text
stringlengths
1
7.56k
title
stringlengths
3
169
page_num
int64
1
770
extraction_method
stringclasses
3 values
Topeng Nengsih Seketika itu aku batalkan niatku. Segera aku berlari memasuki kamarku dan menutup pintunya rapat-rapat. Tak ada yang mampu aku lakukan untuk mengmlangkan derita ibuku tercinta. Aku hanya bisa menangis sambil memeluk bantaI dan berbaring di atas kasurku yang kuma!. Beberapa menit aku terbujur letih, kelopak mataku sedikit demi sedikit menutup seluruh pandanganku dan seketika itu tak mampu aku sadari lagi semuanya. Sinar matahari memasuki celah jendela kamar, seberkas cahaya terangnya merangsang kulit wajahku hingga hangat terasa. Aku pun tersadar danmulai mencoba membuka mataku yang lelah ini. Segera aku bangkitkan tubuh lunglaiku dan beranjak turun dari tempat tidur dengan masih mengenakan seragam sekolah yang lecek aku tiduri. Aku mulai melangkah meninggalkan kamar dan menelusuri ubin-ubin berdebu menuju ruang tamu. Namun, aku jumpai Paman Sa trio, saudara bapak sedang duduk santai dengan jamuan kopi pahit di atas meja. Aku [ihat pula ibu sudah berpakaian rapi seperti hendak pergi. Langsung saja aku mendekat pelan sambil tersenyum manis. "Ibu mau ke mana?" tanyaku terheran-heran. Ibu memandangku sambil tersenyum dan berbisik halus. "Ibu pergi menjemput bapak, Nak." Lantas mereka beranjak pergi, meninggalkanku dalam kebingungan. Matahari telah terbenamdiufuk baratmeninggalkan bias cahaya kuning kemerahan yang mulai memudar dan menghitam. Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit 134
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
142
pymupdf
Antologi Cerpen langit semakin gelap, hingga tak tampak lagi awan putih yang menghiasinya. Namun, hingga pukull0.00 malam, aku tunggu ibu dan paman tak kunjung pulang. Dinginnya udara malam membuatku bertambah paranoid, khayalanku membuatku takut jikalau ada makhluk aneh yang mengetuk pintu seperti dongeng zaman dulu yang sering ibu ceritakan. Tiba-tiba suara yang aku takutkan terdengar menusuk sampai ke bagian telingaku yang terdalam. Segera saja aku berlari memasuki kamar dan aku tutup pintunya, hingga degup jantungku tersentak kaget oleh ayunan kerasnya itu. Aku mengintip dari celah jendela kamarku, melihat siapa gerangan yang datang. Ternyata aku melihat ibu dan paman sedang memapah tubuh gempal bapak yang sedang mabuk berat. Ibu tampak menangis sambil menggenggam tangan beliau yang ketika itu tak hentinya berucap, "cerai, aku ingin ({'rai," Seketika itu aku merasa begitu takut. Saking takutnya tak terasa mataku memerah dan mengalirkan air mata yang tak kalah derasnya dengan linangan air mata ibu. Keributan itu sungguh telah membuka aib keluargaku yang selama ini tak aku sadari. Kini aku tabu, ternyata bapak sudah kawin sinh dengan wanita pujaan lainnya. Luka hati ini tertusuk lagi rasanya, hingga terpatri kuat dalam ragaku. Lembutnya angin malam mulai memasuki ruang dalam tubuhku, meremukkan tulang dan menyatu dengan darah yang terasa sudah membeku seperti hatiku yang juga 135
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
143
pymupdf
136 Topeng Nengsih sudah membatu . Aku pejamkan saja mataku hingga letih perasaanku ini tak mampu aku lawan lagi. Aku terlelap, namun mimpi burukku ini selalu membayangiku hingga merasuk ke dalam setiap nadi. Aku terlanjur terjebak. Aku hanya bisa pasrah menunggu pagi untuk bisa menyadarkanku dari 1e1ap tidurku ini. "Pagi, sudah pagi," desahku menyadari suasana ketika itu. Aku bergegas berlari melangkah cepat mencari tahu. Tapi, tak jauh berbeda dengan tadi malam, aku masih temukan ibu menangis di antara album-album kenangan sambi! memandangku dengan pandangan sayunya itu. "Maafkan ibu, Nak," ucapnya memelas. Dapat aku mengerti maksud baliau. Tak ada yang mampu aku perbuat, jikalau jalan perpisahan mampu menghentikan derasnya aliran air matanya. Aku hanya bisa berlutut lemas dan menangis tersedu sedan. "Sungguh aku tak berguna," gumamku dalam hati. Empat bulan berlalu sudah, kedua orang tuaku telah berpisah menjalani hidup mereka masing-masing. Bapak sudah pergi dengan istri barunya entah ke mana . Tapi, sungguh malang, beliau dipecat dari bangku kcdiidlltorannya karena kasus korupsinya sudah terbongkar, tak bisa terelak lagi. Beruntung beliau tak harus mendekam dalam kumuhnya penjara oleh ulahnya yang hina itu. Namun, aku dengar hidupnya kini begitu melarat. lstrinya pergi meninggalkarmya karena ia sudah tak punya kekayaan yang bisa ia banggakan lagi.
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
144
pymupdf
AntoJogi Cerpen Sedangkan ibu, sebulan lalu beliau sudah mengikat sucinya ikrar perkawinan bersama Paman Satrio. Kakek dan nenek menyayangi ibu layaknya anak kandung mereka sendiri. Jadi, mereka tak tega harus membiarkan ibu pergi dari keluarga besar kami dalam luka pengkhianatan bapakku. Aku sedikit tak rela, namun beliau telah berjanji untuk tetap menyayangi aku dan Seto layaknya dulu, dan aku percaya itu. Lagipula Paman Satrio cukup bisa aku andalkan untuk menghapuskan segala derita ibu selama ini. Kini, aku dan Seto tinggal bersama nenek dan kakek di rumah sederhana, namun lebih baik daripada gubuk reotku dulu. Aku dan Seto mencoba melangkah kuat dengan sisa semangat yang masih ada agar kami bisa merakit kembali puing-puing hidup kami yang hilang. Nenek dan kakek selalu bisa membagi keceriaan dalam setiap detik hela na£as kami. Ibu pun tak pernah absen mengunjungi aku dan Seto Ibu dan paman selalu memberi kasih sayangnya pada kami, hingga tak kami rasakan lagi perihnya ditinggal bapak. Tapi, dalam renunganku masih tersimpan sedikit rasa sesal mengingat perpisahan kedua orang tuaku dan rasa sakit menerima kehancuran keluargaku. Indah, itulah nama singkat yang orang tuaku berikan padaku. "Tapi, kenapa hidup yang aku jalaru tak pernah seindah namaku? Mengapa pula harapan hidupku tak pernah menuai indah layaknya nama itu?" ujarku 137
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
145
pymupdf
Topeng Nengsih menyesali kenyataan hidup yang tak semulus harapanku dulu. Tiba-tiba Seto mendekat duduk di sampingku sambi! menatap penuh Tanya. "Sekarang, apa masih bisa kita panggil ibu dengan sebutan ibu atau kita panggil bibi?" tanya Seto polos. Memang masuk akal pertanyaan itu, bertambah kalut pikiranku dalam otak "miniku" ini. Tapi, sampai kapan pun beliau tetap orang yang melahirkan dan menyayangiku dengan ikhIas, hingga detik ini aku mampu berdiri tegar. Walaupun kelak mereka bertanya, "siapa ibuku?" Aku hanya bisa menjawab, "ibuku bibiku." 138
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
146
pymupdf
MISTERI AUN CEN6K£H W~~H~ Aku termenung meratapi nasib hidupku yang sama sekali tidak berpihak pada keluargaku. Tiba-tiba dari balik pintu kudengar teriakan keras seperti memecah keheningan malam. Jantungku berdebar keras, kupaksakan untuk mengamati keadaan di luar, ternyata itu hanya suara sumbang seekor kambing. Debar jantungku perlahan m ulai melemah, "Ah .... busyet", teriakku dalam hati ternyata suara itu hanyalah kambing tetangga yang sedang melahirkan anaknya. Pintu rumah kututup kembali dan dengan keras kududukkan pantatku di kursi kayu yang hanya terbuat dari potongan-potongan kayu kopi. Aku kembali merenung tentang keh idupan keluargaku yang morat-marit, ten tang keberlanjutan pcndidikan anak-anakku, dan tentang kemampuanku untuk menghadapi beban hidup yang semakin berat. Pikiranku berputar­ putar lak tentu arah. Sampai akhirnya aku tertidur tanpa bantai, tanpa selimut, dan tanpa alas tidur. Aku terkejut, istriku membangunkanku dengan agak keras. Kulihat kedua anakku, Fani dan Ceking telah siap untuk berangkat ke sekolah . lstriku berkata "Pak, anak-anak minta uang untuk bekal berangkat ke sekolah." Aku terdiam, mataku terpejam dan menunduk. "Pak, anak-anak mau minta uang," teriak istriku sekali lagi. 139
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
147
pymupdf
Topeng Nengsih Dengan suara berat aku berkata, "Bu, biarlah anak-anak hari ini tidak bdanja di sekolah .'· "Mengapa begitu?" teriak istriku. Aku menarik istriku agak jauh dari anak-anak, kemudian dengan suara lemah aku bisikkan, "Bu, hari ini kita tidak memiliki sepeser uang." Istriku terdiam dan selanjutnya segera pergi untuk menghampiri anak-anakku. Aku tidak tahu lagi apa yang dibicarakan antara istri dan anak-anakku. Dari jauh kulihat kedua anak-anakku berangkat ke sekolah. Setelah keberangkatan anak-anakku, aku memanggil istriku dan mengajaknya duduk di kursi kopi. Lama aku dan istriku terdiam, suasana begitu sepi dan kaku. Aku juga bingung, harus mulai dari mana untuk menyampaikan kondisi ini kepada istriku. Akhirnya, dengan sisa-sisa kekuatanku aku berkata, "Bu, bagaimana dengan kita sekarang, apa yang harus kita lakukan, kita sudah tidak punya apa-apa Jagi." Istriku terdiam, menunduk, dan kulihat matanya mulai memerah serta meneteskan air mata . Sambil mengusap air matanya, istriku berkata, "Terserah bapak, aku sebagai istri hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya." Jawaban itu, ternyata mampu membesarkan motivasiku untuk bangkit dari keterpurukan ini . Aku merasa tertantang, ternyata istriku sungguh-sungguh menggantungkan hidupnya kepadakll. "Kalau begitu. mari kita coba untuk memohon mukj izat kepada para penguasa alam ini," saranku kepada istriku. Mata istriku terbelalak. "Apa maksud bapak?" tanya istriku penuh dengan ketidakmengertian. Selanjutnya, aku menjelaskan, "Begini, di sekitar hutan dan Danau Tamblingan terdapat pohon beringin yang sangat 140
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
148
pymupdf
Antologi Cerpen besar. Konon, katanya pohon itu, dihuni oleh makhluk halus yang sangat sakti. 8anyak orang yang sudah pernah memohon berkah di tempat itu. Dan konon, katanya banyak yang sudah berhasi!." lstriku terdiam, lama terdiam, di raut wajahnya kulihat keragu-raguan, aku juga merasakan tindakan ini sungguh tidak masuk aka!. Akhirnya istriku menjawab dengan pendek, "Ya, terserah bapak." Akhirnya kami bersepakat menentukan hari yang baik untuk berangkat ke tengah hutan di sekitar Danau Tamblingan. Hari baik yang kami pilih adalah tepat saat bulan purnama. Sure hari menjelang keberangkatanku, aku menitipkan anak­ anakku kepada tetangga, tempat anak-anakku sering bermain. Aku mencari alasan bahwa ada keperluan mendadak malam ini, aku harus ke rumah mertuaku karena ada acara keluarga. Untungnya, tetanggaku memaklumi dan bersedia mengajak anak­ anakku menginap satll malam di rumahnya. Malam hari, tepat saat bulan purnama, sekitar pukul 21.000 Wita aku dan istriku berangkat menuju bukit di tengah hutan Danau Tamblingan. Jarak dari rumahku menuju tempat itu memerlukan waktu perjalanan sekitar tigajam. Sekitar puku124.00 Wita kam i sampai di bawah pohon beringin yang sangat besar. Malam sangat larllt serta cahaya bulan yang menembus dedaunan pohon beringin menambah seramnya suasana. Seolah-olah ada makhluk yang melambai-Iambaikan tangannya, menyapa, alau mungkin murka melihat kedatanganku. Kami mulai membuka tikar dan sesaji yang telah kami siapkan sebelumnya. Aku berbisik kepada istriku, "Jangan takut karena kita ke sini hanya untuk mohon bantuan bllkan llntuk mengganggu mereka" lstriku terdiam, kulihat tangannya sedikit gemetar bercampur an tara dingin dan takut. Sekali lagi aku berbisik, "Mari 141
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
149
pymupdf
Topeng Nengsih kita bersemadi memohon supaya keinginan kita dapat terpenuhi, m udah-m udahan ada petun j uk." Kami mulai memejamkan mata. Suara-suara aneh yang jarang kudengar menambah seram di sekitar pohon beringin itu. Bulu kudukku mulai berdiri. Walaupun dengan kepasrahan yang dalam, tetap saja bulu kudukku berdiri. Bahkan, kudengar istriku menangis walaupun tangisannya itu jauh di dalam tubuhnya. Aku terdiam dan berusaha hening untuk dapat bersemadi dengan baik. Namun, suara-suara aneh itu kadang-kadang keras, melemah, melengking, dan bahkan sepi tanpa suara. Hal itu ternyata cukup mengganggu semadiku. Namun, kondisiku yang terbelit kemiskinan membesarkan kemba li keberanianku. Terlintas dalam pikiranku, sebagai orang miskin yang penuh dengan kekurangan sehingga diselimuti permasalahan hidup. Aku tidak memiliki tempat tinggaJ yang tetap. SeJama ini, aku menempati rumah yang dulu digunakan untuk kandang kllda. Sebagai gantinya, aku harus siap bekerja tanpa upah di tegalan atall di kebun pemilik gubuk itu. Masalah kebutuhan hidup sehari-hari sulit aku penuhi, baik untuk istriku maupun kedua anak-anakku. Permasalahan itulah yang ternyata membangkitkan keberanianku untuk menghadapi tantangan yang menurlltkll adalah sesuatu yang tidak masuk aka!. Oi keheningan semadiku, tiba-tiba istriku berbisik. "Pak... Pak... Pak ... pulang Pak, bulu kudukku merinding dan firasatku mulai tidak baik." Aku terdiam dan tidak menghiraukan bisikan itu. Aku masih berharap agar penghuni pohon beringin itu dapat memberikan bantuan atau petunjuk agar perjalanan hidupku lebih baik. Beberapa sa at, istriku terdiam lagi, aku melihat seolah-olah pepohonan bergerak layaknya ditiup angin kencang, padahal 142
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
150
pymupdf
Antologi Cerpen saat ilu tidak ada angin, hanya suara jangkrik di sana-sini. Aku semakinyakin bahwa nanti akan ada sesuatu, baik yang bisa mengalasi masalah dalam rumah tanggaku maupun sesuatu yang lain. Keyakinan itu semakin kuat setelah setangkai daun yang jatuh menempel di dahiku dan aku terus berdoa. Malam semakin larut, tiba-tiba istriku berbisik lagi, "Pak, ayo pulang. Kasihan anak-anak terlalu lama menunggu kita." Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 Wita, akhirnya aku dan istriku pulang sambil mengemas semua kelengkapan yang kubawa. Aku membungkus, mengikat tikar dan perlengkapannya dengan tergesa-gesa. Aku berkata, "Ayo, Bu kita pulang, mungkin hari ini kila belum diberkati, mudah-mudahan lain waktu kita akan diberikan." Akhirnya. dengan mengucapkan pamit kepada seluruh makhluk, baik yang lampak maupun lidak, kami bergegas pulang. Sekitar pukul 05 .00 Wila kami lelah sampai di rumah tetangga tempat kami menitipkan anak-anak. Dengan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kami sekeluarga bergegas pulang ke . gubuk. Anak-anakku telah berangkat ke sekolah. istriku memasak ubi di dapur. Aku membuka tikar yang kemarin malam dibawa ke hutan. Tidak ada hal aneh yang aku temukan. Aku merenung agak lama untuk melihat kelengkapan bersemadi kemarin. Tiba-tiba malaku lertuju pada daun yang malam ilu menempel di dahiku. Aku mengambil daun ilu, lernyala daun ilu adalah daun. cengkeh yilng slidah kering. Lama aku merenung sambi I bergumam, "Mungkinkah ini petunjuk yang diberikan kepadaku? Lalu, unluk apa daun cengkeh kering ini?" Kira-kira satu jam aku mel ihal daun cengkeh kering itu, liba-liba aku dikejulkan oleh suara seseorang yang memanggil. '·Pak. Pak, Pak. ada orang di dalam?" leriak orang ilu. 143
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
151
pymupdf
Topeng Nengsih Aku segera keluar dan kulihat seseorang yang tak kukenal serta membawa buku berkata, "Pak, saya dari Desa Gunungsari, saya sedang mencari orang-orang yang mau mengumpulkan daun cengkeh kering yang akan saya olah di pabrik untuk menjadi minyak daun cengkeh. Kalau Bapak berkenan, silakan kumpulkan, nanti setiap minggu saya akan datang ke sini untuk mengambil daun cengkeh terse but." Jantungku berdebar kt:ras, aku semakin yakin bahwa ini adalah p~tunjuk yang diberikan tadi malam. Dengan cepat aku menjawab, "Baik Pak, saya siap, di sekitar gubuk saya ini ada banyak sekali kebun cengkeh." Orang itu berkata, "Baik, kalau begitu tiga hari lagi saya datang ke sin i." Lalu ia pergi dan meninggalkan aku sendiri yang masih tidak percaya dengan kejadian hari ini. Aku segera memanggil istriku yang sejak tadi berada di dapur dan berkata, "Bu permohonan kita ternyata dikabulkan. Tadi ada orang datang yang akan membeli daun cengkeh." lstriku terkejut, sambil berkata, "Ah, untuk apa daun cengkeh itu? Tidak masuk aka!." Aku menjawab, "Katanya, akan diolah menjadi minyak daun cengkeh dan pabriknya ada di Desa Gunungsari." "Kalau begitu mari kita segera mengumpulkan daun cengkeh kering, siapa tahu itu benar dan kita dapat memperbaiki kehidupan kita," sahut istriku agak bersemangat. Tanpa ballyak komentar lagi, kam i segera bergegas pergi ke kebun tetangga untuk mencari dan mengumpulkan daun cengkeh kering. Tidak terlalu lama, kami telah dapat mengumpulkan daun­ daun cengkeh kering mencapai lima karung. Selanjutnya kami membawanya ke gubuk. Itulah kegiatan yang terus kami lakukan 144
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
152
pymupdf
Antologi Cerpen dari pagi sampai menjelang sore hari. Setelah tiga hari, orang yang berjanji mengambil daun cengkeh itu datang untuk membeli daun cengkeh yang telah kami kumpulkan. Sambi! memperkenalkan diri orang itu berkata, "Pak, nama saya Yono, say a orang: pabrik pengolahan daun cengkeh mau membeli daun cengkeh yang telah Bapak kumpulkan." Dengan perasaan senang, kami mengeluarkan karung­ karung yang berisi daun cengkeh kering tersebut dan setelah dihitung telah mencapai dua puluh lima karung. Setiap karungnya, dihargai Rp I 0.000,00 sehingga total uang yang kami dapatkCln mencapai Rp2S0.000,OO. Tanpa banyak pertanyaan, Pak Yono mengangkut karung itu ke dalam mobilnya dan segera meninggalkan kami. Aku dan istriku terdiam sebab selama aku berumah tangga belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari . Kami segera kembali ke gubuk untuk mrencanakan kegiatan berikutnya. Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual daun cengkeh, aku memerintahkan istriku untuk membeli beras dan keperluan sekolah Fani dan Ceking. Kegiatan mencari dan mengumpulkan daun cengkeh terus kam i lakukan setiap hari, sampai akhirnya Pak Yono mempercayaiku menjadi asistennya. Tawaran itu tentu saja aku terima dengan senang hati . Dari hari ke hari kehidupanku terus berubah. Bahkan, pabrik pengolahan minyak daun cengkeh tumbuh menjadi besar dan aku mendapatkan banyak manfaat dari pend irian pabrik terse but. Kondisi ini, membuat kehidupan keluargaku menjadi baik dan kami terus menekuni usaha daun cengkeh . Kejujuranku membuat Pak Yono memberikan kt'rercayaan yang lebih kepadaku menjadi pengelola di pabrik ilu. Aku telah keluar dari belenggu kemiskinan dan menjadi orang yang disegani dan dihormati . Sungguh kuakui, daun cengkeh 145
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
153
pymupdf
Topeng Nengsih kering yang menempel di dahiku di malam purnama itu menjadi inspirasi dan dapat mengubah kehidupanku . 146
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
154
pymupdf
KAMAR23 ~ W D4ft D-w~ ~ D4tNtjA~ Sekolah Giberta memang sudah sangat lama Jan tua. Tak luput dari ingatan akan kenangan yang dirangkai oIeh sekolah itu. Dari tahun pertama berdiri 1984, sekolah ini telah menjadi sekolah terbesar. Dengan asrama-asramanya yang sangat menyenangkan, sekolah ini menjadi sangat terkenal. Bukan hanya itu, kenangan pahit tentang kematian yang menyedihkan juga sernakin memhuat sekolah ini menggemparkan. Semua ini dimulai di suatu malam, 23 Januari 1995. Suatu hari, saat sekolah itu akan berusia 11 tahun, Kamar 23 menjadi inti dalam rnisteri ini. Dita, seorang .gadis lugu, polos, namun sangat pintar adalah satu­ satunya orang yang mendiarni kamar itu. Tahun pertama sekolahnya berjalan dengan baik. Sampai pada akhirnya, ia mendapatkan tekanan dari ternan dan kakak kelasnya. Semua ini dikarenakan tingkahnya yang sangat polos dan sopan. Setiap hari, tak kurang dari lima kali tamparan dan dua ember siraman air kotor singgah di tubuhnya, meskipun disebabkan oleh hal sepele. Semua ini dianggap penghinaan oleh ternan dan kakak kelasnya karena ia selalu menjadi pusat perhatian. Dua bulan telah ia jalani hidup yang penuh dengan penderitaan di asrama itu. Suatu hari, pada tanggal 23 Januari seperti biasa dengan bekas tamparan di pipi, ia masuk ke kamarnya. 147
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
155
pymupdf
Topeng Nengsih Sedih dan sakit, hanya itu yang ia rasakan. Tak terasa air mata membasahi pipinya. Kamar mandi adalah satu­ satunya tempat untuk ia menangis. Kadang dalam hatinya terbesit keinginan untuk bunuh diri. Namun, kali ini berbeda, tidak di dalam hatinya. Darah segar seketika membasahi lantai kamar mandinya. Sejak kejadian itu, sampai saat ini Kamar 23 tidak pernah dibuka. Mungkin untuk selamanya. Tak ada Dita lagi. Selamanya... *** Pagi iill, suasana di sekolah itu sangat damai. Burung-burung mulai berkicau. Dinginnya embun pagi membasahi jendela setiap kamar di asrarna itu. Namun, hanya satu yang tidak pernah tersentuh damainya dunia, Kamar 23. Tak terasa, sekarang sudah tahun ajaran baru 2006. Anak-anak kelas 1 mulai sibuk merapikan kamar mereka masing-masing. Karen, gadis manis yang sangat pendiam ini, terlambat datang ke sekolah barunya. Tak satu pun kamar tersisa kecuali, Kamar 23. Hanya perasaan senang yang ia rasakan saat ini. Ia tak tahu apa yang telah terjadi ·di Kamar 23. Saat itu untuk pertarna kalinya Kamar 23 dibuka setelah kematian Dita. Seketika semua orang memandanginya. Tak sedikit orang melemparkan pandangan sinis dan takut kepadanya. Namun, dengan sifatnya yang cuek, hal itu dianggap sebagai angin lalu. Genap tiga hari ia telah rnendiarni karnar itu. Kisah kematian Dita baru ia ketahui dan ia menjadi mengerti, mengapa sikap semua orang sangat aneh kepadanya. "Awas, anak kamar 23 !!" 148
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
156
pymupdf
Antologi Cerpen Hal itu yang selalu ia dengar setiap dekat dengan orang lain. Namun, sampai saat ini ia masih bertanya-tanya dalam hati. "Mengapa ya, setiap masuk kamar ini, aku selalu mencium aroma bunga lavender?" Pikiran itu terbesit di hatinya setiap membuka pintu kamarnya . Hal ini ia anggap sebagai keistimewaan Kamar 23. Setiap masuk kamar mandi, ia selalu mendengar alunan musik lembut yang tak pernah ia ketahui dan dengar selama hidupnya. Namun, saat ia menajamkan pendengarannya, alunan musik itu hilang dan kamar kembali sunyi. Kini jam dindingnya menunjukkan pukul 23.00. "Saatnya untuk tidur!" katanya sambil membenahi buku­ buku untuk esok harinya. Tak kurang dari 3 menit, ia telah melayang di dunia mimpi. Mimpi membawanya ke kamarnya sendiri, Kamar 23. Harum bunga lavender dan alunan musik lembut lebih jelas tercium dan terdengar di telinganya. Namun, ada satu . benda yang tak pernah ia lihat di kamar itu, lukisan taman bunga laIJender. Lukisan yang sangat indah. Silaunya matahari pagi membangunkan Karen dari mimpinya. Ketika ia berbalik menghadap jendela, di sampingnya tergantung sebuah lukisan yang indah, taman bunga lave11der. Seketika ia teringat akan mimpinya. Diamatinya lukisan itu dengan cermat. Tinta merah di pojok kanan bawah, sangat menarik perhatiannya. Di sana tertulis "Dita 20 Jan 95" dengan tinta merah yang sangat manis. Dipajangnya lukisan itu di depan tempat tidurnya. Kemudian, wangi bunga lavender mengharumkan seisi kamarnya. Sangat tajam. Seketika seisi kamarnya menjadi sangat bersih dan rapi. Di hari minggu ini ia baru merasakan 149
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
157
pymupdf
Topeng Nengsih perasaan yang sangat nyaman di kamarnya. Karen melompat-lompat di atas tempat tidurnya sambil mencium wangi bunga lavender. Segera ia menuju ke kamar mandi dengan membawa handuknya. 1a tak tahu apa yang terjadi. Seketika, bak mandinya telah penuh terisi air. Sikat giginya telah terisi pasta gigi kesukaanya. Segera ia mandi tanpa menghiraukankeanehan itu. Sambi! bernyanyi Karen keluar kamar mandi. Oi atas tempat tidurnya telah tersusun rapi satu stel pakaianya. Oengan senang hati, tanpa ragu-ragu ia mengenakan pakaian itu. Gembira sekali yang ia rasakan saat itu. Kakinya serasa mengajak untuk menari dan melompat-lompat. Lagi­ Iagi alunanmusik yang lembut terngiang di telinganya."La... la .. .1a..." sambil melompat dan menari ia mengikuti alunan musik itu. Namun, mendadak semuanya hilang. Tak ada harum bunga lavender atau pun alunan musik lembut. Cahaya kecil seperti titik keluar dari lukisan itu. Larna­ lama semakin besar dan menyilaukan mata Karen. Ia memejamkan sedikit rna tanya sambil mengangkat tanganya menghalangi sinar itu. Tampak seorang gadis lugu di depanya, berkaca mata tersenyum padanya. Karen bingung apa yang ia Iihat saat itu. Gadis itu tersenyum sambil berkata, "Hai," suara itu menggema di kamarnya. Suara itu juga menyadarkanya dari kebingungan melihat gadis itu. "Hai, kamu siapa?" tanya Karen dengan sedikit rasa takut. 150
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
158
pymupdf
Antologi Cerpen "Aku Dita, gadis yang meninggal di kamar ini dan membuat lukisan itu". Seketika jantung Karen berhenti berdenyut. "Kamu nggak perlu takut. Aku hanya ingin jadi temanmu. Selama ini tidak ada yang mendiarni kamar ini. Dan aku kesepian." "Hrrun...," sambi1 tersenyum Karen menjawab. Hari itu ia lalui dengan mendengarkan cerita dari Oita. T a k terasa Karen menangis mendengar kisah sedihDita. " Aku mau jadi temanmu," kata Karen sambi1 menghakiri cerita Dita. Sejak saat itu, kamar Karen tak pernah sunyi, selalu bersih dan harum bunga lavender serta alunan musik yang lembut kesukaanya Dita mengiringinya. Setiap ada PR, Karen dan Dita selalu mengerjakan bersama-sama. Kadang Karen berpikir, "Apakah aku bersahabat dengan hantu?" Tapi semua itu tidak pernah dijadikan beban. 8aginya, Dita adalah sahabat yang terbaik. Hari ini hari Senin. "Dit, sekali-kali kamu keluar kamar, dong?" pinta Karen. "Gilllniln ya...?" jawab Oita. " Udah dell, gak apa kok, sumpek tau di kamar terus, ayo...!!" sambung Karen sambill mengajak Dita keluar kamar. Semua orang tak ada yang tahu tentang keberadaan Dita saat itt!. Semua orang berjalan sambil menembus Oita, saat melewati samping kiri Karen. Karen hanya bisa tersenyum sambil tertawa keciL Akhirnya, sampai di kelas Karen. Ternyata dulu kelas itu adalah kelas Dita juga. Ia bercerita pada Karen kalau ia duduk paling depan baris 151
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
159
pymupdf
Topeng Nengsih pertama. Tiba-tiba Oita menangis sambil berlari menuju kamar 23. Karen tak tahu apa yang terjadi. Ia tidak bisa mengejar Dita karena bel masuk sudah berbunyi. Enam jam Karen telah belajar. Ia segera berlari menuju kamarnya. Oi sana ia me1ihat Oita menangis di atas tempat tidurnya. "Kamu kenapa Oit?" tanya Karen membuyarkan 1amunan Oita. Sambil mengusap air matanya, Oita menjawab,"Aku cuma mgat kejadian saat aku ditampar kakak kelasku." Karen tak tahu harus bilang apa. Ia hanya mengusap air mata di pipi Oita. Ia pun terkejut, ternyata baru kali ini ia bisa menyentuh Oita. Oita pun tersenyum sambil melihat Karen dengan perasaan senang dan bahagia. Tak terasa, sudah dua tahun enam bulan mereka bersahabat. "Oit, sebentar lagi aku akan ujian," kata Karen. "Ya, makanya kamu rajin be1ajar, ya!I" jawab Oita sambi1 tersenyum manis. "Aku takut setelah lulus nanti, aku tak bisa bertemu denganmu," sambung Karen dengan sedih. " Aku tahu, kamu tak mungkm di sekolah ini untuk se1amanya," jawab Oita sambil tersenyum. " Aku juga mau Ilg01l1011g, Ren. Aku juga akan pergi untuk se1amanya dari kamar mi." Mendengar kalimat itu, Karen terkejut. "Sebenarnya di dunia sana aku sudah di tunggu para peri. Namun, karena aku belum melakukan satu perbuatan yang berarti, aku diperintahkan untuk menjadi teman baik dari seorang siswi di sekolah Giberta ini," kata 152
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
160
pymupdf
Antologi Cerpen Dita memperjelas. Sejak itu, mereka berdua menjadi lebih dekat. Karen menjadi lebih bersemangat untuk belajar. Minggu terakhir ini, mereka lalui dengan selalu bersama-sama. Diam-diam Karen membuat kado spesial untuk Dita. Hari ini hari kelulusan. Karen lulus dengan hasil yang sangat baik. Hari ini membuat Dita senang. Tak terasa sekarang adalah saatnya untuk berpisah. Mereka berdua saling berpelukan dengan air mata yang membasahi pipi mereka. lni untuk kedua kalinya, Karen dapat bersentuhan dengan Dita. "Dit, aku nggak mau berpisah. Aku takut kehilangan ternan baik seperti kamu. Aku juga takut nanti kamu akan lupain aku. Jadi kubuatkan kalung ini untukmu," kata Karen sambil menyerahkan sebuah kalung buatanya sendiri. Kalung dengan hiasan manik-manik warna ungu. Warna kesukaan Dita. " Aku harap kalung ini dapat kamu pakai Dit, walaupun rasanya sangat mustahil," kata Karen sambil menunduk sedikit kecewa. Namun, satu keajaiban terjadi. Tiba-tiba kalung itu dapat dipakai oleh Dita. Tak seperti kalung-kalung lain, yang pasti akan tembus saat di gunakan Dita. Kalung itu pun berubah warna menjadi ungu transparan. "Makasi Karen. Aku senang sekali dengan kalung ini. Aku juga tak ingin dilupakan oleh kamu. Jadi, lukisan taman bunga lavender ini akan kuberikan untukmu. Setiap tangga123,sarna seperti hari ini,lukisan iniakanmenebarkan aroma lavender. Dan saat itu juga dalam mimpi malammu, aku akan datang Karen!" kata Dita sambil tersenyum 153
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
161
pymupdf
Topeng Nengsih memandang Karen. "Kini aku harus pergi," kata Dita. Setelah berkata demikian, tiba-tiba seberkas cahaya terang masuk menembus jendela kamar. Sangat menyilaukan. Dari cahaya itu, muncul dua orang peri dengan gaun yang indah dan senyum manis yang terpasang di bibir mereka. Karen hanya bisa terkejut melihat kejadian itu. Kini saatnya Dita pergi. "Selamat tinggal Karen l" kata Dita sambil melambaikan tanganya. Karen menangis sambil membalas lambaian tangan Dita. Seketika, cahaya itu hilang. Tak ada wangi bunga lavende1' lagi. Tak ada alunan musik kesukaan Dita lagi. Sambil tersenyum menatap langit yang penuh bintang dan lukisan taman bunga lavender di perlukanya; Karen berkata, "Selamat tinggal sahabat terbaikku." 154
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
162
pymupdf
BINTAN6 JATUH DARI NE6£RI DONGERS ~p~y~~ Sejak kecil aku suka membaca buku-buku dongeng bergambar tentang negeri dongeng. Di negeri ajaib nan indah itu hiduplah para peri bersayap indah yang tinggal di rumah-rumah jamur yang mungil. Sayap-sayap mereka berwama-warni, biru, ungu, merah, pink, kuning, bahkan ada yang keperakan dan keemasan. Namun, hanya ratu peri yang memiliki sayap keemasan, peri bersayap keperakan adalah dayang-dayang sang ratu peri. Setiap peri yang telah dewasa memiliki tongkat ajaib masing-masing. Mereka bisa 'melakukan apa saja dengan tongkat sihir itu, tetapi mereka tidak pernah menggunakan benda itu sembarangan. Akan ada hukuman berat bagi mereka apabila berani menggunakannya untuk membuat keonaran. Mereka pun hidup bahagia di negeri itu. Tiap hari adalah musim semi, bunga-bunga hutan beraneka warna bermekaran dan harum semerbak, serta padang rumput berbunga putih yang selalu hijau menjadi tempat bermain para peri itu. Masa kecilku memang penuh mimpi. Mimpi tlCntang negeri dongeng tempat tinggal para peri bersayap kemilauan, tentang hutan penuh bunga, dan padang rumput berbunga putih itu. Mimpi-mimpi itulah yang menjadikanku bahagia. Bagaimanapun, aku tahu masa 155
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
163
pymupdf
Topeng Nengsih kecilku tentu akan berakhir. Saat berurnur sernbilan tahun, aku rnenghitung rnungkin rnasa kecilku tinggal sekitar tiga tahun lagi.Betapa singkatnya. Aku ingin sekali jika masa kecilku diperpanjang hingga sepuluh tahun lagi dan sebelurn rnasa kanak-kanakku berakhir. Aku ingin pergi ke negeri dongeng. Konyol. Aku pun rnenunggu bintang jatuh dari langit luas untuk rnengucapkan permintaan konyolku itu. Setiap rnalarn aku rnernandangi langit. Mengharap akan rnuncul sebuah bintang jatuh. Katanya, bintang jatuh itu akan rnengabulkan setiap permintaan yang kita ucapkan. Aku tahu itu dari ternan bayanganku. Ya, aku punya ternan bayangan karena aku tidak ingin merasa kesepian. Dia adalah diriku sendiri. Menurutku, ternan bayangan adalah ternan yang paling baik dan rnenyenangkan. Dia tidak pernah rnernusuhiku karena dia adalah aku. Dia pasti rnau rnendengarkan setiap ceritaku dan keluh kesahku. Bahkan, aku sering rnenangis bersarnanya. Pokoknya, kami ternan yang paling solid sedunia. Tidak ada yang tahu tentang ternan bayanganku. Hanya aku yang tahu, tetapi aku tidak suka ketika ayah dan ibu rnengatakan aku suka bicara sendiri dan rnelarangku rnelakukannya lagi. Kakak­ kakakku sering rnenertawaiku ketika aku rnengucapkan selarnat tidur pada ternan bayanganku sebelurn tidur. Biarkan saja, rnungkin mereka menganggapku aneh. Yang penting aku rnerasa berbeda dan spesial karena hanya aku yang punya ternan bayangan. Ketika usiaku sepuluh tahun, aku belurn juga rnenemukan bintangjatuh. Ternan bayanganku rnengatakan mungkin di ternpatku tinggal tidak ada bintang jatuh, jadi aku harus rnencarinya di ternpat lain. Aku pikir benar juga. 156
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
164
pymupdf
AntoJogi Cerpen Bintang-bintang di langit di atas rumahku terlalu kecil­ kecil jadi mungkin mereka sangat ringan untuk jatuh ke bumi. Aku pun memutar otak untuk menemukan bintang jatuh di tempat lain. Suatu malam aku menyelinap ke luar kamar menuju taman kota. Saat itu malam belum larut, jadi taman kota belum terlalu sepi. Aku duduk di bangku taman di bawah pohon tanjung. Laron-laron beterbangan di bawah cahaya Iampu di atas kepalaku. Kepalaku sedikit menengadah rnemandang langit. Bulan sabit malam itu begitu cantik bersama bintang-bintang yang berserak di sisinya. Oi manakah gerangan bintang jatuh itu? Apakah perjalanannya menuju bumi kali ini terhalangi? Aku terus berharap pada langit agar memanggil bintang itu segera. Ternyata rnalam itu aku tidak beruntung. Setelah lelah menunggu selama berjam-jam, aku menyerah. Esok malamnya aku memutuskan untuk mencari di tempat . baru. Mungkin taman kota bukan tempat yang tepat untuk menemukan bintang jatuh. Mungkin sungai kecil di selatan rumahku tempat yang tepat. Oi sana tidak banyak orang, seperti haInya di taman kota. Bintang jatuh itu tidak akan sanggup menumpang telalu banyak permintaan. Namun, masalahnya, sungai itu terlalu sepi dan menakutkan di malam hari. Aku pun membatalkan rencanaku malam itu untuk pergi. Aku mencoba memikirkan tempat yang memungkinkanku melihat bintang jatuh; persawahan, Iapangan sepak bola, lapangan sekolahku, bukit di desa nenekku, pantai, dan masih banyak lagi. Namun, sepertinya malam hari masih terlalu sangat menakutkan untuk anak 157
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
165
pymupdf
Topeng Nengsih seusiaku untuk keluar rumah sendirian, maksudnya hanya dengan seorang ternan bayangan. Semakin bertambah usiaku, semakin bosan aku menunggu bintangjatuh. Kapanaku bisa ke negeri dongeng? Negeri yang kuimpikan selama masa kecilku. Aku ingin bertemu dengan para peri, masuk ke rumah jamur, bermain di hutan bunga, dan mencoba tongkat ajaib mereka. Aku tidak tahu sampai kapan aku memikirkan bintang jatuh itu dan negeri impianku. Kertas-kertas gambarku selalu penuh dengan lukisan negeri itu. Aku juga menempelkan poster yang kubuat sendiri di kamarku. Poster apa lagi kalau bukan poster negeri dongeng. lnikah tandanya aku sangat tidak ingin meninggalkan masa kecilku? Masa­ masa penuh mimpi indah, tanpa memikirkan hallam, dan bermain sepanjang hari dengan riang. Tidak pernah terpikirkan dalam benakku untuk menjadi dewasa, seperti kakak-kakak perempuanku. Mereka suka berdandan, menggunakan make-up, pakaian­ pakaian yang sedang trend, dan sepatu-sepatu hak tinggi. Apakah menjadi dewasa itu suka berdandan? Lain lagi dengan ibuku, beliau pintar memasak. Pagi-pagi sekali beliau sudah menyiapkan sarapan pagi di meja makan untuk kami sekeluarga. Apakah menjadi dewasa itu pintar memasak dan bangun pagi-pagi? Sementara, aku merasa tidak penting berdandan dan aku juga bend bangun pagi­ pagi seperti rutinitas yang sehari-hari dilakukan ibu. Hari ini ulang tahunku yang ke dua bel as, aku sangat takut, aku resah karena sebentar lagi masa kanak-kanakku akan berakhir. Sementara itu, aku belurn menemukan bintangjatuh itu. Aku juga semakin jarang berbicara dengan 158
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
166
pymupdf
Antologi Cerpen ternan bayanganku, entah kenapa. Aku rnerasa rnenernukan dunia yang baru. Kini aku suka berkumpul dengan ternan­ ternanku. Aku tidak lagi merasa kesepian. Orang tua dan kakak-kakakku pun jarang mengatakan aku suka bicara sendiri. Walaupun diriku sudah sedikit berubah, aku belurn Iupa akan irnpianku semasa kanak-kanak. Malam itu juga, aku rnernberanikan diri untuk keluar rumah tanpa sepengetahuan penghuni rumah. Tarnpaknya, mereka telah tertidur lelap sekali. Aku berani berlari menuju tempat yang kuinginkan. Ternan bayanganku rnengatakan aku harus pergi ke sungai kecil dekat rurnahku. Di sanalah sebuah bintang akan jatuh. Bintang itu sangat panas dan air sungai yang rnengalir tentu akan menyejukannya. Jika aku berbuat baik pada bintang itu, tentu dia akan rnengabulkan permintaanku. Aku rnasihmernpercayai ternan bayanganku itu walaupun aku semakin beranjak dewasa. Aku masih cmak-anak, aku beIurn remaja. Udara tidak terlalu dingin rnalarn itu dan aku pun merasa tidak takut lagi, malahan aku sangat rnenikmati perja!anan rnenuju sungai keci! itu. Aku bisa mendengar suara serangga rnalarn bernyanyi. Mereka ramai sekali, rnungkinkah mereka tahu akan ada bintang jatuh di langit di atas sungai itu7 Serangga-serangga itu ingin rnenyambutnya dengan nyanyian malarn rnereka yang rnerdu. Aku telah tiba di sisi tebing yang di atas sungai itu. Aku rasa tidak perlu turun ke bawah menuju tepian sungai itu. Tebing-tebing sungai itu sangat tinggi, pepohonan di sisinya juga tidak .banyak, jadi aku bisa rnelihat langit dengan jelas. Aku duduk dan menengadahkan kepalaku ke 159
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
167
pymupdf
Topeng Nengsih langit. Dengan tenang aku menunggu bintang jatuh itu. Hari telah pagi, sepertinya aku tertidur di tempat ini. Keluargaku pasti bingung mencariku jika aku tidak segera pulang. Aku beranjak dari tempatku dengan mata yang masih sedikit mengantuk. Ketika aku berdiri, aku terperangah. Aku bukan lagi berada di tempat kemarin, di tebing sungai kecil dekat rumahku. Aku berada di negeri yang sangat indah ini sepertinya hutan para peri negeri dangeng. Hutan musirn semi mereka, tempat bunga­ bunga hutan sedang berrnekaran. Harurnnya rnengundang serangga berdengung untuk datang. Akhirnya, aku berada di tempat ini juga. Mungkin bintang jatuh itu datang kernarin malam dan ia tahu aku punya satu permintaan. Tunggu, bukankah aku juga minta agar masa kecilku diperpanjang, mungkinkah dikabulkannya juga? Ah, mungkin saja, jika aku tinggal beberapa hari. Mengapa hanya beberapa hari? A ingin tinggaI lama, setelah basan baru aku kembali pulang. *** "Anak ini jatuh dari tebing. Kepalanya mengalami luka yang cukup parah dan dia akan tidak sadarkan diri selarna beberapa hari." "Saya tidak tahu apa yang anak perempuan lakukan di tempClt itu. Dia memang sedikit aneh, sering berbicara sendiri. Mungkin saya kurang perhatian padanya." 160
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
168
pymupdf
S JA DALAM SEBUAH B£JANA t f(,c~ fV.;v p~ "Jangan Bu, jangan buang bejana itu! Aku mohon!" "Kenapa anakku? Benda ini tidak berguna, jadi untuk apa kau simpan!" "Apa kata Ibu? Tidak berguna? 1tu satu-satunya benda yang bisa membuatku teringat akan semua kejadian, Bu!" Tidak ada yang pernah tahu bahwa aku menyimpan senja di dalam sebuah bejana, di bawah tempat tidurku. Dalam keseharianku, aku sering mendengar orangbertanya, apa isi bejana yang kosong itu? Bapak, ibu, dan anakku . satu-satunya kerap kali bertanya. Mengapa ada bejana di situ? Siapa yang meletakalU1ya? Mengapa kalau kosong kok tidak dibuang saja? Tidak terlintas di benak mereka bahwa sesungguhnya di situ aku menyimpan semua senjaku. Walaupun penampilan bejana itu sudah pudar warnanya dan retak beberapa, aku tetap bersikukuh agar bejana itu tidak dibuang sebagai sampah begitu saja. Setiap senja tiba, aku kerap mengambilnya dan memasukkalU1ya ke dalam bejana. Aku tutup rapat-rapat bejana itu agar senjaku tidak cepat menguap. Sejak kanker paru-paru menggerogoti tubuhku, prestasiku di kampus kian menurun. Aku yang dulu cerewet dan periang, kini berubah menjadi sosok remaja 161
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
169
pymupdf
Topeng Nengsih yang pendiam dan sarna sekali tidak mempunyai gairah hidup. Yah, .... itulah hidupku, yang tinggal menghitung hari sampai aku meninggalkan dunia ini, sarnpai aku meninggalkan orang-orang yang paling aku sayang... Dalarn bejanaku yang belurn penuh sudah kusirnpan senja beberapa. Beragarn warnanya. Lagi-lagi, tidak ada yang tahu apa isi bejana itu, mereka tidak perlu sepenuhnya tahu karena sulit sekali untuk dipercaya bahwa aku sesungguhnya menyimpan senja. Senjaku yang pertarna, berwarna rnerah jarnbu. Semanis orang yang selarna ini aku puja. Hari itu aku habiskan semua waktuku untuknya. Kita pergi kesebuah taman kota, duduk di bangku putih dengan hiasan air mancur di depannya. Bercengkrama mesra rnengulang nostalgia cinta kita adalah bahan pembicaraan kami yang utama. "Kalau aku sudah tidak ada," baru sepenggal aku berbicara, sudah terpotong olehnya. "Sudah ah! Jangan berkata seperti itu, kamu pasti sembuh!" bentaknya. "Sembuh katanya? Penyakit parah seperti ini kamu bilang akan sembuh? Jangan beri aku harapan yang sudah pasti tidak akan terwujud!" Ia tercekat. Aku telah melipat lidahnya, kata-kata pun tidak terlontar dari bibir manisnya. Aku menangis. Menangisi hidupku yang...ah... sungguh berat untukku jalani l Dia mengusap air mataku dengan belaian tangannya yang "terlembut". Kemudian dia cium keningku, seakan mengatakan bahwa ia tak ingin kehilangan diriku. Aku peluk dia dan kutumpahkan semua tangisku, hingga membuat dress erange mudanya basah. Senja itu aku simpan 162
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
170
pymupdf
Antologi Cerpen Jan aku tutup sebagai memori di dalam bejanaku. Senjaku yang kedua, warnanya abu-abu. Gelap dan pahit. Sangat pahit.... hingga aku tidak mau mengingatnya lagi. Peristiwa itu dimulai ketika aku baru saja pulang dari rumah sakit. lni sudah kesembilan kalinya dalam dua minggu aku dan keluargaku bolak-balik ke rumah sakit. Sepulang dari rumah sakit, bapak merebahkan tubuhku di kasur dengan selimut wama hijau, warna favoritku, tentunya ibu telah menyiapkan ini semua. Aku meminum obatyangdokterberikan. Aku tahu, obat-obatitusebenarnya sungguh tidak berguna. Toh, penyakitku tidak sembuh kan? Namun, demi bapak dan ibu, aku rela menyerahkan kerongkonganku sebagai tempat menelan obat. Setelah itu, ibu menarik selimut dan mengelus rambutku, berharap agar aku dapat tidur dengan nyenyak. "Ibu, Ibu, di mana kau?" kakakku datang dengan 1angkah kaki yang terburu-buru dan dengan suara yang sangat-sarrgat menggangguku. " 000, ... di sini, di kamar busuk ini? Menjaga anak yang hanya bisa memberatkan bapak dan ibu?" ucapnya lagi sambi! memandang ku dengan bengis, seakan aku adalah musuhnya di peperangan. Sakit aku mendengar ucapan yang sungguh tak kubayangkan keluar dari sosok seorang kakak, yang seharusnya bisa menjaga adiknya yang sedang terkapar lemah tak berdaya. Ibu memelukku sambil menangis. Dapat kurasakan betapa sedihnya hati ibuku pada saat itu. "Anak kurang ajar kau! Apa kau tak sadar bahwa itu adik kandungmu sendiri! Dia sakit dan sudah seharusnya kita merawatnya!" bentak bapak yang hendak menampar kakakku, tetapi beliau masih sabar karena beliau tak ingin 163
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
171
pymupdf
Topeng Nengsih n1l'llyakiti anaknya sendiri. "Tapi, sejak dia sakit seperti ini, aku reI a putus sekolah karena ibu dan bapak tak bisa membayar SPP enam bulan. Warisan kita satu-satunya, yaitu tanah satu are itu, sudah dijual pula! Sekarang hanya tinggal cinein pernikahan bapak dan ibu, apa itu yang mau kalian jual selanjutnya 7 "Sudaaaaahhhh... kalau kakak ingin aku mati... baiklah kak!" ucapku sambi! berteriak histeris. Sebal melihat kakak bengal seperti itu. Dia kemudian pergi, dia tendang pintu kamarku sekeras-kerasnya, tak peduli apakah kakinya terluka atau tidak. Ibu masih saja menangis Jan terus memelukku agar aku tetap tenang. Sungguh senja yang teramat pahit bagiku. *** Narnun, dengan kasih sayang seorang ibu, beliau tak membiarkan senja abu-abu itu menjadi hitam. Karni berdua duduk di teras yang terbuat dari marmer dengan aksen garis diagonal berwarna cokelat tua. Jika dulu kami duduk bersisian di kursi yang sarna, sekarang tidak lagi. Aku sudah punya kursi roda baru. Bapak yang membelikarmya dengan uang hasil penjualan tanah satu-satunya. Karni berdua bercerita layaknya seorang sahabat. 1a menanyakan bagaimana hubunganku dengan kekasih yang selama ini teramat kupuja. Tak hanya itu, beliau juga menceritakan hal-hallucu agar aku bisa tertawa. Walaupun itu terdengar tidaklucu bagiku,aku teta p saja memperlihatkansenyumku, yah...agar beliau senang. Sedikit saja aku tersenyum, entah berapa juta bahagia di hati ibu. "Wah, ada apa ini? Sepertinya suasana bahagia sedang menyelimuti kedua insan ibu dan anak!" 164
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
172
pymupdf
Antologi Cerpen "Eh, Bunga... kebetulan nih, ibu sedang membutuhkan badut agar anak ibu yang satu ini bisa tersenyum dan tertawa terbahak-bahak!"senyum Bunga, kekasihku ini memang manis. Apalagi lesung pipi yang serna kin menambah keindahan wajahnya. "Ow, jadi ini rencana kalian berdua! Ya sudah, kalian berdua telah berhasil membuatku tersenyum bahagia. Terima kasih Bu dan kamu Bunga. 0, iya, kenapa kamu datang sore-sore begini? Apa kamu tidak kuliah? Nah Yoo ... Pasti bolos ya l " "Ehh, enak aja! Hari ini kebetulan ga ada jam kuliah. Oaripada aku bengong di kampus, mending ke sini, ke rumah yang penuh dengan kebahagiaan. Apalagi ada seorang anak yang bisa membuat hatiku luluh..." kata-katanya memang selalu membuat orang terkesan mendengarnya. "Aduh, kalian ini, ya sudah ibu ke dapur dulu ya! Ibu mau buatkan teh dan cake yang paling spesial untuk sore yang penuh bahagia ini!" Baru lima menit ibu menuju dapur, ternyata bapak sudah pulang dari kantor. "Wah, ada Bunga 1 Kangen ya mna anak Om yang ganteng ini?" "Akh, Om ini, bisa saja! Saya ke sini karena ga ada jam kuliah. Yah, sekalian lihat keadaan Tante dan Om!" elakt:ya, wajah putihnya memunculkan rona merah. Ia malu untuk mengakui kalau sebenarnya ia ingin bertemu denganku. "Ok, deh! Om tahu kok kenapa kamu kemari. Om kan pemah muda!" celetuk bapakku. "Waaah kebetulan, Bapak sudah pulang, Ayo, kita makan sarna-sarna! Ibu sudah siapkan cake yang akan 165
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
173
pymupdf
Topeng Nengsih menggoyang lidah! Ibu yakin, pasti kalian semua ketagihan! Ayo, makan!" "Tapi, aku mau makan kalau aku disuapi oleh Bunga l Mau kan Bunga?" tanyaku sambil menyiratkan senyum genit dan manja. Kekasih lama mana yang tak mau melakukan apa saja yang diminta oleh pujaan hatinya. Seperti itulah Bunga yang mau melakukan apa saja demi hidupku ini. Ia tahu hidupku akan sebentar lagi. Oleh karena itu, ia ingin membuatkan memori indah agar aku tetap tegar menghadapi penyakit kangker paru-paruku ini. Dengan naluri seseorang wanita feminim, ia potong cake yang berbentuk bulat itu menjadi sepuluh bagian. Diambilnya sepotong, kemtidian menyuapiku. Sesekali ia bercanda dengan memainkan sendok makan yang hampir menuju mulutku. Astaga, ternyata kakak mengintip kami semua sedang bercengkrama. Aku melihat di balik pohon cemara dekat pintu gerbang rumah. Pantas saja di sini kurang seseorang. Aku mengerti, bagaimana perasaan kakak ketika melihat kami bersenang-senag. Sementara dia? Ia hanya bisa merasakan petaka dari penyakitku ini. Semua kebahagianku langsung lenyap seketika. Aku masih ingat masa-masa dahulu, kakak sangat menyayangiku. Pernah suatu ketika, ia berkelahi dengan teman-temanya karena aku diganggu oleh anak sekomplek rumah. Ia rela mencicipi Juka pukul yang cukup parah. Itulah arti seorang kakak yang sesungguhnya. Rela melindungi adik kesayanganya. Namun, sejak aku divonis kanker paru-paru oleh dokter, sifatnya berbalik 360°. Ia telah membenciku. Tak mengangap aku sebagai adik kandungnya lagi. 166
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
174
pymupdf
Antologi Cerpen Lamunanku buyar, Bunga menyuguhi aku secangkir teh manis. "Mana kakak? Apa dia sudah pergi? Hemmrrumn, maafkan aku kak, gara-gara adikmu yang menyusahkan ini, kakak jadi ikut-ikutan susah..." kataku dalam hati. Akhir sore itu, aku berhasil menyimpan senjata berwarna putih, tetapi dihiasi pula dengan warna abu beberapa... Pagi datang... tetapi, kali ini, matahari terlambat bangun dari tidur. Tak terdengar lagi suara kicauan burung gereja seperti pagi sebelurnnya. Segarnya sinar matahari pagi pun tak terasakan. "Bapak! Anak kita Pak!!! Cepat ke sini!!!" ibu memanggil bapak sambil menangis histeris. II Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis? Ada apa?" bapak heran melihat ibu, entah sesuatu apa yang membuat ibu sampai menangis seperti itu. II Anak kita, Pak... anak kita... anak kita sudah meninggal, Pak! Tadi ibu kira ia tidur terlelap tidur karena kemarin kecapaaian. Namun, jantungnya sudah berhenti berdenyut, Pak! Anak kita, meninggal, Pak!!!". Tidak mungkin, Bu! lni tidak mungkin! Ibu pasti bohong!". "Pak, ibu tidak main-main! Lihat. .. Lihat wajah pucatnya l Tanganya kaku dingin! Paakkk... " ibu semakin histeris. Air matanya sudah mengalir sangat deras. Rasa sedihnya tak bisa dibendung lagi! Beliau sangat terpukul melihat aku yang sudah menjadi mayat. II Aduuuhhh, rumah ini memang tidak pemah tenang l Pagi-pagi sudah rebut' Apa-apaan sill? Pasti ulah si anak sial itu!". 167
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
175
pymupdf
Topeng Nengsih Kali ini bapak berani menampar kakak. Semua perasaan sabar yang selama ini terpendam di hati bapak, di1uapkan dengan sebuah tamparan. "Dasar anak kurang ajar! Tak lihat adikmu kini mati! Lihat... ini kan yang kamu inginkan! Kamu ingin adikmu mati kan !" bentak bapak. " Apa') Adik.., adik.., meninggaI? Tidak, tidak mungkin ! Adiiiiikkk..." Kakak menghampiriku, kemudian memelukku dengan erat. Erat sekali. Ibu yang ada di sampingnya mencoba menabahkan kakak. Bapak hanya berdiri terdiam, me1ihat kejadian yang ia harapkan bahwa itu hanya sebuah mimpi buruk. "Dik... maafin kakak, dik. Se1ama ini kakak membencimu agar kamu tetap kuat menghadapi hidup. Kakak tau kamu orang kuat.... kakak tau kamu orang yang tegar.., tapi kenapa ini semua terjadi! Bangun dik... Bangun...! Kamu ingin kan semua kenangan yang kita buat dahulu l Ayo bangun, dik!" Semua terdiam, semua menangis... Semua hening, semua sepi... Yang tingga1 hanya sisa-sisa air mata... Buat kepergianku... Selamat tinggal semua... Selamat tingga1 dunia.... U TAKAAN PUSAT'SAHA A q Ie PENDIDIKAN NASlONAl 168
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
176
pymupdf
Lomba Penulisan Cerpen Se-Bali 2007 dan 2008 B UkUyang dihadirkan ke sidang pembaca ini adalah salah satu saksi gairah kehidupan bersastra di kalangan muda. Selama dua tahun berturut-turut, 2007 dan 2008, peserta lomba menulis cerpen sangat melimpah. Beberapa karya terbaiknya yang diikutkan pada lomba tingkat nasional juga selalu lllendapat penghargaan. Ini menunjuk­ kan bahwa kualitas pe rta lomba itu pantas dicatat dalam sejarah sastra di Bali. I S(J\1 9~ I . ,I 1111 11 978979685Q504 899 T
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
177
pymupdf
ISSN 2715-0488 E-ISSN 2715-047X WIDYASASTRA JURNAL ILMIAH KESASTRAAN Volume 3, No. 2, Desember 2020 Potret Kemiskinan dalam Cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati”, dan “Wiwiah yang Berterbangan” Karya Olyrinson Marlina Memahami Ideologi Kultural Masyarakat Benuag Melalui Cerita Perang dan Perbudakan Aguari Mustikawati Cerita Pendek “Mamie Petronille et Le Ballon” Karya Jane Cadwallader: Kajian Struktur Karya Gerard Genette Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso Analisis Struktur dan Nilai Sosial Cerita Ketoprak “Ronggolawe Gugur” Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991—2020 Yohanes Adhi Satiyoko Perempuan Termarginalkan dalam Cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” Karya Marhalim Zaini Imelda, Yulita Fitriana Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik pada Cerita Rakyat “Baridin” Masyarakat Desa Gegesik Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih Realisme Magis dalam Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” Karya A.A. Navis Fikha Nada Naililhag ISSN 2715-0488 WIDYASASTRA | voa | Wo-2 'oesonbor 2020 |tim.e—ta0) SO ari |
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
1
ocr
WIDYASASTRA JURNAL ILMIAH KESASTRAAN 3 (2),2020 Penanggung Jawab Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pemimpin Redaksi Drs. Umar Sidik, S.P. , M.Pd Anggota Redaksi Dr. Ratun Untoro, M.Hum., Yohanes Adhi Satiyoko, S.S., M.A. Wuroidatil Hamro, S.S. Redaksi Pelaksana Ahmad Zamzuri, S.Pd., M.A. Sekretaris Redaksi Mursid Saksono Mitra Bestari Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (Prosa dan Puisi/Universitas Gadjah Mada) Dr. Mu'jizah (Filologi/Balitbang, Kementerian Agama, Jakarta) Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. (Prosa dan Puisi/Balai Bahasa Provinsi DIY) Dr. Yoseph Yappi Taum, M.Hum. (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) Penerbit Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Alamat Redaksi Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224, Telepon: (0274) 562070, Faksimile: (0274) 580667, Laman: www.widyasastra.kemdikbud.go.id Surel: [email protected] ISSN 2715-0488 E-ISSN 2715-047X Jurnal Widyasastra terbit pertama kali tahun 2018. Terbit dua kali setahun, pada Juni dan Desember. Widyasastra memuat tulisan ilmiah hasil penelitian sastra. Redaksi menerima artikel hasil penelitian sastra dari peneliti, dosen, dan mahasiswa pascasarjana.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
2
ocr
i DAFTAR ISI Widyasastra 3(2), 2020 POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”, DAN “WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA OLYRINSON PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI” AND “WIWIAH BERTERBANGAN” SHORT STORIES BY OLYRINSON 59—70 Marlina MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT BENUAQ MELALUI CERITA PERANG DAN PERBUDAKAN UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF DAYAK BENUAQ THROUGH THE STORY OF WAR AND SLAVORATION 71—81 Aquari Mustikawati CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE BALLON” KARYA JANE CADWALLADER: KAJIAN STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE BALLON” BY JANE CADWALLADER: A WORK STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE 82—90 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE STORY IN KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” 91—101 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR SASTRA JAWA DI YOGYAKARTA TAHUN 1991—2020 ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY COMMUNITIES IN YOGYAKARTA BETWEEN 1991—2020 102—112 Yohanes Adhi Satiyoko
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
3
pymupdf
ii PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CERPEN “PENGANTIN HAMIL” DAN “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA MARHALIM ZAINI MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY “PENGANTIN HAMIL” AND “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI 113—122 Imelda, Yulita Fitriana UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA RAKYAT “BARIDIN” MASYARAKAT DESA GEGESIK INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON “BARIDIN” FOLKLORE 123—135 Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” KARYA A.A. NAVIS MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” SHORT STORY BY A.A. NAVIS 136—146 Fikha Nada Naililhaq
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
4
pymupdf
iii Jurnal Widyasastra, Volume 3, Nomor 2, Desember 2020 ini memuat delapan artikel khusus hasil penelitian kesastraan. Topik kedelapan artikel itu beragam. Pertama, artikel berjudul “Potret Kemiskinan dalam Cerpen ‘Dari Jendela yang Terbuka’, ‘Gajah Mati’, dan ‘Wiwiah yang Berterbangan’ Karya Olyrinson” ditulis oleh Marlina. Penelitian itu menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan tujuan untuk menggambarkan keadaan/kondisi masyarakat yang tergambar dalam karya sastra itu. Kedua, artikel yang berjudul “Memahami Ideologi Kultural Masyarakat Benuaq Melalui Cerita Perang dan Perbudakan” ditulis oleh Aquari Mustikawati. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menafsirkan ideologi kultural komunitas pada masa perang dan perlakuan mereka terhadap budak rampasan perang. Ketiga, artikel berjudul “Cerita Pendek ‘Mamie Petronille Et Le Ballon’ Karya Jane Cadwallader: Kajian Struktur Karya Gerard Genette” ditulis oleh Sunahrowi dan Pandu Galih Prakoso. Penelitian itu mendeskripsikan struktur cerita yang terdiri atas tiga unsur, yaitu urutan teks isi cerita, urutan peristiwa, dan urutan kelogisannya. Keempat, artikel dengan judul “Analisis Struktur Dan Nilai Sosial Cerita Ketoprak Ronggolawe Gugur” ditulis oleh Anita Pipit Aziz dkk. Penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Kelima, artikel dengan judul “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991—2020” ditulis oleh Yohanes Adhi Satiyoko. Penulis menggunakan teori sosiologi Talcot Parson dan pendekatan sosiologi sastra untuk mendeskripsikan sanggar-sanggar sastra Jawa dan pemertahanannya. Keenam, artikel berjudul “Perempuan yang Terpinggirkan dalam Kumpulan Cerpen Amuk Tun Teja Karya Marhalim Zaini” ditulis oleh Imelda dan Yulita Fitriana. Penulis mendeskripsikan keterpinggiran tokoh perempuan yang digambarkan dalam sebuah kumpulan cerpen. Ketujuh, artikel berjudul “Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Pada Cerita Rakyat “Baridin” Masyarakat Desa Gegesik” ditulis oleh Aisyah dkk. Tujuan penelitian ini ialah untuk menguraikan dan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita rakyat “Baridin” masyarakat Desa Gegesik. Kedelapan, artikel berjudul “Realisme Magis dalam Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya A.A. Navis” ditulis oleh Fikha Nada Naililhaq. Tujuan penelitiannya ialah mendeskripsikan berbagai ungkapan yang bersifat realisme magis yang terdapat dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya AA Navis dan menjelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Yogyakarta, Desember 2020 Pemimpin Redaksi CATATAN REDAKSI
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
5
pymupdf
iv Redaksi Widyasastra mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada mitra bebestari yang telah me-review artikel-artikel yang diterbitkan dalam Widyasastra, 3 (2), 2020. Mitra bestari itu adalah sebagai berikut. • Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) • Dr. Mu’jizah (Balitbang, Kementerian Agama, Jakarta) • Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. (Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) • Dr. Yoseph Yappi Taum, M.Hum. (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
6
pymupdf
v Widyasastra, 3(2), 2020 Widyasastra Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin. Marlina (Balai Bahasa Provinsi Riau) POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”, DAN “WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA OLYRINSON PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI” AND “WIWIAH BERTERBANGAN” SHORT STORIES BY OLYRINSON Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan masyarakat Melayu Riau yang tinggal di sekitar ladang minyak dan lahan perkebunan yang terdapat di dalam cerpen “Dari Jendela yang Ter- buka”, “Gajah Mati” dan “Wiwiah Berterbangan” karya Olyrinson. Untuk memperoleh gambaran yang lengkap sesuai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian di- susul dengan analisis. Sosiologi sastra adalah teori yang mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat. Data penelitian diambil dari buku antologi cerpen Olyrinson yang berjudul “Saat yang Tepat untuk Menangis”. Hasil analisis menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Olyrinson menggambarkan realita kehidupan masyarakat Melayu di Riau, terutama masyarakat pedalaman yang tinggal di sekitar ladang minyak dan perkebunan sawit. Gambaran yang diperoleh ialah bahwa masyarakat Melayu (1) masih hidup terbelakang, (2) hidup di bawah garis kemiskinan, (3) tergusur oleh per- luasan lahan perusahaan minyak dan perkebunan sawit, dan (4) mendapatkan ancaman dari hewan liar yang habitatnya terganggu oleh perluasan lahan tersebut. This study aims to describe the life of Melayu Riau people who live in the vicinity of oil fields and plantation lands in cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan” short stories by Olyrinson. To obtain a complete portrait according to research objectives, descriptive analytical method with a sociological literature approach was used. The method was conducted by describing facts which was then followed by analysis. Sociology of literature is theory that study about the relationship between literary work and society. The research data was taken from short stories anthology by Olyrinson entitled “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan”. The result shows that the short stories by Olyrinson portray reality of life of Melayu people in Riau, particularly in remote area in the vicinity of oil fields and palm plantation lands. The portrayal shows that Melayu people are (1) living underdeveloped, (2) living under poverty line, (3) displaced by development oil companies and palm plantation, (4) threatened by wild animals that felt disturbed by the land expansion. Aquari Mustikawati (Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur) MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT BENUAQ MELALUI CERITA PERANG DAN PER- BUDAKAN UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF DAYAK BENUAQ THROUGH THE STORY OF WAR AND SLAVORATION Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi kultural dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Ideologi kultural tersebut terutama berkaitan dengan perang
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
7
pymupdf
vi dan perbudakan masyarakat Benuaq dalam cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Masalah penelitian ini adalah bagaimana konsep pemikiran masyarakat Dayak Benuaq sebagai ideologi kultural mereka yang berhubungan dengan perang dan perbudakan dalam kedua cerita rakyat tersebut? Penelitian ini menggunakan metode etnografi, yaitu mendeskrip- sikan dan menafsirkan ideologi kultural suatu komu- nitas pada masa perang dan perlakuan mereka ter- hadap budak rampasan perang. Dengan mengguna- kan teori antropologi budaya, penelitian ini meng- analisis budaya perang dan budak dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Hasil temuan menunjukkan bahwa peperangan Dayak Benuaq masa lampau dilakukan untuk memperebutkan wilayah adat dan menunjukkan dominasi kekuasaan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seorang budak dalam masyarakat Dayak Benuaq menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” statusnya dapat berubah men- jadi manusia merdeka, bahkan menjadi pemimpin suku dikarenakan jasanya dalam mengusir dan membunuh musuh. This research attempts to reveal the cultural ideology in the Benuaq Dayak folklore. This cultural ideology is mainly related to war and the enslavement of the Benuaq people in the folk tales of “Putri Inuinang Jadi Ratu” and “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. The problem of this research is how is the way of thinking of the Dayak Benuaq community as their cultural ideology related to war and slavery in the two folk tales? To solve the problems and to achieve goals, ethnographic methods are used to describe and to interpret cultural ideology of a community during war time and their treatment toward slaves. By using cultural anthropological theory, this study analyzes the culture of war and slaves in the Dayak Benuaq folklore. The result shows that the past Dayak Benuaq wars were carried out to fight over customary territories and to show domination of power. The results of the research it can be concluded that a slave in the Dayak Benuaq community according to the story “Putri Inuinang Becomes Ratu” and “Bunyik Si Slave Runtahkan Mantiq”, can turn into a free human, even become a tribal leader because of her ability in kicking out and killing enemies. Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso (Universitas Negeri Semarang) Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE BALLON” KARYA JANE CADWALLADER: KAJIAN STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE BALLON” BY JANE CADWALLADER: A WORK STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE Analisis struktur karya Gérard Genette dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” karya Jane Cadwallader bertujuan untuk membedah peristiwa secara runtut, jelas, dan untuk mempermudah menemukan maknanya. Penelitian dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” mengguna- kan metode deskriptif. Hasil analisis struktur cerita pada cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” dibagi dalam tiga urutan, yaitu urutan teksual, urut- an kronologis, dan urutan logis. Dengan demikian, cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” lebih mudah untuk dipahami karena adanya urutan peristiwa secara jelas dan detail. The structural analysis of Gérard Genette’s work in the short story “Mamie Pétronille et le Ballon” by Jane Cadwallader aims to dissect events coherently, clearly and to make easier in finding their meaning. The research in the short story of “Mamie Pétronille et le Ballon” used a descriptive method. The results of the story structure in “Mamie Pétronille et le Ballon” are divided into three sequences. They are textual sequence, chronological order and logical sequence. Therefore, “Mamie Pétronille et le Ballon” short story is easier to be understood because of the clear and detailed sequence of events.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
8
pymupdf
vii Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin (Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus). ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE STORY IN KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan nilai sosial yang terdapat dalam cerita ketoprak “Ronggolawe Gugur”. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian, yaitu cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Teknik pengumpulan data dilakukan meng- gunakan observasi non partisipan, wawancara, dan transkip penulisan naskah cerita ketoprak Ronggo- lawe Gugur. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik simpulan. Dalam hasil penelitian ini, ditemukan struktur dan nilai sosial dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Pertama, struktur cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas alur, penokohan, tempat kejadian, tema, dan amanat. Kedua yaitu nilai-nilai sosial yang terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas pengabdian, tolong menolong, kepe- dulian, kekeluargaan, empati, disiplin, dan toleransi. This research aims to describe intrinsic elements and social value contained in ketoprak story of “Ronggo- lawe Gugur”. Researcher used descriptive qualitative methods. Research data sources is the ketoprak story entitled “Ronggolawe Gugur”. Data collection technique used non participant observation ,interview and transcipts of ketoprak script of “Ronggolawe Gugur”. Data analysis is conducted by data reduction, data presentation, and drawing conclusions. the result shows that this study found structure and social value in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur”. Frist structure of ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of plot, charac- terization, setting, theme, and mandate. Secound social values contained in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of devation, mutual help, concern, kinship, empathy, disciplin, and tolerance. Yohanes Adhi Satiyoko (Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR SASTRA JAWA DI YOGYAKARTA TAHUN 1991— 2020 ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY COMMUNITIES IN YOGYAKARTA BETWEEN 1991—2020 Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 Penelitian “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991—2020” adalah penelitian akumulatif dari beberapa penelitian terkait. Masalah dan tujuan penelitian dirumuskan dalam menemukan aktor-aktor kreatif sastra Jawa melalui pemetaan komunitas dan sanggar-sanggar sastra Jawa di DIY. Berkutnya adalah menemukan dan menjelaskan kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa tersebut dan pengayom yang mendukung kehidupan sanggar-sanggar tersebut. Pembahasan dilakukan dengan memanfaatkan teori sosiologi Talcot Parson dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahun 1991 merupakan tahun kunci kebangkitan sanggar sastra Jawa di DIY. Sastrawan-sastrawan Jawa memulai dan mengem- bangkan diri melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) di bawah kepengayoman Balai Bahasa Yogyakarta. Para sastrawan dari SSJY kemudian berusaha mengembangkan sastra Jawa dengan menjadi motor penggerak kelahiran sanggar-sanggar sastra Jawa di berbagai wilayah di DIY. Perkembangan ini menjadikan Lembaga-lembaga pengayom semakin memberikan perhatian kepada kehidupan sastra Jawa. Research on “Actors and Patron of Javanese Literary Communities in Yogyakarta between 1991—2020” is an accumulation of several related studies. Problem formulation and objectives of the study were formulated in finding creatives actors of Javanese Literature through communities mapping and Javanese literary workshops in Yogyakarta.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
9
pymupdf
viii Furthermore, is finding and explaining the life of those Javanese communities and patrons that support the life of them. The discussion was performed using sociological theory by Talcot Parson and sociology of literature approach. The result shows that year 1991was the key year of awakening Javanese communities through Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) under the fostering of Balai Bahasa Yogyakarta. Actors of SSJY then struggle to develop Javanese literature by becoming motor in building Javanese literature communities (sanggar-sanggar sastra Jawa) in DIY region. The development strengthens the patrons to be more active in giving attention to the life of Javanese literature. Imelda, Yulita Fitriana (Balai Bahasa Provinsi Riau) PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CER- PEN “PENGANTIN HAMIL” DAN “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA MARHALIM ZAINI MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY “PENGANTIN HAMIL” AND “PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Marhalim Zaini menggambarkan sosok perempuan yang termaginalkan dalam cerpennya yang berjudul “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api”, dengan cara menganalisis sikap, ucapan, dan tindakan yang dialami dan dilakukan tokoh perempuan. Dalam kedua cerpennya, Marhalim Zaini menggambarkan rakyat kecil, umumnya adalah tokoh perempuan, yang selalu mengalami kesengsaraan dan kesialan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang memaparkan tulisan berdasarkan isi karya sastra, yang menggambarkan tokoh perempuan yang selalu mengalami keterpurukan dan kesengsaraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa cerpen “Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” menggambarkan perempuan sebagai sosok termarginalkan dan selalu mengalami penderitaan. This research describes how Marhalim Zaini depicts marginalized women his short story entitled “Pe- ngantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Me- nyimpan Api” by analysing attitudes, speaking, and actions experienced and performed by female characters. In both short stories, Marhalim Zaini describes lower class people, who are commonly female characters who experienced misery and bad luck. The data collection was done by library research. The method used was a qualitative descriptive that describes writings based on the content of the work depicting a female character who experienced suffer and misery. The results shows that “Pengantin Hamil” and “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” shor stories depict marginalized and suffered women. Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih (Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon) UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA RAKYAT “BARIDIN” MASYARAKAT DESA GEGESIK INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON “BARIDIN” FOLKLORE Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135 Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” yang berasal dari masyarakat desa Gegesik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data pada penelitian ini adalah transkrip dari informan di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten Cirebon. Teknik yang digunakan pada penelitian ini yaitu teknik wawancara dan observasi. Validasi data pada penelitian ini dengan meningkatkan ketekunan pengamatan dan melakukan triangulasi sumber data. Analisis data dilakukan dengan model Miles dan Huberman dengan empat tahap yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjuk- kan bahwa cerita rakyat “Baridin” mempunyai unsur intrinsik sebagai berikut (1) tema :cinta ber- ujung kematian; (2) alur: alur maju; (3) latar tem- pat: di rumah Baridin, di rumah Ratminah, di jalan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
10
pymupdf
ix hendak kesawah, dan di sawah. Latar suasana: senang dan sedih (patah hati). Latar waktu: pagi hari, sore hari, dan petang hari. Latar keadaan sosial: musim paceklik dan memiliki kepercayaan yang tidak sejalan dengan syariat islam; (4) tokoh/peno- kohan: Baridin dengan watak keras kepala, pasrah, polos. Suratminah dengan watak sombong. Mbok Wangsih dengan watak penurut. Gemblung dengan watak pemarah dan pendendam. Bapak Dam dengan watak sombong; (5) sudutpandang: orang ketiga pelaku utama; (6) amanat : jangan sombong, saling menolong dalam hal kebaikan. Unsur ekstrinsik pada cerita rakyat “Baridin” yakni (1) nilai moral; (2) nilai sosial; (3) nilai agama; (4) nilai budaya. The research aims to describe intrinsic and extrinsic elements in the folklore “Baridin” of the Gegesik village community. The research method used is descriptive qualitative method. The data source in this study is the informant who knows the folklore “Baridin” in the village of Gegesik, Jagapura District, Cirebon Regency, The technique used in this study is to improve the perseverance of observation and triangulation of data sources. Data analysis was performed using the Miles and Huberman model with four stages namely data collection, data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results showed that the “Baridin” folklore contained intrinsic elements as follows (1) theme: love leads to death; (2) plot: forward plot; (3) setting place: at Baridin’shouse, at Suratminah’s house, on the road going to rice fields, in rice fields. Time setting: morning, evening. Social situation setting: famine and having beliefs that are not in life with islamic law; (4) character/ characterization: Baridin with a stubborn, resign, plain character, Ratminah with arrogant chacarter, Mrs. Wangsih with a submissive character, Gemblung with angry and vengeful character, Mr. Dam with with arrogant character; (5) Poin of view: thrid person main actor; (6) mandate: don’t be arrogant and help each other in good terms. Extrinsic elements in the “Baridin” folklore are (1) moral values; (2) social values; (3) religious values; (4) cultural values. Fikha Nada Naililhaq (Program Studi Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada) REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” KARYA A.A. NAVIS MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN” SHORT STORY BY A.A. NAVIS Widyasastra, 3(2), 2020, 136-146 Realisme magis dipahami sebagai unsur estetik yang mengandung magis bercampur dengan realitas yang ada. Kajian artikel ini berdasarkan sudut pandang bahwa karya sastra tidak lepas dari kultur masyarakat dan pengarang. Makna yang terkandung dalam karya sastra ditentukan oleh nilai budaya, adat istiadat, norma, serta ideologi pengarangnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji makna realisme magis dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis. Metode dalam artikel ini menggunakan metode deskriptif analisis untuk mendeskripsikan, menganalisis, dan menemukan fakta pada data yang ada. Sementara metode studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data untuk dianalisis. Dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari Lebaran karya A.A. Navis terdapat ciri-ciri realisme magis, antara lain, unsur yang tidak dapat direduksi, dunia fenomenal, penggabungan antara magis dengan realitas, keraguan yang menggoyahkan tokoh, serta rusaknya batas pemisah antara ruang, waktu, dan identitas. Dalam cerpen tersebut berlandaskan kebudayaan Islam tentang berkumpul bersama keluarga pada saat hari lebaran, namun karena zaman sudah berbeda muncul kebudayaan baru yang meninggalkan kebudayaan lama. Magical realism is known as an aesthetic element that contains magic mixed with existing reality. The study of this article is based on the point of view that literary works cannot be separated from the culture of society and the author. The meaning contained in literary works is determined by the cultural values, customs, norms, and ideology of the author. The purpose of this research is to examine the meaning of magical realism in the short stories of “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” by A.A. Navis. The method in this article
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
11
pymupdf
x uses a descriptive analysis method to describe, analyze, and find facts on existing data. Meanwhile, the literature study method is used to collect data for analysis. In the short story of “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” by A.A. Navis there were characteristics of magical realism, among others, irreducible elements, the phenomenal world, the amalgamation of magic with reality, doubts that shake characters, and breaking the boundaries between space, time and identity. The short story was based on Islamic culture about gathering with family during Eid, but because the time goes different to a new culture that left the old culture behind.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
12
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 59 Widyasastra, 2(3), 2019, 1-13 POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”, DAN “WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA OLYRINSON PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI” AND “WIWIAH BERTERBANGAN” SHORT STORIES BY OLYRINSON Marlina Balai Bahasa Provinsi Riau Jalan Binawidya, Kampus UNRI, Panam, Pekanbaru, Riau Posel: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan masyarakat Melayu Riau yang tinggal di sekitar ladang minyak dan lahan perkebunan yang terdapat di dalam cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” dan “Wiwiah Berterbangan” karya Olyrinson. Untuk memperoleh gambaran yang lengkap sesuai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sosiologi sastra adalah teori yang mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat. Data penelitian diambil dari buku antologi cerpen Olyrinson yang berjudul “Saat yang Tepat untuk Menangis”. Hasil analisis menunjukkan bahwa cerpen-cerpen Olyrinson menggambarkan realita kehidupan masyarakat Melayu di Riau, terutama masyarakat pedalaman yang tinggal di sekitar ladang minyak dan perkebunan sawit. Gambaran yang diperoleh ialah bahwa masyarakat Melayu (1) masih hidup terbelakang, (2) hidup di bawah garis kemiskinan, (3) tergusur oleh perluasan lahan perusahaan minyak dan perkebunan sawit, dan (4) mendapatkan ancaman dari hewan liar yang habitatnya terganggu oleh perluasan lahan tersebut. Kata kunci: masyarakat Melayu Riau, sosial-ekonomi, sosiologi sastra Abstract This study aims to describe the life of Melayu Riau people who live in the vicinity of oil fields and plantation lands in cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan” short stories by Olyrinson. To obtain a complete portrait according to research objectives, descriptive analytical method with a sociological literature approach was used. The method was conducted by describing facts which was then followed by analysis. Sociology of literature is theory that study about the relationship between literary work and society. The research data was taken from short stories anthology by Olyrinson entitled “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan”. The result shows that the short stories by Olyrinson portray reality of life of Melayu people in Riau, particularly in remote area in the vicinity of oil fields and palm plantation lands. The portrayal shows that Melayu people are (1) living underdeveloped, (2) living under poverty line, (3) displaced by development oil companies and palm plantation, (4) threatened by wild animals that felt disturbed by the land expansion. Keywords: Melayu Riau people, social-economy, sociology of literature
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
13
pymupdf
60 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 1. Pendahuluan Pengalaman hidup seseorang merupakan rekaman historis yang tertanam di hati dan pikirannya. Biasanya pengalaman dipotret dari peristiwa-peristiwa penting yang berkesan dan tidak mudah dilupakan. Sastra memotret fenomena sosial secara komprehensif. Sastra merupakan rekaman pengalaman sosial yang berharga. Pengalaman itu kental dengan su- gesti sosial dalam karya sastra. Endaswara (2013: 113) menyatakan bahwa sastra yang ideal adalah bentuk khas yang harus memberi tahu kebenaran tentang pengalaman sosial. Karya sastra melalui medium bahasa figuratif konotatif memiliki kemampuan yang jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah- masalah yang ada dalam masyarakat. Karya sastra bukan semata-mata fiksi. Sesuai dengan hakikatnya, fiksi diperoleh melalui pemaham- an total mengenai fakta. Fakta sosial diperoleh melalui pengalaman langsung, dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu (Endaswara, 2013:125). Begitu banyak karya sastra yang meng- angkat masalah sosial yang ada di masyarakat. Selain bertujuan untuk mengkritik kondisi sosial yang ada di masyarakat, karya sastra memberikan pesan agar masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat bisa menjadi perhatian pihak-pihak yang berwenang dan bertanggung jawab. Olyrinson merupakan salah seorang pe- nulis Riau yang karya-karyanya banyak meng- angkat kisah-kisah nyata yang ada di sekeliling- nya. Umumnya karya-karya yang ditulis oleh sastrawan muda Riau ini adalah cerita tentang masyarakat tidak mampu yang tinggal di se- kitar kilang minyak di Riau atau di sekitar perkebunan sawit. Kehidupan masyarakat miskin yang tinggal di daerah yang kaya raya karena hasil buminya. Apa yang ada di sekitar penulis menjadi inspirasi dalam menghasilkan karya. Oleh karena itu, wajar jika karya-karya Olyrinson pada umumnya menggambarkan realita yang ada dalam masyarakat. Sebab, menurut penulis yang telah memenangkan berbagai sayem- bara penulisan ini, apa yang dilihatnya, dirasa- kannya, dan yang membuatnya menangis, ditulisnya ke dalam sebuah cerpen. Riau merupakan daerah yang sangat kaya dengan hasil minyak bumi dan juga sawit. Per- usahaan pertamina terbesar dan perusahaan pabrik kertas juga terdapat di Riau. Akan tetapi, ternyata banyak masyarakatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mirisnya lagi, ma- syarakat miskin tersebut hidup dan bertempat tinggal di sekitar ladang-ladang minyak, di sekitar perkebunan sawit, dan di sekitar pabrik-pabrik kertas. Hal inilah yang digambarkan oleh Olyrin- son dalam cerpen-cerpenya yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Saat yang Tepat untuk Menangis.” Berita-berita dan tulisan- tulisan di koran-koran terbitan Riau juga ba- nyak mengangkat tentang kehidupan masya- rakat miskin ini. Olyrinson mencoba meng- angkat kehidupan nyata itu ke dalam cerpen- cerpennya. Sehubungan dengan itu, penulis tertarik untuk menganalisis cerpen-cerpen karya Olyrinson, terutama tentang realita sosial yang terdapat di dalam cerpen yang berjudul Dari Jendela yang Terbuka, Gajah Mati dan Wiwiah Berterbangan. Realita apa saja yang terdapat di dalam ketiga cerpen tersebut. Penelitian tentang sosiologi dalam karya sastra telah banyak dilakukan oleh para pene- liti sebelumnya. Di antaranya penelitian yang ditulis oleh Purnamasari, Aira (2017) yang berjudul “Analisis Sosiologi Sastra dalam novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Hasil analisis dalam Novel Bekisar Merah memiliki fakta sosial yang menggambarkan kehidupan di dunia nyata, yakni tentang masalah sosial pendidikan dan kemiskinan. Penelitian lainnya
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
14
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 61 dilakukan oleh Alaini (2015: 110-123) dengan judul “Stratifikasi Sosial Masyarakat Sasak dalam Novel Ketika Cinta Tidak Mau Pergi” karya Nadhira Khalid. Dari hasil analisis pe- neliti disimpulkan bahwa stratifikasi sosial yang terdapat di dalam novel Ketika Cinta Tidak Mau Pergi sama dengan stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Sasak. Penelitian yang menganalisis gambaran kehidupan masyarakat Melayu Riau di dalam cerpen Dari Jendela yang Terbuka dan Gajah Mati karya Olyrinson belum pernah dilakukan. Untuk itu, penulis ingin menganalisis kedua cerpen Olyrinson tersebut dari sudut pandang sosiologi sastra. Gambaran kehidupan sosial seperti apa yang terdapat di dalam cerpen- cerpen Olyrinson tersebut. Sastra dan sosiologi merupakan dua hal yang saling berhubungan. Secara institusional, objek sosiologi dan sastra adalah manusia dan masyarakat. Ilmu sosiologi menggambarkan kehidupan manusia secara ilmiah dan subjek- tif. Sementara sastra menceritakan kehidupan manusia dengan emosi dan subjektif. Meski sastra juga memanfaatkan pikiran dan intelek- tualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosional (Ratna, 2010: 3-4). Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa karya sastra merupakan refleksi dari apa yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini memiliki arti jika karya sastra akan bersinggungan de- ngan persoalan sosial masyarakat. Sastra me- nampilkan gambaran kehidupan dan kehidup- an sendiri tentu merupakan kenyataan sosial. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut pen- dekatan terhadap karya sastra mempertim- bangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekat- an terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 2002: 2). Sementara Wellek (1989:109) mengata- kan bahwa sastrawan dipengaruhi dan me- mengaruhi masyarakat. Seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Ada hubungan timbal balik antara karya sastra dan masyarakat. Untuk itu, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana karya sastra yang dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat di tempat karya tersebut lahir. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkat- kan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat. Hal ini men- jelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan de- ngan kenyataan (Alaini, 2015:113). Cerita yang ditulis oleh seorang pengarang tidak akan berlawanan dengan kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia. Meski tulisan sastra di- ungkapkan dengan perasaan yang dipenga- ruhi oleh emosional, tetapi sastra tetaplah ba- gian dari masyarakat. Wajar jika tulisan sastra menggambarkan kehidupan manusia yang sebenarnya. Endaswara (2013: 125) menyatakan bah- wa karya sastra, melalui medium bahasa figuratif konotatif, memiliki kemampuan yang jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah- masalah yang ada dalam masyarakat. Karya sastra bukan semata-mata fiksi. Sesuai dengan hakikatnya, fiksi diperoleh melalui pemaham- an total mengenai fakta. Melalui pendekatan sosiologi sastra akan diketahui sikap pengarang terhadap perma- salahan yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu. Dengan sosiologi sastra menurut Sumardjo dalam Retnasih (2014: 13), juga akan terlihat reaksi-reaksi pengarang terhadap suatu kondisi masyarakatnya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah suatu bidang ilmu yang mengemukakan hubungan antara masyarakat dengan suatu karya sastra. Dapat dikatakan bahwa karya sastra dapat meningkatkan pemahaman pem- baca terhadap situasi kemasyarakatan yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra ter- sebut.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
15
pymupdf
62 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 Endaswara (2013: 78) berpendapat bah- wa sosiologi sastra merupakan dua bidang ilmu yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Dalam kaitan ini sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang me- rupakan suatu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya, yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah karya sastra. Hal ini menunjukkan bahwa lahirnya suatu karya sastra berkaitan dengan situasi yang ada dalam masyarakat. Masih menurut Endaswara (2013: 80) sosiologi sastra dapat diteliti melalui tiga per- spektif, yaitu (a) . perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya, (b) perspektif biografis, yaitu peneliti meng- analisis pengarang, dan (c) perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Perspektif yang digunakan pada pene- litian ini adalah perspektif teks sastra, yaitu dengan cara menganalisis teks karya sastra, mengklasifikasi, kemudian menjelaskan makna aspek sosiologinya. Aspek yang dianalisis adalah sosiologi sastranya, yakni sastra se- bagai cerminan dari suatu masyarakat. Arti- nya, karya sastra merupakan hasil karya sastrawan yang hidup di masyarakat, me- lukiskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Melalui karya sastra dapat dilihat keadaan dan kondisi masyarakat yang tergambar dalam karya sastra itu. Sosiologi memberikan banyak manfaat bagi sastra. Dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi pemahaman kita terhadap sastra belum lengkap. Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini adalah pada aspek dokumentasi sastra: landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan itu beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, sosial ekonomi, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tugas ahli sosiologi sastra ialah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayalan dan situasi yang diciptakan pengarang dengan kondisi sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang terdapat di dalam karya sastra yang bersifat pribadi, harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial (Damono, 2002: 10). 2. Metode Tulisan ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Melalui metode ini, mula-mula data dideskripsikan dengan maksud untuk me- nemukan unsur-unsurnya, kemudian di- analisis (Ratna, 2012: 53). Dalam kajian ini dilakukan penggambaran dan pelukisan dengan kata-kata terhadap data, yakni apa saja yang tersaji dalam cerpen Gajah Mati, Dari Jendela yang Terbuka dan Wiwiah Berterbang- an karya Olyrinson. Lalu, deskripsi itu dikaitkan dengan fakta-fakta sosial yang ada, kemudian disusul dengan analisis. Untuk mengimplementasikan pendekatan itu, tahap pengumpulan, pengolahan, dan analisis data dilakukan secara bersamaan (Hendrarso dalam Wahyuni, 2015: 5). Langkah pertama yang dilakukan adalah memahami kedua cerpen karya Olyrinson tersebut atas dasar teks tertulisnya. Kemudian memandang teks tertulis itu sebagai peng- ungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi, persepsi, sikap, dan sebagainya dari peng- arang. Setelah itu menghubungkannya dengan realitas yang terjadi di masyarakat Melayu Riau yang tinggal di sekitar ladang minyak maupun perkebunan sawit. Sementara teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra,
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
16
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 63 yakni teori yang mengkaji hubungan antara karya sastra dan masyarakat. 3. Pembahasan 3.1 Cerpen “Dari Jendela yang Terbuka” Cerpen berjudul “Dari Jendela yang Terbuka” menceritakan tentang kemiskinan yang diderita oleh masyarakat di sekitar ladang minyak di Riau. Sebagian dari mereka terpaksa menjadi pemulung dan mengambil besi-besi yang ada di lokasi ladang minyak. Gadis kecil itu mengalihkan pandangan- nya sebentar pada dipan reyot di be- lakangnya. Di situ terbaring adik kecil- nya yang bersuara serak karena se- panjang hari menangis. Dia tidur dengan tenang sekarang, tidak menangis lagi. Di sampingnya gelas bekas air sumur yang dia ambil untuk minum adiknya masih setengahnya terisi, teronggok seperti segelas susu encer karena air sumur yang kering bercampur tanah liat (Olyrinson, 2018:2). Kutipan cerpen di atas memperlihatkan betapa parahnya kemiskinan yang diderita oleh salah satu keluarga yang tinggal di dekat ladang minyak tersebut. Anak kecil tersebut harus menjaga adik bayinya karena ibunya telah ditangkap polisi. Sang ibu ketahuan mencuri besi tua di dalam kompleks ladang minyak milik perusahaan. Karena adiknya terus menangis sebab merasa lapar, si kakak pun memberikan air sumur kepada adiknya sebagai pengganti susu. Air sumur di sekitar ladang minyak memang ber- warna keruh karena airnya bercampur dengan tanah liat yang berwarna coklat muda. Rasa perih di perutnya semakin meng- hujam. Dia belum makan apa-apa se- dari tadi pagi, bahkan kalau dihitung- hitung dari kemarin malam dia belum bertemu dengan nasi. Sejak abah me- ninggal tertimpa kayu balak tempo hari, hidup mereka jadi tidak menentu. Sering tidak ada nasi di rumah, sebab se- karang emaklah yang bekerja mencari uang (Olyrinson, 2018: 2). Dari kutipan cerpen di atas bisa dilihat jika kedua kakak adik tersebut menderita kelaparan. Mereka berdua sering tidak makan karena tidak ada persediaan makanan di rumah. Ibu keduanya pergi setiap hari untuk mencari nafkah. Mereka hanya menanggung kesusahan seorang diri. Tanpa ada perhatian dan bantuan dari pihak pemerintah setempat ataupun perusahaan minyak yang letaknya sangat dekat dengan rumah mereka. Padahal mereka hidup di atas tanah yang menyimpan kekayaan alam yang sangat luar biasa nilainya. Akhir-akhir ini emak bilang selalu ada penjagaan di setiap pos. Perusahaan minyak itu mulai pelit. Mereka tidak membiarkan apa pun yang tersisa di area mereka untuk diambil. Bahkan mereka menangkap siapa pun yang kedapatan mencari besi tua di ladang minyak mereka. Padahal menurut emak lagi, kalau tidak diambil pun besi- besi tua itu akan dibuang di yard sampai berkarat dan habis dimakan tanah (Olyrinson, 2018: 2-3). Sementara perusahaan minyak, tempat para pemulung mengumpulkan besi semakin memperketat penjagaan mereka. Pemulung tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam area perusahaan. Jika ada yang ketahuan masih masuk ke dakam dan mencuri besi-besi tu, orang tersebut akan ditangkap dan diserahkan kepada pihak berwajib. Padahal besi-besi tua tersebut tidak akan pernah digunakan lagi oleh perusahaan. Besi tua tersebut akan menjadi barang rongsokan yang akhirnya terbuang begitu saja.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
17
pymupdf
64 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 Ibu kakak beradik itu tidak memiliki pekerjaan apa-apa selain mengumpulkan besi-besi tua di ladang minyak. Akan tetapi, pengawasan di ladang minyak semakin diperketat. Besi-besi tua yang tidak terpakai pun tidak boleh lagi diambil masyarakat. Mereka menangkap orang-orang yang meng- ambil besi tua di ladang minyak tersbut. Akhir- nya si ibu kedua kakak adik itu pun tertangkap. Ia dibawa oleh beberapa orang anggota polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuat- annya. Tinggallah anaknya yang masih kecil berdua di rumah. Kemarin emak pergi juga ke ladang minyak, meski penjagaan sedang ketat- ketatnya dilakukan. Akibatnya banyak dari teman-teman emak yang ditangkap dan dijebloskan ke rumah tahanan polisi. Emak berhasil lolos dengan se- kujur tubuh penuh luka akibat tertusuk duri. Emak lari ke semak-semak sambil memanggul setengah karung besi tua hasil jarahannya (Olyrinson, 2018: 3). Kemiskinan dan kelaparan membuat orang lupa diri. Ia bisa melakukan pencurian dan hal-hal tidak terpuji lainnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di sekitar ladang minyak tersebut. Mereka tidak memiliki makanan. Mencuri adalah jalan untuk memperoleh makanan. Namun, mereka harus berurusan dengan polisi. Bagaimana pun juga perbuatan mencuri tetaplah salah dan me- lawan hukum. Harusnya hari ini besi tua itu akan di- jual. Dan sebagai gantinya akan ada sedikit beras di rumah, ikan asin, dan biscuit untuk adik kecil. Tapi semua itu sudah dibawa om dan tante polisi, akibatnya dia dan adik kecilnya tidak bertemu nasi sampai senja ini (Olyrinson, 2018: 3). Kutipan di atas terlihat bahwa kehidupan ibu dengan dua orang anak tersebut sangat susah. Mereka benar-benar tidak memiliki beras untuk dimasak. Si ibu berharap bisa menjual besi yang diperolehnya dan ia men- dapatkan uang untuk membeli beras, ikan asin serta biscuit untuk anak bayinya. Namun, takdir berkata lain. Si ibu ditangkap oleh polisi sebelum sempat menjual hasil curiannya. Anak-anaknya harus ikut menjadi korban. Tidak ada yang peduli dengan kondisi mereka. Tidak pemerintah setempat, tidak juga para tetangga karena para tetangga pun juga orang- orang yang hidupnya susah. Gadis kecil itu terus menatap ke jalan. Menunggu emak datang dari tikungan sambil membawa sebungkus pisang goreng atau gado-gado. Ia akan me- nyambut emak dan mengatakan bahwa dia sudah menjadi anak baik dengan menjaga adik kecil sampai emak kembali (Olyrinson, 2018: 3). Sementara si anak terus saja mengharap kepulangan ibunya. Berharap ibunya pulang membawa makanan. Akan tetapi, sampai hari sudah gelap, si ibu tidak juga pulang. Sebab, ibunya telah ditahan di kantor polisi. Gadis kecil itu terus saja membayangkan ibunya pulang membawakan sebungkus pisang goreng atau gado-gado. Sementara adik bayi- nya tidak lagi bergerak atau menangis. Adik bayinya telah pergi dengan rasa lapar dan dahaga. 3.2 Cerpen “Gajah Mati” Cerpen ini bercerita tentang seorang anak laki- laki belasan tahun yang sedang mencari pertolongan untuk bapaknya yang sedang sakit. Ia pergi ke puskesmas, tetapi tidak ada dokter atau bidan yang bisa membantunya. Lalu ia pergi ke balai desa, hasilnya sama. Tidak ada kepala desa atau aparat desa yang bisa
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
18
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 65 membantunya. Semua orang sibuk mengurus kematian seekor gajah. Sejak para pengusaha membuka lahan sawit dengan membakar hutan, kawanan gajah kehilangan tempat tinggal yang akhirnya masuk ke daerah pemukiman penduduk. Gajah-gajah yang semakin terdesak itu me- rusak kebun dan dan ladang para penduduk. Penduduk yang resah dan merasa dirugikan, akhirnya meracun gajah-gajah tersebut satu demi satu. Setiap gajah mati, para pejabat daerah, pemerintah setempat selalu sibuk mengurus bangkai gajah tersebut. Tidak ada satu pun yang peduli dengan si anak remaja yang me- minta pertolongan untuk membawa ayahnya yang sekarat ke rumah sakit. Permasalahan yang dihadapi oleh pen- duduk di sekitar lokasi-lokasi perluasan kebun sawit hampir sama. Mereka rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat pendidikan mereka rendah sehingga menyebabkan masyarakat yang hidup di daerah-daerah pinggiran Riau sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka umumnya hanya hidup dari hasil ladang. Sejak maraknya penanaman lahan sawit, kehidupan masya- rakat semakin sulit. Mereka harus berbagi tempat dan kehidupan dengan hewan-hewan di sekitar mereka, seperti gajah. Hal ini dapat kita lihat pada kutipan di bawah ini. “Sesungguhnya kami tidak membenci gajah. Dari zaman nenek moyang kami, kami bersahabat dengan gajah. Kami tidak pernah saling ganggu. Yang kami benci adalah pengusaha pemilik lahan. Mereka yang merusak habitat hewan- hewan jinak itu. Tempat tinggal gajah- gajah itu dibakar, hutannya mereka tebang, sehingga mereka tidak punya tempat tinggal lagi.”(Olyrinson, 2018:10) Pada awalnya masyarakat setempat bersahabat dengan alam. Mereka tidak pernah bermusuhan dengan hewan seperti gajah. Akan tetapi, sejak tanah-tanah Melayu disulap menjadi kebun sawit, apalagi cara mereka membuka lahan tersebut dengan membakar hutan, kehidupan komunitas hewan termasuk gajah menjadi terganggu. Gajah yang biasanya merupakan teman dan sahabat para pen- duduk, sekarang malah menjadi musuh yang saling membenci. Kutipan berikut ini mem- perlihatkan kondisi tersebut. “Sekarang gajah-gajah itu terdesak, mereka mencari makan di ladang- ladang kami. Mereka tidak bisa masuk ke kebun-kebun sawit milik pengusaha itu, karena di sekeliling kebun mereka dilindungi pagar kawat beraliran listrik. Mereka punya uang, jadi selalu punya cara untuk mengusir hewan-hewan itu. Korbannya tentu saja kami, yang tidak berdaya mengusir hewan marah yang kehilangan tempat tinggalnya. Mereka memakan hasil kebun kami untuk ber- tahan hidup, kami membunuh mereka untuk mempertahankan hidup.” (Olyrinson, 2018:10-11). “… Hari ini, satu gajah yang mati kena racun menjadi masalah besar. Padahal ketika pengusaha kebun itu membuka hutan untuk kebun sawit, mereka membunuh banyak gajah tanpa ada satu pihak pun yang peduli. Ketika hewan langka itu tinggal sedikit, tiba-tiba semua orang jadi pahlawan. Semua peduli. Nyawa gajah sekarang begitu berarti, bahkan lebih berarti daripada nyawa seorang manusia. Nyawa ayahku yang hampir mati.” (Olyrinson, 2018:11).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
19
pymupdf
66 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 Untuk membuka sebuah lahan, biasanya memang banyak hal yang dikorbankan. se- perti hutan harus dibakar dan dibumihangus- kan, hewan-hewan kehilangan tempat tinggal, dan masyarakat di sekitar lahan kehilangan mata pencaharian. Di dalam cerpen “Gajah Mati” tersebut, pengusaha melakukan semua itu tanpa mendapatkan sanksi dari pemerintah setempat. Tidak ada pihak yang peduli dengan pembukaan lahan dan dampak dari pembuka- an lahan. Hal ini terbukti dari semakin luasnya lahan hutan yang telah berubah menjadi lahan sawit. Betapa banyak hewan yang mati dan kehilangan tempat tinggal karena pembakar- an hutan. Begitu juga dengan gajah yang ko- munitasnya banyak ditemukan di daerah Mandau, Bengkalis. Ketika hal itu terjadi, tidak ada satu pun pihak yang peduli. Akan tetapi, sekarang, ketika hewan tersebut telah men- jadi hewan langka dan menjadi hewan yang dilindungi, barulah banyak pihak sibuk me- ngurus hewan tersebut. Semua orang akan turun ke lokasi jika terjadi sesuatu pada gajah. Nyawa seekor gajah sepertinya lebih ber- harga dari nyawa seorang manusia. “Dalam air mata yang berbaur dengan hujan, satu pikiran melintas di benakku. Mungkin kalau kami penduduk asli sudah punah dan menjadi manusia langka seperti gajah, barangkali baru kami diperhatikan, dan diperhitungkan sebagai manusia.” (Olyrinson, 2018:11) “… Aku butuh mobil untuk membawa ayahku, tetapi tidak ada satupun mobil di desa ini yang bersedia membawa- nya. Aku benci kepada semuanya. Orang-orang pengusaha hutan itu, dokter puskesmas, lurah, juga peme- rintah daerah yang tidak pernah mem- perhatikan nasib kami. Kami tetap miskin di tengah orang yang semakin kaya menguras hasil hutan dan me- rampas tanah kami. Kami terbelakang. Bahkan mobil angkutan pun hanya sekali seminggu singgah di desa kami. Kami tidak lebih dari sekawanan gajah saja.” (Olyrinson, 2018:12) Dari kutipan di atas terlihat jika sarana transportasi pun tidak ada di kampung ter- sebut. Masyarakat kampung di pinggiran kebun sawit hidup terbelakang, tidak tersentuh oleh pembangunan. Jalan-jalan di kampung masih berlumpur karena belum diaspal. Ketimpangan kondisi masyarakat akibat perusahaan minyak di daera-daerah di Riau sangat nyata terlihat. Masyarakat yang tinggal di sekitar lahan perkebunan atau di sekitar kilang minyak tetap tidak tersentuh oleh kemajuan, baik dari segi materi, pendidikan maupun pembangunan jalan dan fasilitas umum lainnya. Dunia berputar. Aku pusing. Aku melihat wajah orang yang sibuk ini berganti-ganti. Semua prihatin, semua cemas, semua kecewa, hanya karena kematian seekor gajah. Kemudian wa- jah ayahku melintas. Wajah yang se- karat dan tengah meregang nyawa. Lalu wajah ibuku yang sedang me- nyusui adikku yang paling kecil, wajah adik-adikku yang kecil dan tirus karena kurang makan (Olyrinson, 2018:14). …. Aku ingat ayah, ibu dan adik-adikku. Apakah ayah sudah dibawa ke rumah sakit? Atau sekarang sudah terbang menembus langit? Juga ibu dan adik- adikku, apakah mereka sudah makan atau menjadi sekumpulan burung yang kelaparan? (Olyrinson, 2018:15) Dari kutipan di atas dapat dilihat jika masyarakat yang tinggal di sekitar perke- bunan sawit hidup dalam kemiskinan. Bagi mereka makan sekali sehari atau bahkan tidak
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
20
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 67 makan sama sekali sudah menjadi hal yang biasa. Jadi, masalah yang dihadapi masyarakat tidak hanya perang melawan gajah yang merusak kebun dan tanaman mereka, tetapi juga masalah kebutuhan pokok yang tidak pernah bisa mereka tercukupi untuk ke- butuhan sehari-hari. 3.3 Cerpen “Wiwiah Berterbangan” Sulitnya kehidupan menyebabkan masyarakat di sekitar kilang minyak melakukan apa saja untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Seperti yang terjadi di dalam cerpen “Wiwiah Berterbangan”, tokoh Nur dan Korie yang umurnya sudah tidak muda lagi melakukan pekerjaan sebagai perempuan panggilan demi mendapatkan uang. Siang tadi Dina menemui Nur tua. Me- minjam dua tekong beras untuk makan. Emak sakit. Abah tak tahu lagi rimbanya sejak berangkat menjadi TKI gelap. Tidak ada lagi yang hendak mereka makan, jadi dia harus bertindak (Olyrinson, 2018: 107). Kutipan di atas memperlihatkan bagai- mana sulitnya kehidupan masyarakat di sekitar kilang minyak. Mereka tidak punya beras dan uang untuk makan. Ketika Dina me- minjam beras kepada Nur, tetangganya yang sudah berumur cukup tua, Nur malah meng- ajak Dina untuk ikut bekerja dengannya di waktu malam. Dina yang memang ingin mem- bantu ibunya mencari uang menerima ajakan Nur. “Di rumahku selalu ada beras,” kata Nur Tua. “Pokoknya kalau aku ke jalan malam hari, pasti beras akan selalu tersedia. Supir truk itu murah hati. Asal kau mau mengikuti kehendak mereka, kau akan diberi banyak uang.” (Olyrinson, 2018: 107-108). Nur Tua masih mencoba membujuk Dina agar mau ikut dengannya setiap malam untuk menjadi wanita penghibur supir truk. Dengan iming-iming beras dan uang Nur Tua merayu Dina dengan penuh semangat. Hati Dina mulai goyah. Malam harinya, Dina pun ikut dengan Nur Tua menunggu truk di dekat pipa minyak. Dina yang masih berumur belasan tahun itu didandani oleh Nur Tua layaknya wanita dewasa. Namun, Korie, teman Nur Tua men- coba menghalangi niat Nur Tua tersebut. Korie mencoba menyadarkan Nur Tua dan me- nyadarkan Dina. “Diam, kau! Ini kemauannya. Bukan aku yang paksa. Tanya dia sendiri. Dia butuh beras untuk membayar hutang berasnya kepadaku dan untuk makan mereka besok. Apa kau bisa kasih?” (Olyrinson, 2018: 109). Nur Tua tidak mau menerima nasihat dari Korie. Perempuan itu tetap teguh pada pen- deriannya. Dina dan keluarganya butuh makan. Untuk itu, Dina harus kerja. Meski kerja seperti mereka. Sebab, orang seperti mereka tidak punya pilihan apa-apa. Nur Tua memberikan alasan yang kuat mengapa Dina harus ikut bekerja seperti mereka. Namun, ucapan Korie menyentuh dasar hati Dina. Gadis belia itu mencerna semua yang diucapkan oleh Korie. Nur Tua tidak menjawab. Dina merasa matanya tiba-tiba panas. Kalimat itu ditujukan buat dirinya, bukan untuk Nur Tua. Apa yang terjadi jika emak tahu dia mendapat beras dengan men- jadi penghibur supir truk? Apa hati emaknya akan hancur? Apa emaknya memilih mati seperti Korie? Kalau emaknya mati siapa yang akan meng- urus adik-adiknya? Tapi bagaimanapun mereka butuh makan. Kalau dia tidak bekerja, dan mereka tidak mempunyai beras, emak akan mati juga pada akhir-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
21
pymupdf
68 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 nya. Juga adik-adiknya, bahkan dirinya sendiri (Olyrinson, 2018: 110). Dina mengalami pergolakan batin, seperti yang terlihat pada kutipan di atas. Gadis belia itu bisa membayangkan perasaan emaknya jika emaknya tahu apa yang dilakukannya. Akan tetapi, di sisi lain, Dina juga sadar jika emak dan adik-adiknya serta dirinya butuh makan. Gadis belia itu benar-benar merasa bingung. Ia merasa tidak punya pilihan lain. Namun, hati nuraninya menolak apa yang akan dilakukannya dengan Nur Tua. Korie menyerahkan Wiwiah yang sudah dipanggang itu kepada Dina dan menggigit yang seekor lagi di mulutnya. “Makanlah! Kau tidak perlu menjadi pelacur untuk bisa makan bukan?” Dina menggigit wiwiah panggang itu dengan ragu. Rasanya enak seperti udang goreng. Perutnya yang lapar menerima wiwiah itu dan memintanya lagi (Olyrinson, 2018: 111). Sembari menunggu truk yang akan datang, Korie mengajak Dina untuk mencari wiwiah. Korie membakar beberapa ranting pohon yang dikumpulkan Dina. Wiwiah berdatangan mendekati cahaya api. Korie menangkapnya dan membakarnya di atas api. Setelah itu, Korie memberikannya kepada Dina. Dina memakannya bersama-sama dengan Korie. Ternyata rasanya enak seperti udang goreng. Dina menyukainya. Tidak ada rasa jijik pada diri Dina ketika memakan wiwiah panggang itu. Nur Tua merasa mual melihat Dina dan Korie memakan wiwiah panggang itu. “Hujan bertambah lebat. Dina memper- cepat larinya sambil menggenggam saku roknya yang kebesaran. Dalam sakunya, puluhan wiwiah berbunyi, berdesak-desakkan untuk keluar. Dina memegangnya demikian rupa, agar mereka tidak terbang, agar ada per- sediaan makanan di rumah untuk emak dan adiknya (Olyrinson, 2018:115)” Akhirnya Dina tidak mengikuti ajakan Nur Tua untuk menjadi wanita penghibur supir truk. Dina pulang dengan membawa banyak wiwiah di kantong roknya. Wiwiah itu nanti akan dibakarnya dan diberikannya kepada emak dan adik-adiknya. Ketika perut kosong, uang dan makanan tidak ada, maka apa pun akan menjadi enak dimakan untuk sebagian orang. 3.4 Realitas Kehidupan Masyarakat Melayu di Sekitar Ladang Minyak dan Per- kebunan Sawit Sakai tidak lagi punya hutan belantara. Padahal, dulu mereka bergantung hidup dengan alam. Hutan sudah musnah digantikan oleh perkebunan sawit. Hal ini diungkapkan oleh Robin Rawana, 43 tahun, RT 02, Kecamatan Mandau (Selasa, 19/01/2016). Sakai tidak hanya diapit perusahaan minyak berkelas internasional, tetapi mereka juga dikepung oleh perusahaan sawit dan hutan industri yang tidak pernah menyentuh ekonomi masya- rakat Sakai. Sakai tetap hidup dalam keter- purukan dan kemiskinan (http:// news.detik.com/berita/d-3121521/lebih-dekat- dengan-suku-sakai-yang-terpinggirkan) Karena memiliki cadangan migas terbesar di Asia Tenggara, sepatutnya masyarakat yang bertempat tinggal di Riau bisa hidup sejahtera. Namun, faktanya angka kemiskinan di Riau masih tetap tinggi, yakni 7,21 persen. Ini artinya 494.260 orang penduduk Riau berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini disampai- kan oleh Gubernur Riau, Syamsuar, pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah daerah (RKPD) Provinsi Riau tahun 2020 di Hotel Premiere Pekanbaru, Kamis, 28/3/ 2019 (http://cakaplah.com).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
22
pymupdf
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 ©2020, Widyasastra 69 PT. Chevron Pacifik Indonesia (CPI) menginformasikan bahwa pada hari Rabu, 7 Agustus 2019, sekitar pukul 06.00 wib, seekor harimau terlihat di Gathering Station (GS) 5 Minas. Untuk keselamatan karyawan, saat ini seluruh aktivitas di luar ruangan di GS 5 ditunda dan apabila harus meninggalkan GS wajib menggunakan kendaraan, kata Manager Corporate Communication PT CPI Sonita Poernomo, Rabu, 7/8/2019 (http:// news.detik.com/berita/d-4655739/harimau- muncul-di-ladang-minyak). Atas minyak bawah minyak, itulah sebut- an untuk Riau dulu dan kini. Namun, apa boleh buat, perusahaan asing telah lama men- cengkram Bumi Melayu ini. Prof. Mubyarto, Direktur Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK-UGM), ber- dasarkan hasil penelitiannya di Sumatera, kaya minyak bumi dan gas alam belum tentu membuat rakyatnya makmur. Buktinya Riau, Aceh, Sumatera Selatan. Penghasilan per kapita desa-desa di tiga provinsi itu jauh di bawah desa-desa di Yogyakarta dan Sumatera Barat. Provinsi Riau dengan kekayaan minyak bumi itu memang mampu memacu pertumbuhan ekonomi melalui kilang minyaknya, tetapi berkahnya tidak sampai kepada masyarakat pedesaan (http://kompasiana.com/chevron: neo-kolonialis). Olyrinson (2018: x) menyatakan bahwa kumpulan cerpen “Saat yang Tepat untuk Menangis” ini merupakan cerita yang berangkat dari realita. Apa yang dilihat dan dirasakan oleh Olyrinson ditulisnya menjadi cerpen yang terdapat di dalam kumpulan cerpen ini. Ia ingin memaparkan realita yang dilihat dan dirasa- kannya. 4. Penutup Karya sastra sebagai cerminan masyarakat, ditulis oleh pengarang dengan tujuan meng- angkat kisah yang ada di tengah-tengah masyarakat. Dengan tulisannya, pengarang ingin pembaca melihat apa yang sebenarnya ada di sekeliling kita. Selain untuk mengetuk hati para pembaca, kisah yang diangkat oleh seorang pengarang bisa juga untuk mem- berikan kritik kepada pemerintah setempat. Agar aparat pemerintah yang tidak sempat turun ke daerah mengetahui seperti apa sebenarnya kehidupan masyarakat di daerah- daerah. Ketiga cerpen Olyrinson yang berjudul Dari Jendela yang Terbuka,Gajah Mati dan Wiwiah Berterbangan menggambarkan realita yang ada pada kehidupan nyata masyarakat Melayu Riau di sekitar kilang minyak dan perkebunan sawit yang ada di Riau. Betapa masyarakat yang berada di atas tanah yang mengandung minyak, di bawah dan di atasnya, tetapi hidup miskin dan sangat prihatin. Ketiga cerpen tersebut menceritakan dengan gamblang kondisi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kisah-kisah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Olyrinson itu menyadarkan kita sebagai pembaca, betapa masih banyak orang-orang yang hidupnya jauh dari kata layak. Bahkan, untuk makan sehari-hari pun mereka tidak punya. Oleh sebab itu, kedua cerpen yang ter- dapat di dalam antologi “Saat yang Tepat Untuk Menangis” ini bisa dijadikan sebagai sarana dan media untuk menyampaikan kritik dan saran kepada pemerintah setempat. Harapan- nya ialah agar pemerintah daerah lebih mem- perhatikan kehidupan masyarakatnya. Masih banyak masyarakat miskin yang tidak me- miliki pekerjaan dan tidak memiliki peng- hasilan. Tugas pemerintah daerahlah untuk mem- berikan perlindungan dan pengayoman ke- pada masyarakat setempat. Pemerintah
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
23
pymupdf
70 ©2020, Widyasastra Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70 daerah harus bisa memberikan solusi dan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat agar masyarakat miskin tersebut dapat hidup dengan layak. Kumpulan cerpen “Saat yang Tepat untuk Menangis” ini sebaik- nya dibaca oleh pemerintah daerah dan dijadi- kan acuan untuk turun ke lapangan guna men- jumpai masyarakat-masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Daftar Pustaka Alaini, N. N. (2015). Stratifikasi Sosial Masyarakat Sasak dalam Novel Ketika Cinta Tidak Mau Pergi Karya Nadhira Khalid. Kandai, 11, 110–123. Damono, S. D. (2002). Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Endaswara, S. (2013). Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Olyrinson. (2018). Saat yang Tepat untuk Menangis. (W. Ana, Ed.) (1 ed.). Jakarta: Imaji. Purnamasari, Aira., dkk. (2017). Analisis Sosiologi Sastra dalam Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Jurnal Ilmu Budaya, 1(2), 140–150. Ratna, N. K. (2010). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, N. K. (2012). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (XI). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Retnasih, A. O. (2014). Kritik Sosial dalam Roman Momo Karya Michael Ende (Analisis Sosiologi Sastra. Universitas Negeri Yogyakarta. Teeuw, A. (1983). Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wahyuni, D. (2015). Menggali Realitas Kerusuhan Mei 1998 dalam “Sapu Tangan Fang Yin.” Salingka, 12(1), 1—16. Diambil dari https://www.academia.edu/ 32789212/Menggali_Realitas_Kerusuhan_ Mei_1998_dalam_Sapu_Tangan_ Fang_Yin_ Wellek, R. (1989). Teori Kesusastraan. (M. Budianta, Ed.) (ke 5). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://news.detik.com/berita/d-3121521/ lebih-dekat-dengan-suku-sakai-yang- terpinggirkan (diunduh pada 12 Mei 2020) http://cakaplah.com (diunduh pada 12 Mei 2010) http://news.detik.com/berita/d-4655739/ harimau-muncul-di-ladang-minyak (diunduh pada 19 Mei 2020) http://kompasiana.com/chevron:neo-kolonialis (diunduh pada 19 Mei 2020)
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
24
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 71 MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT BENUAQ MELALUI CERITA PERANG DAN PERBUDAKAN UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF DAYAK BENUAQ THROUGH THE STORY OF WAR AND SLAVORATION Aquari Mustikawati Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur, Jalan Batu Cermin 25 Samarinda, Posel: [email protected] Abstrak Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi kultural dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Ideologi kultural tersebut terutama berkaitan dengan perang dan perbudakan masyarakat Benuaq dalam cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Masalah penelitian ini adalah bagaimana konsep pemikiran masyarakat Dayak Benuaq sebagai ideologi kultural mereka yang berhubungan dengan perang dan perbudakan dalam kedua cerita rakyat tersebut? Penelitian ini menggunakan metode etnografi, yaitu mendeskripsikan dan menafsirkan ideologi kultural suatu komunitas pada masa perang dan perlakuan mereka terhadap budak rampasan perang. Dengan menggunakan teori antropologi budaya, penelitian ini menganalisis budaya perang dan budak dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Hasil temuan menunjukkan bahwa peperangan Dayak Benuaq masa lampau dilakukan untuk memperebutkan wilayah adat dan menunjukkan dominasi kekuasaan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seorang budak dalam masyarakat Dayak Benuaq menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” statusnya dapat berubah menjadi manusia merdeka, bahkan menjadi pemimpin suku dikarenakan jasanya dalam mengusir dan membunuh musuh. Kata kunci: perang, budak, ideologi kultural, antropologi, cerita rakyat Abstract This research attempts to reveal the cultural ideology in the Benuaq Dayak folklore. This cultural ideology is mainly related to war and the enslavement of the Benuaq people in the folk tales of “Putri Inuinang Jadi Ratu” and “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. The problem of this research is how is the way of thinking of the Dayak Benuaq community as their cultural ideology related to war and slavery in the two folk tales? To solve the problems and to achieve goals, ethnographic methods are used to describe and to interpret cultural ideology of a community during war time and their treatment toward slaves. By using cultural anthropological theory, this study analyzes the culture of war and slaves in the Dayak Benuaq folklore. The result shows that the past Dayak Benuaq wars were carried out to fight over customary territories and to show domination of power. The results of the research it can be concluded that a slave in the Dayak Benuaq community according to the story “Putri Inuinang Becomes Ratu” and “Bunyik Si Slave Runtahkan Mantiq”, can turn into a free human, even become a tribal leader because of her ability in kicking out and killing enemies. Keywords: war, slaves, cultural ideology, anthropology, folklore
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
25
pymupdf
72 Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020 Widyasastra 1. Pendahuluan Perang antarkelompok atau suku di belahan dunia ini telah ada sejak masa lampau. Pada masa dahulu, perang antarsuku atau kelompok komunitas biasanya dilakukan untuk mempe- rebutkan wilayah kekuasaaan yang dianggap subur atau berpotensi meningkatkan pen- dapatan masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan sifat ego manusia, yaitu ingin memiliki lebih dari yang telah ada. Dengan kata lain, seperti Spencer ungkapkan bahwa asas egoisme lebih mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain (Koentjaraningrat, 2015: 109). Suku-suku yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya, seperti suku Dayak Benuaq, tidak terlepas dari budaya invasi untuk menunjukkan kekuasaannya. Hal ter- sebut biasa dilakukan melalui cara perang dengan kelompok lain sebagai ungkapan ego, yaitu unjuk kekuatan di hadapan kelompok lain. Semakin kuat suatu kelompok, ia akan lebih dihormati oleh kelompok lain. Selain sebagai ungkapan ego, perang antarsuku atau subsuku Dayak juga dilakukan untuk mem- perebutkan wilayah kekuasaan adat. Semakin luas tanah adat berarti bertambah banyak sumber makanan. Sebagai alat untuk menun- jukkan dominasi kekuasan, perang antarsuku juga disertai budaya ngayau, memenggal kepala panglima perang musuh, sebagai simbol kemenangan yang sangat tinggi. Selain ngayau, simbol kemenangan lainnya adalah adanya budak sebagai rampasan perang. Namun, budaya perang dan perbudakan yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq hanya dijumpai pada masa lampau. Perjanjian tahun 1894 yang diadakan di kampung Tum- bang Anoi, Kalimantan Tengah, merumuskan kesepakatan penghentian perang antarsuku, menghapus kebiasaan adat ngayau, atau me- menggal kepala, menghapus perbudakan, dan menghapus balas dendam antarkeluarga (Gumelar, 2017: 102). Sebuah pendapat dalam buku Sejarah Kalimantan Tengah menyebut- kan bahwa pertemuan yang digagas oleh Pemerintah Hindia Belanda ini merupakan usaha politik untuk memudahkan dalam me- nguasai Kalimantan (Rusan, 2006: 71). Banyak- nya perang antarsuku yang terjadi ternyata menyulitkan Belanda untuk melakukan pe- nguasan di Kalimantan. Selain itu, masyarakat Dayak dikenal sebagai petarung yang tidak kenal takut menjadi ancaman bagi Pemerintah Belanda. Sebagai bagian budaya yang pernah ada dalam masyarakat Dayak, perang dan per- budakan dapat ditemui dalam beberapa cerita rakyat, termasuk suku Dayak Benuaq. Cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” adalah dua dari se- kian banyak cerita yang mengisahkan proses peperangan sampai dengan pengambilan tawanan dari negeri yang kalah. Beberapa cerita rakyat Benuaq lainnya menceritakan perang antarsuku, tetapi lebih fokus pada kisah kepahlawanan dan adu kepintaran dalam strategi perang. Salah salah cerita rakyat tersebut adalah cerita Monaq dan Dalukng. Cerita kepahlawanan seperti Monaq dan Dalukng lebih menonjolkan kehebatan tokoh pahlawannya dalam memerangi kezaliman. Di sisi lain, cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” lebih menekankan cerita tawanan perang yang menjadi budak dan proses sosial yang terjadi selama menjadi tawanan perang. Beberapa penelitian berkaitan dengan pe- perangan dan perbudakan Dayak yang ada hanya menyinggung sedikit mengenai pe- perangan dan perbudakan di masa lampau oleh masyarakat Dayak. Jurnal berjudul “Nilai Budaya dan Kepahlawanan Dalam Cerita Rakyat Dayak Kanayatn Pada Buku Muatan Lokal Landak 2007” yang ditulis oleh Selviana Mangguali, Martono Martono, Henny Sanulita
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
26
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 73 (2014) mengungkapkan nilai kepahlawanan tokoh Doakng yang terdapat dalam Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal Kabupaten Landak tahun 2007. Mangguali menjabarkan nilai-nilai kepahlawan tersebut dalam tiga nilai, yaitu keberanian, kesetiaan, dan rela berkor- ban. Sementara itu, Semiarto Purwanto (2019, hlm. 73) menuliskan sekilas tentang adanya perbudakan masyarakat Dayak Tunjung masa lampau yang membagi kelas sosial masya- rakatnya menjadi tiga, yaitu hajiiq, merentikaq, dan ripat. hajiiq terdiri atas raja, golongan bangsawan, dan pengawal raja, merentikaq adalah golongan orang merdeka, sedangkan ripat adalah budak. Kedua jurnal tersebut tidak menceritakan secara jelas bagaimana ideologi masyarakat Dayak terhadap perang dan perbudakan yang mereka praktikkan. Untuk mengetahui proses sosial tawanan perang dengan masyarakat di sekitarnya, penelitian ini menekankan permasalahan pada bagaimana ideologi kultural masyarakat Dayak Benuaq pada masa perang dan perbudakan dalam cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”? Mengacu pada permasalahan, penelitian ini bertujuan menjabarkan ideologi kultural perang dan perbudakan yang ada dalam cerita rakyat Benuaq “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Ideologi kultural atau konsep pemikiran budaya masyarakat adalah suatu bentuk ke- yakinan yang menjadi falsafah hidup manusia dalam melakukan kegiatan berbudayanya. Ideologi sendiri memiliki pengertian yang beragam menurut beberapa pakar. Descartes mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu bentuk pokok pikiran. Pokok pikiran tersebut kemudian menjadi suatu pedoman dalam mencapai tujuan hidup. Secara umum. defi- ninisi ideologi adalah suatu pokok pikiran atau pandangan hidup manusia baik perorangan maupun kelompok yang diyakini secara penuh dan menjadi pedoman mengatur tingkah laku manusia. Sementara itu, budaya adalah tingkah laku manusia yang dilakukan secara terus me- nerus yang meliputi ide dan tindakan manusia (Endraswara, 2018: 127). Sementara itu, defi- nisi budaya menurut ilmu antropologi adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masya- rakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2015: 144). Ber- dasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa budaya adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan tidak diwariskan saat manusia lahir. Landasan teori yang dipakai dalam artikel ini adalah antropologi sastra. Antropologi sastra merupakan pemahaman sekaligus analisis terhadap karya sastra yang berkaitan dengan kebudayaan (Ratna, 2011: 31). Lebih lanjut, Ratna juga menjelaskan bahwa kajian antropologi sastra memulai pada karya sastra sebagai obyek penelitian dan menggunakan unsur-unsur antropologi untuk menemukan kaitannya dengan kebudayaan. Pendapat lain menguraikan bahwa antropologi dapat di- pahami sebagai suatu pengetahuan yang mengkaji perilaku manusia dengan meman- dang semua aspek budaya manusia dan masyarakatnya sebagai kelompok variabel yang saling berinteraksi. Sementara itu, karya sastra merupakan hasil pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan memori dengan menuangkan unsur-unsur budaya masyarakat pada saat karya sastra yang di- ciptakan. Antropologi sastra bekerja dengan cara memahami unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam karya sastra. 2. Metode Sumber data berasal dari buku Renungan Budaya Sendawar Seratus Cerita Rakyat yang
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
27
pymupdf
74 Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020 Widyasastra disusun pada tahun 2007 oleh Yuvenalis Lahajir dkk. Sementara itu, teknik pengumpul- an data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Data sekunder yang digunakan adalah buku buku referensi yang berhubungan dengan cerita rakyat, perang dan perbudakan. Sesuai pendapat Iskandar (2008: 76-77) bahwa data sekunser diperoleh melalui teknik studi dokumentasi yang ber- hubungan dengan permasalahan penelitian. Metode yang digunakan adalah metode etnografi, yaitu suatu metode yang mendes- kripsikan dan menafsirkan aspek-aspek budaya suatu komunitas tertentu dalam karya sastra. Etnografi secara harfiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog sebagai hasil penelitian lapangan (field work) selama beberapa waktu (Marzali dalam Spradley, 2007: vii). Sebuah karya sastra dapat dianggap sebagai hasil laporan penelitian pengarang terhadap keadaan sosial di masyarakatnya. Melalui karya sastra etnografis, pembaca mengetahui kebudayaan suatu kelompok tertentu dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat asli pemilik kebudayaan (Djirong, 2014: 215). Metode etnografi ber- kembang dari suau aliran ilmu antropologi yang dikenal dengan cognitive anthropology atau etnografi baru. Menurut Marzali dalam kata pengantar Metode Etnografi (Spradey, 2007: xii) menye- butkan metode ini bekerja dengan cara menangkap pemikiran budaya masyarakat dan menemukan bagaimana manusia meng- gunakan kebudayaan tersebut dalam ke- hidupan mereka. Dalam antropologi kognitif, objek kajian bukan lagi fenomena material suatu komunitas, tetapi cara fenomena tersebut dioperasikan dalam pikiran (mind) manusia. Tugas etnografer adalah menemu- kan dan menggambarakan organisasi pikiran tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan menurut Spradley, antara lain (1) menentukan domain, yaitu tradisi perang antarsuku dan perbudakan dalam masyarakat Dayak, (2) identifikasi struktur internal domain, yaitu jenis perbudakan (3) analisis komponen, yaitu menganalisis internal domain dengan meng- gunakan teori budaya, dan (4) menemukan tema budaya yang dianut oleh masyarakat Dayak. 3.1 Hasil dan Pembahasan Cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” mengisahkan seorang perempuan bernama Inuinang yang ditawan dan dijadikan budak oleh sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja lalim bernama Arump. Tentara Raja Arump menyerang negeri Inuinang dan membunuh semua penduduk, kecuali Inuinang. Sebagai budak, Inuinang bertugas seorang diri mem- buka lahan untuk pertanian dan menjaga tanaman dari hama dan gulma untuk seluruh penduduk kerajaan. Inuinang melakukan pekerjaan berat tersebut selama bertahun- tahun. Pada suatu ketika penduduk akan me- rayakan hasil panen dengan pesta belian gugu tahun, Inuinang akan dibunuh dan dijadikan tumbal pada puncak pesta tersebut. Akan tetapi, Inuinang mendapat bantuan dari se- orang gaib yang ditemui ketika sedang ke- lelahan bekerja. Dari orang gaib tersebut, Inuinang mendapat sebuah boneka yang harus dibawa ketika menghadapi algojo. Ketika hari tiba, kepala Inuinang dipenggal dihadapan seluruh penduduk Raja Arump. Namun, keesokan hari, Raja Arump dan se- luruh penduduk heran ketika melihat Inuinang sedang bekerja di ladang seperti biasanya. Inuinang menjawab pertanyaan orang-orang yang penasaran bahwa ia baru saja dari Gunung Lumut (surga), yaitu suatu tempat dengan kehidupan yang lebih baik. Mendengar hal tersebut Raja Arump me- nyuruh algojo membunuhnya agar dapat ke
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
28
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 75 surga. Akhirnya, Raja Arump yang lalim me- ninggal. Orang-orang sangat bergembira dan mengangkat Inuinang sebagai pengganti raja. Sementara itu, cerita “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” menceritakan tokoh Bunyik, budak yang sebenarnya adalah se- orang tentara dari negeri yang kalah. Selama menjadi budak dan tawanan perang, tugas Bunyik adalah menjaga ladang selain melayani mantiiq atau bangsawan. Suatu ketika ke- marau panjang dan wabah penyakit melanda negeri tempat Bunyik ditawan. Pemimpin adat negeri tersebut berniat mengadakan upacara belian untuk menolak bencana yang disebut ritual Nalint Taun. Pada puncak pesta akan ada upacara pengorbanan manusia yang biasa- nya adalah seorang budak. Bunyik diberi ke- sempatan terhindar dari upacara tersebut dengan cara harus menemukan ayam merah pada malah sebelum upacara dilangsungkan. Berkat pertolongan makhluk gaib, Bunyik dengan mudah menemukan ayam merah. Malam berikutnya, Bunyik harus mencari babi putih yang beratnya kira-kira 50 kg. Dengan mudah, Bunyik mendapatkan babi tersebut. Orang-orang semakin yakin terhadap ke- saktian Bunyik yang dapat melewati pecahan kaca, paku, mandau, dan tombak tanpa luka sedikut pun. Ketika negeri tersebut diserang musuh Bunyik dengan mudah mengalahkan mereka. Sejak itu Bunyik diangkat menjadi panglima perang. Bunyik juga kemudian menjadi raja menggantikan raja yang me- ninggal di negeri tempat ia pernah ditawan. Selama memerintah, Bunyik dikenal bijaksana dalam memimpin negeri sehingga negeri- negeri tetangga segan kepadanya. 3.1.1 Perang dalam Cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” Kepemimpin yang absolut dan semena-mena dilakukan seorang raja pada cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu”. Raja Arump bahkan tidak hanya menindas bangsa lain, tetapi juga rakyatnya sendiri. Kerajaan tersebut dipimpin seorang Raja. Raja itu bernama Arupm. Raja ini memiliki watak dan perangai yang sangat buruk. Karena apabila terdapat kesalahan yang sedikit saja dengan rakyatnya, maka ia tak segan- segan menghukum bahkan membunuh rakyatnya tersebut (Lahajir dkk, 2007: 385). Berdasarkan kutipan tersebut diketahui bahwa penyebab peperangan antarsuku dalam cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” adalah perangai rajanya yang lalim dan suka beperang. Raja Arump adalah tipe pemimpin yang suka berperang dan menaklukkan negeri lain hanya untuk dianggap sebagai yang terkuat. Ia bahkan tidak segan, melakukan tindakan tidak ksatria dengan menyerang kampung lain secara tiba-tiba sehingga kampung tersebut tidak dapat melakukan perlawanan, seperti yang terjadi pada kampung Dilakng Goyan Limur Bawo, kampung Putri Inuinang. Pada saat Raja Arump melakukan serangan ke kampung Putri Inuinang, semua laki-laki dewasa di kampung sedang pergi ke ladang dan yang tertinggal adalah wanita dan anak-anak. Akibatnya, kampung ditaklukkan dengan mudah dan seluruh wanita dewasa beserta anak-anak dibunuh, kecuali Putri Inuinang seorang yang mereka jadikan tawanan. Sesampainya rombongan pasukan raja Arump di kampung tersebut, maka mereka dengan sangat mudah berhasil menduduki dan menguasai kampung tersebut, karena tidak ada orang yang dapat melawan, dan semua warga baik yang tua maupun anak-anak dibunuh kecuali seorang gadis yang luput dari maut, karena gadis tersebut sangat cantik, sehinga ia diambil sebagi tawan- an oleh pasukan Raja Arump (Lahajir dkk, 2007: 385).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
29
pymupdf
76 Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020 Widyasastra Peperangan yang terjadi dalam “Putri Inuinang Jadi Ratu” lebih tepat disebut sebagai penyerangan mendadak terhadap kampung atau daerah yang ditinggalkan penduduk laki- lakinya pergi ke ladang. Sementara itu, dalam cerita “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”, Bunyik dan pasukannya berperang dengan kampung lainnya dan peperangan dimenang- kan oleh pasukan lawan Bunyik. Akibatnya, Bumyik harus menjadi tawanan perang. Ini artinya terjadi perang antardua suku secara adil. Sebagai pihak yang kalah, Bunyik dan pasukannya harus menerima kenyataan, yaitu kalau tidak dipenggal kepala berarti menjadi budak tawanan perang. Hal itu sudah menjadi ketentuan aturan perang antarsuku. Sebelum tertangkap dan menjadi budak, sebenarnya Bunyik adalah salah satu prajurit dari pasukan perang dari sebuah suku. Ia disergap dan tertang- kap saat bertempur di medan perang antarsuku di suatu tempat (Lahajir dkk, 2007: 451). 3.1.2 Perbudakan dalam Cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” Sebagai budak, Putri Inuinang dan Bunyik menduduki kasta terendah. Seperti halnya budak-budak yang lain, Putri Inuinang dan Bunyik tidak memiliki kebebasan, tidak berhak membantah, dan tidak berhak mendapat per- tolongan. Kehidupan mereka menjadi milik masyarakat yang menawan mereka. Putri Inuinang dengan statusnya sebagai budak harus mengerjakan seluruh pekerjaan me- nanam di ladang seorang diri tanpa mengeluh, walau ia sangat lelah. Setiap hari Inuinang disuruh pergi ke hutan untuk menebas dan membuat ladang tanpa dibantu oleh warga lainnya dari Kerajaan Arump itu. Pada saat lahannya telah siap ditanami, maka barulah mereka membantu menanam padi. Demikian pula setelah menanam padi, tidak ada satu pun warga dari kerajaan itu yang bantu menjaga dan membersihkan padi dari gulma. Inuinang bekerja sendiri bertahun- tahun (Lahajir dkk, 2007: 386). Sementara itu, Bunyik juga mengalami hal serupa sebagai budak tawanan perang. Setelah pasukannya kalah dalam peperangan, Bunyik tidak dibunuh dan dipenggal kepalanya. Bunyik dijadikan budak oleh pasukan lawan. Gelar budak diberikan oleh pemimpin adat pasukan lawan. Berdasarkan gelar tersebut strata sosial Bunyik berada dalam strata terendah yang berarti ia harus menuruti semua kemauan pihak yang menawannya. “... hiduplah seorang budak belian bernama Bunyik. Ia diberi gelar oleh Pemangku Adat dengan status sebagai budak belian. Setiap hari Bunyik disuruh untuk menjaga ladang, agar terhindar dari gangguan binatang liar dari hutan. Makanan Bunyik tidak menentu, sedangkan hasil penen yang dihasilkan di ladang tersebut tidak boleh dimakan oleh Bunyik” (Lahajir dkk, 2007: 451). Tidak sebagaimana umumnya penye- bab perbudakan yang ada di daerah lain, perbudakan yang terdapat dalam cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” disebabkan oleh kekalahan perang antara dua suku atau dua kampung. Nasution mendefinisikan delapan pe- nyebab perbudakan, antara lain ke- turunan, tawanan perang, kemiskinan, melakukan tindak pidana, bekerja di lahan sebagai buruh, penculikan, balas dendam, dan jual beli (Nasution, 2015: 95—96).
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
30
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 77 3.1.3 Ideologi Kultural Masyarakat Dayak Benuaq Setidaknya terdapat tujuh unsur budaya universal yang merupakan pokok-pokok kebudayaan meliputi sistem religi, organisasi sosial, bahasa, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, sistem peralatan hidup dan teknologi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 2015: 165). Unsur organisasi sosial ber- hubungan dengan adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat Dayak Benuaq sebagai penganut kebudayaan nenek moyang. Pe- laksanaan adat dalam masyarakat Dayak erat hubungannya dengan sistem religi, yaitu kepercayaan terhadap roh dan kehidupan sesudah mati yang berkaitan dengan leluhur dan nenek moyang. masyarakat Dayak Benuaq memuja dan menghormati segala ajaran dan tradisi nenek moyang. Dalam hal kepercayaan, masyarakat Dayak percaya bahwa arwah nenek moyang mampu mengatur kehidupan anak cucu di dunia. Unsur kebudayaan uni- versal organisasi sosial dibagi lagi ke dalam bagian-bagian unsur lebih kecil mengikuti metode pemerincian R. Linton (Koentjaraningrat, 1983: 208). Sub-sub unsur di bawah unsur kebudayaan universal organi- sasi sosial juga adalah sistem kekerabatan, sistem komuniti, sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem politik, dan sebagainya. Sub- sub unsur tersebut menjelaskan tradisi masyarakat Dayak yang termasuk dalam organisasi masyarakatnya. Sistem kekerabat- an dalam masyarakat penganut kepercayaan Dayak diikat dengan kekeluargaan yang tinggi dalam kelompoknya. Sistem kekeluargaan ini mengakibatkan persaingan antarkelompok dan menimbulkan perang antarsuku. Se- mentara itu, sistem pelapisan sosial dalam masyarakat Dayak dikenal adanya perbudak- an sebagai akibat kekalahan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” juga menguraikan konsep pemikiran Dayak Benuaq. Peperangan bagi masyarakat Dayak adalah suatu aktivitas sosial untuk mendapat- kan pengakuan sebagai yang terkuat. Pasukan Raja Arump sangat berambisi menaklukkan kampung-kampung di sekitarnya dan bahkan dengan cara-cara yang tidak ksatria, yaitu membunuh orang tua dan anak kecil. “Tiba di kerajaan, maka para prajurit menyerahkan puluhan kepala pen- duduk yang berhasil mereka bunuh di kampung tersebut, berikut gadis ta- wanan tadi. Sang Raja sangat gembira dengan keberhasilan dari para prajurit- nya itu, kemudian sang raja berteriak dengan suar lantang, “Wahai Nayuq Timang... mulai hari ini tidak ada lagi yang mampu melawan aku...! Dan kini semuanya telah takluk dalam keraja- anku” (Lahajir dkk, 2007: 386). Alasan yang sama, yaitu untuk pengakuan sebagai yang terkuat juga terdapat dalam cerita “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Ketika mereka berhasil memenangkan pe- perangan dengan mengalahkan musuh yang kuat, nama suku mereka akan semakin ter- kenal sebagai yang terkuat. “Kepala manusia ini bukan sekadar kepala manusia murahan, tetapi harus adalah kepala dari panglima perang musuh yang dibawa pulang sebagai tanda kemenangan yang bernilai sangat tinggi. Untuk itu, maka setiap pulang dari medan laga, mereka harus merayakan kemenangan tersebut dalam sebuah ritual adat yang khusus untuk perang” (Lahajir dkk, 2007: 451). Kutipan tersebut menjelaskan bahwa kemampuan mengalahkan musuh dalam peperangan akan mengharumkan nama suku.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
31
pymupdf
78 Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020 Widyasastra Kemampuan tersebut dibuktikan dengan membawa pulang kepala musuh yang telah dikalahkan. Pembuktian tersebut sangat penting sebagai bagian dari bukti kemenang- an perang. Pengesahan sebagai yang terkuat pada masyarakat tradisional merupakan bagian dari konsep pemikiran atau ideologi kultural yang dianut. Dalam pengembangan konsep pemikiran mereka, pengesahan se- bagai yang terkuat diwujudkan dalam aktivitas sosial, yaitu melakukan peperangan. Aktivitas sosial yang mendukung konsep pemikiran atau ideologi kultural selanjutnya adalah melakukan pembuktian kemenangan dengan pemenggalan kepala dan upacara ritual. Ideologi kultural yang berhubungan dengan perbudakan dalam kedua cerita tersebut salah satunya adalah perlakuan terhadap budak. Walaupun dalam perbudakan masyarakat Benuaq juga dikenal adanya pelapisan sosial, yaitu antara budak dan masyarakat yang menawannya, perlakuan terhadap tawanan tidak sampai pada pe- nyiksaan fisik. Sebagai budak, Putri Inuinang dan Bunyik kehilangan kemerdekaan dan hak-hak mereka sebagai manusia. Meskipun Putri Inuinang dan Bunyik juga melakukan pekerjaan berat layaknya kebanyakan orang, mereka tidak mendapatkan siksaan fisik dari orang-orang yang memperbudak mereka. “Walaupun Bunyik berstatus sebagai budak belian oleh pemangku adat, namun ia tidak pernah menerima siksa- an fisik. Dengan sikap hidup yang ber- pasrah diri pada yang berkuas, maka Bunyik tetap tampak sehat dan segar, sepertinya ada yang merawat esehatan si Bunyi, meskipun tidak dapat terlihat secara kasat indera manusia” (Lahajir dkk, 2007: 452). Bahkan, dalam beberapa pertemuan dengan orang-orang yang menawan dirinya, Bunyik menerima perlakuan cukup baik, semisal perkataan yang sopan. Seorang lalakng, yaitu utusan pemangku adat yang diperintah untuk menyampaikan informasi kepada Bunyik, berbicara kepada Bunyik dengan nada dan tingkah laku yang sopan. Bunyik membalasnya dengan sopan. Per- lakuan tersebut merupakan hubungan sosial yang sangat jarang terjadi antara budak dengan masyarakat yang berkuasa. Pola sosial tersebut merupakan wujud dari ideologi kultural yang berpusat kepada pencipta alam semesta. Mereka mengakui bahwa semua aktivitas berhubungan dengan Sang Pencipta. Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan sosial, yaitu upacara ritual tahunan Nalitn Tautn. Kepercayaan tersebut dipegang teguh sebagai bagian dari ideologi kultural. Di sisi lain, ideologi kultural yang ber- hubungan keyakinan ialah memercayai bahwa ritual tahunan harus menyertakan kurban berupa manusia. Biasanya kurban tersebut adalah budak. Sebagai budak, Putri Inuinang dan Bunyik sadar akan hal tersebut sehingga mereka memasrahkan diri mereka pada Sang Pencipta ketika waktunya tiba. “Sesampainya di kerajaan, Inuinang dibawa naik dan diikat di atas balai yang disebut toras, yaitu tempat persem- bahan kurban ritual, dimana nantiny dia akan dibunuh dia ats balai tersebut” (Lahajir dkk, 2007: 388). “Tanpa basa-basi lagi, maka Bunyik berkemas diri untuk pulang padahal hasil ladang baru akan dipanen, Mereka pun meninggalkan ladang ter- sebut untuk menuju kampung. Se- sampai di kampung mereka disambut dengan baik serta disuguhkan makanan yang berlimpah-ruah, namun hati
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
32
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 79 Bunyik tetap bersedih, karena hari ini merupakan hari terakhir....” (Lahajir dkk, 2007: 454). Baik budak maupun masyarakat yang menawan, mereka memiliki kepercayaan yang sama tentang upacara tahunan, yaitu bahwa dalam puncak upacara tersebut ada persem- bahan kurban. Kesamaan keyakinan tersebut membuat mereka melaksanakan upacara tahunan tanpa ada paksaan. 3.1.4 Perubahan status sosial sebagai bagian ideologi kultural Perubahan sosial dalam masyarakat Dayak Benuaq yang ditemukan dalam kedua cerita ini adalah baik Bunyik maupun Putri Inuinang dapat mengubah statusnya menjadi orang merdeka, bahkan menjadi pemimpin masya- rakat yang dulu menawannya. Pebudakan secara umum adalah sebuah sistem yang menghilangkan kebebasan dan hak-hak seseorang dengan menjadikannya sebagai barang kepemilikan. Tujuan utama sistem ini adalah untuk menyediakan pen- dapatan bagi pemiliknya dengan cara meng- eksploitasi seseorang. Pada awal masa per- budakan, para budak terdiri atas penjahat, orang yang tidak bisa membayar hutangnya, dan tawanan perang (Fadhil, 2013: 162). Hal itu menjelaskan bahwa status budak yang disandang Bunyik dan Putri Inuinang sebagai hasil status tawanan perang mereka. Namun, dalam perkembangannya status budak dapat berubah. Pada saat Putri Inuinang yang mendapat pertolongan gaib tidak mati oleh algojo, ia sudah mendapat kepercayaan masyarakat akan kelebihannya. “Keheranan semakin membuatnya penasaran untuk ingin mengetahui secara dekatdan pasti sosok Inuinang, si gadis yang kemarin benar-benar telah mati. Semua orang di dalam lamin itu mengerubungi gadis tersebut, termasuk raja Arump” (Lahajir dkk, 2007: 389). Kepercayaan yang diperoleh Inuinang membuat semua perkatannya dituruti masyarakat. Ketika Raja Arump menanyakan keberadaan Inuinang setelah dipenggal algojo dan bagaimana bisa kembali. Jawaban Inuinang dipercaya Raja Arump begitu saja yang menyebabkan Raja Arump meninggal dunia. “Maka dengan tenang dijawan oleh Inuinang, “Hamba baru datang dari Gunung Kumut (gunung surga) dan di sana kehidupan orang-orang sangat baik serta banyak gadis yang cantik- cantik” (Lahajir dkk, 2007: 389). Berbeda halnya dengan Bunyik, setelah mampu lolos dari berbagai rintangan yang bertujuan untuk membunuhnya, orang-orang percaya akan kesaktian Bunyik. Terlebih lagi ketika pada saat itu Bunyik mampu menghalau musuh yang berniat menyerang kampung tempat Bunyik ditawan, orang-orang semakin percaya akan kesaktian Bunyik. “Bunyik melakukan pembalasan yang beringas pula dan selang beberapa lama, semua musuh tewas tanpa ada yang tersisa lagi. Segenap warga lamin ber- sorak-sorai menyambut dan mengelu- elukan Bunyik” (Lahajir dkk, 2007: 462). Kedua kutipan tersebut menjelasakan bahwa status budak dalam masyarakat Dayak Benuaq tidak selamanya disandang oleh seseorang. Ideologi kultural yang diyakini masyarakat Dayak Benuaq berdasarkan kedua cerita tersebut menganggap bahwa se- orang budak yang telah membantu mengusir dan membunuh musuh dapat menjadi
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
33
pymupdf
80 Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020 Widyasastra manusia merdeka bahkan menjadi pemimpin suku. Perubahan status sosial ini merupakan suatu dekonstruksi sistem perbudakan. Pada umumnya, seorang budak dapat merdeka oleh beberapa hal, yaitu membayar tebusan seharga dirinya kepada majikan seperti yang ada dalam hukum Islam atau adanya pengesa- han peraturan untuk menghapus perbudakan di negara tertentu. Oleh karena budak sangat mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya, sangat sulit menemukan konsep memerdeka- kan budak karena jasa yang telah dilakukan budak bagi pemiliknya seperti dalam cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Ideologi kultural perbudakan masyarakat Benuaq berdasarkan kedua cerita menunjuk- kan bahwa status budak seseorang tidak diwariskan, tetapi dikarenakan status sebagai tawanan perang sebagai akibat kekalahan dalam perang suku. Selain itu, status budak yang disandang seseorang dapat berubah apabila ia berjasa bagi kelompok yang me- nawannya. 4. Simpulan Perang masyarakat Dayak Benuq menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” adalah suatu aktivitas yang dilakukan untuk beberapa alasan, yaitu memperebutkan wilayah adat dan sebagai pengesahan status sebagai yang ter- kuat. Sebagai bukti kemenangan perang adalah kepala musuh yang telah dipenggaal atau tawanan yang akan dijadikan budak. Perbudakan masyarakat Dayak Benuaq menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” dilaku- kaan terhadap tawanan perang . Budak-budak tersebut biasanya diperkerjakan di ladang untuk mengelola ladang atau menjaga ladang dari binatang buas. Walau mereka selalu kekurangan karena tidak ada yang menruh perhatian kepada mereka dan kehilangan hak sebagai manusia, para budak tidak pernah mendapat siksaan fisik. namu, sebagai bagian dari keyakinan mereka, para budak akan dikurbankan dalam puncak upacara ritual tahunan. Perubahan status sosial budak dapat terjadi apabila seorang budak mampu meng- usir dan membunuh musuh dengan meng- gunakan kelebihan atau kesaktiannya. Dalam hubungannya dengan ideologi kultural masya- rakat Dayak Benuaq, bahwa mereka meyakini status status budak seseorang tidak ber- langsung selamanya. Daftar Pustaka Djirong, Salmah. 2014 “Kajian Antropologi Sastra: Cerita Rakyat Datu Museng dan Maipa Diapati,” dalam Sawerigading, Vol. 20 No.2, Agustus 2014, hlm. 215 — 226. Endraswara, S. 2018. Antropologi Sastra Lisan Perspektif, Teori, dan Praktik Pengkajian. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Fadhil, Abdul. 2013. “Perbudakan dan Buruh Migran di Timur Tengah dalam ThaqÃfiyyÃT, Vol. 14, No. 1, 2013. Gumelar, Michael Sega. 2017. “Cultural Design: Studi Banding Kritis dari Bali untuk Proyeksi Masa Depan Dayak” dalam Jurnal Studi Kultural Vol. II, No. 2, hlm. 98—108. An1mage: Banten. Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Grup. Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu Antropologi (10th ed.). Jakarta: Rieneka Cipta.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
34
pymupdf
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81 ©2020, Widyasastra 81 Lahajir dkk, Yuvenalis. 2007 .Renungan Budaya Sendawar Seratus Cerita Rakyat. Sendawar: Badan Perencanaan dan Pembangunan dan Daerah Kabupaten Kutai Barat. Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. 2015. “Perbudakan dalam Hukum Islam” dalam Ahkam, Vol. XV, No. 1. UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. Putra, R Masri Sarep. 2012. “Makna di Balik Teks Dayak sebagai Etnis Headhunter” dalam Journal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 2 Agustus 2011—Januari 2012. Ratna, Nyoman Khuta. 2011. Antropologi Sastra Perana Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rusan, Ahim S. 2006. Sejarah Kalimantan Tenganh. Palangka Raya: Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Sleman, Yogyakarta: Tiara Wacana.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
35
pymupdf
82 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE BALLON” KARYA JANE CADWALLADER: KAJIAN STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE BALLON” BY JANE CADWALLADER: A WORK STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE Sunahrowia,*, Pandu Galih Prakoso b,* a Universitas Negeri Semarang Kampus UNNES Sekaran Gunung Pati, Semarang, Indonesia b Universitas Negeri Semarang Kampus UNNES Sekaran Gunung Pati, Semarang, Indonesia Posel: [email protected]; [email protected] Abstrak Analisis struktur karya Gérard Genette dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” karya Jane Cadwallader bertujuan untuk membedah peristiwa secara runtut, jelas, dan untuk mempermudah menemukan maknanya. Penelitian dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” menggunakan metode deskriptif. Hasil analisis struktur cerita pada cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” dibagi dalam tiga urutan, yaitu urutan teksual, urutan kronologis, dan urutan logis. Dengan demikian, cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” lebih mudah untuk dipahami karena adanya urutan peristiwa secara jelas dan detail. Kata kunci: cerita pendek, Mamie Pétronille et le Ballon, sekuen Abstract The structural analysis of Gérard Genette’s work in the short story “Mamie Pétronille et le Ballon” by Jane Cadwallader aims to dissect events coherently, clearly and to make easier in finding their meaning. The research in the short story of “Mamie Pétronille et le Ballon” used a descriptive method. The results of the story structure in “Mamie Pétronille et le Ballon” are divided into three sequences. They are textual sequence, chronological order and logical sequence. Therefore, “Mamie Pétronille et le Ballon” short story is easier to be understood because of the clear and detailed sequence of events. Keywords: short story, Mamie Pétronille et le Ballon, sequence 1. Pendahuluan Sastra atau kesusastraan adalah pengung- kapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masya- rakat) melalui bahasa sebagai mediumnya (Esten, 1978: 9). Salah satu jenis karya sastra ialah cerita pendek. Cerita pendek merupakan hasil pemikiran yang dituangkan dalam sebuah tulisan yang bersifat fiktif dan imajinatif. Menurut Suharianto (1982: 39) cerita pendek adalah cerita fiksi yang bentuknya pendek dan ruang lingkup permasalahannya disuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang menarik perhatian pengarang; dan keseluruh- an cerita memberi kesan tunggal.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
36
pymupdf
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra 83 dilakukan dengan membagi teks dalam satuan- satuan. Setiap bagian peristiwa yang mem- bentuk suatu satuan makna membentuk satu sekuen. Sekuen merupakan setiap bagian yang dibagi ke dalam satuan yang lebih kecil, Genette (dalam Sunahrowi, 2019: 80). Tujuan dari pembagian teks dalam sekuen-sekuen merupakan cara untuk menemukan satuan cerita (Sunahrowi, 2019: 81). 2. Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Arikunto (2013: 3), penelitian des- kriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal- hal lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian. Metode deksriptif adalah suatu pemecah- an masalah yang berusaha menggambarkan kenyataan yang terjadi. Metode secara umum diartikan sebagai proses, cara, atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan suatu masalah. Penelitian ini menggunakan teknik simak dan teknik mencatat. Teknik simak, yaitu teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara menyimak. Hal ini merupa- kan proses untuk memahami makna atau isi cerita dan memperoleh informasi. Teknik mencatat adalah pencatatan data. Hal ini dilakukan setelah data yang dikumpulkan dinilai cukup. Dalam menganalisis data, peneliti juga melakukan studi pustaka digunakan sebagai rujukan. Objek penelitian ini ialah sebuah cerita pendek berbahasa Perancis. Cerpen tersebut berjudul Mamie Pétronille et le Ballon karya Jane Cadwallader. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural. Pendekatan ini membangun karya sastra dari unsur-unsur- nya. Pendekatan struktural mencoba meng- uraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing Penelitian ini memilih cerita pendek berjudul Mamie Pétronille et le Ballon sebagai objek penelitian. Cerita pendek tersebut merupakan salah satu hasil karya penulis perempuan dari Madrid, Spanyol. Mamie Pétronille et le Ballon ditulis oleh Jane Cadwallader dalam bahasa Perancis dan terbit pada tahun 2010. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai cerpen ini. Penelitian ini penting karena pembedahan struktur hanya merupakan salah satu jalan untuk menemukan arah yang akhirnya bermuara pada pencapai- an makna karya ini. Tujuan dari penelusuran arah melalui struktur karya adalah untuk mempermudah menemukan makna yang terkandung dalam cerita pendek ini. Cerita pendek ini menarik diteliti karena dapat me- nampilkan makna keseluruhan yang berguna bagi kehidupan manusia. Cerita pendek ini menggambarkan se- orang tokoh utama, yaitu seorang nenek ber- nama Pétronille. Ia menggunakan seluruh cara dan usahanya demi membantu seorang anak yang bernama Romain. Dalam hal ini, nenek Pétronille menuntaskan masalah-masalah Romain secara bertahap. Permasalahan itu berawal saat Romain bermain sepak bola di taman dan bolanya tersangkut di atas pohon hingga bolanya diambil oleh seekor anjing, kucing, dan tupai. Namun, dengan segala upaya nenek Pétronille, ia telah berhasil merebut kembali bola Romain dari kawanan hewan dan dikembalikan kepada Romain. Berdasar- kan hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon sangat menarik untuk dikaji. Peneliti mengkaji cerita pendek ini meng- gunakan kajian struktur karya Gérard Genette. Peneliti menganalisis struktur cerita yang terdiri atas tiga unsur, yaitu urutan tekstual isi cerita, urutan peristiwa secara kronologis, dan urutan logis peristiwa. Untuk mendapat- kan satuan isi cerita, langkah-langkah yang
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
37
pymupdf
84 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra unsur karya sastra sebagai kesatuan struk- tural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Pen- dekatan struktural adalah suatu pendekatan yang menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra; mencari keterkaitan unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan satuan makna. 3. Hasil dan Pembahasan Pada pembahasan dikemukakan data yang ditemukan dalam analisis stuktur karya dalam cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon karya Jane Cadwallader. Data yang ditemukan berupa kalimat atau paragraf yang terdapat dalam cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon karya Jane Cadwallader. 3.1 Analisis Struktur Cerita Cerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan, baik berdasarkan kejadian nyata maupun yang tidak nyata. Cerita digunakan sebagai petanda teks naratif, sedangkan alur digunakan untuk menunjukkan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan secara logis dan disebabkan oleh suatu tindakan (Genette dalam Sunahrowi, 2019: 80). Struktur adalah bentuk yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan. Menurut Genette (dalam Sunahrowi, 2019: 81) untuk mendapatkan gambaran mengenai struktur cerita, peneliti menelaah karya dengan membagi dalam tiga urutan, yaitu urutan tekstual, urutan krono- logis, dan urutan logis. 3.2 Urutan Tekstual Mamie Pétronille et le Ballon merupkan sebuah cerita pendek anak-anak yang me- ngisahkan tentang perjuangan seorang nenek dalam menolong orang lain. Cerita ini meng- arah pada peran nenek yang bisa dianggap sebagai pahlawan. Peneliti berusaha meng- gambarkan kejadian seperti pada kenyata- annya dan merupakan karya sastra neo- naturalisme. Aliran ini umumnya lebih objektif dalam memandang sesuatu. Sekuen pertama: C’est une belle journée. Des enfants jouent dans le parc. Ils jouent au basket et au foot et ils font du vélo et de la planche à roulettes. Tout le monde est content. Terjemahan: Ini adalah hari yang indah. Anak-anak bermain di taman. Mereka bermain basket dan sepakbola dan mereka bermain sepeda dan skateboard. Mereka semua senang. Sekuen kedua Oh! Mamie Pétronille est là! Elle parle avec un petit garcon qui a un ballon. Bonjour! Je m’appelle Mamie Pétronille. Et toi, comment t’appelles-tu? Moi, je m’appelle Romain. Terjemahan: Oh! nenek Pétronille di sana! Dia berbicara dengan seorang anak kecil yang memiliki se- buah Ballon.”Halo! Perkenalkan nama- ku nenek Pétronille. Dan siapa nama- mu? Namaku Romain. Sekuen pertama dan kedua di atas, merupakan peristiwa yang berurutan. Antara kejadian pada sekuen pertama, lalu dilanjutkan peristiwa pada sekuen yang kedua. Ada urutan waktu dan peristiwa antara anak-anak ber- main dan keberadaan nenek Pétronille di taman. Salah satu dari anak-anak tersebut bertemu dengan nenek Pétronille yang sedang berada di taman. Anak itu bernama Romain. Urutan satuan isi cerita runtut dan mudah dipahami walaupun ada beberapa loncatan peristiwa, yaitu lagu yang disisipkan ke dalam cerita, seperti pada sekuen-sekuen berikut ini. Sekuen kedua belas Mamie! Le chien s’enfuit dans la rue! Mamie! Le chien s’enfuit dans la rue! Reprends vite le ballon! Reprends vite le ballon !Reprends vite le ballon de Romain! Terjemahan: Nenek! Anjing
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
38
pymupdf
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra 85 itu lari ke jalan! Nenek! Anjing itu lari ke jalan! Ambil bolanya dengan cepat! Ambil bolanya dengan cepat! Cepat ambil kembali bola Romain! Sekuen keenam belas Mamie! Le chat s’enfuit dans la rue! Mamie! Le chat s’enfuit dans la rue! Reprends vite le ballon! Reprends vite le ballon! Reprends vite le ballon de Romain! Terjemahan: Nenek! Kucing itu melari- kan diri ke jalan! Nenek! Kucing itu melarikan diri ke jalan! Ambil bolanya dengan cepat! Ambil bolanya dengan cepat! Cepat ambil kembali bola Romain! Sekuen kedua puluh Mamie! L’écureuil s’enfuit dans la rue! Mamie! L’écureuil s’enfuit dans la rue! Reprends vite le ballon! Reprends vite le ballon! Reprends vite le ballon de Romain! Terjemahan: Nenek! Tupai itu lari ke jalan! Nenek! Tupai itu lari ke jalan! Ambil bolanya dengan cepat! Ambil bolanya dengan cepat! Cepat ambil kembali bola Romain!. Apabila melihat sekuen pertama hingga dua puluh enam, ada tiga sekuen yang berbeda dari sekuen sebelumnya, yakni pada sekuen dua belas, enam belas, dan dua puluh. Cerita tersebut tidak hanya berupa teks. Sekuen di atas merupakan lirik lagu yang ada pada cerita tersebut. Dalam cerita tersebut disisipkanlah sebuah lagu. Setiap lagu sesuai dengan peris- tiwa yang sedang terjadi pada cerita tersebut. Masing-masing lirik lagu pada sekuen dua belas, enam belas dan dua puluh berbeda, bergantung pada aktor antagonisnya. Pem- bedaan tersebut dapat dilihat pada lirik, tepat- nya pada kalimat pertama dan kedua. Lirik lagu pada sekuen tersebut memiliki maksud untuk memberikan semangat dan dorongan kepada nenek Pétronille saat ber- aksi mengambil bola Romain yang dicuri oleh tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalam cerita tersebut adalah hewan. Pada sekuen dua belas atau setelah bola Romain baru saja diambil dari pohon oleh nenek Pétronille, bola tersebut dicuri oleh seekor anjing. Hal tersebut berlanjut pada sekuen enam belas. Seekor kucing oranye telah mengambil bola Romain. Setelah berhasil direbut kembali oleh nenek Pétronille dari gigitan seekor anjing. Lalu, pada sekuen dua puluh, setelah nenek Pétronille berhasil merebutnya dari seekor kucing. Tak disangka seekor tupai mengambil bola Romain. Pengambilan bola kembali yang dilakukan oleh nenek Pétronille tidaklah sia-sia. Meskipun dalam penyelesaian kasusnya dengan cara yang berbeda. Misalnya, dalam menghadapi seekor anjing, sang nenek menggunakan tulang untuk menaklukkannya. Kemudian, dalam menghadapi seekor kucing, nenek menggunakan tulang ikan. Ketika menghadapi tupai, nenek Pétronille menyisiri pohon. Alhasil, bola telah berhasil direbut kembali. Loncatan-loncatan peristiwa tersebut terdapat dalam sekuen dua belas, enam belas dan dua puluh. Peristiwa pada sekuen sebelum dan sesudah loncatan peristiwa tersebut terhenti atau terpotong. 3.3 Urutan Peristiwa Secara Kronologis Analisis peristiwa secara kronologis tidak bertujuan untuk mendapatkan inti cerita, tetapi menemuan urutan jalan cerita yang menopang inti cerita (Genette dalam Sunahrowi, 2019: 87). Sekuen pertama C’est une belle journée. Des enfants jouent dans le parc. Ils jouent au basket et au foot et ils font du velo et de la planche à roulettes. Tout le monde est content. Terjemahan: Ini adalah hari yang indah. Anak-anak bermain di
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
39
pymupdf
86 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra taman. Mereka bermain basket dan sepakbola dan mereka bermain sepeda dan skateboard. Mereka semua senang. Sekuen ketiga Romain donne un coup de pied dans le ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain menendang bola dan. “Oh, tidak!” Sekuen keempat Pauvre Romain! Le ballon est dans l’arbre et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh, mon ballon!. J’ai faim. Allons manger!. Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya tersangkut di pohon dan ini saatnya untuk makan siang! Oh, bolaku! Aku lapar. Ayo kita makan! Pada sekuen pertama, kedua, ketiga, dan keempat menceritakan ketika anak-anak bermain, pertemuan Romain dengan nenek Pétronille. Awal mula permasalahan ketika bola romain tersangkut di atas pohon. Selain itu, juga menjelaskan tempat, perasaan, dan waktu anak-anak bermain. Sekuen keenam Mamie Petronille veut aider le ballon. Elle met sa main dans son petit sac jaune. Qu’est-ce qu’il y a dans son sac? Oh! Il y a une échelle! Une tres longue échelle! Terjemahan: Mamie Petronille ingin membantu bola. Dia meletakkan tangan- nya di tas kuning kecilnya. Apa yang ada di tasnya? Oh! Ada sebuah tangga! Tangga yang sangat panjang! Sekuen ketujuh Mamie Petronille prend le ballon. Elle le met sur sa tete. Mais le ballon n’est pas content! Oh!. Je n’aime pas ca. Du calme! ne t’inquiète pas! Terjemahan: Mamie Petronille mengambil bola. Dia me- letakkannya di kepalanya. Tapi bolanya tidak senang! Oh! Saya tidak suka itu. Tenang! jangan khawatir! Sekuen kedelapan Mamie Pétronille met le ballon sous l’arbre et s’endrot. Maintenant, le ballon est content! Terjemahan: Mamie Pétronille meletakkan bola di bawah pohon dan pergi tidur. Sekarang bolanya senang! Pada sekuen keenam, ketujuh dan ke- delapan menjelaskan ketika nenek Pétronille mengambil balon Romain yang tersangkut pohon dengan menggunakan tangga yang diambil dari dalam tasnya. Akhirnya, ia ber- hasil menggambil bola tersebut dan meletak- kannya dibawah pohon lalu ia tidur di bawah pohon. Sekuen kesembilan Oh non! Un chien prend le ballon. Mamie Pétronille n’est pas contente. Super! un ballon ! un ballon pour moi! reviens ici!. Elle met sa main dans son petit sac jaune. Qu’est-ce qu’il y a dans son sac?. Terjemahan: Oh tidak! Seekor anjing mengambil bola. Nenek Pétronille tidak senang. Hebat! sebuah Ballon! Ballon untukku! kembali kesini! Dia meletak- kan tangannya di tas kuning kecilnya. Apa yang ada di tasnya? Sekuen kesepuluh Il ya une planche à roulettes!. Le chien s’enfuit avec le ballon. Le ballon n’est pas content. Mamie Petronille saute sur sa planche à roulettes. Elle veut prendre le ballon. Terjemahan: Ada skateboard! Anjing itu melarikan diri dengan bola- nya. Bola itu tidak senang. Nenek Petronille melompat di atas papan luncurnya. Dia ingin mengambil bola. Sekuen kesebelas Mamie Petronille et le chien sont dans la rue. Il y a beaucoup de voitures, de camions, de motos et d’autobus.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
40
pymupdf
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra 87 Terjemahan: Nenek Petronille dan anjingnya ada di jalan. Ada banyak mobil, truk, sepeda motor dan bus. Sekuen ketiga belas Mamie Petronille veut le ballon. Attends!. Elle met sa main dans son petit s a c jaune. Qu’y a-t-il dans son sac? Terjemahan: Mamie Petronille meng- inginkan bola. Tunggu! Dia meletakkan tangannya di tas kuning kecilnya. Apa yang ada di tasnya? Sekuen keempat belas Il ya un os! Le chien voit l’os et laisse le ballon. Maintenant le ballon est content. Qu’est-ce que c’est? Super! Un os! Un os pour moi! Terjemahan: Ada tulang! Anjing melihat tulang dan meninggalkan bola. Sekarang bolanya senang. Apakah itu? Tulang! Tulang untuk ku! Pada sekuen kesembilan, kesepuluh, kesebelas, ketiga belas dan keempat belas menjelaskan awal masalah bola romain yang diambil oleh seekor anjing. Anjing tersebut membawanya lari, lalu nenek Pétronille me- ngejarnya dengan menggunakan skateboard. Mereka kejar-kejaran hingga ke jalan. Untuk menaklukkan anjing tersebut nenek Pétronille menggunakan sebuah tulang untuk dijadikan umpan. Akhirnya, sang nenek berhasil me- rebut bolanya kembali. Sekuen kelima belas Oh non! Maintenant un chat orange prend le ballon. Le ballon est en colère. Quelle chance! Un ballon! Un ballon pour moi! Viens ici!. Terjemahan: Oh tidak! Sekarang kucing oranye mengambil bola. Bola itu marah. Beruntung sekali! Sebauh bola! Bola untukku! Bawa kemari! Sekuen ketujuh belas Mamie Petronille veut le ballon ! Elle sort un poisson de son petit sac jaune. Le chat voit le poisson et laisse le ballon. Terjemahan: Mamie Petronille meng- inginkan bola! Dia mengambil seekor ikan dari tas kuning kecilnya. Kucing melihat ikan dan meninggalkan bola. Sekuen kedelapan belas Le ballon est content!. Miam miam! Un poisson pour le déjeuner! Terjemahan: Bola itu senang! Yum yum! Seekor ikan untuk makan siang! Pada sekuen kelima belas, keenam belas, ketujuh belas dan kedelapan belas menjelaskan bahwa bola Romain diambil oleh seekor kucing oranye. Padahal, bola tersebut baru saja diambil alih oleh nenek Pétronille dari seekor anjing. Nenek berhasil mengambil bolanya dari seekor kucing oranye meng- gunakan ikan yang diambil dari tas kecilnya berwarna kuning. Disisi lain, kucing oranye mendapatkan ikan tersebut untuk makan siang. Setelah beberapa saat bola itu telah di- ambil oleh kawanan hewan lain, yaitu seekor tupai. Sekuen kesembilan belas Oh non! Un écureuil prend le ballon! Le ballon est très en colère! Mamie Pétronille suit l’écureuil sur sa planche à roulettes. Super! Unballon! Un ballon pour moi!. Reviens ici! Tejemahan: Oh tidak! Tupai mengambil bola! Bola itu sangat marah! Mamie Pétronille mengikuti tupai dengan skateboard-nya. Hebat! Sebuah bola! bola untuk ku! Kembalilah ke sini! Sekuen kedua puluh satu Mami Pétronille ne voit ni l’écureuil ni le ballon. Où est le ballon? où est l’écureuil?. Terjemahan: Mamie Pétronille tidak
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
41
pymupdf
88 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra melihat tupai atau pun bola. Di mana bolanya? Di mana tupai itu. Sekuen kedua puluh dua Oh! Voila le ballon!.Pouf! Salut! Terjemahan: Oh! Ini bolanya! Halo! Sekuen kedua puluh tiga Et voila l’écureuil! Excusez-moi mamie Pétronille! Terjemahan: Dan itu tupai- nya! permisi nenek Pétronille! Sekuen kedua puluh empat L’écureuil sourit. L’arbre sourit. Le ballon sourit!. Mamie Pétronille essaie de ne pas sourire mais elle sourit elle aussi. Ah tres bien, vous revoilà! Bonjour mamie Pétronille. Avec qui parlez-vous? Terjemahan: Tupai itu tersenyum. Pohon itu tersenyum. Bola tersenyum! Nenek Pétronille berusaha untuk tidak tersenyum tetapi dia juga tersenyum. Ah, baiklah, kamu kembali! Halo Nenek Pétronille. Kamu bicara dengan siapa? Pada sekuen kesembilan belas, kedua puluh satu, kedua puluh dua, kedua puluh tiga dan kedua puluh empat menjelaskan bahwa seekor tupai mengambil bola Romain yang baru saja berhasil diambil oleh nenek dari seekor kucing oranye. Tupai dan bolanya tidak ada, nenek Pétronille bingung mencarinya dan bertanya-tanya. Namun tiba-tiba, bola ter- sebut ditemukan. Tak lama, nenek Pétronille melihat tupainya. Tupai, pohon dan bolanya tersenyum. Nenek sempat mencoba untuk tidak tersenyum namun akhirnya ia juga tersenyum. Kemudian, dengan tiba-tiba Romain bertanya kepada nenek Pétronille bahwa dengan siapa nenek berbicara. Sekuen kedua puluh lima Romain a de nouveau son ballon. Il est très content! Hum, Salut Romain! Voila ton ballon!. Merci! Merci beaucoup mamie Pétronille!. Terjemahan: Romain mendapatkan bolanya lagi. Dia sangat senang! Um, hai Roman! Ini Ballonmu! Terima kasih! Terima kasih banyak Nenek Pétronille!. Pada sekuen kedua puluh lima menjelas- kan akhir dari perjuangan nenek Pétronille yang berhasil membantu Romain dalam menghadapi masalah-masalahnya. Mulai dari bola yang tersangkut diatas pohon dan di- rebut oleh kawanan hewan. Akhirnya, Romain telah mendapatkan bolanya kembali. Dia merasa senang dan mengucapkan terima kasih kepada nenek Pétronille yang telah membantunya. 3.4 Urutan Logis Peristiwa Logika cerita merupakan hal yang penting karena logika merupakan dasar struktur (Zaimar, 1991: 42). Permasalahan yang muncul ketika melakukan analisis urutan logis peristiwa adalah ambiguitas yang disebabkan oleh kerancuan antara urutan kronologis dan sebab akibat. Pada beberapa karya sastra pencarian urutan logis peristiwa merupakan masalah yang besar (Genette dalam Sunahrowi, 2019: 93). Satuan cerita pada cerpen Mamie Pétronille et le ballon karya Jane Cadwallader runtut atau beraturan. Cerpen ini tidak memiliki terlalu banyak loncatan-loncatan peristiwa dan munculnya peristiwa bawahan. Peristiwa pada cerpen ini melibatkan tokoh utama. Peristiwa ini dialami oleh tokoh utama dengan melibatkan tokoh bawahan. Walaupun demikian, tokoh utama tetap mendominasi dalam setiap peristiwa. Ada beberapa peris- tiwa bawahan dalam cerpen ini, tetapi tidak memecah urutan logis cerita, sebagai berikut. Sekuen pertama C’est une belle journée. Des enfants jouent dans le parc. Ils jouent au basket
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
42
pymupdf
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra 89 et au footet ils font du velo et de la planche à roulettes. Tout le monde est content. Terjemahan: Ini adalah hari yang indah. Anak-anak bermain di taman. Mereka bermain basket dan sepakbola dan mereka bermain sepeda dan skateboard. Mereka semua senang. Sekuen ketiga Romain donne un coup de pied dans le ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain menendang bola dan. “Oh, tidak!”. Sekuen keempat Pauvre Romain! Le ballon est dans l’arbre et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh, mon ballon!. J’ai faim. Allons manger! Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya tersangkut di pohon dan ini saatnya untuk makan siang!. Oh, bolaku! Aku lapar. Ayo kita makan! Peristiwa-peristiwa bawahan pada se- kuen pertama, ketiga, keempat tidak memecah urutan logis peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut mendukung peristiwa utama. Pada sekuen pertama, anak-anak sebagai tokoh bawahan, sedang bermain basket, sepak bola, sepeda dan skateboard di taman. Pada sekuen ketiga, Romain menendang bola hingga ter- kejut. Terakhir, pada sekuen keempat men- jelaskan bahwa bola yang Romain tendang tersangkut di Pohon. Setelahnya, anak-anak itu pergi untuk makan siang. Mamie Pétronille et le ballon meceritakan peristiwa yang merepresentasikan dari ke- hidupan nyata. Urutan logis cerpen ini runtut sehingga mudah dipahami. Sekuen pertama merupakan peristiwa logis yang berurutan pada sekuen selanjutnya, sebagai berikut. Sekuen pertama C’est une belle journée. Des enfants jouent dans le parc. Ils jouent au basket et au footet ils font du velo et de la planche à roulettes. Tout le monde est content. Terjemahan: Ini adalah hari yang indah. Anak-anak bermain di taman. Mereka bermain basket dan sepakbola dan mereka bermain sepeda dan skateboard. Mereka semua senang. Sekuen kedua Oh! Mamie Pétronille est là! Elle parle avec un petit garcon qui a un ballon. Bonjour! Je m’appelle Mamie Petronille. Et toi, comment t’appelles-tu?. Moi, je m’appelle Romain. Terjemahan; Oh! nenek Pétronille di sana! Dia berbicara dengan seorang anak kecil yang memiliki se- buah Ballon.”Halo! Perkenalkan nama- ku nenek Pétronille. Dan siapa nama- mu? Namaku Romain. Kutipan sekuen di atas merupakan urutan logis. Peristiwa pada sekuen pertama menjelaskan ketika anak-anak sedang bermain di taman memiliki urutan logis dengan peris- tiwa pada sekuen kedua. Sekuen kedua berupa keberadaan nenek Pétronille di taman dan menjelaskan pertemuan dan perkenalan antara Romain dan nenek Pétronille. Kedua sekuen tersebut sangat logis dan urut. Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena adanya sekuen pertama dan kedua, tanpa adanya salah satu dari sekuen di atas peristiwa- peristiwa tersebut tidak akan terjadi. Kedua sekuen di atas saling mempengaruhi. Sekuen ketiga Romain donne un coup de pied dans le ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain menendang bola dan. “Oh, tidak!”. Sekuen keempat Pauvre Romain! Le ballon est dans l’arbre et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh, mon ballon! J’ai faim. Allons manger! Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya tersangkut di pohon dan ini saatnya
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
43
pymupdf
90 Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90 ©2020, Widyasastra untuk makan siang! Oh, bolaku! Aku lapar. Ayo kita makan! Urutan peristiwa logis berlanjut pada sekuen ketiga dan keempat. Peristiwa pada sekuen ketiga berupa Romain menendang bolanya. Peristiwa tersebut berurutan dengan sekuen keempat berupa bola yang ditendang Romain tersangkut di pohon lalu mereka pergi untuk makan siang. 4. Simpulan Setelah melakukan analisis struktur karya pada cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon yang terdiri dari dua puluh enam sekuen, maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Sekuen pertama dan sekuen kedua merupakan peristiwa yang berurutan atau urutan tekstual satuan isi cerita. Kemudian, dari sekuen pertama hingga dua puluh enam, terdapat loncatan peristiwa yang terdapat pada sekuen dua belas, enam belas dan dua puluh. Sehingga, hal tersebut menyebabkan peristiwa pada sekuen sebelum dan sesudahnya terhenti atau terpotong. Selanjutanya, sekuen pertama hingga keempat, kesembilan hingga keempat belas, keenam belas hingga ketujuh belas, kesembilan belas hingga dua puluh empat dan satu sekuan kedua puluh lima merupakan urutan peristiwa secara kronologis. Dalam urutan logis peristiwa menghasil- kan gambaran mengenai urutan peristiwa dengan lebih jelas dan detail. Terdapat dua sekuen yakni sekuen pertama dan kedua yang merupakan urutan logis dan urut. Kemudian urutan logis tersebut, berlanjut ada sekuen ketiga dan keempat. Maka dapat disimpulkan bahwa urutan logis periatiwa pada sekuen- sekuen tersebut saling mempengaruhi. Namun, juga tedapat kemunculan peristiwa bawahan. Peristiwa bawahan ini melibatkan tokoh utama dan tokoh bawahan. Meski demikian beberapa peristiwa bawahan seperti sekuen pertama, ketiga dan keempat tidak memecah urutan logis cerita. Disisi lain, cerita pendek ini mengisahkan tokoh utama atau nenek Pétronille yang bisa disebut sebagai pahlawan. Penggambaran nenek Pétronille merepresentasikan seorang wanita yang tangguh dalam menghadapi segala hal. Kemudian, nilai-nilai kehidupan juga disisipkan oleh pengarang dalam cerita pendek ini. Sehingga memiliki dampak positif bagi kehidupan manusia. Cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai unsur- unsur sastra dan dapat dijadikan sebagai referensi pendukung, khususnya tentang ke- susastraan Perancis dan pembelajaran sastra. Daftar Pustaka Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Cadwallader, Jane. 2010. Mamie Pétronille et le Ballon. Loreto: ELI Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa Rineka Cipta. Sadikin, Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia Edisi Lengkap. Jakarta Timur: Gudang Ilmu. Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang: Widya Duta Sunahrowi, Sunahrowi. 2019. Semiotika Roland Barthes. Banyumas: Rizquna Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia. Zaimar, Oke K.S.1991. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: Seri ILDEP di bawah redaksi W.A.L Stockhof.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
44
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 91 1. Pendahuluan Ketoprak merupakan salah satu produk ke- senian di Jawa dengan ciri khas yang selalu dipertahankan oleh pelaku seni. Dalam hal ini, pelaku seni perlu melalukan inovasi pemer- tahanan budaya untuk mengenalkan budaya- ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE STORY IN KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR” Anita Pipit Aziz1, Mohammad Kanzunnudin2, Muhammad Noor Ahsin3 1,2,3 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muria Kudus. Posel: [email protected] Abstrak Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan nilai sosial yang terdapat dalam cerita ketoprak “Ronggolawe Gugur”. Peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian, yaitu cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Teknik pengumpul- an data dilakukan menggunakan observasi non partisipan, wawancara, dan transkip penulisan naskah cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Analisis data dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan menarik simpulan. Dalam hasil penelitian ini, ditemukan struktur dan nilai sosial dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Pertama, struktur cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas alur, penokohan, tempat kejadian, tema, dan amanat. Kedua yaitu nilai-nilai sosial yang terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas pengabdian, tolong menolong, kepedulian, kekeluargaan, empati, disiplin, dan toleransi. Kata kunci: struktur, nilai sosial, Ronggolawe Gugur Abstract This research aims to describe intrinsic elements and social value contained in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur”. Researcher used descriptive qualitative methods. Research data sources is the ketoprak story entitled “Ronggolawe Gugur”. Data collection technique used non participant observation ,interview and transcipts of ketoprak script of “Ronggolawe Gugur”. Data analysis is conducted by data reduction, data presentation, and drawing conclusions. the result shows that this study found structure and social value in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur”. Frist structure of ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of plot, characterization, setting, theme, and mandate. Secound social values contained in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of devation, mutual help, concern, kinship, empathy, disciplin, and tolerance. Keywords: structure, social value, Ronggolawe Gugur budaya yang ada khususnya di kalangan anak muda. Ketoprak merupakan sebuah per- tunjukan yang diiringi karawitan berupa gamelan. Di sisi yang lain, ketoprak juga salah satu sarana menceritakan legenda atau kisah-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
45
pymupdf
92 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra kisah dalam kerajaan terdahulu dengan latar belakang budaya Jawa. Bagi para pelaku seni, ketoprak juga menjadi hiburan dan sarana pelestarian ke- senian Jawa. Sebagaian besar para pelaku seni menjadikan ketoprak sebagai mata pencarian untuk menambah penghasilan karena ke- banyakan mereka bekerja sebagai nelayan yang tidak menentu hasilnya. Ketoprak merupakan sebuah kesenian yang dilahirkan dipulau Jawa dan berkembang secara pesat. Dalam ketoprak, seni tari, seni suara, seni musik berupa gamelan, dan seni peran menjadi pelengkap bahwa ketoprak merupakan hasil kebudayan yang lengkap. Oleh karena itu, kesenian ketoprak dapat di- katakan sebagai kolaborasi berbagai kesenian, termasuk dalam hal artistic, semisal penataan lampu dan suara. Kaitannya dengan ketoprak sebagai seni kerakyatan, pada mulanya ketoprak merupa- kan seni kerakyatan yang ditangani oleh priyai, yang disebut golongan priyai adalah masya- rakat yang mempunyai derajat sosial tinggi, bisa berasal dari golongan terpelajar atau golongan yang masih memiliki hubungan darah dengan keraton (Waryati, 2015: 2). Sementara, dalam kaitannya dengan konflik yang dialami oleh Ronggolawe mengenai pandangan politik juga sering terjadi dalam lingkungan masyarakat, seperti halnya konflik rebutan kekuasan atau bisa disebut juga perebutan jabatan, contohnya dalam lingkup masyarakat yaitu, pada saat pemilihan ketua RT sampai kepala desa bahkan sampai pe- milihan presiden atau pilpres pasti terdapat banyak sekali perdebatan antara satu dengan yang lainnya. Menurut Sendrasik dalam Setyawan (2018) naskah drama merupakan bahan dasar sebuah pementasan dan belum sem- purna bentuknya apabila belum dipentaskan, naskah drama juga sebagai ungkapan per- nyataan penulis (play wright) yang berisi nilai- nilai pengalaman umum juga merupakan ide dasar bagi aktor, dalam pementasan ketoprak bergantung dengan naskah. Oleh karena itu, naskah ketoprak termasuk ke dalam suatu ragam karya sastra Jawa. Dengan media naskah ketoprak kita dapat melihat kondisi sosial masyarakat khususnya masyarakat Jawa, hal itu dikarenakan proses penciptaan naskah atau karya sastra tidak lepas dari sebuah ideologi bahkan latar belakang dari seorang pengarang. Untuk naskah yang sering dipentaskan dalam pagelaran ketoprak atau naskah yang sering dibaca dan diketahui oleh masyarakat salah satunya yaitu, naskah Ronggolawe Gugur, dalam naskah Ronggolawe Gugur ini merupakan representasi pada zaman Kerajaan Majapahit tempo dulu. Di- mana dalam naskah tersebut menceritakan konflik mengenai politik yaitu Ronggolawe yang tidak puas dengan keputusan Kerta- rajasa Jayawardhana dalam menetapkan jabataan Mahapatih Kerajaan Majapahit kepada Embu Nambi. Ronggolawe beranggap- an bahwa Embu Nambi tidak memiliki jasa yang besar kepada kerajaan Majapahit ini. Hal itulah, yang menjadi latar belakang ketidak puasan Ranggolawe terhadap keputusan yang diambil oleh Kertarajasa Jayawardhana. Berdasarkan runtutan sebuah cerita dari perkenalan, penokohan, konflik, puncak kon- flik, hingga penyelersaian sebuah naskah atau karya sastra tidak lepas dari struktur. Dalam karya sastra struktur digunakan untuk mem- bantu dan mempermudah masyarakat, khu- susnya dalam memahami naskah atau pe- mentasan naskah tersebut. Struktur merupakan sebuah kara atau peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu keseluruhankarena ada hubungan timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dari keseluruhan (Hartoko, 1989: 38). Jadi, struktur merupakan mekanisme dari
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
46
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 93 antar hubungan unsur yang satu dengan unsur yang lain. Struktur karya sastra me- rupakan unsur-unsur bersistem yang memilki hubungan timbal balik yang saling memiliki keterkaitan dan saling menentukan satu sama lain. unsur-unsur tersebut terdiri atas, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Mengenai penelitian yang dilakukan, belum banyak digunakan oleh orang lain. akan tetapi, ada beberapa penelitian yang mem- bahas mengenai potret kondisi sosial masya- rakat Jawa dalam naskah ketoprak klasik gaya Surakarta Setyawan (2008), yang menjelaskan tentang ketoprak merupakan seni tradisional Jawa yang lahir dan berkembang dari kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, ketoprak sangat kental dengan nilai yang relevan dengan kehidupan masyarakat Jawa yang tercemin dalam naskah ketoprak klasik gaya Surakarta. Begitu juga naskah atau cerita ketoprak tidak lepas dari sebuah struktur pembangun karya sastra. Maka, penulis tertarik untuk meneliti. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpul- kan bahwa karya sastra dibuat tidak lepas dari nilai-nilai disekitar pengarangnya, misalkan seni pementasan ketoprak yang tidak lepas dari sebuah struktur atau unsur pembangun karya sastra, dengan melihat hal tersebut tujuan penelitian ingin mengetahui struktur cerita ketoprak Ronggolawe Gugur dan Mengetahui apa saja nilai sosial yang terdapat dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. 2. Metode Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (qualitative research). Karena penelitian ini tidak menentukan pada hasil yang berupa angka-angka tetapi berupa informasi yang ditujukan untuk mendeskripsi- kan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi, dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena pe- nelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2016: 13). Metode penelitian kualitatif disebut juga sebagai metode etnografi karena pada awal- nya metode ini lebih sering digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya. Dengan menggunakan motode kualitatif ini, peneliti akan memaparkan dan mengana- lisis naskah ketoprak. Hal yang dideskripsikan dalam penelitian ini yakni, struktur dan nilai sosial cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Penelitian ber tujuan mendeskripsikan struk- tur dan nilai sosial yang terdapat pada naskah ketoprak Ronggolawe Gugur. Data yang digunakan dalam penelitian menggunakan data sekunder dan primer. Data primer yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dalam naskah ketoprak. Sementara, data sekunder berupa data yang diperoleh melalui media perantara lain, buku, artikel, majalah, dan media daring, serta sumber lainnya. Dilihat dari sumber datanya, maka pe- ngumpulan data berupa sumber primer dan sumber sekunder (Sugiono, 2010: 193). Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data secara langsung kepada pengumpul data, dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data, misalnya lewat orang lain atau dokumen. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder sebagai berikut. Sumber data sekunder diperoleh dari referensi yang mendukung analisis data yang berkaitan naskah ketoprak atau reverensi lainnya, serta beberapa informasi dari infor- man. Informan yang dipilih oleh peneliti, antara lain Taswilan, pengarang naskah ke- toprak lakon Ronggolawen Gugur dan sutra- dara pada kelompok kesenian ketoprak Siswo Budoyo.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
47
pymupdf
94 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra Sumber data penelitian ini ialah naskah Ronggolawe Gugur. Dalam hal pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik observasi non partisipan, wawancara, pe- rekaman, dan transkip penulisan naskah. Teknik observasi non partisipan, yakni peng- amat hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan terhadap seke- lompok pelaku seni dalam kesenian ketoprak mengenai naskah dan pementasan seni ketoprak. Teknik selanjutnya adalah teknik wawan- cara, yakni pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Esterberg dalam (Sugiono, 2016: 317). Beberapa macam teknik wawancara yakni, wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan tidak berstruktur. Teknik analisis data dalam penelitian ini, menggunakan analisis kualitatif. Dalam teknik analisis kualitatif, data berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka (Huberman, 2007: 15). Data berupa kata-kata dikumpulkan me- lalui pembacaan, pereduksian, dan klasifikasi berdasarkan struktur cerita dan aspek sosial. 3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap cerita ketoprak Ronggolawe Gugur ditemukan struktur dan nilai-nilai sosial. Pertama, struktur cerita Ronggolawe Gugur yang terdiri atas alur, penokohan, tempat kejadian, tema, dan amanat. Kedua, cerita ketoprak Ronggolawe Gugur juga mengguraikan aspek sosial, antara lain pengabdian, tolong menolong, kekeluarga- an, kepedulian, disiplin, empati, keadilan, toleransi, dan kerjasama. 3.1 Struktur Cerita Ketoprak Ronggolawe Gugur Sebuah karya sastra baik lisan mupun tulis tidak lepas dari struktur. Struktur merupakan mekanisme hubungan unsur yang satu dengan unsur yang lain. Struktur merupakan bentuk keseluruhan yang kompleks, bahkan setiap objek atau peristiwa pasti terdapat sebuah struktur yang terdiri atas berbagai unsur, baik dari dalam atau luar karya sastra yang saling berhubungan (Siswantoro, 2010: 13). 3.1.1 Alur Alur merupakan unsur yang mengungkapkan peristiwa-peristiwa melalui jalinan cerita yang berupa elemen-elemen yang dapat mem- bangun suatu rangkaian perstiwa. Alur me- rupakan rangkaian hubungan sebab akibat, suatu peristwa yang saling menyebabkan dan menjadikan dampak peristiwa lainnya (Stanton, 1965: 14). Alur dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur berupa alur maju, yaitu runtutan sebuah cerita yang terdiri atas pelukisan awal cerita, pertikaian awal cerita, klimaks atau titik puncak, dan penyelesaian. Pelukisan awal cerita ketoprak Ronggo- lawe Gugur dapat digambarkan melalui dialog atau petikan cerita, jalan cerita dengan mem- perkenalkan tokoh-tokohnya dengan watak masing-masing. (Semua punggawa yang menghadap di pendopo Majapahit diantaranya Ken Sora, Kebo Anabrang, dan Haryonambi) Raja Maja- pahit Kertarajasa Jaya Wardhana dihadap para punggawa mengadakan pengangkatan patih Hamangku Bumi. Kertarajasa: “Sengaja para punggawa saya kumpulkan untuk membicarakan mengenai pengangkatan patih Hamangku Bumi.” Kutipan dialog di atas menandai tahap awal berupa pengenalan tokoh-tokoh cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Petikan dialog tersebut menggambarkan tokoh-tokoh dan peran, yaitu sebagai punggawa atau patih- patih dalam kerajaan yang terdapat pada
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
48
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 95 kalimat “semua punggawa”. Kalimat tersebut menggambarkan bahwa tokoh Kebo Anabrang, Ken Sora, Nambi sebagai punggawa atau patih dalam kerajaan termasuk Ronggolawe. Kuitpan di atas merupakan awal cerita Ronggolawe Gugur yang dimulai ketika salah satu patih di kerajaan Majapahit tidak me- nyetujui keputusan sang Raja Kertarajasa Jaya Wardhana. Hal itu terlihat pada kutipaan naskah Ronggolawe Gugur sebagai berikut. (Ketika semua patih menyetujui Nambi diangkat sebagai patih Hamangku Bumi di kerajaan Majapahit.) Nambi: “Siapapun yang paduka angkat menjadi patih, asalkan mengutamakan kebutuhan negara dari pada kebutuhan pribadi, dan dan demi kemajuan negara saya setuju paduka.” Kertarajasa: “Untuk itu saya putuskan hari ini kakang Nambi saya wisuda menjadi patih Hamangku Bumi di kerajaan Majapahit.” (Datanglah Adipati Ronggolawe Tuban yang tidak menyetujui pengangkatan patih). Dalam dialog tersebut ditunjukkan bahwa keputusan yang telah disetujui sang raja dengan para punggawa bahwa Nambi di- angkat menjadi patih Hamangku Bumi men- dapat penolakan dari salah satu punggawa yakni Ronggolawe. Titik puncak pada cerita ketoprak cerita Ronggolawe Gugur terjadi ketika Ronggolawe mengamuk kalau masih Nambi yang dijadikan patih Hamangku Bumi di kerajaan Majapahit. Hal itu ditunjukkan pada petikan dialog se- bagai berikut. Ronggolawe: “Duh... sang raja kalau tetap Nambi yang jadi patih di Majapait tetap saya tidak terima. Nambi kalau kamu tidak terima saya bicara silahkan kamu mau apa? Saya tidak getar meng- hadapi kamu pagi, siang, maalam, di manapun tempatnya.” Anabrang: “Hee, Ronggolawe bicara- mu ngelantur seperti laki-laki sendiri. Kalau berani jangan Nambi. He Ronggolawe lawan aku.” (Ronggolawe keluar, Kebo Anabrang meminta persetujuan untuk mencari Ronggolawe) Petikan dialog di atas menjelaskan bahwa puncak cerita terjadi saat Ronggolawe menen- tang keputusan dan mengamuk. Pada kalimat “saya tidak gentar menghadapi kamu” penggal- an kalimat tersebut dapat diartikan menan- tang lawan untuk bertengkar, dan kalimat itulah menunjukkan kalau Ronggolawe mengamuk dalam pisowanan atau rapat di kerajaan Majapahit. Penyelesaian dari cerita Ronggolawe Gugur ialah ketika Ronggolawe pergi ke kali tambak beras dan disusul oleh Kebo Anabrang, sehingga keduanya berkelahi beradu kesakti- an. Hal itu terlihat dalam naskah sebagai berikut. (Di kali Tambak Beras, pertemuan antara Ronggolawe dan Kebo Anabrang terjadi. Mereka berdua berkelahi, dalam perkelahian itu Kebo Anabrang diteli- kung oleh Ronggolawe dan datanglah Ken Sora.) Ken Sora: “Ronggolawe.......” (dengan nada keras dan menantang) Ronggolawe: (Kebingungan mencari sumber suara, akhirnya tidak sadar melepaskan telikungannya terhadap Anabrang). Setelah Kebo Anabrang terlepas dari telikungan, kesempatan untuk membunuh Ronggolawe dengan tombaknya. Dikala Anabrang membunuh Ronggolawe itulah ke- sempatan Ken Sora membunuh Kebo
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
49
pymupdf
96 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra Anabrang. Akhirnya keduanya mati secara bersamaan di kali Tambak Beras. 3.1.2 Penokohan Penokohan dan perwatakan memiliki keter- kaitan yang sangat erat. Tokoh dalam sebuah pementasan menjadi sumber utama dalam menciptakan plot atau alur, yang menjadi sumber action dan percakapan. Oleh sebab itu penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Tokoh antagonis dan juga tokoh sentral dalam naskah ini yaitu Ronggolawe. Ronggolawe: “Duh.. sang raja kalau cuman dasar itu tidak masuk akal.” Kertarajasa: “Kenapa kkang tidak masuk akal?” Ronggolawe:”Menurut saya, Nambi itu bodoh tiap ada pertempuran Nambi sembunyi, dan kalau Nambi menjadi patih di Majapahit mau dibawa kemana kerajaan Majapahit.” Petikan dialog di atas memaparkan watak Ronggolawe yang mementingkan dirinya sendiri untuk kepentingan pribadinya. Hal itu telah dilukiskan pengarang watak pelaku cerita dan bagaimana pembaca mencoba menafsir- kan watak pelaku cerita yang hendak ditafsir- kan oleh pengarang. Tokoh protagonis yaitu tokoh yang mendukung jalannya cerita. Hal ini dapat diliat pada petikan dialog sebagai berikut. Kertarajasa: “Kalau Kebo Anabrang bagimana?” Anabrang: “Saya juga sependapat dengan kakang Ken Sora.” Nambi: “Siapa pun yang paduka angkat menjadi patih, asalkan mengutamakan kepentingan negara dari pada ke- pentingan pribadi, dan demi kemajuan negara saya setuju paduka.” Petikan dialog di atas menunjukkan kalau tokoh Nambi dalam cerita ketoprak Ronggolawe gugur merupakan tokoh protagonis. Hal itu dapat dilihat pada petikan kalimat “saya setuju padaka” kalimat tersebut dapat dimaknai kalau Nambi menerima dan mengikuti jalannya cerita. Tokoh rotagonist yaitu Ken Sora, karena tokoh Ken Sora yang dijadikan toko rotagonist merupakan tokoh pembantu baik untuk tokoh antagonis maupun rotagonist. Hal ini dapat dilihat pada petikan dialog sebagai berikut. Kertarajasa: “Kalau tidak Nambi yang menjadi patih terus siapa?” Ronggolawe: “Iya... menurut saya yang pantas menjadi patih adalah paman Ken Sora.” Ken Sora: “Apakah bicaramu itu sudah kamu pikirkan?” Petikan dialog di atas menunjukkan Ken Sora membantu tokoh Nambi dalam meng- hadapi Rongolawe yang egois dan mau menang sendiri. Tokoh pembantu dalam cerita yakni, tokoh Kertarajasa Jaya Wardhana hanya di- butuhkan tokoh pembantu beberapa saat saja. Hal itu terdapat pada petikan dialog dan pe- munculan tokoh Kertarajasa Jaya Wardhana yang terbatas pula. Adapun dialog yang me- nunjukkan Kertarajasa sebagai tokoh pem- bantu yakni. Kertarajasa: “Cukup...! cukup Ronggo- lawe jangan ada perkelahian di Majapahit.” Petikan dialog di atas menggambarkan Kertarajasa menjadi tokoh pendukung di balik konflik Ronggolawe Gugur dan pemunculan- nya juga terbatas hanya saat dihadap para punggawa untuk pengangkatan patih. 3.1.3 Setting Latar atau tempat kejadian adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristia dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
50
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 97 peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton, 2007: 35). Berdasarkan pandangan di atas, setting atau tempat kejadian cerita sering disebut latar cerita. Setting biasanya meliputi tiga dimensi yaitu, tempat, ruang, dan waktu. Setting tempat yang dapat ditemukan dalam cerita ketoprak Ronggolawe gugur adalah kerajan Majapahit dan kali tambak beras berikut petikan dialognya. Adegan 1 Keraton Majapahit (Raja Majapahit Kertarajasa Jaya Wardhana dihadap para punggawa mengadakan pengakatan patih hamangku bumi) Selain kerajan Majapahit, peneliti latar berupa tempat lainnya, yakni Kali Tambak Beras. Berikut petikan dialog yang me- nunukkan latar tempat. Adegan 2 (Di kali tambak beras pertemuan Ronggolawe dan Kebo Anabrang teradi. Kebo Anabrang dan Ronggolawe ber- temu.) Setting waktu yang terdapat dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur adalah zaman dahulu kala pada masa kerajaan Majapait yang dipimpin oleh raja Kertarajasa Jaya Wardana. Setting suasana yang dapat ditemukan dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur ada suasana tegang dan suasana menakutkan. 3.1.4 Tema Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia yang merupakan gagasan maupun pan- dangan hidup pengarang yang melatar bela- kangi terciptanya karya sastra. Apabila dilihat dari judul, Ronggolawe Gugur, mencerminkan keangkuhan Ronggolawe akan kekuasaan yang mengakibatkan jalan menuju kehancur- an. 3.1.5 Amanat Cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdapat beberapa amanat. Amanat merupakan pesan yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Amanat dalam cerita Ronggolawe Gugur ini terdapat beberapa pesan yang ingin disampai- kan penulis naskah, diantaranya (1) jangan gila jabatan, (2) jangan meremehkan ke- mampuan orang, (3) sesama keluarga atau pimpinan harus saling hidup rukun, (4) jangan menyelesaikan masalah dengan cara meng- ilangkan nyawa seseorang, dan (5) berusaha mengargai seseorang dalam hal apapun. 3.2 Nilai Sosial Cerita Ketoprak Ronggo- lawe Gugur Nilai sosial adalah nilai perilaku yang meng- gambarakan suatu tindakan masyarakat, baik berupa nilai tingkah laku yang menggambar- kan suatu kebiasaan dalam lingkungan masya- rakat, serta nilai sikap yang secara umum menggambarkan kepribadian suatu masya- rakat. Nilai sosial tersebut terdiri atas bebe- rapa sub nilai antara lain (1) kasih sayang (2) tanggung jawab (3) keserasian hidup (Zubaedi, 2006: 13). Indikator dalam penelitian ini, antara lain pengabdian, tolong menolong, kekeluargaan, kepedulian, disiplin, empati, keadilan, toleransi, kerjasama. 3.2.1 Pengabdian Pengabdian merupakan usaha yang dilakukan oleh seseorang baik secara individu, ber- samasama, atau kelompok atau lembaga untuk membantu peningkatan taraf kehidupan masyarakat yang dibantu sesuai dengan misi yang diemban (Sudin, 2004). Kertarajasa: “Kalau Kebo anabrang bagaimana?” Anabrang: “ Saya juga sependapat dengan kakang Ken Sora.” Nambi: “Siapapun yang paduka angkat menjadi patih, asalkan mengutamakan kebutuhan negara daripada kebutuhan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
51
pymupdf
98 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra pribadi, dan demi kemajuan negara saya setuju paduka.” Pada penggalan kalimat “mengutamakan kebutuan negara daripada kebutuan pribadi” dalam kalimat tersebut dapat ditafsirkan atau dimaknai sebagai bentuk pengabdian sese- orang baik dalam bentuk individu, kelompok, atau lembaga sebagai misi yang diembannya. Sebagai wujud pengabdian tokoh Nambi mengabdikan dirinya untuk kerajaan sesuai dengan misi yang diembannya untuk me- ningkatkan suatu kehidupan yang jaya dalam lingkup kerajaan. 3.2.2 Tolong Menolong Tolong menolong atau gotong royong dapat dikenal dengan sebutan sambatan. Sambatan merupakan suatu sistem gotong royong dengan cara menggerakan tenaga kerja secara masal yang berasal dari warga untuk saling membantu orang yang membutukan, (Putra, Adi Mandala, dkk. 2018). Berdasarkan pan- dangan di atas, tolong menolong merupakan suatu tindakan yang sangat dibutuhkan oleh setiap individu karena tidak ada individu yang bertahan hidup tanpa ada bantuan dari orang lain. Hal inilah yang disebut sebagai makhluk sosial. Makhluk yang dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar seperti pada petikan dialog sebagai berikut. (Paman Ken Sora, Kebo Anabrang meminta persetujuan untuk mencari Ronggolawe). Kertarajasa: “Paman Ken Sora, saya minta tolong untuk mendamaikan kakang Ronggolawe dan Kebo Anabrang. Jangan sampai mereka berkelahi. Untuk itu pisowan saya bubarkan.” Berdasarkan petikan dialog di atas pada kalimat “saya minta tolong untuk mendamai- kan kakang Ronggolawe dan Kebo Anabrang” dapat diartikan sebagai bentuk peristiwa tolong menolong untuk menghentikan perkelahian. Perilaku tolong menolong bisa terjadi dalam bentuk apapun, dalam hal ini tolong menolong bisa tercipta atas permintaan dari individu yang membutuhkan atau dari individu yang muncul sifat kesadaran diri untuk menolong. 3.2.3 Kekeluargaan Kekeluargaan merupakan sesuatu yang luhur dan mulia. Sesuatu dikatakan luhur karena memiliki posisi dan harga yang tingi di masyarakat. Nilai-nilai inila menjadi harapan yang tinggi bagi semua warga untuk mem- bangun masyarakat agar hidup menjadi harmoni dan damai (Rivaie, 2011). Ronggolawe: “Sudah paman, yang patuh jadi patih paman Ken Sora.” Ken sora: “Salah kamu Ronggolawe. malah aku bisa menuduh kamu. sepertinya kamu sendiri yang ingin jadi patih.” Kertarajasa: ”Cukup...! Cukup Ronggo- lawe paman Ken Sora jangan ada perselisian di Maapahit.” Pada petikan kalimat “cukup...!” penggal- an kalimat tersebut dapat memaknai me- ngentikan permasalahan. Supaya kerajaan Majapahit tidak ada keributan antar satu keluarga. Hal itu dilakukan oleh raja demi ke- rajaan yang damai dan harmonis serta mem- berikan contoh ke orang lain untuk hidup kekeluargaan. 3.2.4. Kepedulian Kepedulian adalah suatu tindakan, bukan hanya sebatas pemikiran atau perasaan (Admizal, 2018). Dalam cerita Ronggolawe Gugur dapat diamati melalui kutipan berikut. Ronggolawe: “Sudah paman, yang patuh jadi patih paman Ken Sora.” Ken Sora: “Salah kamu Ronggolawe…. Saya sudah tua. Kalaupun saya Nambi diangkat jadi patih itu sudah tepat.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
52
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 99 Karena nimbi juga punggawa yang rajin bekerja untuk memimpin kerajaan Majapahit malah aku bisa menuduh kamu. sepertinya kamu sendiri yang ingin jadi patih.” Berdasarkan petikan dialog di atas, Ken Sora berharap kerajaan Majapahit dipimpin oleh seorang punggawa yang masih muda dengan bekal kemampuan yang cukup dan mampu memimpin kerajaan Majapahit karena dirinya merasa sudah tidak mampu untuk memimpin kerajaan karena faktor usia yang semakin tua. 3.2.5 Disiplin Disiplin merupakan pendidikan yang ber- tujuan dalam membentuk manusia yang di- siplin, yang dapat menjadi anggota masya- rakat yang bahagia. Disiplin dapat diwujutkan melalui peraturan yang sedapat mungkin terperinci dan terpisa, cukup singkat dan sederhana, sedapat mungkin jelas dalam hal sanksi, dan diketahui secara luas (Savage, 1991: 361). Kedispilinan dapat dilihat dalam kutipan berikut. (Kertarajasa dihadapan para pung- gawa yang terdiri atas Ken Sora, Kebo Anabrang, dan Haryo Nambi untuk mengadakan pengangkatan patih Hamangku Bumi) Kutipan di atas menggambarkan sikap kedisiplinan para tokoh dalam cerita. akan tetapi ada satu tokoh yang kurang disiplin yaitu Ronggolawe yang datang terlambat di pisowanan. 3.2.6 Empati Empati adalah kemampuan kita dalam me- respon keinginan orang lain yang tak terucap. Empati merupakan suatu bentuk reaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon emosinal (Selvina, 2016). Dengan kata lain, seseorang yang memiiki empati teradap orang lain adalah seseorang yang tidak me- mentingkan dirinya sendiri. Berdasarkan pemaparan di atas wujud sikap empati terdapat pada petikan dialog sebagai berikut. Ken Sora: “Salah kamu Ronggolawe… saya sudah tua kalaupun saya Nambi diangkat jadi patih itu sudah tepat. Malah aku bisa menuduh kamu, seperti- nya kamu sendiri yang ingin jadi patih di kerajaan Majapahit.” Berdasarkan petikan kalimat tersebut tokoh Ken Sora bereaksi tokoh Ronggolawe dengan respon yang sama, yakni tokoh Ken Sora mengira kalau Ronggolawe sendiri yang mengharapkan dirinya diangkat menjadi pati Hamangku Bumi. Hal tersebut terbukti pada sikap Ronggolawe yang menentang keputusan raja. 3.2.7 Keadilan Keadilan adalah membagi sama layak, atau memberikan hak yang sama kepada orang- orang atau kelompok dengan status yang sama. Keadilan adalah sifat masyarakat yang adil dan makmur kebahagiaan buat semua orang tidak ada penghisapan, tidak ada penindasan dan penginaan (Indriani, 2019). Cerita Ronggolawe Gugur di dalamnya tidak memperlihatkan adanya sikap atau tidakan yang berupa ke- adilan dengan mebagi sama layak, atau mem- berikan hak yang sama terhadap punggawa- punggawa di kerajaan Majapahit. Jadi, di dalam cerita Ronggolawe ini tidak mencerminkan keadilan dalam memimpin kerajaan. 3.2.8 Toleransi Toleransi merupakan sala satu cara meredam terjadinya konflik (Pujiono, dkk., 2019). Dalam hal ini, toleransi berarti menahan diri, bersikap sabar dalam menghadapi suatu sikap individu yang berbeda-beda. Berdasarkan pemaparan di atas wujud sikap toleransi terdapat pada petikan dialog sebagai berikut.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
53
pymupdf
100 Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra Ronggolawe: “Maaf paduka, saya menghadap walau saya terlambat.” Kertarajasa: “Kakang Ronggolawe, tidak jadi masalah. Saya tahu kakang Ronggolawe banyak pekerjaan di kabupaten Tuban.” Berdasarkan petikan dialog di atas pada kalimat “tidak jadi masalah” kalimat tersebut menunjukkan sikap atau perilaku Kertarajasa yang bersifat toleran atau member toleransi terhadap Ronggolawe yang terlambat datang di pisowanan karena Kertarajasa memberi kesempatan dan pendapat lain bahwasannya Ronggolawe telat karena banyak pekerjaan di kabupaten Tuban. Bahkan, Kertarajasaa memiliki sikap sabar dalam menghadapi para punggawa yang memiliki sikap berbeda-beda. 3.2.9 Kerja sama Kerjasama merupakan bentuk perilaku altruistik atau restkitusi, tingkah laku yang menimbulkan konsekuensi positif bagi kesejateraan fisik maupun psikis orang lain (Sudirman, 2013). Cerita Ronggolawe ini sikap atau tidakan yang berwujud kerjasama tidak tertera dalam cerita karena dalam cerita Ronggolawe ini tidak ada suatu tindakan atau sikap yang wujudnya kerjasama demi me- nimbulkan kosekuensi positif bagi keseatera- an fisik maupun psikis orang lain. 4. Simpulan Struktur cerita ketoprak Ronggolawe gugur terdapat beberapa unsur yang memiliki satu keterkaitan satu sama lain dalam suatu cerita diantaranya alur, penokohan, tempat kejadian, tema dan amanat. Adapun dari beberapa unsur tersebut yang merujuk sisi menarik dari struktur merupakan alur. Hal itu dikarena- kan, alurnya maju, karena ceritana jelas dari pelukisan awal cerita yang menceritakan awal jalanya cerita. pertikaian cerita, titik puncak cerita, sampai ke penyelesaian. jadi, kaitannya dengan alur maka terdapat adanya hubungan unsur satu dengan unsur yang lainnya. adanya hubungan tersebut dapat menjadikan cerita menjadi utuh. Mengenai nilai sosial cerita ketoprak Ronggolawe Gugur menggambarkan suatu tindakan masyarakat, baik berupa nilai tingkah laku yang menggambarkan suatu kebiasaan. Adapun nilai sosial dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas (1) peng- abdian, (2) tolong menolong, (3) kekeluarga- an, (4) kepedulan, (5) disiplin, (6) empati, (7) keadilan, (8) toleransi, dan (9) kerjasama. Daftar Pustaka Admizal, dkk. 2018. “Pendidikan Nilai Kepedulian Sosial pada Siswa Kelas V di Sekolah Dasar.” Journal Gentala Pendidikan Dasar. Vol. 3. No.1. Hartoko, Dick. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Indriani, Suri dkk. 2019. “Analisis Nilai Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia untuk Mengembangkan Sikap Keadilan di Desa Pusat Damai Kecamatan Parindu Kabupaten Sanggau.” Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan. Vol.3. No.2. Kanzunnudin, Mohammad, dkk. 2017. “Structure and Value of Story Pross of the People of Kudus Society.” International Journal of Economik Research. Vol.14. No. 13. Huberman, Michael, dan Matthew B.Miles A. 2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI- Press. Pujiono, dkk. 2019. “Penerapan Nilai bertoleransi dalam Kehidupan Kebebasan Beragama Bagi Siswa Menengah Kejuran (SMK).” Artikel Publikasi UNNES.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
54
pymupdf
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101 ©2020, Widyasastra 101 Putra, dkk. 2018. Eksistensi Kebudayaan Tolong Menolong (Kaseise) Sebagai Bentuk Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Muna.” Jurnal Neo Societal.Vol.3. No.2. Selvina. 2016. “Empati dan Penggunaan Situs Jejaring Sosial Sebagai Faktor dalam Membentuk Moral Remaja.” Jurnal Psikologi Ulayat. Vol.3. No.2. Setyawan, Bagus W. dkk. 2018. “Potret Kondisi Sosial Masyarakat Jawa Dalam Naskah Ketoptrak Klasik Gaya Surakarta.” Aksara. Vol. 30. No. 2. Siswantoro. 2014. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudirman. 2013. “Internalisasi Nilai Kerjasama pada Kuliah Kerja Mahasiswa Berbasis Participatory Action Research Sebagai ppaya Mewujudkan Kepedulian Sosial.” Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol.5. No.1 Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Bandung. Zubaedi. 2006. Pendidikan Berbasis Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi Terhadap Berbagai Proplem Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
55
pymupdf
102 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR SASTRA JAWA DI YOGYAKARTA TAHUN 1991—2020 ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY COMMUNITIES IN YOGYAKARTA BETWEEN 1991—2020 Yohanes Adhi Satiyoko Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta Posel: [email protected] Abstrak Penelitian “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991— 2020” adalah penelitian akumulatif dari beberapa penelitian terkait. Masalah dan tujuan penelitian dirumuskan dalam menemukan aktor-aktor kreatif sastra Jawa melalui pemetaan komunitas dan sanggar-sanggar sastra Jawa di DIY. Berkutnya adalah menemukan dan menjelaskan kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa tersebut dan pengayom yang mendukung kehidupan sanggar-sanggar tersebut. Pembahasan dilakukan dengan memanfaatkan teori sosiologi Talcot Parson dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tahun 1991 merupakan tahun kunci kebangkitan sanggar sastra Jawa di DIY. Sastrawan- sastrawan Jawa memulai dan mengembangkan diri melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) di bawah kepengayoman Balai Bahasa Yogyakarta. Para sastrawan dari SSJY kemudian berusaha mengembangkan sastra Jawa dengan menjadi motor penggerak kelahiran sanggar- sanggar sastra Jawa di berbagai wilayah di DIY. Perkembangan ini menjadikan Lembaga- lembaga pengayom semakin memberikan perhatian kepada kehidupan sastra Jawa. Kata kunci: aktor, sastra Jawa, pengayom, DIY Abstract Research on “Actors and Patron of Javanese Literary Communities in Yogyakarta between 1991—2020” is an accumulation of several related studies. Problem formulation and objectives of the study were formulated in finding creatives actors of Javanese Literature through communities mapping and Javanese literary workshops in Yogyakarta. Furthermore, is finding and explaining the life of those Javanese communities and patrons that support the life of them. The discussion was performed using sociological theory by Talcot Parson and sociology of literature approach. The result shows that year 1991was the key year of awakening Javanese communities through Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) under the fostering of Balai Bahasa Yogyakarta. Actors of SSJY then struggle to develop Javanese literature by becoming motor in building Javanese literature communities (sanggar-sanggar sastra Jawa) in DIY region. The development strengthens the patrons to be more active in giving attention to the life of Javanese literature. Keywords: actor, Javanese literature, patron, DIY
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
56
pymupdf
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra 103 1. Latar Belakang Setidaknya ada enam kekhasan Yogyakarta (Utomo, 2008: 1) yang dapat dicatat terkait dengan kehidupan sastra. Pertama, Yogyakarta sebagai kota budaya memberikan tawaran dan ruang imajis bagi para sastrawan dan calon sastrawan untuk berkarya. Kedua, kondisi kota yang adhem ayem, kondusif, akulturatif, dan heterogen menambah wa- wasan kreatif bagi (calon) sastrawan. Ketiga, jumlah perguruan tinggi, seperti UGM, UNY, UIN, Sanata Dharma, Universitas Sarjana Wiyata, dan lain sebagainya mampu “me- ngumpulkan” banyak anak muda dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, bahkan luar negeri dan memberi ruang belajar sastra-seni- budaya. Keempat, banyaknya media cetak, baik koran maupun majalah, yang memberi- kan kolom khusus untuk publikasi karya sastra. Beberapa media cetak tersebut, antara lain Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi, Bernas, Suara Muhammadiyah, Djaka Lodang, Pagagan, Basis, Pelopor, Horizon, Gadjah Mada, Medan Sastera, dan sebagainya. Kelima, maraknya penerbit di Yogyakarta di tahun 1990-an hingga 2000-an. Penerbit tersebut, antara lain Yayasan untuk Indonesia, Yayasan Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, Gama Media, ITTAQA Press, Titian Ilahi Press, Jalasutra, dan Diva Press, Navila, Media Pressindo, dan lain- nya. Tumbuhnya penerbit buku menjadi hulu lahirnya banyak karya sastra di luar koran dan majalah. Buku berjudul Tugu: Antologi 32 Penyair Yogyakarta (1986), Lima Penyair Yogya ke Jakarta (1987), Melodia Rumah Cinta (1991), Aku Ini (1991), Cinta Tanah Merah (1992), Kupu-kupu Malam (Media Pressindo, 2004), Pak Kanjeng karya Emha Ainun Nadjib (2000); Lumbini (Jalasutra, 2006) karya Kris Budiman, Pratisara, antologi cerkak karya Krishna Mihardja (Leutikaprio, 2012); Alun Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti (Surya Samudra 2016); dan Antologi Geguritan Serendipiti Astabrata karya Asti Pradnya Ratri (SINT Publishing 2019) menjadi bukti subur- nya penerbitan karya sastra di Yogyakarta. Terakhir, keistimewaan Yogyakarta sebagai sebuah lingkungan sastra adalah iklim kon- dusif dan kompetitif dalam pergaulan ke- sastraan di Yogyakarta. Sastrawan dari latar belakang akademisi dan praktisi berelasi dan berkomunikasi secara kreatif tanpa ada sekat dan dikotomi (Sastra Indonesia dan Sastra Jawa). Keistimewaan Kota Gudeg ini menjadi magnet bagi banyak orang untuk singgah dan bahkan memutuskan menetap di Yogyakarta untuk bergiat sastra. Nama-nama seperti Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Ahmadun Yosi Herfanda, Arswendo Atmowoloto, Suparto Broto, Iman Budhi Santoso, Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, dan banyak lagi sastrawan kampiun Indonesia berproses kreatif di Yogyakarta. Seiring keberadaan banyak orang berproses kreatif sastra tersebut, pada gilirannya, kemunculan komunitas-komunitas sastra di Yogyakarta menjadi sebuah keniscayaan (Utomo, 2008: 1—11). Keberadaan kantung-kantung sastra hingga 1990-an tidak lepas dari keinginan untuk berproses kreatif dan berusaha me- numbuhkan iklim bersastra yang baik di Yogyakarta. Berkaitan dengan pengembangan dan perkembangan sastra Jawa di DIY, beberapa penelitian telah dilakukan. Salah satu penelitian tersebut berjudul Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dalam Perspektif Sosiologi Talcott Parsons (Darmawan, 2014: 1—138). Pene- litian tersebut mendedahkan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta sebagai objek material di- amati menggunakan pandangan Talcott Parsons dalam hal sistem sosial yang disebut sebagai kebutuhan fungsional, antara lain latent pattern- maintenance, integration, goal attaintment, dan adaptation. Berlandaskan empat kebutuhan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
57
pymupdf
104 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra fungsional tersebut, Darwaman menyimpul- kan bahwa Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta mampu bertahan dalam jangka waktu lama karena memelihara sistem adaptasi dengan menyatukan diri dengan lembaga pemerintah. Selain itu, kebertahanan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta juga ditopang adanya tujuan jangka pendek dan panjang, harmonisasi integritas, dan pola regenerasi dengan inter- nalisasi nilai dan norma. Penelitian lain berjudul Sanggar-Sanggar Sastra Jawa Modern di Jawa Tengah dan di Daerah Istimewa Yogyakarta (Widati, 1999). Widati cenderung mengamati kondisi umum kemunculan komunitas-komunitas sastra Jawa di Jawa Tengah dan di DIY. Di sisi lain, Widati juga menyoroti rupa-rupa kegiatan, sifat organisasi, tempat berkumpul, anggota, moti- vasi pendirian, cara kerja, perkembangan, hambatan, dan penyebab kematian. Penelitian berjudul Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa Periode Kemerdekaan (Widati,dkk., 2011) membeberkan perkembangan sastra Jawa, salah satunya, di Yogyakarta menyoroti akti- vitas pengarang, penerbit, dan pembaca sastra Jawa sampai dengan kurun waktu tahun 2000- an. Berbagai penelitian lain yang menunjuk- kan perkembangan sastra Jawa di Yogyakarta mengilustrasikan kehidupan sastra dari sudut pengarang, media massa, dan pengayom. Namun, di dalam perkembangan zaman, dinamika kehidupan bersastra dapat diamati dari sisi aktivitas dan aktivisnya (actor) serta dinamika perkembangan kepengayoman. Berdasarkan urian di atas, masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah (1) bagaimana profil sanggar-sanggar sastra Jawa di DIY tahun 1991—2020? (2) Bagai- mana sistem pemertahanan sanggar-sanggar sastra Jawa tersebut? 2. Metode Berdasarkan latar belakang di atas tampak bahwa perspektif yang menarik dipertim- bangkan ialah perspektif Pierre Bourdieu dan Talcott Parsons. Kedua perspektif itu berbasis pada sosiologi sastra. Pembeda perspektif tersebut ada pada konteks agen dan sistem. Pierre Bourdieu sebenarnya juga mem- bicarakan perihal sistem, tetapi lebih dominan menyoroti pergerakan agen-agen dalam sistem tersebut. Sementara itu, perspektif Talcott Parsons menguraikan sistem sosial dan konteks relasi struktur fungsional. Relasi struktur fungsional menempatkan keterikatan komponen satu dengan lainnya dalam ruang sosial. Sebagai sebuah sistem, setiap komponen dalam ruang sosial saling berpengaruh sehingga turut memengaruhi berhasil tidaknya atau langgeng tidaknya suatu sistem sosial. Dalam konteks teoritis, perspektif Talcott Parsons memadai untuk mendedah masalah komunitas sastra Jawa dan sastra Indonesia di Yogyakarta. Pandangan ini dilandasi oleh asumsi bahwa keberadaan dan kebertahanan komunitas sastra Jawa dan Indonesia di Yogyakarta merupakan hasil relasi sistem kehidupan sastra. Sebagai sebuah sistem, komunitas sastra Jawa dan Indonesia di Yogyakarta disinyalir berkat topangan struk- tur atau komponen-komponen yang saling mengikat. Berlandaskan perspektif Talcott Parsons, penelitian terhadap sanggar-sanggar sastra Jawa di Yogyakarta ini bertujuan me- ngurai faktor-faktor pendukung tindakan mendirikan sanggar-sanggar sastra Jawa dan Indonesia di Yogyakarta serta cara-cara mem- pertahankan sistemnya. Teori sosial Talcott Parsons tentang struk- tural fungsional, sekitar tahun 1950-an sampai pada tahun 1960-an, menjadi landasan pe- ngembangan teori modernisasi. Ia merupakan tokoh kunci perspektif stuktural fungsional
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
58
pymupdf
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra 105 yang selama kurang lebih 40 tahun mendomi- nasi sosiologi Amerika melalui dua bukunya The Structure of Social Action (1937) dan The Social System (1951) (Meinarno, 2011: 264). Parsons mengemukakan minatnya untuk menjawab dua permasalahan mendasar tentang masyarakat, yaitu (1) permasalahan tentang aksi sosial: mengapa manusia ber- tindak dengan cara tertentu? Seberapa jauh tindakan manusia dibentuk oleh pengaruh eksternal serta apa konsekuensi atas tindakan tersebut, baik yang disengaja maupun tidak disengaja? (2) permasalahan pengaturan sosial: bagaimana tindakan sosial dapat diper- banyak sehingga menghasilkan pola sosial yang terkoordinasi? Sejauh mana pola sosial tersebut dipengaruhi oleh kekuatan atau dorongan atau konsensus? Dalam analisis struktural fungsionalnya, Parsons (dalam Meinarno, 2011:264-265) berpendapat bahwa masyarakat terdiri atas jejaring yang sangat besar, saling tehubung, dan setiap bagiannya membantu memelihara sistem secara keseluruhan. Individu-individu beperan sebagai pembawa aturan sosial yang biasanya diinternalisasi dalam kepribadian dan proses-proses reproduksi sosial. Tujuan aturan sosial yang dibawa individu tersebut adalah untuk mencapai konsensus sosial atau integrasi sosial. Aturan sosial akan diper- tahankan jika dapat membantu memelihara eksistensi dan kestabilan masyarakat. Namun jika tidak, aturan sosial tidak akan diwariskan kepada generasi selanjutnya. Sistem sosial terdiri dari berbagai macam aktor dan berbagai macam kepentingan yang dibangun berdasarkan sistem norma atau nilai yang telah disepakati. Dalam fungsionalisme struktural, Parsons memperlakukan sistem sosial sebagai sebuah fenomena ilmiah. The interaction of individual actors, that is, takes place under such conditions that it is possible to treat such process of interaction as a system in the scientific sense and subject it to the same order of theoretical analysis which has been successfully applied to other types of systems in other sciences (Parsons, 1991: 1). Parsons memperlakukan interaksi yang terjadi antara individu-individu sebagai sebuah sistem sehingga sangat mungkin untuk diteliti secara ilmiah karena memiliki struktur dengan bagian dan fungsi yang jelas dari masing-masing bagian. Sistem ini terdiri atas aktor-aktor yang bertindak berdasarkan kondisi tertentu sehingga proses interaksi adalah kesatuan perilaku berbagai individu dalam sebuah sistem. Sistem sosial dari sebuah tindakan dilihat oleh Parsons sebagai sesuatu yang mem- punyai kebutuhan yang harus dipenuhi kalau mau terus hidup dan sejumlah bagian-bagian yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan- kebutuhan itu (Craib, 1994: 58). Semua sistem yang hidup dilihat sebagai sesuatu yang cenderung mengarah kepada keseimbangan atau suatu hubungan yang stabil dan se- imbang. Menurut Parsons, sebuah tindakan dapat terjadi apabila memiliki faktor-faktor yang dapat mendukung terjadinya tindakan. Ada empat faktor yang dikemukakan Parsons (1966: 44), yaitu sebagai berikut: (1) Agen atau aktor adalah sebutan bagi orang yang melakukan tindakan. Maksudnya adanya ‘tin- dakan’ berarti mengisyaratkan adanya pelaku; (2) Akhir atau dalam hal ini bisa disebut sebagai orientasi atau tujuan atas tindakan yang dilakukan, yaitu suatu kondisi masa depan yang akan dikejar oleh tindakan ter- sebut; (3) Situasi yang membuat aktor ber- tindak. Dalam hal ini bisa dibagi menjadi dua, yaitu situasi di mana aktor tidak memiliki kontrol yang berimbas pada ketidakmampuan
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
59
pymupdf
106 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra dia untuk mengubah (kondisi) dan situasi di mana aktor memiliki kontrol sehingga ia dapat mengubah (cara). Lebih mudahnya, tindakan harus dimulai dalam sebuah ‘situasi’, baik situasi yang bisa diubahnya maupun situasi yang tidak bisa diubah, yang memungkinkan si aktor mencapai tujuannya; (4) Sarana- sarana alternatif yang menyediakan kesempatan bagi aktor untuk memilih pada kondisi tertentu. Sarana alternatif dapat juga dipahami sebagai alat yang berbeda-beda yang memungkinkan tujuan itu bisa tercapai dengan aktor harus memilih di antaranya (Craib, 1994:57). Tindakan juga melibatkan ‘sarana- sarana’ yang dengannya si aktor bisa dengan lebih mudah melakukan tindakan-tindakan. Dalam hal kontrol dari aktor, sarana yang dipakai tidak dapat dipilih secara acak atau hanya tergantung pada kondisi tindakan. Namun, ia harus tunduk pada pengaruh aktor independen yang selektif (Hamilton, 1990:74). Melalui perspektif struktural fungsional Talcott Parsons, penelitian ini berusaha men- dedah struktur-struktur sistem yang melandasi tindakan pembentukan komunitas dan upaya pemertahanan komunitas. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan. Pertama, penentuan objek material dan objek formal penelitian. Objek material penelitian ini ialah komunitas sastra Jawa dan sastra Indonesia di Yogyakarta. Berikutnya, objek formal kajian ini ialah tindakan-tindakan yang melatarbelakangi tumbuhnya komunitas dan upaya mempertahankan komunitas. Pers- pektif struktur fungsional Talcott Parsons menjadi pilihan cara untuk mengulas objek formal yang telah ditentukan. Kedua, penentuan sumber data. Pada tahap kedua, sumber data meliputi komunitas sastra Jawa dan sastra Indonesia di Yogyakarta. Konteks Yogyakarta dimaknai bukan sekadar wilayah kotamadya melainkan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai sebuah wilayah provins yang meliputi satu kotamadya (Kota Yogyakarta) dan empat kabupaten (Sleman, Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul). Ketiga, pengambilan data. Pengambilan data dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain pendataan komunitas sastra Jawa, observasi, dan wawancara terhadap pengurus komunitas. Data berikutnya berasal dari data sekunder, yakni data yang berasal dari sumber buku, artikel, media masa, baik daring maupun cetak, dan sumber sekunder lain yang me- nguatkan data primer. Keempat, analisis data. Hasil pengumpulan data kemudian dianalisis menggunakan pers- pektif struktur fungsional Talcott Parsons. Untuk tindakan yang berkaitan dengan tindak- an-tindakan pemertahanan, analisis data menggunakan empat prinsip, yaitu agen/ aktor, akhir/orientasi, situasi, dan sarana- sarana. Sementara, untuk mengupayakan pe- mahaman upaya-upaya pemertahanan komu- nitas, data akan didedah menggunakan prinsip prasyarat fungsional, yaitu latent pattern- maintenance, integration, attainment, dan adaptation. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Hasil Komunitas sastra Jawa yang terhimpun pada penelitian ini sejumlah 13 komunitas, yaitu LKJ-Sekar Pangawikan, Sanggar Cakra Adi- luhung, Sangisaku, Sanggar Sastra Jawa Paramarta, Komunitas Jangkah, Pasbuja Kawi Merapi, Sanggar Sastra Jawa Presaja, Sanggar Sastra Jawa Mangir, Jawa Gandrung, Komu- nitas Selasa Sastra, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY), Jawasastra Culture Movement, dan Sastra Jawa Pesindenan. Masing-masing komunitas menunjukkan kekhasannya dalam tindakan, yaitu aktor, tujuan, situasi, dan sarana. Begitu pun dalam hal pemertahanan sistem. Setiap komunitas
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
60
pymupdf
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra 107 memiliki sistem tersendiri berupa adaptasi, tujuan, integritas, dan pemeliharaan pola. Aktivitas sanggar-sanggar tersebut antara lain pelatihan menulis dan membaca karya sastra Jawa, diskusi dan kritik sastra, pemanggungan di berbagai tempat strategis, penerbitan buku, dan publikasi kesastraan melalui media sosial. Tahun 1991—2020 adalah tahun penting bagi perkembangan sastra Jawa di DIY. Hal itu ditandai dengan adanya “Temu Pengarang, Penerbit, dan Pembaca Sastra Jawa 1990” dan dilanjutkan dengan pembentukan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). SSJY inilah yang pada akhirnya melahirkan aktor-aktor (sastrawan) penggerak dan pengembang kehidupan sastra Jawa di DIY. Aktor-aktor tersebut menjawab kebutuhan masyarakat yang menginginkan agar sastra Jawa dikenal- kan kembali, dibumikan di tanah Jawa, dan dikembangkan untuk kepentingan kehidupan sosial. Kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa yang dinamis dan berkembang tersebut semakin diperhatikan dan dikembangkan oleh lembaga-lembaga pengayom, seperti Pura Pakualaman, Balai Bahasa DIY (yang sudah mengayomi SSJY sejak tahun 1991), Dinas Kebudayaan DIY, dan beberapa pengayom lain seperti yayasan. Selain pengayom sanggar- sanggar itu juga melakukan usaha mandiri dari para anggotanya. 3.2. Pembahasan 3.2.1 Tindakan: Aktor, Tujuan, Situasi, dan Sarana Mendiskusikan tindakan aktor, tujuan, situasi, dan sarana tidak dapat dilepaskan dari pe- milihan periode tahun 1991—2020. Tahun 1991 merupakan tahun berdirinya Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) yang mem- punyai kantor sekretariat di Balai Bahasa Provinsi DIY. Lahirnya SSJY dilatarbelakangi oleh adanya “Temu Pengarang, Penerbit, dan Pembaca Sastra Jawa 1990” yang dilaksana- kan di Purna Budaya Yogyakarta. Anggota SSJY pada waktu itu adalah sastrawan, budayawan, dan jurnalis yang beraktivitas di DIY. Kehidupan SSJY berlangsung dinamis dan kreatif karena dibidani, dipelopori, dan di- jalankan oleh aktor-aktor yang memang mempunyai misi dan visi kuat untuk mengem- bangkan sastra Jawa. Mereka berkumpul dalam SSJY untuk mengongkretkan situasi yang terbangun atas dasar kebersamaan untuk mengembangkan sastra Jawa yang sudah lama mati suri. Legitimasi sastra, baik karya maupun pengarang memerlukan media massa sebagai pelakunya. Melalui media massa, pengarang dan karya sastra dapat diakui dan disahkan eksistensinya. Media massa adalah ruang dinamis atau ruang hidup bagi karya sastra. Melalui media massa, kritikus mampu mem- beri sumbangan pemikiran lewat tulisan se- cara bertanggung jawab. Media massa men- jadi patokan sah atau tidaknya seseorang disebut sebagai penyair, cerpenis, atau sastrawan (Salam dan Saeful, 2015: 29). Ber- dasarkan hal tersebut, aktivitas sastra Jawa pun semakin diperhatikan dan dikembangkan oleh para pengarang, jurnalis, dan pemerhati sastra budaya Jawa. Aktivitas SSJY dikembangkan melalui beberapa kegiatan seperti pelatihan, diskusi sastra, penerbitan majalah sastra berbahasa Jawa Pagagan, serta pemanggungan. Pada kurun waktu tahun 1991sampai dengan 2020 kehidupan dan perkembangan sastra Jawa di DIY begitu menggembirakan. Peran media massa menjadi salah satu agen penting dalam memublikasikan karya sastra Jawa dan akti- vitas bersastra Jawa di Yogyakarta. Koran Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Mekar Sari, Djaka Lodang, Panyebar Semangat, Jaya Baya, dan lain-lain menjadi media ekspresi estetik bagi sastra Jawa di Yogyakarta.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
61
pymupdf
108 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra Keberadaan sanggar-sanggar sastra di Yogyakarta memiliki keunikan jika dikaitkan dengan aktor di balik lahirnya suatu komu- nitas. Keunikan yang menyertai munculnya komunitas sastra di Yogyakarta tidak lepas dari situasi kondusif yang terbangun di Yogyakarta. Aktor yang turut membidani lahirnya suatu komunitas turut berproses bersama komu- nitas sastra lain. Mereka mayoritas adalah insan sastra Jawa yang pernah dan masih aktif di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Di komunitas sastra Jawa, sosok-sosok berikut merupakan pemrakarsa dan punggawa yang terlibat, yaitu Margareth Widhy Pratiwi, Ardini Pangastuti, Yohanes Siyamta, R. Bambang Nursinggih, S.Sn., R. Jumiyo Siswa Pangarsa, S. Pd., Suwarto. S.Pd., Muhammad Bagus Febriyanto, S.S. M.A., Marjono, S.Pd., Heri Istiyawan, S.H., Iwan Heru Nuryanto, SP., Ki Saridal, S.Pd., dan Drs. Sugiyanto (inisiator komuntias Kebudayaan Jawa Sekar Pangawi- kan). Selain itu, Anto Yuniarto mendirikan Sanggar Cakra Adiluhung, Drs. Pribadi (Sanggar Sangisaku), Bambang Nugroho, Bardikari Jaatmiko, Tedy Kusyaeri, Margareth Widhy Pratiwi, Ardini Pangastuti, Suyati, dan Nur Rois mendirikan Sanggar Sastra Jawa Paramarta. Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta diprakarsai oleh Sri Widati, Ratna Indriani, Dhanu Priyo Prabowo, Herry Mardianto, dan Tirto Suwondo. Sastra Jawa Pesindenan lahir atas prakarsa AY. Suharyono dan Ragil Suwarno Pragolapati. Dalam konteks tujuan dan situasi, seperti konsep Talcot Parsonss, pemrakarsa komu- nitas sastra, baik sastra Jawa maupun sastra Indonesia dilandasi oleh kondisi masyarakat, antara lain karena generasi muda dianggap kurang peduli dan enggan mengembangkan sastra (sastra Jawa). Selain itu, mereka ingin mengembangkan sastra Jawa agar sesuai dengan kemajuan zaman. Secara spesifik, komunitas sastra Jawa, misalnya Komunitas Jagongan Naskah (Jangkah), menitikberatkan secara khusus pada pentingnya pelestarian naskah kuno. Selain itu, ia juga hendak men- dukung pembangunan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Komunitas Pasbuja Kawi Merapi diharapkan mampu menjadi salah satu tonggak berkembangnya sastra Jawa di Kabupaten Sleman. Sanggar Sastra Jawa Presaja tumbuh atas keprihatinan komu- nitas kecil penggemar dan pegiat sastra Jawa di Gunungkidul. Komunitas Selasa Sastra yang dimotori oleh Tedi Kusyairi selalu memberi ruang ekspresi sastra Jawa di kafe-kafe (khu- susnya di Kabupaten Bantul), dan komunitas Album Sastra Jawa yang dimotori oleh Hayu Avang Darmawan menghadirkan sastra Jawa melalui YouTube. 3.2.2. Pemertahanan Sistem: Adaptasi, Tujuan, Integritas, dan Pola Dalam konsep pemertahanan sistem, Parsons mengemukakan empat fungsi penting yang mutlak diperlukan bagi semua sistem sosial, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Adaptasi yaitu sistem yang dibangun harus bisa beradaptasi dengan situasi eksternal dan harus bisa menyesuai- kan diri dengan lingkungan. Berikutnya adalah pencapaian tujuan. Langkah untuk mencapai tujuan harus jelas sehingga tujuan dapat tercapai dengan ukuran-ukuran yang dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, adalah integrasi. Integrasi mensyaratkan adanya sistem yang mampu mengatur dan menjaga antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya dengan cara mengatur dan mengelola adaptasi dalam mencapai tujuan. Terakhir adalah latensi, yaitu sistem yang mampu berfungsi sebagai pemelihara pola secara individual dan kultural. Pemeliharaan pola secara individual dan kultural yang dilakukan melalui media sanggar- sanggar sastra Jawa mewujud berupa akti-
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
62
pymupdf
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra 109 vitas pemertahanan kehidupan komunitas sastra di dunia sosial. Komunitas-komunitas sastra yang lahir atas prakarsa individu atau- pun kelompok hidup dalam sebuah sistem sosial budaya yang melingkupinya. Keber- tahanan kehidupan terjadi ketika sanggar atau komunitas beradaptasi dengan sistem yang berlaku. Adaptasi dengan sistem yang berlaku berarti menyesuaikan diri dengan gerak dasar kehidupan sastra, yaitu kreasi dan apresiasi yang sesuai dengan karakter masya- rakat di Yogyakarta yang selalu dinamis. Kreasi dan apresiasi menjadi tujuan yang menjadi motor pemertahanan kehidupan sastra. Kehidupan melalui aktivitas yang dilakukan secara berkala membutuhkan dukungan dana dan pengaturan kegiatan yang terstruktur serta fungsional bagi lingkungan sosial sekitarnya. Upaya pemertahanan kehidupan sanggar atau komunitas sastra dilakukan secara mandiri, kelompok, ataupun bernaung di bawah kepengayoman lembaga yang berkom- peten. Beberapa sanggar yang baru saja ber- diri aktivitasnya ditopang oleh kontribusi para anggotanya. Sebagian lagi ada yang sudah mempunyai pola pembinaan terstruktur memperoleh subsidi dari lembaga pemerintah terkait, seperti perguruan tinggi, dinas kebu- dayaan, dan balai bahasa. Upaya pemertahan- an kehidupan komunitas dan sanggar sastra juga sangat dipengaruhi oleh gerak langkah lembaga-lembaga pengayom yang terkait dengan aktivitas kesastraan tersebut. Berbagai program pembinaan dan pengembangan sastra, seperti pelatihan penulisan dan pem- bacaan karya sastra, lomba, kompetisi, sayem- bara kesastraan Jawa dan Indonesia, temu sastra, festival sastra-budaya, penghargaan karya sastra unggul, dan lain sebagainya mendorong aktivitas kesastraan semakin ber- kembang. Pengelompokan kegiatan dan pengayom kehidupan sanggar sastra Jawa menunjukkan bahwa pembentukan sanggar-sanggar dilan- dasi oleh refleksi para aktor pencetusnya dengan menangkap fenomena sosial budaya masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta untuk beraktivitas dalam pembinaan dan pengembangan sastra. Semangat keberlanjut- an pada program kerja sanggar seakan tidak begitu tergantung pada dukungan pengayom. Jika dicermati, dalam sistem yang ber- landaskan struktur kehidupan sosial terdapat tiga titik dasar penting yang menghidupi berdirinya, keberlangsungan hidupnya, serta arah fungsional kegiatan setiap sanggar sastra Indonesia dan Jawa, yaitu Masyarakat-Sanggar- Pengayom. Ketiga kutub tersebut saling ber- hubungan dan saling bergantung bagi keber- langsungan kehidupan sanggar-sanggar Sastra Indonesia dan Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ketika hadir pengayom yang kuat dari segi pendanaan dan keluasan penyediaan sarana serta prasarana pembinaan dan pe- ngembangan sastra, dukungan tersebut mem- buat usia sanggar semakin lama. Berikut ini tabel sanggar, aktivitas, dan pengayom yang ada di DIY.
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
63
pymupdf
110 Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112 ©2020, Widyasastra No Nama Aktivitas Pengayom 1 Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) Pelatihan menulis dan membaca karya sastra Jawa, diskusi sastra, penerbitan karya sastra Jawa dan majalah Pagagan. Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2 LKJ-Sekar Pangawikan Pentas sastra dan budaya Mandiri 3 Sanggar Cakra Adiluhung Pelatihan menulis karya sastra, diskusi, pagelaran seni Mandiri 4 Sangisaku Menulis dan mementaskan karya sastra Jawa dan Indonesia Mandiri 5 Sanggar Sastra Jawa Paramarta Latihan menulis, mementaskan, lomba sastra Jawa, penerbitan buku sastra Jawa Dinas Kebudayaan Bantul 6 Komunitas Jangkah Menerjemahkan karya sastra Jawa kuna, diskusi sastra-filologi Pura Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta 7 Pasbuja Kawi Merapi Pelatihan menulis karya sastra Dinas Kebudaan Sleman 8 Sanggar Sastra Jawa Presaja Pelatihan kreatif menulis karya sastra Jawa, diskusi sastra, pementasan, penerbitan majalah sastra Jawa Gumregah Dinas Kebudayaan Gunungkidul 9 Sanggar Sastra Jawa Mangir Pelatihan menulis karya sastra Jawa dan pementasan Mandiri, Sekolah, Dinas Kebudayaan Bantul 10 Jawa Gandrung Penerbitan majalah sastra Jawa Nilakandi Mandiri 11 Komunitas Selasa Sastra Pementasan, peluncuran buku sastra Jawa, dan diskusi sastra Jawa Dinas Kebudayaan Bantul 12 Jawasastra Cultural Movement beberapa program, antara lain Ekspedisi Sastra Jawa, Sayembara Misuh, dan Diskusi Sambi Ngopi. Program Ekspedisi Sastra Jawa ditujukan sebagai penghubung Jawasastra dengan masyarakat desa menggunakan sarana sastra Jawa lisan. Program Sayembara Misuh sebagai program hiburan yang menjadi tempat berekspresi kawula muda Jawa pengguna media sosial. Mandiri 13 Sastra Jawa Pesindenan Menulis karya sastra Jawa Mandiri 14 Selasa Sastra Menyelenggarakan pementasan sastra Jawa setiap hari selasa Mandiri
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
64
pymupdf