dan termotivasi bahwa belajar merupakan fasilitas utama yang diberikan untuk mendapatkan tiket menuju cita-cita yang saya inginkan.
Saya pun juga memiliki cita-cita, yaitu bisa menjadi penulis yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada para pembaca. Dan inilah salah satu upaya saya untuk bisa mendapatkan tiket menjadi penulis. Saya yakin kalian bisa dan mampu untuk meraih apa yang kalian inginkan. Percayalah, realita tidak akan bisa mengubah nasib kita, kalau kita sendiri mampu mengontrol realita tersebut.
Quarter Life Crisis
Di rentang usia 20-30 tahun merupakan masa transisi menuju kedewasaan. Meski demikian, menurut saya tidak mudah untuk menjadi dewasa. Tuntutan untuk memiliki keputusan sendiri terhadap langkah yang akan diambil dan tuntutan untuk harus selalu siap menghadapi konsekuensi dari apa yang diterima merupakan salah satu lembah menuju terjadinya sebuah fase "krisis dalam hidup". Siap berbesar hati menerima kritikan orang lain meskipun tidak selalu kritikan tersebut benar adanya juga adalah salah satu makanan yang harus kita terima setiap waktu untuk bertumbuh menuju kedewasaan.
Tuntutan akan permasalahan yang terjadi inilah yang disebut dengan istilah Quarter Life Crisis. Hampir semua khalayak pernah atau bahkan sedang merasakan berada di fase tersebut terutama para generasi millenial. Penulis pun pernah berada di fase tersebut. Mari kita bersama-sama mencoba untuk mempelajari dan memahami apa arti dari istilah Quarter Life Crisis dan bagaimana cara bijak menghadapi sebuah permasalahan yang terjadi.
Quarter Life Crisis adalah kondisi dimana seseorang yang menginjak usia 20-30 tahunan mengalami kondisi emosi yang tidak stabil. Kekhawatiran, keraguan, keputusasaan selalu menghantui pikiran orang tersebut. Seakan-akan tidak mempunyai tujuan hidup dan merasa selalu kalah dengan orang lain. Crisis ini sangat mempengaruhi mental seseorang dan bisa menimbulkan efek samping jangka panjang jika tidak segera disembuhkan. Ingat, gangguan mental sangat rentan terjadi meskipun keberadaannya selalu disepelekan. Selain fisik yang harus dijaga, ada mental dan emosi juga yang harus kita jaga.
Penulis mencoba memberikan sebuah contoh kasus:
Akhir-akhir ini aku merasa tidak memiliki tujuan hidup. Di umurku yang sekarang aku tidak mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Setiap hari kehidupanku flat, ingin merubah keadaan tersebut tapi rasanya seperti sia-sia padahal aku sendiri pun belum mencobanya sama sekali. Dikepalaku penuh banyak pertanyaan "Apa yang bisa aku lakukan? Kenapa hidupku begini-begini aja ya? Dia udah selangkah lebih maju tapi kenapa aku masih disini-sini aja, dimana letak kesalahanku?" dan itu berlanjut hampir setiap hari tanpa ada solusi pasti.
Jika kalian pernah mengalami hal yang sama dengan contoh yang disampaikan diatas, mari sejenak kita bersama-sama mempelajari cara mengatasi permasalahan dari contoh kasus tersebut:
Lalu aku mulai mencoba introspeksi dan menganalisa diri sendiri sembari mencari beberapa referensi, serta mencoba untuk muhasabah diri atas pikiran yang mengganggu di kepalaku. Sepertinya aku tau apa penyebabnya. Ternyata aku lagi jauh sama Allah, apa yang aku rasain tidak aku ceritakan semua ke Allah, seakan-akan aku bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Ibarat aku terus mengisi penuh kebutuhan jasmani tapi ternyata kebutuhan rohaniku kosong. Ternyata itulah yang menyebabkan aku gelisah, tidak memiliki pilar untuk bersandar. Aku terlalu bergantung pada diri sendiri seakan-akan Allah tidak ada bersamaku. I was out of the track. Selain karena jauh dari Allah, aku juga tidak disiplin terhadap diri sendiri. Disiplin itu ternyata penting dan berguna sebagai penyokong kita dalam memanfaatkan waktu yang udah Allah berikan agar hidup kita di dunia tidak sia-sia.Cerita diatas merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam menghadapi masa krisis dalam hidup. Penulis yakin bahwa kunci utama dalam melewati fase krisis dalam hidup ada di dalam diri kita sendiri, bahkan jika kita memiliki prinsip yang kuat kita bisa saja terhindar dari fase tersebut. Untuk itu, penulis berikan langkah-langkah agar terhindar dari masa quarter life crisis:
Selalu dekatkan diri dengan Tuhan YME
Jangan pernah merasa sendirian dan terus dekatkan diri dengan Tuhan YME. Seperti contoh yang telah diberikan, seimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani. Kebutuhan rohani merupakan pondasi utama dalam pembentukan sebuah karakter serta membangun prinsip yang kokoh agar diri sendiri tidak mudah merasa lemah ketika permasalahan eksternal dan internal datang menghampiri. Tuhan tidak pernah membuat umatnya dalam kesusahan sendirian.
Istirahat cukup
Istirahat yang cukup dapat membuat pikiran dan badan terasa segar serta bugar. Sesuai dengan anjuran WHO, tidur yang cukup bagi orang dewasa adalah sekitar 6-8 jam setiap harinya. Ada 4 hal yang harus selalu diistirahatkan setiap harinya yaitu istirahat fisik, istirahat mental, istirahat sosial, serta istirahat emosional. Istirahat yang cukup dapat menyeimbangkan hormon-hormon dalam tubuh sehingga tidak mudah terbawa emosi dan depresi.
Makanan yang cukup dan bergizi
Makanan yang bergizi sudah jelas adalah makanan 4 sehat 5 sempurna. Nasi, ikan, sayur, buah, dan susu merupakan salah satu makanan yang mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang wajib dikonsumsi setiap hari agar tubuh selalu sehat. Seimbangkan juga porsi makan pagi, siang dan malam agar badan kita selalu prima serta pikiran kita selalu jernih sehingga dapat mencerna setiap informasi yang diterima. Jika pada poin pertama adalah cara pemenuhan kebutuhan rohani, maka pada poin ini adalah cara untuk memenuhi kebutuhan jasmani dalam diri kita.
Olahraga
Cukup berolahraga minimal 30 menit setiap hari. Dengan berolahraga, badan kita akan terasa lebih segar dan membuat kita dapat berpikir jernih dan tidak mudah suntuk.
Membuat jurnal masalah dan cara menyikapinya
Tidak perlu langsung sedih dan menyalahkan diri sendiri ketika masalah datang menghampiri. Segera lakukan introspeksi diri dengan membuat jurnal masalah dan carilah sikap terbaik dalam menangani masing-masing masalah. Jika memang kita berbuat salah, akui dan beranilah untuk meminta maaf. Jika kita memang benar maka bangunlah komunikasi yang baik agar semua masalah dapat terselesaikan dengan baik tanpa saling menyakiti.
Mencintai diri sendiri dan lingkungan sekitar
Selalu cintai diri sendiri dan buatlah lingkungan sekitar mencintaimu juga. Selalu percaya diri dan jadilah orang yang dapat mempengaruhi lingkunganmu.
Membangun zona lingkungan yang nyaman
Buatlah zona lingkungan yang nyaman dengan menjalin komunikasi dengan teman-teman sekitar. Jangan lupa bahwa kita merupakan makhluk sosial juga. Jadilah pribadi yang aktif dan menyenangkan. Ingat, perasaan itu dapat menular. Tularkanlah virus-virus kebahagiaan ke lingkungan sekitarmu dan jangan biarkan virus kesedihan merasuki perasaanmu.
"Let them miss you sometimes when you're always available they'll take you for granted because they think you'll always stay"
Membuat waktu yang berkualitas
"DO IT" . Dua kata yang sangat berpengaruh untuk menjaga kualitas sebuah waktu. Tidak ada kata-kata penundaan karena waktu yang terlewat tidak akan bisa kembali lagi. Buatlah target yang ingin kamu capai atau daftar kegiatan yang ingin kamu lakukan setiap hari dan latihlah dirimu untuk tidak selalu menunda-nunda pekerjaan. Dengan begitu waktu yang digunakan akan berkualitas dan tidak terbuang sia-sia.
Fokus
Fokus dan buatlah target yang akan kamu capai. Fokus dalam menyelesaikan sebuah urusan satu per satu lebih baik daripada multitasking.
Tidak memendam masalah sendirian
Salah satu hal terpenting dalam menangani masalah adalah tidak melukai diri sendiri dengan memendam sebuah masalah sendirian. Seperti kutipan Dilan untuk Milea "kamu ga akan kuat". Memendam masalah sendirian sama saja dengan melukai diri sendiri secara perlahan. Carilah seseorang yang bisa kamu percaya bahwa orang tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalahanmu, atau setidaknya carilah pendengar terbaik yang siap mendengar keluh kesahmu dengan bijaksana.
Mengenal emosi yang dirasa
Emosi adalah elemen sensitif yang perlu dipahami dengan seksama. Sadarilah emosi apa yang sedang dirasa dan coba lakukan meditasi untuk meredakan emosi yang bergejolak. Dengan menyadari emosi yang dirasa, anda pun akan tau cara terbaik dalam menyikapi emosi tersebut.
Diam
Diam adalah emas. Tidak selalu diam berartikan lemah. Diam dan berikan waktu pada kepala untuk berfikir secara dingin sebelum bertindak. Diam adalah cara terbaik dalam menghadapi lawan bicara yang sedang meluapkan emosi yang dirasakannya. Diam dapat menjadi penghalang konflik yang mungkin saja terjadi pada lawan bicara serta menghindari kesalahpahaman dalam berkomunikasi
Have a silent moment
Pernahkan kamu merenung sejenak sebelum tidur? Merenung dapat mengurangi kecemasan berlebih ketika terjadi perang batin terhadap masalah yang datang menghampiri. Jika terjadi masalah hingga kecemasan berlebih, cobalah untuk merenung sejenak untuk berintrospeksi diri, dan perlahan mencari jawaban bagaimana cara terbaik yang harus dilakukan dalam menghadapi permasalahan yang datang.
Penulis berharap agar kita semua dapat melewati semua masalah dan bisa menyikapinya secara bijak dan cermat. Dengan pintar mengelola emosi yang dirasa, maka itu adalah sebuah tiket emas menuju fase kedewasaan yang sesungguhnya. Quarter life crisis adalah kepingan fase dalam mencari identitas diri kita di masa dewasa. Takut dan cemas adalah hal yang wajar, tapi menjadi tidak wajar jika kita tenggelam dalam krisis dan kalah terhadap masalah.
Description: Kejadian yang selalu ada di kehidupan sehari-hari
Kisah-kisah yang mungkin pernah terjadi di kehidupan diri sendiri, keluarga, pertemanan, serta percintaan
Tujuan dari cerita ini hanya sebagai refleksi diri bagi penulis dan juga semoga bisa menginspirasi bagi pembaca
|
Title: Ruang
Category: Novel
Text:
Satu
Aku bisa mendengar langkah tergesa istriku mendekat sebelum kemudian sosoknya muncul dari balik pintu yang kini terbuka. Ia berdiri gugup menatapku, terlihat bingung hendak berbuat apa. Seolah teringat sesuatu, ia kemudian mengulurkan kedua tangannya, mencium tanganku seperti biasa.
Setelah itu, aku melangkah masuk, membuatnya harus menyingkir sedikit. Kulepas sepatu dan meletakkannya di sebelah pintu, lalu beranjak menuju wastafel di dapur untuk mencuci tangan.
Istriku berbalik ke meja makan setelah menutup pintu kembali. Ia menyiapkan piring, mengisi gelas dengan air putih, menggeser-geser tataan makanan, mencari kesibukan.
Aku menyusul duduk di hadapannya. Menatap sejenak masakan yang tersaji, lalu mulai makan.
Tak ada yang lebih hambar dari makanan yang kukunyah malam ini.
Istriku terlihat lebih tersiksa dengan makanannya. Piring malang itu menjadi wadah untuk makanan yang lebih banyak diaduk sebelum disantap.
Namun, kami terbiasa tidak menyisakan makanan untuk dibuang. Itu adalah kesepakatan. Jadilah makan malam itu selesai sepuluh menit lebih lama dari biasanya.
Setelah aku menata piring yang sudah kucuci, istriku selesai membersihkan meja makan. Ia kembali duduk di kursinya, menungguku.
Namun, aku memang tak ingin membicarakan apa pun. Kukeringkan tangan dengan lap yang tergantung di sebelah rak piring, mengambil tas kerja yang sempat kuletakkan di salah satu kursi, lalu memutar langkah ke arah kamar.
Terdengar istriku beranjak dan berjalan cepat menyusul.
"Abang," panggilnya.
"Ya?" Aku menyahut tanpa berhenti berjalan. Kuletakkan tas di atas meja kerja di sudut kamar, lalu beralih menuju lemari.
"Kita butuh bicara, Abang." Suaranya terdengar lirih.
Aku tidak menjawab. Tanganku sibuk mencari kaos tipis putih yang biasa kupakai saat di rumah. Ke mana pula kaos itu?
"Abang ...."
"Tidak dulu."
"Kita butuh bicara, Abang. Sebentar saja." Ia masih membujuk.
"Tidak untuk saat ini, Zaz."
Setelah menemukan kaos yang kucari, aku berbalik. Namun, satu langkah lagi masuk kamar mandi, ia menarik lenganku lembut.
"Kita tidak mungkin menunda-nunda hal seperti ini, Abang. Abang sendiri yang mengajarkan padaku tentang pentingnya komunikasi."
Aku memutar badan cepat menghadapnya. "Sebenarnya apa yang hendak kaubicarakan? Kelanjutan obrolan tadi pagi?"
Istriku menggeleng. "Abang ...."
"Aku tidak punya ide apa pun untuk bicara. Dan sama sekali tidak menginginkannya, untuk saat ini. Aku harap kau mengerti. "
Setelah itu, kutinggalkan ia berdiri terpaku sendirian.
Aku butuh mandi. Ada banyak hal yang menguras energiku hari ini.
* * *
Zaz sudah tertidur ketika aku selesai.
Setidaknya begitulah yang kulihat. Aku tidak tahu ia memang terlelap atau masih terjaga. Ia berbaring menghadap tembok.
Aku menyusul berbaring di sebelahnya, menatap punggung yang biasanya kupeluk setiap malam.
Kali ini, hasrat memeluknya turun drastis. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak kecewa sebab ucapannya pagi tadi.
Semula, sarapan kami berjalan semenyenangkan biasanya. Aku selalu menikmati masakan-masakan Zaz.
Zaz lalu mengungkit soal ayahnya. Kemarin, beliau memang terjatuh di undakan teras rumah yang ditempatinya berdua dengan adik Zaz, sempat melakukan perawatan di rumah sakit. Itulah yang membuat Zaz memberanikan diri untuk kembali membujukku. Ia ingin ayahnya tinggal bersama kami--bujukan yang sudah kuterima beberapa kali.
Aku menyarankan seorang pembantu yang kemudian Zaz tolak mentah-mentah. Adik Zaz bisa dibilang jarang ada di rumah. Dalam kurun waktu seminggu, kadang hanya dua sampai tiga hari. Selebihnya sibuk dengan pekerjaannya memotret. Kurang pantas membiarkan ayah banyak waktu berdua dengan perempuan yang bukan mahram, katanya.
Tak kehabisan cara, aku menyarankan teman laki-laki yang juga ditolak Zaz.
Sepertiku yang banyak berkelit dengan memberi solusi, Zaz juga melakukannya dengan berbagai penolakan--yang sialnya masuk akal.
"Tinggal ditemani orang lain dengan tinggal ditemani anak itu beda, Abang. Orangtua tentu akan merasa lebih nyaman ketika tinggal bersama anaknya."
"Selama kita bisa mencari teman yang pas untuknya, itu tidak kalah menyenangkan, Zaz." Aku masih membantah.
"Abang, tapi--"
"Nanti kupikirkan," potongku cepat. Aku tidak begitu menyukai topik obrolan ini.
"Abang tidak pernah memikirkannya." Zaz menjawab sambil menata piring yang hendak dicuci. Ia tidak menatapku.
"Ini adalah permintaan sama yang ke sekian. Jawaban Abang selalu tidak jauh-jauh seperti itu."
"Akan aku pikirkan, Zaz. Bersabarlah. Kita cari solusi terbaik nanti." Aku mengambil alih piring, meletakkannya di meja, lalu meraih tangan Zaz.
Namun, Zaz punya keinginan lain. Ia menyentak tanganku. "Itulah solusi terbaiknya, Abang! Tapi selalu Abang hindari."
Aku bergegas memutari meja, meraih bahunya--yang kembali ditolak.
"Hei, dengarkan aku dulu."
Zaz terus mempersibuk dirinya dengan benda apa pun di meja makan. Ia tak pernah berani menatapku saat marah.
"Sedendam itukah Abang pada ayah hanya karena dulu tidak kunjung mau memberi restu?"
"Zazqyah ...."
"Dia adalah ayahku, Bang. Aku mengkhawatirkannya. Begitu pun harusnya Abang. Tapi apa?"
Aku masih berusaha meraih tangan Zaz.
"Kalau orangtua Abang kuperlakukan begitu, apa Abang juga mau terima?"
Gerakanku sejenak terhenti, sebelum kemudian kulepas tangannya yang sudah tergenggam.
Aku tidak bisa melanjutkan obrolan itu.
Kuraih tas kerja dan melangkah ke luar rumah tanpa sepatah kata pun.
Hariku rusak, bahkan meski Zaz kemudian memborbardir ponselku dengan pesan bertabur kata 'maaf' setelahnya, berpuluh kali melakukan panggilan yang sama sekali tidak kuangkat.
Bukan sebab aku marah. Teramat sulit bahkan untuk menanggapinya seperti biasa. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa kalimat terakhirnya amat membuatku kecewa.
Aku memang tak patut marah karena Zaz hanya tidak mengerti. Dan memang tak perlu.
Kami hanya perlu senyap sejenak. Semuanya akan membaik besok pagi.
Aku berjanji.
Description: Ketika memutuskan untuk tetap memilihnya, aku tahu bahwa pola rumit itu akan turut serta. Itu adalah konsekuensi dan aku hanya perlu menempatkan masing-masing pada ruangannya sendiri.
Bagiku, selalu ada Ruang, bahkan untuk orang-orang yang tidak kuperkenankan.
|
Title: Rinjani
Category: Chicklit
Text:
Prolog
Namaku Rinjani. Jangan panggil aku Jani, aku tidak akan mau menoleh. Panggil aku Ririn.
Tahukah kamu, bagaimana rasanya melihat langit yang ditumpahkan padanya entah berapa banyak bintang? Dan, mereka benderang tanpa ragu membuat sekujur tubuhmu gemetar? Terlalu indah. Bahkan, bertahun-tahun setelahnya, ketika kuingat kilasan langit malam itu, sensasinya masih sama. Itulah langit yang kusaksikan ketika berkemah di Gunung Gede. Langit yang menjadi latar belakang sosok Hatta. Sementara, langit Nanjing biasanya berupa kubah merah bersemburat ungu yang tiada berbintang. Menaramenara, dengan lampu neon noraknya, berlomba mewarnai langit malam menjadi merah, menenggelamkan cahaya bintang yang malu-malu. Belum lagi, billboard besar dengan lampu-lampu yang terlihat dari stadion kampusku. Berkali-kali, aku tertipu mengira pendar cahaya nan terang merupakan bintang, ternyata hanya layang-layang berlampu.
Ya, walaupun langit Nanjing di malam hari amatlah tidak elok, kota ini masihlah menyimpan begitu banyak keindahan—asalkan bukan langitnya saja.
Namun, hari ini, aku menyaksikan pemandangan paling indah di Nanjing. Deretan pepohonan dengan dedaunan yang menghalangi langit—dalam warna paling indah yang pernah aku lihat. Moka. Sungguh mengheningkan segala suara, pemandangan itu.
***
Preman Insaf
"Heh, kamu!”
Aku menoleh dan jantungku langsung berdebar. Aduh! Buru-buru, aku membatalkan niat menaiki pagar dan langsung berlari. Tudung jaket hitamku, yang tadinya menutupi rambutku terjatuh. Angin menyapa rambutku yang kuikat ekor kuda dan sudah lepek karena seharian belajar di ruang kelas yang pengap. Buru-buru, kupakai lagi tudung itu. Telanjur terlihatkah?
“Hei, itu siapa namanya!” Jantungku sekarang berpacu kencang. Harusnya, Pak Udin, kan, lagi keluar?! Bagaimana ini?! Aku berlari kencang melewati bagian belakang kelas-kelas. Terdengar teriakan-teriakan. Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat guru berseragam krem itu dengan mata terbelalak lebar tampak bersemangat menangkapku. Ya Allah. Aku tidak boleh tertangkap. Rok ini sungguh mengganggu! Kenapa tadi aku tidak menggantinya dengan celana dulu?!
Aku berusaha sekuat tenaga berlari lebih kencang dan berbelok. Segerombolan anak laki-laki yang sedang mengobrol sambil mengepulkan asap tembakau, menoleh kepadaku, tampak kaget.
“Ada Pak Udin!” Akhirnya, aku memilih berseru. Anak-anak itu kalang kabut, langsung kocar-kacir.
Aduh, ampun, kenapa harus sekarang, sih, Pak?! Kalau tertangkap, nasibku bagaimana?
“Woy, woy! Kelas berapa lo?!”
Aku memelototi anak laki-laki tinggi dan berbahu lebar yang menatapku dengan ... kagum?! Sempat-sempatnya! “Gue buru-buru!”
“Sini-sini, gue tahu jalan! Ikut gue.”
“Enggak!”
Kami bertolak arah. Kudengar teriakan anak itu, “Jangan lewat situ, jalan buntu, pe-a!”
“Punya nyali lo, ya?” tanya anak laki-laki tinggi berbahu lebar itu, setelah membantuku bersembunyi.
Aku pernah mendengar sekilas tentangnya. Daus, anak kelas 3 IPS-7. Dia merogoh sesuatu dari saku celananya dan mengeluarkan sebungkus tembakau.
Aku buru-buru berkata, “Makasih, ya, tadi. Gue duluan, ya.” Dia kelihatannya tidak keberatan aku bergue-gue, meski aku baru kelas 1.
“Wet, entar dulu. Kenalan dulu, dong.”
Buk! Aku menepis tangan Daus cepat. Dia tampak terkejut.
“Weits, anak karate, ya, lo?”
“Gue buru-buru.” Sebenarnya, aku agak takut. Kubetulkan letak tudung jaketku. Hish, kenapa juga harus ketemu anak macam itu? Beberapa kali, dia dipajang di lapangan sekolah bersama jejeran anak-anak bandel. Namun, karena ganteng dan terkesan macho, dia cukup populer di antara cewek-cewek. Untung saja, namaku tertutup jaket. Untung saja, tahun depan dia akan segera keluar.
Perasaanku tidak enak. Ada rasa bersalah yang menggedor-gedor hati karena membolos pelajaran tambahan. Aku baru memasuki dunia SMA. Padahal, di penghujung semester 2 ini—bapak-ibuku tetap harus membayar biaya tambahan, yang padahal tidak diwajibkan Kementerian Pendidikan. Sudah bayar, membuangbuang waktu, menyiksa, pula! Mengesalkan.
Aku tidak suka dengan pelajaran tambahan itu. Toh, otakku sudah cukup mumpuni. Di kelas, guru Matematika kadang memintaku menjelaskan cara pemecahan soal matematika. Aku juga senang tenggelam dalam soal-soal kimia. Dan, selain pelajaran Fisika, aku tidak memiliki kesulitan dalam belajar.
Meskipun begitu, kadang guru Matematika masih juga memandangku sebelah mata. Apalagi, guru-guru yang mengajar kelas tambahan, mereka seolah tidak pernah lupa bahwa aku rajin bolos. Guru Agama apalagi, dia tidak memandang sedikit pun kepadaku. Aneh sekali. Sangat berbeda dengan ketika di pondok dulu.
Aku sering diajak bicara oleh anak-anak bandel di sekolah, meski banyak juga dari mereka yang tidak kusukai. Sejak dulu, aku paling tidak tahan mendengarkan omong kosong. Dan, kebanyakan anak bandel itu mulutnya banyak omong, tapi kata-katanya kopong. Mereka akan mengatakan hal-hal tidak penting, tidak berguna, atau lebih parah.
Kakiku melangkah ke arah parkiran motor, dan kakek tua yang bertugas sebagai tukang parkir sekolah berseru kepadaku. “Heeei , kamu, kan, masih ada pelajaran tambahan!”
Jujur, aku sudah malas tersenyum palsu hari ini. Aku mengangguk saja, sebagai tanda sopan kepada kakek tua itu.
Aku merapikan poniku yang lumayan lengket oleh keringat sambil mempercepat langkah. Menghindari anak-anak yang mengenaliku melihatku, juga mengejar agar gerbang tidak keburu ditutup. Beberapa gadisgadis melihatku penuh penghakiman. Cewek, kok, begitu, kurang lebih pasti begitu pikiran mereka yang bercampur iri karena sebenarnya mereka juga setengah mati tidak ingin ikut kelas tambahan. Aku? Bukan karena malas, astaga! Sore ini, kakiku akan dipaksa berlari habis-habisan, dan malamnya, anak-anak OSIS akan ke rumah untuk membuat properti dan menghitung pengeluaran proker alias program kerja OSIS dengan Sanggar Seni Bintala; Festival Seni Bintala. Oh, kamu tidak tahu betapa lelahnya aku.
Mataku berkeliaran. Di antara gerobak-gerobak makanan, aku melihat seseorang.
“Jay!” Aku setengah berlari, menuju seorang pemuda berbadan besar yang sedang nangkring di atas motor besar berwarna hijaunya. Teman satu ekskul pencinta alamku, Sanjay. Karena satu ekskul itulah, aku sering bersamanya. Dia sudah mengganti seragamnya dengan pakaian lari. Wajahnya yang dibingkai dengan alis tebal dan melengkung itu dihiasi bulir-bulir keringat. Matanya yang besar dengan bulu mata yang lentik melihatku dengan pandangan protes.
“Kok, lo enggak ganti baju, coy?” protesnya dengan mulut penuh tahu gejrot. Aku mengernyit jijik, sambil memutari motornya.
“Enggak sempet,” kataku sambil mengambil helm yang sudah nangkring di jok belakang. Aku memukul-mukul jok tidak sabar. “Cepetan, Jay!”
***
Kami sedang mengikuti rekrutmen pencinta alam yang bernama Suara Hutan. Siang menjelang sore ini, kami akan latihan dipandu senior Suara Hutan di Stadion Maulana Yusuf. Selain aku dan Sanjay, ada Samsul, Fa-jar, yang juga sama-sama dari SMA Bintala. Selain itu, ada Ilham, Hassan, Jamil, Urip, dan Heru, yang aku lupa berasal dari sekolah mana saja. Tadinya, ada seorang anak gadis yang ikut selain aku, tapi badannya terlihat ringkih dan dia pendiam. Meski begitu, aku tetap senang sekali dan mendekatinya. Di pertemuan ketiga, dia tidak muncul lagi, tapi pacar Samsul, Tiwi, menunggu di tribun sehingga aku tidak merasa sendirian-sendirian amat. Selain itu, ada dua senior perempuan dari Suara Hutan sendiri.
Ah, yang penting kesempatanku naik gunung lebih terbuka sedikit. Bagiku, mempersiapkan diri untuk mendaki gunung jauh lebih menyenangkan daripada ikut kelas tambahan di ruangan pengap bersama anak-anak yang sudah bau keringat.
***
Sudah magrib ketika aku tiba di rumahku, yang kental dengan nuansa kayu. Bapak dan ibuku mencintai uliran pada tubuh kayu, juga batu kali, dan nuansa itulah yang melingkupi rumah kami. Ya, kecuali kamarku dan kamar adikku. Kamarku bercat warna lavender dan perabotan di dalamnya didominasi warna-warna pastel. Sementara, adik laki-lakiku satu-satunya, Gilang, menyukai warnawarna berani dan kuat.
“Kak, kucel banget, sih?” adikku menyeletuk.
“Lah, namanya juga latihan! Lagi panas-panasnya pula. Pak, nanti anak-anak OSIS mau ke sini, ya. Di ruang tamu.”
Setelah mencium tangan Bapak, aku segera masuk ke kamar. Bau badanku pasti sudah tidak keruan. Dan, rambutku sepertinya bau matahari. Dari dalam kamar, aku masih dapat mendengar seruan Bapak.
“Tiga minggu lagi makrab di gunung, ya?”
“Iya, Pak,” aku mengeraskan suara sambil mengambil pakaian rumah.
“Minggu depan, bukannya ujian?” Suaranya semakin mendekat. Aku menelan ludah.
“Iya, Pak, makanya sekarang aku tiap malam dan habis subuh belajar!” Aku berjalan keluar dari kamar sambil mengambil handuk di jemuran. “Lagian, Pak, H-2, Pak! Habis itu, Ririn enteng.”
“Lho, memang tidak ada LPJ?”
“LPJ masih lama, Pak,” aku berusaha menenangkannya. Meski tentu saja, sekretaris harus menyiapkan laporan sebertanggung jawab mungkin. Yang artinya, harus secepat mungkin dirinci. Sebelum ingatan-ingatan dan nota-nota menghilang tanpa jejak!
“Ririn, kamu sanggup membagi waktu? Sudah semester dua, lho!”
Aku menunduk. Menghela napas. “Pak ... bukannya Bapak sendiri yang ajarin Ririn buat usahain biar orang lain bisa lebih cerdas, lebih terbuka pikirannya? Ririn lagi usahain, Pak.”
“Bapak tahu. Tapi akhirnya, kamu mengorbankan kelasmu, kan?”
“Kan, bukan karena Suara Hutan, Pak. Karena OSIS, itu mah. Nanti kala udah lepas jabatan, Ririn bakal fokus, kok, Pak ....”
“Inget, lho, ya. Rapormu enggak boleh berwarnawarni. Biru dan merah, biru dan merah,” Ibu malah bernyanyi.
Gilang, lebih muda dua tahun dariku, ikut dalam aksi memasak Ibu sambil bercanda-canda.
“Bapak lupa, berapa orang yang ikut pencinta alam ini? Anak barunya?”
“Totalnya dua puluh satu. Sepuluh calon anggota, sebelas senior.”
Bapak tampak terdiam. Entah, apa yang ada di pikirannya. Akhirnya, beliau berdeham, tepat sebelum aku masuk ke kamar mandi. “Hari Minggu, Bapak cek carrier-nya, ya.”
***
Ibuku berasal dari Banyumas, sedangkan ayahku dari Sukabumi. Kata Ibu, Bapak ingin sekali berkiprah menjadi pegiat seni. Namun, Nini dan Aki tidak mengizinkan. Mereka ingin Bapak menjadi pegawai negeri.
Bapak bilang, tidak sanggup menjadi pegawai negeri, lalu akhirnya beliau menjadi dosen salah satu kampus di sebuah kota kecil bernama Serang ini. Kota yang membesarkanku. Kota yang dekat dengan Ibu Kota, tapi jauh sekali tertinggalnya.
Aku banyak terpengaruh oleh Bapak. Harta karunnya, alias buku-buku yang dikumpulkannya semenjak muda, kira-kira sudah setengahnya kulahap habis. Bukubuku Lima Sekawan, Winnetou, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga, Karl May, Malory Towers, Trio Detektif. Kurasa, semua itu berperan membentuk pribadiku menjadi be-rani dan haus akan petualangan. Ditambah lagi, semasa kecil, Bapak sering mengajakku dan Gilang masuk ke hutan—mengenalkan kami pada ular hijau, elang yang berputar-putar di udara, arbei liar, dan pasir hisap ....
Pertama kali naik gunung ketika lulus SD. Saat itulah, aku sudah tahu tempat apa yang membuatku paling bahagia. Namun, ibuku sempat tidak mengizinkanku pergi naik gunung lagi. Aku menangis dan mengamuk, tapi Ibu tetap teguh pada pendiriannya.
Kemudian, ketika SMP kelas 3, aku mendengar soal Suara Hutan, komunitas pencinta alam yang sekarang dikepalai Bang Geral, yang dulunya adalah murid Bapak. Aku akhirnya berkomitmen pada Ibu, akan memastikan tetap berada di ranking tiga besar, tetapi tetap boleh mengikuti komunitas pencinta alam.
Jadi, jangan harap aku akrab dengan kuteks, curling iron dan rebonding rambut. Aku tidak kepikiran dan tidak ada waktu. Ditambah lagi, sekarang kegiatanku semakin seperti laki-laki saja—membuat perhitungan dengan kompas, membelah batang kayu, membuat bivak, and so on.
Ketika aku sudah di kamar lagi, poster Ralph Macchio saat berperan menjadi Johnny Cade dalam The Outsiders, kutempel di dinding. Mata elang, rambut hitam
berombak yang agak gondrong, jaket dan celana blue jeans, memar di wajah dan darah di bibirnya. Tampan luar biasa! Enggak ada yang mengalahkan! Selain itu, aku memasang sebuah poster tata surya. Kupasang karena kekagumanku akan alam semesta. Setiap melihat poster itu, aku langsung sadar, betapa kecilnya aku.
***
Alhikmah
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. —Pramoedya Ananta Toer
***
Semenjak aku kecil, aku terbiasa menulis diary. Ibuku yang menanamkan kebiasaan itu kepadaku, bahkan juga Gilang. Aku memiliki setumpukan buku diary di dalam lemari, dari zaman SD hingga SMA. Aku juga punya blog yang kuisi semenjak SMP dan kutaruh di biodata Instagram dan Facebook-ku. Aku memilah-milih beberapa diary. Jemariku memilih diary dari zaman SMP. Aku tersenyum membacanya sambil berbaring di kasur. Ponsel di mejaku bergetar. Aku segera bangkit.
ALHIKMAH LULU. Lulu? Menelepon?
“Halo?” tanyaku heran
“Rin, Thifa sakit!”
“Sakit apa?”
Aku terkesiap. Sudah lama, sejak tidak ada kabar Thifa yang masuk rumah sakit. Kukira itu sebuah pertanda akan kemajuan kesehatan tubuhnya.
“Gagal ginjal, Rin.”
“Demi Allah?”
“Iya, kata Tyas.” Tyas, adik Thifa.
Astaga ... hatiku mencelus. Memang, aku jarang membuka update Instagram teman-temanku. Harusnya, aku enggak menganggapnya tidak penting begitu.
Aku memutuskan untuk membesuk Thifa di rumah sakit besok. Sudah lama juga aku tidak bertemu teman-teman pesantrenku.
***
Aku datang paling akhir, pun tadi masuk dengan berjingkat-jingkat. Padahal, biasanya selalu yang pertama. Namun, Afifah, Inggrid, dan Annur masih selalu bisa mendahuluiku, seperti di Alhikmah dulu.
Saat melihatku, ketiga temanku menatapku seolah ingin menerkamku. Lalu, Annur menghampiriku dan langsung memegang lenganku. Aku meringis tanpa suara.
“Ini anak!” bisik Annur, dengan suara cemprengnya.
“Masiiih aja!!!”
Kami berpelukan hangat. Kangennya bukan main. Ketiga temanku masih seperti dulu, malah semakin bersinar.
“Heh, Ririn, apa gue perlu pinjemin kerudung Thifa?” Inggrid mencibir.
Aku tersenyum, sedangkan teman-temanku menyoraki. Tiba-tiba, Thifa membuka mata. Dia sontak menatapku. Pada bola matanya ada keterkejutan bercampur kebahagiaan. Mulutnya membuka. Hatiku mencelus, dan tahu-tahu aku ingin menangis.
“Ririn?” sahutnya lemah. Aku menghambur dan memeluk Thifa. Dia sendiri tampak terharu.
“Duh, sori, ya, Thif, aku baru sampai. Keduluan sama mereka malah. Eh, ibumu ke mana?”
“Ke kantin. Biar istirahat dulu.”
Sore itu, luar biasa hangat. Tidak pernah terpikirkan kami dapat berkumpul lagi. Inggrid sampai naik bus dari Tangerang dan Annur dari Pandeglang. Aku mencium lagi aroma badan mereka yang khas. Masih sama.
“Kalian besok enggak sekolah?”
“Gue pulang malem ini, Rin, Annur juga.”
“Lho, kalian pulang sekarang aja, jangan malammalam!” seru Thifa.
“Heh, ngusir lo? Orang kita yang mau, kok! Wlee.” Inggrid menimpali sambil tertawa.
“Iya, kapan lagi, coba.”
“Ya Allah, Ririn, mbok yo opo susahe pakai kerudung ....” Annur menyentuh lenganku. Aku menghela napas.
“Sudah sih Nur,” pintaku. Annur melempar pandang. Aku sudah lelah menjelaskan.
“Jika kamu lembek terhadap dirimu, dunia akan berlaku keras kepadamu. Namun, jika kamu keras terhadap dirimu, dunia akan lembut terhadapmu. Jawab saya! Mana yang kamu pilih?”
Namun, karena selepas kelulusan, aku melepas kerudung, ternyata pihak Alhikmah—deretan asatidz, khususnya—geger.
Namun, meski aku sudah bukan murid Alhikmah, ternyata aku tetap dipanggil Bang Rijal untuk “disidang”. “Kamu membawa nama Alhikmah,” kata Bang Rijal. Sementara itu, aku tetap pada keputusanku; semua kendali hanya ada padaku dan orangtuaku.
“Kamu sadar omongan buruk apa yang dikatakan orang? Rinjani! Lulusan Alhikmah, lepas kerudung. Malu tidak kamu, yang mewakilkan Alhikmah di lomba tahfiz dulu? Bukan hanya malu pada Alhikmah, melainkan juga orang yang berpikiran buruk ke kamu! RIRIN! Tidak malu kamu melihat Ustazah Sukma dan Bu Rojali sudah berusaha mendidik kamu sebegitu lelahnya?!”
Aku menangis. Beliau belum selesai memarahiku, dan kemungkinan tidak akan mengambil serius apa pun omonganku.
“RINJANI! JAWAB SAYA!”
Aku menghela napas. Ah, masa-masa itu. Aku mengecap rasa pahit dan bersalah. Semenjak itu, aku tidak menghubungi Bang Rijal lagi. Ah, aku tidak mau mengingat-ingatnya lagi.
“Peh, mana bontot ikan gue?” aku berusaha mengalihkan pikiran.
“Tuh, di tas. Mau diambil sekarang?”
“Iyalah. Tujuh puluh lima, ya?”
Afifah mengangguk sambil mengambil tas jinjingnya yang besar. “Wih, penuh amat? Siapa aja yang pesen?”
“Banyaklah, alhamdulillah. Buat lo pada, sama habis ini mau nganterin juga, ada tiga biji.”
“Malem-malem gini? Enggak takut? Ke mana?”
“Ke Permata sama Puri. Enggaklah!” Afifah menjawab enteng.
Mataku tertuju ke arah tangan Afifah, yang mirip tangan gadis-gadis pekerja keras lainnya; cokelat terbakar matahari, uratnya terlihat jelas, dan jauh dari lentik. Kuku-kukunya dipotong pendek dan berwarna kusam.
Jenis tangan yang harus mencuci bajunya dan keluarganya, dan tidak sempat mengoleskan losion.
“Perlu gue temenin?”
“Ah, enggak usah. Eh, enggak pa-pa, ya, kalian enggak gue kasih bonus?”
“Hus, lo, kan, jualan. Peh, gue pengin banget nemenin lo muter. Tapi, besok gue ada proker, Peh.”
“HAH? Serius lo? Terus, lo ngapa di sini?”
Aku menghela napas. “Gimana, ya.” Kalau soal kenalan baik yang sakit ... aku takut kalau tidak menengok. Usia tidak ada yang tahu. “Eh, Peh, udah lama banget gue enggak makan ini.”
Bontot ikan ini makanan favoritku. Sebenarnya, kotaku terkenal dengan sate bandeng. Tapi, dari suatu kecamatan yang identik dengan persawahan dan pesisir laut bernama Pontang, mencuatlah makanan bontot ikan khas Pontang—yang berhasil memikatku jauh melebihi sate bandeng sendiri. Berbeda dengan bontot biasa yang teramat kenyal dan hanya berbahan aci ditambah bumbu bawang putih, merica, dan entah apa lagi, bontot ikan Pontang kaya akan rasa ikan. Selain itu, teksturnya lebih keras. Ketika digoreng, harumnya akan membubung ke udara. Aku sampai ngiler membayangkan rasanya.
“Eh, Mamah gimana sekarang?” aku bertanya pelan.
Di antara kami berlima, Afifah dan Thifa yang memiliki kesulitan ekonomi. Ayah Afifah mengalami PHK sehingga sahabat sudah harus menjadi tulang punggung keluarga juga. Afifah berjualan apa saja selama halal. Kemudian, mencari pekerjaan ke sana-kemari, menjadi MC, penjaga stan .... Dia amat berbeda denganku, yang tinggal duduk manis. Selama ini, kami tidak banyak berkomunikasi sehingga aku tidak terlalu mengerti kondisinya sekarang. Yang aku tahu, kurang lebih, toko online-nya masih berjalan.
“Alhamdulillah, sehat. Sekarang, Ibu jualan es sama seblak di depan rumah, Rin.”
Aku terperangah mendengarnya. Afifah yang sekarang bersekolah di SMA negeri adalah anak pertama dan mempunyai tiga adik. Aku tidak bisa membayangkan seberapa besar tanggung jawab yang dia pikul. Aku jadi menyesal, hanya membeli beberapa buah bontot. Seharusnya, aku membeli lebih banyak.
“Ibu aku mau balik. Kalian mau makan apa?” Tahutahu, Thifa menyahut.
“Thif, enggak usah! Gue sama Ririn juga buru-buru, euy. Maaf, ya, Thif.”
***
Kodakboy
Young lady, you have to work from seven AM to two AM in your twenties for ten years. And keep in mind, there’s nothing good is going to happen in the next six years.
—Gary Vee
***
Aku buru-buru mengambil dua lembar roti tawar dan menggigitnya. Kemudian, berpamitan pada Ibu dan Bapak, lalu berlari-lari demi menemui Isti, anak Bintala yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Memang masih pukul 06.10, tapi hari ini adalah hari Festival Seni Bin-tala! Karena itu, aku sebagai sekretaris harus datang sepagi mungkin dan ikut memastikan hari ini berjalan dengan baik.
Jalanan becek. Isti tidak bisa membawa motornya terlalu cepat. Aku menawarkan diri membawa motornya. Isti tidak menolak. Pukul 06.30, kami tiba di sekolah. Aku dan Isti berpisah di lapangan parkir. Aku buru-buru menuju aula sambil menghindari becek di sana-sini.
Ruangan aula sudah disulap menjadi panggung untuk pentas seni dengan ornamen-ornamen pedesaan, orang-orangan sawah dari jerami, dan lain-lain. Masih pagi, tetapi para panitia sudah berkeringat. Sejak pukul 07.30, kendaraan yang membawa siswa-siswa dengan seragam yang beraneka ragam mulai memasuki sekolah kami. Perutku lapar. Aku pergi ke kantin dan memesan nasi kuning. Baru memakan setengahnya, tahu-tahu mataku menangkap seorang anak laki-laki yang melambai-lambaikan tangan kepadaku dari kejauhan. Aku bangkit. Dia terengah-engah menghampiriku.
“Riiin! Bisa tolong gantiin Evi, enggak, di regis? Evi-nya pingsan euy!” Dirham, anak laki-laki gendut dan tanggap itu koordinator acara hari ini, tampak memelas. Aku mengerutkan kening sambil mengunyah nasi di mulutku. Wajah Dirham merah padam seperti kepiting rebus.
“Pingsan? Baru juga jam sembilan. Panas juga enggak!”
“Enggak tahu gue juga,” keluhnya.
Aku menghela napas. Kasihan melihat Dirham. Aku langsung bangkit dan ikut berjalan cepat bersamanya menuju pos registrasi di halaman depan aula. Aku tidak berani berlari karena jalanan masih basah. Sisa hujan tadi pagi. Benar saja, meja di sana kosong. Aku bergidik menyaksikan meja registrasi yang diletakkan di depan tanah tidak beraspal. Meja itu terbuat dari plastik yang bisa kuangkat dengan satu tangan. Kenapa bukan meja kayu?
“Ham, ganti mejanya, ya?”
“Enggak usah, udah mau beres, kok, regis-nya. Sisasisa doang, Rin!”
Aku agak resah melihat banyaknya sepatu yang berserakan di depan pintu masuk aula sampai tidak tersisa tempat untuk registrasi. Semua orang memang melepas sepatunya agar lantai tidak kotor. Tapi, yang mau registrasi jadi harus berdiri di atas tanah merah, yang sudah benyek bukan main. Tidak lama, beberapa panitia di dalam aula keluar dan tampak lega melihatku. Aku menyuruh mereka masuk lagi. “I’ve got this,” kataku.
“Permisi! Masih sempet, enggak, ya?!” Seorang pemuda setengah berlari menuju ke arahku. Dia hampir tergelincir dan akhirnya mencengkeram tepian meja yang tipis. Aku memelotot. Jangan ....
“Eh ....”
Tahu-tahu, meja plastik itu menjeblak. Segala kertas registrasi kehadiran peserta di atasnya ambyar ke tanah merah nan becek. Aku berteriak histeris. Untung si anak laki-laki sendiri berhasil menahan diri agar tidak jatuh, dengan kedua telapak tangan yang akhirnya menahan tubuhnya. Sial! Aku kalang kabut menyelamatkan lembaran kertas yang berjatuhan ke tanah bekas hujan semalam, begitu pun si pemuda. Tapi, sia-sia. Memandang lembaran yang dirembesi air kecokelatan itu, aku sudah hampir saja mengomel. Tapi, teringat bahwa anak itu adalah tamu dari sekolah lain, aku menahan diri. Kertaskertas untuk pertanggungjawaban itu ....
“Aduh, sori, ya? Sini-sini, saya minta tanda tanganin lagi. Bisa minta datanya enggak? Eh, tapi ini harus sekarang atau, em, bisa habis lomba?”
“Enggak usah!” Aku menepis, agak gondok. Otakku sudah berputar sedari tadi mencari solusi. “Entar gue bisa minta temen nge-print lagi.” Aku mendengus. “Makanya, hati-hati, dong. Jangan lari-lari!”
“Eh, iya. Sori, ya, emang salah saya! Tadi, keburuburu banget. Eh, nanti kalau udah di-print, kasih saya, ya, biar saya yang minta tanda tangan?” Dia memohon, matanya tampak penuh penyesalan. Aku jadi kasihan. Apalagi, ketika memandang kedua telapak tangannya yang kotor belepotan tanah basah.
“Iya, udah, deh. Nanti, MC disuruh umumin peserta jangan pulang dulu.” Aku mengambil tisu dari kantong seragamku dan mengambilkan beberapa helai untuknya.
“Waduh, makasih, ya. Sori, saya ngerepotin banget, nih.” Ada lesung pipit yang muncul kala dia menggigit bibirnya.
“Enggak pa-pa. Sori juga, ya ... tadi marah-marah. Habisnya, kesel, euy. Wajarlah, ya.”
“Wajar banget. Eh, ada lagi enggak yang bisa saya bantu?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kalo gitu, saya masuk, ya. Ini pasti udah ditungguin temen.”
“Iya, sok, mangga!”
***
Aula besar itu bising oleh obrolan para peserta. Udaranya tidak lancar, pengap. Aku melangkah masuk. Aku mencari-cari anak laki-laki yang tadi. Kertas-kertas print out baru sudah di tanganku. Semoga saja dia tidak mangkir dari janjinya. Saat menoleh, aku menemukan pemuda yang tadi itu sedang berbicara pada kumpulan anak laki-laki yang herannya, memusatkan perhatian padanya. Anak laki-laki itu menggulung kedua lengan baju olahraganya, menatap teman-temannya bergantian, dengan mata menyala dan seringai di bibirnya, menjelaskan rencana kegiatan. Aku mendengar dia menyebutkan Cakra. Komunitas relawan itu? Oh, jadi dia anak Cakra?
Aku diam-diam mendengarkan. Ada sesuatu dalam suaranya. Canggih juga.
Aku berdiri diam di jalur pandangnya. Dia menyadari kehadiranku dan memberikan isyarat pada teman-temannya. Dia menghampiriku.
“Ini kertasnya?”
“Iya. Tolong, ya?” Aku menyodorkan kertas-kertas itu padanya.
“Sip. Gue yang minta maaf.” Dia menerimanya. “Gue mulai ngider, ya.”
“Semangat.”
***
“Ini, kertasnya udah ditandatanganin semua.”
Aku memandang anak laki-laki itu. Rambut cepak dan pelipisnya basah oleh keringat, tidak seperti tadi pagi. Matanya berbinar ramah. Aku meraih kertas yang dia sodorkan. “Makasih, gue cek, ya.”
“Iya, silakan. Dimaafin enggak yang tadi?” Dia cengengesan, sambil tangannya menepuk-nepuk pahanya.
“Dimaafin.” Aku tersenyum tipis. “Enggak ganggu lomba lo tadi?”
“Enggak. Gue, kan, cuma lomba film. Filmnya udah jadi.”
“Oooh. Film yang mana lo?”
“SMA Sembilan Belas. Entar nonton, ya.” Dia melirik rompi sekolahku yang berlabel nama.
“Rinjani? Ah. Kayak nama gunung. Panggilannya, pasti Jani.”
“Bukan, Ririn.”
“Oh, bukan Rinja?”
“Astagfirullah!” Aku memelotot, dan dia malah tergelak!
“Nama bagus begini, ya. Maaf, ya, bercanda, kok! Kenalin, saya Hatta.”
“Taaa, Ata!” Terdengar teriakan cempreng dari arah lain.
“Iya, woy, sebentar! Em, saya pamit, ya!”
Aku mengangguk. Dia mengucapkan salam, kemudian berlari pergi. Hatta, ya? Aku melirik ke daftar absensi. Hatta ... Matahari Persada. Inikah? Sebentar.
Kenapa rasanya nama ini tidak asing ...?
***
Aku baru sampai ke rumah pukul 20.00. Belum mandi. Badanku sudah pliket dengan keringat. Senyum terkembang di wajahku. Alhamdulillah, acara hari ini sukses. Aku melonjak-lonjak kepada Ibu, mengabarkan kegiatan hari ini. Ah, SMA Bintala sendiri memenangkan beberapa lomba. Paduan suara, menyanyi solo putra, lomba melukis, dan seni tari grup dapat juara pertama. Lomba kerajinan tangan, film, juara kedua. Ah, anak dari SMA 19 itu bagaimana, ya? Tadi, dia tidak ikut maju ketika SMA 19 dipanggil ke panggung karena memenangkan juara ketiga lomba film.
Namanya ... Hatta Matahari Persada. Nama yang bagus. Aku mencarinya di Instagram. Mulai follow aku dua minggu lalu. Pun, aku konfirmasi karena tergelitik dengan username-nya, thekodakboy. Akunnya dikunci.
Aku mengiriminya permintaan follow, sambil mengirimkan pesan pribadi.
Rinjani: “Ini yang tadi?”
Seusai magrib, baru ada pesan balasan dari Hatta.
thekodakboy : “Yang tadi apa, ya?”
rinjani : “Yang tadi ikut lomba di SMA Bintala?”
thekodakboy : “Iya, siapa ini? Eh, Ririn yang tadi? Oh, yang tadi itu lo?”
rinjani : “Lah, gimana, sih. Selamat, ya, juara tiga!”
thekodakboy : “Makasih! Iya, hehehe. • Abis di Instagram kagak ada fotonya.”
rinjani : “Filmnya keren, td Ririn liat. Kok, enggak ikut maju?”
thekodakboy : “Iya, keburu pulang, he.”
rinjani : “Oh, iya, tahu dari mana, ya, akun gue?”
thekodakboy : “Dari temen, Vida, IPS tiga. Temen SMP Ata :D”
rinjani : “Oh, Vida, iya, kenal.”
Krieeet, pintu kamarku terbuka. Ibu. “Kak, di luar ada Irda sama Lena. Mau ngasih nota, katanya.” Aku bangkit dan keluar dari kamar. Kedua rekan OSIS itu duduk di terasku dengan muka berminyak. Mereka pasti belum pulang, kasihan. Kedua anak itu merinci nota sebentar kepadaku, kemudian segera berpamitan dengan menaiki motor.
Badanku lelah. Tapi, mataku tergelitik dengan tumpukan kertas artikel bahasa Inggris dan Prancis yang sudah ku-print hampir seminggu lalu, tapi belum kuutakatik. Ah! Aku mengambil sebatang ballpoint, sembari tengkurap di kasur. Berteman dua buah kamus; satu kamus Inggris dan satu kamus Prancis. Aku pun menenggelamkan diri dalam nikmatnya lautan bahasa asing itu.
***
Gunung Gede
Ini memang baru ketiga kalinya aku naik gunung, tapi hatiku sudah lama lekat dan prihatin dengan mahakarya Tuhan ini. Di setiap pendakian sebelumnya, aku bersama teman-teman selalu mengadakan kegiatan mengambili sampah. Bukan hanya ketika naik gunung, melainkan juga ketika bertamasya ke air terjun, sungai, tempat-tempat buatan alam yang dapat kami nikmati jiwa raga, tapi banyak sampah di sana-sininya.
Kondisiku sekarang sebenarnya tidak terlalu baik untuk naik gunung, tapi aku tetap nekat. Mungkin karena baru selesai ujian di hari Rabu, lalu Kamis dan Jumat kemarin aku masih mengurus laporan pertanggungjawaban sisa Festival Seni Bintala. Syukurlah, sudah dua hari ini aku bisa tidur 6 jam di malam hari. Mencari-cari waktu untuk terlelap sebentar di kala terang. Ditambah lagi, semenjak kemarin, aku merasakan kondisi badanku agak berbeda. Aku merasa lelah tanpa sebab, lalu perutku terus-menerus sakit. Sepertinya, aku akan datang bulan. Aku tidak berani menggunakan jamu-jamu atau obat untuk menghambat kedatangannya sehingga tidak...
First Date
Tidak terasa, aku kembali larut dalam berorganisasi, berolahraga, ikut lomba, menjalani rekrutmen yang belum selesai, dan menekuni hobiku mengulik bahasa asing. Aku dan Hatta beberapa kali berkirim pesan. Kadang-kadang, aku membuka profilnya di Facebook. Secara tidak sengaja, aku bertemu lagi dengan Hatta di stadion. Kami sama-sama bengong. Hatta datang untuk main basket dengan teman-temannya, sementara aku lari pagi.
“Lama sekali, ya, tidak bertemu, sejak terakhir kali di Gede!” katanya.
Semenjak itu, aku mengajaknya bertemu teman-teman yang kukenal dari perlombaan. Teman-teman lintas sekolah yang kurasa harus kukenalkan kepadanya. Dia juga mengajak teman-temannya yang ternyata nyambung denganku. Pertemuan-pertemuan yang seru bergulir. Kami saling menyampaikan ide dan gagasan. Orang-orang dengan pikiran yang berbeda-beda ini, dapat menikmati berkumpul bersama, tertawa, dan saling berbagi pengalaman. Dari kirimannya di media sosial, aku pelan-pelan mengetahui hal yang Hatta senangi, yang begitu menyalakan imaji. Begitu cute, unik! Dan, dia juga senang membaca.
***
“Nih, bukunya. Bagus gila.”...
Di Penghujung SMA
Ibuku mengajariku bahwa bagian terindah dari seorang perempuan seharusnya ialah pikirannya. —Anonim
***
Waktu terus bergulir dari hidup manusia. Tidak bisa diperlambat. Tidak terasa, tahu-tahu aku sudah kelas 3 SMA. Selama itu, buku-buku saling bertukar di antara tanganku dan Hatta, masing-masing kami beranggapan bahwa yang lain juga harus membacanya. Kami juga menanyakan dan mengamati kelanjutan rencana satu sama lain. Aku terpesona karena tampaknya rencananya selalu lebih maju dan rinci daripadaku. Dan, semua itu ditujukan untuk membantu orang lain.
Aku enggak mengerti sejak kapan. Tahu-tahu saja, di sela-sela waktu kosong yang kumiliki, aku mulai berjalan berdua saja bersama Hatta. Dan, setiap perjalanannya sangat menyenangkan, kalau bukan membahagiakan. Ada banyak hal yang jadi kusadari dan ingin kuperbaiki, setelah pertemuan dan obrolanku dengannya. Kadang, rasanya kecewa saat kesibukan kami berbeda tanggal.
Namun, karena hari-hariku dan Hatta sama-sama padat, aku tidak punya waktu untuk merasa terikat.
Aku yakin, jika seorang siswa diberi nilai atas...
Masa Kecil
Orang dewasa punya waktu seumur hidup untuk bekerja; namun anak-anak hanya memiliki masa kecil sekali.
—Anonim
***
Ada tempat yang sangat indah tidak begitu jauh dari kediamanku. Banyak tanjakan naik-turun, dengan pemandangan pohon-pohon berdaun jarum menjulang di kanan-kirinya. Aku gemar bersepeda ke sana. Melewati jembatan yang di bawahnya mengalir sungai deras, melewati sawah hijau segar yang terhampar luas dengan panorama gunung karang yang tidak terhalang apa pun, dengan bunyi gemercik sungai sebagai pengiringnya, juga aroma tanah liat dan gemulainya tarian pepadi yang dibuai angin ... surga. Khususnya bagi para pesepeda. Belum lagi, ketika melewati jalan yang kanan-kirinya adalah rimbun ilalang. Jika matahari sore yang oranye menyinari mereka dan harum jerami memasuki rongga dadaku, rasanya tidak ada lagi yang kupinta. Aku ingin hidup di waktu itu saja.
Menikmati waktu di tempat nan indah, penenteram hati bagi siapa pun yang melewatinya.
Kotaku, namanya sendiri berasal dari bahasa lokal serang (pengucapan huruf “e”...
Dunia Yang Berbeda
Kelas 3 semester 2, aku melepaskan urusan organisasi, melepaskan Suara Hutan, dan mengejar pelajaran yang selama ini kuabaikan. Dan, sekarang, lepas sudah tanggung jawabku terhadap organisasi dan junior-junior yang perlu diberi teladan, proposal-proposal yang perlu dipertanggungjawabkan ... lepaslah urusan-urusan yang menyita waktuku. Baru kurasakan kehidupan normal anak SMA, ketika aku hampir meninggalkannya. Tapi, aku tidak menyesalinya sama sekali. Hanya harus memanfaatkan sisa waktu yang tidak akan dapat kuulang kembali ini.
Aku menikmati persahabatanku dengan Fira. Kami yang selama dua tahun lebih terlalu aktif berkegiatan di luar kelas sehingga hampir tidak pernah masuk kelas, sekarang menikmati waktu menjadi sepasang teman sebangku. Kami memang partner yang sangat cocok, meski sangat sering cekcok, dan kalau sudah beradu mulut, menjadi tontonan favorit teman-teman sekelas. Seru, kata mereka.
Oh ... betapa nikmat belajar itu! Aku begitu giat belajar, bersedia menenggak kopi hitam setiap harinya, dan kehilangan banyak waktu tidur.
Atas izin Tuhan, akhirnya aku lulus...
Hancur
Man Plans, and God Laughs. —Pepatah Lama
***
Menjelang SBMPTN, aku mencoba bertahan dengan jam tidur hanya 3 sampai 4 jam dalam sehari dan tanpa kopi. Dinding kamarku sudah penuh dengan tempelan kertas. Begitu pun isi lemari bajuku, dinding kamar mandi, dan beberapa bagian rumah lainnya.
Namun, tiga hari setelah puasa kopi, aku kembali tergiur meminum kopi. Jerawat mulai bermunculan di mukaku yang sayu dan tampak lelah. Mataku membengkak dan aku akan panik jika sudah terlalu bengkak. Bagaimana tidak? HI-UI bukanlah sesuatu yang mudah!
Seminggu menjelang SBMPTN, aku merasa badanku pelan-pelan melemah. Tubuhku mulai memanas dan napasku terasa sesak. Aku jadi tidak bisa belajar sebanyak kemarin-kemarin. Orangtuaku memaksaku beristirahat dahulu. Tapi, diam-diam, dalam keheningan dan lampu senter telepon genggam, aku belajar. Ini SBM, lho. Mana bisa aku santai-santai?
Beberapa hari menjelang hari H, kepalaku rasanya berat sekali. Aku tidak kuat duduk, maka aku terus berbaring. Air mataku sering kali mengalir....
Ren Ren Wei Wo
Yogyakarta tercipta dari rindu, pulang, dan angkringan.
—Unknown
***
Yogyakarta. Aduhai, lapangan UGM dengan lampu taman yang banyaknya tidak terkira. Bulat-bulat bentuknya. Sungguh tampak seperti kunang-kunang. Roti bakar dan susu hangat di pinggir jalan. Ayam geprek, astaga, mahasiswa Yogyakarta mana yang tidak tergila-gila padanya? Yogya, pada setiap sudutnya mengandung cerita, dan menunggu cerita-cerita baru untuk diciptakan. Semua mahasiswa Yogya tampaknya mengamini bahwa pada udara malamnya, ada yang berbeda. Satu bulan di Yogya berlalu dengan cepat. Hari-hari kadang berat kujalani. Aku rindu orang-orang di Serang. Gilang-lah yang dulu mengantarku kemari, mencarikanku indekos, dan mengantarku ke tempat les bahasa Mandarin. Mas Bobi yang kami temui sebagai resepsionis dan penanggung jawab administrasi tempat les Mandarin-ku adalah laki-laki berpenampilan rapi yang ramah. Sementara, guruku sendiri laki-laki bernama Gunawan, berusia 70-an, yang kedua orangtuanya merupakan orang Tiongkok, tapi pindah ke Indonesia. Aku les padanya lima hari dalam seminggu—tiga hari di tempat les, dua hari les...
Upacara Pengibaran Bendera di Tengah Laut
To be a human is to be destroyed.
—Soe Hok Gie
***
Bapakku adalah petualang. Ketika muda, darahnya bergejolak ingin mengalami kehidupan di jalanan aspal, di belantara kabut, dan di pulau-pulau terasing. Dan, dia senang melangkahkan kakinya. Berhari-hari dia berjalan menyusuri pantai, tidak bertemu seorang pun jua, melelapkan diri di balik sebuah perahu usang yang tertelungkup, menggelar matras di atas pasir putih, hampir gila menunggu kesempatan dapat bertemu dan berbicara kembali dengan manusia lain. Saat itu, pager pun belum ada! Aku dibesarkan olehnya, dan keberaniannya mengalir dalam diriku. Belum lagi, kekayaan pikirannya dan kecintaannya yang mutlak kepada buku. Aku dan adik-adikku dilimpahinya dengan harta karun—ribuan buku-buku petualangan nan magis yang menciptakan gejolak untuk pergi dalam diriku. Sampai SMA, aku berada dalam iri hati yang tinggi melihat kaum laki-laki, betapa enaknya terlahir sebagai laki-laki, dan terkadang aku berpikir, apakah aku lahir di tubuh yang salah? Aku sungguh merasa seperti itu. Seandainya...
Mata Aksara
The reading of all good books is like conversation with the best men of past centuries.
—Rene Descartes
***
Aku menemukannya. Gambaran tentang surga di dunia. Di dalamnya ada ensiklopedia Amerika berderet dengan seri yang berbeda-beda, rumah pohon, taman hidroponik di lantai atasnya ... namanya Mata Aksara. Duh, Hatta, kamu harus ke sini suatu hari. Taman Bacaan Masyarakat ini dirintis oleh suamiistri yang pada akhirnya sangat kukagumi, Bu Henny dan Pak Adi. Bapak bilang, semasa aku kecil kami sekeluarga pernah mengunjungi Mata Aksara. Aku tidak ingat. Tapi, Bapak berpesan agar aku sering-sering main ke sana. Suatu waktu, Bu Henny mengabariku. Katanya, “Ririn, nanti ada acara Gemar Makan Ikan. Nanti, ke sini, ya? Ajak temen-temennya! Yang banyak!”
Gemar Makan Ikan? Aku menghubungi teman-temanku, menyampaikan berita ini. Lantas, kembali bertanya kepada Bu Henny, malu-malu. “Kalo delapan orang gimana, Bu?”
“Boleh! Satu RT juga boleh.”
Aku tersipu mendengarnya.
TBM ini berada di Jalan...
Young and Broke
Rendahkan kepalamu untuk saat ini. Tidak ada perhiasan, tidak ada keglamoran, tidak ada jalan-jalan mahal, tidak ada sneakers baru. Rendahkan kepalamu untuk saat ini. You can trick losers with your ‘achievements’, but you cannot fool winner like me.
—Garry Vee
***
Seiring hari bergulir, aku akhirnya bisa ikut tes TOEFL, yang menghabiskan biaya 500 ribu rupiah. Aku juga meneruskan kursus bahasa Mandarin, dan ketika kursus itu berakhir, Laoshi Gunawan kembali menuturkan hal yang membuatku terpana. “Ririn, pengumuman beasiswa D1 bagaimana?” “Tiga hari lagi, Laoshi!” Aku jadi grogi kembali.
Badanku menggigil. “Mohon doanya, Laoshi.” “Tentu saja. Tenang saja, sudah berusaha maksimal, toh.” “Ya, Laoshi.” “Ririn, dengarkan, di sini bukan hanya mengajari kamu bahasa Mandarin. Saya juga mengajari soal kehidupan. Ya, namanya juga sudah tujuh puluh tahun.
Minimalnya, saya sudah mendengar, melihat, dan mengalami lebih banyak dari kamu.”
Aku mengangguk mendengarnya.
“Begini, saya punya banyak murid seperti kamu.”
Apa? Aku disama-samakan dengan...
CAKRA
Ku terpikat pada tuturmu, aku tersihir jiwamu, Terkagum pada pandangmu, caramu melihat dunia. Kuharap kau tahu bahwa ku terinspirasi hatimu, Ku tak harus memilikimu, tapi bolehkah ku selalu di dekatmu? —Raisa
***
Jumat malam, Hatta pulang ke Serang. Soalnya, hari Senin libur dan hari Minggu pagi, Cakra ada acara lagi. Aku diajaknya ikut.
“Ajak temen-temennya, Rin.” Aku mengajak beberapa teman baikku, tapi hanya Fira yang bisa. Dia akan berangkat bareng gebetannya, Kak Sandi.
“Double date, dong, kita?”
“Double date hidungmu double date,” keluhku.
Hari ini, aku memakai kaus putih dengan tulisan: We are the Warriors That Built This Town dan celana jin biru, dengan sepatu tenis putih bergaris biru dan merah. Rambutku yang panjangnya sudah sebahu kugerai begitu saja. Rumahku dan rumah Hatta berjarak sekitar 12 kilometer. Karena, rumah Hatta searah dengan lokasi kegiatan Cakra dan tidak mau membuat Hatta bolak-balik, aku menebeng Kak Sandi yang membawa...
Kemarahan Sanjay
"Rin! Gitu lo selama ini? Udah gue duga, ada yang enggak beres dari lo!”
Aku menatap Sanjay, Fajar, dan Samsul. Hanya mereka bertiga yang ada di dalam sekretariat SUARA HUTAN. Sanjay meletakkan pisau yang tengah dia asah, Samsul sedang memainkan laptopnya, dan Fajar sedang menyetel gitar. Aku rada ngeri melihat pisau Sanjay.
“Jay, simpen pisaunya. Apa-apaan, sih?”
“Kemarin, lo dibonceng siapa?”
Aku mengernyit. “Temen gue. Kenapa?”
Sanjay berdecak. Pemuda berbadan kekar berkulit sawo matang itu bangkit, tampak gelisah. “Boong lo! Kok, gue enggak kenal?”
“Jay, sejak kapan lo kenal semua temen gue?”
“Kayaknya, gue pernah lihat, deh. Sama lo juga. Anak mana dia?!”
“Apa, sih, Jay? Kenapa, sih, lo? Jangan-jangan? Weits!” Aku terperangah sendiri, kata-kata meluncur dari mulutku.
“Rin, serius! Siapa?! Coba lihat fotonya!”
“Ck, kalo gue enggak mau ngelihatin, gimana?”
“Ah, bener, kan! Rin!”
Aku menyentakkan tangan Sanjay. “Enggak usah narik-narik!”
“Beda lo sekarang, Rin.” Sanjay membuang pandang, ada...
Esih Anak Didikku
Berikan apa yang kamu punya. Bisa jadi, hal itu bermanfaat bagi orang lain jauh melebihi dugaanmu. —Austin Kleon, Share Your Work
***
Aku berangkat dengan muka kisut menuju pendopo dekat rumahku. Aku jadi malas mengajar. Ditambah lagi, matahari begitu terik.
Hatiku sekarang penuh emosi negatif yang berkaitan dengan masalah Sanjay. Ya, tapi siapa tahu pertemuan kelas bahasa Inggris nanti dapat membuatku bahagia seperti pertemuan sebelumnya; dan mengobati hatiku lagi.
Pertemuan kelas bahasa Inggris minggu lalu masih menyisakan bekas di hatiku. Beberapa anak didikku kelas 6 SD, sebentar lagi akan menapaki usia gadis remaja, dan memasuki SMP. Minggu lalu, aku bertanya pada salah satu anak yang bernama Esih.
“Kamu mau masuk SMP mana, Sih?”
“Saya mah terserah Kakek aja.”
Esih menurutku gadis paling cerdas secara akademik di antara anak-anak itu. Gadis itu yatim piatu. Aku sudah menanyakan pada ibu-ibu tetangga Esih mengenai kelanjutan sekolahnya. Kata mereka, mungkin Esih akan dimasukkan pesantren...
Farewell
Hatimu, biar ia perih, Jemarimu, biar ia tergores, Kalau bisa, biar badanmu memar. Jangan mengambil jalan penuh buaian itu. Kamu hadir, harapku bukan untuk tidak peduli, Atau asyik sendiri. Sekarang pergi, dan cari. Agar saat kamu kembali, Kamu bisa basahi tanah ini.
***
"Ke Cina?”
Aku mengangguk.
“Kalo boleh tahu, kenapa, kok, ke Cina, Teh?”
Aku terdiam mendengarnya. Di wajah ustazahku, ada semacam raut tidak suka yang kutangkap. Mungkin, memang sengaja tidak dia sembunyikan. Toh, denganku ini.
“Waktu Teh Ririn bilang kuliah mau ambil Sastra Arab, Ustazah udah seneng dengernya. Ini juga rambut ... kapan ditutupnya? Ditambah lagi, sekarang, kan, lagi ada masalah sama beberapa tokoh keturunan Tionghoa ....”
Aku memandang beliau, guru yang sangat kurindukan. Aku pergi ke kota sebelah—tempat beliau kini menetap—sebagian besar karena rindu. Kucoba menyiapkan diri sejenak, memberi beliau jawaban sejujur mungkin yang kubisa. “Jadi, kemarin waktu aku di Jogja, aku belajar falsafah Tionghoa, Ustazah, dan...
Bapak
Cintanya bukan melalui kata-kata; kerja kerasnya, rumah tempatmu berlindung, makanan yang kamu makan; semua itu bukti cintanya.
—N.N.
***
"Kak, ke alun-alun, yuk?”
“Hayuk!”
Bapak menyopir. Sudah lama aku tidak jalan-jalan berdua saja bersamanya. Setelah tiba di alun-alun, laki-laki yang sudah menua itu mulai berbicara. Aku memandang matanya. Mata itu serius bukan main dan terlihat cemas.
“Dengerin Bapak, ya. Ketika mau masuk suatu tem-pat, jangan langsung masuk. Berdoa dulu. Amati dulu orang-orangnya, ada yang mencurigakan, enggak? Lalu, dompet dan paspor harus dijaga. Jangan letakkan uang di satu tempat. Harus waspada.
“Dengerin Bapak. Kamu cuma setahun di sana. Enggak usah belajar bahasa Inggris lagi, itu mah bisa di mana aja. Kamu nanti di Cina, dalamin, kuasain itu bahasa Mandarin. Lalu, jangan banyak main sama orang Indonesia, ya, Kak. Pergi ke perpustakaan. Ikuti forum diskusinya. Bergabung sama teman-teman lokal. Perbanyak komunikasi dengan bahasa Cina semaksimal mungkin. Oke?”
“Ya.”
“Bapak seneng banget, Kakak...
Pesta Kecil
Kukira, aku memberi, walau sedikit. Ternyata, aku yang diberi begitu banyak. —N.N.
"Teh Ririn!” Aku terkesiap mendengar sahut-sahutan itu. Suara anak-anak didikku. Aku mematut diri sekilas di cermin, kemudian berlari ke ruang depan dan membuka pintu. Mereka berdiri di balik pagar. Wah, sampai mendatangi rumahku?
“Haaai, ada apa?” Gerombolan anak-anak itu saling pandang dan berbisik-bisik. Ada yang tertawa-tawa. Pasti mereka mau mengucapkan salam perpisahan. Dari bahasa tubuh mereka, mereka tampak menyiapkan sesuatu. Aku tidak bisa menahan senyum, terharu rasanya.
“My teacher,” Acha maju, suaranya bergetar, matanya bergerak-gerak menghindari pandanganku yang menatapnya sungguh-sungguh. “Thank you so much. We love you.”
“Kebalik, Acha!” terdengar bisikan seorang gadis kecil, mengomeli. Terdengar omelan lain, “Enggak, Rini!”
“Eh, eh, we, we—we are happy. Goodbye to China. One, two, three.”
“I love you, you love me, we are happy family, with a great big hug and a kiss from me...
Last Date
Aku yang dulu mengutuki takdirku sebagai perempuan, sekarang bisa menerima sepenuhnya. Kemudian, berbahagia dengan takdirku ini. Aku menimang-nimang buku berisi pandangan hidup Bruce Lee yang dulu pernah dipinjam Hatta. Di dalamnya, tertulis: “be like water”. Kubuka lagi lembaranlembarannya. Tercium halus harum debu. Dahulu, aku bertanya-tanya, kenapa kita harus menjadi seperti air? Bukankah api lebih gagah dan lebih dahsyat efeknya? Aku sendiri mengidentikkan diri dengan api. Meledak-ledak, responsif, bahkan ofensif, tidak manipulatif, juga keras terhadap hal-hal yang kurasa tidak sepatutnya. Aku tidak akan kuasa tersenyum pada orang yang tidak kusuka. Yang ada, tanpa kubuat-buat, aku akan memancarkan sinyal permusuhan dan jangan dekat-dekat kau dari jarak 10 meter. Namun, Hatta adalah air. Dapat membelak-belok ke mana pun, lebih tenang, dan tampaknya dapat tersenyum kepada siapa pun pada waktu kapan pun. Baik ketika dia sedang kecewa atau dalam keadaan bagaimanapun. Hatta bersifat tenang dan sepertinya selalu menelaah kejadian dengan struktur-struktur yang ada di...
Kehilangan
Dalam agama Islam, Tuhan, Allah Swt., memiliki 99 nama. Dan, salah satu nama yang dari terjemahan umumnya saja sudah sangat kusukai adalah Al-Lathiif. Yang Mahahalus atau Yang Mahalembut. Aku terkadang mengucapkannya karena aku ingin Ia melembutkan hatiku. Aku takut hatiku menjadi keras. Suatu hari, aku pernah malu-malu memberi tahu ustazahku bahwa aku senang dengan nama Allah yang Al-Lathiif itu. Tanpa alasan, aku hanya ingin memberi tahu saja.
“Kamu tahu arti Al-Lathiif?” Tanpa diduga, ustazahku melemparkan pertanyaan. Lantas, aku menyampaikan seperti yang kuketahui saja.
“Itu terjemahan super-duper-simpelnya. Salah satu penjelasan yang mendalam mengenai arti Al-Lathiif itu begini: yang saking begitu halusnya, begitu lembutnya, tidak ada orang yang sadar bahwa Allah sedang menjalankan rencana-Nya itu, saking tidak terlihat dan tidak terbayang betapa detail caranya. Caranya meliputi segala sesuatu, tapi pengaturannya, dilaksanakan serahasia mungkin ....”
Ingatan itu timbul, ketika aku menghadapi kejadian di Bandara Changi, Singapura. Sebelum berangkat, aku tidak menimbang koperku karena...
Tiongkok
Republik Rakyat Tiongkok. Sebuah negara megabesar, dengan 56 suku yang diakui oleh negara. Belum lagi, suku-suku lain yang tidak masuk ke daftar. Selamat datang, Rin. Inilah medan perjuanganmu. Pukul 24.00, untuk pertama kalinya kami mendarat di Bandara Internasional Lukou. Kami terpana dengan betapa dinginnya angin musim dingin menyambut kami. Buru-buru, kami memakai jaket tebal yang memang sudah dikeluarkan dari koper, seperti perintah yang disampaikan oleh pihak sekolah. Aku menatap seluruh papan bertuliskan aksara Mandarin itu. Ini seperti berada di planet lain, dengan alien-alien sebagai penghuninya. Bagaimana mereka bertahan hidup? Bagaimana aku akan bertahan hidup?! Aku mengedarkan pandangan kepada wajah-wajah yang jelas keturunan Tionghoa di sekelilingku—kecuali Gibran, tentunya.
“Eh, ini kalian pada ngerti artinya?”
“Ada yang ngerti, dikit banget tapi,” sahut Monik, gadis yang lebih tua dariku sambil menaikkan selendang wolnya.
Udara dingin bertiup. Saat itu, bulan Februari, dan Nanjing tetap dingin bukan main. Kami telah membalut badan dengan sebanyak mungkin...
Tiongkok - 2
Aku terpana ketika melihat bangunan di kampusku. Gila. Tinggi-tinggi, besar-besar, dan betapa cemerlangnya! Berbagai mahasiswa menyembur keluar dari pintu asrama yang rata-rata berlantai lebih dari enam. Aku yakin ada lebih dari lima gedung asrama di sini. Bentuk gedung asramanya seperti apartemen, tapi tanpa balkon di kamarnya, dengan lobi di lantai satu, dan mesin-mesin untuk menempelkan kartu mahasiswa atau kamar. Di jendela-jendela kamar para mahasiswa, aku dapat melihat berbagai jenis jemuran baju—mulai dari seprai, sepatu, baju lab, hingga pakaian dalam. Oh, itu milik mahasiswa putri. Astaga, mereka tidak malu, apa?
Tidak ada mesin AC yang menempel di samping jendela yang bening dan memperlihatkan kasur-kasur tingkat para penghuninya. Ternyata, hampir semuanya memasang tirai berwarna-warni mengitari kasurnya yang dapat digeser-geser. Wah.
Pukul setengah delapan kurang, udara masih saja dingin. Orang-orang di sekelilingku memakai entah coat berbahan flanel, jaket parasut tebal, knitwear ... aih, betapa cantik-cantik dan elegannya! Rambut-rambut gadis-gadisnya kebanyakan diwarnai entah menjadi...
Masjid Jingjue
Hari Minggu itu masih sangat dingin. Aku mengenakan coat hijau lumut kesukaanku, longjohn cokelat di bawah sweter hitam, boots cokelat tua, dan syal hitam di leher. Tanganku tertutup rapat oleh sarung tangan dan kepalaku dibalut topi rajut. Sepanjang berjalan kaki ke stasiun kereta bawah tanah, alias ditie zhan terdekat dari kampus, aku terus memasukkan tangan ke kantong coat yang hangat karena sarung tanganku masihlah terlalu tipis dan tanganku membeku.
Aku begitu jauh dari Bapak, dari Ibu, dari Gilang, dari Fira, dari Hatta.
Aku begitu jauh dari murid-muridku. Ah, semoga aku dapat mengajar anak-anak di tanah asing ini. Bisa rusak diriku jika tidak mengajar.
Dan sekarang, aku akan menuntaskan keingintahuanku dengan masjid di Tiongkok. Selain itu, aku rindu shalat di masjid.
Sampailah aku di Stasiun Sanshanjie. Manusia, oh, betapa banyaknya! Seperti pesan Dina, aku keluar dari pintu keluar nomor satu, lalu berjalan menyeberangi lampu merah, menyusuri pertokoan ke arah kanan, dan...
BABAK BARU
When you enter a village, follow the local castoms. —Chinese Idiom
***
Hari pertama belajar di kampus, kami berangkat ke kelas, dua puluh menit sebelum kelas dimulai. Kami berlima berjalan berbarengan. Wajahku dan Gibran yang tampak asing membuat orang-orang kadang memandangi kami. Aku lagi-lagi terpesona melihat pakaian orang-orang sini yang modis. Kelas kami hanya terdiri dari dua belas murid. Ada bule-bule dari Amerika, Prancis, Georgia, dan dari India, selain kami berlima yang dari Indonesia, tentu saja. Selain orang Indonesia, semuanya adalah guru bahasa asing yang belajar bahasa Mandarin ketika tidak ada jadwal mengajar. Ada Lydia, Ethan, dan Mauree dari Prancis. Kemudian, Andrew dan Bennet dari Amerika, Tamar dari Georgia, dan Pras dari India. Ethan laki-laki yang sangat tampan, guru bahasa Prancis. Kemudian, Bennet kurasa tipikal anak gaul. Badannya menjulang dan kegemarannya memakai baju gombrang. Dia asisten dosen bahasa Inggris.
Dan Andrew, dia mengajar bahasa Inggris. Dia berwajah baby face,...
Terpengaruh
Harus berbaur, tapi tidak melebur. —A.N.
***
Kenapa Tuhan menciptakan kita berbeda-beda? Sungguh, semua itu pasti diciptakan bukan tanpa tujuan. Ada satu hal yang menurutku pribadi, berharga. Pelajaran hidup! Di dalam Al-Quran, ada satu ayat yang terkenal, dan jika kamu seorang Muslim, mungkin kamu setidaknya pernah mendengar tentang ayat ini. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal ....” Mungkin, kita sama-sama bisa menangkap pesan dari membaca terjemahan ayat tersebut. Tapi, ketika diriku mendengarkan penjelasan dari Nouman Ali Khan, tokoh penceramah yang sering mengunggah ceramahnya di YouTube dan mengambil hati jutaan orang di seluruh dunia—mengenai ayat tersebut, ternyata berbeda sekali rasanya. Aku juga menanyakan pada teman-temanku yang bersekolah di Arab, sembari aku juga membuka kamus bahasa Arab, dan sampailah aku pada kesimpulankesimpulan ini.
Karena Al-Quran menggunakan bahasa Arab, pada ayat ini, kata bangsa disarikan dari kata...
Sara Jiejie
Setelah melihat kelas bahasa Inggris di Masjid Jingjue dan berkenalan dengan beberapa ibu-ibu muda lokal dan berbagi kontak WeChat, aplikasi sepopuler WhatsApp di Tiongkok, tahu-tahu pada Jumat malam, seorang Jiejie atau kakak perempuan bernama Sara menghubungiku, mengajakku makan siang di kediamannya esok hari. Ini adalah kali pertama aku diundang ke rumah penduduk lokal. Aku sangat bersemangat. Aku menelepon Ibu untuk menanyakan izin.
“Sendirian?” tanya Ibu.
“Iya,” jawabku.
Ibu menyampaikan bahwa Bapak melarangku pergi jika sendirian.
“Mbok sama Widy?”
“Widy besok mau ke Shanghai, Bu.” Aku melirik kasur Widy yang kosong dan kopernya yang masih membuka di lantai. Widy sedang di kamar sebelah, kamar Lusi dan Monik. Mereka bertiga, Tamar, Lydia, Bennett, dan Ethan akan pergi bersama-sama.
Ibuku terdengar kaget. “Semuanya?
“Orang Indo-nya, kecuali Gibran dan aku.”
“Kamu ndak mau?”
“Enggak, ah.” Di Nanjing saja, setiap harinya bagiku merupakan pengalaman jalan-jalan yang memuaskan. Pergi ke luar kota pasti membutuhkan uang yang...
Melepaskan
Keesokan paginya, aku dikejutkan dengan kirimankiriman foto dari teman-temanku. Mereka semua mengirimkan jepretan layar ponsel mereka, yang berisi feed Instagram Hatta dan postingan barunya—Dia, Aziz, dan beberapa teman mereka, di atas motor. Bodohnya, muka Hatta dan Aziz penuh warna! Aziz menjadi seperti harimau, sementara dia menjadi badut. Manusia somplak. Aku tertawa geli. Ah, Hatta. “Boleh enggak Ririn telepon?” Aku mengirimkan pesan. Meski malu, rasanya gereget sekali. Selanjutnya, malah dia yang menelepon.
“Weh, kenapa, Rin?”
Aku menahan senyum. “Itu sama Aziz ngapain?” tanyaku.
“Oh, yang di IG itu? Hahaha, seru! Jadi ceritanya kami konvoi jalan-jalan. Eh, ternyata ada pohon tumbang, nah, jatuhnya nimpa tiang listrik tea, ke tengah jalan coba. Gelo pisan. Muacetnya ampun-ampunan. Sepupu gue yang cewek, Teh Iin, ikut, bawa lipstik sama bedak. Sama pensil alis juga, tuh. Sial, gue dandanin muka Aziz biar cakep jadi harimau, dia malah dandanin gue jadi badut! Hahaha. Itu rame-rame aja, ngehibur anak-anak...
Sulutan Kebencian
Memuliakan manusia berarti memuliakan Penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Penciptanya.
—K.H. Abdurrahman Wahid
***
Suatu malam, ketika sedang lari di stadion, aku melihat Andrew. Dia sendirian. Kusapa dia. Andrew membalas sapaanku. “Kamu mau lari?” “Ya.” Aku menyelesaikan lariku lebih dulu dari Andrew, lalu melakukan pendinginan di tribun sebelum hendak kembali ke asrama. Namun, Andrew tahu-tahu muncul di dekatku. “Besok ada kelas?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Mau ikut aku mengajar?”
Aku mengangkat alis. “Memang boleh?”
“Tentu saja boleh, selama kamu tidak ada kelas.” Aku bertepuk tangan senang. Boleh juga!
“Kamu tahu, di kota asalku, aku juga mengajar anakanak bahasa Inggris. Apa kamu perlu partisipasiku dalam kegiatan mengajarmu besok?”
“Tidak perlu, terima kasih. Tapi, aku akan mengenalkanmu.”
Oh. Aku mengangguk, agak kecewa mendengarnya.
“Oh, tapi apa kamu ingin ikut mengajar?”
Aku mengulum bibirku. “Ya, pengin, sih.”
“Ah, baiklah. Jadi, rencana mengajarku besok ....”
Keesokan harinya, kami menunggu bus kampus...
Musim Semi
"Rin, kamu dipanggil Mrs. Julia lho.” Widy menatapku dengan wajah serius.
“Ada apa, Wid?” hatiku jadi cemas.
“Enggak tahu?”
Ada apa ini? Mrs. Julia jarang memanggil kami. Ms. Lily, sih, kadang-kadang. Namun, kenapa aku?
Aku mengetuk pintu kantor urusan internasional di kampus kami. Terdengar suara tegas dan nyaring, “Qing jin!” Artinya, silakan masuk. Aku membuka pintu dan menemukan Mrs. Julia di balik sekat yang memisahkan ruang kerjanya. Dari balik kacamatanya, tanpa senyum, dia menyuruhku duduk di sofa.
“Linjiani, ada yang mau kubicarakan denganmu. Apa kamu mengalami masalah di kelas?”
Aku terkesiap. Demi apa, aku dapat mengalami masalah di pelajaran, di bidang bahasa khususnya? Hatiku berdentum-dentum.
Namun, tidak sepenuhnya salah. Siapa juga yang bisa mengambil pelajaran dengan maksimal ketika pelajaran itu disampaikan dalam bahasa yang tidak dimengerti?
“Para laoshi bilang, kamu agak ketinggalan pelajaran, ya?”
Dibandingkan dengan murid-murid lain yang sudah pernah belajar Mandarin sebelumnya, aku sangat tertinggal, memang. Tapi, dibanding...
Ketakutan Salma
Benang di jemari tangan seorang ibu yang penuh kasih, yang tengah membuatkan pakaian untuk dikenakan anak lelakinya yang akan pergi jauh. Di tengah malam, tanpa bersuara, ...
— sajak Meng Jiao, Nyanyian Sang Pengembara
***
Aku baru tahu bahwa orang-orang Tiongkok menghafalkan sajak menggunakan lagu. Ah. Mataku memanas. Aku jadi ingat Ibu dan baju batik jahitannya.
Pulang kelas, teman-temanku berencana melihat-lihat universitas seni Nanjing yang letaknya berseberangan dengan kampus kami. Aku merasa sudah cukup untuk keramaian hari ini, aku ingin menyendiri. Kuletakkan buku-buku yang berat di bawah meja, kemudian aku langsung berjalan ke stasiun kereta bawah tanah di de-pan kampus. Aku ingin ke masjid, mungkin juga makan malam di sana. Kali ini, aku tidak akan pergi ke Masjid Jingjue di Sanshanjie. Aku pergi ke masjid di Jalan Zhujiang. Di dalam, kutemukan sesosok perempuan bersetelan kuning kunyit, dari jilbab besarnya hingga baju terusannya. Ketika dia berbalik, lho ... ini mah temanku!...
Ramadhan di Nanjing
Peradaban-peradaban besar dalam sejarah manusia akhirnya hancur karena meremehkan puasa.
—Emha Ainun Nadjib
***
Pada hari, Teng laoshi, guru favorit anak-anak kelas kami yang sudah berusia 40 tahun, mengatakan sesuatu, “Di Tiongkok, rata-rata sampai seorang anak dibiarkan hidup mandiri, tidak lagi hidup dibiayai orangtuanya, cukup telat, lho. Tunggu kuliah selesai, lalu ketika sudah bekerja, baru, deh.”
Lambat? Sungguhkah? Bukankah itu hal biasa? Aku tersentak ketika teman-teman bule-ku ternyata sedari SMA, bahkan ada yang sejak SMP, sudah bekerja! Kebanyakan memang paruh waktu. Mereka mengumpulkan uang khusus untuk kuliah dan biaya hidup sendiri. Astaga. Kemudian, selepas SMA, dilepaslah, tidak lagi dibiayai orangtuanya. Sementara, di Indonesia? Jangankan uang sekolah, mendanai biaya apel malam Minggu atau beli baju saja, betapa banyaknya yang menggunakan uang orangtuanya. Dan, selepas luluskuliah pun, banyak yang belum bisa benar-benar berdiri di atas kakinya sendiri.
Ternyata, di Benua Eropa sana, rata-rata di umur 18 tahun, banyak orang yang sudah harus...
Ramadhan di Nanjing - 2
“Kamu sahur pakai apa tadi?” tanya Halima.
“Aku minum air saja,”
“He? Tidak makan?”
“Tidak.”
Halima berdecak. Matanya yang menyipit dan bibirnya yang mengerucut tampak siap mengkritikku. “Ck. Itu enggak bagus. Nanti, kamu enggak kuat!”
“Aku sudah biasa, kok. Orang-orang di negeriku juga biasa begitu.” Aku teringat ustazah-ustazahku yang kerap hanya meminum air di waktu sahur. Tapi, kening Halima berkerut mendengarnya. “Serius, sebenarnya enggak harus sahur juga kuat, kok! Hei, kalau kamu tadi sahur apa?”
“Tadi malam lumayan seram. Aku, kan, janjian untuk bertemu dengan tiga orang teman di restoran halal di sekitar kampusku yang buka. Kemudian, aku bangun terlambat. Harusnya, aku bangun pukul setengah dua, ini pukul dua lewat, aku baru bangun.” Kemudian, Halima meneruskan cerita yang cukup panjang—bahwa dia harus berlari-lari di kegelapan malam, tapi untungnya, seorang temannya ternyata menyusulnya dan mereka berpapasan di tengah jalan. Aku menghela napas.
“Aduh, Halima ... ya, seram, dong, jelas. Kalau setiap hari...
Epilog
Kereta berjalan. Hujan turun dengan deras, bulir-bulir air tampak jelas di jendela. Aku memasang earphone, dan, mendengarkan lagu-lagu mellow. Seperti biasa, terlintas sosok seseorang. Hmmm. Hatta belum membalas pesanku. Dari dulu, Hatta memang banyak acara. Janjijanji yang dengan percaya diri diucapkannya sering kali tak dapat terpenuhi. Tidak apa-apa. Laki-laki, menurut sebuah buku karya Paul I. Wellman, memang agak terlalu optimis, sehingga kadang kurang teliti. Bukankah semenjak dahulu begitu—perempuan lebih hati-hati dan waspada? Yah, setidaknya, kata bapakku sih begitu. Aku juga kagum dengan sebuah kalimat yang pernah di gunakan bapak, untuk menggambarkan ibu; Ibu ini, perempuan yang tabah dan enggak rewel ketika yayangnya sibuk mengurus kebaikan. Well, tidak mudah bagiku. Namun, aku berusaha. Dan mungkin karena itu pula, aku perlu jauh, agar tak ada alasan untuk menanti di penghujung minggu, yang tak jua berujung temu. Ah! Mellow sekali diriku. Cukup! Aku mengambil tasku dan mengeluarkan buku gambar. Aku akan...
Description: Namaku Rinjani. Jangan panggil aku Jani. Panggil aku Ririn!
Begitulah Rinjani, gadis yang berkemauan kuat. Suatu ketika dia berkeinginan untuk masuk universitas impian. Di luar dugaan, dia tak bias ikut ujian. Kecewa? Iya, sedih? Pasti, tapi dia tidak mau terpuruk terlalu lama. Ada satu lagi yang tidak bias Ririn kejar. Dia Hatta, seseorang yang Ririn kenal saat lomba Festival Seni Bintala. Hatta dating tidak untuk menjadi miliknya, tapi dia menyeimbangi Rinjani yang keras kepala. Hatta yang hangat membuat Ririn nyaman. Ririn mengenal dunia relawan yang memberinya kebahagiaan dari Hatta. Aktivitas itu membuat mereka semakin dekat, hingga Ririn meminta �nama� yang tepat untuk hubungan mereka. Pacar? Sahabat? Atau sekadar teman? Hatta tidak menyangka Ririn akan menanyakan hal itu padanya.
Seolah tidak mau dipusingkan dengan Hatta, Ririn kembali mengejar cita-citanya. Ternyata, Tiongkok menjadi tujuan berikutnya. Tidak disangka, dia menemukan kehangatan cinta lebih besar di sana.
�Setiap perjalanan adalah inspirasi. Begitulah Nabila. Dengan imajinasinya, berbuah novel ini. Kisah yang menyemangati pembaca.�
- Gol A Gong, penulis Balada Si Roy
|
Title: Ruang Sepi untuk Menyembuhkan Diri
Category: Metropop
Text:
Asalkan Kau Setia
Aku siap berubah menjadi lebih baik, lebih rapi, lebih tertata, asalkan kau setia. Aku akan pelan-pelan membunuh semua dendam terhadap dunia dan membunuh kegilaan yang bertahun-tahun menghuni pikiranku, asalkan kau setia.
Aku mencintaimu dan aku butuh penyembuhan diri. Masa laluku telah diremuk-redamkan oleh kedukaan. Masa depanku telah ditutupi oleh kecemasan, kekecewaan, dan keputusasaan. Kematian selalu lebih dekat dari apa pun dan karenanya aku merasa tidak penting lagi hidup. Maka aku mencintaimu, untuk menenangkan pikiranku. Aku akan mengisi hari-hariku dengan berbahagia bersama orang lain selain diriku. Dan aku harap itu kau. Dan aku berharap kau berhasil membuatku berpaling dari segala kesuraman yang dari waktu ke waktu terus kujajaki.
Asalkan kau setia, aku akan barusaha tidak lagi menyakiti diri sendiri dengan berbagai pikiran tentang hal-hal yang mengerikan: menenggelamkan diri di sumur tua, menggantungkan leher pada tali yang biasa digunakan untuk mengikat hewan ternak, membunuh seseorang, meludahi orang-orang yang kuhormati, tak bisa bernapas gara-gara terendam lumpur, terseret arus laut selatan, jatuh di jurang, hilang di gunung, tertembak polisi hutan, menjalani dosa paling besar, ketakutan-ketakutan terhadap tidur karena hampir selalu mimpi buruk dan lain sebagainya.
Aku mencintaimu dan aku butuh tempat bersandar bagi pikiranku. Asalkan kau setia memahamiku, aku akan berusaha menjadi lebih baik.
Sebuah Petualangan
Malam ini kamu meriang dan aku baru sembuh dari depresi. Aku memeluk tubuhmu yang panas dan kamu menenangkanku dari berbagai macam kegilaanku saat ini. Kita berdua di dalam ruangan 3 x 3 persegi. Hanya berdua dan itu tidak memungkinkan untuk kita tidak berbuat apa-apa. Ruangan ini telah menyelamatkan kita dari kebisingan kota, ceracauan manusia, dan polusi udara.
Maka aku mencium bibirmu yang tawar itu dan kamu melingkarkan tangan di leherku. Kita mulai merebahkan tubuh di ranjang dan mulai melanjutkan petualangan. "Apakah Adam dan Hawa sengaja mau memakan buah khuldi supaya diusir ke bumi dan mereka bisa merasakan bagaimana rasanya persetubuhan yang melibatkan nafsu dan cinta?" tanyaku dalam hati kemudian.
"Bisa jadi. Bisa jadi seperti itu. Sebab, di surga tidak ada nafsu dan cinta. Mereka bersetubuh di sana atas nama taat pada Tuhannya." Jawabku sendiri. Tentu saja aku tanyakan sendiri dan aku jawab sendiri. Sebab, rasanya kamu sedang menikmati ciumanku dan menikmati hal lain yang kurang perlu disebutkan di sini. Ya, ya, ya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam kepalamu. Aku tidak mau menebak-nebak.
Setelah petualangan kita selesai, aku langsung membuka laptop dan menuliskan ini. Kamu bilang, jangan menulis aneh-aneh. Kamu bisa dimaki-maki banyak orang. Aku bilang, aku tidak mungkin membiarkan peristiwa ini berjalan begitu saja tanpa ada yang menuliskannya. Kamu membalas dengan omongan yang lebih panjang ketimbang petualangan yang baru saja kita lakukan. Sebelum tuntas kamu membicarakan ini itu, aku potong dengan: sudah, nikmati saja bersandar di dadaku. Satu-satunya kebebasan yang bisa kumiliki dan bisa kulakukan adalah menulis dan mencintaimu.
Description: Malam ini kamu meriang dan aku baru sembuh dari depresi. Aku memeluk tubuhmu yang panas dan kamu menenangkanku dari berbagai macam kegilaanku saat ini. Kita berdua di dalam ruangan 3 x 3 persegi. Hanya berdua dan itu tidak memungkinkan untuk kita tidak berbuat apa-apa. Ruangan ini telah menyelamatkan kita dari kebisingan kota, ceracauan manusia, dan polusi udara.
Maka aku mencium bibirmu yang tawar itu dan kamu melingkarkan tangan di leherku. Kita mulai merebahkan tubuh di ranjang dan mulai melanjutkan petualangan. "Apakah Adam dan Hawa sengaja mau memakan buah khuldi supaya diusir ke bumi dan mereka bisa merasakan bagaimana rasanya persetubuhan yang melibatkan nafsu dan cinta?" tanyaku dalam hati kemudian.
...
|
Title: Rumah Bukit Hujan
Category: Novel
Text:
Sepiring Otak di Meja Makan
Pagi-pagi sekali, Mama membangunkanku, menyuruhku makan. Tak ada nasi dan lauk, hanya tersedia sepiring otak di meja makan.
"Menu spesial," bisiknya di telingaku.
jelas aku bergidik. Bukan karena tampilan otak yang jelas- jelas masih mentah, tapi gaya bicara Mama yang bahkan tak ada nadanya membuat kudukku seperti baru saja diolesi banyak es.
"Kau tak makan?" Mama melirikku tajam. aku masih diam. Menelan ludah dan sibuk menerka pilihan. Makan atau tak makan.
"Kau tahu, ini kali pertama dalam hidup, kita makan mewah. tak pernah sehari pun selama mama papa hidup lalu membesarkanmu kita memakan secuil pun bagian daging... hewan. Karena menghargaimu," ujar Mama memelas seraya tangan kurusnya menyodorkan piring, sendok dan garpu ke arahku.
"Makanlah. Atau seharian ini kau tak usah makan saja. Tak akan ada pak sayur yang biasa menjajakan dagangan. mungkin, bapak tua itu juga sudah mati."
Aku tidak meladeni ocehan Mama. Perutku mulai mual melihat sepiring otak mentah-- yang entah otak hewan apa, mungkin sapi?--- di depanku tengah dicincang. lalu dengan garpu, cincangan otak tersebut sebagian mama hadiahkan ke atas piringku.
"Makanlah Leya. Atau tak usah ada makanan yang masuk ke perutmu hari ini." Mama menatapku tajam. Aku tersenyum masam.
"Ma, di mana Papa?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bunyi piring, pisau dan garpu yang beradu mendadak hilang. Aku tidak mengerti kenapa Mama berhenti mencincang.
"Papamu?" mama mendelikkan mata seperti berpikir, "makanlah dulu. Nanti kau akan tahu." nada bicara Mama agak santai kemudian. Bahkan ada sebersit senyum di bibirnya. Membuatku gagal curiga.
Aku tak kunjung makan. Lebih tepatnya, tentu saja aku tak mau memakannya!
"Mama tahu kan seumur hidup Leya tak makan daging atau... bagian tubuh hewan yang bisa dimakan. Leya bisa sakit bahkan mati. Apakah mama ingin Leya sakit? atau... mati?" Rengekku pada mama.
"Ah... mati. Mama ingat. Papamu juga mati pagi ini. Katanya dadanya mendadak sesak lalu dia terbaring begitu saja di lantai kamar. Papamu yang pelit itu, Leya... hanya meninggalkan asap mengepul di dalam ruangan, puntung-puntung rokok masam dan peninggalan berharga berupa duri-duri tanaman kaktus kesayangannya di dalam lemari. Ah pria tua itu, di mana harus kukubur? kita bahkan tak punya lahan di sekitar rumah. Apakah harus kita kubur dia jauh di dalam hutan?" Mama menunjuk ke sembarang arah sambil melotot tajam.
Aku jelas terperanjat dengan jawaban mama, lalu menghambur ke dalam kamar. Sementara mama dengan santainya terus menceracaukan berita buruk itu seperti tak terjadi peristiwa apa-apa, "Leya... ayo kita kubur papamu. Tapi... di mana harus kukubur papamu? kita ini miskin. Tak punya tanah. Tak ada lahan. Di mana harus kita benamkan jasad tua itu Leya?" suara mama menangis palsu terdengar semakin jauh.
Aku melongok ke kamar. Papa sudah terbaring. Badannya sudah dingin, mulai kaku. Apa jantung papa kena serangan mendadak?
Susah payah aku mendudukan jasadnya, mengusap kepala dan pipinya lalu menyeretnya ke tengah ruangan di mana mama masih asyik menceracaukan kematian suaminya barusan.
"Leya berhenti! makanlah otak itu terlebih dahulu. Orang-orang bilang kita ini sudah miskin dan tak punya otak. Sekarang kita punya otak. Makanlah seperti orang kaya. jangan urusi papamu!" teriak mama.
Aku tidak peduli lagi. Kududukkan papa di lantai ruang tamu, menyandarkannya ke kursi. Lalu berlari ke luar, ah... masih agak gelap. Matahari belum terbit sempurna, rupanya. Tapi kulihat ada pak petugas keamanan lewat. Sedang patroli Subuh.
"Pak Zay!" teriakku.
Sorot lampu senter mengarah ke wajahku.
"Ada orang? kupikir rumah ini kosong," kata Pak Zay setelah memastikan yang memanggilnya manusia, bukan hantu.
"Bisa bantu aku memandikan dan mengubur papaku?" tanyaku sambil menunjuk jasad papa yang tengah duduk di ruang tamu.
"Mumpung masih Subuh," pintaku lagi.
Pak Zay mundur perlahan. Lampu senternya jatuh. Tapi ia tak melarikan diri hanya karena ketakutan.
"Tolong aku Pak. pagi ini papa sepertinya kena serangan jantung. kutemukan ia sudah terbujur sedikit kaku di lantai kamarnya tadi. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa. Pak Zay harus bantu aku ya?" mohonku.
Pak Zay mulai paham situasi. Mengambil senternya kembali lalu melirik kiri-kanan, merogoh HT-nya.
"Aku butuh bantuan di blok C nomor 1.... ya, benar. Rumah hantu itu..." katanya kepada seseorang di seberang sana.
Ganti Baju Kehidupan
Pak Zay menepuk pundakku. Menatap jauh ke dalam mataku.
"Leya, berjanjilah kau akan baik-baik saja di sini. Cobalah berbaur dengan anak seusiamu dan jangan pernah berpikir kembali ke rumah itu. Mengerti?" ujarnya setelah mencengkeram kedua bahuku agak keras.
Aku diam saja. Tak mengangguk, tak menggeleng. Lalu mulai berjalan ditemani Pak Zay menuju ke atas bukit, tempat rumah --yang jelas bukan rumahku-- berada.
"Rumah Asuh Bukit Hujan"
Aku membacanya tadi sebelum masuk.
Kini aku sudah ada di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, hangat karena terpapar sinar matahari pagi tapi agak lembap.
Ada dua buah lemari kaca berisi buku dan berkas juga meja kerja berbahan kayu yang tak kalah penuh oleh beberapa benda seperti komputer dan map-map berisi berkas-berkas.
Aku duduk di depan meja tersebut bersama Pak Zay. Tak lama seseorang masuk.
perempuan berbadan tinggi besar. Rambutnya digelung, sudah sedikit beruban di kiri kanan.
Ia memakai baju formal setelan blazer warna hitam. Rok setumit dengan kemeja berlengan panjang.
Lama ia memperhatikanku dari ujung sepatu ke ujung rambut. Lalu duduk di depan kami tepat di belakang meja kerja ini. Yap, aku menebak, pasti ini meja kerjanya bukan?
"Namamu Kaleya?" tanyanya kepadaku, tapi tak memandangku. Matanya sibuk membaca berkas di depannya sambil sesekali menekan ujung bolpen.
Aku tidak segera menjawab. Malah melirik Pak Zay yang tadinya diam saja akhirnya menyenggol lenganku dengan lengannya. Maksudnya apa?
"Kaleya?" wanita berblazer tadi kembali bertanya, kali ini ia baru memandangku. Oh dia bertanya padaku.
"Iya. Namaku. Dan nama Anda?" tanyaku penasaran sambil menatap jauh ke dalam matanya. Saking seriusnya bahuku sampai agak maju.
Reaksi ibu tersebut--sebut saja nyonya-- ternyata nanti kusebut dia ibu asuh--- agak terkejut. Meletakkan bolpen dan menutup map berisi berkas-berkas berisi informasi tentangku (mungkin) dan bersedekap rapi sambil tersenyum canggung. Menatapku.
"Aku? Namaku Kamelia. Aku penanggung jawab rumah asuh ini. Dan kau, Kaleya, akan segera menjadi bagian dari rumah ini. Mengerti?" Nyonya Kamelia menambahkan seutas senyuman di wajahnya. Mungkin supaya aku tidak merasa tegang atau terintimidasi dengan penampilan dan tatapannya. Padahal aku juga dari tadi biasa saja. Hanya ingin tahu dia siapa.
"Oh baiklah. Sekarang aku sudah tahu Nyonya. lalu, apa yang harus aku lakukan di sini? Apakah aku harus bekerja?" tanyaku kepadanya.
Entah reaksi apa yang Nyonya Kamelia dan Pak Zay tunjukkan tapi keduanya saling bertatapan sebelum bergantian melihat ke arahku lagi.
Kulihat Nyonya Kamelia berusaha tetap tenang sambil tersenyum.
"Panggil aku Ibu Kamelia. Untuk hari ini, kau istirahat saja dan melihat-lihat aktivitas di rumah asuh. Nanti ibu juga akan mengenalkanmu kepada anak-anak lainnya yang tinggal di sini. Setelah itu, mari kita lihat apa saja yang bisa kau lakukan di sini..." jelasnya sambil menangkup dagu.
Setelah berbincang sejenak dengan Pak Zay di luar ruangan, Nyonya Kamelia atau... baiklah mari mulai sekarang kita sebut Ibu Kamelia, masuk kembali tanpa Pak Zay.
"Pak Zay banyak urusan. Tak sempat berpamitan denganmu. Tak apa?" Ibu Kamelia membungkuk, menyetarakan tinggi badannya dengan tinggi badanku seraya meremas pelan bahuku.
"Tak apa, Bu. Pak Zay sudah banyak membantuku sejak kemarin Subuh. Dia pasti lelah dan ingin pulang," tak dinyana jawaban dan reaksiku membuat Ibu Kamelia langsung melepaskan tangannya dari bahuku.
"Baiklah. Mulai hari ini, Kaleya, cobalah berbaur dengan anak-anak lainnya, ya?" Ibu Kamelia ragu-ragu mengusap pelan rambutku seraya tersenyum. Hal yang bahkan tak pernah dilakukan mamaku, ya.. seingatku begitu.
Kabut di Bukit Hujan
"Ada yang mati?" tanyaku pada Karen, teman sekamarku saat kami bersamaan menengok ke luar jendela dan menemukan pemandangan mobil ambulans yang membawa sosok kecil terbaring di ranjang pasien ditutupi kain putih didorong masuk ke dalam mobil.
"Berhentilah memakai kata mati! Mana rasa kasihanmu? Sebut ia meninggal apa susah? Memangnya dia hewan apa?" Karen marah-marah lalu kembali ke aktivitas semula. Merapikan tempat tidurnya.
"Apakah dia sakit?" tanyaku pada Karen lagi. Tanganku masih berpegangan pada besi jendela yang dingin.
"Aku tidak tahu. Tapi sudah tiga hari sejak kau datang, dia tidak pernah mau keluar kamar. Dan saat dia keluar, kudengar wajahnya sangat pucat." jawab Karen.
"Itu sama seperti aku kalau alergi sehabis makan daging. Aku akan merasa lemas, pucat, tidak mau apa-apa. Tapi aku tidak mati." Mataku masih menonton adegan di luar jendela. Mobil ambulans itu berjalan menuruni bukit, hening tanpa sirine. Dan aku melihat Nyonya Kamelia, ah... Bu Kamelia kembali ke dalam rumah.
"Sudah kubilang, dengarkan kata Ibu. berhentilah memakai kata mati!" Karen membanting bantal yang tengah dirapikannya. Aku dibuat terkejut sebentar.
"Kenapa aku harus sekamar dengan orang aneh sepertimu sih?" Karen mengambil kembali bantal yang dibantingnya lalu berjalan ke luar kamar, membanting pintu. Meninggalkanku yang masih termangu memegang besi jendela.
"Apakah dia alergi daging sepertiku? Tapi aku tidak mati." gumamku.
Kamar sepi. Karen pergi. Aku melihat ke arah meja belajar.
Ibu Kamelia memang lumayan perhatian denganku. Ia memberiku alat tulis lengkap dengan alat gambar. Katanya, takut-takut aku terbersit sesuatu sehingga bisa kutulis dan kugambar.
Tapi sudah seminggu ini aku hanya membuat Bu Kamelia kecewa karena buku tulis dan buku gambar yang ia berikan masih kosong. Aku juga tidak tahu harus menulis atau menggambar apa.
Tapi, tekadku, hari ini aku tidak boleh mengecewakannya lagi. Apalagi ada anak yang mati, nanti dia tambah sedih. Aku pun memutuskan untuk menulis dan menggambar di luar rumah. Di sekitaran bukit saja supaya Bu Kamelia tak menyangka aku hilang.
...
"Bukit Hujan"
Ah, sekarang aku tahu kenapa bukit ini dinamai Bukit Hujan. Karena embun-embun dan kabut di sini membuat anak-anak seperti kami menyangka hari hujan seharian. Padahal bukan.
Itulah kenapa aku keluar rumah pagi ini juga mengenakan jas hujan. Karena kupikir embun dan kabut ini gerimis tipis.
Setelah berkeliling, sedikit menuruni bukit, akhirnya aku menemukan tempat duduk. Tepat di bawah pohon akasia agak jauh di belakang rumah. Agak jauh, tapi tempat ini nyaman. Di depanku ada pemandangan sebuah danau kecil yang tertutup kabut.
"Anak itu sakit sepertiku. Aku alergi. Anak itu entah kenapa. Tapi anak itu mati. Aku tidak mati. Kenapa?"
Hanya itu yang aku mampu tuliskan pagi ini. Lantas apa yang harus kugambar?
Aah, aku ingat mama pernah pernah menggambar dirinya sendiri. Cantik sekali. Tapi lukisan itu dibakar akhirnya. Sayang sekali.
Suatu hari ia berbisik. "Gambarlah apa yang ingin kau gambar. Kalau bisa jangan hanya pemandangan gunung, jalan, pohon dan sawah, coba ada orangnya. Ada pekerjaaannya".
Hmm.. Tapi aku bukan pelukis. Jadi apa yang harus kugambar?
Sepuluh menit kemudian, coretanku di buku gambar sudah selesai. Hanya gambar sebuah danau, dengan tangan kecil keluar dari air seperti menggapai-gapai sesuatu. tentu saja maksudnya ia tidak bisa berenang. Ia tenggelam.
Lalu aku menggambar seorang anak lagi, yang memakai jas hujan, tengah duduk menyandar ke pohon di tepi danau sambil menggambar. Tentu saja itu aku yang juga tidak bisa berenang hanya bisa menggambar.
Aku tersenyum. "Bu Kamelia pasti senang."
Loteng Kesengsaraan
Ibu Kamelia sudah melihat tulisan dan gambarku. Tapi tak sesuai harapan. Bukannya senang, ia malah mengurungku di loteng seharian.
"Kau dihukum karena pergi tanpa izin pagi ini dan juga..." ia melirik hasil tulisan dan gambarku, "jelaskan padaku nanti apa maksud tulisan dan gambar ini." jari jenjangnya menuding hasil karyaku.
Bu Kamelia pergi, mengunci pintu loteng dari luar, meninggalkanku.
Aku termangu memeluk buku tulis dan buku gambarku. Jas hujanku agak berembun, jadi kusimpan dekat jendela kecil loteng ini. Biar sedikit kena sinar matahari.
Loteng ini jelas jauh lebih sempit dari kamarku dan Karen. Tapi lumayan lah. Ada tempat tidur dan meja belajar, walaupun penuh debu. Beruntungnya, ada toilet kecil juga.
Aku tidak tahu harus apa. Jadi aku putuskan membersihkan debu di ranjang lalu berbaring saja sambil memikirkan kenapa Bu Kamelia marah. Tapi aku tidak terpikirkan jawabannya hingga aku ketiduran, meringkuk memeluk buku tulis dan buku gambarku.
Pukul 13.30 siang, suara pintu terdengar dibuka. Aku membuka mata perlahan untuk melihat langkah mantap Bu Kamelia masuk. Ia duduk di tepi ranjang, menungguku benar-benar bangun.
"Ikut Ibu," katanya lalu berjalan ke luar dari kamar loteng. Aku mengambil jas hujanku dan bergegas mengikutinya ke luar.
"Kau makan di sini saja," Bu Kamelia menyodorkan nampan berisi menu makan siang di atas meja kerjanya.
"Apa ruang makan sudah penuh jadi aku makan di sini?" tanyaku tak mengerti sambil menyendok sedikit nasi dan kuah sayur bayam.
"Tidak. Karena kau sedang dihukum, jadi belum kuberi kesempatan bertemu kawan-kawanmu," jelas Bu Kamelia sambil duduk tegap bersedekap.
"Juga Karen?" tanyaku lagi.
"Termasuk dia." jawabnya.
Beberapa menit berselang, aku hampir selesai makan. Baru saja hendak menyuap suapan terakhir aku teringat ingin menanyakan sesuatu.
"Kenapa anak itu mati? apa dia sakit?" aku bertanya sambil memainkan garpuku di potongan kecil jagung manis yang tersisa.
Tidak ada jawaban. Bu Kamelia masih diam sambil memperhatikan caraku makan.
"Habiskan. Baru kita bicara." tegasnya.
Akupun menyuap sesendok nasi dan jagung manis tadi. Nampanku bersih tak menyisakan sedikitpun sisa makanan.
Aku ingat, Mama selalu berpesan, hargailah makanan yang tersaji, jangan disisakan.
Ah, terkecuali hidangan otak mentah terakhir kali. Membuatku mual setengah mati.
"Loteng itu disebut loteng kesengsaraan. Beberapa anak kadang-kadang tak tahan setelah dikurung seharian di sana. Lalu menyesali perbuatannya dan tak berniat melakukannya lagi. Tapi kau..." Bu Kamelia tak melanjutkan ucapannya, padahal aku antusias menunggu dalam diam.
"Kau tampak baik-baik saja di sana. Bahkan tertidur pulas. Apa kau tidak menyesali perbuatan salahmu?" tanyanya lagi.
"Aku kan hanya pergi ke belakang rumah. Setahuku tak ada aturan aku boleh dan tidak boleh keluar di pagi hari. Apalagi ini kulakukan untuk menyenangkan hatimu, Bu," kataku.
Dahi Bu Kamelia mengernyit. "menyenangkanku?" tanyanya.
"Ya. aku menulis dan menggambar. Seperti keinginanmu. Bukankah itu bagus? Katanya kalau aku terpikirkan sesuatu bisa langsung aku tulis atau gambar? Lalu aku salah apa?" tanyaku heran.
Bu Kamelia berdiri. Nampak resah. Mondar mandir sambil memijit keningnya berulang-ulang.
"Danau adalah tempat terlarang bagi anak-anak di sini, Leya... Terlalu berbahaya. Dan kau melanggar aturan itu. Dan gambar itu..." jari telunjuk Bu Kamelia mengarah ke meja di mana hasil karyaku berada, "Seseorang baru saja meninggal dan aku sama sekali tidak tahu maksud tulisan dan gambarmu. Apa itu?" Bu Kamelia bertanya tapi nada bicaranya tak seperti bertanya.
"Ya anak itu.. dia sakit. Sudah lama. Tak tertolong. Tak ada yang ingin mengadopsinya juga. Meninggal dalam sakit dan kesepian. Tapi aku tak mau ia dimakamkan di sini. Makanya kuminta ia dimakamkan di pemakaman umum dekat Rumah Sakit Ibu dan Anak tempat dulu ia dibuang. Berempatilah sedikit, Nak." Akhirnya setelah menjelaskan panjang lebar, Bu Kamelia duduk. Memandangku penuh harap.
"Apa salahku? Danau itu baik-baik saja, aman. Tulisan dan gambarku juga tak ada hubungannya dengan anak yang mati kan? apa yang ibu khawatirkan?" tanyaku heran.
Bu Kamelia menghela napas.
"Jangan pergi ke danau, jangan menggambar dan menulis apapun lagi. Kalau tidak kau hanya akan meresahkan anak-anak lainnya," katanya mengambil hasil karyaku, lalu memasukannya ke map berisi berkas tentangku.
"Dan... jangan pernah menyebut kata "mati" lagi mengerti?" tegasnya sebelum menyuruhku keluar.
Malam Mimpi Panjang
Mama mendekapku. Hangat. Waktu itu usiaku baru menginjak 7 tahun. Pameran tunggal koleksi lukisan mama baru saja dibuka. Ramai di hari pertama, kedua, ketiga lalu mulai sepi di empat sisa hari berikutnya.
Tak ada lagi pelukan hangat Mama, juga susu coklat hangat yang biasa mama buatkan untukku sebelum tidur.
Yang kudengar di meja makan kini bukan lagi kisah kemacetan jalan atau kisah klien papa yang menyebalkan hingga mengundang gelak tawa. Hari-hari hanya diisi kemarahan Mama kepada Papa karena perusahaan tempat Papa bekerja bangkrut.
Mama juga selalu berteriak kencang soal rencana rumah dan mobil yang akan disita tahun depan. Aku tak paham apa itu.
Aku masih sekolah, kelas 2 menuju kelas 3 sekolah dasar, seharusnya. Tapi...
Mama mulai kehabisan uang dan tabungan. Papa apalagi. Akhirnya aku putus sekolah. Sehari semalam bermain di rumah saja. Sementara semua harta milik papa mama hilang perlahan-lahan.
Mama stres, papa apalagi. Tak ada lagi kalimat sayang yang kudengar setiap pagi dan malam.
Hari-hariku selanjutnya hanya diisi tangisan mama dan murungnya papa.
Jarang ada makanan tersaji di meja makan. Lampu-lampu di rumah pun kadang-kadang lupa dinyalakan. Sebulan. ya sebulan sudah kami lalui.
Aku saja lupa kapan terakhir kali makan? Tapi kadang-kadang ada tetangga baik hati menawariku makanan saat melihatku bersepeda di halaman. Pak Zay, sang petugas keamanan bahkan diam-diam sering memberiku kudapan dan uang jajan. Ia juga memompakan ban sepedaku jika kempes.
Ingin rasanya aku ikut dengan Pak Zay saja daripada sama sekali tak disapa di dalam rumah ini. Tapi tak ada tetangga, Pak zay pun bahkan, yang berani membawaku karena akan langsung diteriaki mama dari jendela lantai dua.
Papa tidak punya uang, tapi kulihat selalu mencuri waktu merokok sendirian di dalam kamar.
Mama juga aku tahu sudah tidak ada uang tapi kulihat suka masuk ke rumah lewat pintu belakang membawa keranjang belanjaan berisi sayuran.
Aku tidak bertanya karena mereka juga sepertinya lupa kalau aku, anak satu-satunya ini, masih ada dan hidup.
"Mama mau masak?" tanyaku suatu hari.
Mama terperanjat.
"Ah, Leya... mau makan apa? biar mama masakkan," sambut mamaku sambil menata sayuran.
"Apa saja yang mama masak pasti enak. Asal bukan daging," sahutku bahagia dari meja makan. Akhirnya ada secercah harapan.
"Ya sayang." mamaku menjawab sambil mengiris bawang. Tapi pandangan matanya kosong, menerawang bukan benar-benar memperhatikan jumlah irisan. Tak heran sesekali jarinya kena pisau. Setelah sadar sepenuhnya jarinya terluka ia baru mencari obat, kemudian memasak lagi.
Begitu seterusnya setiap hari.
Siang hari Mama akan pulang membawa seikat- dua ikat sayuran lalu memasak.
Jangan tanya rasanya! Entah bumbu apa yang mama masukan, aku pun tak paham. Rasanya aneh. Tapi aku tetap makan meskipun papaku muntah sehabis itu.
Aktivitas mama berlanjut terus hingga hari itu, hari di mana hanya otak mentah yang tersaji di meja makan. Konon karena Pak Sayur langganan mama katanya mati, ah, iya.. meninggal.
Waktu itu aku sengaja merangsek ke kerumunan, di hari orang ramai-ramai membicarakan Pak sayur. aku mendengar Pak Zay dan Polisi berbicara. mereka meyakini, Pak Sayur bukan bunuh diri.
Desas desus pun mengatakan, Pak Sayur terlibat pertengkaran dengan mama terakhir kali, diakhiri dengan matinya, ah tidak, kabar meninggalnya Pak Sayur keesokan harinya.
Aku tak tahu apa yang Mama lakukan sebelum Pak Sayur tiada. Yang kutahu hari itu ia keluar rumah lalu pulang membawa otak mentah. Yang jelas setelah papa selesai dikubur, aku tak pernah melihat Mama lagi. Apakah aku rindu? aku pun tak tahu.
...
"Kaleya...! Kaleya!" aku terbangun karena sebuah suara samar yang awalnya jauh terasa dekat memanggilku disertai tepukan pelan di pipiku. Aku membuka mata. Bukan di rumahku. Ini di kamarku di Rumah Asuh.
"Karen, ada apa?" tanyaku sambil mengucek mata.
"Kau berisik sekali. Tidurmu sambil mengigau," katanya sambil menutup kedua telinganya.
"Benarkah?" tanyaku penasaran, "Apa yang aku katakan saat tidur tadi?"
"Kau menceracau tidak jelas soal mama, papa, uang, otak, sayur, daging dan lain-lain yang aku tak paham. Kupikir kau sedang baca mantra tadi. Membuatku takut saja." jawab Karen kemudian.
"Benarkah?" aku masih tak percaya aku mengigau. Tapi langsung mengambil buku tulis yang diberikan Bu Kamelia.
"Hey, bukankah kau dilarang menulis atau menggambar lagi?" tanya Karen.
"Tidak apa-apa. Bu Kamelia hanya akan marah dan menyita tulisanku lalu memasukannya ke dalam map," jawabku enteng.
"Kau memang aneh." Karen enggan mendebatku. Ia kembali menarik selimutnya dan tidur karena waktu masih menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Mama. Papa. Uang. Sayur. Daging.
aku mengabadikan igauanku saat tidur ke dalam tulisan. Aku tidak mengerti kenapa aku mengigau tapi aku ingat habis bermimpi bertemu mama.
Ah, bagaimana rupa mama di mimpiku tadi? apa aku harus menggambarkannya juga?
Aku pun mengambil buku gambar dan mulai membuat bentuk wajah yang tak beraturan.
"Kemudian rambut mama, mata mama, hidung, mulut, dagu, ah... jeleknya..." Tentu saja karena aku tak berbakat, jadi hasil gambarku jelek sekali.
...
Pukul 08.30 para anak asuh tengah menerima materi pelatihan berkebun. Tapi aku sendiri hanya ikut sampai praktik memilih pupuk, karena keburu kedatangan tamu.
"Pak Zay!" seruku dari kejauhan dan berlari ke arahnya.
"Kau baik-baik saja di sini?" tanya Pak Zay setelah melihatku duduk tenang di ayunan. Barulah ia memberikan setoples permen rasa buah.
Aku mengangguk, "Terima kasih, Pak. Aku baik. Tapi sering bermimpi, Pak... dan itu membuat Karen, teman sekamarku terganggu," lanjutku.
"Bermimpi apa sampai bisa mengganggu temanmu?" tanya Pak Zay.
"Aku tak begitu ingat tapi rata-rata tentang mama. Dan Karen, teman sekamarku terganggu karena aku mengigaukan banyak kata," jawabku sambil membuka sebungkus permen.
"Memangnya kau mengigau tentang apa?" Pak Zay masih belum pahami benar masalahku, tapi ia antusias.
"Ini. Bacalah, dan lihatlah," aku menyerahkan dua kertas yang tadi malam kumasukan ke kantung rok. satu kertas berisi tulisan igauanku dan satu lagi hasil gambarku.
Mata Pak Zay membelalak setelah membukanya. "Kau tidak memberitahukannya kepada Bu Kamelia?" tanyanya sembari menutup kembali dua kertas itu dengan tangan sedikit bergetar.
"Aku tidak mau memberikannya karena terakhir kali aku menggambar dan menulis, Bu Kamelia marah dan menyelipkan hasil karyaku di map, bukan dipajang," jawabku sambil membuka satu bungkus permen kedua.
"Baiklah, ini Bapak simpan ya... kau kembalilah berkebun. Nanti Bapak akan memanggilmu lagi, oke?" Pak Zay menepuk bahuku. Aku mengangguk dan kembali bergabung dengan teman-temanku di kebun samping rumah asuh, tanpa tahu setelah itu Pak Zay menemui Bu Kamelia.
Selesai pelajaran berkebun, Bu Kamelia memanggilku untuk kembali menemui Pak Zay.
"Kau ikutlah dengan Pak Zay. Ia akan mempertemukanmu dengan seseorang," kata Bu Kamelia sambil merapikan kerah kausku.
"Apa aku akan bertemu Mama?"
Bu Kamelia telah kembali ke belakang meja kerjanya tanpa menjawab pertanyaanku.
"Kaleya, ayo berangkat!" suara Pak Zay memecah hening. Dan aku masih penasaran siapa orang yang akan kutemui hari ini.
Description: Kaleeya anak kecil yang istimewa. Ia anak tunggal dari pasangan suami istri pengusaha dan seniman. Seiring kebangkrutan yang dialami sang ayah dan depresi yang dialami ibunya, Kaleya justru tumbuh menjadi anak yang kebal dari trauma. Namun sikapnya di keseharian membuat orang-orang justru ketakutan padahal Kaleya merasa ia bersikap biasa saja. Benarkah Kaleeya tak menyimpan memori buruk apa-apa?
|
Title: Risau Rasaku
Category: Puisi
Text:
Melepasmu
Aku ingin melupakanmu seperti cemara menanggalkan dahan keringnya
Aku ingin melepasmu seperti kura-kura kecil menggapai samudera
Tanpa prasangka dan pura-pura
Tanpa pretensi, berlimpah atensi
Tanpa sumir, menisbikan sia-sia
Alir alur alam terbenam
Keselarasan tanpa pemaksaan
Keniscayaan tanpa penyesalan
Aku ingin melupakanmu seperti melati meluruhkan wangi
Demi pagi berseri di hati pencinta sejati
May 10 2010, 8:57 AM
Kiamat
Ketika kemarau tak lagi menanti badai kelam berawan
Cerdik pandai tak sudi berbagi
Kaya-raya canggung dalam enggan tertahan
Dan sang pencinta tak lagi merindukan kekasihnya
Tiba saatnya tunas-tunas bumi mati
Ilmu diangkat kelangit tanpa pamit
Cinta nelangsa terbengkalai
Dan bait-bait syair pun mubazir
Hidup tinggallah helaan nafas, terengah tanpa hikmah
Hasrat yang semburat tak sempat tertambat hakekat
May 10 2010, 8:59 AM
Bidadariku
Dalam amuk badai ketidakpastian, aku bersamamu
Ketika terancam sesal mengambang, senyummu kembali membayang
Lekat tersemat dalam hasrat yang ‘tlah lama tamat, menghempaskan rindu yang lalu-lalu
Melompati masa tanpa terasa, hanya riang melayang
Di balik hujan kusadari teduhmu, yang tak mungkin terganti bidadari terjanji
Muliamu melampauinya, justru karena engkau perempuan apa adanya
May 10 2010, 9:06 AM
Senyummu
Renyah senyummu di pagi ini
Meringankan beban yang membayang
Sumringah wajahmu yang berseri
Mengusir cemas dan bimbang
Daud yang siap menantang Jalut
Menaklukan apa saja yang menghadang
Memenuhi rongga dada dengan tekad
Berdegap dalam tabuh genderang
Menjemput purnama di tepian cakrawala peradaban
Dan meletakkanya di pangkuanmu yang bergelimang kedamaian
May 10 2010, 9:17 AM
Hasrat
Aku hanya ingin menyimak derai gerimis
Yang dirindu ronga-ronga tanah
Mengendap berkah berlapis-lapis
Memfosil cinta berlian berbongkah
Berfoya-foya dalam kesetimbangan
Menghambur-hamburkan kebimbangan
Berharap semerbak bumi berterbangan
Mengusir roh-roh jahat gentayangan
Aku hanya ingin mencumbui aroma gerimis
Yang dirindu perawan-perawan gundah
Membuai mimpi-mimpi tak tertepis
Mengayun hasrat bidadari tak terjamah
Bercengkrama dalam keriangan
Menertawakan kegamangan atas kemalangan
Berharap semburat wangi kesayangan
Mengusir mantra-mantra kebohongan
May 10 2010, 10:26 AM
Hening Semesta
Bersyukur aku tercekat pekat
Terbelenggu hening berdenting
Terjerat senyap mendekap
Bukan terhenti apalagi mati
Hanya mengalir tanpa bersyair
Hanya terhanyut tanpa terlarut
Adakalanya gaduh sela bukan seluruh
Riak mengombak walau lebih sering tak tampak
Amuk badai sesekali, sudah itu damai menyelimuti
Dan aku melayang di tepian semesta yang mengembang
May 10 2010, 10:30 AM
Tertawan
Di gemericik gerimis aku meracik
Serpihan rindu yang tercabik
Polah diammu yang mencekik
Pujaku pun sirna
Meluruh entah kemana
Dan segala menjelma biasa
Terkepung hampa mendera
Lebih sial dari sekedar binasa
Tertawan penasaran tanpa tanda
Semestinya pada seikat mawar aku manawar
Demi kehormatan tak tertampar
Atas abaimu yang hambar tersamar
May 10 2010, 6:22 PM
Jengah
Jengah kudengar orang mengeluh jenuh
Tak mungkinkah baginya segera beranjak ‘tuk berpeluh?
Berkeras hati demi cita terengkuh
Menatap lurus ke depan tanpa angkuh
Menjejakkan eksistensi diri yang kukuh
Walau semesta esok ‘kan runtuh
May 10 2010, 6:30 PM
Sapaku
Ketika mendung tak berarti hujan
Dan kerontang bukan pertanda kemarau panjang
Aku bertanya pada hatimu
Masihkah aku abai dalam buai mimpimu?
Tatkala kupu-kupu tak lagi membuahi putik sari
Dan capung sudah enggan mengapung di telaga canggung
Aku menyapa rasamu
Tentang rentasan cita kita bersama
Yang tak perduli kata orang
Yang tak risau dengan hasil
Melangkah tanpa ragu membayang
Berniat dan berbuat terbaik bagi semua
Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
Saat semilir angin gunung tak kuasa mengusir gusar
Dan deburan ombak tak membuat galau beranjak
Aku mulai menetapkan hati
Bahwa hidup harus terus dijalani, dan tak akan bunuh diri
May 10 2010, 8:32 PM
Terkoneksi
Dengan cemas kudekap ketiadaan
Khawatir dia menguap tiba-tiba
Abaikanku tanpa pamit
Yang terhimpit seulas senyuman pahit
Terperdaya sejahtera dalam kelimpahan
Tertimbun hasrat berlapis-lapis
Rayu pikir dan angan-angan
Selalu ramai oleh usik hidup tak berakhir
Ketakutan abadi seorang abdi
Sebab tak terkoneksi
Dengan Yang Maha Mutlak dan Abadi
Dimana ketiadaan ada bagi Dia
Dan sama sekali tak butuh keberadaan
Menyumirkan batas antar keduanya
Atau batas itu tak sungguh ada
Mengelupas makna dari sia-sia
Muasal utama dan ultima
May 10 2010, 8:39 PM
Syukur
Kembang turi berseri-seri
Tertiup angin menari-nari
Bunga mawar berbinar-binar
Diterpa mentari merekah-mekar
Sedap malam tertunduk dalam diam
Ditemani purnama menghalau galau dendam
Sekuntum kenanga di tepi telaga
Jatuh tersungkur dalam damai syukur
Ia percaya ikhlas itu tak perlu terukur
Hanya terakui dan terhatur
May 10 2010, 8:42 PM
Terjebak
Terdesak sesak tak tampak
Tersudut tak bisa beringsut
Terpenjara di kilasan peristiwa
Tertimpa dekapan rasa
Tertahan gelayutan beban
Terhimpit di dimensi sempit
Terikat maklumat terlambat
Terkapar tampar tatapmu yang binar
Beningmu menyerapku
Lembutmu melumatku
Menguraiku hingga tercerai-berai
Menyeruak lenyap mensenyawamu yang menjebak
May 10 2010, 10:15 PM
Rama-rama
Dangkal akal aku menyangkal
Dalam dendam aku mengecam
Pada pesonamu yang tak terengkuh
Persetan peluh melumuri keluh
Mengaduh hingga gaduh
Terkoyak, tercabik dan tercekik
Seperti rama-rama penghisap putik
Semoga sempat terbuai, tak hanya layu terkulai, sudah itu mati
May 11 2010, 7:32 AM
Bodohmu
Jumawa penuh polah dalam pongah
Sumringah dalam gundah tak terbantah
Menipu sekitar dengan gusar
Memperdaya diri sendiri tak tersadari
Berharap bahagia tak kunjung tiba
Padahal semua sudah ada di depan mata
Kesia-sian pesona warna karena buta
Gila sanjung tersandung
Tak cukupkah hanya dengan syukur terhatur?
Nyaman berdamai dengan senyap sepi yang menghampiri
Bukan, bukan mereka yang menyembahmu, namun engkaulah yang menghamba
Terpaku memuja akumu dalam absolut bodohmu
May 11 2010, 7:43 AM
Sang Demonstran Dua
Negeri ini sebenarnya indah
Namun terlampau banyak bedebah
Dan penipu yang singgah
Bangsa ini sebetulnya kaya
Tapi terlalu banyak aniaya
Dan serakah para penguasa
Kecewa, marah, dan dendam menganga
Melibas bangga yang tersisa
Menepuk dada yang tak lagi perkasa
Menakar cinta dengan sejuta prasangka
Menipu malu tanpa ragu sempat menunggu
Terjerembab galian sendiri keledai dungu
Para demonstran yang wajahnya lebam hantaman
Dihajar para satpam, preman dan buzzer suruhan
Sudah itu ditahan dan dikecam
Terhina di penjara tanpa nama, tertelan gulita malam
Kalau pun dia benar, kita pun ‘kan lupa
Lalu mengukuhkan penguasa lalim berikutnya
May 11 2010, 8:09 AM
Mengenangmu
Mengenangmu aku bahagia
Tentang ikhlas dalam gelisah yang pertama
Pada lambungan angan menjelang dewasa
Ketika hasrat tak butuh logika
Pencarian belahan jiwa tanpa peta
Kemurnian asa menggapai sempurna yang tersedia
Yang terdampar di belantara ruang dan masa
May 11 2010, 8:06 PM
Harmoni
Ceria menyapa warna
Cerah pelangi, terikat putih
Mendekap ramai dalam damai sunyi
Gaduh halilintar, teredam diam yang liar
Ikhlas hanyut setarikan nafas terlarut
Selaras timpang dalam kesetimbangan kurang
Menerima ketika berbagi bahagia
Walau dalam derai duka melanda nyaris tanpa jeda
May 12 2010, 7:13 AM
Tersungkur
Pongah menengadah sumpah serapah
Tegar berdiri di atas kaki sendiri
Tak terima tegur atas salah yang terlanjur
Tak terima sapa atas alpa yang tercipta
Tak sudi tertunduk atas nama makhluk
Berjalan semaunya
Hidup seenaknya
Sombong terus melambung
Malas enggan terlepas
Iri tak jua pergi
Curang tak bisa terkekang
Dan sekali hentakkan
Semua runtuh luluh berbalur peluh
Dan semoga masih tersisa sesal selepas keluh yang kemarin
May 12 2010, 7:37 AM
Terapung
Bukan pada susah aku gundah
Tak pula pada duka aku kecewa
Namun terhadap senang mengambang aku bimbang
Terhadap gembira terpana aku berprasangka
Terlampau lemah menghatur syukur
Terlalu takabur untuk sujud tersungkur
Terapung di fana dunia
Terhuyung di pertikaian keyakinan
Tak jua diri terdampar hakekat
Agar sesal tak perlu melayat
May 12 2010, 7:48 AM
Kabur
Melebur dalam kesejatian kabur
Uzur asa sebab pukulan makmur
Berbalur duka tak henti menggempur
Hidup melantur semburat timur
Tak terima matahari pasti terkubur
Lengser ke barat tak dapat diundur
Karenanya laku lebih penting dari sekedar hatur, pitutur luhur atau bahkan pencapaian umur
Hakekat ini telah lampus terlebur
Dan aku tak akan kabur hanya karena kabur yang menghambur
May 12 2010, 7:51 AM
Perempuan Harum Biskuit
Duhai perempuan harum biskuit
Wangimu membuat hasratku bangkit
Naluri para lelaki kaki langit
Menyeruak menyibak tabir-tabir
Memberontak menanggal belenggu-belenggu
Menengadah melantun doa-doa
Meluruh sintesa marifat-marifat
Merangkai rasa berbulir-bulir
Menyatu rindu berliku-liku
Mendekap erat makna-makna
Merengkuh serpihan hakekat-hakekat
May 12 2010, 7:56 AM
Dendammu
Marahmu meluruh dalam gaduh
Berhamburan debu panas gunung berapi tertahan meletus
Dendammu terpendam sedimen permanen
Bertumpuk fosil dan bebatuan perut bumi
Sesungguhnya kau tetap marah
Sebenarnya kau masih melipat dendam
Bukan padanya kau kecewa
Tapi lali diri yang tak terpahami
Bukan pada kemarin engkau kecewa
Namun pada hari ini engkau tak kuasa
Dan pada esok kau menitipkan prasangka
Bersembunyi di rongga-rongga peristiwa
May 12 2010, 11:10 AM
Hening
Hening ini menyiksaku
Mengepung sadarku dengan hampa
Menghantamku dengan kekosongan
Aku tercekat
Sesak mendesak
Kepala dan dada hendak meledak
Melontarkan semua bongkahan tertahan
Atas semua keharusan-keharusan
Yang memalu bertalu-talu
Aku rindu ramai itu
Menari-nari kurcaci bernyanyi
Sorai bidadari meniti pelangi
Yang mengantarku melayang riang
Bersama memetik bintang
Selepas sang surya tak lagi meninggalkan bayang
May 12 2010, 11:17 AM
Bersenyawa
Aku larut sempurna dalam hening penciptaan
Musnah dalam putaran penyatuan
Kesejatian kehadiran kesadaran
Dalam perjalanan pemahaman
Bahwa semua bukan tentang kebutuhan atas keinginan
Tapi ujian penyikapan atas kehidupan
May 12 2010, 11:21 AM
Munajatku
Aku mendekam dalam diam mencekam
Sekam kelam gulita malam
Tergegas lepas, terurai lengas beringas
Terik tercekik rindu tak tertampik
Aku termangu di ujung waktu
Menunggu kamu menjemput hatiku
Bersenda-gurau dalam peradaban yang balau
Terpontang-panting anting si janda ting-ting
Asal melangkah tak perduli arah
Melempar gundah, nyaris menyerah
Menyusuri rekahan jiwa yang menganga
Munajat lega yang semoga ‘kan tiba
May 13 2010, 5:20 AM
Kesadaran
Aku tak mau kehilangan lagi
Walau sebenarnya aku tak pernah memiliki
Hanya selintasan terpinjami
Dalam hidup, mencoba menjamah mimpi
Ketakrelaan adalah belengggu
Penyiksaan gada bertalu
Berdentang irama jantung melaju
Bersikeras menggenggam erat-erat yang harus berlalu
Baik dan buruk pasti diakhiri
Lalu apalagi jika cuma begini?
Kependekkan akal manusiawi
Terpenjara desiran hasrat rayuan gundah hati
Tak ada guna segenap pencapaian
Bila ia tak memperbaiki pemaknaan
Penyikapan atas segala penciptaan
Sebab di tepiannya adalah pemusnahan
May 13 2010, 10:15 AM
Sempurna
Hanya pada cerah suka terpelihara
Teruntuk bahagia syukur terhatur
Terima kasih bagi kejayaan bawaan
Karena mendung itu canggung
Duka hanya membawa sungkawa
Kegagalan bukan bagian kehidupan
Hingga diri terjebak
Belenggu prasangka tak tertebak
May 16 2010, 12:35 AM
Ikhlas
Mampus tatkala pedang pongahmu terhunus
Menggelepar bertabur sekar menyamar
Tak tersisa lara, apalagi luka
Brutal tertelan bual
Dia hanya mekar bersama kelakar
Lepasan jujur tanpa anggur
Menyusuri alir dan alur umur
Tutur dan laku luhur dengan niat baik berbalur
May 17 2010, 10:28 AM
Kangen
Kangen itu tak butuh indah
Hanya kejujuran tak tercegah
Akan hasrat bergejolak
Pada kenangan yang sempat tertegak
Mabuk rasa yang terhalang
Kerdil diri yang membayang
Kenapa tak kubawa saja dirimu pergi
Demi tautan hati yang terlanjur terpatri
Bukan lari dan bersembunyi
Untuk sesal tak terhindari
May 17 2010, 10:31 AM
Menengok
Aku berjingkat melompati samudera
Terpeleset pelangi di tepian cakrawala
Tertatih aku terkilir
Di ujung desa dipaksa mampir
Menikmati angin semilir
Dan anak sungai mengalir
Juga pemuda kekar mengamuk
Roh leluhur yang merasuk
Tak suka perlakuan dan perilaku kita
Yang tak pernah hirau dan bijaksana
May 18 2010, 12:06 AM
Memahami
Terpelihara luka aku menyapa
Atas lupa yang tak kuduga
Kala tawa membahana
Pada arti kata dan makna
Tertipu maksud yang tak surut juga
Sabotase peran dalam perjalanan kita
Meniti tiupan angin semata
Menyusuri tepian cakrawala
Nyatanya aku tetap di sini, kau disana
Menghamburkan kata-kata
Meludah makna tanpa sisa
Untuk bisa terdiam dan paham
Tanpa perlu lagi mengecam
Dan merajam masam yang memang t’lah kusam
May 18 2010, 7:36 AM
Prasangka
Duhai jiwa yang gelisah
Polahmu menghadirkan resah
Mekar melati yang merekah
Mewangi di pagi yang bertabur berkah
Mematunglah sejenak
Biarkan nasi itu tanak
Karena semua hendak beranjak
Bapak yang harus membajak
Kakak yang terpaksa merompak
Dan adik yang merangkak
Dengarkan saja ceriwis burung gereja itu
Mematuk mentari sebelum meninggi
Sudah itu dia berlalu
Untuk kembali esok hari
May 18 2010, 7:53 AM
Tuntas
Tak lagi meranggas, apalagi beringas
Hanya sesekali mengipas, di sela helaan nafas
Melayang seringan kapas
Diterpa angin dia lepas
Tak butuh selimut dan alas
Tak lagi terbatas
Karena dia telah tuntas
Menjadi insan yang pantas
Atas surga yang luas
Yang mengalir sungai madu dan susu deras-deras
Walau ia hanya sebutir beras
Yang tertempa dingin dan panas semenjak tunas
May 18 2010, 7:59 AM
Padamu
Padamu, aku terangsang mencumbu santunmu
Berhasrat melumat setiamu
Menatapmu menundukkan keakuanku
Dalam dekapan teduh jiwamu
Sayap Jibril melingkupi dunia
Hanya memeluk, tak hendak memaksa
Ikhlas pada pengakuan
Pengakuan atas keterbutuhan
Tak kuasa menolak ajakmu
Menapaki dunia kita
May 18 2010, 11:04 AM
Senggang
Kala senggang aku melengggang
Menerawang dan melayang
Menyapa elang, menumpang layang-layang
Membuat awan tunggang-langgang
Tapi janganlah mabuk kepayang
Sungguh tak elok sadar yang menghilang
Engkau tak lebih serbuk ilalang
Tanpa menyentuh tanah, engkau meradang
Tak usahlah menantang petang
Ditinggalkannya, eksistensimu meregang
Tertimbun malam, engkau sekedar bayang-bayang
Tak tersisa pilihan kecuali menunggu pagi menjelang
Ketahuilah duhai para pendendang syair usang
Bahwa senggang adalah berkah yang bimbang
Sikapilah dengan hasrat yang tertimbang
May 18 2010, 8:10 PM
Nirwana
Negeri di atas awan
Dewa-dewi yang anggun menawan
Bercengkrama dalam buai rayuan
Tempat bersemayam semua impian
Suarga loka yang ceria
Berkumpulnya jiwa-jiwa bahagia
Yang tersisa hanya lega
Selepas perjuangan di dunia
Aku sangsi dia hanya ada di sana
Di hatiku juga merasa
Damai diri dalam samsara
Tak perduli di alam yang mana
May 19 2010, 9:57 PM
Tersadar
Pengetahuan itu membuatnya pandir
Terdesak hingga ke pinggir
Tak secuil pun yang sudi parkir
Atau setidaknya sejenak mampir
Maka dia pun berhenti berpikir
Tentang segala yang punya akhir
Karena dia telah tiba di titik nadir
Dia pun hanya menikmati angin semilir
Sekedar mengalir dan sesekali mengukir
Agar tak menyesal sudah terlahir
May 19 2010, 10:06 PM
Merapuh
Merapuh kembali aku luruh
Dalam dekapan ceria
Burung gereja
Bercengkrama dengan senja
Melupa dunia yang gemuruh
Pelangi pun cemburu
Dan merayu hujan yang ditunggu
Hujan pun berharap
Dan memohon telaga rela menguap
May 22 2010, 9:19 AM
Lega
Aku hanya ingin lega ini tak melena
Bahkan jangan pula lama
Karena tak ada dia tanpa sesekali dahaga
Kita masih di dunia, bukan di surga
Cukuplah dia menghadirkan tawa
Membasuh letih yang mendera
Dan asa masih tersisa
Untuk esok yang masih menyapa
Atas rehat yang tertunda May
23 2010, 1:23 AM
Bapak
Dituntun usia, kau terbata
Diterpa tanggung jawab, kau tetap tegap
Menjalani lakon hidupmu
Dan itu semua adalah tentang kami anak-anakmu
Tak tersisa ruang untuk diri sendiri
Dan sebenarnyalah kau tak peduli
Asalkan kami mampu berdiri
Dan berlari menyambut hari
Niscaya hidupmu tak pernah kau sesali
May 23 2010, 9:39 AM
Berkah
Petaka dengki, dihadapi lari, bersembunyi di balik ketiak ibu tiri
Bencana kutu loncat, dicegat dia melompat, berjingkat hanya mengikuti hasrat
Prahara marah, dicegah dia menghantam bak air bah, sudah itu menyerah, dan kalah
Terpujilah engkau rela hati, ternikmatinya hidup bersama senyum sang mentari
Mewangilah engkau hikmat, terbayar sudah hutang amanat hayat
Semburatlah engkau jiwa yang ramah, karena cerah tak ternoda gundah
Lari ibu tiri melompat hasrat
Dia menghantam bak air bah, dan kalah
Rela hati sang mentari, hikmat amanat hayat
Engkau jiwa yang ramah, tak ternoda gundah
May 23 2010, 9:42 AM
Bebal
Kita memang kebal
Dihantam krisis kita mental
Kita juga bebal
Setelah kolonial kita tetap feodal dan tertinggal
Globalisasi tak lebih dari gaya hidup transaksional
Mengunyah renyah modernisasi dan demokrasi bagai menyantap McDonald
Kita telah kehilangan loyal
Daya khayal dan juga ideal
Luruh bersama senja yang tertawa binal
May 24 2010, 8:23 AM
Meranggas
Meranggas aku hingga nyaris tewas
Melapar aku hingga menggelepar
Merintih aku tertatih
Tapi aku harus tetap melangkah, walau terkadang goyah dan lemah
Sesekali aku berhenti
Dan tak mungkin kembali
May 24 2010, 10:08 PM
Desiran Hasrat
Butiran kristal menyapa kelopak mawar
Yang berdesir hempasan gelombang pasang purnama berpijar
Bersama kunang-kunang melenyapkan lengas gulita malam
Tersedak sesak tarikan nafas bumi yang berat dan dalam
Lelaki lusuh burjubah hitam
Mengayun langkah hentakan berdentam
Pelampiasan rindu kelam kekasih terpendam
Terburu henyak, takut 'kan padam
Anak gadis manja pemuja butiran kristal
Dongkol tak terurai, dia pun kesal
Kekasih tolol berulah berandal
Tak paham desiran hasrat perawan binal
Dan bumi terdiam
Mengurai nafas, menikmati malam membantai kunang-kunang
Yang ditinggalkan purnama menunaikan dendam
Pada kelopak mawar yang berselingkuh dengan butiran kristal melayang
May 25 2010, 8:27 PM
Terlambat
Memandang teduh wajahmu, memaksaku berdamai menentramkan diri
Menatap bening matamu, memaksaku memungut serpihan hati
Menyaksikan binar senyummu, memaksaku menahan nyeri tak terperi
Hasrat yang terlanjur tertambat, hadirmu yang terlambat
May 26 2010, 9:56 AM
Gugur
Bila hujan tak lagi menyejukkan, biarkanlah embun yang melakukannya
Jika angin tak mungkin lagi menerbangkannya, relakan matahari yang menguapkannya
Dedaunan gugur, demi tunas yang ‘kan tumbuh
Melewati hari demi bumi yang menanti, bukan sekedar diri tak bertepi
Hanya dengan ini semua berarti, memberi adalah memiliki, dan kau bukanlah segalanya
May 26 2010, 9:58 AM
Terdesak
Terpurukku di sini
Meratapi esok yang tak tergapai
Mencaci kemarin yang tak terbeli
Menanggalkan hari ini yang tak berarti
Terdesak oleh bayang
Dihantam waktu hingga meradang
Akhirnya kupilih melayang
Menemani elang kembali ke sarang
Tanpa minat, tanpa kesumat
Kurasakan hidup begitu nikmat
May 28 2010, 9:46 PM
Menyingkir
Menyingkir belum tentu tersingkir
Hanya mampir di pinggir
Mengamati yang sedang mengalir
Menyelinap yang sedang berfikir
Bukan mangkir, apalagi kikir
Hanya Sadar mana yang akhir
Dimana target terparkir
Dan diri kembali terlahir
Dari rahim fitrah takdir
Tanpa anyir berbalut cibir
May 28 2010, 10:11 PM
Melangkah
Lalu aku dan kamu
Berjalan tanpa berpaling
Menadah cita, tak hiraukan luka
Menebus maaf, melupa salah
Menemani angin berhembus
Menabur sari, menyemai benih
Bukan demi pemakluman kemarin
Tapi esok yang ‘kan terjalin
Padaku dan padamu
May 28 2010, 10:15 PM
Getir
Merupa pilu tawa petaka
Dalam derai rona dunia
Dihantam takdir meremuk sukma
Dihantar beribu tanya
Entah kepada siapa dia menyapa
Tak peduli kerasnya makian
Bergumul dalam takluk keadaan
Merenggut yang tersisa, sebutir harapan
Segalanya sunyi ditelan terpaan
Sang waktu yang terus berjalan
Tiada guna lagi melawan
Hanya membuat diri kian tertawan
Dalam bujukan hasrat semakin rawan
Menggulung hamparan penerimaan
Dan menyia-nyiakan segenap kesempatan
June 1 2010, 4:17 AM
Mendekapmu
Mendekapmu ku merasa lega
Bahwa engkau tergapai
Tapiku bikin kau kecewa
Karena aku tak juga mengerti
Kau butuh aku, bukan saja kuperlukanmu
June 5 2010, 3:16 AM
Luruh
Lirih kuakui aku t’lah luruh
Dalam dekapmu aku runtuh
Lemah kuakui aku t’lah kalah
Di bawah tatapmu aku menyerah
Mekarmu bersama tangkai cendana
Dan aku hanya mampu menduga
Meranum ditemani delima
Lirih dalam lemah di bawah mekarmu, aku meranum
June 5 2010, 3:29 AM
Kerdil
Raja katak perkasa
Bertahta di singgasana
Berkuasa dengan jumawa
Urusan yang lain, dia lupa
Melompat dia ke kolam
Dalam jambangan teratai berpualam
Berwarna kelam tertelan malam
Di bawah rembulan yang temaram
June 15 2010, 9:55 AM
Lembayung
Adakalanya jangan kau usir mendung
Hanya membuat matahari tersinggung
Tak hendak menjumpa samudera murung
Iri dengki pada lembayung
Harusnya tergantung, malah membusung
Indah diri, pesolek agung
Sejenak mematung, sudah itu mutung
Tertiup bayu atau tertelan gulita memasung
Padahal kerja belumlah rampung
June 15 2010, 10:03 AM
Tipuan Imaginasi
Merasa bisa merasakan sensasi terbang seekor elang
Walau tak pernah punya sayap
Memimpi bisa memimpikan gairah kuasa raja diraja
Walau tak pernah duduk di singgasana
Mengira bisa mengirakan nyaman menghuni surga
Walau tak pernah tahu hasil hisabnya bagaimana
Membayang bisa membayangkan nikmat ibadah
Walau tak pernah menggenggam ikhlas
Tipuan licik imaginasi insani
June 20 2010, 11:45 AM
Compang-camping
Compang-camping pikiran miring
Tergusur perih, dia pun menyingkir
Mondar-mandir rayuan nyinyir
Seorang sufi pun dibuatnya sinting
Jungkir-balik fakta dan fitnah
Hanya yang terberkati yang selamat
Terkulai lemas di tengah pusaran, berharap berkah
Sungguh, sama sekali bukan karena diri yang hebat
June 21 2010, 5:51 AM
Indonesia
Ini bukan tentang gilang-gemilang Nusantaranya Gajah Mada
Tapi tentang mental busuk internal pemicu Perang Paregreg
Ini bukanlah tentang mengutuk penjajahan berabad-abad Belanda
Tapi tentang bodohnya kita yang tercerai-berai
Ini bukan pula tentang semangat berdikarinya Soekarno
Tapi tentang pengkhianatan yang menjungkirkan cita-cita bangsa
Ini juga bukan tentang makian atas kooptasi rejim Soeharto
Tapi tentang kita yang senang dinina-bobokkan
Dan ini bukan tentang pepesan kosong reformasi
Tapi tentang lemahnya kita yang terombang-ambing arus globalisasi
Ini adalah tentang kita yang tak jua bangun dari buaian berkah
Negeri makmur, jamrud khatulistiwa
June 21 2010, 5:59 AM
Muaraku
Ini hanyalah luapan gundah
Yang menyeruak mencari muara
Untuk bisa mengendap
Diam dan diabaikan
Sedimenku hanya terpaku
Menetap dalam kurun waktu
Hingga suburku menarik perhatian
Penghuni bumi yang berharap berkah
Atas sayuran dan buah-buahannya
Pada ikan dan binatang ternak yang menggembirakan hati
June 28 2010, 7:11 AM
Cerah
Menjemur mimpi di sela-sela awan
Mengeringkan gundah dan lelah hati
Meredam aku yang terus melawan
Menggapai segala hakiki di balik kodrati
Datanglah cerah, usirlah semua gerah dan payah
Membiru menyeruak menghalau pilu dan kelabu
Membahana jauh meninggalkan duka dan lara
Tinggi melambung tanpa pernah lagi berkabung
Karena aku tak punya apa-apa
Pertanggunganku hanya padaNya
June 28 2010, 7:13 AM
Bunga Ilalang
Sebutir sari bunga ilalang terbang melayang
Diterpa angin, ia pun menyingkir
Mengadu pada matahari dan langit
Di tepian cakarwala ia tersesat
Terhanyut di pusaran bintang runtuh
Dimana ruang dan waktu tak lagi berarti
Dan sebutir sari bunga ilalang masih mempertanyakan makna diri
June 28 2010, 7:20 AM
Jenuh
Cintaku tak sedang luntur
Kagumku padamu tak mungkin terkubur
Terpatri abadi di dalam hati
Bersemayam di relung maknawi
Pancaranmu tetap mempesonaku
Menuntunku dalam gulita dunia
Majalani lakon hidup yang berliku
Bersamamu hingga ujung usia
Namun, jenuh ini begitu menderaku
Ijinkan aku menyendiri
Bercengkerama dengan diri sendiri
Hingga nanti aku kembali
Kuharap engkau masih menanti
June 29 2010, 11:11 PM
Mencintaimu
Mencintaimu bukan karena pesonamu
Istimewamu tak perlu diragu
Muliamu adalah suratan takdir
Teduhmu tak terjamah kata-kata
Keniscayaan kerena hadirmu
Aku terharu dan bersimpuh bukan kerena itu
Tapi penerimaanmu atas dirikulah musabab cintaku
June 29 2010, 11:14 PM
Pensiun
Nyamannya bermain catur
Menyaksikan negara telah diatur
Oleh generasi bau kencur
Tak perlu was-was menjadi mundur apalagi hancur
Lihatlah segenap rakyat telah makmur
Sungguh nyamannya bermain catur
Sambil ngelantur menikmati sisa umur
Singapore, June 29 2010, 11:19 PM
Lapang
Tak selamanya lapang bermakna tanpa batas
Bukan keharusan pula berarti berkesinambungan
Dan tak mesti merujuk pada kepastian
Sebab hidup adalah permainan
Nasib terselip di saku tanda tanya
Esok riang bercengkrama dengan rahasia asa, terima, dan puja
Adalah lika-liku-laku hidup yang harus dijalani
June 29 2010, 11:21 PM
Nyalaku
Kalian bisa saja mematahkan tulang rusukku tapi bukan hatiku
Meremukkan batok tengkorakku tapi tidak dengan otakku
Kerena di sanalah api hasratku menyala
Pergolakan manuasiawiku terpelihara
Terpelihara menyusuri misteri, menyibak tabir, membuka tanya
Tak perduli lagi pencapaian, pengakuan atau hinaan
Jika isyarat tak kunjung disadari dan dimengerti
Kupastikan perjalanan ini tak akan berhenti
Kecuali detak jantung telah pergi tanpa permisi
July 2 2010, 11:40 AM
Prasangka
Bersyukurlah tatkala terpuruk
Berprasangka baiklah saat sial
Berterima kasihlah ketika dihantam
Tersenyumlah sewaktu mendung
Bukan saja demi terpeliharanya hasrat
Tapi memang tak ada yang lebih baik dari itu
July 5 2010, 8:06 AM
Tawakal
Perangai mursal berselubung sesal
Keterpurukan fatal berselimut bebal
Mengembara mencari jati diri
Berkelana berharap bersua nurani
Perjalanan jauh hanya untuk kembali
Tak beranjak kemanapun itu yang terjadi
Sudah terima saja
Manusia bisa mengalahkan takdirnya
Tapi tidak jika sudah menjadi kehendakNya
July 5 2010, 8:13 AM
Dewi
Padamukah rembulan cemburu?
Karenamukah embun luruh di ujung malam?
Aku tak tahu, tapi yang pasti...
Karenamulah pena pujangga digoreskan
Dan biduan memetik dawai gitar
Bintang rela runtuh, terhisap lubang kosmik
Tanpa kepastian janji bisa terlahir kembali
Dan aku pun ikhlas terhempas, lepas dari keakuanku
Walau tanpa jaminan penerimaan cintamu
July 5 2010, 8:15 AM
Bidadari
Duhai bidadari penghuni taman surga
Yang mengalir sungai-sungai dibawahnya
Yang meranum buah-buahannya
Merasuklah ke perempuan dunia
Jadikan mereka dewi
Yang menjaga suami dan anak laki-lakinya
Penggenggam amanah, pemakmur bumi Hingga tiba waktunya untuk kembali
July 6 2010, 9:47 AM
Bahagia
Rindang kutilang bernyanyi riang
Serumbai tawa berderai
Dan senyumku pun turun satu-satu
Tak inginku meledak dalam suka
Karena duka t’lah menanti masa
Kala rindang kutilang pergi melayang
July 6 2010, 9:52 AM
Pemberontakanku
Menangkal setangkal akal
Melengus aus tak sudi pupus
Mengikat hasrat yang tak lagi melekat
Biar berpendar
Biar berpencar
Menyalak tolak, membatin aku
Menggumpal rajam pada kabut malam
Petaka kelam dalam rindu dendam
July 10 2010, 8:36 AM
Kamu
Tak perlu sokokoh gunung, untuk memancang bumi
Tak perlu sebiru samudera, untuk menyapa langit
Tak perlu secemerlang matahari, untuk mengusir rembulan
Tak usah semolek rembulan purnama, untuk menarik pasang samudera
Tak usah seluas langit, untuk mendekap gunung
Tak usah setegar bumi, untuk mananggung sengatan matahari
Tak perlu dan tak usah seperti dia atau mereka, untuk menjadi dirimu sendiri
July 10 2010, 8:38 AM
Indonesia Esok
Ini adalah tentang mereka
Bukan tentang sapi tua di Senayan sana
Bukan pula petinggi berkasta rendah
Yang masyuk korupsi di kantor-kantor pemerintah
Atau para cukong dengan investasi berlimpah
Dan jenderal-jenderal penjilat parah
Tolong jangan lumat semua
Biarkanlah yang sedikit tersisa untuk mereka
Bukan mereka yang durhaka jika memaki
Tapi para tetua yang tak tahu diri
Menjual Indonesia demi ambisi pribadi
Hingga tak cukup nasi bagi anak negeri
July 15 2010, 8:55 AM
Berteman Sepi
Jangan khianati sepimu tatkala datang ramaimu
Sesungguhnyalah, dia yang menakar kemurnian ikhlasmu
Dialah yang menimbang hasrat dan ambisimu
Biarkan dia membayangi jalanmu
Kalau tak suka, abaikan saja, tapi jangan ingkari
Karena dia lah yang tetap tinggal sementara yang lain menyingkir
July 15 2010, 8:59 AM
Martir
Biarkan syairku lugu mengalir
Menyublim hingga ke titik nadir
Menyeruak melintasi akhir
Berhenti di hilir lahir
Ini hanyalah kisah seorang martir
Yang berusaha menghindari sambaran petir
Yang bisa membuatnya kikir, bahkan pandir
July 15 2010, 9:02 AM
Demi Sebutir Debu
Menenun pantai, menyapih laut
Menjaring bintang di tepian cakrawala
Hanya bergantung pada pelangi dan remang rembulan
Dan ilalang yang baik hati
Agar sebutir debu tak kesepian
Sama sekali bukan demi akhir
Atau awalan yang tak kunjung bisa dimengerti
Hanya agar sebutir debu tak kesepian
July 15 2010, 9:05 AM
Lewat
Diam, terdiam
Menikmati hening
Menghanyutkan diri menuruni ngarai-ngarai iklas
Tersapu sepoi angin
Terlelap dipelukan tentram
Nyaman yang menggundahkan
Rengkuhan yang mulai membosankan
Pencapaian yang terasa hambar
Pemenuhan yang ternyata hampa
Lalu?
Pecahkan saja harapan
Dan biarkan hidup menempuhi ajal
Melawati segalanya tanpa takut sia-sia
July 17 2010, 9:51 AM
Paradoks Kita
Kita adalah . . .
Kupu-kupu yang hanyut di liukan topan yang menyapu sabana kerontang
Membuyarkan kemurnian tetes embun di pucuk ilalang kering
Berusaha memeluk pelangi senja
Menyambut tenggelamnya sang surya
Berharap malam cerah bergemintang terang benderang
July 17 2010, 9:54 AM
Petaka Hikmah
Menggeleng tatkala tahu
Mengangguk hanya bila mau
Kepongahan yang menggemaskan langit
Atau ketidakberdayaan yang memaksakan pemakluman
Tapi satu yang pasti,
Pengetahuan yang tak memberikan berkah bukanlah sebuah hikmah
July 21 2010, 8:43 PM
Eksistensi
Berteriak di kehampaan
Termenung di gemuruh guntur siang bolong
Menangisi keberadaan
Yang terlanjur ditempuhi tanpa diminta
Bagaimana meminta pembatalan keberadaan jika terlanjur hadir?
Mengharap layu dan lenyap begitu saja?
Benarkah kita bisa muksa tak berbekas?
Layaknya awalan yang tak kita ketahui muasalnya?
Atau sebaiknya kita abaikan saja?
Tapi akuilah, bahwa ada dan tidak adanya akhir, tetap lebih baik jika kita melewati saat ini dengan kebaikan
Bukan demi masa
Bukan demi manusia
Bukan pula demi Tuhan yang telah Maha Kaya
Tapi demi diri yang terlanjur hidup di mayapada
July 23 2010, 10:33 AM
Sesaat Tanpa Beban
Andai saja ketakutan ini bisa kuhunjamkan ke perut bumi
Jika saja keraguan ini bisa kuterbangkan bersama angin
Bila saja kecemasan ini bisa kuselipkan di balik gulita malam
Sesaat saja...
Atas nama gundah hati aku berterima kasih
Pada bumi yang tak berhenti bergejolak
Pada angin yang selalu bertiup
Dan pada malam yang menghanyutkan
Atas helaan nafas tanpa beban ini
Tetapi...
Bukankah bumi, angin dan malam tak sedetik pun pernah menurunkan beban dari pundak mereka?
July 26 2010, 9:02 AM
Agar Bumi Tetap Berputar
Terbanglah kau imajinasiku
Hantam saja tembok-tembok rasionalitas
Luluh-lantakkan kewajaran itu
Biarlah kebiasaan tergilas
Dan kebekuan meranggas
Demi asasi yang terampas
Menghunjamlah kau khayalku
Sekokoh bongkah batu cadas
Menusuk perut bumi dengan tekad
Hasrat hati yang mendidihkan magma
July 28 2010, 4:22 AM
Metafora Figuratif
Keyakinan aku gantung pada bintang
Ketajaman kulekatkan pada mata rajawali
Keberanian adalah pakaian sang singa
Keuletan naluri si tikus comberan
Mengejar kesejahteraan sebatas padi dan kapas
Begitulah kita, manusia
Tak yakin pada gambaran diri sendiri
August 2 2010, 9:25 AM
Pendulum Hati
Kadang terlempar jauh ke kiri
Tergoda ekstrimitas anti kekananan
Berayun ceria menyusuri lintasan
Namun tak jarang kemurungan mengacaukan kesetimbangan
Hingga terdiam di poros
Menunggu usikan berikutnya
Atau diri tak lagi eksis di sini menemuiNya,
Sang pemilik sejati pendulum ini
August 2 2010, 9:28 AM
Secangkir Kopi Pagi
Terlena aroma shampoo di rambut basah mewangi
Tak kuasa manahan gejolak semerbak harum kopi
Dan kue kering di atas meja makan mahoni
Melangkah dengan ringan hati
Berseri wajah menyambut pagi
Bukan berarti beban itu telah pergi
Tapi semangat hati untuk menghadapi
Menempuhi jatah hidup hari ini
Agar tak redup di tengah jalan nanti
Seperti kuncup yang urung mekar berseri
August 2 2010, 9:30 AM
Hanya Melintas
Terburu-buru 'ku tengok hatiku
Mencari-hari serpihan hasrat yang mulai memudar
Yang menyisakan siluet dirimu
Yang lalu pernah kudamba
Tentang pemberontakan diri minta diaku
Menyelinap dan membayang di setiap gerak-gerik tersamar
Tertahan dan selalu tertahan pembenaran palsu
Yang mengira pantas semua cita
Sudahlah...
Pasrah 'ku terlarut alir, alur perjalanan
Entahlah...
Keputusasaan atau justru sempurnanya kesadaran
Hanya melintas tak berharap berbalas
Hanya sekilas dengan senyum seulas
Hidup tak lagi memelas
Yang tak secuil pun menyiakan ikhlas
August 7 2010, 8:32 AM
Jedaku
Terpaku dalam kesenyapan sunyi
Tertahan di hentakan hasrat
Tersesat dalam keseharian
Lakuku pilu
Meratapi maksud yang tak jua terwujud
Berdiriku lemah
Terperdaya semunya tujuan
Sepertinya aku harus berhenti sejenak
Atau bahkan harus berbalik sesaat
Sekedar menghela setarikan napas
Untuk berlari kembali esok hari
August 9 2010, 10:06 AM
Angin Malam
Duhai angin pembisik kabar-kabar
Bawalah aku melayang
Merasuki setiap jiwa yang bimbang
Wahai angin gentanyangan
Lempar aku ke angkasa
Ingin kulihat tingkah polah penduduk bumi
Padamu angin penasaran
Kusandarkan harapan
Sapu bersih puing-puing kepongahan itu
Bagimu angin malam
Kupersembahkan semua ini
Agar lenyap dan hanya tersisa kenangan
August 9 2010, 10:11 AM
Tamu Mulia
Tergopoh aku menyongsongnya
Di ujung dermaga itu
Kala hilal membayang sebentar
Selepas tenggelamnya senja
Tamu termulia tahun ini
Dengan buah tangan anggur meranum
Dan zaitun dari taman surga
Yang mengalir sungai-sungai di bawahnya
Dengan samudera senyum terkulum
Dan kelegaan pintu ikhlas berhias emas
Yang bertahtakan intan berlian pengampunan
Tamu mulia pembawa kabar gembira
Akan datangnya malam seribu bulan
Dan tumbuhnya pohon pahala yang bercabang-cabang
Untuk kita yang bersedia
Mewangi bersamanya yang suci
Aroma fitrah pengabdian abadi
August 10 2010, 7:34 PM
Aku
Ketika kutatap lembayung sore ini
Cerahku tak terbantahkan
Gemilangku tak terelakkan
Semangatku menyeruak
Hasratku bergemuruh
Menentang ketidakpastian
Akan hadirnya pagi
Selepas malam menanggalkan selimutnya
August 12 2010, 7:25 AM
Pelangi
Fatamorgana yang mempesona
Tak perduli nyata atau ilusi semata
Seberkas keindahan yang menawarkan diri untuk dinikmati
Jangan paksakan warna tunggal
Atau waktu dan tempat kemunculannya
Atau mempermasalahkan bentuk lengkungnya
Jangan larang teriakan takjub bocah kecil itu
Jangan hapus air mata pak tua pemancing kesepian
Jangan tahan pohon yang menggugurkan daun untuk menyambutnya
Jangan tanyakan fungsi kehadirannya
Resapi saja makna penampakannya
Biarkan dia datang semaunya
August 12 2010, 7:28 AM
Maafkan Kami Soekarno
Maafkan kami Soekarno, yang tak becus mewarisi titipanmu
Maafkan kami Tan Malaka, hingga kobaran semangat patriotikmu kini memudar dan terkapar
Sungguh, maafkan kami Soetan Syahrir, yang abai berlian kebijaksanaanmu
Dan maafkan kami Jenderal Soedirman, yang tak jua memahami kesederhanaan dan ketulusan pengabdianmu
Merah Putih pun jamuran di tiang yang rapuh
Tak ada lagi yang hirau padanya
Garuda pun terbang entah kemana
Tak tersisa gemuruh pekik itu, merdeka atau mati!
Tapi, tak akan menyesal aku bersumpah
Untuk membelamu hingga tetes darah terakhir
Karena engkau tumpah darahku
Agar tak setetes pun bulir air matamu mengalir
Duhai Ibu Pertiwi tempat aku terlahir
August 12 2010, 7:54 AM
Dunia
Dunia adalah alat bukan alamat
Jika tak dikalibrasi akan kiamat
Terlahir dengan mandat
Beribadat dengan khidmat
Dunia adalah alat bukan alamat
Jika tak dikalibrasi akan kiamat
Berusaha menempuh jalan malaikat
Bukan syahwat, bukan pula jalan syaithon laknat
Dunia adalah alat bukan alamat
Jika tak dikalibrasi akan kiamat
Jalan tarekat sekaligus syariat
Ketundukan dan ketaatan dalam syahadat sholat, zakat, tirakat dan mengunjungi kiblat
Dunia adalah alat bukan alamat
Jika tak dikalibrasi akan kiamat
Penghambaan tanpa syarat
Penyerahan diri dengan bulat
Dunia adalah alat bukan alamat
Jika tak dikalibrasi akan kiamat
Menjalani hidup dengan semangat
Berharap selamat dengan selalu ingat
August 14 2010, 11:38 AM
Petaka Pengetahuan
Rasa syukur yang melayang
Merasa diri adalah pusaran maknawi
Penasaran tak berujung
Akibat keterbatasan yang dipaksakan
Terpuruk merasa tersanjung
Tersungkur mengira terangkat
Terangkat derajat dalam munajat hayat
Mengira berkat padahal laknat
Padahal seharusnya takluk dan tunduk
Dalam khusuk seorang makhluk August 14 2010, 11:43 AM
Lukisanmu Belum Selesai
Tak apalah menunggu datangnya Ratu Adil
Tak mengapa pula menanti hadirnya Imam Mahdi
Atau berharap Dana Revolusi Soekarno
Boleh saja percaya ramalan Joyoboyo
Akan datangnya hujan setelah badai goro-goro
Tapi sekarang...
Simpan angan kosongmu itu
Sisingkanlah lengan bajumu
Ayunkan cangkulmu
Karena ada bidak sawah yang perlu ditanami
Goreskan kuasmu
Karena lukisanmu belum selesai, belum sama sekali
Jangan abaikan harta karun di depan matamu
Bekerjalah
Jangan menyerah
Karena kita bukan semut yang mati melekat di atas gulali
August 14 2010, 11:47 AM
Aku Tak Mau Tembok
Ingin kutatap horison
Ingin kuhirup semilir angin liar
Membiarkan gerimis menerpa wajahku
Kudaki tangga awan menuju langit
Kunikmati kicau tokek kota malam ini
Ingin kurentangkan sayapku lebar-lebar
Aku tak mau terhalang
Aku tak butuh tembok beton
Aku hanya butuh tanah lapang
August 14 2010, 8:33 PM
Cahaya
Cahaya adalah kecepatan
Yang darinya Teori Relativitas diasumsikan
Cahaya adalah suluk
Yang padanya tujuan diarahkan
Cahaya adalah solusi
Yang dengannya kegelapan harus diakhiri
Cahaya adalah keridloan
Yang melaluinya hidayah diberikan
Cahaya adalah ketaatan
Yang darinya malaikat diciptakan
Dan...
Cahaya adalah alasan
Yang karenanya nur Muhammad ditiupkan
August 14 2010, 8:37 PM
Hadirku
Aku terlahir untuk mengembara, bukan merana
Aku terlahir untuk membahana, bukan dihina
Aku terlahir untuk berteriak, bukan merangkak
Aku terlahir untuk berperan, bukan terima nyaman
Berdiriku memang tak setegar batu karang, tapi aku tak pernah patah arang
Kepalan tanganku memang tak sekokoh cadas, tapi aku adalah pekerja keras
Teriakanku memang tak segumuruh guruh, tapi tak ada rintangan yang membuatku luluh
Hadirku memang tak sepenting dirimu, tapi aku takkan pernah membuat ibuku malu
Karena kelahiran memang harus disyukuri
Karena hidup memang harus dimaknai
Karena kematian harus ditandai
August 17 2010, 1:05 AM
Barangkali
Barangkali bencana ini mengingatkan kita
Barangkali nestapa ini menguji kita
Barangkali derita ini menempa kita
Barangkali wabah ini mencoba kita
Jangan-jangan bukan!
Jangan-jangan bencana ini mengazhab kita
Jangan-jangan nestapa ini menghukum kita
Jangan-jangan derita ini menampar kita
Jangan-jangan wabah ini membalas kita
Kita yang pongah, yang sok gagah padahal lemah
Kita yang rentan, yang sok iman padahal preman
Preman tukang palak, yang galak laksana gagak bulak penuh permak nan tamak
August 17 2010, 9:27 AM
Selembar Karpet Usang
Ini adalah kisah selembar karpet usang
Tempat mereka yang terbuang
Terusir dari segala kenikmatan yang telah dijanjikan
Hanya karena tak kuasa menahan satu godaan
Buah terkutuk itu memaksa mereka menelan penyesalan
Penebusan dosa tidaklah gampang
Terkadang terulang suatu pantangan
Darah terus dikucurkan, air mata terus tertumpahkan
Akibat dengki yang menguasai
Betapa susah mewujudkan hasrat untuk berbagi
Terkuasai jumawa pribadi.
Karpet usang ini adalah saksi
Ketamakan tak bertepi
Penguasa yang tak tahu diri
Membuat onar dan sok menghakimi
Mencaci, memaki, menguliti aib saudara sendiri yang seharusnya ditutupi
Kaum kecil selalu tersingkir dan terzalimi
Tanpa tahu harus bagaimana membela diri
Genderang perang terlampau sering membuat karpet ini berwarna merah
Warna favorit raja-raja haus darah.
Marah yang tidak mau disanggah
Pongah tak mau dibantah
Lagi-lagi yang tertindas harus menyerah
Kenapa dalam lintasan waktu ini terus terulang?
Kekecewaan yang telah menjadi bayang-bayang
Kenapa tidak kita sisakan sedikit ruang?
Bagi jiwa yang tenang dalam khusyuk sembayang
Karpet usang ini hanyalah persinggahan
Menebus kembali keridhoan
Dan bukan hanya kenikmatan, yang dulu pernah mereka dapatkan.
October 23 2010, 7:05 AM
Description: Tentang aku yang hidup
|
Title: Running With the Wolf
Category: Adult Romance
Text:
PROLOGUE
Suatu kelompok serigala selalu terdiri dari tiga kasta. Alfa, Beta, dan juga Omega. Alfa adalah serigala paling kuat di antara serigala lainya, laki laki dan biasanya di takdirkan untuk menjadi pemimpin, Beta adalah serigala biasa, bisa laki laki bisa perempuan, jumlahnya paling banyak di dalam pack dan bisa menjadi pengganti Alfa disaat genting tetapi tidak memiliki kekuatan semutlak yang dimiliki oleh seorang Alfa, sementara Omega adalah serigala yang berada di kasta paling bawah, berjumlah paling sedikit dan paling lemah, tapi juga yang paling dicari. Seorang Omega selalu merupakan seorang wanita karena fungsinya adalah melanjutkan keturunan.
Aku tidak pernah tahu bahwa aku adalah seorang Omega sampai aku mendapatkan Heat pertamaku dan sialnya ditengah gairah yang tak kunjung reda dan panas yang membakar itu seorang Alfa menandaiku dan menjadikanku pasangannya, membuatku terikat sehidup semati dengannya untuk seumur hidupku semenjak saat itu.
I Think He Like Me Back
Siang itu dingin, hujan turun dari pagi membuatku malas turun dari tempat tidur bahkan hanya untuk sekedar ke kamar kecil. Aku sebetulnya sudah bangun dari tadi, tapi berhubung hari ini akhir pekan dan aku tidak punya tanggung jawab apapun selain kepada diriku sendiri maka kuputuskan untuk bermalas malan di atas kasur sedikit lebih lama.
Tapi kemudian kudapati bahwa perutku lapar, maka dengan malas malasan aku melirik jam yang tergantung di dinding kamarku dan mendengus, pantas saja perutku lapar karena ini sudah jam satu siang. Berapa jam yang kuhabiskan untuk tidur seperti koala pemalas sebetulnya?
Dengan gagasan itu aku melompat berdiri dan mengabaikan keadaan tubuhku yang telanjang, aku tidak pernah tidur mengenakan apa apa, bahkan walau cuma celana dalam. Semenjak membaca sebuah artikel kesehatan yang mengatakan bahwa tidur telanjang dapat meningkatkan kualitas tidur lebih baik secara keseluruhan aku selalu tidur dalam keaadan tanpa busana bahkan walaupun aku punya segudang piama di lemariku. Awalnya memang agak aneh dan sedikit risih, tapi lama kelamaan aku mengakui bahwa artikel itu ada benarnya dan mulai terbiasa tidur dalam keadaan bugil hanya ditutupi selimut.
Aku membasuh wajahku di kamar mandi dan menyikat gigiku, memakai bajuku, lalu mulai memakai produk perawatan wajah yang kumiliki dan mengikat rambutku dalam bentuk kunciran asal asalan sebelum turun kedapur dan memasak air panas untuk merebus mie instan dan menyalakan TV di ruang tengah.
Ku nyalakan vakum cleaner kemudian dan membersihkan setiap sudut apartemenku dari debu menggunakan alat itu dan bersenandung kecil, berlari kedapur saat kudengar bahwa air rebusanku sudah mendidih dan memakan sarapan pagi tidak sehatku sambil menonton komedi.
.
.
Aku tinggal di sebuah apartemen mewah yang kudapatkan dari ayahku sebagai hadiah kelulusan seorang diri. Bekerja disebuah perusahaan swasta sebagai penasihat keuangan membuatku super sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk mengurusi kehidupan sosialku, satu satunya hal yang ada di hidupku hanya bekerja bekerja dan bekerja sehingga saat akhir pekan datang satu satunya hal yang kuinginkan adalah bermalas malasan sambil menonton komedi di apartemen sendirian.
Aku bahkan tidak mengenal satupun tetangga satu gedung apartemenku, satu satunya orang yang kukenal di gedung ini hanyalah manager yang mengelola tempat ini dan itupun terjadi karena aku pernah meminta bantuannya untuk membetulkan lampu kamar mandiku yang sempat rusak.
Namanya Lee Hyukjae, dan sebetulnya menurutku ia lumayan tampan walaupun kelihatannya jauh lebih tua dariku. Senyumnya menawan dan tutur bahasanya halus sehingga sebetulnya membuatku agak sedikit naksir padanya. Aku tak pernah benar benar begitu tertarik kepada laki laki yang sebaya denganku, waktu SMP aku mengagumi sepupu dari teman sekelasku yang duduk di bangku kuliah, saat SMA aku menyukai guru magang di sekolahku, dan sekarang aku naksir pada pengelola gedung apartemen tempatku tinggal.
Betul betul sudah tidak tertolong batinku mencibir diri sendiri.
Tapi Lee Hyukjae ini betul betul tipeku, entahlah, aku juga tidak terlalu mengerti tapi rasanya seperti ada musim semi setiap kali aku melihatnya , dan saat ia tersenyum kepadaku rasanya seolah olah nafasku melayang separuh. Ia punya postur tubuh yang bagus walaupun tidak terlalu jakung, kulitnya putih seperti susu dan bibirnya penuh, dan saat ia bicara, aku suka sekali suaranya, terdengar maskulin tapi tidak terlalu baritone.
"Andai saja aku bisa menjadi kekasihnya," kataku bergumam entah kepada siapa.
Well, sebetulnya aku sering membayangkanya-menjadi kekasihnya-berkencan di sungai Han sambil makan es krim atau jalan di mall berdua untuk sekedar cuci mata. Aku tidak lagi perlu tinggal sendirian kalau aku berkencan dengannya, ia bisa tinggal disini denganku, atau mungkin aku yang tinggal di tempatnya, atau mungkin ganti gantian, berbagi kecupan mesra di pagi hari dan pelukan hangat di malam hari.
Aku tersenyum kala membayangkannya tapi kemudian berubah murung karena kutahu bahwa semuanya cuma hayalan, kenyataanya jangankan menjadi kekasihnya, tahu ia juga tertarik kepadaku pun aku tidak.
Dengan pemikiran itu bersarang dikepalaku aku menghela nafas dan melompat bangun menuju kamar mandi, mungkin sebaiknya aku jalan jalan ke mall, membeli beberapa baju baru dan mungkin sepatu baru karena tampaknya berdiam di apartemen hanya akan membuatku semakin gila, bukanya bersantai aku malah sibuk berkhayal ria soal bagaimana kira kira rasanya memiliki kekasih seperti Hyukjae Oppa.
.
.
Satu jam kemudian aku sudah siap untuk pergi ke mall, mengenakan kaus berwana putih dan celana jeans yang dilengkapi sepatu kets aku meraih kunci mobilku dan mengunci apartemenku sebelum berjalan kearah lift.
Aku menekan tombolnya dan menunggu selama beberapa menit sampai lift itu terbuka dan aku tiba tiba menahan nafas. tentu saja, bagaimana tidak jika di dalam lift itu yang kutemui adalah orang yang menjadi alasanku ingin keluar hari ini karena tidak tahan terus membayangkannya di dalam kepalaku. Lee Hyukjae.
"Nona Song," Sapanya.
Sial. kenapa ia tidak libur saja, bukankah ini hari minggu?
"Manager Lee." kataku berusaha tampak tenang. Untungnya aku bagus dalam menyembunyikan emosiku sehingga bahkan saat aku gugup tidak ada yang menyadarinya selain diriku sendiri "bekerja di akhir pekan huh?" tanyaku sekedar basa basi.
Ia tersenyum "Ada sesuatu yang harus kulihat hari ini, makanya aku datang." jawabnya "mau kemana?"
"Belanja," kataku "kau tahu hanya itu satu satunya hiburanku." kataku.
Ia tidak berkomentar dan kami menghabiskan sisa waktu didalam lift itu dalam diam. Begitu pintu lift terbuka aku bergegas keluar tapi perkataanya menghentikan langkahku "Nona Song, aku suka wangi parfum mu,"
Aku menoleh padanya, namun ia hanya tersenyum "Semoga harimu menyenangkan." gumamnya tepat sebelum pintu lift menutup. Ini cuma aku saja atau aku betul betul mendengar sedikit godaan terselip di dalam pujiannya.
Wajahku memerah.
Manager Lee sialan!
.
.
Aku kembali ke apartemenku sekitar pukul setengah lima sore dengan beberapa paperbag berisi belajaan di tanganku, pada akhirnya aku benar benar menghabiskan separuh gajiku untuk membeli ini itu dan mungkin setelah ini aku akan mulai menyesalinya.
"Butuh bantuan?"
Aku menoleh begitu mendengar tawaran itu dan kemudian mendapati bahwa Lee Hyukjae berdiri persis di sampingku "Manager Lee!" seruku kaget.
Kenapa dia belum pulang sih?
"Aku bisa membantumu membawakannya kalau kau tidak keberatan" tukasnya dan setelah ragu sejenak akhirnya aku membiarkan ia melakukannnya dan mengiringinya berjalan dari belakang sambil mengamati punggungnya.
Kalau aku menjadi kekasihnya, mungkin seperti ini rasanya kala ia membawakan barang belanjaanku. Damn it! Aku tidak bisa berhenti membayangkan menjadi kekasihnya!
Ia membantuku membawa seluruh belanjaanku sampai ke dalam apartemenku dan menaruhnya di atas meja. Aku menawarinya untuk minum kopi sebagai basa basi yang tidak kusangka akan di anggukinya dengan cepat
"Jangan terlalu manis Nona, aku suka kopiku pahit." katanya sebelum aku meninggalkannya ke dapur untuk menyeduhkan kopi untuknya. Begitu aku kembali ke ruang tamu dengan secangkir kopi ditanganku aku mendapati ia tengah membaca beberapa majalah fashion yang tidak sengaja kutinggalkan disana kemarin dan menoleh dan tersenyum begitu merasakan keberadaanku.
Oh Tuhan, aku bisa mati jika ia terus melempar senyuman maut itu kepadaku! Aku bisa gila!
Ini adalah kali pertama semenjak aku tinggal ditempat ini aku punya tamu yang bukan orang tuaku atau kolega kantorku, dan jantungku berdegup kecang menyadari bahwa aku teratik-amat sangat tertarik-kepada laki laki ini. Kenapa pula tiba tiba ia seolah olah memberi harapan kepadaku dengan melakukan semua ini. Selama ini aku dan dia hanya sebatas mengenal, saling menyapa saat berpapasan tapi tak pernah lebih dari itu. Apakah ia juga tertarik kepadaku? Tapi mana mungkin, bisa jadi hanya aku yang besar kepala setelah apa yang ia ucapkan di lift tadi siang.
"Maaf kalau tidak enak, aku tidak pernah membuat kopi untuk orang lain," kataku jujur.
"Ini enak kok," katanya tersentum dan aku membalas senyumnya.
Ia pergi setelah menghabiskan kopinya lima belas menit kemudian setelah mengucapkan terimakasih dengan senyumnya yang menawan, membuat wajahku memerah tepat setelah ia pergi.
"Terimakasih banyak sekali lagi Manager Lee," kataku saat itu tapi ia menyela perkataanku.
"Oppa-panggil Oppa saja lebih baik." gumamnya tepat sebelum pergi, sukses membuatku melompat lompat kegirangan begitu menutup pintu.
Ini artinya Ia juga tertarik kepadaku bukan?
.
.
Malam itu aku tertidur dengan perasaan bahagia mengingat semua yang terjadi pada hari itu, mulai dari pertemuan dengan Lee Hyukjae di lift, pujiannya akan parfum yang kugunakan, bagaimana ia membantuku membawa belanjaanku, dan kemudian berakhir dengan bagaimana cara ia mengidikasikan ingin menjadi lebih dekat denganku.
"Oppa," gumamku sambil tersenyum di atas tempat tidurku "Hyukjae Oppa," dan aku menutup wajahku dengan bantal karena ternyata hanya dengan membayangkan memanggilnya dengan cara seperti itu masih membuatku malu, kemudian aku tertidur.
.
.
Sekitaran tengah malam malam itu aku seperti bermimpi melihat seekor serigala berbulu abu abu keperakan berdiri di balkon kamarku dan mengamatiku dengan manik matanya yang berwarna kuning keemasan. Wujudnya besar sekali, jauh lebih besar daripada serigala pada umumnya dengan bulu yang berkilauan tertimpa cahaya bulan. Ia hanya berdiri disana diatas keempat kakinya, mengamati keberadaanku tetapi tidak melakukan apa apa sebelum melompat keluar jendela dan kemudian aku terbangun dan mendapati tidak ada siapa siapa di dalam kamarku kecuali diriku sendiri.
.
.
Aku dan Hyukjae Oppa semakin dekat, ia sering berkunjung sekarang, terkadang untuk secangkir kopi, di lain kesempatan hanya untuk bersenda gurau dan sejujrunya aku senang akan fakta itu. Aku mungkin belum menjadi kekasihnya tapi jika seperti ini lambat laun pasti ia akan menjadikanku kekasihnya bukan, yang harus kulakukan hanyalah sabar menunggu hingga hari itu tiba.
Tapi ada yang aneh, mimpi tentang serigala abu abu berbulu keperakan itu juga semakin sering terjadi, tidak terlalu menganggu karena bukan mimpi yang mengerikan tapi tidak pula terlalu menyenangkan karena arti dari mimpi itu sendiri menganggu dan membuatku penasaran. Kenapa serigala abu abu itu selalu muncul di dalam mimpiku kalau memang mimpi itu hanya mimpi biasa, dan kenapa pula keberadaan serigala itu di dalam mimpiku sedikit mengingatkanku kepada calon kekasihku-well, aku suka menyebut Hyukjae Oppa seperti itu- entahlah, anehnya aura yang mereka pancarkan sama.
Tapi kan Lee Hyukjae manusia? mana mungkin dia bisa menjelma menjadi serigala.
Kecuali jika dia manusia serigala.
Aku mengeleng kuat saat gagasan itu muncul dikepalaku. Berfikiran apa aku ini, kenapa pula aku bisa berfikir sampai sejauh itu, mana ada sih yang namanya manusia serigala, ini kan dunia nyata bukan dunia sihir Harry Potter.
Sibuk melamun aku terkaget saat seseorang menekan bell apartemenku dan lekas berlari kedepan pintu untuk membukakannya dan mendapati Hyukjae berdiri di depan rumahku dengan satu bungkusan besar yang tampak seperti makanan "Mau makan Tteokbokki?" katanya.
"Oppa," sautku dan mempersilahkan ia masuk "kenapa tidak bilang mau kesini?"
"Kejutan." Katanya
"Menyebalkan, padahal kan aku bisa dandan dulu."
Ia tertawa mendengar perkataanku dan menyaut "Ajigdo yeppo, ireokke." gumamnya dan aku tersipu. Akhirnya sore itu kuhabiskan dengan makan Tteokbokki berdua dengannya sambil menonton pertandingan basket NBA.
Singkatnya, ia bertamu sampai jam setengah sembilan malam sebelum pulang "Sunghee," ia memanggil namaku di ambang pintu setelah memakai sepatunya "Jangan keluar rumah selama beberapa hari kalau tidak terlalu penting,"
Aku mengerjab mendengar perkataanya "Kenapa?"
"Tidak, hanya saja kudengar angka kejahatan terhadap perempuan meningkat belakangan ini, aku tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu." Katanya dan sukses membuatku tersipu tanap bisa ditutupi kali ini
"Waegurae??" Kataku menghindari tatapannya
Ia menepuk puncak kepalaku pelan "Aku serius, hubungi aku kalau ada apa apa."
.
.
Orang tuaku berkunjung di akhir pekan itu, membawa berbagai macam makanan dan perlengkapan yang sebetulnya menurutku tidak kuperlukan dan terlalu berlebihan, tapi mereka selalu seperti itu tiap kunjungan bulanan yang rutin mereka lakukan semenjak aku memutuskan ingin tinggal sendiri
"Ini kimchi, ini japche, ini daging yang sudah direbus tinggal di panaskan dan kau bisa memakannya dengan nasi hangat-kau yakin tidak mau kembali kerumah saja?"
Aku memutar mata mendengar perkataan ibuku yang menurutku terlalu berlebihan, aku sudah dewasa, tetapi mereka terus memperlakukanku seperti balita yang tidak bisa apa apa, padahal aku anak sulung dan ada dua adik perempuanku yang masih harus lebih di khawatirkan, tetapi entah kenapa sedari dulu sikap ayah dan ibuku selalu terasa agak terlalu berlebihan kepadaku sampai sempat kupikir bahwa aku punya penyakit mematikan dan sedang sekarat sehinggamereka selalu memperlakukanku dengan baik, tapi tidak juga buktinya aku sehat sehat saja sampai sekarang dan tidak ada yang salah
"Umma, Umma tau betul kalau akan jauh lebih mudah bagiku ke kantor jika aku tinggal disini ketimbang dari rumah kita." jawabku dan membuat ibuku mendengus
"Appa akan belikan mobil baru kalau kau pulang," timpal ayahku
"Tidak butuh terimakasih." kataku mengeleng gelengkan kepala "Umma, Appa, aku bisa menjaga diriku sendiri. Tahu kan aku belajar karate selama lima tahun lebih, penjahat mana yang berani dekat dekat denganku."
Pada akhirnya orang tuaku menyerah dan memutuskan pulang setelah memastikan kebutuhanku cukup dan aku mengantarkan mereka kebawah menuju mobil mereka saat kemudian aku berpapasan dengan Hyukjae Oppa di lantai dasar. Aku tidak menyapanya karena jika aku melakukannya pasti akan muncul banyak pertanyaan di kepala kedua orang tuaku, dan aku masih belum siap untuk menjelaskan semuannya tapi ia memanggil namaku dan membuatku menoleh
"Nona Song, mau kemana?"
"Aku mengantarkan orang tuaku ke parkiran Manager Lee,"
"Ah~ Anyeonghaseo. Lee Hyukjae-imida"
"Kalau begitu aku pergi dulu." kataku. Aku mengantar ayah dan ibuku sampai ke mobil mereka tidak menyadari bahwa raut wajah mereka berubah menjadi pias "Kau mengenal laki laki tadi? " Kata Ayahku tiba tiba.
Aku mengangguk "Dia manager yang mengelola gedung ini, kenapa?"
"Hati hati padanya"
Aku mendengus "Appa selalu bilang begitu setiap kali aku punya kenalan pria,"
"Aku serius, kali ini hati hati padanya."
"Baiklah, sana pulang. Hati hati ya Appa, Umma, bye,"
The Flame that Burned Me into Ashes
Ada yang aneh terjadi kepadaku semenjak tadi pagi aku membuka mata, awalnya kupikir aku terserang flu karena seluruh persendinku terasa sakit dan pegal, jadi aku mengirimkan surat izin kepada kantor dan memutuskan untuk istirat di rumah hari ini. Tapi kemudian lama kelamaan aku mulai kepanasan dan setelah menurunkan suhu pendingin ruangan sampai suhu yang paling rendah kusadari bahwa mungkin bukan pendingin ruangan yang menjadi masalahnya jadi kuputuskan untuk bangkit berdiri dari tidurku dan mandi, mungkin berendam di dalam air dingin akan mengurangi rasa panasnya, tapi aku terjatuh tepat setelah sekuat tenaga berusah berdiri.
Ada apa ini sebetulnya, kenapa tubuhku terasa aneh sekali.
Kepayahan aku kembali ke tempat tidurku dan berbaring sambil menatap langit langit. Panas sekali seperti rasanya berada di dalam neraka yang tidak kelihatan, kutanggalkan seluruh pakaianku dan kusadari bahwa oragn intim kewanitaanku becek saat aku tidak sengaja menyentuhnya, jadi kusentuh sekali lagi dan tiba tiba mendesah karena rasanya nyaman. Tunggu dulu, apakah aku sedang teransang hebat? Tapi kenapa? Apa penyebabnya? Aku ingat betul tidak keluar rumah dari kemarin ataupun bertemu dengan siapa siapa, jadi kenapa pagi ini sebegitu membuka mata aku dilanda gairah hebat yang tidak jelas apa pemicunya.
Maksudku aku juga sering berfikiran jorok setiap kali akan datang bulan, tapi tidak pernah separah ini, kali ini aku bahkan sedang tidak dalam masa suburku, lantas kenapa dampaknya bisa sehebat ini. Apa yang harus kulakukan untuk meradaknnya karena begitu mustahil meminta seseorang untuk meredakanya karena siapa juga yang bisa kumintai tolong.
Tapi rasa panas ini begitu membakar dan menyiksa dan aku begitu mendamba sentuhan laki laki. Haruskah aku meminta Lee Hyukjae kesini? Tapi apa yang akan ia pikirkan melihatku dalam keadaan seperti ini, bisa bisa ia ilfil padaku. Tidak. Tidak. Aku tidak akan menghubunginya.. Tapi alangkah menyenangkannya bergumul di atas ranjang bersamanya, merasakan sentuhannya disekujur tubuhku, merasakan mulutnya di kulitku.
"Ah~"
Aku begitu ingin berada dibawah tubuh dan dominasinya sekarang.
Gairah itu semakin membakar dan nyaris menghanguskan tanpa pelampiasan, membuatku menjadi setengah sinting dan mulai menyentuh diriku sendiri tapi kemudian berdecak sebal saat aku tidak bisa mendapatkan kepuasan sedikitpun. Aku butuh sesuatu yang jauh lebih panjang dan besar dari jari jemariku, aku butuh kejantanan Lee Hyukjae di dalam rektumku. Aku ingin dia mengagahiku sampai rasanya nyaris gila membayangkannya.
Alangkah betapa kotornya otakku.
Ditengah keputus asaan itu tiba tiba entah bagaimana tiba tiba pintu kamarku didobrak paksa dan mungkin aku sedang berhalusiansi saking hebatnya rasa panas ini memkar tubuhku tapi aku melihat Lee Hyukjae berdiri di ambang pintu itu dan berkeringat.
"T-to-long," Bisikku nyaris tanpa suara, namun ia tampaknya mengerti dan perlahan berjalan mendekat.
"Baumu sampai di koridor Sayang," Katanya sambil menyentuh wajahku dan aku mendesah karena tangannya terasa dingin sekali. Ia mengusap bibirku lembut dan aku membuka mulutku untuk mengulum tangannya tanpa bisa di cegah. Ia tersenyum tipis menyadari perbuatanku dan kembali melanjutkan kalimatnya "Aku nyaris gila saat melewati lorong dan feromonmu kemana mana,"
"B-a-baantu a-ku, aku g-gila." Susah payah aku merangkai kalimatku dan ia tersenyum sebelum mulai mennciumku. Ciuman pertamaku dengannya. Ia melakukannya dalam tempo lambat dan menuntut, membuatku gila, mengeskploitasi seluruh isi mulutku dan mengabsen gigiku satu persatu, dan ketika ia menyudahinya kulihat ada benang saliva yang terbentuk di mulutku ke mulutnya
"Kau tau, aku selalu membayangkan bagaimana rasanya jika aku menciummu Omega Sayang." Katanya
"Dan ternyata mereka benar bahwa tidak ada yang jauh lebih menggiurkan bagi seorang Alfa selain seorang Omega yang sedang heat. Aku ingin memakanmu," katanya mengeram dan mencengkarm pergbelangan tanganku erat.
"Apa maksudmu?" kataku. Kewarasanku sudah mulai kembali, tetapi gairahku masih berada di ambang batasnya dan malah semakin menjadi jadi
Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhku dan menjilat bibirnya sebelum merangkak naik keatas tubuhku dan memerangkapuku dengan kedua tangannya persisi seperti yang kubayangkan "Awalnya aku terkejut saat tahu ada Omega tanpa alfa di gedung ini, dan mengetahu bahwa itu kau.." ia mencuri satu ciuman sebelum melanjutkan kalimatnya "tahukah kau berapa banyak hal buruk yang kubayangkan ingin kulakukan padamu Sayang? Aku menunggu hari ini datang seperti orang gila, dan aku akan memilikimu untuk diriku sendiri mulai hari ini, membuatku mengandung anakku dan menjadi milikku."
Aku bingung dengan semua perkataanya, tapi ia menanggalkan bajunya dan wajahku memerah karena tersipu malu. Ini adalah kali pertama aku melihat tubuh seoran laki laki dewasa dari dekat dan baru ketahui bahwa rasanya amat sangat menyenangkan dan aku ingin menyentuh perutnya yang dihiasi oleh abs itu, melingkarkan tanganku di punggungnya sementara ia menghentak pinggulnya.
Ya Tuhan, aku bisa mati.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu," kataku "Apa itu omega?" kataku dan setelah menahan diri mati matian akhirnya kalah dan mulai menyentuh kulitnya yang seputih susu tapi begitu maskulin. Aku menyentuh otot perutnya dan ia menyeringai menyadari apa yang kulakukan, dan saat aku meraih kaitan celananya ia mengehentikanku dan mengeleng "Nakal sekali, tetapi aku yang berkuasa Sayang, turuti semua kata kataku,"
Aku memberengut tidak setuju, tapi tubuhku seolah bergerak otomatis mengikuti perkataanya. Ia menciumku sekali lagi, turun ke leher terus ke dada, ia mempermainkan buah dadaku dengan mulut dan tangannya membuatku mendesah seperti orang gila dan kemudian mulai mengecupi perutku dan terus turun sampai di depan organ intim kewanitaanku "Kau seperti bayi, " katanya saat mulai mengigiti paha dalamku dan menciptakan beberapa bite mark disana, aku menarik rambutnya saking nikmatnya semua perbuataanya dan ia tersenyum senang akan apa yang kulakukan
"Lagi~" Pintaku
Dan akhirnya ia memenuhi tubuhku dengan gigitan yang pasti akan berbekas keesokan harinya. Ia kemudian menurunkan celananya dan aku menelan salivaku melihat apa yang selama ini tersembunyi di baliknya. begitu jantan dan berurat, akan sesakit apa rasanya jika benda itu masuk kedalam rektumku. Aku mengulurkan tangaku untuk menyentuhnya dan ia mengeram saat aku mengenggamnya didalam tanganku. Benda kebangganya itu begitu besar sampai aku harus memegangnya dengan dua tangan dan keras seperti batu.
Aku yakin akan puas sekali dengan ini.
Ia mengarahkan kepala penisnya kedalam rektumku tapi kemudian menatapku dan menyengit "Apa yang kau masukan kedalam tadi sebelum aku datang?" Ia bertanya, tidak terlalu keras tapi aku dapat mendengar dominasi di dalam suaranya
"Tanganku," Kataku terengah. Aku tidak bisa fokus pada hal lain sementara penis sebesar itu berada tepat di depan kewanitaanku "Hanya tangaku."
Ia berdecak "Nakal sekali. Lain kali jangan lakukan apapun sebelum aku datang,"
Aku mengangguk cepat "Masukan, kumohon." kataku. Tidak peduli jika tampaknya seperti seorang wanita jalang murahan, aku begitu menginginkan penisnya, amat sangat ingin sampai sanubariku bergetar dan perutku bergejolak sementara tubuhku terasa semakin panas.
"Mereka bilang semua Omega berubah binal saat sedang Heat, tampaknya itu juga benar." Katanya entah kepada siapa "Tampaknya bahkan jika aku memperkosamu kau tidak akan keberatan huh?"
Ia membelai rambutku dan aku mengangguk, melingkarkan kedua kakiku di pingangnya dan mencakar punggungnya saat ia memaksa masuk dalam satu sentakan. Rasanya sakit luar biasa seperti di robek dua, tapi aku bertahan karena kutahu lama kelamaan semuanya akan berubah menjadi kenikmatan tak terbayangkan "J-jangan berhenti," kataku "Bahkan jika aku memohon kepadamu untuk berhenti jangan berhenti."
"Nice!" Katanya "Karena aku tidak suka sex yang berakhir terlalu cepat."
Ia menghujam kewanitaanku berkali kali dan setelah sekian lama tiba tiba rasa pusing hebat menderaku, kemudian bayangan serigala abu abu itu kembali muncul di benakku, tapi kali ini diikuti seekor serigala cokelat dengan mata biru dan tiba tiba aku mendengar sebuah suara di kepalaku yang membuatku menegang "Omegaku"
Aku membuka mata menyadari bahwa aku mendengar suara itu di dalam kepalaku dan bukan di telingaku hanya untuk melihat Lee Hyukjae menatapku dengan mata kuning keemasan persis seperti serigala berbulu abu abu itu.
"A-alfa?" Kata kata itu meluncur dari mulutku diiringi rasa rindu yang mendamba, seolah olah aku sudah mendambakan ini seumur hidupku. Ia mengehentak sekali lagi dan suara itu kembali berbicara di dalam kepalaku "Milikku, kepunyaanku. Hak pribadiku."
Aku mengeratkan peganganku di tubuhnya dan ia tersenyum "Mulai hari kau terikat kepadaku Omega, jika ada Alfa lain yang mendekatimu katakan padaku.
Air mataku terjatuh begitu saja, bukan air mata kesedihan, sebaliknya, aku justru merasa begitu merindukannya secara tiba tiba, seolah olah ia adalah potongan jiwaku yang hilang, seolah olah aku menantikan hari ini seumur hidupku. Aku tidak paham kenapa, tapi itulah yang kurasakan.
"Alfa," Mulutku bergerak sendiri seolah olah bukan aku yang bicara "Aku berjanji setia seumur hidupku hanya kepadamu, tubuhku, hatiku, kebebsanku, dan semua yang ada pada diriku adalah milikmu. Perlakukan aku sesuka hatimu Alfa, karena aku milikmu."
Ia tersenyum dan sekali lagi menciumku "Milikku."
Apparently I'm a Werewolf
Gairah itu terus membakar selama satu minggu penuh, beberapa kali sempat mereda sebelum kembali meledak tidak terkontrol membuatku memginginkan sex lebih dari apapun, untungnya ia tidak pernah pergi dari sisiku barang sebentar saja dan selalu tanggap setiap kali tubuhku memiliki gelagat aneh dan membantuku meredakannya.
Di hari terakhir setelah bergumul selama tiga jam penuh aku akhirnya kembali merasa seperti diriku sendiri dan ia pun tampak menyadari perubahan kecil itu "Warna matamu sudah normal Sayang," katanya sambil memelukuu erat di dalam dekapannya. Aku dan dia bergumul di depan TV setelah tiba tiba serangan itu menyerangku saat tengah menonton TV dan kami tidak sempat pindah ke kamar. Satu minggu ini aku menghemat persedian baju bersih karena aku betul betul tidak mengenakan satupun, bukan karena tidak ingin atau karena tidak tahu malu padahal ada laki laki dewasa di rumahku, tapi ia melarangku dan semenjak seminggu yang lalu dan aku dapat merasakan bahwa tiba tiba semua perkataanya terasa seperti perintah mutlak. Bahkan jika aku keberatan, tubuhku akan otomatis menuruti perkataanya tanpa bisa ku cegah.
Mungkin ini merupakan bagian dari urusan Alfa-Omega yang tidak terlalu kupahami itu, tetapi well, sejujurnya aku tidak terlalu keberatan di dominasi seperti ini.
"Matamu juga sudah normal," Kataku "Tapi apa artinya itu?"
Ia tertawa dan mencubit hidungku gemas "Artinya masa heat mu sudah lewat dan kau tidak akan mendapat serangan yang akan membuatmu ingin di setubuhi seperti anjing sundal murahan seperti satu minggu kemarin sampai satu bulan kedepan,"
"Hey, itu kasar." Kataku cemberut.
"It's okay, aku suka saat kau menjadi sundal" katanya sebelum menciumku dan aku mendengus "kau seksi saat agresif Sayang,"
Aku berteriak karena malu dan dia tertawa.
"Tapi dua minggu lagi kita harus ke dokter kandungan." katanya tiba tiba.
Aku menaikan alisku "Kenapa?"
"Karena kau mungkin saja hamil." katanya "Periode Heat seorang omega adalah masa tersubur yang dimilikinya, dan jika dibuahi maka kehamilan mungkin saja terjadi. Penjelasanya agak rumit, tapi kira kira seperti itu. Kau betul betul tidak tahu kalau kau Omega sampai kemarin? Orang tuamu tidak pernah bilang apa apa? Atau tidak adakah Alfa yang datang kerumahmu dan berusaha untuk mengklaim mu?"
Aku mengeleng. "Aku selalu penasaran kenapa ayah dan ibuku selalu sedikit agak terlalu protektif padaku selama ini, memasukanku kedalam les bela diri dan terlihat begitu ketakutan saat aku berekatan dengan pria, sekarang kurasa aku paham alasannya, walaupun bagaimanapun aku harus tetap meminta penjelasan dari mereka."
Ia mengangguk "Well, setidaknya sekarang mereka akan tahu bahwa kau sudah mating,"
"Maksudnya?"
"Baumu akan berbeda karena sudah tercampur dengan bau ku Baby," katanya "Bagitulah mekanisme hirarki ini bekerja dan kenapa Omega yang belum memiliki alfa begitu riskan untuk dijahati secara seksual," terangnya
"Aku tidak mengerti," kataku
"Baumu, baumu mengundang para alfa datang kepadamu. Menurutmu bagaimana aku bisa tahu kalau kau sedang heat kalau aku tidak mencium feromonmu tersebar dimana mana." Katanya "Kalian para omega tidak akan pernah tahu bahwa feromon yang kalian hasilkan" katanya sambil mengecap kulit leherku dan megerang teredam "terlebih disaat sedang heat baunya seperti heroine, begitu mengundang dan menjadi candu, dan kau wangi sekali."
"Ah~" Aku mendesah saat ia mengigit leherku "jadi wangi parfum yang kau bilang waktu itu maksudnya-"
"Feromon yang kau hasilkan" katanya setengah berbisik "Aku selalu curiga bahwa kau adalah seorang omega selama ini, tapi kali itu adalah saat dimana aku tahu pasti bahwa kau betul betul omega. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi kalian para Omega sudah mulai menghasilkan feromon berlebih dua minggu sebelum heat, dan karena ini heat pertamamu, jadi biar kutebak tiba tiba banyak jantan di kantormu yang yang tiba tiba ingin mendekatimu?"
Aku menangguk, kalau dipikir pikir betul juga
"Jadi bagaimana sekarang? Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan akan menjadi korban pemerkosaan selamanya," Kataku
Ia tertawa.
"Sekarang sudah tidak apa apa. Tadi kan kukatakan bahwa hanya omega yang belum memiliki Alfa yang beresiko tinggi menjadi korban kejahatan seksual. Kau sudah punya Alfa sekarang," katanya dan menunjuk dirinya sendiri "Aku. Jadi tidak akan ada yang akan menganggumu kecuali mereka mau leher meraka kupatahkan jadi dua."
Aku memukul dadanya pelan "Kenapa bicaranya seram sekali."
Ia tertawa "Hanya jaga jaga." katanya mengangkat bahu "Sudahlah, yang jelas kita harus datang kerumah orang tuamu secepatnya dan menjelaskan kepada mereka bahwa anak gadis mereka yang omega ini sudah punya Alfa, jadi mereka tidak perlu khawatir."
"Lantas bagaimana dengan kehamilan," kataku
"Wae?"
"Aku takut Appa marah," Kataku "Bagaimana jika Appa marah dan berusaha memisahkan kita. Aku tidak mau kalau sampai itu terjadi."
Ia tersenyum dan membelai unggungku menenangkan "Kalau begitu kita lari, aku tidak akan pergi, dan seharusnya ayahmu juga tahu bahwa tidak ada Alfa yang bisa dipisahkan dari Omeganya dan begitu juga sebaliknya, karena mereka saling membutuhkan. Aku akan menikahimu jika dibutuhkan."
Aku memeluknya "Berjanjilah untuk tidak pernah meninggalkanku,"
"Aku janji"
A Quiddity of Being an Omega
Memiliki identitas baru sebagai seorang omega membuatku tahu banyak hal dalam beberapa minggu belakangan ini seperti bahwa manusia dengan gen serigala seperti kami sebetulnya berkembang dan tersebar di seluruh dunia namun berbaur dengan sangat baik dengan manusia biasa. Jumlahnya jika betul mencapai sekitar separuh populasi manusia di bumi dan terbagi kedalam tiga hirarki, yaitu Alfa, Beta dan Omega.
Beberapa hidup seperti manusia biasa, memiliki identitas manusia dan berbaur dengan masyarakat seperti aku, kelurgaku, dan juga tentu saja Alfaku, namun beberapa kelompok kelompok kolot masih suka mendiami hutan dan hidup dalam pack dengan aturan yang kuno.
"Tapi kalau begitu tidakkah kita akan berubah wujud-maksudku menjadi serigala" Kataku pada suatu hari itu sambil menyamankan posisiku di dalam pelukannya. Pelukannya hangat tidak seperti jari jemarinya yang dingin, dan aku selalu suka bagaimana rasanya seperti terlindungi saat ia memelukku, membuatku mampu tertidur dalam hitungan detik hanya karena ia memelukku.
Ia mengelus punggungku dengan halus sebelum mulai menjelaskan "Hanya pada waktu waktu tertentu tidak seperti di filem filem murahan tentang manusia serigala. Biasanya seekor serigala bisa berubah ke wujud binatangnya saat merasa sangat marah atau terancam, namun beberapa kasus tertentu bisa juga terjadi saat merasa sangat bergairah," katanya dan aku memukul dadanya karena tiba tiba tatapannya berubah mesum dan ia tertawa melihat reaksiku "tahukah kau bahwa telingamu muncul saat kita bercinta hari itu?"
"Kapan?"
"Saat penyatuan yang pertama, warnanya cokelat dan sebetulnya aku ingin memberitahumu, tapi berhubung kau tidak tahu apa apa waktu itu, aku takut membuatmu panik dan menggagalkan seluruh rencanaku untuk menggarapmu,"
Aku mengerjab dua kali, sedikit agak bingung "Benarkah? Tapi kenapa aku tidak sadar sama sekali?"
"Kau sadar Sayang, hanya tidak mengerti," gumamnya "saat matamu berubah biru, saaat itu telingamu juga muncul. Katakan padaku, kau melihat gambaran serigala cokelat di dalam kepalamu waktu itu?"
Aku menangguk.
"Ya, bersama serigala abu abu."
"Well, that's us," katanya "dalam wujud serigala kita masing masing"
Aku mengangguk faham.
"Lalu apa lagi..." tanyaku kemudian "bagaimana dengan pack? Dimana kelompokmu?"
Ia tidak langsung menjawabnya, dan untuk sesaat kupikir aku melihat gurat kesedihan di matanya, tetapi kemudian ia membuka mulut dan mulai bicara "Aku tidak punya."
"Like a lone wolf?" Aku menoleh menatapnya sungguh sungguh kali ini "tapi bukankah katamu seorang lone wolf punya resiko yang besar untuk diserang oleh kelompok lain?"
Ia mengusap puncak kepalaku dan mencium keningku sekilas sebelum menjawab lembut "Untungnya aku cukup kuat sehingga tidak ada yang berani mengangguku." katanya sambil tersenyum "Kenapa? kau keberatan punya alfa yang tidak punya pack?"
"Aniya!" Bantahku cepat "Bukan itu maksudnya Bodoh!"
"Ia menoleh begitu aku memanggilnya dengan sebutan bodoh, dan aku buru buru menutup mulutku menyadari ketololan macam apa yang sudah kulakukan, bisa bisanya aku memanggil Alfaku sendiri dengan sebutan 'Bodoh' bagaimana jika dia marah?
"Kau betul betul omega yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun," katanya mencubit pangkal hidungku, tidak terlalu sakit tapi cukup untuk membuatku mengaduh "kalau Alfamu bukan aku, bisa bisa kau celaka Sayang,"
"Maafkan aku Alfa," kataku kemudian mencium pipinya sebagai permintaan maaf sambil mencoba untuk bersikap manis. Bagaimanapun dia Alfaku, aku tak berdaya di bawah kekuasaanya.
Ia menciumku dengan intense, seperti kelaparan sehingga kupikir ia akan memakan habis bibirku dan menginvansi rongga muliutku dengan rakus.
"Untungnya kau perayu yang handal," katanya kemudian setelah ciuman basah itu dan wajahku memerah mendapati bahwa ia menatapku dengan tatapan yang secara terang terangan menggambarkan bahwa ia tengah membayangkan hal hal kotor.
"K-kita harus kerumah orang tuaku nanti malam." Kataku mengalihkan pandanganku darinya sebelum ia melakukan sesuatu yang lebih jauh.
Bukan karena aku tidak suka melayaninya-maksudku, aku suka saat ia secara terang terangan berfikaran kotor tentang aku-tapi aku tahu betul bahwa kami tidak akan berhenti hanya dalam satu atau dua jam, dan biasanya ketika sesi percintaan itu berakhir aku sudah terlalu lelah bahkan hanya untuk berdiri dari tempat tidur.
Resiko punya pasangan dengan nafsu sebesar gunung dan stamina sebanyak buih dilautan, itupun belum termasuk ukuran kejantananya yang tidak masuk akal, jika kejantananya berukuran manusiawi mungkin aku tidak akan begitu kepayahan, tapi aku bahkan masih kesulitan untuk beradaptasi dengan ukurannya setiap kali ia masuk, bagaimana aku akan menemui kedua orang tuaku nanti malam jika ia membuatku tidak bisa berjalan.
.
.
Aku duduk gelisah di kursi sebelah pengemudi sementara mobil melaju menuju rumah orang tua ku malam itu.
Sejujurnya aku gugup setengah mati mengingat apa yang mungkin saja terjadi, menyadari bahwa orang tuaku mungkin akan langsung tau bahwa aku sudah mengetahui apa aku sebenarnya dan membawa pulang seorang alfa bersamaku membuat perutku melilit terutama mengingat peringatan terakhir yang di lontarkan ayahku waktu itu terkait dengan laki laki ini.
Berbanding terbalik denganku ia terlihat santai, entahlah apakah karena ia betul betul santai atau cuma sekedar pintar menutupi kekhawatirannya di hadapanku akupun tidak tau.
Aku merasakan bahwa tanganku di remas lembut kemudian dan aku menoleh hanya untuk melihatnya balas melihatku "Jangan terlalu khawatir dengan kepala kecilmu itu Sayang,"
"Sejelas itukah?
"Tertulis jelas di kepalamu." jawabnya.
Aku tertawa gugup, namun tidak sanggup untuk membalas perkataanya karena kenyataanya mungkin ia benar. Aku memang se khawatir itu dengan apa yang mungkin orang tuaku katakan.
Aku dan dia sampai di depan halaman rumahku sekitar setengah jam kemudian dan aku memintanya diam di mobil sampai aku memintanya turun, well, aku tidak ingin orang tuaku kena serangan jantung melihat anak perempuan omega mereka tiba tiba pulang membawa seorang Alfa.
Ia mengangkat bahu saat aku menyuarakan maksudku, tapi tidak keberatan sehingga aku turun dari mobil sendirian dan menekan bell di pintu depan dengan jari jari tangan kaku saking gugupnya.
Sekitar kira kira tiga menit kemudian pintu mengayun membuka dan ibuku muncul di baliknya, tampak kaget dengan kunjungan mendadak itu tapi juga senang
"Astaga, anakku!" Ia berteriak dan buru memelukku. Aku hendak membalas pelukannya, tetapi sebelum aku sempat melakukannya ia melepaskan pelukan itu dan menatapku aneh, lebih seperti ngeri dan aku tahu saat itu bahwa ia sudah tau.
"Umma, ada seseorang yang ingin ku kenalkan kepada Umma dan Appa," kataku sepelan mungkin, meminimalisir kemungkinan supaya ibuku tidak hiateris.
Aku menoleh ke arah mobil audi milik Alfaku dan tak lama kemudian ia turun dari mobil dan berjalan menghampiriku.
Ibuku mengeram -itu adalah kali pertamanya aku melihatnya begitu- tetapi Hyukjae Oppa melakukan sesuatu yang tidak kumengerti, matanya berubah keemasan dan tiba tiba saja ibuku berhenti walaupun matanya tetap melihat tidak suka.
"Aku sudah tau semuanya," kataku
Aku menunggu ibuku mengatakan sesuatu sebagai balasannya, dan setelah beberapa waktu ia memang membuka mulutnya sambil mengatakan "Jadi kau sudah mating? Dengan laki laki ini?"
Ragu, perlahan aku menangguk. Kupikir aku akan dimarahi, namun kemudian kudapati bahwa ibuku menghela nafas dan mengeser tubuhnya "Masuklah, kita bicara di dalam."
.
.
Semua berjalan dengan tidak terlalu buruk. Memang pada mulanya kedua orang tuaku kaget, tetapi dengan penjelasan yang cukup akhirnya mereka mengerti.
Aku berada di kamarku -kamar lamaku lebih tepatnya- setelah ayahku memutuskan ia ingin bicara empat mata dengan "calon menantunya" begitu katanya dan menyuruhku naik ke atas.
Aku menghela nafas bosan, menyebalkan. Aku sudah dewasa dan bahkan sudah bukan perawan, tetapi kenapa di rumah ini mereka selalu saja membuatki terlihat seperti anak kecil yang tidak boleh mencampuri urusan orang dewasa.
Pintu mengayun membuka dan ibuku dengan satu gelas jus jeruk masuk ke dalam kamarku dan mendudukan dirinya di atas kasurku dengan posisi yang berhadap hadapan.
"Umma marah padaku?" Aku bertanya padanya.
Di luar perkiraan ia menggeleng.
"Sebetulnya aku tahu cepat atau lambat ini akan terjadi. Pemuda itu-
"-Hyukjae, namanya Lee Hyukjae-"
"-iya Hyukjae, dia kelihatan seperti pemuda baik baik. Apakah ia memperlakukanmu dengan baik? Apakah dia menyakitimu? Kau tahu menjadi seorang omega punya banyak kekurangan, dan terkadang hal itu menbuat beberapa serigala memanfaatkannya, kau di claim olehnya atas dasar suka sama suka bukan?"
Aku tersenyum dan menggengam tangan Ummaku untuk menenangkannya "Umma tenang saja, dia orang baik dan aku mencintainya."
Ummaku agaknya tersenyum mendengarnya.
"Ya, kupikir juga begitu. Ia sopan sekali."
Aku menangguk mengiyakan "Salah satu kelebihannya yang kutahu, ia sangat baik hati."
Kemudian hening cukup lama.
"Kenapa Umma dan Appa tidak pernah mengatakan kepadaku kalau aku Omega? Apakah Umma juga Omega? Bagaimana dengan Soojin dan Jihye?"
Ummaku menggeleng.
"Sunghee, kau satu satunya Omega di keluarga ini, kami semua adalah Beta. Aku, ayahmu, dan adik adikmu semuanya Beta. Awalnya saat aku melahirkanmu dan mengetahui bahwa kau adalah Omega, aku dan ayahmu ketakutan, karena bahkan di jaman moderen seperti ini masih agak sulit untuk mendapatkan kesejahteraan dan keadilan bagi omega. Aku yakin Alfa mu pasti sudah menjelaskan tentang sistem hirarki dan kuyakin kau tahu dimana posisimu dan apa tugasmu dan bagaimana diskriminasi terhadap omega selalu terjadi dari masa ke masa"
Aku menangguk. Tentu saja aku tahu.
Setelah mengetahui bahwa aku adalah seorang omega, aku menggali informasi sebanyak banyaknya dan menemukan berbagai macam hal, beberapa ada yang bagus, tapi kebanyakan berkaitan dengan isu SARA dan pandangan diskriminatif, bahkan beberapa terang terangan mengutarakan pendapatnya bahwa omega tak ubah layaknya sebuah alat pemuas nafsu alfa semata.
"Jadi kalian memutuskan untuk melindungiku dengan menyembunyikan jati diriku dan memasukanku kedalam berbagai macam kursus bela diri agar aku bisa melindungi diri sendiri sekiranya ada yang berani macam macam?"
"Ya, aku dan ayahmu tau kalau kau membenci datang ke kursus itu, tetapi kami harus memaksamu agar kau bisa melindungi dirimu sendiri."
Aku menghela nafas sebelum bicara pelan "Sekarang Umma bisa berhenti khawatir. Aku akan baik baik saja bersama Hyukjae Oppa."
"Aku tahu." Ibuku menjawab kemudian tersenyum "cepatlah beri Umma cucu kalau begitu"
Wajahku memerah mendegar kata kata Ummaku, teringat dengan percintaanku dengan Alfaku di atas tempat tidur.
"Aigoo, anakku sudah dewasa."
"UMMAAA!!"
A Surprise Visit at Dusk
Aku dan dia secara resmi tinggal bersama sekarang.
Setelah mendatangi kedua orang tuaku waktu itu dan menjelaskan semuanya serta mendapat restu dari mereka kami memutuskan untuk lebih baik agar kami bisa betul betul tinggal bersama karena bagaimanapun sekarang dan kedepannya aku akan selalu membutuhkannya setiap bulannya saat Heat ku datang dan ia pun secara naluriah akan selalu kembali kepadaku karena aku adalah Omeganya. Dengan pertimbangan itu akhirnya ia membawa barang barangnya dan mulai tinggal di tempatku, selain karena ia bekerja disana tempat itu juga dekat dengan tempat kerjaku sehingga jauh lebih menguntungkan jika ia yang pindah ke tempatku ketimbang aku yang pindah ke tempatnya.
Aku masih bekerja seperti biasa dan menjalani rutinitasku secara normal, Cuma bedanya sekarang ada seseorang yang menungguku di rumah setiap kali aku pulang dengan senyuman diiringi kecupan manis membuatku yang terbiasa sendirian menjadi lebih tidak kesepian, dan aku menyukainya. Selain itu aku juga merasakan perubahan drastis di kantorku, jika sebelumnya banyak sekali karyawan pria yang terang terangan menggodaku -entah mereka serigala atau bukan- sekarang tidak ada yang berani kepadaku dan aku cukup senang karena setidaknya tugasku berkurang satu yaitu mengusir para pria pria itu pergi.
Tampaknya persoalan bau yang ia bicarakan memang tidak main main, jadi kalaupun ada yang berniat untuk mengangguku kenyataan bahwa dia adalah Alfaku membuat mereka semua menjauh.
Teman satu kantorku cukup heboh saat pertama kali melihatku datang diantar naik Porce keluaran terbaru oleh seorang pria tampan setalah absen dua minggu penuh tapi aku menanggapi mereka seadanya sampai kemudian isu itu mereda dengan sendirinya.
“SungHee,” Aku menoleh saat salah satu senior yang ku hormati menegurku di jalan selepas makan siang “Kau terlihat bahagian akhir akhir ini,” katanya dan aku membungkuk untuk memberi penghormatan kepadanya sambal tersenyum.
“Nde Sunbae. Kurasa dunia sedang baik kepadaku akhir akhir ini.” Balasku riang.
Diantara semua senior yang kumiliki pria ini adalah yang paling kusukai, bukan karena parasnya yang tampan tapi karena sikapnya yang juga ramah dan tidak pelit ilmu, Namanya Kim Yesung dan bisa dikatakan kami cukup dekat untuk saling bertukar kabar di sela sela jadwal istirahat, walaupun tampaknya kini hal itu bukan lagi hal yang bagus mengingat statusku sebagai seorang Omega yang memiliki Alfa, maka setalah berbasa basi seadanya aku pamit untuk mengundurkan diri dari hadapannya dan melanjutkan kegiatanku yang tertunda.
.
.
Sore itu aku dan Hyukjae Oppa baru saja kembali dari kencan singkat kami di akhir pekan saat segerombolan pria dengan setelan jas mahal berdiri di depan pintu apartemen kami terlihat seperti tengah menunggu seseorang. Aku kebingungan tentu saja atas kehadiran pria pria asing itu, tetapi Alfaku kelihatannnya tidak karena begitu menyadari kehadiran mereka ia langsung membuat asyarat dengan tubuhnya agar aku mundur dan berdiri serapat mungkin dengannya.
Saat itu aku langsung tahu bahwa pasti ada yang tidak beres disini dan mengikuti arahannya agar berdiri sedekat mungkin dengannya dan mencengkram bagian belakang bajunya se-erat mungkin.
Pria pria itu punya paras yang tampan luar biasa nyaris menyerupai model dengan proporsi tubuh yang bagus, aura mereka nyaris menyerupai Hyukjae Oppa kecuali keberadaan mereka membuatku merasa terancam
Aku mendengar Alfaku mengeram.
Matanya berubah warna menjadi kuning keemasan dalam waktu singkat dan dua buah taring muncul di kedua sudut bibirnya.
Dia siaga.
“Tetap dekat padaku.” Sebuah suara terdengar di dalam kepalaku. Suara yang sama dengan yang kudengar waktu itu saat aku mendapat Heat pertamaku dan aku mengenalinya sebagai suara Alfa-ku, jadi aku mematuhinya dan mengeratkan peganganku kepada bagian belakang kemejanya.
“Kau tahu kalau aku bias mendengarmu bukan Hyuk?” Salah satu diantara pria pria asing itu membuka suara dengan raut wajah geli dan sedikit meremehkan.
Hyukjae Oppa mengeram sekali lagi dan pria itu mundur satu langkah kebelakang.
“Kami tidak datang untuk bertengkar Hyukjae,” Yang lainnya ikut buka suara, tampaknya dia adalah yang paling dituakan disana. Penampilannya agak sedikit nyentrik dan untuk sesaat kupikir ia perempuan sebelum aku melihat jakunnya.
“Kalau begitu pergi. Bukankah sudah kukatakan aku sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian.” Hyukjae Oppa berujar dingin, dan baru kali itu aku merasa ciut saat mendengar suaranya “Kau bahkan melacakku sampai kesini Sungmin Hyung, sebegitu inginkah kalian membuat hidupku tidak tenang.”
“Well, sebetulnya aku tidak melacakmu Hyuk.” Pria lainnya bersuara “Jongwoon yang menemukanmu, dia mengenali baumu dari dia. Tidak kusangka kau akhirnya mengikat dirimu dengan seorang Omega Hyuk, kupikir kau suka konsep hidup sendirian selamannya.” Sambung pria itu kemudian tertawa tanpa emosi.
“Bukan urusanmu.” Hyukjae Oppa menjawab “Apa lagi yang kalian inginkan.”
“Appa menyuruhmu pulang sebelum Bulan Merah,” Balas Pria yang menyerupai perempuan tadi yang aku tidak tahu siapa namanya.
“Aku tidak mau.”
“Kau harus mau atau kau tahu sendiri seberapa keras kepala si tua bangka itu, dia tidak akan berfikir dua kali untuk menghandalkan segala cara demi membawamu pulang, dan kau tahu betul itu karena kau juga buah dari keegoisannya.”
Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, tetapi sesaat kupikir aku melihat sebuah kesedihan di pupil mata kekasihku saat ia mendengar hal itu. Terlalu sibuk mencerna semua percakapan membingungkan itu aku seperti terkaget saat tiba tiba seseorang berbisik tepat di daun telingak-
“Baumu enak,”
-dan nyaris jatuh terjengkang karenanya.
Seorang pria asing lain dengan surai cokelat madu berdiri tak sampai setengah meter dariku dan tersenyum jenaka. Ia mengedipkan matanya kepadaku dan aku terlalu bingung bahkan hanya untuk sekedar memberikan reaksi tidak suka atas perbuatannya.
Alfaku memutar tubuhnya untuk menghadapi si tamu baru ini dan mengeram marah, namun orang aneh itu tampak tidak terlalu terpengaruh dengan eraman itu dan malah tertawa “Hai Hyung, begitukah caramu menyambut adikmu?”
“Kau sentuh dia Cho Kyuhyun, kupatahkan setiap tulang yang ada ditubuhmu.” Kata Hyukjae Oppa dingin, matanya berkilat.
Pria aneh itu-Kyuhyun tertawa sekali lagi.
“Galaknya, tidak kusangka kau berhasil meniduri seorang Arthemist Hyung, aku bangga padamu.” Tukasnya kemudian perlahan menghirup wangi rambutku “wanginya menggoda sekali membuatku sedikit menginkannya, tidak bisakah aku menyicipinya?
Aku menatap laki laki itu horror. Aku tidak suka laki laki ini.
“Kyuhyun! Hentikan! Jangan memancing keributan. Kita kesini untuk membawa Hyukjae pulang bukan berkelahi.” Pria yang bernama Sungmin kembali bicara, menegur pria yang bernama Kyuhyun itu dan setelahnya kulihat Kyuhyun tertawa sekali lagi.
“Tapi aku betul kan kalau wangi dia,” katanya menunjukku “membuat kalian semua juga kelaparan. Aku selalu penasaran bagaimana rasa seorang Arthemis, Hyukjae Hyung, bagaimana rasanya?”
“Cho Kyuhyun!”
“Baiklah baiklah, aku diam.”
Pria yang memiliki paras menyerupai wanita beralih menatap Hyukjae Oppa sekali lagi dan kemudian berseru.
“Pulanglah, aku tidak bisa menjamin kalau Appa tidak akan mengandalkan segala cara untuk membuatmu pulang termasuk memanfaatkan Omega kesayanganmu itu.”
.
.
Setelah kepergian para pria pria gila itu-begitulah aku menyebutnya- Hyukjae Oppa banyak berdiam. Ia membuka pintu rumah sesaat setelah kepergian mereka dan duduk di depan sofa tanpa mengatakan sepatah katapun. Awalnya aku membiarkannya karena kupikir ia pastilah butuh waktu sendiri setelah apa yang terjadi apapun masalah yang dimilikinya dengan orang orang itu, tetapi setelah dua jam berlalu dan ia masih tetap bungkam seperti batu akhirnya kuputuskan untuk menghampirinya dan kupeluk tubuhnya.
"Alfa," aku memanggilnya pelan "Aku tidak akan bertanya siapa mereka dan apa maksud semua perkataan mereka, tetapi maukah kau menjawab pertanyaanku apakah kau baik baik saja?" Kataku perlahan.
Ia menoleh menatapku dan aku melempar senyum kecil sebagai bentuk tanda bahwa aku ada disini untuknya apapun yang terjadi.
Ia membalas senyumku tipis dan kemudian balas memelukku, membenamkan wajahnya di cerung leherku dan menghirup aroma tubuhku banyak banyak.
"Kau wangi sekali Sayang," Tukasnya. Ia tidak menjawab pertanyaanku tetapi cukup membuatku lega karena setidaknya ia tidak lagi membatu seperti patung.
Aku membelai rambutnya sayang "Kau tahu, kau bisa ceritakan semuanya padaku Oppa,"kataku.
Ia menggeleng kuat.
"Aku sedang tidak ingin membahasnya," tukasnya kemudian melingkarkan tangannya di pingangku dan mengelusnya sayang.
Aku menahan nafas kala ia mulai menjilat tulang selangka di sekitaran leherku dan sesekali menggigitnya, harusnya aku tahu bahwa cara yang paling efektif untuk membuatnya merasa lebih baik adalah sex.
"Jika memang kau ingin menghiburku, bercintalah denganku Sayang" bisiknya kemudian perlahan lahan menidurkanku di atas sofa dan mulai menindihku. Aku menahan nafas kala ia mulai membuka kancing bajuku satu persatu dan menanggalkan pengait bra di bali punggungku."Aku tidak suka bagaimana cara Cho Kyuhyun menatapmu baby," katanya "hanya aku yang boleh menatapmu seperti itu."
Aku melenguh untuknya kala ia membuka pengait celana jeansku dan menurunkannya sebatas paha dan ia mendengus puas saat melihat celana dalam berenda yang kugunakan "Tampaknya seseorang sudah tahu kalau aku suka saat ia mengenakan celana seperti ini," katanya memasukan tangannnya kedalam lipatan celana dalam itu dan menyentuh pinggiran kewanitaanku.
Ia kemudian menurunkan kain itu juga sebatas lutut dan melempar tatapan penuh kabut nafsu membuat wajahku memerah dengan cepat karena tahu persis apa yang ada di dalam pikirannya
"Sayang, aku tidak akan lembut malam ini apakah kau keberatan?" Ia bertanya kemudian dan aku menghormati bagaimana caranya meminta izin kepadaku untuk berbuat kasar ketimbang langsung melakukannya.
Perlahan aku mengangguk.
"I'm all yours Alfa."
Ia menciumku sekilas sebelum menurunkan celananya terburu buru dan langsung memasukan miiliknya tanpa penetrasi membatku memekik tertahan. Ia menautkan kesepuluh jemari kami saat aku mulai mengapai gapai udara karena rasa sakit yang tidak tertahankan dan menghujami wajahku dengan ciuman kupu kupu sambil menggerakan pinggulanya dengan cepat, berharap sakitnya dapat menghilang dengan cepat.
"Ah! pelan pelan!" Kataku.
Tapi ia tidak mendengar pekataanku dan menghujam seperti orang kesetanan. Aku melihat miliknya keluar masuk tapi satu satunya hal yang sanggup kulakukan hanya mendesah. Dia dengan ke-alfa-an dan dominasinya membuatku tidak bisa apa apa dihadapannya.
"Kau harum sekali Sayang, aku mencintaimu."
Damn! I'm Trapped!
Aku memutar pensil yang kupegang di tanganku dengan bosan sambil melamun menatap keluar jendela dari ruangan kantorku yang terletak di lantai lima.
Pikiranku melayang kemana mana, sebagian memikirkan laporan keuangan yang masih belum ku rekap untuk minggu depan, sebagian lagi memikirkan tumpukan cucian kotor yang belum sempat kucuci di rumah, sebagian tersita untuk memikirkan apa menu makan malam yang sebaiknya kubuat malam ini untukku dan Hyukjae Oppa dan sebagian lagi hanya berkelana secara acak.
Sejujurnya selama dua minggu belakangan ini ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku terkait dengan Hyukjae Oppa dan tamu tamu tidak diundang yang muncul di depan pintu apartemen kami waktu itu, tak peduli seberapa keras aku berusaha untuk mencoba tidak peduli pada kejadian itu tetap saja hal itu mengangguku.
Pasalnya Hyukjae Oppa berubah menjadi aneh setelah kedatangan para orang orang itu. Ia berusaha untuk menutup nutupi keresahannya dariku tapi aku selalu tahu bahwa ia sering kali terjaga di malam hari setelah kejadian itu, ia juga menjadi sedikit lebih paranoid dan seringkali secara tidak langsung berusaha keras untuk membuatku selalu berada di dalam pengawasannya selama 24 jam padahal sebelumnya ia tidak seperti itu.
Ia memang agak posesif, namun tidak sampai mengekangku untuk melakukan segala sesuatu. Masalahnya dua minggu terakhir ini ia telah memintaku untuk berhenti dari pekerjaanku sebanyak dua kali tanpa alasan yang jelas, dan itu sama sekali tidak seperti Hyukjae Oppa yang kukenal.
Aku tak begitu paham apa yang ditakutinya, tapi menurut tebakanku hal itu pastilah berhubungan dengan sosok "Appa" dan "Bulan Merah" yang mereka bicarakan waktu itu. Dan fakta bahwa ia tidak mencoba untuk menjelaskan apapun kepadaku, tidak peduli berapa kalipun aku berusaha untuk membuatnya mulai bicara malah membuatku merasa jauh lebih buruk lagi.
Bukankah katanya pasangan yang telah mating berbagi segalanya dan terhubung secara batin dalam aspek aspek yang kompleks, aku bisa merasakan kegundahan hatinya, tapi aku tidak akan pernah bisa memahaminya jika ia tidak mulai bicara padaku.
Hal apa yang begitu ingin ia sembunyikan sehingga bahkan akupun yang merupakan pasangannya-omeganya-tidak boleh tau..
Dengan agak kesal karena pemikiran itu aku membuka laptopku dengan kasar dan mulai mencari terkait dengan fenomena Bulan Merah di internet, pencerahaan sekecil apapun akan sangat berharga sekarang ini dan aku butuh jawaban atas semua pertanyaan yang bersarang di kepalaku.
"Sialan!" Kataku mengumpat kecil saat tidak menemukan apapun yang kubutuhkan di platform online itu selain beberapa mitos yang sama sekali tidak berhubungan dengan serigala.
Bahkan internet pun tidak tahu jawaban yang kubutuhkan saat ini.
Tidak ingin berputus asa aku mulai mencari kata kunci "Arthemist" di halaman depan pencarian, berharap akan menemukan sesuatu.
Aku mendengar si cokelat madu itu memanggilku dengan sebutan Arthemist waktu itu, dan mengabaikan betapa kurang ajarnya tatapannya kala itu sebetulnya aku cukup penasaran kenapa ia menyebutku demikian.
Namun sekali lagi yang kutemukan hanyalah sekumpulan artikel mitologi yunani yang terkait dengan dewi keberuntungan Yunani yang bernama Arthemist dan tidak apapun yang berhubungan dengan manusia serigala.
"Tidakkah ada sesuatu yang bisa membantuku disini?!" Kataku mengerang jengah karena penelusuranku tidak menghasilkan apa apa.
Aku kesal setengah mati dan begitu frustrasi tidak mengetahui apa apa seperti orang bodoh, tapi dilain sisi aku tahu bahwa tidak ada yang bisa kulakukan sehingga hal itu membuatku menjadi lebih jengkel lagi.
Ditengak kejengkelan yanh luar biasa itu seseorang mengetuk pintu ruanganku dan tak lama kemudian Yesung Sunbae muncul dari balik pintu itu sambil membawa dua gelas besar yang tampak seperti Ice Coffee latte.
"Sunbae?" Ujarku kebingungan, sepertimya aku tidak punya janji apapun dengan pria itu, lantas kenapa dia tiba tiba muncul di dalan ruang kerjaku?
"Kau tidak istirahat?" Balasnya sambil menaruh salah satu gelas kopi itu di hadapanku "sudah jam 12 lebih sedikit,"
"Tidak, aku sedang tidak selera makan Sunbae, Sunbae sendiri?" Kataku.
"Aku juga." Gumamnya "Ini untukmu, tadi hendak kuberikan pada Ryujin, tapi dia tidak masuk," tambahnya sambil menyodorkan ice caffee latte itu kepadaku.
Aku menerima pemberiannya dengan alasan kesopanan dan tersenyum kepadanya sebagai ucapan terimakasih.
Ia menarik kursi di depanku dan kemudian secara sukarela duduk diatasnya
"Bolehkah aku disini sampai makan siang berakhir? Aku tidak terlalu suka dengan pemandangan yang ada di ruanganku." Katanya lagi kemudian.
Sebetulnya aku sedikit merasa ganjil dengan sikap Yesung Sunbae kali ini, bahkan walaupun aku dan dia bisa dikatakan cukup dekat sebelumnya tetapi ini adalah pertama kalinya ia bersikap seperti ini, entah cuma perasaanku saja atau ia memang tengah berusaha untuk mendekatiku.
" Bagaimana laporan bulananmu?" Katanya bertanya kemudian.
Mungkin memang cuma perasaanku saja.
"Sedang kukerjakan Sunbae, tidak ada kendala yang betul betul perlu di khawatirkan sebetulnya, hanya saja data yanh kuperoleh masih terlalu mentah jadi aku harus mengolahnya lagi."
Yesung mengangguk paham
"Bisa kan tapi?" Katanya.
Aku mengangguk mantap.
"Aku bukan anak baru lagi Sunbae," balasku sambil tertawa kecil dan Yesung ikut tertawa bersamaku.
Kemudian kami mulai membahas pekerjaan, jenis pembicaraan umum yang biasa di bahas oleh orang kantoran.
Tak terasa setengah jam telah berlalu dan kopiku habis tak bersisa, kopi yang enak, tapi membuat tenggorokanku serat sehingga aku berniat bangun dari kursiku untuk mengambil air dingin dari dispenser yang terletak di sudut ruanganku saat tiba tiba kusadari bahwa sesuatu yang aneh telah terjadi, aku tidak bisa menggerakan kedua kaki dan tanganku.
"Kau baik baik saja?" Tukan Yesung saat memperhatikan gerak gerikku yang mulai gelisah.
Aku berusaha untuk melempar senyum sebagai tanda bahwa aku baik baik saja kepadanya tapi gagal karena aku betul betul panik tiba tiba lumpuh setengah badan.
"Kau tidak bisa menggerakan tubuhmu?" Katanya dan aku menoleh padanya hanya untuk mendapati bahwa ia-Kim Yesung tengah tersenyum padaku, jenis senyum yang belum pernah kulihat darinya, begitu dingin dan aku tidak menyukainya.
"Wah, kau Arthemist betulan ya? Kupikir Cho Kyuhyun mengada ngada saat mengatakan Hyukjae meniduri seorang Arthemist. Minuman itu telah tercampur dengan sari akar mandrake yang hanya akan bereaksi pada seorang Arthemist, alat penguji yang efektif untuk menentukan apakah seorang omega adalah arthemist atau bukan, sekaligus obat bius yang bagus"
Tunggu dulu.
Cho Kyuhyun?
Darimana dia mengenal Cho Kyuhyun, dan Hyukjae Oppa... siapa laki laki sialan ini sebetulnya?
"Apa yang kau lakukan padaku?" Kataku berusaha untuk terlihat berani dan menantangnya, tetapi bukan malah membuatnya takut tindakanku itu justru terlihat seperti aksi yang lucu baginya.
Ia menutup matanya selama beberapa detik dan saat ia membukannya aku bisa melihat bahwa mata itu berubah warna menjadi merah darah.
Sialan! Harusnya aku tahu kalau dia adalah serigala tepat saat ia menyebut Cho Kyuhyun.
Selama bertahun tahun aku mengenal Yesung, kupikir aku mengenalnya... tapi ternyata aku tidak tahu apa apa dan fakta bahwa ia tersenyum sadis saat melihatku tidak bisa bergerak betul betul membuatku takut sekarang.
"Takut?" Katanya sambil menghampiriku dalam langkah pelan yang pasti.
"Apa yang kau lakukan padaku Sialan?" Kataku.
Ia tertawa.
"Seekor betina galak huh?" Katanya "aku penasaran bagaimana Hyukjae menjinakkanmu, kupikir kalian para Arthemist sudah punah." Sambungnya sambil berbisik di atas daun telingaku.
Tubuhku gemetaran dan aku ketakutan setengah mati. Pria ini adalah Alfa, aku bisa merasakan aura Alfanya, dan itu sama sekali bukan hal yang bagus.
"Kyu benar, baumu menggoda." Katanya lagi kemudian, dan aku berusaha untuk menghindar saat ia hendak menjilat leherku "Si Anak Terbuang itu pasti akan marah sekali kalau aku menodaimu dengan bau ku, haruskan aku melakukannya?"
Aku terdiam ngeri dalam kelumpuhanku. Dia tidak bermaksud untuk memperkosaku bukan?
Apa yang harus kulakukan...
Jika saja aku bisa menggerakkan tanganku, ingin sekali rasanya aku meninju si brengsek ini.
"Apa dia sudah membuahimu? Berapa kali kalian bercinta huh? Jalang! Kau tidak terlihat seperti seseorang yang mudah untuk membuka kakimu,"
"Lepaskan aku! Atau aku teriak!" Kataku
Ia kembali tertawa, tampak meremehkan.
"Teriak saja, asal kau tahu aku sudah memisahkan ruangan ini dari dimemsi yang biasa di tinggali manusia, kalaupun aku membunuhmu tidak akan ada yang tahu Sayang," katanya memcengkram pipiku keras dan memaksa untuk menciumku.
Jika saja aku bisa menghubungi Hyukjae Oppa... Hyukjae Oppa... Lee Hyukjae tolong.. jika saja...
Kemudian keajaiban terjadi..
Ia betul betul hendak menciumku saat tiba tiba pintu membanting terbuka dan seseorang yang kukenali sebagai Alfaku berdiri di baliknya dengan mata kuning keemasanya yang berkilau nyalang.
"KIM JONGWOON SIALAN!" Teriaknya. Ia terlihat murka dengan dua buah taring muncul di kedua sudut bibirnya disertai cakar berwarna hitam panjang di kesepuluh jarinya, tampak lebih mengerikan ketimbang saat mengeram marah kepada Cho Kyuhyun waktu itu.
Kim Yesung balas mengeram dan mendesis, kemudian tiba tiba mereka bergumul di tengah ruangan sambil saling berusaha untuk melukai satu sama lain.
Aku berteriak dan menjerit histeris melihat perkelahian itu dan semua terjadi dengan begitu cepat, mereka saling serang dan cakar, begitu mengerikan bagiku yang tidak pernah melihat perkelahian seumur hidupku.
Aku memekik saat Kim Yesung nyaris melukai Hyukjae Oppa, untungnya Hyukjae Oppaku lebih gesit sehingga ia dapat lebih dulu menyerang dan memberi Yesung sobekan di perut.
"Sialan kau bocah terkutuk! Jika saja Appa tidak melarangku, aku akan membunuhmu saat ini juga," Tukas Yesung setelah perutnya terluka
"Seperti kau bisa menang saja dariku Sialan." Balas Hyukjae Oppa kemudian.
Kim Yesung tertawa seperti orang gila
"Mungkin tidak dalam duel, tapi Hyukjae aku bahkan hampir berhasil memperkosa kekasihmu, menurutmu apa yang akan kulakukan berikutnya?"
"Brengsek!"
Aku sudah begitu yakin mereka akan mulai berkelahi lagi saat tiba tiba Kim Yesung menekan bandul kalung yang di milikinya dan tiba tiba menghilang.
Ia melarikan diri.
Sepeninggalan pria brengsek itu aku merasakan tubuhku ditarik kedalam sebuah pelukan posesif.
"Kau baik baik saja?" Katanya dengan terengah engah, matanya sudah kembali berwarna hitam dan taring serta kukunya sudah menghilang "Apa yang dilakukan Kim Jongwoon padamu?"
"Bagaimana kau kesini?" Kataku.
"Aku mendemgarmu. Apakah kau baik baik saja?"
"Aku meminum ramuan akar mandrake Oppa," balasku "aku tidak bisa bergerak."
"Dasar Bajingan licik" Hyukjae Oppa mengumpat "kita pulang okay?"
Aku mengangguk.
A Dark Truth about Him
Malam itu setelah semua kekacauan yang terjadi aku berbaring di atas ranjangku dengan mata yang nyalang, aku sudah bisa bergerak lagi setelah Hyukjae Oppa memberiku penawar racunnya, namun sekarang aku tidak bisa tidur. Rasanya seolah olah setiap kali memejamkan mata maka bayang bayang Kim Yesung yang berubah menjadi bajingan dengan mata merah akan kembali menghantuiku dan aku ketakutan setengah mati.
Kim Yesung... kupikir aku mengenalnya...
Selama lebih dari duapuluh dua tahun hidupku baru kali ini aku nyaris menjadi korban kejahatan seksual terlebih oleh orang yang sudah kuanggap rekan kerja ku sendiri. Selama ini memang banyak laki laki yang mendekatiku, tetapi tidak satupun di antara mereka yang bertindak kurang ajar sampai sejauh itu, dan aku tak peduli seberapa keraspun aku berusaha untuk terlihat baik baik saja tetap tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa hal itu cukup menggangguku.
"Kenapa belum tidur hmm?" Hyukjae Oppa berbisik di telingaku secara tiba tiba dan memelukku dari balik punggungku.
Aku menyentuh pergelangan tangannya dan mengusapnya lembut sebelum menjawab
"Tidak bisa tidur," gumamku sambil menyamankan diriku di dalam rengkuhannya
"Karena Kim Jongwoon?"Dia bertanya.
Aku mengangguk.
"Dia tidak akan bisa mendekatimu sekarang, ada aku." Balas Hyukjae Oppa "Tidurlah,"
Aku menggigit bibirku sementara sibuk berfikir, lalu kemudian aku memutar tubuhku untuk menghadapnya.
Aku butuh jawaban atas semua pertanyaan yang bersarang di kepalaku, dan jika jawaban itu bisa membuatku merasa lebih aman serta membantuku untuk melindungi diriku maka Lee Hyukjae harus menjawabnya.
"Wae?" Ia bertanya.
"Ada yang ingin kutanyakan pada Oppa, dan tolong jawab dengan jujur. Siapa mereka? Cho Kyuhyun, Kim Jongwoon dan semua laki laki yang muncul di depan apartemen ini dua minggu yang lalu... apa hubungan mereka denganmu Oppa?"
Aku menjeda kalimatku untuk melihat reaksinya, tapi kemudian saat ia tidak bereaksi apa apa ku lanjutkan kalimatku.
"Lalu apa itu Arthemist? Kenapa aku Artemist? Dan bulan merah.. Siapa Appa yg kalian bicarakan waktu itu?? Apakah maksudnya Ayahmu? Apakah mereka keluargamu? Kau tidak pernah membahas keluargamu Oppa.. kumohon aku bisa merasakan kegundahanmu selama dua minggu belakangan ini tapi kau harus memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi agar aku bisa lebih memahamimu.."
Kemudian hening.
"Ya, mereka keluargaku." Tukasnya pada akhirnya. Aku menatapnya penuh perhatian tetapi ia tidak balas menatapku, alih alih menatap nanar ke tempat yang jauh, raut wajahnya berubah murung, seolah olah aku baru saja membuatnya membicarakan hal hal menyakitkan yang pernah terjadi di dalam hidupnya
"Sayang, jika aku berkata terus terang tanpa menutupi apapun, berjanjilah untuk jangan membenciku atau lari dariku.." katanya "aku hanya memilikimu, dan jika kau pergi juga kupikir aku akan mati."
"Yak, kenapa bicara seperti itu?" Kataku "Apa maksudmu aku akan lari?"
Ia menciumku tiba tiba, terasa begitu putus asa.
"Aku mencintaimu." Bisiknya.
Aku kehilangan kata kataku pada saat itu sehingga pada akhirnya aku terdiam begitu saja, menunggunya untuk memulai ceritanya.
"Kau tahu Sayang, kau beruntung lahir dari orang tua seperti ayah dan ibumu yang menyayangimu, aku tidak lahir dalam lingkungan yang seperti itu. Sudah ku ceritakan bukan bahwa ada sebagian pack serigala kuno yang masih menjunjung adat istiadat dari masa lalu tanpa tersentuh hukum, keluargaku adalah salah satu diantara kelompok kuno itu yang masih bertahan dinegara ini,-"
Well, itu bisa menjelaskan bagaimana perlakuan saudara saudanya kepadaku.
"-salah satu yang terkuat dari yang pernah ada. Alasanya adalah karena pack itu adalah pack Alfa yang artinya semua anggotanya adalah merupakan seorang Alfa dan di pimpin oleh satu alfa terkuat yaitu Ayahku. Si tua itu berkuasa sekali di dalam rumah itu dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia punya lebih dari sepuluh omega sehingga aku dan orang orang yang kusebut saudara punya ibu yang berbeda beda, kau tahu itulah salah satu alasan paling dominan kenapa kami tidak tampak akur."
Aku terdiam sementara ia mengelus wajahkh dengan tangannya yang besar dan dingin.
"Ibuku adalah seorang Arthemist," gumamnya dan ia tersenyum kecil saat melihat pupil mataku membesar saat mendengar kata itu "Arthemist berbeda dari omega lainnya, jauh lebih special karena mampu melahirkan seorang True Alfa dari rahimnya, salah satu alasan egois yang membuat ayahku menculik ibuku dari kelompoknya dan mengawininya seperti anjing hingga aku lahir." Ia tersenyum sedih saat membicarakan itu " Aku adalah seorang anak yang tidak diinginkan oleh ibunya sendiri, mungkin oleh sebab itu ia begitu membenciku sampai akhir hayatnya, karena aku selalu mengingatkannya pada bajingan itu.. para omega ayahku yang lain juga tidak senang akan keberadaanku karena bagi mereka aku seperti merenggut kesempatan anak anak mereka untuk menjadi pemimpin pack suatu hari nanti,. Seperti aku meminta saja untuk di lahirkan dengan cara seperti itu."
"Dilain sisi, Ayahku punya ekspektasi yang tinggi terhadapku, berharap aku bisa menjadi seorang True Alfa yang diinginkannya sebagai alat untuk memperkuat tiraninya dan melatihku dengan keras. Tapi pada akhirnya aku bukanlah True Alfa itu, aku tidak menunjukan tanda tanda untuk menjadi seorang Alfa bahkan saat umurku sudah 15 tahun dan hal itu membuat ayahku frustrasi. Dua tahun berikutnya kuhabiskan hidup seperti anjing di dalam rumah itu, tidak di anggap, tidak di perdulikan, rasanya seperti tinggal di neraka, dan pada akhirnya aku kehilangan kendali, tepat di ulang tahunku yang ketujuh belas aku nyaris mengakhiri hidupku, lelah dengan semua perlakuan yang kuterima, dengan ibu yang membenciku, dan ayah yang memepelakukanku seperti binatang, dan keluarga yang membuatku merasa seperti sampah dan aku menumpahkan amarahku saat itu berharap diam diam mereka akan mulai sedikit mengerti, dan tak disangka hal itu membangkitkan kekuatan Alfa yang kumiliki, tetapi tidak seperti saudara saudaraku yang lain aku tidak mampu mengendalikan kekuatanku, rasanya seperti terbakar, dan aku tidak tahu sejauh apa perbuatanku di bawah kendali amarah itu sehingga saat akhirnya kesadaranku kembali kulihat ibuku sudah tergeletak tidak bernyawa di atas lantai.. kupikir-kupikir... aku membunuhnya... dan kemudian aku lari.."
"Ayahku membuat satu kesalahan fatal saat mengawini seorang arthemist yang mengutuk tindakannya, karena bahkan dengan semua kekuasaan yang ia miliki ia tidak akan bisa malampaui kekuasaan alam, dan semesta punya cara sendiri untuk menengakkan keadilan. Anak hasil dari tindakan bejat itu akan terkutuk seumur hidupnya, menjadi Alfa hitam dengan kekuatan yang tidak terbatas, dan bahkan ia tidak bisa mengendalikan kekuatannya, dan seharusnya Ayahku tau bahwa ia lebih baik membunuhku sebelum kekuatanku muncul karena setelah kejadian itu aku tak lebih dari seorang monster yang jika cukup marah untuk bertransformasi kedalam wujud serigalaku akan kehilangan kesadaranku sepenuhnya."
A Man Name DongHae
Aku tinggal di rumah sepanjang waktu selama tiga hari belakangan ini, setelah apa yang terjadi dengan Kim Yesung waktu itu aku tidak berani untuk masuk kantor karena takut akan bertemu bajingan itu lagi. Selain itu Hyukjae Oppa juga melarangku untuk bekerja sementara waktu ini, menurutnya keluarganya pastilah sedang mengincarku dan memintaku untuk tidak keluar rumah jika tidak betul betul di perlukan.
Sebetulnya suasana rumah sedang agak canggung sekarang, setelah mendapatkan semua jawaban yang kuinginkan darinya waktu itu ia jadi seperti menarik dirinya dariku setelahnya,mungkin menceritakan masa lalunya kepadaku entah bagaimana telah membuatnya merasa seperti aku akan mulai melihatnya seperti monster persis sebagaimana keluarganya memperlakukannya, entahlah...
Tapi aku tidak pernah berfikir seperti itu...
Sejujurnya aku bahkan tidak peduli dengan apa yang telah terjadi di masa lalu atau hal buruk apa yang telah ia lakukan atau kutukan apa yang ia miliki, yang kutahu ia adalah Lee Hyukjae, Alfaku yang penuh kasih sayang dan lembut hatinya, yang punya senyum secerah matahari dan hati yang lebih tulus dari sebagian besar orang yang pernah kutemui dan hanya itu yang penting bagiku.
Jadi kenapa kalau dia adalah Alfa hitam yang dikutuk oleh semesta, ia tidak pernah meminta untuk dilahirkan dari dosa itu.. bukankah ia adalah korban yang sebenarnya dari keegoisan dan rasa sakit hati orang tuanya.. lantas kenapa ia harus menanggung beban dan kutukan itu padahal ia tidak melakukan apapun yang salah.
Bahkan memikirkan itu saja membuatku marah, orang tua macam apa yang memperlakukan anaknya sendiri secara tidak manusiawi seperti itu.
Orang tua tidak boleh berbuat jahat kepada anaknya sendiri.
Tapi Hyukjae Oppa tidak tahu itu, ia bahkan tidak bicara padaku selama tiga hari ini dan bersikeras untuk tidur di sofa.
Dasar Alfa sialan!
Tidakkah dia tahu bahwa aku sudah jatuh cinta padanya bahkan sebelum tahu bahwa ia adalah serigala? Apakah menurutnya fakta kecil bahwa ia adalah seorang Alfa hitam yang dipenuhi kutukan akan mengurangi rasa cintaku kepadanya?
"Jangan bukakan pintu untuk siapapun, okay? Aku akan kembali secepatnya." Tukasnya pagi itu tanpa betul menatapku, sangat berbanding terbalik dengan sikapnya yang biasa.
Lee Hyukjae yang kutahu adalah laki laki mesum yang tidak pernah melewatkan ciuman selamat paginya, tapi ia bahkan tidak melirikku pagi ini, atau pagi sebelumnya.
"Aku.. kita harus bicara," kataku pelan.
"Nanti saja," balasnya
Aku menghela nafas "Berjanjilah padaku kalau kita akan betul betul bicara setelah kau pulang Oppa, dan kau akan mendengarkan semua yang kukatakan sampai selesai tanpa berusaha menyimpulkan segala sesuatunya sebelum aku mengakhiri perkataanku."
Ia menoleh padaku dan untuk sepersekian detik mataku beradu dengan matanya, dan aku dapat melihat bahwa ia tampak merana dari tatapannya.
Ini betul betul salah, entah apa yang ada di dalam kepalanya, tapi kuyakin bukanlah sesuatu yang sama dengan apa yang kupikirkan.
Ia mengangguk.
.
.
Sekitar pukul tiga sore ada yang membunyikan bell membuatku menyengit dan sedikit curiga, tapi kemudian kecurigaanku menghilang saat mengintip layar intecome dan melihat sosok Hyukjae Oppa berdiri di ambang pintu rumah kami sambil memencet bell.
Tanpa berfikir dua kali aku membukakan pintu untuknya dan hendak mencercanya dengan pertanyaan kenapa ia tidak menekan passwordnya saat melihat bahwa tidak ada Hyukjae Oppa di depan pintu rumahku, alih alih seorang pria asing dengan mata hijau berdiri di tempatnya.
Alfa.
Saudaranya yang lain lagi..
"Tidak kusangka kau akan sebodoh itu," laki laki itu tertawa.
"Siapa kau?" Kataku.
"Aku? Donghae. Lee Donghae" jawabnya, mata hijaunya berpendar sedikit sebelum kemudian berubah warna menjadi hitam.
Ia melangkah masuk kedalam apartemenku tanpa dipersilahkan dan duduk di atas sofa dengan santai sambil menaikan satu kakinya.
"Sebetulnya aku malas melakukan ini, tapi kuberi kau dua pilihan, ikut denganku secara sukarela atau kupaksa." Gumamnya santai.
Aku membuka mulutku untuk bicara, tapi tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Agaknya laki laki ini membuatku kehilangan kata kata dengan bagaimana caranya bersikap, berbeda dengan saudara saudaranya yang lain yang berusaha untuk mempertebal aura intimidasi yang mereka miliki sebagai seorang Alfa, laki laki yang bernama Donghae atau apalah ini malah lebih memilih untuk mempertipis aura itu dan menampilkan sisi manusia nya tanpa mengurangi kecakapannya sebagai seorang alfa.
"Tidak akan pernah,"
Dia -Donghae- tertawa.
"Sudah kuduga pasti kau akan menolak." Katanya, lalu kemudian melemparkan sesuatu ke hadapanku.
Aku memungutnya, aku mengenali benda itu.
"Bagaimana-"
"-Aku mengambilnya dari rumah orang tuamu." Jawabnya.
Benda itu adalah boneka kain usang yang kukenali sebagai milikku, yang ku simpan di dalam kamarku di rumah orang tuaku. Bagaimana ia bisa mendapatkannya?
"Apakah Hyukjae tidak memberitahumu bahwa beberapa serigala di karuniai kemampuan istimewa," jawabnya tenang "Aku memiliki kemampuan untuk memanipulasi rupa, dan kau tahu, aku bisa masuk rumahmu secara bebas dengan berpura pura menjadi kau atau siapapun yang tinggal di rumah itu.."
Aku membulatkan mataku.
"Kau harus ikut aku jika tidak ingin hal buruk terjadi kepada kedua orang tuamu Sunghee." Katanya.
Aku membuka mulutku ingin sekali membantah, tapi bahkan walaupun begitu akupun tahu bahwa ia menang dengan ancamannya, mustahil bagiku untuk membiarkan laki laki ini melakukan sesuatu kepada kedua orang tuaku.
Jadi, dengan setengah jengkel aku memasuki mobilnya akhirnya dan duduk tenang di samping kursi pengemudi sementara ia menjalankan mobilnya entah kemana.
Sebetulnya aku ketakutan, aku bahkan tidak tahu kemana ia hendak membawaku atau apa yang akan ia lakukan kepadaku, tetapi aku tahu bahwa aku tidak boleh terlihat takut ataupun lemah dihadapannya karena itu hanya akan membuatnya menjadi lebih senang.
Setelah beberapa waktu berlalu tiba tiba saja laki laki itu melemparkan sebuah ponsel yang tampak seperti ponsel pribadinya kepadaku dan aku menoleh menatapnya untuk mempertanyakan apa maksudnya memberiku benda itu.
"Hubungi Lee Hyukjae, suruh ia menjemputmu." Katanya tenang.
Aku meyengit bingung.
"Sebenarnya apa maumu?" Kataku.
"Aku? Aku hanya ingin Hyukjae berhenti menghukum dirinya sendiri atas apa yang terjadi dulu." Balasnya dan aku terdiam, menatap lekat lekat laki laki itu untuk melihat apakah ia berbohong atau tidak, tetapi satu satunya hal yang kulihat dari balik pupil nya adalah sebuah kesedihan yang berusaha di tutup tutupi.
Kalau dipikir pikir lelaki ini berbeda dari saudara saudaranya yang lain. Tidak seperti Cho Kyuhyun yang berusaha mengendus leherku saat pertama kali bertemu denganku atau Kim Yesung yang jelas terang terangan berusaha untuk memperkosaku, ia tidak melakukan hal hal semacam itu.
Ia hanya sedikit arogan dan kurang sopan, tetapi selain itu ia tidak berusaha untuk melakukan sesuatu yang tidak beradab ataupun kasar, ia bahkan tidak menyentuh kulitku sama sekali semenjak bertemu denganku dan hanya memintaku untuk ikut dengannya walaupun dengan sedikit ancaman.
"Tidak bisakah kalian membiarkan Hyukjae Oppa sendiri? Ia bahkan tidak ingin berurusan dengan kalian lagi.. Kenapa masih menganggunya?" Entah punya keberanian darimana aku mulai bicara menyampaikan pendapatku.
"Menganggu?" Katanya.
Aku mengangkat bahuku.
"Aku tidak pernah satu paham dengan orang tua itu, tapi kali ini kupikir ia ada benarnya , Hyukjae bisa mati jika terus terusan membangkang."
Aku terdiam di kursiku sementar mobil terus melaju.
"Apa maksudmu?" Tanyaku menelan ludah susah payah.
Lee Donghae memutar kepalanya dan menatapku sekilas sebelum mengangkat bahunya
"Nanti kau akan mengerti Sunghee," katanya.
Description: SUPER JUNIOR FANFICTION/EUNHYUK BIASED/LEEHYUKJAE BIASED/AU/ABO UNIVERSE/ R-21/NOT FOR CHILDREN
Aku jatuh cinta kepada seorang laki laki yang lebih tua 12 tahun dariku bernama Lee Hyukjae. Ia adalah Manager yang mengelola gedung apartemenku dan berparas sangat tampan, betul betul tipeku. Setelah sekian lama berasa memiliki cinta yang bertepuk sebelah tangan akhirnya ia merespon perasaanku dan kami menjadi dekat dalam waktu kurang dari satu bulan. Kupikir semua sesederhana itu, tapi ternyata ada sesuatu yang jauh lebih rumit yang ia sembunyikan di balik paras tampannya.
|
Title: Review Buku Kisah Orang Sukses Dunia
Category: Review
Text:
Review Buku : Kisah Orang Sukses Dunia
Buku ini berbagi inspirasi yang menggugah semangat diri tentang kesuksesan dan upaya meraihnya. Buku terbitan Balai Pustaka, yang ditulis oleh Mega Fibriyanti dan Suerna Dwi Lestari ini dapat menyalakan semangat berkarya bagi siapapun dengan latar belakang apapun. Kisah tentang kesuksesan sejumlah tokoh yang dipaparkan dalam buku ini, akan membuka cakrawala pikiran dan kepercayaan diri kita. Selain itu pembaca juga dapat meneladani nilai-nilai positif yang membawa tokoh tersebut menuju kesuksesannya.
Sebanyak 21 kisah tokoh sukses dunia tertuang dalam buku ini. Dari sejumlah nama tersebut, saya akan mengulas dan membaginya dalam 4 kategori/ bidang yakni : (1) tokoh bidang teknologi dan penemu benda penting; (2) tokoh bidang sastra, komunikasi dan perfilman ; (3) tokoh bidang pendidikan dan kesehatan ; (4) tokoh bisnis dan industri
Menggali kisah dari buku ini, tokoh-tokoh tersebut memiliki persamaan dalam nilai-nilai yang mereka pegang. Namun juga perbedaan dalam cara dan proses perjalanan menuju kesuksesannya. Nilai-nilai itu adalah kegigihan (persistence), semangat (spirit), optimisme (optimism), kerja keras (hard work), kemauan (willing), ketekunan (perseverance), komitmen (commitment), bangkit dari kegagalan, continuous improvement serta keberanian untuk mencari dan menangkap peluang.
Berikut ulasan saya tentang tokoh inspiratif yang diangkat dalam buku ini :
1.Tokoh bidang teknologi dan penemu benda penting
Ada sejumlah nama yang menorehkan karya dan inovasinya di bidang teknologi. Melalui inovasi mereka, kita dapat mengecap dan merasakan kemudahan dalam beraktivitas di jaman ini. Kehadiran perangkat komputer, internet, sistem dan jaringan online yang ada saat ini, tidaklah terlepas dari sumbangsih tokoh-tokoh ini :
a) Thomas Alfa Edison . Penemu serba bisa ini merupakan penemu paling berpengaruh dalam sejarah. Ia menjadi seorang penemu mesin. Ia menciptakan sistem penerangan listrik, memberi kontribusi besar dalam perkembangan kamera perfilman & proyektor, dan masih banyak lagi karyanya yang telah dipatenkan. Yang menarik dari kisahnya adalah ia memiliki keterbatasan yakni secara fisik agak tuli. Ia diragukan oleh guru sekolahnya dan dianggap bodoh oleh sekelilingnya. Tapi ibunya, Nancy Matthews Edison berhasil membangkitkan kepercayaan diri Thomas Edison. Ibunya mendidiknya dan tidak sekalipun membiarkan keterbatasan membuatnya berhenti.
b) Steve Jobs. Pendiri Apple dan produk inovatif seperti iPod, piranti lunak iTunes, iTunes Music Store. Memulai inovasinya dari garasi milik keluarganya. Walaupun pernah diberhentikan dari Apple tahun 1985 karena konflik yang dialaminya, ia tetap berjalan maju dan membawa semangat baru dalam dirinya hingga mendirikan perusahaan komputer NeXT dan perusahaan animasi Pixar. Di tahun 1986, NeXT dibeli oleh Apple dan Jobs kembali bergabung ke perusahaan Apple yang telah didirikannya. Bahkan Pixar menjadi salah satu kisah sukses di tengah keterpurukannya saat itu, dimana Pixar berhasil membawa tren baru dalam dunia film animasi.
c) Bill Gates. Pendiri Microsoft, yang hingga saat ini masih menempati daftar orang terkaya di dunia. Gates juga seorang filantropis melalui kegiatannya di Yayasan Bill & Melinda Gates.
d) Michael Dell. Pendiri perusahaan komputer Dell, Inc. yakni salah satu perusahaan komputer yang paling menguntungkan di dunia. Ia menempati daftar orang terkaya di dunia versi Forbes. Di awal karirnya, ia mulai membangun dan menjual komputer langsung kepada pelanggan. Ia memulai usahanya sendiri dengan modal seribu dollar.
e) Mark Zuckerberg. Ahli dalam pemrograman dan pendiri jejaring sosial Facebook.
f) Matthew C. Mullenweg. Pendiri Wordpress dan jutawan muda di usia 25 tahun.
g) Jeff Bezos. Pendiri situs e-commerce Amazon.com yang merupakan toko online terbesar hingga kini. Sebelum memutuskan untuk membangun bisnis tersebut, ia bekerja di beberapa perusahaan. Ia menggabungkan skills dan passion nya di bidang analis keuangan, bisnis dan komputer.
2. Tokoh bidang sastra, komunikasi dan perfilman
a) JK Rowling. Ia menghadapi masalah dalam menghidupi keluarganya dan semasa hidup dalam kesulitan itu, Rowling mulai menulis novel Harry Potter. Ia menjadi sorotan kesusasteraan internasional dan buku serial Harry Potter menjadi buku paling laris penjualannya dalam sejarah.
b) Oprah Winfrey. Masa kecilnya penuh kepahitan, tapi justru membawa segudang inspirasi baginya menuju kesuksesan besar lewat acara yang dibawakannya ‘The Oprah Winfrey Show’ dan perusahaan filmnya ‘Harpo Production’. Penonton menyukai kejujuran, lelucon dan kepribadiannya yang membumi. Ia berhasil mewujudkan mimpinya menjadi komunikator dan juga produser yang paling berpengaruh dalam industri hiburan.
c) Walt Disney. Tokoh paling berpengaruh dalam dunia hiburan pada abad ke-20. Disney menjadi seorang produser film paling terkenal di dunia. Ia juga seorang sutradara, animator dan pengisi suara.
d) Mario Teguh. Seorang komunikator dan motivator handal, yang dikenal sebagai salah satu motivator termahal di Indonesia.
3. Tokoh bidang pendidikan dan kesehatan
a) Alexis Carrel. Seorang dokter bedah inovatif. Melalui penelitiannya, ia melahirkan perkembangan di bidang pembedahan dan seni biakan jaringan. Ia merupakan orang pertama yang mengembangkan teknik sukses menjahit pembuluh darah. Carrel menerima penghargaan nobel untuk sumbangsihnya dalam Fisiologi dan Kedokteran.
b) Prof. Yohanes Surya. Fisikawan Indonesia yang aktif mengkampanyekan cinta fisika di seluruh Indonesia. Seorang guru besar fisika dan mengharumkan nama Indonesia di internasional melalui prestasi-prestasi anak Indonesia yang dibimbingnya di ajang Olimpiade Fisika.
4. Tokoh bisnis dan industri
a). Soichiro Honda. Seorang anak pandai besi yang tidak mengenyam pendidikan formal memadai dan tidak cemerlang di sekolah. Namun memiliki semangat dan mimpi yang tinggi. Berawal dari kecintaannya akan mesin dan meneruskan ‘warisan’ bengkel reparasi pertanian ayahnya. Hingga kemudian membangun perusahaan kendaraan yang diperhitungkan di dunia.
b). Lakshmi Mital. Pemimpin Mittal Steel Company, yang merupakan produsen baja terbesar di dunia. Puluhan industri baja berskala internasional yang tersebar di 17 negara kini ada di genggaman tangganya. Ia menjadi konglomerat baja terbesar di dunia.
c). Bob Sadino. Pengusaha asal Indonesia yang berbisnis di bidang pangan dan peternakan. Pemilik jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Sebelum meraih kesuksesannya, ia pernah menjadi tukang batu, peternak ayam hingga kemudian berbisnis pasar swalayan. Ia bangkit dari kegaggalan demi kegagalan. Baginya yang paling penting adalah tindakan. Seringkali orang terlalu banyak berpikir untuk membuat rencana sehingga tidak segera melangkah dan mewujudkannya.
d). William Soeryadjaya. Pendiri PT Astra Internasional, seseorang yang ulet – pekerja keras dan pantang menyerah. Di masa mudanya ia berdagang kertas dan benang tenun di Majalaya. Kemudian beralih berdagang hasil bumi seperti beras, gula dll. Dari hasil berdagang, ia melanjutkan studi ke Belanda di sekolah industri penyamakan kulit. Selanjutnya ia mendirikan usaha yang bergerak di bidang perdagangan dan ekspor impor. Hingga kemudian menjadi pengusaha sukses.
e). Karl Benz. Seorang insinyur mesin Jerman yang merancang dan membangun mobil pertama dunia dengan mesin pembakaran internal. Ia mendirikan Mercedes Benz.
f). Farrah Gray. Lahir dari kalangan minoritas di Amerika (keturunan Afrika-Amerika), yang kini telah menjadi miliader muda melalui bisnisnya. Ia juga mendirikan yayasan yang fokus pada pendidikan entrepreneurship bagi anak muda, bernama Farrah Gray Foundation. Mottonya : if better is possible, than good is just not enough.
g). Carlos Slim Helu. Usahawan meksiko, salah satu pengusaha terkaya dunia selain Bill Gates. Ia dikenal sebagai orang yang sangat berpengaruh di industri telekomunikasi di Amerika Latin. Slim juga merupakan orang dibalik berkembangnya industri keuangan Meksiko.
Sejumlah tokoh tersebut adalah beberapa dari sekian banyak orang yang telah menorehkan karya dan sumbangsihnya bagi masyarakat. Bila melihat benang merahnya, masing-masing mereka menggabungkan keahlian/ talentanya dengan minat dan passion. Dimana semangat mereka menjadi salah satu bahan bakar untuk mewujudkan impian dan karya. Tak berhenti, meski tantangan dan kegagalan menghampiri. Justru tokoh-tokoh tersebut berhasil membuktikan kalau mereka dapat bangkit dari kesulitan, keterpurukan dan menjadi pemenang.
Description: Buku ini berbagi inspirasi yang menggugah semangat diri tentang kesuksesan dan upaya meraihnya. Buku terbitan Balai Pustaka, yang ditulis oleh Mega Fibriyanti dan Suerna Dwi Lestari ini dapat menyalakan semangat berkarya bagi siapapun dengan latar belakang apapun.
|
Title: Rumah Kedua
Category: Novel
Text:
1. 1 Pertemuan
Kasihan ....
Suara itu kerap terdengar mengiris hatinya.
Kasihan kamu ....
Luhung bertanya dengan marah kepada suara itu.
Kenapa?!
Orang yang setiap malam dihantui mimpi buruk tentu saja kasihan.
Aku tak pernah mengasihani diri sendiri!
Terdengar lagi suara itu terkikik keji. Kamu mau lari? Larilah tapi kamu tak akan pernah benar bisa-bisa meninggalkanku.
Luhung menjerit dalam mimpinya tapi suaranya tak mau keluar, ia meronta tapi tubuhnya tak mengikuti. Sejak kapan ini terjadi? Sekitar tiga tahun yang lalu. Tiga tahun yang belum mau terlupakan sedikit pun, sekalipun ia lari dan berlari meninggalkannya jauh di belakang.
"Hung, bangun." Tubuhnya diguncang-guncangkan.
Untunglah. Luhung terengah-engah.
"Mimpi buruk?" Bang Yadi yang membangunkannya. Dia tertidur di sekretariat Pencinta Alam di kampusnya.
"Iya, Bang."
"Mimpi di siang bolong katanya punya arti." Bang Yadi berkata dengan serius.
Luhung duduk bersandar, keringatnya bercucuran. Entahlah, Luhung berharap mimpi hanya bunga tidur.
"Abang perhatikan kamu sering mimpi buruk, Hung?" Dia bertanya lagi.
"Ntahlah, Bang. Mungkin posisi tidurku kurang bagus."
Bang Yadi menatapnya lama.
Mencari pembenaran kah aku akan kata-kataku? Luhung membatin.
"Ya udah, bikin kopi sana, biar mata kamu melek. Abang di depan sama yang lain."
Luhung menghela nafas saat Bang Yadi meninggalkannya. Dia beringsut ke dapur dan menyiapkan secangkir kopi sachetan yang selalu tersedia di bagpack-nya. Dia segera bergabung di teras sekretariat.
Apakah ini yang namanya pelarian? Keluarga baru yang selalu dia idamkan? Tidak! ini bukan sekedar pelarian, tapi bagian hidupnya. Tempat dia bisa tidur dengan nyaman tanpa merasa ketakutan walaupun dia kerap dihantui mimpi buruk.
Luhung duduk di sebelah Bang Yadi, mereka terlibat dalam pembicaraan biasa mengenai kegiatan lapangan sambil sekali-kali bersiul saat cewek-cewek fakultas MIPA melintas di depan sekretariat mereka.
Luhung menyeruput kopinya, rasanya ingin merokok. Dia melihat sekeliling, tidak ada pasukan pengomel cerewet yang kerap mengomeli mereka saat merokok di lingkungan sekretariat. Luhung mengambil rokok dalam bungkusan di tas Bang Yadi. Dia menjauh dari mereka mencari tempat untuk sendirian.
"Ke mana?" Bang Yadi bertanya dengan mimik khawatir.
"Menyepi dulu, Bang." Guyonnya sambil beranjak.
Luhung mencari tempat di mana ia bisa menghirup nikotin beracun itu dengan tenang. Sudah lama Luhung tidak suka tempat sepi, namun entah kenapa, setiap tertidur dengan mimpi buruk ia malah takut keramaian.
Dia tak suka orang bertanya kenapa tiba-tiba dia jadi pendiam, bertolak belakang dengan kepribadiannya yang selama ini diciptakannya.
Kalau sudah begini, rasanya dia ingin melakukan kegiatan alam bebas, seperti rafting (Olah Raga Arus Deras) saja, kegiatan rafting yang basah biasanya dapat sedikit mendinginkan tubuhnya yang selalu terasa panas.
Bang Yadi menghampirinya lagi, salah satu senior yang paling perhatian. Bang Yadi duduk berselonjor di sebelahnya. Bang Yadi menepuk bahunya yang kurus.
"Bukannya abang mau sok ikut campur, tapi ada baiknya kamu mulai melupakan masa lalu kamu. Abang juga kurang tau masalahnya apa. Tapi akhir-akhir ini abang liat itu semakin mempengaruhi kamu."
Luhung tersentak, apa dia begitu? Luhung memutuskan untuk tidak menjawab.
"Iya, Bang. Makasih."
"Abang nggak menampik bahwa setiap manusia punya masalah, cuma memang kadarnya aja yang berbeda, kalau yang normal-normal palingan berkisar seputar cinta atau uang." Kata-kata lelaki itu membuat Luhung tertawa.
Bang Yadi melanjutkan, "Kalau soal uang rasanya nggak mungkin. Kalau cinta, abang juga nggak tau. Perasaan manusia kan sulit ditebak, sekalipun kita udah kenal selama dua tahun, belum tentu orang tau apa yang kita rasakan."
"Ya, Bang. Aku rasa juga gitu, kadang aku sendiri pun tak mengenal diriku."
"Ada-ada aja kamu, itu tandanya kamu lagi kesurupan." Bang Yadi terdiam sejenak. "Daripada kamu memikirkan masalah yang nggak ada gunanya, coba kamu bahas deh tawaran outbond dari Bang John dengan kawan-kawan, lumayan banget nanti hasilnya bisa buat nambah alat."
Bang John adalah alumni fakultas mereka, salah satu senior di kepencinta alaman. Beliau sekarang pengusaha sukses.
***
Semua berawal di sana, saat ayah Neva mengajaknya mengunjungi organisasi Pencinta Alam yang beliau ikuti semasa kuliah. Ayah Neva yang dulu tidak terlihat seperti sekarang, seorang pengusaha terawat. Saat ini, semua yang melihatnya pastilah berpikir kalau ayahnya adalah tipikal orang kantoran yang tak pernah terkena panas matahari.
Padahal dulu, beliau bercerita kalau ia gemar berpetualang, tak terhitung jumlah gunung bukit dan lembah yang telah dikunjungi.
Neva kadang heran tatkala melihat ayahnya begitu antusias menceritakan petualangannya semasa menjadi pencinta alam. Bagaimana dulu beliau pernah berhari-hari di hutan perawan bersama teman-temannya. Mungkin karena itulah, sampai saat ini, mereka sekeluarga kerap camping di bumi perkemahan. Biasanya bersama abang Neva, Sony, tapi sejak abangnya kuliah kegiatan itu sedikit berkurang.
Sambil menggelengkan kepala, Neva selalu pura-pura antusias kalau mendengarkan ayahnya bicara, padahal dia sudah hapal cerita yang menjadi favorit beliau.
Hari ini, untuk sekian kalinya Ayah Neva mengajaknya ke organisasi Pencinta Alam tercintanya itu. Entah kenapa Neva mengiakan. Dia merasa perlu untuk menghabiskan banyak waktu bersama ayahnya. Karena, sebentar lagi akan kuliah di luar kota. Ibunya jelas kaget saat mengetahui Neva mengangguk saat diajak, tapi beliau akhirnya hanya tersenyum simpul.
Ayah Neva mengatakan, di sana nanti dia sekalian bisa melihat-lihat suasana kampus, karena sebentar lagi tamat SMA.
Neva hanya cengengesan, sejujurnya dia cuma ingin mengetahui seperti apa kehidupan ayahnya saat masih muda dulu, hingga ia rela menamatkan gelar sarjananya selama tujuh tahun.
Lagipula, ayahnya sudah setua itu masih sering mengunjungi organisasi di kampus, kadang sepulang kerja beliau rela kongkow-kongkow di sana sampai larut.
Neva sering meminta ibunya untuk menegur, tapi beliau malah berkata kalau sudah siap menerima hobby ayah yang sering bertualang, masih untung sekarang hanya sekedar melihat-lihat tidak lagi bepergian seperti dulu. Neva pun bosan mendengar alasan itu dan berhenti berkomentar.
Mobil mereka memasuki gerbang kampus. Neva melihat plang bertuliskan pencinta alam (PA) Fakultas Isipol, terdiri dari tiga ruangan yang dirindangi pohon-pohon perdu dan di salah satu pohon yang agak besar ada rumah pohon ukuran mungil yang terpasang rapi, tanpa dia sadari mulutnya membentuk huruf o. Ayah Neva melirik sambil tersenyum.
"Kamu mau naik ke sana, sweet?" Panggilan ayahnya terasa menjengkelkan saat usia Neva bertambah, padahal dia dulu begitu menyukai panggilan itu.
"Nggak ah ngeri, tar aku jatuh, Pa," sahut Neva. Dia kemudian mendengar suara tawa ayahnya.
"Pohonnya cukup kuat untuk menahan bobot orang seendut kamu."
"Idiih ... siapa juga yang gendut? orang kurusssssss gini." Neva memprotes.
Ayahnya memarkir mobil di bawah pohon rindang, Neva tidak mengetahui pohon apa itu. Sekretariat yang mereka datangi terlihat cukup sepi.
Saat mereka keluar dari mobil dan memasuki halaman sekretariat, dua orang mahasiswa segera menyambut Neva dan ayahnya.
Seperti yang dia bayangkan, kaos oblong, jeans belel dan kucel.
"Wah Bang John. Masuk, Bang." Salah satu menyalami ayahnya, kemudian menyalaminya. "Wah ini anaknya, Bang? Busett dah, cakep banget nggak mirip papanya. Kenapa baru diajak sekarang, Bang?" Dia melanjutkan.
Mereka tertawa, Neva tersenyum simpul mendengar basa basi itu.
"Ke mana yang lain, Bil?" tanya ayahnya.
"Lagi pada latihan wall climbing, Bang, buat KEJURDA. Ayo, Bang, kami antar kalau mau liat-liat ke sana," kata cowok yang dipanggil Bil itu.
"Kamu mau ikutan nggak, sweet? Atau mau naek rumah pohon aja?" Beliau menggoda Neva.
"Nggak ah. Males sendirian di sini, ikut, Pa." Neva menjawab cepat.
"Panas loh ntar kamu itam, kamu kan takut item," celetuk Ayah Neva dan langsung dia cubit dengan keras. Beliau dan dua teman nostalgila-nya terkekeh. Neva mencibir.
Mereka menyusuri jalan setapak yang di rindangi pohon, tidak terlalu jauh mulai terdengar suara-suara. Neva melihat ke arah papan wall climbing tersebut, ada dua pemanjat yang sedang beraksi dan sekitar tujuh orang berpanas-panasan duduk lesehan sambil menyemangati mereka.
"Dek, duduk sini aja di situ panas," ujar salah seorang mahasiswa pada Neva saat ayahnya mulai ikut lesehan sambil bercengkrama. Tawaran itu langsung dia iyakan.
Siapa juga yang mau panas-panasan? Percuma luluran tiap hari, Neva membatin.
"Iya, Bang."
Sosok abang-abang mahasiswa dengan baik hati menghamparkan koran untuk alas duduk Neva.
Di lapangan yang cukup luas, wall climbing memiliki spot agak di ujung. Pemanjat pertama berhasil mengalahkan rekannya dengan waktu yang cukup tipis yang lain bersorak sorai. Neva ikut bertepuk tangan, tak disangka dia menikmati juga pertunjukan itu.
"Luhung, bilai aku!" Terdengar teriakan membahana.
Neva mendengar istilah yang kurang dia pahami.
"Oke, Bang." Orang yang bernama Luhung itu menggantikan pemegang tali yang di bawah, sang pemanjat dengan lincah menggapai batu-batu yang menempel di papan.
"Ulur, ulur!!" teriak si pemanjat pada orang yang bernama Luhung.
Mata Neva melirik ke arahnya, lalu tiba-tiba dia tak ingin berpaling. Neva menatap lekat wajahnya yang berkeringat, keningnya yang berkerut, otot halus yang muncul di tangannya yang kurus saat mencengkram tali dan warna kulitnya yang terbakar matahari, dia sangat menarik.
Pria?? Sosok yang belum dia kenal di bangku sekolah, pria bernama Luhung berteriak kepada si pemanjat. Neva terpana. Senyum tipis muncul di wajah tampannya yang terpapar sinar matahari saat sang pemanjat berhasil menyelesaikan pemanjatan.
Setelah itu tak ada lagi yang bisa menarik perhatian Neva, dia pun diam-diam kerap memperhatikan sosok tadi.
Sampai akhirnya ayahnya mengajak Neva kembali ke sekretariat pencinta alam, beliau membelikan mereka softdrink dan beberapa macam snack. Neva merasa salah satu hal yang membuat ayahnya betah di sini, karena ayahnya merasa jadi muda lagi.
Neva mencari sosok seseorang tapi dia tidak muncul lagi sampai mereka berpamitan.
Saat perjalanan pulang Ayah Neva meminta komentarnya, dia tidak bisa bilang kalau yang paling menarik minatnya adalah seorang lelaki. HAH??
***
1.2 Pertemuan
Sahabat Neva, Prim, pernah bertanya tipe cowok yang dia suka itu seperti apa? Tapi dulu Neva tidak punya kata-kata untuk menggambarkannya. Prim hanya melenguh begitu saja saat dia bilang tidak pernah mempermasalahkan fisik.
Tapi sekarang, rasanya Neva bisa mendeskripsikan. Rambut cepak, kulit coklat karena terbakar matahari. Lalu, Neva pejamkan mata dan mengingat sosoknya yang mulai luntur di ingatan. Matanya tajam, bibir juga tipis, dia anak pencinta alam. Neva rasa yang terakhir tidak termasuk kriteria fisik.
Prim mengejutkan lamunannya, dia mulai membahas rencana mereka untuk kuliah di Jakarta. Ayah, ibu dan juga abang Neva tidak ada yang setuju. Mereka ingin Neva kuliah di dalam kota saja. Kadang jadi anak cewek bungsu itu sedikit menyebalkan, dikit-dikit diawasi. Tapi Neva cukup bersyukur dengan keluarganya yang harmonis. Walau abangnya, Sony, tidak termasuk hitungan. Dia agak menyebalkan, untungnya dia saat ini sedang kuliah di Yogyakarta, semester akhir. Jadi hari-hari Neva sedikit aman.
"Neva, kamu ngelamunin apa, sih? Dari tadi aku dicuekin." Prim memukul tangannya.
"Aku nggak ngelamun." Neva menjawab. Prim menyipitkan mata seakan tak percaya.
"Ada masalah di rumah? Atau Bang Sony makin nyebelin?"
"Iya, kayaknya yang kedua."
"Bang Sony nggak ngizinin kamu kuliah di Jakarta? Atau gimana kalo kita ke Yogja aja biar deket Bang Sony," lanjut Prim.
"Dia nggak mau kerja di Yogja, paling entar bakal pulang nerusin usaha papa. Taon depan bilangnya wisuda. Makanya dia nggak ngasih aku kuliah di luar karena nggak tahan pisah sama aku, lebay banget kan tu orang? Padahal dia udah kuliah di Yogja lima tahun."
"Aduh gawat dong kalo gitu, aku juga nggak mau ni kuliah sendirian, lagian kita kan udah sepakat mau kuliah bareng."
"Iya, aku juga pengen terbang nih." Neva cekikikan.
Memang benar, Neva selalu ter-shelter oleh perhatian keluarga. Dia tadinya sedikit takut membayangkan bagaimana ke depan? Sanggup atau tidak dia mandiri? Neva kemudian menampik kekhawatirannya dengan mengatakan pada dirinya sendiri. Bahwa, ada banyak cewek-cewek di luaran sana yang mandiri dan mereka bisa, lalu kenapa dia tidak?
Neva dan Prim mulai membuka-buka bundle mengenai jurusan-jurusan di Perguruan tinggi negeri. Dia tersentak.
"Kamu ngelamun lagi." Prim merengut kesal dan menarik bundle di hadapannya. "Kalo nggak cerita, aku ngambek, nih."
Neva pun terdiam. Prim dan dirinya sangat - sangat akrab, biasanya tidak ada hal yang dia simpan. Apalagi masalah taksir-taksiran sama cowok, tapi untuk kali ini saja, Neva memutuskan akan menyimpan rapat-rapat. Pipinya sedikit memerah, Neva tidak mau Prim tahu kalo dia tertarik sama anak kuliahan.
"Nggak, ntar kan Bang Sony mau pulang. Jadi, aku mikirin cara-cara membalas gangguan dari dia." Neva terkikik, untungnya Prim percaya dan berhenti bertanya.
***
Masih terbuai oleh kenangan singkat beberapa hari yang lalu, Neva bertanya pada ayahnya.
"Pa, bilai itu apaan, sih?" Ayah Neva hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. Mungkin terlalu tiba-tiba, karena biasanya dia jarang merespon cerita ayahnya mengenai kecintaannya terhadap kegiatan ke pencinta alaman.
Ayah Neva segera menjelaskan dengan sumringah bahwa belay itu bertugas untuk mengamankan pemanjat dengan tali, jadi apabila pemanjat jatuh ia akan tertahan oleh pengaman yang telah dipasang pada belayer.
"Lho berarti kita nggak mungkin bisa jatuh donk?" tanya Neva lagi.
"Iya, itulah keuntungan pemanjatan di dinding buatan, kalau di tebing asli untuk pengamanan caranya berbeda, tapi tetap bisa dilakukan." Beliau menjelaskan.
"Kira-kira kalau Neva manjat ada yang mau jadi belayer nggak, Pa?" Neva mengerlingkan mata dan melihat bagaimana mata ibu dan ayahnya menjadi lebih lebar, karna pertanyaan itu.
"Ya jelas donk, sweet, kalau perlu papa yang jadi belayer-nya, kalau kamu mau ntar papa hubungin anak-anak, lebih bagus lagi kalau beneran ke tebing." Ayah Neva berhenti sejenak, "Tapi harus di bawah pengawasan papa."
"Like father like son," celetuk Ibu Neva.
"Daughter mama," ralat Neva cepat. Sebenarnya dia juga ragu melakukan pemanjatan. Dulu sampai kelas empat SD, Neva suka memanjat pohon belimbing di rumah neneknya, aktivitas itu terhenti saat dia terjatuh. Menjelang SMA, Neva lebih prefer pada kegiatan-kegiatan yang berbau cewek, walau ayahnya tak pernah melarang dia untuk mengikuti kegiatan yang sedikit menggunakan fisik. Hanya Bang Sony, yang selalu dengan bawel menceramahi, hingga pada akhirnya dia menyerah karena tidak tahan diomeli.
"Oh, ya, tapi jangan cerita ke Bang Sony kalau papa ajak-ajak kamu ikut papa, sweet, dia kan suka overprotektif sama kamu." Ayah Neva tertawa riang. Padahal mereka sama aja, memang ayahnya sedikit lebih cuek ketimbang Bang Sony yang jelas menyebalkan.
"Kapan Bang Sony pulang?" tanya Neva.
"Dia bilang sama mama pertengahan bulan depan, kan sekarang masih ujian semester."
"Lho bukannya dia udah tinggal skripsi, ma? Va, bete ngeliat dia buat status-status lebay 'kangen adekku, kangen adekku' gitu. Lebaayyyy." Neva memajukan bibir seraya bicara membuat kedua orang tuanya tertawa geli.
"Kenapa gitu dibilang berlebihan, sweet? Kan Bang Sony emang kangen sama kamu." Kening Ibu Neva berkerut sambil tersenyum simpul.
"Idiihh makanya, Ma, bilang sama dia suruh cari pacar jadi dia bisa kangen-kangenan ama pacarnya."
"Lha, kamu sendiri belom punya pacar?" Ayah Neva tersenyum simpul.
Neva serta merta membantah. "Va, kan masih SMA, ngapain pacar-pacaran?"
"Nah papa dulu kelas lima SD udah punya pacar," sahut ayahnya lagi.
"Paraaaahhhh." Neva ngedumel sendiri sambil memberesi piring-piring makan malam.
Dulu saat SMP, Neva pernah punya pacar. Tapi cuma bertahan tiga hari. Dia geli sendiri mengingat saat itu. Cinta? Neva bergumam. Bagaimana rasa yang sebenarnya? Kemudian sesosok bayangan muncul dalam pikirannya.
"Sweet, papa mau buat outbond untuk karyawan kantor papa, udah lama rencananya. Kamu mau ikut nggak?"
"Outbond-nya ngapain aja? Waktu outbond di sekolah Va nggak asyik dan ngebosenin. Jadi, Va males ikutan outbond lagi. Capek, gosong."
"Yaah, padahal rencana papa, kalau kamu dan mama mau ikut outbond, papa jadiin seperti family day gitu, jadi karyawan bisa ajak keluarganya."
"Oh gitu? Boleh aja sih, Pa. Biar keluarga karyawan papa bisa happy-happy juga. Va nggak masalah. Emangnya mama mau?"
"Kalo mama sih nggak ada masalah. Mama suka juga." Ibu Neva berkata.
"Iih tumben mama ngomong kayak gitu, diancam sama papa, ya?"
"Waduh sebenarnya papa yang diancam, jangan sampe mama nggak ikut." Ayah Neva tertawa melihat ekspresi ibunya. "Rencana papa, ketimbang hire event organizer, biar proyeknya dikasih ke anak-anak aja, mereka juga udah punya kompetensi untuk itu."
"Anak-anak mana, Pa?"
"Siapa lagi?" Ayah Neva tersenyum.
***
2.1 Perempuan dan Perasaan
Hari ini tidak tahu apa yang ada di pikiran Neva. Dia telah menapakkan kaki di halaman secretariat Pencinta Alam di kampus, sendirian.
Neva celingak-celinguk saat masuk dan lama berdiri memandangi pohon anggrek hutan yang tertanam di pohon besar di halaman. Akhirnya ada mahasiswa yang keluar dari pintu sekretariat.
"Halloo Neva, tumben kamu sendirian ke sini? Papa mana?" tegurnya. Sepertinya itu mahasiswa yang kemarin.
"Neva kebetulan tadi dari rumah teman, Bang, jadi mampir ke sini." Entah apa yang membuat dia nekat, mungkin ayahnya sendiri bakal terkejut kalau mengatahui Neva melanjutkan kunjungan dia dan ayahnya kemarin. Sendirian menyambangi sekretariat Pencinta Alam.
Mahasiswa yang tadi menyambut Neva mengambil air putih dari dalam.
Neva terkikik dalam hati, steril kah gelas itu? Airnya?
Gelas plastik yang sudah kusam dan sedikit penyok. Neva minum seteguk karena si mahasiswa menatap gerak-geriknya.
"Tumben sepi, Bang." tanya Neva basa basi.
Untuk pergi ke kampus, Neva berbohong pada Prim. Dia berkata kalau akan ke rumah saudara. Nyatanya, Neva malah minta di antar supir ayahnya menuju kampus.
"Oh, iya, ini kan masih jam dua, masih pada kuliah. Paling ntar lagi pada ke sini," sahutnya.
Neva manggut-manggut mendengar penjelasannya. Benar juga. Beberapa saat kemudian, dua motor berhenti di bawah pohon perdu di depan sekretariat.
"Pantes si Joe betah, ternyata ada makhluk cantik di sini." Sapa mahasiswa berambut gondrong lurus, gayanya lebih mirip bintang K-Pop ketimbang anak PA.
"Ah, resek yak!" Ternyata nama orang yang menemani dia tadi Joe.
Sekretariat mulai rame, anggotanya berdatangan mereka dengan santainya duduk di samping Neva. Tertawa-tawa dan bicara seakan-akan dia sudah lama menjadi bagian dari mereka. Membuat Neva merasa nyaman dan tidak asing berada di sana, Joe mulai memperkenalkan mereka semua satu persatu, Neva tidak bisa menghapalnya.
"Luhung."
Nama itu seketika membuat Neva tersentak.
Mana? Ooh Neva melihat sosok lelaki dari kejauhan. Kurus tapi urat-urat halus terlihat di tangannya, T-shirt berwarna abu-abu, ransel, dan sepatu kets. Khas mahasiswa. Dia duduk tepat di hadapan Neva.
"Ah! Sialan si PJ masa nilaiku C." Luhung mulai mulai mengeluhkan salah satu dosennya.
"Masih mending bisa dapet C, nah, nilaiku semester lalu malah E. Terpaksa ngulang. Si PJ itu memang benci cowok-cowok keren," Cerocos Joe dan mereka tertawa terbahak.
"Wow liat arah jam sepuluh," celetuk Luhung.
Sosok cewek yang cukup manis melintas di depan sekretariat. Kontan saja makhluk yang bergenre pria di sana bersiul-siul.
Neva shock. Mereka menggoda cewek lewat padahal ada dia yang kata teman-teman cowok satu sekolah punya wajah paling cantik.
Apa mereka menganggap dia anak kecil? Neva jadi kesal sekali, terutama terhadap kelakuan orang bernama Luhung itu. Membuatnya ilfil. Ternyata dia playboy.
Masih dalam suasana tertawa-tawa, mereka berdebat dengan anggota cewek mengenai kebiasan mereka menggoda cewek-cewek lewat, bisa merusak image di kampus.
"Udah deh, kalian malu-maluin. Ntar Neva nggak jadi daftar PA, kalau tau tingkah laku anggotanya kayak gini," kata mahasiswi yang kalau tidak salah bernama Reena. Neva hanya tersenyum tipis.
"Nggak mungkin lah dia masuk PA," celetuk Luhung sambil tertawa. Semua terdiam dan melirik ke arahnya termasuk Neva.
"Memangnya kenapa?" tiba-tiba Neva berkata.
Luhung sampai kaget melihat pertanyaan yang tiba-tiba dan ketus. Seketika itu dia terdiam dan tidak bicara lagi. Lalu semua yang ada di sana tertawa terbahak-bahak.
"Mampuus kau, Hung! Makanya jangan sok-sok, sama cewek aja nggak berani."
"Diam, mau aku hajar beneran?" Dia berkata kesal.
Neva kaget melihat ekspresi di wajah Luhung, wajahnya memerah karena malu atau karena marah?
"Aaah udah deh aku mau ke belakang dulu kasih makan ayam." Luhung beranjak meninggalkan mereka.
Haaa??? Ayam?? Neva semakin kebingungan. Lalu Reena meletakkan tangannya di bahunya.
"Jangan tersinggung ya, sayang, Luhung itu nggak bermaksud ngeremehin kamu. Dia emang sial kalau berhadapan dengan cewek."
Sial apaan? Bukannya dia yang matanya sibuk jelalatan sama orang-orang yang lewat?
"Dia beneran mau kasih makan ke ayam?" Pertanyaan Neva yang polos membuat mereka kembali tertawa terbahak.
"Nggak. Itu alasan dia aja buat kabur. Luhung itu gayanya aja yang sok kocak, padahal dia nggak berani sama cewek."
"Iya, dia itu nggak pernah punya cewek di kampus, padahal sekarang udah semester empat. Dan selama itu juga dia nggak pernah curhat kalo dia lagi PDKT kecewek." timpal yang lain.
"Aduuh mulai deh ibu-ibu bergosip," cetus Joe.
"Berisik, daripada kalian jelalatan liat cewek-cewek yang nggak lebih oke ketimbang kami." Reena memasang wajah kesal.
"Mungkin nggak ada yang mau kali," Neva berkata.
Reena tertawa seraya berkata. "Waduh, biar gayanya begitu banyak yang suka dia."
Neva berdesir, ada sedikit rasa kesal. Apa ini perasaan cemburu? Karena dia nggak tau banyak mengenai orang yang mulai hmm ... sedikit dia perhatikan?
"Denger-denger kabar, dia dulu pernah tunangan, terus ditinggalin. Akhirnya dia trauma buat ngejalin hubungan sama cewek." Reena melanjutkan.
"Reena!" sontak terdengar suara yang sedikit keras membuat Reena terdiam.
"Jangan buat gosip yang tidak-tidak." Ternyata Joe yang menegur. Dia menoleh ke arah Neva. "Nggak usah kamu dengerin omongan si Reena, Va, ntar kamu stress lagi terkontaminasi sama dia. "
Reena mencoba untuk protes tapi mata Joe menatapnya kesal dan itu cukup untuk membungkamnya.
Terlambat, Neva telah memikirkan kata-kata itu dan terdiam lesu. Dia meminta supir datang menjemput, sudah segera ingin kabur dari sana.
***
"Reen, kamu ngapain ngomong kayak gitu sih tadi sama anaknya Bang John?" tegur Joe.
"Ngomong apa, Joe? Yang tadi aku sampaikan sama Neva soal traumanya Luhung?" Reena balas bertanya.
"Nah itu kamu tau."
"Lho, Luhung sendiri yang cerita sama aku." Reena masih mengelak.
"Kamu tau Luhung itu orangnya seperti apa? Itu jelas-jelas bohong. Lagipula kamu ngomongin sama anak kecil, nggak pantes tau."
Hah! Anak kecil? Bisa-bisanya si Joe bilang Neva itu anak kecil.
Apa karena dia masih SMA? Mereka sadar nggak sih kalau dia itu sebentar lagi jadi mahasiswi?
"Kamu bilang anak kecil, Joe? Kamu punya mata nggak sih? Ternyata nggak kamu nggak Luhung sama aja, kalian selalu ngeremehin orang lain. Lagian aku nggak pengen aja dia punya penilaian jelek tentang Luhung padahal itu bertolak belakang sama kepribadiannya." Reena mendengus dan berlalu.
"Waduh malah jadi aku sih yang diomelin." Joe ngedumel sendiri.
***
Description: Luhung kehilangan kedua orangtuanya sekaligus sejak remaja karena peristiwa pembunuhan tragis, membuatnya kehilangan dan tidak percaya perasaan manusia. Tapi di saat Neva datang menawarkan sebentuk hasrat yang murni, bagaimana dia dapat menolaknya? Ketika dia membiarkan Neva masuk ke hidupnya, dia dihadapkan pada kenyataan mengenai kematian orang tuanya yang ternyata merupakan suatu konspirasi.
Kesalahpahaman membuat mereka berpisah dan dipertemukan kembali tujuh tahun kemudian. Luhung yang telah bertekad untuk bertarung di sepanjang hidupnya dan menyeret pihak-pihak yang terlibat untuk menebus perbuatan mereka kemudian di hadapkan pada pilihan sulit.
|
Title: Rasa yang tak sama
Category: Puisi
Text:
sudah benci berdua atau ingin mendua?
Ucapmu sudah tak rindu.Sudah tak resah karena mati rasa.Jarak sudah tak menyisakan luka karena tak ada sesak karena suka.Berkali kau bilang kau mati rasa.Mati rasa..Kau sudah tak cinta, bilang saja ingin berpisah.Sudah benci berdua atau ingin mendua?
Rindu yang pilu
Deru angin malam menusuk kalbu.bersuara pilu saat batas sendu. Mencipta sesak hati yang merindu.
Deru angin yang menghentikan langkah ketika pergi jauh.Terjebak antara kembali ataukah berlalu.Berusaha lupa namun diam diam masih menunggu.
Akankah luka sembuh dan cinta tak lagi layu.Bolehkah ada kita meski kau tak suka.Aku masih cinta meski kau menabur luka.
Haruskah kuhancurkan saja hatiku agar tak utuh perasaanku padamu?
Aku adalah?
Aku adalah cahaya yang menyusup melalui jendela kamar mu.Aku adalah secercah embun yang basah di telapak tanganmu. Aku adalah mentari yang terang di atas kepalamu. Aku adalah senja yang kau lihat sembari menyeruput kopimu. Aku adalah senandung irama yang menarik sudut bibirmu. Aku adalah suara lantang yang memekak telingamu. Aku adalah rembulan yang bersinar lembut diatas wajahmu.Aku adalah segala sesuatu tentang kamu. Aku adalah sekeping rasa yang bersarang dalam relungmu. Aku akan hidup bersama detak nadimu.
Karena aku mencintaimu.
Bersua untuk berpisah.
Berlalu di bekam maya. Menggema lantas tak bersuara.Ibarat basah di gersang sahara.Tak mungkin,dan tak akan pernah ada.Seperti itulah kita.
Kesetian berupa batas tak berupa.Apa daya, tak ada restu melepas tuk berdua.Kita bersua untuk berpisah.
Description: kita adalah rasa yang tak sama.
berlari pada ruas yang berbeda.
aku menujumu, kau menujunya.
|
Title: Robinson Crusoe
Category: Novel
Text:
Awal Kehidupan
Aku lahir pada tahun 1632, di kota York. Aku berasal dari keluarga baik-baik. Sekalipun demikian, kami bukan orang asli Inggris. Ayahku berasal dari Bremen, yang kemudian pindah ke Hull. Di sana, beliau meraih kesuksesan sebagai pedagang dan menjadi kaya.
***
Ayah kemudian pindah ke York, di sana dia menikahi ibuku, yang berasal dari keluarga Robinson, satu keluarga terkenal di kawasan itu. Dari sanalah aku mendapat nama Robinson Kreutznaer. Namun, karena nama ini sulit disebutkan di Inggris, kami kini dipanggil Crusoe (lebih tepatnya lagi, kamilah yang menyebutkan dan menuliskan nama ini sendiri). Itulah nama yang selalu disebutkan kawan-kawanku saat memanggil namaku.
Aku memiliki dua orang kakak laki-laki. Salah satunya berpangkat letnan kolonel di sebuah resimen infantri Inggris di Flanders, yang sebelumnya dipimpin oleh Kolonel Lockhart yang terkenal. Ia gugur dalam sebuah pertempuran di dekat Dunkirk saat memerangi pasukan Spanyol. Aku tidak pernah mengetahui nasib kakakku yang kedua, sebagaimana ayah dan ibuku tidak mengetahui apa yang akan terjadi dengan diriku.
Sebagai anak laki-laki ketiga di keluargaku dan tidak memiliki keahlian apa-apa, pikiranku sejak dini mulai dipenuhi dengan keinginan untuk mengembara. Ayahku, yang sangat kuno pikirannya, memberikanku pendidikan yang memadai, baik di rumah maupun di sekolah. Dia menginginkan aku masuk sekolah hukum, tetapi aku hanya tertarik untuk menjadi pelaut. Keinginanku ini sangat bertentangan dengan keinginan atau, lebih tepatnya lagi, perintah ayahku. Sikap keras kepalaku untuk mengikuti kemauanku sendiri ini, dengan mengabaikan permohonan dan bujukan ibuku dan kawan-kawanku yang lain, secara langsung membuka jalan bagi bencana yang kuderita di kemudian hari.
Ayahku, seorang pria yang bijaksana dan tenang, memberikan nasihat yang serius dan baik untuk menentang rencanaku. Ayah memanggilku pada suatu hari ke kamarnya, tempat dia terbaring akibat encok, dan bertukar pikiran dengan sangat hangat bersamaku mengenai keinginanku itu. Dia bertanya kepadaku mengenai apa alasanku, lebih dari sekadar masalah mengembara, hendak meninggalkan rumah kami dan negeri asalku. Di sini aku mungkin cukup dikenal dengan baik dan memiliki prospek untuk memperoleh uang banyak lewat ketekunan dan kemampuan, sehingga kehidupanku akan lebih mudah dan menyenangkan. Dia mengatakan kepadaku bahwa hanya para pria yang kekurangan di satu sisi, atau yang berkelebihan di sisi lain, yang bersedia pergi ke luar negeri untuk berpetualang, menambah kekayaan, atau mencari nama harum yang bersedia ke luar dari jalur yang umum. Aku sendiri, demikian peringatannya, entah terlalu tinggi atau terlalu rendah untuk mengikuti jejak mereka. Aku berada di tengah-tengah kedua ekstrem itu, atau mungkin bisa disebut sebagai bagian atas dari kelas bawah, yang menurut ayahku lewat pengalaman panjangnya, merupakan keadaan yang terbaik di dunia. Posisi yang paling cocok untuk mendapat kebahagiaan, tidak terpapar oleh penderitaan dan kehidupan keras, kerja dan penderitaan dari bagian mekanis umat manusia, sekaligus tidak mengalami keangkuhan, kemewahan, ambisi, dan kecemburuan manusia kelas atas. Dia mengatakan kepadaku bahwa aku bisa menilai kebahagiaan dari keadaan ini melalui satu cara, yaitu bahwa kehidupan di kelas ini mengundang kecemburuan kelas lainnya. Para raja sering kali meratapi konsekuensi menyedihkan karena lahir untuk hal-hal yang besar, dan berharap dapat berada di posisi tengah dari kedua sisi ekstrem kehidupan. Orang yang bijak menguatkan kesaksiannya ini sebagai standar kebahagiaan, saat dia berdoa agar tidak hidup dalam kemiskinan maupun kekayaan.
Ayah memintaku untuk memperhatikannya, dan aku akan selalu mendapati bahwa malapetaka kehidupan dialami oleh manusia kelas atas dan bawah. Kelompok menengah tidak banyak menghadapi bencana. Mereka tidak terlalu terpengaruh oleh banyak perubahan seperti yang dialami oleh kelompok kelas atas maupun bawah. Mereka rentan oleh begitu banyak penyakit dan kegelisahan, entah jiwa maupun raga, seperti orang-orang yang, di satu sisi hidup secara keji, bermewah-mewahan, dan boros, ataupun harus membanting tulang habis-habisan tetapi tetap serba kekurangan di sisi lainnya, sehingga membuat mereka rentan terhadap penyakit yang merupakan konsekuensi alamiah dari cara hidup mereka. Sebaliknya, kelas menengah memiliki kehidupan yang diperhitungkan bagi segala macam nilai dan kebahagiaan. Kedamaian dan kecukupan adalah harta yang dimiliki kelas menengah. Kesederhanaan, ketenangan, kesehatan, masyarakat, semua hiburan yang baik dan kesenangan yang diinginkan, merupakan berkat yang ada dalam kehidupan kelas menengah. Inilah cara orang menjalani hidup dengan tenang dan baik, merasa nyaman menikmatinya, dan tidak dibebani dengan pekerjaan tangan atau pikiran, tidak memperbudak diri demi memperoleh nafkah ataupun terganggu dengan keadaan yang membingungkan, yang membuat jiwa dan raga terganggu. Juga tidak ternoda dengan nafsu cemburu ataupun ambisi rahasia yang menyala-nyala akan hal-hal yang besar. Sebaliknya, dalam keadaan yang lebih mudah, dapat hidup nyaman dan merasakan manisnya kehidupan secara wajar, tanpa kegetiran. Rasakanlah kebahagiaannya dan belajarlah dari pengalaman sehari-hari untuk mengetahuinya secara lebih pantas.
Setelah itu dia mendesakku dengan sungguh-sungguh, dan dengan cara yang sangat lembut, agar jangan seperti anak kecil ataupun tergesa-gesa menjebloskan diri sendiri ke dalam penderitaan yang secara alamiah tidak diterima di kelas masyarakat mana pun aku hidup. Aku sendiri belum perlu mencari nafkah, sementara ayahku akan tetap mengurusku dan mempersiapkanku untuk memasuki kehidupan kelas masyarakat yang telah disarankannya kepadaku. Selain itu, dia juga mengatakan bahwa jika aku tidak terlalu betah dan senang di dunia ini, itu pasti adalah nasib atau kesalahan yang harus dihindari. Ayah juga mengatakan bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi, dan angkat tangan dari tugasnya untuk memperingatkanku agar tidak melakukan tindakan yang dia tahu akan merugikan diriku sendiri. Pendeknya, dia akan melakukan yang terbaik bagiku jika aku tetap tinggal di rumah seperti yang disarankannya, sehingga ia tidak bertanggung jawab jika terjadi hal buruk pada diriku kalau aku bersikeras mengikuti kemauanku. Di akhir pembicaraan, Ayah menunjuk kakak tertuaku sebagai contoh, dia juga telah menasihati agar kakakku tidak terlibat dalam peperangan di Negeri Rendah (wilayah Belanda, Belgia, dan Luxemburg modern yang saat itu berusaha merdeka dari Spanyol—penerj.). Namun usahanya gagal karena darah muda kakakku membuatnya bersikeras bergabung dengan tentara, dan akhirnya dia tewas. Sekalipun mengatakan bahwa dia akan selalu mendoakanku, tetapi ayah mengingatkanku bahwa jika aku mengambil langkah bodoh ini, Tuhan tidak akan memberkatiku. Aku pun nantinya harus bersedia merenungkan kenapa mengabaikan nasihatnya saat semuanya akan menjadi buruk.
Aku mengingat bagian pembicaraan yang terakhir ini, yang benar-benar bernada ramalan, sekalipun kupikir ayahku tidak menyadarinya. Aku mengamati air mata mengalir deras, jatuh dari wajahnya, khususnya saat ayahku berbicara tentang kakakku yang gugur. Demikian juga saat dia berbicara betapa senangnya ayah saat aku menyesali sikapku, dan tanpa paksaan, dia begitu terharu sehingga menghentikan pembicaraan, serta memberitahuku bahwa hatinya begitu terasa sesak sehingga tidak bisa berbicara lagi denganku.
Awal Kehidupan - 2
Aku benar-benar terkesan dengan pembicaraannya. Sebenarnya, siapa yang tidak akan terkesan? Dan aku pun memutuskan tidak berpikir lagi untuk pergi ke luar negeri, melainkan tinggal di rumah sebagaimana keinginan ayahku. Sayangnya, keputusan itu bertahan selama beberapa hari dan, pendeknya, agar tidak menyusahkan ayahku lagi, hanya dalam waktu beberapa minggu aku kembali memutuskan untuk menjauh darinya. Namun aku tidak bertindak tergesa-gesa saat terdorong untuk memutuskan hal itu. Sebaliknya, aku mengadakan pembicaraan dengan ibuku saat ia terlihat lebih menyenangkan daripada biasanya. Aku memberi tahu ibu bahwa aku begitu ingin melihat dunia luar sehingga tidak ada satu pun hal yang dapat mencegahku. Jadi, demikian aku memberi tahu ibu, lebih baik ayah mengizinkanku daripada memaksaku untuk tidak melakukannya. Apalagi usiaku sekarang sudah delapan belas tahun, sudah terlalu tua untuk belajar menjadi seorang pedagang, juru tulis, ataupun pengacara. Aku yakin aku hanya membuang-buang waktu kalau memaksakan diri untuk melakukannya. Bisa jadi aku lari dari rumah jika tidak diizinkan, dan pergi berlayar. Karena itu, seandainya ibu bersedia berbicara dengan ayahku agar mengizinkanku untuk berlayar sekali saja, jika aku kembali ke rumah dan tidak menyukainya lagi, aku tidak akan berlayar lagi. Dan aku berjanji akan berusaha keras untuk melakukan apa yang diinginkan oleh ayahku.
Pembicaraan ini membuat ibuku terharu. Dia mengatakan kepadaku bahwa percuma berbicara mengenai hal itu dengan ayahku. Ayah tahu benar apa yang sangat kuingini hanya akan merugikan diriku. Karena itu ibu bertanya-tanya bagaimana aku bisa berpikir seperti itu setelah pembicaraan yang kuadakan dengan ayahku, tahu betapa baik dan lembutnya sikap ayahku. Pendeknya, jika aku merusak diriku sendiri, tidak akan ada pertolongan bagiku. Namun aku mungkin memang tidak memerlukan izin mereka. Ibuku pun tidak memiliki peran serta dalam hal yang di kemudian hari merugikan diriku. Aku pun tidak mengatakan bahwa ibu mengizinkan apa yang tidak diizinkan ayahku untuk aku lakukan.
Sekalipun ibuku menolak menyampaikannya kepada ayahku, tetapi aku kemudian mendengar bahwa ibu melaporkan semua pembicaraan kepadanya. Ayahku, setelah menunjukkan kepedulian besar akan hal itu, berkata kepada ibuku, dengan menghela napas dalam. “Anak itu bisa jadi hidup senang jika dia mau tetap tinggal di rumah. Namun, jika dia ingin pergi ke luar negeri, dia akan menjadi makhluk celaka yang paling menyedihkan yang pernah lahir. Aku tidak akan membiarkan hal itu.”
Baru hampir setahun kemudian aku melanggar janjiku. Sementara itu, aku selalu menulikan diriku terhadap berbagai saran agar mulai terjun dalam dunia bisnis. Aku sering kali berbantahan dengan ayah dan ibuku karena mereka begitu menentang keinginan hatiku. Suatu hari di Hull, di tempat yang biasanya menjadi tempat pelarianku, aku bertemu seorang kawanku yang hendak berlayar ke London dengan kapal ayahnya. Ia mengajakku ikut untuk menjajaki kehidupan pelaut. Gratis, tanpa perlu membayar. Tanpa memberi tahu ayah atau ibuku maupun meminta berkat dari Tuhan maupun ayahku, tanpa memikirkan keadaan maupun konsekuensinya, dan dalam keadaan yang buruk, pada tanggal 1 September 1651, aku naik ke sebuah kapal yang akan berlayar ke London. Tidak ada kemalangan yang dialami petualang muda sebegitu cepat, demikian keyakinanku, ataupun berlangsung lebih lama, daripada yang kualami. Kapal itu belum lama keluar dari Humber saat angin mulai bertiup kencang dan laut mengamuk sebegitu menakutkannya. Karena belum pernah mengarungi laut sebelumnya, tubuhku terasa begitu perih sementara pikiranku dilanda ketakutan. Kini aku mulai merenungi secara serius perbuatan apa yang telah aku lakukan, betapa sesuainya aku dihukum oleh Tuhan karena dosaku meninggalkan rumahku begitu saja, dan mengabaikan tanggung jawabku. Semua saran yang baik dari orangtuaku, air mata ayahku dan permohonan ibuku, kini muncul kembali dalam ingatanku. Hati nuraniku, yang masih belum menghadapi kesulitan di masa datang, menegurku serta mengingatkan pelanggaranku akan tanggung jawabku terhadap Tuhan dan ayahku.
Semua ini terjadi sementara badai semakin ganas, dan lautan bergelombang tinggi, sekalipun tidak seganas apa yang kulihat berkali-kali setelah peristiwa itu. Tidak pula seperti yang kulihat beberapa hari setelahnya. Namun hal tersebut sudah cukup memengaruhiku saat itu, yang hanyalah seorang pelaut ingusan dan belum pernah menghadapi hal seperti itu. Aku mengira bahwa setiap gelombang yang naik dapat menelan diri kami, sementara setiap kali kapal terasa turun, aku merasa kami tidak akan pernah muncul lagi. Dalam kekalutan ini, aku membuat banyak sumpah dan janji bahwa jika Tuhan bersedia menyelamatkanku dari pelayaran yang satu ini, jika aku dapat menginjakkan kaki di daratan lagi, aku akan langsung pulang ke rumah ayahku dan tidak akan pernah membiarkan diriku terjerumus dalam penderitaan semacam itu lagi. Kini aku melihat betapa benarnya penilaian ayahku mengenai kehidupan kelas menengah, betapa mudah dan nyamannya kehidupan sehari-harinya, dan tidak pernah mengalami prahara di laut maupun masalah di pantai. Aku memutuskan bahwa aku akan, seperti perumpamaan anak yang hilang, kembali ke rumah ayahku.
Pikiran yang bijak ini terus mengisi otakku selama badai berlangsung, bahkan hingga beberapa waktu setelah itu. Namun, pada hari berikutnya angin ribut mereda dan laut menjadi tenang kembali, sementara aku pun mulai terbiasa dengannya. Sekalipun demikian, aku masih ketakutan sepanjang hari itu, dan juga sedikit mabuk laut. Namun menjelang malam cuaca mulai membaik, angin berhenti bertiup, diikuti suatu senja yang menyenangkan. Matahari terbenam dengan begitu cemerlang, dan muncul lagi pada keesokan paginya dalam kondisi yang sama. Dengan sedikit atau tanpa embusan angin, dan laut yang tenang, matahari menyinarinya, pemandangan yang kupikir begitu indah daripada yang pernah kulihat.
Aku tidur nyenyak malam itu, dan kini tidak mabuk laut lagi. Sebaliknya, aku menjadi sangat gembira, bertanya-tanya dengan rasa takjub bagaimana laut bisa begitu kejam dan mengerikan sehari sebelumnya, dan bisa begitu tenang dan menyenangkan dalam waktu singkat sesudahnya. Dan kini, ketika akal sehatku terus berlanjut, temanku, yang membujukku ikut pergi, mendatangiku, “Hai, Bob,” katanya, menepuk bahuku, “bagaimana perasaanmu setelah peristiwa itu? Pasti kau ketakutan tadi malam, saat angin sedikit bertiup?”
“Sedikit bertiup?” kataku, “itu badai yang mengerikan.”
“Badai? kau payah sekali,” jawabnya, “kau menyebutnya badai? Itu sama sekali bukan badai. Berikan saja sebuah kapal yang bagus dan laut yang bagus, dan kita tidak akan terpengaruh oleh angin badai seperti itu. Kau pelaut baru, Bob. Ayolah, mari kita minum dan melupakan itu semua. Kau lihat cuaca yang indah sekarang ini?”
Singkatnya dari bagian menyedihkan kisahku ini, kami pergi ke tempat para pelaut berkumpul.Kami memesan minuman dan aku menjadi setengah mabuk setelah menenggaknya. Dalam keterkutukanmalamitu,akumembenamkansemuapertobatanku, semua pemikiran akan sikapku sebelumnya, semua keputusan untuk masa depanku. Dengan kata lain, saat laut kembali tenang, secepat itulah pikiranku berubah, ketakutanku akan ditelan oleh laut terlupakan, dan impianku sebelumnya kembali. Sebenarnya, aku menemukan waktu jeda untuk merenung selama beberapa waktu. Pikiran serius untuk pulang kembali terlintas, tetapi aku kemudian menyingkirkannya. Aku menjauhi pikiran itu laksana menjauhi penyakit, dan pergi untuk minum dan berkumpul dengan pelaut lainnya. Aku segera bisa mengatasi masalah itu, demikianlah aku menyebutnya. Aku memerlukan waktu lima hingga enam hari untuk mengalahkan kesadaranku, sebagaimana setiap orang muda yang memutuskan untuk tidak mempermasalahkan apa yang diinginkannya. Namun aku masih harus menghadapi cobaan lainnya. Dan Tuhan, seperti biasanya, memutuskan untuk tidak membiarkanku begitu saja. Karena jika aku tidak memandangnya sebagai suatu penyelamatan, hal yang berikutnya menjadi salah satu hal yang paling buruk dan mengerikan yang akan diakui oleh orang yang paling brengsek di antara kami, sebagai bahaya maupun belas kasihan.
Awal Kehidupan - 3
Pada hari keenam kami berada di lautan, kami sampai di Yarmouth Roads. Angin telah bertiup ke arah sebaliknya dan cuaca tenang. Kami hanya sedikit bergerak sejak peristiwa amukan badai itu. Di sini kami wajib membuang sauh. Di tempat ini kami berlabuh, sementara angin terus bertiup ke arah sebaliknya, yaitu barat daya, selama tujuh atau delapan hari, ketika banyak kapal dari Newcastle mendatangi jalur yang sama, sebagaimana pelabuhan biasa tempat kapal-kapal menunggu datangnya angin agar dapat melayari sungai.
Akan tetapi, kami tidak berada lama di sini. Kami seharusnya menyusuri sungai, tetapi angin berembus terlalu awal, dan setelah kami bersandar empat atau lima hari, angin menjadi semakin ganas. Namun, Roads dianggap sebagai pelabuhan yang baik, dermaganya baik, dan katrol-putar kami sangat kuat, awak kami tidak peduli, atau paling tidak, tidak menyadari bahaya. Akibatnya, mereka menghabiskan waktunya dengan beristirahat dan bersenang-senang setelah laut menjadi tenang. Namun pada hari kedelapan, di pagi hari, angin menjadi kencang, dan kami berusaha keras untuk menarik layar atas kami, dan membuat semuanya sempit dan melekat, sehingga kapal bisa berlayar semudah mungkin. Pada saat tengah hari, laut bergelombang begitu tinggi, dan kapal kami berlayar dengan anjungannya beberapa kali terlanda ombak. Kami berpikir jangan-jangan jang kar kami telah tertarik. Kapten kami pun memerintahkan agar jangkar cadangan diturunkan, sehingga kami berlayar dengan dua jangkar di depan, dan kabel direntangkan sampai ujung sekali.
Pada saat ini, badai yang mengerikan mengamuk. Aku kini bahkan mulai melihat ketakutan dan ketakjuban di wajah para pelaut sendiri. Sang kapten, sekalipun sudah banyak makan asam garam dalam membawa kapal, tetapi saat dia keluar masuk kabin dan melewatiku, beberapa kali terdengar berkata dengan suara pelan kepada dirinya sendiri, “Ya Tuhan, kasihanilah kami! Kami semua akan mati! Kami semua akan lenyap!” dan kata-kata sejenisnya. Sepanjang kepanikan ini, aku bersikap seperti orang bodoh, berbaring di kabinku, yang berada di geladak, dan tidak bisa menggambarkan perasaanku: Aku bisa tetap merasa sedih karena rasa penyesalan pertamaku yang menurutku begitu membebaniku dan mengeraskan diriku untuk mengatasinya: aku memikirkan kengerian akan kematian telah berlalu, dan bahwa hal ini tidak akan seperti yang sebelumnya. Namun saat sang kapten berada di dekatku, seperti yang sekarang kukisahkan, dan mengatakan bahwa kami semua akan tenggelam, aku benar-benar merasa ketakutan. Aku keluar dari kabinku dan melihat ke luar. Namun yang terlihat adalah pandangan yang begitu muram yang tidak pernah kusaksikan: laut naik hingga setinggi gunung, dan menghantam kami setiap tiga atau empat menit. Saat bisa mengarahkan pandangan ke sekelilingku, aku hanya bisa melihat kesukaran di sekeliling kami. Dua kapal yang berlayar di dekat kami, kami lihat telah memotong tiang kapal mereka untuk mengurangi beban. Awak kami berteriak bahwa sebuah kapal yang berlayar sekitar satu mil di depan kami telah tenggelam. Dua kapal lainnya, yang terseret dari tempat mereka berlabuh, hanyut dari Roads ke lautan lepas, tanpa tiang layarnya lagi. Kapal-kapal yang ringan bernasib lebih baik, karena tidak begitu sulit dijalankan di laut. Namun dua atau tiga kapal di antaranya berlayar dan mendekati kami hanya dengan layar segi empat mereka terentang di hadapan angin.
Menjelang senja, mualim dan kepala kelasi meminta kapten kapal kami untuk memotong tiang layar depan, yang sangat enggan dia lakukan. Namun kepala kelasi memprotesnya dengan mengatakan bahwa jika hal itu tidak dilakukan, kapal akan tenggelam. Akhirnya, dengan berat hati sang kapten mengabulkan permintaannya. Saat mereka memotong tiang layar depan, tiang layar utama berdiri begitu longgar dan menyebabkan kapal terguncang begitu keras sehingga terpaksa dirobohkan juga. Akhirnya, geladak pun menjadi bersih.
Setiap orang bisa menilai keadaan yang harus aku lalui saat itu, seorang pelaut ingusan yang ketakutan. Namun jika aku bisa mengekspresikan pada saat ini perasaan yang meliputi diriku saat itu, aku akan sepuluh kali lebih ketakutan jika memikirkan keyakinanku dahulu. Aku pasti memutuskan akan mengikuti saran yang sebelumnya kuabaikan, daripada harus menghadapi kematian sendiri. Semua ini, selain teror dari badai, membawaku ke suatu kondisi yang tidak dapat kusampaikan dengan kata-kata. Namun, yang terburuk belum datang. Badai itu terus berlangsung dengan keganasan yang menurut pengakuan para pelaut sendiri belum pernah mereka lihat. Kami memiliki sebuah kapal yang baik, tetapi penuh muatan dan berkubang di lautan, sehingga para pelaut berteriak di sana-sini bahwa kapal kami akan tenggelam. Untungnya bagiku, saat itu aku tidak tahu apa artinya TENGGELAM hingga aku menyelidikinya. Namun, badai itu begitu ganas sehingga aku melihat, apa yang jarang terlihat, sang kapten, mualim, dan kepala kelasi, serta beberapa orang yang lebih bijak daripada yang lainnya, berdoa dan bersiap-siap jika sewaktu-waktu kapal kami akan tenggelam.
Pada waktu tengah malam, di tengah-tengah kesesakan kami, salah seorang awak yang turun untuk memeriksa keadaan berteriak bahwa kapal kami mengalami kebocoran. Yang lainnya mengatakan bahwa air sudah masuk sedalam satu setengah meter di palka kapal. Kemudian semua orang diminta untuk memompa air keluar. Saat kata itu muncul, hatiku, demikian kupikir, membeku. Aku terjungkal dari sisi ranjang tempat aku duduk, ke dalam kabin. Namun, seseorang membangunku dan memberitahuku bahwa aku, yang sebelumnya tidak dapat melakukan apa-apa, harus ikut memompa seperti yang lain. Saat itu aku menjadi bersemangat dan ikut memompa serta melakukannya dengan segenap hatiku. Sementara kami bekerja, sang kapten melihat adanya cahaya batu bara di kejauhan yang semakin mendekat. Dia memerintahkan kami untuk menembakkan senjata sebagai isyarat adanya kesulitan. Aku, yang tidak mengetahui arti dari tindakan ini, mengira kapal telah hancur, atau sesuatu yang buruk akan terjadi. Pendeknya, aku begitu terkejut sehingga pingsan. Karena pada saat ini setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri, tidak ada satu pun orang yang peduli kepadaku ataupun apa yang terjadi pada diriku. Namun seseorang melangkah naik menuju pompa, dan menggeser diriku dengan kakinya, membiarkanku tergeletak karena mengira kalau aku sudah mati. Ternyata, hal itu malah membuatku sadar dari pingsanku.
Kami terus berusaha, tetapi air semakin banyak yang masuk, sehingga kelihatannya kapal akan tenggelam. Sekalipun badai mulai mereda, tetapi mustahil kapal kami dapat terus berlayar hingga mencapai pelabuhan mana pun. Karena itu, sang kapten terus menembakkan senjata untuk mencari bantuan. Sebuah kapal kecil, yang berlayar tepat di depan kami, menurunkan se buah perahu sekoci untuk menolong kami. Dengan susah payah akhirnya perahu sekoci itu mendekati kami. Namun, mustahil bagi kami untuk menaikinya ataupun perahu itu bersandar di sisi kapal kami, hingga akhirnya orang-orang itu mendayung sekuat tenaga, dan mengambil risiko untuk menyelamatkan kami. Awak kapal kami kemudian melemparkan seutas tali berpelampung dari atas buritan, kemudian tiba-tiba membelok dengan sudut tajam, tempat para penyelamat kami, setelah bersusah payah dan mengambil risiko, dapat meraihnya. Kami kemudian menarik mereka mendekati bagian bawah buritan kami, lalu kami semua menaiki perahu sekoci mereka. Mustahil bagi mereka ataupun kami, setelah kami menaiki perahu sekoci itu, untuk berpikir mencapai kapal mereka sendiri. Jadi, kami semua setuju untuk membiarkannya terus berlayar dan mendayung sebisa mungkin untuk mencapai tepi pantai. Kapten kami berjanji kepada mereka bahwa jika perahu sekoci itu sampai di pantai, dia akan mengembalikannya kepada kapten mereka. Jadi, sebagian mendayung dan sebagian mengemudi, perahu sekoci kami berlayar menuju ke utara, menuruni pantai hingga sejauh Winterton Ness.
Kami baru berlayar sekitar seperempat jam dari kapal kami saat kami melihatnya tenggelam, dan pada saat itulah aku baru mengerti untuk pertama kalinya apa arti dari sebuah kapal yang tenggelam di laut. Aku harus mengakui bahwa aku sulit menerima saat si pelaut mengatakan kepadaku bahwa kapal kami tenggelam. Boleh dibilang sejak mereka menempatkanku di perahu dibandingkan ketika aku mengatakan bahwa aku menaikinya, hatiku terasa mati karena ketakutan setengah mati akan apa yang aku hadapi.
Sementara kami berada dalam kondisi ini, orang-orang terus mendayung untuk membawa perahu sekoci ini ke dekat pantai, kami bisa melihat (saat perahu sekoci diombang-ambingkan gelombang, kami melihat pantai) banyak orang berlarian di sepanjang pantai untuk membantu kami saat kami mendekat nantinya. Namun, perahu sekoci kami bergerak lambat menuju pantai. Kami baru bisa mencapai pantai hingga, setelah melewati mercusuar di Winterton, pantai terlihat menjorok ke arah barat menuju Cromer, hingga daratan sedikit terbuka oleh tiupan angin keras. Di sini, sekalipun bukannya tanpa banyak kesulitan, kami mendarat dengan selamat di pantai, dan setelah itu berjalan kaki menuju Yarmouth, tempat kami, sebagai orang-orang yang malang, kami dibantu dengan sukacita, termasuk oleh pemuka kota, yang memberikan kami tempat berteduh yang baik, maupun oleh beberapa pedagang dan pemilik kapal yang memberikan kami cukup uang untuk pergi ke London maupun Hull, tempat mana pun yang kami inginkan.
Jika saja aku kini ingin kembali ke Hull, dan pulang ke rumah, aku pasti akan bahagia. Ayahku, seperti dalam perumpamaan “Anak Yang Hilang” yang dikisahkan Juru Selamat kita, bahkan akan memotong lembu yang tambun bagiku. Beliau pasti bersukacita karena aku tidak tenggelam di Yarmouth Roads.
Namun nasib burukku mendorongku dari sekarang dengan sikap keras kepala yang tidak bisa dibendung. Sekalipun beberapa kali aku merasakan teguran keras dari akal budiku dan penilaian yang lebih baik dari nuraniku, tetapi aku tidak berdaya untuk melaksanakannya. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan dalam hal ini, maupun mendesak bahwa ini adalah rahasia yang mengesampingkan keputusan, yang mempercepat kami menjadi alat bagi kehancuran kami sendiri, bahkan jika hal itu ada di depan kami dan kami menyongsongnya dengan mata terbuka lebar. Tentu saja, hanya penderitaan yang tidak terelakkan seperti itulah yang ada, yang mustahil kuhindari, dapat mendorongku ke arah akal sehat dan meyakinkan pikiranku yang paling kuabaikan. Berhadapan dengan kedua pemikiran yang terlihat seperti itulah aku bertemu dengan pencobaan pertamaku.
Kawanku, yang sebelumnya telah membantu untuk mengeraskan hatiku dan merupakan anak kapten kapal, kini tidak lebih baik daripada diriku. Saat pertama dia berbicara kepadaku setelah kami berada di Yarmouth, yang tidak sampai dua atau tiga hari, karena kami dipisahkan di kota itu di beberapa tempat. Aku bisa mengatakan, saat dia melihatku pertama kali, kelihatan nada suaranya berubah. Terlihat sangat sedih dan menggeleng-gelengkan kepala, dia menanyakan kabarku. Dia kemudian mengatakan kepada ayahnya mengenai siapa diriku dan bagaimana aku mengikuti pelayaran ini sebagai sebuah uji coba, untuk bisa mempersiapkan diri pergi ke luar negeri. Ayahnya berpaling kepadaku, berkata dengan nada sangat serius dan peduli. “Anak muda,” katanya, “sebaiknya kau jangan pernah berlayar lagi. Kau seharusnya melihat hal ini sebagai pertanda yang jelas dan nyata bahwa kau bukanlah seorang pelaut.”
“Mengapa, Tuan,” kataku, “apakah Anda tidak akan melaut lagi?”
“Itu kasus lain,” katanya, “itu panggilan hidupku, dan dengan demikian tugasku. Namun karena kau melakukan pelayaran ini sebagai uji coba, kau sudah mengetahui rasa yang diberikan Tuhan kepadamu mengenai apa yang harus kau hadapi jika kau bersikeras melanjutkannya. Mungkin bencana ini terjadi karena dirimu, seperti kisah Nabi Yunus yang melarikan diri dengan kapal ke Tarsis.
“Berdoalah,” lanjutnya, “agar kau tahu siapa dirimu sebenarnya dan atas dasar apa kau berlayar?”
Mendengar perkataannya itu, aku menceritakan kisahku. Saat aku mengakhiri ceritaku, tiba-tiba ia memperlihatkan sikap yang aneh: “Apa dosa yang kulakukan,” katanya, “sehingga orang menyedihkan seperti ini harus ikut dengan kapalku? Aku tidak akan menginjakkan kakiku ke kapal yang sama dengan dirimu lagi, bahkan jika dibayar seribu pound.” Sebenarnya ini, seperti yang kukatakan, adalah suatu penyimpangan jiwanya, yang masih terguncang karena rasa kehilangannya, sesuatu yang sulit diterimanya. Namun, setelah itu dia berbicara dengan begitu serius kepadaku, mendesakku untuk pulang ke rumah ayahku, dan tidak menantang Tuhan untuk menghancurkan diriku sendiri, memberitahuku bahwa aku mungkin akan melihat tangan Tuhan sendiri melawanku. “Anak muda,” katanya, “semuanya bergantung pada hal itu. Jika kau tidak kembali, ke mana pun kau pergi, kau hanya akan menghadapi bencana dan kekecewaan, hingga kata-kata ayahmu tergenapi atas dirimu.”
Kami segera berpisah. Kami hanya sedikit berbincang dan aku tidak pernah melihatnya lagi dan tidak tahu ke mana dia pergi. Sedangkan mengenai diriku, karena memiliki sedikit uang di kantungku, aku pergi ke London lewat darat. Di sana, sebagaimana juga dalam perjalanan, aku bergumul dengan diriku sendiri mengenai jalan mana yang harus kutempuh dalam hidupku, dan apakah aku harus pulang ke rumah atau pergi berlayar.
Mengenai pikiran untuk pulang ke rumah, aku merasa malu sekali apabila harus melakukan hal itu. Aku membayangkan bahwa diriku akan menjadi bahan tertawaan di antara tetangga. Aku bukan hanya malu untuk bertemu dengan ayah dan ibuku, tetapi semua orang. Dari sana aku sering kali mengamati betapa tidak layaknya dan tidak rasionalnya sifat umum manusia, khususnya orang muda, terhadap pertimbangan yang sehat yang seharusnya menuntun mereka dalam menghadapi kasus seperti ini, yaitu bahwa mereka tidak malu terhadap dosa, tetapi merasa malu untuk bertobat; tidak merasa malu atas tindakan yang membuat mereka dipandang sebagai orang bodoh, tetapi malu untuk kembali, yang sebenarnya dapat membuat mereka dipandang sebagai orang bijak.
Namun, dalam keadaan ini, selama beberapa waktu aku tidak yakin akan langkah apa yang harus kuambil dan ke mana arah kehidupan ini akan membawaku. Aku merasa tetap enggan untuk pulang ke rumah. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang sekaligus menenangkan diri dari pengalaman berlayar pertamaku yang mengerikan, aku memutuskan untuk tidak pulang dan berlayar kembali.
Perbudakan dan Pelarian
Pengaruh buruklah yang membawaku pertama kali lari dari rumah ayahku, pengaruh ini juga yang membawaku pada ide liar dan tidak dapat dicerna oleh akal sehat untuk mengejar kekayaanku, dan keinginan buruk ini membuatku tidak mendengarkan semua nasihat yang baik maupun terhadap permohonan dan bahkan perintah ayahku.
***
Pengaruh yang sama, apa pun itu, merasuki jalan pikiranku dan membawaku ke dalam pengalaman yang paling merugikan diriku. Aku naik ke sebuah kapal yang berlayar ke pantai Afrika, atau sebagaimana para pelaut lainnya kami menyebutnya pelayaran ke Guinea.
Malang bagiku bahwa sepanjang petualangan ini aku tidak bertindak seperti seorang pelaut. Sekalipun aku bekerja sedikit lebih keras daripada orang biasa, tetapi pada saat yang sama aku seharusnya mempelajari tugas dan kewenangan seorang pengawas tiang layar depan. Dengan demikian, pada waktunya nanti aku bisa memiliki kemampuan sebagai seorang kelasi kelas satu atau letnan, jika bukan seorang kapten. Namun seperti sudah takdir aku selalu memilih yang terburuk, demikianlah yang aku lakukan di sini. Dengan uang di kantung dan baju bagus di tubuhku, aku selalu naik ke atas kapal dengan bersikap seperti orang berada. Jadi, aku tidak memiliki urusan di kapal, atau belajar melakukan apa pun di sana.
Aku selalu beruntung memiliki kenalan baik di London, hal ini tidak selalu terjadi kepada para pemuda yang goyah dan kurang pengarahan seperti diriku pada masa itu. Pertama-tama aku berhubungan dengan kapten sebuah kapal yang telah berlayar ke Guinea, yang memperoleh keberhasilan di sana dan memutuskan untuk kembali ke tempat itu. Kapten ini senang saat mendengar keinginanku untuk melihat dunia. Dia mengatakan kepadaku bahwa jika aku ingin berlayar dengannya, aku tidak perlu membayar. Aku bisa menjadi rekan seruangan dan sekerjanya. Dan jika aku membawa sesuatu, aku bisa memperoleh keuntungan dengan menjualnya.
Aku menerima tawaran itu dan berkawan erat dengan kapten ini, seorang yang jujur dan terbuka. Aku berlayar bersamanya, melakukan suatu petualangan kecil denganku, yang membuatku semakin terampil berlayar. Aku membawa sekitar delapan belas kilo barang-barang sepele seperti yang dianjurkan oleh sang kapten. Barang-barang ini aku kumpulkan dengan bantuan kerabatku yang kukirimi surat. Aku yakin dia menghubungi ayahku, atau minimal ibuku, agar menyumbangkan barang sebanyak itu bagi petualangan pertamaku.
Inilah satu-satunya pelayaran yang boleh kukatakan sukses dari semua petualanganku, yang membuatku berutang budi kepada kawanku, sang kapten. Di bawah tuntunannya aku memperoleh pengetahuan matematika dan aturan navigasi yang cukup baik, belajar bagaimana mengarahkan kapal, melakukan observasi dan, pendeknya, mengerti beberapa hal yang harus diketahui oleh seorang pelaut. Karena dia senang mengajariku, aku pun senang diajari. Pendeknya, pelayaran ini membuatku menjadi seorang pelaut sekaligus pedagang. Hal ini karena aku berhasil membawa pulang sekitar dua setengah kilo emas mentah dari petualanganku, yang kemudian kujual seharga hampir tiga ratus pound di London. Hal ini mendorongku melakukan apa yang kemudian benar-benar menghancurkan hidupku.
Namun, bahkan dalam pelayaran ini aku juga ditimpa kemalangan, terutama karena aku terus-menerus sakit, terkena demam tropis yang parah akibat terpapar suhu yang begitu panas. Kami terutama berdagang di pantai, dari garis lintang lima belas di utara garis itu sendiri.
Aku kini menunggu seorang pedagang Guinea. Sayangnya, kawanku meninggal dunia segera setelah tiba di sini. Aku memutuskan untuk melakukan pelayaran yang sama lagi, dan membawa kapal yang sama dengan kapal yang sebelumnya kami bawa. Namun, kini aku yang memimpin kapal itu. Pelayaran ini adalah pelayaran yang paling tidak menyenangkan yang pernah dilakukan siapa pun. Sekalipun aku hanya membawa kurang dari seratus pound uang yang kumiliki, sehingga masih menyisakan dua ratus pound yang kutitipkan kepada janda kawanku, yang sangat baik kepadaku, tetapi aku terjerumus ke dalam kemalangan yang mengerikan. Pertama, kapal kami yang sedang berlayar ke Kepulauan Canaria, atau lebih tepatnya antara kepulauan itu dan pantai Afrika, dikejutkan oleh bajak laut Turki dari Sallee pada suatu pagi yang kelam, yang berusaha mengejar kami sekencang kapal mereka bisa berlayar. Kami berusaha keras merentangkan layar kami maupun tiang layar selebar mungkin agar dapat bergerak cepat. Namun, mengetahui bajak laut mengincar kami, dan pasti akan menyusul kami dalam waktu beberapa jam, kami bersiap untuk bertempur. Kapal kami memiliki dua belas meriam, dan delapan belas orang anak buah kapal.
Sekitar pukul tiga sore, kapal itu berhasil mengejar kami, dan karena kesalahan, bergerak melintangi geladak kami bukannya bagian buritan sebagaimana yang dimaksudkannya. Kami telah membawa enam meriam kami ke sisi itu dan melepaskan tembakan serentak ke arahnya, yang membuatnya menikung lagi. Setelah membalas tembakan kami, hampir dua ratus orang awak yang berada di kapalnya siap menyerbu. Namun, tidak ada di antara kami yang terluka dan kami bersiap-siap melawan lagi. Kapal itu bersiap menyerang kami lagi, dan kami harus mempertahankan diri kami. Namun kemudian kapal mengerahkan enam puluh orang untuk naik ke dek kami, yang segera menebas dan merusak layar serta tali-temali. Kami menghadapi mereka dengan pistol, tombak kecil, kotak mesiu, dan sebagainya, serta mengusir mereka dua kali dari dek kami. Namun, singkatnya, kapal kami berhasil mereka lumpuhkan. Tiga orang awak kami tewas, dan delapan lagi terluka. Kami pun terpaksa menyerah, dan dibawa sebagai tawanan ke Sallee, sebuah pelabuhan milik orang Moor.
Apa yang terjadi kemudian tidaklah semengerikan yang pertama kali kubayangkan. Aku tidak dibawa ke istana maharaja seperti rekanku yang lain, tetapi diambil oleh kapten kapal bajak laut itu sebagai rampasan berharganya. Aku dijadikan budaknya, karena masih muda dan tangkas, dan cocok untuk usahanya. Dalam perubahan yang tiba-tiba dan mengejutkan ini, kedudukanku berubah dari seorang pedagang menjadi budak yang menyedihkan. Aku benar-benar hancur. Kini aku merenungkan kembali perkataan ramalan ayahku yang beliau sampaikan kepadaku dahulu, bahwa aku akan menderita dan tidak seorang pun akan menolongku, yang kupikir sekarang benar-benar terwujud. Kini, Tuhan telah meninggalkanku dan aku tersingkir tanpa ditebus. Inilah kisah penderitaan yang harus kulalui, yang akan muncul di bagian berikut dari kisah ini.
Karena pelindung atau tuan baruku membawaku pulang ke rumahnya, aku berharap ia akan membawaku bersamanya saat dia berlayar lagi, aku percaya bahwa pada suatu waktu dia akan ditangkap oleh orang Spanyol atau Portugis. Dengan begitu, aku akan bebas. Namun harapanku segera musnah. Saat dia melaut, dia meninggalkanku di pantai untuk mengurus kebun kecilnya, dan melakukan pekerjaan budak biasa yang membosankan di rumahnya. Saat dia pulang dari berlayar, dia memerintahkanku untuk tidur di kabin guna mengurus kapal itu.
Perbudakan dan Pelarian - 2
Di sini aku hanya memikirkan pelarianku, dan metode apa yang harus kulakukan untuk melakukannya. Sayangnya, aku tidak menemukan caranya. Tidak ada satu hal pun yang bisa mendukungnya. Aku tidak bisa membicarakan hal ini kepada siapa pun, karena tidak ada sesama budak, orang Inggris, Irlandia ataupun Skotlandia. Hanya ada aku sendiri. Jadi, selama dua tahun, sekalipun sering membayangkannya, aku tidak pernah memiliki dorongan untuk mewujudkannya.
Setelah sekitar dua tahun, suatu keadaan yang ganjil terjadi, yang membuatku kembali memikirkan keinginan lamaku untuk bebas. Pelindungku tinggal di rumah lebih lama daripada biasanya tanpa mempersiapkan kapalnya yang sebagaimana kudengar sering dia gunakan karena butuh uang, sekali atau dua kali seminggu, dan kadang kala lebih sering jika cuaca baik, untuk membawa perahu sekoci dan pergi menangkap ikan. Karena dia sering membawaku dan si pemuda Maresco untuk mendayung, kami berusaha menyenangkannya dan aku terbukti merupakan penangkap ikan yang tangkas. Sebegitu baiknya, hingga kadang kala dia menyuruhku bersama seorang Moor, salah satu kerabatnya, dan si pemuda, si orang Maresco seba gaimana mereka memanggilnya, untuk menangkap ikan baginya.
Hal itu terjadi sekali, yaitu saat pergi memancing pada suatu pagi yang tenang, suatu kabut muncul begitu pekat sehingga, sekalipun kami tidak sampai dua setengah kilo jauhnya dari pantai, kami tidak bisa melihatnya. Saat mendayung, kami tidak tahu ke mana atau arah mana yang harus ditempuh. Kami bekerja seharian penuh, bahkan hingga malam. Saat pagi merekah, kami mendapati bahwa kami telah terbawa semakin jauh ke lautan, bukannya mendekati pantai. Kami paling tidak berada sepuluh kilo dari tepi pantai. Namun, kami mampu mengatasinya, sekalipun dengan banyak usaha dan menghadapi bahaya. Angin mulai bertiup dengan baik di pagi hari, tetapi kami semua kelaparan.
Namun karena hal ini pelindung kami memutuskan untuk lebih berhati-hati di masa depan. Setelah melabuhkan perahu panjang dari kapal Inggris kami yang dirampasnya, dia memutuskan tidak akan menangkap ikan lagi tanpa memiliki kompas dan perlengkapan lainnya. Jadi, dia memerintahkan tukang kayu kapalnya, yang juga seorang budak Inggris, untuk membangun sebuah ruang kecil atau kabin di tengah perahu panjang, seperti sebuah barkas dengan tempat untuk berdiri di belakangnya untuk mengemudi, dan tempat layar utama. Ruangan di depannya memiliki tempat untuk satu atau dua orang berdiri dan mengatur layar. Perahu itu berlayar dengan layar segitiga khusus, yang digunakan untuk mengatur sebuah tiang layar kapal, dan tiang-tiang yang cocok di atas kabin, yang terpasang rapi dan rendah. Di dalamnya ada sebuah ruangan baginya untuk berbaring, bersama satu atau dua orang budak, dan sebuah meja makan. Ada juga beberapa lemari kecil untuk menaruh beberapa botol minuman keras yang dianggapnya baik untuk diminum, serta roti, beras, dan kopinya.
Kami sering pergi dengan perahu ini untuk mencari ikan, dan karena aku sangat cakap menangkap ikan untuknya, dia tidak pernah pergi tanpa diriku. Dia pergi dengan perahu ini, entah untuk bersenang-senang atau mencari ikan, dengan dua atau tiga orang Moor terkemuka di tempat itu, yang dijamunya dengan baik sekali. Karena itu dia menaruh persediaan yang cukup banyak dari biasanya di atas perahu. Dia kemudian memerintahkanku menyiapkan tiga senapan dengan bubuk mesiu dan peluru, di atas perahunya sebagai alat olahraga untuk menembak burung maupun ikan.
Aku telah mempersiapkan segalanya seperti yang diperintahkannya, dan menunggu pada pagi berikutnya dengan perahu kecil yang sudah dibersihkan, kotoran dan hiasannya sudah dibuang. Semuanya siap untuk mengakomodasi tamunya. Saat pelindungku bolak-balik naik ke perahu sendirian, dan memberitahukanku bahwa para tamunya hendak singgah, seperti biasa dia memerintahkanku bersama si Moor dan si anak untuk pergi dengan perahu dan menangkap ikan untuk jamuan makan bagi kawan-kawannya yang akan datang ke rumahnya. Dia memerintahkan agar kami segera pulang setelah memperoleh beberapa ikan. Aku dengan senang hati melakukan perintahnya
Rencana pelarian yang pernah merasuki pikiranku kini muncul lagi, karena sekarang aku mendapat kesempatan menguasai sebuah perahu kecil. Saat tuanku pergi, aku bersiap-siap, bukan untuk menangkap ikan, tetapi untuk berlayar. Sekalipun aku tidak tahu ke mana aku akan pergi, tetapi aku bersedia pergi ke mana saja asalkan aku bisa pergi dari tempat itu.
Langkah pertamaku adalah membohongi orang Moor ini agar mau mengambilkan persediaan pangan untuk dibawa di perahu. Aku membohonginya dengan mengatakan bahwa kami harus mempertimbangkan untuk tidak makan di rumah pelindung kami. Dia membenarkanku. Kemudian dia membawa sebuah keranjang besar roti atau biskuit, dan tiga kendi air segar ke perahu. Aku tahu di mana persediaan botol anggur pelindungku, yang merupakan barang rampasan dari Inggris. Aku memasukkannya ke perahu saat si orang Moor berada di tepi pantai, meletakkannya seakan-akan barang-barang itu sudah ada di sana bagi tuan kami. Aku juga memasukkan sebongkah besar lilin lebah ke dalam perahu, yang beratnya sekitar dua puluh lima kilo, dengan sebuah bungkusan benang ikat atau benang, sebilah beliung, sebuah gergaji, dan sebuah palu, semuanya sangat berguna bagi kami setelah itu, terutama lilin untuk penerangan. Aku kemudian melakukan tipuan lain kepada pria lugu ini. Namanya Ismael, yang membuat mereka memanggilnya Muley, atau Moely; itu pula nama yang kupakai untuk memanggilnya. “Moely,” kataku, “senjata tuan kita ada di atas perahu. Dapatkah kau membawakan sedikit mesiu untuk ditembakkan? Mungkin kita bisa menembak beberapa ekor burung untuk kita makan sendiri, karena aku tahu Tuan memiliki senjata di perahu.”
“Ya,” katanya, “aku akan membawakannya.” Dia kemudian membawa sebuah kantung kulit besar, yang berisi tujuh ratus gram bubuk mesiu dan kantung lainnya yang berisi dua hingga dua setengah kilo, serta sejumlah peluru, dan memasukkan semuanya ke perahu. Pada saat yang sama aku menemukan sejumlah bubuk mesiu di kabin besar majikanku, yang kemudian kuisikan ke salah satu botol besar di peti, yang hampir kosong, menuangkan isinya ke botol lainnya. Setelah selesai memasukkan barang-barang yang kami butuhkan, kami pun berlayar keluar pelabuhan untuk menangkap ikan. Penjaga benteng, yang merupakan pintu masuk pelabuhan, mengenal siapa kami dan tidak memedulikan kami. Tidak sampai satu mil dari pelabuhan kami membuang sauh dan mulai menangkap ikan. Angin berembus dari arah antara utara dan timur laut, yang berlawanan dengan keinginanku, karena jika berembus ke arah selatan, aku yakin pasti bisa mencapai pantai Spanyol, atau paling tidak mencapai Teluk Cadiz. Namun keputusanku sudah bulat: ke mana pun angin berembus, aku harus pergi dari tempat mengerikan itu. Kelanjutannya, kuserahkan pada nasib saja.
Setelah memancing selama beberapa waktu dan tidak mendapatkan apa-apa, aku berkata kepada orang Moor itu, “Ini tidak berhasil. Kita tidak akan bisa menyenangkan tuan kita. Lebih baik kita pergi lebih jauh lagi.” Dia setuju dan mengatur layar. Aku, yang memegang kemudi, membawa perahu sekitar lima kilo lebih jauh, kemudian menghentikannya seakan-akan aku ingin memancing. Setelah memberikan kemudi kepada anak itu, aku melangkah ke tempat si orang Moor berdiri dan membungkuk seakan-akan hendak mengambil sesuatu di belakangnya. Aku mengejutkannya saat menangkap pinggangnya dan melemparkan tubuhnya ke laut. Dia segera muncul ke permukaan, memanggil namaku, memintaku agar menaikkannya kembali ke perahu, dan berjanji akan ikut berkeliling dunia denganku.
Perbudakan dan Pelarian - 3
Dia berenang begitu cepat mengejar perahu sehingga bisa mengejarku dalam waktu singkat, karena angin hanya berembus pelan. Karena itu aku masuk ke kabin dan mengambil senjata berburu, mengarahkan kepadanya, dan berkata bahwa aku tidak ingin melukainya. Dan jika dia tidak berbuat macam-macam, aku tidak akan melakukan apa-apa terhadapnya. “Namun,” kataku, “kau berenang cukup baik untuk bisa mencapai pantai, dan laut sedang tenang. Berusahalah sebisamu ke pantai, dan aku tidak akan menyakitimu. Namun, jika kau mendekati perahu, aku akan menembak kepalamu, karena aku ingin bebas,” lalu dia berpaling dan berenang ke pantai. Aku tidak ragu bahwa dia bisa mencapainya karena dia seorang perenang yang baik.
Aku bisa saja membawa orang Moor ini bersamaku, dan menenggelamkan anak itu, tetapi aku tidak bisa mengambil risiko untuk memercayainya. Saat dia pergi, aku berpaling ke arah anak itu, yang mereka panggil Xury, dan berkata kepadanya, “Xury, jika kau setia kepadaku, aku akan menjadikanmu orang hebat. Namun, jika kau tidak setia kepadaku, aku harus melemparkanmu ke laut juga.” Anak itu tersenyum di hadapanku, dan berbicara dengan sikap begitu lugu sehingga aku tidak bisa tidak memercayainya. Ia bersumpah akan setia kepadaku dan akan berkeliling dunia denganku.
Saat memandang orang Moor itu berenang, aku berdiri tegak ke arah laut dengan perahu itu, yang mungkin akan membuat mereka berpikir aku berlayar ke mulut Selat. Siapa yang akan mengira bahwa kami berlayar ke selatan, ke pantai Barbar, tempat orang-orang negro pasti akan mengepung kami dengan perahunya dan menghancurkan kami. Jika kami berani mendarat di pantai sana, kami pasti akan diganyang oleh binatang buas, atau manusia yang bengis.
Namun segera setelah hari menjadi senja, aku mengubah arahku, dan berlayar langsung ke selatan melalui timur, berbelok sedikit ke arah timur, sehingga aku bisa tetap berada di dekat pantai. Dengan angin yang bertiup cukup kencang serta lautan yang tenang, aku yakin bahwa pada hari berikutnya, sekitar pukul tiga siang, aku sudah berada sekitar seratus lima puluh mil di selatan Salle, benar-benar di luar wilayah kekuasaan Maharaja Maroko, maupun kerajaan mana pun, karena kami sama sekali tidak melihat manusia.
Begitu takutnya aku akan orang Moor, serta akan nasib mengerikan yang akan menimpaku jika aku tertangkap oleh mereka, sehingga membuatku tidak berhenti, pergi ke pantai, atau membuang sauh. Angin terus berembus dengan cukup baik hingga lima hari pelayaranku. Kemudian angin berbalik ke selatan, sehingga aku memperkirakan jika aku dikejar, para pengejarku pasti sekarang sudah menyerah. Jadi, aku mengambil risiko untuk mendekati pantai, dan membuang sauh di mulut sebuah sungai kecil. Aku tidak tahu apa nama sungai itu, di mana kami berada, berapa garis lintang tempat kami sekarang, negeri apa namanya, dan bangsa apa yang berada di sana. Aku tidak melihat, ataupun ingin bertemu manusia mana pun. Hal utama yang kuinginkan adalah air segar. Kami mendatangi sebuah sungai kecil pada senja hari, memutuskan untuk berenang ke tepian segera setelah gelap, dan menyelidiki daerah itu. Namun, segera setelah gelap, kami mendengarkan berbagai suara gonggongan, auman, dan lolongan hewan liar, yang kami tahu tidak baik, sehingga anak malang itu hampir mati ketakutan, dan memohonku agar tidak ke pantai hingga hari terang. “Baiklah kalau begitu, Xury,” kataku, “aku tidak akan pergi. Namun bisa jadi kita dilihat oleh manusia saat hari terang nanti, yang sama ganasnya dengan singa itu.”
“Kalau begitu kita tembaki mereka,” kata Xury, tertawa, “untuk membuat mereka lari.” Dia mengucapkannya dalam bahasa Inggris yang kacau-balau, suatu hal biasa di antara para budak. Sekalipun demikian, aku senang melihat anak itu begitu gembira, dan aku memberikannya sedikit minuman dari peti milik bekas tuan kami agar dia bersemangat. Lagi pula, saran Xury memang baik, dan aku mengikutinya. Kami menurunkan jangkar kecil kami, dan tetap berada di sana sepanjang malam. Aku masih terjaga, karena kami sama sekali tidak tidur. Selama dua atau tiga jam kami melihat berbagai makhluk yang sangat besar yang kami tidak tahu namanya datang ke tepi pantai dan masuk ke air, berkubang dan mandi agar tubuhnya menjadi dingin. Mereka mengeluarkan raungan dan teriakan yang mengerikan, yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Xury benar-benar ketakutan. Demikian pula diriku. Namun kami lebih ketakutan saat kami mendengar salah satu makhluk ini berenang ke arah perahu kami. Kami tidak bisa melihatnya, tetapi kami bisa mendengarkannya dengan percikan kuat dan ganasnya di air. Xury mengatakan itu bisa jadi seekor singa. Namun Xury yang malang sambil menangis memohon agar kami mengangkat sauh dan berlayar menjauh. “Tidak,” kataku, “Xury, kita dapat memasukkan tali kita, dengan penahan di atasnya agar tidak tenggelam, dan bergerak ke laut. Mereka tidak akan dapat mengikuti kita hingga jauh.” Aku seharusnya tidak berkata cepat akan hal itu, tetapi aku merasa makhluk dengan panjang kira-kira dua dayung itu (apa pun dia), mengejutkan diriku. Aku segera masuk ke pintu kabin, membawa senapanku, dan menembaknya. Dia segera berbalik dan berenang ke arah tepian lagi.
Namun mustahil untuk menggambarkan suara-suara mengerikan yang terdengar, baik di pinggiran pantai maupun tempat yang lebih tinggi di daerah itu, maupun suara atau letusan senapan, suatu hal yang kurasa belum pernah didengar oleh makhluk-makhluk itu. Hal ini meyakinkanku bahwa kami tidak bisa ke pantai itu pada waktu malam hari. Risiko ke pantai pada waktu siang hari juga merupakan masalah lainnya. Jatuh ke tangan manusia liar sama buruknya dengan jatuh ke moncong singa atau macan. Paling tidak, kami sama-sama mengetahui bahaya yang ada.
Namun, apa pun yang terjadi, kami harus pergi ke pantai untuk mencari air, karena kami sudah kehabisan air di perahu. Masalahnya adalah kapan dan di mana kami mendapatkannya. Xury mengatakan jika aku mengizinkannya ke pantai dengan sebuah kendi, dia akan mencari air di sana, dan membawakannya kepadaku. Aku menanyakan padanya mengapa bukan aku saja yang pergi dan dia tetap tinggal di perahu. Anak itu menjawab dengan begitu mengharukan sehingga membuatku mengasihinya selamanya. Katanya, “jika manusia liar datang, mereka akan memakanku, dan kau bisa lari.”
“Baiklah, Xury,” kataku, “kita berdua akan pergi. Jika manusia liar muncul, kita akan membunuh mereka, sehingga mereka tidak bisa memakan kita.” Aku memberi Xury sepotong roti untuk dimakan, dan seteguk anggur dari botol di peti bekas tuan kami yang telah kusebutkan sebelumnya. Kami kemudian menarik perahu sedekat mungkin dengan pantai yang kami anggap aman. Kemudian kami menyeberang ke pantai, hanya membawa senjata dan dua kendi untuk diisi air.
Aku tidak berani melepaskan pandanganku dari perahu kami karena khawatir ada sampan manusia liar menyusuri sungai. Namun anak itu melihat suatu dataran rendah sekitar satu mil dari daerah itu, berkeliling ke sana, dan tiba-tiba aku melihatnya berlari ke arahku. Aku mengira dia dikejar manusia liar, atau ketakutan melihat hewan liar sehingga aku berlari ke arahnya. Namun saat aku mendekatinya aku melihat ada sesuatu yang bergantungan di atas bahunya, seekor hewan yang ditembaknya. Hewan itu seperti seekor kelinci, tetapi dengan warna yang berbeda dan kaki yang lebih panjang. Namun, kami senang mendapatkannya, dan dagingnya sangat enak. Sekalipun demikian, kabar yang paling menyenangkan dari Xury adalah bahwa dia telah menemukan air yang baik dan tidak melihat adanya manusia liar.
Namun setelah itu kami mendapati bahwa kami tidak perlu bersusah payah mencari air, karena sedikit di atas sungai kecil kami menemukan air segar yang mengalir. Jadi, kami mengisi kendi-kendi kami, dan memakan kelinci yang dibunuhnya. Kami kemudian bersiap untuk melanjutkan perjalanan, karena tidak melihat adanya jejak keberadaan manusia di wilayah itu.
Karena pernah sekali berlayar ke pantai ini, aku tahu benar bahwa Kepulauan Canaria dan Cape de Verde juga berada tidak jauh dari pantai. Namun karena aku tidak memiliki peralatan untuk mengetahui di garis lintang berapa kami berada, dan tidak terlalu mengetahui berada di garis lintang mana kepulauan itu, aku tidak tahu ke mana aku harus mencarinya atau kapan berlayar ke arahnya. Jika tidak, aku pasti dengan mudah akan menemukan kepulauan itu. Namun harapanku adalah, jika aku menyusuri pantai ini hingga tiba di tempat orang Inggris biasa berdagang, aku akan menemukan kapal mereka, sehingga mereka dapat menolong dan mengajak kami ikut bersama mereka.
Menurut perkiraanku, tempat aku berada pasti merupakan kawasan antara wilayah Maharaja Maroko dan orang negro, kosong dan tidak dihuni, kecuali oleh binatang buas. Orang Negro pasti telah meninggalkannya dan pergi lebih ke selatan karena takut terhadap orang Moor, sementara orang Moor tidak menganggapnya tempat yang berharga untuk dihuni karena ketandusannya. Sebenarnya, karena banyaknya jumlah macan tutul, singa, dan macan kumbang serta berbagai binatang buas lainnya di sana, orang Moor hanya menggunakannya sebagai tempat berburu, tempat mereka bergerak bagai pasukan tentara, dua atau tiga ribu orang sekali berburu. Faktanya, sepanjang hampir seratus mil di sepanjang pantai ini kami tidak melihat apa pun, kecuali tanah tandus yang tidak dihuni pada siang hari, dan tidak mendengarkan apa pun kecuali pekikan dan auman binatang buas di malam hari.
Saat siang hari aku merasa melihat Pico of Teneriffe, berada di puncak Gunung Teneriffe di Canaria, dan memiliki keinginan kuat untuk mencapai tempat itu. Namun, setelah dua kali mencoba, aku dihalau kembali oleh angin yang datangnya dari arah berlawanan. Lautan juga terlalu berombak tinggi bagi perahu kecilku. Jadi, aku memutuskan untuk tetap menjalankan rencana awalku, dan tetap menyusuri pantai.
Beberapa kali aku terpaksa mendarat untuk memperoleh air bersih setelah kami meninggalkan tempat ini. Sekali, pada dini hari, kami mendatangi sebuah pantai dengan sebuah titik darat yang kecil, yang sangat tinggi. Ombak mulai mengalir, kami masih berada jauh dari sana. Xury, yang matanya lebih awas daripada mataku, berkata dengan perlahan kepadaku dan memberitahuku sebaiknya kami menjauh dari pantai. “Lihat,” katanya, “di sebelah sana ada monster menakutkan sedang tidur di atas bukit kecil itu.” Aku melihat ke arah tempat yang ditunjuknya, dan memang melihat seekor monster menakutkan, seekor singa besar sedang berbaring di tepi pantai, di bawah naungan sebuah bukit yang tergantung sedikit di atasnya. “Xury,” kataku, “kau harus ke pantai dan membunuhnya.” Xury, terlihat ketakutan, berkata, “Aku bisa mati! Ia bisa memakanku dengan gigit sekali!” Maksudnya, sekali gigit. Namun, aku tidak berkata apa-apa kepada anak itu, kecuali menyuruhnya tetap berbaring. Aku kemudian meraih senjata terbesar kami, hampir sekaliber senapan lantak, mengisinya dengan bubuk mesiu yang baik, dan dengan dua peluru gotri, serta memasukkannya. Kemudian aku mengisi senapan lainnya dengan dua peluru. Senapan yang ketiga (karena kami memiliki tiga senapan) kuisi dengan lima peluru yang lebih kecil. Aku berusaha sebaik-baiknya untuk membidiknya sehingga tembakan pertamaku dapat mengenai kepalanya. Namun makhluk itu berbaring sebegitu rendahnya dengan satu kakinya terangkat di atas hidungnya. Peluru gotri yang kutembakkan pun mengenai kakinya di sekitar bagian lutut dan menghancurkan tulangnya. Ia bangkit, pada mulanya menggeram, tetapi mendapatkan kakinya sudah patah, terjatuh lagi, dan kemudian bangun dengan tiga kaki, serta mengaum dengan suara paling mengerikan yang pernah kudengar. Aku sedikit kaget karena tembakanku tidak mengenai kepalanya. Namun, aku segera meraih senapan kedua dan menembak lagi. Kali ini mengenai kepalanya. Betapa menyenangkannya melihat hewan itu roboh dan hanya sedikit bersuara, tergeletak merenggang nyawa. Xury pun menjadi berani, dan meminta agar aku memperbolehkannya ke pantai. “Pergilah,” kataku. Jadi, anak itu pun melompat ke dalam air dan membawa sepucuk senapan kecil di satu tangan, berenang ke pantai dengan tangan lainnya, dan mendekati makhluk itu. Ia mengarahkan moncong senapannya ke telinga singa itu, dan menembaknya sekali lagi, yang menyebabkan makhluk itu terdiam untuk selamanya.
Sekalipun seperti permainan bagi kami, tetapi menembak singa tidak menghasilkan makanan. Aku menyesal menghabiskan tiga isi bubuk amunisi dan menembak hewan yang tidak berguna bagi kami. Namun, Xury mengatakan akan mengambil potongan tubuhnya. Jadi, ia naik ke perahu dan memintaku agar meminjamkannya kapak. “Untuk apa, Xury?” tanyaku. “Aku mau memotong kepalanya,” katanya. Namun, Xury tidak bisa memotong kepalanya, dan hanya bisa memotong sebuah kaki. Ia kemudian membawakannya kepadaku, dan kaki itu benar-benar berat.
Akan tetapi, aku berpikir lagi bahwa mungkin kulitnya akan bernilai bagi kami. Jadi, aku memutuskan untuk mengulitinya. Aku dan Xury pun mulai mengulitinya. Namun Xury mengerjakannya lebih baik daripada diriku, karena aku tidak tahu cara melakukannya. Kami melakukannya seharian penuh, tetapi akhirnya kami pun selesai mengulitinya. Setelah itu kami membentangkannya di kabin kami. Matahari mengeringkannya dalam waktu dua hari, dan kemudian aku menggunakannya sebagai alas tidur.
Terdampar di Pulau Kosong
Setelah perhentian ini, kami pergi ke arah selatan secara terus-menerus selama sepuluh atau dua belas hari, kami hidup dengan sangat hemat dari bekal kami yang terbatas, dan kami jarang pergi ke pantai untuk mendapatkan air segar.
***
Rencanaku adalah menyusuri sungai Gambia atau Senegal, ke mana pun yang dapat mencapai Cape de Verde, tempat aku berharap dapat bertemu dengan kapal orang Eropa. Jika tidak, aku tidak tahu arah mana lagi yang harus kulalui, kecuali mencari pulau atau mati di antara orang negro. Aku tahu bahwa semua kapal dari Eropa, yang berlayar entah ke pantai Guinea, ke Brasil, maupun ke Hindia Timur, pasti melewati tanjung ini. Dengan kata lain, aku mempertaruhkan semuanya pada titik ini, entah aku harus menemukan sebuah kapal atau harus mati. Saat aku menjalani rencana ini selama lebih dari sepuluh hari, aku mulai melihat bahwa daratan itu dihuni. Di dua atau tiga tempat, saat kami melewatinya, kami melihat...
Terdampar di Pulau Kosong - 2
Dengan cara inilah aku biasa melihat keadaanku dengan penyesalan besar. Kini tidak ada siapa pun yang dapat kuajak berbicara, kecuali tetangga ini. Tidak ada pekerjaan yang dapat dilakukan, kecuali bekerja dengan tanganku. Dan seperti yang biasa kukatakan, aku hidup seperti orang yang terdampar di pulau terpencil, di tempat tidak ada orang lain kecuali dirinya sendiri. Itulah yang seharusnya aku dan orang-orang lain renungkan, bahwa saat mereka membandingkan keadaan mereka yang sekarang dengan keadaan orang lain yang lebih buruk, Tuhan mungkin mewajibkan mereka mengadakan pertukaran tempat untuk menyadarkan akan kebahagiaan mereka sebelumnya melalui­ pengalaman yang mereka alami. Itulah nasib yang kurenungkan,­ saat hidup sendirian di sebuah pulau terpencil. Keadaanku terasa tidak adil dibandingkan kehidupan yang saat itu kujalani. Jika saja aku melanjutkan kehidupan itu, pasti akan membuatku sangat kaya.
Aku melakukan beberapa hal untuk mengelola perkebunanku sebelum temanku yang baik, kapten yang menyelamatkanku di laut, kembali. Kapalnya ada di sana, memasukkan...
Terdampar di Pulau Kosong - 3
Harus kuakui, ini adalah tawaran yang menarik jika diajukan kepada orang yang tidak memiliki rumah atau perkebunannya sendiri untuk dirawat, hal ini merupakan cara baik untuk mendapatkan keuntungan besar. Namun saat itu aku sudah mapan, dan tidak perlu meneruskan apa pun kecuali yang sudah kumulai. Dengan tambahan sekitar seratus pound lagi dari Inggris, kekayaanku akan bernilai antara tiga hingga empat ribu poundsterling, dan semakin meningkat. Keinginanku untuk melakukan pelayaran guna mendapatkan lebih banyak uang lagi bisa jadi merupakan hal yang salah.
Namun aku, yang terlahir untuk menjadi perusak diriku sen­diri, tidak bisa menolak tawaran itu seperti juga saat aku tidak bisa membendung hasratku saat saran baik ayahku kusia-siakan begitu saja. Singkat cerita, aku mengatakan bahwa aku akan pergi dengan senang hati jika mereka mau mengurus perkebunanku saat aku tidak ada, dan mengaturnya sesuai permintaanku jika aku melakukan kesalahan. Mereka bersedia melakukannya, dan membuatnya secara tertulis dalam perjanjian. Aku membuat sebuah...
Terdampar di Pulau Kosong - 4
Kini, sekalipun kami berpikir bahwa angin telah sedikit mereda, tetapi kapal kami sudah terbenam di pasir, dan sulit untuk bergerak lagi. Kondisi kami benar-benar menakutkan, dan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali berpikir untuk sebisa mungkin menyelamatkan diri kami. Kami memiliki sebuah perahu sekoci di buritan sebelum badai menerpa, tetapi perahu itu terlempar mengenai kemudi kapal dan hancur, entah tenggelam atau hanyut terbawa air laut. Kami memiliki sebuah perahu lainnya di perut kapal, tetapi sulit untuk mengeluarkannya dalam keadaan seperti ini. Sayangnya, tidak ada waktu lagi untuk berdebat karena setiap saat kapal bisa hancur berkeping-keping, dan beberapa awak mengatakan bahwa sebenarnya kapal kami sudah hancur.
Dalam kesukaran ini, kelasi kelas satu kami mengeluarkan perahu, dan dengan bantuan awak lainnya mengeluarkannya ke sisi kapal. Setelah semuanya naik ke dalam perahu ini, kami mendayungnya dan memasrahkan diri kami semua pada belas kasihan Tuhan dan lautan yang ganas. Sekalipun badai berkurang keganasannya, tetapi...
Minggu-minggu Pertama di Pulau
Saat aku terbangun, hari sudah siang, cuaca sudah membaik, dan badai menghilang. Lautan tidak lagi mengamuk seperti sebelumnya. Namun, yang paling mengejutkan diriku adalah kapal itu terangkat di malam hari dari pasir tempatnya tergeletak akibat helaan ombak, dan terbawa hingga sejauh batu karang yang sebelumnya.
***
Tempat berada sekitar sejauh satu mil dari pantai tempatku berada, dan kapal itu terlihat masih mengapung di sana. Aku berharap dapat naik ke sana dan mengambil beberapa barang yang bisa kugunakan.
Saat aku turun dari tempat tinggalku di pohon, aku berusaha mengurus diriku lagi. Hal pertama yang kutemukan adalah kapal itu, yang tergeletak, setelah angin dan laut menghanyutkannya ke arah darat, sekitar dua mil dari tempatku berdiri. Aku menyusuri pantai sebisa mungkin untuk men­capainya, tetapi menemukan adanya teluk kecil di antara diriku­ dan kapal itu yang lebarnya sekitar setengah mil. Jadi, aku kembali ke tempatku sekarang, semakin bersemangat untuk pergi ke kapal itu guna...
Minggu-minggu Pertama di Pulau - 2
Perkiraanku ternyata benar. Di hadapanku terdapat sebuah tanah terbuka yang kecil, dan aku menemukan aliran air deras yang memasukinya. Jadi, aku menuntun rakitku sebisa mungkin agar tetap berada di tengah aliran air. Namun hatiku terasa hancur saat rakitku karam lagi di sini. Karena tidak tahu apa-apa tentang pantai, rakitku kandas di salah satu ujung beting. Karena tidak kandas di ujung lainnya, tidak heran kalau barang bawaanku bergeser ke bagian rakit yang masih terapung, dan jatuh ke dalam air. Sekalipun berusaha semampuku, tetapi aku tidak bisa mengeluarkan rakitku walau sudah mengerahkan segenap tenagaku.
Hampir saja semua muatanku jatuh ke air. Aku berusaha sebisa mungkin menahannya dengan punggungku, tetapi tidak dapat menahan rakit itu walaupun dengan seluruh kekuatanku. Aku menahan dalam posisi itu selama hampir setengah jam, pada saat itu pasang air naik lebih tinggi lagi sehingga rakitku kembali mengapung. Aku kemudian segera mendorongnya dengan dayung ke dalam terusan dan akhirnya berada...
Minggu-minggu Pertama di Pulau - 3
Setelah mendaratkan barang muatanku di pantai, aku membuka kotak mesiu dan membagi-baginya karena berada di tong-tong besar yang berat. Aku kemudian mendirikan sebuah tenda kecil dengan menggunakan layar dan beberapa galah yang kupotong untuk melakukannya. Ke dalam tenda ini aku membawa masuk semua barang yang dapat rusak jika terkena hujan atau matahari. Aku kemudian menumpuk semua peti dan tong yang kosong dalam sebuah lingkaran di dalam tenda, untuk membentenginya dari setiap serangan mendadak, entah manusia ataupun binatang buas.
Saat aku melakukannya, aku menutup pintu tenda dengan beberapa papan di dalam, dan sebuah peti diletakkan di luar. Setelah menggelar sehelai selimut di atas tanah, aku meletakkan kedua pistolku di atas kepalaku, dan senapanku di sisiku. Aku tertidur untuk pertama kalinya, tidur nyenyak sepanjang malam, karena aku benar-benar kelelahan. Apalagi semalam sebelumnya aku hanya tertidur sebentar dan harus bekerja keras untuk mengambil semua barang ini dari kapal, dan membawanya ke pantai. Aku...
Minggu-minggu Pertama di Pulau - 4
Aku mempertimbangkan beberapa hal dalam situasiku, yang kurasa penting bagiku. Pertama, kesehatan dan air bersih seperti yang telah kusebutkan. Kedua, perlindungan dari sinar matahari. Ketiga, keamanan dari binatang buas maupun manusia liar. Keempat, pemandangan ke arah laut, karena jika Tuhan mengirimkan kapal, aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk kembali pulang. Aku tidak akan pernah menghapus harapan ini dari pikiranku.
Saat mencari tempat yang layak ini, aku menemukan sebuah dataran kecil di sisi sebuah bukit yang menjulang, bagian depan dataran ini terjal seperti sisi rumah, sehingga tidak ada yang dapat mendatangiku dari atas. Di salah satu sisi batu terdapat sebuah tempat yang cekung, seperti jalan masuk ke sebuah gua tetapi sebenarnya tidak ada gua atau jalan masuk ke dalam batu itu.
Di dataran yang hijau tepat di depan tempat cekung itu, aku mendirikan tendaku. Dataran ini lebarnya tidak lebih dari sembilan puluh meter dan panjangnya dua kali lipat serta terhampar di...
Minggu-minggu Pertama di Pulau - 5
Setelah menentukan tempat tinggalku, aku menyadari perlu­nya membuat sebuah tempat guna membuat api di dalam, serta menemukan perkakas pembakar. Apa yang kulakukan­ untuk hal itu, maupun bagaimana aku memperbesar guaku, dan per­alatan apa yang kubuat, akan kuceritakan secara lengkap. Namun aku juga harus menceritakan sedikit tentang diriku, serta pikiranku tentang kisah kehidupan yang banyak sekali muncul dalam situasi ini.
Aku memiliki harapan yang tipis terhadap situasiku. Aku tidak akan terdampar di pulau ini kalau saja tidak terdorong oleh keinginan untuk memperdagangkan manusia di luar batas. Aku memiliki alasan kuat untuk percaya bahwa apa yang terjadi padaku adalah ketetapan dari Tuhan, bahwa di tempat terpencil dan dengan cara menyedihkan seperti ini, hidupku akan berakhir. Air mata membasahi wajahku saat aku merenungkan hal ini, dan terkadang aku berbantah dengan pikiranku sendiri mengapa Tuhan mau menghancurkan ciptaan-Nya dan membuatnya menderita. Tanpa bantuan, terabaikan, sepenuhnya tertekan membuatku sulit berpikir secara rasional untuk berterima kasih...
Buku Harian - Membangun Sebuah Rumah
30 SEPTEMBER 1659. – Aku, Robinson Crusoe yang malang, yang mengalami musibah akibat badai menge­rikan di dekat sini, yang terdampar di pulau celaka yang terpencil ini, yang kusebut “Pulau Keputusasaan”. Semua rekan seka­pal­­ku mati tenggelam, dan aku sendiri nyaris mati.
***
Sepanjang hari itu aku menderita akibat kondisi yang kuha­dapi, yaitu aku tidak memiliki makanan, tempat tinggal, pakaian, senjata, maupun tempat tujuan. Merasa tidak bisa diselamatkan, aku hanya bisa membayangkan kematian di depanku. Entah aku dimangsa oleh binatang buas, dibunuh manusia liar, atau mati kelaparan. Menjelang malam, aku tidur di atas pohon, karena takut diterkam binatang buas. Sekalipun demikian, dan malam itu hujan terus-menerus, aku tidur dengan nyenyak.
1 OKTOBER. – Pada waktu pagi aku melihat, yang sangat mengejutkan, kapal itu telah terapung dengan ombak yang tinggi, dan terempas semakin mendekati pantai pulau. Di satu sisi, hal ini memberikanku sedikit rasa lega, karena melihatnya masih utuh sehingga aku berharap jika...
Buku Harian - Membangun Sebuah Rumah - 2
Saat tembok ini selesai, dan dipagari tembok ganda di luarnya, dengan sebuah tembok tanah berumput yang dinaikkan di dekatnya, aku dapat mengawasi jika ada orang yang datang ke pantai sana, sementara mereka tidak akan bisa melihat adanya permukiman di daerah itu. Hasilnya begitu baik, sebagaimana yang akan kita lihat nanti pada saat terjadinya peristiwa yang luar biasa.
Selama itu pula aku berkeliling hutan jika tidak ada hujan, dan sering kali menemukan sesuatu yang berguna bagiku. Secara khusus, aku menemukan burung merpati liar, yang membangun sarang di lubang bebatuan, bukan di atas pohon seperti yang dilakukan burung merpati hutan. Aku mengambil beberapa ekor yang masih muda, dengan tujuan memeliharanya agar jinak. Namun, saat mereka semakin besar, mereka malah pergi, mungkin karena ingin mencari makanan sebab aku tidak menyediakan apa pun bagi mereka. Namun, aku sering kali menemukan sarang mereka, dan mengambil yang masih muda, yang dagingnya sangat enak. Kini, mengatur rumah...
Sakit dan Tersadar
Saat aku turun ke kapal aku menemukannya telah bergeser. Bangunan di muka kapal, yang sebelumnya terkubur di pasir, telah menyorong ke atas paling tidak setinggi hampir dua meter, buritan pecah berkeping-keping dan terpisah dari bagian lainnya akibat hantaman air laut, terlempar dan terguling ke satu sisi.
***
Pasirnya terlempar begitu tinggi di sisi di samping buritannya, sehingga ada kubangan air yang lebih banyak daripada sebelumnya. Jika sebelumnya aku tidak bisa mendekati rong­ sokan itu dari jarak setengah mil tanpa berenang, kini aku dapat berjalan ke sana saat air surut.
Hal ini benar-benar mengubah pikiranku. Semula aku ingin meninggalkan tempat tinggalku dan menyibukkan diriku sebisa mungkin, terutama di hari itu, kini aku mencari cara apa­kah bisa pergi ke kapal itu. Namun aku tidak menemukan apa pun yang bisa diharapkan, karena semua bagian dalam kapal dipenuhi pasir. Sekalipun demikian, karena aku bukan tipe orang yang cepat putus asa. Aku memutuskan untuk mengambil...
Sakit dan Tersadar - 2
Pikiranku kacau, penghukuman itu memiliki pengaruh besar dalam pikiranku, dan kengerian akan kematian dalam keadaan yang menyengsarakan seperti itu menimbulkan ketakutan yang amat sangat. Dalam keadaan ini, jiwaku lebih tahu apa yang harus dinyatakan daripada mulutku. Namun yang muncul lebih seperti seruan, “Ya Tuhan, betapa menyedihkannya diri­ ku! Jika aku harus sakit, aku pasti akan mati karena tidak ada pertolongan. Apa yang akan terjadi pada diriku!” Air mata kemudian mengalir deras dari mataku, dan aku tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa waktu. Selama waktu jeda ini, nasihat ayahku muncul dalam pikiranku, demikian pula ramalannya yang sekarang menjadi kenyataan, yang kuceritakan di awal kisah ini, yaitu jika aku mengambil langkah bodoh ini, Tuhan tidak akan memberkatiku, dan aku mempunyai waktu luang setelah itu untuk merenung dan tidak ada satu pun orang yang dapat membantu pemulihanku. “Kini,” seruku keras-keras, “kata-kata ayahku menjadi kenyataan. Hukuman Tuhan telah menimpaku, dan aku tidak memiliki siapa-siapa...
Pengalaman Bertani
Aku kini sudah sepuluh bulan lebih berada di pulau menyedihkan ini. Semua kemungkinan untuk lepas dari kondisi ini kelihatannya benar-benar sudah musnah. Aku pun benar-benar yakin bahwa tidak akan pernah ada manusia yang menginjakkan kakinya di tempat itu.
***
Setelah mengatur tempat tinggalku, aku memiliki keinginan besar untuk melakukan suatu penjelajahan yang lebih menyeluruh atas pulau itu untuk melihat hasil alam apalagi yang bisa kutemukan yang saat ini belum keketahui.
Pada tanggal 15 Juli, aku mulai melakukan penyelidikan secara khusus terhadap pulau itu. Pertama-tama, aku menyusuri sungai kecil dengan membawa rakitku ke pantai. Setelah sekitar tiga kilo, aku menemukan bahwa tidak ada aliran yang lebih tinggi lagi, dan bahwa sungai itu tidak lebih dari selokan untuk mengalirkan­ air, sangat menyegarkan dan bersih. Namun karena sekarang musim kemarau, hampir tidak ada air di beberapa bagiannya, setidaknya tidak cukup mengalirkan air ke semua sungai kecil, seperti yang seharusnya. Di tepi selokan ini aku menemukan banyak padang rumput yang...
Pengalaman Bertani - 2
Aku baru saja menyelesaikan pagarku dan mulai menikmati pekerjaanku saat hujan turun, dan membuatku harus berada di dekat permukiman pertamaku. Sekalipun aku telah mem­ buat tenda seperti sebelumnya, dengan selembar layar, dan menghamparkannya dengan baik, tetapi aku tidak memiliki tempat perlindungan untuk membuatku terhindar dari badai maupun tempat berlindung di gua di belakangku saat hujan turun dengan sangat deras.
Sekitar awal Agustus, demikianlah, aku menyelesaikan rim­bunan daun tempat berteduhku, dan mulai menikmatinya. Pada tanggal 3 Agustus, aku mulai menurunkan anggur yang kujemur di pohon yang sudah mengering dengan sempurna, dan sebenarnya menjadi kismis enak yang dipanggang oleh matahari. Untung sekali aku melakukannya, karena hujan yang kemudian turun bisa saja merusaknya dan membuatku kehilangan bagian terbaik dari persediaan panganku di musim dingin, karena aku memiliki lebih dari dua ratus tandan kismis. Tidak lama setelah aku menurunkan semua kismisku, dan membawa pulang sebagian besar di antaranya ke guaku, hujan pun mulai turun....
Menyelidiki Keadaan
Aku telah menyebutkan bahwa aku memiliki keinginan kuat untuk melihat keseluruhan pulau dan bahwa aku telah menjelajahi sungai dan wilayah lainnya, tempat aku membangun pondokku yang memiliki pemandangan ke laut, di sisi lain pulau itu.
***
Aku sekarang memutuskan untuk menjelajahi sisi pantai itu, sehingga aku mulai melakukan perjalanan sambil membawa senapanku, anjingku, sejumlah besar bubuk mesiu dan peluru serta dua biskuit dan satu ikat kismis sebagai bekalku. Segera setelah melewati lembah tempat terdapat pondokku, aku segera melihat laut di sebelah barat. Di tengah hari yang cerah, aku dapat melihat daratan, tetapi aku tidak tahu apakah itu sebuah pulau atau benua. Letaknya sangat tinggi, membujur dari barat hingga barat daya di kejauhan, menurutku jaraknya sekitar delapan puluh hingga seratus sepuluh kilometer dari sini.
Aku tidak tahu di wilayah dunia mana tempat itu, selain bahwa tempat ini pasti termasuk bagian dari Amerika. Aku menyimpulkan bahwa daerah itu pasti berada dekat jajahan...
Menyelidiki Keadaan - 2
Musim penghujan segera tiba. Aku melalui tanggal 30 Sep­tember tahun ini dengan cara yang sama seperti tahun sebe­lumnya, yaitu merenung dengan khidmat. Pada tanggal ini aku telah dua tahun berada di pulau ini tanpa ada harapan akan ditemukan. Sepanjang hari aku merendahkan diri dan bersyukur pada Tuhan atas begitu banyak anugerah yang diberikan pada saat aku terkucil seperti ini, karena tanpa itu semua terasa seperti penderitaan. Aku bersyukur pada Tuhan karena membukakan padaku bahwa aku bisa hidup bahagia dalam keadaan terpencil seperti ini, lebih daripada saat aku berada dalam masyarakat yang penuh dengan segala kesukaan duniawinya. Dia benar-benar mengatasi kekurangan yang kualami dalam kehidupan yang terkucil ini, maupun keinginanku untuk hidup bersama masyarakat manusia. Aku bersyukur atas semua anugerah yang diberikannya kepadaku: dukungan, penghiburan, dan dorongan-Nya agar aku berserah dan mengharapkan pertolongan-Nya.
Sekarang aku mulai merasakan betapa membahagiakannya hidup yang kini kujalani, dengan semua penderitaannya, dari­pada kehidupan buruk yang kulalui...
Sebuah Perahu
Hal pertama yang harus kulakukan adalah membuka lebih banyak lahan, karena kini aku memiliki benih yang cukup untuk ditaburkan di tanah seluas lebih dari setengah hektar.
***
Sebelum melakukannya, aku harus bekerja selama seminggu untuk membuat sebuah sekop, yang hasilnya ternyata buruk dan sangat berat serta memerlukan waktu kerja dua kali lipat saat menggunakannya. Namun, aku bisa mengatasinya dan menaburkan benihku di dua bidang tanah yang rata yang berada dekat dengan rumahku. Aku memagarinya dengan tonggak dan dikelilingi dengan semak belukar yang kuambil dari hutan sebelumnya. Aku tahu bahwa dalam waktu satu tahun aku akan memiliki sebuah pagar hidup yang tidak terlalu membutuhkan perbaikan. Aku memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk melakukannya, karena saat itu musim hujan sehingga aku tidak bisa keluar rumah.
Selama tinggal di rumah, yaitu saat hari hujan dan aku tidak bisa pergi keluar, aku melakukan pekerjaan sehari-hariku. Saat bekerja,­ aku sering berbicara kepada burung nuriku dan...
Sebuah Perahu - 2
Kesulitanku berikutnya adalah membuat ayakan untuk memisahkan makananku dari kulit padi atau sekam. Tanpanya, mustahil aku bisa memiliki roti. Bahkan hal ini sulit dipikirkan karena aku tidak memiliki bahan yang diperlukan untuk mem­buatnya, maksudku kain kampas halus yang bagus ataupun bahan untuk mengayaknya hingga bersih. Aku berhenti memikirkannya selama berbulan-bulan karena benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak memiliki kain linen lagi, kecuali beberapa kain buruk. Aku memiliki bulu kambing, tetapi tidak tahu bagaimana cara untuk menjalin atau membuatnya. Jika pun aku tahu, di sini tidak ada alat yang diperlukan untuk mengerjakannya. Akhirnya, aku ingat bahwa di antara pakaian para pelaut yang kuselamatkan dari kapal, terdapat beberapa dasi dari kain belacu. Dari barang-barang ini aku membuat tiga ayakan kecil yang memadai untuk pekerjaan itu. Jadi aku membuat perubahan selama beberapa tahun. Bagaimana aku melakukannya kemudian, aku akan menceritakannya nanti.
Tahapan membakar adalah hal berikutnya yang harus dipi­kirkan, serta...
Sebuah Perahu - 3
Orang mungkin bertanya-tanya apakah aku tidak berpikir terlebih dahulu mengenai segala sesuatunya saat aku membuat perahu ini. Namun, saat itu pikiranku hanya tertuju pada masalah bagaimana aku bisa membuatnya melaut. Pikiranku begitu tertuju pada pelayaranku sehingga tidak pernah sekalipun berpikir bagaimana aku bisa meluncurkannya dari darat. Faktanya, lebih mudah bagiku untuk membawanya berlayar sejauh empat puluh lima mil di laut daripada membawanya sejauh empat puluh lima depa dari darat, di mana perahu itu berada, agar dapat mengapung di air.
Aku mengerjakan perahu ini seperti orang bodoh. Aku hanya senang membuatnya, tanpa memikirkan apakah aku dapat menjalankannya. Otakku tidak terlalu memikirkan bagaimana sulitnya meluncurkan perahu ini, melainkan hanya berpikir, “Kerjakan saja dulu. Masalah bagaimana meluncurkannya dapat diputuskan nanti.”
Keinginanku untuk membuat perahu tetap besar dan aku bekerja­ dengan sukacita. Aku menebang sebuah pohon cemara yang besar, yang membuatku bertanya-tanya apakah Raja Salomo pernah memiliki pohon seperti ini saat dia membangun Bait...
Sebuah Perahu - 4
Hidupku kini lebih mudah daripada sebelumnya, baik secara rohani maupun jasmani. Aku sering kali makan sambil bersyukur, mengagumi pemeliharaan Tuhan, yang memberiku makanan di tengah hutan belantara. Aku belajar melihat segi positif dari keadaanku, dan tidak terlalu berfokus pada sisi negatifnya, serta memikirkan apa yang kunikmati dan bukan apa yang kuinginkan. Hal ini memberikanku rasa nyaman yang tidak bisa kulukiskan. Aku pun bisa menyatakannya di sini, khususnya terhadap orang-orang yang tidak puas, yang tidak bisa menikmati kenyamanan yang Tuhan berikan kepada mereka, karena mereka menginginkan sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada mereka. Jadi, ketidakpuasan kita dapat kita atasi dengan sikap berterima kasih terhadap apa yang kita miliki.
Renungan lain yang berguna sekali bagiku, dan tidak dira­gukan akan dialami oleh siapa pun yang jatuh dalam situasi seperti diriku adalah membandingkan keadaanku sekarang dengan apa yang pada mulanya kuperkirakan. Betapa indahnya tuntunan tangan Tuhan yang mendamparkan kapal di dekat pantai, sehingga aku bukan...
Menjinakkan Kambing
Selama lima tahun berikutnya, tidak ada hal istimewa yang terjadi pada diriku. Aku hidup dengan cara dan di tempat yang sama, begitu saja.
***
Hal utama yang kulakukan adalah kerja tahunanku mena­nam gandum dan padiku, serta menjemur anggurku, keduanya kuusahakan sebisa mungkin dapat memenuhi ke­butuhanku selama setahun. Di samping kerja tahunan ini, serta perburuan harianku, aku bekerja keras untuk membuat sebuah perahu. Setelah menggali sebuah saluran selebar hampir dua meter dan kedalaman lebih dari semeter, aku membawanya ke sungai kecil, hampir setengah mil jauhnya. Perahu pertama yang kubuat begitu besar, aku membuatnya tanpa berpikir se­belumnya mengenai bagaimana aku dapat meluncurkannya. Jadi, perahu itu tidak pernah dapat dibawa ke dalam air ataupun air dibawa mendekatinya. Akhirnya, aku terpaksa membiarkannya di tempat dia berada untuk mengajarkan aku agar bertindak lebih bijaksana pada kali berikutnya. Sayangnya, aku tidak bisa menemukan pohon yang cocok untuk membuatnya ataupun tempat pembuatan yang lebih dekat dengan air...
Menjinakkan Kambing - 2
Kemudian aku mengingatkan diriku sendiri akan sifatku yang tidak tahu berterima kasih, dan bahwa aku telah mengeluhkan kondisi keterkucilanku. Dan kini aku ingin ke pantai itu lagi! Jadi, kita tidak akan pernah mengetahui keadaan kita sebenarnya hingga hal itu digambarkan kepada kita dalam kondisi yang sebaliknya. Kita pun tidak tahu bagaimana cara menilai apa yang kita nikmati, kecuali saat kita sangat membutuhkannya. Sulit membayangkan ketakutan yang kuhadapi, terhanyut menjauhi pulauku tercinta (itulah yang kupikirkan saat itu) ke samudra luas, sejauh hampir sepuluh kilometer, dan benar-benar putus asa untuk kembali lagi. Namun, aku harus bekerja keras agar sebisa mungkin perahuku tetap mengarah ke utara, yaitu menuju sisi arus tempat pusaran berada. Sekitar tengah hari, saat matahari melewati garis bujur, aku merasakan terpaan angin sepoi-sepoi di wajahku, yang berembus dari sebelah selatan tenggara. Hal ini sedikit menenangkan hatiku, khususnya, sekitar setengah jam kemudian, angin bertiup cukup kencang. Pada saat itu aku sudah...
Menjinakkan Kambing - 3
Namun, sekalipun aku tahu suara itu berasal dari seekor burung nuri, cukup lama sebelum aku bisa benar-benar tersadar. Pertama, aku begitu kagum bagaimana makhluk itu bisa ke sana. Kemudian, bagaimana dia bisa berada di sana, bukan ke tempat lain. Namun karena aku senang sekali bahwa dia memang burung nuriku, aku mendatanginya. Merentangkan tanganku dan me­manggil­ namanya, “Poll,” makhluk yang bisa bersosialisasi itu mendatangiku, dan bertengger di ibu jariku, seperti yang da­hulu biasa dilakukannya. Ia terus mengoceh denganku, “Robin Crusoe yang malang! Bagaimana aku bisa sampai ke sini? Dari mana asalku?” seakan-akan dia senang melihatku lagi, sehingga aku membawanya pulang.
Kini aku sudah cukup puas berlayar, dan memiliki cukup waktu untuk duduk dengan tenang dan merenungkan bahaya yang telah kuhadapi. Aku sangat senang memiliki perahu lagi di pulau. Namun aku juga tahu keterbatasannya. Mengenai sisi timur pulau, yang telah kukitari, aku tahu bahwa tidak banyak hal yang dapat kulakukan di sana....
Menemukan Jejak Kaki Manusia di Pasir
Pasti terlihat lucu sekaligus menyedihkan saat melihatku dan keluarga kecilku duduk untuk makan malam. Akulah penguasa seluruh pulau ini: aku memiliki wewenang mutlak atas nyawa semua wargaku: aku bisa menggantung, menyeret, membebaskan, dan merampas kebebasan, tidak ada pemberontak di antara wargaku.
***
Kemudian, juga saat melihat betapa seperti rajanya aku makan malam, sendirian, dihadiri oleh para pelayanku. Hanya Poll, burung nuriku yang bisa kuajak bicara. Anjingku, yang kini sudah tua dan gila, dan tidak menemui spesies yang sama untuk beranak-pinak, selalu duduk di sebelah kananku. Dua ekor kucing, masing-masing di sisi meja, dan satu lagi di ujung lainnya, menunggu sedikit makanan dari tanganku.
Namun kucing-kucing ini bukan kedua kucing yang kuambil di pantai dahulu, karena keduanya sudah mati dan kukuburkan di dekat tempat tinggalku. Mereka adalah dua dari keturunannya yang tetap kupelihara, sementara sisanya kubiarkan menjadi kucing liar di hutan. Kucing-kucing liar ini akhirnya menjadi masalah bagiku, karena mereka sering...
Menemukan Jejak Kaki Manusia di Pasir - 2
Tembokku, seperti biasanya, terbuat dari pancang-pancang­ panjang, yang tumbuh seperti pepohonan dan saat ini sudah begitu besar tumbuhnya, paling tidak dari fisiknya, lebih besar daripada tempat tinggalku yang terletak di belakangnya­.
Di dekat tempat tinggalku ini, tetapi sedikit lebih ke peda­laman dan berada di dataran rendah, terdapat dua ladang jagung­ ku, yang selalu kutaburi benih dan kurawat, dan yang juga menghasilkan panenan bagiku sesuai musimnya. Kapan pun aku ingin mendapatkan lebih banyak jagung, aku membuat lebih banyak tanah di sekitarnya menjadi ladang.
Di samping itu, aku memiliki sebuah tempat peristirahatan, dan aku juga memiliki sebuah perkebunan yang lumayan di sana. Pertama, aku memiliki pondok kecilku, demikian aku menamakannya, yang tetap kurawat, dan memelihara pagar tanaman yang melingkarinya terus-menerus hingga ketinggian biasanya, dan selalu ada tangga didirikan di dalamnya. Aku memelihara pohon, yang awalnya tidak lebih tinggi daripada pancang, tetapi kini telah bertumbuh besar dan kukuh, selalu dipotong, agar bisa menyebar...
Menemukan Jejak Kaki Manusia di Pasir - 3
Saat semua pemikiran ini berkecamuk dalam otakku, aku sangat bersyukur karena tidak berada di sana pada saat itu, maupun karena mereka tidak melihatku. Jika tidak, mereka pasti akan tahu ada orang yang tinggal di sana dan akan mencarinya. Pasti akan buruk sekali jika mereka menemukan perahuku maupun adanya orang yang hidup di pulau ini. Jika hal itu terjadi, pasti mereka akan datang lagi dalam jumlah yang banyak dan memakanku. Kalaupun mereka tidak menemukanku, bisa saja mereka menemukan ladangku, menghancurkan semua tanaman jagungku, dan membawa semua ternak kambing jinakku. Kalau itu terjadi, pada akhirnya aku akan mati juga karena kelaparan.
Ketakutanku membuat semua harapan keagamaanku, semua keyakinanku akan Tuhan, yang didasarkan pada pengalaman yang begitu menakjubkan yang kurasakan dari kebaikan-Nya, sirna. Aku merasa seakan-akan semua keajaiban, kekuasaan, dan pertolongan yang diberikan-Nya kepadaku sia-sia belaka. Aku menegur diriku sendiri karena kemalasanku, yang membuatku tidak menabur benih jagung lebih banyak lagi selain daripada...
Gua Peristirahatan
Saat melakukan hal ini, aku tidak lupa dengan masalahku yang lain. Aku memikirkan kawanan ternak kambingku yang kecil. Mereka menyediakan persediaan makanan bagiku setiap saat, dan mulai memadai jumlahnya bagiku, sehingga aku tidak perlu menghabiskan amunisi atau bersusah payah untuk memburunya.
***
Aku tidak ingin kehilangan mereka, dan berusaha mengu­­rusnya baik-baik.
Karena itu, setelah lama memikirkannya, aku menemukan dua cara untuk mengatasinya. Pertama, menemukan tempat lainnya yang sesuai yaitu menggali sebuah gua bawah tanah, dan menggiring mereka ke sana setiap malamnya. Kedua, membuat dua atau tiga bidang tanah kecil, yang saling berjauhan seka­ligus tertutup, tempat aku bisa memelihara sekitar enam ekor kambing muda di masing-masing tempat. Dengan demikian, jika ada bencana yang terjadi pada kawananku, aku masih bisa menernakkannya lagi tanpa banyak masalah maupun tanpa membuang banyak waktu. Karena membutuhkan waktu dan kerja yang cukup banyak, aku harus merencanakannya dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian, aku menghabiskan sejumlah waktuku untuk mencari tempat...
Gua Peristirahatan - 2
Namun, waktu dan perasaan puas bahwa aku tidak ber­ada dalam bahaya ditemukan oleh orang-orang ini, mulai meng­hilangkan rasa khawatirku akan mereka. Aku pun mulai hidup seperti sedia kala, hanya kini lebih berhati-hati, terutama dalam menembakkan senapanku agar tidak membuat mereka mendengarnya jika orang-orang itu ada di pulau. Jadi, aku ber­syukur sekali karena telah memiliki ternak kambing yang jinak sehingga aku tidak perlu memburunya lagi ke hutan ataupun menembaknya. Aku hanya perlu menjebaknya, seperti yang ku­lakukan sebelumnya, jika aku memerlukan daging. Jadi, selama dua tahun setelah itu aku tidak pernah sekali pun menembak, sekalipun aku selalu pergi membawanya. Paling tidak, aku juga membawa dua dari tiga pistol yang kuperoleh dari kapal, menyimpannya di ikat pinggang kulit kambingku. Aku juga menggosok sebuah pisau belati besar yang kutemukan di kapal hingga mengkilat, yang kugantungkan di ikat pinggangku juga. Jadi, kini aku terlihat seperti orang yang tangguh saat keluar apabila kalian juga bisa membayangkan...
Gua Peristirahatan - 3
Namun kini, saat, seperti kukatakan, aku mulai meng­khawatirkan perjalananku yang tidak menghasilkan apa pun hingga saat itu, pandanganku mengenai aksi itu pun mulai berubah. Dengan kepala yang lebih dingin dan sikap tenang, aku mulai memikirkan apa yang hendak kulakukan. Atas dasar dan kewenangan apa aku boleh menjadi hakim dan algojo atas orang-orang yang bertindak jahat ini, yang selama bertahun-tahun dibiarkan oleh Tuhan untuk melakukan kejahatan itu tanpa dihukum, dan bisa saja mereka, satu sama lainnya, menjadi pelaksana dari hukuman yang dijatuhkan oleh Tuhan. Seberapa bersalahkah orang-orang ini terhadap diriku, dan apa hakku ikut campur dalam pertikaian berdarah yang mereka tumpahkan satu sama lainnya. Aku sering kali mempersoalkan hal ini dalam pikiranku: “Bisakah aku tahu bagaimana Tuhan menghakimi kasus seperti ini? Pasti orang yang melakukan hal ini tidak menganggapnya sebagai kejahatan. Ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Mereka tidak menganggapnya sebagai pelanggaran, seperti yang kita lakukan dalam hampir semua dosa...
Gua Peristirahatan - 4
Saat, dalam keadaan telanjang dan tidak bersenjata, kecuali dengan satu senapan, dan sering kali hanya berisi peluru kecil, aku berkeliaran ke mana-mana, mengamati pulau ini, mencari tahu apa yang bisa kuperoleh. Betapa akan terkejutnya diriku jika, alih-alih menemukan jejak kaki manusia, aku malah berhadapan dengan lima belas atau dua puluh manusia liar, yang kemudian memburuku,­ dan karena cepatnya mereka berlari membuatku mustahil dapat meloloskan diri dari mereka! Pikiran ini kadang kala membuat nyaliku menciut dan menyusahkan pikiranku sebegitu rupa sehingga aku tidak bisa segera memikirkan tin­dakan apa yang harus kulakukan berkaitan dengan hal ini atau cara untuk menghadapi mereka. Sebenarnya, setelah memi­kir­­kan dengan serius semua hal ini, aku menjadi sedih, dan kadang kala begitu sedih. Namun akhirnya aku bersyukur kepada Tuhan karena menyelamatkanku dari begitu banyak bahaya yang tidak terlihat, yang akan sulit kulakukan sendiri karena keterbatasanku sebagai manusia. Renungan yang diperbarui ini sudah sering muncul dalam pikiranku sebelumnya, saat...
Rongsokan Kapal Spanyol
Sekarang aku sudah dua puluh tiga tahun tinggal di pulau ini, dan begitu terbiasa dengan tempat ini dan penghidupannya, sehingga aku yakin tidak akan ada manusia liar yang datang ke sini dan menggangguku.
***
Aku bisa menghabiskan sisa hidupku sesukanya hingga aku mati seperti kambing tua di gua. Aku juga menemukan hiburan kecil, yang membuat waktuku terasa menyenangkan daripada sebelumnya. Pertama, aku mengajar Poll, seperti yang kukatakan­ sebelumnya, untuk berbicara. Dia melakukannya dengan begitu baik, dan berbicara dengan teratur dan jelas, sehingga membuatku senang. Dan dia hidup bersamaku selama dua puluh enam tahun. Aku tidak tahu berapa lama lagi dia masih hidup setelah itu, sekalipun dikatakan di Brasil bahwa hewan itu bisa hidup hingga seratus tahun.
Anjingku merupakan teman yang menyenangkan bagiku selama kurang lebih enam belas tahun bersamaku, kemudian mati karena usia tua. Mengenai kucing-kucingku, mereka terus bertambah banyak, seperti yang kucatat, sehingga pertama-tama aku terpaksa menembak beberapa di...
Rongsokan Kapal Spanyol - 2
Aku begitu murka dengan pemandangan ini, sehingga aku kini berencana untuk menyerang mereka terlebih dahulu jika mereka datang lagi. Dari bukti-bukti yang kulihat, kelihatannya mereka tidak terlalu sering mengunjungi pulau ini, karena baru lebih dari lima belas bulan kemudian mereka datang ke sini lagi. Artinya, aku tidak melihat satu pun dari mereka atau jejak kakinya selama kurun waktu tertentu itu. Karena musim hujan, mereka pasti tidak akan bepergian, apalagi bepergian jauh. Sekalipun demikian, hidupku tidak tenang karena terus-menerus mewaspadai kemungkinan mereka akan menyerangku secara mendadak­. Dari apa yang kuamati, ketakutan akan kemungkinan buruk yang bisa terjadi terasa lebih getir daripada penderitaan, khususnya jika aku tidak bisa menepis ketakutan itu sendiri.
Sepanjang masa ini aku benar-benar bersiap membunuh. Aku menghabiskan banyak waktu, yang sebenarnya bisa kugunakan lebih baik, untuk mencari cara bagaimana menghindari sekaligus menyerang mereka jika aku bertemu mereka lagi. Khususnya jika mereka membagi kelompok, sebagaimana yang terakhir kali mereka...
Rongsokan Kapal Spanyol - 3
Karena semua ini hanyalah dugaan belaka, jadi, dalam kondisiku,­ yang bisa kulakukan tidak lebih dari sekadar ber­simpati pada penderitaan orang-orang malang ini dan menga­­sihani mereka. Sikap ini memiliki pengaruh baik kepada diriku karena membuatku semakin bersyukur kepada Tuhan, yang telah memeliharaku dalam keterpencilan ini. Aku pun bersyukur kepada-Nya karena dari dua kapal yang karam di bagian dunia ini, hanya ada seorang yang selamat.
Sekali lagi di sini aku melihat, dan merupakan hal yang sangat langka, bahwa saat Tuhan ‘mencampakkan’ kita ke keadaan yang begitu memprihatinkan, atau penderitaan yang sangat besar, kita masih bisa melihat ada hal yang dapat disyukuri dan dapat melihat bahwa masih ada orang lain yang keadaannya jauh lebih buruk daripada yang kita alami. Demikianlah yang terjadi pada para pelaut ini, yang mustahil selamat menurut akal sehatku. Sulit mengharapkan bahwa mereka semua tidak binasa, kecuali mereka ditolong oleh kapal lain yang berada di dekatnya. Namun, ini hanya sebuah...
Suatu Impian yang Terwujud
Setelah membawa semua barangku ke pantai dan mengamankannya, aku kembali ke perahuku, dan menarik atau mendayungnya di sepanjang pantai menuju dermaga lamanya, tempat aku menambatkannya, dan berusaha sebisa mungkin kembali ke tempat tinggal lamaku, tempat aku menemukannya aman dan tenang.
***
Aku mulai beristirahat, hidup menurut gaya lamaku, dan menyimpan barang-barangku. Untuk sementara aku merasa cukup santai, hanya lebih waspada daripada sebelumnya, sering kali memandang ke luar, tetapi tidak banyak ke luar pondokku. Jika aku tergerak untuk menjelajah, aku selalu pergi ke sebelah timur pulau, tempat aku benar-benar tahu bahwa para manusia liar itu tidak akan pernah ke sana, dan tempat aku bisa bergerak tanpa perlu bersikap waspada. Jika aku pergi ke sisi lainnya, aku selalu membawa senjata dan amunisi. Aku hidup seperti ini selama hampir dua tahun lagi. Namun, selama dua tahun itu aku selalu memikirkan cara bagaimana, jika mungkin, aku bisa keluar dari pulau ini.
Kadang kala aku...
Suatu Impian yang Terwujud - 2
Sementara selama dua jam lebih aku digelisahkan oleh semua pikiran ini. Sebegitu hebatnya hal itu sehingga darahku mendidih dan urat nadiku berdetak seakan aku terkena demam yang parah, hanya karena pemikiran yang begitu bersemangat itu. Akhirnya, setelah begitu lelah memikirkan hal itu, aku tertidur pulas. Mungkin orang mengira aku akan memimpikan apa yang kupikirkan itu. Namun, yang kumimpikan adalah saat aku, seperti biasa, meninggalkan puriku di pagi hari, aku melihat kedatangan dua kano dan sebelas manusia liar di pantai, dan mereka membawa manusia liar lainnya yang hendak mereka bunuh dan makan. Secara tiba-tiba, manusia liar yang hendak mereka makan melompat keluar dan melarikan diri. Dalam tidurku, aku mengira dia lari ke semak belukar kecilku yang rimbun di depan perbentenganku untuk bersembunyi. Saat aku melihatnya sendirian, dan tidak tahu mengenai orang-orang yang mengejarnya, aku menampakkan diri di depannya, tersenyum dan menyemangatinya. Dia kemudian bersujud di hadapanku, kelihatannya berharap agar aku membantunya....
Suatu Impian yang Terwujud - 3
Di antara mereka dan puriku terdapat sebuah sungai kecil, yang sudah sering kuceritakan pada bagian pertama kisahku, tempat aku mendaratkan barang-barangku dari kapal. Jelas dia harus merenanginya, atau manusia malang itu akan ditangkap di sana. Namun, saat manusia liar yang melarikan diri itu sampai ke sana, sekalipun arus saat itu sedang pasang, dia tidak memedulikannya. Dia melompat ke dalam air, berenang dengan cepat ke tepi lainnya, mendarat, lalu berlari dengan begitu kencang ke pedalaman. Saat ketiga pengejarnya sampai ke sungai kecil itu, aku melihat bahwa dua di antaranya bisa berenang. Namun, orang ketiga tidak bisa. Dia hanya berdiri melihat kedua kawannya tetapi tidak melakukan apa-apa, lalu perlahan-lahan kembali ke tempatnya semula. Suatu hal yang menguntungkan dirinya. Aku mengamati bahwa kedua orang yang berenang itu setangguh buruannya. Dalam pikiranku, muncul hal yang begitu menarik bahwa sekaranglah waktunya untuk memperoleh seorang pelayan, atau mungkin sekelompok pelayan. Jelas aku merasa dipanggil oleh Tuhan...
Suatu Impian yang Terwujud - 4
Setelah tertidur selama sekitar setengah jam, dia bangun lagi, dan keluar dari gua untuk menemuiku. Saat itu aku sedang memerah­ susu kambingku. Saat dia melihatku, dia berlari ke arahku, bersujud dengan sikap rendah hati dan berterima kasih, melakukan banyak gerakan kuno untuk menunjukkan hal itu. Dari caranya bersujud di hadapan kakiku, dia memberikan isyarat bahwa dia akan patuh dan mengabdi kepadaku selama hidupnya. Aku mengerti apa yang dimaksudkannya dalam banyak hal, dan menunjukkan kepadanya bahwa aku sangat senang kepadanya. Tidak lama kemudian aku mulai berbicara dengannya. Pertama, aku memberitahunya bahwa aku akan memanggilnya dengan nama Friday, karena itulah hari ketika aku membebaskannya. Aku memanggilnya demikian untuk mengingat­ waktu. Aku pun mengajarinya untuk memanggilku Tuan. Aku mengajarkannya untuk mengatakan Ya dan Tidak dan memberitahukan artinya. Aku memberikannya susu di se­buah periuk tanah, dan memberikannya contoh bagaimana cara meminumnya maupun mencelup rotiku ke dalamnya. Aku memberikannya sepotong roti agar meniru yang kulakukan,...
Mendidik Friday
Setelah dua atau tiga hari kembali ke bentengku, aku berpikir bahwa, untuk mencegah Friday kembali ke cara makannya yang mengerikan serta ‘mengobati’ perut kanibalnya, aku harus membiarkannya merasakan daging lainnya.
***
Jadi, aku membawanya­ ke hutan pada suatu pagi. Aku hendak membunuh anak dari ternakku, membawanya pulang, dan memasaknya. Namun, saat aku hendak pergi, aku melihat seekor kambing betina berbaring di tempat teduh, dengan dua anaknya duduk di sisinya. Aku memegang Friday. “Berhenti,” kataku, “tetap di sana.” Aku membuat isyarat agar dia tidak bergerak. Segera aku mengeluarkan senjataku, menembak, dan membunuh salah satu anak kambing itu. Manusia malang itu, yang berdiri di kejauhan, sebenarnya melihatku membunuh orang yang kejam, musuhnya, tetapi tidak tahu atau tidak bisa membayangkan ba­gaimana hal itu dilakukan. Dia benar-benar terkejut, gemetaran, dan syok, dan terlihat begitu terpana sehingga kupikir dia akan pingsan. Dia tidak melihat anak kambing yang kubunuh, atau mengira aku telah membunuhnya, tetapi membuka...
Mendidik Friday - 2
Aku pernah berpikir untuk mengetahui apakah dia masih memiliki keinginan untuk kembali ke negerinya. Setelah mengajarkannya bahasa Inggris dengan baik sehingga dia bisa menjawabku nyaris tanpa masalah, aku bertanya kepadanya apakah bangsanya tidak pernah kalah dalam pertempuran? Dia menjawabnya sambil tersenyum, “Ya. Kami selalu pandai bertempur,” Artinya, mereka selalu bertempur dengan baik. Jadi, kami mulai mengadakan percakapan sebagai berikut:
TUAN. – Kau selalu bertempur dengan baik. Kalau begitu, mengapa kau bisa ditawan, Friday?
FRIDAY. – Bangsaku sering mengalahkan.
TUAN. – Mengalahkan? Jika bangsamu mengalahkan mereka, kenapa kau bisa ditangkap?
FRIDAY. – Jumlah mereka lebih banyak daripada bangsaku, tempat aku tinggal. Mereka menangkap satu, dua, tiga, dan aku. Bangsaku mengalahkan mereka di tempat sana, tetapi tidak di tempatku. Di sana, bangsaku menangkap satu, dua ribu banyak.
TUAN. – Kalau begitu, mengapa pihakmu tidak membe­ baskanmu­ dari tangan musuhmu?
FRIDAY. – Mereka lari, satu, dua, tiga, dan aku, dan pergi dengan kano....
Mendidik Friday - 3
Aku mencoba menjelaskan pemalsuan ini kepada kawanku Friday, dan memberitahunya bahwa tindakan tetua sukunya untuk menyampaikan O kepada dewa Benamuckee mereka adalah penipuan. Demikian pula perkataan yang menurut mereka diperoleh dari sana. Jika mereka memang mendapatkan jawaban, atau bercakap-cakap dengan sesuatu di sana, pujaan mereka pastilah roh jahat. Kemudian aku berdiskusi panjang lebar mengenai iblis, asal mulanya, pemberontakannya ter­hadap Tuhan, ketidaksukaannya kepada manusia, alasan dari hal itu, pengangkatan dirinya sendiri di bagian kegelapan dunia agar dialah yang disembah sebagai ganti Tuhan, dan berbagai muslihat yang dilakukannya untuk menipu manusia agar berjalan menuju jurang kehancuran mereka; bagaimana dia memiliki suatu jalan rahasia terhadap keinginan dan kesukaan kini, dan mengadaptasi jeratnya terhadap hawa nafsu kita, sehingga kita menjadi penggoda diri kita sendiri, dan terperosok dalam kehancuran diri kita karena keinginan kita sendiri.
Tidak mudah untuk menyampaikan gagasan secara tepat ke dalam pikirannya mengenai iblis dan keberadaan Tuhan. Alam membantu semua argumentasiku untuk...
Mendidik Friday - 4
Mengenai masalah perselisihan, percekcokan, dan pertikaian yang terjadi di dunia dalam bidang agama, entah hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai doktrin maupun persekongkolan gereja-pemerintahan, semua itu benar-benar tidak berguna bagi kami, demikian pula bagi belahan dunia lainnya. Kami meyakini bimbingan Surgawi, yaitu Firman Tuhan. Kami pun, puji Tuhan, mendapatkan rasa nyaman berkat pengajaran Roh Kudus dan bimbingan dari Firman-Nya, yang mengarahkan kami pada kebenaran, dan membuat kami berdua bersedia mematuhi perintah­-Nya. Aku sendiri tidak melihat guna pengetahuan yang luas mengenai berbagai masalah keagamaan yang diper­debatkan, yang hanya membingungkan dunia. Namun, aku harus menceritakan beberapa hal yang sifatnya historis, dan meletakkannya secara berurutan.
Setelah Friday dan aku bisa berhubungan dengan baik, dan dia bisa mengerti hampir semua hal yang kukatakan kepadanya, dan berbicara dengan sangat lancar, sekalipun dalam bahasa Inggris yang terpatah-patah denganku, aku mulai menceritakan kisah hidup­ku­ sendiri, atau yang berhubungan dengan kedatanganku ke tempat ini: bagaimana aku hidup di sana,...
Menyelamatkan Tawanan dari Kaum Kanibal
Secara keseluruhan, pada saat ini aku sudah mantap dengan rencanaku untuk pergi bersamanya ke benua yang kukatakan akan kami kunjungi dan bahwa dia akan pulang. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi terlihat sangat sedih.
***
Aku bertanya ada masalah apa dengan dirinya. Dia balas bertanya kepadaku, “Mengapa kau marah dengan Friday? Apa yang kulakukan?”
Aku bertanya kepadanya apa maksud dari perkataannya. Aku memberitahunya bahwa aku sama sekali tidak marah.
“Tidak marah!” katanya, mengulangi kata-kata itu beberapa kali, “mengapa membawa Friday ke bangsaku?”
“Mengapa,” kataku, “Friday, bukankah kau berkata ingin berada di sana?”
“Ya, ya,” katanya, “ingin kita berdua di sana. Tidak ingin Friday di sana, jika tidak ada Tuan di sana.” Intinya, ia tidak ingin ke sana tanpa diriku.
“Jika aku ke sana, Friday?” kataku, “apa yang akan kulakukan di sana?”
Dia dengan segera menjawabku. “Kau melakukan banyak hal yang baik,” katanya, “kau mengajar manusia liar menjadi baik, bijaksana,...
Menyelamatkan Tawanan dari Kaum Kanibal - 2
Ada sebuah pohon lain dan semak belukar kecil di dekatnya, sekitar empat puluh lima meter lebih dekat dari mereka dibandingkan tempatku berada. Dengan mengendap-endap, aku bisa memiliki jarak tembak yang lebih dekat dengan mereka tanpa ditemukan. Jadi aku menahan nafsuku, sekalipun aku sangat murka. Mundur kira-kira dua puluh langkah, aku berhasil­ sampai di balik beberapa semak-semak, yang menyembunyi­kanku hingga aku sampai ke pohon lainnya, lalu ke suatu dataran yang sedikit tinggi, yang memberiku pemandangan penuh atas diri mereka dengan jarak sekitar tujuh puluh tiga meter.
Aku kini tidak membuang-buang waktu lagi, karena ke­sembilan belas manusia mengerikan ini duduk dan berkumpul bersama, dan baru saja mengirim dua orang rekannya lagi untuk menjagal orang Kristen malang itu, dan menyeretnya ke perapian mereka, serta membungkuk untuk melepaskan ikatan di kakinya. Aku berpaling ke arah Friday. “Sekarang, Friday,” kataku, “lakukan yang kuperintahkan kepadamu.”
Friday menjawab bahwa dia akan melakukannya.
“Kalau begitu, Friday,” kataku, “lakukan...
Menyelamatkan Tawanan dari Kaum Kanibal - 3
Aku melihat keharuan manusia malang itu, mungkin kurang dari setiap dua menit, saat dia berada di sini, memalingkan kepalanya untuk melihat apakah ayahnya masih ada di tempat dengan postur yang sama seperti saat dia meninggalkannya duduk. Suatu ketika, dia tidak bisa melihat ayahnya. Dia pun bangkit, dan tanpa mengatakan satu kata pun, lari dengan cepat ke arah ayahnya berada. Namun, saat sampai, dia menemukan ayahnya hanya berbaring agar anggota badannya tidak kaku lagi, jadi Friday pun menemuiku lagi. Kemudian aku berkata kepada si Spanyol agar membiarkan Friday membantunya pergi ke perahu dan bahwa dia akan membawanya ke tempat tinggal kami, tempat aku akan merawatnya. Namun Friday, orang yang kuat itu, membopong si Spanyol di punggungnya, dan membawanya ke perahu, lalu meletakkannya dengan hati-hati di lambung kano, dengan kaki di dalamnya. Lalu dia naik ke dalam, duduk di dekat ayahnya. Dia keluar lagi, meluncurkan perahu itu, dan mendayung secepat mungkin di...
Kunjungan Para Pemberontak
Selama beberapa waktu, tidak ada kano lagi yang datang, sehingga kekhawatiran kami akan kedatangan mereka memudar. Aku pun mulai memikirkan rencanaku semula untuk berlayar ke luar pulau. Aku diyakinkan oleh ayah Friday bahwa aku boleh percaya akan diperlakukan dengan baik oleh bangsanya jika aku pergi.
***
Namun, rencanaku sedikit menggantung saat aku mela­ku­kan pembicaraan serius dengan si Spanyol. Saat aku diberi tahu bahwa ada enam belas orang lagi rekan sebangsanya dan orang Portugis, yang telah terdampar dan menyelamatkan diri ke sana, mereka memang hidup damai dengan para manusia liar itu tetapi sangat ingin kembali ke peradaban. Aku menanyakan semua rincian pelayaran mereka, dan mengetahui bahwa mereka merupakan awak sebuah kapal Spanyol, yang berlayar dari Rio de la Plata ke Havanna, mereka diminta membongkar muatannya di sana, yang terutama berupa kulit dan perak, dan membawa pulang barang-barang buatan Eropa dari sana. Ada lima orang pelaut Portugis di kapal mereka, yang diselamatkan...
Kunjungan Para Pemberontak - 2
Aku tidak dapat melukiskan kebingungan yang melanda diriku, sekalipun senang melihat sebuah kapal dan mempunyai alasan bahwa kapal itu diawaki oleh orang-orang senegeriku sendiri, dan karena itu merupakan kawan. Namun, aku memiliki keraguan, aku tidak bisa mengatakan dari mana mereka datang sehingga membuatku tetap waspada. Pertama, aku memikirkan apa alasan sebuah kapal Inggris mendatangi bagian bumi ini, karena daerah ini bukanlah jalur pelayaran Inggris. Aku pun tahu tidak ada badai yang membawa mereka ke sini. Dan jika mereka memang benar-benar orang Inggris, kemungkinan mereka ke sini tanpa maksud baik. Jika aku tidak waspada, bisa jadi aku jatuh ke tangan para penjahat dan pembunuh.
Jangan pernah mengurangi kewaspadaan saat kita melihat sesuatu yang mencurigakan. Kewaspadaan, sebagaimana yang kualami, dapat menyelamatkan diri kita. Jika hal itu dapat memperingatkan kita akan marabahaya, tidak seharusnya kita mempertanyakan hal itu.
Pertanyaan besar ini benar-benar menegaskan keyakinanku akan kebenaran dari alasan ini. Jika aku tidak dibuat...
Kunjungan Para Pemberontak - 3
“Masalah kami, Tuan,” katanya, “terlalu panjang untuk dice­ritakan­ saat para pembunuh kami terlalu dekat dengan kita. Pendeknya, Tuan, aku komandan kapal itu. Anak buahku memberontak melawanku. Mereka belum sepakat untuk mem­bunuhku­ dan, akhirnya, membawaku ke pantai di tempat ter­pencil ini, bersama kedua orang ini. Yang satu kelasiku kelas satu sedangkan yang lainnya penumpang. Mereka mengharapkan kami mati di sini, karena yakin ini bukan tempat yang ber­penghuni. Mereka masih belum memikirkan apa-apa.”
“Di manakah orang-orang kejam ini?” kataku, “tahukah kau ke mana mereka pergi?”
“Mereka berbaring di sana, Tuan,” katanya, menunjuk ke arah pepohonan yang lebat, “aku takut mereka telah melihat kita dan mendengar kau berbicara. Jika mereka tahu, mereka pasti akan membunuh kita semua.”
“Apakah mereka memiliki senjata api?” tanyaku.
Dia menjawab, “Mereka hanya memiliki dua pucuk senjata api, salah satunya ditinggalkan di perahu.”
“Ah, kalau begitu serahkan semuanya kepadaku. Kulihat mere­ka semua tidur. Mudah saja untuk membunuh mereka semua....
Kapal Direbut Kembali
Kami membuat rencana. Pertama-tama, kami harus mendorong perahu sekuat tenaga ke pantai, sebegitu tingginya sehingga ombak tidak akan bisa membawanya ke kedalaman.
***
Selain itu, kami membuat sebuah lubang di bagian dasarnya sehingga sulit diperbaiki dengan cepat. Di saat kami sedang berpikir, kami mendengar kapal itu melepaskan tembakan, dan membuat kibaran bendera sebagai isyarat agar perahu itu kembali ke kapal, tetapi tidak ada perahu yang datang. Mereka menembak beberapa kali, membuat isyarat lainnya bagi perahu itu. Akhirnya, saat semua isyarat dan tembakan mereka terbukti tidak membawa hasil, dan mereka menemukan perahu itu tidak bisa digerakkan, kami melihat mereka, lewat teropongku, menurunkan perahu lainnya dan mendayung ke arah pantai. Saat mereka mendekat, kami melihat bahwa ada tidak kurang dari sepuluh orang di dalamnya, dan mereka membawa senjata api.
Karena kapal itu berlabuh sekitar sepuluh kilo dari pantai, kami dapat melihatnya dengan jelas, bahkan wajah-wajah mereka. Karena ombak membawa mereka sedikit ke...
Kapal Direbut Kembali - 2
Kami seharusnya sangat senang jika mereka mau mendekati kami, sehingga kami bisa menembak mereka, atau jika mereka bergerak lebih menjauh, kami bisa naik ke kapal. Namun saat mereka datang ke puncak bukit tempat mereka bisa melihat bentangan lembah dan hutan, yang berada di bagian timur laut, dan terdapat dataran paling rendah di pulau itu, mereka berteriak terus-menerus hingga mereka kelelahan. Mereka kelihatannya tidak peduli kalau harus menjauh dari pantai atau saling berjauhan dengan rekan-rekannya. Akhirnya mereka duduk bersama-sama di bawah sebatang pohon untuk membicarakan keadaan. Kalau mereka menganggap baik untuk tidur di sana, seperti yang dilakukan rekan-rekannya terdahulu, hal itu akan mempermudah rencana kami. Namun kelihatannya mereka bersikap sangat hati-hati akan bahaya jika mau mengambil risiko tidur di sana, sekalipun mereka tidak tahu bahaya apa yang mengancam diri mereka.
Sang kapten memberikan saran yang sangat tepat kepadaku mengenai apa yang mereka bicarakan, yaitu mereka mungkin akan menembakkan suatu berondongan lagi,...
Kapal Direbut Kembali - 3
Mereka tidak perlu berlama-lama melakukannya, saat si kepala kelasi, yang merupakan tokoh utama pemberontakan, dan kini terlihat seperti orang yang paling patah semangat di antara mereka semua, berjalan ke arah mereka, bersama dua orang awak lagi. Sang kapten begitu bernafsu menangkap orang yang paling jahat ini, sehingga dia tidak sabar untuk mendekatinya agar dapat memastikan jati diri orang itu, karena sebelumnya hanya suaranya yang terdengar. Namun saat mereka mendekat, sang kapten dan Friday, bangkit dan menyerang mereka. Si kepala kelasi tewas di tempat. Orang di sampingnya tertembak dan jatuh di dekatnya, sekalipun baru satu atau dua jam kemudian dia mati. Orang yang ketiga lari menyelamatkan diri. Mendengar suara tembakan, aku segera maju bersama seluruh pasukanku, yang sekarang berjumlah delapan orang, yaitu aku sendiri, sang jenderal besar; Friday, letnan jenderalku; sang kapten dan dua anak buahnya, serta ketiga tawanan yang kami percayakan membawa senjata. Kami mendatangi mereka dalam kegelapan sehingga mereka...
Kapal Direbut Kembali - 4
Berikut kekuatan kami sekarang: pertama, sang kapten, kelasi satunya, dan si penumpang; kedua, dua tawanan dari kelompok pertama, yang atas permintaan sang kapten yang mengenal tabiat mereka, kubebaskan dan kupercayai memegang senjata; ketiga, dua tawanan lainnya yang hingga saat itu kutahan di pondokku, diikat tetapi kemudian kubebaskan atas permintaan sang kapten; keempat, kelima orang ini akhirnya dibebaskan. Jadi, secara keseluruhan­ jumlah kami adalah dua belas orang, di samping kelima tawanan di gua yang kami jadikan sandera.
Aku bertanya kepada sang kapten apakah dia mau mengambil risiko bersama mereka untuk merampas kapal. Namun mengenai diriku maupun Friday, kupikir kami tidak perlu turut serta, karena masih ada tujuh orang yang harus diurus di pulau. Kami harus memastikan mereka tidak berbuat onar sekaligus memberikan mereka makanan. Mengenai kelima orang di gua, aku memutuskan tetap mengikat mereka, tetapi Friday mendatangi mereka dua kali sehari, untuk memberikan hal-hal yang mereka perlukan. Aku memerintahkan dua orang...
Kapal Direbut Kembali - 5
Setelah upacara ini berlalu, dan setelah semua barangnya yang masih baik dibawa ke tempat kecilku, kami mulai membahas apa yang harus dilakukan terhadap para tawanan. Kami harus mempertimbangkan apakah kami harus mengambil risiko untuk membawa mereka juga atau tidak, khususnya dua orang di antara mereka, yang diketahui sang kapten tidak bisa diubah sifat jahatnya. Sang kapten mengatakan bahwa dia tahu sifat jahat mereka sehingga tidak wajib untuk membantu mereka. Jika dia memang harus membawa mereka, kedua orang itu mesti dibawa dalam kurungan besi, sebagai penjahat, untuk diserahkan ke pengadilan koloni Inggris pertama yang didatanginya. Aku melihat sang kapten sangat gelisah memikirkan hal ini. Karena itu, aku mengatakan kepadanya, jika dia menginginkannya, aku akan membuat kedua orang yang dibicarakannya untuk meminta sendiri agar mereka ditinggalkan di pulau itu.
“Ah, dengan senang hati,” katanya, “aku akan mendu­kungnya.”
“Baiklah,” kataku, “aku akan berbicara dengan mereka me­ wakilimu.”
Karena itu aku mengirimkan Friday dan...
Kembali ke Inggris
Setelah membereskan semuanya, aku meninggalkan mereka pada keesokan harinya dan naik ke kapal. Kami bersiap untuk segera berlayar, tetapi tidak mengangkat sauh malam itu.
***
Keesokkan paginya pada dini hari, dua dari lima orang berenang ke sisi kapal dan memohon dengan sangat memelas mewakili tiga orang lainnya, meminta agar dibawa ke kapal, karena mereka akan dibunuh. Mereka memohon kepada kapten untuk menaikkan mereka, bahkan walaupun mereka segera digantung setelahnya. Sang kapten berpura-pura tidak dapat membuat keputusan tanpa diriku, tetapi setelah mereka berjanji mengadakan perubahan, mereka diperbolehkan naik dan beberapa saat kemudian dicambuk dengan keras dan diperciki air garam, mereka terbukti sangat jujur dan baik.
Beberapa saat kemudian, kapal diperintahkan untuk me­nepi. Sang kapten, atas doronganku, memerintahkan untuk menambahkan barang-barang dan pakaian bagi orang-orang di sana seperti yang dijanjikan. Barang-barang itu mereka terima dengan senang hati dan penuh syukur. Aku juga membesarkan hati mereka, dengan mengatakan bahwa aku tidak akan melupakan mereka. Aku juga berjanji bahwa jika aku mampu, aku akan mengirim kapal untuk menjemput...
Kembali ke Inggris - 2
“Namun,” lanjut orang tua itu, “aku mempunyai berita bagimu, yang mungkin tidak bisa kau terima. Karena semua percaya kau telah hilang, maka rekan dan walimu telah menawarkan uang kepadaku sebagai wakilmu atas keuntungan yang didapat dalam enam hingga delapan tahun pertama. Namun karena besarnya pengeluaran untuk penambahan produksi, pembangunan pabrik, dan pembelian budak, hasil yang didapat tidak sebesar sekarang. Aku akan memberikan catatan mengenai jumlah uang yang kudapat dan bagaimana aku mengaturnya.”
Beberapa hari kemudian, teman lamaku ini membawakan padaku catatan pendapatan perkebunanku pada enam tahun pertama, dengan ditandatangani oleh rekanku dan wakil pe­dagang yang selalu dikirimi barang-barang, misalnya gulungan tembakau, kotak gula, rum, sirup gula, dan lainnya, yang merupakan hasil dari produksi gula. Dari catatan ini, aku melihat bahwa dalam setiap tahunnya pendapatan semakin meningkat, sekalipun nilainya pada awalnya sangat kecil. Namun orang tua itu menunjukkan kepadaku bahwa dia meminjam dariku empat ratus tujuh puluh moidore emas selain enam...
Kembali ke Inggris - 3
Kini aku harus mempertimbangkan jalan apa yang harus ku­tempuh­ selanjutnya, dan apa yang harus kulakukan pada tanah yang diberikan Allah padaku. Aku sekarang memiliki kebutuhan lebih besar daripada ketika aku hidup di pulau ketika aku tidak menginginkan hal lainnya. Sekarang aku memiliki tanggung jawab, bagaimana mengamankan bisnisku. Aku tidak lagi memi­liki gua yang menjadi tempat persembunyian uangku, atau tidak bisa meletakkannya begitu saja tanpa dikunci. Sebaliknya, aku tidak tahu di mana harus meletakkannya, atau siapa yang harus kupercayai. Aku hanya memercayai kapten teman baikku.
Sementara itu, aku ingin pergi ke Brasil, tetapi aku tidak bisa ke sana sampai aku menyelesaikan urusanku dan meninggalkan harta bendaku di tangan orang yang bisa dipercaya. Semula aku ingin meminta bantuan temanku, seorang janda yang sudah tua, yang kutahu jujur. Namun dia sudah tua dan kemungkinan memiliki banyak utang. Selain itu, aku tidak mungkin pergi ke Inggris sambil membawa semua harta bendaku.
Setelah beberapa bulan,...
Pertarungan Antara Friday dan Seekor Beruang
Akan tetapi tidak ada pertarungan yang lebih berat dan mengejutkan seperti yang terjadi antara Friday dan seekor beruang. Pertarungan itu membuat kami terkejut dan takut, tetapi sekaligus menjadi hiburan yang luar biasa.
***
Karena beruang adalah makhluk yang bertubuh berat dan canggung serta tidak dapat berlari seperti serigala yang tangkas dan ringan, hewan ini memiliki dua kebiasaan. Pertama, manusia bukan merupakan mangsa yang tepat baginya (mereka tidak biasa menyerang manusia, kecuali jika manusia menye­rang terlebih dahulu atau jika mereka merasa sangat lapar, yang mungkin terjadi pada beruang yang satu ini, karena tanah tertutup oleh salju). Jika kita tidak mengganggunya, dia tidak akan mengganggu kita. Namun, kita harus bersikap baik kepadanya dan memberikan jalan kepadanya, dia tidak akan mengganggu. Jika kita benar-benar takut, sebaiknya kita mencari jalan lain dan tetap berjalan, karena jika kita berhenti dan terdiam serta menatapnya lekat-lekat, dia akan menganggap hal ini sebagai penghinaan. Jika kita melempar sesuatu kepadanya, walaupun hanya tongkat seukuran jari, dia...
Pertarungan Antara Friday dan Seekor Beruang - 2
“Seperti itu?” tanyaku. “Tapi kalian tidak memiliki senapan.”
“Tidak,” katanya. “Bukan dengan senapan, tetapi dengan panah panjang.”
Hal ini menjadi hiburan yang menyenangkan bagi kami. Namun kami masih tetap berada di rimba belantara karena pemandu kami terluka parah. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Suara lolongan serigala memenuhi kepalaku. Selain suara yang pernah kudengar di pantai di Afrika, aku tidak pernah mendengar suara lain yang begitu menakutkan seperti itu.
Semua hal ini, dan dengan tibanya malam hari, membuat kami membatalkan rencana kami untuk menguliti hewan itu. Kami masih harus menempuh perjalanan lebih dari empat belas kilo. Pemandu kami mendesak kami agar terus berjalan, sehingga kami terpaksa meninggalkan beruang itu dan melanjutkan perjalanan.
Tanah masih ditutupi oleh salju, walaupun tidak sedalam dan berbahaya seperti di pegunungan, dan hewan-hewan turun ke hutan dan dataran rendah karena kelaparan. Mereka me­nimbul­­kan banyak kerusakan di desa-desa dan mengejutkan penduduk, membunuh­ banyak domba dan...
Pertarungan Antara Friday dan Seekor Beruang - 3
Ketika kami menembakkan rentetan tembakan kedua, kami melihat mereka sedikit berhenti dan aku beharap mereka semua akan pergi. Namun, hal itu hanya terjadi beberapa saat, karena yang lainnya melesak maju lagi, sehingga kami menembakkan dua rentetan tembakan lagi. Aku merasa dalam empat kali rentetan tembakan ini kami telah membunuh sekitar tujuh belas atau delapan belas serigala, dan melumpuhkan dua kali lipat jumlah itu, tetapi mereka tetap menerjang. Aku tak ingin terlalu terburu-buru menembak, sehingga aku memanggil pelayanku. Bukan Friday, karena dia mengerjakan hal lain yang membutuhkan keterampilan yang luar biasa, yaitu mengisi pelurunya dan peluruku saat itu. Aku memanggil pelayanku yang lainnya dan memberikannya tempat mesiu yang terbuat dari tanduk. Aku memintanya menaburkannya ke sekeliling kayu besar itu dengan jarak yang cukup aman bagi kami. Dia melakukannya dan berhasil menghindar dari serigala yang mendekat. Saat itu aku menembakkan senapanku di dekat mesiu dan menyebabkannya terbakar, sehingga apa pun yang ada...
Description: "Pikiranku sejak dini mulai dipenuhi keinginan untuk mengembara. Ayah menginginkan aku masuk sekolah hukum, tetapi aku hanya tertarik untuk menjadi pelaut."
Di kala muda, Robinson Crusoe menurutkan kata hatinya untuk berangkat melaut, melanggar keinginan dan perintah orangtuanya. Bermacam pengalaman buruk maupun baik didapatkannya. Keberuntungan sempat menghampiri, tapi keserakahan hatilah yang mengubah keseluruhan hidupnya. Setelah menjadi satu-satunya awak yang selamat dari amukan badai yang menghancurkan kapal, dia terdampar di satu pulau tak berpenghuni.
Pada saat itulah petualangan besarnya dimulai.
Dalam kesendirian. Lebih dari tiga dekade lamanya.
|
Title: Renjana
Category: Cerita Pendek
Text:
RENJANA
Hari ini cerah sekali, langit biru di siang hari tak begitu panas, ditambah semilir angin yang menyejukan. aku duduk di tengah keramaian orang menunggu dan berlalu lalang di ruang tunggu stasiun kereta.
Apa boleh buat, aku harus berjuang membunuh rasa bosan dengan menunggu kereta yang bahkan belum tampak terparkir di peron stasiun. aku berharap kereta datang tepat waktu sesuai jadwal. Karena aku terlanjur datang dua jam lebih awal dari jadwal keberangkatan
Selang sekitar satu jam lebih berlalu, suasana manusia yang sedang berlalu lalang melintas di hadapanku seperti sudah mulai berdamai dengan rasa bosan ku. banyak hal yang bisa ku amati disini, stasiun menyuguhkan berbagai macam realitas kehidupan.
Ada beberapa hal yang aku suka dari stasiun kereta, "Stasiun Kereta seperti gambaran dua sisi dalam kehidupan, datang atau pergi, sekedar singgah atau menetap, rasa haru atau tawa yang di bawa oleh setiap masing - masing penumpang".
Tak terasa sudah 3 tahun lebih setelah aku selesai kuliah, aku tidak pernah berlalu lalang di tempat yang penuh kenangan ini.
Dulu aku sering melihat pemandangan ada banyak orang yang terbujur lelap membunuh waktu menunggu kereta di atas lantai yang dingin di ruang tunggu. Begitu juga asap liar karbon monoksida yang dihasilkan oleh orang - orang yang berusaha membunuh kebosanan dengan cara merokok. namun sekarang sudah tampak lebih rapi dan lebih tertata rapi. mulai tertib dan telah tersedia ruangan untuk merokok.
Kulirik tiket kereta untuk mengecek kembali jadwal kedatangan kereta.
"jadwal kereta tiba 15.50 Wib, sekarang masih 15.15 masih sekitar setengah jam" gumam ku, aku buka beberapa sosial media untuk membunuh waktu, sembari menunggu kereta, sambil ku mainkan musik streaming di handphone ku yang ku mainkan secara acak.Selang beberapa lagu, tiba - tiba ada satu lagu yang ku dengar hingga membawa ku ke masa lalu.
"Tak terasa gelap pun jatuh, diujung malam menuju pagi yang dingin"" Hanya ada sedikit bintang malam ini, mungkin karena kau sedang cantik - Cantik nya" sambil ku menirukan lirik lagu tersebut.
Sebuah lagu yang mengingatkan ku kepada mu, seseorang yang hanya bersinggah di hati ku, namun tidak untuk menetap.
Seketika itu, aku seperti terseret banjir bandang menuju masa lalu, dimana aku menghabiskan hari - hari di kota ini. mulai dari cerita manis hingga cerita pahit yang ku buat menjadi manis.
Awalnya, kamu adalah orang yang peduli kepadaku, hingga pada akhirnya kepedulian mu berubah menjadi sebuah belenggu bagi ku. kau terlewat peduli. kau mulai mengatur semua kehidupan ku.
Aku adalah orang yang susah untuk berpindah dari hati ke hati yang lain, aku selalu berusaha memberi ruang dan meletakan mu di dalam hati mu dengan menerima kekurangan mu.
Itu adalah alasan kenapa aku masih belum bisa "Move on" dari mu setelah 2 tahun berlalu semenjak kita memilih berpisah.
Aku pun masih berharap dengan memberi mu ruang di dalam hati ku jika suatu saat kau akan kembali.
Paging pemberitahuan kereta datang berbunyi sehingga membuatku terbangun dari mimpi terseret banjir bandang masa lalu. Kemudian aku bersiap - siap, karena keretaku akhirnya sudah tiba.
Sekarang aku mulai terbiasa melupakan namamu, tidak seperti saat setahun setelah kita berpisah. Mengingat namamu, membuat sesak nafasku. Sekarang aku baik baik saja.
Aku bergegas meninggalkan tempat duduk ruang tunggu.Kemudian masuk kedalam kereta.
Suatu Ketika
Terik panas siang ini begitu menyengat di kulit sawo matang ini. Matahari serasa di atas kepala, sesekali asap kendaraan dan bau keringat orang yang berlalu lalang di depan ku seolah seperti menjadi aroma terapi alami.
Aku, yang saat ini sedang duduk di antara orang-orang yang sedang menunggu bus, tempat dimana pertama kita dipertemukan dengan sebuah perjumpaan yang sudah diatur sedemikian rupa, dan tak pernah terpikirkan akan manis seperti ini, hingga akhirnya masih melekat pekat dalam ingatan.
Di saat hujan lebat sore itu, ketika halte ini penuh orang karena menjadi tempat penyelamat dari hujan deras di saat itu. Aku yang saat itu sedang duduk, tanpa terduga kamu datang dengan berlari menuju halte dengan penuh tenaga.
Melihatmu basah kuyup dan dengan nafas ngos-ngosan, tanpa kusadari, aku yang pada saat itu sedang duduk nyaman, seolah terhipnotis dengan rasa iba, aku pun langsung berdiri dan mempersilakan mu untuk duduk ditempat duduk ku.
Hari ini, aku kembali ke halte ini, tempat yang dimana menjadi cerita di masa - masa muda kita. Cerita putih abu - abu.
Kota ini masih istimewa, seperti saat terakhir kita saling meninggalkan kota ini. Manis bagiku, ku harap kau pun juga begitu. kita terpisah karena keadaan yang memang harus di relakan.
Aku merelakan mu seperti embun pagi yang menguap oleh hangat nya mentari di pagi hari. Dan senyum terakhirmu menjadi sisa bekalku menjalani hidupku.
Kau masih menjadi satu - satunya orang yang lebih menerimaku, karena aku adalah sewajarnya manusia, baik dan buruk menjadi satu kesatuan sifatku.
Aku masih sama seperti saat dulu, meskipun tidak menyelesaikan masalah mu, aku selalu belajar menjadi pendengar bagi cerita keluh kesahmu. Menjadi tempat tujuan mu, begitulah harapan ku.
Dan sampai saat ini aku masih menjadi orang yang berusaha mengerti semua baik burukmu.
Description: Kumpulan Tentang Rasa Yang Kuat
|
Title: Regaska
Category: Novel
Text:
1. Awal Jumpa
Happy reading, semoga ada yang suka.
Matematika, pelajaran yang menyebalkan bagi sedikit orang dan sangat menyebalkan bagi banyak orang. Apalagi ketika datang di hari Senin bersamaan dengan fisika dan kimia, sukses bikin kepala pusing saking mumetnya.
Ini lah yang sedang dirasakan Rega. Cowok itu terlihat suntuk mendengarkan guru yang menerangkan hal tidak jelas, menurutnya. Rega sudah mencoba berkali-kali untuk tidur. Namun, sepertinya semesta belum mengijinkan. Ia sudah hibernasi sehari penuh kemarin. Berbeda dengan teman sebangkunya—Candra. Yang dengan pulasnya tidur dengan tenang sambil mangap-mangap.
Rega yang sangat bosan melirik ke arah sahabatnya, menyeringai penuh makna. "Woi bangun Candra oon! Bu Nana lagi jalan kesini!" usil Rega, berbohong. Ia mengerjai Candra dan sukses membuat targetnya kaget dan refleks terbangun lalu berdiri.
"Maaf, Bu. Saya janji nggak akan tidur dikelas kayak tadi lagi!" ujar Candra lantang sambil mengangkat dua jari membentuk peace.
Hal ini membuat seisi kelas yang hening menoleh kearah Candra dengan tatapan aneh.
"Oh, jadi kamu dari tadi tidur, Candra?!" bentak Bu Nana. Candra melotot kearah Rega, Rega yang di pelototi bersiul lalu cekikikan tanpa beban. Senang merasa berhasil mengerjai sahabatnya. Lagian, guru mana sih yang mau diacuhkan ketika mengajar? Ia yang sudah susah-susah menerangkan malah murid didiknya enak-enakan sleep comfortably.
Ini merupakan hal yang sangat biasa. Kelas yang dihuni Rega dan Candra ini memang tak luput dari kegaduhan. Membuat beberapa murid yang masih waras ingin sekali pindah kelas. Apalagi para guru yang pastinya malas mengajar. Benar-benar menodai citra wali kelas.
"I ... iya Bu. Maaf deh." ucap Candra kikuk sambil menggaruk lehernya yang sama sekali tidak gatal.
"Sekarang kamu keluar dari kelas saya, dan jangan masuk kelas saya selama satu minggu!" lantang Bu Nana. Kalau disuruh memilih, ia pasti tidak mau mengajar kelas ini. Banyak sekali tingkah anehnya. Dan kalau disuruh memilih, Candra juga lebih memilih dikeluarkan dari kelasnya dan nongki cantik dengan para antek-anteknya.
"Yaaah ... kok gitu sih, Bu." Candra pura-pura bersedih sambil berjalan gontai keluar kelas padahal di dalam hatinya senang bukan kepalang bisa bolos satu minggu pelajaran matematika. Terimakasih, Rega!
Rega yang mendengar bahwa teman satu gengnya bisa bolos selama satu minggu iri. Ia kira Candra harus berdiri di lapangan sembari hormat selama jam pelajaran seperti biasa. Enak saja! Rega juga mau kalau disuruh keluar kelas.
Rega berdiri dari tempat duduknya lalu mengangkat tangan, "Saya ikut keluar ya, Bu. Soalnya tadi saya juga tidur."
"Kamu juga tidur?" Guru matematikanya itu bertanya memastikan.
"Yoi." jawabnya. Lalu ia menyugar rambutnya.
Guru itu menepuk kepala. Bersiap-siap mengatur pernapasan, "Sudah berapa kali kamu tidur dikelas, Rega?! Kalau kamu kayak gini terus, saya bisa aduin ke ayah kamu, lho!" semprotnya akhirnya.
"Eitss, jangan dong, Bu gendut. Ntar Ibuk saya traktir siomay-nya Mpok Siti, deh." Rayu Rega mengedipkan sebelah matanya.
"Kamu ngatain saya gendut?! Keluar kamu! Jangan masuk kelas saya satu minggu dan kamu harus bersihin seluruh toilet sekolah hari ini!" Bentaknya sambil menodongkan penggaris besar menunjuk Rega.
Nana yang sudah gemas karena kelakuan Candra jadi semakin gemas karena Rega. Apalagi muridnya yang ini mengatakannya dengan sebutan 'gendut'. Kesal bukan main pastinya, walaupun itu kenyataan.
"Lho kok ada bersih-bersih toilet juga, sih, Bu? Saya nggak mau. Candra tadi gak disuruh gitu juga." ujar Rega seraya bergidik ngeri membayangkan toilet cowok di sekolahnya yang berbau tidak sedap karena petugas kebersihan sedang libur sementara.
"Biasanya ada yang timbul timbul warna kuning Bu di toilet, jiji bangettt!" satu kelas bergidik jijik membayangkan bau dan benda kuning yang timbul di kloset. Apalagi para lelaki yang rata-rata tidak menyiram zat sisa yang keluar dengan benar.
"Jangan banyak protes!"
Nasib buruk untuk Rega, inginnya bolos malah harus membersihkan toilet sekolah. Dapet bolosnya sih, tapi nggak pake bersih-bersih toilet juga dong, Bu.
Rega keluar kelas dengan murung dan berjalan menuju rooftop sekolah. Padahal, seharusnya ia berjalan keluar kelas dengan muka berseri-seri seperti habis memenangkan lotre.
Disana sudah ada beberapa teman-temannya yang nongkrong sambil makan gorengan. Ada juga gitar dan beberapa bungkus rokok yang sudah dipastikan Rega bahwa pembawanya ialah Bimo. Entah bagaimana teman-temannya itu bisa berada disini ketika KBM masih berlangsung.
Sudah ada Rehan, Satya, Bimo dan pastinya Candra. Bisa dikatakan geng yang diketuai Rega secara tidak langsung ini hobi bolos. Geng brotherhood. Geng ini sudah memiliki ratusan anggota dari kelas 10-12, maka tak heran Rega yang menjadi ketua geng ini dikenal ganas. Tapi, sifatnya berbeda 180° ketika sudah bertemu teman-temannya.
Wajah Rega yang semula murung menjadi berseri-seri. "Bekicot nempel di dinding, bacot lo anjing."
"Goblok banget lo, Ga. Disini gaada yang bacot kali." kata si Bimo, geleng geleng kepala melihat tingkah konyol ketuanya sambil menyesap rokoknya.
"Alah lu gak tau aje Pak ketu ini pasti mau ambil bakwan," kata Rehan, cowok kurus berkulit putih.
"Idih gue orang kaya, bisa beli bakwan satu warung kali,"
Bisa dikatakan Rega ini cowok kaya karena orang tuanya. Tapi, bisa juga dikatakan kaya karena hasil endorse nya. Dia bukan fakboi atau apalah sebutannya. Dia belum pernah jatuh cinta. Catat baik-baik. Jomblo ngenes dari lahir.
"Traktir dong, Bang ganteng." Candra berkata sambil berkedip mata.
Rega mengangguk mengiyakan. Sedang banyak rezeki. Untung-untung sedekah kepada orang yang membutuhkan. Lagian kalau si Candra tidak di turuti, pasti dia terus merecoki hidup Rega.
•••
Sepulang sekolah, seperti yang diinginkan Candra, Rega akan mentraktir sahabat-sahabatnya. Rega berjalan beriringan bersama antek-anteknya. Memenuhi jalan yang membuat orang lain ingin mengumpat. Memangnya ini jalan punya nenek moyangnya?
Sedang asyik ghibah, Rega ingat bahwa ia harus membersihkan toilet sekolah. Rega berpikir sejenak, menengok kanan kiri jangan-jangan gurunya itu membuntuti. Setelah berpikir selama beberapa detik, ia memilih kabur dari sekolah dan mentraktir teman-temannya saja. Tak apa dompet tipis, daripada harus membersihkan benda kuning temimbul itu.
"Lo tau gak? Gue tadi disuruh ngebersihin toilet sama Bu Nana," curhat Rega. Cowok-cowok juga suka curhat, lho!
"Serius? Gue tadi kok kagak disuruh Bu Nana? Apa ini karena gue kelewat ... ganteng, ya?" ucap Candra menaruh tangan di dagu berlagak sedang berpikir.
"Gak lucu." ucap Bimo memasang muka datar agar guyonan Candra terasa garing. Krik-krik.
"Gue bisa gitu gara gara ngatain dia gendut,"
"Yeh, si anak dugong. Gila aja lo bilang gitu kedia, mampus disuruh bersih-bersih kan," ujar Rehan menanggapi.
"Orang ganteng bebas." sombongnya seraya menyugar rambutnya dengan jari-jarinya. Untung tidak ada kutunya.
"Udah lo bersihin?" tanya Satya mengalihkan pembicaraan tentang orang ganteng. Tidak bermutu menurutnya. Lagian apa sih gunanya ganteng kalau otak kosong?
"Ya enggak lah, Bangsat. Masa gue yang ganteng ngelebihin monyet bonbin pasrah aja gitu nyerahin diri." ucap Rega pada ngakak sendiri dengan leluconnya.
Satya memang sering di panggil bangsat oleh teman karibnya. Bang Satya lebih tepatnya. Panggilan sayang yang dicetuskan Rega secara tidak sengaja. Tapi, jika orang tidak dikenalnya memanggil Satya dengan sebutan bangsat, sudah pasti dia tidak terima. Satya tidak suka dengan orang yang sok kenal padanya. Pernah sekali Adit, adik kelas cerewet memanggilnya dengan sebutan bangsat, Satya menjahilinya dengan mengempeskan ban sepeda Adit.
"Emang bener sih muka lo ngelebihin monyet bonbin, lebih mirip orang utan soalnya," ucap Candra menyengir yang berujung mendapat jitakan keras dari Rega. Sedangkan teman-temannya menahan tawa.
Ketika hampir menyebrang jalan raya besar, Rega merasa ada yang menarik telinganya. Ketika baru saja ia ingin mengumpati orang itu, betapa terkejutnya sudah ada guru matematikanya didepan mata berwajah merah karena marah dan kepanasan bersiap meledakkan granat untuk Rega.
"JANGAN COBA-COBA KABUR!" teriaknya keras.
Rega mengusap telinganya yang sepertinya memerah. Sudah dipiting, sekarang berdengung karena teriakan gurunya. Kasihan sekali nasib telinganya.
Rega meringis, kenapa bisa ketahuan? Sedangkan Bimo, Satya, Rehan dan Candra kompak berlari meninggalkan Rega sambil menertawakan ketuanya itu. Tidak mau ikut campur, ribet.
Rega diseret secara tidak cantik oleh gurunya menuju sekolah. Ketika sudah berada di depan toilet laki-laki di seberang kelasnya, ia ditinggal sendirian di tempat mengerikan itu.
"Awas kalo kamu kabur, Ibu aduin ke ayah kamu," ancamnya dengan mata melotot ngeri.
Tapi, sengeri-ngerinya pelototoan Bu Nana, masih ngeri jika harus membersihkan benda kuning timbul yang pasti ada di sana. Lelaki bertubung jangkung itu bersiap-siap menahan napas dan berusaha mengenyahkan bau itu dari pikirannya. Rega sudah siap membuka pintu kamar mandi itu dan ketika dibuka betapa terkejutnya ada seorang siswi dengan roknya yang tersingkap.
•••
Aku yang gak doyan makan batu,
Allifna Latifatul Umami
2. Pulang Bareng
Happy reading:
•••
"Kyaaaa siapa lo? beraninya lo ngintip gue orang goblok!" Rega yang melihat pemandangan menakjubkan ini mlongo tidak mempedulikan perkataan gadis di depannya. Gadis itu dengan cepat membenahkan penampilannya lalu datang pada Rega dan menjambak rambutnya kuat-kuat.
"Woi sakit ini!" kesal Rega, dia merasa tidak bersalah karena ini toilet cowok. Kok bisa-bisanya ada betina disini, pikirnya.
"Salah sendiri mata sialan lo ini ngintip gue,"
"Ini toilet cowok lho, bukan salah gue dong. Lagian ngapain betina bisa sampai sini sih,"
"Gue kebelet anjing."
"Mulut Lo kasar banget, Me ... ira." eja Rega sambil membaca name tag diseragam gadis itu.
Meira yang melihatnya melotot tajam, refleks menutupi bagian dadanya, "Dasar cowok mesum!!"
Gadis itu berlari menjauhi Rega. Berniat keluar dari sekolah dengan rasa malu luar biasa.
Meira berjalan dengan cepat sampai tidak menyadari bahwa di depannya ada batu besar. Meira tersandung dan limbung jatuh mengenaskan, menangis disana.
"Kenapa nasib gue sial banget sih," lirih Meira. Ia sudah pusing dengan masalah keuangannya, tambah sial karena diintip cowok mesum dan sekarang jatuh tersandung batu.
Dia—Meira Amarissa—dikenal murid pandai oleh banyak orang. Berbadan kecil dan cukup cantik. Sayangnya tidak menarik perhatian. Introvert dan tidak memiliki satu teman pun karena tidak ada yang mau berteman dengannya. Ada beberapa orang di kelasnya yang mendekatinya. Namun, bukan untuk berteman, hanya untuk memanfaatkan saja. Dan bodohnya, Meira tidak tahu.
Dan ada apa dengan masalah keuangan? Meira adalah seorang anak piatu. Diasuh oleh ibu tiri yang sifatnya sebelas duabelas dengan ibu tiri Cinderella, dan kelakuan saudara tiri yang sebelas duabelasan dengan bawang merah.
Ayahnya memang menafkahi, tapi selalu diambil ibu tirinya—Santi. Untuk kepentingan pribadinya. Meira bekerja setelah pulang sekolah sebagai pelayan di salah satu restoran Jakarta. Restoran Allmood. Belajar setelah pulang kerja sampai larut malam. Belum lagi mengerjakan pekerjaan rumah yang menumpuk tak dijamah.
Meira meringis merasakan ngilu di dengkulnya, "Ck, kenapa berdarah, sih."
Meira hendak beranjak bangun. Namun, saat Meira hendak melakukannya, tangan seseorang menggantung di depannya. "Kenapa lo nabrak batu, sih. Batu nya dari dulu disitu keles." ejek Rega berkacak pinggang.
Dia—Rega—dengan sukarela meninggalkan tugas bersih-bersih kamar mandi dan menyusul gadis itu. Memang siapa sih yang mau bersih-bersih toilet?
Rega sedari tadi sudah melihat Meira tersandung batu, Meira yang menangis dan umpatan-umpatan gadis itu.
Meira buru-buru mengusap air matanya dan bukannya menerima uluran tangan Rega, Meira lebih memilih berdiri mandiri.
"Idih sombong banget lo jadi cewek,"
"Bodoamat!"
Katakanlah Meira itu sombong atau sebagainya, Meira masih sangat kesal kepada Rega karena sudah berani mengintipnya. Walaupun itu bukan salah Rega juga. Ini salahnya, ketika ia hendak mengambil fotokopi tugas yang tertinggal di loker, ia malah kebelet tepat di dekat toilet laki-laki. Mau tak mau, suka tak suka Meira lebih memilih kesana daripada harus berjuang keras menahannya dan mencari toilet perempuan yang lebih jauh jaraknya.
Meira berjalan pincang menghindari Rega dan bergegas keluar sekolah. Namun, betapa terkejutnya ketika tubuhnya melayang. Bukan terbang atau apa, Meira digendong seseorang dari belakang oleh Rega.
"Lo ngapain sih, turunin gue nggak!!"
"Lo pulang sama gue,"
"Nggak,"
"Kaki lo masih perih, 'kan? Ikut aja gratis kok. Ntar lain hari bayar ya!"
Meira mengiyakan dengan mudah. Entah setan apa yang merasukinya. Bagaimana bisa ia dengan mudah menuruti perkataan cowok tak dikenalnya? Mungkin efek habis nangis?
•••
"Si Rega bawa siapa tuh," refleks seluruh anggota geng brotherhood menoleh kearah orang yang diperbincangkan. Dengan Meira tanpa digendong ya, cewek itu memberontak dan Rega menurunkannya.
"Piu piu." Candra dan Bimo bersiul nyaring kepada Rega yang tidak pernah membawa cewek. Apalagi yang membuat terheran ialah ia membawa cewek yang sedang bonyok dengkulnya.
Saat ini Rega dan Meira berada di parkiran sekolah. Rega sudah menyangka bahwa teman-temannya itu tidak langsung pulang. Mereka tipikal orang yang stay nongkrong.
"Babu baru gue nih. Abis gue bonyokin,"
"Kejam iw Abang," sahut Rehan.
Meira yang mendengarnya hanya memutar bola mata, malas menyangkalnya. Masa ia harus bilang 'em tadi kesandung batu gara-gara diintip temen lo' tidak mungkin!
"Gue bawa sepeda," ucapnya tiba-tiba saat sudah berada diatas motor Rega.
Rega yang mendengarnya menoleh, lalu berkata pada Satya, "Sat, gue minta tolong ntar bawain sepeda cewek ini ke rumahnya, gue serlok."
Satya yang sedang menyimak perkataan teman-temannya menoleh, "Ogah,"
"Ntar gue pinjemin PS," rayu Rega.
"Oke," Rega cekikikan, aneh sekali si Satya ini. Mudah dirayu seperti anak kecil.
"Pegangan cil, bocil," ucapnya pada Meira. Entahlah, sepertinya panggilan bocil itu sangat cocok untuk Meira.
"Gak!" ucap Meira cuek.
"Duhh abang Rega romantis banget," kata Candra dengan muka tengilnya. Rega tidak menanggapi dan segera melajukan motornya keluar dari parkiran.
Awalnya memang pelan, namun semakin lama semakin ngegas. Rega ini memang tidak bisa santai ketika naik motor. Kurang greget, pikirnya. Meira tidak memprotes sama sekali. Malas berbicara dengan Rega. Lebih baik ia mempertahankan tubuhnya agar tidak limbung terjatuh.
"Kalo lo nggak mau pegangan, lo bakal jatuh mati, cil bocil,"
"Lo gak mungkin buat gue mati, lagian gue bisa pegangan ke jok belakang,"
Rega yang mendengarnya langsung melajukan motornya dengan ngebut. Meira tidak sempat berpegangan, kaget dan hampir terjatuh. Refleks ia memeluk Rega dari belakang.
"Dasar cowok gila!" omel Meira.
"Makanya pegangan oon, btw udah baper belom sama gue?" kata Rega cekikikan.
"Bukannya baper gue jadi ilfeel,"
"Berarti babang Rega ini harus berusaha lebih giat lagi untuk mendapatkan hati si bocil, dong. Ntar kalo udah dapet gue tinggalin, hahaha!" lawak Rega tertawa sendiri.
Meira lagi-lagi tidak menanggapi. Meira ingin melepaskan pelukannya. Namun, Rega menahan tangan Meira. "Gini aja, enak gue soalnya," Meira melotot mendengar perkataan santai Rega lalu menabrakkan kepalanya ke punggung lelaki itu, namun sialnya kekuatan Meira sama sekali tidak berpengaruh pada Rega.
"Idih cungkring kayak lo mau nyeruduk gue, ya? gamempan kali,"
Meira mendengus kesal. Kesal dengan sifat lelaki itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri ketika cowok di depannya ini berbicara lagi, ia tidak akan merespon.
Tak lama Rega berkata, "Oi bocil, rumah lo mana, ya? Kita dari tadi muter-muter kayak orang pacaran, lho!" ucapnya lalu mengencangkan volume suara.
"Goblok lo ya, sekarang baru tanya." hancur sudah perkataan Meira yang katanya tidak akan menjawab ketika cowok itu berbicara. Tapi kalau yang ini nggak dijawab kan bisa-bisa gue gak pulang!! batinnya.
•••
Setelah sampai di rumah Meira, rumah yang sangat kecil bagi Rega, Rega kaget. Ia kira Meira ini anak orang kaya karena ucapannya sangat pedas seolah ia punya kekuasaan, tapi ternyata tidak.
"Ternyata lo misqueen ya, cil. Tapi mulut lo pedes kayak yang punya jalan raya nenek lo ae,"
Meira tidak menanggapi, kembali berpegang teguh tidak menjawab perkataan Rega dan lebih memilih turun dari motor kebesaran Rega tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Oi bocil, bilang makasih kek udah gue anterin juga,"
"Males," Meira meraung kesal dalam hati, kenapa ia bisa keceplosan menjawab perkataan cowok itu.
Rega mendengus melihat kelakuan cewek judes ini. Kayaknya gue sedikit tertarik sama cewek dingin ini, tertarik menjahili lebih, pikirnya.
•••
Brotherhood (3)
Candra Arkana:
Yok ke club brother-brother semwa 19.01
Satya.Pram:
Hm 19.01
Bimowrdna:
Lagi bokek nih, @RegaskaViren jajanin ya:* 19.03
RegaskaViren:
Sa ae lo upil kudanil @Bimowrdna 19.04
RehanSaputra_:
Jangan ke club, ceue gue nanti marah:( 19.04
RegaskaViren:
Off ada bucin 19.05
Candra Arkana:
Off ada bucin(2) 19.06
RehanSaputra_:
Lo berdua gak kreatip:(19.06
Luthfisurya:
Futsal ajalah kita 19.08
Bimowrdna:
Gaskeun, kalo kesana gak bokek-bokek banget 19.09
RegaskaViren:
Se7. Udah gak sabar gue mau pamer skill 19.11
Satya.Pram:
Dih, bisa gol satu aja susah. Sok gaya
Read 41
•••
Rega segera bersiap menuju ke tempat langganan futsal mereka. Lelaki jangkung itu menutupi kaos hitam bertuliskan 'senggol bacok' dengan jaket bomber serta memakai celana pendek hitam dan topi putih. Rega memang suka warna hitam dan putih, warna yang klasik menurutnya. Kebanyakan kaos lelaki itu bewarna hitam dan putih, dengan tulisan tulisan yang berbeda saja.
Namun kenapa malah kamar cowok itu malah abu-abu? ini kelakuan mommy-nya yang tidak menanyakan pada Rega ingin warna apa, padahal mommy-nya tau anak sulungnya itu menyukai warna hitam dan putih.
"Ntar kalo warna hitam plus putih, kamarmu kayak poopnya cicak, Bang," itu yang dikatakan mommy tersayangnya.
"Mom,Rega pergi dulu ya, assalamualaikum." ucap Rega setelah keluar dari kamarnya, sambil mencium pipi Shinta, ibunya.
"Waalaikum salam," belum sempat bertanya anaknya mau pergi kemana, Rega sudah melengos pergi menjauh dari rumahnya.
"Bang Rega ganteng banget sih, anak siapa coba," gumam Shinta sembari tersenyum.
•••
Aku yang belum mandi
Allifna Latifatul Umami
Description: Regaska Virenda. Si sulung keluarga Virenda ini tidak bisa diam dalam keadaan apapun. Pembawaannya yang kelewat santai kadang membuat orang ingin membogemnya. Tidak ada kalem-kalemnya sama sekali, murah tertawa, dan penghibur yang baik adalah sedikit kata untuk mendeskripsikannya. Hingga sebuah kenyataan dimana ia tahu alasan dibalik perbedaan sifatnya yang cukup mengguncang dunianya.
|
Title: Reason
Category: Teenlit
Text:
01
Ken berjalan begitu riangnya.
Langkah santai dan senyuman lebarnya membawa Ken ke meja makan. Meja yang dua tahun terakhir hanya digunakan oleh Ken, Sein dan Cal. Itupun jika Cal datang
Tak lama kemudian Sein datang dengan seragam lengkapnya ikut duduk dan menyantap sandwich dihadapannya
"Kakak, ga bareng bang Cal kan pagi ini? Mau bareng Sein?"
Ken mengangguk. Mulutnya sedang penuh dengan nasi
"Seandainya kak Ai masih ada, mungkin kakak dapet mobil tahun ini"
Ken tersenyum masam. Ken tahu betul perasaan adiknya. Karena dia juga berpikir sama. Bukan! Bukan tentang Ken yang akan dapat mobil tahun ini, tapi tentang lengkapnya keluarga mereka disini. Ken tau jelas adiknya sedang memikirkan itu.
Menekan perasaan itu dia mencoba menghibur adiknya. Senyuman masam itu Ken tekan menjadi senyuman bodoh miliknya
Ken menunjuk Sein dengan sendok ditangan kanannya "Sok tahu"
"Kakak belum boleh dan ga bisa dan ga mau bawa mobil, adek sayang" lanjut Ken, sambil menekankan kata adik
Sein adalah satu satunya saudara yang Ken miliki sejak tragedi dua tahun lalu yang menewaskan kakak perempuannya. Mungkin Cal juga. Sebagai sahabatnya semenjak umur lima tahun Ken dan Cal cukup bisa dianggap saudara.
Orang tua Ken? Mereka ada
"Kak, makannya ga mau udahan?" Kata Sein tiba tiba.
Ken menggeleng, pura pura tidak peduli adiknya dan dirinya terlambat kesekolah
"Kakak lagi asik makan, bentaran dulu. Ini suapan ternikmat"
"Kakak!"
Selalu menyenangkan menggoda adiknya yang terlalu rajin ini
_______________________________
Ken mengacak rambut Sein gemas. Adiknya itu cemberut, kurang sepuluh menit lagi bel berbunyi. Dan Ken ngotot memberikan petuah yang tidak ada penting pentingnya
Anehnya Sein tetap saja menurut mendengarkan
"Inget, jadi orang jangan kerajinan. Orang rajin banyak musuhnya. Terus jangan lupa tidur dikelas sekali kali. Kamu harus ngerasain nikmatnya tidur dikelas pas guru lagi ngajar. Dan jangan lupa berdoa"
Sein hanya menatap kakaknya pasrah. Kakaknya memang aneh. Tapi entah bagaimana nilai ujiannya selalu sempurna.
Kenisha Kairan Atmidja
Nilai ujiannya memang selalu sempurna, kecuali untuk nilai kedisiplinan, karena dia kelewat santai
Bahkan saat tahu dirinya sudah terlambat, Ken masih saja santai melewati koridor lantai tiga.
"Weeeeee, selamat pagi semua, Ken sudah tiba, pagi anda cerah" Kata Ken setibanya dikelas, tanpa memperdulikan isi kelas yang sedang khusyu
Ken baru menyadari keadaan saat matanya bergulir mengecek tiap sudut kelasnya. Lalu dia nyengir dengan bodohnya. Melihat dipojok belakang kelas, wali kelasnya sedang melotot
"Eh, udah ada ibu" Sambut Ken masih dengan cengiran bodohnya.
"Saya ga telat kok bu, cuma ga cepet cepet masuk kelas aja"
Ibu Wiwis masih memandangnya, tapi sudah tidak melotot
"Lain kali jangan diulangi" Ken tersenyum sok arif, sok bersalah, dan memberikan tatapan terimakasih yang dibuat buat
"Sebagai hukumannya, kerjakan soal tugas 2 dibab 4" Ken hanya mengangguk. Masih dengan senyuman yang sama
Setelah dirasa bu wiwis selesai dengan ucapannya Ken melangkah, ingin duduk ke singgasananya. Tapi terhenti oleh ucapan bu wiwis. Suara bu Wiwis cukup menggelgar
"Mau kemana?"
"Duduk? Kan mau ngerjain bu?"
"Kerjakannya dilapangan"
"Sambil berdiri ya" Ibu Wiwis tersenyum arif, benar benar arif. Membuat Ken hanya mematung, otaknya sedang mencerna kejadian ini
Ah... Ken butuh aqua
________
Description: Alasan
Alasan bisa diartikan asas, dasar, hakikat. Juga bisa menjadi pembenaran, penguatan, keterangan akan tingkah laku seseorang.
Saat kalian lupa mengerjakan tugas, kalian akan berkata ini itu. Itu alasan
Saat kalian pulang telat, kalian akan bercerita kesana kemari. Itu alasan
Semua orang bisa beralasan.
Sangat mudah membuat alasan.
Tapi mengapa, sulit sekali bagi Ken untuk tahu alasan orang orang yang dia sayang perlahan seakan menghindarinya
|
Title: ROLLERCOASTER
Category: Fan Fiction
Text:
Satu
Love is a rollercoaster
Hingar bingar musik rock alternative itu memenuhi studio mini milik Nam Woo Hyun. Vokal Woohyun terdengar begitu kuat dan fasih menyanyikan lagu It’s My Life yang dipopulerkan oleh Bonjovi. Di belakang Woohyun berdiri Jang Dong Woo sang bassist sekaligus rapper dan backing vocal, tak kalah semangat mengelus bass. Paling belakang ada Amber Liu yang duduk dan semangat menabuh drum. Selangkah di depan Amber sang gitaris dari band Suri (Eagle) tak kalah antusias mengelus gitarnya, masih dengan wajah tertutup topi hoodie yang dikenakannya.
"Woo!!!" Dongwoo bertepuk tangan ketika latihan usai.
"Bagaimana?" Tanya Woohyun berharap ketiga rekannya memberi komentar tentang kualitas vokalnya hari ini.
"Kita? Bagus!" Jawab Amber singkat.
"Iya, untuk lagu ini saja, tapi tidak dengan lagu yang lain." Bantah Dongwoo.
"Eh? Itu kau! Rap-mu payah!" Olok Amber pada Dongwoo.
"Kau juga buruk! Tabuhan drum-mu sedikit melencong dari nada!" Balas Dongwoo.
Woohyun hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat tingkah dua rekannya yang jarang akur dalam kesehariannya itu.
"Woohyun-aa, kau kenapa?" Tanya Dongwoo ketika menyadari ekspresi kesal Woohyun.
Woohyun hanya tersenyum kecil menanggapinya. "Ya, kau mau ke mana?" saat pandangannya tertuju pada sang gitaris.
"Kau mau pergi sekarang?" sambung Dongwoo ikut memandang ke arah yang sama seperti pandangan Woohyun, begitu juga Amber.
Oh Yeon Ae sang gitaris hanya mengangguk kecil masih sibuk merapikan gitar akustiknya. Ia lalu membungkukkan badan dan segera beranjak dari hadapan ketiga rekannya.
"Ish! Dia itu! Selalu saja begitu! Lalu sebentar lagi, bodyguard-nya pasti akan datang menjemput, dan kita akan terlihat seperti orang dungu yang tak tahu menahu tentang Yeon Ae." cerocos Dongwoo panjang lebar. "Kapan gadis itu berubah?" tutupnya.
"Kau juga, kapan berubah?" Amber balik bertanya seraya menyangklet tas punggungnya. "Aku juga harus pergi! Bye all!" Amber pamit dan pergi.
"Tidak adakah wanita yang normal untuk kita?" Dongwoo menatap Woohyun yang segera mengangkat kedua bahunya.
"Annyeong..." tepat seperti perkiraan Dongwoo, selang 15 menit kemudian pemuda jangkung ini pun muncul. Lee Sung Yeol tersenyum manis. "Yeon Ae, apa dia masìh di sini?"
***
Infinite - Cover Girl
Oh Yeon Ae, siapa yang tak mengenalnya? Putri tunggal seorang psikiater terkenal Oh Hyun Joo. Tidak, Hyunjoo bukan hanya seorang psikiater tapi juga seorang pebisnis sukses. Pria tampan itu kerap kali diundang untuk menjadi motivator dan pembicara, bukan hanya di Korea tapi juga di Jepang dan Cina. Baru-baru ini Hyunjoo diundang ke Australia dan Inggris, bahkan kini ia sedang berada di Amerika.
Yeon Ae seorang yatim. Ibu Yeon Ae meninggal ketika melahirkannya. Hal ini tentu saja sempat membuat Yeon Ae merasa membenci dirinya sendiri, tapi beruntung ia memiliki Hyunjoo, sosok ayah yang bijaksana dan bersahaja.
Yeon Ae tentu tak tega melihat sang ayah kesepian, ia pernah meminta Hyunjoo untuk menikah lagi. Namun pria tampan itu menolak.
Bagaimana bisa aku mengkhianati cinta ibumu? Seorang wanita cantik yang telah memberikan hadiah terindah dalam hidup ayah, yaitu kau, Yeon Ae. Ibumu memang sudah meninggal dan tidak ada lagi didunia ini, tapi ibumu selalu hidup dalam hati ayah dan selalu hadir dalam mimpi-mimpi ayah. Tidak, ayah tidak kesepian karena ayah memiliki mu, begitu kata Hyunjoo.
Hal itu semakin membuat Yeon Ae merasa bangga memiliknya sebagai ayah. Akankah aku menemukan pria seperti ayah? Masih adakah pria seperti ayah yang Tuhan sisakan untukku? pertanyaan itu selalu muncul di sela doanya.
Meski putri tunggal seorang pengusaha kaya raya dan memiliki rumah mewah, Yeon Ae jarang sekali berada di rumahnya. Ia sering menginap di basecamp teater di kampusnya atau di apartemen sederhana milik Amber. Tak jarang ia juga menginap di studio mini milik Woohyun. Semua tempat yang berada di atas bumi dan di bawah langit adalah rumah Yeon Ae, begitu kata Yeon Ae.
Sang Ayah tak keberatan dengan kebiasaan putri semata wayangnya itu. Hyunjoo membebaskan Yeon Ae melakukan apa saja yang ia mau dan inginkan. Hyunjoo percaya seratus persen pada putri satu-satunya. Hyunjoo sadar, pasti belakangan ini Yeon Ae makin kesepian karena ia semakin sibuk di luar negeri.
Yeon Ae tak terlalu mempermasalahkan hal itu meski terkadang tak mampu ia pungkiri jika ia juga merasa kesepian. Tapi Yeon Ae berusaha menjalani hidupnya layaknya air mengalir.
***
"Kau sudah lama disini?" tanya pemuda yang kini sudah berdiri di hadapan Yeon Ae.
Yeon Ae menghentikan gerak tangannya yang sedari tadi asik menggenjreng gitar akustik kesayangannya. Ia mendongak dan tersenyum seraya melepas headphone yang bertengger di kepalanya dan menutup kedua telinganya.
"Huh! Sedikit terlambat, maaf." Ucap Kim Sung Kyu seraya duduk di samping Yeon Ae.
Yeon Ae mengabaikan permintaan maaf Sungkyu, sibuk mengacak isi tasnya membuat Sungkyu terfokus pada aktivitasnya itu.
Yeon Ae tersenyum manis lalu menyodorkan sebuah kotak bekal berwarna biru di tangannya pada Sungkyu. Sungkyu keheranan dan tak kunjung meraih kotak bekal itu. Yeon Ae menghela nafas lalu meletakkan kotak bekal di kursi taman, tepat di antara ia dan Sungkyu duduk.
Aku sengaja membuatnya untuk Oppa, kalau sudah kenyang simpan saja buat besok, bisa kan? Sungkyu tersenyum membaca pesan dari Yeon Ae yang baru saja masuk dalam ponselnya.
"Gomawo." bisik Sungkyu seraya mengelus lembut kepala Yeon Ae. Gadis itu pun tersenyum tulus dan mengganggukan kepala.
"Bagaimana hari ini? Latihanmu?" tanya Sungkyu sambil menggeser duduknya lebih dekat menghadap Yeon Ae.
Kim Sungkyu, sebulan ini Yeon Ae dekat dengannya. Pertama kali bertemu dengan Sungkyu, di kursi taman ini, tempat keduanya duduk. Malam itu, seperti biasa usai latihan Yeon Ae mampir untuk sekedar duduk sejenak di kursi taman favoritnya. Menurut cerita Sang Ayah, dulu beliau bertemu dengan mendiang ibu Yeon Ae adalah di kursi taman ini.
Yeon Ae tak mengharap kejadian yang sama akan ia alami, ia hanya terdiam, melamun membayangkan tentang pertemuan ayah dan mendiang ibunya di sini, tapi lebih sering ia duduk sambil menggenjreng gitar akustik kesayangannya. Awalnya hanya iseng namun lama-lama Yeon Ae jadi kecanduan. Sehari saja tak ke taman, seolah ada yang kurang dalam hidupnya.
Harusnya malam itu usai latihan Yeon Ae tak mampir ke taman, sudah terlalu larut. Tapi jika tak ke sana bisa-bisa tidurnya malam itu tak nyenyak. Yeon Ae mengerutkan dahi dan mengerucutkan bibir merahnya ketika sampai di tempat favoritnya dan mendapati seseorang telah menduduki singgasana kesayangannya.
Siapa orang itu? Bukankah selama ini jarang bahkan seperti tidak ada yang mau duduk di kursi yang letaknya di pinggiran taman ini? Tak mau menyerahkan tempat favoritnya begitu saja pada orang asing itu, Yeon Ae berjalan maju dan berhenti tepat di hadapan pemuda yang duduk membungkuk dan menutupi wajahnya itu.
Yeon Ae menghentak-hentakan kakinya berharap pemuda itu menyadari kehadirannya, tapi nihil. Pemuda itu tetap bergeming, tak sedikit pun merubah posisinya. Yeon Ae bersungut-sungut kesal dan langsung saja menggerakan tangan kanannya menepuk pundak pemuda itu. Mata Yeon Ae melebar ketika pemuda itu mengangkat wajah dan menatapnya.
Sungkyu sangat kaget, ketika tangan itu tiba-tiba mendarat di pundak kirinya. Betapa tidak, saat ia dengan khusyuknya menangis merutuki nasibnya yang sedang patah hati tiba-tiba saja ada seseorang menegurnya dengan menepuk pundaknya.
Sungkyu terperanjat kaget, siapa malam-malam begini masih berkeliaran di taman? Hantu? Mungkin preman. Tidak! Wajah Sungkyu kontan terasa panas ketika mengangkat kepala dan mendapati seorang gadis berwajah putih dengan bibir merah bak buah cherry sedang berdiri melotot kaget menatapnya.
Jelas saja gadis itu menunjukkan ekspresi wajar itu, yang tidak wajar adalah Sungkyu yang balas menatapnya dengan mata basah dipenuhi air mata. Mungkin wajahnya sudah semerah tomat masak, tapi Sungkyu tak bisa menarik wajahnya yang terlanjur malu itu.
Bukannya pergi, Yeon Ae malah duduk di ujung kanan kursi taman. Kenapa seorang pemuda menangis sendirian di pojokan taman? Apa dia baru saja dirampok? Yeon Ae terus mengamati pemuda itu tanpa sungkan dan ia merasa iba juga melihat pemuda yang menurutnya malang itu.
Layaknya adegan dalam beberapa film atau cerita romantis, Yeon Ae pun mengambil tisu dari dalam tasnya. Meskipun Yeon Ae tergolong gadis cuek dan cenderung tomboy, tapi ia masìh normal layaknya kebanyakan gadis yang tidak bisa pergi tanpa tisu dalam tasnya. Ragu-ragu Yeon Ae menyodorkan tisu di tangan kanannya ke arah pemuda yang duduk di samping kirinya.
Sungkyu terperanjat untuk kedua kalinya. Ia sibuk mengusap sisa air mata di wajahnya, tiba-tiba tangan itu terulur dengan membawa tissu. Sungkyu menatap gadis yang duduk di sebelah kanan agak jauh darinya. Gadis itu tersenyum, senyum yang manis, tanda benar-benar menawarkan tisu dengan tulus. Ragu-ragu Sungkyu menggerakan tangannya lalu meraih tisu dan mulai membersihkan wajahnya dari sisa air matanya.
Yeon Ae tersenyum lega. Ia kembali merogoh tasnya mencari sesuatu. Dapat! Ia menemukan permen karet yang biasa ia makan, lalu kembali menyodorkan tangan kanannya.
Sungkyu menghentikan aktivitasnya dan kembali menatap gadis yang kini tersenyum lebih lebar hingga deretan giginya yang putih dan rapi dapat terlihat jelas olehnya. Sungkyu menatap permen karet yang tertata di atas telapak tangan kanan gadis itu, lalu kembali menatap gadis itu.
Yeon Ae mengangguk memberi isyarat agar pemuda itu mengambil permen karet di tangannya, beberapa atau semuanya pun tak apa. Ia kembali tersenyum ketika pemuda itu mengambil dua buah permen karet dari tangannya.
Yeon Ae meletakkan sisa permen karet di tangannya di atas kursi taman, lalu tanpa sungkan ia mulai mengambil gitar akustik yang tersimpan rapi dalam tasnya. Yeon Ae memasang headset kemudian mulai menggenjreng gitar kesayangannya.
Sungkyu memperhatikan gadis itu, siapa dia? Malaikat yang dikirim Tuhan kah? Tanya di benaknya dan mulai larut menikmati alunan musik yang timbul dari genjrengan gitar gadis itu.
Dari pertemuan tak sengaja itulah pertemanan antara Sungkyu dan Yeon Ae dimulai. Malam itu Yeon Ae memainkan dua lagu dari gitarnya. Ia menatap langit sejenak lalu tersenyum sendiri kemudian mulai merapikan gitarnya. Sungkyu menduga gadis itu pasti bernasib sama dengannya karena lagu dan ekspresi wajah itu. Lalu apakah pertemuan ini hanya sekedar kebetulan?
"Tunggu!" tahan Sungkyu saat Yeon Ae berdiri dan berjalan selangkah. Sungkyu berdiri di hadapan Yeon Ae. "Kamsahamnida." Sungkyu membungkukkan badan di hadapan Yeon Ae. "Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman tapi tempat ini membuatku tenang, jadi bisakah kita berbagi?"
Harusnya Yeon Ae menjawab tidak bisa, tapi punya hak apa dia? Taman ini kan tempat umum? Yeon Ae tersenyum lalu mengangguk menyetujui permintaan Sungkyu.
Sungkyu tersenyum lega, ia senang gadis itu bersedia berbagi dengannya. "Kamsahamnida, jeongmal kamsahamnida." lagi-lagi Sungkyu membungkukkan badan di hadapan Yeon Ae. "Aku Kim Sungkyu." Sambungnya. "Senang bertemu dengan Nona dan sekali lagi terima kasih untuk semua."
Lagi-lagi Yeon Ae tersenyum dan mengangguk. Yeon Ae membungkuk sopan tanda pamit kemudian kembali berjalan pergi.
***
"Kenapa Ayah tetap memanasi mobil ini? Yeon Ae, maksudku Nona Besar tidak akan berangkat ke kampus dengan ini, dia akan lebih memilih bus kota." ocehan Sungyeol pagi ini sambil memperhatikan Paman Lee, ayah kandungnya yang terlihat sibuk memanasi mobil jaguar hitam milik Yeon Ae.
"Punya mobil sebagus ini tapi jarang sekali memakainya." Sungyeol mengelus mobil itu dengan pandangan 'sayang'. "Ya! Tunggu aku!" ia segera berlari kecil menyusul langkah Yeon Ae.
Sejak muda Paman Lee, ayah kandung Sungyeol sudah mengabdikan hidupnya bekerja pada keluarga Oh. Sungyeol bisa kuliah karena kemurahan hati Hyunjoo dan karena Sungyeol lahir dua bulan lebih dulu dari Yeon Ae. Hyunjoo pun menganggap pemuda itu seperti anaknya sendiri, kakak laki-laki bagi Yeon Ae. Yah, seperti dalam cerita kebanyakan bukan? Sikap yang merasa bahwa ia adalah kakak laki-laki Yeon Ae terkadang membuat Sungyeol over protected pada Yeon Ae. Inilah alasan kenapa Dongwoo selalu menyebutnya bodyguard.
"Eh, kau!" meski tiap pagi melihat pemuda ini tapi Sungyeol tak pernah lupa mengucap kata itu setiap kali melihat pemuda yang berdiri di depan gerbang.
Seperti biasa pula, pemuda ini tak akan menggubris Sungyeol dan hanya akan tersenyum menyambut Yeon Ae. Tentu saja Sungyeol tak pantas merasa iri pada Tuan Putri Yeon Ae yang memang pantas menerima perlakuan seperti itu dari siapa saja terlebih dari pemuda ini.
"Selamat pagi!" sapa Kim Myungsoo pada Yeon Ae. Tatapannya lurus terfokus pada gadis itu meskipun jelas terlihat ada pemuda jangkung yang tak lain adalah Sungyeol di samping kiri Yeon Ae.
Meskipun setiap hari mendapatkan perlakuan seperti itu, tetap saja Sungyeol merasa kesal. Kenapa ia tak terbiasa juga?
Kim Myung Soo, ia hanya pendatang dalam hidup Yeon Ae dan Sungyeol. Keluarga Kim pindah ke komplek ini ketika Myungsoo berumur 5 tahun dan itu pertama kalinya Myungsoo bertemu Yeon Ae juga Sungyeol kecil.
Myungsoo–pemuda menyebalkan, menurut Sungyeol begitu–teramat menyebalkan. Myungsoo - Yeon Ae - Sungyeol bertetangga sejak Myungsoo berumur 5 tahun. Ketiganya tumbuh bersama sejak saat itu, tapi sejak saat itu juga Myungsoo tak pernah menganggap Sungyeol ada.
Dunia ini hanya milik Pangeran Myungsoo dan Putri Yeon Ae selalu itu yang Myungsoo katakan jika Sungyeol melayangkan protes tentang keberadaan dirinya yang menyedihkan karena tak diakui oleh Myungsoo.
Myungsoo adalah putra tunggal Keluarga Kim yang juga kaya raya. Sah saja jika ia menyebut dirinya sendiri 'pangeran' dan Yeon Ae adalah 'putri'. Tapi adilkah semua itu untuk Sungyeol yang berarti mendapat gelar 'pelayan' atau 'pengawal'? Tapi bagi Yeon Ae, Sungyeol tetaplah 'kakak laki-lakinya' tak peduli anggapan orang lain apa dan hal inilah yang menguatkan Sungyeol untuk tetap bertahan di samping Yeon Ae, di antara Yeon Ae dan pangeran menyebalkan Myungsoo.
Infinite - Amazing
Suasana kampus selalu saja seperti ini setiap harinya, ramai. Seluruh penghuninya seolah tak pernah kehabisan energi untuk membuat kegaduhan. Trio Myungsoo, Yeon Ae, Sungyeol berjalan beriringan memasuki area kampus setelah 10 menit berjalan dari jalan utama tempat bus berhenti. Ketiganya, seperti dikomando, kompak menghentikan langkah dan menatap lapangan basket. Lee Sung Jeong duduk di tribun penonton segera melambai antusias pada ketiganya.
Yeon Ae melempar pandangan ke arah lapangan basket. Ada Woohyun, Amber, dan Dongwoo sedang bertanding 3 on 3 melawan trio Minho, Minhyuk dan Howon. Yeon Ae mengerutkan keningnya ketika tatapannya tertuju pada Howon -Lee Ho Won- yang menyadari kehadirannya. Bukan tanpa alasan jika Yeon Ae menjadi kesal pada Howon. Howon akan menjadi super duper overacting tiap kali ada Yeon Ae, tak peduli di mana pun itu.
Howon yang tak lain adalah teman Yeon Ae semasa TK. Ia memang menyukai Yeon Ae, tapi Yeon Ae sepertinya tak menyimpan rasa yang sama. Cinta bertepuk sebelah tangan yang tak membuat Howon patah arang. Kemana pun Yeon Ae pergi, Howon berusaha ada dis ana, di tempat yang sama dengan Yeon Ae. Ia tak peduli jika Yeon Ae mengabaikannya karena ia yakin suatu saat Yeon Ae pasti akan memperhatikan dan membalas cintanya meski ia sendiri tak tahu kapan hal itu akan terjadi. Menunggu keajaiban, begitu menurut Amber dan Dongwoo.
Yeon Ae menggelengkan kepala melihat tingkah Howon kemudian kembali berjalan menuju kelas diikuti Myungsoo dan Sungyeol.
Seperti inilah posisi duduk Yeon Ae di dalam kelas setiap harinya. Ia akan berada ditengah-tengah di kelilingi keempat penjaga mata angin. Tepat di depan Yeon Ae duduk si Macan Putih Dongwoo. Tepat di belakang Yeon Ae duduk si Kura-kura hitam Sungyeol. Tepat di samping kanan Yeon Ae si Naga Biru Myungsoo dan tepat di samping kiri Yeon Ae, si Burung Merah Woohyun. Sungjeong si Ular Putih duduk di samping kanan Sungyeol mendampingi si Kura-kura Hitam. Lalu Amber Si Naga Emas duduk tepat di hadapan Woohyun mendampingi Dongwoo. Amber sangat benci pada Myungsoo, senada dengan Sungyeol, ia menolak jika harus duduk satu garis lurus dengan Myungsoo.
Tidak ada ruang bagi Howon untuk bisa duduk lebih dekat pada Yeon Ae. Meski tak meminta perlindungan seperti ini, semua paham apa yang dibutuhkan Yeon Ae dan terciptalah susunan itu. Howon mau tidak mau harus puas duduk di kursi paling depan dekat pintu. Dari sana ia bisa sesekali menoleh untuk menatap wajah Yeon Ae dan hal ini tak jarang membuat Howon mendapat hadiah 'penghapus melayang' dari dosen pengajar.
Oh, Howon yang malang. Padahal Yeon Ae yang selalu kau pandang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk tidur di dalam kelas daripada mengangkat kepala memperhatikan dosen pengajar.
***
Sore ini usai jam kuliah, semua peserta teater berkumpul di gedung teater. Park Ga Hee sang pembina teater sibuk berjalan pelan ke kanan, balik ke kiri, ke kanan lagi, terus berulang-ulang sambil mengelus-elus dagunya sendiri. Setengah jam yang lalu ia memasuki gedung teater dengan wajah frustasi.
Keributan terjadi di lapangan basket, semua panik ketika Sungjeong terjatuh saat iseng ikut main basket. Dari semuanya tentu saja Gahee yang paling pusing, kenapa? Sungjeong adalah aktor utama pria dalam pertunjukan kali ini dan karena kebodohannya–menurut Gahee begitu, Sungjeong membuat dirinya sendiri cidera. Cidera yang lumayan parah hingga membuat Sungjeong harus istirahat total. Artinya Sungjeong tidak akan bisa menari dan ikut andil dalam pertunjukan kali ini.
Bagaimana ini? Sungjeong adalah pemeran utama pria dan ulang tahun kampus sudah di depan mata, wajar jika Gahee jadi frustasi karena insiden itu. Gahee berpikir, memutar otak mencari pengganti Sungjeong untuk menjadi pemeran utama pria dari naskah drama yang ditulis oleh Sungyeol.
Sungyeol? Gahee menghentikan langkahnya. Ah tidak! Sungyeol bukan anak teater. Gahee juga tak pernah tahu kemampuan akting pemuda jangkung itu.
Eh? Sungyeol bukan anak teater tapi bagaimana bisa ia menjadi penulis naskah drama untuk anak-anak teater? Itu hanya kebetulan saja. Waktu itu Gahee membaca cerita unik ini dalam blog pribadi Sungyeol. Gahee tertarik dan tanpa berbelit-belit lagi langsung mengajak Sungyeol bekerja sama untuk menulis naskah drama dan serius akan mementaskannya pada ulang tahun kampus tahun ini. Gahee yakin akan sukses tapi Sungjeong, akankah ia mengacaukan harapan Gahee ini?
Yeon Ae, bola matanya bergerak mengikuti gerak tubuh Gahee. Apa dia tidak pusing dibuatnya? Bisa-bisa Yeon Ae terhipnotis, tapi untung saja tidak. Ia duduk bersila di lantai panggung dengan headphone yang masih bertengger indah di kepalanya menutup kedua telinga Yeon Ae. Headphone murah berwarna putih dengan aksen tengkorak hitam yang tersambung pada mp4 di saku jaket Yeon Ae.
Kenapa ia tetap memakai headphone seperti itu? Bukankah mp4 di sakunya mati karena kehabisan baterai? Yeon Ae tetap saja bersikap seolah-olah ia benar mendengarkan musik, toh tidak ada yang tahu jika mp4 di sakunya mati.
Ekspresi Yeon Ae masam, ia menekuk wajah ayu-nya dan memanyunkan bibir merahnya. Yeon Ae adalah pemeran utama wanita dalam pertunjukan kali ini. Ini bukan pertama kalinya baginya. Lalu, kenapa ia murung? Ancaman! Ini gawat! Sungjeong sudah dipastikan mundur, artinya akan ada pria yang menggantikan Sungjeong.
Yeon Ae paham saat ini Gahee serius memikirkan hal itu, mencari pria pengganti Sungjeong. Yeon Ae mulai mengedarkan pandangannya mengamati pria-pria dalam gedung teater yang mungkin saja dipilih Gahee untuk menggantikan Sungjeong. Semua terlihat sibuk, sama sekali tak menghiraukan betapa pusingnya Gahee dan betapa galaunya Yeon Ae.
Pertama, tatapan Yeon Ae tertuju pada Yang Yo Seob yang sibuk menghafal gerak tarian dalam drama. Tahun lalu Yeon Ae beradu akting dengannya. Apakah Gahee akan memilih pemuda ini lagi? Tidak mungkin sepertinya, karena waktu itu Gahee mengungkapkan jika ia kecewa pada kualitas akting Yoseob. Jadi tidak mungkin jika kali ini Gahee kembali memilih Yoseob.
Yeon Ae menggelengkan kepalanya dan beralìh pada kerumunan empat pemuda yang terlihat sibuk berdiskusi atau menghafal dialog atau mungkin ngobrol. Entahlah! Yeon Ae juga tak paham. Kuartet Lee, Lee Jinki (Onew), Lee Junho, Lee Jaejin dan Lee Jonghyun. Tidak mungkin Gahee memilih kuartet penggembira itu. Melirik saja tidak mungkin apalagi memilih mereka, mustahil dan menunggu keajaiban jika itu terjadi. Mana mau Gahee mengambil resiko dengan memilih empat pemuda itu.
Lagi-lagi Yeon Ae menggelengkan kepala. Siapa lagi yang mungkin masuk pertimbangan Gahee? Yeon Ae kembali mengedarkan pandangannya dan terhenti pada Howon. Sepertinya dia kandidat kuat dan pasti masuk perhitungan Gahee. Yeon Ae mengerutkan kening mengamati Howon.
Apa yang ia lakukan? Howon duduk di pojok panggung, tangannya terangkat ke udara. Howon tampak khusyuk berdoa, entah memohon apa kepada Tuhan, tapi yang paling mungkin adalah memohon terpilih menjadi pengganti Sungjeong. Ini kesempatan besar baginya untuk bisa lebih dekat dengan Yeon Ae.
Tidak! Yeon Ae berbisik dalam hatinya memohon pada Tuhan agar bukan Howon yang terpilih. Jika itu terjadi, habislah Yeon Ae. Seketika itu Howon membuka mata dan mendapati Yeon Ae tengah lurus menatapnya.
Howon langsung mengembangkan senyum terbaiknya menyapa Yeon Ae. Yeon Ae langsung menundukkan kepala lalu kembali membaca naskah di pangkuannya. Howon tetap saja sumringah merasa percaya diri jika Tuhan mendengar doanya. Menurutnya hal itu telah terbukti karena Yeon Ae serius menatapnya beberapa menit yang lalu.
"Yah!" Gahee melakukan petik jari. Sepertinya ia telah mendapatkan petunjuk usai mondar-mandir tadi. "Myungsoo! Kau, Kim Myungsoo!" teriaknya lantang seraya menuding Myungsoo yang duduk di samping Yeon Ae.
Suasana jadi hening, waktu seolah terhenti sejenak dan semua mata di gedung teater terfokus pada Kim Myungsoo. Myungsoo yang tadinya asik memainkan game di ponselnya, kini sama seperti yang lain, beku. Bedanya jika yang lain beku menatapnya, Myungsoo beku menatap Gahee. Sepertinya hanya Yeon Ae yang tak terkena imbas sihir Gahee. Ia pun segera menyikut Myungsoo agar pemuda itu tersadar.
"Nn...nee??" ucap Myungsoo terbata.
Gahee terlihat amat sangat berbinar menatap Myungsoo membuat semua penasaran akan apa yang akan dikatakan Gahee selanjutnya.
Suasana gedung teater kembali gaduh karena semua mulai kembali latihan. Gahee berjalan keluar meninggalkan gedung teater dengan wajah sumringah dan senyum puas.
Howon masih melongo, terpaku tak percaya pada pengumuman yang baru saja disampaikan Gahee.
Myungsoo diam sesekali melirik Yeon Ae yang tampak biasa saja duduk di sampingnya. Gadis ini benar-benar tanpa ekspresi tetap saja datar seperti itu.
"Noona! Noona!" Howon berlari mengejar langkah Gahee yang lumayan cepat.
Gahee langsung pergi begitu saja usai mengumumkan jika Myungsoo adalah pengganti Sungjeong tanpa mau mendengar jawaban Myungsoo atau protes dari peserta lain. Gahee tak mau bertahan untuk itu semua, karena itu ia memilih buru-buru pergi.
"Ada apa lagi?" tanya Gahee dengan wajah antipati menyambut Howon yang sudah berdiri di hadapannya.
Howon diam menatap Gahee seraya mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Gahee dengan setia menunggu, tapi masih menunjukkan wajah antipati.
"Tidak, tidak ada." jawab Howon setelah nafasnya kembali normal.
Mata Gahee membulat lebar tanda kesal dan Howon tersenyum meringis menanggapinya.
"Kau ini! Membuang waktu saja!" cerca Gahee seraya berkacak pinggang. "Cepat kembali dan latihan! Aku akan memastikan pada panitia bahwa kita baik-baik saja dan pertunjukkan pasti akan tetap ditampilkan!"
"Iya, iya Noona! Maaf telah menyita waktu Noona." Howon membungkuk di hadapan Gahee.
Wanita cantik itu pun mengangguk dan kembali berjalan pergi. Howon menghela nafas panjang menatap punggung Gahee penuh sesal.
"Noona, kenapa Myungsoo? Kenapa Myungsoo? Kenapa... kenapa bukan aku?" Howon sedikit berbisik menyebut kata 'aku'.
Howon tidak hanya pandai menari tapi juga memiliki kemampuan akting bagus. Tapi jika Gahee memilihnya itu sama saja bunuh diri. Daripada kehilangan dua pemeran utama, Gahee mengambil jalan pintas dengan memilih Myungsoo. Myungsoo dan Yeon Ae adalah teman dekat, jadi Gahee merasa pilihannya tepat. Tapi bukankah ini pemaksaan?
***
Infinite - Cover Girl
Myungsoo, Yeon Ae, dan tiga orang lainnya mendapat tugas piket membersihkan gedung teater. Usai latihan, kelimanya tetap tinggal dan membersihkan markas besar mereka itu.
Yeon Ae tetap saja memakai headphone-nya meski jelas-jelas mp4 di sakunya telah wafat. Ia terlihat seolah benar mendengarkan musik sambil mengepel lantai panggung. Terlihat nyaman sekali mengepel lantai dengan gaya seperti itu.
Myungsoo juga melakukan hal yang sama, mengepel lantai tapi tanpa headphone di kepalanya. Myungsoo mengepel lantai bawah tepat di depan panggung. Gerakannya lebih lambat dari Yeon Ae. Bukan karena malas, tapi sesekali ia berhenti mengepel lantai dan menatap Yeon Ae.
Myungsoo melakukannya lagi dan lagi, usai menatap Yeon Ae, ia pasti tersenyum sendiri lalu menggelengkan kepala kemudian mulai mengepel lagi. Ia benar-benar berhenti memeluk gagang alat pel melihat Yeon Ae mengepel lantai sambil menggoyangkan badannya menghafal gerak tarian.
"Huh! Hampir saja!" Sungyeol menatap kesal Myungsoo yang hampir saja menabraknya ketika ia memasuki gedung teater.
Myungsoo tersenyum lebar. "Sungyeol, kau mencari Yeon Ae?" sapanya ramah.
Sungyeol menatap heran Myungsoo. Apa yang terjadi pada Pangeran Menyebalkan ini? tanya di benak Sungyeol.
Myungsoo meletakkan alat kebersihan yang dan kaleng yang ia bawa di kedua tangannya. Tiba-tiba saja Myungsoo memeluk erat Sungyeol. "Sungyeol-aa, gomawo!" bisiknya.
"Aaa...!!!" Sungyeol mendorong tubuh Myungsoo hingga pelukannya lepas. "Kau ini kenapa sih?! Apa kau kesurupan?!" Sungyeol bersungut-sungut mengebaskan tangan membersihkan bajunya dari 'sisa pelukan Myungsoo'. Tidak heran jika Sungyeol bersikap seperti itu, bukankah selama ini Myungsoo selalu menganggapnya tidak ada?
"Kau ini." Myungsoo masih tersenyum berbinar-binar seraya menepuk lengan Sungyeol. "Memangnya aku kenapa?"
"Ish!" Sungyeol menarik tubuhnya agak menjauh. "Aku tidak tahu kau kenapa, mungkin saja kau kesurupan di dalam sana!" Sungyeol mengarahkan pandangannya ke dalam gedung teater. "Tempat ini kan angker." Tambahnya merasa ngeri.
"Hahaha." Tawa Myungsoo pecah melihat Sungyeol. "Kau itu, lucu, lucu sekali! Yeon Ae sudah menghilang 10 menit yang lalu. Tunggu ya, kita pulang bersama, jangan kemana-mana! Tunggu aku di sini, oke!" Myungsoo kembali memungut alat kebersihan dan kaleng yang tadi sempat ia letakkan dan bergegas pergi.
"Dia itu kenapa?" tanya Sungyeol masih dengan wajah keheranan.
***
Sungkyu tersenyum melihat Yeon Ae duduk melamun memeluk gitar akustik kesayangannya. Sungkyu berjalan mendekat dan berhenti tepat di hadapan Yeon Ae, tapi gadis itu tetap bergeming tak menyadari kehadirannya. Sungkyu tertawa kecil lalu membungkuk, mendekatkan wajahnya menatap tatapan kosong Yeon Ae. Sungkyu tersenyum menggelengkan kepala karena Yeon Ae tak kunjung sadar dari lamunannya.
"Huft!" sengaja Sungkyu meniup wajah Yeon Ae.
Yeon Ae tersentak, matanya melebar mendapati Sungkyu begitu dekat di hadapannya. Sungkyu tersenyum lebar melihat reaksi Yeon Ae. Wajah putih gadis cantik itu langsung bersemu merah dibuatnya.
"Kenapa tidak memainkannya?" gerak kepala Sungkyu menunjuk gitar dalam pelukan Yeon Ae.
Yeon Ae menggerakkan tangan kanannya menepuk kursi taman, mempersilahkan Sungkyu duduk. Pemuda itu pun menurut dan segera duduk di samping kanan Yeon Ae.
"Melamun, heran sekali melihatmu begini. Ini pertama kalinya aku melihatmu seperti itu. Apa tentang pertunjukan itu?" Sungkyu menoleh menatap Yeon Ae. Gadis itu cemberut dan mengetik sesuatu pada ponselnya.
Oppa! Jangan membuatku makin kesal! Bukankah tadi aku sudah menjelaskan semuanya? Ini benar membebaniku. Sungkyu tersenyum kecil membaca pesan dari Yeon Ae.
"Ternyata gadis ini bisa juga merasa terbebani?" goda Sungkyu membuat Yeon Ae semakin cemberut. "Kekeke. Maaf, maaf." Sungkyu terkekeh .”Lalu bagaimana?"
Bagaimana?
"Kau bilang hanya kau gadis yang bisa bermain gitar, eum ada tapi kau dinilai paling mahir, bukankah pilihannya tepat? Eum... menurutku memang ini jalan tengah terbaik, aku rasa pembina teater paham apa yang kau butuhkan. Atau kau punya kandidat lain? Kau bisa menyampaikannya bukan?"
Yeon Ae berpikir sejenak. Wajah rekan-rekan lelaki di teater muncul satu per satu di benaknya dan di tutup oleh Howon. Yeon Ae segera menggeleng antusias mengusir gambaran wajah Howon di benaknya.
"Kenapa? Tidak ada? Apa yang membuatmu merasa terbebani? Kau dekat dengan patnermu kini sejak kalian berumur 5 tahun, apa masalahnya? Aku yakin kau bisa membimbingnya dan membuat pertunjukan ini sukses. Yeon Ae-aa hwaiting!" Sungkyu mengangkat tangan membuat Yeon Ae tertawa geli. Sungkyu tersenyum lega melihat gadis di hadapannya kembali ceria.
"Oya, aku ingin mengembalikan ini." Sungkyu mengambil kotak bekal milik Yeon Ae dari dalam tasnya dan menyodorkannya.
Tanpa sungkan Yeon Ae meraih kotak bekal itu. Ada isinya?
Sungkyu tersenyum tersipu. "Aku sengaja membuatnya untukmu, maaf jika nanti rasanya tidak enak." jelasnya malu-malu.
Yeon Ae tersenyum manis. Kamsahamnida, Oppa. ia menggerakan tangannya.
Sungkyu membalas senyum sambil manggut-manggut. "Oya, Yeon Ae, bolehkah aku meminta bantuanmu?"
Yeon Ae berjalan pelan sambil menenteng tas gitar di tangan kanannya. Ia memikirkan sesuatu hingga tak menyadari keberadaan Myungsoo yang menunggunya. Myungsoo berdiri di depan gerbang rumahnya sendiri yang terletak tepat di sebelah kanan rumah Yeon Ae.
"Yeon Ae-aa." sapa Myungsoo, menyadarkan Yeon Ae dari lamunan.
Kau? Menungguku? ucap Yeon Ae tanpa suara.
"Nee. Apa aku mengganggu? Aku butuh bantuanmu," Myungsoo menunjukkan naskah di tangannya.
Nee, kaja! Yeon Ae memimpin Myungsoo masuk ke dalam rumahnya.
Sungyeol membawa minuman kaleng dan makanan ringan lalu menyusul Myungsoo dan Yeon Ae yang berlatih di lapangan basket indoor milik Yeon Ae. Sungyeol duduk di lantai memperhatikan Myungsoo dan Yeon Ae yang tengah sibuk berlatih.
"Apa menurut kalian mereka itu pasangan yang serasi? Aku... tidak, ya menurutku tidak. Yeon Ae adalah adikku, Ayah, dan Ayah Angkat memposisikan kami seperti ini." Sungyeol mengoceh sendiri.
Hey, Sungyeol! Apa kau juga menyukai gadis itu?
Sungyeol tersenyum manis. "Yeon Ae? Aku menyukainya lebih dari siapapun. Oh bukan! Aku menyayanginya lebih dari siapapun.Yeon Ae, dia itu milikku." sedikit berbisik.
Milikmu? Hey, kau ingin membuat cerita berubah? Tidak, itu tidak boleh!
"Dia milikku karena dia adikku, kau paham tidak?" Sungyeol mulai kesal.
Oke, paham! Syukurlah jika begitu adanya.
Sungyeol manggut-manggut. "Aku penasaran bagaimana kelanjutannya..."
Kelanjutannya?
***
Dua
Sungkyu tersenyum bangga memamerkan foto gadis di ponselnya. Kim Kibum -Key SHINee- meraih ponsel itu dan mengamatinya dengan seksama. Di putarnya ponsel itu dalam berbagai posisi agar lebih nyaman ia mengamati foto gadis yang selalu diceritakan Sungkyu kakak sepupunya itu.
"Yah, lumayan." komentar Kibum seraya mengembalikan ponsel Sungkyu usai sekitar 5 menit mengotak-atiknya.
"Lumanyan?!!" Sungkyu terdengar tak terima seraya melotot pada Kibum. "Jika kau bertemu langsung dengannya, aku yakin kau akan berkata lain!"
"Hmm, dia mirip mantanku!"
"Mwo?? Mantan?? Ish! Kapan kau pernah pacaran?! Setahuku kau selalu ditolak jika menyatakan cintamu pada seorang gadis, benar kan?"
Kibum menyincingkan bibir tipisnya. "Tapi aku tidak sampai menangis karena hal itu! Aku masih 'laki-laki' dibandingkan Hyung!" balasnya mengolok Sungkyu.
"Ish! Lelaki menangis itu masih manusiawi!"
"Karena patah hati? Yayaya..." Kibum manggut-manggut dan Sungkyu makin sewot merasa terhina. "Hyung mulai suka pada gadis itu?"
"Mwo?? Aaa..." Sungkyu kelincutan dengan wajah bersemu merah. Ia menggaruk kepalanya dan menghindari kontak mata dengan Kibum.
"Tak apalah, itu sudah cukup kok!"
"Eh?? Sudah cukup??"
"Satu bulan, eum hampir dua bulan benar tidak?" tanya Kibum dan Sungkyu mengangguk mengiyakan. "Hanya butuh 21 hari untuk berubah, untuk belajar menyukai atau membenci sesuatu. Jadi, aku rasa waktu yang Hyung lewati bersama gadis itu sudah cukup. Jadi Hyung bisa melanjutkannya! Berjuanglah Hyung, hwaiting!" Kibum menyemangati.
"Oh…" wajah Sungkyu kembali bersemu merah.
"Oya, apa Hyung serius akan menghadiri pesta pernikahan Kim Yoojin?"
"Itu....." Ekspresi Sungkyu berubah muram mendengar nama Kim Yoojin (UEE After School) mantan kekasihnya disebu.
***
* After School Blue - Wonder Boy *
Yeon Ae menari bersama tiga orang gadis cantik lainnya dan enam pemuda tampan, rekannya dalam teater diiringi alunan musik After School-Wonder Boy. Sungjeong duduk di barisan nomer tiga tribun penonton. Senyum terkembang di wajah Sungjeong yang terlihat begitu menikmati jalannya latihan sore itu. Sungyeol baru saja memasuki gedung teater. Ia mengedarkan pandangannya dan tersenyum lebar mendapati Sungjeong. Sungyeol pun bergegas menghampiri Sungjeong.
"Kau tidak menyesal?" tanya Sungyeol seraya duduk dan menepuk paha kiri Sungjeong.
"Tidak!" jawab Sungjeong singkat tanpa mengalihkan pandangannya.
"Jadi kau setuju pada peran penggantimu?"
"Myungsoo?? Dia bagus, dance dan aktinya bagus, suaranya juga bagus."
"Kenapa bukan Howon?"
Secepat kilat Sungjeong menoleh ke arah kiri, menatap tajam Sungyeol. "Kenapa bukan Howon? Oke! Howon memang sempurna! The Dancing King! Suara dan aktingnya juga sempurna. Tapi, apa kau tidak tahu bagaimana Howon dan Yeon Ae?!"
"Tahu! Aku tahu lebih dari yang kalian tahu!" jawab Sungyeol enteng dengan ekspresi innocent-nya.
"Ck! Kau itu bodoh apa dungu?! Jika Gahee Noona memilih Howon tidak menutup kemungkinan Yeon Ae akan mundur! Daripada kehilangan dua pemeran utama jadi Gahee Noona mengambil jalan ini!"
"Wah..." Sungyeol menepuk bahu Sungjeong, "kau pintar sekali! Aku jadi begini kacau karena ini karya pertamaku yang terpilih secara tidak sengaja hehehe..."
"Yeon Ae-aa!" Howon menghadang langkah Yeon Ae.
Mata Yeon Ae membulat karena ia kaget mendapati Howon sudah mencegatnya.
"Bisakah kita mengakhiri ini semua? Aku lelah karena kau terus menghindariku seperti ini."
Yeon Ae selangkah mundur dan menatap was-was Howon. Kau keterlaluan! Aku tidak suka! kata Yeon Ae tanpa suara.
Howon berkacak pinggang menatap Yeon Ae.
Itu sama saja melukai dan mempermalukan dirimu sendiri, aku tidak suka! Bukankah ada banyak gadis yang mengejarmu?
"Aku hanya ingin kau, Yeon Ae," kata Howon seraya menatap lembut Yeon Ae. "Apa salah jika aku menyukaimu?"
Yeon Ae menghela nafas dan melipat tangan.
"Aku hanya ingin kau yang menjadi kekasihku." Howon mempertahankan pendapatnya.
Yeon Ae diam melipat tangan, tak menggerakkan bibir atau tangannya.
Howon menarik tangan Yeon Ae, ketika gadis itu hendak pergi. Howon memegang erat tangan Yeon Ae menahan langkah gadis itu.
Yeon Ae mulai berontak. Ia menggerakan tangannya mencoba lepas dari cengkraman Howon. Yeon Ae meringis kesakitan karena genggaman tangan Howon makin kuat.
"Ya!" teriak Myungsoo yang kemudian berlari mendekati Howon dan Yeon Ae.
"Apa ini!" Myungsoo menarik Yeon Ae dan membawa gadis itu berada jarak aman di belakangnya. Terlihat jelas jika Myungsoo marah pada Howon.
"Apa yang kau lakukan pada Yeon Ae?!" tanya Myungsoo lagi.
"Aku akan menjelaskannya nanti." jawab Howon kemudian pergi.
Myungsoo berhenti menatap punggung Howon yang berjalan makin jauh. "Kau tidak apa-apa?" tanya Myungsoo yang kini telah berbalik menghadap Yeon Ae.
Yeon Ae masih mengelus pergelangan tangan kirinya dan menggeleng menenangkan Myungsoo yang beralih mengamati tangannya.
Semua terlihat biasa saat Myungsoo dan Yeon Ae kembali ke gedung teater. Keduanya sama-sama mengedarkan pandangan mencari sosok Howon, tapi sepertinya pemuda itu tidak ada.
Yeon Ae menatap ke arah Sungjeong dan Sungyeol. Ia kemudian menepuk lengan Myungsoo dan menunjuk dua pemuda yang sedang duduk di barisan nomer tiga tribun penonton. Myungsoo tersenyum dan mengangguk lalu menggandeng tangan Yeon Ae, mengajak gadis itu menghampiri Sungjeong dan Sungyeol.
Sungyeol menghentikan tawanya ketika Myungsoo datang bergabung. Pandangan Sungyeol turun menatap tangan Myungsoo yang masih menggandeng tangan Yeon Ae.
Yeon Ae duduk di samping kiri Sungyeol dan memasang headset yang menghubungkan ke ponselnya untuk mendengarkan musik. 3 menit kemudian lampu di dalam gedung teater padam. Yeon Ae yang notabene takut gelap sontak memeluk erat lengan Sungyeol yang duduk di samping kanannya. Myungsoo pun berusaha menenangkan Yeon Ae.
***
BUK! Yeon Ae kembali melayangkan pukulan pada lengan Sungkyu yang tak henti-henti menertawakannya.
Yeon Ae melipat tangan dan mengerucutkan bibir tipisnya. Bukan berhenti tertawa, Sungkyu malah makin menggila. Yeon Ae mendengus kesal menanggapi sikap pemuda yang duduk di samping kanannya itu.
Oppa mau tertawa terus seperti itu? Isi pesan yang dikirim Yeon Ae.
"Maaf..." kata Sungkyu sambil berusaha menghentikan tawanya. "Aku tidak bisa mehanannya lagi usai membaca pesanmu. Aigo... Yeon Ae, bagaimana bisa kau punya khayalan seperti itu? Heum? Itu... itu aneh, sangat film sekali!”
Yeon Ae menatap kesal pada Sungkyu kemudian kembali mengetik pesan. Adegan dalam film itu ada karena pernah terjadi dalam kehidupan nyata Oppa!
"Hoh? Ketahuan jika kau hobi nonton film atau serial drama, aku benar kan? Pantas saja khayalanmu tinggi sekali. Listrik padam ya sudah padam. Bagaimana bisa kau berpikir itu ulah temanmu, siapa?"
Howon! gerak bibir Yeon Ae.
"Iya, itu! Apa kau ingin melihatnya dihajar siapa?"
Myungsoo!
"Yap, itu. Iya? Kau mau melihat Howon dihajar Myungsoo habis-habisan?"
Yeon Ae menggeleng.
"Berkhayal listrik padam hanyalah sandiwara, lalu Howon akan muncul di atas panggung, menyanyikan sebuah lagu dan menari untuk meminta maaf padamu. Aigo... khayalanmu benar-benar tingkat sutradara. Eh, atau jangan-jangan... kau mencintai Howon?" Sungkyu menatap genit pada Yeon Ae.
BUK!
Pukulan yang ketiga kembali diterima Sungkyu yang hanya terkekeh menanggapinya. Yeon Ae kemudian bangkit dan menarik tangan Sungkyu.
"Kemana?" tanya Sungkyu penasaran.
Pernikahan Kim Yoojin!
"Mwo??"
Yeon Ae menarik paksa agar Sungkyu bangkit dari duduknya.
"Waktu itu aku hanya bercanda memintamu menemani aku datang ke resepsi pernikahan Yoojin. Lupakan saja, lebih kita tetap di sini!"
Kita pergi! kini Yeon Ae menarik tangan kanan Sungkyu dengan kedua tangannya.
***
* Infinite-Amazing *
Yeon Ae menghentikan taksi lalu menyeret Sungkyu masuk bersama. Yeon Ae terus mengembangkan senyum di wajahnya sambil terus fokus mengetik pesan di ponselnya.
Sungkyu tersenyum menatap gadis yang duduk di samping kanannya itu. 15 menit perjalanan taksi berhenti di depan sebuah butik. White Lily begitu nama yang terukir pada papan nama yang tergantung di atas pintu masuk butik. Sungkyu sekilas membacanya karena Yeon Ae buru-buru menyeretnya masuk. Wanita cantik itu segera menyambut keduanya. Oh Hyerin (Raina After School) menyambut Yeon Ae lalu segera meminta asistennya mendandani Sungkyu.
"Kau suka? Aku sudah menyiapkan ini untuk kalian. Kau cantik, Yeon Ae!" puji Hyerin. "Pemuda itu, apa dia pacarmu?" imbuh Hyerin.
Yeon Ae menggeleng antusias.
"Hah... kalaupun benar dia pacarmu tidak akan ada curiga. Aku pun tidak akan paham tentang itu, karena temanmu mayoritas laki-laki dan kau akrab pada mereka semua. Tapi dia itu sangat asing, apa dia teman barumu?"
Yeon Ae manggut-manggut.
"Oh, pantas saja tidak pernah melihat dia sebelumnya. Menurutku dia tampan dan sosok yang sangat bertanggung jawab, pantas saja kau merasa nyaman bersamanya."
Yeon Ae hanya tersenyum mendengar pujian untuk Sungkyu.
"Sosok oppa yang didambakan. Yeon Ae, kau pasti bahagia mendapatkannya!" tutup Hyerin.
Yeon Ae segera menggerakkan tangannya tanda protes jika ia tak berpacaran dengan Sungkyu. Hal itu membuat Hyerin terkikik geli.
* Infinite - Cover Girl *
Sungkyu sudah rapi dengan tuxedo hitam dan celana senada. Ia terlihat sedikit kikuk duduk di samping kanan Yeon Ae. Jantungnya berdetak kencang ketika Yeon Ae muncul dalam balutan gaun malam berwarna merah selutut itu.
Sungkyu tak menyangka jika gadis yang biasa tampil kasual itu bisa berubah menjadi peri cantik malam ini. Saat keluar dari butik, mobil jaguar hitam lengkap dengan sopir itu sudah menunggu keduanya.
Jangan khawatir, Hyerin Eonni meminjamkan ini semua untuk kita. Tidak lucu kan jika kita datang ke acara resepsi itu naik taksi atau naik motor kesayangan Oppa? Aku tidak mau ditertawakan! Urusan akting aku jagonya, jadi kalau mau sandiwara harus total jangan setengah-setengah. jelas Yeon Ae dalam pesannya.
Sungkyu tersenyum dan kembali menatap Yeon Ae.
Kau tahu, tadi Hyerin Eonni terus memuji Oppa. Menurut Eonni, Oppa itu tampan dan terlihat sangat bertanggung jawab. Apa Oppa merasa seperti itu? pesan berikutnya sukses membuat wajah Sungkyu memerah bak tomat masak.
Jika benar Oppa tampan dan sosok yang bertanggung jawab, kenapa Kim Yoojin malah meninggalkan Oppa dan memilih menikahi pria lain. Apa yang salah?
Sungkyu mengerutkan keningnya membaca pesan berikutnya. Sungkyu menoleh menatap Yeon Ae dengan pandangan kesal.
Terapi kejut. Daripada syok di tempat resepsi lebih baik shock di sini
Sungkyu tersenyum dan menggelengkan kepala.
Mobil berhenti di depan pintu masuk hotel berbintang lima itu. Dua orang membuka pintu mobil lalu Sungkyu dan Yeon Ae pun turun. Sungkyu tak memungkiri rasa gugup yang kini menyelimuti dirinya. Itu tak bisa di sembunyikan dan terlihat amat jelas di wajahnya.
Yeon Ae tersenyum lalu tanpa ragu ia menyelipkan tangannya dalam lengan kiri Sungkyu. Sungkyu segera menoleh dan Yeon Ae menggerakkan kepalanya memberi isyarat untuk berjalan masuk. Sungkyu menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya untuk membuang rasa gugup dihatinya.
Keduanya sudah masuk dan berdiri di tengah-tengah pintu yang terbuka lebar. Pasangan dengan kostum hitam-merah itu tampak sangat serasi. Yeon Ae menyamankan tangannya yang melingkar pada lengan kiri Sungkyu. Keduanya kembali berjalan melewati tamu-tamu yang terus memperhatikan keduanya.
Sungkyu terlihat lebih rileks menggandeng Yeon Ae. Ia membawa gadis itu menghampiri pasangan pengantin. Sungkyu memberi ucapan selamat pada Yoojin dan suaminya Geunsuk -Jang Geunsuk-.
"Dia, siapa?" tunjuk Yoojin dengan pandangan sedikit memicing pada Yeon Ae.
"Adikku, Yeon Ae." jawab Sungkyu tenang memperkenalkan gadis yang berdiri di sisi kirinya.
"Oh, aku pikir dia pacarmu! Senang bertemu denganmu Adik Kecil!" Yoojin mengulurkan tangan kanannya.
ADIK KECIL?!! gerutu di benak Yeon Ae. Ia lekas tersenyum menjabat tangan Yoojin.
"Terima kasih sudah datang ke pestaku, silahkan nikmati saja pesta seadanya ini, em?" Yoojin tersenyum kemudian pergi menyusul Geunsuk.
Kontan Yeon Ae meletakan telapak tangan kanannya di dada Sungkyu.
Wae? gerak bibir Sungkyu tanpa suara.
Yeon Ae hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Kim Yoojin dan suaminya Jang Geunsuk tampak begitu bersinar dan serasi. Binar dan senyum bahagia terpancar dari wajah Raja dan Ratu semalam itu. Yeon Ae mengamati Sungkyu. Pemuda itu duduk terus menatap Yoojin. Tesirat dalam tatapan itu, akulah pria yang seharusnya berdiri di sana. Yeon Ae menghela nafas dan menggelengkan kepala melihatnya.
"Wae??" Sungkyu amat kaget ketika Yeon Ae tiba-tiba memegang lengannya.
Kita pergi! kata Yeon Ae tanpa suara.
"Pergi?? Kemana??"
Yeon Ae bangkit dari duduknya menarik tangan Sungkyu memaksa pemuda itu berdiri
Sungkyu pun bangkit. Tanpa ragu Yeon Ae menggandeng tangan Sungkyu dan membawa pemuda itu melewati deretan tamu. Beberapa tamu terlihat berbisik usai melihat keduanya. Sungkyu menangkap hal itu, tapi Yeon Ae mengacuhkan hal itu.
"Yeon Ae-aa" Sungkyu berhenti dan melepas genggaman tangan Yeon Ae. "Kau ini kenapa? Kau tahu bagaimana beberapa pasang mata tadi menatap kita?"
Ara, wae?
"Aa...anee..."
Oppa merasa seperti pengantin pria yang diculik wanita penggoda?!
"Mwo??" mulut Sungkyu membulat. "Yeon Ae-aa, mianhae... bukan begitu, aku..." Sungkyu benar merasa bersalah tapi Yeon Ae malah menertawakannya. "Ya! Mwoya??"
Kita pergi!
"Kemana?"
Menikah.
"Mwo??!!!"
***
Kibum mengamati foto-foto milik Sungkyu. Sesekali ia tersenyum dan menggelengkan kepala mengamati foto di tangannya satu per satu.
"Hyung, gadis ini gila ya?" tanya Kibum masih mengamati foto-foto di tangannya. "Kalau Paman tahu tentang foto-foto ini bisa gawat, ckckck!" Kibum geleng-geleng. "Aku benar-benar tidak tahu apa yang dia pikirkan. Bagaimana kalau orang tuanya atau pacar gadis itu melihat foto ini?" cerocos Kibum lagi.
"Yeon Ae bilang semua akan baik-baik saja."
"Konyol! Hyung pasrah sekali padanya! Apa tujuan sebenarnya mengajak Hyung berfoto seperti ini?!"
"Menghiburku." jawab Sungkyu seraya tersenyum mengenang kejadian semalam.
"Mwo?? Menghibur Hyung??"
Sungkyu mengangguk antusias. "Yeon Ae mengatakan, jika semalam Yoojin menikah dan menjadi ratu semalam maka kita juga bisa!"
"Seenteng itu?? Kenapa kalian tidak menikah saja sekalian! Foto-foto ini!"
"Yeon Ae mengajakku ke sebuah bridal untuk mengambil foto-foto itu."
"Nee?? Bagaimana cerita sebenarnya??"
- flashback —
* Infinite - Cover Girl *
Mata sipit Sungkyu melebar ketika mobil berhenti di depan sebuah bridal. Yeon Ae memaksanya turun lalu menyeret Sungkyu masuk. Noh Lee Young (E-Young After School) terlihat sudah menunggu keduanya.
"Dia itu siapa?" bisik Sungkyu.
Leeyoung tersenyum. "Annyeong. Aku Noh Lee Young. Yeon Ae itu sepupuku dan bridal ini milik orang tuaku. Jadi jangan menatapku dengan tatapan aneh itu lagi ya!" cerocos Leeyoung memperkenalkan diri.
Sungkyu merasa malu. "Annyeong, mohon maafkan sikapku tadi." Sungkyu membungkuk, "Aku Kim Sungkyu."
"Tidak apa-apa. Oya, ayo kita bersenang-senang!"
"Bersenang-senang??" tanya Sungkyu kebingungan tapi Yeon Ae buru-buru menyeretnya tanpa memberi penjelasan.
Leeyoung mengacak-acak koleksi gaun pengantin milik ibunya. Ia sibuk memilih gaun dan tuxedo yang cocok untuk Yeon Ae dan Sungkyu. Usai memilih beberapa gaun dan tuxedo akhirnya Leeyoung menemukan pilihan yang pas. Ia sedikit membenahi make up Yeon Ae.
Sungkyu benar-benar tak bisa menolak itu semua. Ia hanya bisa diam mengikuti permainan Yeon Ae. Tapi Sungkyu tak terlihat terbebani menjalani itu semua. Itu terkesan nyata, seperti sepasang kekasih yang melakukan pemotretan pre-wedding.
Noh Min Woo (mantan member TRAX) kakak kandung Leeyoung selaku fotografer tak heran mendapati permintaan Yeon Ae malam ini. Minwoo adalah fotografer andalan Yeon Ae, jadi ia paham betul bagaimana adik sepupunya itu.
"Kau sudah lama kenal anak ini?" tanya Minwoo saat makan malam bersama usai pemotretan.
"Satu bulan, aku rasa satu bulan." jawab Sungkyu sangsi.
"Dia pasti sering bertingkah aneh dan membuatmu syok." olok Minwoo seraya menyikut Yeon Ae yang tetap saja acuh. "Tapi kau jangan khawatir, dia ini anak baik walau terkadang ia bertingkah layaknya orang gila." imbuh Minwoo seraya meletakkan telapak tangan kanannya di puncak kepala Yeon Ae dan menggoyang kepala gadis itu.
Yeon Ae bersungut-sungut kesal. Minwoo terkekeh dan mengelus kepala Yeon Ae.
"Sebaiknya Oppa tidak terlalu percaya padanya." giliran Leeyoung angkat bicara membuat Sungkyu yang tadinya fokus menatap Minwoo-Yeon Ae beralih menatapanya.
"Maksudnya?" tanya Sungkyu dengan ekspresi tak paham.
"Pasti dia sudah mengingatkan Oppa dengan mengatakan, soal akting, aku jagonya, jadi berhati-hatilah!, seperti itu. Perlu Oppa tahu, sudah banyak pria yang tertipu olehnya. Dia itu kan seperti Siluman Rubah."
"Mwo?? Yeon Ae itu... Gumiho??"
- end of flashback -
"Mwo?? Gumiho?? Jadi dia itu cantik dan licik, penggoda laki-laki dan pemakan hati manusia, aigo..." komentar Kibum usai mendengar cerita Sungkyu.
"Mwoya.."
"Hahaha... just kidding Hyung! Don't be angry, OK! Eum, lalu sekarang bagaimana?"
"Sekarang bagaimana??"
"Iya bagaimana? Hyung menyukainya, lalu Hyung akan terus maju atau mundur?"
"Aku..."
"Paman Seungwoo sepertinya sudah merencanakan sesuatu untuk Hyung."
"Mwo?? Merencanakan sesuatu?? Apa itu??"
"Eum, molla!" Kibum mengangkat kedua bahunya. "Aku hanya dengar Paman Seungwoo ngobrol di telepon, lalu Beliau mengatakan, Anakku Sungkyu, aku yakin dia akan senang, jadi biarkan aku membawanya menemui putrimu. Hyung, aku rasa Paman akan menjodohkanmu!"
"MWO?!!!!!"
***
"MISI MENYEMBUHKAN ORANG PATAH HATI??" suara Sungyeol terdengar seperti orang sedang tercekik, begitulah pekiknya. "Ish! Kau itu jangan bercanda! Kau tahu semalam Myungsoo menunggumu hingga larut. Sepertinya dia sangat mengkhawatirkanmu."
Yeon Ae manggut-manggut, tapi sepertinya tak tertarik pada celotehan Sungyeol.
"Kau tahu siapa yang kami bicarakan semalam?" tanya Sungyeol.
Yeon Ae menggeleng.
"Kau ingin tahu siapa dia?" tanya Sungyeol lagi dan Yeon Ae menggeleng.
"Ya! Kau mau pergi lagi?" Sungyeol mendongak menatap Yeon Ae yang bangkit dari duduknya. "Yeon Ae-aa! Kalau Myungsoo ke sini lagi aku harus bagaimana?!" teriakan Sungyeol hanya dibalas lambaian tangan Yeon Ae.
"Ya Tuhan, kenapa Kau ciptakan gadis seperti dia? Sungyeol, bagaimana bisa kau bertahan di sisinya selama 20 tahun ini? Sungyeol, kau adalah pria yang kuat! Kau bertahan karena kau mencintainya, Sungyeol mencintai Yeon Ae! Yap!" Sungyeol mengoceh sendiri.
* Infinite - Amazing *
Sungkyu menemani Yeon Ae mengunjungi yayasan White Angel yang dikhususkan untuk anak penyandang tuna rungu dan tuna wicara. Puluhan mainan dan buku yang dipesan Yeon Ae tiba. Anak-anak sangat antusias menyambutnya. Hal seperti ini rutin dilakukan Yeon Ae selama sebulan sekali, berbagi bersama anak-anak bisu tuli.
Sungkyu ikut larut dalam kebersamaan itu. Ia ikut bermain bersama anak-anak dan kini Sungkyu duduk melihat Yeon Ae mengajar anak-anak panti. Sungkyu tersenyum melihat Yeon Ae menggerakan tangannya untuk berkomunikasi dengan anak-anak panti. Sungkyu merasa nyaman berada di sisi Yeon Ae. Wajarkah jika kini Sungkyu memiliki rasa kagum dihatinya untuk Yeon Ae? Pantaskah jika Sungkyu merindukan Yeon Ae dan tak ingin jauh-jauh dari gadis itu?
Yeon Ae tersenyum manis dan memberikan sebuah lolipop pada Sungkyu.
"Kau pikir aku ini anak kecil?" protes Sungkyu.
Yeon Ae cemberut karena Sungkyu tak menerima pemberiannya.
"Oke! Oke! Aku terima." kata Sungkyu seraya meraih lolipop pemberian Yeon Ae.
Yeon Ae segera tersenyum lebar.
"Kenapa tiba-tiba memberiku lolipop?" tanya Sungkyu.
Hari ini genap satu bulan kita berteman dan sehari kita menikah, tapi karena terlalu sibuk dengan hadiah anak-anak, aku jadi lupa tak membeli hadiah untuk Oppa. Hanya lolipop itu yang tersisa, mianhae… jongmal mianhae...
Sungkyu tersenyum membaca pesan yang baru saja masuk dalam ponselnya.
"Gwaenchana, gomawo." Sungkyu mengelus kepala Yeon Ae. "Tapi, sehari pernikahan kita??”
Semalam kita menikah pukul 9.15 malam dan sekarang waktu yang sama bukan? Itu 15 menit yang lalu. Oppa melupakannya..
Lagi-lagi Sungkyu tersenyum membaca pesan Yeon Ae. "Semalam bukan pernikahan, tapi hanya foto memakai baju pengantin."
Syukurlah kalau Oppa masih sadar. gerak bibir Yeon Ae.
"Kau ini memang tidak waras!"
Siapa bilang aku waras?
"YEON AE!"
Iya?
"Kau?!"
Yeon Ae tertawa hingga pundaknya bergoyang. Sudah-sudah! Ia menggerakkan tangannya.
Aku harus pergi. Seharian ini aku sudah menjadi milik Oppa, sekarang giliran yang lain. Bye Oppa.
Sungkyu terpaku di tempat ia berdiri menatap punggung Yeon Ae yang berjalan semakin menjauh. Sungkyu menunduk menatap lolipop di tangannya saat sosok Yeon Ae hilang dari pandangannya.
"Kau itu pelangi dalam hidupku. Kau pelangi yang datang usai mendung menaungiku. Yeon Ae, jangan pernah beranjak dari sisiku, karena aku membutuhkanmu..." Sungkyu menatap ke arah lenyapnya sosok Yeon Ae.
***
Myungsoo menegakkan badannya menyambut Yeon Ae yang baru saja kembali. Sungyeol juga langsung berdiri menghampiri Yeon Ae.
"Semalam kau tidak pulang, tidak ada di apartemen Amber, studio Woohyun juga basecamp teater! Kau kemana?!" Sungyeol memberondong Yeon Ae dengan pertanyaan khawatirnya. "Semalaman aku dan Myungsoo menunggumu, sekarang kau malah diam menatapku seperti ini!" imbuh Sungyeol.
Mianhae. gerak bibir Yeon Ae segera menangkupkan kedua tangannya meminta maaf pada Sungyeol.
"Aigo… jangan pasang ekspresi itu! Iya, iya aku maafkan. Semalam kau menginap dimana?" Sungyeol dengan nada lebih lembut.
Dongwoo.
Sungyeol dan Myungsoo sontak terkejut kemudian saling melempar pandangan.
"Kau menginap di rumah Dongwoo dan kau mematikan ponselmu?" pertanyaan bodoh itu terlontar dari bibir Myungsoo.
Yeon Ae merogoh ponsel di sakunya dan menunjukkannya pada Myungsoo dan Sungyeol.
"Dasar ceroboh!" cerca Sungyeol.
"Tidak terjadi apa-apa kan antara kau dan Dongwoo?" sela Myungsoo.
Apa?
"Hey! Kau pikir Yeon Ae melakukan apa di sana!?" Sungyeol merangkul Myungsoo. "Abaikan saja. Eh, kau menginap sendirian?" tanya Sungyeol lagi.
Yeon Ae menggeleng. Ada Woohyun.
“MWO?!!!!!” Myungsoo-Sungyeol kompak melongo.
Myungsoo sudah berdiri di hadapan Yeon Ae . Keduanya sudah berada di lapangan basket indoor milik Yeon Ae sekarang.
Sekarang aku milikmu, aku akan bersamamu seharian ini, jadi kau harus berlatih dengan baik! Yeon Ae bicara tanpa suara sambil menggerakan tangannya.
“Baiklah! Tapi janji kau tidak akan tiba-tiba pergi!” Myungsoo mengulurkan jari kelingkingnya.
Yeon Ae mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Myungsoo dan keduanya tertawa bersama.
* Infinite - Julia *
Myungsoo dan Yeon Ae mulai latihan bersama. Ulang tahun kampus sudah di depan mata, tidak ada lagi waktu untuk main-main, semua serius mempersiapkan penampilan masing-masing. Dialog dan tarian sudah dikuasai Myungsoo. Ia begitu pesat mempelajari naskah.
Tiba pada adegan romantis yang harus dilakoni Myungsoo dan Yeon Ae. Myungsoo sudah berdiri dekat di hadapan Yeon Ae. Dua makhluk itu bisa merasakan detak jantung dan nafas masing-masing. Myungsoo mengelus lembut pipi putih Yeon Ae. Myungsoo tersenyum lalu perlahan menurunkan wajahnya semakin dekat pada Yeon Ae.
“Ya! Ayo kita makan dulu!” Sungyeol masuk membawa makanan.
Myungsoo tersentak kaget dan gagal mencium Yeon Ae.Wajah keduanya merah padam membuat Sungyeol keheranan.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi di sini, tapi ini sangat mencurigakan! Oh!” Sungyeol menangkup pipinya sendiri. “Apa yang harus aku lakukan???”
***
Tiga (Part #1)
* Infinite - Amazing *
Seluruh panitia makin sibuk. Mereka bekerja sama menghias gedung teater. Puncak acara yaitu pentas seni akan digelar di sana besok malam. Saking sibuknya, para panitia harus menginap malam ini untuk lembur.
"Yeon Ae tidak ikut?" sambut Woohyun saat Myungsoo tiba bersama Sungyeol.
"Eh, lihat itu!" Dongwoo menyikut Amber yang duduk di samping kanannya. "Sejak kapan Myungsoo jadi begitu akrab dengan Sungyeol?"
"Bukankah sejak dulu?" Amber balik bertanya.
"Ish! Kau ini!"
"Eum, iya. Mungkin saja mata Myungsoo sudah kembali normal, jadi dia bisa melihat keberadaan Sungyeol dengan jelas sekarang."
"Masuk akal." Dongwoo manggut-manggut lalu kedua makhluk ini cengingisan bersama.
"Bagaimana persiapannya? Tadi Yeon Ae pamit untuk datang kemari lebih dulu." jelas Sungyeol. "Kemana lagi dia?" Sungyeol menerawang seluruh sudut gedung teater.
"Lumayan, tapi harus kerja keras malam ini." jawab Woohyun.
"Kami juga menunggu Yeon Ae.” sahut Amber yang kini berjalan mendekat bersama Dongwoo.
"Akrab sekali? Ternyata kalian bisa akur juga ya." komentar Dongwoo.
Myungsoo hanya menyunggingkan senyum kecil di bibir tipisnya.
"Ternyata kalian bisa akur juga ya." tunjuk Sungyeol pada Amber-Dongwoo.
"Ish! Kami ini kan satu tim!" Dongwoo merangkul Amber dan Amber mengangguk membenarkan ucapan Dongwoo. "Kalian yang aneh, kenapa tiba-tiba jadi akrab begitu?!" giliran Dongwoo menunjuk Sungyeol dan Myungsoo.
"Ish! Kami ini kan satu tim!" Sungyeol merangkul Myungsoo menirukan gaya Dongwoo sebelumnya.
"Hih!" Dongwoo benar kesal dibuatnya.
"Dimana Yeon Ae?" Howon tiba-tiba datang menyela.
Lima pasang mata itu langsung menatap ke arah Howon. Myungsoo menatap sengit pada Howon, begitu sebaliknya.
"Kau yakin ingin aku hadir?" tanya Sungkyu masih memegang undangan pemberian Yeon Ae di tangan kanannya.
Yeon Ae mengangguk dan menatap Sungkyu penuh harap.
Sungkyu menghela nafas. Ia tak yakin apakah dia bisa hadir. Ingin tapi terasa berat. Ia tak berani menyanggupi Yeon Ae.
Kenapa Sungkyu merasa terbebani seperti ini? Bukankah selama ini ia merasa jika Yeon Ae membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Selain itu bukankah selama ini ia merasa 'sama dan senasib' dengan Yeon Ae. Sungkyu juga seorang piatu, ibunya meninggal karena sakit. Apalagi selama sebulan ini Yeon Ae telah banyak membantunya, lalu kenapa Sungkyu merasa terbebani? Hanya mendatangi undangan pesta ulang tahun kampus, apa sulitnya? Anggap saja itu balas budi, tidak bisakah?
Ponsel Yeon Ae berdering, nama Sungjeong muncul. Yeon Ae segera menerima panggilan itu. Ia terdiam mendengarkan Sungjeong bicara. Yeon Ae sontak berdiri, ia kemudian membungkuk di hadapan Sungkyu dan bergegas pergi.
"Yeon Ae~aa!!" teriakan Sungkyu tak dihiraukannya. Yeon Ae tetap berlari dan pergi meninggalkan Sungkyu.
"Hah..." Sungkyu kembali merebahkan punggungnya pada punggung bangku taman. Kembali ditatapnya undangan pemberian Yeon Ae, lalu ia menatap ke arah Yeon Ae pergi. Gadis itu telah lenyap dalam kegelapan malam, tak ada lagi sosoknya.
"Haruskah aku datang?"
***
Yeon Ae berhenti sejenak di depan pintu gerbang kampus. Ia kembali mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Setelah merasa kuat, ia kembali berlari. Berusaha sekencang mungkin menyusuri koridor kampus untuk cepat sampai pada gedung teater.
Sungjeong menelpon, suaranya terdengar panik. Ia mengatakan ada keributan, Howon dan Myungsoo. Hanya begitu saja. Pantas saja jika Yeon Ae langsung panik. Beberapa waktu lalu Myungsoo hampir menghajar Howon ketika pemuda itu tiba-tiba mencegat Yeon Ae. Mungkin saja malam ini perkelahian itu benar terjadi. Bisa gawat jika benar terjadi, Myungsoo dan Howon adalah dua pemeran penting dalam drama esok. Jika terjadi sesuatu pada keduanya sama artinya Yeon Ae mengacaukan semuanya, pertunjukan Gahee dan karya perdana Sungyeol. Yeon Ae tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika itu terjadi.
Yeon Ae membungkuk dan memegang kedua lututnya kembali mengatur nafasnya. Kemudian ia menendang pintu gedung teater yang sedikit terbuka. Eh, apa ini? Mata Yeon Ae melebar. Kenapa gelap dan sepi? Sepertinya tak ada siapa-siapa di dalam sana. Kemana perginya panitia? Kemana Woohyun, eh Sungjeong yang tadi menelponnya?
Yeon Ae menelan ludah, di dalam sana gelap walau tak sangat gelap. Takut, itu pasti, Yeon Ae takut kegelapan. Otaknya makin tak karuan. Apakah tadi terjadi tawuran massal? Kubu Howon dan Myungsoo? Gambaran itu langsung tergambar jelas di benaknya.
Myungsoo dan Howon berada di barisan paling depan memimpin kubu masing-masing. Keduanya sama-sama berteriak dan maju. Dua kubu itu pun perang, saling menjitak, memuku,l dan mengacak-acak satu sama lain. Gedung teater pun jadi kacau balau! Dekorasi rusak, korban luka berjatuhan. Howon memukul Myungsoo dan sebaliknya.
TIDAK!!! Yeon Ae semangat menggelengkan kepala. Gambaran maya itu pun segera hilang dan suasana kembali hening. Yeon Ae masih ngos-ngosan, bukan hanya kelelahan berlari tapi juga karena khayalan anehnya itu.
Aku harus masuk, bisik Yeon Ae dalam hati. Tuhan kuatkanlah aku! Yah, kuatkanlah aku! Yeon Ae mengepalkan tangan menguatkan dirinya sendiri. Ia merapatkan telapak tangan kanannya ke tembok dan mulai berjalan. Nafasnya mulai sesak, itu selalu terjadi jika Yeon Ae berada di tempat yang gelap. Ia berusaha menguatkan dirinya dan tetap berjalan mendekati panggung.
Yeon Ae menghentikan langkahnya ketika dadanya semakin terasa sesak karena ketakutannya berada dalam kegelapan. Hanya kurang beberapa langkah saja. Ia sudah berada di ujung tangga terakhir tribun penonton.
Yeon Ae jatuh terduduk dan meletakkan telapak tangan kanan di dadanya. Ia memejamkan mata dan mencoba mengatur nafasnya. Tiba-tiba lampu panggung menyala. Yeon Ae dapat merasakan hadirnya cahaya itu meski matanya terpejam. Perlahan ia kembali membuka mata.
Mata Yeon Ae melebar ketika menatap panggung. Howon terlihat sangat elegan dan tampan dalam balutan tuxedo hitam dan celana senada. Ia sudah duduk siap memainkan piano dih adapannya. Nafas Yeon Ae normal seketika, mungkin karena adanya cahaya atau Howon. Entahlah, hanya saja ia tampak lebìh baik, setidaknya tidak merasakan sesak nafas lagi. Ia masih terduduk di lantai dengan tatapan syok, tidak mungkin penasaran, apalah. Yeon Ae membisu, diam menatap Howon.
Howon tersenyum manis pada Yeon Ae. Sekejap saja dan senyuman yang amat mempesona yang mampu menggetarkan hati setiap gadis. Ia mengabaikan ekspresi Yeon Ae yang terlihat amat... jelek (?) itu dan kembali menatap piano di hadapannya. Jari telunjuknya memainkan tuts tuts piano. Nada percobaan, sepertinya begitu.
Howon menundukkan kepala sejenak, menghirup udara dalam-dalam dan membuangnya cepat. Ia kemudian mengangguk menyemangati dirinya sendiri. Jari-jari Howon mulai menari di atas tuts tuts piano. Alunan Be Mine - Infinite mulai terdengar memenuhi gedung teater yang tadinya hening. Alunan yang terdengar syahdu pada awalnya dan selanjutnya semakin emosional. Mungkin seperti itulah gambaran perasaan Howon yang sedang bergolak.
Perlahan Yeon Ae kembali berdiri. Entah kenapa jantungnya berdebar kencang mendengar permainan piano Howon. Selama ini ia tak pernah tahu jika Howon piawai memainkan piano. Yeon Ae hanya tahu Howon jago basket, dance, dan ber-over-akting. Yeon Ae berdiri terpaku menatap teman semasa TK itu kini duduk memainkan piano layaknya seorang pianis terkenal.
Howon sukses menyelesaikan pertunjukkannya di depan Yeon Ae. Ia menunduk dan tersenyum lega. Howon kemudian bangkit dari duduk dan berjalan turun.
* Infinite - Voice Of My Heart *
Howon berjalan menuju Yeon Ae. Ia berhenti jarak satu langkah di hadapan Yeon Ae yang masih berdiri mematung. Howon tersenyum dan mengulurkan tangan. "Apa kau akan tetap berdiri seperti ini?" ucapnya. "Em??"
Yeon Ae meraih tangan Howon. Howon kembali tersenyum kemudian menuntun Yeon Ae dan membawa gadis itu naik ke atas panggung. Saat keduanya sudah di atas panggung lampu kembali padam. Kontan Yeon Ae meremas tangan Howon yang masih menggenggam tangan kanannya.
"Jangan takut, aku di sini." bisik Howon menenangkan. Layar raksasa di belakang panggung mulai menyala. "Yeon Ae, buka matamu." pinta Howon.
Yeon Ae membuka mata dan mengangkat kepala menatap layar raksasa yang terkembang di belakangnya. Deretan foto masa kanak-kanak Yeon Ae mulai ditampilkan. Lalu foto-foto masa kanak-kanaknya bersama Howon. Yeon Ae merasa terharu, ia tak menyangka Howon masih memiliki semua foto itu. Lalu muncul deretan foto-foto hasil editan Howon tentang dirinya dan Yeon Ae. Yeon Ae tersentuh. Ia tersenyum juga menahan tangis harunya dengan menutup mulut dengan telapak tangan kirinya.
"Aku masih menyimpan semuanya, masa itu..." kenang Howon. Ia beralih berdiri berhadapan dengan Yeon Ae. Howon menatap lekat gadis di hadapannya. "Rasanya aneh ketika kembali bertemu dan kau sudah sebesar ini. Gadis jamurku..." kata Howon membuat Yeon Ae tersipu.
Tak heran jika Howon menyebut Yeon Ae 'gadis jamurku'. Masa kanak-kanak Yeon Ae ketika ke sekolah rambutnya pasti diikat ke atas sebagian dan hasilnya ikatan rambut itu akan mekar seperti jamur. Setidaknya 'seperti jamur' menurut Howon.
"Kau dan aku, kita berubah seiring berjalannya waktu. Tapi yang aku rasa tidak berubah adalah apa yang aku rasa di sini." Howon meletakkan telapak tangan didadanya. "Rasa kagum dan ingin memilikimu, menjagamu..." Howon kembali diam berusaha tenang meredam gejolak di hatinya. Ia kemudian tersenyum getir.
"Jangan berpikir macam-macam. Semua ini, lagu tadi, memang sengaja dan... dan aku telah lama merencanakan ini semua untuk menunjukkan padamu apa yang aku rasakan dan aku teriakan dalam hatiku, tapi ini bukan berarti aku benar-benar memintamu menjadi milikku. Ini tidak akan adil bagiku juga bagimu.
“Aku tahu selama ini aku keterlaluan dan sikapku pasti sangat menjengkelkan. Aku tidak hanya membuatmu kesal, tapi benar seperti yang kau katakan tempo hari, hal itu membuatku mempermalukan diriku sendiri meskipun aku tak merasa begitu. Sungguh aku tak merasa malu melakukan itu semua, tapi memang sangat belebihan..." Howon kembali diam begitu pula Yeon Ae. Ia menunggu Howon kembali bicara.
"Yeon Ae-aa, saranghaeso, mianhae..." Howon kemudian menunduk di hadapan Yeon Ae.
Suasana menjadi hening. Yeon Ae tetap membisu, menatap Howon yang tertunduk dihadapannya. Perlahan ia menyentuh pundak Howon dan mengelusnya pelan. Howon langsung memeluk tubuh Yeon Ae, mendekapnya erat.
"Aku mohon maafkan aku, maafkan aku karena mencintaimu dan... aku mohon jangan hindari aku seperti ini... Itu sangat menyakitkan..." bisik Howon. "Aku mohon maafkanlah aku dan kembalilah seperti dulu, gadis jamurku..."
Yeon Ae mengelus punggung Howon bermaksud menenangkan teman masa kecilnya itu lalu melepas pelukan Howon.
"Kau memaafkan aku?" tanya Howon.
Yeon Ae terlihat memikirkan sesuatu, menimbang pertanyaan Howon.
"Yeon Ae-aa, aku janji aku tidak akan bertindak bodoh dan konyol untuk mendapatkan perhatianmu. Aku janji aku akan jadi pangeran berkuda putih seperti zaman kita TK dulu, aku mohon maafkan aku dan jangan hindari aku terus. Tahu kah kau itu menyakitkan?”
Yeon Ae mengangguk pelan. Ia tersenyum kecil lalu mengulurkan jari kelingkingnya pada Howon.
"Nee??" tanya Howon.
Yeon Ae menggoyang jari kelingkingnya.
“Akh~" Howon tersipu lalu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Yeon Ae. "Oke! Aku janji, aku tidak akan bertindak bodoh seperti sebelumnya. Kau tidak akan menghindariku lagi kan?"
Yeon Ae mengangguk antusias.
"Bisakah kau peluk aku sekali lagi?" pinta Howon.
BUK! Pukulan itu mendarat di lengan kiri Howon yang segera meringis seraya mengusuk lengannya.
"Tanganmu tetap saja kuat seperti dulu." keluh Howon.
Woohyun muncul dari balik panggung sambil bertepuk tangan. Bersamanya ikut pula Dongwoo, Sungyeol, Myungsoo, dan Sungjeong. Kontan Yeon Ae kebingungan melihatnya. Mereka bersekongkol?
"Maaf, Howon meminta bantuanku dan aku rasa ini baik jadi aku setuju membantunya." kata Sungjeong menjawab tatapan Yeon Ae.
"Aku pun ingin seperti mereka yang bebas ada di sisimu kapanpun itu. Menjadi teman baik seperti masa kecil, aku rasa lebih menyenangkan daripada apa yang aku harapkan selama ini padamu." kata Howon. "Beruntung mereka mau membantuku malam ini, mempersiapkan dan semua ini..." ia tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Kau bagian dari kami sekarang!" Dongwoo merangkul Howon. "Iya kan?" tanyanya seraya menatap Yeon Ae.
"Boleh! Asal dia tidak ingkar janji." sahut Sungyeol.
"Kami juga mencintai Yeon Ae, tapi kami tidak gila sepertimu! Itu sangat mengerikan!" komentar Myungsoo tiba-tiba.
"Kal-li-an juga??" tanya Howon.
Bukan menjawab pertanyaan Howon, kelima pemuda itu malah tertawa.
"Sekarang aku akan mencoba merelakan jika kau memilih menjadi kekasih salah satu dari mereka atau siapapun itu." tambah Howon. "Entah itu Woohyun atau Myungsoo, mungkin juga Dongwoo atau Sungjeong," imbuhnya.
"Lalu bagaimana denganku?" Sungyeol menunjuk hidungnya sendiri.
"Ya!! Sudah selesai belum!!" teriak Lee Hongki dari tribun penonton. Lampu kembali menyala. Betapa kagetnya Yeon Ae melihat semua panitia duduk manis di tribun penonton.
"Akting yang bagus! Tapi kalian menghambat kerja kami!" seloroh Lee Jinki (Onew).
"Setidaknya aku bisa beristirahat sejenak.” Hwang Chansung menggeliat terbangun dari tidurnya.
"Ayo kembali bekerja!" seru Gahee seraya bangkit dari duduknya dan menepuk kedua tangannya.
Yeon Ae menatap sengit pada enam pemuda yang berada di sekitarnya.
"Aa, Amber, tunggu aku!" Dongwoo bergegas menghindar.
"Bukankah tadi Gahee Noona mencariku." Sungyeol ikut pergi.
"Ayo aku bantu!" Woohyun membantu Sungjeong berjalan dan senada dengan Dongwoo juga Sungyeol, mereka pun pergi. Hanya tersisa Howon dan Myungsoo di hadapan Yeon Ae.
"Itu..." Howon tak tahu harus berkata apa-apa dan hanya menggaruk kepalanya.
"Mereka saksi." sahut Myungsoo. "Jika suatu saat Howon ingkar janji padamu, mereka pasti akan turun tangan, menghajarnya."
"MWO?!!!"
***
Karena Dongwoo memaksa, akhirnya Sungyeol setuju meskipun dengan terpaksa untuk tetap tinggal dan menginap di kampus. Karena Woohyun tergabung dalam panitia, ia harus menginap. Ia meminta Dongwoo menemaninya dan kini Dongwoo meminta Sungyeol menemaninya. Sungguh segitiga yang rumit.
Yeon Ae pulang bersama Myungsoo. Keduanya tak banyak berinteraksi. Myungsoo juga memilih lebih banyak diam ketika dalam bus hingga kini keduanya berjalan beriringan. Sesekali Myungsoo menoleh melirik gadis di samping kirinya. Tak jarang ia tersenyum sendiri kemudian.
Yeon Ae berdiri di depan gerbang rumahnya. Ia tersenyum, tanda ucapan terima kasih karena Myungsoo mengantarnya pulang.
"Sudah malam, tidurlah yang nyenyak dan kita akan kembali berperang besok." kata Myungsoo.
Yeon Ae tersenyum dan mengangguk paham.
"Baiklah. Selamat malam!" imbuh Myungsoo mulai berjalan.
Yeon Ae kembali menganggukkan kepala. Ia tetap bertahan di tempat ia berdiri, mengantar Myungsoo pergi. Dua langkah berjalan, tiba-tiba Myungsoo berbalik dan dengan cepat kembali ke hadapan Yeon Ae.
CHU~
Myungsoo mengecup cepat pipi kanan Yeon Ae. "Yeon Ae-aa! Semoga malam ini kita bertemu dalam mimpi! Saranghae!" teriak Myungsoo seraya membentuk hati dengan kedua tangannya sebelum memasuki gerbang rumahnya.
Yeon Ae masih berdiri seperti itu. Ia kemudian menyentuh pipi kanannya seraya tersenyum dan berjalan masuk.
***
* Infinite - Entrust *
Gedung teater sudah selesai dihias, tapi bukan berarti panitia bisa bersantai. Mereka harus melakukan gladi resik bersama para pengisi acara. Trio Sungjeong-Dongwoo-Sungyeol duduk di tribun penonton mengamati jalannya gladi resik.
"Sadarkah jika semua ini tampak nyata?" komentar Dongwoo sukses menyita perhatian Sungjeong dan Sungyeol. "Myungsoo, Yeon Ae, dan Howon." imbuh Dongwoo.
"Sebelumnya itu aku!" protes Sungjeong.
"Yayaya..."
"Trus, apanya yang nyata?" tanya Sungyeol.
"Hanya persepsi Dongwoo, memangnya apa yang nyata?" tanya Sungjeong kemudian.
"Aku tahu jika Myungsoo juga menyukai Yeon Ae," jawab Dongwoo. "Jadi ini benar drama mereka bukan?"
"Ish! Tetap saja tidak nyata!" bantah Sungjeong. "Andai aku tidak cidera maka Yeon Ae akan berakhir denganku!" imbuhnya masih terdengar tak terima.
"Jika nyata, berarti aku membuatnya berakhir dengan Myungsoo?" celetuk Sungyeol yang tak fokus pada percakapan Dongwoo dan Sungjeong.
Dongwoo dan Sungjeong kompak menatap heran pada Sungyeol.
"TIDAK! TIDAK! TIDAAAAAK!!!!!!!" Sungyeol berlari seraya menutup kedua telinga dengan kedua tangannya.
Dongwoo beradu pandang dengan Sungjeong lalu keduanya sama-sama menggeleng.
Hari ini terasa begitu cepat berlalu, tiba-tiba saja malam datang. Semua pengisi acara mulai sibuk di belakang panggung. Ada yang sibuk berias, sibuk menghafal dialog atau dance, bermain gitar, mondar-mandir dan ngobrol.
Woohyun celingukan mencari seseorang namun tak ada di belakang panggung tempat semua pengisi acara berkumpul. Woohyun tersenyum lega, akhirnya ia menemukan Yeon Ae. Yeon Ae terlihat resah. Ia berdiri di dekat pintu masuk gedung teater mengamati satu per satu undangan yang mulai berdatangan. Yeon Ae menghela nafas dan wajahnya benar menunjukkan ekspresi bad mood.
"Di sini kau rupanya." Woohyun menghampiri Yeon Ae. "Kau menunggu seseorang?" tanya Woohyun yang segera dijawab anggukan kepala Yeon Ae. Woohyun ikut khawatir menatap ekspresi resah Yeon Ae.
"Acara akan segera dimulai, sebaiknya kau segera berias. Jika yang kau tunggu itu Paman Oh, biarkan aku yang menunggu Beliau di sini." Woohyun mencoba menengahi.
"Paman Hyunjoo di L.A kan?" sahut Dongwoo.
"Kau menungguku?" tanya Sungyeol penuh percaya diri.
Yeon Ae menggeleng lalu berlalu begitu saja.
"Dia itu menunggu siapa?" tanya Sungyeol pada Woohyun, Dongwoo, dan Sungjeong. Keempat pemuda itu kompak mengangkat bahu kemudian pergi.
"Ya Tuhan, kenapa orang-orang ini selalu membingungkan? Tidak adakah satu pun yang normal dari mereka?" gerutu Sungyeol.
Yeon Ae sudah selesai berias dan berganti kostum. Wajahnya masih tampak murung dan resah. Ia duduk di jendela besar dan menatap keluar. Ia menghela nafas lalu kembali mengotak-atik ponselnya.
Howon dan Myungsoo duduk berdampingan dan sedari tadi keduanya fokus mengamati Yeon Ae. Howon menyikut Myungsoo memberi isyarat agar pemuda itu mendekati Yeon Ae.
"Aku??" kata Myungsoo seraya menunjuk batang hidungnya sendiri.
"Iya! Kau kan temannya sejak kecil!"
"Bukannya kau juga?"
"Ish! Kau ini!"
Duo Lee Juyeon dan Jang Wooyoung selaku MC membuka acara tepat pukul 7. Para undangan sudah duduk rapi di tribun penonton. Alunan CLAP - Teen Top mulai terdengar memenuhi gedung teater. Enam mahasiswa Lee Taemin, Lee Seunghyun (Seungri), Lee Gikwang, Hwang Chansung, Jang Hyunseung, Son Dongwoon memberikan pertunjukan pemanasan dengan membawakan cover dance CLAP.
Yeon Ae tampaknya menyerah. Ia berjalan pergi dan meninggalkan ponselnya begitu saja di jendela. Myungsoo menghampiri jendela dan memungut ponsel Yeon Ae. Dielusnya layar ponsel Yeon Ae dan Myungsoo tampak fokus sejenak.
Taemin cs melanjutkan performance mereka. Kali ini alunan Paradise — Infinite berganti memenuhi gedung teater. Yeon Ae kembali pada pintu masuk gedung teater. Tatapannya menerawang, namun lorong koridor tetap saja sepi. Ia menghela nafas, menundukkan kepala dan menggeleng pelan. Dengan malas ia melangkahkan kakinya kembali masuk ke belakang panggung.
Howon berhenti di depan pintu masuk gedung teater lalu menatap penasaran ke arah koridor yang sepi itu. Lalu Howon menyusul langkah Yeon Ae.
Seluruh anak teater yang terlibat pertunjukan malam ini berkumpul dan melingkar saling bergandengan tangan. Myungsoo berdiri di samping kanan Yeon Ae dan Howon di samping kiri Yeon Ae. Gahee selaku pembina teater memberikan pidato singkatnya lalu memimpin anak didiknya untuk berdoa. Pertunjukan pun dimulai.
Sungyeol yang duduk berdampingan dengan Sungjeong terlihat gusar. Iya, Sungyeol nervous ketika anak teater memulai pertunjukannya. Bagaimana pun juga ini adalah karya perdana Sungyeol.
Musik dan tarian mengiringi drama yang dimainkan anak-anak teater. Yeon Ae yang tadinya murung dan bad mood berubah total ketika di atas panggung. Ia kembali riang dan ceria sesuai peran yang ia bawakan.
Sungkyu kebingungan usai memarkirkan motor kesayangannya. Kebetulan ada dua orang mahasiswa datang ke tempat parkir. Usai bertanya pada keduanya, Sungkyu bergegas menuju gedung teater. Ia berjalan cepat lalu berlari kecil karena ingin segera sampai ke gedung teater.
Sungkyu tersenyum lebar ketika menemukan gedung teater. Ia segera masuk dan mencari tempat duduknya. Dengan terus mengucap kata maaf', Sungkyu mengganggu konsentrasi para penonton. Akhirnya ia menemukan tempat duduknya. Sungkyu menyamankan posisi duduknya dan menatap panggung.
Lampu panggung meredup dan asap mengepul mulai membuat kabur pemandangan di atas panggung. Intro musik Wonder Boy - After School mulai terdengar mengisi gedung teater. Yeon Ae selaku front girl karena memang dia pemeran utama dari drama malam ini mulai menari ditemani Kang Jiyoung -Jiyoung KARA-, Jung Soo Jung -Krystal f(x)- dan Anh Sohee -Sohee Wonder Girls-. Empat gadis cute menari bersama, kontan mata penonton berbinar melihatnya.
Sungkyu pun tersenyum... lebar dan berbinar melihatnya. "Itu, dia itu Yeon Ae... adikku..." kata Sungkyu bangga seraya mencolek lengan seseorang yang duduk di samping kirinya.
"Gadis itu!" menunjuk Krystal, "dia juga adikku! Hem!" jawab wanita itu -Jessica- ketus. Sungkyu langsung menelan ludah dan sedikit menundukan kepala tanda meminta maaf.
"Adikku juga menari di sana." sahut pemuda yang duduk disamping kanan Sungkyu. Pemuda itu -Kang Dong Woon- tersenyum manis pada Sungkyu. Sungkyu pun membalas senyum lalu kembali fokus menatap panggung.
Adegan demi adegan ditampilkan. Penonton larut dalam pertunjukan teater. Lampu panggung kembali redup. Ketika tirai panggung terbuka, tampak Yeon Ae duduk sambil memeluk gitarnya. Layar di belakang panggung menampilkan background sebuah taman.
Wajah Yeon Ae tampak sendu sesuai lakon yang ia mainkan kini. Seorang gadis yang berharap ingatan kekasihnya kembali. Myungsoo duduk dengan tatapan kosong, memainkan peran kekasih Yeon Ae yang mengalami amnesia akibat kecelakaan.
Yeon Ae mulai menggenjreng gitarnya memainkan sebuah intro lagu. Howon duduk tak jauh dari Yeon Ae yang juga duduk di atas lantai panggung. Sementara itu Woohyun bersiap memainkan keyboard, Dongwoo memainkan gitar dan Amber siap menabuh drumnya untuk mengiringi alunan gitar akustik Yeon Ae.
(Yeon Ae) eoneu saenga moereojin, uriui siganeul giokhae.
nareul bonaen huedo neoneun geuripji anhanneunji.
nan ajik neoreul geurimyeo, siganeul japgo inneundae.
nunmureun ije geuman heullyeo nareulbwa.
doraogimaneul gidaryeo.
jeonhago sipeun yaegiga manha oh ho...
(Yeon Ae+Howon) chueogeul dorikyeo, nal gieokhae jullae, dan hanbonirado joha.
saranghae neomaneul, eonjena yeongwonhi, nal wihae jigeum malhaejwo.
(Yeon Ae) eojjeomyeon heeojime, deo manheun sigandeuri gago.
gilji anteon iyagi jinabeorin chueogingeolkka.
seuchyeogal siganigien yeah~
naegeneun maeumideon neo.
(Yeon Ae+Amber) nunmureun ije geuman heullyeo nareulbwa.
doraogimaneul gidaryeo.
jeonhago sipeun yaegiga manha.
gieokhae sojunghaetdeon uri siganeul.
hamkke saranghaetdeon gieogeul.
jubideon uri mannan wihaesseo...wihaesseo…
(Yeon Ae) dan hanbeon wihaesseo (Amber: wihaesseo...)
giokhae...
dorawa... giokhae... sarang... hae...
Mata sipit Sungkyu melebar ketika Yeon Ae mulai menyanyi. Seketika itu punggungnya menegang. Apa ini? Bukankah, bukankah Yeon Ae itu bisu? Lalu siapakah yang sedang bernyanyi sambil menggenjreng gitar di atas panggung itu? Apakah itu lip sing? Tidak! Itu asli, asli, gadis itu yang menyanyi.
Secepat kilat otak Sungkyu memutar semua memorinya bersama Yeon Ae. Gadis itu tak pernah bersuara sejak pertama kali Sungkyu bertemu dengannya. Sungkyu benar mengira Yeon Ae bisu, tidak hanya mengira tapi ia juga mengutarakan penilaiannya itu pada Yeon Ae. Yeon Ae hanya tersenyum ketika Sungkyu mengatakan, "maaf, aku tidak tahu jika kau bisu." Sungkyu mengucap kata itu ketika ia ketahuan sedang membuntuti Yeon Ae di panti asuhan.
Jika benar Yeon Ae bisu, lalu siapa gadis yang sedang menyanyi diatas panggung itu?
***
Usai melantunkan tembang Waiting For The Time yang dipopulerkan oleh Jung Jun Il dalam film Doremifasolasido itu, Yeon Ae dan Myungsoo harus menyelesaikan beberapa adegan ending dari drama malam ini. Yeon Ae dan Myungsoo berdiri berhadapan. Yeon Ae benar-benar menangis. Myungsoo menyentuh lembut pipi Yeon Ae dan mengusap air mata gadis itu.
"Ini benar-benar kau... Julia..." suara Myungsoo terdengar parau.
Ekspresi Sungkyu berubah. Jika tadi ia berbinar, rona bahagia itu tak terlihat lagi sejak Yeon Ae menyanyi. Sekarang yang terlihat adalah ekspresi marah menatap dua makhluk di atas panggung itu. Marah? Kenapa? Apa yang salah pada Yeon Ae? Bukankah Sungkyu sendiri yang menganggap Yeon Ae bisu dan memposisikan gadis itu dalam peran bisu? Tidak! Harusnya Yeon Ae memberi penjelasan pada Sungkyu. Seharusnya.
* Winter Love Song - Violet instrumental *
Myungsoo dan Yeon Ae harus menyelesaikan bagian akhir dari drama. Yeon Ae memeluk Myungsoo sambil terus mengucap dialognya. Myungsoo melepas pelukan Yeon Ae kemudian mengusap air mata gadis itu.
"Aku janji, aku tidak akan pergi lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Julia." kata Myungsoo dengan lembut. "Julia... saranghae... yeongwonhi..." bisik Myungsoo. Tanpa ragu Myungsoo mencium bibir merah Yeon Ae.
"HAGH!!!" Sungyeol melotot kaget melihat adegan di atas panggung.
"Omo! Mereka benar melakukannya!" komentar Sungjeong.
Myungsoo tetap mencium Yeon Ae seperti itu hingga tirai panggung tertutup dan Park Sooyoung -Lizzy After School- muncul membacakan epilog.
Myungsoo melepaskan ciumannya. Keduanya menjadi kaku satu sama lain.
"BRAVO!" Gahee memecah suasana. "Hagh... kalian membuat ending yang sempurna. I like it! Aku tahu pilihanku tidak lah salah, hahaha... Terima kasih!" Gahee menepuk pundak Myungsoo lalu mencubit pipi Yeon Ae sebelum meninggalkan keduanya.
Karena merasa canggung, Yeon Ae menarik diri dari hadapan Myungsoo. Tentu saja dia harus pergi, setelah ini Yeon Ae harus tampil bersama SURI.
"Ya!" Howon menepuk punggung Myungsoo. "Kenapa kau benar-benar menciumnya? Aish!"
Sungkyu masih bertahan di tempat ia duduk. Sebenarnya dia ingin pergi, tapi tak ingin pergi.
Kang Dongwoon menahan Sungkyu. “Kau tidak ingin melihat penampilan adikmu selanjutnya?"
"Penampilan??"
"Aku tahu kau itu juga kakak Yeon Ae, aku juga kakaknya..."
"Aku juga!" potong Jessica. "Yeon Ae lumayan dekat dengan adikku, dia juga memanggilku 'kakak', jadi dia juga adikku!" cerocos Jessica.
Penonton riuh ketika para personel SURI muncul diatas panggung. Sepertinya penampilan mereka benar-benar ditunggu. Keempat personil SURI, Woohyun, Yeon Ae, Dongwoo, dan Amber tampil dengan riasan gothic malam ini.
SURI membuka pertunjukan mereka dengan membawakan tembang It's My Life yang dipopulerkan oleh Bonjovi. Penonton berdiri ikut bernyanyi bersama Woohyun. Suasana benar-benar jadi hidup. Sungkyu yang tadinya kesal kini terlihat mulai larut dalam hingar bingar dalam gedung teater.
***
Pentas seni sukses digelar. Semua membicarakan kesuksesan pertunjukkan malam ini. Sungyeol berjalan menembus kerumunan para pengisi acara di belakang panggung. Ia terus berusaha menelpon Yeon Ae, berjalan membelah kerumunan sambil menempelkan ponsel dit elinga kanannya. Howon pun sama berusaha menelpon Yeon Ae, namun terus terdengar nada sibuk. Sungyeol dan Howon bertemu. Keduanya sama-sama memegang ponsel yang mereka tempelkan di telinga kanan masing-masing.
"Ah! Pantas saja tidak bisa dihubungi!" keluh Dongwoo memecah kebisuan di antara Howon dan Sungyeol. "Kalian mencoba menghubungi Yeon Ae?"
"Kau juga?" tanya Sungyeol.
"Dia tiba-tiba menghilang, aku tidak menemukannya di semua sudut tempat ini." jawab Woohyun.
"Hentikan semua! Biar aku saja yang menelpon Yeon Ae!" perintah Sungjeong. Dongwoo, Howon, dan Sungyeol mematuhi perintah Sungjeong. "Terhubung!" ucap Sungjeong girang.
"Tunggu!" sela Sungyeol sambil menajamkan indera pendengarannya. "Nada ini... ini bunyi ponsel Yeon Ae! Iya benar!" katanya yakin dan semua ikut menajamkan telinga menyambut nada yang semakin bergerak mendekat itu.
"Kenapa ada padamu?!" Sungjeong menuding Myungsoo yang datang mendekat seraya menenteng ponsel Yeon Ae.
"Yeon Ae meninggalkannya begitu saja di dekat jendela sebelum pertunjukan mulai." jelas Myungsoo.
"Lalu... dimana pemiliknya?" kata Dongwoo lirih.
"Apa mungkin Yeon Ae diculik?" tanya Howon.
"Ish! Itu tidak mungkin!" bantah Dongwoo.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Woohyun.
"Ada apa?" Howon balik bertanya.
"Tadi sebelum acara dimulai, aku menemukan Yeon Ae tampak resah di depan pintu masuk. Apa dia ada janji dan menunggu seseorang?" imbuh Woohyun.
"Oh iya! Aku dan Myungsoo juga melihatnya seperti itu di belakang panggung. Lalu saat aku mengikutinya, dia berhenti di depan pintu masuk dan menatap koridor selama beberapa saat. Aku yakin dia sedang menunggu seseorang!" Howon kemudian melipat tangannya.
"Kita semua ada, lalu siapa yang ia tunggu?" tanya Sungyeol.
Yeon Ae menghentikan langkahnya menatap isi ruang tengah kediamannya. Dongwoo, Howon, Sungjeong, Myungsoo, dan Woohyun tiduran di atas permadani tebal yang berada di depan televisi ruang tengah.
"Kau?!" Sungyeol kaget melìhat Yeon Ae sudah berdiri di sana.
"Yeon Ae??" Howon berbinar melihat pujaan hatinya kembali.
Myungsoo bangkit dari duduknya dan mendekat pada Yeon Ae. "Darimana saja kau?! Kenapa kau tinggalkan ponselmu begitu saja?! Apa yang sebenarnya terjadi?!" Myungsoo memberondong Yeon Ae dengan semua pertanyaan di otaknya.
"Drama sudah berakhir! Jangan berlebihan seperti itu!" jawab Yeon Ae santai.
"Ish! Apa kau tidak tahu bagaimana khawatirnya kami?!"
"Aku lelah. Aku mau istirahat!"
"Yeon Ae-aa!" Sungyeol mengejar Yeon Ae yang belari kecil menaiki tangga.
"Jangan!" tahan Woohyun saat Myungsoo hendak menyusul Sungyeol dan Yeon Ae. "Lebih baik kita menunggu di sini.”
***
Tiga (Part #2) Ending
Yeon Ae menatap layar ponselnya. Sudah seminggu ini Sungkyu menghilang. Ia tak muncul di pesta ulang tahun sekolah, tak muncul di taman, juga tak membalas pesan Yeon Ae. Yeon Ae terlihat pucat rebahan di kamarnya. Sungyeol masuk sembari membawa satu baki menu makan siang untuk Yeon Ae.
"Ayo makan dulu." pinta Sungyeol lembut seraya duduk di ujung ranjang.
Yeon Ae tidak menjawab malah menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Bagaimana??" sambut Dongwoo saat Sungyeol kembali turun.
"Masih demam, panas, tapi Yeon Ae menolak ke dokter." jawab Sungyeol lesu.
"Apa ini gara-gara ciuman Myungsoo waktu itu?"
"Babo!" Amber sontak menjitak Dongwoo.
"Auw!" pekik Dongwoo spontan kemudian segera mengelus kepalanya. "Bisa saja kan? Yeon Ae berubah sejak itu!"
"Yeon Ae berubah sebelum pertunjukan dimulai," bantah Woohyun. "Panas Yeon Ae tak kunjung turun karena ia tak mau makan, aku yakin itu."
"Kalau begitu, ayo kita lakukan sesuatu!" usul Howon penuh semangat.
"Melakukan sesuatu apa?" tanya Sungjeong.
"Apa saja, asalkan Yeon Ae mau makan. Bagaimana?" Semua diam menatap Howon.
"Aku ada di balkon, apa kau tidak ingin keluar?" tanya Myungsoo sa't Yeon Ae menerima telponnya. "Aku tahu siapa yang kau tunggu," imbuh Myungsoo. Myungsoo tersenyum melihat Yeon Ae muncul di balkon kamarnya.
"Wajahmu jelek sekali. Kau kenapa?" tanya Myungsoo dengan ekspresi meledek.
"Kemari jika kau berani!" tantang Yeon Ae.
"Tidak mau! Kau jelek dan bau!"
"Apa?!! Hih! Aku tidak seburuk itu! Myungsoo!"
"Iya?? Panggil aku Pangeran Myungsoo, Putri Yeon Ae!"
"Ish!" Yeon Ae kembali masuk ke kamarnya.
Myungsoo tersenyum getir menatap sosok Yeon Ae yang tak lagi ada di hadapannya. "Orang itu bukan aku... Yeon Ae... siapa dia?"
***
Hyunjoo berjalan terburu-buru menaiki tangga lalu dengan keras membuka pintu kamar Yeon Ae.
"JAGIYA!!!" teriaknya Hyunjoo kemudian segera memeluk putri semata wayangnya.
"Appa…." rengek Yeon Ae merasa malu diperlakukan seperti itu di depan teman-temannya. "Appa!" kali ini Yeon Ae sedikit berteriak seraya berusaha melepas pelukan sang Ayah.
"Kenapa? Kau malu? Aigo aku ini ayahmu! Tidak apa-apa kan?" Hyunjoo menatap Dongwoo, Howon, Myungsoo, Sungjeong, Woohyun, Sungyeol, dan Amber yang berada di kamar Yeon Ae.
"Kau kenapa??" Hyunjoo meletakkan telapak tangan kanannya pada kening Yeon Ae.
"Gwaenchanna…" Yeon Ae menyingkirkan tangan Hyunjoo.
"Tidak ada alasan, kau tidak mau makan dan kau demam, itu tidak mungkin. Tidak ada akibat jika tidak ada sebab!" bantah Hyunjoo. "Kalian, katakan, apa yang sebenarnya terjadi pada anak ini?" Hyunjoo bertanya pada teman-teman Yeon Ae dan menuding Yeon Ae. Dongwoo cs kompak menggeleng.
"Aish! Jagiya, kau harus sembuh, karena ayah sudah punya rencana untukmu!"
"Mwo?? Rencana??”
***
Yeon Ae terlihat cantik malam itu. Gaun selutut berwarna putih tulang yang ia kenakan semakin memancarkan aura kecantikan Yeon Ae.
"Apa?!!!" Myungsoo kontan bangkit dari duduknya. "Aku harus pergi!"
"Myungsoo! Jangan!" tahan Howon.
"Aku tidak bisa membiarkan Yeon Ae dijodohkan! Ini tidak boleh terjadi!" Myungsoo berusaha berontak dan Howon semakin erat memeluknya.
"Myungsoo, tenangkan dirimu!" bentak Woohyun. "Sungyeol, apa benar malam ini Paman Oh membawa Yeon Ae untuk perjodohan?"
"Aa…molla..." Sungyeol mengangkat kedua bahunya.
"Molla?!!" pekik Myungsoo. "Tadi kau bilang Yeon Ae dibawa pergi untuk dijodohkan tapi kini kau bilang kau tidak tahu! Kau!"
"Myungsoo! Myungsoo! Tahan emosimu!" kini Dongwoo ikut membantu Howon menahan Myungsoo.
"HAAAGH!" teriak Myungsoo kesal.
"Ayolah. Yeon Ae bukan gadis bodoh dan Paman Oh bukan sosok orang tua yang kolot. Aku rasa tidak mungkin jika Paman Oh akan menjodohkan Yeon Ae," Woohyun mencoba meredam.
"Aku sependapat dengan Woohyun," kata Howon.
"Aku juga!" Dongwoo pun sama.
"Yeon Ae itu pintar dan bijaksana, jadi aku yakin dia tak akan bertindak bodoh." komentar Sungjeong.
"Bicara memang mudah tapi tidak pada kenyataannya kan?!" tiba-tiba Sungyeol bangkit dari duduknya. "Aku, aku mendengarnya, Ayah angkat mengatakan, kau pasti suka pria ini. Dan aku paham, tak seharusnya aku merasa seperti ini!" Semua melongo, menatap heran pada Sungyeol.
"Maaf..." Sungyeol kembali duduk.
Hyunjoo dan Yeon Ae sampai lebih dulu. Yeon Ae berdiri menatap bangunan restoran mewah yang berdiri megah di hadapannya. Hyunjoo mengabaikan ekspresi Yeon Ae dan tetap menggandeng anak gadisnya masuk ke dalam restoran.
Menyewa ruang VVIP? Istimewa sekali? Padahal hanya bertemu teman lama. 10 menit kemudian teman lama Hyunjoo pun tiba. Yeon Ae tetap duduk walau Hyunjoo sudah bangkit dari duduknya untuk menyambut kedatangan sahabatnya. Hyunjoo meremas pundak Yeon Ae, memaksa gadis itu berdiri. Yeon Ae berdiri dengan terpaksa lalu memberi salam pada sahabat sang Ayah juga dua orang pemuda yang mengekor di belakangnya.
"Wah, Yeon Ae kecil sudah berubah menjadi putri yang amat cantik sekarang. Kau masih ingat aku?" tanya pria itu. Serta merta Yeon Ae menggelengkan kepala. "Hahaha... tentu saja kau tidak ingat. Dulu kau masih sangat kecil saat terakhir kita bertemu. Aku Kim Seung Woo."
Kim Seung Woo? Siapa dia? tanya dibenak Yeon Ae.
"Ini putra sulungku, Kim Sung Je." Seungwoo memperkenalkan pemuda yang berdiri di samping kanannya. Kim Sung Je -Supernova- tersenyum manis pada Yeon Ae. Yeon Ae pun membalas senyum.
"Dan ini, keponakanku dari Daegu, Kim Kibum,. kini Seungwoo memperkenalkan pemuda yang berdiri di samping kirinya.
"Annyeong," Kim Kibum -Key SHINee- membungkuk sopan. "Sepertinya kita pernah bertemu, tapi dimana ya?" kata Kibum tanpa sungkan.
"Hahaha... Putriku ini memang biasa berada dimana-mana," jawab Hyunjoo.
"Oh iya! Aku ingat! Di..."
"Maaf aku terlambat," sela pemuda yang baru saja masuk itu. "Apa aku sangat terlambat?" kata Sungkyu seraya mengangkat kepala.
Mata Yeon Ae melebar, Sungkyu pun sama ketika mengangkat kepala dan mendapati Yeon Ae berada di sana.
"Dia itu putra bungsuku, adik Sungje. Dia Kim Sungkyu." Seungwoo memperkenalkan Sungkyu.
"Wah wah wah, ini dia Sungkyu? Dia sudah sebesar ini sekarang," komentar Hyunjoo. "Ini putri semata wayangku, Yeon Ae," imbuhnya.
"Kami sudah bertemu sebelumnya," kata Yeon Ae tanpa ragu. Apa kabar Oppa? Yeon Ae menggerakan tangannya.
Sungkyu terpaku dan membisu.
"Nah itu dia!" Kibum memecah suasana. "Aku pernah melihat fotonya di ponsel Sungkyu Hyung! Pantas saja tidak asing!”
"Wah, sepertinya kita banyak ketinggalan ya?" komentar Seungwoo.
"Orang tua memang tidak pernah menang dari anaknya ya hahaha..." Hyunjoo tertawa lepas.
Makan malam yang hangat dan menyenangkan. Reuni kecil dari dua keluarga itu. Usai makan malam tak satu pun beranjak. Hyunjoo dan Seungwoo asik reunian sedang Yeon Ae ngobrol dengan Sungje. Keduanya tampak akrab, Sungkyu hanya bisa menjauh dan mengawasinya. Usai bergabung sejenak dengan Sungje dan Yeon Ae, Kibum kembali pada Sungkyu. Ia menarik Sungkyu memaksa pemuda itu bergabung.
"Ceritakan padaku, bagaimana kalian bertemu dan saling mengenal?" tanya Sungje saat Sungkyu bergabung.
"Iya ceritakan! Aku juga ingin tahu!" Kibum antusias.
"Kau ini!" Sungkyu menepuk Kibum.
"Kalian bertemu di taman kan?" kata Kibum.
"Kau tahu?" tanya Sungje.
"Sungkyu Hyung pernah cerita tapi sepenggal-sepenggal saja."
"Malam itu, Oppa datang kan?" tanya Yeon Ae. "Aku tahu Oppa datang dan aku tahu kenapa Oppa menghindari aku."
"Yeon Ae-aa, mianhae, jongmal mianhae," kata Sungkyu.
"Gwaenchanna. Oppa bukan orang pertama yang menganggapku bisu. Kesalahpahaman ini sering muncul sejak setahun yang lalu." Sejenak suasana di balkon jadi hening. "Oppa marah padaku?"
"Eng... itu..."
"Iya! Pasti! Aku kan menipu Oppa. Pasti Opp..."
Sungkyu meraih tubuh Yeon Ae, memeluknya erat. "Mianhae... Jeongmal mianhae..." bisiknya.
***
Hyunjoo sedikit kaget melihat Dongwoo cs masih bertahan di rumahnya.
"Kalian masih di sini?" tanya Yeon Ae.
"Permisi Paman!" Sungyeol dan Myungsoo langsung menculik Yeon Ae dari sisi Hyunjoo.
"Ya! Apa-apaan ini?!" protes Yeon Ae saat mereka sampai di lapangan basket indoor. Dongwoo, Woohyun, Howon dan Sungjeong juga menyusul masuk.
"Apa yang terjadi?" tanya Sungyeol.
"Mwo??" Yeon Ae makin bingung.
"Apa Paman Hyunjoo menjodohkanmu?!"
"Mwoya?!!"
"Kau setuju pada perjodohan itu?" giliran Myungsoo bertanya.
"Hallo! Kalian ini bicara apa? Perjodohan apa? Aigo… kalian membuatku pusing!"
"Paman Oh membawamu malam ini untuk dijodohkan dengan anak sahabatnya, benar tidak?" sela Sungjeong.
"Mwo?? Ini bukan zaman dinasti Joseon, siapa yang mau dijodohkan??" Yeon Ae balik bertanya.
"Jadi... semua itu tidak benar?" tanya Howon memastikan.
"Kami hanya pergi makan malam, reuni kecil, hanya begitu saja, tidak ada hal istimewa lagi."
Semua langsung sumringah, bahkan saking senangnya Howon langsung memeluk Yeon Ae dan membuat Myungsoo juga Sungyeol kesal. Suasana jadi gaduh di lapangan basket indoor di kediaman Yeon Ae.
***
Sungkyu duduk di samping kanan Yeon Ae di bangku taman dimana keduanya biasa berbagi. Tatapan kagum dan teduh Sungkyu yang sama sekali tak beralih sejak Yeon Ae memainkan gitarnya dan menyanyi.
...and if I ever lose my power to fly, then your love takes me high, I'll always be true to you. Sometimes I think I might lose it all, guess the chances are small. Cause you hold me close I feel you near. Don't let go say you'll always be here. So just hold me tight and I'll be fine... Dreaming you will always be mine... Ooh... Dreaming you will always be... mine... Yeon Ae menghentikan gerak tangannya menggenjreng gitar.
Sungkyu pun bertepuk tangan antusias saat pertunjukan Yeon Ae usai.
"Kau punya suara bagus tapi kau sembunyikan dariku. Kau ini kejam sekali padaku," kata Sungkyu.
Yeon Ae tersenyum geli melihat ekspresi Sungkyu. "Rasanya menyenangkan ketika bisa menjadi pendengar. Aku terbiasa seperti ini sejak setahun yang lalu. Awalnya hanya iseng tapi jadinya seperti ini."
"Apa teman-temanmu tidak protes?"
"Pasti pada awalnya, tapi mereka paham. Bukan Yeon Ae namanya jika tak berperilaku aneh, begitu kata mereka. Padahal aku tak seaneh itu kan?" Yeon Ae menatap Sungkyu meminta dukungan dari pemuda itu.
Sungkyu tersenyum saja seraya mengelus kepala Yeon Ae.
"Oppa, Oppa tidak akan pergi dan menghilang lagi kan?"
"Apa kau tidak keberatan jika aku selalu mengganggumu?"
"Sebulan ini memang merepotkan sekali, tapi aku mulai terbiasa, tidak apa-apa..." kata Yeon Ae dan Sungkyu tersenyum lega. "Satu hal lagi!"
"Apa?"
"Jangan pernah menangis di hadapan gadis lain selain aku, oke?!"
"Mwo?? Aish... Oke, oke!"
"Yaksokhae." Yeon Ae mengulurkan jari kelingkingnya.
Sungkyu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Yeon Ae. "Yaksokhae." bisiknya.
"Sekarang ayo kita pergi!"
"Kemana?"
"Ayo!" Yeon Ae menarik tangan Sungkyu dan pemuda itu pun pasrah ketika Yeon Ae menyeretnya pergi.
***
* Infinite - Entrust *
Yeon Ae dan Amber ikut larut dalam permainan basket bersama Woohyun, Myungsoo, Dongwoo, dan Howon. Woohyun-Yeon Ae-Myungsoo menjadi satu tim melawan Howon-Amber-Dongwoo. Suasana lapangan basket kampus jadi riuh karena adanya pertandingan 3 on 3 itu.
Sungjeong tampak bersemangat duduk sambil bersorak sorai memberi semangat pada teman-temannya di tengah lapangan. Penonton semakin terhibur karena Howon pasti akan melakukan tarian anehnya jika ia berhasil memasukan bola ke dalam keranjang. Bahkan pada akhir pertandingan semua ikut menari menirukan gerakan Howon.
Sungjeong yang baru pulih dari cidera juga ikut menyeret Sungyeol ke tengah lapangan dan ikut menari. Choi Min Hwan yang hobi membawa handycam kemana-mana tak menyia-nyiakan momen itu dan merekamnya. Semua terlihat bahagia hari itu.
Hyunjoo mengadakan liburan bersama. Ia mengajak keluarga Kim dan juga teman-teman dekat Yeon Ae liburan di vila pribadinya di pulau Jeju. Myungsoo cs tak canggung lagi bertemu Sungkyu karena beberapa waktu lalu Yeon Ae telah memperkenalkan pemuda itu pada mereka.
Sejak tiba muda-mudi (Yeon Ae, Infinite, Amber, Key, Sungje) ini seolah tak lelah bermain. Pantai, pastilah hal menyenangkan bagi mereka. Malam ini mereka berkumpul di pinggir pantai dan membuat api unggun. Mereka membuat permainan dan bercanda bersama.
"Malam ini kami akan memberikan pertunjukan perdana kami.” Sungjeong berdiri memberi sambutan.
"Pertunjukan perdana? Aish! Apa-apa?" komentar Dongwoo.
Yeon Ae yang duduk di antara Sungkyu dan Kibum hanya tersenyum saja menanggapinya.
Myungsoo bangkit dari duduknya dan berjalan menuju Yeon Ae. “Boleh pinjam gitarnya?" sambil mengulurkan tangan kanannya.
Yeon Ae tampak bingung lalu memberikan gitar dalam pelukannya pada Myungsoo.
"Woo~!!!" Dongwoo bertepuk tangan antusias. "Eh, Sungyeol juga??" tanyanya saat Sungyeol berdiri dan bergabung bersama Myungsoo dan Sungjeong.
"Mwoya igo? Mereka akan membentuk band baru?" komentar Amber.
"Sejak kapan Myungsoo bisa memainkan gitar?" tanya Woohyun menyela Amber dan Dongwoo.
"Yeon Ae??" kata Dongwoo dan ketiganya menatap Yeon Ae.
"Yorobun, nikmatilah! Ini penampilan perdana kami trio..." kata Sungjeong yang kemudian diam. Semua menunggu pemuda itu melanjutkan kalimatnya. "Apa nama trio kita?" tanya Sungjeong pada Sungyeol dan Myungsoo.
Kontan semua menertawakan Sungjeong dan tentu saja yang paling parah adalah Dongwoo. Ia spontan tertawa ngakak melihat ekspresi Sungjeong.
"Ah, sudahlah! Sebut saja kami trio No Name," kata Sungyeol.
"Lekas, kalian mau apa?" sahut Dongwoo.
"This song for you my love!" kata Sungyeol seraya melakukan wink yang ia tujukan pada Yeon Ae. Lagi-lagi semua tertawa karenanya.
Suasana kembali hening ketika Myungsoo mulai memetik gitarnya. Deburan ombak di pantai terdengar syahdu mengiringi dentingan gitar Myungsoo.
(Myungsoo) eoneudeot barame sillyeo, nae jameul kkaeuneun, dalkomhan nae soskagimi turutututu...
(Sungjeong) kkumeseo bodeon sinbiroun geumiso... nuni busi dorok areumdawo...
(all) * saranghae baby baby love, honey honey love.
neoman neoman saranghae yeongwontorok.
gieokhae oneul oneul do, naeil naeil do...
oneul boda neil deo neol saranghalgae...
(Myungsoo) turutututu... (Sungyeol) sujupge hadeon neowa ui ip machum, sumi meojeulmankeum tteolligahae...
(all) *
(Myungsoo) niga naui yeoja raneunge..
(Sungjeong+Sungyeol) nan gomaul ppuniya
(Myungsoo) naega neoui namjaraneunge... gomawo...
(all) *
Semua larut, bertepuk tangan mengikuti alunan musik yang dimainkan Myungsoo. Bahkan ikut bernyanyi menjelang lagu berakhir.
"Woo~ hu! Daebak! Daebak!" Dongwoo mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan bertepuk tangan.
"Kamsahamnida, kamsahamnida, kamsahamnida," Sungjeong membungkukkan badan ala artis papan atas seusai konser.
Hyunjoo dan Seungwoo tersenyum melihat putra-putri mereka berkumpul dan bercanda. Mereka tampak riang bermain kembang api dan bernyanyi juga menari.
"Rasanya waktu begitu cepat berlalu ya?" kata Seungwoo.
"Em, dan kita sudah setua ini. Aku ingin, kita dan juga mereka bisa seperti ini selamanya," Hyunjoo menimpali.
"Selamanya? Apa itu mungkin?"
"Tentu saja. Mereka terlahir untuk melanjutkan apa yang sudah kita rajut."
"Oh, iya ya..."
* Infinite - Fixed Star *
Yeon Ae duduk di tengah-tengah di antara Sungkyu dan Myungsoo. Ada juga Dongwoo, Howon, Sungjeong, Sungyeol, dan Woohyun bersama mereka. Kedelapannya duduk di pinggir pantai menatap pantai di malam hari. Taburan bintang di angkasa dan deburan ombak turut menemani mereka. Yeon Ae menatap langit dan ia tersenyum ketika ada satu bintang berkerlip padanya.
"Omma... aku bahagia, kamsahamnida... Saranghae Omma..." bisik Yeon Ae dalam hati.
***
"Begini saja kah?" tanya Sungyeol.
"Apa??" Yeon Ae balik tanya.
"Kau, jadi kau bagaimana?"
"Mwoya?? Aish, mad man!"
"Ya! Yeon Ae-aa!!!”
***
Description: . Genre: 1-3/straight/comedy romance (?)
. Author: shytUrtle
. Main cast:
- All my lovely shigUi/reader as Oh Yeon Ae
- Sungkyu Infinite as Kim Sung Kyu
- L Infinite as Kim Myung Soo
. Other cast:
- Hoya as Lee Ho Won
- Wohyun as Nam Wo Hyun
- Sungyeol as Lee Sung Yeol
- Sungjong as Lee Sung Jong
- Dongwoo as Jang Dong Woo
. Special Appearance: Amber Liu f(x), Key SHINee, Kim Sung Je Supernova, After School (Gahee, Raina, Nana, Lizzy, UEE) etc.
. Theme song: Infinite Cover Girl, Amazing, Julia, etc.
|
Title: Rapunzel Si Gadis Lomographic Holga
Category: Teenlit
Text:
Prolog
Aku Rapunzel, dan jangan pernah membayangkan diriku seorang gadis yang mempunyai rambut panjang yang sedang di tawan oleh seorang penyihir di sebuah istana yang tinggi. Bukan, aku bukan Rapunzel yang seperti itu, tapi mungkin hampir mirip.
Lebih tepatnya, aku seorang gadis biasa yang mempunyai rambut sebahu, yang lebih suka mengurung diri di dalam sebuah istana bata merah. Di istana tersebut terdapat seorang ibu peri yang cantik dan naga jelek yang baik hati. Aku tidak di tawan oleh penyihir, lebih tepatnya aku di tawan oleh traumaku di masa kecil. Di kisahku ini, bukan penyihir yang jahat, tapi manusialah yang jahat.
Pernahkah kamu berpikir bahwa terkadang manusia lebih jahat di bandingkan seorang penyihir. Manusia-manusia tersebut membuat mantra yang lebih kejam di bandingkan mantra para penyihir. Apa kamu tahu nama mantra tersebut? Ejekan, ya nama mantra itu adalah ejekan. Mantra yang sederhana yang bisa menciptakan sebuah trauma yang besar hingga mengubah hidup manusia lainnya.
Mantra itulah yang membuatku menjadi seorang Rapunzel. Mantra yang membuatku tidak bisa keluar rumah, mantra yang membuatku takut dengan yang namanya sekolah. Mantra yang membuatku tidak bisa menikmati masa remajaku.
Dan seperti cerita dongeng, mantra itu musnah saat seorang pangeran berhasil membawaku keluar dari istana.
Chapter 1 I’m silently crying
Di akhir sebuah cerita dongeng, bukankah setiap putri akan bertemu dengan pangerannya dan hidup bahagia selama-lamanya. Bolehkan aku mengharapkan hal yang sama? Bertemu dengannya lagi dan hidup bahagia. Dia pangeranku, yang berhasil membawaku keluar dari istana. Istana tempatku mengurung diri.
Bahkan di setiap drama Korea yang pernah aku tonton, pemeran utama selalu bertemu kembali, walaupun waktu memisahkan mereka. Bisakah aku mengharapkannya? Bisakah aku bertemu dengannya? Bahkan aku belum sempat memberitahunya tentang perasaanku.
Perasaan yang dulu belum aku sadari betapa berharganya dia. Perasaan yang terhalang cinta yang lain. Cinta seseorang yang tidak ingin aku lukai, meskipun aku harus melukai diriku sendiri dan dirinya.
“Apa yang sedang tuan putri pikirkan? Apa tuan putri merindukan pangeran?” goda Erick, kakakku satu-satunya yang paling aku saying. Kakak yang bagaikan seorang kesatria untukku.
“Kakak, hentikan! Jangan panggil aku tuan putri lagi!” pintaku.
“Kenapa?” tanyanya sambil membelai rambutku dengan lembut.
“Karena aku bukan seorang Rapunzel lagi. Lagipula aku sudah terlalu tua untuk menjadi seorang putri,” jawabku.
Dia hanya tertawa mendengar jawabanku.
“Apa kamu merindukannya?” tanyanya dengan wajah yang serius.
“Absolutely, I really miss him,” jawabku.
Sedih, pasti jika mengingat semua kenanganku bersama dia.
“What will you do if you met him, but it would be different with your expectation?” tanya kakakku.
“Bukannya kakak merusak harapanmu, tapi kemungkinan hal itu akan terjadi,” lanjutnya.
“I knew,” jawabku.
“But I don’t care. I just wanna know that he is okay,” kataku.
Ya, aku tidak memperdulikannya jika dia tidak lagi mempunyai perasaan itu kepadaku, selama dia hidup bahagia. Walaupun itu akan semakin melukaiku.
Tidak, aku berbohong. Aku tidak mau dia melupakanku dan semua perasaan yang dia rasakannya dulu terhadapku.
“The last think I want to tell him that I was happy because he was able to be by my side like a gift.” Kataku lirih.
Potongan tentangnya kembali lagi di benakku. Terputar lagi seperti potongan drama yang semakin membuatku sakit.
Chapter 2 When I was still a Rapunzel
Perkenalkan, namaku Azyra Kirana. Panggil saja aku Ran. Aku seorang gadis SMA yang lebih suka menghabiskan waktu sendirian di dalam kamar. Aku selalu menganggap bahwa tempat teraman di dunia ini adalah kamar. Di dalam kamar, kamu tidak akan melihat orang lain yang akan mengganggu hidupmu. Di dalam kamar, kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Di dalam kamar, kamu tidak akan mendengar ejekan dari orang-orang yang membencimu.
Sejak SMP, aku selalu menghabiskan waktuku di dalam kamar sendirian, hanya ada boneka, bantal dan diriku, tidak ada teman yang akan menggangguku. Kakan dan Bundaku selalu berusaha membujukku untuk mau kembali ke sekolah dan bergaul dengan yang lainnya, tapi usaha mereka selalu gagal. Agar pendidikanku tidak terbengkalai, mereka mengikutkanku pada sebuah program home schooling dari SMA terpopuler di kota ini. Jadi, aku hanya akan datang ke sekolah tersebut untuk mengikuti ujian akhir semester saja. Untuk pelajaran sehari-hari, ada beberapa guru yang akan datang ke rumah untuk mengajarku.
Seperti hari ini, seorang guru perempuan yang aku kenal sebagai Bu Nita datang kerumah dengan beberapa buku di tangannya.
“Pagi Ran,” sapa beliau.
“Pagi,” sapaku.
“Bagaimana kabarmu?” tanyanya.
“Baik,” jawabku.
“Apa Ran sudah tahu kalau hari ini hari terakhir Ran belajar Fisika di semester ini?” tanya Bu Nita.
“Huum,” kataku sambil mengangguk.
“Apa Ran sudah siap untuk ujian semester?” tanyanya.
“Tidak, Ran tidak siap untuk datang ke sekolah. Apa Ran tidak bisa mengikuti ujian semester di rumah saja?” tanyaku.
“Hahaha, Ran masih saja belum berubah. Apa Ran tidak ingin bertemu dengan yang lain? Lalu..,” Bu Nita belum menyelesaikan ucapannya, aku sudah menyelanya.
“Tidak,” jawabku singkat.
“Aku bahkan belum selesai bicara,” kata Bu Nita sambil tersenyum padaku.
“Karena Ran sudah tahu apa yang akan Ibu bicarakan,” kataku.
“Ya baiklah, ayo kita mulai pelajaran Fisika hari ini,” kata beliau.
Di antara guru pembibingku, hanya Bu Nita yang tahu keadaanku. Hanya beliau yang bisa membuatku nyaman belajar karena kebanyakan guru yang datang ke sini hanya sekedar menggugurkan kewajibannya kepadaku, tapi tidak dengan Bu Nita. Bu Nita memiliki umur yang tidak terlalu jauh dengan usiaku, mungkin sekitar enam tahun perbedaan. Mungkin itulah yang membuat beliau seperti seorang kakak bagiku, atau mungkin karena hal lainnya.
“Kak Erick belum pulang,” kataku saat melihat Bu Nita yang selalu mencuri pandang ke kamar kakakku.
“Siapa yang bertanya?” elaknya.
“Ran hanya memberitahu saja,” godaku.
“Lanjutkan pekerjaanmu!” perintahnya.
“Bu Nita kangen ya sama kak Erick,” godaku lagi.
“Ran apaan sih,” katanya malu sambil menutupi pipinya yang memerah.
“Tenang saja, besok dia pulang kok,” kataku.
“Benarkah?” katanya antusias.
“Huum,” kataku sambil tersenyum mengodanya.
“Ran hentikan, jangan menggodaku seperti itu,” katanya.
Aku selalu senang melihat pipi Bu Nita yang memerah seperti kepiting rebus saat aku menggodanya tentang kakakku. Aku punya seorang kakak laki-laki yang sekarang sudah menjadi seorang dokter muda spesialis anak-anak. Entah apa yang membuat dia menyukai kakakku yang super cuek terhadap wanita. Setiap kali aku bertanya tentang hal tersebut, dia selalu menjawab “itulah cinta”. Entah apa itu cinta, aku masih terlalu polos untuk mengetahui tentang hal tersebut.
*********
Hari ini pun tiba, aku benar-benar malas ke sekolah itu. Tidak bisakah aku ikut ujian semester di rumah saja. Semalaman aku tidak bisa tidur hanya karena memikirkan hal ini. Oh Ya Allah bisakah engkau membantuku, agar aku tidak datang ke sekolah.
“Tok tok tok,” suara seseorang mengetuk pintu kamarku.
“Iya, aku sudah bangun,” kataku pada seseorang tersebut, entah siapa aku tidak tahu, kemungkinan terbesar itu adalah Bunda.
“Woe bangun anak malas,” kata seseorang tersebut yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku.
“Kakak, kapan pulang?” tanyaku saat mengetahui bahwa seseorang tersebut adalah kakak, Erick.
“Tadi malam. Ayo bangun! Ayo kesekolah!” kata Erick penuh kecerian.
“Aahhh malas,” kataku sambil kembali menarik selimutku.
“Ayo bangun, Rapunzel!” kata Erick. Kakakku selalu mengejek dengan memanggilku Rapunzel si putri dalam sangkar bata. Mungkin bagi kalian itu adalah pujian, tapi tidak denganku.
“Aah, naga jahat, pergi kau!” kataku.
“Naga jahat siap mengantar tuan putri pergi ke sekolah,” ejeknya sambil menarik selimutku dan menyiramku dengan segelas air.
“Bundaaaa, kakak jahat,” rengekku.
“Adik cepetan mandi dan siap-siap ke sekolah! Kakak cepet keluar dan jangan ganggu adik kamu!” teriak Bunda dari dapur.
“Iya,” teriakku dan kakak bersamaan.
“Pergi sana!” teriakku.
Kakakku selalu pulang di saat aku akan pergi ke sekolah, atau lebih tepatnya saat aku akan mengikuti ujian semester. Sepertinya dia sangat khawatir dengan keadaanku, dia kakak yang baik.
Mobil kakakku yang aku naiki sudah berada di depan gerbang sekolah, tapi kakiku terasa sangat berat untuk berjalan, tubuhku mulai merasakan kecemasan. Aku benar-benar takut untuk masuk ke sana. Setiap akhir semester, hal ini harus aku rasakan. Mungkin bagi kalian pergi ke sekolah adalah hal yang biasa dan mudah di lakukan, tapi tidak dengan diriku.
“Cepetan turun!” kata Erick.
Aku hanya bisa menggeleng mendengar perintah Kakakku.
“Ayo cepetan turun! Jangan takut! Everything is gonna be alright,” katanya berusaha meyakinkanku.
“Kak, pulang yuk!” rengekku.
“Ayo cepetan sana turun, dan segera masuk ke kelas!” perintahnya dan aku hanya bisa menggeleng.
“Hanya satu minggu saja, Ran pasti bisa,” kata Erick.
“Kalau Ran bisa pergi ke sekolah selama seminggu, aku akan membelikanmu sebuah camera lomo, bagaimana?” tawarnya.
“Benarkah?” kataku penuh antusias.
“Huum,”
“Janji?”
“Janji. Sekarang Ran turun dan segera masuk ke kelas!” jawabnya.
Ku beranikan untuk turun dari mobil dan berjalan pelan-pelan, aku tidak berani menoleh, hingga sebuah suara memanggilku.
“Ran,” panggil Bu Nita.
Aku merasa sangat lega sekali saat melihat wajah Bu Nita.
“Apa kamu sudah tahu dimana kelas kamu?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng.
“Kalau begitu, ayo ikut Ibu!” ajaknya.
Aku hanya mengangguk.
“Apa kamu tadi ke sini di antar kakak kamu?” tanyanya.
“Iya, darimana Ibu tahu?” tanyaku pelan.
“Tadi dia memberitahu Ibu untuk mengantarkanmu ke kelas,” jawabnya ceria.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bu Nita saat melihat wajahku yang sudah memucat.
Entah apa yang terjadi, kenapa aku tadi mau turun dari mobil hanya karena sebuah kamera. Ah bodoh, aku benar-benar bodoh.
“Tenang saja, nggak ada yang akan ganggu kamu,” bisik Bu Nita.
Aku hanya mengganguk dan mengambil nafas dalam-dalam.
Kami berdua sudah sampai di depan kelas, kelas ini yang akan menjadi kelasku saat ujian semester berlangsung selama satu minggu mendatang.
“Ibu tinggal dulu ya. Kalau ada apa-apa hubungi Ibu segera, oke?” tanyanya.
Aku hanya mengangguk dan memberinya salam.
Saat aku berjalan ke dalam kelas, semua mata memandang ke arahku, dan kulihat ada dua orang guru pengawas yang juga melihatku. Aku beranikan diri memberi salam kepada kedua guru tersebut dengan sedikit membungkuk. Keringat dingin mulai menjalar ke tubuhku saat aku berjalan menuju tempat dudukku. Kecemasan-kecemasan mulai menguasai otakku, tapi aku berusaha menahannya.
Satu setengah jam pun berlalu, semua orang selesai dengan jawaban mereka. Kedua guru pengawas tersebut juga sudah pergi meninggalkan kelas. Di saat semua orang yang ada di kelas sedang bercanda satu sama lainnya, aku hanya bisa menutupi wajahku dengan kedua lengan di atas meja. Aku berusaha menenangkan diri dengan menutupi telingaku dengan earphone yang aku bawa. Sebuah lagu dari MBLAQ mengalir dengan lembut ke telingaku.
Hey, everything is gonna be alright
Don’t be afraid
I’ll be with you...
Ya, seharusnya semua baik-baik saja jika aku tidak menderita trauma PTSD. Seharusnya hal ini akan mudah di lakukan, jika aku baik-baik saja. Seharusnya aku mempunyai banyak teman, bercanda dengan mereka, berangkat sekolah bersama, jika aku adalah gadis normal yang tidak menderita trauma PTSD.
Aku mendapat trauma ini sejak SD, setelah kejadian itu menimpaku. Aku tidak mau mengingat kejadian itu. Maaf, aku tidak akan menceritakan kejadian itu kepada siapapun. Post Traumatic Stress Disorder atau yang lebih di kenal dengan trauma PTSD adalah suatu kondisi kesehatan mental yang di picu oleh peristiwa yang mengerikan dan meninggalkan luka sehingga membuat trauma si penderita.
Akibat penyakit itu, aku tidak bisa berada di tempat umum yang banyak orang. Aku juga tidak bisa berdiri atau tinggal di sebuah tempat yang namanya sekolah, terutama melihat kekerasan yang di lakukan sesama murid di sekolah.
“Eh, dia siapa? Sebelumnya aku tidak pernah melihat dia,” kata seseorang yang tidak aku dengar.
Aku hanya berani mendengar mereka, aku tidak berani melihat mereka, aku berharap bahwa mereka tidak memperdulikan aku dan menjauh dariku. Aku tidak mau traumaku ini kambuh di hadapan mereka.
“Mungkin dia murid home schooling,” jawab yang lainnya.
“Sepertinya dia aneh,” kata yang lain.
“Tet tet tet,” suara bel berbunyi tanpa di mulainya ujian untuk mata pelajaran kedua.
Aku merasa lega mendengar bunyi bel tersebut, terima kasih Ya Allah. Dan aku berharap di akhir kelas ini, mereka pergi meninggalkan kelas secepatnya agar aku bisa keluar dengan tenang.
Sepertinya doaku di dengar oleh Ya Allah, mereka pergi setelah mendengar bel tanda berakhir ujian. Kelas telah kosong, dan aku menyukai suasana kelas kosong ini. Sepi, tanpa ada orang lain kecuali aku. Aku mulai mengeluarkan kamera analogku dan mulai memfoto setiap sudut ruang kelas. Aku harus mengabadikan suasana kelas yang kosong ini.
Hingga aku tidak menyadari bahwa seseorang sedang melihatku yang sedang asyik memfoto setiap sudut ruangan. Saat aku menyadarinya, kecemasan mulai menguasaiku hingga tanpa sadar aku berlari tanpa membawa tasku.
“Apa kelasnya sudah selesai?” tanya Erick yang sedang bermain dengan seorang anak kecil, yang baru aku tahu ternyata itu anak dari salah satu guru di sini.
Tidak aku perdulikan pertanyaannya karena aku terlalu sibuk bersembunyi dan menenangkan diriku.
“Terima kasih sudah menemani anak saya bermain,” kata seorang wanita tua kepada kakakku.
“Sama-sama,” jawab Erick sambil tersenyum manis kepada wanita tua tersebut.
“Bagaimana ujiannya?” tanyanya saat masuk ke dalam mobil.
Aku hanya diam tidak menjawab pertanyaanya.
“Dimana tas kamu?” tanyanya lagi.
“Ketinggalan di kelas,” jawabku singkat.
“Kok bisa?” tanyanya heran.
“Tok tok tok,” seseorang mengetuk jendela kaca mobil.
Aku terkejut saat menoleh melihat sumber suara tersebut, seorang laki-laki yang tadi melihatku bermain dengan kamera analogku. Erick dengan sigap turun dan menemui laki-laki tersebut.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya Erick.
“Sepertinya tas ini miliknya,” kata laki-laki itu sambil menujukku yang sedang duduk di dalam mobil.
“Oiya, terima kasih sudah mengembalikan tas adikku,” kata Erick.
“Huum,” jawabnya sambil berjalan pergi.
“Tunggu!” teriak Erick.
“Tunggu sebentar! Sepertinya pemilik tas ini mau mengucapkan terima kasih kepadamu secara langsung,” kata Erick sambil menarikku keluar dari mobil.
Aku berusaha menahan diri agar tidak keluar dari mobil.
“Ayo keluar! Ucapkan terima kasih untuknya, tidak sopan kalau kamu hanya duduk di dalam tanpa mengucapkan terima kasih,” kata Erick.
Aku menggeleng pada kakakku.
“Tidak usah, tidak masalah,” kata laki-laki tersebut.
Aku memberanikan diri untuk turun dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Terima kasih,” kataku pelan sambil sedikit membungkukkan badan.
Entah dia mendengar atau tidak, setidaknya aku sudah berusaha mengucapkan terima kasih kepadanya.
“Sama-sama,” jawabnya pelan.
Apa aku tidak salah dengar? Dia menjawab ucapan terima kasihku. Itu berarti dia mendengarku. Syukurlah kalau begitu. Tanpa aku sadari aku tersenyum padanya.
Entah kenapa selama perjalanan pulang, kakakku selalu tersenyum. Bahkan sampai di rumah juga masih tersenyum.
“Sepertinya kakak lagi bahagia nih,” goda Bunda.
“Bagi-bagi kebahagiannya dong, Kak,” pinta Bunda.
“Ran, kakak kenapa?” tanya Bunda padaku.
“Entah,” jawabku singkat sambil melihat Kakakku yang masih saja tersenyum.
“Tahu nggak, Bun. Tadi Ran berani bilang terima kasih dan tersenyum sama orang itu,” cerita Kakakku antusias.
“Orang itu siapa, Kak?” tanya Bunda.
“Sepertinya teman sekelas Ran,” jawabnya.
Bunda ikut antusias mendengar cerita kakakku, hingga akhirnya mereka memaksaku menceritakan semuanya. Ada rona kebahagiaan di wajah Bunda dan kakakku. Andaikan aku selalu bisa membuat mereka tersenyum seperti ini, pasti hidupku akan lebih menyenangkan.
Di hari berikutnya, aku masih melakukan perdebatan dengan Kakakku di dalam mobil. Kakakku selalu saja mengancamku dengan menjadikan kameraku sebagai jaminan. Dia benar-benar licik.
Masih ada rasa takut di hatiku saat masuk ke sekolah, tapi ada sedikit rasa lega saat mengingat kejadian kemarin. Ternyata laki-laki tersebut duduk di pojok ruangan di sudut yang berbeda denganku. Sepertinya dia laki-laki yang cukup populer, karena dari tadi banyak gadis yang datang menemuinya dan memberinya beberapa hadiah.
Hari ini masih sama dengan kemarin. Kelas langsung kosong saat terdengar bunyi bel. Aku baru menyadari kalau pemandangan dari kelasku sangat keren. Kelasku berada di lantai tiga, sehingga hampir semua halaman sekolah terlihat dari tempat dudukku.
“Mau cokelat?” tanya seseorang. Aku terkejut dan gugup mendengar seseorang berada di dekatku.
“Aku tidak mungkin memakan semua cokelat ini sendirian,” kata laki-laki tersebut.
Ternyata dia, laki-laki yang sudah menolongku.
“Kenapa bengong? Nih, ambil,” katanya sambil menyodorkan beberapa batang cokelat kepadaku.
Lalu dia pergi begitu saja tanpa pendengar aku mau atau tidak menerima cokelatnya. Sepertinya ini cokelat dari beberapa gadis tadi. Andaikan kameraku ada di tanganku, pasti sudah aku foto cokelat-cokelat ini.
“Kakak, kembalikan kameraku,” rengekku pada Erick saat sampai di rumah.
“Ada apa ini?” tanya Bunda.
“Bunda, kakak ngambil kameraku,” kataku.
“Habisnya dia mulai lagi sih, Bun. Dia mulai rewel kalau di suruh masuk kelas,” kata kakakku.
“Iya iya, aku janji besok nggak rewel lagi. Sekarang kembalikan kameraku,” pintaku.
“Janji?” tanya Erick.
“Iya,” kataku.
“Kakak juga jangan lupa dengan janji kakak,” kataku memperingatkan.
“Janji apa, Kak?” tanya Bunda.
“Kakak janji kalau Ran bisa ke sekolah selama seminggu, kakak akan membelikan Ran sebuah kamera lomo,” kataku menjelaskan.
“Iya, bawel,” kata Erick sambil masuk ke dalam kamar.
“Jangan lupa kamera lomographic holga!” teriakku.
“Iya iya, bawel. Dasar Rapunzel, cepetan sana ketemu pangeran biar kamu cepet keluar dari sangkar bata,” ejek kakakku sambil keluar dari kamarnya dengan sebuah tas.
“Kakak mau kemana?” tanyaku.
“Ke rumah sakit, sepertinya kakak harus bertemu dengan putri-putri yang lain,” kata Erick.
“Lalu, aku besok ke sekolah bagaimana?” tanyaku.
“Kamu kan bisa naik taksi,” kata Erick.
“Tapi,”
“Ran pasti bisa,” kata Erick sambil mencium keningku.
“Jaga diri kamu baik-baik, hari minggu aku pulang dan membawa sebuah kamera lomo untukmu,” katanya
“Bunda, Erick pergi dulu,” katanya pamit.
“Kakak,” rengekku.
“Daaa,” kata Erick sambil melambaikan tangannya.
“Bunda,” renggekku pada Bunda.
“Ran pasti bisa,” kata Bunda sambil meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Kenapa mereka berdua tega membiarkan aku pergi sendiri? Oh tidak, aku harus bagaimana?
Hari ini hari pertamaku pergi ke sekolah sendirian, tidak ada kakak ataupun Bunda yang menemaniku. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku coba memberanikan diri masuk ke kelas. Seperti biasa, tatapan aneh mereka mulai mengusikku. “Ran pasti bisa” kata itu selalu terngiang di telingaku. Ini demi Bunda dan kakak, ini demi senyum mereka.
Detik demi detik berlalu, semua mata pelajaran untuk ujian hari ini sudah selesai. Akhirnya kelas sudah kosong, aku bisa bernafas dengan bebas. Tidak seperti biasanya, kelas kosong tidak secepat biasanya. Entah apa yang membuat mereka tidak segera keluar dari kelas.
“Apa kamu hari ini berangkat sendirian?” tanya seseorang padaku.
Dia lagi, dia selalu membuatku terkejut.
“Sepertinya kakakmu tidak mengantar,” katanya.
Aku ingin sekali menjawab pertanyaannya, tapi aku takut. Aku bingung harus berbuat apa.
“Apa kamu suka kamera analog?” tanyanya lagi.
“Oiya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Ryosaki, panggil saja Ryo,” katanya sambil mengulurkan tangannya kepadaku.
Aku bingung harus bagaimana, aku takut mengulurkan tanganku, bahkan mulutku tidak bisa mengatakan apapun.
“Oh maaf, aku hanya ingin tahu namamu. Maaf kalau aku mengganggu,” katanya sambil tersenyum dan pergi meninggalkanku.
Aku minta maaf, kamu tidak menggangguku sama sekali. Namaku Kirana, kamu bisa memanggilku Ran. Dan, terima kasih untuk cokelatnya yang kemarin. Ingin sekali aku mengucapkan kalimat tersebut, tapi sulit sekali melakukannya.
Chapter 3 He is a prince
Sudah beberapa hari, dia tidak bicara kepadaku lagi, sepertinya dia benar-benar kecewa. Aku merasa bersalah padanya. Hari ini hari terakhir ujian, itu berarti ini hari terakhir aku di sekolah untuk semester ini. Haruskah aku mengucapkan kata perpisahan dan terima kasih kepadanya. Aku tidak akan berani melakukan hal tersebut, lalu apa yang harus aku lakukan.
Ujian hari ini sudah berakhir, tapi masih banyak murid-murid yang masih berada di kelas ini. Tidak seperti biasanya, mungkin karena ini hari terakhir ujian untuk semester ini. Beberapa anak saling bercanda satu sama lain, ada juga beberapa dari mereka merencanakan untuk jalan-jalan bersama. Mereka semua terlihat menikmati masa SMA. Ingin sekali aku merasakan apa yang mereka rasakan juga, seperti jalan-jalan bersama sahabat, mengobrol, dan bercanda satu sama lain.
Di saat aku sedang memperhatikan mereka-mereka yang sedang asyik bercanda, salah satu gadis yang cantik menghampiriku.
“Eh, anak aneh,” kata seorang gadis cantik kepadaku. Kenapa dia bicara kepadaku. Apa yang harus aku lakukan? Aku mohon, pergilah kamu. Jangan ganggu aku!
“Lo anak home schooling? Siapa nama lo?” tanya gadis tersebut.
“Kenapa lo diam saja? Lo nggak bisa bicara? Lo bisu? Atau lo tuli?” ejek gadis itu. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Tolong aku, aku mohon kepadamu.
“Brukkk,” gadis itu menggebrak mejaku. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tubuhku mulai menggigil, aku mulai ketakutan, kecemasan mulai datang. Kejadian itu terputar kembali di otakku, dan mataku mulai berkunang-kunang. Apa yang harus aku lakukan. Aku mohon tolong aku!
“Lo tuli ya?” bentak gadis itu.
Gadis itu mulai mengangkat kerahku dan melepas earphoneku secara paksa. Aku hanya bisa diam, aku ketakutan, nafasku mulai sesak, dan kepalaku mulai pusing. Kakak tolong aku!
“Hentikan!” kata seseorang yang entah siapa aku tidak tahu, aku sudah tidak bisa melihat lagi. Semuanya mulai gelap.
Sinar lampu membuat mataku sakit saat aku membuka mataku. Dimana aku? Apa aku di rumah sakit? Siapa yang memanggilku?
“Ran, apa kamu sudah sadar?” tanya Bu Nita.
Ternyata Bu Nita yang memanggilku. Dia pasti sangat mencemaskanku. Aku hanya tersenyum.
“Syukur kalau begitu, lega rasanya,” kata Bu Nita.
Siapa dia? Oh dia, apa dia yang menolongku tadi? Tunggu, siapa namanya? Kenapa aku lupa nama orang yang sudah menolongku berkali-kali? Dasar bodoh.
“Apa aku harus menghubungi Bunda dan kakakmu?” tanya Bu Nita.
“Tidak perlu, saya baik-baik saja,” kataku menenangkan Bu Nita.
“Saya tidak mau membuat mereka cemas,” kataku lagi.
“Dia Ryo, dia yang telah menolongmu,” kata Bu Nita menjelaskan seolah-olah mengerti apa yang aku pikirkan.
“Terima kasih,” kataku pelan sambil membungkukan sedikit badan.
“Hari ini hari terakhir ujian, jadi kamu bisa beristirahat dan tidak merasa cemas lagi,” kata Bu Nita.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
“Apa kamu mau Ibu antar pulang?” tanyanya.
“Tidak usah, itu akan membuat Bunda curiga dan khawatir,” kataku.
“Apa kamu yakin tidak perlu di bawa kerumah sakit?” tanyanya lagi.
“Tidak, terima kasih,”
“Baiklah kalau begitu. Ibu harus pergi, masih ada banyak tugas yang menunggu. Kalau kamu takut pulang sendiri, hubungi Ibu ya,” pintanya.
“Baik, bu,” jawabku.
Bu Nita pergi, meninggalkan kami berdua di ruang kesehatan sekolah ini. Dia seperti kakak yang menolongku di saat aku membutuhkan pertolongannya.
“Ibu Nita sudah menjelaskan semuanya,” kata Ryo membuka percakapan.
“Tentang penyakit kamu,” katanya lagi.
Aku sudah menduganya. Ibu Nita pasti akan menceritakan kepada orang lain saat dia sangat khawatir. Ya sudahlah, semua sudah terlanjur.
“Apa kamu adik dokter Erick?” tanyanya.
Darimana dia tahu kalau kakakku dokter? Apa Bu Nita juga memberitahunya? Apa saja yang Bu Nita katakan?
“Dokter Erick adalah dokter yang menyelamatkan adikku,” katanya menjelaskan.
Oh begitu, jadi Bu Nita tidak memberitahunya tentang kakak. Baguslah kalau begitu. Tunggu, dia bilang apa? Adiknya di selamatkan Kakakku. Apa itu benar?
“Aku berhutang pada dokter Erick, berkat dia aku bisa berkumpul lagi dengan adikku,” katanya melanjutkan cerita.
“Adikmu sakit apa?” tanyaku. Tunggu, aku bertanya pada dia. Aku tidak percaya ini, bagaimana bisa aku bicara dengan orang yang tidak aku kenal.
“Akhirnya kamu bicara juga,” katanya menatapku dan tersenyum.
Senyum yang indah, tapi penuh dengan luka. Tunggu! Apa yang aku pikirkan? Apa aku terpesona dengan senyum itu? Ada apa denganku?
“Dia menderita jantung lemah sejak kecil, dan sudah sebulan dia koma,” kata Ryo.
“Apa mungkin dia putri salju?” gumanku pelan.
“Kamu bilang apa?” tanya Ryo.
Aku hanya mengeleng.
“Eeemm, apa nama adik kamu Hana?” tanyaku memberanikan diri.
“Bagaimana kamu tahu?” tanyanya terkejut.
“Eeemm, kakak pernah menceritakan kepadaku tentang dia. Eemm kakak bilang ada seorang putri yang cantik bernama Hana, dia memanggil Hana dengan sebutan putri salju. Dia bilang bahwa Hana tidur lama karena mimpi indah, dia menunggu seorang pangeran untuk membangunkannya,” kataku panjang lebar.
Aku lihat Ryo tersenyum mendengarnya. Mungkin dia geli mendengar ceritaku. Kakak memang menyukai anak-anak, maka dari itu dia menggambarkan anak-anak seperti pangeran dan putri negeri dongeng. Itulah alasannya dia memanggilku tuan putri juga, karena dia menganggapku adik kecilnya.
“Ma.. maaf, ka..kakakku memang begitu. Dia menyukai anak-anak, hingga menganggap mereka sebagai pangeran dan putri negeri dongeng,” kataku menjelaskan dengan terbata-bata.
“Aku tahu,” katanya.
Baguslah kalau dia mengerti. Aku tidak mau ada orang yang menganggap kakakku aneh, dia tidak aneh, dia hanya spesial untukku. Mungkin juga spesial di mata beberapa orang.
“Apa kakakmu juga memanggilmu seperti itu?” tanyanya.
Sudah aku duga dia akan bertanya demikian. Aku hanya tersenyum kepadanya.
“Rapunzel,” jawabku singkat.
Ryo tertawa terbahak-bahak mendengar jawabanku, atau mungkin karena ekspresiku saat mengatakan Rapunzel. Dasar naga jelek, gara-gara dia aku di tertawakan Ryo.
“Maaf maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu,” katanya.
Jelas-jelas dia menertawakanku.
“Apa kamu sudah puas tertawa?” tanyaku.
“Hahaha, maaf maaf,” katanya lagi.
“Lalu, kamu memanggilnya apa?” tanyanya lagi.
“Naga jelek,” jawabku singkat.
Ryo semakin tertawa terbahak-bahak. Ini pertama kalinya aku melihatnya tertawa lepas tanpa ada rasa sedih di matanya.
“Apa kamu mau pulang sekarang?” tanyanya saat melihatku memakai sepatu.
“Huum, kalau aku di sini terus, aku akan berubah menjadi badut karenamu,” kataku.
“Maaf maaf. Aku hanya tidak bisa menahan tawaku, ini benar-benar lucu,” katanya.
“Tunggu, aku belum tahu namamu,” kata Ryo setelah berhasil menahan tawanya.
“A..aku A..Azyra Ki..kirana,” kataku gugup.
“Namaku Azyra Kirana, kamu bisa memanggilku Ran. Terima kasih untuk semua bantuanmu, dan terima kasih untuk cokelatnya,” kataku cepat dan langsung berlari keluar. Aku malu memperkenalkan diriku.
Aku melihat Ryo tersenyum saat aku tidak sengaja menoleh kearahnya. Senyum yang sangat indah. Ryo seperti Erick kakakku yang selalu menolongku di saat aku membutuhkannya. Terima kasih Ryo, kamu orang pertama yang bisa membuatku bicara di depan orang yang tidak aku kenal. Aku senang bertemu denganmu. Sampai jumpa.
Chapter 4 Raja Erick si Naga Jelek
Hari minggu yang cerah. Aku sangat antusias dengan hari ini, karena aku akan mendapatkan kamera impianku, lomographic holga camera. Ini jenis kamera yang sama yang pernah Ayah berikan kepadaku waktu aku masih kecil. Sebenarnya, kamera analog yang aku pegang sekarang adalah kamera milik kakak. Ini kamera pemberian Ayah untuk kakak, tapi dia rela meminjamkannya kepadaku.
Ayah adalah seorang guru yang mempunyai hobi fotografi. Karenanya aku dan kakak selalu belajar fotografi bersama Ayah. Waktu itu, ayah memberikan kedua kamera kesayangannya kepada kami. Ayah memberikan kamera analognya kepada kakak, sedangkan kamera lomonya dia berikan kepadaku.
Apa kamu bertanya kenapa aku menggunakan kamera analog kakakku yang di berikan ayahku dulu? Kenapa aku tidak menggunakan kamera lomo pemberian ayahku? Dia hilang. Benda yang paling berharga dalam hidupku hilang bersama dengan kepergian ayah untuk selamanya.
Sebenarnya ada yang aneh denganku. Aku tahu kamera lomoku hilang, tapi aku sama sekali tidak ingat kameraku hilang kenapa, hilang dimana, kapan hilangnya. Aku tidak bisa mengingat semua itu.
“Ran, ada telpon dari kakak,” teriak Bunda dari ruang kerjanya, membuyarkan lamuanku.
“Iya, Bun,” jawabku sambil berlari keluar kamar.
“Halo Naga,” sapaku.
“Halo Rapunzel jelek,” katanya.
“Kenapa telpon?” tanyaku penasaran.
“Maaf, hari ini aku tidak bisa pulang, tapi tenang. Aku sudah mengirim kamera lomographic holganya lewat pos, jadi kamu tinggal nunggu saja,” katanya menjelaskan.
“Kenapa tidak bisa pulang?” tanyaku.
“Aku masih ada banyak pekerjaan di Rumah Sakit. Kamu jaga diri baik-baik, dan dengarkan apa yang Bunda bilang. Aku tutup dulu telponnya,”
“Tunggu!” tahanku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tidak jadi,” kataku.
“Oke, bye Naga,” kataku mengakhiri pembicaraan.
Aku ingin memberitahu Kakak tentang keinginanku terapi, tapi sebaiknya ini aku simpan untuk kejutan saja. Aku lihat Bunda sedang sibuk dengan jahitannya. Bunda adalah seorang Ibu yang keren, dan Kakak juga seorang Kakak yang keren. Seorang wanita tua yang bekerja sebagai seorang penjahit bisa menjadikan anaknya seorang dokter, bukankah mereka keren?
“Apa Ran perlu sesuatu?” tanya Bunda saat melihatku melamun di depan ruang kerjanya.
“Bunda, eemm,”
“Bilang saja, kalau Bunda bisa bantu, pasti Bunda bantu,” kata Bunda.
“Aku mau ikut terapi,” kataku.
Bunda terlihat kaget hingga tanpa sengaja tangannya terkena tusukan jarum.
“Bunda tidak apa-apa?” tanyaku cemas.
“Bunda tidak apa-apa, tenang saja,” katanya tersenyum.
“Maaf membuat Bunda terkejut,” kataku.
“Apa kamu yakin dengan ucapan kamu barusan?” tanyanya.
“Bunda marah ya sama Ran, kalau Ran tidak boleh ikut terapi juga tidak apa-apa,” kataku berusaha meminta maaf.
“Tentu saja tidak, Bunda sangat senang mendengarnya,” kata Bunda memelukku.
“Kenapa Ran berubah pikiran?” tanya Bunda kepo.
“Ran ingin masuk sekolah, dan Ran pikir terapi adalah jalan terbaik jika Ran ingin masuk sekolah,” jawabku singkat.
Terlihat jelas sekali kebahagian yang terpancar dari wajah Bunda, bahkan beliau sempat meneteskan air matanya.
“Bunda jangan nangis!” kataku ikut menangis.
“Bunda bahagia, Ran,” jawabnya.
Hari berikutnya, aku dan Bunda pergi ke Rumah Sakit tempat Kakakku bekerja. Rumah sakit swasta terpopuler di kota ini. Ini rumah sakit yang terdiri dari dua bagian, rumah sakit umum dan rumah sakit anak. Pastinya Kakakku berkerja di bagian rumah sakit anak. Saat Bunda mengurus semua administrasi, dia memintaku untuk berkeliling.
Aku tahu maksud Bunda memintaku berkeliling rumah sakit ini, agar aku bisa beradaptasi dengan lingkungan. Saat aku sedang berjalan-jalan, aku melihat kakak sedang bermain dengan beberapa anak kecil. Tak ku biarkan pemandangan ini terlewatkan, aku ambil kamera baruku, dan aku ambil beberapa moment bahagia tersebut.
“Dokter, lihat kemari dan tersenyumlah,” kataku sambil mendekatkan kamera ke arahnya.
Erick terkejut melihatku berada di sini, dan aku mendapatkan wajahnya yang terkejut. Aku yakin, ini akan menjadi foto yang indah.
“Selamat pagi, Dokter,”sapaku padanya.
“Ran,” panggilnya.
“Wow, ini kejadian yang luar biasa. Ada seorang Rapunzel yang sedang keluar dari istananya,” ejeknya di depan anak-anak kecil yang sedang dia ajak bermain.
“Dokter, apa kakak ini seorang putri?” tanya salah satu anak tersebut.
“Huum,” katanya sambil tersenyum menjawab pertanyaan anak tersebut.
“Ekhem, perhatian untuk para putri dan pangeran. Saya perkenalkan seorang putri yang baru saja keluar dari istananya, putri Kirana,” katanya memperkenalkanku di hadapan beberapa anak kecil. Beberapa anak bertepuk tangan melihatnya memperkenalkanku.
“Kakak putri apa?” tanya seorang anak laki-laki yang gendut.
“Dia seorang putri Rapunzel,” bisik kakak pada anak-anak. Aku hanya meliriknya dengan wajah kesal.
“Wahh, kakak cantik,” kata anak laki-laki gendut tadi.
“Terima kasih, kalau kamu namanya siapa?” tanyaku pada anak kecil tersebut.
“Aku pangeran Rio,” jawabnya dengan polos.
“Halo pangeran Rio,” sapaku pada Rio. Nama Rio mengingatkanku pada seseorang. Aku gemas melihat pipinya yang bulat seperti bakpo. Rio memelukku dan aku membalas pelukannya.
“Dokter,” panggil seorang anak gadis pada kakakku.
“Menurut Dokter, cantikan mana kakak ini denganku?” tanya anak gadis tersebut.
“Tentu saja cantikan putri Ella,” jawabnya sambil melirikku dan tertawa.
“Kalau begitu, Dokter hanya milik Ella, bukan milik kakak ini,” kata Ella galak.
Kakak tertawa mendengar ucapannya Ella, sedangkan aku terlalu sibuk bermain dengan Rio dan teman-temannya.
Entah kenapa dari tadi aku merasa sedang di awasi oleh seseorang. Sepertinya benar dugaanku. Ada seorang wanita muda yang sedang melihatku, mungkin dia seorang dokter di sini jika di lihat dari baju yang dia kenakan. Kenapa wanita itu mengawasiku?
“Sepertinya ini waktunya para putri dan pangeran untuk tidur siang,” kata Kakakku.
“Yahhh, Dokter. Aku kan masih pengen main dengan kak Ran,” kata Rio.
“Rio, kak Ran sepertinya sedang sibuk,” kata Kakak.
“Kak Ran, ayo besok kita main lagi!” pinta Rio.
“Oke, tapi sekarang Rio pergi tidur siang dulu ya,” kataku.
Aku kaget saat Rio tiba-tiba mencium pipiku dan berbisik sesuatu padaku.
“Rio suka kak Ran,” bisiknya di telingaku. Aku tersenyum mendengar ucapan polosnya.
Semua anak pergi ke tempatnya masing-masing, kecuali Ella yang masih menempel manja di pangkuan kakakku.
“Tunggu di sini sebentar!” kata Kakak sambil mengendong Ella menuju ruangannya.
Tidak lama menunggu, Kakak datang dengan senyum lebar di pipinya. Dia memelukku dan mulai mengacak-acak rambutku.
“Kakak, hentikan!” kataku.
“Ngapain kamu di sini? Bagaimana kamu bisa ada di sini? Dengan siapa kamu di sini?” dia selalu bertanya tanpa memberiku waktu untuk menjawab.
“Stop!” teriakku sambil menutup mulutnya.
“Hey, aku seorang Dokter di sini, jaga sikap kamu!” katanya galak.
“Baik, Dok,” jawabku sok patuh.
“Aku kesini sama Bunda, mau daftar buat terapi,” jawabku singkat.
“Benarkah?” Kakak kaget mendengar ucapanku, dia langsung mulai menyerang rambutku dan mengacak-acaknya, bahkan pipiku juga menjadi sasaran tangannya.
“Kakak, hentikan! Aku malu di lihat orang,” kataku padanya.
“Biarin,” katanya sambil terus menyerangku.
“Ekhem,, selamat siang Dokter Erick,” kata wanita yang daritadi mengawasiku. Dia tersenyum manis pada Kakakku. Apa Dokter ini juga suka dengan Kakakku? Oh tidak, apa mereka tidak salah suka dengan Kakakku?
“Selamat siang, Dokter Angel,” kata Kakakku sambil berhenti mengacak-acak rambutku.
“Apa Anda sudah makan siang? Saya ingin mengajak Anda makan siang,” jawabnya.
“Belum,” jawab Kakakku singkat.
“Sepertinya aku harus pergi,” kataku sambil merapikan rambutku.
“Kamu mau kemana? Apa kamu tidak mau makan siang denganku?” tanyanya.
“Tidak, aku harus pergi. Oiya, terima kasih untuk kameranya,” kataku padanya.
“Apa kamu suka?” tanyanya.
“Sangat suka, thank you,” kataku sambil memeluk Kakakku.
“Bye,” kataku sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Entah kenapa aku tidak menyukai wanita itu. Tersirat kebencian di matanya, apalagi saat aku memeluk Erick. Apa mungkin dia cemburu?
Bunda dimana ya, apa beliau sudah pulang. Ah, aku benar-benar pusing hari ini. Aku ingin istirahat sebentar. Aku melihat seseorang yang aku kenal saat duduk di bangku ini, atau mungkin aku salah lihat.
Ada apa denganku? Kenapa mataku mulai berkunang-kunang, nafasku mulai sesak? Apa aku akan pingsan lagi? Aku benar-benar tidak kuat menahannya. Bunda, Kakak tolong aku!
“Ran, apa kamu baik-baik saja?” tanya seseorang.
Sepertinya aku kenal suara itu, seperti suaranya Ryo. Apa itu benar-benar Ryo? Entahlah, aku tidak bisa menahan lagi, aku benar-benar pusing.
Apa aku pingsan lagi? Dimana aku sekarang? Ah, aku kenal ruangan ini, ruangan yang serba putih dengan bau khasnya. Ruangan rumah sakit yang aku benci. Bunda, aku lihat wajah Bunda yang sembab karena menangis.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Bunda khawatir.
“Maaf membuat Bunda khawatir,” kataku.
“Dokter Dani bilang bahwa kamu pingsan karena menahan rasa traumamu, saat kamu berada di tempat umum,” kata Kakak menjelaskan.
“Bunda bangga sama kamu, sayang,” kata Bunda memelukku.
Aku hanya bisa tersenyum mendengar beliau bicara seperti itu. Aku masih belum terbiasa berada di tempat umum. Aku tidak hanya membenci sekolahan, tapi aku juga membenci tempat yang sangat ramai seperti rumah sakit ini.
“Kenapa ada Ryo di sini?” tanyaku.
“Ryo yang menolongmu,” jawab Kakak.
“Terima kasih, maaf selalu merepotkanmu,” kataku pada Ryo.
“Ryo keren ya, seperti seorang pangeran yang selalu menolong tuan putri,” kata Kakak.
“Haha, Dokter bisa saja,” elak Ryo.
“Kakak siapa? Kenapa Kakak ngambil Pangeran Erickku dan Kakakku?” tanya seorang gadis kecil yang cantik.
“Dia Hana,” kata Kakakku.
“Tuan putri Hana, kenapa tuan putri bisa berada di sini?” tanya Kakakku.
“Aku tidak suka Kakak itu,” kata Hana sambil menunjukku.
“Hana, kamu tidak boleh bicara seperti itu!” kata Ryo.
“Kakak itu jahat. Dia mencuri Kakak dan Pangeran Erick dariku,” kata Hana polos.
“Pangeran Erick dan Kakak hanya milik Hana,” rengeknya.
Bunda tertawa melihat kepolosan Hana, aku sendiri bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumku karenanya.
“Kamu boleh mengambil kedua pangeran itu, karena aku masih punya ibu peri,” kataku menggoda dengan memeluk Bunda.
Hana menangis. Semua orang panik melihatnya menangis.
“Hana kenapa menagis?” tanya Kakak.
“Hikss.. Hana tidak punya ibu peri,” jawabnya polos.
Semua orang tersenyum mendengar jawaban polosnya. Bunda menghampiri Hana dan menggendongnya.
“Bunda mau kok jadi ibu perinya Hana,” kata Bunda.
Terlihat raut wajah bahagia di wajahnya Hana. Hana si gadis kecil yang berusia lima tahun dengan rambut lurus hitam panjang dan kulit kuning langsat yang cantik.
“Yah, terus aku sama siapa?” tanyaku pura-pura.
“Sekarang Hana punya Kakak, pangeran Erick dan ibu peri, weekkkk,” ejek Hana padaku. Bunda masih mengendongnya, sepertinya Bunda menyukai Hana.
Hari mulai gelap, dengan terpaksa aku harus menginap di rumah sakit, kondisiku yang masih belum stabil menyebabkan aku harus menetap di sini untuk beberapa hari. Aku benar-benar membenci suasana rumah sakit di malam hari, ini lebih menyeramkan daripada menonton film horor.
Aku ingin menemui Kakak, aku tidak mau sendirian di dalam ruangan ini. Lorong rumah sakit yang gelap dan dingin membuatku takut, tapi tidak semenakutkan jika aku berada di sekolah.
Aku melihat Kakak sedang berbincang dengan seseorang. Oh ternyata wanita yang tadi siang. Kenapa wanita itu masih berada di rumah sakit? Kenapa wanita itu selalu dekat-dekat dengan Kakak?
“Ran, kamu ngapain di sini? Kenapa kamu belum tidur?” tanya Erick, kakakku.
“Aku tidak bisa tidur,” kataku.
“Kenapa dia ada di sini? Bukankah dia gadis yang tadi siang?” tanya Dokter Angel.
“Oiya, kenalkan dia Ran, pasien di sini,” kata Kakak memperkenalkanku.
“Ran, kenalin ini Dokter Angel,” kata Kakak.
“Halo selamat malam,” sapaku.
“Selamat malam,” katanya dengan senyum terpaksa.
“Apa Dokter Erick sibuk?” tanyaku.
“Tidak, ada apa?” tanya Kakak.
“Bisakah Dokter Erick menemaniku tidur? Aku tidak berani tidur sendirian,” kataku.
“Baiklah,” katanya sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Dokter Angel, saya permisi dulu. Selamat malam,” kata Kakakku kepada Dokter Angel.
“Selamat malam,” jawab Dokter Angel.
Kakak merangkul pundakku dengan penuh kasih sayang. Dia laki-laki yang keren, jika suatu hari aku di beri kesempatan oleh Allah untuk jatuh cinta, aku ingin jatuh cinta dengan laki-laki seperti kakak.
“Kak, sepertinya Dokter itu menyukai kakak,” kataku memberi pendapat.
“Kamu ini sok tahu,” kata Kakak.
“Apa kakak menyukai Dokter itu?” tanyaku.
“Kalau kamu, apa kamu menyukai Dokter Angel?” tanya Erick balik kepadaku.
“Kenapa balik tanya?” tanyaku.
“Hanya tanya saja,” jawab kakak.
“Bagaimana dengan Bu Nita? Apa kakak menyukai Bu Nita?” tanyaku lagi.
“Kalau kamu bagaimana? Apa kamu menyukai Bu Nita?” tanya Kakak.
“Tentu,” jawabku.
“Kenapa?”tanya Kakak.
“Karena Bu Nita seperti Bunda. Dia baik, perhatian, sabar dan yang paling penting, dia menyukai Kakak,” jawabku.
“Okay, time is up. Sekarang saatnya kamu tidur. Kakak harus kembali berjaga di ruang UGD,” kata Kakak.
“Kenapa Kakak tidak menjawab pertanyaanku?” tanyaku.
“Haruskah aku menjawabnya? Kalau kamu masih membahas tentang hal itu, aku pergi sekarang,” ancamnya.
“Kakak jangan pergi! Iya maaf, aku nggak akan membahas hal itu lagi. Kakak boleh pergi kalau aku sudah tidur,” pintaku.
“Baiklah, sekarang tidurlah,” kata Kakak membelai lembut rambutku.
Walaupun aku menyebutnya naga yang jelek. Bagiku Dokter Erick atau kakakku bukan seorang pangeran, tapi seorang Raja yang baik hati. Raja kedua setelah Ayahku. Raja di hatiku. Raja yang selalu menjaga Rapunzel dan ibu peri.
Chapter 5 Pangeran Untuk Hana si Putri Salju
Setelah hampir selama seminggu aku di rawat di Rumah sakit, hari ini aku di perbolehkan pulang oleh Dokter Dani. Rasa lega menghampiriku saat aku tahu aku terbebas dari ruangan yang penuh dengan warna putih itu. Walaupun aku akan kembali ke sini lagi untuk mengikuti kelas terapi kelompok.
Hari ini matahari bersinar dengan terangnya, bahkan sinarnya mampu menusuk tulangku saat aku menunggu Bunda di parkiran depan Rumah Sakit. Mungkin jika aku berada di sini sedikit lebih lama, aku akan pingsan lagi dan masuk ke ruangan itu lagi. Oh tidak, aku tidak mau. Bunda kemana sih, kenapa lama banget?
Sepertinya sinar matahari yang panas membuat mataku berhalusinasi. Aku melihat Hana berlari ke arah jalan raya, bukankah itu halusinasi yang buruk. Tunggu! Hana? Sepertinya aku tidak berhalusinasi. Itu benar-benar Hana. Apa yang harus aku lakukan?
“Hana,” teriak seseorang memanggil Hana.
Itu suaranya Ryo, dimana Ryo? Tunggu! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Ada sebuah truk dari arah selatan. Aku berusaha berlari sekencang yang aku bisa, tapi ini mustahil untukku sampai disana. Bagaimana caranya aku menyelamatkan Hana?
“Brukk,” suara sebuah benda menghantam sesuatu.
Suara apa itu? Hana, dimana Hana? Kenapa semua orang berlari ke arah sana? Apa yang terjadi?
“Ryo,” teriakku saat melihat Ryo tergeletak di jalan sambil memeluk Hana yang sedang menangis.
“Ryo, bangun! Ryo,” teriakku memanggilnya.
Ryo terluka parah karena menyelamatkan Hana. Dia rela mengorbankan nyawanya untuk adik yang sangat dia sayang.
Aku berdiri dan mengambil Hana dari pelukannya Ryo. Segera aku hubungi Kakak untuk menyelamatkan Ryo. Semoga Ryo baik-baik saja.
Hana masih saja menangis. Sudah hampir sejam dia menangis, dan sudah hampir sejam pula Ryo belum sadarkan diri. Bunda berusaha membuat Hana berhenti menangis, tapi Hana masih saja tetap menangis.
“Kita harus membuat Hana tertidur,” kata Dokter Dani.
“Maksud, Dokter?” tanyaku.
“Haruskah kita menggunakan obat tidur untuk Hana?” tanya Dokter Erick.
“Tunggu! Aku tidak mengerti? Kenapa Kakak menggunakan obat tidur untuk anak kecil seperti Hana?” tanyaku pada Dokter Erick.
“Nanti kakak jelaskan semuanya, Kakak harus pergi,” kata Dokter Erick.
Dokter Erick, Dokter Dani dan beberapa Dokter yang lainnya membawa Hana ke ruangannya. Aku masih belum mengerti apa yang mereka katakan. Aku menunggu Kakak di luar kamar Hana untuk mengetahui semuanya.
“Hana sudah tidur,” kata Dokter Erick saat melihatku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Hana menderita jantung lemah sejak dia lahir, ini karena Ibunya yang juga menderita jantung lemah,” kata Dokter Erick sambil menghela nafas yang panjang.
“Saat dia berusia empat tahun, Hana dan kedua orang tuanya mengalami kecelakaan lalu lintas. Dia dan ayahnya selamat dari kecelakaan tersebut, tapi sang ibu meninggal di tempat,” kata Kakak menjelaskan dan menghela nafas lagi.
“Hana melihat ibunya meninggal di depan matanya. Setelah kejadian itu, kondisi Hana memburuk. Akibat trauma yang dia alami membuat saluran vena menyempit dan memperburuk kondisi jantungnya yang lemah,” lanjutnya.
“Dengan melihat Ryo yang mengalami kecelakaan di depan matanya, itu akan memperburuk kondisi jantungnya?” tanyaku.
“Ya, ini hampir mirip dengan kasus traumamu, tapi berbeda,” kata kakakku.
“Kamu beruntung bahwa kamu tidak memiliki sakit yang serius. Untuk beberapa orang yang memiliki sakit yang serius seperti lemah jantung, trauma bisa memperburuk kondisi mereka,” lanjut kakakku.
“Jadi itulah kenapa kakak memberi obat tidur untuk Hana?” tanyaku.
Aku tidak percaya, seorang gadis kecil yang ceria seperti Hana mengalami hal yang mengerikan seperti itu. Mungkin ini yang membuat Ryo selalu terlihat sedih saat membicarakan adiknya.
“Kak, kenapa Ryo rela membuat dirinya terluka parah hanya untuk menyelamatkan Hana?” tanyaku pada Dokter Erick.
Aku sama sekali tidak mengerti tentang hal itu, mungkin karena aku adalah anak terakhir. Apa kakak akan melakukan hal yang sama jika hal itu menimpa diriku? Apa aku akan melakukan hal yang sama jika hal itu terjadi pada Kakakku?
“Aku juga akan melakukan hal yang sama jika itu terjadi padamu,” jawab Dokter Erick.
“Kenapa?” tanyaku lagi.
“Entahlah, mungkin itu yang dinamakan cinta,” jawabnya singkat.
Sekarang aku tahu apa itu cinta? Cinta bukan hanya sebuah perasaan yang di miliki dua orang yang berbeda jenis kelamin, tapi cinta adalah perasaan yang di miliki semua orang. Perasaan untuk melindungi orang yang di sayang, perasaan yang rela mengorbankan diri bahkan nyawanya untuk orang yang di cintai. Perasaan yang tidak bisa di ungkapkan lewat kata-kata, tapi perasaan yang hanya bisa di ketahui lewat hati kita.
Perasaan yang membuat seorang ibu rela mati untuk membuat anaknya lahir di dunia. Perasaan yang membuat seorang kakak rela terluka untuk menyelamatkan adiknya. Hal yang baru aku tahu bahwa cinta itu untuk melindungi, bukan untuk menyakiti.
“Kalau begitu aku harus melindungi kakak dan Bunda,” kataku sambil tersenyum.
“Kenapa?” tanya Dokter Erick.
“Karena Kakak dan Bunda adalah dunia Ran,” jawabku polos.
“Ran dan Bunda adalah dunia kakak. Anak-anak di sini adalah dunia Dokter Erick,” jawab Dokter Erick sambil tersenyum.
“Jadi kakak punya dua dunia?” tanyaku polos.
“Hahaha,” tawa Dokter Erick.
Ya kakak benar. Anak-anak adalah dunia Kakak saat dia menjadi Dokter di sini, sedangkan Ran dan Bunda adalah dunia kakak saat dia menjadi kakak dan anak untuk kami.
“Apa yang membuat kalian begitu bahagia?” tanya Bunda yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku.
“Bunda, ternyata kakak punya dua dunia. Sepertinya dia termasuk keluarga amphibi,” candaku.
Bunda tertawa mendengar candaanku, walaupun Bunda tidak tahu apa yang sebenarnya kami bicarakan.
“Bunda, boleh nggak Ran di sini?” tanyaku.
“Ran pengen nemenin Ryo sampai dia siuman. Ryo sudah banyak membantu Ran. Ran pengen membalas kebaikan Ryo. Boleh ya, Bunda?” pintaku.
“Baiklah, tapi kamu harus janji. Kamu jangan pingsan lagi, dan segera telpon kakak atau Bunda jika terjadi sesuatu, mengerti?” kata Bunda.
“Huum, Ran mengerti ibu peri,” candaku.
Matahari hampir terbenam saat Ryo siuman. Rasa lega aku rasakan saat melihat Ryo sadarkan diri. Terima kasih ya Allah, engkau telah menyelamatkan Ryo. Ryo adalah pangeran untuk Hana, pangeran yang akan selalu melindungi Hana.
“Apa Hana baik-baik saja?” tanya Ryo saat dia siuman.
Bahkan dia masih memikirkan keadaaan Hana setelah dia pingsan beberapa jam. Aku hanya mengangguk dan tersenyum untuk menjawab pertanyaannya. Tersungging senyum manis di wajahnya, mungkin itu senyum rasa lega karena mengetahui keadaan orang yang dia sayang baik-baik saja.
Ryo berjalan tertatih-tatih menuju kamar Hana. Para suster melarangnya untuk pergi, tapi sepertinya itu bukan halangan dia untuk menemui adik yang dia sayang.
Aku dan kakak hanya mengawasi Ryo yang duduk di samping Hana yang sedang tertidur. Kejadian yang mampu membuatku menangis adalah di saat Hana terbangun dan melihat kakaknya berada di sampingnya. Hana langsung memeluk Ryo dan menangis sangat keras. Moment seperti ini harus aku abadikan dengan kamera lomoku.
Saat aku sedang mencari kameraku di dalam tas, seorang laki-laki paro baya dengan wajah orientalnya menerobos masuk ruangan dan hampir membuat kameraku terjatuh karenanya. Sepertinya itu Ayah mereka jika di lihat dari sorot mata Hana dan Ryo.
“Papa,” teriak Hana.
“Hana, Ryo, maafkan Papa,” kata laki-laki itu sambil memeluk kedua anaknya.
Aku yakin, Hana akan cepat sembuh jika mereka selalu bersama. Hanya cinta yang di butuhkan Hana untuk cepat sembuh.
“Hana akan cepat sembuh,” kata Kakak.
“Cinta adalah obat paling mahal dan ampuh untuk menyembuhkan trauma,” lanjutnya.
“Iya, kakak benar. Dan aku juga sudah mendapatkan obat tersebut,” kataku sambil tersenyum kepada kakakku.
Aku dan kakak pergi meninggalkan mereka bertiga. Kami tidak mau menjadi penggangu kebahagiaan mereka.
“Kak, sepertinya kakak benar,” kataku.
“Benar tentang apa?” tanyanya.
“Kakak benar kalau Ryo adalah pangeran. Ryo adalah pangeran yang akan selalu melindungi Hana,” kataku.
“Ryo juga pangeran yang berhasil membuat Rapunzel keluar dari istana,” kata Kakakku menggoda.
“Dan Dokter Erick adalah naga yang jelek,” ejekku.
“Naga jelek kalau di rumah, tapi kalau di sini, aku adalah pangeran Erick yang tampan,” katanya memuji dirinya sendiri.
Allah yang Maha Penyayang mengirim Ryo sebagai pangeran untuk Hana. Pangeran yang selalu melindungi Hana, pangeran yang selalu ada untuk Hana. Dan kakak benar, Ryo adalah pangeran yang berhasil membuatku keluar dari istana.
Chapter 6 Peri dan Wanita Cantik
Hari ini Kakak menemaniku pergi ke pusat perbelajaan. Tujuan utama pergi ke pusat perbelajaan adalah untuk membeli perlengkapan sekolah, dan tujuan lainnya adalah untuk terapi. Sayang, hari ini Dokter Dani tidak bisa menemaniku. Seharusnya aku pergi dengan Dokter Dani, tapi beliau sibuk dengan pasiennya yang lain.
“Are you okay?” tanya Kakakku.
“I am okay. Selama ada Dokter Erick di samping Ran, Ran akan baik-baik saja,” jawabku.
“Wajahmu mulai pucat. Apa kamu pusing?” tanyanya cemas.
Ya, sebenarnya aku sedikit pusing, tapi aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus bisa sembuh dari trauma ini. Bagaimana bisa aku sekolah kalau berada di tempat umum saja aku tidak bisa. Aku pasti bisa.
“Don’t worry, I am fine,” jawabku sambil tersenyum.
“Jangan di paksakan!” kata Kakak.
“Oh, itu,” kataku spontan sambil pergi menghampiri sebuah rak buku yang berisi beberapa novel.
“Ini karyanya Kak Luna Torashyngu, Mawar Merah. Sepertinya ini terbitan yang kedua, sampulnya berbeda dari terbitan yang pertama,” kataku mengalihkan perhatian Kakak.
“Siapa dia?” tanyanya.
“Kakak nggak tahu tentang Kak Luna Torashyngu?” tanyaku kaget.
“Dia ini penulis novel yang terkenal, bahkan beberapa novelnya sudah pernah di jadikan film. Dia salah satu penulis favoritku,” jawabku antusias.
“Hampir semua karyanya pernah aku baca. Padahal aku ngoleksi beberapa novelnya, masa Kakak nggak tahu,” kataku.
“Mana aku tahu, aku kan nggak pernah baca novel,” jawabnya.
“Makanya jangan hanya baca buku kedokteran, sekali-kali baca novel dong,”
“Nggak ah, lebih asyikan baca komik,” jawab Kakakku.
Syukur kalau perhatian Kakak sudah teralihkan. Aku akan bertahan sampai akhir, aku pasti bisa.
Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Bukankah itu Bu Nita? Apa yang di lakukan Bu Nita di sini? Tunggu! Bukankah itu pertanyaan yang konyol. Tentu saja Bu Nita ke tempat ini untuk membeli buku, secara ini di toko buku.
“Kak, bukankah itu Bu Nita?” tanyaku memastikan.
“Mana?” tanyanya.
“Itu yang pakai baju biru,” jawabku.
“Sepertinya memang dia,” jawab Kakakku.
“Kenapa dia membeli buku sebanyak itu?” tanyaku pada diri sendiri.
“Mungkin dia mau membuat perpustakaan, atau mungkin untuk di jual,” komentar Kakakku asal bicara.
Aku tidak memperdulikan Kakakku. Entah kenapa aku penasaran sekali dengan apa yang dilakukan Bu Nita.
“Kamu mau kemana?” tanya Kakakku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Aku ikuti Bu Nita secara diam-diam.
“Ran, kamu mau kemana?” tanya Kakakku khawatir.
“Aku mau ngikutin Bu Nita,” jawabku singkat sambil berjalan mengikutinya.
Bu Nita berjalan keluar dari pusat perbelajaan dengan beberapa kantong plastik yang berisi beberapa buku. Di suatu gang kecil, tiba-tiba dia berbelok hingga menuju sebuah perkampungan kumuh.
“Ran, ngapain kita di sini?” tanya Kakak.
“Kak, lihat!” kataku saat melihat Bu Nita bertemu dengan beberapa anak kecil.
Bu Nita memberikan semua buku yang tadi dia beli kepada anak-anak tersebut. Bukan hanya itu, Bu Nita juga mengajari mereka cara berhitung dan membaca. Sungguh pekerjaan yang mulia.
Aku lihat Kakakku tersenyum saat melihat Bu Nita sedang bermain dengan anak-anak itu. Siapapun laki-laki baik yang melihat Bu Nita saat ini, pasti akan terpesona dengan kebaikan hatinya.
“Bu Nita,” panggilku.
Kakak terkejut saat aku berlari menghampiri Bu Nita. Terpaksa dia juga keluar dari tempat persembunyian kami tadi. Bukan hanya Kakak yang terkejut, bahkan Bu Nita lebih terkejut melihatku berlari ke arahnya.
“Ran, kamu ngapain di sini? Kamu sama siapa?” tanyanya cemas.
Aku hanya menoleh ke belakang untuk memberitahu Bu Nita bahwa aku ke sini bersama Kakak.
“Dokter Erick,” kata Bu Nita kaget.
“Maaf mengganggu. Tadi Ran melihat Anda di toko buku dan mengikuti Anda sampai di sini,” kata Kakakku menjelaskan.
“Ran hanya penasaran dengan apa yang Bu Nita lakukan,” jawabku singkat.
Bu Nita tidak marah saat mengetahui aku dan Kakak mengikutinya, bahkan dia mengajak kami bergabung. Ini pertama kalinya aku bertemu dengan anak jalanan dan bermain bersama mereka. Menurutku ini hal yang menyenangkan, apalagi di saat kita bisa saling berbagi dan membantu orang yang membutuhkan.
“Bu Nita, boleh nggak Ran besok datang lagi. Please, boleh ya?” renggekku.
“Ran yakin? Tapi, Ran kan…….,” belum sempat Bu Nita menyelesaikan ucapannya, Kakak sudah menyela.
“Ran dalam masa terapi. Sepertinya hal ini bisa membantunya dalam terapi,” jelas Kakakku.
“Benarkah?” tanya Bu Nita tidak percaya.
“Ran pengen ke sekolah, makanya Ran memutuskan untuk ikut terapi,” jawabku.
Aku lihat senyum lega menghiasi wajah Bu Nita. Sudah berapa banyak orang yang tersenyum saat mendengar diriku mau ikut terapi. Aku benar-benar bahagia bisa melihat senyum orang di sekitarku, apalagi itu karenaku.
Setelah kejadian itu, aku sering menemani Bu Nita mengajar anak-anak tersebut. Bahkan Kakak juga sering datang untuk mengecek kesehatan anak-anak jalanan tersebut.
Allah memang Maha Adil. Allah mengirim seorang peri yang cantik dan baik hati untuk anak-anak jalanan tersebut. Anak-anak jalanan yang memiliki kehidupan di bawah kata layak bisa merasakan belajar karena Bu Nita, walaupun dengan kondisi yang sederhana.
Kurasa inilah yang di sebut takdir. Allah yang mengirim Ryo untuk melindungi Hana. Bu Nita yang di kirim Allah untuk membantu anak-anak jalanan. Bukankah itu semua memang takdir yang sudah di buatnya.
Jadwal kegiatanku hari ini adalah mengikuti terapi kelompok di Healthy Happy Hospital. Ini terapi yang ke lima yang telah aku ikuti. Sedikit menyenangkan mengikuti terapi kelompok ini, setidaknya aku mendapat teman yang memiliki penyakit yang sama denganku.
Aku datang sendiri ke Healthy Happy Hospital, tanpa di antar Bunda ataupun Kakak. Aku sengaja melakukannya agar aku lebih mandiri. Saat aku berjalan menuju ruang kerja Dokter Dani, aku melihat seorang anak kecil menangis di lantai. Tunggu! Sepertinya anak itu tidak sendirian di sana. Kenapa anak kecil itu menangis? Dokter Angle, bukankah itu dia? Kenapa dia berdiri di sana dan membiarkan anak itu menangis?
“Diam!” bentak Dokter Angel kepada anak tersebut.
Bukankah dia dokter anak? Kenapa dia membentak anak kecil itu? Walaupun anak kecil itu nakal, bukankah seharusnya dia tidak boleh membentaknya.
“Selamat siang, Dok,” sapaku kepadanya.
“Ran, selamat siang,” sapanya ramah.
“Adik kecil, kenapa kamu menangis?” tanyaku kepada anak kecil itu.
“Tadi dia terjatuh,” jawab Dokter Angel sambil menggendong anak tersebut.
“Cup cup sayang, kamu tidak apa-apa kan? Apa ada yang sakit?” katanya kepada anak itu.
Kenapa sikapnya berubah tiga ratus enam puluh derajat dari yang aku lihat tadi. Aneh, ah mungkin saja dia tadi lelah menghadapi anak ini. Batinku dalam hati.
“Apa kamu ke sini ingin bertemu dengan Dokter Erick?” tanyanya.
Ya, dia sudah mengetahui kalau aku adalah adiknya Dokter Erick. Mungkin inilah yang membuatnya bersikap manis terhadapku.
“Tidak, aku ke sini ingin bertemu Dokter Dani,” jawabku.
“Oh, Dokter Dani mungkin ada di ruangannya,” jawabnya.
Aku tidak mau berlama-lama dengannya. Entah kenapa sejak pertama kali bertemu aku sudah tidak menyukainya. Aku segera pamit dengan Dokter Angel yang masih sibuk menenangkan anak kecil tersebut.
Malam yang cerah untuk jalan-jalan. Ini pertama kalinya aku melihat Kakakku berdandan rapi di malam minggu. Sepertinya dia mau pergi, atau mungkin dia mau berkencan.
“Tumben rapi, wangi lagi. Kakak mau pergi?” tanyaku penasaran.
“Huum,” jawabnya singkat.
“Pergi kemana? Sama siapa?” tanyaku.
“Ih kepo kamu,” jawabnya.
“Bunda, Kakak pelit,” teriakku.
“Sayang, jangan ganggu kakak kamu,” teriak Bunda.
“Tuh dengerin,” kata Erick sambil mengejekku.
Sepertinya dia mau pergi kencan, tapi dengan siapa. Mungkin Bunda tahu. Aku berharap Kakak tidak pergi kencan dengan Dokter Angel.
“Kakak mau kemana, Bun?” tanyaku.
“Pergi makan sama temannya,” jawab Bunda sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya.
“Temannya siapa?” tanyaku lagi.
“Bunda lupa namanya.” Jawab Bunda.
“Dia teman kerja Kakak kamu,” jawab Bunda lagi.
“Teman kerja?” gumanku.
“Kamu tahu dokter cantik yang kemarin menyapa Bunda?” tanya Bunda.
“Dokter Angel?” tanyaku.
“Iya, dia,” jawab Bunda.
“Kakak pergi makan dengan Dokter Angel?” tanyaku kaget.
“Kamu kenapa?” tanya Bunda cemas.
“Hah, tidak. Ran cuma nggak nyangka saja,” kataku berbohong.
“Sudah saatnya Kakak kamu mencari pendamping hidupnya,” kata Bunda.
Iya Ran tahu, tapi nggak harus Dokter Angel juga. Kataku dalam hati.
“Bunda, Ran boleh keluar bentar nggak?” tanyaku meminta ijin.
“Sama siapa? Ngapain?” tanyanya.
“Ran mau beli martabak di gang depan,” kataku berbohong. Sebenarnya aku ingin membuntuti Kakak.
“Kamu yakin berani?” tanya Bunda cemas.
Bunda benar, apa aku berani keluar sendirian? Ah aku lupa kalau aku masih menderita trauma PTSD. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin tahu Kakak kemana dengan Dokter Angel, tapi apa aku berani?
“Mau Bunda temani?” tawar Bunda.
“Tidak, Ran bisa sendiri kok, Bun. Serius,” kataku meyakinkannya.
“Yakin? Bagaimana kalau telpon Kakak saja, suruh Kakak yang membelinya,” usul Bunda.
“Nggak usah, Ran saja yang beli. Sekalian Ran pengen jalan-jalan bentar,” kataku.
“Ya sudah, tapi kalau ada apa-apa, Ran langsung telpon Bunda. Dan pulangnya jangan malam-malam! Jam sembilan harus sudah pulang ke rumah, mengerti?” kata Bunda.
“Iya Ran mengerti,” jawabku.
“Terima kasih, Bunda,” lanjutku.
Ku beranikan diri keluar rumah sendirian. Ada sebuah restaurant yang selalu menjadi tempat Kakak makan dengan teman-temannya. Kakak juga sering mengajakku makan bersama Bunda di restaurant tersebut. Mungkin dia ada di sana.
Saat aku sedang menunggu taksi, sebuah motor berhenti di depanku. Motor siapa itu? Apa itu penjahat? Apa itu penculik? Rasa panik mulai menyerangku. Aku harus cepat kabur dari sini. Aku mulai berlari menjauh, hingga sebuah suara memanggilku.
“Ran tunggu!” kata orang yang mengendarai motor tadi.
Aku kenal suara tersebut. Suara seseorang yang selalu menolongku. Apa aku tidak salah dengar? Benarkah itu dia? Apa yang dia lakukan di sini?
“Ran,” panggilnya lagi.
“Ri..Ryo. Apa yang kamu lakukan di sini?” kataku terbata-bata.
“Aku tadi mau main ke rumah Dokter Erick. Aku ada perlu dengannya,” jawabnya.
“Kakak sedang pergi,” jawabku.
“Pergi kemana?” tanyanya.
Tunggu! Ryo mencari Kakak, bukankah berarti Ryo bisa membantuku untuk mencari Kakak.
“Ryo, eemm,” kataku gelisah.
“Ada apa?” tanyanya.
“Apa kamu bisa membantuku?” tanyaku gugup. Ini pertama kalinya aku meminta tolong kepada Ryo.
“Kamu pengen ketemu dengan Kakak kan? Aku tahu dia ada dimana? Apa kamu bisa mengantarku ke tempat kakakku?” tanyaku.
“Tentu, tapi aku naik motor. Apa kamu tidak masalah naik motor?” tanyanya.
“Huum,” kataku sambil mengangguk.
Aku dan Ryo sudah sampai di tempat kakak makan dengan Dokter Angel. Ryo sedikit heran saat melihatku bersembunyi dari kakakku. Aku bingung menceritakan semuanya kepada dia, jadi aku hanya diam saat dia bertanya.
“Kenapa kamu bersembunyi?” tanyanya.
“Maaf, aku tidak bisa menjelaskannya,” kataku.
Sepertinya Ryo mulai mempercayaiku dan membiarkan aku melakukan apapun yang aku mau. Bahkan dia tidak bertanya lagi dan ikut bersembunyi dari kakakku.
“Dokter Erick mau pergi kemana?” kata Ryo.
“Entahlah. Apa dia sudah selesai makan?” kataku pada diriku sendiri.
“Haruskah kita ikuti Dokter Erick?” tanyanya.
“Tidak usah, kita pulang saja. Biar aku yang bayar semua makanan ini,” kataku sambil berdiri dari tempat duduk.
“Tunggu!” kata Ryo sambil manarikku untuk duduk kembali.
“Ada apa?” tanyaku.
“Kenapa wanita yang tadi bersama Dokter Erick pergi bersama seorang laki-laki lain?” tanyanya.
Aku mengikuti arah pandangan Ryo. Apa aku salah lihat? Tidak, itu memang Dokter Angel. Tapi apa yang di lakukan Dokter Angel dengan laki-laki itu. Siapa laki-laki itu?
“Sepertinya kita harus pulang,” kataku.
Ryo melihatku dengan tatapan heran. Mungkin dia heran melihatku membiarkan saja wanita yang sedang di kencani Kakakku pergi dengan laki-laki lain.
“Jangan menatapku seperti itu! Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.” Kataku menjawab pertanyaan yang ada di benaknya Ryo.
“Baiklah. Ayo pulang!” ajak Ryo.
Ryo mengantarku pulang tepat waktu. Aku meminta Ryo untuk merahasiakan semuanya dari orang lain. Membiarkan hal ini menjadi rahasiaku dengannya. Aku tidak mau menyakiti hati Kakakku. Sepertinya Ryo mengerti tentang perasaanku ini.
Sekarang aku tahu bahwa seorang yang cantik belum tentu seorang putri. Seorang putri haruslah orang yang memiliki hati yang cantik. Menurutku Dokter Angel bukanlah seorang putri, dia hanya seorang wanita cantik biasa.
Chapter 7 Lindungi Hatinya
Semuanya berjalan seperti biasa, seolah-olah tidak terjadi apapun. Aku masih diam tidak memberitahunya, bahkan sampai kapanpun aku tidak akan memberitahunya. Aku tidak akan membuat hatinya terluka hanya karena wanita itu.
“Selamat siang Dokter Erick,” sapaku pada Kakak.
“Ran, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kelas terapimu besok?” katanya kaget melihatku berdiri di ruangannya.
“Apa dokter punya waktu? Aku ingin makan siang dengan dokter,” kataku formal.
“Tumben,” komentarnya.
“Sebenarnya aku masih sibuk, tapi buat adikku tersayang apa sih yang nggak,” katanya.
“Aish, sok sibuk,” ejekku.
“Tumben ngajakin lunch. Ada angin apa ini?” tanyanya meledek.
“Habisnya kakak jarang pulang ke rumah. Sepertinya rumah sakit adalah rumah kakak. Kakak lebih sering di rumah sakit daripada di rumah,” kataku ngambek.
“Hahaha, maaf ya adikku yang jelek. Bukannya kakak nggak mau pulang, tapi..,”
“Iya Ran tahu,” kataku memotong ucapannya.
“Padahal aku belum menyelesaikan ucapanku,” guman Kakak.
Aku dan kakak makan siang di tempat kami biasa makan. Sudah lama aku tidak makan siang bersamanya. Dia terlihat kurus karena kesibukannya. Bunda pasti akan sangat sedih melihat tubuhnya yang semakin kurus.
“Kak, habis makan temani Ran nonton film ya,” pintaku.
“Film apa?” tanyanya.
“Sebenarnya bukan film, tapi live action Kiseijuu Sei No Kakuritsu,” kataku.
“Live actionnya sudah keluar? Kapan?” tanya Kakakku antusias.
“Minggu lalu,”
Kami berdua sama-sama menyukai anime Kisejuu Sei No Kakuritsu, jadi jangan heran melihat kami antusias saat membicarakannya. Kami sudah lama menanti di rilisnya KSNK versi live action.
Sedikit pengetahuan tentang live action yang aku tahu. Live action adalah film yang di buat berdasarkan anime atau kartun Jepang. Sedangkan anime adalah kartun Jepang yang di adopsi dari manga atau komik Jepang. Buat para pecinta anime pasti tahu tentang hal tersebut.
Kami terlalu asyik menonton live action tersebut, hingga tanpa sadar kami masih membicarakannya di tempat lain.
“Kak, ke toko buku bentar ya,” ajakku sambil menggandeng lengannya.
“Rasanya sedikit aneh setelah kita melihat versi animenya lalu ke live action,” komentar Kakak sambil melihat-lihat beberapa komik.
“Apalagi tokohnya ada yang di ubah,” timpalku sambil mencari novel yang aku inginkan.
Buat kalian yang tidak menyukai anime, pasti sedikit kesulitan memahami tentang hal yang kami bicarakan.
Sepertinya aku melihat sesuatu. Tunggu! Apa itu Dokter Angel? Siapa laki-laki itu? Jangan sampai kakak melihatnya. Aku harus mengalihkan perhatian kakak. Atau aku harus membawa kakak pergi dari tempat ini. Oh Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Semoga dia tidak melihatnya.
Ah, aku tidak tahu harus berbuat apa. Yang bisa aku lakukan hanya menutup mata dan berdoa. Ya Allah, lindungi kakak. Lindungi hatinya agar tidak terluka, aku mohon padaMu.
“Erick,” kata Dokter Angel kaget.
Terlambat, apa yang harus aku lakukan. Kenapa Dokter Angel pura-pura tidak melihat kakak, lalu pergi dari sini. Kenapa dia menghampiri kakak? Aish, dasar bodoh. Aku beranikan diri untuk melihat wajah kakakku.
Aku tidak bisa membaca ekpresinya. Datar, tidak ada tawa, senyum, ataupun kesedihan. Apa yang terjadi? Ya Allah, lindungi hatinya. Jangan sampai meninggalkan luka yang bisa menghancurkan senyumnya.
“Erick, ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” kata Dokter Angel berusaha menjelaskan, tapi tidak ada komentar apapun dari kakakku.
Kenapa kakak hanya diam? Apa dia marah? Apa dia terluka? Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa yang dia pikirkan sekarang? Apa dia sedih? Apa hatinya terluka? Ah, aku masih terlalu kecil untuk bisa membaca hatinya.
“Angel, siapa dia?” tanya laki-laki yang bersama Dokter Angel.
“Diamlah!” perintah Dokter Angel pada laki-laki itu.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya sambil menarik tangan kakakku.
Aku ingin memukul tangan itu yang seenaknya saja menarik tangan kakakku. Kakak, kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu tidak membentak wanita jahat itu?
Aku hanya bisa melihat kedua punggung itu menjauh. Apa yang mereka bicarakan? Kenapa aku tidak bisa mendengar apapun? Aku lihat Dokter Angel berusaha menjelaskan semuanya, atau mungkin berusaha mencari alasan untuk membohongi kakakku. Sedangkan kakak masih saja terdiam tanpa berbicara apapun. Aku hanya bisa melihat tinggal mereka, tanpa mendengar sepatah katapun yang mereka ucapkan.
“Apa kamu sudah selesai?” tanya kakak menghampiriku.
Masih tidak ada ekspresi di wajahnya. Apa yang terjadi? Kemana Dokter Angel?
“Huum,” jawabku sambil mengangguk.
“Kalau begitu ayo pulang!” ajaknya.
“Erick, tunggu!” kata Dokter Angel.
“Erick, aku mohon percayalah padaku,” pinta Dokter Angel.
“Maaf aku tidak bisa. Selamat siang,” kata Kakak sambil menggandengku pergi.
Apa kakak baik-baik saja? Apa kakak terluka? Ingin sekali aku bertanya kepadanya, tapi aku takut.
“Kamu mau es cream?” tanyanya padaku.
“Ha? Eem huum,” jawabku bingung.
“Hey, kamu mikirin apa? Kenapa bingung seperti itu? Kamu mikirin cowok ya,” godanya.
Di saat seperti ini, kenapa dia masih bisa bercanda. Dasar orang aneh, tapi juga baik. Apa dia bercanda karena tidak ingin menunjukan kesedihannya? Entahlah, aku bingung.
“Huum, mikirin Usui kun,” jawabku asal. Usui kun adalah nama karakter anime yang pernah aku tonton.
“Usui kun atau Ryo, hayo?” godanya.
“Kakak, apaan sih,” elakku.
“Kamu itu aneh, lebih milih cowok 2D daripada cowok 3D,” komennya.
“Usui kan keren,” kataku.
Selama perjalan menuju kedai es cream, kami membicarakan tentang anime-anime yang pernah kami tonton. Setidaknya hal ini bisa mengalihkan pikiran kami dari kejadian tadi.
“Aku baik-baik saja,” kata Kakakku sambil memakan es creamnya.
“Jangan melihatku seperti itu!” katanya lagi.
Aku bahkan tidak berani bertanya, tapi sepertinya dia sudah tahu apa yang aku pikirkan.
“Apa kakak yakin baik-baik saja?” tanyaku cemas.
“Huum,” jawabnya masih sambil menikmati es creamnya.
“Sebenarnya aku sudah mengetahui hal ini,” katanya.
“Maksud kakak?” tanyaku heran.
“Aku sudah tahu kalau Angel punya laki-laki lain selama dia mendekatiku,” jelasnya.
“Laki-laki tadi adalah laki-laki ketiga yang pernah aku lihat,” lanjutnya.
“Laki-laki yang kedua, kamu pernah melihatnya bersama Ryo,” katanya.
Tunggu! Kenapa kakak membicarakan Ryo? Apa jangan-jangan dia tahu tentang kejadian di restaurant minggu lalu?
“Minggu lalu saat aku jalan dengannya. Aku tahu kalian membuntutiku,” katanya sambil tersenyum.
“Aish, jadi kakak tahu?” kataku sambil menutup mukaku dengan tas.
“Kenapa kamu? Malu?” godanya.
Aku hanya menganggukan kepala. Jadi selama ini kami berusaha menyembunyikan semuanya dari Kakak adalah sebuah hal yang sia-sia. Ah, dasar bodoh.
Kakak tertawa saat melihatku memukul kepala karena kebodohanku. Aku yakin dia senang melihatku yang terlihat bodoh saat ini. Mukaku pasti sudah merah. Aku benar-benar malu.
Tunggu! Kakak tadi bilang bahwa laki-laki yang aku lihat minggu lalu adalah laki-laki yang kedua yang pernah dia lihat. Itu berarti kakak sudah pernah melihat yang lainnya sebelumnya. Ah, aku pusing. Aku tidak mengerti apa yang kakak lakukan selama ini. Dia tahu, tapi dia hanya diam saja.
“Kenapa kakak diam saja?” tanyaku.
“Hem, terus kakak harus bagaimana? Marah? Nangis?” tanyanya.
“Buat apa marah? Toh juga nggak akan mengubah semuanya. Lagian kakak sama dia hanya sekedar teman kerja. Ya, dia memang bilang kalau dia suka sama kakak, tapi kakak masih belum menerima cintanya,” jelasnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Ya karena kakak nggak cinta sama dia,” jawabnya cuek.
“Cinta bukan hanya sekedar memberi perasaan, tapi juga menerima perasaan. Cinta juga bukan tentang perasaan suka, tapi perasaan mempercayai. Bagaimana kita bisa jatuh cinta jika kita tidak mempercayainya? Hal ini sama dengan kita mencintai Allah. Bagaimana kita bisa mencintai Allah kalau kita tidak mempercayainya. Apa kamu mengerti?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng. Aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Tapi yang aku tahu, kita memang membutuhkan kepercayaan untuk mencintai Ya Allah.
“Dasar anak kecil. Suatu saat nanti kamu akan mengerti apa yang kakak katakan padamu,” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Kakak benar, aku masih terlalu kecil untuk bisa memahami apa yang dia katakan. Yang saat ini aku tahu tentang cinta hanya seperti cinta ibu kepada anaknya, cinta kakak kepada adiknya, dan cinta Allah kepada kita.
Walau aku tidak mengerti tentang cinta seperti yang kakak katakan, tapi aku tahu bahwa cinta antara manusia bisa menimbulkan luka di hati. Cinta Ya Allah tidak akan membuat luka, tapi cinta manusia dapat membuat luka.
Ya Allah, lindungi hati kakak. Biarkan dia jatuh cinta kepada wanita yang bisa membuat dia percaya, seperti dia percaya kepadaMu.
Chapter 8 Anna si gadis berkacamata
Semester baru di mulai. Hari ini hari pertama aku mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah setelah bertahun-tahun aku mengalami trauma PTSD. Hingga sekarang pun aku masih menderita penyakit tersebut.
Sebenarnya aku masih takut ke sekolah, apalagi setelah tadi mengikuti upacara di sebuah lapangan yang di penuhi anak manusia dengan seragam abu-abu. Tapi aku harus kuat, aku pasti bisa. Aku ingin sembuh dari sakit ini dan menemukan orang yang baik untuk menjadi sahabatku.
“Pagi Ran,” sapa Ryo.
Kenapa Ryo bisa tahu kelasku? Bagaimana dia bisa ada di sini? Tunggu! Apa Ryo sekelas denganku? Aku benar-benar bersyukur kalau itu memang benar.
“Kenapa lo lihatin Ryo kayak gitu? Lo naksir sama dia?” tanya seorang gadis yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapaku. Sepertinya dia teman sekelasku. Tunggu! Aku kenal suara ini. Ya, gadis ini yang dulu mengganguku. Gadis yang cukup cantik dengan tampilan yang modis dan keren, tapi sayang hatinya tidak sekeren penampilannya.
Oh tidak, kenapa dia mengganguku lagi. Aku mohon pergilah, menjauh dariku. Aku tidak ingin kambuh lagi. Aku tidak ingin pingsan lagi. Aku mohon.
“Pergilah!” kataku pelan sambil menahan diri agar tidak pingsan lagi.
“Apa? Lo berani sama gue? Memangnya lo siapa ngusir gue seenak lo sendiri?” bentaknya.
“Aku mohon pergilah! Menjauh dariku,” kataku pelan.
Nafasku mulai sesak, kepalaku mulai pusing. Ya Allah, bantu hamba. Tolong jauhkan gadis ini dari hamba. Hamba tidak mau kambuh lagi. Hamba mohon kepadaMu.
“Bruk,” gadis itu mengebrak mejaku.
“Apa lo bilang? Sialan ini anak. Lo mau gue kasih pelajaran?” bentaknya lagi.
“Hajar saja, Ri,” kata temannya memprovokasi.
“Bukankah dia anak home schooling semester lalu,” komentar temannya yang lain.
“Eh iya,” kata temannya yang lain lagi.
“Sudah, kasih pelajaran saja,” kata mereka memprovokasi. Ada tiga anak yang menjadi dayang-dayangnya. Mereka bertiga memiliki tampilan yang cuku keren juga.
Tidak selamanya cover buku yang bagus memiliki isi yang bagus juga. Sama halnya mereka, penampilan yang cantik, tapi tidak dengan hati mereka.
“Hentikan! Jangan ganggu dia!” kata Ryo dengan suara yang lantang.
Mereka semua terdiam dan menjauhiku. Kenapa mereka pergi saat Ryo yang meminta, sedangkan saat aku meminta mereka semakin menggangguku? Bagaimana ini bisa terjadi?
“Mereka akan mengganggumu kalau kamu takut kepada mereka,” bisik Ryo saat dia duduk di sampingku.
“Jangan takut!” kata Ryo sambil tersenyum manis kepadaku.
Ryo benar, itulah jawaban dari pertanyaanku tadi. Mereka menjauhiku saat Ryo memintanya, karena Ryo tidak takut kepada mereka. Sekarang aku mengerti.
“Terima kasih,” kataku pelan.
“Sama-sama,” jawabnya.
“Aku akan duduk di sini, bolehkan?” katanya meminta ijin.
Aku senang sekali Ryo menjadi teman sebangkuku, setidaknya mereka tidak akan mengganguku lagi. Walaupun ini berarti Ryo sebagai benteng pertahananku. Untuk saat ini mungkin aku masih belum berani keluar dari benteng pertahanannku, tapi nanti aku pasti bisa menghadapi mereka. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mengirim Ryo sebagai teman sebangkuku.
“Ayo makan!” ajak Ryo saat jam istirahat.
Aku baru tahu kalau Ryo sangat populer di sekolahan ini. Memang semester lalu aku pernah melihat dia di kelilingi beberapa gadis, tapi aku tidak menyangka dia sepopuler ini.
“Sepertinya kamu cukup populer di sini,” komentarku sambil memakan baksoku.
“Mereka hanya terpesona dengan wajahku. Itulah manusia, hanya melihat segalanya dari sampul,” jawabnya.
“Hindari mereka! Kemungkinan mereka akan mengganggumu,” katanya memperingatkan.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Mereka akan menggangu gadis yang sedang dekat denganku. Apalagi yang makan satu meja denganku,” katanya.
Aku spontan langsung mengangkat mangkok baksoku dan pindah ke meja yang lain. Ryo tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku. Dia masih bisa tertawa di saat aku mulai merasa ketakutan. Apa dia tidak sadar betapa mengerikannya tatapan mata mereka?
“Kembalilah kemari!” katanya di sela-sela tawanya.
“Tidak, terima kasih,” kataku.
“Hahaha, wajahmu sangat lucu saat kamu ketakutan,” komentarnya.
“Hentikan, ini tidak lucu!” perintahku.
“Tenanglah! Selama kamu tidak takut sama mereka, meraka tidak akan menggangumu,” katanya.
“Masalahnya aku takut sama mereka,” kataku.
“Justru kalau kamu menjauh dariku, itu adalah kesempatan mereka untuk mengganggumu. Apa kamu tahu kalau seorang gadis terkadang lebih ganas di bandingkan seekor macan?” katanya dengan santai.
Aku benar-benar pusing di buatnya. Tapi Ryo benar, jika aku menjauh darinya, itu adalah kesempatan untuk para gadis itu menerkamku. Mereka tidak akan menerkamku di saat aku berada di samping Ryo.
“Haha,” tawa Ryo saat melihatku kembali ke tempat duduk semula.
“Sekolah adalah tempat yang lebih menyeramkan dibandingkan rumah hantu,” komentarku.
“Haha,” tawanya lagi.
“Apa kamu sudah puas tertawa?” tanyaku saat melihat dia menghapus air mata yang ada di matanya karena terlalu banyak tertawa.
Mereka masih menatapku dengan tatapan mereka yang mengerikan saat aku dan Ryo kembali ke kelas. Aku tahu alasan kenapa Ryo tidak punya pacar. Mana ada gadis yang akan bisa bertahan dengan tatapan mengerikan seperti itu.
“Jangan pernah berpikir kalau aku sampai saat ini tidak punya pacar hanya gara-gara mereka,” kata Ryo yang membuatku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu pikiranku? Apa dia punya indra keenam?
“Bagaimana kamu tahu kalau aku sedang memikirkan hal itu?” tanyaku.
“Terlihat jelas di wajahmu,” jawabnya.
Benarkah? Bagaimana bisa?
“Aku tahu sekarang. Kenapa kamu masih belum punya pacar hingga sekarang? Bagaimana mungkin seorang gadis bisa bertahan melihat tatapan mata mereka yang mengerikan?” kata Ryo.
“Itulah kata-kata yang sering di ucapkan teman-temanku,” lanjutnya.
“Lalu, kenapa kamu belum punya pacar? Menurutku kamu cukup keren, dan hampir semua gadis di sini menyukaimu, kecuali aku,” kataku.
“Benarkah kamu tidak menyukaiku?” tanya Ryo.
“Atau belum menyukaiku?” goda Ryo.
“Aish, orang ini benar-benar menjengkelkan. Sok keren benget ini orang,” kataku mengomel pelan.
“Hahahaha,” Ryo tertawa saat mendengarku mengomel.
“Bukankah sudah aku bilang, mereka hanya menyukai sampulku,” kata Ryo setelah berhenti tertawa.
“Lalu?” tanyaku.
“Aku hanya belum pernah merasakan jatuh cinta. Mana mungkin aku bisa punya pacar kalau aku saja belum pernah merasakan apa yang namanya jatuh cinta,” jelasnya.
Cinta, lagi-lagi cinta. Apa itu cinta? Setiap orang memiliki definisi yang berbeda tentang cinta. Setiap manusia di ciptakan dengan hati yang berbeda, itulah yang membuat cinta setiap orang berbeda.
“Kakak pernah bilang bahwa kita tidak akan bisa jatuh cinta kepada orang lain jika kita tidak mempercayainya. Hal itu sama halnya saat kita percaya pada Allah dan mencintaiNya,” kataku.
“Apa yang di katakan Dokter Erick memang benar,” kata Ryo sambil tersenyum.
“Sebenarnya kakak sudah tahu kalau kita membuntuti dia saat dia sedang bertemu dengan Dokter Angel. Dia juga sudah tahu tentang Dokter Angel yang bertemu dengan laki-laki lain,” kataku menjelaskan.
“Benarkah?” tanyanya kaget.
“Huum,”
“Lalu?” tanyanya penasaran.
“Mereka tidak pacaran, bahkan kakakku tidak punya perasaan terhadap Dokter Angel karena dia belum percaya terhadapnya,” jawabku.
Walaupun aku baru beberapa minggu bertemu Ryo, aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Mungkin ini yang di rasakan setiap remaja yang mempunyai teman yang mereka percaya. Percaya akan ketulusan mereka kepada kita. Mungkin ini rasanya punya sahabat. Tapi apakah Ryo mau menjadi sahabatku?
“Emm, Ryo,” panggilku pelan.
“Hem, ada apa?” tanyanya dengan santai sambil menikmati lolipopnya.
“Eem,” kataku ragu.
“Bilang saja. Ada apa?” tanyanya lagi.
“Ryo, maukah kamu menjadi sahabatku,” kataku dengan nada pelan dan cepat.
“Hahaha,” Ryo tertawa mendengarnya.
Entah apa yang membuatnya tertawa. Apa aku mengatakan sesuatu yang lucu? Aku hanya memintanya menjadi sahabatku, tapi kenapa dia malah tertawa. Aku benar-benar jengkel di buatnya.
“Memangnya ada yang lucu?” tanyaku marah.
“Ran, kamu benar-benar lucu. Hahaha,” katanya sambil tertawa lagi.
“Tunggu! Apa kamu belum pernah punya sahabat sebelumnya?” tanyanya. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Benarkah?” tanyanya lagi.
Aku hanya menggangguk.
“Aku bahkan tidak punya teman sejak kecil. Tunggu! Aku pernah punya teman saat SD, tapi dia pindah saat mereka menggangguku,” jawabku.
Ryo berhenti tertawa dan melihatku dengan iba.
“Ran, yang namanya sahabat itu tidak perlu kamu memintanya. Persahabatan itu tidak perlu kata-kata seperti tadi,” katanya.
“Begini. Suatu saat nanti kamu akan menemukan sahabat yang baik tanpa perlu kamu meminta mereka ataupun memohon kepada mereka untuk menjadi sahabat kamu,” lanjut Ryo.
“Apa kamu mengerti?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku singkat sambil menggelengkan kepala.
“Kamu akan tahu orang tersebut adalah sahabat yang sesungguhnya atau bukan dari sikap dia yang benar-benar tulus kepada kamu. Tulus menjadi sahabat kamu, tulus percaya kepada kamu, tulus membantumu, dan sebagainya,” kata Ryo.
“Apa kamu sudah mengerti?”
Aku hanya menggeleng.
“Aah, ternyata adiknya Dokter Erick tidak sepintar yang aku bayangkan,” katanya mengejek.
“Dasar Rapunzel bodoh,” ejeknya lagi.
“Hentikan! Dasar pangeran kodok jelek,” ejekku membalasnya.
Aku melihat Ryo berlari ke kelas meninggalkanku. Ini pertama kalinya aku bercanda dengan seorang teman. Dulu, aku pernah merasakan hal ini, tapi hanya sebentar hingga sebuah candaan menjadi sebuah ejekan yang mengerikan untukku.
“Aku mau menjadi sahabatmu,” bisik Ryo saat kami sudah sampai di kelas.
“Benarkah? Terima kasih,” kataku sambil tersenyum kepadanya.
“Dasar aneh. Kebanyakan anak SMA memikirkan tentang pacar, tapi kamu malah memikirkan tentang sahabat. Dasar aneh,” kata Ryo.
“Oiya, bagaimana mungkin seorang Rapunzel bisa memikirkan tentang pacar, kalau dia terkurung di menara yang hanya berisi kakak dan ibunya saja,” ejek Ryo lagi.
“Ryo, hentikan!” kataku sambil memukul Ryo dengan sebuah buku.
“Wekk, tidak kena,” ejeknya lagi.
Saat aku dan Ryo sedang bercanda, tiba-tiba seseorang berteriak di kelas hingga semua orang menghentikan kegiatan mereka masing-masing dan melihat ke sumber suara.
“WOE, MATA LO KEMANA? Dasar cupu. Lo sudah pakai kacamata tapi masih saja nggak bisa lihat. Lihat akibat ulah lo, sepatu gue jadi kotor,” teriak seseorang.
Riri, si gadis yang tadi menggangguku sedang berteriak kepada seorang gadis berkacamata. Aku lihat gadis berkacamata tersebut berulang kali membungkuk meminta maaf dan berusaha membersihkan sepatu Riri dengan sebuah sapu tangan.
“Maa...maaf. Aaa...aku tidak sengaja,” katanya gugup.
“Apa lo bilang? Lo nggak sengaja. Enak saja lo bilang gitu. Sekarang ambil jaket lo, dan bersihkan sepatu gue pakai jaket lo. SEKARANG!” teriaknya lagi.
“Iii..iya,” katanya gugup sambil mengambil jaketnya.
Aku benar-benar muak dengan Riri. Gadis berkacamata itu sudah bilang maaf, tapi dia masih saja membentaknya. Kenapa dia seenaknya seperti itu, menindas orang yang lemah.
“Apa?” tanya Ryo saat dia menyadari aku sedang melihatnya.
“Jangan memintaku untuk membantu gadis itu,” kata Ryo.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena itu bukan urusanku,” katanya.
“Tapi kemarin kamu membantuku,” kataku.
“Karena kamu sahabatku, jadi itu menjadi urusanku,” jawabnya singkat.
“Kalau kamu ingin menolong dia, tolong saja!” kata Ryo.
Bagaimana mungkin aku menolong gadis itu kalau aku sendiri saja tidak bisa menolong diriku sendiri. Apa yang harus aku lakukan? Oh Ya Allah, bantulah gadis itu.
Malam tiba, sepertinya bulan menatapku dengan rasa kasihan setelah tahu betapa pengecutnya aku. Dan aku masih merasa bersalah dengan gadis berkacamata itu. Aku ingin sekali menolongnya, tapi bagaimana mungkin. Andaikan aku punya keberanian untuk melawan mereka.
Biasanya hembusan angin yang menerpa wajahku saat aku berdiri di balkon depan kamarku ini selalu bisa membantuku memecahkan masalah, tapi sepertinya kali ini tidak berhasil.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Kakak yang tiba-tiba berada di sampingku.
“Kakak, kebiasaan deh. Kalau masuk kekamar orang tuh ketuk pintu dulu,” protesku.
“Aku sudah mengetuk pintu dari tadi. Kamu saja yang dari tadi melamun, sampai tidak mendengarnya,” kata Kakak.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya santai sambil menikmati secangkir kopi.
“Eh,” protes Kakakku saat aku mengambil kopi yang akan dia minum.
“Ran, kembalikan kopiku,” katanya marah.
“Pelit. Ran kan cuma minta sedikit saja,” kataku sambil mengembalikan kopinya.
“Kak,” panggilku saat dia sedang menghirup aroma kopi yang keluar dari cangkir yang dia pegang.
“Hem, ada apa?” tanyanya.
“Apa kakak ingat kejadian UAS kemaren? Ada seorang anak gadis yang menggangu Ran hingga Ran pingsan?” tanyaku.
“Ingat, kenapa? Apa mereka mengganggumu lagi?” tanyanya cemas.
Aku mengangguk.
“Lalu, apa kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?” tanyanya semakin cemas.
“Tidak, Ran baik-baik saja,” jawabku.
Ada rasa bersyukur yang nampak di wajah Kakak yang terlihat lelah.
“Ryo yang membantu Ran,” kataku menjelaskan.
“Ran merasa beruntung sekali bisa bertemu dengan Ryo lagi. Dan Ran merasa sangat beruntung mengetahui kalau Ryo menjadi teman sebangku Ran,” kataku sambil tersenyum.
“Lalu, apa yang membuat adikku yang jelek ini gelisah?” tanyanya.
“Ada seorang anak berkacamata yang tidak sengaja menumpahkan minuman bersoda ke sepatu anak gadis itu. Lalu, anak gadis itu marah dan membully anak berkacamata tersebut,” ceritaku.
“Apa anak gadis yang mengganggumu itu?” tanyanya memastikan.
Aku hanya mengangguk.
“Lalu, kenapa kamu galau seperti itu?” tanya Kakak sambil mengusap kepalaku lembut.
“Ran merasa bersalah sama anak berkacamata itu karena Ran tidak bisa menolongnya. Di saat Ran di ganggu anak gadis itu, ada Ryo yang membantu Ran. Tapi di saat anak berkacamata itu yang di ganggu, tidak ada satu anakpun yang membantunya,” kataku.
“Apa kamu ingin menolongnya?” tanya Kakak.
“Huum,” kataku.
“Kalau begitu, tolong dia,” katanya.
“Bagaimana mungkin. Ran saja tidak bisa menolong diri Ran sendiri,” kataku.
“Ikuti kata hatimu. Ran jangan takut!” kata kakak.
“Tapi..,”
“Ran pasti bisa. Lawan rasa takutmu dan bantulah dia!” kata Kakakku memberi saran.
“Sudah malam, tidurlah!” katanya sambil keluar dari kamarku.
Kakak benar, aku harus melawan rasa takutku jika aku ingin menolong anak berkacamata tersebut. Aku akan melakukannya. Aku akan mencobanya. Ya Allah, bantulah hambamu ini, berikan aku keberanian untuk melawan rasa takut ini.
Matahari bersinar dengan cerah, seolah-olah memberiku sebuah dukungan untuk melawan rasa takutku. Hari ini Bunda membuatkanku sebuah bekal makan siang yang terlihat sangat lezat sekali.
“Ran, cepat habiskan sarapanmu dan segera berangkat sekolah!” perintah Bunda.
“Iya, Bunda,” kataku menjawabnya.
“Bunda, Erick berangkat dulu,” teriak Kakakku sambil berjalan terburu-buru menghampiri Bunda dan memeluknya.
“Kamu tidak sarapan dulu?” tanya Bunda.
Kakak hanya mencium Bunda sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang bersih.
“Kamu ini kebiasaan. Bawa ini untuk makan siang di rumah sakit! omel Bunda.
Kakak memang sejak dulu malas untuk sarapan pagi. Dia hanya akan sarapan di atas jam sembilan pagi. Sepertinya dia bukan contoh dokter yang baik.
“Erick berangkat dulu,” kata kakak sambil mencium tangan Bunda.
“Ran juga,” kataku menyusul kakak untuk mencium tangan Bunda.
“Kalian berdua, hati-hati di jalan.” teriak Bunda.
Suasana kelas sudah mulai ramai saat aku memasuki kelas dan meletakkan tasku di atas tempat dudukku. Beberapa anak sedang sibuk mencontek PR dari anak yang lain yang sudah mengerjakan PR, termasuk Ryo.
“Ran, pinjam PR kimia kamu,” pintanya.
“Buat apa? Kamu belum mengerjakan PR?” tanyaku.
“Sudah sini, mana buku PR kimia kamu,” katanya sambil merebut tasku dan mengambil buku PR ku secara paksa.
“Ryo, kembalikan bukuku,” protesku.
“Ayolah, sebentar lagi bel berbunyi. Biarkan aku mencontek PR mu,” kata Ryo dengan wajah memelas. Tidak tega juga melihat wajahnya yang seperti itu.
Aku melihat Riri dan teman-temannya sedang berjalan menuju kelas. Riri adalah nama gadis yang kemarin menggangguku. Dia juga yang mengganggu gadis berkacamata itu.
Tunggu! Sepertinya mereka menuju tempat gadis berkacamata tersebut. Apa mereka akan mengganggunya lagi? Kali ini, apa yang akan mereka lakukan.
“Brurrk,” Riri mengebrak meja si gadis berkaca mata itu. Aku lihat wajah ketakutan tampak jelas di wajah gadis berkacamata tersebut. Ya Allah, apa yang harus Ran lakukan? Haruskah Ran menolongnya?
Bukankah semalam aku sudah berjanji akan menolong gadis berkacamata itu. Aku harus menepati janjiku, tapi aku masih takut.
“Mana buku PR kimia kita,” tanyanya sambil membentak gadis itu.
Sepertinya Riri dan teman-temannya menyuruh gadis berkacamata itu untuk mengerjakan PR mereka. Bukankah itu curang. Maaf, aku tidak bisa membantumu. Kataku dalam hati saat melihat gadis itu mulai panik.
“Biarkan saja mereka,” kata Ryo saat tahu kalau aku sedang memperhatikan gadis itu.
“Tapi..,”
“Kalau kamu masih belum berani melawan mereka, biarkan saja mereka mengganggu gadis itu,” kata Ryo sambil memotong ucapanku.
Ryo benar, selama aku masih takut melawan mereka, bagaimana mungkin aku bisa membantu gadis berkacamata tersebut. Apa yang harus aku lakukan? Ya Allah bantu dia, lindungi dia. Kataku berdoa dalam hati.
“Heh, kamu lihat apa? Ayo ke kantin! Aku laper nih,” ajak Ryo.
“Tunggu sebentar!” kataku sambil beranjak dari kursiku.
“Halo, aku Ran. Mau makan siang bareng nggak?” ajakku.
“Huum,” katanya mengangguk dengan ragu.
Kami bertiga makan siang bersama. Sepertinya Ryo tidak terganggu dengan kehadirannya. Terima kasih Ryo.
“Maaf,” kataku pada gadis berkacamata tersebut.
“Maaf untuk apa?” tanyanya ragu.
“Maaf karena tidak bisa menolongmu,” kataku lagi.
Dia hanya tersenyum dan menggeleng, seolah memberi isyarat bahwa dia baik-baik saja. Aku tahu apa yang dia rasakan sekarang, karena aku juga mengalami hal yang sama.
“Namaku Diyannah Alesandra, kamu bisa memanggilku Anna,” katanya sambil menyodorkan tangannya.
“Aku Azyra Kirana, kamu bisa memanggilku Ran,” kataku sambil tersenyum padanya.
Anna, bukankah itu nama yang indah? Entah kenapa, aku tidak asing dengan nama tersebut. Mungkin karena nama tersebut seperti nama tokoh serial kartun anak-anak.
Anna memandangku dengan tatapan yang aneh. Dia seperti terkejut melihatku. Ah, mungkin hanya pemikiranku saja.
Kami bertiga saling mengobrol dan bercanda. Anna ternyata anak yang asyik di ajak bercanda. Dia juga lucu. Berbeda sekali dengan penampilannya yang culun.
Chapter 9 Anna as Cinderella
Aku masih belum berani membela Anna di depan Riri cs. Aku masih takut menghadapi mereka. Aku juga tidak mau mereka tahu tentang penyakitku ini. Kebanyakan orang mengira bahwa pasien PTSD adalah orang-orang sakit jiwa. Maafkan aku Anna.
“Kenapa?” Tanya Ryo.
“Ryo, tidak bisakah kamu membantu Anna, please!” katamu memelas.
“Kalau kamu ingin menolongnya, silahkan,” kata Ryo.
“Ryo, aku ingin, but I can’t do it, please!” kataku.
“Aish,,” kata Ryo sambil mengacak-acak rambutnya.
“Hei Riri!” bentak Ryo.
“Apa?” jawab Riri galak.
“Hentikan! Jangan ganggu dia!” kata Ryo.
“Ini bukan urusan lo,”
“Gue bilang berhenti ya BERHENTI!” bentak Ryo.
“Gue muak lihat cewek yang sok jagoan, bully temen sendiri,” kata Ryo.
Semua anak yang ada di kelas terdiam, bahkan Riri tidak bisa berkutik. Entah kenapa semua anak patuh sama Ryo. Sepertinya dia bukan tipe cowok yang suka berkelahi. Tapi kenapa semua orang takut sama dia.
Aku hampiri Ryo yang sudah duduk di bangkunya, dia menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan yang di lipat di atas meja.
“Terima kasih,” bisikku padanya.
“Ini semua tidak gratis,” katanya sambil mengangkat wajahnya yang sejak tadi dia sembunyikan.
“Berapa?” tanyaku polos.
“Aku tidak butuh uang,” katanya.
“Lalu?”
“Aku minta tiga permintaan,” katanya sambil menunjukkan jarinya yang di lipat.
“Hei, aku bukan Jin yang bisa mengabulkan tiga permintaanmu itu,” protesku.
“Aku anggap itu sebuah persetujuan,” katanya sambil kembali menyembunyikan wajahnya kembali.
“Ryo, aku bahkan tidak bilang setuju, kenapa kamu seenaknya gitu,” protesku.
“Diamlah, aku ingin tidur,” katanya.
Bahkan aku juga tidak bisa berkutik di buatnya. Ryo, terima kasih untuk semuanya. Aku akan membayar kebaikanmu dengan mengabulkan tiga permintaanmu. Aku janji.
Hari ini sungguh melelahkan, tapi juga menyenangkan. Aku semakin akrab dengan Anna. Sekarang aku punya dua sahabat, ya sahabat bukan hanya sekedar teman.
“Sepertinya ada yang sedang bahagia nih,” goda Kakakku.
“Terlihat banget ya?” tanyaku.
“Huum,” katanya sambil mengangguk.
“Seneng banget lihat si Rapunzel tersenyum, ada apa? Apa ada kabar bahagia?” tanyanya penasaran.
Aku mulai menceritakan semuanya pada Erick. Dia juga mendengarkan setiap detail ceritaku dengan sabar. Terkadang dia memberikan tanggapan dan komentar tanpa harus di minta. Dia memang kakak yang keren. Satu kebahagiaan yang aku punya. Kebahagiaan punya kakak seperti dia.
“Maaf Bunda mengganggu, tapi ada yang cari Ran di bawah,” kata Bunda.
“Siapa, Bun?” tanyaku.
“Ada Ryo di bawah,” kata Bunda.
“Ryo?” tanyaku heran.
Segera aku turun ke bawah dan menemuinya. Tumben dia datang ke rumah mencariku, biasanya dia mencari kakak.
“Ada apa?” kataku saat melihat dia duduk di ruang tamu.
“Aku mau minta permintaanku yang pertama,” kata Ryo.
“Ha?” kataku terkejut.
“Aku kasih kamu waktu sepuluh menit untuk ganti baju,” katanya yang semakin membuatku bingung.
“Temani aku ke toko buku sebentar. Tenang saja, aku sudah minta ijin sama Bundamu,” katanya menjelaskan padaku yang saat ini masih bengong karena bingung.
“Mau sampai kapan kamu bengong seperti itu?” tanyanya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Ku langkahkan kaki ke atas dan mengganti baju yang aku pakai. Tak lama aku turun dan berpamitan dengan Bunda dan kakak.
Kami sampai di suatu pusat perbelajaan terbesar di kota ini. Kami turun dan langsung menuju toko buku. Tidak butuh banyak untuk Ryo mencari buku yang dia butuhkan.
“Aku lapar. Traktir aku makan malam,” pintanya sambil berjalan meninggalkanku.
Entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan Ryo. Dia tidak seperti Ryo yang aku kenal seperti biasanya. Dia lebih pendiam dari biasanya.
“Mau makan di mana?” tanyaku.
“Di tempat yang lebih ramah dari Restaurant,” jawabnya singkat.
Dia melepas jaket yang dia pakai dan memberikannya padaku. Sepertinya dia menyadari kalau sedari tadi aku sudah mulai kedinginan. Aku terlalu terkejut dan bingung hingga lupa membawa jaket.
“Sudah tahu aku naik motor, tapi gak bawa jaket. Dasar bodoh,” katanya mengejek.
“Nih,” kataku mengembalikan jaketnya.
“Aku nggak mau pakai jaket kamu,” kataku marah. Aku marah dengan sikap Ryo saat ini. Ini seperti bukan Ryo yang aku kenal. Malam ini dia terlalu cuek, kasar, dan sedikit pendiam dari biasanya.
“Kenapa?” tanyanya.
“Seharusnya aku yang tanya kenapa. Kenapa kamu hari ini? Kamu seperti bukan Ryo yang aku kenal. Ryo yang aku kenal nggak bakal ngomong kalau aku bodoh,” protesku.
“Sorry, aku lagi bad mood,” katanya menyesal. Dia kembali memberikan jaketnya, bahkan membantumu memakainya.
“Maaf, maafin aku,” katanya lagi.
“Huum,” kataku sambil mengangguk.
“Apa kamu lagi ada masalah? Apa ada masalah dengan Hana?” tanyaku cemas.
“Nggak, Hana baik-baik saja,” jawabnya sambil tersenyum.
“Lalu?”
“Nanti aku ceritakan. Ayo makan, aku benar-benar kelaparan,” katanya.
Kami mulai melaju menuju tempat makan. Aku tahu kenapa Ryo bilang tempat yang lebih ramah dari Restaurant. Dia mengajakku makan di sebuah kedai kaki lima dengan menu utamanya sate ayam Madura. Jelas ini memang lebih ramah, ramah di kantong pastinya.
“Sekarang ceritakan apa yang terjadi,” pintaku.
“Makasih makan malamnya. Ayo kita pulang!” ajak Ryo mengalihkan pembicaraan.
“Ryo,” protesku.
“Iya iya aku cerita,” kata Ryo menyerah.
“Aku sepertinya suka sama seorang cewek,” ceritanya.
“Benarkah? Siapa?” tanyaku antusias.
“Tunggu! Kalau kamu sedang suka sama seseorang, kenapa kamu bad mood seperti ini?” tanyaku lagi.
“Mungkin karena aku tidak bisa bilang sama dia,” jawabnya singkat.
“Kenapa? Apa dia sudah punya pacar?” tanyaku lagi.
“Tidak, sepertinya dia tidak punya pacar kalau di lihat kesehariannya,” jawab Ryo.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Sepertinya cukup ceritanya. Ayo pulang sebelum Bunda mencarimu!” katanya.
“Aku akan memberitahumu lain kali,” kata Ryo saat melihat mimik kecewa di wajahku.
“Benarkah? Janji?” pintaku.
“Iya janji,”
“Janji persahabatan. kamu tidak boleh melanggarnya, oke?” kataku memastikan janjinya.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Entah apa yang terjadi. Walaupun dia tersenyum, matanya menyiratkan rasa kecewa yang cukup dalam. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa gadis yang di sukai Ryo? Kenapa aku merasa sedih saat ini? Sepertinya bukan hanya Ryo saja yang aneh, bahkan diriku juga aneh.
Hari berlalu, hari ini Ryo masih aneh. Sikapnya masih berbeda, dia seperti menghindariku.
“Ryo,” sapaku. Sebenarnya aku sedikit canggung menyapanya.
“Hem,” jawabnya.
“Kamu ingin kado apa untuk ulang tahunmu minggu depan?” tanyaku.
“Nggak ada,” jawabnya.
“Yakin?” tanyaku.
“Sebenarnya, aku belum pernah kasih kado ke orang lain selain Bunda dan kakak. Maka dari itu, aku tanya sama kamu,” kataku jujur.
Ryo terbelalak kaget mendengar pernyataanku. Dia tertawa meledekku. Inilah Ryo yang aku kenal. Dia sudah kembali menjadi Ryo sahabatku yang usil.
“Ryo, hentikan!” kataku.
“Oke,” katanya menahan tawa.
“Kali ini aku setuju dengan dokter Erick,” katanya yang semakin membuatku bingung.
“Setuju apa?” tanyaku.
“Setuju kalau kamu itu memang Rapunzel yang di tahan di dalam menara yang tinggi,” ejeknya.
“Auuu,” teriak Ryo kesakitan saat aku menendang kakinya.
“Ryo, jangan keras-keras. Aku tidak mau ada yang tahu tentang julukan itu, please,” kataku memohon.
“Ran, ini beneran sakit lho,” katanya dengan muka serius.
“Maaf,” kataku.
“Oke, sekarang bilang, kamu mau apa?” tanyaku lagi.
“Eemmm, beri aku waktu untuk berpikir,” pintanya.
“Oke, waktumu sampai pelajaran hari ini berakhir. Sepulang sekolah aku tunggu kamu di gerbang. Datang sebelum kakak jemput aku,”
“Oke, siap,”
Aku benar-benar bersyukur Ryo sudah kembali seperti semula. Ada sedikit rasa sedih dan kecewa saat Ryo mulai mengabaikanku.
“Ran,” panggil Ryo. Aku lihat Ryo berlari ke arahku. Dengan nafas yang terengah-engah, dia membisikan sesuatu ke telingaku.
“Oke,” katanya setelah berbisik.
Aku masih tidak percaya tentang keinginannya Ryo. Tunggu, aku tidak mau melakukan hal itu. Itu memalukan.
“Tunggu! Apa kamu punya permintaan lain selain itu?” tanyaku cemas.
“Aku anggap itu jawaban setuju. Oke, aku tunggu minggu depan kejutannya,” kata Ryo sambil berlari meninggalkanku yang masih dalam keadaan bingung.
“Kamu kenapa, Ran?” tanya Kakakku yang sudah ada di depanku.
Aku hanya menggeleng dan masuk ke dalam mobil. Aku nggak mau sampai Kakak tahu tentang permintaannya Ryo.
Hari berlalu dengan cepat dan aku masih belum mempersiapkan permintaannya Ryo. Dan hari ini Anna memintaku untuk menemaninya membeli gaun. Ryo salah satu anak orang terpandang di kota ini, jadi kamu jangan heran kalau dia mengadakan pesta ulang tahun yang ke 18. Sebenarnya pesta ulang tahunnya hanya sebuah kedok untuk bisnis ayahnya. Pesta untuk menjamu klien bisnis ayahnya. Ryo sendiri membenci yang namanya pesta. Kemarin aku merasa sangat kasihan dengan Ryo yang selalu menghela nafas saat beberapa temannya bertanya tentang pesta ulang tahunnya.
“Kamu kenapa mondar mandir kayak gitu,” protes Kakakku saat melihatku gelisah dan berjalan kesana kemari tanpa tujuan yang jelas.
“Kak, apa yang harus Ran lakukan?”
“Ada apa memangnya?” tanyanya penasaran.
Kakakku tertawa saat aku menceritakan keinginan Ryo. Dan hal itu semakin membuatku tidak mau melakukannya. Oke, aku tidak mau. Tapi, aku sudah janji dengan Ryo. Apa yang harus aku lakukan.
“Kakak, berhenti tertawa! Aku harus bagaimana?”
“Kamu sudah janji dengan Ryo kan?” tanyanya memastikan.
“Huum,”
“ Ya sudah, lakukan!” katanya.
“Aku nggak mau. Itu memalukan. Kak, bantu Ran cari jalan keluarnya, please!” pintaku.
“Maaf, kakak nggak bisa bantu kamu kali ini. Tapi, kakak bisa bantu kamu cari hadiahnya buat Ryo,” kata kakakku sambil tersenyum jahil.
Kali ini kakakku berubah jadi naga yang jahat. Dia sama sekali tidak mau membantuku, dan sepertinya dia malah mendukung Ryo. Ayolah, apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menyerah kali ini?
“Ingat, janji harus di tepati,” kata Kakakku sebelum dia pergi meninggalkanku sendirian.
“Oiya, Ran jangan lupa. Pestanya nanti malam, jadi kamu harus segera siap-siap,” lanjutnya. Kakakku benar-benar menjengkelkan kali ini.
Aku tidak dapat membalas satu katapun yang kakakku ucapkan. Dia benar. Aku sudah berjanji sama Ryo, dan aku harus menepatinya. Dengan berat hati, aku melakukan apa yang Ryo inginkan sebagai kadoku untuknya.
Siang ini, aku membantu Anna mencari gaun, sekaligus menemaninya ke salon. Sedangkan kakakku membantuku mencari hadiah yang Ryo inginkan. Dia dengan senang hati membantuku tanpa aku harus memintanya. Dan hal itu semakin membuatku jengkel.
“Apa aku harus pakai ini?” tanyaku kaget.
“Huum,” jawab Kakakku singkat.
“Bunda akan membantumu memakainya,” kata Kakakku.
Kakakku juga di undang oleh ayahnya Ryo sebagai dokter Erick yang telah merawat putri kesayangannya. Ada sedikit rasa lega saat mengetahui hal tersebut.
“Selesai,” kata Bunda saat selesai membantuku memakai gaun dan mendandaniku layaknya seorang putri.
“Apa tuan putri sudah siap?” tanya Kakakku saat kami sudah sampai di tempat pesta.
Semua orang menatap ke arahku saat aku menjejalkan kakiku ke ruangan yang penuh dengan manusia yang mengenakan berbagai kostum.
“Kak, aku merasa menjadi alien,” bisikku merasa aneh dengan tatapan mereka.
“Tenang saja, kamu cantik kok,” bisiknya.
Kakak tentu saja bisa bersikap tenang karena bukan dia yang menggunakan kostum ini. Bukan dia pula yang menjadi pusat perhatian.
Aku lihat Ryo tersenyum kepadaku. Senyum yang seolah-olah mengejekku. Ya, senyum kemenangan untuknya, dan kekalahan untukku.
“Selamat datang tuan putri,” sapanya kepadaku sambil membungkukkan badannya layaknya seorang pangeran.
Kakakku hanya tersenyum melihatku. Senyum yang menyiratkan ejekan. Aish, mereka berdua membuatku marah.
“Sepertnya aku harus pergi,” kata Kakakku sambil melepaskan tanganku yang sejak tadi menggandengnya.
“Apa kamu puas dengan hadiahmu?” bisikku kepada Ryo.
Ryo memintaku datang sebagai hadiahnya. Datang sebagai seorang Rapunzel, bukan seorang Ran sahabatnya. Itulah yang membuatku gelisah selama seminggu ini. Tidakkah kamu berpikir bahwa hal ini memalukan. Lihat saja, mereka memakai gaun pesta yang normal, sedangkan aku harus melakukan cosplay Rapunzel dengan gaun berwarna ungu yang cukup besar. Ini benar-benar memalukan.
“Belum. Sejauh yang aku tahu, rapunzel memiliki rambut panjang berwarna pirang,” katanya.
“Apa kamu gila? Mana mungkin aku mewarnai rambutku,” kataku jengkel.
“Oke, setidaknya rambutmu cukup panjang,” komentarnya.
Di saat aku sedang berdebat dengan Ryo, seseorang datang. Seorang gadis cantik dengan gaun putih panjangnya. Setiap mata menatapnya layaknya seorang Cinderella. Bahkan Ryo tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis tersebut.
“Anna,” kataku kaget.
Chapter 10 Memories of camera
“Ryo, bukankah Anna seperti seorang Cinderella?” tanyaku pada Ryo tanpa mengalihkan pandanganku dari Anna.
“Huum, dia cantik,” jawab Ryo singkat sambil mengambil beberapa potong kue kecil dan memakannya.
“Ryo, sepertinya Anna menyukaimu. Aku baru menyadarinya tadi saat menemaninya membeli gaun dan hadiah buat kamu,” ceritaku pada Ryo.
“Huum,” jawab Ryo acuh padaku.
“Ryo,” panggil Anna.
Aku lihat rona bahagia nampak jelas di wajah Anna. Apakah begini wajah orang yang sedang jatuh cinta? Anna cantik, dia juga baik. Aku pikir mereka akan sangat cocok menjadi pasangan.
“Ran, kamu sudah di sini?” sapanya saat melihatku sudah berada di samping Ryo. Sepertinya dia kecewa saat aku sudah ada di samping orang yang dia suka.
“Sepertinya aku harus pergi,” bisikku pada Ryo.
Aku terkejut saat Ryo menahanku pergi. Dia menggenggap erat tanganku. Entah apa yang terjadi. Aku merasakan hal yang aneh. Jantungku. Ya, jantungku berdetak cepat sekali. Apa kamu sakit? Aku harus segera mencari kakak. Aku tidak ingin pingsan di pesta ulang tahun Ryo.
“Ryo, aku harus pergi,” bisikku lagi. Ryo mengabaikanku.
“Emm, Ryo ini buat kamu,” kata Anna sambil menyerahkan sebuah bingkisan cantik untuk Ryo.
“Terima kasih buat kadonya. Terima kasih juga sudah datang,” kata Ryo.
“Oiya, kamu terlihat cantik dengan gaun itu,” kata Ryo memuji.
Aku lihat dengan jelas rona merah di pipi Anna. Dia terpesona dengan pujian Ryo. Beruntungnya Anna yang bisa merasakan jatuh cinta. Sejujurnya aku iri dengan Anna yang bisa jatuh cinta. Aku ingin sekali merasakannya walau hanya untuk sekali dalam seumur hidupku.
Tunggu! Apa aku tidak salah lihat? Anna, apa yang di lakukan? Ya, aku melihatnya, dan itu tidak salah. Anna mencium pipi Ryo.
“Anna, apa yang kamu lakukan?” tanya Ryo panik.
Anna hanya tersenyum dan berbisik kepada Ryo. Sebuah kalimat yang tidak pernah aku sangka bisa terucap dari bibir Anna dengan gamplang.
Kenapa aku merasakan amarah? Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi padaku? Aku harus segera pergi dari sini. Kakak, aku harus mencari kakak.
“Ryo, lepaskan tanganku,” kataku sambil melepaskan tangannya.
“Sepertinya aku mengganggu, maaf,” kataku pada Anna sambil tersenyum.
Untuk pertama kalinya aku tersenyum, senyum yang palsu. Entah apa yang salah dengan diriku. Apa ini karena efek trauma PTSD yang aku derita? Selama ini aku tidak pernah mengalami gejala yang seperti ini.
“Ran, tunggu!” teriak Ryo.
“Ran,”
“Lepaskan! Aku harus segera menemukan kakakku,” kataku sambil melepaskan tangannya Ryo yang berhasil menggenggam tanganku lagi.
“Apa yang terjadi? Apa kamu sakit?” tanyanya cemas.
“Entahlah. Aku hanya takut kalau aku kambuh lagi. Aku tidak ingin pingsan di pestamu” jawabku.
“Aku harus bertemu kakak secepatnya. Ada hal yang harus aku tanyakan. Ini aneh,” kataku lagi.
“Aneh?” tanyanya lagi.
“Aku belum pernah mengalami gejala seperti ini,” kataku semakin panik.
“Tunggu! Apa kamu marah padaku? Apa ini hanya alasan supaya kamu bisa menghindariku?” tanya Ryo marah.
“Kenapa aku harus marah padamu? Aku benar-benar harus bertemu kakakku,”
“Ryo, lepaskan tanganku! Aku harus segera bertemu kakakku,” kataku sambil menarik tanganku.
Ryo hanya terdiam menatapku. Entah apa yang di pikirkan.
“Ryo, lepaskan! Tanganku sakit,” pintaku.
Air mata, kenapa aku menangis? Apa karena tanganku yang sakit? Bukan, aku bukan orang yang cengeng hanya gara-gara tanganku yang merah. Kakak, tolong aku! Apa yang terjadi padaku?
Ryo melepaskan tanganku. Ya, dia sudah melepasnya. Tapi kenapa air mataku semakin deras mengalir? Apa yang terjadi?
Di saat air mataku membuat mataku tidak dapat melihat dengan jelas, Ryo menarikku kedalam pelukannya. Dia memelukku dan berbisik mengucapkan kata maaf beberapa kali.
“Maaf, maafkan aku,” katanya.
“Ryo, lepaskan! Aku tidak ingin orang lain salah paham, apalagi Anna. Anna akan sedih jika melihat kamu memelukku begini,” kataku.
Ryo hanya diam.
“Ryo, lepaskan! Aku janji tidak akan nangis lagi, jadi lepaskan,” pintaku.
Ryo melepaskanku dari pelukannya.
“Maaf, aku benar-benar tidak tahu kenapa aku tadi menangis,” kataku.
“Bodoh,” satu kata yang di ucapkan Ryo.
Aku melihat wajah Ryo penuh dengan amarah. Ya, dia saat ini sedang marah. Apa aku melakukan hal yang salah? Apa dia marah padaku?
“Bodoh atau pura-pura bodoh?” tanyanya padaku.
Aku semakin tidak mengerti apa yang dia katakan.
“Ryo, apa yang kamu katakan? Aku tidak mengerti. Siapa yang bodoh?” tanyaku.
“Apa kamu benar-benar tidak mengerti?” bentaknya.
Aku tersentak saat Ryo membentakku. Apa salahku? Kenapa dia membentakku? Kenapa dia marah padaku? Seharusnya aku yang marah, bukan dia. Tunggu! Buat apa aku marah?
“Kenapa kamu membentakku?” tanyaku.
“Karena aku menyukaimu,” bentak Ryo.
“Aku suka kamu, aku cinta sama kamu. Apa kamu masih belum mengerti?” tanyanya dengan nada yang sedikit lebih lembut.
“Ryo, tunggu! Apa yang kamu katakan? Anna akan salah paham kalau mendengar ini. Aku mohon Ryo, jangan bercanda!” kataku.
“Siapa yang bercanda? Aku serius Ran,”
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku bahkan sulit untuk bernafas. Apa yang Ryo katakan? Kenapa hatiku merasa senang? Tidak, ini tidak boleh terjadi. Anna, aku tidak boleh menyukai Ryo. Anna, hanya Anna yang pantas untuk Ryo.
“Anna,” kata Ryo pelan.
Anna? Kenapa Ryo memanggil Anna? Apa Anna ada di belakangku?
“Anna,” kataku kaget saat aku berbalik dan melihat sosok Anna.
“Anna, aku bisa jelasin semua ini. Kamu jangan salah paham,” kataku gugup.
“Aku cuma mau kasih kamu ini,” kata Anna sambil berlari meninggalkanku.
“Anna,” panggilku sambil berusaha mengejarnya, tapi Ryo menahanku.
“Biarkan dia. Dia hanya butuh waktu untuk sendirian,”
“Apa kamu gila? Bagaimana mungkin aku membiarkan Anna salah paham?” bentakku pada Ryo.
“Apanya yang salah paham?” tanya Ryo.
Aku tidak memperdulikan apa yang Ryo ucapkan. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat ini.
Baru saja tadi siang Anna memberitahuku tentang perasaannya terhadap Ryo. Dan sekarang aku menghancurkan perasaan itu.
“Ran, apa kamu menyukai Ryo?” tanya Anna saat siang tadi aku menemaninya membeli gaun.
Pertanyaan yang membuatku bingung. Bagaimana bisa aku menjawabnya, aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Apa aku menyukai Ryo? Aku bahkan tidak tahu.
“Ya nggak lah, Ryo itu hanya sahabatku. Mana mungkin aku menyukainya,” jawabku gelagapan.
“Benarkah? Aku pikir kamu menyukainya. Kalian terlihat akrab sekali. Bahkan awalnya aku kira kalian pacaran,” kata Anna.
“Haha mana mungkin. Em, mungkin karena Ryo sahabat pertama yang aku punya, makanya kami terlihat sangat akrab. Tenang saja, kami hanya berteman kok,” jawabku.
“Syukur deh kalau begitu,” kata Anna. Terlihat jelas sekali rasa lega di wajahnya.
Aku bahkan masih mengingat semua yang Anna ucapkan, ekspresi dia saat membicarakan Ryo, senyumnya. Semuanya masih melekat jelas di benakku.
Dan sekarang, apa yang aku lakukan? Aku melukai perasaannya. Aku menghianatinya.
“Anna, tunggu!” teriakku memanggilnya.
Aku terus berlari mengejarnya. Bahkan aku melepas sepatuku agar bisa mengejarnya.
“Anna, aku mohon berhenti! Aku bisa menjelaskan semuanya,” teriakku menyakinkannya. Tapi percuma, dia terus berlari menghindariku.
Anna berhenti dan berbalik melihatku. Aku merasa lega saat melihatnya berhenti. Aku bisa bernafas lega kali ini.
“Ran, aku benci sama kamu,” teriakknya.
“Maaf,” kataku.
“Dasar penghianat. Aku membencimu, Ran.”
“Ran, apa kamu pura-pura lupa denganku?” tanyanya dengan isak tangis.
Apa lagi yang di katakan? Kenapa semua orang mengatakan hal yang sama sekali tidak aku mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan mereka semua?
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku dulu menyelamatkanmu, dan sekarang kamu menyakitiku,” kata Anna.
Menyelamatkan? Menyakiti? Apa yang dia maksud?
“Anna, aku benar-benar tidak mengerti apa yang kamu katakan,” kataku.
“Lihat isi kotak itu!” perintah Anna dengan masih terisak.
Perlahan aku membuka kotak yang tadi Anna berikan. Sebuah kotak kayu kecil yang terlihat usang.
Kamera. Ya, sebuah kamera analog dengan jenis Lomograpic holga. Kamera yang terlihat tidak asing.
“Apa kamu benar-benar lupa? Aku Anna, temanmu yang dulu menyelamatkanmu. Dulu saat mereka memukulimu dan membuang kameramu, aku yang menyelamatkanmu,” teriaknya lagi.
“Tapi apa balasanmu sekarang?”
“Baru tadi siang kamu bilang bahwa kalian hanya berteman, tapi apa sekarang?”
“Aku kecewa denganmu, Ran. Aku kira kita bisa berteman seperti dulu,” katanya lagi.
“Tapi kenapa kamu menghianatiku? Kenapa kamu menyakitiku? Kenapa kamu merebut Ryo dariku? Padahal aku sudah menyelamatkan hidupmu,”
“Aku benci kamu Ran,” teriak Anna padaku.
Kamera? Dulu? Apa yang Anna maksud? Aku benar-benar tidak tahu? Apa dulu aku dan Anna berteman? Kapan?
Ah kepalaku. Kenapa kepalaku sakit? Apa yang terjadi? Sekelat bayangan datang di kepalaku, dan ini membuatku semakin sakit. Kakak, tolong aku!
Ayah. Kenapa ayah ada di sini? Ayah, aku merindukanmu. Tapi kenapa ayah bisa ada di sini. Ayah tolong! Tolong aku ayah.
“Aaaaarrrgggghhhhh,” teriakku.
“Sakit,” teriakku.
“Aaaarrgghhhh,” teriakku kesakitan.
“Ran, kamu kenapa?” tanya Anna.
Entah apa yang terjadi padaku. Kepalaku serasa mau meledak. Ini benar-benar menyakitkan. Apa yang terjadi?
Mataku. Kenapa mataku berkunang kunang? Tunggu! Apa yang terjadi? Apa kamu akan kambuh lagi? Aku tidak boleh sampai pingsan di sini. Aku tidak boleh merusak pestanya Ryo.
Aku harus pergi. Ayo Ran, kamu harus pergi dari sini. Bangun Ran! Perintahku pada diriku sendiri.
Samar-samar aku mendengar suara. Suara Anna yang bertanya. Mungkin dia khawatir. Tapi ini bukan saatnya memikirkan hal itu. Aku harus pergi dari sini.
“Ran, kamu mau kemana?” tanya Anna.
Ayah. Kenapa ayah masih di sini?
Apa aku mulai berhalusinasi? Mana mungkin ayah ada di sini. Bukankah seharusnya ayah ada di surga.
Aku paksakan diriku berjalan. Entah kemana aku pergi. Mataku tidak bisa melihat dengan jelas. Semuanya pudar, hanya bayangan ayah yang terlihat jelas saat ini.
Air. Aku melihat air. Air yang sangat besar. Ayah ada air. Ayah pergi dari sini! Ini bahaya. Ayah pergi dari sini.
“Tidak, ayah tidak boleh ada di sini,” teriakku.
“Aaaarrrggghhhh,” teriakku lagi. Dan ini semakin menyakitkan.
“Ayah,” panggilku.
Aku tidak kuat menahan kakiku untuk terus berjalan. Tapi aku harus segera pergi. Tahan Ran, tunggu sebentar lagi. Ayo pergi dari sini. Kataku dalam hati.
Dimana aku? Kenapa silau sekali? Cahaya apa ini? Kenapa bising sekali?
Hana. Aku melihat Hana. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mataku. Kenapa aku berhalusinasi lagi? Kenapa ganti Hana? Dimana ayah?
Hana. Tidak, Hana tidak boleh ada di sana. Hana harus pergi dari sana.
“Tidak,” gumanku.
“Hana,” lagi dan lagi, aku hanya bisa berguman lirih.
Aku harus menyelamatkan Hana. Itu berbahaya. Hana, jangan berdiri di sana.
Ryo. Aku melihat Ryo. Ryo, tolong Hana! Aku mohon, tolong Hana. Dia dalam bahaya.
“Ran,” teriak Ryo.
Ryo, jangan kemari! Aku mohon, selamatkan Hana.
“Ran, AWAS!!!!”
“Kakak,” kataku lirih.
Ya, aku mendengar suara kakakku. Iya, itu suara yang sama. Suara seseorang yang selalu menolongku. Kakak. Aku bersyukur kakak datang. Kakak, kepalaku sakit. Tolong aku!
“Bruukkk,”
Gelap. Kenapa di sini sangat gelap? Dimana aku? Kakak, bisa kamu hidupkan lampunya? Aku benci gelap. Ayah. Apa itu benar ayah? Ayah, bisakah ayah hidupkan lampunya? Aku benar-benar benci gelap. Bukankah ayah tahu hal itu.
Ayah, dimana kakak dan bunda? Apa ayah melihat mereka? Kenapa mereka tidak ada? Ayah, aku benar-benar takut di sini sendirian. Ayah, katakan sesuatu. Kenapa ayah hanya diam saja?
Apa yang terjadi? Ayah. Kenapa ayah menjauh? Ayah, jangan pergi! Ayah.
Chapter 11 The end of fairy tale
Ayah. Semua kenanganku tentangnya kembali. Semuanya, bahkan hingga semua luka yang aku dapatkan. Aku mengingat semuanya.
Kejadian lima tahun yang lalu, saat aku bertemu dengannya. Saat itu pula aku mendapatkan ingatanku kembali.
Apa kamu penasaran dengan akhir cerita dongeng ini? Cerita dongeng sang putri Rapunzel yang keluar dari istana. Kisah sang pangeran yang berhasil membebaskanku dari kutukan.
“What are you thinking at this moment?” tanya Kakakku membuyarkan lamuanku.
“Nope,” kataku menggeleng.
“Aku nggak berfikir apapun. Hanya saja semuanya terputar kembali di otakku. Seperti potongan episode drama yang menyakitkan,” kataku.
“Maafkan aku,” kata Kakakku.
“Andai saja aku memberitahumu tentang kondisimu dulu, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi,” katanya menyesal.
“Seharusnya aku yang minta maaf ke kakak. Karena aku, kakak terluka,” kataku sambil memeluknya.
Ya, mungkin yang di katakan kakak benar. Mungkin kalau aku tahu tentang kondisiku, kejadian itu tidak akan terjadi. Tapi, kakak dan bunda punya alasan lain kenapa mereka menyembunyikannya.
Aku masih mengingatnya saat aku terbangun dari koma. Karena kecelakaan itu, aku mengalami koma selama sepuluh hari. Tidak hanya itu, bahkan kakakku mengalami cedera yang cukup serius.
“Ran, apa kamu sudah bangun?”
Itulah kata pertama kali yang aku dengar saat terbangun dari tidurku.
“Bunda,”
“Iya sayang. Ini bunda,” kata Bunda dengan air mata yang semakin deras mengalir.
“Tunggu sebentar! Bunda panggilkan dokter dulu,” kata Bunda panik.
Aku melihat kelegaan dari wajah bunda. Tapi, ada yang berbeda dari wajah bunda saat itu.
Bunda merasa lega karena kondisiku yang sudah membaik. Tapi dia juga merasa sangat sedih dengan kondisi kakakku.
Akibat kecelakaan itu, salah satu ginjal kakakku harus di angkat.
Kecelakaan yang hampir membunuhku dan Hana. Saat itu, tanpa aku sadari aku berdiri di tengah jalan dengan gaun ungu Rapunzel tanpa alas kaki. Sedangkan di sisi yang lain, Hana berdiri di trotoar jalan. Entah apa yang dilakukan Hana saat itu.
Menurut kakak, saat itu Hana ingin mengambil bolanya yang tergelinding di pinggir jalan.
Jadi saat itu, aku benar-benar melihat Hana, bukan halusinasi. Berbeda dengan Ayah. Menurut dokter, ayah hanya halusinasiku karena ingatanku tentangnya mulai kembali.
Dan saat itu, aku melihat Ryo berdiri di seberang jalan. Aku juga mendengarnya berteriak memanggil namaku.
Kakak, kakak juga ada di sana saat itu. Mereka berdua ada di sana saat itu. Dan aku tidak berhalusinasi tentang mereka.
“Ran, apa kamu melamun lagi?” kata Kakakku sambil mengacak-acak rambutku.
Aku hanya tersenyum.
“Ran, apa kamu marah dengannya?” tanya kakak.
“Kenapa aku harus marah?” tanyaku heran.
“Karena dia lebih memilih menyelamatkan Hana daripada kamu,” kata Kakakku.
Marah? Mana mungkin aku marah. Justru aku bersyukur dia lebih memilih menyelamatkan Hana.
“Nggak. Sebaliknya, aku malah bersyukur,” kataku.
“Apa kakak tahu, saat aku melihat Hana dalam bahaya dan Ryo datang. Aku memintanya untuk menyelamatkan Hana. Jadi, kenapa aku harus marah? Lagipula, ada kakak yang menyelamatkanku,” kataku sambil tersenyum dan memeluk lengannya lebih erat.
“Apa kakak marah dengannya?” tanyaku balik.
“Kenapa aku harus marah?” tanyanya.
“Karena dia lebih memilih menyelamatkan Hana daripada aku,” kataku mengembalikan pertanyaan kakakku.
“Huum. Aku sangat marah dengannya. Karena dia aku harus kehilangan ginjalku,” katanya dengan wajah yang serius.
“Kakak, maafkan aku,” kataku menyesal.
“Sudahlah, lupakan! Lagipula, sekarang kamu baik-baik saja, dan aku juga baik-baik saja,” katanya sambil mengusap kepalaku.
Ya, itulah akhir ceritanya. Allah menciptakan Ryo sebagai kesatrianya Hana. Dan kakakku sebagai kesatriaku. Mereka berdua sama-sama menyelamatkan adiknya. Bukankah mereka keren?
“Berapa lama kamu di sini?” tanya Kakakku tiba-tiba. Lamuanku selalu saja di hancurkannya. Mungkin kakak tidak mau melihatku melamun dan memikirkan hal itu lagi.
“Kenapa? Apa kakak ingin aku cepat pergi dari sini?” tanyaku dengan nada marah.
“Kenapa marah?” tanyanya.
“Ya, seharusnya kakak tanya dulu kabarku. Bukannya tanya berapa lama aku di sini,”
“Maaf, tapi jika kamu terlalu lama di sini akan semakin membuat bunda repot,” katanya sambil tersenyum mengejekku.
“Aku juga anak bunda. Kenapa kakak bisa bicara seperti itu?” kataku marah.
“Haha, kamu masih saja belum berubah. Aku kira setelah semua kejadian ini, kamu akan tambah dewasa. Ternyata, kamu hanya bertambah tua saja,” ejeknya lagi.
“Kakak,” kataku sambil memukulnya.
“Haha,” tawa Kakakku.
“Tenang saja, aku hanya seminggu di sini,” kataku jengkel.
“Apa kamu akan kembali lagi ke Jepang?” tanyanya.
“Kenapa? Apa kakak ingin aku tidak pergi,” godaku.
“Aish,” gerutunya.
“Perusahaan tempatku bekerja akan melakukan promosi di Jepang, jadi aku harus segera kembali,” jawabku.
“Apa kamu masih belum menemukannya?” tanya Kakakku.
“Not yet,” jawabku.
“Aku kira dengan aku mendapatkan beasiswa ke Jepang, aku akan dengan mudah menemukannya,” kataku mengeluh.
“Padahal Jepang tidak seluas Indonesia,” kataku sambil menghela nafas.
Kakak hanya tersenyum melihatku. Aku yakin dia dapat dengan jelas kekecewaan yang ada di mataku.
Saat aku sadar dari koma, aku mendapatkan kabar bahwa Papanya Ryo membawa dia dan Hana ke Jepang. Dari kabar burung yang aku dengar, Ryo mendapatkan luka yang cukup serius yang membuatnya tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan.
Setelah kejadian itu, aku belajar keras agar bisa mendapatkan beasiswa ke Jepang. Dan akhirnya aku mendapatkannya. Aku kira dengan aku mendapatkan beasiswa ke Jepang, aku akan bertemu dengannya. Tapi hasilnya nihil.
Selama lima tahun terakhir ini, aku masih mencarinya. Di Indonesia maupun di Jepang, aku selalu mencarinya. Seperti yang aku bilang, Jepang tidak seluas Indonesia, tapi tetap saja aku tidak bisa menemukannya.
“Apa yang akan kamu lakukan di sini?” tanya Kakakku.
“Em, aku akan meringankan beban Bunda dalam mempersiapkan acara pernikahan untuk anaknya,” kataku menggoda Erick, kakakku.
“Cie cie jadi anak yang baik nih ceritanya,” godanya.
“Kak, apa kakak suka dengan desain baju yang aku buat?” tanyaku penasaran.
“Hem, lumayan lah. Dapat desain gratis dari desainer baju yang cukup popular saat ini,” jawabnya.
“Siapa bilang gratis? Mana bayaranku?” kataku menggodanya lagi.
“Kenapa aku punya adik yang pelit seperti kamu,” katanya pura-pura jengkel.
Sudah cukup lama aku tidak bercanda dengan Kakakku. Ah, aku benar-benar merindukan saat-saat seperti ini. Dan aku juga masih merindukannya.
I love you. Words I couldn’t tell you. I miss you.
Chapter 12 Eventhough it is only1%
I’ll wait no matter how long it takes
I won’t leave
I’ll continue to love you forever
“Ran,” panggil seseorang yang selama ini mau menjadi sahabatku, Anna.
“Anna,” kataku sambil tersenyum dan menghampirinya.
“O genki desu ka?” tanya Anna dalam bahasa Jepang yang berarti menanyakan kabar.
“Hai, genki desu,” jawabku.
“Wah, aku benar-benar merindukanmu,” kata Anna manja.
“Bagaimana denganmu? Apa kamu baik-baik saja?” tanyaku.
“Huum, seperti yang kamu lihat. By the way, apa yang kamu lakukan di sini? Sepertinya bukan karena ingin bertemu denganku,” katanya to the point.
“Tentu saja karena aku ingin bertemu denganmu,” kataku.
“Bohong,” katanya.
“Haha,” tawaku.
Anna sekarang menjadi seorang guru di tempat kami dulu. Sekolah yang menyimpan banyak kenangan tentang kita. Aku, Anna dan dia.
“Tunggu! Kapan kamu kembali ke Indonesia?” tanyanya.
“Seminggu yang lalu,” jawabku sambil meringis menujukan deretan gigiku.
“Seminggu yang lalu,” katanya kaget.
“Kamu sudah ada di sini seminggu yang lalu, dan baru hari ini kamu menemuiku. Kau ini,” omel Anna marah.
“Sorry. Aku terlalu sibuk bantu bunda,” kataku minta maaf dan memeluknya.
“Aish,” gerutu Anna.
Seperti yang kamu tahu saat ini, aku dan Anna masih berteman baik, bahkan sangat baik.
Bertemu dengan Anna semakin membuatku teringat tentangnya. Aku merindukannya. sangat merindukannya. Dan baru kusadari cinta dan rinduku masih tetap untuknya.
“Besok aku akan ke Jepang, apa kamu menginginkan sesuatu?” kataku kepada Anna memberitahunya.
“Apa?” kata Anna kaget.
“Kamu benar-benar jahat Ran. Baru saja kita bertemu, dan besok kamu mau pergi lagi,” rengeknya.
“Maaf,” kataku sambil memeluk pundaknya manja.
“Aku nggak mau memaafkanmu,” katanya marah.
“Ayolah Anna, lagipula minggu depan aku juga sudah ada di Indonesia lagi,” kataku.
“Oke, aku maafkan. Bawakan aku perlengkapan untuk nail art,” katanya.
“Aish, kamu. Apa kamu tahu berapa harga perlengkapan nail art?” kataku pura-pura marah.
“Oke, kalau kamu mau tidak mau membawakannya ya sudah, tapi aku nggak mau memaafkanmu,” ancam Anna.
“Baiklah,”
“Benarkah? Hore,” kata Anna kegirangan seperti anak kecil.
“Ran, tunggu sebentar. Aku mau ambil tasku dulu. Nanti kita pulang bareng, oke?” kata Anna sambil pergi meninggalkanku.
Anna benar. Aku datang ke sini tidak hanya untuk bertemu dengannya. Apa kamu tahu semua kenanganku tentangnya ada di sini. Dan aku sangat merindukannya. Hanya ini satu-satunya caraku untuk mengobati rasa ini.
Aku mulai menelusuri semua memori tersebut. Memori pertama saat aku bertemu dengannya. Saat dia berbicara kepadaku. Saat aku berlari darinya. Saat dia membantuku. Semua tentangnya, aku ingin selalu mengingatnya.
Ini tempat duduk favoritku saat aku masih menjadi Rapunzel. Di tempat duduk ini aku bisa melihat semua sudut sekolah. Di tempat ini pula aku bertemu dengannya.
Aku tidak bisa menyembunyikan senyumku saat melihat foto di buku yang aku bawa. Buku yang aku buat untuk mengenangnya.
Sejujurnya, sejak pertama kali aku bertemu dengannya, aku sudah menyukainya. Tapi aku menyadari satu hal saat aku semakin dekat dengannya. Dia, dia terlalu sempurna untukku, si Rapunzel yang menderita trauma PTSD.
Itulah sebabnya aku diam-diam membuat buku ini. Apa kamu ingin tahu isi buku ini? Buku ini hanya kumpulan foto dan tulisan bodoh yang aku buat untuknya. Buku yang aku harapkan bisa menyampaikan isi dan perasaanku kepadanya.
Harapan, hanya sebuah keinginan yang mempunyai kemungkinan 1% untuk terjadi. Itulah yang Kakakku katakan kemarin malam. Entah apa yang aku pikirkan. Kenapa tiba-tiba semua ucapan kakak ada di benakku?
“Huftt,” aku selalu menghela nafas saat teringat ucapan Kakak.
Apa aku harus melakukan apa yang kakakku katakan? What should I do? Do I need to leave all of?
“Ran, apa kamu tidak merasa lelah mencarinya?” kata Kakakku malam tadi.
“Never, bahkan jika aku harus mencarinya selama 50 tahun lagi. I never give up,” jawabku.
“Apa hatimu sekuat itu untuk tetap menunggunya?” tanyanya lagi.
“Kenapa kakak bicara seperti itu?” tanyaku marah.
“Maaf,” katanya.
Entah kenapa amarahku meningkat saat kakak mengatakan hal tersebut. Ini pertama kalinya aku merasa sangat marah pada kakakku. Apapun yang terjadi, berapa lamapun yang terjadi, aku akan tetap mencintainya. kataku dalam hati.
“Apapun yang terjadi, berapa lamapun yang terjadi, aku akan tetap mencintainya,” kata Kakakku seolah-olah bisa membaca isi hatiku.
“Terkadang apa yang kita harapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Harapan, hanya sebuah keinginan yang mempunyai kemungkinan 1% untuk terjadi,” katanya.
“Walaupun hanya ada kemungkinan 1%, aku akan tetap mencarinya. Harapan yang ada 1%, aku akan membuatnya nyata. Dan cintaku tidak akan hilang padanya meskipun hanya ada harapan 1%,” kataku tegas.
“Mungkin kamu harus menyerah untuk saat ini,” kata Erick.
“Terkadang seseorang yang memilih menyerah tidak akan menjadikannya seorang pecundang,” lanjutnya.
“Apa yang ingin kakak katakan kepadaku? Apa kakak ingin aku menyerah?” kataku semakin marah.
“Aku tidak mau melihatmu semakin terluka hanya karena harapan itu,” katanya.
“Jika kakak tidak ingin melihatku semakin terluka, seharusnya kakak membiarkanku untuk tidak menyerah,” sindirku.
“Even though I just have 1%, I’ll never give up,” kataku sambil pergi meninggalkannya.
Entah kenapa perkataan kakak masih terngiang di kepalaku. Aku tidak akan menyerah untuk segalanya, untuk mencintainya ataupun menunggunya. He is the one, although only 1%.
“Ran, ayo pulang! Ini sudah sore. Bukankah besok kamu mau pergi?” kata Anna yang datang tiba-tiba dan membuyarkan lamuanku.
“Ada apa? Kenapa kamu menangis?” tanya Anna saat menyadari air mata menetes membasahi pipiku.
“Apa ini masih karenanya?” tanya Anna.
“Anna, haruskah aku menyerah?” tanyanya.
“Hem?”
“Kakak menyuruhku untuk menyerah,” kataku sambil terisak dalam pelukannya Anna.
Aku merasakan tangan Anna membelai punggungku dengan lembut dan membisikkan sesuatu yang ingin aku dengar dari siapapun yang tahu tentang keadaanku.
“Dengarkan kata hatimu. Lakukan apa yang menurutmu benar. Tidak usah mendengarkan perkataan orang lain karena hanya kamu yang merasakannya, hanya kamu yang tahu apa yang kamu inginkan,” kata Anna.
“Aku yakin bahwa menyerah akan lebih membuatmu sakit. Do what you love, Ran,” kata Anna.
Aku hanya bisa mengangguk di pelukannya yang hangat. Terima kasih Anna. Kalimat itulah yang ingin aku dengar dari mulut semua orang yang aku sayang.
“Terima kasih,” bisikku.
Chapter 13 Am I still in your heart?
Are our hearts still together?
Do you still think of me?
Am I still in your heart?
Matahari semakin menghilang di balik gedung-gedung tinggi saat aku keluar dari tempatku bekerja. Ya, aku sedang berada di Tokyo sekarang. Kota paling padat di Jepang. Hampir seperti Jakarta, tapi sangat berbeda.
Sayangnya hari ini aku tidak bisa kembali ke hotel lebih cepat. Dan aku tidak bisa menikmati pemandangan ini lebih lama.
“Ran chan, kamu akan pergi kemana?” tanya Aiko, salah satu manajer di tempatku bekerja.
“Aku ingin membeli kopi di kedai depan. Apa kamu mau nitip sesuatu?” tawarku.
“Boleh, satu kopi hitam,” katanya tersenyum.
“Ok, aku akan segera kembali,” kataku sambil berpamitan kepada Aiko.
Matahari telah menghilang saat aku kembali ke kantor. Hanya ada langit malam tanpa bintang yang dapat aku lihat saat ini. Langit yang gelap segelap hatiku.
Memandang langit membuatku kembali teringat kepadanya. Aku benar-benar merasa bodoh setelah apa yang terjadi.
“I feel fool when remember you once said you love me, but now only hurt remains that I got,” bisikku pada langit malam.
“Losing you made me realize that I miss you,” gumanku sambil tersenyum entah kepada siapa.
Senyum pahit yang tidak dapat menyembunyikan rasa sakit. Bahkan tanpa aku sadari, ar mataku menetes. Merindukan seseorang sangatlah menyakitkan, dan menyerah dengan cintamu akan lebih menyakitkan lagi. Apa kamu pernah merasakan di lema seperti ini? Di lema antara dua pilihan yang sama-sama menyakitkan.
Am I still in his heart? Apakah aku masih ada di hatinya? Apalagi saat pertanyaan ini muncul di benakku. Aku semakin terluka lagi dan lagi.
Aku tidak mau memikirkan kemungkinan jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Aku berharap kesibukanku malam ini akan membuatku lupa tentang pertanyaan itu.
“Aiko san, it is your coffee,” kataku sambil meletakkan kopi di mejanya.
“Ran chan, are you okay?” tanya Aiko saat menyadari pikiranku tidak ada di ruangan ini.
“I am okay,” kataku meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.
“Maaf membuatmu pulang malam hari ini,” katanya menyesal.
“It doesn’t matter,” kataku
“Aku pikir hari ini akan menjadi hari yang sibuk dan melelahkan. Dan besok adalah puncak dari segala kelelahan ini, jadi ganbatte kudasai Aiko san!” kataku menyemangatinya.
Seperti yang aku katakan tadi, hari ini benar-benar melelahkan. Bahkan kakiku terasa sangat berat untuk berjalan pulang.
“Ran chan, apakah kamu mau pulang bareng denganku?” tawar Aiko dari dalam mobilnya.
“Tidak, terima kasih. Aku ingin berjalan-jalan sebentar. Aku ingin mencari angin segar,” kataku menolak ajakan Aiko.
“Apa kamu yakin? Ini sudah terlalu malam, bahaya jika kamu pulang sendiri,” kata Aiko.
“I am sure. Terima kasih untuk tawarannya,” kataku.
“Ok, kalau begitu. See you,” pamitnya.
Walaupun kakiku terasa sangat berat, tapi aku ingin berjalan dan menikmati angin malam. Mungkin saja angin dapat membantuku untuk melupakan semua beban dan rasa sakitku.
Hampir seminggu aku di Jepang, dan selama itu pula aku tidak menghubungi kakakku. Aku mematikan semua komunikasi denganya. Apa aku menjadi adik yang jahat sekarang? Mungkin aku harus segera memaafkanya.
“Moshi moshi,” sapaku saat menelepon kakak.
“Akhirnya kamu menelepon juga,” terdengar nada lega darinya.
“Apa kamu tahu betapa khawatirnya kakakmu ini? Apa kamu sedang menghukumku? Kenapa kamu lakukan ini padaku?” omel Erick padaku.
“Maaf,” kataku menyesal.
“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf padamu. Aku minta maaf. Aku tidak seharusnya menyuruhmu untuk menyerah. Maafkan aku,” pintanya.
“Aku juga minta maaf. Tidak seharusnya aku bersikap ke kanak-kanakan seperti ini,”
“Bukankah kamu memang selalu bersikap seperti itu,” ejeknya.
“Maaf, aku hanya bercanda,” lanjutnya.
“Bagaimana kabar kakak?” tanyaku.
“Aku baik saat aku bisa menghubungimu,” katanya.
Sebegitu peduli dan khawatirnya kakak padaku, tapi perlakuan jahat yang aku beri padanya. Apa aku masih pantas menjadi adiknya?
“Apa kamu sudah membaca emailku?” tanyanya.
“Email?”
“Aku mendapatkan kabar tentangnya tiga hari yang lalu,”jawabnya.
“Benarkah?” kataku bahagia.
“Hanya itu yang bisa aku bantu, tapi aku masih belum menemukan keberadaannya saat ini,” katanya.
“Terima kasih, Kak. Aku tutup dulu teleponnya,” kataku.
“Ran, tunggu……..,” belum selesai kakakku bicara, aku sudah mematikan telponku dan beralih ke emailku.
Aku tidak sabar untuk membaca email dari kakakku. Aku berharap menemukan petunjuk tentang keberadaan Ryo. Walaupun harapan itu hanya satu persen saja.
Kepada: [email protected]
Cc/Bcc, dari: [email protected]
Subjek: read my message, please!
Dear my Rapunzel
Ran, apa kamu benar-benar marah padaku? Kenapa aku tidak bisa menghubungimu? Apa ini hukuman untukku? Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku mengatakah hal itu. Dan tidak seharusnya juga aku menyuruhmu untuk menyerah.
Ran, ada ada info tentang Ryo. Dan aku berharap, kamu kan baik-baik saja setelah membaca file tersebut. Itu file tentang catatan kesehatan Ryo yang aku dapat dari seketaris papanya.
Selama ini Ryo di pindahkan ke Amerika, bukan di Jepang. Rencana awalnya dia akan di rawat di Jepang, tapi rumah sakit di Jepang tidak mau menerimanya. Kondisinya yang buruk membuat beberapa rumah sakit di Jepang menolaknya. Itulah alasan papanya membawa dia ke Amerika.
Maafkan aku, Ran. Hanya itu informasi yang aku dapat. Aku sangat menyayangimu. Itulah alasan kenapa aku melakukan semua ini. Aku hanya ingin melihatmu bahagia setelah apa yang kamu derita selama ini. Aku pikir setelah sembuhnya trauma yang kamu derita, kamu akan bisa hidup bahagia. Tapi tak di sangka kamu akan mendapatkan luka yang lain. Maafkan aku. Aku akan mendukung semua keputusanmu. Do what you love. I love you
Your brother
Erick
Aku tidak bisa berhenti menangis saat membaca file yang kakakku kirimkan untukku. Aku tidak bisa mempercayai apa yang aku baca. Tidak, ini semua pasti bohong. Rio tidak mungkin menderita cedera otak traumatis (TBI). Ini tidak mungkin.
Kenapa ini harus terjadi padaku? Disaat aku berhasil mendapat informasi tentang dia, kenapa aku mendapatkan kenyataan ini? Kenapa hatiku di permainkan takdir seperti ini? Apa salahku? Kenapa aku harus mengalami semua kejadian menyakitkan seperti ini?
Kenapa harus Ryo? Kenapa harus cedera otak traumatis? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
“Ran, apa kamu sudah membaca emailnya?” tanya Kakakku.
Aku hanya bisa menagis terisak saat kakakku meneleponku. Aku tidak bisa berkata apapun. Mataku perih, seperih hatiku.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi.
Dan lagi, aku tidak bisa menjawabnya.
“Maaf, aku tidak bisa mendapatkan info keberadaan Ryo saat ini. Hanya itu info yang bisa aku dapatkan. Are you okay?”
“Ok, lanjutkan menangismu dan dengarkan aku!” pintanya.
“Itu catatan kesehatan Ryo dua tahun yang lalu, dan ada kemungkinan saat ini dia sudah sembuh,”
“Tapi ada juga kemungkinan dia masih koma, atau bahkan meninggal,”
“Baiklah, kita lupakan kemungkinan yang terakhir. Aku ingin memberitahumu satu hal yang padamu,”
“Ryo tidak hanya menderita cedera otak. Akibat kecelakaan itu, ada beberapa organnya yang rusak. Itulah yang menyebabkan rumah sakit di Jepang menolaknya,”
Isak tangisku semakin keras saat mendengar penjelasan kakakku. Koma. Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin dia bisa koma?
“Sepertinya keadaanmu tidak memungkinkanku untuk menjelaskan secara detail,” katanya sambil menghela nafas.
“Lebih baik kamu tenangkan dirimu dulu,” perintahnya.
“Aku akan menjelaskannya nanti,” katanya mengakhiri telpon.
Aku hanya mengangguk menjawab perkataan kakakku, walaupun aku tahu dia tidak mungkin bisa melihat anggukanku.
Aku berjalan lunglai. Menelusuri setiap jalan yang ingin aku lewati. Berjalan tanpa tujuan. Aku bahkan tidak tahu posisiku saat ini. Aku juga tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semuanya menjadi kosong di benakku.
Bahkan air mataku tidak bisa menetes lagi. Hanya tersisa isak tangis tanpa suara yang menemaniku berjalan. Bahkan dinginnya angin malam yang biasanya menusuk tulangku tak dapat ku rasakan lagi. Semuanya membeku, hati dan indraku.
Entah berapa jam aku berjalan tanpa tujuan seperti ini. Aku seharusnya mengikuti saran dari kakakku. Seharusnya aku menyerah mencarinya. Dan seharusnya aku tidak akan mendapatkan luka lagi.
Why, why did it end this way? Kenapa harus berakhir seperti ini? Apa ini akhir dari harapan satu persen? Apa ini pertanda aku harus menyerah? Menyerah pada lukaku selama ini?
Apa yang terjadi? Kenapa mataku mulai berkunang-kunang? Ah, kakiku. Apa yang terjadi? Tidak, jangan lagi. Aku tidak boleh pingsan. Bukankah dokter sudah menyatakan aku sembuh dari trauma PTSD. Lalu, kenapa gejala itu muncul lagi?
Kakak, tolong aku! Aku tidak kuat lagi. Tubuhku mulai lemas. Mataku mulai gelap. Tidak, aku tidak boleh pingsan. Aku harus segera kembali ke hotel.
“Brukk,” suara tubuhku yang terjatuh ke tanah.
Sepertinya aku mulai berhalusinasi lagi. Aku melihat Ryo. Lebih tepatnya halusinasi tentang Ryo. Ini hampir sama seperti kejadian lima tahun yang lalu. Aku senang bisa melihat Ryo, walaupun hanya sebatas halusinasiku. Hingga semuanya benar-benar mulai gelap.
Hangat. Aku merasakan tubuhku hangat. Hangatnya sinar matahari yang lembut menngusap wajahku. Dimanakah aku? Oiya, ini hampir sama seperti lima tahun yang lalu saat aku pingsan. Mungkinkah ini dunia yang dulu aku bertemu dengan ayah?
Tapi dunia ini sedikit berbeda dari yang aku ingat. Dulu, tidak seterang ini. Gelap, bahkan dulu sangat gelap hingga aku tidak bisa melihat wajah ayahku. Tapi kegelapan itu berangsur pudar. Tapi dunia yang ini berbeda, semuanya terlihat sangat terang.
“Apa kamu sudah bangun?” tanya seseorang.
Siapa dia? Ayah? Bukan, itu bukan suara ayahku.
Aku coba buka mataku perlahan. Sepertinya mataku bengkak akibat menangis semalaman. Tunggu! Bukankah aku semalam pingsan? Lalu, dimana aku ini? Ah, mungkin ini mimpi. Sepertinya aku masih berada di dunia dimana aku bertemu dengan ayah dulu.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Aku merasakan sentuhan di pipiku. Benarkah ini mimpi? Siapa yang menyentuh pipiku. Aku kembali berusaha membuka mata, tapi silau membuatku menyerah.
“Apa kamu masih menderita trauma PTSD?”
Trauma PTSD? Darimana dia tahu? Siapa dia? Apakah dia kakak? Sepertinya tidak mungkin kakak tiba-tiba ada di sini dalam waktu sekejap. Lalu, siapa dia?
Aku kembali membuka mata saat sebuah tangan menghalangi sinar matahari yang menyilaukan mataku. Tangan itu. Aku kenal tangan itu. Tidak mungkin, itu tidak mungkin dia.
“Haruskah aku menciummu agar kamu bangun?”
“Bukankah di akhir cerita Rapunzel, tidak ada pangeran yang menciumnya hanya untuk membangunkannya?”
“Ryo,” kataku pelan saat aku melihat sosok yang aku kenal. Sosok yang sangat aku rindukan. Apa ini mimpi? Jika ini mimpi, aku tidak ingin bangun dari mimpi ini.
“I am here, Ran,” katanya sambil tersenyum padaku.
Chapter 14 Naga Jahat’s Wedding
Berjalan di sampingnya masih terasa seperti mimpi. Setelah sekian lama aku mencarinya, pada akhirnya dia yang menemukanku. Dia yang mengeluarkanku dari istana bata, dia pula yang menghilang, dia pula yang datang menjemputku.
Walau waktu telah berlalu, kehangatan tangan dan senyumnya masih sama seperti saat pertama kali kami bertemu.
Kami telah menghabiskan waktu dua hari sejak terakhir kali aku terbangun dari pingsanku. Banyak hal yang dia ceritakan padaku. Semua hal yang selama ini aku tidak tahu. Bahkan tentang dirinya yang pernah mengalami hilang ingatan selama setahun, hingga Hana membantunya mengingat semua.
Dia yang mencari keberadaanku saat dia mulai mengingatku, dan diriku yang selama ini juga mencarinya. Hingga dia melihat sebuah iklan tentang event yang akan aku adakan, dan akhirnya dia di sini, di sampingku yang saat ini kami sedang berada di bandara Soekarno-Hatta.
Aku juga menceritakan padanya semua yang terjadi dalam hidupku saat dia tidak di sampingku. Dan ceritaku berakhir di pernikahan kakakku yang akan di selenggarakan lusa.
“Kakak pasti akan kaget melihatmu,” kataku sambil melihat kearahnya.
Dia semakin mempererat gengaman tangannya di tanganku, dan tersenyum manis menanggapi ucapanku.
“Apa dokter Erick akan marah padaku karena muncul tiba-tiba di pesta pernikahannya?” tanyanya. Aku menggeleng dan tersenyum padanya.
Senyum ini tidak mau pergi dari wajahku. Andai ini sebuah animasi komik, mungkin akan ada banyak bunga di sekitar wajahku.
“Ran,” panggilnya halus.
“Apa kamu masih ingat dengan permintaanku yang dulu? Aku kira aku masih punya satu permintaan yang belum aku gunakan. Apa masih berlaku?”ucapnya.
“Huum. Tentu saja,” jawabku.
“Apa permintaanmu?” tanyaku.
“Aku akan memberitahumu nanti,” jawabnya.
“Sepertinya taxi yang aku pesan sudah datang,” katanya sambil menarikku dan membantuku membawakan beberapa tasku.
Dalam perjalanan, kami hanya membahas kota ini yang sudah banyak berubah. Kami juga menyempatkan mampir ke SMA kami dulu. Menemani dia yang ingin memastikan ingatannya.
Entah kenapa, kali ini berbeda saat aku mengunjungi tempat ini. Tidak terasa sesak lagi. Mungkin karena ada dia di sampingku, dan melihatnya baik-baik saja.
Senja beranjak turun saat kami tiba di depan rumah. Bunda yang membukakan pintu terkejut melihat Ryo. Dia langsung memeluk Ryo dengan ekspresi lega.
“Bunda senang banget lihat kamu, nak,” ucapnya sambil memeluknya.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya sambil memeriksa Ryo.
“Ryo baik, Bunda,” jawabnya.
“Disini ada anak Bunda juga lho,” ucapku yang pura-pura cemburu.
Bunda melepas pelukannya pada Ryo dan memelukku sambil menggodaku.
“Oh ada putri kesayangan Bunda ternyata,” godanya sambil memelukku.
“Berarti Bunda bisa lihat senyumnya Ran terus kan?” goda Bunda padaku.
Aku tahu maksud Bunda bilang seperti itu. Iya Bunda, Ran tidak sedih lagi karena ada Ryo di sini. Jawabku dalam hati.
“Ayo masuk. Bunda sudah masak makanan kesukaanmu,” ucapnya sambil menarik kami masuk.
“Ran harusnya bilang Bunda kalau Ryo juga mau datang, jadi Bunda bisa masakin makanan kesukaan Ryo,” protes Bunda padaku yang tidak memberitahunya tentang Ryo.
“Ryo pengen bikin surprise buat Bunda,” jawab Ryo.
“Ya udah, sudah terlanjur. Ryo mau di masakin apa?” tanya Bunda.
“Apapun akan Ryo makan,” jawabnya.
Bunda sibuk menyiapkan makanan untuk kami. Dia terlalu bersemangat melihat Ryo. Bahkan aku terasa orang asing disini.
“Kakak kemana Bunda?” tanyaku.
“Masih di RS,” jawab Bunda.
“Besok acara nikahannya, tapi masih kerja?” tanyaku.
“Bukan karena kerjaan, tapi karena tanggung jawab,” jawab Bunda.
“Iya deh,” jawabku.
“Semua persiapannya sudah selesai apa belum, Bunda?” tanyaku lagi.
“Sudah di urus kakakmu semua,” jawab Bunda.
“Nanti paman sama tantemu akan ke sini, jadi kamu bantu Bunda buat beresin kamar depan ya,” pinta Bunda.
“Ryo nginep disini kan?” tanya Bunda.
Aku dan Ryo kaget mendengar pertanyaan Bunda.
“Ryo nginep di rumah lama Papa saja,” tolaknya.
“Yah, padahal Bunda masih pengen ngobrol banyak sama kamu. Tapi kamu besok datang kan ke pernikahan Erick?” tanya Bunda.
“Tentu,” jawabnya tersenyum.
Entah apa yang Bunda dan Ryo bicarakan saat aku sedang membersihkan kamar depan. Bahkan tawa mereka sampai terdengar ke kamar depan.
Kakak pulang saat Ryo sudah pulang. Bunda dan aku sepakat untuk merahasiakan kedatangan Ryo untuk membuat kejutan di pesta pernikahannya.
“Kirain kamu nggak pulang,” kata Kakakku saat memelukku.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya cemas.
Aku hanya mengangguk dan memeluknya balik.
“Seharusnya aku nggak mengirim itu ke e-mail mu,” ucapnya menyesal.
“Maaf,” ucapnya.
“I am good, it is okay,” jawabku.
“Kalau kamu pengen nangis, jangan di tahan,” katanya sambil mempererat pelukannya.
“Kakak istirahat sana!” kataku sambil melepas pelukannya.
Dia melihatku dengan ekspresi khawatir. Aku kembali menyakinkannya tentang keadaanku. Aku tidak menceritakan kejadian pingsan yang menimpaku saat di Tokyo. Aku tidak ingin membuatnya semakin khawatir.
“Good night, Naga jahat,” ucapku sambil memeluknya sebentar dan meninggalkan dia.
“I am okay,” kataku lagi sebelum menutup pintu kamarku. Dia tersenyum dan mengangguk.
Hari yang di nanti tiba, dan ini membuatku berdebar. Aku melihat kegugupan di wajah kakakku dan Bunda. Jangan tanyakan keadaan rumahku sekarang. Berantakan, apalagi di tambah beberapa malaikat kecil yang berlarian kesana kemari.
Semua saudara Bunda dan Ayah berkumpul dan membantu proses pernikahan Kakak, dan tentu saja sangat ramai.
“Om pernah di posisi kamu,” kata Om Daniel yang tertawa melihat wajah kakak yang tegang.
“Dulu om Daniel sampai nggak bisa tidur,” timpal Bunda dan tertawa.
Aku hanya tertawa melihat lelucon mereka yang semakin membuat kakak tegang.
“Breath in, breath out,” kataku membantu menenangkan kakak.
“Mau minum?” tawarku. Kakak mengangguk sambil menghela nafas.
“Sarapan dulu, Kak!” kata Bunda.
“Nggak ah, Bun,” jawab Kak Erick sambil menggeleng.
“Udah siap semua?” tanya Kak Doni yang tiba-tiba muncul. Dia bertugas mengecek mobil yang mau di pakai. Dia sepupuku yang setahun lebih tua dariku. Itulah yang menyebabkan kita akrab.
“Mobil sudah siap semua?” tanya Papa kak Doni.
“Yuk, berangkat sekarang!” ajak om Daniel.
Kita semua berangkat setelah semua persiapan selesai. Kak Doni yang menjadi sopir Kakak, aku dan Bunda. Sedangkan om Daniel dan yang lain berada di mobil yang lain.
Akad berjalan lancar, dan tidak ada hambatan sama sekali. Bunda seketika menangis saat mendengar kata “sah” di teriakan. Aku memeluk Bunda dan dia memelukku balik.
Dari kejauhan aku melihat Ryo yang sedang berjalan kesini. Dia memberi salam ke Bunda sebelum menghampiri kakak.
“Kirain Bunda kamu lupa,” kata Bunda saat tahu Ryo terlambat.
“Maaf, Bunda. Ryo nyasar dulu tadi,” jawabnya sambil tertawa malu.
“Dokter Erick dimana?” tanyanya.
“Ran, temenin Ryo cari kakak!” perintah Bunda.
Aku hanya mengangguk pada Bunda. Ryo berdiri dan berjalan di sampingku mengikuti langkahku. Dia menarik tanganku dan menggandengnya. Aku yang terkejut spontan melihat kearahnya, dan dia hanya tersenyum menangggapi ekspresi terkejutku.
“Yuk!” katanya menarik tanganku.
Senyumnya membuatku semakin gugup. Jantungku berdebar kencang. Hatiku terasa ingin keluar. Aku sangat bahagia dapat melihatnya tersenyum.
“Ryo,” kata Kakak terkejut saat Ryo sudah berdiri di hadapannya. dia sepontan memeluknya. Kakak melihatku dengan sorot mata yang meminta penjelasanku. Aku hanya membuka mulutku tanpa mengeluarkan suara dan mengatakan bahwa aku akan menjelaskannya nanti. Dan kakak pun mengangguk.
“Dokter Erick, selamat atas pernikahannya,” ucap Ryo.
“Terima kasih. Aku benar-benar terkejut melihatmu,” jawab kakak.
“Sebenarnya aku kesini mau kasih kejutan yang lain, tapi sepertinya kejutanku hilang,” kata Ryo sambil melihat kesekelilingnya mencari sesuatu.
“Aaa itu dia,” kata Ryo menunjuk kesuatu arah.
Aku dan kakak mengikuti tangannya yang menunjuk kearah seorang remaja cantik. Dia Hana yang telah menjadi remaja.
Aku lihat Hana berlari kearah kakak dan langsung memeluk kakak. Semua orang melihat tingkah Hana, dan membuat Bunda tertawa.
“Dokter Erick, Hana kangen,” ucapnya sambil memeluk kakak.
Kakak memeluknya balik sambil mengelus rambutnya dengan sayang. Aku lihat Bu Nita terkejut dan bingung dengan situasinya. Aku berdiri di sebelahnya dan menjelaskan semuanya.
“Dia Hana, adiknya Ryo dan mantan pasiennya Kakak, si Putri Salju,” jelasku.
Ketika aku menyebutkan bahwa Hana adalah Putri Salju, dia baru mengerti dan tersenyum padaku.
“Terima kasih penjelasannya, Sayang,” ucap Bu Nita padaku sambil tangannya mengelus pundakku dan tersenyum.
Aku sungguh bersyukur Kakak menikahi Bu Nita. Setidaknya aku dan bunda tahu tentang karakter Bu Nita yang baik. Bunda sangat bahagia saat kakak memutuskan untuk melamar Bu Nita.
“Terima kasih untuk gaunnya,” bisik Bu Nita.
“Dan jangan panggil aku Bu Nita lagi,” katanya menggodaku. Aku masih terbiasa memanggilnya Bu Nita.
“Siap, Kak Nita,” kataku sambil memeluknya.
“Aku pergi dulu,” pamitku.
Aku segera mencari Kak Doni yang sedang mempersiapkan gitarnya.
Chapter 15 Melodies of life
Jari-jari lentik Kak Doni pada pianonya mengiringiku dan Anna dengan sempurna. Tepuk tangan riuh menyambut akhir lagu yang kami nyanyikan. Kakak heboh dengan penampilan kami dengan meneriakan nama kami. Untung saja ini pesta pernikahan yang hanya di datangi kedua belah keluarga.
“Thank you,” kata Kak Doni sambil membungkukan badan seolah dia adalah penyanyi profesional.
Aku segera turun dari panggung dan meninggalkan Anna dan Kak Doni. Segera aku berlari kearah Bunda dan menutupi wajahku di belakang Bunda.
“Kamu kenapa, Ran?” tanya tanteku yang duduk di sebelah Bunda.
“Dia malu. Haha,” jawab Bunda yang tertawa karena tingkahku.
“Kamu tampil di panggung cat walk aja nggak malu kok,” ejek tanteku.
“Yang berjalan di cat walk kan modelnya,” protesku padanya.
Protesku semakin membuat Bunda dan tante Ina tertawa terbahak-bahak. Tidak hanya mereka, beberapa orang juga ikut menertawai tingkahku. Itu tadi sangat menakutkan dan menegangkan, bernyanyi di hadapan orang banyak. Aku kira tidak semenakutkan saat aku berjalan di cat walk saat akhir acara atau saat aku di wawancarai wartawan majalah wanita.
“Sepertinya Kakak sama Ryo mau nyanyi, Dek,” kata Bunda sambil menyenggolku.
Aku beranikan diri untuk mengangkat kepala dan melihatnya. Aku lihat Ryo sedang mempersiapkan gitar yang mau dia pakai, dan Kakak mempersiapkan pianonya.
Ini sebuah kejutan yang membuatku terkejut. Aku kira Ryo akan memainkan gitar yang dia pegang, tapi ternyata tidak. Ryo menyanyikan lagu dari ost serial dongeng disney dengan indah dan berkolaberasi dengan Hana.
“Now she's here suddenly I know If she's here it's crystal clear.....”
Selama Ryo bernyanyi dia selalu memandang kearahku, dan semakin membuatku gugup. Dan lagu yang dia bawa membuatku kembali mengingat saat kita pertama kali bertemu hingga penantian panjang yang aku lalui. Beberapa tetes air mata sempat membasahi pipiku, dan secara sembunyi-sembunyi aku menutupinya dan segera menghapusnya.
“Dan lagu selanjutnya spesial buat Bunda,” kata Kakak.
Bunda sontak kaget dan menunjuk dirinya sendiri seolah tidak percaya dan memastikannya. Aku lihat kakak tersenyum genit pada Bunda. Aku tidak bisa menahan tawa saat melihat wajah kakakku yang melakukan hal tersebut pada Bunda.
Ryo mulai memainkan intro lagu dengan gitarnya dengan sangat indah. Dan aku lihat Hana turun dari panggung dan berjalan kearahku. Dia memaksa duduk di tengah antara aku dan Bunda yang membuatku terpaksa bergeser. Dia memeluk Bunda dan menjulurkan wajahnya kearahku. Dia masih semenyebalkan dulu saat masih kecil.
“Mom, I am a bit nervous about being here today.....” Ryo mulai menyanyikan lagunya, dan sontak membuatku terdiam. Beberapa pasang menatapku dan tersenyum padaku. Bunda juga terlihat kaget dan tersenyum bahagia. Bahkan dia sempat menangis. Hana yang berada di sampingnya memberinya tisu.
“.........On the day that I marry your daughter.” Lagu selesai dengan indah, diringii tepuk tangan yang meriah. Aku lihat Ryo berjalan kearahku dengan gitar yang masih terpasang di badannya. Dia berhenti di depan Bunda. Terlihat Bunda sangat bahagia, dia bahkan menbelai wajah Ryo dengan sayang. Ryo melepas gitarnya dan memberikannya kepada Hana. Setelah Hana menerima gitarnya, Hana memberikan sebuah kotak kayu kecil kepada Ryo.
Ryo membuka kotak tersebut dan mengarahkannya kepada Bunda. Aku yang terpaku di tempatku masih tidak bisa mencerna semua yang terjadi saat ini, dan tanpa sadar beberapa air mata turun secara lancar kepipiku. Aku lihat Bunda mengangguk dan tersenyum kepada Ryo. Ryo memeluk Bunda dengan senyum terukir indah di wajahnya. Hana yang melihatku menangis segera memberiku tisu dan memelukku. Dia tersenyum iseng padaku dan kembali memelukku dengan sayang.
Hana menarikku di tengah aula pesta dengan paksa, membuat semua orang melihatku. Ryo yang sudah berdiri di tengah aula mendekatiku.
“Ini permintaanku yang terakhir,” bisiknya di telingaku.
“Maukah kau menikah denganku?” Pinta Ryo sambil berlutut.
“Ini bukan permintaan yang bisa kamu tolak,” goda Ryo padaku.
Aku hanya tertawa menanggapi godaannya. Aku mendengar beberapa orang berteriak kepadaku untuk menerimanya. Bahkan tanpa mereka minta, aku dengan suka rela menerimanya.
“Terima terima terima,” teriak beberapa orang.
“Ran langsung aja terima. Tante mau punya ponakan seganteng itu,” teriak tanteku yang semakin membuat gaduh.
“Kalau kamu nggak mau, buat Tante sajalah,” goda tanteku.
Semua orang tertawa mendengar celotehan tanteku. Om Daniel yang mendengar hal tersebut langsung pura-pura cemburu.
“Mau sampai kapan aku harus begini?” tanya Ryo menggodaku lagi.
“Ini capek lho,” ucapnya yang semakin membuatku tertawa.
“Aku mau,” kataku sambil mengangguk dan menutupi wajahku yang mulai memerah.
Suara mereka semakin gaduh saat aku menerima lamaran Ryo. Beberapa orang bersiul dan beberapa yang lain tepuk tangan. Dan hal tersebut semakin membuatku malu.
“Sini, biar aku yang makain cincin,” kata Kakak yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Membuat Om Daniel dan Kak Doni protes.
“Erick jangan jadi pengganggu!” teriak Om Daniel.
“Tau tuh. Pergi sana oe,” teriak Kak Doni brutal.
Ryo tertawa melihat tingkah mereka. Bahkan Bunda juga ikut memarahi kakak.
“Biar Ryo aja yang masangin cincinnya, Kak!” teriak Bunda.
“Nggak ah, Bun. Ntar kalau Ryo yang masangin, pasti mereka langsung pelukan,” jawab Kakakku yang membuat semua orang semakin tertawa.
“Ini pernikahan Erick, jadi cuma Erick dan Nita yang boleh bermesraan,” ucap Kakakku menggoda.
Aku mencubit pinggang kakakku yang membuatnya meringis kesakitan. Semua orang yang tahu pun tertawa melihatku mencubit pinggang kakakku. Kakakku hanya membalasnya dengan sebuah pelukan dan kecupan di keningku. Dan dia juga membiarkan Ryo memasangkan cincin di jariku.
Sejujurnya, aku tidak pernah membayangkan akhir dari penantianku seperti ini. Aku pun tidak keberatan dengan akhir yang seperti ini. Satu hal yang bisa kamu percayai, selalu ada pelangi di setiap badai yang berhenti.
Dan satu hal lagi yang harus kamu ketahui. Semua wanita adalah putri dongeng yang akan bertemu dengan pangerannya masing-masing. Setiap cinta yang di takdirkan bersama akan selalu bertemu dengan cara apapun, selama apapun itu, seberat apapun itu.
Epilog
Rahasia tak selama bisa tersimpan rapi. Aku hanya ingin menjelaskan kejadian yang membuatku menderita trauma PTSD hingga menyebabkanku lupa ingatan.
Sejujurnya aku tidak mau menjelaskan secara detail. Aku masih terlalu takut mengingat kejadian tersebut. Apa kamu masih ingat gempa yang terjadi 15 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 2004. Bencana tersebut di sebabkan oleh gempa yang terjadi di dasar laut dengan kekuatan 9,3 skala Richter, yang bahkan gempanya bisa di rasakan hingga ke Negara Afrika.
Saat itu, aku berusia sebelas tahun. Apa kamu masih ingat saat dulu kita mengenal sistem pendidikan catur wulan? Kita akan mendapatkan libur yang lebih banyak daripada sistem pendidikan semester.
Aku masih mengingatnya. Dulu ayahku mengajakku liburan di Banda Aceh. Bukan hanya di Aceh, kami juga mengunjungi beberapa kota-kota besar di Sumatra.
Haruskah aku menceritakannya secara detail kronologinya. Jujur, mengingatnya membuatku takut.
Apa kamu tahu Masjid Raya Baiturrahman? Masjid kebanggaan orang Aceh. Saat itu aku dan ayah mengajariku mengambil foto di sekitar Masjid Raya Baiturrahman. Aku tidak tahu dari arah mana air tersebut datang. Yang aku ingat hanyalah sekumpulan orang yang berlarian kesana kemari untuk menyelamatkan diri.
Saat itu, Ayahku menyuruhku untuk masuk ke dalam masjid dan berlindung di sana. Aku pikir saat berlari ke dalam masjid, ayahku ada di belakangku. Ternyata tidak. Dia terjebak di kerumunan orang-orang yang berlari tersebut. Hingga air menghanyutkan mereka, termasuk ayah.
Sejak kejadian itu, aku mengalami trauma PTSD dan ibuku membawaku ke Solo, tempat ibuku lahir.
Banyak teman-temanku yang menganggapku aneh karena aku selalu membawa kamera lomo kemanapun aku pergi. Akibat trauma tersebut aku sering mengalami gemetar yang hebat. Bahkan terkadang, aku juga menjerit histeris. Itulah yang membuat mereka semakin menjauhiku.
Rahma, atau yang sekarang aku panggil Anna. Ya, Anna adalah salah satu-satunya yang tidak menganggapku aneh. Hanya Anna yang mau berteman denganku.
Saat itu, aku dan Anna berencana foto bersama di sungai. Aku masih ingat, dulu Anna suka sekali dengan sungai. Itulah sebabnya aku mau menfotonya di sungai.
Kami melewati sebuah jembatan gantung dengan sungai di bawahnya. Saat aku melihat kebawah, aku mulai menggigil hebat dan menjerit-jerit.
“Ran, apa kamu baik-baik saja?” tanya Anna yang khawatir melihatku menggigil.
“Arrghhhhhhh….,” teriakku sambil menggigil.
Beberapa anak datang kepadaku dan menghinaku. Tidak hanya menghina, bahkan mereka juga memukuliku.
“Dasar anak aneh. Hahahaha,” ejek mereka.
“Jangan ganggu dia!” teriak Anna.
“Rahma, sebaiknya kamu jangan bertema dengan dia. Dia kan aneh. Lihat saja dia, kemana-mana membawa kamera, suka teriak-teriak tidak jelas lagi,” kata salah satu dari mereka.
“Eh, kita buang saja yuk kameranya,” usul salah satu dari mereka.
“Yuk!”
“Jangan! Berikan kamera itu!” pinta Anna.
“Kalau kamu mau, ambil sendiri di bawah sana,” kata mereka sambil menjatuhkan kameraku.
Setelah itu, aku pingsan dan bunda membawaku kembali ke Jakarta untuk menjali pengobatan. Sejak kejadian itu, aku lupa ingatan.
Karena alasan itulah bunda dan kakakku merahasiakannya dariku bahwa aku mengalami amesia. Mereka tidak ingin aku mengingat semua kejadian menyakitkan yang menimpaku.
Aku hargai alasan mereka, walaupun itu salah. Mereka melakukan itu semua karena mereka sayang padaku.
Apa semua ceritaku sudah cukup menjawab pertanyaan yang mengganjal di benakmu? Tunggu! Apa kamu bertanya akhir ceritaku ini? Apa kamu tidak bisa menebaknya sendiri? Aku yakin kamu mengetahuinya.
Description: Penulis: Ismi Syayumi
Instagram: @syayumi_
Deskripsi:
Ran, gadis yang menderita PTSD yang mengurung dirinya di rumah. Hingga suatu hari Ran harus keluar dan menjadi gadis SMA biasa dan bersekolah seperti gadis SMA pada umumnya. Ran yang memiliki rahasia tentang penyakit yang dia derita dan rahasia tentang masa lalunya yang tersembunyi di balik kameranya mulai menikmati masa SMA-nya dan bertemu dengan Ryo. Cowok populer yang ternyata kakak dari pasien yang di rawat kakaknya Ran.
|
Title: RUNTUH
Category: Puisi
Text:
RUNTUH
DENGAN SEKEJAP PERTAHANAN KUATKU RUNTUH
SAAT KAU MENGUCAPKAN KATA ITU
PUTUS YA KATA ITU
SERASA DADAKU SESAK DAN RAGAKU RAPUH
ENGKAU TAK PERNAH TAU
SEBERAPA SAKITNYA AKU
SAAT KAU BERBALIK DAN MENINGGALKANKU WAKTU ITU
SAKITNYA AKU, ENGKAU TAK PERNAH TAU
KARENA AIR MATAKU TAK PERNAH BERISIK SAAT JATUH
AKU
AKU BUKAN SEPERTI PUJANGGAWAN LAINYA
YANG SELALU MENGGAMBARKANMU SEBAGAI SENJA
AKU BUKAN SEPERTI PUJANGGAWAN LAINYA
YANG SELALU MENGIBARATKANMU SEPERTI BULAN
TAPI AKU AKAN TETAP MENJADI AKU
YANG MENCINTAIMU SAMPAI JANTUNG BERHENTI BERDETAK MENGIKUTI TEMPONYA
AKU AKAN TETAP MENJADI AKU
YANG MENCINTAIMU SAMPAI PARA MALAIKAT MENIUPKAN SANGKAKALA
AKU AKAN TETAP MENJADI AKU
YANG MENCINTAIMU SAMPAIKAPANPUN ITU
BECAUSE I AM NOTHING WITHOUT YOU
BOHONG
HARI INI AKU MELAKUAKN SATU KEBOHONGAN LAGI
KEBOHONGAN TENTANG RINDU YANG TAK PERNAH KU BERBAGI
ENTAHLAH, SETELAH SEHARIAN TANPAMU TERASA SUNYI, AKUPUN TAK SEPERTI DIRIKU LAGI
AKU MENCOBA MENDENGARKANMU DALAM SUNYI
BAHKAN KETIADAAN DIRIMUPUN AKU MASIH MENCARI
KU COBA TEPISKAN SEMUANYA DAN MENCOBA MELUPAKANMU
TAPI AKU TAK MAMPU
SUDAH KU COBA MENGHILANGKANMU DARI PIKIRANKU
TAPI LAGI LAGI AKU TAK MAMPU
MUNGKIN AMNESIAPUN TAKAN MAMPU MEMBUATKU LUPA PADAMU
Description: DENGAN SEKEJAP PERTAHANAN KUATKU RUNTUH
SAAT KAU MENGUCAPKAN KATA ITU
PUTUS YA KATA ITU
SERASA DADAKU SESAK DAN RAGAKU RAPUH
ENGKAU TAK PERNAH TAU
SEBERAPA SAKITNYA AKU
SAAT KAU BERBALIK DAN MENINGGALKANKU WAKTU ITU
SAKITNYA AKU, ENGKAU TAK PERNAH TAU
KARENA AIR MATAKU TAK PERNAH BERISIK SAAT JATUH
|
Title: Reuni Tanpa Rencana di Tanjung Pinang
Category: Adult Romance
Text:
Reuni Tanpa Rencana di Tanjung Pinang
Aku terbangun dari tidurku merasakan sebuah kesegaran alam yang menerpa ketika ku melipat selimut yang kupakai “ah, betapa sejuknya pagi ini” (karena pendingin ruangan) pikirku, kali ini aku yang seorang pengangguran mendapatkan kesempatan untuk liburan ke Tanjung Pinang kepulauan riau, itupun karena mendapat tiket gratis dari salah satu aplikasi yang ada di telepon genggamku,senangnya dalam hatiku. Aku baru sampai semalam tepat tiga hari sebelum festival gemala, utamanya aku sangat ingin melihat penampilan tarian zapin dari daerah tersebut karena akan ada perlombaan tari zapin dan banyak penari zapin dari malaysia, singapura, sumsel untuk tampil di festival gemala itu.
Pagi ini aku semangat untuk menghabiskan liburanku ini di pulau yang berseberangan dengan negara tetangga singapura itu namanya, tentu aku tidak akan diam saja di kamar hotel tepi laut, jadi aku mau mandi dulu lalu sarapan nasi gadang, di tanjung pinang ini nasi gadang itu ialah makanan khas yang sering dicicipi oleh turis dalam negeri maupun luar negeri, untuk harga itu sangat murah yaitu sekitar lima ribuan rupiah saja, setelah aku selesai sarapan tiba-tiba telepon genggamku berdering, aku pikir itu mamaku yang biasanya selalu bertanya aku sudah mendapatkan pekerjaan atau belum sembari menanyakan pasangan hidupku, eh ternyata aku salah, telepon genggamku berdering karena hari ini adalah hari ulang tahun sahabatku yang tinggal di Malang jawa timur, ulang tahunnya tepat di tanggal 29 September, aku langsung meneleponnya untuk mengucapkan selamat ulang tahun “selamat ulang tahun Jessica sahabatku, semoga kamu tambah cantik, langsing dan cepat dapat jodoh” lalu sahabatku menjawab “terima kasih banyak sahabatku Skaila”. Selesai aku mengucapkan selamat ulang tahun buat sahabatku jessica, maka ku langsung bergegas untuk berjalan-jalan di sekitar hotel yang aku tinggali, disaat aku berjalan-jalan santai untuk menikmati indahnya pemandangan perairan selat riau, pulau penyengat, pulau paku, pulau terkulai, pulau los, senggarang, dan kampung bungis tiba-tiba aku bertemu dengan teman SMA ku “hai Ra, lama tak bertemu, liburan juga kemari?” kataku, Rara pun menjawab “ya bisa jadi, hehe..”. “kamu apa kabar?” kataku, “kabarku seperti yang kamu lihatlah” jawab rara, tiba-tiba aku kesandung batu jadi sendal aku rusak sebelah (sialnya aku hari ini) pikirku, rara pun tertawa terbahak-bahak melihatku yang jalan sambil membawa sendal yang rusak dengan tangan kananku, rara pun berkata “lucu banget lihat kamu la, polos amat sih! Sendal rusak dipertahanin!” aku pun menjawab “mau gimana lagi ra, tiba-tiba sih rusaknya” lalu rara pun langsung membalas “hahaha.. kan gak mungkin sendalnya ngomong kalau nanti dia akan rusak”, lalu jawabku “hee..ya juga sih” (sambil tersenyum), rara pun mengajakku katanya “ayo kita beli sendal kamu, masa iya kamu mau berjalan dengan satu sendal begini!”, aku pun menyetujuinya “oke deh, ayok”, untungnya sih ada warung yang khusus menjual sendal disana dengan berbagai motif, aku meminta saran dari rara untuk memilih motif yang bagus untuk kakiku, akhirnya motif yang kami pilih ialah motif kerang laut berwarna biru ya aku sangat menyukai warna biru karena itu warna langit dan warna laut, kami berbincang lagi aku bertanya pada rara “ra, kamu sekarang kerja apa?” rara pun menjawab “aku ya, hmm..kerjaku sekarang ialah seorang penulis masih baru sih” , lalu jawabku “wah, kamu hebat ya, eh tapi bukannya kamu dulu jagoan sains ya? Kok bisa lari menjadi seorang penulis ?”, rara pun tertawa kecil dan menjawab pertanyaanku dan menjawab pertanyaanku “la, la, kamu ternyata perhatian juga denganku waktu SMA ya?, aku kira kamu dulu gak peduli denganku”, terus skaila membalasnya “ya ampun, aku emang orangnya pendiam ra, tapi aku diam bukan berarti tak mempedulikan orang disekitarku, kalau bisa dibilang sih aku tipe penilai, orang yang gak banyak omong tapi perhatian (sambil tersenyum) eh tapi jawab dong pertanyaanku yang tadi mengenai pekerjaan baru mu sekarang !”, jawab rara “oke deh, aku jawab ya, kamu tahu gak istilah roda berputar?, hmm… begitulah aku yang tidak selamanya harus diatas, samping kanan, samping kiri, dan bawah, ya itulah jawabannya tapi ada satu kesamaan antara sains dengan sastra atau maksud dari pekerjaanku sekarang sebagai penulis yaitu penuh ketelitian”, jawab skaila “ada satu kesamaan ya, hehe.. ketelitian? Penuh?, aku gak menyangka ternyata ada kesamaan ya?, eh tapi kok bisa? Jelasin dong ra!”, rara pun menjelaskannya “di sains ada praktek, di sastra ada praktek juga, praktek sains yaitu membelah katak dan tikus, praktek sastra ada praktek karya cipta juga jadi dua-duanya itu harus penuh ketelitian, nah risiko jika tidak teliti maka bisa saja katak yang mau dibelah tadi jadi tak sesuai aturan sehingga prakteknya tidak berhasil, begitu juga dengan sastra jika tidak teliti dalam membuat karya cipta seperti tulisan maka risikonya bisa jadi makna tulisannya tidak ditemukan atau terbalik, jadi baik sains maupun sastra sama-sama punya kekuatan masing-masing”, aku pun menjawab “ehh..kamu hebat banget!”, rara pun tersenyum.
Kami pun semakin lama lelah berjalan dan seketika menjadi haus, kebetulan banget ada tukang es kelapa di depan kami, lalu kami membeli es kelapanya, segar banget es kelapanya apalagi minumnya di daerah tepi pantai tanjung pinang ini sambil melihat dan menikmati pemandangan alam yang sangat asri, hari pun mulai sore akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke tempat penginapan kami masing-masing, eh ternyata rara tinggal di hotel juga tapi hotelnya tidak sama denganku yaitu hotel yang ditinggalinya itu hotel gunung bintan jaya sedangkan aku tinggal di hotel tepi laut dan sesampainya aku di kamar hotelku aku merasa lelah dan kecapekan, aku langsung mandi lalu badanku segar kembali, seketika aku lapar tapi bingung mau makan apa biasanya sih di tempat tinggalku kota kabanjahe aku suka makanan khas karo yaitu cimpa dan lemang tapi makanan itu tidak kutemukan disini, karena tanjung pinang daerah perairan jadi suhu disana itu panas beda dengan kota kabanjahe atau tempat tinggalku, jadi malam ini aku akan keluar untuk mencari makanan yang dapat membuatku kenyang lalu aku pergi keluar di daerah jalan bintan, kebetulan aku ingin makanan yang tidak perlu repot untuk memakannya jadi ketemu deh makanan yang aku cari yaitu mie, mie ini namanya Mie lendir jalan bintan, aneh namanya, jadi mie lendir ini ialah kuliner khas tanjung pinang yang paling populer, kuah kentalnya yang terbuat dari kacang, gula merah, dan terigu lalu disiramkan ke mie kuning dan sayur-sayuran, jadi lengkap deh asupan nutrisinya ada karbohidrat, serat, dan vitamin, konon mi lendir yang paling enak ialah mi lendir yang di jalan bintan ini sudah buka sejak tahun 1968 jam operasional kedai ini dari jam 8 sampai 10 malam, jadi aku tepat waktu untuk mencicipinya, lalu aku mencoba untuk meminum minuman khas tanjung pinang yaitu air kayu sepang, air kayu sepang ini merupakan teh khas tanjung pinang yang diambil dari sari kayu sepang, uniknya warna minuman itu bukan seperti warna teh biasanya yaitu warna teh nya merah muda, segar banget minumnya, minuman segar khas tanjung pinang ini banyak manfaatnya yaitu sebagai sumber antioksidan, selesai aku makan malam dan meminum minuman khas tanjung pinang ini aku pun kembali ke kamar hotelku untuk beristirahat, sesampainya di kamarku tiba-tiba telepon genggamku berdering dan aku melihatnya ternyata mamaku selalu menanyakan soal pekerjaanku sekarang, mamaku bertanya “anakku, lagi dimana?, bagaimana aktivitas kamu akhir-akhir ini? Sudah dapat pekerjaan belum?”, lalu aku pun menjawab “mamaku sayang, mama tenang aja ya, dijamin pasti anak mama ini akan mendapat pekerjaan dan gaji yang layak, oke ma?”, mamaku pun bertanya lagi “bagaimana dengan pacar?, kamu sudah punya?, sudah bisa dicari loh, nanti kamu jadi gak laku, emang kamu mau jadi perawan tua?, nanti kalau kamu gak nikah-nikah, mama akan selamanya gak punya cucu, padahal mama ingin punya cucu dan dipanggil nenek loh, ayo dong cepat-cepat dicari”, aku pun menjawab “iya mamaku sayang, pekerjaan dan jodoh sudah diatur oleh sang pemilik hidup, jadi mama gak perlu takut, Skaila sayang sama mama”, terus mama langsung menyahut “iya iya jangan asal iya aja tapi dilaksanakan ingat!” (tiba-tiba telepon terputus), mamaku selalu punya kebiasaan seperti itu, setelah selesai meneleponku pasti gak pernah nutup telepon dengan kata salam atau apapun gitu, tapi bagaimanapun aku tetap sayang kok sama mamaku, soalnya aku ingin menjadi anak yang berbakti pada orang tua, kan orang tua bilang surga ada dibawah telapak kaki ibu, jadi aku gak mau buat melawan perkataan mamaku gitu, hari mulai malam dan aku pun mulai mengantuk, akhirnya aku pergi ke tempat tidurku dan segera aku tertidur.
Pagi yang indah, suara burung-burung tepi laut mulai menyapaku disaat aku membuka jendela kamarku, aku merasa pagi ini memang pagi yang sesungguhnya dibandingkan pagi sebelumnya, tanjung pinang ini ialah kota kecil yang setiap sudut tempat memiliki makna didalamnya, pagi ini aku ingin berjalan-jalan lagi untuk menikmati liburan ini tapi sebelum aku jalan-jalan, aku harus sarapan dulu seperti biasanya, jadi untuk pagi ini aku sarapan dengan nasi lemak gesek khas melayu, pagi ini aku pergi ke warung nasi lemak gesek yang alamatnya di jalan gesek tanjung pinang kepulauan riau, akupun memanggil pemilik warungnya “pak, pesan nasi lemaknya satu ya sama es teh nya satu”, “oke,siap mbak” sahut pemilik warung, setelah 10 menit menunggu akhirnya pesananku datang, aku senang banget karena wanginya itu luar biasa, wangi dari santan kelapanya itu sangat alami ditambah dengan aroma daun pandan, tiba-tiba pemilik warugnya menghampiriku dan mengajak untuk berbincang-bincang, bapak itu berkata “turis ya mbak?”, lalu aku menjawab “iya pak, tapi saya turis dalam negeri kok, nih bisa dilihat dari warna kulit saya cokelat eksotis gitu, hehe..”, bapak itu langsung menjawab “turis dalam negeri ya mbak,warna kulit mbak bukan cokelat tapi gelap”, “ya sama aja pak, kulit orang dalam negeri kan bukan warna putih dan hitam, bisa dibilang warna kulit orang asli dalam negeri itu 50 % warna putih dan 50 % warna hitam jadi seimbang gitu” kataku, bapak tadi pun tertawa dan berkata “ada ada aja ya mbak, segala sesuatunya jadi nyambung dan masuk akal gitu, emang iya sih warna kulit orang indo itu untuk sebutan turis asing menyebut orang asli dalam negeri, warna kulit kita itu emang titik seimbangnya warna kulit eropa dan afrika, maka dari itu kita harus bangga karena warna kulit orang indo merupakan warna kulit yang unik, apalagi warna kulit orang indo itu gelap eksotis, banyak turis asing atau dari luar negeri menyukai orang indo karena warna kulit”, terus aku menjawab “wah, saya semakin bangga menjadi orang indo ya pak”, “iya dong, pastinya mbak” kata bapak pemilik warung, setelah kami usai berbincang-bincang, aku pun melanjutkan untuk menghasbiskan sarapanku, nasi lemak di warung ini memang membuatku bahagia karena kelezatannya, lalu selesai aku sarapan, aku berrjalan-jalan di daerah tepi laut, pemandangan disini sangat indah, hangatnya matahari yang baru terbit membuatku semakin semangat menjalani hari-hari ku disini, disaat aku berjalan-jalan di tepi pantai aku menemukan cangkang kerang tapi didalamnya tidak ada isinya, aku teringat masa dulu bahwa waktu kecil aku sering banget kumpulin cangkang kerang di rumah karena bentuknya unik dan terkadang aku mau mewarnainya dengan cat kuku punya mamaku, ketika aku berjalan-jalan di tepi pantai ini tiba-tiba ada anak kecil yang kutemukan sedang menangis, aku bertanya kepadanya “kamu kenapa dik?, kok menangis?”, jawab si anak kecil tadi “aku menangis karena aku tidak mendapat cangkang kerang, sedangkan kakak mendapatkannya”, “hahaha…jadi kamu menangis karena itu ya?, kakak pikir kamu menangis karena mobil-mobilan kamu menghilang, eh ternyata karena cemburu sama kakak ya, ya udah kalau gitu kita sama-sama cari cangkang kerang yok!”, “ayok kak, aku mau banget” (sambil tersenyum bahagia), anak kecil yang tadi pun bertanya “nama kakak siapa?, kakak darimana?, aku pun langsung menjawab pertanyaannya “nama kakak skaila, kakak dari kota kabanjahe karo”, anak kecil tadi bertanya kembali “kak skaila ya?, kabanjahe itu dimana ya kak?, jauh dari sini?, “jauh bangetttttt” kataku, “jauh banget itu harus naik pesawat ya kak?, aku belum pernah naik pesawat” jawab adik kecil itu, aku pun menjawab “iya dik, naik bus juga bisa kok, tapi kalau mau cepat, ya naik pesawat, adik mau sampai 8 jam perjalanan atau 20 jam?”, “hah?, 20 jam?, betul kak?, itu lama banget” jawab adik itu, “jadi kalau kita naik pesawat maka dari kabanjahe ke tanjung pinang itu Cuma 8 jam, sedangkan kalau naik bus itu 20 jam atau hampir 2 hari di perjalanan, nah adik pilih yang mana?” kataku, maka adik itu langsung menjawab “naik pesawat kak, biar pernah naik pesawat kak,hehe…”, lalu tiba-tiba ada suara yang memanggil adik kecil itu “Toni, kamu dimana nak?, ayo pulang!”, adik kecil itu berkata “itu mama aku kak”, terus aku menyahutnya “jadi nama adik itu toni, toni sudah dipanggil mama itu disuruh pulang”, lalu toni pun menjawab “oalah, sudah dipanggil mamaku aja, aku sebenarnya malas pulang kak, karena aku masih mau mencari kerang bareng kakak”, aku pun langsung menyahutinya “ yaudah besok kan bisa datang kesini lagi, nanti kita sama-sama mencari kerang lagi”, jawab toni “oke siap kak, toni pulang dulu ya kak”, akhirnya toni pulang dan menemui mamanya yang teriak dari jauh tadi untuk memanggil anaknya, “dadah kak, sampai jumpa lagi!!” kata toni, aku pun menjawab “oke dikku toni, sampai jumpa lagi yaa”, aku jadi sendiri dan tidak punya teman lagi di tepi pantai ini, ketika aku berjalan mengelilingi tepi pantai, tiba-tiba ada yang menyiramku dengan air dari belakang, dan aku menoleh ke arahnya, ternyata dia temanku yang kemarin rara, sungguh kejadian lucu bisa bertemu dengannya, keisengannya membuatku merasa geram dan aku pun membalasnya dengan menyiram air dari laut kearahnya, kami tertawa bersama sambil menikmati matahari yang rasanya tepat berada diatas kepala kami, panasnya sangat terasa di tubuh membuat kami semakin ketagihan untuk menikmati panasnya di tepi pantai tersebut, panas terik matahari selain membuat ketagihan juga membuat warna kulit menjadi tambah gelap, jadi kami pakai krim tabir surya dulu, kami pun mengolesnya dari kulit wajah, leher, tangan, kaki, atau bagian luar yang dapat kontak langsung dengan sinar matahari, kami pun langsung kembali untuk berjemur dan main air, disaat kami asyik berjemur dan main air, angin kencang datang menghampiri kami, sangat segar anginnya sehingga membuat kami semakin betah buat berjemur dan main air, kemudian kami saling bercerita tentang pasangan hidup kami, rara bertanya padaku “eh, waktu SMA skaila kamu punya pacar kan?, yang anak TKR itu, benar gak?”(sambil tersenyum), aku pun menjawab pertanyaan rara “eh, gimana bilangnya ya ra, apakah kami pacaran atau tidak”, rara pun bertanya “eh, kamu kok bisa bingung gitu?”, aku pun menjawab “ya bisa dong, hehe…,aku jawab ya sebenarnya aku sudah berpacaran dengan si anak TKR itu tapi hubungan kami tidak berlanjut karena masalah di adat istiadat kami ra, ternyata marga kami itu sama, jadi gak bisa diteruskan”, rara pun menjawab “aduh, sayang banget ya, seandainya saja tidak semarga mungkin sudah berlanjut ya sekarang?,hehe..”, “eh sepertinya iya sih’(sambil tersenyum) kataku, rara berkata pada skaila “eh, sebentar lagi aku mau kembali lagi ke Padang Sidempuan, jadi waktuku di tanjung pinang sudah tinggal hari esok yaitu hari festival gemala”, skaila pun menyahutinya “eh sama dong, aku juga ra”, “nah untuk itu ayo kita foto” kata rara, skaila pun menjawab “ayo rara!”, aku pun mengambil foto rara yang sedang berdiri menghadap tepi pantai, dan kami melihat hasilnya ternyata disaat kami lihat hasil fotonya, ada sosok pria asing atau luar negeri yang berada di sampingnya dan ternyata tidak ada siapa-siapa disana alias pria itu ialah makhluk halus, seram banget, kami pun langsung pergi ke orang pintar atau orang yang mengetahui dunia astral, saat kami menanyakannya ternyata pria itu benar-benar makhluk halus, pria itu ialah hantu bule yang keinginanya tidak kesampaian untuk menemani pacarnya menyaksikan festival gemala tahun 2019 ini jadi karena itu ia datang dan menempel pada rara, jadi besok kami akan pergi bersama ke festival gemala tersebut, kami pun pulang dan beristirahat.
Pagi ini ialah hari festival gemala tanjung pinang, aku pun tidak sabar menyaksikannya bersama temanku rara, kami pun berangkat bareng untuk melihat dan menikmati festival gemala itu, yang paling kami ingin lihat ialah perlombaan tari zapin melayu, lalu sesampainya kami di festival gemala itu, kami melihat banyak perlombaan yang kami saksikan, kami terhibur dan tiba-tiba telepon genggam rara berdering pesan dari nomor tak dikenal yang bertuliskan “Terima kasih sudah memenuhi keinginanku, akhirnya aku bisa pergi dengan damai” dan itu merupakan pesan dari hantu bule tersebut kami mengetahuinya dari orang pintar yang juga ikut menyaksikan festival gemala itu, kami pun lega, setelah selesai menyaksikan festival gemala maka kami pun pulang ke hotel, dan besok kami akan kembali ke tempat tinggal kami, selesai.
Description: Skaila merupakan Seorang gadis yang pengangguran dan memiliki mama yang sangat perhatian terhadapnya sehingga selalu bertanya tentang pekerjaan dan pacar melalui telepon genggam, suatu ketika skaila beruntung mendapatkan tiket liburan gratis ke Tanjung Pinang khusus untuk melihat Festival Gemala dari aplikasi di telepon genggamnya, sesampainya di Tanjung Pinang banyak hal yang terjadi yaitu skaila selalu mendapatkan telepon dari mamanya yang menanyakan hal yang sama mengenai pekerjaan dan pacar, suatu ketika telepon genggam skaila berdering, ia pikir itu mamanya ternyata itu bunyi alarm ulang tahun temannya jessica, skaila pun mengucapkan selamat ulang tahun buat jessica dan selain itu juga skaila bertemu dengan Rara teman SMAnya disana jadi mereka banyak bercerita tentang masalah kehidupan mereka berdua dari mulai pekerjaan, pacar dan lain-lain, suatu ketika saat skaila makan di warung mi daerah Bintan tanjung pinang ia diajak bicara oleh pemilik warung mengenai keistimewaan orang Indonesia, selain itu Skaila juga bertemu dengan anak kecil namanya Toni yang sangat menyukai kerang laut, dan satu hari sebelum festival gemala, mereka dihantui oleh hantu bule saat rara berfoto maka gambar hantu bule itu ketangkap kamera dan mereka mencari tahu bagaimana untuk terhindar dari hantu itu, ternyata satu cara yaitu ikut membawa hantu bule itu ke festival gemala melihat perlombaan tari zapin, tiba-tiba telepon genggam rara berdering yaitu bunyi pesan dari hantu bule itu berisikan kata terima kasih, sehingga ia bisa pergi dengan tenang, masalah rara dan skaila selesai, liburan mereka usai dan mereka kembali ke tempat tinggal mereka yaitu kabanjahe dan padang sidimpuan. Selesai
|
Title: Rendezvous
Category: Novel
Text:
1. Un
Bagian pertama dari sebuah cerita tidak harus selalu diawali dengan pengenalan tokoh. Hal itu dapat dilakukan dengan seiring berjalannya cerita. Pada novel Negeri Para Bedebah, pengarang Tere Liye memperkenalkan tokoh-tokoh dalam cerita secara perlahan. Tidak gamblang menulis bahwa Thomas-tokoh utama dalam novel-adalah seorang yatim piatu. Dapat...
"Maaf," sebuah suara menginterupsi tangan yang sedang menulis. Tangan yang sedang menulis itu pun terpaksa menghentikan aktivitasnya.
"Ya? Ada apa?" gadis yang merasa terganggu dengan suara tadi berusaha menanggapi dengan sopan.
"Kamu sedang membaca buku itu?" tanya si gadis pengganggu sambil menunjuk ke arah buku Negeri Para Bedebah.
"Iya, tapi sudah selesai." gadis yang ditanya menjawab sambil membetulkan letak kacamatanya.
"Wah, bisa enggak kita berdiskusi soal buku ini?" tawar gadis pengganggu.
"Boleh." respon gadis berkacamata itu terlampau dingin. Gadis berkacamata itu menutup buku tugasnya dan memasukkan pulpen ke dalam tempat pensilnya.
"Aku Mikhayla. Panggil Mikha saja. Dari kelas 11 IPA 3. Sama kayak kamu, Deria." gadis pengganggu itu tersenyum ramah.
"It's cool that you know my name. I'm barely visible." gadis berkacamata itu adalah teman sekelas Mikha.
"I think it's unpleasant if you don't acknowledge others, especially classmate." Mikha mengulurkan tangan kanannya, berharap Deria membalasnya. Deria membalasnya singkat.
Mikha menarik kursi dan duduk di sebelah Deria. Ia harus berinisiatif membuka percakapan dengan kawan barunya ini. "Aku baca buku ini beberapa bulan lalu. Tertarik karena membahas isu ekonomi. Kalau kamu, Der?" ucap Mikha.
"Hmm...aku pernah ikut ke acara launching buku ini beberapa tahun lalu sama ayah." jawab Deria.
"Oh, ya? Seru, dong! Kamu emang suka baca buku banget, ya?" Mikha terlihat sangat antusias karena seperti menemukan lost sisternya.
"Lumayan suka." Sempat enggan, akhirnya Deria bertanya balik, "kalau kamu? Suka baca buku juga?".
"Iya! Aku suka banget baca buku! Kalau enggak baca buku sehari aja rasanya suntuk." jawab Mikha.
"Oke, hobi kita sama. Jadi, mau diskusi bagian apa dari buku ini?"
"Hmm...aku rada bingung, sih sama maksud efek domino yang dimaksud Thomas. Mengapa Indonesia terkena dampaknya juga?"
Deria tampak berpikir sebentar, sel-sel neuron dalam otaknya sedang bekerja mencari berbagai macam data. "Hmm...begini, kita bahas dari mengapa kebangkrutan Lehman Brothers bisa berdampak pada perekonomian dunia..."
"Der, bisa ceritakan background Lehman Brothers terlebih dahulu?"
"Hfft... Lehman Brothers adalah bank investasi terbesar di Amerika Serikat setelah Goldman Sachs, Morgan Stanley, dan Merrill Lynch."
"Perekenomian pada awal tahun 2001 sedang lesu sehingga bank sentral AS atau The Fed menurunkan suku bunga acuan menjadi hanya 1 persen. .."
"Mengapa The Fed menurunkan suku bunga acuan?" potong Mikha.
"Memangnya tidak dipelajari di pelajaran lintas minat Ekonomi?" tanya Deria sambil membetulkan kacamatanya yang melorot. "Aku tidak tahu." jawab Mikha jujur.
"Dalam kasus mempercepat pertumbuhan ekonomi, The Fed harus membuat perputaran dana di masyarakat menjadi lebih cepat. Caranya bagaimana? Tentu saja dengan menurunkan suku bunga acuan. Lalu, kegiatan perbankan akan bertambah karena bank-bank lebih mudah menyalurkan kredit ke masyarakat. Hal ini juga berlaku di negara kita."
"Lantas, apa hubungannya dengan Lehman Brothers?"
"Lehman Brothers menginvestasikan miliaran dollar ke pasar real estate karena tergiur dengan perkiraan keutungan yang akan didapat. Selain itu, melihat pesatnya perkembangan sektor perumahan setelah peristiwa 9/11 membuat mereka berani menyalurkan KPR kepada masyarakat berpenghasilan rendah atau tidak tetap yang disebut subprime mortgage." Deria berhenti berbicara ketika melihat Mikha sibuk mencatat apa yang ia katakan.
"Bukankah beresiko besar jika menyalurkan KPR kepada masyarakat kelas tersebut?"
"Ya, tapi mereka dibutakan oleh keuntungan."
"Bagaimana bisa? Bukankah mereka orang-orang yang mempelajari ilmu ekonomi di sekolah bisnis ternama?"
"Alasannya simple. Jika masyarakat tersebut gagal membayar cicilan, huniannya dapat disita dan menjadi aset Lehman Brothers. Kemudian, hunian itu dapat dijual kembali. In other words, tidak ada kerugian." terang Deria sambil memperhatikan wajah Mikha. Rasanya wajah Mikha mirip dengan seseorang. Tapi, Deria buruk dalam mengingat wajah orang 'biasa'.
"Oh, wow! Sekolah bisnis mengajarkan hal seperti ini ternyata?"
"Selanjutnya, ayo bahas mengapa Lehman Brothers bangkrut sedangkan asetnya ada dimana-mana." Deria berdiri dari duduknya.
"Mau kemana?" Mikha membereskan buku catatan dan alat tulisnya kemudian bergegas berjalan menyusul Deria yang sudah berjalan lebih awal.
"Hey, tunggu! Jalannya cepat amat seperti dikejar guru kesiswaan!" Mikha bersusah payah mengejar Deria. Deria menghentikan derap langkahnya, berpaling ke arah Mikha, "aku lapar dan ingin makan di kantin. Catatan, persetan dengan guru kesiswaan." jawab Deria tegas.
Sesampainya di kantin, Deria memesan makanan sedangkan Mikha menunggu di sebuah meja kecil yang muat untuk dua orang.
Deria datang sambil membawa beberapa bungkus roti. "Nih, untukmu." Ia memberikan sebungkus roti kepada Mikha.
Mikha terkejut, "ternyata kamu tidak sedingin mukamu, ya." ucap Mikha, menerima roti tersebut. "Terserah." Deria duduk berhadapan dengan Mikha.
"Ayo lanjutkan ceritamu, Der!" pinta Mikha tidak sabar. "Hmm? Kapan-kapan kamu yang harus bercerita." kata Deria lalu mengunyah rotinya.
"Seperti yang sudah aku ceritakan, Lehman Brothers memiliki aset dimana-mana. Semuanya berubah. Pada tahun 2004, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan tingkat inflansi yang meninggi. Kenaikan suku bunga acuan ini juga memengaruhi kenaikan bunga dan KPR. Masyarakat subprime mortgage adalah yang pertama merasakan penderitaan, mereka menyatakan ketidakmampuan membayar cicilan hunian."
"Biar aku tebak, hunian itu lalu dijual oleh Lehman Brothers?"
"Ya, benar. Ditambah dengan hunian yang belum dijual oleh pihak pengembang, membuat pasar properti mengalami housing bubbles atau penggelembungan pasar properti. Kemudian harga properti diturunkan." terang Deria sambil memerhatikan Mikha yang tetap menulis.
"Terus? Kenapa berhenti?" Mikha menyadari Deria yang diam saja.
"Masyarakat yang masih terikat KPR harus membayar cicilan hunian semakin besar karena kenaikan bunga, sedangkan harga hunian mereka semakin turun." Deria melanjutkan omongannya.
"Jadi, utang KPR di bank lebih besar dibanding harga hunian?" tanya Mikha.
"Ya. Dan siapa yang mau membayar semahal itu? Kemudian terjadi kredit macet. Hunian disita, dijual di pasar properti, dan akhirnya housing bubbles." jawab Deria secara jelas.
"Aku tidak menyangka KPR bisa membuat bank bangkrut." Mikha memandangi tulisannya. "Ya, bisa saja. Regulasi yang buruk dari pihak internal juga merupakan faktor bangkrutnya Lehman Brothers." Deria menambahkan informasi.
"Ayo balik ke kelas!" ajak Deria sambil berdiri dari duduknya. "Eh? Sebentar, dong! Kamu, kan belum selesai menjelaskannya." sahut Mikha terburu-buru membereskan alat tulisnya.
Sambil berjalan beriringan, Deria dan Mikha melanjutkan pembicaraan mereka. Hujan sedang turun sehingga mereka harus berhati-hati dengan lantai yang sedikit basah terkena rintikan air hujan.
"Akhirnya pada tahun 2008, Lehman Brothers resmi bangkrut, karyawannya di-PHK dan menambah jumlah pengangguran. Hal ini memicu krisis keuangan global. Pasar modal tertekan dan terjadi rush, para investor menarik dana dalam jumlah besar karena takut kehilangan uangnya. Rupiah juga terkena imbasnya." kata Deria.
"Bukannya ini terjadi di Amerika Serikat?"
"Jarak tidak menjadi masalah. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS meluncur bebas. Pasar modal juga mengalami penurunan. Nah, inilah yang disebut efek domino."
"Hm..." Mikha masih berusaha mencerna ucapan Deria.
"Apabila sebuah negara di kawasan tertentu terkena pengaruh suatu hal, negara-negara sekitarnya akan ikut terpengaruh juga. Jatuhkan domino pertama. Yang akan terjadi sampai domino terakhir adalah rangkaian peristiwa yang berlangsung sangat cepat." jelas Deria.
"Oh! Wow! Hebat. Aku mengerti sekarang maksudnya apa. Kamu belajar darimana, Deria?" Mikha bertepuk tangan kecil. "Sumber belajar itu banyak, tidak hanya buku. Tapi, buku adalah fundamentalnya." jawab Deria, puas karena bisa berbagi ilmu.
Yah, setidaknya Deria dapat menjelaskan ilmunya dengan bahasa yang mudah dimengerti. Ia teringat ketika bersusah payah mencari jurnal dan buku ekonomi yang pas. Terkadang bahasa yang dipakai terlalu rumit untuk anak seumurnya.
Daftar Pustaka:
Liye, Tere. 2012. Negeri Para Bedebah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Edey Malcolm. 2009. The global financial crisis and its effects. Economic Papers. 28(3): 186-195.
Lynch Kevin. July 15, 2018. Lehman Brother's Bankruptcy: an anniversary to remember, and learn from. The Globe. Opinion.
Johnson Mark Anthony. 2012. The failure of Lehman Brothers and its impacts on other financial institutions. Applied Financial Economics. 22(5): 375-385.
Description: This isn't only about two people meeting together in an agreed place. Join this rendez-vous and you'll feel enlightened.
|
Title: Refleksi
Category: Spiritual
Text:
VII #Aku Citra Allah yang Unik
Jika dihadapanku ada Tuhan Yesus, maka aku akan mengucapkan terimakasih karena telah diciptakan di bumi ini. Saya tidak menyesal Tuhan Yesus sudah menciptakanku ditengah keluarga yang begitu mencintai aku. Aku tahu Tuhan mencipakan kami berbeda satu sama lain.
Seperti halnya diciptakan laki-laki dan perempuan yang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk saling melengkapi. Diberikannya kami kuasa atas makhluk lainnya di Bumi ini. Aku bersyukur ada makhluk lainnya sebagai teman bagi kami manusia.
Ya, Yesus
Engkaulah Sang Maha Pencipta,
Terimakasih telah menciptakanku sebagai perempuan yang sempurna,
Berkatilah aku seperti halnya Engkau memberkati Adam dan Hawa,
Jadikanlah aku alatMu agar dapat menjadi perpajangan kasihMu.
Amin.
VII #Tugasku Sebagai Citra Allah
Firman Allah padaku Kej. 1: 26 "Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Sebagai ciptaan Tuhan dengan tugas tersebut aku memiliki niat yang akan kulakukan sebagai tanggung jawab menjadi citra Allah, yaitu:
Merawat hewan peliharaan di rumah dengan memperhatikan jam makan, kebersihan dan kesehatannya.Menanan tanaman disekitar rumah.Menggunakan tas belaja kain untuk mengurasi sampah plastik.
VII #Aku Memiliki Kemampuan
Sebagai ciptaan Tuhan yang diberikan talenta, saya menyadari berbagai talenta yang diberikan Tuhan padaku yaitu:
Mampu menggambar Mampu menulis ceritaMampu mendengarkan orang lainMampu olahraga Bulutangkis
Aku menyadari talenta-talentaku itu perlu akau kembangkan agar tidak hilang. Usaha yang sudah aku lakukan adalah tetap berlatih menggambar, menyalurkan bakat menulis dengan rajin membaca dan mencoba menuliskan ide yang aku punya, dan ketika ada saudara/teman membutuhkan pendengar maka saya selalu siap mendengarkan. Namun, saya menyadari talenta saya dalam bidang olahraga belum begitu saya kembangkan karena keterbatasan teman sepermainan.
Saya selalu mensyukuri atas berbagai kemampuan atau talenta yang saya miliki. Sekalipun saya menemukan hambatan untuk mengembangkan talenta saya seperti malasa dan tidak mau mencari teman sepermainan tetapi saya mau mencoba untuk mengembangkan talenta saya dengan sikap pantang menyerah dan tekun.
VII #Kemampuanku Terbatas
Allah menciptakan manusia dengan maksud yang baik. Saya menyadari bahwa manusia diciptakan dengan kemampuan dan keterbatasanya. Hal itu sangat indah dan mengagumkan. Saya menyadari bahwa saya juga memiliki keterbatasan namun saya tidak berusaha untuk menutup-nutupinya, melaikan saya terbuka pada orang lain bahwa saya juga memiliki kemampuan. Tekad saya adalah berusaha untuk dapat mengatasi keterbatasan yang saya miliki.
Maka aku menjadikan keterbatasanku sebagai motivasi agar diriku dapat berkembang menjadi lebih baik.
VII #Syukur Sebagai Citra Allah
LITANI SYUKUR
Engkau telah memberiku nafas kehidupan
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku orang tua yang lengkap
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku adik-adik perempuan yang pintar
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku tempat tinggal yang asri
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku hewan peliharaan yang lucu dan menghibur
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku sahabat yang mengerti keadaanku
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku kesempatan mendapat pendidikan hingga S1
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku guru dan dosen yang mendidikku dengan sabar
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku pekerjaan
Syukur bagi-Mu ya Allah
Engkau telah memberiku fasilitas mendukung seperti hp, netbook, motor dkk
Syukur bagi-Mu ya Allah
Sebagai wujud syukurku, aku akan mendoakan doa Bapa Kami dan Salam Maria selama 1 minggu sebelum tidur.
VII #Aku Bangga Diciptakan Sebagai Perempuan
Menjadi perempuan yang membanggakan untuk teman-temanku adalah ...
Menjadi perempuan yang membanggakan untuk guru adalah ...
Menjadi perempuan yang membanggakan untuk orangtu aku adalah ...
Selanjutnya aku akan membuat surat kepada ibu dan bapakku yang berisi kekaguman dan kebanggaanku pada mereka.
Description: Berisi tulisan hasil refleksi terhadap pembelajaran di kelas Agama Katolik.
|
Title: Rival Tersayang
Category: Cerita Pendek
Text:
Rival Tersayang
“Dan pemenang ketiga lomba cipta dan baca puisi tahun ini adalah ... Frans Aditya Kusuma.”
Seluruh siswa-siswi SMA Puspa Bangsa bertepuk tangan antusias kecuali aku. Sejak tadi pagi sekolah kami meriah dan siswa-siswi serius mengikuti jalannya acara dalam rangka memperingati hari pendidikan nasional. Aku ikut salah satu lomba yang diadakan yaitu lomba cipta dan baca puisi. Dan hingga juara pertama diumumkan tak sedikit pun namaku diserukan. Menurutku Frans hari ini sangat senang atas dua keberhasilannya sekaligus, menang lomba puisi dan mengalahkanku lagi.
Tampaknya sudah menjadi nasibku, sejak dulu selalu dikalahkan olehnya. Aku tak tahu entah bagaimana bentuk raut wajahku kali ini, mungkin seperti pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran bukanlah gambaran yang tepat. Semangatku luntur ibarat pakaian berwarna yang disiram pemutih. Aku hanya belum bisa menerima kenyataan pahit ini lagi dan lagi.
***
Suara decit pintu terdengar pelan ketika aku membuka pintu rumah. Keadaannya sepi, mama dan papa pasti sedang bekerja dan Kak Gladys sedang kuliah hari ini. Kulangkahkan kaki menuju kamarku di lantai dua. Frans pun tampaknya belum pulang karena ia tidak punya sepeda motor. Aku bersyukur mama dan papa membelikanku sepeda motor sehingga aku tak perlu berebutan untuk naik metro mini dengan penumpang yang lain.
Beberapa menit setelah aku kembali ke lantai bawah sembari membaca buku, terdengar langkah kaki menuju ke arahku.
“Hai Kak Hans. Serius amat bacanya!”
Aku akhirnya menoleh ke arah sumber suara yang jelas-jelas sudah tak asing lagi di telingaku, suara Frans.
“Cuma baca sekilas aja kok.” Jawabku singkat. Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menanggapi ucapannya.
“Oh ya, puisi kakak kemarin bagus deh.”
“Kalau bagus pasti menang. Tapi karena puisiku jelek makanya kalah.” Jawabku kasar dengan penuh penekanan di saat mengucapkan kata jelek. Sepertinya dia tidak tahu bahwa aku kesal setengah mati karena kalah di perlombaan kemarin. Di sekolah pun aku jadi tidak konsentrasi gara-gara kekalahan kemarin.
“Kesalahannya ada di dewan juri, kak. Kenapa coba pemenangnya hanya sampai juara tiga? Kalau pemenangnya ditambah jadi lima orang pasti kakak jadi salah satu pemenangnya.” Jawabnya lantang. Tak lupa ia mengembang senyuman sehingga deretan giginya yang tersusun rapi terlihat jelas.
“Itu gara-gara kamu. Seharusnya bukan kamu yang ikut lomba puisi kemarin, kan? Kamu perusak suasana. Gara-gara kamu aku kehilangan semua. Bahkan mama dan papa lebih sayang sama kamu daripada aku. Sejak kamu lahir, semuanya terasa gelap. Seandainya aku bisa memilih, aku nggak mau punya adik kayak kamu.”
Entah apa yang membuatku berhasil mengeluarkan kata-kata kasar yang tidak seharusnya aku ucapkan pada adikku sendiri. Yang membuatku heran, aku malah tampak lega saat melihat mata Frans berkaca-kaca. Kata-kata yang selama ini kupendam keluar bagai magma dari gunung berapi yang baru saja meletus tanpa bisa dihalangi.
Ia tampak kesusahan menyusun kata sehingga aku harus menunggu kata-kata hampir lima menit. Mungkin ia terlebih dahulu menguatkan hatinya setelah serangan kata-kataku yang bagaikan tikaman-tikaman pedang.
“Memang bukan aku yang seharusnya ikut di lomba itu, kak. Tapi karena Farel sakit, akulah yang dihunjuk oleh wali kelas kami untuk menggantikannya. Persiapanku juga ala kadarnya. Tapi entah kenapa aku bisa menang melawan puluhan peserta. Maafkan aku ya kak.” Kali ini jawabannya tanpa senyuman malah wajahnya terlihat masam.
Aku sudah siap ingin melontarkan kata-kata yang lebih buruk lagi, tetapi sebuah suara muncul di tengah-tengah ketegangan yang sedang terjadi.
“Kalian berdua ngapain ribut-ribut?” Ternyata Kak Gladys sudah pulang dari kampusnya.
Di tengah situasi yang rumit ini, otakku malah tak bisa bekerja dengan lancar. Tanganku masih mengepal saking kesalnya pada Frans. Entah apa yang akan terjadi jika Kak Gladys tidak muncul di saat yang tepat.
“Lagi latihan drama Kak, Dys. Kak Hans ada tugas pertunjukan drama besok. Bagus kan ekspresi marahnya tadi?” jawaban spontan dari Frans sangat membantu sekaligus menyelamatkan.
Kini Kak Gladys menantapku heran. Aku buru-buru mengangguk lalu segera naik ke lantai atas. Tampaknya tidur adalah solusi yang jitu.
***
Akhirnya aku bisa bernapas lega walaupun sesak juga mengingat nilai buruk yang mungkin saja kuperoleh. Sungguh hari yang melelahkan sekaligus menyebalkan. Pagi tadi aku terlambat bangun, syukurlah saat aku tiba di sekolah bel belum berbunyi. Kupikir masalahku sudah selesai, nyatanya ada ulangan mendadak pelajaran fisika. Sayangnya aku tidak belajar tadi malam. Memang penyesalan selalu datang belakangan. Dan saat ingin mengubah kebiasaan buruk agar jadi rajin belajar, realitanya itu hanya jadi wacana. Lalu menyesal lagi pada akhirnya.
Aku hanya duduk di kursi bawah pohon di depan kelasku. Ternyata hari ini sama seperti kemarin. Bedanya kemarin aku kalah karena Frans. Kali ini aku kalah karena kurang persiapan. Bahkan jika aku memperoleh nilai 5 di ulangan tadi, aku sudah cukup senang. Tapi siapa yang tahu bisa saja nilaiku cuma 2. Sangat tidak pantas untuk dibanggakan.
Tiba-tiba Edwin, teman semejaku menghampiriku sambil menyodorkan sebungkus es teh manis.
"Nih minum! Kali aja bisa nyegerin hati lo yang kesel sama diri sendiri gara-gara ulangan mendadak tadi."
"Makasih, Win. Lo kok santai-santai aja. Kayaknya muka lo kusut juga pas ulangan tadi."
"Ya mau gimana lagi. Mau nangis juga nggak ada gunanya. Lagian kalau gue nangis, kan nggak keren. Plus nggak bisa mengubah keadaan. Mending tenagaku dipakai buat menikmati hari yang cerah ini."
Aku menatapnya sekilas. Ia malah asyik menyeruput es cendol sambil melihat-lihat ke arah lapangan voli. Sekumpulan siswa kelas 10 tampak bersemangat bermain di sana. Aku heran kenapa mereka tidak ke kantin saja. Tapi aku lebih heran pada Edwin yang santai-santai saja menjalani harinya. Aku kadang iri padanya sekaligus ingin seperti dia.
Lamunanku dikagetkan oleh tepukan keras Edwin di pundakku. Untung aku tidak sampai jatuh dari tempat dudukku.
"Helena kayaknya mau datang ke sini, Hans. Tambah cakep aja dia ya?"
Aku mengalihkan pandangan ke depan demi melihat siswi yang baru Edwin sebut. Dia anak kelas XI MIA 1 dan penampilannya sesuai dengan deskripsi Edwin tadi.
"Hai! Asik banget nih kayaknya minum es di cuaca yang panas ini." Sapa Helena ramah. Sikap dan wajahnya memang sama, sama-sama menyenangkan.
"Iya nih. Habis tadi ubun-ubun sampai ngeluarin asap gara-gara ulangan mendadak pelajaran fisika." Edwin menjawab spontan sedangkan aku yang masih memikirkan jawaban untuk pertanyaan Helena tadi langsung diam.
"Bu Yani memang sering bikin jantung copot gara-gara ulangan yang tiba-tiba. Tapi tadi sukses dong?"
"Iya sukses dapat nilai nol. Hahaha ... Lo bisa liat sendiri wajah mengenaskan kami berdua." Lagi-lagi Edwin yang menjawab.
"Hahaha ... Kok dari tadi Hans diem melulu?"
"Masih mikirin nilainya yang mengkhawatirkan, Na."
"Gimana mau ngomong, lo jawabnya cepet banget Win kayak pesawat jet." Akhirnya aku buka suara.
Mereka berdua tertawa. Aku hanya diam merasa itu nggak lucu sama sekali.
"Oh ya gue cuma mau minta sesuatu nih sama lo Hans. Lo abangnya Frans kan?"
"Iya." jawabku singkat. Jadi dia ke sini cuma mau nanyain Frans? Sungguh diluar dugaan.
"Gue boleh minta nomor hapenya nggak?"
"Buat apa? Lo kan bisa minta sendiri." aku yakin suaraku sepertinya terdengar ketus.
"Dia kan nggak kenal sama gue. Mending gue minta sama lo aja. Gue cuma mau nanya apa dia mau ikut lomba cipta dan baca puisi di perkumpulan pecinta literasi dekat rumah gue. Sekalian minta diajarin bikin puisi juga. Supaya gue bisa ikut lomba."
Mau tidak mau aku akhirnya memberikan nomor hp Frans. Dia berlalu setelah mengucapkan terima kasih sembari tersenyum manis hingga lesung pipinya kelihatan.
"Ada yang nggak ikhlas nih kayaknya."
Aku melotot ke arah Edwin.
"Wow santai bro. Dengan ekspresimu itu, kata-kata gue jadi semakin keliatan benar."
"Bukannya nggak ikhlas. Kenapa coba nomor hp gue nggak dia minta juga? Setidaknya sebagai ucapan terima kasih."
"Lo nggak denger tadi dia bilang terima kasih? Salah sendiri kenapa nggak nawarin nomor hp. Bilang aja ntar chat gue biar gue kirim no Frans. HP gue ketinggalan di rumah."
"Kan gue bawa hape, Win."
"Namanya juga modus. Batal deh lo dapat nomor hpnya. Atau ntar minta sama Frans. Tapi kayaknya lo nggak sudi deh."
"Sok tahu lo!"
"Gue udah hapal kok. Lo juga iri kan sama Frans karena dia yang menang lomba baca puisi kemarin?"
Aku tidak berniat menjawab pertanyaan retoris Edwin. Dia terlalu pintar menebak dan mengamati situasi. Andaipun kujawab, rasanya konyol. Belum lagi soal Helena tadi. Sepertinya Frans selalu beruntung dan akulah manusia paling malang di dunia ini.
"Nggak semua yang kita inginkan di dunia ini bisa jadi kenyataan. Belajarlah menerima keadaan. Yuk masuk kelas, bel udah bunyi tuh."
Aku hanya mengikuti Edwin dengan lesu. Kadang aku ingin jadi Frans atau setidaknya jadi Edwin yang selalu terlihat santai.
***
“Hans, kakak mau bicara sebentar, boleh?”
Aku segera mengangguk sembari menarik kursi di depan Kak Gladys. Sejak kejadian kemarin aku tak menyapa Kak Gladys dan Frans. Kali ini tampaknya aku akan diceramahi oleh Kak Gladys panjang lebar.
“Kakak tahu kamu kesal karena dikalahkan oleh Frans. Tapi bukan begitu caranya mengungkapkan kekesalanmu. Kamu nggak sadar apa yang kamu ungkapkan kemarin? Kata-katamu kemarin itu menyakitkan Hans.”
“Pasti Frans memberitahu kakak kan? Anak kesayangan itu memang suka mengadu.” Aku tak berselera melanjutkan percakapan ini. Pasti aku akan selalu disalahkan.
“Kamu pikir begitu? Jawabannya bukan. Kakak dengar pembicaraan kalian kemarin sewaktu kakak pulang dari kampus. Kenapa sejak dulu kamu benci sama Frans? Dia nggak salah apa-apa. Kamu yang keterlaluan Hans.”
“Seharusnya kamu beruntung dia mau mengalah sama kamu. Dia mengalah sehingga kamulah yang pakai sepeda motor setiap hari. Sejak kecil dia selalu nolongin kamu. Masih ingat atau sudah lupa?”
Aku masih ingat Frans pernah melawan teman-temanku yang menjahiliku sewaktu aku duduk di kelas dua SD. Dia memang selalu membantuku. Aku mengangguk pasrah sambil menatap mata Kak Gladys yang tampak kecewa atas kelakuanku kemarin.
“Kamu harus minta maaf. Jangan anggap Frans sebagai rival, Hans. Sayangi dia, Frans itu adikmu. Kakak harap kamu mengerti apa yang kakak katakan tadi. Semoga kamu berubah.” Kata Kak Gladys menyimpulkan nasihatnya. Ia meninggalkanku setelah terlebih dahulu mengacak rambut ikalku.
***
Hari-hari sialku tampaknya belum usai. Mungkin saja besok bisa jadi lebih parah. Kemarin aku dinasihati Kak Gladys dan itu membuatku tidak senang. Bukan berarti apa yang dia bilang salah atau kasar, hanya saja siapa sih yang suka dinasihati. Manusia pada umumnya lebih suka dipuji. Dan yang selalu dipuji Kak Gladys sudah pasti Frans. Aku kadang curiga, jangan-jangan aku anak pungut. Wajahku dan Frans tidak begitu mirip. Yang akrab cuma Kak Gladys dan Frans. Aku sepertinya selalu tidak cocok dengan mereka berdua. Entah apa yang salah, mungkin saja aku berbeda gen dengan mereka.
Dan hari ini, sepulang sekolah aku disambut dengan ban belakangan sepeda motorku yang kempes di tempat parkir. Aku tidak tahu siapa pelakunya. Namun sebelum aku berprasangka buruk pada orang lain, mungkin saja ini karena keteledoranku. Lupa mengecek kondisi kendaraanku yang setiap hari kupakai ke sekolah selain hari minggu atau hari libur. Seperti kata-kataku kemarin, penyesalan selalu datang belakangan.
Aku akhirnya duduk di jok sepeda motor milik siswa lain yang belum pulang sembari memikirkan solusi bagaimana aku bisa pulang tanpa meninggalkan sepeda motorku ini. Sayangnya aku tidak punya nomor bengkel yang dekat dengan sekolahku. Aku juga tidak bawa pompa ban. Semuanya memang diluar rencana dan kini aku hanya neratapi nasib yang tak kunjung bahagia.
"Kak Hans!"
Aku kenal betul pemilik suara itu. Dan belum sempat aku berbalik melihat ke arah sumber suara. Dia sudah mendekatiku.
"Nungguin siapa, kak? Kok belum pulang?" tanyanya ramah.
"Nggak nungguin siapa-siapa. Ntar lagi baru pulang." Aku tidak mau bilang kalau ban seoeda motorku kempes. Kuharap dia segera berlalu setelah mendengar kata-kataku barusan.
"Ban sepeda motor kakak kempes ya?" tanyanya lagi sambil melihat ke ban belakangan sepeda motorku. Belum sempat kujawab dia sudah bertanya lagi.
"Punya nomor hp bengkel sekitaran sini nggak?"
"Kalau punya sudah dari tadi kutelpon."
"Ya udah kita tuntun aja ke bengkelnya, kak. Toh kita nggak tahu mau minta tolong siapa. Anak-anak lain udah pada pulang, kecuali anggota OSIS yang masih rapat. Lagian mereka pasti masih lama."
Wajahnya tampak bersemangat mengatakan saran barusan. Dan sepertinya hanya itu solusi terbaik.
***
Setelah menuntun sepeda motor hampir 500 meter akhirnya kami menemukan bengkel yang tidak terlalu ramai. Ban sepeda motorku langsung ditangani. Syukurlah hanya ban dalamnya yang perlu diganti. Kalau ban luarnya, sepertinya aku harus meminjam uang Frans karena uang di sakuku tidak cukup.
Sembari menunggu, aku memutuskan mengajak Frans ke kafe dekat bengkel yang kelihatannya punya menu yang enak. Sudah lewat jam makan siang sehingga kafe ini tidak terlalu banyak pengunjung. Frans memesan mie goreng seafood dan jus jeruk sedangkan aku memesan nasi goreng dan jus mangga.
"Terima kasih ya Frans sudah mau nolongin kakak." kataku membuka percakapan setelah sekian lama tidak ada yang memulai percakapan. Mengucapkan terima kasih memang terasa berat tapi menyenangkan.
"Sama-sama Kak Hans. Kita kan harus saling membantu." jawabnya sambil tersenyum lalu menerima pesanan yang baru saja di antar pelayanan kafe ini.
"Kamu nggak marah sama kakak? Aku pikir kata-kata kakak kemarin lusa itu keterlaluan. Nggak seharusnya kakak bilang gitu. Maafin kakak ya!" lagi-lagi aku mengucapkan kata-kata yang juga sulit diucapkan, permintaan maaf. Aku bahkan tidak begitu berminat menyentuh nasi goreng yang tampak menggoda di depanku.
Frans tidak menjawab, dia sibuk menikmati mie gorengnya dengan lahap. Mendorong sepeda motorku tadi sepertinya menguras tenaganya.
"Frans?"
"Eh maaf kak. Tadi kakak bilang apa? Aku lapar banget. Mie gorengnya juga enak banget nih. Lain kali aja Frans ke sini lagi ya tapi tanpa mendorong sepeda motor yang bannya kempes." selorohnya.
Ingin rasanya kutimpuk dia dengan sendok dan garpu. Setelah mencoba menyusun kalimat dengan baik, dia ternyata tidak mendengar ucapanku.
"Kakak minta maaf soal ucapan kakak kemarin lusa."
"Nggak apa-apa, kak. Frans udah lupa kok soal itu. Aku tahu kakak lagi kesal. Nggak masalah, nggak usah dipikirin. Mending nasi goreng pesanan kakak segera dimakan keburu dingin nanti nggak enak."
Aku akhirnya menuruti perkataannya. Tapi aku tidak terlalu menikmati pesananku. Bukan karena tidak enak, hanya saja aku masih merasa bersalah pada adikku satu-satunya ini. Entah apa jadinya kalau dia tidak membantu tadi. Mungkin aku tambah pusing sekaligus mengeluh karena kelaparan.
Akhirnya nasi gorengku habis juga. Aku selalu ingat perkataan mama agar tidak menyisakan makanan. Butuh waktu lama agar makanan itu bisa disantap. Pun ada banyak orang yang kelaparan karena tidak punya makanan. Dan dengan menghabiskan makanan, itu berarti kita bersyukur atas apa yang bisa kita nikmati.
"Mungkin sebenarnya kakak iri sama kamu Frans." Aku buka suara lagi setelah kami berdua menyelesaikan makan siang.
"Iri kenapa? Aku sama kayak kakak kok. Nggak ada yang perlu diirikan dari Frans." Dia tampak heran mendengar ucapanku.
"Banyak. Kamu menang lomba puisi, kamu punya teman yang banyak, kamu akrab sama Kak Gladys. Plus diminta nomor hp sama Helena." Sebenarnya masih banyak hal lain yang mau kusebutkan tapi sepertinya itu sudah lebih dari cukup.
Dia tidak langsung menjawab, Frans malah tersenyum ke arahku.
"Kayaknya itu bukan hal yang wah deh. Tahun lalu kakak menang lomba cerdas cermat antar sekolah kan? Waktu aku masih kelas 3 SMP. Kalau soal teman, kakak juga punya banyak teman kok. Perihal Kak Gladys, ya itu karena aku suka bantuin dia buat bikin kue. Kakak kan sukanya main game. Dan soal Kak Helena, dia cuma minta tolong buat diajarin bikin puisi sekalian ajak aku buat ikut lomba di perkumpulan dia. Nggak lebih. Kakak suka ya sama Kak Helena?"
Sungguh sebuah pertanyaan yang kuhindari. Syukurlah dia tidak bertanya lebih lanjut. Seusai membayar pesanan, aku dan Frans berjalan ke arah bengkel. Sepertinya ban sepeda motorku sudah diganti.
"Kakak sepertinya cuma liat apa yang nggak kakak punya. Padahal banyak hal lain yang kakak punya yang bisa disyukuri. Karena berfokus pada kelebihan orang lain, kita jadi lupa sama kelebihan kita sendiri. Aku nggak pernah anggap kakak sebagai rivalku. Aku senang bisa jadi adiknya kakak."
Ucapan Frans benar-benar menyentuh hati. Selama ini aku yang jarang mengobrol dengannya. Aku jadi merasa bersalah sekaligus bersyukur dengan kempesnya ban sepeda motorku, aku bisa mengenal Frans yang ternyata semakin kusadari lebih dewasa daripada aku. Lagi-lagi aku memang tidak bisa dibanggakan.
"Kamu kayaknya cocok jadi motivator Frans." Ia hanya tertawa sambil menarik kerah bajunya seolah menyombongkan diri.
"Oh ya, aku sebenarnya bilang ke Kak Helena supaya kakak ikut bantuin dia bikin puisi. Ntar aku kasih nomor hapenya ya kalau udah sampai rumah. Ia pun berlalu dengan angkot yang ia naiki. Menolak kuajak pulang bareng karena katanya dia masih mau ke toko buku.
***
Kata-kata Kak Gladys kemarin lusa dan perbuatan baik Frans membuatku sulit untuk memejamkan mata tadi malam. Aku tersadar bahwa selama ini aku membenci Frans yang justru selalu membantuku. Pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi sebelum Frans pergi ke sekolah.
Aku melihatnya sedang mengikat tali sepatunya di serambi depan. Motorku telah kuparkir sempurna di depannya. Sepertinya inilah saat yang tepat untuk meminta maaf.
“Hai Frans! Pagi ini kakak bonceng kamu ke sekolah ya?” ucapku menawarkan diri.
Ia menatapku heran. Semenit kemudian ia tertawa sambil memukul pundakku. “Kakak sakit ya?” jawabnya kemudian.
Refleks kutempelkan punggung tanganku di dahi. Sepertinya aku baik-baik saja. Aku lalu menggeleng pelan.
“Kakak aneh, kenapa tiba-tiba pengin berangkat bareng denganku? Ada maunya nih.” Katanya jahil.
“Heh ... aku mau minta maaf tauk. Maafkan kakakmu yang ganteng ini ya Frans. Soal kata-kataku dua hari yang lalu, aku benar-benar menyesal. Kekalahanku jelas-jelas bukan karena kamu. Dan aku mau berterima kasih sekali lagi untuk pertolonganmu."
Ia masih tertawa. Tapi karena aku meliriknya tajam, ia akhirnya menghentikan tawanya. “Aku maafin kok Kak Hans. Kalau melow begini kakak jadi tambah ganteng ternyata. Sering-sering begini ya kak.” Katanya sambil mengedipkan mata.
Aku sudah hampir menjitak kepalanya tetapi ternyata ia lebih gesit dipakainya helm bermotif polkadot berwarna merah putih. Baru kali ini rasanya beban berat di hatiku terangkat. Rasanya bebas tanpa tekanan karena telah berdamai dengan Frans yang kini dengan santai duduk di belakangku.
"Wow kayaknya ada yang udah insyaf nih." Aku tahu itu pasti suara Kak Gladys.
"Apaan sih kak?" sahutku.
"Kamulah. Kalian berdua udah kayak anak ABG baru pacaran."
Aku dan Frans saling menatap lalu berbarengan melihat ke arah kak Gladys dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Ya ampun gerakan kepala dan ekspresinya aja kompak banget."
Kami bertiga akhirnya tertawa.
Aku menstater motor dan hendak pergi. Tapi teriakan melengking Kak Gladys memanggil namaku membuatku batal melajukan sepeda motorku.
"Kamu ke sekolah nggak bawa tas ya Hans?" tanya Kak Gladys sambil mengangkat tas ranselku.
Aku tepok jidat sambil turun dari sepeda motor sambil menerima tas dan mengucapkan terima kasih pada Kak Gladys.
"Untung kakak liat. Kalau enggak sampai sekolah kamu pasti marahin Frans lagi. Aku hapal betul tabiatmu Hans."
"Maaf deh Kak. Namanya manusia tidak luput dari kesalahan. Ntar sore aku janji ikut bikin kue sama kalian berdua deh."
"Ditunggu. Awas ya kalau kamu nggak nepati janji. Ujung-ujungnya nanti malas karena main game."
"Janji deh kak. Lagian aku mau kasih kue bikinan sendiri buat Helena."
"Helena? Siapa itu?"
Belum sempat Kak Gladys menyelesaikan perkataannya, aku sudah melajukan kendaraanku. Aku dan Frans tertawa lebar saat melihat Kak Gladys mengomel dari kaca spion.
Description: Hans kesal pada adiknya, Frans karena memenangkan lomba puisi antar kelas di sekolahnya. Padahal Frans selalu baik dan ramah padanya. Akankah sikap Hans pada Frans berubah?
Kiki Misgiarti, IG: @kiki_gia, Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #CintaTanpaBatas 2020.
|
Title: rasanya kecewa
Category: Cerita Pendek
Text:
rasanya kecewa
RASANYA KECEWA
Yogyakarta adalah kota impianku sejak duduk di bangku SMP. kota yang memiliki keindahan tempat wisata ini, juga kerap di juluki sebagai kota pelajar. ada banyak universitas dan lembaga pendidikan di sini. sejak lulus SMA aku tinggal di Yogya, tapi tidak bersama orang tuaku. ayah dan ibu masih di Demak. entah mengapa,mereka mempercayaiku untuk kuliah dan tinggal di Yogya. dan, alasan lain aku kuliah di Yogya adalah, aku ingin menjauh dari DIA. orang yang menghancurkan sebuah kepercayaan. orang yang membuat aku tak lagi percaya teantang komitmen.
Namanya Nur Iqbal Al-ghifary. cowok yang kutemui ketika kegiatan pesantren kilat,sewaktu di Demak. Dan, sejak itu aku mengaguminya, tak pernah berhenti mengingat semburat senyumannya, yang membuatku susah tidur. Tak membutuhkan waktu lama bagi kami untuk saling mengenal satu sama lain.
sampai pada akhirnya kami berjanji untuk membangun sebuah komitmen. barulah perjalanan kisah ini dimulai.
Sebelum aku bertekad untuk ke Yogya, aku pernah mencintai DIA. seorang yang baik,lembut,penuh perhatian. kami saling mencintai dan menyayangi. Namun, ia tak ingin merusak kesucian cinta ini dengan kata "pacaran". maka itu, dia mengajak ku untuk membangun sebuah komitmen. "kita selesaikan pendidikan kita ya,dek. kalau jodoh Allah maha menyatukan", tuturnya kala itu melalui chat whats app. Ya, aku coba mengerti, apalagi aku masih harus memikirkan langkahku setelah SMA. Awal bulan kami membangun komitmen memang terasa indah. kami hanya bertukar kabar melalui chat sosial media. tapi seiring berjalannya waktu,ia mulai melarangku agar tak selalu sering mengiriminya sebuah pesan singkat.
"dek, nanti kalau kamu udah masuk sekolah, ndak usah sering chat mas,ya. mas takut ganggu persiapan UNBK mu.", tulisnya dalam chat whats app. aku hanya bisa menuruti apa yang ia katakan.
Ketika itu liburan Idul Adha tiba. ku kira tak apa kan, bila bertanya tentang kabarnya dengan mengirimi sebuah pesan singkat. Tapi, perkiraanku meleset. pesanku tak di baca olehnya. Menyebalkan.
"ya sudahlah, mungkin mas iqbal sibuk kuliah", gumamku, seraya meletakkan ponsel di nakas.
Bisa kalian simpulkan aku dan mas iqbal sedang menjalin LDR (long distance relationship) tapi, tanpa ikatan pasti. hal yang di anggap horor bagi remaja ysng menjalaninya. dimana mereka harus terpisah jarak dan waktu dengan kasihnya. hanya mengandalkan kuota ataupun sinyal Wi-Fi.
Tanpa aku sadari waktu pun berlalu cepat. meninggalkan rindu yang mungkin belum terobati. entahlah, dengan cara apa aku mengobatinya. aku mulai jenuh dengan rindu yang mendadak bersuara.
"As,ngelamun aja lho....", suara belinda membuyarkan ingatan ku tentang Mas Iqbal yang sudah seperti puzzle. rumit.
"hih... kamu nih ngagetin aja !", balasku jengkel, sambil mencubit lengannya. Belinda terkekeh.
"kenapa? masi menyusun puzzle tentang mamas mu kui?" tanyanya, setengah meledek. aku memalingkan wajah. sebal. "udah to astri... dari pada nyusun puzzle yang ndak lengkap, mending kita jalan-jalan. mumpung liburan lho" sambungnya.
"em... aku paham. ceritane ngajak aku jalan-jalan, sekalian hunting spot selfie toh?" aku menebak apa yang belinda inginkan dari usulan nya itu. ia malah tersenyum, sok manis.
"iya betul banget, paham banget kamu. lagian ini lho instagramku sepi banget. followers ndak nambah", sahutnya mengganti raut wajah prihatin. ingin ku cubit hidung mancungnya itu.
setelah browsing di internet, kami memilih untuk pergi ke Candi Prambanan. Candi yang di bangun oleh Joko Bandung dengan dibantu kumpulan jin ini menjadi tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi. selain bisa spot foto, kita juga bisa mengingat kembali pelajaran SD kan?. bagaimana kisah Joko Bandung memperjuangkan cintanya untuk Roro jonggrang. hingga ia menyanggupi permintaan Roro, untuk membangun 1000 candi dalam waktu semalam. Ya, begitulah inti kisahnya.
Aku sangat menikmati hari ini. hariku bersama Belinda, sahabatku. Kami mengabadikan banyak momen indah di ponsel masing-masing.
"Astri...." panggil belinda dari kejauhan. aku menoleh kearahnya, dan tersenyum.
"Yogya istimewa toh? gak salah kamu tinggal disini", ujarnya
"Huh... iya deh iya aku mengakui keistimewaan Yogya." jawabku, sambil memanyunkan bibir. terdengar gelak tawa belinda memandangku yang sudah seperti bebek manyun.
"sebelum kamu pulang kampung, besok kapan-kapan aku ajakin deh ke merapi park, atau ke MGM ?" tukas belinda mengacungkan jari telunjuknya. aku mengernyitkan dahi.
"hah? MGM apaan itu?" tanyaku. belinda menghampiriku.
"itu lho... museum gunung merapi. kan selain bisa hunting foto, kita juga bisa dapet ilmu pengetahuan As" jelasnya. aku menganggukkan kepala. menurut pengetahuan ku tentang Yogya, di kota pelajar ini juga banyak sekali tempat wisata yang berlatar belakang air maupun ilmu pengetahuan. seperti pantai-pantai di Gunung kidul. pantai baron,kukup, dan masih banyak lagi. seharian ini aku bahagia sekali, bisa menikmati sunset di Candi Prambanan. aku akan mengucapkan banayak terimakasih kepada Belinda, yang sudah mengajakku sejenak melupakan tentang Mas Iqbal.
malam ini Yogyakarta diguyur hujan deras. aku masih belum bisa memejamkan mataku.
berkali-kali aku menatap layar ponselku,yang beberapa bulan ini sepi tak ada dering chat atau telepon darinya.
Huft !
kenapa aku kembali mengingatnya, yang seharian tadi susah payah kulupakan. menghadirkan rindu, di celah-celah hati yang kurasa mulai kosong. aku merasa lain dari pasangan LDR lainnya. yang bisa bertukar kabar, bercengkrama melalui sebuah chat. mengandalkan sambungan sinyal Wi-Fi. kenapa, aku dan Mas Iqbal, gak bisa seperti itu? . "Apa ini ujian dalam mencintai?" pikirku.
sejak ia melarangku untuk terlalu sering menghubunginya, aku sudah tak pernah membuka chat terakhir darinya. itu hanya akan mengorek luka saja. bahkan, sekedar menjadi penonton story nya saja aku sudah senang. memantau kabarnya dari sebuah story. menerawang senyumannya di awang-awang. Ah.. HALU !
singkat cerita
menjadi mahasiswa adalah hal yang menyenangkan. inilah awal-awal aku menuju kedewasaan. meninggalkan masa SMA yang penuh kegalauan. galau, soal rindu yang tak kunjung terobati dan mungkin sampai detik ini pun, masih menjadi candu yang belum ditemukan obatnya. tapi, sedikit demi secuil aku mulai terbiasa dengan keadaan ini.
"Astri..." bentak Belinda, yang memergokiku sedang melamun di koridor kampus.
"Ehm, opo toh bel. lagi baca buku ini lho, buat tes masuk BEM" sahutku, berbohong. belinda terkekeh, menutup mulutnya dengan satu tangan. "kebiasaanmu ki pancen melamun yo? awas wae nek dadi gendheng", ujar belinda lagi. aku hanya memberinya senyuman kecut, lalu pergi meninggalkannya.
Sialnya, kenapa belinda selalu memergoki aku yang sering melamun. Dan, sudah pasti dia akan menyibirku, "ojo mikerke mamasmu terus As, inget pesene nde'e.. rindu boleh asal jangan meniti sedu sayang", begitu katanya yang akan di akhiri dengan gelak tawa. menyebalkan. apa akau ini terlalu bodoh? memikirkan, merindukan sosok yang bahkan tak pernah ku ketahui kabarnya. kadang sempat terbesit tanya di otakku "Apa Mas Iqbal masih sayang aku?". sering aku bergelut dengan hati dan otak yang tak pernah sejalan. Entahlah, aku sendiri bingung dengan komitmen ini.
selesai menjalani tes wawancara masuk BEM (badan eksekutif mahasiswa) Universitas Islam Indonesia, aku dan belinda langsung mencari mushola untuk segera menunaikan sholat Ashar. selepas sholat,aku berdo'a sejenak untuk ayah, ibu dan keluargaku di Demak. aku merindukan mereka.
tiba-tiba ponselku berdering, minta dikeluarkan dari dalam tas kecilku. tertera nama Mbak Arin di layar ponsel. kua angkat telepon dari mbak Arin.
"halo assalamualaikum"
"wa'alaikumsalam. Astri iki mbak Arin"
"iya mbak aku udah hafal suara mu. ada apa mbak?"
"heleh. gayamu"
aku terkekeh, "ada apa mbak tumben nelpon, banyak paketan?" ledekku.
"As, besok mbak mau ke Yogya,nginep di kost mu ya?"
"owalah, iya mbak, siap."
"oke, yaudah dulu ya.".
tut..tut..tut.. Tanpa sempat memberi salam sambungan telepon sudah diputus. dasar mbak arin. dia adalah temanku. lebih tepatnya kakak kelasku sewaktu di SMP. kami dekat dan akrab karena dulu sempat satu asrama, di pesantren. dan, besok ia mau main ke Yogya menikmati keistimewaan kota pelajar ini.
Keesokan harinya
tepat pukul 09.00 WIB mbak Arin tiba di kostan ku yang terletak di Jalan Kaliurang, Sleman, Yogyakarta. baru saja sampai di Yogya, Mbak Arin sudah mengajakku untuk berburu kuliner khas Yogya kesukaannya. Gudeg.
"Pokoknya besok kamu harus ajak aku ke destinasi wisata di Yogya" ujar mba arin, terdengar memaksa. aku terkejut dengan ucapannya. "kok gitu?" tanyaku bingung.
"ya iya toh, salahmu liburan gak pulang ke Demak. aku kan jadi gak ada temen hunting. nah mumpung aku di Yogya, katanya kamu udah kenal banget sama kota pelajar ini. berarti bisa dong ajakin aku jalan-jalan?" jelasnya, menaikan alis nya beberapa kali. gelak tawaku dan belinda menyahut ucapan mbak arin. "iya deh, tak ajak hunting, ke kawah merapi, biar kamu mandi di sana" jawabku, tertawa.
mbak Arin mendelik,"owalah, kurang ajar", ia mengepalkan tangannya. belinda tertawa.
esoknya,aku tak mengingkari janjiku kepada Mbak Arin untuk mengajaknya berkeliling Yogya.
seharian ini kami mengunjungi beberapa tempat. seperti Merapi Park,Kaliurang,dan Goa Jepang. raut wajah bahagia dua gadis yang bersamaku saat ini, sangat bisa membuat aku lupa tentang rindu yang mengusik ku bberapa waktu lalu.
malam harinya, kami melepas lelah seharian di kasur lantai yang ada di kamar kost ku. belinda sudah terlelap setelah sholat isya. mba arin masih berkutat dengan ponselnya yang tak berhenti berdering. Aku, masih memandangi layar laptopku, menonton drama korea kesukaan ku. sesaat mbak arin menoleh kearahku. "mulakno kok diem wae. jebul nonton drama korea. dari dulu kok drakor terus Astri.. Astri" ujar mbak Arin,menyadari aku menonton drama korea.
"hem... bagus tauk mbak, melow sedih galau... unyu-unyu" balasku ,agak lebay. mabakarin terkekeh. lalu, kembali terfokus pada ponselnya.
"As, denger-denger kamu deket sama cah Demak ya?" pertanyaan mbak arin membuat aku gagal fokus ke laptop. ku dekatkan wajahku ke arahnya.
"mas iqbal" sahutku. Mbak Arin mengangguk.
"kamu kenal?" tanyaku, denagn tatap penuh tanda tanya.
"ya kenal lah, dia temen kampus, cuma beda jurusan. dia kakak kelasku satu semester sih. oh iya, dia juga pernah deket sama temen kost ku, namanya Viska,nih orangnya. hayo lho...." jelas mbak arin.sambil menunjukan foto Viska, membuat mataku perih,ternyata belum cukup soal rindu, kini ditambah berita kedekatan Mas Iqbal dengan wanita bernama Viska itu. Kecewa.
"udah udah jangan di bawa pusing" ujar mba arin. aku hanya diam dan kembali menatap layar laptopku. sesaat keadaan menjadi hening. aku masih menerawang senyum Mas Iqbal saat pertama bertemu aku, dan terselip bayangan wanita yang bernama Viska. kuakui dia juga cantik, jauh dari aku.
tiba-tiba mbak arin memekik heboh. "astri... ini kan mamasmu?" ujarnya,sambil memperlihatkan ponselnya. Ya, benar. itu adalah foto lelaki yang sudah membangun komitmen denganku. lelaki yang kurindukan beberapa akhir ini. tapi, siapa wanita berkerudung pink di sebelahnya? pacarnya? temankah? kenapa dia gak pernah cerita,padahal waktu dia boncengan sama cewek aja dia ijin aku? kenapa dengan Mas Iqbal-ku? . jutaan tanya itu mengelilingi kepalaku yang mulai pusing. pelupuk mataku terasa berat menahan gumpalan air mata. "aku gak boleh nangis" bathinku. mbak Arin menarikponselnya dari hadapanku. "uwes astri, jangan nangis. temene kalik. positif thinking wae cah ayu" ujar mbak arin yang berusaha menenangkan, meski air mataku belum benar-benar tumpah.
setelah mbakarin terlelap aku menenggelamkan wajah dibalik selimut, menangis hebat meluapkan kekecewaan dan kekesalanku, "apa itu alasan kenapa aku gak boleh menghubunginya?" bathinku,menerka-nerka sendiri atas apa yang telah kulihat. aku mulai lelah,mataku sudah berat untuk melek, sebelum tidur, aku sangat berharap kala aku terbangun esok, bahwa ini hanya mimpi buruk. aku pun terlelap, bersama harapan harapanku.
beberapa hari setelah kepulangan mbak arin ke demak, aku berusaha menghubungi mas iqbal. berharap dia sudi membaca lalu membalasnya. aku menanyakan perihal foto itu. yang merobohkan kepercayaanku atas sebuah komitmen.
"iya pernah foto sama cewek,di kota lama. lagipula cuma temen OSPEK dulu, minta foto bareng. kan gak enak kalo nolak." begitu jawabannya melalui chat whats app. seketika air hangat itu turun melintasi pipi. membasahi kerudung merah yang kukenakan.
otakku seolah berhenti berpikir,tak menerima apa yang ia lontarkan tersebut. jantungku berhenti bekerja sepersekian detik. sesak, itu yang kurasakan. mengingat awal mula aku mencintainya dalam bait puisi yang ia kirimkan kepadaku.
Sebab,jika terlanjur tumbuh
musim kemaraupun tetap bersemi
Sebab, jika terlanjur berlabuh
Badai kabutpun, tetap merebah luluh
seberapa jauh aku melangkah
sediakah kau menjadi rumah (?)
untukku
~akumencintaimu~
puisi yang selalu kuingat, yang membuat aku bertahan dengan komitmen sampai detik ini meski dikecewakan. aku kau dan jarak yang tertulis dalam bait rumit sebuah puisi.
"Oh Ya Rabb... inikah rasanya kecewa?" bathinku. menangis.
Description: suatu hal yang membuat aku berhenti mempercayai sebuah komitmen.komitmen yang ku bangun bersama lelaki sholeh yang ku kagumi sejak pesantren kilat. entah kenapa saat melihat foto itu yang terlintas di otak ku hanya tulisan enggak percaya meski hatiku terus berkata kecewa. aku sendiri bingung dengan hati dan otak yang tak pernah sejalan. berkali aku memahami kesalahan apa yang membuat aku seperti ini? hingga aku merasakan hancurnya sebuah kepercayan. inikah rasanya kecewa?
|
Title: Rahendra Deantara
Category: Fan Fiction
Text:
01
Rahendra Deantara, tentu saja kalian mengenalnya. Berbuat semaunya, dan selalu mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Kembalikan gadis itu kepada ku"
Rahendra mencekik leher pria yang tengah berada dihadapannya ini. Dalam pikirannya, pria ini sangat salah menargetkan seseorang.
Masih tidak ada jawaban keluar dari pria ini.
"Dimana gadis itu hah!"
Rahendra menyentakkan tubuh pria ini ke dinding.
"Katakan pada ku, atau--"
"Di--a bera--daa di--i gudang A1"
Gudang A1, bukankah itu gudang tempat penyimpanan senjata milik kakeknya. Rahendra melepaskan cekikkan pada pria itu.
"Brengsek!"
Rahendra berlari kearah gedung A1 untuk mengambil gadis itu. Rahendra melihat ada asap mengepul dari arah gedung A1.
"Aku akan membunuh mu"
-------
Hii akuu penulis baru di storial inii, aku senang dapat menulis disini hehe.
Kaloo banyak yg suka, nanti bisa aku next lagii.
Salaam yaa
08/07/20
Description: "Apakah kau memang tidak pernah didik untuk berperilaku sopan hah!"
"Apakah kau sudah puas memberi petuah basi itu Pak Tua"
Pria dewasa itu memutar bola matanya malas, tidak minat sedikitpun melihat lelaki tua yang disebutnya Pak Tua tersebut.
"KAU BENAR-BENAR!"
Lelaki tua tersebut bangkit dari kursinya, ia hendak melayangkan tamparan kepada cucunya ini, Kurang ajar sekali!.
Ya pria dewasa tersebut adalah cucu dari Hernawan Deantara, orang terkenal nomor satu akan kekayaan di Indonesia. Harta yang tidak akan habis tujuh turunan, dia ingin meminta hal sedikit kepada cucunya ini.
Hal sedikit, tapi tidak akan bisa disanggupi oleh Rahendra Deantara.
"DASAR CUCU PEMBANGKANG!"
|
Title: Reinkarnasi Melankoli
Category: Puisi
Text:
Kelam
Mengapa semudah itu?
Satu atau tidak sampai
Berputar sedemikian ubah
Terpikat dengan mudah
Ha,
Semudah itu.
Kilas balik baru sadar lika-liku revolusi wanita yang kemudian sesak sesaat.
Bagai memetik bunga lalu kau dekap ia seperti permata satu-satunya.
Kemudian tidak lagi kau simpan karena kering dan susut, berakhir bersama tumpuk sampah karena bagimu sudah sirna.
Ah, baru ingat.
Bunga yang kau petik tak sejatinya hidup tanpa air.
Mengapa tidak kau beri air?
Hatimu tidak sepenuh itu untuk menuangkannya. Tidak setulus itu.
Temu Kali Pertama
Aku semu dan restriksi pada dunia
Dipertemukan dua dimensi
kamu tanpa eksistensi
Menggelitik ruang raga dari sebagian sunyi
Temu kali pertama, guyonan ambigu jua kamu tak terima
Lalu alunan itu sebagai realis kamu dari anomali
Oh, sial
Aku jatuh adanya.
Description: Kumpulan cerita yang hidup kembali
|
Title: REY-NA
Category: Novel
Text:
Prolog
Reyna queenari atau kerap dipanggil “reyna dan queena “ itu adalah gadis berumur 16tahun. Reyna merupakan murit pindahan dari sekolah nya dulu yaitu SMA di amerika serikat, dikarenakan sang orang tua yang ingin kembali ke tanah airnya yaitu indonesia. Saat sudah di indonesia, reyna memutuskan untuk melanjutkan sekolah nya di SMA mandala, SMA yang terkenal di jakarta. Selain terkenal karena pavorit , SMA mandala juga terkenal karena sekolah pentolan bagi geng revlaz.
>>>>>>>
Hari ini adalah hari pertama untuk reyna di sekolah barunya, reyna sedang berjalan di kolidor sekolah sambil mencari-cari dimana letak ruang kepala kesolah. Disepanjangan jalan kolidor itu, reyna di sambut dengan tatapan kekaguman dari teman-teman barunya itu karena kecantika yang sempurna, rambut panjang sepingga, body bagus seperti model, memiliki bola mata berwarna coklat, ditambah kaki jenjangnya yang menambah kesempurnaan dalam dirinya.
“ gila cantik banget tu cewek”
“yaampun cantik tapi murah senyum banget ya”
“ wah most wanted bakalan nambah lagi ni di sekolah”
“ calon bini gw banget tuh”
“ cantik jadi pacar gw aja yuk”
Dan masih banyak lagi ucapan – ucapan teman baru reyna saat melihat nya. Sebenarna hal itu sudah biasa baginya, karena di sekolahnya dulu ia disebut ratu dari most wanted.
Karena lelah mencari-cari letak ruang kepala sekolah yang entah di mana letak nya, akhirnya reyna memutuskan untuk bertanya kepada seorang wanita cantik yang berjalan dari lawan arah.
“hai , emm maaf bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya reyna kepada wanita cantik itu yang sama-sama murid di sekolahnya.
“ oh haii juga,, tentu saja kamu boleh bertanya jadi silahkan kamu mau bertanya apa?” kata wanita cantik itu kepada reyna
“aku anak baru di sekolh ini, dan aku sedang mencari ruang kepala sekolah, bisakah kamu tunjukin dimana ruangan kepala sekolah?” tanya reyna
“ oh kamu anak baru ya,, sykurlah kita ketemu di sini, aku di tugaskan oleh kepala sekolah untuk menjemput kamu, emm kalau gitu ayo kita ke ruangan kepala sekolah aja” ucap wanita itu kepada reyna
“terimakasih yaaa, yaudah ayo kita ke ruangan kepala sekolah, soalnya udah dekat jam masuk” ajak reyna sambil memegang tangan wanita itu.
“ yaudah ayo. Oiya belum kenalan kita, kenalin namaku silvi sherlya panggil aja silvi” ucap silvi memperkenalkan diri kepada reyna saat berjalan menuju ruaang kepala sekolah.
“ hehehe kamu bener kita belum kenalan, emm kalau nama ku reyna queeneri, panggilannya reyna atau queena dan gakk boleh yang lain” sambung reyna memperkenalkan diri kepada silvi.
>>>>
“ ini dia ruangan nya” ucap silvi saat berada di depan ruangan yang bertuliskan ruang kepala sekolah di bagian atas pintu..
Tok tok tok
“masuk” sahut seseorang dari dalam ruangan tersebut
“permisi pak, saya silvi dan ini reyna anak murit baru yang tadi bapak bilang”jelas silvi kepada kepala sekolah
“ oh kamu reyna queeneri ya, hemm selamat datang ya dan semoga kamu betah di sini, dan oiya silvi kamu mau tidak bantu bapak untuk mengantarkan nak reyna ke kelas nya yang kebetulan dia sekelas dengan kamu yaitu kelas 11 IPA 2” ucap pak kepala sekolah kepada kedua muritnya itu
“ oh tentu saja boleh pak, dengan senang hati” jawab silvi bersemangat
“ yasudah kalian boleh langsung ke kelas kalian, soalnya beberapa menit lalu sudah bel masuk berbunyi” ujar pak kepala sekolah
“ baik pak kalau begitu kami permisi, mari pak” pamit sivli dan di balas anggukan oleh bapak kepala sekolah.
“ syukurlah kamu satu kelas dengan ku, nanti akan ku kenalkan kamu sama sahabat ku yang lain, oiya boleh ga aku bicara sama kamu pake bahasa “lo-gue” soalnya aku agak berbeda kalau berbicara dengan aku –kamu” jelas silvi pada reyna sambil menggaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal
“ terserah kamu aja silvi, bebas kok “ ucap ku dan di balas senyuman manisnya.
“ yaudah ayo kita cepat , pasti udah ga sabar mau ketemu sahabat-sahabat gue kan” ajak silvi
“ ayo aku memang udah ga sabar” jawab reyna sambil menarik tangan silvi dan berlari kecil ,menelusuri lorong dan menaiki tangga, memang kelas reyna berada di lantai dua dan kantor kepala sekolah berasa di lantai dasar.
DI depan kelas 11 IPA 2
tok tok tok
“permisi bu suri”ucap silvi sopan setelah mengetuk pintu
“ loh silvi kamu kemana aja, kok baru dateng?” tanya bu suri kepada silvi
“ oh tadi saya disuruh kepala sekolah buat cari anak murit baru bu,dan kebetulan dia masuk kelas kita,ini bu anaknya dan reyna namanya” jelas silvi kepada bu suri sambil menunjuk ke pada reyna
“ hem kamu ya anak barunya, yaudah ayo masuk , untuk silvi langsung ke tempat duduk ya, dan kamu nak reyna perkenalkan dirikamu dulu” jelas bu suri kepada kmi berdua
“ iya bu, kalau begitu saya duduk dulu” ucap silvi dan di balas anggukan kepala oleh bu suri
“ emmm hello hai semua, kenalin nama ku reyna queenari, aku pindahan dari AS dan semoga kita bisa menjadi teman baik yaa” ucap reyna memperkenalkan diri kepada teman kelasnya
“yasudah reyna silahkan duduk ya, duduk di sebelah bella bianca, dan bella angkat tangan kamu “ ucap bu suri
Setelah tau dimana letak bangku bella, reyna pun langsung menuju ke sana
“hay kenalin nama gue bella bianca, panggil aja bella, dan itu di depan namanya kyle maharani, dan di sebelah kyle ada sonia helga,dan yang tadi dateng bareng lo itu namanya silvi.” Jelas bella memperkenalkan sahabatnya kepada reyna
“ emm hallo semua, semoga kita bisa berteman dekat ya,” ucap reyna kepada ke empat teman barunya.
“ ga hanya temen rey tapi juga sahabat, mau kan jadi sahabat kami” ucap kyle dengan senyuman manis di wajahnya.
“ aku mau bangt, terimakasih ya” kata reyna bahagia
“ dalam persahabatn ga ada ucapan terimakasih atau pun maaf rey, dan selamat datng new my best friend.” Sahut sonia sambil menatap wajah reyna
“ emm gaes lanjut nanti mending denger tu bu suri jelasin, dari pada kita kena hukum karena sibuk sendiri” ucap silvi dan di jawab anggukan kepala oleh teman-temannya.
>>>>
Jam pelajaran sudah berlalu dan di ganti jam istirahat, seluruh siswa SMA mandala berbondong-bondong keluar kelas menuju kantin , perpustakaan, dan taman. Sama seperti ke lima siswi cantik itu
“kantin kuy” ajak sonia kepada keempat sahabatnya
“iya nih sekalian kenalin sekolah kita ke reyna, pasti reyna pengen tau banyak tentang sekolah kita” ucap bella menimpali ucapan sonia
“ hem bener banget kuy lah rey ke kantin, laper juga gue” ucap silvi sambil mengusap –usap perut nya.
“ yaudah ayo deh kekantin, “ putus reyna dan langsung digandeng oleh silvi di kirinya dan sonia di kanan nya.
“ck aku seperti lansia yang tak bisa menyebrang jalan” ucap reyna dan di jawab kekehan oleh keempat sahabatnya
Aku memang awam tentang cinta, tapi.Akan ku usahakan untuk selalu mencintai mu Dengan tulus Reyna queener
chaper 1
Disepanjang perjalanan menuju kantin ,banyak sekali pujian -pujian untuk kelima wanita yang menjadi most wanted girl itu.
" Oh, my God bidadari turun"
"Aduh mami anak mu mau satu dari mereka"
"Wah calin bini gue tuh"
"Ehh anak baru itu cantik banget sih"
Dan masih banyak lagi pujian-pujian yang di lontarkab oleh siswa di sepanjang koridor.
❤️ Saat tiba di kantin , reyna dan teman-teman nya melihat kekanan dan kekiri untuk mencari bangku kosong.
"Ck, ni kantin kok udah rame aja" sewot kyle sambil menoleh kesegala arah.
"Itu kayaknya ada di ujung sana" ucao reyna sambil menunjuk ke arah pojok kantin.
"Wah iya tuh.yaudag kalian duduk duluan,biar gue sama kyle yang peseb makanan, lu pada pesen apa?"ucap sonia
"Gue bakso dan es cappucino "sahut bella
"Kalok gue samaian aja sama bella "ucap silvi
"Klk lu mau pesan apa rey?"tanya sonia kepada reyna
"Kalau aku bakso sama air putih aja nia"jawab reyna disertai senyumannya.
"Ok , yaudah sono duduk duluan, nanti itu bangku kebiru keserobot orang lain"seru kyle dan langsung di tiruti sahabatnya.
Setelah memesan makanan kepada sonia dan kyle,reyna,bella,dam silvi langsung duduk di bangku yang mereka pilih.dan setelah beberapa menit menunggu akhirnya pesanan pun datang.
"Yuhu my girl pesanan datang"ucap kyle dengan girang.
"Yey thanks babe"sahut bella dan di jawab anggukan oleh sonia dan kyle.ditengah menikmati makanannya tiba-tiba kantin yang tenang berubah menjadi riuh dengan teriakan histeris siswi.
"Laki gue"
"Oh tuhan kak agatha ganteng banget"
"Aduh ka mauval manis banget sih"
" Ih biarpun kak andre sama kak andri dingin tapi tetap aja tampan"
Kak tiyo aku padamu,rela deh kalau ga sepenting game kamu kak"
Yah begitu lah yang siswi itu teriakkan saat kelima
" itu ada apaan sih?" tanya reyna kepada keempat sahabatnya
" itu pangeran rey"jawab bella sambil memekik kegirangan
" itu anggota inti dari geng revlaz" jawab silvi
"di geng inti itu ada ketuanya yaitu si rey agatha wiguna atau di panggil kak gatha" ucap kyle menimpali ucapan kedua sahabatnya
" kamu tau kan rey siapa itu geng revlaz?" tannya sonia
" geng yang terkenal itu kan" jawab reyna dan di balas anggukan oleh sahabat-sahabtanya
" jangan deket-deket mereka rey, mereka itu berbahaya" ucap sonia serius
" tapi mereka tampan kan rey " tanya bella sambil tersenyum ke arah kelima cowok ganteng itu.
"ganteng tapi bedboy buat apa, suka buat onar" ketus sonia
"lu tu kenapa sih nia, kagak suka sma mereka" tanya bella
" pokoknya jangan terlibat sama mereka ok" ucap sonia terdengar memohon
Disaat reyna menatap kelima laki-laki itu tidak sengaja tatapan matanya bertabrakan dengan tatapan tajam dari agatha . dikarena kan takut reyna langsung memutuskan tatapannya.
"memang gak salah kalau mereka di bilang pangeran , karena memang kenyataannya mereka tampan" ucap reyna dalam hati
>>>>>>>>>
Setelah keluar dari kelas kelima laki-laki yang mendapatan julukan most wanted dan bedboy itu memutuskan untuk menuju ke kantin sekolah, disepanjangan kolidor banyak sekali tatapan memuja dari siswi yang melihat mereka lewat
"yatuhan ganteng bangt"
" lengap ya most wanted girl udah ada lima dan most wanted boy juga"
" iya katanta anak kela 11 si anak baru cantik banget kaya berbie"
" iya cocok sih kalau sama kak gatha"
"hai gaes denger ga kata mereka ada anak baru di kelas 11"ucap nauval kepada sahabat-sahabatnya
" iya sih katanya kecantikan silvi,sonia,bella,dan kyle masih kalah sama kecantikan si anak baru itu" ucap tiyo sambil memainkan gamenya
"duh jadi pengen liat deh gue" ucap nauval dan di jawab tatapan malas oleh sahabatnya kecuali rey agatha dengan tatapan datarnya.
Sesampai nya di kantin teriakan histeris makin menjadi-jadi
" ok pesona gue ga ada duanya" ucap nauval dengan pedenya
" lo mah kepedean taii, noh si gatha masih mana-mana tampannya dari lu" ketus andri
"lu tu iri sama gue ndiri makanya kagak mengakui ketampanan gue" jawab santai nauval dan di hadiahi tonyoran oleh andri
"sorry gue iri sama lu, masih tampanan gue dari lu nyet" sewot andri
" ni ya kalau lu lebih ganteng dari gue ngapa lu kagak ada cewek , masih jomblo aja?" tanya nauval dengan nada mengejek
Plakkkk
"eh lu kdrt lu" sewot nauval sambil mengusap-usap kepala nya yang di tabok oleh andri
"kdrt pala lu ogeb" ucap acuh andri
"udah deh pesen sana val" ucap andre
"ck noh si tiyo aja, dari tadi game mulu"ucap nauval
"pesen"ucap agatha dingin , dan membuat sahabt nya diam
"gue ogah, gantian dong gat, masa gue mulu si tiyo noh sekali-kali" sewot nauval
"ck iye-iye nih gue pesen, lu pada pesen apa?" tanya tiyo
"samain aja sama lu yo" jawab gatha dan di jawab anggukan
"ok-ok, tunggu ye" ucap tiyo sambil berlalu pergi memesan makanan.
Tidak butuh waktu lama menunggu , akhirnya tiyo datang dengan membawa pesanan dan di bantu oleh pak tejo pemilik kantin itu.
"pesanan datenggg" ucap tiyo saat berada di depan meja kantin mereka
" terimakasih ya pak tejo udah bantu tiyo" sambung tiyo berterimakasih ke pada pak tejo
" iya nak tiyo sama-sama, silahkan di nikmati makananya kalau gitu bapak ke sana dulu ya"ucap pak tejo sambil menunjuk ke arah yang di maksut oleh pak tejo
" iya pak" ucap mereka berlima serempak
Saat sedang asik memakan makanan mereka, tiba-tiba ada hal yang menarik perhatian mereka karena mendengar ucapan dari mauval
" eh gaes lu pada coba liat ke tempat bella dkk" ucap mauval kepada teman-temannya
" kenapa val?" tanya andre kepada mauval
" itu lo siapa sih , anak baru yang di bicarakan anak satu sekolah kita bukan sih?" tanya mauval tanpa mengalihkan pandangannya dari tenpat duduk bella dkk.
Tiba-tiba saja reyna mengalihkan pandangannya pada ke lima cowok ganteng itu, dan membuat ke empat cogan meleleh karena kecantikannya.
"gila cantik banget njirr" ucap mauval
"iya bro baru ini gue liat yang begitu cantik cute itu"sabung tiyo
" bener berarti kata yang lain kalau dia lebih cantik dari ke empat sahabat barunya"ucap andre dan di angguki ke tiga sahabatnya
" rey lu kok diem aja?" tanya andri yang sedari tadi melihat reyv yang hanya diam sambil fokus melihat ke arah reyna.
" ck bos kita terpesokna" sahut tiyo
" enggak juga" jawab rey dingin dan mengalihkan pandangannya dari reyna dan fokus pada handphone dan makanannya.
"gue mau ke sana" ucap mauval langsung beranjak pergi tanpa menunggu jawaban dari sahabat-sahabatnya.
"ekhem... hey semua" sapa mauval kepada kelima bidadari cantik itu
" ehh ada kak mauval, ada apa kak?" tanya kyle dengan girang, ya karena kyle memang jatuh hati paada mauval
"hehe gapapa cuman mau kenalalan aja sama sahabat baru kalian" jawab mauval sambil senyum kearah kyle
chapter 2
"boleh ga aku meencintai mu ,, yah walaupun secara diam-diam tapi sudah membuat ku bahagia"
"Reyna queeneri"
Holla ....
Hai semua yuk mampir ke novel ciptaan ku sendiri .
aku harap kalian menyukai cerita ku ini.
Dan jangan lupa vote /comment nyaa karena itu sangat ku butuhkan untuk kelanjutan novel ku.
Maaf jika banyak typo bertebaran di mana-mana
Selamat membaca ?
.
.
.
.
"hehe gapapa cuman mau kenalalan aja sama sahabat baru kalian" jawab mauval sambil senyum kearah kyle dan menoel dagu kyle
" ih kak mauval" ucap kyle tersipu malu.
"eh nama lu siapa?" tanya mauval kepada reyna sambil mengulurkan tangannya.
" nama saya reyna kak"jawab reyna sambil membalas uluran tangan mauval.
"oh hai reyna, nama gue mauval dan seneng bisa berkenalan sama lu" ucap mauval lagi
"hem seneng juga bisa berkenalan dengan kakak" jawab reyna di sertai senyumannya.
" yaudah gue balik ke sana dulu ya" pamit mauval sambil menunjuk bangku yang di tempati oleh ke empat sahabatnya.
"dah kak mauval"ucap kyle dan hanya di jawab senyuman oleh mauval
Setelah dari tempat reyna dkk, mauval kembali kepada tempat sahabtnya dengan kegirangan.
"astaga sumpah cantik bangettttt kalau dari deket"ucap heboh mauval
" lu tu kagak ada malunya ya val" ucap andre sambil menggeleng kepala karena sifat sahabt nya itu.
" eh lu pada emang kagak penasaran sama tu nama cwek?" tanya mauval sewot
" emang siapa namanya val?"tanya andri yang menimpali ucapat sahabtanya
" kepo juga kan lu pada"ejek mauval kepada keempat sahabtanya
" kepo si kagak , cuman pengen tau aja namanya" sahut tiyo yang sedari tadi fokus memainkan gamenya
Pletak....
"Auh lu ya val kok malah nyentil jidat gue,, ngajak kelai lu" ucap tiyo kesal sambil mengelus dahinya yang di sentil keras oleh mauval
" abisnya lu pada kepo tapi kagak mau ngaku ngeles aje" jawab mauval sewot
"siapa?" tanya agatha tiba-tiba
"siapa apannya gat?" tanya tiyo kebingungan
"irit amat dah bos, lu tanya siapa apanya?" tanya mauval menipali pertanyaan tiyo
"namanya" ucap agatha lagi
"ASTAGA!!!!!" ucap serempak keempatnya , sambil menepuk jidat masing-masing.
"yatuhan susah ya kalau punya bos yang irit minta ampun " ejek mauval dan di tatap tajam oleh agatha tapi tidak membuat mauval takut karena mereka semua adalah teman sedari kecil.
"udah lah val, jangan buat rey bedmood" ucap andre kepada mauval, dan memang andre sendiri lah yang memanggil rey dengan panggilan nama depannya yaitu rey.
" yayaya namanya reyna, nama percis sama nama lu gat"jawab mauval
"hem" jawab agatha saat sudah di beritahu nama seseorang yang mejadi topik utama sahabatnya itu.
Jam istirahat pun habis, semua siswa kembali masuk ke kelas masing-masing untuk melanjutkan pelajarannya, sama halnya dengan lima cewek cantik itu .
>>>>>>>>
Akhirnya yang di tunggu-tunggu oleh seluruh penghuni sekolah yaitu berakhirnya jam belajar, semua penghuni itu berhamburan keluar dan menuju rumah masing-masing sama seperti reyna dan sahabat-sahabatnya yang sudah menunggu jemputan di depan sekolah. tapi tidak untuk reyna ia hanya menemani sahabat-sahabatnya itu menunggu jemputan
" pulang sama siapa rey?" tanya silvi kepada reyna
"naik angkot aja nih sil heheh" jawab reyna disertai cengiran kudanya
"bareng gue aja rey pulangnya" ajak silvi tapi di jawab gelengan kepala oleh reyna
" kenapa rey kok gak mau?" tanya sonia
" gak kenapa-napa, pengen aja naik angkot hehe" jawab reyna disertai kekehan kecilnya
"ehh gaess gue pulang duluan, noh jemputan udah dateng, bye semua pulang hati-hati yaaa" pamit kyle kepada sahabatnya dan di jawab lambaian tangan dari keempat sahabtnya.
"hati-hati lu nyetttt" teriak sonia saat kyle melangkan menuju jemputannya berada.
Tidak lama mobil kyla pergi, datang lah ketiga mobil jemputan untuk ke tiga sahabat reyna, dan berhenti tepat di depan ke empat cewek cantik itu
"ah udah dateng jemputan gue., yaudah gue balik ya, dan lu rey serius kagak mau ikut gue aja, atau lu mau sama bella atau silvi?" ucap sonia kepada reyna
" hem gapapa aku pake angkot aja, kalian pulang nya hati-hati ya"sahut reyna kepada ketiga sahabatnya
"Hem yaudah kami balik ya, lu hati-hati di jalan kalau ada apa-apa kabarii kami ok" ucap bella yang sedari tadi hanya menyimak percakapan sahabt-sahabatnya.
" siap cantik, yaudah sana pulang hussss" usir reyna sambil tersenyum kepada sahabatnya
" yayaa jangan ngusir kek gitu, udah kaya ayam aja kitanya,, yaudah bye reyna see you tomorrow" pamit silvi dan langsung berlalu pergi meninggalkan reyna dn di susul oleh sonia dan bella.
Kini tinggal lah reyna sendiri di sekolah itu, sepi itu lah kata yang cocok untuk sekolahnya itu , ya mungkin hanya ada beberapa yang masih di skolah seperti anak-anak ekskul.
Reyna memutuskan berjalan di trotoar jalan menuju halte bus, sambil memainkan handphone nya , ketika sampai halte reyna duduk dan menunggu angkot datang.
Tidak butuh waktu lama , akhrinya angkot yang di tunggu pun datang, dan reyna langsug menaiki angkot tersebut, dalam waktu dua puluh lima menit reyna turun dari angkor yang berhenti di dekat jalan perumahan yng menuju kerumahnya.
Ding dong.....
Cklek...
"sore bi " sapa reyna saat pintu rumah dibuka dan terdapat bi ina yang membukakan pintunya.
" eh si enon, sore juga gmana sekolah barunya non?" tanya bi ina kepada reyna
" seru banget bi , reyna dapat banyak temen bi dan daper sahabat cantik-cantik bangettt" jelas reyna kepada bi ina.
" syukur kalau gitu non, yasudah non queen langsung mandi habis itu makan ya non" ucap bi ina kepada reyna
" iya bi, oiya mommy dan dady kemana bi?, belom pulang ya dari kantor?" tanya reyna
" em itu non nyonya sama tuan lagi pergi ke new york, ada anak perusahaan yang lagi bermasalah katanya non" jelas bi ina kepada reyna
"hem mereka sibuk ya,, yaudah deh bi reyna ke atas dulu" pamit reyna sambil tersenyum singkat.
"kasian banget sama non queen, pasti kesepian semoga tuan dan nyonya cepet sadar bahwa buah hati mereka satu-satunya sangat membutuhkan mereka." Ucap bi ina dalam hati sambil melihat punggung reyna yang menghilang di balik pintu kamar.
>>>>>>>
Dikamar reyna memutuskan untuk berbaring terlebih dahulu di kasur nya yang queen size itu. Dan tiba-tiba handpohenya bergetar menandakan ada telfon masuk.
Drtttt......drtttt....drt......
Hallo...
" sudah pulang nak ?"tanya seseorang di sebrang sana
" hem " jawab reyna dengan deheman
" sudah makan?" tanya seseorang itu lagi
"belum" jawab reyna singkat
"jangan lupa makan ya, dan mommy sama dady lagi di new yew york. Maaf ya kami gak pamit langsung sama kamu, soalnya anak canbang kantor dady lagi bermasalah " jelas mommy reyna, ya yang menelfon itu adalah mommy nya.
"iya mom gapapa" ucap reyna
Gak lama kok sayang mungkin seminggu mommy sama dady di sini, kamu jaga kesehatan ya" ujar mommy
" iya mom, emm udah dulu ya reyna mau mandi dulu baru pulang soalnya" pamit reyna kepada mommy nya.
" iya sayang dah see you sweeti" ucap mommy dan langsung di matikan sepihak oleh reyna.
"hufff.... ditinggal muluk " ucap reyna lirih
Setelah mandi dan dan berpakaian , reyna kangsung turun menuju ruang makan,
"sudah mandi non? " tanya bi ina
"sudah bi, ayo bi makan dulu"ajak reyna kepada bi ina
" gak non, bibi udah makan barusan" tolak bi ina lembut ke pada reyna.
" hem yaudah deh queen makan dulu ya" ucap reyna, dan memang jika di rumah reyna sering di panggil queen.
Setelah menghabis kan makanannya , reyna menuju ke kamar nya lagi dan langsung tertidur .
chapter 3
"Kata orang tak kenal maka tak sayang
Mari kita kenalan sapa tau dari kenalan akan menumbuhkan perasaan"**Reyna queeneri**
Holla ....
Hai semua yuk mampir ke novel ciptaan ku sendiri .
aku harap kalian menyukai cerita ku ini.
Dan jangan lupa vote /comment nyaa karena itu sangat ku butuhkan untuk kelanjutan novel ku.
Maaf jika banyak typo bertebaran di mana-mana
Selamat membaca ?
.
.
.
.
.
.
Seminggu sudah reyna menjadi murit baru di SMA Mandala , dan selama seminggu rayna tidak pernah mendapat kesulitan. tetapi mungkin mulai hari ini reyna akan selalu berurusan dengan ketua geng terkenal di sekolah nya itu .
"Brukkk"
Akh...,aduh pantat ku sakit banget , gila serasa nabrak tembok
"ekhem.." deheman seseorang dan langsung membuat reyna tersadar dari dunianya sendiri.
"Lu jalan sambil merem atau memang buta?"ucap suara berat khas laki-laki dan tentunya sangat menyinggung hati.
Reyna memberanikah diri untuk mendongakkan kepalanya supaya bisa melihat orang di depannya itu,tetapi saat mata tajam itu bertabrakan dengan mata reyna seketika membuat tubuh reyna menegang.
"Ma-af kak " hanya itu yabg dapat lolos dari mulut reyna disaat takut dan gugup
Tak tak tak
Agatha maju dan mengikis jarak antara mereka berdua,lalu berjongkok dan membisikkan sesuatu ke reyna
"Gue gak terima maaf,bagi gue mereka yang dapat masalah dengan gue secara sengaja atau tidak sengaja gue ga perduli,dan welcome to my world,a world full of misery"bisik agat a di sertai seringai iblisnya.
Setelah membisikkan kalimat yang membuat reyna pucat pasi, agatha langsung pergi begitu saja tanpa membantu reyna yang masih bengong dalam keadaan terduduk.
"Rey lu ngapain duduk di sini"tegur bella kepada reyna.
"Ah g-gapapa kok hehe"
"Yaudah yuks kekelas, nanti dimarah bu rara karena kita lama ke toilet nya"ajak bella sambil menarik tangan reyna.
Memang bella sedang berada di toilet , tetapi tidak dengan reyna yang hanya menunggu di lorong antara toilet pria dan wanita , dan disaat asik mondar-mandir tanpa melihat kearah depan , reyna sampai menabrak kakak kelasnya yang menyeramkan itu.
Disisi lain agatha sedang berada di rooftop tanpa kembali ke kelasnya setelah dari toilet.
Kini ia sedang duduk di kursi kayu usang yang memang di sediakan oleh nya dan sahabat-sahabatnya dengan alasan jika membolos ya ke rooftop aja.
"Gemes lihat muka ketakutannya"ucap agatha pelan bahkan sangat pelan di sertai senyuman manis nya yang jarang orang lain melihatnya kecuali keluarga nya.
Drtt drttt drtt
Saat merasakan bahwa handphone nya bergetar ,agatha langsung membuka dan melihat siapa yang mengirim pesan padanya.
Andre massage ? :dimana lu?
You? : rooftop
Andre massage ? :wah kagak ngajak-ngajak lu bolosnya
You ?:. Gak lu pada belajar yang bener , gausah ngikutin gue bolos.
Andre massage ? nanti istrahat gue sama yang lain ke sana
You?: ga usah langsung kekantin aja, nanti gue nyusul kesana
Andre massage ?: oke
Read
Setelah melihat pesan terakhir dari andre tanpa membalasnya.agatha memutuskan untuk menidurkan dirinya sampai istrahat tiba.
Teng ....teng..... teng ....
Bel istirahat berbunyi,semua murit berbondong - bondong menuju kantin untuk mengisi perut yang kosong,dan ada juga yang memilih dikelas sekedar membaca novel kesukaan mereka atau membuat keributan yang unfaedah.
"Kemana ky?" Tanya sonia saat melihat kyle yang berdiri dari bangku nya
"Kantin,gue laper"jawab kyle sambil mengusap-usap perut nya
"Yok lah kekantin" ajak silvi semangat
"Rey, lu kenapa?" Tanya bella yang melihat reyna hanya termenung dan pertanyaan bella membuat kyle,sonia,dan silvi mengalihkan pandangan ke arah reyna.
"Hem... Kenapa bell?"
"Lu yang kenapa rey,kok bengong? Lu ada masalah?"tanya bella
"Ah g- gak kok, yaudah yuks ke kantin tadi katanya laper"ucap reyna menutupi masalah nya kepada sahabat-sahabatnya.
"Hem , yaudah yuk" ucap bella lalu beranjak dari bangku dan di ikuti oleh sahabat-sahabat nya.
Disaat berjalan di koridor kelas handphone reyna tiba-tiba bergetar,dan membuat reyna penasaran siapa yang mengirim nya pesan.
08313xxxxxxx ?: ke rooftop sekarang.
Karena tidak mengenali nomor tersebut,reyna memutuskan untuk tidak memperdulikannya , mungking fansnya itu lah yang reyna pikirkan, tetapi baru ingin memasukkan handphone nya ke saku seragamnya, tiba-tiba handphone itu bergetar kembali.
08313xxxxxxx ? :dalam lima menit lu ga sampek ke rooftop, siap-siap dapet hukuman dari gue,dan hukuman yang membuat lo rugi!
You?: siapa ya?
08313xxxxxxx ? : cepet ke rooftop !!
Setelah melihat pesan terakhir itu dan karena reyna tidak ingin mendapatkan masalah dan juga karena dia kepo siapa yang mengirim pesan padanya ,akhirnya reyna memutuskan untuk menemui orang itu di rooftop
"Em,, kalian duluan aja ke kantinnya,aku ke toilet dulu" ucap reyna tiba-tiba dan membuat sahabat-sahabatnya berhenti berjalan.
"Mau gue anterin ga rey?"tanya sonia.
"Ga usah,aku sendiri aja"jawab reyna di sertai senyumannya.
"Hem ok, tapi cepet ya susul kami di kantin"ucap silvi dan di angguki oleh reyna.
Setelah itu sahabat-sahabatnya melanjutkan perjalanan menuju kantin,sedangkan reyna langsung memutar arah menuju ke rooftop.
.
.
.

Description: ( follow sebelum membaca !)
Rank # 1 bad boy
Rank # 2 romantis
SINOPSIS
Gdubrak.......
“e-eh maaf kak, reyna ga sengaja”
“jalan yang bener , mata di pake buat liat, kaki di pake buat jalan “
Kamu itu seperti es yang dingin dan beku,dan aku akan menjadi matahari yang menghangatkan dan mencairkan mu” _reyna queeneri
Selamat datang dalam cerita kehidupan reyna dan agatha, dicerita ini agak menguras emosi banyaknya intrik,kekerasan,posesive,fitnah,perpisahan,persahabatan,romantis semuanya menjadi satu di dalam ceritanya, gimana mendingan langsung aja cusssss
HELLO SEMUA!!!!!,,,,,
Selamat datang di novel ciptaan ku pribadi , dari buah pikir ku sendiri, dan aku harap kalian semua akan menyukai nya!!!!....
Jangan luma vote and commen yaaaa, karena pendapat kalian sangat aku butuhkan untuk kemajuan novel ku......
Selamat membacaaaaaa!!!!
|
Title: Rapor Merah
Category: Novel
Text:
PROLOG
APA benar yang dikatakan mama bahwa angka-angka dalam buku rapor adalah penentu masa depan? Sebegitu pentingnyakah, sampai mama harus memarahi bahkan bisa sampai memukulku jika nilaiku hancur? Masalahnya, nilai-nilaiku itu selalu hancur tiap semesternya, lalu aku harus bagaimana?
Perihal ini pernah juga aku tanyakan pada kedua kakak jeniusku, Kak Alfin dan Kak Alfan. Tapi mereka hanya menjawab,
"Belajar saja yang tekun, nanti juga nilaimu bagus."
Cih! Mudah sekali mereka bicara. Memangnya menurut Si Kembar itu apa yang selama ini aku lakukan? Mereka tidak tahu apa kalau aku ini sudah belajar dengan sangat tekun? Apalagi jika menjelang ujian. Hanya saja mama tidak peduli seberapa besar usahaku. Mama hanya mau tahu mengenai berapa hasil yang kudapat.
Setiap selesai bertemu guruku dalam rangka pembagian rapor, mama selalu berkata, "Kebakaran lagi, kebakaran lagi." Yang aku bingung, kalau buku raporku selalu kebakaran tiap semesternya, mengapa buku berisi angka-angka menyebalkan itu tidak hangus saja sekalian?
****
Monica Djumadi
28/04/2020
Semua Manusia Lahir dalam Keadaan Nasib yang Telah Ditentukan
NENEKKU pernah berkata bahwa semua manusia di dunia ini lahir dengan keadaan nasib dan takdir yang telah ditentukan. Singkatnya, manusia telah menandatangani kontrak tinggal di dunia dengan menyetujui segala bentuk syarat dan ketentuannya.
Takdir-takdir itu meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari siapa ayah ibunya, lahir dalam keluarga miskin atau kaya kah dia, bagaimana rezekinya, siapa jodohnya, bahkan bagaimana dia matinya. Semuanya telah Tuhan tentukan sedemikian rupa dan sebagai umat beragama yang memegang teguh sila pertama Pancasila, aku harus memercayai dan ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah aku dan Dia sepakati bersama.
Nenekku juga berkata bahwa aku harus sangat berterima kasih kepada-Nya karena sejak aku ditetapkan menjadi manusia pada 15 tahun silam, Dia sudah sangat bermurah hati dengan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk tanpa kurang suatu apapun. Ya setidaknya aku masih memiliki mata yang dapat melihat, telinga yang berfungsi dengan baik, lidah dengan perasa sempurna juga bagian-bagian lain yang berkontribusi seimbang. Tentu saja! bagaimanalah jadinya hidupku saat ini jika Dia tidak menganugerahiku itu semua.
Namun, di antara berjuta-juta syukurku kepada-Nya, aku tetap saja ingin protes sesekali. Tolong diperhatikan, maksud dari kata sesekali yang kugunakan hanya merujuk pada hari ini. Karena di hari hari sebelumya aku sudah sering protes berjuta-juta kali.
Bohong jika aku jarang protes pada kebijakan-kebijakan-Nya. Aku protes saat ingin hidungku lebih mancung sedikit saja, aku protes setiap pagi karena Dia membuat rambutku ikal dan sulit disisir, aku juga protes mengapa harus ada matematika di dunia ini sedangkan aku adalah manusia bebal yang sulit memahami angka-angka, dan banyak lagi jenis protes lainnya yang tidak terhitung sudah berapa kali, saking begitu seringnya.
Bahkan mungkin jika aku diperkenankan melihat catatan dosa dari malaikat pencatat dosa, pastilah kini aku sudah meraung-raung memohon ampun dan beribadah sepanjang malam karena takut masuk neraka. Oh maafkan aku Tuhan, aku memanglah manusia tidak tahu diuntung yang hobinya hanya mengeluh saja sepanjang waktu.
Tapi mau bagaimana lagi? hidup memanglah sesulit ujian kenaikan kelas. Ah, atau mungkin lebih tepatnya, hidupku memang selalu jadi lebih sulit dikarenakan ujian kenaikan kelas. Contohnya saja seperti hari ini.
"Abi, Abi. Mama udah pusing banget ya menghadapi kamu. Matematika selalu saja di bawah KKM. Ini ilmu penting lho, Nak. Lihat ini! Nilai rata-rata kamu semester ini turun semua. Mama heran apa saja sih yang kamu kerjakan selama ini? Nggak pernah tuh Mama lihat ada hasilnya. Kalau begini terus nilai Ujian Nasional kamu pun bisa Mama prediksi nanti hasilnya akan bagaimana. Nilai tangga nada do re mi mana ada SMA favorit yang mau terima, Abi?!"
Nah inilah kicauan merdu Kanjeng Ratu Rosa Andita Nugraha yang terhormat. Dokter kandungan yang memiliki obsesi serta keyakinan hakiki bahwa aku—putra bungsunya—akan pandai berhitung seperti kedua kakaknya suatu hari nanti. Dan sudah sangat bisa dipastikan, khotbahnya ini akan berlangsung sepanjang hari ini bahkan seminggu ke depan jika menurutnya masih kurang.
Aku menggaruk tengkukku, bingung berkata-kata. Suara mama mulai seperti dengingan lebah di telingaku. Aku pun melirik Kak Alfan meminta pertolongan. Namun kakak sulungku itu memanglah tidak bisa diajak kerjasama. Terbukti dari dia yang hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
Sungguh situasi yang sangat sangat sangat menjengkelkan. Sialnya harus terulang setiap semester. Ah, mendadak aku ingin hidup sebagai kucing saja.
Ini sudah hampir satu jam dan Kanjeng Ratu belum lelah mengamuk. Menurutku ia hanya mengulang-ulang apa yang sudah ia bicarakan. Dan jika pidatonya diringkas hanya menghasilkan satu kalimat : perbaiki nilaimu, bodoh!
"Mama jangan liat matematika doang, dong! Nilai Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisku 8 tuh. Seni musik juga tinggi. Ga merah semua, Ma!" Bantahku pada vonis mama akan masa depan nilai Ujian Nasionalku.
"Bahasa Indonesia kamu banggain? Siapa coba yang ga bisa Bahasa Indonesia, Bi? Semua orang Indonesia juga pakai Bahasa Indonesia!" Wah, tidak bisa dibiarkan ini! Mama itu kenapa sih, hobi banget mengolok-olok mata pelajaran kesukaanku? Heran. Lagian kenapa pula yang masuk telinga Kanjeng Ratu hanya Bahasa Indonesia? Padahal kan, tadi aku sebut Bahasa Inggris juga.
"Matematika juga ga keren, Ma. Aku ga tau apa gunanya belajar matematika. Aku beli bakso juga pake Bahasa Indonesia, nggak pake rumus trigonometri." Dengan gagah dan nyali berani mati, aku pun mencoba membalas argumen mama.
"Nah ini! Kamu berani jawab Mama juga hasil dari belajar Bahasa Indonesia, hah?" Skakmat! Mama dan segala kuasanya memang tidak bisa terkalahkan. Dasar Mama otoriter. Pak Presiden, aku menuntut kebebasan bersuaraku! DI MANAA DEMOKRASI PAK PRESIDENN? DI MANAA?!
Mama mendelik tajam membuat aku habis kata-kata. Yasudahlah aku diam saja sambil menatap horror Mama yang masih saja sibuk membolak-balik buku raporku. Padahal mau seribu kali bolak-balik pun angkanya tidak akan berubah juga.
"Kendala kamu selama belajar tuh apa sih? Nggak suka guru bimbelnya? Mau ganti?" Tanya mama padaku, mulai merendahkan nada suara.
Percuma Ma, percuma, ucapku dalam hati. Bimbel tidak serta merta membuatku jatuh cinta pada angka dan operasi hitung yang makin lama makin membingungkan itu, tahu! Gurunya juga galak.
Aku itu ga suka matematika, Mama. Ga suka bimbel juga!
Tentulah kali ini pun aku tidak menyuarakannya langsung. Belajar dari pengalaman beberapa menit sebelumnya membuatku hanya berani menjawab dari dalam hati saja. Semoga ini semacam telepati yang bisa langsung melunakkan Mama karena melalu mediasi dari hati ke hati.
Oh Tuhan, Inilah yang menjadi salah satu subtema protesku pada-Mu kali ini. Mengapa pula Kau menempatkan aku yang bebal ini di tengah-tengah anggota keluarga yang luar biasa seperti ini? Sedari kecil aku telah diramal akan secerdas kedua kakakku, dan kini aku dipaksa mewujudkan ramalan mereka. Aku ini tertekan tahu harus menyamai langkah mereka. Ibarat berlari aku ini sudah sesak napas, kaki sakit, tidak ada hasilnya pula. Tetap saja aku tertinggal bermeter-meter jauhnya. Ditambah diomeli pula karena tidak bisa jadi juara.
"Tuh kamu tuh selalu begini. Orang tua tanya tuh dijawab. Punya mulut buat apa?" Rutukkan batinku disentak oleh suara ketus dan pelototan mama yang protes karena aku tak kunjung buka suara.
Baiklah.
BAIKLAH.
AKU YANG SALAH
IYA AKU!
Mama selalu benar dan jika mama salah kembali pada pasal pertama.
Kalian pasti berpikir bahwa mamaku rumit dan sukar dipahami, ya? Tidak kok, Mamaku orangnya justru sangat simple. Seperti kali ini, mama hanya meminta sebuah jawaban. Nah yang sulit adalah, jawabannya harus sesuai dengan yang Mama mau.
Khusus dalam kasus kali ini, aku mengerti bahwa yang Mama inginkan adalah jawaban,
"Iya Ma, aku mau ganti bimbel. Aku juga bakal berusaha ngitung lebih baik lagi deh biar dapet nilai 80 semester depan."
Dan tepat seperti yang sudah kuperkirakan, jawaban Mama tidak lain dan tidak bukan adalah,
"Lho, kok targetmu kecil banget 80?! 100 dong! Kakak-kakakmu aja bisa kok."
NAHKANNN.
Salam kenal, aku Abhigail Putra Nugraha dan aku benci matematika.
****
Monica Djumadi
28/04/20
Bayang-Bayang Upin-Ipin
"ALEX, yang cepet dong goes sepedanya!" Dengan keringat bercucuran aku menggoes sepedaku dengan kecepatan maksimal. Sesekali aku menengok ke belakang untuk memastikan Alex juga mempercepat goesannya.
"Santuy kali, Bi. Santuy." Sahut Alex yang entah bagaimana kini posisinya sudah berada di sampingku.
"Kita udah hampir telat gara gara kamu lho ini. Ga bisa santai!"
"Nah justru itu! Karena udah hampir telat itu justru kita harus santai. Ngebut juga bakalnye tetep telat, Bi. Percaya dah sama gue. Daripada udah capek-capek terus telat, ya mending telat tapi ga capek lah. Ye gak?"
"NGGAK!" Aku menyahut garang. Statementnya sungguh bikin geleng-geleng kepala.
"Dih, dibilangin kaga cayaan."
Sedikit informasi, Alex adalah temanku sedari kami berdua sama-sama masih menjadi embrio. Kami lahir dan tumbuh bersama. Kebersamaan kami sampai-sampai pantas membuat kami menggantikan pepatah ada gula ada semut menjadi ada aku ada Alex. Tepatnya sih dia yang mengikutiku kemana-mana.
Sebenarnya secara keturunan, Alex adalah orang Timur. Hal ini jelas terlihat dari iris matanya yang coklat jernih, rambutnya yang kribo, dan kulitnya yang gelap. Namun seperti kacang lupa kulitnya, alih-alih berlogat seperti orang Timur Alex justru cinta mati pada bahasa dan kebudayaan khas Betawi. Sampai-sampai dulu ia pernah ikut mengamen bersama ondel-ondel, dan berakhir diomeli mamanya karena dianggap berbahaya ikut mengamen dan berkeliling bersama orang tak dikenal. Mungkin bisa jadi jika kamu tanya apa cita-citanya sekarang, ia akan jawab dengan lugas : MENJADI ONDEL-ONDEL.
Satu lagi fakta tentang Alex. Dia adalah hamba dari segala kesantaian dan memerangi segala hal yang menurutnya ribet dan bikin pusing. Mengutip dari kalimatnya, hidup cuma sekali jangan mati gegara pusing sendiri. Begitu katanya.
Ya, sifatnya itu memang ada baiknya juga sih, namun jika dihadapkan di situasi genting seperti ini ingin rasanya aku memutar kepalanya agar tidak santai melulu.
"Eh ini belok kanan apa kiri dah?"
"Kiri, Lex. Kanan kuburan. Kamu siap dimakamin?"
"Anjer! Serem gile." Dia refleks mengumpat membuat aku terbahak.
Tak butuh waktu lama setelah itu, kami pun sampai pula di depan gerbang sekolah baruku. Ya, hari ini aku resmi jadi anak SMA, di sekolah serta jurusan yang dipilihkan mama. Entah bagaimana caranya aku bisa masuk sekolah ini, karena seperti yang diramalkan mama, nilaiku benar-benar pas-pasan. Terutama di nilai matematika, pastinya.
Aku dan Alex segera menuju parkiran siswa untuk memarkirkan sepeda kami.
"Sampe jugaa akhirnya. Capek banget goes." Keluhku saat kami memarkirkan sepeda.
"Ye, pan udah gue kata. Santai aja, santai." Balas Alex yang hanya kutimpali dengan tatapan garang. Dia lupa sepertinya fakta bahwa penyebab kami kesiangan pagi ini adalah dia sendiri.
Bayangkan, di hari pertama masuk sekolah dia baru bangun ketika aku menjemputnya, yaitu pukul 6:15. Tante Martha bilang ia sudah lelah membangunkan anaknya karena bocah itu tidur sudah seperti orang mati.
"Kata-kata kamu tuh sesat tau!" Aku menjawab ketus. Kini aku sedang menunggu Alex mengunci sepedanya.
Setelah dirasa kunciannya sudah aman, Alex bangkit dan menepuk-nepuk tangannya lalu kemudian merangkulku.
"Skuy, Mabro!"
Kami pun bergegas menuju lapangan. Di sana sudah ramai dan sepertinya upacara pembukaan penerimaan siswa siswi baru sudah di mulai. Kami berdua-seperti dugaan Alex-sudah telat.
Aku berhenti melangkah persis di koridor sebelum memasuki lapangan, Alex mengikuti. Bingung juga harus masuk barisan mana.
"Gimana nih Lex?"
"Ye kaga gimane-gimane. Emang mau pegimane?"
"Hari pertama telat nggak banget woi."
"Justru karena hari pertama jadi pasti dimaklumin. Bilang aje nyasar." Alex menjawab dengan gaya khasnya, santai.
Ketika aku sedang berpikir sambil celingukan kepalaku justru dipukul seseorang.
"Jangan iseng dong, Lex."
"Bukan gue, Paijo." Alex berbisik. Aku pun menoleh dan mendapati seorang guru dengan kumis lele melotot siap menerkam.
Aku dan Alex hanya tersenyum meringis melihatnya.
"Ngapain kalian di sini? Bukannya ikut upacara." Kata si bapak ketus.
"Anu, Pak. Kami lagi bingung barisan kami di mana."
"Kalian baru dateng?" Dia bertanya sambil melirik kami yang masih menggendong tas di punggung. Tatapannya tajam dan sebelah bibirnya berkedut.
"He he he, iya Pak." Kali ini Alex yang menyahut.
"Kelas berapa?"
"X MIPA 3, Pak."
"Anak baru udah telat, ga baca peraturan apa?"
"Baca kok pak."
Si bapak hanya mendengus mendengar jawaban spontanku yang sarat akan pembelaan diri.
"Tuh barisannya. Di situ." Ucap bapak kumis lele sambil menunjuk barisan ke empat dari kanan.
Aku dan Alex serentak mengangguk-angguk sumringah.
"Terima kasih, Pak." Ucap kami serentak sebelum melangkah ke barisan yang diarahkan oleh si bapak.
"Eh, eh, eh mau ke mana kalian?"
Aku dan Alex sontak kebingungan mendengar pertanyaan si bapak. Ya mau baris lah, masa mau sarapan? Aneh si bapak.
"Mau baris pak."
"Di mana?"
"Di situ."
"Siapa suruh? Saya cuma ngasih tau kalau letak barisan kelas kalian di situ. Tapi karena kalian baru datang alias telat, kalian barisnya bukan di situ tapi di sana. Bareng sama anak-anak yang ga disiplin lainnya. Sekaum itu sama kalian."
Lho?
Aku hanya melongo mendengar penjelasan si bapak. Sedangkan tempat yang ia maksudkan adalah, pojok belakang lapangan. Tepat di sebelah selokan.
(())
Upacara baru saja selesai. Namun kami masih ditahan di lapangan untuk diberi pengarahan sedangkan anak anak lain-yang disiplin- sudah diperbolehkan masuk sebagai hukuman sebelum masuk ke ruang kelas.
Saat ini ada dua orang guru yang mengawasi kami mengisi daftar nama siswa yang mendapat poin pelanggaran tata tertib hari ini.
"Untuk kelas sepuluh saya masih maklum, mungkin kalian belum terbiasa atau masih terbawa sifat kekanak-kanakan masa SMP atau kebiasaan di rumah. Tapi lain kali, tidak ada toleransi dari saya."
Sepertinya menasihati dengan gaya sarkas semacam ini sudah menjadi jurus andalan kebanyakan guru, salah satunya guru perempuan yang kudengar saat upacara mengenalkan diri sebagai Ibu Hanifah ini.
Serentak kami menjawab, "Baik, Bu." Yang mana kami tahu ini hanyalah jawaban tercepat dan teraman untuk situasi saat ini. Bagaimana ke depannya akan telat lagi atau tidak, itu urusan nanti.
Guru itu mengangguk-angguk sebelum matanya tertuju ke arahku. Gawat, rasanya aku bisa menebak akan bagaimana ini arahnya.
Dia mengendurkan kaca matanya dan menatapku seakan menganalisis.
"Kok saya kaya kenal kamu ya. Mukamu mirip siapa gitu. Kamu punya saudara alumni sini?"
Nahkan.
"Ada bu." Dan sedetik setelah kata itu keluar, aku yakin sebentar lagi akan menyesali jawaban jujurku itu.
Di sampingku dapat kurasakan Alex sedang menatapku. Mungkin tatapan cemas atau iba bahkan. Ya, sedikit banyak Alex tau seberapa topik ini membuat moodku terjun payung.
"Oh, saya ingat sepertinya. Alfan-Alfin, kan? Wajah kamu mirip Alfan-Alfin. Kamu adiknya?" Ujarnya antusias mengingat nama kedua kakakku.
Sudah kuduga.
"Iya, benar Bu." Jawabku malas
"Oalah, pantas saja sekali lihat mukamu saya langsung mengenali. Murid favorit saya kakakmu itu." Katanya sambil tertawa, menanggalkan kesan horror yang sebelumnya dia bentuk.
Sedangkan aku hanya tersenyum kecut menanggapinya. Menahan mati-matian agar tidak memutar bola mata.
Bu Hanifah masih meracau mengenang betapa kakakku adalah siswa jenius tanpa cela. Melupakan kami yang sudah keram karena dijemur sedari tadi.
Selalu begini. Sebenarnya kalau saja aku bisa menolak perintah mama, aku sangat tidak ingin sekolah di bekas sekolah si kembar Upin-Ipin-sebutanku untuk kakakku karena mereka hanya selisih 5 menit persis seperti kembar botak asal Malaysia itu.
Aku malas berada di tempat yang sama dengan mereka. Alasannya apalagi, kalau bukan karena mereka terlalu sempurna untuk adik sepertiku. Dan situasi seperti ini membuat kenyataan semakin terlihat nyata di depanku, seakan aku diperintahkan lagi dan lagi agar lebih sadar diri.
"Kakak kamu itu murid teladan lho. Nggak pernah telat. Kamu harus teladani tuh kakak kamu. Masa adiknya Alfan-Alfin begini, kebalikan kakaknya."
Aku diam saja. Yang seperti ini sudah sangat sering aku hadapi. Anehnya aku tidak pernah bisa kebal, tetap saja aku merasa kesal jika ada yang membandingkan aku dengan kakakku.
Alfan pintar kamu harus seperti dia.
Alfin cerdas dan sopan, ramah juga. Contohlah dia.
Alfan juara olimpiade, nanti kamu harus bisa seperti itu kalau bisa lebih.
Alfin juara basket internasional, tapi tidak pernah absen jadi juara kelas, hebat kan. Coba kamu bisa apa?
Oh, adiknya si kembar, pasti sehebat kakaknya.
Alfan lagi
Alfin lagi
Kenapa waktu lahir aku diberi nama jika orang-orang tidak perlu menyebut namaku? Panggil saja aku adiknya Alfan-Alfin.
Dasar Upin Ipin sok keren, lihat saja suatu saat pasti akan kubotaki kalian berdua.
*****
Monica Djumadi
29/04/2020
Description: Kata Mama, buku raporku selalu saja kebakaran tiap semesternya. Lalu, mengapa buku berisi angka-angka menyebalkan itu tidak hangus saja sekalian?
bukan cerita horror apalagi thriller tapi bisa dijamin kisah hidupku ini lebih seram dari itu.
|
Title: Renjana di Bulan Purnama
Category: Spiritual
Text:
Prolog
Renjana di Bulan Purnama adalah cerita yang mengisahkan kita di antara rasa yang terpendar. Saling mengisi tapi tersingkir. Sebab menyembunyi adalah cara yang paling sakti memanipulasi ruang hati.
*
*
*
"Nay, kita pergi dari sini ya," pujuk Manda setelah menepuk bahu. Ada keresahan yang tak dapat dijabarkan beberapa saat.
Inaya masih pusing memikirkan tanggung jawab dan kesediaan pada tempat yang tepat. Hanya satu tanggapan dari saraf motoriknya dan hati yang kian ego. Laptop dan chargernya. Setelah menormalkan diri dan mencoba untuk biasa saja. Retina mata Inaya masih bisa menangkap pemandangan sekeliling sejenak. Tanpa perlu khawatir loncatan listrik yang mengalir di kabel PLN akan menyambar jantungnya.
"Main sini saja dululah di sini," ucap pria tegap yang berwajah bulat.
Inaya menghadapkan penglihatan ke sumber suara. Ia sudah tahu bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk singgah. Sebab kesibukan dan ketenangan atmosfer yang ada di sini berbeda. Inaya tidak ingin berubah hanya karena pria maskulin itu. Walaupun sejujurnya ia ingin tetap memandangnya dari jauh. Serta menjaga perasaan paling rapuh. Tanpa perlu memberi tahu. Ia sudah sangat bahagia. Seperti Matahari yang menjaga Bulan dari jauh. Tak perlu dekat jika hanya akan memusnakan.
Inaya mengangguk dan mengikuti bujukan Manda. Meski ada sedikit langkah yang berat. Ia percaya bahwa pria itu hanya melakukan tugasnya dengan baik. Jadi, tidak masalah jika meninggalkannya berdua dengan seorang wanita di sampingnya.
"Ayo Nay kita pergi duluan," ucap Manda setelah memakai ransel dongker. Ukuran sedang untuk anak gadis yang modis. Manda membuka knop pintu dan segera menutu kembali setelah keluar dari ruangan. "Malas kali lama-lama di sana. Mereka berdua sedang pacaran."
"Hah?" Ada rasa ketidakpercayaan yang menyambar.
"Panjang ceritanya."
Inaya hanya bisa terdiam saat mendengar kalimat Manda. Ingin mencari tahu tapi dia bukanlah siapa-siapa. Tidak patah hanya saja kecewa. Benarkah? Atau hanya sekadar mulut ke mulut yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
*
*
*
1 [Dua Sisi yang Menggelapkan]
~Malam, meski waktu yang tepat untuk terjaga. Tetap saja tak meninggalkan sisi gelap.~
*
*
*
Inaya kehabisan kata-kata setelah tahu kebenaran yang memang sangat dia inginkan. Kosakata mendadak lumpuh kala hati tak mau lagi bercengkerama dengan semesta. Ia tak butuh cinta apalagi isyaratnya. Lantas, tujuan untuk bertahan bukanlah perkara seorang pria. Melainkan Allah di hati dan nadi.
Tapi, perlahan seolah melangkah jauh. Saat kalbu berat untuk bertasbih yang digerakkan dengan bibir. Ia hanya bisa mendengar. Namun, pintu hati masih enggan terbuka saat mendengar kalam cinta di indera pendengaran.
Seolah kerasnya hati telah menyinggah dalam diri. Ia tahu ini sakit. Tapi memaksakan ia merasa tak sanggup. Betapa meruginya diri.
Jika kisah ini adalah fiksi. Ia hanya ingin memiksikan keadaan hati untuk menjadi lebih baik. Termasuk bertemu mimpi yang mengisyaratkan gelap hati. Ia hanya ingin menerangi meski hanya lewat lentera sederhana.
Pada hari yang fitri. Mungkinkah hati benar-benar bersih? Sedang ia melewatkan kesempatan berharga pada waktu ramadhan. Orang bilang ramadhan telah pergi. Tapi ramadhan itu akan terus ada menyemai hari-hari yang akan datang. Belajar kesabaran dari teriknya mentari dan tugas yang menghadang.
*
"Nay, kamu memang aneh kalau kulihat akhir-akhir ini." Zahira mengeluarkan pernyataan spontanitasnya. Lebih baik begitu daripada penasaran terus.
"Aneh bagaimana?" Inaya masih fokus menghitung kancing baju yang akan ia pinang. Tak biasanya suasana hati memilih sesuatu yang bernuansa permata.
Sang penjual masih mengerjakan jahitan gulung gaun raya yang berwarna peach. Kedua bola mata berusaha fokus memerhatikan benang-benang yang tersulam dengan rapi melalui mesin.
Kali ini cuaca tak begitu terik apalagi dingin. Seolah ramadan benar-benar dilindungi dari awal sampai akhir. Walaupun titik akhirnya Inaya masih menyayangkan ramadhan yang terlewat begitu saja.
"Kamu malah sering terlihat seperti diriku. Bawaannya moody-an terus. Kamu mungkin bisa bilang tidak apa-apa. Tapi mata dan raut wajah itu itu tidak dielakkan." Meski Inaya terus ingin menutupi rasa yang berkecemuk pilu. Tetap saja yang pengamat suka belajar akan menjadi handal jika terus diasa. Inaya melirik sejenak raut wajah yang ceria itu, tanpa perlu kebohongan sedikit pun. Malahan Inaya ingin menitikkan air mata yang tak sanggup menatap kebahagian orang lain.
"Ra, ada saatnya kita memang akan berada pada titik terbawah. Seperti halnya roda-roda kehidupan yang berganti dalam sekejab." Kebanyakan galau membuat Inaya sepuitis Zahira dalam menyuarakan rasa.
Wanita separuh baya itu telah menyelesaikan jahitan yang terjahit rapi. Meskipun Inaya tak mengatakan jahitan yang mana yang akan dikerjakan. Wanita itu sudah paham bagian mana yang harus dijahit. Inaya menunggu jawaban dari yang paling penting, harga.
"Dua puluh lima ribu."
Cuaca yang semakin berkesinambungan dengan detakkan waktu membuat Inaya enggan menanyakan rincian biaya. Sejujurnya ia ingin tahu harga jahitan dan kancing baju secara terpisah. Kali ini kebungkamanannya lebih dominan daripada rasa penasaran di dalam benak.
Tak perlu lama. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar uang yang jumlahnya setara dengan dua puluh lima ribu.
Inaya segera memasukkan barang yang dibeli ke dalam ransel. Sebab ia lebih takut apabila kecerobohan telah melanda. Tak ingat ke mana barang ditinggal. Sedangkan ingatannya butuh waktu untuk dipulihkan. Tapi hal ini jauh lebih baik daripada melupakan hati yang pernah singgah dalam bercengkerama.
"Jadi, hanya ini saja yang ingin kamu lakukan Nay?" Zahira hanya ingin memastikan jika tugasnya kali ini benar-benar selesai. Jadi, ia bisa leluasa tidur bertemankan angin dari kipas yang digerakkan listrik di kamar. Kenikmatan yang menggiurkan. Meski ia tahu berapa banyak waktu berharga dilewatkan begitu saja. Hatinya juga masih belum sembuh dari segala luka yang menghadang. Tentang kepercayaan yang takkan bisa digenggam.
"Iya," jawab Inaya tanpa melihat raut wajah Zahira sebagai bentuk keyakinan.
"Beneran?" Bukan tak percaya. Hanya saja Zahira ingin menggoda senyuman yang telah lama absen beberapa hari terakhir.
"Iya Ra. Kamu bisa pulang sekarang." Kali ini Inaya benar-benar meyakinkannya dengan menatap wajah yang rasanya ingin ia jitak. Bikin kesal tapi sahabat.
"Oke."
Mereka berpisah. Pada arah dan tujuan masing-masing. Serta keinginan yang berbeda.
*
Inaya menatap dirinya di hadapan cermin malam ini. Kala seluruh penjuru telah mengumandangkan takbir. Pertanda telah berada pada puncak kemenangan, yaitu malam takbiran. Tapi, kali ini ia hanya bisa beradu argumen dengan orang lain, yaitu dirinya sendiri. Seolah memiliki dua sisi yang berbeda. Antara siang dan malam. Namun mengisyaratkan sisi yang gelap. Pada malam yang ditemani bulan purnama dan kabut yang menghalang. Serta siang yang panasnya menerangkan jalan.
"Nay, hatimu telah mati. Tapi perasaanmu masih ada. Masih teruskah kamu bilang tak punya hati?"
"Kau salahkan orang lain. Kau mau menang sendiri. Tapi kesalahan ini semuanya bermuara padamu Nay. Kamu munafik bukan?"
Inaya terus berbicara di hadapan cermin dengan mata yang menyala. Sinarnya seperti laser yang mampu membunuh siapa saja yang akan menyakiti hati. Terlebih lagi, trauma yang telah ada pada diri telah menempa seperti baja.
Hal ini memang sengaja ia lakukan untuk melunakkan perasannya yang keras. Tak bisa merasakan setiap sendi yang mengodekan perasaan lembut. Ia sangat tertekan sebenarnya. Tapi terus saja. Ia ingin menutupi segala yang ada.
Namun, jika dibandingkan dengan Zahira. Ia masih beruntung. Ketika harapan bersemi. Saat itu pula kuncup-kuncup kehidupan mengumandangkan cerita. Inaya masih memiliki ibunya. Sedangkan Zahira tak memiliki kesempatan yang sama dalam menyemai kasih terhadap ibunda. Meskipun pada akhirnya sosok lelaki tak bisa menjadi kepercayaan dalam benak mereka.
Akhir dari certa malam ini adalah air mata yang menyuarakan gemerlap hati. Meski rembulan tak datang mendampingi pelita hati. Bertahan adalah cara terbaik menyeka teka-teki suara diri.
Inaya berpikir kembali terhadap diri. Apa yang telah terjadi memang tak bisa dipungkiri. Ketika mengeluarkan seluruh tenaga untuk memperoleh sebuah materi. Tak satu pun ada yang mendekat dengan suka rela.
Lantas sia-siakah perjalanan hidupnya? Jika pada akhirnya dia benar-benar lelah dengan segala yang ada. Bahkan Allah terasa jauh di hatinya. Akankah keyakinannya akan melekat sedekat nadi?
Inaya sudah merasakan bahwa seolah semesta mendukungnya untuk menjadi orang yang materialistik dan butuh popularitas. Cintanya seperti telah pergi. Meski kepastian ini tidaklah hakiki. Lantas apakah yang sebenarnya ia butuhkan saat ini?
Inaya mendengar sebuah panggilan WhatsApp di ponsel. Tangan kanan menyeka segera air mata yang berguguran. Tak ada yang bisa dipertahankan dari tangis yang hanya mengeluhkan keadaan.
"Nay, selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin ya. Semoga cepat dapat jodoh di hari yang baik ini."
Kalimat itu sukses membuat Inaya tersenyum. Rasanya ia benar-benar kesal karena rasa kecewa ditinggal sinyal jodoh. Malah dipancing ketemu jodoh. Tak ada yang lebih baik selain mengaminkan perkataan sahabatnya. "Jadi apa rencana tim kita berikutnya?" Duh, mengucapkan kata 'tim' dan 'rencana' membuatnya teringat dengan kegiatan PKM. Tapi, ia dan Zahira merupakan tim dalam menjadi wanita yang tangguh.
"Ehem. Sering-sering berkolaborasi. Sekarang sudah mengakui kita tim ya?"
"Iyalah." Tak mungkin juga sahabat perjuangannya ia bilang musuh. Semangat ini tentu tidak akan bertahan jika tidak didampingi para sahabat terbaiknya.
"Oke, jadi kami akan mengadakan halal bialal pada hari raya ketiga. Jadi, Nay wajib ikut ya!"
Mendengar kalimat Zahira menyiratkan pemaksaan yang wajib dituruti tanpa alasan. Sebenarnya ia masih malas. Entah pada hari itu hatinya akan membaik atau tidak. Ia masih belum yakin. Tapi ia akan berusaha untuk menepati. "Okelah, hm. Ada yang mau disampaikan lagi nggak?"
"Ada."
"Apa itu?" Inaya semakin penasaran dengan berita Zahira yang selalu membuat orang lain terpukau.
"Jika ada satu dalam benakmu entah itu adalah sebuah cita-cita. Genggamlah ia sampai engkau benar-benar mendapatkannya."
Kalimat penutup yang Zahira katakan benar-benar membuatnya tergerak untuk mempertahankan cinta pertamanya. Lantas, mengapa ia seolah keras hati mengakui segala yang ada. Jika tidak benar-benar terungkap. Maka keinginannya adalah benar-benar hilang dari benak dan melupakan segala yang terjadi. Seperti saat dulu yang ia ingat hanyalah ilmu dan keridoan semesta.
***
Bersambung
2 [Hati yang Meringkih]
"Jalani hidup ini pakai hati, bukan pakai keluhan."
*
*
Inaya memondar-mandirkan diri di dalam kamar. Ia ingin sekali melanjutkan ketikan skripsi dan menyelesaikan dengan segera. Berjam-jam lamanya malah membuat ia bingung menuliskan apa. Kepala cenat-cenut tak tentu arah. Bahkan ia lupa ingin melakukan apa.
Saat itu semua terjadi. Ia hanya bisa mencari sebuah pelarian, yaitu ponsel. Kemudian menyeluncurkan dirinya dalam program yang dibuat manusia. Aplikasi Instagram yang saat ini telah menjadi the most wanted. Entahlah, rasanya begitu menarik ketika berada di dalamnya. Sama seperti aplikasi Pinterest. Hanya saja Instagram menjanjikan berita terbaru lebih cepat. Entah itu sebagai berita menarik atau bukan.
Tapi, ada sesuatu yang sangat ia incar sebenarnya. Ketikan sebuah nama telah berada di dalam hatinya. Namun, ego mencoba menghadang. Tentang kenapa harus mencari tahu. Bukankah hatinya telah keras kembali menghadapi pria yang berlogat sempurna. Sedang menurut Inaya hatinya telah membatu pada semua pria. Meski, ia sempat tersentuh hanya dengan perlakuan istimewah yang sempurna seperti teladan rasul.
Akankah hati yang keras itu terus tertutup dengan sempurna? Atau malah hanya keegoan sementara yang mengatakan saat ini tidaklah mengapa?
Inaya melihat kondisi kamarnya yang masih sangat berantakan. Saat otak mendadak konslet. Saat itu pula ia tidak bisa menormalkan keadaan. Bahkan laba-laba tersenyum jika sarangnya tak diganggu oleh Inaya.
Nada dering panggilan dari Zahira membuatnya berhenti untuk berselancar di Instagram.
"Assalamualaikum. Iya Ra, ada apa?"
"Ra, apa benar tulisanku buruk ya?"
Inaya mendengar suara sesenggukkan di indera pendengarannya. Sepertinya rasa pesimis memang sudah menjalar ke sendi kehidupan. "Enggak kok. Tulisanmu malah bagus banget. Nay, saja kagum sama Ra. Kagum dengan keuletan bahkan ketangguhan."
"Tapi kan Nay. Aku seperti memang tak layak untuk menulis novel. Kamu dan yang lainnya pada menulis karya ilmiah. Orang tuaku juga tak setuju."
Inaya sangat ingin mengelus pundak yang rapuh itu. Tapi, ia hanyalah orang luar yang tak bisa berbuat apa-apa. Selain mengarahkan pada jalan mana yang ingin digapai. "Eh, eh. Kemarin baru saja kamu mengatakan. Jika ada sesuatu yang kamu citakan. Pertahankan ia sampai akhir. Lalu sekarang, inikah dari titik akhir pertahanan?"
Ada jeda yang mengisi sebelum suara balasan dari Zahira sampai terdengar di telinga Inaya.
"Entahlah Nay. Aku juga tak tahu. Rasanya aku benar-benar kehilangan diri sendiri. Bahkan orang yang mampir ke tulisanku seperti tak mau."
Meski Inaya sangatlah ingin menimpuk perasaan yang tengah pesimis. Sepertinya bukan itu obat yang cocok dalam menenangkan hati. Melainkan sebuah penguatan dari orang lain. Orang itu kini adalah dirinya. Walaupun Inaya belum tentu bisa kuat dalam menguatkan orang lain. "Hei, cantik. Bukan perkara orang lain menyukai apa yang kamu kerjakan. Tetapi dirimu sendiri yang terlebih dahulu yang mencintainya. Tak apa jika hari ini tidak ada orang yang datang membaca karyamu. Suatu saat nanti pasti ada yang dengan senang hati membacanya bahkan mengulasnya. Bahagiamu adalah pemikiranmu. Nay, percaya Ra bisa mengimajinasikan itu semua. Mungkin okelah, jika Ra memilih untuk menggalau saat ini. Tapi ingat Ra, jangan lama-lama galaunya. Ada yang selalu merindukan bahagiamu, yaitu hatimu sendiri."
"Terima kasih ya Nay. Sudah bersedia untuk mendukungku. Tak mengeluh walau seberapa banyak aku mengadu."
Inaya seolah melihat ada cahaya yang diam-diam terpendar dari kalimat yang diluapkan suara telepon itu. Entah ia berhasil atau tidak dalam memotivasi. Setidaknya ia bisa melakukan yang terbaik sebisanya.
Memang benar. Meski banyak tempat yang kita lalui hingga membuat diri merasa iri. Tetapi hal yang paling berharga adalah ketika diri mampu menghargai diri sendiri. Seperti halnya baja yang ditempa dengan panas. Ia tidaklah rusak dengan perlakukan panas maupun kerasnya kehidupan. Tetapi, ia akan rusak hanya dengan karatan yang tak digunakan. Seperti halnya berdiam diri dan dikeliling sugesti buruk yang ada dalam diri.
Ia mendapatkan kata-kata itu dari seorang guru besar. Tetapi disampaikan oleh seseorang yang ada di hatinya. Meski ia terkadang sangat ingin menemui. Manusia tetaplah bisa berubah kapan saja.
Saat kata tak mudah untuk mengungkakan perkara yang ada. Hanya sesuatu yang dapat menenangkan jiwa seperti sugesti bahagia adalah obatnya. Hal yang terpenting adalah kehadiran Sang Maha Memiliki ada di sisi.
"Ra, sahabat itu adalah orang yang bersedia mendukungmu. Baik berada barisan terdepan maupun di belakang. Jika engkau mengatakan hal ini pada Kanaya ataupun Hana. Mungkin jawaban mereka juga sama." Walaupun mungkin sebenarnya ia tak selalu yakin bisa menyemangati setiap waktu membutuhkan. Setidaknya selalu ada yang diperjuangkan sama-sama.
"Sekali lagi. Terima kasih."
Inaya mendengar suara yang memanggil nama Zahira. Meskipun tak kuat, tetapi jelas. Pasti suara ibunya.
"Oh iya. Sepertinya aku memang harus menutup percakapan kita. Mamaku memanggil. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam." Meski terdengar lebih cepat percakapan ini. Ia lega bisa berguna bagi orang lain. Perasaan Zahira seperti benar-benar rapuh saat ini. Bahkan lebih rapuh dari dirinya. Butuh bantuan dalam menguatkan diri. Orang yang kuat belum tentu akan kuat selamanya. Pasti masa ritmenya angin kehidupan akan ada menyemai diri. Tak bisa dipungkiri serba-serbi jalan hidup.
Apa yang bisa Inaya lakukan adalah terus berusaha memperbaiki diri menjadi orang yang lebih baik lagi. Walau terkadang tak ingin sendiri. Setidaknya sendi-sendinya bisa terlewati. Bersama kuatnya hati.
Inaya teringat akan pertemuan itu. Seseorang yang berada di hati. Mata memang memandang dari jauh. Tetapi hati seakan mengatakan sebuah kecemburuan yang mengendap dalam diam. Berusaha biasa saja, padahal ada keogaan mengatakan 'tak apa'. Hingga kikisan itu sama sekali tak terasa di hati. Pada hati yang meringkih. Akankah ia akan kuat lagi? Bertahan atau meninggalkan?
Sedang ia selalu ingin memandang. Tanpa peduli siapa yang ada di sisi. Pengagum tetaplah pengagum. Hanya doa-doa tentang kesediaan hati menjaga. Tak memandang berada di posisi mana objek itu berada. Hal yang ia tahu adalah mencintai apa adanya.
Masalahnya adalah ia selalu menanyakan tentang kenapa bisa menyinggah di hati. Walau sudah di wanti-wanti. Sedini mungkin. Awalnya ia hanya ingin mencari cinta-Nya. Tetapi malah seperti diuji dengan kehadiran cinta yang lain.
Pada saat waktu yang paling dirindu. Semoga waktu tak akan menipu. Tentang perjuangannya menjadi yang lebih baik. Sosok yang berusaha selalu ada di setiap sisi. Termasuk untuk diri sendiri. Orang lain bisa saja tak menyukai diri ini. Asal jangan diri sendiri yang membenci keadaan diri.
Inaya mendapati lagi nada panggilan. Kali ini panggilan itu berasal dari Hana Faizah.
"Iya. Assalamualaikum. Ada apa?"
"Nay, tahu kabar Zahira?"
"Baru saja kami teleponan."
"Nomornya enggak aktif."
"Mungkin saja baterai ponselnya lowbet. Coba saja nanti hubungi dia lagi." Inaya seperti merasakan firasat tidak nyaman menghampiri. Seingatnya ponsel Zahira sering mati mendadak. Tapi ia berusaha untuk menenangkan diri. Meskipun keyakinannya terletak pada kondisi Zahira. Inaya percaya bahwa sahabatnya tidak akan melakukan hal-hal di luar kebiasaan.
"Okelah Nay. Nanti dicoba hubungi lagi."
Tapi bukankah tadi Zahira bilang ia sedang bersedih hati? Lalu apa yang terjadi setelah percakapan ia degan Zahira tadi?
*
*
*
Bersambung
3 [Harapan yang Tenggelam]
~Jangan berharap, bilamana harapan itu akan menenggelamkan kecewa yang tak diduga-duga.~
*
*
Zahira baru saja mendengarkan sebuah berita yang membuat hatinya sedih dan runtuh lagi. Mungkin kemarin ia masih ingin cerita tentang kesedihannya pada semesta. Tapi, kali ini. Ia tak sanggup lagi untuk berkata-kata. Tentang perkara apakah ia akan tetap bertahan dari Tuhannya atau malah sebaliknya.
Data-data yang ada di laptopnya telah sirna. Padahal ia hanya ingin memperbaiki. Nyatanya perbaikan itu membuatnya berada dalam jurang kehancuran.
Kemarin malam ia juga menaruh harapan besar pada pemenangan lomba novel. Ia sudah melakukan yang terbaik. Bahkan seluruh hidupnya seolah disitakan selama sebulan di sana. Nyatanya, masuk nominasi pun tidak.
Akhir-akhir ini. Rasa kecewa dan kehancuran benar-benar mengikutinya. Bukan hanya di dalam cerita saja orang diuji terus-terusan. Tetapi kali ini ia benar-benar merasakan seutuhnya. Walaupun sudah berusaha tidak melibatkan perasaan. Pada akhirnya perasaan itu yang menenggelamkan dirinya.
Kini ia hanya melihat dinding rumah putih yang bertemankan kesedihan. Serta diiringi semilir yang merayu untuk mendiami sedih. Ia meringkuk di bangku panjang.
"Astagfirullah, apa yang terjadi. Mengapa semuanya terjadi? Apakah ini bagian dari takdir atau hanya aku yang merusak takdir itu. Tapi, aku tak bisa menuntut apa-apa. Sedang usaha yang kulakukan ini tak melibatkan-Nya. Apakah Allah marah padaku?" Sistem peredaran darahnya berdesir entah ke mana. Lututnya lemas dan degupan dada merayu untuk tidur menghilangkan segala kerisauan yang menyesakkan dada.
Dia ingin bersedih. Tapi kesedihan ini tak berarti.
"Entahlah, jika kuurai. Hanya seperti kelihatan mengeluh. Aku selalu ingat akan janji Allah yang akan selalu memastikan hamba-Nya hidup dalam kebahagian. Tapi, kenapa aku merasakan kebahagiaan itu berupa kesedihan yang menjalari ruang nadi. Astagfurullah, ya Allah apakah memang ini takdirku? Jika begitu, jangan biarkan hamba bersandar pada keyakinan yang sia-sia."
Ini tentang usaha yang ia lalui mati-matian. Semangat yang mengiringi proses nyatanya musna hanya dengan hasil akhir.
Lantas ia masih mempertanyakan hal yang menyinggah dalam relungnya.
Apakah ia benar-benar durhaka pada sesuatu?
Atau memang garis kehidupannya ia melalui hal yang seperti ini.
Zahira terus berusaha memperbaiki perasaanya. Tak bisa melakukan apa-apa selain mengikhlaskan hal yang telah tiada. Ia berpikir sekali lagi tentang seharusnya yang disyukuri. Mungkin hari ini ia adalah wanita malang dengan segala musibah di dalam proses kehidupan. Tetapi di luar sana ada banyak orang yang malang dalam menapaki kehidupan. Bahkan kesempatan pun tak punya.
Meskipun hatinya tak kuasa menahan nafsu. Tetap saja kunci utama kebagiaan hanyalah diri sendiri. Bersyukur dengan berusaha bahagia. Meski pada akhirnya pura-pura bahagia.
Hingga benaknya masih terus bertanya. Adakah garis kebahagiaan dari proses yang selama ini ia lalui atau hanya sesuatu yang tak akan memperoleh hasil?
Zahira baru saja memupuk keyakinan dan harapan. Kini malah seperti menggilas kepercayaannya pada takdir yang akan datang.
Ia berusaha bangkit dari tangisan ini. Berungkali memujuk rasa yang telah patah. Walau terkadang ia merasa gila dengan kepercayaan yang dimiliki. Tetapi itulah yang membuatnya membangkitkan kebahagian diri. Bahkan orang lain tak memiliki hak untuk mengendalikan dirinya.
Ia melihat baterai ponsel mati lagi. Entahlah, rasanya ia ingin ikutan mati dalam detik ini. Tapi, itu adalah jalan cerita yang paling mengenaskan. Bukankah dulu ia pernah mengatakan bahwa hatinya yang paling kuat dalam terjangan ombak.
Kini malah seperti hamparan debu yang hilang begitu saja jika tertiup angin. Ia sadar akan segala yang terjadi. Tak dapat dipungkiri yang namanya ujian.
Jika ia berada dalam posisi tangga. Mungkin saja kali ini ia mendadak terjatuh dari tangga atau malah memilih mundur selangkah untuk menenangkan jiwa.
Apa yang terjadi sebaiknya adalah dengan melihat langsung kondisi laptopnya saat ini. Bukan hanya berdiam diri dan meringkuk dalam kesedihan. Tak peduli sebanyak pasang mata yang melihatnya nyaris seperti orang gila di rumah sakit ini.
Zahira merapikan segala yang ada di sisinya. Setelah itu bergegas pergi ke sana.
Jalan yang ia lalu begitu mulus. Tidak macat dan tidak terlalu panas. Apalagi kecepatan sepeda motor sudah serasi dengan deru mobil.
Setelah sampai di depan gedung. Ia langsung memarkirkan tanpa menunggu lama lagi.
Kedua bola mata langsung menuju objek yang dilihat. Laptop yang utama menjadi incarannya.
Praduga itu benar. Segala data yang telah ia punya musnah.
"Bang gimana ini? Bisa kembali nggak data-data saya?"
Lelaki penjaga itu sejenak terdiam. Seolah ia telah pusing sejak tadi. Sedangkan Zahira sudah galau.
"Bisa Mbak. Tapi senin ya. Itu pun sekitar 40%-60%. Ini masih dihubungi teknisi yang kemarin." Tangan kanan masih berusaha menghubungi pihak yag bersangkutan.
"Waduh, hasil kuliah empat tahun saya hilang begitu saja. Biasanya data di D kan tidak hilang. Saya sudah bilang sudah dipindahkan ke data D semuanya. Jadi bisa tinggal instal saja. Kalau begini tak masalah jika program tidak bisa berjalan. Asal jangan data saya yang hilang." Jujur, Zahira tidak bermaksud untuk meninggikan suara ataupun mencak-mencak tidak jelas. Ia hanya ingin menyuarakan rasa yang ada di benaknya.
"Ada Kak pertinggalnya. Bisa nanti diambil hari senin."
Zahira masih memikirkan keperluannya di kemudian hari. Padahal hari senin ia sangat membutuhkan laptop itu. Tak lama kemudian ia mengambil keputusan untuk mengiyakan apa yang dibilang lelaki itu.
"Baiklah, saya titipkan lagi laptop saya. Tapi tolong selamatkan data saya." Hanya itu yang dapat Zahira ucapkan setelahnya. Ia memilih pulang untuk bertemankan kesedihan yang menghadang.
Dalam perjalanan. Rasa mengupat yang ada dalam benak keluar. Tentang mengapa dan apa yang ia lakukan saat ini.
"Ya, Allah apa yang terjadi pada hamba. Mengapa semua nasib buruk selalu menimpa hamba. Hamba sulit untuk berkomunikasi lancar dengan-Mu. Ketika Mama hamba tak suka waktunya dijeda hanya untuk menemu-Mu. Lantas, begitu ada kerenggangan dalam diri hamba. Mengapa hamba diberikan cobaan seperti ini? Ya, Allah, apakah saya adalah orang yang sangat hina?
Percuma saja keshalehan selama ini yang telah hamba lakukan. Jika Mama saja tak percaya dengan-Mu. Astaghfirullah, hamba benar-benar jahat, bukan?
Rasanya sia-sia itu selalu merangkap dalam diri hamba. Doa-doa buruk yang disampaikan kepada hamba mengapa selalu bersinggungan?"
Zahira meluapkan segala rasanya. Berbicara sendiri, seolah Sang Maha akan mendengarnya. Air mata terus mengalir. Sampai ia sampai ke tempat tujuan, rumah.
Ia bertemu dengan Mamanya dan menangis. Sedangkan Mama menyalahi Zahira.
"Apa ya, kau itu memang bandel dibilangi. Apa yang dibilang A malah yang engkau kerjakan B. Pelajari sifat orang lain."
Zahira memang kesal dengan ucapan Mamanya. Apabila ia mengerjakan pekerjaan rumah pasti dibilang merebut. Tapi setelah tidak dikerjakan. Malah dibilang tidak tahu diri. Zahira tidak tahan lagi.
Ia memilih tidur di kasur. Bertemankan sisa-sisa sakit hati.
***
Zahira menyandarkan tubuhnya ke dinding malam ini. Setelah mengikuti instruksi Mamanya ke rumah adik Mama. Sampai di sana kebetulan suasana menjelang solat Isya.
Sembari mendengarkan seruan azan berkumandang. Hatinya damai, namun keegoannya melebur bersema rindu. Rasanya separuh nyawa yang telah ia miliki telah hilang.
"Ya Allah, maafkan hamba yang telah meragukan cinta-Mu. Sejauh apa pun hamba berlari. tetap saja hamba membutuhkan-Mu dalam setiap waktu. Hamba akan belajar menjadi orang yang penurut dan tahu waktu.
Ya Allah, hamba sadar bahwa ketentuan-Mu pasti memiliki makna sendiri. Hamba tak pantas mengumpat segala yang ada. Sedang kenikmatan yang telah Engkau berikan tiada batas. Tak terhitung jumlahnya.
Kini Engkau menariknya kembali. Malah hamba begitu marah. Astagfirullah, maafkan hamba ya Allah. Tak sadar bahwa dosa ini telah bergelimpangan."
Lagi-lagi. Air mata yang selalu mendampingi mengalir di jalannya pipi. Zahira dengan segala kesulitan dalam memerangi nafsu diri menyapa. Tentang rasa malas yang tak disadari dan segala pernyataan rasa percaya diri.
Rasa percaya dirinya rupanya adalah bumerang yang menyakitkan.
Ia sadar bahwa semua yang terjadi adalah ketentuan dan merupakan suatu ujian. Kini makna dari yang tersirat adalah sebuah teguran bahwa saatnya ia memang harus berubah. Tentang perasaan yang mendominasi tidak untuk dilupakan. Melainkan membersamai sebagai pelengkap dalam mendeteksi perasaan orang lain.
Zahira melihat lagi akun perlombaan yang ia ikuti. Ia membaca pengumunan bahwa peserta yang mengikuti sebanyak 1500. Lantas, ia menaruh pengharapan begitu besar. Itu berarti bukan dirinya yang kecewa. Tetapi peserta yang lain juga kecewa.
Maka jangan letakkan sesuatu itu pada hal yang belum dipastikan. Rasa kecewa itu amat menyakitkan.
Zahira ingin pulang. Ia melihat tatapan Om Farid dengan rasa tidak suka. "Kamu itu gadis jorok kan? Yaudah nikmati saja hidupmu."
Zahira benar-benar ingin bersedih lagi sepertinya. Ia mendapat hujatan dari dalam dan luar.
Guntur, bisakah datang lagi?
*
Bersambung
4 [Syawal di Hari yang Fitri]
"Jika memang benar kita tidaklah sempurna dengan kesalahan. Dapatkah memohon ampunan dan berusaha menjadi yang terbaik?"
*
*
Ini adalah lebaran ketiga pada hari yang telah dijanjikan. Maka sudah sepantasnya Inaya memenuhi undangan tersebut. Meski telah banyak tugas dan kegiatan yang berkunang-kunang. Belum lagi menyelaraskan hati yang tidak singkron. Inaya mencoba berdamai sejenak tentang waktu.
Jatuh adalah hal yang biasa. Tapi bangkit adalah hal yang luar biasa.
Segera ia mengambil kain dan membasahinya. Kemudian menyapukan perlahan di dinding kaca yang telah bernoda berkas rintik hujan. Walaupun ia tak yakin akan langsung bersih dan kinclong seketika. Tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba. Ia berharap suatu hari nanti akan menemukan cara yang paling sakti untuk membuat kaca itu seperti cermin.
Ada rasa malas yang bersemayam diam-diam. Tetapi jika tidak dikerjakan. Malah menjadi kesalahan yang terus melekat. Memang benar mengumpulkan semangat untuk membersihkan rumah tidaklah mudah.
Maka cara yang paling sakti dalam mengatasi itu adalah mencoba menghayalkan pria yang ia cintai saat ini ada di sisi. Atau mungkin menunggu kehadirannya sebentar lagi. Ya, segera Inaya mengeluarkan semangat yang berapi dalam benak.
Gagang sapu yang panjang digerakkan dengan kecepatan konsisten. Tekanan yang dihasilkan cukup mampu menggiring debu ke arah tertentu. Sampai akhir dari keinginan tuannya.
Selain itu, giliran gagang pel yang menjadi pelengkap dari pekerjaan gagang sapu dalam membersihkan lantai. Tak lupa diiringi air untuk mempercepat prosesnya.
Setelah itu ia membentangkan kain panjang beberapa lapis di lantai. Kemudian membalikkan seluruh helai pakaian.
Ia melihat ponselnya sekali lagi. Sudah banyak yang telah mempublikasikan hasil kerja PKM di media masa. Kini tinggal gilirannya menghadapi hal itu. Ia yakin pasti bisa melalui hal yang sulit. Meski terkadang rasa pesimis menyapu semangat yang telah ada.
Ia ingin menenangkan jiwa sesaat. Kegalauan telah melanda. Maka bukan diam yang menjadi penyelesaian masalah. Ya, dia harus ke kampus saat ini. Bertemu dengan satu tim dan mendiskusikan pekerjaan yang belum tuntas.
Kain yang telah dibentangkan diuraikan begitu saja. Segera Inaya mengirim pesan bahwa ia sedang dalam perjalanan di grub WhatsApp PKM Go PIMNAS.
"Ya, Nay harus pergi. Bukan seberapa awal kita bertindak atau tidak punya waktu lagi. Tetapi seberapa kuat kita bertahan pada waktu yang ditentukan."
Ia melirik lagi jam yang berdetak di dinding. Rasa was was dan kesal membuatnya tidak karuan. Bukankah ia telah belajar sistem manajemen waktu tiga tahun yang lalu. Namun, tampaknya masih tak berpengaruh untuk detik ini.
Ia terlambat, tetapi masih berharap pertolongan Allah nyata. Segala pekerjaan terpaksa ia tinggalkan.
Belajar dari hati yang tak ingin singkron. Meski pemikiran sudah memiliki daftar mana saja yang harus dikerjakan. Tetap saja hati menjadi bumerang yang wajib diwaspadai. Kata entahlah selalu keluar dalam benaknya.
*
Kanaya melirik angka yang tertera di ponsel. Detik dan menit selalu menjadi acuan dalam sebuah kegelisahan. Ia melihat sekeliling ruangan. Sudah bersih dan rapi bersebab tangan yang bersedia menjadi perantara tujuan. Jadi, tidak perlu khwatir akan sebuah rasa malu yang mendatangi diri.
Entah keputusannya benar atau salah. Tetap saja ada rasa tak nyaman yang berseberangan di dada. Ia memberanikan diri untuk menekan nomor seseorang di ponselnya.
"Assalamualaikum." Kanaya berharap jawaban suara itu berasal dari wanita yang ia cintai, ibu.
"Wa'alaikumussalam."
Tidak, ini bukan suara dari jawaban yang ia inginkan. Suara bas itu pasti berasal dari seorang pria yang selalu mengusilinya. Terdengar tidak ramah. "Lo kenapa Ki? Moodboster?"
"Iya. Tapi enggak usah tanya kenapa. Sebab Kakak sudah main ngilang gitu aja di hari raya yang ketiga ini."
Kanaya malah semakin bingung. Padahal niat awalnya adalah melepaskan kerinduan pada sang Ibu. Tapi malah anak manja yang satu ini. "Yasudah. Kakak minta maaf ya. Kakak sudah bilang sama Mama kalau kakak hanya sebentar saja di rumah."
"Kakak enggak sayang ya sama Kiki? Padalah Kiki sudah meluangkan masa sebulan untuk cuti lebaran. Biar bisa gangguin Kakak terus. Tapi, kakak malah ngilang gitu aja tanpa ngejalasi apa pun." Lelaki itu seperti tidak peduli seperti apa kesan ucapannya saat ini.
Kanaya tertawa mendengar penjelasan Kiki.
"Apa tawa-tawa?" Ucapan Kiki masih terdengar tidak bersahabat.
"Oke, Kiki Putra. Kakak minta maaf ya kalau buat marah. Ingat ini masih syawal loh. Lagian suruh siapa habis solat subuh tidur? Kamu itu kalau sudah tidur susah dibanguni. Ya sudah kakak langsung pergi saja dan pamit sama Mama dan Papa." Berusaha untuk mengalah adalah tugas dari seorang Kakak. Tanpa perlu beradu argumen ego siapa saja yang harus turun terlebih dahulu. Sadar diri adalah cara yang terbaik.
"Iya, sekarang Kakak ada perlu apa?" Walaupun sudah memafkan Kakaknya. Ia masih berencana untuk mengusik ketenangan.
Kalau begitu, Kanaya mengeluarkan kalimat tujuan secara terang-terangan. "Mau ngomong sama Mama."
"Mama lagi belanja sama Papa. Titip pesan aja."
Kanaya menghela napas. Ia tahu seharusnya pada hari yang fitri tak perlu menyibukkan diri pada dunia. Tapi, bukankah janji adalah suatu hal yang penting untuk ditepati? Ia tahu keluarganya masih belum ikhlas jika meninggalkan rumah secepat ini. "Yasudah, bilang saja kalau Kakak sudah sampai dengan selamat."
"Oke. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam, halo Ki." Kanaya benar-benar kesal saat adiknya memutuskan panggilan duluan. Dia malah menjadi pening saat memikirkan hal ini.
Saat melirik ke pintu yang terbuka. Ia melihat ada Zahira di depan pintu sembari membawa beberapa kantong kresek. "Masuk saja Ra."
Zahira membuka sepatu dengan bergegas masuk. Ia melihat raut wajah Kanaya yang sedang tidak bersahabat. "Kamu kenapa Kanaya?"
"Enggak apa-apa. Cuma kesal saja sama Kiki."
Zahira masih bingung dengan ucapan Kanaya. Ia benar-benar penasaran. "Kiki siapa?"
"Adik Kanaya Ra," jawabnya sembari mengambil beberapa makanan dan minuman dari lemari.
"Cewek?"
"Cowok."
Nama yang sama seperti teman sekelas Zahira. Ia berpikir sekali lagi untuk menyelaraskan praduga yang mungkin saja bisa salah. Kiki yang dimaksudkan pasti bukanlah dia. Lagian ini sama sekali tidak bisa dijadikan daftar pustaka pada karakter novel yang sedang ia buat. Tapi kalau benar bagaimana? Ah, lagian Kanaya tidak pernah mengatakan hal apa pun tentang adiknya. Benar-benar misterius.
Kanaya melihat raut wajah Zahira yang seperti ikan mas koi. "Kenapa bengong Ra? Tanya aja kalau ada sesuatu yang menganggu pikiranmu."
"Enggak deh. Nanti kiranya aku terlalu kepo dengan keluargamu."
Kanaya tersenyum. Ia sudah tahu apa yang ada di dalam pikiran Zahira. Walaupun adiknya sudah membuat kesal pada sore hari ini. Ia tak ingin lagi membebani hati dengan sesuatu yang tidak sempurna. "Okelah Ra. Kiki ini adalah adikku satu-satunya. Anak terakhir yang paling ngeselin. Tapi tenang dia enggak sebaya sama kita. Dia masih SMA kelas XII. Jadi, dia bukan Kiki yang sering menjadi bahan perbincangan kalian."
"Heh, Ra enggak ikut-ikutan buat jadikan objek Kiki sebagai karakter kok. Ra sama sekali enggak tertarik dengan hal yang begituan. Walaupun banyak orang yang seolah sangat menghormati dia. Tetap saja dia itu manusia biasa. Tunggu, emang Kanaya pernah ketemu sama dia?"
"Enggak sih. Cuma kadang adalah terlintas dalam pemikiran entah itu berupa 'emang dia sekarismatik itu ya?', eh yaudah enggak ada faedahnya kita ngomongi orang. Sekarang ini dimakan dulu Ra kuenya bentar lagi Hana datang." Baru saja dibilangi. Kanaya benar-benar melihat Hana datang.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawaban yang paling serempak.
"Baru saja dibilangi. Hana sudah datang. Kalau orang bilang biasanya panjang umur," celetuk Zahira.
Hana menyerahkan beberapa barang bawaannya pada pada Kanaya. "Tuh kan pada ketuaan ngomongin saya."
"Ketahuan Na," sambut Kanaya.
"Oke, cukup typo saja yang salah ketik. Asal jangan salah ucap." Zahira berusaha membenarkan.
"Bercanda loh. Serius amat, nanti mukanya malah makin ketat. Kan susah juga kan. Mana ada dokter khusus ahli kecantikan di sini." Hana melepaskan jaket yang ia kenakan kemudian melipatnya dengan rapi.
Deg, ada apa dengan hati Zahira saat ini. Sepertinya perutnya telah tergelitik hanya dengan mendengar kata 'dokter'. Ia sedang berusaha untuk melupakan segala yang ada. Walaupun seringkali terbengkalai dengan nafsu diri. Melupakan adalah hal yang tak mudah dilakukan.
Sebenar apa yang salah dengan keinginannya. Tak kesampaian hanya karena tak bisa mempertahankan dan memperjuangkan. Rasa sakit itu masih berada pada kerongkongan.
"Ra kenapa lagi? Bengong seperti ikan mas koi. Bukannya tadi sudah hampir gelak yang kelakar?" tanya Kanaya. Firasatnya seperti tidak baik saat ini kalau melihat raut wajah Zahira.
"Enggak, engggak kenapa-napa. So sweet banget sampai diperhatiin sebegitunya." Zahira berusaha untuk menyembunyikan perasaan yang belum ikhlas.
"Kerutan di wajah yang tergambar di wajah Zahira itu seperti menandakan banyak pikiran. Berhati-hatilah, sebab bisa terindikasi cepat menua. Bawa rileks saja masalah dalam kehidupan ini." Analisis yang sederhana dari Hana.
"Assalamualaikum," ucap Inaya. Keringat di dahi masih jelas ingin menetes. Semilir angin menjadi penawar suhu tubuhnya yang sedang kepanasan saat memasuki rumah ini.
"Wa'alaikumussalam."
Bersambung
~
~
5 [Karya Tulis]
~Dunia tak akan ada habisnya untuk engkau gapai. Satu selesai, muncul yang lainnya.~
*
*
*
Zahira masih memandangi gadis yang baru saja hadir. Tampak kelelahan dan seperti ada sesuatu yang disembunyikan. "Nay, kusut gitu raut wajahmu. Habis ngapain?"
Inaya hanya menggelengkan kepala seolah mengakhiri kalimat 'tidak ada apa-apa'. Suasana diam sejenak tanpa percakapan yang istimewah. Ia mulai meletakkan barang-barang di mana seharusnya berada.
"Nay cerita saja. Kalau ada yang mau dibagi sama kami. Percayalah kami bisa jaga rahasia kok. Iya kan?" ucap Kanaya sembari mengodekan tatapan mata ke Hana dan Zahira.
Memang, ada sesuatu yang menumpuk dalam dadanya. Seperti sebuah tindakan bodoh yang ia lakukan selama ini. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Sedangkan waktunya seperti tersita pada hal yang tidak penting. "Beneran enggak ada apa-apa. Nay hanya sedih saja belum mengerjakan skripsi. Orang lain sudah selesai mengerjakan. Nay, seolah tidak berguna." Pada akhirnya kalimat itu runtuh juga. Bahkan bibir tipisnya tak dapat membungkam isi hati. Hal yang ditakutkan adalah semua ini bermuara pada keluhan tak berarti.
"Nay, semua orang sudah memiliki kapasitas kebahagiaan masing-masing. Mungkin Nay, hari ini belum siap mengerjakan skripsi. Tapi Nay sudah memiliki pengalaman yang mungkin bisa membuat diri lebih unggul dari yang lainnya. Jadi, jangan menyiksa diri dengan pemikiran negatif. Tetaplah berusaha, berdoa, dan jangan lupa tersenyum," ucap Kanaya sembari menempatkan dirinya di karpet merah yang teman-temannya duduki.
"Jangan melihat sesuatu itu hanya dari satu sisi. Tapi cobalah dari sisi lainnya. Seperti ada sebuah pelajaran dan tantangan yang harus kamu selesaikan," tambah Hana. Ia mulai men-scroll layar ponsel. Kemudian menjelajah aplikasi Instagram. Beberapa menit kemudian matanya mulai terbelalak saat menemukan sebuah postingan yang sangat menarik. Ia melihat jam yang tertera di pojok kiri atas ponsel. Seperti waktu yang ditunggu sebentar lagi akan tiba.
"Hah, itu bener banget. Bahkan kamu seharusnya jauh lebih handal dalam mengolah hati dan pikiran. Kalau masalah hal yang seperti itu. Zahira yang paling jago." Kanaya jadi mulai merasa hari ini lebih banyak bicara karena sudah dipancing percakapan dengan adiknya tadi.
"Hah, aku?" tangan kanan digerakkan ke kanan dan kiri, "cius, Ra sebenarnya masih perlu belajar lagi dalam mengatur hati dan pikiran. Jujur bagi Ra sendiri. Itu adalah sesuatu yang tak mudah. Karena berlama-lama dalam kemalasan itu menyenangkan hati. Tapi menenggelamkan semua impian." Memang benar bukan? Satu hal yang tak dapat dikendalikan olehnya adalah tidur bertemankan hati yang sakit. Ia masih tak punya nyali dalam menghadapi hantu malas yang ada pada dirinya.
"Jujur, aku merasa ingin sepuitis Zahira saat mendengar kalimat itu. Makna kiasan sederhana tapi mengena di hati." Senyuman Inaya kembali mengembang seperti gulali yang baru saja dibuat.
Zahira seperti kepikiran akan suatu hal. Sesuatu yang sangat ia incar dari dulu namun belum kesampaian. "Hah, bagaimana kalau kita belajar menulis karya tulis ilmiah bersama. Itu adalah suatu hal yang menarik. Apalagi ada pakarnya di sini, yaitu Hana Faizah." Tangan kanan berhasil menimbulkan bunyi kecil saat jari-jari beradu cemerlang.
Hana yang tadi masih tenggelam dalam dunianya. Tiba-tiba merasa terusik saat namanya disebutkan. Tapi ia sadar apa yang sedang diperbincangkan kali ini. Ia menggerakkan tangan kanan ke arah kanan dan kiri. "Na juga masih belajar kok. Kalau mau kita belajar bersama-sama. Itu malah lebih menyenangkan. Hal yang terpenting adalah cobalah untuk menantang diri sendiri dengan patuh terhadap tantangan yang kita buat sendiri."
Sepertinya semua pada bersepakat untuk selalu rendah hati. Walaupun Kanaya bukan berasal dari kelompok FMIPA. Belajar menulis karya ilmiah adalah suatu hal yang menarik. "Hayuk, siapa takut?"
Hana mengangguk tetapi rasa keraguan itu seolah masih ada dalam benak. "Memang mudah untuk mengatakan kita akan ini itulah. Tapi, bisakah kalian menjamin bahwa semuanya itu akan terlaksana dengan sempurna? Pasti, rasa untuk melambatkan dan mengulur pekerjaan itu akan hadir. Jadi, apa kalian yakin akan komitmen?" Sebuah kalimat yang berasa pahit di awal merupakan kejujuran yang tak memberikan harapan. Hana sudah sering menganalisis apa yang sering terjadi dalam sekitarnya.
"Insyaa Allah. Kenapa kita harus ragu akan jalan yang kita pilih? Bukankah ada Allah yang selalu ada di sisi. Kita cukup berikhtiar dan berharap semoga Allah akan meridoi jalan kita. Hal yang terpenting lagi adalah aku sudah berada di sisi kalian. Kita saling berusaha mengingatkan dan berjuang bersama tentang mimpi kita untuk menjadi yang terbaik," jawab Zahira. Ia yakin dengan semua yang terjadi merupakan ujian dalam kehidupan. Walaupun hati kecilnya sempat goyah hanya karena sebuah masalah yang tak diduga. Tetapi kesempatan untuk menjadi yang terbaik masih terbuka lebar. Tanpa perlu memandang seberapa banyak diri terjatuh. Tetapi seberapa banyak diri bisa bangkit lagi.
Kanaya sungguh bingung dengan isi kepala Hana. Gadis yang penuh dengan ambisi malah meragukan sesuatu yang biasa dialami. Walaupun sejujurnya benar. Tangan kanannya mengambil gelas yang sudah ia tuang dengan sirup. Kemudian meminumnya dengan beberapa tegukkan. "Jatuh itu biasa bukan? Tetapi bangkit adalah hal yang luar biasa. Anggap saja semua orang yang ada di sini seperti lidi. Namun, bila dijadikan satu akan menjadi sapu yang tak mudah patah. Jadi, kesimpulannya. Saya ikut percaya dengan Zahira."
"Ayolah Hana. Kamu bukan dosen penguji bukan?" ucap Inaya. Saat ini ia lebih butuh kalimat penguatan daripada pernyataan yang bisa saja membuat diri dilema tak karuan.
Hana tersenyum simpul setelah ia menutup aplikasi Instagram. "Rencana sih gitu." Ia menyedekapkan tangan dan mengarahkan padangan ke arah mereka. "Tapi mendengar pernyataan kalian yang tetap berjuang. Maka kalian lulus dalam tahap tekad." Mata seolah berbinar seperti mendapatkan ide baru.
"Teman-teman. Aku minta maaf ya kalau selama ini ada banyak salah sama kalian. Sering buat kesal dan kadang-kadang buat marah," ucap Zahira duluan. Baginya tak penting perihal siapa dulu yang meminta maaf atau menurunkan gengsi. Hal yang terpenting adalah saat diri menyadari bahwa ia dan yang lainnya sama-sama manusia biasa.
"Iya Ra, Nay juga Minta maaf. Maafin Nay juga ya Hana, Kanaya. Terima kasih sudah selalu ada membersamai masa-masa sulit ini. Tanpa kalian Nay bukanlah apa-apa." Air mata itu tak sengaja menetes. Nuansa ini benar-benar terasa haru biru.
Saling memaafkan sebenarnya bukan hanya saat lebaran saja. Setiap waktu siapa pun boleh saling memaafkan. Namun, untuk suasana hari yang fitri itu rasanya benar-benar berbeda. Seperti bayi yang baru lahir tanpa dosa sedikit pun.
Inaya mendengar nada ponsel dari chat pribadinya. Kemudian ia segera mengecek isi pesan tersebut. Ia menghela napas berungkali setelah membaca huruf demi huruf.
"Ada apa Nay?" tanya Kanaya.
"Nay dapat panggilan lagi untuk besok melanjutkan PKM. Tapi Nay sudah bosan banget rasanya. Nay, pengen bangen ngerjain skripsi biar cepat kelar." Ia hanya merasa dunia tak akan ada habisnya. Sungguh melelahkan bahkan menjenuhkan. Apalagi ia sudah tidak punya alasan lagi untuk mencapai pada titik puncak karena seorang pria.
"Jangan berhenti di tengah jalan Nay. Apa yang sudah kamu mulai. Harus pula kamu akhiri dengan sempurna. Semangat terus dan selalu berdoa. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik. Jika kita memiliki seribu jatah gagal sekali pun. Maka habiskanlah dan menyisakan jatah keberhasilan di akhir cerita," ucap Zahira seraya mengelus pundak Inaya.
Inaya hanya bisa tersenyum. Serta menjalarkan senyuman itu pada Hana, Kanaya, dan Zahira. Saling berpelukan dan menguatkan pundak masing-masing.
*
*
*
Bersambung
6 [Jenuh Berkepanjangan]
~Sesuatu yang terus menerus dikerjakan dengan pola tertentu akan terasa mebosankan. Kecuali, memberi variasi dalam bertindak.~
*
*
Hana mengedarkan pandangan ke sekeliling demi mencari sebuah earphone. Teman-temannya hanya bisa kebingungan melihat Hana seperti kucing yang sedang mencari makan.
"Cari apa?" tanya Inaya berhasil mengeluarkan unek-unek yang tengah bercengkerama di atas kepala.
Hana hanya bisa mengodekan dengan menunjukkan tangan ke telinga. Ia hanya tidak ingin diganggu dalam berkonsentrasi.
Zahira yang melihatnya langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. "Nah, pakai ini saja dulu Han." Sebuah eraphone kecil yang berwarna hitam sudah berada di tangan kanan.
Hana mendekatkan diri. "Big thanks dear. Nanti kalau sudah selesai langsung saya kembalikan." Ia memperbaiki posisi duduk yang nyaman. Kemudian langsung mencari siaran yang tertera pada brosur di Instagram tadi.
Setelah mendengarkan beberapa saat. Ada perasaan yang menganggu berupa keraguan. Jempol kanan asyik bermain-main dengan mata demi memastikan alamat siaran yang sebenarnya. Hati terus berkata bahwa ia sedang tidak ingin mendengar lagu. Hanya sesuatu yang bersifat penasaran.
Setelah menunggu selama setengah jam. Akhirnya ia bisa mendengarkan suara maskulin yang menyejukkan indera pendengaran. Kalimat yang diucapkan terperangkap dalam degupan yang menjantung.
Eits, logika terus berkata bahwa ia hanya penasaran dan tidak berkeinginan untuk terobsesi sedikit pun. Baru saja pria itu berbicara sekitar lima menit. Itu pun lebih banyak terdengar suara penyiar radio. Malah dijeda dengan sebuah tembang lagu. Mendadak ia lupa untuk merekam suara pria maskulin tersebut.
Jika ini benar, maka ia hanya ingin menjadikan motivasi pria maskulin itu sebagai amunisinya untuk terus maju dan memperbaiki diri. Mungkin di lain kesempatan ia akan menemukan lagi keberadaannya.
Sejujurnya ia kecewa. Tapi, mau bagaimana lagi. Setelah siaran itu berakhir. Ia langsung mengembalikan earphone tersebut pada Zahira.
"Sekali lagi terima kasih ya Ra."
"Iya sama-sama."
Inaya melihat lagi waktu yang tertera di ponsel. Ia menghela napas lagi dengan berat hati harus kembali ke rumah. "Teman-teman, sepertinya Nay memang harus pulang. Mau ngajar ngaji lagi. Besok kalian duluan saja kalau mau mengerjakan proyek kita tentang karya tulis ilmiah. Tenang, Nay pasti akan menjadi BNN."
"Apa itu Nay?" tanya Kanaya.
Hana yang mendengarnya hanya bisa menjawab seraya memainkan sebelah mata. "Bagian nengok-nengok, bener enggak Nay?"
"Yuhu."
"Kalau begitu. Ra juga ikutan pulanglah ya. Soalnya Mama Ra nanti yang bising kalau anak gadisnya pulang lama-lama." Ia menaikkan bibirnya secara simetris. Kedua mata dikedipkan untuk meninggalkan kesan sok imut.
"Kalian enggak berniat untuk untuk menginap di sini? Kemudian kita mengerjakan skripsi bersama. Siapa tahu selesainya sama juga," ucap Kanaya. Sebenarnya ia hanya ingin membujuk dua sahabatnya ini.
"Tak usahlah Kanaya. Lagian kedua orang tua mereka pasti tidak akan mengizinkan. Kita kan sudah paham betul bagaimana dan mengapa. Jadi, tak masalah kita berada di mana saja dan tak bersama saat mengerjakan. Asal tujuan kita tetap sama, yaitu sama-sama wisuda," jelas Hana sebelum mereka berdua menjelaskannya sendiri. Ia yakin mereka sudah kehabisan kata-kata duluan.
Hati Inaya meluruh seketika. "Iya Kanaya. Tak peduli seberapa lambat atau cepat kita dalam berproses. Jika pun kita diberikan jalan hidup yang berbeda. Asalkan ada yang selalu menguatkan. Itu semua akan baik-baik saja."
Zahira sungguh ingin menitikkan air mata. Ini yang dia butuhkan dari semua yang ada. Saling menguatkan meski kita tak saling beradu dalam tatapan. Lantas, alasan apa lagi yang menjadikan dirinya untuk berhenti? Jawabannya adalah tidak ada. Sebab saat satu pintu tertutup. Maka pintu-pintu yang lain akan terbuka lebar.
"Ra Kenapa?" tanya Kanaya sekali lagi.
Ia menyeka air mata. "Terhura aku hu hu," ucapnya dengan nada seperti anak kecil.
Kemudian mereka saling menyiapkan perjalanan untuk pulang. Tempat yang paling dirindukan di antara semua surga dunia. Meski terkadang sebuah rumah dapat menjadi relatif bagi seseorang. Tetap saja rumah adalah tempat yang paling nyaman untuk disinggahi.
"By the way. Besok kita ngumpul jam berapa?" tanya Zahira saat kaki kiri baru saja masuk ke dalam sepatu.
"Jam sepuluh mau?" tawar Kanaya.
"Nay enggak bisa kalau besok. Maaf ya."
"Santai saja. Kita juga pada paham kok," ucap Hana.
Butuh waktu beberapa detik kemudian untuk mengatakan iya bagi Zahira. Jujur, ia malas untuk datang pagi. "Okelah kalau begitu."
"Kami pulang ya. Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Keempat sahabat tersebut asyik saling melambai-lambaikan tangan saat kepergian. Suara alunan nada mengaji magrib baru saja berkumandang.
*
Langit tampak cerah mengumandangkan kebahagiaan hari ini. Tapi bagi mereka bertiga adalah hal yang biasa. Tanpa ada sesuatu yang istimewah. Hal yang biasa takkan menjadi sebuah kenangan dalam cerita.
Hana baru saja membereskan beberapa sudut ruangan dengan teliti. Sebisa mungkin debu-debu nakal jangan sampai ada yang menempel meja maupun kursi.
Setelah semuanya telah selesai. Perasaan keingintahuannya membuka aplikasi instagram. Seketika kedua bola mata membulat saat ia menemukan sebuah informasi yang teramat penting. "Wuah cocok sekali. Sebentar lagi juga jam sebelas. Bisalah ini," ia melirik jam yang ada di dinding, "hmm, enggak heran deh, kalau lihat Zahira datang lewat dari perjanjian."
"Na, Ra sudah datang belum?" tanya Kanaya saat keluar dari dapur. Ia baru saja memasak beberapa gorengan yang bisa digunakan sebagai cemilan.
"Belum juga."
"Okelah kalau begitu," ucap Kanaya kemudian kembali lagi ke dapur.
Hana mulai membentangkan karpet merah dan mengambil beberapa perlengkapan yang bisa digunakan untuk diskusi.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaykumussalam."
"Maaf lama ya. Biasalah kalau janjinya jam sepuluh dari rumah perginya juga sepuluh," jelas Zahira seraya menyungginggkan senyuman.
"Iya. Untung saja Zahira bukan dokter. Kalau dokter entah gimana nasip para pasien," sindir Kanaya sembari membawa makanan di piring.
Deg, rasanya seperti ada sesuatu yang menyentuh dadanya spontan. Zahira takkan mengisahkan apa pun yang menyinggung tentang dirinya. Tetapi mengenai sangkut paut dengan dokter malah membuatnya tersentuh. "Iya deh, Ra bakalan berusaha untuk disiplin di kemudian hari."
"Nah, itu baru benar. Selangkah diri kita lebih maju selangkah itu pula jalan kita menuju kesuksesan. Sebab kesuksesan bukan milik orang yang secara kebetulan mendapatkannya. Melainkan mereka orang-orang yang tangguh," ucap Hana.
Tak terasa waktu telah menunjukkan waktu hampir pukul sebelas. Ia mengambil earphone kemudian menyetelnya pada alamat yang tertera di brosur tadi.
Zahira yang saat ini hanya bisa terdiam pun melihat gerak-gerik Hana. Tanpa sengaja kedua matanya menangkap sebuah informasi.
Hana mendengarkan suara orang yang selama ini menyita perhatiannya di radio 103,8 FM pukul 11:00 WIB. Kalau kemarin ia telah lama menunggu sampai setengah jam hanya untuk mendengarkan suara pria itu. Kini ketepatan waktu membuat senyumnya mengembang. Tersenyum sendiri. Tanpa disadari ada orang yang tengah memperhatikan sejak tadi.
"Han, ngapai senyum-senyum sendiri? Itu siaran pada ngelawak ya," goda Kanaya.
Zahira teringat alamat yang ia baca sekilas di Instagram tadi. Ia melihat ekpresi Hana yang sudah mulai dengan dunianya sendiri. Ada apa dan tak biasanya seperti itu. Pemikiran yang serba fantastis dengan banyak ide di dalamnya. Walaupun mereka semua sudah berjuang dalam mengikuti ajang PKM. Hanya Inaya yang berhasil lulus dengan tim lain. Ia berharap Inaya akan bisa mewakili timnya di ajang PIMNAS nanti.
Sekarang ini, Inaya telah melaksanakan tugasnya dalam kegiatan menuju PIMNAS.
Zahira mencoba ikutan mendengarkan siaran radio Hana diam-diam. Ia melirik Kanaya dan bersekongkol untuk menyembunyikan hal ini dari Hana. Kanaya juga ikutan dan mengikuti instruksi Zahira.
Sepertinya Zahira malah ikutan tercengang dan mulai termotivasi dengan hal yang baru setelah mendengar kalimat dari narasumber radio tersebut. "Wuah gila banget. Bisa mendapatkan ratusan juta dari penemuan. Sebenarnya Ra sendiri sangat tertarik nih. Hanya saja Ra sudah tenggelam dengan namanya tulisan dan ide-ide dalam mengeluarkan perasaan."
"I see. Sebenarnya kan Ra, enggak ada yang tak mungkin di dunia ini jika kita mau berusaha dan bersungguh-sungguh. Serta dibarengi doa yang tulus." Kanaya mengeluarkan pendapat yang telah terpendam saat ini.
"Itulah masalahnya Kanaya. Hal yang tersulit adalah memerangi hawa nafsu. Saat ini Ra memang sangat ambisius dengan tulisan fiksi. Tapi setelah mendengar sesuatu yang lebih besar malah terpengaruh untuk berpindah haluan."
Hana yang tadi masih asyik mendengarkan radio mendadak terusik saat menangkap suara mereka.
"Kalian ngapain?" tanya Hana setelah memergoki ekspresi Kanaya dan Zahira saling beradu pandang.
Momentum so sweet yang gagal.
*
*
Bersambung
7 [Suara Radio]
~Saat sebuah suara terdengar di indera pendengaran. Siapa pun akan tersihir dengan kalimat yang disampaikan.~
*
*
Keduanya saling membetulkan posisi masing-masing. Apa ini rasanya pura-pura enggak ada kejadian saat ketahuan?
"Enggak lagi ngapa-ngapain kok. Hanya sekadar mendengarkan radio," ucap Zahira spontan.
Radio? Ah, apa mungkin mereka juga mendengarkan channel yang sama. Tapi kalau diingat-ingat mereka tak hobi mendengarkan radio. Hana terus berpikir dalam pemikirannya sendiri. Tapi daripada terus berputar-putar pada rasa penasaran lebih baik ia menanyakan kebenaran. "Dengarin apaan sih? Sepertinya serius amat."
"Begini Na. Tapi ini sepertinya talk sharing gitu. Enggak tahu juga sih apa namanya. Mungkin diskusi kali ya. Tadi Zahira yang ngajakin buat dengarin. Eh, menarik ternyata. Mungkin ini adalah sesuatu yang paling diincar sama Zahira," Kanaya melirikkan pandangan seolah ada kecurigaan tersembunyi, "ehem apalagi suara orang yang terdengar itu seperti menarik."
Eit, Zahira mendadak merasa sedang disindir saat ini. Padahal ia hanya sekedar penasaran saja. Kedua tangan digerakkan ke arah kanan dan kiri. "Ih, cius Ra enggak sengaja ketemu brosur di Instagram Hana. Lagian Ra enggak kenal sama orang yang berbicara di radio itu." Tangan kanannya sudah menegakkan jari tengah dan telunjuk sedangkan jari yang lain menutup.
Mau bagaimana lagi. Hana sudah ketahuan saat ini. Tak akan mungkin ia mencak-mencak enggak jelas. Dia berharap mereka tidak akan mengejeknya tentang sesuatu yang sengaja disembunyikan. "Kalau begitu kita dengarkan bersama," ajaknya kemudian menyetel loudspeaker di ponsel.
Masih terdengar suara tembang lagu yang menurut Hana masih biasa-biasa saja.
"Na, enggak berniat mau jelasin sesuatu gitu tentang siapa yang ngomong di radio itu?" tanya Zahira basa-basi setelah beberapa saat. Suara pria yang terdengar di radio itu memang sungguh menarik. Mungkin kalau bisa digambarkan ia adalah sosok orang yang cerdas.
"Sepertinya enggak ada yang terlalu penting sih. Dia itu hanya mahasiswa berprestasi." Ya, prestasinya di mana-mana. Bahkan sudah pergi ke mancanegara. Apalagi pernah berkunjung ke perusahaan Google. Oke, ini seperti idaman able.
What? Hana masih bisa-bisanya mengatakan ini adalah hal yang enggak penting. Padahal kalau dibilang ini adalah Jackpot. "Lah, Na. Suka ya sama abang yang ngomong itu?" ungkap Zahira terang-terangan.
Kanaya merasa ini sudah melampaui dari konteks. Bukankah raut wajah Hana hanya biasa saja? Itu berarti tidak ada keterkaitan sama sekali. Tapi setidaknya Hana memang mengenal pria itu. Tunggu, kalau ada perasaan bisa saja itu terjadi. Malahan bisa menjadi topik utama untuk mengganggu Hana.
"Enggak lo hanya tertarik saja," ucapnya dengan sedikit senyuman nakal. Well, tidak ada yang perlu disembunyikan dari pertemanan mereka, bukan? Sekali pun itu masalah sekelumit hati.
"Tuh, kan benar tebakan aku. Pasti orangnya ganteng dan pintar. Satu lagi tinggi juga iya kan?" Kedua alis dimainkan seraya tersenyum nakal. Mungkin kalau ia bertemu langsung sudah pasti menjadikan pria itu sebagai objek pembicaraan dalam novel.
Dasar penulis novel. Kebanyakan menebak jalan cerita dalam kehidupan. Apa saja yang hadir bisa dijadikan prasangka bermacam-macam. Termasuk mengenali karakteristik beberapa orang yang menurutnya menarik. Hana menghela napas. Memang dia lebih suka menganalis sesuatu yang terjadi di alam ini. Bahkan reka kejadian. Tapi kalau ada orang yang mencampuri seluk beluk tentang dirinya. Ada perasaan tidak nyaman. "Sok tahu Ra nih. Mending selesain saja projek menulis Ra." Kedua tangan bersedekap mengisyaratkan ketidaksukaan.
"Lah memang itu selera Hana. Iya kan?" Pandangan Zahira tertuju pada Kanaya. Kali ini semesta benar-benar sudah mendukungnya. Bukti yang nyata.
Kanaya menganggukkan kepala sebagai tanda sepertujuan. Jika masalah hati, memang patut dicurigai. "Emang spesial apakah dia ini. Kok sepertinya malah menarik ya. Siapa namanya?" berpikir sejenak sembari memegangi dagu dengan tatapan mata ke langit-langit, "ah Iya ya Babang Dika." Perasaannya ikutan penasaran.
Sekali lagi. Mereka berdua benar-benar menyebalkan. Padahal ia hanya sedang ingin menikmati ilmu pengetahuan yang sangat ingin didengarkan.
Suara tembang lagu telah selesai. Talk sharing dimulai. Mungkin jika telinga Hana sebesar gajah akan melebarkan kedua daun telinganya. Ia tersenyum sekali lagi. "Oke nantilah ya. Kita dengar dulu apa yang Abang ini sampaikan."
"Iya. Jadi kami menemukan sebuah alat untuk mendeteksi kematangan mangga. Jadi petani mangga bisa lebih tahu dalam menaksirkan produksi untuk menghindari yang namanya kerugian. Petani itu akan tahu kapan saja buahnya siap untuk dieskpor."
"Wuah bagus sekali ternyata penemuannya ini. Jadi gimana cara kerja alatnya?"
"Kalau buahnya akan matang. Alat ini akan mendeteksinya dan memberikan sinyal warna kuning. Kalau memang sudah sangat matang alat ini akan memberikan sinyal warna merah."
"Wuah begitu ternyata sahabat FM. Tak terasa ya kita saat ini sudah berada di ujung acara. Maka sesi sharing ini kita akhiri sampai di sini. Sampai jumpa kembali sahabat pendengar radio FM. Tapi sebelum itu kita dengarkan satu tembang lagu dulu dari Armada."
Okelah, hal ini selalu terjadi. Berbicaranya sedikit tapi malah kebanyakan jeda seperti iklan. Tapi setidaknya ada sesuatu yang tertinggal dalam diri Hana, yaitu semangat untuk melakukan penelitian. Jarinya sudah tak sabar untuk menemukan suatu hal yang luar biasa. Namun, setelah melihat wajah Zahira yang rasanya ingin dijitak. Ia segera teringat akan janji tadi. "Jadi, kalian masih mau dengar tentang siapa yang baru saja berbicara?"
"Tentu saja," Kanaya mengesimetriskan bibir.
Hana menghadapkan posisi di depan mereka. Kemudian mematikan siaran radio ponsel. Setelah melihat ada bantal cantik yang masih nganggur. Ia segera mengambilnya. Ya, biar pembicaraan ini seolah sedang talkshow seperti sesungguhnya. "Jadi, dia itu salah satu orang yang tangguh seperti saya. Jika orang lain malas untuk belajar di kala liburan. Kami pernah ada di tempat yang sama untuk belajar fisika. Ya, sekarang ini dia masuk di jurusan fisika. Mungkin saja dia lebih tertarik pada teknologi. Soalnya rata-rata ia selalu berada pada karya yang berbasis teknologi.
Tapi kalau untuk ketampanan memang sih dia termasuk salah satunya. Sekarang ini menurut kabar entah dari sumber mana saja sepertinya dia sedang merintis perusahan terbaru yang membuat kampas rem dari kulit kemiri."
"Ah, Hana yakin dia sudah punya perusahaan? Pernah enggak klarifikasi ke dia secara langsung?" tanya Zahira. Sebenarnya itu merupakan suatu hal yang luar biasa. Secara gitu orangnya masih muda.
Pertanyaan ini memang sungguh menantang. Tapi kalau seandainya ia sangat ingin tahu tentang perkembangan yang telah dilakukan pria itu. Takutnya malah terkesan terlalu ingin tahu. Padahal dia bukanlah siapa-siapa. Dia hanyalah seseorang yang pernah bersinggungan dari jauh dan tertarik. "Kalau memang sudah tersebar di beberapa media. Tak perlu repot-repot untuk menanyakannya. Sudah pasti valid dan bisa dipercaya. Walaupun terkadang ingin tanya langsung. Tapi, sudahlah. Setiap orang pasti memiliki jatah keberhasilan masing-masing."
"Iya sih mendingan kita lebih fokus ke target membuat karya ilmiah. Tapi, lebih tepatnya sering buat skripsi saja. Sebab sampai sekarang Ra masih belum seminar," saran Zahira.
Ada banyak sebenarnya yang ingin Hana komentari tentang Zahira. Semuanya dari ujung kepala sampai kaki. Tapi, kembali ke topik awal. Saat semua orang memiliki cara terbaik versi diri sendiri dalam melalui sendi kehidupan. "Ra. Saya tahu Zahira merupakan salah satu orang yang paling cerdas di antara kita. Bisa menulis dan menguraikannya secara terperinci. Apalagi disertai dengan niat memperbaruhi diri. Itu adalah suatu potensi yang sangat besar. Dunia ini ada pada tangan Zahira sendiri. Hanya saja Ra enggak tahu kan bagaimana mengendalikan hawa nafsu?"
Ya, kuliah ini malah berlanjut pada tudingan yang menyentil perasaan. Zahira tahu, tapi dia tak bisa apa-apa saat hati lebih dominan. "Iya Na. Aku memang enggak tahu caranya melunakkan hawa nafsu yang ada pada diri ini. Sehingga setiap orang yang dekat deganku marah bahkan keluargaku sendiri."
Kanaya menyiratkan tatapan wajah untuk tidak membahas lebih lanjut tentang apa yang terpendam dalam hati Zahira. Sudah sering mungkin seseorang yang memiliki perasaan lebih dominan akan tenggelam dalam suasana jika dipancing. Cuaca panas seperti ini sangat tidak cocok dalam adegan kesedihan. "Tenang saja. Kami selalu ada membersamai Ra. Hal yang jelas kita memang harus berubah bersama. Tidak terpenting seberapa banyak kegagalan dalam memerangi hawa nafsu. Asal punya keyakinan, semua itu akan terlewati. Iya kan?"
Zahira dan Hana mengangguk untuk mengungkapkan rasa persetujuan. Meskipun kegagalan terkadang menjadi sebuah hal yang memuakkan. Menikmati semua proses adalah hal yang wajib dijalani.
Notifikasi sebuah pesan dari grub masuk ke dalam ponsel mereka masing-masing. Hana melihat isi pesan tersebut.
[Inaya]
Teman-teman Nay minta maaf sangat enggak bisa hadir karena lagi buat benda uji sampai sore.
[Zahira]
Woles aja Nay. Kami pada memaklumi.
[Hana]
Yuhu. Jadi kalau besok ada waktu enggak?
[Inaya]
Tuh, lah. Besok latihan presentasi sampai sore. Ra minta maaf sekali lagi ya.
[Kanaya]
Iya Nay enggak apa-apa. Kami selalu mendukungmu.
[Inaya]
Terima kasih teman-teman.
Ketiga sahabat Inaya mengirimkan balasan pesan berupa emoticon tersenyum.
Waktu sudah hampir Zuhur. Tapi rencana mereka masih belum terlaksana. Zahira mengangkat kedua tangan seolah ingin menyerahkan jalan cerita ini pada Hana.
Hana segera menangkap sinyal itu dan menghela napas. "Okelah. Jadi gini, kita mulai saja ya dengan mencari jurnal tentang sebuah permasalahan yang menarik bagi kalian. Terserah mau apa. Kemudian temukan juga solusinya dari jurnal tersebut dan pustaka lainnya terserah mau apa." Meskipun dia bukan ahlinya setidaknya hanya ini yang bisa diarahkan jika dilihat dari situasi.
"Yah, ini mah namanya ngasih tugas ke kita Na. Lagian niatnya buat bersama kan? Kenapa harus memilih mikir sendiri-sendiri?" Protes Zahira. Ia merasa begitu berat untuk berjuang menulis karya tulis ilmiah secara mandiri. Sepertinya akan terasa memuakkan. Tapi, kalau menulis narasi cerita. Ia sendirian enggak apa-apa deh.
"Sebenarnya Kanaya enggak masalah sih. Kita buat sendiri dulu habis itu disatuin pendapat masing-masing. Lagian ini kan suatu tantangan yang menarik. Kanaya yakin Ra pasti bisa kok. Ide itu pasti muncul walau hanya dengan paksaan. Tapi begitulah itu menyingkronkannya kita butuh tema." Jika yang lain bisa kenapa dia enggak. Itulah yang selalu menjadi alasan mengapa setiap orang harus berjuang pada komitmen masing-masing.
"Iya begitu maksud saya tadi. Jadi, tema kita kali ini adalah usaha yang bisa dilakukan untuk menanggulangi sampah. Terserah mau sampah apa saja. Kalau bisa yang terkhusus. Terima kasih ya Kanaya sudah membantu menjelaskan," ucap Hana spontan. Ia tak mau kalah meskipun orang lain yang menjadi perantara. Ide tema ini memang sudah di kepalanya sejak tadi.
Ya, tak ada cara lain selain sami'na wa atho'na atau kami dengar maka kami patuh. Meskipun itu terkadang menjadi sebuah tantangan. Tak ada salahnya jika dicoba.
Bersambung
*
*
8 [Separuh Perasaan]
~Separuh rasa itu tertinggal saat bayang-bayang seseorang menghampiri. Meski situasinya tidak bersama~
*
*
"Kiki!" sahut Inaya. Sejujurnya ia masih enggan menyapa di awal pertemuan pagi ini. Tapi ia tak bisa. Meskipun ia ingin mengelukan bibir atau melemaskan lututnya secara sengaja. Ia masih tak bisa. Udara segar mengajaknya untuk berkompromi dengan siapa pun.
Kiki mengarahkan padangan ke arah Inaya. Langkahnya terhenti dan mencoba menunggu Inaya. Pada anak tangga yang keempat. Ia mengarahkan posisinya pada lawan bicara.
"Gimana persiapan?" tanya Kiki tanpa menoleh pandangan ke Inaya. Seperti biasa sikap sapaan saling perhatian dengan pertanyaan basa-basi duluan.
"Lagi proses. Alhamdulillah tinggal presentasi. Kalau Kiki?" Jujur, ia sebenarnya tak ingin mengatakan apa pun pada pria itu. Tapi, pancingan pertanyaan membuat intuisinya memang harus menunjukkan saling peduli. Satu sama lain. Walaupun dia sangat tidak menginginkan.
"Masih banyak lagi yang harus dikerjain. Peninglah pokoknya," ucapnya dengan seraya menampakkan wajah kelelahan.
Kalau bisa dibilang. Inaya sungguh salut dengan orang ini. Ia terkenal seantero kampus. Setiap kali berjalan pada suatu tempat sekitaran kampus. Setiap itu pula tatapan wajah setiap orang seolah mengenalnya. Kalau dibilang memuakkan tentu saja ia akan mengatakan iya.
Kini mereka berdua sudah berada pada tangga yang terakhir. Inaya berniat melontarkan sebuah pernyataan padanya. Tapi ia melihat raut wajah Kiki sudah berubah menjadi pendiam. Begitu jutek. Saat ia menatap ke arah pintu. Ada seorang gadis yang sudah menunggu dengan menyedekapkan tangan.
Inaya tak berniat untuk mencari tahu tentang perkara ini. Hal yang jelasnya ia memang sudah kecewa pada Kiki meski tahu dari mulut ke mulut dan belum mengklarifikasinya.
Gadis itu mengenakan kemeja potong kotak-kotak, rok payung hitam, dan dipadukan khimar abu-abu. Isyarat raut wajah juga menunjukkan unsur kejutekan tingkat akut.
"Nay lihat tuh. Cewek Kiki jutek amat. Lo yakin pria yang dipuja banyak orang, pacaran?"
"Entahlah, tapi gue bener-bener kecewa saja. Seolah lelaki baik di dunia kagak ada. Apa coba yang bisa gue pertahanin dari keterjagaan hati selama ini."
"Kebaperan tingkat over sih lo. Ada orang yang perhatian dikit dibilang sayang."
"Yang jelas lo salah niat selama ini. Niat lo bukan karena Allah tetapi pria itu."
"Sstt. Kalian bisa diem nggak sih. Pagi-pagi gini sudah bertengkar di kepala gue. Sakit kepala tahu."
"Iya tuh. Mendingan perhatiin orang yang presentasi."
"Lo juga mesti diem."
Inaya semakin kesal dengan dirinya sendiri. Tentang apa dan bagaimana yang telah ia lakukan. Apalagi pemikirannya terus beradu argumen tak menentu. Jika diibaratkan sel otaknya sedang bertengkar hebat dengan sesuatu yang enggak penting. Semuanya berhenti saat dia ingin meneriakkan kata 'Cukup!'. Sedangkan ada seorang gadis yang menepuk pundaknya dengan senyuman ramah.
"Hai Kak."
"Hai." Inaya tersenyum seraya bangkit dari lamunan yang menyesatkan tadi. Kedua bibirnya membentuk kesemitrisan yang berkesinambungan. Tapi kalau ia pikir sekali lagi. Gadis yang menyapa dirinya merupakan sahabat dari perempuan di balik pintu tadi. Kalau dari perangai bisa dibilang sungguh berbeda dengan kemiringan seratus delapan puluh derajat. Gadis itu begitu ramah dan menyenangkan jika dekat.
Gadis itu duduk di belakang Inaya kemudian melihat orang yang presentasi. Ransel abu-abu berada di atas meja. Sedangkan kedua tangan diletakkan di atasnya.
Inaya membalikkan posisi dengan nyaman saat memutar kursi empuk hitam yang mudah digeser-geser apalagi dinaik turunkan. "Wuah gimana menurut adik. Presentasi yang Bantal Cantik itu bagus kan?" tanya Inaya tanpa ragu.
"Biasa saja Kak. Walaupun itu dari sahabatku sendiri. Lebih bagus Borna lagi."
"Ou begitu." Inaya menganggukkan kepala. Sejujurnya ia masih ingin bertanya lagi tentang kenapa begitu. Tapi, sepertinya malah terkesan ada sesuatu lain dari Inaya. Ia masih penasaran, sungguh. Tapi relung terdalam mengurungkan niatnya dan lebih memilih membetulkan posisi melihat ke arah orang yang sedang presentasi.
"Apa benar Kiki pacaran? Rasanya tidak mungkin, tapi ah sudahlah. Bukankah hatimu telah patah. Jangan berharap lagi."
Ya sudah berminggu-minggu rasanya Inaya sudah mendengar kabar itu. Tapi, entah kenapa bayang-bayang pria itu masih turut hadir dalam mimpinya. Hingga membuat hati begitu sakit tak menentu. Ia sungguh penasaran tentang rahasia apakah yang Allah tunjukkan padanya.
Tapi saat ini hal yang terpenting adalah meluruskan niat. Bagaimana jika semuanya dipusatkan pada Allah swt semata. Apakah ia akan kecewa lagi? Apakah musibah akan menghampiri lagi? Ya semua itu akan terus menjadi rahasia yang paling penasaran jika tidak direalisasikan.
*
Inaya mengecek jam yang tertera di ponsel sudah menunjukkan pukul enam sore. Ia harus pulang saat ini mengingat harus mengajar ngaji.
Orang-orang yang berada di ruangan megah ini juga sudah bersiap-siap untuk bubar. Pada satu waktu matanya menangkap seseorang yang selama ini tidak kelihatan jejak, Manda.
Sambil membawa ransel hitamnya dan memegangi sebelah tali ransel sebelah kanan dan mendekati Manda. "Hai, Manda apa kabar?"
"Baik." Raut wajah Manda hanya memantulkan kedataran biasa saja. Tapi seolah mengisyaratkan bahwa ia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Gimana tim kalian. Sudah lancar persiapan presentasinya?" tanya Inaya penasaran.
"Gimana mau lancar Nay. Latihan saja belum. Ini karena mereka yang berpacaran. Kesal kali. Setiap kali mereka selalu lanjut dan aku sendiri harus menjadi nyamuk." Tergambar nuansa kekalutan yang tak mengenakkan dari penuturannya.
Sebegitukah kenyataannya? Seolah ini seperti sambaran yang tidak menyakitkan lagi. Sebab perihnya sudah lama ia rasakan. Saat Manda mengatakan hal tersebut. Inaya hanya bisa membiasakan dirinya. Tapi masih ada unsur gemetaran. "Enggak Manda bilang?"
"Gimana ya Nay. Nanti dikiranya Manda cemburu sama mereka. Teman-teman Kiki pun nggak mau bilangin bahwa itu dilarang sama agama." Raut wajah ini sungguh berbeda dari sebelumnya beberapa bulan yang lalu. Keceriaan itu seakan telah luntur dari pandangan. Manda yang percaya diri dan menebarkan kebahagian pada semesta sudah tidak ada lagi.
Hal yang paling Inaya takutkan adalah ketidakmampuan merasakan dosa yang bersamayam. Ia sungguh takut dengan zina hati. Meski kerap kali perasaan suka itu tidak dapat dielakkan. "Ya sudah. Nay bantu doa saja ya. Semoga dia bisa terbuka hatinya." Inaya menepuk pundak yang tegar itu. Bagaimana pun sulitnya menghadapi kenyataan berupa tamparan yang membelenggukan jiwa. Ia masih tetap sahabat yang selalu menjadi bagian cerita salam skenario paling rahasia.
Inaya memilih segera pergi dari gedung ini setelah melambaikan tangan ke arah Manda. Kemudian melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dengan perlahan. Masih banyak pertanyaan tentang bagaimana ia harus membuat jauh rasa cinta yang telah mengokoh dalam dada. Harusnya ia sedih dengan pria maskulin dan cerdas itu. Tapi, justru kebencian diam-diam menyingkirkan rasa cinta yang teramat dalam. Entahlah, rasanya sangat sulit dijabarkan.
"Gimana ya rasanya kalau Kiki merasakan apa yang Inaya rasakan saat ini? Terbayang-bayang terus dalam mimpi dan setiap reka kejadian. Apa dia pernah merasakannya? "
"Ya Allah berilah petunjuk-Mu."
Bagaimana sebenarnya perasaan Inaya? Benci atau cinta? Jika benci, mengapa selalu saja Inaya memimpikan pria itu? Jika cinta mengapa Inaya seolah tidak ingin mengambil berat tentang itu? Inaya merasa lelah jika harus berjuang sendiri. Setiap kali pria itu yang membuat pertanyaan duluan dengan perhatian seolah memberikan suatu harapan. Perasaan deja vu juga sering memasuki naluri. Inaya sungguh penasaran dengan skenario yang Allah hadirkan.
Jika ingatan ini terus melekat dengan maka rencana ke depannya dalam sepertiga malah. Ia hanya menginginkan pria itu turut terbayang-bayang kehadirannya.
*
*
Bersambung
9 [Mimpi Zahira]
~Engkau adalah napas yang menegaskan keberadaan di setiap detakan waktu.~
*
*
Zahira mengutarakan rasa kekesalannya saat mentari mulai menampakkan keksatriaan tepat di atas kepala. Bayangan yang terbentuk hanya sedikit. Tetap saja ia masih tak berani untuk keluar dari persinggahan rumah kontrakan Kanaya. Barangkali setelah zuhur nanti ia baru bisa pulang ke rumah untuk melanjutkan sesuatu yang belum terlaksana.
"Ada apa sih Ra? Muter-muter enggak jelas gitu. Mendingan istigfar atau selawatan gitu," ucap Inaya. Ia merasa akan sakit mata jika melihat pemandangan Zahira yang kurang kerjaan. Jika hal itu terjadi. Pasti ada sesuatu yang mengganggu ketenangan jiwa. Padahal ia hanya ingin berusaha merilekskan diri setelah berhari-hari tidak bertemu dengan para sahabatnya. Eh, malah sambutan yang sungguh mengganggu.
"Duh, aku tuh kesal banget Nay sama apa yang disajikan sama dunia hiburan saat ini. Seolah jarang banget yang beredukasi untuk mengajak penonton termotivasi untuk berpikir. Hanya sekedar menghibur dan faedahnya dikit banget," curhat Zahira dengan ekspresi wajah yang menggebu. Seolah hatinya sedang tidak karuan. Ada didihan air di dalam dada.
"Jadi, Ra maunya gimana?" tanya Kanaya ikut-ikutan. Pembicaraan yang dibawakan Zahira selalu menjadi topik terhangat.
"Ra tuh pengen perfilman yang ada di Indonesia seperti di luar negeri sana. Pasti topik yang dipertontonkan adalah suatu hal tentang keilmuwan. Misalnya tentang teknologi terbaru gitu. Jadi itu bisa memicu penonton untuk termotivasi menjadi seorang peneliti." Jika saat ini sedang konferensi pers atau seminar. Nada dan pesan yang disampaikan ini pasti sudah sangat keren. Tapi ide ini keluar saat dia melihat judul tak menyenangkan lagi tentang dunia perfilman di Instagram.
Inaya tersenyum seraya menggelengkan kepala. Ia tahu bahwa Zahira hanya ingin curhat tentang segala yang ada dalam benak. Termasuk hal yang enggak penting sekalipun. "Kalau Ra ngungkapinnya begitu. Malah terkesan Ra itu hanya bisa ngedumel enggak jelas tanpa aksi. Jadi berpikiran sempit gitu," ungkap Inaya seraya bertopang dagu. Jelas sekali ini seperti sesuatu yang dianggap remeh jika disalah artikan.
Berpikiran sempit? Rasanya Zahira sedang mempermalukan dirinya dengan semua orang. Tapi, untungnya mereka adalah sahabat lingkaran yang tak akan sanggup untuk membeberkan pada seluruh penjuru dunia. Zahira duduk dan berusaha merilekskan diri. Ia mengambil roti kacang di toples dan memakannya. Setelah itu meneguk beberapa tegukan air. "Iya deh, Ra paham. Bukan sebuah keluhan yang tak guna diagungkan pada dunia tapi aksi yang nyata."
"Jangan menunggu orang lain untuk berubah Ra. Kita tak akan bisa. Tapi kitalah yang harus berubah menjadi orang yang baik. Semoga mereka juga termotivasi berlomba-lomba dalam kebaikan," pesan Kanaya. Ia sadar meski apa yang diucapkan seperti tak menyambung dengan konteks pembicaraan ini. Setidaknya ada yang bisa disampaikan secara langsung terhadap siapa pun yang ada di sini. Meski dia tidaklah sebaik apa yang diucapkan. Berada dalam lingkaran kebaikan akan selalu membuat diri dekat dengan sang Pencipta.
Mendengar hal itu. Zahira malah teringat situasi dirinya di rumah. Tak memiliki pendukung sama sekali tentang apa yang ingin dilakukannya. Menulis dengan bebas. Hanya sebuah keremehan yang membuatnya harus mengubur hidup-hidup tentang impian ini sebagai penulis. Semuanya penuh dengan pengekangan yang membuat dirinya terbelenggu. Bahkan saat ini ia hanya bisa menyembunyikan diri dalam sebuah nama pena yang tak ingin dikenal banyak orang.
"Nah, Ra kan punya potensi dalam diri tuh. Kenapa enggak dikembangi saja?" tanya Inaya. Mungkin dengan pertanyaan semacam ini akan memacu hormon adrenalin Zahira dalam mempertahankan mimpinya. Sebab raut wajah itu sudah menyiratkan betapa pesimis sudah meradang.
Kalimat itu seperti sambaran yang mampu membangkitkan semangat yang telah pudar. "Iya juga ya. Ra kalau sudah ide bisa sanggup menulis sampai jari-jari ini berasa mau kriting," ucapnya dengan semangat yang menggebu.
"Kita tak bisa menunggu orang lain untuk berubah bukan? Selagi Ra masih punya niat kebaikan dalam menulis. Selama itu pula akan ada pahala Jariyah yang terus mengalir. Buatlah sesuatu dengan merealisasikan impian ini menjadi kenyataan. Bukan harus berdiam diri menunggu sesuatu yang datang. Jangan mengharapkan orang lain pada tumpuan hidup. Tapi Allah swt yang selalu ada di setiap reka kejadian. Hari ini kita masih berada pada posisi terbawah. Esok atau lusa kita tidak pernah tahu takdir mana yang akan membawa diri pada kebahagiaan. Tapi saat itu terjadi. Hana akan memastikan bahwa dukungan ini selalu ada buat Zahira." Hana ingin sekali menguatkan pundak yang rapuh itu. Ia tahu rasanya diremehin banyak orang. Apa pun itu. Pada garis mana diri berjalan di jalan kehidupan. Semuanya harus berpegang teguh pada harapan tentang kebaikan yang menghampiri.
Air mata Zahira seperti ingin mengalir. Ia terharu tentang apa yang diungkapkan Hana barusan. Seseorang yang berada di garis depan untuk mendukung apa yang dia lakukan akhirnya ada. Walau rasanya ia ingin memunafikkan tentang dukungan Mama serta keluarga pada dirinya. Ia berjanji akan terus mendoa kiranya Allah melembutkan perasaan orang-orang yang ia sayangi. "Terima kasih telah ada bersama denganku teman-teman. Aku tahu bahwa aku adalah orang yang serba berantakan dan tak menarik sedikit pun untuk dijadikan teman. Tapi, kalian adalah orang-orang luar biasa yang Allah hadirkan dalam kehidupanku. Jadi, ya memang tak ada alasan untukku mundur dalam mempertahankan mimpi ini."
Bahkan jika ada istilah kehabisan ide. Seharusnya itu tidaklah berlaku. Sebab penekananlah yang membuat diri harus bisa berusaha berada pada zona nyaman.
"Satu lagi Ra. Percayalah, bahwa suatu hari nanti kita pasti bisa menemukan pria yang menjaga hatinya karena Allah. Siapa pun itu mungkin tanpa sadar kita pernah saling bertemu." Duh, kalimat ini tanpa sengaja keluar dari bibir tipis Inaya. Ia memang sudah lelah dengan setiap pria yang ditemui. Tapi tanpa sadar setelah melihat seorang ikhwan dengan postingan hijrah dan balik mengikutinya barusan di instagram. Hal itu membuat Inaya kembali percaya bahwa memang ada lelaki baik yang menjaga hatinya karena Allah. Apalagi ia baru sadar bahwa ketua PKMnya berposting rata-rata lelaki dan anak-anak. Jika ada seorang wanita itu dirinya.
"Kamu kenapa Nay?" tanya Zahira seraya mengerutkan kening. Tak biasanya Inaya yang paling malas mendiskusikan perasaan berlanjut ke konteks lawan jenis. Ia hanya ingin memastikan otak Inaya tidak sedang lengser kali ini.
Inaya sadar apa yang sedang diucapkan kali ini. "Enggak kenapa-napa kok. Hanya ingin berusaha meyakinkan hal yang positif," ucapnya seraya memperlihatkan bibir simetris kemudian mengambil bantal dan memangkunya. Seolah-olah tidak ada kejadian apa pun. Hanya satu hal yang terlintas di kepala saat ini. Semoga tidak ada jerawat yang enggak sopan datang. Kalau itu terjadi, benar-benar jerawat yang kelewat batas.
*
*
Bersambung
10 [Ujian Cita]
~Tak masalah saat kita gagal dalam berusaha. Tapi hidup tanpa harapan adalah sebuah kegagalan yang sebenarnya.~
*
*
Zahira menenggelamkan diri di tempat tidur tepatnya pada kamar yang sangat berantakan sore ini. Ia akui memang jauh dari kata baik sedangkan ego menyapa. Ia baru saja bertengkar dengan hawa nafsu. Malas untuk membersihkan rumah. Mama memarahinya lagi.
Mama melihat Zahira yang masih saja terus mengetikkan sesuatu di ponsel. Apalagi jika bukan melanjutkan jalan cerita dari novel yang sedang ia buat. "Sudah enggak usah ngayal kau. Ngomong saja enggak ada pembuktian. Enggak usahlah menulis. Enggak ada gunanya kau itu. Tengoklah gitu saja kerjaanmu. Enggak kau bersihkan rumah. Entah mau jadi apalah kau. Apa kau enggak kawin."
Telinga Zahira sepertinya sudah mengepulkan asap. Merah padam tanpa ada pemadam kebakaran yang bersedia memadamkan perasaannya.
Ya, siapa yang tak akan memarahinya. Terlihat seperti tidak memiliki masa depan. Duduk dan bersandar di mana pun sedangkan tangan selalu mengetikkan sesuatu. Mungkin sudah ratusan kali Mama mengomelinya melakukan hal ini.
Ia sangat suka menulis. Tapi mengapa orang terdekat tak menyukainya? Bukankah hal ini jauh lebih baik daripada harus banyak bicara?
Mungkin benar apa yang dikatakan para sahabatnya. Ia harus menurunkan ego dan membuat orang lain nyaman di sekitarnya. Meskipun terlambat dengan berat hati ia memegang gagang sapu.
Satu hal yang sangat ia inginkan kali ini adalah menyelesaikan naskah dengan waktu singkat. Sebab intuisinya sudah benar-benar kebanyakan ide. Tapi skripsi itu terus saja mengusik ketenangan.
*
Inaya keluar dari rumah setelah mengetahui udara dingin memasuki pori-pori. Sejuk seperti di pegunungan sudah hadir di nuansa ini. Tapi bukan sebuah rasa panas yang bawaannya ingin marah.
Ia memegangi bunga Flamboyan jingga. Apabila sore menjelang malam daunnya menguncup. Namun, bunganya tetap saja mekar sempurna. Inaya tersenyum seraya menghadapkan diri ke arah barat. Dia teringat satu hal akan amalan membaca al-matsurah kala sore hari.
Pada akhir di bulan Juli ini hujan sering datang kala menjelang magrib. Ia kembali ke rumah dan bergegas untuk makan dan mandi. Tapi, sebelum ia beranjak. Satu pesan pribadi telah memasuki WhatsApp.
Hana
Nay, sepertinya kita memang harus benar-benar menyemangati Zahira.
Inaya
Emangnya kenapa Na? Ada sesuatu yang terjadi?
Hana
Enggak sih, hanya saja firasatku seperti tidak enak dengan dia.
Inaya
Mungkin hanya perasaan Hana saja kali. Enggak mungkinlah Zahira bakalan melakukan hal yang di luar nalar.
Hana
Acem betol saja Nay. Zahira itu meski dia gampang bangkit dia itu bisa saja melakukan hal yang gila. Kasihan juga kalau sampai depresi.
Inaya menelan saliva. Menurutnya, apa Hana saja yang mengambil berat tentang Zahira? Meskipun Zahira memang harus berperang melawan rasa sakit dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia percaya bahwa Zahira pasti bisa melalui semuanya. Dia memang merupakan orang yang sangat nekatan setelah mengazamkan niat.
Inaya mendiami pesan Hana dan lebih memilih melanjutkan rutinitasnya.
*
"Pokoknya Ra harus ngajar ya bulan depan gantikan Kakak. Susah dapat kerjaan. Jadi jangan main lagi. Selesaikan itu skripsimu," pinta Abang Zain setelah meletakkan jaket Gojek di kursi plastik santai yang berwarna cokelat. Ia kemudian membuka sepatu hitam yang masih terlihat kinclong walau sudah mengangkut penumpang baru saja.
Deg, kalimat perintah itu seperti menyambar relung. Belum lagi hilang rasa sakit setelah diomeli. Kini ia harus mengetahui kenyataan mandat untuk masa depan. Itu berarti masa-masa untuk menulis akan berkurang. Ia memang seperti kelihatan kurang kerjaan. Nyatanya ia tak bisa tidur bahkan tenang sekalipun. Kini bumerang harus mendatangi dengan senang hati.
Apakah ia memang harus menenggelamkan cita-cita sebagai penulis? Sedangkan impiannya belum juga menjadi kenyataan. Ada beberapa naskah yang sudah terkenal. Hanya saja keegoannya untuk tidak terkenal menjadi masalah bagi mereka yang telah meremehkan. Ia hidup dalam persembunyian yang kadangkala menentramkan.
Perang batin sudah pasti terjadi. Ia hanya memilih bungkam dan berdoa suatu hari akan membuktikan kepada mereka. Setidaknya salah satu bukunya sudah berada di rak toko buku Gramedia. Tapi merealisasikannya malah membutuhkan waktu yang masih samar. Entah kapan itu akan terjadi.
"Padahal aku rencananya mau nganggur setelah nulis skripisi." Ada harapan kalimat ini tidak terdengar oleh mereka yang berada dalam rumah saat menurunkan volume.
Namun, Abang Zain seperti masih bisa mendengar ungkapan yang enggak penting menurut Zahira. Tapi, belum tentu baginya. "Kau tuh ya. Orang lain susah dapat kerjaan. Semua orang pada ngantri untuk masuk di sekolah itu. Lah, kau dikasih yang enak malah nggak mau. Bukannya bersyukur."
Seperti petir yang menyambar. Ya, Zahira hanya lelah dengan yang telah dilakukan. Tanpa jeda untuknya bisa merasakan sensasi tenang. Ia sadar semenjak mengazamkan diri menjadi seorang penulis dan tetap membersamai pada akademisi. Saat itu pula segala kenikmatan bersantai-santai harus tergadai. Namun, nasip sungguh miris tanpa kepastian yang diselingi keyakinan. Ia sudah fakir sekarang. Itulah sebabnya semua yang ada seperti benar-benar memojokkan pengharapan.
"Tuh makanya dengerin," setuju Mama. Ia hanya tak ingin anaknya menjadi gadis penghayal tanpa pembuktian. Tidak ada gunanya dan hanya membuang waktu sia-sia.
Zahira memperhatikan kedua telapak tangan yang sudah kebas. Menurut ingatan, ia hanya menulis sampai suasana hati benar-benar nyaman. Tanpa terasa ternyata sedang menyakiti diri sendiri. Semangat itu menenggelamkan rasa sakit. Amunisi yang mampu membiuskan setiap perkara. Kini, tinggallah kebungkaman di setiap kalimat yang mereka lontarkan. Semakin menyambut dengan alasan. Maka semakin nyata bahwa diri benar-benar tidak berguna.
*
Inaya melihat daftar mimpi yang tertera di buku Start Something Today. Kalau dipikir sekali lagi. Ada banyak mimpi yang berbaris seperti jajaran minta direalisasikan. Maka mimpi yang pertama sekali ingin benar-benar digapai adalah lulus PIMNAS.
Padahal ia hanya menulis saja di awal tahun. Ternyata tulisan itu perlahan Allah bantu dalam tim yang sekarang ia masuki. "Ah, bingung sih. Rahasia apa sebenarnya yang Allah tunjukkan. Rasanya enggak bisa berkata apa-apa pun tentang segala yang terjadi. Tapi dari hal ini dapat Nay ambil kesimpulan bahwa tuliskanlah hal yang baik-baik. Siapa tahu Allah akan benar-benar mengabulkan." Tangan kanan bertopang dagu. Ia duduk di atas tempat tidur yang dipenuhi beberapa buku penunjang skripsi pagi ini. Walaupun belum mandi. Sensasi semangat mengerjakan skripsi harus bisa dipertahankan.
Mimpinya yang kedua adalah skripsi lancar. Tapi, malah berasa tersendat. Memang hampir 50% teman sekelasnya sudah pada proses menuju wisuda. Sedangkan pagi ini ia baru saja memulai pertarungan yang melelahkan itu. Rasa pesimis benar-benar datang perlahan.
Ia mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu untuk Zahira.
Inaya
Gimana Ra sama skripsimu? Sudah sampai mana?
Zahira yang sedang menulis novel di ponsel, baru teringat tentang tagihan sesungguhnya. Ada kupu-kubu barusan bermuara dalam perut. Deadline yang bikin greget. Ya, walaupun semesta tak mendukung. Azam harus didahulukan. Tersisa empat hari untuk menyelesaikan semuanya. Ia mengacak rambut ala frustasi.
Zahira
Hm, aduduh gimana ya. Lagi proses Nay.
Setelah membaca pesan barusan. Inaya menjadi ragu apa yang dibilang Hana.
Inaya
Jangan bilang lagi ngerjain novel lagi.
Zahira tahu apa yang dilakukannya saat ini adalah sebuah kesalahan. Ia hanya ingin membuat suatu pekerjaan yang multitasking. Ya, mamanya memang benar. Saat apa perintah yang diturunkan berupa konsep A. Maka ia mengeluarkannya dengan konsep B.
Zahira
Sambilan Nay. Kesempatan yang sama tidak akan datang dua kali. Selagi masih ada waktu untuk mencuri-curi kesempatan dalam memajukan impian. Gas kan terus.
Inaya
Ra harus ingat tujuan sebenarnya apa. Jangan sampai itu semua malah menenggelamkan Ra pada sesuatu yang salah.
Jika pun ada sesuatu yang salah. Mungkin ia akan mengungkapkan semua itu dalam tulisan. Tetang sesuatu yang tak dapat diungkapkan. Namun, jelas untuk dideskripsikan degan alasan relevan.
Zahira
Nay, dari apa yang pernah aku alami. Aku banyak belajar. Perihal luka dengan pengharapan besar itu ada. Tapi kehilangan harapan itu adalah sesuatu yang menakutkan. Aku hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa inilah aku yang tidak banyak bicara dengan pembuktian nyata. Mungkin saat ini aku hanya ingin merayu Tuhan dalam setiap proses yang kujalani. Tapi akan kupastikan bahwa nanti aku lulus tepat pada waktunya.
Inaya tengah berpikir bahwa semangat Zahira benar-benar tangguh. Meski nestapa merangkai sendi kehidupan. Inaya malah mendadak merasa iri dengan kalimat barusan. Begitu ingin merealisasikan. Perjalanan dalam pembuatan PKM itu terus berputar-putar dalam benak. Ketika ada yang mengatakan semuanya telah berjuang. Itu berarti tinggallah rezeki yang harus dihampiri. Tidaklah lain jika bukan merayu Tuhan.
Inaya
Okelah, Nay percaya. Semoga Ra benar-benar bisa mewujudkannya. Walau sesulit apa pun itu. Jangan berhenti berjuang ya!
*
*
Bersambung
11 [Bimbingan Teknis]
~Pengarahan yang terbaik berupa sikap responsif. Walaupun hanya sekadar berupa pertanyaan sekali pun.~
*
*
Langit tampak gelap. Suasana abu-abu terlihat dari kaca transparan yang berada di lantai dua. Inaya mengendap-ngendap ke sekeliling dengan membawa balok yang berukuran 3x10 cm. Ujungnya terpasang sebuah paku yang hanya ditancapkan setengahnya.
Inaya memasuki sebuah ruangan yang berlantaikan warna hijau muda. Ia melihat ada lumuran darah mengalir dan ada tiga orang yang sedang berada di sana. Dua orang wanita tewas dan hanya seorang wanita yang rambutnya tergerai masih hidup. Inaya mengayuhkan balok tersebut ke arah wanita malang tadi dan memukuli terus sampai benar-benar tewas.
Setelah semua semuanya mati. Inaya menggeret tubuh mereka dan menyembunyikannya di suatu tempat tepatnya di bawah rumah. Setelah itu keluar dari gedung melihat sekeliling semuanya sepi.
Tempat ini adalah kampus. Pohon rindang dan beberapa bangunan tinggi mengitari parkiran. Ruangan biro rektor ada di depan. Kini di hadapan Inaya ada seorang nenek yang duduk di kursi roda.
"Nenek jangan coba-coba mengatakan apa pun sama orang ya. Kalau semua itu terjadi, saya akan membunuh nenek sekarang juga. Nenek ngerti nggak?!" bentak Inaya.
Kaki dan tangan nenek tersebut gemetaran. Kulit keriput seakan mendingin. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain mengiyakan dengan menganggukkan kepala.
Nyaris saja Inaya akan membunuh nenek itu jika sampai macam-macam dengannya. Inaya meninggalkan nenek itu sendirian di parkiran ini.
Inaya menuruni anak tangga ruangan yang menjadi tempat kejadian pembunuhan tadi dan bertemu dengan Zahira. Mungkin Zahira tahu apa yang sedang diperbuatnya. Mata Inaya benar-benar sangat merah. "Ra, kamu enggak tahu kan selama ini apa yang sudah Nay lakukan. tapi kamu enggak ngerti Nay selama ini."
"Nay, kenapa sih denganmu? Apa yang salah dengan dirimu saat ini?" tanya Zahira. Ia tak bermaksud untuk berantam pagi-pagi buta begini.
"Ah, sudahlah! Nay benci dengan Ra saat ini. Enggak usah bahas-bahas lagi. Nay capek dengan semuanya. Nay enggak mau ketemu Ra lagi," ucapnya dengan perasaan murka. Kemudian melihat ada beberapa pria berkemeja hitam memasuki rumah.
Tunggu, dia baru saja membunuh orang barusan. Apa jangan-jangan mereka polisi, intel, atau apalah itu? Ya, Inaya harus pergi sekarang juga. Dia mendadak takut jika polisi itu akan menangkapnya.
Salah seorang polisi yang melihat gerak-gerik Inaya langsung mengejarnya. Hingga mereka berada pada sebuah jalanan ramai.
Inaya melihat sebuah kucing orange seperti Garfil di depan dan menangkapnya. Setelah itu bersembunyi di sebuah toko baju penjual kaki lima. Kucing itu masih dalam gendongannya. Inaya masih bisa mengintip posisi polisi yang sedang mencari dirinya.
*
Inaya terbangun dari mimpi buruk barusan. Ujung kaki terasa sangat dingin dan perasaannya sungguh takut. Ia masih bisa mengingat dengan jelas apa saja yang terjadi dalam mimpi tersebut. Dia dan Zahira tak pernah berantam hingga saat ini. Namun, ia menjadi khawatir bila hal itu sampai terjadi.
Inaya berwudhu dan menunaikan solat di sepertiga malam. Ya, tak ada yang bisa dilakukan selain mengadukan semua ini pada sang Pencipta. Setelah itu ia kembali tidur sebab dingin yang menjalari peredaran darah masih belum lenyap.
Paginya Inaya memegangi wajah yang terasa panas. Sedangkan kaki masih juga terasa dingin. Ya, dia memang harus pergi ke puskesmas saat ini. Belum lagi ia sudah mengalami diare sejak semalam. Mimpi itu seolah membuatnya menjadi sakit.
Inaya melihat panggilan terlewat di ponsel. Ia tak ingin mengubris. Perasaan di hati seakan benar-benar menyakitkan. Maka jalan terbaik menurutnya saat ini adalah tidak menghubungi siapa pun dan jangan sampai ada orang yang tahu bahwa ia sedang sakit.
Setelah berobat. Tetap saja Inaya tak bisa membawa tubuhnya dalam kondisi baik. Ia memang sakit dan tubuhnya memaksa untuk beristirahat mengeluarkan keringat dingin. Maka tak mandi adalah solusi paling mujarab menurut Mamanya.
Setelah melihat pemberitahuan. Ada pertemuan di biro hari rabu nanti. Semoga saja saat itu kondisi tubuhnya sudah mendingan.
*
Dua hari terlewati. Seharusnya dalam kondisi tersebut ia sudah menyelesaikan skripisi. Ternyata malah sakit. Saat ini demam sudah turun. Namun, tetap saja aura baru sembuh masih ada.
Inaya sudah berada di biro. Ia melihat suasana persis sama ramainya saat mereka semua dikumpulkan. Ruangan berAC membuat semuanya berasa dingin. "Kalian gimana kabarnya? Sehat nggak?" tanya Inaya pada Reskhi.
"Sehat Kak."
Oke, hanya itu yang bisa diucapkan dengan percakapan sederhana. Ya, Inaya dan timnya hanyalah orang-orang yang terikat karena takdir. Selebihnya tidak ada perasaan lain. Selain sebuah hikmah dari segala reka dalam perjalanan menyelesaikan misi ini.
"Jaga kesehatan ya. Soalnya Kakak baru saja sembuh dari demam."
"Iya Kak." Entah kenapa raut wajah Reskhi selalu terlihat cerah dengan senyuman itu.
Tapi setelah melihat ketua sudah memiki ponsel. Ada rasa kelegahan tersendiri dalam hati. Itu berarti ia tak perlu repot-repot mengkhawatirkan keberadaannya.
Inaya menikmati pengarahan yang diberikan pada hari ini. Termasuk contoh presentasi terbaik saat monev nanti. Tak lupa Inaya merekam suara mereka. Siapa tahu bisa diadopsi kemudian dipraktekan.
Kelompok kedua maju dan pandangan Inaya teralihkan pada seorang pria yang pernah mengusiknya dulu.
Saat pertama Nay mengenalmu. Nay rasa sesuatu yang berbeda. Nay ingin mendekatimu. Namun takut apabila akhirnya menjauh.
Semakin lama rasa ini terpendam. Semakin pula Nay ingin mendekatimu. Dari kejauhan Nay melihatmu. Hati pun berharap engkau merasakan.
Iman dan takwamu yang dulu melumpuhkan. Rasa benci tak kenal.
Nay mencintaimu, sungguh. Tapi ada yang lain di sisimu. Nay berusaha melupakan. Tapi bayangmu masih hadir dalam mimpi.
Nay, bosan dengan pengharapan. Nay tak ingin serakah. Cukup mencintaimu karena Allah.
Jika dia yang terbaik untuk Nay. Dekatkan hati kami ya Allah.
Ponsel Inaya sudah dipenuhi dengan suara orang-orang yang luar biasa. Waktu sudah menujukkan pukul lima sore. Acara bimbingan teknis sudah selesai.
Tubuhnya masih terasa lemas. Tak ada pemikiran selain jalan untuk pulang. Bahkan memperhatikan yang ada di depan pun tidak. Meskipun pria yang berada di daun pintu itu adalah Kiki.
Saat ia tepat keluar dari daun pintu. Bahu kirinya menyenggol bahu kanan Kiki. Terasa dekat dan kakinya mendadak lemas. Ia berusaha menormalkan diri dan memulai percakapan layaknya sahabat.
"Hp mulu. Nanti nubruk," ucap Inaya.
Pria itu masih bergeming dan fokus melihat ponsel. "Enggak kok."
"Lah buktinya tadi nubruk kan?" Inaya tak mau kalah.
Pria itu hanya berdehem kemudian mereka berjalan bersama dengan menjajarkan langkah. Inaya sangat ingin momen seperti ini lama berakhir. Agar ia tahu rasa senang yang terpendam secara diam-diam.
"Hm, belum saja tampil. Nay sudah sakit," ucapnya tanpa memikirkan siapa yang menjadi lawan bicara.
"Sakit apa? Sakit hati."
Selalu menjadi hal yang biasa saat pembicaraan ini sangat serius menurut Inaya malah bisa menjadi sebuah candaan bagi pria tersebut. Kalau begini ia menjadi benar-benar semakin lemas. "Demam."
Langkah Inaya terhenti dan mengarahkan pandangan ke atas saat Kiki balik ke atas. Kemudian ia balik lagi. Inaya secara jelas melihat tubuh kekar itu hampir menghampiri.
"Tadi sepertinya Pak Irfan ada di atas."
Inaya hanya diam. Kemudian fokus melanjutkan perjalanan ke anak tangga berikutnya. "Kapan sidang?"
Pria itu masih bergeming seperti tidak ingin melanjutkan. "Nay kapan sidang?"
Yah, malah bertanya balik. Seolah pertanyaan tersebut sangat horor. "Nay, ganti penelitian. Belum saja melakukan seminar proposal." Fix, ini adalah jawaban yang paling menyedihkan. Ketika semua orang sudah sampai di perjalanan. Ia malah baru memulai perjalanan.
"Nay mau ke mana?"
"Mau pulanglah."
Mereka berdua sudah berada pada pintu masuk gedung Biro. Inaya melihat dosen pendamping Kiki. Kemudian ia menyalaminya. Ibu Rita adalah orang yang Inaya kagami dari dulu sampai sekarang. Tapi walaupun enggak jadi mendapat dosen pembimbingya Ibu itu. Temannya Ibu itu juga enggak apa-apa.
Wanita itu membawa beberapa buku di tangan kanan. "Kok enggak nampak-nampak?"
"Saya sama Ibu Putri Bu," jawab Inaya spontan.
"Oh, yang beton itu ya?" Posisinya wanita itu menghadap Inaya.
Inaya mengangguk. Kemudian Ibu Rita juga pergi berlawanan arah dengan Inaya. Inaya ke kanan dan Ibu ke kiri. Sedangkan pria itu. Anggap saja sudah menghilang ke negeri antah-berantah dengan perjalanan lurus menuruni anak tangga.
*
*
Bersambung
12 [Latihan]
~Setiap orang memiliki kesempatan dalam melakukan segala hal. Namun, rezeki itu akan mendatangi orang-orang yang terpilih.~
*
*
Inaya baru saja berselancar dalam ketikan skripsi pagi ini. Sekitar tiga puluh halaman sudah tertulis di lembar kerja. Sedangkan beberapa buku bertumpuk di hadapannya. Setelah membaca notifikasi grup PKM Pendanaan. Inaya menghela napas berungkali saat dadanya terasa sesak mendadak. Telinga seperti memerah saat ia merasakan rasa hangat di daun telinga. Sampai sejauh ini masih belum diketahui penyebabnya. Jika menurut prasangka semoga saja malaikat yang sedang membicarakannya.
Tentang PKM yang sedang dikerjakan olehnya. Alhamdulillah sudah selesai. Tinggal presentasi saja. Walaupun begitu masih harus membutuh latihan dan hapalan dengan irama bahasa tubuh. Inaya menutup laptop dan mengambil jurnal yang sudah dicetak. Ia menghadapkan diri di depan cermin dan latihan. Walaupun ia hanya memakai baju tidur panjang dan khimar ungu cokelat. Itu sudah cukup untuk membuat diri lebih percaya diri di hadapan cermin.
Setelah beberapa kali latihan. Ia mengamati raut wajah dan sesekali tersenyum dan melihat perubahan yang terjadi pada diri. Tampak kurusan dan timbul beberapa jerawat di dadu. Tapi menurutnya hal ini tidak terlalu bermasalah. Asal tidak tumbuh di hidung saja. Saat tersenyum, Inaya melihat goresan di pipi kiri bawah. Seperti melihat lesung pipi tapi kalau didekatkan ternyata tidak. Ini berarti lesung pipit yang gagal nampak. Semakin diperhatikan, ia memiliki bentuk wajah bulat seperti matahari kalau Mamanya bilang. Memang benar, rahang bawah yang membuatnya tampak bulat. Walaupun dia tak menyangka pada akhirnya memiliki bentuk wajah seperti. Ia tidak akan mengubah sedikit pun penciptaan yang Allah berikan. Meskipun ia sangat suka dulunya dengan wajah tirus.
Ia bergegas mandi dan menyulap diri menjadi rapi dengan stelan gamis dongker. Hanya ada empat gamis berbeda di dalam lemarinya. Kali ini ia memakai gamis dongker. Walaupun begitu, tetap saja gamis yang ia miliki rata-rata sudah bolong bawahnya akibat knalpot. Tidak terlalu banyak, hanya sedikit dan mungkin orang lain tidak terlalu memperhatikan. Kecuali jika ada orang yang sangat suka memperhatikan dari ujung kepala sampai kaki. Ia pasti malu, sungguh. Tapi, selagi masih bisa layak dia akan tetap terus memakainya. Lagian dia tidak punya uang lagi selain dipergunakan untuk ongkos pulang balik ke kampus. Ia sudah sangat senang jika masih bisa kuliah.
Biasanya ia akan selalu datang berlama-lama ke kampus. Namun, setelah ditetapkan titik kumpul di waktu dan tempat yang tepat. Ia tak butuh waktu untuk berpikir lagi sebelum melakukan prosedur sesuai dengan instruksi.
Inaya berjalan di lorong fakultas teknik. Tidak ada yang istimewah selain gedung bertingkat dua yang berwarna abu-abu. Orang-orang yang berada di sekitar hanya beberapa. Sebab kampus masih dalam kondisi libur.
Ia bertemu Surya, Reskhi, Ibu pendamping, dan wakil dekan kemahasiswaan Fakultas Teknik. Biasanya mereka sering bersama juga dengan tim lain. Tapi kali ini benar-benar sepi. Hanya tim mereka yang selalu berusaha tepat pada waktunya jika kebagian jatah bertemu.
"Mana tim Indra Sur?" Inaya penasaran.
"Enggak tahu Kak," ucap ketua saat memasang proyektor.
Reskhi sudah berada di daun pintu dan berusaha untuk presentasi mandiri sedikit demi sedikit.
Ada rasa dag dig dug di antara mereka saat jadwal dua hari lagi. Itu berarti latihan ini memang harus maksimal dan doa juga maksimal. Walaupun kalau dipikir sekali lagi sebelum monev doa Inaya masih minimal. Ia takkan berhenti berjuang, sebab baginya tak ada kata terlambat bagi hati yang bersedia menerima perubahan.
Kronologi presentasi ini akan dijelaskan saat monev sesungguhnya. Sebab latihan adalah sebuah proses berulang yang jika dikerjakan berulang akan menimbulkan efek jenuh berkepanjangan. Tapi yang pasti Inaya masih selalu gagal. Walaupun sudah hapal dengan bahan pembawaan materi. Jika di hadapan dosen pendamping ia rapuh tak bisa berkata apapun. Bawaannya mendadak lupa. Ia berusaha untuk meningkatkan kepercayaan diri. Namun, sungguh berbeda dengan Reskhi dan Surya yang tampak masih bisa mengendalikan situasi ini.
"Kita nanti latihan di teknik mesin. Ibu masih mau menghubungi Pak Batu dulu ya," pesan Ibu Pendamping kemudian menginstruksikan mereka pergi ke markas Pak Batu.
Mereka sudah berada di depan gedung laboratorium. Ada beberapa orang yang berada di depan kursi panjang. Mereka bercakap-cakap. Tak terlalu menarik, sebab yang ingin difokuskan saat ini adalah presentasi.
Inaya mengikuti langkah ketua dan dosen pendamping memasuki ruangan. Namun, Reskhi masih tetap berada di luar bersama dengan orang-orang tersebut.
Inaya merasa bingung saat mengetahui hanya dia dan ketua yang merupakan mahasiswa jika memasuki ruangan tersebut. Ketua sudah sempat masuk. Sedangkan Inaya yang berada di depan pintu kaca masih ragu untuk masuk ke dalam. Ia memutuskan untuk mengajak Reskhi.
Setelah di sana ia melihat Indra dan Doelay sudah ada di sana. Tapi masih belum lengkap. "Mana teman satu tim kalian lagi?"
Indra memasang wajah cemberut. "Enggak tahu Kak. Mungkin baru bangun tidur kali."
"Hah?" Inaya tak ingin terlalu peduli dengan hal yang seperti ini. Walaupun sebenarnya ia penasaran. Anggota tim mereka sebenarnya asyik orangnya.
Mereka masih membicarakan masalah beasiswa. Sedangkan Inaya masih merasa ragu apakah jika ia mengajukan beasiswa diterima atau tidak. Ia hanyalah mahasiswa lama yang masih ingin terus menetap berlama-lama di kampus ini. Tapi, semenjak tawaran dari Bapak Wakil Dekan FT tadi ia merasa ada harapan yang terpancar walaupun sedikit.
Tak beberapa lama Surya datang dan telah membuka almamater. Kemeja putih dan celana keper hitam sudah sangat cocok seperti sales. Dia juga ikutan menetap di sini.
Tak berapa lama Ibu dosen pendamping datang. "Kalian kok di luar. Masuk, kita mau latihan."
Inaya benar-benar malu jika harus dijemput terlebih dahulu. Padahal tim mereka yang butuh. Perhatian yang Ibu dosen berikan merupakan suatu hal yang sangat dibanggakan. Mungkin tim lainnya ada yang tidak mempunyai kesempatan sama dalam keprihatian dari dosen pendamping.
Dasar anak nakal!
Inaya benar-benar merasa tak percaya sebelumnya. Saat ruangan yang mereka masuki seperti diingat oleh Inaya. Tapi, sebenarnya ia memang baru pertama kali memasuki ruangan tersebut. Ah, de ja vu lagi.
Setelah mereka bersalaman dengan dosen yang ada di situ. Tak ada pilihan lain selain latihan presentasi. Surya bergegas mempersiapkan perlengkapan untuk presentasi. Kali ini ia sudah membawa pointer. Jadi, sudah bisa memprediksi keadaan sesungguhnya saat berjuang nanti.
Tak beberapa lama saat mereka presentasi. Tim Indra masuk dan beberapa menit kemudian barulah anggota satu lagi.
Inaya mengodekan dengan tangan saat pria itu menongolkan wajah di kaca.
Firasat Inaya tidak salah lagi. Pada saat di ruangan ini ia baru bisa berkonsentrasi dan mengurangi tingkat kesalahan. Mungkin saja ruangan mempengaruhi psikologis seseorang.
Setelah mereka selesai presentasi. Tiba giliran tim Indra yang latihan. Sedangkan Surya dan timnya duduk memperhatikan sesekali mendengar apa yang dikatakan oleh dosen pendamping tentang penilaian.
Tak terasa waktu sudah menujukkan pukul lima sore. Pak Batu mulai memberikan sebuah pengarahan untuk mereka. "Jadi, perjuangan kalian ya sebenarnya pada saat monev nanti. Maka persiapkan dengan sempurna kalau ingin mendapatkan hasil yang terbaik. Buat saja banner dan posternya. Tunjukkan juga pada tim reviewer. Jadi, orang berhasil itu bukan selalu diperuntukkan untuk orang beruntung saja. Tetapi orang-orang tekun."
Mereka semua mengangguk mengisyaratkan paham dengan arahan yang dikatakan dosen tersebut.
"Saya sudah bilang ke mereka Pak dari dulu. Tapi sampai sekarang katanya enggak berencana untuk membuatnya," ungkap Ibu Putri.
Inaya tengah berpikir. Oh, jadi ketua sudah terpengaruh dengan tidak usah membuat poster dengan alasan lumayan akan mengirit dana PKM. Untung saja ada penguatan dari perintah tadi. Jadi, mau nggak mau harus mau. Kalau Zahira bilang istilahnya pasti padan muka.
Setelah pengarahan tersebut selesai Ibu Putri dan Pak Wakil Dekan pulang duluan. Sedangkan Pak Batu tidak akan ke mana-mana sebab inilah markasnya.
"Jangan lupa nanti dirapikan ya Nay," pesan Ibu Putri.
"Iya Bu."
Pak Batu juga sudah mengizinkan mereka boleh menetap di sini untuk latihan dan menyiapkan sesuatu seperti poster untuk bertarung dua hari lagi. Selain itu dia juga menawarkan ruangan solat bagi yang ingin menjalankannya.
Lagi-lagi Inaya merasakan semuanya benar-benar de ja vu. Tempat solat yang ia tempati seperti telah terjadi dua kali. Padahal ia ingat betul ini adalah kali pertama.
*
*
Bersambung
13 [Sehari Sebelum]
~Pencitraan itu akan muncul saat benar-benar diharapkan.~
*
*
Zahira mengerucutkan bibir setelah sampai di rumah kontrakan Kanaya. Dia ingin mengomel enggak jelas hanya karena Hana yang tinggal dengan Kanaya tak melibatkannya dalam diskusi membuat kejutan untuk Inaya. Sebegitu spesialkah Inaya itu? "Kalian yakin Inaya pasti datang?"
"Pasti Nay," jawab Kanaya. Ia sudah membuat donat kentang pagi ini dan sedang membuat toping. Toping seres yang dipadukan dengan madu sebagai bahan perekat. Walaupun begitu repot. Sekali-kali enggak apa-apa.
Zahira hendak mengambil satu donat tersebut. Perutnya mendadak keroncongan.
Hana menepis. "Jangan Ra. Enggak sopan lo. Kebersamaan itu tidak dinikmati dengan kepuasan sendiri. Tapi saling membersamai dalam merasakan."
Ia hanya bisa menelan luda. Meskipun sungguh menjengkelkan. Panas terik yang dilalui cukup membuat nafsu makan apa saja meningkat. Namun, setelah melihat Hana yang memakai khimar merah muda. Ia baru sadar bahwa dresscot yang mereka kenakan benar-benar kompak. "Selain untuk kejutan Inaya. Emang siapa yang ulang tahun?"
Kanaya mengodekan mata ke arah Hana. "Kamu!" Mereka berdua benar-benar serempak.
Ada nggak emoticon yang datar untuk menggambarkan hal ini? Tanggal lahirnya sudah lewat sekitar lima bulan yang lalu. Kebanyakan menulis dan menuangkan perasaan membuat ia lupa akan segalanya. Termasuk riset. Lima menit kemudian ia baru ingat bahwa hari ini adalah hari persahabatan pertama sekali mereka mengazamkan untuk menjadi sahabat tim. Mungkin orang lain akan mengatakan sahabat sampai surgalah, sahabat selamanyalah, tapi bukan sebagai sahabat hidup. Sebab masa depan bukanlah suatu skenario yang bisa diprediksi dengan tepat kebenarannya. Walaupun begitu ia dan lainnya akan terus berusaha menjaga persahabatan ini. "Oalah, begitu ya. Ini pertama kali sih yang terjadi dalam hidupku. Jadi, kalau tidak ada sesuatu yang spesial aku minta maaflah ya."
"Tak masalah. Kehadiran kita bersama sudah menjadi poin terpenting. Lagian kalau sudah ada Kanaya kita mah mesti wolles saja. Calon CEO," goda Hana pada Kanaya.
"Aamiin ya rabbal alamiin. Masih belajar ini. Doain saja teman-teman."
"Assalamualaikum!" Kantung mata Inaya sangat jelas terukir di wajah kelelahan itu.
"Wa'alaykumussalam."
"Begadang Nay?" tanya Zahira lebih dulu. Masalah ini jangan ditanya lagi. Semenjak kebanyakan buku-buku tentang kesehatan. Setidaknya ia menjadi sedikit tahu jika ada yang berbeda dengan penampilan seseorang.
Inaya hanya bisa menyengirkan bibir. Sudah lelah untuk menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya berdehem. Kemudian meletakkan tas di sudut ruangan dan langsung terkapar di karpet merah.
"Selamat hari persahabatan teman-teman," ucap Kanaya setelah meletakkan donat tersebut di tengah karpet.
Hana membawa ceret yang berisi minuman jeruk peras. Sedangkan Zahira membawa gelasnya.
"Wuah cocok sekali. Terima kasih teman-teman," ucap Inaya dengan perawakan sok bangga. Sudah lelah, eh disuguhkan dengan makanan. Kebetulan baju yang mereka kenakan sangat kompak. Padahal memang sudah janjian. Tak lupa dengan pemotretan, bukan?
Inaya membuka dokumen yang baru saja dikirim Surya di grub. Pesan itu merupakan jadwal yang sudah ditentukan untuk presentasi. Ia terus menscroll layar hingga menemukan informasi bahwa tim Surya akan maju pada hari selasa pukul setengah enam. Urutan kelompok ketiga terakhir yang maju pada hari itu. Berarti kondisi di sana sedang dalam kelelahan.
"Cie yang sudah ditentukan jadwal monev nih," goda Zahira.
"Semangat ya! Banggakan kampus," ucap Hana.
"Semangat ya Nay. Kami akan selalu mendoakanmu." Hana turut menyemangati.
Alhamdulillah tidak terlalu awal dan tidak terlalu akhir. Semoga saja ia dan tim bisa menaklukkan dewan juri.
*
Hari pertama dibuka dengan Wakil Rektor Empat pukul sembilan pagi. Wakil Rektor bidang kemahasiswaan tidak dapat hadir sebab sedang berada di Jakarta. Setelah itu tidak lupa pula menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama.
Kelompok yang maju lebih dulu berasal dari luar. Mulai dari Tapanuli Selatan hingga Kampus Tetangga. Jumlah seluruh tim dari luar sebanyak sepuluh.
Kelompok presentasi dari luar, pagi ini tampak biasa saja. Itu berarti lawan sesungguhnya berasal dari kampus sendiri. Persiapan yang maksimal serta unjuk kebolehan yang luar biasa.
Namun, ia tetap yakin bahwa keyakinan dan doa yang tulus akan menembus pintu langit.
Matahari sudah tepat berada di atas kepala. Waktunya makan siang, sholat, dan istirahat. Semua peserta diarahkan ke ruang sidang B.
"Kak lihat tuh. Reskhi sedang berjuang untuk mendapatkan makan siang," ucap Fikri.
Sedangkan Inaya hanya bisa tersenyum melihat tingkah lucu adik stambuknya. Manja dan menggemaskan. Hal-hal seperti sudah sangat ia maklumi.
*
Kalau sudah siang hari. Beberapa orang yang ada di ruangan ini banyak yang berguguran. Namun, khimar merah jambu yang dikenakan oleh Ibu Reviewer sudah mampu membuat dirinya jauh lebih bersemangat. Kan sudah kebagian jatah makan siang gratis.
"Kak besok kami rencana mau pakai baju hitam putih sama pakai dasi," ucap Reskhi.
"Okelah biar Kakak selaraskan. Sepertinya khimar abu-abu lebih manis daripada hitam. Soalnya kalau Kakak pakai khimar hitam malah jadi gelap," curhat Inaya. Kulitnya tidak putih. Lebih cocok sawo matang. Setelah berbicara sejenak tentang hal itu. Inaya mencari tempat yang masih kosong di depan. Siapa tahu bisa memperhatikan lebih jelas.
Setelah beberapa ia memutuskan untuk merekam salah satu tim yang sedang presentasi. Mereka masih menjadi bagian dari temannya yang seangkatan. Kelompok tersebut beranggotakan tiga orang. Ada dua wanita dan satu pria. Pria itu berkacamata. Ia sangat ingat gayanya yang lucu bila melihat dari kejauhan. Kalau tak salah namanya Riki Handoko.
Setelah melihat ponsel. Inaya harus segera ke Fakultas Teknik untuk latihan presentasi sekitar dua puluh menit lagi. Daripada jalan-jalan enggak jelas nanti, Ia lebih memilih untuk menikmati presentasi ini.
Mereka berjalan ke ruangan yang tak biasanya digunakan untuk latihan. Lebih mengarah pada suatu ruangan kantor dengan dua meja besar yang tersusun rapi sebaris.
Sinar mentari yang arahnya berlawanan dengan ruangan masih bisa memberikan penerangan yang cukup. Inaya merasa de ja vu lagi. Tapi ia tetap saja masih tidak bisa mengingat kelanjutan cerita ini.
Inaya membuka laptop. Sedangkan Surya sedang menyiapkan proyektor. Setelah semuanya dipasang sebagaimana mestinya. Mereka memulai latihan. Dugaan Inaya benar. Bukan bersebab Ibu Putri yang ada di hadapannya. Tetapi ruangan yang digunakan. Buktinya ia tidaklah terbata-bata saat presentasi.
Namun, setelah menuju slide berikutnya. Malah tidak bisa berfungsi. Laptop yang ia miliki mendadak eror. Rencananya akan digunakan untuk presentasi. Kemudian masih dicoba sekali lagi, tetap tidak bisa. Tapi, untungnya ini masih berupa latihan. Kalau sampai sedang presentasi sesungguhnya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kala nanti.
Surya berusah meminjam laptop temannya yang ada di luar. Setelah ada, mereka mencobanya namun tetap saja. Dokumen malah tidak bisa terbuka sempurna. Sedangkan video juga tidak bisa berjalan.
"Kalau pakai laptop Surya kira-kira bisa berjalan tak?" tanya Inaya.
"Berjalan Kak." Surya masih mematikan laptop yang tak bisa juga.
"Ya, sudah pakai punya Ibu saja. Reskhi ambilkan dulu di dalam mobil Ibu." Tawaran yang bisa dijadikan solusi.
Reskhi bergegas mengambil laptop Ibu Putri. Sedangkan Inaya masih bingung dengan laptopnya yang mendadak eror. Mulai dari mencopot baterai secara paksa. Hingga membiarkannya begitu saja saat sedang erornya.
Setelah Reskhi mengambilnya dan dicoba kelayakan. Ternyata laptop Ibu Putri bisa diandalkan kali ini. Sehingga mereka bisa latihan.
"Tapi Ibu enggak jamin ya. Soalnya terkadang sering eror ya," ucap wanita tangguh yang cerdas tersebut.
Setelah selesai latihan. Bapak Wakil Dekan tiga datang dan mengarahkan mereka ke ruangannya. Inaya bingung apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Ternyata hanya memulangkan proyektor kemudian bersalaman dan pulang.
*
*
Bersambung
14 [Bukan Gemerlap Presentasi]
~Ya Allah, hamba ikhlas dengan segala perkara yang akan Engkau hadirkan dalam kehidupan hamba.~
*
*
Inaya baru saja berdoa menumpahkan segala kerapuhannya ashar ini. Sinar mentari yang masih menyusup terang melalui jendela seperti cahaya petunjuk bahwa ia memang harus mengikhlaskan atas segala ketetapan-Nya kala presentasi nanti. Semua usaha dan doa sudah dilakukan dengan maksimal. Jadi, tidak ada alasan untuk dirinya merasakan pesimis yang meradang di setiap detakan jantung.
Ia merapikan mukenah dan membawanya kembali ke ruangan Biro Rektor. Tempat ia akan bertarung bersama irama ketakutan sebelum maju. Kelompok yang masih maju tinggal dua lagi. Ia masih ada waktu untuk berlatih lagi. Tetapi setelah dipikir-pikir. Ada ketakutan sendiri yang menyusup yaitu habis suara jika latihan terlalu bersemangat sebelum tampil. Bukankah mengistirahatkan suara akan membuatnya lebih bersemangat saat tampil? Ia memilih diam dan menunggu giliran presentasi.
"Siap-siap kelompok Surya!" Instruksi dari pengarah presentasi sudah berkumandang. Inaya dan tim sudah memakai atribut untuk presentasi.
Tetapi kursor laptop mendadak tidak bisa digeser.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Inaya dan yang lain sudah berada di depan panggung dan memakai microfon. Rasa kecemasan ini membuat Inaya tak bisa berpikir apa-apa. Surya sedang berusaha mencari alternatif dengan laptop yang lain. Entah mengapa malah tidak bisa sama sekali. Padahal saat istirahat tadi laptop yang akan digunakan untuk presentasi dalam kondisi baik.
Waktu yang terbuang begitu saja sudah berjalan selama sepuluh menit. Rasa berat hati menyelimuti di antara mereka ketika disuruh turun panggung. Inaya berzikir dan melantunkan shalawat. Tetap saja laptop yang akan digunakan masih tidak ingin diajak kompromi.
"Apa sebenarnya yang terjadi? Apa makna yang Allah tunjukkan pada Inaya?" Ia terus berbicara pada diri sendiri. Apalagi setelah melihat raut wajah dosen pendamping yang ikutan kecewa.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Tapi mereka masih belum bisa menaklukkan laptop yang akan digunakan presentasi.
Kelompok berikutnya berasal dari jurusan seni musik. Pada nuansa yang tadinya begitu menengangkan berubah menjadi suatu hal menarik saat tabu bergentang. Alat musik yang terbuat dari bambu menyerupai gitar telah melantunkan melodi. Semua yang ada di ruangan merasa terpukau. Banyak di antara mereka mulai mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai merekam.
Bapak wakil rektor pun hadir. Setelah sekian lama mereka menantikan. Akhirnya pada sore hari ini keberadaannya benar-benar membersamai.
Mata Inaya semakin membulat saat menemukan Kiki memasuki ruangan. Sedangkan laptop baru saja mau diajak kompromi kali ini. Itu berarti saat presentasi nanti ia akan menyaksikan.
Apa mungkin ini yang menjadi jawaban dari kejadian tadi?
Bapak wakil dekan dari fakultas teknik juga sampai saat ini masih membersamai.
Saat satu pintu tertutup. Saat itu pula pintu yang lain terbuka.
Setelah tiga kelompok terakhir maju. Akhirnya kelompok mereka diberikan kesempatan untuk mempresentasikan PKM. Kali ini laptop yang digunakan sampai dua. Laptop yang pertama dari dosen pendamping. Tapi tetap saja tidak bisa terkoneksi dengan in focus. Sedangkan laptop yang digunakan adalah laptop yang merajuk tadi.
Inaya memajukan posisinya dan memulai presentasi.
"Pengembangan kawasan industri memacu meningkatnya kebutuhan beton sebesar 60%. Pada tahun 2017 konsumsi semen di tanah air semakin meningkat hingga mencapai. 84.396 juta ton.
Indonesia yang terletak di kawasan tropis sebagian besar penduduknya bercocok tanam merupakan salah penghasil tebu terbesar. Pada tahun 2005, dari luas lahan 343.816 toh/ha dapat menghasilkan tebu sebesar 84.391 ton/ha. Pada proses pengelolaan tebu menjadi gula menghasilkan ampas tebu sebanyak 90%. Abu ampas tebu merupakan sisa dari pembakaran ampas tebu mengandung silika yang sangat tinggi dan dapat digunakan sebagai bahan pengikat pada beton.
Unggas merupakan salah satu komoditas penting. Produksi daging dan telur dapat digunakan sebagai bahan pangan dan papan. Sebagai bahan papan, putih telur digunakan sebagai perekat bangunan satu ke yang lainnya. Contohnya masjid Jami' tua Palopo yang dibangun pada abad ke 17 M. Ada pun limbah putih telur ini banyak ditemukan pada pedagang jamu."
"Saya Pan Surya Handika Sebagai ketua."
"Saya Reskhi Dwi Putra Sianturi sebagai anggota yang pertama."
"Saya Inaya Fatia sebagai anggota yang kedua dan didampingi oleh dosen pendamping Dr.Ir Putri Lynna Adelina Luthan, Msc.IPM."
Semua yang hadir di dalam ruangan bertepuk tangan meriah. Padahal Inaya belum mengatakan judul PKM. Pandangan terarah pada dosen pendamping yang sedang tersenyum.
"Berkolaborasi membuat suatu penelitian yang berjudul,-"
"Beton dari Abu Ampas Tebu dan Putih Telur," ucap mereka bertiga secara serempak. Ya, tak ada cara lain lagi selain menyamangati diri dengan perasaan yang menggebu setelah melalui proses panjang dan melelahkan. Belum lagi harus mengalahkan berupa keegoan menanggung rasa malu.
Inaya melanjutkan presentasinya. "Ada pun rumusan masalah yang dapat kami sampaikan adalah bagaimana abu ampas tebu, putih telur, dan semen digunakan sebagai bahan campuran pada beton dengan tujuan mengetahui pengaruh dari penambahan tersebut.
Luaran yang telah kami capai adalah beton yang ramah lingkungan. Publikasi online di Universitas Negeri Medan dan jurnal Nasional di Educational Building." Inaya memundurkan posisi tubuhnya ke belakang dan mulai menarik bibirnya secara simetris. Tersenyum ramah kepada semua yang hadir di ruangan ini.
Reskhi memajukan posisinya. "Ada pun metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan langkah sebagai berikut.
Pertama tim melakukan persiapan alat dan bahan. Mulai dari pembelian ampas tebu dan mencincangnya menjadi kecil kemudian menjemurnya di sinar matahari selama satu hari kemudian dioven pada suhu 600 derajat di laboratorium. Kemudian menyiapkan alat berupa sendok semen, kerucut Abraham, ember, palu, dan tempat pengadukan.
Langkah kedua adalah melakukan pemeriksaan fisis pada bahan yang akan digunakan sebagai pembuatan benda uji.
Setelah itu tim melakukan mix desain dengan proporsi campuran yang telah didiskusikan bersama dosen pendamping.
Langkah selanjutnya adalah pembuatan benda uji yang dilakukan di laboratorium beton dengan langkah pertama penimbangan air, pasir, kerikil, putih telur, abu ampas tebu, dan semen. Kemudian mencampurkan semua bahan. Setelah itu dilakukan pengujian slump.
Tim memasukkan semua campuran ke dalam cetakan kemudian dilakukan perojokan agar tercampurnya. Setelah beton selesai dicetak.
Perawatan benda uji dilakukan setelah beton dikeluarkan dari cetakan selama satu hari. Perawatan dengan memasukkan benda uji ke dalam bak perendaman air selama 14 hari dan 28 hari.
Beton siap dilakukan pengujian tekan dengan mesin kuat tekan. Berikut adalah grafik dari pengujian."
Reskhi memundurkan langkah dan Surya memulai presentasi.
"Ternyata penambahan abu ampas tebu dan putih telur menyebabkan nilai slump turun sehingga pengikatan yang terjadi pada beton. Hal ini sangat cocok untuk pengikatan pada beton dalam air.
Selain itu nilai kuat tekan pada pengujian berkisar antara 3 sampai 7 Mpa dan berat beton mejadi ringan. Kondisi ini sangat cocok digunakan untuk kontruksi dinding pada bangunan bertingkat."
Isi presentasi telah selesai. Inaya memajukan posisi. "Terima kasih kepada Bapak dan Ibu reviewer atas kesempatan yang diberikan kepada kami. Kami kembalikan kepada Bapak dan Ibu Reviewer.
Jika ada sumur di ladang."
"Bolehlah kita menumpang mandi," sahut Surya.
"Dengan Ampas Tebu dan Putih Telur ini," ucap Inaya lagi.
"Kita berjumpa di PIMNAS nanti!" sahut Reskhi.
Ya, harapan itu seumpama cahaya yang ingin digapai. Sebab usahanya juga penuh perjuangan. Waktu dan segala yang telah dikorbankan terus berputar-putar. Kini tinggal rayuan kepada Tuhan agar diizinkan sampai ke PIMNAS.
Semoga saja.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Tersisa sepuluh menit lagi bagi mereka melewati sesi tanya jawab.
Ibu reviewer sudah memegang microfon. "Oke inilah adalah organisasi yang baik sekali ya antara stambuk 2015, 2016, dan 2017. Jadi pertanyaannya adalah bagaimana kekurangan dari penelitian kalian ini?"
Surya mendekatkan microfon ke bibir. "Oke terima kasih Bu. Penelitian kami menghasilkan berat yang ringan. Sehingga bisa dijadikan sebagai konstruksi dinding. Selain itu pengikatan yang lama juga bisa digunakan dalam pembuatan beton di dalam air."
"Lalu bagaimana dengan kekuatannya?"
"Tentu kuat Bu. Sebab sebab beton ini sesuai dengan karakteristik dinding yang memiliki kekuatan 4 sampai 7 Mpa," jawab Inaya.
Ada jeda sedikit di antara mereka. Surya sudah mengodekannya pada Reskhi. "Selain itu beton ini tidak bisa dijadikan sebagai struktur."
Pertanyaan berikutnya diajukan oleh Bapak reviewer. "Ini kan menggunakan putih telur. Bagaimana dengan pengaruh ekonomis dari beton itu sendiri ini kan bahan pangan yang mungkin enggak semua ada?" Tangan kanan memperlihat bahasa tubuh kedua jari telunjuk dan ibu jari didekatkan.
"Oke, baik Pak terima kasih. Putih telur ini kami dapatkan dari pedagang jamu yang setiap harinya menghabiskan ratusan kuning telur dan hanya menyisakan putih telurnya saja," jawab Inaya duluan. Agar jawaban dari mereka lebih terlihat kompak.
"Lalu bagaimana dengan harga. Apa kalian mematokan harga atau tidak?"
"Untuk saat ini tidak Pak," jawab Surya.
Hm, padahal untuk masalah putih telur. Inaya yang mengetahuinya. Ia sendiri yang tahu bagaiamana cara mendapatkan bahan tersebut. Walaupun sempat sakit kepala dan menunjukkan siapa dirinya saat sedang panik.
"Okelah sampai di sini saja pertanyaanya. Silahkan ditutup!" pinta Bapak Reviewer.
Ya, jika Inaya yang membukanya. Maka ia pula harus menutup kembali. "Baiklah, terima kasih kepada Bapak dan Ibu Reviewer atas saran dan pertanyaanya," Inaya memberi jeda sekitar tiga detik, "jalan-jalan ke kota Bali."
"Jangan lupa pergi ke Pantai," sahut Reskhi.
"Kalau mau lihat kami lagi. Kita berjumpa di PIMNAS nanti!" jawab Surya dengan semangat.
Bersambung
*
*
15 [Sebelum Purnama]
~Purnama masih terus bersembunyi. Sebelum kehidupan bulan pada puncak pertengahan.~
*
*
Inaya dan tim baru saja selesai presentasi saat jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh. Sudah dipastikan azan magrib berkumandang. Sedangkan orang yang berada di ruangan megah ini hanya beberapa. Surya sudah duluan hilang dari pandangan sedangkan Reskhi masih di dalam bercengkerama dengan Indra.
Pada pintu keluar di sebelah kanan terdapat mesin teknologi yang digunakan untuk membuka durian dengan cepat. Ya, kemajuan teknologi mendorong semua orang harus melakukan tindakan cepat. Sigap dan cepat tanggap. Tidak seperti perasaan yang harus ditunggu kapan waktu tepat. Maka sarana yang paling tepat untuk mendukung hal ini adalah kegiatan PKM alias Pekan Kreativitas Mahasiswa. Mulai dari PKM Penelitian Eksata dan Sosial Humaniora, PKM Pengabdian Masyarakat, PKM Kewirausahaan, PKM Teknologi, PKM Gagasan Futuristik atau GFK, PKM Gagasan Tertulis, dan PKM Artikel Ilmiah.
Inaya memutuskan untuk sholat di gedung ini. Demi PIMNAS ia memang harus merayu pada Tuhan agar dikabulkan. Walau hantu belahu suka sekali mengulur waktu untuk bermalas-malasan.
Saat Inaya hendak memasuki ruangan sholat. Perhatiannya terarah pada pria yang selalu membayanginya akhir-akhir ini. "Gimana tadi saat Nay presentasi?"
"Biasa saja." Pria itu hanya menjawab dengan kalimat singkat yang tidak terindikasi menarik sama sekali. Tak mengenakan.
Saat langkah sudah benar-benar di daun pintu. Gadis yang berkhimar abu-abu dengan perawakan wajah hampir bulat sama seperti Inaya memberikan interaksi pada Kiki. Inaya hanya bisa mengatakan pada dirinya 'pantas saja'. Perasaan yang menganggap semua indah mendadak kelabu. Nay, sudahlah dia sudah berada pada posisinya.
Gadis itu keluar dari ruangan. Telinga Inaya menangkap sebuah kata asing saat kata 'Adik' keluar dari bibir tipis gadis tersebut. Ia tak ingin melanjutkan lagi pengaguman diam ini pada Kiki. Maka, bukankah doa yang akan membantu menjawab semua jalan cerita ini?
*
Setelah sholat, Inaya bergegas untuk pulang. Namun sepertinya kejadian terulang kembali. Pulang saat gelapnya malam sudah menguasai. Dia tidak mengharapkan apa pun selain menaklukan rasa ketakutan ini sendiri. Pergi sendiri dengan gamis putih layaknya kuntilanak kesepian.
Entah kenapa bulu kuduknya seakan pada berdiri. Sedangkan hati begitu was-was. Malah letak sepeda motornya begitu jauh dari parkiran. Ia berharap hal yang sama tidak terjadi lagi. Saat gelap gulita sedang membersamai sinar bulan. Sepeda motornya mendadak mogok kala itu. Tak ingin hidup meski sudah berbicara layaknya manusia. Rayu-merayu seperti orang gila. Tapi suasana di sini benar-benar begitu gelap. Tanpa penerangan yang layak. Hanya remang-remang dari berkas sinar bangunan lain. Sekadar berbicara ia tak berpikiran. Jika saja ada orang lain di sisinya. Pasti tidak akan semenakutkan ini.
Nasib baik sepeda motornya mau diajak kompromi ketika hidup saat distater. Awalnya ia ingin langsung pergi bergitu saja. Ingatan akan STNK membuat dirinya harus berpikir dua kali. Sama saja tidak akan bisa keluar jika tidak diperlihatkan di hadapan Satpam kampus.
Setelah semua atribut terpasang sebagaimana mestinya. Ia keluar dari parkiran dan menemukan Kiki sedang berjalan sejajar berdua dengan wanita tadi. Tidak terlihat saling berpegangan tangan. Hanya saja seperti meniadakan jarak. Inaya membunyikan klakson.
"Hati-hati ya Nay!" ucap Kiki.
Inaya tidak sempat melihat wajah purnama itu secara jelas sebab penerangan yang gemerlap. Ia hanya bisa melihat tubuh kokoh itu berjalan dan menyapanya. Kemudian membalas sapaan tersebut dengan anggukan.
*
Ada sebuah pernyataan mengatakan bahwa takdir itu bisa diubah jika kita mau berdoa seraya menumpukan harapan hanya kepada Allah semata. Kali Inaya akan melakukannya. Berusaha memutar balikkan niat yang sempat salah. Belajar curhat hanya kepada Allah semata.
"Gimana tadi PKM-nya Nay?" tanya Mama penasaran. Ia akan selalu menanyakan pertanyaan hal yang sama pada Inaya. Mulai dari seminggu lalu.
Inaya sudah mandi dan makan malam baru saja. Ia merasa seluruh tubuh pegal-pegal dan tidak ada tenaga. Baju tidur ungu panjang cukup mampu menjaganya dari gigitan nyamuk dan mengurangi frekuensi sofel yang lengket di kulit. "Alhamdulillah lancar Ma. Doain ya biar sampai PIMNAS."
"Nay enggak pergi ke Bali kan? Soalnya kita enggak punya uang, orang susah. Jadi jangan terlalu berharap akan berpergian seperti orang kaya," pesan Mama sebelum Inaya tidur.
Inaya tahu rasanya saat keinginan tidak didukung. Meskipun dari orang terdekat sekali pun. Ya, dia memang bukan orang berpunya saat ini. Tapi pernyataan tersebut seperti mengisyaratkan Mama tidak setuju. "Enggak tahu Ma. Tapi doain saja biar lulus PIMNAS. Kalau nanti dapat sertifikatnya Inaya bisa ikutan beasiswa LPDP. Lumayan Ma kalau bisa lulus S2 dibiayain pemerintah."
"Iya makanya Nay berdoa minta sama Allah agar segera terkabul." Walaupun pernyataan ini terkesan hanya Inaya yang harus berjuang dalam berdoa.
"Aamiin ya rabbal alamiin." Mata Inaya sudah berasa dalam kondisi lima watt. Ia beranjak dari tidur sejenak dan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu mengambil Al-quran dan membaca surah Al-Mulk. Tidak lupa pula menyapukan sofel ke kulit yang masih bisa digapai oleh nyamuk.
Sebelum Inaya benar-benar tertidur. Ia melihat grub WhatsApp masih sepi. Teman-temannya sungguh sangat perhatian.
*
Ini adalah hari terakhir jadwal monev. Mungkin jika orang lain akan langsung pergi dan tak kembali. Bagi Inaya sebuah proses itu harus dilalui meski bosan sekali pun.
Alasan Inaya datang ke hari terakhir ini adalah tim Indra yang presentasi. Ia melihat Fikri ada di belakang. "Gimana keadaan sekarang?"
"Alhamdulillah sudah baik Kak. Semalam munmen Kak. Lambung naik mungkin karena makan yang tak boleh dimakan. Benaran lemas banget. Ada sih disuruh untuk diinfus. Tapi aku nggak maulah Kak. Enggak mungkinkan kalau presentasi nanti bawain selang infus," jelas Fikri. Kulitnya yang putih dan keadaannya baru saja sakit membuatnya seperti mayat hidup.
"Ya sudah semangat teruslah ya." Inaya mengepalkan tangan kanan. Jika itu berada ada perihal sebuah penyemangatan ia kan berada pada posisi nomor satu. "Jadi, kapan kalian akan presentasi nanti?"
"Habis makan siang Kak."
Inaya melihat sekeliling, tidak ada Indra di sini. Hanya Doelay yang berada di belakang. "Mana Indra?" Biasanya dia akan melihat lebih dulu sosok yang sigap dan bertanggung jawab. Namun kadang-kadang penakut.
"Enggak tahu Kak."
Inaya hanya bisa menganggukkan kepala dan mencoba memahami situasi. Walaupun tidak semeriah pendampingan tim mereka kemarin. Kini tinggallah ia yang berusaha untuk saling menyemangati. Walau dari kejauhan sekali pun.
Setelah kelompok Indra dipanggil. Inaya berusaha berada di tempat duduk paling depan untuk mengambil rekaman presentasi mereka. Tepat sekali ada bangku kosong di sebelah pria yang berkacamata.
*
*
Bersambung
16 [Pria Misterius]
~Pada sekat yang ditakdirkan. Ada perhatian yang mengalihkan.~
*
*
"Hm, boleh nggak numpang duduk di sebelah sebentar saja ya untuk merekam mereka," ucap Inaya sebelum ia benar-benar dipersilahkan duduk.
Pria itu mengangguk. Kemudian Inaya mulai merekam presentasi. Saat menoleh ke belakang Inaya sudah melihat Reskhi dan Surya. Presentasi tim Indra benar-benar lancar kali ini. Tidak ada kendala apa pun. Hanya saja Bapak reviewer meminta untuk bertanya dari dekat. Sehingga Inaya mau enggak mau harus mengakhiri rekaman ini.
Inaya teringat kalau sebenarnya ia memiliki rekaman pria berkacamata di sebelahnya. "Eh, Nay punya rekaman Riki. Kalau mau biar Nay kasih nih."
"Mana? Sini kasih aku."
Inaya mengirimkan data yang ada di ponsel ke dalam flashdisk kemudian memberikannya pada Riki.
"Nah." Tangan kanan sudah memegangi flahdisk yang sudah tergantung mainan kunci ketupat berwarna hitam putih.
"Yah, laptop mati," ia membuka laptop dan menunjukkannya, "nantilah ya aku pergi ke laboratorium dulu untuk memindahkannya."
Inaya lupa kalau sebenarnya Riki tidak memiki ponsel secanggih dirinya. Pantas saja tidak memiliki akun WhatsApp apalagi Instagram yang aktif. Jadi jika laptop mati. Maka ia pasti akan pergi ke markasnya.
"Sebenarnya kan. Lakukan saja apa yang terbaik menurut diri. Tidak usah terlalu buru-buru nanti hasilnya enggak baik. Ini saja penelitian skripsiku sejalan dengan PKM," curhat Riki duluan.
Oke, sepertinya akhir-akhir ini cowok lebih suka mengungkapkan duluan pemikirannya daripada Inaya. "Jadi, kapan Riki sidang?"
"Tanggal 31 nanti."
"Wuah, mantul. Nay saja sudah down. Nay enggak berani menghadapi mereka karena skripsi Nay belum siap."
"Jangan membuat pemikiran kita itu menjadi sugesti yang buruk. Semua itu tergantung pada hati kita. Kalau berpikir yang baik-baik pasti hasilnya juga terbaik."
Wuah, tumben sekali ada seseorang yang mau mengatakan hal ini kecuali teman-teman satu visi Inaya. Apalagi ini perdana setelah empat tahun kuliah di sini dengan pria yang terlihat pendiam dan sangat misterius. "Pantas saja yang tadinya Nay pikir Riki itu enggak meyakinkan. Eh, enggak tahunya jago juga dalam presentasi." Ia berharap pujian ini tak akan membuat pria itu melayang ke angkasa. Tapi, kedua tangannya mendandak gemetaran. Dia tidak mengagumi Riki seperti dulu.
"Itulah diam-diam begini. Aku bisa membaca wajah seseorang hanya dengan beberapa menit. Sebenarnya ini aku sedang melihat dan memprediksikan bagaimana nanti di depan. Makanya pas ngambil jurusan aku lebih milih komputasi."
Inaya terpukau. Seharusnya pria ini masuk saja ke bagian intelengensi dengan pribadi yang seperti ini. Tapi yang sudah namanya takdir beginilah kita dipertemukan. Ya, dipertemukan. "Wuah, begitu. Nay, enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi kejadian yang selama ini Nay lalui itu seperti sudah pernah terjadi sebelumnya. Padahal baru pertama kali," curhat Inaya ikut-ikutan. Sikap sok kenal sok dekat ini selalu menjadi andalan di mana-mana. Jujur kalau bisa dibilang sih. Ia sama-sama introvert seperti pria di sampingnya kadang-kadang.
"Oh, istilah de ja vu itu. Bawa rileks saja. Enggak usah terlalu diambil pusing dan dijalani. Melihat dari raut wajahmu saja aku bisa tahu betapa pesimisnya. Jadi apa pun itu enggak usah berusaha untuk menyembunyikan sesuatu."
Wuah, apa lagi coba potensi yang tersembunyi dari pria ini? Sebenarnya dia ahlinya komputer atau ahli psikologi sih? Tapi memang apa yang dikatakan pria tersebut ada benarnya. Diam-diam semangat yang hilang itu kembali muncul. Seharusnya ia mengatakan terima kasih gitu. Tapi enggak usah deh, gengsi ah. "Jadi habis kuliah mau ngapai?"
"Kerja di perusahaan kalau enggak ke Jambi ya Riau."
"Ada rencana untuk S2 kan?" Ia hendak melihat lebih jelas raut wajah yang sedang berbicara itu. Tapi tetap saja terhalang oleh kacamata.
"Adalah."
Oke, pertanyaan di waktu singkat ini sudah seperti wawancara secara ekslusif. Sepertinya sudah sangat cukup.
"Penelitian ini kan ke terumbu karang. Jadi koral ini adalah kotoran ikan yang sudah mengendap bertahun-tahun. Makanya bisa diteliti seberapa tercemarnya pantai tersebut." Riki seolah masih ingin melanjutkan kuliah sore hari ini.
Setelah mendengar hal itu Inaya teringat akan mimpinya berada pada urutan ke 29. "Nay, punya mimpi untuk melihat pemandangan bawah laut. Itu kira-kira di mana ya?"
"Raja Ampat juga ada. Ini saja pas di daerah Andandewi. Kalau mau masuk ke dalam yang menggunakan alat, satu orang bayarnya satu juta. Enggak jadi deh."
"Hmm, gitu."
Percakapan tadi adalah pembahasan terakhir sebelum Riki memutuskan ke laboratorium untuk memindahkan file.
"Nanti aku balik lagi," ucap Riki.
Mendengar hal ini terkesan pria itu adalah orang yang bertanggung jawab. Tapi setelah mendengar pernyataan yang terungkap. Inaya tahu bahwa pria itu memang harus bertanya dulu dan tidak boleh asal semena-mena. Inaya berencana mau ke fotokopi nanti. "Nanti Nay saja yang sekalian ke sana. Enggak usah terlalu repot." Lagian gedung Biro dengan labotarium lumayan jauh.
Inaya masih melihat Kiki yang sedang presentasi di depannya. Begitu jelas. Namun tidak memberikan pengaruh apa pun pada hatinya. Rasa itu memang benar-benar aneh. Ia datang tanpa diundang dan pergi seenaknya begitu saja. Sedang dalam proses merindukan adalah hal yang paling sakit.
Inaya masih menikmati presentasi beberapa kelompok selanjutnya dengan hikmad. Hingga kelompok terakhir. Namun, acara monev ini masih belum ditutup sebab Wakil Rektor tiga masih rapat.
Erwin yang merupakan salah satu orang dengan talenta luar biasa maju untuk membawakan peserta pada kegiatan relaksasi. Padahal tujuan sebenarnya adalah menghipnotis orang yang berada di sini.
Inaya mengikuti rangkaian acara ini. Siapa tahu ia benar-benar bisa melupakan pria itu. Sebab bayang-bayangnya sudah ada di mana-mana.
Sebanyak enam orang wanita mulai terhipnotis saat tangan mereka kaku tak bisa digerakkan. Mulai disuruh berpura-pura menjadi Nisa Sabyan hingga ketakutan bahkan senang sendiri.
Inaya melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia teringat akan janjinya tadi. Rencana untuk memfotokopi berkas sudah pasti gagal. Namun, kesempatan untuk menunaikan janji pada Riki masih bisa ditunaikan.
Ia segera turun dan pergi ke laboratorium dengan bantuan sepeda motor kesayangan. Meskipun lelah, selagi dia masih sehat. Semua itu tidak menjadi masalah.
Ia sudah berada di lantai dua. Ruangan itu dipenuhi komputer. Riki sedang bersama seorang pria. Mereka menonton video tutorial. Riki yang melihat Inaya langsung memberikan flashdisk.
Tangan Inaya sudah berada di bawah bersiap menangkap benda tersebut. Sebelum beranjak Inaya ingin mengatakan sesuatu sebelum langkah benar-benar berat. "Ki, Nay punya pertanyaanlah? Mau jawab sekarang atau nanti saja."
"Nanti saja."
Inaya kemudian segera kembali ke Biro. Tas masih berada di sana. Ternyata penutupan baru segera dimulai.
Sesi foto berlangsung. Semua orang asyik sibuk memikirkan jepret sana sini. Namun, Inaya tidak berniat sama sekali. Sebelum pulang ia melihat Riki baru saja datang dan tersenyum. Sedangkan Inaya ingat akan pertanyaan yang ingin diajukan. Namun, situasi ini sangat tidak tepat. Ia memilih pulang.
*
*
Bersambung
17 [Kesempatan]
~Mungkin banyak kesempatan yang mendatangi diri di saat tak menginginkan. Hingga terlewat begitu saja, misalnya sholat tepat waktu~
*
*
Hari demi hari berlalu. Sedangkan Inaya masih tetap memberikan sebuah pengharapan besar agar kiranya dia bisa lulus PIMNAS. Segala perintah Allah baik sunnah maupun wajib akan ia lakukan. Namun, terkadang rasa membanggakan diri sering kali menyelimuti diri. Padahal itu semua hanya Allah yang boleh memilikinya.
Inaya takut takabur. Tapi, dirinya sangat menginginkan bisa lulus PIMNAS apalagi sampai mendapatkan mendali emas. Walaupun terlihat begitu menghayal, setidaknya ia pernah berharap kepada sang Pencipta. Tak peduli seberapa banyak pasang yang tidak menyukainya dalam melakukan hal ini.
Langit tampak kelabu. Sedangkan angin berembus mesra menerpa dedaunan yang sedang kokoh. Begitupun khimar marun yang bersedia tergerak bersebab angin. Dingin lumayan menyejukkan.
Inaya baru saja memasuki rumah Kanaya. Beberapa orang tengah sibuk mengerjakan sesuatu yang penting menurut hati. Hana terlihat sedang belajar mengolah data hasil penelitian. Inaya melangkahkan diri ke dapur dan menemukan Kanaya yang sedang membuat bakwan. Tercium aroma gurih saat bakwan tersebut selesai digoreng. Tinggal sedikit lagi. Bakwan ini siap untuk dihidangkan. "Jadi, kapan nih mau buat toko?"
"Masih belum niat kalau sekarang Nay. Pertama, Kanaya mau fokus ke skripsi dulu. Kedua, masih terus mengasah kemampuan," tangan kanan dan kiri bekerjasama dalam mengangkat gorengan.
"Ou begitu. Semangatlah kalau begitu." Ia mengambil beberapa cangkir dan menuangkan air ke dalam ceret.
Inaya dan Kanaya membawa makanan tersebut ke depan. Ia kaget melihat Zahira sudah berada di sudut ruangan sembari mengetikkan sesuatu di ponsel. Setelah berjongkok dan melihat ke arah Zahira. Ia melihat mata itu sudah berkantung hitam, seperti Panda. Pasti dia mengerjakan batas akhir novel lagi. "Ra, kamu enggak merasa tersiksa gitu. Sampai hitam kantung mata. Kamu sebenarnya kenapa?"
Zahira tertunduk sedih jika ada yang bertanya tentang dirinya. Sudah berhari-hari semenjak tidak saling mengabari. Ia pun memanfaatkan waktu dengan maksimal. "Enggak apa-apa Nay." Percuma mengatakan sebenarnya. Hal yang ada pasti dia sudah diomeli habis-habisan.
Inaya duduk dan mulai menghadapkan diri ke arah Zahira. "Ra, jangan sampai kita menzalimi diri hanya karena keegoan membuktikan pada dunia. Tak akan ada habisnya. Entar ditanya di akhirat. Kita gunakan apa waktu selama ini." Dia memang sangat mengkhawatirkan kondisi Zahira. Inaya saja akan selalu mengutamakan kesehatan. Meski terkadang sakit itu tidak bisa dihindari.
Kalau ditanya di akhirat. Zahira pasti akan mengatakan bahwa ia menghabiskan waktu dengan tidak menyia-nyiakan. Hidup itu memang sakit. Butuh perjuangan untuk menggapai apa yang dicita-citakan. Semakin sering berhenti dalam perjalanan. Semakin sering pula orang lain akan mengambil jatah kesuksesan yang ia miliki. Namun, semua ini seperti dangkal. Seolah tak mensyukuri dan menjaga nikmat yang Allah berikan.
Hana yang sibuk dengan ketikan skripsinya teringat akan suatu hal. Saat dirinya juga pernah benar-benar gila di masa lalu. Tentang dirinya yang menjadi orang lain, yaitu Okta.
Ia mengambil empat kertas HVS dan empat buah pulpen. Kemudian memberikan masing-masing satu paket pada Zahira, Inaya, dan Kanaya. "Nah, ini untuk kalian?"
"Apa ini?" tanya Zahira.
Hana tersenyum. "Ya kertaslah."
"Anak kecil yang baru belajar mengenal benda juga tahu itu memang kertas. Tapi, maksud terselubung dari benda ini," ucap Zahira lagi sembari membalik-balikkan kertas. Siapa tahu ada kode tersembunyi jika diterawang.
"Jadi, memang sih. Ada maksud dari ini. Tapi, tenang. Maksud yang saya maksudkan sudah pasti positif dan insyaa Allah membawa perubahan. Nah, perubahan itu adalah kesepakatan bersama. Perjanjian pada diri sendiri untuk menjadi lebih baik. Bagaimana kita dua sampai tiga tahu ke depan," jelas Hana sembari memondar-mandirkan diri menjelaskan sesuatu. Kemudian ia duduk membentuk suatu pola lingkaran dengan mereka.
"Terus mau diapain?" tanya Kanaya.
"Kita akan membacakan satu per satu. Kemudian menempelkannya pada suatu tempat yang bisa dilihat setiap hari. Begitu kan?" usul Inaya.
Perasaan Zahira mulai tak enak. Sebelumnya ia sudah melakukan hal ini. Namun, tak memiliki keberanian dalam menempelkannya di dinding. "Enggak boleh diletak di buku saja." Semoga saja ada dispensasi untuk dirinya kali ini.
"Enggak Ra." Bagi Hana ketegasan itu akan memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu. Maka mengikat dengan perjanjian adalah hal yang paling ampuh.
Setelah setengah jam kemudian. Mereka mulai membacakan satu per satu. Hal itu dimulai oleh Zahira. Mereka sepakat untuk tidak akan komentar apa pun tentang impian dan jalan hidup mana yang akan dipilih.
"Tiga tahun ke depan adalah suatu hal yang masih rahasia bukan? Tapi hidup dengan rencana akan membuatnya menjadi terarah. Ya, pada tiga tahun ke depan. Aku ingin salah satu bukuku sudah ada di gramedia. Pada saat itu aku akan membawa martabak untuk orang-orang di rumah. Untuk melakukan hal tersebut. Aku akan berusaha menulis setiap hari, mengerjakan kewajiban dengan tepat waktu, dan tidak berantakan." Semoga saja tidak ada yang menanyakan kapan nikah. Sebab menyangkut jodoh hanya Allah yang tahu. Maka untuk mempersiapkannya memang harus diusahakan sedini mungkin.
Kanaya ingin komentar sejujurnya. Memang kalau kebiasaan menulis sebuah rangkaian kata akan keluar sendiri dari bibir yang diutarakan oleh hati. Untungnya pembukaan tidak terlalu panjang.
Azan Zuhur telah berkumandang. Hana mengisyaratkan untuk menjeda dulu kegiatan ini. Allah memanggil. Jika ingin mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan. Maka mendahulukan Sang Maha adalah cara yang terbaik.
*
Seperti giliran saat mengaji. Biasanya akan bergilir ke arah kanan. Kini target selanjutnya adalah Hana. "Tiga tahu ke depan. Saya hanya ingin sedang dalam perjalanan kuliah S2 di luar negeri. Berada di negara impian Jerman dan tetap berusaha menjadi seorang youtubers dengan konten pembelajaran menarik. Maka untuk mewujudkannya saya akan belajar riset setiap hari dan latihan IELTS."
Ada rasa dag dig dug yang menyusuri peredaran darah. Berulangkali Inaya berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang presentasi dengan audien berjuta orang. Tapi ketiga temannya. "Nay tak banyak keinginan setelah ini. Bisa jalan-jalan ke luar negeri atau luar kota adalah bonus. Tapi, mengajar dan mempelajari membuat desain akan diusahakan. Kalau ada modal rencana mau buat butik. Tapi kalau usaha saat ini berusaha untuk memperbaiki diri dengan memanajemen waktu, ibadah ditingkatkan dan semoga saja lulus PIMNAS." Senyumnya mengembang.
"Aamiin ya Rabbal alamiin."
Kini tinggal giliran yang paling akhir dan aroma perjalanan memang sepertinya sudah dimulai, Kanaya Putri. "Tiga tahun ke depan insyaa Allah sudah punya toko roti. Usaha yang saat ini dilakukan adalah banyak belajar dengan sering latihan. Namun, sebelum itu ingin mencoba usaha dari yang kecil-kecil dulu setelah skripsi ini. Entah itu akan didistribusikan dari rumah ke rumah."
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua. Inaya mengodekan pada Zahira untuk segera pulang. Inaya berharap ini akan efisien. Telunjuk kanan menunjuk jam tangan kiri.
Ada rasa segan terkadang. Namun, kepercayaan diri Zahira masih ada. "Kanaya, Hana. Kami pulang dululah ya. Soalnya kan kita memang janjinya sebentar saja."
Hana dan Kanaya mempersilahkan. Kemudian Zahira dan Inaya bergegas untuk pulang.
"Eits jangan lupa ya. Nanti pada ditempelin. Terus untuk meyakinkan kita-kita ini. Maka nanti kirim di grub. Foto selfie kalian," pesan Kanaya. Walaupun ini adalah ide Hana duluan. Dia adalah orang yang setia untuk menjadi pendukung nomor satu.
"Nay, kalau kamu nanti menang mendapatkan mendali emas. Enggak usah nulis skripsi lagi," ungkap Hana sebelum mereka pergi.
"Ah, ciusnya ini?"
Hana mengangguk. "Iya, makanya tetap semangat dan terus berdoa. Satu lagi restu orang tua adalah hal yang utama."
Ya, apa yang dikatakan Hana memang ada benarnya. Maka target yang selanjutnya akan Inaya lakukan adalah mengambil hati Mama dengan bersih-bersih mungkin.
Mereka saling melambaikan tangan. Sedangkan suasana siang ini masih saja terasa sepoi-sepoi dengan angin.
*
*
*
Bersambung
18 [Bandara]
~Percayalah, bahwa apa yang dihadirkan dalam setiap kehidupan pasti ada alasannya. ~
*
*
*
Malam akan terus berlalu. Namun, niat Inaya tidaklah luntur meski ada banyak rintangan yang menghadapi. Terlebih lagi mengendalikan hawa nafsu. Ia tidak bisa diam barangkali sejenak dalam melewatkan kesempatan yang Allah berikan. Saat bangun telah menjadi panggilan paling mesra di sepertiga malam.
Setiap malam, doa-doa yang sama akan tetap terucap dari hati terdalam. Pada siapa dan bagaimana dia melalui segala kejadian. Sudah hampir sebulan mungkin tepatnya Ia selalu bersabar menunggu cahaya itu akan datang kembali. Meski ada keraguan hati yang mengelilingi prasangka.
"Nay, hpmu itu bunyi-bunyi kenapa? Siapa yang nge we a. Coba tengok dulu," ucap Mama setelah mendengar notifikasi pribadi pesan WhatsApp.
Inaya menutub buku yang berjudul Al-qur'an dan Nuklir yang bersampul putih kemudian diselingi gambar elektron. Padahal ia lagi seru-serunya ingin segera menghabiskan bacaan. Kebetulan juga sesuai dengan tantangan BeraniBaca. Maka kesibukan apa pun itu yang menyangkut tentang internet ia jeda. Termasuk rekomendasi novel karya Zahira. Tapi tetap saja mau enggak mau dia memang harus membacanya suatu hari nanti.
Mama tak sabaran dan menyodorkan ponsel Zahira.
Ada rasa kesal sedikit menyelimuti kalbu. Namun, setelah ia membuka pesan tersebut. Rasanya ia ingin mendadak jantungan serta jingkrak-jingkrak enggak jelas. Sistem peredaran darah tak normal.
"Kenapa sih Nay. Kok gila gitu?" curiga Mama. Ia berharap tidak ada suatu informasi buruk pagi-pagi begini.
"Nay lulus PIMNAS Ma. Alhamdulillah," ucapnya dengan antusias. Rasanya ia ingin mengungkapkan perasaan sulit selama ini yang selalu mengusik. Ya, mungkin ini balasan atas segala ketekunan. Pesan itu tertulis jelas dari Hana.
Hana
Cie yang lulus PIMNAS diem-diem saja. Anak-anak pada hebo di grub tuh di status tentang siapa saja yang diluluskan.
Nay enggak sedang serangan jantung kan?
Semoga saja tidak
Tapi apa pun itu tetap semuanya harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan.
Semangat menggenggam mimpi!
Satu tetes buliran bening menetes dari mata Inaya. Ia sungguh tak percaya bahwa Allah memang benar-benar mewujudkannya. Pada malam-malam berlalu secara rutin ia terus berharap. Tentang mimpinya menuju PIMNAS. Kini tinggallah hati ibunya yang ingin dilembutkan.
"Ma, Nay pergi ke Bali gratis. Yeay! Alhamdulillah," ucapnya dengan perasaan bangga.
"Beneran gratis ini kan?" Seperti ada keraguan. Baginya sekali dikecewakan tak akan percaya lagi.
"Iya Ma."
"Ya sudah berangkatlah sana."
Kemudian segera berwudhu dan menunaikan solat duha. Betapa Allah Maha Kaya bukan?
*
Tak ada yang lebih terbaik selain membuktikan ucapan dengan nyata. Allah akan mengabulkan doa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Maka setiap apa pun hadir yang dalam kehidupan pasti memiliki alasan. Untuk pertama kalinya ia bisa pergi ke Denpasar. Tempat yang selalu menjadi perbincangan banyak orang.
Pagi-pagi sekali pada tanggal 23 Agustus ia berangkat dari rumah menuju terminal bus yang mengantarkannya ke Bandara Kuala Namu.
Inaya menurunkan barang-barangnya dan melihat beberapa rombongan sudah berkumpul di tempat yang sama. Dosen pendamping, Surya, dan Reskhi. Ia sangat merindukan mereka semua. Apakah ini mimpi? Jika memang benar adanya, ia hanya berharap ini adalah kenyataannya.
Setelah mengurus berkas berupa surat pernyataan dan pengambilan dana ke Biro dua hari yang lalu. Inaya menjadi tahu bahwa ada lima belas tim yang berhasil diberangkatkan ke Bali. Hatinya berdebar saat mengetahui salah satu kelompok yang beranggotakan Kiki juga lulus. Apalagi Riri yang merupakan anak dari dosen pendamping Kiki juga lulus. Inaya sungguh terharu dan tak henti mengucapkan rasa syukur atas kebahagiaan yang Allah titipkan.
Langit tampak kelabu. Untung saja Inaya sudah memakai jaket dongker dari SMAnya dulu. Kemudia berjalan menghampiri mereka. Kali ini transit perjalanan singgah ke Bandung. Ah, tempat pemberhentian yang paling ditunggu. Katanya biaya hidup di Bandung jauh lebih murah daripada Jakarta.
Setelah masuk sebelum check in. Ternyata jadwal keberangkatan ditunda selama tiga jam bersebab cuaca yang masih tidak memungkinkan. Hanya bisa memandangi orang yang berlalu lalang.
Inaya dan yang lain menunggu di kursi serta ada juga yang duduk di bawah karena sudah penuh. Diam-diam ada yang ingin Inaya pandangi dari kejauhan.
Aku ingin melihat senyum dalam tulisanmu
Mencium aroma kehidupan setiap syair
bercengkerama sapaan rindu
Kutahu
kita tidaklah padu
meski takdir hati mengikat erat
bayang semu mengukuh pilu
Mereka terperangkap dalam bayang-bayang hujan yang menjelma menjadi rindu. Ingatan akan narasi cinta yang pernah sering Kiki ungkapkan dalam setiap status WhatsApp semakin kuat. Tapi, kini tidaklah lagi. Ia ingin dekat tapi tidak bisa.
Entah kenapa pria itu malah mendekati Inaya dan menyodorkan sesuatu. "Nah, ini dimakan rotinya. Pasti lapar kan harus menunggu selama tiga jam di sini."
Debaran itu kurang ajar membunyikan alarm di dada. Ada banyak orang di sana. Kenapa tidak ketuanya saja, Reskhi atau siapalah itu? Kalau begini ia jadi meleleh. Kemudian tangan kanan mengambil roti tersebut. Setelah pria itu pergi. Hana melihat notifikasi pesan grub tentang keberangkatan dirinya kali ini.
Kanaya
Safe light
Zahira
Safe light
Hana
Safe light, dear.
Inaya
Big thanks Kanaya, Zahira, and Hana.
Tak lupa Inaya menyertakan emoticon tersenyum. Setelah itu Inaya mendekati timnya dan memulai dengan sebuah pertanyaan basa-basi lainnya. Sembari mencomot sedikit demi sedikit roti pemberian tadi.
Ada yang membawa koper dan ada pula hanya membawa tas besar. Sesuai dengan karakteristik dan gaya masing-masing. Hana membuka risleting ransel kemudian mengambil buku dan pulpen. Tak lupa membuat sebuah puisi yang sengaja ingin diabadikan pada tulisan tangan.
Jika dihadirkan dia sebagai ujian, maka selamatkanlah hatiku dari pengharapan. Jika hadirnya adalah jawaban doa-doaku. Maka tuntunlah kami agar bersatu di bawah naungat rahmat-Mu. [Ayat Suci]
Inaya merobek kertas tersebut dan melipatnya menjadi bentuk hati yang cantik. Hanya saja masih berwarna putih yang melambangkan bahwa perasaan ini benar-benar murni dari hati. Tanpa ada paksaan. Meski sempat ada harapan yang datang. Sungguh, dia sangat ini menjemput cinta-Nya terlebih dahulu. Ya, memang benar bukan. Ketika berada di hadapan pria itu ia bersembunyi seolah tidak menginginkan. Namun, ketika dihadapan Tuhan ia secara terang-terangan meminta restu.
Setelah menunggu dan check in. Mereka bergegas masuk ke dalam lorong yang menghubungkan pesawat. Inaya memilih dari depan sebab kebetulan nomor kursinya belasan. Ya, tempat duduk Inaya, Surya, dan Reskhi sudah ditempa satu baris. Sedangkan dosen pendamping berada di urutan awal. Samping Inaya adalah sebuah jalan bagi siapa saja yang lewat. Namun, setelah ia melihat ke samping kanan. Hati tidak jadi merasa memantau melainkan berdetak riang. Saat ia tahu bahwa di sebelahnya ada orang sangat ia benci dulu. Bahkan segalanya terasa buruk sangka. Namun siapa sangka kini mampu memikat hati di tengah perjalanan hanya karena lafaz ha yang terucap dari bibir.
Kalau begini ia takkan melewatkan kesempatan untuk memperhatikan diam-diam. Allah, apakah Inaya zina pikiran saat ini? Ia sangat bahagia. Pemikirannya terus beradu hingga memutuskan untuk mengambil musaf al-qur'an.
*
*
Bersambung
19 [Renjana di Bulan Purnama]
~Purnama akan terus memperlihatkan sisi sempurna tiga hari pada pertengahan bulan. Lalu, kenapa saat itu aku merindukanmu.~
*
*
*
Kiki tersenyum saat melihat Inaya tertidur sembari memegangi al-qur'an. Ah, gadis itu tak bisa tahan dengan kegiatan monoton seperti ini. Mungkin saja kalau ada mata kuliah tidur. Pasti akan mendapatkan nilai cumlaude. Ia mengetahuinya saat bertanya pendapat pada teman sekelas Inaya. Seseorang sekaligus menyadarkannya bahwa cinta itu adalah hal yang paling indah dan dimiliki sang Maha. Namun, cinta tidak boleh disalahgunakan.
16 Agustus
Hari ini bulan sangat cerah memperlihatkan kecantikan dengan sinar yang mulai menyinari penjuru dunia. Kiki baru saja pulang mengajar ngaji anak-anak yang berada di lingkungannya. Rasanya telah lama ia tidak berada di sisi mereka. Kebahagian itu terkadang sering muncul ketika melihat tawa dan canda anak-anak mulai bersuara. Ya, dia memang menyukai anak kecil bukan? Itulah sebabnya akhir-akhir ini ia lebih sering memposting interaksi anak kecil yang sedang bermain. Ia men-scroll layar ponsel untuk melihat pesan yang belum terbaca Namun, tanpa sengaja malah memicit status orang.
Terlihat jelas sebuah pemandangan indah bulan purnama. Ada siluet seorang wanita yang sedang berdiri menyaksikan sinar purnama. Tertulis jelas sebuah caption menarik yang lagi-lagi sebuah kalimat dengan makna tertentu.
Terkadang indahnya terlupa. Sebab hadir pada pertengahan bulan. Namun, tahukah kita sebelum mencapai itu? Ia butuh banyak waktu mempersiapkan diri menjadi sempurna. Maka kita sebut purnama.
Ah, gadis itu selalu saja membuat kata-kata indah seperti penyair akhir-akhir ini. Padahal setahunya ia hanya melihat sisi grasak-grusuk seperti cacing kepanasan kala panik. Kiki tersenyum saat mengingat pertama sekali mengenali sisi sesungguhnya saat membuat proposal. Tapi, memang dia akui bahwa interaksi gadis itu pada Sang Pemilik jauh lebih patuh daripada kebanyakan gadis yang selalu ia temui. Termasuk gadis yang selama ini ia jaga. Tapi, akhir-akhir ini gadis yang ia sayangi malah berubah. Tak lagi pemalu seperti dulu. Sikapnya yang cemburuan membuatnya tak nyaman. Apa ini yang dinamakan posesif?
Entahlah, rasanya tak nyaman membahas perihal ini. Lebih baik membuat postingan tentang kemerdekaan saja. Ia ingin membuat sebuah syair kali ini.
Masih berada pada bulan yang penuh berkah. Saat kalam cinta dari takbir-Nya dikumandangkan oleh seluruh penjuru dunia. Saat itu pula cahaya cinta-Nya cukup sempurna meniadakan rasa lelah.
Waktu telah menujukkan pukul sebelas malam. Ya, ini waktunya tidur. Ia tidak ingin melewatkan kesempatan berdoa di sepertiga malam.
*
Kiki berjalan pada sebuah tempat yang masih dialiri oleh air. Tempat yang ia pijaki merupakan sebuah pasir putih. Ya, ini seperti pantai.
Ada seseorang di belakangnya. Namun, suasana malam membuat segalanya masih terlalu samar jika dilihat dari jarak pandangan lebih dari satu meter. Ah, mungkin saja sahabatnya. Namun, setelah dekat Kiki merasakan ada tekanan kuat yang mengenai pipinya.
Bug!
"Gila lo Ki," ucap pria tersebut setelah tak sopan meninjunya.
"Lo yang gila Da! Datang bukannya salam malah begini," umpat Kiki. Sebenarnya ada apa? Jika saja bukan karena kesabaran. Mungkin ia akan meninju balik. Tapi, ini sakit. Ia masih terus mengelus pipi mulus yang terluka. Pria gila itu adalah sahabatnya sendiri. Ia tidak ingin menghancurkannya. Hanya karena sebuah amarah. Bukahkah rasulullah mengajarkan kita untuk tetap sabar?
"Ini lebih baik daripada siksaan di neraka nanti. Gue enggak nyangka saja. Ternyata apa yang dibilang anak-anak pada benar. Kalau lo sudah berubah. Hati-hati Ki. Hal yang paling gue sayangkan adalah ketika elo enggak ngerasa dosa yang diam-diam lo lakuin. Fitnah di mana-mana. Netizen kerjaannya tukang nyinyir. Gue cuma mau pesan saja. Jangan lo rusak pencitraan orang baik yang terjaga takwanya hanya dengan lo pacaran sama anak orang. Itu salah," ucap Prada kemudian pergi meninggalkan Kiki sendirian bersama sepi.
Kiki bergeming sesaat. Apa yang dibilang pria berkacamata itu ada benarnya. Apa yang sebenarnya ia lakuin memang salah. Tapi tetap saja ia lakuin. Ya, dia memang pendosa yang tak merasakan apa-apa saat ini. Betapa Allah cemburunya hingga membuat ia ditegur seperti ini. Ada musholah sejauh lima meter dari posisinya saat ini. Ya, dia memang harus bertobat. Astagfirulllah.
Inaya melihat Kiki yang baru di depan Masjid. "Hai Ki!" tangan kanan melambai.
Ah, gadis itu memakai gamis putih yang dipadukan dengan khimar abu-abu. Malah membuat kesan manis saat sapaan yang diselipkan senyum setelahnya.
"Iya."
"Mau ke mana?" tanya Inaya lebih lanjut. Sekadar basi-basi adalah hal yang biasa bukan?
Tangan kanan mengarah ke masjid. "Ke dalam." Ia meneruskan langkah dan mulai membuka sepatu.
*
Kiki terbangun dari mimpi baru saja. Apa yang dia alami masih teringat lekat di ingatan. Ada kesan sebuah ketakutan yang diam-diam menginap di dadanya. Berungkali ia beristighfar untuk menghilangkan rasa kegusaran yang telah meradang.
Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan waktu pukul tiga lebih sepuluh menit. Ya, tahajud di sepertiga malam adalah cara yang paling baik untuk berkhalwat pada Allah swt. Kemudian ia membuka selimut dan segera ke kamar mandi, wudhu.
*
Ruangan ini memang sudah dingin sejak tadi. AC yang disetel dengan suhu 16 derajat selsius sudah mampu membuat udara seperti di pegunungan. Apalagi orang yang berada di dalamnya bisa dihitung dengan jera. Kiki, Manda, dan gadis yang sangat ia cintai.
Manda sedang membaca buku di ruangan tengah. Jika sudah melihat mereka berdua di sini. Pasti akan terjadi suatu hal yang disebut nyamuk. Maka pura-pura tidak tahu dan akan pergi nanti setelahnya tidak masalah bagi Manda.
"Mau ke mana Man?" Kiki seperti melihat Manda ingin pergi dari ruangan.
"Mau keluarlah," ucap Manda sinis.
Pada raut wajah ketidaksukaan itu membuat Kiki semakin sadar bahwa memang banyak yang tidak menyukai dirinya atas kekhilafan ini. "Sini saja bentar. Baru saja aku datang sudah main pergi gitu saja. Ya, nanti saja ya," pujuk Kiki.
Manda berharap tidak akan ada nestapa di siang bolong begini. Jika melihat mereka saja ia muak, apalagi bertahan. Manda takut tak sanggup menghadapinya. "Okelah kalau begitu. Tapi ya sebentar saja."
Tak ada percakapan untuk beberapa saat ini. Mungkin ada sekitar sepuluh menit lamanya. Suasana di sini seperti beku. Tapi, putri Elsa tidak ada di sini saat ini untuk mencairkan kebekuan ini.
"Dek, maaf Abang mau kita putus," ucap Kiki.
Pintu ruangan asisten yang tak ditutup masih bisa menghatarkan kalimat itu lewat udara di telinga Manda. Ia berharap tidak sedang sakit telinga saat ini.
"Kenapa Bang? Adek cinta sama Abang. Abang kok tega sih?" ucapnya dengan buliran air mata yang begitu tulus mengalir. Ia masih berharap ini adalah sebuah mimpi buruk yang tak nyata.
Manda menelan saliva. Jadi, ini rupanya alasan pria itu mencegah dia pergi. Ia memang menginginkan mereka putus. Namun, ia tak tega. Sakit itu bisa menyiksa diri.
"Abang sayang sama Adek. Tapi, Abang lebih cinta sama Allah. Jalan kita salah Dek. Abang enggak mau buat Adek ke neraka hanya karena Abang menyalahgunakan cinta. Maafkan Abang Dek. Kalau memang Adek ditakdirkan untuk Abang. Sejauh apa pun kita dipisahkan tanpa ikatan sekalipun, kita akan dipertemukan di pelaminan." Ada rasa yang mencekat sebelum ia berhasil mengucapkan kalimat tersebut.
"Baiklah, jika ini memang keputusan Abang, Adek terima. Adek akan selalu menunggu Abang." Ia berpura-pura tegar meski sakitnya telah memilukan ulu hati. Menangis hanya membuatnya seperti kekanak-kanakan.
Kiki berharap keputusan ini sudah benar. Ia yakin gadisnya akan menangis sejadi-jadinya nanti. Ada perasaan tak sanggup jika membuat orang lain terluka dengan sengaja. Ia sangat mencintai gadis itu karena Allah. "Abang keluar dulu ya."
Gadis itu mengangguk denga terpaksa. Ia juga tidak ingin dilihat saat sedih seperti ini.
Manda melihat Kiki keluar dari ruangan. Hati terus bertanya tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ia memutuskan ke dalam dan melihat kondisi gadis tersebut. "Bersandarlah, jika Adik butuh penguatan." Tangan kanan mengelus punggung yang telah rapuh.
Bersambung
*
*
20 [Emas Bukan Mas]
~Karatan adalah sesuatu yang dibiarkan begitu saja. Namun, dikeliling situasi negatif di sekeliling, misalnya asam. Namun, jika karatan yang ada pada emas itu bagaimana?~
*
*
17 Agustus
Siapa pun yang ada pada waktu tersebut. Pasti sedang menikmati momentum kemerdekaan. Meskipun beberapa orang masih tetap menganggap bahwa dirinya masih dijajah, misalnya perasaan. Kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, bukan?
Setiap daerah biasanya diadakan sebuah acara perlombaan dan agenda seru-seruan lainnya untuk memeriahkan waktu tersebut.
Tapi, bagi Inaya. Ia masih terus merasakan hari raya Idul Adha di lingkungan sekitar. Ya, takbir yang berkumandang masih terus bergema di seluruh alam. Akan ada nuansa merindu tentang kalam cinta. Namun, ironisnya Inaya seolah ingin terus diperhatikan oleh-Nya.
Maka doa yang sangat ingin dia panjatkan adalah membuat Kiki bermimpi bertemu dengannya.
Nay kamu ini kenapa?
Ngakunya sudah move on malah rasanya ingin balas dendam.
Tidak Nay, kalau memang benar kamu mencintainya karena Allah. Maka doa yang paling baik adalah semoga ia berada di jalan yang benar.
Nay, enggak usah mikirin siapa pun. Fokuskan saja ke Allah swt. Kita tidak tahu jodoh mana yang akan mendatangi diri. Jodoh masa depan atau jodoh kematian.
Yasudah kalau pada ngomongin itu sekarang lihat tuh sudah azan isya.
*
Kiki masih melihat sinar bulan yang sama pada waktu yang berbeda. Bahkan penerangan lampu jalanan kalah. Memang benar tak ada yang bisa mengalahkan penciptaan-Nya. Ia mengeluarkan kursi dan sengaja meletakkanya di luar. Mungkin waktu santai seperti ini bisa dipergunakan untuk membereskan pesan yang tak penting di kontak WhatsApp. Bagian pertama yang ingin dipilah adalah foto. Terkadang banyak foto yang masuk secara otomatis merupakan suatu hal yang tidak penting. Ia menemukan foto bersama saat dosen pendampingnya ulang tahun.
Lagi-lagi, ia tengah menemukan gadis dalam mimpi kemarin. Namun, malah mendadak semakin ingatan akan pertemuan masa silam. Gadis yang aneh, pikirnya. Kenapa bisa hadir dalam mimpi? Apa mungkin ia benar-benar merindukannya? Ah, rasanya tak mungkin. Barangkali ada sesuatu yang belum terselesaikan dengannya. Tapi, ia tak merasa keterlibatan apa pun. Tiba-tiba saja mendadak galau bersebab telah melukai gadis yang ia sayangi. Tapi kalau seolah berkedip malah seperti melihat Inaya. Rasanya ia benar-benar bisa gila. Ya, itu tidak mungkin.
*
Tak ada yang lebih baik selain perjuangan akhir dalam kampus tercinta. Meski berada pada jurusan yang salah. Tak pula menyurutkan diri tidak melakukan apa pun. Ya, kita semua sama. Hanya saja rezeki orang yang berbeda. Maka membangun sebuah keberuntungan bisa pula ditentukan oleh ketekunan dan doa-doa mustajab.
Mereka telah berada di Bandara Husain Sastranegara dan masih menunggu waktu tiga jam lagi untuk keberangkatan pesawat Batik dengan tujuan Bandara Ngurah Ray.
"Ehem, yang keluar dari lift pertama semoga mendapatkan medali Emas," ucap Kiki. Ada banyak orang yang berada di lift tersebut. Termasuk Inaya. Setiap Bandara pasti didesain dengan estetikan keunikan sama sekali. Kali ini nuansanya lebih modernisasi.
"Aamiin ya rabbal alamiin," jawabnya tak mau kalah. Gadis ini sudah benar-benar paham betul dengan tingkah suara pria itu yang bisa ditebak. Ya, selalunya begitu. Diam-diam memberi harapan. Nyatannya ada hal yang lain. Apalagi pola yang dibentuk selalu sama.
Mereka akan berada di Bali selama satu minggu penuh. Tepatnya lebih sering di kampus Udayana. Jadwal yang ditentukan sepertinya sangat padat. Mulai dari presentasi, malam puncak, dan agenda bonus jalan-jalan. Sungguh menarik. Keindahan pulau Dewata akan mengisi hari-hari selama beberapa hari ke depan.
Bagi semua tim. Tak ada waktu istirahat untuk orang yang sangat ingin menekuni perjuangan ini. Sampai tetes darah penghabisan akan tetap diusahakan. Serta doa yang tiada putusnya.
Setelah presentasi dan dinilai oleh dewan juri. Tak terasa mereka sudah berada di malam puncak acara. Penampilan yang meriah. Serta ada banyak pameran karya ilmiah yang berada di sana.
Inaya menyisikan diri dan memilih ke suatu tempat yang kerumunannya tidak terlalu ramai. Ia merindukan sahabatnya. Terlebih lagi pada Zahira. Khimar marun yang senada dengan beberapa tim lain membuat perwakilan kampus UNIMED terlihat kompak. Jadi, kalau ada yang hilang, bisa saja dikenali dengan warna yang dikenakan.
Inaya
Ya kali semudah itu mendapatkan medali emas.
Zahira
Mana tahu kot. Kalau tak dapat medali emas. Dapat Mas Ki juga enggak apa-apa kan? Lagian juga enggak bakal karatan juga.
Inaya
Ho, dah pakai logat Melayu nampaknya. Tak payahlah nak sangatkan Mamat tuh. Mending beneran emas yang dua puluh empat karatan.
Zahira
Ha, kepincut baru tahu rasa.
Inaya bingung apa yang akan dituliskan lagi jawaban pesan WhatsApp pada Zahira. Sedangkan sejujurnya ia sudah kepincut duluan. Hampir setengah tahun semua ini berjalan mengalir begitu saja. Apa tadi katanya? Oh, Mas Ki ya.
"Inaya!"
"Iya Mas Ki."
Pria itu tersenyum seraya memperlihatkan deretan giginya setelah mendengar jawaban sahutan barusan. "Apa maksud Nay tadi?"
Tamat riwayat Inaya saat ini juga. Ini karena ulah Zahira. "Oh, tadi lagi cerita sama Zahira. Tentang gimana cara mendapatkan medali emas." Semoga saja alasan ini logis.
"Kirain manggil Ki Mas beneran," ucapnya tanpa melihat lawan bicara. Tapi kalau iya pun tidak apa-apa. Hatinya terus berkilah. "Oh, iya pada dicariin orang Surya tuh. Rupanya di sini. Untung ketemu."
"Yaelah. Nay bukan bocah juga. Kalau ngilang enggak ketemu. Pasti bisa tahu arah jalan pulang," elaknya kemudian mengikuti langkah pria tersebut dengan sengaja menyejajarkan diri.
"Haha, mana tahu kot." Sepertinya malah menyenangkan kalau ada tragedi saling ejek mengejek saat ini. "Oh, iya Ki sudah enggak pacaran."
Terus Inaya harus bilang 'Waw' gitu? Ada banyak pertanyaan di atas kepala. Kenapa harus dikatakan langsung padanya? Padahal ia sungguh tidak ada bertanya sedikit pun. Memang percakapan mereka tak ditakdirkan untuk saling bertemu dan singgah untuk khusus berbicara. Melainkan perjalanan yang diselipkan pembicaraan. "Baguslah, semangat menjomlo sampai akad nanti." Nada bicara Inaya seperti masih menggantungkan sesuatu. "Eh, tunggu. Jadi benarlah ya selama ini Ki itu pacaran?"
Kiki masih belum bisa menjawab itu beberapa saat. "Ya begitulah. Tapi, Nay bukan netizen yang suka nyinyir itu kan?"
Hadeh, wanita muslimah begini yang menjaga cinta saja disamain sama netizen. Oke, ini memang enggak lucu. "Ya enggaklah. Mana mungkin, dari penampilan saja enggak meyakinkan. Nay, itu tak bisa menyembunyikan sesuatu yang nyata atau berpura-pura baik."
Jadi nampaknya gadis itu merupakan salah satu dari kategori manusia yang sok iyes. "Manalah tahu calon omak-omak yang suka hobi gosip," godanya lagi. Ada senyuman mengembang sekilas. Manusia tidak ada yang tahu. Kecuali jika ditelusuri lebih dalam.
Perjalanan mereka telah sampai pada tujuan. Inaya melihat kerumunan timnya. Saat ini sedang pengumuman malam puncak. Beberapa hasil sudah dibacakan. Banyak yang bahagia atas hasil yang dicapai.
"Kita sambut, medali emas yang diperoleh oleh Universitas Negeri Medan yang diketuai oleh,-" jantung para hadirin dari UNIMED berdebar, "Pan Surya Handika!"
Allah, terima kasih telah mengabulkan doaku. Pada malam-malam berdua dengan-Mu. Terima kasih atas bukti kesungguhan yang Engkau izinkan.
*
*
Selesai
Epilog
~Renjana adalah rindu yang saling mengisi. Diam-diam merasa ingin padu pada waktu tertentu. Purnama tidaklah alfa kala pertengahan umur bulan. Maka lihatlah ciptaan-Nya dan pahami makna yang tersembunyi dari kebesaran-Nya."
*
*****
Eits tunggu dulu, masih ada epilognya lo.
***
*
Skenario yang terbaik. Bukankah hanya Allah yang tahu? Namun sudah tertulis dalam lauh mahfuz. Berikhtiar dan berdoa merupakan suatu bagian dalam perjalanan hidup pengembaraan. Sedang muaranya adalah tiket untuk pulang kembali kepada-Nya. Maka tentulah kepulangan itu mengharapkan suatu hal yang paling istimewah. Misalnya kendaraan yang mewah dan sambutan penuh cinta.
Allah, ajarkan kami tentang keindahan cinta-Mu. Memutik kemanisan iman yang melekat di dada. Tanpa perlu khawatir sedangkan keyakinan itu yang mengukuhkan segala langkah.
Tak terasa kita sudah berada di penghujung cerita bukan? Ya, usaha itu seperti menanam tanaman sedini mungkin. Setiap hari memang harus diiringi dengan perlakuan yang baik agar hasilnya juga baik.
Doa Inaya kini terjawab sudah. Tentang segala resah yang hanya bisa diungkapkan doa yang sama setiap harinya. Kesepakatan dikelilingi orang baik membuatnya mau tak mau harus bertahan.
Begitupun pria yang sangat ia cintai. Kini telah kembali pada kebaikan menghampiri. Hijrah hati muaranya pada Illahi. Maka serahkan segala yang terjadi hanya pada Allah semata.
Ya, jangan meletakkan harapan pada manusia. Sebab kecewa tak akan diganti dengan yang lebih baik. Namun, jika meletakkan harapan pada Allah semata. Kecewa pun akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik lagi.
Akhirul kalam. Meski kisah ini tidaklah sempurna. Maka nantikan saja kisah-kisah inspiratif berikutnya. Semoga bisa diambil hikmanya dan dibuang jika ada segi buruknya.
Penulis akhiri dengan
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
~Salam rindu~
Harumpuspita
Description: Nama Pena : Harumpuspita
Instagram : harumpuspita5595
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #HijrahHati2019 yang diadakan Storial dan Nulisbuku.
Inaya Fatia dan keempat sahabatnya memiliki misi yang berbeda dalam menapaki tujuan yang sama. Prinsip yang membuat mereka harus tetap saling menguatkan.
Perjalanan yang paling berbeda membuat Inaya salah mengartikan niat. Berharap hanya mengharapkan kepada Tuhannya. Malah mengharap pada salah satu makhluk-Nya.
Ia sempat percaya bahwa pria yang diam-diam ia cintai akan menjaga hati karena Allah dan menghindarkan diri dari pacaran.
Nyatanya ia salah berprasangka dan meninggalkan kecewa dalam perjalanan. Ketika ia tahu pria itu berpacaran.
Ia sempat goyah pada keyakinannya pada sang Pencipta. Ketika melihat pria yang dicintainya bersama dengan seorang gadis. Saat bulan masih belum menampakkan sinarnya.
|
Title: Running or Dead
Category: Horor
Text:
Running or Dead
Marcello Andrey Delchyn dan Manuella Skyye Delchyn adalah kakak beradik yang sudah lama ditinggal orang tua mereka. Dari kecil hingga kini beranjak remaja tidak pernah sekalipun mereka meninggalkan Bavaria. Skyye selalu yakin bahwa suatu saat nanti orangtua mereka pasti akan datang, dan mencari dirinya dan Andrey. Namun berbanding tebalik dengan Andrey, ia telah mengubur rasa rindu akan hadir orangtuanya, ia sudah putus asa dan menanamkan dalam dirinya bahwa orangtuanya sudah meninggal.
Hidup tanpa orangtua membuat banyak masyarakat setempat yang menaruh perhatian kepada kakak beradik itu. Walau tampak mengenaskan kisah hidup mereka, namun tidak pernah sekalipun mereka bersedih. Andrey selalu membuat Skyye tertawa bahagia.
Hingga hari itu tiba dan merenggut semua tawa.
Siang itu, matahari tak bersinar seperti biasanya. Gelap gulita menaungi Bavaria. Kedua kakak beradik Delchyn, bercengkerama di dalam rumah. Di luar sana tidak terdengar suara hiruk pikuk. Sepi melanda Bavaria.
"Kak, apakah kita tidak ke sekolah?" Tanya Skyye.
"Di luar sangat gelap, ini hari kita di rumah saja dulu!" Jawab Andrey.
"Kak, tetapi ini hari kami akan ulangan matematika, saya tidak mau ikut susulan, itu kedengaran menyeramkan!" Rengek Skyye. Andrey yang tidak tahan mendengar rengekan adiknya segera menyetujui keinginan Skyye.
Setelah bersiap, Andrey dan Skkye menyusuri jalan ke sekolah menggunakan sepeda dayung. Skyye memeluk kakaknya erat sambil memegang senter yang digunakan sebagai pencahayaan. Namun,
"Kak siapa mereka?" Skyye terkejut ketika sorotan senter tepat mengenai wajah beberapa orang di depan mereka. Tanpa menjawab Andrey melepaskan tatapannya kedepan dan sangat terkejut ketika menyadari sosok manusia di depan mereka melayang. Hal itu tidak diketahui Skyye.
"Skyye, kita pulang saja yah?"
"Tetapi saya ulangan kak!"
"Di sekolah pasti tidak ada KBM!"
"Kak......" Suara Skyye merengek manja.
"Ya sudah!" Walaupun keberanianya tiba-tiba kendor, namun karena rengekan Skyye, Andrey mencoba memberanikan diri menerobos sumber yang membuatnya ketakutan.
"Peluk yang kuat, kakak akan mengebut, takut kau akan terlambat dan pakai ini!" Ucap Andrey seraya memasang headset di telinga Skyye. Tangan Skyye melingkar di pinggang Andrey, sambil menikmati alunan musik di telinganya. Andrey mengayuh sepedanya dengan sekuat tenaga.
"Permisiiii..........." Teriak Andrey ketika berada tepat di sisi jalan yang berseberangan dengan sosok manusia melayang itu. Keringat menetes membasahi sekujur tubuhnya. Ia gemetaran, namun mencoba untuk mengendalikan diri demi Skyye.
"Darahhhhh.......darahhhhh.....darahhh....bau darah segarrrr" Suara itu menggema halus dalam kegelapan. Andrey meraih tangan Skyye memberi isyarat untuk memeluknya lebih kuat.
"Daraahhhh.....mangsaa.......daraahhh segarr...." Suara itu seperti mengikuti mereka, namun Andrey takut untuk menoleh.
Tiba-tiba....
"Permisiiiiii......." Teriak Andrey, ketika menyadari bahwa ada manusia yang tiba-tiba berada di depan mereka, dan hampir saja ditabraknya. Andre mengerem dengan tiba-tiba membuat kakak beradik Delchyn terpental jatuh ke jalan.
"Aw kak, sakit!" Skyye meringis kesakitan. Andrey dengan segera menghampiri adiknya. Ia mencabut headset di telinga Skyye dan, "Lari Skyye, lari!" Teriak Andrey. "Lari Skyye!" Andrey mendorong adiknya untuk lari menjauh.
"Mangsa telah tiba"
"Darah segar"
"Darahhh....."
Suara itu semakin jelas terdengar,
"Kak....." Skyye menangis, tangan Andrey mengusap air mata Skyye sambil berkata "Kau harus lari sekuat tenagamu, kakak akan mengikutimu dari belakang, mintalah bantuan pada siapa saja yang akan kau temui!" Andrey mendorong Skyye sekali lagi, dan kali ini Skyye mau untuk berlari.
Melihat Skyye sudah berlari, Andrey meraih senter dan menyorotkan cahaya tepat pada wajah makluk menyeramkan itu, yang kini terbang mendekatinya. Alangkah terkejut Andrey ketika wajah itu terlihat jelas, karena yang di hadapanya sekarang adalah pasangan Delchyn yang tidak lain adalah orangtua mereka yang menghilang selama ini.
"Darah segar, kita harus segara menangkapnya!"
"Mangsa kita, makanan vampir!"
Andrey masih berusaha melarikan diri, ia melempari mereka dengan batu. Dari jauh Andrey melihat Skyye berlari kuat dan menghilang dari tatapannya, ia merasa lega karena setidaknya Skyye sudah aman dari vampir. Dalam hati Andrey semakin membenci orangtuanya.
"Kekuatannya tidak begitu besar!" Itu suara ibunya.
"Iya, dia masih anak sekolah, dia masih remaja, dan aroma darahnya sangat harum, kelihatan sangat enak!" Jawab ayahnya. Oh bukan, mereka bukan lagi ayahnya, mereka adalah vampire.
Seperti yang diperkirakan vampire itu, Andrey tidak memiliki kekuatan untuk menyerang, Andrey segera mencari pena di dalam tasnya, ketika kedua vampire berwajah menyakitkan untuk dilihat itu kini berada tepat di hadapannya. Tidak ada cara lagi untuk berlari. Ia harus menyerang. Ia menggunakan pena sebagai senjatanya, namun sepertinya ia gagal, karena kini gigi tajam milik ayahnya sudah berada tepat di batang lehernya.
"Awwwwwww!" Andrey berteriak sekuat tenaganya. Tangannya mencoba melawan, namun darah kini mengalir dari tubuhnya. Ia sudah digigit. Darahnya sudah diisap. Sekali lagi ia mencoba memberontak, dan kini serangan Andrey tepat sasaran. Penanya mengenai tepat di dada vampire perempuan. Sempat hatinya ikutan pedih, karena vampire itu menitikan air mata, sungguh kontak batin anak terhadap ibu, namun ketika bayangan Skyye yang ketakutan muncul, perasaan itu lenyap dalam seketika. Mendengar erangan kesakitan istrinya, vampire yang rakus, segera melepas Andrey.
Andrey segera berlari lagi, menggunakan sisa tenaganya.
"Skyye! Skyye!" Teriaknya sambil menggedor pintu. Bavaria sungguh sepi. Tidak ada orang yang dijumpainya dalam perjalanan. Pintu kini terbuka, di hadapan Andrey berdiri Skyye yang ketakutan. Rasa sakit dan lelah kini hilang, Andrey memeluk erat Skyye.
"Tidak apa-apa, saya sekarang di sini, kita aman!" Ucap Andrey menghibur.
"Siapa mereka? Kenapa mereka begitu jahat?"
"Mereka itu pasangan vampire!" Jawab Andrey jujur.
"Seperti tidak memiliki anak saja!" Omel Skkye.
"Ia mereka tidak memiliki anak, apa pun alasannya, mereka tidak layak menjadi orangtua!" Jawab Andrey lirih.
Andrey membiarkan Skkye terlelap di pangkuannya, tangan Skyye memegang tangannya erat.
"Aw...." Andrey menyadari bahwa ia memilik luka di leher. Ia meraih tisu dan membersihkan darah menggunakan tangannya yang lain. Tiba-tiba kepalanya menjadi sangat sakit. Organ tubuhnya seperti terlepas satu per satu. Ia pingsan.
* * *
"Kak, bangun kak, kita harus ke sekolah!" Hari kini sudah pagi lagi, matahari sudah bersinar di Bavaria.
Darah, bau darah segar, darah, lapar, darah segar! Andrey membuka mata dan meraih Skyye ke dalam rangkulannya berencana mengisap darah Skyye, namun kesadarannya kembali ketika Skyye membalas pelukannya.
"Semuanya akan baik-baik saja!" Ucap Andrey.
"Ia kak, bersiap-siaplah lebih awal, karena kita harus menggunakan bis ke sekolah, sepeda kita sudah tidak ada!" Ujar Skyye, yang dijawab dengan anggukan Andrey.
Ketika Skyye meninggalkan kamar.....
Andrey memukul kepalanya "Kalau lapar makan nasi!"
"Kalau haus minum air!
"Kau ini manusia!"
Namun ia menangis dalam ucapannya, ketika mengingat artikel di internet yang dibacanya kemarin. Manusia yang digigit vampire, akan terinfeksi dan segera akan menjadi vampire juga. Andrey mengutuki hidupnya, ia mengutuki kedua orangtua mereka yang tidak berhati nurani. Ia membenci dirinya sendiri karena hampir saja mengisap darah adiknya.
Di ruangan lain, Skyye menangis sekuat tenaganya, mengingat isi artikel yang dibaca kakaknya, serta bekas luka di leher Andrey dan sifat aneh Andrey tadi.
"Ayah Ibu, pulanglah, bantu kami! Kak Andrey sakit!" Ia menangis lagi.
"Semua ini salahku, seandainya saya tidak keras kepala. Semua ini salahku!" Ujarnya lagi dan lagi.
Delchyn bersaudara kini berada di dalam bis menuju sekolah.
"Darah, darah segar dimana-mana" Suara itu muncul lagi. Wajah Andrey memerah. Skyye meraih tangan Andrey dan memeluknya erat. Andrey menitikan air mata, namun segera Skyye menghapusnya, dan berusaha agar siswa lain tidak merasa terganggu.
"Kepalaku sakit!" Ucap Andrey berbohong lagi. Skyye hanya mengangguk.
Di sekolah, Skyye dan Andrey mengikuti KBM seperti biasa, Skyye mengikuti ulangan yang tertunda. Di kelas kisah kegelapan kemarin menjadi bahan cerita.
Jam istirahat tiba.
Dan........ Richard Evelyn berteriak di dalam kelas "Ada yang mau bunuh diri!"
"Skyye Delchyn, itu kakakmu!" Sambar Edward Saggae.
"Apa?" Skkye segera berlari, tanpa arah!
"Dia di atap sekolah!" Teriak siswa lain, yang juga berhamburan ke luar kelas.
Skyye berlari menaiki anak tangga, dari jauh ia melihat Andrey berdiri di tepi atap. Tanpa aba-aba dan suara, Skyye berlari memeluk Andrey dengan mengabaikan resiko yang akan terjadi.
Andrey membisu di atas atap, tangannya mencengkram pinggiran, senyum ramahnya hilang.
Yang ada hanya napsu memburu, membuat Andrey lebih memilih mati dari pada harus mengisap darah manusia dan membuat malu Skyye.
Skkye tetap memeluk Andrey,
"Kak saya mengenalmu lebih dari siapapun." Ujar Skyye.
Andrey mencoba mematikan saraf-saraf otaknya yang haus darah namun gagal.
"Kau tidak tahu!"
"Saya tahu kak, kemarin mereka itu vampire! Mereka sudah menggigitmu kak! Tetapi kau tetap kakakku! Kau tetap manusia biasa!" Skyye menangis terseduh.
"Skyye, kau tidak akan mengerti!"
"Saya mengerti kak!"
"Kau tidak mengerti, ini menyakitkan!"
"Saya mengerti kak! Saya sudah tau semuanya!"
"Tidak, kau tidak tahu semuanya!"
"Vampire sialan itu, terkutuk sekali mereka!" Skyye menangis tanpa henti. Kini Andrey membalikan badannya dan menghapus air mata Skyye.
"Jangan menangis, kau harus tegar!"
"Kak, jangan tinggalkan saya sendiri! Kita harus bersama menanti ayah dan ibu pulang!" Ujar Skyye manja. Mendengar ucapan itu.....
"Mereka bukan orang tua kita! Mereka tidak layak disebut orang tua! Kenapa kita terlahir sebagai anak mereka?" Andrey kini menangis.
"Kak, mereka orangtua kita!"
"Vampire kemarin adalah mereka, dan yang membuatku begini adalah mereka! Sungguh mereka tidak merasakan kontak batin sedikit pun!"
"Apa?" Skyye nampak sangat terkejut, ia memeluk Andrey kuat.
"Kak......" Tidak ada lagi kalimat yang mampu dikeluarkan dari mulutnya.
"Jika nanti kau bertemu mereka, larilah ke arahku sekuat tenagamu! Jangan mati di tangan mereka. Larilah karena kita tidak akan mati di tangan vampire itu!"
"Kak!" .....
"Sekarang waktunya beranjak!"
Andrey menghela napas dalam-dalam membuat Skyye semakin yakin bahwa kakaknya sungguh kelaparan.
"Siapa yang akan kuburuh? Aku harus membuat keputusan!"
"Kak jangan kak, jangan kak!" Skyye menangis dan mengutuki dirinya karena keras kepala. Skyye merasa ialah penyebabnya.
"Sialnya, sekarang bukan waktu untuk memilih! Semuanya sudah terlambat!" Tiba-tiba gelap kembali melanda Bavaria. Andrey melepas pelukan Skyye dan segera beranjak. Ia bisa terbang.
"Skyye saya akan kembali. Saya tetap kakakmu. Saya manusia normal!" Ucap Andrey sambil menitikan air matanya. Skyye menangis sekuat tenaganya, merasa sangat malang nasibnya.
Sedangkan disisi lain, Andrey memburu hewan dan mengumpulkan darah.
Description: Kisah di antara berlari dan mempertahankan hidup atau bertahan dan merelakan kehidupan.
|
Title: Ramuan Legendaris Mie Celor Cinta
Category: Novel
Text:
Kisah mengertak Hati Lia
Setelah makan, lia bersiap berangkat ke kampung. Dengan motor matic abu-abu kesayangan ia susuri jalan menuju kampunya.
Siaaaaapppppp Hormaaaaaattttttt.
Dengan membaca sebuah ember mnyodorkan ke setiap pengendara yang berhenti di lampu merah.
Kenapa banyak manusia silver ya. akhir akhir ini di lampu merah? Pikiran Lia mulai dipenuhi dengan rasa iba.
Apa lagi ketika manusia silver it tepat berada di depannya, apalagi saat mata sedih sayu dan lelah yang ia lihat menandakan sudah berapa lama mereka dilampu merah, namun lia menyodorkan tangannya dengan simbol tangan menghadap depan. Simbol biasa yang berikan orang ketiak menolak atau memohon maaf tidak bisa membantu menyumbang.
Namun hati kecil nya sebenarnya snagat bertenatangan dengan sikap tubuhnya. Perasaan dan pikurannya bergejolak
Apa aku kasih aja ya?, tapi sayang ini. Kan untuk uang jajan ku, aku saja di kasih sedikit oleh mama, tapi kesian bapak it. Hmmmm......
Lamunannya pun buyar dikejutkan. Suara klakson mobil di belakangnya yang memintanya untuk berjalan karna lampu sudah hijau.
Lia melanjutkan perjalanan ke kampus.
Baik terima kasih sampai bertemu di minggu selanjutnya. Sampai jumpa. Yak, yok makan. Kata indah yang sejak dari tadi memang susah kelaparan. Sampai sampai saat mata kuliah berlangsung tadi bunui perutnya terdegaar oleh semua teman kelasnya.
Yok yok yok.
Mereka makan di sebuah tempat makan yang biasa mereka kunjungi, restoran di sebuah mall tempat langganan mereka. Mereka merasa menu suku dengan kuah tomyam dengan mie yang tak lupa jadi menu yang harus ad di kuah panas tanyam it.
Seruput dan kunyahan suko dan kuah tomyam yang gurih membuat mereka tidak bisa berhenti untuk tidak menghabiskan ludes kuah dan suki yang meraka pesan.
Haaaaaa........Kenyang ......Sambil bersandar di kursinya dengan kaki diselonjorkan.
Selesai makan mereka langsung pulang dna berpisah tepat di parkiran. Lia tidak kemana -mana lagi setelah itu. Ia langsung pulang.
Namun di tngah perjalanan ia, teringat dna kepingin makan mie celor, langsung lah ia melaju ke tempat mie celor langganannya. Ia memesan mie celok spesial. Pemilik dan karyawan tempat it sudah hapal dengan mie Celor pesanan lia.
Mie instan dengan kua mie celor yang merupakan makanan favoritenya. Lia tidak begitu sukaa dengan mie lebar khas mie celor, menurut nya mie nya terlalu tebal. Dan sedikit mengurangi kenikmatan makannya.
Ia pun saat it berinisiatif untuk memesan mie instan celor. Dan rupanya it menjadi menu favorite nya dan beberapa orang lainnya.
Selesai pesan di buat. Lia membayar ke kasir. Kemudian pulang
Di tengah perjalanan ia tiba tiba di serempet oleh sebuah motor besar. Yang ngebut dari belakang. Ia terjatuh, bodi motornya pecah dan Mie celor favoritenya tumpah ruah kejalan.
Lia mercon berdiri dan mengembalikan lagi keseimbangan tubuhnya.Tak banyak orang menolongnya. Hanya beberapa orang dan si pengendara motor yang menabraknya yang menolongnya karena memang didepan oleh warga untuk bertanggung jawab.
Lia di bawa ke pingging trotoar dan di tanyai.
Neng gak ap apa? Gak apa ap pak. Dikit kok rupanya. Cuma di tangan dan kaki. Seriud gak apa apa mba. Atau ke dokter praktik aja. Iya Mas tanggung jawab dong.
Iya pakkkk iya. Ini mau tanggung jawabIa neng nanti motornya kita yaang bawak, nengnya di bonceng. mas nya saja. Kita kawal nanti.
Tidak usah pak. Serius tidak apa apa cuma luka sedikit kok. Gak apa apaa mas. Ini luka kecil kok. Tapi barangnya tumpah semua neng.
Ya gak apa pak. Musibah saya
Dengan berberat hati dan rasa iba akhirnya si pengendara motor memberikan saja uang sebagai uang berobat untuk Lia sekaligus mengganti mie nya yang tumpah dan berserakan di jalan.
Awalnya ia menolak, tetapi akhirnyaa di terima. Hitung hitung mengganti keruginnya.
Lia pun di antar pulang oleh mas penambrak dengan di kawal dari belakang. Karna lia tidak mau dana tidak enak jika di antar. Dan pikirnya ia masih sanggup membawa motornya walaupun dengan badan nya yang luka.
Description: Lia penyuka mie celor sejak dari kecil, tidak akan pernah menyangka jika pertemuannya pada cintanya akan melibatkan Mie kesukaannya.
|
Title: Ring From EX
Category: Adult Romance
Text:
Prolog
Baru kali ini Evelyn benar benar merasa takut salah tempat, dia yang biasanya selalu cuek kini menatap sekitar ballroom pesta gelisah. Dia menautkan tangannya gugup, melebihi gugup diatas panggung dengan disaksikan ribuan orang atau mungkin jutaaan. bagaimana tidak gelisah didepan sana Jasson Leonardo mantan pacarnya yang dulu pernah mengkhianatinya berdiri didepan sana dengan senyum menawannya memasangkan cincin pada jari manis kekasihnya valerie austin, wanita yang sama yag menjadi alasan jasson mengkhianatinya dulu.
Dan dia berdiri menyaksikan semua itu sebagai tamu yang diundang tunangan barunya, valerie yang merupakan fansnya.
Evelyn tersentak oleh riuh tepuk tangan ternyata sepasang kekasih itu sudah resmii bertunangan ya dia tersenyum sinis, gugup yang dirasakannya tiba tiba menguap terganti perasaan dendam yang mendalam, dia sama sekai tidak berniat menghancurkan hubungan mereka, dia juga sudah tidak butuh lelkai bajingan itu.
Evelyn melangkah mendekati sepasang tunangan itu penuh percaya diri.
"Chloe!!! Te...terima kasih telah datang ke acara pertunanganku, aku tidak menyangka kau benar- benar mau datang," pekik Valerie antusias begitu matanya menangkap Evelyn yang berada di depannya. Saking antusiasnya hingga tanpa sadar dia melepas pegangannya pada lengan Jasson.
Evelyn terkekeh, "Tentu saja aku akan datang, ini merupakan kehormatan bagiku dapat menghadiri acara pertunangan Nona Austin, atau sekarang aku harus memanggilmu Mrs. Leonard?"
Valerie tersipu, terbukti dari pipinya yang sudah merah akibat blush on semakin memerah karena malu. "Ah kau bisa saja, aku masih nona Austin kok." Dan selanjutnya mengalirlah cerita bebas dari Valerie. Evelyn menanggapi dengan senyuman sesekali mata hijaunya melirik Jasson yang hanya memasang wajah datarnya, Well apa lelaki ini marah karena dia menarik perhatian tunangannya?
evelyn tersenyum sinis, untungnya tak disadari valerie yang masih sibuk bercerita.
"oh ya chloe aku mendengar skandalmu dengan matthew adamson, kau tahu aku salah satu yang mendukung itu bahkan aku sampai ikut grup macha,"
Evelyn mengerutkan keningnya, "Macha?"
Valerie mengangguk antusias, "matthew chloe, aku sebagai perwakilan group macha hanya berharap akan hubungan kalian yang tak hanya sebatas teman duet,"
Evelyn terkekeh, "aku tak menyangka ternyata kalia lebih manis soal hubunganku dan matty, emmm vale sebenaranya ini rahasi, tapi karena ini kau aku akan memberitahu, sebenarnya aku sedikit menyukai matty mungkin kalau dia menembakku aku akan memikirkannya, tapi sayang dia seertinya tak ada perasaan padaku," evelyn terkekeh mimik wajahnya dia buat senatural mungkin.
Valerie menatapnya kasihan, " Ah sayang sekali, tapi tenang chloe kami selalu mendoakanmu dengan matty" ucap valery bersungguh sungguh. Hal itu sebenrnya membuatnya hampir tertawa, 'aku? dengan matty? aku bahkan menganggpp dia sebagai kakakku versi baik"
"Sepertinya kita sudah terlalu banyak mengobrol nona Austin, sudah banyak yang mengantri ingin bertemu deganmu, aku pamit terima kasih undangannya yang menyenangkan. Selamat untukmu dan... Mr Leonard," evelyn tersenyum berlalu meinggalkan sepasang tungan itu tanpa menyadari seseorang yang mengepalkan tangannya sejak peembicaraannya dengan valerie tadi.
***
Evelyn mengusap wajahnya kasar. bohong jika mengatakan hatinya baik-baik saja. Sejak tadi, sejak matanya menangkap Jasson leonard dengan jelas, mantan yang telah menyakitinya itu, hatinya berdenyut sakit. rasa sakit yang sama yang dirasakannya 4 tahun yang lalu. Tapi, evelyn dapat menjamin rasa sakit ini bukann berarti dia masih memiliki rasa pada pria itu, rasa sakit ini hanyalah rasa tak terima akan pengkhianatan yang begitu memalukan.
"Bppppp..." evelyn terlalu kalut dalam pemikirsnnya hingga tak menyadari seseorang telah menguntitinya sejak tadi.
evelyn meronta tangannya memukul mukul tangan kekar pria itu yang menutup mulutnya dari belakang. Namun jelas pukulan tangan mungil evelyn tak berpengaruh padanya. pria asing itu menyeretnya memasuki salah satu kamar hotel.
"hhhaahh...hahh" evelyn meraup nafas sebanyak banyaknya, ketika tangan itu menjauh dari mulutnya,
"si..siapa.. hahh"
secara tiba tiba pria yang menyertnya masuk tadi memeluknya erat, "Aku merindukanmu eve"
Evelyn terpaku, tatapnnya tiba- tiba kosong, tubuhnya melemas, sekelabat bayangan masa lalu terputar dalam otaknya seperti kaset rusak yang tak dapat dihentikan. hanya satu orang yang bisa membuatya merasakan perasaan seperti ini, Jasson Leonard, mantannya satu-satunya, dan kenyataan itu mebuatnnya membenci dirinya dan hatinya.
"Eve mengapa kau tak membalas pelukanku," lirih Jasson masih memeluk tubuh evelyn, lelaki itu menghirup dengan rakus aroma mint khas evelyn.
evelyn tersadar, dengan mengumpulkan segenap kekuatannya dia memaksa mendorong tubuh jasson mmebuat lelaki itu sedikit terkejut.
"Eve.."
PLAK...
"Berhenti memanggilku dengan nama itu sialan, namaku chloe atau lebih baik kau sama sekali tidak memanggilku," sentak evelyn. mata hijaunya yang selalu menatap lembut pada siapa aja kini berkilat marah menatap lelaki brengsek dihadapannya.
Jasson tertegun, sama sekali tidak menyangka respon evelyn yang dikenalnya sebagai wanita lemah lembut.
Evelyn baru hendak melangkahkan kakiknya keluar dari ruangan tersebut sebelum tangannya dicekal, tidak kasar cekalan itu justru terasa sangat lembut.
"Eve, bisakah kau melupakan kejadian masalalu, aku ingin kita membuka lembaran baru," lirih Jasson.
evelyn tertegun beberapa saat. lelaki ini baru saja memintanya melupakan masa lalu dan membuka lembaran baru disaat dia baru saja bertunangan dengan wanita yang katanya sangat dicintainya itu. Evelyn tersenyum sinis melirik tangannya yang masih digenggam Jasson. dengan kasar dia menghempaskan genggaman itu. membalikkan tubuhnya menatap lelaki yang dulunya pernah menjadi alasannya bahagia.
"Bastard! lalu mau kau kemanakan tunangan tercinta mu itu," evelyn menatap jasson dengan sorot kebencian, entahlah mendengar kata-kata jasson membuatnya tahu seberapa kadar kebenciannya pada lelaki ini.
Jasson menggeleng geleng, "Eve kau tidak tahu, yang jelas saat ini yang kuinginkan adalah kau,"
Dan mendengar kata-kata selanjutnya membuat evelyn sadar bahwa dia masih belum bisa sepenuhnya membencinya.
Evelyn tersentak tangannya tiba tiba saja diraih, dia merasa sesuatu dipasangkan di jari manisnya seperti sebuah cincin namun dengan ukuran yang sangat kecil. Itu membuatnya meringis kala benda itu didorong kasar.
"Apa yang kau..."
Cup...
"Kau tahu kan Eve aku memberikan seseorang cincin dengan simbol yang berbeda beda, dan cincin ini sama artinya dengan apa yang kurasakan, kuharap kau mengerti, sayang,"
"Mulai sekarang kau adalah kekasihku lagi," Setelahnya Jasson pergi meninggalkan Evelyn yang masih termenung memikirkan ucapan lelaki itu.
Dipandanginya cincin dengan berlian diatasnya, bisa Evelyn tebak harganya melebihi kontraknya dengan 3 film. Evelyn tersenyum sinis, simbol? Simbol jika dia sudah tidak mencintai dirinya lagi? Tentu saja seperti itu mengingat senyumannya pada Valerie tadi, bahkan dulu saat mereka masih bersama Jasoon sama sekali tidak pernah menunjukkan senyumannya. Mengingatnya membuat hatinya terasa sakit, inilah yang dibencinya, sampai sekarang rasa sakit itu tidak berkurang.
Evelyn kembali menatap cincin itu, indah, tapi salahnya dia tak membutuhkannya. Dengan kasar dia mencoba menarik cincin itu tanpa perduli tangannya yang akan ikut sakit.
"Ashh," Evelyn meringis. Cincin itu tetap tidak bisadikeluarkan, sangat pas bahkan kekecilan di jarinya.
"Sialan kau Jasson,"
Bab 1
Drrtttt...drttt..
Evelyn meraba nakas dengan satu tangannya. tanpa melihat nama si penelepon Evelyn menekan tombol hijau.
"halo" evelyn tetap memejamkan matanya mneunggu balsan dari seberang. pukul 9 terlalu pagi untuknya membuka mata, sedang pukul 1 terlalu sore untuknya menutup mata.
"..."
"WHAT!!!"
***
Berkat naomi--managernya, evelyn yang tidak pernah bangun kurang dari jam 9 pagi, kini berada di kantor EJ' Entertaintment, label yang menaunginya.
Evelyn menghentakkan kakinya kesal, Valerie sialan. Dia sudah menduga Valerie akan membocorkan kebohongan yang dikatakannya padanya, kebohongan yang dibuatnya hanya untuk alasan bodoh. Soal dia yang menyukai Matthew Adamson. bukan masalah jika yang tersebar hanya rumor itu, namun masalahnya kemarin baru saja muncul rumor Matthew Adamson yang berpacaran dengna seorang gadis. Well, mulut netizen yang asal ceplas ceplos menimbulkan rumor Chloe si penyanyi yang sedang naik daun diduga menyukai aktor Matthew, apakah akan ada tanda-tanda pelakor? Hell bahkan dia sama sekali tidak tertarik dengan Matthew.
Evelyn menghembuskan nafasnya, untungnya pagi ini Matthew langsung mengklarifikasi soal rumornya yang berpacaran dengan seorang gadis hanyalah hoax semata. Evelyn tidak untuk apa dia melakukannya, mungkin untuk agensinya karean kebetulan dia dan Matthew beradapada agensi yang sama. Tapi yang jelas Evelyn sangat berterima kasih pada Matthew atau dia harus mentraktirnya makan malam.
"Hai Elyn" Evelyn menoleh, matanya langsung mendapati Matthew yang berjalan ke arahnya dengan senyum manis khasnya.
" Matty? kau sedang apa disini," tanya Evelyn basa-basi.
Matthew terkekeh, "Kau lupa jika kita berada di agensi ya?" Matthew tersenyum manis membuat Evelyn sedikit salah tingkah entah karena pertanyannya atau senyuman itu.
Evelyn menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Hehe kau tidak tahu itu pertanyaan basa basi," Matthew tergelak.
Evelyn menghembuskan nafasnya, mata hijaunya menatap Matthew serius, "Terima kasih, meski aku tahu kau melakukannya untuk agensi tapi aku tetap sangat berterima kasih padamu, juga sampaikan permintaan maafku pada pacar mu.."
Matthew tertawa keras memotong ucapan Evelyn, membuat gadis itu mengerutkan keningnya bingung.
"Kau tidak perlu berterima kasih Elyn, lagipula aku memang sudah mau membereskan rumor hoax itu,"
"Hoax?"
Matthew mengangguk, "Aku belum punya pacar seperti yang kukatakan tadi, yang tersorot dikamera itu hanya gadis gila yang terobsesi denganku,"
Evelyn tersebyum malu, " Ya pokoknya aku berterima kasih saja,"
"Berterima kasih? Gak ada yang lainnya nih?" Ucap Matthew tersebyum menggoda.
Evelyn melipat tangannya didada, "Memangnya kau mau apa?"
"Traktir aku makan malam bagaimana?"
"Deal,"
***
"WHAT! Oh God, Elyn jadi rumor itu benar?"
Evelyn baru saja sampai di studionya. Dan Naomi sudah mencercanya dengan berbagai pertanyaan.
"Tentu saja tidak, aku sudah menganggap Matty sebagai kakakku Naomi," bantah Evelyn gemas.
Naomi menatapnya dengan pandangan tak percaya, "Lalu mengapa kau menerima permintaannya? Kau memang sengaja ingin berduaan dengannya," tanya Naomi penuh selidik.
Evelyn menghela nafasnya jengkel, "Tidak bukan karena itu aku han..."
BRAKKK...
Pintu terbuka dengan kasar. Evelyn tertegun melihat siapa yang berdiri dihadapnnya dengan tatapan tajam. Pria itu melangkah mendekatinya dengan nafas memburu, entahlah Evelyn merasa sepertinya pria ini sedang marah besar.
"Elyn siapa dia,"
Belum sempat Evelyn menjawab, tangannya sudah ditarik hingga dia berdiri. Secara tiba- tiba pria itu menggendongnya, membawanya keluar studio masih dengan keterkejutannya.
***
Evelyn menatap sekitar. Evelyn merasa tak asing dengan tempat ini, Villa newah di tepi pantai. Tempat kencan mereka dahulu, dia dan lelaki di sampingnya, Jasson Leonard.
Evelyn tersenyum miris mengingat kenangan manis yang nyatanya hanyalah tipuan. Tanpa sadar dia mengepalkan tangannya.
"Sebenarnya apa yang kau inginkan? Untuk apa kau membawaku ke tempat ini? Menunjukkan aku hanya tamu dari pemilik tempat ini? Tunanganmu?" Sentak Evelyn. Matanya menatap tajam wajah Jasson yang melunak.
Jasson menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak Eve, tempat ini masih milikmu, aku membawamu kesini karena saat ini aku hanya ingin berdua denganmu," bantah Jasson.
Evekyn terkekeh sinis, "Berdua denganku? Kau fikir dengan otakmu yang pintar, memangnya aku sudi berdua dengan orang yang sudah mencintai orang lain? Cih... aku tidak berniat menjadi perebut disini" Evelyn memalingkan wajahnya.
Amarah Jasson tersulut begitu kalimat itu meluncur dari mulut Evelyn, "Lalu bagaimana dengan Matthew? Kau tetap mau berduaan dengannya meski kau tahu dia punya kekasih? Kau sebut apa itu," bentaknya hilang kendali.
PLAK...
Evelyn menampar pipi Jasson hingga wajah tampan itu berpaling. Emosinya tersulut, kata-kata Jasson seolah menunjukkan dia seorang perebut.
"Jaga ucapanmu! Jika aku berkata aku tidak akan menjadi perebut maka aku sudah memastikan aku tidak melakukannya, orang sepertimu tidak perlu tahu kebenarannya," Bentak evelyn berapi-api. Hatinya sakit, Jasson dengan seenaknya menuduhnya disaat bukankah dia seharusnya mengatakan itu pada tunangannya sendiri?
Raut wajah jasson tampak bersalah matanya melembut, "Maaf aku tidak bermaksud..aku hanya.."
"Sudahlah tidak perlu dibahas lagi," Evelyn memalingkan wajahnya, dia benci, sangat benci mengingat fakta, dia yang masih selalu menangis berhadapan dengan wajah lelaki itu.
"Eve aku membawamu kemari bukan hanya ingin mengajakmu berkencan, aku ingin meluruskan kesalah pahaman yang terjadi antara kita berdua dahulu," ucap Jasson tampak bersungguh sungguh. Matanya birunya berkilat, Evelyn benci wajahnya yang tampak bersungguh-sungguh itu, dia membenci segala sesuatu tentang Jasson.
Evelyn tersenyum sinis, "Apa? kau mau mengatakan kalu dulu sebenarnya kau hanya berpura-pura mencintaiku? kau mau mengatakan itu lagi kan? sama seperti yang kau katakan beberapa tahun lalu," entahlah Evelyn tidak bisa menahan semua fikiran buruknya tentang Jasson.
Jasoon buru-buru menggeleng-geleng matanya melotot tampak terkejut, Evelyn bisa menangkap itu.
"Kenapa? kau terkejut aku masih mengingat kata-kata itu?"
"Aku juga masih mengingat kata-kata mu waktu aku membentak wanita hina itu"
PLAK...
Evelyn memegang pipinya yang terasa perih, tapi perih itu tidak seberapa dengan perih yang dirasakannya dihatinya. Dia tidak bisa menahan matanya untuk tidak berkaca-kaca. Pertahanannya runtuh tangannya menekan dadanya yang terasa sesak. Pemandangan itu tak luput dari mata Jasson. Matanya membelalak melihat bening yang menetes pelan melewati pipi mulus Evelyn.
"Eve..." lirih Jasson menatap wajah Evelyn dan tangannya bergantian. Dia kembali lepas kendali.
"Kau tahu mengapa aku mengingat kata kata itu bukannya melupakannya? Alasannya hanya satu, itu semua aku lakukan supaya aku bisa membencimu, aku bisa menyingkirkan cintaku juga pemikiranku yang masih terus saja mengatakan kau tidak bersalah, kau pasti punya alasan melakukannya padahal dengan jelas aku melihat, mendengar, merasakan semua perbuatanmu," Evelyn terkekeh miris.
Meratapi hatinya yang tak kunjung mereda dari rasa sakit itu. Evelyn tak kuat lagi menahan tangisnya, belir buning itu kini turun dengan deras, isakan kecil terdengar.
"Eve.." Jasson menundukkan kepalanya.
"Kau tahu? aku selalu berusah mengingat kata kasarmu padaku, wanita tak berguna, aku hanya bermain-main denganmu, suara tamparan mu, semuanya aku selalu berusaha mengingat itu saat fikiranku kembali teringat akan perlakuan manismu dulu," Tiba-tiba tangannya meraih tangan Jasson menggenggamnya kuat, menghantarkan rasa sakit dihatinya.
Jasson tersentak dia tak percaya Evelyn menyentuhnya meski sebuah genggaman erat yang menyakiti tangannya. Perasaan hangat menjalarinya tapi perasaan itu kembali hilang ketika tangan Evelyn menghempasnya dengan kasar. Dia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk, menatap mata hijau itu, Jassn bisa melihat kebencian dimatanya, perasaan kecewa.
Evelyn kembali menatapnya tajam, "Jika dulu aku memilih mati dibanding kehilanganmu sekarang aku lebih memilih mati daripada harus bersama mu lagi, aku membencimu Jasson Leonard,"
Bab 2
Sedari tadi senyum Evelyn tidak pernah berhenti mengembang. 15 July adalah hari yang ditunggu-tunggunya. Tepat hari ini dia akan ber anyversary yang ke 3 tahun dengan pacarnya Jasson.
Dengan tangan kirinya dia menekan sandi apartment Jasson. Pipinya bersemu, setiap dia menekan angka-angka yang menjadi kunci masuknya. Tanggal jadian mereka, juga kata Jasson akan menjadi tanggal pernikahan mereka nanti.
Evely masih dengan senyum malunya melangkah pelan memasuki apartment tersebut. Kosong, Jasson pasti di kamar. Evelyn melangkah dengan hati-hati menuju kamar Jasson. Jantungnya berdegup cepat, pegangannya pada kotak berwarna biru itu semakin erat, dia gugup. Jika 2 tahun sebelumnya Jasson lah yang memberinya kejutan maka tahun ini dia ingin yang memberikan kejutan untuk Jasson.
Evelyn menghembuskan nafasnya untuk menetralisir gugupnya, perlahan dia membuka pintu bercat hitam tersebut.
"Jeje aku..."
"Iya sayang maafkan aku tidak bisa mengunjungimu Vale tapi aku berjanji akan ke rumahmu besok kita akan seharian bersama,"
Evelyn mematung. udara disekitarnya mendadak hilang, sesak. Evelyn masih berdiam sambil memikirkan hal-hal positif yang mungkin terjadi. Tapi sungguh itu terasa sangat sulit disaat suara lembut Jasson, senyuman Jasson juga panggilan Jasson dia lihat dan dia dengar sendirinya. Semua perlakuan itu bahkan tidak pernah dilakukan padanya.
"Iya Vale pacarku sayang, calon istriku, ibu dari anak-anakku,"
deg...
Peluang evelyn untuk berfikir positif menipis disaat Jasson seolah ingin memperjelas semuanya seperti berusaha menepis fikiran positifnya.
"Jasson" suara evelyn tercekat tapi dia menaikkan suaranya untuk memastikan lelaki itu mendengarnya.
Bisa evelyn lihat tubuh Jasson menegang, persis seperti orang yang ketahuan selingkuh, atau mungkin memang begitu? Tidak! dia berusaha menepis fikiran negatif itu, Jasson pasti punya alasan melakukannya, ya dia percaya itu.
"E..eve," Jasson membalik badannya berhadapan dengan Evelyn langsung. Evelyn memaksakan senyumnya, dia melangkah mendekati jasson masih dengan mencengkram kotak biru itu.
"Jeje Kau bertelepon dengan siapa," tanya Evelyn seolah tak tahu apa-apa.
Jasson tersenyum kaku, "Dengan Dylan,"
Duarrr...
Jasson membohonginya? Mengapa? Apa begitu penting urusannya hingga harus berbohong padanya, atau memang Jasson... Evelyn menggelng itu membuat Jasson menatapnya aneh.
"Eve kau tak apa apa?" Suara Jasson menyiratkan kekhawatiran. Biasanya Evelyn akan sangat senang mendengar perhatian ini tapi sekarang dia tidak merasakan itu lagi. Jantungnya seolah berhenti berdetak, hatinya kosong.
Evelyn menggeleng, "Apa Dylan operasi suara? Mengapa suaranya terdengar seperti suara wanita? Dan apakah sekarang kau sudah mengganti panggilanmu dengan Dylan menjadi Vale? Pacarku? Sayang? Calon istriku? Ibu dari anak anakku," cetus Evelyn menyebut semua yang didengarnya.
Jasson gelagapan, "E...ve"
"Jeje katakan padaku kau tidak berselingkuh bukan?" Evelyn menatap manik cokelat Jasson dengan penuh harap, berharap semua yang difikirkannya hanya kesalah pahaman semata.
Jasaon menghembuskan nafasnya berat, "Tidak Eve, A..aku memang berselingkuh maaf membohongimu," ucapnya dengan suara tegas.
Evelyn mematung. Tidak pernah terfikirkan sekalipun olehnya Jasson yang dia percaya akan berkata seperti ini. Fikirannya berkelut, di satu sisi dia masih belum menerima perkataan itu dia masih merasa Jasson hanya membohonginya di sisi lain hatinya berdenyut sakit memberi tahu semua ini nyata, Jasson memang mengkhianatinya.
"Ja..son,"
Jasson diam, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan adanya penjelasan lebih lanjut yang harus Evelyn dengar. Evelyn tersenyum miris, sesuatu yang bahkan tidak pernah dibayangkannya, dan dengan bodohnya otaknya masih terus saja menyangkal. Tangannya mengepal kuat.
"Ja..jasson katakan kau punya alasan melakukan ini kan? Kau terpaksa melakukannya kan? JAWAB AKU! KATAKAN PADAKU SEMUANYA BOHONG KAU INGIN MEMBUAT KEJUTAN KAN?” Evelyn berteriak, harga dirinya sudah tidak lagi dia perdulikan.
Jasson diam wajahnya tetap seperti biasa, datar, tak terbaca. Evelyn hanya pernah sekali melihatnya tersenyum dan itu baru saja saat dia memergoki lelaki itu menelepon wanta lain dengan mesra. Hal itu sebenarnya sudah sangat menjelaskan ini bukan kejutan yang dibuat Jasson untuknya, bahkan pada ibunya sekalipun dia tidak pernah tersenyum.
“Aku akan tersenyum pada orang dan waktu yang tepat,” kata-kata itu terngiang di kepalanya, dulu mengkin Evelyn berfikir Jasson hanya menunggu waktu yang tepat, dia tak menyangka jika dia juga bukan orang yang tepat itu.
Sakit mengetahuinya, ia menekan dadanya yang terasa sesak, keterdiaman Jasson seolah menjawab segalanya.
“KATAKAN KAU MASIH MENCINTAIKU, KAU HANYA BERPURA PURA KAN KAU TERPAKSA MELAKUKANNYA KAN,” Evelyn terisak, tangannya memukul-mukul dada lelaki dihadapannya, dia terdiam.
PLAK..
Tangannya bergetar usai menampar wajah lelaki yang dicintainya. Jasson masih tak bereaksi hanya menatap datar Evelyn yang meraung-raung seperti orang gila.Evelyn memukul mukul dadanya berharap sesak yang sedari tadi dirasakannya bisa pergi.
"Hiks,... a..aku selalu percaya padamu, aku selalu berusaha menjaga kepercayaannmu yang aku tidak tahu apakah itu sebenarnya ada, dan kau menghancurkan semua itu untuk wanita perebut itu,”
PLAK..
Evelyn terdiam, pipinya terasa panas. Dan dia yakin itu akan menimbulkan bekas.
“Aku akan selalu menjagamu” kini kata itu hanya bagai semu. Jasson menamparnya, tangan yang dulunya menggenggam erat tangannya kini menamparnya.
“Jangan pernah kau hina wanita yang aku cintai,” dan tanpa rasa bersalah dia mengatakan hal itu tanpa tahu seberapa besar dia semakin menggores luka pada hati Evelyn.
Hah, sungguh tidak pernah terfikirkan oleh evelyn sama sekali. Air matanya tumpah, sungguh memalukan dirinya, dia bahkan masih bisa menangis, bukankah sehharusnya dia tersenyum sinis, bukankah seharusnya dia bersikap dingin seperti yang selama ini difikirkannya. Dia tidak akan menangis jika pacarnya memutuskannya.
“Oke, aku hanya berharap kau sangat menderita, aku berharap kau akan menangis sepanjang malam, aku berharap hatimu benar-benar hancur, sakit hatimu harus lebih daripada diriku, dan aku berharap kau akan selalu menyesal sampai ingin mati,”
Evelyn terdiam beberapa saat menatap wajah tampan yang masih saja datar itu, mungkin untuk terakhir kalinya dia tersenyum tulus matanya menyiratkan segalanya. Setetes air mata lagi tumpah.
“aku membencimu, jeje,”
***
Nafas Evelyn tersengal sengal, mimpi yang tidak pernah di dapatinya lagi itu kini kembali berputar di otaknya.
Tanpa sadar air matanya menetes, Evelyn mengusapnya kasar. Bantalnya terasa basah, mungkin dia menangis dalam tidurnya.
Semuanya karena Jasson yang kembali menunjukkan wajahnya dihadapannya, berpura-pura menyesal. Evelyn terkekeh sinis menekan dadanya yang kembali terasa sesak.
Mengapa? Mengapa dia tak kunjung melupakan rasa sakit itu, sesulit itukah, sedalam itukah lukanya.
"Shhh.. akh hiks..hiks.. kau bajingan, kau jahat, kau kenapa harus muncul lagi disaat aku sudah mulai melupakan rasa sakit ini," Evelyn bergumam. Dia meluapkan seluruh rasa sakit yang dia rasakan dengan memukul-mukul dadanya.
"Aku benar-benar membencimu Jeje,"
Description: Layaknya Belle yang tersesat dalam kastil Beast, begitu pula dengan Evelyn yang tersesat dalam bangunan megah milik seorang monster mengerikan, bahkan lebih mengerikan dari Beast, mantannya jasson lebih sialnya lagi melihatnya memasangkan cincin dijari wanita lain, wanita yang saama yang juga menjadi alasan putusnya hubungan mereka dahulu.
Namun tepat setelahnya lelaki itu dengan tidak tahu malunya memberikan cincin dengan ukiran lebih mewah dengannya dibelakang tunangan baru kesayangannya dan dengan wajah tanpa berdosanya mengatakan "Mulai sekarang kau adalah kekasihkku lagi" Well, Evelyn bersumpah akan menunjukkkan jika dia tak lagi membutuhkan lelaki itu.
Tapi bagaimana jika Jasson justru menunjukkan perhatiannya melebihi saat mereka bersama dahulu? Mampukah Evelyn tetap bertahan lada pendiriannya?
|
Title: Rion
Category: Cerita Pendek
Text:
01 : Undangan Reuni
"Ambar! Ini ada kiriman buat kamu."
Bibi Ange muncul di depan pintu kamarku. Adik mamaku yang masih terlihat muda dan cantik meskipun sudah berkepala lima. Beliau yang mengurusku dari kecil, kemana beliau pergi aku selalu ikut.
"Ini undangan ya Mbar?" tanya Bi Ange yang ternyata telah merobek bungkusan luar kiriman buatku. Aku memperhatikan Bi Ange membola-balik undangan tersebut.
Dahiku mengernyit saat melihat bentuk undangan yang terlihat seperti post card. Warnanya terang dan cerah, ada logo yang tidak asing tertera lebar di ujungnya.
"Undangan reuni SMA Bakti Husada Bi?" tanyaku saat aku ingat beberapa waktu lalu Nirmala bercerita soal reuni.
Meskipun telah pindah lama, aku masih tetap berhubungan dengan Nirmala. Teman semasa putih abu-abuku. Dulu kami tetangga dan sekolah di tempat yang sama.
Bi Ange mengangsurkan undangan reuni itu seraya berkata, "Balik yuk. Kangen juga sama Jakarta, masa Bibi cuti kita di rumah aja."
Aku melirik Bi Ange sekilas dan kembali melanjutkan pekerjaanku yang tertunda. Tadi saat Bi Ange masuk aku sedang menata buku-buku milikku sesuai abjad.
"Ambar baru cuti minggu depan Bi."
"Ya udangannya juga masih tanggal berapa ini." Bi Ange kembali mengambil undangan yang sempat aku letakkan di atas meja belajarku. "Nah masih sempat ini kalau mau balik, emang gak kangen dengan Mala?" katanya.
Aku menimbang-nimbang usul Bibiku itu. Secara, kami tinggal di negara orang, biaya hidup di sini gak murah. Pulang cuma sekedar buat hadir acara reuni tidak masuk dalam agenda tahun ini. Tapi, Bi Ange benar juga, sudah lama kami tidak pulang.
"Ya udah Bi Ange urus deh. Ambar ngikut aja," kataku akhirnya setuju.
Senyum manis Bi Ange terbit. Beliau ini sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri, apa lagi sejak SD aku ikut beliau karena kedua orang tuaku mengalami kecelakaan. Sayang, perempuan cantik dan mandiri seperti Bi Ange masih sendiri hingga umurnya tidak lagi muda seperti sekarang.
Sepuluh tahun sudah kami tidak pernah menginjakkan kaki di Jakarta. Saat itu umurku tujuh belas tahun, baru kelas dua SMA. Bi Ange mendapatkan tawaran pekerjaan di sini dan beliau memboyongku kemari. Menyekolahkanku yang akhirnya harus beradaptasi secepat mungkin.
Tanganku bergerak meraih sebuah album foto. Isinya foto-fotoku dan teman-teman masa SMA-ku yang kebanyakan tinggal satu komplek. Dulu dari ujung depan komplek sampai ujung belakang komplek rata-rata bersekolah di Bakti Husada. Baik itu yang SD, SMP dan SMA.
Rumahku di blok A, bersebelahan dengan rumah Nirmala. Karena rumah kami dekat dengan gerbang depan, biasanya kami selalu menunggu anak blok belakang lewat dulu.
Satu hal yang membuatku enggan kembali. Satu nama yang sampai sekarang masih aku ingat. Satu sosok yang selaku aku intip dari balik jendela kamar. Satu kesempatan berkenalan yang tidak pernah ada.
Kalian percaya dengan cinta pertama? Kata orang, saat masih labil kita jatuh cinta pada lawan jenis itu namanya cinta monyet. Tapi bagaimana jika cinta monyet itu berkembang menjadi sebesar gorila? Sehingga sulit untuk dilupakan meski sepuluh tahun lamanya.
Namanya Rion Pranadipa. Tinggal di komplek C dan bersekolah di SMA Bakti Husada. Sejak kelas satu SMA aku berharap buat satu kelas dengan Rion, namun sayang harapanku tak terwujud.
Aku cuma bisa memperhatikan Rion dari jauh. Pagi, saat berangkat sekolah kita jalan bersama, tapi tak pernah menyapa. Dia jalan di depan bersama anggota bandnya dan aku jalan di belakang bersama Mala.
Di sekolah, kelas kami bertetanggan tapi tidak pernah saling kenal. Mungkin hanya aku saja yang kenal Rion di sini. Cinta diam-diam ala-ala anak SMA seperti ini terdengar menggelikan untuk perempuan sepertiku. Usia matang 27 tahun, belum menikah ataupun pernah pacaran. Padahal aku hidup di negara maju, free sex dimana-mana, pria jantan berkeliaran, tetap saja aku single sampai sekarang.
Aku ingat pertama kali aku tahu Rion. Saat itu saat yang sangat paling aku ingat dalam hidupku.
11 tahun yang lalu
"Ambar! Bagi rambutannya!" teriak Mala dari bawah pohon rambutan. Taman komplek kami sudah seperti kebun buah, ada pohon rambutan, mangga, dan belimbing. Jadi jangan heran kalau aku punya hobi manjat pohon rambutan.
Aku melempar satu buah rambutan kepada Mala yang menunggu di bawah. Beberapa anak mulai berkerubun di bawah sana, tangan mereka menadah meminta lemparan rambutan dariku.
"Manjat sendiri," tolakku.
"Jadi orang jangan pelit. Ini rambutan bukan punya lo doang." Sebuah suara dari dahan pohon yang lebih tinggi dariku terdengar. Seorang anak laki-laki dengan kaos bergambar sinchan duduk santai di salah satu dahan yang kokoh.
Aku menatap anak itu dengan sebal. Dia yang ada di sana menikmati rambutan seorang diri. Tidak sudi juga untuk berbagi, tapi maunya menceramahiku.
"Lo aja yang bagi ke mereka," sahutku rada sebal.
"Gue sudah berbagi sama lo. Jadi gantian lo yang berbagi sama mereka," ucapnya santai dan melempar kulit rambutan ke arahku. Boleh aku dorong dia jatuh dari atas sini?
"Astaga!" aku terpekik kaget saat si manis naik ke atas pangkuanku. Buyar semua lamunanku tentang masa SMA dulu. Masa dimana aku suka manjat pohon rambutan komplek.
Saat dimana aku pertama kali bertemu Rion. Anak laki-laki berkaos sinchan yang bermulut pedas. Ketua geng anak-anak SMA yang hobinya buat onar. Itu percakapan pertama dan terakhir kami.
Setelah kejadian pohon rambutan itu, aku dan Rion tidak pernah menyapa. Tapi aku selalu mengumpatinya. Mungkin benar kata orang, benci dan cinta itu beda tipis.
Saking bencinya dengan Rion yang bermulut pedas, aku justru suka memperhatikannya. Aku jatuh hati padanya. Suara Rion yang merdu saat pentas, permainan gitarnya yang memukau, bahkan kenakalannya di komplek menjadi perhatianku.
Rion tidak tampan, dia manis. Rion bukan anak manis, dia manly.
Bagaimana reaksimu jika melihat orang yang kamu anggap kasar dan bermulut pedas ternyata mampu menolong seekor anak kucing?
Dari kecil aku pecinta kucing, suka membawa pulang kucing jalanan. Meskipun akhirnya akan diomeli oleh Bi Ange. Dulu aku selalu bermimpi mempunyai pacar yang juga pecinta kucing sepertiku.
Hal itu aku lihat pada sosok Rion. Dia menolong seekor kucing kecil di dalam selokan. Memabawanya pulang, merawatnya dengan baik. Bahkan rela mencari si kucing keliling komplek saat si kucing menghilang.
Bukankah pria penyayang itu sangat manis? Kucing saja dipelihara, bagaimana dengan perasaan? Kucing saja disayang, bagaimana dengan pacarnya?
Sampai sekarang aku masih beranggapan bahwa pria penyayang hewan-terutama kucing-akan menjadi calon nomor satu kursi cinta di hatiku.
02 : Dia Rion Pranadipa
Jakarta dan kemacetannya, kini aku dapat merasakan bermacet ria di Jakarta kembali. Jakarta bertambah sumpek saja, ditambah aku dan Bi Ange mungkin gak akan berpengaruh banyaklah ya.
Aku dan Bi Ange menempati sebuah apartemen yang disewa oleh Bi Ange selama kami di sini. Iya aku dan Bi Ange sudah tidak punya tempat tinggal lagi di sini. Seluruhnya telah dijual sepuluh tahun lalu.
Hari ini adalah hari dimana aku akan kembali bertemu teman semasa SMA. Aku sudah berdandan secantik mungkin. Dress code yang dipilih panitia acara adalah abu-abu. Katanya untuk mengenang masa putih abu-abu dulu.
"Wow lo tambah cantik aja Bar! Gila pangling gue," seru Mala saat dia menjemputku. Tentu saja Bi Ange yang ada di sebelahku tersenyum dengan bangga, dress yang aku kenakan merupakan pilihan beliau.
Aku berpamitan dengan Bi Ange, begitu juga dengan Mala. Hari ini Bi Ange ingin pergi ke rumah teman lamanya, jadi maka dari itu kami sama-sama turun ke lobi.
"Gila gue masih ingat banget lo dulu tuh tomboy banget. Lo beda banget sih Bar."
Mala menggelengkan kepalanya sambil tetap fokus menyeteri. Sepertinya dia sedikit mendramatisir keadaan. Ya memang sih aku akui diriku saat masih SMA itu cowok banget.
"Lo juga tambah cantik Mal. Lo masih tinggal di kompleks lama?" tanyaku sambil memperhatikan keadaan di luar mobil. Aku begitu merindukan Jakarta, tanah kelahiranku.
Mala membelokkan mobilnya ke sebuah hotel bintang lima. Memang kata Mala lokasi acara gak begitu jauh dari apartemen yang aku sewa. Sehingga tentunya aku tidak perlu merasakan kemacetan yang sangat lama dan panjang.
"Lo bakal kaget deh kalau ketemu Rion," ucap Mala saat dia selesai parkir mobil di basement. Aku menatap Mala dengan alis berkerut. "Rion sekarang sukses banget Bar. Dia jadi penulis lagu terkenal dan semuanha hits. Gila deh pokoknya dia tuh jadi keren banget!" cerita Mala menggebu.
Pembicaraan kami sedikit terpotong saat kami harus turun dari mobil. "Bukannya dari dulu dia udah keren ya?" kataku menimpali cerita Mala yang sempat tertunda tadi.
Aku dan Mala jalan beriringan menuju lift yang akan membawa kami ke lantai 4. Untunglah parkiran dan lift sedang sepi, jadi kami bisa saling menggosip. Ya maklum saja kami ini datang terlambat, gara-gara Mala yang kejebak macet saat menjemputku.
"Buat lo doang dia kerennya kalau dulu." Mala menepuk pelan pundakku dan rasanya lumayan pedas. "Lo masih ada rasa gak sih sama dia?"
Aku terdiam, napasku rasanya tersendat. Jantungku juga berdetak begitu kencang. Aku bingung harus berucap bagaimana, aku sendiri saja tidak tahu seperti apa perasaanku pada Rion. Getaran itu masih ada meskipun tidak sekuat dan sekencang dulu.
"Rion udah punya pacar, katanya mau nikah. Lo move on deh! Udah tua masa belum punya pacar, emang gak mau nikah?" ceramah Mala yang cukup menggelitikku.
Aku hanya tersenyum simpul dan berjalan duluan saat pintu lift terbuka di lantai 4. Suasana di depan ballroom saja ramai oleh beberapa orang teman yang menjadi panitia. Saling sapa, cium pipi kanan dan kiri mulai dilakukan. Saling haha hihi di depan pintu mulai terdengar.
"Rion!" Kepalaku cepat tertoleh saat mendengar Mala berseru. Siapa lagi yang diserukannya jika bukan Rion?
Apa maunya temanku ini sih? Tadi dia yang nyuruh move on tapi sekarang dia yang menjerumuskanku.
"Mala apa kabar? Gimana bisnis lo? Lancar dong ya," sapa Rion saat dia sudah berdiri di depan aku dan Mala. Rion datang sendirian dengan stelan kemeja abu-abu slim fit yang pas banget buat dia.
Sepertinya Mala dan Rion cukup dekat. Ya memang Mala pernah cerita bahwa dia dan Rion sedang bekerja sama membangun usaha alat musik. Aku gak tau deh kenapa jiwa mereka ini bisa pengusaha banget, sedangkan aku masih aja jadi babu.
"Baik dong lancar," kata Mala. "Eh lo ingat dia gak? Anak komplek kita satu SMA juga," tanya Mala yang menunjukku.
Aku menatap Rion dengan senyum tipis. "Apa kabar?" tanyaku sok akrab.
Rion mengerutkan dahinya, mungkin dia mencoba menggali memorinya tentangku yang pasti sedikit banget. Kemudian sebuah kalimat yang begitu menyakitkan keluar dari bibirnya.
"Baik. Tapi bentar deh, kok gue gak pernah ngeliat lo ya?"
Senyumku lenyap dan berganti dengan wajah datar. Memang gak ada yang spesial dari aku buat dia. Tapi apa salahnya sih pura-pura ingat saja?
"Mal gue duluan ya," aku langsung meninggalkan Mala yang masih berusaha sadar dari rasa kagetnya.
Menghilangkan malu itu susah, apa aku masih bisa punya muka lagi di hadapan Rion? Tolonh operasi wajahku secepatnya.
Sebenarnya kejadian memalukan pernah juga menimpaku. Sekali lagi pemerannya adalah Rion. Kejadian itu terjadi sepuluh tahun lalu.
Waktu itu sedang istrihat sekolah. Aku memilih makan di kantin bareng Joan. Tapi saat di kantin aku langsung kebelet pengen ke toilet. Jadi Joan menawarkan untuk memesankan aku makanan.
Setelah dsri toilet aku mencari-cari keberadaan Joan. Dia duduk di meja tengah, bersama dengan teman-teman cowoknya. Di sana juga ada Rion.
"Lama amat lo Bar," dumel Joan saat aku duduk di sebelahnya.
Baru saja aku ingin buka suara sesuatu yang memalukan bagiku terjadi.
Brak!
Kursi plastik yang aku duduki patah dan aku terjungkal ke belakang. Semua mata memandang ke arahku. Bahkan tiba-tiba saja aki tertawa sambil menangis.
"Buset lo berat juga ya," komentar Rion yang kebetulan duduk di sebelah kananku. Sedangkan Joan yang duduk di sebelah kiri masih asik tertawa terbahak-bahak.
Masa SMA yang banyak warna untukku. Rasa malu, sedih dan senang semua bercampur aduk. Ditambah kejadian tadi,.mau ditaruh dimana mukaku. Apa lagi kalau sampai Rion tahu dia cinta pertamaku, mungkin aku memilih buat gak balik lagi ke sini.
03 : Sepercik Rasa
Aku bosan ada di acara ini, aku ingin kabur saja tapi namanya nebeng Mala mau gimana lagi. Meskipun aku agak kesal dengan Mala, tapi tetap saja dia sahabatku.
"Bar! Sori deh ya soal yang tadi."
Mala datang menghampiriku, aku kira dia sendirian, tapi ternyata dia bersama Rion yang menyusul di belakangnya. Kenapa sih kembali ke Jakarta harus berurusan dengan Rion terus?
"Bisa buat gak dibahas lagi?" pintaku ketus. Mala hanya mengangguk saja dan aku diam, berusaha untuk tidak menatap Rion yang sedang memainkan ponselnya.
Aku butuh kabur dari sini dan rasanya ingin segera kembali saja. Hidup bersama Bi Ange dan penuh dengan kesibukan pekerjaan jauh lebih baik. Ketimbang harus seperti ini, malu gak ketulungan.
"Tapi Bar, lo masih suka gak sih sama Rion?" tanya Mala yang berbisik di dekatku. Aku melirik ke arah Rion memastikan pria itu tidak mendengar pertanyaan konyol Mala.
Aku diam tidak menanggapi Mala. Diam itu lebih baik untuk saat ini. Jangan sampai salah ucap dan mempermalukan diri sendiri. Cukup sudah kejadian tadi menyadarkanku bahwa aku tidak begitu penting untuk Rion ingat.
"Ambar!" pekikan suara laki-laki yang berdiri tidak jauh dari kami mengundang banyak mata.
Aku menatap pria dengan penampilan seniman sejati. Alias rambut gondrong, celana robek-robek dan kaos abu-abu yang tertulis 'Joan' di bagian dadanya.
"Joan!" pekikku tak kalah heboh. Jadi selain Mala aku punya Joan, sahabat kentalku yang suka banget aku ajak manjat pohon apapun di komplek dulu.
"Gila Bar lo cantik dan feminim banget! Pangling gue asli!"
Joan orang kedua yang mengatakan pangling melihatku. Itu artinya aku masih mirip Ambar yang lama, walaupun dengan balutan dress seperti sekarang. Ini berarti memang Rion yang tidak mengenaliku.
"Dan lo! Astaga gak ngerti deh gue ini menjelaskannya gimana." Aku geleng-geleng kepala menatap penampilan Joan yang hanya tertawa bahagia. Akhirnya ada juga yang bisa ngebuat aku gak menyesal datang ke acara ini.
Kami mengobrol banyak soal masa kenakalan dulu. Aku bahkan tidak perduli saat Rion izin saat ponselnya berbunyi. Mala dia sibuk berbincang dengan teman sekelas kami yang baru saja bergabung.
"Itu tadi Rion. Lo masih naksir dia?" tanya Joan. Iya yang tahu aku naksir Rion bukan cuma Mala, tapi Joan juga tahu.
Aku hanya tersenyum tipis dan menaikkan bahuku acuh. Biarkan Joan menebak-nebak sendiri. Lagi pula aku takut kejadian seperti tadi terulang kembali. Joan dan Mala itu sama-sama bocor embernya.
Mataku memandang menjelajah ke sepenjuru ballroom. Hingga pemandangan Rion yang bercengkrama dengan seorang perempuan cantik tertangkap indra penglihatanku. Aku memejamkan mata, mencoba meresapi apakah masih ada percikan itu.
Ada! Tapi terasa sangat tipis, cukup aku bertahan sedikit lama pasti rasa ini akan hilang. Cukup kembali melarikan diri sejauh mungkin dan aku tidak akan bertemu Rion lagi.
Dari dulu hingga sekarang aku selalu menatap Rion dari belakang. Memperhatikannya saat di atas panggung, dan sekali lagi aku selalu melihatnya dari belakang panggung. Saat menunggu giliranku, aku selalu melihat penampilan Rion.
"Sepuluh tahun berlalu dan lo masih terpaku dengan dia?"
Aku menatap Joan yang menggelengkan kepalanya dramatis. "Lo seniman ya? Kok peka banget sih sama perasaan cewek?" kataku berusaha bersikap santai dan biasa saja.
"Gak butuh buat jadi seniman kok buat tahu lo cinta mati sama Rion," celetuk Joan. Aku melirik Joan sinis, bisa gak sih dia berkata dengan sedikit menghibur?
---
Aku dan Mala memilih meninggalkan acara saat semua orang sibuk berdansa. Tadinya Joan ingin berdansa denganku, tapi berhubung dia ada panggilan mendadak mau tidak mau aku hanya berdiri seperti patung. Mala sendiri juga bernasib sama denganku, hanya berdiri menonton saja. Maka dari itu kami memilih untuk pulang.
"Lo tunggu di lobi aja. Biar gue ambil mobil ke basement," kata Mala yang langsung meninggalkanku dan berlari menuju lift yang terbuka.
Aku sendirian menunggu lift hingga seseorang muncul berdiri di sebelahku. Aku tahu siapa dia hanya dari lirikan singkat. Jantungku berdetak kencang, perasaan gelisah tiba-tiba menyerang. Berdiri berdampingan dengan cinta pertama seperti ini rasanya seperti sedang naik rollercoster saja.
"Lo emang buat pangling," Rion bersuara. "Gue bahkan gak nyangka bahwa si pemanjat rambutan itu berubah cantik seperti sekarang," lanjutnya lagi.
Belum sempat aku berucap, pintu lift terbuka dan Rion mendahuluiku untuk masuk. Bukannya ikut masuk, aku jutru memilih menuju lift satunya yang kebetulan terbuka juga. Aku ingin menenangkan detak jantungku.
"Lupakan dia dan kembali ke Sydney," gumamku sepanjang lift bergerak turun.
-Tamat-
Description: Ambar Dewani mendapat undangan reuni, hatinya bimbang untuk memutuskan pergi atau tidak. Kembali ke Indonesia setelah bertahun-tahun tinggal di negara orang. Bertemu kembali dengan cinta pertamanya, apakah dia sanggup?
|
Title: Ritual Purnama
Category: Flash fiction
Text:
Ritual Purnama
Untuk kali pertama dalam hidupnya, Gadis itu melihat secara langsung ritual sesaji di bulan PURNAMA yang acap kali dilakukan oleh Eyangnya. Eh, salah. Yang sebenarnya, Gadis bukan sekadar melihat, tapi juga ikut andil dalam ritual itu.
Meski awalnya menolak dan menganggap ritual itu tak selaras lagi dengan kekinian, tapi keputusasaan akan masa depannya yang dirasa suram, menggoyahkan keyakinannya. Ya, Gadis, si perawan tua yang belum juga menemukan jodohnya. Padahal usianya sudah berkepala tiga. Usia yang cukup matang untuk berkeluarga.
Gadis gerah dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: kapan nikah, kenapa belum nikah, apa tidak ingin menikah. Huh!
“Kapan nikah?” pertanyaan itu pertama kali diucapkan teman ibunya dalam acara arisan di rumahnya. Awalnya Gadis menganggap sebagai pertanyaan yang biasa, sekedar basa-basi.
Namun, bisik-bisik disertai pandangan kasihan dari para peserta arisan lainnya seolah-olah menghakiminya sebagai perawan yang tak laku, membuat hatinya perih.
Gadis terintimidasi. Hingga kini belum menikah, bukan berarti dia tak ingin menikah. Siapa yang tak ingin?
“Seusiamu dulu aku sudah punya dua orang anak lho,” celetuk yang lainnya dengan bangga. Gadis memaknainya sebagai sebuah kesombongan. Seolah-olah ia sedang memamerkan dirinya yang laris manis. Lalu disusul dengan komentar-komentar pedas lainnya.
“Nggak usah terlalu idealis!”
“Jangan hanya ngumpet di rumah saja!”
“Sekali-sekali mejeng dan tampil menor juga nggak apa-apa.”
“Bila perlu kemayu, kenes, dan sedikit agresif.”
“Jangan terfokus pada karier! Lelaki justru minder sama wanita yang punya gelar dan karier tinggi.”
Gadis terpojok. Cercaan dan hinaan yang menyakitkan. Dia terhempas di titik terendah yang membuatnya merasa tak berharga.
Apanya yang salah? Wajahnya tidak terlalu jelek. Bahkan beberapa teman mengatakan wajahnya mirip artis yang sedang popular saat ini. Kulitnya pun putih bersih karena desas-desusnya nenek buyutnya masih keturunan Belanda. Dalam hal karier, jabatannya sebagai manager di salah satu perusahaan swasta memberikan materi yang lebih dari cukup. Mobil buatan Jepang yang dikendarainya setiap hari berharga ratusan juta.
Bingung. Pening. Gelisah. Terluka. Gadis mulai putus asa.
Lalu, datanglah si Eyang dari kampung, menawarkan cara untuk membabat kesialannya itu.
“Kamu harus diruwat, Ndhuk. Izinkan Eyang membantumu,” bujuk Eyang.
Gadis pun melunak. Tak ada salahnya mencoba sebuah ritual. Siapa tahu nasibnya akan berubah. Iseng-iseng berhadiah. Anggap saja begitu.
Dan kini, tepat tengah malam, saat bulan PURNAMA, Gadis mengikuti setiap tahapan dalam ritual itu dengan hikmat. Eyang telah menyiapkan semuanya. Di hadapan mereka telah tersaji kembang tujuh rupa, segelas air putih, sebutir telur ayam, semangkuk nasi kepal, sebotol minyak wangi, dan bawang merah tujuh siung, simbol ungkapan permohonan pada Yang Kuasa.
Tembang menyambut kedatangan bulan pun dikumandangkan.
Yo prakanca dolanan ing njaba/Padhang mbulan padhange kaya rina/Rembulane kang ngawe-awe/Ngelikake aja turu sore-sore.
Seperti sebuah mantera, tembang itu dinyanyikan berulang-ulang dengan tempo yang semakin lama semakin cepat. Hentakannya mampu meletupkan energi hingga menyemburkan rasa membuncah.
Gadis merasakan bulu-bulu halus di tubuhnya berdiri. Merinding. Aura positif menelusup ke relung kalbu. Keriangan tergambar nyata. Pelan-pelan memutus tabir kesedihan.
Esok paginya Gadis merasa terlahir kembali. Wajahnya berlipat-lipat lebih berseri dari biasanya. Apalagi, setelah mandi dengan air dan bunga tujuh rupa. Harum dan hasrat menguar dari tubuhnya seperti mengundang para kumbang agar segera datang.
“Hai Gadis.”
“Apa kabar, Gadis?”
“Piye kabare, Cah Ayu?”
Senyum mengembang di bibir Gadis saat sapaan demi sapaan tertuju padanya. Sepertinya energi bulan telah merasuk ke jiwanya. Mungkinkah?
Description: Ritual Purnama untuk memutus kesialan. Mungkinkah?
Nulis Kilat 23 Februari 2018
Kata kunci : Purnama
Tokoh utama : Perempuan
Kalimat pembuka : Untuk kali pertama dalam hidupnya, gadis itu melihat....
|
Title: REUNITED
Category: Teenlit
Text:
PROLOG
"Aku mau kita putus, Reynard." kata Skyla Hilton ditengah acara makan malam di malam minggu yang biasanya dia lakukan bersama sang kekasih. Skyla menaruh garpu dan sendoknya diatas piring, menghentikkan kegiatan makannya. Dia menatap lurus laki-laki yang juga sedang menatapnya saat ini dengan tatapan tidak percaya.
Sedetik kemudian, Reynard tertawa sambil memegang perutnya, "Kamu jangan bercanda, Skyla. Kita sudah berpacaran selama dua tahun, keluarga kita sudah mengenal satu sama lain dan aku sendiri sudah menjanjikan pernikahan setelah kita berdua lulus dari S1. Kamu sedang bercanda ya? Bercanda kamu sangat tidak lucu, Skyla."
Skyla menggeleng, "Aku tidak sedang bercanda, Rey."
"Maksud kamu?" Kali ini Reynard menghentikkan tawanya dan menatap perempuan yang sudah mengisi kehidupannya selama dua tahun belakangan ini dengan serius.
"Kita putus aja ya, Rey. You deserve better, yang pasti lebih baik dari aku."
"Bullshit, tidak ada yang lebih baik dari kamu, Skyla."
Tidak ada jawaban dari Skyla, dia membiarkan keheningan menyelimuti mereka berdua yang sedang berkutat dengan pikiran mereka masing-masing sampai akhirnya Reynard mengatakan, "Apa kamu benar-benar serius dengan apa yang kamu katakan, Skyla?"
"Ya."
"But, why?"
"Seperti yang aku bilang tadi, kamu pantas untuk mendapatkan perempuan yang lebih baik dari aku, Rey. I'm nothing, banyak kekurangannya, enggak kayak kamu yang selalu menjadi terdepan, disekolah ataupun diluar."
"Bukannya kita sama-sama percaya kalau pasangan yang akan bertahan adalah pasangan yang saling melengkapi, kemana kepercayaan kamu, Sky?"
Skyla mendesah pelan, dia tidak menyangka kalau putus dengan Reynard akan sesusah dan seribet ini. Dia kira hanya akan membutuhkan waktu lima menit untuk memutuskan hubungannya dengan Reynard, ternyata dia salah. "Kepercayaan aku tentang itu sudah hilang seiring berjalannya waktu, Rey."
"Apa," Reynard menggantungkan kalimatnya, dia terlihat ragu-ragu untuk mengatakan kalimat selanjutnya, "Apa kamu mencintai pria lain?"
SATU
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur yang cukup panjang. Seorang gadis berambut cokelat gelap dengan airpods yang sudah ada ditelinganya, berjalan dengan sangat santai menuju ruang kelas yang akan menjadi kelasnya selama satu tahun kedepan. Beberapa kali dia juga melemparkan senyumannya ke adik-adik kelasnya yang menyapa. Gadis berambut cokelat gelap itu bernama Skyla Hilton. Skyla adalah seorang anak kedua dari keluarga Hilton, keluarga konglomerat yang sangat terkenal dengan kekuasaan dan kekayaannya. Terlahir sebagai anak terakhir dikeluarga Hilton menjadikan Skyla mempunyai sifat yang sangat keras kepala dan manja.
Skyla melepas airpodsnnya, mengernyitkan dahinya saat melihat sahabatnya sedang berusaha mengambil sesuatu dari dalam tempat sampah yang sepertinya belum dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolahnya. “Amber, lo lagi ngapain disitu hah?” tanya Skyla, dia menghampiri Amber yang sekarang sudah berdiri dengan tegak.
Amber mengerucutkan bibirnya, “Cokelat gue dibuang sama Bagas, sialan tuh anak emang!”
“Bagas buang cokelat lo? Kenapa? Lo buat dia marah lagi?”
Bagas adalah cowok yang sudah dekat dengan Amber sejak mereka berumur sepuluh tahun dan kabarnya, mereka berdua sebenarnya sudah menjalani backstreet selama beberapa tahun belakangan ini. Tapi, tidak ada yang bisa mengkonfirmasi berita itu, termasuk Skyla karena Amber tidak pernah menceritakan kisah hidupnya dengan sangat detail.
“Gue enggak buat dia marah, tapi dia yang marah-marah sendiri. Tadi kan gue lagi nyanyi-nyanyi dimobil dia, terus gue buka hp dia dong, buka instagram dia juga,”
“Terus?”
“Terus, gue lihat ada cowok ganteng di home instagram dia. Gue tanya, dia kenal sama cowok itu atau enggak. Terus, dia jawab kenal. Gue minta id line atau nomor-nya gitu. Terus dia marah deh sama gue.. gak jelas banget ya tuh anak? Marah-marah terus kerjaan hidupnya. Sky, lo punya lowongan pekerjaan gak sih? Buat si Bagas, biar dia ada kerjaan dan gak marah-marah terus sama gue.” kata Amber polos, membuat Skyla menepuk dahinya dan ingin tertawa secara bersamaan.
Skyla akhirnya memilih untuk tertawa, menertawakan kepolosan dan juga kebodohan sahabatnya. Amber yang binggung dengan temannya langsung saja melanjutkan pencariannya, tanpa memperdulikkan Skyla yang masih tertawa sampai sekarang.
Jam pelajaran sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu, hari ini memang tidak ada kegiatan belajar mengajar seperti biasanya. Hari ini hanya ada pemilihan perangkat kelas dan membahas hal-hal mengenai kelas. Sekarang, Pak Iman — sang walikelas sedang menjelaskan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh anak-anak didiknya sebelum dia memilih perangkat kelas. Skyla yang bosan dengan penjelasan Pak Iman, menaruh kepalanya diatas meja, tanpa memperdulikkan beberapa tatapan dari teman-teman sekelilingnya.
“Baik, sekarang saya akan memilih perangkat kelas untuk kelas kita. Apakah ada yang mencalonkan dirinya sendiri?” tanya Pak Iman, dia mengedarkan pandangannya dan menangkap salah satu murid yang sepertinya sangat pas untuk menjadi ketua kelas. “Skyla, bagaimana kalau kamu saja yang menjadi ketua kelas?”
Merasa namanya dipanggil, Skyla mengangkat kepalanya dan melihat Pak Iman dengan malas, “Kalau mau kelasnya hancur sih, enggak apa-apa.”
“Saya sangat yakin kalau kamu tidak akan menghancurkan kelas ini, Skyla.”
“Bapak yakin? Terakhir kali, saya jadi sekretaris kelas, saya menulis alpha bagi semua siswa yang sebetulnya masuk ke kelas.” jawab Skyla santai, dia tidak terlalu memusingkan tawaran walikelasnya itu dan menjual cerita nyata yang memang terjadi satu tahun yang lalu agar Pak Iman tidak akan susah-susah payah untuk menjadikannya ketua kelas.
Beberapa murid menahan tawanya, mengingat kejadian yang terjadi saat dulu dan ada juga yang langsung berbisik-bisik dan membicarakan Skyla secara diam-diam. Amber tersenyum miring dan menunjuk seorang cowok yang berada disamping kanan Skyla, “Reynard aja Pak, saya yakin kalau dia bakalan cocok jadi ketua kelas.”
“Saya mau-nya Skyla yang jadi ketua kelas. Reynard bisa menjadi wakil kamu. You guys are a good combination. Bagaimana menurut kalian semua?”
“Good combination? Are you kidding me right now, Sir? Saya dan Reynard, kami berdua tidak pernah cocok dalam hal-hal yang berhubungan dengan pasangan-pasangan seperti ini. Jadi, lebih baik, Bapak memilih orang lain untuk menjadi ketua kelasnya.” Skyla menjawab, sesekali melirik cowok yang sedang memakai kacamata bacanya.
Reynard berdeham, biasanya dia akan langsung membela Skyla atau mungkin mengantikkan cewek itu, tapi tidak saat mereka berdua sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi. Dia hanya bisa diam, menunggu keputusan yang diputuskan oleh Pak Iman.
“Bapak tidak sedang bercanda, Skyla. Kalian berdua sangat cocok untuk tugas ini. Saya sudah memutuskan, Skyla akan menjadi ketua kelas dan Reynard akan menjadi wakil ketua kelas.” Pak Iman kali ini sudah menghadap ke tempat Reynard, “Saya harap kamu bisa menjadi wakil Skyla yang baik dan mengarahkan dia kearah yang lebih benar, Reynard. Saya yakin kamu bisa.”
“Saya juga yakin bisa, Pak. Tapi, dia yang tidak pernah memberikan saya kesempatan.” batin Reynard, dia malah membalas perkataan wali kelasnya dengan anggukan kepala.
Setelah melakukan serangkaian kegiatan yang cukup melelahkan dan membosankan, Pak Iman berinisiatif untuk mengajak anak-anak muridnya untuk bermain. “Kita akan main truth or dare, saya harap apa yang terjadi nantinya tidak akan tersebar diluar kelas kita dan juga, saya berharap kalau setelah ini, kelas kita akan menjadi lebih kompak lagi.” Peraturan permainan pun sudah dijelaskan, untuk ronde pertama, Pak Iman ditantang oleh anak-anak muridnya untuk membuat sebuah video tik-tok yang sekarang sedang booming diberbagai manca-negara.
Sepuluh menit kemudian, Reynard harus menjawab pertanyaan salah satu temannya mengenai rahasianya dalam mengerjakkan tugas serta memberikan tips untuk teman-temannya sebagai juara tetap pertama sedari kelas sepuluh, bahkan sedari SMP. Tiba giliran Reynard yang memberikan pertanyaan pada mantannya yang sangat keras kepala itu, “Truth or dare?”
“Dare,” jawab Skyla lantang.
Tidak masalah bagi Reynard kalau Skyla memilih dare daripada truth karena pertanyaan dan perintahnya sama, “I dare you to tell me the real reason you broke up with me.”
Skyla terkejut bukan main, matanya sudah membulat dengan sempurna sekarang. Dia mengulum bibir bawahnya dan melirik ke Amber, meminta pertolongan tapi sepertinya Amber sedang tidak berada dipihaknya. “Harus banget dikasih tahu didepan semua orang kayak gini? Enggak cukup waktu itu sudah gue kasih tahu alasannya?”
“Iya, you did tell me tapi jawaban kamu sama sekali enggak masuk akal. I deserve someone’s better than you? Such a bullshit, tidak ada orang yang lebih sempurna dibandingkan kamu, Skyla. This is the truth.”
“Apa-nya yang gak masuk akal sih? Kita putus, ya udah, putus aja. Kenapa harus diungkit lagi sih sampai sekarang?”
“Kamu, kamu yang tidak masuk akal saat memberikan alasan kenapa kita harus putus. Dan untuk menjawab pertanyaan kamu selanjutnya, aku enggak mau dan enggak akan pernah mau untuk putus sama kamu, tidak dengan alasan yang tidak masuk akal itu, Skyla.” Tatapan mata Reynard benar-benar menunjukkan kalau dia tidak sedang main-main sekarang, dia serius dengan kata-kata yang baru saja dia katakan didepan semua orang.
“Jangan membuat drama disini, Rey. Aku tidak suka.” tegas Skyla dengan kesal.
“Aku tidak membuat drama disini, aku hanya ingin memperjelas semuanya, Skyla.”
Yang tadinya hanya saling berhadapan dan duduk ditempat masing-masing, sekarang Reynard sudah berdiri dan mendekat ke meja Skyla, “Jadi, alasan apa yang akan kamu pakai sekarang Skyla? Karena aku tidak dapat melihat alasan apapun yang bisa mengakhiri hubungan kita, saat ini. Lagipula, aku enggak akan pernah memutuskan hubungan kita, tidak disaat kamu masih menyukai aku dan aku masih menyukai kamu, Skyla. Aku tahu semuanya, aku tahu perasaan kamu ke aku dibalik pancaran mata kamu, aku tahu.”
“Kamu enggak tahu apa-apa, Rey! Dan, aku akan tetap putus dengan kamu, ada atau tanpa adanya persetujuan kamu. Like it or not, we’re totally done here.” Skyla tetap bersikukuh dengan pendiriannya, dia akan memutuskan Reynard, apapun caranya. Yang terpenting adalah putus dengan pria itu.
“It’s not fair for me kalau begitu, Skyla.”
“It’s fair for me, Reynard.”
“Kalau memang kamu masih bersikukuh untuk putus dengan aku, beri aku satu alasan kenapa kita harus putus, Skyla? I’m confused here, don’t you see?”
“Kalau begitu kita putus saja, biar kamu tidak binggung, Reynard.” jawab Skyla santai.
Reynard menarik nafasnya frustasi dan membuangnya secepat dia menarik nafasnya tadi, “Kamu gak ngerti ya? Aku tidak mau putus!”
“Aku mau putus, Reynard!”
“Ya terserah, pokoknya aku tidak mau!”
“Kenapa kamu sangat keras kepala, sih, Rey?!” marah Skyla, rasanya dia sangat ingin melempar bangku ke wajah mantan-nya yang sangat mengesalkan itu.
“Kamu juga!”
Pak Iman menggeleng-gelengkan kepalanya, pusing dengan permasalahan kedua muridnya yang sangat keras kepala itu. Selama lima puluh tahun hidup dan dua puluh tahun mengajar, dia tidak pernah melihat pertengkaran dua orang keras kepala, sampai hari ini, dia baru saja menyaksikannya secara nyata.
DUA
Pertengkaran yang tidak berujung itu akhirnya selesai karena Reynard memutuskan untuk pergi keluar dari kelas saat Pak Iman menyuruhnya untuk pergi keruang guru, mengambil absen dan dokumen-dokumen kelas lainnya. Saat Reynard pergi keluar, Skyla menggunakan kesempatan ini untuk pergi meninggalkan kelas dan pergi mengunjungi ruang khusus untuk member cheers. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Skyla untuk sampai diruangan yang menjadi miliknya selama dua tahun belakangan ini, dan sekarang adalah tahun ketiga. Ruangan cheers ini memiliki makna tersendiri bagi kehidupan pribadi Skyla, apalagi saat dia masih mempunyai hubungan yang sangat indah bersama Reynard — kekasihnya yang sangat dia cintai, ralat, mantannya yang masih dia sayangi—
Skyla menyusuri setiap meja yang ada diruangan berukuran besar itu. Semua barang-barangnya masih berada ditempat yang sama seperti dia meninggalkan ruangan ini saat liburan sekolah. Matanya menangkap sebuah figura foto yang selalu menjadi foto favoritnya sepanjang dia bersekolah di Batalyon International School ini. "Dia masih dekil banget," senyuman singkat terekam kamera CCTV yang ada diruangan cheers.
"Lo masih sayang sama dia ya, Sky?" Suara perempuan menginterupsi kegiatannya saat ini, membuat Skyla membalikkan badannya untuk melihat siapa orang yang mengajaknya berbicara walau dia tahu suara siapa itu.
"Sesayang apapun gue sama dia, kita berdua nggak akan pernah bisa bersatu, Lov" kata Skyla, tatapannya berubah menjadi sendu.
Lovita Hilton, sepupu terdekat Skyla yang juga bersekolah di Batalyon — sekolah milik keluarga besar Hilton. Lovita mendekat, "Kenapa begitu, Sky? It's been two years you've been together and there's no problem at all."
"Karena memang begitu seharusnya, Lov, rahasia tetaplah rahasia. Dan untuk menjawab pertanyaan lo selanjutnya, selama ini kita berdua hanya terlalu naif, dan mengabaikan fakta kalau kita berdua tidak pernah cocok."
"Maksud lo? Gue benar-benar nggak mengerti apapun yang lo bicarakan, Sky." Lovita menggelengkan kepalanya tidak mengerti.
"There is something that i couldn't tell you, Lov."
"Why not?"
"Cause there are secrets yang memang harus terus dirahasiakan. Untuk kebaikan banyak orang, especially for our big family and his family, Lov."
"Biasanya lo akan selalu kasih tahu gue." Lovita binggung dengan sepupunya yang biasanya selalu menceritakan apapun, termasuk tentang semua rahasia terbesarnya.
"Not this time." Skyla membalikkan badannya, menaruh figura foto itu.
"Apa ada alasan khusus kenapa lo nggak bisa kasih tahu gue sekarang?"
"Ada. Selalu ada alasan dibalik semua yang gue putuskan, Lov."
"Lo nggak percaya sama gue dalam menjaga semua rahasia lo?" Lovita mulai marah, dia merasa kalau Skyla sedang tidak percaya padanya. Sangat menyebalkan.
"Bukan gue nggak percaya sama lo, Lov. Tapi memang rahasia kali ini terlalu besar untuk diberitahu ke elo, gue nggak mau kalau setelah gue kasih tau ke lo, lo jadi harus ikut nanggung beban. Gue nggak mau itu terjadi, Lov. Yang harus lo tau cuman satu, gue melakukan ini semua karena memang seharusnya seperti ini. Harusnya dua tahun lalu, gue dan Reynard tidak memutuskan untuk pacaran."
"Sky, you can't do this alone. Lo ngak bisa bear this problem alone, you know that i'll always be there for you kan, Sky? You know that, don't you?"
Skyla mengambil tangan kanan Lovita dan menggenggamnya, "I know, my best cousin will be there for me." Dia menarik senyumannya.
Jam istirahat sudah berbunyi sekarang, Skyla merenggangkan seluruh otot-ototnya yang kaku karena harus mengerjakan soal ulangan matematika yang diberikan oleh gurunya. Amber yang melihat sahabatnya kelelahan langsung saja menaruh kedua tangannya diatas bahu Skyla dan memberikan sedikit pijatan yang sangat membantu merenggangkan otot-otot cewek berbadan tinggi itu. "Thank you, Amber. Kayaknya gue harus mecat Bi Inem — salah satu pembantu dirumah Skyla yang sering memijat badannya."
"Why is that?"
"Cause your massage are better than her," Skyla terkekeh, menengok kebelakang untuk melihat ekspresi Amber yang sudah pasti sedang memajukkan bibirnya, menandakan kalau dia sedang ngambek.
"Sky, ayo ke kantin." ajak Reynard, dia juga mengulurkan tangan kanannya seperti biasa — sebelum mereka berdua harus putus secara tidak baik.
Skyla menolak ajakan Reynard dengan berkata, "Nggak mau. Ajak yang lain aja."
"Gue nggak mau yang lain, gue mau-nya elo. Masih belum ngerti juga ya?"
"Iya. Masih belum ngerti. Diluar sana itu ada ratusan bahkan ribuan cewek yang masih lebih baik dibandingkan gue dan tentu saja memuja wajah ganteng lo."
"Lo kayak gitu juga nggak?"
Skyla membalas, "Sayangnya, nggak."
"Nah, itu alasannya kenapa gue nggak mau putus dari lo, karena lo itu beda. Beda dari ratusan bahkan ribuan cewek diluar sana, Sky."
Kalau saat ini mereka berdua masih berpacaran, Skyla pasti akan langsung memukul pelan lengan Reynard dan berkata kalau cowok itu sudah berlebihan, tapi tidak kali ini, tidak disaat mereka sudah tidak mempunyai hubungan apapun. Skyla menatap Reynard datar, tak berniat untuk membalas gombalan cowok itu. Tangannya yang tadi sedang ada di meja, mendadak ditaruh diatas pahanya, meremas pelan roknya, membuang nafasnya pelan, "Gombalan lo itu sama sekali nggak ngaruh, Rey. Kalau lo berharap dengan gombalan itu kita bisa balik pacaran lagi, you're wrong. Salah besar, Rey. Keputusan gue itu sudah bulat, tidak akan ada orang yang bisa mengubahnya, termasuk diri gue sendiri. So, buang semua harapan lo dan cari kebahagiaan lo sendiri. Kebahagiaan dimana tidak ada gue didalamnya, karena," Skyla menggantung perkataannya karena dia harus mengulum bibir bawahnya, memberikan kekuatan pada dirinya sendiri, "karena gue nggak akan bisa beri kebahagiaan buat lo, begitupun sebaliknya."
"What do you mean with 'begitupun sebaliknya' , Sky" tanya Reynard tidak terima, selama ini dia selalu berusaha untuk memberikan kebahagiaan buat Skyla, juga, dia selalu memastikan kalau perempuan itu selalu tersenyum saat bersama dirinya.
Skyla tersenyum kecut, "That's the truth, Rey. You never made me happy, even just once."
"Bullshit, tell me kalau ini semua cuman alasan lo aja kan? Cause the fact, i always made sure you're happy. Gue nggak pernah membiarkan lo menangis, Sky, not even once."
"This is the truth that you've to accept, Rey. Kita nggak pernah saling membahagiakan, kalau begitu kenapa kita harus bertahan? Mau bertahan berapa lama lagi? Two years aren't enough for you, Rey? Cause two years are enough for me, Rey. I'm done."
Description: Masalahnya tidak semudah itu. Pergi akan sakit, bertahan juga akan mengundang banyak air mata untuk turun membasahi pipi. Tapi, pilihan apapun yang akan aku ambil nantinya hanya akan menyakiti hati kita masing-masing. After all, aku berharap kamu bisa bahagia disana, bahagia tanpa aku yang biasanya berada disampingmu.
|
Title: Rotasi Semesta
Category: Puisi
Text:
Kecil
Aku terlalu kecil untuk semesta yang luas
Terlalu ringan dan mudah terhempas
Tanpa-MU aku apa, hanya kapas
Terbang tanpa arah, lepas
Nafas
Terkadang kita suka lupa
Nafas kita ada yang punya
Menulislah
Menulislah...
Karena itu satu cara meneriakkan pikiranmu
Tanpa membuat tenggorokanmu terluka
Satu cara mengubah dunia
Bahkan tanpa turun dari ranjang
Menulislah...
Karena itu satu cara bercerita
Tanpa membuat mulutmu lelah
Suatu hari saat kau meninggalkan jasad
Setidaknya kau akan abadi dalam setiap abjad
Nasi Bungkus
Sadar bahwa memang kita butuh Tuhan
Untuk tetap membuat kita bertahan
Seperti nasi bungkus yang butuh karet atau penjepit
Kita butuh Tuhan untuk tetap berdiri
Saat angin membuat kita terjatuh
Mampir
Semuanya hanya mampir
Sebagian segera hilang dan berakhir
Sebagian lagi baru hadir
Hanya agar kita paham tentang takdir
Cukup
Aku tak pernah punya banyak
Tapi Tuhan selalu memberi yang spesial
Dan itu selalu lebih dari cukup
Sejenak
Berhentilah sejenak
Dari lelahnya urusan dunia
Berbaringlah menatap langit
Dan lukisan indah di sekitarnya
Bersyukurlah
Sadari bahwa hidup ini indah adanya
Get Lost!
Get lost and you'll find the best adventure
Find a new way for being grateful to nature
And realize that GOD made you to be a perfect creature
Rezeki
Dan terkadang kita lupa
Bahwa rezeki tak selalu dalam bentuk uang
Indah
Hidupmu indah
Saat kau sadar bahwa Tuhan Maha Indah
Dan mencintai yang indah-indah
Berguna
Kamu tak perlu melakukan hal besar untuk menjadi orang yang berguna.
Kamu buang sampah pada tempatnya pun sudah berguna untuk lingkungan.
Jangan pernah merasa bahwa kamu tak berguna.
Karena bahkan sampah yang dibuang orang pun punya daya guna.
Punya manfaat yang besar bagi kehidupan.
Beragam
Keberagaman itu beragama
Cobalah menyikapi perbedaan dengan dewasa
Karena berbeda, kita ada
Rumit
Terkadang, kita harus melalui jalan yg rumit dan panjang untuk mencapai sebuah tujuan yg sebenarnya dekat
Toleransi
Aku muslim, aku nasrani
Aku cina, aku pribumi
Aku pengusaha, aku kuli
Aku sarjana, aku putus sekolah
Kulitku hitam, kulitku putih
Tapi kita sama, kita manusia
Ada di satu bumi
Memandang langit yang sama
Tuhan bilang DIA satu
Hanya kita yang berbeda
Bukankah tak harus sama untuk bisa bersama?
Senyum
Tersenyumlah...
Karena sedekah tak harus rupiah
Tersenyumlah...
Biarkan lelah menjadi lillah
Suara
Telinga ini diciptakan untuk mendengar semua suara.
Tapi suara yang menyakitkan tercipta untuk dilupakan.
Aku (Bukan) Manusia
Aku bukan orang yg pandai bersyukur
Aku selalu merasa kurang
Kurang baik, kurang sopan, kurang ajar
Dan penuh kurang-kurang yg lainnya
Aku kadang berpikir
Kok ada ya makhluk sepertiku
Yg entah masih pantaskah disebut manusia
Cinta?
Beberapa cinta seperti hotel.
Mungkin mewah, fasilitasnya lengkap, sangat nyaman, membuatmu kerasan.
Tapi tidak dibuat untuk tinggal.
Beberapa seperti puncak gunung.
Tinggi, indah, penuh petualangan, membuat bangga dan bahagia.
Tapi sekali lagi, tak dibuat untuk tinggal.
Mungkin cinta sejati seperti rumah.
Walau sebuah gubuk kecil, beratap jerami, beralaskan tanah tanpa penerangan.
Kau tetap akan pulang dan menetap.
Walau terkadang, kau ingan pindah.
ENGKAU
Sejauh apapun aku pergi
Sedalam apapun aku tenggelam
Akan selalu ada momen
Dimana aku menengok ke arah-MU
Melepas
Terkadang, kita harus melepaskan sesuatu, bukan untuk berharap mendapat yg lebih baik.
Tapi untuk belajar mengerti bahwa meraih tak sesulit mempertahankan.
Saat Kau Dewasa
Seseorang bertanya padaku.
Bagaimana perasaanku tentang perpisahan.
Jika dia bertanya hal itu di 10 tahun lalu, mungkin akan teramat sangat menyakitkan untukku.
Tapi apa kau tahu?
Saat kau dewasa, ada banyak hal yg harus kau lihat dari segala sisi
Agar kau benar-benar mengerti dan mampu untuk memaklumi.
#G30SPKI
Jangan lupakan.
Ada banyak nyawa yang telah berkorban.
Hanya untuk membuat kita hidup hari ini dengan aman. #G30SPKI
Gusar
Langit gusar
Bumi terkapar
Jangan suka main kasar
Berapa banyak lagi bencana tuk bisa buatmu sadar?
Tuhan dan Senja
Tuhan ajarkan manusia melalui senja.
Bahwa tak setiap perpisahan itu duka.
Mungkin awalnya menyedihkan.
Seperti rasa sendu langit untuk mentari yg akan tenggelam.
Namun warna indahnya selalu melukis senyuman.
Gelap
Apa yg akan kau lakukan jika kau tiba-tiba terbangun dalam kegelapan?
Menemukan dirimu melayang-layang
Sedang jasadmu terbujur kaku diiringi tangis
Seolah kau ingin menggapai mereka yg menangis
Mengusap air mata yg mengalir tapi tak bisa
Hingga akhirnya dirimu turut tenggelam
Menangisi kepergianmu tanpa bisa berbuat apapun
Tujuanmu
Jangan memintaku ajarimu menjadi dewasa
Karna aku pun masih bocah yg suka tersesat
Tapi jika kau minta untuk ku temani melangkah
Ku temani hingga ujung sana
Tujuanmu
Pada-NYA
Pada akhirnya, kemanapun aku pergi.
Sejauh apapun kaki ini melangkah, akhirnya hanya ketenangan yg hati ini cari.
Akhirnya hanya pada-NYA aku kembali.
Terima Kasih
Terima kasih untuk siapapun.
Yg menyebut namaku dalam doanya.
Aku hidup dengan baik sampai hari ini mungkin karena doa-doa itu.
Teh Manis
Ujian itu seperti teh manis.
Ada 2 cara untuk menikmatinya.
Pertama, tanpa diaduk.
Rasanya pahit, tapi tetap manis pada akhirnya.
Kedua, diaduk.
Yg membuat teh itu terasa manis dari awal sampai akhir.
Bayangkan
Bayangkan jika kita tahu apa yg akan terjadi esok?
Bisakah hidup semenyenangkan ini?
Memang terdengar keren saat bisa melihat masa depan.
Tapi bukankah itu akan sedikit membosankan?
Kentut
Berbuat baik itu harusnya seperti kita ingin kentut.
Ngumpet-ngumpet.
Makanan
Jika tak bisa jadi makanan.
Setidaknya jadilah obat.
Jangan jadi racun.
Seseorang
Orang yg akan menemani hidupmu itu adalah orang yg menjadi bagian dari tawamu, bagian dari candamu, bagian dari gombalmu, bagian dari setiap doamu, bijakmu, rindumu, bagian yg melengkapimu, membuatmu menjadi sempurna.
Lepaskan
Lepaskan yg harus dilepaskan.
Jika memang nanti itu yg ditakdirkan utkmu, pasti kembali dengan jalannya sendiri.
Spion
Pemikiran itu seperti spion.
Kita tak selalu bisa menyesuaikan arah spion kita kepada arah spion orang lain.
Description: Hanya mencoba mengisi kebosanan di ruang tunggu.
|
Title: Rembulan di Senyummu
Category: Novel
Text:
Lembaran Baru
Kenyataan hidup memang pahit, seperti apa yang dirasakan Fana. Hidup penuh dengan luka di masa lalu sesekali membuatnya tak percaya pada takdir sang Kuasa. Berkali-kali percobaan bunuh diri sempat ia lakukan, tetapi semuanya gagal. Entah mengapa bisa begitu. Kemungkinan, Tuhan masih ingin melihatnya hidup. Apa kau tahu? Usaha manusia di bumi memang tak akan sejalan tanpa adanya rapal doa yang dilangitkan. Ya, Tuhan mengizinkan kita berdoa dengan cara kita, tetapi seringkali kita tidak menerima jawaban Tuhan dengan cara-Nya.
Memiliki sesuatu dengan utuh adalah suatu kebahagiaan yang sempurna, apalagi memiliki keluarga yang selalu memberikan kasih sayang. Bisa jadi, Fana adalah seseorang yang paling berbahagia di alam semesta ini. Namun, ia lupa jika Tuhan bisa saja mengambil sebagian kebahagiaannya agar ia tak lalai untuk bersyukur pada Tuhannya. Benar saja, dua tahun yang lalu orang yang menjadi cinta pertamanya sejak kecil telah pergi meninggalkan ia serta ibunya. Hatinya begitu terpukul hingga berdampak pada kesehatan mentalnya. Lembaran hidup baru dimulai dengan perasaan kacau. Namun, Fana tetap tegar menghadapi cobaan yang datang. Ia memilih untuk menutupi kerapuhannya dengan senyuman.
Fana sangat menyukai kegiatan menulis. Segala sesuatu yang terjadi padanya selalu ia tulis di catatan hariannya. Pada halamannya yang ke 112 dengan judul Kenyatan Ke-sekian di sana tertulis :
Pada suatu kepergian,
makna kebingungan mencari tempat bernaung.
Kerelaan sukar dicari,
saat harus dihimpit dendam dan dicekik kebencian.
Kerelaan akan pergi,
bersama hati yang terpaksa mengalah tanpa diberi kesempatan
hingga yang tersisa hanya puing-puing kenangan.
Pada setiap kata-katanya yang tertulis memiliki makna yang begitu mendalam. Bila ditafsirkan, tak akan dapat mengalahkan betapa lara dan emosionalnya rasa yang ia alami. Ia juga sangat senang mendengarkan musik. Lagu favoritnya adalah Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti” yang dinyanyikan oleh Banda Neira. Baginya, lagu itu dapat mewakilkan seluruh isi hatinya.
Bersua
Pada setiap kata-katanya yang tertulis memiliki makna yang begitu mendalam. Bila ditafsirkan, tak akan dapat mengalahkan betapa lara dan emosionalnya rasa yang ia alami. Ia juga sangat senang mendengarkan musik. Lagu favoritnya adalah Yang Patah Tumbuh Yang Hilang Berganti” yang dinyanyikan oleh Banda Neira. Baginya, lagu itu dapat mewakilkan seluruh isi hatinya.
Waktu kian berlalu, mengurai pagi dan malam. Yang sia-sia akan jadi makna, yang terus berulang suatu saat henti, yang pernah jatuh kan berdiri lagi, begitulah potongan lagu dari Banda Neira. Fana merasa hatinya telah utuh kembali dari kerapuhan. Kini, ia siap untuk menerima kenyataan pahit lagi. Berharap ada yang menguatkan, tapi tidaklah mungkin. Ia telah terbiasa untuk merengkuh puing-puing hatinya sendirian. Bahagia dan kesedihan selalu mengambil peran dalam hidup. Namun, kini ia berhasil menyingkirkan semua pikiran buruk yang telah bernaung lama. Cukupkan saja apa yang sudah dirasa cukup dan mari memulai sebuah awal untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan, begitulah tekadnya.
Belajar dari masalah yang ia alami, ia pun memutuskan untuk berkuliah di jurusan psikologi. Ia ingin lebih memahami berbagai macam masalah mental terutama bagaimana cara mengobatinya. Mulai dari sanalah perkenalan antara Fana dengan Adi tercipta. Pertemuan yang begitu sering membuat pertemanan antara keduanya semakin dekat. Karena kehadiran Adi, Fana menjadi seseorang yang banyak bercerita, banyak tersenyum, dan tertawa. Bagai seorang pesulap, Adi dapat mengubah latar suasana naskah cerita milik Fana, dari yang tadinya membisu kini penuh cerita, yang hanya dihujani lara kini bertabur bahagia.
"Hai, Fana. Aku ingin bertanya padamu. Ku yakin kau tak akan bisa menjawabnya," ledek Adi.
"Silahkan saja kalau kau bisa, tantang Fana.
Apa yang membuat kita berpikir kita tidak punya cinta atau tak dicintai? Apa karena kita terlalu sibuk mencari hingga lupa bahwa kita memilikinya? Ataukah karena ketidakcukupan yang memperdayakan?"
Fana diam, sejenak ia berpikir lalu menjawabnya.
"Cinta ada di manapun. Di tempat-tempat terpencil, di garis penuh kerutan, di masa-masa paling sulit, dan di waktu yang paling menyakitkan. Cinta dapat hadir dari berbagai bentuk. Tak hanya dari dua insan, tapi bisa lebih dari itu. Cinta dan kasih sayang dari keluarga misalnya."
"Ya, kau benar. Cinta tidak hanya melulu datang dari dua insan, laki-laki dan perempuan. Tapi dari banyak orang yang kita temui dalam hidup. Cinta akan menemukan kita melalui hal-hal yang dekat, dari kehadiran telinga yang setia mendengar, tutur yang menjaga, serta hati yang saling menguatkan."
Langit sore itu begitu indah. Bias jingga senja menyirami seluruh tubuh. Angin sepoi yang berkjar-kejaran melambaikan pohon-pohon yang rindang. Bersama deburan ombak yang memecah batu karang, perasaan Fana sungguh tenang. Ia menatap lekat-lekat langit yang memerah itu dengan penuh harapan. Ia berharap kebahagiaan yang ia terima akan kekal mengisi hari-harinya. Sembari menikmati angin sore, ia menulis kata-kata di lembaran buku hariannya :
Untukmu yang hadir membawa serta seluruh kenyamanan dan menyingkirkan ketakutan, terimakasih telah memberiku banyak pelajaran.
Kebahagiaan yang sekarang Fana terima adalah hadirnya sesorang teman yang selalu menguatkannya, dia adalah Adi. Dibalik jiwa tegarnya, Adi memiliki permasalahan yang sama seperti Fana. Sejak kecil, ia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat sosok yang telah melahirkannya. Masalah yang mereka hadapi memang sama, tetapi cara mereka menghadapi masalah itu tidaklah sama. Fana yang memang kodratnya sebagai wanita pasti merasakan kesedihan yang begitu mendalam hingga berlarut-larut. Sedangkan Adi, ia adalah seorang yang tangguh dan tegar dalam menghadapi segala cobaan. Mungkin semesta mempertemukan mereka agar dapat saling menguatkan.
Description: Hidup memang penuh dengan tanya. Misteri-misteri hidup selalu hadir menjadi bayang-bayang kelam. Bahkan membuat diri makin egois atas apa yang terjadi. Setiap orang punya rahasia masing-masing dalam hidup, entah itu membahagiakan atau malah sebaliknya. Menyerah memang pilihan, tapi itu bukanlah jalan terbaik.
Hidup tak akan lengkap tanpa adanya permasalahan yang datang bertubi-tubi. Konspirasi kecil termudah yang bisa dilakukan manusia adalah bersikap kritis terhadap apa yang dilihatnya. Menilai dengan asumsi sendiri dan mempertahakannya dengan memohon kepada orang lain untuk dikasihani atau mencari dukungan agar dirinya dianggap benar. Mencari celah kesalahan orang lain memang tak ada matinya, selalu saja muncul begitu semangat.
|
Title: Random
Category: Cerita Pendek
Text:
Daydream
Siang hari yang panas. Matahari tampak bersinar terik. Nyaris tidak ada angin yang berhembus untuk mengurangi hawa panas ini, meskipun pintu rumah dan seluruh jendela kubuka selebar mungkin. Sejujurnya, aku benci cuaca seperti ini. Udara panas membuatku malas melakukan apapun. Karena itulah kini aku duduk bersandar di kursi dekat jendela sambil menatap langit biru.
Aku membayangkan diriku berada di sebuah desa. Sendirian berjalan kaki di sebuah jalan setapak sambil mengedarkan pandang, menikmati apa yang disajikan alam. Padang rumput luas, sungai yang jernih, rumah-rumah warga yang letaknya berjauhan, hingga hamparan pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Sesekali aku berhenti berjalan. Menutup mata sambil mendengarkan suara kicau burung. Merasakan hembusan angin yang membawa dingin.
Ketika capek mulai menyerang, aku pergi ke tempat makan terdekat. Memesan minuman hangat dan sup daging. Bercakap-cakap sekadarnya dengan pemilik restoran. Memilih untuk duduk di dekat jendela. Makan dengan lahap. Setelah selesai makan, aku bersandar di kursi sambil menatap pemandangan di luar. Langit biru dengan sedikit awan. Rumah-rumah dengan halaman sempit yang dibangun berdempetan. Jalan sempit yang sudah diaspal. Hawa panas yang masuk dari jendela yang terbuka lebar.
Yup, aku kembali dari mimpi indah di siang bolong.
Dream Comes True
"Selesai juga!"
Aku bersandar di kursi belajar. 40 soal matematika berhasil kuselesaikan. Ya, aku sangat senang bisa terpilih sebagai utusan sekolah untuk seleksi olimpiade tingkat kota. Agar bisa lolos jadi utusan kota, aku meluangkan waktu 2-3 jam setiap hari untuk berlatih soal. Selain itu, setiap pulang sekolah seluruh utusan menerima pelajaran tambahan dari guru kami atau mengundang dosen-dosen dari kampus terkenal.
Untuk bidang matematika ada tiga orang, aku, Ali dan Tommy. Aku dan Tommy sekelas tapi tidak dekat karena dia pendiam dan sering menyendiri. Justru aku lebih akrab dengan Ali, yang kelasnya berada di seberang kelasku. Dia ramah dan asyik diajak bercerita. Kami sering ngobrol tentang berbagai hal. Jujur, pembekalan olimpiade terasa lebih menyenangkan karena dia.
Yah, begitulah. Mari kita bereskan semua buku, kertas coret dan alat tulis di meja ini. Setelah itu aku akan sholat dan tidur.
Baru saja berbaring, tiba-tiba handphoneku berbunyi. Ada pesan dari grup olimpiade matematika.
"Ririn, Tommy, besok kita belajar sama Buk Wati. Mulai lebih cepat, jam 4. Tommy, lo Ashar di sekolah aja, gak usah pulang dulu. Yah, besok gak bisa jajan dulu sama lanjutin cerita kemarin Rin :("
Aku tersenyum sambil membalas pesan Ali.
Ah, sudah jam 12 malam. Aku harus segera tidur.
***
"Rin, udah mau magrib, lo pulang naik apa?" Tanya Ali. Aku, Ali dan Tommy sedang berjalan menuju gerbang sekolah. Setelah belajar dari dosen, kami bertiga lanjut membahas soal lain mengingat lomba tinggal beberapa hari lagi.
"Naik bus, tapi dari sini ke halte naik ojek dulu," jawabku sambil mengedarkan pandang ke jalan, mencari ojek. Seperti biasa, sulit mendapat ojek kalau sudah senja begini.
"Gak ada lagi tuh kayaknya, mending kamu nebeng Ali aja sampai halte," usul Tommy. "Gue duluan ya," pamitnya sambil setengah berlari. Rumah Tommy berada di dekat sekolah.
"Iya, sama gue aja Rin sampai halte," ajak Ali sambil berjalan ke parkiran motor.
Hmm, sepertinya aku tidak punya pilihan lain. Aku berjalan mengikuti Ali ke parkiran.
Selama di atas motor, Ali bertanya banyak hal tentang diriku. Rumahku dimana, biasanya ke sekolah naik apa, punya saudara atau tidak, sampai pertanyaan pernah naksir kakak kelas di SMA dan apakah aku pernah naksir teman sekelas. Aneh banget. Tidak biasanya dia menanyakan urusan pribadi kayak gini.
Akhirnya kami sampai di halte. "Makasih Li," ucapku sambil turun dari motor. Kebetulan bus datang. Aku masuk ke dalam bus sambil tersenyum kepadanya. Ali membalas senyumku, kemudian pergi.
Aku berdiri sambil melihat ke luar jendela bus. Apa-apaan ini? Kok aku berdebar-debar? Duh, jangan bilang aku baper cuma karena ditebengin. Tapi obrolannya di atas motor tadi... Ah sudahlah. Jangan ge-er, Ririn, dia cuma berbuat baik doang. Begitulah pikirku. Namun tetap saja aku tidak bisa menghentikan debaran jantung ini.
***
Dua hari kemudian...
Hujan lebat turun tepat ketika pembekalan olimpiade selesai. Aku menatap muram ke luar jendela. Bodoh sekali, tidak bawa payung padahal cuaca mendung dari pagi, pikirku kesal. Aku berjalan keluar kelas diikuti Ali dan Tommy. Kami sampai di lobi sekolah, bergabung dengan anak-anak lain yang juga terjebak hujan.
Setelah 15 menit berdiri dan berbicara dengan siswa lain, kami memutuskan untuk kembali ke kelas. Sembari menunggu hujan reda, kami membahas soal-soal latihan yang diberikan dosen tadi. Sekitar sejam kemudian hujan mulai reda. Kami berjalan bersama menuju gerbang.
"Ririn, Ali, duluan ya!" Pamit Tommy sambil berlari.
"Rin, kamu naik ojek sampai halte kan?" Tanya Ali. Aku mengangguk. "Tapi ojeknya lagi nggak ada tuh. Mau nebeng sampai halte gak?"
Aku mengernyit. Rasanya familiar deh, padahal ini pertama kalinya Ali menawarkan tumpangan.
"Boleh," jawabku. Kami berjalan ke parkiran.
Sepanjang perjalanan Ali mencecarku dengan berbagai pertanyaan. Rumahku dimana, punya berapa orang saudara, biasanya pergi sekolah jam berapa, hingga bertanya ada teman atau kakak kelas yang lagi disukai. Rasanya seperti sedang diwawancara. Aneh!
Sampai juga di halte. "Makasih Li," ucapku sambil turun dari motor.
"Sama-sama. Besok kalau pulang telat lagi gue anterin deh sampai halte."
"Haha sip," balasku sambil memandang bus yang datang dari kejauhan. "Bye Li," aku pamit sambil berjalan masuk ke dalam bus. Sempat menoleh, aku melihat Ali tersenyum ke arahku.
Tiba-tiba aku teringat mimpi beberapa hari yang lalu. Mimpi dibonceng Ali. Yang terjadi barusan kurang lebih mirip dengan mimpi itu. Kok bisa ya?!
Sepanjang perjalanan pulang aku terus memikirkannya. Kemudian tanpa sadar jantungku berdebar kencang dan aku terus tersenyum seperti orang aneh hingga sampai di rumah.
Description: Kumpulan mimpi dan imajinasi.
|
Title: Rain In Surabaya
Category: Novel
Text:
BaB 1. Hai Matahari, Apa Kabar?
- Salah satu hal yang paling ku takutkan adalah dilupakan -
Lupa! Merupakan hal yang tak bisa lepas dari gadis bernama Sunny. Untuk hal taruh menaruh barang, Sunny seringkali lupa dan membuat orang - orang disekitarnya ikut sibuk mencari.
"Sunny.. Sunny.. Kebiasaan banget kamu, bisa lupa taruh HP dimana." Celetuk Lizha teman sekantor Sunny.
"Maklumlah Liz, coba aku cari diparkiran dulu." Sunny tersenyum dan meninggalkan ruang kantor
Nada dering HP Sunny terdengar diparkiran sepeda motor. Hanya saja ada yang sampai terlebih dulu disana sebelum Sunny tiba.
"Maaf, permisi itu HP saya." Sunny berkata pada seorang pria yang sedang memegang HP Sunny sambil membelakanginya.
"Sunny!." Saat pria berkemeja putih dan bercelana jeans itu menoleh kearah Sunny.
***Lima tahun lalu...
"Kamu jaga diri baik - baik. Aku sudah ndak bisa kembali kesana lagi." Kata seseorang pada Sunny melalui telepon."Iya mas. Aku ngerti kondisi mas sekarang. Mas ndak perlu khawatirin aku." Jawab Sunny." Nanti kalau kamu butuh teman curhat, kamu masih bisa WA aku." Kata pria yang sudah dianggap seperti kakak sendiri oleh Sunny. "Iya makasih ya Mas. Nanti mas jangan kangen loh kalau ndak bisa ketemu aku. Ohya, jangan lupa kabarin aku kalau ponakanku udah lahir." Sunny tertawa.
***"Mas Affy?." Sunny terkejut melihat pria yang berada didepannya sekarang. "Ini, HP kamu." Pria bernama Affy itu memberikan HP pada Sunny."Terima kasih." Jawab Sunny singkat.Sunny tidak menyangka akan bertemu kembali dengan Affy setelah 5 tahun. Affy adalah seseorang yang pernah berarti dihidup Sunny dan mungkin juga sampai sekarang.
"Sunny.. Kamu sekarang..." "Iya Mas. Aku sekarang kerja sebagai guru disini." Sunny memotong perkataan Affy."Sunny! HP kamu sudah ketemu kah? Kamu dipanggil kepala sekolah." Ucap Lizha dari kejauhan."Maaf mas, aku harus kembali kerja." Sunny tersenyum kearah Affy dan meninggalkan tempat itu.Affy juga terkejut bertemu lagi dengan Sunny. Affy tidak menyangka Sunny dapat mewujudkan cita-citanya sebagai guru. Affy ingat sekali ucapan Sunny 6 tahun lalu yang ingin sekali menjadi seorang guru, tapi Affy tidak menyangka bahwa Sunny akan menjadi guru dari anaknya. "Mas, aku sebenarnya pengen banget jadi guru." Curhatan Sunny"Ya ngelamar loh di sekolah-sekolah nanti setelah kamu lulus." Jawab Affy."Iya, tapi apa bisa ya mas aku jadi guru?" Tanya Sunny pesimis."Kamu itu kebiasaan, belum juga dijalani sudah bilang ndak bisa dulu." Affy mengusap-usap kepala Sunny."Duh Mas! Nanti rambut aku berantakan." Sunny menepis tangan Affy.
***Sesampainya dirumah Sunny mengingat pertemuannya kembali dengan Affy. Berbagai kenangan di masa lalu mulai hadir kembali.."Kamu senang ndak aku jemput?." Tanya Affy pada gadis yang sedang diboncengnya dengan sepeda motor."Kamu apaan sih mas, tanyanya gitu." Jawab Sunny bercanda."Loh, aku serius. Kalau kamu senang, besok akan aku jemput lagi." "Iya iya aku senang, tapi ndak perlu mas nanti aku ngerepotin mas terus. Tadi aku kebetulan aja lagi ndak bawa motor." Sunny tertawa kecil."Sunny, kamu mau berjanji satu hal ke aku?." Tanya Affy serius."Apa mas?." Tanya Sunny"Kamu jangan pernah berubah ya, tetap menjadi Sunny yang sekarang aku kenal." Kata Affy dengan pandangan masih kedepan.
Dering HP Sunny membuyarkan lamunan Sunny tentang Affy. Sunny melihat ke layar HPnya, tampak nama yang tak asing sedang memanggil Sunny."Hallo.. Ndut." Suara dari seberang sana."Hai kak, ada apa?" Jawabnya datar."Kamu ada masalah? Kedengarannya ndk senang gitu aku telepon, ndak seperti biasanya." "Aku ndak papa kak, perasaan kakak aja kali aku ndak seperti biasa." Sunny mengelak."Masa aku ndak boleh telepon pacar aku sendiri, ndut sayang?." Kata pria itu pada Sunny."Iya boleh sayang, kakak kapan pulang?" Tanya Sunny."Akhir bulan ini, sayang. Kamu ndak sabar ya nunggu kakak pulang?" Goda pria itu."Iya kak, Kak Ryan baik-baik disana, jangan lupa makan, jaga kesehatan. Aku tidur dulu ya kak, ngantuk banget." Sunny ingin cepat mengakhiri telepon dari pria yang dipanggil kak Ryan oleh Sunny."Good night sayang." Ryan mengakhiri telepon.
Ryan adalah pria yang ditemui Sunny 2 tahun lalu, saat Sunny kembali ke Surabaya. Setelah 6 bulan saling mengenal, Ryan memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya pada Sunny, melihat betapa perhatiannya dan tulusnya Ryan, Sunny putuskan untuk menerima Ryan. Setelah 6 bulan berpacaran, Ryan dipindah tugaskan keluar pulau oleh kantor tempatnya bekerja yang membuat Sunny dan Ryan menjalani LDR, tapi Ryan berusaha untuk pulang ke Surabaya setiap 1 bulan sekali.
***"Pagi, Bu Sunny!." Sapa pria yg sedang menggandeng seorang anak kecil."Mas Affy! Ini Dipta? Uda besar sekarang, ganteng lagi." Sunny tersenyum ke arah anak kecil itu."Dipta, beri salam pada bu guru, nak!." Kata Affy pada anaknya."Pagi bu guru, saya dipta." Dipta memberi salam.Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Sunny menggandeng Dipta untuk masuk ke kelas. Saat Sunny keluar kelas, Sunny melihat Affy masih di taman sekolah. Sunny menghampirinya dan saat itu Affy meminta no HP Sunny, ternyata no HP Sunny masih sama seperti 5 tahun lalu dan Affy masih menyimpannya sampai sekarang.
"Bu Sunny, sedang nunggu siapa?" Suara dari dalam mobil yang berhenti di depan Sunny."Mas Affy? Aku nungguin taxi." Jawab Sunny."Kamu bareng kita aja." Kata Affy setelah turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Sunny. Sunny ingin menolak tapi dia tak enak dengan Affy yang sudah membukakan pintu."Kamu tinggal dimana sekarang?." Tanya Affy."Aku mengkontrak di daerah kendangsari." "Kamu tinggal disana sendiri? Keluargamu kemana?." Affy mulai penasaran."Iya aku tinggal sendiri, mama sekarang tinggal di Jakarta dengan mas ku." "Pa, Dipta lapar." Suara Dipta dari kursi belakang."Dipta lapar ya sayang? Sunny kita mampir makan dulu. Apa kamu ndak keberatan?." Tanya Affy"Iya Mas aku ndak keberatan, kasihan juga Dipta kalau harus nunggu lama."
Mereka bertiga makan bersama layaknya keluarga kecil yang bahagia. Affy merasa bahagia sekali, sesekali dia mengarahkan pandangannya pada Sunny yang dengan sabar membantu Dipta makan. "Makasih Sunny, kamu bersedia menemani aku dan Dipta makan." Kata Affy saat mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Sunny."Sama-sama Mas, Dipta kelihatannya capek sampai ketiduran gitu." Sunny melihat Dipta yang sedang tertidur dikursi belakang."Maaf Mas, aku boleh tanya?." "Ndak boleh! Boleh, kamu mau tanya apa?" Goda Affy."Istri Mas gimana kabarnya? Aku perhatiin ndak pernah kelihatan di sekolah."Istri aku meninggal 3 tahun yang lalu karena kecelakaan mobil." Wajah Affy berubah."Maaf mas, aku ndak tahu dan ndak bermaksud membuat mas sedih.""Iya ndak masalah. Kita jangan bahas ini lagi ya." Affy meminta Sunny untuk tidak membicarakan mendiang istrinya. "Kita sudah sampai Mas. Terima kasih ya?." Sunny melempar senyum kecil kearah Affy sembari membuka pintu mobil."Sama-sama. Bye!." Affy melambaikan tangan ke arah Sunny.
Sepanjang perjalanan pulang Affy memikirkan Sunny, dia ingin tahu seperti apa kehidupan Sunny sekarang. Sunny yang meski dulu terlihat tomboy tapi Sunny juga termasuk gadis yang manja dimata Affy. Affy teringat saat dulu Sunny sering sekali meminta bantuan Affy untuk hal-hal yang dirasa sebenarnya Sunny bisa melakukannya sendiri, seperti membuka snack. Jika mengingat soal Sunny, Affy bisa tertawa sendiri karenanya, Affy masih heran mengapa dia mau melakukan semua itu untuk Sunny.
***Matahari sudah mulai memancarkan sinarnya. Sunny senang dengan matahari, bukan karena matahari merupakan arti dari namanya tapi lebih karena setiap kali dia melihat kearah matahari, dia akan tersenyum mengingat seseorang yang pernah berarti dihidupnya. Seseorang yang baginya seperti matahari, meskipun jauh tapi tetap ada untuk bumi. Selama beberapa tahun ini Sunny selalu ingin bertanya "Hai Matahari, apa kabar?" tapi Sunny tak mempunyai kesempatan itu."Tok..tok.. Permisi!." Suara itu terdengar dari depan pintu rumah Sunny."Mas Affy? Silakan duduk mas, mas mau minum apa?" Sunny mempersilakan Affy masuk."Ndak perlu repot-repot Sun. Ini kan weekend, kamu ada waktu? Kamu mau ndak nemani mas jalan-jalan." Tanya Affy to the point."Emm.. Gimana ya mas?" Sunny terlihat ragu."Please." Pinta Taffy"Yauda.. Aku siap-siap sebentar ya mas." Suasana canggung terasa diantara mereka. mereka berdua hanya diam saat berada dalam mobil. Hingga Affy memulai pembicaraan."Sun, kamu sudah lama tinggal sendiri?" "Udah 2 tahun ini, awalnya ndak biasa karena mas juga tahu kan aku orangnya seperti apa, tapi seiring berjalannya waktu aku uda mulai terbiasa." Jawab Sunny"Aku ndak nyangka gadis seperti kamu bisa tinggal sendiri." Affy tertawa kecil."Mas ngeledek ya? Ohya, Mas uda lama balik ke surabaya?." "Aku baru 3 bulan di Surabaya, selain alasan pekerjaan, aku juga ingin Dipta sekolah disini." Jawab Affy."Terus Dipta mana mas?kenapa ndak diajak sekalian?." " Dipta sedang dirumah neneknya, nanti malam baru aku jemput. Kita sudah sampai." Affy bergegas turun untuk membukakan pintu Sunny.
Sunny terkejut karena Affy membawanya ketempat dulu Sunny dan Affy biasa makan bakso. Dimana tempat itu menyimpan cerita tentang mereka dan membuat Sunny memfavoritekan bakso."Mas masih ingat tempat ini?." Sunny melihat tempat itu yang tidak banyak berubah setelah 6 tahun lebih."Ingatlah.. Aku kan suka makan disini." Affy melambaikan tangan kearah penjual bakso untuk order. Affy memesan menu favorite mereka sama seperti 6 tahun yang lalu. Sunny tak menyangka Affy masih mengingatnya. Sunny memakan baksonya sambil sekali-kali melihat kearah Affy."Mas." Sunny tidak melanjutkan kalimatnya."Kenapa Sun? Kamu mau tambah? Tambah aja, jangan sungkan." Affy tersenyum kearah Sunny. "Bukan Mas. Aku mau tanya, kenapa mas tiba-tiba ajak aku makan disini?." Wajah Sunny terlihat serius." Ya karena aku suka makan disini. Memang kenapa? Kamu ndak suka aku ajak kesini." "Aku suka.. Suka banget." Sunny tersenyum.
Setelah selesai makan, Affy tidak langsung mengantar Sunny pulang. Affy masih ingin membawa Sunny ke suatu tempat lagi. Temp at dimana Affy dan Sunny bertemu untuk pertama kalinya dan belum saling mengenal. "Mas.. Buat apa kita kesini?" Affy membawa Sunny kesekolah tempat Sunny dulu magang waktu kuliah, yang mana juga merupakan tempat kerja Affy di masa lalu. "Kangen aja sama sekolah ini. Karena lagi ke surabaya, aku ingin mampir kesini. Yuk!kita turun." Ajak TaffySunny dan Affy mulai memasuki kawasan sekolah dan itu membuat mereka memasuki pintu masa lalu dimana kenangan- kenangan itu berada.
Next bab 2... 😃
BaB 2. Masa Itu
- Hal yang menakutkan dari kenangan adalah saat kau rasa kau bisa dalam sekejap membuang semuanya tetapi sebenarnya tidak ada kantong sampah yang cukup besar didunia ini yang mampu menampung semuanya -
Delapan Tahun Lalu...
"Pak Affy perkenalan ini Sunny, anak magang yang akan ditempatkan dibagian keuangan." Kepala sekolah memperkenalkan Sunny kepada Affy, saat Affy kebetulan berada di ruang kepala sekolah.
"Saya Sunny." Itu merupakan awal pertama kali Sunny mengenal Affy.
Affy seorang karyawan bagian IT ditempat Sunny magang. Awalnya Affy dan Sunny hanya saling mengetahui nama saja tanpa pernah saling berinteraksi hingga pada suatu ketika sekolah tempat mereka bekerja mengadakan acara wisata yang harus diikuti oleh semua karyawan.
"Huftt.. Capek banget." Sunny mengeluh karena harus berjalan sangat jauh untuk kembali ke villa.
"Kamu baik-baik aja?." Tanya seorang pria yg sedang berdiri disamping Sunny.
"Saya ndak papa, pak. Saya hanya sedikit lelah aja karena perjalanan masih jauh."
"Jangan panggil pak, kesannya aku tua banget. Panggil aja mas."
Sepanjang perjalanan sampai ke villa mereka berjalan bersama. Affy tak tega meninggalkan Sunny yang sepertinya kelelahan sekali.
Sesampainya di villa, saat makan malam Sunny melihat Affy di area ruang makan. Pandangan mereka saling bertemu, tapi Sunny hanya tersenyum kearah Affy tanpa menghampirinya.
"Kamu senyum ke mas Affy?." Tanya gadis yang berjalan dengan Sunny kearah meja makan.
"He?Kamu tau mas Affy juga?" Sunny langsung menoleh kearah Rosa teman sesama magangnya.
"Kenal secara langsung sih belum, cuma aku sering banger dengar gosip tentang mas Affy."
"Gosip? Memang ada gosip apa tentang mas Affy?." Sunny penasaran.
"Mas Affy itu terkenal playboy, ceweknya banyak. Masa kamu ndak pernah dengar?."
"Aku ndak pernah dengar, tapi apa benar gitu?." Sunny kembali bertanya.
"Ngobrolin apa nih? Kelihatannya serius amat." Tanya seorang pria yang terlihat SKSD.
"Mas Arman, ikut aja ada orang ngobrol." Celetuk Rosa.
"Kalian pelit banget, kepo dikit boleh dong." Goda Arman.
Arman adalah teman 1 divisi Affy, Arman lebih blak-blak jika bicara dibanding dengan Affy. Arman menghampiri Sunny dan Rosa ternyata tak sendiri, dia bersama dengan Affy. Setelah mendengar cerita tentang Affy dari Rosa, Sunny sedikit menjaga jarak dengan Affy.
"Kakimu sudah baikan?." Affy menanyakan kondisi kaki Sunny yang terlihat kurang baik saat perjalanan menuju Villa tadi.
"Kakiku baik-baik aja mas." Jawabnya datar.
"Boleh minta no hp kamu?." Affy mengeluarkan HPnya dan saat akan menyerahkan HPnya pada Sunny terdapat panggilan masuk di HP Affy. Sunny tak sengaja melihat nama yg tertera di layar HP Affy. Lebih tepatnya bukan nama, tapi hanya inisial "2" yang terlihat. Affy sedikit menjauh dari Sunny dan yang lain saat mengangkat telepon. Setelah beberapa menit Affy kembali.
"Ohya kita sampai mana tadi? Maaf tadi aku tinggal angkat telepon dulu."
"Iya ndak masalah. Kalau boleh tahu, siapa yang telepon mas?." Tanya Sunny.
"Bukan siapa-siapa. Iya, ini aku tadi kan mau minta nomormu." Affy mencoba mengalihkan pembicaraan dan menyodorkan HPnya pada Sunny.
Sunny sebenarnya enggan memberikan nomornya pada Affy tapi Sunny tidak mungkin menolak karena Affy masih merupakan teman kantornya.
Hari terakhir wisata adalah jam bebas untuk berkeliling di taman hiburan. Saat Sunny dan Rosa akan pergi berkeliling berdua, mereka bertemu dengan Arman dan Affy. Arman meminta untuk bergabung dengan mereka, dengan alasan agar lebih ramai. Mereka pun pergi berempat, sesekali main wahana bersama dan berfoto bersama ditempat yang dianggap mereka bagus.
***Matahari hampir terbenam menunjukan sudah pukul 17.00, waktu yang ditunggu setiap pegawai untuk pulang, begitu pula dengan Sunny yang sedang menjadi pegawai magang, tapi Sunny terlihat bingung saat akan pulang karena hari ini Sunny tidak bawa motor sendiri."Rosa aku boleh nebeng ndak? Hari ini aku ndak bawa motor." Pintanya pada Rosa."Waduh.. bukannya ndak boleh sun, tapi hari ini aku ndak langsung pulang. Aku ada janji dengan temanku." Jawab Rosa."gtu ya? Yaudalah Ros ndak papa kog.""Oh atau kamu bareng mas Affy aja, kalau ndak salah rumahnya searah sama kamu. Gimana mas Affy? Sunny boleh ndak nebeng pulang." Ujar Rosa langsung pada Affy yang kebetulan juga berada disana."Rosa apain sih kamu!." Sunny menyenggol Rosa."Kalau Sunny mau bareng, aku ndak masalah." Jawab Affy."Tuh Sun! Mas Affy bersedia.. udah kamu daripada bingung mau pulang naik apa, mending bareng mas Affy aja. Kamu tahu kan kalau jam segini angkutan umum susah." Rosa mencoba meyakinkan Sunny.
Akhirnya Sunny setuju untuk pulang bersama Affy. Sebenarnya Sunny ndak enak jika harus pulang dengan Affy karena bisa dibilang saat ini mereka berdua sedang tidak dekat. Sepanjang perjalanan pulang Sunny hanya diam, sampai pada Affy memilih jalan yang berbeda dengan biasa Sunny lewati."Mas ndak salah jalan, kenapa lewat sini ya?." Sunny lebih mendekat agar ucapannya terdengar."Kita mampir rumahku dulu ya sebentar? Aku lupa bawa SIM, takutnya nanti ada pemeriksaan di jalan." Ujar Affy."Ndak usah mas! Rumahku sudah hampir dekat dan kalau dari sini kesana biasanya ndak ada polisi yang jaga." Sunny dengan cepat menolak."kamu yakin? Kita mampir sebentar aja, dirumahku juga sedang ndak ada orang." Jawab Affy."Iya mas aku yakin ndak usah. Kita langsung ke rumahku aja ya." Sunny mencoba meyakinkan. Sunny bersikeras menyakinkan Affy karena dia teringat dengan ucapan Rosa bahwa Affy itu playboy, Sunny takut Affy akan macam macam terhadapnya, apalagi Affy bilang pada Sunny bahwa dirumahnya sedang tidak ada orang, itu membuat Sunny berpikiran negative tentang Affy. Affy tidak jadi membawa Sunny kerumahnya, Affy langsung mengantarkan Sunny pulang tapi Sunny tidak mau diantar sampai ke depan rumahnya. Sunny hanya meminta Affy untuk menurunkannya di depan gang rumah.Malamnya Sunny menghubungi Rosa dan meminta Rosa untuk lain kali jangan seperti tadi dengan tiba tiba meminta mas Affy untuk mengantarnya pulang. Rosa sedikit bingung dengan Sunny. Rosa bertanya pada Sunny kenapa dia tidak mau diantar pulang oleh mas Affy, Rosa berpikir harusnya tidak ada masalah jika Sunny pulang bersama mas Affy dikarenakan rumah mereka yang searah, tapi Sunny tidak mau menyebutkan alasannya pada Rosa. Rosa hanya bisa mengiyakan permintaan Sunny.
Keesokan harinya dikantor, Rosa masih penasaran dengan sikap Sunny. Rosa malah mencoba menggoda Sunny soal mas Affy. Sunny tidak suka dengan sikap Rosa yang seperti itu dan Sunny mencoba memperingatkan Rosa untuk tidak membahas hal itu lagi. Sunny tiba -tiba berpikir untuk apa dia takut ke rumah Affy karena seharusnya memang tidak perlu takut, Affy bisa dibilang teman kantornya jadi tidak mungkin Affy akan bertindak macam macam padanya. Mengingat itu Sunny merasa malu sendiri sehingga Sunny tidak ingin Rosa membahasnya lagi.
***Sunny sangat malas untuk berolahraga. Dia lebih suka menghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca buku atau memainkan HPnya. Di sekolah tempat Sunny magang, Sunny di minta untuk ikut olahraga bersama yang diadakan 1 minggu sekali. Sunny tak mungkin menolak karena merupakan agenda wajib sekolah itu."Ros.. Harus ya kita ikut ini?." Tanya Sunny ketika mereka tiba di lapangan badminton."Sunny sayang, semangat dikit gtu, kan lumayan bisa cuci mata, kali aja ada cowok cakep." Rosa begitu bersemangat."Rosa.. Rosa.. Kita itu disini mau olahraga bukan cari cowok cakep." Sunny dan Rosa mulai mencari tempat untuk mereka bisa bermain dan menaruh tas. Di lapangan itu Sunny bisa melihat bahwa banyak juga yang ikut mulai dari guru, pegawai kantor sampai kepala sekolah dan disana dia juga bisa melihat Affy."Sun! Coba dec lihat. Mas Affy keren ya kalau lagi main badminton gitu." Rosa begitu senang melihat Affy yang sedang bertanding dengan kepala sekolah."Biasa aja." Jawabnya datar sambil melakukan gerakan pemanasan.Sunny malas menanggapi celoteh Rosa, karena dari awal Sunny sudah tidak ingin ikut bermain badminton."Mau aku temani main?" Ajak Affy pada Sunny yang sedang duduk dipinggir lapangan."Ndak Mas. Aku disini aja." Sunny menolak."Ayolah.. Apa bagusnya duduk sendiri disini? Yang lain juga lagi main." Affy membujuk."Oke." Jawab Sunny singkat sambil mengambil raketnya.Selama bertanding, Sunny tidak bisa mengalahkan Affy. Affy termasuk jago dalam olahraga ini. Sunny sebenarnya malu pada Affy karena dia tidak tahu aturan-aturan dalam permainan badminton. Sesekali Affy tertawa melihat permainan Sunny dan Sunny pun ikut tertawa untuk menutupi rasa malu."Udah dulu mas, istirahat ya. Aku capek banget." Sunny sudah duduk di lantai dipinggir lapangan dengan memijat-mijat kakinya."Iya kita istirahat dulu. Ini buat kamu." Affy menyodorkan sebotol air minum dan duduk disamping Sunny.Meskipun lelah terlihat wajah bahagia yang terpancar dari mereka. Sunny tak menyangka bahwa berolahraga bisa begitu menyenangkan .
Kini Rosa tak perlu repot untuk membujuk Sunny ikut badminton karena Sunny dengan senang hati untuk ikut. Bermain badminton membuat Sunny dan Affy semakin dekat."Kita makan dulu yuk sebelum pulang. Laper banget nih." Ajak Arman pada Affy."Kalian mau ikut sekalian?" Ajak Affy pada Sunny dan Rosa yang juga berada disana."Boleh-boleh mas. Aku juga laper. Mau ya Sun?" Bujuk Rosa."Okok! Kalau kamu maunya gitu." Sunny setuju.Mereka pun makan berempat ditempat Affy dan Arman biasa makan. Untuk mencairkan suasana Arman mengajak Affy, Sunny, dan Rosa bermain blok. Suasana diantara mereka menjadi begitu akrab. Mereka bermain dan tertawa bersama. Setelah hari itu, hampir setiap selesai bermain badminton, mereka berempat akan pergi makan bersama atau sekedar minum es bersama sambil bermain blok.
***"Sekolah ini sudah banyak berubah ya mas." Sunny melihat sekeliling saat mereka telah memasuki kawasan sekolah."Iya seperti kamu udah banyak berubah." Affy tersenyum kearah Sunny."Maksudnya?" Tanya Sunny."Iya kan.. Awalnya sebagai anak magang, terus pegawai kontrak, sekarang guru benaran." Jawab Affy tersirat."Kepala sekolahnya baik setelah magang aku diperbolehin jadi pegawai kontrak disini." Sunny tertawa kecil."Kita udah saling kenal berapa lama ya?" Affy mencoba mengingat."Sekitar 8 tahun Mas, disitu kita pertama kali berkenalan." Sunny menunjuk ruang kepala sekolah. "Haha.. Ingat banget kamu Sun." Goda Affy.Sunny hanya bisa tersipu malu. Mereka masih menyusuri koridor sekolah. Hari ini sekolah terlihat sepi karena memang biasanya pada weekend murid-murid diliburkan.Baru sebentar memasuki kawasan sekolah, terdengar ringtone lagu jepang berbunyi dari dalam tas Sunny. Sunny yang sadar HPnya berbunyi, segera mengambilnya untuk melihat siapa yang telepon.
Next bab 3... 😃
BaB 3. Kembali
- Kenangan itu seperti hujan yang kita tidak bisa membendungnya saat datang, tapi yang perlu kita ingat adalah kenangan itu adanya di masa lalu bukan saat ini -
"Hallo.. Iya kak." Sunny memberikan isyarat pada Affy untuk menunggu dan Sunny sedikit menjauh dari Affy.
"Sayang, kamu lagi dimana?." Tanya seseorang diseberang sana.
"Aku lagi di luar kak. Ada apa?."
"Ini kakak ada di depan rumah kamu, kakak ketok-ketok ndak ada sautan, ternyata kamu lagi di luar." Jawab seseorang yang sedari tadi sudah berada didepan rumah Sunny.
"Kak Ryan sekarang di rumahku? Bukannya kakak baru balik minggu depan ya?." Sunny terkejut karena Ryan kembali lebih cepat dari yang diperkirakannya.
"Kakak ganti hari ini pulangnya, kebetulan ada jadwal kosong. Pengen cepat ketemu kamu, ternyata kamu lagi ndak ada di rumah." Ryan terdengar sedikit kecewa.
"Kak Ryan tunggu sebentar ya, ini aku udah mau balik."
"Iya sayang, kamu hati-hati." Ryan mengakhiri telepon.
Setelah menutup telepon, Sunny bergegas menghampiri Affy yang sedang menunggunya.
"Mas maaf aku harus pulang sekarang." Pamit Sunny pada Affy.
"Sekarang? Yauda, aku antar aja kalau gitu." Affy menawarkan.
"Ndak perlu mas. Aku pulang sendiri aja, makasih untuk hari ini." Sunny meningggalkan tempat itu dan Affy masih berdiri disana. Sunny tidak ingin diantar Affy karena takut Ryan salah paham saat melihat Affy nanti.
Meskipun Sunny telah pulang, Affy masih disana. Affy masih ingin menikmati atmosfer ditempat itu lebih lama.
Saat Affy hendak masuk kedalam mobil, tubuhnya seperti merasakan ada air dari langit yang menetes. Affy bergegas masuk kedalam mobil dan benar tak lama kemudian hujan turun. Affy tak langsung pergi dari tempat itu, dia memandangi tiap tetes air hujan yang turun.
***Tujuh tahun lalu...
"Yahh.. Hujan!." Kata Sunny baru saja tiba di parkiran dan Sunny pun bergegas masuk ke dalam sekolah, saat perjalanan menuju ke dalam, kunci motornya terjatuh yang membuat Sunny terhenti. Saat hendak berdiri setelah mengambil kuncinya yang jatuh, Sunny tidak merasakan lagi tetesan air langit itu.
"Mas Affy?." Sunny menoleh dan melihat Affy yang sedang memegang payung untuknya.
"Kamu lagi ngapain hujan-hujan gini?." Tanya Affy.
"Kunci aku jatuh Mas, ini." Sunny memperlihatkan kunci yang ada ditangannya sambil tersenyum.
"Ayo kita masuk.. Kamu nanti sakit kalau kelamaan disini." Ajak Affy. Jarak diantara Sunny dan Affy begitu dekat karena mereka berlindung dibawah payung yang sama.
"Kamu tunggu sini bentar ya." Affy meminta Sunny untuk menunggu di koridor sekolah.
Sunny duduk menunggu Affy.
"Ini buat kamu." Affy menyerahkan segelas teh hangat pada Sunny.
"Makasih mas." Sunny tersenyum.
"Iya sama-sama. Kamu pakai ini, biar kamu ndak kedinginan." Affy melepaskan jaketnya dan memakaikannya pada Sunny, saat Sunny hendak menolak, Affy bergegas pergi dengan sesimpul senyum diwajahnya.
***Sunny masih dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Sunny melihat hujan turun dari balik jendela taxi, Sunny teringat kembali kenangannya bersama Affy. Saat Affy memberikan jaketnya agar Sunny tidak kedinginan karena terkena hujan. Saat itu Sunny belum punya perasaan apapun pada Affy, tanpa entah saat ini."Iya kak. Ini aku masih dijalan." Kata Sunny kepada Ryan lewat telepon."Maaf sayang, kakak harus pergi. Nanti malam kakak telepon lagi. Kamu ndak papa?." Kata Ryan."Iya kak.. Aku ndak papa. Kakak hati-hati dijalan." Sunny mengakhiri telepon.
Sesampainya di rumah, Sunny berbaring di tempat tidur sambil berpikir, apa sebenarnya maksud Affy membawa dia ke tempat-tempat kenangan mereka.Semakin Sunny berpikir semakin dia tidak bisa menemukan jawabannya. HP Sunny berdering, Sunny segera bangun untuk mengangkatnya."Iya.. Mas Affy." Sapa Sunny di telepon."Kamu sudah sampai rumah?." Tanya Affy."Sudah Mas.. Ada apa ya?." Tanya Sunny"Diluar hujan, aku khawatir aja sama kamu, tapi syukurlah kamu sudah di rumah." Sunny tidak menyangka Affy meneleponnya karena khawatir. Mereka berdua melanjutkan obrolan di telepon. Sesekali mereka tertawa bersama, saat mengobrolkan tentang masa lalu, dimana banyak hal-hal mulai dari yang lucu, senang, sedih, sebal, kecewa ada disana.
Bulan telah datang menggantikan matahari meskipun sebenarnya matahari tidak pernah pergi, dia tetap berada disana."Malam.. Sayang." Ryan berkata pada Sunny lewat telepon."Malam Kak. Kakak lagi dimana?." Tanya Sunny."Kakak lagi dirumah papa. Maaf ya tadi ndak jadi ketemu." Ryan meminta maaf."Iya kak. Aku ngerti, kakak memang seharusnya ketempat papa dulu, bukannya ketempatku."Sunny berpacaran dengan Ryan kurang lebih 1 tahun, tapi bisa dibilang Sunny dan Ryan belum saling terlalu mengenal antar keluarga. Mama Sunny sedang berada di Jakarta, meskipun ada saat ke Surabaya untuk mengunjungi Sunny, tapi Ryan tak pernah ada kesempatan untuk bertemu mama Sunny karena posisinya yang sedang bekerja diluar pulau, sementara Sunny pun belum pernah bertemu dengan papa Ryan karena alasan yang sama.
***Pagi ini tidak seperti biasanya karena Sunny diantar oleh Ryan ke sekolah. Pada saat yang sama Affy dan anaknya telah tiba disekolah. Sunny melambaikan tangan ke arah Ryan yang berada didalam mobil, saat Affy melihatnya dari jauh."Pagi Sun." Affy mendekat saat mobil Ryan telah pergi."Pagi Mas." Sunny tersenyum."Yang barusan itu pacar kamu?" Tanya Affy to the point."Sejak kapan sih mas ku ini kepo orangnya?." Goda Sunny, tapi spontan Sunny menutup mulutnya dengan tangan karena dia tanpa sadar menyebut Affy dengan "Mas Ku"."Kamu tadi panggil aku apa Sun?." Goda Affy.Bel masuk sekolah berbunyi dan itu menyelamatkan Sunny dari pertanyaan-pertanyaan Affy.Pulang sekolah Sunny tidak dijemput oleh Ryan, dia mencoba mencari taxi tapi yang berhenti tepat didepannya adalah Mobil Affy."Sunny.. Kamu bareng kita aja." Kata Affy dari dalam mobil. "Makasih mas, ndak usah, aku bisa pulang sendiri." Jawab Sunny."Ayolah." Affy turun dari mobil, membukakan pintu dan meminta Sunny masuk."Iya.. Iya mas." Sunny masuk kedalam mobil."Sun.. Kamu kenapa diam aja?." Tanya Affy karena Sunny hanya diam saja sepanjang perjalanan."Aku?aku ndak papa. Eh, kita sudah sampai mas.. Makasih ya mas." Sunny mengalihkan pembicaraan dan dia bergegas keluar dari mobil Affy. Affy merasa aneh dengan sikap Sunny, Sunny memang sekarang tidak seberisik dulu tapi Sunny tidak akan sediam tadi.
Sunny duduk ditempat tidurnya dan dia membuka sebuah kotak yang diambilnya dari meja sebelah tempat tidurnya. Kotak itu berisi foto Sunny berdua dengan Affy, gambar wajah Affy yang dilukisnya sendiri, dan sebuah buku harian. Sunny membaca kembali secara acak isi dari buku yang ditulisnya.
24 oktober" Aku senang banget hari ini, Mas Affy buatin aku sepiring bihun dan segelas milo dingin, selain itu mas Affy mau menemaniku menjenguk tante yang sakit, ya meskipun kita sempat nyasar.. Hehe..dirumah tante, mas Affy diajak om bermain PS, disana mas Affy asik bermain PS dengan om sampai saat aku mengajaknya pulang dia sepertinya belum rela.
***Tujuh tahun lalu...
"Mas, Ayo kita pulang, uda sore ini." Pinta Sunny pada Affy."Nanti dulu ya, lagi asik ini." Jawab Affy."Apa kalian mau nginep aja disini? Biar tante siapkan kamar tamu." Saut tante Sunny."Ndak usah tante. Sebentar lagi kita pulang." Jawab Sunny."Ayo, Mas!." Ajak Sunny lagi."Iya..iya." Affy berhenti bermain dan bersiap-siap untuk pulang."Tante Om makasih ya buat semuanya, kita pulang dulu." Sunny pamit."Tante yang makasih udah dijenguk, kalian hati- hati dijalan." "Tante Om kita pulang ya." Affy pamit pada Tante dan Om Sunny.Saat perjalanan pulang, Affy memilih jalan yang berbeda dari tadi mereka berangkat. Sunny belum pernah lewat jalan itu sebelumnya tapi Affy sudah meyakinkan Sunny bahwa dia tahu jalan. Jalan yang mereka lalui begitu padat dan sepertinya Affy sengaja memilih jalur yang lebih jauh."Mas, sepertinya jalannya lebih jauh dari kita berangkat tadi." Tanya Sunny."Perasaanmu aja itu, harusnya lebih dekat lewat sini." Jawab Affy."Mas nyetirnya ndak bisa lebih cepat ya?Mas kalau pengen berduaan lama-lama sama aku jangan sekarang." Sunny meminta Affy lebih cepat karena hari sudah sore dan Sunny harus segera berada dirumah."Aku memang sengaja." Goda Affy sambil tertawa kecil."Sun, tolong dong ambilin HP di saku celanaku, dari tadi getar terus." Affy yang masih mengendarai motornya."Aku yang ambil?." Tanya pada Affy."Iya. Tolong dong." Jawab Affy."Ndak mau, Mas Affy kan bisa ambil sendiri. Mas ambilin aja, nanti aku lihat siapa yg nyariin mas." Kata Sunny pada Affy."Iya.. Iya ini tolong dong lihatin." Affy mengambil HP nya disaku dan memberikannya pada Sunny."Ada WA dari Mas Yoga, katanya dia tadi ketempat mas nganterin kare kepiting buatan istrinya." "Tolong bales aja, makasih banyak, bilang aku masih nyetir." Kata Affy.Affy tahu Sunny sangat suka kepiting, dia mengajak Sunny untuk makan bersama,tapi Sunny menolak karena Sunny harus segera pulang, meskipun Sunny ingin sekali ikut mencicipi kare kepiting buatan istri mas Yoga.
***Sunny tertawa sendiri saat membaca buku hariannya. Baru 1 halaman yang dibacanya tapi itu sudah bisa membuatnya rindu pada Affy."Sunny kamu mikir apa sih? Kamu ndak boleh kangen lagi sama Mas Affy." Kata Sunny pada dirinya sendiri.Sunny harus bisa menahan perasaannya, berpikir realistis bahwa ceritanya dengan Affy sudah berakhir, bahkan tidak bisa bilang berakhir karena memang tidak pernah ada awal untuk hubungan mereka.Sunny meyakinkan dirinya sendiri, dia hanya terbawa suasana, terbawa perasaan karena kenangan-kenangan itu muncul kembali.
Next bab 4...😃
BaB 4. Ulang Tahun Sunny
- Aku menyukaimu seperti aku menyukai langit karena tidak butuh alasan untuk aku menjelaskan, Tak peduli apa yang terjadi selama aku melihat ke langit secara tidak sadar aku akan tersenyum -
Beberapa hari lagi Sunny akan berulang tahun, itulah alasannya kenapa Ryan kembali lebih cepat, tapi Sunny tidak menyadarinya karena terkadang dia lupa dengan hari ulang tahunnya.
" Sayang weekend ini kamu lagi ndak ada acara kan?." Tanya Ryan pada Sunny saat mereka makan siang bersama.
"Emm... Ndak ada sayang, kenapa?."
"Kita jalan-jalan yuk, uda lama kan kita ndak jalan-jalan berdua." Ryan tersenyum ke arah Sunny.
"Okay." Sunny membalas senyum Ryan.
Weekend ini bertepatan dengan Hari ulang tahun Sunny dan Ryan berencana memberikan kejutan kepada Sunny.
Saat Sunny kembali ke sekolah tempatnya bekerja, Sunny diingatkan oleh kepala sekolah bahwa hari jumat sabtu ini, sekolah akan mengadakan perkemahan murid dan orang tua yg akan diadakan di daerah malang. Sunny lupa memberitau Ryan soal ini, dia terlanjur menyetujui permintaan Ryan."Malam Kak." Sunny menelepon Ryan saat dia sudah berada dirumah."Iya sayang, tumben kamu yang tlp kakak duluan?." "Iya kak, aku tadi lupa beritau kalau weekend ini aku ada kegiatan sekolah jadi kita ndak bisa jalan-jalan, tapi kalau makan malam gitu sepertinya masih sempat." Sunny menjelaskan."Ohgitu ya? Yauda kita ganti jadi makan malam aja, lagian ndak mungkin juga kamu ndk ikut acara sekolah." Suara Ryan terdengar sedikit kecewa."Maaf ya Kak, lain kali kita agendain lagi acara jalan2nya." Sunny meminta maaf.Ryan kecewa bukan karena Sunny tidak bisa menemaninya jalan-jalan, Ryan kecewa karena rencananya untuk memberi kejutan kepada Sunny terancam gagal. Ryan pun mengganti rencana yg telah dia buat sebelumnya, dia mereservasi restoran yang mewah untuk acara makan malam mereka.
***Pagi ini murid, orang tua murid dan para guru tempat Sunny bekerja akan menuju Malang untuk berkemah. Tentu saja disana juga ada Affy dan anaknya yang turut serta."Sudah siap anak-anak?." Tanya Lizha pada murid-muridnya."Sudah bu guru." Jawab murid-muridnya serempak.Lizha mendapat bagian sebagai koordinator acara sedangkan Sunny sebagai coordinator lapangan. Sunny mengabsen muridnya satu persatu sebelum masuk kedalam bus. Di antara kerumunan orang tua murid, Sunny bisa melihat keberadaan Affy. Sunny tersenyum pada Affy yang juga melempar pandangan padanya. "Pa, Dipta duduk sama Dany ya." Kata Dipta pada Affy."Iya sayang boleh." Affy duduk dibangku, tepat dibelakang Dipta.Affy melihat Sunny yang sedang mencari tempat duduk dan Affy menawarkan tempat duduk disampingnya yang masih kosong."Sun, kamu masih pernah kontak sama teman-teman kantor lama?." Tanya Affy."Kadang sih aku masih ngobrol sama Rosa, mas masih ingat Rosa?." "Ingat, dia kan teman dekatmu dikantor." Jawab Affy.Merekapun larut dalam obrolan sampai tidak terasa mereka telah tiba di lokasi berkemah.
Malam harinya, setelah para murid sudah tidur di tenda yang ada, untuk orang tua murid dan guru- guru diadakan acara api unggun dimana mereka duduk bersama mengelilingi api unggun yang telah disiapkan. Disana mereka semua bernyanyi bersama, sampai pada saat Affy secara khusus menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan gitar ditangannya. Sunny sudah lama sekali tidak melihat pemandangan itu ditambah lagi lagu yang dinyanyikan Affy adalah lagu kenangan mereka berdua. "Saat kau ingat aku ku ingat kau, Saat kau rindu aku juga rasa..." Seluruh peserta yang ada disana pun bertepuk tangan saat Affy selesai bernyanyi.Sunny tahu Affy sedari tadi melihat ke arahnya dan tanpa sadar dia tersenyum pada Affy.
Jam telah menunjukan pukul 23.00 dan acara api unggun telah berakhir, semuanya kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat. Sunny yang belum bisa tidur pun keluar dari tendanya, dia duduk dipinggir tebing sambil melihat ke langit. "Langit malam ini Indah banget, banyak bintang." Kata Sunny pada diri sendiri sambil tersenyum."Happy birthday Sunny.. Happy birthday Sunny.. Happy birthday Sunny.. Happy birthday Sunny." Seorang pria dengan membawa sekotak kue datang menghampiri Sunny."Mas Affy?." Sunny terkejut melihat pria yang berada didepannya sekarang."Selamat ulang tahun ya ndut." Affy menyerahkan kotak yang berisi cupcake itu pada Sunny."Makasih. Mas Affy masih ingat ultahku?." Sunny masih heran dan Affy hanya menjawabnya dengan senyuman."Ini lucu banget Mas cupcakenya." Sunny terlihat begitu senang melihat karakter koala pada cupcake itu."Kamu suka kan? Sekarang waktunya tiup lilin, tapi sebelumnya make a wish dulu." Kata Affy.Sunny melakukan apa yang dikatakan Affy, setelah selesai meniup lilin Affy memberikan sebuah kotak lagi kepada Sunny."Ini hadiahmu." Kata Affy."Boneka koala?makasih ya mas." Sinar kebahagiaan terpancar dari wajah Sunny dan tanpa sadar Sunny memeluk Affy."Maaf Mas, aku kebawa suasana." Sunny sedikit salah tingkah saat sadar tindakannya itu."Iya gpp. Biasa aja, sampai salting gitu." Goda Affy.Ulang tahun kali ini merupakan yang paling berkesan buat Sunny karena dia bisa merayakannya dengan Affy ditambah lagi dengan kejutan yang disiapkan Affy untuk Sunny, dia tidak menyangka bahwa Affy masih mengingat apa yang dia suka.
***Saat pulang Sunny duduk disamping Affy lagi, karena semalam dia kurang tidur, Sunny tertidur di bahu Affy. Affy membiarkan Sunny bersandar dibahunya. Lizha berkeliling dalam bus melihat keadaan para muridnya dan dia menemukan Sunny yang sedang tertidur dibahu Affy. Lizha hanya tersenyum dan tidak ingin membangunkan Sunny. "Sun kmu pulang naik apa? Bareng kita aja, gimana?" Tanya Affy pada Sunny saat mereka sudah turun dari bus."Sayang." Seorang pria memanggil Sunny dan melambaikan tangan ke arahnya."Kakak." Sunny terkejut."Sayang ini siapa?." Tanya Ryan yang melihat sosok pria yang tadi sedang berbincang dengan Sunny."Oh.. Kenalkan kak ini pak Affy, orang tua muridku." Sunny memperkenalkan Affy pada Ryan."Pak Affy, kenalkan ini pacar saya Ryan." Raut wajah Affy berubah saat Sunny memperkenalkan Ryan sebagai pacarnya."Ryan.""Affy." Mereka berdua bersalaman.Affy terkejut pria yang dilihatnya waktu itu adalah pacar Sunny, sebenarnya wajar aja kalau Sunny mempunyai pacar, bukannya itu yang dari dulu dikhawatirkan Affy tentang Sunny yang belum mempunyai pacar. Sampai dulu saat Affy harus pergi dari sisi Sunny, dia masih khawatir Sunny tidak bisa mendapatkan pacar. Affy harusnya sekarang merasa tenang dan senang karena Sunny telah mempunyai orang yang menyayanginya. Tapi tidak seperti itu yang dirasakan Affy sekarang, Affy merasa ada sedikit rasa kecewa dihatinya."Tadi itu orang tua murid?." Tanya Ryan pada Sunny saat mereka berada dalam mobil."Iya." Jawab Sunny singkat."Kalian kelihatan akrab banget, seperti udah lama kenal." Ryan terdengar cemburu" Perasaan Kak Ryan aja itu. Ohya, nanti malam kita jadi makan malam dimana?." Sunny mengalihkan topik."Rahasia. Tapi aku yakin kamu akan suka tempatnya." Ryan tersenyum kearah Sunny."Nanti malam aku jemput jam 7 ya." Kata Ryan saat Sunny sudah turun dari mobilnya."Iya Kak. Makasih ya, hati- hati dijalan." Jawab Sunny.
Langit sudah mulai gelap. Sunny telah bersiap-siap untuk pergi makan malam dengan Ryan. Sunny yang mengenakan midi dress berwarna hitam dipadukan dengan tas dan high heels berwarna putih, membuat penampilan Sunny terlihat begitu anggun."Kamu cantik banget malam ini." Puji Ryan saat melihat penampilan Sunny."Makasih kak." Sunny tersenyum."Kita bisa berangkat sekarang?." Tanya Ryan."Iya. Ayo kita berangkat." Jawab Sunny.Ryan menggandeng tangan Sunny menuju mobilnya."Kak ini bagus banget." Sunny melihat tempat yang telah di set sedemikian rupa oleh Ryan."Kamu suka kan?." Tanya Ryan sambil mempersilakan Sunny duduk."Iya aku suka." Sunny tersenyum pada Ryan.Saat ditengah makan malam, Ryan tiba-tiba menggenggam tangan Sunny."Sun aku cinta sama kamu. Apa kamu bersedia menikah denganku?." Ryan membuka sebuah kotak yang berisikan sebuah cincin emas putih bermata satu. Sunny terlihat bingung menentukan jawaban untuk Ryan."Maaf Kak, aku ndak bisa jawab sekarang, ini terlalu mendadak buat aku." Sunny melepaskan genggaman tangan Ryan."Kamu ndak perlu jawab sekarang tapi aku mohon kamu simpan cincin ini." Ryan telah menyiapkan sebuah kalung, agar Sunny bisa mengenakan cincin itu sebagai liontin."Ok kalau itu mau kakak." Ryan kemudian mengenakan kalung berliontinkan cincin itu ke leher Sunny.Suasana makan malam yang sebelumnya terasa romantis kini menjadi bersuasana canggung hingga perjalanan dari restaurant kerumah Sunny, mereka berdua hanya saling diam.Sunny berbaring di tempat tidurnya sambil melihat kalung cincin yang menggantung ditangannya. Perasaan Sunny saat ini campur aduk, dia sendiri bingung mengapa dia tidak bisa langsung mengiyakan lamaran Ryan. Ryan yang begitu baik dan mencintainya. Bayangan tentang ulang tahunnya bersama Affy terlintas kembali, dia meletakan kalung dari Ryan itu diatas meja yang berada disebelah tempat tidurnya, kemudian dia mengambil boneka koala pemberian Affy dan memandanginya hingga Sunny tertidur dengan memeluk boneka koala itu.
***"Sun, kamu baik-baik aja?." Tanya Lizha yang melihat Sunny terlihat tak bersemangat duduk di meja kantornya."Kenapa Liz?." Tanya Sunny lagi karena dia tak mendengarkan apa yang dikatakan Lizha."Kamu kenapa, Sun? Kamu kelihatan ndak semangat gitu." Ulang Lizha."Aku baik-baik aja kog. Cuma kurang tidur aja semalam." Jawab Sunny."Itu.. Itu cincinkan? Kenapa ndak dipakai di jemari?." Lizha menunjuk cincin yang menggantung dileher Sunny."Ini kalung Liz. Ohya, Aku tinggal ya Liz, Baru ingat kalau aku masih ada kelas." Sunny mencoba kabur dari pertanyaan- pertanyaan Lizha.Hari ini Sunny tidak berharap bertemu Ryan ataupun Affy. Dia masih butuh waktu untuk menata perasaannya. Sunny mencoba untuk fokus pada pekerjaannya sehingga dia tidak perlu memikirkan hal lain. Tapi dia juga tidak bisa menghindar saat Ryan meneleponnya."Iya Kak." Kata Sunny pada Ryan lewat telepon."Sayang, kakak mau kabarin aja nanti malam kakak sudah balik ke Medan lagi." "Penerbangan jam berapa?biar aku bisa antar." Tanya Sunny."Ndak perlu sayang, kakak kan uda biasa pulang pergi sendiri." Jawab Ryan."Oh gitu. Yauda, nanti kalau uda sampai sana, kabarin aku ya kak." "Iya sayang, ok kakak mau packing dulu. Kamu hati-hati di surabaya, jangan nakal." Kata Ryan sebelum mengakhiri telepon.Sunny tahu mengapa Ryan tidak mau diantar, Ryan sengaja memberi waktu pada Sunny untuk berpikir, dia tidak mau memaksa Sunny untuk mengambil keputusan sekarang.
"Diam aja bro, loe kenapa?" Tanya teman Ryan yang mengantarnya ke bandara."Biasa Sunny, ki" Jawab Ryan singkat."Kalian bertengkar?." Tanya Riky."Ndak, aku kemarin ngelamar Sunny, tapi dia belum bisa kasih aku jawabannya, aku tahu dari ekspresinya kalau dia masih ragu." "Kalian kan baru 1 tahun pacaran, apa ndak terlalu terburu-buru loe bro? Loe kan juga belum begitu mengenal keluarganya, wajarlah kalau Sunny masih ragu." Kata Riky."Kamu benar juga ki, mungkin akunya yang terlalu terburu-buru. Aku cinta banget ma Sunny, aku ndak mau kehilangan dia." Jelas Ryan."Loe tenang aja. Kalau jodoh ndak kemana kog bro." Riky menepuk pundak Ryan.Ngobrol dengan Riky membuat Ryan bisa lebih lega sehingga dia bisa tenang melakukan perjalanan kembali ke Medan.
Next bab 5... 😃
BaB 5. Kebenaran
- Yang menyakitkan dari mencintai diam - diam adalah saat kita menyadari atas semua usaha kita untuk menghindar semuanya sia- sia -
Hari masih terlalu pagi tapi sudah ada seorang pria yang menunggu Sunny didepan rumahnya.
"Iya halo." Sunny meraih hpnya yang berada diatas meja samping tempat tidur.
"Sun, Mas sekarang ada di depan rumah kamu, bisa kamu keluar?." Kata pria itu melalui telepon.
"Mas Affy?." Sunny terkejut dan langsung beranjak dari tempat tidurnya.
Sunny tidak langsung membukakan pintu untuk Affy tapi Sunny pergi ke kamar mandi dulu untuk memastikan penampilannya aman saat bertemu dengan Affy nanti.
"Mas Affy?." Sunny membuka pintu.
"Maaf Sunny, Mas ganggu kamu pagi- pagi gini di akhir pekan."
"Mas ada perlu apa pagi- pagi kesini?." Kata Sunny yang masih mengenakan piyama dan jaket.
"Mas mau minta tolong kmu untuk temanin mas ke suatu tempat." Affy to the point.
"Memang mas mau ajak aku kemana?."
"Nanti kamu juga akan tahu, tapi kamu bersediakan ?" Tanya Affy.
"Ok, tapi aku siap- siap dulu, mas bisa tunggu sambil duduk dulu." Setelah berpikir beberapa menit, Sunny mengiyakan ajakan Affy.
Mereka pun tiba ditempat yang dimaksud oleh Affy. Ketika sampai ditempat itu, Sunny merasa heran kenapa Affy membawa dia ke pemakaman yang letaknya diluar kota.
"Mas buat apa kita kesini?." Tanya Sunny saat dia melihat Affy membawa sebuket bunga mawar putih bersamanya.
"Kamu ikuti aku aja." Affy melangkah ke area pemakaman dan berhenti disatu makam yang bertuliskan nama seseorang yang tak asing bagi Sunny.
"Ini makam mbk Bulan?." Tanya Affy.
"Iya ini makam mendiang istri mas." Affy meletakan buket mawar itu didepan batu nisan istrinya.
"Mas Affy!." Seseorang memanggil Affy dari belakang.
"Mulan?." Affy terkejut melihat Mulan adik angkat mendiang istrinya berada disana.
"Ini! Ini bukannya cewek yang buat Mas Affy dan mbk Bulan bertengkar waktu itu." Mulan menunjuk ke arah Sunny.
"Maaf maksud mbk apa ya?." Tanya Sunny pada perempuan yang dipanggil Affy dengan Mulan.
"Iya kamu itu penyebab..."
"Mulan cukup, tolong kamu ingat sekarang kita ada dimana." Affy memotong ucapan Mulan.
"Ok! Aku akan diam karena aku menghormati mbk Bulan." Jawab Mulan.
"Sebaiknya kita pergi dari sini." Affy mengajak Sunny pergi.
"Mas! Jangan lupa nanti malam ada doa dirumah mama dan mas harus datang." Ucapan Mulan menghentikan langkah Affy.
"Baik, Mas ngerti." Affy dan Sunny meninggalkan tempat itu.
"Tadi itu adiknya mbk Bulan?." Tanya Sunny pada saat mereka sudah berada dalam mobil.
"Iya. Mulan itu adik angkatnya Bulan." Jawab Affy.
"Mas aku mau tanya tapi mas jawab jujur ya, kenapa Mbk Mulan berbicara seperti tadi?."
"Uda kamu ndak perlu pikirin ucapan Mulan. Ohya karena Aku nanti x ke rumah mertuaku, kamu aku anter ke rumah Ibu ku aja ya, tunggu aku disana, disana juga ada Dipta." Affy mencoba mengalihkan perhatian.
"Yauda kalau itu mau mas." Sunny tak ingin lebih jauh berdebat dengan Affy karena Sunny melihat kesedihan diwajah Affy.
Sunny berada dirumah orangtua Affy, banyak yang berubah setelah bertahun-tahun berlalu. Ibu Affy pun sudah tidak mengenali Sunny lagi. Sunny beristirahat dikamar Affy, kamar Affy begitu rapi seperti kamar perempuan dan begitu banyak buku- buku yang berjejer di rak. Saat melihat- lihat buku tidak sengaja Sunny menjatuhkan satu buku, saat buku itu terjatuh ada selembar foto yang keluar, Sunny mengambil foto itu dan Sunny terkejut melihat foto dia bersama dengan Affy saat mereka sedang berlibur bersama sekitar 7 tahun yang lalu. Sunny tidak menyangka bahwa Affy masih menyimpannya.
***
Tujuh tahun lalu...
"Ayo kamu pasti bisa!." Goda Affy saat Sunny mencoba melangkah melewati selokan yang agak lebar.
"Mas tolongin. Mas jangan potret- potret aku terus." Sunny mencoba melarang Affy memotret dirinya, tapi Affy tetap memotret karena bagi Affy, Sunny terlihat lucu saat keadaan seperti itu.
"Kamu kalau ndak cepat, kita tinggal loh." Goda Affy lagi.
Sunny yang takut ditinggal berusaha untuk melangkah selebar mungkin untuk melewati selokan itu.
"Yeah.. Akhirnya bisa!." Senyum lebar tergambar diwajah Sunny. Affy pun tak mau melewatkan moment itu, dia langsung mengambil gambar Sunny yang sedang tersenyum.
"Hayo.. Mas motret apa aja tadi. Sini aku mau lihat." Sunny yang tersadar berusaha merebut kamera Affy.
"Kejar aku kalau bisa." Affy melarikan diri.
"Kalian berdua itu kayak anak TK aja rebutan sampai kayak gitu." Celetuk pria yang ikut liburan bersama Affy dan Sunny.
"Mas Affy duluan yang mulai." Sunny pura- pura ngambek dan duduk diatas batu.
"Affy aku pinjam kameranya dong." Affy menyerahkan kameranya pada Arman.
"Affy coba kamu duduk disebelah Sunny sekarang." Ucap Arman.
"Buat Apa?." Tanya Affy.
"Uda cepat sana!." Perintah Arman.
Setelah Affy duduk di dekat Sunny, Arman mulai memotret mereka. Affy dan Sunny langsung protes, Arman dan Rosa hanya tertawa kecil menanggapi mereka.
"Liat, Ros. Bagus kan hasilnya." Arman memperlihatkan hasil jepretannya pada Rosa.
"Iya Mas, mereka kelihatan serasi banget, meskipun ekspresinya masih kaku." Rosa tertawa.
***
"Bu guru, papa datang." Kehadiran Dipta membuyarkan lamunan Sunny.
"Oh.. Papa sudah datang ya. Ayo sayang." Sunny menggandeng Dipta keluar dari kamar.
"Maaf ya Sun, kamu harus nunggu lama." Ucap Affy.
"Ndak papa mas." Sunny tersenyum.
"Yauda kalau gitu kita balik Surabaya sekarang, Mas pamit ibu mas dulu, kamu dan Dipta tunggu di Mobil aja."
"Aku ndak perlu pamit sama ibu mas?." Tanya Sunny.
"Ndak usah, biar sekalian mas aja yang pamitin." Jawab Affy.
"Mas baik- baik aja?." Tanya Sunny saat dalam perjalanan pulang.
"Mas baik baik aja, sepertinya Dipta uda tidur, kamu kalau capek tidur aja ndak papa." Kata Affy.
Sepanjang perjalanan pulang Affy hanya diam saja. Sunny melihat kesedihan di mata Affy tapi sepertinya Affy enggan untuk bercerita kepadannya. Tak lama kemudian Sunny tertidur dan Affy sempat menoleh ke arah Sunny yang sedang tidur. Affy hanya tak ingin menunjukan kesedihannya pada siapapun termasuk Sunny. Setiap peringatan kematian istrinya Affy masih sangat merasa bersalah karena secara tidak langsung Affy penyebab kematian Ibu dari anaknya itu.
***
Tiga tahun lalu ...
"Pa ini apa?." Tanya istri Affy dengan nada suara tinggi.
"Mama temuin foto- foto ini dimana?." Affy terkejut saat melihat foto- foto yang diberikan istrinya.
"Ternyata papa selama ini masih menyimpan foto perempuan ini. Apa papa diam- diam masih berhubungan dengan dia?." Tanya Bulan dengan emosi.
"Mama salah paham, dengerin papa dulu. Papa ndak pernah ada hubungan dengan Sunny. Foto itu ndak berarti apa-apa buat papa." Affy mencoba menenangkan istrinya.
"Pa, liat mata mama, jawab mama dengan jujur, apa papa pernah mencintai perempuan ini?." Nada suara Bulan melemah mata Bulan memandang kedalam mata Affy.
"Baik Papa akui memang dulu papa pernah mencintai Sunny tapi itu dulu sebelum kita menikah. Mama harus percaya papa, sekarang yang terpenting untuk papa adalah mama dan Dipta." Affy mencoba meyakinkan istrinya.
"Apa papa mencintai mama?." Tanya Bulan yang tak kuasa menahan air mata yang jatuh di pipinya.
Affy tersentak mendengar pertanyaan Bulan. Dia seketika merasa susah menggerakkan bibirnya menjawab Bulan.
"Pa jawab !! Papa ndak bisa jawab? Ok mama pergi!!." Bulan meninggalkan Affy dalam keadaan marah. Affy yang tersadar langsung mengejar Bulan.
"Ma jangan pergi! Dengarkan papa dulu! Mama jangan seperti ini, buka pintunya ma!." Affy menggedor- gedor jendela mobil yang dikendarai Bulan. Bulan tidak mau mendengarkan perkataan Affy dia tetap pergi dengan emosi dan sambil menangis.
"Mas jahat!! Mas jahat!! Mas ndak pernah cinta sama aku!." Teriak Bulan dalam keadaan menyetir dengan kecepatan tinggi.
Affy begitu mengkhawatirkan Bulan. Dia mencoba mengejar mobil Bulan dengan sepeda motor.
"Mas jahat! Kenapa mas?kenapa mas?." Bulan masih berteriak dalam mobil.
"Maaaa... Awas!!!!" Teriak Affy saat melihat ada truk dari arah lain hendak menabrak mobil istrinya tapi Affy tak sempat menghentikan truk itu karena jarak mereka masih terlalu jauh.
"Bruaaakkkkk!!!." Kecelakaan tak bisa terhindari. Mobil yang ditumpangi Bulan tertabrak truk dan terlempar cukup jauh. Affy yang melihat itu langsung bergegas mencari keberadaan Bulan dan membawa Bulan ke Rumah Sakit.
"Ma maafin papa, mama harus bisa bertahan. Kita sebentar lagi sampai rumah sakit." Kata Affy saat berada di dalam ambulans.
"Dokter tolong istri saya dok, tolong dok!." Affy tak bisa menyembunyikan kecemasannya.
Setelah beberapa saat Dokter keluar dari ruang operasi dan Dokter mengatakan bahwa Bulan tidak bisa diselamatkan. Tangis Affy pun pecah, dia sangat sedih kehilangan istrinya. Selama beberapa hari setelah kepergian istrinya Affypun masih merasa sedih.
***
"Sun..Sunny kita sudah sampai." Affy mencoba membangunkan Sunny yang tertidur di mobil, tapi Sunny tidak merespon akhirnya Affy memutuskan membiarkan Sunny tidur lebih lama.
"Ndak salah tadi mas anter Dipta pulang duluan, kamu tidurnya seperti babi susah dibanguninnya." Affy tertawa sendiri sambil meminggirkan rambut yang menutupi wajah Sunny yang sedang tidur dan tak lama kemudian Affy pun ikut tertidur dan tanpa terasa pagi telah datang.
Bab 6. Rindu
- Aku ingin membunuh waktu agar aku tak perlu rindu -
Sunny bangun lebih dulu dibanding Affy dan dia terkejut saat melihat siapa yang duduk tertidur disebelahnnya.
"Mas Affy." Ucap Sunny dan dia juga menyadari bahwa tangannya berada dalam genggaman Affy. Saat Sunny berusaha melepaskan genggaman itu, Affy terbangun.
"Sunny kamu sudah bangun?." Affy yang tersadar langsung melepaskan genggaman tangannya.
"Iya Mas. Mas kenapa ndak bangunin aku aja?." Tanya Sunny.
"Mas uda coba bangunin kamu berkali- kali, tapi kamunya ndak bangun- bangun. Kamu tidurnya seperti babi sih." Affy tertawa kecil.
"Mas bilang aku seperti apa?Babi?yang mas katakan itu jahat!." Sunny meninju lengan Affy dan merekapun tertawa bersama.
"Yauda.. Kamu masuk sana." Sunny keluar dari mobil Affy.
"Makasih mas. Hati- hati dijalan." Sunny melambaikan tangan ke arah Affy.
"Haaaa... Untung hari ini masih libur, jadi aku masih bisa istirahat dirumah, badanku rasanya capek semua." Sunny melemparkan dirinya ke tempat tidur dan mengarahkan telapak tangan keatas, dia teringat bagaimana Affy menggenggam tangannya sewaktu tidur, tanpa sadar Sunny tersenyum sendiri.
Nada dering hp Sunny terdengar, membuat Sunny bangkit dari tempat tidurnya.
"Iya kak." Sunny menjawab telepon.
"Sayang kamu kemana aja? Semalaman kakak telepon ndak bisa." Ucap pria dari sebrang telepon.
"Maaf kak Ryan, battery hpku semalam habis dan aku lupa mau kabarin." Sunny menjelaskan.
"Ok. Kakak hanya khawatir aja sama kamu, lain kali jangan seperti ini lagi ya."
"Iya kak, aku ngerti." Sunny tidak menceritakan kepada Ryan bahwa kemarin dia sedang bersama Affy, Sunny tak ingin Ryan cemburu.
***
Affy menemani Dipta yang masih tidur dikamarnya. Affy juga merasa bersalah pada Dipta karena Dipta tidak bisa merasakan kasih sayang ibunya seperti kebanyakan anak seusianya. Affy selama ini berusaha untuk menjadi ayah sekaligus Ibu yang baik untuk Dipta.
"Iya ma." Affy berbicara dengan Ibu mertuanya ditelepon.
"Kemarin kenapa kamu buru-buru pulang?mama mau ngobrol sama kamu sampai tidak bisa." Tanya Ibu mertua Affy.
"Maaf kemarin saya ndak pamit mama dulu. Saya hari ini ada kerjaan di surabaya jadi saya habis acara langsung kembali, saya juga bawa Dipta, takutnya Dipta kecapekan." Kata Affy.
"Dipta? Kemarin mama ndak lihat ada Dipta?malah mama dengar Dari Mulan kalau kamu kemarin ke makam Bulan dengan perempuan itu."
"Dipta kemarin saya titipkan ditempat Ibu. Mama jangan salahpaham dulu, memang saya kemarin ke makam Bulan dengan Sunny, tapi itu ndak berarti apa-apa." Affy mencoba menjelaskan.
"Baik untuk sekarang mama akan percaya sama kamu, tapi mama minta tolong kamu jangan pernah berhubungan lagi sama perempuan itu. Kamu tahu kan gimana perasaan mama?." Kata Ibu mertua Affy.
"Saya ngerti ma. Maafkan saya sudah membuat mama khawatir." Affy mengakhiri teleponnya. Affy sangat mengerti perasaan Ibu mertuanya, tapi Affy juga tidak bisa berjanji untuk menjauhi Sunny. Selain karena Sunny adalah guru Dipta juga karena Sunny merupakan orang yang penting bagi Affy.
***
Affy sengaja untuk beberapa waktu ini menghindar dari Sunny karena Affy ingin menata kembali perasaannya setelah peringatan kematian istrinya.
"Hai sayang." Ryan sedang melakukan panggilan video dengan Sunny.
"Hai Kak." Sunny tersenyum melihat Ryan dilayar hpnya.
"Gimana sekolah hari ini?." Tanya Ryan.
"Semua baik kak, kakak tumben jam segini bisa vicall aku, memang ndak lembur?."
"Kakak hari ini ndak lembur. Kalau baik, kenapa kamu kelihatan murung?." Ryan melihat raut wajah Sunny.
"Murung? Aku ndak murung. Aku cuma capek aja habis pulang kerja." Sunny mencoba tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran Ryan. Sunny sebenarnya sedang memikirkan Affy karena sudah seminggu semenjak kejadian di makam itu Sunny belum melihat Affy disekolah. Dipta tetap masuk sekolah tapi tidak bersama dengan Affy.
"Maka nya kamu ikut kakak aja ke Medan jadi kamu ndak perlu capek- capek kerja. Biar kakak aja yang kerja." Ryan memberikan kode pada Sunny.
"Ndak ah. Nanti kalau aku disana ditinggal lembur terus." Sunny mencoba menganggap ucapan Ryan sebagai gurauan.
"Ndak akan terjadi asal kamu mau." Jawab Ryan tersenyum.
"Kak, masih ingat temanku Rosa?." Sunny mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya kakak ingat. Kenapa?." Tanya Ryan.
"Rosa minggu depan menikah tapi acaranya diadakan di Malang."
"Kamu kesana sama siapa?naik apa?."
"Pengennya kesana sama kakak tapi ndak mungkinkan jadi aku kesananya sendiri aja, kakak tenang aja, aku kesana naik kereta, Rosa sudah mengatur semuanya." Sunny meyakinkan Ryan.
"Iya maafin kakak ndak bisa nemenin kamu kesana. Ini kamu belum dirumah? Lagi dimana?." Ryan menyadari latar belakang tempat Sunny sekarang tidak familiar.
"Iya belum. Tadi pulang kerja sekalian cari makan dulu daripada entar keluar- keluar rumah lagi. Ini uda mau pulang kak."
"Yauda.. Kamu pulangnya hati- hati, love you.. Muaaach." Ryan tersenyum lebar.
"Kakak apaan sih. aku pulang dulu ya. Love you too." Sunny tersipu malu dan tersenyum kearah kamera.
Sunny berjalan menuju rumahnya, Sunny tidak bisa berhenti memikirkan Affy. Dia mulai merasakan rasa itu lagi, rasa rindu seperti 5 tahun yang lalu saat Sunny tahu Affy tidak akan kembali. Sunny takut kali ini juga begitu. Karena terlalu memikirkan Affy, Sunny sampai tak menyadari kehadiran ribuan air yang jatuh dari langit. Saat Sunny sadar dia sudah basah kuyup. Sunny masih terduduk di teras rumahnya, dia tahu tak seharusnya rasa itu hadir lagi, sekarang sudah ada Ryan dihidupnya yang begitu mencintainya.
***
Pagi ini Sunny merasa kurang enak badan karena semalam dia kehujanan waktu pulang kerumah, tapi dia tetap memaksa diri untuk mengajar.
"Kamu baik- baik aja, Sun?." Tanya Lizha pada Sunny yang kelihatan pucat.
"Cuma agak flu aja Liz, kamu ndak usah khawatir." Jawab Sunny.
"Kamu sebaiknya pulang aja, istirahat dirumah. Kamu kelihatan pucat banget."
"Aku ndak apa2, aku ke kelas dulu ya." Sunny pergi meninggalkan Lizha.
Sekolah telah berakhir, Sunny sedang menunggu taxi didepan sekolah sampai ada sebuah mobil berhenti tepat di depannya.
"Bu Sunny sedang nunggu siapa?." Tanya orang dalam mobil itu.
"Mas Affy?." Kata Sunny dalam hati yang merasa senang bisa melihat wajah itu lagi.
"Sun kamu baik- baik aja kan?." Sunny melamun sampai tak menyadari Affy sudah berdiri didepannya.
"Mas Affy, eh Pak Affy aku baik- baik aja." Sunny terlihat salah tingkah.
"Kamu mau pulang kan? Bareng kita aja." Affy membukakan pintu mobilnya untuk Sunny.
"Sunny!" Affy langsung reflek menangkap Sunny yang tiba- tiba pingsan saat akan masuk ke mobil Affy.
"Badan kamu panas banget. Kita harus segera kerumah sakit." Affy berbicara sendiri.
Affy segera melajukan mobilnya ke Rumah sakit. Dia begitu khawatir melihat kondisi Sunny. Dipta juga ikut mengantar Sunny.
"Dok, bagaimana keadaan Sunny?." Tanya Affy pada dokter yang menangani Sunny.
"Ibu Sunny mengalami demam, jadi untuk sekarang biarkan dulu dirawat disini agar kami bisa pantau terus keadaannya, bapak tenang aja kita tinggal tunggu Ibu Sunny sadar." Dokter menjelaskan.
Affy kemudian mengantar Dipta kerumah ibunya karena kebetulan sudah waktunya untuk Dipta tinggal ditempat neneknya. Setelah itu Affy kembali kerumah sakit untuk menemani Sunny. Affy sudah berada di kamar Sunny, tapi Sunny belum juga tersadar.
"Sun kamu tenang aja Mas akan selalu nemenin kamu disini." Affy menggenggam tangan Sunny.
***
Enam tahun yang lalu ...
"Sun, Aku dengar dari Mas Arman kalau Mas Affy lagi sakit." Kata Rosa.
"Sakit?Sakit apa? Terus sekarang Mas Affy dimana?." Tanya Sunny terlihat cemas.
"Hayoo.. Kamu kelihatan khawatir banget. Kamu tanya langsung aja ke orangnya. Kata Mas Arman, Mas Affy lagi istirahat di UKS." Jawab Rosa.
"Aku khawatir? Ndak biasa aja kog. Baguslah kalau uda di UKS. Aku balik kerja dulu ya ros." Meskipun sebenarnya Sunny khawatir dengan keadaan Affy tapi dia berusaha bersikap biasa saja didepan Rosa.
Sunny tidak bisa konsentrasi pada pekerjaannya, dia masih khawatir dan ingin melihat langsung keadaan Affy tapi dia tak mungkin langsung terang- terangan mengatakan itu kepada Rosa dan yang lain.
"Masuk ndak.. Masuk ndak.. Masuk ndak." Sunny sedang mondar mandir didepan UKS, dia mencuri- curi waktu agar bisa mengunjungi Affy tapi dia masih ragu untuk masuk.
"Apa coba aku ketok dulu aja pintunya." Sunny sudah mengetok pintu UKS beberapa kali tapi tidak ada sautan dari dalam. Sunny pun masuk dan melihat Affy yang sedang tidur disana. Sunny ingin memastikan kondisi Affy, dia ingin menyentuh dahi Affy untuk mengetahui apa Affy demam, tapi beberapa kali dia ragu melakukannya sampai pada akhirnya dia menempelkan telapak tangannya ke dahi Affy.
"Panas banget." Kata Sunny
"Hayoo.. Kamu ngapain disini?." Sunny terkejut saat Affy meletakkan tangannya diatas tangan Sunny yang sedang menempel di dahinya.
"Mas Affy!." Sunny langsung melepaskan tangannya.
"Kamu khawatir sama Mas?." Goda Affy.
"Mas badan kamu panas banget, apa ndak sebaiknya kita ke rumah sakit aja." Sunny terlihat serius.
"Mas ndak papa, habis minum obat terus istirahat pasti baikan, mas bisa tolong ambilkan minum." Affy menyakinkan Sunny.
Sunny mengambilkan minum agar Affy bisa minum obat, setelah minum obat Sunny menyuruh Affy untuk tidur. Sunny masih disana beberapa waktu, dia memandangi wajah Affy yang sedang tidur.
"Jangan dilihatin terus, entar jatuh cinta loh." Goda Affy yang ternyata belum tertidur.
"Mas ini lagi sakit masih bisa aja bercanda."
"Uda kamu balik kerja sana, nanti dicariin Ibu ketua loh." Panggilan Affy untuk spv bagian Keuangan.
Sunny hampir lupa bahwa sekarang masih jam kerja. Setelah menyuruh Affy tidur, Sunny bergegas kembali keruangannya. Beruntung tidak ada yang menanyakan kemana dia pergi. Sunny melihat jam di layar laptopnya, berharap pukul 5 sore segera tiba sehingga dia bisa kembali menjenguk Affy. Saat yang ditunggu Sunny datang, tapi ternyata dia tidak bisa menjenguk Affy karena Rosa menempel padanya terus. Sesampainya dirumah Sunny masih memikirkan Affy dan dia mengirimkan pesan singkat pada Affy.
"Mas gimana? Apa sudah baikan?"
Sampai malam datang Affy belum membalas pesan Sunny. Pagi hari saat berada di sekolah pesan singkat dari Affy masuk.
"Hari ini ndak masuk. Badan K.O"
Sunny membalas.
"Mas dimana? Udah ke dokter?"
Sunny menunggu balasan dari Affy hingga hari berganti tapi Affy belum membalas. Saat makan siang pesan yang ditunggunya masuk.
"Di rumah. Besok udah masuk"
Sunny bisa tenang setelah membaca pesan singkat dari Affy. Sunny tak sabar menunggu hari esok sehingga dia bisa melihat Affy lagi.
Matahari telah menampakan wujudnya, Sunny dengan semangat menuju ke sekolah dengan membawa sebuah kantong yang berisi sebuah jeruk dan sebotol susu.
"Mas Affy!." Sunny memanggil Affy yang berjalan dikoridor sekolah.
"Gimana udah baikan? Ini buat Mas." Sunny memberikan kantong yang dipegangnya.
"Mas uda baikan cuma sekarang kalau makan mesti lebih dijaga, gejala tipus kata dokter. Ini apa?."
"Mas sih makan nya ndak sehat. Itu? Buka aja sendiri. Bye mas !." Sunny bergegas pergi sambil melambaikan tangan dan tersenyum kearah Affy.
Affy melihat apa yang diberikan Sunny untuknya dan dia tersenyum. Tanpa terasa sudah waktunya pulang. Saat menuju parkiran Sunny melihat sosok asing sedang berbicara dengan Affy didepan gerbang sekolah.
"Hayo.. Ngelihatin siapa?." Seseorang menepuk pundak Sunny dari belakang.
"Mas Arman, ngapain sih? Ngagetin aja."
"Itu pacarnya Affy, karena kemarin habis sakit, dia hari ini diantar jemput sama pacarnya." Arman menjelaskan tanpa Sunny memintanya.
"Ndak Tanya.. Week!!." Sunny meledek Arman kemudian pergi.
Kata- kata Arman masih terngiang- ngiang dikepala Sunny. Ini kali pertama dia melihat sosok yang menjadi pacar Affy, seorang wanita berhijab dengan paras cantik.
***
Sunny terbangun, dia melihat Affy tertidur disampingnya dengan posisi duduk dan menggenggam tangan Sunny.
"Mas Affy." Sunny mencoba membangunkan Affy.
"Sunny.. Syukurlah akhirnya kamu bangun juga." Affy yang belum sepenuhnya sadar langsung memeluk Sunny, saat Affy tersadar dia melepaskan pelukannya dan meminta maaf pada Sunny.
"Aku dirumah sakit ya mas?." Sunny melihat sekitarnya.
"Iya kemarin waktu mas mau antar kamu pulang, tiba- tiba kamu pingsan, jadi kamu langsung mas bawa kerumah sakit."
"Maaf mas kalau aku ngerepotin." Kata Sunny dengan suaranya yang terdengar masih lemah.
"Kamu ndak ngerepotin mas sama sekali. Sebentar mas tinggal panggil dokter dulu." Affy meninggalkan kamar Sunny.
Setelah beberapa menit Affy kembali bersama dokter.
"Bagaimana kondisi Sunny dok?." Tanya Affy.
"Demam Bu Sunny sudah turun dan kondisinya semakin membaik. Nanti sore sudah bisa pulang." Jawab dokter.
"Terima kasih dokter." Affy menjabat tangan dokter.
Sore ini Sunny keluar dari rumah sakit, meskipun Sunny bilang dia bisa pulang sendiri tapi Affy tetap saja ingin menemaninya dan Sunny tidak bisa menolak itu.
"Mas, sepertinya ini bukan arah ke rumahku?." Tanya Sunny.
"Kita akan kerumah Mas. Untuk sementara kamu tinggal disana sampai kondisimu benar- benar pulih." Jawab Affy.
"Apa? Aku tinggal ditempat mas. Mas berhenti sekarang! Mas aku bilang berhenti sekarang!." Sunny terdengar marah dan Affy pun menghentikan laju mobilnya.
"Mas aku ndak mungkin tinggal dirumah mas, apa nanti kata orang. Lagi pula aku uda sehat, aku bisa ngurus diri aku sendiri." Sunny menjelaskan.
"Sun, untuk kali ini aja mas mohon kamu bersedia tinggal dirumah mas, dengan kondisimu sekarang, mas ndak mungkin bisa ngebiarin kamu tinggal sendirian dirumah kamu. Kalau kamu kenapa- kenapa lagi gimana? Tolong sun jangan buat mas khawatir." Affy memegang tangan Sunny, Sunny bisa melihat ketulusan Affy dari tatapan matanya membuat Sunny berfikir lagi.
"Baik mas, untuk sementara aku akan tinggal dirumah mas." Meskipun masih ragu, Sunny menyetujui permintaan Affy.
"Makasih Sun." Affy memeluk Sunny.
Sunny tahu mungkin ini adalah keputusan yang salah, tapi untuk kali ini dia ingin mengikuti kata hatinya, meskipun ada resiko yang menantinya.
BaB 7. Kebohongan Sunny
- Kepercayaan itu seperti sebuah gelas dimana saat gelas itu jatuh dan pecah, tidak akan bisa kembali utuh dan sama lagi -
Sunny tiba dirumah Affy. Rumah Affy tidak begitu besar tetapi memiliki halaman yang cukup luas. Saat masuk kedalam rumah, Sunny disambut oleh Dipta.
"Bu Sunny." Dipta berlari ke arah Sunny.
"Hai sayang." Sunny memeluk Dipta.
"Bu, kata papa Bu Sunny akan tinggal disini ya? Yeah.. Yeah!." Dipta terlihat senang.
"Iya sayang, untuk sementara Ibu akan tinggal disini."
"Ohya Sunny, kenalkan ini bi Mina, selama tinggal disini kalau kamu perlu apa- apa bisa bilang ke bi Mina atau ke Mas langsung." Affy memperkenalkan asisten rumah tangga.
"Iya makasih mas."
"Bi tolong antarkan Sunny kekamarnya." Kata Affy pada wanita yang seumuran ibunya.
"Baik tuan, non silakan." Bi Mina mengantarkan Sunny ke kamarnya. Kamar Sunny terletak disebrang kamar Dipta.
Sebelum tidur Dipta berlari ke kamar Sunny. Dipta ingin meminta Sunny untuk membacakan dongeng untuknya. Sunny menemani Dipta dan membacakan dongeng di kamar Dipta sampai Sunny ikut tertidur dikamar Dipta. Affy pergi ke kamar Dipta, Affy selalu mengecek ke kamar Dipta saat malam, memastikan Dipta sudah tidur. Affy terkejut melihat seseorang yang tidur disamping Dipta, beberapa menit Affy berada disana memandangi Sunny yang sedang tidur. Affy merasa senang Dipta dan Sunny bisa seakrab itu.
"Malam sayang." Affy mencium kening Dipta dan membenarkan selimut Dipta dan Sunny.
***Sunny bangun pukul 05.00 dia tersadar bahwa dia tertidur dikamar Dipta. Sunny melihat Dipta yang masih tidur mencoba untuk membangunkannya. Setelah Sunny membantu Dipta menyiapkan semua keperluan sekolahnya, Sunny kembali ke kamarnya bersiap- siap untuk berangkat kerja. Saat menuju meja makan, disana sudah ada Affy dan Dipta yang menunggu."Pagi Sun." Affy menyapa"Pagi Mas." Sunny duduk disamping Dipta."Dimakan Sun.Ohya.. Makasih kamu tadi uda bantuin Dipta untuk siap- siap ke sekolah." "Iya sama- sama Mas. Ini mas yang masak?." Tanya Sunny saat mencoba nasi goreng yang ada didepannya."Iya, kenapa? Ndak enak ya?." Tanya Affy."Enak banget mas. Cuma uda lama banget aja aku ndak makan masakan mas." Puji Sunny dan Affy membalasnya dengan senyuman."Mas aku duluan ya." Sunny berdiri dari tempat duduknya."Kamu mau kemana?." "Berangkat kerja." Sunny bingung dengan pertanyaan Affy."Loh? Kenapa ndak bareng kita aja? Kan tujuannya sama?." Affy heran."Aku hanya ndak mau ngerepotin Mas aja. Tolong mas biarkan aku berangkat sendiri ya." Kata Sunny.Affy melihat sorot mata Sunny seperti ada makna tersirat didalamnya. Affy tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Sunny, hanya saja Affy menghormati keputusan Sunny dan menyetujui permintaan Sunny. Sunny hanya tak ingin terlalu bergantung pada Affy dan Sunny tidak ingin menimbulkan kecurigaan teman kerjanya saat Sunny datang bersama dengan Affy dan Dipta. Sepulang kerja pun Sunny tidak ingin diantar, Sunny lebih memilih pulang sendiri menggunakan taxi.
Saat Sunny memasuki kamar terdengar nada dering hpnya berbunyi. Sunny mengambil hpnya dan pergi ke teras depan."Iya kak." Sunny mengangkat telepon dari Ryan."Maaf ya kakak beberapa hari ini sibuk banget, sampai baru sekarang bisa hubungi kamu.""Iya Kak, ndak apa, Sunny ngerti.""Kamu lagi ngapain sekarang?." Tanya Ryan."Lagi ngobrol ma kakak." Sunny tertawa kecil."Yee.. Kakak tanyanya serius malah dibecandain. Kamu ndak kangen sama kakak? Beberapa hari kakak ndak hubungi kamu, tapi kamu ndak berusaha hubungi kakak duluan?." Nada bicara Ryan terdengar serius."Aku kangenlah sama kakak, cuma aku pikir kakak pasti lagi sibuk, jadi aku sengaja ndak hubungi kakak." Jawab Sunny."Benar gitu?." Tanya Ryan curiga."Iyalah kak. Kakak ndak percaya sama aku?.""Kakak percaya sama kamu, yauda kamu tidur sana. Besok masih kerjakan." Kata Ryan."Good night kak." Kata Sunny sebelum menutup teleponnya.Sunny masih duduk diteras depan. Dia merasa bersalah karena tidak bisa jujur pada Ryan tentang Affy. Sunny tidak bisa membayangkan bagaimana jika Ryan tahu sekarang pacarnya tinggal dirumah laki- laki lain. Sunny berpikir sejenak dan dia sudah memutuskan untuk pulang kerumahnya besok karena memang dari awal tak seharusnya dia menerima tawaran Affy untuk tinggal dirumah Affy."Sunny, kamu ngapain malam- malam ngelamun sendiri disini?." Affy duduk di kursi sebelah Sunny."Mas Affy? Mas Affy belum tidur?Aku cuma lagi cari udara segar aja." Sunny coba mengalihkan perhatian."Mas ndak bisa tidur. Maka nya mas keluar dan ternyata ada kamu disini." Jawab Affy."Mas ada yang mau aku bicarain." "Ada apa sun?." Affy langsung menoleh kearah Sunny."Aku besok mau pulang kerumahku. Aku merasa sudah sehat sekarang jadi mas ndak perlu khawatirin aku lagi." Sunny to the point."Baik kalau itu yang kamu mau. Mas ndak akan larang." Affy langsung setuju dan sunny tidak menyangka bahwa Affy akan langsung setuju dengan permintaannya."Mas baik- baik aja?." Sunny melihat wajah Affy yang terlihat pucat."Mas baik- baik aja, uda malam, sebaiknya kamu segera tidur, mas tinggal masuk ya." Affy mengusap kepala Sunny.
***Matahari telah menunjukan wujudnya, tapi suasana rumah masih sepi saat Sunny keluar dari kamarnya."Bi, Mas Affy dan Dipta mana ya? Jam segini belum kelihatan." Sunny melirik kearah jam dinding."Tuan Affy belum keluar kamar non dari semalam. Kalau den Dipta, baru aja bibi dari kamarnya buat bantu siap- siap sekolah." Jawab bi Mina."Mas Affy belum keluar kamar?." Sunny merasa aneh karena meskipun baru sehari Sunny tinggal disana, Sunny tahu Affy bukan seseorang yang senang bangun siang dihari kerja."Iya non. Non bibi tinggal ke dapur dulu, mau siapkan sarapan." Pamit bi Mina.
Sunny mengetuk kamar Affy beberapa kali tapi tidak ada sautan."Permisi, Mas Affy." Sunny membuka pintu kamar Affy dan melihat Affy masih berbaring ditempat tidurnya."Mas.. Mas bangun mas." Sunny mencoba membangunkan Affy tapi saat Sunny memegang tangan Affy untuk mengoyangkannya, Sunny merasakan panas terhantar ketelapak tangannya."Bi.. Bi Mina." Teriak Sunny dari dalam kamar."Iya non." Bi Mina menghampiri Sunny."Tolong bawakan saya air dingin dan handuk kecil dan tolong hubungi dokter ya bi." "Papa kenapa Bu?." Tiba- tiba Dipta muncul dikamar Affy."Papa kamu lagi sakit. Tapi Dipta tenang aja pasti papa cepat sembuh setelah diperiksa dokter. Kamu sudah siap ke sekolah?." Sunny mencoba mengalihkan perhatian Dipta."Dipta dirumah aja temenin papa, Dipta ndak mau sekolah." Dipta terdengar sedih."Sayang. Papa kamu akan baik- baik aja. Dipta tetap sekolah ya diantar sama ibu. Dipta tunggu di depan dulu, ibu habis ini keluar." Bujuk Sunny.Setelah Sunny mengkompres Affy, Sunny menitipkan Affy pada bi Mina karena dia harus pergi mengantar Dipta kesekolah, Sunny berpesan pada bi Mina jika dokter datang untuk segera menghubunginya.
Hari ini Sunny meminta ijin untuk tidak masuk kerja, setelah mengantar Dipta, dia langsung kembali kerumah Affy. Sunny tidak menyadari bahwa saat dia disekolah, Lizha melihatnya. Lizha yang mengetahui hari ini Sunny tidak masuk merasa sedikit aneh."Bi, dokternya sudah datang?." Tanya Sunny saat tiba dirumah."Dokternya sedang dikamar tuan Affy non." "Dok gimana keadaannya?." Tanya Sunny pada dokter yang memeriksa Affy."Pak Affy terkena gejala typus. Sementara ini saya akan berikan beberapa obat, kalau dalam 3 hari kondisinya masih belum membaik, tolong segera dibawa kerumah sakit." Kata dokter."Baik dok.. Terima kasih." Sunny meminta bi Mina untuk mengurus Dipta selama Affy sakit. Sunny mengurungkan niatnya untuk pulang kerumah sampai Affy benar- benar sehat.
Tanpa terasa malam telah tiba, setelah Sunny memastikan Dipta makan malam dan masuk kamarnya, Sunny kembali ke kamar Affy untuk mengecek kondisi Affy."Sunny." Affy melihat Sunny dikamarnya."Mas Affy, apa yang mas rasain sekarang?." "Mas ndak apa sun." Affy masih terbaring ditempat tidurnya."Mas makan dulu ya, ini aku buatkan bubur. Setelah itu baru minum obat." Sunny menyuapi Affy."Kalau begini mas sakit terus aja ya." Kata Affy sambil tersenyum."Mas ngomong apa sih, mas harus cepat sehat, mas ndak kasihan ma Dipta." Sunny kesal dengan candaan Affy."Iya..iya mas cuma bercanda, kamu jangan cemberut gitu dong."Setelah minum obat Affy tertidur dan Sunny masih duduk disana menemani.
***Ryan masih mencoba menghubungi Sunny, tapi telepon Sunny masih juga belum diangkat. Ryan khawatir karena Sunny tidak bisa dihubungi. Ryan ingat bahwa dia punya nomor teman sekantor Sunny, Lizha."Malam Lizha, ini Ryan, pacar Sunny.""Mas Ryan, ada apa ya?." Lizha heran karena Ryan malam- malam menghubungi dia."Maaf kalau saya ganggu kamu malam- malam gini, saya dari tadi coba hubungi Sunny tapi tidak bisa. Apa kamu tahu ya Sunny dimana?." "Hari ini Sunny ndak masuk kerja, saya juga ndak tahu mas Sunny dimana." Lizha tidak mengatakan pada Ryan bahwa tadi pagi dia sempat melihat Lizha di sekolah."Sunny ndak masuk kerja? Kamu tahu kenapa?." Ryan terkejut."Saya ndak tahu mas, Sunny juga ndak bilang sama saya." "Terima kasih untuk infonya ya Lizha. Tolong jangan bilang Sunny kalau saya hubungi kamu." Ryan mengakhiri telepon.Ryan semakin khawatir setelah mendengar Sunny tidak masuk kerja. Ryan takut Sunny kenapa- kenapa sehingga dia putuskan untuk terbang ke Surabaya besok.
***Sunny tertidur di kursi kamar Affy. Affy bangun dari tempat tidurnya, dia sudah merasa lebih baik pagi ini. Affy sejenak memandangi wajah Sunny yang tertidur sebelum dia memindahkan Sunny ketempat tidurnya. "Aku kenapa bisa tidur disini?." Sunny terkejut karena berada ditempat tidur Affy dan melihat Affy tidak ada dikamarnya."Mas Affy." Sunny melihat Affy sudah berdiri disamping meja makan."Kamu sudah bangun? Ayo sini sarapan bareng kita." Affy terlihat begitu santai."Mas sudah baikan?." Sunny mengambil tempat duduk di depan Dipta."Mas jauh lebih baik. Kamu bisa lihat sendirikan?." Affy tersenyum."Syukurlah, aku ikut senang dengarnya."Saat kembali ke kamarnya dan melihat hp yang tergeletak di meja, Sunny baru ingat seharian kemarin dia sama sekali tidak memegang hp."Wduh.. Banyak banget miscall dan WA dari Kak Ryan, coba aku telepon balik deh." Sunny berbicara sediri. Beberapa kali di coba telepon oleh Sunny nomor Ryan berada diluar jangkauan. Sunny bergegas membereskan barang- barangnya untuk kembali pulang ke rumahnya."Sunny kamu mau kemana?." Affy melihat Sunny membawa tas besar."Aku mau pulang ke rumah mas. Mas juga sudah sehat kan." "Mas antar kamu ya?." Ryan menawarkan diri."Ndak perlu Mas. Aku bisa naik taxi." Sunny menolak."Sudah. Kamu kan mau pulang, biar mas aja yang antar." Affy merebut tas yang berisi pakaian dari tangan Sunny."Oke.. Oke.. Kalau itu mau mas." Sunny menuruti keinginan Affy.
Sunny tiba dirumahnya, belum sempat dia masuk kerumah nada dering hp nya terdengar dari dalam tasnya."Dari siapa Sun?kenapa ndak diangkat?." Tanya Affy.Sunny tidak menyadari bahwa dari kejauhan ada yang sedang memperhatikannya."Mas kita sudah sampai." Kata sopir taxi yang mengantar Ryan ke rumah Sunny."Maaf pak tunggu disini sebentar." Ryan masih memegang hpnya dan melihat kearah rumah Sunny, disana Ryan melihat sosok yang tak asing sedang berada didekat Sunny."Bukan siapa- siapa, mas pulang aja, makasih udah antar aku pulang." Sunny mencoba mengusir Affy secara halus.Hp Sunny berdering lagi, panggilan video dari Ryan di reject nya lagi."Sun." Affy melihat sikap Sunny yang tak tenang."Iya mas." Sunny langsung melihat ke arah Affy."Mas pulang dulu ya, kamu kalau perlu apapun bisa hubungi mas." Affy langsung memeluk Sunny. Sunny hanya diam.Ryan merasa kesal saat melihatnya dari dalam taxi."Pak kita jalan saja." Ryan tidak jadi turun dan dia meminta supir taxi untuk melanjutkan perjalanan. Ryan ingat pria yang bersama Sunny adalah pria yang ditemuinya di sekolah Sunny, waktu itu Sunny bilang pada Ryan bahwa Affy hanya sebatas orang tua murid saja."Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa dia berani memeluk kamu?." Tanya Ryan dalam hati sambil memegang erat hp nya, tak lama kemudian telepon dari Sunny masuk. "Halo Kak Ryan. Maaf aku baru bisa kabarin sekarang, kemarin seharian aku ndak pegang hp dan tadi aku juga lagi ndak bisa terima telepon." "Kak.. Kak Ryan bisa dengar aku kan?." Tanya Sunny karena Ryan belum berbicara sepatah katapun."Iya Sun, kakak dengar. Memang semalam dan tadi kamu ngapain aja sampai ndak bisa angkat telepon dari kakak?." Tanya Ryan dengan nada dingin."Kemarin teman aku ada yang sakit jadi aku nemenin dia sampai ndak sempat buka hp, tadi aku lagi sibuk masak dan tangan aku kotor jadi ndak bisa terima panggilan kakak." Sunny menjelaskan."Deg" Ryan tahu jelas Sunny sedang berbohong tapi yang tidak dia tahu kenapa Sunny harus berbohong."Teman kamu siapa? Kakak tahu orangnya?." Ryan masih berusaha tenang."Lizha teman kerjaku." Setelah diam sesaat, Sunny mengucap nama Lizha.Untuk kedua kalinya Sunny berbohong pada Ryan. Ryan sangat kecewa dengan Sunny, tapi dia berusaha untuk menahan emosinya seolah tak terjadi apapun."Ok kakak ngerti. Sudah dulu ya Sun, kakak mau kembali kerja." Ryan menutup teleponnya sebelum Sunny berbicara.Sunny merasa aneh dengan sikap Ryan karena Ryan tidak pernah seperti ini sebelumnya, tapi Sunny mencoba untuk berpikiran positif.
***Ryan tidak memberitahu siapapun tentang kepulangannya. Kekhawatirannya semula berubah menjadi kekecewaan."Hai bro. Loe kapan balik dari Medan?." Seorang pria seumuran Ryan menepuk pundaknya dari belakang."Baru tadi pagi ki, loe pesan aja apa yang loe mau." Kata Ryan pada Riky teman baiknya."Loe kenapa bro? Muka di tekuk aja?." Tanya Riky karena sedari masuk cafe hingga sekarang Ryan terlihat murung."Sunny lagi?." Lanjut Riky."Iya ki, gue lihat Sunny pelukan sama pria lain dan sekarang Sunny sudah berani bohong sama gue. Gue ndak ngerti harus gimana sekarang." Ryan memainkan gelasnya."Pria lain siapa? Bohong gimana? Loe udah bicarain dengan jelas soal ini ke dia?." Riky masih tidak mengerti maksud Ryan."Belum karena gue takut kalau memang benar- benar ada orang ketiga diantara kita, gue ndak mau bertengkar sama Sunny dan loe tahu sendiri gimana perasaan gue ke Sunny.""Orang ketiga? Maksud loe, Sunny selingkuh?." Riky to the point." Gue ndak bisa bilang Sunny selingkuh atau ndak karena gue belum punya bukti, tapi gue yakin ada sesuatu diantara Sunny dengan pria itu.""Daripada loe menerka nerka ndak jelas kayak gini, mending sekarang loe samperin Sunny terus tanyain siapa pria itu dan kenapa Sunny membohongi loe." Saran Riky."Iya loe benar." Kata Ryan setengah hati."Loe rencana sampai kapan disini?." Tanya Riky."Gue disini sampai senin depan, ohya.. Tolong loe jangan bilang siapapun gue ada di surabaya terlebih Sunny." Pinta Ryan.Ryan butuh waktu untuk memikirkannya, dia tidak ingin terburu- buru bertemu dengan Sunny untuk menanyakan hal ini, tapi Ryan sudah bertekad semuanya harus sudah jelas sebelum dia kembali ke Medan.
***Sudah beberapa hari ini Ryan tidak menghubungi Sunny. Ryan berharap Sunny akan menghubunginya terlebih dahulu hingga akhirnya pesan singkat dari Sunnypun datang.
"Kak sore ini aku berangkat ketempat Rosa naik kereta, setelah sampai sana akan aku kabari lagi. Ohya kak, meskipun sibuk kerja, kakak jangan sampai lupa makan ya"
Ryan membacanya tapi tidak membalasnya. Sunny mencoba berpikir positif dengan mengira Ryan sedang sibuk jadi tidak membalas pesan singkatnya.
Kereta melaju memecahkan ketenangan senja, Sunny duduk dipinggir jendela menyaksikan terang yang terusir oleh gelap hingga sampailah dia stasiun kota apel."Mas Affy?." Sunny melihat Affy berdiri di depan pintu keluar stasiun."Sunny?." Affy juga terkejut melihat orang ditunggunya adalah Sunny. Disaat bersamaan panggilan Rosa masuk di hp Sunny dan pesan singkat dari Arman mendarat di hp Affy.
"Bro teman yang aku maksud itu Sunny..hehe, surprise bukan? Kamu ndak usah repot- repot bilang makasih ke aku, nikmati aja waktumu dengan Sunny"
Affy hanya bisa tersenyum sendiri membaca pesan dari Arman. Dia tak mengira Arman bisa merencanakan ini semua."Sorry mas. Barusan Rosa yang telepon, dia bilang Mas Arman yang minta Mas Affy untuk jemput aku ya?." Tanya Sunny."Iya bisa dibilang seperti itu, yauda ayo kita pergi sekarang." Affy mengajak Sunny menuju parkiran."Kita naik motor mas?." Kata Sunny saat Affy mengajaknya ke parkiran motor."Iya kita naik motor. Kenapa? Kamu keberatan?." Tanya Affy."Ndak bukan itu maksud aku, aku cuma merasa udah lama aja aku ndak diboncengin sama mas." "Kenapa? Baper ya? Udah ini pakai helm kamu." Affy memakaikan helm pada Sunny.Affy masih seperti dulu selalu membukakan penyangga kaki sebelum Sunny naik motornya. Sunny mulai terhanyut dalam kenangan bersama Affy membuat dia tidak menyadari sejak dia datang sampai diparkiran ada seseorang yang sedang memperhatikannya dari kejauhan.
BaB 8. Putus
- Pilihan ada untuk mengajarkan kita bahwa dia saat kita mendapatkan sesuatu, kita akan kehilangan sesuatu juga disaat yang sama -
Affy melajukan motornya menerobos hiruk pikuk malam kota Malang. Sunny masih seperti dulu tidak mau berpegangan saat dibonceng Affy hingga Affy dengan sengaja menambah kecepatan agar Sunny mau berpegangan padanya.
"Mas pelan- pelan dong." Kata Sunny tepat disamping telinga Affy.
"Kamu pegangan aja yang kencang." Jawab Affy. Affy tidak ingin waktu bersama Sunny berlalu dengan cepat dan Affy pun kembali pada kecepatan normal.
"Sun kalau pegangan itu yang benar." Affy meraih tangan kiri Sunny yang berpegangan pada bajunya dan melingkarkan pada pinggangnya.Saat Affy memegang tangan Sunny, seketika waktu bergerak mundur kembali ke masa lalu.
***Tujuh tahun lalu ...
"Mas ndak bisa lebih cepat dikit bawa motornya?." Kata Sunny."Tuh lihat! Arman bawa motornya juga lamban, aku takut kalau kita duluin entar mereka hilang." Affy mengaju pada Arman yang berada di depannya."Oh yauda." Sunny tidak bisa berkata apa- apa lagi. Sunny ingin cepat sampai karena dia sadar kalau salah costum, angin malam yang dingin menusuk hingga ke tulangnya."Sun kamu kenapa? Dingin ya?." Affy memperhatikan Sunny yang sejak tadi mengusap2 tangannya."Ndak, ndak apa mas." Pungkir Sunny."Siniin tanganmu biar ndak dingin." Affy mengulurkan tangan kirinya."Ndak usah mas. Aku ndak merasa dingin." Sunny tak mau menggapai tangan Affy."Gini lebih hangatkan?." Affy meraih tangan Sunny dan memasukannya kedalam saku jaketnya."Iya Mas." Sunny sudah merasa lebih hangat sampai dia lupa bahwa tangannya sekarang berada dalam saku jaket Affy."Makasih Mas. Aku udah ndak merasa sedingin tadi." Sunny sadar dan langsung mengeluarkan tangannya dari saku jaket Affy dan Affy hanya tertawa melihat tingkah Sunny.
***"Mas awas ada orang." Sunny spontan memeluk Affy saat motor mereka hampir saja menabrak seseorang yang hendak menyebrang."Kamu tenang aja udah ndak apa." Affy menepuk nepuk tangan Sunny untuk menenangkannya."Mas kalau nyetir yang fokus. Bikin takut aja." Sunny memarahi Affy."Iya.. Iya mas minta maaf. Kamu laper ndak? Makan yuk. Mas laper." Ajak Affy."Oke."Affy mengajak Sunny ketempat dulu mereka pernah singgah saat berada di Malang."Tempat ini?." Saat Sunny tiba ditempat yang dimaksud Affy."Yuk duduk. Kamu boleh pesan apa aja yang kamu mau.""Hahaha... Aku ingat banget dulu waktu kita makan disini, mas dan mas arman kan pesan banyak banget terus akhirnya bingung cara habisinnya gmna..ckckck." Sunny tertawa mengingat saat dulu."Itu gara- gara kamu dan Rosa waktu ditanya mau makan apa, jawabnya terserah. Ya jadi mas dan Arman berinisiatif gitu." Affy ikut tertawa.Seseorang itu masih mengikuti Sunny. Sudah lama dia tidak melihat Sunny tertawa sebahagia itu, tapi hal itu juga membuat dia semakin kesal dengan keberadaan Affy didekat Sunny.Setelah makan dan bercanda bersama, Affy mengantar Sunny ke hotel yang telah dipesan oleh Rosa, dimana Affy, Arman, dan Rosa juga menginap disana."Roosssaaaa.....!!." Teriak Sunny saat melihat Rosa di lobby hotel. Rosa menyambut Sunny dengan sebuah pelukan, sudah cukup lama Sunny tidak bertemu Rosa."Malam ini Sunny tidur sama aku dan Mas Arman tidur sama Mas Affy ya?." Kata Rosa."Oke." Jawab Sunny."Oke." Jawab Affy."Ohh.. Atau Sunny sama Affy dan aku sama Rosa." Celetuk Arman."Ndak!." Kata Sunny dan Affy secara bersamaan."Hahaha.. Mas Arman cuma bercanda, yauda Mas aku dan Sunny mau masuk kamar dulu."Rosa dan Sunny meninggalkan Arman dan Affy yang masih berada di lobby.
"Ahh.. Capek banget hari ini." Sunny melemparkan tubuhnya ditempat tidur."Sun, kenapa kamu ndak cerita ke aku kalau Mas Affy sudah kembali ke Surabaya? Aku baru tahu hari ini dari mas Arman." Rosa minta penjelasan."Ndak ada yang penting sa, jadi buat apa aku ceritain ke kamu." Jelas Sunny."Kamu yakin ndak akan terpengaruh dengan keberadaan Mas Affy kali ini? Kamu butuh 3 tahun loh untuk bisa lepas dari bayang- bayang Mas Affy.""Iya aku yakin." Sunny sebenarnya masih ragu apa bayang- bayang Affy itu sudah benar hilang."Sun aku cuma mau ngingetin kamu. Kamu sekarang sudah punya Ryan yang begitu mencintai kamu, lagipula kita sama- sama tahu kamu dan Mas Affy selamanya ndak akan pernah bisa bersatu." Rosa mengingatkan dan itu membuat Sunny sedih saat mendengarnya.Rosa sudah tidur, tapi Sunny tidak bisa tidur, perkataan Rosa membuat Sunny kepikiran.
***"Kamu cantik banget pakai gaun ini." Puji Sunny melihat Rosa yang dibalut dengan wedding dress berwarna putih."Makasih say. Kamu juga cantik." Rosa memuji balik."Ohya.. Aku punya kejutan buat kamu." Lanjut Rosa."Kejutan?buat aku? Hari ini kan kamu yang nikah, masa aku yang dapat kejutan." Sunny penasaran."Yang diluar silakan masuk." Kata Rosa."Kak Ryan! Kakak kenapa bisa disini?." Sunny terkejut dengan kehadiran Ryan diruang makeup."Bukannya kemarin kamu bilang ingin ke acara ini dengan kakak?." Ryan meraih tangan Sunny."Iya kak." Sunny masih tertegun."Kamu senang kan kakak disini sekarang?.""Iya aku senang." Jawab Sunny dengan senyum yang memaksa, seketika Ryan menarik Sunny dalam pelukannya. "Ehemm.. Ehemm.." Goda Rosa karena sedari tadi mereka lupa akan keberadaan Rosa."Hehe.. Maaf maaf Ros sampai lupa ada kamu disini. Ohya selamat ya untuk pernikahannya." Ryan mengulurkan tangannya."Sayang kamu sudah siap." Seseorang tiba- tiba membuka pintu."Mas Arman." Kata Rosa."Mas Affy." Saut Sunny.Mata Affy langsung tertuju pada Ryan yang sedang menggenggam tangan Sunny."Sudah Mas, ohya.. Kenalkan ini Kak Ryan pacarnya Sunny." Rosa memperkenalkan Ryan pada Arman."Kamu bukannya wali murid di sekolah Sunny mengajar?." Tanya Ryan."Maksud kamu, Mas Affy? Dia ini sahabat suamiku. Tentunya sahabatku dan Sunny juga." Jelas Rosa."Oh gitu." Ryan langsung melihat ke arah Sunny."Semuanya ngobrolnya kita lanjutkan nanti ya, sudah waktunya buat Aku dan Rosa pergi. Ayo sayang."
Selama acara resepsi berlangsung Sunny dan Ryan tidak banyak bicara, suasana yang harusnya dipenuhi kebahagiaan sepertinya tidak dirasakan oleh mereka berdua."Sun." Affy menghampiri Sunny yang sedang sendiri mengambil kue."Mas Affy. Mau ambil kue juga?.""Kamu dan pacarmu ndak ada masalah kan?." Affy to the point."Ha? Kita baik baik aja mas." Jawab Sunny."Sun..Sun kamu ndak berubah ya, makan masih belepotan." Affy menyapu serpihan kue di pipi Sunny dengan tisu. Sunny tertegun dan pandangan mereka saling bertemu."Sunny!." Nada suara Ryan meninggi."Kak!." Sunny begitu terkejut melihat Ryan dengan raut emosi menatap mereka."Ayo kita pulang!." Ryan menggandeng tangan Sunny dan memaksanya pulang.Affy ingin menahan kepergian Sunny, tapi Affy sadar dia tidak berhak melakukan itu, kini dia hanya bisa melihat Sunny pergi.
"Kak. Aku bisa jelasin soal tadi." Sunny melihat Ryan yang menyetir dengan emosi.Ryan masih diam, tak merespon perkataan Sunny."Kak berhenti." Teriak Sunny karena Ryan menambah kecepatan mobilnya.Ryan akhirnya menghentikan mobilnya, setelah dia merasa siap mendengarkan semua penjelasan Sunny."Oke. Sekarang kamu jelasin ke kakak. Siapa Affy sebenarnya? Ada hubungan apa kalian?.""Mas Affy hanya seorang teman lama aja, kita ndak ada hubungan lain selain teman, kak." Sunny menjelaskan."Terus kenapa waktu dulu kakak pernah tanya soal Affy, kamu cuma bilang dia hanya seorang wali murid?." Ryan masih menahan emosinya."Karena memang bagi aku sekarang dia hanya sebatas wali muridku aja.""Wali murid? Wali murid mana yang mengantar jemput guru anaknya? Yang berani memeluk guru anaknya?." Ryan tertawa kecil meskipun sebenarnya dia sedih."Maksud kakak?." "Sekarang kakak tanya kamu, teman sakit yang semalaman kamu jaga waktu itu bukan Lizha kan tapi Affy? Trus waktu kakak vicall kamu ndak angkat karena ada Affy kan disana? Dan mungkin selain itu kebohongan apa lagi yang ndak kakak tau?." Tanya Ryan dengan nada tinggi tapi terpancar kekecewaan dari sorot matanya."Kak maafin aku, aku ndak bermaksud bohongin kakak, aku hanya ndak mau kakak salahpaham aja kalau aku bilang yang sebenarnya." Sunny memegang tangan Ryan."Kamu selingkuh? Kamu cinta sama Affy?." Ryan dengan nada melemah."Kak aku uda berusaha jelasin, terserah kakak mau percaya atau ndak. Aku mau pulang sendiri." Sunny keluar dari mobil Ryan. Ryan tidak berusaha mengejar Sunny. Ryan butuh waktu untuk sendiri.
***Pagi telah datang tapi Sunny masih enggan untuk beranjak dari tempat tidur. Sunny merasa kepalanya begitu berat, saat dia bangun dari tempat tidur terasa darah menetes dari hidungnya."Darah? Aku mimisan. Efek kebanyakan nangis semalam mungkin. Lebih baik aku mandi biar segar." Sunny mengusap darah dihidungnya dengan tissu.
Seseorang mengetuk pintu rumah Sunny. Setelah berganti pakaian Sunny bergegas untuk membuka pintu."Mama." Sunny terkejut melihat mama nya datang."Sayang. Kamu apakabar? Mama kangen." Mama Sunny langsung memeluk Sunny."Sunny baik ma. Ayo masuk ma." Sunny mempersilakan mamanya masuk."Mama bisa disini? Kenapa mama ndak bilang aku sebelumnya, tau gitu aku jemput." Lanjut Sunny."Mama tadi dari bandara langsung kesini. Mama cuma ndak mau ngerepotin kamu sayang." Penjelasan mama Sunny."Sunny.. Sunny." Suara terdengar dari luar rumah Sunny."Ma, mama istirahat dulu ya dikamar, aku mau buka pintu dulu.""Kak Ryan.""Sun, kakak minta maaf soal kemarin, kita bisa bicara berdua." "Sayang, siapa yang datang?." Mama Sunny melangkah keluar."Pagi tante." Sapa Ryan."Kamu.. Kamu Ryan kan pacar Sunny?.""Iya tante saya Ryan. Tante di surabaya sejak kapan?.""Baru ini tadi tante sampai. Sun, ada pacarnya datang bukannya disuruh masuk buat duduk?." Kata Mama Sunny."Masuk kak." Sunny bersikap seolah olah hubungan mereka baik baik saja didepan mamanya. Sunny tidak ingin membicarakan masalahnya dengan Ryan selagi mama Sunny ada disana.Ryan mengajak Sunny dan mamanya untuk makan siang bersama dengan alasan selagi mama Sunny ada di Surabaya. Mama Sunny menyambut baik ajakan Ryan, Sunny mau tidak mau ikut setuju. Selama makan bersama mereka tak banyak bicara hingga perjalanan pulang."Makasih Ryan untuk makan siangnya." Ucap Mama Sunny setelah Ryan mengantar Sunny dan mamanya tepat didepan pintu."Tante nanti malam saya mau ijin untuk ajak sunny keluar." "Tante ijinin, tapi terserah Sunnynya juga. Kamu gimana sayang?." "Iya ma." Jawab Sunny singkat."Yauda kalian ngobrol aja, mama masuk dulu ya."
Bulan telah menunjukan wujudnya. Sunny dan Ryan sudah duduk selama beberapa menit di cafe dengan pemandangan langit malam tapi mereka masih berteman diam."Sunny.. Kakak minta maaf. Kakak tahu, ndak seharusnya kakak marah marah seperti kemarin ke kamu." Ryan meraih tangan Sunny."Kak aku capek. Aku mau kita putus." Kata itu keluar begitu saja dari bibir Sunny. Sunny menarik tangannya dari genggaman Ryan. Bagi Ryan perkataan Sunny seperti petir yang menyambarnya. Sekujur tubuh Ryan menjadi kaku. Sunny berajak dari tempat duduknya."Sun. Apa alasannya? Kakak mohon sama kamu, kakak ndak mau putus. Kakak cinta banget sama kamu, Sun." Ryan berdiri dan langsung meraih tangan Sunny untuk menahannya."Kak, maafin aku. Kakak ndak salah apa apa, aku yang salah. Aku yang ndak pantas buat kakak. Semalaman aku sudah berpikir bahwa ini jalan yang terbaik buat kita berdua." Air mata mulai membasahi pipi Sunny."Sun. Apa itu karena dia? Kakak ndak akan larang kamu dekat sama dia, kakak akan berpura pura ndak tahu. Tapi please jangan tinggalin kakak. Kakak ndak mau Sun." Ryan memohon."Maafin Sunny Kak." Sunny melepaskan tangan Ryan dan berlari pergi.Seketika Hujan turun dan Ryan masih terduduk ditanah dan tak kuasa menahan air mata."Kenapa Sun? Kenapa Sun? Sunnyyyyy....!!!" Teriak Ryan histeris.Sunny masih berjalan sambil menangis ketika hujan membasahi tubuhnya. Sunny sangat merasa bersalah pada Ryan, tapi Sunny tak bisa membohongi perasaannya lagi. Dia tak ingin melukai Ryan lebih dalam seandainya Ryan tahu bahwa selama ini Sunny masih menyimpan perasaan pada Affy. Sunny merasa sekelilingnya gelap. Brukk!! Sunny jatuh pingsan ditengah hujan. Sebuah mobil sedan hitam berhenti ketika melihat ada yang pingsan dalam keadaan hujan seperti ini dipinggir jalan."Sunny!." Pengemudi mobil itu mengenali Sunny dan langsung membawanya kerumah sakit.
Bab 9. Tanda
- Cinta selalu tahu kemana jalan untuk pulang -
"Aku dimana ?" Sunny sadar dari pingsannya.
"Kamu sudah sadar? Kamu ada di Mobil aku. Aku tadi lihat kamu pingsan di jalan dan aku mau bawa ke rumah sakit.
"Mas Arman?Mas bisa disini?" Sunny menoleh ke arah pengemudi.
"Iya, aku lagi ada urusan disini. Kita ke rumah sakit ya?"
"Ndak usah mas, aku udah baik baik aja."
"Yauda kalau gitu aku antar pulang aja, rumah kamu dimana?" Tanya arman.
"Aku juga ndak mau pulang."
"Terus kamu maunya gimana?"
"Antar aku ke hotel aja, malam ini aku nginep aja disana."
"Ini buat kamu." Arman menyerahkan sebuah tas kertas kepada Sunny.
"Ini apa Mas?"
"Itu pakaian, sebenarnya aku tadi beli buat Rosa tapi lihat kamu basah kayak gitu, pakaian itu buat kamu aja."
"Mas aku ndak bisa terima ini." Sunny hendak mengembalikannya pada Arman.
"Uda itu buat kamu. Aku balik ya, nanti sampai kamar kamu langsung ganti pakaian kering biar ndak sakit." Arman melambaikan tangan ke arah Sunny yang masih berdiri didepan hotel.
Sunny tidak ingin mamanya melihat kondisinya seperti sekarang sehingga dia memutuskan untuk tinggal di hotel dan dia berbohong pada mamanya kalau sedang menginap di tempat lizha karena ada suatu pekerjaan.
***"Gue dimana ini? Kepala gue pusing banget." Ryan terbangun ditempat yang asing baginya. Dia melihat foto Riky di meja kamar itu. Ryan melangkahkan kakinya keluar kamar dan mendapati Riky sedang duduk di meja makan."Uda bangun loe bro." Riky melahap sebuah sandwich ditangannya."Gue kenapa bisa disini?" Ryan mengambil tempat duduk."Loe lupa kejadian semalam? Harusnya gue yang tanya ke loe, loe kenapa bisa mabuk seperti kemarin?""Gue mabuk? Pantes banget kepala gue pusing banget sekarang. "Pasti gara gara Sunny! Kenapa lagi sekarang?" Tanya Riky."Sunny minta putus dari gue." Ryan terdengar sedih."Kog bisa?""Eh.. Sekarang jam berapa? Gue harus pergi nemuin Sunny, gue numpang mandi ya bro." Ryan melangkah meninggalkan meja makan."Hei bro gue tanya belum loe jawab, malah ditinggal pergi.
***Bel pulang sekolah telah berdering. Sunny bergegas untuk meninggalkan sekolah, tapi ketika dia hendak mencari taksi, sudah ada Ryan yang menunggunya didepan sekolah."Kita harus bicara!" Kata Ryan."Ok.. Mari kita bicara di taman dekat sini.""Aku ndak mau kita putus." Ryan meraih tangan Sunny."Keputusanku ndak ada berubah." Sunny melepaskan tangan Ryan."Ohya.. Aku disini cuma mau ngembaliin ini ke kakak." Sunny meraih tangan Ryan dan meletakkan kalung cincin pada tangannya."Kenapa kamu balikin ini?" Ryan melihat kalung cincin yang pernah diberikannya pada Sunny ditelapak tangannya."Karena kita sudah ndak ada hubungan apa apa dan aku sudah ndak mau menyimpan itu." Jawab Sunny kaku."Ndak ada hubungan? Ok!! Kalau itu yang kamu mau." Ryan begitu marah dan melemparkan kalung itu ke sembarang arah.Sunny hanya bisa menangis ketika Ryan pergi meninggalkan tempat itu."Aku harus menemukannya! Aku harus menemukannya!" Sunny mencari kalung yang telah dilemparkan Ryan di semak semak dan tanaman sekitar sana."Kamu cari ini?" Seorang wanita sebayanya menghampiri Sunny."Iya benar itu yang ku cari." Wanita itu menyerahkan kalung itu pada Sunny."Kamu kenapa sih Sun? Mas Arman kemarin cerita kalau nemuin kamu yang pingsan di pinggir jalan, terus aku lihat keadaanmu yang seperti sekarang." "Makasih Sa uda bantu aku nemuin ini. Aku putus sama Kak Ryan." Sunny menangis memeluk Rosa."Putus? Kog bisa? Bukannya hubungan kalian kelihatan baik baik aja." Rosa heran."Aku yang minta putus dari Kak Ryan, tapi ndak tahu kenapa aku bisa merasa sesedih ini sekarang.""Pasti karena kemunculan Mas Affy di kehidupanmu lagi." Tebak Rosa."Sa, aku bingung sama perasaanku sendiri. Aku merasa perasaanku ke Mas Affy masih sekuat dulu. Aku ndak mau menyakiti Kak Ryan, maka itu aku minta putus."Apa kamu yakin kamu ndak pernah cinta sama Ryan? Kalau kamu ndak cinta, kamu ndak akan sesedih ini." Tanya Rosa.Sunny tak memberikan jawaban pada Rosa, dia hanya diam. Rosa mengantarkan Sunny pulang karena Rosa khawatir jika Sunny pulang sendirian. Sepanjang perjalanan pulang Sunny tak banyak bicara karena dia sedang memikirkan perkataan Rosa tadi.
Sesampainya dirumah Sunny mencoba untuk bersikap biasa saja seperti tidak terjadi apapun."Sayang kamu udah pulang.""Maafin Sunny ya ma. Ndak bisa nemenin mama kemarin." Sunny memeluk mamanya."Kamu kenapa sayang?" Mama Sunny melihat ada yang aneh dengan sikap Sunny."Sunny ndak apa kenapa kenapa ma." Sunny tersenyum."Ohya sayang.. Kakakmu tadi telepon, minta mama balik ke Jakarta. Kakakmu sudah siapin semuanya, besok pagi mama berangkat naik pesawat.""Mama balik kejakarta? Cepat banget, baru juga sehari disini. Sunny juga belum ajak mama jalan jalan." Sunny memasang muka sedih."Iya kakakmu perlu bantuan mama. Mama minta maaf ndak bisa lama lama nemenin kamu disini." Mama Sunny yang mulai mengepack barang barangnya.
***
Hari kepulangan mama Sunny sama dengan hari kembalinya Ryan ke Medan. Ryan berharap keajaiban terjadi, dia berharap Sunny berada di bandara untuk mencegahnya pergi, tapi sepertinya itu hanya akan menjadi angannya saja. Sunny memang berada di bandara dan waktu yang sama dengan Ryan tapi takdir tak membiarkan mereka bertemu.
"Hei bro!! Kemana aja ndak pernah kelihatan?" Arman menepuk pundak Affy dari belakang."Loe tumben ajakin gue ketemu, Man?" "Loe uda dengar kalau Sunny putus sama si Ryan ryan itu?""Oh ternyata loe ngajakin ketemuan buat gosipin Sunny." Affy tertawa kecil."Loe malah ketawa sih bro! Gue serius ini, ini waktu yang pas buat loe deketin Sunny lagi karena gue ngerasa kalau kalian itu masih saling cinta." "Loe itu Man, Sunny itu baru aja putus, uda nyuruh nyuruh gue buat pdkt ma dia aja." Jawab Affy.Menurut Affy apa yang dikatakan Arman benar, tapi dia tidak ingin gegabah mengambil tindakan, dia ingin memberi ruang untuk Sunny berpikir.
***
Sudah sebulan semenjak Sunny putus dengan Ryan. Ryan sama sekali tidak pernah menghubungi Sunny lagi. Sesekali Sunny akan merasa kesepian saat dia teringat tentang Ryan. Hari Hari Sunny kini begitu tenang, selain Rosa dan Arman yang masih gencar mencomblangkannya dengan Affy. Affy masih tidak bisa menunjukan perasaannya pada Sunny, Affy menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikannya."Sun disini." Rosa melambaikan tangannya pada Sunny yang sudah terlihat memasuki restaurant."Hai semua." Sunny menempati bangku kosong didepan Rosa."Tumben nih kalian ngajak aku makan bareng. Ada apa hayo?" Sunny mengoda.Belum sempat Rosa dan Arman menjawab pertanyaan Sunny. Ssseorang telah datang untuk bergabung di meja mereka."Hai bro!" Arman menyambut Affy.Sunny menoleh dan melihat Affy tepat berdiri dibelakangnya."Sunny? Kmu datang juga." Affy duduk disebelah Sunny."Gitu loe bro, mentang mentang ada Sunny disini gue sama Rosa loh cuekin." Goda Arman."Hai, Sa!" Sapa Affy."Sudah lama banget kita ndak ngumpul formasi lengkap kayak gini. Gue senang banget.Gimana kalau kita foto dulu sebelum makan?" Celetuk Arman. Semua hanya bisa setuju dengan permintaan Arman. Mereka makan dengan raut wajah bahagia, seperti menemukan rasa yang dulu pernah ada diantara mereka. Sesekali Sunny menanyakan tentang Dipta pada Affy dan Arman masih melakukan berbagai cara agar Sunny dekat dengan Affy.Sunny masih belum yakin dengan perasaannya pada Affy, sehingga Sunny lebih memilih biar semua mengalir dengan sendirinya.
"Sun, kamu mimisan!" Rosa melihat darah keluar dari hidung Sunny."Hah?" Sunny meraih tisu yang berada diatas meja."Kamu sakit?" Tanya Affy."Aku ndak apa, mungkin efek kecapekan aja." Sunny tertawa kecil agar teman- temannya tidak perlu khawatir."Beneran kmu ndak apa? Bro nanti loe antarin Sunny pulang ya. Biar kita ndak khawatir." Arman masih saja berusaha menciptakan ruang agar Affy dan Sunny bisa bersama.
Diperjalanan pulang Affy menawarkan diri mengantar Sunny ke Rumah sakit tapi Sunny menolak, dia menyakinkan Affy bahwa dia baik-baik saja.
***Waktu membuat Sunny sudah benar- benar bisa move on dari Ryan, harinya yang sekarang jauh lebih bahagia karena ada Affy yang selalu menemaninya meskipun masih belum ada kejelasan hubungan diantara mereka." Apa yang loe tunggu lagi bro? Sekarang waktu yang tepat buat loe nyatain perasaan loe ke Sunny." Arman meyakinkan Affy."Loe yakin?" "Gue yakin 1000 persen." Jawab Arman.Sudah setengah tahun berlalu, Affy merasa memang sekarang sudah waktunya untuk dia mengatakan perasaan pada Sunny.Dibantu oleh Arman, Affy menyiapkan sebuah kejutan untuk Sunny. Rosa bertugas untuk mengantar Sunny ketempat itu."Ros, uda malam gini kita mau kemana sih?" Tanya Sunny."Uda kamu tenang aja, dijamin bakal senang dec kamu." Rosa tertawa kecil."Deng.. Deng.. Sampailah kita." Ucap Rosa saat mereka keluar dari mobil."Taman? Ngapain malam malam kesini?" Belum sempat Rosa menjawab, terdengar suara riuh kembang api menghiasi langit malam. Sunny belum sadar jika Rosa telah menghilang dari sampingnya karena asik menyaksikan langit malam yang begitu ramai."Rosa! Kamu dimana?" Sunny menyadari hanya ada dia sendiri.Sunny terkejut karena baru beberapa langkah berjalan tiba- tiba taman yang semula gelap menjadi begitu terang, banyak lampu lampu kecil yang berpijar. Tepat ditengah tempat itu ada lampu yang sengaja dibentuk simbol love dan sudah ada seseorang yang menunggu Sunny disana.Sunny melangkah mendekati simbol itu dan dia melihat Affy sedang berdiri disana."Mas Affy?" Affy mengulurkan tangannya pada Sunny dan Sunny menyambutnya."Sun, aku ndak tahu entah mulai kapan, tapi bersama denganmu adalah kebahagiaanku, Aku tak bisa menjanjikan apa apa selain mencintaimu dan menjagamu seumur hidupku. Sun, maukah kamu jadi ibu dari anak-anakku?" Affy berlutut dihadapan Sunny, dengan membuka sebuah kotak berisi cincin berbentuk bunga.Sunny begitu terharu sampai tak bisa berkata apa2, sampai Rosa dan Arman keluar dari persembunyiannya dan berteriak "Terima!!Terima!!Terima!!"Sunny spontan menganggukan kepalanya, menyatakan dia setuju bersama dengan Affy.Affy mengenakan cincin pada jari manis tangan kiri Sunny dan memeluknya.Rosa dan Arman langsung heboh sendiri bertepuk tangan.
"Ecie.. Ecie.. Yang punya tunangan sekarang." Goda Rosa."Apaan sih Ros." Sunny tersipu malu.Mereka berempat berjalan menuju parkiran. Sunny dan Rosa berjalan beberapa langkah di depan Arman dan Affy."Akhirnya bro." Arman melayangkan kepala tangannya ke lengan Affy."Makasih bro, loe ma Rosa uda bantuin gue sampai acara hari sukses. "Sama sama bro, santai aja.""Bro, gue ma Rosa balik dulu, Sunny kita balik ya." Arman pamit pada Affy dan Sunny."Iya Bro, Ati ati dijalan.""Ros, makasih ya." Sunny melambaikan tangan, Rosa membalasnya dengan senyuman.
Bab 10. Singkat
- Jarak antara Kebahagiaan dan Kesedihan hanyalah seutas benang -
Sunny merasa kebahagiaannya lengkap dengan kehadiran Affy dan Dipta. Sunny tidak ingin memikirkan terlalu jauh apa yang akan terjadi kedepan, meskipun Sunny tahu akan ada konsekuensi dari keputusan yang dia ambil. Sunny hanya ingin menikmati kebahagiaannya saat ini.
"Bu Sunny, ayo kita main bu." Dipta mengajak Sunny ke taman sekolah.
"Mas sudah disini ?" Sunny melihat Affy yang sudah berada disana.
"Iya kan mau jemput kalian."
"Cepat banget Mas datangnya?"
"Iya kan lebih baik datang awal daripada terlambat." Affy tersenyum.
"Pa, ayo dorong ayunannya." Kata Dipta yang sudah siap duduk di ayunan .
"Dipta mainnya sebentar aja ya, kita kan mau pulang." Affy mendorong ayunannya.
"Iya pa."
Tak lama setelah Dipta selesai bermain, mereka pulang. Di perjalanan pulang seperti biasa Dipta tertidur di bangku belakang.
" Sun, ndak terasa ya kita uda sebulan bersama." Celetuk Affy.
" Iya Mas. Terima kasih ya untuk semuanya." Sunny tersenyum kearah Affy yang sedang menyetir.
" Terima kasih buat apa? Aku yang harusnya berterima kasih karena kamu datang dihidupku." Affy menggenggam tangan Sunny.
" Mas aku berencana mau mengatakan ke mamaku kalau kita sekarang bersama." Sunny dengan nada serius.
"Apa kamu sudah yakin?" Affy menghentikan mobilnya.
"Aku yakin mas dan aku akan berusaha agar mama menyetujui hubungan kita."
"Mas akan dukung apapun keputusan kamu."
Sebenarnya Affy takut jika mama Sunny tidak menyetujui hubungan mereka karena sedari awal mengenal Sunny, mamanya tidak suka melihat Sunny dekat dengan Affy.
***Sunny pergi ke toko kue favoritenya, Sunny ingin membeli cupcake untuk Dipta. Saat Sunny hendak keluar toko kue, dia tidak sengaja menabrak seseorang."Maaf.. Maaf saya ndak sengaja." Sunny mengambil hp orang itu yang jatuh ke lantai."Iya ndak masalah." Ucapan pemilik hp itu terhenti saat pandangan mereka bertemu."Sunny!"
"Kak Ryan!"
Seru mereka bersamaan.Sudah cukup lama mereka tidak bertemu dan bertukar kabar, ini adalah pertemuan pertama mereka setelah mereka benar-benar putus. "Lama tak jumpa kak." Sunny mengembalikan hp Ryan."Iya sudah lama, bagaimana kabarmu?""Aku baik, hp kakak benaran ndak apa kah? Kalau ada yang rusak kakak bilang aja, biar aku ganti." Sunny mengalihkan perhatian.
"Hpku ndak apa Sun, hatiku yang kenapa kenapa" kata Ryan dalam hati.
"Kak, Kak Ryan dengar aku kan?" Tanya Sunny pada Ryan yang sedang tertegun."Iya Sun, hp kakak ndak ada yang rusak kamu tenang aja." Jawab Ryan."Yauda kalau gitu aku duluan ya kak." Kata Sunny yang hendak meninggalkan tempat itu.Ryan ingin menahan kepergian Sunny, tapi dia sadar dengan posisinya sekarang sehingga dia membiarkan Sunny pergi.Setelah selesai membeli kue, dalam perjalanan menuju mobilnya, Ryan masih melihat Sunny berdiri dipinggir jalan. Saat hendak menghampiri Sunny, Ryan melihat Sunny seperti kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh, tapi dengan sigap Ryan menangkapnya."Kamu ndak apa, Sun?" Tanya Ryan yang terlihat khawatir."Aku ndak apa kak, cuma sedikit pusing aja." Sunny meyakinkan Ryan."Kakak antar kamu ke rumah sakit ya." Kata Ryan."Ndak perlu kak, aku baik baik aja." Jawab Sunny."Uda untuk kali ini kamu dengarin kakak, kita ke rumah sakit." Ryan membawa Sunny masuk kedalam mobilnya. Sunny sudah meyakinkan Ryan berkali-kali tapi tak berhasil sehingga Sunny hanya bisa mengikuti kemauan Ryan. Dokter belum bisa menentukan penyakit Sunny dan Sunny diminta untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh.
***Beberapa hari tlah berlalu, sudah waktunya bagi Sunny untuk mengambil hasil pemeriksaannya di Rumah sakit. Sunny tidak menceritakan pada Affy soal pemeriksaannya dan dia berencana untuk ke rumah sakit sendirian."Kak Ryan?" Sunny melihat Ryan yang sudah berdiri didepan pintu rumahnya."Sunny gimana keadaanmu?" Ryan memegang kedua lengan Sunny."Aku baik baik aja Kak. Kak Ryan ada apa perlu apa ya kesini?" Sunny menurunkan kedua tangan Ryan."Kakak khawatir aja sama kamu, kapan hasil pemeriksaanmu keluar?" "Dalam beberapa hari, masih menunggu kabar dari rumah sakit." Sunny berbohong."Sun, aku dengar kamu dan Affy sekarang bersama?" Ryan duduk di kursi teras rumah Sunny."Iya Mas." "Sun, apa sudah benar benar ndak ada kesempatan lagi buat hubungan kita?" Ryan memandang Sunny."Kak, aku sudah mengambil keputusan dan aku ndak akan merubahnya. Maaf." Sunny melihat kedalam mata Ryan terpancar kekecewaan, Sunny tak menyangka setelah sekian lama Ryan masih belum bisa melepaskan perasaannya."Kamu ndak perlu minta maaf sun, seharusnya kakak sudah tahu jawabannya. Kalau dihatimu hanya ada Affy. Kakak pamit dulu, Kalau perlu bantuan bisa hubungi kakak kapan aja." Ryan beranjak dan melangkah menuju mobilnya, tapi tiba tiba ..."Bbrruukk!" Sunny pingsan."Sunny.. Sunny!" Ryan langsung membawanya ke rumah sakit.
Setibanya dirumah sakit, Sunny ditangani oleh dokter yang menanganinya sebelumnya."Sun akhirnya kamu sadar, gimana perasaanmu?" Ryan membantu Sunny yang memaksa untuk pergi menemui dokter. Sunny tidak ingin Ryan ikut menemui dokter tetapi Ryan kekeh untuk tetap masuk."Bagaimana kondisinya, dok?" Tanya Ryan."Apa hasilnya, dok? Apapun itu saya akan menerimanya." Sunny melihat Dokter yang terlihat ragu ragu untuk mengatakannya."Menurut hasil pemeriksaan,Ibu Sunny terkena kanker darah stadium akhir." Seketika dunia Sunny runtuh saat mendengar perkataan dokter, Ryan tak kalah terkejutnya dengan Sunny, tapi Ryan mencoba untuk tetap tenang."Dok, berapa lama waktu yang tersisa untuk saya?" Sunny mencoba menguatkan hatinya."Kondisi tiap pasien berbeda tetapi pada umumnya peluang bertahan 3 tahun sekitar 10%." Jawab dokter dan sejenak Sunny terdiam."Itu berarti saya memiliki waktu 3 tahun paling lama?" Dengan suara terbata bata Sunny memastikan."Tidak Sun! kamu ndak perlu kuatir, semua akan baik baik saja,lagi pula Sekarang teknologi kedokteran semakin maju, kamu hanya perlu fokus dengan pengobatan saja." Ryan mencoba meyakinkan Sunny.Hati Sunny hancur ketika mengetahui kenyataan bahwa waktunya tak lama lagi, dia tak bisa menahan lagi kesedihannya dan tangisnya pun pecah. Ryan mencoba menenangkan Sunny dengan memegang tangannya, tapi Sunny berkata pada Ryan bahwa dia ingin sendiri dulu. Ryan pun pergi menjauh untuk memberi ruang pada Sunny.Tak lama kemudian dering hp Sunny terdengar. Koala nama yang muncul di layar hp Sunny."Halo Sunny. Kamu dimana? Mas telpon dari tadi kamu ndak angkat. Mas kirim pesan ndak dibalas. Mas ke rumah kamu, kamunya ndak ada dirumah." Kata Affy yang terdengar cemas."Maaf Mas, aku dari tadi ndak lihat hp, aku agak sibuk sekarang." Jawab Sunny dengan masih sedikit terisak."Suaramu terdengar aneh? Kamu dimana? Biar Mas jemput kamu." "Aku sibuk Mas. Nanti aku hubungi Mas lagi." Sunny langsung menutup telponnya tanpa menunggu jawaban Affy. Air mata Sunny mulai mengalir lagi tak terbendung sedangkan di tempat lain Affy masih khawatir dengan keadaan Sunny karena ndak biasanya Sunny tiba tiba menutup telpon seperti itu.
***Mau tidak mau Sunny harus menerima kenyataan. Sunny berencana menyerah dengan semuanya di Surabaya dan mulai pengobatan di Jakarta karena dia tidak ingin menjadi beban buat orang lain terutama Affy.Sunny tetap merahasiakan penyakitnya dari Affy dan yang lain, Sunny juga meminta Ryan untuk merahasiakannya. Hal pertama yang dilakukan Sunny adalah resign dari pekerjaannya. " Sun kamu yakin akan meninggalkan tempat ini?" Tanya Lizha saat tau Sunny menyerahkan surat pengunduran dirinya." Iya Liz, aku ada keperluan yang ndak bisa aku tinggal jadi aku hanya bisa memilih pergi." Sunny mulai mengepack barang barangnya. "Baiklah Sun, semoga urusanmu cepat selesai ya." Lizha memberikan pelukan perpisahan.
Saat Sunny menunggu taxi didepan sekolah, sebuah Mobil berwarna merah berhenti tepat didepannya."Sun, kamu mau kemana? Biar kakak antar." Pengemudi itu membuka kaca jendela mobilnya."Kak Ryan? Kakak kenapa bisa disini?" Tanya Sunny."Uda kamu masuk aja dulu." Jawab Ryan.Sunny pun membiarkan Ryan mengantarnya pulang. Ryan memberikan alasan pada Sunny kalau dia kebetulan lewat didepan sekolah Sunny dan Sunny percaya. Di perjalanan Sunny mengatakan pada Ryan bahwa dia telah berhenti dari pekerjaannya."Kita sudah sampai." Kata Ryan."Makasih ya Kak." "Tunggu, Sun!" Ryan memegang lengan Sunny yang hendak keluar dari mobil."Kenapa kak?" Sunny tak jadi keluar mobil."Setelah ini apa rencanamu?" "Aku mau ke Jakarta, aku mau tinggal ditempat mama.""Mamamu sudah tahu?" Tanya Ryan."Belum, aku belum tahu gimana cara mengatakannnya pada keluargaku.""Sebaiknya kamu segera memberi tahu keluargamu." Saran Ryan."Iya Kak, aku hanya ndak ingin semuanya sedih dan kasihan sama aku setelah mengetahui penyakitku.""Affy sudah tahu masalah ini?" Sambung Ryan."Mas Affy belum tahu dan aku juga ndak mau mas Affy tahu.'Kamu sebaiknya beri tahu Affy tentang ini, dia pasti akan mencarikan pengobatan terbaik untuk kamu.""Ndak mas.Aku sudah putuskan, aku akan pergi dari kehidupan Mas Affy, aku ndak mau jadi beban buat dia." "Sun, kalau kamu memang ndak mau Affy tahu, tolong ijinkan kakak ikut kamu ke Jakarta, kakak akan cari rumah sakit terbaik untuk pengobatan kamu." Pinta Ryan."Kak aku ndak bisa, aku ndak mau menjadi beban buat kakak."Sun, bagi kakak kamu bukan beban, kakak bersedia menemani kamu melewati ini semua." Ryan memegang kedua tangan Sunny. Nada dering hp Sunny terdengar, Sunny melepaskan tangan Ryan, dia hanya melihat nama yang tertera dilayar kemudian mematikan hpnya. Sebelum keluar dari mobil Ryan, Sunny berjanji pada Ryan akan memikirkan pemintaan Ryan.
***Sunny sedang sibuk mempacking barang barangnya, tiba tiba terdengar suara seseorang sedang mengetuk pintu rumahnya."Sunny.. Sunny apa kamu didalam?" Seorang pria masih terus mengetuk pintu rumah Sunny sampai Sunny pergi membukakan pintu."Sun kamu kemana aja? Mas khawatir karena kamu ndak bisa dihubungi." Pria itu memegang lengan tangan Sunny dengan raut wajah khawatir."Aku baik baik aja Mas, cuma kemarin agak sibuk sama pekerjaan aja." Jawab Sunny."Kamu sakit? Wajahmu terlihat pucat, Sun." "Aku baik Mas. Ohya mas aku kan pernah bilang mau ke tempat mama. Aku pikir, aku akan pergi dalam waktu dekat ini, tapi aku belum tahu berapa lama akan berada disana." Sunny terdengar sedih."Apa yang kamu pikirkan? Kamu khawatir ya pacarmu yang ganteng ini direbut orang." Canda Affy sembari duduk."Kalau kamu mau, Mas bisa ikut ke Jakarta sekalian ketemu dengan mama kamu." Sambung Affy lagi."Jangan mas, mama belum tahu kalau aku uda putus sama Kak Ryan, lagi pula Dipta masih harus sekolah." "Ok kalau itu mau kamu." Affy menyerah."Mas." Sunny menyandarkan kepalanya di pundak Affy."Iya Sun.""Bagaimana kalau suatu hari nanti aku harus meninggalkan dunia ini sebelum Mas.""Maka dunia mas akan berakhir, Mas ndak tahu bagaimana hidup tanpa kamu." Affy memeluk Sunny.Sunny tak kuasa menahan tangis, matanya mulai berkaca- kaca."Mas ndak boleh bicara seperti itu, Mas kan masih punya Dipta. Mas harus baik baik aja biar bisa menemani Dipta tumbuh dewasa.""Sun, Kamu kenapa hari ini? Kamu berbicara seolah kita akan berpisah dan tak bertemu lagi." Affy melepaskan pelukannya, memandang kedalam mata Sunny karena dia mulai merasa ada yang aneh dengan sikap dan ucapan Sunny."Aku ndak apa mas. Mungkin karena aku mau pergi ke jakarta, jadi aku agak melow aja." Sunny mencari alasan."Manja banget sih pacar mas ini, kamu kapan berangkat? Biar mas anter ke bandara." "Masih belum tahu mas, masih lihat jadwal acara dulu disekolah, mas ndak perlu khawatir soal ini. Mas hanya perlu janji, saat aku ndak disini, Mas harus hidup dengan baik." Sunny tiba tiba memeluk Affy dengan erat, tangisnya pun pecah."Sunny lebay, Kita kan akan ketemu lagi." Affy tak tahu kenapa Sunny bisa se baper itu, tapi Affy menggangap itulah cara Sunny mencintainya.Setelah Affy pulang. Sunny kembali ke kamarnya, mengambil kotak yang berisi kenangannya bersama Affy. Tak terasa pipinya telah basah oleh air mata. Sunny menelepon Ryan, dia sudah memutuskan untuk mengijinkan Ryan ikut bersamanya ke Jakarta. Ryan sedikit lega mendengarnya, Ryan melakukan ini hanya karena tak ingin melihat orang yang dicintainya menderita sendirian.
Description: Saat mencoba untuk melupakan dan memulai lembaran baru tiba - tiba siluet itu hadir kembali bersama harapan yang telah Sunny buang jauh -jauh.
Sunny bertemu kembali dengan seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupnya, seseorang ini seakan membuka pintu dimana kenangan mereka berada. Sunny sangat bahagia tapi dia pun tak bisa memungkiri bahwa kini sudah ada orang lain disisinya yang sangat mencintainya. Sunny tak mungkin memiliki keduanya, kenyataan mengharuskan dia untuk memilih.. bagaimana keputusan hati Sunny?? Siapa yang akan dipilihnya?
|
Title: Reres Berdongeng
Category: Novel
Text:
Seblak Oceng
Nama saya Ressa Resjna. Dibacanya Resjna ya. Bukan Resjna. Tapi Resjna. Iya Resjna, begitu. Ujung-ujungnya, saya dipanggil Reres, yang konon katanya singkatan nama saya. Sebenarnya, saya juga gak habis pikir kenapa orang tua saya memberi nama yang tidak efisien sama sekali. Pekerjaan saya sebagai editor tulisan membuat saya gatal ingin mengedit nama saya sendiri. Harusnya, kan, langsung saja Ressjna. Biar tidak perlu ada pengulangan gitu. Tapi kalau dipikir-dipikir, Ressjna seperti ketikan typo. Saya jadi makin gatal untuk mengeditnya.
Sebagai pengedit tulisan, saya bekerja dari rumah, pakai kaos seadem-ademnya, gak mandi, laptopan sambil ngemil. Lalu uang mengalir ke rekening saya. Zona nyaman sekali, bukan? Tapi tentu bayangan tak seindah kenyataan, saudara-saudara.
Kalau sedang ingin update Instagram Story, biasanya saya kerja di kafe. Biar post yang saya update Instagrammable. Namanya juga anak muda. Kalau lagi gak pengen update socmed dan bosan di rumah, saya biasa kerja dari warung makan ke warung makan. Dari tenda pinggir jalan ke tenda pinggir jalan. Sebenarnya yang ini lebih sering sih. Bekerja di kafe biasanya saya lakukan saat ingin mengasingi diri. Di kafe saya menemukan manusia kota pada khasnya; bergerak terburu-buru, kebanyakan menunduk dan tatapannya sibuk. Suasana seperti itu terlalu sepi bagi pikiran saya yang berisik.
Seperti siang ini, saya berada di tenda seblak belakang stasiun. Di gerobaknya ada tulisan Seblak Oceng. Katanya, karena dulu seblak ini harganya Rp5000. Jadi sering disebut seblakgoceng seblakgoceng. Lalu entah siapa yang lancang mencuri huruf G nya, hingga jadi disebut Seblak Oceng. Manusia memang mahluk semena-mena, kakek yang menjual seblak ini pun jadi dipanggil Kakek Oceng. Beliau kira-kira usianya 60-an. Saya tidak pernah bertanya perihal itu. Karena sebenarnya, beliau kadang juga sudah tidak nyambung kalau diajak bicara.
Pernah suatu hari saat saya pertama kali ke sini, si Kakek bertanya nama saya. Saya bilang, "Nama saya Reres, Kek." Eh, Si Kakek malah jawab "Iya, nanti tutup kalau udah beres". Dahi saya berkerut. "Nama saya Reres, Kek." Lalu malah dijawab "Jam 9 sih biasanya beres-beres." Alis saya berkerut. "Nama saya Ressa, Kek.", "Oh namanya Rossa." Kesabaran saya ikut berkerut.
Tapi karena ketidaknyambungan itu, saya jadi merasa bebas bercerita apa saja ke Pak Oceng. Toh, ia juga tidak betul-betul menyimak. Itu tak masalah bagi saya. Karena saya tidak ingin disimak. Saya hanya ingin mengeluarkan isi pikiran yang berjubal.
Dulu saya sering ke sini bersama mantan saya. Tapi kami putus karena kami berbeda haluan kuaci. Saya lebih senang langsung makan kuaci setelah dikupas. Dia lebih senang mengumpulkan kuaci yang sudah dikupas, baru dimakan. Dia juga ... Ah sudahlah, seblak ceker saya sudah datang. Saya mau makan dulu. Nanti saya lanjut lagi.
Description: Nama saya Ressa Resjna. Dibacanya Resjna ya. Bukan Resjna. Tapi Resjna. Iya Resjna, begitu. Ujung-ujungnya, saya dipanggil Reres. Setiap hari saya pergi dari warung makan ke warung makan. Dari tenda pinggir jalan ke tenda pinggir jalan. Saya akan berdongeng tentang dunia kuliner pinggir jalan yang selama ini terihat mata tapi tak terjamah dalam kata-kata.
|
Title: Ruang Inspirasi
Category: Pengembangan Diri
Text:
BAGIAN #1 - RISALAH PERADABAN
Sepertinya waktu terus berlalu, dan kita dituntut untuk beradaptasi di tengah peradaban yang terus berkembang. Kulihat sekelilingku, sebagian orang terlalu menikmati perangkat teknologi yang canggih tanpa lagi memikirkan kursi tua yang kini ringkih. Tak perlu lagi repot mengantri di kantor pos untuk bertukar kabar, karena media sosial kini menjadi primadona untuk saling mengabari dan memastikan kondisi terkini.
Dulu, sewaktu orang-orang belum mengenal smartphone, mereka berkomunikasi dengan mengetuk pintu dan berbincang riang atau duduk di dipan sambil melayangkan candaan. Kini, orang-orang mengetuk papan tombol sambil ber-videocall-an.
Dulu, para remaja masih asyik berkelakar, menyalurkan potensi diri lewat kegiatan berinteraksi. Aku menerka, saat itu mereka belum menjadi pribadi yang hobi menatap layar ponsel-nya untuk beberapa menit tanpa mempedulikan sekitar. Masa kini, mengetik dan membalas pesan lebih mudah daripada bersenda gurau dengan teman atau tetangga.
"Peradaban memang terus berkembang, tapi jangan sampai kita menjadi pribadi dengan identitas diri yang hilang."
Pernah dengar kisah bangkrutnya Nokia?
Dimasa jayanya perusahaan ponsel ternama yang terkenal dengan sistem operasi symbian-nya itu sulit untuk di tandingi. Yang kudengar, "Nokia terlalu terbuai dengan euforia masa lalu nya, sehingga enggan untuk berubah mengikuti selera pasar."
"Peradaban memaksa kita untuk memikirkan cara-cara penyesuaian."
Tantangan yang harusnya kita ambil adalah dengan menyelaraskan peradaban dengan kesiapan dan kemampuan. Setelahnya, terbukalah peluang.
Dari sudut pandang remaja yang masih sibuk dalam pengembaraan asmara, sebagian beranggapan, bahwa tidak perlu lagi malu-malu dan susah berkenalan karena hanya dengan menggunakan fitur people nearby dan say hi lewat chat pada aplikasi bisa menyatukan dua hati.
Dari segi ekonomi & profesi, terutama sudut pandang sebagian penjual dan pembeli, pembeli merasa tidak perlu lagi berkeliling toko hanya untuk mencari harga termurah dengan bahan yang sama hingga kembali lagi ke tempat semula. Penjual merasa tidak harus sibuk mencari pelanggan atau membuka cabang, jika dengan toko online saja mereka mampu memperluas cakupan pelanggan, lalu memperkuat jaringan kepercayaan.
"Peradaban bisa menakutkan, bila kita tidak bisa menahan diri"
Kuat dan semakin berkembangnya teknologi membuat akses informasi dapat dijangkau serasa tanpa batas. Anak kecil sudah bisa bermain game di ponsel atau laptop sampai mencari gosip-gosip seputar artis top. Rasa keingintahuan kita yang besar dan sifat bawaan manusia yang tak pernah puas akan kebutuhan tanpa adanya pembatasan bisa jadi pemicu kesan semakin menakutkannya peradaban.
"Sudah siap menghadapi hari yang terus berganti?"
"Sudah siap mengambil kesempatan dari perkembangan peradaban?"
atau "Sudah siap untuk berkembang atau memilih hilang ditelan peradaban?"
-- F Cikal Antariksa
BAGIAN #2 - PERJALANAN UNTUK PEMBELAJARAN
Beberapa hari lalu, saya mencari solusi atas beberapa permasalahan dengan pergi liburan di akhir pekan. Sebagian orang menyambut gembira akhir pekan karena hari libur dari pekerjaan, tapi bagi saya itu cuti panjang karena libur kerja saya hanya satu hari dalam seminggu, itupun bukan di penghujung minggu. Rutinitas telah membuat saya bagai robot yang disetting untuk selalu berpacu dengan waktu. Maka sudah sepantasnya saya memberikan nutrisi untuk otak saya dengan liburan dan belajar nilai-nilai kehidupan dari lingkungan dan alam.
Pergi mendaki gunung adalah pilihan liburan yang sudah saya tentukan. Ketinggian menjadi tantangan baru yang sudah dinantikan satu tahun terakhir. Gunung Prau saya pilih karena lokasinya di kawasan Dieng, Jawa Tengah yang terkenal memiliki pemandangan yang indah dan temperatur udara yang sangat dingin. bahkan salahsatu teman saya mengatakan bahwa Gunung Prau memiliki golden sunrise terbaik di asia tenggara setelah Gunung Cikuray di Jawa Barat.
Bagi saya, liburan adalah pilihan yang diambil dengan berbagai pertimbangan. Alasan pertama adalah untuk menghilangkan kepenatan. Yang kedua, saya membutuhkan pandangan pemikiran dengan banyak varian. Alasan ketiga adalah menambah teman karena bagian dari memperluas jaringan pertemanan karena saya punya keyakinan yang saya jadikan prinsip.
"Banyaknya relasi itu berbanding lurus dengan peluang jodoh dan rezeki."
“Siapa tahu kan teman dari teman-temannya teman kita itu adalah jodoh kita? Tidak menutup kemungkinan loh. Jadi jangan membatasi diri”
Saya juga pernah membaca dari berbagai sumber di internet dan juga hasil diskusi dengan teman kuliah saya bahwa sifat seseorang akan terlihat jelas saat bepergian jauh bersama.
“Saat perjalanan mendaki ke puncak, terlihat siapa yang meninggalkan dan siapa yang menantikan. Saat mendirikan tenda, bercengkrama hingga saat berbagi makan dan minum bersama akan terlihat kepedulian serta kebersamaan.”
Itu pelajaran yang saya dapat dari antar sesama manusia. Dengan alam yang saya kagumi saya juga berdamai dan mendapatkan banyak pelajaran.
“Dengan saya mendaki ribuan langkah untuk mencapai puncak itu berarti saya belajar kesabaran. saya melewati medan yang landai hingga curam, dari berpasir hingga bebatuan, dari ilalang hingga semak belukar, dari cuaca yang cerah berubah menjadi pekat mendung berkabut itu berarti saya belajar melewati tantangan dan berpegang teguh pada pendidirian.”
Saya juga mendapat pelajaran dari diri saya sendiri,
“Kemauan keras yang membuat saya sampai ke puncak. Saya harus melawan beban dari tas carrier di pundak, Saya harus melawan rasa haus ketika persediaan air minum sudah menipis, Saya harus melawan rasa dinginnya udara yang bisa saja mematikan rasa dari setiap bagian tubuh.”
Kemauan dan usaha terbaik yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan (apa saja) akan mendapat hasil yang maksimal juga. Karena hasil tidak akan menghianati usaha
Dari perjalanan menuju puncak hingga menikmati golden sunrise dan bentangan pemandangan gunung-gunung membuat saya memanjatkan syukur atas nikmat Tuhan yang menciptakan alam dengan segala keindahan.
“Kadang-kadang kita lupa bersyukur dengan sibuk mencari potret foto yang terukur.”
Sibuk berfoto dan mengambil rekaman video untuk mengabadikan keindahan alam memang diperlukan. Tapi saya rasa, menikmati keindahan alam jangan jadi porsi yang di nomor duakan. Zaman sekarang, orang yang pergi untuk berwisata alam lebih sibuk memposting tempat terkini untuk mendapatkan like dan komentar sana-sini.
“Kita seringkali melihat, namun tidak untuk menyimak; Mengabadikan, namun tidak merasakan secara utuh nikmatnya karunia Tuhan.”
Padahal, kalau kita cermati,
“Kamera terbaik tetaplah otak kita, memori terbaik tetaplah rekaman ingatan yang terlintas di pemikiran, dan lensa terbaik tetaplah mata yang kita pergunakan.”
- F Cikal Antariksa
BAGIAN #3 - KOMITMEN DAN SERANGKAIAN KERINDUAN
Pagi ini, saya disibukkan dengan kegiatan merapihkan kamar, karena beberapa barang perlu dipilah yang masih bisa dipakai dan mana yang mesti disisihkan. Merapihkan kamar ibarat mengenang masa lalu, kita akan menemukan benda-benda yang dapat mengantarkan kita untuk memutar ulang rekam ingatan sebelumnya di otak kita. Bagi saya merapihkan kamar adalah satu langkah kecil yang dapat menggambarkan hal-hal besar. Bagaimana bisa kita menjadi pemimpin yang diberikan tanggung jawab untuk mengatur dengan cakupan yang lebih luas kalau kamar sendiri saja sulit untuk dijaga dalam kondisi yang baik dan rapih?
Sewaktu membongkar beberapa laci lemari, saya menemukan beberapa benda menarik peninggalan keluarga kecil saya. Benda itu berupa fotokopi kartu tanda pengenal kami, foto bersama kami, rekening listrik dan air serta struk pelunasan pembayaran tagihan internet kami. Saya juga menemukan tata aturan ketika kami masih tinggal di rumah kontrakkan di Kota Deltamas, Cikarang Pusat dan lembaran kertas nota kesepahaman para anggota keluarga. Keluarga yang saya maksud disini adalah keluarga ketika saya masih mengontrak bersama dengan keempat teman saya lainnya saat masih aktif menjadi mahasiswa. Saya jadi teringat satu hal yang saya tanamkan sejak dulu dan sering saya sampaikan kepada teman saya adalah
“Arsip itu penting. Kelak, di kemudian hari kita akan membutuhkannya untuk acuan pembelajaran atau sekedar mengenangnya”
Satu benda yang menarik adalah “nota kesepahaman” yang ditandatangani oleh kami. Saya lebih senang menyebutnya dengan “komitmen”. Kami memang banyak melakukan tingkah laku aneh tapi masih dalam batas hal-hal yang positif, meskipun terkadang nyeleneh. Sewaktu kami tinggal bersama, kami memiliki satu rencana yang sama, untuk selalu mengedepankan sifat kekeluargaan. Terlepas dari program beasiswa yang menuntut IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) minimal 3.0 (tiga koma nol), kami memang sudah mencanangkan tekad untuk meningkatkan pengetahuan bersama.
Kami dipertemukan saat saya dan sepuluh orang yang juga teman satu jurusan yang menempati rumah kost di kompleks Green Leafe Terrace Deltamas dihadapkan pada keputusan untuk berpencar pindah karena masa sewa yang hampir habis dan periode selanjutnya akan digunakan oleh calon adik tingkat yang juga terpilih program beasiswa.
Lima orang dari kami, sudah termasuk saya, memutuskan membayar sewa rumah di kompleks Calgary, Deltamas. Kami mendapatkan harga dua belas juta rupiah untuk satu tahun. Di rumah kontrakkan dengan satu ruang tengah dan dua kamar tidur kami habiskan hari-hari mulai dari bercengkrama hingga belajar bersama. Mulai dari saling membangunkan untuk memasak dan mencari makan hingga begadang di depan layar laptop menghabiskan waktu semalaman. Kami berangkat kuliah bersama, dengan dua sepeda motor yang kami punya. Sepeda motor Supra keluaran tahun 2007 yang saya miliki dengan Suzuki Smash lawas yang saya lupa tahunnya milik Ridwan yang juga teman sekamar saya dan berasal dari kota yang sama.
Satu kamar lainnya ditempati oleh Akbar dan Danny, masing-masing berasal dari Bandung dan Tangerang. Terakhir, Irwan menempati ruang tengah yang sebagian disulap menjadi kamarnya. Setelah dua tahun kita berpisah dengan berbeda penempatan lokasi kerja, dari beda propinsi bahkan beda pulau, kami sering berbagi kerinduan lewat grup media sosial.
"Komitmen mampu membuat kesan ketika komitmen itu sendiri sudah jadi bagian kebiasaan dalam diri kita"
Seperti contoh cerita keluarga kecil saya diatas.
Saya merangkum beberapa kalimat kerinduan kurang dari dua tahun kebelakang;
“Gue kangen pas berangkat kuliah bonceng tiga, atau motor si ridwan yang sering kempes mesti dipompa ditengah jalan.”
“Gue kangen gedor-gedor kamar mandi nungguin lu cridt.” Ucridt itu nama lain gue kadang-kadang di kosan.
“Gue kangen play lagu vocaloid 24 jam saat sedang belajar untuk UTS atau UAS.”
“Gue kangen becanda nyeleneh kita, mengedit lirik lagu sesuka kita atau menemukan kosakata absurd baru yang kemudian kita populerkan dikampus.”
“Gue kangen kita cari makan jam dua malam ke Delta Silicon, Eh malah Cuma nemu orang mancing di pinggir danau.”
“Gue kangen teman gue yang suka makan royco sama mecin atau mie instant digado (dikremes).” Kurang kerjaan emang, Pantes gizi buruk.
“Gue kangen saat kita perform sebagai boyband dan Sebagai Victory Band yang mengusung musik alternative rock di acara seni dan dies nataliest di kampus”
“Gue kangen kita mengobrol masalah cewek dan segala ciri khas dari spesiesnya”
“Gue kangen kita yang selalu bonceng tiga dan dibilang terong-terongan atau cabe-cabean”
“Gue kangen kita saling berargumen dengan teman sekelas atau setiap rapat saat berorganisasi ”
“Gue kangen kita (Calgary Team) yang sangat terkenal kekompakkannya”
“Gue kangen Danny dengan otaknya dan pribadinya yang selalu jarang mandi atau belajar hanya saat UTS atau UAS tapi IPK bisa dapat diatas 3”
“Gue juga kangen ketika Calgary Team membentuk pola yang rapih dalam alur contekan saat ada soal yang tidak bisa dijawab”
“Bagi kami, posisi menentukan prestasi, dan saling berdiskusi di malam sebelum ujian sudah menjadi tradisi”
“Gue kangen rebutan buka tutup jendela saat malam dengan teman gue, ridwan. Ridwan membuka jendela alasan pengap, dan saat dia terlelap gue menutup jendela dengan alasan nyamuk yang masuk.” Begitu saja terus berulang-ulang sampe ladang gandum jadi koko krunch.
“Kangen Akbar yang selalu telponan dan buat desain untuk si eneng nya.”
“Kangen Irwan yang dengan suara gak jelasnya kalo nyanyi.” padahal suaranya bagus cukup bagus hanya keberaniannya yang masih kurang.
“Kangen elu kal yang selalu rajin belajar dengan predikat ketekunan dan semangat mencari tahu yang tinggi.”
Dan masih banyak lagi yang lainnya…
Semuanya tidak lain adalah kesetiaan kami menjaga komitmen dalam pertemanan, kemudian waktu yang kami lalui bersama menjadi bumbu kami untuk semakin lekat.
‘Semuanya akan menjadi erat dan kuat kalo kita memegang teguh komitmen. Cita-cita atau target juga akan tercapai kalau kita tetap komitmen dan konsisten dengan apa yang kita kerjakan untuk mencapai target tersebut.”
Pernah suatu ketika komitmen akan target kami untuk bisa penelitian melalui program kreativitas mahasiswa yang dibiayai oleh pemerintah lewat dikti tercapai. Dalam lampiran pemenang proposal PKM kami tertulis kata lolos. Kuatnya komitmen kami menyelesaikan penelitian ini hingga melakukan berbagai ujicoba untuk analisa, bolak-balik bandung dan kota lain untuk mencari bahan-bahan penunjang hingga berbuah medali emas di ajang acara internasional antar penemu muda. Jelas, itu karena komitmen.
Kami juga bukan tanpa kelemahan, juga bukan tidak pernah bertengkar. Kami pernah saling adu mulut ketika berbeda pendapat, saya dan Irwan misal pernah berseteru sampai Irwan memukul daun pintu kamar saya. Ada juga saat saya, Ridwan, Akbar dan Danny begitu kesal kepada Irwan yang jarang memasak nasi atau menuang air galon ke dispenser. Ada yang lainnya saat masalah patungan bensin dikeluhkan ridwan. Atau saat dani kesal fotonya saya edit bagai relawan ISIS hingga sampai dikomentari oleh ibunya. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan. Tapi semua kembali reda ketika kami mengingat komitmen yang sudah kami tanamkan pada diri masing-masing.
Saya pernah membaca disalah satu buku, ketika Habibie ditanya “jika bapak dilahirkan kembali, bapak ingin jadi apa?” Maka apa jawaban beliau? “Jadi insinyur.” Itulah yang pasti, karena itulah komitmen beliau dalam hidup ini. Beliau ingin membangun negeri ini dengan komitmen itu. Itulah janji suci beliau.
Jika saja ada wanita yang membuat saya tertarik, dan sosoknya datang menghampiri saya lalu bertanya, apa komitmen kamu kedepannya?
Saya tidak akan ragu menjawabnya;
“Meyakinkan hatimu untuk hidup bersamaku”
Jadi kekuatan komitmen sangat besar, bukan?
BAGIAN #4 - MASIH MENUNGGU WAKTU YANG TEPAT?
Saat masih aktif menjadi mahasiswa saya dan teman-teman saya pernah melakukan penelitian. Kami tertarik mengikuti berbagai ajang kompetisi sebenarnya berawal dari ketertarikan kami untuk berpetualang. Namun, bagi kami yang masih menjadi mahasiswa apalagi dengan status mahasiswa beasiswa, berpetualang menjadi paket kegiatan yang termasuk kategori membutuhkan dana besar. Tentu saja hal ini sulit untuk dianggarkan dengan uang beasiswa kami yang tergolong tidak besar, malahan masuk kategori pas-pasan.
Kami tidak kehabisan akal, kami memanfaatkan peran kami sebagai mahasiswa untuk menghasilkan karya tapi tidak lupa juga menyalurkan rencana kami untuk berpetualang. Adalah dengan membuat proposal penelitian yang selanjutnya kami kirim ke kampus dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk mendapatkan sumber dana dan sambil melakukan persiapan yang terbaik bilamana proposal kami tetpilih lolos finalis PKM. Selain itu kami juga mempersiapkan akun email kami untuk mendaftar berbagai platform jasa angkutan online dan mengikuti langkah-langkah untuk mendapatkan voucher gratis. Lumayan untuk akomodasi di kota tempat acara berlangsung nanti, bukan?
Suatu ketika saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan. Kapan kita akan memulai mengerjakan project ini?
Sepertinya saya harus mengajak teman-teman untuk percaya, bahwa waktu yang tepat itu tidak pernah ada. Waktu yang paling tepat itu sebenarnya sekarang. Marilah kita simak tip yang diberikan oleh Napoleon Hill, penulis buku Think and Grow Rich yang mengatakan, "Don't wait. The time will never be just right." Sekali lagi, waktu yang terbaik tentu saja sekarang.
“Janganlah bermimpi bahwa akan ada waktu yang pas. Mulailah berani mengambil langkah-langkah awal yang yang akan menuntun kita semakin dekat dengan goal kita. Jangan takut merealisasikan, atau semua rencana-rencana kita hanya akan jadi coretan yang pada akhirnya terlupakan.”
Bayangkan jika saat itu saya berpikiran "Sudahlah nanti saja jika waktunya sudah dekat, lagipula ini masih jauh kita bisa have fun dulu" apa yang akan terjadi?
Jelas saya tidak akan banyak waktu memperluas pemikiran. Persiapan dan kebutuhan apa yang kurang, lalu bagaimana jika tidak dapat dana yang diharapkan? Pasti dengan jangka waktu yang sedikit atau pendek itu menyulitkan untuk mendapatkan dana cuma-cuma dari sponsor, bukan?
"Saya rasa ketika kita menunda suatu hal dengan kata "nanti saja" untuk hal-hal yang melibatkan pemikiran maka itu akan menutup gagasan-gagasan baru yang muncul di otak kita"
Roy D. Chapin Jr. pernah mengatakan;
“Be ready when opportunity comes… Luck is the time when preparation and opportunity meet.”
Kira-kira begini maksudnya; Bersiaplah ketika kesempatan datang… Keberuntungan adalah saat ketika kesiapan dan kesempatan bertemu.
Bicara masalah waktu yang tepat dalam hal asmara juga sama. Kita akan berkenalan dengan wanita misalnya. Kita jangan terpaku pada “menunggu. Kenapa tidak kita ciptakan saja sendiri moment yang tepat? Kenapa kita harus menunggu? Sedangkan pesaing sudah siap dengan rencana matangnya mendapatkan si wanita. Bagaimana kalau dia yang lebih siap bergerak duluan? Lagi-lagi kamu akan kecolongan jika seperti ini, bukan?
BAGIAN #5 - BARISAN INGATAN
Suatu malam, beberapa temanku berkumpul, termasuk aku. Duduk di teras depan cafe pinggir jalan berteman secangkir teh hangat yang telah dihidangkan. Kami menceritakan berbagai hal – pengalaman masa kecil, hubungan asmara dua hati, hingga mendeskripsikan mimpi profesi di masa depan yang akan kami selami.
Semakin malam semakin terdengar candaan kami yang semakin menjadi. Riuh percakapan malam itu seolah mengingatkanku pada deretan memori lama denganmu – bergurau riang, bercengkerama hingga malam menjelang, lalu senyum penutup saat mengantarmu pulang.
Kuingat, hari-hari pertikaian itu penuh dengan keangkuhan, perbedaan membuat kita sama-sama melakukan pembelaan.
Hingga tiba saat dimana kata "selamat tinggal" terucap dari bibir tipismu yang selalu memberi simpul senyuman, setidaknya untuk satu tahun belakangan bersamamu. Saat lantunan rindu adalah alasan setiap pertemuan, saat mencintaimu bukan hanya sekedar lamunan.
Teman-temanku masih sibuk berkelakar, – sebaris percakapan kudengar "mereka bilang saling pengertian adalah hal utama kokohnya suatu hubungan."
Kurasa, tidak ada yang salah dengan kata pengertian, hanya saja ini masalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Kuterka, sejak awal kita belum piawai memahami maksud dari kata saling pengertian. Faktanya, kita masih saja terus belajar, acapkali merasa paling benar – pun hingga kini kita juga dituntut belajar untuk saling mengerti bahwa rindu kita sudah tak bisa lagi bersemi.
"Kini jarak antara kita jauh melebar, pun juga tidak saling bertukar kabar, jelas sudah begitu kontra dengan kebiasaanmu dulu – mulai dari berbagi celoteh hingga saling melempar rindu sewaktu denganku."
Sepeninggalmu, Aku tidak pernah menyesal sisa malamku kini kuhabiskan dengan menulis berbagai hal yang kurasa menarik, berbagi inspirasi dari kumpulan pemikiran yang menggantung dalam ingatan. Hingga pagi menjemput rasa yang telah hanyut.
"Tak pernah ada lagi saling sapa akibat kegagalan menanggapi rasa. Kecuali mentari pagi yang tak pernah bosan mengucapkan selamat pagi."
***
Untuk melepaskan rasa sunyi, Kadang-kadang aku memilih menepi – duduk di kursi mendengarkan lagu, menuangkan pemikiran lewat tulisan sambil menikmati secangkir teh atau kopi hangat.
Kuingat kau pernah berkata,
"Kopi yang pahit sama seperti realita kehidupan yang rumit, tetap dinikmati dengan harapan yang terbesit."
Maka biarkan aku menitip harap – barangkali kau akan kembali menyambut dalam dekap.
Terlalu banyak celotehan dirimu yang masih sejuk dalam ingatan. Menginspirasi, meski tanpa kau disisi.
Katamu, menghela napas adalah bagian dari upaya menenangkan diri, lalu pandangan ke sudut kiri adalah tanda ada kebohongan yang tersembunyi.
Kamu benar, aku sedang tidak tenang, pun juga sedang berbohong. Tentang risau yang menyergap dan hinggap. Karena barisan kata rindumu hanyalah omong kosong.
Pagiku datang terlalu dini, perlahan mulai tersadar, sepertinya lagi-lagi aku tertidur diatas kursi. Hangatnya sinar mentari pagi yang menyelinap masuk dari balik jendela memaksa mataku terbuka. Dan kembali tersadar bahwa kau tak lagi hadir menyapa.
"Berkomitmenlah untuk saling memantaskan, bukan saling melengkapi. Kita pun tidak tahu siapa yang akan datang dan pergi. Bergantung hanya akan meninggalkan patah hati jika ditinggal pergi."
Satu hal yang aku pun pernah mengalaminya, adalah ketika harus menikmati rasanya patah hati.
"Terlalu menyebalkan – ketika kita harus melepaskan disaat perasaan sayang sudah menumpuk segudang."
- F Cikal Antariksa
Description: Kumpulan Inspirasi untuk Pengembangan Diri
|
Title: Remedied
Category: Young Adult
Text:
Cemburu
Earphone. Kau tahu seberapa bergunanya earphone bagiku saat di kantor? Begini.
Volume up. Itu yang kulakukan saat kudengar salah seorang rekan sedang sibuk bertanya pada 'dia' perihal kehidupan pribadinya. Aku tak mau dengar pembicaraan itu. Musik yang kudengar dengan volume keras ini sanggup menyamarkan pembicaraan mereka. Entah baik atau buruk topik itu bagiku, aku tak mau dengar. Aku tak mau dengar kalau itu tentang 'dia'. Titik.
Single. Pemilih. Jual mahal. Itu semua yang sering kudengar di kantor tentangku. Beberapa petuah seringkali kuterima tanpa mengelak sekalipun. Oke. Kuanggap itu bentuk perhatian mereka, walau kutahu mereka bukan benar-benar peduli.
"Sal, lo beneran single kan?" aku tak terkejut dengan pertanyaan ini. Sudah seperti sarapan bagiku. Rutin.
Menjadi satu-satunya wanita yang single di antara rekan kantor yang mayoritas 90% adalah pria bukanlah hal yang aneh bertanya seperti itu.
Sedikitnya pegawai wanita di tempat ini membuatku jadi terlihat mencolok dan populer. Aku tak cantik. Jauh dari level cantik. Aku hanya pemilik gigi kelinci. Berwarna kulit langsat. Rambut ikal sebahu. Dengan bentuk tubuh standar orang Indonesia.
Dari 90% pria di tempat ini memang ada seorang pria yang sangat menarik perhatianku.
"Tuh kan bener dia masih single. Sepengetahuan gue Sally susah jatuh cinta sama orang. Dan kalo udah pilih satu. Ya dia bakal itu terus. Konsisten dia tuh." Aku dengar mereka berbicara seolah-olah sedang bicara di belakangku.
"Iya konsisten dan setia itu beda tipis sama bodoh." Semua terbahak mendengar ulasan Richard. Salah satu juniorku di sekolah dulu. Dan entah mengapa dunia terasa sempit bagiku saat bertemu dengannya di tempat ini.
"Lo single Za, Sally juga single. Ya sikat lah. Tunggu apa lagi. Kalian cocok kok menurut gue." tambah Pungki.
Jujur, keingintahuan akan tanggapannya mampu membuatku mengecilkan volume musikku.
Cemburu (2)
Volume suara sudah mengecil aku tak mendengar tanggapan apa-apa.
Ah, sepertinya aku lupa dia bukan tipikal pria yang akan menjawab pertanyaan begitu saja. Dia hanya tersenyum. Kembali, musik di telingaku mengalir lebih tinggi dari sebelumnya.
"Tuh kan. Dia belum bisa move on makanya mesem-mesem aja. Siapa sih ya namanya, Diana ya kalo ga salah, ya Diana ya Za?" kata Pungki khas dengan pertanyaan interogasinya.
Hah, kurasa aku salah besar karena mendengarkan terlalu jauh dengan alibi mendengarkan musik tentunya. Karena begitu pertanyaan itu terlontar darahku langsung mendidih.
Kurasakan mereka melirik ke arahku. Mungkin bermaksud ingin tahu reaksiku atas guyonan mereka yang menurutku tidak lucu.
Bergegas aku ke toilet tanpa harus berkata apa-apa. Kurasa semua orang bisa menangkap tingkahku yang 'gerah'.
***
Firework cover ala Sabrina mengalun lembut di seantero ruangan ketika jam pulang. Sebelumnya aku tak berniat "tenggo" sore ini. Tapi aku benar-benar dalam kondisi bad mood yang datang begitu saja.
Sepanjang perjalanan ke stasiun kereta, aspal licin tanda habis hujan. Cipratan air menyebar ke segala arah mengenai ujung bawah celanaku. Aku berlari kecil menyebrang ke stasiun. Tetesan hujan mendarat suka-suka di bajuku. Kuputuskan untuk menarik kursi sekedar menyicip moccacino hangat dekat sana.
Lagi. Dulu, aku menganggap ungkapan bahwa hujan mengingatkanmu dengan masa lalu itu hanya ungkapan klise belaka. Sekarang, siapa sangka saat hujan turun petang ini justru hujan sanggup membanjiri kenanganku bersamanya saat itu.
Betapa kami berteduh dan dia meminjami jaketnya padaku. Betapa aku ingat bagaimana kebiasaan buruknya saat hujan turun. Musim hujan adalah musim semi bagi kami di waktu itu.
Hah. Aku menghela nafas. Aku Rindu.
***
Diana? Sudah sejak tadi aku memikirkan siapa wanita ini bagi Ginza? Apa dia tahu kebiasaan buruknya saat hujan? Apa dia tahu bagaimana rutinitasnya setiap akhir pekan? Apa dia mencemaskan Ginza seperti aku mencemaskan pria itu? Apa benar memang wanita itu yang diinginkan Ginza?
Gundah. Menginjak usia yang sudah seperempat abad rasanya sudah tak pantas merasakan ini. Dan seharusnya sudah tak kurasakan lagi perasaan ini ketika kulihat di beranda media sosial yang dipenuhi dengan postingan wedding dari kerabat-kerabatku.
Dilema
Setelah dua minggu berturut-turut tak menginjakan kaki di kampus salah seorang sahabat dekat datang menghampiriku yang menunggunya di lobby.
"Tugas gimana Sal? Lo udah?" Rasa panik darinya merambah cepat kepadaku.
"Duh tugas apa ya Ol?" Namanya Aulia, tapi aku terbiasa memanggilnya Oli.
"Tugas deadline Pak Sam, deadline hari ini Sal." Dengan sigap Oli menyergap laptopnya dari dalam tasnya.
"Ayo Sal kerjain bareng, buru." Aku bergerak secepat mungkin, memutar otak sekeras mungkin.
Tak usah bingung menemukan wanita seperti kami. Wanita yang sedang berjuang membagi waktunya antara kantor dan kampus di semester terakhir ini. Bekerja sambil kuliah bukan hal yang tabu lagi jaman sekarang. Yang tabu itu adalah kuliah dengan mengandalkan materi orang tua. Mengingat adik-adikku masih belum cukup dewasa kurasa bukan saatnya aku kuliah hanya dengan mengandalkan orang tua.
***
"Gimana hubungan lo sama Ginza, Sal?" Suara Oli memecah keheningan makan siang kami.
Aku seketika tersedak karena sudah lama kita tidak membahas Ginza. Dan Oli tiba-tiba membuka topik yang tidak kuharapkan.
"Gue kangen," aku menyeruput teh hangatku. Sementara, Oli tertawa terpingkal-pingkal di hadapanku.
"Gila gila gila. Gue ga nyangka Sal sumpah. Gue kira resolusi lo tahun ini bakal tercapai. Pulih. Kalau ini sih namanya lo belum pulih."
"Gue udah move on. Cuma tiba-tiba kangen aja, Ol. Ya lo tau lah. Pasti lo pernah ngerasain ini kan?"
Jangankan Oli. Akupun dilema dengan diriku sendiri. Kurasa aku sudah pulih. Tapi, apa rindu itu artinya belum move on? Aku tidak mengerti konotasi kata move on mulai sekarang.
Melihat air mukaku yang enggan membahas Ginza. Oli sepertinya mengerti, kemudian dia beralih membahas 'bule' Turki di kantornya.
Kopi
Kuanggap dulu kantor adalah rumah keduaku. Di sini aku pernah merasakan berada di zona nyaman.
Sekarang? Entah.
"Pagi-pagi udah ngelamun aja. Udah dingin tuh kopi dari tadi cuma lo aduk doang," suara cengengesan khas Richard memecah lamunanku.
"Lo ngapain pagi-pagi di pantry? Gak biasanya," basa-basi ini terdengar kaku. Aku tahu.
"Nyari yang bisa dimakan. Gak ada apa-apa ternyata di pantry. Mau ikut gak yuk sarapan bareng? Perut kosong gak boleh ngopi Sal, kasian lambungnya," cerocos Richard. Pria yang terkenal dengan ceriwis dan tempramennya yang tinggi itu ikut duduk di sebelahku.
Alih-alih soal lambung. Dengar Richard berkata seperti itu saja mengingatkanku pada Ginza. Dia pernah mengatakan hal yang sama. Pola makan dan asupan nutrisi yang sehat sudah bagian dari Ginza. Setiap kali aku minum kopi dia selalu melarangku. Sifat protektifnya masih begitu melekat dalam ingatanku. Namun, ada satu waktu dimana Ginza benar-benar melakukan hal kecil yang tak disukainya hanya untukku.
Ginza. Pria masa kini yang satu-satunya baru kutemui tak menyukai kopi, ya, cuma Ginza. Seorang. Pernah suatu ketika ia menghabiskan kopi milikku. Dia tahu persis tenggorokanku sedang buruk. Tapi, kopi justru jadi minuman pokokku saat itu. Begitu Ginza menangkapku sedang menikmati kopi, Ginza menatap marah dengan tanpa basa basi langsung menyergap kopi dalam genggamanku dan menelannya dalam waktu singkat.
"Perutmu kosong. Tenggorokanmu tak akan pernah baik-baik saja sampai kamu berhenti minum kopi," katanya ketus dan pergi begitu saja setelah menelan habis kopiku dan meninggalkan cangkir kosong kepadaku.
Rasa terkejutku belum pulih menyaksikan Ginza. Bagaimana bisa dia menikmati minuman yang tak disukainya? Oke. Ini memang hal yang biasa. Tapi, kau bisa posisikan dirimu di momen ini. Kau akan mengetahuinya nanti.
Resign
"Lo balik mau bareng gue gak? Gue lagi bawa helm dua nih," tawar Richard masih betah duduk di pantry bersamaku menunggu jam masuk.
Terkadang aku salut atas ketersediannya mengantarkanku pulang. Aku menghela nafas dan menyeruput kopi yang sudah dingin. Aku beranjak dari kursiku dan bergegas keluar pantry.
"Kayaknya nggak. Gue pulang malam hari ini, thanks ya," tolakku halus. Bukan benar-benar ingin menolak tawaran Richard. Aku hanya sedang membutuhkan waktu untuk sendiri.
Kutuang kopiku yang sudah dingin ke wastafel dan membersihkan cangkirnya, kemudian pergi. Baru hendak berbalik, aku berpapasan dengan Ginza. Tepat. Dia di depan mataku. Harum bau tubuhnya masih sangat terekam dalam ingatanku. Aromanya masih sama. Tidak ada yang berubah.
"Ups, sorry," kataku dingin. Tanpa menatapnya aku mengambil langkah panjang untuk segera menjauh darinya. Tapi, tetap saja. Dia tak bicara apa-apa. Selepas itu. Kuikat rambutku menjadi pony tail.
"Masih pagi, Sal, udah keringatan aja." Salah seorang rekan kerjaku menyapa saat saling berpapasan. Kubalas dengan senyuman seperti biasa.
***
Setelah lelah dengan pekerjaan bertemu klien hari ini. Aku merebahkan diri di tengah gelapnya kantor saat jam istirahat. Alunan Januari milik Glenn Fredly terekam indah di kantorku. Mataku terpejam, berpikir untuk mengundurkan diri dari kantor secepatnya. Hanya karena aku sudah merasa tidak nyaman lagi berada di ruang kantor. Bosan. Sejak saat itu, tepat saat Ginza pergi dari hidupku.
Hah. Mengapa selalu Ginza yang ada dipikiranku? Apa memang seperti ini rasanya rindu? Mengapa rasa menyukainya masih begitu terasa?
"Eh, Sally tidur nih? Kok tumben?" tanya Pungki entah pada siapa ketika kudengar dia baru datang dari makan siang di luar. Aku dengar, tapi enggan menanggapi.
"Iya dari tadi," suara teduh itu menjawab. Aku tahu betul siapa pemiliknya.
"Dia kenapa sih Za? Kok tumben dari kemarin kelihatannya kelabu banget harinya. Murung. Kalian lagi ada masalah?" tanya Pungki dengan asumsi kalau aku dan Ginza memang dekat.
"Gak tau gue," jawabnya singkat. Sangat singkat. Keheningan tercipta di antara mereka. Mengapa percakapan ini terdengar canggung?
"Paling dia lagi mikirin skripsi sama ujian komprehensifnya di kampus Ki," tambah Ginza pada Pungki memecah suasana kantor yang sedang sepi ketika itu.
"Oh iya? Kok lo tau?"
"Dia biasanya begitu Ki. Gampang kepikiran, makanya gak pernah bisa tenang pikirannya. Hal sepele pun bisa dia pikirin seharian."
Aku terhenyak. Ginza selalu terlihat apatis di luar. Dan aku selalu beranggapan bahwa sebenarnya rasa perhatian Ginza jauh lebih besar daripada rasa cueknya. Namun, selama ini belum ada bukti akurat kalau dia memang lelaki yang perhatian. Belum ada.
Dan siapa yang sangka bahwa ternyata Ginza berpikir seperti itu tentangku? Dan benar. Asumsiku sebelumnya adalah benar. Lelaki penuh perhatian dan pengertian memang ada dalam diri Ginza. Baru saja bukti itu terlihat.
Air mataku mengalir begitu saja. Oh, God. Hari ini genap 3 bulan dia pergi dariku. Artinya sudah 3 bulan pula komunikasi kami di kantor jadi tidak baik. Hal yang wajar? Ya, kurasa ini hal yang wajar ketika kau tidak bisa menjunjung tinggi profesionalitasmu di kantor sementara selama ini pekerjaanmu saling berkaitan dengannya. Namun, secara akal sehat ini memang tak wajar.
Lantas, siapa yang bisa mengelak jika logika dan hati memang tak pernah sejalan?
Sungguh, perihal ini, profesionalitasmu patut dipertanyakan.
Bickering
"Sally tidur? Kok tumben?" tanya Richard sesaat setelah dia menyelesaikan makan siangnya di luar.
Tak jarang banyak rekan yang bertanya tentang tidur siangku di jam istirahat. Memang, hampir tak pernah aku mengambil waktu untuk tidur.
Everybody knows. Dan ini justru membuatku jadi tidak nyaman di kantor.
"Nih kopi, titipannya Sally, gue taro di mejanya ya?" pesan Richard pada salah seorang di kantor ketika itu. Aku mendengar, lagi, tapi aku tak pernah menggubris. Seingatku, hari ini tak ada permintaan kopi dariku kepada Richard. Dan ada apa pula dengannya akhir-akhir ini? Atas dasar apa dia membawa kopi itu padaku sementara aku tidak pernah memintanya untuk membelikan?
Seketika ada suara berisik di dekat mejaku.
"Lo kenapa sih Za?" sewot Richard tiba-tiba.
"Tau, lo kenapa sih Za?" tambah Pungki dengan suara agak lantang. Aku ingin tahu. Hendak ingin tahu apa yang terjadi. Tapi, aku tak kuasa. Kupasang telinga, mendengarkan. Mengamati apa yang terjadi.
"Heh, lo gila? Ini kopi buat Sally. Bukan buat lo," kata Richard menghakimi. Dan masih tak ada suara apapun yang muncul dari Ginza. Suara botol plastik kosong terjun bebas ke tempat sampah. Yang kuduga botol kopi kemasan dari Richard habis begitu saja oleh Ginza dan lemparan botol kopi kemasan itu menimbulkan suara.
"Jangan sekali-kali lo kasih dia kopi lagi, ngerti?" geram Ginza. Kudengar kali ini suaranya tak seteduh biasanya.
"Guys, udah cukup. Kalian apaan sih? Kayak anak kecil. Za lo lagi ga beres, mending lo nyari udara segar sekarang," usir Pungki demi melerai perpecahan di antara keduanya.
Oh God. Apa yang terjadi? I'm too curious, really.
"Sal, bangun lo!" bisik Pungki di telinga sambil menggoyangkan tubuhku.
"Ada apa sih?" Saat ku membuka mata aku tak melihat keberadaan Richard dan Ginza. Aku mulai berpikir aneh-aneh tentang mereka.
Aku mengernyit pura-pura tak tahu menahu. Air mata di ekor mataku bekas tangisan tadi kuharap Pungki tidak melihatnya.
"Ginza, gila, gue ga nyangka Ginza bakal berantem sama Richard cuma karena kopi."
"Maksud lo?"
"Begitu Richard naro kopi di meja lo. Ginza marah banget terus langsung ngabisin kopi itu. Seinget gue, dia gak suka kopi, ada apa sih sama lo berdua?"
"Sekarang mereka kemana?"
"Entah. Gue berharap mereka gak ngelanjutin pertengkarannya di luar."
Tanpa berpikir panjang, aku pergi meninggalkan keberadaan Pungki secepat mungkin.
"Eh, lo jangan marah-marah juga nanti di sana Sal!" teriaknya dari kejauhan.
Aku berlari kecil mengejar mereka. Aku berharap tak terjadi apapun.
Namun, di lorong menuju pintu keluar aku berpapasan dengan Ginza. Air mukanya tampak geram. Ada percikan air di sekitar rambutnya kuperkirakan dia baru saja membasuh wajahnya di toilet.
Kami berjalan berhadapan. Tak ada tatapan sedikit pun darinya saat kami berpapasan. Bahkan melirik bayanganku pun tidak. Tapi, tatapanku tak lepas darinya. Setidaknya, aku tahu dia tak melanjutkan pertengkarannya dengan Richard. Dia berjalan sendirian dan melewati keberadaanku.
"Ada apa denganmu?" kataku tiba-tiba sesaat berapa langkah ia berada di belakangku sekarang. Aku berbalik demi memastikan bahwa dia tidak melanjutkan langkahnya. Ginza berhenti mendengarku dan tak berbalik.
"Apa yang aku lakukan?" tanyanya ambigu.
Aku benar-benar enggan berdebat dengan Ginza. Tidak lagi.
"Kau baik-baik saja?" tanyaku tanpa menggubris maksud dari pertanyaannya.
"Kau bisa tanyakan itu padanya, apa dia baik-baik saja setelah berhadapan denganku?" jawabnya angkuh masih dengan membelakangiku.
"Gak seharusnya kalian berdebat depan gue," sambung suara yang kukenal dari belakangku, Richard.
Mendengar itu, Ginza berbalik menatap kami.
Ugh ...
What the hell it is... Kutukku dalam hati.
"Chard, enough. Okay?" kataku meredam amarahnya. Dia menatap mataku dalam dan cukup lama.
"Why?" alisku mengernyit heran. Dia hanya menggeleng dan melenggang pergi.
Langkahnya terhenti di hadapan Ginza. Mereka saling bertatapan cukup memakan waktu sepersekian detik. Kuharap tidak terjadi apa-apa antara keduanya. Sungguh, sulit kumenerka pikiran mereka. Seketika speaker lagu kantor terhenti, tanda jam istirahat telah usai.
"It's not perfect time, okay?" kataku pada keduanya berusaha menghentikan perang dingin yang terjadi antara mereka sebelum orang lain melalui koridor ini karena selesainya jam istirahat. Ginza lebih dulu berbalik menuju kursinya yang kemudian diikuti Richard lalu aku. Saat kami berjalan menuju kursi kami yang berdekatan, lampu ruangan seketika menyala menerangi jalan kami.
Thats it.
Hanya seperti itu perdebatan dingin antara mereka. Dan belum mendapatkan kesimpulan apapun. Aku tak mengerti, sungguh.
***
Kamu baik-baik saja?
Ketikanku melalui pesan singkat kepada Ginza hanya diberi tanda ceklis kembar berwarna biru.
Oh, shit. Dia mengabaikanku.
Tidak ada tanda-tanda dia akan membalasnya. Padahal ponsel selalu dipandanginya sejak tadi.
Seketika Richard tiba di mejaku tanpa suara. Dia datang perihal pekerjaan, katanya. Tapi, seperti yang kukatakan tadi. Profesionalitasku diuji di sini.
"Lo kenapa sih Chard sama Ginza?" tanyaku ingin tahu.
"Gue jelasin pun lo gak bakal paham, gue rasa. Ya udah buru urusin kerjaan dulu nih. Tanggung."
Pikiranku bercabang. Sungguh sulit jika kau berada dalam posisi kau merasa bersalah akibat pertengkaran yang membuatmu tersangkut paut di hubungan mereka yang terbilang rumit.
Wed's Wave
Hari ini, Rabu, berjalan terasa lamban. Fokusku akan pekerjaan buyar begitu saja. Bagaimana mungkin permasalahan mereka menjadi pergolakan batinku seharian? Ginza pergi. Artinya dia memang benar-benar telah beranjak dari kursinya begitu lagu mengalun lembut tanda jam pulang kantor tiba.
Oh, dia pergi dengan langkah cepat dan dalam keadaan geram.
Aku menghembuskan nafas keras. Nafasku tercekat sejak tadi. Duduk berhadapan dengan Ginza di kantor sama sekali bukan solusi baik bagiku saat ini. Kepergiannya membuat Pungki menatapku heran, seolah bertanya "bagaimana?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Kutunggu di lobby, sekarang!" sesaat aku membuka pesan singkat yang baru kuterima beberapa menit lalu.
"Pergi saja. Aku tahu kamu perlu waktu sendiri," balasku tanpa memikirkan jika memang benar dirinya sudah di depan lobby.
"Kutunggu sekarang." Ginza keukeuh terhadap permintannya.
Aku berpikir cukup lama di kursiku. Apakah ini keputusan yang tepat? Kembali kuingat insiden istirahat tadi. Alangkah baiknya aku perlu mengetahuinya. Tapi, itu bukan keputusan yang tepat.
"Kita perlu bicara," tambahnya lagi. Aku menghembuskan nafas. Dia gigih membujukku dengan caranya. Begitu aku merapikan meja kerjaku. Richard datang menghampiri.
"Sal, lo gajadi balik malam? ayo balik bareng. Gue lihat, traffic sore ini gak separah biasanya."
"Eh? Kayaknya gak dulu deh."
"Serius?"
"Ya," jawabku singkat.
Oke. Aku beranjak tanpa berkata apapun.
"Ya udah kalo emang ga mau." Kesekian kalinya Ginza mengirimiku pesan singkat tanpa balasan sedikit pun. Dia nyaris menyerah.
"Otw," balasku singkat.
Entah apa rencanaku mengambil keputusan ini.
Entah karena aku ingin menyelesaikan permasalahan mereka atau menyelesaikan rinduku.
Aku tak mengerti.
Esoteric
Kupandangi langit-langit dalam ruangan kamarku yang gelap. Dan berbaring di atas ranjang dalam kondisi benar-benar lelah. Kedua mataku yang sembab membuatnya jadi lelah dan terasa kantuk yang teramat. Kuingat betapa aku menyia-nyiakan waktu yang kulakukan bersama Ginza ketika pulang kantor tadi sore.
"Kita perlu bicara," ulangnya lagi ketika aku tiba menghampirinya di lobby kantor.
Tanpa banyak bicara aku mengikuti. Ginza menarik gasnya dan pergi.
Kau pernah merasakan rindu? Oh, kuharap tidak. Sulit, sangat sulit.
Ketika dia di dekatmu kau akan tetap merindukannya. Dan ada saja hasrat untuk memeluknya seperti dulu. Sementara, situasi benar-benar tak bersahabat saat itu. Dan kau sadar kau berada dalam situasi yang salah. Bahkan memeluknya saja akan semakin terkesan salah. Pernah? Waktu yang seharusnya kunikmati untuk mengobati rindu. Justru malah menjadi tak karuan.
"Bisa tidak kurangi kebiasaan burukmu minum kopi?" Ginza menghentikan gas motornya di sebuah halte dekat stasiun. Aku mengernyit melihat matanya.
"Maksudku, ya, kopi memang tidak salah. Tapi, akan jadi salah kalau kamu berlebihan." Dia salah tingkah. Kurasa dia tak mengerti apa yang dibicarakan.
"Jadi ini permasalahan kamu sama Richard tadi?" Inilah inti yang ingin kutanyakan sejak tadi.
"Mengapa senang sekali sih memanggil namanya seperti itu?" Aku menyinggungkan senyum tipis tapi tak benar-benar tersenyum sampai ke otot mataku.
"Kurasa kamu gak ngerti apa yang kamu katakan sekarang," selidikku. Ya dia tidak mengerti akibat dari salah tingkahnya ini, dia tidak tahu arti dari bentuk perhatian pada wanita yang ditinggalkannya sejak tiga bulan lalu. Dia tak mengerti perhatian seperti itu 'dilarang' untuk menanyakannya pada wanita yang pernah ditinggalkannya ini.
"Bukan begitu maksudku..."
"Jadi kamu tahu apa maksudku?"
"Oh, God. Kenapa sih Sal, kamu hobi banget berdebat?"
"Oke. Terus sekarang apa?" Agak aneh rasanya kalau Ginza bertingkah seperti ini. Terakhir kali dia pergi dariku, meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Sementara, sekarang aku bingung dengan sikapnya yang seperti ini. Jangankan aku. Kau pun pasti mengerti maksud perhatian Ginza padaku saat ini. Kurasa dia hanya enggan mengakuinya. Benar tidak? Aku tak berlebihan kan?
Tujuan awal aku mengikuti hingga ke tempat ini memang bukan untuk yang lain selain menyelesaikan soal permasalahannya dia dengan Richard dan menyelesaikan rinduku, tentunya. Tapi, kurasa tidak ada yang terjadi dari keduanya. Aku dan Ginza hanya menghabiskan waktu bersama sampai petang tiba.
Begitu saja. Sia-sia.
"Hari sudah mau gelap. Kurasa aku harus pulang sekarang."
"Bisa tidak kita tetap seperti ini?" Aku terhenyak. Bagaimana bisa dia melontarkan perkataan itu padaku? Pada orang yang sudah ditinggalkannya sejak tiga bulan lalu. Begitu saja. Aku rindu, memang. Terus mengapa permintaan Ginza terasa sulit bagiku? Bukankah akan lebih mudah kalau aku menurutinya lalu rinduku akan hilang. Bukan begitu? Terus dimana permasalahannya?
"Untuk apa? Kita tidak sedang main-main," celetukku.
"Kenapa kamu jadi begini?" Aku tertawa kecil. Tidak benar-benar ingin. Seharusnya akulah yang menanyakan itu kepadanya.
"Kamu udah tanyakan itu pada diri kamu sendiri?" tanyaku.
"Menurutmu, apa yang kutanyakan saat tiga bulan lalu padamu? Pada orang yang pergi begitu saja. Dan menjadikan kisah sebelumnya seperti bukan apa-apa. Kalau sudah begitu, menurutmu aku harus gimana? Dan sekarang kamu minta kita terus begini? Hah, aku gak ngerti. Sungguh," jelasku akhirnya.
Kalimat yang dari dulu sudah ingin kukatakan terlontar begitu saja. Ada perasaan lega setelah mengeluarkan semuanya. Tapi, ada rasa sesal yang begitu menyakitkan. Hingga rasanya aku ingin menangis. Aku bersikukuh untuk tidak mengeluarkan setetes air mata pun di depannya. Mengingat caranya meninggalkanku benar-benar membuat Ginza diam seribu bahasa. Masih banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Masih banyak hal yang ingin kubicarakan padanya. Masih banyak hal. Terutama, rindu. Tapi, aku tak bisa. Kupikir kata-kataku hanya akan menyakitinya.
"Kalau begitu. Pulang dan istirahatlah. Sebentar lagi keretaku datang." Aku pergi dengan perasaan gundah bukan main. Meninggalkannya dalam perasaan seperti ini bukanlah hal yang benar. Dan aku tidak dapat mengekspresikan rasa rinduku dengan baik. Ginza masih terdiam seribu bahasa. Tak membalasku. Dan kurasa dalam dirinya pun sedang terjadi perang batin. Dia bersama motornya masih terpaku di sana. Sesaat setelah pergi, air mataku mengalir sejadi-jadinya.
Oh, God momen rindu ini mengapa tak seperti yang kuharapkan?
Jeda
Pagi-pagi buta, bahkan masih bau basah pun, aku sudah dalam kereta ke kantor. Menjelang subuh kepalaku terasa sangat berat. Pusing yang ditimbulkan memberi peringatan untuk tidak melanjutkan tidur. Jadi, lebih baik aku bergegas ke kantor di pagi yang masih gelap.
5.30 a.m.
Saat itu kereta masih sangat lengang. Efek yang ditimbulkan ketika tertidur selepas menangis membuat kelopak mataku menjadi tak karuan.
Oh, aku berharap ada pekerjaan luar dinas pagi ini. Setidaknya sampai mata ini kembali normal. Sampai jauh dari perbincangan rekan sekantor yang sangat tak kuharapkan, tentunya. Begitu tiba di pantry, seperti biasa, aku hendak membuat kopi. Dan lagi, ingatan akan Ginza kembali begitu cepat dalam benakku.
Ya, kurasa dia ada benarnya perihal kopi. Aku urungkan niat kembali. Membuat sesuatu yang bermanfaat bagi perutku. Teh hijau.
"Tumben. Biasanya kopi," cela Richard yang tiba-tiba datang ke sebelahku.
Aku hanya menyunggingkan senyum pahit. Aku heran mengapa akhir-akhir ini aku sering bertemu Richard dimana pun.
Dan...
Ini masih pagi sekali. Bahkan kurasa akulah orang pertama yang tiba di kantor, setelah security tentunya. Tiba-tiba saja Richard muncul di pantry seperti ini.
"Kok lu tumben pagi banget?"
"Iya nih, ada janji sama Pak Mahesa dari periklanan kayaknya dia mau nego lagi. Karena usaha bisnisnya lagi turun katanya sih. Makanya, dia mau ketemu gue sekarang. Alamat ijin dinas luar kantor nih gue. Kerjaan gue di kantor padahal lagi banyak-banyaknya tanggal segini," keluh Richard. Ia bersandar di kursi dengan perasaan malas.
"Oh ya? Bukannya seminggu lalu udah selesai negonya? Dan bukannya Pak Mahesa udah setuju ya?"
"Iya setuju. Tapi ada tapinya. Kalo bayaran segitu gimana dia bisa bayar karyawannya. Tadinya dia bilang bisa dia atasi dengan jalan PHK. Tapi, lo tau Pak Mahesa kan bukan orang yang tegaan. Sementara, lo tau sendiri kantor kan benefit oriented. Menekan biaya serendah-rendahnya. Bakal mahal kalo biaya periklanan doang sampe sebesar permintaan Pak Mahesa."
Aku menyesap teh panasku. "Kapan sih? Dimana?"
"Deket sih di Setia Budi."
"Kasih gue sini," kataku santai. Awalnya aku malas menanggapi keluhan Richard. Tapi, begitu dipikir ulang. Bukankah memang dinas luar kantor pelampiasan yang kubutuhkan sekarang?
"Serius lo Sal?" Richard.
"Iya, sini. Kasih gue kontaknya." Richard langsung merogoh smartphonenya dan memberikan kontaknya padaku.
"Kebetulan kerjaan gue ga begitu banyak hari ini." Richard sumringah dengan tatapan penuh harap padaku.
"Gue gak bisa jamin ya. Tapi, gua usahain untuk gak ngecewain lo."
" Oke. Siap Bu Bos."
"Lebay lo," celaku sambil meneloyor santai bahunya.
Selamat Pagi, Bu. Pagi ini saya ijin dinas luar kantor bisa Bu? Ada meeting sama Mahesa adv, perusahaan periklanan di setia budi. Estimasi kembali ke kantor sebelum jam makan siang Bu.
Aku bergegas meninggalkan pantry. Dan mengambil tasku di meja.
Oh, itu periklanan yang ditangani Richard ya. Silahkan Sally. Tadi pun saya lagi nyari orang yang bisa dinas luar kantor selain Richard. Soalnya dia juga harus ada meeting sama saya hari ini. Makasi ya Sally.
Okay. Approved. I'm ready.
***
Kuharap bisa kulalui dengan cepat masa-masa yang tak kusukai ini. I wish.
R.A.S.A.
1 tahun berlalu...
Setahun berlalu itu artinya sudah genap dua belas bulan aku pindah divisi.
Kelulusan ekstensiku dan wisuda pun berjalan lancar. Seiring berjalannya waktu satu per satu beban terangkat.
Hah, aku menghela nafas. Rasanya waktu berjalan sangat cepat. Keinginanku resign sudah hilang. Ketidaknyamanan yang kuterima tahun lalu berubah. Sejak membantu Richard dengan Mahesa Adv lalu, manager mempercayakanku untuk pindah divisi. Di waktu yang bersamaan, aku mengemasi barang-barangku dengan berat hati. Aku tak mengerti mengapa rasa berat itu muncul tiba-tiba.
Bukankah seharusnya ini jalan keluar bagiku untuk pulih?
Bukankah ini artinya intensitas tatap muka antara aku dan Ginza semakin berkurang?
Bukankah seharusnya aku menjadi lebih nyaman dengan pekerjaanku?
Tapi, apakah aku siap untuk tidak bertemunya lagi? Memang. Seharusnya begitu, kurasa. Tapi, semua tak seperti yang kuharapkan. Aku dirundung rasa cemas, rindu, dan ingin tahu tentangnya di bulan pertama aku pindah. Berpikir tentang hal yang abstrak. Mengingat tentang...
Ah, sudahlah. Tidak ada gunanya, ini tak ada gunanya, sungguh. Berkali-kali aku meyakinkan hati saat itu. Apakah langkah ini benar? Apakah aku akan benar-benar pulih? Waktu berlalu, di antara berat hati yang menimpaku ketika itu.
Haha, aku tertawa sendiri. Mengapa bisa-bisanya saat-saat setahun lalu masih hangat kurasakan?
Ternyata, benar. Aku sulit melupakan rasa.
Yogyakarta (?)
Lambang burung biru, tanda maskapai penerbangan bertengger indah di ujung kanan kertas. Dilihat lagi dua tiket pesawat itu baik-baik. Apa ini tindakan yang benar? Apa aku serius mengambil pilihan ini? Apa aku siap dengan segala risikonya? Apa memang ini yang kumau? Dua tiket itu masih di tanganku. Aku duduk dengan gelisah sambil menunggu Richard di bandara.
"Tenang, Sal. Ini tidak jauh. Ini cuma Yogyakarta. Dan cuma 2 tahun. Dan kalo bisa lebih baik, kau hanya 1.5 tahun di Jogja. Untuk apa gelisah?" aku berbicara pada diriku sendiri berusaha memberikan energi positif. Kupejamkan mata sebentar. Hanya untuk menenangkan diri.
Jadi ceritanya begini.
Aku dan Richard ternyata dianggap sebagai partner kerja yang kuat. Kami tim kerja yang baik, menurut manager procurement yang terkenal dengan selera humornya yang rendah itu. Tadinya, aku tak menganggap serius ketika Pak Gatsu (re : gatot subroto), jangan heran namanya memang seperti nama pahlawan, berbicara mengenai pemindahan ke luar kota sementara untukku dan Richard. Ya. Sebagai utusan dari kantor pusat untuk 'memulihkan' kembali operasional cabang Yogyakarta.
Dan... Who knows?
Seminggu setelah membicarakan itu, Pak Gatsu benar-benar merealisasikan ucapannya secara tiba-tiba dan harus berangkat lusa. Untuk tiket dan biaya hidup ditanggung perusahaan. Bukan ide yang buruk, memang. Tapi, jangankan ke Yogyakarta, pemindahan divisi setahun lalu saja aku sangat berat hati.
Aku menghembuskan nafas keras. Haruskah ini? Apa alur cerita ini berjalan sebagaimana mestinya?
***
Malam sebelum keberangkatan.
"Bukannya ke Jogja emang keinginan lo? Ya bagus dong sekarang lo bisa ke sana, dibiayain kantor pula. Anggap aja kerjaan itu cuma bonus buat lo. Lo bisa senang-senang di sana. Dan yang lebih penting, lo ga perlu lagi ketemu Ginza. Duh, bebasnya... Gue jadi pengen ke sana. Gue nyusul deh ke Jogja kalo ada waktu," kata Aulia di tengah jam lemburnya.
"Iya sih, Ol. Tapi kan...."
"Apalagi sih Sal. Hmm... Gue tau apa yang bikin lo berat hati buat berangkat. Lo khawatir gak ketemu Ginza lagi. Lo takut kangen lagi. Udah Sal udah. Kalo begini akhirnya, berarti dia emang bukan yang terbaik buat lo. Selesai," tegas Aulia.
"Pokoknya gini ya Sal. Gue akan tiba-tiba dateng ke Jogja. Gue sempetin. Pasti. Tapi, gak tahu kapan. Gue harap pas gue ke sana. Lo udah berubah. Gue gak mau tau. Baik berubah secara penampilan atau apapun. Terutama perasaan lo harus berubah. Itu yang penting. Gue tutup dulu ya Sal. Kayaknya bos gue dateng nih, tut, tut.... "
Telepon terputus. Aulia benar. Itu memang yang kuinginkan. Sepertinya sel tekadku harus bekerja keras untuk meyakinkan dan meringankan hatiku untuk pergi dari...
Apartemen ini,
Jakarta,
Ibukota,
Dan,
Dia, Ginza.
Yogyakarta (2)
"Bisa tidak untuk simpan ponselmu selama di area?" Wanita bertubuh mungil itu terdiam dan menunduk di depanku.
"Ini sudah kali ke berapa kamu begini? Harus tindakan seperti apa sih supaya kamu ngerti? Kamu ingin mengundurkan diri dari perusahaan ini? Itu yang kamu mau?"
"Maaf, Mbak. Kondisi keluarga di rumah lagi gak memungkinkan, jadi saya...." Dia terisak, di depanku.
"Adik saya lagi sakit Mbak. Kesehatan Ibu juga gak memungkinkan. Saya minta maaf Mbak. Jangan pecat saya dari sini,"
Oh Tuhan, tangisnya makin menjadi.
Aku menopang diriku di atas kaca etalase toko.
Aku lemas. Sungguh, aku tidak pernah bermaksud membuat karyawanku menangis.
Aku menghembuskan napas.
"Baiklah. Kuberi kamu waktu cuti selama dua hari tidak lebih dari itu. Dan begitu kamu masuk nanti, tolong tangani kerjaan dengan benar. Saya gak mau melihat kamu begini lagi nanti, oke?" aku merendahkan suaraku.
"Iya, makasi Mbak." Kupeluk tubuh mungilnya berusaha menghiburnya.
"Maafin saya ya?" bisikku.
"Gak apa-apa Mbak. Salah saya juga. Tapi, tolong jangan pecat saya ya Mbak?" Selepas dari pelukannya, aku mengangguk. Suara tepuk tangan terdengar dari arah pintu masuk. Bisa kulihat senyumnya merekah di wajah pria itu sambil berjalan masuk.
"Masuklah. Kamu harus membersihkan wajahmu," kataku membiarkan wanita mungil itu pergi.
"Kenapa?" tanyaku sambil menghampiri Richard yang berdiri dekat pintu dan tersenyum.
"Pertama kalinya dalam sejarah."
"Apa?" tanyaku masih menerawang maksudnya.
"Pertama kalinya dalam sejarah gue liat lo marah-marah. Pertama kali," katanya dengan nada menekankan. Aku tertawa, tidak benar-benar ingin.
"Keluar yuk? Udah sebulan di Jogja, kita masih belum nikmatin kota kayak gini, sayang loh."
Richard benar. Hari pertama di Jogja aku sudah disibukkan dengan pekerjaan luar kantor. Aku terpaksa mengunjungi toko yang operasionalnya tidak sehat. Bahkan aku rela menghabiskan waktuku hingga tertidur di area, selama hampir sebulan. Dan hari ini puncaknya. Saat-saat pemulihan toko yang nyaris dijual ini, aku harus bergadang semalaman. Bertepatan dengan hari pertama PMS datang.
Sejak menginjakkan kaki di Bandara Adi Sucipto, aku sudah ditugaskan langsung ke area toko. Untuk membenahi. Ya, kurasa tidak hanya aku yang butuh 'pemulihan'. Bahkan toko di kantor cabang Yogyakarta pun butuh pemulihan. Sekarang.
***
"Lo yakin arahnya ke sini Sal?"
"Yakin kok."
Aku duduk di kursi penumpang bersebelahan dengan Richard. Sementara ia fokus pada setirnya.
Akhirnya, kami memutuskan untuk mengambil waktu ke pantai. Tempat yang sangat kubutuhkan untuk saat ini.
"Jadi, gimana? Kenapa siang tadi lo bisa semarah itu sama karyawan toko?" Aku menghela nafas tak langsung memberi jawaban.
"Yah, lo tau lah pengaruh gadget di jam kerja kayak apa." Richard tertawa.
"Sesepele itu Sal? Gue ga pernah duga masalah sepele kayak gitu bisa bikin lo mikir untuk pecat dia."
"Sepele ya? Itu gak cuma sekali dua kali sih. Mungkin kebetulan aja, alasan dia kali ini masuk akal. Dan bisa diterima. Tapi, gatau kalo nanti ya."
"Lo berubah Sal. Berubah. Banyak." Gaya bicara ala Richard alias ceplas ceplos sudah terbiasa kudengar. Tapi kali ini entah kenapa aku dibuat kesal dengan pernyataan itu. Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela dari google maps.
"Bukan gitu Sal. Gue tau banget mood lo lagi ga bagus hari ini. Gini. Tiga tahun lalu pas gue masih baru di kantor ini, gue liat lo. Gue familiar sama lo. Ternyata bener, lo senior gue di SMA waktu itu. Dunia sesempit itu. Waktu itu gue lihat lo periang. Banget. Dan hampir setengah tahun gue di sana, gue liat perubahan lo. Periang ala lo udah gak ada lagi. Entah karena lo emang udah semakin dewasa dan semakin menjaga sikap atau karena hal lain ya Sal. Gue ga tau pasti. Tapi, jujur lo jadi jutek, jadi terlalu serius, sensitif, jadi apa yaaaa... Berbanding terbalik sih sama anggapan gue tentang lo waktu pertama kali." Ia menjeda.
Benarkah? Apa seriang itu aku dulu? Tepatnya sejak kapan?
"Thanks loh Cad. Mungkin bisa dibilang lo saksi metmorfosis gue selama ini. You're too detail. Lo baik sampe bisa ngeliat perubahan sekecil itu dari gue. Hahah... Aneh ya rasanya... Gue bahkan ga sadar kalo gue itu periang seperti kata lo."
"Ya, gue suka lo yang dulu. Periang. Terbuka. Dan bukan rahasia lagi kalo lo juga cerdas. And, everybody knows. Orang juga jadi banyak termotivasi sama sikap lo. Gue ngerasa energi positif ngalir begitu aja dari lo."
"Oh ya?" Aku tertawa. Pujian Richard mampu menghiburku.
"Loh? Kok lo ketawa, gue serius loh ini."
"Ya...ya... Gue anggap ini cara lo ngehibur gue."
"Turn right!"
Suara google maps menyela pembiacaraan kami. Sekejap kami terbahak bersamaan.
Dan seketika suasana terasa hangat setelah itu. Hanya karena pembiacaraan konyol dan notifikasi dari google maps.
"Gue rasa kita harus ke kanan deh. Mbak google nya tadi bilang gitu."
"oke gue denger kok" Kami terbahak, lagi. Ditengah pembiacaraan yang cukup serius dan membosankan ini notifikasi dari google maps mampu mencairkan suasana yang sempat membeku di antara kami.
New Chapter
Aku terksesiap saat suara ombak memenuhi rongga telingaku. Sinar matahari menyoroti dengan cerahnya. Oh, dimana aku? Aku bangkit dari sandaranku. Demi memahami situasiku saat itu. Laut terhampar luas di depanku.
"What?" aku menggerutu sendiri. Kaget bukan main. Aku berada di dalam mobil, di kursi penumpang lebih tepatnya. Di sebelahku ada Richard yang pulas terlelap dengan kedua kaki berada di atas stirnya. Dan ini..... Kurasa aku bermalam di pantai sejak kemarin. Apa yang terjadi. Rasa ingin tahu yang begitu dalam tak seberapa dibandingkan dengan terlelapnya Richard pagi itu. Aku tak kuasa membangunkannya. Dan kurasa itu bukan ide yang bagus. Kuurungkan niat membangunkan Richard untuk sekedar bertanya apa yang terjadi?
Dia tidur dalam keadaan melipat tangannya di dada. Oh, pasti dia sangat kedinginan semalam karena rela melepaskan jaket hoodie-nya untuk menyelimutiku. Kuletakkan jaket itu untuk menutupi tubuhnya dari pancaran matahari yang menusuk ke dalam mobil.
Di bawah sinar matahari pagi bisa kudapati kumis tipis di area bibirnya. Rambutnya turun hingga ke dahi. Tampaknya pomade di rambutnya sudah hilang. Saat tertidur dia menunjukkan wajah terpolosnya. Hidungnya...Oh, betapa Tuhan sangat baik menciptakan wajah seperti ini padanya. Dia tampan dan aku baru menyadarinya sekarang.
Dadanya naik turun teratur. Sepertinya dia masih nyenyak di antara tidurnya.
"Jangan ngeliatin gue kayak gitu," katanya masih dalam keadaan mata terpejam. Aku terhenyak dan segera membenarkan posisi.
"Gimana tidurnya?"
"Nyenyak. Cukup nyenyak," jawabku canggung.
"Gak perlu merasa ga enak sama perlakuan gue. Udah semestinya laki-laki ya kayak gitu. Melindungi perempuan." Dia membuka matanya dan bangkit dari sandarannya.
"Iya, tapi sorry ya udah bikin lo tidur di mobil, kedinginan pasti deh. Apalagi udara laut kalo malem luar biasa."
"Biasa aja. Gak usah baper." Kata-kata Richard mencelos di dadaku. Ya, benar. Untuk apa aku berpikir aneh-aneh. Pria memang sudah semestinya seperti itu. Untuk apa pula aku tersentuh dengan perlakuan Richard padaku. Aku terbahak. Tertawa konyol pada diriku sendiri.
"Kenapa Sal? Pagi-pagi udah aneh."
"Gak apa-apa kok. Lucu aja."
"Gue tau sih pasti lo bakal mikir yang macem-macem. Wajar sih ya, situasinya emang mendukung banget. Mending buang jauh-jauh deh pikiran kayak begitu."
"Lo cenayang ya Chard? Haha tau banget pikiran gue kayak gimana."
"Biasa Sal. Perempuan pasti gampang tersentuh sama perlakuan laki-laki, padahal dia cuma niat baik aja."
"Konyol sih ya. Tapi gue sempet terharu tadi. Anyway, dari kemarin kita di sini?"
"Oh iya, gue punya cerita lucu buat lo."
"Kemarin keadaan masih sore lo udah pules tidur. Padahal rencana mau lihat sunset. Dan gue rasa lo emang butuh istirahat. Lo lelah banget kayaknya. Jadi, pas timingnya lo gak gue bangunin. Akhirnya gue keluar sendiri. Asli sih. Bagus banget sunsetnya. Gue sempet lupa, semalam malam minggu. Dan jadilah gue kayak nyamuk di antara muda-mudi di sini yang lagi pada lihat sunset. Karena keisengan gue, sebel sih sebenernya, karena faktanya gue ngeliat sunset sendiri di tengah-tengah orang pada pacaran. Gue joget-joget di depan mereka biar sunsetnya gak keliatan. Niat gue sih mau ngerusak kemesraan mereka. Eh, kayaknya orang-orang di sini terlalu positif kali ya. Mereka malah pada kasih gue duit Sal. Gila gak tuh? Awalnya gue bengong. Jadi, gue joget-joget di depan mereka disangka mereka itu pertunjukkan...."
Aku terbahak sejadi-jadinya. Di luar dugaan memang kalau si Richard sampai melakukan hal itu.
"Dan lo tau. Abis mereka ngasih duit. Mereka joget bareng sama gue. Bener sih ya niat gue emang merusak kemesraan mereka. Dan itu real terjadi. Karena laki-lakinya pada join sama gue joget gak jelas di pantai. Gue berasa di panggung. Dan sunset sebagai lightingnya. Gue gak nyangka aja sih, orang-orang Jogja bakal berpikir sepositif itu. Dan......" Richard merogoh isi tas pinggulnya.
"Dan lo liat ini. Ini hasil yang gue terima dari 'pertunjukkan' gue kemarin sore." Dengan perasaan bangganya, Richard mengeluarkan semua uang dari hasil kerja kerasnya yang tanpa sengaja.
"Gue rasa lo emang punya bakat jadi penghibur." Aku masih terpingkal-pingkal di tempat.
"Sal, please. Harusnya lo marahin gue sekarang akibat tingkah gue yang konyol itu."
"Bagus kok. Akhirnya lo nemuin bakat terpendam lo. Passion lo sebagai entertainer gue rasa."
"Lo ngomong serius. Tapi lo sambil ketawa. Gue berasa diejek nih Sal."
"Gak deh gak lagi." Sisa-sisa tawa itu masih melekat di bibirku.
"Coba kita hitung. Lo dapet berapa kemarin?"
"Hei, jangan bilang begitu. Lo kedengaran seperti bos. Dan gue anak buah yang mau mempermalukan
diri di depan umum."
"Richard, enough okay? Gue udah dibuat nangis gara-gara tingkah lo pagi ini. Yaudah yuk, kita hitung."
Aku mengeringkan air mataku akibat dari tertawa yang sudah lama kupendam.
***
"empat puluh tujuh...empat puluh delapan...empat puluh sembilaaaaaaan. Yeeeeeee," kami berteriak beriringan layaknya anak kecil. Uang yang terkumpul atas hasil kerja Richard kemarin sore, berbuah manis.
"Gila sih ini. Dalam semalam gue bisa dapet 449.000. Baguslah. Uang segini bisa kita buat beli makan. Untuk ukuran tinggal di Jogja, uang segini kita bisa makan apapun di sini. Lo setuju gak Sal? Laper kan pasti?" Aku terdiam.
"Gak usah kaku. Uang yang gue dapet bisa buat berdua kok. Lagi pula kalo udah married nanti uang gue pasti buat lo."
Ya, Richard benar. Kurasa aku telah melewati waktu makan malamku kemarin.
Wait, wait, wait.....
Sebentar. Aku tak salah dengar kan? Apa katanya tadi? Aku harus apa? Karena agak aneh menurutku.
Meski cengengesan, Richard tetap menarik gas dan menjauh dari pantai. Tidak ada klarifikasi dari statement dia sebelumnya. Dan aku dibuat bingung setengah mati selama sisa perjalanan.
Case Closed
Kepulan asap menggantung di atas cangkir kopiku. Di sudut ruangan aku duduk manis sambil mencoret-coret buku kosong hingga terlihat seperti sebuah sketsa. Dan seperti biasa pengeras suara di toko mengalun lagu akustik indah ditemani gerimis sore hari. By the way, toko di cabang Yogyakarta ini berangsur-angsur pulih. Lebih cepat dari yang pernah kuperkirakan.
Proyek yang kujalani bersama Richard berjalan stabil sejauh ini. Wacana untuk menutup toko pun dibatalkan karena kondisi toko yang mulai membaik. Belum terhitung setahun aku di Jogjakarta, target yang seharusnya ku selesaikan selama dua tahun, kini pulih hanya dalam waktu 8 bulan. Dalam seminggu tim kerja pusat akan mengirim staf keuangan untuk sekedar stabilisasi keuangan toko di cabang Yogyakarta ini.
Ini artinya, aku bisa kembali ke Jakarta dalam waktu dekat. Bicara soal toko, nyatanya sudah hampir 4 tahun aku mengabdi pada perusahaan ini. Perusahaan yang mengolah donat dan roti di Indonesia ini mampu memasuki lima besar sebagai toko dengan pertumbuhan tercepat. Nyaris sewindu perusahaan ini beroperasi. Seharusnya aku sudah siap untuk mencari pengalaman lain berkat bekal yang kudapati dari perusahaan ini.
Tapi, kau tahu? Selalu ada saja yang memberatkan hatiku. Sudah hampir setahun.
Terkadang pikiranku melayang ke Jakarta, soal cerita lain. Tak jarang sesuatu yang sudah mulai kubenci melintas sekejap di pikiranku. Aku tak nengharapkan ini. Sungguh.
Namun, bukan tak mungkin hal itu membuatku terdiam. Dalam sekejap mampu mengubah mood-ku seharian. Benci itu memang ada, tapi tak menutup kemungkinan bahwa aku juga rindu.
Apa aku salah? Hmm...
Ya, aku tahu, aku paham betul kalau aku salah.
Lantas, aku harus apa?
Yang kutahu, dekat dengan lelaki sekantor bukanlah solusi bagiku. Ya, aku hanya tak mau terulang lagi. Kecuali, kalau memang aku sudah hilang akal. Noted.

-THE END-
Lanjut ke proyek kedua, "Vice Versa" soon. Terima kasih.
Description: Sally sudah enggan mendengarkan cerita orang-orang tentang Ginza. Bahkan, melirik Ginza pun enggan. Tapi, ketika rindu, apa yang bisa dia lakukan? Kau tahu, rindu itu sulit. Bahkan, ketika bertemu saja rindu itu masih membebani pikirannya.
|
Title: rose
Category: Adult Romance
Text:
Satu
Liburan kenaikan kelas telah usai dan sekarang waktunya semua siswa-siswi masuk dengan kelas yang baru, suasana baru bahkan teman pun baru.
Revan Prasetyo, panggil saja dia Revan, cowok dengan otak yang pintar dan tampang yang tampan itu selalu membuat kaum hawa klepek-klepek saat mendapat kedipan mata genit dari Revan. Bahkan sebagian siswi SMA Bintang Gemilang kerap menyebutnya sebagai fans dari Revan, karena selain pintar dan taman, Revan terkenal dengan ceria dan keramahannya yang membuat kaum hawa semakin gencar untuk memilikinya.
"Revan sayang."
Revan menghentikan langkahnya dan barbalik badan, diperhatikannya cewek dengan pakaian minim dan ketat, rambutnya yang diombre kuning dan wajahnya yang mungkin terbilang imut dan menggemaskan. Sebut saja namanya Zetta Aqila, cewek dengan postur tubuh yang mungkin sangat ideal, dan jangan lupakan wajahnya yang mampu membuat kaum Adam ingin sekali memilikinya.
Entah keberuntungan atau malapetaka saat Zetta yang tiba-tiba menembak Revan di tengah kantin yang kala itu ramai dengan siswa-siswi yang sedang memakan makanannya. Kejadian itu sudah beberapa bulan yang lalu, dan Revan masih ingat bagaimana dilema hatinya yang binggung menerima Zetta atau tidak. Kalau diterima, dia sama sekali tidak punya perasaan, tetapi jika tidak diterima tidak akan terbayang bagaimana malunya Zetta saat itu.
Cup
Zetta mencium sekilas wajah Revan yang putih itu. Untung saja di koridor ini masih sepi karena sekarang masih terbilang sangat pagi, jika saja disini banyak siswa dan guru yang berlalu lalang, Revan tidak akan pernah bisa membayangkan dirijya berada di ruang keramat, ruang BK yang bahkan dia tidak pernah kesana jika tidak di suruh guru untuk mengambil buku.
Sebut saja Revan adalah salah satu cowok yang sangat kocak tapi tidak pernah menginjakkan kaki di BK karena kasus. Bukan karena dia gocik, tapi karena Revan salah satu cowok yang menjunjung tinggi sikap dan perilakunya agar tidak sampai masuk pada ruangan keramat itu.
Hanya senyuman yang diberikan Revan tanpa mau membalas ciuman pipi dar Zetta, karena kalau boleh jujur, Reva sendiri tidak pernah mencium Zetta dalam lingkungan sekolah, mencium pun mungkin tidak sesering Zetta menciumnya, ya, mungkin karena Revan tidak mempunyai rasa apa-apa jadi mungkin dia merasa tidak berhak untuk mencium Zetta.
"Ekhem. Mas, mbak ingat, ini sekolah, kayak nggak ada tempat ciuman lain aja selain di sekolah."
Cibiran dari belakang membuat Revan dan Zetta kompak menoleh ke arah sumber suara. Revan yang tadinya ingin melangkahkan kakinya menuju kelas akhirnya diurungkan karena kata-kata yang menurutnya itu sedikit pedas.
Masih diam, Revan memandang cewek yang tadi menyihirnya dengan tatapan keheranan, bukan karena bajunya yang normal dan roknya yang dibawah lutut, tapi karena sepertinya Revan sebelumnya tidak pernah melihat cewek modelan seperti ini. Jutek dan sangat cuek, apalagi wajahnya yang juga menurut Revan asing, karena Revan tidak pernah melihatnya di grup fans Revan.
"Bilang aja, Nesa, lo iri karena gapunya PACAR!" teriak Zetta yang membuat Revan menyadarkan dirinya yang sedari tadi memandang cewek yang disebut Nesa itu.
Mata Revan masih menangkap sosok cewek di depannya ini, terdengar bahwa Zetta tadi menghinanya tapi kenapa dia masih santai-santai saja dan malah memutar-mutar selempang tasnya dengan raut muka yang terlihat dingin, seperti tidak sakit hati dengan perkataan Zetta barusan.
Cewek itu membenarkan rambutnya sambil melirik sekilas pada Revan yang masih sempat-sempatnya memberikan senyuman dan kedipan mata genit ke arahnya, padahal di samping Revan masih ada Zetta, pacarnya.
Revan merangkul pundak Zetta yang sepertinya Zetta sangat marah karena perkataanya tadi tidak di gubris oleh cewek jutek itu. Mengelus pundak Zetta seakan-akan bahwa bisa menenangkan pacarnya itu.
Sudah menjalin hubungan selama beberapa bulan, mungkin membuat Revan jadi tahu tentang kebiasaan Zetta, tentang apa yang yang disukai bahkan tidak disukai oleh cewek itu, dan beberapa bulan itu pun Revan masih sama sekali belum tertarik dengan Zetta.
Masih dalam keadaan diam diantara tiga insan yang berada di koridor itu, tiba-tiba Nesa mengarahkan tangannya yang dalam keadaan miring pada dahinya sendiri, menariknya ke atas dan kebawah dengan wajah mengejek ke arah Zetta. Sebenarnya Nesa tahu tidak sih, kalau dia baru saja membangunkan macan betina yang sedang tidur, ah sepertinya dia belum menyadari, terlihat sekali bahwa wajahnya sekarang nampak biasa-biasa saja tanpa dosa.
Tentu saja Revan yang melihat kejadian itu mendadak kaget setengah mati, dari sekian lama berpacaran dengan Zetta, baru kari ini dia melihat ada cewek yang berani pada Zetta. Sepertinya cewek yang berada di samping Revan itu tampak kesal, terbukti bahwa kakinya yang dihentak-hentakkan ke lantai untuk meluapkan kemarahannya.
Senyum miring terbit pada bibir tipis Nesa, sekarang cewek itu melengos pergi dari hadapan Zetta yang sedang pada amarahnya dan Revan yang sedang pada kebingungannya.
TBC
Aku sengaja buat cerita baru semoga kalian menyukainya.
Yang kemarin Masih di revisi aku masih benar-benar buntu untuk memikirkan itu.

Mohon yang ingin feedback segera DM ya.
Dan juga saya butuh evaluasi sebanyak-banyaknya untuk cerita ini, boleh komentar, saran, maupun kritik, saya benar-benar membutuhkannya. Terimakasih
Selamat membaca:)
4 Januari 2020
Description: Revan Prasetyo, idola sekolah yang bahkan memiliki fans yang sering mengirimkan bunga dan cokelat kepadanya.
Tampan, murah senyum, tapi centil kepada semua cewek cantik yang melewatinya.
Sama sekali tidak ada di sejarah kehidupan Revan, bahwa dia ditolak oleh cewek.
Tapi ternyata sekarang kenyataannya berbeda, satu cewek mampu menolak kegenitanya beberapa kali, membuat Revan semakin penasaran dan penasaran pada cewek itu.
_____
"Semua pingin banget dekat sama gue, kenapa lo yang dekat malah menghindar?"
"Bar-bar!"
"Dibalik jiwa yang bar-bar, ada hati yang ambyar."
|
Title: Rumah dan kehidupan
Category: Puisi
Text:
Sore Yang Kelam
Kicau burung di pagi hari
Sinar matahari yang mulai bersinar
Perlahan mengusir bayangan gelap
Yang mengingatkan kembali kenangan itu
Riuh tawa canda yang biasa terdengar
Suara sendok dan garpu di setiap waktu makan
Tangis haru di setiap duka yang terlewati
Semua terasa seperti kemarin
15 tahun yang telah terlewati
Seakan memberikan pelajaran yang sangat berarti
Bahwa waktu yang telah terjadi
Tak akan mungkin akan kembali
Terimakasih atas semua jasa – jasa mu
Melindungi dikala panas dan hujan
Semoga engkau mendapat penghuni yang baru
Yang menyayangi dan merawat mu
Dengan tulus dan penuh cinta,
Wahai Rumahku
Pilihan
Di sepanjang jalan yang sepi
Gerimis turun titik demi titik
Di bawah sinar lampu alam di malam hari
Mengiringi langkah kaki seorang diri
Hembus angin merepa kulit
Bintang – bintang bersembunyi
Di balik kegelapan awan di malam hari
Menyisakan bulan di langit bumi
Setiap jalan setiap arah
Akan selalu ada 2 sisi
Bagaikan hitam dan putih
Yang memiliki makna hidup
Ku coba untuk merenung
Akan setiap pilihan yang ku jalani
Namun apalah arti sebuah penyesalan
Ku coba kembali tatap ke depan
Karena pilihan adalah takdir
Sendiri
Mentari menyinari bumi
Rembulan menyinari malam
Silih berganti saling mengisi
Namun tak pernah saling berjua
Ramainya Ibu kota Negara
Ramainya klakson dan sahutan manusia
Namun bagaikan berdiam dipinggir pantai
Suara nya ramai namun raga menyendiri
Dahulu kita bersama
Saling bertukar cerita dan saling mengisi
Berteman bagaikan kepompong
Namun berpisah demi cita-cita
Sulit untuk memulai kembali
Memulai tahap hidup selanjutnya
Namun hingga kini aku menyadari
Bahwa kesendirian ini masih menghantuiku
Cinta memang Buta
Semilir angin berhembus di langit
Cahaya bulan menerangi bumi
Bintang - bintang menemani
Menghiasi langit di malam hari
Setiap hari bumi berotasi
Siang dan Malam silih berganti
Wahai Matahari dan Bulan
Bisakah kalian untuk bersatu?
Cinta itu memang buta
Bila kita hanya memakai mata
Tanpa merundingkannya dengan akal
Perbedaan keyakinan yang lama dijalani
Tak akan sampai hingga pelaminan
Ku coba untuk memahami cinta
Agar ku tak jatuh di lubang yang sama
Namun pada akhirnya aku sadari
Bahwa cinta memang benar
Membangunkanku dari lubang yang sama
Sahabat di masa depan
Kicau burung di pagi hari
Menyambut terbit matahari
Sahut - menyahut dengan gembira
Dibalik rimbunnya hamparan pohon
Namun waktu terus berjalan
Kicau burung semakin meredup
Hamparan pohon mulai menghilang
Mengawali pergantian zaman
Bumi Pertiwi diam termenun
Menyaksikan hasil dari keserakahan
Dan manusia pun mulai tersadar
Ketika bencana datang silih berganti
Ayo mulai untuk menyayangi
Semua Makhluk yang ada di Bumi Pertiwi
Untuk kehidupan yang akan datang
Para Sahabat di masa depan
Description: Bagi setiap makhluk hidup, rumah adalah tempat nya untuk bernaung. Rumah sebagai saksi cerita kehidupan dari banyak makhluk hidup, termasuk manusia. Rumah menjadi saksi perjalanan hidup yang dilalui manusia. Sedih, senang, kelahiran, kematian dan kesendirian.
Dan rumah, akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati.
Buku ini terdiri dari puisi tentang rumah dan kehidupan dari jalan hidup yang dilalui oleh anak manusia yang tidak pernah berhenti bertanya tentang arti kehidupan.
|
Title: RAPIJALI
Category: Novel
Text:
Part 1
BAB 1
SATU-SATUNYA JALAN
KEMATIAN sekalipun tak akan menekukkan lututnya di hadapan musuh, tetapi hidup berkeinginan lain. Pada sisa napasnya yang tak banyak lagi, pintu kematian malah mengungkap kenyataan pahit yang selama ini ia sangkal. Musuh terbesarnya merupakan satu-satunya pilihan tersisa. Satu-satunya jalan. Siang itu di Kota Jakarta, di gedung warisan zaman kolonial yang telah direnovasi menjadi rumah pemenangan, Yuda mengibarkan bendera putih.
Sepanjang hidupnya yang genap memasuki tiga perempat abad, Yuda hanya pernah menahbiskan satu orang di tampuk musuh. Perang yang ia pertahankan dan rayakan tujuh belas tahun lamanya.
Poster beraneka desain memenuhi dinding ruangan tempat ia menunggu. Yuda merasa dikepung. Sejak memasuki Kota Jakarta, pemandangan serupa telah menerornya dalam bentuk baliho dan spanduk. Foto musuhnya ada di mana-mana. Muka tampan yang tak banyak berubah sejak kali pertama mereka bertemu, tetap klimis dan terlihat simpatik, hanya sedikit lebih berisi. Senyumannya persis sebagaimana ingatan Yuda. Gigi berderet rapi, segaris lesung di pipi kanan, dagu terbelah. Di bawah foto-foto itu tertulis nama Guntur Putra Sasmita diikuti slogan Muda, Cerdas, Berintegritas.
Panas dan sesak tahu-tahu menjalar cepat di dadanya bagai semburan api. Yuda terbatuk-batuk keras sampai punggungnya terlipat.
*
BERBEDA dari poster dirinya yang tersenyum lebar, senyum yang menganugerahinya julukan kandidat paling fotogenik, di bawah bingkai poster itu Guntur terduduk dengan raut tegang. Keningnya berkerut-kerut seperti berpikir keras. Pelan dan penuh selidik, Guntur memutar kursi kerjanya ke kanan dan ke kiri. Pendengarannya tak salah. Ada bunyi mencicit yang mengikuti setiap gerakannya. Semakin lamban ia bergerak, semakin kentara suara cicit itu.
Pintu mahogani di hadapannya membuka. Perempuan dengan kacamata berbingkai runcing menyerupai bentuk mata kucing memasuki ruangan.
“Lia. Ini kursi kenapa kayak ada tikus kejepitnya, sih? Bisa diservis nggak? Atau dikasih pelumas, kek? Ganggu banget,” cetus Guntur.
Dahlia teringat betapa sulitnya mendapatkan slot gunting rambut dan pewarnaan di Sun Young, salon Korea yang sedang jadi perbincangan perempuan se-Jakarta Selatan, sampai-sampai ia harus mengandalkan berbagai koneksi agar reservasinya berhasil tembus kemarin malam. Dengan penampilan barunya hari ini, Dahlia berharap setidaknya ia mendapatkan sebaris pujian dari Guntur sebelum komplain tentang tikus kejepit.
“Nanti aku kasih tahu ke OB,” balas Dahlia ketus.
“Sekarang. Please?”
“Kamu ingat jam sebelas kita sudah harus sampai di DPR, kan? Janji sama Pak Farid, Komisi 3?”
“Ingatlah. Kita jalan lima menit lagi, kan?” Guntur melirik jam dinding besar di atas pintu.
“Terus, kenapa kamu bikin janji sama orang lain dan nggak konfirmasi ke aku dulu?”
“Janji apa?”
“Itu ada yang nunggu kamu di depan. Orangnya datang jauh-jauh dari luar kota. Katanya, urusan mendesak. Hidup dan mati. Drama banget, pokoknya.”
“Siapa, sih?”
“Yuda—” Dahlia memicingkan mata, memorinya menjemput sepotong nama belakang, “—Alexander. Dari Cijulang.”
Guntur tak ingat apa sarapannya, bahkan tak ingat apakah ia sarapan atau tidak, entah makanan atau cuma angin. Namun, begitu nama itu terdengar, terasa ada jotosan keras menghantam ulu hati, membuat Guntur ingin memuntahkan isi perutnya sekaligus.
*
LEBIH dari delapan jam Yuda habiskan untuk menempuh perjalanan kereta api dari Banjar sampai ke Jakarta. Belum termasuk perjalanan dari rumahnya di Desa Cijulang menuju Banjar. Lebih dari delapan bulan Yuda bergulat batin sampai tekadnya bulat untuk menemui Guntur. Tak sampai setengah jam, semua yang hendak disampaikannya tuntas.
Yuda memang tak memiliki bahan basa-basi apa pun buat manusia satu itu. Langsung dan lugas, Yuda menyampaikan alasan kedatangannya. Saat ia berbicara, hampir selalu matanya minggat ke arah lain. Muka Guntur mengundang terlalu banyak kesakitan. Kemarahan.
Guntur melakukan hal serupa. Telinganya mendengar kendati matanya terpaku ke arah lain. Melihat Yuda hari itu merupakan hal tersulit.
“Berapa lama?” tanya Guntur. Suaranya parau setelah lama terdiam.
“Dua, tiga bulan?” Yuda mengangkat bahu. Panas membakar itu menyerang lagi. Cepat-cepat, Yuda menyambar air putih, berusaha meredam dorongan batuk yang mendesak. Gelontoran air putih tidak membantu. Batuknya tetap pecah.
Guntur tak kuasa menahan kernyit. Batuk Yuda terdengar brutal, seakan ada yang sobek di tenggorokan pria itu.
“Saya beruntung kalau masih sempat lihat dia lulus SMA.” Yuda melanjutkan dengan napas tersengal.
Pintu diketuk.
“Ya!” Guntur terdengar gusar.
Dahlia melongokkan kepala dari balik daun pintu. Ia tak berkata apa-apa, hanya jarinya menunjuk ke jam tangan.
Guntur membalas kode Dahlia dengan kibasan tangan di leher, pertanda agendanya ke DPR harus digagalkan.
Pintu itu menutup. Namun, kemunculan Dahlia yang sekejap berhasil merenggut Guntur untuk kembali ke konteks masa kini. Kariernya. Perjuangannya. Hidupnya.
“Saya tidak tahu bagaimana menyampaikan ini tanpa terdengar—” Guntur berdeham. “Pak, sekarang adalah waktu yang sangat, sangat sensitif. Saya tidak mungkin bisa memenuhi permintaan Bapak tanpa mengundang perhatian dan pertanyaan banyak orang.”
“Jangan sekali-sekali kamu kira itu permintaanku. Lebih baik saya mati tiga kali daripada harus ketemu kamu!” tukas Yuda. “Itu permintaan Kinari.”
“Saya lagi jadi sorotan publik, Pak. Situasi begini yang bakal dimakan habis oleh musuh-musuh saya. Ini bakal jadi skan—” Guntur cepat-cepat mengerem kalimatnya.
“Skandal?” desis Yuda. “Itu artinya kami buatmu?”
“Bukan begitu maksud saya. Maaf, Pak.” Suara Guntur gemetar.
“Kamu khianati Kinari selagi hidup. Masih tega kamu khianati Kinari setelah dia mati? Setelah saya mati?” Dada Yuda kembali naik turun, bukan akibat menahan batuk, melainkan karena menahan perih yang menyayat hatinya.
Keduanya lama terdiam, hingga akhirnya kesunyian di ruangan kembali koyak oleh batuk Yuda.
Bunyi menyakitkan kuping itu menyadarkan Guntur akan skala musibah yang harus ia tanggulangi. Yuda baru saja menghadiahkan bom yang sanggup meledakkan kariernya dalam sekedip mata. Tak hanya karier, ledakan bom ini lebih besar lagi bagi keluarganya.
“Ini bukan masalah kecil, Pak. Banyak orang akan terlibat, terkena dampak. Saya harus bicara dulu dengan keluarga saya, dengan tim saya….”
“Setelah saya tidak ada, dia tidak punya siapa-siapa.” Yuda berbicara seolah kepada dirinya sendiri. Pandangannya menerawang, kali ini bukan untuk menghindari Guntur. Ingatannya pulang ke halaman rumahnya di tepian Sungai Cijulang, ke perayaan ulang tahun yang selama tujuh belas tahun terakhir tak pernah absen ia selenggarakan, sesederhana apa pun itu, walau kue tar dan lilin digantikan semangkuk siput teritip yang mereka panen dari kaki-kaki dermaga kecil di halaman belakang. Mengucapkan kalimat barusan membobol pertahanan Yuda. Bola matanya mulai bersaput air.
“Kasih saya waktu.” Guntur berkata pelan.
Yuda menggosok mata dengan kain bandana yang ia cabut dari kantong jinsnya. Waktu adalah satu hal yang tak ia punya. “Saya tidak akan pergi dari Jakarta sampai saya mendapat kepastian,” ucapnya seraya menyerahkan secarik kertas berisi sederet angka ditulis tangan. “Itu nomor telepon saya. Kapan pun dipanggil, saya datang. Saya tunggu.”
*
ADA banyak jenis manusia dengan bermacam penampilan yang datang ke rumah pemenangan ini. Mulai dari emak-emak relawan yang tinggal di gang-gang kecil sampai para cukong kaya raya yang tertarik menyokong kampanye mereka. Namun, ada yang tidak biasa dengan Yuda Alexander. Kedatangannya pagi tadi segera mencuri perhatian Dahlia.
Dari fisiknya, Dahlia menaksir usia Yuda sudah lanjut. Kepala tujuh atau nyaris. Selera Yuda berbusana tampak jauh lebih muda. Membungkus tubuhnya yang tinggi kurus, pria itu memakai kemeja jins dan celana jins yang sobek di beberapa tempat. Rambut sebahunya, yang seluruhnya sudah putih, diurai lepas. Ada bandana merah mencuat di kantong belakang jinsnya, bersisian dengan dompet yang terhubung ke tali pinggang oleh seutas rantai. Kemeja yang kancingnya separuh terbuka itu melapisi kaus hitam bertuliskan Led Zeppelin. Kakinya dialasi sepasang Converse kumal. Ketika kali pertama melihat roman Yuda yang kentara berdarah Kaukasia, Dahlia refleks hendak menyapa dalam bahasa Inggris. Untungnya, Yuda sudah lebih dahulu berbicara kepada resepsionis. Terdengarlah bahasa Indonesia berlogat Sunda kental.
Yuda Alexander menyimpan banyak kejutan, demikian kesimpulan Dahlia. Namun, apa yang ia dengar barusan melampaui batas antisipasinya.
“Lia. Say something.” Guntur melirik Dahlia yang sejak tadi membisu dan cuma menatap hampa karpet hijau lumut di bawah kaki mereka.
“Kamu masih ingat waktu pemilihan Ketua Senat?” Tatapan mata Dahlia tetap kosong meski akhirnya ia bersuara. “Aku dan kamu, kita bersaing sehat. Tapi, Randy tidak. Dia mencoba cara-cara kampungan, kampanye hitam. Kamu diserang, dan aku yang teriak paling keras. Aku paling nggak suka cara begitu.” Dahlia menghunjam Guntur dengan tatapan tajam. “Kamu harus minta tes DNA.”
Guntur menganga.
“Ini harga yang terlalu besar, Gun. Kita harus pastikan semua kerepotan ini setimpal. Kita nggak tahu siapa Yuda Alexander, siapa yang mendalangi dia—”
“Nggak ada dalang-dalangan. Dia nggak bohong,” potong Guntur. “Kinari,” lanjutnya kaku. Terlalu lama nama itu tak terucap. “Anaknya Pak Yuda. Dulu sekali, waktu aku masih di LSM Pelita Kulon, setahun lebih aku bolak-balik ke Batu Karas, ingat? Entah kamu ingat atau nggak, aku pernah cerita soal Kinari sama kamu. Kami sempat—”
“Ya. Aku ingat,” sambar Dahlia. “Tapi, bagaimana kamu bisa yakin cucunya Pak Yuda itu betulan anakmu? Waktu anak itu lahir, kamu sudah nggak di sana, kan?”
“Aku masih di sana waktu Kinari baru hamil. Aku pikir kandungan itu bakal di—” Guntur tak sanggup melanjutkan. Muram, ia mengucap, “Itu anakku. Aku tahu.”
Tatapan Dahlia balik ke karpet dan kembali menghampa. Namun, di balik itu, otak Dahlia berputar keras.
“Li, aku minta maaf.”
Dahlia tidak bereaksi.
“Lia....”
“Diam.”
Guntur menggoyangkan kepala sambil memijat keningnya. “Kenapa harus sekarang... fuck! Kenapa harus sekarang?” bisiknya berulang-ulang.
Dalam benak Dahlia, berputar pertanyaan senada. Kenapa kamu harus terperosok di lubang serupa, lagi dan lagi? Kenapa harus aku yang membereskan sampahmu, lagi dan lagi?
Kaki Guntur ikut bergoyang-goyang. Kebisuan Dahlia semakin menambah kekalutannya.
“Li, sumpah, aku nggak tahu lagi harus ngapain—”
“Aku tidak akan membuang semua kerja keras kita gara-gara kecerobohanmu di masa lalu.” Dahlia bangkit berdiri. “Kita harus cari tahu tentang dia.”
“Siapa?”
“Cucunya Yuda Alexander,” kata Dahlia dengan hampir menggeram, “anak perempuanmu.” Telunjuknya mengacung di depan muka Guntur. “Sekarang, ceritakan semuanya dari awal. Jangan lewatkan detail secuil pun. Baru aku bisa susun strategi.”
BAB 2
PING
DENGAN bibir buihnya, ombak menelan ragam suara ke dalam perut laut yang tambun, dan di sanalah Ping mengistirahatkan diri.
Jika bukan dari musik yang sengaja ia putar, Ping terus-menerus mendapat kiriman musik dari sekelilingnya. Tak semua berbentuk lagu, kadang kala hanya kumpulan bunyi. Tak semua merdu, adakalanya bising dan terdistorsi. Tak jadi soal. Semua itu musik bagi kupingnya.
Kakeknya acapkali bercerita, obat paling manjur jika ingin menenangkan Ping kecil yang gelisah atau melelapkan tidurnya Ping saat bayi adalah dibawa ke pantai. Baru ketika beranjak besar, Ping berangsur paham. Ibarat putih yang mengandung semua warna, ombak adalah bunyi putih yang meleburkan segala kegaduhan dunia sampai tak ada satu pun yang mengganggu.
Di hadapan ombak Ping bisa berhenti peduli. Ia berhenti peduli pada cengkerama manusia, pada alunan muazin dari surau, pada sayup lagu dangdut yang berkumandang dari lapangan parkir. Ketakpedulian itu ibarat rehat yang ia butuhkan dari waktu ke waktu.
Pelan-pelan, Ping membuka matanya yang terpejam hampir satu jam, menemukan bola jingga bertengger di langit sore. Awan kelabu berlompok-lompok bagai pawai raksasa menuju horizon. Kawanan manusia di sekitarnya menjelma menjadi siluet-siluet hitam yang tak lagi jelas wajahnya. Ping bangkit dari tikar, meregangkan punggung, lalu mengacungkan jempol sambil menyipitkan mata. Jarak laut dan matahari tinggal sebuku jari. Batas menuju malam semakin dekat. Namun, kegiatan peselancar belum surut dari Pantai Batu Karas.
Di antara para peselancar yang terjatuh-jatuh terlibas ombak, seseorang tampak melaju stabil dari ujung ke ujung. Papan merah putihnya meluncur jauh hingga masuk ke bibir pantai. Pemuda itu melenggang anggun dari papan selancar bak melangkah turun dari anak tangga. Tubuhnya yang tinggi tampak semakin legam di bawah langit sore yang menggelap. Seraya menjinjing papan panjangnya dengan satu tangan, ia berjalan santai menyusuri pasir.
“He, Kabayan. Baru bangun?” Memakai sebelah lengannya yang menganggur, dengan santai ia merangkul Ping, mengempit perempuan itu di ketiaknya.
“Oding!” hardik Ping sambil berontak. “Asin!”
Oding tertawa ringan. “Ombak lagi enak, nih. Sekali lagi, ya?”
Serta-merta terbayang serbuan nyamuk di setapak rumahnya yang berada jauh di tepian sungai. Semakin gelap, semakin merajalela nyamuk di sana. Ping menggulung tikar lalu berdiri sambil mengibas-ngibas pasir yang menempel di celana selututnya. “Saya duluan kalau gitu.”
“Bentar lagilah,” bujuk Oding.
“Aki belum pulang. Saya harus nyalain pompa, lampu, masak nasi—”
“Ngapain masak? Makan di rumah saja.”
Ping melempar pandangan ke restoran paling besar dan benderang di sepanjang tepi Pantai Batu Karas. Lampu neon putih menerangi tulisan di temboknya: RM Mang Acep – Surfer Center. Itulah “rumah” yang dimaksud Oding barusan. Sebuah restoran milik peselancar senior di Batu Karas bernama Acep Mulyana. Ayahnya Oding.
“Ada lobster. Gede-gede. Dapat enam di Batu Nunggul tadi pagi. Empat dijual. Dua buat kita.” Oding mengedipkan sebelah mata.
“Kalau Aki pulang pas saya nggak ada, gimana?”
“Si Aki, mah, bisa buka pintu, atuh. Saya saja tahu kunci rumah kalian disimpan di mana,” kata Oding sambil tergelak.
Ping tidak ikut tertawa. Oding tidak tahu, belakangan ada yang aneh dengan kakeknya. Selain batuknya yang menjadi, Yuda semakin jarang keluar rumah, bahkan jarang keluar kamar. Yuda hampir selalu kelihatan kelelahan. Kunjungan sahabat-sahabat Yuda, yang seminggu sekali berkumpul di rumahnya untuk latihan band, juga tidak membuat Yuda bersemangat seperti dahulu. Ada yang diam-diam mengisap api hidup Yuda.
Dari segala keanehan itu, Ping paling curiga dengan kepergian kakeknya kali ini. Yuda hanya bilang ia harus pergi ke Jakarta menemui seseorang. Ia tidak menyebutkan tanggal kepulangan, cuma: sampai urusan Aki selesai. Ketika Ping menanyakan urusan apa itu, kakeknya memberi jawaban pendek: nagih utang.
Jawaban Yuda membuatnya tambah bingung. Ping tidak bisa membayangkan kakeknya punya cukup uang untuk mengutangi orang. Apalagi yang harus ditagih pakai didatangi segala. Pasti utang itu tak kecil. Sementara itu, kakeknya bukan orang kaya. Mungkin, waktu muda dulu, Yuda pernah sedikit kaya dari hasilnya berkarier musik. Ping menduga demikian sebab Yuda masih memiliki penginapan di lokasi strategis dekat Pantai Batu Karas, Hotel Kinari, yang sekarang dikelola keluarga Oding. Yuda juga masih punya rumah berlahan 200 tumbak di tepi Sungai Cijulang, tempat mereka tinggal sekarang.
Yuda selalu bilang, dirinya sekadar beruntung karena punya cukup uang ketika Batu Karas masih desa nelayan yang sunyi sepi dengan harga tanah murah meriah. Kini, ketika Batu Karas berubah menjadi tempat selancar kelas dunia, kakeknya malah memilih menyepi. Tinggal di kesunyian sungai, jauh dari pantai.
“Sudah lima hari, Ding,” kata Ping pelan.
“Sekalian ketemu teman-teman lamanya, mungkin. Aki Yuda, kan, dulunya anak gaul,” balas Oding sambil mengiringi langkah Ping. Sesekali ia membalas sapaan orang-orang yang melewati mereka. “Lagian Aki pasti mampir ke sini dulu, balikin hape. Kan, hape-nya dapat pinjam dari si Apih.”
“Sok-sokan si Aki pinjam hape segala. Kalau ditelepon nggak pernah aktif,” gerutu Ping. “Kayaknya mah nggak tahu cara pakainya juga.”
“Lobster, oke?” Oding berkata seraya memulai lari kecil. “Kamu duluan ke rumah. Saya naik sekali lagi. Sip?”
Sebelum Ping sempat menjawab, Oding sudah balik badan dan berlari ke ujung pantai bersama papannya.
*
SEUSAI mengguyur tubuh dengan seember air di kamar mandi restoran, Oding melompat-lompat dan mengibaskan tungkai-tungkainya untuk melepaskan sisa air. Oding menamakannya “mandi anjing”, ritual yang kerap membuatnya diomeli Yuda karena menular kepada Ping. Oding lalu mengambil satu helai kaus dari tali jemuran.
“Cepat amat,” komentar Ping ketika melihat Oding sudah muncul di restoran. Jejak air membercak di sekujur kaus yang dikenakan Oding.
“Kan, mandi anjing.” Oding mengambil tempat duduk di samping Ping.
Makanan berdatangan mengisi meja. Sebakul nasi, semangkuk cah kangkung, sepiring udang saus mentega, sepiring kerapu goreng, dan satu baki khusus untuk lobster bakar.
“Yang begini, nih, yang bikin bangkrut.” Seorang laki-laki datang sambil berkacak pinggang. Cambang tipis membingkai parasnya yang berkulit matang. Meski sebagian rambut yang mulai memutih menunjukkan usianya yang lebih dari setengah abad, tubuhnya tak kalah tegap jika dibandingkan dengan Oding.
“Makan, Pih.”
“Bapaknya cuma makan jambal, anaknya pesta pora. Kepret sia ku aing!” damprat laki-laki itu sambil menggaplok bahu Oding. “Yani. Piring satu lagi!” serunya ke arah dapur.
Ping tertawa kecil di antara kunyahan. Sesuram apa pun suasana hatinya, sepasang bapak-anak itu selalu berhasil membuatnya terhibur. “Sudah ada kabar dari Aki, Mang?” tanya Ping kepada Acep.
Ada sekejap sunyi sebelum Acep menjawab, “Belum.”
Perempuan berdaster merah tua keluar dari dapur restoran, menghampiri meja mereka. Rambut panjangnya digulung ke pucuk kepala. Muka polos Lilis yang tanpa riasan masih menampakkan raut manis yang menjadikannya kembang desa saat muda dulu. Konon, Lilis Sudrajat memiliki garis keluarga keturunan Arab yang lantas menganugerahinya kulit kuning langsat, hidung bangir, dan sepasang mata bundar yang berbinar.
“Bi Lilis,” sapa Ping sambil mengangguk sopan. “Lobsternya enak, Bi.”
“Makan, Mih.” Oding menggeser kursi, mempersilakan ibunya ikut bergabung.
Ajakan itu dibalas gelengan. “Lihat kalian saja sudah kenyang,” jawab Lilis. Perhatiannya beralih kepada Ping. “Kamu nginap saja di sini atuh. Besok berangkat bareng Oding ke sekolah. Mau?”
“Pulang saja, Bi,” jawab Ping.
“Wanian si Ping mah. Pemberani. Nggak takut kamu sendirian di rumah?” balas Lilis.
“Jurig sieun ka si Ping mah (hantu takut sama Ping). Kalah Abah Mijan oge.” Oding lalu menyikut Ping, “Ingat nggak Piala Poding?”
“Puding apa?” tanya Lilis.
“Si Amih mah mikiran dahareun wae atuh! (Amih cuma memikirkan makanan terus!)” Oding tergelak.
“Nggak, Bi. Bercanda si Oding mah.” Ping mencoba menetralkan rasa ingin tahu Lilis, berharap percakapan itu tak dilanjutkan.
“Pih. Kenapa banyak dukun namanya Abah Mijan?” Oding beralih ke ayahnya.
“Memangnya ada banyak gitu?”
“Di Batu Karas ada Abah Mijan. Di Jawa, ada Mbah Mijan. Di internet juga banyak dukun Mijan lain. Apa ada Mijan pusat, terus ada cabang-cabangnya, gitu?”
“Ai sia!” Acep memukul udara di atas kepala anaknya. “Memangnya Indomaret?”
“Apih jangan sok tahu,” cetus Lilis. “Bisa saja si Oding benar. Makanya Abah Mijan di sini nggak manjur. Amih dikasih ramuan tetap saja nggak kurus-kurus. Mungkin kalau ke pusat lebih bagus.” Mata Lilis tak lepas menatap lobster bakar yang tercabik-cabik berantakan di piring saji.
“Makan sedikit atuh, Mih,” kata Acep kepada istrinya.
“Nggak mau. Nanti gendut.”
“Sudah sebulan kamu nggak makan malam. Tetap saja gendut. Mending juga makan.”
“Apih!” Lilis mendaratkan tamparan pedas ke lengan Acep. Jemari Lilis lalu mendarat ke pinggangnya sendiri, mengecek jendulan di sekitar perut. “Sudah lumayan ini teh. Daripada pakai ramuan Abah Mijan, lebih mujarab nggak makan malam. Sudah turun tiga kilo.”
“Sepuluh kilo atuh, baru kelihatan,” timpal Acep sambil mencomot daging lembut dari cangkang lobster.
“Padahal, Amih kurus kayak sapu nyere waktu masih gadis mah. Persis si Ping begini,” keluh Lilis. “Begitu punya anak, langsung segede truk tronton. Mana anak cuma satu. Gimana kalau tiga? Gusti.”
“Olahraga, Mih,” cetus Oding.
“Anak-suami atlet selancar, eh, si Amih mah....” Acep menggelengkan kepala. “Coba saja disuruh masuk ke laut, air juga nggak bakal nempel. Waterproof!” Beberapa butir nasi tersembur saking kerasnya angin meniup dari mulut Acep. Hanya dengan begitu ia bisa mengucap huruf “f” dengan benar.
Lilis mengernyit. “Malu atuh Amih berenang di laut. Nanti kayak kuda nil.”
“Kuda nil mah di sungai, Mih,” timpal Oding. “Singa laut, meureun.“
“Oding!” Lilis mendaratkan tamparan berikut ke lengan anaknya. “Kualat siah ka indung!”
Oding meringis. Tak jelas apakah ia kesakitan atau tertawa, atau keduanya.
Meskipun keluarga Mulyana teman makan yang menyenangkan, dan makan malamnya lezat bukan kepalang, perhatian Ping bolak-balik terbelah ke jalan raya.
Sayup knalpot mobil terdengar mendekat. Ping langsung bangkit dari kursi. Ia mengenal suara mobil itu. “Aki Toto!” serunya.
Seminggu sekali mobil yang sama datang ke rumahnya. Pemiliknya, Toto, ialah sahabat kakeknya yang tinggal di Pangandaran. Mereka tergabung dalam band bernama D'Brehoh yang rutin manggung seminggu sekali di bar Mustika, sebuah hotel bintang tiga di Pangandaran.
Di pelataran parkir, masuklah Corolla DX warna cokelat tua. Lampu jauhnya menyorot ke dalam restoran.
Acep kontan menyipitkan mata. “Euh. Si Mang Toto mah,” dumelnya.
Dari mobil itu, keluar laki-laki gaek berkaus loreng dan bercelana pendek Hawai, lengkap dengan topi kapten kapal dan kacamata hitam.
“Mang, ngapain pakai kacamata hitam malam-malam?” tegur Lilis. “Bahaya, ih! Nanti nabrak.”
“Sengaja, biar nggak diajak ngobrol,” sahut Toto.
“Geus mah bolor, sombong (sudah rabun, sombong).” Lilis berkata pelan kepada Oding.
Toto berjalan melewati meja mereka, mengucek rambut Ping dan Oding sebagai ganti sapaan. “Bintang satu!” serunya kepada Yani di meja kasir.
“Ki, dapat kabar dari Aki Yuda, nggak?” tanya Ping langsung.
“Nggak,” jawab Toto. Ia menenggak bir dingin yang diantarkan Yani, langsung dari botol. “Geus paeh meureun (Sudah mati, mungkin)."
“Mang, ah!” tukas Lilis sambil mendaratkan tamparan di lengan Toto.
Toto tak terpengaruh. “Paling si Yuda lagi indehoi di karaoke. Kesempatan, kan? Sudah lama nggak penyaluran—”
“Iiih! Ciwit, siah!” Lilis mencubit lengan Toto keras-keras.
“Bisi geus jadi odol! (Jangan-jangan sudah jadi odol!)" Toto lanjut tergelak. “Henteu ketang, bisi geus jadi kapur tulis! (Bukan, ding. Jangan-jangan sudah jadi kapur tulis!)"
Sebagai orang yang paling sering berinteraksi dengan D'Brehoh, Ping sudah kebal dengan gurauan khas Toto dan kawan-kawannya. Sembilan puluh sembilan persen omongan mereka hanya menumpang lewat dari kuping kanan ke kuping kiri tanpa menetap di hati.
“Mang, birnya jangan nambah, ya,” kata Acep. “Nanti, kan, Mang harus pulang lagi ke Pangandaran. Mana mata sudah rabun.”
Toto memanyunkan mulut, tetapi tak membantah.
Acep menggoyangkan kepala ke arah Oding, memberi pertanda agar anaknya segera beranjak. “Sok, kamu antar Ping pulang.”
Oding berdiri dan berpamitan kepada orang tuanya. Ia lalu mengambil tangan Toto, menempelkannya ke kening, “Mangga ti payun, Ki.”
“Mau tahu siapa orang paling beruntung di Batu Karas?” kata Toto dengan volume yang memastikan seisi restoran ikut mendengar, “Tah! Budak ieu!” Toto mengacungkan jempol ke Oding yang menjulang di sisinya. “Lahir di Batu Karas, jadi surfer. Ibaratnya mah main-main di halaman rumah, bisa langsung mendunia. Paling pol itu!”
“Kalau yang paling sial?” lanjut Toto, “Tah! Budak ieu!” Ia menepak punggung Ping sampai anak perempuan itu terbatuk kecil. “Lahir di Batu Karas, jadi anak band. Nyungsep! Mentok di Pangandaran jeung aki-aki!” Tawa Toto pecah membahana.
Ping tersenyum masam sambil ikut berpamitan. Selama ini, ia pikir tamengnya teruji menghadapi segala celotehan D'Brehoh. Entah mengapa, ucapan Toto barusan tak cuma lewat dari kuping kanan ke kuping kiri, tetapi juga menusuk di hati.
BAB 3
ORANG TERKUAT
LIMA teguk bir ternyata sudah cukup membuat kepala Toto pusing. Meja mereka bubar jalan. Corolla DX Toto malah meninggalkan restoran terlebih dahulu sebelum motor matic Oding.
“Lampu aman?” tanya Acep sambil menepuk kepala motor anaknya. Jarak ke rumah Ping tidak jauh, hanya sekitar sepuluh menit pakai motor, tetapi jalan setapak menuju rumah itu gelap gulita.
“Aman, Pih.” Oding memencet tombol lampu. Terang menyorot ke restoran.
“Itu helm jangan digantung doang di jidat. Pakai yang benar. Kancingkan,” lanjut Acep.
Oding membenarkan posisi helm, memasang pengaitnya, lalu menyerahkan helm cadangan ke Ping yang duduk di boncengan. Perlahan, motornya mundur dari halaman parkir.
Raut Acep menunjukkan ia tengah menimbang sesuatu. “Ding!”
Oding menunda putaran motornya.
“Kamu nginap saja di sana. Temani Ping.”
“Siap, Pih.”
Sepeda motor itu lalu membelah malam di jalan utama Batu Karas yang sepi. Seramai-ramainya Batu Karas dikunjungi turis, hampir tak ada kehidupan di jalan utama setelah malam tiba. Hanya satu-dua kendaraan melintas sesekali. Acep berdiri lama di halaman parkir, memandangi anaknya menjauh hingga hilang di tanjakan.
Terdengar langkah kaki mendekat dari belakang, disusul suara batuk tertahan. Acep seketika balik badan. “Mang Yuda? Kapan sampai? Masuk dari mana—?”
“Saya lewat belakang. Tadi nunggu dulu di dekat masjid.”
“Euleuh, itu barusan si Ping—”
“Sudah, biar saja,” Yuda menggeleng sambil mengibaskan tangan. “Mana Lilis?”
Acep buru-buru ke dapur restoran, memanggil istrinya.
Tak lama, Lilis keluar tergopoh-gopoh. “Mang Yuda! Ih, tahu gitu mah si Oding sekalian antar Mang Yuda pakai Kijang.”
“Sudah, sudah. Biar Oding sama si Ping. Saya mau nginap di hotel saja malam ini,” sahut Yuda, merujuk ke hotel kecilnya yang hanya sepelemparan batu dari rumah makan Acep. “Saya mau bicara sama kalian.”
“Aya naon, Mang?” tanya Acep.
“Saya sudah ketemu Guntur.” Yuda mengawali pembicaraan panjang mereka malam itu.
Hati Acep langsung kecut. Tak ada kabar baik jika nama itu tersebut.
*
WANGI obat nyamuk bakar yang disulut Ping mulai menyebar di teras. Oding melepaskan helm lalu merebahkan tubuhnya di amben bambu. Teras bertembok batu bata merah itulah ruang tamu sesungguhnya di rumah Ping. Kadang merangkap menjadi ruang makan. Tamu-tamu hanya masuk ke rumah jika punya tujuan spesifik, yakni main musik, dan itu tidak pernah menjadi tujuan Oding.
“Ping, begadang, yuk.”
Ping, yang berbaring di amben seberangnya, langsung duduk tegak. “Yuk!” serunya. “Kita ngapain?”
“Bakar jagung?”
“Nggak ada jagungnya.”
“Nonton TV?”
Ping teringat pesawat televisi yang dipasang di tembok, di atas meja makan yang jarang digunakan, yang lebih sering padam ketimbang menyala. “Antenanya masih rusak. Main monopoli, mau?”
“Mana seru main monopoli berdua.”
“Gaple?”
“Malas mikir.”
“Memangnya gaple pakai mikir?” Setelah beberapa saat terdiam, senyum Ping tersungging. “Nyanyi-nyanyi, yuk?”
Oding melengos. Rumah Ping memang diperuntukkan bagi keseruan penghuninya saja, bukan tamu. Tepatnya, tamu yang bukan musisi.
Ping memelesat ke dalam rumah. Dari pintu yang membuka, tampaklah ruangan besar tempat alat musik milik kakeknya bergelimpangan. Ada piano vertikal warna cokelat tua dengan tuts menguning, ada satu piano elektrik 88 tuts, satu keyboard 61 tuts, akordeon, satu gitar elektrik, dua gitar akustik, satu bas elektrik, satu bas upright, satu saksofon, satu set drum. Boks amplifier dan pengeras suara bertumpuk-tumpuk memenuhi ruangan dengan kabel berjalin-jalin. Itu baru yang terlihat. Di dalam kotak-kotak besar yang telah merangkap fungsi menjadi tempat duduk, masih terdapat alat-alat musik berukuran kecil seperti suling, harmonika, ukulele, biola, dan berbagai alat perkusi.
Berat, Oding mengikuti Ping masuk, lalu menutup pintu di belakangnya.
“Nih.” Ping menyerahkan tamborin kepada Oding.
Oding menerimanya setengah hati.
Di atas piano, Ping memainkan serangkaian akor dengan ritme funk.
Oding menghela napas sambil menggoyang tamborinnya satu demi satu ketuk.
“Ya, gitu. Ikutin saja, Ding.” Suara Ping mengalun merdu mengisi entakan piano dan kerincing tamborin, menyanyikan “Higher Ground” dari Stevie Wonder.
Sekian lama memukul tamborin, raut Oding memasam. “Lagu nu kaharti atuh. Dewa, Slank, Kahitna, apa gitu....”
Ping berhenti. “Masa nggak ada lagu Stevie Wonder yang kamu tahu?”
“Kalau lagu bule kolot, saya tahunya cuma ‘Kajeblus’.”
Bule kolot, Ping cemberut. Dengan muka tak rela, ia memainkan akor refrein “Still Got The Blues”.
Mata Oding langsung memejam, tangannya mencengkeram tamborin, tetapi gayanya seolah-olah tengah memainkan gitar. Oding lalu bernyanyi dengan penghayatan penuh, “So long... it was so long ago, but I still kajeblus for you... dari awal, Ping!” perintahnya.
*
TEPAT di bawah plang bertuliskan Hotel Kinari, Yuda menyetop Acep. “Sudah, sampai di sini saja. Nuhun, Cep.” Yuda lalu meneruskan masuk ke pelataran hotel.
Acep berhenti di tepi pagar. Air mukanya bimbang. Sejak dari restoran tadi, Acep berjalan mengiringi Yuda seperti orang linglung. Pikirannya sibuk ke sana kemari. Memikirkan cara lain, solusi lain.
“Mang Yuda....”
Langkah Yuda tertunda.
“Di Handapherang, saya dengar ada pengobatan alternatif khusus kanker. Banyak yang berhasil—”
“Wios, Cep.”
“Kita coba dulu, Mang. Besok bisa saya antar. Kalau nggak berhasil, di Imbanagara juga ada tabib—”
“Cep. Sudah cukup.” Suara itu lembut sekaligus tegas. Yuda lalu berbalik badan, meninggalkan Acep yang termangu di tepi pagar.
Acep melihat sekelilingnya seakan berada di alam mimpi. Sayup ombak pecah di Legok Pari membawa ingatannya ke perkenalan awal dengan Yuda Alexander. Manusia paling penuh kejutan, sekaligus manusia paling tangguh yang ia tahu.
*
SAAT itu, Acep masih bocah ingusan yang hobi berselancar di Legok Pari seusai sekolah. Batu Karas masih mutiara rahasia yang ditemukan turis lewat kabar mulut ke mulut. Mereka yang ingin mencicip ombak di Legok Pari, titik selancar terpopuler di Pantai Batu Karas, harus menempuh perjalanan darat berjam-jam dari Pangandaran dengan medan berat, dan siapa pun orang asing yang singgah akan menjadi pusat perhatian. Apalagi jika yang datang roker terkenal asal Bandung, Yuda Alexander, pianis sekaligus vokalis band Zemora yang sohor pada era '70-an.
Sosok Yuda yang gagah, mirip David Bowie yang Acep lihat posternya di majalah remaja, dikombinasikan kemahirannya berbahasa Sunda, dengan cepat menjadikan Yuda populer di Batu Karas. Setiap kali Yuda muncul di pantai, Acep selalu mencuri-curi kesempatan mengobrol.
Yuda mengaku dirinya blasteran Australia-Sunda, lahir dan besar di Kota Bandung, tetapi unsur Sunda yang lolos dalam dirinya cuma kemampuan bahasa. Fisiknya nyaris tak menunjukkan jejak darah Indonesia sama sekali. “Beungeut aing we bule, kalakuan mah siga bungaok! (Muka saya doang bule, kelakuan, sih, kayak setan!)" Sambil berbaring di pasir dan mengisap kretek, Yuda mentertawakan dirinya sendiri, diikuti gelak tawa penduduk di sekelilingnya. Termasuk Acep.
Yuda lantas memberi kejutan berikutnya. Desa kecil mereka dibuat gempar ketika Yuda mempersunting Hesti Koswara, gadis asli Batu Karas. Hesti diboyong ke Bandung. Mereka sesekali pulang ke Batu Karas pada Hari Raya atau untuk berlibur. Lambat laun, Yuda Alexander tak lagi mencolok. Ia melebur menjadi bagian dari penduduk.
Ketika pasangan Yuda dan Hesti pulang membawa bayi perempuan cantik bernama Kinari, penduduk desa ikut bergembira. Masih melekat kenangan Acep ikut menggandeng tangan Kinari menapakkan langkah-langkah pertamanya di pasir pantai.
Satu sore, Yuda muncul di pantai dengan muram. Acep tak tahu pasti mengapa dirinya dipilih menjadi tempat curahan isi hati Yuda hari itu. Mungkin akibat pantai sedang sepi dan Aceplah manusia terdekat dari tempat Yuda duduk. Sambil menyesap bir dingin, Yuda bercerita kemuakannya pada dunia musik dan hiburan. Satu demi satu nyawa temannya telah melayang. Dari enam personel Zemora, hanya tersisa separuh, termasuk Yuda. Tiga lagi meninggal akibat overdosis.
“Mending juga ngamen di Pangandaran, tapi hidup. Daripada mati konyol di Bandung.” Begitu kalimat Yuda yang Acep ingat. Yuda lantas menyatakan minatnya untuk membuka lembaran baru. Menetap di Batu Karas yang sepi, lalu sesekali main musik di Pangandaran yang punya beberapa tempat hiburan, demikian rencananya.
Mendiang ayah Aceplah yang mencarikan Yuda tanah di jalan utama dekat pantai. Yuda tertarik membangun penginapan yang saat itu terbilang langka di Batu Karas.
Niat baik, modal cukup. Rencana Yuda seharusnya mewujud sempurna. Semua pihak berbahagia. Demikian pemikiran Acep yang naif. Namun, hidup menyisipkan banyak bom kejutan di kantong Yuda Alexander.
Belum genap cita-cita Yuda memboyong keluarganya keluar dari Bandung, Hesti meninggal dunia akibat kecelakaan mobil di Puncak, meninggalkan Yuda dan Kinari yang baru berusia 5 tahun. Kendati demikian, Yuda tetap melaksanakan rencananya pindah ke Batu Karas, bahkan dengan tekad lebih kuat. Ia dan Kinari tinggal di kaveling mungil yang sudah disulap menjadi penginapan sederhana.
Hubungan Yuda dan Acep semakin dekat. Ketika ayah Acep meninggal, Yuda menjadi sosok pengganti. Yudalah yang mengiringi Acep mengikuti berbagai kejuaraan selancar, bahkan sampai ke Gold Coast, Australia. Yuda menjadi wali saat Acep menikahi pacar pertamanya sejak SMA, Lilis. Yuda jugalah yang membantunya meremajakan warung uzur warisan ayahnya hingga menjadi restoran terbesar di Batu Karas. Atas hasil rembuk ide dengan Yuda pula, Acep mendirikan surfer center di sana. Tandem Yuda dan Acep menjadi motor penggerak di Batu Karas.
Kelahiran Ping, cucu tunggal Yuda, hanya berselang beberapa bulan saja dengan Oding, anak tunggal Acep yang disebut sebagai bayi keajaiban akibat dilahirkan Lilis pada usia kepala empat. Oding juga disebut sebagai “bayi sapu bersih” karena diangkat dari tubuh Lilis bersama rahim dan sekepal kista. Tak cuma Yuda merupakan pengganti ayah, dan Kinari menjadi adik perempuan yang tak pernah ia punya, Ping bagaikan anak tambahan yang tak akan pernah bisa Acep dan Lilis miliki lagi. Keluarga Yuda Alexander seolah dikirim untuk melengkapi hidupnya. Acep sukar menerima semua itu akan direnggut sebentar lagi.
Hati Acep remuk redam menyaksikan tubuh Yuda tergerogoti tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun, setelah mendengar penjelasan Yuda dan yang terjadi selama ia di Jakarta, Acep semakin meyakini kanker paru-paru stadium empat hanyalah bagian kecil dari ujian ketangguhan Yuda. Fisiknya boleh jadi ringkih dan siap ambruk, tetapi Yuda Alexander tetap orang terkuat yang Acep tahu.
BERSAMBUNG KE PART 2
_________
Untuk kamu yang ingin mengikuti Forum Digitribe RAPIJALI di aplikasi Storial, berikut langkah-langkahnya:
1. Pastikan kamu sudah meng-update aplikasi Storial (menggunakan versi aplikasi terbaru)
2. Cari buku RAPIJALI di halaman pencarian
3. Klik buku RAPIJALI
4. Klik bagian "Forum Diskusi"
5. Selamat, kamu sudah masuk ke Forum RAPIJALI!
Part 2
BAB 4
PIALA PODING
KERIUHAN di ruang tengah berlangsung hanya sampai pukul sepuluh. Sepuluh lebih lima, sambil menguap lebar Ping menarik sehelai sarung dari lemari pakaian kakeknya, lalu menyerahkannya kepada Oding. “Kamu tidur di kamar Aki, mau?”
Oding melihat ke sekeliling ruangan. “Nggak mau, ah,” tolaknya. Oding lalu membuntuti Ping ke kamar tidurnya. “Saya di sini saja. Gelar kasur.”
“Malu sama Piala Poding.” Ping nyengir seraya menuding sebuah patung bambu yang terpajang di meja belajarnya. “Tong kerek nya (jangan ngorok, ya). Awas, saya banjur kalau kerek,” ancam Ping sambil menggelar gulungan kasur kapuk di lantai. Oding ikut membantu memasang seprai.
“Piala saya dipajang sama Amih di ruang tamu. Biar kelihatan sama orang-orang. Kan, hasil karya Pak Marsudi. Nggak tahu saja si Amih, itu upah berburu jurik,” kata Oding sambil terkekeh.
Seminggu lalu, rumah Marsudi, tetangga Yuda di tepian sungai, diganggu makhluk halus. Ada yang bilang itu “kiriman”,...
Part 3
BAB 7 CARA YANG SEMPURNA
HARI itu, planet yang Ping kenal lenyap secara ajaib. Ia pindah ke planet asing tanpa perlu berpindah tempat. Ada tukang sulap yang membalikkan semua yang ia lihat dengan sekali kibasan kain gaib.
D'Brehoh berkumpul dan tak sekali pun terdengar makian. Tidak ada lelucon kasar yang diikuti tawa terbahak. Mereka lebih banyak diam, berbicara dalam suara rendah, sesekali menyusut air mata.
Oding menjadi pihak yang paling gesit membantu. Namun, ia pun tak banyak bersuara. Mereka berdua telah menghadapi begitu banyak hal bersama, tetapi belum pernah kematian. Pengalaman pertama ini sama-sama membuat mereka canggung dan kikuk. Oding sibuk mencari kerjaan karena tak tahu harus bersikap seperti apa kepada Ping.
Teman-teman sekolah dan para gurunya datang. Ping tidak punya teman akrab di sekolah selain Oding. Namun, hari itu, teman-temannya sangat manis. Terlalu manis, hingga rasanya mereka pun berubah menjadi orang-orang asing. Ping membayangkan mereka berembuk sebelum masuk, para...
Part 4
BAB 10 PRADIPA BANGSA
GUNTUR terjaga dari tidurnya dengan perasaan aneh. Ia seperti terbelah di sebuah perbatasan. Sebelah dirinya masih tertahan di alam mimpi. Di mimpi itu, Kinari dan Yuda kembali dalam hidupnya. Sebelah dirinya lagi, yang berkonsolidasi dengan realitas, berusaha mengingatkan belahan satunya bahwa ia tak bermimpi. Dalam hidupnya kini, memang ada Kinari dan Yuda. Mereka ada di rumah itu. Hadir dalam wujud remaja perempuan bernama Ping.
Perlahan, Guntur bangkit duduk. Di sofa pojok, tampak Sarnita sedang khusyuk menulis. Wajahnya terang terpapar cahaya matahari dari celah tirai jendela.
“Pagi, Sayang.”
Sapaan Guntur dibalas gumaman.
Hampir dua puluh menit lamanya Guntur di kamar mandi. Saat keluar, ia masih menemukan Sarnita dalam posisi dan aktivitas sama.
“Kamu nggak siap-siap?”
“Buat apa?” jawab Sarnita.
“Ke sekolah.”
“Untuk?”
“Lho, gimana, sih? Kan, Ping harus diantar untuk ketemu Pak Musa.”
Sarnita menutup jurnalnya, menatap Guntur. “So? Sejak kapan itu jadi tugasku?”
“Nita, nggak mungkin...
Part 5
BAB 13MUSRO
PING mematut sekali lagi. Dirinya dan seragam Pradipa Bangsa bagaikan minyak dan air. Tak padu. Cermin di hadapannya seperti memantulkan refleksi orang asing. Ping menelan ludah, menekan gelegak yang berusaha diredamnya sejak meninggalkan Cijulang.
Begitu Ping turun tangga, saat itu pula Ardi memelipir ke sofa ruang teve membawa piring roti. Seperti kemarin, mereka melahap sarapan masing-masing dalam hening.
Kesunyian baru terurai ketika muncul Guntur dengan sapaan selamat pagi yang riang, diikuti Sarnita yang lebih banyak diam. Persis kemarin.
Ping curi-curi melirik Guntur yang persis duduk di seberangnya. Sesaat Ping menahan napas, mengambil ancang-ancang. “Maaf, Pak. Kemarin saya belum bisa makan siang di sekolah karena belum langganan katering. Apa boleh saya ikut langganan atau mungkin bawa makanan dari rumah?”
Guntur membelalak. “Astaga. Jadi, kemarin kamu makan siang pakai apa?”
“Saya dikasih kupon—”
“Ah, syukurlah.” Guntur langsung mengembuskan napas. “Ardi, thanks, ya!” serunya kepada Ardi.
Ardi menengok dari sofa....
Part 6
BAB 16LATIHAN PERDANA
INGGIL melangkah hati-hati bagai meniti tali. Bertahun-tahun, ia sudah berdamai dengan kenyataan bahwa sesi makan siangnya di kantin adalah momennya menyendiri di tengah keramaian. Ia sudah terbiasa memblokir pendengaran dan perhatiannya dari hiruk-pikuk di sekitar. Fokus hanya pada makanan, minuman, dan isi kepalanya sendiri. Ping yang pertama meruntuhkan kesendirian itu.
Akan tetapi, ini melampaui khayalan terliarnya sekalipun. Sebuah kemustahilan yang ia kepal erat-erat sebentar lagi akan runtuh.
“Hai.”
Rakai dan Buto mendongak. Inggil berdiri kaku, membawa nampan makan siangnya.
Refleks, Rakai bergeser, memberikan tempat duduk kepada Inggil.
“Sebenarnya aku….” Inggil tergagap. Niatnya ke sana hanya untuk menyampaikan sesuatu kepada Rakai dan Buto, tidak sampai makan siang bersama. Namun, sikap Rakai menggoyahkan rencana mulanya. Dengan gerakan bimbang seperti bersiap duduk di atas duri, Inggil mengambil posisi di sebelah Rakai.
“Aku… aku mau ikut band.”
Buto dan Rakai berpandang-pandangan.
“Lu nggak alergi sama gue?” tanya Buto. “Entar lu...
Part 7
BAB 19KONSER KLUWIH
TIDAK ada tempat untuk mobil menepi di gang rumah Inggil. Semua pemilik kendaraan roda empat harus memarkirkan mobilnya di lahan khusus yang dipakai beramai-ramai.
“Setengah jam, ye.” Pemuda penjaga parkiran berkata kepada Inggil.
“Jalan kaki bolak-balik kemari sudah lima belas menit, Mas,” balas Inggil.
“Tamu kagak boleh lama-lama. Bentar lagi pada pulang kantor. Bakal penuh ini sama mobil warga.”
Buto mendekat. “Satu jam, ya? Lapar, nih. Mau cari makan dulu.”
Ukuran tubuh Buto mengubah pertimbangan si penjaga parkir. “Tarifnya beda kalau satu jam, Bos.”
Buto menyerahkan selembar dua puluh ribuan. “Kayak parkir gedung aja.”
“Di sini kita jagain bener-bener, Bos. Ditongkrongin satu-satu.” Dengan cengiran lebar, pemuda itu mengantongi uang dari Buto.
Buto, Rakai, dan Inggil beranjak dari sana. Masing-masing menenteng sesuatu. Boks amplifier, tas berisi efek gitar, dan gitar listrik terbalut sarung.
“Bisa saja kamu, But. Mana ada yang lapar jam segini, coba?” Inggil terkekeh.
“Lho. Gue beneran...
Part 8
BAB 22BAND IMPIAN
MUSA bersedia ditemui selama sepuluh menit saat istirahat. Mengenal reputasi kepala sekolahnya yang tegas dan tepat waktu, Rakai tak ambil risiko. Ia bersiaga di depan pintu ruangan Musa lima menit lebih awal.
Kurang dua menit dari pukul dua belas, Rakai mengetuk pintu.
“Masuk!”
Usai bersapa, Rakai duduk di kursi berseberangan dari Musa. Selain wawancara tes masuk SMA, baru kali ini ia bercakap empat mata lagi dengan Musa Singgih.
“Bu Ira sudah beri tahu sedikit, kalian mau ikut perlombaan band tingkat nasional?”
“Betul, Pak.”
Musa menilik sesuatu dalam laptopnya yang terbuka. “Saya sudah baca email kamu. Lombanya di TVRI, acaranya siaran langsung setiap Sabtu sore dari pukul empat sampai enam, betul?”
“Betul, Pak. Tidak akan mengganggu jadwal sekolah.”
“Kalian tidak mewakili Pradipa Bangsa, jadi secara prinsip kami tidak ada masalah. Saya cuma mengingatkan agar kalian pintar-pintar bagi waktu. Kalian sudah kelas dua belas. Lomba seperti ini...
Part 9
BAB 25ASISTEN GURU
DI pojok ruangan, dengan gelisah Ping menanti semua murid keluar dari ruang musik. Tinggal dirinya berdua bersama Ira.
Ira tersentak kaget ketika bayangan Ping muncul di ekor matanya. “Lho. Kamu belum balik ke kelas?”
Ping membalas pertanyaan Ira dengan ekspresi kaku seperti disengat bisa pelumpuh.
“Ping. Kamu baik-baik saja?”
Ping terbata beberapa saat sebelum akhirnya kata-kata meluncur begitu saja tanpa persiapan. “Saya mau belajar baca not.”
Ira terdiam.
“… sama Ibu.” Ping menyambung, gugup.
“Les, maksud kamu?”
“Ibu kasih les, kan?” tanya Ping hati-hati.
“Saya sempat mengajar privat. Tapi, sebetulnya sekarang sudah nggak lagi,” katanya. Ira harus berjingkat hati-hati untuk membahas topik itu tanpa mengecewakan Ping. “Ada banyak tempat les di dekat sini, kok. Bagus-bagus. Saya bisa rekomendasikan guru untuk kamu. Saya yakin Pak Guntur—”
“Saya mau bayar sendiri, Bu,” potong Ping. Lontaran itu terjadi spontan begitu nama Guntur tersebut, sebelum Ping sempat memikirkan penjelasan susulan...
Part 10
BAB 29KELUARGA
BALAIRUNG besar itu terbelah menjadi dua. Satu sisi dipenuhi lautan orang berbaju putih berkombinasi kain sarung. Satu sisi dipenuhi lautan orang berbaju hitam. Ping salah satunya. Dahlia meminjaminya kemeja hitam polos agar berbaur bersama suporter Guntur yang memadati separuh balairung hotel.
Belum pernah Ping berada di ruangan sebesar dan semegah itu sebelumnya. Lampu-lampu kristal sebesar balong ikan menggantung di langit-langit. Di hadapannya terbentang panggung besar dengan tiang-tiang lampu sorot yang memancarkan terang ribuan watt.
Setiap tamu dipindai dan diperiksa. Rombongan keluarga dan elite partai tak terkecuali. Ping, bersama Ardi dan Sarnita, mendapat tempat duduk di baris paling depan.
Belum pernah pula Ping merasa seasing itu. Ping tidak habis mengerti mengapa dirinya diikutsertakan ke dalam rombongan. Sementara Ardi dan Sarnita tampak begitu luwes, berbaur, disapa dan menyapa banyak orang, Ping mematung kaku tak ubahnya pajangan balairung.
Acara belum dimulai. Sebagian hadirin duduk, dan sebagian lagi wara-wiri bersosialisasi....
Dari Penulis
Sejauh yang saya ingat, musik dan menulis merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup saya. Bahkan, jauh sebelum saya dikenal sebagai seorang penulis, bermusik lebih dahulu menjadi karier saya sejak usia remaja. Tak pelak, musik pun menjadi tema pilihan ketika saya mulai mengeksplorasi penulisan novel pada usia belasan tahun. Lantas, mengapa baru sekarang saya menerbitkan fiksi bertemakan musik?
Tahun 1993. Usia saya masih 17 tahun, belum lama lulus SMA. Saya menulis cerita bersambung tentang seorang anak desa bernama Ping yang memiliki bakat musik istimewa. Cerbung itu saya beri judul Planet Ping. Dokumen maupun manuskrip hasil cetaknya masih tersimpan rapi hingga sekarang.
Menulis dunia Ping saat itu sungguh mengasyikkan. Saya menggabungkan petualangan saat saya berlibur ke desa bersama kawan-kawan sekolah dengan khayalan tentang kehebatan seorang prodigy musik di bawah asuhan kakek eksentrik. Sayangnya, semangat saya belum dibarengi pengalaman dan stamina menulis memadai. Tidak untuk cerita sepanjang dan sekompleks Planet Ping. Akhirnya, sebagaimana yang pernah dialami oleh cerita Kugy & Keenan, Ping dan planetnya terpaksa masuk ke peti es.
Berkali-kali Ping nyaris bangkit dari tidur kriogeniknya tapi gagal. Ketika saya mendapatkan tawaran menerbitkan cerbung digital tahun 2007, saya berada di persimpangan antara memilih Ping atau Kugy. Saya memilih yang kedua. Dunia Kugy ditulis ulang dan lahir baru menjadi Perahu Kertas. Setelah rampung dengan serial Supernova yang memakan waktu 15 tahun, saya diperhadapkan ke persimpangan antara menulis ulang Planet Ping atau kisah baru tentang aroma. Kembali, saya memilih yang kedua, dan lahirlah Aroma Karsa. Kendati demikian, kepercayaan saya terhadap potensi ide Planet Ping tidak pernah luntur.
Setelah tersalip lagi oleh dua judul lain, saya pun tiba di persimpangan serupa, menghadapi beberapa pilihan dan salah satunya Planet Ping. Saya tak tahu persis apa yang akhirnya mendorong saya untuk memilih Ping. Barangkali intuisi, atau barangkali juga Ping dan dunianya tidak bisa menunggu lagi. Kami tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ping ialah utang terbesar saya pada alam ide, memecahkan rekor tulisan terlama saya dalam peti es. 27 tahun.
Pertengahan 2019, saya mulai berproses. Saya pergi riset ke Batu Karas, ke Cijulang, ke Green Canyon, ke Batu Nunggal, ke Pantai Madasari, dan berbagai tempat di sekitar sana. Termasuk menyinggahi SMA 1 Parigi pada jam pulang untuk melihat-lihat kelas, kantin, aula, dan sudut-sudut sekolah. Lambat laun, saya melihat jelas Ping dan dunianya.
Kisah Planet Ping pun bertransformasi menjadi Rapijali. Sebuah akronim dari nama keenam anggota band, termasuk Ping. Sebagai entitas, Rapijali lebih proporsional mewakili cerita. Rapijali merupakan wahana tempat Ping bersama para karakter utama lainnya berkembang dan menemukan tujuan besarnya masing-masing.
November 2019, saya mencicil menulis. Beberapa detail dan gagasan utama dari kisah asli yang dipertahankan. Namun, banyak perubahan fundamental yang saya putuskan. Salah satu keputusan terbesar adalah pengesetan waktu pada masa kini, bukan tahun ’90-an sebagaimana di naskah asli. Konsekuensi keputusan kreatif itu menggiring jalan cerita dan ribuan detail di dalamnya. Bisa dibilang, saya meruntuhkan Planet Ping dan memulainya lagi dari nol. Elemen politik, ajang bakat di televisi, tekanan media sosial, merupakan warni-warni kekinian di dunia Ping yang baru. Proses menulis yang lebih intensif dimulai bulan Juni 2020 hingga manuskrip pertama Rapijali rampung pada Oktober 2020.
Semakin saya gali dan tenggelam dalam semesta Ping, saya makin paham mengapa dahulu saya tidak sanggup menyelesaikannya. Agar kisah Ping utuh, lancar, dan masuk akal, dibutuhkan jalinan drama yang kompleks dan lebar, sesuatu yang dulu belum sanggup saya tangani. Singkat kata, selama bertahun-tahun saya telah meremehkan Ping dan dunianya. Saya menganggapnya sebagai cerita “mudah”. Tokoh anak SMA, murni drama, apa susahnya? Sungguh saya keliru.
Tidak ada makhluk angkasa luar, tidak ada dimensi lain, tidak ada unsur mistis maupun sains tingkat tinggi di sini. Namun, inilah salah satu drama paling rumit yang pernah saya tangani, melibatkan ensambel karakter yang jumlahnya sangat banyak sekaligus harus ditangani satu demi satu secara terperinci. Meski demikian, ini juga salah satu proses menulis yang paling mengasyikkan. Bersama Ping dan Rapijali, saya ikut meniti kenangan saat sekolah dulu, ketika berkesenian merupakan segalanya, ketika dinamika pertemanan bisa sebegitu menggemaskannya.
Kebangkitan Rapijali melunasi utang saya, melengkapi katalog karya saya dengan tokoh-tokoh remaja, mempertemukan kembali dua dunia saya—fiksi dan musik. Terlepas dari pemenuhan Rapijali di sisi pribadi, saya berharap kisah ini dapat membangkitkan gairah bermusik dan berkesenian untuk pembacanya, baik bagi yang sedang menjalani, beraspirasi, atau sekadar ingin mengenang.
Wahai para semua musisi muda di luar sana, temukan lagumu di tengah hiruk-pikuk dunia. Tiada suara lain yang lebih merdu daripada suara hatimu. Untuk kalian semua, saya dedikasikan buku Rapijali ini.
- Dee Lestari
Description: Ping merasa telah memiliki segala yang ia butuhkan. Dunianya yang damai di Pantai Batu Karas, rumahnya yang penuh alat musik di tepi Sungai Cijulang, seorang sahabat terbaik, serta kakek yang menyayanginya. Namun, diam-diam Ping menyimpan kegelisahan tentang masa depannya yang buram. Bakat musiknya yang istimewa tidak memiliki wadah, dan ia tidak berani bercita-cita.
Hidup Ping jungkir balik ketika ia harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga calon Gubernur. Ping mesti menghadapi sekolah baru, kawan-kawan baru, dan tantangan baru. Mungkinkah ia menemukan apa yang hilang selama ini? Dan, apakah Ping siap dengan yang ia temukan? Bahwa, hidupnya ternyata tidak sesederhana yang ia duga.
___
©2021, Dee Lestari
Penyunting: Jia Effendie & Dhewiberta
|
Title: Raya and the Last Dragon” (2021) — F.U.L
Category: Skenario Film
Text:
[[WATCH-FREE]] Raya and the Last Dragon (2021) HD Full Movie Online SUB ENG MOVIE 123Movies
REGARDER Raya et le dernier dragon Streaming VF FLim Complet pageone
ᐅ Voir Raya et le dernier dragon en streaming version française directement sur Films VF . Film gratuit en streaming
Raya et le Dernier Dragon 2021 United States of America Animation film réalisé James Newton Howard et joué par Kelly Marie Tran, Awkwafina. Dans un pays appelé Kumandra, divisé en cinq régions différentes, un guerrier nommé Raya cherche le dernier dragon du monde...
REGARDER :▶ https://v.ht/zmYR
Télécharger : ▶ https://class.xstarmovie21.com/fr/527774/raya-and-the-last-dragon.html
Sortie: Mar 04, 2021
Durée: 90 min.
Genre : Animation, Action, Aventure, Fantastique, Familial
Étoiles : Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Daniel Dae Kim
Réalisateur : James Newton Howard
[[WATCH-FREE]] Raya and the Last Dragon (2021) HD Full Movie Online SUB ENG MOVIE 123Movies
REGARDER Raya et le dernier dragon Streaming VF FLim Complet pageone
ᐅ Voir Raya et le dernier dragon en streaming version française directement sur Films VF . Film gratuit en streaming
Raya et le Dernier Dragon 2021 United States of America Animation film réalisé James Newton Howard et joué par Kelly Marie Tran, Awkwafina. Dans un pays appelé Kumandra, divisé en cinq régions différentes, un guerrier nommé Raya cherche le dernier dragon du monde...
REGARDER :▶ https://v.ht/zmYR
Télécharger : ▶ https://class.xstarmovie21.com/fr/527774/raya-and-the-last-dragon.html
Sortie: Mar 04, 2021
Durée: 90 min.
Genre : Animation, Action, Aventure, Fantastique, Familial
Étoiles : Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Daniel Dae Kim
Réalisateur : James Newton Howard
[[WATCH-FREE]] Raya and the Last Dragon (2021) HD Full Movie Online SUB ENG MOVIE 123Movies
REGARDER Raya et le dernier dragon Streaming VF FLim Complet pageone
ᐅ Voir Raya et le dernier dragon en streaming version française directement sur Films VF . Film gratuit en streaming
Raya et le Dernier Dragon 2021 United States of America Animation film réalisé James Newton Howard et joué par Kelly Marie Tran, Awkwafina. Dans un pays appelé Kumandra, divisé en cinq régions différentes, un guerrier nommé Raya cherche le dernier dragon du monde...
REGARDER :▶ https://v.ht/zmYR
Télécharger : ▶ https://class.xstarmovie21.com/fr/527774/raya-and-the-last-dragon.html
Sortie: Mar 04, 2021
Durée: 90 min.
Genre : Animation, Action, Aventure, Fantastique, Familial
Étoiles : Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Daniel Dae Kim
Réalisateur : James Newton Howard
Description: REGARDER Raya et le dernier dragon Streaming VF FLim Complet pageone
ᐅ Voir Raya et le dernier dragon en streaming version française directement sur Films VF . Film gratuit en streaming
Raya et le Dernier Dragon 2021 United States of America Animation film réalisé James Newton Howard et joué par Kelly Marie Tran, Awkwafina. Dans un pays appelé Kumandra, divisé en cinq régions différentes, un guerrier nommé Raya cherche le dernier dragon du monde...
REGARDER :▶ https://v.ht/zmYR
Télécharger : ▶ https://class.xstarmovie21.com/fr/527774/raya-and-the-last-dragon.html
Sortie: Mar 04, 2021
Durée: 90 min.
Genre : Animation, Action, Aventure, Fantastique, Familial
Étoiles : Kelly Marie Tran, Awkwafina, Gemma Chan, Daniel Dae Kim
Réalisateur : James Newton Howard
|
Title: Ramasita Modern Version
Category: Novel
Text:
I. Lanjut
Suara detak kaki terdengar dari ruangan sejarah yang diisi oleh berbagai buku tua dan dibalik tumpukan buku-buku seorang lelaki tampan dengan bahu lebar dan kaki panjang nya, si jenius peringkat 2 disekolah ini sedang berkutat keras dengan salah satu dari ribuan buku yang tebalnya hampir 300 halaman. Dengan kesal dan sedikit tampak frustasi.“ OHH, GOD Aku benci Sejarah.” Ucapnya untuk yang kesebelas kalinya.“ heyy!!! kenapa ada pertanyaan seperti ini?!" Ucapnya dengan suara melenking.- TEETTTTT.Bunyi suara bel menghentikan seluruh aktivitas para murid dan membuat mereka berlarian menuju kelas selanjutnya,murid laki-laki itu pun langsung mengepaki bukunya dan berjalan cepat menuju kelas sejarah yang diambil nya disemester akhir ajaran tersebut.“ Pagi Anak-anak!” Sapa guru yang bernama Leanita Wijaya. “ PAGI BUUU!!” Balas murid tersebut dengan suara kuat namun terdengar malas.“ Oke, Hari ini kita ulangan. Letakkan buku kalian semua kedepan!” Ucapnya. - 1 Jam Kemudian“ Permisi! ” Ucap seorang murid sambil mengetuk Pintu Kelas Genius 1 tersebut.“ Saya mewakili Panitia Osis ingin mengumumkan bahwa untuk merayakan Hari Valentine pada tgl 14-02-2014 akan diadakan Pesta Dansa dan bagi Murid tahun terakhir diwajibkan menghadiri Pesta Dansa dengan Lawan jenis atau berpasangan, Dan untuk Panitia Pesta Dansa Tahun ini diharapkan menghadiri Rapat Diskusi Besok sehabis pulang sekolah. Atas Perhatian saya ucapkan Terimakasih! ” Ucap murid yang bernama Layla Shara tersebut kemudia tanpa basa-basi langsung keluar karena tak tahan berlama- lama berada di kelas Ilmu Pengetahuan Tinggi tesebut. Sedangkan mereka yang ditinggal mulai gelisah dan berfikir keras mengenai pasangan yang harus di ajak ke Pasta Dansa.- TETTTTTTTTT.Jam Makan Siang berbunyi, seluruh murid pun segera berhamburan berlarian menuju Aula Makan untuk mengisi perut kosong mereka.“ Oi Ram! ” Seru suara Theo memanggil dan di jawab dengan ekspresi 'Apa?' Oleh Rama.“ Kau sudah terfikir mau mengajak siapa ?” Tanya nya langsung.“ Entahla. Aku masih bingung.” Ucap nya tanpa memandang wajah Theo dan hanya fokus pada makanan-nya saja.“ Enggak ada niat untuk mengajak Sita?” Ucap Theo asal-asalan tanpa berfikir.“ Haa?? Enggak lah!” Ucapnya dengan ekpresi kebencian dan suara penuh penekanan.“ Kira kira siapa yang bisa diajak yaaa?” Ucap Theo pada dirinya sendiri.“ Kau ini!! Tinggal pilih saja, yang mau sama mu kan banyak. Jangan sok jelek laa." Ucap Rama membuat Theo menghentikan aktifitas berfikirnya.“ Tapi aku mau cari yang bukan cuma dibawa untuk ke pesta dansa—” Balas Theo dengan tatapan sungguh.“ Jadi? ” Jawab Rama yang membalas tatapan Theo dengan lebih sungguh-tak mau kalah.“ Ke Pesta Pelaminan.” Ucap Theo tanpa rasa bersalah.“ Hmmmphhhh.” Tawa Rama dengan spontan sambil menahan makanan yang ada dalam mulut nya.“ Sadarrrrr belum cukup umur." Sambungnya lagi.“ Bukan gitu lo, maksud nya yang bisa diajak serius." Balas Theo meluruskan niat nya. Sejak Hari itu pun para murid mulai saling berfikir mengenai pasangan untuk dibawah ke Pesta Dansa tersebut khusus nya para murid tahun terakhir yang merasa wajib karena Pesta dansa ini merupakan pesta mereka terakhir di Sekolah Kebanggan itu.Mereka pun mulai memanfaatkan waktu dengan saling menjodohkan, saling memberi kode, dan saling menatap dikelas untuk memberikan suatu sinyal yang jelas kepada lawan jenis yang dituju.- Keesokan Harinya Seluruh murid langsung berlarian menuju asrama mereka masing-masing untuk segera mengistirahatkan bagian tubuh mereka yang terasa pegal, namun tidak untuk para murid yang masuk kedalam organisasi JU atau Jenius Unspeakable, organisasi yang diisi oleh siswa-siswi yang memiliki segudang prestasi dan sengaja dipilih langsung oleh Prof. Earthon yang merupakan Kepala Sekolah dari sekolah terpandang itu,menjadi panitia dalam persiapan pesta dansa kali ini. Suara langkah tergesa-gesa terdengar dari kejauhan, berlari menuju ke arah tiga orang laki-laki yang berjalan dengan santai.“ HEI! RAMA, THEO, REI." Teriak suara Jason menghentikan langkah ketiga lelaki itu yang kemudian menatap bingung kearah nya.“ Kita rapat! ngumpul di Ruang Diskusi." Ucap nya dengan sedikit terengah-engah.Spontan membuat ketiga lelaki itu menepuk jidat nya masing-masing karena sudah melupakan kegiatan yang cukup penting itu. Tanpa basa-basi lagi ketiga laki-laki itu berbalik mengikuti Jason menuju ruang diskusi.- Ruang Diskusi # 15.30Sembilan murid Jenius Unspeakable sudah duduk saling berhadapan untuk memulai rapat, namun sang ketua juga belum datang, hingga rapat belum juga dimulai yang seharusnya sudah dimulai jam 15.00. Namun tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang langkah kaki nya sengaja dipercepat.Suara ketukan pintu membuyarkan rasa bosan dari 9 murid yang dari tadi menunggu kedatangan sang ketua. “ Permisi." Ucap seorang gadis cantik dengan rambut coklat yang terurai, berkulit sawo matang dan tinggi semampai bak seorang model. Kedatangan nya pun diikuti oleh seorang pria tua dengan kacamata yang bertengger diwajah keturunan jerman nya.“ terlambat haa!” ledek rama kepada gadis yang sering dipanggil dengan nama Sita itu.“ bukan urusan mu!” balas nya tanpa melihat rama.“ Maaf karena terlambat, Rapat bisa kita mulai sekarang." Ucap Prof. Earthon sembari mempersilahkan Sita untuk memulai rapat.Selang 1 jam rapat berlangsung, akhirnya Prof. Earthon memberikan pengumuman yang terakhir. “ Baiklah Rama dan Sita adalah penanggung jawab dari pesta dansa ini, saya harap kita semua dapat bekerja sama dengan baik sehingga pesta dansa tahun ini berlangsung dengan lancar.” Ucap Prof. Earthon tampak seperti seorang pemimpin sejati, kemudian beranjak dari bangkunya seraya memberi 1 lembar kertas kepada Sita.“ Ohh iya, kami sudah memutuskan agar kalian tidak terganggu dengan kericuhan yang sedang berlangsung, maka kami sudah memilihkan pasangan yang harus menjadi pasangan kalian di pesta dansa.” Ucap Profesor tersebut spontan membuat jantung para murid Jenius Unspeakable tersebut berdeguk kencang.“ Astaga Prof, kenapa repot-repot kami bisa cari sendiri –” Ucap Lea yang sudah medapatkan pasangan. “Tidak Lea, ini demi kebaikan kalian. Kalian harus fokus untuk masuk Universitas, dan hal seperti ini tidak perlu kalian pikirkan." Balas Profesor tersebut.“ Silahkan bacakan pada anggota mu ketua." Ucapnya kepada Sita, lalu pergi meninggalkan 10 anak yang sekarang menatap seram kearah kertas yang sedang dipegang oleh ketua mereka itu, sedangkan rama nampak tak peduli dengan apa yang terjadi.“ Bacakan lah ketua, dah lapar mau tidur.” Ucap Theo pada sang ketua yang spontan langsung diberi tatapan mematikan oleh nya.“ Lapar, makan jangan tidur!" Ucap Sita kearah 3 orang laki-laki yang sudah menjadi musuh nya di tahun pertama masuk sekolah tersebut, sedang kan yang ditatap hanya memasangkan ekspresi tak bersalah seolah berkata.- ya terserah kita mau tidur atau makan- .Sita pun membuka kertas yang dilipat dua tersebut, namun matanya langsung terbelalak dengan ekspresi yang cukup terkejut, membuat 9 murid yang menatapnya menjadi keheranan. “ Why?? ” Ucap Rama yang langsung menarik kertas tersebut dari tangan sita … ...Bersambung :)
Description: Bagian Penduluan
GENIUS INDONESIAN SCHOOL adalah sekolah
bagi anak-anak Jenius seluruh Indonesia yang berbentuk asrama dan di huni oleh anak-anak jenius yang merupakan keturunan orang-orang terpandang dan terkaya di Indonesia. Tidak sama seperti sekolah lainnya sekolah ini berjalan dengan kurikulum Internasional yang khusus untuk anak-anak jenius dan superzenius tersebut, namun meski berbeda kurikulum sama dengan sekolah-sekolah lainnya ada kisah cinta yang
terjadi diantara murid tersebut, kisah cinta nya sama seperti kisah cinta yang dialami banyak remaja namun ada sedikit yang berbeda.
Cerita ini mengkisahkan tentang siswa-siswa yang
sama-sama memiliki kesempurnaan baik secara visual, kekayaan, prestasi dan kepopularitasan, dengan kesempurnaan yang mereka miliki tidak menutup kemungkinan bahwa mereka akan menikmati masa muda yang menyenangkan
karena melakukan banyak kesalahan membuat mereka terjebak dalam kisah yang rumit yang membingungkan antara mengkuti kata hati atau mengukiti rasa gengsi dan ego mereka.
Dan bagaimana mereka bisa menyelesaikan kisah
mereka yang rumit menjadi kisah yang berakhir dengan indah. Akan kah mereka bisa meruntuhkan tembok ego dimasa yang penuh dengan rasa gengsi dan ingin menang sendiri ini. Akankah kisah remaja mereka yang rumit bisa selesai dalam
satu hari ini, dengan apa dan bagaimana caranya ? semua itu akan terlihat dalam alur cerita ini
|
Title: Roti Bakar Tanpa Toping
Category: Cerita Pendek
Text:
Roti Bakar Tanpa Toping
Suatu hari ada seorang perempuan bernama Elisa, Ia kerja di sebuah kedai kopi yang cukup kecil di jakarta. Dia seorang perempuan yang berjuang untuk bertahan hidup sehingga dia bekerja menjadi seorang barista kopi di kedai tersebut .Elisa bekerja di kedai kopi tersebut untuk menghidupi keluarga kecilnya, karena Elisa seorang tulang pungung keluarga . Dia tinggal dengan ibu dan satu adiknya yang masih kecil,ibunya yang bekerja sebagai asisten rumah tangga tidak cukup untuk menafkahi keluarganya. Sehingga elisa bekerja agar kebutuhan keluarganya terpenuhi.
Ketika Elisa bekerja terdapat seorang mahasiswa yang datang memesan secangkir minuman untuk menemani dia untuk mengerjakan tugas kampusnya .Elisa dengan sigap melayani mahasiswa tersebut dan mencatat pesanan tersebut, lalu Elisa mempersilahkan mahasiswa tersebut untuk duduk dan pesanannya akan diantar kepada mahasiswa tersebut . Elisa pun langsung membuat pesanan dari mahasiswa tersebut, yaitu secangkir kopi panas untuk menemani mahasiswa tersebut mengerjakan tugasnya .
Setelah beberapa waktu, mahasiswa tersebut merasa lelah dengan tugasnya.Mahasiswa tersebut menghampiri Elisa untuk memesan minuman lagi dan sebuah makanan. Mahasiswa tersebut menghampiri Elisa yang sedang membersihkan piring dan gelas terkejut, karena Elisa sedang merasa lelah dengan pekerjaannya. Mahasiswa tersebut menanyakan menu makanan yang enak di kedai tersebut. Lalu Elisa pun menawarkan beberapa makanan ringan kepada mahasiswa itu, lalu pada akhirnya mahasiswa tersebut memesan roti bakar tanpa topping .
Elisa-pun bingung dengan pesanan dia yang sangat unik. Elisa sedang membuat semua pesanan mahasiswa tersebut, lalu mengantar pesanan kepada mahasiswa tersebut. Ternyata mahasiswa tersebut memperhatikan Elisa dari jauh, Ia merasa Elisa memiliki beban dan tanggung jawab yang sangat berat dalam hidupnya. Seperti memiliki masalah kehidupan yang cukup berat. Setelah beberapa saat kemudian mahasiswa tersebut pergi dan pulang untuk istirahat karena waktu sudah mulai larut malam.
Pada keesokan harinya Elisa pun hadir kerja lagi, mahasiswa tersebut datang ke tempat kedai tersebut di waktu yang sama untuk mengerjakan tugasnya. Mahasiswa tersebut memesan secangkir kopi panas untuk menemani dirinya dan makanan yang sama dengan sebelumnya .Elisa pun merasa tidak asing dengan mahasiswa tersebut, karena dia selalu duduk dan memesan menu yang sama belakangan ini.
Mahasiswa tersebut selalu memperhatikan pekerja yang sedang dikerjakan oleh Elisa setiap detailnya. Elisa pun merasa dirinya diperhatikan oleh dia tetapi Elisa mengabaikan hal tersebut karena Elisa harus fokus dengan kerjaan-nya tersebut. Setelah beberapa saat mahasiswa itu pergi dari kedai itu dan pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari kedai tersebut.
Setelah 7 hari Elisa menyadari ternyata mahasiswa itu selalu pesanpesanan yang sama selama dia datang ke kedai kecil tersebut. Ketika mahasiswa tersebut datang dan memesan pesanan yang sama dia mengajak kenalan dengan Elisa .Elisa pun merasa akrab dengan mahasiswa tersebut, karena dia memperhatikan masing-masing dari jauh. Oleh karena itu mereka merasa akrab dan berbincang dengan seru sehingga elisa pun senang .
Mahasiswa tersebut bernama Rizal dia seorang mahasiswa di sebuah sekolah tinggi negeri di jakarta ,Rizal seorang mahasiswa yang berprestasi di kampusnya karena dia selalu mendapatkan beasiswa dari kampusnya. Rizal selalu menyempatkan waktunya untuk mengerjakan tugas di kedai kopi tersebut karena kedai tersebut terdapat pekerja yang rajin dan cekatan ya itu Elisa.
Setelah mereka kenal dengan baik Rizal, menanyakan waktu kosongnya Elisa dari kerjanya. Rizal ingin mengajak pergi dengan Elisa tetapi Elisa tidak memiliki waktu luang yang banyak dengan kerjanya. Rizal merasa kasihan dengan Elisa karena dia bekerja cukup keras di kedai tersebut oleh karena itu, Rizal menemui bosnya Elisa untuk meminta Izin Elisa untuk mengajak jalan jalan dengan nya. Elisa pun tidak tahu kalau Rizal minta izin kepada pemilik kedai tersebut untuk mengajak dirinya jalan .
Di keesokan harinya Elisa masuk kerja ternyata sudah ada yang Menggantinya di kedai tersebut untuk kerja dan Elisa pun terheran heran karena seharusnya dia kerja sendiri di hari itu .dan bosnya Menghampiri Elisa untuk libur di hari itu . Rizal pun datang dan memesan pesan yang sama seperti biasa tetapi dia minta pesannya untuk dibawa keluar .Rizal pun menghampiri Elisa untuk mengajak jalan-jalan keluar Bersama elisa.Elisa pun Merasa senang karena dia bisa jalan dengan teman barunya itu.
Ketika Elisa jalan dengan Rizal dia merasa malu karena dia tidak pernah jalan dengan seorang laki laki sebelumnya, Rizal mengajak Elisa pergi ke kampus nya untuk melihat-lihat kampus-nya. Dan memberi dorongan kepada Elisa untuk tetap semangat dan berusaha agar dia kuat dengan kehidupanya .Rizal-pun Menyarankan Elisa untuk bisa masuk kuliah pada suatu saat nanti, Elisa Merasa senang dan karena itu elisa bisa tahu banyak tentang kapus dari Rizal.
Elisa pun mulai menabung dan bekerja dengan keras agar dirinya bisa merasakan duduk di bangku perkuliahan, selama mereka dekat Elisa ditawari oleh Rizal untuk mengikuti tes masuk perkuliahan dengan gratis. Karena di kampus tersebut terbuka program kuliah gratis bagi mahasiswa yang berprestasi. Pada saat Elisa Mengikuti tes tersebut, Rizal pun tidak dapat Mengantar Elisa untuk tes tersebut. Dikarenakan Rizal sedang pergi keluar kota untuk mengerjakan tugas.
Setelah Rizal pulang dari luar kota dan mendatangi kedai kecil Tersebut. Dia mencari seorang perempuan yang bekerja di kedai kecil. Dia bertemu dengan wanita tersebut tetapi berbeda muka-nya. Ia heran sehingga, ia tanya kepada perempuan tersebut.
“ Permisi.. Kamu Tau dimana pekerja bernama Elisa dimana?”, Rizal Bertanya kepada dia.
“Sorry Pak.. Saya dengar Elisa sudah keluar untuk kuliah.. Perlu kontak nya pak..? “, Tanya Pekerja itu.
Dan Rizal setuju dengan sugesti nya, setelah ia dapat nomor Handphone dia langsung menelpon Elisa. Ia menunggu untuk di angkat, dan akhirnya diangkat.
Elisa Berkata Di call “ Halo ini siapa.. Dengan siapa?” ia kata dengan heran.
Rizal ingin menggoda dengan jawaban “ Saya bapak-bapak yang pesan Roti bakar mbak.. Tapi tidak pakai topping hanya roti yang dibakar” Dengan nada menggoda.
Awal-awalnya Elisa heran ini siapa, dan ia tau ini Rizal.
Elisa jawab “ ihhh.. Rizal.. Bisa aja.. Kamu dapet nomor aku dari mana?”
“ Itu dari temen kamu di kedai kopi, kamu sekarang udh gk kerja lagi ya..? Kerja dimana kamu?” Tanya Rizal.
“ Nggak aku udh gk kerja lagi, Ini aku lagi di kuliah kamu Rizal. Aku Diterima Setelah Test nya.. Kamu dimana? Yuk ngumpul saya taktirin deh hehe.. “ Jawab Elisa dengan senang.
Dan Rizal setuju dan menuju ke tempat kuliahnya, Yaitu Binus. Mereka ketemu dan berbincang-bincang. Saat Rizal ketemu Elisa, Ia langsung di peluk oleh Elisa.
Elisa Berkata “ Rizal.. Makasih karena kamu beri aku motivasi aku masuk kedalam universitas, dan dapat beasiswa “ Dengan memeluk Rizal dengan kencang.
Rizal merasa senang di peluk oleh Elisa dan senang dapat membuat dia bahagia. Sehingga ia sangat merah pipinya.
Rizal berkata “ Sama-sama Elisa.. Aku bahagia kamu dapat beasiswa.. “ dengan memeluk Elisa dengan erat dan penuh kasih sayang.
Rizal baru menyadari sesuatu, Ia sayang sekali dengan Elisa. Ia hanya ingin Elisa bahagia, tidak ingin sedih, marah ataupun menangis. Ia melihat Elisa seperti Malaikat yang jatuh dari surga, ia melihat Elisa seperti Bidadari Tanpa Sayap. Karena itu Rizal mengajak Elisa jalan-jalan sekitar bandung.
Rizal bertanya “ Elisa.. Kamu mau tidak jalan-jalan sama aku sekitar jakarta..? “ dengan senyuman manisnya.
Elisa Jawab “ Ayo.. Tapi pake grab wheels yak.. Hehe aku cape”
Dan Rizal setuju, Rizal dan Elisa jalan-jalan keliling jakarta. Melihat Ondel-Ondel, Makan makanan Jakarta dan memiliki banyak aktifitas. Rizal dan Elisa mempunyai hari yang sangat menyenangkan bagi Berdua. Waktu sudah Sore, Rizal mengajak Elisa untuk ke monas bersamanya. Saat Rizal ke monas ia melihat bapak-bapak yang menjual roti bakar. Dan karena Rizal orang yang romantis dan suka gombal. Ia menyuruh Elisa duduk dan tunggu, dan Elisa duduk dan lihat Monas yang sungguh indah. Rizal Memesan Roti bakar untuk mengakhiri, sore yang indah ini. Ia memesan Roti Tanpa Topping untuk Elisa. Saat Rizal balik dengan Roti Bakar tanpa Toping tersebut, Ia memberinya kepada Elisa.
Rizal Berkata “ El.. Ini buat kamu… “
Elisa lihat roti tersebut dengan heran, dan lihat balik kepada rizal.
Elisa bertanya “ Ini apa kok gk ada topping nya..? Kan aku gk kaya kamu.. Aku suka nya ada rasa hahaha.. “ Elisa ketawa.
Rizal berkata “ saya tau.. Tapi Roti ini.. Pesanan ini itu yang membuat semua ini mulai.. Yang membuat saya ketemu dengan Bidadari, yaitu kamu. “
Elisa hanya dapat melihat Rizal dengan kagum… dan Rizal lanjut bicara.
Rizal Berdiri dan menyuruh Elisa untuk berdiri.. Ia menatap mata Elisa dengan penuh kasih sayang dan berkata “ Elisa.. Kamu tau tidak.. Kenapa saya memesan Roti tanpa Topping? Karena itu membuat kamu heran dan saya dapat perhatian kamu… pertama kali saya masuk kedalam kedai itu.. Saya merasa waktu sudah berhenti..dan saya hanya dapat melihat Bidadari Yang tidak bersayap.. Aku hanya ingin kamu bahagia El.. Aku sayang sama kamu.. “ Kata rizal dengan penuh kasih dan perasaanya.
Elisa hanya dapat melihat Rizal dan tatap dia dengan kasih sayang yang sama. Mereka berpelukan dan saling mengatakan cintanya dengan sesama. Dan Rizal bertanya kepada Elisa untuk jadi pacarnya.
Rizal Saat peluk Elisa bertanya “ El aku sayang sama kamu, kamu mau jadi pacar aku tidak…? “ dengan penuh harapan.
Elisa hanya dapat melihat Rizal dan berkata “ iya Rizal.. Saya Sayang kamu, dan ingin jadi pacar kamu..” Dengan bahagia.
Rizal dan Elisa mengakhiri Sore itu dengan penuh kasih sayang dan kebahagiaan. Mereka Makan Roti Tanpa Toping tersebut dengan jalan-jalan sekitar monas. Mereka tidak kebayang ini semua terjadi karena Roti Tanpa Toping tersebut. Ternyata Roti tanpa Toping juga bisa punya Rasa ya.. Yaitu Rasa Cintaaaaaaa…
Description: Kisah cinta dua sejoli yang berawal dari pesanan "Roti Bakar tanga Toping"
|
Title: Raibnya Sila Kelima
Category: Cerita Pendek
Text:
Raibnya Sila Kelima
Pagi ini upacara bendera seharusnya berjalan seperti biasanya. Ini masih seperti biasanya kendati terik matahari begitu menyengat kulit kami. Hembusan angin cukup menyegarkan tapi tak menyelamatkan kami dari kejenuhan. Kejenuhan yang terus terpelihara karena upacara bendera tak merasuk ke dalam hati.
Guru-guru terlihat tak memiliki semangat untuk melaksanakan upacara. Beberapa memasang senyum merana atau bahkan ada pula yang tidak sudi bibirnya dikunjungi oleh senyuman. Seperti biasa, dengan sangat sempurna, setali tiga uang para siswa bermuka tegang seolah dahi mereka dicium moncong senapan.
Seperti biasa, Kepala Sekolah menjadi pembina upacara pagi ini. Seperti biasa pula, sebelum memberi amanat, pembina upacara akan membacakan Pancasila.
Seorang siswa petugas pembawa teks Pancasila dengan takzim menyerahkan map berisi teks yang sedari tadi ada di tangannya. Kepala Sekolah mulai membacakan teks dalam map yang sudah dipegangnya dan diikuti oleh seluruh peserta upacara. Di sinilah ketidakbiasaan itu bermula.
“Pancasila,” baca Kepala Sekolah.
“Pancasila,” tiru peserta upacara secara serentak dan riuh.
“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Seterusnya kami membaca bersama sampai sila kedua, ketiga, dan keempat.
“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
“Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
“Lima,” lanjut Kepala Sekolah.
“Lima,” tiru peserta upacara, hanya beberapa.
Kepala Sekolah terdiam. Semua peserta upacara pun turut. Kepala Sekolah masih belum menyebutkan sila kelima. Aku sendiri jadi kikuk hendak berbuat apa. Kepala Sekolah masih terdiam. Siswa mulai heboh karena yang ditunggu tak kunjung datang. Guru Sejarah berbisik kepadaku.
“Jangan sampai Pak Kepala Sekolah tiba-tiba pingsan. Dekati dia. Kalau dia diam lantas roboh, kita hendak apa? Kita sudah lelah.”
Kepala sekolah mengambil kertas teks dalam map. Ia membolak-balik kertas itu. Kini ia malah mulai menimangnya, menerawangnya, dan merabanya. Belum puas, ia pun memelototinya sampai bola matanya hendak mencelat.
“Apa mungkin Kepala Sekolah sudah tidak waras?” bisik Guru Sejarah lagi.
Aku masih mengamati apa yang dilakukan oleh Kepala Sekolah. Ia meletakkan kembali teks Pancasila ke dalam map. Ia menundukkan kepala. Sepertinya ia berharap menemukan sesuatu di dekat kakinya. Sayang, tak ada yang lain selain sepatunya yang mengkilat tengah dihinggapi katak.
“Ke mana perginya sila kelima ini?!” bentak Kepala Sekolah tiba-tiba.
Kami semua terkejut. Guru-guru berbisik saling bertanya ke mana perginya sila kelima. Siswa-siswi pun demikian. Katak di sepatu Kepala Sekolah pergi ketakutan.
“Tolong beritahu saya! Ke mana perginya sila kelima?!” teriak Kepala Sekolah lagi. Ia pandangi seluruh siswa-siswi yang sedang berbaris di depannya. Beberapa mencibir. Ada yang menegok langit, siapa tahu sila kelima dibawa terbang oleh garuda. Menengok ke bawah, tapi mereka tahu, rumput pagi yang biasanya basah itu sepertinya tak dapat menolong mereka, bahkan katak yang biasanya senang di sana.
Guru Sejarah menyenggolku. “Apa mungkin teks di dalam map itu kosong?”
“Tidak mungkin. Aku sudah menyiapkannya dengan baik tadi pagi,” jawabku.
“Sudahlah. Beritahu dia. Mungkin dia lupa,” ujarnya lagi.
Aku ragu untuk menghampiri Kepala Sekolah. Aku keberatan jika sepatuku dihinggapi katak juga. Tetapi Kepala Sekolah sudah memutuskan terlebih dahulu. Ia tutup kembali map itu dan memanggil petugas pembawa teks. Siswa-siswi pun mulai meneriaki Kepala Sekolah. Pekik makian menghujani rumput yang kering kerontang.
“Jadi Pancasila hanya ada empat, Pak?! Seharusnya bacakan Catursila tadi!” teriak seorang siswa.
Tanpa menghiraukan peserta upacara yang mulai ricuh, Kepala Sekolah memberi kode untuk meneruskan upacara ke urutan acara selanjutnya, amanat pembina upacara.
Pemimpin upacara pun memberi perintah untuk istirahat di tempat. Kepala Sekolah mulai membuka mulutnya untuk berbicara. Siswa-siswi mulai terkendali. Kami siap mendengar kalimat yang hendak keluar dari ujung bibir Kepala Sekolah yang kini berkilau.
“Amanat upacara pagi hari tidak usah panjang lebar. Saya minta kepada seluruh peserta upacara untuk membantu saya mencari sila kelima yang telah raib baru saja. Terima kasih.”
Peserta upacara semakin kacau. Cemoohan membantu matahari memanaskan semua peserta upacara. Kepala Sekolah meminta upacara bendera segera dibubarkan. Seluruh peserta upacara membubarkan barisan dengan diliputi kegelisahan. Pagi ini, sekolah telah digemparkan oleh raibnya sila kelima. Siswa-siswi menyebar ke seluruh penjuru sekolah. Kini aku akan dimintai pertanggungjawaban.
“Sini kau,” panggil Kepala Sekolah. Aku pun menghampirinya.
“Maaf, Pak,” ucapku.
“Kita selesaikan ini di ruanganku,” kata Kepala Sekolah lagi.
Kepala Sekolah berjalan menuju ruangannya dengan begitu cepat. Aku bagai sapi yang hendak dijagal mengekornya dari belakang dengan dirundung kecemasan. Sebaiknya aku meronta atau minta dijagal bersama.
“Duduk kau!” perintah Kepala Sekolah. “Bagaimana kau ini? Bisa-bisanya, sila kelima tak tertuang dalam teks. Selama 20 tahun aku menjadi Kepala Sekolah, belum pernah terjadi insiden macam begini.”
“Semua sudah saya siapkan dengan baik, Pak.”
“Coba kau tengok sendiri teks Pancasila ini!”
Aku pun memeriksa teks itu. Benar, hanya ada empat butir sila di sana. Sila kelima tak ada. Aku benar-benar tak tahu ke mana ia pergi.
“Tadi pagi ada lima, Pak. Sungguh,” belaku.
“Buktinya, kini ia raib,” ujarnya.
Aku diam lantaran belum menemukan kalimat macam apa yang harus keluar dari mulutku. Aku mencoba merangkai kata-kata. “Tapi, Bapak kan bisa saja membaca meski tanpa teks. Tak perlulah repot jika sila kelima memang raib.”
“Heh! Kau pikir apa gunanya ada petugas pembawa teks Pancasila jika ternyata isi teksnya tak lengkap?!”
“Saya pikir sebagai formalitas saja, Pak,” balasku.
“Formalitas katamu? Jangan kau pikir aku ini dewa. Aku juga manusia biasa yang punya kesalahan,” ujar Kepala Sekolah. “Coba tolong beritahu aku bagaimana biasanya sila kelima hadir.”
Aku kebingungan hendak menjawab apa. Kucoba untuk mencari jawaban yang tak memalukan. Aku mencoba mengingat-ingat bagaimana biasanya aku bertemu dengan sila kelima. Tapi rasanya aku juga manusia biasa. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
“Ah, kau malah bepikir keras. Jangan bilang kau tak pernah menjumpainya. Seharusnya kau akrab dengannya,” katanya. Ia mengelap dahinya yang tak berkeringat. Ia memandangiku dengan seksama. “Sudahlah. Kau bantu mereka untuk mencari sila kelima. Dia tidak akan pergi jauh. Aku masih ingin Pancasila ada lima,” perintahnya.
Aku pun keluar dari ruangannya. Kulihat seluruh warga sekolah sibuk mencari sila kelima. Ini benar-benar masalah genting. Tak mungkin kami membiarkan Pancasila tidak lima.
Dua orang siswa menghampiriku. Kuharap mereka berhasil menemukannya.
“Bagaimana sudah ketemu?” tanyaku.
“Itu dia, Pak. Kami sama sekali tak tahu ada di mana dia berada.”
“Kita cari sampai ketemu. Kalau tidak, Pancasila akan berubah jadi Catursila. Ayo!” ajakku.
“Sebentar, Pak,” seorang siswa mencegahku yang sudah hendak menyisir rumput. “Untuk apa Bapak cari sila kelima di antara rumput itu? Bapak kan Guru Kewarganegaraan.”
Aku sudah siap dengan pertanyaan dan pernyataannya ini. “Sudah kau tanyakan pada Guru Sejarah?” tanyaku.
“Guru Sejarah sudah mencarinya di perpustakaan, tapi tak ada. Dan memang tak ada satu pun guru yang tahu ia di mana, Pak,” jawabnya.
Ini benar-benar masalah penting. Sila kelima raib begitu saja. Jika semua orang tak tahu sila kelima di mana, maka Catursila pun sepertinya akan benar-benar menjadi solusi seluruh warga sekolah.
Tak nampak setitik pun di mana sila kelima berada. Di kantin, tak ada. Di toilet, tak ada. Di pos satpam, tak ada. Bahkan di ruang guru pun tak ada pula. Seluruh penjuru sekolah, ruang kelas, ruang kesenian, ruang guru, laboratorium, dan semuanya tak menjadi tempat persembunyian sila kelima. Namun, aku baru ingat ada satu ruangan yang belum kami periksa.
“Ruang kepala sekolah sepertinya belum diperiksa,” kata Guru Sejarah.
Aku meminta kepada seluruh siswa-siswi dan guru untuk kembali ke ruang kelas untuk melakukan kegiatan belajar seperti biasa. Kini aku bersama Guru Sejarah menuju ruang Kepala Sekolah yang mungkin memang menjadi tempat persembunyian sila kelima.
“Bagaimana? Sudah ketemu di mana ia meringkuk?” tanya Kepala Sekolah.
“Hanya ruangan Bapak yang belum kami periksa. Siapa tahu ia tengah tersiksa di sini,” kataku.
“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin ada di sini,” ucap Kepala Sekolah.
“Bahkan Bapak tidak rela dia ada di sini?” tanya Guru Sejarah.
Kepala sekolah mengambil poster Pancasila yang tertempel di dinding. Ia memberinya kepada Guru Sejarah.
“Coba kalian tengok sendiri. Bahkan di sini pun hanya ada empat sila. Katakan padaku jika di situ ada,” kata Kepala Sekolah.
Aku merebutnya dari Guru Sejarah. Benar. Sila kelima tak ada. Aku memandangi seluruh isi ruangan. Sepertinya dia memang tak di sini.
“Bapak yakin tidak menyembunyikan sila kelima di dalam laci? Atau di saku celana Bapak mungkin?” tanyaku untuk memastikan.
Tiba-tiba ponsel Kepala Sekolah berbunyi. Ada telepon masuk. Ia meraih ponsel yang ada di saku celananya dan menerima panggilan itu. Tak sepatah kata pun terucap. Aku dan Guru Sejarah saling berpandangan.
“Baru saja sila kelima telepon. Dia bilang, jika kita ingin menemukannya, kita harus dengar dulu berita pagi ini,” kata Kepala Sekolah.
Ia pun menyalakan televisi yang ada di mejanya. Berita menyiarkan seorang ketua DPR yang mengundurkan diri karena kasus pencatutan nama presiden. Berikutnya, seorang hakim membuat pernyataan konyol dalam memutuskan perkara kebakaran hutan.
“Apa maksudnya?” tanya Guru Sejarah.
“Tidak mungkin hanya itu,” kataku.
“Maksudnya?” tanya Guru Sejarah lagi.
“Tidak hanya dua berita itu. Mungkin kita harus melihat ada petani dibunuh, sawah disulap jadi pabrik. Buruh dipaksa menjadi bahan cemoohan. Penguasa di sana pun juga sedang gemar bertikai. Harga BBM turun, tapi kelangkaan di mana-mana. Semua itu juga dibumbui oleh drama drop-out seorang ketua BEM sebuah universitas oleh rektornya. Masih banyak lagi,” jawabku.
“Ya. Aku tahu bahwa kita memiliki kisah pilu di masa silam. Penguasa tak hanya gemar bertikai, tapi mereka sendiri pun kerap menciptakan sejarah palsu. Kasus pembantaian massal masih ditutupi. Mereka itu membalikkan fakta. Pembunuh dipuji, korban dicaci,” ujar Guru Sejarah. “Jadi karena itu sila kelima pergi? Wajar saja ia merajuk.”
“Aku pikir, sila kelima memang sengaja dipergikan. Kalau ia merajuk, tak mungkin ia menelponku barusan. Ia masih berharap untuk ditemukan,” jawab Kepala Sekolah. Aku memandangi Kepala Sekolah. Ia terlihat cemas.
“Bapak yakin yang telepon tadi itu sila kelima?”
“Apa ada orang yang berani membajak sila kelima?” jawab Kepala Sekolah dengan pertanyaan. Sepertinya ia mulai gelisah.
“Orang di berita tadi berpotensi untuk melakukannya, Pak,” balas Guru Sejarah.
Televisi pun berubah berita. Kini ia mewartakan bahwa presiden kehilangan sila kelima. Berita semakin heboh karena seluruh negeri ternyata kehilangan sila kelima. Semua warga negara Indonesia pun diwajibkan untuk mencari sila kelima.
“Ah, sudahlah. Kita sudah melakukannya bahkan sebelum diperintah oleh Presiden. Dia sendiri harus menemukannya. Setidaknya kita merasa lega karena ternyata bukan hanya kita yang kehilangan. Kita tunggu saja pengumuman Catursila,” kata Kepala Sekolah terlihat mulai tenang.
“Bahkan Catursila rasanya tak pantas, Pak,” sahutku padanya.
Aku dan Guru Sejarah pun keluar dari ruang Kepala Sekolah tanpa berhasil menemukan sila kelima. Mungkin ia memang pergi karena selama ini tak dihiraukan.
Kuharap sila kelima segera ditemukan dan seluruh negeri masih sempat dihampiri dan bercengkrama dengannya. Tapi, apakah mungkin sila kelima tadi terjatuh dan digondol pergi oleh katak yang menghinggapi sepatu Kepala Sekolah tadi? Atau garuda yang telah menerbangkannya sebelum dicuri orang? Aku lebih curiga ada yang lebih dulu mencurinya untuk dimiliki secara pribadi atau kelompoknya. Mungkin aku tidak menyadari bahwa sebenarnya ketidakbiasaan ini sebenarnya sudah menjadi kebiasaan.
Surabaya, 9 Januari 2016
Jangan Bersedih
Siang ini terik matahari begitu terasa menyiksa. Aku tadinya tengah asik berbincang dengan seorang temanku, Roni, di kantin sampai akhirnya ia pamit untuk ke toilet. Aku memandangi satu per satu setiap orang yang ada di dalam kantin ini. Semua berjalan terlalu biasa.
Menyantap makan siang, sepasang kekasih yang saling rangkul, begundal kampus dengan mata jelalatannya, dan penjual yang diserbu pembeli. Sangat normal. Tak ada yang istimewa. Roni pun datang. Kali ini ia tak berwajah ceria seperti sebelumnya. Sepertinya ada yang hendak ia katakan padaku.
Ia pun duduk di depanku. Matanya mengarah pada seluruh penghuni kantin. Aku ikut-ikutan. Ia pun mulai menatapku. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulutnya. Aku masih menunggu.
“Cak, aku baru saja bertemu dengan Ayu,” ucapnya, akhirnya.
“Mantan pacarmu itu?” tanyaku.
Ia mengangguk. Diaduknya kopi hitam yang sudah dipesannya sedari tadi namun belum terseruput setetes pun. Rasa-rasanya aku mulai mafhum apa yang akan terjadi nanti. Pertemuan dengan mantan kekasih yang baru saja putus memang bukan hal yang akan berlalu dengan sangat mudah begitu saja bagi jomblo tengik macam Roni ini.
“Sudahlah. Tak ada faedahnya kau berlarut dalam kesedihan,” nasihatku. “Bertemu dengan mantan kekasih itu sangat wajar, Ron. Kau harus sadar bahwa kau satu kampus dengannya. Jadi, kenapa pula harus merana saat berjumpa dengannya?”
Ia menatapku tajam. Sepertinya aku terlampau sok tahu untuk perkara ini.
“Apa yang kau tahu antara aku dengan Ayu?!” Roni berseru. Sebuah kalimat yang sangat menyerangku tiba-tiba keluar dari mulutnya yang tipis. Aku menggelengkan kepala. Roni pun tersenyum getir. “Jika kau tak tahu duduk perkaranya, jangan sekali-kali asal ngomong kalau tak mau diterkam harimau yang sedang patah hati, Cak!”
Aku pun diam. Teh hangat yang ada di depanku meronta minta diminum. Aku menyeruputnya secara perlahan. Roni terlihat ingin bercerita panjang lebar karena aku memang tak tahu apa-apa perihal kandasnya hubungannya dengan Ayu. Tiba-tiba putus. Hanya itu yang kutahu.
“Kau tahu kan bagaimana cintaku ini pada Ayu? Aku sama sekali tak menyangka bahwa dia berselingkuh. Dia yang amat anggun dan jadi pujaan para bajingan itu,” katanya sambil menunjuk sekelompok mahasiswa di ujung kantin, “ternyata tega menghianati cintaku.”
“Kau sendiri yang memergokinya selingkuh?” tanyaku.
“Jadi kau tak mengerti apa-apa, Cak?” jawabnya dengan pertanyaan. Aku kembali menggelengkan kepala. “Sahabat macam apa kau ini, Cak!”
“Memangnya kau sendiri sudah cerita pada siapa?” tanyaku lagi.
“Belum ada.”
“Maka dari itu. Ceritalah sekarang. Siapa tahu aku bisa membantu.”
Roni mulai menyalakan rokok. Asap mengepul dari mulutnya. Aku kembali menyeruput teh yang kini sudah mulai tak hangat. Roni menyeruput kopinya.
“Aku memergoki sendiri dia bergumul di atas ranjang kamar bersama kakakku, Cak.”
Aku hampir saja tersedak teh. Batuk. Mataku memelototinya.
“Tak usah lebay begitu.” Teh yang kuseruput sebagian membahasahi celanaku. Aku menepuk-nepuk pahaku. “Aku akan cerita cukup lama, Cak. Setelah itu kau bicara sampai moncongmu berasap pun aku tak peduli. Bagaimana?”
“Sepakat,” balasku.
Roni mempersiapkan diri untuk berceritas sebuah kisah yang sebetulnya bisa terjadi pada siapa saja. Aku dengan takzim mencoba menjadi pendengar yang baik.
“Sebenarnya siang itu berjalan biasa saja. Ayu main ke rumahku seperti biasa. Hanya saja, siang itu dia banyak bertanya perihal kakakku. Aku tak menaruh curiga karena selama ini dia memang sangat akrab dengan kakakku. Maklum lah, dia sendiri mungkin mengakrabkan diri dengan calon iparnya, pun juga dengan kakakku.
“Dia main ke rumah dengan tujuan ingin pinjam buku kuliah padaku. Ayah dan Ibu memang tak ada di rumah kalau siang hari. Biasalah, bekerja. Jadi, di rumah hanya ada aku dan kakakku. Aku menyambutnya seperti biasa. Kubikinkan dia teh dan ruang tamu rumahku memang sudah sangat baik menyambutnya seperti biasa. Aku pun mengobrol dengannya di ruang tamu sampai akhirnya kakakku datang dan ikut nimbrung dengan kami. Kami bertiga tertawa bersama ketika mendengar lelucon yang dilontarkan kakakku. Kami masih bertiga di ruang tamu, sampai akhirnya kakakku memintaku untuk keluar rumah untuk beli pulsa.”
“Dan dari situlah petaka itu terjadi?” potongku.
“Dengarlah dulu, Cak!” pekik Roni. Ia menyeruput kembali kopi hitamnya. “Ya, memang benar. Aku tak menaruh curiga sama sekali jika Ayu berdua saja dengan kakakku. Mereka berdua memang sudah biasa kutinggal berdua. Biasanya mereka pun mengobrol sampai aku sendiri tersisihkan dari obrolan. Itu sudah biasa. Sampai, ya, petaka itu terjadi. Aku pulang dan tak menemukan Ayu dan kakakku di ruang tamu. Kupikir mungkin mereka berdua sedang keluar. Tapi motor Ayu masih terparkir di halaman rumah. Aku pun masuk saja ke rumah. Ya, sampai akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Ayu dan kakakku berpelukan dan berciuman di ranjang kamar kakakku. Pintu terbuka seolah mereka memang ingin aku memergoki mereka. Dan, semenjak itulah aku memutuskan untuk menyudahi hubunganku dengan Ayu.”
“Aku potong sebentar ya,” pintaku. Roni mengangguk. “Dari ceritamu aku malah berpikir kau salah mengambil keputusan. Kenapa pula kau biarkan kakakku memiliki keleluasaan melebihi yang seharusnya. Tapi aneh juga kalau kakakkmu hanya menyuruhmu untuk beli pulsa, karena itu hanya butuh waktu sebentar. Jika kakakmu ingin berdua untuk waktu yang lama, seharusnya kakakmu cari ide yang lebih cemerlang agar mereka mendapat pelanggengan yang baik dan leluasa untuk bergumul.”
“Tak usah berlagak seperti Sherlock Holmes begitu. Ini kenyataan. Pahit, Cak!”
“Kalau toh ternyata Ayu memang mau dengan kakakkmu, apa salahnya?”
Roni memandangiku dengan tajam. “Apa kau lupa, Cak?”
“Apa?! Bahwa cintamu begitu besar pada Ayu?” hardikku.
“Kakakku itu perempuan juga!” seru Roni.
Aku yang tadinya hendak menyomot tape goreng di meja pun mengurungkannya. Wah, sepertinya ini benar-benar kisah yang sangat menarik.
“Aku baru ingat, Ron. Jadi yang menjadi kerisauanmu adalah bahwa dua orang yang kau kasihi tega menyakitimu? Lebih-lebih ternyata mereka lesbian?” tanyaku.
Roni menundukkan kepala. Syahdan, ia membuang puntung rokoknya ke bawah. Diangkatnya kepalanya dan menyapu seluruh pemandangan yang dilihatnya di kantin ini.
“Aku bahkan rela dua orang yang kukasihi ini bahagia kok. Mungkin memang itu bisa membuat mereka bahagia, jadi aku merelakan saja,” ucap Roni lirih.
Aku kini dapat mengambil dan memakan tape goreng dengan hikmat. “Lantas, apa yang membuatmu risau?”
“Ini dia masalahnya. Pertemuanku dengan Ayu barusan. Ayu mengancam akan membunuhku jika menyebarkan aib yang dimiliki mereka berdua ini.”
Aku mengunyah secara perlahan tape goreng yang nikmat ini. “Aku sendiri tak berpikir kau akan menyebarkan aib ini, Ron. Aku tahu kau bukan tipe orang yang begitu.”
“Ya, kau tahu itu. Masalahnya, Ayu ternyata sangat tega betul padaku. Tak tersisas sedikitpun cinta untukk. Bahkan dia sudah punya niatan untuk membunuhku, meski ada syarat dalam pembunuhan itu.”
Aku mencoba memahami maksud Ayu. Tapi, sepertinya tak ada yang lain selain seorang yang tak ingin aibnya tersebar. Hanya saja, jalan yang dinginkannya cukup ekstrem, membunuh.
“Sudahlah. Asalkan kau memang tak menyebarkan aib ini, kau tak akan dibunuhnya. Berarti tak perlu dirisaukan,” jawabku. “Aneh juga jika ia tak ingin aibnya tersebar, tapi tak merencanakan maksudnya dengan begitu rapi. Karena bagaimanapun juga. Kau akan mengetahui jika mereka itu ternyata lesbian. Itu yang seharusnya menjadi pertanyaan.”
“Mungkin memang itu cara Ayu untuk mengakhiri hubunganku dengannya. Tapi masalahnya, kenapa juga dia pilih cara yang begitu luar biasa?”
Roni menyalakan rokok kembali. Ia menyereput secara perlahan kopi hitamnya yang sedari tadi tak habis-habis. Teh hangatku pun tinggal sekali seruput sudah akan segera raib. Sahabatku ini mungkin memang begitu merasa gamang akan yang terjadi padanya. Tapi aku yakin, dia tak akan berlarut dalam kesedihan untuk waktu yang lama.
“Seperti dugaanmu. Mereka hanya sedikit teledor. Sudahlah, Ron. Jangan bersedih. Yang terpenting, kau harus menghadapi semua yang kau alami ini dengan tegar,” nasihatku padanya.
Kembali, ia menatapku dengan sorot mata yang begitu tajam. Kali ini tak setajam sebelumnya. Ia seperti begitu sebal karena nasihatku tak ada pembaharuan.
“Tahu apa kau soal pacaran? Sekali pun kau tak pernah pacaran, Cak. Mana kau tahu bagaimana sakitnya ditinggal pacar, heh? Jomblo tengik macam kau ini tidak akan pernah tahu rasa sakit yang kurasakan ini. Sakit yang kau rasa paling-paling hanya ditolak saat menyatakan cinta. Itu saja kan?”
Aku sudah sangat terbiasa mendengar kalimat seperti itu meluncur deras dari congor sahabatku yang satu ini. Dia memang sudah berkali-kali putus cinta, dan berkali-kali pula ia bercerita seperti itu. Apa pun masalah cinta yang menderanya, dia selalu melancarkan kalimat yang seharusnya membuatku sakit hati ini. Tapi aku sudah biasa. Maka tak kutanggapi saja makiannya itu karena dia pasti akan semakin membabi buta. Sudah cukuplah realitas bahwa aku ini tak laku pacaran, tak perlu kutambahi dengan makian balik pada Roni. Tentu akan mengotori bibirku.
Kantin mulai sepi seiring jam masuk kuliah sudah tiba waktunya. Roni masih duduk bersamaku. Ia masih terdiam setelah makiannya itu. Aku mengamatinya. Ia terlihat sudah agak tenang.
“Aku pun tak pernah bisa memahamimu. Bagaimana mungkin sampai umur 22 tahun, kau tak sekali pun menjalin kasih. Mungkin memang tampangmu tak cukup untuk meyakinkan perempuan incaranmu,” kata Roni dengan tawa yang cukup kencang. Aku hanya nyengir mendengarnya. “Tapi, apakah orang homoseksual pasti berbuat nekad ya, Cak?”
“Maksudmu?”
“Ya, tengok saja Ayu. Ia sudah tertangkap basah memang lesbian. Memang menyakitkan sekali. Tapi apakah memang begitu seorang homoseksual, entah gay ataupun lesbian? Rela membunuh jika dia sakit hati atau rahasianya terbongkar?” tanyanya. Ia menatapkan dengan sorot mata yang sayu.
“Jangan sembarang ngomong. Homoseksual juga seperti heteroseksual. Sama aja. Hanya orientasi seksualnya saja yang berbeda. Homoseksual memang ada yang brengsek dengan doyan menggoda pada semua orang yang dianggapnya menarik. Heteroseksual juga demikian. Ada juga yang brengsek. Tak bisa kau bicara begitu, Ron,” terangku sedikit panjang.
“Ah, buktinya, dulu ada pembunuhan berantai yang memutilasi korbannya itu. Ternyata dia gay. Kini aku mendapati sendiri seorang lesbian juga begitu. Nekad hendak membunuh,” bela Roni.
“Tak bisa kau anggap begitu. Homoseksual juga ada yang berprestasi, sopan dan santun, baik pada sesama. Contoh nyata lihat saja Alan Turing. Heteroseksual juga demikian. Jadi, tak bisa kau generalisir macam begitu.”
Roni terdiam mendengar jawabanku. Ia tersenyum manis ke arahku. Aku pun jadi curiga, jangan-jangan Roni mulai mengalihkan orientasi seksualnya.
“Tapi bisa saja kaum homoseksual itu membunuh?” tanya Roni.
“Bisa saja,” jawabku. “Sudahlah, jangan bersedih.”
“Iya, aku tahu. Tapi tidak semua?”
“Iya, tidak semua,” kataku lagi. “Buktinya aku tidak punya niatan untuk membunuh?” kali ini aku menjawab dengan suara yang sangat pelan.
Roni memelototiku. Ia mulai bergidik ngeri, sepertinya.
“Maksudmu, Cak?”
Kali ini aku hanya membalas pertanyaan Roni dengan sebuah senyuman. Kantin pun sepi seperti biasa. Seperti saat jam kuliah sudah dimulai. Terlebih saat matahari sudah tak terik karena rintik hujan mulai turun.
Tape goreng di meja sudah habis. Tinggal tempe dan tahu goreng saja. Roni menatapku tanpa sepatah kata pun terucap dari mulutnya.
Jember, 11 Februari 2016
Description: Sila kelima telah raib, seluruh penjuru sekolah, bahkan seluruh penjuru Indonesia berusaha mencari dan menemukannya.
|
Title: Ray, anak ku..
Category: Anak
Text:
Bab 1
Ray adalah anak pertama dari bapak Alex dan bunda Dina ..anak pertama yang di harapkan sang bunda sebagai panutan untuk Ade Ade nya kelak tapi sering kali sang bunda harus kehabisan sabar menghadapi nya...
Ray sebenarnya anak yang penurut sama seperti anak ank lain nya hanya saja dia candu dengan ponsel nya bermain game itu yang buat sang bunda selalu emosi melihat nya...
Sore ini senja mulai meninggi adik ray udah telihat rapi menunggu magrip berkumandang sedangkan ray masih asik bermain ponsel nya tanpa ingat kewajiban nya sebagai muslim yang harus bersiap-siap...
"Ray, sudah berhenti bermain hp nya sudah waktu nya mandi" teriakan bunda...
"Iya bun" kata ray masih asik bermain ponsel..
Lima menit berlalu setengah jam ray tak juga ada suara mandi sang bunda menghampiri nya...
"Ya ampun ray mandi.. Apa mau bunda buang itu hp nya " kata bunda mulai emosi
Ray beranjak dan bergegas ke kamar mandi tak lagi menyahut ucapan bunda yang mengomel dari tadi...
Bunda mengelus dada berkata dalam hati "ya Allah bagaimana ak bisa membuat nya melepaskan kecanduan nya yang setiap hari membuat ku emosi "Bukakan ak jalan nya Tuhan" guman bunda lirih...
Selepas mandi ray masih berkutat dengan ponsel nya bermain game kesukaan nya.. Serasa sesak bunda mengamatinya dalam hati bunda selalu berdoa "semoga ada jalan nya"..
Hari - hari ray bersekolah berangkat pagi pulang siang setelah pulang langsung main bersama teman teman nya ber game ria...
Sore ini ray rupanya bermain terlalu lama hingga iya lupa adzan ud berkumandang bahkan dia lupa bahwa sang bunda menunggu dalam kecemasan...
"Assalamualaikum "kata ray masuk..
"Waalaikumsalam, dari mana aja kamu gak ingat pulang? Ucap Bunda terlihat marah..
"Main di rumah teman "kata ray tunduk
"Apakah harus sampei sesore ini bermain " ucap bunda yang masih saja marah..
"Sudah mandi ray baru magripan "kata ayah
Begitu lah ayah ray yang selalu mengalihkan ketika tau sang bunda sendang emosi...
"Iya yah "kata ray
Selesai shalat bunda menyiapkan makan malam untuk smua di meja makan ayah, ray, rina melangkah ke meja makan...di sela sela makan ayah bertanya kepada ray
"Ray, setelah ini kamu mau lanjut kemana"ucap ayah
"Ray belum tau yah "jawab ray
"Bunda gak mau ray masuk sekolah biasa "kata bunda"Nanti bunda cari sekolah pondok buat ray " ucap bunda lagi
"Iya bund " jawab ray pasrah..
Ray sebenarnya anak yang penurut sama seperti anak ank lain nya hanya saja dia candu dengan ponsel nya bermain game itu yang buat sang bunda selalu emosi melihat nya...
Sore ini senja mulai meninggi adik ray udah telihat rapi menunggu magrip berkumandang sedangkan ray masih asik bermain ponsel nya tanpa ingat kewajiban nya sebagai muslim yang harus bersiap-siap...
"Ray, sudah berhenti bermain hp nya sudah waktu nya mandi" teriakan bunda...
"Iya bun" kata ray masih asik bermain ponsel..
Lima menit berlalu setengah jam ray tak juga ada suara mandi sang bunda menghampiri nya...
"Ya ampun ray mandi.. Apa mau bunda buang itu hp nya " kata bunda mulai emosi
Ray beranjak dan bergegas ke kamar mandi tak lagi menyahut ucapan bunda yang mengomel dari tadi...
Bunda mengelus dada berkata dalam hati "ya Allah bagaimana ak bisa membuat nya melepaskan kecanduan nya yang setiap hari membuat ku emosi "Bukakan ak jalan nya Tuhan" guman bunda lirih...
Selepas mandi ray masih berkutat dengan ponsel nya bermain game kesukaan nya.. Serasa sesak bunda mengamatinya dalam hati bunda selalu berdoa "semoga ada jalan nya"..
Hari - hari ray bersekolah berangkat pagi pulang siang setelah pulang langsung main bersama teman teman nya ber game ria...
Sore ini ray rupanya bermain terlalu lama hingga iya lupa adzan ud berkumandang bahkan dia lupa bahwa sang bunda menunggu dalam kecemasan...
"Assalamualaikum "kata ray masuk..
"Waalaikumsalam, dari mana aja kamu gak ingat pulang? Ucap Bunda terlihat marah..
"Main di rumah teman "kata ray tunduk
"Apakah harus sampei sesore ini bermain " ucap bunda yang masih saja marah..
"Sudah mandi ray baru magripan "kata ayah
Begitu lah ayah ray yang selalu mengalihkan ketika tau sang bunda sendang emosi...
"Iya yah "kata ray
Selesai shalat bunda menyiapkan makan malam untuk smua di meja makan ayah, ray, rina melangkah ke meja makan...di sela sela makan ayah bertanya kepada ray
"Ray, setelah ini kamu mau lanjut kemana"ucap ayah
"Ray belum tau yah "jawab ray
"Bunda gak mau ray masuk sekolah biasa "kata bunda
"Nanti bunda cari sekolah pondok buat ray " ucap bunda lagi
"Iya bund " jawab ray pasrah..
Bab 2
Hari -hari Bunda semangat mencari referensi sekolah lewat gawai nya beberapa nama sudah di masukan dalam list tinggal survei tempat dan sistem pembelajaran nya.
Minggu ini ayah menyempatkan survei bersama ray letak nya lumayan jauh di kota sebelah pagi ini mereka bersiap2 untuk berangkat.
"Ud siap ray"kata ayah.
"Udah siap kok yah"jawab ray.
"Kita berangkat dulu ya bund takut kesiangan sampei sana nya"kata ayah sekalian pamit bunda mencium takjim tangan suami nya dan ray mengikuti mencium tangan sang bunda.
"Iya yah, hati-hati di jalan"jawab bunda melepas kepergian suami dan anak nya hilang di ujung jalan sembari berdoa "Ya Allah jaga mereka lancarkan perjalanan mereka"ucap ku dalam hati.
Setelah mereka pergi ak kembali masuk menutup pintu dan beraktivitas di dalam bersama gadis kecil ku.
Bersama nya menghabiskan waktu hingga siang pun menjelang.Gadis kecil ku tertidur stelah lelah bermain ak pum beranjak ke dapur membuat makan siang yang spertinya bentar lagi ayah dan ray kembali.
"Alhamdulilah Selesai semua sudah tinggal bersih diri"ucap ku.
Ku tinggal kan dapur menuju kamar mandi mulai berbersih diri kemudian mempercantik wajah dengan sedikit polesan tipis samar Terdengar Suara motor ayah memasuki halaman rumah.
"Tok.. Tok.. Tok.. Asslamualaikum"suara seseorang dari luar mulai terdengar.
"Waalaikumslaam"jawab ku berjalan keluar membuka kan pintu.
"Cape yah"kata ku menyambut jaket serta helm suami ku.
"Lumayan ndaa, lapar juga nie "jawab ayah sambil memegang perut buncit nya.
"Ya udah bersihkan diri dlu baru kita makan"kata ku.
Ayah beranjak ke kamar mandi dan ray lari ke kamar menganti baju nya.
Ak menyiapkan makan siang ku lihat gadis kecil ku terbangun mendengar ayah nya pulang.
"Rani, cuci muka dulu terus shalat dzuhur baru bentar kita makan"kata ku kepada putri kecil yang berjalan dari kamar nya dengan mengusap mata.
Semua berkumpul di meja makan ak meladenin mereka satu persatu kali ini bunda masak kesukaan nya rani.Dia menikmati nya dengan santai dan lahap begitu juga ayah dan ray seperti nya lelah perjalanan membuat mereka beneran kelaparan.
""Gimana sekolah nya bagus ray"bunda bertanya di sela -sela suapan nya.
"Bagus, luas banyak eskul nya"jawab ray dingin.
"Sekolah nya bagus, cocok dengan ray yang gaya belajar nya bebas, cuman gak ada asrama nya jadi harus kost"ayah menjelaskan.
"Hmm, gak mau lah klo kost lagi"protes bunda.
""Kirain asrama, klo harus bolak balik ribet mah"kata bunda lg.
"Iya, makanya ayah belum daftarin minta pendapat bunda dlu"kata ayah.
"Sebenarnya ayah senang dengan sekolah nya cuman ya kalo harus kost nanti gak ada penanggung jawab nya"ucap ayah lagi.
"Ya ud, di cancel deh mungkin belum jodoh di situ besok bunda survei lain tempat masih ada waktu masih ada list yang belum di survei"kata bunda tersenyum.
"Kalo pesantren mau gak ray, maksud bunda siap gak masuk pondok"tanya bunda.
"Gak aah bund"jawab ray tidak tertarik entah anak ini cool nya kadang kebangetan.
"Trus kemana bunda gak mau yang umum ya, gak ada ijin untuk sekolah biasa"tegas bunda kali ini.
"Iya deh, ikut bunda aja"ucap ray berakhir pasrah.
"Ya ud ntar di cari cari yang sesuai biar ray juga nyaman"kata ayah menenangkan keadaan. Suami the best paling tau kalo istri nya sudah mulai gak mood ini hehee.
Bab 3
Di saat kebimbangan itu datang cahaya terang itu hadir mungkin itu bisa jadi pepatah yang tepat di saat kegundahan bunda mencari info tentang sekolah -sekolah menengah pertama sesuai keinginan bunda dan ray.
"Ternyata bingung mau cari sekolah buat Ray"kata bunda sore ini ketika duduk di teras bersama sahabat nya.
"Sekolahkan aja itu di IT"jawab vina.
"Dimana sekolahnya kok baru dengar infonya"tanya bunda antusias kepada temannya ketika mereka sedang ngerumpi di teras rumah.
"Itu malah Deket dari sini tapi berasrama jadi gak pulang hari"Vina menjelaskan.
"Wah,spertinya cocok besok lah ak cek sekalian daftar ma Ray"ucap bunda semangat.
Secerah titik terang mulai ada dalam bayangan sehabis obrolan dengan sahabat nya sore tadi iya pun semangat menyiapkan makan malam ini.
Meja makan mulai rame Ray dan sang adik telah duduk menanti bunda menyiapkan makan malam.
"Bund..mas Ray na"kata rina ketika ray mulai mengoda nya.
"Gak ku apa apa kan kok bund"jawab ray.
"Bund...mas nah"lapor rani lagi.
"Apa sih ran ..ngadu Mulu ma bunda..!!"protes Ray kesal.
"Sudah Ray jangan godain Rina terus panggil ayah kita makan bareng"titah bunda.
"Siap bund"
"Tapi ayah dimana ya"tanya Ray.
"Ya di cari dong Ray kalo gak ada di kamar ya di teras sana"jawab bunda kesal.
"Ok"kata ray melangkah mencari keberadaan sang ayah.
Entah kenapa setiap kali menjawab Ray emosi bunda gak stabil selalu aja naik turun.sabar ..sabar... Tak lama ayah muncul bersama Ray menuju meja makan.
"Wah,kayaknya enak ini"ucap ayah bersemangat.
"Iya menu ayah ma anak-anak"jawab bunda.
"Makasih ya bund"ayah berkata.
"Iya , mau pake ini atau yang ini yah"tanya bunda hendak mengambilkan lauk ayah ayam goreng atau ayam kecap.
"Yang kecap aja"ayah menyodorkan piring ke arah bunda.
"Gimana sekolah Ray sudah dapat pilihannya"tanya ayah.
"Sepertinya bunda sudah dapat besok mau daftar seklaian cek sekolah Deket sini aja cuman ya berasrama jadi Ray gak bisa pulang - pulang kalo belum waktunya pulang."bunda menjelaskan.
"Bagus tuh , belajar mandiri ya Ray"ayah menyemangati.
"Iya yah"ucap Ray.
Makan malam pun kembali sunyi hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring mereka semua menikmati makan malam dengan lahap.
Selesai rani membantu bunda merapikan meja sedang ray berlari ke kamar dengan gawai nya sang ayah pun meninggalkan meja makan menuju ruang tv melihat berita apakah hari ini.
"Ran, sudah di taruh situ aja nanti bunda yang rapikan kembali"kata bunda.
"Siap ndaa"jawab putri kecil nya.
"Ada tugas gak hari ini"tanya bunda
"Ada bun PR dikit aja"jawab nya.
"Ya sudah kerjain dulu sebelum nanti ngantuk"kata bunda.
Setiap anak berbeda sama seperti ray dan rani walau terlahir dari rahim yang sama tapi sikap serta sifat nya berbed bahkan bertolak belakang.
Description: "Ray... Mandii.. "
"Ray makan.. "
"Ray belajar. "
Begitu lah teriakan bunda selalu terdengar setiap hari untuk ray anaknya.
Ray anak pertama ayah axel dan bunda alexander besar harapan ayah
bunda kepadanya. Ingin dia menjadi kebangaan dan contoh yang baik untuk sang adiknya.
Namun angan tak sejalan dengan realita nya ray selalu bikin bunda emosi..
|
Title: Ruang Tamu Saksi Bisu
Category: Cerita Pendek
Text:
Ruang Tamu Saksi Bisu
“Aku sayang kamu,” mendadak dia berkata itu.
Sontak aku memandang ke arahnya. Mataku melotot, bola mataku seakan mau keluar. Sepertinya akupun berhenti bernafas. Mulutku terbuka lebar, sampai — sampai bila satu butir telur dimasukkan pastinya langsung hilang tertelan. Aku pegang telingaku, kupukul daun telingaku. Hmmm, berdenging, tandanya tidak ada yang salah dengan indera yang satu ini. Kuraba dadaku, huff, untungnya jantungku masih berdetak, walau frekuensi detakannya semakin cepat.
“Maaf…” sebuah jawaban yang langsung kusesali, entah kenapa kata ini yang keluar, kenapa bukan “Aku juga sayang kamu”. Mungkin karena shock yang kuterima tadi masih belum hilang. Mungkin juga karena keterbatasan otakku, sehingga kata itu yang langsung terujar.
“Iya, Aku sayang kamu,” dia mengulangi ucapannya.
“Maaf…” kenapa jawaban ini lagi yang terlontar.
“Aku sayang kamu!” untuk ketiga kalinya dia mengulanginya, tapi kali ini dia bersuara agak keras.
“Maaf,” tiga kali pula aku mengulangi kebodohan yang sama.
“Hei, ada apa denganmu?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya ke dahiku.
Secara refleks aku langsung menjauh. Entah apa yang dipirkannya melihat keadaanku, muka merah, mata melotot, peluh bercucuran, badan menggigil seperti orang panas dingin, dan jantungku tidak bisa berhenti berdentum. Dentumannya seperti senapan otomatis yang tidak berhenti ditembakkan.
Melihat reaksiku yang seperti itu, raut wajahnya berubah sedih. Sambil menundukkan wajah dia berkata,
“Apa kamu tidak suka?”
Aku yang masih belum sadar dari shock hanya diam saja.
“Dani,”
Aku masih belum tersadar dari shock moment itu masih diam saja.
“Dani!” kali ini dia setengah berteriak.
“Oh, ya, maaf,” akhirnya aku tersadar, dan anehnya reaksiku masih sama bodohnya.
“Kamu bilang apa tadi,”
“Apa kamu nggak suka, apa kamu marah?” ulangnya.
“Tentang apa,” masih dengan ketololan aku menjawabnya.
“Tentang perasaanku,” kali ini suaranya agak serak.
“Perasaanmu?” masih saja dengan ketololan yang sama aku menjawab setiap perkataannya.
“Iya,”
“Aku sayang kamu, Dani,” dia mengulangi lagi ucapannya itu.
Entah kenapa sekarang aku sadar akan apa yang diucapkannya. Indera — inderaku kembali bekerja sebagaimana mestinya. Mataku tidak lagi melotot, tubuhku tak lagi menggigil, tapi hanya jantungku yang masih berdentum dentum seperti meriam. Akhirnya aku kembali ke alam nyata.
“Aku…”
Mendengar aku berbicara dia langsung memandangku. Wajahnya yang tadinya ditundukkan mulai ditegakkannya. Matanya lurus memandangku.
“Aku…”
Dia mulai mencondongkan badannya.
“Aku…"
Semakin tak sabar dia merapatkan duduknya padaku, walau masih tersisa jarak untuk saling memukul.
“Tapi, kenapa?” akhirnya malah pertanyaan yang terlontar dari mulutku.
“Apa maksudmu dengan kenapa, ” dia balik bertanya sambil mengernyitkan alis.
“Ya, kenapa…” kalimatku terputus, aku malu untuk melanjutkannya.
“Apanya yang kenapa Dani?”
“Kenapa kamu bisa sayang aku,”
Dia tesenyum. Manis sekali saat dia tersenyum seperti itu. Rasanya aku seperti mendapat semangat baru setiap aku melihatnya tersenyum. Aku sangat menyukai saat dia tersenyum seperti itu. Itu sebabnya aku tidak pernah mau membuatnya menangis. Aku ingin dia selalu tersenyum.
“Kenapa kamu tanyakan itu,”
“Aneh,”
“Maaf…”
“Aneh saja,”
“Apanya yang aneh,”
“Tentu saja aneh, bagaimana mungkin gadis sepertimu bisa suka…”
“Sayang, bukan Suka” potongnya.
Uh, aku semakin salah tingkah dibuatnya. Dengan entengnya dia mengucapkan itu semua.
“Iya, kenapa kamu bisa, ummm… sayang sama aku” ujarku dengan malu.
Dia tersenyum lagi. Ya, Tuhan, hentikanlah waktumu. Jangan biarkan senyuman itu menghilang.
“Apa perlu alasan untuk sayang kamu Dani,”
“Tentu saja perlu. Bayangkan gadis cantik, baik, rajin dan pintar sepertimu bisa ummm… sayang padaku, yang jelek, usil, malas dan konyol ini.”
“Hihihi”
Kali ini dia sedikit tertawa.
“Kenapa tertawa,” tanyaku sewot.
“Tidak,”
“Dani,” kali ini dia menatap mataku. Tatapannya itu seakan — akan menembus sampai ke seluruh tubuhku. Aku terlalu malu untuk membalas tatapannya. Akhirnya kutundukkan kepalaku untuk menghindari tatapannya.
“Apa perlu alasan untuk menyayangi seseorang, Dani. Tentunya aku punya alasan tersendiri, kenapa aku menyayangimu. Tapi, apa perlu itu semua disampaikan. Itu hanya akan jadi beban, Dani. Jika aku mengatakan alasanku menyayangimu. Kamu pasti terbebani. Kamu akan selalu ingin menjadi seperti apa yang aku utarakan nanti. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin kamu menjadi dirimu sendiri. Kenapa aku menyayangimu Dani, karena kamu adalah dirimu. Itu yang perlu kamu tahu.”
Pada detik ini aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Lebih tepatnya apa yang harus kukatakan.
“Aku….”
Dia menunduk. Tuhan, apa aku telah membuatnya sedih.
“Aku sayang kamu, Tita.”lirihku. Akhirnya kuucapkan juga kalimat yang telah bertahun — tahun mengganjal di tenggorokan ini. Bertahun — tahun aku memendam perasaanku padanya. Berulang kali kucoba mengatakan empat kata itu. Berulangkali pula hati kecilku berkeras untuk tidak mengatakannya. Bertahun — tahun aku bersahabat dengannya. Sejak SMA sampai sekarang. Sampai kami sudah sama — sama dewasa. Sampai kami bekerja. Karena itulah aku tidak mau merusak persahabatan yang indah ini. Tapi, siapa sangka dia yang lebih dulu mengucapkan kalimat sakral itu. Kita memang tidak tahu apa rencana Tuhan.
“Aku sayang kamu, Tita.” kali ini kuucapkan dengan tegas.
Sontak dia mendongakkan kepalanya. Matanya seakan berkata “apa aku tidak salah dengar Dani.”
Aku mengangguk dan kali ini kuberanikan diri menatap matanya, kuulangi lagi empat kata yang amat sangat sulit diucapkan itu. Mengucapkannya seolah — olah kita sedang melawan ratusan musuh berarmor lengkap.
“Aku sayang kamu, Tita”
Bulir airmata menetes dari tepi bola mata indahnya. Tapi, ini airmata kebahagiaan. Sesungging senyuman dihadiahkannya untukku. Tapi, entah kenapa senyuman kali ini lain dari yang biasanya. Apakah itu karena hatiku yang telah lama memendam benih-benih cinta kepadamu ini kini telah tersirami. Ah, aku tak tahu kenapa. Dan akupun tak mau pusing memikirkan itu semua.
Ingin rasanya kupeluk dirimu saat ini juga. Tapi aku sadar, belum saatnya. Kami belum layak, belum berhak. Masih ada batasan yang mengatur tentang itu semua. Tapi aku yakin tidak akan butuh waktu lama untuk hal itu terjadi. Karena kami sudah sama — sama dewasa.
Hari ini, ruang tamu rumahnya ini menjadi saksi dari kami berdua. Aku tidak akan pernah melupakan hari ini. Tidak akan pernah kulupakan. Dan semoga ini akan berlanjut menjadi akhir yang baik bagi kami berdua.
“Aku juga sayang kamu, Dani.”
Description: Di ruang tamu ini, Dani menolak percaya apa yang didengarnya. Dia merasa itu mustahil, mimpi! Tapi benarkah?
|
Title: Rasa yang kusembunyikan
Category: Cerita Pendek
Text:
First Time
Ku tuliskan bait demi bait untuk mengukir kisahmu. Ku rangkai kata demi kata hanya untuk mengenangmu.Menurut mereka cinta itu buta, tapi menurutku cinta dan kasih sayangku kepadamu itu bisu.
Dari kejauhan ketika remang- remang menghampiriku dan bersinar di sekelilingku, aku mulai berfikir bagaimana mungkin aku mengungkapkan semua itu. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan di depanmu bahwa aku menyayangimu. Maaf malaikatku, aku benar-benar tidak bisa melakukan semua itu.
Apa kau masih mengingatnya ketika dirimu memintaku untuk memijat kakimu yang telah rentan tua dan lelah. Aku selalu melarikan diri agar terhindar dari semua itu. apa dirimu akan memaafkanku dengan kesalahan, dan kenakalanku saat itu.
Jujur aku sangat bosan dengan semua ocehan, omelan-omelan dari mu tapi untuk sekarang itu semua berguna bagiku. aku adalah anak yang sangat tidak bisa untuk terlalu disayangi, karena apa? Karena aku juga tidak bisa menunujukan kasih sayangku kepadamu, tapi itu semua bukan karena aku tidak menyayangimu sebab inilah caraku menyayangimu bu.
Terkadang ketika aku jauh aku akan merasakan bagamana jauhnya kasih syang yang engkau berikan dulunya. aku ingat ketika dirimu memberikanku restu dan doa untukku tinggal di kejauhan. Kau selalu mengajariku bagaiamana cara mengarungi nasib, dan engkau selalu memberikanku cara untuk menjaga kesehatanku ketika aku berada jauh darimu, selalu memintaku berdoa sebelum melakukan sesuatu hal, dan apa yang engkau rasa mungkin sama bu.. dengan apa yang kurasa saat ini tapi sulit kuungkapkan dengan kata- kata. Semua kasih sayangku tidak bisa kuungkapkan secara langsung walau aku sudah latihan berulang kali untuk melatih mulut dan tangan ini agar terbiasa aku memeluk dan mengutarakan kata- kata seperti halnya seorang anak kepada ibunya tapi mulut ini kaku ketika engkau ada di hadapanku, tapi ibu percayalah walaupun aku tidak bisa mengungkapkannya tapi itulah caraku menyanyangimu.
Pernah dalam bayangan semu, aku berfikir bagaimana jika aku bisa menjadi seperti mereka yang bisa membanggakan sosok yang mereka sayangi. Bu.. keringatku, telah bercampur rasa lelahku yang berkecamuk didalam diriku tapi satu hal yang selalu aku ingat adalah hadirnya sosok dirimu bu yang selalu menjadi penerang untuk jalanku nantinya.tak perduli seberapa banyak tetesan itu, tak perduli berapa banyak penghalang untuk menggapainya, tak akan ku hiraukan satupun, karena aku hidup dari sel kecil yang kau rawat bu, dan aku hidup dari makanan yang kau berikan ketika ku didalam rahim yang kecil dan sempit itu. Tak dapat bergerak banyak, aku merasa bosan berada di dalam Rahim itu, dimana ketika aku lahir aku menangis dalam dekapanmu bu senyummu membuat ketenangan disekitarku.
Impian terbesarku adalah aku bisa berdiri didepan banyak orang, aku ingin mengatakan “ibuu… mungkin hanya lewat ini aku bisa mengataknnya bahwa aku benar- benar menyayangimu. tak kan pernah terganti sosok dirimu yang penyabar, yang rela mengalah, yang selalu tampil bahagia didepan anakmu, jujur aku tak berani mengungkapkan semua ini, tapi ini adalah wujud terimakasihku atas semua perjuanganmu dan sekaranglah aku lebih yakin untuk melangkah kedepan karena aku cukup tau bagaiamana pahit dan kejamnya dunia luar”.
mereka yang melecehkanku, mengejekku, menyampahkanku akan selalu aku hormati karena apa? Karena merekalah yang membuat rasa jengah ini muncul pada diriku, dan aku selalu ingat membalas semua itu tidak ada gunanya, aku akan menjadi pendengar baik pada saat itu dan tidak akan pernah membalas sakit yang mereka lemparkan kepadaku. karena satu hal yang aku ingat “Bukankah orang yang kuat adalah mereka yang bertahan sampai akhir bu?”.
Kurakit semua kata- kata ini, seperti halnya merakit sebuah bamboo yang menjadi rakitmu nantinya buu ketika aku tidak bisa menemanimu kan kupinta rakit itu untuk menemanimu kemanapun engkau mau, menemanimu, melindungimu, dan rakit itu akan menunjukan jalan yang benar bagimu ketika suatu saat nanti aku tidak lagi bersamamu.
Terimakasih untuk malaikatku,
Salamku
Dianwahyuni_nech
Description: Ku tuliskan bait demi bait untuk mengukir kisahmu. Ku rangkai kata demi kata hanya untuk mengenangmu.Menurut mereka cinta itu buta, tapi menurutku cinta dan kasih sayangku kepadamu itu bisu.
|
Title: Random
Category: Flash fiction
Text:
Cat Food #MikroKencan
"Lama amat!"
Febri yang baru saja sampai langsung terkena semprotan maut Arya. Febri mendelik. Orang baru datang bukannya diajak duduk dulu atau ditawarin minum, ini malah disemprot!
"Ya maaf. Tadi macet, terus akang ojeknya nggak tau jalan tikus."
Arya mencibir, "Siapa suruh tadi mau dijemput malah nolak?"
"Kan gue nggak mau ngerepotin lo." jawab Febri.
"Lo bikin gue nunggu kayak gini juga udah ngerepotin, tau nggak!"
Arya tak membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk ke toko perlengkapan hewan peliharaan. Febri mengikuti di belakang. Tidak terima disalahkan.
"Lagian beli makanan kucing aja musti ditemenin." gerutunya.
Arya menoleh padanya, "Kita mungutnya berdua, jadi beli makanannya juga tanggung jawab berdua dong!"
"kan biar nanti gue ganti uangnya," Febri mengambil keranjang belanja.
Arya mendengus, "Terus lo enak-enakan tidur di rumah gitu? Ogah!"
"Bilang aja lo pengen jalan berdua sama gue!"
"Excuse me?"
Arya berhenti melangkah dan berbalik.
"Emang lo secantik apa sampai gue harus ngarang alasan buat kencan sama lo?"
Wajah Febri memerah karena kesal. Ia berjalan melewati Arya, menyambar lengan atas pemuda tinggi itu dengan bahunya. Arya mengulum senyum. Mengikuti gadis itu dari belakang.
Sebenarnya, apa yang dikatakan gadis itu benar. Mencari makanan kucing hanyalah alasannya untuk mengajaknya keluar. Lagipula bila hanya makanan kucing, bahkan di minimarket depan rumahnya juga ada.
"Yang ini atau yang ini?" tanya Febri sambil menyodorkan dua makanan kucing dengan merek berbeda.
Arya menatap keduanya dengan bingung, "Yang enak yang mana?"
"Mana gue tau. Emang gue pernah makan makanan kucing?!"
"Emang lo belum pernah? Lo kan siluman kucing."
"Arya!"
***
Nihao! Annyeong! Ya-halo!!!
Cherry membuat story ini terinspirasi dari event bulanan di www.sweek.com. Yaitu event Mikro yang tiap bulannya ada di sweek. Untuk bab ini sendiri itu event #MikroKencan yang diadakan di bulan Februari. Tahun berapanya Cherry lupa. Cherry cuman reupload ke sini soalnya :v
Sesuai judulnya, random yang artinya acak. Cerita ini juga isi di dalemnya acak. Cerita pendek dengan 250 kata yang tiap satu partnya itu ada kata yang harus masuk ke dalamnya. Semacam kata pokok gitu. Kayak untuk bab ini, kata kuncinya "Kencan". Kalian juga bisa berpartisipasi dengan request kata apa yang harus muncul di bab selanjutnya di kolom komentar. Seru kan? Wkwkwk.
Untuk jadwal update juga kayak judulnya, acak. Tapi sekali update mungkin bisa lebih dari satu bab.
Ok, sekian dari Cherry. Sampai jumpa di bab selanjutnya. Mumumumu (づ ̄ ³ ̄)づ.
Kabe-don? #MikroBumi
Tiga kepala muncul dari balik jendela. Mata mereka menelusuri seisi kelas. Merasa tidak menemukan satu pun wajah yang familiar, ketiganya bangkit berdiri. Berniat meninggalkan tempat itu.
"Kak Agneznya nggak ada. Besok aja kali ya gue nembaknya?" Ananta bergumam lesu.
Arya menepuk bahunya kencang, "Keburu semangat lo turun! Lo kan udah buletin tekad pengen ngungkapin perasaan lo ke Kak Agnez sebelum dia lulus."
Ananta menggeleng, "Tapi belum tentu juga dia bakalan nerima gue."
"Gini aja, gue bakal ngajarin lo trik buat ngungkapin perasaan lo," Kenzo yang sejak tadi diam mulai angkat bicara. Pemuda itu memegang bahu Ananta, mendorongnya ke tembok dengan posisi berhadapan dengan dirinya, "Ini namanya Kabe-don."
Kenzo mengangkat tangannya dan menampar dinding. Membuat Ananta terlonjak kaget.
"Jangan biarin dia ngedorong lo dan kabur. Dekatin wajah lo ke dia dan bilang ...," Kenzo tersenyum miring, "Kak, gue suka lo. Lo mau gak jadi pacar gue?"
Ananta meneguk ludah.
"Interupsi!" Ananta mengangkat tangannya, "Lo gak sikat gigi, ya? Nafas lo bau banget sumpah!"
Tidak terima dikatai bau, Kenzo menghembuskan nafasnya kencang ke wajah Ananta. Ananta berusaha mendorongnya menjauh. Namun Kenzo malah makin mendekat padanya.
"P-permisi! Kalian ngehalangin jalan." Sebuah suara membuat mereka bertiga membeku.
Agnez berdiri tidak jauh dari mereka. Ananta yang sadar dengan posisinya langsung mendorong Kenzo menjauh. Ia berharap dirinya ditelan bumi sekarang juga. Agnez menatap mereka dengan tatapan aneh sebelum pergi. Gadis yang ia sukai itu pasti berpikir yang tidak-tidak tentangnya. Jangankan untuk menyatakan cinta, sekarang Ananta bahkan tidak akan punya muka untuk bertemu dengannya. Nasib ya nasib~
***
Yang mau request bisa di kolom komentar ^^
Terserah itu kata benda, kata sifat, kata kerja atau kata keterangan. Biar dimunculin di bab selanjutnya. Nanti Cherry tag kalian sebagai "Request by ..."
Bucin #MikroIstanaCermin
"Kenzo itu pangeran impian gue." ucap Caca sambil menatap ke gerombolan siswa yang sedang berkumpul di depan kantin Mang Jaja. Kebetulan Kenzo ada di sana. Tertawa bersama siswa laki-laki lainnya.
Reana yang sedang menyendok nasi goreng sontak menoleh dengan tatapan horor.
Kenzo? Seingat Reana, hanya ada satu Kenzo di sekolah ini. Dan pemuda bernama Kenzo itu minggu lalu dihukum berdiri di depan tiang bendera karena membuat adegan homo bersama Ananta di koridor sekolah. Bagaimana bisa pemuda aneh seperti itu menjadi pangeran impian Caca?
Reana mengerutkan kening, "Lo yakin?"
Caca mengangguk. Gadis itu tersenyum mendamba, "Kenzo itu ganteng,"
Reana memusatkan perhatiannya ke wajah Kenzo. Baiklah, itu benar.
"... Sopan,"
Mata Reana menyipit. Apa pria yang sopan akan melakukan tarian perut di tempat umum sambil bertelanjang dada seperti yang pemuda itu lakukan sekarang?
"... Kaya,"
"Ken, bayar atuh!" Mang Jaja menahan Kenzo yang berniat pergi tanpa membayar baksonya.
Kenzo menyengir, "Nanti Nanta yang bayar, Mang! Tadi katanya kalau saya nari, dia bakal bayarin bakso saya."
Reana menggeleng. Orang kaya zaman sekarang makannya dibayarin teman, ya?
"... Pengertian lagi."
"Ken, uang gue gak cukup ini!" Ananta berucap panik.
Kenzo mengendikkan bahu, "Salah sendiri bilang mau nraktir. Udah, berapa semuanya, Mang? Kalau gak cukup, suruh bangun istana aja! Nyuci piring udah mainstream."
Yang begitu Caca bilang pengertian? Reana menghela nafas dan menatap sahabatnya dengan pandangan prihatin.
"Ca,"
Caca menoleh.
Reana menepuk bahunya, "Pulang sekolah ke klinik mata, yuk! Kayaknya ada yang salah sama mata lo, deh."
"Eh?"
***
Yang mau request bisa di kolom komentar ^^
Asal Muasal #Kamehame
Judul : Asal Muasal
Kata kunci : Kamehame
Request by : anything_in_myhead (Wattpad)
***
"Tarik~ tambang ... Tarik tarik~ tambang ...,"
Sorak riuh dan tawa mewarnai penampilan liel-liel dari kelompok enam. Berbeda dengan teman-temannya yang pada ngakak, Caca malah diam, cengo. Menatap ketua kelompok enam yang lagi goyang heboh didepan.
"Tarik tambang kencang-kencang, pinggul digoyang," Si ketua kelompok tanpa malu memberi aba-aba pada teman kelompoknya untuk menggoyang pinggul, "Jempol digoyang," lalu menggoyang jempol seperti lagi dangdutan, "Kepala digoyang!"
Kakak-kakak senior sibuk merekam penampilan mereka. Bukannya malu, cowok itu malah makin semangat membuat mimik wajah lucu.
"Oy, Ca! Diem aja lu, kesambet ye?" tegur Nia.
"Ni,"
"Ehm?"
"Itu cowok gak tau malu yang paling depan, namanya siapa?" tanya Caca.
Nia menjawabnya acuh, "Namanya Kenzo kalau gak salah. Emang kenapa?"
Caca menatap Kenzo yang kini turun dari panggung. Cowok itu nyengir bodoh pas diajak tos sama kakak-kakak senior.
"Kayaknya dia gak cuma pinter narik tambang aja deh," Mata Caca masih terkunci pada Kenzo, "Tapi pinter narik hati gue juga."
Nia melotot, "Hah? Ca, otak lo korslet ya gara-gara kelamaan dijemur tadi?!"
Caca tidak perduli dengan Nia yang menatapnya seakan dirinya orang paling aneh sedunia. Yang jelas ia telah menemukan pujaan hatinya.
"Nama kelompoknya Kamehame, kan ya? Pas banget, kayaknya hati gue dikamehamein sama dia. Gue jatuh cinta sama goyangan pinggulnya, Ni!"
"Sadar Ca! Sadar!" Nia mengguncang-guncangkan pundak sahabatnya, "Kak! Temen saya kena pelet! Butuh rukyah! Darurat! Tolong panggilin Ustad!"
***
Dan inilah awal mula Caca jadi bucinnya Kenzo ...
***
Yang pengen request bisa di kolom komentar ^^
Description: Cerita pendek berisi 250 kata dengan kata kunci yang dapat kalian request sendiri.
Cover By @hstrymmry
|
Title: Rumah, Remah, dan Pisah
Category: Slice of Life
Text:
Melepaskan?
Bahkan ketika ingin berlepas diri dari apa yg membuatmu terikat, ketenangan tidak bisa didapat begitu saja setelah merasa bebas dari tekanan.
Aku utara; berseberangan dengan arah pengukur jantung dan nadi, sela-sela jemari tangan penguasa.
Sedang kau, entah di selatan, di timur atau barat daya, di jalan- berlumpur dan penuh daun gugur yang saling bersahutan.
Tapi, seakan waktu kian melamban, mengantarku pada malam-malam yang bulan pun tersenyum baik.
Jadi, biarkan kita pada perhentian terakhir tanpa harus saling melambaikan tangan, tanpa perlu menoleh, tanpa harus berkata apapun.
Kita sudah tahu akhirnya. Berada di arah yang manapun jika kita bersama, tak akan sama langkah meskipun tetap memaksa untuk bertahan pada apa yang kita sebut; perpisahan.
Description: Terlalu sakit ya, kalau harus hidup dihantui penyesalan atas masa lalu. Bisa gak sih, jangan terlalu memikirkan apa kata orang lain terus. Memangnya mereka bisa jamin apa?
Ayo, buka mata, buka hati, buka pikiran, telinga juga bisa diajak kompromi untuk memilih suara apa saja yang layak didengar.
Kalau tentang hal-hal yang sudah terjadi, biar saja karena itu sudah digariskan, bahkan memang sudah dituliskan jauh sebelum semuanya ada.
Percayalah, selalu ada hikmah jika kita mau berusaha damai dengan takdir. Tuhan itu Maha Baik. Tidak akan sampai melukai hamba-Nya yang terkasih...
|
Title: Regret
Category: Cerita Pendek
Text:
Regret
Peti kayu berwarna cokelat tua melintas melewati Dimas yang terus menatapnya dengan perasaan yang sulit dideskripsikan. Semua emosi berkecamuk, membaur menjadi satu. Tetapi terdapat satu perasaan yang sangat dominan, menguasai kesadarannya.
Semua manusia, pada akhirnya, akan mati. Tapi untuk sekali ini saja, Dimas ingin sekali menyangkal fakta itu, dan memutar kembali waktu.
Seandainya...
***
“Mas, tugas lo mana? Gue udah disuruh pak Dwi kumpul sekarang nih, tinggal lo yang belom kasih ke gue.” Kata Ega sembari menggoyang-goyang bahu Dimas yang tengah tidur di meja.
“Belom bikin.” Sahut Dimas tanpa mengangkat kepalanya. Mendengar itu Ega jadi agak kesal.
“Lah gimana, kan udah gue bilang dari jauh-jauh hari, hari ini kumpul peer biologi, masa nilai lo kosong lagi? Lo jarang banget kumpul tug—“
“Aaaaah berisik,” tukas Dimas, akhirnya dia mengangkat kepalanya untuk memandang Ega dengan tatapan acuh tak acuh. “Emang lo orang tua gue? Lo biayain sekolah gue? Lo rugi kalo gue ga kumpul tugas?”
“Ya nggak, tapi kan...”
“Ya udah sana,” tukasnya sembari melambaikan tangan, mengusir. “Toh gue ga kumpul juga lo ga rugi,” sambungnya. Ega yang hanya menggeleng-geleng kepala sebelum akhirnya pergi meninggalkan Dimas dan bergegas pergi ke ruang guru. Saat Ega sudah jauh dari Dimas, tiba-tiba sebuah tangan menahan pundaknya. “Ga,” suara yang begitu dikenal Ega memanggil dengan nada pelan, menyodorkan sebuah kertas. “Ini, tolong kasih ke pak Dwi, ya.”
“Hah?” tanya Ega setelah melihat sekilas lembar jawaban tugas yang diberi Nathan. “Kelas lo ada tugas ini juga, toh? Kok mesti melalui gue ngasihnya?” cowok yang ternyata bernama Nathan itu menggeleng. “Lo liat dong namanya.” Ega memicingkan mata, melihat sebuah nama yang tertulis di kertas itu.
“Astaga, seriusan? Dimas? Lo ngerjain tugas ini buat Dimas?” yang ditanya hanya tersenyum tipis dan mengangguk. “Kasih aja ke pak Dwi, bisa-bisa itu anak nggak naik kelas kalau nggak ngumpul tugas lagi. Makasih ya.”
“Eh, tunggu dulu dong! Kelas lo punya tugas yang sama, ya? Apa nggak ketauan nanti?”
“Udah nggak apa-apa. Tugasnya kan diketik, bukan ditulis tangan. Dan gue udah tahu gaya nulisnya Dimas. Jadi, nggak mungkin ketahuan.” Ega terdiam sejenak lalu mengangguk. “Thanks alot, ya!” Nathan tersenyum, menepuk pundak Ega untuk yang kedua kalinya, lalu berlalu pergi.
“Kalo ga ada Nathan, gimana nasib Dimas ya...” gumam Ega pelan. “Untung Dimas punya temen kayak Nathan...” meski dia tidak yakin tindakan Nathan ini diperbolehkan... Masalahnya, meskipun Ega juga teman Dimas, ada batasan yang tidak ingin dilewatinya. Maka dari itu sampai sekarang dia masih tidak paham dengan Nathan yang dapat berbuat begitu jauh, melanggar peraturan demi menolong Dimas.
“Temen? Apa kacung?” cibir salah satu gang cewek yang sedari tadi memperhatikan. Ega langsung menengok. Dimas dan Nathan memang sudah dekat dari kecil, namun kepribadian mereka jauh berbeda. Dimas sangat mudah tersulut emosinya, sedangkan Nathan sangat pendiam dan penyabar.
Dari segi penampilan pun, mereka jauh berbeda. Rambut ikal Dimas dibiarkan panjang menutupi daun telinga, terkadang dicat sesuai mood, dengan lengan baju seragam yang dilipat sampai pendek, baju juga dikeluarkan, menutupi celana panjangnya yang tidak memakai sabuk, sungguh bertentangan dengan tata tertib sekolah.
Kepala sekolah yang sering memanggil dan menegurnya pun tidak diindahkan olehnya. Tatapan matanya yang tajam menambah kesan bengisnya, hingga tidak ada satu orang pun yang ingin dekat-dekat dengannya. Sedangkan Nathan terlihat begitu rapi, lengkap dengan rambut pendek serta kacamata yang membingkai mata teduh nan indah serta alis tebalnya, sungguh tipikal murid idaman. Mereka bagai langit dan bumi, malaikat dan iblis. Maka dari itu yang satu dibenci orang-orang, sedang yang lainnya begitu dipuja.
Dan cewek-cewek ini adalah para pengagum Nathan. Ega menghela napas, memutuskan untuk tidak menggubris. Nggak cool banget debat sama cewek.
***
“Ga, sori ya tadi gue rada emosi. Gue lagi kesel banget tadi pagi gara-gara adek gue nyari ribut.”
“Santai Mas, kayak gue baru kenal lo kemaren sore aja. Gue cuma khawatir aja nanti tau-tau lo ga naik kelas. Untung ada Nathan bantuin lo.” Mendengar itu, Nathan terlihat panik.
“Guys, gue baru beli game baru dong buat Play Station gue. Main bareng yuk!” Nathan berusaha mengalihkan pembicaraan dengan bercerita tentang game barunya.
“Tan, ngapain lo tadi?” tanya Dimas langsung. Nathan hanya menatap Dimas dengan polos, seolah tidak ada apa-apa. Dimas hanya menggelengkan kepala melihatnya.
“Gue tau apa yang lo lakuin. Dan gue tau udah seberapa sering lo ngelakuin hal itu. Please, stop. Gue gamau lo kena masalah.” Mendengar itu, Ega tertawa nyaring, “Nathan? Kena masalah? Gue lebih khawatir elo yang nantinya kena masalah. Nathan tuh siswa teladan, Mas. Nilainya sempurna. Absennya juga nggak pernah bolong. Nggak kayak lo, kerjaannya bolos mulu. Nilai juga warna-warni. No offense.”
Dimas pun langsung menunjuk Ega namun tetap menatap Nathan. “None taken. Tuh, denger kata Ega. Lo ga mikir nanti kalo gue yang nantinya dikeluarin dari sekolah? Makanya berhenti bantuin gue.” Nathan terdiam sebentar lalu mengangguk. “Oke.” Katanya dengan nada ragu.
Beberapa waktu kemudian, saat Dimas, sekali lagi, sedang tidur-tiduran di meja kelas, terdapat keributan di luar kelasnya. Merasa risih, dia mengambil jaketnya dan menutup wajahnya lalu kembali tidur. Dia tidak tahu apa yang terjadi sampai saat pulang sekolah dia secara tidak sengaja mendengar percakapan dua teman sekelasnya.
“Eh, lo tau nggak, tadi si Nathan ditembak Mauren?”
“Tau lah! Orang ribut banget, makanya abis dari kantin gue langsung buru-buru ke atas, tapi pas gue udah naik udah mau selesai gitu jadi gue cuma denger Nathan ngomong ‘Sekali lagi maaf..’ Gila ya, anak secantik, sepopuler dan sepintar itu dia tolak.”
“Ya kan! Makanya jadi banyak spekulasi aneh-aneh, contohnya, jangan-jangan Nathan itu gay... lo tau kan, meski satu geng bertiga, dia lengket banget sama siapa.”
“Hus! Jangan sembarangan ngomong ah, ntar nongol lagi orangnya, gue takut!” kata mereka sambil berlalu. Dimas mengepal kedua tangan, merasa kesal akan dua hal.
1. Kenapa Nathan nolak Mauren?
2. Kenapa Nathan jadi dituduh gay?
Dimas tidak tahu amarahnya harus ditujukan kepada siapa, maka dia memutuskan untuk meredamnya, dan memastikan kebenaran gosip cewek-cewek itu kepada Nathan langsung. Tanpa menunda dia langsung menghampiri Nathan yang tengah berjalan bersama Ega. “Oi, kenapa lo berdua ninggalin gue?” Ega dan Nathan saling menoleh lalu Ega menjawab, “Tadinya gue mau bangunin lo, tapi lo pules banget. Susah gue bangunin lo kalo udah pules gitu. Makanya gue tinggalin, biasanya juga lo bakal bangun sendiri. Terbukti kan sekarang lo bisa nyusul kita-kita. Hahaha” katanya sambil tertawa, melirik Nathan yang juga terkekeh. “Makanya, kalo nggak mau ditinggal, jangan tidur di kelas,” timpalnya membuat Dimas tambah bete. Sesaat kemudian dia teringat sesuatu.
“Heh Tan, tadi gue denger lo nolak Mauren? Kenapa? Bukannya lo suka sama dia?”
“Oh, itu,” Nathan menjawab dengan santai, “Gue sadar, ternyata gue mau ngejar prestasi dulu. Lo kan tau Mas, gue bukan orang kaya, tapi gue pengen belajar di luar negri. Makanya, satu-satunya jalan itu ya beasiswa, dan supaya bisa dapetin beasiswa itu, gue harus beljar mati-matian. Pacaran mah nanti-nanti aja, deh. Kalo udah bisa cari duit sendiri.”
“Cieilah lagak lo Tan hahaha. Tapi gue doain semoga lo sukses, ya!” Ega menepuk-nepuk pundak Nathan sambil tersenyum lebar. “Gue juga nih, mau jadi progammer, makanya gini-gini juga gue lagi usaha nyari universitas yang bagus dan lagi usaha supaya gue memenuhi standar mereka dan keterima di universitas impian gue. Lo sendiri gimana, Mas? Udah ada gambaran nanti kuliah apa? Udah kelas tiga lho kita,”
Loh, kok jadi ngebahas kuliah...
“Nggak tau, gue belom tau passion gue di mana...”
“Oh iya gue lupa lo mah anak sultan. Bebas nanti gausah mikirin ribet-ribet mau kuliah di mana dan fakultas apa.” sela Ega sambil tertawa.
“Eh, bukannya lo suka fotografi ya, Mas? Foto lo bagus-bagus lho. Coba aja liat-liat dulu universitas yang ada.” Sambung Nathan.
“Iye, ntar gue coba cari, makasih ya.” Jawab Dimas asal-asalan. Dia merasa janggal dengan Nathan yang dengan mulus menghindar dari pertanyaan-pertanyannya.
“Tan, lo nggak lagi nyembunyiin sesuatu dari gue kan?”
“Engga kok,” sahut Nathan dengan air muka agak terkejut. “Kenapa emang?”
“Nggak apa-apa. Gue nggak suka aja kalo ada orang yang nyembunyiin sesuatu dari gue. Lo kudu cerita kalo ada sesuatu, ya. Jangan dipendem sendiri.”
“Duile perhatian amat, pantes banyak gosip nggak enak menyebar.” Ega yang merasa seperti orang ketiga tidak sengaja mengucapkan hal itu. Nathan memelototinya, dan Ega yang langsung menyadari kesalahannya langsung mengalihkan pembicaraan dan menoleh ke arah Nathan, “Lo juga kudu cerita ke gue ya Tan kalo ada ap—”
“Gosip apaan?” potong Dimas, sama sekali tidak mengindahkan basa-basi Ega. Nathan dan Ega saling bertatapan, sampai akhirnya Ega angkat bicara, “Kalo lo... ada hubungan sama Nathan. Hubungan yang lebih dari persahabatan...”
“Kalo kita gay, gitu?” tukas Dimas. Ega mengangguk setelah beberapa lama, merasa tidak nyaman dengan situasi ini, dan merasa tidak enak dengan kedua temannya.
Dimas tertawa kencang. Rupanya benar, dia dan Nathan sedang digosipkan yang tidak-tidak.“Gosip paling tol*l yang pernah gue denger. Ada gitu yang percaya sama omongan nggak jelas kayak gitu?” “Em, kalo yang nyebarin itu ratu gosip di sekolah kita, nggak heran kalo ada beberapa orang yang percaya...”
“Bearti orang-orang itu tol*l juga. Siapa sih yang nyebar gosip itu?” Meski Dimas sudah kurang lebih bisa memprediksi siapa dalang dari gosip murahan ini, dia tidak boleh gegabah dan menuduh. Dia tetap harus memastikan.
“Siapa lagi kalo bukan Gina...”
Perjalanan pulang setelah percakapan itu sangat hening. Tidak ada satupun yang berinisiatif untuk membuka pembicaraan lagi.
***
Keesokan harinya, Dimas menghampiri Gina, bermaksud untuk ‘meluruskan’ permasalahan.
“Gin, gue mau nanya sama lo. Maksud lo apa nyebar-nyebar gosip nggak mutu kayak gitu?” Gina memperhatikan kuku jari tangannya yang baru saja di-manicure, lalu menjawab, “Ah, gosip apa, ya?”
“Soal gue sama Nathan.” Gina langsung mendongakkan kepala, melihat Dimas, lalu tertawa. “Oh, itu? Maaf ya, itu gosip kemarin, sekarang berubah lagi. Mauren ngasih tau gue kalo ternyata lo juga suka sama dia, dan pernah nembak dia, jadi sekarang beritanya jadi, ‘Dimas yang tidak mau Mauren dimiliki siapapun, termasuk teman dekatnya, gitu. Oh ya, btw, sekarang satu sekolah udah tahu.”
Mendengar itu Dimas naik pitam, lalu dia menarik kerah baju Gina. “Lo denger baik-baik, ya. Gue nggak sebucin itu sampe ngelarang temen gue nembak siapapun. Gue ga perduli.” Lalu Dimas mendorong Gina dengan kasar. Gina yang tidak terima diperlakukan seperti itu langsung mengancam kalau dia akan melapor ke kepala sekolah, Dimas pun menantangnya.
“Lapor aja. Tapi asal lo tau, lo ngelapor juga nggak akan ngubah fakta kalo lo emang salah.”
***
Dimas dipanggil untuk menghadap kepala sekolah beberapa hari kemudian, dan alangkah terkejutnya dia saat mendengar bahwa selain kejadian dengan Gina, pak kepala sekolah juga mengetahui perihal Nathan yang seringkali membantunya mengerjakan tugas. Dimas pun diskors dan terancam tidak naik kelas. Sedangkan Nathan yang juga terlibat tidak terkena hukuman apa-apa. Karena menurut laporan yang didapat dari pak kepala sekolah, Nathan membantunya dengan terpaksa karena diancam. Dimas ingin tertawa mendengarnya. Siapa yang akan memihaknya dan percaya akan cerita dari sudut pandangnya?
Dengan kepala pening dan hati yang penuh emosi, dia pun pergi tanpa berkata apa-apa. Sesampainya di pintu gerbang, dia dicegat oleh Ega dan Nathan yang terlihat gugup.
“Gimana, Mas?” tanya Ega khawatir.
“Diskors, 2 minggu. Skors paling lama dalam sejarah SMA gue.” Balas Dimas. Nathan langsung meraih pundak Dimas dan berbicara dengan nada penuh penyesalan.
“Mas, gue bener-bener minta—“
“Lo tau, apa yang bikin gw sangat membenci situasi ini?” potong Dimas dengan nada rendah sarat akan emosi. “Gue diskors bukan karena apa yang udah gue perbuat. Gw diskors karena perbuatan temen gue. Beda cerita kalo gue diskors karena gue melanggar peraturan sekolah kayak biasanya. Dan parahnya, nggak ada satu orang pun yang percaya sama gue.” Mereka bertiga terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. “Simpen aja permintaan maaf lo, Tan. Lo juga, Ga,” kata Dimas saat melihat Ega yang akan membuka mulutnya.
“Gue udah nggak perduli. Gue nggak mau berurusan sama lo lagi.” Potong Dimas sambil menepis tangan Nathan dan berjalan meninggalkan mereka berdua.
***
“Mas, daripada kamu di rumah nggak ngapa-ngapain, mending bantuin mama belanja ke indomaret sana,” mamanya menyodorkan selembar kertas kecil berisi daftar belanjaan yang harus dibeli. Dengan ogah-ogahan Dimas menanggapi, meski sebenarnya dia sedang merasa enggan keluar. Masalahnya, indomaret terdekat di rumahnya juga dekat dari rumah beberapa teman sekelasnya. Dan sekarang Dimas sedang tidak ingin bertemu orang-orang dari sekolah.
“Semoga nggak ada yang gue kenal nanti...” gumam Dimas pelan.
Sesampainya di indomaret, tanpa mengulur-ulur waktu Dimas langsung membeli apa yang ada di catatan mamanya, lalu saat dia sedang membayar di kasir, seseorang menegurnya. “Eh, Mas! Lagi belanja, ya? Kebetulan kita ketemu.” Dimas menoleh, mendapati Ega yang sedang tersenyum tipis, sedang antre di belakangnya. “Ah, iya. Kata mama lagi ada promo dari barang yang dia butuh, jadi gue disuruh belanja.” Sahut Dimas seadanya. Ega mengangguk lalu melihat Dimas yang sedang sibuk di meja kasir, berkata, “Lo bisa tunggu sebentar di luar nggak, abis lo belanja? Gue mau ngomong, penting.” Kata Ega dengan raut wajah serius. Mendengar itu Dimas mengangkat sebelah alisnya. “Oke...”
Beberapa saat kemudian, Dimas dan Ega berdiri di depan indomaret, Ega menunduk, seolah tidak ingin menatap Dimas. Sungguh kontras dengan dirinya beberapa menit yang lalu yang menatapnya dengan senyum. “Ada apa, Ga? Penting banget, ya?” Ega mengangguk. “Penting banget, dan gue harap lo nggak motong-motong omongan gue dulu, ya.” Dimas mulai merasa ada sesuatu yang aneh, tapi dirinya tetap menuruti kemauan temannya itu.
“Pertama-tama, gue mau minta maaf karena kemarin-kemarin keceplosan ngebocorin soal gosip lo itu. Meski lo udah tau gosipnya, tapi tetep nggak etis buat gue untuk ngungkit-ngungkit hal itu.
Jujur, gue agak iri sama hubungan lo sama Nathan, jadi mungkin itu yang ngebuat gue refleks ngomong begitu, meski gue tahu itu salah.” Ega menarik napas, lalu berkata:
“Nathan meninggal.”
Suara parau Ega bagai petir di siang bolong bagi Dimas. “Kemarin, dia kecelakaan mobil. Mamanya nggak bisa ngabarin lo, dan lo lagi diskors, terlebih lagi lo pergi dengan keadaan emosi, jadi gue dan yang lain agak ragu mau ngasih tau hal ini. Tapi Tuhan kayaknya pengen lo tau lebih cepet dengan mempertemukan kita. Jadi gue bisa kabarin lo sekarang.” Ega lalu melanjutkan dengan memberitahu Dimas lokasi pemakaman Nathan. “Nathan bakal tutup peti dan dikubur besok. Lo mau dateng apa nggak, itu terserah lo. Yang penting gue udah kasih tau. Dan sekali lagi, gue minta maaf, Mas.” Ega lalu pergi, meninggalkan Dimas yang mematung, masih terkejut akan kabar yang mendadak ini. Teman yang selama ini berada di sisinya, mendengar setiap keluh kesahnya, tertawa bersamanya, kini telah tiada...
***
“Mas, kamu nggak apa-apa?” Tersadar dari lamunannya, mata Dimas fokus melihat prosesi penguburan Nathan, lalu mengalihkan pandangan mama Nathan dan mamanya yang kini tengah menatapnya. Dimas lalu tersenyum dan menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, ma.”
“Oh, ya udah. Mama udah selesai ngobrol sama tante Winda, kamu mau pulang bareng mama atau pulang sendiri?”
“Aku pulang bareng mama, deh. Tante, besok-besok saya ke sini lagi, ya. Kalo tante butuh apa-apa bilang aja ke saya.” Dimas tau keadaan tante Winda dan mamanya sangat mirip. Mereka berdua sama-sama single parent, Dimas tidak bisa membayangkan ketika keluarga satu-satunya dari Tante Winda harus pergi selama-lamanya, meninggalkan tante Winda sendirian. Terlebih lagi, Nathan adalah harapan dan kebanggaan terbesar tante Winda, karena tidak seperti Dimas, Nathan adalah anak semata wayang, maka dari itu sejak dia menerima kabar kalau Nathan sudah meninggal, dia sangat ingin membantu tante Winda dengan sekuat tenaganya. Mata tante Winda yang terlihat lelah dan berkaca-kaca tampak sedikit berbinar mendengar tawaran Dimas itu. “Makasih, Mas. Kamu pulang gih, temenin mama kamu.”
“Ya, tante.”
Berdiri dengan diam, kembali menghadap batu nisan berwarna hitam bertintakan emas itu, Dimas merenung, dia sungguh menyesali perpisahan terakhir dirinya dan Nathan, dirinya yang menutup pintu untuk Nathan dengan penuh rasa benci. ‘Sungguh perpisahan yang tidak mengenakkan...’ katanya dalam hati. Dimas lalu teringat bahwa selama dia diskors, telepon genggamnya tidak dia aktifkan, agar dia tidak dihubungi oleh teman-temannya. Dia hanya bermain game di komputer untuk mengusir rasa bosannya. Setelah pamit kepada tante Winda, Dimas kembali ke rumah, dia buru-buru menyalakan telepon genggamnya dan mendapati bahwa sebelum hari kecelakaan, Nathan memberinya chat panjang lebar. Dengan tangan bergetar, dia mulai membaca,
‘Dimas, gue berusaha telepon tapi nggak lo angkat, dan gue tau kalo lo nggak bakal nerima gue kalo gue dateng ke rumah lo. Jadi terpaksa gue ngomong via chat di sini. Gue bukan mau membela diri, atau minta lo buat maafin gue. Gw cuma mau jelasin semuanya, dan gue harap lo mau baca sampai habis.
Mas, gue bener-bener minta maaf. Gue nggak tau kalau perbuatan gue ini bisa menimbulkan dampak yang besar buat lo. Gue udah berusaha bilang ke kepala sekolah, percaya deh sama gue. Tapi beliau nggak mau denger, dan bersikeras kalau lo yang bersalah. Gue kesel banget, tapi gue nggak bisa apa-apa, gue benci merasa nggak guna kayak gini.
Gue rasa lo tau kenapa gue ngelakuin itu semua buat lo. Tapi biar gue jelasin dari sudut pandang gue. Gue itu dari kecil sering dibully, dan karena gue pendiem, jadi mereka makin leluasa ngebully gue. Nggak ada satu orang pun yang belain gue, termasuk guru-guru. Sampe akhirnya lo maju ngelawan pembully gue mati-matian. Saat itu gue bener-bener kagum sama lo, gue mengidolakan lo, dan selalu ngikutin lo ke mana-mana, siap membantu, membalas budi atas perbuatan lo, karena setelah itu, gue sama sekali tidak dibully lagi. Gue sadar, pertemanan yang berlandaskan rasa hutang budi bukanlah hubungan pertemanan yang ideal, tapi seiring berjalannya waktu, gue mulai tulus nganggep lo sebagai teman, dan gue tulus mau ngebantu lo. Gue khawatir sama nilai-nilai lo, makanya gue bantuin lo. Gue pengen kita lulus sama-sama, Mas.
Terus soal Mauren, gue bukan nolak dia karena mempertimbangkan perasaan lo. Gue udah kenal lo dari kecil, Mas. Gue tau lo ga bakal mau gue ngalah kayak gitu. Gue nolak dia karena gue beneran pengen fokus belajar buat kuliah di luar negeri. Dapetin beasiswa ke luar negeri itu nggak gampang, Mas. Apalagi untuk program S1. Sedikit banget kesempatan dan pilihannya. Makanya gue nggak ada waktu untuk pacaran, gue mau menggunakan waktu gue se-efisien mungkin untuk mengejar cita-cita gue.
Sekali lagi, gue minta maaf. Meski di awal gue tulis nggak ngarep lo maafin gue, sedikit banyak gue tetep berharap lo bisa maafin gue, dan kita bisa main-main lagi kayak biasanya.’
Air mata perlahan menetes dari kedua mata Dimas, dia merasa selama ini menggenggam berlian yang begitu berharga, tapi tidak pernah perduli untuk membersihkannya, atau menjaganya dengan baik. Sekarang setelah kehilangan, dia merasa begitu hampa. Dengan perasaannya yang masih kalut, dia berdoa dalam diam.
‘Bukan cuma lo yang mau minta maaf, Tan, gue juga... perlakuan gue selama ini ke lo nggak gitu baik, terutama setelah kita masuk SMA... maafin gue, Tan... Maafin gue...
Gue temenan sama lo, itu bukanlah sebuah fakta yang akan gue ubah, karena buat gue, kita berteman selamanya. Semoga lo seneng di sana ya Tan... ‘
Description: Nama: Cynthia Margaretha Wijaya
Media Sosial: Twitter @cynthia_mrgrth
"Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #SobatIndomaret 2019 yang diadakan oleh Storial dan Indomaret"
|
Title: Rindu
Category: Puisi
Text:
Rindu
Kasihku
Terdiam ia terperana
Terjerat atensi akan dilemanya
Menggenggam satu dalam dua
Kasihku
Terpejam sunyi diantara waktu
Mencari arti dalam ironi
Yang seakan mencemooh kebodohan ini
Kasihku
Izinkan daku memelukmu
Mendekapmu erat dalam doa
Merengkuh lembut arti hampa
Kasihku
Sajakku bisu tiada bermakna
Tanpa kita, tanpa cerita
Tapi tuhan tahu ku menginginkanmu
Kasihku
Kuingin engkau tahu
Bulir senja yang menerpamu di kala itu
Dan senyum teduhmu
Mengusik imajiku yang lama membeku
Kasihku
Ingin ku menyulam sendu
Menjadi rindu
Menyelimuti kalbumu
Seperti diriku
Yang merindumu
Description: Sepenggal puisi tentang rindu
|
Title: Reminisensi
Category: Teenlit
Text:
r e m i n i s e n s i
re.mi.ni.sen.si /réminisénsi/n tindakan mengenang; pengenangan; hal berpikir dan bercerita tentang pengalaman atau kejadian masa lampau
Notice
Sebelumnya saya mau mengingatkan kalau cerita ini akan sedikit nasty untuk beberapa orang. Akan ada beberapa part yang mungkin terasa sensitif dan menyinggung. Cerita ini berdasarkan riset dan memiliki narasumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya harap bagi para pembaca betul - betul membaca, memahami, dan mengingat apa yang sudah saya peringatkan sejak awal. Mohon untuk tidak kasar dalam berkomentar karena saya sudah mengingatkan sejak awal. Silakan berkomentar dengan sopan.
WarningSensitive ContentSexual HarassmentBahasa Kasar
p r a k a t a
Cerita ini saya dedikasikan untuk Nuel (bukan nama asli) dan diikutsertakan dalam kompetisi Storial #LoveYorself serta sebagai hadiah atas pertambahan usia saya yang semakin dewasa dan tidak lagi kanak - kanak.
Bulan Februari, identik dengan bulan kasih sayang, penuh cinta, dan romantisme. Tidak hanya kepada pasangan, namun juga terhadap orang-orang terdekat kita, seperti orang tua. Namun, seringkali kita justru terfokus hanya pada perihal membahagiakan orang lain, dan lupa untuk membahagiakan diri sendiri.
Oleh karena itu, lewat cerita ini, saya akan berbagi pengalaman untuk tidak lagi melupakan diri sendiri menjadi bahagia. Karena kebahagiaan bukanlah tanggung jawab pasangan kita maupun orang terdekat, akan tetapi tugas kita pribadi.
Bagaimanapun, kita tidak akan pernah bisa menerima orang lain sebelum kita menerima diri kita sendiri. Kita tidak akan bisa mencintai maupun menyayangi orang lain sebelum kita mencintai dan menyayangi diri kita sendiri. Dan kita tidak akan mampu membahagiakan orang lain tanpa kita membahagiakan diri kita sendiri terlebih dahulu.
Kebahagiaan, rasa cinta, alangkah indahnya dan sangat mudah ketika datang dari dalam diri kita sendiri. Menciptakan kebahagiaan tidaklah sulit, asalkan kita mau memulainya dengan menerima diri kita sendiri. Memaafkan dan berdamai dengan segala permasalah yang membebani hati selama ini. Dan tidak menggantungkannya kepada orang lain.
Semoga cerita ini dapat membantu dan menyebar kebaikan untuk bersama.
"Kalau memang betul kau bisa senang melihat orang lain bahagia meski kau harus mengorbankan kebahagianmu sendiri, itu namanya bukan bahagia, tapi kalkulasi" -Crowdstroia on Rekonstruksi
0.0 || I Am Not A Man
"Am I not a man because I dislike physical activity? Am I not a man 'cause I choose spend my time with a lot of reading? Am I not a man 'cause I like cooking rather than playing Playstation? Am I not a man?
Fuck off!"
Description: It sad but it's true.
Adalah analogi yang tak ingin kuucap, apalagi kubenarkan.
Kalau boleh berkata, kepahitan ini tak akan pernah sembuh. Tak akan pernah berubah. Hidup mengundang dalam ingatan yang tak akan pernah ingin ku emban. Tapi, mereka berhak tahu, dan harus tahu. Aku tak pernah mendendam. Aku tak ingin menghancurkan.
“Novela ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #LoveYourself 2020.” Copyright 2020 by rinjanie.
Instagram: @ni.anjani
|
Title: Rojali dan Juleha
Category: Adult Romance
Text:
Rojali dan Juleha
ROJALI dan JULEHA
(Bukan Cerita Cinta Biasa)
By : La Manggong
Senin 28 oktober 2019
“ Eh bujug!”, Risma berteriak kaget karena ada sesuatu yang melintas di hadapannya, sangat cepat hingga ia tidak sempat melihat apa yang melintas. Risma sedang berjongkok untuk merapihkan tanaman di hadapannya. Rojali yang tengah memegang erat beberapa kertas karena angin yang bertiup terlalu kencang agar tidak berterbangan juga ikut sedikit melompat karena ada sesuatu yang melintas di hadapannya bersamaan dengan Risma yang sedang merapihkan tanaman. Keduanya menengok ke kiri untuk melihat apa yang melintas. Mata keduanya bertumpu pada kaleng kosong yang sudah karatan teronggok di atas tanah. Menilik kaleng karatan itu terlempar dari arah kanan lalu keduanya menengok ke kanan bersamaan.
“ Gua mau ketemu Rojali!”
Rojali yang sedari tadi kaget, perlahan mengangkat tangannya.
Sesosok tubuh ramping, bak peragawati berdiri di hadapannya. Rojali terpesona dengan pemandangan indah di hadapannya. Risma yang sudah bertahun-tahun berteman dengan Rojali dengan cepat berdiri dan menghardik cewek saingannya di hadapannya. “Lo siape!” teriak Risma penuh cemburu karena merasa reaksi Rojali berbeda seperti biasa. “Gue Juleha!” teriak Juleha juga.
Keduanya berdiri sambil bertatapan mata tajam.
Detik berikutnya Rojali cepat berdiri di antara keduanya, sambil tersenyum manis mengarahkan Juleha ke tempat yang Rojali pikir aman agar tidak ada pertumpahan darah. Rojali sadar ada rasa cemburu di aura Risma. “Ane Rojali, neng Juleha ade perlu ape?” Rojali sambil nyengir lebar mendekatkan wajahnya ke Juleha yang aduhai itu. “Gue None Jakarte terpilih, gue mau ketemu lo buat ngurusin prosedur kegiatan Festival Budaya Betawi di sini” Rojali terpesona dengan wajah nan cantik Juleha sampe lupa Juleha ngomong apa karena bibir indahnya bergerak begitu indah. Juleha yang sedari tadi nunggu Rojali nyahut menghardik lagi “ Eh! Denger ngga lo?!” “Eh iya neng” Rojali baru tersadar. “Mari neng” Rojali mengajak Juleha ke sebuah kantor tidak jauh dari situ.
Rumah panggung yang terbuat dari kayu itu berdiri kokoh berdampingan dengan rumah-rumah kayu yang lainnya. Rojali tinggal di kampung Betawi di mana komunitas Betawi tinggal di situ. Ruangannya sedikit nyaman dengan angin yang kadang bertiup semilir-semilir membuat rambut Juleha yang terurai sebahu bergerak lembut dan membuat Rojali terpesona kembali, melihat gelagat Rojali seperti terpesona kembali, Juleha menggebrak meja. “Brak!”
“Eh copot-copot” Rojali yang sedetik terpesona detik berikutnya terlompat kebelakang karena suara gebrakan mejanya mengalahkan kekalutan pikirannya yang penuh dengan keindahan Juleha. “Eh iya, maaf neng” Rojali tersadar kembali apa yang musti di lakukan. Buru-buru ia ambil beberapa lembar kertas yang ada di atas meja dan memberikannya ke Juleha. “Ini neng, mohon diisi dulu” sambil nyengir lebar Rojali menyodorkan pulpen hitam ke Juleha. Juleha yang sedari tadi cemberut sambil merengut mengambil pulpen dan mengisi formulir tersebut. Sementara Juleha mengisi formulir, Rojali diam-diam mencuri-curi pandang kecantikan Juleha dari sudut yang berbeda. Merasa Rojali memperhatikan Juleha lebih dalam, Juleha cepat-cepat mengisi formulir dan sambil menggebrak meja memberikan pulpen tersebut ke Rojali “Nih!”
Rojali hampir terjengkang kebelakang karena gebrakan terakhir keras dan bersuara keras pula. Sambil berjalan keluar Rojali memberi beberapa kertas untuk Juleha pelajari karena itu susunan acara Festival Betawi yang akan diadakan seminggu lagi berikut syarat-syarat yang harus dipakai pada acara itu.
Menilik pertemuan keduanya sudah selesai, Risma cepat-cepat menghampiri Rojali dan menghardik dia lagi. “Lo ngapain sih?!” tanya Risma kesal. “Mentang-mentang dia cakep mate lo jelalatan, kayak ngga pernah liat barang cakep aje” Risma dengan nada sedikit cemburu berkata. “Ye, jangan gitu Ma, gua kan cowok yang … “ Rojali belum selesai kalimat sudah berhenti karena akan membuat Risma lebih marah lagi kalau apa yang ia katakan tidak sesuai dengan keinginan Risma. “Udeh deh, terusin lagi tuh tanemannye, ntar nangis die” Rojali bercanda jayus yang justru membuat Risma lebih manyun lagi. Dan hari itu berlalu dengan saling diam.
Selasa 29 Oktober 2019
Pagi ini terasa segar dan indah, Rojali dengan langkah mantap berjalan keluar rumah untuk melanjutkan tugasnya sebagai ketua panitia Festival Budaya Betawi yang akan diadakan seminggu lagi. Walau semua urusan sudah beres tetap Rojali merasa takut dan was-was dengan penyelenggaraan ini, karena tahun ini ia baru pertama kali bertanggung jawab setelah sebelumnya, bertahun-tahun sebelumnya. dia hanya sebagai asisten ketua panitia sebelumnya yang sekarang ini entah kenapa dia menunjuk Rojali tahun ini. Alasan utama memang dia ingin memberi kesempatan kepada Rojali tapi alasan sebenarnya bang Arief, ingin libur, tidak memegang tanggung jawab yang dipegang bertahun-tahun lamanya. Bang Arief sudah seminggu tidak kelihatan karena dia memang berencana untuk jalan-jalan ke rumah mertuanya di Wonosobo. Rojali, sebagai mahasiswa terakhir jurusan teknik sipil tahu bagaimana menyusun dan mendekorasi panggung dan hiasan-hiasan pinggir jalan.
Risma sudah berada di hadapannya sambil membawa pernak-pernik untuk hiasan di pinggir jalan. Rojali tersenyum lebar meilhat Risma lebih, “Lebih apa ya?” Rojali melihat Risma lebih berbeda tampilannya, lebih “Lebih apa ya?’Rojali sambil mengulas-ulas janggutnya yang jarang di dagu. Mereka berdua berjalan sambil tersenyum menelusuri jalan aspal yang sudah mulai panas dan berdebu. Diikuti dengan remaja yang lain mereka memulai lagi melanjutkan menghiasi jalan dan taman pinggir jalan sesuai dengan apa yang dirapatkan hari Minggu kemarin. “Lo” Rojali tidak bisa meneruskan karena kehilangan kata-kata. Risma yang sedari tadi merasa Rojali mau berbicara sesuatu tersenyum simpul dan membuat Rojali berpikir “Apa ini gara-gara Juleha?”
Setelah di perhatikan memang ada perubahan yang mendasar dari Risma yang kemarin kumel dan lusuh kini kelihatan "Apa ya” Rojali masih berpikir-pikir perubahan apa yang terjadi karena Rojali tidak memperhatikan ini sebelumnya. Risma buat Rojali cuma dianggap teman biasa karena sedari kecil sudah bermain bersama. Rojali tidak terpikir Risma “Jangan-jangan” Rojali mulai bergidik bulu kuduknya memikirkan kemungkinan yang dipikirkan itu benar. Kalau diperhatikan Risma memang sedang mencuri-curi pandang Rojali sepanjang pagi ini. Rojali hanya tersenyum dengan lirikan-lirikan Risma.
Jam 12 siang di jalan yang panas dan sepi tiba-tiba meluncur mobil mewah yang Rojali pikir pasti Juleha karena kesan hari pertama kemarin sangat mempesona sampai-sampai dia tidak bisa tidur mengingat keindahan wajahnya yang manis sekaligus galak pada saat bersamaan. Mobil itu berhenti dan pintu terbuka, Rojali melihat kaki yang indah itu keluar dari mobil dan keluarlah Juleha dengan penampilan yang lebih wah dari yang kemarin dan membuat Risma yang sudah mati-matian berubah penampilan akhirnya sia-sia dengan apa yang dikenakan Juleha. Dan seperti biasa Rojali berubah menjadi bego karena keindahan Juleha hari ini.
Rojali cepat-cepat menyambut Juleha bak permaisuri dari negeri Khayangan, sementara Risma dengan muka cemberut membiarkan Rojali bertindak semaunya hari ini. Ternyata Juleha ingin memastikan persiapan Festival ini berjalan lancar karena ia akan membawakan sebuah lagu untuk di nyanyikan. “Wow udah cantik pintar nyanyi lagi” Rojali makin terpana dengan penampilan Juleha hari ini karena ia cantik dan bisa menyanyi, sementara Risma dari kejauhan sudah terasa api cemburunya membara. Juleha mencoba sound systemnya agar suara dan musik yang ia bawakan terdengar jelas. Kebetulan sudah ada band yang siap membawakan lagu Juleha walaupun ini di luar acara yang sudah disusun jauh-jauh hari.
Dan sisa hari itu berlalu dengan cepat tentu saja dengan Risma yang manyun dan nyengir Rojali yang lebar terpesona dengan keindahan Juleha. Pada saat mereka akan bersiap pulang, tiba-tiba di kejauhan meluncur sebuah mobil yang tak kalah mentereng dari mobil Juleha. Kali ini mobil sport import yang ceper dengan suara halus, lebih cenderung mendengkur, berhenti di hadapan mereka. Juleha sembari menurunkan kaca mata hitamnya mencoba melihat siapa gerangan pemilik mobil keren ini. Sementara Rojali bersikap sebisa mungkin biasa saja karena dia tahu dengan melihat tampilan mobilnya saja dia pasti sudah kalah mentereng. Dan di luar dugaan, Risma dengan kecentilannya yang tiba-tiba dan membuat Rojali terkejut, melompat dan berjalan riang kearah mobil keren itu. Sambil tersenyum lebar, memperlihatkan sebaris giginya yang putih bersih Risma dengan riang berkata “Sore bang, mau ketemu siape bang?” Rojali yang tidak pernah melihat Risma bersikap seperti itu terperangah. Sesosok tubuh ramping berotot dan “Ya Allah” ganteng, keluar dari mobil ceper tersebut. Pintu mobil yang diangkat ke atas menambah penampilan sosok itu menjadi keren mentereng. Mata Risma terbelalak hampir copot melihat kegantengan lelaki muda di hadapannya. Tinggi dan langsing, berotot dan ganteng, lelaki itu tersenyum, membuat hati Risma klepek-klepek hanya dengan satu kali pandangan saja. Rojali yang sedari tadi memperhatikan perubahan Risma dari pagi, siang dan sore ini terkejut bercampur “Cemburu?” membuat Rojali bingung dengan perubahan hatinya juga. Sementara Juleha seperti sudah biasa melihat lelaki ganteng di mana-mana melenggang meninggalkan mereka bertiga.
Masih dengan kaca mata hitam bertengger di hidungnya, lelaki muda itu memperkenalkan diri “ Ane Arman, Abang Jakarte yang kepilih bulan lalu, gue mo ketemu Rojali, katenye die nyang ngurus Festival ini” sambil menurunkan kaca matanya sambil melihat lelaki di hadapannya ini yang kemungkinan besar, Rojali. “Iye bang, aye Rojali” sahut Rojali sambil tidak henti-hentinya melirik reaksi Risma yang ia tahu sedang terpesona dengan kegantengan bang Arman ini. “Mari bang, ikut ane” Rojali sebisa mungkin bersikap ramah hanya karena perubahan sikap Risma.
Sambil melangkah ke teras yang terbuat dari kayu, mereka berdua duduk diikuti Risma yang masih terpesona dengan penampilan dan kegantengan bang Arman. Dengan santai Arman duduk dan mulai mengisi formulir yang diperlukan untuk data bintang tamu yang akan tampil di Festival Budaya itu. Arman berhenti sejenak dengan kata-kata None Jakarte Juleha, “Ini “ Arman belum selesai kalimatnya langsung ditimpal Rojali “Iye bang, neng Juleha, nanti pasangan abang, neng Juleha di arak keliling kampung bang” Arman berhenti sejenak. “Ade ape bang?” Risma merasa ada yang mengganjal di hati Arman. “Ngga, ngga ada ape-ape” sambil memberikan pulpen hitamnya ke Risma yang tentunya disambut dengan senyum lebar. Hati Rojali tiba-tiba panas membara kala tangan mereka berdua bersentuhan. Tanpa melihat ada sandal menghalangi jalan, Rojali, dengan sekali “Gubrak!” jatuh tersungkur dihadapan mereka berdua. “Eh bujug!”
Rabu 30 Oktober 2019
Masih terasa sakit memar di muka Rojali, pagi itu dia tidak semangat dengan menyambut hari yang dia pikir bakalan ada kejadian luar biasa. Risma yang luar biasa perubahannya, entah apa yang akan dia pakai hari ini, Juleha yang dari kemarin luar biasa cantiknya dan yang terakhir, Arman. “Entah apa yang akan terjadi hari ini” dengan lemah lunglai dia melangkah ke jalan yang masih sepi. “Tumben “ Rojali bingung dengan kesendiriannya, “Kemane die?” hatinya bertanya-tanya sambil melanjutkan persiapan Festival yang tinggal beberapa hari lagi. Semua persiapan sudah hampir selesai, tinggal gladi resik hari Sabtu dan hari Minggu perayaannya. Degup jantung Rojali lebih kencang dari biasanya karena dengan mendekati hari H semakin khawatir perasaannya. Jam sudah menunjuk angka 9 dan Risma belum kelihatan batang hidungnya, pada saat dia akan menekan dial Risma, tiba-tiba suara Risma terdengar di belakangnya “Sori Jal, gue telat” “Telat? Kenape gue pengen ketawa denger kata telat” Rojali memutar badannya dan kali ini Risma terlihat “Kenape gue jadi gini?” Risma berdiri dengan baju terusan bunga-bunga di hadapan Rojali, sepatu cantik warna pink dan motif bunga-bunga berpadu padan dengan penampilan Risma yang tidak biasa. “Lo” Rojali tidak bisa meneruskan kata-kata dan terus melongos melewati Risma yang terbengong-bengong. Rojali berusaha sebisa mungkin terlihat tenang dengan perubahan Risma dan perubahan hatinya. Dan ia berharap Juleha pujaan hatinya muncul untuk mengalihkan perhatiannya atas perubahan Risma.
Yang tidak diharap Rojali terjadi juga, Juleha ternyata tidak bisa datang karena ada keperluan lain, Rojali menerima kabar ini dari Whatsapp Juleha. Rencanya hari ini Juleha berlatih bernyanyi dengan Arman untuk acara pembukaan Festival. Dan yang dikhawatirkan Rojali terjadi juga, Arman, yang seperti biasa datang dengan mobil sportnya datang dan memarkir kendaraannya di pinggir jalan. Seperti biasa, Risma yang kali ini lebih riang, menyambut Arman yang sudah lebih dahulu keluar dari mobilnya. Dengan tersenyum Arman menyambut keriangan Risma, dan sekaligus kecewa dengan kabar Juleha yang tidak bisa datang hari ini. “Ame gue aje bang” Risma tiba-tiba mengusulkan berlatih bernyanyi bersama yang tentu disambut Rojali yang cemburu berat. “Emang lo bisa nyanyi?” Rojali emang ngga pernah denger Risma nyanyi dari kecil mangkanya die yakin Risma ngga bisa nyanyi. Arman yang tidak pernah mengenal Risma dan menghargai usulan dengan senang hati menyambut usulan ini.
Jantung Rojali berdebar kencang “Kenape gue khawatir?” kala mereka berdua naik panggung dan mulai bernyanyi, Rojali dengan lemas berkata “Oh”
Kamis 31 Oktober 2019
Bayangan Risma bernyanyi dengan suara merdunya membuat perubahan hati Rojali makin menjadi-jadi, “Kayaknya gue jatuh cinta nih” Rojali ngga habis pikir kenape Risma yang begitu biasa-basa saja dari kemarin seperti ada yang luar biasa. Dan rasa cemburu yang luar biasa terasa saat Risma dan Arman saling berpegangan tangan saat mereka menyanyikan sebuah lagu. Pandangan mereka begitu lekat seperti seakan-akan jatuh cinta kala lagu yang dinyanyikan itu sangat menyentuh hati. Rojali menggeleng-gelengkan kepala mengusir semua kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Penampilan Risma yang lebih feminin membuat hati Rojali berdebar kencang. “Kenape gue begini?”
Hari ini Rojali hanya memastikan persiapan terakhir dan memeriksa semua seksi yang lain dari mulai keamanan, kebersihan, makanan. bazar, promosi, keuangan dari pemasukan dan pengeluaran anggaran yang sudah dialokasikan dan tetek-bengek yang lain yang kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Setelah semua beres Rojali mulai bertanya-tanya lagi “Kenape die selalu terlambat dateng?” Rojali mulai khawatir. Tapi dengan banyaknya urusan Rojali tersita pikiran dan waktunya untuk yang lain. Kabar Juleha yang akan datang untuk latihan bernyanyi menenangkan jiwa Rojali karena dia tidak harus terbakar api cemburu seharian. Mulai hari ini dan besok gladi resik untuk seluruh acara dilaksanakan ada pidato penyambutan dari gubernur, tari-tarian dan penampilan-penampilan lain yang untuk satu acara bisa diadakan dari pagi, siang, sore sampe malam. Para peserta bazar sudah menempatkan barang-barang mereka dan mengatur persiapan untuk besok dan lusa. Ada makanan dan minuman, barang-barang suvenir dan pernak-pernik lain yang lucu-lucu dan unyu-unyu. Perhelatan diadakan di sepanjang jalan utama di kiri kanan jalan dengan hiasan rumbai-rumbai warna-warni. Diperkirakan akan ada ribuan pengunjung untuk mengahdiri acara ini karena bintang tamu yang banyak dan terkenal, baik dari dalam negri maupun dari luar negri. Rojali sudah kerepotan mengurus bintang tamu dengan sifat dan karakter yang berbeda-beda belum lagi perubahan Risma yang membuat Rojali gundah gulana.
Arman seperti biasa datang dengan mobil sportnya yang mewah pada saat yang bersamaan mobil Juleha juga datang meluncur perlahan. Yang di pertanyakan Risma saat Arman berhenti ke nama Juleha terjawab sudah. Kini mereka saling menatap dan berhadapan. Suasana canggung terasa di antara mereka berdua. Rojali yang berada di tengah-tengah keduanya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdiri menjaga jarak. Akhirnya kekakuan itu terpecah,
Arman : “Jul”
Juleha : “Ngga, ngga mau”
Arman : “Jul”
Juleha : “Gue bilang ngga mau!”
Juleha hampir teriak berkata ngga mau dan Arman terdiam kembali. Suasana kaku kembali, membuat Rojali berinisiatif untuk menengahi masalah ini. “Bang, neng, emang masalanye ape bang, neng” Rojali saling memandang keduanya. Akhirnya Arman berinisiatif menerangkan permasalahannya sementara Juleha sambil duduk manyun di teras rumah yang terbuat dari kayu. Angin semilir mempermainkan rambut Juleha yang sebahu membuat Rojali terpana lagi dengan pemandangan indah itu, namun detik berikutnya dia tersadar kalau Risma sebenarnya yang ada di hatinya.
Kejadiannya sudah lama ternyata, kala mereka berdua menjadi calon abang none Jakarta tahun lalu, keduanya terpilih dan pada saat yang bersamaan mereka diam-diam menjalin cinta dan saling jatuh cinta. Kisah mereka sempurna, cewek cakep cowok ganteng dan cocok satu sama lain, kemana-mana mereka selalu berdua hingga suatu saat, kesalah pahaman terjadi, sifat Juleha yang tidak sabar terbayar sudah, dia sudah menunggu Arman satu jam dua jam lewat tidak ada kabar, tidak ada telpon tidak ada apa-apa sehingga Juleha habis kesabarannya. Malam itu, dengan rasa bersalah yang mendalam dia datang ke rumah Juleha diguyur hujan malam-malam yang dingin, namun Juleha tidak melihat darah mengalir di dahi Arman. Arman hanya berkata “Ma’apin gue Jul”
Juleha yang sedari tadi manyun tiba-tiba berubah sikap, yang dia tahu Arman tidak memberi kabar apapun dan ini membuat Juleha menutup semua percakapan mereka berdua. Arman tidak ada jalan untuk menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Sekilas Juleha melihat dahi Arman yang berbekas, ternyata luka yang ia ceritakan itu benar, memang telah terjadi kecelakaan pada saat Arman dalam perjalanan untuk menemui Juleha hari itu. Juleha dengan perasaan bersalah berjalan mendekati Arman dan meraba dahi Arman yang berbekas luka. Tangis Juleha pecah kala kedua pandangan mata dua sejoli bertumpu. “Ma’apin aye bang” Juleha sambil sesenggukan berkata. “Udeh, ngga ape-ape, udeh lewat Jul” Arman akhirnya bisa memeluk kekasihnya yang dulu hilang.
Tanpa terasa Rojali juga ikutan sedih dan berlinang air mata, kali ini ia sedih Risma yang dia cintai tidak datang dan tidak ada kabar pula.”Jangan-jangan”
Jum’at 1 November 2019
Rojali ngga sempet mencari tahu ada apa dengan Risma kemarin, tidak ada kabar tidak ada telpon tidak ada apa-apa, cerita Arman membuat Rojali berpikir, “Jangan-jangan”.
Cepat-cepat dia pergi ke rumah Risma, dengan motor bututnya pemberian orang tuanya, dia parkir di depan rumah Risma. Suasan hening, sehening hati Rojali, dan ini membuat Rojali lebih khawatir.”Jangan-jangan” Rojali cepat masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu dan menerobos ruang tamu di mana ada nyak abah Risma lagi duduk di ruang tamu sambil ngopi dan cemilan gorengan. Seolah seperti hal biasa, mereka tidak memperdulikan Rojali masuk ke dalam kamar Risma.
Risma tergeletak tidak berdaya di tempat tidur, apa yang dipikirkan Rojali terjadi, lalu dengan cepat ia mendekati Risma, memeluk Risma dan menangis “Ma! Risma! Jangan tinggalin aye Ma!” Risma yang sedari tadi tidur pules terbangun dengan teriakan Rojali. Sambil mengusap iler yang keluar dari mulutnya Risma bertanya “Heh?”
TAMAT
Description: Cerita tentang Rojali jatuh cinta dengan teman lamanya, Risma, dengan kehadiran Juleha sebagai pencetus perasaan cintanya.
|
Title: RENCANA BESAR Untuk Mati Dengan Tenang
Category: Novel
Text:
Tabung Logam
(
Aku selalu terbangun pukul empat pagi, diam sebentar untuk menatap langit-langit di atas dipan, memastikan bahwa diriku bukan sedang menatap dinding atas sebuah peti mati. Artinya, aku masih hidup (lagi). Kemudian, kuangkat sebelah lengan sampai ke pangkal siku, sebelahnya menyusul, kugetar-getarkan ujung jari, begitu pula jari kaki. Bukan cuma hidup, aku juga tidak lumpuh. Aku bangkit secara pelan, duduk di sisi dipan yang menghadap lemari pakaian, cermin, dan bisa kulihat wajahku sendiri. Aku tersenyum pada wajah itu, bukan karena gembira, tapi untuk menguji apakah otot wajahku seimbang dan masih berada di tempatnya. Kuturunkan lagi otot-otot itu. Pelan, tanganku meraba-raba tongkat di sisi dipan. Tongkat kayu itu hanya untuk membantuku berjalan ke kamar mandi, penyangga berkaki empat yang terletak di sisi tempat tidur tidak bisa kupakai untuk masuk ke dalam sana. Pelan dan sunyi karena aku sudah terlatih untuk melupakan keinginan bahwa ada manusia yang bersedia membantuku, bahkan tidak dengan anak-anakku.
Waktu istriku mati (aku belajar menganggap) tidak ada lagi yang cukup berharga selain lima orang anak itu. Perempuan. Laki-laki. Laki-laki. Perempuan. Laki-laki. Katakanlah, aku telah gagal belajar. Aku gagal memahami maksud pernyataan istriku tentang hal itu. Kalau benar bahwa anak adalah harta, aku bisa dihitung kaya raya. Sayangnya, aku miskin karena sekarang lima anak itu ingin menjual tanahku.
"Ayah sudah tua. Lebih bagus beristirahat, tidak usah bekerja lagi," ujar anak tertuaku, perempuan, sebut saja si A.
Aku tak terlatih untuk tertawa, namun aku tahu kalau ucapannya terdengar seperti humor murahan. Aku cuma geleng-geleng kepala. Harusnya, ia mengatakan perihal itu pada dirinya sendiri. Anak pertamaku 54 tahun umurnya. Kalau dia tidak tua, aku adalah remaja puber. Inilah akibat dari rusaknya sistem pendidikan nasional. Pendidikan malah membuat anak-anak menderita kerusakan otak permanen, lalu menua dengan pemikiran yang mustahil diperbaiki. Untunglah, masih ada beberapa hal yang bisa kuperbaiki dengan tanganku sendiri, salah satunya pintu kamar mandi.
Pintu kamar mandi bisa terbuka tanpa bunyi karena aku selalu menyempatkan diri menyemprotkan WD40 ke engsel-engselnya, walau melakukannya bisa menjadi sejenis olahraga ekstrem ketika seseorang beranjak tua. Tanganku sudah lemah untuk menahan bobot tubuhku sendiri (apalagi, sambil menggapai engsel), namun melakukan itu akan memudahkanku membuka pintu. Setelah masuk ke dalamnya, kubiarkan pintu tetap terbuka dengan maksud: Jika suatu ketika aku terpeleset di dalamnya, salah seorang anakku bisa mendengar suara teriakanku. Meski, aku meragukan juga bahwa aku masih mampu berteriak saat aku benar-benar terpeleset, dan salah satu anakku bersedia membantu. Akhirnya, akulah yang tetap harus melakukannya.
Sendiri.
Angin Kota Ini takpernah terasa dingin lagi. Pengkhianatan cuaca telah mengubah gerah jadi lembab di dalam kamar mandi. Aku tidak menyukainya. Toh, udara jelek macam itu tetap harus kuhirup tiap kali membuka pintu. Sebelum, kuambil sikat gigi di atas wastafel yang di atasnya ada cermin. Kupandang mataku sendiri. Apa kau? Wajah itu takmenjawab sambil memikirkan garis-garis kerut yang terlipat-lipat seperti selembar koran basah.
Aku memang tua, kira-kira 76 tahun—yang meski membawa penyakit darah tinggi, aku masih sehat. Buktinya: Aku belum mati (dan, memiliki otak yang cukup kuat untuk diajak berpikir) sehingga sering berpikir tentang kesialan. Dan, sesial-sialnya hidup adalah menua sambil dikelilingi anak-anak takberguna—yang mencari kerja saja tidak bisa—hingga untuk makan dan tempat tinggal pun, mereka harus menumpang padaku, ditambah aku harus membayar upah mereka. Semua ini sepenuhnya ketololan, semacam membayar benalu untuk mengisap darahmu. Kukatakan itu pada wajah di dalam cermin. Rasanya, ingin kuusir mereka semua. Anak-anak itu. Sayangnya, aku telanjur berjanji pada mendiang istriku untuk tidak melakukannya (atau, paling tidak, begitulah kira-kira isi kepalanya yang membuatku menuduh kalau dia juga mengalami gangguan pemikiran). Aku ingat benar kejadian pada suatu malam ketika embusan angin bisa terasa sampai ke sumsum tulang.
Aku sedang berdiri di teras yang mengarah ke luar kamar waktu kudengar cericit anak tikus dari dalam. Cuaca malam sedang hampir akan hujan. Angin. Cericit anak tikus? Ternyata bukan. Itu suara istriku yang mengerang, memanggilku. Jadi, aku langsung berlari ke dalam begitu saja, dan istriku—yang tadi kupikir sedang tidur—membuka matanya, memandang ke arahku yang baru datang.
"Suamiku ...."
"Iya, istriku." Aku langsung bergerak mendekat dan duduk di sisi dipan.
"Sepertinya, aku tidak kuat lagi," ucap istriku. "Aku akan segera mati."
Suaranya yang lemah dan parau langsung membuat mataku terasa perih. Mungkin, disebabkan air mata memiliki kandungan garam. Singkatnya, aku ingin menangis. Ia tersenyum dan aku menahan air mata karena air mata mampu merusak senyum. Senyumnya teduh di mataku, selalu begitu, bahkan di waktu-waktu akhir hidupnya. Setelah puluhan tahun hidup bersama, mungkin ini akhirnya. Tapi, aku jadi bertanya-tanya.
“Dari mana kau tahu kalau kau akan mati?"
Istriku terbatuk, "Aku tahu begitu saja."
"Maksudmu?"
"Ya, aku tahu saja."
"Bagaimana mungkin?"
"Ya, mungkin saja."
“Apakah ada yang memberitahumu?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tahu."
"Bagaimana kau bisa tidak tahu?"
"Tutuplah mulutmu, suamiku. Aku ingin menyampaikan sesuatu."
"Baiklah, Istriku."
"Kalau aku mati ...."
"Iya, istriku."
"Berjanjilah ...."
"Aku berjanji."
"Tutup mulutmu. Aku belum bilang apa-apa," ucapnya sambil terbatuk lagi.
"Baik, istriku."
"Berjanjilah.
Aku diam karena ia belum selesai bicara.
"Anak-anak kita adalah harta paling berharga," ucapnya sambil perlahan menutup mata.
Sunyi.
Dunia mendadak sepi, dan angin benar-benar menembus sampai ke tulang sumsum. Kesedihan yang sedari tadi kutampung di rongga mata segera tumpah begitu saja. Aku sudah takbisa menahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Meraung-raung. Tangisku pecah berhamburan. Duniaku runtuh. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Ini awal kesedihan tanpa akhir. Kematiannya akan memendungkan hidupku, selamanya. Sepi. Diam. Sunyi.
...
"Suamiku."
"Hah?”
“Aku—“
“Istriku?"
"Aku belum mati."
"Aku pikir—"
"Pikiranmu salah. Sekarang, dengar aku."
"Iya, istriku."
"Berjanjilah ....
Aku diam.
"Berjanjilah," ia mengulang.
"Tapi, kamu belum bilang apa-apa," jawabku.
"Pokoknya, berjanjilah untuk melakukan apa yang kupesankan. Jagalah mereka semua dengan hidupmu.
Aku terdiam.
“Berjanjilah kalau kau tidak akan pernah meninggalkan mereka.
Aku tetap diam.
“Kak ....
Aku diam.
"Berjanjilah, Kak."
"Aku berjanji," jawabku. Lalu, aku menunggu. Menunggu. Menunggu yang terlalu lama. Terus menunggu, sampai aku sadar kalau istriku tidak bangun lagi, dan aku menganggap kalau istriku baru saja memesankan agar aku harus terus memberi makan anak-anak keparat itu. Sunyi. Diam. Sepi.
Sekarang, aku sudah tidak menangis lagi karena aku tetap berpikir bahwa sesungguhnya istriku masih hidup dan kematian tidak memisahkan pernikahan. Namun, aku amat menyesali saat-saat kematian istriku itu. Mengapa aku tidak ngotot waktu bertanya padanya tentang dari mana ia bisa tahu bahwa waktu itu memang saat kematiannya? Aku sekarang butuh tahu saat kematianku. Aku tidak mau bunuh diri karena aku sudah berjanji. Aku butuh mengetahui kapan aku akan mati. Aku menyesal tak meneruskan pertanyaan karena terlalu sibuk menangis. Terbukti, melodrama berlebihan mampu merusak otak dan pemikiran (selain sistem pendidikan nasional).
Istriku sudah mati sambil menghanguskan pemikiran-pemikirannya. Aku tertinggal, tenggelam bersama pemikiran-pemikiranku.
Sudah menjelang pagi saja. Tubuhku mulai senja. Dengan cara yang lebih pelan lagi, aku melangkah keluar kamar mandi, melewati bufet yang sudah kuanggap sebagai altar pemujaan (sebuah tabung logam tergeletak di atasnya). Kulirik sedikit tabung itu sebelum menuju lemari pakaian, dan kukenakan pakaian yang sudah ribuan atau jutaan kali kukenakan, lalu berjalan menuju ambang pintu untuk keluar dari kamar. Semua harus kulakukan dengan cara serba perlahan karena itulah satu-satunya metode untuk menahan agar waktu tidak memelesat lebih cepat.
Dengan otakku yang sehat, aku jadi berpikir: Berapakah pastinya harga seorang anak? Bagaimana bisa istriku bilang kalau mereka berharga? Mana yang lebih berharga, tanah ini atau mereka? Aku bisa menjual tanahku, aku tahu pasti harga per meternya. Aku sudah mengeceknya ke kantor pajak daerah. Begitu juga dengan toko terpal itu. Sayangnya, takmungkin menjual anak-anakku, apalagi secara kiloan. Mereka sama miskinnya seperti aku, dan orang miskin tubuhnya kurus, kurang cukup untuk membuat seporsi sup daging. Aku ragu jika hasil kiloannya bisa ditukar dengan sejumlah uang yang laik. Selain, arwah istriku akan memaki-maki dari neraka kalau sampai tahu bahwa aku sudah menjual anak-anaknya. Ah. Paling tidak, perempuan itu ada dalam neraka karena telah melahirkan lima anak yang ingin menjual tanahku.
Begini.
Sebuah rumah berdiri di atas tanah ini. Di dalamnya ada 12 kamar tidur. Satu adalah kamar yang kugunakan. Lima kamar untuk anak-anakku (dan pasangan mereka), dan lima lainnya diisi anak-anak mereka. Cucu-cucuku tidur bersama-sama dan aku meragukan bahwa memang benar tidak bisa ada syahwat di antara anggota keluarga.
Satu adalah kamar kosong.
Kalau pagi hari, rumah ini seperti gedung sekolah dasar. Gaduh. Anak-anak berteriak-teriak mencari sebelah kaos kaki yang hilang, atau berebut kotak sarapan. Aku menduga, sebelahnya tersesat di jemuran. Sayangnya, anak-anakku sudah gagal untuk melatih kemampuan anak mereka dalam menyelidiki keberadaan sebelah kaos kaki.
Mereka manusia takberguna.
Sebelumnya—entah berapa tahun, kelima anakku menikahi lima menantu yang sama takbergunanya, dan melahirkan anak-anak yang sedikit lebih baik karena (waktu itu) mereka masih anak-anak (aku rasa mereka akan segera berubah menjadi dungu dan tidak berguna ketika dewasa). Lalu, mereka ingin menjual tanah dan rumah ini juga. Kegiatan yang sama sekali takperlu kupertimbangkan. Kalau kulakukan, aku akan segera melompat keluar pagar dan berubah jadi gelandangan.
Kemarin, aku memandangi wajah anak-anakku yang sedang menyibukkan diri di ruang makanku yang besar (kukira mereka cuma pura-pura) dengan mengambil barang ini-itu untuk anak-anak mereka, mulai dari kotak makanan sampai sepatu seakan anak-anak mereka takpunya tangan. Kemudian, aku duduk di sebuah kursi makan yang kosong. Salah satu anakku—sebut saja si D—mendorong piring makan ke hadapanku yang sudah berisi bubur cair yang suhunya dingin, menu sarapan biasa.
"Kau pikir aku tidak punya tangan?" ucapku. "Aku masih belum terlalu tua untuk bisa mengambil piring makanku sendiri."
Dia diam saja. Tidak ada yang menengok, semuanya cuma diam. Tapi, kurasakan kalau sudut mata mereka mengawasi setiap gerikku.
Aku tahu benar perangai mereka karena, sungguh menyesal, setengah bagian dari mereka datang dariku. Mereka terlalu bodoh untuk tidak membiarkanku hidup terlunta-lunta. Jadi, setelah mati nanti, aku juga akan masuk neraka karena sudah membantu istriku melahirkan lima anak takberguna yang ingin menjual tanahku.
Bagaimanapun tak bergunanya anak-anak itu, istriku pernah berkata: Jagalah mereka semua. Dan, melodrama menjelang kematian membuatku menyetujui untuk berjanji padanya.
Camkan ini. Aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji.
Pagi ini, aku keluar kamar untuk kembali menonton kegaduhan; menyaksikan bagaimana hidupku dikacaukan. Betapa sulit untuk hidup tua dengan perasaan tenang, dan aku meragukan kalau aku bisa mati tanpa kekhawatiran.
***
Tabung Logam.2
Untuk manusia setua aku, hidup hanyalah menunggu sisa waktu—semacam tamu yang tidak sudi disuruh pulang lalu memaksa diri untuk terus menyeruput gelas kopi sementara yang tersisa cuma ampas di dasar gelas. Waktu jatuh setetes-setetes sebagai perasaan yang mengatakan: Ternyata, hidupku masih diperpanjang sehari lagi. Sehari. Sehari. Sehari. Sampai, aku bosan sendiri untuk menghitung-hitung kemungkinan tentang kapan tetesan waktu itu berakhir.
Penuaan bekerja dengan cara itu.
Ketika kusadari bahwa aku telah terus-menerus melakukan kegiatan yang sama, di waktu yang sama, dengan cara yang sama—setiap hari—di sanalah kusadari bahwa aku memang menua karena menua adalah perulangan kejadian-kejadian, bisa disamakan dengan mesin pemanas air tenaga surya yang berulang-ulang menolak dinyalakan.
Kemiskinan telah membuatku takmampu membeli pemanas air yang baru. Sering, pemanas air di kamar mandi gagal membuat air jadi sehangat yang aku mau, padahal sendi-sendiku sudah terlalu manja untuk disiram air dingin, sendiku bisa langsung meringis (semoga aku tidak mati akibat paru-paru basah). Aku berkali-kali bilang pada anak-anakku untuk segera memperbaikinya, tapi aku sudah tidak bisa mengeluhkan proses pelemahan daya ingat dalam otak mereka. Sampai sekarang, pemanas itu belum juga diperbaiki, dan aku harus berdoa agar pemanas air ini bersedia mengasihaniku dan memberikan air hangat. Untunglah, sudah beberapa waktu, pemanas air ini tidak ngambek. Aku benci pada mesin pemanas air karena aku benci dikasihani.
Pagi ini, pemanas air telah mengasihaniku dan aku kembali masuk ke kamar mandi dengan cara perlahan. Engsel pintu mendesis dengan sedikit derit. Hmm, sudah waktunya menyemprotkan WD40 ke sana.
Pukul empat pagi, rumahku sepi, belum satu orang pun dalam rumah ini yang terbangun. Dasar. Pemalas. Tidak ada yang pernah mengajariku jadi pemalas dan dulu aku menikahi istriku karena dia rajin. Aku ingat bagaimana kali pertama aku melihat sosok istriku.
Aku masih muda, baru 15 tahun, masih bekerja sebagai kuli panggul di pasar—yang sekarang jadi pasar induk. Dia anak seorang pedagang beras, dan setiap pagi aku melihatnya membuka toko bersama ayahnya dan seorang pembantu—laki-laki muda yang tampak selalu kekenyangan dan baru bergerak jika disuruh. Waktu itu tahun 1955. Sepertinya, usia gadis itu berselisih takjauh dari usiaku. Kira-kira, usianya 13 atau 14 tahun. Toko beras di pasar itu telah mempertemukan kami.
Katanya, ini pasar terlengkap di Kota Ini, barang apa pun bisa ditemukan di dalamnya, termasuk pelacur-pelacur yang berdiri di arah belakang pasar pada malam hari, dekat warung-warung yang lampunya bisa membuat kegelapan berubah jadi kesuraman.
Menjelang dini hari, pedagang-pedagang sayur dari desa akan berkumpul di sini, memaksaku bangun. Dengan sedikit upah, aku membantu mereka menurunkan barang- barang (sebelum menyempatkan untuk tidur sebentar di bangku panjang dekat kamar mandi umum yang baunya seperti ada bilik pengawetan mayat di dalamnya). Kemudian, aku bergegas mandi.
Tahun 1960, sudah lima tahun aku bekerja di sini, mengangkut barang-barang tergantung suruhan. Siapa pun yang membayarku, aku akan membantunya mengangkut barang belanjaan. Bisa keranjang, karung, atau ikatan-ikatan sayur. Lima tahun pula aku sudah melihat gadis itu berada di pasar. Awalnya ia pergi bersama ayahnya, laki-laki tambun dengan wajah berkharisma, selalu merengut dan tak pernah tersenyum. Aku mengagumi laki-laki itu karena bisa membantu istrinya melahirkan gadis yang tampak kecil dan rapuh. Rambut lurus halusnya selalu terkepang dua. Matanya seperti dijahit di depan wajahnya.
Ia perempuan yang rajin. Ia membantu ayahnya melayani pelanggan yang datang dari mana-mana, termasuk seorang ibu berkerudung pemilik warung makan. Gadis itu akan membantu pelanggan memilih beras yang sesuai dengan harga. Tentu saja, harga bersesuaian dengan kualitas. Gadis itu menunjuk-nunjuk deretan kotak yang berjejer di sepanjang bagian depan toko, sepertinya menawarkan jenis beras tertentu. Taklama, ia akan menyuruh salah satu pegawainya untuk menimbang beras yang diambil langsung dari deretan kotak itu, atau dari karung di bagian dalam toko. Kemudian, ia menerima pembayaran. Toko beras itu cukup besar dan laku. Karyawannya bisa lebih dari sepuluh orang. Aku terhibur hanya dengan melihat gerak-geriknya.
Hingga suatu ketika, gadis itu datang sendirian ke sana, dan ayahnya menyusul agak lebih siang. Kupikir ayahnya sakit (hingga takbisa bangun pagi) dan gadis itu terpaksa melakukannya sendiri. Tapi, setelah beberapa lama, baru kusadari bahwa gadis itu memang menggantikan tugas ayahnya membuka toko, dan dia sudah bukan gadis kecil lagi. Ia memotong rambutnya sebatas bawah telinga. Rambut tipisnya jadi melengkung melingkungi wajahnya yang mungil. Poni rapi menutupi dahinya. Sama seperti ayahnya, ia takpernah tersenyum, namun ada sesuatu yang menarik darinya, semacam teka-teki yang membuatku ingin memecahkannya. Jiwa mudaku petualang.
Aku mengikutinya kemana-mana, tanpa sepengetahuannya, sengaja mangkal di depan toko beras. Sambil menunggu pelangganku sendiri, aku menatapnya dari jauh. Sekali waktu, aku mengikutinya berjalan menuju toko lain (ia selalu membeli gula-gula asam di sana); begitu selanjutnya, aku mengikutinya berjalan balik ke toko beras. Diam-diam. Aku akan menyembunyikan diri jika ia terlihat curiga bahwa seseorang tengah menjadi ekor secara rahasia.
Hingga, suatu hari, aku terpikir untuk mengikutinya sampai ke depan rumahnya.
Aku diam di sana waktu dini hari dengan niat menemaninya berjalan ke pasar bila ia keluar rumah pagi nanti. Kupandangi rumahnya yang gelap karena taksatu pun lampu di dalamnya menyala. Kecuali, sebuah lampu redup yang sekadar membuat teras jadi terang seadanya sekaligus menyepuh kursi besi biru muda dengan sejumput warna jingga. Berkali-kali petugas keamanan lewat, dan berkali-kali pula aku sembunyi di bawah bayangan tiang listrik dan tong sampah bau di depan rumahnya.
Aku taksengaja jatuh tertidur di sana dan terbangun ketika seorang penjaga malam memukul tiang listrik tiga kali seperti hendak membuatnya patah. Penjaga malam itu tetap takmelihatku. Namun, aku sudah tidak bisa tidur lagi karena nyamuk-nyamuk taktahu diri menjadikanku sebagai menu makan malam dan tikus-tikus sebesar anjing berlari-lari dekat kakiku, melompat ke bahu. Aku terus bergeming sambil memandangi bayangan bulan yang kehitaman karena tertutup awan. Sampai, lampu di ruang tamu rumah itu menyala menampakkan bayangan orang berjalan di balik tirai renda yang putih. Seseorang membuka pintu depan. Berdiri di sana. Aku bisa merasakan suara tarikan napasnya sambil meregangkan kedua lengan. Gadis itu. Apa yang ia lakukan hingga perlu bangun sepagi ini? Kukira-kira, ini jam empat pagi.
Entahlah. Yang jelas, pagi hari itu aku hanya membiarkannya lewat dan gagal menemaninya berjalan ke arah pasar. Aku tidak cukup punya keberanian, padahal ia perempuan yang berani. Salah satu keberanian paling penting untuk dikuasai manusia adalah keberanian untuk bangun pagi setiap hari, keberanian yang gagal dikuasai oleh anak-anakku.
Jam empat lewat sedikit, dengan bantuan tongkat tadi, aku berjalan menuju kamar mandi, selangkah demi selangkah. Tulang punggungku yang menua tidak bisa lagi diajak berpetualang, namun ia tetap mampu kuajak bangun jam empat pagi. Kusemprotkan sedikit WD40 ke engsel sambil berkhayal bahwa hal yang sama bisa dilakukan pada sendi-sendi tulangku. Derit engsel pintu segera hilang. Kukembalikan kaleng WD40 ke sebelah tabung logam di atas bufet, lalu berjalan balik ke arah kamar mandi. Kamar mandi itu ada dalam kamar tidurku sendiri, namun aku tahu kalau tubuhku takmampu lagi mempersiapkan diri cepat-cepat. Kumaklumi bagaimana usia menggerus stamina. Kadang, sekitar jam lima, salah satu anakku akan mengetuk pintu. Mungkin, memastikan bahwa aku tidak mati, jadi kujawab, "Iya! Aku belum mati."
Lalu, aku meraih penyangga berkaki empat dari sisi tempat tidurku, bangkit, dan keluar dari kamar hanya untuk disambut wajah-wajah bodoh anak-anak itu.
"Tidakkah kalian lihat pintu kamar ini mengalangiku? Bantu aku menahannya. Berapa kali aku harus bilang? Kalian seperti ikan sapu-sapu yang diam sepanjang hari, macam pembantu ibu kalian dulu, otaknya beku sampai ada perintah. Mungkin, dia yang menyebabkan ibu kalian kehilangan kesabaran lalu mati. Bahkan, ikan sapu-sapu takseburuk itu."
Kurasa mereka tahu kalau aku hanya meracau karena pembantu istriku itu sudah lama mati, jauh sebelum istriku. Lalu, si C menahan pintu dan aku berjalan pelan, cukup cepat dalam perhitunganku. Aku tidak yakin anak-anakku bisa berjalan secepat itu ketika mereka seusiaku. Kebodohan akan menahan mereka dari bergerak dan menjadikan mereka lumpuh. Terlalu sering aku geleng-geleng kepala pada ulah mereka, sering juga pada apa yang tidak mereka lakukan karena tidak melakukan apa-apa adalah kebodohan juga.
Sungguh, aku tidak habis pikir, dari mana anak-anakku mendapatkan bakat menjadi bodoh dan pemalas. Kecuali malaikat telah mengirimkan paket berisi bayi yang keliru kepadaku, aku tidak bisa menduga alasan lainnya.
Aku kembali makan bubur dingin di atas sebuah meja makan panjang bersama kegaduhan yang sama.
Pagi itu, aku pergi ke toko terpal ditemani si B—anak laki-laki keduaku. Umurnya tidak jauh dari si A, hanya beda setahun, begitu pula kebodohannya. Hanya beda tipis, nyaris takbisa dibedakan. Anak-anak inilah yang membuatku berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin mati dengan tenang. Kalau begini caranya, aku bisa mati penasaran lalu arwahku gentayangan, padahal aku ingin bertemu istriku di neraka.
*
Tabung Logam.3
Pukul setengah delapan pagi, taklama setelah pintu toko terpal dibuka, pelanggan pertama datang—pelanggan lama, seorang pedagang pecel lele pinggir jalan yang membutuhkan terpal baru untuk menaungi tempatnya berdagang. Ia memesan sebuah terpal jingga berukuran empat kali dua setengah meter dengan lipatan selongsong di ujung-ujungnya untuk menyelipkan batang bambu di sana.
"Masih kerja saja, Pak. Tidak ingin istirahat di rumah saja?"
Kuangkat kaca mataku, untuk memandang mukanya. "Kalau kau hanya ingin menyindirku, lebih baik kau lunasi semua utangmu. Dengan bunga, jumlahnya ...," kusebutkan sebuah angka dan dia diam. "Ingat, kalau sampai bulan depan belum kau lunasi, aku bisa menyita gerobakmu."
Ia cuma mengangguk, lalu berdiri dan berbicara pada si C—anak laki-lakiku yang ketiga, pasti membicarakan aku. Mungkin, dia pikir berbicara pada anakku bisa menunda pelunasan utang. Aku tua, tapi aku tidak pikun. Aku bisa ingat semuanya. Aku ingat bagaimana dulu dia memohon-mohon padaku untuk meminjaminya uang setelah petugas ketertiban menyita gerobaknya. Dasar. Pemalas. Seharusnya, dia bekerja lebih keras agar utangnya bisa segera lunas. Terlalu banyak orang bodoh dan pemalas di dunia ini, dan mereka begitu cepat beranak-pinak. Pedagang pecel lele itu bukan satu-satunya yang meminjam uang padaku untuk kemudian pura-pura lupa.
"Terpal A2. Biru," teriakku. "4 kali 2,5 meter, pakai selongsong."
Aku kehabisan stok terpal warna jingga. Aku hanya bisa memberinya terpal termurah dan tertipis karena ia tidak akan mampu membayar yang lebih mahal dari itu.
Berjualan terpal sudah seperti ritual, juga kegiatan menghitung utang. Orang-orang itulah yang membuatku miskin, selain anak-anakku. Mereka meminjam uang dan bunga takmembuat mereka takut. Mereka selalu punya alasan menunda pembayaran. Setelah menghitung utang-utang, aku akan mulai memeriksa persediaan barang, kemudian menelepon suplier untuk mengantar barang-barang yang kurang atau habis. Semuanya kulakukan di meja, tanpa bergerak ke mana-mana. Ada satu meja di bagian tengah belakang toko tempatku bekerja, dari sanalah aku mengendalikan kemiskinanku, menjaga agar kemiskinan takmembunuhku. Itu meja yang sama dengan meja yang kududuki empat puluh delapan tahun lalu ketika memutuskan membuka toko terpal ini tanpa bantuan siapa-siapa.
Aku adalah pemaaf, waktu istriku takbersedia membantuku menjalankan usaha toko terpal, aku memakluminya.
"Suamiku, benarkah kau tidak keberatan kalau aku takbisa membantumu?"
"Tidak apa, Istriku."
Namun, istriku menunduk, "Kalau kau kecewa padaku dan ingin menceraikanku, lakukanlah. Anak-anak bisa ikut denganmu. Hidupku sudah tidak berharga untukmu."
"Jangan katakan itu. Kau adalah alasanku tetap hidup," jawabku sambil memegang kedua tangannya. "Hiduplah untukku."
Sialnya, malah dia yang duluan mati, dan aku tidak punya pilihan kecuali tetap hidup karena aku telanjur berjanji padanya. Aku laki-laki yang selalu menepati janji. Kulakukan semua pekerjaan. Dengan modal sebuah mesin jahit bekas, kubuka lagi toko terpal di lokasi bekas toko beras, meneruskan kembali sebuah perjalanan jauh, membesarkan lima anak yang kelak takberguna.
Waktu kubilang bahwa anak-anakku tidak berguna, aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku rasa tujuh puluh enam tahun hidup bisa memberiku cukup pengalaman untuk mengambil kesimpulan. Alasan paling sederhanaku adalah ketidakterandalan; mengandalkan anak-anakku untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan remeh ini akan membuatku bukan cuma kena serangan darah tinggi, melainkan juga serangan jantung. Pekerjaan mereka takpernah beres. Aku selalu harus membereskannya sendiri, bahkan, sebelum jam makan siang tiba.
Ritualnya selalu sama—maksudku, makan siang. Aku membuka kotak makanan yang disiapkan oleh si D, anak keempatku, perempuan. Isinya sayur bening bayam dan sepotong tahu goreng, kadang tempe atau telur. Pelan-pelan, kuaduk nasi di dalamnya, lalu kutuang kuah sayur di atasnya. Aku memicing. Mataku memang tua dan butuh kacamata, tapi aku tidak buta. Aku masih bisa melihat klip bekas staples di dalam tumpukan nasiku. Kuambil dan kusisihkan. Menyiapkan makanan saja bisa tidak becus.
Bodoh.
Mereka anak-anak bodoh dan aku tidak tahu konspirasi macam apa yang sudah terjadi hingga aku yang pintar dan istriku yang baik hati bisa melahirkan anak-anak yang kesulitan berpikir dan takmemikirkan bahwa klip staples berbahaya untuk pencernaan manusia. Kurasa, memang benar, malaikat yang bertugas membagikan bayi telah mengirimkan bayi keliru ke alamat yang salah akibat petunjuk denah yang kurang akurat. Anak-anakku seharusnya dilahirkan dalam rumah-rumah milik pasangan-pasangan bodoh yang lebih cocok sebagai orang tua mereka. Bukan rumahku. Bukan rahim istriku.
Aku menyimpulkan bahwa malaikat juga bisa melakukan kesalahan.
Bagaimanakah prosedur yang dilakukan malaikat maut untuk menentukan akan datang ke rumah siapa dengan benar? Aku sudah berpuluh tahun menderita darah tinggi, dan takmati juga. Kerabatku yang cuma bisa berbaring sambil bernapas terus saja bernapas karena memang hanya itulah keahlian yang masih ia kuasai (walau takterlalu baik juga). Tetanggaku yang sehat malah tiba-tiba mati. Atau, bayi yang baru lahir bisa saja tewas. Apa yang dilakukan oleh orang-orang mati sebelum mereka benar-benar mati sehingga malaikat maut begitu yakin untuk mencabut nyawa mereka tanpa menunda-nunda?
Selain bunuh diri, tentu saja. Aku sudah berjanji untuk tidak bunuh diri.
Apakah malaikat maut telah melakukan kekeliruan? Aku tidak mau dia keliru. Mungkin, aku harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya (semacam mengadakan sebuah acara presentasi) agar dia tidak keliru. Aku perlu mengundangnya datang, mengajak makan malam, lalu (dengan sedikit marah-marah) menjelaskan dan membujuknya agar segera mencabut nyawaku. Tentu saja, sebelumnya aku harus mendaftar perihal-perihal apa saja yang bisa memperkuat argumen bahwa mencabut nyawaku dalam tempo takterlalu lama adalah keputusan yang tepat bagi malaikat maut. Aku masih perlu sedikit waktu lagi untuk mempersiapkan diri; memperbaharui surat waris, memesan rumah kremasi, memberi tugas pada seseorang untuk menebarkan abuku, dan perihal lain-lain. Aku tidak mau harus bangun lagi dari peti mati hanya untuk membereskan kekacauan dalam upacara kematianku sendiri.
*
“Apakah saya boleh minta permen asam ini, Kek?"
Aku takmenjawab.
Stok terpal baru saja datang, diantar oleh mobil boks dari sebuah pabrik di Pinggir Kota, kemudian diturunkan di depan toko untuk ditimbang dan dihitung apakah jumlahnya sudah tepat seperti pesanan. Anakku, entah si A, si B, si C, si D, atau si E, yang akan melakukannya. Aku selalu menghitung ulang karena anak-anak bodoh itu kerap melakukan kesalahan. Berkali-kali. Seakan, pengalaman adalah guru cerewet yang takpantas didengarkan. Aku sudah tidak bisa marah lagi untuk hal ini, walau kekesalanku tidak pernah benar-benar hilang. Berikutnya, si pengantar akan menyodorkan sebuah kertas tanda terima yang harus aku tanda tangani sebagai bukti untuk bos-nya bahwa barang sudah diantarkan dengan benar.
Aku selalu bergidik tiap si pengantar yang tubuhnya seperti tentara itu mendekat ke arah meja tempatku bekerja. Ah, ini hanya karena aku harus membayar uang lagi, tegasku dalam hati. Sampai, si pengantar itu sudah berani kurang ajar meminta gula-gula asam yang stoplesnya terletak di atas mejaku. Aku memandang matanya sekilas, pura-pura takmendengar sambil memeriksa tanda terima dan membubuhkan tanda tangan di sana.
"Apakah saya boleh mengambil permen asam ini, Kek?" ia mengulang.
Aku diam, perasaanku taksudi memberikannya. Kulitnya yang legam terbakar matahari membuatku jijik, namun ia terus berdiri di sana, bahkan setelah ia menerima kertas tanda terima yang sudah kutandatangani. Ia memandang stoples seolah tengah bersiap untuk menelannya bulat-bulat secara sekaligus. Aku takpunya pilihan. Kuraih sebungkus gula-gula asam dari dalam stoples dan mendorong ke arahnya di atas meja.
"Ambil ... dan cepatlah pergi," ucapku tanpa memandang wajahnya lagi. Namun, aku taktahan, kupandang juga wajahnya, hingga aku bisa melihatnya sedang menyeringai sambil meraih bungkus gula-gula asam itu. Rasanya, aku ingin muntah.
Aku mengembuskan napas waktu mobil boks itu pergi.
Istriku, waktu itu, kamu sudi mengawiniku karena gula-gula asam itu, bukan? Aku masih ingat. Gadis itu sedang berjalan balik menuju toko beras milik ayahnya dengan wajah kecewa. Ia gagal membeli gula-gula asam. Matanya memandang lantai pasar yang basah oleh sisa sayur busuk.
Aku menyusul langkah gadis itu, kutepuk bahunya dari belakang dengan satu jari. Langsung, jariku yang menyentuhnya tersengat. Ia berbalik. Aku diam sebentar, menunduk. Sementara, (aku merasa) gadis itu sedang memandang bingung. Kejadian itu rasanya berlangsung lama sekali. Dengan cara yang tiba-tiba di matanya, kusodorkan sebungkus gula-gula asam. Kupikir ia akan terkejut, tapi ia tidak melakukannya. Ia hanya sedikit memiringkan kepala untuk memandang mataku, lalu aku tersadar bahwa aku tidak sanggup memandang matanya, hingga bungkusan gula-gula asam itu terjatuh dari jariku. Dadaku dipenuhi tikus pasar yang melonjak ke sana kemari.
"Kamu ...," gadis itu berkata. Aku berbalik, kemudian berlari meninggalkannya hingga tidak bisa mendengar kelanjutannya. Aku cuma terbirit-birit untuk kembali bersembunyi. Waktu sekilas aku menengok, kulihat gadis itu tengah memungut sebungkus gula-gula asam yang teronggok di lantai pasar.
Sejak itu, aku menghindar dari kegiatan mangkal di depan toko beras ayahnya. Aku merasa kalau wajahku perlu dihilangkan, dihapus dari pasar. Hal yang tidak mungkin dilakukan karena aku mencari makan di tempat ini, sudah punya beberapa pelanggan, termasuk seorang ibu berkerudung pemilik warung makan takjauh dari pasar. Aku selalu membantunya mengangkat beras, sayur, daging, ikan, dan sebagainya menggunakan keranjang bambu besar yang kusangga dengan kepala dan leherku, atau dengan sebuah alat pendorong yang dipinjamkan pemilik toko. Telur selalu dibawanya sendiri karena khawatir mereka akan pecah dalam tumpukan.
Aku malu. Aku malu pada gadis itu entah karena alasan apa. Aku ingin bersembunyi, mungkin, selamanya. Namun, sepandai-pandai tikus bersembunyi, ada saja kucing yang berhasil menemukannnya.
"Ah! Ternyata, kamu di sini, Nak?" serunya sambil membenarkan posisi kerudung tipis yang menutupi rambutnya. "Aku mencarimu ke mana-mana. Biasanya, kamu bisa kutemukan di depan toko beras. Kamu sekarang mangkal di sini?"
"Iya, Bu."
"Ayo, ikut aku. Aku harus mengambil beras dan barang belanjaan lain yang kutitipkan di sana," ujarnya sambil langsung berbalik. "Aku pikir kamu pindah dari pasar ini." Ia terus melangkah. "Seperti biasa, bantu aku mengantarnya sampai ke rumah." Ia berhenti sebentar, lalu menengok untuk menatapku yang berjalan di belakangnya, "Sampai rumah nanti, kamu makan dulu. Ada ikan bandeng bumbu kuning kesukaanmu. Ikan bandeng pembawa hoki, bukan?" Ia tersenyum dan berjalan mendahuluiku lagi.
Ia memang selalu memberiku makanan setiap kali habis mengantar belanjaan ke rumah sekaligus lokasi warung makannya. Selalu ada makanan yang tidak terjual pada hari sebelumnya, dan ia baik untuk memberikannya kepadaku. Aku ragu dan ingin menolak perintahnya, tapi aku tidak bisa. Sekarang, aku takmungkin menolak permintaannya karena kebaikan-kebaikan yang pernah diberikannya padaku. Siapa yang bisa menolak permintaan orang baik? Aku terus mengikuti gerak kakinya menuju toko beras di bagian depan pasar.
Toko itu sudah tampak. Dari jauh sudah bisa kulihat gadis itu berdiri dengan poni lurusnya. Tangannya memegang buku, dan tangan lainnya menggenggam pena yang ia gunakan untuk menunjuk-nunjuk tumpukan karung beras. Aku melangkah masuk dengan cara menunduk, namun gadis itu melihatku. Aku terus menunduk, dan gadis itu juga terus melihatku. Waktu ia mendekatiku, rasanya ingin kulemparkan karung beras itu ke mana saja, lalu kabur dari sini. Sayang, karung beras itu terlalu berat, dan gadis itu sudah berdiri di sebelahku.
"Terima kasih untuk gula-gula asamnya," ia berkata.
Aku mengangguk sambil berdiri dan menyorong beras dengan sebuah pendorong beroda. Lalu, aku tahu kalau aku selalu ingin menikahi seorang gadis yang bangun paling pagi.
***
Tabung Logam.4
Waktu yang kubutuhkan cukup lama untuk sekadar melihat gadis itu hadir di pasar, lebih lama lagi jika aku menghitung bagaimana aku bisa mengenalnya, benar-benar lama untuk bisa menikahinya, dan terasa selamanya ketika kematian telah sukses merenggutnya dari hidupku. Waktu bukanlah makhluk yang disiplin. Ia meregang dan memuai sesuka-sukanya—sebebas-bebasnya. Waktu adalah penjara dan aku narapidana takberdaya yang dibelenggu di dalamnya. Cerita ini bisa memampatkannya, namun waktu takberjalan seperti cerita yang bisa dan boleh melompat semau-maunya. Waktu berjalan seperti serigala yang sendirian, merangkak, merayap, berlari. Meninggalkan.
Aku diam. Aku ingat kalau aku diam di hadapan altar besar dengan sebuah meja kayu kecil setinggi dada. Aku berlutut, dua sikuku bertelekan meja itu. Gadis itu juga berlutut di sampingku ketika laki-laki berjubah itu mendekati kami. Kurasakan gadis itu melirik ke arahku, dan aku hanya memandangi kepalan tanganku. Dadaku terasa terlalu luas hingga entah di kali ke berapa aku berusaha memenuhinya dengan udara, ia tidak pernah penuh juga. Aku menyerah, kubiarkan hidupku berpindah.
Laki-laki berjubah itu berkata, “Supaya menjadi nyata akan maksud hatimu, maka mempelai dipersilakan untuk mengucapkan janji.
Aku diam. Kudengar dia berdeham. Aku bertahan diam.
“Egh ... kamu.”
“Saya?” tanyaku balik.
Laki-laki berjubah itu tersenyum lalu berkata, “Siapa lagi?”
Lalu, hadirin yang cuma segelintir orang itu terkikik. Kutarik napasku sambil memandang kertas yang ada di hadapanku—hurufnya terasa berlompat-lompatan dan butuh beberapa waktu untuk membuat mereka bersedia duduk tenang. Kurasa, pada detik itu aku kembali buta huruf. Tolong aku. Apa pun, tolong aku. Ajari aku membaca. Sekilas, kuangkat kepalaku dan tampaklah sebuah altar besar berdiri megah di hadapanku—seperti terbit dari bulu mata. Ia memandangku. Sekejap, kupandang matanya. Sayu. Aku menunduk sebentar lagi.
Aku takmengenal Tuhan yang sekarang menatapku dari atas sana, dan aku meragukan jika ia mengenalku juga. Kulirik gadis yang kini berlutut di sampingku, juga laki-laki berjubah yang memberi petunjuk tentang bagaimana janji-janji seharusnya dirapalkan. Aku berjanji pada diriku sendiri karena aku laki-laki yang menepati janji. Namun, kematian bisa memaksa gadis itu mengingkari janjinya.
Salah siapa?
Kuembuskan napasku sambil mencerna kata-kata sebisa-bisanya, “Saya mengambil engkau menjadi suamiku—“
“Istri.”
“Saya mengambil engkau menjadi suamiku—“
“Istri,” potong laki-laki berjubah itu. “Saya mengambil engkau menjadi istriku.”
Aku diam.
“Saya ... mengambil ... engkau menjadi ... istriku,” ruangan terasa sunyi dan pampat, “untuk saling memiliki dan menjaga ..., dari sekarang sampai selama-lamanya ... waktu susah maupun senang, waktu berkelimpahan maupun kekurangan, waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut ... sampai maut ... memisahkan kita. Saya ... akan memelihara engkau dengan penuh kasih sayang, seperti yang saya wajib perbuat kepada Tuhan, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Aku tidak mengenal Tuhan, namun kuharap Tuhan bersedia mengenalkan diri padaku. Kulirik lagi gadis itu. Ia sedang menunduk.
“Apakah kau bersedia mengucapkan janji yang sama?” tanya laki-laki berjubah pada gadis itu.
“Saya bersedia,” gadis itu menjawab sambil mengangkat kepalanya. ”Saya mengambil engkau menjadi suamiku untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya; waktu susah maupun senang, waktu berkelimpahan maupun kekurangan, waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita. Bahwa, saya akan memelihara engkau dengan penuh kasih sayang, seperti yang saya wajib perbuat kepada Tuhan, dan inilah janji setiaku yang tulus.”
Kemudian, aku masih diam, sampai gadis itu menarikku berdiri. Lututku terasa kehabisan tenaga, namun aku bahagia karena mungkin memang diperlukan tenaga sebesar itu untuk jadi bahagia.
“Selamat,” ucap laki-laki berjubah itu. “Apa yang dipersatukan Tuhan takbisa dipisahkan manusia.”
Aku sempat takmemercayai ucapan itu, tapi sekarang memercayainya karena, mungkin, itulah alasan Tuhan menciptakan kematian dan menyelundupkannya ke dalam hidup manusia. Manusia memang bisa saja tidak mampu memisahkannya, tapi kematian bisa. Kematian memastikan bahwa pernikahan adalah janji yang pasti diingkari. Kuanggap semua itu salahnya. Adalah kesalahannya telah membuatku jatuh cinta dan memberikan janjiku padanya.
Kemudian, tubuh tuaku tiba di hari ini dalam keadaan sendirian, cuma berteman tabung logam di atas bufet yang sudah kuanggap sebagai altar pemujaan. Dari sana, aku memulai perjalanan yang kuanggap akan segera tiba di akhirnya. Sayang, aku tidak tahu bagaimana cara untuk segera mengakhirinya. Kematian masih terus memperpanjang hidupku sehari. Sehari. Sehari. Sehari. Malaikat maut juga telah berkhianat padaku.
Pelan, selewat jam enam pagi, aku keluar kamar untuk sarapan dan kemudian meraih kotak makanan yang berisi nasi, sayur bayam, dan sepotong gorengan. Makanan takbergizi yang secara mengherankan mampu membuatku takmati-mati.
***
Gadis itu pandai memasak. Ia bisa memasak apa saja karena ibunya mengajari, mulai dari tumis sayuran dengan minyak wijen, kuotie, bakmi, dan sebagainya. Tapi, jangan pernah menyuruhnya menjahit. Ia memiliki keahlian untuk dengan segera mengubah celana panjang jadi gorden jendela (setelah membuat jarum melukai ujung-ujung jarinya yang mungil). Tapi, bukan itu penyebab ia tidak mau bekerja di toko terpal yang selalu penuh dengan kegiatan penjahitan. Ada alasan lainnya. Lagipula, menjahit terpal tidak menggunakan tangan, melainkan mesin jahit besar yang bunyinya ramai. Lain lagi dengan terpal plastik. Terpal plastik tidak dijahit, melainkan disambung menggunakan sejenis alat pemanas (macam setrika). Tentu saja, alat-alat itu masih perlu dipegang tangan. Jadi, waktu kubilang: Menjahit terpal tidak menggunakan tangan; bukan berarti menjahit terpal menggunakan kaki atau mulut (walau kadang, keduanya masih diperlukan dalam kegiatan menjahit). Tangan tetap diperlukan untuk mengoperasikan mesin jahit. Yang pasti, menjahit adalah kegiatan yang menggunakan otak, bukan pekerjaan yang bisa diajarkan pada manusia yang memiliki kecerdasan setara ikan sapu-sapu yang makan lumut di dasar sungai. Anakku pernah gagal melakukannya; pertimbangan lain mengapa aku tidak menyukai ikan sapu-sapu dan meragukan kalau aku bisa mati dengan tenang. Istriku bisa kecewa di neraka karena anak-anak itu akan membuat usaha terpalku bangkrut dan tutup seperti toko beras itu.
Mungkin, istriku itu kecewa karena setelah ayahnya mati, toko beras itu terpaksa ditutup. Aku tidak menyukai raut kecewa di wajahnya walau ia tidak pernah mengatakannya. Tapi, aku selalu tahu tentang kekecewaan yang takpernah dikatakannya, termasuk ketika ia kembali tidak mendapatkan gula-gula asam yang selalu dibelinya setiap tengah hari, sebelum ia makan siang. Kusodorkan satu bungkus gula-gula asam yang sebelumnya kusimpan dalam kantong celana.
Ia menatap mataku, "Kamu punya, Kak?"
"Aku ... juga menyukainya,” jawabku sambil menatap lantai.
"Dan, Kakak memberikannya padaku?
Aku mengangguk, dan dia menerima tanpa menyimpannya, cuma dipegang sambil memain-mainkannya dengan jari.
"Sudah dua kali Kakak memberiku gula-gula asam," ia berujar. "Sekarang, toko itu selalu kehabisan gula-gula asam setiap kali aku mau membelinya. Mungkin, semua orang menyukainya, ya."
Rasanya, aku ingin menjawab: Iya, semua orang menyukainya; tapi aku cuma diam, dan gadis itu bertanya lagi, "Di mana kamu tinggal, Kak?" Ia memandangku, menunggu jawaban yang susah sekali keluarnya.
"Aku ... aku tinggal di dekat sini."
"Di utara pasar? Atau, selatan?"
"Kurang lebih ... di tengahnya."
"Tengah?"
"Tengah."
"Tapi ... pertengahan antara utara dan selatan pasar adalah ... pasar."
"Iya," aku menunduk. "Aku ... tinggal di pasar ini."
Kupikir gadis itu akan mengernyit, tapi tidak. Ia tersenyum lebar, "Betapa menyenangkannya. Kakak bisa tinggal di tempat seluas ini. Bebas. Seperti kelomang."
"Kelomang?"
"Kelomang bebas untuk mengganti-ganti rumahnya. Kau tahu, Kak?"
Aku menggeleng, lalu mencoba tersenyum (tapi gagal karena aku tidak terlalu ahli tersenyum). Ia masih tersenyum, dan kusadari bahwa gadis itu tidak tersenyum hanya jika sedang bekerja, dan ia lebih memahami kelomang, namun aku tahu: Ketika manusia memiliki kebebasan absolut, bisa jadi, sesungguhnya ia merindukan ikatan. Manusia butuh pulang, dan manusia tidak bisa pulang kepada kebebasan. Manusia pulang kepada ikatan. Walau, bisa saja mereka tidak sadar telah melakukannya.
"Kita bisa membagi dua gula-gula asam ini," ujar gadis itu sambil membuka bungkusannya dan menyodorkan sebagian kepadaku. Aku menerimanya, dan gadis itu tersenyum lalu bergerak menjauh, berjalan memasuki toko beras, tempat ayahnya sudah menunggu. Sementara itu, aku merasa ingin pulang.
***
Pasar ini sudah banyak berubah, pula aku. Toko beras itu sekarang sudah tidak akan dibuka lagi—mati. Begitupun ayah dan ibu dari istriku, mereka meninggal sudah sejak lama. Abunya dibiarkan pergi di bibir pantai tersembunyi, dekat sebuah tempat yang banyak pohon bakaunya. Ibunya lebih dulu, dan abu ayahnya menyusul empat tahun kemudian di tempat yang sama. Lalu, mereka tumbuh di sana. Sebagai pohon. Itu sebabnya, dulu, waktu anak-anakku masih kecil, aku dan istriku sekali-sekali datang ke sana untuk membayangkan bahwa ranting-ranting bakau adalah jari-jari yang menjulur, dan angin adalah sentuhan yang membelah rambut, menyusur kulit kepala dengan lembut. Awalnya, istriku selalu menolak.
"Suamiku ..., aku lebih suka diam di rumah saja."
Tapi, aku tahu kalau ia membutuhkan udara segar, "Kamu ... sudah terlalu lama di dalam rumah. Lagipula, anak-anak butuh jalan-jalan."
Lalu, kita berangkat bersama anak-anak dengan sedikit perasaan bersalah bersembunyi dalam pikiranku karena telah memaksamu. Aku tahu kalau kamu sekarang tidak suka keramaian. Itu sebabnya kupilihkan pantai tersembunyi ini untukmu. Tempat kita bisa bermain-main. Anak kita masih lucu, menjadi kompensasi bagi masa sebelumnya yang tidak terlalu lucu.
Lebih tidak lucu lagi waktu aku mencoba menyanyikan lagu Di Bawah Sinar Bulan Purnama pada siang bolong cuma untuk menghiburmu. Kamu sudah kehilangan keahlianmu tertawa. Atau, tersenyum. Tapi, kamu bisa mendengarkan debur ombak mengalir. Dan, tawa anak-anak kita.
Si A berumur delapan tahun, si B tujuh tahun, dan si C enam. Kita tidak punya terlalu banyak uang, sebagaimana memang kita selalu begitu. Tapi, pergi ke pantai tersembunyi tidak membutuhkan banyak uang. Kita membawa bekal dari rumah. Nasi kepal dengan lauk ikan kering, teh manis, dan buah pepaya yang kita beli murah dari pedagang yang khawatir dagangannya membusuk. Aku tidak membawa gula-gula asam kesukaan istriku, karena seiring waktu, ia membencinya.
Anak-anak kecil itu ingin turun ke pantai. Aku melarang mereka melakukannya karena masih banyak buaya yang gemar menyantap anak-anak. Aku membenci buaya. Aku membenci pemanas air tenaga surya. Mungkin, aku membenci semuanya. Tapi, aku paling membenci kebodohan; dan pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak boleh membenci adalah sama bodohnya dengan pendapat yang bilang kalau manusia harus selalu mencinta. Manusia berubah, dari satu sisi ke sisi lainnya. Bertabrakan. Manusia bergerak karena benturan, sebagaimana semua benda di semesta yang akan tetap diam sampai sesuatu membenturnya, mendorongnya, membuatnya meluncur lurus tanpa henti sampai sesuatu melawannya, menghentikannya, atau membelokkan lagi arahnya. Benci dan cinta adalah kekuatan yang menggerakkan manusia. Aku membenci masa lalu untuk segala benturan yang pernah diberikan padaku, namun aku juga mencintai benturan (yang sama) yang telah membuatku selalu bersama istriku. Sampai, ia hilang. Aku kembali membenci. Pendulum ini bergerak, ke kanan dan ke kiri. Aku hanya mengikuti.
*
Aku tahu, ada orang yang tidak menyarankan untuk mandi malam hari, namun pemanas air ini masih sudi bekerja. Sore itu aku pulang dari toko terpal lalu mandi dengan perasaan tidak nyaman akibat rasa penasaran. Bagaimana mengundang kematian datang tanpa melakukan bunuh diri? Kupikir, aku sudah menemukan jawaban. Aku ingin bertemu malaikat maut. Situasi yang terjadi selama belasan tahun terakhir ini terasa berat tanpa kehadiran istriku, dan aku sudah bosan. Aku mau mati secepatnya.
Istriku, kenapa kau terlalu cepat mati? Aku tahu kalau dunia ini neraka buatmu, tapi paling tidak, ada aku yang membutuhkanmu untuk menemaniku hidup di neraka ini. Aku membencimu sekarang, karena kamu menang. Kamu sudah bahagia di neraka sementara aku masih harus menghabiskan sisa waktu bersama lima anak dungu dan anak-anak keturunan mereka. Aku harus meyakinkan malaikat maut kalau aku memang benar-benar berniat bulat untuk mati.
Aku perlu merencanakan sebuah makan malam kematian—makan malam terakhir sebelum mati. Semoga, malaikat maut sudi untuk mengubah pikirannya dari terus menerus memperpanjang umurku. Aku butuh sebuah undangan yang sopan, elegan, dan bermartabat. Baiklah, malam ini, aku juga masih butuh makan, dan bukan makan malam terakhir. Kugerakkan tubuhku menuju sisi tempat tidur. Dengan bantuan penyangga berkaki empat, aku tertatih menuju pintu. Sejenak. Berhenti. Berpikir.
Ini harus terlaksana secepatnya.
Aku mengangguk dan berkata pada istriku: Ini memang harus terlaksana secepatnya. Tunggu aku di neraka, Sayangku. Semoga sisa waktuku tinggal sedikit lagi.
Tunggu aku.
Kamu janji?
Tunggu aku.
Kemudian, aku tertidur tanpa mimpi-mimpi karena—untuk orang setua aku—mimpi sudah takberfaedah sebagai hiburan. Jam empat pagi. Aku kembali bangun dengan kesadaran bahwa aku telah secara tidak sengaja tertidur bersama tabung logam. Kukembalikan tabung logam ke atas bufet untuk kemudian mandi sambil mengetes derit pintu. Hingga, pada pukul lima terdengar ketukan, dan tentu saja aku menjawabnya.
“Iya! Aku belum mati!”
***
Kamar Kosong
Terdapat banyak kesalahpahaman tentang orang-orang uzur sepertiku. Walau, kesalahpahaman itu bisa saja menguntungkan. Aku tidak menyangkal bahwa terjadi penurunan kemampuan dalam berbagai aspek, tapi tidak berarti menjadi tua sama seperti mendadak buta, mendadak tuli, mendadak pikun, dan yang paling keliru adalah tuduhan bahwa penuaan bisa menimbulkan kebodohan. Aku mulai berpikir bahwa kebodohan adalah kuman yang menyusup ke dalam tubuh, dan tidak terkait usia. Berapapun usia seseorang, begitu kuman kebodohan menyusup, Bum! Manusia jadi bodoh (tanpa mereka sadari). Dan, itulah yang terjadi.
Aku mendengar, melihat, dan memikirkan apa yang aku dengar dan lihat menggunakan otakku yang tidak pikun. Aku mendengar dan melihat anak-anakku merencanakan untuk menjual tanah dan rumah ini, dan mereka melakukannya dalam rumahku sendiri, seakan aku tuli, buta, pikun, dan bodoh. Bagaimana mungkin mereka bisa terpikir menjual tanah dan rumah yang bukan milik mereka sendiri? Semuanya masih milikku. Aku belum mati, dan mereka meremehkanku.
"Kalian terpikir untuk menjual tanah dan rumah ini?" ucapku dengan tiba-tiba, sesaat setelah aku menguping pembicaraan mereka dari balik pintu dapur.
Mereka berpandang-pandangan, entah karena merasa bersalah atau menyesal akibat telanjur ketahuan.
"Bukan begitu, Ayah," ucap E.
"Lalu, seperti apa yang begini?"
D melanjutkan dengan kecepatan bicara yang diperlambat, "Ayah. Sudah. Tua."
"Aku tidak punya alasan untuk menyatakan bahwa diriku masih muda. Pun, aku tidak punya keinginan untuk itu. Pada nyatanya, kita semua menua."
“Kalau rumah ini dijual, kita bisa membeli dua atau tiga rumah di pinggir kota. Ayah bisa beristirahat di sana. Kami yang akan mengurus toko.”
“Aku tidak butuh beristirahat.”
"Tapi ...," C diam sebentar, "Kami butuh uang."
"Kami? Kalian semua?"
"Kami semua."
"Aku harus menjahit seragam sekolah untuk anakku, Ayah," ucap si E. "Aku butuh uang."
Kebodohan macam apalagi ini? Menjual tanah untuk menjahit seragam sekolah (yang kelak hanya menghasilkan anak-anak dengan kerusakan otak permanen)? Aku bahkan tidak bersemangat dengan ide bahwa sekolah bisa memintarkan anak-anak. Manusia bisa memintarkan dirinya sendiri, entah mereka sekolah atau tidak. Anak-anak lebih butuh buku dibanding sekolah. Jadi, kalau sekolah gagal membuat anak-anak itu membaca, tidak ada hasil lain yang bisa diprediksi kecuali kesia-siaan yang nyata. Dan, nyatanya, cucu-cucuku lebih ahli mencari-cari kesalahan orang tua mereka dibanding menemukan kekeliruan penggunaan ajektifa dalam kalimat. Aku meragukan kalau mereka tahu apa itu adverbia.
"Uang bukanlah permainan orang bodoh. Sebesar apa pun uang yang dimiliki orang bodoh, cuma akan menghilang seperti air mengalir dalam comberan," desisku. "Dan, percayalah. Uang takkan pernah mengalir dalam comberan."
Paling tidak, itulah salah satu pelajaran hidup paling penting yang bisa kudapat setelah berpuluh tahun berkutat dengan pasar ini. Cuma limbah, dan kebusukan yang bisa mengalir dalam comberan. Carilah sesuatu di tempat yang tepat, atau siapapun takkan pernah menemukan apa-apa kecuali kebodohannya sendiri.
Namun, aku juga sadar bahwa uang bisa saja berada dekat dengan comberan sehingga aku (merasa perlu untuk) tetap membuka toko terpalku tujuh hari dalam seminggu, termasuk hari Selasa. Dan, sekarang hari Jumat. Sering, toko terpal menjadi lebih ramai pengunjung di akhir pekan karena banyak orang-orang kantoran yang ingin membeli tenda atau sekadar atap plastik penghalang hujan. Perdagangan makanan sedang jadi tren sekarang, dan karyawan-karyawan kantoran itu ingin ikut bermain peruntungan. Aku harus berterima kasih pada para motivator yang gemar berkoar-koar tentang kebebasan finansial dengan jargon kalau-bisa-sukses-usia-muda-kenapa-harus-menunggu-tua. Juga, aku bersyukur atas kealpaan mereka menyebutkan bahwa 80% orang yang membuka usaha makanan berakhir bangkrut bahkan sebelum menginjak bulan ketiga.
"Saya bisa pesan spanduk sablon sama Kokoh juga?" tanya seorang laki-laki muda ditemani oleh calon istrinya. Mereka ingin membantu memasyarakatkan konsumsi MSG berlebihan dengan cara menjual mi instan (yang ternyata belum terlalu instan, karena masih ada orang—semacam anak muda ini—yang ingin mendapat keuntungan dengan menjual mi instan dengan cara lebih instan).
Aku menggeleng (sebenarnya dengan sedikit perasaan heran karena ia memanggilku kokoh), kemudian menambahkan, "Kalau ingin membuat spanduk, kalian bisa ke toko di ujung pasar. Tapi, harus segera. Hari Jumat mereka tutup lebih cepat. Dan, Sabtu-Minggu mereka tidak buka."
Mereka pemalas, lanjutku dalam hati. Sementara, laki-laki itu terus saja bercerita tentang visi-misi hidupnya, bahwa ia ingin membuka usaha kecil-kecilan karena yang besar selalu berasal dari kecil, dan kelak, ia ingin membuatnya jadi usaha waralaba. Aku cuma mengangguk-angguk sebab takmemahami waralaba sambil kembali terpikir untuk mengucapkan terima kasih kepada para motivator. Kulihat mata calon istrinya yang berbinar-binar waktu mendengarkan cerita laki-laki yang kukira lebih mirip sedang berusaha membuat perempuan itu kagum dibanding sedang bercerita padaku.
"Hidup selalu butuh visi-misi," ujarnya berapi-api. "Dengan visi yang jelas, kita bisa memanfaatkan law of attraction dan konspirasi semesta."
Semesta. Rumit sekali caranya membuat seorang perempuan jatuh cinta, pikirku. Tapi, aku menyetujuinya karena ia sudah membeli terpal dariku. Kulihat tangan pasangan itu terus saling menggenggam. Memang, hari Jumat membawa keberuntungan.
"Terpal A5. Oranye," aku berteriak pada salah satu anakku. "Pakai selongsong." Kemudian, aku beralih lagi pada mereka berdua, menyerahkan tanda terima sambil menambahkan, "Tiga hari lagi sudah bisa diambil. Semoga kalian beruntung."
Ada satu hari Jumat di pertengahan tahun 1960 yang kukira akan jadi hari sial, namun kesialan bisa berbalik jadi keberuntungan. Aku tidak ingat bahwa aku pernah menerima keberuntungan lebih dari hari itu. Aku mengira, sebagaimana biasa, Ibu berkerudung akan menyewa tenagaku pada hari Jumat. Ia selalu berbelanja pada hari itu selain Senin dan Rabu. Mungkin karena warungnya hanya buka sampai Sabtu.
Jumat itu, dia tidak datang-datang. Sudah jam 10 pagi, dan aku sudah menolak beberapa tawaran mengangkut barang. Apakah hari ini dia tidak berdagang? Mengapa ia tidak pergi berbelanja? Aku ingin menerima tawaran seorang laki-laki yang berbelanja beras, namun aku khawatir ibu itu datang dan aku malah sedang melayani orang lain. Jadi, kutolak saja tawaran itu. Hampir jam 11 siang, dan aku belum melihat kain kerudungnya. Ia tidak datang juga. Apakah ia sakit? Pasar mulai sepi, dan para pembelanja sudah menggunakan jasa tukang angkut lain. Aku mulai merasa agak marah kepada kebodohanku. Tidak mengangkut belanjaan siapapun membuatku tidak punya uang untuk makan hari ini. Mengapa aku harus berharap pada harapan kosong? Hari makin siang dan aku lapar. Mungkin, aku harus ke rumahnya untuk meminta makan. Bagaimanapun, secara tidak langsung, ini adalah kesalahannya. Kebiasaannya telah menimbulkan harapanku, dan dia dengan seenaknya mengubah kebiasaan. Sekaligus, aku ingin bertanya, apakah ia sudah membuat jadwal belanja yang baru.
Dengan perut lapar, aku berjalan ke rumahnya sambil berharap ia tidak menganggapku kurang ajar karena datang begitu saja untuk meminta makan. Aku jadi menyesal telah menghabiskan uang untuk membeli barang yang tidak bisa kupastikan manfaatnya. Ya, sudah. Percuma juga menyesal. Aku sampai di depan rumahnya. Ia tidak terlihat dan warungnya juga tidak buka. Begitu pun pintu rumahnya yang langsung menempel ke badan jalan. Apakah ia sedang pergi ke suatu tempat lain? Kuintip jendela yang tertutup tirai, dari celahnya bisa kulihat dua anaknya—umur empat dan dua tahun—sedang menangis. Tidak terlalu jelas apa yang terjadi di dalam. Kuketuk-ketuk pintu rumahnya. Gadis empat tahun itu menengok, dan berlari ke arah pintu, menggoyang-goyangkan gagang pintu sambil terus menangis. Mengapa ia tidak membukanya? Aku mengintip lagi dan dalam kesempatan kedua ini baru aku memperhatikan bahwa ada kaki terbujur di lantai.
"Buka pintunya, Dik!" Anak itu cuma menggoyang-goyangkan gagang pintu. "Mundur! Mundur!" Aku berteriak dari luar. Aku tidak tahu apakah anak itu sudah mundur atau belum waktu dengan sekuat tenaga kutabrakkan tubuh ke pintu. Dua kali menabrak, pintu itu masih bergeming di tempatnya. Kali ketiga, aku sudah panik luar biasa dan dalam sekali tabrak pintu melangah begitu saja. Langsung, kulihat tubuh ibu berkerudung itu tergeletak di lantai. Kuangkat kepalanya dan tampaklah wajahnya yang tidak tampak seperti tidur walau memejam. Aku mencoba menepuk-nepuk wajahnya tapi ia tetap tidak bergerak. Tidak ada pilihan, kubopong tubuhnya. Aku tidak tahu apakah dia masih bernapas atau tidak.
"Dik, jangan ke mana-mana," aku berpesan sebelum berlari keluar sembari membawa tubuh ibu berkerudung dengan dua tanganku. Pekerjaanku sebagai kuli panggul membuat badannya terasa ringan. Aku tidak tahu harus membawanya ke mana, namun tepat di depan rumah, kulihat tetangganya, sepertinya baru pulang dari masjid. Langsung, aku berteriak ke arahnya.
"Bapak! Ibu ini pingsan! (Padahal, aku tidak tahu apakah ia pingsan atau mati). Rumah sakit! Rumah sakit!" Bapak itu malah tampak kebingungan. "Motor! Motor! Keluarkan motornya!" Bapak itu baru tersadar dan segera berlari ke dalam rumahnya, tergopoh-gopoh keluar sambil membawa kunci, lalu bergegas mendorong sepeda motornya. Bersama-sama bapak itu, aku membonceng untuk membawa Ibu berkerudung ke rumah sakit.
"Hati-hati, Pak!" aku berteriak karena sulit sekali berboncengan bertiga dengan salah satu orang dalam keadaan tidak sadar. Toh, kami sampai di rumah sakit dalam keadaan masih bernyawa.
Di rumah sakit, seorang dokter muda berkata, "Untunglah ia segera dibawa kemari, kalau tidak ...."
Dan, aku kembali ke pasar masih dalam keadaan lapar—batal memikirkan ikan bandeng berkuah kuning. Tetangga ibu berkerudung pemilik warung mengantarku kembali.
“Kamu bekerja di sini, Dik?” laki-laki itu bertanya waktu aku turun dari sepeda motornya. Aku mengangguk. Ia bertanya lagi, “Kerja di sini?”
“Iya, Pak.”
“Di toko mana?”
“Saya ... kuli panggul.”
“Oh,” ia mengangguk-angguk. “Terima kasih sudah menolong ibu itu.”
Aku heran mengapa ia harus berterima kasih karena ada perihal yang lebih penting untuk dipikirkan, jadi aku bertanya, “Anak-anaknya?”
“Anak-anak siapa?”
“Ibu itu punya dua anak di rumahnya.”
“Oh. Saya yang akan mengurusnya.”
“Terima kasih, Pak,” dan aku bingung mengapa aku harus mengucapkan terima kasih padanya.
Ia tersenyum, menyalakan sepeda motornya, dan melaju pergi. Pasar sudah benar-benar sepi. Yang terlihat hanya pemilik-pemilik toko yang sedang menyusun papan-papan kayu bernomor urut di depan kios masing-masing, termasuk gadis itu dan ayahnya. Aku cuma terduduk lemas takjauh dari sana, menatap pasar yang makin lama makin sepi. Belum lama aku merebahkan tubuhku di bangku panjang, kudengar suara gadis itu dekat sekali. Aku langsung melonjak. Duduk.
Gadis itu bertanya, "Aku tidak melihatmu seharian. Kakak ke mana?"
"Aku ... tidak bekerja hari ini."
Gadis itu diam sebentar.
"Toko itu kembali kehabisan gula-gula asam.”
"Aku ...."
Aku meraba pelan kantong celanaku, ada satu bungkus di sana. Rasanya ingin kuberikan, namun kubatalkan. Tidak kuselesaikan ucapanku karena gadis itu menatap wajahku seakan menyelidiki apakah bola mataku masih ada di sana. Lalu, bertanya, "Kau ... sudah makan?
Aku mengangguk.
“Jangan berbohong. Kakak pernah bilang, kalau tidak kerja, Kakak tidak makan.
Aku menggeleng sambil menyesal karena pernah mengatakan perihal itu dan diam akibat kegagalan usahaku untuk menyelamatkan perut dan mukaku.
"Benarkah? Kalau belum—"
"Benar. Aku ... sudah makan."
Gadis itu sepertinya tidak percaya, tapi ia tetap mengangguk lalu pergi. Malam itu aku menyesal karena hampir tidur dalam keadaan kelaparan, dan terpaksa mengorek tempat sampah untuk memilih sisa sayuran dan buah-buahan. Harga diri kadang harus dijual kelewat murah. Aku membatalkan penyesalanku.
Semua memang punya harga.
***
Kamar Kosong.2
Ada beberapa jenis terpal dengan kualitas dan harga berbeda yang bisa ditawarkan pada pelanggan, tergantung kebutuhan, keinginan, dan tentu saja, banyaknya uang yang mereka miliki. Kadang, banyaknya uang bukan masalah karena ada sistem kredit (sebuah kata yang lebih manis dari utang, meski sama saja). Kredit pasti berbunga. Dan, kredit adalah sarana bagus untuk orang-orang yang punya keinginan melebihi uang yang dimiliki. Sering, orang-orang macam itu tidak tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan namun menginginkan apa saja, dan itulah yang membuat mereka miskin. Namun, berbisnis dengan orang miskin sering kali bisa menghasilkan uang banyak, dan bisa sangat menyenangkan.
Sayangnya, aku melakukan kesalahan yang sama seperti orang-orang miskin itu. Aku tidak butuh memberi makan anak-anakku itu, tapi terus saja kulakukan. Itu sebabnya aku miskin.
"Ini terpal terpaulin kualitas A, Cina punya. Jauh lebih kuat dari terpal plastik biasa," ujarku pada seorang pelanggan yang baru datang untuk memesan penutup untuk mobil bak miliknya. Ia adalah seorang pemilik usaha pengantar barang-barang. Ia bercerita bahwa sebelumnya ia hanya seorang sopir, dan sekarang sudah memiliki tiga mobil bak yang semuanya disewakan.
"Mata kucingnya dipasang dengan jarak setiap dua puluh senti," ia mengingatkan.
Kupandang wajahnya dengan perasaan penuh penyesalan sambil mengangguk-angguk.
Aku ingin anak-anakku memiliki toko mereka sendiri, sebagaimana dulu aku membangun toko terpal ini di suatu tempat lain sebelum memindahkannya ke lokasi toko beras yang sudah tutup. Bangunlah toko lain, di luar kota kalau perlu. Atau, paling tidak, mereka harusnya membantu membesarkan usaha ini. Tapi, mereka memilih untuk tidak melakukannya, dan malah menggantungkan urat leher mereka di sini, seakan tidak menyadari bahwa kaum minoritas bisa terusir kapan saja. Harusnya mereka bersyukur karena tidak perlu menjadi kuli panggul di pasar, mereka bisa belajar lebih cepat untuk mengelola toko dibanding aku dulu, dan membuka toko sendiri. Sayangnya, mereka memilih diam di sini, seakan tempat ini aman selamanya. Apakah mereka lupa kalau toko ini pernah nyaris hancur takbersisa?
*
Aku ingat kejadian 19 tahun lalu—waktu diam tanpa suara bisa dijadikan senjata, dan kata-kata dapat melakukan aksi pembunuhan. Menutup mulut menjadi cara untuk bertahan hidup. Termasuk di masa yang jauh sebelumnya—57 tahun sebelum hari ini. Aku diam saja waktu perutku kelaparan karena hanya memakan buah dan sayur dari tong sampah. Sayur dan buah—apalagi yang berasal dari tong sampah—sulit untuk membuat perut kenyang, walau bisa dipakai untuk menahan lapar. Aku cuma punya beberapa bungkus gula-gula asam yang kusimpan dalam tas kain—kutitipkan pada penjaga kamar mandi umum di pasar selama aku bekerja. Makan gula-gula asam dalam keadaan lapar hanya akan memicu asam lambung, padahal uangku terlanjur habis untuk membeli gula-gula asam yang takbisa kumakan juga. Tapi, paling tidak, sisa buah dan sayur masih membuatku mampu terbangun esok harinya untuk bekerja sebisanya meski dengan tubuh dalam keadaan lemas. Siang hari itu aku bisa makan sesuatu yang tidak berasal dari tong sampah. Dan, sorenya, gadis itu menyapaku waktu aku sedang duduk di kursi panjang, sebelum ia pulang.
"Kudengar kalau kau menyelamatkan ibu pedagang warung makan, Kak?" gadis itu bertanya.
"Aku ... tidak sengaja."
"Aku mendengarnya dari penjual toko kelontong yang selalu kehabisan gula-gula asam itu," gadis itu tersenyum, lalu melanjutkan, "Kakak baik sekali."
"Aku ... hanya kebetulan datang ke rumahnya."
"Kebetulan yang menyenangkan untuknya.
Aku tidak tahu wajahku sudah seperti apa waktu gadis itu mengatakannya.
"Maukah kau bekerja di toko ayahku saja, Kak?" tanyanya. "Kakak akan menerima gaji tetap harian di sana.
Aku diam karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Apakah Kakak mau?"
"Apakah ... aku masih bisa mengangkut belanjaan ibu itu?"
"Tentu saja boleh. Aku malah senang karena ibu itu adalah pelanggan toko ayahku juga.
Aku mengangguk cepat (dengan sensasi meletup-letup di perutku, seperti ledakan kembang api perayaan), entah karena akan punya pekerjaan tetap, atau karena masih bisa mencicipi ikan bandeng kuah kuning buatan ibu berkerudung yang lezat luar biasa.
"Jadi, kau mau bekerja di toko ayahku, Kak?
Aku mengangguk lagi.
"Baiklah. Kakak boleh bekerja mulai besok."
"Terima ... kasih," jawabku.
Gadis itu melangkah pergi sambil mengeluarkan sebungkus gula-gula asam dari kantong kain kecil berserut yang selalu dibawanya kemana-mana—mungkin tempatnya menyimpan uang. Sebelum jauh, gadis itu berbalik lagi dan tersenyum lebar. "Akhirnya, aku bisa mendapatkan gula-gula asam ini sehingga tidak perlu meminta milikmu. Kakak mau?
Aku menggeleng.
"Benar? Ini enak sekali, loh," ia tersenyum sambil terus menyodorkannya. Aku masih menggeleng. Tapi, ia memaksa, "Ambillah satu.
Aku diam.
"Ambillah.
Aku menyerah, dan kuambil sebutir.
"Nah, begitu."
Lalu, bersama pandangan mataku yang bisa mengingat senyum dari bibir tipisnya, ia meneruskan langkah menuju toko beras. Aku tahu, hari ini stok baru gula-gula asam datang, dan aku tidak bisa membeli gula-gula asam itu lagi karena tidak punya uang, dan menyesal karena sudah tidak segera memberikan gula-gula asam yang masih tersisa beberapa bungkus dalam tasku. Di dalam tas yang kutitipkan pada penjaga kamar mandi juga ada kantong kain berwarna biru muda berhias bordiran bunga peony berwarna putih bersemu merah, aku membelinya beberapa hari lalu—alasan kedua mengapa aku kehabisan uang. Kantong kain itu adalah barang termahal yang pernah aku beli sepanjang hidupku. Jadi, aku sekarang tidak mampu membuat gadis itu kehabisan gula-gula asam.
Untungnya, sejak itu aku bisa makan dua kali sehari karena takperlu memborong gula-gula asam lagi. Gadis itu yang akan menyuruhku membeli gula-gula asam dengan uangnya sendiri. Bersama kejadian itu, aku mengakui bahwa aku memang kelomang, berganti tempat begitu saja dari panti asuhan ke bangku pasar ke toko beras ke entah mana lagi. Mungkin, memang begitu manusia, berpindah-pindah lokasi sampai salah satunya mengikat dan membuat hatinya takmau pergi.
***
Mau tak mau, aku bangun jam empat pagi, karena bangun sepagi ini memang tidak ada urusannya dengan kemauan, terjadi begitu saja seperti aku pernah menelan jam weker yang secara otomatis membuatku terbangun di waktu yang sama. Lalu, urutan kejadian yang terjadi selalu sama lagi, di tempat yang sama juga. Kamar tidur, kamar mandi, ruang makan, ruang tamu, lalu aku berjalan pelan menuju toko terpal yang lokasinya memang dekat dari rumah (dengan kecepatan berjalanku yang macam bekicot, kira-kira membutuhkan 30 menit untuk sampai). Begitu saja. Tidak ada lokasi berbeda yang pernah aku datangi lagi, bahkan di dalam rumahku sendiri. Namun, isi kepalaku berkelana untuk menentukan lokasi makan malam (yang kuanggap akan jadi lokasi kematianku juga, jika malaikat maut cukup cerdas untuk menangkap maksudku).
Menentukan lokasi kematian adalah perihal yang tidak pernah dipikirkan oleh orang-orang yang mengalami kerusakan otak permanen. Untunglah, sistem pendidikan nasional tidak sempat merusak otakku. Kepalaku (beserta isinya) masih mampu membuat pertimbangan. Kalau aku ingin membuat sebuah acara makan malam untuk mengundang malaikat maut, aku harus bisa mencantumkan alamat jelas. Jangan sampai dia tersesat dan malah tiba di tempat lain. Jadi, aku harus membuat denah juga, yang mengarah ke sebuah lokasi akurat.
Ke mana?
Aku tidak mau mati di rumah sakit bersama bayi penderita demam berdarah atau orang tua yang terjangkit meningitis. Aku ingin mati di tempat yang kusukai, bukan bersama orang-orang yang hidupnya menderita sampai malaikat maut mencabut nyawa mereka. Kubayangkan kalau malaikat maut serupa petugas BPJS, kelimpungan menangani ratusan pasien yang kompak meminta nyawanya dicabut. Aku miskin, tapi bukan pengemis. Aku mau mati dengan cara yang anggun dan terhormat, bukan merengek-rengek karena taksunggup menahan sakit. Kalau makan malam itu kubuat di rumah sakit, tentu saja akan memperkecil kemungkinan malaikat maut bersedia datang karena ia sedang sibuk mencabuti nyawa orang-orang takberguna itu. Rumah sakit harus kucoret dari daftar. Selain, direktur rumah sakit tidak akan mengizinkannya juga.
Pagi itu, aku mencoret rumah sakit dari daftar lokasi alternatif waktu kulihat si C sedang membuka gembok pintu harmonika yang mengunci toko terpal dari luar. Kemudian, pintu putar di baliknya didorong ke atas sampai menimbulkan derak-derak macam suara kereta api. Anak-anakku takpernah melakukannya sendiri. Karyawan yang melakukannya. Semua (termasuk membuka toko) sudah jadi sebuah proses yang mudah.
Dulu, membuka dan menutup toko harus kulakukan dengan cara menggeser papan bernomor satu per satu, butuh waktu lebih lama, kesabaran lebih tebal, dan tenaga lebih besar. Kunci toko bukanlah kunci kecil yang tampak rapuh itu (yang selalu kuragukan fungsinya untuk bisa mengamankan apa pun), melainkan sebuah gembok besar yang mengunci selot berukuran besar pula. Zaman ini, semua serba kecil dan ringan. Zaman itu, semua serba besar dan berat. Segala hal perlu dilakukan dengan kekuatan. Seharusnya, orang zaman itu tidak berpikir karena tenaga mereka telanjur habis. Toh, bukan itu yang terjadi. Kami masih bisa menggunakan otak dengan baik. Mungkin, zaman sekarang orang-orang lebih senang bersantai, dan sikap santailah yang membuat otak jadi bodoh. Selain, sistem pendidikan nasional telah membuat mereka menganggap bahwa kesibukan di sekolah memperkenankan mereka bersantai dalam hidup. Lupa, kalau hidup adalah perkara-perkara yang ada di luar pagar gedung sekolah—tempat kepintaran dan kebodohan akan benar-benar diuji kualitasnya.
Aku merasa menjadi bodoh setiap kali selesai menutup toko beras milik ayah dari istriku (waktu itu, ayahnya bahkan belum terpikir bahwa kelak aku akan jadi suami dari anaknya). Aku cuma kuli panggul di sana. Kegiatanku mengangkut karung beras selama bekerja pada siang hari cukup untuk membuat otakku kebas ketika toko tutup sore hari. Keuntungannya, aku bisa makan dua kali sehari karena uang yang kuterima menjadi lebih pasti. Meskipun, dalam perdagangan selalu ada ketidakpastian.
Harga dasar beras naik lagi, membuat ayah gadis itu khawatir. Ternyata, tidak selamanya kenaikan harga membawa uang lebih banyak.
"Kalau begini caranya, lama-lama orang akan makan gaplek lagi," sungutnya. "Kalau harga terus naik, siapa yang bisa makan dan membeli beras? Pemerintah seperti tidak mampu berbuat apa-apa. Revolusi. Revolusi. Revolusi saja isi pikirannya. Apa revolusi tidak butuh makan?"
Aku diam saja sambil terus menyusun papan-papan kayu bernomor bersama pegawai lain. Aku belum tahu revolusi itu artinya apa. Yang aku tahu, banyak orang meneriakkannya dengan fasih. Termasuk, kuli-kuli panggul di pasar ini yang juga tidak bisa membaca dan menulis.
Langit sore mulai meredup. Teman-temanku sesama pegawai mulai berjalan ke kamar sewaan mereka (yang dibayar secara patungan). Untuk aku yang tidak punya teman, hal itu takbisa kulakukan. Ada juga yang memilih tinggal di pasar dengan alasan penghematan, aku juga tidak bisa bergabung dengan mereka. Jadi, aku memilih duduk di pelataran pasar, di bawah sebuah pohon flamboyan yang tidak terlalu besar, cuma lima belas langkah jauhnya dari toko beras. Aku bisa memperhatikan bagaimana ayah gadis itu dan anaknya berdiri di samping sebuah sepeda motor besi berwarna merah. Ia naik, lalu gadis itu duduk menyamping di belakangnya, dan sebelum meninggalkan pasar, mereka berhenti di depanku yang sedang duduk di bangku panjang.
Kamar Kosong.3
Toko tutup.
"Kau tidak pulang?" tanya ayah gadis itu.
Aku menggeleng, ia mengangguk lalu pergi. Aku bisa melihat gadis itu menatapku. Lalu, itulah yang terus terjadi selama beberapa bulan.
Toko buka.
Toko tutup.
Toko buka.
Toko tutup.
Hidup dipadatkan dalam sebuah kotak kecil bernama waktu, dan nasib adalah benda takberguna yang dijejalkan ke dalamnya sampai tidak bisa digerakkan.
Toko buka.
Toko tutup.
Toko buka.
Toko tutup.
Aku tidur di bangku.
Toko buka.
Toko tutup.
Seterusnya begitu, mungkin selamanya.
Toko buka.
Membantu ibu berkerudung.
Toko tutup.
"Kau tidak pulang?" berikutnya ayah gadis itu bertanya lagi.
Aku menggeleng.
"Kenapa tidak pulang?"
Aku diam. Ia tidak menunggu jawaban. Ia cuma mengedikkan bahu lalu pergi bersama anak gadisnya yang membonceng di belakang.
Toko buka.
Toko tutup.
Toko buka.
Toko tutup.
"Kau tidak pulang?
Aku menggeleng.
"Kau tinggal di mana?"
Kutunjuk bangku kayu panjang yang sedang kududuki. Terasa agak menyakitkan memberinya jawaban itu. Jadi, kubuang pandanganku ke arah pojokan toko kelontong yang menjual plastik. Ia diam sebentar, mengangguk lalu pergi.
Toko buka.
Toko tutup.
Esoknya, ia kembali bertanya "Kamu tinggal di pasar?
Aku mengangguk.
"Kau mau kerja di rumahku?"
Aku tidak berpikir karena aku selalu jadi bodoh tiap kali habis menutup toko. Toh, aku mengangguk. Ia mengangguk, lalu dia pergi. Begitu pula aku, berjalan menuju rumahnya.
Toko buka.
Toko tutup.
Toko buka.
Dan, hidupku dipadatkan ke dalam kotak yang berbeda. Hingga suatu ketika ....
(Hari benar-benar indah sampai
aku ingin membuatnya jadi lambat.
Dengan cara yang sangat perlahan,
aku mengenakan jas yang kebesaran
lengkap dengan dasi dan celana
panjang. Aku takpernah menyangka
bahwa aku akan pernah mengenakan
pakaian sejenis itu. Lalu, aku berjalan
menuju ruang jemaat. Pendeta itu di
sana, begitu juga saksi-saksi, tapi
kau tidak ada. Aku sempat khawatir
kalau kau membatalkannya. Tapi,
tidak. Aku melihatmu muncul dari
balik pintu.)
(Tidak ada bunga-bunga di
pernikahan kita. Tapi, hari itu adalah
hari terindah dalam hidupku. Dengan
lagu yang hanya bermain di kepalaku,
kulihat kamu melangkah ke arahku.
Matamu bintang. Yang beradu.
Dengan bintang. Di mataku. Ah, kamu
cantik sekali dengan gaun berwarna
dadu dan bordir bunga peony.)
(Benarlah begitu. Aku menyetujui
waktu pendeta itu berkata ‘apa yang
dipersatukan Tuhan
takbisa dipisahkan
manusia’. Saksi-saksi
mendengar. Mereka pedagang baso,
minuman, dan jajanan yang biasa
berjualan di depan gereja. Sampai
detik ini, aku takmengenali mereka,
tapi aku mengingat wajah-wajahnya
seperti dini hari milik kita yang begitu
mengenal fajar. Kurasa, mereka ikut
berbahagia.)
(Gereja itu redup dalamnya.
Bangku-bangku panjang itu berderet
dan berbanjar. Tidak ada orang
kecuali kita dan saksi-saksi yang
awalnya menerbitkan rasa heranku
mengapa mereka bisa bersedia
berdiri di sana.
Wajah pendeta itu terus disinari senyum,
tapi tidak ada yang lebih bersinar
dibanding senyummu waktu berkata
‘Saya bersedia’
sebagaimana aku bersedia
berjanji untuk terus berada
di sampingmu dan
bersumpah bahwa kematian tidak
akan memisahkan kita).
(Aku ingat apa yang kita makan hari itu
setelah kita menikah: nasi, sayur
bayam, dan telor goreng—sebagaimana
kita selalu makan itu.
Bahkan, kita tidak memberi makan
saksi-saksi pernikahan kita karena
kita tidak punya uang. Tapi, kita tahu
kalau kita adalah keluarga yang akan
selama-lamanya bersama).
(Hari itu kau tidak memegang tanganku,
aku yang memegang
tanganmu.)
(Sah.)
Aku ingin mengulang semuanya. Aku berjanji mengulangnya lagi. Aku harap kau bersabar.
***
Ini kali kedua aku menemukan klip staples dalam makananku. Tidak tanggung-tanggung, aku menemukan tiga buah. Kalau aku seperti orang tua berusia kira-kira 76 tahun yang lain, mungkin ketiga klip bekas itu sudah tertelan. Mataku masih awas. Kuhela paru-paru yang cuma berisi sisa-sisa udara. Bertindak teliti saja gagal untuk dilakukan oleh anak-anakku. Aku jadi kehilangan selera makan.
Untunglah, aku sudah mempersiapkan satu tongkat lagi yang kusimpan di toko. Aku meraihnya dan berdiri. Menggunakan tongkat untuk menjaga keseimbangan memang sulit namun, aku tahu, kalau penyangga berkaki empat itu akan memberiku lebih banyak kesulitan saat berjalan di celah-celah pasar ini. Kupanggil satu karyawan untuk membantuku berjalan.
"Aku mau makan bakmi," ujarku padanya. "Temani aku ke belakang pasar."
Karyawanku itu mendekat waktu aku sudah mulai berjalan dengan pelan. Mata milik anak-anakku memandang, namun tetap duduk di tempatnya tanpa keinginan untuk membantu sementara aku sudah bosan mengomel. Jatah umurku yang tersisa sudah terlalu sempit untuk boleh kuhabiskan dengan marah-marah. Apalagi, kalau aku sampai berhasil mengundang malaikat maut untuk datang ke acara makan malam istimewa—yang kuharap membuatnya bersedia memotong jatah umurku lagi, sisa waktuku akan makin singkat.
"Ayah mau ke mana?" C bertanya.
"Aku mau ke belakang pasar. Aku bosan makan nasi bercampur logam. Aku bukan ahli debus."
Kemudian aku berjalan tanpa menengok, terlalu banyak menengok bukan perkara sehat untuk orang-orang setua aku, takbaik untuk keseimbangan tulang leher. Pelan. Selangkah-selangkah. Kususuri deretan toko-toko. Makin kusadari, tempat ini telah berubah, termasuk orang-orangnya. Aku sudah tidak bisa menemukan pedagang-pedagang lama, sebagian besar (atau, semuanya?) sudah orang baru. Pemilik toko kelontong (tempat istriku dulu selalu membeli gula-gula asam) sudah lama meninggal. Sekarang, toko itu dijaga oleh sepasang perempuan dan laki-laki muda—cucu dan suami dari cucu pemilik lama—yang tidak menjual gula-gula asam lagi.
"Ncek, tumben sampai kemari," perempuan itu menyapa.
"Iya. Mau ke belakang," jawabku.
"Hati-hati, Ncek. Licin."
"Iya."
Ia takmeneruskan bicara karena seorang pelanggan datang. Dia melayaninya. Aku terus berjalan ke arah bagian belakang pasar dengan karyawanku yang terpaksa mengikuti dengan kecepatan yang sama. Kasihan. Aku mendoakan, semoga kalau kelak karyawanku ini sudah tua, ada anak-anak berbakti yang bersedia menemaninya berjalan menuju lapak penjual bakmi.
Setelah melewati bagian sayur yang becek (untunglah, aku tidak terpeleset), sampai juga aku di lapak penjual Mi Ayam Wonogiri. Spanduk putih (yang sudah jadi abu-abu kecoklat-coklatan) terentang di bagian depan dengan ikatan tali tambang berwarna biru. Aku memperhatikan dengan saksama agar kakiku tidak tersandung tali itu. Kuembuskan napas lega sambil meletakkan pantat di bangku panjang. Karyawanku cuma berdiri memperhatikan.
"Duduklah," ucapku sambil menunjuk kursi panjang kosong di depanku. Ia ragu. "Apakah kau mau makan bakmi?" Karyawanku itu masih tampak ragu. "Pesan saja," aku menambahkan.
"Apakah saya harus membayarnya sendiri, Ncek?"
Aku berpikir sebentar sambil melihat daftar menu yang hanya selembar kertas putih berlapis plastik yang sudah lusuh. Karyawanku itu sudah bersikap baik dengan mengantarku kemari. "Aku yang akan membayarnya."
"Terima kasih, Ncek."
Karyawanku itu kemudian duduk tepat di depanku. Aku mengangguk dan memesan dua mangkuk Mi Ayam yang sama karena ternyata penjualnya tidak mengetahui apa bedanya Bakmi dan Mi Ayam. Ia mempersiapkannya setelah berdebat sedikit denganku tentang perbedaan Bakmi dan Mi Ayam. Aku tidak mau ribut lebih jauh karena bukan itu tujuanku kemari. Tujuanku adalah mempertimbangkan apakah mungkin mengadakan acara makan malam di tempat ini dengan mengundang malaikat maut. Tempat ini jorok, comberan sempit di bawah meja tempat aku duduk tidak tertutup. Aku harus hati-hati agar kakiku tidak tercemplung ke sana. Baunya mengundang anggota asosiasi lalat pasar. Air cucian kotor mengembeng dalam ember yang terpojok begitu saja. Aku curiga, kalau mi ayam itu datang dan terasa terlalu asin, itu adalah akibat keringat si pedagang yang menyatu sebagai bumbu.
Panas. Kipas plastik yang menempel dan berputar di plafon fungsinya lebih mirip hiasan dinding yang gagal menimbulkan angin.
Rasanya, malaikat maut yang terlalu sering mengantar orang ke neraka akan enggan untuk datang kemari karena tempat ini sama panasnya. Lagipula, untuk membuat makan malam di sini, aku harus membuat pemiliknya bersedia untuk buka malam hari (pasar ini memang hanya beroperasi siang hari). Malaikat maut lebih suka bekerja pada malam hari, bukan? Itu sebabnya aku lebih sering mendengar orang mati pada malam hari dibanding siang. Selain: Aku mau bakmi, bukan mi ayam. Sekali lagi, kupandangi tempat ini untuk memastikan bahwa aku memang tidak menginginkannya.
Tempat ini mengingatkan pada istriku. Sudah 56 tahun lalu sejak kali pertama aku datang ke lokasi warung Mi Ayam Wonogiri, pemiliknya sudah berganti. Dulu, pemiliknya bukan menjual Mi Ayam Wonogiri, melainkan Bakmi. Entahlah, laki-laki ini pedagang ke berapa sejak waktu itu. Yang jelas, dia sudah berbuat lancang dengan menyamakan Mi Ayam sebagai Bakmi.
"Mi Ayam pesanan saya kuahnya dipisah di mangkuk lain saja," tambahku.
Dan, kebodohan membuatnya menaruh semangkuk Mi Ayam berkuah kental dengan semangkuk kuah tambahan. Aku menggeleng dan memaklumi saja. Mungkin, ia berpikir kalau aku membutuhkan kuah sebanyak itu untuk mandi. Aku sudah bosan protes. Protes takpernah membuat orang-orang melakukan sesuatu dengan cara yang benar. Cara makan mi yang benar adalah dengan menyeruputnya. Sampai berbunyi. Seruput. Seruput. Tapi ....
Setelah beberapa seruput, aku berhenti. Aku tahu Mi Ayam Wonogiri, bahkan mi ayam ini bukan Mi Ayam Wonogiri seperti pengakuan spanduk itu. Kebohongan memang laku dijual.
"Ncek tidak meneruskan makan?" tanya karyawanku yang melihat kalau aku tidak menghabiskan mi ayam itu. Aku menggeleng. "Boleh saya habiskan?" ia bertanya lagi.
"Kamu mau?"
Ia mengangguk, lalu kudorong mangkukku ke hadapannya dan ia dengan segera menghabiskannya.
***
Kamar Kosong.4
Aku sudah membatalkan keinginanku untuk membuat makan malam di warung mi ayam. Aku merasa agak kurang pantas untuk melakukannya di sana. Segala jenis Tuhan dan dewa-dewa menyukai kebersihan, bukan? Sebagai asisten mereka, malaikat maut pasti menyukai kebersihan juga. Begitu pun manusia, seharusnya menyukai kebersihan, terutama kebersihan hidup dari jeratan utang. Jadi, aku cukup gembira waktu tukang pecel lele itu datang lagi untuk mengambil terpal pesanan sekaligus mencicil utang.
"Nah, begitu. Utang harus dicicil," ujarku sambil mencatatnya dalam buku.
Pedagang Pecel Lele itu merengut. Kuanggap ia kurang bersyukur selain kurang berpikir. Dalam hari-hari ini, siapa lagi orang yang bersedia memberi pinjaman dengan cara semudah ini kalau bukan aku? Toh, pedagang pecel lele itu tidak melihatnya dengan cara itu. Ia lebih menyukai anak-anakku yang takpernah mengingatkannya pada utang. Biarlah. Orang berhak memilih, walau harus tetap menyadari bahwa melunasi utang bukanlah pilihan. Namun, sudah seharusnya, lokasi makan malam bisa kupilih sendiri. Setelah rumah sakit dan lapak mi ayam kucoret dari daftar, aku perlu memikirkan tempat lainnya.
Kupanggil satu anakku, si B.
"Mobil bak besok tidak dipakai, bukan?"
"Hmm ..., aku ... aku tidak ingat. Biar kuperiksa dulu daftarnya."
"Tidak usah. Aku ingat daftarnya," aku membalas. "Aku bukan bertanya. Aku sedang memberitahu."
"Apa, Ayah?"
"Besok, aku akan pergi ke hutan bakau."
"Apa?"
"Hutan Bakau."
"Untuk apa?"
"Aku mau melihat-lihat. Jadi, aku membutuhkan mobil itu, dan sopir."
"Ayah mau aku yang menyetirnya?"
"Tidak. Biar dia saja," aku menunjuk salah satu pegawai yang memang bertugas sebagai sopir. "Kau jaga toko saja. Pastikan tidak ada kekeliruan dan kesalahan."
Ia mengangguk.
Dan, esoknya, aku tiba di Hutan Bakau dalam keadaan kesal. Untuk masuk kemari harus membayar tiket? Yang benar saja.
"Aku harus membayar?"
"Iya, Koh," jawab penjaganya.
"Pertama kali aku kemari, aku tidak membayar apa-apa."
"Tahun berapa Kokoh kemari?"
"Kau pikir aku setua itu?"
"Maksud saya, sekarang tempat ini dikelola sebagai cagar alam oleh Departemen Kehutanan."
"Apa hubungannya?"
"Hubungannya adalah Departemen Kehutanan memberlakukan tiket masuk untuk pengunjung."
"Kenapa?"
"Karena ..., karena ..., ya, karena memang begitu peraturannya, Koh."
"Jadi, aku tidak boleh masuk jika tidak membayar?"
"Tidak," ia menegaskan.
"Ya, sudah," kukeluarkan kantong serut tempat aku menyimpan uang. Ia memandangi seakan tidak pernah melihat kantong serut sebelumnya. Kuserahkan uang seperti harga yang tercantum. Tapi, ia tidak berhenti memandangku. "Kenapa lagi?"
"Apakah Kokoh mau ditemani pemandu?"
"Boleh."
"Biayanya (sekian)," ujarnya.
"Apa?" Aku terpantik untuk mengajaknya berdebat lagi, tapi segara kusadari kalau hal itu tidak ada gunanya. Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak. Tidak, lebih baik aku berjalan sendiri."
"Apakah Kokoh mau mengadopsi pohon bakau?"
Orang ini cerewet, pikirku, dan aku baru tahu kalau pohon bisa diadopsi, mungkin bisa lebih bermanfaat daripada memelihara anak-anak yang takberguna, sayangnya bukan itu tujuanku kemari. Aku menggeleng lagi. "Aku cuma mau mencari tempat bagus untuk mati."
"Apa?"
"Tidak. Lupakan saja."
"Baiklah, Koh. Selamat menikmati perjalanannya."
Aku hendak segera berlalu namun aku ingat kalau aku juga perlu bersikap tegas. "Jangan panggil aku Kokoh. Aku bukan kakakmu."
Matanya melongo, dan aku meninggalkannya begitu saja.
Harus kuakui kalau tempat ini jadi lebih rapi, walau takserta-merta membuatnya jadi lebih baik. Tempat ini sudah sangat berubah. Aku telah dikhianati oleh usiaku sendiri. Dulu, tempat ini cuma hutan yang bebas dimasuki. Memang, tidak dengan cara yang semudah ini. Sekarang, jembatan-jembatan kayu sudah didirikan untuk memudahkan orang berjalan, pun restoran dengan hiasan-hiasan, bahkan penginapan-penginapan. Dulu, semua ini tidak ada. Hanya ada pantai sempit dan pohon-pohon bakau yang menjepit. Tersembunyi. Rasanya, jarak laut juga tidak sedekat ini dari jalan. Aku kehilangan arah, aku tidak bisa mengingat lokasi tepat tempat abu kedua orang tua istriku disebarkan. Jika mereka tumbuh jadi bakau, mungkin sudah mati ditebang orang. Apa rasanya mati dua kali?
"Aku bingung harus berjalan ke mana," aku mendesis pada diriku sendiri.
Pegawaiku itu mendengarnya, "Memangnya kapan Ncek terakhir kemari?"
"Tahun 1971."
"Saya belum lahir."
Aku mengangguk, "Waktu itu, di sini cuma hutan. Masih banyak pohon besar."
"Ke sini sama mendiang istri, Ncek?"
"Iya. Sama anak-anak juga. Anakku baru tiga orang waktu itu. Yang dua lagi belum lahir."
"Empat puluh enam tahun lalu, ya, Ncek?"
Rupanya, ia menghitung dan aku mengangguk. "Zaman berubah."
"Zaman itu lebih mudah?"
Kuhela napasku, "Zaman takpernah mudah. Paling tidak, buatku."
Aku sungguh ingat kali kedua aku dan istriku datang ke sana untuk melarung abu ayahnya di sini. Waktu itu tahun 1969. Entah di sisi bagian mana karena semua tempat tampak sama waktu itu, atau mungkin karena zaman ini semua tempat jadi tampak begitu berbeda. Asing.
Memang, upacara kremasi ayahnya didatangi oleh banyak kerabat, namun pelepasan abunya tidak dihadiri siapa-siapa kecuali aku, istriku, dan tiga anakku. Ayahnya ingin abunya dilarung di pantai yang tidak terlalu ramai menggunakan guci tanah dan kapal mainan. Aku sempat berpikir kalau abu orang mati akan disebar dengan bantuan angin laut, tapi tidak ada manusia yang mau abunya jatuh ke dalam makanan orang yang sedang piknik dan jiwanya tercampur babi kecap, selain kelilipan abu orang mati bukanlah kegiatan yang menyenangkan. Saat itu, aku hanya perlu memastikan bahwa kapal pembawa guci tanah itu benar-benar berlayar menuju tengah laut. Jangan sampai, di alam sana, A-Pe’ (yang seharusnya kupanggil Zhang Ren) gagal bertemu A-Ko (yang seharusnya kupanggil Zhang Mu) akibat jiwanya menyangkut di karung goni bekas pupuk kandang yang dibuang sembarangan. Lancar. Walau berkali-kali kapal itu kembali ke pantai, akhirnya ombak berhasil membawa jiwanya pergi, begitu pun tubuhnya. A-Pe’ pergi menyusul istrinya.
"Suamiku. Kita benar-benar berdua sekarang," ujar istriku. Suaranya yang nyaris terseret angin laut membuatku bisa menyadari kesedihannya. Ia melanjutkan, "Mungkin, ada baiknya usaha terpal itu dipindahkan ke toko milik A-Pa. Setidaknya, kita jadi tidak perlu menyewa lagi."
"Bagaimana dengan toko beras itu?"
"Kita tutup saja. Aku ...," istriku memberi jeda, "juga sudah tidak mungkin menjalankan toko beras itu.
Aku diam.
"Tapi, aku juga tidak bisa membantumu di toko terpal."
Kugenggam tangannya sambil memandang tiga anakku yang sedang bermain-main, "Tidak apa-apa. Kalau anak-anak sudah besar, mereka akan membantu kita mengelola toko. Atau, membesarkannya."
"Semoga mereka bisa membuka usaha lain, dan pindah dari toko milik ayahku itu."
"Iya," aku berbisik.
Sesungguhnya, sebelum A-Pe’ meninggal, aku sempat menyampaikan agar toko itu dijual saja. Tapi, A-Pe’ tidak bersedia karena harga-harga toko baru sudah begitu mahal. Kalaupun, toko itu berhasil terjual, jumlah uang yang didapatkan takkan bisa mendapatkan ukuran toko yang sama, selain akan menyulitkan untuk memulai usaha dari awal di tempat baru dengan pelanggan baru. Kini, malah aku yang harus kembali ke sana karena kemiskinan dan kegagalanku mengembangkan toko terpal itu. Uangku tidak cukup untuk membeli toko milikku sendiri.
***
Kamar Kosong.5
Bertahun-tahun sejak kematian A-Pe’.
Ternyata, sejarah menyatakan hal yang berbeda. Aku tidak (sepenuhnya) gagal dalam mengembangkan toko terpal itu, walau aku juga tidak menganggapnya seberhasil yang kukira. Setidaknya, aku sudah belajar menyeberangi benang tipis yang bisa melebar jadi jurang yang memisahkan 'tidak' dan 'belum'.
Pun, aku sudah bosan mengganti cat tembok, menukar tegel lantai, menjebol dinding, menggantinya dengan dinding lain, memesan gorden baru, memasang hiasan-hiasan, dan semua perkara yang kukira mampu membuat istriku sudi untuk duduk di ruang tamu rumah Ape' (yang pada waktu itu kami tinggali)—tanpa pernah berhasil membuatnya duduk di sana—dan mengurangi kesenangannya berada di kamar tidur. Aku bosan menjawab pertanyaan di-mana-istrimu yang diajukan adik A-Pe’ dan istrinya dengan di-dalam seperti cuma itu jawaban satu-satunya.
Jadi, aku bersyukur ketika adik A-Pe’ mati karena tidak ada lagi orang yang mengajukan pertanyaan itu seakan-akan cuma itulah satu-satunya pertanyaan yang laik diajukan waktu mengunjungi seorang kerabat. Namun, aku jadi mempertimbangkan untuk berpindah rumah saja karena seharusnya kamu—istriku bisa menikmati semua bagian rumah yang ditinggalinya.
Istriku. Apakah kau ingin kita membangun ruang tamu yang benar-benar baru?
Setelah beberapa waktu, sekitar tahun ‘85, toko terpal itu bisa menghasilkan cukup uang untuk membeli sepotong lahan—takjauh dari rumah A-Pe’—yang sebelumnya cuma ditumbuhi alang-alang setinggi manusia. Waktu aku membersihkannya, kukira aku telah menemukan tengkorak bayi korban kehamilan di luar nikah yang dibuang ke sana lalu mati, namun kuyakinkan diriku bahwa itu adalah kerangka seekor kucing tua yang ingin mati dengan tenang. Mati dengan tenang adalah kemewahan.
Aku mulai membangun rumah kita sendiri di sana. Lalu, seperti dulu kamu menyodoriku buku-buku, kusodorkan buku padamu. NH. Dini; Mira .W; dan Pram yang telah membuatmu menangis lagi. Paling tidak, kamu tahu kalau kita tidak sendirian.
Di tahun ‘88, kita membeli tanah di sebelah baratnya. Tahun ‘91, tanah di sebelah timurnya juga kita beli. Kemudian—dengan bantuan uang dari hasil penjualan rumah A-Pe’ dan hasil keuntungan dari toko terpal, berturut-turut kita membeli tanah sebelah barat dari tanah sebelah barat, tanah sebelah utara dari tanah sebelah timur, tanah sebelah utara dari tanah sebelah barat, dan tanah sebelah utara dari tanah sebelah barat dari tanah sebelah barat. Pun, tanah sebelah utara dari tanah yang pertama kita beli. Utuh. Kubangun ruang tamu kita yang baru dan kamu—istriku tetap taksudi untuk duduk di ruang tamu. Kegagalanku. Aku hanya sukses menghasilkan belasan kamar tidur yang menjadi tempat untuk anak-anak keparat beranak-pinak.
Lalu, takkusadari bahwa kita sudah menikah 36 tahun. Itu waktu yang terlalu lama untuk tidak melakukan perubahan apa-apa.
“Besok adalah tanggal pernikahan kita, Istriku.”
“Iya.”
“Apakah kau lupa?
Ia menggeleng.
“Apakah kau ingin merayakannya?
Ia diam.
“Mungkin kita perlu merayakannya.”
“Apa yang perlu dirayakan dari hidup?”
Aku tahu kalau pertanyaan itu sesungguhnya jawaban buatku. Namun, aku bersikeras untuk tetap menganggapnya sebagai pertanyaan dibanding jawaban. Aku harus mencari alasan bahwa memang ada sesuatu yang cukup penting untuk dirayakan.
Toh, tidak pernah ada perayaan dan benar saja: Sulit untuk bisa melihat perkara yang harus dirayakan ketika kurang lebih satu bulan setelah tanggal pernikahan kami itu toko terpal nyaris terbakar. Untung aku tidak mati karena aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada istriku kalau aku mati dan anak-anak keparat itu hidup bersamanya. Istriku anak tunggal dan (selain adik A-Pe’) tidak ada satu kerabat juga yang bersedia mengunjungi, meski itu menjadi keuntungan karena tidak ada orang yang bertanya di-mana-istrimu ketika istriku tetap tidak bersedia duduk di ruang tamu.
*
Sebelum aku bekerja di rumah ayah gadis itu, aku sempat berpikir kalau gadis itu adalah anak tunggal (aku takpernah melihat ada orang lain yang membantu ayahnya di pasar), namun aku salah. Ia memiliki empat saudara perempuan yang semuanya sudah mati akibat penyakit di masa kecil, menjadikan gadis itu sebagai anak tunggal juga. Sejenis, hasil percobaan terakhir yang dikira akan kembali gagal namun ternyata bertahan. Kuduga, orang tuanya sudah tidak bersemangat untuk mendorong keberuntungan mereka lebih jauh dengan mencoba menghasilkan anak barang satu lagi. Mengalami kematian berulang kali bukan perihal yang bisa membuat seseorang ingin kembali mengalaminya walau cuma satu kali. Jadilah, gadis itu sebagai satu-satunya pewaris toko beras, dan ayahnya takpeduli lagi pada nama siapa yang kelak diturunkan oleh putrinya. Yang jelas, bukan namanya sendiri karena ia tidak punya anak laki-laki.
Aku hanya melihat empat nama anak perempuan tanpa foto terpasang di altar. Setiap pagi gadis itu selalu mendoakan keempat kakak yang takpernah sempat dikenalinya dengan dupa yang wanginya menjadi aroma dasar rumah ini. Di hari-hari tertentu, persembahan juga diberikan di sana.
Malam pertama, aku tidur dengan perasaan asing karena takterbiasa pada pemberian persembahan. Aku tidak punya leluhur atau kakak-kakak yang mati karena penyakit di masa kecil hingga perlu didoakan. Aku cuma memandang gadis itu berdoa setiap hari dan jika diperkenankan, aku ingin berdoa untuknya saja setiap pagi, siang, petang, dan malam. Sayang, altar itu hanya untuk orang mati.
Sekarang, aku berdoa di depan bufet yang sudah jadi altar pemujaan.
*
Pagi hari pertama, aku terbangun dan keluar kamar ketika gadis itu sudah sibuk di dapur bersama ibunya. Sungguh, aku merasa kehilangan muka. Aku menumpang di sini dan tuan rumah bangun lebih dini. Itu pun karena aku mendengar suara-suara kegiatan mereka di dapur yang letaknya berbatasan tembok dengan kamarku.
"Kau mandi dulu saja," ujar ibu gadis itu. "Ada tugas untukmu. Selesai mandi, kau bisa menjemur handukmu di sana." Ia menunjuk pintu keluar di samping dapur.
"Saya ... tidak punya handuk," jawabku.
Gadis itu menengok ke arahku, lalu berganti ke ibunya, "A-Ma, aku punya handuk yang sudah tidak terpakai. Apakah boleh kuberikan padanya?"
Ibunya mengangguk dan gadis itu segera berjalan menuju kamarnya, letaknya lebih ke depan. Kemudian, ia kembali dan menyerahkan handuk itu padaku. Aku menerimanya. Ia begitu cantik dari jarak sedekat ini.
"Apalagi?" Gadis itu memandang mataku dengan matanya yang bening.
Aku segera menggeleng cepat dan bergegas menuju kamar mandi dengan jantung berdebar. Aku telah keliru dalam melakukan pengendalian diri hingga menatapnya terlalu lama. Dalam kamar mandi, aku terdiam sesaat sambil mencium handuk itu. Wangi. Seperti inikah bau tubuh gadis itu? Aku mandi masih dengan perasaan berdebar, merasa mata gadis itu sedang mengawasi. Jantungku terus berdegup sampai perasaanku meledak. Lalu, aku keluar dan menjemur handuk di tempat yang ditunjuk oleh ibunya.
Taklama, ayahnya muncul, memintaku memanggilnya A-Pe’ kemudian mengajakku ke satu pojok ruang makan yang berisi meja kayu bundar dengan delapan kursi. Ia menunjuk langit-langit—tergambar sebuah noda kecoklatan seperti pernah ada tuyul nakal mengompol di sana.
"Genteng di atasnya bocor. Jadi tidak enak dipandang," ujarnya. "Aku takbisa memperbaikinya. Kau bisa?"
"Bisa, Pe’."
"Bagus. Kamu bisa naik ke atap lewat lubang di pojok dapur."
"Iya, Pe’."
"Tangga bisa kamu ambil di samping kamar mandi, keluar dari dapur. Ada rak juga di sana, kalau butuh peralatan bisa kau cari di rak itu."
"Iya, Pe’."
"Setelah itu, kamu bisa membantu untuk membersihkan halaman," lanjutnya. "Hari ini, kamu tidak perlu ke toko. Besok saja. Hari ini, kamu bantu beres-beres rumah."
Takseberapa lama, setelah berdoa di altar, gadis itu berangkat menuju pasar untuk membuka toko beras. Aku tahu, pembantunya yang bodoh akan menunggunya di sana, dan aku akan seharian menunggu gadis itu pulang dengan gelisah. Jadi, kukatakan pada A-Pe’, "Pe’, jika semua pekerjaan sudah selesai, bolehlah saya menyusul ke toko beras?"
A-Pe’ memandangku, "Hmm, kamu anak yang rajin."
Kuanggap jawaban itu adalah izin buatku untuk boleh memandang wajah putrinya hari ini. Tanpa banyak berpikir, kukerjakan semua tugas dari A-Pe’ secepat-cepatnya.
***
Banyak hal yang kupikirkan gara-gara hutan bakau itu, salah satunya adalah anak muda berseragam yang terus saja memanggilku ‘kokoh’ padahal jelas-jelas usiaku takmemungkinkan untuk itu. Anak muda. Mereka pikir hidup bisa dijalani sebebas-bebasnya seperti caranya memanggil orang semaunya. Dulu, di tempat itu nyaris tidak ada orang dan pohon bakau tumbuh liar di mana-mana sambil menyembunyikan sepotong pantai kecil berombak tenang. Kini, tempat itu sudah jadi tujuan pariwisata untuk warga, pantai kecil itu entah ada di mana, dan pohon bakau tumbuh dengan cara diatur-atur dalam lajur. Mungkin, itu sebabnya aku harus membayar untuk masuk, sebagai biaya pengaturan. Bahkan, untuk melihat pohon juga harus membayar. Aku tidak habis pikir.
Kelebihan tempat itu adalah pengelolanya sudah menyediakan restoran di sana. Kalau aku mau buat makan malam, bisa mempermudah penyediaan makanan. Tapi, pantai dan hutan bakau itu jadi terlalu asing untukku, aku takmengenalinya lagi. Berbahaya. Aku takmau berada di tempat asing ketika kematianku sedang berlangsung. Kalau aku saja bisa tersesat di sana, bagaimana mungkin aku bisa mengarahkan malaikat maut untuk sampai di sana dengan tepat? Ia pasti akan gagal menemukannya.
Kubuka mataku, bukan langit-langit peti mati. Kuangkat sebelah lenganku dan sebelahnya lagi, kemudian kugoyang-goyangkan jari. Perlahan-lahan, kuangkat tubuhku yang terasa makin berat. Duduk. Cermin. Senyum. Wajah dalam cermin itu akan segera jadi abu. Kupandang bagian atas bufet yang tidak terlalu tinggi, sebuah tabung diam di sana, lalu aku berdiri dengan bantuan tongkat. Kelak, abuku juga akan tersimpan dalam tabung sebelum disebarkan. Dengan berbagai alasan, aku akan menggunakan tabung yang sama.
Tapi, melarung abuku di pantai dekat hutan bakau seperti bukan rencana bagus. Aku tidak ingat lagi di sisi bagian mana dari pantai itu yang jadi tempat abu kedua mertuaku pernah dilarungkan. Itu situasi yang cukup berbahaya. Kalau aku salah tempat, apakah aku bisa membawa istriku menemui kedua orang tuanya? Aku tidak ingin terpisah lagi dari istriku, tapi aku juga tidak ingin bila dalam perjalanan menuju surga, istriku marah-marah karena tidak melihat kedua orang tuanya akibat kesalahan peletakan lokasi pelarungan. Sebelum mati, istriku sempat berpesan tentang perkara pelarungan abu hasil kremasi. Aku tidak melupakannya.
Jam empat pagi. Aku berjalan dengan sedikit tertatih. Kuturunkan tabung logam dari atas bufet yang sudah kuanggap sebagai altar. Kuhapus semua debu yang melekat di tabung itu dengan ujung kaus yang kukenakan karena aku tidak mau istriku menderita penyakit asma atau pilek dan bersin-bersin. Kugenggam tabung itu, sebelum duduk lagi di sisi ranjang. Kemudian, kuletakkan tepat di sebelahku. Pelan, kuraba kantong celanaku untuk mengeluarkan sebungkus gula-gula asam yang kubawa dari toko.
"Istriku, sudah enam belas tahun sejak kusimpan abumu di sini. Aku belum mati juga," kuhela napas. Kuletakkan bungkusan gula-gula asam, bersisian dengan tabung. "Ini kubawakan gula-gula asam kesukaanmu. Jangan marah. Aku tahu kamu sempat membencinya. Tapi di tempatmu sekarang tidak ada kebencian lagi, bukan? Aku tahu, dalam hatimu, kamu masih menyukai gula-gula asam ini. Ah, aku lupa kalau kamu sudah tidak punya tangan.
Kuraih lagi bungkusan gula-gula asam, kugigit plastiknya sampai terbuka, lalu kukeluarkan sebutir, kuletakkan tepat di sisi tabung hingga saling bersentuhan.
"Aku tahu ini tidak wajar. Aku melarang anak-anak untuk melarung abumu. Bukan karena aku berusaha menghalangi perjalananmu. Tapi, memang, aku berusaha menghalangi perjalananmu. Sabar. Sabarlah di neraka. Aku mau kau menungguku. Hingga abu kita bercampur jadi satu, dan melarung ke tengah laut. Aku akan menjemputmu lalu kita berangkat ke surga bersama-sama. Atau, kamu bisa main-main kemari.
Lalu, aku ingat rencana besarku."Aku akan mengadakan sebuah makan malam, Istriku. Di rumah ini saja supaya kamu tidak perlu pergi ke mana-mana. Aku akan membuatnya seindah yang kubisa untuk membayar pesta pernikahan kita yang tidak pernah diadakan. Ingatkan malaikat maut untuk datang. Kalau mau, dia boleh datang bersamamu. Aku tidak akan cemburu. Lalu, bujuk dia untuk menjemputku supaya kita lekas bertemu."
Pelan. Karena, aku tidak tahu cara lain untuk bergerak selain melakukannya secara perlahan, kuletakkan tabung logam di atas bufet, di sebelah kaleng WD40 dan sebungkus gula-gula asam. Kemudian, kubuka laci di bufet itu dan kusentuh anak kunci yang tergeletak di sana.
Kamar kosong itu harus segera dibersihkan.
***
Telepon Genggam
Ini harus terlaksana secepatnya, tapi bukan berarti dilakukan dengan cara ini. Setelah tempo hari menemukan klip staples terselip dalam makananku, kali ini aku mendapati sebuah jarum jahit. Kusisihkan jarum kecil itu, ukurannya hanya sedikit lebih panjang dari sebuku ruas jari kelingking, bahkan takcukup berguna untuk bisa kupakai menjahit terpal. Mungkin, ini jarum jahit yang dipakai anakku untuk mengelim seragam anaknya. Inilah akibat dari kebodohan yang berkolaborasi dengan ketidaktelitian. Ceroboh.
Kalau begini caranya, aku tidak mungkin menyuruh anak-anakku memasak menu makan malam kematian. Selain ketidakterandalan mereka; yang harusnya mati aku, bukan malaikat maut. Kalau mereka kembali ceroboh memasukkan benda-benda tajam, aku celaka (setelah sebelumnya mencelakai malaikat maut). Klip staples bekas dan jarum jahit bukanlah sajian menu yang tepat karena benda tajam bisa membuat Malaikat Maut mati tersedak, kecuali Malaikat Maut adalah seniman kuda lumping yang senang mengunyah beling. Aku meragukannya. Malaikat Maut tidak boleh mati sebelum mencabut nyawaku (kalau setelah itu dia mau bunuh diri—terserah). Jadi, kusimpulkan bahwa untuk mendapat sajian makan malam yang bebas-benda-tajam aku harus menyewa perusahaan penyedia makanan.
"Ambilkan aku buku kuning," ucapku pada si C.
"Buku kuning?"
"Iya. Buku kuning. Buku tebal yang berisi daftar nomor telepon."
"Tapi—“
"Sudah. Jangan banyak omong. Ambilkan saja."
Lalu, si C pergi beberapa menit. Mengobrol dengan si B dan D. Mereka pasti membicarakanku karena kulihat mata mereka berkali-kali melirikku. Alih-alih membawakanku buku kuning, si C kembali dengan membawa alasan yang juga tidak bisa kupakai untuk mencari nomor telepon perusahaan katering.
"Kita sudah tidak punya buku kuning, Ayah."
"Bagaimana mungkin kita tidak memilikinya?" Kupegang gagang telepon di sampingku—kupakai untuk menunjuk ke arah mukanya. "Jika kita punya sambungan telepon, seharusnya kita punya buku kuning."
"Perusahaan telepon sudah tidak mencetak buku kuning lagi, Ayah."
"Bagaimana mungkin? Kita sudah disiplin membayar tagihan telepon, dan kewajiban mereka adalah menyediakan buku kuning."
"Mereka sudah memutuskan untuk tidak mencetaknya lagi karena sudah ada internet."
"Tidak seharusnya keberadaan internet menghilangkan kewajiban mereka mencetak buku kuning! Kita sudah membayar!"
"Ayah harus menyampaikan itu pada perusahaan telepon, bukan padaku."
"Ah! Sudah! Berikan aku nomor perusahaan telepon! Aku mau protes!"
Si C memberiku nomor yang cuma berisi tiga angka. Aku menghubunginya, dan diangkat oleh seorang perempuan yang tidak berhenti bicara walau aku sudah menyuruhnya diam. "Ayah takmungkin mengajaknya berdebat, itu suara mesin penjawab," si C menambahkan, dan membuatku makin kesal. Bahkan, perusahaan telepon negara juga berisi orang-orang yang terlalu pemalas untuk berbicara langsung padaku, dan menyuruh untuk menekan angka nol kalau ingin berbicara dengan operator. Tentu saja, aku ingin bicara dengan manusia. Entah berapa kali aku harus mengulang-ulang memencet nomor telepon tiga-angka karena mesin itu terus berinisiatif memutuskan sambungan. Ternyata, di hari ini, untuk bicara dengan manusia pun membutuhkan usaha yang rumit, dan kalau operator itu adalah semacam mesin penjawab juga, aku bersumpah untuk membanting pesawat telepon ini. Toh, aku tetap membantingnya karena operator itu malah menyuruhku bertanya pada internet untuk mendapatkan nomor telepon perusahaan katering (setelah sebelumnya menawariku berkenalan dengan orang Cina bermarga aneh. Wai Fai. Tentu saja, aku menolaknya). Ah! Dunia sudah terlalu disesaki oleh manusia-manusia takberguna (yang sekadar memberiku nomor telepon perusahaan katering saja tidak mampu).
Kupanggil anakku sekali lagi. Aku melihatnya sering menggunakan telepon genggam berlama-lama, dan kuduga dia tahu caranya berbicara pada internet.
"Pinjamkan aku telepon genggammu."
"Tapi, ayah juga punya telepon genggam."
"Aku tidak punya."
"Punya. Aku pernah membelikannya. Dan, Ayah cuma menyimpannya di dalam laci."
Ah, terpaksa kukeluarkan benda itu dari laci.
"Aku tidak punya nomornya, dan aku butuh bicara dengan orang yang bernama Internet itu."
"Internet bukan orang dan Ayah tidak mungkin meneleponnya."
"Lalu, siapa dia?"
"Entahlah, dia siapa. Tapi, Ayah bisa mencari informasi di dalamnya. Internet bisa menjawab semua pertanyaan."
"Kau juga bertanya pada internet?"
"Iya."
"Apa yang kau tanyakan?"
"Apa saja. Alamat, nama orang, harga buku pelajaran, toko seragam sekolah—apa saja."
"Bagaimana caranya?"
Si C meminta telepon genggamku, dan langsung kuserahkan padanya. Kemudian, dia mencolokkan telepon itu ke sambungan listrik di dekat mejaku, mengotak-atiknya. Sementara, aku berpikir: Bagaimana dia bisa percaya pada orang yang takdikenalnya? Bagaimana jika si Internet itu berbohong?
"Untunglah, paket kuotanya masih ada."
"Apa yang kau lakukan? Jangan sampai ada orang yang mengirimiku paket apa pun. Aku tidak akan memesan itu." Apalagi, kalau yang dikirimnya adalah paket berisi kuetiau.
"Ini," si C menyodorkan kembali telepon genggam sambil menggeleng.
"Apa?"
"Ayah lihat dulu layarnya. Ada daftar perusahaan katering di Kota Ini. Ayah tinggal geser-geser halamannya dengan jari. Itu Gugel. Jika Ayah ingin mencari yang lain, tinggal klik, ketik, enter. Gugel akan menunjukkan hasil pencariannya."
Kuturunkan kaca mata ke ujung hidungku waktu anakku menunjukkan caranya. Bahkan, tidak ada tulisan ‘enter’ di layar ini. Tapi, kulihat anakku memencet sebuah tanda panah dengan ukuran tombol yang lebih besar di pojokan.
"Hmm," kuperhatikan baris-baris tulisan di layar telepon genggam. Go-ogle. Orang tuanya terlalu pemalas untuk mencari nama yang lebih baik. Siapa lagi dia? Mungkin, memang banyak orang takdikenal yang secara takkusadari sudah masuk ke dalam telepon genggamku.
Awalnya, aku merasa agak canggung menggunakannya karena aku tidak terbiasa bertanya pada orang asing, namun lama-kelamaan bisa juga kulakukan. Geser. Klik. Geser. Klik. Ketik. Enter. Geser. Klik. Hmm. Ternyata, internet adalah semacam surat-menyurat, dan tidak sesulit yang kukira. Internet mengirimiku banyak tulisan. Aku berhasil mendapatkan beberapa nama perusahaan katering berikut nomor telepon mereka.
"Halo?"
"Selamat siang. Dengan Jasa Katering Aroma d'Bleura di sini. Ada yang bisa kami bantu?" tanya orang di sebelah sana.
Dan, aku berpikir kalau pemilik jasa katering ini telah memelesetkan kata "Blora" agar terdengar canggih.
"Apakah kamu mesin?"
"Bagaimana, Pak?"
"Oh, berarti kamu bukan mesin."
"Maksudnya, Pak?"
"Tidak. Tidak. Aku hanya ingin menanyakan tentang jasa kateringmu."
"Baiklah," ia menjawab. "Boleh saya tahu untuk acara apa?"
"Untuk acara makan malam kematian."
"Ooh. Kami turut berduka cita."
"Tidak perlu. Aku belum mati."
"Bagaimana, Pak?"
"Sudah, lupakan ucapanku barusan," aku memotong. "Intinya, aku membutuhkan jasa katering untuk sebuah acara makan malam."
"Baiklah, Pak."
"Apakah kamu bisa?"
"Bisa, Pak. Tapi ... begini saja. Supaya jelas, silakan Bapak kirim email dulu ke alamat (ini) dengan mencantumkan nama acara, tanggal, waktu, jumlah undangan, dan porsi yang dibutuhkan. Nanti, akan ada staf kami yang menghubungi."
"Imel? Siapa dia?"
"Email. Surat elektronik, Pak."
"Jadi, kita akan berkirim-kiriman surat?"
"Cukup satu kali saja, Pak, supaya kami mudah memperhitungkannya (hmm, aku suka pada orang yang membuat perhitungan). Setelah itu kita bisa bicara lewat telepon," ia melanjutkan. "Sebelumnya, makan malam ini untuk berapa orang, Pak?
Aku berhitung-hitung. Aku hanya akan mengundang anak-anak dan menantuku. Aku tidak ingin mengundang cucu-cucuku. Biarlah mereka dengan urusannya sendiri.
"Pak?"
"Iya. Iya. Sepuluh."
"Sepuluh ribu?"
"Sepuluh orang. Sebelas, jika aku dihitung."
"Cuma sebelas orang?"
"Kenapa memangnya? Apakah aku tidak boleh membuat makan malam untuk sebelas orang?"
"Boleh, Pak. Tapi, pemesanan minimal kami adalah seratus porsi."
"Apa?"
"Seratus porsi."
"Maksudku, apa kamu tidak punya otak? Aku cuma mau membuat makan malam untuk sebelas orang. Buat apa aku memesan seratus por—"
Tut. Tut. Tut. Dan, kuanggap artinya dia tidak ahli berhitung dan aku tidak perlu mengirim surat apa pun pada Imel. Imel takkan bisa membantuku mencari menu makan malam.
***
Telepon Genggam.2
"Ncek, mau membantu teman saya ini?"
Kupikir, pedagang pecel lele itu datang untuk mencicil utangnya lagi. Tapi, tidak. "Membantu bagaimana?"
"Iya. Dia pemasok ikan lele hidup yang selama ini mengirim ikan ke tempat saya," ia memulai pemaparan. "Sekarang, ia ingin menernak ikan lelenya sendiri."
"Oh, membantu. Apa yang bisa aku bantu?" Kualihkan pandanganku pada laki-laki di sebelahnya.
Teman laki-lakinya itu meneruskan, "Saya mau membuat kolam lele dari terpal. Ncek sudah pengalaman membuatnya?"
Aku mengangguk, "Aku sudah pernah membuatnya beberapa kali. Kamu butuh berapa kolam?"
"Untuk awal, tiga dulu, Ncek. Kolam penampungan bibit, pembesaran, dan untuk lele yang akan dipanen."
"Pompa-pompanya sudah ada?"
"Ada, Ncek. Tinggal kolamnya saja."
"Sudah tahu ukurannya?"
"Sudah, Ncek. Ini," ia mengeluarkan secarik kertas berisi coret-coretan yang sudah agak lusuh. Kunaikkan kaca mataku. Hmm, artinya ia pernah mengecek ke toko lain.
"Sudah pernah mengecek ke toko lain?"
"Sudah, Ncek."
"Dapat harga berapa kamu?"
"(Segini), Ncek."
"Pakai bahan apa?"
"(Ini)."
"Ah! Jangan menipuku. Tidak mungkin. Aku sudah lima puluh tahun jualan terpal. Yang berani kasih harga segitu cuma departemen sosial," jawabku. "Naikkan sedikit."
"Kalau (segini), Ncek?"
"Sudah. Aku tidak suka berdebat. Aku kasih harga pas saja. (Segini). Kamu sudah dapat kualitas bagus punya. Bagaimana?"
"Hmmm."
"Kalau kamu tidak mau, silakan kamu cari kolam itu di departemen sosial saja. Aku jamin tidak akan ada toko yang berani kasih harga segitu."
"Itu sudah sama ongkos pasangnya, Ncek?"
"Sudah. Kamu tinggal tahu beres saja. Cincai?" Ia mengangguk. Kemudian aku mengajaknya bersalaman. "Uang mukanya 50 persen, ya."
"Iya, Ncek."
Kupandang mata si pedagang pecel lele yang tersenyum penuh kebanggaan. Apa? Oh, aku tahu. Dia sedang mengatakan kalau dirinya tidak setidak-berguna yang aku bayangkan. Sesungguhnya, aku sudah senang jika ia mencicil utang secara tepat waktu saja. Bila tidak bisa memberi manfaat, paling tidak seseorang tidak memberi kesusahan pada orang lain. Itu sudah cukup. Dan, pedagang pecel lele itu cukup membuatku bisa tersenyum hari ini—dalam hati. Baiklah, mungkin aku boleh mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah cicilan utangnya sebagai ucapan terima kasih karena sudah membawa pelanggan baru. Itu sudah lebih dari cukup. Jangan berharap lebih.
Kupanggil anakku dan kuserahkan spesifikasi pengerjaan kolam lele itu padanya, "Jangan keliru lagi."
Dan, ia merengut seakan-akan aku tidak boleh bersikap preventif pada kebodohan dan ketidakpedulian. Aku sudah pengalaman dengan kebodohan yang dilakukan berulang-ulang, terutama kebodohanku sendiri yang sempat mengira bahwa cinta bisa mengalahkan segala-galanya. Ada yang bisa mengalahkan cinta, yaitu harta, kata-kata manis, dan tentu saja, perjodohan.
Aku sempat mengira bahwa kedekatanku dengan gadis itu akan memperlancar segalanya. Walau, ternyata tidak begitu juga. Sebelum laki-laki itu datang, (selain A-Pe’) aku adalah satu-satunya laki-laki dalam hidupnya (setidaknya pada tiga bulan pertama). Aku tidak perlu menghitung kuli-kuli yang bekerja di toko beras. Walau, gadis itu selalu baik pada semua orang, cuma aku yang bisa sedekat ini dengannya—tinggal di rumahnya, kedekatan yang bisa membuat banyak orang iri, termasuk kuli-kuli panggul yang dulu berebutan pelanggan denganku. Di antara mereka, cuma aku yang akhirnya diajak bekerja di toko beras. Wajar, bukan perkara apa-apa, tapi mulut dan otak mereka berisi kotoran.
"Bagaimana?" tanya seorang kuli panggul waktu aku sedang beristirahat.
"Bagaimana apa?" aku membalas.
"Sudah dapat?"
"Dapat apa?"
Kemudian, dia memperagakan sebuah gerakan tangan yang mampu mengubah kata "dapat" jadi "sudah kau tiduri dia?". Isi perutku mendadak naik ke dada. Tanganku nyaris melayang, namun aku berhasil menjinakkan isi perutku agar kembali lagi ke tempat asalnya—perut. Aku berdiri dan hendak pergi menjauhi mereka.
"Sudah lihat dia—?" Ia memperagakan gerakan perempuan membuka baju.
Aku sudah benar-benar akan meninggalkannya. Namun, ia tidak berhenti. Malah, menarik pundakku hingga berputar, dan kulihat tangannya bergerak naik-turun di depan selangkangan. Sekarang, kubiarkan isi perutku bukan cuma naik ke dada, tapi sampai ke tenggorokan. Kepalan tanganku meluncur menuju wajahnya. Dia langsung membalasnya, namun tidak terlalu berasa. Aku ingin memberinya pelajaran. Dan, aku tidak takut mati. Kutunggu ia melakukan tindakan selanjutnya. Ia hampir melompat untuk menyerangku, namun teman-temannya menghalangi dengan memegang kedua tangannya sambil menunjuk-nunjuk dan menarik tubuhnya.
"Dasar komunis!" dia mendesis, lalu mereka bubar.
Segini saja? Aku sempat heran, namun keheranan itu segera pudar waktu aku berbalik dan menemukan penjaga pasar sudah ada di belakangku.
"Ada apa?"
Aku menggeleng dan ikut membubarkan diri. Apa itu komunis? Aku terlalu sering mendengarnya tanpa pernah tahu artinya. Terlalu banyak orang yang gemar mengatakan hal-hal yang tidak mereka pahami. Aku tidak paham, tidak perlu paham, dan merasa kalau kata-kata sejenis itu tidak berguna. Aku pernah melihat anak muda seumurku mencoret-coret tembok belakang pasar dengan cat; perkara aku tidak bisa membaca, aku tidak terlalu yakin tapi aku merasa dia menulis kata-kata sejenis itu juga, karena setelahnya ada gerombolan orang yang mengejar-ngejarnya. Entahlah, apa yang terjadi kemudian dengan mereka. Orang-orang macam itu seperti tidak sadar kalau sekeras apa pun kata-kata diteriakkan tidak akan pernah mengenyangkan. Perutku lapar, dan lebih bagus aku makan di tempat lain. Aku berjalan kembali ke toko beras sambil membawa kotak makanan yang sudah kupersiapkan dari rumah. Gadis itu dan ibunya yang memasak isinya. Aku bersyukur kotak itu tidak jatuh dan tumpah. Kalau sampai itu terjadi, entahlah, mungkin aku bisa membunuh mereka semua.
***
Menunya masih sama: sayur bayam dan tahu goreng, tidak ada alasan lain kecuali penghematan. Benarlah, tiada jaminan bahwa berhemat bisa membuatku jadi kaya, tapi berhemat bisa membuatku mampu bertahan lebih lama dalam kemiskinan, memang cuma itu yang diperlukan. Sambil duduk di meja kerja di bagian belakang toko terpal, aku memandang kotak makanan. Semoga kali ini aku tidak menemukan cangkul atau linggis di dalamnya. Aku sudah terlalu tua untuk membuka toko bahan bangunan.
Sambil itu, aku berpikir, jika aku mengundang malaikat maut ke sebuah makan malam lalu menyajikan menu ini, apakah tidak membuatnya merasa terhina? Kalau malaikat maut sampai terhina, dia mampu menghukum dengan mengulur-ulur hidupku lagi. Tidak boleh sampai terjadi. Aku harus memastikan ia bisa datang (dengan menyiapkan denah akurat), dan memastikan ia pulang dalam keadaan kenyang setelah makan dengan bersemangat. Tentu saja, dibutuhkan makanan yang enak, atau minimal, cukup enak. Bakmi?
Aku takterlalu menyukai bakmi, tapi bakmi mengingatkan pada istriku. Sepertinya, makanan itu harus ada. Namun, dari pembicaraan pelangganku, aku mengetahui bahwa mi bukanlah makanan yang terlalu baik untuk kesehatan karena terigu mengandung gluten. Aku tidak mau membuat malaikat maut kesal karena membuatnya kurang sehat akibat terlalu banyak mengonsumsi gluten. Jadi, aku juga butuh makanan lainnya.
Makanan apa?
Ah, kalau saja istriku masih hidup, ia pasti tahu makanan apa yang paling cocok untuk disajikan dalam sebuah makan malam menjelang kematian. Ia akan dengan mudah menyusun daftar menu yang pas. Aku sempat kebingungan karena tidak bisa memutuskan menu apa yang akan kupesan dan di katering mana aku akan memesannya.
Aku sudah menghubungi belasan perusahaan katering, dan hasilnya sama saja: Nihil. Alasannya pun sama: minimum order alias jumlah pemesananku terlalu sedikit. Tapi, ada salah satu dari mereka yang tidak begitu saja memutuskan sambungan telepon—seorang gadis yang mengatakan padaku: Jika Bapak ingin membuat makan malam yang cuma dihadiri sebelas orang, mungkin sebaiknya Bapak menggunakan jasa katering hotel saja. Harganya memang lebih mahal, namun tidak perlu memesan makanan sebanyak itu, tambahnya. Ia juga mengatakan bahwa aku bisa saja memesan makanan yang tidak tercantum dalam daftar menu, jika mereka bersedia melakukannya.
Akhirnya, ada juga manusia yang tidak cuma memikirkan uang, dan tidak berkeberatan untuk memberiku jalan keluar. Kuucapkan terima kasih pada gadis itu. Ia juga bersedia untuk kembali dihubungi jika aku mengalami kesulitan.
"Apakah aku perlu membayar untuk jasa konsultasi ini?"
Terdengar suara kekehnya di ujung telepon, "Tidak, Pak. Saya senang sudah bisa membantu, dan konsultasi ini gratis. Ini nomer telepon pribadi saya." Ia menyebut sederet angka. "Sebentar lagi, saya akan kirim beberapa nomor Chef hotel yang mungkin bisa membantu. Apakah Bapak punya WA? Atau, Line?"
"Apa?"
"Kalau begitu, saya kirim lewat sms saja, ya, Pak."
Aku terdiam sebentar sebelum kuucapkan, "Terima kasih, Dik."
"Sama-sama, Bapak."
Aku menutup telepon dengan perasaan menyesal: Mengapa anak-anakku tidak bisa bersikap sesederhana itu?
***
Telepon Genggam.3
Menjahit terpal adalah perihal sederhana, mengantarkannya ke lokasi yang diinginkan pelanggan lebih sederhana lagi, hanya butuh mobil bak, sopir, dan alamat penunjuk (juga denah, jika diperlukan). Namun, bahkan untuk perkara sesederhana itu, anak-anakku masih bisa melakukan kesalahan. Mengantarkan kolam lele kepada pemilik mobil bak adalah kesalahan yang sulit ditolerir bahkan oleh orang bodoh sekalipun. Laporan itu kuterima saat berada dalam perjalanan menuju sebuah hotel untuk bertemu juru masak yang ditawarkan oleh gadis baik pemasar katering. Pemesan terpal penutup mobil bak itu bingung dengan barang yang diantar.
"Ncek, saya bukan hendak beternak lele di atas mobil bak. Bagaimana bisa ada kolam terpal diantar kemari?" tanyanya melalui telepon.
"Bagaimana?"
"Bukankah kemarin pesanan saya sudah cukup jelas? Kenapa saya malah menerima kolam bulat ini?"
Aku menduga saat ini pemilik mobil bak itu sedang berkacak pinggang di hadapan kolam pembesaran lele yang tidak dipesannya. Aku cuma bisa menghela napas untuk menghadapi permasalahan ini—yang bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, belum terlalu lama, pernah juga pemesan payung terpal malah menerima terpal panjang pesanan seorang pedagang nasi goreng—yang seharusnya tidak diantar karena ia akan mengambil pesanan itu sendiri. Mungkin, ini ujian dari malaikat maut yang sudah menerima kabar tentang makan malam itu dari istriku. Makin dekat dengan waktu makan malam kematian, makin banyak kesalahan yang dilakukan oleh anak-anakku, seakan malaikat maut sedang berkata: Kalau kau mati lebih cepat, anak-anakmu takkan bisa menjalankan bisnis itu sendiri.
"Maafkan saya, Pak," jawabku pada pemilik mobil bak. "Anak-anak saya sudah keliru melihat jadwal pengantaran."
"Kalau begini caranya, bagaimana mungkin saya akan memesan terpal pada Ncek lagi?" ia mengomel. "Saya baru saja memesan lima belas mobil bak yang rencananya akan saya siapkan penutupnya. Kalau begini, lebih baik saya memesan dari toko lain."
"Maafkan saya."
Ia menutup telepon tanpa mengucapkan salam, meninggalkan aku yang sudah tidak tahu bagaimana cara membela diri dalam permasalahan seperti ini. Langsung kusuruh sopirku itu untuk berbalik arah dan menambah kecepatan mobil sambil berpikir bahwa membawa telepon genggam adalah sama dengan membawa masalah ke mana-mana. Aku ingin segera tiba di toko terpal sebelum toko itu tutup. Aku ingin tahu letak penyebab kesalahan itu. Apakah ini semata kebodohan mereka atau memang aku yang sudah salah mencatat.
Jadi, setibanya di toko aku segera membuka catatan pengantaran. Kuteliti berulang kali dan tidak kutemukan kesalahan apa-apa, selain kesalahan cara kerja otak yang secara sial terjebak dalam tengkorak milik anak-anakku. Betapa tidak beruntungnya otak-otak itu. Kupanggil semua anak-anakku.
"Kalian ingin membuatku serangan jantung?"
"Maaf, Ayah. Kami sudah tertukar saat melihat jadwal. Kami pikir—"
"Mungkin, sebaiknya kalian tidak usah berpikir. Cukup baca jadwal pengantaran ini dengan benar dan ikuti."
Aku dulu juga tidak bisa membaca, dan aku belajar keras untuk bisa menulis dan membaca. Istriku itu yang mengajari bagaimana cara merangkai huruf-huruf agar bisa terbaca—sebelum kami menikah. Termasuk, menghitung angka-angka menggunakan sempoa. Tulisan tanganku bisa cukup jelas terbaca, jadi kalau mereka—yang sudah pandai membaca sejak kanak-kanak—keliru membacanya, aku tidak tahu lagi siapa yang laik dipersalahkan. Rasanya, aku ingin menuntut pemerintah yang sudah menyusun kurikulum pendidikan nasional yang gagal membuat anak-anak memiliki kemampuan memahami makna dari bacaan. Memberantas buta huruf sambil menyabotase kemampuan membaca adalah sebuah ketidakmasukakalan. Lebih jauh, aku ragu kalau kurikulum itu memang benar-benar ditujukan untuk membuat anak-anak pandai membaca. Mereka hanya dilatih meracaukan bacaan seperti merapal mantra sehingga ketika anak-anak itu beranjak dewasa, mereka tidak mampu memahami isinya. Aku menduga banyak orang dewasa yang membaca sebagaimana manusia buta huruf membaca.
Bahkan, bisa jadi orang buta huruf mampu membaca dengan lebih baik. Atau, tidak.
Nyatanya, waktu itu, aku tidak mampu membaca gelagat-gelagat A-Pe’ yang merencanakan sesuatu untuk anak perempuannya. Cukup lama sebelum aku mengetahui bahwa gadis itu dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang laki-laki yang sepadan. Laki-laki itu kaya, tampan, dan pandai berbicara dalam bahasa Inggris. Aku cuma setitik noda di kemeja putihnya yang bisa dihilangkan dengan cara membeli baru.
Sebelum bulan keempat, semuanya baik-baik saja. Empat memang angka sial. Antara bulan pertama dan bulan ketiga adalah masa aku merasa memiliki rumah yang bersedia menampungku setelah panti asuhan itu. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di panti asuhan karena—katanya—orang-orang sepertiku harusnya jadi anak orang kaya. Dan, kenyataannya tidak begitu juga. Sebelum akhirnya aku menyadari perbedaan-perbedaan yang kumiliki, aku telanjur merasakan perbedaan-perbedaan itu menjadi alasan buat anak-anak lain (di panti asuhan itu) untuk memusuhiku. Bahkan, orang tua asuh juga tidak berpihak padaku, dan tidak merasakan ada perlunya pusing-pusing mencari saat aku memutuskan kabur dari sana.
Usiaku baru sepuluh tahun waktu tiba di pasar lain (kira-kita saja karena di panti asuhan, tanggal lahir adalah tanggal seorang bayi ditemukan, atau sesuka-suka ibu asuh saja), dan kusadari bahwa orang-orang sepertiku banyak bertebaran di pasar, jadi pedagang kelontong, minyak, beras, plastik, atau apa pun yang bisa dijual. Sayangnya, tiada satu pun yang jadi kuli panggul sepertiku. Mungkin, aku anak haram yang dibuang ke comberan padahal seharusnya jika kedua orang tuaku (yang takpernah kuketahui ujudnya) bersedia menikah resmi, mungkin seharusnya aku jadi anak pedagang yang berangkat ke sekolah mengenakan seragam, dan merayakan tahun baru dengan makan ikan bandeng. Jadi, kalau waktu itu aku tidak lancar membaca, tidak sepenuhnya kesalahanku. Tidak ada manusia yang keberatan kalau anak sepertiku tidak mampu membaca di usia itu. Mungkin, karena aku memang seberbeda itu hingga perbedaan itu perlu dipertegas lagi dengan ketidakmampuanku membaca lambang-lambang bahasa. Walau, masa itu mengajariku bahwa tong sampah juga mampu menyediakan makanan.
Bahasa taklebih dari bunyi yang dibatasi artinya, dan keterbatasan itu membuatku tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh orang-orang sejenisku. Tapi, aku paham bahasa lain, yaitu: bahasa tangan. Ketika kepalan tangan mendarat di muka tanpa kuketahui alasannya, artinya: keberadaanku tidak diinginkan. Dan, artinya aku harus pergi. Dan kepergianku dari pasar lain itu membawaku mengembara dari pasar ke pasar sampai tiba di pasar ini—pasar yang terlalu besar untuk menyadari kalau aku ada, dan tidak repot-repot juga mengusirnya. Aku bertahan di pasar itu, hingga lima tahun setelahnya. Aku tumbuh dari kejauhan sambil memandang gadis itu. Lalu, seperti yang diketahui, aku pindah ke rumah ini. Satu-satunya tempat bukan-pasar setelah panti asuhan itu.
Gadis itulah yang kembali memperkenalkanku pada angka dan huruf.
"Kakak tidak bisa bicara bahasa Hokkian?"
Aku menggeleng.
"Berarti juga tidak bisa menulisnya?
Aku menggeleng.
"Dialek Cina yang lain?
Aku menggeleng.
"Bahasa Indonesia?
Aku mengangguk.
"Menulis Bahasa Indonesia?
Aku menggeleng.
"Mungkin sebaiknya Kakak belajar menulis dan membaca bahasa Indonesia dulu, karena catatan-catatan dari pemasok dan pembeli menggunakan bahasa Indonesia. Hurufnya cuma 26. Lebih mudah dari Bahasa Hokkian. Jika sempat, aku akan mengajari Kakak membaca dan menulis Bahasa Hokkian."
Sejak saat itu, sampai suatu waktu, aku membaca, terus membaca, membaca apa saja. Potongan koran. Halaman lepas majalah. Idrus. Chairil. Buku-buku yang disodorkan gadis itu. Dan, penyair-penyair Cina terjemahan karena sampai akhir hidupnya, istriku taksempat mengajarkan bahasa itu. Namun, Bahasa Indonesia sudah cukup membuatku bahagia. Aku mencintai Bahasa Indonesia yang membuatku bisa mengabadikan suara-suara dalam kepala—menceritakan kisah ini padamu. Jadi, kini kau tahu bagaimana gadis itu membuka dunia dan kotak nasib yang selama ini menjebakku dengan menyibak rahasia huruf-huruf, dan aku mengira kalau laki-laki itu akan menutupnya lagi.
*
Pikiran memang perlu dibuka, dan setelah terbuka diperlukan pengawasan agar bukan sampah dan kotoran yang memasukinya. Aku belum terlalu memperhatikan, tidak melihat tanda-tanda bahwa laki-laki itu akan muncul. Pengetahuanku terlalu terbatas, bahkan untuk sekadar mengetahui tentang cara makan bakmi yang baik dan benar. Sebelum laki-laki—yang dijodohkan A-Pe’—itu datang, kira-kira satu setengah bulan sebelumnya, gadis itu mengajakku ke belakang pasar.
"Kakak belum pernah makan bakmi?
Aku menggeleng.
"Atau, mi apa pun?
Aku menggeleng lagi.
"Orang-orang seperti kita seharusnya sudah makan mi sejak lahir," lanjutnya. "Paling tidak, beberapa tahun setelah lahir, karena bayi tidak perlu makan apa pun selain minum air susu ibunya.
Aku diam karena aku bahkan tidak mengingat siapa ibuku.
"Makan mi harus diseruput dengan cara tidak terputus," ujarnya. "Supaya kita selalu diberkahi dengan umur, jodoh, dan rezeki yang panjang."
"Kau ... percaya itu?"
Gadis itu mengangkat kepalanya seakan ia tidak pernah mendengar suaraku sebelumnya. Sambil mengedikkan bahu, ia menjawab, "Anggap saja sebagai doa. Tidak ada salahnya bukan?"
Ia langsung mempraktikkan apa yang barusan dikatakannya. Bibir mungilnya menyeruput mi dengan bantuan sumpit tanpa terputus. Aku memandang kepalanya yang menunduk ke arah mangkuk (bahkan posisi seperti ini tidak menghilangkan kecantikannya). Hidung mungilnya jadi hiasan yang tepat untuk wajahnya, seperti pasangan paling cocok untuk bibir tipisnya yang merah jambu. Bibir itu jadi tampak lucu waktu sedang menyeruput mi. Mendadak ia mengangkat kepalanya, tersenyum, lalu meraih mangkuk kecil di samping tangannya untuk menyeruput kuah juga dengan suara. Lalu, ia melanjutkan, "Juga, kebahagiaan."
Aku diam sebentar sebelum mengulang kata-katanya barusan, "Kebahagiaan." Aku berbisik pada diriku sendiri. Sepertinya, gadis itu takmendengarnya.
"Cobalah."
"Apa?"
"Cobalah," ia mengulang. "Seruput mi itu seperti caraku. Kalaupun tidak bisa memanjangkan apa-apa, paling tidak itu adalah cara makan mi yang menyenangkan.
Aku mengangguk dan menyetujui bahwa ini menyenangkan, walau ternyata aku tidak terlalu suka makan mi, seperti ada cacing terpeleset ke dalam mulutku.
"Sebenarnya aku bisa membuat bakmi sendiri, tapi ini juga enak," lanjutnya. "Kapan-kapan, aku akan membuat bakmi sendiri. Kakak harus mencicipinya."
Aku mengangguk dan seminggu kemudian ia benar-benar memenuhi kata-katanya. Ia membuat bakmi dengan kuah babi yang kental dan potongan-potongan daging lembut. Walau, sampai detik ini aku tidak terlalu menyukai mi, namun aku menyadari kalau masakan gadis itu tidak akan kulupakan, dan aku merasa perlu memasukkan bakmi ke dalam menu makan malam itu; akan kusampaikan pada juru masak.
Berkat gadis baik pemasar katering itu, hari ini aku bisa bertemu dengan seorang juru masak yang (katanya) andal. Aku sempat menduga bahwa harga yang akan ditawarkan pasti mahal, tapi gadis itu bilang: Harga bersesuaian dengan kualitas; pun, aku menyetujuinya.
"Aku ingin bakmi ada dalam daftar menu makan malam itu," ucapku pada si juru masak yang duduk tepat di hadapanku. Kepalanya botak dan alisnya tebal seperti keset salah tempat.
"Baiklah," ia menjawab sambil menulis di buku catatannya.
"Bakmi."
"Iya, Pak," ia mengangguk. "Bakmi."
"Bukan mi ayam."
"Iya. Bakmi. Bukan mi ayam."
"Kau tidak boleh salah."
"Sudah saya catat. Bakmi. Dan. Bukan. Mi. Ayam."
"Apakah ... kau tahu bedanya bakmi dan mi ayam?"
Juru masak itu meletakkan pulpen yang sedang dipegangnya, "Saya sudah puluhan tahun jadi juru masak. Saya lulusan sekolah masak paling terkemuka di Indonesia, juga di luar negeri. Tentu saja, saya tahu pasti apa perbedaan bakmi dan mi ayam, sejelas saya bisa membedakan mana tangan kiri dan mana yang sebelah kanan." Ia diam sebentar untuk memandang mataku lalu melanjutkan, "Ada lagi yang mau Bapak sampaikan tentang bakmi dan mi ayam?"
"Tidak."
"Baiklah, bisa kita lanjutkan? Bapak menginginkan menu apa lagi?"
Ah, aku menyukai orang ini. Dia tahu apa yang sedang ia lakukan.
"Aku ..., hmm, tapi, kau tahu bedanya kuotie dan kuetiau, bukan?"
Ia meletakkan pulpennya lagi, dan aku makin menyukai orang ini. Dia memang juru masak yang aku cari. Dia tidak seperti orang-orang bodoh yang pernah aku temui.
"Seminggu lagi, Bapak tolong luangkan waktu untuk melakukan test-food."
"Tesfut?"
"Iya. Saya akan membuat contoh semua makanan yang Bapak inginkan untuk dicicipi Kalau ada yang kurang, Bapak bisa sampaikan kepada saya.
Aku mengangguk-angguk.
"Apakah cukup jelas, Pak?"
Aku mengangguk. Orang pintar memang akan membuat perihal-perihal rumit jadi jelas dan sederhana, sementara kebodohan adalah kepandaian jenis lain yaitu pandai membuat rumit hal-hal yang sebenarnya sederhana.
***
Telepon Genggam.4
Orang bodoh tersebar di mana-mana. Sebenarnya, sama sekali bukan masalah. Sampai, orang-orang bodoh ini tidak menyadari kalau diri mereka bodoh. Fatalnya, mereka gemar merasa pintar. Aku cuma mendengar kuli beringas yang tempo hari nyaris berkelahi denganku berkata pada seseorang, "Kalian berdua bisa diterima bekerja dan mendapat gaji karena kalian sejenis. Cina. Komunis."
Ternyata ia bicara kepada pembantu bodoh yang selalu membantu gadis itu membuka toko, dan pembantu bodoh itu membalasnya dengan "revolusi". Lalu, mereka mulai memperdebatkan perihal-perihal yang jelas tidak akan pernah mengenyangkan perut.
Kuli beringas itu berkata, "Orang-orang seperti kalianlah yang mengambil manfaat dari pribumi."
"Pribumi atau bukan pribumi, kalian adalah orang-orang bodoh yang tidak tahu bahwa revolusi tidak akan pernah bisa dihentikan."
"Dasar, anjing."
Aku terpaksa mendengar perdebatan mereka dari sela tembok depan dan tumpukan papan penutup toko, ada ruang sempit di antara keduanya yang masih bisa jadi tempatku duduk untuk makan (seharusnya) dengan tenang. Mereka sudah merusak ketenanganku makan. Jadi, kututup lagi kotak makananku, berdiri, dan berjalan keluar untuk mencari tempat lain untuk makan tanpa perlu mendengar suara perdebatan mereka.
"Ini dia begundal satu lagi," kuli beringas itu menunjukku.
Aku cuma menengoknya sebentar lalu meneruskan berjalan. Menjauh. Aku telah belajar bahwa berbicara dengan orang-orang yang terlalu gemar meneriakkan kata "komunis", "nasionalis", "revolusi", "rakyat", dan sejenis itu, siapapun mereka, mendukung salah satu kata atau tidak mendukung, mereka semua sama saja, tidak akan pernah bisa memecahkan masalah karena mereka-lah masalah yang sebenarnya harus dipecahkan. Mereka terus bertarung antara satu sama lainnya. Aku cuma mau makan dan segala kata itu telanjur diteriakkan dengan suara kelewat lantang sampai membuat mereka semua tuli, sementara aku cuma mau duduk tenang dan (sekali lagi) makan. Baru dua langkah aku berjalan, tiba-tiba terasa sebuah pukulan keras membentur tengkukku. Tidak cukup keras untuk membuatku mati atau pingsan, namun sudah cukup untuk membuatku terjerembab hingga kotak makanan di tanganku terlepas, jatuh, dan isinya buyar ke mana-mana. Sambil bersimpuh (nyaris seperti sujud), aku menarik napas sembari memandangi nasi putih berhamburan di lantai pasar yang kotor, dua jengkal dari mukaku. Isi perutku langsung naik ke kepala tanpa bisa kukembalikan lagi ke tempatnya.
Kotak makanan ini dibuat oleh gadisku, aku mendesis.
Kakiku terasa bergetar, begitu juga lenganku. Jari-jari tanganku mengepal—menahan-nahan gerakan apa pun yang menyerang. Sulit. Pelan aku berdiri. Aku tahu kalau kuli beringas itu berdiri satu setengah lengan jauhnya dari punggungku. Aku bisa merasakan udara menderu-deru di lubang hidung, juga gigiku yang menggeletuk. Kemudian, dengan ringan, aku berbalik, berputar, sambil meluncurkan tinju ke arah mukanya. Terlalu mudah. Bogemku telak mengenai rahangnya. Ia terhuyung, mencoba berdiri tegak. Aku memajukan kakiku selangkah lagi ke arahnya, lalu bogem berikutnya meluncur lurus seperti gerak lambat. Deras. Kali ini, tepat mengenai hidungnya. Ia jatuh terduduk ke belakang dengan hidung mengeluarkan darah. Matanya cuma melotot, lalu meringis. Sepertinya, ia belum sadar tentang apa yang baru saja terjadi. Kulangkahkan kakiku sekali lagi. Mendekat. Kupakai tangan kiriku untuk menarik kerah bajunya, membuatnya berdiri. Kutarik tangan kananku seperti sedang merentang busur panah, dan baru saja aku hendak meluncurkan bogem ke mukanya sekali lagi, sebuah tangan menarik bajuku ke arah belakang. Keras. Sampai, bahuku berputar. Tangan kiriku terlepas dari kerah bajunya. Aku nyaris terjungkal, untunglah sebelah kaki yang tadi nyaris kehilangan keseimbangan langsung menemukan pijakan.
"Pergi kamu dari sini!" teriak A-Pe’ sambil melepaskan pegangannya.
Aku terperanjat, "Saya, Pe’?"
"Bukan! Kamu!" A-Pe’ menunjuk kuli beringas itu. "Kamu sudah membuat kekacauan. Dia sudah tidak meladenimu, tapi kau terus mencari keributan."
"Ncek—" kuli beringas itu membelalak.
"Jangan pikir aku tidak melihatnya."
Mata si kuli beringas itu mendelik dan kulihat tangannya bergerak. Aku segera menarik tubuh A-Pe’ ke belakang dan menghalanginya dengan tubuhku karena khawatir kuli beringas itu memukulnya. Tapi, dia tidak melakukannya (atau tidak sempat) karena salah seorang temannya keburu menahan, memegang lengannya. Kalaupun dia berhasil meluncurkan tinjunya, dia cuma akan mengenaiku yang tentu saja tidak akan tinggal diam. A-Pe’ sekilas menatap tajam ke arahku.
"Biarkan dia melakukan itu," tantang A-Pe’. "Kalau tangannya sampai menyentuhku, kupastikan kalau nasibnya akan berakhir di penjara."
Kuli beringas itu mencoba melepaskan pegangan tangan temannya dengan napas terengah-engah, namun takberhasil. Akhirnya, ia menyerah dan temannya mengendurkan pegangan.
"Kau tidak bisa membuatku dipenjara," teriak si kuli beringas pada A-Pe’.
"Tentu saja aku bisa. Banyak saksi yang melihatmu memukul dari belakang.
Kuli itu diam.
"Ada lagi?
Tidak ada yang menjawab, namun orang-orang jadi ramai mengerubung, menonton keributan, menimbulkan suara bisik yang berdengung-dengung.
"Sudah. Bubar," ujar A-Pe’ sambil berbalik melangkah masuk ke dalam toko. Aku mendengar A-Pe’ masih mengomel. "Situasi sedang susah begini, kalian malah cari keributan.
Aku dan pembantu bodoh mengikuti langkah A-Pe’, sementara masih kulihat kuli beringas itu berdiri takjauh dari toko. Dia dan seorang temannya tampak melanjutkan perdebatan. Entah apa lagi yang mereka ributkan.
"Sekali lagi kalian meladeni keributan, kalian yang akan kupecat. Sekarang, panggil petugas keamanan pasar," ucap A-Pe’ pada pembantu bodoh yang langsung tergopoh pergi dan kembali bersama orang yang dimaksud. Aku mendengar A-Pe’ mengomel juga kepadanya, "Kamu setiap hari minta uang keamanan, tapi waktu ada keributan batang hidungmu tidak muncul. Apa saja kerjamu selain minta uang?
Ia diam saja. Mukanya memerah.
"Aku mau kamu tidak cuma bisa minta uang. Kerja. Kalau sampai orang itu (maksud A-Pe’ adalah kuli beringas yang baru saja diusirnya) mendekati tokoku dan membuat keonaran lagi, kamu yang akan kuadukan pada atasanmu.
Petugas keamanan itu masih diam.
"Kamu dengar?"
"Iya."
Lalu, petugas keamanan itu pergi. Kulihat dia menarik kerah si kuli beringas sambil berbisik-bisik, dan aku makin mengagumi A-Pe’ yang memiliki ketelitian dalam melihat, berpikir, dan memutuskan sesuatu. Satu-satunya keputusan A-Pe’ yang aku sesalkan adalah dia pernah menjodohkan anaknya dengan orang lain. Gadis itu—yang dari tadi cuma berdiri dekat meja di tengah toko—mendekat, dan aku mendengarnya berbicara pada A-Pe’ dengan suara pelan, "A-Pa juga jangan mencari keributan. Situasi sedang tidak aman."
"Justru itu. Buat apa ada petugas keamanan kalau malah jadi tidak aman?" jawab A-Pe’. "Tugas dia adalah membuat pasar jadi aman."
Gadis itu takmenjawab lagi. Dan, sejak itu kuli beringas itu tidak pernah mendekat ke toko beras, sampai bertahun-tahun kemudian.
***
Jam empat pagi dan dari luar masih terdengar rintik-rintik hujan sisa semalam membentur atap pergola yang ditutupi lembaran plastik tebal. Setelah membelai tutup tabung logam di atas bufet, aku kembali membuka laci dan memindahkan kunci yang tersimpan di sana ke dalam kantong serut bermotif bordir bunga peony merah-putih, kainnya tidak benar-benar biru lagi melainkan bercampur warna hitam karena dimakan waktu dan tercampur daki dan kotoran. Kalau habis kucuci, tampak warna aslinya yang sudah memudar.
"Istriku, aku akan membereskan dan mengubah sedikit posisi barang dalam kamar kosong itu. Rencananya, aku akan membuat makan malam itu di sana.
Aku berkata sambil memandang tabung logam.
"Jadi, aku akan memindahkan dipan di dalam kamar itu ke tempat lain. Kau tidak keberatan, bukan? Setelah ini, kau tidak akan membutuhkan dipan itu lagi.
Aku berhitung-hitung. Kalau dipan itu sudah dipindahkan, rasanya kamar itu cukup besar untuk bisa menampung meja makan panjang dan sebelas kursi yang akan kusewa dari perusahaan jasa penyewaan alat pesta. Ah, iya, aku belum menghubungi mereka. Besok, aku akan bertanya pada si Internet.
"Mungkin, aku akan memindahkan dipan itu ke gudang. Lemari pakaian bisa tetap dibiarkan di sana karena tidak terlalu banyak mengambil tempat. Tapi, meja kerja dan kursinya harus kukeluarkan juga agar lebih lega."
Istriku diam saja dan kuanggap itu adalah persetujuan. Aku mengangguk-angguk sambil berbalik menuju nakas di samping tempat tidur dan meletakkan kantong serut itu di atasnya. Untunglah, dulu, aku tidak mengizinkan anak-anakku menggunakan kamar itu.
Beberapa bulan lalu, si D pernah berkata padaku, "Ayah, sayang sekali jika kamar kosong itu dibiarkan kosong saja. Sementara, kita kekurangan kamar tidur."
"Mengapa hal itu harus jadi urusanku?"
"Bukan begitu, Yah."
"Lalu?"
"Alangkah baiknya kalau kamar itu bisa bermanfaat, daripada dibiarkan kosong dan jadi sarang hantu."
Hantu? Aku langsung berbalik pergi dan tidak berselera untuk melanjutkan percakapan. Aku tidak pernah bisa memahami jalan pikiran mereka. Sekarang, mereka menuduh ibunya sendiri sebagai hantu. Bisa kutegaskan bahwa tidak semua hal yang takterlihat adalah hantu, asal kita punya sedikit perasaan dan keinginan untuk memahami perihal-perihal yang takterlihat. Pun, kalau benar arwah istriku berada dalam kamar itu sebagai hantu, tidak ada yang perlu ditakuti. Hantu tidak mungkin menyakiti siapa-siapa lagi, apalagi kalau hantu itu adalah arwah istriku.
Waktu istriku mati di kamar itu, aku menduga bahwa (selain di neraka) ia akan menungguku di sana sampai tiba waktuku untuk menyusulnya. Itulah sebabnya aku membiarkan dipan tidur itu tetap ada di dalamnya, sehingga kalau istriku lelah setelah menempuh perjalanan dari neraka, ia bisa beristirahat dengan tenang. Juga, lemari yang selalu siap seandainya ia ingin mengganti pakaian bersih. Aku rasa, hal itu wajar dilakukan alias perkara itu tidaklah mengherankan mengingat istriku juga orang yang senang memperhatikan orang lain. Ia tidak pernah membiarkan orang lain kelaparan.
"Kau sudah makan?" gadis itu bertanya setelah kejadian pengusiran kuli beringas, lebih seperti memancing-mancing karena ia jelas melihat bagaimana kotak makanannya terjerembab dan isinya buyar di lantai pasar.
"Maafkan ... aku. Aku ... tidak bisa menjaga kotak makanan itu dengan baik."
Gadis itu tersenyum sedikit sambil mengembuskan napas, "Aku heran. Mengapa Kakak malah memikirkan kotak makanan? Aku yang seharusnya berterima kasih karena Kakak sudah melindungi A-Pa."
"Aku ... tidak melindunginya."
"Jangan pikir kalau aku tidak melihatnya," ia tersenyum lagi. "Kakak sudah menarik tubuhnya waktu kuli itu hendak memukulnya."
"Dia ... tidak memukul."
"Sudahlah," gadis itu kini benar-benar tersenyum. "Ini," ia menyodorkan kotak makanannya. "Ambillah. Aku tidak terlalu lapar.
Aku menggeleng.
"Ambillah.
Aku menggeleng lagi.
"Kalau Kakak tidak mengambilnya, aku akan sedih karena sudah membiarkan Kakak tidak makan seharian. Padahal, kerja Kakak berat."
Aku tidak suka gadis itu bersedih dan telah berikrar bahwa aku akan menghukum diriku sendiri bilamana membuatnya bersedih sehingga kuraih kotak makanan dari tangannya dengan perlahan, dan sepertinya suaraku mengucapkan "terima kasih" terlalu pelan sampai ia tidak mendengar.
Permainan ingatan memang menyedihkan. Aku masih bisa mendengar potongan suaranya setelah belasan tahun kematiannya, sejelas kejadian-kejadian kemarin.
Hari ini kembali sebagai pukul empat pagi, waktuku masih banyak, dan aku menyesalinya. Rasanya, aku ingin membuang semuanya, tapi aku masih butuh sedikit lagi. Sedikit waktu yang terjadi pada suatu dini hari—dini hari adalah waktuku untuk lari. Waktu paling istimewa bagiku, waktu yang memberiku sedikit ruang untuk merasa tenang. Perjalananku pernah dimulai pada suatu dini hari. Aku ingin kembali. Tidak ada cara untuk itu. Aku telah berusaha menghindar dari kenangan atas kehidupan, namun tiada yang mengalahkan ingatan pada kematian. Jadi, bisa kusimpulkan: Jika takbisa menghindar, berjalan berdampingan dengan kematian adalah pilihan lainnya. Aku sudah memulainya. Kamar kosong itu sudah mulai dibersihkan. Siapa yang bisa membersihkan ingatan? Aku takbisa menyuruh siapapun kecuali diriku sendiri. Jadi, kuseka kaca jendela dengan pakaian kotor seakan bisa menyingkirkan segala perasaan, debu segera menempel di permukaan kain. Tapi, ingatan dan kenangan tetap mengeras di tempatnya. Takseperti kamar kosong itu, kamar ini takmemiliki teras, namun memiliki jendela yang menghadap langit. Rumah-rumah tetangga masih menyalakan lampunya. Waktu berubah, begitu pun langit. Bintang takpernah hadir lagi di langit Kota Ini. Bintang hanya hadir sebagai lagu yang liriknya seperti diguratkan dalam-dalam di permukaan tengkorak. Anak-anakku telah berubah menjadi keparat, padahal sebelumnya pernah kunyanyikan lagu indah di telinga mereka dengan suara yang takterlalu merdu.
Beribu bintang taburan
Menghiasi langit hijau
Menambah cantik alam dunia
Serta murni pemandangan
Bintangku hilang dan hidupku berjalan ke arah kamar mandi. Mesin pemanas air tenaga surya masih terus mengasihaniku. Engsel pintu kamar mandi belum waktunya untuk disemprot WD40, masih terbuka dengan cara begitu mulus. Kehidupan takkan pernah berjalan dengan cara semulus itu.
***
Telepon Genggam.5
Numerologi adalah pengganggu kehidupan, dan aku heran mengapa angka empat harus diciptakan jika bisa membawa kesialan kalau bukan pembawa kematian. Empat bulan setelah aku pindah ke rumah A-Pe’, aku makin dekat dengan anaknya karena dalam rumah ini memang hanya ada kami berempat, dan empat adalah angka pembawa kematian.
Tapi, aku suka angka-angka.
“Untuk sisi ini, tiap biji nilainya satu,” ucapnya. “Untuk sisi ini nilainya lima.
Aku mengangguk sambil bergantian menatap jari dan bibirnya.
“Jadi, lima karung beras yang masing-masing berisi lima puluh kilogram, nilainya—“
Aku memperhatikan jari-jarinya yang berujung bulat dengan kuku bening menggerakkan batu-batu sempoa ke sana kemari. Pelajaran berhitung taksesulit pelajaran membaca karena angka-angka—betapapun panjang urutannya—cuma ada sepuluh. Dari nol sebagai tiada dan berturut-turut naik untuk kembali jadi nol lagi. Nol di belakang angka baru jadi bermakna. Nol yang sendirian tidak ada artinya, juga nol-nol yang berkumpul dengan sesamanya.
Aku sekarang nol yang sendirian dan terus bisa diabaikan.
“Kalau kakak bisa cepat menguasainya, mungkin, kakak bisa membantuku di toko,” ucap gadis itu.
“Benarkah?”
Gadis itu mengangguk dan kembali menjelaskan tentang bagaimana biji-biji sempoa mewakili perhitungan. Entah karena aku menyukai angka atau mungkin perihal lainnya, aku tidak ingin pelajaran ini usai. Toh, gadis itu merasa lelah dan harus kubiarkan dia beristirahat.
Aku baru saja masuk ke dalam kamarku setelah dua jam memperlancar kemampuanku mengawinkan angka-angka juga huruf-huruf. Aku sedang berusaha mengingat pelajaran apa yang baru saja diberikan gadis itu. A-Pe’ memanggilku, dan aku menghadapnya. Gadis itu berada di kamarnya, mengurung diri. Aku tidak terlalu tahu apa yang baru saja terjadi, tapi aku menyadari bahwa mereka terlibat perdebatan. Aku hanya mendengar gadis itu berteriak sebelum membanting pintu: A-Pa egois! Aku tidak berniat menguping pembicaraan mereka, karena perbuatan itu tidak pantas. Lalu, beberapa menit kemudian, ketika aku sudah berdiri di depan A-Pe’, kulihat matanya masih memerah, mungkin karena menahan kekesalan. Ia menyuruhku duduk.
"Kamu dan anakku sudah seperti kakak-adik," ucap A-Pe’. "Kamu ingin anakku bahagia, bukan?" Aku mengangguk. Aku ingin gadis itu bahagia. A-Pe’ balas mengangguk, "Bagus. Aku harap kau bersedia membantuku." Aku mengangguk, aku suka membantu orang. A-Pe’ mengangguk lagi, "Jadi, aku ingin kamu meyakinkan anakku kalau laki-laki yang akan kukenalkan ini adalah orang yang cocok untuknya. Ia anak pedagang minyak tanah yang cukup kaya. Ia akan mewarisi usaha dan harta ayahnya sehingga laki-laki ini kelak bisa menjamin kehidupan anakku setelah aku mati nanti," lanjutnya. "Kamu setuju untuk membantu?"
Saat itu, aku belum terlalu ahli untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, apalagi pada pernyataan yang begitu masuk akal. Aku cuma sebentuk ketidakmasukakalan untuk A-Pe’. Apa aku punya pilihan selain mengangguk? Sebagian isi kepalaku ingin menggeleng, namun yang kulakukan adalah mengangguk (lagi), dan semenjak itu aku tidak terlalu suka membantu orang, dan mulai menghalalkan kegiatan menguping pembicaraan.
*
Sekitar April atau awal Mei 1961, laki-laki itu muncul di depan rumah A-Pe’. Ia mengenakan kemeja putih, dasi, jas, celana kain coklat gelap, dan sepatu kulit berkilap—bersama kedua orang tuanya yang mengenakan baju berkerah tinggi, entah apa namanya. A-Pe’ menyuruhku membukakan pintu waktu mereka baru turun dari mobil yang mereka tumpangi. Mobil itu tampak seperti potongan-potongan roti bantal berwarna hitam. Mereka masuk ke dalam lalu duduk di ruang tengah, minum teh di sana, untuk selanjutnya menuju ruang makan. A-Pe’ menyuruhku untuk mengintip dari balik pintu dapur sambil menilai apakah ia laki-laki yang cukup baik untuk anak perempuannya. Aku menganggapnya sebagai laki-laki tahan cuaca panas yang mampu mengenakan baju setebal itu di sini.
Entah apa saja yang mereka bicarakan, tapi wajah gadis itu kelihatan tidak terlalu tertarik sehingga waktu mereka makan bakmi, aku bisa melihat gadis itu tidak makan mi dengan cara menyeruputnya. Ia menggigit mi sampai putus. Aku cuma memandangi sampai mereka pergi. Barulah kemudian aku keluar untuk membereskan semua peralatan makan yang mereka gunakan. Gadis itu membantuku walau aku sudah bilang kalau aku bisa mengerjakannya sendiri.
"Kau juga akan memaksaku, Kak?" balas gadis itu waktu kami cuma tinggal berdua di ruang makan yang hampir beres. Padahal aku cuma bilang: Mungkin ... dia cocok denganmu.
"Aku—“
"Aku tidak menyangka kalau Kakak juga tega memaksaku menikah dengan laki-laki itu." Ia mengelap meja seperti hendak membuat permukaannya terkelupas.
"Bukan—"
"Sepertinya, isi rumah ini memang tidak memikirkan tentang apa yang aku inginkan atau rasakan." Ia menyerahkan sebuah mangkuk besar ke tanganku.
"—begitu."
"Aku—bahkan!—baru satu kali bertemu dengannya. Tadi. Lalu, semua orang memintaku untuk memutuskan apakah aku bersedia menikah dengannya atau tidak?" Ia menumpuk peralatan-peralatan makan di atas mangkuk besar itu lalu meneruskan mengelap dengan cara yang sama hingga ke pojok-pojoknya.
"Itu untuk kebaikan—"
"Itu tidak masuk akal."
"—mu."
Aku terdiam, tidak memikirkan perkataannya melainkan perasaanku sendiri. Ada perasaan aneh yang membuat jantungku berdebar-debar dan ujung-ujung jariku bergetar sendiri seperti takterkendali. Aku mulai takut mangkuk-mangkuk ini akan terlepas dari tanganku. Mukaku terasa panas, waktu gadis itu menengok padaku.
"Kenapa Kakak tersenyum?"
"Ti—dak," jawabku.
"Ah, sudahlah. Semoga mereka tidak sakit kepala setelah makan bakmi yang keasinan tadi," ia menggeleng lalu memandangku yang masih berdiri sambil memegang tumpukan mangkuk dan peralatan makan. "Kakak yang akan mencucinya?"
Aku mengangguk dan ia berlalu tanpa tersenyum. Aku ingin bertanya pada seseorang tentang apa itu bahagia. Sayangnya, aku tidak punya siapa-siapa. Jadi, aku berjalan ke cucian masih dengan membawa perasaan aneh itu. Entah apa namanya, tapi rasanya menyenangkan. Aku membasuh mangkuk-mangkuk dengan sabun dan air sambil mencoba memikirkan. Lalu, aku ingat kejadian bodoh waktu kali pertama memberikan gula-gula asam di pasar. Mirip. Tidak sama. Cuma serupa.
Selanjutnya, secara berkebalikan, aku juga jadi memahami bahwa seiring naiknya perasaan menyenangkan itu, aku juga makin mudah merasakan sesuatu sebagai perihal yang tidak menyenangkan.
Mulai akhir bulan Mei atau awal Juni 1961, laki-laki itu datang lagi ke rumah, tidak bersama orang tuanya, dan tidak lagi mengenakan baju setebal itu. Pun, beberapa kali setelahnya. Seberjalannya waktu, ia jadi makin sering datang, dan kedatanganya selalu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan. Sebulan. Dua bulan. Tiga bulan. Dia bisa datang hari Minggu di setiap akhir pekan. Tiba-tiba, situasi berubah bersama keputusan gadis itu yang mendadak bersedia menikahi laki-laki yang dipilih A-Pe’. Rasanya seperti ada benda berat menimpa kepalaku sebagaimana gulungan terpal yang—entah bagaimana caranya—bisa menggelinding dari tempatnya ketika tukang angkut—yang tubuhnya seperti tentara itu—bersama si C dan si E sedang menyusunnya di rak besi yang terletak tepat di belakang kursi yang kududuki.
Aku membenci gulungan terpal yang hendak menimpa kepalaku, tapi aku lebih benci lagi pada laki-laki berbadan tentara itu. Aku bersumpah kalau aku tidak akan pernah memberinya gula-gula asam lagi, meski ia memohon-mohon seumur hidupnya. Rautnya seperti tidak punya rasa bersalah. Ia cuma diam dan memasang wajah bodoh. Anak-anakku sama saja, walau sedikit agak lebih baik. Tadi, kalau saja aku tidak (secara tidak sengaja) memajukan posisi pantatku ke depan karena hendak meraih pulpen, gulungan itu akan menyeret kepalaku ke lantai bersama leher, punggung, pantat, dan kursi yang sedang kududuki. Aku meragukan kalau usahaku untuk menjaga kesehatan tulang leher masih ada gunanya kalau kejadian itu benar-benar terjadi. Sekarang, gulungan itu teronggok tepat di antara punggungku dan sandaran kursi. Takurung, sempat membentur punggung tuaku dan membuatnya mulai terasa berdenyut-denyut.
"Bodoh!" teriakku.
"Maafkan kami, Ayah," ucap C dan E secara nyaris berbarengan. "Kami sudah kurang tepat."
"Pergilah kalian ke dokter syaraf! Mungkin Tuhan sudah melakukan kesalahan pemasangan hingga serabut-serabut syaraf kalian tidak terpasang dengan tepat di otak. Semoga dokter itu mampu memperbaikinya."
Mereka berdua terdiam berpandang-pandangan, namun itulah seringan-ringannya hukuman untuk kebodohan. Aku menggeleng sambil berharap kejadian barusan takmerusak syarafku.
***
Tongkat Rotan
Aku suka bulan purnama karena mengingatkanku pada lagu "Di Bawah Sinar Bulan Purnama", atau mungkin, sebaliknya, aku menyukai lagu itu karena mengingatkanku pada bulan yang sesungguhnya; ombak, dan buaian. Lagu itu mengingatkanku juga pada tahun 1963, waktu si A lahir. Aku sering menimang-nimangnya dengan menyanyikan lagu itu karena cuma lagu itulah satu-satunya yang aku tahu.
Di bawah sinar bulan purnama
Air laut berkilauan
Berayun-ayun ombak mengalir
Ke pantai senda gurauan
Satu tahun sebelumnya aku menikah dengan gadis itu; dinikahkan oleh seorang pendeta di gereja tanpa kehadiran A-Pe’ dan istrinya, padahal aku dan istriku jelas-jelas tidak menyembah Tuhan yang terpaku pada kayu salib itu. Pendeta itu cuma menolong kami karena perasaan kasihannya. Aku menganggap setidaknya di antara sekian banyak Tuhan, salah satunya mengakui bahwa kami adalah suami-istri. Buatku yang dibuang di panti asuhan dalam keadaan tanpa Tuhan, aku tidak terlalu bermasalah dengan Tuhan mana pun karena, toh, aku tidak mengenali satu pun dari Tuhan-Tuhan itu. Buatku, mereka sama saja.
"Sebenarnya, aku ingin menikah dengan sebuah upacara yang dihadiri A-Pa dan A-Ma, juga para leluhur," ucapnya. Aku tahu upacara apa yang ia maksud. Jelas, bukan upacara pernikahan yang dipimpin oleh seorang pendeta dan saksi-saksi yang tidak kami kenal.
"Apakah ... kamu ingin membatalkannya?"
Ia menggeleng. "Sejak kecil, mungkin, baru kali ini aku bisa melakukan apa yang kuinginkan sendiri. Aku tidak akan membatalkannya. Tidak akan pernah."
Aku mengangguk sambil menganggap bahwa ia juga tidak berkeberatan untuk menikah di hadapan Tuhan yang ini. Dulu, ibu asuhku di panti asuhan (lebih tepatnya: tongkat rotan yang selalu sigap di tangannya) selalu memaksa anak-anak di sana berangkat ke masjid untuk sembahyang pada waktu-waktu tertentu, tapi tidak dilakukannya padaku. Ia membiarkanku bingung. Mungkin, karena bentuk mataku menegaskan kalau orang tua kandungku telah menaruhku di gerbang panti asuhan yang keliru dan Ibu Asuh itu meyakini bahwa di langit pernah terjadi kesepakatan antar Tuhan bahwa anak dari orang tua yang berasal dari kubu Tuhan tertentu sudah direken dan dimiliki oleh Tuhan yang sama. Bentuk mataku adalah tanda bahwa aku tidak mungkin sekubu dengan Tuhannya. Sehingga, ia tidak pernah memperkenalkanku pada Tuhan lain itu atau berikutnya bisa terjadi pertengkaran antar Tuhan dalam memperebutkan pengikut. Pertengkaran antar Tuhan tentu akan jadi sangat mengerikan, bukan?
Toh, telah kuhabiskan sepuluh tahun pertama hidupku di sana setelah sepasang orang tua yang tidak hendak mengambil tanggung jawab meletakkan masa kecilku dalam kotak yang salah. Mungkin, ini memang nasib yang digariskan untuk keluargaku. Dalam satu cara atau cara lainnya, kekeliruan terus bergulir seperti takdir buta yang menuntun kami dalam kegelapan. Sekarang, aku ingin tahu, di manakah panti asuhan itu?
“Apakah kau tahu di mana alamat Departemen Sosial?” tanyaku pada si B setelah entah yang ke berapa kali aku menemukan benda asing dalam makananku. Aku menyisihkannya lagi sebelum memakan sisanya.
“Untuk apa?”
“Aku ingin meminta daftar panti asuhan.”
"Untuk apa Ayah meminta alamat panti asuhan?" tanya si B.
"Karena aku tidak ingin menghubungi panti jompo," jawabku. Aku tahu bahwa menjebloskanku ke panti jompo bisa membuat anak-anakku bahagia. Sayangnya, walau saat ini aku cuma seorang laki-laki tua renta berpenyakit darah tinggi dengan punggung memar karena nyaris tertimpa gulungan terpal, aku tidak akan pernah mati di atas kursi lapuk panti jompo. Tidak. Tidak mungkin. Bagaimana aku tahu? Mungkin, sama seperti istriku yang bisa yakin begitu saja tentang waktu kematiannya sendiri.
Aku bisa melihat mata anak-anakku menajam, dan aku menduga bahwa mereka mengira kalau aku akan menyerahkan harta warisku kepada panti asuhan. Mereka tidak salah, namun tidak sepenuhnya benar juga. Aku menyesali fakta bahwa aku pernah sepuluh tahun dibesarkan dalam panti asuhan itu, tapi aku juga tidak bisa membantah kenyataan kalau panti asuhan itu berjasa. Jika mereka takmenampungku waktu itu, aku tidak di sini sekarang, dan sudah jadi makanan anjing. Jadi, panti asuhan harus jadi bagian dalam rencana makan malam itu. Aku masih memikirkan caranya. Sepertinya, aku akan butuh pengacara. Keahlianku menguping bisa menunjukkan bahwa anak-anakku khawatir tentang ke mana harta warisku akan mengalir. Aku tidak punya keinginan untuk meluruskan pikiran kusut mereka. Seharusnya, mereka tenang saja karena aku bukan orang yang sebaik itu.
Mereka memang takterlalu mengenalku.
Pun, aku meragukan kalau mereka memahami bahwa panti asuhan itu berjasa pada mereka. Mereka tidak akan lahir jika panti asuhan itu tidak ada. Mereka juga tidak akan bisa meributkan tanah dan rumah ini, atau memperdebatkan kamar kosong itu. Manusia berhutang budi pada semua kepahitan-kepahitan dalam hidupnya, pada masa lalu, juga pada kenangan-kenangan yang hendak dilupakan karena kebahagiaan tidak punya kekuatan yang lebih besar dari kepahitan untuk mengubah hidup seseorang, juga nasibnya. Jadi, dengan atau tanpa mereka, aku akan tetap mencari keberadaan panti asuhan itu. Toh, aku memiliki internet yang—walau kerap berdusta—bisa memberiku data-data.
*
Berkat internet pula aku jadi mengetahui bahwa cuma Laut Mati yang tidak terhubung pada laut. Dari yang kubaca, Laut Mati bukan laut seperti namanya dan lumpurnya dipakai sebagai masker penghalus kulit oleh turis-turis. Aku tidak mau abu mayatku jadi kosmetik perawatan wajah, jadi kupastikan bahwa abuku tidak akan pernah disebarkan di Laut Mati walau ada kata ‘laut’ dan ‘mati’ di sana.
Rasanya ironis. Aku ingin cepat mati, tapi kalau disuruh mati malam ini juga, terang-terang aku akan menolak karena ada kegiatan yang masih perlu kulakukan. Jadi, setelah pulang dari toko, aku mandi, lalu makan sedikit agar tidak kelewat lapar. Mencicipi makanan dalam keadaan lapar hanya akan menghasilkan nilai enak dan enak sekali sebagai hasil. Aku ingin memastikan kalau hal itu tidak terjadi. Setelah itu, aku meminta izin pada abu istriku di dalam kamar.
“Istriku, aku rasa kau masih gemar memasak di sana,” ucapku. “Di neraka, kau tidak akan bermasalah dengan kompor, bukan? Dugaanku, selalu tersedia kompor yang menyala di sana.
Istriku diam saja.
“Aku rasa, ia tidak akan memasak sebaik dirimu. Tapi, kalau aku harus mencari juru masak yang sepiawai dirimu, bisa-bisa makan malam ini tidak akan pernah terjadi. Jadi, aku harap kau memaklumi rasanya.”
Kemudian, aku membelai tabung logam itu dan menggeser kaleng WD40 menjauh. Juru masak itu sudah dekat, denah yang kuberikan padanya terbukti sudah berhasil menunjukkan lokasi rumah ini secara akurat. Asalkan malaikat maut tidak terlalu bodoh dan memiliki kemampuan membaca peta, seharusnya ia juga tidak tersesat. Kuhela napasku. Aku berdiri di balik pintu kamarku karena baru saja juru masak itu menelepon lagi, memberi tahu bahwa dalam waktu yang takseberapa lama ia akan tiba. Dengan suara berbisik-bisik, kudengar suara anak-anakku, membicarakan aku—tentu saja. Aku sudah terlalu terbiasa. Sepertinya, mereka sudah menyangka kalau aku tuli atau pikun. Biarlah. Tidak ada gunanya juga meluruskan pemikiran yang sudah terlalu lama bengkok.
Juru masak itu tiba dengan membawa banyak peralatan sampai aku sempat menyangka bahwa ia sudah salah paham tentang jadwal. Namun, tidak. Ia memang selalu membawa peralatan sebanyak itu. Dia yang bilang sendiri. Dan, persiapannya membutuhkan kira-kira 30 menit. Aku menggeleng ketika melihat hasilnya.
“Mengapa bentuk makanan ini seperti hiasan meja makan?” tanyaku ketika melihat bakmi disusun di atas sebuah benda keramik yang tampak seperti hasil persilangan gagal antara piring dan mangkuk.
“Hiasan meja makan?” wajahnya tampak mengernyit.
“Ini apa?” tanyaku sambil menunjuk sebuah teko kecil dan berharap dia tidak mencoba-coba mengawin silang bakmi dan teh panas.
“Ini kuahnya.”
“Kuah?”
“Iya. Kuah. Bapak tahu kuah, bukan?
Aku mengangguk.
“Apakah ada yang salah?” ia tampak curiga.
“Tidak. Tapi, ini seperti hiasan meja makan.”
“Hiasan meja makan?” ia mengulang lalu menggeleng seperti mengasihani aku. “Ini adalah keindahan.”
“Indah?”
“Seni.”
“Saya ... sedang memakan seni?”
“Chef adalah seniman dan yang dihasilkannya bukan makanan melainkan seni.
Aku tidak memahami ini. Bukankah aku memesan bakmi? Mengapa ia memberiku seni?
“Kalau Bapak tidak menyukai keindahan ala saya, mungkin Bapak bisa cari juru masak yang lain.”
Matanya tampak menajam.
“Tidak. Tidak. Bukan itu maksudnya,” jawabku. “Aku hanya tidak terbiasa dengan susunan semacam ini.” Aku memandang mi yang digulung sampai menyerupai sanggul kondangan, tiga potong pangsit goreng yang disusun saling menopang seperti monumen kematian untuk hewan peliharaan, dan dua batang daun bawang kurus seperti lidi menjulang yang ditancapkan di tengah-tengah. Potongan-potongan daging merah dadu berpinggiran coklat tua tersusun di pinggirnya. Kalau aku tidak tahu bahwa benda ini makanan, bisa saja aku menyangka benda ini bisa kupakai untuk mendengarkan siaran radio. Betapa rumitnya wajah bakmi hari ini, pikirku.
“Ini adalah bakmi khas hokkian yang telah dibawa ke tingkat berikutnya,” ujarnya.
Sungguh, aku baru tahu bahwa ada tingkatan pada bakmi seperti murid perguruan kungfu. Ah. Sudahlah. Yang paling penting adalah rasanya. Dengan bantuan sumpit, kuseruput mi itu sebagaimana gadis itu dulu melakukannya lalu menyeruput kuah langsung dari teko kecil itu. Aku langsung merasa telah menjadi seorang pemabuk kaldu babi.
“Pak, kuah itu bisa dituang dulu ke mangkuk kecil ini,” jelasnya. “Kita menggunakan teko khusus itu agar kuahnya bisa hangat lebih lama.”
Aku mengangguk-angguk sambil cukup terkejut karena ternyata rasanya enak sekali. Aku tidak tahu bagaimana cara menggambarkan rasa enak. Rasanya benar-benar seperti mi (karena makanan ini memang mi), hanya saja enak sekali. Kuah kaldu babinya terasa sekali babinya dan tidak seperti kaldu ayam. Mungkin, karena aku memang bukan memesan mi ayam. Dan, perlu kunyatakan bahwa ini adalah cacing terpeleset kedua paling lezat yang pernah kucicipi. Nomor satunya tetap buatan istriku. Istriku yang baik hati dan sudah mati.
“Bagaimana? Kalau Bapak tidak suka, kita bisa membatalkan kerja sama kita.”
“Tidak. Tidak. Aku ... aku sangat menyukainya.”
Sambil itu, aku berpikir bahwa makanan ini laik untuk lidah tajam istriku. Ia tidak perlu memasak di neraka dan membawa makanannya sendiri kemari. Dia akan menerima cita rasa makanan-makanan yang kupesan dengan baik.
*
Tongkat Rotan.2
Menjelang tahun 65 bukanlah masa-masa yang terlalu baik, jika aku tidak bisa mengatakan bahwa masa-masa menjelang tahun 67 lebih buruk. Waktu itu, satu-satunya cara bertahan hidup adalah menjaga diri agar tidak mati. Banyak orang hilang, bahkan mayatnya takditemukan (kalau benar dia mati). Orang tidak perlu bunuh diri lagi, karena siapapun bisa saja mati dengan sendirinya (entah karena satu alasan atau alasan lainnya). Buatku, hidup justru menjadi sangat berharga untuk dipertahankan karena dengan mudah bisa hilang. Cukup wajar untuk seorang manusia biasa: Baru menyadari harga kehidupan kalau sudah melihat betapa dekatnya kematian.
Zaman sedang mengajari kami cara efektif untuk berkelit dari kematian.
Menjadi pintar? Itu seperti keniscayaan. Manusia yang hidup zaman itu akan menyadari bahwa uang taklebih dari lembaran kertas, dan memang itulah yang terjadi di tahun-tahun itu: Uang taklebih dari lembaran kertas, bisa mengalir seperti air comberan, makin tidak berharga dan secara sebaliknya juga makin berharga. Air comberan yang mengalir di tengah gurun pasir bisa jadi laik minum, betapapun kotornya. Seperti itulah uang saat itu.
Dan, tidak diperlukan agama apa-apa agar orang yang pernah melewati tahun-tahun itu untuk bersyukur atas kenyataan bahwa mereka masih hidup selewat tahun 2000 karena kira-kira dua tahun sebelum itu, kejadian serupa berulang untuk kami. Memang, kami selalu berdoa agar ketakutan-ketakutan semacam itu tidak terulang, tapi aku tidak pernah bisa memastikan Tuhan mana yang bersedia mendengar dan mengabulkan doa-doa macam itu dengan cara saksama. Aku takut menuduh, tapi aku kerap merasa bahwa Tuhan yang satu selalu berusaha menjebak pengikut Tuhan yang lain. Tuhan-Tuhan takpernah bisa saling membiarkan, atau menyuruh pengikutnya untuk saling membiarkan dan takberusaha menjebak pengikut Tuhan lainnya. Selain, Tuhan seharusnya punya kekuatan untuk melindungi pengikutnya dari kekhawatiran akibat perasaan kalau mereka (selalu) sedang diserang oleh pengikut Tuhan lain. Tuhan seharusnya memberi rasa aman—terutama dari imajinasi mereka sendiri. Mungkin, Tuhan-Tuhan telah mewariskan seluruh kekuasaan pada manusia sehingga tidak merasa perlu repot-repot untuk melakukan sesuatu. Paling tidak, sepanjang waktu yang aku pernah tahu.
Atau, (aku curiga) telah terjadi penerjemahan serampangan atas ucapan Tuhan-Tuhan. Ada orang-orang takdikenal yang tengah berdusta. Sebagian dari mereka telah meyakini dusta-dusta.
19 tahun lalu, waktu aku masih berumur 57, taklama setelah hari pernikahanku yang ke-36, aku pikir aku akan terjebak dan mati lebih dulu, ternyata aku keliru. Berkali-kali aku punya kesempatan mati, dan berkali-kali pula aku tetap hidup. Mungkin, semua orang bisa menyangka kalau aku punya nyawa sampai sembilan, atau lebih.
"Itu! Itu pemilik toko ini!"
"Bunuh!"
Aku berlari secepatnya, namun berlari bukan perkara mudah untuk laki-laki 57 tahun yang tidak pernah berolahraga. Mereka berhasil mengejar, meringkus, dan menyeretku lagi ke depan toko terpal, mulai memukul wajahku dengan tangan kosong, kemudian menendang perutku berkali-kali. Sepertinya, ada batang kayu mendera punggungku, aku sudah tidak bisa membedakan. Aku hanya berusaha melindungi kepala dan wajahku. Aku pasti mati, pikirku. Tuhan, aku mati.
“Bakar!”
"Berhenti! Berhenti!" terdengar suara seorang perempuan. "Dia paman saya!"
Orang-orang takberhenti juga, masih menendang perutku seperti hendak memasukkannya ke dalam gawang. Di tengah kekacauan itu, aku mendengar ia menyebut nama Tuhannya lalu teriakan, "Berhenti!"
Tendangan-tendangan itu berhenti dengan aku tergolek di lantai pasar seperti sebungkus gula-gula asam takberdaya yang terjatuh dari tangan seorang bocah bodoh. Aku belum bisa menyeimbangkan kesadaranku lagi, meski percakapan mereka sebagian bisa kudengar.
"Tidak mungkin dia pamanmu."
"Kenapa? Karena saya berjilbab?"
Tidak ada yang menjawab. Entah berapa lama percakapan itu terjadi (aku takbisa mengingat seluruh isinya) sebelum kudengar seseorang berteriak, dan orang-orang itu pergi beramai-ramai, entah ke mana. Aku mencoba berdiri perlahan-lahan, baru terasa betapa kaku otot perutku. Punggungku terpaksa melengkung untuk menahan sakit. Perempuan itu membantuku bangkit. Kutarik napasku yang perlahan menenang, dan kusadari wajah perempuan yang takkukenali itu. Usianya mungkin 40-an.
"Kamu ... bisa mati," ujarku.
"Tentu saja saya bisa mati, Pak," jawabnya. "Tapi, sekarang saya masih hidup, 'kan?"
Kupandang matanya, "Terima ... kasih."
Ia malah tersenyum, "Bapak lupa pada saya?
Aku mencoba meneliti wajahnya, mencoba mengingat, tapi gagal.
"Bapak lupa? Saya adalah anak dari ibu pedagang nasi di samping pasar."
Napasku sedikit tertahan karena takmenyangka dia bisa muncul di sini. Dulu, dia masih kecil. "Bagaimana ... kamu bisa di sini?"
"Saya masih tinggal di rumah yang sama, dan ibu yang menyuruh saya segera kemari. Sebenarnya, ia sendiri yang ingin datang, tapi saya melarangnya karena dia sudah tua," jelasnya. "Saya dengar kalau ada rombongan orang datang. Ibu menduga toko Bapak mungkin dalam bahaya.
Aku terdiam waktu ia menyangkutkan selembar sajadah kain di pintu toko terpalku. Entah berapa harga sajadah itu, aku ingin membayarnya. Sayang, aku tidak membawa uang.
"Bapak sekarang pulang saja," ucapnya. "Saya juga akan pulang." Ia menyerahkan sajadah kain satu lagi. "Taruh ini di pagar rumah, ya, Pak."
Ia tersenyum, dan aku teringat wajah ibunya. Seharusnya, ia tidak perlu melakukan ini karena kejadian lampau itu sudah kuterima bayarannya secara langsung, telah lunas sejak lama. Kupandangi perempuan itu melangkah pergi.
Aku diam dengan perasaan heran bahwa aku masih hidup, dan mengingat bahwa waktu aku dipukuli, aku sempat menyebut nama Tuhan. Mungkin, Tuhan itu mendengar dan bekerja sama dengan Tuhan perempuan itu untuk tidak membiarkan aku mati, walau sesungguhnya aku sempat meminta hal yang sebaliknya.
Pasar langsung sepi dalam jangka cukup lama. Sekitar dua minggu pascakejadian itu tidak ada pedagang yang berani membuka toko. Namun, uang memang membuat semua orang berani mati. Pasar itu mulai dibuka lagi oleh beberapa orang dan diikuti oleh beberapa lainnya. Lalu, buka seluruhnya. Beberapa orang yang sempat mengompori untuk menjarah dan membakar toko terpalku berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Pun, aku mendiamkan saja. Aku berlindung dalam diamku karena pada zaman itu (dan zaman-zaman lainnya) diam selalu bisa dijadikan senjata.
***
Aku sepenuhnya sadar bahwa tidak selamanya diam bisa dilakukan, namun aku tidak cukup punya kata-kata untuk bisa mengungkap apa yang aku maksudkan. Aku hanya tahu bahwa aku tidak menyukai kedatangan laki-laki itu, sama seperti kedatangan laki-laki tukang angkut bertubuh tentara ke toko terpalku. Aku tahu kalau tukang angkut itu tidak melakukan apa-apa selain menjadi dirinya sendiri. Aku tidak punya cukup alasan untuk membencinya. Toh, kebencian bisa muncul untuk hal-hal tersembunyi. Padahal, secara sebaliknya, kukagumi juga keberanian tukang angkut itu untuk meminta gula-gula asam karena menjadi manusia adalah tentang apa yang berani diraihnya. Walau, sesederhana gula-gula asam.
Hidupku selalu dipenuhi gula-gula asam karena aku berniat mendapatkan dan mempertahankannya.
Tahun ini adalah 55 tahun pernikahanku, dengan 39 tahun kuhabiskan dalam keadaan hidup (sisanya lebih mirip kematian). Istriku mati tahun 2001, dan aku menganggap kalau 16 tahun ini aku masih menikah dengannya karena takpernah secuil pun muncul keinginan dalam benakku untuk mencari penggantinya sebab aku meyakini bahwa kematian dan perceraian adalah dua hal berbeda. Kematian tidak menceraikan pernikahan, dan aku adalah laki-laki yang menepati janji, termasuk janji pada istriku bahwa kematian cuma akan dilanda kekecewaan jika berniat memisahkanku darinya. Toh, aku terlahir sebagai bayi yang sendiri dan aku tidak keberatan untuk mati dalam keadaan sendiri.
Akan tetapi, cukup bisa dipahami pula, bahwa menyatukan dua orang adalah kerumitan yang sulit, dan memisahkannya bisa terjadi dengan cara begitu mudah—ini jadi semacam hukum alam tentang ketidakadilan. Aku hanya meminta keadilan untuk kali terakhir. Aku membenci bagaimana mudahnya laki-laki itu mengubah jalan pikiran gadis itu. Laki-laki itu kini berdiri sebagai pemenang dan aku adalah pecundang yang bersembunyi di balik kegelapan.
Taklama setelah gadis itu mengubah pemikirannya, pernikahan akan segera dilangsungkan. Mereka mulai membicarakan rencana-rencana. Dan, semua pembicaraan itu membuat tahun 1961 berjalan lambat. Tidak. Bukan itu. Tahun 1961 berjalan terlalu cepat sehingga aku merasa bergerak terlalu lambat. Aku tahu kalau aku harus menggagalkannya. Kudapatkan keyakinan itu dari pandangan mata gadis itu. Aku belum tahu bagaimana caranya. Aku harus segera menemukan cara, atau waktu akan terus menggilasku.
"Kak, aku akan menikah dengan laki-laki pilihan A-Pa."
"Benar—kah?
Ia mengangguk.
"Kau ... mencintainya?"
Ia mengedikkan bahu, lalu menggeleng, "Aku tidak tahu, tapi aku tahu kalau aku tidak keberatan untuk menikah dengannya."
"Tidak—kah cinta adalah perihal penting?"
"Entahlah," ia mengedikkan bahu lagi. "A-Ma baru saja menceritakan padaku bahwa dulu ia tidak mencintai A-Pa waktu menikahinya, dan nyatanya, pernikahan mereka sudah berjalan sampai saat ini. Benarkah cinta adalah sesuatu yang penting?"
Aku diam sebentar, lalu bertanya lagi, "Apakah ..., saat ini, A-Ko mencintai A-Pe’?"
Gadis itu memandang mataku seakan jawabannya bisa ditemukan di sana. Ia mengalihkan pandangan dan berkata, "Aku tidak menanyakannya."
Lalu, kami berdua diam seakan-akan memang itulah satu-satunya cara untuk menjalani hidup. Sesederhana itu.
Aku orang yang sangat sederhana, namun pascakematian istriku, hidup terasa seperti makan nasi tanpa lauk; sendok menuju mulut sekadar mampir untuk membawa nasi bergerak masuk. Makan jadi cuma kegiatan untuk menyumpal daya hidup agar tidak bocor. Dengan penyakit darah tinggiku, semua jadi kian buruk. Bukan hanya nasi, tapi juga obat-obat yang sesungguhnya cuma penundaan kematian dan takkan menyembuhkan.
Sepuluh tahun pertama, aku masih menelan obat-obat itu dengan perasaan bahagia karena (semasa hidupnya) istriku selalu cerewet kalau aku tidak meminumnya. Setelah itu, aku mulai bosan pada kecerewetannya yang sebenarnya hanya berlangsung di dalam kepalaku saja. Semua itu hanya harapan kosong bahwa ia memang mencerewetiku, padahal dia sudah mati. Dia berkhianat pada perjanjian kami, dan meninggalkan aku bersama segerombol anak keparat itu. Tapi, aku takkan membiarkannya lolos dari pernikahan ini sebagaimana aku dulu takmeloloskannya menuju pernikahan itu.
Kepalaku pening. Aku tahu, ini pertanda bahwa tekanan darahku naik. Dokter bilang kalau aku tidak boleh banyak berpikir, tapi aku tidak tahu caranya berhenti berpikir kecuali dengan mengganti otakku dengan otak bodoh anak-anakku. Aku benci, tapi aku butuh obat. Aku bukan pelupa, tapi kali ini aku tidak ingat tempat aku meletakkannya. Seharusnya, obat itu ada di atas nakas, tapi nyatanya tidak ada di sana. Terlalu banyak "tapi" dalam hidupku. Tapi, di mana aku meletakkan obat itu?
Aku tidak sudi berpenyakit darah tinggi dalam keadaan pikun. Itu kegiatan yang menimbulkan dosa besar. Sayangnya, kali ini otakku benar-benar takmampu mengingatnya.
Setelah teriakan yang kelima, akhirnya salah satu anakku muncul.
"Di mana obatku?"
"Di dalam laci lemari baju, Ayah."
"Bagaimana bisa ada di sana?"
"Tadi, aku membereskan kamar dan obat itu tergeletak berantakan. Jadi, kupikir lebih baik menyimpannya di tempat yang aman."
"Sudah berapa kali kukatakan kalau kau tidak usah berpikir? Berpikir adalah pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki otak. Lagipula, sejak kapan kau berinisiatif untuk membersihkan kamarku?"
"Tadi aku mengambil baju kotor dan kulihat kamar ini berantakan. Jadi—"
"Ah! Kalian selalu punya alasan," aku berujar.
Bersama itu, kutenggak obatku dengan segelas air yang sudah tersedia di atas nakas, dan anakku pergi begitu saja dengan inisiatifnya sendiri. Inisiatif terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
Kurebahkan tubuhku di atas dipan sambil memejam. Aku harus tidur. Tapi, aku masih perlu berpikir tentang dekorasi. Kalau setelah itu otakku berhenti bekerja, aku tidak peduli. Tunggu, aku belum menyusun surat wasiat baru. Ah. Aku tidak tahu kapan aku benar-benar bisa berhenti berpikir.
***
Tongkat Rotan.3
Hal terpenting yang perlu dipikirkan dari sebuah makan malam, selain makanan, adalah meja (termasuk kursi karena akan menjadi sebuah perkara tidak masuk akal untuk meletakkan piring makan di atas meja sementara tamu-tamunya duduk di lantai, ini hanya akan membuat jidat mereka terbentur pinggiran meja, kecuali aku memutuskan untuk menggunakan meja rendah milik pedagang pecel lele lesehan, dan kamar itu bukan lokasi yang cocok). Secara sepihak, bolehlah kukatakan bahwa sebuah makan malam terhormat minimal membutuhkan meja, kursi, sendok, dan garpu (dan sumpit karena aku telah memilih bakmi sebagai salah satu menu). Pertimbangan lainnya adalah tujuan dan alasan mengapa makan malam itu perlu diadakan.
Aku punya dua alasan. Satu, lobi politik dalam rangka membujuk malaikat maut agar bersedia mempercepat kematianku. Dua, merayakan pernikahanku.
Yang pertama hanya membutuhkan meja dan kursi yang pantas, tapi yang kedua aku tidak bisa main-main. Makan malam itu bagian dari sebuah prosesi sakral. Aku membutuhkan sebuah meja makan panjang dan kursi berlapis kain mengilap, rangkaian bunga dan lampu kristal, dan atau hiasan lain yang diperlukan. Aku cuma ingin istriku berbahagia karena akhirnya bisa menghadiri perayaan pernikahan kami walau terlambat 55 tahun. Semoga istriku berkeyakinan bahwa lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Memang, ada beberapa keterlambatan yang fatal, namun tidak seluruhnya. Keterlambatan pengerjaan dan pengiriman terpal kepada pelanggan berkali-kali terjadi. Ada di antaranya yang terjadi karena kesalahanku, banyak lainnya terjadi karena kebodohan anak-anakku. Keduanya tidak bisa dimaklumi, dan perlu dilakukan serangkaian tindakan agar keterlambatan takbergerak menjadi fatal. Kerap, keterlambatan mengharuskan pembayaran mahal harus dilakukan, seperti yang terjadi dengan kasus kesalahan pengantaran terpal penutup mobil bak (yang tertukar dengan kolam lele). Dengan sangat terpaksa, aku mengurangi marjin keuntungan untuk pemesanan berikutnya agar laki-laki pemilik usaha penyewaan mobil bak itu taklari ke toko lain.
"Saya minta maaf karena kesalahan itu menimbulkan keterlambatan pengantaran," ucapku. "Sebagai permintaan maaf saya akan memberikan diskon 3% untuk pemesanan berikutnya."
"3%? Sedikit sekali. 15%."
"Terlalu tinggi. Saya bisa rugi. 5% saja.
"12%."
"8%."
"10%."
"10%?"
"Iya. 10%. Kurang dari itu, saya akan memesan dari toko lain."
"Baiklah. 10%," aku menyimpulkan. "Sepakat?"
"Sepakat," jawabnya. "Jangan sampai terjadi kesalahan lagi. Saya sulit menolerir kesalahan."
"Begitu pula saya. Kupastikan tidak akan terjadi lagi."
Lalu, kesepakatan berikutnya terjadi. Ia memesan 15 terpal penutup mobil bak. Bahkan berjanji kalau bisnisnya sudah diperluas dengan armada truk besar, ia akan memesan terpal-terpal penutupnya padaku. Aku takterlalu peduli pada janji itu. Sebelum ditepati, janji harus dianggap sebagai kata-kata yang pasti diingkari.
Percintaan memiliki pola yang serupa dengan perdagangan, takmenolerir keterlambatan. Dan, terlambat atau tidak terlambat bukan cuma permasalahan waktu sebab waktu diukur berdasarkan kesepakatan.
Maksudku begini: Manusia sepakat bahwa jam 00:00 terjadi pada saat tertentu (bukan saat yang lain), bahwa jangka dari satu detik adalah sekian lama, bahwa satu menit berisi enam puluh detik, dan bahwa satu jam berisi enam puluh menit; maka sebenarnya pukul 01:00 tidak terjadi begitu saja melainkan diakibatkan adanya (banyak) kesepakatan sebelumnya. Minimal, kesepakatan untuk ikut menyepakati kesepakatan yang sudah dibuat.
Jadi, jika kita berjanji untuk bertemu pada pukul 01:00 dan datang pada 01:01, kita menjadi terlambat bukan hanya disebabkan perkara satu menit itu, melainkan karena sebelumnya telah terjadi kesepakatan tentang kapan pukul 00:00 mulai ditetapkan dan berlaku. Sehingga, bisa saja kita tidak terlambat jika: Arloji di tangan kita masih menunjukkan 00:59 (entah karena sebab apa). Meski, aku tidak bisa menjamin bahwa setelah itu tidak terjadi perdebatan tentang kesepakatannya. Dengan kata lain, terlambat atau tidak terlambat sebenarnya adalah ilusi karena yang pasti adalah konsekuensi yang terjadi. Jika konsekuensi belum terjadi, tidak ada kepastian dan tidak ada keterlambatan.
Terlambat atau tidak terlambat tidak ditentukan oleh waktu, melainkan kejadian.
Aku belum terlambat, karena (walau gadis itu telah menyatakan kesediaannya menikahi laki-laki itu) pernikahan itu belum terjadi. Bukan waktu yang menentukan keterlambatan, melainkan kesempatan terjadinya suatu kejadian (sampai kesempatan itu benar-benar terjadi). Aku tidak tahu apakah aku masih punya waktu, jika benar waktu itu ada. Tapi, aku tahu kalau aku punya kesempatan untuk mengubah kejadian.
"Apakah kau ... yakin?"
Gadis itu mengedikkan bahu, "Apa gunanya merasa yakin atau tidak yakin? Kami sudah sepakat bahwa pernikahan itu akan dilaksanakan tiga bulan lagi."
"Tiga bulan? Sembilan puluh hari?"
"Tidak tepat sembilan puluh hari, hanya kira-kira. Sesungguhnya kurang dari itu."
"Kurang dari itu?"
Gadis itu mengangguk, "Apa pun bisa terjadi dalam kurang dari sembilan puluh hari."
"Misalnya?"
"Mungkin, aku akan mencintainya di saat itu."
Di situlah aku tahu bahwa waktu sudah mulai diperhitungkan, karena gadis itu dan laki-laki calon suaminya (berikut orang tua mereka) telah membuat kesepakatan tentang waktu (yang dengan sangat terpaksa harus kusepakati juga karena sepakat atau tidak sepakat sering kali bukan perkara kesediaan melainkan kekuasaan yang memaksa). Aku tidak berkuasa atas waktu sehingga harus sepakat (dengan mereka) tentang tiga bulan itu dan sepakat (dengan diriku sendiri) bahwa aku punya tiga bulan sebelum terlambat. Tepatnya, delapan puluh enam hari.
Apa yang bisa kulakukan dalam 86 hari? Apakah bisa diperpanjang? Waktu itu, segala yang kubutuhkan adalah waktu dan tidak ada yang bisa memperpanjang waktu kecuali bakmi berkuah babi.
"Apakah ... kau mau makan bakmi di belakang pasar?"
"Bagaimana?"
"Makan bakmi di belakang pasar."
Gadis itu memandang mataku dan aku tidak memandang matanya. "Kakak mau makan bakmi?
Aku mengangguk.
"Baiklah, Kak. Besok kita ke sana untuk makan siang."
Rasanya, aku ingin memaksanya untuk makan bakmi pada hari itu juga karena ketika waktu telah disepakati, setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik jadi berarti. Namun, aku laki-laki yang belum punya arti. Aku tidak punya kekuasaan apa-apa untuk memaksanya. Sehingga, baru esok harinya aku dan gadis itu berjalan menuju lapak penjual bakmi, dan duduk di sana dengan perasaan yang canggung dan tidak sabar.
Begitu bakmi itu datang ke meja, aku langsung menyeruputnya dengan semangat. Lurus. Tanpa terputus. Aku tidak peduli lagi pada rasa mi yang seperti cacing terpeleset ke dalam mulutku karena aku melakukannya sambil berdoa pada Tuhan manapun agar kegiatan makan bakmi bisa memperpanjang rentang waktu.
Gadis itu tersenyum, "Pelan-pelan saja, Kak, supaya tidak tersedak."
Aku mengangguk dan menyeruput mi lebih cepat lagi karena setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap detik jadi berarti. Semua harus dilakukan serba cepat.
Sementara, tubuhku melambat.
Aku menua. Usiaku kira-kira 76 tahun dan aku mau mati sebelum angka itu berubah jadi kira-kira 77. Sayangnya, aku sudah tidak bisa bekerja secepat dulu. Kalau begini, bisa-bisa aku keburu mati bahkan sebelum makan malam itu selesai direncanakan.
"Ini adalah makan malam kematian sekaligus acara perayaan pernikahan," ucapku pada penyedia jasa dekorasi itu di lapak Mi Ayam Wonogiri di belakang pasar. Aku tidak memesan mi ayam, begitu pula orang ini. Sebagai ongkos duduk, aku membelikan dua mangkuk mi ayam untuk karyawanku yang sudah membantuku berjalan sampai kemari. Semoga, anak keturunannya kelak bersedia mengantarnya kemari dengan senang hati.
"Bagaimana, Pak?" penyedia jasa dekorasi itu mengernyit
"Ah, terlalu panjang kalau aku harus menjelaskan."
Ia mengangguk dan mencatat sesuatu di bukunya. Kuduga, ia melakukan itu cuma untuk meredakan perasaan heran. Ia melanjutkan, "Jadi?"
"Jadi, sebenarnya kau tidak perlu tahu untuk apa makan malam itu diadakan," aku menegaskan. "Tugasmu hanya menyediakan apa yang kubutuhkan." Ia mendengarkan saja dan aku suka orang yang tidak berbicara ketika harus mendengarkan. Jadi, kulanjutkan, "Kau tahu bukan apa persamaan upacara kematian dan pernikahan?" Aku langsung menjawabnya sendiri, "Bunga. Itu persamaannya. Bunga apa yang biasa ada di upacara kematian juga pernikahan?" Ia diam saja, jadi kutegaskan, "Aku memang sedang bertanya."
"Oh," ia mengangguk-angguk. "Sedap malam?"
Aku menggeleng, "Aku tidak suka bunga itu. Baunya seperti alat pengundang setan."
"Lili?"
"Hmm."
"Mawar putih?"
Aku mengangguk, "Apalagi?"
"Dan, bunga-bunga standar sebagai isian, sejenis Aster atau Gerbera. Juga, foliage."
"Apa?"
"Foliage. Daun-daun. Sejenis ivy, philodendron, palem, dan daun lain supaya tidak terlalu membosankan."
Aku mengangguk. "Baik. Sediakan itu semua. Aku juga butuh sebuah meja makan dan sebelas kursi. Lapisi semuanya dengan kain mengilap. (Aku sempat mendengar dia menggumamkam kata 'satin', aku mengangguk untuk menyetujui). Aku mau makan malam ini tampak mewah. Jadi, aku mau kau memasang lampu kristal atau hiasan lain yang memungkinkan."
Ia mengangguk, "Kapan saya bisa lihat lokasinya?"
"Besok malam?" aku tidak menunggu jawaban darinya. "Ini alamat rumahku."
"Di rumah?"
"Tempat mana lagi yang cocok untuk sebuah makan malam kecuali rumah?"
Ia mengangguk-angguk sambil memandang denah yang juga kusodorkan. Aku hendak kembali menguji. Kalau penyedia jasa dekorasi ini juga tidak tersesat, denah itu cukup efektif sebagai penunjuk arah sehingga bila Malaikat Maut sampai tersesat dengan denah yang sama artinya ia kurang cakap dalam membaca peta.
“Mengenai harga, Bapak mau membicarakannya sekarang?" ia bertanya.
"Kalau kau bisa memperhitungkannya sekarang akan lebih baik."
Ia mengotak-atik telepon genggamnya, "Kira-kira segini." Ia menyodorkan sebuah angka. "Bisa berubah jika hasil surveinya berbeda."
"Aku minta diskon."
"Saya bisa kasih 10%."
"Baiklah," aku segera menyetujui karena aku sudah tidak punya waktu untuk tawar-menawar. Pun, selain mawar, aku sebenarnya tidak tahu tanaman-tanaman apa yang dia sebutkan tadi. Saat ini, waktuku tidak cukup jika harus diisi dengan kegiatan memikirkan berbagai jenis tanaman. Aku cuma mau semua segera selesai. Waktu menyusut, dan aku melemah.
Sekarang, aku bisa melanjutkan langkah berikutnya. Aku kembali ke toko, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan. Semua harus beres sebelum aku mati.
*
Tongkat Rotan.4
Malam. Aku sendirian di kamar sebagaimana selalu begitu.
Kuembuskan napasku sejenak sebelum kubuka lagi telepon genggamku. Sepertinya, jari-jariku makin ahli bergetar dengan sendirinya. Kutahan napasku. P. A. M. Panah mundur. N. Y. I. Panah mundur. Panah mundur. T. I. Space. A. S. U. G. Panah mundur. H. S. Panah mundur. A. N.
Aku menghela napas beberapa kali.
Huruf-huruf direka seperti menyusun ulang masa lalu. Aku mau tahu tentang panti asuhan tempatku dibesarkan dulu. Sulit. Aku kesulitan untuk mengetik huruf-huruf dengan cepat. Aku disabotase oleh telunjukku sendiri, seakan telunjukku enggan untuk menunjukkan jalan. Dua kata itu juga tidak cukup. Internet hanya menunjukkan definisi, iklan, dan artikel-artikel yang takkubutuhkan. Aku butuh alamat.
Alamat. Di mana alamatnya?
Alamat? Waktu itu, aku masih terlalu kecil untuk mengingat nama jalan dan nomor bangunan. Pun, untuk bocah yang merasa begitu terpojok dan ketakutan, tidak ada yang ingin ia ingat-ingat kecuali segera kabur dari sana, tanpa menengok lagi. Ia ingin melupakan dengan terus melebarkan jarak dengan tempat itu. Tapi, ingatan tidak bekerja dengan cara itu. Ingatan tidak peduli pada jarak. Bahkan, tidak memikirkan waktu. Enam puluh enam tahun setelah ia meninggalkan tempat itu, ingatannya masih begitu segar. Seperti kemarin. Seperti kemarin. Seperti kemarin. Seperti mimpi semalam.
Nama. Aku butuh nama. Aku ingat nama panti asuhan itu. Aku lupa pada nama ibu asuh. Ibu asuh. Nama panti asuhan. Aku ingat nama panti asuhan. Aku ingat nama anak itu. Nama anak itu. Anak itu. Itu.
Itu.
Kenangan adalah potongan-potongan ingatan yang disusun ulang lalu dibaca-baca seakan kenangan masih mampu berbuat apa-apa. Panti asuhan itu masa kecilku. Masa kecil. Kecil. Ada dua kemungkinan mengapa kau bisa begitu mengingat masa kecil yang seharusnya terlupakan. Pertama, kau begitu bahagia. Kedua, kau begitu menderita.
Aku yang kedua.
***
Gadis itu bukan orang yang mudah ditundukkan. Sepertinya, anak pedagang minyak tanah itu memahaminya. Semenjak kedua orang tua mereka membuat janji berisi ketetapan tanggal, anak pedagang minyak tanah itu lebih sering datang; bukan cuma ke rumah, tapi juga ke toko beras dengan alasan ingin membantu. A-Pe’ berkata bahwa kelak ia akan mengurus kedua bisnis milik orang tua dan mertuanya (A-Pe’ menunjuk dirinya sendiri). Jadi, A-Pe’ ingin agar anak pedagang minyak tanah itu juga memahami model perdagangan beras.
"Kita bukan cuma pedagang beras, kita juga agen untuk wilayah sekitar Kota Ini," ucap A-Pe’. "Toko beras ini belum terlalu besar. Belum sebesar usaha ayahmu. Kau tidak akan kesulitan."
"Sesungguhnya, ini sudah cukup besar. Dan, usaha ayah saya belum terlalu besar juga."
"Ah, kau pandai memuji dan hanya merendah saja."
"Tidak. Saya mengatakan hal yang sesungguhnya," ia menjawab sambil menggerak-gerakkan dua tangan yang tertangkup seperti sedang menyembunyikan jangkrik di depan dada. Anak pedagang minyak itu kemudian mengangguk-angguk dengan senyum laiknya baru saja menandatangani surat penyerahterimaan toko.
Kepalaku memanas.
Aku segera meninggalkan mereka berdua dan duduk di belakang pasar, di sana A-Pe’ membangun sebuah gudang penyimpanan beras. Di dalamnya, karung-karung ditumpuk setinggi gunung. Aku mencoba melamun. Namun, isi kepalaku malah lari ke mana-mana. Aku tidak mau dia ada di tempat ini. Aku mau dia pergi dari sini. Tapi, aku cuma kuli catat yang tidak mampu mengusirnya.
Hal paling tidak menyenangkan dari semua itu adalah apa yang ia lakukan selalu berhubungan dengan apa yang aku lakukan. A-Pe’ menyuruhnya mempelajari alur keluar-masuk barang. Semenjak gadis itu mengajari aku menulis dan membaca, tugasku bukan lagi mengangkat-angkat karung beras melainkan mencatat jumlah beras yang masuk dan keluar. Pekerjaan itu membuat aku harus bersinggungan dengannya. Aku berusaha menghindar, tapi takselamanya itu bisa kulakukan.
*
Sejak laki-laki itu datang, pekerjaanku jadi terasa melelahkan. Mungkin, berpikir memang menghabiskan tenaga lebih besar dan itulah penyebab banyak orang malas berpikir. Aku bukan salah satu di antara orang-orang macam itu. Toh, di akhir hari tubuhku mulai menolak bekerja dan meminta hiburan.
Itulah sebabnya aku mulai menyukai suasana sore di toko beras. Sore hari adalah waktu aku dan gadis itu bertemu untuk menutup dan mencocokkan catatan hari ini.
"Hmm," ia bergumam ketika meneliti dua catatan itu. Matanya berkedip-kedip dan aku memperhatikan bagaimana bulu mata pendeknya melambai-lambai di atas bola matanya yang bening. Lalu, aku tahu bahwa pemandangan indah bisa mengembalikan tenaga yang hilang, sejenis dengan makanan.
Jari-jarinya memain-mainkan biji sempoa hingga menghasilkan keletak-keletak yang lincah. Kemudian, ia menggigit bibirnya. Aku ingin menggigit bibirnya. Ia mengerutkan sudut-sudut matanya. Aku ingin mengurut sudut matanya dan mengurai pemikiran yang kusut di sana.
"Aku rasa, ada kekeliruan dalam catatan ini," ujar gadis itu padaku. "Dalam beberapa bulan ini, catatan hasil penjualan selalu lebih rendah dari catatan barang masuk. Jika semua selisih itu dijumlahkan, seharusnya masih ada sisa lima atau enam karung beras di dalam gudang. Tapi, catatanmu sekarang tidak menunjukkan itu.”
Aku menggeleng, dan bersamaan dengan itu anak pedagang minyak itu mendekat. Gadis itu langsung menengok namun tidak mengucapkan apa pun. Gadis itu kembali membolak-balik kertas-kertas catatan itu.
"Mungkin, ada yang melakukan pencurian," ujar anak pedagang minyak. "Atau, ada yang mengubah catatan."
"Tidak mungkin," potong gadis itu. "Tidak ada orang yang bisa menyentuh catatan penjualan kecuali aku."
"Bagaimana dengan catatan barang masuk dan keluar?"
Walau aku tidak menatapnya, namun ucapannya sempat menghentikan pernapasanku. Apakah dia sedang menuduhku mengubah catatan barang? Aku memahami penuh tentang perangai kepalan tanganku, jadi aku mengepalkannya lebih erat dengan maksud menahannya dari meluncur sendiri tanpa kendali. Aku tidak mau bogemku mendarat di muka siapapun.
"Tidak mungkin juga. Dia baru mengerjakan tugas itu kurang dari dua bulan," gadis itu menyanggah. "Dan, dia sudah melakukan tugasnya dengan baik." Ia menunjukku dengan suara agak meninggi. Aku benar-benar memahami perangai kepalan tanganku. Sedetik setelah gadis itu mengujarkannya, bogemku mengendur. Sekilas, aku mencuri tatapan mata gadis itu. Bukan jenis pencurian yang melawan hukum, bukan? Namun, begitu aku tersadar, aku mengetahui bahwa anak pedagang minyak itu menangkap basah pencurian yang baru saja kulakukan dan memandangku sebagai terdakwa.
*
Malamnya, aku jadi memikirkan perihal selisih catatan itu. Aku selalu mengawasi bagaimana stok beras masuk dan keluar. Memang, aku tidak bisa sepenuhnya mengawasi barang keluar karena penjualan dilakukan di toko. Tapi, aku bisa memastikan bahwa jumlah barang yang masuk selalu tepat. Aku mengawasi bagaimana karung-karung beras itu ditimbang satu per satu di depan mataku sebelum masuk ke dalam gudang. Jadi, kalau benar ada pencurian, kejadiannya ada di jalur-jalur yang tidak diawasi. Di mana?
Esoknya, aku tetap melakukan pekerjaan yang sama sambil meneliti di bagian mana kebocoran itu bisa terjadi. Sehari. Dua hari. Tiga hari. Seminggu. Tidak terjadi apa pun yang cukup mencurigakan. Hingga suatu ketika, aku masuk ke dalam gudang dan menemukan satu karung beras yang isinya cuma setengah. Bagaimana mungkin ada karung beras yang tidak sesuai timbangan di dalam sini, di pojok yang nyaris takterlihat?
Kubiarkan karung itu di sana dan aku menebak sesuatu.
Esok harinya, aku menyuruh pembantu bodoh untuk menggantikan tugasku dengan alasan aku harus menyalin catatan demi kerapihan, dan secara diam-diam bersembunyi dalam gudang ketika stok beras baru saja diantar oleh tengkulak untuk kemudian ditimbang. Tidak ada yang tahu aku ada di dalam sana. Satu hari. Tidak terjadi apa-apa. Dua hari. Aku keluar tanpa hasil. Dan, di hari ketiga, aku melihat bagaimana kuli-kuli itu membuka karung beras dengan cepat, mengurangi isinya, memindahkannya ke dalam karung beras yang cuma berisi setengah itu, menjahit ulang karung yang telah dibuka, dan meletakkannya di satu lokasi seperti tidak terjadi apa-apa. Penjaga gudang-lah yang meloloskan karung beras hasil curian pada malam hari.
Penjaga gudang dan beberapa kuli sudah bekerja sama melakukan aksi pencurian. Mereka menumpuk karung-karung yang sudah berkurang kiloannya di satu tempat, dan cuma memilih karung-karung itu untuk dibawa ke dalam toko dan dijual kepada pelanggan yang membeli eceran. Itu yang membuat pencurian itu sulit terlihat karena karung beras yang dibawa ke toko tidak pernah ditimbang lagi. Karena cuma akan dijual sendiri, A-Pe’ dan gadis itu menganggap bahwa isi karung yang dibawa ke toko memang sesuai dengan catatan awal. Memang, hanya beberapa kilo, namun beberapa kilo itu telah menjadi lima atau enam karung beras selama jangka waktu tertentu. Siapa juga yang bisa membedakan karung beras lima puluh kilogram yang isinya telah berkurang dua, tiga, atau lima kilo?
Aku tahu siapa saja pelakunya. A-Pe’ memecat penjaga gudang dan kuli-kuli itu.
*
A-Pe’ dan gadis itu senang dengan hasil penyelidikanku, namun jasa semacam itu bukan sesuatu yang cukup bernilai untuk membuat anak pedagang minyak tanah itu pergi dari sini.
"Kau hebat," ujar anak pedagang minyak tanah di dalam gudang. "Kau berhasil membongkar pencurian itu.
Aku mengangguk dan tidak membutuhkan pujian darinya.
"Pantas, gadis itu selalu membelamu.
Aku mengangguk lagi sambil memeriksa catatan. Pujian terbaik yang bisa dia lakukan adalah dengan menutup mulut dan tidak mencampuri pekerjaanku. Sayang, ia terlalu bodoh untuk tidak melakukannya.
"Kulihat kau cukup dekat dengannya," ucap anak pedagang minyak tanah kepadaku, ia memaksudkan gadis itu. "Aku ingin kita bisa lebih akrab.
Aku takmenjawabnya sambil terus menulis-nulis di buku catatan.
"Kau selalu menghindar dariku.
Aku menunjuk-nunjuk karung beras untuk menghitungnya.
"Kau menyukai gadis itu.
Sesaat kuhentikan kegiatan mencatat yang sedang kulakukan, dan hanya memandangi halaman buku yang sedang kupegang. Ia masih terus menatapku.
"Aku pikir—"
"Maaf, Tuan," aku memotong. "Ada ... pekerjaan lain yang harus saya lakukan. Jika ... tidak ada hal penting lain yang ingin Tuan bicarakan, saya harus menyelesaikan pekerjaan itu dulu."
"Apakah ada yang bisa aku bantu?"
Aku menggeleng. Aku tidak membutuhkan bantuannya sedikit pun. Sekilas, aku melirik matanya dan kuketahui bahwa dia cuma memandangiku saja. Jadi, aku membungkukkan tubuhku sedikit dan segera meninggalkannya. Aku rasa, aku tidak perlu menjelaskan apa pun.
*
Tongkat Rotan.5
Aku rasa, sejak awal, dia memang seharusnya tidak berhubungan dengan beras. Minyak tanah adalah keberuntungan dalam keluarganya dan beras menghadiahinya kesialan. Jam empat sore. Toko beras itu hampir tutup. Aku baru saja berjalan masuk ketika salah satu kuli pegawai A-Pe’ berlari ke dalam toko untuk mengabarkan kecelakaan itu.
Toko beras jadi ramai karena orang-orang senang melihat kesialan orang lain. Tadi, A-Pe’ menyuruh anak pedagang minyak untuk memeriksa isi gudang sekaligus bersiap-siap menguncinya. Sekarang, A-Pe’ berlari menuju lokasi kecelakaan di tempat yang sama. Orang-orang sudah berkerumun di pintu masuk.
"Bagaimana bisa tiga karung beras itu menimpanya secara bersamaan?" A-Pe’ meradang.
Tidak ada yang tahu karena memang tidak ada yang menyaksikan bagaimana kejadian itu berlangsung. Mereka hanya menemukan tubuhnya tergolek di samping tumpukan karung beras setinggi gunung dengan tiga di antaranya tergeletak di sampingnya. Salah satunya mendarat tepat di atas kepalanya sehingga saat tubuhnya ditemukan, kepalanya nyaris tidak terlihat akibat tertimpa karung padat itu. Entahlah, apa yang lebih dulu membuatnya mati; karung beras itu, kepalanya sendiri yang membentur lantai gudang, atau keduanya.
Aku melihat bagaimana gadis itu menangis waktu tubuh anak pedagang minyak tanah dibawa ke toko sebelum ambulan membawanya pergi. Lehernya bengkok dengan cara yang aneh, dan hidungnya mengeluarkan darah. Bahunya seperti pindah ke punggung. Bahkan, matanya masih membelalak seakan kekagetannya belum selesai waktu karung beras itu mematahkan lehernya. Aku mulai menyadari bahwa malaikat maut bisa menggunakan karung beras sebagai senjata untuk melakukan pembunuhan.
Selama beberapa hari ke depan, polisi datang menyelidiki kematiannya; melihat-lihat lokasi jatuhnya karung beras sambil menanya-nanyai semua orang. Tidak ada saksi yang bisa memberi keterangan jelas, karena memang saat kejadian berlangsung, semua orang sedang bersiap-siap pulang, dan insiden itu terjadi di dalam gudang yang nyaris tanpa penerangan. Ada yang mendengar suara karung jatuh, tapi suara macam itu terlalu biasa sehingga tidak ada yang curiga. Akhirnya, polisi hanya bisa menyimpulkan kalau kematian anak pedagang minyak di toko seorang pedagang beras adalah murni kecelakaan (buatku, bercampur dengan kesialan karena kesialan juga bisa membuat orang mati).
Kasak-kusuk mengatakan kalau dia dibunuh oleh saingan bisnis ayahnya. Entahlah. Sampai hari ini, penyebab kematiannya (selain karung beras) takpernah terungkap.
Beritanya muncul di Koran Pagi. Kurasa, tidak ada yang terlalu tertarik membacanya kecuali orang tuanya sendiri yang sejak itu tidak pernah datang lagi setelah A-Pe’ meminta maaf berkali-kali sambil menangis dan menunduk-nunduk.
Sebuah pelajaran berharga untuk A-Pe’. Ia tidak mau lagi menumpuk karung beras terlalu tinggi sebab jika terjatuh bisa menimbulkan kematian. Aku menyesali kematian anak pedagang minyak. Aku menyesal kematiannya menyebabkan gadis itu menangis. Bukan hanya cinta, kematian juga bisa terjadi kurang dari sembilan puluh hari. Mungkin, itu sebabnya gadis itu menangis.
Kurang dari delapan puluh enam hari.
***
Aku ingat, kapan tangis paling kerasku terjadi. Januari tahun 2001. Seingatku juga, itu adalah tangis pertamaku setelah 46 tahun tidak menangis. Kematian istriku mengajariku lagi tentang bagaimana caranya menangis. Keluarga besar istriku ramai berdatangan ke rumah duka sebelum mayat istriku dikremasi di suatu tempat dekat pantai bersama pakaian terbaiknya. Tidak ada satu pun anggota keluargaku datang karena memang aku tidak punya keluarga kecuali istri dan anak-anakku. Sekarang, istriku juga tidak mungkin datang ke acara kematianku. Siapa lagi yang akan datang kecuali anak-anak, menantu, dan cucu-cucuku? Orang-orang tidak berguna. Aku tidak mengharapkan keluarga istriku itu akan datang. Dari mereka juga aku memahami bahwa menangis ternyata membutuhkan keahlian dan keahlian istriku takseberapa dibanding orang yang kini meraung-raung di tengah ruang. Aku tidak akan menyewa orang untuk menangis seperti itu. Kalau saja kerabat istriku tidak membayarnya, mungkin, aku sudah mengusir orang asing takdikenal yang tiba-tiba menangis di hadapan peti dan foto istriku seakan mengenalnya (atau, memang mengenalnya?). Menyusahkan saja. Aku tidak mampu menangis dengan penghayatan sehebat itu, dan pura-pura menangis di kematian orang asing adalah kebodohan. Sekarang, malah aku yang kehilangan selera untuk menangis. Jangan-jangan, kegiatan bertangis-tangisan itu justru diadakan untuk mengurangi kesedihan. Anggota keluarga yang melihat orang asing menangis sehebat itu cuma akan berakhir minder dan keheranan. Belajar di mana dia sehingga bisa menangis dengan cara itu? Lalu, aku lupa pada kesedihan. Penangis itu mewakili tangisanku. Kesedihan memang sudah sepantasnya untuk segera diakhiri. Yang menjadi masalah adalah: Caranya. Aku lebih suka pada cara yang digunakan oleh penangis itu dibanding cara yang pernah dipilih oleh A-Pe’ untuk mengakhiri kesedihan anaknya, kalau benar anaknya bersedih. Aku meragukannya.
*
A-Pe’ sudah lebih dulu pulang dari toko beras. Aku dan gadis itu menyusul pulang setelah toko tutup. Langit sudah berwarna keunguan waktu kami berjalan melewati portal perumahan. Kami berpapasan dengan mobil yang bentuknya seperti roti bantal jenis lain, warnanya hitam. Laki-laki di dalamnya tersenyum. Matanya ditutup kacamata yang juga hitam. Semoga, dia tidak menabrak siapapun setelah ini. Aku hanya menatapnya, sementara gadis itu mengangguk dengan tatapan aneh. Kepalanya berputar mengikuti mobil yang terus bergerak menjauh.
"Kakak kenal?"
Aku menggeleng.
Lalu, kami terus berjalan menuju rumah. Pagar masih terbuka, belum dikunci. Kami masuk dan menguncinya. Ternyata, A-Pe’ masih duduk di ruang tamu dengan tiga cangkir teh di atas meja. Lalu, A-Pe’ menyuruh anak gadisnya itu duduk di hadapannya, sementara aku meneruskan berjalan masuk dengan langkah yang diperlambat.
"Nak, kamu tidak perlu terlalu bersedih," ucap A-Pe’.
"Bersedih?"
"Iya. A-Pa tahu kalau kamu menyesali kematian calon suamimu itu. Tapi, kamu tidak perlu sedih berlama-lama."
Itu yang kudengar waktu A-Pe’ baru saja menyuruh gadis itu duduk di hadapannya. Aku ingin mencuri dengar, jadi aku membereskan cangkir-cangkir di meja dan membawanya ke ruang makan yang hanya dibatasi tirai kain dengan ruang tamu. Di ruang makan, aku membantu istri A-Pe’ membereskan peralatan untuk makan malam. Aku diam supaya suara mereka bisa jelas terdengar. Namun, aku cuma mendengar sepotong-sepotong, selain karena istri A-Pe’ terus mengajakku bicara. Mungkin, ia memang dengan sengaja mengalihkan perhatianku. Dia seorang pejabat partai, sekilas aku mendengar sebelum Istri A-Pe’ bercerita tentang takaran penggunaan abu gosok dan deterjen untuk mencuci pantat panci. Terpelajar. Jangan digosok terlalu keras. Masa depan harus direncanakan. Karena, bisa membuat panci jadi lebih cepat tipis. Anak orang kaya. Kita harus berhemat. A-Pa! Aku bergeming sesaat. Cuci cangkir-cangkir itu dan periksalah setiap pantat panci. Lalu, kulihat gadis itu masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Dan, aku memang menemukan sebuah panci berpantat bocor.
Sejak malam itu, aku berkali-kali menemukan gadis itu bertengkar dengan A-Pe’. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain menguping pembicaraan. Lama-kelamaan, Istri A-Pe’ juga tidak melakukan apa-apa untuk mengalihkan perhatian. Pertengkaran A-Pe’ dan putrinya itu sudah makin terbuka. Sering, aku mendengar suara mereka berdua meninggi. Apalagi, waktu A-Pe’ mengatakan bahwa ia punya calon lebih dari satu yang bisa dipilih sebagai jawaban dari pernyataan gadis itu yang mengatakan bahwa ia ingin memilih calon suaminya sendiri.
Aku sudah tidak perlu menguping pembicaraan lagi karena masalah sudah terlalu terbuka. Aku tidak tahu apa gunanya meneruskan kebiasaan itu. Selain, gadis itu mulai bercerita langsung padaku. Biasanya, waktu aku sedang mencuci berbagai peralatan sehabis makan malam. Aku cuma bisa mendengarkan saja.
"Aku lelah. Apakah aku benar-benar tidak punya kuasa atas hidupku sehingga harus diperlakukan seperti ini. Bukankah sudah terbukti bahwa tidak semua ucapan orang tua selalu berisi kebenaran laiknya wahyu dari Tuhan?"
Aku diam saja karena aku belum bisa memutuskan apakah waktu sudah perlu diperhitungkan lagi. Gadis itu terus menolak dan A-Pe’ terus mengajukan calonnya. Mungkin, sekitar dua bulan kejadian semacam ini terus berlangsung. A-Pe’ kembali memaksa agar gadis itu bersedia bertemu dengan pria terpelajar yang pejabat partai itu. Kuduga kalau akan terjadi pertengkaran lagi, tapi yang terjadi lebih dari itu.
"Apakah A-Pa harus terus melakukan ini?"
"Lihat, uban di kepala A-Pa sudah makin banyak."
"Maksud A-Pa?"
"A-Pa sudah makin tua. Kalau A-Pa mati, siapa yang akan menanggungmu?"
"Menanggung apa, Pa?" jawab gadis itu. Matanya mulai membelalak. "Mengapa A-Pa selalu berpikir bahwa aku tidak bisa menanggung hidupku sendiri?"
"Bukan begitu. Kamu belum bisa menilai dengan baik."
"Dan, A-Pa ingin anak gadis yang belum bisa memberi penilaian dengan baik ini untuk segera menikah?" gadis itu menunjuk dirinya sendiri sambil memberi penekanan pada kata 'belum'. Ia menggeleng-geleng. "Keanehan apa lagi ini, Pa?"
"A-Pa ingin masa depanmu terjamin dan bahagia."
"Kalau A-Pa ingin aku bahagia, biarkan aku menentukan sendiri," suara gadis itu makin meninggi. "Daripada calon-calon yang A-Pa ajukan padaku, aku lebih baik menikah dengannya!"
Aku diam. Telunjuk gadis itu menunjuk ke mukaku. Aku langsung memandang lantai, dan A-Pe’ memandangku seperti memandang lantai. Aku sudah berdiri di tempat salah pada waktu yang keliru; sebagian ingin lari, tapi sebagian ingin bertahan di sana. Aku tidak berani menatap keduanya. Aku cuma menyaksikan pertengkaran, lalu tiba-tiba ditarik ke dalam pusaran perdebatan. Aku tidak menyangka kalau gadis itu akan mengatakan hal macam itu. Gadis itu mendengus lalu lari menuju kamarnya. A-Pe’ masih diam. Lututku mulai gemetar seperti sedang kedinginan walau keringat mulai terasa menggelitiki leher dan dahiku.
"Pe’, saya ... beres-beres kamar belakang dulu," suaraku sepertinya ikut bergetar.
A-Pe’ mengangguk dan aku langsung meninggalkannya sendiri.
*
Malamnya, aku sedang kesulitan tidur ketika seseorang mengetuk pintu kamarku pelan-pelan. Aku membukanya dengan cara yang pelan juga. Mengintip. A-Pe’.
"Ada apa, Pe’?"
"Sudah tidur?"
"Belum, Pe’."
A-Pe’ diam sebentar, "Hmm ..., begini. Aku harap kamu tidak menanggapi perkataan anakku dengan serius. Dia cuma sedang emosi."
"Iya, Pe’. Saya ... mengerti."
A-Pe’ mengangguk-angguk, lalu pergi. Aku menutup pintu dan mencoba lagi untuk tidur. Entah berapa lama, aku hanya membolak-balikkan badanku. Akhir-akhir ini, tidur bukan perihal yang terlalu mudah dilakukan. Sampai, terdengar pintu kamarku diketuk pelan-pelan dari luar. Aku membukanya dengan cara yang pelan juga. Mengintip. Gadis itu sudah berdiri di depan pintu kamarku.
"Kakak sudah tidur?"
"Belum."
"Kak, biarkan aku masuk."
"Kalau ketahuan A-Pe’—"
"A-Pa dan A-Ma sudah tidur.
Tanpa izinku, ia langsung mendorong pintu dan menerobos masuk. Kubiarkan pintu tetap terbuka, tapi gadis itu langsung menutupnya. Pelan. Aku berdiri saja. Ia duduk di sisi dipan dan langsung mengajukan pertanyaan.
"Apakah kakak mau menemaniku lari dari sini?"
"Bagaimana?"
"Apakah Kakak bersedia menemaniku kabur dari rumah ini?"
“Ah?”
“Aku mau pergi dari rumah ini.”
"A-Pe’ bagaimana?"
"Kenapa semuanya harus tentang A-Pa?"
"A-Ko?"
"Kapan semua ini tentang aku?" Ia bangkit sambil menahan suaranya agar tidak mengeras. Jadi seperti berbisik. "Bukankah aku yang akan menikah? Bukankah aku yang akan menjalani semua masalah dalam pernikahanku?"
Aku diam sebentar sebelum menjawab, "A-Pe’ hanya ingin kau ... bahagia."
"Dan, aku tidak mampu membuat diriku sendiri bahagia?" Ia berjalan berputar-putar seperti hendak melompat ke luar kamar ini lewat jendela, tapi tidak ada jendela di kamar ini. Ia harus membatalkan keinginan itu. Aku diam karena taktahu harus menjawab apa. Ia terus berkata, "Bukankan ini jadi keanehan, Kak? Tidakkah orang yang ingin membahagiakan orang lain harus menyadari apakah benar keinginannya untuk membahagiakan orang lain itu bisa membuat orang lain itu bahagia? Atau, justru membuat orang lain itu tidak bahagia? Bagaimana jika ada orang lain yang bisa membuat orang lain itu bahagia?
Aku bingung dengan urutan kata-katanya. Siapa orang dan siapa orang lain? Jadi, aku diam. Pun, gadis itu tidak memberi kesempatan menjawab.
"Jadi, untuk apa semua ini dilakukan, Kak?"
Aku sekarang cuma bisa menjawabnya dengan gelengan kepala karena aku memang tidak tahu jawabannya. Bahkan, aku tidak terlalu paham apa pertanyaannya. Aku juga tidak tahu untuk apa semua ini dilakukan. Untuk kebahagiaan gadis itu atau untuk kebahagiaan A-Pe’? Aku yakin, A-Pe’ akan bahagia kalau gadis itu bahagia. Namun, kalau kelak gadis itu tidak bahagia, apakah A-Pe’ akan tetap bahagia? Laki-laki pertama yang dijodohkan A-Pe’ dengannya baru saja mati. Aku tidak tahu (dan tidak akan pernah tahu) apakah kelak gadis itu akan bahagia dengan pejabat partai itu, tapi jelas, saat ini gadis itu tidak bahagia dengan perihal-perihal perjodohan ini. Fakta sudah membuktikan bahwa gadis itu malah bersedih akibat kematian calon suami yang (bahkan) tidak diinginkannya (aku ragu bahwa gadis itu sudah cukup mengenalnya). Tidakkah itu ironis? Dan, A-Pe’ mengulangnya lagi? Apa yang sedang dipikirkan A-Pe’?
"Jadi, Kak, apakah kau mau menemaniku kabur dari sini?"
Pelan-pelan, aku mengangguk. Gadis itu tersenyum. Sebelum gadis itu keluar dari kamarku, aku menyempatkan bertanya, "Apakah ... kamu serius waktu mengucapkan ... itu?"
Gadis itu diam untuk menatapku sebentar, menggeleng-geleng, mengedikkan bahu, kemudian berbalik, dan kembali ke kamarnya tanpa meninggalkan jawaban.
***
Tongkat Rotan.6
"Ayah, bisakah hari ini aku pulang lebih cepat?" Anakku si E menunggu jawaban ketika aku sedang melamun di meja kerjaku dalam toko terpal.
"Terserah kau saja," ucapku.
"Terima kasih, Ayah."
Aku mengangguk, tapi segera teringat kalau aku tidak tahu alasannya, jadi aku bertanya lagi, "Memangnya ada apa?"
Si E berbalik. "Tadi pagi, aku sudah menyampaikannya pada Ayah. Juga seminggu lalu, tiga hari lalu, dan kemarin."
"Benarkah?"
"Mungkin, Ayah lupa. Hari ini anakku berulang tahun."
"Kau yakin?"
"Akta kelahirannya menulis begitu."
Aku mengembuskan napas dan mulai merasa khawatir kalau ternyata otakku mulai kurang berfungsi untuk mengingat. Aku takpernah mengingat tanggal ulang tahunku sendiri karena aku memang tidak pernah mengetahuinya. Aku kabur dari panti asuhan itu tanpa ingatan tentang sebuah tanggal lahir sehingga selama 66 tahun aku hidup di luar panti asuhan itu, tidak pernah ada perayaan apa-apa. Begitu pun dengan 10 tahun waktu aku hidup di dalamnya. Selain, aku tidak melihat kegunaannya. Jadi, waktu anak bungsuku—si E dan istrinya menyatakan bahwa mereka ingin merayakan ulang tahun anaknya, aku tidak terlalu bersemangat. Pantaslah kalau aku melupakan ucapannya.
Mungkin, manusia melupakan tanggal-tanggal, namun kita tidak ditakdirkan untuk melupakan kejadian-kejadian. Kita terus mengingatnya selama diperlukan. Kadang, aku heran, mengapa kejadian-kejadian buruk begitu sulit dilupakan. Padahal, mengingat kejadian-kejadian buruk seperti tidak ada gunanya. Mungkin, kejadian-kejadian buruk adalah guru galak yang terus mengingatkan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Sementara, kita semua adalah murid nakal yang hendak terus lari dari pelajaran.
Di akhir hidupku ini, aku tidak boleh lari lagi. Kalau benar ada pelajaran di balik semua itu, aku butuh kunci ajaib untuk membuka peti berkarat tanpa perlu terlalu merusaknya. Ini adalah sebuah pelajaran bodoh untuk orang setua aku. Terlalu banyak pelajaran. Bahkan, untuk mempersiapkan kematianku, aku harus mempelajari cara menggunakan telepon genggam yang kerjanya rumit dan ajaib.
Telepon genggam adalah keajaiban buatan manusia, keajaiban berikutnya adalah internet. Aku tua tapi belajar tidak berhubungan dengan usia. Sekarang, aku sudah mampu menggunakannya meskipun tidak terlalu lancar akibat terhalang oleh jari-jariku yang bergetar. Aku mengetik kata-kata kunci seperti anak umur tiga tahun yang sedang belajar mengeja.
Butuh usaha keras untuk melakukannya.
Aku tidak ingat nama jalan tempat panti asuhan yang pernah menampungku itu, tapi aku ingat wilayahnya. Aku ingat bentuk bangunannya. Aku ingat pagarnya. Aku ingat kamar mandinya. Aku juga mengingat wajah-wajah di dalamnya. Aku ingat pohon besar di halamannya. Aku ingat semuanya.
Jadi, setelah berhari-hari memeriksa satu per satu foto di internet, aku bisa langsung mengenalinya. Panti asuhan dalam foto ini adalah panti asuhan yang sama. Klik. Tembok tebalnya sama, mungkin dibangun pada masa Belanda. Jendela-jendela tinggi itu juga sama, masih dilapisi cat hijau tua yang serupa. Pagarnya sudah berubah, tidak lagi terbuat dari besi tebal yang membuatnya seperti penjara. Tidak ada lagi pohon besar, mungkin sudah ditebang. Klik. Bahkan, papan nama di depannya tidak berubah, hanya dilapis cat yang lebih baru. Aku kira begitu.
Kuperbaiki posisi bantal yang menyangga punggungku di atas dipan.
Jariku terus bermain-main di atas layar telepon genggam. Kanan. Kiri. Atas. Bawah. Klik. Foto kamar. Klik. Klik. Bukan ranjang besi bertingkat lagi, sudah jadi ranjang kayu berlapis pelitur coklat mahoni dan kasur-kasur yang tampak nyaman. Klik. Klik. Klik. Seorang bocah sedang menulis di atas meja belajar. Aku menduga kalau dia disuruh untuk melakukan pose itu oleh siapapun yang memotretnya. Jumlah anak-anak ini sepertinya bertambah banyak.
Kurasa, ibu asuh mereka sudah tidak lagi menggunakan rotan untuk membuat mereka pergi ke masjid. Ibu asuhku mungkin sudah mati. Kalau masih hidup, usianya mungkin sudah seabad (dan takmampu mengangkat tongkat rotan lagi). Semoga anak-anak ini berbahagia tinggal di sana. Klik. Wajah anak-anak yang tinggal di sana tampak gembira. Aku rasa, karena tidak ada lagi anak jahat yang gemar menakut-nakuti anak lain, atau mereka dipaksa tertawa. Entahlah.
Klik. Aku membaca pada sebuah keterangan di laman itu kalau panti asuhan ini sekarang menampung hingga 100 anak. Aku harap panti asuhan itu menjamin mereka dengan makanan sehat dalam jumlah mencukupi. Aku menduga, mereka (maksudku, pengelola panti asuhan itu) pasti berat melakukannya. Uang yang mereka dapat dari sumbangan bulan puasa harus diatur agar cukup untuk bertahan sampai bulan puasa berikutnya. Karena katanya, bulan puasa bisa melipat-lipatkan pahala. Orang suka menyumbang pada bulan itu, walau mereka tahu kalau anak-anak itu butuh makan bukan hanya di bulan puasa. Mungkin, sebenarnya orang-orang bukan sedang menyumbang, mereka sedang berniaga dengan Tuhan dan niaga adalah tentang laba. Bulan puasa memberi laba berlipat ganda. Semoga, ada manusia yang tergerak untuk menyumbang di luar bulan itu, dan semoga Tuhan berkenan mengubah pikiran. Siapa tahu?
Klik. Kutarik layar itu terus ke bawah. Transfer. Klik. Lalu, aku harus memasukkan angka-angka. Ah, orang setua aku takmampu lagi mengingat urutan angka yang terlalu panjang.
Klik. Kumatikan telepon genggam itu.
Aku mengembuskan napas, bangkit perlahan-lahan, dan berjalan keluar kamar. Gaduh. Ramai. Bukan cuma anak-anak dan cucu-cucuku. Banyak anak-anak kecil yang takkukenal. Aku takterlalu menyukai anak kecil, mereka kelewat takterduga.
"Kakek! Kakek! Ini apa?" anak asing itu menunjuk penyangga berkaki empat yang sedang kupegang untuk menyangga tubuhku.
Kupandang matanya.
"Kalau sudah tua, kamu juga akan menggunakannya. Kalau tidak, kau bisa mati karena terpeleset," jawabku. "Itu kalau kau beruntung tidak mati sebelumnya karena darah tinggi atau serangan jantung."
Belum sempat aku menjelaskan lebih lanjut, anakku sudah menarik anak itu pergi. Ah, apa salahnya menjelaskan kematian pada anak-anak? Kelak, mereka juga akan mati. Bergembiralah, Anak-Anak. Kalau kalian sudah tua, kalian tidak akan bisa lagi tertawa sehabis terpeleset.
Banyak makanan, dan aku terus teringat anak-anak panti asuhan itu.
Aku duduk dan taklama salah satu anakku bertanya, "Ayah, mau makan apa?"
"Apa saja."
Ia membawakan aku semangkuk bubur. Ah, apakah mereka memang akan terus memberi aku bubur, bahkan di acara ulang tahun cucuku sendiri? Aku mulai mencicipi semuanya. Kali ini, anak-anakku begitu sigap membantu.
Semua makanan di acara ulang tahun cucuku itu, kalau tidak terlalu gurih, terlalu asin, atau terlalu manis. Untukku yang setiap hari makan sayur bening hambar, rasanya jadi terlalu berlebihan. Toh, kutelan juga. Masukkanlah semua yang kau senangi ke dalam tubuhmu atau ke dalam otakmu, maka hidupmu akan berakhir menderita. Cinta dan makanan tidak ada bedanya. Kumasukkan makanan-makanan itu dalam mulutku dan kusyukuri kalau aku masih punya gigi.
Aku ingat istriku. Ia jagoan dalam memasak.
Pandangan mataku mulai berpendar-pendar. Ada titik terang (lebih tepatnya, silau) di kejauhan, menggeliat-geliat mendekat, lalu remang-remang. Kemudian, jadi serupa gambar. Seperti berjalan di tengah kegelapan dengan seribu kunang-kunang. Lampu jalan. Aspal hitam. Anjing buduk. Cahaya memelesat seperti menusuk mataku. Aku ingat.
Ah! Inilah salah satu tanda penuaan yang lain. Kau mulai melupakan perihal yang kau alami sehari-hari dan mengingat semua perkara remeh yang terjadi di masa lalu. Bukan cuma mengingat, tapi serupa menonton ulang adegan-adegan film yang bisa diperlambat. Bahkan, bisa kau saksikan berkali-kali setiap hari, berputar-putar dalam kepala.
Aku ingat setiap detail malam itu, namun melupakan tempat obat penurun tekanan darahku diletakkan. Aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk mengambilnya.
*
Langit belum banyak berubah saat itu, waktu belum mencuri bintang-bintang dari malam-malam. Pada suatu hari Senin, sekitar pukul empat pagi di bulan Desember tahun 1961, setelah kuntilanak selesai bertugas, aku kembali mengendap-endap di depan rumah gadis itu. Sudah hampir satu jam setelah penjaga malam memukul tiang listrik tiga kali seperti hendak membuatnya patah. Namun, kali ini aku tidak bersama nyamuk dan tikus, melainkan bersama gadis itu. Untunglah, gadis itu terbiasa bangun pagi dan hari itu ia bangun jauh lebih pagi. Mungkin, bisa dihitung masih malam.
"Benarkah ... kau mau melakukan ini?"
"Kak, apakah kau segini bodohnya? Kita sudah sepakat," ucapnya sambil menutup pagar rumah pelan-pelan. "Ayo."
Ia langsung menarik tanganku dan aku mengikutinya dengan jantung berdentam-dentam. Kalau ketahuan orang, aku bisa mati dipukuli. Tapi, aku terus saja mengikutinya seperti kena gendam. Kami melangkah menyusuri jalan di depan rumah A-Pe’ dengan terburu-buru untuk menuju ke jalan besar. Gadis itu berkali-kali menengok ke belakang, tetap tidak ada siapa-siapa. Sepi. Suara jangkrik berderik-derik, entah peliharaan orang atau jangkrik liar. Gadis itu terkejut. Seekor kucing melompat dari atas tembok pagar rumah tetangga. Lampu jalan yang kuning menyepuh aspal basah, tong sampah, anjing buduk yang cuma melirik sebentar, dan benda-benda memantulkan sejenis cahaya keemas-emasan. Kota Ini terasa dingin karena baru saja turun hujan. Jantungku terus berdebar; bukan karena takut, melainkan perasaan bersemangat sedang menyusup. Langkah kakiku begitu ringan, mengikuti langkah kakinya yang kecil-kecil dan cepat. Gadis itu seperti hendak berlari. Aku seperti hendak terbang.
Entah lima atau sepuluh menit berlalu, kami sudah berjalan makin jauh. Rumah A-Pe’ takterlihat lagi. Taklama, kami akan keluar dari wilayah perumahan. Dua puluh langkah menuju portal. Tiba-tiba, aku merasa bisa menghitung langkah-langkah secara perlahan. Waktu sesaat bisa melambat. Di depan kami telah tampak sebuah tiang portal melintang, membatasi perumahan dengan jalan raya. Tidak ada penjaga. Kami berhenti sebentar.
"Ayo. Sebelum penjaga itu kembali," bisik gadis itu sambil membungkukkan badan, hendak meloloskan diri lewat sedikit jarak di bawah tiang panjang melintang untuk menyeberang ke sisi sebelah sana. Tubuhku tidak mau bergerak. Kulihat ia mulai merangkak.
"Tunggu," ucapku sambil menahan tali tas yang tersampir di bahunya.
"Ada apa lagi, Kak?" Dia menatapku. "Kalau penjaga itu kembali, kita bisa ketahuan A-Pa. Ayo!"
Ia hendak meneruskan merangkak ke seberang.
Aku menariknya lagi. "Sebentar. Kau ... benar mau melakukan ini?"
Ia mendongakkan kepalanya, menatap mataku sambil masih dalam keadaan berlutut dengan dua tangan menyangga bagian depan tubuhnya. "Kakak ... ragu?" Aku menggeleng. Sementara, ia mulai bergerak mundur dan kembali ke sisi sini portal. Ia berdiri lagi. "Lalu?"
Untuk kali pertama, aku menatap balik langsung ke matanya, "Begitu kita menyeberang, mungkin ... kau tidak akan pernah kembali ke sini lagi." Ia diam, sedikit menunduk. Aku melanjutkan, "Kau ... tidak akan pernah bertemu A-Pe’ lagi." Ia masih diam, kemudian mengangkat kepalanya, menghadap ke arahku yang masih berdiri dengan sebuah tas berat menggantung di bahu. "Dan, A-Ko," aku menambahkan. Ia masih berdiri tanpa berkata apa pun, kemudian menatap jalan perumahan yang baru saja kami lewati. Aku jadi ikut menengok. Tidak ada siapa-siapa. Masih sama. Jalan aspal yang dilapisi cahaya jingga lampu penerangan, dan anjing buduk mengorek-orek tong sampah. Lama sekali ia melakukan itu. Aku mengembuskan napas sebelum kembali bertanya, "Apakah ... kamu sadar tentang itu?"
Ia tidak menjawab, malah mengulang pertanyaan, "Apakah Kakak ragu?"
Aku menggeleng, "Tidak."
Matanya menusuk mataku, lalu ia berucap, "Aku juga tidak." Aku diam, dan kembali menghindar dari tatap matanya. Ia berbisik, "Aku tidak pergi sendirian. Buat apa aku takut?" Ia mendekat ke arahku lalu menggenggam tanganku, darahku langsung berdesir. "Aku tahu. Aku tidak akan pernah kehabisan gula-gula asam. Dulu, Kakak yang selalu memborongnya, bukan?" Ia tersenyum. Aku takmenjawab dan merasa sangat bodoh. Namun, aku tidak keberatan jadi orang bodoh karena aku bahagia. Ia langsung menarik tanganku untuk mengikutinya, "Ayo."
Waktu bergerak cepat bersamaan dengan gadis itu meloloskan diri ke seberang portal. Aku melompati tiang panjang melintang. Kemudian, kami berdua berlari menjauh. Di bawah cahaya lampu jalan yang keemasan, kulihat gadis itu tersenyum. Sebuah becak teronggok di pinggir jalan dengan pengayuhnya yang tengah tertidur pulas.
Gadis itu takmelihatku tersenyum.
Entahlah, apakah aku bermimpi atau sedang mengulang kejadian. Sesaat sebelum aku melompati portal, bersamaan dengan tangannya menarik tanganku, aku mendengar gadis itu berkata, "Aku sudah berkali-kali bilang pada A-Pa bahwa aku ingin menikah denganmu, tapi—
Aku diam. Pandanganku menyusut, aku sudah melupakan obat penurun tekanan darah, namun aku jelas bisa mengingat bahwa ada sesuatu yang belum kubuat agar malaikat maut bersedia mencabut nyawaku: Sebuah eulogi yang meyakinkan.
"—A-Pa tidak pernah setuju."
Suaranya terdengar di telingaku lalu benar-benar senyap.
***
Pohon Bakau
Kalau aku mati ..., otomatis tanah dan rumah ini jadi milik mereka.
Memang seperti tidak ada jalan lainnya. Langkah pertamanya sudah terjadi. Hidupku dengan cepat jadi taksama dan sudah kubiarkan anak-anakku mengelola toko terpal itu dengan tangan mereka sendiri. Bukan karena aku rela menyerahkannya, melainkan karena aku harus berbaring saja di tempat tidur. Serangan tekanan darah tinggi yang terjadi tiga hari lalu telah membocorkan sisa-sisa daya hidup yang kupunya. Tabung logam itu masih tegak di atas bufet. Kamar tidurku mampu menghasilkan suara denging dalam telinga macam sirine jam malam. Mungkin, inilah yang dimaksudkan istriku menjelang kematiannya: Kita akan tahu begitu saja tentang kapan hidup akan berakhir. Perihal menyedihkannya adalah: Kita hanya bisa mengetahuinya ketika sedang dalam keadaan akan mati. Ironisnya, kesedihan itu bukan disebabkan oleh kematian itu sendiri, melainkan karena secara tiba-tiba aku menyadari bahwa terlalu banyak perkara yang belum terselesaikan (atau telanjur tertinggalkan karena berbagai kekeliruan dan kesalahan di masa lalu) sementara waktu mulai berdetak-detak lebih cepat untuk segera habis dan tamat. Sisa hidupku mulai digerus waktu. Aku tahu, hidupku takkan lama lagi. Tapi, ada urusan yang belum terselesaikan.
Makan malam itu harus terlaksana secepatnya karena aku takmau terus berbaring takberdaya dalam keadaan hidup.
Ini takterasa lagi seperti hidup.
Dengan keadaan seperti ini, bahkan memencet nomor di telepon genggam adalah sebuah kerumitan luar biasa. Layar telepon genggam ini tidak terlalu penurut, atau memang jariku saja yang terus bergetar-getar seakan-akan sedang melakukan pemberontakan. Aku tidak menyukainya, namun aku masih membutuhkan belas kasihan dari benda-benda. Sampai, akhirnya ....
"Halo."
"Halo, Pak."
"Kau sudah menerima draf surat wasiatku?"
"Sudah. Dan, saya sudah mempelajarinya. Ada beberapa hal yang perlu Bapak pertimbangkan."
"Apa?"
"Begini, Pak." ia berdeham. "Surat wasiat ini sangat mungkin untuk dituntut pembatalannya ke pengadilan. Kalau itu sampai terjadi, besar kemungkinan hakim akan memutuskan untuk membatalkannya demi hukum."
"Aku tahu."
"Lalu?"
"Lalu apa?"
"Bapak paham ucapan saya barusan, bukan?"
"Paham."
"Lalu?"
"Lalu apalagi?" Aku sudah tidak sabar untuk membanting telepon.
"Apakah Bapak tidak ingin merevisinya?"
"Tidak.
Kudengar ia menghela napas.
"Kamu pengacara, bukan?" aku bertanya. Ia takmenjawab jadi aku langsung meneruskan lagi. "Orang bodoh manapun pasti mengetahui apa manfaat surat wasiat. Surat wasiat dibuat sebagai panduan untuk mengurus urusanku ketika aku sudah mati." Aku memberi penekanan kepada kata ‘sudah’. Ia belum menjawab apa-apa, jadi aku melanjutkan. "Sehingga, cukup jelas, bahwa: disebabkan saat itu aku sudah mati (aku kembali menekan kata 'sudah'), apa pun yang hakim lakukan—entah membatalkan demi hukum, demi Tuhan, atau demi apa pun yang dia mau—aku tidak akan bisa berbuat apa-apa."
"Benar, Pak. Tidak akan ada masalah buat orang yang sudah mati. Tapi, surat wasiat seperti ini bisa menimbulkan sengketa untuk mereka yang hidup."
"Kalaupun itu terjadi, biarkan saja," jawabku kemudian sejenak menghela napas. "Tapi, aku bisa memastikan, bahwa kali ini anak-anakku akan jadi anak penurut." Aku mulai merasa kalau darah tinggiku akan naik lagi. "Tujuanku menelepon seharusnya bukan untuk berdebat denganmu, melainkan untuk mengabarkan bahwa setelah beberapa urusan yang harus kuselesaikan, aku akan mengirimkan draf final surat wasiatku. Setelah itu, apa pun yang terjadi, biarlah terjadi. Kau urus saja surat wasiat itu. Sisanya biar jadi urusanku dan keluargaku."
Ia menarik napas kemudian kami menutup telepon.
Kondisiku sempat membaik dan sekarang terasa akan memburuk lagi. Waktuku sudah makin singkat. Jadi, dengan kerumitan yang sama, aku menelepon salah satu anakku di toko terpal.
"Panggil si Sopir ke kamarku. Aku butuh bantuannya."
"Ayah ingin ke rumah sakit?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Tidak bisakah kau tidak bertanya-tanya? Kirim saja sopir itu ke rumah. Suruh dia ke kamarku. Itu saja,” tegasku. “Oiya, suruh supir itu membawa catatan utang-piutang.”
Kali ini, darah tinggiku terasa benar-benar akan meledak. Aku langsung menutup telepon. Sekitar 30 menit, sopir itu muncul. Si E—yang ditugaskan untuk menjagaku—membawanya masuk. Sopirku menyodorkan sebuah buku tebal yang membuatnya terlihat seperti malaikat yang sedang menyerahkan catatan dosa-dosa. Aku menyuruhnya meletakkan buku itu di atas nakas. Ada hal lain yang lebih penting untuk kukerjakan lebih dulu.
"Aku hanya ingin bicara berdua dengannya," ucapku dan si E segera melangkah keluar dengan wajah kurang rela, sementara sopir itu terus saja berdiri di samping dipanku.
"Bantu aku bangkit," aku menyuruh. Dia tampak ragu tapi mataku memaksanya. Ia menurut dan perlahan mendorong punggungku sampai aku terduduk. Waktu aku mencoba menggerakkan kedua kakiku, ia kembali membantu menarik kakiku sampai menyentuh lantai, dan aku sudah duduk di pinggir dipan. Kemudian, kusampaikan padanya, "Aku mau kau membawaku ke alamat ini." Kutunjukkan hasil pencarianku di internet lewat telepon genggam.
Ia membacanya, lalu menatapku, "Panti asuhan?"
Aku mengangguk. "Sekarang, bantu aku berdiri."
Ia tampaknya bingung, tapi tetap meraih penyangga berkaki empat dari pojok kamar. Entah bagaimana benda itu bisa sampai di sana. Aku mulai tertatih menyusuri cerita masa lalu dengan tulang-tulang yang bergetar.
***
Hari belum terlalu siang saat sopir itu membantuku naik ke atas mobil dan membawaku ke alamat yang aku tuju. Kota Ini panas, begitu pula kepalaku. Aku ingin cepat-cepat, tapi bukan secepat ini. Aku ingin makan bakmi, bukan mi ayam, karena hanya bakmi yang bisa memperpanjang waktu. Namun, ada kalanya waktu takperlu diperpanjang, ia harus dikejar.
“Hati-hati,” ucapku setelah menyuruh sopir itu mempercepat laju mobil karena tidak seharusnya aku mati dalam kecelakaan.
“Ncek mau memberi sumbangan ke panti asuhan ini?” tanya sopir itu.
“Semacam itu.”
“Mengapa tidak panti asuhan dekat rumah saja?”
“Tidak semua panti asuhan sama.”
“Yang ini berbeda?”
Aku mengangguk, “Aku pernah tinggal di sana.”
Sopir itu langsung terdiam, juga aku. Jangankan dia, anak-anakku pun mungkin takpernah tahu bahwa aku adalah anak haram yang dibuang oleh sepasang orang tua takdikenal. Paling tidak, itulah alasan yang kuyakini mengapa aku bisa sampai di panti asuhan itu. Kita butuh alasan-alasan bahkan yang dikarang-karang untuk menjelaskan, bukan semata kebenaran. Kebohongan yang bisa memberikan alasan lebih mudah diyakini dibanding kebenaran yang takmenjelaskan sebuah keberadaan. Mungkin, aku meyakini kebohonganku sendiri, tapi aku takpeduli. Kita butuh memahami keberadaan sebagai kejadian yang muncul karena alasan-alasan, yang kadang terlalu sulit untuk bisa diceritakan. Itulah sebabnya kita mengarang-ngarang sebagaimana aku mengarang cerita tentang kedua orang tua kandungku. Kelak, cucu-cucuku akan mengarang-ngarang cerita tentangku karena terlalu banyak cerita yang belum kusampaikan.
Aku tidak bisa menceritakan bagian ini dengan cara terlalu panjang karena aku mulai kehabisan waktu dan sendi-sendi jariku mulai kelelahan. Tapi, bisalah sedikit kugambarkan tentang kejadian setelah dini hari itu.
Ketika kami memutuskan keluar dari rumah A-Pe’ pada akhir 1961, aku rasa, gadis itu telah menyadari konsekuensi yang mungkin terjadi. Dia adalah satu-satunya anak A-Pe’ dan A-Ko—yang lari bersama bocah yang telah ditolong oleh A-Pe’, dan semua itu akan menyakiti perasaan keduanya. Pengkhianatan dari anak sendiri dan orang yang dipercaya bukan perkara mudah untuk siapapun termasuk A-Pe’. Justru, akulah yang takmemahami konsekuensi. Aku sudah terbiasa jadi kelomang yang melata ke sana kemari tanpa rumah, namun gadis itu bukan aku. Toh, ia takmenunjukkan gejala penyesalan. Ia tetap berjalan. Tanpa mengeluh.
Kami sudah berjam-jam meniti jalanan Kota Ini tanpa tujuan selain menjauh sejauh-jauhnya dari rumah A-Pe’; perasaan bahwa ada sesuatu yang mengejar sudah hilang. Matahari sudah lahir dari tadi, sisa-sisa hujan semalam mulai dihapuskan, dan debu jalan beterbangan. Detik ini, A-Pe’ dan A-Ko pasti sudah menyadari kalau anak gadis dan pembantunya hilang dari rumah. Mungkin, saat ini, mereka sedang marah-marah atau memakiku sebagai anak haram takberadab yang taktahu caranya berterima kasih. Aku meragukan A-Ko akan melakukan itu. Ia cuma akan menangis sambil meratap di ujung altar tempat arwah-arwah anaknya bersemayam. Satu-satunya anak perempuan mereka yang tersisa kini berjalan di depanku. Langkah-langkah kami mulai melambat.
Gadis itu berbalik untuk melihatku yang berjalan di belakangnya. "Ayo, Kak."
"Kamu ... tidak lelah?"
Ia menggeleng, "Kakak lelah?"
Aku menggeleng sambil menduga bahwa hidup akan selalu indah, dan aku benar. Sepanjang gadis itu hidup, hidupku selalu indah bahkan di saat-saat terpahitnya—yang secara ironis membuatku ingin mati karena terlalu indah (aku sekarang ingin menangis). Aku terus berjalan di belakangnya, menatap rambut halusnya yang diikat ekor kuda. Waktu sudah menjauh dari suatu titik di masa lalu, memanjangkan rambutnya. Aku ingat bagaimana wajah dan rambutnya pada 1955. Perjalanan hidup takmemanjang seperti rambut, atau berubah seperti wajah. Uang juga takbertambah seperti uban.
Uang terlalu mudah mengalir seperti air dalam comberan. Memang, aku masih punya simpanan uang yang kukumpulkan dari upah yang diberikan A-Pe’ padaku, gadis itu juga memiliki sejumlah uang, tapi uang adalah selemah-lemahnya pertahanan hidup. Walau sama-sama takseberapa, kami menyatukannya. Gadis itu menyimpannya dalam kantong serut berwarna biru dengan bordir bunga peony putih bersemu merah. Waktu kuberikan kantong serut itu kepadanya, aku tahu kalau aku akan bisa selamanya mengingat teduh matanya ketika tersenyum dan menerima hadiah itu. Mata juga bisa bicara meski tanpa kata-kata. Kemudian, kami berjalan bersisian tanpa mengucapkan apa-apa.
Akhirnya, setelah beberapa waktu, aku berkata, "Kita ... harus makan."
Gadis itu mengangguk. Dan, lima menit setelah itu, kami masuk ke sebuah warung makan yang baru saja buka. Sepertinya, kami adalah pelanggan pertamanya hari itu. Seorang ibu menyambut kedatangan kami, dan setelahnya aku menunjuk nasi, sayur bayam, dan tempe goreng. Ibu itu meletakkan semuanya di atas piring.
"Cuma itu?" tanyaku sambil menunjuk nasi, sayur bayam, dan tempe goreng yang juga ditunjuk gadis itu.
"Kita harus berhemat," jawabnya.
Perasaan menyesal mulai tumbuh di dalam kepalaku. Keputusanku menyetujui ajakannya bisa jadi sangat salah. Ia membutuhkan tumis sayuran dengan minyak wijen, kuotie, juga bakmi berkuah babi. Kutelan nasi, bayam, dan tempe goreng sebagai sebuah penyesalan yang harus kubayar. Aku tidak bisa memperkirakan berapa lama uang yang kami miliki bisa dipakai untuk bertahan karena kami butuh makan dan tempat tinggal.
"Kita ... harus mencari tempat menginap," ucapku. "Apakah—"
"Aku bisa tidur di mana saja, Kak."
"Aku biasa tidur di mana saja. Tapi—"
"Aku bisa membiasakan diri untuk tidur di mana saja."
"Tapi—"
"Kakak tidak usah khawatir," ucapnya sambil tersenyum.
Aku mengembuskan napas. Aku bisa tidur di mana saja—aku telah terlatih untuk melakukannya. Walau gadis itu telah mengatakan hal serupa, aku tidak bisa memercayainya karena dibutuhkan pengalaman untuk terbiasa tidur bersama nyamuk, kecoak, dan tikus sebesar anjing. Gadis itu tidak berpengalaman dan perasaanku tidak bisa menerima perkataannya begitu saja. Perasaanku tidak mengizinkan diriku untuk membiarkannya tidur di mana saja—seperti ucapannya—sebab, saat ini, di mana saja terasa seperti tidak di mana-mana. Rasanya, aku memang telah melakukan kesalahan karena berjalan tanpa tujuan bukanlah kegiatan yang boleh dijadikan kebiasaan. Jadi, kuberanikan diri untuk bertanya pada ibu pemilik warung waktu gadis itu sedang membayar makanan yang kami makan.
"Bu, kami dari luar kota. Apakah ... ada penginapan murah di sekitar sini?"
Ibu itu memandang kami berdua, lalu menggeleng, "Di sekitar sini tidak ada penginapan. Tapi, di belakang, ada masjid. Coba kalian minta izin sama penjaganya kalau mau menginap di sana.
Aku belum menjawab apa-apa waktu ibu itu menambah ucapannya seperti baru saja salah bicara, "Atau, ada gereja di ujung jalan ini. Mereka juga sering menampung orang dari luar kota."
Gadis itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu kami mengangkat tas yang terasa makin berat. Aku pernah jadi kuli panggul dan tidak keberatan dengan itu, namun berjam-jam mengangkat tas di bahu sambil berjalan ternyata bisa jadi perkara lain. Berkali-kali aku sudah menawarkan untuk membantu mengangkat tas yang dibawanya, namun gadis itu terus menolak.
"Ternyata, pekerjaan Kakak berat," bisiknya.
Pohon Bakau.2
Aku menggeleng karena mengetahui bahwa tidak memiliki pekerjaan bisa lebih berat lagi, dan itulah yang sedang kami hadapi saat ini. Tanpa pekerjaan, uang bukan hanya air yang mengalir dalam comberan, tapi juga tanda-tanda berakhirnya kehidupan. Kantong serut berbordir bunga peony itu akan makin ringan sementara hidup memberat. Tapi, cara yang kami punya cuma dua. Satu, meneruskan langkah menuju risiko menjadi gelandangan. Dua, kembali ke rumah A-Pe’ sambil menelan rasa malu. Sungguh, jika kembali ke rumah A-Pe’ bisa membuat gadis itu bahagia, aku akan menelan rasa maluku berulang-ulang kali sebelum kemudian pergi meninggalkannya. Tapi, kali ini, gadis itu tidak menunjukkan gejala-gejala akan mengubah pikirannya. Ia terus melangkah, dan aku mengikutinya.
Rasanya, langkah kami makin lama sudah makin pelan—lebih mirip diseret. Kami harus segera menemukan tempat beristirahat. Keringat dan debu yang bercampur menjadi satu terasa tidak menyenangkan. Aku mengkhawatirkan kulit putihnya. Debu jalanan bukan perkara yang sehat. Gereja yang dikatakan ada di ujung jalan ternyata taksedekat yang dikira karena jalan ini ternyata juga tidak pendek. Kami terus berjalan karena sepertinya hanya itulah yang bisa terpikirkan. Akhirnya, bangunan gereja itu muncul. Atapnya yang segitiga menyeruak di sela bangunan lain. Tampak mukanya menunjukkan sebuah salib besar yang dibentuk dari susunan kaca jendela. Salib kecil bertengger di puncaknya, beberapa burung gereja berhimpitan di dekatnya. Sedetik kemudian, mereka terbang. Hilang. Hampir tengah hari. Di dalam, banyak orang berjalan keluar dari pintu gereja. Pintu itu besar dengan bagian atas melengkung dan daun pintu yang padat berwarna coklat kehitaman terbuka lebar. Menganga. Kami mengawasi mereka. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berpakaian bagus. Sejujurnya, aku merasakan keraguan untuk mendekati tempat itu, dan kurasa, begitu juga gadis itu karena kami berdua hanya tepekur di hadapannya—berdiri dekat gerbang seperti sepasang pencuri yang putus asa. Beberapa orang yang bersimpangan dengan kami tersenyum, lalu pergi.
"Kita masuk sekarang?" tanya gadis itu.
Aku menggeleng. Bukan menolak, melainkan aku takbisa memutuskan. Orang-orang masih terus mengalir keluar, dan seorang lelaki paruh baya berjubah hitam menyalami mereka satu per satu di pintu keluar sebelum pergi. Sedikit suara tawa dan obrolan bisa terdengar sampai di sini. Entah berapa lama kami berdiri hingga memutuskan untuk bersandar di tiang pagar gereja itu. Orang-orang yang berjalan keluar sudah makin jarang. Aku menengok ke dalam dan melihat laki-laki berjubah hitam itu berdiri di ujung atas tangga, tepat di tengah pintu—menatap orang terakhir yang pergi dari sana. Mataku beradu dengan mata laki-laki berjubah itu. Aku langsung memutar tubuhku sambil menunduk. Namun, ketika aku menengok lagi, kulihat laki-laki berjubah itu sudah berjalan mendekat. Aku segera berdiri. Gadis itu berdiri ketika laki-laki itu sudah berada tepat di samping kami.
Ia menatap dua tas yang kami bawa teronggok di trotoar, "Salam. Ada yang bisa saya bantu?" Matanya berganti-ganti memandang aku dan gadis itu.
"Kami—"
"Bagaimana kalau kita masuk dulu?" ia langsung hendak berbalik, bahkan mencoba meraih tas di trotoar yang langsung kurebut.
"Biar saya saja," ucapku.
Ia mengangguk dan langsung berjalan mendahului. "Kalian datang dari jauh?"
"Kami ... dari luar kota," jawab gadis itu.
"Hmm," laki-laki berjubah itu mengangguk-angguk.
Kami terus berjalan mengikuti langkahnya yang tidak terlalu cepat, menuju pintu besar melengkung. Aku menatap pintu itu lagi. Di puncaknya tampak salib kecil berhias daun palem—membuat laki-laki kecil yang tersalib di sana seperti sedang menyangganya dengan bahu. Kami melangkah masuk.
Waktu laki-laki berjubah itu sedang menutup pintu di belakang punggungku, aku menambahkan, "Kami ... sedang mencari tempat untuk beristirahat."
"Kalau mau, kalian bisa beristirahat di sini."
Ia membawa kami terus melangkah melewati selasar yang diapit deretan kursi kayu dalam jumlah banyak. Beberapa orang sedang membersihkan ruangan. Aku memperlambat langkahku karena hidungku bisa mencium aroma lama; semacam campuran kelembaban dan udara dingin. Suara langkahku yang menyeret seperti bisa terdengar. Atap ruangan ini begitu tinggi—bisa mengeraskan suara apa saja—dengan celah-celah yang mampu menyisipkan sinar matahari hingga jadi berwarna hijau-merah-biru-jingga setelah menembus kaca bermotif sesuatu yang tidak bisa kulihat dengan cara terlalu jelas. Kemudian, langkah kami berhenti, tepat di hadapan sebuah altar lebar dengan salib besar di tengahnya. Kemudian, laki-laki itu mengajak kami duduk di bangku panjang pada deret terdepan. Sebuah pohon cemara yang dililit lampu takmenyala berdiri di sisi kiri dan sebuah mimbar ada di kanan. Sebentar, ia seperti meneliti raut kami yang lusuh bercampur debu.
“Duduklah. Setelah ini, kalian bisa beristirahat,” ucapnya.
“Terima kasih, Pak,” jawab gadis itu.
“Kalian bisa memanggilku Pendeta atau Pak Pendeta.”
“Iya, Pak Pendeta.”
"Apa tujuan kalian kemari?"
"Rencananya, kami akan mencari kerja di sini," ucap gadis itu. "Sekarang, kami ... tidak punya tempat tinggal.”
"Keluarga kalian di mana?"
"Di ... luar kota."
Pendeta itu mengernyit, lalu mengangguk-angguk. Mungkin, ucapan kami terlalu tampak sebagai kebohongan.
"Apakah ... kami boleh bermalam di sini?" aku memberanikan diri bertanya pada pendeta itu.
"Boleh. Tapi, hanya ada satu kamar kosong di sini. Apakah kalian—"
"Kami bukan suami istri," aku langsung menyambungnya.
Pendeta itu menatap kami berdua, "Kalian adalah—"
"Kami kekasih," potong gadis itu sambil meraih tanganku. "Kami ingin menikah."
Kemudian, bersamaan dengan wajahku yang memanas, gadis itu mulai menceritakan semuanya dan semua perkara-perkara yang menyebabkan kami lari dari rumah. Aku juga langsung membuka bahwa kami bukan dari luar kota. Pendeta itu mengembuskan napas.
"Kalian masih muda. Kalian sadar dengan apa yang sedang kalian lakukan?"
Aku menengok ke arah gadis itu, dan gadis itu langsung menjawab, "Kami sadar."
Pak Pendeta menggeleng-menggeleng seperti menyesal. "Begini saja. Kalian bisa tinggal sementara di sini. Pikirkan baik-baik. Jangan terburu-buru.
Gadis itu memandangku. Aku menunduk.
"Kamu bisa tidur di satu kamar kosong itu," ucap Pak Pendeta pada gadis itu, kemudian beralih padaku. "Saya tidak mungkin membiarkan kamu tidur sekamar dengannya. Kalau mau, kamu bisa tidur di ruang belajar, atau ada ruang penyimpanan barang yang bisa kamu bereskan dulu." Aku mengangguk dan memilih untuk tidur di dalam ruang penyimpanan barang. "Ayo," ajaknya.
Aku dan gadis itu segera bangkit dan mengikuti Pak Pendeta berjalan melewati pintu di samping kiri altar; di baliknya terdapat selasar dengan beberapa pintu berderet. Kami melewatinya, lalu keluar dari sebuah pintu di ujung belakang selasar. Kami muncul di bagian belakang gereja yang terbuka, sebuah lahan parkir yang diteduhi deretan pohon flamboyan; bunganya berguguran, mewarnai aspal hitam dengan pias-pias kelopak yang merah kejingga-jinggaan. Di bagian kiri bangunan, aku melihat tiga pintu. Pintu paling kiri adalah kamar kosong yang dimaksud, pintu tengah adalah ruang penyimpanan, dan pintu sebelah kanan adalah kamar mandi.
"Ini ruang untuk kamu," ujarnya pada gadis itu sambil membuka jendela yang menghadap teras bagian depan ruang. Terdapat dua dipan di dalamnya. "Kamu boleh memindahkan salah satu kasur itu ke ruang penyimpanan barang. Mohon maaf, hanya ini yang bisa saya sediakan."
Gadis itu meletakkan tas-nya di kamar itu dan aku menuju kamar yang disebutnya sebagai ruang penyimpanan barang. Begitu ruang terbuka, bau debu segera tercium. Ruang ini sempit, dan tampak sebuah pohon cemara plastik yang ukurannya lebih kecil dari yang berdiri di depan, pun barang-barang yang menumpuk berantakan. Setelah berkata bahwa kami bisa menggunakan kamar mandi untuk membersihkan diri, pendeta itu meninggalkan kami karena ia harus mempersiapkan kebaktian sore hari. Dengan sapu dan pel yang sudah ada dalam ruang itu, kubereskan sedikit ruang di dalamnya, sekiranya muat untuk meletakkan kasur yang akan kuambil dari kamar sebelah. Aku menghela napas memandang ruangan tanpa jendela ini. Besok, aku akan membereskannya. Sore ini, sebelum aku mandi, aku akan membantu pendeta itu membereskan ruang jemaat. Dia sudah baik dengan memperkenankan kami tinggal di sini tanpa banyak bertanya.
***
Mobil bak masih melaju bersama aku, sopirku, dan serangkai pertanyaan yang menunggu jawaban. Jawaban yang benar takkan pernah bisa ditemukan tanpa pertanyaan yang benar. Aku kecewa. Sedalam-dalamnya. Aku telah gagal. Sebagai orang tua yang terus beranjak tua, aku telah gagal mendidik anak-anakku untuk mengajukan pertanyaan dengan benar. Pertanyaan bodoh hanya akan menghasilkan jawaban yang bodoh. Bahkan, sopirku ini lebih ahli dalam melakukan kegiatan mengajukan pertanyaan.
“Saya tetap berpikir bahwa semua panti asuhan sama saja, Ncek.”
“Mengapa?”
“Karena anak-anak asuh panti asuhan akan selalu datang dan pergi, ‘kan, Ncek? Kalaupun sekarang Ncek datang ke sana, anak-anaknya sudah tidak sama. Yang selalu sama cuma mereka tidak dirawat oleh orang tua kandung mereka. Dan, itu terjadi di panti asuhan mana pun. Jadi, kalau Ncek memang berniat membantu, bukankah bisa dilakukan di panti asuhan mana saja?” ucapnya sambil menengok sedikit padaku. “Duh, Ncek. Maafkan saya. Saya sudah sok tahu.”
Aku diam sebentar kemudian menggeleng, “Tidak. Kamu memang benar.” Lalu, kami berdua diam sampai kami tiba di wilayah yang dituju. Aku menambahkan, “Tapi, aku bukan mau membantu siapa-siapa. Aku cuma mau membantu diriku sendiri.”
Sopirku takmenjawab lalu membelokkan arah mobil. Sedikit lagi, aku tiba di alamat itu, dan sekarang biar kuteruskan ceritaku dulu.
*
Dua hari setelah aku dan gadis itu tiba di Gereja, sehabis melanjutkan membereskan gudang pagi-pagi sekali, aku menemui pendeta itu lagi di ruangannya. Banyak buku-buku di sana. Ia juga sedang membaca.
"Pak Pendeta, apakah ada pasar di sekitar sini?"
Ia mengangkat kepala sambil mengungkit kacamata di hidungnya, "Sekitar tiga kilometer dari sini ada sebuah pasar. Kau mau membeli sesuatu?"
Aku menggeleng, "Saya ingin mencari pekerjaan."
"Hmm ...," ia langsung mengambil kertas dan mencoret-coret sesuatu di atasnya. "Bawa ini ke pedagang kelontong di pasar itu. Dia salah satu jemaat di sini. Semoga, dia mau membantumu."
Kuterima secarik kertas itu sambil mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan menuju tempat yang ia tunjukkan. Seorang laki-laki gemuk berkaus putih katun menyambutku. Ia pemilik toko kelontong itu. Walaupun sempat berkata "Ah, Pak Pendeta itu ada-ada saja. Sudah tahu zaman susah, malah memintaku menampung orang baru. Sudahlah", toh, kedatanganku tetap diterimanya. Singkat cerita, aku bekerja di toko kelontong. Tugasku adalah mengangkat dan menurunkan barang dari bagian atas toko saat ada barang baru yang datang dan pembeli yang membutuhkan barang tertentu, selain mengambil barang dari rumah pemilik toko yang letaknya tepat di belakang pasar. Seluruh uang yang kudapat kuserahkan pada gadis itu. Dan, ketika sebuah toko lain mencari pelayan, aku menawarkan gadis itu. Tentu saja, pemilik toko lain takmenolaknya.
Sejak itu, kehidupan kami dipenuhi dengan membantu Pak Pendeta membersihkan gereja, bekerja di pasar, dan nyaris tidak ada kegiatan lain yang kelewat signifikan. Sampai suatu malam, gadis itu bertanya, "Kak, benarkah kau tidak keberatan menjalani semua ini?
Aku menggeleng. Aku sudah terbiasa dengan kebosanan. Kami diam lagi, memandangi pohon-pohon flamboyan yang batangnya seperti tangan raksasa menerobos keluar dari tanah.
"Kak ...."
"Iya."
"Maafkan aku."
"Kenapa?"
"Maafkan aku karena pernah mengatakan pada Pak Pendeta kalau kita ingin menikah, padahal Kakak takpernah mengatakannya.
Aku mengangguk dan aku merasa sebentar lagi aku akan mengalami kesulitan bicara. Lagi-lagi aku benar.
"Kak, aku kesulitan untuk memahami kemauan Kakak.
Aku diam.
"Apakah Kakak benar ingin menikah denganku?
Suara jangkrik. Bulan memberi sedikit cahaya di lantai tegel berwarna hitam. Kupandang ujung kakiku.
"Kenapa kakak selalu diam saja? Tersenyum saja hampir tidak pernah.
Diam adalah keahlianku dan aku takpernah dilatih tersenyum kepada siapapun oleh siapapun.
"Sekali ini, katakan bahwa Kakak memang bersedia menikah denganku. Atau, kakak memang tidak bersedia?
Aku menggeleng.
"Kakak tidak bersedia?"
Aku menggeleng, "Aku—"
"Aku?"
"Mau.
Gadis itu diam, memandangi bibirku yang bergetar-getar.
"Menikah denganmu.
Gadis itu diam.
"Itu adalah mimpi terbesar dalam hidupku," ucapku melengkapi seluruh kalimat itu, lalu seperti ada gumpalan kapas terlepas dari dadaku. Gadis itu menggenggam tanganku. Ia tersenyum. Aku tetap tidak bisa tersenyum. Aku cuma menunduk.
"Aku mengerti," ucap gadis itu dengan suaranya yang pelan.
*
Pohon Bakau.3
Esok harinya, dengan setengah memaksa, kami meminta Pak Pendeta menikahkan kami.
"Aku tidak mungkin menikahkan kalian tanpa sepengetahuan orang tua kalian," jawabnya
"Saya ... tidak punya orang tua," jawabku.
"Kamu?"
"Tidak mungkin, Pak Pendeta," jawab gadis itu. "Mereka tidak akan mengizinkan kami. Dan, kami sudah bertekad untuk melakukan ini."
Pendeta itu menghela napas, "Kalian menempatkanku dalam posisi yang sangat sulit."
*
Awal tahun 1962, sudah hampir tiga bulan kami tinggal di gereja itu. Tabungan kami sudah cukup untuk bisa menyewa kamar kami sendiri. Kami sudah berniat untuk meninggalkan gereja ini karena tidak mungkin selamanya menjadi benalu yang hidup dari belas kasihan. Kami kembali memaksa pendeta itu untuk menikahkan kami, atau kami akan mencari siapapun yang bersedia melakukannya.
"Dengan atau tanpa Pak Pendeta, kami akan tetap menikah."
Pendeta itu menghela napas, lalu tersenyum, "Tidak ada lagi yang bisa aku lakukan untuk mengubah pikiran kalian?" Kami berdua menggeleng. "Beri aku waktu sedikit lagi untuk berpikir," ucapnya. Kami mengangguk, dan pada malam harinya, pendeta itu mengumpulkan kami berdua di ruang belajar, di antara buku-buku. Ia kembali mengungkit kacamatanya sebelum bertanya, "Kalian Kristen?" Gadis itu langsung menggeleng. Aku diam saja karena aku tidak tahu apa agamaku. "Aku rasa Tuhan tidak akan keberatan menyaksikan pernikahan kalian. Tuhan adalah cinta dan ia mencintai orang-orang yang saling mencintai, bukan?" Ia tertawa, dan aku tidak tahu apa yang dia tertawakan. Ia kemudian melanjutkan, "Tapi, aku tidak tahu tata cara pernikahan lain. Kalian tidak keberatan kunikahkan dengan tata cara Kristen, bukan?"
Gadis itu memandangku dan aku menggeleng. Lagi-lagi bukan karena aku takkeberatan (atau sebaliknya keberatan), melainkan karena aku memang tidak bisa memutuskan. Bahkan, aku tidak tahu apa bedanya menikah dengan tata cara apa. Bukankah Tuhan Maha Melihat? Tata cara apa pun yang dilakukan takkan menghalangi penglihatanNya, bukan? Sekarang, aku cuma bisa pasrah, bahkan kalaupun gadis itu hendak membatalkannya.
"Kami tidak keberatan, Pak Pendeta," ucap gadis itu.
Pendeta itu mengangguk, berdiri, berjalan menuju belakang pintu, kemudian meraih gantungan dan menyerahkan sebuah setelan jas. "Ini jas milikku. Kau bisa memakainya besok," ucapnya padaku. "Apakah kamu punya gaun yang ... pantas?" Gadis itu mengangguk, dan aku berpikir bahwa gadis itu memang sudah merencanakan semua ini sejak semula. Aku kembali merasa bodoh namun aku tidak keberatan karena orang bodoh mudah merasa bahagia.
Malam itu aku tidak bisa tidur sambil memandangi setelan jas yang menggantung di balik pintu. Esoknya, dengan satu setel jas yang kebesaran, Tuhan yang tidak kami kenal, dan saksi-saksi yang baru kami ketahui nama mereka, kami menikah. Gadis itu mengenakan sebuah gaun berwarna dadu dengan bordiran bunga peony kecil-kecil. Mataku takbisa lepas darinya, bahkan waktu pendeta itu menyerahkan surat nikah dari gereja, "Kalian harus mendaftarkan pernikahan ini ke catatan sipil juga."
"Terima kasih, Pak Pendeta," ucapku sambil berjanji pada diriku sendiri bahwa kelak istriku akan mendapatkan sebuah perayaan yang laik.
"Kalian masih bisa tinggal di sini untuk sementara, sebelum menemukan tempat tinggal yang lebih permanen."
Tapi, kami sudah membulatkan tekad untuk segera pergi dari tempat ini. Aku menghela napas. Sementara, ceritaku harus berhenti sampai di sini karena gedung panti asuhan itu sudah muncul. Jantungku berdetak-detak.
***
Taklama sebelum kami melangkah keluar dari pelataran gereja bersama tatapan Pak Pendeta baik itu, kami sudah menemukan sebuah kamar sewaan kecil di dekat pasar tempat aku dan gadis itu bekerja. Selanjutnya, hidup rasanya membaik. Sedikit demi sedikit kami bisa mengumpulkan uang. Dan tiga bulan kemudian, gadis itu menyampaikan kabar gembira, "Kak, sepertinya aku hamil." Ia menyampaikannya ketika ia sudah mendapat kepastian dari bidan yang praktik di sebelah pasar.
Aku mulai berpikir bahwa tidak mungkin lagi membiayai tiga mulut kelaparan dengan pekerjaan yang sekarang kami lakukan. Kelak, di masa akhir kehamilannya, istriku itu juga tidak mungkin bekerja. Aku harus melakukan sesuatu. Jadi aku memutuskan untuk mencari uang pinjaman. Dengan uang pinjaman dari tempat gadis itu bekerja, aku menyewa lapak di pasar untuk berjualan plastik, dan istriku tetap bekerja sebagaimana biasa. Lapak itu takseberapa besar, begitu pula harga sewanya. Namun, itulah yang membuat aku bisa menjual plastik dengan harga lebih murah.
Satu hari, satu minggu, satu bulan, dan seterusnya. Waktu berlari-lari sementara kami adalah pelari yang keteteran mengejarnya. Lapak plastik itu sudah mendapatkan banyak pelanggan. Pemilik toko kelontong dan bos istriku sangat banyak membantu. Salah satunya dengan membuat kami disiplin dalam membayar utang-utang. Kami sudah bisa menyewa kamar yang lebih besar untuk tempat tinggal. Dan, perut istriku sudah makin membulat bersama keputusan-keputusan yang sudah takmungkin dibatallkan. Ia sudah berhenti dari tempatnya bekerja.
Tiap malam kegelisahan itu datang, membuatku susah tidur. Wajah istriku tampak tidak terlalu gembira. Entah karena apa. Aku menduga bahwa ia berharap ibunya ada di sisinya. Aku tidak tahu apa rasanya. Tapi, bisa kubayangkan perasaan istriku.
Esoknya, setelah memberi alasan bahwa aku akan membeli stok plastik untuk dijual, diam-diam, aku menuju pasar induk tempat toko beras milik A-Pe’ berada. Aku ingin bertemu A-Pe’ dan A-Ko. Salah satunya untuk mengabarkan bahwa anaknya (dan aku sebagai suaminya) mampu untuk menanggung hidup kami sendiri selain bahwa cucunya akan segera dilahirkan.
Aku tiba di sana menjelang makan siang. Dari kejauhan, kulihat A-Pe’ sibuk di sana. Sepertinya, ia kembali melakukan pekerjaan yang sebelumnya sempat dilakukan oleh anaknya. Pembantu bodoh juga masih di sana. Aku diam mengawasi mereka. Dan, ketika kulihat pembantu bodoh berjalan menjauhi toko, aku mengikutinya ke arah kamar mandi pasar. Kutarik kerah baju si pembantu bodoh dari belakang. Ia menengok.
"Kau?"
"Iya, ini aku," aku berbisik dan menariknya ke samping kamar mandi yang tidak terlihat. "Aku mau bicara denganmu. Setelah toko tutup. Di belakang pasar."
Ia terdiam, kemudian mengangguk. Seharian itu, aku menunggunya di belakang pasar. Kubiarkan lapak plastikku tidak buka hari ini karena perkara ini lebih penting. Pembantu bodoh itu muncul sesaat setelah toko beras tutup.
"Aku ... sudah menikah dan sebentar lagi istriku akan melahirkan," aku menyampaikannya. "Aku juga sudah punya toko plastik untuk menanggung hidup kami."
Pembantu bodoh itu menghela napas, "Aku tahu."
"Kamu ... tahu?"
"Kamu pikir, Engkoh tidak tahu kalian ada di mana? Bodoh!" Aku cuma bisa diam waktu si pembantu menjelaskan. "Kamu pikir siapa yang meminjami kalian uang kalau bukan Engkoh? Toko tempat istrimu bekerja adalah teman Engkoh! Tentu saja Engkoh tahu! Bodoh!"
Aku terdiam memandang matanya. Secara mendadak muncul perasaan kalah. Aku merasa hidup telah berhasil mempecundangiku mentah-mentah. Dan, ketika aku menyampaikan hal itu pada istriku ia malah bertanya, "Apakah kita sudah melakukan kesalahan?"
Aku menggeleng, "Kita sudah melakukan hal paling benar yang kita tahu. Kita hanya perlu meluruskannya pada A-Pa."
Istriku itu memandang mataku, "Kita akan bertemu A-Pa?"
Aku mengangguk, "Mungkin, minggu depan kita ke sana."
Sayangnya, sebelum kami sempat menemui A-Pe’, istriku dilanda mulas perut luar biasa yang mengarah pada lahirnya si A pada 1963. Detik itu, aku baru menyadari bahwa kelahiran bukan cuma melahirkan bayi, tapi juga kebahagiaan dan ketakutan secara sekaligus. Dan, aku kurang ahli untuk menyatakan perasaan itu sebagai kata-kata secara akurat. Yang jelas, aku jadi suka menyanyi, dan terpaksa baru datang ke rumah A-Pe’ setelah si A dilahirkan.
A-Pe’ memandang bayi itu tanpa menyentuhnya.
"Aku membantu bukan karena merestui pernikahan kalian," ucap A-Pe’. "Tapi, karena dia masih anakku. Aku tidak mungkin membiarkannya."
Aku dan gadis itu terdiam. Lalu, pulang ke kamar sewaan kami tanpa berkata apa-apa lagi, bahkan di antara kami berdua. Malam itu, setelah mendengar istriku menangis, aku sejenak melupakan perasaan bahagia sambil menyanyikan lagu tentang bulan purnama. Bayi bisa menimbulkan ketakutan dan secara bersamaan menghibur. Entah bagaimana cara mereka melakukan itu.
Ketika tahun 64 si B lahir, kami kembali datang ke rumah A-Pe’ dan sudah memahami bahwa tidak ada yang perlu kami katakan karena ucapan balik dari A-Pe’ sangat mungkin menyakiti perasaan kami sendiri. Namun, kami sudah makin ahli untuk menjadi keras kepala. Kami berkali-kali datang ke rumah A-Pe’ walau (mungkin) kedatangan kami takdiinginkan, dan yang bisa terjadi di antara A-Pe’, A-Ko, dan kami taklebih dari situasi yang canggung. Namun, ketika si C lahir pada pertengahan 1965, ada sesuatu yang berbeda. A-Pe’ mengutus pembantu bodoh dan menyuruh kami segera datang. Saat itu, sudah hampir dua bulan kami tidak datang karena mulai putus asa dengan sikap A-Pe’, selain istriku belum sampai tiga bulan sejak si C dilahirkan.
Aku ingat dengan jelas bagaimana pembantu bodoh itu datang tergopoh-gopoh pada suatu siang. Ia datang ke lapak plastikku, mengabarkan bahwa A-Ko sakit keras. Mungkin, A-Ko tertekan dengan semua keadaan ini. Aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkanya dan segera menutup lapak, bergegas menuju kamar sewaan kami. Istriku menangis sepanjang perjalanan dengan becak.
Aku bisa menduga apa isi kepala A-Pe’: Aku sudah mengkhianatinya. Bocah bodoh yang telah diselamatkannya malah jadi orang yang menculik anak perempuan satu-satunya, membuat istrinya jatuh sakit. Di tengah tahun 1965, dekat-dekat kelahiran si C (karena waktu itu dia masih bayi), aku mengantar istriku ke rumah A-Pe’. Dua hari setelah kami datang, A-Ko meninggal, mayatnya dikremasi, dan abunya berenang menuju tengah laut dengan kapal mainan—tentu saja, di pantai yang menumbuhkan pohon bakau. Taklama setelah itu giliran A-Pe’ sakit-sakitan. Ada beberapa waktu aku tetap membuka lapak plastik itu di pasar lain, sebelum mengkhususkan diri menjual terpal. Setelah itu, keadaan A-Pe’ memburuk dan menyusul istrinya pada 1969, taklama kemudian toko terpal dipindahkan ke tempat toko beras pernah berada.
Anak-anakku seharusnya tahu bagaimana toko terpal itu bisa didirikan karena istriku pernah menceritakan hal itu pada mereka. Tapi, sepertinya mereka tidak terlalu peduli. Tahun 1969 sudah telanjur kuanggap sebagai awal dari toko terpal itu. Secara sendirian, kupindahkan meja tempat gadis itu (yang sudah jadi istriku) biasa menghitung stok beras ke bagian tengah belakang ruang. Sekarang adalah tahun 2017, dan aku sudah sakit-sakitan. Sebelum serangan penyakit darah tinggiku datang, aku selalu duduk di sana sambil mengingat janjiku bahwa aku tidak akan mati. Aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji. Kini, aku mengingat-ingat janji itu di dalam kamar ini, di hadapan tabung logam yang tergolek di atas bufet yang sudah kuanggap sebagai altar pemujaan.
***
Pohon Bakau.4
Aku terus berkejar-kejaran dengan waktu. Malaikat maut sepertinya sudah mendengar rencana ini.
Hari keempat setelah serangan tekanan darah tinggi. Waktuku makin menyusut dan aku kembali terbangun melihat langit-langit kamar. Kemarin, aku sudah mengunjungi panti asuhan itu. Urusan-urusan terakhirku mulai usai satu per satu walau belum bisa membuatku tidur dengan tenang, apalagi mati dengan tenang. Entahlah, apakah semalam aku benar-benar tidur atau pingsan. Yang jelas, pagi ini aku terbangun masih dalam keadaan hidup. Kugoyang-goyangkan ujung jari tanganku, demikian pula ujung jari kaki. Mataku masih bisa menatap langit-langit kamar. Aku memang orang tua yang terlalu susah mati, dan itu sebabnya aku membutuhkan malaikat maut untuk membantuku.
Pagi ini, kusempatkan untuk membuka buku catatan utang-piutang itu. Sebagian dari piutang-piutang itu telah selesai, sementara sebagian sisanya mulai terasa tidak ada gunanya untuk dilunasi. Perlahan, kususuri nama orang-orang yang masih berutang. Kuhubungi satu-satu lewat telepon genggam. Lalu, kuberikan sebuah nomor telepon pada mereka sambil kukatakan: Teleponlah orang ini, utang kalian takperlu lagi dibayarkan padaku, serahkan padanya.
Kemudian, aku teringat bahwa semalam, sebelum tidur (atau pingsan), aku berniat untuk menulis eulogi untuk diriku sendiri. Jadi, pagi ini rencananya akan kuhabiskan untuk menyusun sebuah eulogi yang akan kubacakan ketika tiba waktunya makan malam terakhir nanti.
Aku sengaja membaca ... (lalu, aku berhenti setelah tiga kata itu). Kepalaku berdenyut. Tubuhku terlalu lemah dan aku harus menundanya. Untunglah, panti asuhan itu sudah menemukan cara untuk kembali menyusup, bukan hanya ke dalam hidupku, tapi juga terus melesak ke dalam kematianku. Inilah seburuk-buruknya urusan, yaitu urusan yang kematian pun gagal menyelesaikannya.
Hari ini akan memburuk, tapi tidak akan pernah seburuk apa yang terjadi pada suatu hari menjelang akhir 1966. Waktu itu kabar-kabar bahwa tengah terjadi aksi pembersihan sudah tersebar, meski semua ceritanya kabur. Terjadi penculikan di mana-mana, begitu yang kudengar. Kebersihan jadi setara dengan kematian. Orang-orang hilang. Kata-kata, pernyataan, tulisan-tulisan, tindakan-tindakan, perdebatan-perdebatan, pertengkaran-pertengkaran, atau apa pun yang sebelumnya kupikir tidak ada gunanya ternyata detik ini bisa bikin orang mati. Bahkan, bisa tanpa alasan. Orang-orang saling tunjuk. Fitnah atau bukan-fitnah sudah sulit dibedakan. Semua ini dimulai hampir setahun lalu, ketika kabut takkasatmata dengan cepat melingkupi Kota Ini. Tegang. Rusuh. Kematian orang-orang besar bisa menyeret hidup orang-orang kecil. Koran-koran takberedar selain koran yang ditunjuk pemerintah. Katanya, ada pengambilan kekuasaan untuk menstabilkan keadaan. Keadaan takkunjung stabil. Demonstrasi terjadi takhenti-henti. Harga barang melonjak dan angka nol di ujung- ujung mata uang sudah dipangkas. Orang-orang takbisa membeli makanan. Apalagi yang bisa lebih buruk dari kemarahan orang lapar?
A-Pe’ yang sedang sakit memaksa untuk tetap bertahan di rumahnya.
"Seluruh hidupku ada di rumah ini," ujar A-Pe’.
Aku tahu, keinginannya itu hanya disebabkan oleh melodrama berlebihan atas kematian istrinya yang juga terjadi di dalam rumah ini.
"Tidak bisa, Pe’," aku menjawab. "Keadaan terlalu berbahaya jika A-Pe’ masih di sini."
"Tahu apa kamu?"
Aku langsung terdiam dan menyadari bahwa suaraku takbisa terdengar oleh A-Pe’.
*
Sore itu, waktu toko beras dijarah orang-orang, aku tahu bahwa sesuatu hal yang buruk sedang merangsek ke arahku. Gudang beras diobrak-abrik orang takdikenal. Aku dan pembantu bodoh segera berlari menuju rumah. Kubatalkan niat memeriksa toko beras dan gudang karena sudah kulihat dari kejauhan kalau kedua tempat itu dikuasai orang yang takdikenal. Paru-paruku dipenuhi badai. Aku terus berlari menuju rumah lagi. Aku terkejut. Hari mulai gelap dan istriku masih di sana, harusnya ia sudah pergi. Begitu perjanjiannya tadi.
"Bukankah sudah kukatakan agar kau pergi lebih dulu?"
"Aku tidak bisa."
Anak-anak sudah mengungsi. Seorang kerabat sudah memaksa A-Pe’ mengungsi bersama si A, si B, dan si C ke rumahnya di pinggir kota. Katanya, ia bisa melindungi. Aku hendak membereskan barang-barang yang bisa dibawa, menyembunyikan surat tanah dan segala sesuatu yang bisa dianggap berharga.
"Pergilah lebih dulu, istriku."
"Tidak, aku harus menemanimu."
"Anak-anak?"
"Mereka sudah berangkat bersama A-Pa. Adik A-Pa sudah menjemput mereka."
"Kau dan anak-anak harus tetap bersama."
"Kita harus tetap bersama-sama," ia bersikukuh.
Aku tahu. Ini adalah kebodohan lain milik istriku. Aku mulai tidak mampu berbahagia dengan kenyataan bahwa cinta bisa jadi obat manjur untuk memicu kebodohan. Aku mulai tidak peduli dengan barang-barang.
"Kita harus pergi sekarang," aku mendesis dan berpikir bahwa sementara semua perkara ini memang harus ditinggalkan sampai semua kembali aman. Aku akan kembali nanti. Kusembunyikan saja surat-surat itu di celah belakang lemari. Namun, sebelum semua selesai kulakukan, terdengar suara kaca dipecahkan di ruang depan. Langsung kulesakkan semua surat itu dengan cepat. Aku melihat pembantu bodoh yang tadi ada di ruang belakang berlari melewati pintu kamar A-Pe’ yang terbuka.
"Kamu jangan keluar," bisikku sebelum menyusul pembantu bodoh yang sudah lebih dulu berlari ke depan. "Kunci pintu ini." Walau, aku meragukan bahwa kunci sebesar itu bisa ada gunanya. Aku menyesali teknik pembangunan ruangan ini yang tidak melibatkan keberadaan jendela.
Aku segera menyusulnya. Sebelum aku sampai ke ruang depan, terdengar suara debuk begitu keras yang terdengar berhimpitan dengan suara benda patah. Lalu, teriakan kesakitan si pembantu bodoh terdengar seperti melolong bersamaan aku tiba.
"Ayo! Mengaku!"
Tentara.
Tentara.
Tentara.
Tentara.
Tentara.
Dua orang dari mereka langsung bergerak mendekat, salah satunya menendang bagian belakang lututku hingga aku terpelanting. Aku langsung jatuh pada punggungku dan tentara lainnya menarik kerah bajuku, memaksaku berlutut. Aku diam waktu kepalaku ditepak dari belakang, tidak ada gunanya melawan saat ini.
Aku mendengar sebuah truk mendengkur di muka rumah dengan beberapa tentara lain di dekatnya. Entah berapa jumlahnya karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Beberapa di antara mereka berdiri di ruang tamu. Tubuh mereka seperti tentara. Atau, mereka cuma tampak seperti manusia berseragam tentara karena kulihat wajah yang bisa kuingat di antara mereka. Apakah ia jadi tentara? Dia adalah si kuli beringas yang berseragam tentara. Aku tahu, orang berseragam tentara belum tentu tentara sebagaimana tentara belum tentu berseragam.
Aku tidak tahu apakah mereka benar tentara atau bukan, tapi mereka berdiri dengan raut mengancam. Pembantu bodoh yang tadi mengerang di lantai, mereka paksa untuk bangun dengan menarik rambutnya seperti menjinjing barang belanjaan yang teronggok di lantai pasar. Giliranku akan tiba.
"Ayo, mengaku!" teriaknya pada pembantu bodoh.
"Aku—"
"Ini yang kau maksud revolusi?"
Bukan. Ini politik yang sedang memangsa anak-anaknya sendiri. Sepatu itu kembali menghajar punggungnya hingga ia kembali jatuh ke lantai, lalu rambutnya ditarik lagi hingga ia duduk dalam posisi berlutut.
"Mengaku!"
"Aku—"
Kali ini sepatu itu menghajar perutnya. Ia terlontar ke belakang. Rambutnya diseret hingga ia kembali ke posisi semula. Pengakuan apa yang mereka minta? Bahkan, ia belum mulai bicara. Kebodohan memang tiada batasnya.
"Komunis! Pengkhianat negara!"
"Aku—"
Pembantu bodoh belum sempat berbicara apa pun waktu peluru itu meletus menembus kepalanya. Aku menahan napas dalam keadaan kaku. Bersamaan itu, istriku menghambur dari dalam lalu menatap tubuh pembantu bodoh yang ambruk ke lantai, dan langsung berlari memelukku. Tentara itu membiarkannya. Kini, aku menyesal mengapa rumah ini takpunya jalan belakang.
"Kak ...," ia berbisik.
"Aku tidak apa-apa. Kematian tidak akan memisahkan kita. Jangan takut."
Detik itu, aku merasa kata-kata itu hanya berisi dusta. Aku dan istriku cuma bisa berlutut dalam keadaan takberdaya. Aku tidak bisa menebak apa yang akan kami alami selanjutnya. Aku menduga kalau nasib kami berdua takkan jauh berbeda dari pembantu bodoh. Kulihat tubuhnya masih tergeletak di lantai dengan mata terbuka. Istriku sudah terisak dengan tangis yang bisa membuatku nekat. Aku menahan diri, karena risiko tidak cuma ada di tanganku, tapi juga istriku. Aku tidak mungkin membiarkan sesuatu terjadi padanya. Sebelum darah makin banyak di lantai, salah satu dari mereka menarik tubuh itu keluar rumah. Kukira, mereka mengangkutnya ke atas truk.
"Kau!" kuli beringas itu berteriak padaku. "Kau sudah jadi suaminya sekarang?"
Aku diam.
"Perempuan ini pernah jadi calon istri seorang pejabat partai itu!" seseorang berteriak. "Pelacur!"
Aku hendak melompat untuk menyumpal mulutnya, namun dua tangan langsung menahan gerakanku dan ujung sepatu seseorang membentur perutku. Tubuhku langsung tergelung menahan sakit. Tapi, sakitnya tidak seberapa dibanding apa yang kurasakan waktu kulihat kuli beringas itu menindih tubuh istriku. Sungguhlah, kematian rasanya lebih laik dijalani daripada menyaksikan orang yang paling kucintai dicabik-cabik di depan mataku. Istriku berteriak, aku kembali memberontak, dan ujung sepatu kembali menghantam perutku. Aku memaki-maki dengan semua kata kotor yang kukuasai dan benda keras membentur mukaku. Aku sudah tidak menahan sakit karena tidak ada sakit yang bisa melebihi rasa sakit yang bisa kudengar dari tangis istriku.
Kuli beringas itu mengikat gesper di pinggangnya. Duniaku gelap beberapa saat, dan ketika mataku terbuka, aku sudah ada di dalam sebuah truk yang sedang menderu. Masih gelap karena mataku tertutup kain. Sepertinya, aku telah diseret ke dalamnya dan sekarang aku merasa dikelilingi banyak orang. Aku bisa mendengar suara orang mengerang. Di sudut lain, ada suara tangisan. Sementara orang di depanku terdengar menggumam-gumamkan doa.
"Istriku?"
"Diam!"
Sebuah benda keras membentur kepalaku.
Istriku di mana? A-Pe’ benar bahwa petugas keamanan seharusnya membuat situasi jadi aman, dan aku ketakutan. Apa yang terjadi pada istriku? Pandanganku menggelap lagi.
*
Pohon Bakau.5
Aku sudah tidak bisa mengingat berapa lama aku tinggal di dalam sini. Kegiatanku taklebih dari interogasi yang sebenarnya memaksaku mengakui tuduhan-tuduhan yang sampai akhir takpernah kuakui. Aku memang tidak berurusan dengan nama yang mereka kira aku setia padanya. Aku tidak setia pada apa pun kecuali istriku. Pun, aku tidak merencanakan apa pun dan tidak mengetahui rencana apa pun kecuali sebuah rencana gila untuk menua dan mati bersama istriku; rencana yang pada detik itu terasa tidak akan pernah terlaksana.
Aku ingin mereka mengundangku makan malam karena makan jadi perihal yang menakutkan. Mereka yang dipanggil untuk makan tidak pernah kembali. Katanya, mereka semua mati dan makanan itu adalah makan malam terakhir. Namun, nasi busuk berlauk cicak dan kecoak juga menimbulkan perasaan ingin mati. Aku ingin semua ini berakhir, tapi takpernah berakhir.
Aku terus menunggu saat kematianku yang takpernah datang. Dunia begitu sempit, tanpa celah.
Sudah berkali-kali aku dipanggil untuk diinterogasi—ditanyai macam-macam yang tidak kuketahui jawabannya. Mereka menyebut nama-nama yang takkukenal. Setiap kali kujawab aku takmengenali mereka, tentara itu menyetrumku atau menindihku dengan kursi hingga aku kehabisan napas. Dan, setiap kali kupikir aku akan mati, aku terus hidup lagi.
Macam-macam orang yang menanyaiku macam-macam pertanyaan, namun pertanyaannya itu-itu lagi. Kujawab dengan jawaban yang itu-itu juga karena aku memang tidak punya jawaban lain. Penghuni tempat ini juga sudah berganti-ganti, yang pergi katanya dieksekusi. Aku cuma menunggu giliran.
Sampai, aku dibawa masuk lagi ke dalam satu ruangan. Ada beberapa ruangan yang jadi tempat interogasi kalau tidak bisa kubilang ruang penyiksaan. Aku masuk dengan cara didorong. Kemudian, didudukkan di sebuah kursi. Seorang laki-laki duduk di seberangku, berhadapan dengan kertas-kertas. Aku lupa, rasanya, aku pernah melihat wajahnya. Entah di mana.
Laki-laki itu mengernyit, "Kamu?"
"Pak?"
"Kamu kuli panggul, bukan?"
"Ah?"
"Yang waktu itu menyelamatkan ibu pedagang nasi?"
Aku diam, memandang matanya sambil berpikir: Bagaimana dia bisa tahu? Aku sendiri nyaris melupakan kejadian itu.
"Bagaimana kamu bisa ada di sini?"
"Saya ... tidak tahu, Pak."
Ia menghela napas, lalu menyuruhku bercerita. Maka, dengan terbata-bata karena aku tidak terlalu piawai berbicara, kuceritakan semuanya. Tentang istriku. Tentang pembantu bodoh. Tentang A-Pe’. Tentang toko beras. Tentang kuli beringas. Dan, laki-laki yang takkuketahui namanya ini menghela napas lagi. Kemudian, ia mengatakan bahwa aku telah memaksanya membawa sepeda motor untuk membawa ibu pedagang nasi ke rumah sakit. Lalu, aku ingat mukanya.
"Lebih baik ... saya ... mati saja, Pak," ucapku.
"Kamu tidak mau bertemu istri dan anak-anakmu lagi?"
Aku takmenjawab. Ia tersenyum lalu memanggil penjaga dari luar. Penjaga itu membawaku kembali ke dalam sel tempatku ditahan dan kejadian ini adalah satu-satunya interogasi yang tidak melibatkan listrik dan sepatu lars. Taklama setelah itu aku dibebaskan. Aku tidak pernah bertemu laki-laki itu lagi dan menyesali kalau aku taksempat mengucapkan terima kasih. Namun, perihal yang paling kusesali adalah aku keluar dalam keadaan hidup. Aku terlalu pengecut untuk mati.
*
Pada hari Minggu ini aku mengundang kalian untuk makan malam bersama.
Lalu, aku berhenti lagi.
*
Rumah A-Pe’ kosong dan enam bulan tertinggal dalam keadaan kosong bisa menebalkan debu. Kecoa berlari dekat kakiku, kugilas sampai hancur. Jejak darah mengering masih tertinggal di lantai. Listrik mati, tapi sambungan air menyala. Kuambil ember untuk membersihkan jejak darah itu. Kemudian, aku menuju kamar A-Pe’, takberubah sejak terakhir kutinggalkan. Kuraih sisi belakang lemari, surat-surat itu hilang. Tapi, kutemukan selembar kertas dengan coretan pulpen di sana. Sebuah alamat. Siapa yang menulisnya?
Belum sempat aku berpikir jauh, kudengar suara ketukan di pintu depan. Jantungku langsung berdesir lagi. Setelah apa yang terjadi di sini, suara ketuk pintu bisa menjadi terlalu mengejutkan. Aku melangkah keluar pelan-pelan. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu.
"Saya melihat kamu datang," ucapnya. Aku takmenjawabnya. Apa tujuan ia datang kemari? Ia melanjutkan, "Adik Engkoh sempat mengunjungi saya dan bilang kalau istri dan anak-anakmu dibawa ke rumahnya di Pinggir Kota Ini. Katanya, sampaikan itu padamu. Kalau-kalau saja kau kembali.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia tidak menyebutkan alamat jelas. Mungkin, adik A-Pe’ khawatir dan ia cuma memastikan bahwa aku mendapatkan alamat yang ditinggalkan di belakang lemari.
"Ini ...," ia menyodorkan lembaran uang. "Kamu butuh ongkos untuk menuju ke sana. Semoga cukup. Saya tidak bisa bantu apa-apa." Aku menerima uang itu dan kembali mengucapkan terima kasih. Sebelum langsung berbalik, ia berkata, "Hati-hati." Aku mengangguk dan dia meninggalkan rumah A-Pe’ setelah sebelumnya menengok-nengok keadaan sekitar.
*
Walau berat, aku membawa A-Pe’, istriku, dan anak-anakku untuk kembali ke rumah A-Pe’. Rumah ini jadi mengerikan, dan istriku hanya berani tinggal di dalam kamar. Ia tidak berani berlama-lama di ruang tamu yang sudah jadi ruangan yang berisi kenangan kelewat buruk. Aku mencoba mengubah-ubah isi ruangan itu, mengganti cat dan lantai. Istriku sedikit membaik, namun tetap kutemukan saat-saat ia menangis sendirian.
Toko beras sudah dikembalikan berkat usaha adik A-Pe’ yang punya kenalan tentara. Adik A-Pe’ berpesan: Mulai sekarang jangan lagi berurusan dengan orang-orang politik, diam, diam saja. Aku menurutinya. Tapi, kediaman takbisa menutupi dosa. Aku gagal. Aku telah gagal melindunginya. Dosa-dosa telanjur melekat di sekujur tubuhku. Dosa-dosa itu takbisa ditebus, pun dimaafkan.
Gula-gula asam sudah tidak berguna dan aku sudah tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Perlahan, aku mengambil sebuah ikat pinggang dan mengaitkannya ke plafon.
Harusnya aku mati. Tapi, aku telanjur berjanji bahwa kematian takbisa memisahkan kami. Mungkin, janji ini yang membuatku terlalu susah mati.
"Kamu jangan mati," ucap istriku waktu aku seharusnya sendirian di dalam kamar.
"Aku gagal. Aku gagal menjagamu," ucapku sambil memegang ikat pinggang yang menjuntai dari plafon.
"Tidak. Kamu tidak gagal," tangis istriku menggoyahkan. "Aku masih hidup karena kamu. Kalau kamu mati, aku mati."
"Jangan. Kamu jangan mati."
"Bagaimana kau bisa mengatakan itu jika kamu sendiri memilih mati?" ucapnya. "Aku tidak akan bisa bertahan."
"Aku sudah gagal."
"Iya. Kamu gagal. Aku juga gagal, Kak. Tapi, jangan gagal lagi. Kita punya anak-anak kita."
"Mereka akan tetap hidup tanpa aku."
"Tapi, aku tidak hidup tanpa kamu. Tanpa aku, mereka akan mati. Tanpa kita, mereka mati," ia mulai menangis. "Hidup. Hiduplah, suamiku. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan selain hidup. Aku berjanji. Aku berjanji akan hidup selamanya."
"Kamu ... janji?"
"Aku janji," jawabnya, "Tapi, kamu juga harus berjanji kalau kau akan terus bertahan hidup."
Pegangan tanganku pada ikat pinggang itu melonggar, walau berat, bibirku mengucap, "Aku berjanji.”
Tahun 1969, A-Pe’ mati—abunya menuju tengah laut dari bibir pantai yang menumbuhkan pohon bakau. Tidak ada siapa-siapa kecuali aku, istriku, dan tiga anakku. Aku telah membatalkan niatku untuk mati. Aku menyesal karena aku tahu kalau kita adalah orang-orang yang gagal, dan kamu bukan perempuan yang menepati janji. Kamu mati. Istriku sudah berkhianat dengan memaksaku tetap hidup sementara dia mati. Ini takpernah kuceritakan pada anak-anakku yang takberguna itu.
Malam menyisip di akhir sisa hidup sebagai ingatan-ingatan yang menjadi makin jelas; menetes dari sebuah gelas kopi. Aku mencoba menuliskannya karena waktu menciut; tidak akan ada perpanjangan waktu meski cuma sehari. Setetes. Setetes. Setetes. Sekarang, aku sudah tidak menghitung-hitung kemungkinan lagi. Tetesan waktuku akan segera berakhir.
***
Aku ingat nama panti asuhan itu. Aku lupa pada nama ibu asuh. Ibu asuh. Nama panti asuhan. Aku ingat nama panti asuhan. Aku ingat nama anak itu. Nama anak itu. Anak itu. Itu.
Itu.
Nama anak itu Bakar. Ia Bakar yang suka membakar. Duburku dibakarnya. Aku tidak berdaya. Tidak berdaya.
"Anjing! Sini kamu!"
Aku berjalan pelan ke arahnya. Aku memandang tanah di bawah pohon dan dia memandangku seperti kotoran kucing yang teronggok di bawah pohon.
"Kamu lihat ini?"
Ia menyodorkan sepasang sepatu kain tepat di depan mukaku seakan aku bisa melihat dengan menggunakan lubang hidung.
"Se ... patu?"
"Iya! Ini sepatu!" Ia menoyor kepalaku. "Pegang ini!"
Aku diam.
"Pegang, anjing!"
Aku menyentuh sepatu itu.
"Apa?" ia bertanya
"A ... pa?"
"Bodoh! Ini masih basah!" ia menoyor kepalaku lagi. "Sudah kubilang, cuci sepatu ini sampai bisa aku pakai! Sekarang, bagaimana bisa aku harus memakai sepatu basah?
Aku diam.
"Apa yang harus dilakukan kalau ada sepatu basah?"
"Di ... keringkan."
"Di mana?"
"Di ... belakang kompor."
Aku hendak meraih sepatunya.
"Tidak usah! Aku bisa melakukannya sendiri! Sekarang, buka celanamu."
Aku menggeleng.
"Buka celanamu, anjing!" ia mendorongku. Aku terhuyung sambil kembali menggeleng. "Buka!" Aku diam, dan tiba-tiba seseorang menendang bagian belakang lututku dari belakang, aku tersungkur ke belakang. Lalu, seseorang menarik kedua kakiku, juga kedua tanganku. Tertelungkup. Aku mencoba melepaskan diri dengan menendang-nendang sambil mengibas-ngibaskan tangan sekuat-kuatnya, namun apalah yang bisa dilakukan oleh bocah sepuluh tahun yang kekurangan makan di hadapan serombongan remaja tanggung berbadan besar. Rasanya, seperti berlari di dalam air, kalaupun berhasil bergerak hanya untuk berkali-kali ditelan ombak. Hingga, aku takberkutik lagi. Tenagaku habis. Aku menyerah. Aku menggigit bibir yang takterasa sakit waktu seluruh pakaianku ditarik lepas. Aku telanjang. Sebuah tangan meremas wajahku dan sebelah sepatu masuk ke dalam mulutku.
"Biar kuajari kau caranya bersujud!"
Aku sudah takmampu lagi melawan. Tangannya mendorong kepalaku hingga jidatku menyentuh tanah. Posisiku menungging seperti anjing buduk. Terdengar bunyi keletik dari arah belakangku, lalu seluruh tubuhku diserbu panas yang menyengat. Seekor tawon masuk ke dalam tubuhku. Mengamuk di sana. Aku meringis hingga berair mata. Aku tidak boleh menangis. Bakar takcuma membakar sebagian kecil tubuhku tapi ia menghancurkan seluruh harga diriku.
Aku menahan tangis, terus menahan tangis. Hingga aku benar-benar kehabisan tenaga akibat menahan tangis. Toh, aku tetap menangis. Mereka tertawa dan sisanya tidak berbuat apa-apa. Tidak cukup sampai di sana. Mereka telah menyandarkan sebuah tangga bambu ke batang pohon.
"Naik!
Aku nyaris takbisa bergerak.
"Atau, kau mau kemaluanmu yang kubakar?"
Aku merangkak di tanah. Pelan, merayap ke atas pohon di halaman dengan tangga bambu. Lalu, tangga diturunkan dengan aku menyangkut di salah satu dahan dengan ketakutan. Kupeluk dahan itu erat-erat.
"Monyet!"
Mereka tertawa.
Ketika kulihat ibu asuh keluar sambil membawa tongkat rotan, kupikir ia akan menolongku, membebaskanku dari penyiksaan itu. Aku salah. Aku terlalu berprasangka baik.
"Ibu!" Bakar berteriak. "Dia tidak mau mandi. Lalu, lari telanjang dan naik ke pohon! Disuruh turun, eh, malah nangis di sana."
"Turun!" terak Ibu Asuh.
Aku tidak mau turun. Aku lebih aman di atas pohon ini.
"Turun!"
Aku ingin melompat. Tapi, aku takut. Aku terlalu takut.
"Turun!"
Akhirnya aku turun dalam keadaan sakit dan malu. Semut-semut di atas pohon sudah ikut menghukumku. Aku tidak bisa berkata apa-apa waktu tongkat rotan itu menderaku berkali-kali. Kenapa aku dihukum? Aku dijebloskan ke dalam kamar mandi dan dikunci dari luar. Esoknya, aku kabur dari sana dan tidak ada seorang pun yang mau repot mencari. Aku bukan siapa-siapa. Aku takberdaya dan takberharga.
*
Pohon Bakau.6
"Ncek, masih mau menunggu lagi?" sopirku bertanya.
"Bagaimana?"
"Kita sudah sampai."
"Sudah sampai?"
"Ncek mau turun sekarang?"
"Sebentar."
Sekarang, aku berada di hadapan panti asuhan itu seperti terdakwa yang ketakutan. Gedung panti asuhan itu bangkit sebagai mayat busuk dari kuburan kenangan-kenangan pahit. Aku tidak bersalah. Tidak bersalah. Tapi, tidak ada pembela. Aku dihukum. Aku dihukum. Kenapa aku dihukum?
"Ncek ...."
"Iya."
"Ncek ... nggak apa-apa?"
"Kenapa?"
"Ncek, baik-baik aja?"
Aku mengangguk berulang-ulang, "Tidak. Aku tidak apa-apa. Tidak ada apa-apa.
Aku segera menghapus air mata yang takkusangka bisa jatuh sendiri. Sungguh, aku tidak apa-apa. Seharusnya tidak apa-apa. Tidak bisa ada apa-apa. Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Baik-baik saja.
"Bantu ... aku turun.
Sopirku itu meraih penyangga berkaki empat dan meletakkannya di samping pintu mobil yang sudah terbuka. Ia menyangga lenganku, aku turun dari mobil sebagai anak-anak yang tidak tahu apa-apa.
"Tunggu aku di sini," ujarku. Walau ragu, sopirku membiarkan aku berjalan tertatih-tatih ke dalam. Sendiri. Masa lalu selalu harus dihadapi sendiri.
*
Baunya masih sama; senyawa debu lama, jamur, dan tembok yang selalu basah; lembab dan menekan seakan udara di dalamnya tidak bergerak sejak 66 tahun lalu. Namun, kesuramannya agak berkurang karena gambar-gambar yang menempel di tembok dengan bantuan selotip plastik. Dua gunung dan satu matahari. Sawah merah. Ayunan ungu. Pohon biru. Satu gunung dan dua matahari. Semuanya digambar dengan krayon warna-warni.
Apakah kantor pengurus panti asuhan ini masih di tempat yang sama? Seorang bocah berlari, berlawanan arah dengan langkahku. Kuhentikan langkahnya.
"Kantornya di mana?"
Jarinya menunjuk arah belakangnya, "Habis itu belok kanan."
Aku mengangguk. Bocah itu meneruskan berlari, sementara aku mengikuti petunjuk darinya yang serupa dengan ingatanku. Pelan, aku melangkah satu-satu, sampai tiba di hadapan sebuah pintu kayu dengan panel-panel kaca. Aku mengetuknya. Tidak ada yang menjawab. Kuintip ke dalam. Ruangan kosong.
"Ada apa, Pak?" terdengar suara seorang perempuan di belakangku. Aku menengok. Seorang perempuan menjulurkan kepalanya keluar dari celah pintu.
"Saya ... mau bertemu dengan kepala panti asuhan ini."
"Untuk urusan apa, Pak?"
Ia berjalan keluar dari ruangannya sambil melirik penyangga kaki empat di tanganku seakan benda itu hendak terbang ke mukanya.
"Saya ... mau memberi sumbangan."
"Sama saya juga bisa."
Aku menggeleng, "Saya harus bertemu dengan kepala panti asuhan, ada perihal yang perlu saya bicarakan."
"Oh, baiklah," ia menjawab sambil melangkah mendekat dan membuka pintu ruang kepala panti asuhan. "Bapak tunggu dulu di sini. Saya akan panggilkan dulu."
Aku mengangguk sambil melangkah masuk dengan kecepatan seekor siput. Ia mencoba membantuku, tapi aku menggeleng. Ia tersenyum sedikit, kemudian segera berlalu. Kutarik napasku sambil memperhatikan isi ruangan. Sudah berubah. Meja, sofa, dan benda-benda dalam ruang ini sudah berganti. Sekarang, ada sebuah lemari kaca besar yang memajang banyak piala dan foto-foto. Perlahan, aku mendekatinya. Ada banyak foto-foto dari berbagai zaman. Bahkan, ada foto ibu asuhku. Aku mengingat wajahnya dengan jelas. Lalu, foto anak-anak berwarna hitam putih. Tidak ada aku. Tidak pernah ada aku. Ada setitik kecil wajah Bakar di sana. Hatiku terasa basah hanya dengan memandang wajahnya. Kutarik napasku, dan bersamaan dengan itu, pintu terbuka. Aku menengok. Seorang pemuda yang tampaknya belum sampai umur 30 melangkah masuk. Ia mengenakan baju koko, kupluk kain rajutan, dengan jenggot yang tercukur rapi. Ia terkejut melihatku, atau penyangga berkaki empat ini. Ia langsung mendekat dan kubiarkan dia membantuku duduk di kursi di hadapan mejanya.
"Saya pernah tinggal di panti asuhan ini," ucapku.
Mata di wajah laki-laki muda itu langsung mengembang, "Benarkah? Tahun berapa?"
"Saya keluar dari sini kira-kira tahun 50."
"Tahun 50? Lama sekali," biji matanya makin menunjukkan rasa keingintahuan. "Diadopsi?"
Aku menggeleng, "Saya kabur.
Ia mengernyit.
"Saya kabur dari sini karena suatu kejadian yang tidak perlu diceritakan."
"Kekerasan?"
"Semacam itu."
Ia mengembuskan napas, "Maafkan saya."
"Tidak perlu. Itu bukan salahmu. Kamu bahkan belum lahir waktu itu," jawabku. "Begini. Saya kemari untuk sebuah urusan."
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Nanti, akan ada seorang pengacara yang akan menghubungi Anda."
"Bapak hendak menuntut kami?"
"Bukan. Bukan," aku menyanggah. "Aku akan segera mati."
"Bagaimana?" Wajahnya makin aneh.
"Seperti Anda lihat, saya sudah tua dan akan mati dalam waktu dekat," jelasku. "Pengacara saya akan menghubungi Anda perihal surat waris yang saya buat. Ada beberapa hal yang saya tinggalkan untuk panti asuhan ini."
Ia menghela napas, "Oh, begitu."
"Bagaimanapun, panti asuhan ini berjasa untuk saya."
"Terima kasih, Pak."
Aku mengangguk, "Saya harap Anda bisa mempemudah pekerjaan pengacara saya kalau waktu itu sudah tiba. Apakah saya bisa meminta nomer telponmu?”
“Ini, Pak,” jawabnya sambil menulis angka-angka di secarik kertas. "Saya akan membantu sebisanya.”
"Terima kasih. Semoga anak-anak di sini tidak menyusahkan Anda."
Ia menggeleng, "Saya mencintai anak-anak di sini seperti anak-anak saya sendiri."
"Kamu sudah menikah?" Aku melipat kertas yang ia sodorkan dan memasukkannya ke dalam kantong serut.
Ia menggeleng lalu tersenyum, "Sedang dalam proses, Pak."
Aku mengangguk. "Terima kasih karena sudah merawat anak-anak ini dengan baik," ucapku sambil memandang foto-foto dalam lemari kaca. Dari jarak ini, tidak terlalu jelas.
"Terima kasih, Pak. Itu kesenangan buat saya," jawabnya. "Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih, Pak. Bapak memang orang baik."
Aku menggeleng, "Bukan, saya bukan orang baik."
Pemuda itu cuma tersenyum. Mungkin, karena enggan berdebat. Takterlalu banyak perihal yang perlu kubicarakan sehingga kuputuskan untuk segera meninggalkan tempat itu. Kubiarkan pemuda itu membantuku berdiri dan berjalan ke luar. Kami menyusuri lorong panti yang menjadi takterlalu suram lagi karena pemuda ini mudah sekali tertawa. Ia bercerita kenakalan-kenakalan anak-anak di sini sambil berkali-kali terbahak. Termasuk ketika seorang bocah laki-laki berlari masuk sambil menangis. Pemuda ini langsung menggendongnya, menghapus air matanya dan bertanya ada apa. Bocah itu meracau, dan pemuda itu hanya mendengar tanpa menyela. Aku menyaksikan bintang di mata mereka. Pemuda itu menyampaikan beberapa patah kata dan bocah itu kembali berlari keluar. Dari jauh, kulihat sopirku berjalan mendekat. Dan, aku menyesali fakta bahwa pemuda ini telah terlambat dilahirkan.
"Saya minta maaf yang sedalam-dalamnya atas apa yang pernah Bapak alami di sini," ujarnya sambil mengiringiku menuju pintu mobil. "Saya akan memastikan bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi."
Aku memandang matanya, "Kamu orang baik, Dik."
"Bagaimana, Pak?"
Aku menggeleng.
Malam itu semua terasa membaik karena sepertinya istriku sudah menyampaikan pada malaikat maut tentang undangan makan malam itu. Aku merasa lega. Bahkan, walaupun istriku sudah mati, ia tetap mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lebih baik dari anak-anakku.
Kupandang kertas di hadapanku. Tinggal beberapa hal lagi. Setelah itu, kalimat-kalimat ini selesai. Selesai. Kutarik napasku sebelum kuembuskan pelan-pelan. Begitu perlahan. Aku sengaja membacakan ini setelah kita semua ... dan seterusnya ... dan seterusnya.
***
Walau aku dan anak-anakku tinggal serumah, sebuah rencana besar untuk makan malam harus diperlakukan secara semestinya. Aku telah mengirimkan undangan yang pantas dan terhormat untuk anak-anakku dengan menggunakan jasa kantor pos karena aku tidak terlalu percaya pada internet atau Imel.
Surat-surat undangan itu tiba pada suatu hari Sabtu yang cerah untuk dipenuhi pada hari minggu esoknya.
Undangan
Kepada Yang Tersayang:
Anak-anakku
Di rumahku sendiri
Di Kota Ini
Pada hari Minggu ini aku mengundang kalian untuk makan malam bersama. Tempatnya di rumahku sendiri (yang selalu kalian ingin jual itu), tepatnya di kamar kosong yang pernah kalian ributkan. Aku tahu kalau kalian ingin segera datang karena makan malam ini adalah sekaligus menjadi waktu bagiku untuk membacakan surat wasiat yang telah lama kurencanakan (dan, mungkin sudah kalian nanti-nantikan) karena aku juga akan membicarakan perkara warisan. Aku mau kalian mendengarnya.
Kalian tidak perlu repot-repot mendoakan agar aku cepat mati (supaya waris itu segera terlaksana) karena aku juga sudah mengundang malaikat maut sebagai tamu kehormatan dalam makan malam ini (aku sudah menyertakan alamat lengkap berikut denah yang cukup akurat. Aku harap dia adalah pembaca peta yang terampil). Semoga malaikat maut bersedia memenuhi harapanku (atau, mungkin harapan kalian juga).
Anak-anakku, kutunggu kedatangan kalian.
Ayah (dan abu Ibu kalian)
***
Tahun 2001, dua hari sebelum istriku mati, aku mendengar suara cericit anak tikus. Aku salah, itu suara erangan istriku. Aku segera berlari menuju kamar itu lalu duduk di dekat dipan, menggenggam tangannya. Kupandang wajahnya yang menua. Di sana, aku bercermin. Kulihat wajahnya memantulkan wajahku. Kami sama-sama beranjak renta, tapi untukku ia tetap gadis kecil penggemar gula-gula asam. Kubelai tangannya.
"Istriku ...."
"Kau takpernah berubah." Suara paraunya takbisa mengalangi senyumnya.
"Benarkah?"
"Kau takpernah tersenyum."
"Benarkah?"
Aku ingat kalau aku pernah tersenyum, kurasa ia sempat melihat, namun aku takberniat mendebat.
Ia terbatuk lalu tersenyum lagi. "Kak, kalau aku sudah mati, lepaskan abu kremasiku di tempat yang sama dengan A-Pa dan A-Ma."
Rasanya, aku ingin bilang agar ia takmembicarakan itu, tapi aku malah bertanya, "Mengapa ... tidak di tempat lain yang lebih dekat?"
Gadis itu memandang mataku, "Di mana?"
"Sungai dekat sini?" Aku takmampu memandang balik matanya.
Gadis itu tertawa kecil, "Kau memang bodoh, Kak. Kamu mau arwahku menyangkut di celana dalam orang yang dibuang di sana?
Aku menggeleng.
"Jadi," gadis itu tersenyum, "harus dekat hutan bakau itu, Kak. Aku harus bertemu dulu dengan A-Pa dan A-Ma."
"Iya." Dan, kulihat mata gadis itu mulai basah.
"Aku harus meminta maaf pada mereka untuk kesalahan yang pernah kubuat."
"Kesalahan?"
"A-Pa takpernah merestui pernikahan kita, Kak.
Aku diam. Aku adalah kesalahan, dan kesalahan tetap harus dibayar.
"Aku tidak mau A-Pa menolak kedatanganmu di surga.
Aku tetap diam.
"Kalau A-Pa menolakmu, aku sendirian
Aku mengangguk sekali.
"Aku takmau sendirian.
Aku mengangguk dua kali.
"Kita harus tetap bersama, Kak. Di sini, dan di surga.
Aku mengangguk tiga kali dengan tenggorokan yang cekat.
"Kalau A-Pa menolak kedatanganmu, apakah kau bersedia tinggal di neraka bersamaku?
Aku mengangguk berkali-kali. Aku sudah tidak menghitung lagi.
"Jangan menangis, Kak."
Lalu, aku berhenti menangis. Aku mencoba tertawa sambil mengenggam tangan istriku yang terkulai lemah dan matanya perlahan memejam. Aku gagal.
Aku berbisik, "Aku sudah terbiasa di neraka."
***
Pohon Bakau.7
Pemanas air tenaga surya sudah benar-benar taksudi menghasilkan air yang cukup hangat, tapi sekarang aku tidak keberatan selain sudah takpeduli. Kubiarkan air dingin membasuh sendi-sendiku yang meringis. Aku harus bersiap-siap karena menjelang siang hari—sampai sore, petugas-petugas katering dan dekorasi akan mempersiapkan makan malam istimewaku. Kusaksikan bagaimana tetes-tetes waktu menitik makin perlahan. Waktuku sebentar lagi usai. Toko terpal biasanya tetap buka pada hari Minggu, namun hari ini tutup.
Bisa kurasakan waktu yang melambat.
Cucu-cucuku kubiarkan pergi untuk jalan-jalan sehingga rumah ini kosong. Anak-anakku (dan pasangan mereka) sedang mempersiapkan diri untuk hari besar ini. Petugas dekorasi telah selesai menghias ruang yang sebelumnya kosong. Aku telah menyewa meja makan berikut membayar mereka untuk menyediakan kursi-kursi berlapis satin mengilap dan rangkaian bunga paling indah.
Indah.
Aku sudah memilih bunga mawar, lili, dan entah bunga apa lagi yang disarankan oleh petugas dekorasi yang katanya cocok untuk sebuah acara resepsi pernikahan, karena makan malam ini juga adalah perayaan pernikahanku dengan perempuan paling kurang ajar yang sudah berani-beraninya meninggalkanku sendirian di dunia. Tapi, aku mencintai perempuan itu hingga merasa perlu untuk membayar sebuah perayaan yang dulu taksempat dilaksanakan karena aku tidak punya uang.
Semua tagihan sudah kulunasi kepada semua pihak-pihak yang terlibat dan membantu, termasuk juru masak hotel bintang lima, karena aku tidak menyukai orang yang berutang (kalaupun, orang itu adalah diriku sendiri). Aku tidak mau membenci diriku sendiri. Dan, aku menyukai menu-menu yang kupilih. Meski, aku tidak terlalu menyukai bagaimana mereka menyusun makanan-makanan itu di atas piring (aku melihat makanan itu seperti tidak untuk dimakan karena jadi mirip pajangan meja makan) sehingga (walau tim dari juru masak itu keberatan) aku tetap melakukannya sendiri. Aku yang menyusun makanan-makanan itu di atas piring dan menambahinya dengan hal-hal yang kukira tidak akan mengubah rasanya. Tidak ada niat selain aku menginginkan makan malam ini berakhir indah.
Indah.
Paling tidak, seindah apa yang bisa kupikirkan dengan otakku. Termasuk, mengusir semua orang takdikenal sebelum makan malam ini dimulai—istriku tidak menyukai ada orang asing di dalam rumahnya. Cuma ada aku, (abu) istriku, anak-anak, dan menantu-menantuku dalam rumah ini. Rumah seharusnya hanya berisi keluarga dan tidak lebih dari itu. Ini adalah keluarga.
Cucu-cucuku kelak akan memiliki keluarga mereka sendiri karena sudah seharusnya begitu.
Lima anakku (berikut pasangan mereka) sudah datang, kemudian kuminta mereka untuk menunggu di meja karena aku hendak mengembalikan dulu tabung logam ke kamar. Aku tidak mau istriku mendengar eulogi yang sudah susah-susah kususun (karena ia terlalu suka protes) dan memaki-maki dari neraka sebab perkara itu. Lagipula, sejak kejadian itu, istriku mudah sekali lelah, dan keramaian membuatnya bersedih. Biarlah, ia tidak perlu mengikuti makan malam ini sampai selesai. Aku sudah cukup senang ia bersedia datang dengan gaun terbaiknya. Mungkin, gaun berwarna dadu dengan bordiran bunga peony kecil-kecil. Abu orang mati sudah tidak bisa pakai baju, tapi aku tahu kalau istriku mengenakan baju terbaiknya. Aku sudah mengatakan pada anak-anakku untuk mengenakan pakaian terbaik yang mereka punya. Aku juga sudah mengenakan pakaian terbaik yang aku punya, karena ini adalah sebuah makan malam terakhir.
Baiklah, sekarang, aku akan melanjutkan ke inti acara, musabab mengapa makan malam ini perlu (dan harus) diadakan.
(Sebutlah ini sebagai) Eulogi
Aku sengaja membacakan ini setelah kita semua selesai makan karena ada orang yang pernah mengatakan bahwa sebaik-baiknya berpikir dilakukan dalam keadaan perut kenyang. Sehingga, hal pertama yang ingin aku sampaikan adalah juru masak itu hebat dalam menjalankan profesinya (walau, ia orang yang agak judes). Ia sudah memasak dengan sangat baik (ia memahami perbedaan bakmi dan mi ayam, juga kuotie dan kuetiau), dan semua kejadian malam ini tidak ada hubungan dengan pekerjaannya atau dirinya sebagai manusia. Alias, terlepas dari pengetahuan dan tanggung jawabnya sebagai juru masak. Ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang makan malam kematian ini, selain ia telah menyediakan makanan-makanan enak itu. Sisanya adalah tanggung jawabku sendiri.
(Mawar putih dan lili. Wangi. Kursi-kursi berlapis satin.)
Kemudian, dengan segala kerendahan hati aku memohon, kalau aku sudah mati (karena aku akan segera mati), sebagaimana tradisi dalam keluarga kami, kremasikan mayatku sampai jadi abu (tidak ada mayat yang bisa membakar dirinya sendiri). Setelah itu, campurlah dengan abu istriku. Kalian bisa menemukan tabung logam berisi abunya di atas bufet dalam kamarku (sebelum aku menulis surat ini, aku sempat meletakkan telapak tanganku di atas tabung, seperti ayah membelai puncak kepala anaknya). Berhati-hatilah, jangan sampai tumpah. Aku tidak mau jiwaku menempel pada bulu kemoceng ketika seseorang membersihkan perabotan, atau tersapu ke comberan.
(Bunga di tengah meja. Mata-mata. Kata-Kata.)
Selanjutnya, pastikan kalau abuku (yang telah bercampur dengan abu istriku) dilepaskan di pantai yang menumbuhkan pohon bakau, terserah saja akan dilakukan di pantai mana pun karena pantai apa pun selalu terhubung pada laut yang sama. Laut akan menghubungkan aku dan istriku (entah bagaimana caranya). Tidak ada satu pun laut yang takterhubung, dan aku menyarankan agar kalian mengadopsi pohon bakau (katanya, itu adalah bagian dari program pemerintah) karena membesarkan anak jauh lebih pelik dari itu. Kukira begitu.
Tentang anak-anak dan menantuku, terserah saja. Kalian bisa menimbang-nimbangnya sendiri. Aku tidak mau terlalu pusing memikirkannya karena mereka sudah terlalu buruk di mataku, selain karena saat surat ini terbaca, kemungkinan besar, mereka juga sudah dalam keadaan mati. Seperti aku.
(Suara lenguh.
Satu.)
Cucu-cucuku tidak seburuk itu, jadi telah kupesankan pada sebuah panti asuhan: Saat aku dan atau anak-anakku mati, aku mau panti asuhan itu melaksanakan hak asuh dan menyediakan sarana pendidikan untuk mereka sampai batas umur yang telah kutentukan (walau aku tetap meragukan manfaat dari sistem pendidikan nasional untuk otak anak-anak). Selain bagian yang kukhususkan untuk perbaikan gedung panti asuhan itu (dan lainnya), pembiayaan hidup cucu-cucuku akan kutanggung melalui penjualan tanah dan rumah ini. Kalau kelak cucu-cucuku mau kabur dari panti asuhan yang telah kutunjuk, perihal itu terserah mereka saja. Aku telah membuktikan sendiri bahwa hidup di panti asuhan tidak membuatku mati, begitu juga kabur dari sana. Untuk cucu-cucuku yang telah masuk batas umur dewasa (menurut undang-undang yang berlaku di negara ini) juga telah kusediakan bagian mereka, pun dari penjualan tanah dan rumah ini. Semua cucuku harus mendapatkan bagian yang sama besarnya. Berdoa saja agar jumlahnya cukup besar. Salinan surat waris telah kupersiapkan untuk dikirimkan pada semua cucuku satu per satu. Pesan utamaku pada mereka: Didiklah diri kalian (percayalah, tidak ada orang yang bisa melakukannya lebih baik dari diri kalian sendiri), atau kalian akan jadi bodoh (tidak ada yang bisa lebih berbahaya dibanding kebodohan). Biarlah anak-anak terbebas dari dosa-dosa dan kebodohan orang tua mereka. Meski, aku juga tahu, bahwa tiada seorang pun yang bisa bebas dari mimpi buruk masa lalunya. Ada yang bilang: Maafkan saja, karena kiranya memaafkan bisa membebaskan (kalau pun benar begitu).
(Lampu kristal.
Dua. Suara debam.
Tiga.)
Memang, banyak "terserah" dalam surat ini, tapi untuk perkara-perkara penting, aku telah menghubungi seorang pengacara yang aku harap cukup jujur untuk memastikan bahwa semua pesanku ini dilaksanakan. Tidak terkecuali untuk membagikan hasil penjualan toko terpal di pasar. Berikan setengah dari hasil penjualan toko itu kepada ibu berkerudung pemilik warung makan dan anak-anaknya (alamat mereka sudah kulampirkan); persiapkan setengah sisanya untuk dana pesangon karyawan toko terpal yang akan kehilangan pekerjaan karena kematianku (telah kupastikan kalau pekerjaan-pekerjaan mereka sudah beres, demikian pula semua pembayaran pada pihak ketiga), besarnya sesuai dengan catatan yang sudah kubuat (setengah dari jumlah itu pasti mencukupi). Jika, masih bersisa, bagikan kepada cucu-cucuku secara merata.
(Taplak putih. Meja.
Empat. Bergetar.
Lima.)
Tidak semua hal diketahui oleh pengacara itu, kecuali perihal-perihal yang membutuhkan pengawasan (jadi, jangan salahkan dia untuk makan malam ini karena ia juga tidak tahu apa-apa tentang makan malam ini dan tidak pernah kuundang). Termasuk, jika kejadian makan malam ini membutuhkan otopsi. Kembalikan mayatku pada pengacara itu. Toh, negara tidak perlu direpotkan lagi untuk mengurus mayat seorang laki-laki tua renta yang cuma punya satu cara untuk menutup kisah hidupnya.
Sepanjang hidupku, aku tidak pernah melakukan kebodohan. Kecuali untuk satu hal: Jauh di dasar hatiku, aku menyayangi kelima anakku. Atau, mungkin, istriku telah meracuniku dengan kuman kebodohan yang membuatku terus memaklumi kebodohan mereka. Hal ini sangat aku sadari. Cinta bisa memaklumi apa pun, termasuk kebodohan. Aku mencintai mereka. Kalaupun istriku waktu itu takmemesankan apa-apa, aku tetap mencintai lima anakku.
(Enam. Denting.
Gelas.
Tujuh.)
(
Sekali lagi, Istriku, kebodohan akan memaklumi segalanya, bahkan pengkhianatan. Dan, sesungguhnya, itulah yang membuatku bersedia berjanji padamu. Namun, aku tahu, aku akan selalu punya caraku sendiri karena aku tidak buta, tuli, atau mengalami kerusakan otak permanen akibat sistem pendidikan nasional. Aku masih bisa mendengar ucapan mereka dari balik pintu dapur karena menguping pembicaraan memang kegiatan yang boleh saja dilakukan.
Delapan.)
(Piring.
Ini harus terlaksana secepatnya. Kalau dia mati, kita bebas, dan otomatis tanah dan rumah ini jadi milik kita.
Pecah.)
(Sembilan.
)
Jangan pikir aku takmendengar rencana-rencana jahat kalian, wahai Anak-anakku. Dan, aku berharap kalau ini sudah cukup cepat untuk kalian. Kematianku adalah caraku untuk memenuhi keinginan kalian; karena, toh, jika aku tidak bunuh diri, aku tetap akan mati dalam dan oleh rencana-rencana besar kalian. Apa yang bisa dilakukan oleh orang setua aku untuk membela diri? Jadi, kuputuskan untuk sekaligus saja membantu rencana kalian supaya lebih cepat terlaksana.
Satu detik.
Satu menit.
Satu jam.
Satu per satu mereka bergelimpangan sebagai mayat, dan akan kukatakan pada mayat-mayat itu: Kalian pikir, aku tidak melihat usaha-usaha kalian untuk membunuhku?
(
Sepuluh.)
Kalian memang tidak pernah benar-benar mengenalku. Tapi, kalian sudah kumaafkan karena maaf-lah yang membebaskan. Kemudian, aku kembali teringat istriku yang sudah masuk neraka itu, dan kubisikkan padanya: Cuma kamu yang benar-benar mengenalku. Jadi, kamu pasti tahu bahwa waktu aku memutuskan untuk mati, aku juga menyimpulkan bahwa aku akan membawa mereka semua pergi (karena seperti katamu, mereka terlalu berharga untuk bisa kutinggalkan). Aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji. Sekarang, aku juga bisa mati dengan tenang. Bukan cuma kamu yang menang. Kita imbang.
(Aku.
Selesai.)
Terakhir, kuucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada malaikat maut karena sudah sudi datang.
(Sebelas.)
Semoga engkau menyukai makanan yang kuhidangkan.
)
Jakarta, 2019
Tamat
Description: Novel Rencana Besar adalah salah satu naskah yang terpilih sebagai pemenang Naskah yang Menarik Perhatian Juri dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019.
Novel ini adalah novel berplot ganda yang bercerita mengenai Aku—seorang laki-laki berusia 76 tahun, pemilik toko terpal yang menderita darah tinggi. Ia tinggal bersama anak-anaknya—si A, si B, si C, si D, dan si E—beserta menantu dan cucu-cucunya yang selalu ia anggap takberguna. Tahun 2017—16 tahun sejak kematian istri yang sangat dicintainya, Aku merasa kesepian dan terkhianati karena anak-anaknya ingin menjual tanah dan rumah hasil kerja kerasnya. Hal tersebut membuat Aku ingin mempercepat kematian. Sayangnya, ia telanjur berjanji pada istrinya untuk tidak melakukan bunuh diri. Akhirnya, Aku memutuskan untuk membujuk Malaikat Maut agar mempercepat waktu kematiannya dengan mengatur sebuah makan malam. Ia berniat melakukan presentasi untuk meyakinkan Malaikat Maut agar segera mencabut nyawanya. Sekaligus, makan malam itu ia jadikan acara resepsi pernikahan dengan istrinya yang pada tahun 1962 tidak sempat dilaksanakan karena ia tidak punya uang.
|
Title: Raja the Series
Category: Adult Romance
Text:
Tugas
"Lapor, Komandan! Kapten 301 Arm Intelijen telah tiba."
"Suruh segera masuk."
"Siap, Komandan!"
Begitu pintu dibuka, seorang pemuda berbadan tegap dengan tinggi dan berat tubuh proporsional masuk ke Ruangan itu. Dia memberikan hormat dan salam pada Komandan Denver. Dia adalah Raja Dirgantara Pusaka, seorang Agen Intelijen muda dengan prestasi segudang di bidangnya. Raja baru saja diangkat sebagai Kapten 301 Arm Intelijen, berkat prestasinya yang berhasil membongkar kasus human Trafficking.
"Akhirnya, saya bisa bertemu juga dengan Kapten muda paling berbakat di Arm Intelijen. Suatu kebanggan untuk saya, Kapten."
"Komandan terlalu berlebihan. Harusnya saya yang merasa sangat bangga karena mendapatkan undangan khusus untuk datang ke sini," Raja merendahkan diri.
"Hahaha. Ayo, silahkan duduk. Kita bisa bicara," ajak Komandan Denver.
Setengah jam dihabiskan untuk membicarakan tentang keahlian Raja dalam membasmi kasus Human Trafficking, meski tidak semuanya tertangkap namun Raja berhasil membongkar siapa saja dalangnya.
"Begini Raja, saya memiliki satu tugas penting untuk kamu." Komandan Denver mengambil map berwarna merah di atas meja dan memberikannya pada Raja.
Raja membuka map tersebut, ada sekumpulan foto seorang Pria berkacamata hitam yang terlihat sedang melakukan transaksi narkoba.
"Namanya Abraham, gembong Narkoba dengan jaringan paling besar di Negara kita. Dia bekerja sama dengan berbagai kelompok hingga ke mancanegara."
Raja melihat satu persatu foto. Pria bernama Abraham itu memiliki wajah sangar, selalu memakai kaca mata hitam, berjas rapi bagai seorang pengusaha. Ada Tato di leher sebelah kanannya, seperti bentuk ular.
Lalu ada juga foto seorang wanita dengan Tato berjenis sama di leher, sedang duduk di sebuah kursi menatap ke beberapa wanita berpakaian Sexy.
"Dia Mariko, istri Abraham. Seorang germo kelas atas yang membuka tempat pelacuran legal di Negara ini."
"Legal?" Raja sedikit terkejut.
"Para polisi dan petinggi negara berada di belakangnya. Dia memakai kedok Bar Executive sebagai tempat bersembunyinya para wanita bayaran."
Raja mengangguk, mulai paham.
"Tapi bukan mereka target kamu."
Tiba di foto terakhir, Raja mengamati dengan kening berkerut.
"Dia adalah Kimberly Abraham, Putri tunggal yang sangat Abraham sayangi. Dialah target kamu," tunjuk Komandan Denver pada foto itu.
"Kebetulan Abraham sedang mencari seorang pengawal pribadi untuk putrinya. Mungkin karena dia memiliki banyak musuh, jadi dia butuh seseorang untuk menjaga putrinya itu. Ini kesempatan emas, Raja."
Sekali lagi, Raja mengamati foto itu dengan seksama. Tidak ada yang salah dengan foto itu, hanya seorang gadis yang sedang duduk ngopi di sebuah cafe sambil memegang ponsel. Tapi entahlah, rasanya ada sesuatu yang menarik Raja hingga terlalu lama ingin memandanginya.
"Melalui Kimberly, kamu bisa sampai ke Abraham. Tapi hati-hati Raja, seperti yang saya bilang tadi kalau Abraham memiliki mata yang sangat tajam. Dia sangat mudah mengenali musuhnya."
Raja menoleh pada Komandan Denver dan bertanya, "apa semua Agen yang Komandan kirimkan bekerja untuk Kimberly?"
"Tidak, mereka bekerja untuk Abraham. Tapi hanya satu hari, setelah itu kabar mereka semua lenyap."
Raja pun mengangguk.
Komandan Denver menepuk pundak Raja. "Selesaikan tugas kamu kali ini, bawa pulang keberhasilan. Saya percaya kamu bisa."
"Siap Komandan!"
"Kalau kamu berhasil, maka saya semdiri yang akan mempromosikan jabatan kamu untuk memiliki pasukan Intelijen pribadi, seperti saya."
Itu adalah impian Raja.
"Baik, Komandan. Siap laksanakan!" Raja menerima tugas itu. Imbalan yang diberikan adalah kesempatan baginya meningkatkan karir yang sempat tertunda.
✾ ✾ ✾
"Mama sangat bangga sama kamu. Di usia kamu yang masih sangat muda, kamu dipercaya untuk memimpin sebuah tugas dengan imbalan yang sangat besar. Ini luar biasa Raja," ujar Aila, Mamanya Raja. Dia membantu anak lelakinya itu berkemas untuk menjalankan tugasnya esok hari.
"Anaknya siapa dulu dong," balas Raja memuji Aila.
"Pokoknya semua anak Mama hebat," puji Aila.
Aila adalah mantan Kapten Agen Rahasia, kedua anaknya mewarisi keberaniannya itu dengan mengikuti jejaknya menjadi seorang Agen.
"Apa Kak Kaila bakal pulang lusa, Ma?"
"Katanya sih gitu."
"Wah, Raja nggak bisa ketemu. Salam aja buat Kakak."
"Iya sayang." Aila kemudian menatap Raja begitu lama.
Merasa ada yang aneh, Raja balas menatap Aila. "Kenapa, Ma?" tanyanya.
"Apa... Kamu udah bener-bener lupain Ayela?" tanya Aila dengan hati-hati.
Pergerakan tangan Raja terhenti, dia diam beberapa saat memandangi pakaiannya yang telah rapi di dalam koper. Kemudian menatap Aila, "lupa sih nggak, Ma. Tapi Raja nyoba buat ikhlasin, seperti kata Mama."
Aila tersenyum sedih, mengusap rambut Raja dengan lembut. "Kamu juga harus bahagia, move on Raja."
Raja mengangguk.
"Udahlah, kenapa Mama jadi bahas masa lalu. Gimana kalau kita ngopi di balkon kamar Mama, kayak biasanya."
Raja seketika memasang ekspresi antuasia. Dia merangkul pundak Aila. "Baiklah, sebelum Papa pulang dari Kantor, Raja bakal nemenin Mama."
"Anak yang baik."
Ibu dan anak itu kemudian berjalan ke kamar Aila, menuju balkon besar yang terdapat sebuah ayunan. Di situlah biasanya keluarga mereka menghabiskan waktu bersama kalau sudah berkumpul. Sambil menikmati malam penuh bintang, ditemani secangkir kopi panas dan camilan.
"Ma, ceritain ke Raja gimana cara Mama mengatasi masalah di saat penyamaran Mama terbongkar."
"Hahaha, itu mudah Raja. Emangnya ada cara lain selain melawan?"
Raja lantas ikut tertawa.
Benar juga. Kalau tidak melawan, maka mati adalah pilihan lainnya. Tapi itulah resiko dari pekerjaan Raja yang menuntut keberanian hingga ke akar-akarnya.
"Kamu pasti bisa," Aila meyakinkan Raja.
"Mama nggak takut Raja gugur?" tanya Raja hati-hati.
Aila menggeleng. "Seorang prajurit nggak akan takut mati, Raja. Tapi Mama percaya kamu pasti bisa."
Raja mengangkat kopi, mengajak Aila untuk tos. Saat dua gelas beling itu bertemu, keduanya pun tertawa dan menyeruput kopi dengan gaya yang sama.
"Kalau gitu ceritain lagi gimana Mama bisa jatuh cinta sama Papa," minta Raja.
Aila selalu suka menceritakannya di saat sang suami tidak ada. Karena dia bisa dengan jujur memuji bagaimana kegigihan Kaival saat mendekatinya. Setiap menceritakan itu rasanya seperti kembali ke masa lalu, membuat senyumnya selalu merekah dengan kedua pipi yang terkadang merona bila sang anak mulai menggoda.
✾ ✾ ✾
Hai... Ketemu lagi, hihihi.
Mulai sekarang, Raja akan publish di sininjuga ya...
Selamat membaca, jangan lupa like bintang 5, komen, subscribes dan follow saya ya guys...
Dia Kimberly
Raja berdiri tegak dengan pakaian formal serba hitam ala-ala Bodyguard kelas atas. Dia menunggu di Ruang tamu sebuah Rumah mewah, setelah tadi melewati serangkaian cek fisik oleh orang-orang berpengalaman. Dari sini Raja tau mengapa Agen-Agen yang pernah menyelinap ke tempat ini bisa terbunuh, karena pastinya mereka semua memakai alat-alat tersembunyi dan terlacak saat cek fisik. Untungnya dia datang dengan tubuh telanjang, tanpa menggunakan satu alat pun di tubuhnya.
"Sudah berapa lama jadi bodyguard?" tanya salah seorang pemuda yang ternyata juga akan bekerja di sana.
"Baru tiga tahun," jawab Raja.
"Wah, gue sih baru setahun. Itupun bodyguard artis," sahut pemuda itu terkekeh.
Raja hanya tersenyum tipis.
Pemuda itu mengulurkan tangan, "gue Rey."
Raja membalas uluran tangannya, "Raja."
Rey menepuk pundak Raja. "Nasib lo nggak sesuai nama lo ya, Bro. Sabar aja."
Mendengar itu membuat Raja ikut tertawa, dia tau Rey tak berniat mencela karena sepertinya pemuda itu orang yang baik.
"Ehm," suara dehaman berintonasi tinggi itu membuat Raja dan Rey memasang sikap tegap. "Kalian dua bodyguard baru itu?" tanya Abraham.
Raja dan Rey mengangguk hormat.
Sesuai Fotonya, Abraham memiliki tubuh tinggi tegap, berisi dan berkulit putih. Siapapun akan segan berhadapan dengan pria itu. Belum lagi setiap dia melangkah, pengawal pribadinya yang berjumlah lima orang selalu setia di belakangnya.
"Siapa nama kamu?" tanya Abraham pada Rey.
"Reynald Agung Permana, biasa dipanggil Rey," jawab Rey tegas.
Abraham mengangguk, sedikit tersenyum tipis dan memegang pundak Rey. Lalu dia menoleh pada Raja. "Siapa nama kamu?" tanyanya.
"Raja, Pak."
Abraham mengamati Raja dengan seksama, dari atas hingga bawah. Dia tersenyum dan mengangguk. Lalu melangkah mundur satu langkah dan berhadapan dengan kedua pemuda itu. "Saya sudah membaca profil kalian, itu sebabnya kalian diterima di sini."
Raja dan Rey mengangguk.
"Kalian akan menjadi pengawal pribadi untuk anak saya, Kimberly." Dia lalu meminta salah seorang pria di belakangnya untuk memanggil anaknya itu.
"Tugas kalian adalah mengikuti kemana pun Kim pergi. Meski di Rumah pun kalian harus menjaganya. Kesetiaan dan loyalitas adalah kunci utama untuk saya mempertahankan seseorang. Jadi saya harap kalian tidak mengecewakan."
"Siap, Pak!" jawab Raja dan Rey.
Tak lama kemudian seorang gadis berparas cantik, bertubuh tinggi langsing, berkulit putih dengan rambut nergelombang di bagian bawah dan tergerai mengikuti gerakan tubuhnya, turun dari anak tangga di rumah itu. Langkahnya begitu ringan, matanya terfokus pada layar ponsel.
Abraham merangkul Kimberly, sangat terlihat kalau dia begitu menyayangi Putrinya itu. Bagai pinang dibelah dua, ketampanan Abraham melekat pada kecantikan Puterinya
"Sayang, ini dua bodyguard kamu yang baru," beritahu Abraham.
Kim mengangkat matanya menatap dua orang yang disebut. Pertama Rey, meneliti dengan seksama tanpa ulasan senyum. Kemudian pada Raja, mengamati sebentar, kemudian menoleh pada Abraham. "Oke!" sahutnya kemudian.
"Mulai sekaran mereka yang akan menjaga kamu, Kim."
"Asal jangan Kim yang harus menjaga mereka, Papi." Suara merdu Kim terdengar tegas dan anti menye-menye.
"Hahaha. Kamu tenang saja, mereka sudah terlatih dan pastinga akan bisa kamu andalkan."
"Oke!" jawab Kim kembali.
Mata Raja sedikitpun tak terlepas dari sang gadis yang nampak begitu cuek dan tidak ramah. Sangat cantik, itulah penilaian awal Raja tentangnya.
"Kalian berdua, jangan kecewakan putri saya. Bila dia mengeluh maka kalian akan mendapatkan masalah besar," ujar Abraham.
"Siap, Pak!" jawab Raja dan Rey kompak.
Kimberly kemudian membalikkan badan dan melangkah pergi. Dia sama sekali tak menyapa atau mengajak dua pengawal pribadinya itu bicara.
"Kalian bisa ikuti Kim, mulai dari sekarang," suruh Abraham.
"Baik, Pak!"
Raja dan Rey pun melangkah mengikuti Kim dari jarak yang cukup jauh.
"Gila ya, ini rumah udah kayak istana dan penghuninya pun memiliki wajah seperti bidadari," bisik Rey.
Raja tersenyum tipis. Matanya sejak tadi terfokus pada sosok Kim yang sangat santai dalam berjalan. Entah apa yang dilakukannya dengan ponsel itu sehingga sejak tadi yang dilakukannya hanyalah bermain benda lempeng itu.
✾ ✾ ✾
Raja beruntung karena dia terpilih berjaga di dalam kamar Kimberly, sehingga bisa melihat secara langsung aktivitas sang Tuan Puteri tanpa terlewat setiap detiknya. Sementara Rey berjaga di depan pintu kamar.
Kim duduk di sofabed, menselonjorkan kaki jenjangnya ke atas meja. Dia memejamkan mata, tak lagi bermain ponsel.
Raja harus memalingkan wajah atau dia akan tenggelam dalam pesona Kim saat ini. Namun sialnya, matanya berkhianat dengan terus memandangi wajah itu.
Cukup lama, Kim membuka matanya dan langsung menatap Raja hingga beberapa saat lamanya. Keduanya bertatapan, tanpa senyum ataupun kata yang terlontar.
Hingga suara ponsel Kim memutus kontak mata mereka, membuat gadis itu melangkah menjauh menuju balkon kamar.
Tak lama, Kim kembali dan berjalan ke lemarinya. Tanpa bicara, dia melempar pistol berukuran kecil pada Raja yang untungnya dengan sigap bisa menangkap.
"Buat lo. Lo butuh itu," kata Kim kemudian.
Raja mengerutkan kening menatap pistol Ilegal tersebut. Jenis pistol yang seharusnya hanya dimiliki oleh anggota kepolisian dengan pangkat yang tinggi.
"Bisa makek itu, kan?" tanya Kim yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan Raja.
"Bisa Nona," jawab Raja sopan.
Kim memperhatikan cara Raja memegang pistol, dia mengangguk. "Lima menit lagi temenin gue keluar," katanya sambil melangkah ke lemari lagi.
"Baik Nona," Raja menunduk dengan kedua tangan bersila di depan.
Kim membuka lemari, mengeluarkan ppakaia dari dalamnya. Sebuah blouse dan celana panjang berwarna hitam yang masih melekat pada gantungannya.
"Shit!" umpat Raja pelan.
Tanpa diduga, Kim melepas pakaian tepat di depan mata Raja. Meski posisi gadis itu membelakanginya, tapi tetap saja terlihat bagian belakang tubuhnya polos, hanya celana dalam yang masih melekat.
Ada satu Tato yang melekat di sepanjang tulang belakang, berbentuk tulisan dari bahasa asing yang tidak Raja mengerti, di bagian atas tulisan terdapat beberapa burung Elang. Terlihat sangat keren untuk seorang wanita.

Kim telah mamakai pakaiannya, juga menguncir rambutnya menjadi satu. Bagian belakang Blousenya itu berjenis Backless sehingga Tatonya terlihat dengan jelas.
Raja sampai tidak menyadari kalau Kim telah berbalik dan menatap ke arahnya, membuat matanya yang lancang itu menunduk tak enak.
"Ayo," ajak Kim.
Raja mengangguk, lalu mengikuti Kim dari belakang. Rey yang sudah berada di luar juga mengikuti.
"Keren," bisik Rey pada Raja mengenai Tato Kim itu.
Raja tak menyahuti, tanpa Rey tau gadis itu sudah setengah telanjang di depannya tadi.
✾ ✾ ✾
New Facts
Sudah datu minggu Raja bekerja di kediaman Abraham sebagai bodyguard Kim. Tapi selama satu minggu ini, tidak ada informasi apapun yang bisa dia dapatkan karena sang Nona muda lebih banyak berada di kamar. Kalaupun keluar rumah, paling mendatangi pusat perbelanjaan dan memborong apa saja yang dilihat oleh matanya. Meski Raja tau Kim tidak menikmati itu.
Hari ini, Raja dan Rey menemani Kimberly ke sebuah Bar plus-plus kelas atas. Di sana, mereka hanya diizinkan menunggu di bawah Sementata Kim masuk ke Ruangan pribadi.
"Dia ngapain ke dalam?" tanya Rey kepo.
Raja mengangkat bahunya. Dia duduk santai di kursi bar dan memesan segelas kecil Shooter jenis Tequila. Lalu meminumnya dengan santai.
"Nanti mabuk lo," tegur Rey.
Tak berselang lama, Kim telah keluar dari ruangan itu. Raja dan Rey sudah bersiap akan mengikutinya lagi tapi ternyata gadis itu malah duduk di kursi bar dan meminta minuman dengan jenis yang sama seperti Raja. Satu gelas kecil itu dihabiskan dalam sekali tenggak dan Kim memintanya lagi.
Raja dan Rey diam saja, mereka tak memiliki hak untuk bicara apalagi bertanya kenapa sang Nona Muda terlihat sangat tertekan.
"Satu lagi," minta Kim, sudah gelas ketiga. Meski gelas itu berukuran kecil, tapi kadar alkoholnya sangatlah tinggi. Bila diteruskan, dia pasti akan mabuk.
Hanya Raja yang berani mencegah, dia mengambil alih gelas keempat yang baru saja diletakkan di atas meja. "Nona sudah terlalu banyak minum," beritahu Raja.
Rey meneguk ludah, Raja terlalu berani.
Kim tidak marah sama sekali, dia diam saja dan malah memijat pelipisnya yang sedikit pening akibat efek alkohol tadi. Lalu dia memiringkan kepala dengan tangan menyangga wajah menatap Raja. "Lo pernah merasa capek nggak sih sama aktivitas yang lo lakuin? Terutama kalau harus ngulangin yang itu-itu aja?" tanya Kim.
"Lumayan, tapi karena aktivitas itu pekerjaan, gue coba buat enjoy," jawab Raja, berusaha menjadi teman.
Kim mengangguk-angguk kecil. "Pekerjaan ya?" kemudian dia berdiri, melangkah tanpa aba-aba.
Raja dan Rey kembali mengikuti sang Nona muda yang berjalan menuju mobil hitam berjenis Hammer.
Raja duduk di kursi kemudi, Kim di sebelahnya dan Rey duduk di belakang. "Kita mau kemana, Nona?" tanya Raja.
"Di depan belok kiri," suruh Kim.
"Baik," jawab Raja patuh. Dia menginjak gas sedikit dalam untuk mempercepat, lalu belok ke kiri saat tiba di pertigaan.
Semakin jauh perjalanan, semakin sepi tempat yang dilewati. Raja sampai bingung sebenarnya gadis itu mau kemana, karena dia tau persis tidak ada kehidupan di jalan yang mereka tuju.
Raja salah!
Tempat itu memang sepi, gelap dan tidak ada jejak kehidupan manusia. Tapi ternyata, di balik ilalang tinggi terdapat sebuah bangunan berupa dengan bagian luar seperti gubug. Ada penjagaan ketat di sekitar bangunan itu, orang-orang berpakaian serba hitam dan memegang senjata.
Mobil berhenti tepat di depan pintu bangunan yang terbuat dari besi. Kim turun, sekali lagi gadis itu tak pernah bisa ditebak gerakannya.
Raja dan Rey harus mengikuti, tepat di belakang Kim. Para penjaga bangunan itu terlihat waspada saat salah satunya mengantar Kim masuk ke dalam.
Kim melangkah lebar namun dengan gerakan ringan dan anggun. Dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti sedang menghitung jumlah penjagaan di tempat itu.
Saat pintu yang berada di salah satu ruangan terbuka, seorang pria botak dengan suite berwarna putih berdiri kaget melihat kedatangan gadis itu.
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Raja dan Rey begitu terkejut melihat Kim menembak para penjaga gedung dengan pistol di kedua tangannya. Gerakannya sangat slowly, bahkan tanpa menoleh berlebihan pada korban yang dibunuhnya.
Pria botak itu terlihat ketakutan, dia mengangkat kedua tangan saat Kim mengacungkan pistol ke arahnya, membuat para pengawal pria tersebut tak bisa melawan.
"Nona, tolong beri saya waktu. Saya akan segera mengembalikan kerugian Pak Abraham," ujar sang pria botak begitu ketakutan.
Dor!
Pria itu menjerit saat salah seorang pengawalnya ditembak di kepala.
Raja benar-benar tak mampu menjelaskan bagaimana perasaannya saat melihat Kim membunuh orang-orang itu. Sebagai seorang Agen penegak hukum di jalan benar, tentu dia tidak bisa melihat ini.
"Waktu?" Kim tersenyum mendesis.
Beberapa pengawal pria itu masuk dan mencoba melakukan perlawanan, kali ini Raja dan Rey ikut bertindak membantu.
Bila Rey menggunakan jalan cepat dengan ikut menembak, maka Raja memakai ilmu bela dirinya untuk melumpuhkan orang-orang tersebut. Padahal Kim telah membekalinya dengan pistol canggih, tapi dia tak bisa menggunakan itu untuk membunuh karena melanggar etika hukum.
Kim menatap pria penakut itu dengan tatapan tajam. Dia mengangkat tangan kanannya dan menempelkan ujung pistol ke kening pria itu.
"Ba-baik! Akan segera saya bayar, baik!" kata sang pria semakin gemetar. Dia memberikan kode pada salah seorang pengawalnya untuk mengambil sesuatu dari dalam lemari besi.
Sebuah koper ditaruh di atas meja lalu dibuka, isinya adalah uang seratus ribuan dalam jumlah yang sangat banyak. "Ini, jumlahnya cukup dan semua sudah lunas." pria itu mendorong koper tersebut ke arah Kim.
Kim meliriknya sekilas, lalu menurunkan pistol di tangannya. Tapi...
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga pria, termasuk si botak berbaju putih itu tewas seketika. Kim menutup koper dan membawanya. Dia melangkah, kemudian kembali mengarahkan pistol pada orang-orang yang Raja buat pingsan.
Dor!
Dor!
Dor!
Tidak ada yang tersisa, semua tewas di tangan Kim.
"Keren banget, sumpah..." puji Rey dengan wajah terpesona. Dia tak begitu kaget dengan kejadian ini karena sudah tau pekerjaannya akan seperti apa, bahkan menganggap kalau pekerjaannya ini sangatlah menyenangkan ketimbang sekedar menjadi bodyguard artis.
Raja sendiri bertarung dengan ingatan di kepalanya tentang profil Kimberly di dalam berkas yang diterimanya dari Komandan Denver. Di sana sama sekali tidak dijelaskan kalau Kim memiliki pekerjaan yang seperti ini, bahkan dia tak mengerti ini sebenarnya dipicu oleh masalah apa sehingga gadis itu membunuh semua orang di sana.
She moves slowly but deadly.
✾ ✾ ✾
Sakau
Seperti biasa, Kim tipikal yang memang irit bicara dan pelit ekspresi. Wajahnya selalu datar, tidak pernah tersenyum, namun lebih banyak menatap hingga yang ditatap terpesona olehnya. Sudut matanya melengkung ke atas, sehingga matanya itu terlihat tegas dan tajam.
"Kita mau kemana lagi, Nona?" tanya Raja.
"Pulang," jawab Kim.
Raja menginjak gas, lalu tidak ada suara lagi selain suara Kim menelpon seseorang untuk membereskan bangunan tadi beserta mayat-mayatnya.
Raja melirik ke samping, Kim terlihat memejamkan mata. Dia yakin gadis itu tidak tidur, malinkan ada beban yang sedang dia pikirkan. Mungkinkah dia menyesal setelah membunuh banyak orang tadi?
Lagi-lagi, Raja selalu tepergok menatap Kim, membuatnya mengalihkan pandangan ke jalanan.
"Makasih, kalian udah bantu gue hari ini," kata Kim tanpa menoleh ke siapa pun.
"Dengan senang hati Nona," jawab Rey melebih-lebihkan nadanya.
Kim menoleh pada Raja yang tidak mengatakan apa-apa. Ada sesuatu yang tertahan di bibirnya, ingin diucapkan tetapi ragu. Hingga akhirnya dia memilih diam dan kembali memejamkan mata.
Begitu sampai di Rumah, Kim langsung disambut penuh kegembiraan oleh Abraham. Terutama saat gadis itu memberikan koper, tawanya sampai menggelegar.
"Kamu memang anak kebanggan papi, sayang." Abraham memeluk Kim dan mengusap kepala putrinya itu.
"Bagaimana mereka, cukup membantu?" tanyanya mengenai Raja dan Rey.
"Good," jawab Kim sekenanya. "Kim ke kamar dulu, Pa."
"Oh, iya kamu pasti lelah. Istirahat ya sayang," Abraham mencium pelipis Kim.
Kim pun langsung pergi ke kamarnya sementara Abraham masih menahan Raja dan Rey untuk diajak bicara.
"Sekarang kalian tau bagaimana anak saya bukan?" tanyanya.
Raja dan Rey mengangguk.
"Selain harus melindungi keselamatan anak saya, kalian juga berkewajiban untuk menjaga segala rahasia yang kalian lihat ataupun dengar. Karena dengan bekerja di sini, kalian harus mengabdi sepenuhnya pada kami."
"Siap, Pak!" jawab Rey antusias.
Abraham menoleh pada Raja. "Kamu dipilih Kim sebagai tangan kanannya, itu artinya jangan kecewakan dia. Atau, kamu tau resikonya apa?"
"Nona Kim akan membunuh saya," jawab Raja.
"Good," Abraham menanggapinya dengan senang. "Kalian semua kembali ke sisi Kim, jaga dia dengan baik."
"Baik, Pak!"
Raja dan Rey pun naik ke atas, menuju kamar Nona muda. Seperti tadi pembagiannya adalah Raja di dalam dan Rey di luar. Tapi saat Raja akan membuka pintu kamar, Rey menghalangi.
"Gue laper, man." Rey memegangi perutnya.
"Lo makan aja, gue yang jaga." suruh Raja.
"Lo yakin?" Rey nampak ragu.
Raja mengangguk.
"Thanks," Rey tercengir menepuk pundak Raja.
Setelah Rey turun kembali ke bawah, Raja pun mengetuk pintu kamar dan membukanya. Dia melangkah masuk dan menutup pintu kembali.
✾ ✾ ✾
Saat Raja masuk, terlihat Kim sedang duduk di sofabed sambil menenggak Tequilla langsung dari botolnya. Gadis itu terlihat kacau, helaian rambutnya banyak yang keluar dari ikatan.
Dan dia menangis!
Raja tersentak melihat air mata Kim meleleh, namun tanpa isakan tangis. Membuatnya tidak bisa berdiri tenang, terganggu oleh pikiran ingin bertanya kenapa gadis itu menangis.
Kim tiba-tiba menoleh pada Raja, diam untuk beberapa saat. Kemudian berkata, "lo boleh istirahat," suruhnya.
Raja menggeleng. "Sebaiknya saya tetap di sini Nona."
"Nggak laper?" tanya Kim.
"Nanti saya akan makan bergantian dengan teman saya," jawab Raja.
Kim pun tak lagi bertanya. Dia melanjutkan meminum Tequila yang sangat memabukkan itu, menenggaknya tanpa ampun.
Raja tiba-tiba saja mendekat dan mengambil botol itu dari tangan Kim. "Jangan Nona, anda belum makan apapun." Niat Raja baik, dia tidak ingin Kim sampai jatuh sakit, padahal apa perdulinya? Seharusnya dia tak terlalu ikut campur urusan pribadi gadis itu.
Sama seperti saat di Bar tadi, Kim tidak marah minumannya diambil. Dia diam saja, memejamjan mata dan memijat pelipisnya.
"Nona butuh sesuatu? Biar saya ambilkan," Raja menawarkan.
Kim membuka matany, kembali menegakkan tubuh dan menatap Raja dengan serius. "Gue butuh pengalihan," beritahu Kim.
"Pengalihan?" tanya Raja tak mengerti.
"Hmm," jawab Kim lemah.
Shit! Raja mengumpat dalam hati karena tatapan gadis itu yang sangat menggoda, menatapnya sangat dalam dan tanpa berkedip sedikit saja. "Nona kenapa?" tanyanya.
"Panggil Kim aja, kita cuma berdua."
"Oke, kamu kenapa?"
Kim terus menatap Raja begitu dalam, tapi kemudian wajahnya meringis menahan sesuatu.
"Kim," Raja mengusap pipi Kim, dia kaget bukan main karena kulit gadis itu sangat dingin. Dingin namun berkeringat dan seperti sedang kesakitan. "Kamu kenapa?"
"Ini nyiksa banget," lirih Kim dengan suara berat. Kedua tangannya mencengkram pergelangan tangan Raja, seakan bertahan dari sesuatu.
Raja mengamati secara seksama, dia tak yakin dugaannya benar tapi semua kemungkinan mengarah kesitu. "Kamu makek, Kim?" tanyanya.
Dan ya, Kim mengangguk. "I want to stop, but I can't!"
Raja melihat keseriusan di mata Kim. Dia sepertinya memang tersiksa dengan efek dari obat-obatan terlarang itu. Tubuhnya semakin menggigil, sorot matanya pun berubah haus.
Kim berdiri, berjalan cepat ke laci meja riasnya lalu mengeluarkan plastik bening berisi butiran obat warna-warni ukuran kecil.
Raja tersentak, itu adalah narkoba jenis ekstasi. Dia dengan cepat berlari ke arah Kim lalu merebut benda itu saat Kim baru akan meminumnya dalam dosis besar.
"Lawan, Kim!" desis Raja sambil mengguncang tubuh Kim.
Kim menggeleng, bagai orang mabuk yang mulai sakau, dia berusaha mengambil obat itu dari tangan Raja. Bibirnya sampai bergetar, wajahnya memerah. Seperti orang linglung, Kim berjalan kesana kemari, membuka tiap laci di kamarnya hingga menemukan jenis pil yang sama.
Raja mendekati Kim dan merampas pil itu lalu membuang semuanya ke tong sampah. "Kendaliin diri kamu, lawan!" bentak Raja.
Kim memeluk tubuhnya sendiri, terduduk di tepi kasur, kedinginan. "Lo nggak akan tau rasanya. Sakit..." rintihnya dengan suara bergetar.
Raja memang tidak tahu bagaimana rasa dari sakau akibat kecanduan, tapi dia sudah terlalu sering melihat orang-orang pemakai seperti Kim tersiksa saat tidak diberikan obatnya. Bahkan ada yang sampai depresi, juga meninggal dunia.
"Arghh!" Kim mengerang, menjambak rambutnya sendiri dengan keras. Dia tak mampu melawannya, efek kecanduan itu terlalu kuat menyiksa diri.
Raja duduk di sebelah Kim, memeluk gadis itu dengan erat. "Kamu harus lawan. Kalo kamu bisa lewatin ini, kamu akan sembuh Kim."
"Gue nggak kuat..." rintih Kim.
Dari Kim yang terlihat lemah, tiba-tiba dia meronta meminta dilepaskan. Dia menjadi sangat agresif. Jika terus menerus seperti itu maka Kim akan menyakiti dirinya sendiri.
Tidak ada cara lain, Raja terpaksa melakukan sesuatu yang mungkin akan dia sesali setelahnya. Sesuatu yang melanggar etika pekerjaannya dalam membantu seorang penjahat.
✾ ✾ ✾
Pelampiasan
Raja mendekatkan wajah, melumat bibir Kim dengan penuh tekanan. Dia menahan tengkuk wanita itu dengan kuat, agar berhenti berontak. Hingga lama kelamaan Kim diam, menikmati ciumannya. Raja pun mengendurkan cekalannya pada gadis itu, hingga ciumannya berbalas.
Entah Raja sedang berniat menolong atau sebenarnya dia mulai terbuai, yang pasti dia belum bisa melepaskan pagutan bibir mereka berdua. Malah, keduanya semakin melumat seirama.
Cara ini berhasil, Kim melampiaskan rasa sakit yang menyerang dengan menciptakan gairah panas di tubuhnya. Meski secara sadar dia tau kalau dirinya sedang berciuman dengan seorang bodyguard, yang sama sekali bukan kelasnya, tapi Kim tidak perduli. Hasratnya terlanjur membara.
Kim mendorong Raja berbaring, dia naik ke atas tubuh pemuda itu lalu membungkuk untuk menjalin ciuman kembali.
Raja mengerti apa yang Kim minta, tapi dia tak ingin terlalu jauh. Bukan karena dia tidak tergoda, melainkan karena dia tak ingin Kim menyesal. Maka saat jemari lentik Kim berniat membuka kancing pakaiannya, Raja langsung membalik posisi mereka.
Bibir Kim terbuka, wajahnya yang merona membangkitkan gairah Raja pada malam ini. Ditambah lagi, gadis itu sangat ingin disentuh.
Raja menahan kedua tangan Kim agar tetap diam, lalu dia membungkuk mencium bibir gadis itu dengan begitu ganas. Aroma Tequilla sejak tadi sangat terasa dalam belitan lidah Kim.
Kim mendesah saat Raja mulai menciumi lehernya, dia memejamkan mata menikmati itu.
Hingga lama kelamaan Kim tertidur.
Raja pun menghentikannya. Demi apapun dia sudah lepas kendali, ingin rasanya memanfaatkan kesempatan menjamah setiap kelembutan kulit Kim yang menggoda. Raja akui, sulit menolaknya karena Kim sendiri seakan menyerahkan tubuhnya secara sukarela.
Melihat Kim tidur bagai bayi yang masih polos, Raja tak berkedip memandangi wajahnya. Dia merapikan rambut Kim yang berantakan. Menyelimuti gadis itu agar lebih nyaman.
Sekali lagi, Raja memandangi Kim. Di hari pertamanya bekerja, sosok dingin seperti Kim ternyata menyimpan begitu banyak rahasia yang mulai terbongkar. Fakta bahwa Kim membantu Ayahnya menghabisi orang-orang yang tidak mau membayar hutang, membuat Raja sangat terkejut. Ditambah lagi sekarang Raja mengetahui kalau Kim seorang pemakai.
Setelah mampu menguasai diri dan melenyapkan hasrat lelakinya, Raja pun meninggalkan kamar Kim. Dia butuh asupan gizi untuk mengganti energinya yang terkuras habis tadi. Belum lagi kepalanya yang berdenyut karena harus menahan sesuatu yang ingin dituntaskan di bawah sana.
"Gue kira lo tidur di dalem," ujar Rey begitu Raja keluar.
"Lo udah makan?" tanya Raja.
"Udeh. Gila makanannya enak banget, Man! Lihat perut gue," Rey mengusap perutnya yang sedikit kencang.
"Gue makan dulu," pamit Raja.
"Oke!" Rey memberikan hormat. Tapi lalu dia menarik tangan Raja. "Nona di dalem lagi apa?" tanyanya genit.
"Tidur. Dia minta untuk siapapun jangan masuk," bohong Raja, tak ingin Rey tiba-tiba berniat masuk dan mengganggu Kim.
"Yahhh," Rey melepaskan Raja, memasang ekspresi kecewa.
Raja pun turun ke dapur, seorang ART muda yang sedang beres-beres di sana langsung menyambutnya dengan sukacita. "Mau makan apa, ganteng?" tanya Bik Odah genit.
"Telur rebus, tanpa kuning telurnya Bik."
"Hah, yakin Mas?" tanta Bik Odah kaget.
"Boleh saya masak sendiri, Bik?"
✾ ✾ ✾
Kim terbangun setelah tidur beberapa waktu. Dia memijat pelipisnya yang terasa sangat pening, belum lagi rasa mual di perut yang selalu terjadi bila dia minum-minuman.
Deg!
Ingat dengan kejadian yang baru saja terjadi sebelum dia tidur, membuat Kim refleks duduk dan mencari Raja. Pemuda itu tidak ada di kamarnya, membuat Kim sedikit merasa lega karena tak perlu memyembunyikan rasa malunya.
Kim turun dari ranjang, berlari ke meja rias dan menatap dirinya dari pantulan cermin. Dia meringis, dirinya terlihat sangat kacau terutama rambut yang seperti sarang burung.
But, wait...
Mata Kim melebar melihat jejak merah di lehernya, berjumlah tiga bulatan kecil yang sangat kentara. Otaknya kembali mengingat bagaimana Raja mencumbunya tadi malam.
Fakta bahwa Raja seorang Bodyguard membuat Kim sakit kepala, belum lagi siapa tau saja pemuda itu sudah memiliki istri.
"Oh my God!" Kim mengumpat dirinya sendiri, yang begitu bodoh karena menikmati setiap apa yang Raja lakukan. Semacam wanita yang haus belaian. "Ah, memalukan Kim!"
Kim berpegangan pada pinggiran meja rias dan menatap dirinya di cermin. Dia mengamati dengan baik wajahnya itu, kemudian menggelengkan kepala. Segera, Kim masuk ke kamar mandi untuk memperbaiki penampilan.
Setelah dirasa cukup membuatnya terlihat normal; tanpa sarang burung di kepala, Kim pun keluar dari kamar karena merasa sangat lapar.
"Selamat malam, Nona!" sapa Rey begitu antuasias.
Kim mengangguk kecil, kemudian dia melangkah. Rey mengikuti dari belakang setelah jarak cukup jauh.
Kim masuk ke Ruang makan, namun jantungnya kembali berdebar keras karena ternyata ada Raja di sana sedang bercanda dengan Bik Odah. Mau berbalik, Raja sudah terlanjur menoleh ke arahnya karena sapaan Bik Odah tadi. Kim pun terpaksa duduk, berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
"Non mau makan kayak biasa?" tanya Bik Odah.
"Hmm," jawab Kim.
Bik Odah pun masuk ke dapur dan membuatkan makanan untuk Kim. Di ruang makan itu, Kim dan Raja tidak saling memgeluarkan suara. Mereka diam, meski hati berteriak ingin saling menyapa.
"Ini Non, Omelet kesukaan Non," katq Bik Odah sambil meletakkan sepiring omelet ke atas meja.
Omelet di malam hari? Raja menatap gadis itu tak percaya.
Kim makan dengan cara yang sangat anggun, garpu di tangan kiri dan pisau di tangan kanan seperti sedang menyantap steak di Restoran berbintang.
Merasa sedang dilihatin, Kim mengangkat matanya menoleh Raja. Mereka bertatapan, meski saling diam. Meski akhirnya Raja lah yang lebih dulu memutus kontak mata dengan meminun air di gelasnya lalu pergi dari Ruangan itu.
Kim menghela nafas, entah apa yang terjadi dengan dirinya saat ini. Ada semacam perasaan aneh yang muncul setiap kali melihat Raja, namun bibir seakan begitu kelu untuk mendefenisikannya.
✾ ✾ ✾
Ehm, panas nggak sih ini? Kok berkeringat ya Momi...
Tim Raja mana suaranya?
Tim Kim mana nih?
Komen dong biar Momi tau sesuka apa kalian dalam setiap penulisan kalimatnya ?
Penguntit
Hari ini, Kim mengikuti ayahnya menemui seseorang di sebuah gedung yang diketahui oleh banyak orang sebagai gudang penyimpanan bahan baku susu perah. Raja dan Rey setia mengikuti, beserta para pengawal dari Abraham.
Bau amis dari susu perah tercium menyengat ketika baru saja melangkah ke gedung itu. Terlihat beberapa pegawai di gedung itu sibuk mengatur kardus-kardus untuk dimuat dalam mobil box.
Langkah Abraham akhirnya membawa Raja menuju ke Ruangan rahasia, tempat bersembunyinya boss besar pengedar narkoba yang menjadi buronan polisi.
Barayuda.
Raja menggosok kancing jasnya, lalu berdiri di posisi yanh strategis agar bisa melihat segalanya. Tepat di samping Kim, tanpa membuat siapa pun curiga.
"Bram!" sapa Barayuda dengan penuh sambutan. Dia berdiri, lalu memeluk Abraham layaknya seorang teman.
"Sepertinya usaha lo semakin sukses, Yuda!" puji Abraham.
"Hahaha. Tetap elo yang lebih sukses, Bram."
"Hahaha."
Barayuda berjalan mendekati Kim, lalu memeluk gadis itu. "Apa kabar sayang?" tanyanya.
"Baik, Om."
"Kamu sudah diberitahu oleh Tor, dia akan kembali ke Indonesia dalam minggu-minggu ini?" tanya Barayuda setelah melepaskan pelukan.
"Sudah, Om."
"Hahaha." Barayuda berjalan ke sisi Abraham. "Nampaknya lo harus membebaskan Kim selama Tor ada di Indonesia, Bram."
"Hahaha. Tentu saja, mereka kan sudah lama tidak bertemu," sahut Abraham.
Abraham dan Yuda duduk di kursi sambil terus mengobrol. Keduanya nampak begitu akrab. Raja mengamati sekitar, begitu banyak penjagaan Barayuda, sama seperti pengawal Abraham.
"Kim," panggil Abraham.
Kim diberikan sebuah koper oleh seorang bodyguard, yang kemudian dia bawa ke hadapan Barayuda. Koper itu dibuka, terlihat bungkusan Shabu memenuhi koper itu.
"Ini barang yang lo minta," ujar Abraham.
Bara yuda membuka satu bungkusan menggunakan ujung pisau lipat lalu menjilati ujung pisau tersebut sambil memejamkan mata. "Hmm, gue emang nggak pernah kecewa sama lo," ucapnya begitu puas.
"Kalo lo butuh stok yang lebih banyak, gue selalu siap membantu."
"Gue butuh 1 Ton ganja untuk dikirim ke Kalimantan. Lo bisa siapkan itu dalam tiga bulan?"
"Tentu Yuda, gue dengan senang hati siapkan itu buat lo."
"Bagus," Barayuda semakin puas dan tertawa. Seorang pengawalnya memberikan koper, Barayuda membuka koper itu dan memperlihatkan sejumlah uang dollar di dalamnya.
"Kim."
Kim sedikit mengecek isi koper tersebut, lalu dia menutupnya dan memberikan koper itu pada salah seorang pengawal ayahnya.
"Kerjasama yang sangat menyenangkan, Yuda," kata Abraham sambil berdiri dan mengajak bersalaman.
"Gue bakal undang lo makan malam di Rumah setelah Tor kembali. Sekalian, kita bicarakan pertunangan Kim dan Tor. Bagaimana?"
"Gue tunggu, hahahaha."
Langkah Kim mundur, berhenti tepat di samping Raja. Dia terlihat tidak sebahagia dua orang yang tengah akrab membicarakan tentang anak mereka itu.
Raja melirik Kim, rasanya ingin sekali dia membuat gadis itu tersenyum. Karena sudah lebih dari satu pekan bekerja dengannya, Kim satu kali pun tidak pernah tersenyum.
✾ ✾ ✾
Sepulang dari menemani Abraham, Kim pergi lagi menuju Bar plus-plus yang kemarin. Kim masuk ke ruangan itu lagi, meninggalkan Raja dan Rey di meja bar.
"Menurut lo di dalem dia nemuin siapa sih?" tanya Rey, kembali kepo.
"Gue nggak tau," jawab Raja.
Saat Kim keluar, dia tidak sendirian melainkan bersama seorang wanita berusia 40 tahunan, berpenampilan glamour dan masih cantik di usianya. Mereka berjalan menuju meja VIP, duduk berdua dinsana dengan sang Wanita komat-kamit membicarakan sesuatu. Sementara Kim cuma diam dan mendengarkan, dengan ekspresi datarnya.
Raja mengenal wanita itu dari foto yang diberikan Komandan Denver padanya. Wanita itu adalah Mariko, istri Abraham sekaligus Ibunya Kim.
Raja mengusap kancing jasnya, tapi matanya menoleh ke arah lain. Dia seperti sedang mengawasi sesuatu, ada seseorang yang mencurigakan di sudut meja bar, menatap terus menerus pada Kim.
Kim akhirnya berdiri dan meninggalkan Mariko yang juga kembali masuk ke Ruangannya. Raja dan Rey mengikuti Kim menuju mobil.
Raja kembali menyetir untuk Kim, matanya melirik ke kaca spion dan melihat sebuah mobil hitam mengikuti sejak tadi. "Nona, sepertinya kita diikuti," beritahu Raja.
Kom melirik kaca spion dengan tenang, tanpa rasa terkejut sama sekali. "Belok kanan," suruhnya.
Raja menuruti dengan membelokkan setir ke kanan. Mobil hitam di belakang pun ikut berbelok. Kim terlihat melirik kaca spion lagi, tetap dengan ketenangannya yang luar biasa.
Rey sudah waspada memegang pistol untuk antisipasi bila terjadi sesuatu. Dia berulangkali menoleh ke belakang, bersiap-siap menembak seandainya orang di balik mobil hitam itu memulai lebih dulu.
"Berhenti," suruh Kim.
Raja menginjak rem di depan sebuah supermarket. Kim turun begitu saja dari dalam mobil, padahal jelas-jelas mobil di belakang juga berhenti.
"Rey, lo sebaiknya berjaga di mobil," kata Raja memerintah.
Rey mengangguk.
Raja mengikuti Kim masuk ke supermarket. Gadis itu berhenti di depan lemari es dan memilih-milih jenis minuman.
"Anjir nih cewek, nyawanya dalam bahaya dia masih aja santai kayak gini," keluh Raja dalam hati. Dia sendiri sudah sangat waspada, karena pria yang dilihatnya ada di Bar tadi juga masuk ke dalam sana berpura-pura membeli sesuatu.
"Nona..." panggil Raja, untuk mengingatkan. Namun betapa terkejutnya Raja karena Kim merangkul lehernya, membuat tubuh mereka menjadi sangat dekat.
"Setelah malam itu, kenapa kamu nggak ngomong apa-apa sama aku?" tanya Kim. Nadanya begitu lembut dan menghanyutkan.
Raja menatap Kim begitu dalam. "Karena aku tau, itu nggak berarti apa-apa buat kamu," sahut Raja.
"Kenapa kamu berpikiran kayak gitu?" tanya Kim lagi.
"Aku bukan siapa-siapa buat kamu. Aku cuma..."
Kim menutup bibir Raja dengan telunjuknya. "Your kiss make me better and I enjoyed it."
Raja menatap Kim dalam-dalam, sungguh gadis ini sangat sulit untuk ditebak. "Really?" tanya Raja dengan serius.
Mata Kim melirik ke seorang pria yang sejak tadi mengawasi dirinya. Dia ingin mengeluarkan pistol dari balik pinggangnya, tapi Raja menahan tangannya itu.
"Not here, Kim," cegah Raja berbisik.
Kim mengurungkan niatnya dan kembali menatap Raja. "Terus kita harus apa?"
Raja meraih tangan Kim dan menggandengnya keluar dari Supermarket yang ramai. Mereka masuk ke mobil lagi dan orang tadi juga melakukan hal yang sama.
"Kenapa nggak dieksekusi aja?" tanya Rey. Padahal kesempatan bagus karena supermarket sedang dalam keadaan sepi tadi.
Kim pun tak mengerti kenapa Raja menghentikannya tadi. Padahal, dia bisa saja menembak orang tadi dan menyelesaikan masalah.
Raja malah membawa mobil kian menjauh dengan sipenguntit mengiringi dari belakang.
"Kita mau kemana?" tanya Kim sembari melirik kaca spion.
Raja menginjak gas semakin dalam.
✾ ✾ ✾
Butuh Teman
Mobil berhenti di tanah kosong yang sepi dan minim pencahayaan. Mobil yang menguntit sejak tadi juga ikut berhenti di sana, persis di belakang mobil Kim.
"Nekat banget tuh orang," kata Rey geram. Dia berniat turun dari mobil.
"Rey, jangan," cegah Raja. "Lo tetap di sini jaga Nona Kim. Biar gue yang turun," kata Raja kemudian.
Kim terkejut, itu sama saja dengan Raja cari mati. Bisa saja orang di mobil hitam itu langsung menembak pemuda itu. Dia pun menarik tangan Raja dan menggeleng pelan.
"Kamu tenang aja," kata Raja meyakinkan.
"Tapi..."
Raja membelai wajah Kim. "Jangan turun dari mobil sampe aku bilang aman," potong Raja.
Kim pun mengangguk.
Rey bengong melihat adegan sweet itu, Raja terlihat seperti kekasih Kim. Gue melewatkan sesuatu? Batinnya.
Raja pun turun dari mobil dan mendekati mobil hitam itu. Senjata di balik jasnya siap digunakan kapan saja bila dibutuhkan, matanya awas.
Orang dari mobil hitam itu turun, dia melepas kacamatanya dan berjalan ke arah Raja.
"Kenapa lo ngikutin mobil kita dari tadi?" tanya Raja tegas.
"Gue ada perlu sama Nona Kim," ujar orang itu.
"Keperluan apa?"
"Cuma Nona Kim yang boleh tau," ujar pria itu lagi.
"Oke, tapi gue berhak tau lo siapa."
Orang itu mengeluarkan sebuah card dari dalam jas hitamnya. "Berikan ini pada Nona Kim," suruhnya.
Card itu hanya berisi lambang kepala ular, selebihnya tidak ada tulisan apa-apa. Raja pun dengan waspada membawa card itu kepada Kim, dia mengetuk kaca mobil.
Kim menurunkan kaca mobil.
"Dia memberikan ini," kata Raja sambil menjulurkan kartu itu.
Kim mengambil kartu itu, matanya seketika tersentak dan dengan cepat dia keluar dari mobil kemudian berlari ke orang tadi.
Raja dan Rey mengikuti dari belakang, bersiaga.
"Dimana dia?!" tanya Kim dengan suara bergetar.
"Maaf Nona," orang itu mengangguk.
Tangan Kim terkulai lemas di sisi tubuhnya. "Siapa?" tanyanya lemah.
"Orang-orang Mami," beritahu pria itu.
Langkah Kim termundur ke belakang, dia meneteskan air mata. Lalu berlari ke mobil dan masuk ke dalamnya.
Raja dan Rey saling tatap, bingung dengan apa yang terjadi. Sementara orang tadi pergi membawa mobilnya meninggalkan mereka.
Keduanya pun kembali masuk ke dalam mobil. Terlihat Kim dengan wajah yang tak lagi bersahabat namun tetap diam.
"Jalan," suruh Kim.
Raja pun menjalankan mobil menuju pulang. Sepanjang perjalanan dia tak banyak bertanya, hanya sesekali melirik Kim. Gadis itu menangis tanpa suara.
Kamu kenapa, Kim?
✾ ✾ ✾
Di kediaman Abraham, Raja sama sekali tidak bisa tenang. Dia gelisah memikirkan apa yang Kim lakukan di dalam kamar, karena dirinya dilarang masuk tadi.
"Arrghh, kenapa gue harus secemas ini sama tuh cewek? Dia itu bukan siapa-siapa elo, Raja. Lagian lo di sini buat nangkep bapaknya, fokus!" Raja mensugesti dirinya kembali untuk ingat pada tujuannya.
"Lo kenapa? Gue perhatiin gak tenang banget dari tadi," tanya Rey.
"Rey, menurut lo apa yang paling mungkin dilakukan oleh seorang cewek di dalam kamar sendirian?" tanya Raja dengan serius.
"Tidur," Jawab Rey enteng.
"Nggak mungki Rey. Dia terlihat sedih kan tadi?"
"Lo ngomongin Nona Kim?" Tany Rey curiga. "Eh, gue curiga lo sama Nona Kim..."
PRANG!
Terdengar suara pecahan kaca dari dalam kamar Kim, membuat Raja dan Rey tersentak. Dengan cepat, Raja membuka pintu lalu masuk ke dalam bersama Rey.
Betapa terkejutnya mereka melihat cermin meja rias sudah berhamburan di lantai dalam keadaan pecah. Bahkan Kaki Kim menginjak pecahan itu.
"Keluar!" teriak Kim.
Raja dan Rey berhenti melangkah.
"Kalian keluar!!" teriak Kim lagi.
Raja dan Rey saling melirik.
"Lo keluar, Rey," perintah Raja.
"Dia nyuruh kita berdua, Ja. Bukan gue aja."
"Gue bilang keluar," tekan Raja.
Rey menggerutu dan akhirnya keluar. Raja menutup pintu, menguncinya dari dalam.
"Raja, keluaaarr!!" teriak Kim. Dia melangkah dan kembali terinjak pecahan beling. Hanya ada ringisan di wajahnya, sama sekali tidak mengeluh sakit padahal langkahnya itu sudah berdarah-darah.
Raja langsung mendekati. Tanpa meminta izin dia menggendong Kim dan membawanya ke atas ranjang. Kim duduk dengan kaki menjuntai ke bawah, dengan air mata yang meleleh turun di kedua pipinya.
Raja berlarian kesana kemari mencari kotak obat dan keperluan lainnya. Dia membawa itu semua ke dekat Kim, menarik kursi dan duduk di hadapan gadis itu.
Pelan-pelan, dia mengangkat kedua kaki Kim ke atas pahanya. Begitu banyak luka dan beling menancap di kulit gadis itu. "Kenapa sih kamu bodoh banget? Apa masalah akan selesai dengan cara kayak gini?" omel Raja.
"Aku udah nggak punya temen. Saru-satunya temen aku juga mereka habisin. Aku sendirian..." lirih Kim dalam isak tangisnya.
Sungguh, Raja tidak mengerti apa maksudnya. Dia bahkan bingung harus bertanya apa pada Kim.
"Namanya Rania, orang yang tadi ikutin kita adalah orang suruhan dari Bang Farhan. Gue minta Bang Farhan buat cari Rania, karena udah satu bulan ini dia menghilang. Gue nggak tau kenapa Mami nggak pernah suka kalau gue punya temen, padahal Rania itu baik. Dia satu-satunya yang ngerti gimana isi hati gue selama ini."
Oke, Raja mulai paham sekarang.
Jadi, Kim punya temen bernama Rania yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Kim meminta bantuan seseorang untuk mencari tau keberadaan Rania dan orang yang tadi datang membawa kabar kalau Rania sudah meninggal.
"Jadi itu sebabnya kamu lebih memilih buat menyendiri?" tanya Raja.
Kim meringis ketika Raja mencabut beling dari kakinya, terutama saat lukanya disiram alkohol itu perih sekali. "Aku cuma takut semua orang yang dekat dengan aku dibunuh tanpa alasan."
Raja membalut kaki Kim dengab perban putih setelah segala proses mengobati selesai. Dia menatap Kim, "gimana kalau kamu nyoba buat berteman sama aku?" tanyanya.
Kim balas menatap Raja. Dia sedikit tertarik, tapi akhirnya menggeleng. "Kamu akan berakhir seperti mereka Raja," tolaknya.
"Kamu yakin banget aku akan segampang itu terbunuh?"
Kim menatap Raja begitu dalam.
"Apa alasan orang tua kamu nggak suka kamu punya temen?"
"Karena mereka nggak mau aku dipengaruhi. Apalagi kalau temen aku itu berasal dari kalangan yang nggak sejenis."
Raja mengangguk. "Aku ngerti, mereka takut kamu berubah haluan dan ninggalin mereka?"
Kim mengangguk. "Aku cuma butuh temen. Karena terkadang aku nggak menikmati apa yang aku lakukan selama ini. Semuanya membosankan dan aku..." Kim menunduk meneteskan air matanya.
Pelan-pelan, Raja meletakkan kaki Kim menjuntai ke bawah. Dia pindah duduk ke sebelah Kim. Diangkatnya dagu gadis itu agar menatapnya. "Kita bisa mulai dari sekarang, tanpa harus mereka tau."
Saat Raja mendekatkan bibir mencium bibirnya, Kim memejamkan mata dan menikmati setiap pagutan lembut ciuman Raja.
✾ ✾ ✾
Earphone
Hubungan antara Raja dan Kim pun dimulai. Mereka memutuskan untuk mencobanya, tanpa sepengetahuan siapapun, terutama orang tua Kim.
"Aku bakal ajarin kamu kalau bukan cuma temen yang kamu butuhin dalam hidup kamu," ujar Raja.
"Terus?"
"Ini..." Raja menarik kedua sudut bibir Kim ke atas membentuk senyuman. "Kamu perlu tersenyum, karena aku nggak pernah lihat itu selama ini."
Kim tersenyum, begitu lembut hingga Raja terpesona melihatnya. "Cantik banget..." pujinya.
Senyum Kim semakin melebar mendengar pujian itu. "Terus, apa biasanya dilakukan oleh orang-orang seperti kita?"
"Emm," Raja memutar keras otaknya. "Karena kaki kamu masih sakit, kita bakal. Lakuin sesuatu yang simple aja di sini," dia lantas berdiri dan mencari sesuatu.
"Cari apa?" tanya Kim.
"Kamu punya earphone?"
Kim menunjuk laci kecil yang ada di lemari samping tempat tidur. Raja mengambilnya, mengeluarkan earphone warna putih dan duduk di sebelah Kim lagi. Raja memgeluarkan ponsel, mencolok earphone, lalu mencari sebuah video.
Kim menunggu.
Raja tersenyum setelah mendapatkan video yanh dicarinya di youtube. Dia memasang sebelah earphone ke telinga kanannya, lalu sebelahnya lagi ke telinga kanan Kim. Setelah itu di arahkannya layar pada mereka berdua.
Video stand up comedy dipilih Raja untuk membuat Kim tertawa. Awalnya ekspresi Kim tetap saja datar, sampai akhirnya dia tertawa saat bagian terlucu mulai dimainkan oleh pria di belakang stand mic.
"Ya ampun, hahahaha." Kim terus tertawa, sudut matanya sampai berair. Dia tidak sadar kalau saat ini Raja bukannya menatap ke arah yang sama, melainkan menatapnya dengan terpesona tanpa berkedip.
Kim mulai berani, dia memilih sendiri video mana yang ingin ditonton. Raja dengan setia tetap memegang ponsel itu ke arah mereka. Tawa Kim kembali berderai, terutama saat komedian cewek menirukan dialog dua orang dengan logat batak bercampur jawa.
Hingga akhirnya, Kim sadar Raja sedang menatapnya. Membuatnya malu dan refleks mengatupkan bibir. Dia benar-benar kelepasan tadi, tidak sadar sama sekali.
"Bisa nggak kamu selalu ketawa kayak tadi setiap hari?" tanya Raja.
"Tergantung, sama siapa aku saat itu." Kim menatap Raja begitu dalam.
Video berganti otomatis saat telah selesai, anehnya yang berputar adalah cuplikan film romance yang sangat romantis dan penuh adegan kissing.
Keduanya diam, menatap layar. Perlahan, tangan Kim meraih jemari Kim, membuat Kim menoleh kembali padanya.
"Apa aku salah kalau aku Sedeket ini sama kamu?" tanya Raja dengan lembut.
Kim menggeleng.
"Aku cuma pengawal pribadi, yang nggak punya apa-apa buat bahagiain kamu."
"Kamu punya lebih dari yang orang tua aku punya, Raja. Kamu bisa bikin aku tertawa dengan hal yang sangat sederhana. Tapi harta orang tua aku nggak pernah sekalipun sanggup melakukan itu."
Raja mendekatkan wajahnya, mereka berciuman lagi. Entah ini sudah yang keberapa kalinya bibir mereka bertemu. Kali ini ciuman sangatlah lembut, bertaut satu sama lain tanpa mau melepaskan. Raja merangkum kedua pipi Kim untuk memperdalam ciuman.
Setelah dirasa cukup lama berciuman dan mereka hampir kehabisan oksigen, keduanya sama-sama melepaskan ciuman. Dalam jarak dekat mereka bertatapan, tersenyum. Raja mengusap bibir Kim dengan ibu jarinya.
Setelah itu, mereka melanjutkan menonton apa saja dari hape dengan kepala Kim bersandar di pundak Raja. Tangan mereka saling menggenggam, tertawa bersama melihat akting Tom Cruise di Film terbarunya.
✾ ✾ ✾
Kim mencoba untuk turun menggunakan kakinya, dia sangat ingin ke Toilet. Tapi begitu sedikit ada tekanan pada telapak kakinya, rasa sakit langsung menjalar hingga ke tulang. Membuat luka kembali mengeluarkan darah hingga perban itu merah.
Raja yang baru saja masuk ke kamar membawa senampan makanan, kaget melihat kaki Kim berdarah lagi. Dia meletakkan nampan ke atas meja dan menghampiri gadis itu. "Kenapa bisa berdarah lagi?" tanyanya.
"Aku mau ke kamar mandi," beritahu Kim.
"Kamu kan bisa nunggu aku bentar," omel Raja kesal.
"Aku udah kebelet," beritahu Kim lagi.
Raja bimbang, antara ingin melihat kaki Kim dulu atau mengantarnya ke Toilet. Tapi karena mimik wajah gadis itu yang nampak menahan kencing, dia pun terpaksa menggendongnya ke kamar mandi.
Kim merasa begitu gugup, dia bingung bagaimana cara mambuka celana sementara Raja dibutuhkan di sana.
"Kenapa?" tanya Raja tak mengerti.
Kim menggigit bibirnya.
Raja pun mengerti. Dia membalikkan badan dengan segera. Barulah Kim leluasa menurunkan celananya dengan posisi duduk di atas closet. Dia merasa lega karena akhirnya bisa membuang air kecil.
Setelah selesai memasang kembali celananya, Kim menepuk belakang Raja. Pemuda itu berbalik. Dia langsung menggendong Kim kembali tanpa banyak bertanya.
Kim tersenyum selama berada dalam gendongan Raja, dia menikmati wajah cemas pemuda itu. "Harusnya yang ngelakuin ini tuh pembantu aku, bukan bodyguard aku."
Raja mendudukkan Kim ke atas ranjang. "Mereka nggak akan kuat gendong kamu," cibir Naga.
"Emang aku berat?" tanya Kim tersinggung.
"Berat banget lah." Raja berjalan ke meja mengambil makanan Kim.
Kim cemberut, tak mau menoleh Raja.
"Becanda," bisik Raja persis di telinga Kim. Membuat Kim refleks menoleh sehingga bibir mereka bersenggolan. Keduanya diam dalam posisi seperti itu, tapi Raja lah yang lebih dulu memajukan wajah hingga bibir mereka benar-benar menempel. Hanya sebentar, lalu menjauhkan wajah lagi.
Kedua mata Kim berkedip-kedip, dia masih saja deg-degan kala bersentuhan seperti tadi.
"Papi kamu bakal apain aku ya kalau tau seorang bodyguard ini berani godain anaknya," canda Raja.
Kim menggeleng cepat. "Kamu udah janji kita bakal rahasiain ini," ucapnya.
Raja mengusap rambut Kim. "Mau sampe kapan?" tanyanya.
Kim terdiam.
Raja pun tersenyum dan mengambil suapan untuk Kim. "Makan," suruhnya.
Kim membuka mulut dan mengunyah makanan itu. Pikirannya dipenuhi oleh perasaan takut bila Abraham tau tentang dirinya dan Raja, maka Papinya itu pasti akan melenyapkan Raja.
"Jangan khawatir, aku nggak selemah itu," ujar Raja sambil mengusap pipi Kim.
Kim memegang tangan Raja, sorot matanya menunjukkan rasa takut. "Aku udah terlalu sering kehilangan temen, aku nggak mau kehilangan lagi."
"Itu kan temen. Aku bukan temen kan?" Raja menekan kata "bukan temen".
Kim tersenyum, "emang kamu mau lebih?"
"Emang bisa?" tanya Raja balik.
Keduanya bertatapan sambil tersenyum manis.
✾ ✾ ✾
Fantasi Liar
Kim kedatangan tamu, yaitu Mamanya sendiri. Terkadang Raja merasa heran kenapa Mariko tidak tinggal di Rumah itu. Apakah orang tua Kim ini sudah bercerai? Bila benar, tapi kenapa foto pernikahan Abraham dan Mariko masih terpajang di ruang tamu utama, berbingkai besar dan sangat indah.
"Sayang, kamu kenapa bisa terluka begini? Waktu Papi kamu telepon, Mami rasanya mau pingsan," Mariko mengusap rambut panjang Kim dengan lembut.
"Mami kenapa baru dateng?" tanya Kim.
"Maafkan Mami, kamu tau kan sedang ada anak baru di sana. Jadi Mami harus fokus dengan pelajaran mereka."
Kim tersenyum tipis.
"Dokter bilang apa?" tanya Mariko.
"Nggak papa, Mam. Bentar lagi juga udah sembuh, tinggal nunggu lukanya kering aja."
"Kamu masih minum obatnya, kan?" tanya Mariko penasaran.
Kim refleks melirik Raja yang juga sedang menatapnya. Melihat itu, Mariko pun ikut menoleh ke belakang dan mengerutkan kening pada bodyguad Kim itu. "Kamu sebaiknya keluar," perintahnya.
"Baik, Bu." Raja terpaksa tidak membantah. Dia keluar dari kamar itu untuk memberikan privasi pada Ibu dam anak di sana.
Mariko kembali menoleh pada Kim dan tersenyum. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan plastik berisi pil berwarna putih. "Ini morfin, bagus buat hilangin rasa sakit. Kamu harus minum," suruhnya, meletakkan obat itu ke tangan puterinya.
Kim mengembalikan obat-obatan itu. "Kim udah dapet dari dokter, yang lebih baik buat kesehatan."
"Efeknya lama, Kim. Mending kamu minum ini, nggak sampe lima menit kamu nggak akan ngerasain apa-apa."
"Tapi Kim nggak mau, Mam! Kim capek minum itu semua. Kim mau hidup normal, tanpa obat-obatan itu."
Mariko mendesah. "Sudah berapa kali Mami bilang kalau terlambat untuk kamu berhenti, Kim. Kamu sudah konsumsi ini semua sejak kecil, sejak dalam kandungan Mami. Apa kamu lupa, kamu bisa membunuh tanpa berkedip itu karena bantuan obat-obatan ini?"
Mariko benar, Kim selalu menkonsumsi narkoba setiap kali akan mengeksekusi seseorang. Agar keberaniannya muncul dan sedikitpun tidak memiliki rasa kasihan terhadap orang yang dia bunuh.
"Lagian buat apa kamu berhenti? Kita nggak akan kehabisan stok, jadi kamu nggak akan kesusahan buat dapetin itu."
"Mami nggak takut Kim over dosis dan meninggal?"
Seketika Mariko terdiam. Tapi hanya beberapa saat saja, kemudian dia tertawa. "Sayang, over dosis itu hanya kalau kamu mengkonsumsi obat-obatan dengan kualitas murahan dan sudah dicampur. Sementara yang kita punya adalah kualitas nomor satu, jadi aman."
Kim diam saja.
"Kamu lihat Mami sama Papi, kami mengkonsumsi ini sudah sejak lama. Nggak ada masalah, malah rasanya tubuh semakin sehat. Kurang tidur pun nggak masalah, tetap fit menjalani aktivitas. Jadi obat-obatan ini sangat kita butuhkan."
"Tapi Kim tersiksa, Mam. Setiap kali telat mengkonsumsi obat ini, Kim kesakitan."
"Makanya jangan telat!" tegas Mariko.
Kim pun tak bisa membantah lagi. Dia mengambil sebutir morfin lalu menelannya.
Mariko tersenyum puas melihat itu.
Efek yang memang cepat, rasa sakit yang berdenyut-denyut di telapak kaki Kim sekejap hilang. Tubuhnya terasa enteng. Memang sulit terlepas dari obat-obatan ini di saat mengkonsumsinya sudah menjadi kegiatam rutin.
"Ya sudah, kamu istirahat. Nikmati fantasi kamu. Mami mau kembali ke Bar." Mariko mencium kening Kim, kemudian pergi dari kamar itu.
✾ ✾ ✾
Setelah Mariko benar-benar pergi, Raja masuk ke kamar Kim. Dilihatnya, gadis itu sedang berbaring di atas ranjang dengan kepala menjuntai ke bawah. Dia berjalan pelan-pelan mendekati Kim, mengamati wajah dengan mata terpejam itu begitu lama.
"Kim..." panggil Raja pelan.
Kim membuka matanya, langsung menatap Raja. Namun kemudian dia tersenyum, bangkit dari tidurnya dan duduk bersila. "Kamu dari mana aja?" tanya Kim dengan nada menggoda.
Raja duduk di tepi ranjang, kembali mengamati wajah cantik itu dengan lebih seksama. Kedua mata Kim terlihat sendu dan terus tersenyum.
Tanpa diduga, Kim naik ke pangkuan Raja dan menggelayuti leher pemuda itu. "Hmmm," desah Kim di telinga Raja. Dia seakan sedang menikmati aroma tubuh Raja saat ini.
Raja mendorong pundak Kim, gadis itu menatapnya. Namun tak lama, karena setelah itu Kim kembali agresif dengan menciumi bibirnya.
Paham kalau Kim tengah berada di bawah alam sadarnya, Raja menolak ciuman itu dan kembali mendorong Kim menjauh. "Kamu makek lagi ya?" tanyanya.
Kim cengengesan. "Kamu tau nggak, aku rasanya mau terbang. Ringan banget," cerocos Kim. Dia merentangkan tangan, seperti akan terbang. Lalu kemudian memeluk leher Raja kembali, "hampir aja jatuh," kekehnya.
Belum selesai dengan kegilaan itu, Kim tiba-tiba saja membuka atasannya. Gerakannya yang cepat tak mampu membuat Raja mencegah saat bra gadis itu pun terlepas. Alih-alih malu, Kim malah semakin liar.
Mata Raja terbelalak lebar, Kim setengah naked di depan matanya dan kali ini benar-benar mengekspose dadanya.
Saat Kim akan melepas kancing jas hitam Raja, pemuda itu menghalangi tangannya. Namun yang dilakukan Kim malah membawa tangan Raja itu ke dadanya.
Raja semakin tegang, selangkangannya terasa pengap akibat denyutan tidak karuan. Dengan sentuhan kulit telapak tangannya, dada Kim terasa sangat lembut dan penuh.
Tak ingin terpancing, apalagi Kim sedang berada di bawah alam sadarnya maka Raja mengerahkan sedikit tenaga untuk melawan. Dipegangnya kedua tangan Kim, lalu direbahkannya tubuh gadis itu ke ranjang lalu menguncinya agar tidak bisa bergerak.
"Ahhhh, Raja nggak asyik!" omel Kim dengan wajah merengut. Dia berusaha berontak dengan menggerak-gerakkan tubuhnya sehingga dadanya membusung turun naik.
"Stop Kim, jangan nantang nafsu aku," desis Raja. Matanya mencari sesuatu untuk menutupi tubuh Kim itu, sungguh dia sudah sangat tergoda.
Kim semakin mengerucutkan bibirnya saat Raja menarik selimut tebal dan menutupi dadanya. Tapi kali ini dia tidak lagi agresif, melainkan diam saja dan menurut.
"Aku bacain kamu buku biar tidur," kata Raja sambil berjalan ke rak buku Kim dan mengambil salah satu. Dia kembali ke ranjang membawa buku itu.
Kim membaringkan kepalanya ke pangkuan Raja, wajahnya menghadap ke atas sehingga bisa dengan mudah melihat wajah Raja.
Sementara itu, Raja mulai membaca buku bergenre romance dengan latar belakang sebuah kerajaan di Negara Inggris.
Kim sendiri tidak mendengarkan, malah sibuk cekikikan tidak jelas. "Aku bukan anak kecil yang harus dibacain dongeng sebelum tidur, Rajaaa."
Raja melirik Kim, kemudian masa bodoh dan melanjutkan bacaannya.
Kim kembali terkekeh. Jari nakalnya bermain di bibir Raja, berulangkali ditepis pemuda itu tapi tetap saja diulanginya lagi.
"Kim..." tegur Raja ketika jari Kim merayapi kancing jasnya untuk dibuka. "Buka..." rengek Kim.
Raja mendesah, dia melepas jas hitam itu dan menaruhnya ke samping tubuhnya. "Puas?" tanyanya dengan mata melotot.
Kim terkekeh. Menggeleng dan berkata, "belum." Jarinya kembali menelusuri kancing kemeja, ingin membukanya juga.
"Kim..." Raja kembali menegur, dia menahan tangan Kim. Tapi sekali lagi Kim membawa tangannya itu pada payudara yang teramat menggoda.
"Fine, kamu yang minta!" desis Raja. Dia menutup buku, meletakkannya ke meja kecil samping tempat tidur.
Kekehan Kim membuatnya gila, Narkoba memang merusak akal sehat manusia. Dia membaringkan Kim, memberi apa yang gadis itu inginkan. Dengan penuh nafsu, Raja mencium bibir Kim sembari meremas apa yang sudah ada di bawah telapak tangannya.
Kim mendesah, menikmati dengan sangat permainan Raja itu.
Puas dengan belitan lidah, Raja menurunkan ciuman ke leher. Terus menerus sampai merah dan basah. Lalu ciuman turun kembali ke tempat yang selalu memancing nafsunya. Pada dada indah yang kini berada di ujung bibirnya.
✾ ✾ ✾
Panas ya.... Butuh kipas Momi.
Eh, gimana-gimana?
Melihat Dunia
Kim merasa kepalanya begitu sakit saat bangun dari tidurnya. Rasanya sangat lelah, seperti baru saja olahraga berat.
"Udah bangun Tuan Puteri?" sapa seseorang, yang langsung membuat Kim terjaga karena kaget.
"Tor?!"
"Kok mukanya kaget gitu? Bukannya kamu udah tau kalau kamu bakal pulang ke Indonesia?" tanya pemuda berpakaian casual itu. Dia tersenyum geli melihat ekspresi Kim.
Jantung Kim berdebar keras, bukan karena dia deg-degan dengan kehadiran Pemuda itu. Melainkan Kim belum siap. Terutama... "kemana Raja?" batin Kim sambil mengedarkan pandangan.
Tor berjalan mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang. "Gimana mungkin kamu tidur tanpa memakai apa-apa di hadapan bodyguard kamu, Kim?" tanya Tor menyelidiki.
Seketika itu juga Kim menaikkan selimut lebih tinggi hingga ke bawah dagu. Dia ingat, semalam dia bercumbu dengan Raja. Meski tidak sampai ke tahap Sex, tetap saja intim.
"Kenapa harus ditutupi," kata Tor sambil menurunkan tangan Kim agar melepas selimut itu. Kepalanya sudah mendekat hendak mengajak berciuman.
"Tor..." tolak Kim sambil menjauhkan wajah dan mempererat pegangan pada selimutnya.
"Why baby? Kamu nggak kangen sama aku?" tanya Tor kecewa.
Kim diam saja.
"Okey... Kamu pasti kaget karena tiba-tiba aku ada di sini. Its okey, rileks. Aku bakal pergi. Aku dateng cuma untuk bilang ke kamu kalau nanti malem Papa undang kamu, Om Abraham dan Tante Mariko untuk makan malam di Rumag."
"Oke..." sahut Kim sekenanya.
"Dandan yang cantik ya buat aku," bisik Tor.
Kim diam saja.
Tor pun berdiri. "See you tonight baby," ucapnya sambil berjalan keluar dari kamar itu.
Kim memijat pelipisnya, rasa pening jadi bertambah. Tor kembali, itu artinya pernikahannya dengan pemuda itu sudah dekat.
Tak lama kemudian pintu kamar terbuka dan Raja masuk. Dia terlihat biasa saja, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi cemburu seperti yang Kim inginkan.
"Kenapa kamu biarin dia masuk?" tanya Kim dengan nada marah, melampiaskan kesal.
"Aku nggak punya hak buat nggak izinin calon tunangan kamu masuk," jawab Raja.
Kim tersentak. "Ta-tau dari mana dia calon tunangan aku?" tanyanya terbata.
"Dia yang bilang."
Kim menghela nafas, tentu saja Tor yang bilang. Kalau tidak mana mungkin dia bisa masuk seenaknya seperti tadi.
Kim pun turun dari ranjang, tanpa malu membiarkan dadanya tak tertutupi. Dia berjalan ke lemari dan mengambil sembarang atasan lalu memakainya, setelah mengenakan bra hitamnya yang bersih.
Kim berjalan ke meja rias, mengamati bekas merah dari hasil kecupan Raja yang menjalar hingga dada. "Kenapa cuma sampe sini?" tanyanya menatap pemuda itu lewat pantulan cermin.
Raja diam saja, sepertinya dia sedang memikirkan hal lain.
Kim membalikkan badan dan menoleh. Wajah Raja menunjukkan rasa cemburu yang Kim minta. "Aku nggak cinta sama dia. Kami dijodohkan," beritahunya.
"Dan kamu mau?" tanya Raja.
"Awalnya iya. Nggak ada pilihan lain, aku nggak pernah tau dunia luar itu seperti apa. Sampe akhirnya..." Kim mendekati Raja, berhenti di hadapan pemuda itu. "Aku ketemu kamu dan merubah pandangan aku. Aku punya pilihan sekarang."
"Aku nggak ada apa-apanya dibanding dia, Kim."
"I dont care," sahut Kim. "Kamu mau kasih aku kesempatan buat melihat dunia yang sesungguhnya?"
Raja membetulkan rambut Kim. "Kamu mau dunia yang seperti apa?" tanyanya.
"Sebagaimana cewek di luar sana menghabiskan hidupnya."
Raja mencubit hidung Kim. "Oke!" setujunya.
Kim pun melebarkan senyum dan memeluk Raja.
✾ ✾ ✾
Seperti janjinya, Raja mengajak Kim untuk menikmati masa-masa seorang cewek seusianya. Tentunya selain shopping. Hal yang belum pernah Kim lakukan, cenderung mustahil adalah menonton Bioskop.
"Kamu beneran belum pernah nonton?" tanya Raja ragu.
"Ya ampun, Ja. Ngapain aku bohong? Kamu nggak liat aku antri tiket aja nggak ngerti?" Kim meyakinkan lagi, karena ini sudah ketiga kalinya Raja bertanya dalam waktu lima belas menit selama antrian tiket.
"Mastiin aja kalau kamu nggak lagi ngerjain aku," sahut Raja.
Mereka pun sudah sampai di barisan depan untuk membeli tiket. Raja sengaja ingin menguji Kim, melihat bagaimana reaksi gadis itu saat disapa Mbak-Mbak petugas tiketnya.
Petugas tiket itu menunggu, karena Kim tak juga menyebutkan Film yang akan ditonton. Gadis itu malah diam saja dan sibuk melihat kemana-mana.
Raja terkekeh geli, menggelengkan kepala. Dia pun menyebutkan film yang akan ditonton.
"Silahkan pilih tempat duduknya."
"Kim, pilih..." suruh Raja.
Kim nampak bingung dan melihat ke layar. Cukup lama dia berpikir hingga jari telunjuknya menekan gambar besar bertuliskan layar. "Di sini aja," katanya.
Petugas tiket nan cantik itu menahan senyum dengan menutup mulutnya. Pasti dalam hati dia berkata, "cantik-cantik kok udik."
Raja pun tertawa, sungguh kali ini dia percaya kalau Kim memang belum pernah nonton bioskop. Siapa sangka gadis yang sangat mahir membunuh orang, ternyata sangatlah polos.
"Di sini aja Mbak," kata Raja pada petugas tiket. "Maafin ya Mbak, pacar saya ini baru pulang dari kampung. Jadi ya..."
"Maksudnya apa?" tanya Kim tersinggung.
Petugas tiket itu kembali mengulum senyum. Dia memberikan tiketnya kepada Raja dan mengucapkan terima kasih.
Raja segera menggandeng Kim keluar dari antrian. "Kalo besok-besok kamu nonton sendirian, udah ngerti?"
"Ngapain nonton sendirian. Kan ada kamu," sahut Kim.
Raja terkekeh dan mengeratkan genggaman tangan. Dia membawa Kim ke Studio 5 untuk menonton Film yang dipilihnya.
Khusus hari ini, Kim meliburkan Rey selama beberapa jam dengan alasan dia hanya membutuhkan satu orang pengawa. Meski Rey sudah pasti curiga, tapi tak bisa ditutupi bahwa dia sangat senang bisa beristirahat.
Makanya, Raja bisa dengan leluasa menggandeng Kim. Memakai pakaian santai, agar tidak memalukan.
"Kamu keren pakek pakaian kayak gini. Tiap hari aja," puji Kim.
"Papi kamu bisa pecat aku kalo gitu," sahut Raja.
Kim mengangguk.
Duduk di barisan tengah, paling pojok adalah pilihan Raja. Film yang ditonton sedang masuk Box Office, makanya rame.
"Kita nonton ini?!" tanya Kim dengan volume dinaikkan lantaran suara penayangan iklan di bioskop itu sangat besar.
"Bukan, ini iklan."
"Ohhh," Kim manggut-manggut.
Raja benar-benar tak percaya gadis di sebelahnya ini adalah Kimberly Abraham, anak dari seorang gembong Narkoba dan Germo kelas atas. Bila sedang seperti ini, dia terlihat seperti gadis polos yang baru keluar melihat dunia. Siapa sangka kalau tangannya sudah menewaskan banyak nyawa.
Tiba-tiba lampu bioskop padam.
"Mati lampu, Ja!" seru Kim kencang.
Raja langsung menutup mulut Kim karena audio bioskop yang sedang senyap, membuat suara Kim menggema di dalam sana.
"Hmpph!"
"Sssttt. Ini bukan mati lampu, emang kayak gini nontonnya." Raja berbisik.
Kim mengangguk, menandakan dia mengerti. Raja pun melepaskan bekapan mulutnya.
Selama Film diputar, Raja sama sekali tidak melihat ke layar bioskop. Tapi pada Kim. Dia terkesima melihat binar bahagia dari mata Kim saat menonton film di layar lebar itu. Ekspresi yang persis sekali seperti anak kecil saat mendapatkan hadiah. Pantulan cahaya minim dari layar, membuat kecantikan Kim semakin terpancar.
"Kamu udah bikin aku jatuh, Kim. Sejatuh-jatuhnya..." bisik Raja.
Kim tersenyum mendengar itu.
✾ ✾ ✾
Record Kesalahan
"Dari mana kamu?!" Abraham marah saat Kim pulang terlambat.
Kim menghentikan langkah, menoleh pada Abraham. "Papi nggak pernah nanya Kim kemana. Kenapa sekarang nanya?" lawannya.
"Kim, kamu tau kan Om Yuda mengundang kamu makan malam di rumahnya malam ini? Tor sendiri yang datang langsung mengundang kita!" sergah Abraham.
"Kim nggak mau ikut. Kim capek," tolak Kim.
"Nggal bisa! Jangan main-main kamu Kim. Yuda bukanlah orang sembarangan. Dia adalah sumber kekayaan kita. Tanpa Yuda, apa kamu pikir bisnis Papi bisa sebesar ini?!"
"Apa yang ada di pikiran Papi cuma bisnis? Cuma uang? Apa harga yang harus Papi bayar untuk kekayaan Papi ini adalah Kim?"
Abraham semakin melotot. "Kenapa kamu berani melawan Papi sekarang?papi perhatikan, kamu mulai jarang menjalankan tugas yang seharusnya. Kamu lebih sering keluyuran nggak jelas."
"Karena ada masa dimana Kim lelah dengan semua aturan Papi. Kim cuma mau merasakan hidup normal itu seperti apa. Karena sejak kecil, mainan yang Papi kasih ke Kim cuma pistol, bukan boneka."
Tangan Abraham terangkat ingin menampar Kim, tapi Mariko buru-buru mencegah. "Papi, sudahlah jangan marah-marah. Kim biar urusan Mami. Papi tunggu setengah jam, Mami akan bawa Kim ke hadapan Papi."
Abraham diam saja saat istrinya membawa sang anak naik ke kamarnya. Dia duduk di sofa dengan wajah kusut dan masam.
Di tempatnya berdiri, Raja mendengar perdebatan antara Ayah dan anak tadi. Andai saat ini posisinya bukanlah seorang bodyguard, sudah pasti dia akan membela Kim.
Sementara itu di kamar, Mariko terus berusaha membujuk Kim agar mau diajak ke Kediaman Barayuda.
"Ayolah sayang, jangan buat Papi kamu marah. Kamu tau kan gimana dia kalau sudah marah."
Kim menghela nafas dengan kasar. "Fine, Kim ikut!" jerit Kim kesal. "Dengan satu syarat..."
Baru saja Mariko tersenyum, Kim membuatnya cemas kembali. "Syarat apa sayang?"
"Kim nggak mau satu mobil sama Papi dan Mami. Kim naik mobil Kim sendiri, bersama bodyguard Kim."
Mariko tersenyum puas. "Cuma itu? Tentu Mami izinkan," ucapnya sambil melenggang ke lemari pakaian Kim.
Mariko mencari-cari gaun yang pas untuk dipakai malam ini. Gaun yang tidak terlalu glamour, tapi tetap terkesan mewah. "Ah, ini dia. Kamu belum pernah pakek ini kan?"
Kim menatap lesu pada gaun merah ketat dengan belahan dada rendah itu. Tapi tidak bisa menolak karena Maminya selalu punya banyak cara untuk memaksa.
Selesai memakai gaun sexy itu, Kim didandani secara natural oleh sang Mami. Rambutnya dibiarkan tetap bergelombang pada ujungnya. Lalu sedikit ada sentuhan aksesori mahal di leher dan telinga Kim.
Untunglah bekas merah dari ciuman Raja berada di tempat yang tepat sehingga tidak terlihat satu pun. Kalau tidak, akan jadi pertanyaan besar orang tuanya bila bukan Tor pelakunya.
"Kamu udah cantik. Ready?" Mariko mengulurkan tangan.
Kim dengan malas menerima uluran tangan itu. Dia mengukuti langkah Maminya, keluar dari kamar dan turun ke bawah.
✾ ✾ ✾
Raja ikut serta menjadi pengawal pribadi Kim menuju ke Rumah Barayuda. Bagi Raja, ini kesempatan besar untuk mendapatkan banyak informasi bila dia berhasil masuk dan mengetahui dimana rumah Barayuda. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan telah mempersiapkan segalanya. Alat sadap serta perekam telah terpasang rapi di kancing jas hitamnya.
"Kamu kenapa?" tanya Raja kerena sejak tadi Kim cuma diam.
"Males kesana."
"Terus kenapa mau?"
"Terpaksa."
"Kimberly Abraham bisa dipaksa juga?" sindir Raja.
"Rajaaaa, ih!" Kim mencubit pinggang Raja.
"Hehehe, becanda." Raja meraih tangan Kim dan menggenggamnya ke pangkuan.
Kim menyandarkan kepalanya ke pundak Raja, merasa sangat nyaman kalau sudah di dekat pemuda itu. "Aku lebih suka lama-lama di sini sama kamu ketimbang kesana."
"Jadi, ini sebabnya kamu nggak mau Rey satu mobil sama kita?" sindir Raja.
Kim tersedak tawa. "Abisnya aku males sama dia, kepo orangnya. Walau keliatannya baik sih."
Raja pun ikut tertawa. Nyaman, dia pun merasakan hal yang sama.
Namun saat mobil berada di jalan sepi, sebuah mobil kontainer berhenti menutupi jalan. Sebelumnya tidak ada kecurigaan karena sang sopir kontainer terlihat turun untuk buang air kecil. Namun kemudian, ada beberapa orang berpakaian hitam dan memakai penutup kepala, datang dengan membawa senjata laras panjang.
Kim menghela nafas, menyandarkan punggung dan melipat tangan di depan. "Mereka lagi, males banget sih. Suka banget cari mati," omelnya. Rombongan Papinya sudah lebih dulu melesat, tidak akan bisa membantu mereka.
"Kamu kenal?" tanya Raja.
"Hmm. Musuh-musuh Papi. Kalajengking. Udah berkali-kali ngirim pasukan, masih juga nggak kapok."
"Ayo," ajak Kim, hendak turun dari mobil.
"Kim," Raja menahan tangan Kim, cemas.
"Tenang aja, mereka nggak akan nembak aku. Tujuan mereka itu Papi, bukan aku."
"Tapi kamu bisa kena sasaran juga, Kim!"
"Nggak akan, aku udah biasa." Kim dengan tenangnya tetap tersenyum. Lalu dia turun dari mobil, setelah megeluarkan dua pistol andalannya.
Raja tidak bisa hanya menunggu di dalam mobil, membiarkan Kim berada dalam bahaya. Dia pun datang dan melindungi gadis itu.
"Serahkan Nona Kim pada kami," ujar salah seorang penjahat itu.
Raja tersenyum miring. "Jatuhkan senjata kalian. Kalian semua, lawan saya. Kalau berhasil, silahkan ambil apa yang kalian inginkan," tantangnya.
Tidak ada tembakan, orang-orang itu menjatuhkan senjata. Mereka meregangkan otot sambil terkekeh satu sama lain, seakan-akan Raja itu anak TK yang sangat mudah dihabisi.
Raja pun memasang kuda-kuda. Baku hantam terjadi, sepuluh lawan satu.
Kim mendengus kesal, cara yang Raja pakai ini sangatlah kuno. Bukankah lebih baik menembak, sehingga mereka bisa segera pergi dari tempat ini?
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Lima kali suara tembakan, sepuluh orang tewas seketika. Kim pelakunya, gerakannya sangat cepat sehingga tak ada yang bisa membalas atau menghindar.
Raja terdiam saat orang-orang itu tewas di tempat. Sejujurnya dia tak suka Kim melakukan itu, karena record kesalahan gadis itu menjadi semakin bertambah.
"Ayo," ajak Kim.
Raja pun terpaksa ikut masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan. Saat ini, hatinya sedang tidak tenang.
✾ ✾ ✾
Dor! Siapa yang nungguin ini?
Cium dulu coba ?
Makan Malam
Makan malam di kediaman keluarga Barayuda ini sangatlah mengerikan. Mereka makan di meja panjang nan mewah, dengan segala jenis makanan lezat, namun dikelilingi pria-pria bersenjata. Termasuk Raja, yang juga ikut berdiri mengawasi.
Abraham dan Barayuda menganggap mereka adalah sahabat baik, tapi tidak saling memiliki kepercayaan. Kenyataannya, masing-masing dari pengawal pribadi mereka yang terpecaya disuruh untuk berjaga satu sama lain, layaknya musuh. Seakan-akan, dua Boss besar itu takut jika salah satu di antara mereka ada yang berkhianat.
Tor, pria yang tadi pagi masuk ke kamar Kim dan mengusir Raja dari dalam sana, duduk di sebelah Kim. Dia bersikap sangat manis, memperlakukan Kim layaknya seorang Ratu. Sementara Kim selalu menolak apa yang ditawarkannya.
"Bram, bagaimana menurut lo, apa kita langsungkan saja pertunangan mereka minggu depan?" tanya Barayuda.
Kim langsung menatap Ayahnya, tak ingin sang ayah menerima tawaran itu. Sementara Tor, begitu antusias dan senang.
"Hahahaha. Sepertinya lo udah nggak sabar ngambil anak gue, Yuda?" ujar Abraham tertawa.
Tawa pun pecah di ruangan itu.
"Om, saya yang sebenarnya udah nggak sabar membawa Kim ke Amerika untuk hidup bersama saya di sana," ujar Tor.
"Kalau begitu, bukan pertunangan yang harus dipercepat, tapi penikahan," sahut Abraham.
Kim menjatuhkan sendok dan garpu ke atas piring hingga suaranya tedengar nyaring. Semua menoleh ke arahnya. "Apa nggak ada yang nanya pendapat Kim, di sini? Kalau begitu buat apa Kim datang?" protesnya.
"Come on baby, pendapat kamu tentu lebih penting. Tanpa persetujuan kamu, aku nggak akan menikahi kamu," bujuk Tor.
"Kalo gitu aku nggak setuju," cetus Kim langsung. kemudian dia berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Tor mengikuti Kim.
Pengawal pribadi Tor dan Raja pun ikut mengikuti Boss mereka itu dari belakang.
"Hahahaha. Biarkan saja, itu masalah anak muda. Tugas kita di sini adalah melakukan persiapan," kata Barayuda mengambil alih.
Abraham pun tertawa dan setuju.
Mariko dan Denada saling pandang dengan senyuman tipis di wajah. Terlihat sekali kalau kedua istri dari Boss besar tersebut sedang bersaing. Entah itu dalam karir, kecantikan ataupun ketenaran.
Keempat orang itu mengangkat gelas tinggi-tinggi, bersulang untuk ikatan baru hubungan mereka.
✾ ✾ ✾
Tor mengejar Kim hingga ke luar rumah, dia menghalangi gadis itu saat akan masuk ke mobil.
"Beb, kamu kenapa sih? Ada yang berubah dari kamu. Apa selama aku di Amrik, kamu punya cowok lain?" tanya Tor.
Secara refleks mata Kim melirik Raja yang juga sedang menatap ke arahnya. Tapi Kim mana mungkin bilang pada Tor, bisa-bisa terjadi pertumpahan darah di sana. "Aku cuma nggak siap untuk menikah terlalu cepat."
"Nggak siap kenapa?" tanya Tor bingung.
"Tor, banyak hal yang harus aku lakuin dalam hidup aku. Aku masih punya banyak Planning yang belum diselesaikan."
"Beb..." Tor mengusap pipi Kim, tapi gadis itu memalingkan wajah. Mana bisa Tor ditolak, apalagi di depan para pengawal pribadi yang melihat ke arah mereka. Dengan paksa, Tor menarik tengkuk Kim hendak mencium bibir gadis itu.
"Tor!" tolak Kim, mendorong wajah pemuda itu. Tapi Tor malah menghimpit tangan Kim di antara tubuh mereka dan terus mendekatkan bibir.
Melihat Kim dipaksa, Raja tidak menyukainya. Dia mendekat, menarik kerah belakang kemeja Tor dengan kuat.
"Apa-apaan lo?!" maki Tor pada Raja, tak sudi disentuh oleh orang yang tidak selevel.
Pengawal pribadi Tor pun tidak diam saja, dia menarik kasar tubuh Raja agar melepaskan Bossnya. Terjadilah perkelahian antar dua pengawal pribadi itu.
"Habisi dia," suruh Tor pada Pengawal pribadinya, agar menghabisi Raja.
"Berhenti!" perintah Kim.
Perkelahian terhenti. Wajah keduanya sama-sama memar akibat saling tonjok.
Kim langsung mendekati Raja dan berdiri di samping pemuda itu. "Maksud kamu apa nyuruh bodyguard kamu buat habisi dia?" tanyanya marah pada Tor.
"Dia udah bersikap kurang ajar Kim," sahut Tor.
"Kamu yang kurang ajar! Dia cuma membela aku karena kamu nyoba buat nyakitin aku," desis Kim.
"Kamu belain orang rendahan ini, Kim?"
"Cowok yang kamu bilang rendahan ini, jauh lebih punya martabat dibanding kamu," balas Kim. "Ayo Raja kita pulang," ajak Kim.
Raja menatap Tor dengan sangat tajam saat lewat di depan pemuda itu. Dia begitu marah Kim diperlakukan seperti tadi, tapi haknya belum sampai ke tahap membela Kim sebagai lelaki.
✾ ✾ ✾
"
Kamu pasti dimarah Papi kamu karena kabur dari sana," kata Raja mengingatkan Kim, siapa tau gadis itu mau memutar setir kembali. Karena sekali lagi, dia tidak akan mampu membela gadis itu, meskipun sangat ingin.
"Aku nggak perduli," jawab Kim.
"Terus sekarang mau kemana? Pulang?"
"Gila, nggak lah!" tolak Kim langsung. "Gimana kalau kita ke suatu tempat yang belum pernah aku datengin sama kamu?"
"Dimana?"
Kim menyunggingkan senyum, tak menjawab pertanyaan Raja. Dia menginjak gas kian dalam, mempercepat laju mobil.
Sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah Restoran berbintang. "Here we are!" Serunya bersemangat.
Raja mengerutkan kening, haruskah dia merasa surprise hanya dengan sebuah restoran?
"Ayok," ajak Kim turun.
Meski bingung, Raja turun juga dan mengikuti langkah anggun Kim. Gadis itu memberikan kunci mobilnya pada parking attendant di sana.
"Selamat Malam Tuan dan Nyonya, apakah sudah memesan tempat?" tanya seorang wanita di depan pintu.
"Oh, belum. Apa masih ada tempat?" tabya Kim balik.
"Kebetulan masih ada. Ayo saya antar," wanita itu mengulurkan tangan meminta Raja dan Kim masuk duluan.
Kim menggandeng Raja, agar mereka benar-benar terlihat seperti pasangan. Sementara diamnya Raja menandakan kalau dia pasrah pada kemauan gadis itu.
"Silahkan Nyonya," kursi ditarik untuk Kim. "Silahkan Tuan," kemudian Raja.
"Sebentar akan saya minta waitress kami melayani Tuan dan Nyonya," ujar wanita itu dengan ramah. Dia pergi setelah mendapat anggukan dari Kim.
"Maksud kamu ini tempat yang belum pernah kita datengin?" tanya Raja.
Kim mengangguk. "Emang belum kan?"
"Kamu lupa kalau kita sering ke restoran buat nemenin kamu makan?"
"Sebagai bodyguard. Bukan pacar," ralat Kim.
"Pacar?" Raja ingin menggoda Kim.
Tapi seseorang datang menghampiri dan menginterupsi. "Raja, kan ya? Wah nggak nyangka bisa ketemu lo di sini!"
Raja mengamati pemuda berpakaian rapi itu dengan wajah cemas. Sesekali dia melirik Kim yang juga menatap pemuda itu.
"Jangan bilang lo lupa sama gue?Kita pernah satu Tim saat tangani kasus Hermanto. Waktu itu lo Kapten Tim dan gue..."
Raja berdiri spontan dan memeluk pemuda itu. "Gue inget, gue inget. Apa kabar lo?!" pekiknya berlebihan. Kemudian berbisik, "gue lagi tugas."
Wajah pemuda itu langsung berubah pucat. Dia menoleh pada Kim, tidak mengetahui kalau gadis yang bersama Raja itu tidak tahu apa-apa. "Sorry," bisiknya.
Raja melepas pelukan dan menepuk pundak pemuda itu. "Waktu itu, lo kalah kena tembak marker nyasar gue kan? Hahaha. Kapan nih main paintball lagi?"
"Boleh-boleh. Gue bakal kabarin lo secepetnya," kata pemuda itu sembari membalas tepukan Raja di pundak. Dia melirik Kim. "Siapa nih?" godanya.
"Hahaha. Kim, kenalin temen aku, Viko."
Kim kemudian berdiri dan menyalami Viko. Matanya tak sengaja melihat id card yang tergantung di saku kemeja Viko. Dia tersenyum dan menyebutkam namanya, begitu pun sebaliknya.
Setelah pemuda itu pergi, Raja dan Kim kembali duduk. Kim mengamati Raja dengan seksama, ada sesuatu yang mulai dia curigai.
✾ ✾ ✾
Laporan
Makanan yang dipesan pun datang, kebetulan mereka sama-sama menyukai steak sehingga memesan menu yang serasi. Namun untuk minuman, Raja lebih suka air putih dan Kim jus apel hijau.
"Aneh nggak sih kita udah deket lumayan lama, tapi aku nggak tau apa-apa tentang kamu," tanya Kim memulai obrolan lagi, setelah tadi tak ada suara sejak kepergian Viko.
"Emang apa yang spesial dari aku? Nggak ada. Hidup aku biasa aja Kim," sahut Raja merendah. Jujur, dia merasa Kim mencurigainya.
"Aku pengen tau sebelum kerja sama Papi aku, kamu pernah kerja di mana aja?"
Raja berusaha membuat wajahnya biasa saja. Dia mengunyah sambil menjawab, "banyak. Pernah jadi bodyguard Boss minyak, tapi dipecat lantaran ada penjilat. Pernah juga jadi bodyguard Bandar narkoba. Terus..."
"Bandar narkoba?" potong Kim.
Raja mengangguk.
"Siapa?"
Kim benar-benar menginterogasinya. "Kamu nggak akan tau."
"Aku tau semua sindikat narkoba di Negara ini, apalagi kalau dia Bandar." Kim meyakinkan, sekaligus menekan.
Raja menggali ingatannya, dia tidak boleh asal menyebut saja. "Gandrong," ucapnya, seingatnya saja.
"Gandrong? Bukannya dia udah dipenjara?"
Kim tau.
"Ya... Makanya aku berhenti. Dia dipenjara dan aku kehilangan pekerjaan." Raja mulai kualahan dengan berbagai pertanyaan Kim, bisa saja gadis itu melontarkan jebakan untuk membongkar siapa dirinya.
"Tapi, itu kan..."
"Kim, kita di sini buat ngebahas masa lalu aku?" potong Raja.
Kim kemudian menggeleng dan tersenyum. "Aku cuma penasaran. Tapi kamu bener, buat apa bahas masa lalu, kalau masa depan punya tujuan yang lebih jelas."
Sindiran.
Raja melanjutkan makannya dan pura-pura fokus pada kelezatan yang terasa hambar di lidahnya.
✾ ✾ ✾
Kim meminta Raja untuk mengambil istirahat, karena pemuda itu sekali pun tidak pernah libur dan terus menjaganya. Alasan lainnya, Kim tidak ingin Raja mendengar apa yang Papinya akan ucapkan saat marah padanya gara-gara kabur dari rumah Tor.
Namun di balik itu semua, ada alasan kenapa Kim meminta Raja untuk ambil libur.
"Gue udah kirim Fotonya ke elo, bisa kerjakan dengan cepat?" tanya Kim pada seseorang di telepon.
"..."
"Oke, gue tunggu." Kim mematikan ponselnya. Ujung kukunya mengikis pinggiran ponsel, ada kegelisahan yang sedang melanda saat ini.
Kim bersandar di sofabed-nya sambil memejamkan mata. Hatinya gelisah, pikirannya dibawa oleh kecurigaan yang sebenarnya belum terbukti.
Kemudian sebuah notifikasi email muncul di ponsel Kim. Dia langsung beranjang ke meja kerjanya dan menyalakan laptop. Kim membuka email itu dari sana, mengunduh setiap lampiran yang dikirim oleh orang suruhannya itu. Selama menunggu proses unduh, dia menggigiti ujung kukunya.
Tubuh Kim mulai menggigil, dia membutuhkan obat. Tapi untuk saat ini, sebentar saja dia sedang tidak ingin mengkonsumsi itu lantaran harus fokus pada tujuannya.
✾ ✾ ✾
Raja memanfaatkan liburannya untuk datang ke Markas Komandan Denver, karena sudah beberapa kali dia menerima sinyal agar memberikan laporan.
"Lapor Komandan, Kapten Raja menghadap!" hormat Raja pada Komandan Denver.
"Diterima," Komandan Denver menerima hormatnya. "Silahkan duduk," suruhnya.
Raja pun duduk di hadapan meja kerja Komandan Denver, dia meletakkan map yang dibawanya ke atas meja. "Ini adalah hasil rekaman saya beberapa hari belakangan ini, Komandan. Di sana, merekam segala aktivitas Abraham bersama partner besarnya, seperti Barayuda."
Komandan Denver mengangguk, menerima berkas itu dan membacanya. Ada chip kecil yang tertempel di sana, sebagai bukti dari yang Raja sebutkan tadi.
"Bagaimana Raja, apa melalui putrinya kamu sudah tau dari mana Abraham mendapatkan barang-barang itu?"
"Belum, Komandan. Saya masih harus menyelidiki lebih lama lagi."
Komandan Denver mengangguk. "Apa begitu sulit?"
"Seperti yang Komandan duga sebelumnya, kalau penjagaan dan pemeriksaan di sana sangat ketat. Saya tidak bisa sembarangan bertindak. Terutama orang-orang Abraham sepertinya sangat terlatih, sedikit saja pergerakan kita meleset, maka selesai sudah semuanya."
Komandan Denver tertawa. "Kamu memang selalu bekerja dengan perhitungan yang matang, itu sebabnya kamu selalu menang Kaptem Raja."
Raja tersenyum tipis mendengar itu.
Komandan Denver mengambil chip dan memasukkannya ke tempat yang terhubung dengan komputernya. Lalu dia dengan serius memperhatikan setiap rekaman yang Raja berikan. Sekua berisi tentang Abraham, sangat rapi dan... "Good! Ini luar biasa Raja. Sebenarnya bila tujuan kita hanyalah menangkap Abraham, maka cukup dengan bukti ini saja kita bisa melakukannya. Tapi selain Abraham, kita juga harus tau dari mana dia mengambil barang-barang itu. Kita perlu memusnahkan induknya untuk memberantas pengikutnya."
"Siap, Komandan! Saya akan berusaha lebih baik lagi."
"Hahaha. Saya bangga sama kamu," Komandan Denver mengangguk senang.
Raja tersenyum tipis. Ada satu hal yang tidak Raja laporkan, yaitu tentang Kimberly Abraham. Raja tidak memberikan rekaman tentang Aktivitas Kim, juga jaringannya. Entah kenapa, dia ingin melindungi gadis itu.
"Bagaimana dengan Kimberly? Apa dia ikut serta dalam jaringan Ayahnya?" tanya Komandan Denver.
Abraham yang tidak biasa berbohong saat bertugas, memasang ekspresi yang sedikit cemas. "Tida komandan. Semua masih normal," bohongnya.
"Kasihan anak itu. Kalau nanti kita menangkap orang tuanya, maka dia pasti akan sangat menderita."
Raja terhenyak, hal ini tidak ada di pikirannya sebelumnya. Dia terlalu fokus tentang melenyapkan semua bukti kejahatan Kim, sampai-sampai lupa bahwa orang yang sedang dia laporkan pada Komandan Denver adalah Papi dari gadis itu sendiri.
Entah bagaimana rekasi Kim saat tau kalau Raja akan menangkap orang tuanya. Hal yang paling mungkin adalah Kim pasti akan sangat membencinya, meski dia sudah berusaha menyelamatkan nama gadis itu sekalipun.
"Terima kasih, Raja. Saya tunggu laporan kamu selanjutnya. Saya harap nanti kamu membawa hasil akhir dari tugas kamu."
"Siap, Komandan!" Raja berdiri dan memberikan hormat.
Setelah keluar dari ruangan Komandan Denver, Raja masuk ke dalam mobil dan merenung. Lagi-lagi, dia harus berhadapan pada gadis yang memiliki kisah hidup begitu rumit.
Dulu Ayela.
Sekarang Kimberly.
Dan kali ini, Raja kembali terjebak seperti kisah di masa lalu, dimana dia mulai jatuh cinta pada targetnya.
"Arggghh!" Raja meninju setir berkali-kali, hingga buku-buku jarinya merah.
✾ ✾ ✾
Kalian bisa nebak gak, nanti endingnya Raja atau Kim yang bakalan Mati?
???
Berubah
Seperti yang Kim duga, Raja memang bukanlah orang sembarangan. Sejak awal dia sudah bisa menilai kalau ada yang berbeda dengan Raja. Terutama saat pemuda itu lebih menggunakan ilmu bela diri ketimbang senjata saat melawan musuh-musuhnya. Juga cara bicara Raja yang begitu teratur dan sopan, sama sekali tidak mencerminkan seorang Bodyguard.
Di depan matanya, melalui layar laptop Kim melihat foto Raja dalam balutan seragam dinas cokelat muda. Menurut info yang tertulis, bahwa kini Raja sedang menjabat sebagai Kapten 301 Arm Intelijen di Markas besar Agent Rahasia RIA.
Begitu banyak informasi yang diberikan oleh orang suruhannya tentang Raja. Mulai dari aktivitas Raja saat di Markas, saat bertugas dan juga saat dia menerima penghargaan. Bahkan ada informasi kecil kalau Raja lah yang menjadi dalang dari hancurnya kerjaan Gandrong dan para bandar narkoba lainnya.
Kim tersenyum kecut, tidak pernah menyangka kalau selama ini Raja sedang mempermainkannya. Bahwa pemuda itu sedang menyamar dalam rumahnya, untuk menangkap keluarganya.
"Kamu nggak lebih pinter dari aku, Raja. Kamu mungkin nggak pernah tau kalau seorang Kim Abraham, memiliki otak yang cerdas," kata Kim pada foto itu.
"Tapi sialnya, kenapa kamu harus meyakinkan aku tentang tulusnya kamu selama ini? Sampai aku jatuh cinta sama kamu?!" teriak Kim.
Dia menutup laptop dengan keras, melampiaskan emosinya yang menyerang bagian kepala.
Tubuh Kim mulai membutuhkan penangkal dari rasa sakit yang sedang menyiksa otaknya. Dia berjalan cepat ke meja rias dan membuka laci, kemudian mengeluarkan obat-obatannya. Begitu banyak jenis obat di sana, mulai dari berbentuk pil, serbuk hingga cairan.
Kim memilih cairan berwarna merah muda, yang dia masukkan ke dalam sebuah suntikan. Lalu dia mengikat lengan atasnya menggunakan tali yang terbuat dari karet. Dengan tangan gemetar, Kim menyuntikkan cairan itu ke tangannya.
Lama setelah efek dari obat-obatan tersebut bekerja, Kim mulai merasa rileks. Kepalanya terasa enteng dan mulai tidak bisa membedakan fakta dan halusinasi.
✾ ✾ ✾
"Weisss, seger banget nih kayaknya habis liburan," ujar Rey saat melihat Raja datang.
"Hahaha," Raja memukul pundak Rey. "Nona di dalam?" tanyanya.
Rey mengangguk. "Nggak keluar sama sekali," jawabnya.
"Sejak kapan?"
"Sejak lo nggak ada."
Itu artinya sudah dua hari.
"Lo ada hubungan apa sih sama dia? Gue perhatiin kalian deket," tanya Rey curiga.
Raja cuma menepuk pundak Rey, lalu membuka pintu kamar Kim dan masuk ke dalamnya. Kamar Kim begitu berantakan, banyak barang berjatuhan ke lantai. Di samping tempat tidur, berserakan berbagai macam jenis obat-obatan terlarang serta suntikan yang masih berisi sedikit cairan berwarna pink.
Lalu mata Raja beralih ke atas ranjang dan melihat Kim sedang tidur dalam kondisi tengkurap, gadis itu terlihat sangat kacau. Raja pikir, Kim bisa saja depresi lantaran sang Ayah memarahinya soal kejadian pergi dari rumah Tor kemarin.
Raja duduk di tepi ranjang dan mengusap kepala gadis itu. "Kim," panggilnya dengan lembut.
Tidak ada reaksi, mungkin panggilan tadi terlalu pelan untuk orang yang sedang tidur pulas. Raja pun mendekatkan bibirnya ke telinga Kim dan kembali memanggil, "Kim..."
Kim membuka matanya secara perlahan, masih terlihat sangat mengantuk. "Udah dateng?" tanyanya sambil memijat kepala karena terasa pening.
"Harusnya aku nggak kemana-mana. Kalau aku ada di sini, kamu nggak akan sekacau ini," ujar Raja menyesal.
Kim tersenyum sinis, kemudian duduk dan memijat kepalanya. "Gue udah biasa kok kayak gini," ucapnya datar.
Gue?
Raja tersenyum. "Kamu mau aku bawain susu?" tanyanya.
"Itu tugas Bik Odah, bukan tugas lo."
Raja mengerutkan keningnya. Apa Kim sedang tidak sadarkan diri? Kenapa gadis itu menjadi kasar seperti ini?
"Oh iya Raja, mulai sekarang lo cuma boleh berjaga di luar kamar gue. Jadi, jangan masuk sembarangan selama gue nggak minta lo buat masuk."
Sekali lagi ucapan Kim itu membuat Raja terperangah. Saat gadis itu turun dari ranjang dan hendak masuk ke kamar mandi, Raja menahan tangannya. "Kamu kenapa?" tanyanya.
"Emangnya gue kenapa?" tanya balik Kim, menepis tangan Raja dan menatap pemuda itu sinis.
"Apa ada masalah saat aku pergi? Papi kamu marah?"
"Bukan urusan lo," ketus Kim. Dia kembali melangkah masuk ke kamar mandi.
Raja mematung di tempatnya berdiri. Dia mencoba mengingat-ingat apakah terakhir mereka bertemu ada masalah yang terjadi di antara mereka? Tapi seingatnya tidak ada apa-apa. Malah, saat akan pergi, Kim begitu agresif mengajaknya berciuman.
Sementara itu di kamar mandi, Kim menangis. Dia memukul dadanya yang terasa sesak akibat berpura-pura tak perduli pada Raja seperti tadi. Dia harus menekan rasa rindunya, karena terlalu marah pada kebohongan pemuda itu. Kim merasa dipermainkan. Raja mendekatinya hanya untuk memanfaatkannya saja.
"Apa yang nggak aku kasih ke kamu? Aku percaya sepenuhnya sama kamu. Aku bahkan biarin kamu nyentuh tubuh aku, Raja. Apa ini balesan yang harus aku dapet setelah aku jatuh cinta sama kamu?" Kim bicara pada pantulan dirinya di cermin, seakan orang yang diajaknya bicara itu adalah Raja.
Mengingat foto-foto dan siapa saja partner Papinya yang hancur di tangan pemuda itu, Kim menghapus air matanya dan memasang ekspresi tajam. "Kamu mau main-main, Raja? Oke, aku bakal jadi partner main kamu yang paling baik. Aku bakal ikutin apapun rencana kamu," ujarnya menggertakkan rahang.
✾ ✾ ✾
Cieeee yang nungguin.
Perintah Kim
Saat Kim selesai mandi dan keluar dari kamar mandi dengan berbalutkan handuk saja, ternyata Raja masih berada di dalam kamarnya. Pemuda itu berdiri di tempat yang sama dengan terakhir kali Kim tinggalkan.
"Gue udah bilang lo nggak usah masuk kamar gue lagi," desis Kim, menegaskan wajahnya. Menutupi rasa asing di hatinya, yang menolak menjauhi Raja.
"Kamu kenapa sih? Kalau aku ada salah, kasih tau aku salahnya apa. Kenapa tiba-tiba kayak gini?" Raja menekan Kim.
"Bukan salah lo, tapi salah gue. Karena gue selama ini buta. Kita nggak selevel Raja, lo pun harus sadar itu."
Raja benar-benar merasa terhina. Ingin rasanya dia membongkar siapa dirinya, agar level yang Kim maksud terlampaui. Kalau dia bukanlah bodyguard sungguhan. Kalau dia pun punya derajat dan martabat. Kalau dia bukanlah orang miskin.
"Kenapa, lo nggak suka? Lo boleh berhenti kapan aja," ujar Kim tanpa memperdulikan perasaan Raja.
"Kim!" desis Raja.
"Nona," desis Kim balik. "Mulai sekarang lo harus panggil gue Nona, karena gue majikan lo," sambil menunjuk wajah Raja.
Raja mengepal tinju. "Baik Nona Kim, terimakasih atas beberapa hari yang aku pikir kita ini spesial." Raja pun melangkah mundur dan keluar dari kamar Kim.
Kim mengepal tinju, menahan sesak kembali. Bukannya mudah untuk bisa mengatakan hal tadi pada Raja, dia bahkan tidak secara langsung menatap pemuda itu.
Kim melempar bantal di ranjang ke meja rias, alat make-up serta botol parfume berpelantingan ke bawah. Dia duduk di tepi ranjang dan memijat kepalanya.
Tak ingin sampai kalah oleh rasa yang tak seharusnya, Kim mengeluarkan ponselnya dan menelpon Tor.
"Hallo baby, akhirnya kamu hubungin aku juga."
"Jemput aku," minta Kim.
"Seriuss? Mau kemana kita?"
"Pokoknya jemput aja!" Kim langsung memutus sambungan telepon.
Kim berjalan ke lemari, mengambil satu setel pakaian khasnya yang selalu terbuka pada bagian belakang. Dia mematut diri di cermin selama lima menit.
Saat Kim keluar dari kamar dengan pakaian yang dikenakannya, itu berarti dia akan mengeksekusi seseorang. Raja hafal betul bagaimana aktivitas gadis ini, dia selalu memakai pakaian sejenis itu saat menemui korbannya.
Raja dan Rey mengikuti Kim dari belakang, barulah mereka tau ketika ada Tor menunggu dengan mobil hitam mewahnya.
Dengan tidak sopan, Tor melempar kunci mobil pada Raja agar pemuda itu menyetir untuknya. Sebagai seorang bawahan, Raja terrpaksa menurutinya. Sementara Rey, dia ikut mobil lain bersama dua bodyguard Tor.
Sementara Raja membawa mobil, Kim dan Tor duduk di belakang. Keduanya menunjukkan kemesraan dengan sengaja, membuat Raja sangat cemburu dan tanpa sadar menginjak gas terlalu dalam.
"Woi, bisa hati-hati nggak lo?!" jerit Tor saat tubuhnya nyaris terbentur jok belakang kursi Raja ketika mobil menginjak rem mendadak.
Raja diam saja dan melanjutkan perjalanan mengikuti maps yang sudah Kim berikan. Matanya berulang kali melirik kaca spion, tak bisa sedikitpun mengabaikan gadis di belakangnya itu.
"Dapet dari mana sih Papi kamu orang kayak dia? Nggak sopan," hina Tor mengenai Raja.
"Itu bukan urusan kita, apapun yang Papi pilih udah pasti yang terbaik," jawab Kim. Dia masih saja ingin melindungi Raja dari kebiadaban Tor yang suka menembak bodyguard seenaknya saat dia tidak suka.
Mobil akhirnya sampai di tujuan yang Kim inginkan. Di sebuah pemukiman sederhana yang masih seperti desa.
Kim turun lebih dulu, diikuti Tor dan para bodyguard-nya. Barulah setelah itu Raja menyusul, menapak lesu karena peelakuan Kim padanya.
✾ ✾ ✾
Seorang pria paruh baya, nampak sangat kaget saat pintu rumahnya didobrak hingga terlepas dari engsel kusen. Dia lebih kaget lagi saat Kim melangkah masuk dengan kedua pistol di tangan, bak malaikat pencabut nyawa.
Pria itu tak sendirian, jerit ketakutan hingga sekujur tubuh gemetar dan berkeringat, terlihat dari istri sang Pria yang sedang memeluk putri mereka yang masih berusia lima tahun. Balita malang itu menangis ketakutan, tak ingin lepas dari pelukan sang Ibu.
Raja menatap was-was pada Kim yang mengarahkan pistol pada sang balita tak berdosa.
"Nona, tolong maafkan saya. Sungguh saya hanya ingin hidup dengan normal bersama istri dan anak saya. Tolong lepaskan kami," mohon pria itu sambil berlutut di kaki Kim.
"Pak Andreas, anda sudah mengerti kan apa resikonya bila anda memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan anda?"
"Nona, tolonglah..." Pria itu menggosok-gosok kedua telapak tangannya sambil menangis. Istrinya pun ikut memohon, menyatukan telapak tangan dan sesenggukan.
"Kim," tegur Raja memperingatkan. Dia tidak tega melihat anak kecil itu menangis ketakutan, seketika teringat pada keponakannya, anak dari Kaila. Untunglah hanya Kim dan dirinya yang masuk ke Rumah kecil itu, sementara sisanya menunggu di luar.
Kim menoleh pada Raja.
"Kasihan anak itu," ujar Raja dengan lembut.
Kim tersenyum sinis. "Lo harus belajar banyak bisnis keluarga gue, Raja. Agar lo tau, mengasihani seseorang adalah kelemahan yang bisa membuat diri lo terbunuh sia-sia."
Raja bingung harus bagaimana, matanya terus melirik pada anak itu dan juga Kim bergantian.
"Bagaimana kalau lo yang selesaikan tugas ini, sebagai bentuk pengabdian lo pada keluarga Abraham," suruh Kim sambil menyerahian salah satu pistolnya.
Raja menatap nanar pada pistol itu. Hati nuraninya tidak akan mengizinkan, apalagi menembak seorang Ayah di depan anaknya. Tapi demi memenuhi permintaa Kim, Raja tetap meraih pistol itu.
"Tembak anaknya," suruh Kim.
Mata Raja terbelalak lebar. Dia pikir Kim ingin membunuh Ayahnya. "Kim, apa salah anak itu?" tanyanya.
"Jangan berdebat," sahut Kim tajam.
Tangan Raja terulur ke arah sang anak yang semakin menangis. Ibunya berusaha menutupi tubuh sang anak dengan memeluknya. Ayahnya terus melakukan permohonan, bahkan sampai seperti orang gila karena tidak ingin anaknya ditembak.
"Tembak saya, Nona. Bunuh saya. Tapi lepaskan anak dan istri saya, mereka tidak bersalah," mohon pria itu.
"Tembak, Raja!" jerit Kim.
Raja berusaha menguatkan hatinya, ini adalah resiko pekerjaannya. Dia harus melakukan apapun untuk sampai pada tujuannya, termasuk bila ini satu-satunya cara mempertahankan penyamarannya.
Raja memejamkan mata, menghembuskan nafas dari mulut. Kemudian, dia menarik hammer pada pistol dan mengarahkan muzzle tepat pada kepala sang balita.
Ketika jari telunjuk Raja sudah benar-benar menarik Trigger pistol, tiba-tiba Kim memegang tangan Raja hingga pistol itu mengarah ke tempat lain.
DOR!
✾ ✾ ✾
Nah loh, kira-kira siapa yang tertembak?
Tebak tebak tebak.
Jangan lupa baca cerita Momi yang lainnya juga ya, di Aplikasi NovelMe dan Storial cukup cari shantymilan aja.
Kedip Manja,
Moms.
Perlu Bukti
DOR!
Peluru mengenai genteng rumah hingga bolong. Kim membuat Raja nyaris saja membunuh seorang anak berusia 5 tahun kalau saja dia terlambat tadi.
Terjadi keheningan. Ada rasa takut, bingung dan juga was-was. Balita itu juga sampai tak mengeluarkan suara lagi, masuk dalam pelukan ibunya bagai seekor anak beruang.
Kim melempar sebuah koper ke depan Andreas. "Pergi dari kota ini. Mulailah hidup dengan identitas baru. Ingat Pak Andreas, saat nanti kita bertemu lagi maka saya tidak akan pernah mengampuni anda."
Semua terkejut, termasuk Raja.
Isi di dalam koper itu adalah sejumlah uang yang sangat banyak. Juga ada paspor, serta berbagai macam identitas dengan foto ketiga orang itu.
"No-Nona?" Andreas masih tidak mengerti kenapa Kim membantunya. Dia sendiri sangat tau track record Kim dalam membasmi musuhnya, tapi kenapa dia dilepaskan? Itu menjadi pertanyaan besar dalam kepalanya.
Kim berlutut di depan istri Andreas dan mengusap kepala anak kecil itu. Anak itu membelokkan kepala menoleh Kim. Kim tersenyum, dia menhhapus jejak air mata dari anak itu. "Maafin Tante ya udah bikin kamu takut. Tante cuma mau bikin orang-orang di luar sana percaya kalau Tante udah lakukan tugas dengan benar. Mulai sekarang kamu harus hidup dengan baik, memakai nama baru pilihan Tante. Rania..."
Istri Andreas langsung mencium punggung tangan Kim mengucapkan terimakasih. Begitu pun Andreas yang berlutut sambil mengusap kedua telapak tangan tanpa henti.
Kim berdiri. "Jaga mereka dengan baik. Kesempatan tidak pernah datang dua kali Pak Andreas," ujar Kim menasehati. Kemudian dia melangkah keluar dari rumah sempit itu.
"Nona Kim, terima kasih!" Andreas bersujud mengiringi kepergian Kim.
Raja benar-benar dibuat terkesima. Dia tak habis pikir dengan cantiknya permainan Kim, bahkan dirinya saja terkecoh tadi. Ingin rasanya dia memeluk gadis itu dan mengucapkan terima kasih, tapi sikap dingin Kim membuatnya tak mungkin melakukan itu.
Di perjalanan pulang, Raja kembali harus melihat Kim bermesraan dengan Tor. Keduanya menikmati serbuk narkoba, sama-sama tidak sadarkan diri dan mengoceh dengan fantasi mereka.
Fakta bahwa Kim adalah gadis yang memiliki track record kejahatan begitu banyak, membuat Raja bingung apakah dia masih harus melindungi gadis itu sekarang.
Bukankah kejahatan harus dihukum?
✾ ✾ ✾
Raja menggendong Kim ke kamarnya, gadis itu sudah tidur pulas bersama Tor di mobil tadi saat efek narkoba mulai hilang. Tapi syukurlah, Raja lebih suka Kim tidur saja daripada bercumbu dengan pemuda lain.
Dengan penuh ketelatenan, Raja melepas heels Kim. Lalu menyelimuti tubuh langsing itu dengan selimut. Sesaat, Raja memandangi wajah bak seorang bayi yang sedang pulas. Kejahatan memang selalu bersembunyi di balik kecantikan. Pepatah itu sangat cocok dengan Kim.
"Kamu lebih terlihat bahagia saat melakukan hal-hal yang normal, ketimbang melakukan kejahatan, Kim. Aku jadi penasaran, kenapa kamu mau membantu Papi kamu?" tanya Raja.
Kim meresponnya dengan berguling gelisah. Dia mengigau, seperti sedang menyebut nama seseorang.
Raja mendekatkan telinganya untuk bisa mendengar apa yang Kim ucapkan.
"Raja..."
Hati Raja hangat, Kim menyebut namanya. Entah gadis itu sedang bermimpi atau berfantasi, yang jelas Kim tidak menyebut nama lain selain dirinya.
Raja membungkuk, mengecup bibir dingin Kim dengan lembut. Gadis itu diam, berhenti mengoceh tidak jelas dan pulas kembali.
✾ ✾ ✾
Sore hari, Kim terbangun dari tidurnya lantaran merasa lapar. Dia langsung keluar dari kamar dan disapa oleh Rey yang berjaga di luar pintu. Ada yang kurang, kemana Raja? Tapi Kim gengsi menanyakannya.
Eh, ternyata begitu sampai di Ruang makan Raja sedang berada di sana bersama Bik Odah yang membuatkan kopi.
"Sore, Non. Mau makan?" tanya Bik Odah.
Raja langsung menoleh Kim, menatap gadis itu yang terus saja membuang muka.
Kim mengangguk dan duduk di kursi biasa kalau dia makan. Selama menunggu Bik Odah menyiapkan makanan untuknya, Kim fokus pada layar ponsel agar punya aktivitas untuk menghindar dari Raja.
Sialnya, Raja malah ikut duduk di sana dan berhadapan dengannya. Pemuda itu terus saja melemparkan tatapan yang membuat Kim merasa tidak nyaman.
"Kamu kenapa?" tanya Raja dari hati ke hati.
Kim mengabaikannya dengan terus bermain ponsel. Begitu Bik odah selesai menyiapkan makanan, dia malah berdiri. "Bawa semuanya ke kamar saya, Bik. Saya lagi nggak mood makan di sini," katanya dengan nada ketus.
"Baik, Non."
Raja benar-benar tidak tahan lagi. Dia cukup tau diri sebenernya akan posisi dirinya yang hanya seorang bodyguard andai dulu Kim tidak memberikan celah untuknya masuk ke hati gadis itu.
Saat Kim melangkah menaiki tangga, Raja menarik tangan gadis itu untuk naik ke atas lebih cepat.
Kim yang kaget tak sempat protes sehingga langkahnya terbawa oleh tarikan kuat Raja yang membawanya masuk ke dalam kamar. Bahkan Rey saja sampai terkejut melihat Raja berani menarik-narik majikannya seperti itu.
BLAM!
Pintu kamar ditutup dengan keras dan dikunci oleh Raja. Dia berbalik dan menatap Kim sangat tajam. "Aku perlu tau ada apa sama kamu, sampai kamu harus bersikap sedingin ini ke aku?!" tuntut Raja.
"Jangan bersikap kurang ajar, Raja. Kamu bekerja untuk aku, jadi bersikaplah seperti yang seharusnya," desis Kim.
"Terus yang kemarin-kemarin itu apa, Kim?" tanya Raja, hatinya terasa diremas oleh ucapan Kim tadi.
Kim tersenyum sinis. "Kamu hanya perlu melupakan itu karena sebenarnya itu nggak ada artinya buat aku. Aku cuma kesepian karena Tor nggak ada di Indonesia, jadi saat dia kembali..." Kim melangkah mendekati Raja hingga jarak mereka sangat tipis. "Kamu udah nggak aku butuhkan lagi," desisnya tajam.
Nafas Raja memburu, dadanya turun naik karena marah. Dia menatap Kim tajam, gadis itu sangat menguras emosinya. "Nggak berarti apa-apa?" tanyanya tajam.
"Iya," jawab Kim tegas.
Raja tersenyum miring.
Tanpa Kim duga, detik selanjutnya Raja mendorong tubuhnya ke dekat ranjang. Membaringkannya ke situ, kemudian pemuda itu menindihnya dengan mengunci kedua tangannya di atas kepala.
"Aku perlu bukti untuk percaya kalau itu emang nggak berarti apa-apa," bisik Raja tersenyum sinis.
"Mau apa kamu?" tanya Kim sambil menggerakkan tubuhnya agar terlepas dari penjara pemuda itu.
"Mengingatkan kamu kalau yang kita lakukan kemarin, bukanlah sekedar pelampiasan."
Mata Kim terbelalak lebar.
✾ ✾ ✾
Still Virgin
Peringatan adegan 21 jangan baca kalau pikiran kalian lemah dan mudah terhasut.
✰✰✰
✰✰✰
✰✰✰
Raja mencium bibir Kim dengan paksa. Gadis itu menolak sekuat tenaga, tapi Raja tak ingin melepaskan. Dia sudah terlanjur dikuasai emosi, membuatnya tak bisa mengontrol diri lagi.
Ciuman Raja turun ke leher, membuat kulit putih itu dipenuhi oleh kiss mark yang sangat merah. Desahan dan perlawanan yang Kim lakukan, membuat Raja semakin tertantang untuk melakukan lebih.
Raja menarik turun blouse backless gadis itu hingga ke pinggang. Kim tidak memakai Bra sehingga busung dadanya langsung ter-ekspose. Setelah itu raja memegang kedua tangan gadis itu kembali, karena perlawanan Kim cukup melelahkan juga.
"Raja!" desis Kim. Masih berusaha melepaskan diri tapi malah membuat dadanya makin menantang akibat membusung turun naik.
"Kalau setelah ini Papi kamu bakal bunuh aku, aku siap," kata Raja dengan tekad penuh.
Sebut saja ini adalah hal paling gila yang pernah Raja lakukan demi mendapatkan...
Kepergok
Seharian berada di dalam kamar Kim, Raja harus segera keluar. Apalagi yang mereka lakukan di dalam kamar adalah hal-hal yang berbahaya bila sampai dilihat oleh orang lain. Tapi saat dia telah membuka kunci pintu dan ingin menarik pintu itu ke dalam, Kim malah menariknya untuk berciuman kembali.
Kim mengalungkan lengan ke leher Raja. Raja memeluk pinggangnya. Mereka sedang benar-benar dimabuk cinta hingga tidak menyadari kalau pintu terbuka dan Rey melihat itu semua.
Mata Rey terbelalak lebar. Mulutnya sampai menganga. Dia memang sudah curiga Raja dan Nona muda itu punya hubungan, tapi tidak menyangka bila sudah ke tahap itu.
Buru-buru Raja dan Kim melepaskan diri, merasa sangat kaget. Mereka berdua saling melempar lirikan, berupa kode harus bagaimana.
Karena Rey sudah tau, maka Raja perlu menjelaskan sesuatu pada pemuda itu sebelum bocor kemana-mana. Raja pun menarik Rey masuk ke dalam, membawanya duduk di sofa bersama Kim juga.
Rey menjadi sangat ketakutan seperti...
Calon Mantu
"Kim, kamu beneran nggak mau ikut Papi ke Singapore?" tanya Abraham sembari merapikan jas dan dasinya.
"Iya, Kim. Biasanya kamu paling semangat kalau Mami juga ikut. Tapi kenapa kali ini?" tanya Mariko.
"Kim lagi males kemana-mana, Mam. Lagian Mami sama Papi kan butuh Privasi, kali aja mau honeymoon."
Abraham dan Mariko saling lirik, tak biasanya Kim berbicara dengan nada menggoda seperti itu. Putri tunggal mereka yang selalu datar dan dingin, mana pernah bicara melebihi yang diperlukan.
"Kim, are you okey?" tanya Mariko sambil menempelkan punggung tangannya ke kening dan leher Kim.
"Kim baik-baik aja, Mam. Udah sana pergi, kalian berdua harus have fun di sana. Jangan lupa bawain Kim oleh-oleh."
Sekali lagi, Kim membuat orang tuanya mengerutkan kening. Tapi mereka pun tidak bisa menunda waktu karena penerbangan tinggal 60 menit lagi.
"Kamu hati-hati di rumah ya sayang," ucap Mariko sambil mencium pipi kiri dan kanan Kim.
"Mama juga," balas Kim.
Abraham mendekati Raja dan Rey. "Kalian jaga anak saya. Jangan sampai terjadi apa-apa padanya atau nyawa kalian taruhannya," perintahnya.
"Siap, Pak!" jawab Raja dan Rey bersamaan.
Abraham pun melangkah lebih dulu, setelah itu Mariko. Sepasang suami istri yang tidak terlihat mesra seperti pasangan pada umumnya.
Kim mengantar orang tuanya ke depan pintu Rumah. Dia melambaikan tangan pada Mariko yang menurunkan kaca saat mobil melintas.
Rey masuk lebih dulu ke dalam, tidak ingin menjadi orang ketiga di antara sepasang kekasih yang sedang lengket itu.
"Kenapa nggak ikut?" tanya Raja saat sudah tidak terlihat bayang-bayang Orang Tua Kim lagi.
Kim berbalik menghadap Raja. "Kata kamu, aku nggak boleh minum itu lagi."
Pesta narkoba di Singapore? Raja harusnya ikut kesana bila Kim juga ikut. Dia bisa merekam segala aktivitas yang dilakukan Abraham dan para target lainnya.
"Kenapa?" tanya Kim karena Raja cuma diam.
Raja buru-buru menggeleng. Dia tersenyum dan mencubit pipi Kim. "Kita mau kemana?" tanyanya.
"Aku pengen ke taman bermain, tapi bukan tempat anak-anak."
"Ah, aku tau satu tempat," ujar Raja dengan semangat.
"Serius?!"
Raja mengangguk mantap.
"Ya udah, kamu tunggu di sini. Aku mau ganti baju dulu." Kim langsung berlari ke kamarnya ketika Raja bilang iya.
Raja pun masuk ke dalam untuk mengambil kunci mobil Kim, dia akan menunggu di mobil saja sambil memanaskan mesin.
Melihat sebuah benda lempeng berwarna hitam melekat pada bagian dasboard, Raja mengambilnya. Mulai sekarang, dia akan mematikan segala akses yang dia gunakan untuk mengintai Kim. dengan kata lain, Raja mengkhianati pekerjaannya untuk melindungi gadis itu.
Ini sebuah pilihan yang sulit, tapi Raja sungguh mencintai Kim dan berupaya agar gadis itu tetap tak terlihat oleh hukum, sambil perlahan mengubah Kim menjadi pribadi yang lebih baik.
"Sorry, terkadang kita harus mengorbankan satu hal, untuk mendapatkan hal lainnya yang lebih besar," kata Raja pada lempengan itu. Dia kemudian meremasnya, membuat lempengan itu hancur dan membuangnya ke luar.
Tak lama, Kim sudah masuk ke dalam mobil dengan pakaian yang Raja sukai. "Cantik," pujinya.
Kim menyunggingkan senyum. "Aku udah minta Rey buat libur hari ini," beritahunya.
"Good," sahut Raja.
✾ ✾ ✾
Bukan Taman, Raja membawa Kim ke sebuah Rumah bertingkat dua dengan halaman luas dan asri. Hanya ada dua orang satpam yang berjaga di depan pagar rumah. Lalu ada tukang kebun menyiram tanaman.
"Raja, ini dimana?" tanya Kim bingung. Dia berulangkali menoleh ke kanan, kiri hingga belakang.
"Rumah aku," jawab Raja.
"Hah?" Kim menatap Raja terkejut. "Bentar, tadi bukannya kita mau ke taman ya?"
"Lebih enak rumah aku ketimbang taman," jawab Raja.
Kim menatap was-was ketika mobil berhenti tepat di depan pintu Rumah Raja. "Ja, kita ngapain ke sini?"
"Ketemu Orang Tua aku. Ketemu Kakak aku. Dan..."
"Untuk?" potong Kim langsung.
Cup!
"Jangan bawel," Raja membungkam bibir Kim dengan ciuman singkat.
Raja turun lebih dulu, kemudian dia membuka pintu mobil untuk Kim. Tangannya tertulur untuk menyambut gadis itu turun. "Ayo," ajaknya.
Dengan sangat terpaksa, Kim menuruti keinginan Raja. Dia berjalan pelan mengikuti gandengan pemuda itu. Saat Raja menekan bel, dia mulai merasa gugup.
"Tangan kamu dingin banget," ujar Raja saat merasakan tangan kim yang tidak hangat seperti biasa.
"Aku bener-bener gugup, Ja. Kamu tiba-tiba ajak aku kesini tanpa persiapan apa-apa. Gimana aku nggak..."
Cup!
Raja mengecup bibir Kim kembali. "Kamu bakal seneng di sini," ucapnya yakin.
Pintu berdaun dua itu akhirnya terbuka. Aila dengan celemek masak masih melekat di tubuhnya, terkejut melihat kedatangan Raja. "Raja?!" pekiknya.
"Mama," Raja memeluk Aila dengan erat. Sudah satu bulan dia tidak bertemu dengan sang Mama, meski kemarin ada jatah libur dari Kim tapi Raja malah sibuk dengan laporannya ke Komandan Denver.
Mata Aila melirik pada gadis di sebelah Raja. Dia tersenyum ramah sambil bertanya, "siapa si cantik ini?"
"Halo Tante, saya Kim." Kim mencium punggung tangan Aila. Lalu keduanya cipika-cipiki dan berpelukan.
"Pacar Raja, Ma," jawab Raja. Harusnya Kim yang menjawab itu tadi.
Kim melirik Raja melalui sudut matanya. Namun kemudian dia tersenyum pada Aila yang menatapnya.
"Ayo masuk," ajak Aila merangkul hangat Kim ke dalam rumah.
Raja melepaskan pegangan tangannya pada Kim, menyerahkan gadis itu pada Mamanya.
"Kaival! Kaila! Lihat siapa yang dateng!" jerit Aila begitu bersemangat.
"Siapa Ai?" tanya Kaival dari Ruang keluarga di dekat dapur bersih.
"Calon menantu kita dong!" jawab Aila.
Kim meringis mendengarnya. Terlebih saat Raja berbisik, "cie, calon menantu."
Sosok yang tadi terdengar suaranya langsung keluar dengan membawa sebuah majalah. "Calon menantu kita?" tanya Kaival begitu di hadapan Kim.
"Hallo Om," Kim segera menyalami Papanya Raja itu.
"Wah, nggak salah pilih." Kaival pun ikut memuji.
"Suara Mama kedengeran sampe kamar Kaila, ada siapa sih yang..." Kaila yang baru saja turun langsung terdiam begitu melihat Raja. Cepat dia berlari dan memeluk adiknya itu. "Bego lo, pergi sebelum gue dateng. Apa tugas lo nggak bisa ditunda dulu?"
"Kaila..." tegur Aila dengan wajah memberikan kode.
Kaila baru menyadari ada seseorang di sana. Dengan cepat dia tersenyum dan menutup mulutnya.
"Nggak papa, Kim udah tau kok kerjaan gue," beritahu Raja.
"Wah, jadi ini calon adek ipar gue?" goda Kaila sambil melirik jahil pada Kim dan Raja.
Kaila langsung mengajak Kim berkenalan, tak lupa sedikit menggoda agar Kim tidak terlalu tegang menghadapi keluarga Raja yang baru dikenalnya.
✾ ✾ ✾
Aib Raja
Sementara Kim bersama keluarganya, Raja justru berada di kamarnya. Dia sedang melakukan sesuatu, yaitu melihat hasil rekaman yang dia dapat beberapa hari ini soal Abraham. Ada keraguan dalam benak Raja untuk mangcopy rekaman itu ke dalam chip memory untuk dilaporkan ke Komandan Denver.
Dia berpindah ke rekaman lainnya, dimana ada Kim yang sedang beraksi membunuh para penghianat Papinya itu. Namun di balik semua rekaman yang bisa menjadi bukti kejahatan satu keluarga tersebut, ada momen manis yang tak luput ditangkap oleh kamera tersembunyi di kancing jas Raja. Momen dimana Kim sedang tertawa lepas, sehingga terlihat sangat cantik.
"Ehm," deham Aila yang sudah bersandar di kusen pintu.
"Mama," Raja menutup laptop dan menghadap ke arah Mamanya.
Aila berjalan mendekati Kaival, lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Mamanya itu. "Mama suka sama Kim. Mama setuju," ucapnya tiba-tiba.
"Tapi, Ma... Kim itu..."
"Anak dari Abraham Lincoln, seorang Pemasok narkoba terbesar di Asia. Juga anak dari Mariko Genova Lincoln, seorang Germo high class yang bekerja sama dengan mafia human Trafficking. Dan Kim sendiri adalah orang yang selama ini dicari Negara atas kasus pembunuhan tanpa jejak yang sering terjadi di Ibukota kita ini. Mama bener?"
"Mama udah tau..." kata Raja dengan suara lemah.
Emangnya apa yang bisa luput dari mata Aila? Meski Mamanya itu telah lama berhenti menjadi seorang Agen, tapi nalurinya tetap hidup. Belum lagi semua fasilitas yang Aila punya untuk melacak siapa saja, masih bertengger setia di dalam kamarnya.
"Butuh keberanian yang bener-bener kuat kalau kamu emang ingin maju, Raja. Kim bukan orang sembarangan, melindungi dia itu berarti kamu harus siap dengan resiko kehilangan juga."
"Mama dukung Raja?"
"Apapun keputusan kamu, Mama selalu ada untuk kamu. Tapi kamu harus ingat, kalau patah hati dua kali itu akan membuat kamu hancur, Raja."
Raja menatap Mamanya begitu lekat.
"Mama seneng, akhirnya kamu bisa melupakan Ayela dan jatuh cinta pada Kim."
"Apa kali ini juga akan gagal, Ma?" tanya Raja dengan wajah muram.
Aila menangkup kedua pipi Raja dan menatapnya. "Dengerin Mama, ikutin kata hati kamu. Tapi jangan lupakan janji kamu pada Negara."
Raja memeluk Aila, wanita yang selalu menjadi penyemangat dalam hidupnya di saat dirinya bingung harus memilih apa. "Makasih, Ma. Raja akan lakukan apapun untuk melindungi Kim," ucapnya kemudian.
"Pilihan yang tepat," balas Aila berbisik. Lalu dia melepaskan pelukan. "Kamu harus turun, kasihan Kim digangguin terus sama Papa dan Kakak kamu."
Raja terkekeh. "Mama tau nggak?" tanya Raja semringah.
"Apa?" Aila menatap penasaran dan antusias.
"Mama dan Kim punya kesamaan, kalian sama-sama menguasai shot gun dan menembak tanpa berkedip."
Aila terperangah. "Jadi, itu sebabnya kamu suka Kim? Karena dulu kamu pernah bilang pengen punya pacar yang kayak Mama, bisa pegang dua shot gun dan menembak tanpa berkedip itu keren."
"Hahahaha," Raja pun tertawa.
✾ ✾ ✾
Saat turun ke bawah, ternyata Kim sedang diajak Kaila melihat-lihat album foto. Gadis itu terlihat sangat menikmati ocehan Kaila tentang bagaimana foto-foto itu diambil. Kim tertawa saat Kaila menceritakan dengan detil, tentunya tentang aib dirinya yang lebih suka memakai pakaian Kaila saat masih balita.
"Seneng banget bongkar aib gue," cibir Raja sambil duduk di samping Kim.
"Iya lah. Kapan lagi bisa bikin lo malu di depan calon adik ipar," goda Kaila.
Aila yang melihat ikut tertawa, dia duduk di samping Kaival. "Kaila sama Raja itu Kim paling suka bongkar aib. Nanti kalau pacar Kaila dateng pasti gantian Raja yang godain."
Kim tertawa, ringan sekali. Hilang sudah rasa canggungnya dalam keluarga ini, dia bahkan tak diizinkan untuk diam kehabisan topik. Sedikit menatap Raja, Kim tersenyum lembut seakan mengucapkan terima kasih.
"Lihat Kim," panggil Kaila. Kim langsung melihat album kembali, lepas dari tatapan Raja yang menuntut banyak hal. "Selain suka pakek baju-baju gue, Raja itu juga suka makein make-up Mama."
Kim tertawa. Raja terlihat sangat lucu di foto itu. Bedak cemong di wajah, lipstik hingga ke dagu. Blush-on merah sebelah. Maskara belepotan. "Ini kamu?" tanyanya sambil menunjuk foto itu dan terus tertawa.
Kali ini Raja sungguh malu, dia merebut album kecil itu. "Mama, Raja kan udah bilang foto ini dibuang aja!"
"Hahahaha," tawa Kaila terdengar menyebalkan.
"Mama udah simpen, tapi kata kakak kamu biarin aja di sana soalnya itu momen berharga yang nggak akan keulang lagi," Aila menjawab santai.
"Lo tuh ya emang, gue bales nanti." Raja berdengus pada Kaila. Dia mepepas foto itu dari album, hendak meremasnya sampai hancur. Tapi tiba-tiba sudah berpindah tangan ke Kim. "Buat aku aja," ujar gadis itu dengan senyum lebar.
"Nggak boleh! Kamu bakal pakek itu untuk ngetawain aku sepanjang hari," tolak Raja ingin merebut foto, tapi kim malah menjauhkannya.
"Ini sebagai jaminan kalau kamu nggak akan selingkuh, atau aku bakal sebar foto ini ke media."
"Rasain!" Kaila begitu puas tertawa.
Raja mencebik pada Kakaknya itu. Tapi lalu dia menangkap pergelangan tangan Kim, "kamu nggak akan punya kesempatan buat sebarin ini ke media karena aku bakal setia sama kamu," ucapnya lembut.
Kim sampai meringis malu dibuatnya dan terpaksa merelakan foto itu direbut Raja kembali.
"Tenang Kim, gue punya soft copynya, nanti gue kirim ke lo," kata Kaila dengan bangga.
"Cari mati lo emang," pelotot Raja.
Kaival merangkul pundak Aila sambil berkata, "Kamu lupa kalau dapur sedang menunggu?" bisiknya.
"Astaga, aku lupa!" pekik Aila. Tadi sebelum Raja datang, Aila sedang masak dan dia tinggalkan begitu saja.
"Tenang Ma, sudah Kaila matiin kompornya," bantu Kaila.
"Tetep aja belum masak, Kai. Kita butuh makan siang ini, lihat udah jam berapa." Aila jadi begitu panik karena tidak enak pada Kim, jadi telat makan gara-gara lupa masak.
"Boleh Kim bantuin, Tante?" tanya Kim.
Semua menatap Kim.
✾ ✾ ✾
Pinter Masak
Aila cukup terkejut karena ternyata Kim sangat pintar memasak. Bahkan, sebagian kegiatan dapur diambil alih oleh gadis itu dengan begitu cekatan. Mulai dari memotong semua jenis sayuran, memanaskan minyak di kompor serta menumis.
"Tante nggak nyangka kalau kamu jago masak kayak gini, Kim," puji Aila dengan pandangan yang memang kagum.
"Sejak kecil Kim suka masak sendiri di dapur, Tan. Kalo ada waktu pasti nyobain resep baru," jawab Kim tanpa menghentikan pergerakan tangannya memotong bawang meski matanya menoleh pada Aila.
"Makanan apa yang paling suka kamu masak?"
"Lebih ke kue Tante. Kim suka banget bikin brownies," jawab Kim terkekeh.
"Waw..." Aila menggeleng penuh pujian. "Kapan-kapan boleh dong kamu kesini buat ajarin Tante bikin brownies?"
"Boleh banget Tante, kapanpun Tante punya waktu." Kim tersenyum.
"Good. Kalo gitu Tante bakalan minta Raja untuk sering-sering ajak kamu ke sini."
Kim mengangguk setuju.
"Kamu terusin sebentar ya, Kim. Tante mau suruh Raja buang sampah dulu. Liat tuh udah penuh," Aila melepas celemek masak di tubuhnya dan meletakkan itu ke atas nakas kosong.
"Oke, Tante!"
Setelah Aila keluar dari dapur, Kim kembali melanjutkan kegiatannya membuat kaldu sup tulang iga. Dia memasukkan semua bahan yang telah disiapkannya tadi, juga bumbu-bumbu pelengkap. Lalu mengaduknya sampai merata. Sementara tulang Iga yang sudah lebih dulu dia masak, baru dimasukkan ke panci berisi kuah kaldu.
"Ehm," deham Raja dari belakang.
Kim menolehkan kepala dan tersenyum, Raja mencium pipinya dengan lembut. "Kamu kesini disuruh buang sampah, bukan ngeliatin aku masak," beritahunya.
"Sambil menyelam minum air," bisik Raja sambil melingkarkan kedua tangannya di perut Kim. Dia membelokkan kepala Kim lebih dekat dengan wajahnya, sehingga bibir mereka menempel.
Keduanya berciuman, saling melumat dengan penuh kelembutan. Hingga ciuman itu berlangsung cukup lama dan tangan Raja mulai merambat merayapi dadanya, Kim menyudahi ciuman dengan mendorong pemuda itu. "Enough. Kita nggak lagi berdua aja di sini."
Raja menatap Kim dengan kedua mata gelap, dia terpancing nafsu dan sulit melenyapkannya bila belum tuntas. Ditariknya pinggang Kim merapat ke tubuhnya, lalu mengulang ciuman kembali. Dipaksanya Kim mengikuti permainan lidahnya, hingga nafas keduanya memburu dalam ciuman yang panas itu.
"RAJA, JANGAN LUPA SAMPAH DI DEKET KAMAR MANDI JUGA DIAMBIL!"
Kim dan Raja terpaksa melepaskan diri, suara Aila membuat mereka harus berpisah. Untunglah Mamanya Raja itu tidak ke dapur, kalau tidak pasti Kim akan merasa sangat malu.
"Udah sana. Sebelum Mama kamu dateng dan tau kita ngapain di sini," usir Kim.
Raja menghela nafas berat. Dia mengusap bibir Kim dan berkata, "ini belum selesai."
Kim mendorong Raja dan terkekeh. "Tugas kamu membuang sampah juga belum selesai," ujarnya mengingatkan.
Raja terpaksa menahan siksaan hasrat yang menggebu-gebu itu dengan kepala pening. Dia mengambil plastik hitam sampah di bawah meja dapur. Lalu plastik hitam di tong sampah samping kamar mandi dan membawanya keluar melalui pintu dapur.
Kim tersenyum geli. Dia menyalakan kompor kembali, setelah sempat dia padamkan berciuman tadi.
✾ ✾ ✾
"Wah, kayaknya makan siang kita kali ini beneran enak deh," kata Kaival sambil menuang kuah sup tulang iga ke piringnya.
"Emang selama ini aku masak nggak enak?" sindir Aila.
Kaival tercengir. Dibantu Kaila, dia mendapat partner memuji hasil karya Kim. "Enak banget Kim, ini kamu sendirian yang masak?"
"Dibantuin Tante Aila kok tadi," jawab Kim merendah.
"Bantuin apanya, Tante cuma liatin aja tadi. Ini semua Kim yang masak," kata Aila mengungkap kebenaran.
"Ma, kalo Kaila bisa masak kayak Kim mungkin gedenya nggak akan jadi Agent, tapi Chef."
"Hahaha, mending lo jadi Agent. Kalo lo jadi Chef, akan banyak manusia terbunuh karena keracunan," ledek Raja.
"Masakan gue nggak separah itu ya!" delik Kaila.
"Terakhir lo masak, lo bikin gue masuk rumah sakit karena diare. Lupa?"
"Itu kan kesalahan yang tidak disengaja," sahut Kaila dengan nada polos.
"Sudah-sudah, kenapa jadi kalian yang berdebat," Aila menengahi saat keduanya kembali ingin mengeluarkan suara.
Kim sejak tadi selalu dibuat tertawa geli akan tingkah dua beradik yang selalu berselisih namun sebenarnya saling menyayangi itu.
"Mereka emang gini kalau ketemu, Kim. Jauh kangen, dekat berantem. Sejak kecil kayak gini," kata Aila agar Kim memaklumi.
"Hahaha, nggak papa Tante. Kim malah seneng liatnya, baru kali ini makan dengan suasana keluarga kayak gini," ujarnya begitu bahagia.
Raja menatap Kim. Gadis itu memang selalu terlihat kesepian kalau di Rumahnya. Soalnya orang tuanya sibuk masing-masing dengan bisnis haramnya. Sementara sang anak dibiarkan saja melakukan hal yang diinginkannya, termasuk membantu kegiatan-kegiatan terlarang itu.
"Ehm," Kaival berdeham dengan keras. "Mata kamu nanti jatuh ke piring loh, Raja," sindirnya.
Barulah Raja menyadari kalau Orang tuanya melirik ke arahnya. Dia pun mengalihkan pandangan ke piring, melanjutkan makan.
Selesai makan siang, Kaival kembali ke kantor karena tiba-tiba ada telepon dari sekertarisnya untuk urusan mendadak. Sementara Aila harus pergi bersama Kaila ke Rumah Sakit untuk melihat keadaan Oma Saraswati yang sedang sakit.
Rumah sepi, tinggal Raja dan Kim saja bersama para pekerja rumah yang pastinya sedang sibuk.
"Mau room tour, nggak?" tanya Raja menawarkan.
"Boleh," simbat Kim.
Raja pun menggandeng Kim, dia membawa gadis itu ke taman belakang yang terdapat kolam renang besar dan taman untuk bersantai. "Ini tempat favorite Mama sama Papa kalo malem. Biasanya mereka bakal begadang di sini kalo lagi berduaan," beritahu Kaival.
"Aku suka sama pancuran air yang itu, berasa di pedesaan," tunjuk Kim pada pancuran air yang terbuat dari bambu asli dan diolah sedemikian rupa sehingga tampak menjadi cantik. Airnya jatuh ke kolam ikan dan suara gemericiknya terasa menyejukkan hati.
"Itu Mama yang punya ide. Katanya biar kenangan di desa melekat ke tempat ini."
"Mama kamu berasal dari desa?"
Kaival mengangguk. "Pernah tinggal di desa juga. Panjang ceritanya, nanti pelan-pelan aku kasih tau."
Kim pun mengangguk.
"Sekarang ikut aku ke tempat privasi yang biasanya cuma dimasuki oleh Mama, Papa dan Kaila aja. Nggak pernah ada yang boleh masuk kesana, tapi sekarang aku izinin kamu."
"Di mana?"
"Ayok," Raja kembali menggandeng Kim. Mereka masuk kembali ke dalam rumah, menaiki tangga lurus ke atas.
Lalu Kaival membawa Aila berhenti di depan pintu yang terpasang tulisan "Raja's Private Room".
✾ ✾ ✾
Rahasia Raja
Kamar Raja adalah tempat paling suci yang tidak bisa dimasuki oleh orang sembarangan. Hanya orang tuanya dan Kaila yang bisa masuk. Makanya untuk membersihkan kamar itu harus Aila sendiri yang turun tangan setiap hari.
"Kenapa nggak boleh ada yang masuk kesini?" tanya Kim penasaran. Karena sepertinya tidak ada yang spesial dengan kamar itu. Terdapat perabotan standar kamar tidur dan sebuah meja kerja. Juga ada alat olahraga. Seperangkat televisi dan multimedia lainnya. Mini bar kecil di dekat balkon. Benar-benar persis seperti kamar Kim, minus meja rias saja.
"Karena aku nggak mau ada yang liat ini," Raja menutup pintu kamar sehingga sebuah foto yang tertutupi pintu tadi langsung terlihat.
Kim tertawa, begitu keras hingga memegangi perutnya. Foto dengan ukuran besar itu adalah Aib Raja yang tadi dia larang ada di album foto tapi malah terpampang di sana.
"Ketawa aja yang puas Kim," cebik Raja.
"Hmmpp," Kim menahan tawanya dengan mengatupkan bibir. Tapi sulit sekali menahannya lama-lama hingga tawanya kembali meledak.
Raja mendengus, kemudian menarik Kim dan menutup mulut gadis itu dengan telapak tangannya. "Berhenti nggak?" ancamnya.
"Hmpphh," Kim tetap tak bisa berhenti. Sebabnya, foto itu masih terlihat di depan mata.
Raja pun membalik tubuh Kim agar berhenti menatap foto itu. "Berhenti ketawa!" suruhnya.
Kim menggigit ujung lidahnya dan membentuk jari menjadi OK. Dia meniupkan nafas dari mulut untuk menetralkan kembali pikirannya. "Kalo kamu emang malu dengan foto itu kenapa sampe dipajang segede itu?" tanyanya sekuat tenaga agar tak tertawa lagi.
"Jangan salah, foto itu ada sejarahnya tau."
"Apa?"
Raja menarik Kim untuk duduk di atas ranjang. Mereka bersebelahan dengan tangan saling menggenggam. "Jadi waktu itu, aku ngelakuin kesalahan yang besar banget sampe bikin Mama nangis."
"Kesalahan apa?"
"Nekat berenang di kolam renang rumah tanpa ngajakin siapa-siapa, padahal tinggi aku belum sampe. Aku lompat dan tenggelam. Untung ada Pak Mardisun yang denger suara lompatan aku ke dalam air, makanya dia cek. Kalo nggak, mungkin aku udah..."
Suasana larut dalam kesedihan cerita araja, Kim mengusap lengan pemuda itu.
"Meski cepet ditolong, aku tetep pingsan dong karena kelelep. Mama panik banget, sampe kata Pak Mardisun waktu macet Mama gendong aku keluar mobil dan lari tanpa alas kaki ke rumah sakit."
"Ya ampun..."
"Aku selamat, tapi Mama nggak berhenti nangis. Mama shock, trauma dan ketakutan gitu. Makanya aku ngerasa bersalah banget dan cari cara agar Mama percaya kalau aku masih hidup dan baik-baik aja."
"Makanya kamu pakek make-up itu biar Mama kamu ketawa lagi?" tebak Kim.
Raja mengangguk. "Dan berhasil! Makanya itu jadi momen bersejarah banget buat aku, yang nggak bakal aku lupain seumur hidup. Sekaligus bakal bikin aku malu kalau sampe ada yang lihat."
Kim menatap foto itu kembali, kali ini dia tidak tertawa melainkan tersenyum. Seakan dirinya bisa melihat usaha seorang anak kecil yang ingin membuat Mamanya tertawa di dalam foto itu.
"Selain Mama, Papa dan Kak Kaila, kamu orang pertama yang lihat itu," beritahu Raja.
Kim menatap Raja. "Kenapa aku boleh lihat?"
"Karena kamu spesial. Kamu sama pentingnya kayak mereka bertiga, buat aku."
Mendengar itu Kim pun tersenyum.
✾ ✾ ✾
"Aku ngerasa sepi di sini. Lebih enak di Rumah kamu," kata Kim begitu sampai di Rumahnya.
"Nanti kita sering-sering ke Rumah aku kalau kamu mau."
"Mau banget! Tiap hari kalo perlu," sahut Kim bersemangat.
"Kamu bilang aja ke aku kalau mau ke sana, kapanpun pintu rumah aku selalu terbuka untuk kamu." Raja mencubit pipi Kim.
"Siap!" Kim memberikan hormat.
"Ya udah, kamu pasti capek banget. Kamu mandi, terus istirahat. Aku bakal jaga di luar sama Rey, kasihan dia ditinggal seharian."
"Oke," Kim mencium pipi Raja. Lalu dia naik ke atas dengan senandung kecil dan langkah ringan.
Raja tersneyum melihat itu. Setelah Kim masuk ke kamarnya, dia langsung menemui Rey yang duduk sendirian merokok di taman belakang.
Raja menepuk pundak Rey, membuat pemuda itu menoleh kaget. "Aishhh, gue kira siapa. Udah pulang dari kencan?" sindirnya.
"Udah," jawab Raja sambil mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Raja sebenarnya bukan perokok, tapi dia tipikal orang yang ingin bergaul dengan orang lain selama itu tidak berlebihan.
"Lo nekat banget sih, Ja, macarin anak konglomerat gengster kayak Kim. Nggak takut kepala lo ditembak sama Bapaknya?" tanya Rey.
"Kalau gue sepenakut itu, gue nggak bakal kerja kayak gini sekarang," jawab Raja santai.
"Bener juga sih," Rey mengangguk. "Tapi kalau orang tuanya tau, lo siap dengan resikonya?"
"Tergantung Kim, kalau dia minta gue berjuang, gue bakal lakuin sampe titik darah penghabisan."
"Kalau dia minta lo mundur?"
Tiba-tiba Raja jadi ingat akan masa lalu yang telah dia kubur. Mungkin kali ini situasinya berbeda, tapi secara teknis pilihannya sama.
"Woi, diem aja lo ditanya," Rey menyikut lengan Raja.
Raja membuang puntung rokok ke rumput dan menginjaknya. "Gue mau mandi, gerah."
"Jangan lama!" kata Rey saat Raja sudah melangkah masuk ke dalam rumah.
Raja masuk ke kamar yang dia tempati bersama Rey untuk istirahat bergantian. Dia mengambil sesetel pakaian rapi, untuk berganti. Saat mengeluarkan underwear dari tumpukan paling bawah di dalam Koper, tiba-tiba sebuah foto ukuran 3R jatuh ke lantai.
Jantung Raja bergemuruh, itu adalah foto seorang wanita dengan senyum paling teduh yang pernah Raja lihat. Gadis dari masa lalunya, yang lebih memilih keluarga dibandingkan dirinya. Gadis yang telah dia perjuangkan hingga nyaris kehilangan pekerjaannya sebagai Agent, namun berakhir sia-sia karena sang gadis tidak ingin diperjuangkan.
"Raja," panggil Kim yang tiba-tiba membuka pintu.
Raja langsung meremas foto itu dan menyembunyikannya ke balik kemeja yang dia pegang. "Kenapa?" tanyanya.
"Kamu mau mandi ya?" tanya Kim.
"Iya. Kamu perlu sesuatu?" tanya Raja.
"Nggak penting. Aku cuma mau minta anter ke supermarket," ujar Kim. "Tapi nggak papa, aku minta anter Rey aja."
"Beneran?"
Kim mengangguk.
"Ya udah. Jangan lama. Jangan bikin Rey jatuh cinta sama kamu. Aku ini cemburuan," pesan Raja.
Kim malah tertawa. Dia menutup pintu kamar itu dan pergi.
Raja kembali mengeluarkan foto dan menatapnya dengan pandangan nanar. Dia berjalan ke tong sampah, menguatkan hatinya lalu membuang kenangan itu kesana.
"Aku harap kamu pun menemukan orang yang kamu cintai."
✾ ✾ ✾
Cara Lepas
Kim sedang berada pada fase dimana dia sedang sangat membutuhkan obat saat ini. Dia kedinginan, menggigil dengan tubuh berkeringat menahan siksaan di dalam tubuhnya.
"Kamu pasti bisa. Kamu pasti bisa, Kim. Lawan..." bisik Raja.
Raja yang sejak tadi selalu memeluk Kim, membantu gadis itu melewati fase berat melawan pengaruh narkoba benar-benar tidak tega harus menyiksa Kim seperti ini. Raja lah yang meminta Kim untuk berhenti mengkonsumsi narkoba dan Kim menurutinya.
"Arrgghhh," Kim mengerang.
Raja menatap Kim yang sudah sangat pucat, lemah akibat tuntutan narkoba yang mungkin lebih kuat melawan daya tahan tubuh gadis itu. Bibir Kim sampai bergetar, dia merintih dengan erangan kesakitan. Malah terkadang, Kim menggigit bibir bawahnya begitu keras agar tidak terdengar mengeluh. Dia sedang berjuang saat ini, Raja tau itu.
But... Raja tidak sanggup lagi.
Melepaskan pelukannya, Raja berdiri dan berjalan ke meja rias Kim. Lalu dia mengeluarkan sebuah box plastik berisi segala hal yang...
Curiga
Kim turun ke bawah untuk sarapan. Semalaman dia tidak keluar kamar, semua orang mengira dirinya tidur sehingga tidak ada yang mengganggu. Padahal Kim tidak tidur sama sekali, dia duduk di balkon sendirian, menatap ke langit merenungkan apa saja yang lewat di kepalanya.
"Good morning," sapa Kim dengan senyum khas bersemangat.
"Wah, Nona Kim sepertinya sangat senang pagi ini," sapa Bik Odah sambil menuangkan susu ke gelas kosong untuk Kim.
"Awali pagi dengan senyuman, Bik. Agar hari ini berjalan dengan lancar," kata Kim penuh percaya diri.
Cup!
Sebuah flash kiss menyambar pipi Kim, tepat di saat Bik Odah sedang membalikkan badan mengambil omelet untuknya. Raja pelakunya, siapa lagi. Pemuda itu duduk di sebelahnya, sambil tersenyum geli.
Kim mencubit perut Raja. Tersenyum namun tidak menatap pemuda itu.
"Semalem pengen masuk ke kamar kamu, tapi takut ganggu. Makanya aku jaga di luar," beritahu Raja.
Kim masih saja membalasnya dengan senyuman tanpa...
Rehabilitasi
Mobil berhenti di depan Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO. Kim tetap tersenyum meski sejujurnya dia merasa takut melihat tulisan besar itu.
"Kita kesini nggak papa, kan?" tanya Raja dengan hati-hati, takut bila Kim tersinggung atau marah padanya.
Kim tersenyum lembut dan menggeleng.
"Kalau kamu belum siap, kita bisa pulang Kim. Kita lakuin ini setelah kamu bener-bener siap," ulang Raja.
Kim masih saja tersenyum. "Aku mau kok. Apa salahnya dicoba, iya kan? Mumpung Mami sama Papi lagi nggak ada."
"Ya udah, kita coba."
Kim mengangguk.
Rey turun lebih dulu. Raja dan Kim berjalan di belakangnya dengan bergandengan tangan. Mereka tidak lagi melewati proses pendaftaran karena sudah membuat janji dengan sang dokter.
Selama melewati lorong-lorong dengan pasien ketergantungan narkoba, Kim merasa takut. Terutama ada pasien yang nampak seperti sudah kehilangan akal sehat, persis seperti berada di Rumah Sakit Jiwa. Biasanya pengguna narkoba jenis itu memakan pil-pil oplosan dengan kualitas yang sangat...
Fase
Kamar rehabilitasi bukanlah seperti kamar-kamar di Rumah Sakit pada umumnya. Tidak ada furniture apapun selain sebuah kasur busa, bantal, guling dan selimut. Hal ini memang disengaja agar pasien yang sedang sakau tidak melakukan hal-hal bodoh yang dapat membahayakan nyawa mereka. Letak jendelanya saja sangat tinggi, selebihnya dinding beton yang mengelilingi.
Kim sendiri sudah berganti pakaian yang telah disediakan khas pasien. Dia dilarang membawa apapun ke dalam, termasuk aksesorisnya saja dilepas.
"Kamu yakin?" tanya Raja lagi. Dia tidak tega melihat Kim harus berada di Kamar itu selama 24 jam.
"Kamu jangan bikin aku ragu," suara Kim terdengar lemah. "Kamu pengen aku sembuh kan?"
Raja mengangguk. Sekali lagi dia memeluk Kim. "Aku nggak akan ninggalin kamu, jadi jangan takut. Aku ada di sini, kamu nggak sendirian."
Kim mengangguk.
Dokter Zia sangat mengerti bagaimana perasaan Kim saat ini. Sebelum gadis itu masuk, dia mengatakan sesuatu yang akan menjadi pegangan Kim untuk bertahan. "Kamu...
Aku di Sini
"Tante," panggil Raja. Dia ingin dokter Zia melihat ke layar karena Kim sudah mulai membutuhkan obat.
Dokter Zia duduk di sebelah Raja, melihat dengan teliti. Dia memperbesar layar agar fokus pada wajah Kim. Gadis itu duduk dengan kaki bertekuk, dia memeluk lututnya sendiri karena kedinginan.
"Sudah dimulai," kata dokter Zia dengan pandangan serius.
Raja benar-benar tidak tega. Dia pernah melihat Kim dalam keadaan seperti ini, tapi saat itu dirinya ikut menemani melewati masa-masa yang sulit bagi Kim. Dan sekarang, Kim sendirian.
"Sepertinya tingkat ketergantungan Kim pada narkoba sudah sangat tinggi. Ini pasti akan lama untuk bisa sampai ke tujuan yang kita harapkan."
Raja merasa sesak. Gadis yang dia cintai sedang berjuang sendirian di dalam kamar itu. Wajah Kim menunjukkan betapa sakitnya dia melawan serangan dari keinginan mengkonsumsi penawar.
"Kalau Tante boleh jujur, Tante nggak pernah lihat pasien sekuat Kim. Di saat seperti ini, seharusnya dia berteriak meminta siapapun memberikannya obat....
Belum Selesai
Berat, selama berjam-jam melewati fase dimana keinginan terkuat di dalam dirimu adalah mencabik-cabik tubuhmu sendiri.
Lelah, rasanya sakit itu tak kunjung pergi meski telah bertahan begitu lama.
Kim mencoba membuka matanya saat tubuhnya terasa terayun-ayun ke udara. Degupan cepat dari jantung seseorang terasa kencang di telinganya. Saat tubuhnya dihempas ke benda empuk, barulah dia sadar kalau ini semua nyata dan dia masih hidup.
Ya, Kim telah selesai menjalani proses rehabilitasi selama 24 jam. Bertahan selama itu membuat tubuhnya lemah hingga nyaris pingsan. Raja yang setia menemani meski hanya di luar pintu, langsung menggendong gadis itu untuk dibawa ke Ruangan perawatan.
Dokter Zia menangani Kim secara langsung, dia sendiri tidak tidur selama proses ini berlangsung, lantaran takut terjadi apa-apa karena Kim baru pertama kali menjalaninya. Sebenarnya sebagai seorang manusia, hatinya tidak tega melihat Kim tersiksa selama hampir 20 jam. Ingin rasanya dia menyudahi proses itu. Tapi sebagai seorang dokter, dia terpaksa...
Go Home
Mendengar kabar dari Rey kalau Kim sudah bangun, Raja cepat-cepat kembali ke Rumah Sakit. Tangannya membawa sebuket bunga Mawar dari berbagai macam jenis dan warna. Kakinya melangkah begitu cepat ingin cepat sampai ke kamar rawat gadis itu.
Raja membuka pintu, hal pertama yang menyapanya adalah senyuman dari Kim. Meski masih terlihat lemah, gadis itu tetap berusaha baik-baik saja di depannya.
"Hai..." sapa Raja lembut disertai kecupan hangat di kening. Bunga yang dia bawa bersembunyi di belakang tubuhnya.
"Aku pikir kamu pulang," kata Kim dengan suara yang masih lemah.
"Nggak mungkin aku ninggalin kamu. Tadi aku beli sesuatu buat kamu," ujar Raja dengan senyum mengembang.
"Apa?" tanya Kim penasaran.
Pelan-pelan Raja mengeluarkan tangannya yang tersembunyi di belakang tubuh.
Kim membelalakkan mata, terlihat sangat senang atas pemberian Raja itu. "Cantik banget," pujinya sambil menerima bunga tersebut. Dia menciumnya, terasa sangat wangi dan masih begitu segar. "Beli dimana?"
Fokus Raja bukan lagi pada...
Touch Me...
Hari yang menakutkan itu datang lagi, dimana Kim harus melawan efek putus obat yang menyerang. Tapi kali ini dia tidak sendirian, tidak pula berada di Ruang dingin seperti kemarin. Ada Raja yang setia menemani, bahkan memeluknya tanpa henti di saat dia menggigil kedinginan.
"Kamu pasti bisa," bisik Raja.
"Dingin banget," ujar Kim sambil memeluk Raja semakin erat.
Kim merasa kepalanya seperti mau pecah, seluruh tulangnya ngilu akibat terlalu dingin padahal tubuhnya berkeringat. Jangankan memejamkan mata, untuk berbaring saja rasanya sangat gelisah.
"Aku harus gimana, Kim? Demi Tuhan aku nggak bisa lihat kamu kayak gini," tanya Raja begitu cemas.
"Dingin... Sakit..." lirih Kim kembali.
Raja menarik selimut menutupi tubuh mereka berdua. Di atas ranjang, keduanya berpelukan sangat erat. Dia tak meninggalkan Kim sedetikpun, sampai rasa lapar sudah tak terasa lagi di perutnya.
"Arrghhh!" Kim mengerang, bagai ada jutaan serangga merayap di bawah kulitnya. Hanya halusinasi tetapi terasa seperti sungguhan....
Takdir
Raja berhasil menyusul mobil Kim dan sampai di Bandara tepat waktu sebelum orang tua Kim itu datang. Dia sampai mandi kilat, berpakaian cepat dan memacu kecepatan mobil gila-gilaan.
Saat Kim sedang berjalan menggunakan heels 5cm dengan anggunnya, tiba-tiba sebuah ciuman ceoat mendarat di pipi kanannya. Dia kaget dan nyaris saja ingin marah, tapi ternyata pelakunya Raja. "Kok bisa di sini?!" pekiknya kaget. Dia menoleh Rey yang memasang wajah cemberut.
Raja tercengir dengan kedua tangan berada di belakang tubuhnya sambil berjalan santai di sebelah Kim. Namun saat matanya melihat sosok Abraham yang sedang berbicara dengan Barayuda, dia langsung memperlambat langkah dan bersikap layaknya seorang pengawal.
Kim yang menyadari perubahan Raja langsung menoleh ke depan. Papinya, Maminya, Om Barayuda dan Tor sudah turun dari pesawat ternyata. Pas sekali, coba kalau mereka lihat saat Raja mencium pipinya tadi, pasti akan ada tragedi berdarah di Bandara ini.
"Kimberly!" pekik Mariko dengan kedua tangan terbuka....
Dor!
Raja dan Ayela duduk di Restoran yang berada di area Bandara, mereka belum banyak bicara hanya sesekali saling melirik atau makan dan minum. Ada suasana asing yang hinggap setelah dua tahun lamanya tidak bertemu dan untuk menyesuaikan itu lagi, mereka butuh waktu.
Tidak ada yang berubah dari Ayela, gadis itu tetap berdoa dengan menyatuhkan kedua telapak tangan membentuk genggaman. Memejamkan mata, kemudian barulah makan.
"Gimana di sana?" tanya Raja akhirnya.
"Biasa aja. Kamu gimana di sini?" tanya Ayela balik. "Kayaknya baik-baik aja," jawabnya sendiri, sedikit menyindir.
Raja tersenyum tipis. "Banyak yang berubah setelah kamu pergi, Ay."
"Hati kamu juga berubah?"
Raja menatap Ayela, pertanyaan itu membuatnya mengingat kembali fase dimana mereka...
"Aku belum, Raja. Semua masih stuck, setiap saat cuma ada nama kamu di hati aku."
Raja diam, tetap menatap Ayela.
"Tapi aku sadar diri, aku yang ninggalin kamu dan aku yang minta kita buat menyerah. Jadi kamu tenang aja,...
Cemburu
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Semua pengawal berkeringat dingin melihat aksi Kim menembak, empat peluru bersarang di partisi kayu yang menempel di tembok, melewati setiap bagian kepala Raja. Telinga kiri, Telinga kanan dan dua di puncak kepala.
Prok. Prok. Prok.
"Hebat Kim. Kemampuan kamu, Papi acungi dua jempol. Kamu semakin pintar, sayang." Abraham memuji, sama sekali tidak khawatir bila ulah Kim tadi sampai menelan korban.
"Anak Mami, pasti hebat lah Pi," puji Mariko juga.
Kim menatap Raja dengan begitu tajam. Sementara Raja menatapnya dengan sangat tenang. Masih merasa kesal, Kim melempar pistol itu ke sembarang arah. "Kim nggak suka pistol itu!" ujarnya kesal.
Abraham dan Mariko terkejut, saling memandang diam.
Semua pengawal menunduk saat Kim berjalan melewatu mereka. Gadis itu naik ke atas, masuk ke kamarnya. Dia mengabaikan panggilan sang Mami yang menyuruhnya membawa serta oleh-oleh.
"Sudah biarkan saja," kata Abraham pada Mariko. "Ayo kita istirahat," ajaknya pada sang istri. Mariko...
Undangan
Hari ini, Raja meminta izin pada Kim untuk beberapa jam. Dia harus pulang ke Rumah lantaran Kaila akan bertugas di Area konflik selama enam bulan lamanya. Sebelum berpisah lama dari sang Kakak, Raja ingin melihatnya lebih lama.
Namun siapa sangka, di saat keluarga sedang berkumpul, Ayela datang dan menyapa semuanya. Membuat semua orang kaget dan menuduh Raja masih berhubungan dengan gadis itu.
"Halo Tante," sapa Ayela pada Aila lebih dulu. Dia menjulurkan tangan mengajak bersalaman, tapi Aila tidak menerimanya.
Ayela telah lama dibuang dari daftar hubungan dalam keluarga Raja, sejak gadis itu meninggalkan Raja dalam hidup yang penuh penderitaan.
"Kebetulan semuanya ada di sini, saya mau meminta maaf..." kata Ayela dengan penuh kesopanan.
"Buat apa kamu kesini lagi?" tanya Aila tajam.
"Ai," tegur Kaival.
"Aku pernah menganggap dia sebagai bagian dari keluarga kita, Kai. Sampai dia merusak segalanya dan menghancurkan anak kita," kata Aila dengan tegas.
Raja yang sejak tadi...
Makan Malam
Malam ini, Raja dan Kim memenuhi undangan dinner dari Ayela. Mereka datang tepat waktu dan disambut Bak tamu kehormatan oleh segenap penghuni di Rumah itu, khususnya para pelayan.
Ini pertama kalinya setelah dua tahun Raja menginjak rumah ini lagi, entah kenapa dia merasa kurang nyaman. Terlalu banyak kenangan di dalam sana antara dirinya dan Ayela, yang tiba-tiba semua itu seakan berlarian di depan mata.
"Mas Raja dan Mbaknya mau minum apa?" tanya salah seorang asisten rumah tangga yang sudah cukup berumur.
"Apa aja, Mbok. Terpenting..."
"Jangan banyak-banyak gula," potong wanita yang Raja panggil Mbok itu.
Raja terkekeh dan mengangguk.
Kim menoleh pada Raja, kedekatan pemuda itu dan si mbok barusan membuatnya kurang nyaman. Seakan itu mempertegas kalau Raja pernah menjadi bagian di Rumah ini.
Ayela akhirnya muncul, dia sedang menuruni liukan tangga dengan begitu anggun. Dress panjang dengan kerah turtle itu nampak pas di tubuh langsingnya. Rambutnya yang lurus tergerai...
Broke
Selesai makan malam, Raja dan Kim diajak Ayela untuk mengobrol ringan di Gazebo lantai atas.
"Emangnya lo nggak berniat tinggal sama keluarga lo yang lain gitu, Ay? Maksud gue, ini kan rumahnya gede banget, nanti lo bakal kesepian kalau cuma tinggal sendirian," kata Kim mencoba untuk menyarankan.
"Rumah ini banyak kenangan. Di sini aku dibesarkan, mendapat kasih sayang dan cinta dari orang tua. Banyak banget suka duka yang udah jadi bagian dari Rumah ini," jawab Ayela dengan lembut.
"Bener juga sih," Kim mengangguk.
Sejak tadi sebenarnya mata Ayela selalu tertuju pada Raja yang sedang memainkan jari-jari Kim di pangkuan pemuda itu. Raja rvtgjuga sangat cuek, nyaris tak bicara. Hanya Kim yang mengajaknya bicara atau menyahut setiap perkataannya.
"Kalian udah lama pacaran?" tanya Ayela.
Barulah pergerakan tangan Raja terhenti dan menatap Ayela.
"Lumayan baru juga kok, masih hitungan bulan," beritahu Kim.
"Oh," Ayela tersenyum tipis. "Ketemu dimana?" tanyanya lagi.
Kim menoleh...
Dipindahkan
Raja kembali ke kediaman Abraham menggunakan sebuah Taxi karena Kim meninggalkannya. Dia terlambat lantaran susahnya mendapatkan Taxi di kompleks Ayela, juga padatnya server Taxi online di malam minggu sehingga membuatnya kesal setengah mati. Sebenarnya Ayela menawarkan Raja untuk membawa mobil gadis itu, tapi Raja menolak lantaran mana mungkin dia membawa mobil ke sini. Bisa-bisa Abraham akan melacak segalanya melalui plat mobil itu.
"Eh, lo mau ngapain?" tanya Rey saat Raja akan membuka pintu kamar Kim.
"Nemuin Kim," jawab Raja.
"Dia di kamar bokapnya sejak pulang tadi, kayaknya sih lagi marah. Kalian berantem?" tebak Rey.
Raja menghela nafas, ditutupnya kembali kamar Kim. Dia bersandar di tembok, memijat kepalanya.
"Kalian berdua kalau lagi berantem mukanya bikin ngeri. Apalagi Kim tadi, persis kayak diikuti roh jahat," celetuk Rei.
"Dia ngapain di sana?" tanya Raja tak sabaran.
"Mana gue tau, lo pikir gue cenayang?"
Raja berjalan gelisah, sedikit-sedikit melihat ke pintu kamar Abraham yang...
Kenapa Nekat?
Sarapan pagi ini, Kim ditemani oleh Abraham. Tumben sekali Papinya itu masih di rumah jam segini, padahal biasanya sudah tidak terlihat saat Kim bangun.
"Kim, nanti malam Papi punya tugas buat kamu," ujar Abraham secara serius.
"Siapa, Pi?" tanya Kim secara langsung.
"Ornando Lee, dia berencana pindah ke pemasok lain yang lebih murah. Padahal Papi sudah sangat baik memberikan hutang padanya untuk stok barang, tapi dia malah ingin berkhianat."
"Bukannya Om Nando itu temen Papi?"
"Sudah bukan lagi, dia mulai hindari papi sekarang."
"Oke, bisa Kim atasi."
Abraham mengangguk puas.
Keduanya kembali melanjutkan makan. Sesekali Kim menatap ke arah Raja yang berdiri sangat jauh di ujung sana. Begitu pun sebaliknya, Raja selalu menatap Kim dengan berbagai intimidasi seolah-olah Kim berhutang padanya.
Hutang untuk menarik kata-kata Kim yang kemarin minta putus, Raja sedang menunggu itu.
"This is not the time, please..." lirih Kim dalam hati. Dia mulai menyadari rasa dingin yang...
Raja Menghilang
Waktu berlalu dengan cepat, Kim bisa melewati masa-masa sulitnya dengan mudah dan hanya kambuh seminggu sekali aja sekarang. Meski setiap kambuh, siksaannya tetap saja sama, namun dengan Raja di sisinya, semua jadi lebih mudah sekarang.
Raja pun sudah kembali menjadi pengawal pribadi Kim, membuat mereka semakin dekat dan menempel setiap saat.
Namun ketika bangun tidur, Raja sudah tidak ada di kamar Kim. Pemuda itu bahkan meninggalkan pakaiannya yang masih tergeletak di lantai setelah mereka berhubungan seks tadi malam.
Kim telah mandi dan berpakaian rapi, dia keluar dari kamar. Rey juga tidak berjaga di depan pintu kamarnya, melainkan pengawal lain yang merupakan tangan kanan dari sang Papi.
"Lo ngapain di sini?" tanya Kim curiga.
"Mulai sekarang saya yang akan jaga Nona," beritahu pria itu sembari menunduk hormat.
"Apa? Kenapa? Rey sama Raja mana?" tanya Kim bertubi-tubi. Matanya mengitari seisi rumah untuk mencari dua pemuda yang disebutnya itu.
Karena tidak mendapatkan jawaban,...
Ruang Bawah Tanah
Tidak ada yang bisa Kim lakukan selain pasrah, bahkan untuk fitting gaun pengantin saja, Abraham mendatangkan perancang busana khusus ke Rumah mereka. Selebihnya tidak ada campur tangan Kim, entah itu masalah gedung, WO, atau jenis undangan padahal dia pengantinnya. Abraham sepertinya tidak lagi mempercayai Kim, itu sebabnya gadis itu dikurung di dalam kamar.
Belum ada berita yang ditemukan oleh Bik Odah, Kim menjadi semakin cemas lantaran hari pernikahannya tinggal dua hari lagi.
Cklek.
Pintu kamar terbuka, Kim pikir itu Bik Odah tapi ternyata Abraham. Dia menghela nafas malas dan memalingkan wajah dari sang Papi.
Abraham duduk di sebelah Kim, merangkul pundak puteri tunggalnya itu dengan penuh kasih sayang. "Papi cuma mau hidup kamu selalu berada dalam kebahagiaan."
"Apa menurut Papi saat ini Kim bahagia?" tanya Kim dengan wajah kecewa.
"Nanti kamu pasti akan bahagia. Cinta bisa berubah, begitu pun hati. Kamu akan mulai mencintai Tor dan menikmatu semua kemewahan yang...
Plan...
Tor tersenyum menyambut kedatangan Kim, dia memeluk gadis itu dan melayangkan ciuman pipi. "Aku seneng banget waktu kamu telpon ngajak ketemuan," katanya pada Kim.
Kim lebih dulu duduk di kursi kayu coffee shop, memesan latte. Matanya tertuju pada pinggiran gelas yang dia mainkan dengan jarinya.
"Sebelum kita menikah, apa aku boleh meminta satu hal sama kamu?" tanya Kim.
"Of course, Beb. Kamu mau apa? Cincin yang lebih mahal? Perhiasan lengkap? Atau..."
"Izinkan aku untuk bisa pergi selama satu jam tanpa diketahui oleh Papi," potong Kim.
Tor menautkan kedua alis, bingung. "Kamu mau kemana, Beb? Aku bisa temenin kamu. Jangankan satu jam, sampai malam pun aku free."
Kim menggeleng. "Aku cuma butuh bernafas, Tor. Kamu tau kan, Papi udah bikin aku nggak bisa bergerak selama dua hari ini? Aku cuma pengen ngerasain dunia aku, walau hanya satu jam."
"Tapi Beb..."
"Setelah itu kita menikah, aku janji. Besok, aku milik kamu sepenuhnya."...
Hari H
Hari ini, Kim akan dipersunting oleh Tor secara resmi. Acara akad nikah berlangsung secara tertutup di rumahnya. Sementara resepsinya nanti malam di gedung secara besar-besaran.
Kim didandani begitu cantik dengan riasan super mewah di wajahnya. Rambutnya masih dikuncir model updo, belum diapa-apakan karena sang tata rias berfokus pada wajah lebih dulu, lama sekali hingga dua jam saja belum juga selesai.
"Kamu punya bentuk wajah yang enak banget, Kim. Tante jadi kurang puas kalo nggak dimaksimalin." Pujian ini benar adanya, Clara selaku penata Rias sejak tadi menambahkan ini itu ke wajah Kim.
Tidak ada yang perduli pada hati Kim, entah itu Abraham ataupun Mariko. Keduanya malah tidak terlihat sejak tadi, sibuk dengan penampilan diri sendiri.
"Orang tua kamu kaya banget ya, suite yang Papi kamu pakai aja harganya bisa seharga apartemen loh. Belum lagi Mami kamu, gaunnya udah seharga gaun pengantin kamu."
Kim tersenyum tipis. Dalam hati dia berkata, "begitulah orang...
Pilihan
"Mas, bisa tolong bantu sebentar?" tanya Bik Odah kepada Darius yang tengah berjaga di depan pintu kamar Kim.
"Kenapa, Bik?" tanya Darius dengan ekspresi datar dan sangar.
"Keran di kamar mandi Nona Kim nggak bisa dimatiin," beritahu Bik Odah.
Darius langsung masuk untuk mengecek. Saat dia baru saja menjejakkan kaki di kamar mandi besar itu, tiba-tiba ada yang memukul tengkuknya menggunakan gagang pistol. Sebelum jatuh pingsan, Darius sempat berbalik untuk melihat siapa pelakunya, Kim.
"Makasih Bik," ucap Kim pada ART itu.
"Hati-hati Nona, biar saya yang urus di sini," ujar Bik Odah menyemangati.
"Bibik juga hati-hati. Saya akan kembali sebelum dia sadar," beritahu Kim.
Bik Odah mengangguk.
Kim langsung bergegas keluar dari kamarnya. Saat melewati penjagaan di sepanjang rumah, tidak ada yang mencegahnya karena memang tugas mereka bukan untuk mengurusi hidup Kim.
Namun saat Kim masuk ke ruangan yang menghubungkannya dengan lorong bawah tanah, beberapa penjaga Abraham langsung mencegat langkahnya....
Penangkapan
Dua orang pengawal Abraham tewas tertembak. Pelakunya adalah segerombolan pasukan bersenjata yang Raja tau persis itu berasal dari Markas RIA. Dia kaget bukan main, bagaimana bisa pasukan RIA menyerang tanpa komando darinya. Meski RIA memiliki kekuasaan untuk menyerang kapan saja, tapi bukankah Raja belum melaporkan apa-apa? Bukti apa yang mereka punya sehingga bisa menyerang kediaman Abraham?
Abraham tidak bisa berkutik saat semua pasukan RIA mengepung dan menodongkan belasan senjata laras panjang ke arahnya. Dia mengangkat kedua tangan, menjatuhkan senjata pertanda menyerah.
Kim meneteskan air matanya melihat wajah tua sang Papi yang nampak cemas saat ditangkap. Pria tangguh itu, yang dihormati oleh banyak orang, kini terlihat lemah di bawah kekuasaam pasukan bersenjata.
Namun bukan hanya Abraham yang ditangkap, Kim juga. Gadis itu dibekuk oleh salah seorang Agent wanita berjulukan Win. Kim pasrah, sepertinya dia sudah tau akan seperti ini. Malah, dengan mudahnya dia menjatuhkan pistolnya tanpa perlawanan sedikit pun.
Melihat itu...
Berita
Raja, Kim dan Rey berhenti di sebuah cafe kecil pinggir jalan untuk mengisi amunisi tubuh. Terutama Raja dan Rey yang terakhir makan dan minum itu tiga hari lalu, mereka sangat lapar sehingga rasanya tidak ada tenaga lagi. Sementara Kim tidak menyentuh makanannya sama sekali, dia terlihat melamun dengan pandangan kosong menatap ke luar jendela.
Raja mengikuti arah pandangan Kim, terdapat seorang anak kecil yang sedang bersama Ayahnya, bermain dengan penuh tawa. Dia mengerti apa yang dirasakan oleh Kim saat ini, pasti berat meski dia menutupinya. Raja pun menggenggam tangan Kim, membuat gadis itu menoleh padanya.
Kim tersenyum tipis membalas senyuman Raja, dia menyandarkan kepalanya ke pundak cowok itu. "Aku cuma belum terbiasa," ucapnya pelan.
"Kita akan terbiasa," jawab Raja.
"Kayaknya gue mau kembali ke desa gue aja deh," celetuk Rey. "Rencana kalian gimana?" tanyanya.
Raja dan Kim saling menatap, mereka tidak ada planing sama sekali. Malah bingung harus bagaimana, saat...
Bye Rey...
Rey akhirnya benar-benar kembali ke tempat asalnya. Dia sudah tidak punya uang untuk bertahan di Jakarta dan tidak mau melibatkan keluarga, terutama dokter Zia karena statusnya sebagai buronan saat ini.
Raja dan Kim ikut mengantar Rey ke terminal bis, saling menasehati dan memberikan salam perpisahan.
"Kalian bisa dateng kapan aja ke Rumah gue," ujar Rey pada Raja dan Kim.
"Pasti," jawab Raja.
"Hati-hati, jangan sampai tertangkap. Gue bener-bener kagum sama kisah cinta kalian, panutan banget buat gue," ucap Rey lagi.
Raja memeluk Rey, ada rasa haru kerena harus berpisah di saat mereka sudah melewati banyak hal. Kalau bukan karena dirinya, mungkin saat ini Rey tidak akan masuk dalam DPO kepolisian. Tapi untungnya, Rey bukan tersangka utama yang dicari, sehingga lama kelamaan namanya pasti akan tenggelam.
"Kim," Rey menjulurkan tangan.
Kim membalas uluran tangan itu. "Makasih buat semuanya," ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Rey tak segan-segan memberikan pelukan persahabatan pada Kim. Kalau dulu...
Bantuan Ayela
Sebelum terang, Raja dan Kim sudah pergi dari kios itu lantaran tak ingin ada yang melihat mereka. Keduanya menghindari tempat-tempat ramai, berusaha untuk tak mengekspose wajah.
Tidak ada yang bisa dimintai bantuan karena polisi melacak mereka melalui siapapun yang mereka kenal, terutama keluarga. Saat ini selain bersembunyi, mereka tidak memiliki pilihan lain.
Kim menahan rasa lapar yang hinggap di perutnya karena dia tau Raja sudah tak memiliki uang. Dia berpura-pura biasa saja, memandangi para jemaah yang sedang keluar dari Gereja.
Ini hari minggu, cuaca begitu tentram lantaran matahari bersembunyi di balik awan. Mereka berdua duduk di depan gereja sembari beristirahat karena sudah terlalu lama berjalan kaki.
"Raja? Kim?" sapa seseorang.
Raja dan Kim refleks berdiri dan menoleh cemas ke belakang. Ternyata Ayela, yang juga terkejut melihat mereka.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Ayela.
Di saat yang tidak tepat, Kim diserang oleh gejala sakau yang tidak bisa dicegah. Dia mencengkram lengan...
Usaha Ayela
"Aku nggak mau!"
Kim menolak dengan tegas saat Raja bertanya apakah dia mau menerima bantuan Ayela untuk tinggal di rumah itu sementara waktu. Memikirkan satu malam berada satu atap bersama mantan cinta pertama Raja saja rasanya begitu menakutkan, apalagi bila setiap hari.
"Kim, hanya sementara. Sampai aku bisa dapetin tempat buat kita dan situasi di luar sana mulai aman, aku janji kita akan pergi dari sini," bujuk Raja.
"Tapi Raja..."
"Please..." mohon Raja sambil memegang kedua tangan Kim. Dia berlutut di antara kedua kaki Kim yang bergantung di pinggir kasur.
Kim memutus kontak mata dengan pemuda itu, menoleh ke atas dengan mata terpejam. Gengsi rasanya harus menumpang hidup dengan mantan dari pacar kita, apalagi terlihat jelas kalau mantannya itu masih mencintai pacar kita.
"Aku janji sama kamu, kita nggak akan lama di sini. Seenggaknya sampai aku bisa hubungin keluarga aku lagi dan minta bantuan mereka," ulang Raja lagi....
Don't You Dare...
Bangun tidur, Raja dibuat terpana oleh situasi yang tak diduganya akan terjadi secepat ini. Kim dan Ayela terlihat akur menyajikan kue untuk dia cicipi. Keduanya duduk di hadapan Raja, bertopang dagu menatanya menunggu hasil dari kue yang dia kunyah.
"Kalian... Beneran yang bikin ini?" tanya Raja dengan serius.
"Iya dong!" jawab Kim dan Ayela serempak.
Raja menatap keduanya semakin terkejut. Apalagi melihat mereka tertawa, benar-benar aneh.
Melihat Raja kebingungan, Kim pun mendekati pemuda itu dan merangkuk pundaknya. Kemudian berbisik, "mulau sekarang, aku dan Ayela akan menjadi teman yang baik," beritahunya.
Raja menoleh pada Ayela, gadis itu mengangguk. Mengangguk bukan untuk membenarkan ucapan Kim, tapi membenarkan perkataannya kemarin kalau dia akan berusaha mendekati Kim sebagai seorang sahabat dan itu berhasil. Raja pun tersenyum, lega rasanya.
"Gimana, enak nggak?" tanya Kim saat Raja mengunyah kembali kue itu. Dia duduk di samping pemuda itu, menatapnya penuh harap.
"Enak, kamu yang bikin pasti," jawab...
Foto
Langit kian pekat malam ini, rintik hujan membuat cuaca semakin dingin dan menunjang percintaan dua insan yang masih panas membara. Mereka sudah bersatu bagai kepingan puzzle sejak dua jam yang lalu, bahkan keadaan ranjang saja sudah sama polosnya seperti tubuh mereka. Seprei dan peralatan tidur lainnya berjatuhan di lantai.
Suara hembusan nafas yang tersengal-sengal bercampur dengan desahan parau dari bibir keduanya, menambah puncak gairah di antara mereka.
Kim menekan inti tubuhnya semakin dalam saat puncak kenikmatan itu datang, semburan hangat masuk ke bagian terdalam tubuhnya. Bisa dia rasakan bukti kejantanan Raja yang berkedut-kedut di dalam inti tubuhnya.
Puas bercampur lelah, Kim menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Raja. Nafasnya naik turun bagaikan baru saja berolahraha berat, keringat sampai membanjiri seluruh tubuh.
Raja terkekeh dengan rintihan lelah yang keluar dari bibir Kim, dia mengusap punggung gadis itu. "Aku mau kita menikah, Kim."
Kim menegakkan tubuhnya kembali, menopang dagu agar bisa menatap Raja....
Bertengkar
Sarapan terkesan sunyi karena sejak tadi Ayela dan Raja terlihat tidak bersuara. Kim melirik keduanya, dia yakin sesuatu telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
"Kamu udah kasih tau Ayela soal rencana pernikahan kita?" tanya Kim pada Raja dengan suara yang sengaja dikeraskan.
Ayela tersedak, dia buru-buru minum untuk melegakan tenggorokannya. Sementara Raja diam saja, pikirannya terbelah dua antara menjaga perasaan Ayela atau menghargai Kim.
"Kalian kenapa?" tanya Kim menatap keduanya.
"Wah, kalian mau menikah?" tanya Ayela dengan ekspresi terkejut tapi menunjukkan rasa senang.
Raja menatap topeng Ayela dengan rasa iba, dia tau Ayela berusaha sangat keras untuk terlihat baik-baik saja.
"Rencananya bulan depan," jawab Kim, tak kalah bersemangat, sekaligus memancing.
"Wah, seneng banget dengernya! Aku bakal bantu kalian," sahut Ayela kembali, dia melirik Raja yang diam saja dan terus mengunyah pelan.
"Makasih ya Ay, kita selalu ngerepotin elo. Kita janji, setelah menikah kita akan coba buat mandiri dan nggak tinggal di sini...
Cari Kerja
Menikah membutuhkan biaya, tidak cukup hanya dengan mengandalkan cinta. Belum lagi masalah tempat tinggal dan kesejahteraan hidup, minimal makan yang cukup. Raja sadar akan hal itu, dia tidak ingin Kim menderita bersamanya, apalagi sampai kelaparan. Raja juga tidak ingin melukai harga diri Kim dengan terus-terusan menumpang hidup pada Ayela yang berstatus sebagai mantannya.
"Kamu beneran mau kerja?" tanya Ayela. Dia tau segalanya, karena Raja memang selalu bercerita. Tentu, tanpa sepengetahuan Kim.
"Aku udah cukup ngerepotin kamu, Ay. Dengan tidur dan makan gratis di sini selama hampir dua minggu, aku rasanya malu banget," sahut Raja.
"Raja, its okey. Aku nggak pernah masalahin itu kok. Malah aku seneng kamu sama Kim ada di sini nemenin aku," bujuk Ayela.
"Makasih, Ay. Aku tau kamu orang yang baik, itu nggak mungkin lupakan." Raja tersenyum pada Ayela. Dia meneruskan mengikat tali sepatu.
"Ya udah, aku nggak bisa maksa kamu. Tapi kamu harus inget, di luar...
Masih Dingin
"Kim mana?" tanya Ayela saat Raja hanya sendirian di meja makan. Dia ikut duduk dan makan malam bersama, lebih dulu melayani Raja.
"Di kamar," jawab Raja dengan wajah masam. Pertengkaran tadi membuat moodnya terganggu.
"Aku panggilin deh," kata Ayela setelah menuang makanan ke piring Raja.
"Biarin aja, Ay. Nggak usah dimanja," cegah Raja.
"Kalian berantem lagi?" tanya Ayela penuh selidik. Dia menatap Raja dengan serius.
"Biasalah," jawab Raja sekenanya.
"Kamu harus lebih sabar, Raja. Harus lebih ngertiin Kim. Mungkin dia kaget dengan semua ini, jadi belum bisa menerima sepenuhnya."
"Seenggaknya dia bisa bersikap dewasa, keadaan emang lagi sulit sekarang."
Ayela diam saja, dia tidak ingin membuat Raja semakin kehilangan mood. "Kamu makan gih. Katanya besok mau fight lagi, jadi simpen energi, jangan marah-marah."
Raja pun tersenyum dan memakan masakan pembantu di rumah Ayela itu. Sejujurnya, Raja memikirkan Kim yang tidak ikut makan malam. Berulangkali matanya melirik ke kamar Kim, tapi...
Sebuah Pilihan
Hari pun berlalu, hubungan Raja dan Kim tidak juga kunjung membaik. Raja malah terlihat semakin dekat dengan Ayela, sering Kim melihat keduanya bicara dengan akrab. Kim sendiri sudah mencoba mengalah, dia selalu menegur Raja lebih dulu tapi pemuda itu terus menghindarinya.
Dan kali ini, Kim butuh kepastian.
"Kamu marah atau gimana sih sama aku?" tanya Kim saat malam hari, setelah Raja pulang dari pergi yang entah kemana.
Lagi-lagi timingnya tidak tepat, Raja sangat lelah hari ini. Tak ingin bertengkar, dia diam saja mengabaikan Kim yang terus bertanya.
"Raja," panggil Kim.
"Aku lagi capek, Kim."
Kim pun terpaksa menunggu Raja mandi, dia duduk di atas ranjang sambil menatap ke layar televisi yang menyala.
Raja keluar dari kamar mandi, sudah berpakaian dan mengeringkan kepala. Barulah Kim mengajaknya bicara lagi.
"Kita harus bicara, Raja," ajak Kim sedikit memaksa.
"Kamu nggak denger ya, aku capek!" kata Raja sambil naik ke atas ranjang dan masuk...
Raja Season 2
Hari pun berlalu, hubungan Raja dan Kim tidak juga kunjung membaik. Raja malah terlihat semakin dekat dengan Ayela, sering Kim melihat keduanya bicara dengan akrab. Kim sendiri sudah mencoba mengalah, dia selalu menegur Raja lebih dulu tapi pemuda itu terus menghindarinya.
Dan kali ini, Kim butuh kepastian.
"Kamu marah atau gimana sih sama aku?" tanya Kim saat malam hari, setelah Raja pulang dari pergi yang entah kemana.
Lagi-lagi timingnya tidak tepat, Raja sangat lelah hari ini. Tak ingin bertengkar, dia diam saja mengabaikan Kim yang terus bertanya.
"Raja," panggil Kim.
"Aku lagi capek, Kim."
Kim pun terpaksa menunggu Raja mandi, dia duduk di atas ranjang sambil menatap ke layar televisi yang menyala.
Raja keluar dari kamar mandi, sudah berpakaian dan mengeringkan kepala. Barulah Kim mengajaknya bicara lagi.
"Kita harus bicara, Raja," ajak Kim sedikit memaksa.
"Kamu nggak denger ya, aku capek!" kata Raja sambil naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimut. Raja berbaring miring, sengaja membelakangi Kim.
Kim pun menyerah. Dia akhirnya memilih untuk pergi dan keluar dari kamar Raja.
Raja langsung duduk, menatap pintu kamar yang sudah tertutup. Dia mengusap rambutnya dengan kasar, kesal pada dirinya sendiri. Terlalu kejam memang mengabaikan Kim seperti ini, tapi Raja hanya ingin memberikan Kim pelajaran agar tidak terulang lagi kejadian kemarin.
"Maaf Kim, aku mau kamu belajar untuk bisa menekan emosi kamu dan lebih memakai kedewasaan," kata Raja dengan nada lemah.
Sementara itu di kamarnya, Kim menangis. Dia tidak tahan diabaikan seperti ini, apalagi sudah satu minggu Raja tak mau bicara dengannya. Kim bahkan tidak tau apa pekerjaan Raja sehingga setiap hari pemuda itu pergi dan pulang dalam keadaan berantakan.
Sungguh, Kim ingin hubungannya dengan Raja kembali seperti dulu. Dia merindukan kemesraan mereka yang biasanya tidak pernah ada habisnya.
Dan lagi-lagi, keinginan untuk merasai narkoba kembali menyerang. Hampir setiap hari, padahal seharunya dia sudah mulai jarang sakau.
✾ ✾ ✾
Besoknya, ada pemandangan yang benar-benar membuat semua orang terkejut. Bahkan Kim dan Raja sampai shock, menatap tak percaya pada Ayela.
Ayela Zafanya, sang penganut kriten taat yang sangat rajin mendatangi gereja, kini memakai pakaian layaknya seorang muslimah. Dia berbusana muslim dan memakai jilbab.
"Ayela, ini apa?" tanya Raja.
"Sekarang kita sama," jawab Ayela. "Aku seorang muslin," lanjutnya.
Raja terkejut bukan main, terlebih lagi Kim. Keduanya saling menatap, meski tidak bicara.
"Ay, kamu apa-apaan sih. Ini nggak boleh dijadiin bahan bercanda," kata Raja mengingatkan.
"Aku nggak bercanda Raja. Selama ini aku mulai mempelajari Islam, sebut aja sebagai perjalanan spiritual mencari jati diri. Sampai akhirnya aku menemukan sesuatu yang nggak aku temukan dimanapun, yaitu sebuah kedamaian."
"Kenapa, Ay?" tanya Raja lagi, masih tidak yakin.
"Karena aku mau bersama kamu selamanya," jawab Ayela lantang.
Kim begitu terkejut mendengarnya. Dia berjalan mendekati Ayela, marah dengan ucapan itu. "Maksud lo apa?"
"Kim, kamu tenang dulu," Raja mencoba menengahi.
"Aku serius, aku mau bersama kamu Raja. Aku nggak perduli kalaupun harus jadi istri kedua, asalkan aku bisa sama kamu," minta Ayela.
"Lo udah gila ya?! Nggak ada satu wanita pun di dunia ini yang mau jadi istri kedua!" sentak Kim emosi.
"Banyak, Kim. Nabi Muhammad SAW memiliki istri lebih dari satu, kenapa Raja nggak bisa? Toh alasannya baik, Raja mengubah aku menjadi seorang muslim dan saat ini Raja membutuhkan seorang istri yang bisa membantunya keluar dari kesulitan." Ayela begitu fasih menyebutkannya, sepertinya dia sangat cepat belajar.
"Tapi Raja bukan Nabi, dia nggak bisa memiliki istri lebih dari satu. Terutama karena aku nggak mau!" hardik Kim.
"Bukan kamu yang berhak memutuskan, Kim. Semua terserah pada keputusan calon Imam kita. Raja berhak memikirkan ini dahulu sebelum mengambil keputusan," kata Ayela dengan tenang.
Kim menatap Raja, menuntut agar pemuda itu memberikan keputusan saat ini juga.
Raja benar-benar dibuat bingung oleh keputusan Ayela yang sampai pindah agama hanya untuk bersamanya. Itu adalah keputusan yang sangat besar, Ayela benar-benar melakukannya.
"Aku ke kamar dulu ya, Assalamualaikum," kata Ayela dengan senyum manisnya. Dia berjalan anggun menaiki tangga, terlihat seperti gadis muslimah umumnya.
"Kita pergi dari sini," kata Kim kemudian. Dia menarik tangan Raja tapi pemuda itu menahan langkahnya. "Raja..." desis Kim.
"Aku perlu waktu untuk berpikir Kim," kata Raja dengan serius.
"Berpikir untuk menjadikan Ayela sebagai istri kamu atau berpikir untuk mencampakkan aku?" tanya Kim menekan.
"Tolong Kim, aku nggak mau bertengkar," minta Raja.
Kim tiba-tiba mendorong Raja dengan keras hingga pemuda itu terduduk di lantai. "Aku nggak akan mau diduain sama siapapun!!" teriaknya.
Raja berdiri, marah kembali. "Apa aku ada bilang mau menduakan kamu, Kim?" desisnya.
"Terus kenapa kamu diem, tadi? Harusnya kamu tinggal jawab dan kasih keputusan ke Ayela kalau kamu nggak akan menikahi dia!"
"Ini bedanya kamu sama Ayela, Kim!" bentak Raja.
Kembali membuat hati Kim terluka.
"Kamu lihat bagaimana dia tadi? Meski dia sudah berkorban sebegitu besarnya, dia tetap nggak memaksa aku. Padahal seharusnya aku yang bertanggung jawab atas pilihan dia pindah keyakinan, Kim!"
"Sementara kamu apa? Kamu egois, memaksakan kehendak kamu sendiri tanpa memikirkan perasaan orang lain. Harusnya aku tau sejak awal, kalau mempertahankan ini akan sia-sia."
Deg!
Jantung Kim rasanya ditekan begitu kuat, sesak sekali. Air matanya sampai menetes mendengar Raja mengatakan itu. Untuk kesekian kalinya, Raja menyakiti hatinya.
"Jadi kamu mau aku memilih sekarang?" tanya Raja seakan belum cukup dengan air mata yang Kim keluarkan. "Kamu akan menyesal," desisnya kemudian.
Kim benar-benar tak mampu bergerak saat Raja meninggalkannya. Langkah pemuda itu mengarah ke kamar Ayela, membuatnya semakin yakin bahwa Raja telah memilih.
✾ ✾ ✾
Akan di-update secara berkala ya guys... Untuk full update, insya Allah hari kamis.
R2-Pergi
Kim meneteskan air matanya kembali saat telah berada di dalam kamar. Dia memeluk bantal, mencoba meredam suara tangisnya agar tidak terdengar memalukan.
Ini yang disebut patah.
Mengetahui Raja lebih memilih Ayela dibanding dirinya, hatinya terasa sesak. Apalagi saat ini Raja berada di kamar Ayela, tidak memikirkan perasannya.
"Jangan bodoh, Kim. Semua sudah jelas, kenapa masih di sini?" kata Kim pada dirinya sendiri.
"Lo udah cukup terlihat menyedihkan di mata Ayela, jangan memperburuk keadaan lagi."
Menyadari dirinya sudah tidak pantas berada di Rumah itu, Kim pun segera mengganti pakaiannya. Dia memakai pakaian yang sama seperti saat datang ke rumah ini. Selebihnya, semua adalah milik Ayela, Kim tak ingin membawanya.
Jaket Raja tergantung di belakang pintu, Kim memakainya. Setidaknya harus ada satu kenangan yang akan mengingatkannya pada pemuda itu. Walau perlahan, aroma tubuh Raja pada jaket itu pasti akan memudar.
Kim keluar dari kamar itu, ingin sekali rasanya dia berpamitan, tapi melihat pintu kamar Ayela tertutup, Kim tak mau lebih sakit hati. Dia pun berjalan cepat menuruni tangga.
"Eh, Mbak Kim, mau kemana?" tanya Mbok saat berpapasan dengan Kim di depan pintu.
"Mbok, saya mau pamit. Makasih buat semuanya, selama saya di sini Mbok dan yang lainnya melayani saya dengan baik," ujar Kim ramah.
"Loh, Mbak Kim mau kemana? Kok sendirian?" tanya Mbok kaget.
"Iya, Mbok. Sudah saatnya Kim pergi. Salam buat semua yang ada di rumah ini," minta Kim. Dia menatap ke pintu kamar Ayela, berharap Raja keluar dan mencegahnya. Namun akhirnya dia tersenyum kecut lantaran sadar kalau Raja mana mungkin melakukan itu, pemuda itu telah memilih.
"Mbak, ada apa?" tanya Mbok, dia yakin terjadi sesuatu sehingga Kim ingin pergi.
"Nggak apa-apa Mbok," jawab Kim.
"Gimana kalau saya panggilkan Non Ayela atau Mas Raja lebih dulu?" kata Mbok menawarkan.
"Nggak usah Mbok, jangan diganggu. Lagian mereka udah tau kok kalau Kim mau pergi," bohong Kim.
"Oh, begitu. Yah, padahal Mbok udah beli banyak bahan buat Mbak Kim masak. Mbok aja sebenernya pengen belajar, soalnya masakan Mbak Kim itu enak."
Kim tersenyum mendengarnya. "Nanti saat berjodoh, Kim akan ajari Mbok ya."
"Baik, Mbak. Hati-hati di jalan ya."
Kim menyalami wanita tua itu dengan santun. Sebelum keluar, dia menoleh ke atas lagi. Hatinya begitu sesak, tapi dia paksakan untuk tetap kuat.
"Saya pergi, Mbok."
Mbok, dengan mata berkaca-kaca mengangguk pada Kim. Dia melambai tangan saat Kim lebih dulu melakukannya.
"Mau kemana, Mbok?" tanya Dora, anak si Mbok yang juga bekerja di rumah itu sebagai tukang bersih-bersih.
"Mbak Kim sudah nggak tinggal di Rumah ini lagi," jawab Mbok.
"Kenapa?" tanya Dora kepo.
"Sudah, bukan urusan kamu. Sekarang kamu bereskan bekas kamar Mbak Kim, terus ganti selimut dan Sepreinya dengan yang baru."
"Iya deh," Dora pun melangkah lesu menuju ke lantai atas.
Mbok kembali ke dapur.
✾ ✾ ✾
Kim melangkah berdasarkan kemana kakinya saja, dia sendiri tidak tau mau kemana. Ada rasa haus karena terik matahari yang berada di atas kepala, namun dia tidak memiliki uang satu sen pun.
Kim memasukkan tangannya ke saku jaket, setelah memasang topi jaket menutupi kepala agar wajahnya tidak terlalu terekpose. Tak sengaja, tangannya merasa sesuatu dari balik saku jaket.
Di dalam saku jaket itu terdapat sebuah kertas yang dilipat, juga beberapa lembar uang kertas serta recehan yang bila ditotal mencapai lima puluh lima ribu.
Uang lima puluh lima ribu itu ibarat air minum di padang tandus, Kim harus bijak menggunakannya. Dia membuka kertas berlipat itu, melihat sebuah alamat di sana. Harapan seketika muncul, sekarang dia tau harus kemana.
Tapi permasalahannya, uang yang Kim punya tidak akan cukup untuk membeli tiket Bis yang akan dia naiki. Dia bahkan harus menggunakan Taxi untuk bisa sampai ke Terminal Bis.
Melihat sebuah warung tenda yang lumayan ramai di pinggir jalan, Kim pun mendekatinya.
"Halo Neng, mau pesan bubur ayam?" tanya sang pemilik warung, seorang wanita paruh baya yang nampak kerepotan melayani pelanggan sekaligus membersihkan piring kotor.
"Bukan, Bu. Saya mau melamar pekerjaan," beritahu Kim.
Ibu-Ibu itu tertawa. "Neng kalau mau bercanda jangan sama saya. Masa melamar pekerjaan di warung bubur ayam. Neng kan cantik, jadi sekertaris aja di Kantoran."
Kim pun pergi dengan wajah kecewa. Tadi sih dia agak tersinggung dengan ocehan pemilik warung itu, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak boleh mencari masalah di tempat umum atau polisi akan segera menangkapnya.
Dari satu warung ke warung lainnya, tidak ada satu orang pun yang mau menerima Kim sebagai karyawan walau hanya satu hari. Berbagai alasan dilontarkan oleh pemilik warung, mulai dari dagangannya sepi sampai takut modus kejahatan berkedok wanita cantik mencari pekerjaan.
"Neng, mau makan?" tanya seorang bapak-bapak berumur 50 tahunan yang sedang duduk di kursi plastik sambil mengelap mangkuk.
Kim menatap dagangan sang Bapak, menjual bakso. "Kok sepi, Pak?" tanya Kim mengenai tidak ada satu orang pun di dalam tenda kecil itu.
"Iya, Neng. Beginilah namanya dagang, kadang rame, kadang sepi. Mamanya juga rezeki sudah ada yang atur," jawab sang Bapak dengan penuh rasa syukur.
Kim pun merasa tidak tega. Lagian dia juga lapar. "Saya pesan satu Pak, jangan pakai bawang."
"Baik, silahkan duduk Neng."
Kim pun duduk. Dia mengipasi wajah dengan tangannya, di sana terasa panas sekali.
"Ini Neng," sang penjual bakso memberikan satu porsi Bakso yang langsung disambut ucapan terima kasih dari Kim.
Baksonya enak, meski dijual di pinggir jalan. Melihat sang penjual memakai sarung tangan, sepertinya juga bersih.
"Mau kemana, Neng?"
"Oh, ini Pak mau ke Terminal Bis," jawab Kim.
"Wah, masih jauh dari sini Neng. Emang dari mana?"
Kim tak langsung menjawab, bingung mencari alasan apa. "Emm, dari rumah sodara yang kerja di sana Pak."
"Oh, begitu. Rencana mau naik apa ke terminal?" tanya penjual bakso.
"Mungkin naik Taxi, Pak. Soalnya saya mggaktau kalau naik yang lain," jawab Kim.
"Waduh, jangan Neng, mahal. Kalau mau bareng saya aja, tapi agak sorean."
"Bapak mau naik Bis juga?"
"Hahaha, ya nggak toh. Rumah Bapak nggak jauh di sekitar terminal. Saya jualannya di sini, soalnya nerusin usaha orang tua."
Terjadilah obrolan-obrolan ringan dan saling bertanya antara Kim dan penjual bakso itu. Menunggu sore, Kim pun membantu sang Bapak berjualan. Dia mencuci piring kotor dan mengelapnya.
Saat Kim hendak membayar bakso yang dimakannya, sang penjual bakso malah memberikannya uang untuk ongkos naik Bis.
"Pak, saya nggak enak jadinya," tolak Kim secara halus.
"Sudah diambil saja, itu rezeki. Nanti suati saat kalau Neng sudah punya uang lebih, mampir ke warung Bapak buat makan bakso ya."
Kim sangat terharu mendengarnya. Begitu banyak orang baik ternyata, yang tadinya dia sama sekali tidak berniat meminta pekerjaan karena melihat dagangan sang Bapak sepi, tapi justru Bapak inilah yang berhati mulia.
"Makasih, Pak."
✾ ✾ ✾
R2-Mencari
"Ay, kenapa kamu ambil keputusan sebesar ini tanpa bertanya lebih dulu ke aku?" Tanya Raja. Dia masih merasa belum puas dengan penjelasan Ayela di bawah tadi.
"Aku nggak perlu minta izin ke kamu untuk ini, kan?" Tanya Ayela balik.
"Tapi kalau tujuan kamu pindah keyakinan karena aku, jelas ini urusan aku Ay."
"Karena aku mau kasih kejutan, Raja." Ayela merangkul lengan Raja dan menyandarkan kepalanya ke pundak pemuda itu. "Kamu seneng kan?"
Raja melepaskan jepitan tangan Ayela dan memegang kedua pundak gadis itu lalu menatapnya secara serius. "Bukan ini yang aku mau," beritahu Raja secara tegas.
"Maksud kamu?" Tanya Ayela sedikit cemas.
"Kita nggak akan pernah bisa sama-sama lagi, Ay." Raja mencoba membuat nada suaranya lembut agar tidak menyakiti Ayela.
"Beberapa hari ini kita deket lagi kan, Raja? Aku ngerasa kamu mulai kasih perhatian lagi ke aku, sama kayak dulu. Kamu belain aku di depan Kim. Kamu cuekin dia dan lebih milih sama aku."
"Kamu salah paham, Ay. Aku emang marah sama Kim karena dia nggak bisa kontrol emosinya. Tapi bukan berarti aku berhenti mencintai dia. Aku masih sangat mencintai Kim," tegas Raja di kalimat terakhirnya.
Ayela mundur dengan menggelengkan kepala. "Kamu pasti bohong. Kamu udah nggak cinta kan sama dia? Sama seperti dulu saat kamu udah kecewa sama aku, kamu lupain cinta kamu."
"Beda, Ay."
"Apa bedanya, Raja?! Kamu juga pernah mencintai aku dan apa sulitnya untuk mencintai aku lagi?"
"Karena hati aku udah stock sama Kim," jawab Raja tegas.
Ayela tertawa sumbang. Dia tiba-tiba melepas kerudungnya dan melemparnya sembarangan ke lantai. Terlihat jelas sebuah kalung salib masih melekat di lehernya. "Apa sih hebatnya dia? Kalau kamu mau bandingin, aku di atas segalanya dari Kim. Aku punya segala hal yang nggak dia punya saat ini."
Raja menatap pada kalung salib kesayangan Ayela itu. Lalu menatap gadis itu dengan tatapan tajam. "Kamu mau tau apa kelebihan Kim dibanding kamu?"
Ayela menatap Raja berapi-api.
"Kim mau memperjuangkan aku di saat seharusnya dia lebih memilih keluarganya. Kim bisa bertahan di rumah ini demi aku, walau sebenarnya aku tau harga dirinya dijatuhkan di sini. Kim nggak pernah mengeluh meski dia merasa lapar sekalipun. Kim..."
"Dia cuma cewek sakau yang nggak akan pernah bisa bahagian kamu, Raja!!" Potong Ayela dengan nada membentak.
Raja tersenyum miring. "Kamu lupa ya, dia udah sembuh. Dia udah nggak pernah kambuh lagi."
Ayela tertawa. "Oh ya?" Tanyanya meremehkan. "Sayangnya kamu salah, Raja. Kim sama sekali belum sembuh, bahkan dia sedang sangat ketergantungan."
Raja mengerutkan keningnya.
"Aku kasih narkoba di setiap minuman Kim, pagi siang dan malam. So..."
Mata Naga seketika melebar marah. Dia mencengkeram pundak Ayela dengan kasar. "Kamu bilang apa? Kamu bohong kan Ayela!"
Ayela malah tersenyum, jenis senyuman yang terlihat begitu jahat.
Raja melepaskan Ayela, keluar dari kamar gadis itu dengan setengah berlari. Dia menuju kamar Kim, "Kim!" Panggil nya. Kim tidak ada di kamar, juga di kamar mandi.
Raja pun berlari ke kamarnya, namun Kim juga tidak ada. Dia terus berlari, memanggil nama Kim sambil menuruni tangga. Ayela mengikuti Raja turun ke bawah, wajahnya seketika cemas melihat Raja sangat marah.
"Kim!" Panggil Raja frustasi.
"Mas Raja cari Mbak Kim?" Tanya Mbok sembari keluar dari dapur.
"Iya Mbok, Kim dimana?" Tanya Raja.
"Loh emangnya Mbak Kim nggak izin dulu sama Mas Raja?" Tanya balik Mbok.
"Izin kemana Mbok?" Tanya Raja bingung.
Ayela ikut penasaran menatap Mbok, dia pun tidak tahu apa-apa soal itu.
"Mbak Kim bilang dia mau pergi, nggak tinggal di sini lagi."
Seketika Raja terguncang. Dia menatap Mbok tanpa bisa berkata apa-apa. Nampak di matanya senyum puas Ayela mengembang, membuatnya paham kalau Ayela telah banyak berubah.
"Aku nggak akan pernah maafin kamu kalau sampai terjadi apa-apa sama Kim," desis Raja.
"Kenapa sih kamu masih aja belain dia? Aku bisa lebih baik dari Kim, Raja."
"Lebih baik?" Tanya Raja dengan senyum miring menyepelekan. "Tuhan aja kamu permainkan, gimana aku yang cuma manusia biasa?" Tanya Raja tajam.
Ayela seketika gentar. Dia baru ingat kalau dia lupa melepas kalung salibnya. Tangannya gemetar menggenggam kalung pemberian papinya itu.
Raja tak lupa mencium punggung tangan Mbok, lalu mengucapkan terima kasih dan salam perpisahan. Dia tak lagi menegur Ayela, melangkah keluar dari rumah itu.
Ayela terduduk di lantai, air matanya mengalir tanpa suara menatap kepergian Raja.
✾ ✾ ✾
Raja benar-benar dibuat ketakutan saat ini, memikirkan Kim sendirian di jalanan dalam keadaan sakau, bisa-bisa gadis itu dimanfaatkan oleh orang-orang jahat. Sementara dia sendiri tidak mengetahui harus berjalan ke arah yang mana untuk mencari Kim.
"Please, Kim. Please... maafin aku," lirih Raja dengan mata mencari-cari di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
Raja memberhentikan sepasang kekasih yang sedang duduk di bangku taman. Dia menyebutkan ciri-ciri Kim secara detil, tapi kedua orang itu tidak mengingatnya karena memang manusia yang lewat di sana tak terhitung jumlahnya.
Dia mencobanya dengan beberapa orang lainnya, entah itu pedagang ataupun pejalan kaki. Tapi lagi-lagi tidak ada yang memberikan petunjuk. Kebanyakan dari mereka meminta foto Kim, tapi Raja mana punya.
Layaknya orang yang sedang frustasi, Raja duduk bersandar di tiang listrik sambil keramas rambutnya sendiri. Demi apapun dia sangat menyesal atas tindakannya menyakiti perasaan Kim. Sungguh niatnya hanya ingin Kim lebih menghargai setiap bantuan Ayela, tapi ternyata dia salah.
Tak ada pilihan lain, Raja terpaksa nekat dengan mendatangi rumah orang tuanya. Dia bernasib baik karena ternyata sudah tidak ada orang-orang yang mengawasi rumahnya itu. Begitu Raja sampai di Rumahnya, Aila langsung menjerit dan memeluknya.
"Mama benar-benar khawatir," lirih Aila sembari menangis.
"Maafin Raja, Ma. Raja udah bikin keluarga kita malu dan kalian susah," balas Raja.
Kaival menepuk pundak Raja dengan penuh haru. Selama beberapa hari ini dia sangat khawatir akan keadaan putra bungsunya itu, lega saat ternyata dia kembali dalam keadaan selamat.
"Kamu nggak perlu minta maaf, Mama bangga sama kamu," ucap Aila sungguh-sungguh. Lalu matanya menoleh ke pintu dan bertanya, "mana Kim?"
Raja langsung lesu. Dia duduk lemas di sofa, keramas rambutnya seperti ingin menangis.
Aila duduk di samping Raja, menatap cemas pada putranya. "Kenapa sayang? Apa yang terjadi?" Tanyanya.
Kaival pun ikut cemas, dia duduk berhadapan dengan Raja dan menatap dengan seksama. "Ada apa, Nak?" ikut bertanya.
"Raja butuh bantuan, Ma, Pa," minta Raja menatap orang tuanya dengan penuh harapan.
✾ ✾ ✾
R2-Salah Alamat
Kim akhirnya sampai di tempat yang dia tuju, sebuah pedesaan terpencil namun sangatlah hijau. Areal persawahan hampir mengelilingi sebagian kecil desa itu, banyak petani yang menatap ke arahnya dengan penuh penasaran. Para petani itu berendam di air setinggi mata kaki, membawa arit dan memakai topi yang terbuat dari anyaman rotan. Senyum mereka menyapa Kim, meski tak saling mengenal.
"Cari siapa, Neng?" Tanya seorang Ibu-ibu, yang cukup membuat Kim kaget karena kehadirannya yang tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk pundaknya.
"Eh, Bu, saya mau cari Rey," jawab Kim tak kalah ramah.
"Rey?" Tanya ibu tersebut dengan kening berkerut. "Di sini tidak ada yang namanya Rey."
Giliran Kim yang mengerutkan kening. Dia mulai berpikir jangan-jangan dia salah alamat. Jantungnya seketika berdetak kencang, mana punya uang lagi dia kalau harus kembali ke Jakarta.
"Neng asalnya dari mana? Biasanya kalau cantik begini pasti dari kota."
Kim tersenyum mendengarnya. "Saya dari Jakarta, Bu," jawabnya.
"Owalah... jadi benar ya kalau anak-anak Jakarta itu bening semua. Cantik sekali," puji Ibu itu lagi.
"Terima kasih, Bu," ucap Kim tersipu malu. "Sepertinya saya nyasar, Bu. Saya jadi bingung harus kemana," keluhnya dengan wajah lelah.
"Wah, ini sudah sore. Memangnya kamu tidak tau alamatnya di desa yang mana? Karena kalau di desa ini nama Rey tidak ada."
Ah, Kim ingat kalau dia masih menyimpan kertas tulisan tangan Rey itu. Dia pun mengeluarkannya dari jaket dan memberikannya pada sang Ibu. Untunglah Ibu itu bisa membaca, meski beliau harus menjauhkan kertas dari matanya yang bermasalah.
"Wah, ini sih desa sebelah, Neng. Jaraknya lumayan jauh dari sini. Emang tadi mesinnya naik apa?" Tanya si Ibu sambil memberikan kertas itu lagi.
"Naik Bis dari terminal, Bu." Kim menjawab dengan wajah cemas.
"Hmm, harusnya mereka menurunkan kamu di desa sebelah, sebelum desa ini."
"Yah, berarti saya kelewatan dong Bu?"
"Iya, lumayan jauh. Harus pakai motor, itu pun tiga jam jaraknya."
Kim lesu seketika.
"Sudah, gimana kalau malam ini kamu menginap di rumah saya dulu? Kebetulan suami saya kepala desa di sini," ajak sang Ibu.
Harapan Kim pun kembali, meski masih ragu.
"Besok, kamu bisa ke desa sebelah bareng Tama anak saya. Dia dokter, buka praktek di desa sebelah. Jadi kalau malam dia pulang, paginya pergi lagi kesana."
"Saya nggak makan merepotkan,Bu?" Tanya Kim tak enak hati.
"Tidak lah. Rumah kami sudah biasa menerima pendatang seperti kamu. Malah biasanya anak-anak pendaki yang tersesat suka mampir dan bermalam. Tidak apa-apa."
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama. Ayo Neng," ajak Istri kepala desa itu.
Di luar dugaan Kim, ternyata rumah kepala desa tidak seperti rumah kepala-kepala pemimpin kota di Jakarta. Malah, terkesan jauh dari kata sederhana. Dinding Rumah itu terbuat dari papan dan atapnya masih memakai jenis asbes.
"Ayo Neng masuk," ajak sang Ibu.
Kim pun ikut melangkah dengan sedikit menundukkan kepala saat melewati pintu yang jauh lebih rendah darinya.
"Pak, kita kedatangan tamu dari Jakarta!" Pekik sang Ibu. Tak lama seorang pria dengan peci menutupi uban, datang dari balik tirai. "Siapa, Bu?" Tanyanya.
"Nama kamu siapa Neng?" Tanya bapak tersebut.
"Saya Kim, Pak," jawab Kim sambil menyalami.
"Saya Karso," balas Pak Karso.
"Dia ini salah turun dari Bis Pak, harusnya turun di desa sebelah malah diajak kesini," kata istrinya memberitahu.
"Walah, kasihan sekali. Siapkan minum Bu," suruh Pak Karso.
"Baik Pak," Bu Karso pun masuk ke dalam untuk membuatkan Kim minum.
"Nggak usah repot-repot, Bu," cegah Kim, tetap merasa tak enak.
"Cuma minum, nggak repot!" Jawab Bu Karso dari salam dapur.
"Ayo Neng, duduk." Pak Karso menyuruh Kim duduk di kursi rotan, sementara dirinya duduk di kursi yang satunya lagi.
Selama di sana, Kim sama sekali tidak ditanya apa alasannya datang ke desa sebelah. Membuatnya nyaman karena tak harus menceritakan apapun, termasuk tak harus berbohong. Dia diterima dengan sangat baik, diperkenalkan pada warga di dekat rumah itu yang juga tak kalah ramah.
✾ ✾ ✾
"Assalamualaikum," salam seorang pemuda yang baru saja datang ke rumah Pak Karso.
Kim yang tadinya sedang duduk menonton sebuah acara reality show di TV tabung 14 inchi, langsung berdiri. Siap menyingkir bila Pak Karso kedatangan tamu lagi. Sepertinya menjadi seorang kepala desa memang sangat sibuk, hampir setiap jam didatangi warga dengan berbagai macam keluhan.
"Tama, kamu sudah pulang Nak?" ucap Bu Karso menyambut pemuda itu.
Jadi ini yang namanya Tama, dokter desa kebanggan Bapak dan Ibu Karso. Kim mebantin. Dia hanya melihat sekilas penampilan sang dokter muda yang lumayan tampan.
Tama menyalami sang Ibu, kemudian menoleh pada Kim. "Lagi ada tamu, Bu?" Tanyanya.
"Iya, ini Kim mau ke desa sebelah." Bu Karso pun menceritakan bagaimana Kim bisa ada di rumah mereka secara mendetail dan Tama mendengarkan dengan baik tanpa terlihat keberatan.
"Ya sudah kalau begitu besok kamu ikut aku aja. Sekalian nanti kita ketemu sama kepala desa sana untuk nanyain temen kamu itu," kata Tama dengan ramah.
Kim mengangguk dan tersenyum.
"Kamu bersiap sekarang, kita mau makan malam," ajak Bu Karso.
"Baik, Bu." Tama mengangguk patuh pada sang Ibu. Kemudian dia menatap Kim, tersenyum dan mengangguk untuk berpamitan masuk ke dalam.
Selama makan malam berlangsung, Pak Karso dan istrinya bercerita tentang kehidupan di desa itu. Banyak kejadian menarik yang membuat Kim tidak pernah bosan mendengarnya. Apalagi saat Tama ikut bercerita tentang masa-masa awalnya selama menjadi dokter di desa sebelah. Seorang dokter yang tidak mematok bayaran bahkan cenderung gratis.
"Jadi waktu hari pertama itu, pasien yang dateng banyak banget. Aku sampe kewalahan dan akhirnya minta bantuan mantri desa. Tapi kamu tau nggak apa yang paling aku inget sampe sekarang?"
"Apa?" Tanya Kim tertarik.
"Waktu ada ibu-ibu muda yang akan melahirkan ngotot minta aku yang bantu persalinannya. Padahal udah aku jelaskan kalau aku ini dokter umum, bukan dokter kandungan jadi beda spesialis."
"Terus-terus?" Tanya Kim antusias.
"Tetep maksa dengan bilang "Kamu kan dokter, harusnya bisa semuanya dong!" Tama menirukan cara bicara pasiennya, begitu pas sehingga terdengar meyakinkan.
Kim tertawa, begitu lepas.
Melihat Kim tertawa, Tama sepertinya terpesona. Dia menatap gadis itu begitu dalam, sampai tidak menyadari kalau gadis yang ditatapnya telah berhenti tertawa dan balas menatapnya.
✾ ✾ ✾
R2-Yer, Bukan Rey
Setelah sarapan, Kim pun berangkat ke desa sebelah bersama Tama. Baru satu malam berada di rumah itu, dia merasa sangat betah lantaran semua orang baik kepadanya. Apalagi Pak Karso sampai rela tidur di luar, agar Kim bisa tidur nyenyak di dalam kamar bersama Bu Karso.
Perjalanan yang ditempuh cukup jauh dan melewati setapak bebatuan sehingga cukup melelahkan. Kim tidak pernah naik motor, seingatnya. Jadi bisa jadi ini yang pertama. Makanya tadi dia sempat ragu, takut bila terjatuh. Tapi ternyata Tama bukan topikal pengendara yang ugal-ugalan, Kim merasa aman dibonceng pemuda itu.
"Rey itu temen kamu di Jakarta?" tanya Tama dengan suara sedikit keras agar terdengar oleh Kim.
"Iya. Dia pernah kerja di Jakarta!" jawab Kim, juga berteriak.
"Aku sih nggak kenal satu persatu orang-orang di desa sebelah, tapi nanti pas lihat wajahnya pasti tau," ujar Tama lagi.
"Mungkin karena dia juga baru balik lagi ke desa, jadi kamu nggak kenal!"
"Oh iya juga!"
Lalu tidak ada obrolan lagi, Tama mempercepat laju motor di jalan yang rata agar mereka cepat sampai.
Tiga jam lebih perjalanan, membuat pinggang terasa akan patah. Kim turun dengan kepala pening, sepertinya dia mabuk.
"Kamu nggak papa?" tanya Tama cemas.
"Mggak papa, cuma mual dikit."
"Nggak pernah naik motor ya?" tebak Tama.
Kim menggeleng.
"Pantes, apalagi langsung di jalan nggak rata kayak tadi. Kamu masuk dulu ke dalam, aku kasih obat," ajak Tama. Dia memegangi pundak Kim untuk masuk ke balai pengobatan, tempatnya bekerja.
"Pagi Pak dokter," sapa seorang warga sembari menundukkan kepala. "Wah, pasien dari mana Pak?"
"Pagi, Pak Min. Ini bukan pasien, tapi tamu di desa ini." Tama lalu menoleh pada Kim dan berkata, "Kim kenalin ini Pak Min kepala Desa di sini."
"Hallo Pak, saya Kim dari Jakarta," Kim pun menyalami Pria beruban tersebut.
"Kamu tamu siapa, Neng?" tanya Pak Min dengan ramah pada Kim.
"Namanya Rey, Pak," jawab Kim.
"Rey?" Pak Min terlihat kebingunhan.
Kim menjadi cemas lantaran mengira siapa tau dia salah desa lagi. "Iya Pak, namanya Rey. Dia bekerja di Jakarta, baru pulang kesini sekitar satu bulan yang lalu."
Pak Min terlihat berpikir, matanya berfokus pada satu titik namun tak sepenuhnya menatap kesana. "Nama lengkapnya siapa kira-kira, Neng?"
Kim refleks menggeleng. Dia mana tau nama panjang Rey, karena selama ini tidak pernah bertanya atau memeriksa data pengawal pribadinya itu.
"Kim, bukannya kamu punya alamat temen kamu itu?" tanya Tama.
"Oh iya!" Kim langsung mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. "Ini Pak alamatnya yang pernah dikasih ke saya."
Pak Min membaca tulisan di dalam kertas. "Ohhh, ini sih rumahnya Pak Mawi. Mungkin yang kamu maksud itu Yer, anaknya Pak Mawi."
"Yer?" Kim mengerutkan kening.
"Iya, namanya Jery. Tapi sejak kecil dia itu dipanggil Yer, karena di sini nama Jery terlalu keren." Pak Min tertawa.
Kim meringis, lalu kenapa Rey tidak menggunakan nama Jery saja?
✾ ✾ ✾
Tok. Tok. Tok.
"Assalamualaikum Pak Mawi." Pak Min mengetuk pintu dari rumah kayu dua tingkat yang katanya sebagai Rumah Rey.
"Waalaikum salam," sapa suara pria di dalam sana. Tak lama, Pria itu keluar dan langsung menyalami Pak Min. "Ada apa, Pak?" tanyanya ramah.
"Ini ada temennya Yer dari Jakarta," kata Pak Min memberitahukan.
Pak Mawi langsung menoleh ke arah Kim dan menatap cukup lama. Dia nampak kebingungan, kenapa ada gadis cantik mencari puteranya.
"Halo Pak, saya Kim temennya Rey." Kim menyalami Pak Mawi.
"Rey?" Pak Mawi mengerutkan kening, sama seperti Pak Min yang tadi kebingungan.
"Kim?" tiba-tiba seorang pemuda datang dari belakang dan langsung menyebut nama Kim.
Kim refleks berbalik, "Rey!" jerit Kim begitu senang. Akhirnya, setelah melewati proses yang cukup panjang dia bisa bertemu juga dengan pemuda itu. Kim memeluk Rey, jenis pelukan yang ingin menumpahkan betapa dia sedang memiliki banyak masalah.
Semua orang terpelongo menatap Kim dan Rey berpelukan. Terutama Pak Min dan Pak Mawi. Rey meringis menatap kepala desa dan Ayahnya itu.
"Assalamualaikum," sapa suara lembut yang tiba-tiba menghampiri.
Kim melepaskan pelukannya dan menatap gadis berkerudung dengan senyum teduh itu.
"Kim, kenalin ini calon istri gue yang selama ini gue ceritain," ujar Rey pada Kim.
"Hai, Kim," dengan senang hati Kim mengulurkan tangannya.
"Aisyah," jawab gadis itu membalas uluran tangan Kim. "Jadi ini yang namanya Mbak Kim? Wah ternyata Mas Yer nggak bohong, Mbak Kim emang cantik banget," pujinya.
"Panggil Kim aja, kita seumuran kan?" minta Kim. Dia lalu menoleh ke Rey dan berkata, "beruntungnya lo punya calon istri kayak Aisyah," tambahnya.
"Ya sudah Neng, Bapak mau kembali bekerja," Pak Min pun berpamitan.
"Aku juga Kim," sambung Tama.
"Makasih ya, Pak," Kim menyalami Pak Min.
"Makasih ya," ucap Kim pada Tama dengan senyum membingkai bibirnya. Tama balas tersenyum dan cukup lama menatap Kim hingga akhirnya pergi menyusul Pak Min.
"Yer, temen kamu diajak masuk," suruh Pak Mawi.
"Oh iya, Kim ayo masuk."
"Lo hutang penjelasan soal nama lo ke gue," kata Kim saat Rey melewatinya untuk masuk lebih dulu, membuat Rey tertawa.
Kim masuk bersama Aisyah, si gadis lemah lembut dengan pakaian yang benar-benar menunjukkan identitas muslimah sejati.
"Kim, lo kok bisa ada di sini? Raja mana?" tanya Rey setelah Pak Mawi meninggalkan mereka untuk kembali ke kebun.
Wajah Kim langsung berubah pias. Dia belum menjawab, namun ekspresinya menunjukkan sesuatu.
"Raja baik-baik aja kan?" tanya Rey cemas, salah mengartikan ekspresi Kim itu.
Kim tersenyum tipis dan mengangguk. "Dia baik, sangat baik kok."
Rey kembali mengamati wajah Kim. Lalu menebak, "kalian ... berantem?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Kim tidak menjawabnya. Dia menatap tak enak pada Aisyah, merasa kurang nyaman bila bercerita pada orang yang belum sepenuhnya dia kenal.
Aisyah yang sangat peka akan situasi pun bisa mengerti. "Mas Yer, tadi aku cuma lewat aja mau anterin Bapak kopi. Aku permisi ke kebun dulu ya, Kim." Tangan Aisyah pun memang sudah memegang segelas kopi hitam yang dia bungkus dengan plastik bening.
Rey pun tau maksud dari Aisyah yang ingin meninggalkan mereka berdua. "Hati-hati ya, Mas nggak bisa anter."
"Biasanya juga nggak anter," sahut Aisyah.
Rey tertawa mendengarnya.
"Kim," Aisyah mengangguk sekali.
"Oh iya," jawab Kim.
"Assalamualaikum," salam Aisyah.
"Waalaikum salam," jawab Kim dan Rey sama-sama.
Setelah kepergian Aisyah, Kim menceritakan segalanya. Rey mencoba menganalisa dari setiap ucapan Kim itu, mencoba memahami situasinya.
✾ ✾ ✾
R2-Dia Terluka
Raja telah mencari keberadaan Kim hingga ke belahan Jakarta melalui bantuan sang Mama, tetapi hasilnya nihil. Satu hal yang Raja takutkan, bila Kim sampai tertangkap pasukan rahasia dan disembunyikan selama masa penyelidikan. Karena Kim merupakan kunci dari segalanya, gadis itu pasti sangat dibutuhkan oleh pasukan Intelijen.
Raja sendiri tidak bisa dengan bebas berkeliaran, namanya tetap masuk dalam DPO nomor satu. Meski begitu dia pintar menyembunyikan diri lantaran sudah mengetahui bagaimana trik-trik para Agen dalam mencari seseorang. Bahkan, Raja pernah berpapasan dengan salah satu Agen yang menyamar tapi tidak menyadari kalau itu adalah dirinya.
Saat sedang melewati sebuah lorong, Raja dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang. Dia nyaris saja memukul andai orang itu tidak menampakkan wajahnya.
"Kakak!" desis Raja terkejut, ternyata orang itu adalah Kaila.
"Ada temen lo di rumah," beritahu Kaila.
"Lo kok tau gue di sini?" tanya Raja curiga.
"Mama sama Papa minta gue buntutin lo. Mereka cemas, takut lo ketangkep."
"Emang kalo gue ketangkep lo bisa apa?" Raja mengangkat kedua alisnya meremehkan.
"Paling lo bakal ngehancurin karir gue lantaran harus nyelametin adik tolol kayak lo," cibir Kaila.
"Sialan."
"Udah buruan, ikut mobil gue sebelum lo menyesal," kata Kaila sambil berjalan lebih dulu.
"Emang siapa yang dateng?" tanya Raja mengikuti langkah kakaknya.
Kaila tak menjawab, matanya waspada menatap keadaan sekitar. Akan sangat berbahaya bila ada yang memergoki mereka berdua. Selain karirnya yang akan hancur seperti Raja, mereka juga akan ditahan.
Dalam perjalanan, mata Raja terus mengamati jalanan berharap bisa menemukan Kim. "Pelan-pelan aja Kak, siapa tau ketemu Kim," katanya dengan nada putus asa.
"Temen lo di rumah lebih berpotensi buat bikin lo ketemu Kim," beritahu Kaila dengan mata tetap berfokus di jalan depannya.
"Rey?" tebak Raja langsung. Matanya seketika melebar, penasaran bukan main.
"Hmm," jawab Kaila seadanya.
"Ngebut. Injak gas lo sampe abis," suruh Raja kemudian.
"Ogah! Gue nggak mau mati. Lo aja lompat dari sini kalau mau buru-buru dikubur," tolak Kaila. Dia sengaja ingin membuat Raja kesal, setidaknya itu akan membuat Rajanya kembali. Sejujurnya, Kaila merindukan sosok jahil dari adiknya ini, yang perlahan tidak terlihat setelah Kim menghilang.
"Ayo Kak, buruan!" pekik Raja sambil mengusap rambutnya. Laju mobil malah semakin pelan, dia kesal bukan main.
"Bodo," balas Kaila tak perduli.
Raja kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Dia sudah tidak bisa duduk tenang. Berulangkali bergeser sana sini demi untuk membujuk Kaila agar mempercepat laju mobil.
✾ ✾ ✾
Kim kembali merasakan kepanasan, sekujur tubuhnya berkeringat namun dia menggigil. Dia menggigit bibir bawahnya dengan keras, tak ingin sampai Aisyah terbangun lantaran mereka tidur di kamar yang sama.
Ya, sementara waktu ini Kim menginap di Rumah Aisyah. Soalnya rumah Rey hanya dihuni oleh pemuda itu dan Ayahnya, sang Ibu telah meninggal dunia. Makanya agar tidak ada omongan miring di luar sana tentang keberadaan Kim, maka diputuskanlah Kim akan tinggal bersama Aisyah sementara waktu.
Hanya sementara, Kim berniat kembali ke Jakarta setelah keadaan cukup aman. Dia akan meminta bantuan orang-orang yang dikenalnya dengan baik di sana, saat para polisi mulai lengah.
"Engghh," Kim mengepal kedua tangannya, begitu keras hingga kuku panjangnya terbenam kuat di kulit pergelangan tangan. Normalnya dia akan merasakan sakit, tapi tidak saat ini. Malah rasanya tidak ada yang lebih menyakitkan dari efek yang membakar tubuhnya.
Sekali lagi, Kim menggigit lengannya untuk mengalihkan rasa sakit. Begitu keras hingga dia tidak sadar berkas gigitannya itu mengeluarkan darah meski hanya sedikit.
Sudah begitu banyak bekas luka di lengannya. Meski ada beberapa yang sudah hampir memudar, tetap saja akan terlihat bila dilihat dari jarak dekat. Apalagi kulitnya putih, membuat bekas-bekas itu menodai keindahan tubuhnya.
Di tengah kesakitan itu, Kim mengingat Raja. Dulu, pemuda itu akan memeluknya, memberikan dukungan di setiap rasa sakit hingga rasanya tidak seberat ini.
✾ ✾ ✾
Sore itu juga, Raja dan Rey berangkat ke desa. Padahal Rey meminta Raja untuk memberikan waktu pada Kim, tapi Raja malah ingin buru-buru dan membuatnya menyesal memberitahu pemuda itu.
"Lo jangan salahin gue kalau dia nolak lo nanti," kata Rey geram. "Awas aja Kim marah sama gue," lanjutnya lagi.
"Gue nggak bisa nunda lagi, Rey. Ada banyak hal yang harus gue jelaskan ke dia," beritahu Raja.
"Orang yang lagi marah nggak akan mau mendengarkan penjelasan. Ngerti lo?"
"Seenggaknya gue bakal terus berusaha."
"Terserah lo deh. Ajakin gue makan enak dulu kek. Ketemu cewek sexy di club malam kek. Lo pikir nggak capek apa gue baru nyampe udah lo ajak pergi lagi. Tidur di Bis lagi dah malem ini," omel Rey.
Raja terkekeh geli. "Sejak kapan lo jadi cengeng kayak gini? Keenakan lo di desa?"
"Enak kepala lo! Gue nggak ada kerjaan, bego."
Raja kembali tertawa.
Namun tawa itu tidaklah lama, dia kembali mengingat Kim. Matanya sendu, kedua tangannya selalu saja mengepal setiap kali bayangan wajah kecewa Kim muncul di depan mata. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Kim menatapnya saat terakhir kalinya waktu itu.
"Dia terluka," kata Rey, seolah bisa menebak isi kepala Raja.
Raja menoleh pada Rey.
"Gue bisa lihat itu di matanya. Dia pasti sakit banget, karena orang yang bikin dia terluka adalah orang yang dia pilih untuk hidupnya."
"Gue salah, Rey. Demi apapun gue nyesel banget." Raja menunduk, matanya merah hendak menangis.
"Makanya itu gue datengin lo. Gue yakin ada kesalahpahaman di antara kalian."
Raja kembali mengangkat wajahnya dan menatap Rey dengan satu tetes air mata. "Makasih," ucapnya dengan suara serak.
"Gue tau gimana perjuangan kalian, itu sebabnya gue lebih suka kalian bersatu."
Raja mengangguk.
Rey menepuk pundak Raja. Pemuda itu sedang menangis tanpa suara dengan kepala tertunduk. Baik Kim ataupun Raja, keduanya masih saling mencintai. Dia bertekad akan membuat keduanya bersatu lagi.
✾ ✾ ✾
R2-Jemput Calon Istri Aku
PRANG!
Susu hangat yang sedang Kim genggam terlepas dari tangannya hingga pecah di lantai. Matanya terpaku pada sosok yang selama ini selalu dia rindukam dalam diam. Sebuah pertanyaan mulai terlintas, bagaimana Raja bisa ada di sini?
"Kim, kenapa? Kamu baik-baik aja?" tanya Aisyah kaget. Dia buru-buru keluar dari dapur saat melihat suara gelas pecah. Matanya langsung menoleh ke depan, kemudian menunduk kaget karena ada pemuda asing di hadapannya sementara dia tidak memakai jilbabnya dengan benar.
Namun seketika pertanyaan itu terjawab saat Rey muncul dari balik pundak Raja. Sang otak dari keberadaan Raja memasang wajah meminta maaf atas tindakannya itu. "Kalian perlu bicara dan menyelesaikan kesalah-pahaman yang terjadi," ujar Rey mengenai niatnya.
"Lo khianatin gue, Rey?" tanya Kim tajam.
"Sorry Kim, kalian berdua itu temen gue. Gue nggak bisa cuma denger dari salah satu pihak aja, tanpa mendengarkan penjelasan dari pihak lainnya. Gue cuma mau menempatkan diri gue dalam posisi yang adil untuk kalian berdua. Menurut gue kalian perlu bicara," jelas Rey.
"Lo bawa dia pergi atau gue yang pergi dari sini?" ancam Kim.
Rey dan Aisyah saling menatap, mereka merasa cemas dengan situasinya.
"Kim gue cuma..."
"Biar gue yang ngomong sama dia," potong Raja.
Rey pun mengangguk dan memberikan kode pada Aisyah agar ikut keluar bersamanya.
Saat Kim hendak ikut melangkah keluar, Raja memegang tangan gadis itu menghalanginya. "I miss you," lirih Raja. Kim tepat berada di sampingnya, dengan posisi berhadapan tapi tidak saling menatap.
"And Im not," jawab Kim tegas.
Raja menarik tangan Kim agar berhadapan dengannya. Gadis itu mengalihkan mata menatap ke arah lain. "Really?" tanya Raja sangsi.
Kim menatap Raja dengan wajah datar. "Ngapain kamu ke sini?" tanyanya.
"Jemput calon istri aku," jawab Raja.
Kim tersenyum sinis. "Untuk jadi yang pertama atau kedua?" tanyanya meremehkan.
"Satu-satunya," jawab Raja serius.
Kim sempat terdiam dan menatap Raja. Namun kemudian dia menarik tangannya dari pemuda itu. "Bulshit," desisnya. "Kamu pikir dengan kamu dateng kesini, aku bakal gitu aja mau kembali? Nggak akan, Raja. Bagi aku kita udah selesai. Sejak kamu lebih milih Ayela, sejak saat itu aku mundur."
"Aku nggak pernah milih Ayela. Kalau aja kamu bisa nunggu lebih lama, kamu akan tau gimana jawaban aku, Kim."
"Aku manusia, Raja. Terlalu sakit buat aku."
"Kim ...."
"Stop." Kim menjauhkan tangannya yang hendak diraih oleh Raja. "Kali ini aku akan menghilang tanpa jejak seandainya kamu masih nyoba buat deketin aku," ancam Kim dengan jari telunjuk mengarah ke wajah Raja.
Raja sontak menurunkan kedua tangannya, tak ingin melawan Kim. Dia sudah sangat ketakutan saat kehilangan Kim kemarin, dia tidak ingin merasakannya lagi.
"Pulang lah, aku nggak akan ikut kamu." Kim melangkah pergi meninggalkan Raja yang mematung menatap kepergiannya. Dia terus melangkah, mengabaikan panggilan Rey dan Aisyah.
Rey masuk dan menepuk pundak Raja. "Gue bilang apa, biarin Kim tenang dulu. Sekarang apa rencana lo?"
"Lo masih bisa nampung satu orang lagi di rumah lo, kan?"
Rey menangis. "Nggak ada yang gratis!" ucapnya sambil berjalan keluar.
Raja terkekeh dan mengikuti langkah Rey. Dia hanya tersenyum saat melewati Aisyah.
✾ ✾ ✾
Tidak memiliki tempat lain, Kim pun mengunjungi Balai Pengobatan Desa menemui Tama. Selain Rey dan Aisyah, dia hanya memiliki Tama saat ini. Meski baru kenal beberapa hari, tapi Kim sudah merasa nyaman pada pemuda itu.
"Hai, Kim!" sapa Tama antusias. Dia tidak menyangka akan mendapatkan kunjungan mendadak, macam Ibu Mentri yang lagi mau sidak.
"Kamu sibuk? Aku ganggu, nggak?" tanya Kim.
"Nggak. Lagi nggak ada pasien juga kok. Ayo masuk," ajak Tama.
Kim pun melangkah masuk. BPD di sana sangatlah sederhana, lantainya saja terbuat dari papan yang ditutup karpet seadanya. Dinding papannya dipajang berbagai macam gambar tentang kesehatan. Ada lemari setinggi 1,5 Meter menampung berbagai jenis obat. Bahkan hanya ada satu kamar pasien di sana, dengan fasilitas minim.
"Duduk Kim," suruh Tama.
Kim tersenyum dan duduk.
Tama memandangi Kim sangat lekat, sepertinya begitu dalam. "Aku boleh lihat tangan kamu?" tanya Tama dengan lembut.
"Hah?"
"Lihat tangan kamu sebentar. Kamu kayaknya sakit," kata Tama menjelaskan.
"Nggak. Aku nggak sakit," jawab Kim.
"Coba sebentar, maaf ya..." Tama meraih tangan Kim dan dia letakkan luru di atas meja. Dia mengamati kulit putih itu dengan teliti. Kemudian dia menatap Kim kembali. Dengan berani tangannya mengusap pipi Kim, bukan bermaksud lancang hanya ingin mendeteksi suhu tubuh gadis itu.
Kim terpaksa diam saja.
"Kamu makek ya, Kim?" tanya Tama sejurus kemudian.
Mata Kim seketika melebar dan dia refleks menarik tangannya. Pergerakan bola matanya yang gelisah menunjukkan kalau dia sedang mencari kata untuk menjawab pertanyaan Tama itu.
"Nggak usah khawatir, aku nggak akan bilang siapa-siapa," kata Tama meyakinkan.
"Gimana kamu bisa tau?" tanya Kim pelan.
"Dulu aku pernah PKL di desa yang terkenah wajah HIV AIDS, selama 3 bulan. Jadi semua Tim Medis waktu itu bingung apa yang menyebabkan beberapa anak muda terkena penyakir itu padahal mereka tidak berhubungan seks secara bebas. Setelah diselidiki, ternyata itu berasal dari suntikan yang mereka pakek secara bergantian. Jadi, cuma satu orang yang sebenernya terserang HIV karena pekerjaan malamnya sebagai PSK. Dari satu orang ini, temen-temennya jadi ikut tertular melalui jarum suntik yang mereka pakai sama-sama saat menggunakan narkoba."
Kim menjelaskan cerita panjang Tama dengan serius.
"Jadi selama tiga bulan di sana aku berkumpul dengan para pemakai yang direhabilitasi untuk lepas dari narkoba dan melakukan pengobatan HIV."
"Itu sebabnya kamu bisa melihat aku juga sebagai pemakai?" tanya Kim.
Tama mengangguk. "Wajah kamu pucat, Kim. Kulit kamu dingin. Tatapan kamu juga sayu. Terlebih, di tangan kamu terdapat banyak bekas goresan luka, entah itu berasa dari benda tajam atau gigitan."
Kim memandangi kedua tangannya. Memang sangat banyak, meski sebagian telah memudar tapi tetap saja terlihat.
"Aku bisa bantu kalau kamu mau," kata Tama menawarkan diri.
"Bantu?"
"Hmm, rehabilitasi lokal. Kita emang nggak punya obat khusus di sini untuk menekan efek dari narkoba itu. Tapi ada cara lain yang bisa kita coba tanpa bantuan medis."
"Apa?"
Tama kemudian mengambil kertas resep dan menuliskan sesuatu dengan serius di sana.
Kim tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Tama tulis, mungkinkah pemuda itu memberikannya sebuah resep yang harus ditebus?
"Ini," Tama memberikan kertas itu.
Kim menerimanya dan langsung membacanya. Ternyata yang tertulis di sana bukanlah resep obat yang harus ditebus, melainkan jadwal.
"Kamu bisa dateng sesuai jadwal yang udah aku kasih," beritahu Tama.
Kim menatap kembali kertas itu kemudian menatap Tama dengan serius.
✾ ✾ ✾
Hayooo, penasaran apa rencana selanjutnya buat dapetin Kim?
Tahan dulu...
Tarik nafas...
Hihihi.
*****
Buat kalian yang belum paham atau masih bingung dengan promo baca gratis raja 5 oktober - 19 oktober 2020, jadi sudah diberitahukan kalau hanya season 1 yang digratiskan. Sementara Season 2 harus tetap berkoin ya...
Loh kenapa?
Karena udah lumayan loh say dibantu gratis puluhan Bab, sisanya kalian bantu jerih payah Momi yang tinggal bayar sedikit lagi pakek koin ya.
Yahhhhh :(
Hayo kenapa protes? Bayangkan Momi nulis ini jerih payahnya gimana, terus udah dikasih gratis puluhan bab, masih merasa Momi jahat? Momi deh yang sedih.
Semoga dapat dimengerti ya ??
R2- Demi Kimberly
Masih bingung ya kenapa sampai sini harus pakai koin? Karena part ini sudah memasuki season 2. Sementara promo baca gratisnya hanya sampai season 1.
Yuk beli koin, tinggal sedikit lagi langkah kalian untuk mendukung Momi. Anggap ini upaya kita berbagi, Momi kasih gratis puluhan bab di season 1 dan kalian beli koin untuk Season 2.
Semangat yaaaa, dukung terus penulis kesayangan kalian!!
****
Pulang dari BPD, Kim langsung dicegat oleh Raja. Tangannya ditarik paksa ke rumah Rey, membuat beberapa warga yang sedang lewat memasang ekspresi penasaran.
"Kamu dari mana?" Tanya Raja secara langsung, tanpa basa basi.
"Bukan urusan kamu," tapos Kim pada tangan Raja yang masih juga memegang tangannya.
"Jelas ini urusan aku. Kamu pacar aku," tekan Raja.
Kim tersenyum miring. "Pacar?" Tanyanya meremehkan. "Bukannya aku nggak lebih baik dari Ayela? Itu sebabnya saat itu kamu lebih memilih dia dibanding aku."
"Kata siapa aku lebih milih dia?" Tanya Raja.
"Terlambat...
Cinta...
"Aisyah, emang mereka kerja apa sih?" tanya Kim saat membantu Aisyah menyiapkan makanan untuk dihantar ke tempat bekerja kekasih mereka.
"Pekerjaan mulia," jawab Aisyah dengan senyum teduhnya.
"Hah?" Kim tidak mengerti. Mendengar kalimat "pekerjaan mulia" dia langsung memikirkan seseorang yang bekerja tanpa dibayar, dengan tugas sosial.
"Nanti kamu akan tau, Kim," kata Aisyah kemudian.
Kim pun mengangguk dan tersenyum. Dia menoleh pada Aisyah yang sedang memasukkan menata nasi dan lauk untuk box makan Rey. "Lo sama Rey udah lama jadiannya?" tanyanya penasaran.
"Sudah lumayan lama, sejak kita masih SMA."
"Wah, udah lama banget dong!"
"Hehehe, iya."
"Lo pasti cinta banget ya sama Rey?" tanya Kim lagi.
"Cinta menurut kamu apa?" tanya Aisyah sejurus kemudian.
"Hah?" Kim bingung menjawabnya.
Aisyah terkekeh dan menggeleng kecil. "Cinta menurut aku adalah simbol dari rasa yang berlebihan terhadap seseorang. Aku mencintai Mas Yer, bukan hanya berdasarkan simbol seperti apa yang selama ini orang pikir tentang...
Menikahi Kamu
Deg!
Jantung Kim berdetak cepat kala ada sepasang tangan memeluknya dari belakang. Pelukan itu berjenis sangat erat, mengunci tubuhnya ke dalam rasa nyaman yang sulit ditolak.
"Aku baik-baik aja," bisik Raja dengan dagu menempel di pundak Kim.
Kim tidak bisa menahannya lagi, dia menangis. Air matanya sampai jatuh ke lengan Raja.
Raja melepaskan pelukan, membalik tubuh Kim agar berhadapan dengannya. Dia memberikan kotak makan pada Kim, agar kedua tangannya bisa menghapus air mata itu.
"Selama ada kamu di samping aku, semua akan terasa mudah buat aku. Kita pasti bisa lewatin ini. Akan ada pelangi setelah hujan, oke?" bujuk Raja.
Kim mengangkat wajahnya menatap Raja, dia mengangguk pelan. Memangnya mereka bisa apa lagi selain menunggu pelangi itu tiba?
"Ayok, temenin aku makan. Waktu istirahat aku udah mau habis," ajak Raja.
Kim kembali mengangguk.
Saat Raja dan Kim kembali ke pondok tadi, Rey dan Aisyah sudah tidak ada. Keduanya pun duduk berduaan...
Show Me
Sudah enam hari Raja bekerja sebagai buruh bangunan, meski hanya sebatas kenek saja tapi dia diperlakukan sama oleh semua orang. Tidak ada yang memandang rendah sebuah jabatan, malah dia dengan telaten diajari oleh Bapak-bapak di sana.
Dan ketika menerima upah atas jerih payahnya, itu rasanya sangat berbeda dibanding saat menerima gaji dari tugasnya membela Negara. Jika biasanya sejumlah besar uang akan masuk setiap bulannya ke rekening bank, maka gajian kali ini dia harus mengantri bersama para buruh lainnya untuk menerima uang cash dari Sang Mandor. Uang yang diterima pun sangat sedikit, jauh berbeda dengan yang selama ini dia dapatkan saat menjadi Agent.
"Cie gaji pertama," ledek Rey begitu mereka telah sama-sama menerima upah dan akan pulang.
Raja terkekeh. Andai dia bisa bilang ke Rey kalau upah yang diterimanya saat ini adalah jajan yang biasanya dia habiskan sehari-hari.
"Mau diapain, Ja?" tanya Rey mengenai uang itu.
"Dikasih ke Kim," kata Raja...
Kamu Marah?
Selepas kepergian Raja, Kim langsung bergegas ke dapur. Dia panik, bingung harus memulainya dari mana karena waktu yang sudah sangat mepet. Ditambah lagi, apapun yang ada di dapur ini belum sepenuhnya Kim kuasai. Dia terbiasa dengan segala hal berbau listrik, bukan gas atau alat-alat manual lainnya.
Namun tak ada pilihan lain, Kim ingin mencobanya. Ada beberapa bahan yang bisa dia pakai, milik Aisyah yang biasanya dipakai untuk membuat kue kering. Kim akan menggantinya besok karena malam ini dia sedang sangat membutuhkannya.
Kim mengambil wadah bersih, dia mencampur berbagai bahan ke dalam situ dan mengaduknya pelan-pelan dengan menggunakan peralatan manual. Tidak ada Mixer, maka Kim harus extra lebih keras mengaduk bahan-bahan itu menjadi satu kesatuan.
"Assalamualaikum," sapa Aisyah dari luar dapur.
"Waalaikum salam," jawab Kim.
Wujud Aisyah nampak, masih dengan mukenah di tubuhnya. "Eh, Kim, kamu masak apa?" tanyanya antusias.
"Aisyah, gue pinjem bahan-bahan lo ya, besok gue ganti," ujar Kim...
Rumah Kita
"Kita mau kemana sih?" tanya Kim saat Raja menjemputnya pagi-pagi di kediaman Aisyah. Pemuda itu sampai meminta izin segala pada Orang Tua Asiyah kalau mereka akan pulang malam.
"Ada deh," bisik Raja terkekeh.
Kim sontak mencubit pinggan Raja.
Raja menggandeng Kim sepanjang perjalanan mereka menyusuri jalan kecil persawahan. Banyak para petani yang menyapa mereka. Meski mereka tergolong baru tinggal di sana, tapi hampir semua penduduk di desa itu mengetahui siapa mereka dari mulut ke mulut.
"Gimana tidur kamu semalem?" tanya Raja pada Kim.
"Lumayan nyenyak," jawab Kim. "Kamu gimana?" tanyanya balik.
"Nggak tidur sama sekali," jawab Raja.
"Loh, kenapa?"
"Nanti kamu bakalan tau alasannya," ujar Raja makin menarik Kim melangkah lebih cepat.
Kim mengerucutkan bibirnya, paling tidak suka dengan sesuatu yang buat penasaran. "Kamu beberapa hari ini sibuk ngapain aja?" tanyanya curiga.
"Nanti kamu bakal tau," Raja mencubit hidung Kim, gemas sekali.
"Ihhh, Raja aku nggak suka digituin," Kim mengusap...
Pernikahan Sederhana Part I
Tiga bulan kemudian...
Kediaman keluarga Aisyah sedang sangat ramai, pasalnya mereka akan mengadakan dua pernikahan sekaligus. Kim yang telah dianggap seperti anak sendiri, akan dinikahkan bersamaan dengan pernikahan Aisyah.
"Hari ini Ibu merasa sangat bangga karena bisa menikahkan Putri Ibu dengan pria pilihannya sendiri. Bukan hanya satu, tapi dua putri sekaligus." Ibu Masyitoh adalah Ibu kandung Aisyah, beliau sangat menerima Kim layaknya seorang anak dan memperlakukannya sama seperti Aisyah.
"Ibu, Kim mau ucapkan banyak terima kasih karena selama ini Ibu, Bapak dan Aisyah sudah sangat baik pada Kim. Bahkan rasanya Kim seperti berada di rumah sendiri," Kim menggenggam tangan Ibu Masyitoh dengan lembut.
"Dulu, Aisyah ini punya kembaran. Tapi sayang Allah lebih sayang dan mengambil salah satunya. Saat melihat kamu ada di rumah ini, Ibu merasa seperti diberikan kesempatan untuk merasakan memiliki dua anak sekaligus."
Kim begitu terharu mendengarnya. Dia memeluk Ibu Masyitoh dan menangis. "Makasih karena Ibu ngebuat Kim...
Pernikahan Sederhana Part II
"Kamu cantik, Neng," puji Rey pada Aisyah, istrinya.
"Makasih Mas," jawab Aisyah lembut.
Keduanya nampak malu-malu, untuk bertatapan saja mereka hanya bisa melakukan itu selama lima detik lalu tersipu.
"Nanti malam, kita mau tidur di rumah kamu atau rumah Mas aja?" tanya Rey.
Pertanyaan itu sedikit sensitif karena menyangkut malam pertama mereka. Aisyah merasa jantungnya berdebar sehingga menunduk dalam-dalam saat menjawab, "kalau itu terserah Mas Yer aja."
Rey terkikik, dia sendiri merasa malu membayangkannya. Aneh memang, Rey yang biasanya tidak tahu malu menelanjangi wanita-wanita jalang di luar sana, kini merasa sangat tidak berani harus melakukan itu pada Aisyah, gadis yang tidak pernah disentuhnya melebihi pegangan tangan dan itupun secara tidak sengaja.
Merasa sangat sulit menahan diri tapi malu, Rey menggerakkan tangannya menggenggam tangan Aisyah yang begitu dingin. Bisa Rey rasakan tangan halus itu gemetar di genggamannya.
"Sekarang aku udah boleh pegang tangan kamu," kata Rey dengan bangga.
"Pegang yang lain...
Malam Pertama Part I
Warning, hanya untuk dibaca kalangan yang berumur 18 tahun ke atas!!
๛๛๛
๛๛๛
๛๛๛
Setelah semua prosesi acara selesai dan berpamitan pada kedua keluarga dari pihak Rey dan Asiyah, kini Raja dan Kim menempati kediaman pribadi mereka sendiri. Keduanya begitu senang karena akhirnya bisa tinggal satu atap lagi dan dengan status yang lebih jelas.
"Nggak akan ada lagi yang usil dengan hubungan kita," kata Raja sambil menggandeng Kim menjejaki halaman rumah menuju ke dalam.
"He-em. Mau kita pulang malem. Atau kita nggak keluar rumah seharian, itu hak kita." Kim pun turut bahagia.
Raja membuka pintu rumah dengan kunci yang dia pegang. Lalu dia mencabut kunci itu dan memisahkan duplikatnya dari gantungan. "Ini buat kamu," berinya.
Kim menerima itu dengan senang hati, dimulai dari berbagi kunci rumah mereka akan mulai berbagi hal lainnya.
Keduanya melangkah dengan kaki kanan lebih dulu, tetap dengan bergandengan tangan san tersenyum. Sesederhana ini, cinta mampu mengalahkan...
Malam Pertama Part II
Mata Rey berbinar-binar kala istrinya masuk ke dalam kamar. Dia telah menunggu selama empat jam karena Aisyah ingin membantu Ibunya membereskan sisa-sisa hajatan.
Begitu Aisyah tiba di tengah-tengah kamar, Rey langsung memeluknya dari belakang. "Kamu lama banget sih," rengek Rey manja.
"Baru selesai bantuin Ibu, Mas."
"Nggak papa. Ayo sayang," Rey membalik tubuh Aisyah dan langsung mendekati bibir wanita itu. Baru saja bibir mereka akan menempel, Aisyah mendorong dada Rey melepaskan diri.
"Mas, kita sholat dulu yuk!" ajak Aisyah dengan lembut. "Belum Sholat Isya' kan?"
"Oh iya, Mas lupa!" Rey menepuk jidatnya. Dia berusaha menyembunyikan kecewa dan bersabar sedikit lagi.
Lanjutlah mereka berwudhu dan melakukan sholat Isya' berjama'ah. Keduanya sama-sama khusyu' dalam beribadah kepada Allah SWT. Rey pun memimpin Do'a sebisanya dalam bahasa arab, kemudian diikuti dengan Bahasa Indonesia dengan Do'a yang lebih panjang.
"Amin ya rabbalalamin," tutup Rey sambil mengusap wajahnya.
Aisyah mencium tangan Rey dengan patuh, tersenyum pada...
Sex Education
Saat datang ke Rumah Aisyah, Kim langsung diajak ke kamar wanita itu untuk membicarakan hal yang serius. Kebetulan di Rumah itu masih banyak pihal keluarga yang belum pulang, membuat Aisyah tidak bisa bebas bicara di Ruang Tamu.
"Kenap, Aisyah?" tanya Kim langsung. "Ada masalah?"
Aisyah tiba-tiba langsung menangis sesenggukan, membuat Kim sangat cemas dan langsung memeluk wanita itu. "Lo kenapa?" ulangnya lagi.
"Mas Yer, Kim. Hiks, Mas Yer..."
"Lo diapain sama Rey, hah?" Kim mengguncang kedua pundak Aisyah. Dia mengamati wajah wanita itu, barangkali ada lebam atau sejenisnya.
Aisyah menggelengkan kepala. "Tadi Mas Yer bersikap aneh, dia dingin sekali. Waktu aku bangunin untuk sholat subuh berjama'ah di Rumah, dia malah ke Masjid."
"Cuma itu?"
Aisyah kembali menggeleng. "Pulang dari masjid, Mas Yer nggak nyapa aku lagi. Dia langsung mandi, bepakaian dan pergi. Aku nggak tau dia kenapa," Aisyah kembali terisak oleh tangis.
Kim mengerutkan kening, bingung dengan situasinya. "Emang, semalem...
Kerja Part I
"Kenapa harus tutup mata sih?" tanya Kim penasaran.
"Kejutan," bisik Raja.
Kim baru saja pulang dari bermain di Rumah Aisyah lantaran sang Suami bekerja. Dia dan Aisyah berbagi banyak kisah soal rumah tangga yang mereka jalani selama satu bulan ini.
"Stop," suruh Raja begitu sampai di depan ranjang. "Jangan buka mata dulu sampe aku bolehin," ujar Raja sambil berjalan ke lemari.
Kim tetap menutup matanya, meski rasanya sudah sangat penasaran dan ingin mengintip. Telinganya mendengar suara lemari dibuka dan ada suara plastik kresek mendekat ke arahnya.
"Apaan sih?" tanya Kim semakin tidak sabaran.
"Sekarang buka mata kamu," suruh Raja.
Secepat kilat Kim membuka matanya. Betapa terkejutnya dia karena tepat di depan matanya ada dua buah ponsel yang bagaikan benda keramat.
"Ini...."
"Buat kita," potong Raja.
"Serius?!" pekik Kim begitu senang. Matanya berbinar-binar bagaikan mendapat sesuatu yang sangat berharha.
"Biar kamu nggak ngerasa kesepian lagi kalo aku lagi kerja."
"Ahhhh senengnya!"...
Kerja Part II
Setelah melewati proses berpikir yang panjang, Raja akhirnya menyetujui keinginan Kim untuk berkerja bersama Tama. Dengan syarat kalau istrinya itu tidak akan berbuat macam-macam. Pagi ini, Raja mengantar Kim ke klinik desa. Kebetulan lokasi kerjanya melewati klinik itu sehingga bisa sekalian jalan.
"Hai," sapa Tama pada Kim dan Raja.
"Hai," sapa Kim kembali.
Sementara Raja hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Pulangnya aku jemput lagi," ujar Raja.
Kim mengangguk.
Raja mendaratkan ciuman ke kening Kim. Kemudian berbisik, "Jangan macam-macam."
Kim terkekeh geli dan mencubit pinggang Raja. "Udah sana, nanti kamu telat."
"I love you," ucap Raja.
Kim mendekatkan bibirnya ke telinga Raja. "I love you too. Buruan pulang," bisiknya nakal.
Giliran Raja yang terkekeh geli, dia mengusap puncak kepala Kim dengan penuh kasih sayang. Kemudian pergi meninggalkan klinik itu menuju ke lokasi kerjanya.
Kim melambaikan tangan pada Raja yang terus-terusan menoleh.
"Ayo Kim masuk," ajak Tama. Dia sudah diam sejak tadi,...
Tamu tak Diundang Part I
Sudah tiga hari ini Kim tidak bekerja karena Tama sedang mengadakan penyuluhan ke berbagai desa. Jadinya dia cuma di rumah menunggu Raja pulang, atau main ke Rumah Aisyah agar tidak kesepian.
Saat sedang di dapur memasak untuk makan siang Raja, pintu rumahnya diketuk oleh seseorang dari luar. Biasanya ketukan pintu selalu disertai ucapan Assalamualaikum, tapi tumben kali ini cuma pintunya saja yang bersuara.
"Sebentar!" pekik Kim. Dia sedang sangat tanggung karena menggoreng ikan yang hampir matang. Orang di luar sana sangat tidak sabaran sehingga tanpa jeda mengetuk pintu berbahan triplex itu.
Setelah ikan yang digoreng matang dan ditiriskan, Kim pun bergegas ke pintu untuk membukanya. Dia sudah lebih dulu mencuci tangan dan melepas celemek di tubuhnya.
Baru saja membuka kunci pintu, seseorang dari luar sudah lebih dulu mendorong pintu itu ke dalam hingga terbuka.
Deg!
Langkah Kim refleks mundur ke belakang seiring dengan langkah maju orang yang ada di depannya....
Tamu tak Diundang Part II
Raja ingin memberikan kejutan pada Kim dengan pulang ke rumah saat jam makan siang agar bisa makan bersama. Dia sudah meminta izin pada Mandor dan diizinkan, karena selama ini Raja memang termasuk pegawai yang sangat penurut sehingga disenangi oleh Sang Mandor.
Namun begitu sampai di rumah, Raja melihat ada beberapa orang memakai pakaian serba hitam sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Meski Raja tidak mengenal siapapun di antaranya, tapi dari penampilannya ini persis seperti seorang bodyguard.
Merasa cemas dengan keadaan Kim, Raja berniat mengabaikan orang-orang itu dan hendak langsung masuk ke dalam. Tetapi dia dihadang, malah diajak bergulat oleh mereka semua.
"Kalian siapa?" tanya Raja dengan dua tangan terkepal di depan tubuh, siap untuk bertarung.
"Tidak perlu tau siapa kami," kata salah seorang.
Terjadilah saling tinju, tendang dan serang. Raja dikeroyok oleh empat pria berbadan kekar itu.
"Lepasin, Tor!"
Seketika Naga menoleh ke pintu karena mendengar suara Kim memanggil nama...
Tamu tak Diundang Part III
Kim terus melangkah, kedua tangannya masuk ke dalam jaket di dekat pinggang. Tak disangka-sangka, dia mengeluarkan dua buah pistol di kedua tangannya. Membuat mata semua warga terbelalak lebar, hingga kaki mereka termundur.
Belum sempat para pengawal Tor menarik pelatuk pistol mereka...
Dor!
Dor!
Dor!
Dor!
Tembakan super cepat dari Kim membuat empat orang pengawal Tor berteriak kesakitan karena tangan mereka tertembak. Pistol mereka semua terlepas, diambil oleh Rey salah satunya.
Semua warga yang menyaksikan itu bahkan melongo dengan mulut menganga lebar, mata tak berkedip sedikitpun. Biasanya, mereka hanya menyaksikan adegan seperti ini di Film-film action barat, itupun sangat jarang. Tapi ini malah disuguhkan secara live, persis di depan mata menggunakan pistol asli.
Tor tidak bisa berkutik saat kepalanya ditodong oleh tiga pistol, dua di tangan Kim dan satu di tangan Rey.
Raja tersenyum tipis, bangga pada kemampuan Kim yang belum hilang. Selama ini dia rindu melihat wanita itu menggunakan keahliannya...
Mereka Melindungi Kamu
"Nama kalian sudah dibersihkan," beritahu Rayen. Dia menatap Raja dan Rey yang kelihatannya sangat cemas.
Raja, Kim dan Rey diajak bicara serius di Ruangan tertutup bersama Rayen. Ketiganya sudah tegang, terutama Rey yang merasa tidak memiliki backing sehebat Raja.
"Dibersihkan gimana Om?" tanya Raja masih belum mengerti.
"Raja, kamu dipecat dari kesatuan. Nama kamu dicoret dan dianggap tidak pernah ada," beritahu Rayen.
Terlihat, wajah Raja langsung berubah redup. Menjadi seorang Agent adalah impiannya sejak kecil, bahkan dia berjuang sangat keras untuk bisa sampai di posisi terakhirnya. Namun ternyata...
Kim menatap Raja begitu lekat, sedih melihat kekecewaan di wajah suaminya itu. Namun ketika membalas tatapannya, Raja tersenyum palsu.
"Nama kamu Rey?" tanya Rayen ke Rey.
"I-iya, Pak!" jawab Rey tegas.
"Nama kamu juga sudah bersih, kamu dianggap tidak pernah bekerja pada Abraham. Mulai sekarang kamu bisa menjalani hidup seperti orang-orang pada umumnya, tanpa harus bersembunyi lagi."
Rey melongo, kaget atau senang...
Harus Pakai Pelukan?
Perpisahan dengan desa yang telah begitu baik menerima mereka, membuat Raja dan Kim terasa berat harus pergi. Andai mereka tidak punya urusan penting di Jakarta, pasti akan lebih memilih tinggal di sana saja dengan tentram.
Namun Raja memiliki keluarga dan Kim memiliki orang tua yang sedang membutuhkannya. Untuk itu, hari ini mereka harus pergi.
"Gue bakal kangen sama lo berdua," kata Rey melepas kepergian Raja dan Kim.
Raja mengambil sesuatu di saku celananya, sebuah kunci. Dia menaruh kunci itu ke telapak tangan Rey. "Mulai sekarang, rumah itu jadi milik lo. Anggap aja sebagai hadiah pernikahan lo dan Aisyah, juga bayaran atas bantuan lo selama ini."
Rey begitu terkejut, dia sampai tidak ingin menggenggam kunci itu. "Tapi ini punya lo, Ja."
"Sekarang punya lo," sahut Raja. Lalu dia mengeluarkan sesuatu lagi dari dalam tas ranselnya. Sebuah amplop coklat persegi panjang dan terlihat menggelembung.
"Ini apa lagi, Ja?" sekali lagi Rey ingin...
Welcome
Begitu sampai di Jakarta, di kediaman Orang Tua Raja, kedua insan itu langsung mendapatkan sambutan hangat dari keluarga. Rasa bahagia bercampur haru membuat suasana sedikit menye-menye. Terutama saat Opa Kaisar dan Oma Triva memeluk cucu kesayangan mereka, Raja.
"Kamu keliatan kurus sekali, apa di sana sangat menderita?" tanya Oma Triva sambil mengusap pipi Raja dengan lembut.
Raja tersenyum dan menggeleng. "Kim mengurus Raja dengan sangat baik, Oma."
Saat itu juga, Oma Triva langsung menoleh pada sosok Kim yang berdiri di samping Raja dan sedang tersenyum ke arahnya. "Ini istri kamu?" tanyanya.
"Oma," Kim menyalami Oma Triva, lalu tubuhnya ditarik ke dalam pelukan wanita tua itu.
Oma Triva melepaskan pelukan dan menatap Kim begitu lekat melalui kaca mata yang dipakainya. "Oma sangat penasaran, wanita seperti apa yang membuat Raja sampai rela meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya. Dan sekarang kamu ada di sini, Oma rasa Raja memperjuangkan orang yang benar. Kamu sangat cantik,"...
Caranya?
Raja membawa Kim langsung ke kamarnya, tempat paling utama yang harus Kim hafal di dalam rumah ini agar tidak salah masuk kamar.
"Sementara waktu, kita akan tidur di sini," beritahu Raja.
"Sementara?" tanya Kim bingung.
Raja memeluk Kim dari belakang, erat sekali. "Kita akan beli rumah sendiri untuk ditinggali nanti. Biar kamu lebih nyaman," bisiknya.
"Aku nyaman kok tinggal di sini," beritahu Kim. "Keluarga kamu semuanya baik. Terutama Mama dan Papa kamu, mereka sama sekali nggak bikin aku terlihat seperti orang asing."
"Kamu yakin mau tetep tinggal di sini?"
"Kenapa nggak? Toh, orang tua kamu juga cuma punya kamu dan Kaila. Itu pun kalo Kaila lagi di rumah. Kalo Kaila nggak ada, terus kita juga nggak ada, orang tua kamu nanti kesepian."
"Hmm, seneng banget punya istri kayak gini. Padahal yang aku denger biasanya cewek itu kalo udah nikah, maunya tinggal di rumah sendiri karena kurang nyaman tinggal bareng mertua."...
Rencana Resepsi Pernikahan
Sepulangnya dari menemui Abraham, Kim terlihat sangat murung. Bila ada yang mengajaknya bicara, dia akan bengong dan tidak bisa fokus. Untuk itu, Aila meminta Kim di kamar saja beristirahat.
Kim sendirian, Raja pergi menemui Tante Athala untuk bertanya sesuatu. Namun Kim tidak tahu, Raja bilang dia akan melihat-lihat kantor papanya karena diajak bergabung bekerja di sana.
Tok. Tok. Tok.
Aila membuka pintu. "Mama boleh masuk?" tanyanya dengan lembut.
"Mama. Masuk aja," suruh Kim. Dia merasa tak enak sehingga turun dari ranjang.
"Sudah, kamu istirahat aja nggak papa," Aila membawa Kim ke ranjang lagi untuk duduk. Sementara dirinya duduk di samping menantunya itu.
"Mama kenapa nggak panggil Kim aja? Biar Kim yang dateng."
"Emang Mama nggak boleh masuk ke sini?" tanya Aila bercanda.
"Bukan gitu Ma, boleh dong. Cuma akan lebih sopan kalo Kim yang datang menemui Mama."
Aila tersenyum dan mengusap rambut Kim. "Kamu masih ngerasa sedih?" tanyanya.
"Iya, Ma....
Tamu Spesial
Raja bersyukur menemukan ide yang tepat di saat sudah tidak lagi bisa berpikir. Resepsi pernikahannya akan dia jadikan sebagai momen perpisahan yang mengesankan untuk Kim kepada Abraham.
Ya, Raja akan mengusahakan Abraham bisa keluar dari penjara selama seharian penuh untuk menjadi pendamping Kim di pelaminan nantinya. Hal ini sudah Raja bicarakan pada Om Rayen yang akan mengurus segalanya izinnya.
Setelah izin didapat, Raja merencanakan sesuatu yang lebih besar tepat di hari Abraham akan dieksekusi, yaitu sebuah honeymoon di Negara Eropa. Rencana ini didukung oleh semua keluarga, tidak ada yang menginginkan penglihatan Athala itu terjadi. Harus ada cara untuk menghindarinya, karena Raja tidak akan mampu kehilangan istrinya itu.
Kim telah berada di kamar khusus untuk mempersiapkan dirinya, dia didandani bak seorang Puteri Raja. Gaun yang super mewah itu terasa ringan ketika diajak melangkah menuruni anak tangga berkarier merah. Riasan wajahnya yang menempel tegas, membuat siapa saja yang melihat tidak rela untuk...
Honeymoon
Tidak perlu sampai harus mendatangi Menara Eiffel untuk dapat melihat keindahan bangunan tinggi tersebut. Raja dan Kim cukup duduk di balkon kamar hotel, menikmati secangkir teh sambil berpelukan. Hotel yang mereka sewa berada sangat dekat dengan Menara Eiffel, sehingga bagai benar-benar ada di depan mata.
Paris memang kota yang sangat indah terutama di malam hari. Gemerlap lampu yang menerangi sepanjang kota, terlihat bagaikan taburan bintang berwarna-warni.
"Dulu, waktu aku sama Mami ke Paris kita sama sekali nggak pernah dateng ke Eiffel. Tujuan kita ke Negara ini cuma satu, yaitu belanja."
"Makanya aku ajak kamu kesini, biar kamu tau kalau dunia ini luas," sahut Raja.
Kim tersenyum tipis membayangkan bagaimana dirinya dulu, sebelum bertemu Raja. Bahwa pandangannya tentang dunia hanyalah sebatas uang saja, tapi tidak menikmatinya.
"Dulu aku nggak pernah tertarik dengan hal-hal kayak gini, menurut aku cuma buang-buang waktu."
"Karena kamu nggak dateng dengan orang yang tepat," bisik Raja.
Kim...
Gift from Paris
Pagi ini, Paris semakin dingin karena musim salju. Kim berniat tidur lebih lama, namun rasa mual membuatnya tidak bisa menahan diri untuk ke kamar mandi dan muntah. Hanya air yang keluar dari muntahan Kim, itu dikarenakan dia belum makan apa-apa sejak semalam.
"Muntah lagi?" tanya Raja yang ikut terbangun dan langsung mendatangi Kim.
"He-em," jawab Kim sambil menyeka mulutnya yang basah sehabis dibersihkan.
"Kita ke dokter aja," ajak Raja.
"Kita tunggu hasil lab dulu aja," tolak Kim.
Raja mendesah.
Bel berbunyi, Kim menyuruh Raja untuk membukakan pintu. Sementara dirinya masih harus berdiri di depan wastafel karena rasa mual yang belum juga hilang.
"Siapa, Ja?" tanya Kim karena Raja tak kunjung datang.
Penasaran, Kim pun segera keluar dari kamar mandi dan menyusul Raja ke pintu. Suaminya itu sedang diam membaca sebuah kertas, membuatnya sangat penasaran. "Kenapa?" tanyanya.
Raja menoleh pada Kim, tidak ada ekspresi. Sepertinya dia kaget membaca isi dari kertas...
Bendera Kuning
Baru saja turun dari Taxi, Kim sudah dihadapkan pada pemandangan yang mendebarkan. Dimana ada bendera kuning tertancap di pagar besi rumah Orang Tua Raja serta beberapa orang yang terlihat sibuk di halaman depan rumah mengeluarkan kursi.
"Raja, ini ada apa?" tanya Kim cemas.
Raja pun sama tertegunnya, malah wajahnya menjadi pucat pasih. Dia tidak menyangka bahwa rumahnya akan dijadikan sebagai rumah duka, kepulangan hari ini sangatlah tidak tepat.
"Kim, ayo kita pergi dulu," ajak Raja sambil menarik tangan Kim.
"Loh, pergi kemana?" Kim menarik tangannya. Jelas saja dia merasa aneh Raja mengajaknya pergi padahal sudah jelas di dalam sana terjadi sesuatu.
"Kim," Raja kembali menarik tangan Kim saat wanita itu hendak melangkah masuk.
"Apa sih?!" kesal, Kim menarik tangannya dengan kasar. "Kamu bahkan nggak pengen tau ada apa di dalem? Kenapa?!" bentak Kim.
Raja mengusap wajahnya dengan kasar.
"Ini rumah kamu, Raja. Di dalam sana ada keluarga kamu, apa kamu...
Peninggalan Abraham
Abraham dibawa menggunakan keranda Masjid Kompleks perumahan dan dibawa berjalan kaki menuju ke pemakaman umum yang berada tidak jauh dari kompleks. Rayen, Kaival, Vallen, Naga, Serta semua lelaki dalam keluarga inti Raja yang membawa keranda besi itu di pundak mereka.
Gema tahlil mengiringi perjalanan ini membuat sekujur tubuh merinding. Meski Abraham bukanlah orang yang baik semasa hidupnya, namun banyak yang bersedih atas kepergiannya.
Terutama Kim, yang kini ikut mengantar jenazah sang Papi ke tempat peristirahatan terakhir. Kim tidak berjalan kaki seperti yang lainnya, melainkan digendong oleh Raja. Rengekannya meminta ikut mengantar Abraham membuat Raja tidak tega sehingga harus melakukan ini.
Kim menatap Raja, pria itu nampak kelelahan. Keringat membanjiri wajahnya yang tampan itu. "Maafin aku karena udah bentak-bentak kamu tadi," ucap Kim.
Raja menoleh pada Kim. "Nggak papa. Aku ngerti perasaan kamu. Tapi aku boleh minta sesuatu sama kamu nggak?"
"Apa?"
Raja menatap Kim kian dalam. "Jangan sampai terjadi apa-apa...
Selamat Tinggal, Kim
Video berputar....
"Kim, Papi harap kamu tidak menangis saat menonton ini, karena Papi berusaha untuk tidak menangis juga saat ini."
"Kim, maafkan Papi. Papi gagal menjadi seorang Ayah yang baik. Papi gagal membahagiakan kamu, Nak."
"Semoga setelah kepergian Papi, kamu bisa hidup dengan lebih damai tanpa adanya lagi permusuhan. Selama ini Papi salah, maafkan Papi."
"Hal yang paling membuat Papi bangga dalam hidup ini adalah memiliki seorang anak seperti kamu."
"Berbahagialah, Nak. Jangan sesali apa yang terjadi pada Papi, ini adalah takdir. Papi sama sekali tidak menyesal, ini adalah satu-satunya cara menebus dosa dan semuanya berkat kamu. Terima kasih, Kim."
"Suatu saat, sampaikan pada cucu Papi kalau Opanya sangat menyayanginya. Tanamkan kepadanya akhlak yang baik, jangan sampai ada sedikit saja jejak kejahatan Papi menempel padanya."
"Selamat tinggal Kimberly, putri kesayangan Papi. Putri kebanggan Papi. Putri yang tidak ada duanya di dunia ini. Hiduplah dengan baik, jangan menangis lagi. Papi akan...
Dinner Keluarga
Kim benar-benar dimanjakan oleh keluarga Raja, diperlakukan bagaikan seorang Ratu. Contohnya saja hari ini, Aila sendiri yang menjemput Kim untuk makan malam di luar bersama keluarga inti mereka. Raja dan Kaival akan langsung berangkat dari Kantor. Sementara Kaila datang bersama pacarnya.
"Gimana keadaan cucu Mama ini?" tanya Aila sambil mengusap perut buncit Kim yang sudah memasuki kehamilan 6 bulan.
"Alhamdulillah sehat, Ma. Malah pas USG kata dokter berat badannya nambah udah hampir 4kg," jawab Kim.
"Wah, itu berarti kamu harus mulai diet sehat Kim. Nanti kasihan kamunya pas lahiran kalau bayinya gede."
"Dokter juga bilang gitu sih, Ma. Tapi gimana ya susah banget nahan nafsu makan," keluh Kim.
"Kalau emang pengen makan sesuatu ya jangan ditahan. Diet maksud Mama itu, kamu kurangin makanan yang terlalu berlemak."
"Iya Ma."
"Oh iya Kim, bantuin Mama telepon Kaila, tanya dia dimana," suruh Aila.
Kim pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Kaila. Awalnya...
Rencana Kaila
"Selamat malam Om, Tante, semuanya. Nggak nyangka bisa ketemu di sini." Ayela menyapa semua orang dengan senyum malaikatnya itu.
Hanya seulas senyum dari Kaival dan Aila yang menyambut sapaan Ayela, selebihnya membuang muka dan bersikap tidak perduli.
"Pak Raja?" Pria yang tadi bersama Ayela nampak menyapa Raja dengan sedikit terkejut.
Raja terpaksa berdiri. "Pak Kris," sapanya balik. Keduanya berjabat tangan.
"Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Bagaimana kalau kita bergabung saja?" tanya Kris dengan tawa renyah.
Semua seketika saling lirik, begitupun Ayela yang sepertinya kurang nyaman dengan ajakan itu.
"Pak Raja ini rekan bisnis aku. Kita lagi ada proyek besar yang dikerjakan bersama," beritahu Kris pada Ayela.
"Oh," Ayela tersenyum masam.
"Kamu kenal mereka juga?" tanya Kris dengan polosnya.
"Iya," jawab Ayela singkat.
"Wah, bagus sekali kalau begitu. Apa kita bisa bergabung?" tanya Kris pada semua orang.
Entah memang Kris ini terlalu ramah atau bodoh, dia tidak bisa membaca...
Lebih Suka Polos
"Jadi tadi itu cuma bohongan?" Tanya Raja kaget.
Kim terpaksa menceritakannya pada Raja mengenai rencana Kaila itu. Soalnya dia merasa kasihan pada suaminya yang terus mengusap perutnya menunggu pergerakan si calon bayi.
"Harusnya aku nggak ikutin saran Kak Kaila," keluh Kim.
"Hahaha," Raja tertawa.
"Aku nggak enak banget sama Mama Papa, mereka udah seneng tapi ternyata dibohongin," bibir Kim mengerucut.
Raja tersenyum geli menatap wajah Kim yang benar-benar merasa bersalah. Memang sih ide Kaila itu konyol, membuat semua orang jadi berpikir kalau itu momen menggembirakan karena pertama kalinya janin dalam kandungan Kim bergerak. "Tapi aku lebih seneng kamu ikutin cara Kak Kaila," jujur Raja.
"Kenapa?"
"Lucu aja. Karena biasanya istri aku yang cantik ini sukanya blak-blakan. Jadi pas ternyata kamu bohong kayak tadi, itu bukan kamu banget. Makanya lucu."
Kim mengerutkan bibirnya yang langsung disentil oleh Raja.
"Eh eh...."
Tiba-tiba wajah Kim berubah tegang. Dia meletakkan telapak tangannya ke perut,...
Sakit Perut
Kim terbangun di tengah malam saat merasakan perutnya mulas. Dia pikir akan buang air besar, tapi saat sudah di Toilet sama sekali tidak ada rasa ingin BAB. Namun perutnya masih saja terasa mulas, bahkan makin menjadi-jadi.
Kim pun membangunkan Raja. Dia menggoyang punggung suaminya itu berulangkali.
Raja akhirnya terbangun setelah usaha Kim yang cukup lama. Dia berbalik dan memicingkan mata menatap Kim. "Kenapa sayang?" tanyanya dengan wajah masih mengantuk.
"Perut aku sakit," beritahu Kim.
Sontak Raja duduk dan memegang perut Kim. "Sakit gimana?" tanyanya.
"Mules banget."
"Kamu ada salah makan nggak hari ini?" tanya Raja panik.
"Nggak ada," Kim menggeleng. Dia makin meringis memegangi perutnya. Keringat membanjiri wajahnya padahal AC menyala dengan suhu yang sangat rendah.
"Aku telpon dokter ya," kata Raja sambil meraih ponselnya.
"Jangan. Telpon Mama aja," suruh Kim.
"Loh, kenapa Mama?"
"Ya tanyain, kan Mama lebih ngerti."
Raja pun menelpon Mamanya. Cukup lama dia mencoba hingga kesal,...
Langit
"Ayo Bu, tarik nafas dari hidung, hembuskan dari mulut dengan sedikit mengedan. Satu... Dua... Tiga..."
Kim menghembuskan nafasnya dari mulut dan mengedan seperti akan BAB. Karena dia pernah mengikuti latihan melahirkan di klinik senam, maka Kim tau bagaimana teknik yang benar. Mengedan dengan mendorong perut, bukan seperti ingin mengeluarkan tinja.
Raja sendiri panik. Sebentar-sebentar dia mengintip ke proses lahiran Kim. Sebentar kemudian dia kembali ke ujung kepala Kim memegangi tangan istrinya itu.
Baik Raja ataupun Kim tidak ada yang sadar kalau tangan Raja ada goresan merah bekas cakaran. Perihnya baru terasa saat Kim mengulanginya lagi di tempat yang sama. Namun Raja menahannya, dia yakin sakit yang ada di tangannya tidak sehebat yang Kim alami.
Saat sudah bukaan terakhir, rasa sakit di perut Kim perlahan berkurang. Ada keinginan kuat untuk mengedan lebih kuat lagi.
"Sekali lagi ya, Bu. Kepalanya sudah terlihat. Kita mulai ya, satu... Dua... Tiga...."
"Eenggghhhhh!" Kim mengerahkan seluruh...
Extra Part I
Setelah melalui proses yang panjang agar diizinkan bertemu dengan Sang Mami, akhirnya hari ini penantian itu terkabulkan. Om Rayen memakai jaminan dirinya sendiri untuk memastikan kalau Mariko tidak akan melarikan diri ataupun berbuat hal-hal yang akan merugikan Negara.
Mendengar kabar ini, Kim merasa sangat bahagia. Dia dengan cepat menyetujui waktu yang telah diatur untuk bertemu, membawa Langit dan Raja.
Kim menunggu dengan gelisah, dia sudah tidak sabar ingin melihat Maminya. Sudah sangat lama dia dipisahkan dari sang Mami, bahkan lebih dari satu tahun.
Pintu ruangan itu dibuka, Raja dan Kim sontak berdiri.
Sosok yang sangat Kim rindukan kini terlihat di depan mata, bukan hanya dalam mimpi saja. Air mata Kim menetes, banyak sekali perubahan pada Maminya, terutama fisik.
"Mami..." lirih Kim.
Mariko mengangkat wajahnya, melihat Kim membuatnya cukup terkejut karena sejak awal dia tidak diberitahu akan menemui siapa. "Kim!!" pekiknya disertai pelukan cepat.
"Mami," panggil Kim dengan derai air mata....
Extra Part II (End)
Tiga tahun kemudian...
Dua pasang suami istri itu tersenyum menatap dua balita melompat-lompat di atas Trampolin di arena bermain. Tawa riang dua balita itu membuat tawa orang tua mereka juga merekah. Setelah empat tahun lamanya, kini mereka dipertemukan kembali.
"Jadi, kalian benar-benar akan tinggal di Jakarta?" tanya Raja.
"Fix. Gue sama Aisyah memutuskan untuk ke Jakarta demi perkembangan Senja. Yah, biar Senja bisa sekolah di tempat yang lebih layak."
"Lo hebat, Rey. Gue bener-bener salut sama lo. Sejak dulu lo emang nggak pernah betah di desa, makanya lo paksa istri dan anak lo tinggal di Jakarta dengan alasan pendidikan," ejek Raja.
"Hahahaha," semuanya tertawa mendengar itu.
"Kim, kamu nggak mau nambah adek lagi untuk Langit?" tanya Aisyah. Dia sendiri sudah berbadam dua lagi, malah sebulan lagi akan lahiran.
"Raja nih belum mau," cebik Kim. Dia menyikut Raja, pertanda protes. "Liat tuh Aisyah, udah mau lahiran lagi."
"Belum dulu sayang. Aku...
Description: Raja Dirgantara Pusaka, seorang Agen Intelijen swasta yang ditugaskan untuk menyamar sebagai bodyguard keluarga seorang Ketua Gangster yang merupakan Gembong Narkoba terbesar di Indonesia. Kebetulan, dia diminta untuk menjadi pengawal Pribadi dari Kimberly, Putri satu-satunya yang merupakan kunci dari segala informasi yang Raja butuhkan.
Namun siapa sangka, Kimberly justru memiliki kisah hidup yang jauh lebih mengerikan, yang sama sekali luput dari pantauan hukum. Bahkan sebenarnya, Kimberly lah target utama yang paling dicari oleh Negara saat ini.
She moves slowly but deadly.
She is able to make anyone fall in her charm.
Dan Raja, mengetahui segala rahasia yang tidak semua orang ketahui dalam diri seorang Kimberly. Membuat Pria itu jatuh sejatuh jatuhnya.
Akankah Raja memilih untuk mempertahankan pekerjaannya dan meningkatkan karirnya bila dia menangkap Kim?
Atau sebaliknya, Raja akan merelakan pekerjaannya demi menyelamatkan Kim dari incaran para kawanan Intelijen lainnya?
Saksikan kisahnya, perpaduan antara Action dan Romance yang sangat memukau.
|
Title: Ren Monalisa
Category: Teenlit
Text:
Part 1
ketahuilah jika urusan membencimanusia adalah rajanya
Pagi itu udara kota sedang kacau, orang-orang sepertinya telah menjadi risih dengan keadaan udara yang semakin memburuk. Apalagi ada anggapan jika polusi udara bisa menyebabkan penyakit-penyakit baru bermunculan, dan barang tentu itu adalah awal dari kehancuran manusia.
Aku hanyalah segelintir manusia yang hidup di kota Regasa ini. Kota yang menjadi pusat bisnis dan pusat hiburan di Negaraku. Sudah tak ada lagi kebaikan di kota ini, hal-hal yang ibuku bicarakan di masa lalu tentang kesejukan pagi, tentang gemercik air sungai yang melewati celah bebatuan atau tentang sepasang burung gereja yang mendekat bersiul merdu, telah menjadi mitos yang sangat jarang aku dengarkan lagi.
Saat ini yang ada hanyalah uang, bagaimana mendapatkan uang lebih banyak dari sebelumnya. Juga tentang nafsu yang selalu di humbar dengan sembarangan, sehingga menjadi kota Regasa ini tak lagi menyenangkan. Kota ini lebih mirip neraka yang sedang berkembang menjadi penjara bagi penduduk-penduduknya. Termasuk diriku ini.
Tak jauh dari rumahku, telah dibangun pusat-pusat hiburan, yang semuanya hanya menjajakkan kenikmatan hidup di dunia. Seperti pesta-pesta di diskotik, jasa pelacur, bahkan jasa untuk membrangus usaha milik orang sekitar.
Mungkin inilah yang dinamakan kapitalisme, dimana orang-orang berbondong-bondong saling mempekerjakan orang lain demi keuntungan dirinya sendiri. Dan barang tentu, aku remaja berumur tujuh belas tahun hidup di kota ini, dengan suram di pagi hari dan dengan kebisingan di malam hari.
Aku tak pernah berharap banyak kepada kota ini, selain akan tumbuhnya lagi ruang-ruang hijau yang bisa aku hirup lebih banyak. Tentu pemikiran ku ini juga didukung oleh teman-teman sebaya ku. Aku sedang menamatkan sekolah di sekolah Arjura. Sekolah yang paling favorit di kota ini, bahkan anak gubernur ternyata juga bersekolah di sini.
Aku sebenarnya tak pernah peduli dengan semua itu. Bagiku semua sekolah itu sama, dimana isinya ya murid, guru, staff kebersihan dan kepala sekolah. Mungkin diselingi oleh suara pedagang yang menawarkan jajanan bagi kita yang haus harapan ini. Dan itulah keseharianku, menimba ilmu yang sebenarnya tak begitu penting untukku.
Aku kurang terlalu tertarik dengan ilmu. Bagiku yang paling menarik di dunia ini adalah imajinasi, hal ini sering aku lakukan ketika tengah malam. Di mana dapat aku hitung jumlah bintang di angkasa dan membiarkannya jatuh di sekitar hatiku. Kebahagiaan itulah yang sering menemaniku sepanjang hari. Kebahagiaan yang tak bakal aku bisa temukan, setelah tentu aku menjadi orang dewasa lagi.
Itulah mengapa aku hanya bisa menikmati masa-masa sekolah ala kadarnya. Ya, seperti biasanya aku berangkat dengan wajah lesu, rambut acak-acakan dan seragam sekolah yang tak pernah sempat aku setrika untuk menjadi lebih rapih lagi. Inilah aku, remaja yang hidup di sebuah kota yang telah ditutupi kepalsuan belaka.
Seperti pagi yang lain, aku susuri jalan-jalan kota yang penuh sesak dengan kendaraan tanpa senyum bahagia. Pagi-pagi sudah aku temukan keruwetan hidup, ada yang mencaci maki di sebelah lampu lalu lintas, ada pula yang sibuk membohongi orang di dekat trotoar jalan itu. Mereka biasanya mengiba-iba, seolah penderitaan adalah hal-hal seperti itu.
Justru saat ini akulah yang merasa paling menderita. Hidup yang sangsi, meskipun kedua orang tuaku kekeh mengatakan jika hidup di kota ini adalah pilihan hidup yang paling baik. Untuk apa hidup di daerah lain? Jika di kota ini kau telah sedikit banyak menemukan apa yang kau perlukan? Ibu selalu berkata jika kebahagiaan adalah hal-hal sepele, seperti uang banyak, makanan berkecukupan atau kemewahan hidup yang berlebihan.
Jujur aku tak peduli itu semua. Di dalam imajinasiku, aku hidup di daerah pegunungan dengan gemericik air yang melewati celah bebatuan, juga air sungai yang jernih menyegarkan. Di sekitar rumahku dapat aku temukan bunga-bunga harum yang membuat hati legah dan hamparan pohon hijau yang menyejukkan pikiran. Barang tentu juga kesunyian yang seperti nyanyian pagi penenang doa-doa abadi.
Ibuku sejak kecil menceritakan itu kepadaku. Tapi akhir-akhir ini ibu selalu bilang jika zaman telah berubah, maka kehidupan pun telah ikut berubah. Zaman ibu dan zamanku tak bisa disamakan, dan memang ibu selalu menganggapku remaja yang aneh tukang pengkhayal. Apa boleh buat, hal itulah yang menjadikanku seperti sekarang ini. Remaja yang tak lebih penuh rasa pesimis dan tak punya semangat hidup untuk masa depan.
Ayahku lebih-lebih adalah seorang yang sangat sibuk. Ia dalam seminggu hanya menyapaku dua kali, itu pun dalam keadaan yang apa adanya, dan tak pernah ada pembicaraan serius tentang sekolahku atau tentang hidupku ke depannya seperti apa. Ayah memang menjadi arsitek yang cukup terkenal di kota ini. Beberapa bangunan bahkan gedung adalah hasil dari imajinasinya sendiri.
Meski lebih banyak rasa jengkel kepada ayah, sebagai anak, jujur ada rasa bangga yang tak bisa kuungkapkan atas apa yang ayah peroleh sampai saat ini. Tapi pintaku hanya itu, aku ini anak kalian. Anak satu-satunya yang kalian lahirkan di dunia ini, pintaku satu apakah kalian bisa merebahkan senyum dan bercanda tawa denganku sebentar saja?
Permasalahan atau mungkin unek-unekku tentang orang tuaku ini bakal tak bisa selesai jika diceritakan lebih dalam. Mangkanya, aku lebih suka menutupnya rapat-rapat dan membiarkan hidup berjalan apa adanya. Mengalir seperti senja yang berganti malam penuh kehangatan.
Jarak sekolahku dengan rumah memang agak jauh. Berada di ujung barat kota ini, sekolahku bertingkat dan dipenuhi dengan gadis-gadis cantik incaran siswa di sini. Gadis-gadis itu semuanya adalah seorang yang matrek. Bahkan salah satu dari mereka mungkin ada yang menjadi pengganggu suami orang, atau yang lebih di kenal istri simpanan. Maka aku tak kaget ketika melihat buah dada mereka sudah menegang, walau umur masih belum saatnya membesar. Atau make-up mereka yang berlebihan dengan gincu merah terang dan rambut lurus yang diikat jenjang. Memperlihat hamparan tengkuk yang putih mempesona.
Jadilah aku menjadi remaja yang mulai punya pemikiran-pemikiran aneh. Bagiku mereka adalah bahan lelucon saja. Sayangnya tak ada yang bisa membuatku tertarik sedikit pun. Padahal kata beberapa temanku, siswi di sekolahku itu adalah siswi dari orang-orang kaya di kota ini. Jadi benar, jika sekolahku ini adalah sekolah favorit yang isinya bobrok.
Dari kejauhan dapat aku lihat wajah temanku, ia sedang menungguku di depan pintu sekolah. Dengan vespaku, mungkin seringkali menjadi bahan ejekan. Rata-rata temanku membawa mobil, sepeda gede dan ada pula yang diantar oleh ayah atau ibunya dengan mobil mewah keluaran baru.
Di rumahku ada empat motor gede, yang ayah belikan untukku. Tapi anehnya aku malah memilih vespa buntut milik ayah yang kadang suka ngadat ini. Belum lagi asap yang suka mengepul, sering membuat teman kelasku mengejekku aneh-aneh.
Dari kejauhan wajah temanku sudah mesum. Ia intipi rok-rok pendek para siswi di sekolah ini. Matanya yang merah menandakan jika tadi malam ia pasti tidur larut malam. Memang temanku ini seorang gamers sejati. Sampai-sampai ayahnya membelikan ia komputer rakitan khusus bermain game. Baginya game adalah senyawa aktif yang mirip udara, yang manfaatnya adalah membuatnya hidup kembali.
Tampangnya yang ganteng, dipadu dengan penam-pilannya yang rapi membuat ia menjadi lelaki pujaan hampir di mata siswi sekolahku. Ia bernama Ado, lelaki yang penuh semangat, saking semangatnya ia tak pedulikan lagi ilmu-ilmu lainnya. Baginya ilmu yang berguna di masa depan hanyalah ilmu tentang game. Dan itulah cita-citanya kelak, menjadi gamers profesional yang banyak digemari perempuan remaja.
“Masih saja pakek vespa buntut itu, Ren?” Mengejekku dengan kebiasaannya tertawa keras sekali.
“Buntut-buntut begini punya nilai sejarah! Daripada motormu, memang seh bagus! Tapi nilai sejarahnya nol!” Jawabku sedikit menyindirnya, yang membuatnya justru tertawa lebih keras.
“Kau ini memang lelaki aneh! Nilai sejarah itu tak bakal berarti selama tak ada yang mempedulikannya! Apa arti nilai sejarah jika hanya sebatas nilai saja?”
“Kau salah!”
“Kau yang salah!”
Anehnya kami berdua hanya tertawa lepas, dengan saling penuh bahagia memasuki sekolah yang tak pernah membuatku penuh bahagia. Ado memang sahabatku satu-satunya, atau bahkan mungkin ialah satu-satunya orang di kota ini yang peduli denganku, melebihi kedua orang tuaku sekali pun.
Di ruang kelasku yang berada di tingkat ke tiga, hingar bingar suara teman-temanku bergitu nyaringnya. Tepat di belakangku Ado sedang berbicara dengan sosok perempuan yang begitu manis. Perempuan itu bernama Ana, gadis dengan lesung pipi dan mata yang lebar, yang tentunya menjadi rebutan hampir seluruh dari lelaki di sekolah ini.
Parasnya memang manis, otaknya juga encer. Saking encernya ia selalu menjadi langganan mewakili sekolah ini ke pentas nasional. Hal-hal itulah yang membuat Ana menjadi sosok perempuan paling disukai di sekolah ini.
Lesung pipinya adalah nilai tambah yang lain. Belum lagi sikapnya yang jauh berbeda dengan teman-temannya yang lain. Ia cenderung pendiam dan bahkan sulit diajak berkompromi di dalam kelas. Baginya ilmu adalah segalanya, hal yang berbanding terbalik dengan apa yang ada di dalam otakku ini.
Memang daoat aku akui jika Ana mungkin akan menjadi lulusan terbaik tahun ini. Tapi tetap saja aku selalu cuek dan tak begitu memperdulikannya. Hanya saja aku merasa risih dengan sikap Ado, memang ado mencintai ana lebih dari apapun. Tapi tak begitu juga caranya, ia malah cenderung seperti lelaki murahan yang tak dianggap oleh ana.
Disatu sisi ada hal yang begitu menyakitkan bagiku. Ado ketika bersama ana malah tak memperdulikanku lagi. Dasar lelaki kurang kerjaan, karena itulah saat ado dan ana sedang berbicara hari ini, perlahan aku menjauh dan menuju depan kelas yang di sana dapat aku lihat pemandangan kota yang penuh gedung-gedung megah.
Untuk apa semua ini? Perihal perasaan yang ado rasakan mungkin menjadi hak baginya. Tapi lelaki harus punya harga diri, apalagi kehidupan di zaman sekarang yang tak melulu tentang cinta. Urusan cinta hanyalah perihal kecil dari beberapa masalah hidup saat ini.
Dan aku benar-benar tak memperdulikan masalah hatiku. Di dalam hatiku penuh sesak kebencian, juga rasa bosan yang sudah mencapai klimaks. Hampir setiap malam pikiranku tertuju jauh di sana, di sebuah tempat sunyi yang penuh ruang-ruang hijau dan bunga-bunga. Itulah tempat impianku, aku dapat membajak sawah, menanam beberapa jenis sayuran yang bakal membuat tubuh sehat.
Mataku lurus memandang satu gedung tinggi di kota ini. Gedung itu adalah gedung dari imajinasi ayahku. Gedung yang menjadi tempat pejabat-pejabat mencari solusi dari permasalahan kota ini.
Tak perlu susah-susah, kota ini sudah tak perlu solusi. Yang menjadi masalah adalah komitmen diri yang sudah melupakan hal-hal penting yang diajarkan orang-orang terdahulu. Mungkin bagi ibuku itu sudah usang, mungkin bagi ayah itu sudah tertinggal. Tapi bagiku, tak setiap zaman harus mengikuti keinginan zaman itu. Biarkan zaman itu kembali lagi, jika memang salah. Aku benar-benar menjadi sosok pemurung yang suka memungut ingatan masa kecil.
Tatapan mataku masih kosong tertuju ke gedung itu, di samping gedung-gedung itu mobil-mobil berlalu-lalang, menghiasi keruwetan kota, sedangkan di sampingku terdengar suara teman-teman yang sedang membicarakan bintang K-Pop idola mereka.
“Bulsyit!”
Aku selalu tak suka dengan K-Pop, bagiku berlebihan jika mereka sampai menggilai bintang-bintang K-Pop itu. Tapi entahlah, lagi-lagi pikiranku sudah jenuh, hatiku juga sedang sumpek tak karuan.
Mungkin yang terjadi adalah, aku sudah tak cocok dengan lingkungan sekitarku, sehingga penolakan lah yang selalu ada di otakku. Biarkan ado mencintai ana, dan biarkan aku menjadi pemabuk kehidupan ini. Sekali lagi bulsyit!
*
Selepas pulang sekolah, biasanya aku tak langsung pulang ke rumah. Aku selalu mencoba menyisiri ruas sungai di kota ini, yang menjadi satu-satunya tempat penyejuk mataku. Meski dapat dipahami jika air di sungai ini tak begitu jernih, tapi bisa sedikit menghiburku yang hampir seharian menampa ilmu yang tak berguna itu.
Aku susuri aliran sungai, dengan memandang rerumputan yang tumbuh susah payah di sekitarnya. Jauh dari hadapan mataku, dapat aku lihat sepasang kekasih melepas rindunya, sembari memungut pasir yang ada di dekat aliran sungai ini. Aliran sungai ini bisa tembus sampai ke laut di ujung barat itu. Dan aku tak pernah sampai ke laut itu. Hanya beberapa pikiranku yang terkadang ingin menyusuri sungai ini sampai batasnya.
Banyak warga yang melepas penat di sini. Sebab udara sejuk masih tersimpan bagus, dengan adanya pepohonan yang tumbuh susah payah dan berjejeran menghimpun kenangan-kenangan di masa lalu.
Aku kenakan switer kumuh pemberian temanku sewaktu dulu. Temanku yang sudah pindah dan membiarkan diriku hidup di kota penuh ketololan ini, siapa sangka bukan hanya aku yang merasakan kejenuhan dan kebosanan hidup di kota ini? Aku dapat melihat orang-orang di sekitarku sore ini juga mengalami hal yang sama denganku.
Mereka melempar batu ke sungai, menghitung percikan langkah batu itu, sembari tertawa lepas ketika batu itu tenggelam ke dasar sungai. Ada juga yang hanya melamun, tertidur di hamparan rumput yang tumbuh itu. Wajah mereka mengandung zat karbondioksida, zat yang tak baik untuk tubuh manusia. Termasuk diriku.
Maka sore ini aku mencoba memungut lagi kenangan-kenangan di masa laluku. Kenangan masa kanak-kanak, yang begitu lepas , seperti burung gereja yang terbang dan pulang ketika senja telah datang. Begitulah aku mencoba menghela nafas panjang. Lalu pulang menyusuri jalan-jalan kota ini dengan keruwetannya lagi.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku bayangkan jika tubuh ini bisa melampaui batas waktu. Ada keinginan dan doa seperti itu. Untuk sekedar bisa pergi dari tempat ini dan menyusuri daerah-daerah lain, yang mungkin ada kesejatian hidup di tempat itu.
Lalu bayanganku mengarah kepada ana, gadis cantik di sekolahku yang menjadi idaman para lelaki. Kenapa ana begitu santainya hidup di kota ini? Sedangkan orang-orang di kota ini lebih banyak sibuk sendiri, daripada memikirkan manfaat hidup untuk orang lain.
Aku menjadi penasaran kepada sosok ana. Lebih kepada sifatnya yang acuh dan cuek itu. Ketika pulang sekolah ia berjalan kaki, sebab rumahnya yang memang tak jauh dari sekolah. Hampir setiap pulang ia berwajah datar, matanya lebih sering mengantuk dan tubuhnya juga sering lamban dalam menyikapi sesuatu.
Tapi anehnya ia semangat ketika berada di lingkungan sekolah! Apakah yang ia pikirkan sama denganku? Atau jangan-jangan dirinya hanya memanipulasi kehidupannya untuk menutup-nutupi kejenuhan yang hampir sama aku rasakan ini?
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tertuju ke ana. Sampai-sampai aku teringat akan pernyataannya di hadapan teman kelasku. Ia berbicara jika kehidupan adalah bayang semu yang tak bermanfaat untuk manusia. Apa maksudnya ini? Apakah ia adalah seorang perempuan yang telah menemukan ide untuk menikmati hidup di kota ini? Atau kah ia hanya bermain kata, sehingga membiarkan orang-orang seperti aku terkesan dan bimbang akan apa yang ia katakan itu? Ah, dasar ana! Ia telah berhasil membuatku ingin masuk lebih ke dalam pikirannya itu.
Aku buka pintu rumah, tentu ke dua orang tuaku sedang tak ada di rumah. Dan memang ibu tak suka ada pembantu di dalam rumah, sehingga rumah dibiarkan kosong sampai aku datang pulang sekolah.
Aku punya kunci rumah, ibu membiarkan diriku masuk dan keluar rumah sebebas-bebasnya. Sebab baginya kota ini harus dapat dinikmati fasilitasnya.
Kemajuan-kemajuan teknologi dan semua yang serba instan telah ada di kot ini. Jadi menurut ibu rugi bagiku kalau hanya berdiam diri di dalam rumah atau kamarku.
Aku tak pernah tertarik untuk menyusuri kota ini dengan semua fasilitasnya. Cukup berimajinasi di dalam kamar dan membuat sketsa tentang imajinasiku sendiri. Aku memang suka melukis, khususnya sketsa. Bagiku melukis adalah hiburan yang dapat kita ciptakan menjadi milik kita sendiri.
Aku seperti menjadi Tuhan. Menciptakan makhluk yang aku inginkan dan membiarkannya hidup dalam imajinasiku sendiri.
Seketika aku masuki kamarku, banyak poster-poster pahlawan hero, yang semuanya memang menarik bagiku. Di dekat jendelaku aku juga menempel poster band The Beatles, sebuah band legendaris dari Inggris Liverpool yang karya-karyanya sampai sekarang masih bisa aku nikmati.
Pikirku bagaimana bisa john lennon yang hanya seorang manusia bisa membuatku atau bahkan membuat hampir seluruh manusia memahami pemikirannya? Orang itu hebat sekali, meski terbunuh dengan cara yang menyedihkan.
Tak sama dengan John Lennon, Paul MacCartney lebih menganggap manusia adalah hiburan belaka. Sehingga dalam lirik lagu yang ia nyanyikan selalu tentang kebahagiaan. Terlepas dari itu semua, aku mengagumi the beatles begitu juga dengan karya-karyanya yang tersimpan rapi di dalam lemariku itu.
Strawberry Fields Forever,
Strawberry Fileds Forever!
Lagu The Beatles menggemma di seluruh ruang kamarku. Aku yang menikmati musik ini sedikit melamun dengan menghadap jauh ke arah jendela.
Cahaya senja menyeruak dan membias dari pantulan kaca rumahku, dari kejauhan itu dapat aku pandangi hirup-pikuk kehidupan kota, sedangkan aku jauh melamun dan membayangkan jika kota ini hanya ada aku dan sepasang kekasihku yang aku cintai.
Suara John Lennon dan paul memang sungguh gila, kakiku tak bisa diam mengikuti irama musik itu. Saking gilanya, dapat aku bayangkan jika diriku ini adalah penguasa musik sedunia, sehingga apapun dapat aku lakukan. Bajingan! Aku meronta sedalam-dalammnya rasa jenuhku hampir setiap hari ini. Dan sebentar mataku mulai mengantuk, berusaha menutup ilusi dunia dengan rendah hati.
Lantunan musik The Beatles masih saja meracuni pikiranku. sampai akhirnya, aku tak bisa membukan mataku dalam kesadaran. Aku benar-benar terlelap dengan pantulan cahaya senja yang indah itu.
Matahari adalah kenangan dan harapan dan keinginan, aku hanyalah bagian kecil dari kejenuhan ini. Sampai akhirnya aku ambil selimut, dan membiarkan tubuh ini terlelap entah sampai kapan.
“Kenapa wajah ana ada di dalam mimpiku?”
“Sedang apa kau ana?”
“Apa yang kau lakukan dalam mimpiku?”
“Apakah kau sudah cukup lama memperhatikanku?” “Ana?”
Strawberry Fields Forever,
Strawberry Fileds Forever!
Part 2
Sayup-sayup irama lagu The Beatles masih terdengar merdu di telingaku. Dan sayup-sayup itu juga aku mulai merasakan jika tubuhku terbaring kaku, dingin, bahkan melayang-layang menembus mega waktu.
Aku benar-benar berada di saat pikiran berjalan dan angan-anganku dan mengajakku kesana. Aku hanya bisa terdiam, menikmati tubuhku yang terasa rileks dan tenang ini. Meski aku tahu, jika ini hanyalah mimpi yang seakan-akan menjadi nyata.
Entah apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku berada di salah satu kamar bertembokkan kayu jati, beratap juga kayu dengan di kelilingi irama kicau burung yang hinggap di dahan pohon itu. Aku berusaha mengangkat tubuhku kuat-kuat, berusaha untuk terjaga dari lamunan ini.
Tapi mataku tak bisa mengelak jika ini adalah kenyataan! Ini mimpi atau kah khayalanku sendiri? Bukankah aku sedang tertidur di dalam kamarku untuk melepas lelah sepnjang hari ini? Kenapa? Dimana aku sedang berada saat ini? Tiba-tiba suara langkah orang terdengar dari ujung pintu. Ia buka perlahan pintu itu, dan aku terkejut, kalau orang itu adalah sosok perempuan cantik yang tak asing bagiku.
“Ana?”
“Kau kenal aku?”
“Tentu! Kau ini teman kelasku, Na!” Aku makin berusaha untuk bangun dari tempat tidur ini, tapi tak bisa. Ada yang aneh dari tubuhku ini. Sesuatu yang patah atau sejenisnya.
“Aku bukan ana! Dan aku bukan temanmu!”
“Kau berbicara apa, Na! Jelas-jelas kau ini ana teman kelasku! Jangan bercanda lah! Aku ini dimana! Kenapa tiba-tiba ada di tempat seperti ini? Kau juga sedang apa di sini?”
“Sudah cukup! Jangan banyak bicara dan bergerak! Nenekku menemukanmu di tengah hutan, dengan tubuh yang berlumuran darah di kaki dan tanganmu! Sepertinya kau ini telah dicabik-cabik hewan buas di hutan itu! Mangkanya hati-hati! Jangan sok menjadi pemberani.”
Dengan wajah yang masih sangat bingung, aku mendapati kakiku tak bisa bergerak. Ini sepertinya patah, dan luka gigitan hewan buas yang mengenai pahaku. Sebentar saja aku dalam keadaan bingung. Perempuan yang kuduga sebagai ana ini, melumuri obat-obatan ke tempat luka di tubuhku ini. Dan rasanya perih! Tak tahan aku meluapkan kata-kata kasar.
“Bangsat!”
“Heh! Jaga mulut dan ucapanmu itu! Kalau tidak maka aku buang saja dan kubiarkan kau di tengah hutan!” Seketika ia bangun dan membiarkan aku kesakitan. Dengan memakai pakaian tradisional dan rambut lebat tebal ia benar-benar seperti ana.
Dimana aku? Ini mimpi atau bagaimana? Aku benar-benar bingung dan sembari menahan perih ini aku coba mencari handphone ku. Siapa tahu aku membawanya, ternyata tidak! Aku benar-benar terjebak entah dimana. Lalu seketika itu tubuh ini mulai tertidur lagi, bersamaan ketika suara burung-burung hinggap melempar jernih di sekitar gendang telingaku.
“Syahdunya!”
*
Di antara bayangan dan angan-anganku, diri ini telah terkukung dalam mega dan waktu. Sekali pun aku berusaha berpikir, maka hanyalah kekosongan yang aku dapat, selebihnya adalah kepingan-kepingan waktu yang tak sempat aku ingat lagi. Seaat setelah aku berada di tempat aneh itu, sesaat itu pula diriku kembali ke dalam kenyataan.
Tempat yang sama, yaitu di dalam kamarku. Tentu dengan irama lagu Beatles yang meraung-raung mengkhianati hati dan perasaanku. Tapi entahlah, mimpi tadi sungguh terasa nyata, dan memang benar itu seperti kejadian yang nyata, yang sejak lama aku alami.
Aku lihat jam di dinding kamarku. Masih jam lima sore, gumamku dalam hati. Berarti aku hanya bermimpi setengah jam tak lebih. Berarti aku hanya tertidur setengah jam tak lebi pula. Tapi apa tadi itu? Rumah yang asri, pepohonan yang aku lihat sedikit jelas dan kicau burung yang indah sekali.
Hal yang membuatku semakin aneh adalah sosok perempuan mirip dengan ana. Sangat mirip! Matanya yang lebar, lesung pipi yang menawan dan lebat rambut yang bergelombang. Tak ada yang membuatnya tak mirip dengan ana. Mungkin satu, sifatnya yang kurang ajar dan suka bentak-bentak lah yang membedakannya dengan ana.
Aku juga tak sempat bertemu dengan nenek yang perempuan itu katakan. Neneknya yang telah menemukanku tercabik-cabik, untung masih hidup katanya. Dengan menggaruk ujung rambutku, aku berusaha bangun dan sejenak memandang kota ini dari luar jendela.
Seragam sekolahku masih melekat di tubuh, aku benar-benar malas hari ini. Setelah kesibukan sekolah, hal lain adalah tentang mimpi yang aku rasa begitu nyata. Perlahan aku tarik selimut tebal ini, dan kujejakkan kakiku menuju lantai rumahku. Betapa terkejutnya mata dan hati ini. Ada bekas luka, yang sudah mulai mengering, tepat di bawah lututku.
“Luka?”
Wajahku kaku, terdiam sejenak beberapa detik untuk menyadarkan apa yang telah terjadi sebenarnya. Luka itu mirip seperti yang ada dimimpi barusan. Luka dengan bekas yang menganga, dan yang membuatku semakin terkejut adalah aroma obat yang khas, yang tentu aku ingat itu adalah aroma obat yang dioleskan oleh perempuan itu.
“Apa ini?”
“Kalau tadi itu mimpi, tak mungkin tiba-tiba aku terluka seperti ini! Dan tak mungkin juga ada obat yang sangat mirip aromanya dengan yang diberikan olehnya tadi!”
Karena ketakutan, aku mulai berdiri dan memandang kaca rias di dalam kamarku. Di depanku banyak sekali patung-patung pahlawan super serta komik-komik yang menemaniku setiap malam.
Aku angkat rambutku yang mulai panjang berge- lombang. Lalu dengan terburu-buru serta raut wajah yang ketakutan, aku ke kamar mandi. Mencoba membohongi diri untuk terlepas dari ketakutan yang sunguh-sungguh ini.
Pikiran-pikiranku menjadi kacau dalam sekejab, tak bisa kubayangkan ada mimpi yang bisa menjadi kenyataan dalam satu kejadian. Hal itu hampir sama dengan menembus waktu entah kembali ke masa lalu atau bertahan di masa depan. Tak ada yang bisa kupikirkan selain kemungkinan-kemungkinan yang membuatku takut.
Tapi di dalam kamar mandi, aku telah sejenak membayangkan antara obsesiku dengan kejenuhan yang telah aku alami hampir sejak lama ini.
Apakah ini akibat dari kejenuhanku? Apakah ini jug akibat dari jiwaku yang telah menginginkan pergi dari kota ini? Pikiran-pikiran itu terus melaju kencang, bersamaan dengan bunyi air yang jatuh dari shower dan melewati lubang kecil yang mungil itu.
Aku basahi rambut yang semakin menebal ini, dan benar aku rasakan perih akibat luka yang aku dapatkan di dalam mimpi tadi. Benar-benar perih akibat dari obat verbal yang perempuan itu berikan. Kenapa harus ada ana? Meski pun ia mengatakan jika bukan ana, tapi kenapa harus wajah ana? Kenapa bukan wajah orang lain? Aku benar-benar terobsesi, dan sejenak terdiam diri di depan kaca di dalam kamar mandi.
“Sepertinya?”
Pikiranku terjun bebas, mengkhayalkan wajah ana yang tiba-tiba hadir saat ini. Aku bayangkan lekuk tubuhnya yang sintal dan lesung pipinya yang menggairahkan. Kurang ajar! Sesaat aku benar-benar tenggelam bersama khayalanku sendiri, dan membiarkan ini terjun bebas. Sebebas-bebasnya keinginan yang aku inginkan.Setelah itu wajahku menjadi segar, raut wajah yang telah lahir kembali dari ketakutan barusan. Sebuah mimpi yang nyata kejadiannya.
“Harus kutanyakan pada ana besok!”
Entah kenapa ana selalu menjadi objek yang ingin aku sebutkan. Padahal sebelumnya perempuan itu bukanlah sesuatu yang berarti bagiku. Tapi gara-gara mimpi aneh itu, aku putuskan untuk bertemu dengannya dan mengajaknya bicara serius. Terutama tentang keinginan-keinginannya yang mung- kin hampir sama denganku.
Mungkinkah ada kesamaan dari mimpiku dengan mimpinya? Atau apakah ana juga berimpi di waktu yang sama denganku? Alasan-alasan dan teori yang melayang bebas ini telah membiarkan aku untuk lupa kepada waktu. Ternyata sudah jam enam, dan senja telah berlalu untuk kembali esok hari.
Aku yang masih merasa kelelahan, kembali merebahkan tubuhku. Tak ada rasa lapar hari ini, cukup sudah aku menahan kenyang yang telah lama berkesudahan. Aku ingin hidup sehat. Dan itulah kenapa aku tahan rasa lapar sehingga menjadi tak lapar lagi.
Lalu kusetel lagu The Beatles lagi, lagu itu menggemma di antara suara radio tua milik ayah. Aku selalu suka barang antik, dan ayah juga tak membiarkannya rusak sehingga aku yang memakainya bebas. Lagu malam ini adalah Hey Jude! Hei kataku pada diriku sendiri.
“Apa kabar Jude? Apakah kau selalu bosan dengan hari-harimu? Apakah kau selalu ingin mengenal hal-hal baru, Jude?”
Aku tertawa lepas. Anehnya ada yang berbeda dengan sikap dan sifatku. Aku masih belum merasakannya, tapi ada yang aneh. Aku menjadi lebih aktif dari sebelumnya, dan merasa jika gairah hidupku kembali hadir lagi setelah beberapa lama merasakan kejenuhan yang sangat dalam.
“Hey Jude!”
Aku tertawa lepas dengan melempar-lempar bantal yang menemaniku setiap malam. Sungguh malam yang aneh, setelah itu suara mobil ibu datang. Iya, mungkin ibu sadar jika masih punya anak yang tentu butuh kasih sayang.
“Aku tak butuh itu!”
**
Tak biasanya aku terbangun sepagi ini. Padahal jam masuk sekolah masih dua jam setengah. Mata masih sangat mengantuk dan air liurku menempel penuh di antara bantalku yang berwarna putih. Dari balik jendela, cahaya kota berusaha masuk, melewati celah-celah kaca yang aku tempelkan penuh kenangan. Lalu kakiku yang kedinginan kutarik untuk melipat selimut.
Benar-benar hari selasa yang memalaskan, dan masih saja, aku merasakan ada keanehan dalam diriku. Entah apa, entah hal apa, entah perihal apa, aku saja tak paham.
Sebelum mataku terbelalak dan mengumpat tajam karena tak bisa tertidur lagi.Akhirnya aku mencoba mengingat-ingat lagi mimpi semalam. Sembari aku tatap jam dinding yang pelan berputar. Pikiranku masih kosong, dengan kaos kuning polos dan celana pendek membuatku benar-benar mirip gembel jalanan. Rambutku yang acak-acakkan tak sepantasnya aku perlihatkan, sebab menurutku, pagi ini aku lebih mirip kecoa mati daripada kuda liar jantan.
Lalu aku berusaha berjalan menuju kamar mandi yang tepat berada di sebelah lemari belajarku. Ayah memang baik, membuatkan kamar mandi modern yang harum di dalam kamarku. Sehingga tak repot-repot bagiku untuk kelar dari kamar. Di dalam kamar mandi aku pandangi wajahku yang ternyata telah tumbuh jenggot tipis-tipis. Aku kaget, sejak kapan jenggot ini tumbuh? Gak mungkin hanya dalam semalam bisa tumbuh seperti ini.
Anehnya aku cuek saja, memandangnya sebentar lalu membiarkan jenggot itu tumbuh begitu saja. Entahlah, tak ada yang perlu aku takutkan dengan hanya tumbuh jenggot. Bukankah itu semakin membuatku jantan? Sehingga banyak perempuan tergila-gila padaku.
Kata ado lelaki berjenggot itu sangat berbeda di mata perempuan. Mereka terlihat lebih maco, dan lebih garang, sehingga dapat menjaga pasangannya kelak.
Lelucon bagiku! Tak ada hubungan antara jenggot dengan kejantanan lelaki. Kitu hanyalah simbol yang dibuat oleh manusia untuk menakut-nakuti lawan musuhnya. Dan ado mudah termakan oleh wacana seperti itu.
Tapi anehnya adalah, aku merasa bahagia melihat jenggot itu tumbuh tipis, aku sisir, aku semprotkan pewangi dan bahkan aku elus-elus penuh mesra bulu-bulu yang tumbuh di jenggot ini.
Aku keluar dari kamar mandi dengan tatapan mata yang agak bisa melihat subuh yang sunyi di kota ini. Sembari mengelus-ngelus jenggotku yang baru tumbuh, aku buka jendela dan mencoba menggirup penuh udara pagi yang terasa masih sejuk ini.
Tampak beberapa burung mulai berdatangan dan hinggap di sekitaran gedung yang tinggi, lebih jauh lagi ada sekolahanku, yang tampak dari kejauhan. Seketika saja wajah ana yang menampar sebelah pipiku.
“Hah? Kenapa wajah ana yang tiba-tiba muncul?”
“Gara-gara kejadian mimpi kemarin sore, ana selalu muncul tiba-tiba! Ada apa ini? Hah! Entahlah, mungkin aku sudah tergila-gila dengannya! Atau bahkan aku telah diguna-guna oleh ana!”
Ada perasaan jengkel sekaligus rindu saat diriku bergumam tentang sosok ana. Dan memang, sejak kemarin sore, aku selalu membayangkan wajah dan tubuh ana mendekat di pelukanku. Tak biasanya aku begitu. Sebab, memang ana bukanlah perempuan yang aku sukai, meskipun ia adalah sosok perempuan cantik bagiku.
Ada hal yang sampai sekarang aku ingat tentangnya. Kejadian itu sekitar sore hari saat pulang sekolah. Aku yang penasaran dengannya, bertanya tiba-tiba dengan nada yang sedikit menyindir.
“Hei, kau ini masih suka ke laki-laki kan?”Tanpa basa-basi aku bertanya demikian ke ana. Rasa penasaranku mengalahkan rasa takutku kepadanya. Sebab sejak dua tahun sekelas dengannya, tak pernah satu kalipun ia dekat laki-laki. Itulah dasar kenapa aku bertanya demikian. Ana malah acuh, ia sedikit nanar matanya, mungkin waktu itu aku memang salah.
Pertanyaanku telah menyinggung privasi darinya. Sejak itulah aku menjadi benar-benar sungkan untuk mendekat dengannya. Menyapanya pun aku masih merasa bersalah besar.
Setelah kejadian itu, aku benar-benar makin jauh dengannya. Ado yang memang seorang lelaki asyik, selalu berusaha mendekatinya. Dengan cara apapun, aku salut saja dengannya, dan juga aku berkata tolol kepada ado. Perempuan itu banyak, bukan hanya ana hei.
“Hahaha...” Aku lebarkan tawaku, sesaat cahaya matahari terbit datang dengan sangat indahnya. Cahaya itu menyinari hampir sudut kota, menampilkan harmoni yang membuat pikiran penuh elegi.
Aku tak pernah setakjub ini, cahaya yang sepertinya tak sering aku jumpai sejak kecil sampai sekarang. Sudut-sudut kota masih sunyi, jalan-jalan juga masih sedikit yang mengisi, karena waktu yang semakin mengarah ke dalam sukma, maka aku segera mandi dengan penuh semangat.
Dalam hati, nama itu lagi-lagi menggemma dan hadir tanpa diundang sedikit pun.
“Ana!”
“Ana!”
“Ana yang cantik dan manis dan baik hati! Maafkan aku sempat menyinggungmu dengan tuduhan yang belum tentu benar! Oh anaku!”
Pagi ini aku berangkat lebih awal, seragam sekolahku telah aku rapikan sendiri. Rambutku tak seperti biasanya, aku memakai minyak rambut Pomade yang benar-benar membuat rambutku kinclong dan rapi. Aku juga memakai jam tangan, hal yang hampir tak pernah aku lakukan. Dan sepatu pantofel yang telah aku semir sampai debu pun tak menempel di kulit sepatuku ini.
Aku benar-benar penuh gairah, dengan vespa buntut aku susuri jalanan kota. Seperti biasa keramaian jadi rutinitas masyarakat di sini. Tapi tak seperti biasanya, aku justru bernyanyi bahagia. Lagu favoritku dari The Beatles, dengan walkman manis yang menempel di telingaku.
Aku bernyanyi riang, mulutku tak seperti seseorang yang sedang kelaparan. Padahal pagi ini ibu tak memasak apa pun. Ia hanya memberikan aku uang yang cukup banyak lalu malah menyuruhku untuk segera menghabiskannya. Tanpa banyak bicara aku ambil uang itu dengan sangat bahagia.
Lagu yesterday telah merasuki pikiranku, hampir sama dengan wajah ana dan sosok ana yang selalu membayangiku sejak kemarin sore, sejak mimpi dan kejadian lebih tepatnya.
“Yesterday. All my troubles seemed so far away!”
“Now it looks as though they’re here to stay!”
“Oh, I believe in yesterday!”
Gila! Pikiranku mengambang bahagia dengan sedikit arsiran manis di penutupnya. Hampir sepanjang jalan aku tergila-gila oleh kecantikan ana dan keharmonisan lagu yesterday. Mungkin aku telah jtuh hati padanya, atau mungkin saja aku telah hilang kendali atas dirinya dan diriku secara bersamaan. Sampai-sampai aku tak peduli lagi saat ado menyapaku di depan pintu gerbang sekolah seperti biasanya.
Aku hanya mendengar samar-samar apa yang ia katakan padaku, terlalu cepat dan kecil bagiku.
“Ana telah...!” Seketika aku tak mempedulikannya dan melaju pelan menuju parkiran sekolah yang ada di sebelah lapangan basket.
Aku taruh vespa buntut ini, dan melangkah pelan menuju ruang kelas yang masih kosong.
“Kenapa ado sudah datang jam segini?”Aku baru sadar, tak biasanya ado datang sepagi ini. Kenapa kebetulan sama denganku? Aku sudah mulai gelisah dan dengan segera melangkah cepat menyusuri anak tangga. Sebab ruang kelasku ada di lantai atas gedung sekolah ini.
Sepanjang jalan menuju ruang kelas, dapat aku lihat jejeran foto pahlawan. Mulai pahlawan revolusi, mantan presiden bahkan beberapa pahlawan kemerdekaan. Untuk sesaat mereka semua menarik, padahal sebelum-sebelumnya aku tak pernah sedikitpun memikirkan hal ini.
Dengan tergesa-gesa dan sedikit ngos-ngosan, aku dapat sampai ke ruang kelas. Agak cepat, bahkan mungkin terlalu cepat. Lalu mataku, tertuju tajam, pada sosok perempuan cantik yang sedang berdiri di dekat pintu.
Perempuan itu semakin dekat semakin jelas dan harum. Ternyata sosok ana! Kurang ajar! Tanpa persiapan apa pun aku menyapanya. Tampak seperti lelaki bloon yang takut akan perempuan.
“Hei?” Aku sapa dan berusaha manis untuk kali ini saja.
“Iya?”
“Tumben sepagi ini sudah datang?”
“Memang kenapa? Apa kau punya hak bertanya seperti itu?”
“Apa ada yang salah dari pertanyaanku, Na?”
“Jangan kurang ajar memandang wajah perempuan dengan nasfu seperti itu!” Ana membentakku, dan apakah aku tampak mesum di hadapannya pagi ini? Ah salah.
“Hah? Nafsu?”
Sebelum ana akan menjawabnya, suara ado terdengar lantang dari arah tangga. Sembari menertawakanku yang tampak culun di hadapan perempuan ini.
“Kenapa kau, Ren?”
“Sudahlah!”
Aku menghindar begitu cepat dari sosok dua orang ini, lalu memasuki ruang kelas menuju bangkuku yang begitu kotor. Dengan sedikit tergesa-gesa aku bersihkan debu yang menempel di mejaku dengan ke dua telapak tanganku. Sembari mencoba melirik ana dan hal apakah yang akan dilakukan oleh ado.
Ada rasa cemburu yang datang tiba-tiba, menggen- tayangi otak dan hatiku. Rasa cemburu yang penuh sesak hadir tanpa diundang. Kenapa denganku? Sejak kemaren sore, sejak saat itu aku menjadi tolol seperti ini. Kemudian aku duduk rapi memandang kosong papan tulis yang masih penuh coretan itu.
“Jadi nanti sore, Do?”
“Ya jadi, Na. Nanti biar aku jemput! Kau tak usah kemana-kemana! Biarkan lelaki tampan ini memanjakanmu mulai sekarang!” Lalu mereka berdua pergi entah kemana. Aku tak menahan perasaanku, mungkin akan ke kantin atau duduk-duduk di sekitar lapangan basket yang memang menyejukkan.
“Ana tak cuek ke ado?”
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Semua serba kebetulan dan terbalik seperti ini!”
Aku benar-benar tak paham lagi dengan kenyataan di pagi ini. Diriku yang menjadi tolol dan culun, serta ado yang tiba-tiba menjadi sosok agung di hadapan ana, serta ana yang tiba-tiba sekasar itu kepadaku. Meski aku tak dekat dengannya, baru pertama sejak kejadian itu ia kasar terhadapku.
Tibat-tiba perutku berbunyi. Rasa lapar yang datang seketika, dengan rasa kepala yang sedikit pusing. Akhirnya aku menundukkan kepala, dan membiarkan kejadian pagi ini berjalan apa-adanya.
Aku letakkan kepalaku ke dasar meja, dan anehnya aku menangis tersedu-sedu. Rasa sesak akan ketidakadilan memuncak dalam otakku. Wajah ana, ado, ayah dan ibu menertawakanku dan membiarkan aku sendirian di tempat ini. Aku sekali lagi menangis dan membiarkan air mata ini jatuh, tanpa satu pun orang mampu melihatnya.
Description: Bangkit Prayogo
Ig: @omarimelon
Novel ini ditulis dalam rangka mengikuti kompetisi #Pulang 2020
Ren sudah bosa dengan keadaan dan hidupnya. kebosanannya membuat ia suka berkhayal sampai suatu ketika, sebuah mimpi mengubah watak dan hatinya sendiri. ia terjebak ke dalam dimensi cinta, yang awalnya benci menjadi cinta. Bagaimana Ren mencari jalan dan kebebasan di dalam hidupnya ini? apakah ia akan pulang ke pelukan cinta yang sebenarnya?
|
Title: Ratusan Purnama Sebelumnya
Category: Novel
Text:
Ke manakah ratusan purnama selama ini ?
Setelah berbisu sekian lama, bagaikan semuanya sirna begitu saja. Kini Cinta dan Rangga dipertemukan kembali. Namun, adakah yang tahu dengan kisah mereka dan teman-temannya selama ini ? Sejak ratusan purnama yang lalu Rangga pergi meninggalkan Cinta. Ia meniti karirnya nan jauh di sana. Sebenarnya Rangga tidak ingin pergi meninggalkan Cinta sendiri. Namun, semua itu harus Ia lakukan.
Sangat berat perjuangan seorang Rangga meninggalkan Cinta. Perasaanya selalu dihantui dengan kenangan-kenangan indah bersama Cinta. Tiap langkahnya selalu terpikirkan saat bersama Cinta. Namun itu semua hanya Rangga yang tahu. Tak ada yang berubah dengan sifat Rangga yang tetap kalem dengan keadaan. Ia tetap bekerja professional tanpa terlihat beban dipikirannya. Rangga berusaha menyibukkan diri agar Ia segera melupakan Cinta. Ia berusaha membuat relasi dengan banyak orang di negeri orang itu.
Namun tetap saja, Ia masih sulit melupakan Cinta sang pujangga hatinya. Sering kali Ia berusaha menghubungi Cinta, namun terkalahkan oleh egonya sendiri. Sehingga semua itu tidak dapat terjadi. Rangga terus menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaannya. Dan hal itu membuahkan hasil bagi Rangga. Hasil karyanya sungguh memukau di kalangan teman-teman kerjanya. Beberapa kali tulisannya memenangkan penghargaan di negeri orang itu dan ditampilkan dalam berbagai macam event pameran di sana.
Sementara itu, Cinta yang tetap berada di Indonesia berusaha melupakan kenangan pahit yang telah menimpanya. Cinta berusaha membahagiakan dirinya bersama teman-teman seperjuangan SMAnya dahulu. Mereka saling bergandeng tangan, bermain bersama hingga tak kenal waktu. Seperti yang telah mereka lakukan saat SMA dahulu.
Sementara yang lain ...
Kini Alya dapat hidup bahagia, lebih bahagia dari sebelumnya. Itu semua karena Ia memiliki teman-teman yang selalu mensupportnya ketika Ia sedang terjatuh. Banyak permasalahan yang sebelumnya telah Ia lalui. Namun semua itu telah Alya lewati, dan sekarang Ia berhak atas apa yang telah Ia perjuangkan. Apa yang telah Ia korbankan demi kebahagiaannya.
Carmen masih menekuni bola basket. Sudah beberapa kali Carmen masuk rumah sakit karena terkena bola basket. Namun hal itu tidak membuat Carmen patah semangat. Beberapa kali Ia mendapatkan juara nasional. Sedangka Maura menjadi semakin dewasa, itu semua berkat pacar barunya yang memiliki selisih 6 tahun lebih tua dari Maura. Begitupun juga dengan Milly.
Sedangkan Mamet saat ini sedang sibuk memperjuangkan gelar juara sebagai pemenang Olimpiade Matematika di Berlin. Mamet selalu berpikir secara logika. Apapun yang Ia lihat selalu dijawabnya dengan sebuah logika. Dan perjuangan Mamet dapat terbayar setelah Ia menjuarai berbagai macam perlombaan baik tingkat nasional maupun internasional.
Beberapa kali Pak Wardiman sempat menelpon Rangga yang berada di New York. Rupanya Pak Wardiman sangat kangen dengan Rangga. Kadang kala Rangga mengirimkan karya puisinya ke Pak Wardiman supaya ditempelkan pada Mading sekolahnya dahulu. Dan ternyata antusiasme dari siswa-siswi di situ sangat banyak.
Banyak kisah dan momen-momen berharga yang telah dilalui Cinta bersama teman-temannya. Sampai pada akhirnya Cinta benar-benar telah melupakan Rangga. Ada sesosok pria yang kini dapat menggantikan Rangga. Walaupun banyak kesamaan dengan sesosok pria ini dengan Rangga. Namun Cinta menganggap ini hanyalah sebuah kebetulan saja. Cinta dan pria baru ini terus berproses dan menjalin hubungan. Walaupun mereka tidak berpacaran. Cinta tidak ingin terlalu dekat. Namun setidaknya Cinta dapat melupakan Rangga yang telah meninggalkan pergi ke negeri jauh di sana. Setidaknya pria yang telah mewarnai hari-harinya ini dapat membuat setetes warna kehidupan baru Cinta. Cinta juga terus meniti karirnya demi masa depannya. Semua Ia perjuangkan demi masa depan dan keluarganya. Cinta ingin membuktikan bahwa kelak Ia akan sukses ketika bertemu dengan Rangga.
Description: Ada yang tak sempat terceritakan dengan kisah perjalanan Rangga, Cinta bersama teman-temannya selama ini. Bagaimanakah keadaan mereka saat ini ?
Apa yang telah mereka lalui selama ratusan purnama yang lalu ?
Apakah Cinta masih memendam perasaan dengan Rangga ? Atau justru sebaliknya ?
Dan bagaimanakah kisah teman-teman Cinta yang dulunya mereka saling akrab ? Apakah begitu sampai detik ini ?
Fan fiction ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Challenge #AADC2FANFIC #AADC2STORIAL yang diselenggarakan Storial.co dan milesfilms
|
Title: Romusha
Category: Novel
Text:
Seikerei
Balai Desa Polowidi, Senin, 4 September 1944, pukul 07.30 WIB.
Pagi ini balai desa penuh ratusan warga. Mereka berkumpul untuk melepas empat puluh pemuda Desa Polowidi yang akan berangkat ke Kalimantan. Bukan untuk berperang, tapi mereka akan bekerja sebagai romusha. Pasukan pekerja bentukan Jepang, Dai Nippon. Saudara tua yang datang ke Indonesia dan mengaku akan menyelamatkan bangsa dari kehancuran.
Di dekat podium terpasang gambar yang menginspirasi. Sang Pemimpin Besar Revolusi di negeri ini. Sosok mengagumkan yang tengah jadi perbincangan. Wajahnya sumringah, berseri-seri. Tampak gagah dengan seragam yang dikenakannya. Memakai topi lebar. Membawa cangkul di tangan. Tertawa ceria di depan taman istana. Seolah-olah berkata, “Yuk, jadi romusha!”
Hiruk pikuk kerabat dan keluarga mengantarkan keberangkatan mereka. Air mata kesedihan berpadu dengan celoteh pahit dan keriangan semu. Mewarnai suasana di antara mereka. Tangis dan tawa berbaur menjadi satu. Pitutur tetua meluncur bagai doa-doa. Harapan menggantung. Namun, tak yakin akan terkabul. Sebab, duka lara selalu saja melekat kuat. Tak hendak beranjak pergi dari kehidupan mereka.
Prosesi pemberangkatan akan segera dimulai. Mbah Bayan selaku perangkat desa tampak berusaha menenangkan warganya. “Tenang! Semuanya tenang! Ayo, kumpul! Sedulur kabeh, kumpul dulu! Pak Lurah mau berpidato,” ucapnya berkali-kali. Suasana masih saja riuh.
Tanpa memedulikan kegaduhan, Pak Lurah naik ke podium. Berdiri gagah bagai Raja Jawa yang berwibawa. Memandang rakyatnya dengan sorot mata tajam. Seperti terhipnotis, keriuhan pun terhenti.
“Ayo-ayo berbaris yang rapi, Pak Lurah akan mulai berpidato!” Pak Carik memberikan instruksi.
Tanpa suara, warga segera mengatur diri. Berbaris umpama laskar prajurit. Siap menyimak titah Sang Pemimpin. Bagi warga Desa Polowidi, kalimat Pak Lurah adalah sabda pandita ratu. Filosofi Jawa ini masih diyakini menjadi etika para kafilah di bumi. Semaju apa pun zaman, tak peduli perubahan terus bergulir, lurah masih menduduki posisi penting dalam tataran adi-kodrati. Tidak masalah salah dan benar. Semua sabda dianggap datang dari langit.
“Saudara-saudaraku, warga Desa Polowidi. Hari ini kita berkumpul di balai desa ini untuk mengantarkan anak, suami, saudara, dan sahabat kita yang akan berangkat ke Kalimantan sebagai romusha. Mereka pemuda-pemuda terpilih yang akan berjuang bersama-sama dengan saudara tua kita, Dai Nippon,” kata Pak Lurah mengawali pidatonya. Semua warga menyimak dengan takzimnya. Tampak di barisan belakang, Tukijo dan simboknya tergopoh-gopoh merapat ke barisan. Mereka terlambat datang.
“Anak-anakku, calon-calon romusha. Kalian pemuda pejuang. Pahlawan bangsa yang sukarela dan ikhlas berjuang. Kalian akan bahu membahu dengan saudara tua untuk membangun bangsa ini demi kemenangan dan kejayaan Asia Timur Raya. Sebelum pemberangkatan mari kita lakukan seikerei lebih dahulu untuk memberi penghormatan pada Kaisar. Seikerei….” lanjut Pak Lurah memberi aba-aba.
Para warga pun serentak menghadap ke timur, ke arah matahari. Membungkukkan badan hingga tegak lurus membentuk sudut 90 derajat. Tak terkecuali dengan Tukijo. Tapi, tidak demikian dengan Simbok. Ia justru bengong memandangi ratusan punggung. Pemandangan aneh yang baru pertama dilihatnya.
“Seikerei. Bungkukkan badanmu, Mbok!” bisik Tukijo agak gugup. Ia was was akan ada tentara Nippon yang melihat polah Simboknya dan mengira sebagai unjuk perlawanan.
“Ha? Apa?” tanya Simbok bingung. Maklum saja. Ini pertama kalinya ia berada di keramaian warga. Semuanya tampak asing.
“Seikerei, Mbok. Bungkukkan badanmu menghadap matahari! Jangan banyak bertanya! Lihat dan ikuti saja yang dilakukan orang-orang! Seperti gerakan rukuk saat sembahyang,” bisik Tukijo lagi.
“Ya ya, kere-kere,”jawab Simbok. Tapi, lidah Jawa-nya terlalu sulit untuk sekadar menirukan ucapan anaknya.
“Bukan kere-kere, Mbok, tapi seikerei. Se-i-ke-rei,” Tukijo meluruskan.
“Ya yalah, terserah kamu saja. Sekere-kere,” sahut Simbok tak acuh.
“Bukan sekere-kere, tapi….” Tukijo ingin meluruskannya lagi. Tapi, pelototan orang-orang membungkam mulutnya.
Bagi Simbok, ndak penting. Mau kere-kere, sekere-kere, atau seikerei sama saja. Yang dirasakan kini justru punggungnya yang terasa nyeri menggigit. Sakit bengeknya kumat. Nyeri luar biasa yang sangat menyiksanya.
“Apa-apaan ini? Kenapa harus membungkuk selama ini? Bahkan, saat rukuk dalam sembahyang pun tak selama ini,” keluhnya saat prosesi seikerei tak juga berakhir. Seikerei. Ah, ritual aneh yang sangat menyiksa.
“Lima belas menit, Mbok. Lima belas menit saja,”bisik Tukijo teramat lirih, tak ingin mengganggu konsentrasi yang lain.
Simbok menarik nafas panjang. Berharap sakitnya akan sedikit berkurang. Tapi, keringat dingin justru mengucur deras. Puluhan kunang-kunang berpendar di depannya. Tubuhnya limbung, tersungkur ke tanah.
Terpilih
Rumah Tukijo, Selasa 29 Agustus 1944, pukul 20.00 WIB.
Usai rapat terbatas, semua perangkat desa langsung bergegas. Dengan sigap berbagi tugas. Mengemban amanat yang diperintahkan Pak Lurah. Mendatangi satu persatu rumah warganya.
Malam ini Mbah Bayan bertugas mendatangi rumah-rumah di sepanjang pinggiran sungai. Salah satunya rumah Tukijo. Pemuda yang diketahui sedang menjalin percintaan dengan Inah, cucunya.
Pukul delapan malam, ia pas sampai di depan pintu rumah Tukijo. Cukup lama ia menimbang-nimbang. Akankah mendatangi rumah ini atau melewatkannya saja. Ah, tak ada pilihan. Ia terlalu pengecut untuk berbuat curang. Menyerahkan semuanya ke tangan Illahi. Bila sudah jodoh, pasti tak akan ke mana. Pada akhirnya akan ketemu juga. Meski, jarak memisahkan. Biarlah takdir yang akan menyelesaikannya. Ia pun memantapkan pilihannya. Menyingkirkan keraguan.
“Kulonuwun. Kulonuwun, Jo! Tukijo! ini aku, Mbah Bayan. Suruhannya Pak Lurah,” suara Mbah Bayan terdengar lantang.
Panggilannya mengagetkan seisi rumah. Rumah Tukijo memang sangat kecil. Mungkin lebih pantas disebut gubuk. Tak ada sekat yang membatasi antarruangnya. Plong, serba terbuka. Aktivitas semua penghuninya terlihat nyata. Transparan. Tak ada rahasia.
Hanya kadang-kadang saja …ehm anu, di malam buta, Simbok dan Rama menutupinya dengan bentangan karung goni. Kalau di hotel mungkin akan tergantung label bertuliskan do not disturb. Anak yang masih kecil tak akan bisa memahaminya. Nekat menerobos masuk. Mendapati adegan 18 th ke atas. “Ih, sedang ngapain sih Simbok dan Rama” atau jeritan marah si bungsu,”Rama nakal! Nakal! Jangan nakali Simbok!”
Tukijo dan Paidi, anak yang lebih besar hanya tertawa ngakak. Memahami kebutuhan fitrah orang tuanya. Tak berarti apa-apa. Mereka sudah biasa melihat kambing kawin. Meski, sering juga penasaran. “Gimana sih rasanya?”
Paling-paling, hanya lewat mimpi. Berkhayal ketemu bidadari atau si Inah pun jadilah. Lalu, meniru polah si kambing. Paginya, celana mereka pun basah.”Ih, Kakang ngompol!” Ledekan si kecil membuat keduanya tersipu malu. “Sudah besar koq ngompol sih?”
Maklum saja. Demikianlah kebanyakan rumah-rumah di bantaran kali Desa Polowidi. Menggambarkan status sosialnya. Hidup terlalu bersahaja. Rumah tak terlalu penting. Yang pokok bisa sedikit melindungi dari terpaan angin dan hujan. Cukuplah.
Rumah Tukijo sendiri berukuran sedikit lebih besar dari kandang kambingnya. Berdinding anyaman bambu dan beratap bleketepe. Suara selirih apa pun akan terdengar nyata. Apalagi, teriakan segahar Mbah Bayan.
“Jo, Tukijo! Paidi! Karyo! Karitem!” teriakan Mbah Bayan kembali menggema. Disebutnya nama-nama penghuni gubuk itu saat si empunya tak juga membukakan pintu.
Tergopoh-gopoh Tukijo berlari. “Mangga, mangga Mbah Bayan. Silakan masuk,” sambutnya. Sang tamu dipersilakan duduk di atas lincak. Satu-satunya furniture di dalam gubuk. Yang lain memilih lesehan di atas tikar.
“Kedatanganku ke sini sebagai utusan Pak Lurah. Untuk mendata anggota keluarga yang akan dikirim ke Kalimantan sebagai romusha. Setiap keluarga harus mengirimkan satu pemuda sebagai wakilnya. Ini perintah Pak Lurah,” jelas Mbah Bayan. Semua bengong. Tak begitu paham maksudnya.
“Apa itu romusha, Mbah Bayan?” tanya Karyo alias Rama, si kepala keluarga mencari pencerahan.
“Romusha itu pekerja, orang yang bekerja. Dai Nippon butuh banyak pekerja. Minggu depan mau dikirim ke seberang. Kata Pak Lurah, harus dipilih pemuda yang kuat dan sehat, nggak boleh yang sakit-sakitan,” jawab Mbah Bayan. Ia sudah menghafalkan penjabarannya.
“Jadi, orang-orang pilihan ya, Mbah?” tanya Simbok memperjelas.
“Iya. Orang-orang pilihan yang badannya sehat dan kuat, seperti gambar ini, nih,” sahut Mbah Bayan sambil menunjukkan gambar yang dibawanya. Gambar pemimpin yang dipuja-puja bangsa. Tapi, tetap terlihat asing bagi keluarga ini. Maklumlah, mereka memang kurang gaul dan tidak berpendidikan.
“Gambarnya siapa itu, Mbah?” tanya Rama.
“Gagah banget. Pakai seragam, topi, terus bawa cangkul segala. Gambarnya siapa itu, Mbah?” celetuk Simbok dengan mata berbinar.
“Masa nggak tahu. Ini kan gambarnya pemimpin besar revolusi. Orang pinter. Orang pinter saja jadi romusha lho. kerja, kerja, dan kerja,” seru Mbah Bayan bersemangat. Mirip penjual jamu di Pasar Turi saja. Kalimat propaganda yang sederhana, tapi cukup efektif untuk menginspirasi warga.
“Aku mau jadi romusha juga, Ma, Mbok. Biar segagah di gambar itu,” jerit Paidi gembira. Si sulung di keluarga ini bermimpi besar. Meski terlihat jelas, fisiknya tak memenuhi.
“Eh eh? Badan kurus kering gitu mau jadi romusha. Apa ya kuat kerja?” ledek Mbah Bayan. Tak bermaksud menghina, hanya menyampaikan kebenaran saja. Yang lain menyambutnya dengan tawa. Ya, Paidi sulung di keluarga ini sejak kecil sudah sakit-sakitan. Kakinya bahkan cacat tak sempurana karena terkena polio.
“Sudahlah Di, jangan mimpi! Badanmu nggak sehat, sakit-sakitan. Biar adikmu saja, Tukijo. Ya, Jo. Badanmu besar dan kuat. Kamu saja yang jadi romusha,” Rama langsung memutuskan.
“Nanti siapa yang akan bantu kerjaan di kebun kita, Ma?” Tukijo ingin mengelak. Bila boleh memilih, ia ingin tetap tinggal di Polowidi. Banyak rencana hidup yang ingin disusunnya dengan Inah, gadis pujaannya. Namun, jauh di dalam hatinya kesadaran, tanggung jawab, dan pengorbanannya pada keluarga tak usah diragukan. Ia tahu, ia jadi tumpuan harapan keluarganya. Mimpi-mimpinya pun pupus.
“Udah, ndak usah dipikir. Masih ada Ramamu dan Paidi. Yang penting kamu kerja. Pakai seragam dan topi seperti di gambar itu. Wis, gagah tenan anakku lanang. Kamu terpilih jadi romusha, Nak,” tukas Simbok dengan mata berbinar sekaligus berkaca-kaca. Rasa bangga terasa membuncah dan menyesakan dada. Ataukah, karena ia telah terhipnotis gambar itu?
Melempar Umpan
Rumah Juragan Karyo, 29 Agustus 1944, pukul 20.00 WIB.
Pak Carik mendapat tugas mendata rumah-rumah di sepanjang jalan desa. Sebagai orang nomor dua di Desa Polowidi, Pak Carik dapat bagian yang loh, subur. Ya, sebagian besar penghuni rumah di jalan utama desa memang terdiri dari keluarga terpandang. Mereka dikenal sebagai orang-orang dermawan. Suka berderma. Lebih-lebih bila menyangkut soal keselamatan diri dan keluarga. Berapa pun tidak masalah. Ikhlas bersedekah, asal tak jadi korban perang.
Para pejabat lokal seperti Pak Carik, paham benar akan hal ini. Paling ahli memanfaatkan situasi. Berurusan dengan para juragan, hasilnya pun sudah bisa diduga. Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan uang. Siapa yang tidak suka uang? Pak Carik paling demen uang. Tugas yang menyenangkan. Seperti dapat rezeki nomplok.
Tepat pukul delapan malam Pak Carik telah berada di rumah Juragan Karyo, saudagar dan tuan tanah paling kaya di desa Polowidi. Kedatangannya disambut dengan jamuan mewah. Secangkir teh tubruk dan mie lethek tersaji di atas meja. Di zaman sulit seperti ini jarang-jarang bisa menikmati hidangan seperti ini.
Setelah beberapa saat bercengkrama, Pak Carik pun menyampaikan tujuan kunjungannya. “Kedatangan saya ke sini melaksanakan amanat dari Pak Lurah. Sesuai dengan surat perintah yang dikirim opsir kantor Romukyoku, setiap keluarga wajib mengirim satu orang wakilnya untuk jadi romusha. Perintah ini juga didukung oleh pemimpin besar revolusi kita. Ini lho buktinya,” kata Pak Carik sambil menunjukkan media propaganda berupa gambar pemimpin besar berkostum romusha.
Juragan Karyo mengambil gambar itu. Dilihatnya dengan sangat teliti. Keningnya berkerut. “Beneran itu gambarnya pemimpin besar kita, Pak Carik?” tanyanya ragu.
“Benar, kata Pak Lurah. Masa saya bohong, Juragan. Nggak berani saya bohong masalah beginian. Kita harus mendukung penuh langkah Dai Nippon. Kata Pak Lurah nih, demi kemakmuran dan kejayaan Asia Timur Raya. Ini perintah Pak Lurah lho, Juragan,” jawab Pak Carik. Nama Pak Lurah masih ampuh dan jadi momok untuk memaksa warga. Siapa yang berani melawan Pak Lurah di Desa Polowidi ini? Siap-siap saja kuwalat.
Loyalitas dan kesetiaan warga Desa Polowidi pada pemimpinnya patut diacungi jempol. Pemimpin harus selalu diamini. Benar atau salah itu soal nanti. Sudah ada hukum alam, sing salah bakal seleh, yang salah akan ketahuan pada akhirnya. Dan, pasti akan ngunduh wohing pakarti, siapa yang salah akan menanggung akibatnya.
“Asia Timur Raya apa? Katanya kita bangsa Indonesia, kenapa jadi Asia Timur Raya?” tanya Juragan Karya bingung. Literasinya mungkin tak cukup memadai untuk memahami kalimat yang diucapkan Pak Carik.
“Soal itu saya juga kurang paham, Juragan. Besok tanyakan saja langsung pada Pak Lurah. Tapi yang jelas, setiap keluarga wajib hukumnya mengirim wakilnya sebagai romusha,”jawab Pak Carik sama bingungnya. Ia sekadar menirukan ucapan Pak Lurah. Tak paham juga maksudnya.
“Romusha yang kerja paksa itu, kan?” Juragan Karyo mencari kejelasan.
“I…iya. Juragan tahu beritanya, ya?” jawab Pak Carik tergagap. Gugup, tak mengira Juragan Karyo mengetahui permasalahannya. Tapi, ini kan rahasia. Tak boleh ada yang tahu tentang hal ini.
“Tahulah….Ealah, Pak Carik. Apa ya tega ngirim Kuripan, anak semata wayangku? Anakku satu-satunya lho, Pak.” Suara Juragan Karyo terdengar parau. Mirip orang mau mewek.
“Tapi, ...” Kalimat Pak Carik pun tertahan. Keburu diserobot si Juragan.
“Nggak usah bilang-bilang Pak Lurah, ya! Begini lho, Pak Carik, saya mohon kebijaksanaan dari Pak Carik. Ini antara kita saja. Saya tahu Pak Carik sangat arif dan bijaksana. Ini ada gelang emas 10 gram. Bawa saja. Yang penting anakku selamat,” ujar Juragan Karyo penuh harap.
Pak Carik sedikit bingung. Sisi hatinya yang lain justru bersorak. Begini ini nih yang diharap. Cuma, nggak elok kalau langsung bilang ya. Harus sedikit berkelok. Minimal ada sedikit jeda. “Tapi,…” ucapnya sengaja menggantung. Ibarat melempar umpan ke empang.
“Masih kurang? Ya sudah, saya tambahi kalung 30 gram. ” sambar Juragan Karyo cepat. Bak gadis yang malu-malu kucing, Pak Carik pun berakting. Pura-pura mikir.
“Kalau masih kurang, bawa sekalian kerbau di kandang. Tapi, tolonglah nyawa anakku, Pak! Jangan dijadikan romusha!” kejar Jurangan Karyo memaksa.
Pak Carik mengercapkan matanya. Di dalam hatinya berhitung-hitung jumlah nominal yang akan diraupnya nanti. Gelang emas 10 gram, kalung 30 gram,dan seekor kerbau. Wuih, bukan jumlah yang sedikit. Hasil panen tanah bengkoknya selama setahun pun belum tentu sebanyak ini. Lumayan bisa cari isteri lagi. Mungkin sinden tayub desa sebelah yang semok mau jadi selirnya. Pikiran cabul belum-belum mengotori otaknya.
“Ya sudah. Ini emas dan kerbaunya beneran untukku, ya?” Pak Carik tak bermaksud bertanya. Hanya sekadar menyakinkan saja.
“Iya, Pak. Saya ikhlas.”
“Beneran,ya?”
“Ya.”
“Bener?”
Perpisahan
Balai Desa Polowidi, Senin, 4 September 1944, pukul 08.30 WIB.
Prosesi seikerei berakhir tepat bersamaan dengan tubuh Simbok yang tersungkur roboh. Untunglah, sebelum tubuhnya benar-benar menyentuh tanah, tangan Tukijo keburu menyambarnya. Simbok pingsan dalam pelukannya. Tak sampai dalam hitungan menit. Hanya beberapa detik, tapi cukup membuat jantung Tukijo serasa copot. Jangan-jangan Simbok telah mati.
“Mbok, Mbok,” serunya panik. Teriakannya membuat orang-orang mengerumuni mereka. Diguncang-guncangnya tubuh simboknya.
“Aduuuh!” rintih Simbok. Meringis kesakitan. Membuka matanya. Lalu, menutup lagi saat menyadari begitu banyak orang yang mengerumuninya. Merasa malu jadi tontonan warga.
“Apanya yang sakit, Mbok?” tanya Tukijo dengan nada cemas.
“Boyok. Boyokku arep pedhot,” keluh Simbok lirih. Air matanya mengalir. Merasakan sakit yang menyiksanya. Orang-orang justru tertawa. Oalah, bengek to. Celetukan yang menyepelekan.
“Punggungmu masih utuh, Mbok,” hibur Tukijo sambil memijit-mijit punggung simboknya.
“Aduuuh!”rintih Simbok lagi. Entah sakit beneran atau aleman. Seorang tetangga meminjamkan minyak telon. Tukijo membalurkannya ke punggung simboknya. Rasa hangat menyebar cepat. Lumayan nyerinya sedikit berkurang.
Akhir-akhir ini penyakit Simbok semakin bertumpuk. Komplikasi bengek, nyesek, dan buyuten. Ketuaan yang tampak nyata. Umurnya tak muda lagi. Beban hidup semakin berat. Semakin hari semakin banyak mulut yang harus diberi makan. Banyak anak banyak rezeki, belum terbukti sakti. Yang pasti, kurang makan kurang gizi. Tidak makan pasti mati. Orang tua harus mati-matian mencari nafkah. Di zaman susah ini, betul-betul setengah mati.
Mau bagaimana lagi. Tukijo berkali-kali meminta pada Simbok agar tak nambah anak lagi. Delapan anak sudah lebih dari cukup. Tapi, jebol dan jebol lagi. Hingga si bungsu Lusinah, anak kedua belas pun lahir.
“Adik-adik calon Romusha. Sebelum berangkat saya akan mengecek kembali kelengkapan administrasinya. Yang saya panggil silakan maju.” Suara Pak Carik menyampaikan pengumuman. Membuat orang-orang yang mengerumuni mereka pun bubar. Tukijo menuntun simboknya ke tempat yang lebih teduh.
Satu persatu calon romusha dipanggil dan diperiksa. Dicocokan datanya dengan dokumen resmi. Hingga, giliran namaTukijo dipanggil.
“Nama Tukijo bin Karyo?” tanya Pak Carik mencocokkan data dengan yang tertulis di lembar formulirnya.
“Betul, Pak Carik,” jawab Tukijo.
“Umur 16 tahun?”
“Ya.”
“Sekolah kelas 2?”
“Nggih.”
“Belum kawin?” tanyanya heran, “yakin?”
“Belum, memang belum, Pak Carik,” jawabnya malu-malu. Pak Carik mengerutkan kening, seperti tak yakin. Tukijo semakin bertambah malu.
“Tapi, begini Jo. Kamu harus tahu. Gaji bujangan berbeda dengan yang sudah kawin. Gajinya sehari dua sen atau enam rupiah per bulan. Kalau sudah kawin akan ditambah satu rupiah lagi,” jelas Pak Carik.
“Koq bisa, Pak Carik?” tanya Tukijo heran.
“Iya, begitu aturannya. Kalau mau dapat tambahan satu rupiah lagi, kolom nama isteri harus diisi,” jawab Pak Carik.
“Yaa…saya belum beristeri,” keluh Tukijo kecewa. Tahu begini mungkin ia akan buruan kawin.
“Begini saja. Kalau ditanya, bilang sudah beristeri. Kolom isteri diisi nama. Sembarang saja, atau biar gampang urusannya, kutulis saja nama simbokmu, ya?” usul Pak Carik. Langsung diamini Tukijo. Cerdik juga ide Pak Carik.
Ya. Status Tukijo pun mendadak berubah. Telah menikah. Nama isterinya Karitem. Dua pertiga gajinya akan diterima isterinya di kampung. Dan sepertiga diterima langsung. Begitu dokumen yang harus ditanda tanganinya. Tukijo tak perlu membacanya lagi. Karena sesungguhnya, ia tak bisa membaca. Ia hanya bisa tanda tangan saja.
Detik-detik perpisahan semakin dekat. Simbok menggenggam tangan Tukijo dengan erat. Seperti tak ingin melepaskannya. “Hati-hati ya, Le! Kerja yang bener, yang rajin! Jangan malas-malasan! Nanti, kalau pulang, bawa uang yang banyak. Biar kita bisa beli kerbau seperti punyanya Juragan Karyo,” pesannya panjang lebar pada anaknya. Matanya berkaca-kaca. Karitem, simboknya Tukijo, tapi dalam dokumen romusha tertulis sebagai isteri Tukijo itu pun menangis tanpa suara. Berusaha menahan kesedihannya .
“Ya, Mbok. Aku pamit ya, Mbok. Doakan agar bisa cepat pulang dan bawa uang yang banyak, ya! Minta doa restumu ya, Mbok!” sahut Tukijo sambil mencium tangan simboknya.
“Iya, Le. Simbok memberimu restu. Hiks hiks hiks.” Tangis Simbok pecah juga.
“Jangan nangis, Mbok! Aku kan pergi kerja, cari uang. Nanti kalau punya uang banyak, pasti akan pulang.” Tukijo berusaha menghibur Simbok. Dasar mata yuyu, melihat simboknya menangis, air matanya pun runtuh juga.
“Ya, Le. Jangan lupa, kirim gambarmu seperti yang dibawa Mbah Kaum kemarin! Pakai seragam dan topi yang bagus. Hiks hiks hiks.”
“Ya, Mbok. Tapi, jangan nangis terus! Aku jadi ikutan sedih. Hiks hiks hiks.”
“Eh, jangan nangis, Le! Lelaki tidak boleh nangis. Umurmu sudah hampir 16 tahun. Bukan anak-anak lagi. Kamu harus kuat dan tegar. Hiks hiks hiks. Kamu tidak boleh nangis”.
“Kalau Simbok nangis, aku juga tidak bisa berhenti nangis. Hiks hiks hiks.”
“Wis cup cup. Jangan nangis! Simbok juga tidak nangis lagi.” Tapi nyatanya keduanya tak bisa mengeremnya. Tangisannya justru semakin keras berirama.
Pak Lurah kembali naik ke podium. Melanjutkan pidatonya. Katanya, “Ayo, semuanya! Naik ke atas truk! Sudah waktunya berangkat. Kalian harus bergegas. Sebelum malam harus sudah sampai di Pelabuhan Tanjung Perak. Malam ini juga kapal yang akan membawa kalian ke Kalimantan akan segera berlayar. Selamat jalan para romusha dari Desa Polowidi. Sampai jumpa lagi. Pulanglah dengan selamat! Merdeka!”
Awan pekat menyelimuti Desa Polowidi. Meski, kini sedang musim kemarau. Salah musimkah? Atau, alam pun hendak mencucurkan air matanya.
Description: Cerita itu berlatar masa kependudukan Jepang.
Melawan lupa.
Dokumentasi cerita pengantar tidur.
Biografi Bapak.
Kenangan untuk anak cucu.
|
Title: Royal Blood
Category: Novel
Text:
Prolog
Nick seorang mahasiswa biasa yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang keturunan vampir, berawal dari buku Ayahnya yang menceritakan tentang Legenda Vampir, Nick tertarik untuk menyelidiki tentang cerita Ayahnya tersebut. Rasa penasarannya terhadap Legenda itu, justru membawa nya kedalam sebuah pengalaman yang tidak pernah Ia bayangkan sebelumnya, sebuah pengalaman dimana Dirinya akan bertemu dengan 'orang-orang' yang termasuk dalam Legenda. Nick tidak mengira bahwa Legenda tersebut nyata, dan bukan hanya sekedar tulisan dongeng biasa.
Description: Nick bersama temannya mengikuti program study tour mahasiswa semester ketiga. Awalnya semuanya berjalan sewajarnya, tapi keanehan mulai terjadi ketika mereka sampai ke tempat karya wisata mereka.
|
Title: Review Movie
Category: Review
Text:
Review Hello Salma
Hello Salma is a novel by Erisca Febriani. The novel Hello Salma was made into a big screen film. The Hello Salma film is a sequel from Dear Nathan film. This story began when Nathan was forced to move schools because he had hit his friend. Salma was disappointed because Nathan chose to change schools rather than apologize, so Salma asked to break out. Nathan moved to a new school, he met a woman named Rebbeca. Rebbeca has the same fate as the old Nathan. Nathan tries to help Rebbeca get out of her downturn. On the other hand, Salma felt depressed because of pressure from her father to enter the Indonesian university medical department. Salma really wanted to enter Indonesian literature major, but due to pressure from her parents she had to choose medicine and this caused Salma to fail at SNMPTN. Rebbeca helped Salma by talking to Salma's father not to force his will. Salma's father realized and he allowed Salma to enter the Indonesian literature department. Salma's father also agreed to the relationship between Salma and Nathan, which was previously opposed by him. I really like the film Hello Salma. I really like the scene when Nathan is about to let Salma go so that Salma does not have another conflict with her father. According to Nathan, the most precious thing in this world was family. Nathan did not want Salma to lose her family because of him. The scenes in this film brought tears to my eyes a lot. This film is an adult film because at the end of the story there is a kiss scene. The scenes in the film and in the novel are very different. In the novel, the problems are more complicated, whereas in the film, most of them are only mentioned. I highly recommend you to watch this film, especially for teenagers. There are many lessons that we can learn from the Hello Salma. In addition to discussing romance, this film also contains the importance of a family and a life that is floating to the limit. However, for children, it is better not to watch it because there are kiss scenes that are not worth watching them. It would be better if you watch the film first then read the novel because if you read the novel first you will feel disappointed because there are some scenes that are not shown. Once again this film is perfect for teenagers who are in love and experiencing depression. When you are depressed, don't choose to run away or even end your life, tell the people closest to you. Sometimes love has to be given up for the ultimate happiness which is family.
Tittle : Hello Salma
Director : Indra Gunawan
The lenght : 1 hour 41 minutes
The Main Actor : Amanda Rawles and Jefri Nichol
Year : 2018
Review Hello Salma
Hello Salma is a novel by Erisca Febriani. The novel Hello Salma was made into a big screen film. The Hello Salma film is a sequel from Dear Nathan film. This story began when Nathan was forced to move schools because he had hit his friend. Salma was disappointed because Nathan chose to change schools rather than apologize, so Salma asked to break out. Nathan moved to a new school, he met a woman named Rebbeca. Rebbeca has the same fate as the old Nathan. Nathan tries to help Rebbeca get out of her downturn. On the other hand, Salma felt depressed because of pressure from her father to enter the Indonesian university medical department. Salma really wanted to enter Indonesian literature major, but due to pressure from her parents she had to choose medicine and this caused Salma to fail at SNMPTN. Rebbeca helped Salma by talking to Salma's father not to force his will. Salma's father realized and he allowed Salma to enter the Indonesian literature department. Salma's father also agreed to the relationship between Salma and Nathan, which was previously opposed by him. I really like the film Hello Salma. I really like the scene when Nathan is about to let Salma go so that Salma does not have another conflict with her father. According to Nathan, the most precious thing in this world was family. Nathan did not want Salma to lose her family because of him. The scenes in this film brought tears to my eyes a lot. This film is an adult film because at the end of the story there is a kiss scene. The scenes in the film and in the novel are very different. In the novel, the problems are more complicated, whereas in the film, most of them are only mentioned. I highly recommend you to watch this film, especially for teenagers. There are many lessons that we can learn from the Hello Salma. In addition to discussing romance, this film also contains the importance of a family and a life that is floating to the limit. However, for children, it is better not to watch it because there are kiss scenes that are not worth watching them. It would be better if you watch the film first then read the novel because if you read the novel first you will feel disappointed because there are some scenes that are not shown. Once again this film is perfect for teenagers who are in love and experiencing depression. When you are depressed, don't choose to run away or even end your life, tell the people closest to you. Sometimes love has to be given up for the ultimate happiness which is family.
Tittle : Hello Salma
Director : Indra Gunawan
The lenght : 1 hour 41 minutes
The Main Actor : Amanda Rawles and Jefri Nichol
Year : 2018
Description: Hello Salma
|
Title: Refleksi
Category: Cerita Pendek
Text:
Terjebak Pada Pusaran
Miska menangis histeris, kepalanya terus ia benturkan ke dinding.
Tiba-tiba saja ia berhenti dan bergerak ke arah meja rias di kamar tersebut, tangannya gemetaran namun bergerak ke sana kemari tak tentu arah.
Matanya menelusuri setiap sudut meja tersebut tanpa fokus yang jelas karena sedikit terhalang air matanya sendiri.
Lalu sudut matanya menangkap bentuk ujung gagang gunting, tangan kanannya buru-buru menggapai benda tersebut, tetapi tepat sebelum berhasil menyentuhnya, ada tangan yang lebih besar yang menarik pergelangan tangan Miska, berusaha menahannya.
Miska meronta, berusaha kembali menggapai gunting dengan tangannya yang bebas. Namun usahanya gagal, ia didekap sekuat tenaga dari belakang.
Miska semakin berusaha menggerak-gerakan tangannya, memukul lengan besar tersebut dan berusaha menggigitnya agar ia bisa bebas, membuat si pendekap kehilangan keseimbangan dan mereka berdua jatuh ke kasur di belakang mereka tanpa sedikitpun dekapan tersebut merenggang.
Miska terus meraung-raung, wajah dan lehernya sudah sangat banjir air mata dan keringat, telapak tangan dan kakinya berkeringat tanda bahwa jantungnya sedang berdetak lebih cepat dari biasanya.
Sekitar 30 menit Miska terus berusaha melepaskan diri dengan tenaga yang semakin sedikit, raungannya sudah berganti menjadi isakan pelan, ada bekas air mata mengering di sudut matanya kini, cuping hidungnya masih merah akibat menangis lama.
Perlahan-lahan kesadarannya pun pulih, dengan sisa tenaganya, ia berucap pelan.
“Capek aku Yo, cuma bermimpi untuk hidup normal salah gitu? Aku tuh nikah sama kamu ya karena mikirnya bisa bahagia gitu tapi kenapa tambah parah?”
Permintaan Tolong
Dua pekan setelahnya, Miska dan Aryo menghadiri undangan pernikahan sahabat kuliah Miska.
Karena acaranya berada di luar Bandung, mereka pun memilih untuk menginap semalam, hitung-hitung liburan singkat.
Sehari sebelum acara, mereka menghabiskan waktu berwisata kuliner dengan mobil sewaan.
“Helm Gojek, jaket Grab, celana Uber,” nyinyir Aryo sambil menatap seorang pengendara motor dari balik kaca mobil dengan tatapan sok lelah diikuti dengan helaan napas panjang. Miska yang dari tadi asik memerhatikan jalan di depannya, mendadak tertawa sambil celingukan mencari orang dengan ciri-ciri yang disebutkan Aryo tadi.
“Mana Yo mana? Oh ituuuu! Hahahahahaha,” tawa Miska semakin keras karena berhasil menemukan orang yang dimaksud Aryo.
Tawanya tiba-tiba berhenti, alisnya bertaut berusaha memikirkan sesuatu setelah menyadari ada yang janggal dari perkataan Aryo.
“Eh mana celana Uber nya? Ga pake dia, itu celana biasa loh.”
Aryo mengulum bibirnya, berusaha menahan tawa. “Emang ada celana Uber? Kaya gimana coba celana Uber?”
“Hah? Eeee... Ga ada! Ih iya ga ada celana Uber!”, tawa Miska kembali meledak menyadari kebodohannya sendiri.
Coba Miska bisa terus kaya gini, bahagia. Sama sekali ga kaya orang depresi seperti diagnosis psikolog itu.
Pikir Aryo, dadanya sesak teringat kondisi Miska yang semakin sering meledak belakangan ini.
Namun kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama, di acara undangan, hal yang Aryo khawatirkan terjadi.
“Yo! Wih ketemu di sini lah! Apa kabar?” Bobby teman kuliah Aryo dan Miska tiba-tiba menyapa dan merangkul Aryo.
“Woy Bob, baik bro, gimana lu kabarnya?”
“Yah gitulah sibuk ngurus WO gue, eh gimana Mis udah isi belum sekarang?” pandangan Bobby beralih kepada Miska.
“Doain aja Bob,” Miska berusaha tersenyum tapi lebih terlihat seperti meringis. Aryo yang menyadari perubahan air muka Miska berusaha mengalihkan topik.
“Masih suka nongkrong bareng yang lain ga Bob?”
“Jarang cuy, sekarang pada sibuk kan udah ada buntut semua. Tinggal lo nih yang belom, tapi lo nya di Bandung juga. Oya Mis, ternyata kata dokter kandungan istri gue, pengaruh stress dan capek kerja tuh gedeee banget ke kesuburan. Pantes aja lah kalian belum dikasih anak terus, lo kecapean kerja tuh, mending resign deh mis, nyantai di rumah kaya bini gue tuh.” Miska dan Aryo hanya menanggapi dengan anggukan sesekali. Beruntung mereka tidak perlu mendengar Bobby lebih lanjut, karena ada karyawan Bobby yang menghampiri.
Sepulangnya mereka dari undangan pernikahan tersebut, Miska lebih banyak berdiam diri berhari-hari kemudian.
Pulang kerja langsung masuk kamar dan melamun, tanpa ada keinginan untuk beraktivitas apapun. Aryo yakin salah satu pemicunya adalah ucapan Bobby saat itu, seperti yang ia khawatirkan sebelumnya.
Tapi Aryo pun masih belum paham bagaimana menghadapi Miska di saat-saat depresinya terpicu seperti ini, apapun yang ia lakukan belum berhasil membuat Miska kembali bahagia.
Seperti malam itu, sepulang kerja hingga adzan Subuh berkumandang, Miska masih terjaga.
Pertanyaan berseliweran di benaknya, mengapa ia belum hamil? Mengapa program hamilnya belum berhasil? Mengapa ia didiagnosis depresi? Untuk apa ia menikah? Untuk apa ia dilahirkan? Mengapa ia masih hidup?
Drrrtt....Drrrttt.... getaran singkat di ponsel Miska menyadarkannya dari lamunannya. Miska menghela nafas panjang melihat nama pengirim pesan tersebut, dari ibunya.
--- Mis, lagi apa? Ini dede harus bayar uang study tour paling lambat minggu depan, tapi uang bulanan dari kamu cuma cukup buat sehari-hari. Gimana ya? Mau minjem lagi ke Om Hendro ga enak euy.
Alih-alih membalas pesan tersebut, Miska malah mematikan ponselnya dan melemparnya asal ke sudut kasur. Pikirannya semakin ingin meledak pagi itu.
Ingin sekali rasanya ia bisa menenggelamkan diri seharian di balik selimut satu hari saja.
Namun, percuma pikirnya, ia pun tidak akan bisa tenang seharian jika tidak memunculkan wajahnya di kantor.
Bu Ratri, Pak Aldy, belum lagi staff admin dan anak magang yang ia pegang pasti tidak akan berhenti merongrongnya melalui Whatsapp Chat.
Dengan kondisi kepalanya yang berat akibat tidak tidur dan banyak pikiran, Miska akhirnya tetap memaksakan diri bangun dan bersiap ke kantor minimal untuk setor muka pikirnya.
Entah keputusan Miska tetap datang ke kantor adalah tepat atau salah, yang pasti Miska sekarang menyesal sejadi-jadinya.
Miska mendapat teguran dari Bu Ratri, karena draft kontrak yang ditujukan untuk salah satu klien confidential malah dikirimkan ke alamat klien yang lainnya.
Gondok setengah mati, Miska berusaha membela diri bahwa itu bukan salahnya karena ia merasa sudah memberi instruksi dan alamat sejelas mungkin pada staff admin yang bertugas mengurus surat menyurat.
Dengan nada yang semakin meninggi, Bu Ratri menegaskan pada Miska, “Hei walaupun yang tugas ngirim itu admin, tanggung jawab masalah kontrak sampai di tangan klien itu ada di kamu. Jangan mentang-mentang kamu sudah nyuruh admin terus kamu ngerasa tugas kamu selesai! Be responsible is not enough Miska, you know it, I need someone who can be accountable. Tolong dong saya ga mau liat kesalahan-kesalahan seperti ini lagi lain kali!”
Meski geram, Miska mengakui ada bagian dari ucapan Bu Ratri yang memang benar. Itulah yang semakin membuat Miska geram, sebagian dari dirinya masih sulit menerima bahwa memang masalah ini terjadi akibat kesalahannya juga.
Mengalah, Miska pun memilih untuk minta maaf sekenanya pada Bu Ratri semata-mata agar segera bisa kembali ke meja kerjanya tanpa harus mendengarkan ocehan Bu Ratri lebih lama lagi.
Sekeras apapun Miska berusaha kembali fokus bekerja, pada akhirnya sisa jam kerjanya hari itu hanya bisa ia manfaatkan untuk mengerjakan laporan bulanan untuk klien yang tak kunjung bertambah juga halamannya.
Lelah, ia ingin Aryo menjemputnya di kantor, sekaligus berharap mungkin ia bisa mencoba berbagi sedikit pikirannya sejak semalam dan juga insiden kontrak salah alamat hari ini.
Aryo menyanggupi dengan senang hati untuk menjemput Miska, pertanda baik pikirnya. Mungkin Miska mau berbagi pikiran dan perasaannya belakangan ini.
Sayangnya, rencana Aryo yang ingin menjemputnya bahkan menyempatkan diri untuk membawakan Miska batagor kesukaannya pun harus berantakan akibat pekerjaan Aryo hari itu dikejar deadline dan entah mengapa seolah benda dan manusia di sekitarnya pun sengaja mengacaukan rencananya tersebut.
Mulai dari atasannya yang tiba-tiba menambah tugas penting untuk sore itu juga, scanner yang mendadak error, dokumen yang tiba-tiba terselip di meja rekan kerjanya hingga palang parkir otomatis yang menolak membukakan jalan untuk mobilnya padahal sebelumnya baik-baik saja.
Sederet kesialan tersebut pun membuat Aryo molor 1 jam dari waktu yang dijanjikannya pada Miska. Secara matermatika, seharusnya ini dianggap prestasi karena Aryo mampu menyelesaikan segala masalah dan rintangan tersebut hanya dalam waktu 1 jam. Tapi tidak bagi Miska.
Kalau biasanya saat Aryo datang terlambat, Miska bisa memaklumi atau sekadar merajuk dan akan luluh juga dengan Aryo membelikannya makanan enak, kali ini Miska hanya bisa berdiam diri menahan amarahnya yang siap meledak itu. Sungguh ia tidak mau menyakiti Aryo lagi.
Tapi bukan Aryo namanya kalau tiba-tiba bisa peka dalam membaca ekspresi dan gestur Miska.
Diamnya Miska itu malah diartikan Aryo; 1. Alhamdulillah ternyata Miska tidak marah padaku karena telat, 2. Tapi Miska benar-benar berlebihan deh, melamun terus gitu dari kemarin cuma karena omongan Bobby tentang hamil.
“Udahlah Mis yang kata Bobby gausah dipikirin, kamunya juga jangan terlalu sensitif ya,” Aryo membuka percakapan sambil menengok pada Miska sebelum kembali menatap jalanan di hadapannya.
Gagal mempertahankan usahanya untuk tidak meledak, Miska mendelik pada Aryo, tersinggung mendengar Aryo menyebutnya sensitif untuk ke sekian kalinya.
“Terus aja terus bilang aku sensitif! Kamu ngerasain ga jadi aku? Dituntut sana sini, mamah minta uang terus, semua kerjaan di kantor aku yang urus, yang disalahin cuma aku, temen-temen kamu keluarga kamu nyalahin aku yang kerja jadi susah punya anak! Emang aku mau kerja capek kaya gini? Kalo kamu bisa biayain ibu dan adik aku juga aku ga bakal gini, capek aku Yo, capek!”
Mengalir sudah unek-unek yang Miska pendam dalam sekali bentak. Tanpa sadar, air mata sudah mengalir di pipinya, buru-buru ia menghapus dengan punggung tangannya.
Aryo memilih diam. Melanjutkan pembicaraan ini hanya akan berujung perang dunia ketiga pikirnya.
Sesampainya mereka di rumah, Aryo yang sudah lelah terlebih karena frustasi menghadapi Miska, memilih untuk segera rebahan di kamar mereka.
Sambil memunggungi Miska, Aryo sibuk bermain game di ponselnya, sama sekali tidak ingin melanjutkan debatnya dengan Miska. Mungkin nanti kalau Miska sudah sedikit lebih tenang.
Sayangnya, alih-alih mereda, amarah Miska semakin menjadi melihat sikap Aryo barusan, ia sungguh merasa diabaikan oleh Aryo. Spontan, ia melemparkan buku yang ada di hadapannya ke badan Aryo sambil berteriak.
“Miska! Apaan sih?” Aryo terduduk, matanya menatap Miska tajam seraya membentaknya.
Miska terus melemparkan semua benda yang terlihat di hadapannya ke arah Aryo.
“Aku kaya gini karena kamu Aryo! Selalu aku diperlakukan seperti orang gila, marah-marah sendiri, nangis histeris sendiri, ada ga usaha kamu bikin aku tenang? Yang ada kamu cuma malingin muka seolah muak dengan semua pikiran aku, perasaan aku! Aku gila kan yo menurut kamu? Ya kan? Kenapa kamu mau sama orang gila sih Yo?”
Miska semakin histeris menjambak-jambak rambutnya sendiri. Aryo mengusap wajah dengan kedua tangannya, helaan napasnya berat.
Buk! Tiba-tiba saja Miska jatuh ke lantai. Matanya terpejam, Miska pingsan!
Astaga apa lagi ini? Miska ga pernah pingsan, kenapa sih dia?
Aryo panik, menghampiri Miska, mengguncang pelan tubuhnya, memeriksa denyut nadi dan napasnya. Tanpa pikir panjang, Aryo berusaha menggendong tubuh Miska ke mobil.
Realita dan Imaji
Miska mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan tersebut.
Kemudian, ada yang menyentuh pipinya lembut, sedikit berbisik.
“Mis pusing? Mau minum?”
Miska mengangguk pelan, menerima gelas berisi air putih dengan sedotan.
“Yo, aku pingsan ya tadi? Kok bisa sih? Wah aku baru pertama kali loh.”
“Iya aku juga kaget, aku panik jadi aku bawa aja kamu ke UGD, terus kamu harus tau, tadi kan karena kamu demam juga, dokter jaganya jadi agak was-was jadi minta kamu untuk sekalian dicek darahnya dan,” Aryo menghentikan ucapannya, menunggu reaksi Miska.
“Terus kenapa katanya? Gapapa kan? Kok aku tegang ya?”
Tersenyum, Aryo melanjutkan, “ternyata,” Aryo kembali menghentikan ucapannya sambil terus tersenyum dan membuat Miska semakin tegang.
“Yo ih kenapa katanya? Jangan sengaja gitu atuh,” Miska merajuk.
“Tes darahnya nunjukin kamu hamil Mis!”, sahut Aryo sambil memeluk Miska.
Deg! Jantung Miska serasa berhenti berdetak seketika. Hanya bisa diam, membulatkan matanya, ia bingung harus bereaksi bagaimana.
“Serius Yo?”
Aryo melepaskan pelukannya sambil kedua tangannya tetap memegang pundak Miska, mengangguk, dan mencium kening Miska.
Miska menitikkan air mata dan membenamkan wajahnya di dada Aryo. Ini mimpinya dan Aryo.
Memiliki pernikahan yang bahagia dikaruniai anak-anak yang baik dan cerdas.
“Kita bahagia bareng ya Mis? Aku bantu kamu sampe sembuh, ya? Demi anak ini, mau kan?”
Miska tersenyum dan mengangguk pelan.
Seketika ruangan tersebut terang benderang, tepuk tangan riuh rendah memenuhi ruangan, musik mengalun, layar hitam dengan sederet tulisan bergerak dari bawah ke atas berisikan nama-nama kru dan pemeran.
Alena memandang suaminya yang sedang tersenyum bangga padanya.
Beberapa orang kemudian menghampiri Alena, Alena pun berdiri dari kursinya, menyambut jabatan tangan orang-orang tersebut.
Semuanya mengucapkan selamat untuk perannya sebagai pendatang baru yang sangat menarik perhatian.
“Untuk film antologi, cerita yang kamu peranin itu sebenernya bisa jadi gagal total dan malah jadi receh kalo kamu ga main sebagus itu loh, Len! Selamat ya Miska eh Lena” puji salah satu penonton yang merupakan sutradara film indie yang cukup ternama.
“Mbak Lena, bagus banget mainnya, padahal ini film layar lebar pertama kan?” seorang penonton yang merupakan kru dari cerita lain menghampirinya dan menjabat tangannya dengan semangat.
Alena sibuk menyalami dan membalas pujian-pujian tersebut dengan ucapan terima kasih dan senyum yang terus mengembang di wajahnya.
Ia bangga akan pencapaiannya ini, jerih payahnya sejak kecil ternyata berbuah manis, mimpinya untuk mendalami dunia seni peran ternyata bisa ia raih juga.
“Mbak ayo foto bareng!” ajak salah satu kru cerita yang Alena perankan di film antologi ini.
Alena menghampiri dan berdiri di sebelahnya sambil menunggu kru yang lain siap untuk difoto.
“Mbak Lena, kok bisa menjiwai banget Mba jadi Miska? Oh pantesan waktu itu aku ketemu di rumah sakit Mba Lena masuk ke ruang psikolog, untuk riset ya Mba?” tanya orang tadi dengan semangat.
Alena terkejut, tidak menyangka ada orang yang melihatnya saat itu.
Tanpa mengatakan apapun, Alena berusaha tetap tenang dan karena belum menemukan jawaban yang tepat, ia hanya tersenyum.
Untungnya senyuman tersebut dianggap sebagai jawaban “Iya” oleh si kru penasaran tadi.
Syukurlah, selamat aku. Ucap Alena dalam hati.
Description: Miska adalah Alena atau Alena adalah Miska? Entahlah. Terlalu banyak kemiripan diantara keduanya hingga seperti melihat refleksi diri pada cermin.
Sama-sama memiliki impian untuk dicintai dan dikagumi orang-orang sekitarnya, sama-sama memiliki pria yang setia padanya, juga sama-sama memiliki kesakitannya sendiri.
|
Title: Relung Diam
Category: Novel
Text:
Diam
Ku menatap langit sendu dari balik jendela yang terpampang di lini cafe. Air mulai berjatuhan menderu membasahi kota yang membesarkanku. Kepulan asap dari cangkir cappuccino menguak aroma harum di hidung.
Kamu masih saja sibuk dengan duniamu. Berkutat dengan laptop. Selalu seperti itu. Pertemuan tanpa memberikan kenangan. Ini membosankan.
Sudah sekian tahun kita bersama. Tapi kamu masih dan selalu saja seperti itu. Bahkan hanya melontarkan sapaan saja begitu sulit bagimu. Aku bagaikan replika yang tiada arti bagimu.
Hampir tiga jam kamu masih saja tenggelam dalam duniamu. Kamu memaksaku untuk menikmati kebosanan ini. Jika saja kamu bukan orang pilihan hatiku, aku tidak akan melakukan hal sesabar ini.
Aku ingin sekali meneriakimu, memakimu. Kamu sudah keterlaluan dalam hal ini. Baiklah, aku memang bukan permasuiri yang selalu ingin diperhatikan. Tapi, untuk apa aku dibutuhkan menemanimu? Aku tidak akan melakukan hal gila dengan melontarkan kemarahanku.
Aku memilih diam. Tanpa menatapmu. Aku mengedarkan pandanganku ke luar jendela. Banyak orang berlalu lalang. Ini akhir pekan, tentu saja kota pada hari ini tampak riuh rendah.
Rinduku adalah saat kita bercengkerama. Asik melontarkan setiap aksara. Menikmati setiap sudut dunia ini. Tertawa. Melewati hari tanpa percuma. Bertemu tanpa menyisakan waktu yang terbuang.
"Ayo, pulang. Sudah jam sepuluh malam." Setelah berjam-jam, akhirnya kamu melontarkan suara yang tertuju padaku.
Dengan malas, aku menatapmu tanpa jawaban. Kemudian berdiri mendahuluimu. Tanpa menunggu, ku melenggang ke luar cafe.
Sementara kamu sedang membayar bill di kasir. Aku hanya melirikmu, ada senyuman sesaat kamu berkata "terima kasih" pada seorang kasir. Ah, senyuman yang membuatku rindu akan dirimu yang dulu. Di saat aku dan kamu mempunyai dunia yang sama. Merengkuh segala mimpi bersama. Menyatukan atmosfir yang berbeda.
Langit gelap membungkus kota. Bintang bertebaran diterangi rembulan. Angin malam mulai menyelubungi setiap sudut kota. Menyisakan aroma khas yang begitu kurindukan. Sambil menghela napas panjang, ku biarkan diriku menikmati kedamaian malam. Memejamkan mata untuk sesaat.
"Mau ku antar?" tanyamu dari arah belakang. Kini kamu menyejajarkan pandanganmu ke arahku. Menatapku.
"Tidak perlu." Tanpa menatapmu, aku meninggalkan dirimu. Pergi tanpa mendengar sepatah kalimatmu lagi.
Depok, 16 Juni 2016
Kesal
Mentari tak tampak di langit, padahal hari sudah pagi. Hanya ada cahaya temaram. Tertupi oleh awan sendu yang mulai menitikkan airnya sedari kemarin malam membasahi seisi bumi.
Kemarin, aku tertumpah derasnya hujan. Jangankan payung, aku tidak membawa apapun selain ponsel dan dompet. Dengan terpaksa, kubiarkan hujan jatuh ke tubuhku. Membasahi diriku di tengah malam. Akibatnya, aku sekarang meringkuk kedinginan. Suhu badanku naik. Aku demam.
"Makan dan segera minum obat." sahut seorang pria dengan serak.
"Hemmm ..." hanya itu yang bisa kujawab. Bergumam.
"Dengerin nggak?!" nadanya terdengar tidak bersahabat.
"Hemmm ..."
"Bangun! Sini, Kakak suapin." kali ini nadanya terdengar tulus.
Dengan susah, aku bangun dari ringkuk. Kepala rasanya ditimpa barbel. Badan remuk. Kubiarkan Kakak menyuapiku. Di rumah ini, aku hanya tinggal berdua bersama Kakak. Meski hanya berdua, Kakak tidak pernah mengabaikanku. Bahkan ia dengan protektif menjagaku. Seperti seorang Ayah yang menjaga putrinya. Ia juga memahami sepenuh diriku. Seperti seorang Ibu yang membelai kasih sayang kepada anaknya.
Begitu ektra sabar, akhirnya aku menghabiskan bubur yang Kakak bikin. Padahal aku memakannya sangat lama. Sakit ini membuatku tak nafsu makan.
"Kakak kerja dulu, ya." Kakak bangkit sembari membawa mangkuk bubur yang habis.
Aku mengangguk.
"Kalau ada apa-apa, telpon Kakak segera." tekan Kakak.
Aku mengangguk lagi.
Kakak hanya menghela napas dan beranjak pergi. Ada semburat cemas di wajahnya. Begitu berat ia meninggalkanku sendiri dalam sakit begini.
Aku kembali meringkuk setelah minum obat. Ada rasa kesal yang membuncah dalam dadaku. Pertemuanku denganmu. Membuatku semakin kalut. Bahkan aku tak menyangka air mataku berguguran saat teringat hari kemarin. Lambat laun, mataku terpejam. Istirahat.
Depok, 18 Juni 2016
Kamu Datang?
Senja mulai menampakkan sinar jingganya. Aku terbangun dengan mata berair. Saking pusingnya mataku memerah dan berair. Suhu badanku kini sudah menurun. Dengan susah payah, aku terhuyung-huyung berjalan menuju dapur. Rasanya tenggorokanku kering. Aku butuh air.
Langkahku terasa berat, diriku tampak acak-acakan. Aku dehidrasi.
Sampailah aku di dapur yang beralaskan pualam. Mata sayuku terangkat dan langkah kakiku terhenti seketika. Pasalnya ada seorang pria tengah memasak di dapur. Begitu telaten pria itu memasak. Seakan memahami segala apapun di dapur. Perawakannya bukan seperti Kakakku. Dia seperti, kamu. Glek! Iya, itu kamu.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu kerja? Bagaimana kamu tahu aku di rumah sedang sakit?" aku memberondong segala pertanyaan ke arahmu.
Kamu terdiam dan tak memedulikan keterkejutanku. Masih asik memotong wortel juga kentang. Begitu lihai. Aku baru tahu kamu bisa memasak.
Tahu jika tidak digubris pertanyaanku. Aku melenggangkan kakiku yang terhenti menuju ke sisi dapur. Aku hanya mengambil air dan membiarkan kamu tenggelam dalam dunia yang kamu kerjakan.
Air satu gelas sudah kutenggak sampai abis. Setidaknya rasa dehidrasi ini berkurang. Aku tidak ada niatan untuk mengganggumu memasak dan lebih memilih duduk di sofa ruang tamu, di mana dapur dan ruang tamu berhadapan. Kurebahkan diri di atas sofa, meringkuk. Membiarkan diriku kembali terlelap.
Sekilas, aku melirik. Begitu terlatih kamu memasak. Raut wajahmu serius. Peluh mulai bercucuran di wajahmu. Diam-diam aku merasa nyaman dan tenang saat kamu ada di sini. Ada rasa membuncah dalam diriku. Senang melihatmu pergi menemuiku tanpa memintaku terlebih dahulu untuk menemuimu. Apa aku harus sakit, biar kamu selalu seperti itu? Ah, aku merindukan kamu yang dulu.
Rasanya, baru saja mataku terpejam. Ada yang menyentuh dahiku, tangannya dingin. Sepertinya seseorang sedang mengecek suhu tubuhku. Kubuka mataku perlahan, remang-remang kumelihat sosok pria yang sama di dapur. Pria itu membawa sebaskom air hangat juga handuk kecil. Kemudian mengopreskannya ke dahiku. Sepertinya kamu sangat memperhatikanku. Apa kamu khawatir? Entah kenapa, saat seperti inilah aku dapat merasakan hadirnya cintamu.
Kamu Perhatian?
Entah sudah berapa lama aku tertidur. Ketika aku membuka mata, ternyata hari sudah malam. Aku memijat kepalaku, rasanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum. Entah sampai kapan rasa sakit ini mereda. Dan ... tunggu! Aku di mana sekarang? Di kamar? Seingatku aku tertidur di sofa, kenapa sudah bisa ada di kamar? Apakah ... apakah dia yang menggendongku ke kamar? Aku tersenyum getir. Sejak kapan dia perhatian padaku?
Dari arah luar kamar, kudengar sayup-sayup suara yang sangat kukenal. Perlahan, aku jejakkan kaki ke lantai. Merambat apapun untuk bisa sampai ke daun pintu. Menengok sebentar.
Ketika aku tiba di depan pintu, aku melihat kakakku datang dengan pakaian kantornya yang sudah lusuh. Dia tengah berbicara dengan seseorang, seseorang yang sama saat aku menatapnya di dapur. Ah, ternyata dia benar-benar menjagaku?
"Thanks, ya, Bro. Udah jagain adik gue satu-satunya," ucap kakak tersenyum sumringah pada pria dingin itu.
Pria dingin itu hanya tersenyum kecil dan mengangguk. "Sama-sama. Ini karena ulah gue juga." What? Dia bilang apa? Aku tidak salah dengar, kan? Sejak kapan dia menyalahkan dirinya sendiri?
Kepalaku semakin pening, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus kembali ke ranjangku. Tertatih aku menuju ranjang. Kemudian, aku memaksa memejamkan mata. Meskipun sangat susah kulakukan, karena aku memiliki banyak pertanyaan di otakku.
Dua menit berlalu, gagal. Aku tidak bisa memejamkan mataku. Kudengar derit pintu terbuka.
"Masih pusing?"
Aku mengangguk lemah. Kakakku menghela napas berat. Menyeret langkahnya ke arahku, duduk di tepi ranjang. Tangannya yang lebar menyentuh keningku.
"Kamu harus ke dokter. Panasmu belum turun juga."
Aku menggeleng sekuatku.
Tiba-tiba tangan lebar itu menyentilku pelan. Aku mengaduh, menatap sengit ke arah kakakku yang masih bermuka datar. "Batu," ucapnya. Dan dia berjalan keluar.
Pikiranku masih berkecamuk hingga aku memutuskan memanggil kakak, "Kak."
Kakak berbalik ke arahku dan bergumam, "Hemm?"
Ada jeda sejenak, "Kenapa dia ada di sini seharian ini?"
Kakak tidak bertanya, karena kakak tahu siapa yang aku maksud.
"Aku menyuruhnya menjagamu. Dan ajaibnya, dia datang untuk menemanimu seharian ini," jawabnya yang langsung diakhiri dengan tutup pintu kamarku.
Aku masih setengah terkejut, sejak kapan dia ... mulai memperhatikanku?
Malam ini, aku kembali tidak bisa tidur bukan karena hebatnya rasa pusingku.
Apaan Sih?
Pagi ini aku terbangun dengan meringis ketika merasakan kepalaku semakin sakit. Rasanya ada jarum yang berkali-kali menusuk kepalaku. Tanpa sadar aku menggigil di balik selimut. Aku benar-benar tidak kuat, bahkan aku menggumamkan parauku. Susah payah, kulirik ke arah jam dinding yang menempel di dinding kamar dekat jendela. Aku meneguk ludah untuk membasahi kerongkongan, pagi ini aku yakini harus menahan sakit ini sendirian. Kakak pasti sudah berangkat ke kantornya.
Sayup-sayup, aku mendengar sebuah ketukan yang sangat menggangguku. Belum sampai ketukan ketiga, pintu kamarku sudah dibuka oleh seseorang. Susah payah aku menatap orang itu.
Deg!
Aku menelan lagi ludahku. Orang itu adalah dia. Kulihat wajahnya yang menyiratkan khawatir. Tunggu! Dia bisa menampilkan sikap khawatirnya? Belum genap aku menceracau keanehan sikapnya, kedua tangan kekar orang itu merengkuhku, menggendongku ke dada bidangnya. Aku perlahan mencium aromanya yang menenangkan. Tanpa sadar, aku pun tak sadarkan diri.
***
Aku mengerjapkan mata perlahan, bau etanol menyeruak di hidung kecilku. Aku memijat kepala perlahan, rasanya sudah mendingan. Aku pun benar-benar tersadar tengah berada di rumah sakit saat kulihat ada selang infus di punggung tanganku.
Aku menoleh, merasakan sedari tadi genggaman hangat di tanganku. Kulirik pria yang menggendongku tadi, dia tengah memejamkan matanya, sangat lama. Apakah dia tertidur?
Brak!
“Dek!” seru seseorang dengan tanpa dosa membuka pintu kamar inapku.
Sontak, pria yang menggenggamku langsung melepaskannya begitu saja. Dia terkesiap dan berusaha memijat pelipisnya karena terjaga mendadak. Langsung memberi sedikit ruang untuk seseorang itu menghampiriku.
“Maafin Kakak, Dek. Maaf,” ujarnya sambil menggenggamku dalam tangisannya. Aih, kenapa mellow gitu sih Kakak?
“Kak, sudahlah. Aku baik-baik saja. Tidak malu dengan Bagas?” aku mencoba tersenyum.
Kakak yang menyadari kehadiran Bagas, mulai menghapus air matanya dengan kasar. Berdeham dan melepaskan gengamnya. Kemudian, berbalik ke arah Bagas yang masih berdiri menatapnya dengan datar.
“Terima kasih,” sahut Kakak dengan pelan. Masih tidak ingin menunjukkan mukanya di depan Bagas. Mungkin dia masih malu atas perlakuannya tadi.
Bagas menggeleng, “Dia sudah jadi tanggung jawab gue juga, Ndra.”
Eh? Maksudnya apa? Sudah jadi tanggung jawabnya? Dia bicara apa sih?
“Apaan sih? Sejak kapan aku jadi tanggung jawab kamu?!” ketusku. Enak saja dia mengaku seperti itu.
Bagas mengernyit. Kulihat dia menghela napas pelan. Kemudian, dia memilih keluar dari ruanganku. Kan, menyebalkan sekali!
Astaga!
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Kucoba memejamkan mata agar cepat tidur. Kakak sudah balik lagi ke kantor karena dia masih memiliki pekerjaan yang tadi ditinggalkannya. Dengan masih setengah sadar, kudengar pintu ruangan berdecit pelan disusul dengan suara langkah kaki yang tak terlalu terdengar berisik. Kucium aroma yang sangat familiar, hingga kurasakan sesuatu yang menempel di keningku dengan sangat lama. Perlahan aku mengintip pria itu. Bagas tengah mencium keningku. Eh? Menciumku?! Terlepas dari kekagetan, aku membiarkan Bagas mencium keningku dengan sangat lama. Kenapa aku merasakan kehangatan di hatiku?
***
Beberapa hari kemudian, aku diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Aku sangat bernapas lega, mengingat rumah sakit tidak akan dengan senang hati menyediakan makanan dan jajan yang berada di pinggir jalan. Akhirnya aku bisa dengan bebas memakan apapun, pergi ke mana pun, kuliah dan bertemu teman-teman.
“Wah, sumringah banget sih kamu, Dek!” seru Kakak dengan tertawa. Aku menatap tajam ke arahnya.
“Berisik!” cetusku.
Aku semakin mempercepat langkahku ke parkiran mobil Kakak, meskipun masih sedikit lemas. Aku melipat dada, bersandar di pintu mobil, menunggu Kakak membuka kuncinya.
Kakak terkekeh, mengelusku perlahan dan membukakan pintu. Sebelum menstarter mobil, deringan hp Kakak terdengar.
“Eh, Gas. Kenapa?
“…”
“Oh, Dina? Dia baru resmi keluar dari rumah sakit.”
“…”
“Oh, oke. Selamat kerja, Bro!”
Kakak menutup teleponnya, menatap ke arahku.
“Dek, tadi yang telepon Bagas. Oh, ya, dia lagi keluar kota, ketemu koleganya.”
Jadi, dia beberapa hari ini tidak ada di sekelilingku, karena sedang ada di luar kota?
“Dia bakalan balik beberapa hari lagi,” tambah Kakak.
“Kok Kakak jelasin panjang lebar kesibukan dia ke aku?” tanyaku dengan kesal. Apa pula hubungan aku sama dia? Ya, iya sih. Aku memang menyukainya, selalu menurut perkataannya.
Kakak menyentil keningku, “Cuma ngasih tau aja kok.” Kemudian, Kakak mulai menjalankan mobilnya.
Selama perjalanan, entah kenapa aku lebih suka terdiam. Menghela napas perlahan. Memejamkan mata mungkin adalah pilihan yang cocok untuk saat ini.
Hingga sebuah suara mulai membangunkanku. “Dek …”
Terjeda. Aku menatap Kakakku yang menggantungkan kalimatnya. Dia tetap fokus membelah jalanan dengan mobilnya.
“Kalau kamu dilamar dengan Bagas, gimana?”
“Hah?!” seruku tak tertahankan. Kakak menutup telinga kirinya dan mendengus. Aku tidak bisa lagi memejamkan mataku kali ini. Jantungku bertalu-talu dengan hebatnya. Astaga!
Jawaban?
Memang wajar, bila sepasang kekasih yang telah bersama bertahun-tahun akan memilih untuk meresmikan hubungan di mata agama dan hukum.
Sedangkan, aku dan kamu?
Awalnya, aku mengenalmu sebagai teman dekat Kakakku. Kalian kerap kali bersama. Tak jarang pula, kamu selalu menyempatkan ke rumah kami. Dari situlah kita bertemu dan berkenalan dengan … baik?
Rasanya aku ingin tertawa dengan keras. Bahkan, sejak pertama kali kita bertemu. Kamu hanya menjabat tanganku, mengenali diri, kemudian beralih menuju Kakakku yang sedang asyik berkutat dengan game di sofa.
Beberapa hari kemudian pun, kamu tetap seperti itu. Berbicara denganku seperlunya, kemudian meninggalkanku tanpa pernah mengajakku berbicara lebih jauh. Kamu benar-benar dingin.
Hingga suatu hari, kita kerap pulang bersama. Kakakku yang menyuruhmu. Alasannya, karena kantormu dekat dengan kampusku. Astaga! Saat itu, aku ingin sekali meneriaki Kakak. Bagaimana Kakak bisa merepotkan sahabatnya sendiri? Padahal, aku bisa pulang sendiri dengan angkutan umum.
Dimulai dari kebersamaan itulah, kamu menjadi sering mengajakku kemana pun yang kamu titah. Entah kenapa aku menurutinya. Mungkin karena aku ingin berterima kasih dengan menuruti titahmu. Namun, kebersamaan inilah yang membuatku terperangkap semakin jauh untuk mencintaimu.
“Dina, kamu bisa mengandalkanku dalam segala hal.” Itulah perkataanmu yang cukup panjang menurutku selama mengenalmu. Sejak saat itu, kita semakin tak terpisahkan. Kamu tanpa ragu mengajakku ke pesta-pesta pribadimu dengan keluarga dan kerabat kantormu. Tetapi, kamu masih memilih untuk mendiami aku. Menjadikan aku pajangan yang tak perlu kamu anggap untuk bicara lebih jauh. Aku benar-benar muak. Sampai kapan aku harus bersabar untuk kamu diami? Apakah bisa menyelami rasa dengan saling berdiam diri?
Dug …
Aku tertabrak sesuatu. Ah sial, kenapa aku bisa melamun panjang seperti itu?
Dan tunggu … bau ini …
“Sudah selesai?” Tanya pria bertubuh jangkung di depanku. Sontak aku mendongak dan mendapati … kamu.
Aku mengangguk patah-patah.
Kemudian kamu berbalik dan melangkah. Aku tahu ke mana kamu akan pergi dan memilih untuk mengikutimu. Kutatap punggungmu yang begitu kokoh dan kulihat gagahnya dirimu. Ingin sekali kurengkuh punggung dingin itu, menyalurkan kehangatan, sehingga aku bisa mencairkan dinginnya diam ini.
Mobil hitam itu masih sama sewaktu pertemuan pertama kita. Kamu memang menjaganya dengan baik. Setelah kamu membuka pintu mobil, aku segera duduk manis di sampingmu. Saat aku sedang memakai savety bealt, aku mendapati kamu sedang menatapku dengan … datar.
Aku mendadak gugup. Apa kamu sedang ingin berbicara sesuatu hal penting padaku?
“Apa jawabanmu?” tanyamu yang meluncur begitu saja. Aku mengernyit. Jawaban?
Aku melihatnya sedang menghela napas saat melihat kebodohanku. “Aku tanya, bagaimana jawabanmu tentang lamaranku?”
Ucapnya penuh penekanan. Untuk sesaat aku merasakan lidahku kelu, tatapanku tak bisa lepas dari tatapan datarmu. Dan entah mengapa, aura dingin yang menyelimuti kita berubah menjadi hangat.
Pulang
“Kenapa?” Akhirnya aku bersuara, mencoba agar nada suaraku tidak terdengar aneh.
Kamu menatapku datar dengan manik mata kecokelatanmu yang menghunjam ke arahku. Entah kenapa, mendadak aura di antara kita berubah menjadi sangat dingin. Bahkan, aku seakan tersedot dengan aura aneh ini sehingga aku tergugup.
“Ma-- Maksudku, kamu kenapa melamarku? Bu-- Bukannya, kita tak pernah membicarakan sesuatu dengan serius? Bahkan, kita tidak seperti seorang kekasih. Jadi-- aku tak tahu perasaanmu, meskipun kamu melamarku, aku-- tak tahu alasanmu,” jelasku panjang dengan susah payah menahan gugup tanpa menatap kedua manik mata indahmu.
Kudengar kamu menghela napas dengan kasar, sepertinya kamu tengah frustrasi menjawab semua omonganku. Tiba-tiba aku merasakan tangan kekar yang menyentuh daguku. “Hei, tatap aku. Aku akan menjawabnya.”
Kugenapkan hati untuk menatap kedua manik itu yang kini tengah menyiratkan sesuatu. Dari situlah aku merasa dia tersenyum tipis ke arahku. Entahlah …
“Kenapa aku melamarmu? Karena hanya kamu yang aku inginkan. Benar, kita memang tidak pernah berbicara dengan serius, tetapi aku telah menjadikanmu kekasih sepihakku. Bagaimana perasaanku padamu? Jawaban di poin pertama tadi sudah mewakilinya, kan?”
Aku terperangah. Ini pertama kalinya kamu berbicara panjang lebar dan seserius ini padaku. Apa kamu sudah berubah? Apa kamu sudah mencairkan diammu dengan berbagai macam perkataan yang keluar dari mulutmu? Apa kita akan selalu berbicara sepanjang ini?
Aku beralih menatap ke arahmu. Kulihat dirimu yang membutuhkan sebuah jawaban. Aku menghela napas perlahan. Mungkin, perkataanmu adalah kebenaran selama ini. Meskipun aku tak tahu untuk apa kamu mendiami aku di saat kita bersama.
Hati dan pikiranku tersinkron penuh dengan jawaban yang akan aku berikan padamu. Mungkin, ini adalah keputusan yang tepat untukku dan untukmu. “Ya. Aku menerima lamaranmu.”
#
Sejak lamaran itu, aku dan kamu belum bertemu lagi. Bahkan, telepon dan chatting-mu yang bossy itu belum lagi kuterima. Biasanya, dalam dua hari sekali kamu akan memintaku menemanimu ke mana pun – melihat aktivitasmu tanpa sebuah obrolan.
Aku menghela napas perlahan, kenapa aku jadi sekhawatir ini?
“Na! Ngelamun aja!”
“Ish, apaan sih, Kak?!” bentakku. Seenaknya saja Kakakku ini mengagetkanku.
Kakak langsung duduk di sampingku begitu saja, mengabaikan tatapan memuja dari kalangan mahasiswi di kantin.
“Kakak ngapain di sini? Bukannya kerja malah ke kampus. Dasar makan gaji buta,” cetusku lagi.
Kakak mengelus puncak rambutku. “Kakak mau minta tolong sama kamu, Dek.”
Aku mengerutkan kening, “Minta tolong apa? Kan bisa diomongin di rumah dan bisa telepon juga.”
“Enggak bisa, Dek. Acaranya nanti malam. Dan … Kakak yakin kamu bakalan nolak makanya memilih datang ke sini ngebujuk kamu.”
Aku memutar bola mataku. “Kalau udah tau aku bakalan nolak kenapa minta tolong juga ke aku? Emang minta tolong apa sih?” tanyaku dengan gemas sambil menikmati es teh.
“Gini, Dek. Kakak butuh temen ke acara reunian. Temenin, ya, Adekku sayang.”
Aku yang sedang asyik minum es teh di teriknya siang hari ini pun tersedak.
“Enggak, enggak. Ogah!” sergahku.
Kakak yang sudah tahu mendapat penolakan pun tak tinggal diam dan melancarkan aksinya dengan menatap sendu ke arahku. “Yah, Dek. Kakakmu ini bisa dicibirin orang kalau belum bawa gandengan.”
Aku tertawa keras di hadapannya. “HAHAHA … Makanya, Kak. Cari pacar. Lagian, ya. Kakak ini ganteng kok. Cuma, ya, es batu! Dingin banget jadi orang. Gimana ada yang kuat cewek-cewek sama kamu, Kak?” cerocosku sambil menahan tawa.
Kakak mendengus kesal, “Au ah, bukannya dibantuin, malah dikatain. Cukup tau Kakak, Dek.”
Wah, gawat nih. Kakak tercintaku merajuk.
Aku menghentikan tawaku yang sedari tadi tak berhenti, “Kenapa enggak ajak si Bagas? Kalian satu angkatan, satu kelas, temen sebangku dan satu sikap tuh. Duh, Kak, aku curiga kalian ada apa-apanya deh.”
“Berisik, ah. Lagian, ya, dia itu enggak suka keramaian kayak gitu. Dia jelas beda sama Kakak yang suka keramaian.” Kakak memilih berdiri meninggalkanku dengan kesal.
Aku menarik pergelangannya hingga membuatnya berhenti. “Karena Adekmu ini sayang denganmu. Baiklah, kutemani.”
#
Tibalah kami di salah satu gedung ternama di ibu kota. Gedung ini sudah disulap dengan apik menjadi pesta para anak muda. Aku memakai gaun merah selutut dengan lengan terbuka, tak lupa rambut panjang kubiarkan tergerai bergelombang yang kubuat dengan catokan. Kakak memakai kemeja putih yang berada di balik tuxedonya serta celana bahan dan pantopel yang menghiasi jenjang kakinya.
Saat memasuki gedung itu, aku menggamit lengan kekar Kakak. Entah aura apa yang terpancar pada kami sehingga kami tiba-tiba menjadi tontonan publik seperti ini.
“Kak, mereka ngeliatin kita kayak mau makan kita hidup-hidup. Ngeri! Bulu kuduk Adek merinding tiba-tiba,” bisikku pelan.
Kakak terkekeh, “Kakakmu ini salah satu most wanted semasa SMA. Ya, jelaslah. Kita bakalan jadi tamu yang ditonton.”
Aish, pedenya tinggi sekali. Ya, aku akui sih. Kakakku tampan dan memang menjadi incaran banyak wanita sama seperti Bagas.
Kakak melangkahkan kakinya menuju pria-pria yang kuduga adalah teman-temannya.
“Woy, Ndra! Gila-gila lu dateng sama siapa? Pacar?” tanya seseorang dari kerumunan pria itu.
“Sembarangan lo! Ini Adek gue, Dina,” jawab Kakak dengan datar selempeng jalan tol.
“What? Dina? Serius? Gila! Makin cantik aja dia. Gue pangling coy!”
Aku bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Kakak menganggap pujian itu acuh tak acuh. Aku yang merasa salah tingkah pun memilih meninggalkan kerumunan pria itu. “Kak, aku mau ambil minum. Mau enggak?”
Kakak mengangguk, “Kakak temenin?”
Aku mencegah, “Eh, enggak usah. Kakak udah lama kan enggak ketemu mereka. Udah sana puasin kangen-kangenan.”
Kakak tersenyum, mengelus puncak rambutku, “Oke, jangan lama-lama, ya.”
Aku tersenyum manis, “Siap, Bos!”
#
Aku melangkahkan kaki menuju meja yang berisikan minuman bersoda merah. Meneguknya dalam sekali tegukan.
“Haus atau malu, Din?” tanya seorang pria yang sudah berada di sampingku. Aku terkejut, untung saja aku tidak menyemburkan isi air di mulutku. Bisa jatuh harga diriku.
“Eh, Kak. Ngagetin aja astaga,” sahutku mengelus-ngelus jantungku.
“Aldo. Itu nama gue. Pertanyaan gue belum dijawab,” senyum pria itu dengan matanya yang belum juga beralih dari kedua manik mataku.
“Sebenernya, Kak Aldo, aku tuh enggak biasa dapet pujian kayak gitu dari senior-senior most wanted kayak kalian,” jawabku dengan malu-malu.
Kak Aldo terkekeh, “Astaga, Din. Lo polos banget! Lagian, ya, gue yakin banyak yang sekarang suka sama lo. Ya, kan?”
Aku mengangguk mengiyakan. Memang banyak yang menyatakan cinta padaku dari senior, seangkatan, bahkan adik tingkat. Tetapi, hatiku hanya sudah miliknya seorang.
“Kayaknya gue juga bakalan jadi salah satunya, Din,” ucap Kak Aldo yang memberikan tatapan intens kepadaku. Aku agak risih dengan perlakuannya. Apa dia barusan mengatakan suka padaku?
“Dina!” teriak suara berat yang tak jauh dari keberadaanku.
Aku dan Kak Aldo menoleh ke asal sumber suara dan mendapati seseorang, seseorang pemilik hatiku.
Orang itu melangkah ke arahku dengan cepat, menarik pergelangan tanganku. “Pulang,” ucapnya dengan nada dingin.
Manis?
Aku melepas genggamanmu di pergelangan tanganku. “Apaan sih Bagas? Aku ke sini sama Kak Indra. Enggak bisa aku tinggalin gitu aja. Kasian Kak Indra udah lama enggak ngobrol sama temennya. Ini kesempatan bagus, kan?” ucapku setengah berbisik ke arahmu.
Setelah perkataanku, kamu menyugarkan rambut hitammu. Terdengar helaan napas dari bibirmu. “Baiklah. Tapi kamu harus berada di dekatku terus,” perintahmu.
Aku menghela napas perlahan, selalu saja seenaknya. Aku menganggukkan kepala padamu.
Kak Aldo yang melihat interaksi kita pun membuka suaranya dengan dehaman.
Sontak aku dan kamu mengarah padanya.
“Dina, kamu kenal dengan Bagas?” tanya Kak Aldo yang mengarah padaku.
Aku membuka mulutku, tetapi sebelum itu kamu malah mengambil alih jawabanku. “Iya. Kami sudah tunangan,” ucapmu tanpa beban sambil menarik pinggangku.
Aku mendelik ke arahmu. Apa-apaan kamu ini? Kamu yang tahu protesku hanya mengedikkan bahu.
“Benarkah? Ah, tidak seharusnya aku ganggu wanita yang sudah bertunangan. Maafkan aku, Bagas,” ucap Kak Aldo dengan nada getir.
“No, problem. Gadisku ini memang membuat siapapun terpesona. Ah, ya, kita sudah lama tak berjumpa, Do,” sahutmu dengan merangkul bahu Kak Aldo.
Apa-apaan ini? Kenapa sikapmu berubah-ubah?
Aku yang semakin pening dengan sikapmu pun beranjak ke keberadaan Kak Indra bersama teman-temannya.
“Hay, Kak,” sapaku sambil mengambil duduk di sebelah Kak Indra. Seketika ketawa mereka terhenti dan beralih menatapku.
“Hey, kamu ke mana aja? Hemm …” tanya Kak Indra sambil merangkul bahuku.
“Abis ambil minuman. Terus ketemu pawang aku,” jawabku tanpa minat.
Kak Indra dan teman-temannya mengernyit tak mengerti. Sebelum ada yang bertanya, seorang pria dengan gagah duduk di bangku kosong yang berada di sampingku. Tanpa melihatnya, hanya dengan mencium aroma mint-nya tentu saja aku tahu siapa pria itu. Tanpa peduli aku meneguk air minumku yang setengah hingga kandas. Sedangkan pria-pria di sekelilingku hanya menatap heran ke arah pria di sampingku.
“Widih, ada angin apa nih? Enggak biasanya dateng ke acara kayak gini lu, Gas,” celetuk seseorang yang tepat berada di seberangku.
Tanpa memedulikan pertanyaan yang terlontar ke arahmu, kamu menatap tajam ke arahku. “Aku kan udah bilang, jangan jauh-jauh dari aku, Dina,” tekanmu yang membuat bulu kudukku merinding.
Semua pasang mata menatap ke arahku dan ke arahmu dengan tatapan bertanya. Aku meneguk salivaku. Senggolan dari sebelahku berhasil mengusikku.
“Dek, ini yang kamu maksud pawangmu? Sial, kok dia bisa tau sih kita di sini?” tanya Kak Indra dengan panik.
“Kakak lupa? Dia pasang pelacak di HP-ku. Bukan Cuma HP-ku, tapi di HP Kakak juga. Lagian, kenapa Kakak bisa lupa sih matiin HP?” tekanku pada Kak Indra dan hanya dijawab cengiran tak bersalah.
“Maaf, Dek, lupa.”
Aku memberenggut kesal. Rencana senang-senang kali ini batal. Padahal, aku bisa dengan leluasa bercengkerama dengan teman-teman Kak Indra yang kebanyakan most wanted di angkatannya.
Kesadaranku teralihkan saat kurasakan sesuatu menyentuh pipiku. Kulirik asal sesuatu itu. Kamu tengah mengusap pipiku dengan punggung tanganmu.
Semua pasang mata kembali menatap kami menuntut meminta jawaban. Aku meneguk salivaku. Tak biasanya pria kamu menunjukkan kemesraan. Dan kini kamu menunjukkan kemesraanmu di depan umum. Ah, apa beku hatimu sudah meleleh?
“Ada apa, Sayang?” ucapmu dengan lembut yang membuat rona pipiku memerah. Semua yang mendengarnya langsung terkaget melihat sikap manisnya di hadapanku.
“Weits, ada apa nih? Sayang? Lu kenal sama adiknya Indra, Gas?” celetuk pria berkumis tipis di samping Kak Indra.
Kamu menatap ke arah suara itu dengan senyuman. Ah, baru kali ini aku melihat senyummu yang sungguh menawan hati. Bisakah kamu menampilkan sesering mungkin senyummu padaku?
Di tengah lamunanku, aku merasakan seseorang tengah mengelus rambut hitam panjangku. Aku mendongak dan mendapati tangan besarmu tengah mengelus rambutku dengan pelan. Kulihat kamu menatapku intens lalu menatap ke arah seseorang yang bertanya tadi. “Dia calon istriku.”
Aku tercekat, kurasakan sejenak aku menahan napas mencerna perkataannya yang … manis?
Description: Diam. Suatu kata yang menjadi pilihan di saat semua suasana tak mendukung. Bungkam adalah yang terbaik. Diam bukan berarti tak mengerti apapun, tak memahami apapun, tak memedulikan apapun.
|
Title: RAHASIA SUAMIKU
Category: Fan Fiction
Text:
Kejutan dari Mas Rendi
"Assalamualaikum." Terdengar suara suamiku, Mas Rendi."Waalaikum salam, loh.. Ayah kok udah pulang?" tanyaku penasaran. Tampak Mas Rendi memasuki rumah dengan langkah tergesa. Mas Rendi hanya diam, dan tidak menjawab pertanyaanku, bahkan menoleh ke arahku pun tidak.Mas Rendi berlalu begitu saja melewatiku yang ada di ruang tengah.Hingga aku tak lagi menangkap sosok Mas Rendi dari pandanganku.Biasanya Mas Rendi pulang kerja saat sore hari, namun ini masih siang.Tumben sudah pulang? ada apa ya? hatiku mulai bertanya tanya.Aku masih menyusun mainan lego milik anakku, Nana. Nana ingin aku membuatkan rumah kecil dari lego.Karna sudah hampir jadi, aku memasang asal bagian atap rumah lego itu, dan ingin segera pergi menemui suamiku, Mas Rendi."Nana sayang tunggu sini ya, Nana nonton tv dulu di sini, jangan kemana mana ya, Mama mau bicara dengan Ayah sebentar."Ucapku membertitahu Nana, kemudian beranjak pergi menemui mas Rendi.Aku meninggalkan Nana yang tengah asyik menonton TV di ruang tengah.Setelah ku cari cari di sekitar rumah, ternyata Mas Rendi ada di kamar, terduduk di bawah lantai dengan kepala tertunduk. Sekali melihatnya saja, aku sudah tahu dengan pasti, jika Mas Rendi sedang ada masalah.Mungkin Mas Rendi kehilangan tender dalam bisnisnya, atau merugi dalam pengerjaan tendernya.Karena aku hafal sekali dengan sikapnya jika di perusahaan sedang ada masalah.Namun ada satu hal yang berbeda kali ini, tidak biasanya Mas Rendi pulang kerja secepat ini. Meskipun Mas Rendi pemilik perusahaan, Mas Rendi mendisiplinkan dirinya dengan jam kerja yang dia tentukan, yaitu pukul 9 pagi hingga pukul 3 sore."ada apa sayang?"Aku mendekatinya dan memeluknya, ini biasa ku lakukan untuk menenangkan suamiku.Tak kuduga Suamiku membalas pelukanku dengan lebih erat, bahkan menangis di pelukanku. Hatiku bergetar, ku eratkan pelukanku dan mencium kepalanya.Baru kali ini aku melihat mas Rendi menangis sedu. Hatiku bergetar, orang yang ku cintai menangis, kini aku mulai membayangkan ketakutan yang belum ku ketahui. "Ada apa sayang? jangan nangis dong, masa udah bapak bapak nangis sih, malu sama Nana ih" aku berusaha menggodanya."Tuhkan, jadi jelek kaya boneka mampang! hahaha ..." aku mendekat menelisik wajahnya dengan tawa gurauan agar Mas Rendi tertawa.Namun bukannya mereda, tangisnya semakin pecah dan semakin terdengar pilu, seperti seseorang yang sedang kehilangan. Hatiku bercampur aduk di buatnya."Mas... ada apa mas?" Suaraku mulai bergetar.Sepertinya ini masalah serius. Kali ini aku tak bisa bermain main untuk menggodanya lagi.Hal hal buruk semakin membayangi hatiku.Apa Mas Rendi bangkrut? apa mas Rendi sakit parah? ah, ada apa ini? aku menahan diri untuk tak bertanya di saat mas Rendi kalut seperti ini.Aku masih setia berlama lama memeluknya, menjadi penopang gundahnya, meski aku belum mendapat jawaban apapun. Padahal sesungguhnya hatiku mulai rapuh mendengar tangis mas rendi yang membuatku takut."Maafkan aku" ucapnya tiba tiba."Ada apa Mas? hmmm??" aku mengusap rambutnya pelan."Maafkan aku, Dewi."Ucap Mas Rendi sekali lagi.Aku masih menahan diri untuk tak memaksanya bercerita. Namun, detik demi detik terasa begitu lama, membuatku tak kuasa menahan diri."Mas, jawab aku.. ada apa ini sayang?"Aku meminta penjelasan.Namun Mas Rendi masih bungkam."Sayang, tatap aku, cerita sama aku, ada apa?"kini mataku dan mata mas Rendi saling menatap. Aku menangkap rasa ketakutan yang besar di matanya, aku membalas dengan tatapan kepercayaan yang tegas padanya. Kepercayaan bahwa, apapun yang terjadi aku akan selalu ada di sisinya."Permisi!"tok.. tok.. tok... "Permisi!"Suara ketukan seseorang di luar rumah memaksaku untuk pergi meninggalkan suamiku."Aku ke depan dulu ya mas" aku melepaskan tangannya yang sedari tadi menggenggam tanganku.Melangkah menuruni anak tangga, membukakan pintu untuk seseorang di luar sana.Deg!!!Jantungku seakan berhenti berdetak, Ada 2 orang anggota polisi di depanku.Baru saja hatiku gusar karna sikap Mas Rendi, kini ada 2 anggota polisi di depan rumahku, yang membuat lututku terasa lemas.Ya Allah, ada apa ini?? "Selamat siang.""Iya pak, selamat siang. Ada apa ya pak?""Apa benar ini rumah saudara Rendi?" polisi itu bertanya padaku."I-iya pak benar" jawabku terbata dan takut."Apa bisa kami bertemu dengan saudara Rendi?""Ada apa ini ya pak?" tanyaku dengan hati berkecamuk."Apa bisa kami bertemu saudara Rendi?"polisi itu mengulang pertanyaannya."Silahkan masuk pak," ucapku mempersilakan.Air mataku mulai menetes luruh di pipiku, Hatiku begitu gusar, langkah ini terasa begitu berat, aku menghampiri Mas Rendi dan memeluknya.Ya allah, lindungilah suamiku.Hanya itu yang berkali kali ku minta dari dalam hatiku.Mas Rendi tidak menampakkan keterkejutan saat aku memeluknya sambil menangis. Bahkan, mas Rendi seperti sudah tahu jika ada polisi mencarinya."Mas, ada polisi mencarimu di depan," ucapku lemah."Mas, ada apa mas?" aku menatapnya gundah.Mas Rendi menghapus air mataku, memandangku lekat tanpa bicara. Banyak sekali penyesalan terpancar di matanya.Mas Rendi memelukku sesaat, kemudian pergi meninggalkanku menemui dua polisi yang sudah menunggunya di depan. Aku segera berjalan mengekori Mas Rendi."Saudara Rendi, anda kami tahan atas tuduhan tindakan pembunuhan, silahkan ikut kami ke kantor polisi."Jantungku syok bagai tersambar petir, saat mendengar pernyataan tuduhan untuk suamiku.Salah satu polisi memborgol suamiku dan menggiringnya ke dalam mobil polisi."Pak, ga mungkin pak! suami saya orang baik! pasti bapak salah orang!" aku menegaskan kedua polisi itu, memegang tangan mas Rendi, menahannya di sisiku.Kedua polisi itu tetap saja menggiring mas Rendi tanpa memperdulikan aku yang mempertahankannya."Pak!, jangan bawa suami saya!" ucapku semakin berteriak dan panik."Maaf bu, silahkan ibu datang kekantor polisi untuk menindak lanjuti hal ini."Polisi itu menghadangku yang sedang menangis, aku berusaha menggapai suamiku yang tak ikhlas ku lepas.Namun aku hanya bisa pasrah, aku ambruk di aspal jalanan depan rumahku. Kakiku seakan tak sanggup untuk menjejak bumi.Aku tak mampu mencegah dan mempertahankan suamiku yang begitu ku cintai.Aku jatuh terduduk menangis di pinggir jalan depan rumahku, memikirkan mas Rendi. Kini tak ku pedulikan lagi jika aku di kelilingi banyak mata tetanggaku.Menjadi tontonan dan bisik bisik keprihatinan mereka padaku.
Tak berdaya
"Mama ...""Mama ... "Suara kecil Nana berkali kali memanggilku, namun aku acuh. Bagiku Nana bukan hal terpenting saat ini, aku masih syok dengan kejadian tadi. Yang aku pikirkan hanya mas Rendi, hatiku tak rela jika mas Rendi di perlakukan seperti ini, aku yakin mas Rendi tidak bersalah, aku percaya mas Rendi hanya di fitnah.Aku ingin mengelak, membela, dan melindungi suamiku sebisa mungkin.Perasaan tak rela kini memenuhi relung hatiku.Aku tahu betul suamiku, mana mungkin dia membunuh seseorang.Bahkan dia sendiri yang sering bilang bahwa nyawa itu sangat berharga, sehingga balasan yang paling pantas dari membunuh adalah di bunuh!Aku percaya dan yakin mas Rendi bukan pembunuh, namun satu hal yang membuat kepercayaanku goyah, yakni tatapan mas Rendi padaku. Aku masih ingat jelas tatapan nanar di matanya saat minta maaf. Tatapannya terlihat seperti seseorang yang menyesal dan bersalah. Bukankah, orang yang minta maaf adalah orang yang membuat kesalahan?!Berarti Mas Rendi memang bersalah?Benarkah begitu?Ah, tidak mungkin! Aku menepis pikiran buruk itu berkali kali."Mama ...""Mama ..." hiks ... hiksss ... hiksss ... Nana mulai merengek, suara Nana berisik sekali, memekakkan telingaku, memenuhi kepalaku, dan menggangguku! "Diam!"Jawabku keras.Namun Nana menangis semakin keras, membuatku semakin frustasi menghadapi ini. Sekarang ini, yang aku butuhkan adalah pendukung dan tempat bersandar, bukan anak kecil yang rewel dan terus terusan menangis di sisiku!Aku akui, aku memang seorang Ibu, namun saat ini aku sedang muak menjadi ibu. Aku tidak ingin di bebani oleh rengekan Nana, walaupun Nana adalah anakku sendiri."Diaaaammm !!!!" "Mama bilang Diaaaam !!!! "Ucapku sekeras mungkin agar Nana bisa diam. Tangisan Nana benar benar mampu memancing emosiku, namun sekuat hati aku menahannya.Sejujurnya, tanganku sudah mengepal erat ingin memukul Nana agar dia bisa diam.Nana menghampiriku sambil terisak, tangisnya di paksakan berhenti hingga Nana terlihat kesulitan bernafas.Nana menggenggam tanganku kemudian mencium pipiku."Mama Nana maap ma... huu.. hu.. ""Nana minta maap ya ma"sambil sesenggukan menahan tangisnya Nana terus saja meraih tanganku dan mencium tanganku.Argh!Apa yang ku perbuat pada Nana? kenapa aku kesetanan meluapkan keresahanku padanya?!Nana, anak itu begitu luas hatinya. Menyayangiku dengan tulus.Menyadari ke egoisanku, aku memeluknya dan menangis di pelukan Nana."Maafkan Mama sayang" ucapku menyesal. Nana anakku,Dia begitu menyayangiku dan begitu membutuhkanku.Nana tetap berada di sisiku meski aku marah, Nana tetap berusaha berada di sisiku meski Nana takut saat aku meneriakinya.Mungkin, hati Nana sangat terluka oleh teriakanku yang seperti orang gila, namun anehnya, Nana semakin mendekatiku, bukannya takut kemudian pergi menjauhiku.Ah, hati anak kecil, hatinya selalu seputih kapas yang tak memiliki rasa benci meski hatinya terluka.Baginya, seorang Ibu adalah dunianya.Mungkin itulah alasan Nana memilih tetap di sisiku dan tidak lari saat aku marah.Aku mulai sadari, aku adalah sebuah dunia bagi Nana.Sekarang aku tak heran jika banyak anak kecil di luar sana yang di pukul hingga babak belur oleh orang tuanya.Karna sekarang kini aku tahu dan sekarang aku bisa melihat, bahwa seorang anak yang di pukuli tidak akan pernah berlari meninggalkan orangtuanya. Tidak ada niat sedikitpun untuk pergi meninggalkan orang tuanya dalam keadaan apapun.Seberapapun raganya sakit, dia akan tetap tinggal dan menangis. Seberapapun hatinya terluka di perlakukan kasar, seorang anak akan tetap memilih bersama orang tuanya sembari berharap sebuah pelukan, yang tak kunjung dia dapatkan, bahkan hingga tak bernyawa.Begitulah, memang tidak ada tempat yang lebih baik dan lebih nyaman selain memeluk Ayah dan Ibunya.Berkali kali ku ciumi Nana, ku peluk tubuhnya yang begitu kecil. Meyakinkannya bahwa aku menyayangi anakku. Meyakinkannya bahwa dia akan baik baik saja kali ini. Nana sayang, maafkan Mama nak, semoga hatimu terobati dari luka teriakan kasar yang ku buat di hatimu. Mama janji, mama akan lebih berusaha untuk menjagamu nak.Tok ... tok ... tokk ..."Permisi ... !!!!" tok ... tok ...tok ..."Permisi !!!"Siapa lagi yang datang?, pikirku, kenapa masih ada saja yang datang di saat aku butuh sendiri.Dengan langkah gontai dan malas, ku buka pintu rumahku, lagi lagi ada polisi di sana, ada apa lagi ini? batinku."Kami dari kepolisian selaku penyidik, meminta ijin untuk mencari barang bukti di rumah ini, sesuai keterangan dari pelaku. Di mohon untuk saudara Dewi, agar bisa bekerja sama,"Ucap salah satu penyidik dengan suara tegas dan lantang.Mau tidak mau aku mempersilahkan para penyidik menggeledah rumahku untuk mencari barang bukti.Sudah 10 menit barang bukti belum juga di temukan."Saudara Dewi, apa saudara melihat suami bergelagat aneh seperti menyembunyikan suatu benda?" tanya seorang penyidik.Aku mencoba mengingat, namun sungguh selama ini aku tak tahu. Dari kejadian Mas Rendi pulang dan menangis, hingga polisi menangkapnya beberapa menit yang lalu, aku merasa tidak ada tanda tanda Mas Rendi menyembunyikan sebuah barang bukti."Maaf pak, saya tidak tahu," hanya itu yang bisa ku jawab."Mama ... aaaa!!! ... Maem ma.""mama! nana lapen! mama ... aaa!"Ku dengar Nana mulai rewel meminta makan, kasihan Nana, dia pasti sangat lapar, karna aku belum memberinya makan, siang ini.Ku hampiri anakku, memeluknya dan memberi pengertian agar bersabar, karena sedang banyak tamu. Untungnya di kulkas ada puding yang ku buat tadi pagi, ku berikan puding itu pada Nana.Namun, mataku menangkap sesuatu berwarna merah kecoklatan di gagang pintu lemari es ku, tepatnya di bagian freezer.Apa itu? pikirku.Warna merah kecoklatan, noda dengan bercak tak beraturan membuatku bergidik.Warnanya seperti bercak darah yang mengering.Namun aku penasaran ...Hidungku mengendus, tapi baunya terasa samar.Ku buka pintu freezerku, ada gumpalan besar berwarna hitam.Mataku menyipit, dan terus mengamati.Benda ini, bukan aku yang meletakkan di kulkas. Apa ini ? tanyaku penasaran dalam hati.Refleks tanganku menggenggam gumpalan hitam itu untuk memastikan.Aaaa...!!!!Aaaa.. ..!!!!Aku berteriak keras, badanku luruh terduduk di lantai, bulu kudukku bergidik ngeri.Kutangkup ke dua telapak tanganku di wajahku untuk menutup rasa takutku."Huuueeekk...huueeek.." perutku terasa mual,tercium bau anyir di tanganku.Sungguh, tanganku merasakannya dengan sungguh sungguh.Aku memegang rambut lengkap dengan kepala seseorang.Komen cerita ini yuk 😊
Description: Mas Rendi adalah suamiku, seorang pengusaha sukses yang berparas tampan. Kami di karuniai seorang anak perempuan, keluarga kami begitu bahagia.
Namun, kepulangannya kali ini membingungkanku.
Dia, suamiku, menangis di hadapanku.
|
Subsets and Splits