text
stringlengths 1
7.56k
| title
stringlengths 3
169
| page_num
int64 1
770
| extraction_method
stringclasses 3
values |
---|---|---|---|
Topeng Nengsih
Seketika itu aku batalkan niatku. Segera aku berlari
memasuki kamarku dan menutup pintunya rapat-rapat.
Tak ada yang mampu aku lakukan untuk mengmlangkan
derita ibuku tercinta. Aku hanya bisa menangis sambil
memeluk bantaI dan berbaring di atas kasurku yang
kuma!.
Beberapa menit aku terbujur letih, kelopak mataku
sedikit demi sedikit menutup seluruh pandanganku dan
seketika itu tak mampu aku sadari lagi semuanya.
Sinar matahari memasuki celah jendela kamar,
seberkas cahaya terangnya merangsang kulit wajahku
hingga hangat terasa. Aku pun tersadar danmulai mencoba
membuka mataku yang lelah ini. Segera aku bangkitkan
tubuh lunglaiku dan beranjak turun dari tempat tidur
dengan masih mengenakan seragam sekolah yang lecek
aku tiduri.
Aku mulai melangkah meninggalkan kamar dan
menelusuri ubin-ubin berdebu menuju ruang tamu.
Namun, aku jumpai Paman Sa trio, saudara bapak sedang
duduk santai dengan jamuan kopi pahit di atas meja. Aku
[ihat pula ibu sudah berpakaian rapi seperti hendak pergi.
Langsung saja aku mendekat pelan sambil tersenyum
manis.
"Ibu mau ke mana?" tanyaku terheran-heran.
Ibu memandangku sambil tersenyum dan berbisik
halus. "Ibu pergi menjemput bapak, Nak." Lantas mereka
beranjak pergi, meninggalkanku dalam kebingungan.
Matahari telah terbenamdiufuk baratmeninggalkan
bias cahaya kuning kemerahan yang mulai memudar dan
menghitam. Perlahan namun pasti, sedikit demi sedikit
134
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 142 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
langit semakin gelap, hingga tak tampak lagi awan putih
yang menghiasinya.
Namun, hingga pukull0.00 malam, aku tunggu ibu
dan paman tak kunjung pulang. Dinginnya udara malam
membuatku bertambah paranoid, khayalanku membuatku
takut jikalau ada makhluk aneh yang mengetuk pintu
seperti dongeng zaman dulu yang sering ibu ceritakan.
Tiba-tiba suara yang aku takutkan terdengar
menusuk sampai ke bagian telingaku yang terdalam. Segera
saja aku berlari memasuki kamar dan aku tutup pintunya,
hingga degup jantungku tersentak kaget oleh ayunan
kerasnya itu. Aku mengintip dari celah jendela kamarku,
melihat siapa gerangan yang datang.
Ternyata aku melihat ibu dan paman sedang
memapah tubuh gempal bapak yang sedang mabuk berat.
Ibu tampak menangis sambil menggenggam tangan beliau
yang ketika itu tak hentinya berucap, "cerai, aku ingin
({'rai,"
Seketika itu aku merasa begitu takut. Saking
takutnya tak terasa mataku memerah dan mengalirkan air
mata yang tak kalah derasnya dengan linangan air mata
ibu.
Keributan
itu sungguh
telah
membuka
aib
keluargaku yang selama ini tak aku sadari. Kini aku tabu,
ternyata bapak sudah kawin sinh dengan wanita pujaan
lainnya. Luka hati ini tertusuk lagi rasanya, hingga terpatri
kuat dalam ragaku.
Lembutnya angin malam mulai memasuki ruang
dalam tubuhku, meremukkan tulang dan menyatu dengan
darah yang terasa sudah membeku seperti hatiku yang juga
135
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 143 |
pymupdf
|
136
Topeng Nengsih
sudah membatu .
Aku pejamkan saja mataku hingga letih perasaanku
ini tak mampu aku lawan lagi. Aku terlelap, namun mimpi
burukku ini selalu membayangiku hingga merasuk ke
dalam setiap nadi. Aku terlanjur terjebak. Aku hanya bisa
pasrah menunggu pagi untuk bisa menyadarkanku dari
1e1ap tidurku ini.
"Pagi, sudah pagi," desahku menyadari suasana
ketika itu.
Aku bergegas berlari melangkah cepat mencari
tahu. Tapi, tak jauh berbeda dengan tadi malam, aku masih
temukan ibu menangis di antara album-album kenangan
sambi! memandangku dengan pandangan sayunya itu.
"Maafkan ibu, Nak," ucapnya memelas.
Dapat aku mengerti maksud baliau. Tak ada yang
mampu aku perbuat, jikalau jalan perpisahan mampu
menghentikan derasnya aliran air matanya.
Aku hanya bisa berlutut lemas dan menangis
tersedu sedan.
"Sungguh aku tak berguna," gumamku dalam hati.
Empat bulan berlalu sudah, kedua orang tuaku
telah berpisah menjalani hidup mereka masing-masing.
Bapak sudah pergi dengan istri barunya entah
ke mana . Tapi, sungguh malang, beliau dipecat dari
bangku kcdiidlltorannya karena kasus korupsinya sudah
terbongkar, tak bisa terelak lagi. Beruntung beliau tak
harus mendekam dalam kumuhnya penjara oleh ulahnya
yang hina itu. Namun, aku dengar hidupnya kini begitu
melarat. lstrinya pergi meninggalkarmya karena ia sudah
tak punya kekayaan yang bisa ia banggakan lagi.
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 144 |
pymupdf
|
AntoJogi Cerpen
Sedangkan ibu, sebulan lalu beliau sudah mengikat
sucinya ikrar perkawinan bersama Paman Satrio. Kakek
dan nenek menyayangi ibu layaknya anak kandung mereka
sendiri. Jadi, mereka tak tega harus membiarkan ibu pergi
dari keluarga besar kami dalam luka pengkhianatan
bapakku.
Aku sedikit tak rela, namun beliau telah berjanji
untuk tetap menyayangi aku dan Seto layaknya dulu, dan
aku percaya itu. Lagipula Paman Satrio cukup bisa aku
andalkan untuk menghapuskan segala derita ibu selama
ini.
Kini, aku dan Seto tinggal bersama nenek dan kakek
di rumah sederhana, namun lebih baik daripada gubuk
reotku dulu.
Aku dan Seto mencoba melangkah kuat dengan sisa
semangat yang masih ada agar kami bisa merakit kembali
puing-puing hidup kami yang hilang.
Nenek dan kakek selalu bisa membagi keceriaan
dalam setiap detik hela na£as kami.
Ibu pun tak pernah absen mengunjungi aku dan
Seto Ibu dan paman selalu memberi kasih sayangnya pada
kami, hingga tak kami rasakan lagi perihnya ditinggal
bapak.
Tapi, dalam renunganku masih tersimpan sedikit
rasa sesal mengingat perpisahan kedua orang tuaku dan
rasa sakit menerima kehancuran keluargaku.
Indah, itulah nama singkat yang orang tuaku
berikan padaku. "Tapi, kenapa hidup yang aku jalaru tak
pernah seindah namaku? Mengapa pula harapan hidupku
tak pernah menuai indah layaknya nama itu?" ujarku
137
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 145 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
menyesali kenyataan hidup yang tak semulus harapanku
dulu.
Tiba-tiba Seto mendekat duduk di sampingku
sambi! menatap penuh Tanya.
"Sekarang, apa masih bisa kita panggil ibu dengan
sebutan ibu atau kita panggil bibi?" tanya Seto polos.
Memang masuk akal pertanyaan itu, bertambah
kalut pikiranku dalam otak "miniku" ini. Tapi, sampai
kapan pun beliau tetap orang yang melahirkan dan
menyayangiku dengan ikhIas, hingga detik ini aku mampu
berdiri tegar.
Walaupun kelak mereka bertanya, "siapa ibuku?"
Aku hanya bisa menjawab, "ibuku bibiku."
138
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 146 |
pymupdf
|
MISTERI AUN CEN6K£H
W~~H~
Aku termenung meratapi nasib hidupku yang sama
sekali tidak berpihak pada keluargaku. Tiba-tiba dari balik pintu
kudengar teriakan keras seperti memecah keheningan malam.
Jantungku berdebar keras, kupaksakan untuk mengamati keadaan
di luar, ternyata itu hanya suara sumbang seekor kambing. Debar
jantungku perlahan m ulai melemah, "Ah .... busyet", teriakku dalam
hati ternyata suara itu hanyalah kambing tetangga yang sedang
melahirkan anaknya. Pintu rumah kututup kembali dan dengan
keras kududukkan pantatku di kursi kayu yang hanya terbuat dari
potongan-potongan kayu kopi. Aku kembali merenung tentang
keh idupan keluargaku yang morat-marit, ten tang keberlanjutan
pcndidikan anak-anakku, dan tentang kemampuanku untuk
menghadapi beban hidup yang semakin berat. Pikiranku berputar
putar lak tentu arah. Sampai akhirnya aku tertidur tanpa bantai,
tanpa selimut, dan tanpa alas tidur.
Aku terkejut, istriku membangunkanku dengan agak
keras. Kulihat kedua anakku, Fani dan Ceking telah siap untuk
berangkat ke sekolah . lstriku berkata "Pak, anak-anak minta uang
untuk bekal berangkat ke sekolah."
Aku terdiam, mataku terpejam dan menunduk.
"Pak, anak-anak mau minta uang," teriak istriku sekali
lagi.
139
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 147 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
Dengan suara berat aku berkata, "Bu, biarlah anak-anak
hari ini tidak bdanja di sekolah .'·
"Mengapa begitu?" teriak istriku.
Aku menarik istriku agak jauh dari anak-anak, kemudian
dengan suara lemah aku bisikkan, "Bu, hari ini kita tidak memiliki
sepeser uang."
Istriku terdiam dan selanjutnya segera pergi untuk
menghampiri anak-anakku. Aku tidak tahu lagi apa yang
dibicarakan antara istri dan anak-anakku. Dari jauh kulihat kedua
anak-anakku berangkat ke sekolah.
Setelah keberangkatan anak-anakku, aku memanggil
istriku dan mengajaknya duduk di kursi kopi. Lama aku dan
istriku terdiam, suasana begitu sepi dan kaku. Aku juga bingung,
harus mulai dari mana untuk menyampaikan kondisi ini kepada
istriku. Akhirnya, dengan sisa-sisa kekuatanku aku berkata, "Bu,
bagaimana dengan kita sekarang, apa yang harus kita lakukan,
kita sudah tidak punya apa-apa Jagi."
Istriku terdiam, menunduk, dan kulihat matanya mulai
memerah serta meneteskan air mata . Sambil mengusap air
matanya, istriku berkata, "Terserah bapak, aku sebagai istri hanya
bisa mengikuti apa yang dilakukan oleh suaminya."
Jawaban itu, ternyata mampu membesarkan motivasiku
untuk bangkit dari keterpurukan ini . Aku merasa tertantang,
ternyata istriku sungguh-sungguh menggantungkan hidupnya
kepadakll. "Kalau begitu. mari kita coba untuk memohon mukj izat
kepada para penguasa alam ini," saranku kepada istriku.
Mata istriku terbelalak. "Apa maksud bapak?" tanya
istriku penuh dengan ketidakmengertian.
Selanjutnya, aku menjelaskan, "Begini, di sekitar hutan
dan Danau Tamblingan terdapat pohon beringin yang sangat
140
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 148 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
besar. Konon, katanya pohon itu, dihuni oleh makhluk halus yang
sangat sakti. 8anyak orang yang sudah pernah memohon berkah
di tempat itu. Dan konon, katanya banyak yang sudah berhasi!."
lstriku terdiam, lama terdiam, di raut wajahnya kulihat
keragu-raguan, aku juga merasakan tindakan ini sungguh tidak
masuk aka!. Akhirnya istriku menjawab dengan pendek, "Ya,
terserah bapak." Akhirnya kami bersepakat menentukan hari
yang baik untuk berangkat ke tengah hutan di sekitar Danau
Tamblingan.
Hari baik yang kami pilih adalah tepat saat bulan purnama.
Sure hari menjelang keberangkatanku, aku menitipkan anak
anakku kepada tetangga, tempat anak-anakku sering bermain.
Aku mencari alasan bahwa ada keperluan mendadak malam
ini, aku harus ke rumah mertuaku karena ada acara keluarga.
Untungnya, tetanggaku memaklumi dan bersedia mengajak anak
anakku menginap satll malam di rumahnya.
Malam hari, tepat saat bulan purnama, sekitar pukul
21.000 Wita aku dan istriku berangkat menuju bukit di tengah
hutan Danau Tamblingan. Jarak dari rumahku menuju tempat itu
memerlukan waktu perjalanan sekitar tigajam. Sekitar puku124.00
Wita kam i sampai di bawah pohon beringin yang sangat besar.
Malam sangat larllt serta cahaya bulan yang menembus dedaunan
pohon beringin menambah seramnya suasana. Seolah-olah ada
makhluk yang melambai-Iambaikan tangannya, menyapa, alau
mungkin murka melihat kedatanganku. Kami mulai membuka
tikar dan sesaji yang telah kami siapkan sebelumnya. Aku berbisik
kepada istriku, "Jangan takut karena kita ke sini hanya untuk
mohon bantuan bllkan llntuk mengganggu mereka"
lstriku terdiam, kulihat tangannya sedikit gemetar
bercampur an tara dingin dan takut. Sekali lagi aku berbisik, "Mari
141
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 149 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
kita bersemadi memohon supaya keinginan kita dapat terpenuhi,
m udah-m udahan ada petun j uk."
Kami mulai memejamkan mata. Suara-suara aneh yang
jarang kudengar menambah seram di sekitar pohon beringin itu.
Bulu kudukku mulai berdiri. Walaupun dengan kepasrahan yang
dalam, tetap saja bulu kudukku berdiri. Bahkan, kudengar istriku
menangis walaupun tangisannya itu jauh di dalam tubuhnya. Aku
terdiam dan berusaha hening untuk dapat bersemadi dengan baik.
Namun, suara-suara aneh itu kadang-kadang keras, melemah,
melengking, dan bahkan sepi tanpa suara. Hal itu ternyata cukup
mengganggu semadiku.
Namun, kondisiku yang terbelit kemiskinan membesarkan
kemba li keberanianku. Terlintas dalam pikiranku, sebagai orang
miskin yang penuh dengan kekurangan sehingga diselimuti
permasalahan hidup. Aku tidak memiliki tempat tinggaJ yang
tetap. SeJama ini, aku menempati rumah yang dulu digunakan
untuk kandang kllda. Sebagai gantinya, aku harus siap bekerja
tanpa upah di tegalan atall di kebun pemilik gubuk itu. Masalah
kebutuhan hidup sehari-hari sulit aku penuhi, baik untuk istriku
maupun kedua anak-anakku. Permasalahan itulah yang ternyata
membangkitkan keberanianku untuk menghadapi tantangan yang
menurlltkll adalah sesuatu yang tidak masuk aka!.
Oi keheningan semadiku, tiba-tiba istriku berbisik. "Pak...
Pak... Pak ... pulang Pak, bulu kudukku merinding dan firasatku
mulai tidak baik."
Aku terdiam dan tidak menghiraukan bisikan itu.
Aku masih berharap agar penghuni pohon beringin itu dapat
memberikan bantuan atau petunjuk agar perjalanan hidupku lebih
baik. Beberapa sa at, istriku terdiam lagi, aku melihat seolah-olah
pepohonan bergerak layaknya ditiup angin kencang, padahal
142
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 150 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
saat ilu tidak ada angin, hanya suara jangkrik di sana-sini. Aku
semakinyakin bahwa nanti akan ada sesuatu, baik yang bisa
mengalasi masalah dalam rumah tanggaku maupun sesuatu yang
lain. Keyakinan itu semakin kuat setelah setangkai daun yang
jatuh menempel di dahiku dan aku terus berdoa.
Malam semakin larut, tiba-tiba istriku berbisik lagi, "Pak,
ayo pulang. Kasihan anak-anak terlalu lama menunggu kita."
Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 Wita, akhirnya aku
dan istriku pulang sambil mengemas semua kelengkapan yang
kubawa. Aku membungkus, mengikat tikar dan perlengkapannya
dengan tergesa-gesa. Aku berkata, "Ayo, Bu kita pulang, mungkin
hari ini kila belum diberkati, mudah-mudahan lain waktu kita akan
diberikan." Akhirnya. dengan mengucapkan pamit kepada seluruh
makhluk, baik yang lampak maupun lidak, kami bergegas pulang.
Sekitar pukul 05 .00 Wila kami lelah sampai di rumah tetangga
tempat kami menitipkan anak-anak. Dengan mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya, kami sekeluarga bergegas pulang ke
. gubuk.
Anak-anakku telah berangkat ke sekolah. istriku memasak
ubi di dapur. Aku membuka tikar yang kemarin malam dibawa ke
hutan. Tidak ada hal aneh yang aku temukan. Aku merenung agak
lama untuk melihat kelengkapan bersemadi kemarin. Tiba-tiba
malaku lertuju pada daun yang malam ilu menempel di dahiku.
Aku mengambil daun ilu, lernyala daun ilu adalah daun. cengkeh
yilng slidah kering. Lama aku merenung sambi I bergumam,
"Mungkinkah ini petunjuk yang diberikan kepadaku? Lalu, unluk
apa daun cengkeh kering ini?"
Kira-kira satu jam aku mel ihal daun cengkeh kering itu,
liba-liba aku dikejulkan oleh suara seseorang yang memanggil.
'·Pak. Pak, Pak. ada orang di dalam?" leriak orang ilu.
143
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 151 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
Aku segera keluar dan kulihat seseorang yang tak kukenal
serta membawa buku berkata, "Pak, saya dari Desa Gunungsari,
saya sedang mencari orang-orang yang mau mengumpulkan daun
cengkeh kering yang akan saya olah di pabrik untuk menjadi
minyak daun cengkeh. Kalau Bapak berkenan, silakan kumpulkan,
nanti setiap minggu saya akan datang ke sini untuk mengambil
daun cengkeh terse but."
Jantungku berdebar kt:ras, aku semakin yakin bahwa ini
adalah p~tunjuk yang diberikan tadi malam. Dengan cepat aku
menjawab, "Baik Pak, saya siap, di sekitar gubuk saya ini ada
banyak sekali kebun cengkeh."
Orang itu berkata, "Baik, kalau begitu tiga hari lagi saya
datang ke sin i."
Lalu ia pergi dan meninggalkan aku sendiri yang masih
tidak percaya dengan kejadian hari ini.
Aku segera memanggil istriku yang sejak tadi berada di
dapur dan berkata, "Bu permohonan kita ternyata dikabulkan.
Tadi ada orang datang yang akan membeli daun cengkeh."
lstriku terkejut, sambil berkata, "Ah, untuk apa daun
cengkeh itu? Tidak masuk aka!."
Aku menjawab, "Katanya, akan diolah menjadi minyak
daun cengkeh dan pabriknya ada di Desa Gunungsari."
"Kalau begitu mari kita segera mengumpulkan daun
cengkeh kering, siapa tahu itu benar dan kita dapat memperbaiki
kehidupan kita," sahut istriku agak bersemangat.
Tanpa ballyak komentar lagi, kam i segera bergegas pergi ke
kebun tetangga untuk mencari dan mengumpulkan daun cengkeh
kering. Tidak terlalu lama, kami telah dapat mengumpulkan daun
daun cengkeh kering mencapai lima karung. Selanjutnya kami
membawanya ke gubuk. Itulah kegiatan yang terus kami lakukan
144
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 152 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
dari pagi sampai menjelang sore hari.
Setelah tiga hari, orang yang berjanji mengambil daun
cengkeh itu datang untuk membeli daun cengkeh yang telah kami
kumpulkan. Sambi! memperkenalkan diri orang itu berkata, "Pak,
nama saya Yono, say a orang: pabrik pengolahan daun cengkeh
mau membeli daun cengkeh yang telah Bapak kumpulkan."
Dengan perasaan senang, kami mengeluarkan karung
karung yang berisi daun cengkeh kering tersebut dan setelah
dihitung telah mencapai dua puluh
lima karung. Setiap
karungnya, dihargai Rp I 0.000,00 sehingga total uang yang kami
dapatkCln mencapai Rp2S0.000,OO. Tanpa banyak pertanyaan,
Pak Yono mengangkut karung itu ke dalam mobilnya dan segera
meninggalkan kami. Aku dan istriku terdiam sebab selama aku
berumah tangga belum pernah mendapatkan uang sebanyak itu
dalam waktu tiga hari . Kami segera kembali ke gubuk untuk
mrencanakan kegiatan berikutnya. Setelah mendapatkan uang
dari hasil menjual daun cengkeh, aku memerintahkan istriku
untuk membeli beras dan keperluan sekolah Fani dan Ceking.
Kegiatan mencari dan mengumpulkan daun cengkeh
terus kam i lakukan setiap hari, sampai akhirnya Pak Yono
mempercayaiku menjadi asistennya. Tawaran itu tentu saja aku
terima dengan senang hati . Dari hari ke hari kehidupanku terus
berubah. Bahkan, pabrik pengolahan
minyak daun cengkeh
tumbuh menjadi besar dan aku mendapatkan banyak manfaat
dari pend irian pabrik terse but. Kondisi ini, membuat kehidupan
keluargaku menjadi baik dan kami terus menekuni usaha
daun cengkeh . Kejujuranku membuat Pak Yono memberikan
kt'rercayaan yang lebih kepadaku menjadi pengelola di pabrik
ilu. Aku telah keluar dari belenggu kemiskinan dan menjadi orang
yang disegani dan dihormati . Sungguh kuakui, daun cengkeh
145
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 153 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
kering yang menempel di dahiku di malam purnama itu menjadi
inspirasi dan dapat mengubah kehidupanku .
146
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 154 |
pymupdf
|
KAMAR23
~ W D4ft D-w~ ~ D4tNtjA~
Sekolah Giberta memang sudah sangat lama
Jan tua. Tak luput dari ingatan akan kenangan yang
dirangkai oIeh sekolah itu. Dari tahun pertama berdiri
1984, sekolah ini telah menjadi sekolah terbesar. Dengan
asrama-asramanya yang sangat menyenangkan, sekolah
ini menjadi sangat terkenal. Bukan hanya itu, kenangan
pahit tentang kematian yang menyedihkan juga sernakin
memhuat sekolah ini menggemparkan. Semua ini dimulai
di suatu malam, 23 Januari 1995.
Suatu hari, saat sekolah itu akan berusia 11 tahun,
Kamar 23 menjadi inti dalam rnisteri ini. Dita, seorang
.gadis lugu, polos, namun sangat pintar adalah satu
satunya orang yang mendiarni kamar itu. Tahun pertama
sekolahnya berjalan dengan baik. Sampai pada akhirnya,
ia mendapatkan tekanan dari ternan dan kakak kelasnya.
Semua ini dikarenakan tingkahnya yang sangat polos dan
sopan. Setiap hari, tak kurang dari lima kali tamparan
dan dua ember siraman air kotor singgah di tubuhnya,
meskipun disebabkan oleh hal sepele. Semua ini dianggap
penghinaan oleh ternan dan kakak kelasnya karena ia selalu
menjadi pusat perhatian. Dua bulan telah ia jalani hidup
yang penuh dengan penderitaan di asrama itu.
Suatu hari, pada tanggal 23 Januari seperti biasa
dengan bekas tamparan di pipi, ia masuk ke kamarnya.
147
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 155 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
Sedih dan sakit, hanya itu yang ia rasakan. Tak terasa
air mata membasahi pipinya. Kamar mandi adalah satu
satunya tempat untuk ia menangis. Kadang dalam hatinya
terbesit keinginan untuk bunuh diri.
Namun, kali ini berbeda, tidak di dalam hatinya.
Darah segar seketika membasahi lantai kamar mandinya.
Sejak kejadian itu, sampai saat ini Kamar 23 tidak pernah
dibuka. Mungkin untuk selamanya. Tak ada Dita lagi.
Selamanya...
***
Pagi iill, suasana di sekolah itu sangat damai.
Burung-burung mulai berkicau. Dinginnya embun pagi
membasahi jendela setiap kamar di asrarna itu. Namun,
hanya satu yang tidak pernah tersentuh damainya dunia,
Kamar 23.
Tak terasa, sekarang sudah tahun ajaran baru
2006. Anak-anak kelas 1 mulai sibuk merapikan kamar
mereka masing-masing. Karen, gadis manis yang sangat
pendiam ini, terlambat datang ke sekolah barunya. Tak
satu pun kamar tersisa kecuali, Kamar 23. Hanya perasaan
senang yang ia rasakan saat ini. Ia tak tahu apa yang
telah terjadi ·di Kamar 23. Saat itu untuk pertarna kalinya
Kamar 23 dibuka setelah kematian Dita. Seketika semua
orang memandanginya. Tak sedikit orang melemparkan
pandangan sinis dan takut kepadanya. Namun, dengan
sifatnya yang cuek, hal itu dianggap sebagai angin lalu.
Genap tiga hari ia telah rnendiarni karnar itu. Kisah
kematian Dita baru ia ketahui dan ia menjadi mengerti,
mengapa sikap semua orang sangat aneh kepadanya.
"Awas, anak kamar 23 !!"
148
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 156 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
Hal itu yang selalu ia dengar setiap dekat dengan
orang lain. Namun, sampai saat ini ia masih bertanya-tanya
dalam hati. "Mengapa ya, setiap masuk kamar ini, aku
selalu mencium aroma bunga lavender?"
Pikiran itu terbesit di hatinya setiap membuka pintu
kamarnya . Hal ini ia anggap sebagai keistimewaan Kamar
23. Setiap masuk kamar mandi, ia selalu mendengar alunan
musik lembut yang tak pernah ia ketahui dan dengar selama
hidupnya. Namun, saat ia menajamkan pendengarannya,
alunan musik itu hilang dan kamar kembali sunyi.
Kini jam dindingnya menunjukkan pukul 23.00.
"Saatnya untuk tidur!" katanya sambil membenahi buku
buku untuk esok harinya.
Tak kurang dari 3 menit, ia telah melayang di dunia
mimpi. Mimpi membawanya ke kamarnya sendiri, Kamar
23. Harum bunga lavender dan alunan musik lembut lebih
jelas tercium dan terdengar di telinganya. Namun, ada satu
. benda yang tak pernah ia lihat di kamar itu, lukisan taman
bunga laIJender. Lukisan yang sangat indah.
Silaunya matahari pagi membangunkan Karen
dari mimpinya. Ketika ia berbalik menghadap jendela,
di sampingnya tergantung sebuah lukisan yang indah,
taman bunga lave11der. Seketika ia teringat akan mimpinya.
Diamatinya lukisan itu dengan cermat. Tinta merah di
pojok kanan bawah, sangat menarik perhatiannya. Di sana
tertulis "Dita 20 Jan 95" dengan tinta merah yang sangat
manis. Dipajangnya lukisan itu di depan tempat tidurnya.
Kemudian, wangi bunga lavender mengharumkan seisi
kamarnya. Sangat tajam. Seketika seisi kamarnya menjadi
sangat bersih dan rapi. Di hari minggu ini ia baru merasakan
149
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 157 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
perasaan yang sangat nyaman di kamarnya. Karen
melompat-lompat di atas tempat tidurnya sambil mencium
wangi bunga lavender. Segera ia menuju ke kamar mandi
dengan membawa handuknya.
1a tak tahu apa yang terjadi. Seketika, bak mandinya
telah penuh terisi air. Sikat giginya telah terisi pasta gigi
kesukaanya. Segera ia mandi tanpa menghiraukankeanehan
itu. Sambi! bernyanyi Karen keluar kamar mandi. Oi atas
tempat tidurnya telah tersusun rapi satu stel pakaianya.
Oengan senang hati, tanpa ragu-ragu ia mengenakan
pakaian itu.
Gembira sekali yang ia rasakan saat itu. Kakinya
serasa mengajak untuk menari dan melompat-lompat. Lagi
Iagi alunanmusik yang lembut terngiang di telinganya."La...
la .. .1a..." sambil melompat dan menari ia mengikuti alunan
musik itu.
Namun, mendadak semuanya hilang. Tak ada
harum bunga lavender atau pun alunan musik lembut.
Cahaya kecil seperti titik keluar dari lukisan itu. Larna
lama semakin besar dan menyilaukan mata Karen.
Ia memejamkan sedikit rna tanya sambil mengangkat
tanganya menghalangi sinar itu. Tampak seorang gadis
lugu di depanya, berkaca mata tersenyum padanya. Karen
bingung apa yang ia Iihat saat itu.
Gadis itu tersenyum sambil berkata, "Hai," suara
itu menggema di kamarnya. Suara itu juga menyadarkanya
dari kebingungan melihat gadis itu.
"Hai, kamu siapa?" tanya Karen dengan sedikit
rasa takut.
150
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 158 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
"Aku Dita, gadis yang meninggal di kamar ini dan
membuat lukisan itu". Seketika jantung Karen berhenti
berdenyut.
"Kamu nggak perlu takut. Aku hanya ingin jadi
temanmu. Selama ini tidak ada yang mendiarni kamar ini.
Dan aku kesepian."
"Hrrun...," sambi1 tersenyum Karen menjawab.
Hari itu ia lalui dengan mendengarkan cerita dari
Oita. T a k terasa Karen menangis mendengar kisah sedihDita.
" Aku mau jadi temanmu," kata Karen sambi1 menghakiri
cerita Dita. Sejak saat itu, kamar Karen tak pernah sunyi,
selalu bersih dan harum bunga lavender serta alunan musik
yang lembut kesukaanya Dita mengiringinya.
Setiap ada PR, Karen dan Dita selalu mengerjakan
bersama-sama. Kadang Karen berpikir, "Apakah aku
bersahabat dengan hantu?" Tapi semua itu tidak pernah
dijadikan beban. 8aginya, Dita adalah sahabat yang
terbaik.
Hari ini hari Senin. "Dit, sekali-kali kamu keluar
kamar, dong?" pinta Karen.
"Gilllniln ya...?" jawab Oita.
" Udah dell, gak apa kok, sumpek tau di kamar terus,
ayo...!!" sambung Karen sambill mengajak Dita keluar
kamar.
Semua orang tak ada yang tahu tentang keberadaan
Dita saat itt!. Semua orang berjalan sambil menembus
Oita, saat melewati samping kiri Karen. Karen hanya bisa
tersenyum sambil tertawa keciL Akhirnya, sampai di kelas
Karen. Ternyata dulu kelas itu adalah kelas Dita juga. Ia
bercerita pada Karen kalau ia duduk paling depan baris
151
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 159 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
pertama.
Tiba-tiba Oita menangis sambil berlari menuju
kamar 23. Karen tak tahu apa yang terjadi. Ia tidak bisa
mengejar Dita karena bel masuk sudah berbunyi. Enam
jam Karen telah belajar. Ia segera berlari menuju kamarnya.
Oi sana ia me1ihat Oita menangis di atas tempat tidurnya.
"Kamu kenapa Oit?" tanya Karen membuyarkan
1amunan Oita.
Sambil mengusap air matanya, Oita menjawab,"Aku
cuma mgat kejadian saat aku ditampar kakak kelasku."
Karen tak tahu harus bilang apa. Ia hanya mengusap
air mata di pipi Oita. Ia pun terkejut, ternyata baru kali ini
ia bisa menyentuh Oita. Oita pun tersenyum sambil melihat
Karen dengan perasaan senang dan bahagia.
Tak terasa, sudah dua tahun enam bulan mereka
bersahabat.
"Oit, sebentar lagi aku akan ujian," kata Karen.
"Ya, makanya kamu rajin be1ajar, ya!I" jawab Oita
sambi1 tersenyum manis.
"Aku takut setelah lulus nanti, aku tak bisa bertemu
denganmu," sambung Karen dengan sedih.
" Aku tahu, kamu tak mungkm di sekolah ini untuk
se1amanya," jawab Oita sambil tersenyum. " Aku juga mau
Ilg01l1011g, Ren. Aku juga akan pergi untuk se1amanya dari
kamar mi."
Mendengar kalimat itu, Karen terkejut.
"Sebenarnya di dunia sana aku sudah di tunggu
para peri. Namun, karena aku belum melakukan satu
perbuatan yang berarti, aku diperintahkan untuk menjadi
teman baik dari seorang siswi di sekolah Giberta ini," kata
152
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 160 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
Dita memperjelas.
Sejak itu, mereka berdua menjadi lebih dekat. Karen
menjadi lebih bersemangat untuk belajar. Minggu terakhir
ini, mereka lalui dengan selalu bersama-sama. Diam-diam
Karen membuat kado spesial untuk Dita.
Hari ini hari kelulusan. Karen lulus dengan hasil
yang sangat baik. Hari ini membuat Dita senang. Tak terasa
sekarang adalah saatnya untuk berpisah. Mereka berdua
saling berpelukan dengan air mata yang membasahi pipi
mereka. lni untuk kedua kalinya, Karen dapat bersentuhan
dengan Dita.
"Dit, aku nggak mau berpisah. Aku takut kehilangan
ternan baik seperti kamu. Aku juga takut nanti kamu
akan lupain aku. Jadi kubuatkan kalung ini untukmu,"
kata Karen sambil menyerahkan sebuah kalung buatanya
sendiri. Kalung dengan hiasan manik-manik warna ungu.
Warna kesukaan Dita.
" Aku harap kalung ini dapat kamu pakai Dit,
walaupun rasanya sangat mustahil," kata Karen sambil
menunduk sedikit kecewa.
Namun, satu keajaiban terjadi. Tiba-tiba kalung itu
dapat dipakai oleh Dita. Tak seperti kalung-kalung lain,
yang pasti akan tembus saat di gunakan Dita. Kalung itu
pun berubah warna menjadi ungu transparan.
"Makasi Karen. Aku senang sekali dengan kalung
ini. Aku juga tak ingin dilupakan oleh kamu. Jadi, lukisan
taman bunga lavender ini akan kuberikan untukmu. Setiap
tangga123,sarna seperti hari ini,lukisan iniakanmenebarkan
aroma lavender. Dan saat itu juga dalam mimpi malammu,
aku akan datang Karen!" kata Dita sambil tersenyum
153
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 161 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
memandang Karen.
"Kini aku harus pergi," kata Dita.
Setelah
berkata
demikian,
tiba-tiba
seberkas
cahaya terang masuk menembus jendela kamar. Sangat
menyilaukan. Dari cahaya itu, muncul dua orang peri
dengan gaun yang indah dan senyum manis yang terpasang
di bibir mereka. Karen hanya bisa terkejut melihat kejadian
itu. Kini saatnya Dita pergi.
"Selamat
tinggal
Karen l"
kata
Dita
sambil
melambaikan tanganya.
Karen menangis sambil membalas lambaian tangan
Dita. Seketika, cahaya itu hilang. Tak ada wangi bunga
lavende1' lagi. Tak ada alunan musik kesukaan Dita lagi.
Sambil tersenyum menatap langit yang penuh bintang dan
lukisan taman bunga lavender di perlukanya; Karen berkata,
"Selamat tinggal sahabat terbaikku."
154
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 162 |
pymupdf
|
BINTAN6 JATUH DARI
NE6£RI DONGERS
~p~y~~
Sejak kecil aku suka membaca buku-buku dongeng
bergambar tentang negeri dongeng. Di negeri ajaib nan
indah itu hiduplah para peri bersayap indah yang tinggal
di rumah-rumah jamur yang mungil. Sayap-sayap mereka
berwama-warni, biru, ungu, merah, pink, kuning, bahkan
ada yang keperakan dan keemasan. Namun, hanya ratu peri
yang memiliki sayap keemasan, peri bersayap keperakan
adalah dayang-dayang sang ratu peri. Setiap peri yang telah
dewasa memiliki tongkat ajaib masing-masing. Mereka bisa
'melakukan apa saja dengan tongkat sihir itu, tetapi mereka
tidak pernah menggunakan benda itu sembarangan.
Akan ada hukuman berat bagi mereka apabila berani
menggunakannya untuk membuat keonaran. Mereka
pun hidup bahagia di negeri itu. Tiap hari adalah musim
semi, bunga-bunga hutan beraneka warna bermekaran dan
harum semerbak, serta padang rumput berbunga putih
yang selalu hijau menjadi tempat bermain para peri itu.
Masa kecilku memang penuh mimpi. Mimpi
tlCntang negeri dongeng tempat tinggal para peri bersayap
kemilauan, tentang hutan penuh bunga, dan padang
rumput berbunga putih itu. Mimpi-mimpi itulah yang
menjadikanku bahagia. Bagaimanapun, aku tahu masa
155
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 163 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
kecilku tentu akan berakhir. Saat berurnur sernbilan tahun,
aku rnenghitung rnungkin rnasa kecilku tinggal sekitar
tiga tahun lagi.Betapa singkatnya. Aku ingin sekali jika
masa kecilku diperpanjang hingga sepuluh tahun lagi dan
sebelurn rnasa kanak-kanakku berakhir. Aku ingin pergi ke
negeri dongeng. Konyol. Aku pun rnenunggu bintang jatuh
dari langit luas untuk rnengucapkan permintaan konyolku
itu. Setiap rnalarn aku rnernandangi langit. Mengharap akan
rnuncul sebuah bintang jatuh. Katanya, bintang jatuh itu
akan rnengabulkan setiap permintaan yang kita ucapkan.
Aku tahu itu dari ternan bayanganku. Ya, aku punya
ternan bayangan karena aku tidak ingin merasa kesepian.
Dia adalah diriku sendiri. Menurutku, ternan bayangan
adalah ternan yang paling baik dan rnenyenangkan. Dia
tidak pernah rnernusuhiku karena dia adalah aku. Dia pasti
rnau rnendengarkan setiap ceritaku dan keluh kesahku.
Bahkan, aku sering rnenangis bersarnanya. Pokoknya, kami
ternan yang paling solid sedunia. Tidak ada yang tahu
tentang ternan bayanganku. Hanya aku yang tahu, tetapi
aku tidak suka ketika ayah dan ibu rnengatakan aku suka
bicara sendiri dan rnelarangku rnelakukannya lagi. Kakak
kakakku sering rnenertawaiku ketika aku rnengucapkan
selarnat tidur pada ternan bayanganku sebelurn tidur.
Biarkan saja, rnungkin mereka menganggapku aneh. Yang
penting aku rnerasa berbeda dan spesial karena hanya aku
yang punya ternan bayangan.
Ketika usiaku sepuluh tahun, aku belurn juga
rnenemukan bintangjatuh. Ternan bayanganku rnengatakan
mungkin di ternpatku tinggal tidak ada bintang jatuh, jadi
aku harus rnencarinya di ternpat lain. Aku pikir benar juga.
156
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 164 |
pymupdf
|
AntoJogi Cerpen
Bintang-bintang di langit di atas rumahku terlalu kecil
kecil jadi mungkin mereka sangat ringan untuk jatuh ke
bumi. Aku pun memutar otak untuk menemukan bintang
jatuh di tempat lain. Suatu malam aku menyelinap ke luar
kamar menuju taman kota. Saat itu malam belum larut,
jadi taman kota belum terlalu sepi. Aku duduk di bangku
taman di bawah pohon tanjung. Laron-laron beterbangan
di bawah cahaya Iampu di atas kepalaku. Kepalaku sedikit
menengadah rnemandang langit. Bulan sabit malam itu
begitu cantik bersama bintang-bintang yang berserak di
sisinya.
Oi manakah gerangan bintang jatuh itu? Apakah
perjalanannya menuju bumi kali ini terhalangi? Aku
terus berharap pada langit agar memanggil bintang itu
segera. Ternyata rnalam itu aku tidak beruntung. Setelah
lelah menunggu selama berjam-jam, aku menyerah. Esok
malamnya aku memutuskan untuk mencari di tempat
. baru. Mungkin taman kota bukan tempat yang tepat untuk
menemukan bintang jatuh. Mungkin sungai kecil di selatan
rumahku tempat yang tepat. Oi sana tidak banyak orang,
seperti haInya di taman kota. Bintang jatuh itu tidak akan
sanggup menumpang telalu banyak permintaan. Namun,
masalahnya, sungai itu terlalu sepi dan menakutkan di
malam hari. Aku pun membatalkan rencanaku malam itu
untuk pergi.
Aku
mencoba
memikirkan
tempat
yang
memungkinkanku melihat bintang jatuh; persawahan,
Iapangan sepak bola, lapangan sekolahku, bukit di desa
nenekku, pantai, dan masih banyak lagi. Namun, sepertinya
malam hari masih terlalu sangat menakutkan untuk anak
157
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 165 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
seusiaku untuk keluar rumah sendirian, maksudnya hanya
dengan seorang ternan bayangan.
Semakin bertambah usiaku, semakin bosan aku
menunggu bintangjatuh. Kapanaku bisa ke negeri dongeng?
Negeri yang kuimpikan selama masa kecilku. Aku ingin
bertemu dengan para peri, masuk ke rumah jamur, bermain
di hutan bunga, dan mencoba tongkat ajaib mereka. Aku
tidak tahu sampai kapan aku memikirkan bintang jatuh
itu dan negeri impianku. Kertas-kertas gambarku selalu
penuh dengan lukisan negeri itu. Aku juga menempelkan
poster yang kubuat sendiri di kamarku. Poster apa lagi
kalau bukan poster negeri dongeng. lnikah tandanya aku
sangat tidak ingin meninggalkan masa kecilku? Masa
masa penuh mimpi indah, tanpa memikirkan hallam, dan
bermain sepanjang hari dengan riang.
Tidak pernah terpikirkan dalam benakku untuk
menjadi dewasa, seperti kakak-kakak perempuanku.
Mereka suka berdandan, menggunakan make-up, pakaian
pakaian yang sedang trend, dan sepatu-sepatu hak tinggi.
Apakah menjadi dewasa itu suka berdandan? Lain lagi
dengan ibuku, beliau pintar memasak. Pagi-pagi sekali
beliau sudah menyiapkan sarapan pagi di meja makan
untuk kami sekeluarga. Apakah menjadi dewasa itu pintar
memasak dan bangun pagi-pagi? Sementara, aku merasa
tidak penting berdandan dan aku juga bend bangun pagi
pagi seperti rutinitas yang sehari-hari dilakukan ibu.
Hari ini ulang tahunku yang ke dua bel as, aku sangat
takut, aku resah karena sebentar lagi masa kanak-kanakku
akan berakhir. Sementara itu, aku belurn menemukan
bintangjatuh itu. Aku juga semakin jarang berbicara dengan
158
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 166 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
ternan bayanganku, entah kenapa. Aku rnerasa rnenernukan
dunia yang baru. Kini aku suka berkumpul dengan ternan
ternanku. Aku tidak lagi merasa kesepian. Orang tua dan
kakak-kakakku pun jarang mengatakan aku suka bicara
sendiri. Walaupun diriku sudah sedikit berubah, aku
belurn Iupa akan irnpianku semasa kanak-kanak. Malam
itu juga, aku rnernberanikan diri untuk keluar rumah tanpa
sepengetahuan penghuni rumah. Tarnpaknya, mereka
telah tertidur lelap sekali. Aku berani berlari menuju
tempat yang kuinginkan. Ternan bayanganku rnengatakan
aku harus pergi ke sungai kecil dekat rurnahku. Di sanalah
sebuah bintang akan jatuh. Bintang itu sangat panas dan air
sungai yang rnengalir tentu akan menyejukannya. Jika aku
berbuat baik pada bintang itu, tentu dia akan rnengabulkan
permintaanku. Aku rnasihmernpercayai ternan bayanganku
itu walaupun aku semakin beranjak dewasa. Aku masih
cmak-anak, aku beIurn remaja.
Udara tidak terlalu dingin rnalarn itu dan aku pun
merasa tidak takut lagi, malahan aku sangat rnenikmati
perja!anan rnenuju sungai keci! itu. Aku bisa mendengar
suara serangga rnalarn bernyanyi. Mereka ramai sekali,
rnungkinkah mereka tahu akan ada bintang jatuh di
langit di atas sungai itu7 Serangga-serangga itu ingin
rnenyambutnya dengan nyanyian malarn rnereka yang
rnerdu.
Aku telah tiba di sisi tebing yang di atas sungai itu.
Aku rasa tidak perlu turun ke bawah menuju tepian sungai
itu. Tebing-tebing sungai itu sangat tinggi, pepohonan
di sisinya juga tidak .banyak, jadi aku bisa rnelihat langit
dengan jelas. Aku duduk dan menengadahkan kepalaku ke
159
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 167 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
langit. Dengan tenang aku menunggu bintang jatuh itu.
Hari telah pagi, sepertinya aku tertidur di tempat
ini. Keluargaku pasti bingung mencariku jika aku tidak
segera pulang. Aku beranjak dari tempatku dengan mata
yang masih sedikit mengantuk. Ketika aku berdiri, aku
terperangah. Aku bukan lagi berada di tempat kemarin, di
tebing sungai kecil dekat rumahku. Aku berada di negeri
yang sangat indah ini sepertinya hutan para peri negeri
dangeng. Hutan musirn semi mereka, tempat bunga
bunga hutan sedang berrnekaran. Harurnnya rnengundang
serangga berdengung untuk datang. Akhirnya, aku berada
di tempat ini juga. Mungkin bintang jatuh itu datang
kernarin malam dan ia tahu aku punya satu permintaan.
Tunggu, bukankah aku juga minta agar masa kecilku
diperpanjang, mungkinkah dikabulkannya juga? Ah,
mungkin saja, jika aku tinggal beberapa hari. Mengapa
hanya beberapa hari? A ingin tinggaI lama, setelah basan
baru aku kembali pulang.
***
"Anak ini jatuh dari tebing. Kepalanya mengalami
luka yang cukup parah dan dia akan tidak sadarkan diri
selarna beberapa hari."
"Saya tidak tahu apa yang anak perempuan lakukan
di tempClt itu. Dia memang sedikit aneh, sering berbicara
sendiri. Mungkin saya kurang perhatian padanya."
160
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 168 |
pymupdf
|
S
JA DALAM SEBUAH B£JANA
t f(,c~ fV.;v p~
"Jangan Bu, jangan buang bejana itu! Aku mohon!"
"Kenapa anakku? Benda ini tidak berguna, jadi
untuk apa kau simpan!"
"Apa kata Ibu? Tidak berguna? 1tu satu-satunya
benda yang bisa membuatku teringat akan semua kejadian,
Bu!"
Tidak ada yang pernah tahu bahwa aku menyimpan
senja di dalam sebuah bejana, di bawah tempat tidurku.
Dalam keseharianku, aku sering mendengar orangbertanya,
apa isi bejana yang kosong itu? Bapak, ibu, dan anakku
. satu-satunya kerap kali bertanya. Mengapa ada bejana di
situ? Siapa yang meletakalU1ya? Mengapa kalau kosong kok
tidak dibuang saja? Tidak terlintas di benak mereka bahwa
sesungguhnya di situ aku menyimpan semua senjaku.
Walaupun penampilan bejana itu sudah pudar warnanya
dan retak beberapa, aku tetap bersikukuh agar bejana itu
tidak dibuang sebagai sampah begitu saja. Setiap senja tiba,
aku kerap mengambilnya dan memasukkalU1ya ke dalam
bejana. Aku tutup rapat-rapat bejana itu agar senjaku tidak
cepat menguap.
Sejak kanker paru-paru menggerogoti tubuhku,
prestasiku di kampus kian menurun. Aku yang dulu
cerewet dan periang, kini berubah menjadi sosok remaja
161
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 169 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
yang pendiam dan sarna sekali tidak mempunyai gairah
hidup. Yah, .... itulah hidupku, yang tinggal menghitung
hari sampai aku meninggalkan dunia ini, sarnpai aku
meninggalkan orang-orang yang paling aku sayang...
Dalarn
bejanaku
yang
belurn penuh sudah
kusirnpan senja beberapa. Beragarn warnanya. Lagi-lagi,
tidak ada yang tahu apa isi bejana itu, mereka tidak perlu
sepenuhnya tahu karena sulit sekali untuk dipercaya bahwa
aku sesungguhnya menyimpan senja.
Senjaku yang pertarna, berwarna rnerah jarnbu.
Semanis orang yang selarna ini aku puja. Hari itu aku
habiskan semua waktuku untuknya. Kita pergi kesebuah
taman kota, duduk di bangku putih dengan hiasan air
mancur di depannya. Bercengkrama mesra rnengulang
nostalgia cinta kita adalah bahan pembicaraan kami yang
utama.
"Kalau aku sudah tidak ada," baru sepenggal aku
berbicara, sudah terpotong olehnya.
"Sudah ah! Jangan berkata seperti itu, kamu pasti
sembuh!" bentaknya.
"Sembuh katanya? Penyakit parah seperti ini kamu
bilang akan sembuh? Jangan beri aku harapan yang sudah
pasti tidak akan terwujud!"
Ia tercekat. Aku telah melipat lidahnya, kata-kata
pun tidak terlontar dari bibir manisnya. Aku menangis.
Menangisi hidupku yang...ah... sungguh berat untukku
jalani l Dia mengusap air mataku dengan belaian tangannya
yang "terlembut". Kemudian dia cium keningku, seakan
mengatakan bahwa ia tak ingin kehilangan diriku. Aku
peluk dia dan kutumpahkan semua tangisku, hingga
membuat dress erange mudanya basah. Senja itu aku simpan
162
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 170 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
Jan aku tutup sebagai memori di dalam bejanaku.
Senjaku yang kedua, warnanya abu-abu. Gelap dan
pahit. Sangat pahit.... hingga aku tidak mau mengingatnya
lagi. Peristiwa itu dimulai ketika aku baru saja pulang
dari rumah sakit. lni sudah kesembilan kalinya dalam dua
minggu aku dan keluargaku bolak-balik ke rumah sakit.
Sepulang dari rumah sakit, bapak merebahkan tubuhku
di kasur dengan selimut wama hijau, warna favoritku,
tentunya ibu telah menyiapkan ini semua. Aku meminum
obatyangdokterberikan. Aku tahu, obat-obatitusebenarnya
sungguh tidak berguna. Toh, penyakitku tidak sembuh
kan? Namun, demi bapak dan ibu, aku rela menyerahkan
kerongkonganku sebagai tempat menelan obat. Setelah
itu, ibu menarik selimut dan mengelus rambutku, berharap
agar aku dapat tidur dengan nyenyak.
"Ibu, Ibu, di mana kau?" kakakku datang dengan
1angkah kaki yang terburu-buru dan dengan suara yang
sangat-sarrgat menggangguku.
" 000, ... di sini, di kamar busuk ini? Menjaga anak
yang hanya bisa memberatkan bapak dan ibu?" ucapnya
lagi sambi! memandang ku dengan bengis, seakan aku
adalah musuhnya di peperangan.
Sakit aku mendengar ucapan yang sungguh tak
kubayangkan keluar dari sosok seorang kakak, yang
seharusnya bisa menjaga adiknya yang sedang terkapar
lemah tak berdaya. Ibu memelukku sambil menangis.
Dapat kurasakan betapa sedihnya hati ibuku pada saat itu.
"Anak kurang ajar kau! Apa kau tak sadar bahwa itu
adik kandungmu sendiri! Dia sakit dan sudah seharusnya
kita merawatnya!" bentak bapak yang hendak menampar
kakakku, tetapi beliau masih sabar karena beliau tak ingin
163
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 171 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
n1l'llyakiti anaknya sendiri.
"Tapi, sejak dia sakit seperti ini, aku reI a putus
sekolah karena ibu dan bapak tak bisa membayar SPP
enam bulan. Warisan kita satu-satunya, yaitu tanah satu
are itu, sudah dijual pula! Sekarang hanya tinggal cinein
pernikahan bapak dan ibu, apa itu yang mau kalian jual
selanjutnya 7
"Sudaaaaahhhh... kalau kakak ingin aku mati...
baiklah kak!" ucapku sambi! berteriak histeris. Sebal
melihat kakak bengal seperti itu. Dia kemudian pergi,
dia tendang pintu kamarku sekeras-kerasnya, tak peduli
apakah kakinya terluka atau tidak. Ibu masih saja menangis
Jan terus memelukku agar aku tetap tenang. Sungguh senja
yang teramat pahit bagiku.
***
Narnun, dengan kasih sayang seorang ibu, beliau
tak membiarkan senja abu-abu itu menjadi hitam. Karni
berdua duduk di teras yang terbuat dari marmer dengan
aksen garis diagonal berwarna cokelat tua. Jika dulu kami
duduk bersisian di kursi yang sarna, sekarang tidak lagi. Aku
sudah punya kursi roda baru. Bapak yang membelikarmya
dengan uang hasil penjualan tanah satu-satunya. Karni
berdua bercerita layaknya seorang sahabat. 1a menanyakan
bagaimana hubunganku dengan kekasih yang selama ini
teramat kupuja. Tak hanya itu, beliau juga menceritakan
hal-hallucu agar aku bisa tertawa. Walaupun itu terdengar
tidaklucu bagiku,aku teta p saja memperlihatkansenyumku,
yah...agar beliau senang. Sedikit saja aku tersenyum, entah
berapa juta bahagia di hati ibu.
"Wah, ada apa ini? Sepertinya suasana bahagia
sedang menyelimuti kedua insan ibu dan anak!"
164
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 172 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
"Eh,
Bunga...
kebetulan
nih,
ibu
sedang
membutuhkan badut agar anak ibu yang satu ini bisa
tersenyum dan tertawa terbahak-bahak!"senyum Bunga,
kekasihku ini memang manis. Apalagi lesung pipi yang
serna kin menambah keindahan wajahnya.
"Ow, jadi ini rencana kalian berdua! Ya sudah, kalian
berdua telah berhasil membuatku tersenyum bahagia.
Terima kasih Bu dan kamu Bunga. 0, iya, kenapa kamu
datang sore-sore begini? Apa kamu tidak kuliah? Nah Yoo ...
Pasti bolos ya l "
"Ehh, enak aja! Hari ini kebetulan ga ada jam kuliah.
Oaripada aku bengong di kampus, mending ke sini, ke rumah
yang penuh dengan kebahagiaan. Apalagi ada seorang anak
yang bisa membuat hatiku luluh..." kata-katanya memang
selalu membuat orang terkesan mendengarnya.
"Aduh, kalian ini, ya sudah ibu ke dapur dulu ya!
Ibu mau buatkan teh dan cake yang paling spesial untuk
sore yang penuh bahagia ini!"
Baru lima menit ibu menuju dapur, ternyata bapak
sudah pulang dari kantor.
"Wah, ada Bunga 1 Kangen ya mna anak Om yang
ganteng ini?"
"Akh, Om ini, bisa saja! Saya ke sini karena ga ada
jam kuliah. Yah, sekalian lihat keadaan Tante dan Om!"
elakt:ya, wajah putihnya memunculkan rona merah. Ia
malu untuk mengakui kalau sebenarnya ia ingin bertemu
denganku.
"Ok, deh! Om tahu kok kenapa kamu kemari. Om
kan pemah muda!" celetuk bapakku.
"Waaah kebetulan, Bapak sudah pulang, Ayo, kita
makan sarna-sarna! Ibu sudah siapkan cake yang akan
165
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 173 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
menggoyang lidah! Ibu yakin, pasti kalian semua ketagihan!
Ayo, makan!"
"Tapi, aku mau makan kalau aku disuapi oleh
Bunga l Mau kan Bunga?" tanyaku sambil menyiratkan
senyum genit dan manja.
Kekasih lama
mana yang tak mau melakukan
apa saja yang diminta oleh pujaan hatinya. Seperti itulah
Bunga yang mau melakukan apa saja demi hidupku ini.
Ia tahu hidupku akan sebentar lagi. Oleh karena itu, ia
ingin membuatkan memori indah agar aku tetap tegar
menghadapi penyakit kangker paru-paruku ini.
Dengan naluri seseorang wanita feminim, ia potong
cake yang berbentuk bulat itu menjadi sepuluh bagian.
Diambilnya sepotong, kemtidian menyuapiku. Sesekali ia
bercanda dengan memainkan sendok makan yang hampir
menuju mulutku.
Astaga, ternyata kakak mengintip kami semua
sedang bercengkrama. Aku melihat di balik pohon cemara
dekat pintu gerbang rumah. Pantas saja di sini kurang
seseorang. Aku mengerti, bagaimana perasaan kakak
ketika melihat kami bersenang-senag. Sementara dia? Ia
hanya bisa merasakan petaka dari penyakitku ini. Semua
kebahagianku langsung lenyap seketika. Aku masih ingat
masa-masa dahulu, kakak sangat menyayangiku. Pernah
suatu ketika, ia berkelahi dengan teman-temanya karena
aku diganggu oleh anak sekomplek rumah. Ia rela mencicipi
Juka pukul yang cukup parah. Itulah arti seorang kakak
yang sesungguhnya. Rela melindungi adik kesayanganya.
Namun, sejak aku divonis kanker paru-paru oleh dokter,
sifatnya berbalik 360°. Ia telah membenciku. Tak mengangap
aku sebagai adik kandungnya lagi.
166
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 174 |
pymupdf
|
Antologi Cerpen
Lamunanku buyar, Bunga menyuguhi aku secangkir
teh manis.
"Mana kakak? Apa dia sudah pergi? Hemmrrumn,
maafkan aku kak, gara-gara adikmu yang menyusahkan
ini, kakak jadi ikut-ikutan susah..." kataku dalam hati.
Akhir sore itu, aku berhasil menyimpan senjata
berwarna putih, tetapi dihiasi pula dengan warna abu
beberapa...
Pagi datang... tetapi, kali ini, matahari terlambat
bangun dari tidur. Tak terdengar lagi suara kicauan burung
gereja seperti pagi sebelurnnya. Segarnya sinar matahari
pagi pun tak terasakan.
"Bapak! Anak kita Pak!!! Cepat ke sini!!!" ibu
memanggil bapak sambil menangis histeris.
II Ada apa, Bu? Kenapa Ibu menangis? Ada apa?"
bapak heran melihat ibu, entah sesuatu apa yang membuat
ibu sampai menangis seperti itu.
II Anak kita, Pak... anak kita... anak kita sudah
meninggal, Pak! Tadi ibu kira ia tidur terlelap tidur karena
kemarin kecapaaian. Namun, jantungnya sudah berhenti
berdenyut, Pak! Anak kita, meninggal, Pak!!!".
Tidak mungkin, Bu! lni tidak mungkin! Ibu pasti
bohong!".
"Pak, ibu tidak main-main! Lihat. .. Lihat wajah
pucatnya l Tanganya kaku dingin! Paakkk... " ibu semakin
histeris. Air matanya sudah mengalir sangat deras. Rasa
sedihnya tak bisa dibendung lagi! Beliau sangat terpukul
melihat aku yang sudah menjadi mayat.
II Aduuuhhh, rumah ini memang tidak pemah
tenang l Pagi-pagi sudah rebut' Apa-apaan sill? Pasti ulah si
anak sial itu!".
167
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 175 |
pymupdf
|
Topeng Nengsih
Kali ini bapak berani menampar kakak. Semua
perasaan sabar yang selama ini terpendam di hati bapak,
di1uapkan dengan sebuah tamparan.
"Dasar anak kurang ajar! Tak lihat adikmu kini mati!
Lihat... ini kan yang kamu inginkan! Kamu ingin adikmu
mati kan !" bentak bapak.
" Apa') Adik.., adik.., meninggaI? Tidak, tidak
mungkin ! Adiiiiikkk..."
Kakak menghampiriku, kemudian memelukku
dengan erat. Erat sekali. Ibu yang ada di sampingnya
mencoba menabahkan kakak. Bapak hanya berdiri terdiam,
me1ihat kejadian yang ia harapkan bahwa itu hanya sebuah
mimpi buruk.
"Dik... maafin kakak, dik. Se1ama ini kakak
membencimu agar kamu tetap kuat menghadapi hidup.
Kakak tau kamu orang kuat.... kakak tau kamu orang
yang tegar.., tapi kenapa ini semua terjadi! Bangun dik...
Bangun...! Kamu ingin kan semua kenangan yang kita buat
dahulu l Ayo bangun, dik!"
Semua terdiam, semua menangis...
Semua hening, semua sepi...
Yang tingga1 hanya sisa-sisa air mata...
Buat kepergianku...
Selamat tinggal semua...
Selamat tingga1 dunia....
U TAKAAN
PUSAT'SAHA A
q
Ie PENDIDIKAN NASlONAl
168
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 176 |
pymupdf
|
Lomba Penulisan Cerpen
Se-Bali 2007 dan 2008
B
UkUyang
dihadirkan ke
sidang pembaca ini
adalah salah satu saksi
gairah kehidupan
bersastra di kalangan
muda. Selama dua tahun
berturut-turut, 2007 dan
2008, peserta lomba menulis cerpen sangat
melimpah. Beberapa karya terbaiknya yang
diikutkan pada lomba tingkat nasional juga
selalu lllendapat penghargaan. Ini menunjuk
kan bahwa kualitas pe rta lomba itu pantas
dicatat dalam sejarah sastra di Bali.
I S(J\1 9~
I .
,I 1111 11
978979685Q504
899
T
|
Topeng%20Nengsih%20%282008%29
| 177 |
pymupdf
|
ISSN 2715-0488
E-ISSN 2715-047X
WIDYASASTRA
JURNAL ILMIAH KESASTRAAN Volume 3, No. 2, Desember 2020
Potret Kemiskinan dalam Cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati”,
dan “Wiwiah yang Berterbangan” Karya Olyrinson
Marlina
Memahami Ideologi Kultural Masyarakat Benuag
Melalui Cerita Perang dan Perbudakan
Aguari Mustikawati
Cerita Pendek “Mamie Petronille et Le Ballon” Karya Jane Cadwallader:
Kajian Struktur Karya Gerard Genette
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso
Analisis Struktur dan Nilai Sosial Cerita Ketoprak “Ronggolawe Gugur”
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin
Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa
di Yogyakarta Tahun 1991—2020
Yohanes Adhi Satiyoko
Perempuan Termarginalkan dalam Cerpen “Pengantin Hamil” dan
“Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” Karya Marhalim Zaini
Imelda, Yulita Fitriana
Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik pada Cerita Rakyat “Baridin”
Masyarakat Desa Gegesik
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih
Realisme Magis dalam Cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran”
Karya A.A. Navis
Fikha Nada Naililhag
ISSN 2715-0488
WIDYASASTRA | voa | Wo-2 'oesonbor 2020 |tim.e—ta0) SO ari |
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 1 |
ocr
|
WIDYASASTRA
JURNAL ILMIAH KESASTRAAN
3 (2),2020
Penanggung Jawab
Kepala Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Pemimpin Redaksi
Drs. Umar Sidik, S.P. , M.Pd
Anggota Redaksi
Dr. Ratun Untoro, M.Hum., Yohanes Adhi Satiyoko, S.S., M.A.
Wuroidatil Hamro, S.S.
Redaksi Pelaksana
Ahmad Zamzuri, S.Pd., M.A.
Sekretaris Redaksi
Mursid Saksono
Mitra Bestari
Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (Prosa dan Puisi/Universitas Gadjah Mada)
Dr. Mu'jizah (Filologi/Balitbang, Kementerian Agama, Jakarta)
Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. (Prosa dan Puisi/Balai Bahasa Provinsi DIY)
Dr. Yoseph Yappi Taum, M.Hum. (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
Penerbit
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Alamat Redaksi
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34, Yogyakarta 55224,
Telepon: (0274) 562070, Faksimile: (0274) 580667,
Laman: www.widyasastra.kemdikbud.go.id
Surel: [email protected]
ISSN 2715-0488
E-ISSN 2715-047X
Jurnal Widyasastra terbit pertama kali tahun 2018. Terbit dua kali setahun, pada Juni dan
Desember. Widyasastra memuat tulisan ilmiah hasil penelitian sastra. Redaksi menerima
artikel hasil penelitian sastra dari peneliti, dosen, dan mahasiswa pascasarjana.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 2 |
ocr
|
i
DAFTAR ISI
Widyasastra
3(2), 2020
POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”,
“GAJAH MATI”, DAN “WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA OLYRINSON
PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”
AND “WIWIAH BERTERBANGAN” SHORT STORIES BY OLYRINSON
59—70
Marlina
MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT BENUAQ
MELALUI CERITA PERANG DAN PERBUDAKAN
UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF DAYAK BENUAQ
THROUGH THE STORY OF WAR AND SLAVORATION
71—81
Aquari Mustikawati
CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE BALLON” KARYA
JANE CADWALLADER: KAJIAN STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE
A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE BALLON” BY JANE CADWALLADER:
A WORK STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE
82—90
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso
ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA KETOPRAK
“RONGGOLAWE GUGUR”
STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE STORY IN KETOPRAK
“RONGGOLAWE GUGUR”
91—101
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin
AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR SASTRA JAWA
DI YOGYAKARTA TAHUN 1991—2020
ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY COMMUNITIES
IN YOGYAKARTA BETWEEN 1991—2020
102—112
Yohanes Adhi Satiyoko
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 3 |
pymupdf
|
ii
PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CERPEN “PENGANTIN HAMIL” DAN
“PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA MARHALIM ZAINI
MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY “PENGANTIN HAMIL” AND
“PEREMPUAN YANG PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI
113—122
Imelda, Yulita Fitriana
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA RAKYAT “BARIDIN”
MASYARAKAT DESA GEGESIK
INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON “BARIDIN” FOLKLORE
123—135
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih
REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN”
KARYA A.A. NAVIS
MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI HARI LEBARAN”
SHORT STORY BY A.A. NAVIS
136—146
Fikha Nada Naililhaq
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 4 |
pymupdf
|
iii
Jurnal Widyasastra, Volume 3, Nomor 2, Desember 2020 ini memuat delapan artikel khusus
hasil penelitian kesastraan. Topik kedelapan artikel itu beragam. Pertama, artikel berjudul
“Potret Kemiskinan dalam Cerpen ‘Dari Jendela yang Terbuka’, ‘Gajah Mati’, dan ‘Wiwiah yang
Berterbangan’ Karya Olyrinson” ditulis oleh Marlina. Penelitian itu menggunakan pendekatan
sosiologi sastra dengan tujuan untuk menggambarkan keadaan/kondisi masyarakat yang
tergambar dalam karya sastra itu. Kedua, artikel yang berjudul “Memahami Ideologi Kultural
Masyarakat Benuaq Melalui Cerita Perang dan Perbudakan” ditulis oleh Aquari Mustikawati.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menafsirkan ideologi kultural komunitas
pada masa perang dan perlakuan mereka terhadap budak rampasan perang. Ketiga, artikel
berjudul “Cerita Pendek ‘Mamie Petronille Et Le Ballon’ Karya Jane Cadwallader: Kajian Struktur
Karya Gerard Genette” ditulis oleh Sunahrowi dan Pandu Galih Prakoso. Penelitian itu
mendeskripsikan struktur cerita yang terdiri atas tiga unsur, yaitu urutan teks isi cerita, urutan
peristiwa, dan urutan kelogisannya. Keempat, artikel dengan judul “Analisis Struktur Dan Nilai
Sosial Cerita Ketoprak Ronggolawe Gugur” ditulis oleh Anita Pipit Aziz dkk. Penelitian ini
mendeskripsikan nilai-nilai sosial yang terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Kelima,
artikel dengan judul “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun
1991—2020” ditulis oleh Yohanes Adhi Satiyoko. Penulis menggunakan teori sosiologi Talcot
Parson dan pendekatan sosiologi sastra untuk mendeskripsikan sanggar-sanggar sastra Jawa
dan pemertahanannya. Keenam, artikel berjudul “Perempuan yang Terpinggirkan dalam
Kumpulan Cerpen Amuk Tun Teja Karya Marhalim Zaini” ditulis oleh Imelda dan Yulita Fitriana.
Penulis mendeskripsikan keterpinggiran tokoh perempuan yang digambarkan dalam sebuah
kumpulan cerpen. Ketujuh, artikel berjudul “Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Pada Cerita
Rakyat “Baridin” Masyarakat Desa Gegesik” ditulis oleh Aisyah dkk. Tujuan penelitian ini ialah
untuk menguraikan dan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam cerita rakyat “Baridin”
masyarakat Desa Gegesik. Kedelapan, artikel berjudul “Realisme Magis dalam Cerpen “Tamu
yang Datang di Hari Lebaran” karya A.A. Navis” ditulis oleh Fikha Nada Naililhaq. Tujuan
penelitiannya ialah mendeskripsikan berbagai ungkapan yang bersifat realisme magis yang
terdapat dalam cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” karya AA Navis dan menjelaskan
makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Yogyakarta, Desember 2020
Pemimpin Redaksi
CATATAN REDAKSI
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 5 |
pymupdf
|
iv
Redaksi Widyasastra mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada mitra
bebestari yang telah me-review artikel-artikel yang diterbitkan dalam Widyasastra, 3 (2), 2020.
Mitra bestari itu adalah sebagai berikut.
•
Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
•
Dr. Mu’jizah (Balitbang, Kementerian Agama, Jakarta)
•
Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. (Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
•
Dr. Yoseph Yappi Taum, M.Hum. (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta)
UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 6 |
pymupdf
|
v
Widyasastra, 3(2), 2020
Widyasastra
Kata-kata kunci bersumber dari artikel. Abstrak ini boleh diperbanyak tanpa izin.
Marlina (Balai Bahasa Provinsi Riau)
POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN “DARI
JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”, DAN
“WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA
OLYRINSON
PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG
TERBUKA”, “GAJAH MATI” AND “WIWIAH
BERTERBANGAN”
SHORT
STORIES
BY
OLYRINSON
Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kehidupan masyarakat Melayu Riau yang tinggal
di sekitar ladang minyak dan lahan perkebunan yang
terdapat di dalam cerpen “Dari Jendela yang Ter-
buka”, “Gajah Mati” dan “Wiwiah Berterbangan”
karya Olyrinson. Untuk memperoleh gambaran
yang lengkap sesuai tujuan penelitian digunakan
metode deskriptif analitis dengan pendekatan
sosiologi sastra. Metode ini dilakukan dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian di-
susul dengan analisis. Sosiologi sastra adalah teori
yang mengkaji hubungan antara karya sastra dan
masyarakat. Data penelitian diambil dari buku
antologi cerpen Olyrinson yang berjudul “Saat yang
Tepat untuk Menangis”. Hasil analisis menunjukkan
bahwa cerpen-cerpen Olyrinson menggambarkan
realita kehidupan masyarakat Melayu di Riau,
terutama masyarakat pedalaman yang tinggal di
sekitar ladang minyak dan perkebunan sawit.
Gambaran yang diperoleh ialah bahwa masyarakat
Melayu (1) masih hidup terbelakang, (2) hidup di
bawah garis kemiskinan, (3) tergusur oleh per-
luasan lahan perusahaan minyak dan perkebunan
sawit, dan (4) mendapatkan ancaman dari hewan
liar yang habitatnya terganggu oleh perluasan lahan
tersebut.
This study aims to describe the life of Melayu Riau
people who live in the vicinity of oil fields and
plantation lands in cerpen “Dari Jendela yang
Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan”
short stories by Olyrinson. To obtain a complete
portrait according to research objectives, descriptive
analytical method with a sociological literature
approach was used. The method was conducted by
describing facts which was then followed by analysis.
Sociology of literature is theory that study about the
relationship between literary work and society. The
research data was taken from short stories
anthology by Olyrinson entitled “Dari Jendela yang
Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan”.
The result shows that the short stories by Olyrinson
portray reality of life of Melayu people in Riau,
particularly in remote area in the vicinity of oil fields
and palm plantation lands. The portrayal shows that
Melayu people are (1) living underdeveloped, (2)
living under poverty line, (3) displaced by
development oil companies and palm plantation, (4)
threatened by wild animals that felt disturbed by
the land expansion.
Aquari Mustikawati (Kantor Bahasa Provinsi
Kalimantan Timur)
MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT
BENUAQ MELALUI CERITA PERANG DAN PER-
BUDAKAN
UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF
DAYAK BENUAQ THROUGH THE STORY OF WAR
AND SLAVORATION
Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi
kultural dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Ideologi
kultural tersebut terutama berkaitan dengan perang
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 7 |
pymupdf
|
vi
dan perbudakan masyarakat Benuaq dalam cerita
rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si
Budak Runtuhkan Mantiq”. Masalah penelitian ini
adalah bagaimana konsep pemikiran masyarakat
Dayak Benuaq sebagai ideologi kultural mereka
yang berhubungan dengan perang dan perbudakan
dalam kedua cerita rakyat tersebut? Penelitian ini
menggunakan metode etnografi, yaitu mendeskrip-
sikan dan menafsirkan ideologi kultural suatu komu-
nitas pada masa perang dan perlakuan mereka ter-
hadap budak rampasan perang. Dengan mengguna-
kan teori antropologi budaya, penelitian ini meng-
analisis budaya perang dan budak dalam cerita
rakyat Dayak Benuaq. Hasil temuan menunjukkan
bahwa peperangan Dayak Benuaq masa lampau
dilakukan untuk memperebutkan wilayah adat dan
menunjukkan dominasi kekuasaan. Dari hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa seorang budak
dalam masyarakat Dayak Benuaq menurut cerita
“Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak
Runtuhkan Mantiq” statusnya dapat berubah men-
jadi manusia merdeka, bahkan menjadi pemimpin
suku dikarenakan jasanya dalam mengusir dan
membunuh musuh.
This research attempts to reveal the cultural ideology
in the Benuaq Dayak folklore. This cultural ideology
is mainly related to war and the enslavement of the
Benuaq people in the folk tales of “Putri Inuinang Jadi
Ratu” and “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. The
problem of this research is how is the way of thinking
of the Dayak Benuaq community as their cultural
ideology related to war and slavery in the two folk
tales? To solve the problems and to achieve goals,
ethnographic methods are used to describe and to
interpret cultural ideology of a community during war
time and their treatment toward slaves. By using
cultural anthropological theory, this study analyzes
the culture of war and slaves in the Dayak Benuaq
folklore. The result shows that the past Dayak Benuaq
wars were carried out to fight over customary
territories and to show domination of power. The
results of the research it can be concluded that a slave
in the Dayak Benuaq community according to the
story “Putri Inuinang Becomes Ratu” and “Bunyik Si
Slave Runtahkan Mantiq”, can turn into a free human,
even become a tribal leader because of her ability in
kicking out and killing enemies.
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso (Universitas
Negeri Semarang)
Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE
BALLON” KARYA JANE CADWALLADER: KAJIAN
STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE
A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE
BALLON” BY JANE CADWALLADER: A WORK
STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE
Analisis struktur karya Gérard Genette dalam cerita
pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” karya Jane
Cadwallader bertujuan untuk membedah peristiwa
secara runtut, jelas, dan untuk mempermudah
menemukan maknanya. Penelitian dalam cerita
pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” mengguna-
kan metode deskriptif. Hasil analisis struktur cerita
pada cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon”
dibagi dalam tiga urutan, yaitu urutan teksual, urut-
an kronologis, dan urutan logis. Dengan demikian,
cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” lebih
mudah untuk dipahami karena adanya urutan
peristiwa secara jelas dan detail.
The structural analysis of Gérard Genette’s work in
the short story “Mamie Pétronille et le Ballon” by
Jane Cadwallader aims to dissect events coherently,
clearly and to make easier in finding their meaning.
The research in the short story of “Mamie Pétronille
et le Ballon” used a descriptive method. The results
of the story structure in “Mamie Pétronille et le
Ballon” are divided into three sequences. They are
textual sequence, chronological order and logical
sequence. Therefore, “Mamie Pétronille et le Ballon”
short story is easier to be understood because of
the clear and detailed sequence of events.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 8 |
pymupdf
|
vii
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin,
Muhammad Noor Ahsin (Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muria Kudus).
ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA
KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR”
STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE
STORY IN KETOPRAK “RONGGOLAWE GUGUR”
Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan
unsur-unsur intrinsik dan nilai sosial yang terdapat
dalam cerita ketoprak “Ronggolawe Gugur”. Peneliti
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber
data penelitian, yaitu cerita ketoprak Ronggolawe
Gugur. Teknik pengumpulan data dilakukan meng-
gunakan observasi non partisipan, wawancara, dan
transkip penulisan naskah cerita ketoprak Ronggo-
lawe Gugur. Analisis data dilakukan dengan reduksi
data, penyajian data, dan menarik simpulan. Dalam
hasil penelitian ini, ditemukan struktur dan nilai
sosial dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur.
Pertama, struktur cerita ketoprak Ronggolawe
Gugur terdiri atas alur, penokohan, tempat kejadian,
tema, dan amanat. Kedua yaitu nilai-nilai sosial yang
terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur
terdiri atas pengabdian, tolong menolong, kepe-
dulian, kekeluargaan, empati, disiplin, dan toleransi.
This research aims to describe intrinsic elements and
social value contained in ketoprak story of “Ronggo-
lawe Gugur”. Researcher used descriptive qualitative
methods. Research data sources is the ketoprak story
entitled “Ronggolawe Gugur”. Data collection
technique used non participant observation
,interview and transcipts of ketoprak script of
“Ronggolawe Gugur”. Data analysis is conducted by
data reduction, data presentation, and drawing
conclusions. the result shows that this study found
structure and social value in ketoprak story of
“Ronggolawe Gugur”. Frist structure of ketoprak story
of “Ronggolawe Gugur” consists of plot, charac-
terization, setting, theme, and mandate. Secound
social values contained in ketoprak story of
“Ronggolawe Gugur” consists of devation, mutual
help, concern, kinship, empathy, disciplin, and
tolerance.
Yohanes Adhi Satiyoko (Balai Bahasa Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta)
AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR
SASTRA JAWA DI YOGYAKARTA TAHUN 1991—
2020
ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY
COMMUNITIES IN YOGYAKARTA BETWEEN
1991—2020
Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
Penelitian “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar
Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991—2020”
adalah penelitian akumulatif dari beberapa penelitian
terkait. Masalah dan tujuan penelitian dirumuskan
dalam menemukan aktor-aktor kreatif sastra Jawa
melalui pemetaan komunitas dan sanggar-sanggar
sastra Jawa di DIY. Berkutnya adalah menemukan dan
menjelaskan kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa
tersebut dan pengayom yang mendukung kehidupan
sanggar-sanggar tersebut. Pembahasan dilakukan
dengan memanfaatkan teori sosiologi Talcot Parson
dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tahun 1991 merupakan tahun
kunci kebangkitan sanggar sastra Jawa di DIY.
Sastrawan-sastrawan Jawa memulai dan mengem-
bangkan diri melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta
(SSJY) di bawah kepengayoman Balai Bahasa
Yogyakarta. Para sastrawan dari SSJY kemudian
berusaha mengembangkan sastra Jawa dengan
menjadi motor penggerak kelahiran sanggar-sanggar
sastra Jawa di berbagai wilayah di DIY. Perkembangan
ini menjadikan Lembaga-lembaga pengayom semakin
memberikan perhatian kepada kehidupan sastra Jawa.
Research on “Actors and Patron of Javanese Literary
Communities in Yogyakarta between 1991—2020”
is an accumulation of several related studies. Problem
formulation and objectives of the study were
formulated in finding creatives actors of Javanese
Literature through communities mapping and
Javanese literary workshops in Yogyakarta.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 9 |
pymupdf
|
viii
Furthermore, is finding and explaining the life of those
Javanese communities and patrons that support the
life of them. The discussion was performed using
sociological theory by Talcot Parson and sociology of
literature approach. The result shows that year
1991was the key year of awakening Javanese
communities through Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta (SSJY) under the fostering of Balai Bahasa
Yogyakarta. Actors of SSJY then struggle to develop
Javanese literature by becoming motor in building
Javanese literature communities (sanggar-sanggar
sastra Jawa) in DIY region. The development
strengthens the patrons to be more active in giving
attention to the life of Javanese literature.
Imelda, Yulita Fitriana (Balai Bahasa Provinsi Riau)
PEREMPUAN TERMARGINALKAN DALAM CER-
PEN “PENGANTIN HAMIL” DAN “PEREMPUAN
YANG PANDAI MENYIMPAN API” KARYA
MARHALIM ZAINI
MARGINALIZED WOMEN IN THE SHORT STORY
“PENGANTIN HAMIL” AND “PEREMPUAN YANG
PANDAI MENYIMPAN API” BY MARHALIM ZAINI
Widyasastra, 3(2), 2020, 113—122
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
Marhalim Zaini menggambarkan sosok perempuan
yang termaginalkan dalam cerpennya yang berjudul
“Pengantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai
Menyimpan Api”, dengan cara menganalisis sikap,
ucapan, dan tindakan yang dialami dan dilakukan
tokoh perempuan. Dalam kedua cerpennya,
Marhalim Zaini menggambarkan rakyat kecil,
umumnya adalah tokoh perempuan, yang selalu
mengalami kesengsaraan dan kesialan. Pengumpulan
data dilakukan melalui studi pustaka. Metode yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif yang
memaparkan tulisan berdasarkan isi karya sastra, yang
menggambarkan tokoh perempuan yang selalu
mengalami keterpurukan dan kesengsaraan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa cerpen “Pengantin
Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Menyimpan
Api” menggambarkan perempuan sebagai sosok
termarginalkan dan selalu mengalami penderitaan.
This research describes how Marhalim Zaini depicts
marginalized women his short story entitled “Pe-
ngantin Hamil” dan “Perempuan yang Pandai Me-
nyimpan Api” by analysing attitudes, speaking, and
actions experienced and performed by female
characters. In both short stories, Marhalim Zaini
describes lower class people, who are commonly
female characters who experienced misery and bad
luck. The data collection was done by library research.
The method used was a qualitative descriptive that
describes writings based on the content of the work
depicting a female character who experienced suffer
and misery. The results shows that “Pengantin Hamil”
and “Perempuan yang Pandai Menyimpan Api” shor
stories depict marginalized and suffered women.
Aisyah, Tato Nuryanto, Indrya Mulyaningsih
(Pendidikan Bahasa Indonesia, Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon)
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK PADA CERITA
RAKYAT “BARIDIN” MASYARAKAT DESA GEGESIK
INTRINSIC AND EXTRINSIC ELEMENTS ON
“BARIDIN” FOLKLORE
Widyasastra, 3(2), 2020, 123—135
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
unsur intrinsik dan ekstrinsik pada cerita rakyat
“Baridin” yang berasal dari masyarakat desa
Gegesik. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data
pada penelitian ini adalah transkrip dari informan
di Desa Gegesik Kecamatan Jagapura Kabupaten
Cirebon. Teknik yang digunakan pada penelitian
ini yaitu teknik wawancara dan observasi. Validasi
data pada penelitian ini dengan meningkatkan
ketekunan pengamatan dan melakukan triangulasi
sumber data. Analisis data dilakukan dengan model
Miles dan Huberman dengan empat tahap yakni
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjuk-
kan bahwa cerita rakyat “Baridin” mempunyai
unsur intrinsik sebagai berikut (1) tema :cinta ber-
ujung kematian; (2) alur: alur maju; (3) latar tem-
pat: di rumah Baridin, di rumah Ratminah, di jalan
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 10 |
pymupdf
|
ix
hendak kesawah, dan di sawah. Latar suasana:
senang dan sedih (patah hati). Latar waktu: pagi
hari, sore hari, dan petang hari. Latar keadaan sosial:
musim paceklik dan memiliki kepercayaan yang
tidak sejalan dengan syariat islam; (4) tokoh/peno-
kohan: Baridin dengan watak keras kepala, pasrah,
polos. Suratminah dengan watak sombong. Mbok
Wangsih dengan watak penurut. Gemblung dengan
watak pemarah dan pendendam. Bapak Dam dengan
watak sombong; (5) sudutpandang: orang ketiga
pelaku utama; (6) amanat : jangan sombong, saling
menolong dalam hal kebaikan. Unsur ekstrinsik pada
cerita rakyat “Baridin” yakni (1) nilai moral; (2) nilai
sosial; (3) nilai agama; (4) nilai budaya.
The research aims to describe intrinsic and extrinsic
elements in the folklore “Baridin” of the Gegesik village
community. The research method used is descriptive
qualitative method. The data source in this study is
the informant who knows the folklore “Baridin” in
the village of Gegesik, Jagapura District, Cirebon
Regency, The technique used in this study is to improve
the perseverance of observation and triangulation of
data sources. Data analysis was performed using the
Miles and Huberman model with four stages namely
data collection, data reduction, data presentation, and
drawing conclusions. The results showed that the
“Baridin” folklore contained intrinsic elements as
follows (1) theme: love leads to death; (2) plot:
forward plot; (3) setting place: at Baridin’shouse, at
Suratminah’s house, on the road going to rice fields,
in rice fields. Time setting: morning, evening. Social
situation setting: famine and having beliefs that are
not in life with islamic law; (4) character/
characterization: Baridin with a stubborn, resign, plain
character, Ratminah with arrogant chacarter, Mrs.
Wangsih with a submissive character, Gemblung with
angry and vengeful character, Mr. Dam with with
arrogant character; (5) Poin of view: thrid person
main actor; (6) mandate: don’t be arrogant and help
each other in good terms. Extrinsic elements in the
“Baridin” folklore are (1) moral values; (2) social
values; (3) religious values; (4) cultural values.
Fikha Nada Naililhaq (Program Studi Magister Ilmu
Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada)
REALISME MAGIS DALAM CERPEN “TAMU YANG
DATANG DI HARI LEBARAN” KARYA A.A. NAVIS
MAGICAL REALISM IN “TAMU YANG DATANG DI
HARI LEBARAN” SHORT STORY BY A.A. NAVIS
Widyasastra, 3(2), 2020, 136-146
Realisme magis dipahami sebagai unsur estetik yang
mengandung magis bercampur dengan realitas yang
ada. Kajian artikel ini berdasarkan sudut pandang
bahwa karya sastra tidak lepas dari kultur masyarakat
dan pengarang. Makna yang terkandung dalam karya
sastra ditentukan oleh nilai budaya, adat istiadat,
norma, serta ideologi pengarangnya. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengkaji makna realisme
magis dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari
Lebaran karya A.A. Navis. Metode dalam artikel ini
menggunakan metode deskriptif analisis untuk
mendeskripsikan, menganalisis, dan menemukan
fakta pada data yang ada. Sementara metode studi
pustaka digunakan untuk mengumpulkan data untuk
dianalisis. Dalam cerpen Tamu yang Datang di Hari
Lebaran karya A.A. Navis terdapat ciri-ciri realisme
magis, antara lain, unsur yang tidak dapat direduksi,
dunia fenomenal, penggabungan antara magis
dengan realitas, keraguan yang menggoyahkan
tokoh, serta rusaknya batas pemisah antara ruang,
waktu, dan identitas. Dalam cerpen tersebut
berlandaskan kebudayaan Islam tentang berkumpul
bersama keluarga pada saat hari lebaran, namun
karena zaman sudah berbeda muncul kebudayaan
baru yang meninggalkan kebudayaan lama.
Magical realism is known as an aesthetic element that
contains magic mixed with existing reality. The study
of this article is based on the point of view that literary
works cannot be separated from the culture of society
and the author. The meaning contained in literary
works is determined by the cultural values, customs,
norms, and ideology of the author. The purpose of
this research is to examine the meaning of magical
realism in the short stories of “Tamu yang Datang di
Hari Lebaran” by A.A. Navis. The method in this article
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 11 |
pymupdf
|
x
uses a descriptive analysis method to describe,
analyze, and find facts on existing data. Meanwhile,
the literature study method is used to collect data for
analysis. In the short story of “Tamu yang Datang di
Hari Lebaran” by A.A. Navis there were characteristics
of magical realism, among others, irreducible
elements, the phenomenal world, the amalgamation
of magic with reality, doubts that shake characters,
and breaking the boundaries between space, time and
identity. The short story was based on Islamic culture
about gathering with family during Eid, but because
the time goes different to a new culture that left the
old culture behind.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 12 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
59
Widyasastra, 2(3), 2019, 1-13
POTRET KEMISKINAN DALAM CERPEN
“DARI JENDELA YANG TERBUKA”, “GAJAH MATI”, DAN
“WIWIAH YANG BERTERBANGAN” KARYA OLYRINSON
PORTRAIT OF POVERTY IN “DARI JENDELA YANG TERBUKA”,
“GAJAH MATI” AND “WIWIAH BERTERBANGAN”
SHORT STORIES BY OLYRINSON
Marlina
Balai Bahasa Provinsi Riau
Jalan Binawidya, Kampus UNRI, Panam, Pekanbaru, Riau
Posel: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kehidupan masyarakat Melayu Riau yang
tinggal di sekitar ladang minyak dan lahan perkebunan yang terdapat di dalam cerpen “Dari
Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” dan “Wiwiah Berterbangan” karya Olyrinson. Untuk
memperoleh gambaran yang lengkap sesuai tujuan penelitian digunakan metode deskriptif
analitis dengan pendekatan sosiologi sastra. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Sosiologi sastra adalah teori yang mengkaji
hubungan antara karya sastra dan masyarakat. Data penelitian diambil dari buku antologi
cerpen Olyrinson yang berjudul “Saat yang Tepat untuk Menangis”. Hasil analisis menunjukkan
bahwa cerpen-cerpen Olyrinson menggambarkan realita kehidupan masyarakat Melayu di
Riau, terutama masyarakat pedalaman yang tinggal di sekitar ladang minyak dan perkebunan
sawit. Gambaran yang diperoleh ialah bahwa masyarakat Melayu (1) masih hidup terbelakang,
(2) hidup di bawah garis kemiskinan, (3) tergusur oleh perluasan lahan perusahaan minyak
dan perkebunan sawit, dan (4) mendapatkan ancaman dari hewan liar yang habitatnya
terganggu oleh perluasan lahan tersebut.
Kata kunci: masyarakat Melayu Riau, sosial-ekonomi, sosiologi sastra
Abstract
This study aims to describe the life of Melayu Riau people who live in the vicinity of oil fields and
plantation lands in cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah
Berterbangan” short stories by Olyrinson. To obtain a complete portrait according to research
objectives, descriptive analytical method with a sociological literature approach was used.
The method was conducted by describing facts which was then followed by analysis. Sociology
of literature is theory that study about the relationship between literary work and society. The
research data was taken from short stories anthology by Olyrinson entitled “Dari Jendela yang
Terbuka”, “Gajah Mati” and “Wiwiah Berterbangan”. The result shows that the short stories
by Olyrinson portray reality of life of Melayu people in Riau, particularly in remote area in the
vicinity of oil fields and palm plantation lands. The portrayal shows that Melayu people are (1)
living underdeveloped, (2) living under poverty line, (3) displaced by development oil companies
and palm plantation, (4) threatened by wild animals that felt disturbed by the land expansion.
Keywords: Melayu Riau people, social-economy, sociology of literature
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 13 |
pymupdf
|
60
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
1.
Pendahuluan
Pengalaman hidup seseorang merupakan
rekaman historis yang tertanam di hati dan
pikirannya. Biasanya pengalaman dipotret dari
peristiwa-peristiwa penting yang berkesan
dan tidak mudah dilupakan. Sastra memotret
fenomena sosial secara komprehensif. Sastra
merupakan rekaman pengalaman sosial yang
berharga. Pengalaman itu kental dengan su-
gesti sosial dalam karya sastra. Endaswara
(2013: 113) menyatakan bahwa sastra yang
ideal adalah bentuk khas yang harus memberi
tahu kebenaran tentang pengalaman sosial.
Karya sastra melalui medium bahasa
figuratif konotatif memiliki kemampuan yang
jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat. Karya
sastra bukan semata-mata fiksi. Sesuai dengan
hakikatnya, fiksi diperoleh melalui pemaham-
an total mengenai fakta. Fakta sosial diperoleh
melalui pengalaman langsung, dibatasi oleh
ruang dan waktu tertentu (Endaswara,
2013:125).
Begitu banyak karya sastra yang meng-
angkat masalah sosial yang ada di masyarakat.
Selain bertujuan untuk mengkritik kondisi
sosial yang ada di masyarakat, karya sastra
memberikan pesan agar masalah-masalah
sosial yang ada di masyarakat bisa menjadi
perhatian pihak-pihak yang berwenang dan
bertanggung jawab.
Olyrinson merupakan salah seorang pe-
nulis Riau yang karya-karyanya banyak meng-
angkat kisah-kisah nyata yang ada di sekeliling-
nya. Umumnya karya-karya yang ditulis oleh
sastrawan muda Riau ini adalah cerita tentang
masyarakat tidak mampu yang tinggal di se-
kitar kilang minyak di Riau atau di sekitar
perkebunan sawit. Kehidupan masyarakat
miskin yang tinggal di daerah yang kaya raya
karena hasil buminya.
Apa yang ada di sekitar penulis menjadi
inspirasi dalam menghasilkan karya. Oleh
karena itu, wajar jika karya-karya Olyrinson
pada umumnya menggambarkan realita yang
ada dalam masyarakat. Sebab, menurut penulis
yang telah memenangkan berbagai sayem-
bara penulisan ini, apa yang dilihatnya, dirasa-
kannya, dan yang membuatnya menangis,
ditulisnya ke dalam sebuah cerpen.
Riau merupakan daerah yang sangat kaya
dengan hasil minyak bumi dan juga sawit. Per-
usahaan pertamina terbesar dan perusahaan
pabrik kertas juga terdapat di Riau. Akan tetapi,
ternyata banyak masyarakatnya yang hidup
di bawah garis kemiskinan. Mirisnya lagi, ma-
syarakat miskin tersebut hidup dan bertempat
tinggal di sekitar ladang-ladang minyak, di
sekitar perkebunan sawit, dan di sekitar
pabrik-pabrik kertas.
Hal inilah yang digambarkan oleh Olyrin-
son dalam cerpen-cerpenya yang terdapat
dalam kumpulan cerpen “Saat yang Tepat
untuk Menangis.” Berita-berita dan tulisan-
tulisan di koran-koran terbitan Riau juga ba-
nyak mengangkat tentang kehidupan masya-
rakat miskin ini. Olyrinson mencoba meng-
angkat kehidupan nyata itu ke dalam cerpen-
cerpennya.
Sehubungan dengan itu, penulis tertarik
untuk menganalisis cerpen-cerpen karya
Olyrinson, terutama tentang realita sosial yang
terdapat di dalam cerpen yang berjudul Dari
Jendela yang Terbuka, Gajah Mati dan Wiwiah
Berterbangan. Realita apa saja yang terdapat
di dalam ketiga cerpen tersebut.
Penelitian tentang sosiologi dalam karya
sastra telah banyak dilakukan oleh para pene-
liti sebelumnya. Di antaranya penelitian yang
ditulis oleh Purnamasari, Aira (2017) yang
berjudul “Analisis Sosiologi Sastra dalam novel
Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Hasil
analisis dalam Novel Bekisar Merah memiliki
fakta sosial yang menggambarkan kehidupan
di dunia nyata, yakni tentang masalah sosial
pendidikan dan kemiskinan. Penelitian lainnya
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 14 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
61
dilakukan oleh Alaini (2015: 110-123) dengan
judul “Stratifikasi Sosial Masyarakat Sasak
dalam Novel Ketika Cinta Tidak Mau Pergi”
karya Nadhira Khalid. Dari hasil analisis pe-
neliti disimpulkan bahwa stratifikasi sosial
yang terdapat di dalam novel Ketika Cinta Tidak
Mau Pergi sama dengan stratifikasi sosial yang
ada di masyarakat Sasak.
Penelitian yang menganalisis gambaran
kehidupan masyarakat Melayu Riau di dalam
cerpen Dari Jendela yang Terbuka dan Gajah
Mati karya Olyrinson belum pernah dilakukan.
Untuk itu, penulis ingin menganalisis kedua
cerpen Olyrinson tersebut dari sudut pandang
sosiologi sastra. Gambaran kehidupan sosial
seperti apa yang terdapat di dalam cerpen-
cerpen Olyrinson tersebut.
Sastra dan sosiologi merupakan dua hal
yang saling berhubungan. Secara institusional,
objek sosiologi dan sastra adalah manusia dan
masyarakat. Ilmu sosiologi menggambarkan
kehidupan manusia secara ilmiah dan subjek-
tif. Sementara sastra menceritakan kehidupan
manusia dengan emosi dan subjektif. Meski
sastra juga memanfaatkan pikiran dan intelek-
tualitas, tetapi tetap didominasi oleh emosional
(Ratna, 2010: 3-4).
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa
karya sastra merupakan refleksi dari apa yang
terjadi di dalam masyarakat. Hal ini memiliki
arti jika karya sastra akan bersinggungan de-
ngan persoalan sosial masyarakat. Sastra me-
nampilkan gambaran kehidupan dan kehidup-
an sendiri tentu merupakan kenyataan sosial.
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut pen-
dekatan terhadap karya sastra mempertim-
bangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendekat-
an terhadap sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa
penulis disebut sosiologi sastra (Damono,
2002: 2).
Sementara Wellek (1989:109) mengata-
kan bahwa sastrawan dipengaruhi dan me-
mengaruhi masyarakat. Seni tidak hanya
meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.
Ada hubungan timbal balik antara karya sastra
dan masyarakat. Untuk itu, dalam penelitian ini
akan dilihat bagaimana karya sastra yang
dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat di
tempat karya tersebut lahir.
Tujuan sosiologi sastra adalah meningkat-
kan pemahaman terhadap karya sastra dalam
kaitannya dengan masyarakat. Hal ini men-
jelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan de-
ngan kenyataan (Alaini, 2015:113). Cerita yang
ditulis oleh seorang pengarang tidak akan
berlawanan dengan kenyataan yang ada dalam
kehidupan manusia. Meski tulisan sastra di-
ungkapkan dengan perasaan yang dipenga-
ruhi oleh emosional, tetapi sastra tetaplah ba-
gian dari masyarakat. Wajar jika tulisan sastra
menggambarkan kehidupan manusia yang
sebenarnya.
Endaswara (2013: 125) menyatakan bah-
wa karya sastra, melalui medium bahasa
figuratif konotatif, memiliki kemampuan yang
jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat. Karya
sastra bukan semata-mata fiksi. Sesuai dengan
hakikatnya, fiksi diperoleh melalui pemaham-
an total mengenai fakta.
Melalui pendekatan sosiologi sastra akan
diketahui sikap pengarang terhadap perma-
salahan yang terjadi dalam suatu kurun waktu
tertentu. Dengan sosiologi sastra menurut
Sumardjo dalam Retnasih (2014: 13), juga akan
terlihat reaksi-reaksi pengarang terhadap
suatu kondisi masyarakatnya. Oleh sebab itu,
dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
adalah suatu bidang ilmu yang mengemukakan
hubungan antara masyarakat dengan suatu
karya sastra. Dapat dikatakan bahwa karya
sastra dapat meningkatkan pemahaman pem-
baca terhadap situasi kemasyarakatan yang
melatarbelakangi lahirnya karya sastra ter-
sebut.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 15 |
pymupdf
|
62
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
Endaswara (2013: 78) berpendapat bah-
wa sosiologi sastra merupakan dua bidang
ilmu yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
Dalam kaitan ini sastra merupakan sebuah
refleksi lingkungan sosial budaya yang me-
rupakan suatu tes dialektika antara pengarang
dengan situasi sosial yang membentuknya,
yang kemudian dikembangkan menjadi
sebuah karya sastra. Hal ini menunjukkan
bahwa lahirnya suatu karya sastra berkaitan
dengan situasi yang ada dalam masyarakat.
Masih menurut Endaswara (2013: 80)
sosiologi sastra dapat diteliti melalui tiga per-
spektif, yaitu (a) . perspektif teks sastra, artinya
peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi
kehidupan masyarakat dan sebaliknya, (b)
perspektif biografis, yaitu peneliti meng-
analisis pengarang, dan (c) perspektif reseptif,
yaitu peneliti menganalisis penerimaan
masyarakat terhadap teks sastra.
Perspektif yang digunakan pada pene-
litian ini adalah perspektif teks sastra, yaitu
dengan cara menganalisis teks karya sastra,
mengklasifikasi, kemudian menjelaskan makna
aspek sosiologinya. Aspek yang dianalisis
adalah sosiologi sastranya, yakni sastra se-
bagai cerminan dari suatu masyarakat. Arti-
nya, karya sastra merupakan hasil karya
sastrawan yang hidup di masyarakat, me-
lukiskan peristiwa-peristiwa yang terjadi
dalam masyarakat. Melalui karya sastra dapat
dilihat keadaan dan kondisi masyarakat yang
tergambar dalam karya sastra itu.
Sosiologi memberikan banyak manfaat
bagi sastra. Dapat dikatakan bahwa tanpa
sosiologi pemahaman kita terhadap sastra
belum lengkap. Pendekatan sosiologi sastra
yang paling banyak dilakukan saat ini adalah
pada aspek dokumentasi sastra: landasannya
adalah gagasan bahwa sastra merupakan
cermin zamannya.
Pandangan itu beranggapan bahwa sastra
merupakan cermin langsung dari berbagai
segi struktur sosial, sosial ekonomi, hubungan
kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, tugas ahli sosiologi
sastra ialah menghubungkan pengalaman
tokoh-tokoh khayalan dan situasi yang
diciptakan pengarang dengan kondisi sejarah
yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya
yang terdapat di dalam karya sastra yang
bersifat pribadi, harus diubah menjadi hal-hal
yang bersifat sosial (Damono, 2002: 10).
2.
Metode
Tulisan ini menggunakan metode deskriptif
analitis, yaitu dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan
analisis. Melalui metode ini, mula-mula data
dideskripsikan dengan maksud untuk me-
nemukan unsur-unsurnya, kemudian di-
analisis (Ratna, 2012: 53). Dalam kajian ini
dilakukan penggambaran dan pelukisan
dengan kata-kata terhadap data, yakni apa saja
yang tersaji dalam cerpen Gajah Mati, Dari
Jendela yang Terbuka dan Wiwiah Berterbang-
an karya Olyrinson. Lalu, deskripsi itu dikaitkan
dengan fakta-fakta sosial yang ada, kemudian
disusul dengan analisis.
Untuk mengimplementasikan pendekatan
itu, tahap pengumpulan, pengolahan, dan
analisis data dilakukan secara bersamaan
(Hendrarso dalam Wahyuni, 2015: 5).
Langkah pertama yang dilakukan adalah
memahami kedua cerpen karya Olyrinson
tersebut atas dasar teks tertulisnya. Kemudian
memandang teks tertulis itu sebagai peng-
ungkapan pengalaman, perasaan, imajinasi,
persepsi, sikap, dan sebagainya dari peng-
arang. Setelah itu menghubungkannya dengan
realitas yang terjadi di masyarakat Melayu
Riau yang tinggal di sekitar ladang minyak
maupun perkebunan sawit.
Sementara teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori sosiologi sastra,
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 16 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
63
yakni teori yang mengkaji hubungan antara
karya sastra dan masyarakat.
3.
Pembahasan
3.1 Cerpen “Dari Jendela yang Terbuka”
Cerpen berjudul “Dari Jendela yang Terbuka”
menceritakan tentang kemiskinan yang
diderita oleh masyarakat di sekitar ladang
minyak di Riau. Sebagian dari mereka
terpaksa menjadi pemulung dan mengambil
besi-besi yang ada di lokasi ladang minyak.
Gadis kecil itu mengalihkan pandangan-
nya sebentar pada dipan reyot di be-
lakangnya. Di situ terbaring adik kecil-
nya yang bersuara serak karena se-
panjang hari menangis. Dia tidur dengan
tenang sekarang, tidak menangis lagi.
Di sampingnya gelas bekas air sumur
yang dia ambil untuk minum adiknya
masih setengahnya terisi, teronggok
seperti segelas susu encer karena air
sumur yang kering bercampur tanah
liat (Olyrinson, 2018:2).
Kutipan cerpen di atas memperlihatkan
betapa parahnya kemiskinan yang diderita
oleh salah satu keluarga yang tinggal di dekat
ladang minyak tersebut.
Anak kecil tersebut harus menjaga adik
bayinya karena ibunya telah ditangkap polisi.
Sang ibu ketahuan mencuri besi tua di dalam
kompleks ladang minyak milik perusahaan.
Karena adiknya terus menangis sebab merasa
lapar, si kakak pun memberikan air sumur
kepada adiknya sebagai pengganti susu. Air
sumur di sekitar ladang minyak memang ber-
warna keruh karena airnya bercampur
dengan tanah liat yang berwarna coklat muda.
Rasa perih di perutnya semakin meng-
hujam. Dia belum makan apa-apa se-
dari tadi pagi, bahkan kalau dihitung-
hitung dari kemarin malam dia belum
bertemu dengan nasi. Sejak abah me-
ninggal tertimpa kayu balak tempo hari,
hidup mereka jadi tidak menentu. Sering
tidak ada nasi di rumah, sebab se-
karang emaklah yang bekerja mencari
uang (Olyrinson, 2018: 2).
Dari kutipan cerpen di atas bisa dilihat
jika kedua kakak adik tersebut menderita
kelaparan. Mereka berdua sering tidak makan
karena tidak ada persediaan makanan di
rumah. Ibu keduanya pergi setiap hari untuk
mencari nafkah. Mereka hanya menanggung
kesusahan seorang diri. Tanpa ada perhatian
dan bantuan dari pihak pemerintah setempat
ataupun perusahaan minyak yang letaknya
sangat dekat dengan rumah mereka. Padahal
mereka hidup di atas tanah yang menyimpan
kekayaan alam yang sangat luar biasa nilainya.
Akhir-akhir ini emak bilang selalu ada
penjagaan di setiap pos. Perusahaan
minyak itu mulai pelit. Mereka tidak
membiarkan apa pun yang tersisa di
area mereka untuk diambil. Bahkan
mereka menangkap siapa pun yang
kedapatan mencari besi tua di ladang
minyak mereka. Padahal menurut
emak lagi, kalau tidak diambil pun besi-
besi tua itu akan dibuang di yard
sampai berkarat dan habis dimakan
tanah (Olyrinson, 2018: 2-3).
Sementara perusahaan minyak, tempat
para pemulung mengumpulkan besi semakin
memperketat penjagaan mereka. Pemulung
tidak diperbolehkan lagi masuk ke dalam area
perusahaan. Jika ada yang ketahuan masih
masuk ke dakam dan mencuri besi-besi tu,
orang tersebut akan ditangkap dan diserahkan
kepada pihak berwajib. Padahal besi-besi tua
tersebut tidak akan pernah digunakan lagi oleh
perusahaan. Besi tua tersebut akan menjadi
barang rongsokan yang akhirnya terbuang
begitu saja.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 17 |
pymupdf
|
64
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
Ibu kakak beradik itu tidak memiliki
pekerjaan apa-apa selain mengumpulkan
besi-besi tua di ladang minyak. Akan tetapi,
pengawasan di ladang minyak semakin
diperketat. Besi-besi tua yang tidak terpakai
pun tidak boleh lagi diambil masyarakat.
Mereka menangkap orang-orang yang meng-
ambil besi tua di ladang minyak tersbut. Akhir-
nya si ibu kedua kakak adik itu pun tertangkap.
Ia dibawa oleh beberapa orang anggota polisi
untuk mempertanggungjawabkan perbuat-
annya. Tinggallah anaknya yang masih kecil
berdua di rumah.
Kemarin emak pergi juga ke ladang
minyak, meski penjagaan sedang ketat-
ketatnya dilakukan. Akibatnya banyak
dari teman-teman emak yang ditangkap
dan dijebloskan ke rumah tahanan
polisi. Emak berhasil lolos dengan se-
kujur tubuh penuh luka akibat tertusuk
duri. Emak lari ke semak-semak sambil
memanggul setengah karung besi tua
hasil jarahannya (Olyrinson, 2018: 3).
Kemiskinan dan kelaparan membuat
orang lupa diri. Ia bisa melakukan pencurian
dan hal-hal tidak terpuji lainnya, seperti yang
dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di
sekitar ladang minyak tersebut. Mereka tidak
memiliki makanan. Mencuri adalah jalan untuk
memperoleh makanan. Namun, mereka harus
berurusan dengan polisi. Bagaimana pun juga
perbuatan mencuri tetaplah salah dan me-
lawan hukum.
Harusnya hari ini besi tua itu akan di-
jual. Dan sebagai gantinya akan ada
sedikit beras di rumah, ikan asin, dan
biscuit untuk adik kecil. Tapi semua itu
sudah dibawa om dan tante polisi,
akibatnya dia dan adik kecilnya tidak
bertemu nasi sampai senja ini
(Olyrinson, 2018: 3).
Kutipan di atas terlihat bahwa kehidupan
ibu dengan dua orang anak tersebut sangat
susah. Mereka benar-benar tidak memiliki
beras untuk dimasak. Si ibu berharap bisa
menjual besi yang diperolehnya dan ia men-
dapatkan uang untuk membeli beras, ikan asin
serta biscuit untuk anak bayinya. Namun,
takdir berkata lain. Si ibu ditangkap oleh polisi
sebelum sempat menjual hasil curiannya.
Anak-anaknya harus ikut menjadi korban.
Tidak ada yang peduli dengan kondisi mereka.
Tidak pemerintah setempat, tidak juga para
tetangga karena para tetangga pun juga orang-
orang yang hidupnya susah.
Gadis kecil itu terus menatap ke jalan.
Menunggu emak datang dari tikungan
sambil membawa sebungkus pisang
goreng atau gado-gado. Ia akan me-
nyambut emak dan mengatakan bahwa
dia sudah menjadi anak baik dengan
menjaga adik kecil sampai emak
kembali (Olyrinson, 2018: 3).
Sementara si anak terus saja mengharap
kepulangan ibunya. Berharap ibunya pulang
membawa makanan. Akan tetapi, sampai hari
sudah gelap, si ibu tidak juga pulang. Sebab,
ibunya telah ditahan di kantor polisi. Gadis
kecil itu terus saja membayangkan ibunya
pulang membawakan sebungkus pisang
goreng atau gado-gado. Sementara adik bayi-
nya tidak lagi bergerak atau menangis. Adik
bayinya telah pergi dengan rasa lapar dan
dahaga.
3.2 Cerpen “Gajah Mati”
Cerpen ini bercerita tentang seorang anak laki-
laki belasan tahun yang sedang mencari
pertolongan untuk bapaknya yang sedang
sakit. Ia pergi ke puskesmas, tetapi tidak ada
dokter atau bidan yang bisa membantunya.
Lalu ia pergi ke balai desa, hasilnya sama. Tidak
ada kepala desa atau aparat desa yang bisa
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 18 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
65
membantunya. Semua orang sibuk mengurus
kematian seekor gajah.
Sejak para pengusaha membuka lahan
sawit dengan membakar hutan, kawanan
gajah kehilangan tempat tinggal yang akhirnya
masuk ke daerah pemukiman penduduk.
Gajah-gajah yang semakin terdesak itu me-
rusak kebun dan dan ladang para penduduk.
Penduduk yang resah dan merasa dirugikan,
akhirnya meracun gajah-gajah tersebut satu
demi satu.
Setiap gajah mati, para pejabat daerah,
pemerintah setempat selalu sibuk mengurus
bangkai gajah tersebut. Tidak ada satu pun
yang peduli dengan si anak remaja yang me-
minta pertolongan untuk membawa ayahnya
yang sekarat ke rumah sakit.
Permasalahan yang dihadapi oleh pen-
duduk di sekitar lokasi-lokasi perluasan kebun
sawit hampir sama. Mereka rata-rata hidup di
bawah garis kemiskinan. Tingkat pendidikan
mereka rendah sehingga menyebabkan
masyarakat yang hidup di daerah-daerah
pinggiran Riau sulit untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak. Mereka umumnya
hanya hidup dari hasil ladang. Sejak maraknya
penanaman lahan sawit, kehidupan masya-
rakat semakin sulit. Mereka harus berbagi
tempat dan kehidupan dengan hewan-hewan
di sekitar mereka, seperti gajah. Hal ini dapat
kita lihat pada kutipan di bawah ini.
“Sesungguhnya kami tidak membenci
gajah. Dari zaman nenek moyang kami,
kami bersahabat dengan gajah. Kami
tidak pernah saling ganggu. Yang kami
benci adalah pengusaha pemilik lahan.
Mereka yang merusak habitat hewan-
hewan jinak itu. Tempat tinggal gajah-
gajah itu dibakar, hutannya mereka
tebang, sehingga mereka tidak punya
tempat tinggal
lagi.”(Olyrinson,
2018:10)
Pada awalnya masyarakat setempat
bersahabat dengan alam. Mereka tidak pernah
bermusuhan dengan hewan seperti gajah.
Akan tetapi, sejak tanah-tanah Melayu disulap
menjadi kebun sawit, apalagi cara mereka
membuka lahan tersebut dengan membakar
hutan, kehidupan komunitas hewan termasuk
gajah menjadi terganggu. Gajah yang biasanya
merupakan teman dan sahabat para pen-
duduk, sekarang malah menjadi musuh yang
saling membenci. Kutipan berikut ini mem-
perlihatkan kondisi tersebut.
“Sekarang gajah-gajah itu terdesak,
mereka mencari makan di ladang-
ladang kami. Mereka tidak bisa masuk
ke kebun-kebun sawit milik pengusaha
itu, karena di sekeliling kebun mereka
dilindungi pagar kawat beraliran listrik.
Mereka punya uang, jadi selalu punya
cara untuk mengusir hewan-hewan itu.
Korbannya tentu saja kami, yang tidak
berdaya mengusir hewan marah yang
kehilangan tempat tinggalnya. Mereka
memakan hasil kebun kami untuk ber-
tahan hidup, kami membunuh mereka
untuk mempertahankan hidup.”
(Olyrinson, 2018:10-11).
“… Hari ini, satu gajah yang mati kena
racun menjadi masalah besar. Padahal
ketika pengusaha kebun itu membuka
hutan untuk kebun sawit, mereka
membunuh banyak gajah tanpa ada
satu pihak pun yang peduli.
Ketika hewan langka itu tinggal sedikit,
tiba-tiba semua orang jadi pahlawan.
Semua peduli. Nyawa gajah sekarang
begitu berarti, bahkan lebih berarti
daripada nyawa seorang manusia.
Nyawa ayahku yang hampir mati.”
(Olyrinson, 2018:11).
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 19 |
pymupdf
|
66
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
Untuk membuka sebuah lahan, biasanya
memang banyak hal yang dikorbankan. se-
perti hutan harus dibakar dan dibumihangus-
kan, hewan-hewan kehilangan tempat tinggal,
dan masyarakat di sekitar lahan kehilangan
mata pencaharian. Di dalam cerpen “Gajah
Mati” tersebut, pengusaha melakukan semua
itu tanpa mendapatkan sanksi dari pemerintah
setempat. Tidak ada pihak yang peduli dengan
pembukaan lahan dan dampak dari pembuka-
an lahan. Hal ini terbukti dari semakin luasnya
lahan hutan yang telah berubah menjadi lahan
sawit.
Betapa banyak hewan yang mati dan
kehilangan tempat tinggal karena pembakar-
an hutan. Begitu juga dengan gajah yang ko-
munitasnya banyak ditemukan di daerah
Mandau, Bengkalis. Ketika hal itu terjadi, tidak
ada satu pun pihak yang peduli. Akan tetapi,
sekarang, ketika hewan tersebut telah men-
jadi hewan langka dan menjadi hewan yang
dilindungi, barulah banyak pihak sibuk me-
ngurus hewan tersebut. Semua orang akan
turun ke lokasi jika terjadi sesuatu pada gajah.
Nyawa seekor gajah sepertinya lebih ber-
harga dari nyawa seorang manusia.
“Dalam air mata yang berbaur dengan
hujan, satu pikiran melintas di benakku.
Mungkin kalau kami penduduk asli
sudah punah dan menjadi manusia
langka seperti gajah, barangkali baru
kami diperhatikan, dan diperhitungkan
sebagai manusia.” (Olyrinson, 2018:11)
“… Aku butuh mobil untuk membawa
ayahku, tetapi tidak ada satupun mobil
di desa ini yang bersedia membawa-
nya. Aku benci kepada semuanya.
Orang-orang pengusaha hutan itu,
dokter puskesmas, lurah, juga peme-
rintah daerah yang tidak pernah mem-
perhatikan nasib kami. Kami tetap
miskin di tengah orang yang semakin
kaya menguras hasil hutan dan me-
rampas tanah kami. Kami terbelakang.
Bahkan mobil angkutan pun hanya
sekali seminggu singgah di desa kami.
Kami tidak lebih dari sekawanan gajah
saja.” (Olyrinson, 2018:12)
Dari kutipan di atas terlihat jika sarana
transportasi pun tidak ada di kampung ter-
sebut. Masyarakat kampung di pinggiran
kebun sawit hidup terbelakang, tidak tersentuh
oleh pembangunan. Jalan-jalan di kampung
masih berlumpur karena belum diaspal.
Ketimpangan kondisi masyarakat akibat
perusahaan minyak di daera-daerah di Riau
sangat nyata terlihat. Masyarakat yang tinggal
di sekitar lahan perkebunan atau di sekitar
kilang minyak tetap tidak tersentuh oleh
kemajuan, baik dari segi materi, pendidikan
maupun pembangunan jalan dan fasilitas
umum lainnya.
Dunia berputar. Aku pusing. Aku
melihat wajah orang yang sibuk ini
berganti-ganti. Semua prihatin, semua
cemas, semua kecewa, hanya karena
kematian seekor gajah. Kemudian wa-
jah ayahku melintas. Wajah yang se-
karat dan tengah meregang nyawa.
Lalu wajah ibuku yang sedang me-
nyusui adikku yang paling kecil, wajah
adik-adikku yang kecil dan tirus karena
kurang makan (Olyrinson, 2018:14).
…. Aku ingat ayah, ibu dan adik-adikku.
Apakah ayah sudah dibawa ke rumah
sakit? Atau sekarang sudah terbang
menembus langit? Juga ibu dan adik-
adikku, apakah mereka sudah makan
atau menjadi sekumpulan burung yang
kelaparan? (Olyrinson, 2018:15)
Dari kutipan di atas dapat dilihat jika
masyarakat yang tinggal di sekitar perke-
bunan sawit hidup dalam kemiskinan. Bagi
mereka makan sekali sehari atau bahkan tidak
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 20 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
67
makan sama sekali sudah menjadi hal yang
biasa. Jadi, masalah yang dihadapi masyarakat
tidak hanya perang melawan gajah yang
merusak kebun dan tanaman mereka, tetapi
juga masalah kebutuhan pokok yang tidak
pernah bisa mereka tercukupi untuk ke-
butuhan sehari-hari.
3.3 Cerpen “Wiwiah Berterbangan”
Sulitnya kehidupan menyebabkan masyarakat
di sekitar kilang minyak melakukan apa saja
untuk menghidupi dirinya dan keluarganya.
Seperti yang terjadi di dalam cerpen “Wiwiah
Berterbangan”, tokoh Nur dan Korie yang
umurnya sudah tidak muda lagi melakukan
pekerjaan sebagai perempuan panggilan demi
mendapatkan uang.
Siang tadi Dina menemui Nur tua. Me-
minjam dua tekong beras untuk makan.
Emak sakit. Abah tak tahu lagi rimbanya
sejak berangkat menjadi TKI gelap.
Tidak ada lagi yang hendak mereka
makan, jadi dia harus bertindak
(Olyrinson, 2018: 107).
Kutipan di atas memperlihatkan bagai-
mana sulitnya kehidupan masyarakat di
sekitar kilang minyak. Mereka tidak punya
beras dan uang untuk makan. Ketika Dina me-
minjam beras kepada Nur, tetangganya yang
sudah berumur cukup tua, Nur malah meng-
ajak Dina untuk ikut bekerja dengannya di
waktu malam. Dina yang memang ingin mem-
bantu ibunya mencari uang menerima ajakan
Nur.
“Di rumahku selalu ada beras,” kata Nur
Tua. “Pokoknya kalau aku ke jalan
malam hari, pasti beras akan selalu
tersedia. Supir truk itu murah hati. Asal
kau mau mengikuti kehendak mereka,
kau akan diberi banyak uang.”
(Olyrinson, 2018: 107-108).
Nur Tua masih mencoba membujuk Dina
agar mau ikut dengannya setiap malam untuk
menjadi wanita penghibur supir truk. Dengan
iming-iming beras dan uang Nur Tua merayu
Dina dengan penuh semangat. Hati Dina mulai
goyah. Malam harinya, Dina pun ikut dengan
Nur Tua menunggu truk di dekat pipa minyak.
Dina yang masih berumur belasan tahun itu
didandani oleh Nur Tua layaknya wanita
dewasa. Namun, Korie, teman Nur Tua men-
coba menghalangi niat Nur Tua tersebut. Korie
mencoba menyadarkan Nur Tua dan me-
nyadarkan Dina.
“Diam, kau! Ini kemauannya. Bukan
aku yang paksa. Tanya dia sendiri. Dia
butuh beras untuk membayar hutang
berasnya kepadaku dan untuk makan
mereka besok. Apa kau bisa kasih?”
(Olyrinson, 2018: 109).
Nur Tua tidak mau menerima nasihat dari
Korie. Perempuan itu tetap teguh pada pen-
deriannya. Dina dan keluarganya butuh makan.
Untuk itu, Dina harus kerja. Meski kerja seperti
mereka. Sebab, orang seperti mereka tidak
punya pilihan apa-apa. Nur Tua memberikan
alasan yang kuat mengapa Dina harus ikut
bekerja seperti mereka. Namun, ucapan Korie
menyentuh dasar hati Dina. Gadis belia itu
mencerna semua yang diucapkan oleh Korie.
Nur Tua tidak menjawab. Dina merasa
matanya tiba-tiba panas. Kalimat itu
ditujukan buat dirinya, bukan untuk
Nur Tua. Apa yang terjadi jika emak
tahu dia mendapat beras dengan men-
jadi penghibur supir truk? Apa hati
emaknya akan hancur? Apa emaknya
memilih mati seperti Korie? Kalau
emaknya mati siapa yang akan meng-
urus adik-adiknya? Tapi bagaimanapun
mereka butuh makan. Kalau dia tidak
bekerja, dan mereka tidak mempunyai
beras, emak akan mati juga pada akhir-
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 21 |
pymupdf
|
68
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
nya. Juga adik-adiknya, bahkan dirinya
sendiri (Olyrinson, 2018: 110).
Dina mengalami pergolakan batin, seperti
yang terlihat pada kutipan di atas. Gadis belia
itu bisa membayangkan perasaan emaknya
jika emaknya tahu apa yang dilakukannya.
Akan tetapi, di sisi lain, Dina juga sadar jika
emak dan adik-adiknya serta dirinya butuh
makan. Gadis belia itu benar-benar merasa
bingung. Ia merasa tidak punya pilihan lain.
Namun, hati nuraninya menolak apa yang akan
dilakukannya dengan Nur Tua.
Korie menyerahkan Wiwiah yang
sudah dipanggang itu kepada Dina dan
menggigit yang seekor lagi di mulutnya.
“Makanlah! Kau tidak perlu menjadi
pelacur untuk bisa makan bukan?” Dina
menggigit wiwiah panggang itu dengan
ragu. Rasanya enak seperti udang
goreng. Perutnya yang lapar menerima
wiwiah itu dan memintanya lagi
(Olyrinson, 2018: 111).
Sembari menunggu truk yang akan
datang, Korie mengajak Dina untuk mencari
wiwiah. Korie membakar beberapa ranting
pohon yang dikumpulkan Dina. Wiwiah
berdatangan mendekati cahaya api. Korie
menangkapnya dan membakarnya di atas api.
Setelah itu, Korie memberikannya kepada
Dina. Dina memakannya bersama-sama
dengan Korie. Ternyata rasanya enak seperti
udang goreng. Dina menyukainya. Tidak ada
rasa jijik pada diri Dina ketika memakan
wiwiah panggang itu. Nur Tua merasa mual
melihat Dina dan Korie memakan wiwiah
panggang itu.
“Hujan bertambah lebat. Dina memper-
cepat larinya sambil menggenggam
saku roknya yang kebesaran. Dalam
sakunya, puluhan wiwiah berbunyi,
berdesak-desakkan untuk keluar. Dina
memegangnya demikian rupa, agar
mereka tidak terbang, agar ada per-
sediaan makanan di rumah untuk emak
dan adiknya (Olyrinson, 2018:115)”
Akhirnya Dina tidak mengikuti ajakan Nur
Tua untuk menjadi wanita penghibur supir
truk. Dina pulang dengan membawa banyak
wiwiah di kantong roknya. Wiwiah itu nanti
akan dibakarnya dan diberikannya kepada
emak dan adik-adiknya. Ketika perut kosong,
uang dan makanan tidak ada, maka apa pun
akan menjadi enak dimakan untuk sebagian
orang.
3.4 Realitas Kehidupan Masyarakat Melayu
di Sekitar Ladang Minyak dan Per-
kebunan Sawit
Sakai tidak lagi punya hutan belantara. Padahal,
dulu mereka bergantung hidup dengan alam.
Hutan sudah musnah digantikan oleh
perkebunan sawit. Hal ini diungkapkan oleh
Robin Rawana, 43 tahun, RT 02, Kecamatan
Mandau (Selasa, 19/01/2016). Sakai tidak
hanya diapit perusahaan minyak berkelas
internasional, tetapi mereka juga dikepung
oleh perusahaan sawit dan hutan industri yang
tidak pernah menyentuh ekonomi masya-
rakat Sakai. Sakai tetap hidup dalam keter-
purukan
dan
kemiskinan
(http://
news.detik.com/berita/d-3121521/lebih-dekat-
dengan-suku-sakai-yang-terpinggirkan)
Karena memiliki cadangan migas terbesar
di Asia Tenggara, sepatutnya masyarakat yang
bertempat tinggal di Riau bisa hidup sejahtera.
Namun, faktanya angka kemiskinan di Riau
masih tetap tinggi, yakni 7,21 persen. Ini
artinya 494.260 orang penduduk Riau berada
di bawah garis kemiskinan. Hal ini disampai-
kan oleh Gubernur Riau, Syamsuar, pada
Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah
daerah (RKPD) Provinsi Riau tahun 2020 di
Hotel Premiere Pekanbaru, Kamis, 28/3/
2019 (http://cakaplah.com).
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 22 |
pymupdf
|
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
©2020, Widyasastra
69
PT. Chevron Pacifik Indonesia (CPI)
menginformasikan bahwa pada hari Rabu, 7
Agustus 2019, sekitar pukul 06.00 wib, seekor
harimau terlihat di Gathering Station (GS) 5
Minas. Untuk keselamatan karyawan, saat ini
seluruh aktivitas di luar ruangan di GS 5
ditunda dan apabila harus meninggalkan GS
wajib menggunakan kendaraan, kata Manager
Corporate Communication PT CPI Sonita
Poernomo, Rabu, 7/8/2019 (http://
news.detik.com/berita/d-4655739/harimau-
muncul-di-ladang-minyak).
Atas minyak bawah minyak, itulah sebut-
an untuk Riau dulu dan kini. Namun, apa boleh
buat, perusahaan asing telah lama men-
cengkram Bumi Melayu ini. Prof. Mubyarto,
Direktur Pusat Penelitian Pembangunan
Pedesaan dan Kawasan (P3PK-UGM), ber-
dasarkan hasil penelitiannya di Sumatera,
kaya minyak bumi dan gas alam belum tentu
membuat rakyatnya makmur. Buktinya Riau,
Aceh, Sumatera Selatan. Penghasilan per kapita
desa-desa di tiga provinsi itu jauh di bawah
desa-desa di Yogyakarta dan Sumatera Barat.
Provinsi Riau dengan kekayaan minyak bumi
itu memang mampu memacu pertumbuhan
ekonomi melalui kilang minyaknya, tetapi
berkahnya tidak sampai kepada masyarakat
pedesaan (http://kompasiana.com/chevron:
neo-kolonialis).
Olyrinson (2018: x) menyatakan bahwa
kumpulan cerpen “Saat yang Tepat untuk
Menangis” ini merupakan cerita yang berangkat
dari realita. Apa yang dilihat dan dirasakan
oleh Olyrinson ditulisnya menjadi cerpen yang
terdapat di dalam kumpulan cerpen ini. Ia ingin
memaparkan realita yang dilihat dan dirasa-
kannya.
4.
Penutup
Karya sastra sebagai cerminan masyarakat,
ditulis oleh pengarang dengan tujuan meng-
angkat kisah yang ada di tengah-tengah
masyarakat. Dengan tulisannya, pengarang
ingin pembaca melihat apa yang sebenarnya
ada di sekeliling kita. Selain untuk mengetuk
hati para pembaca, kisah yang diangkat oleh
seorang pengarang bisa juga untuk mem-
berikan kritik kepada pemerintah setempat.
Agar aparat pemerintah yang tidak sempat
turun ke daerah mengetahui seperti apa
sebenarnya kehidupan masyarakat di daerah-
daerah.
Ketiga cerpen Olyrinson yang berjudul
Dari Jendela yang Terbuka,Gajah Mati dan
Wiwiah Berterbangan menggambarkan realita
yang ada pada kehidupan nyata masyarakat
Melayu Riau di sekitar kilang minyak dan
perkebunan sawit yang ada di Riau. Betapa
masyarakat yang berada di atas tanah yang
mengandung minyak, di bawah dan di atasnya,
tetapi hidup miskin dan sangat prihatin.
Ketiga cerpen tersebut menceritakan
dengan gamblang kondisi masyarakat yang
hidup di bawah garis kemiskinan. Kisah-kisah
yang terdapat di dalam kumpulan cerpen
Olyrinson itu menyadarkan kita sebagai
pembaca, betapa masih banyak orang-orang
yang hidupnya jauh dari kata layak. Bahkan,
untuk makan sehari-hari pun mereka tidak
punya.
Oleh sebab itu, kedua cerpen yang ter-
dapat di dalam antologi “Saat yang Tepat Untuk
Menangis” ini bisa dijadikan sebagai sarana
dan media untuk menyampaikan kritik dan
saran kepada pemerintah setempat. Harapan-
nya ialah agar pemerintah daerah lebih mem-
perhatikan kehidupan masyarakatnya. Masih
banyak masyarakat miskin yang tidak me-
miliki pekerjaan dan tidak memiliki peng-
hasilan.
Tugas pemerintah daerahlah untuk mem-
berikan perlindungan dan pengayoman ke-
pada masyarakat setempat. Pemerintah
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 23 |
pymupdf
|
70
©2020, Widyasastra
Marlina/Widyasastra, 3(2), 2020, 59—70
daerah harus bisa memberikan solusi dan
memberikan lapangan pekerjaan kepada
masyarakat agar masyarakat miskin tersebut
dapat hidup dengan layak. Kumpulan cerpen
“Saat yang Tepat untuk Menangis” ini sebaik-
nya dibaca oleh pemerintah daerah dan dijadi-
kan acuan untuk turun ke lapangan guna men-
jumpai masyarakat-masyarakat yang hidup di
bawah garis kemiskinan.
Daftar Pustaka
Alaini, N. N. (2015). Stratifikasi Sosial
Masyarakat Sasak dalam Novel Ketika
Cinta Tidak Mau Pergi Karya Nadhira
Khalid. Kandai, 11, 110–123.
Damono, S. D. (2002). Pedoman Penelitian
Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional.
Endaswara, S. (2013). Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Olyrinson. (2018). Saat yang Tepat untuk
Menangis. (W. Ana, Ed.) (1 ed.). Jakarta:
Imaji.
Purnamasari, Aira., dkk. (2017). Analisis
Sosiologi Sastra dalam Novel Bekisar
Merah Karya Ahmad Tohari. Jurnal Ilmu
Budaya, 1(2), 140–150.
Ratna, N. K. (2010). Paradigma Sosiologi Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, N. K. (2012). Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra (XI). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Retnasih, A. O. (2014). Kritik Sosial dalam
Roman Momo Karya Michael Ende (Analisis
Sosiologi Sastra. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Teeuw, A. (1983). Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Wahyuni, D. (2015). Menggali Realitas
Kerusuhan Mei 1998 dalam “Sapu Tangan
Fang Yin.” Salingka, 12(1), 1—16. Diambil
dari
https://www.academia.edu/
32789212/Menggali_Realitas_Kerusuhan_
Mei_1998_dalam_Sapu_Tangan_ Fang_Yin_
Wellek, R. (1989). Teori Kesusastraan. (M.
Budianta, Ed.) (ke 5). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
http://news.detik.com/berita/d-3121521/
lebih-dekat-dengan-suku-sakai-yang-
terpinggirkan (diunduh pada 12 Mei
2020)
http://cakaplah.com (diunduh pada 12 Mei
2010)
http://news.detik.com/berita/d-4655739/
harimau-muncul-di-ladang-minyak
(diunduh pada 19 Mei 2020)
http://kompasiana.com/chevron:neo-kolonialis
(diunduh pada 19 Mei 2020)
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 24 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
71
MEMAHAMI IDEOLOGI KULTURAL MASYARAKAT BENUAQ
MELALUI CERITA PERANG DAN PERBUDAKAN
UNDERSTANDING THE CULTURAL IDEOLOGY OF DAYAK BENUAQ THROUGH
THE STORY OF WAR AND SLAVORATION
Aquari Mustikawati
Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur,
Jalan Batu Cermin 25 Samarinda,
Posel: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini berusaha mengungkap ideologi kultural dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Ideologi
kultural tersebut terutama berkaitan dengan perang dan perbudakan masyarakat Benuaq dalam
cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. Masalah
penelitian ini adalah bagaimana konsep pemikiran masyarakat Dayak Benuaq sebagai ideologi
kultural mereka yang berhubungan dengan perang dan perbudakan dalam kedua cerita rakyat
tersebut? Penelitian ini menggunakan metode etnografi, yaitu mendeskripsikan dan menafsirkan
ideologi kultural suatu komunitas pada masa perang dan perlakuan mereka terhadap budak
rampasan perang. Dengan menggunakan teori antropologi budaya, penelitian ini menganalisis
budaya perang dan budak dalam cerita rakyat Dayak Benuaq. Hasil temuan menunjukkan bahwa
peperangan Dayak Benuaq masa lampau dilakukan untuk memperebutkan wilayah adat dan
menunjukkan dominasi kekuasaan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa seorang budak
dalam masyarakat Dayak Benuaq menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak
Runtuhkan Mantiq” statusnya dapat berubah menjadi manusia merdeka, bahkan menjadi
pemimpin suku dikarenakan jasanya dalam mengusir dan membunuh musuh.
Kata kunci: perang, budak, ideologi kultural, antropologi, cerita rakyat
Abstract
This research attempts to reveal the cultural ideology in the Benuaq Dayak folklore. This
cultural ideology is mainly related to war and the enslavement of the Benuaq people in the folk
tales of “Putri Inuinang Jadi Ratu” and “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”. The problem of
this research is how is the way of thinking of the Dayak Benuaq community as their cultural
ideology related to war and slavery in the two folk tales? To solve the problems and to achieve
goals, ethnographic methods are used to describe and to interpret cultural ideology of a
community during war time and their treatment toward slaves. By using cultural
anthropological theory, this study analyzes the culture of war and slaves in the Dayak Benuaq
folklore. The result shows that the past Dayak Benuaq wars were carried out to fight over
customary territories and to show domination of power. The results of the research it can be
concluded that a slave in the Dayak Benuaq community according to the story “Putri Inuinang
Becomes Ratu” and “Bunyik Si Slave Runtahkan Mantiq”, can turn into a free human, even
become a tribal leader because of her ability in kicking out and killing enemies.
Keywords: war, slaves, cultural ideology, anthropology, folklore
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 25 |
pymupdf
|
72
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020 Widyasastra
1.
Pendahuluan
Perang antarkelompok atau suku di belahan
dunia ini telah ada sejak masa lampau. Pada
masa dahulu, perang antarsuku atau kelompok
komunitas biasanya dilakukan untuk mempe-
rebutkan wilayah kekuasaaan yang dianggap
subur atau berpotensi meningkatkan pen-
dapatan masyarakat. Hal tersebut sejalan
dengan sifat ego manusia, yaitu ingin memiliki
lebih dari yang telah ada. Dengan kata lain,
seperti Spencer ungkapkan bahwa asas
egoisme lebih mendahulukan kepentingan
pribadi di atas kepentingan orang lain
(Koentjaraningrat, 2015: 109).
Suku-suku yang memiliki sejarah panjang
dalam perkembangannya, seperti suku Dayak
Benuaq, tidak terlepas dari budaya invasi
untuk menunjukkan kekuasaannya. Hal ter-
sebut biasa dilakukan melalui cara perang
dengan kelompok lain sebagai ungkapan ego,
yaitu unjuk kekuatan di hadapan kelompok
lain. Semakin kuat suatu kelompok, ia akan
lebih dihormati oleh kelompok lain. Selain
sebagai ungkapan ego, perang antarsuku atau
subsuku Dayak juga dilakukan untuk mem-
perebutkan wilayah kekuasaan adat. Semakin
luas tanah adat berarti bertambah banyak
sumber makanan. Sebagai alat untuk menun-
jukkan dominasi kekuasan, perang antarsuku
juga disertai budaya ngayau, memenggal
kepala panglima perang musuh, sebagai simbol
kemenangan yang sangat tinggi. Selain ngayau,
simbol kemenangan lainnya adalah adanya
budak sebagai rampasan perang.
Namun, budaya perang dan perbudakan
yang dilakukan masyarakat Dayak Benuaq
hanya dijumpai pada masa lampau. Perjanjian
tahun 1894 yang diadakan di kampung Tum-
bang Anoi, Kalimantan Tengah, merumuskan
kesepakatan penghentian perang antarsuku,
menghapus kebiasaan adat ngayau, atau me-
menggal kepala, menghapus perbudakan, dan
menghapus balas dendam antarkeluarga
(Gumelar, 2017: 102). Sebuah pendapat dalam
buku Sejarah Kalimantan Tengah menyebut-
kan bahwa pertemuan yang digagas oleh
Pemerintah Hindia Belanda ini merupakan
usaha politik untuk memudahkan dalam me-
nguasai Kalimantan (Rusan, 2006: 71). Banyak-
nya perang antarsuku yang terjadi ternyata
menyulitkan Belanda untuk melakukan pe-
nguasan di Kalimantan. Selain itu, masyarakat
Dayak dikenal sebagai petarung yang tidak
kenal takut menjadi ancaman bagi Pemerintah
Belanda.
Sebagai bagian budaya yang pernah ada
dalam masyarakat Dayak, perang dan per-
budakan dapat ditemui dalam beberapa cerita
rakyat, termasuk suku Dayak Benuaq. Cerita
“Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si
Budak Runtuhkan Mantiq” adalah dua dari se-
kian banyak cerita yang mengisahkan proses
peperangan sampai dengan pengambilan
tawanan dari negeri yang kalah. Beberapa
cerita rakyat Benuaq lainnya menceritakan
perang antarsuku, tetapi lebih fokus pada
kisah kepahlawanan dan adu kepintaran dalam
strategi perang. Salah salah cerita rakyat
tersebut adalah cerita Monaq dan Dalukng.
Cerita kepahlawanan seperti Monaq dan
Dalukng lebih menonjolkan kehebatan tokoh
pahlawannya dalam memerangi kezaliman. Di
sisi lain, cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan
“Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” lebih
menekankan cerita tawanan perang yang
menjadi budak dan proses sosial yang terjadi
selama menjadi tawanan perang.
Beberapa penelitian berkaitan dengan pe-
perangan dan perbudakan Dayak yang ada
hanya menyinggung sedikit mengenai pe-
perangan dan perbudakan di masa lampau
oleh masyarakat Dayak. Jurnal berjudul “Nilai
Budaya dan Kepahlawanan Dalam Cerita
Rakyat Dayak Kanayatn Pada Buku Muatan
Lokal Landak 2007” yang ditulis oleh Selviana
Mangguali, Martono Martono, Henny Sanulita
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 26 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
73
(2014) mengungkapkan nilai kepahlawanan
tokoh Doakng yang terdapat dalam Buku
Mata Pelajaran Muatan Lokal Kabupaten
Landak tahun 2007. Mangguali menjabarkan
nilai-nilai kepahlawan tersebut dalam tiga nilai,
yaitu keberanian, kesetiaan, dan rela berkor-
ban. Sementara itu, Semiarto Purwanto (2019,
hlm. 73) menuliskan sekilas tentang adanya
perbudakan masyarakat Dayak Tunjung masa
lampau yang membagi kelas sosial masya-
rakatnya menjadi tiga, yaitu hajiiq, merentikaq,
dan ripat. hajiiq terdiri atas raja, golongan
bangsawan, dan pengawal raja, merentikaq
adalah golongan orang merdeka, sedangkan
ripat adalah budak. Kedua jurnal tersebut
tidak menceritakan secara jelas bagaimana
ideologi masyarakat Dayak terhadap perang
dan perbudakan yang mereka praktikkan.
Untuk mengetahui proses sosial tawanan
perang dengan masyarakat di sekitarnya,
penelitian ini menekankan permasalahan pada
bagaimana ideologi kultural masyarakat Dayak
Benuaq pada masa perang dan perbudakan
dalam cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu”
dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”?
Mengacu pada permasalahan, penelitian ini
bertujuan menjabarkan ideologi kultural
perang dan perbudakan yang ada dalam cerita
rakyat Benuaq “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan
“Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”.
Ideologi kultural atau konsep pemikiran
budaya masyarakat adalah suatu bentuk ke-
yakinan yang menjadi falsafah hidup manusia
dalam melakukan kegiatan berbudayanya.
Ideologi sendiri memiliki pengertian yang
beragam menurut beberapa pakar. Descartes
mengatakan bahwa ideologi sebagai suatu
bentuk pokok pikiran. Pokok pikiran tersebut
kemudian menjadi suatu pedoman dalam
mencapai tujuan hidup. Secara umum. defi-
ninisi ideologi adalah suatu pokok pikiran atau
pandangan hidup manusia baik perorangan
maupun kelompok yang diyakini secara
penuh dan menjadi pedoman mengatur
tingkah laku manusia.
Sementara itu, budaya adalah tingkah laku
manusia yang dilakukan secara terus me-
nerus yang meliputi ide dan tindakan manusia
(Endraswara, 2018: 127). Sementara itu, defi-
nisi budaya menurut ilmu antropologi adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam kehidupan masya-
rakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar (Koentjaraningrat, 2015: 144). Ber-
dasarkan definisi tersebut dijelaskan bahwa
budaya adalah suatu kebiasaan yang dilakukan
secara terus menerus dan tidak diwariskan
saat manusia lahir.
Landasan teori yang dipakai dalam artikel
ini adalah antropologi sastra. Antropologi
sastra merupakan pemahaman sekaligus
analisis terhadap karya sastra yang berkaitan
dengan kebudayaan (Ratna, 2011: 31). Lebih
lanjut, Ratna juga menjelaskan bahwa kajian
antropologi sastra memulai pada karya sastra
sebagai obyek penelitian dan menggunakan
unsur-unsur antropologi untuk menemukan
kaitannya dengan kebudayaan. Pendapat lain
menguraikan bahwa antropologi dapat di-
pahami sebagai suatu pengetahuan yang
mengkaji perilaku manusia dengan meman-
dang semua aspek budaya manusia dan
masyarakatnya sebagai kelompok variabel
yang saling berinteraksi. Sementara itu, karya
sastra merupakan hasil pemikiran manusia
yang berasal dari pengalaman dan memori
dengan menuangkan unsur-unsur budaya
masyarakat pada saat karya sastra yang di-
ciptakan. Antropologi sastra bekerja dengan
cara memahami unsur-unsur kebudayaan
yang ada dalam karya sastra.
2.
Metode
Sumber data berasal dari buku Renungan
Budaya Sendawar Seratus Cerita Rakyat yang
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 27 |
pymupdf
|
74
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020 Widyasastra
disusun pada tahun 2007 oleh Yuvenalis
Lahajir dkk. Sementara itu, teknik pengumpul-
an data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah studi pustaka. Data sekunder yang
digunakan adalah buku buku referensi yang
berhubungan dengan cerita rakyat, perang
dan perbudakan. Sesuai pendapat Iskandar
(2008: 76-77) bahwa data sekunser diperoleh
melalui teknik studi dokumentasi yang ber-
hubungan dengan permasalahan penelitian.
Metode yang digunakan adalah metode
etnografi, yaitu suatu metode yang mendes-
kripsikan dan menafsirkan aspek-aspek
budaya suatu komunitas tertentu dalam karya
sastra. Etnografi secara harfiah berarti tulisan
atau laporan tentang suatu suku bangsa yang
ditulis oleh seorang antropolog sebagai hasil
penelitian lapangan (field work) selama
beberapa waktu (Marzali dalam Spradley,
2007: vii). Sebuah karya sastra dapat dianggap
sebagai hasil laporan penelitian pengarang
terhadap keadaan sosial di masyarakatnya.
Melalui karya sastra etnografis, pembaca
mengetahui kebudayaan suatu kelompok
tertentu dan perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat asli pemilik kebudayaan
(Djirong, 2014: 215). Metode etnografi ber-
kembang dari suau aliran ilmu antropologi
yang dikenal dengan cognitive anthropology
atau etnografi baru.
Menurut Marzali dalam kata pengantar
Metode Etnografi (Spradey, 2007: xii) menye-
butkan metode ini bekerja dengan cara
menangkap pemikiran budaya masyarakat
dan menemukan bagaimana manusia meng-
gunakan kebudayaan tersebut dalam ke-
hidupan mereka. Dalam antropologi kognitif,
objek kajian bukan lagi fenomena material
suatu komunitas, tetapi cara fenomena
tersebut dioperasikan dalam pikiran (mind)
manusia. Tugas etnografer adalah menemu-
kan dan menggambarakan organisasi pikiran
tersebut. Langkah-langkah yang dilakukan
menurut Spradley, antara lain (1) menentukan
domain, yaitu tradisi perang antarsuku dan
perbudakan dalam masyarakat Dayak, (2)
identifikasi struktur internal domain, yaitu jenis
perbudakan (3) analisis komponen, yaitu
menganalisis internal domain dengan meng-
gunakan teori budaya, dan (4) menemukan
tema budaya yang dianut oleh masyarakat
Dayak.
3.1 Hasil dan Pembahasan
Cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu”
mengisahkan seorang perempuan bernama
Inuinang yang ditawan dan dijadikan budak
oleh sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja
lalim bernama Arump. Tentara Raja Arump
menyerang negeri Inuinang dan membunuh
semua penduduk, kecuali Inuinang. Sebagai
budak, Inuinang bertugas seorang diri mem-
buka lahan untuk pertanian dan menjaga
tanaman dari hama dan gulma untuk seluruh
penduduk kerajaan. Inuinang melakukan
pekerjaan berat tersebut selama bertahun-
tahun. Pada suatu ketika penduduk akan me-
rayakan hasil panen dengan pesta belian gugu
tahun, Inuinang akan dibunuh dan dijadikan
tumbal pada puncak pesta tersebut. Akan
tetapi, Inuinang mendapat bantuan dari se-
orang gaib yang ditemui ketika sedang ke-
lelahan bekerja. Dari orang gaib tersebut,
Inuinang mendapat sebuah boneka yang
harus dibawa ketika menghadapi algojo.
Ketika hari tiba, kepala Inuinang dipenggal
dihadapan seluruh penduduk Raja Arump.
Namun, keesokan hari, Raja Arump dan se-
luruh penduduk heran ketika melihat
Inuinang sedang bekerja di ladang seperti
biasanya. Inuinang menjawab pertanyaan
orang-orang yang penasaran bahwa ia baru
saja dari Gunung Lumut (surga), yaitu suatu
tempat dengan kehidupan yang lebih baik.
Mendengar hal tersebut Raja Arump me-
nyuruh algojo membunuhnya agar dapat ke
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 28 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
75
surga. Akhirnya, Raja Arump yang lalim me-
ninggal. Orang-orang sangat bergembira dan
mengangkat Inuinang sebagai pengganti raja.
Sementara itu, cerita “Bunyik si Budak
Runtuhkan Mantiq” menceritakan tokoh
Bunyik, budak yang sebenarnya adalah se-
orang tentara dari negeri yang kalah. Selama
menjadi budak dan tawanan perang, tugas
Bunyik adalah menjaga ladang selain melayani
mantiiq atau bangsawan. Suatu ketika ke-
marau panjang dan wabah penyakit melanda
negeri tempat Bunyik ditawan. Pemimpin adat
negeri tersebut berniat mengadakan upacara
belian untuk menolak bencana yang disebut
ritual Nalint Taun. Pada puncak pesta akan ada
upacara pengorbanan manusia yang biasa-
nya adalah seorang budak. Bunyik diberi ke-
sempatan terhindar dari upacara tersebut
dengan cara harus menemukan ayam merah
pada malah sebelum upacara dilangsungkan.
Berkat pertolongan makhluk gaib, Bunyik
dengan mudah menemukan ayam merah.
Malam berikutnya, Bunyik harus mencari babi
putih yang beratnya kira-kira 50 kg. Dengan
mudah, Bunyik mendapatkan babi tersebut.
Orang-orang semakin yakin terhadap ke-
saktian Bunyik yang dapat melewati pecahan
kaca, paku, mandau, dan tombak tanpa luka
sedikut pun. Ketika negeri tersebut diserang
musuh Bunyik dengan mudah mengalahkan
mereka. Sejak itu Bunyik diangkat menjadi
panglima perang. Bunyik juga kemudian
menjadi raja menggantikan raja yang me-
ninggal di negeri tempat ia pernah ditawan.
Selama memerintah, Bunyik dikenal bijaksana
dalam memimpin negeri sehingga negeri-
negeri tetangga segan kepadanya.
3.1.1
Perang dalam Cerita “Putri Inuinang
Jadi Ratu” dan “Bunyik si Budak
Runtuhkan Mantiq”
Kepemimpin yang absolut dan semena-mena
dilakukan seorang raja pada cerita “Putri
Inuinang Jadi Ratu”. Raja Arump bahkan tidak
hanya menindas bangsa lain, tetapi juga
rakyatnya sendiri.
Kerajaan tersebut dipimpin seorang Raja.
Raja itu bernama Arupm. Raja ini memiliki
watak dan perangai yang sangat buruk.
Karena apabila terdapat kesalahan yang sedikit
saja dengan rakyatnya, maka ia tak segan-
segan menghukum bahkan membunuh
rakyatnya tersebut (Lahajir dkk, 2007: 385).
Berdasarkan kutipan tersebut diketahui
bahwa penyebab peperangan antarsuku dalam
cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” adalah perangai
rajanya yang lalim dan suka beperang. Raja
Arump adalah tipe pemimpin yang suka
berperang dan menaklukkan negeri lain hanya
untuk dianggap sebagai yang terkuat. Ia
bahkan tidak segan, melakukan tindakan tidak
ksatria dengan menyerang kampung lain
secara tiba-tiba sehingga kampung tersebut
tidak dapat melakukan perlawanan, seperti
yang terjadi pada kampung Dilakng Goyan
Limur Bawo, kampung Putri Inuinang. Pada
saat Raja Arump melakukan serangan ke
kampung Putri Inuinang, semua laki-laki dewasa
di kampung sedang pergi ke ladang dan yang
tertinggal adalah wanita dan anak-anak.
Akibatnya, kampung ditaklukkan dengan mudah
dan seluruh wanita dewasa beserta anak-anak
dibunuh, kecuali Putri Inuinang seorang yang
mereka jadikan tawanan.
Sesampainya rombongan pasukan raja
Arump di kampung tersebut, maka
mereka dengan sangat mudah berhasil
menduduki dan menguasai kampung
tersebut, karena tidak ada orang yang
dapat melawan, dan semua warga baik
yang tua maupun anak-anak dibunuh
kecuali seorang gadis yang luput dari
maut, karena gadis tersebut sangat
cantik, sehinga ia diambil sebagi tawan-
an oleh pasukan Raja Arump (Lahajir
dkk, 2007: 385).
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 29 |
pymupdf
|
76
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020 Widyasastra
Peperangan yang terjadi dalam “Putri
Inuinang Jadi Ratu” lebih tepat disebut sebagai
penyerangan mendadak terhadap kampung
atau daerah yang ditinggalkan penduduk laki-
lakinya pergi ke ladang. Sementara itu, dalam
cerita “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”,
Bunyik dan pasukannya berperang dengan
kampung lainnya dan peperangan dimenang-
kan oleh pasukan lawan Bunyik. Akibatnya,
Bumyik harus menjadi tawanan perang. Ini
artinya terjadi perang antardua suku secara
adil.
Sebagai pihak yang kalah, Bunyik dan
pasukannya harus menerima kenyataan, yaitu
kalau tidak dipenggal kepala berarti menjadi
budak tawanan perang. Hal itu sudah menjadi
ketentuan aturan perang antarsuku.
Sebelum tertangkap dan menjadi
budak, sebenarnya Bunyik adalah salah
satu prajurit dari pasukan perang dari
sebuah suku. Ia disergap dan tertang-
kap saat bertempur di medan perang
antarsuku di suatu tempat (Lahajir dkk,
2007: 451).
3.1.2
Perbudakan dalam Cerita “Putri
Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si
Budak Runtuhkan Mantiq”
Sebagai budak, Putri Inuinang dan Bunyik
menduduki kasta terendah. Seperti halnya
budak-budak yang lain, Putri Inuinang dan
Bunyik tidak memiliki kebebasan, tidak berhak
membantah, dan tidak berhak mendapat per-
tolongan. Kehidupan mereka menjadi milik
masyarakat yang menawan mereka. Putri
Inuinang dengan statusnya sebagai budak
harus mengerjakan seluruh pekerjaan me-
nanam di ladang seorang diri tanpa mengeluh,
walau ia sangat lelah.
Setiap hari Inuinang disuruh pergi ke
hutan untuk menebas dan membuat
ladang tanpa dibantu oleh warga lainnya
dari Kerajaan Arump itu. Pada saat
lahannya telah siap ditanami, maka
barulah mereka membantu menanam
padi. Demikian pula setelah menanam
padi, tidak ada satu pun warga dari
kerajaan itu yang bantu menjaga dan
membersihkan padi dari gulma.
Inuinang bekerja sendiri bertahun-
tahun (Lahajir dkk, 2007: 386).
Sementara itu, Bunyik juga mengalami hal
serupa sebagai budak tawanan perang. Setelah
pasukannya kalah dalam peperangan, Bunyik
tidak dibunuh dan dipenggal kepalanya.
Bunyik dijadikan budak oleh pasukan lawan.
Gelar budak diberikan oleh pemimpin adat
pasukan lawan. Berdasarkan gelar tersebut
strata sosial Bunyik berada dalam strata
terendah yang berarti ia harus menuruti
semua kemauan pihak yang menawannya.
“... hiduplah seorang budak belian
bernama Bunyik. Ia diberi gelar oleh
Pemangku Adat dengan status sebagai
budak belian. Setiap hari Bunyik
disuruh untuk menjaga ladang, agar
terhindar dari gangguan binatang liar
dari hutan. Makanan Bunyik tidak
menentu, sedangkan hasil penen yang
dihasilkan di ladang tersebut tidak boleh
dimakan oleh Bunyik” (Lahajir dkk,
2007: 451).
Tidak sebagaimana umumnya penye-
bab perbudakan yang ada di daerah lain,
perbudakan yang terdapat dalam cerita
rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan
“Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”
disebabkan oleh kekalahan perang
antara dua suku atau dua kampung.
Nasution mendefinisikan delapan pe-
nyebab perbudakan, antara lain ke-
turunan, tawanan perang, kemiskinan,
melakukan tindak pidana, bekerja di
lahan sebagai buruh, penculikan, balas
dendam, dan jual beli (Nasution, 2015:
95—96).
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 30 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
77
3.1.3
Ideologi Kultural Masyarakat Dayak
Benuaq
Setidaknya terdapat tujuh unsur budaya
universal yang merupakan pokok-pokok
kebudayaan meliputi sistem religi, organisasi
sosial, bahasa, sistem pengetahuan, sistem
mata pencaharian, sistem peralatan hidup dan
teknologi, dan kesenian (Koentjaraningrat,
2015: 165). Unsur organisasi sosial ber-
hubungan dengan adat istiadat yang dijalankan
oleh masyarakat Dayak Benuaq sebagai
penganut kebudayaan nenek moyang. Pe-
laksanaan adat dalam masyarakat Dayak erat
hubungannya dengan sistem religi, yaitu
kepercayaan terhadap roh dan kehidupan
sesudah mati yang berkaitan dengan leluhur
dan nenek moyang. masyarakat Dayak Benuaq
memuja dan menghormati segala ajaran dan
tradisi nenek moyang. Dalam hal kepercayaan,
masyarakat Dayak percaya bahwa arwah
nenek moyang mampu mengatur kehidupan
anak cucu di dunia. Unsur kebudayaan uni-
versal organisasi sosial dibagi lagi ke dalam
bagian-bagian unsur lebih kecil mengikuti
metode
pemerincian
R.
Linton
(Koentjaraningrat, 1983: 208). Sub-sub unsur
di bawah unsur kebudayaan universal organi-
sasi sosial juga adalah sistem kekerabatan,
sistem komuniti, sistem pelapisan sosial, sistem
pimpinan, sistem politik, dan sebagainya. Sub-
sub unsur tersebut menjelaskan tradisi
masyarakat Dayak yang termasuk dalam
organisasi masyarakatnya. Sistem kekerabat-
an dalam masyarakat penganut kepercayaan
Dayak diikat dengan kekeluargaan yang tinggi
dalam kelompoknya. Sistem kekeluargaan ini
mengakibatkan persaingan antarkelompok
dan menimbulkan perang antarsuku. Se-
mentara itu, sistem pelapisan sosial dalam
masyarakat Dayak dikenal adanya perbudak-
an sebagai akibat kekalahan suatu kelompok
terhadap kelompok lainnya.
Cerita rakyat “Putri Inuinang Jadi Ratu”
dan “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” juga
menguraikan konsep pemikiran Dayak
Benuaq. Peperangan bagi masyarakat Dayak
adalah suatu aktivitas sosial untuk mendapat-
kan pengakuan sebagai yang terkuat. Pasukan
Raja Arump sangat berambisi menaklukkan
kampung-kampung di sekitarnya dan bahkan
dengan cara-cara yang tidak ksatria, yaitu
membunuh orang tua dan anak kecil.
“Tiba di kerajaan, maka para prajurit
menyerahkan puluhan kepala pen-
duduk yang berhasil mereka bunuh di
kampung tersebut, berikut gadis ta-
wanan tadi. Sang Raja sangat gembira
dengan keberhasilan dari para prajurit-
nya itu, kemudian sang raja berteriak
dengan suar lantang, “Wahai Nayuq
Timang... mulai hari ini tidak ada lagi
yang mampu melawan aku...! Dan kini
semuanya telah takluk dalam keraja-
anku” (Lahajir dkk, 2007: 386).
Alasan yang sama, yaitu untuk pengakuan
sebagai yang terkuat juga terdapat dalam
cerita “Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq”.
Ketika mereka berhasil memenangkan pe-
perangan dengan mengalahkan musuh yang
kuat, nama suku mereka akan semakin ter-
kenal sebagai yang terkuat.
“Kepala manusia ini bukan sekadar
kepala manusia murahan, tetapi harus
adalah kepala dari panglima perang
musuh yang dibawa pulang sebagai
tanda kemenangan yang bernilai sangat
tinggi. Untuk itu, maka setiap pulang dari
medan laga, mereka harus merayakan
kemenangan tersebut dalam sebuah
ritual adat yang khusus untuk perang”
(Lahajir dkk, 2007: 451).
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa
kemampuan mengalahkan musuh dalam
peperangan akan mengharumkan nama suku.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 31 |
pymupdf
|
78
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020 Widyasastra
Kemampuan tersebut dibuktikan dengan
membawa pulang kepala musuh yang telah
dikalahkan. Pembuktian tersebut sangat
penting sebagai bagian dari bukti kemenang-
an perang. Pengesahan sebagai yang terkuat
pada masyarakat tradisional merupakan
bagian dari konsep pemikiran atau ideologi
kultural yang dianut. Dalam pengembangan
konsep pemikiran mereka, pengesahan se-
bagai yang terkuat diwujudkan dalam aktivitas
sosial, yaitu melakukan peperangan. Aktivitas
sosial yang mendukung konsep pemikiran
atau ideologi kultural selanjutnya adalah
melakukan pembuktian kemenangan dengan
pemenggalan kepala dan upacara ritual.
Ideologi kultural yang berhubungan
dengan perbudakan dalam kedua cerita
tersebut salah satunya adalah perlakuan
terhadap budak. Walaupun dalam perbudakan
masyarakat Benuaq juga dikenal adanya
pelapisan sosial, yaitu antara budak dan
masyarakat yang menawannya, perlakuan
terhadap tawanan tidak sampai pada pe-
nyiksaan fisik.
Sebagai budak, Putri Inuinang dan Bunyik
kehilangan kemerdekaan dan hak-hak mereka
sebagai manusia. Meskipun Putri Inuinang
dan Bunyik juga melakukan pekerjaan berat
layaknya kebanyakan orang, mereka tidak
mendapatkan siksaan fisik dari orang-orang
yang memperbudak mereka.
“Walaupun Bunyik berstatus sebagai
budak belian oleh pemangku adat,
namun ia tidak pernah menerima siksa-
an fisik. Dengan sikap hidup yang ber-
pasrah diri pada yang berkuas, maka
Bunyik tetap tampak sehat dan segar,
sepertinya ada yang merawat esehatan
si Bunyi, meskipun tidak dapat terlihat
secara kasat indera manusia” (Lahajir
dkk, 2007: 452).
Bahkan, dalam beberapa pertemuan
dengan orang-orang yang menawan dirinya,
Bunyik menerima perlakuan cukup baik,
semisal perkataan yang sopan. Seorang
lalakng, yaitu utusan pemangku adat yang
diperintah untuk menyampaikan informasi
kepada Bunyik, berbicara kepada Bunyik
dengan nada dan tingkah laku yang sopan.
Bunyik membalasnya dengan sopan. Per-
lakuan tersebut merupakan hubungan sosial
yang sangat jarang terjadi antara budak
dengan masyarakat yang berkuasa. Pola sosial
tersebut merupakan wujud dari ideologi
kultural yang berpusat kepada pencipta alam
semesta. Mereka mengakui bahwa semua
aktivitas berhubungan dengan Sang Pencipta.
Hal tersebut dibuktikan dengan kegiatan
sosial, yaitu upacara ritual tahunan Nalitn
Tautn. Kepercayaan tersebut dipegang teguh
sebagai bagian dari ideologi kultural.
Di sisi lain, ideologi kultural yang ber-
hubungan keyakinan ialah memercayai bahwa
ritual tahunan harus menyertakan kurban
berupa manusia. Biasanya kurban tersebut
adalah budak. Sebagai budak, Putri Inuinang
dan Bunyik sadar akan hal tersebut sehingga
mereka memasrahkan diri mereka pada Sang
Pencipta ketika waktunya tiba.
“Sesampainya di kerajaan, Inuinang
dibawa naik dan diikat di atas balai yang
disebut toras, yaitu tempat persem-
bahan kurban ritual, dimana nantiny
dia akan dibunuh dia ats balai tersebut”
(Lahajir dkk, 2007: 388).
“Tanpa basa-basi lagi, maka Bunyik
berkemas diri untuk pulang padahal
hasil ladang baru akan dipanen,
Mereka pun meninggalkan ladang ter-
sebut untuk menuju kampung. Se-
sampai di kampung mereka disambut
dengan baik serta disuguhkan makanan
yang berlimpah-ruah, namun hati
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 32 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
79
Bunyik tetap bersedih, karena hari ini
merupakan hari terakhir....” (Lahajir
dkk, 2007: 454).
Baik budak maupun masyarakat yang
menawan, mereka memiliki kepercayaan yang
sama tentang upacara tahunan, yaitu bahwa
dalam puncak upacara tersebut ada persem-
bahan kurban. Kesamaan keyakinan tersebut
membuat mereka melaksanakan upacara
tahunan tanpa ada paksaan.
3.1.4
Perubahan status sosial sebagai
bagian ideologi kultural
Perubahan sosial dalam masyarakat Dayak
Benuaq yang ditemukan dalam kedua cerita
ini adalah baik Bunyik maupun Putri Inuinang
dapat mengubah statusnya menjadi orang
merdeka, bahkan menjadi pemimpin masya-
rakat yang dulu menawannya.
Pebudakan secara umum adalah sebuah
sistem yang menghilangkan kebebasan dan
hak-hak seseorang dengan menjadikannya
sebagai barang kepemilikan. Tujuan utama
sistem ini adalah untuk menyediakan pen-
dapatan bagi pemiliknya dengan cara meng-
eksploitasi seseorang. Pada awal masa per-
budakan, para budak terdiri atas penjahat,
orang yang tidak bisa membayar hutangnya,
dan tawanan perang (Fadhil, 2013: 162). Hal
itu menjelaskan bahwa status budak yang
disandang Bunyik dan Putri Inuinang sebagai
hasil status tawanan perang mereka. Namun,
dalam perkembangannya status budak dapat
berubah.
Pada saat Putri Inuinang yang mendapat
pertolongan gaib tidak mati oleh algojo, ia
sudah mendapat kepercayaan masyarakat
akan kelebihannya.
“Keheranan semakin membuatnya
penasaran untuk ingin mengetahui
secara dekatdan pasti sosok Inuinang,
si gadis yang kemarin benar-benar
telah mati. Semua orang di dalam lamin
itu mengerubungi gadis tersebut,
termasuk raja Arump” (Lahajir dkk,
2007: 389).
Kepercayaan yang diperoleh Inuinang
membuat semua perkatannya dituruti
masyarakat. Ketika Raja Arump menanyakan
keberadaan Inuinang setelah dipenggal algojo
dan bagaimana bisa kembali. Jawaban
Inuinang dipercaya Raja Arump begitu saja
yang menyebabkan Raja Arump meninggal
dunia.
“Maka dengan tenang dijawan oleh
Inuinang, “Hamba baru datang dari
Gunung Kumut (gunung surga) dan di
sana kehidupan orang-orang sangat
baik serta banyak gadis yang cantik-
cantik” (Lahajir dkk, 2007: 389).
Berbeda halnya dengan Bunyik, setelah
mampu lolos dari berbagai rintangan yang
bertujuan untuk membunuhnya, orang-orang
percaya akan kesaktian Bunyik. Terlebih lagi
ketika pada saat itu Bunyik mampu menghalau
musuh yang berniat menyerang kampung
tempat Bunyik ditawan, orang-orang semakin
percaya akan kesaktian Bunyik.
“Bunyik melakukan pembalasan yang
beringas pula dan selang beberapa lama,
semua musuh tewas tanpa ada yang
tersisa lagi. Segenap warga lamin ber-
sorak-sorai menyambut dan mengelu-
elukan Bunyik” (Lahajir dkk, 2007:
462).
Kedua kutipan tersebut menjelasakan
bahwa status budak dalam masyarakat Dayak
Benuaq tidak selamanya disandang oleh
seseorang. Ideologi kultural yang diyakini
masyarakat Dayak Benuaq berdasarkan
kedua cerita tersebut menganggap bahwa se-
orang budak yang telah membantu mengusir
dan membunuh musuh dapat menjadi
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 33 |
pymupdf
|
80
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020 Widyasastra
manusia merdeka bahkan menjadi pemimpin
suku.
Perubahan status sosial ini merupakan
suatu dekonstruksi sistem perbudakan. Pada
umumnya, seorang budak dapat merdeka oleh
beberapa hal, yaitu membayar tebusan
seharga dirinya kepada majikan seperti yang
ada dalam hukum Islam atau adanya pengesa-
han peraturan untuk menghapus perbudakan
di negara tertentu. Oleh karena budak sangat
mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya,
sangat sulit menemukan konsep memerdeka-
kan budak karena jasa yang telah dilakukan
budak bagi pemiliknya seperti dalam cerita
“Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik si
Budak Runtuhkan Mantiq”.
Ideologi kultural perbudakan masyarakat
Benuaq berdasarkan kedua cerita menunjuk-
kan bahwa status budak seseorang tidak
diwariskan, tetapi dikarenakan status sebagai
tawanan perang sebagai akibat kekalahan
dalam perang suku. Selain itu, status budak
yang disandang seseorang dapat berubah
apabila ia berjasa bagi kelompok yang me-
nawannya.
4.
Simpulan
Perang masyarakat Dayak Benuq menurut
cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan “Bunyik
si Budak Runtuhkan Mantiq” adalah suatu
aktivitas yang dilakukan untuk beberapa
alasan, yaitu memperebutkan wilayah adat dan
sebagai pengesahan status sebagai yang ter-
kuat. Sebagai bukti kemenangan perang
adalah kepala musuh yang telah dipenggaal
atau tawanan yang akan dijadikan budak.
Perbudakan masyarakat Dayak Benuaq
menurut cerita “Putri Inuinang Jadi Ratu” dan
“Bunyik si Budak Runtuhkan Mantiq” dilaku-
kaan terhadap tawanan perang . Budak-budak
tersebut biasanya diperkerjakan di ladang
untuk mengelola ladang atau menjaga ladang
dari binatang buas. Walau mereka selalu
kekurangan karena tidak ada yang menruh
perhatian kepada mereka dan kehilangan hak
sebagai manusia, para budak tidak pernah
mendapat siksaan fisik. namu, sebagai bagian
dari keyakinan mereka, para budak akan
dikurbankan dalam puncak upacara ritual
tahunan.
Perubahan status sosial budak dapat
terjadi apabila seorang budak mampu meng-
usir dan membunuh musuh dengan meng-
gunakan kelebihan atau kesaktiannya. Dalam
hubungannya dengan ideologi kultural masya-
rakat Dayak Benuaq, bahwa mereka meyakini
status status budak seseorang tidak ber-
langsung selamanya.
Daftar Pustaka
Djirong, Salmah. 2014 “Kajian Antropologi
Sastra: Cerita Rakyat Datu Museng dan
Maipa Diapati,” dalam Sawerigading, Vol.
20 No.2, Agustus 2014, hlm. 215 — 226.
Endraswara, S. 2018. Antropologi Sastra Lisan
Perspektif, Teori, dan Praktik Pengkajian.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Fadhil, Abdul. 2013. “Perbudakan dan Buruh
Migran di Timur Tengah dalam
ThaqÃfiyyÃT, Vol. 14, No. 1, 2013.
Gumelar, Michael Sega. 2017. “Cultural Design:
Studi Banding Kritis dari Bali untuk
Proyeksi Masa Depan Dayak” dalam
Jurnal Studi Kultural Vol. II, No. 2, hlm.
98—108. An1mage: Banten.
Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian
Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan
Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Grup.
Koentjaraningrat. 2015. Pengantar Ilmu
Antropologi (10th ed.). Jakarta: Rieneka
Cipta.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 34 |
pymupdf
|
Aquari Mustikawati/Widyasastra, 3(2), 2020, 71—81
©2020, Widyasastra
81
Lahajir dkk, Yuvenalis. 2007 .Renungan
Budaya Sendawar Seratus Cerita Rakyat.
Sendawar: Badan Perencanaan dan
Pembangunan dan Daerah Kabupaten
Kutai Barat.
Nasution, Ahmad Sayuti Anshari. 2015.
“Perbudakan dalam Hukum Islam” dalam
Ahkam, Vol. XV, No. 1. UIN Syarif
Hidayatullah: Jakarta.
Putra, R Masri Sarep. 2012. “Makna di Balik
Teks Dayak sebagai Etnis Headhunter”
dalam Journal Communication Spectrum,
Vol. 1 No. 2 Agustus 2011—Januari 2012.
Ratna, Nyoman Khuta. 2011. Antropologi
Sastra Perana Unsur-unsur Kebudayaan
dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rusan, Ahim S. 2006. Sejarah Kalimantan
Tenganh. Palangka Raya: Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah.
Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi.
Sleman, Yogyakarta: Tiara Wacana.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 35 |
pymupdf
|
82
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
CERITA PENDEK “MAMIE PETRONILLE ET LE BALLON” KARYA JANE
CADWALLADER: KAJIAN STRUKTUR KARYA GERARD GENETTE
A SHORT STORY “MAMIE PÉTRONILLE ET LE BALLON” BY JANE
CADWALLADER: A WORK STRUCTURE STUDIES BY GÉRARD GENETTE
Sunahrowia,*, Pandu Galih Prakoso b,*
a Universitas Negeri Semarang
Kampus UNNES Sekaran Gunung Pati, Semarang, Indonesia
b Universitas Negeri Semarang
Kampus UNNES Sekaran Gunung Pati, Semarang, Indonesia
Posel: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Analisis struktur karya Gérard Genette dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon”
karya Jane Cadwallader bertujuan untuk membedah peristiwa secara runtut, jelas, dan untuk
mempermudah menemukan maknanya. Penelitian dalam cerita pendek “Mamie Pétronille et le
Ballon” menggunakan metode deskriptif. Hasil analisis struktur cerita pada cerita pendek “Mamie
Pétronille et le Ballon” dibagi dalam tiga urutan, yaitu urutan teksual, urutan kronologis, dan
urutan logis. Dengan demikian, cerita pendek “Mamie Pétronille et le Ballon” lebih mudah untuk
dipahami karena adanya urutan peristiwa secara jelas dan detail.
Kata kunci: cerita pendek, Mamie Pétronille et le Ballon, sekuen
Abstract
The structural analysis of Gérard Genette’s work in the short story “Mamie Pétronille et le
Ballon” by Jane Cadwallader aims to dissect events coherently, clearly and to make easier in
finding their meaning. The research in the short story of “Mamie Pétronille et le Ballon” used
a descriptive method. The results of the story structure in “Mamie Pétronille et le Ballon” are
divided into three sequences. They are textual sequence, chronological order and logical
sequence. Therefore, “Mamie Pétronille et le Ballon” short story is easier to be understood
because of the clear and detailed sequence of events.
Keywords: short story, Mamie Pétronille et le Ballon, sequence
1.
Pendahuluan
Sastra atau kesusastraan adalah pengung-
kapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai
manifestasi kehidupan manusia (dan masya-
rakat) melalui bahasa sebagai mediumnya
(Esten, 1978: 9).
Salah satu jenis karya sastra ialah cerita
pendek. Cerita pendek merupakan hasil
pemikiran yang dituangkan dalam sebuah
tulisan yang bersifat fiktif dan imajinatif.
Menurut Suharianto (1982: 39) cerita pendek
adalah cerita fiksi yang bentuknya pendek dan
ruang lingkup permasalahannya disuguhkan
sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang
menarik perhatian pengarang; dan keseluruh-
an cerita memberi kesan tunggal.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 36 |
pymupdf
|
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
83
dilakukan dengan membagi teks dalam satuan-
satuan. Setiap bagian peristiwa yang mem-
bentuk suatu satuan makna membentuk satu
sekuen. Sekuen merupakan setiap bagian
yang dibagi ke dalam satuan yang lebih kecil,
Genette (dalam Sunahrowi, 2019: 80). Tujuan
dari pembagian teks dalam sekuen-sekuen
merupakan cara untuk menemukan satuan
cerita (Sunahrowi, 2019: 81).
2.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Menurut Arikunto (2013: 3), penelitian des-
kriptif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau hal-
hal lain yang sudah disebutkan, yang hasilnya
dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian.
Metode deksriptif adalah suatu pemecah-
an masalah yang berusaha menggambarkan
kenyataan yang terjadi. Metode secara umum
diartikan sebagai proses, cara, atau prosedur
yang digunakan untuk memecahkan suatu
masalah. Penelitian ini menggunakan teknik
simak dan teknik mencatat. Teknik simak, yaitu
teknik yang digunakan untuk mengumpulkan
data dengan cara menyimak. Hal ini merupa-
kan proses untuk memahami makna atau isi
cerita dan memperoleh informasi. Teknik
mencatat adalah pencatatan data. Hal ini
dilakukan setelah data yang dikumpulkan
dinilai cukup. Dalam menganalisis data, peneliti
juga melakukan studi pustaka digunakan
sebagai rujukan.
Objek penelitian ini ialah sebuah cerita
pendek berbahasa Perancis. Cerpen tersebut
berjudul Mamie Pétronille et le Ballon karya
Jane Cadwallader.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah struktural. Pendekatan ini
membangun karya sastra dari unsur-unsur-
nya. Pendekatan struktural mencoba meng-
uraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing
Penelitian ini memilih cerita pendek
berjudul Mamie Pétronille et le Ballon sebagai
objek penelitian. Cerita pendek tersebut
merupakan salah satu hasil karya penulis
perempuan dari Madrid, Spanyol. Mamie
Pétronille et le Ballon ditulis oleh Jane
Cadwallader dalam bahasa Perancis dan terbit
pada tahun 2010. Hingga saat ini belum ada
penelitian mengenai cerpen ini. Penelitian ini
penting karena pembedahan struktur hanya
merupakan salah satu jalan untuk menemukan
arah yang akhirnya bermuara pada pencapai-
an makna karya ini. Tujuan dari penelusuran
arah melalui struktur karya adalah untuk
mempermudah menemukan makna yang
terkandung dalam cerita pendek ini. Cerita
pendek ini menarik diteliti karena dapat me-
nampilkan makna keseluruhan yang berguna
bagi kehidupan manusia.
Cerita pendek ini menggambarkan se-
orang tokoh utama, yaitu seorang nenek ber-
nama Pétronille. Ia menggunakan seluruh cara
dan usahanya demi membantu seorang anak
yang bernama Romain. Dalam hal ini, nenek
Pétronille menuntaskan masalah-masalah
Romain secara bertahap. Permasalahan itu
berawal saat Romain bermain sepak bola di
taman dan bolanya tersangkut di atas pohon
hingga bolanya diambil oleh seekor anjing,
kucing, dan tupai. Namun, dengan segala upaya
nenek Pétronille, ia telah berhasil merebut
kembali bola Romain dari kawanan hewan
dan dikembalikan kepada Romain. Berdasar-
kan hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa
cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon
sangat menarik untuk dikaji.
Peneliti mengkaji cerita pendek ini meng-
gunakan kajian struktur karya Gérard Genette.
Peneliti menganalisis struktur cerita yang
terdiri atas tiga unsur, yaitu urutan tekstual
isi cerita, urutan peristiwa secara kronologis,
dan urutan logis peristiwa. Untuk mendapat-
kan satuan isi cerita, langkah-langkah yang
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 37 |
pymupdf
|
84
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
unsur karya sastra sebagai kesatuan struk-
tural yang bersama-sama menghasilkan
makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Pen-
dekatan struktural adalah suatu pendekatan
yang menganalisis unsur-unsur struktur yang
membangun karya sastra; mencari keterkaitan
unsur-unsur tersebut untuk menghasilkan
satuan makna.
3.
Hasil dan Pembahasan
Pada pembahasan dikemukakan data
yang ditemukan dalam analisis stuktur karya
dalam cerita pendek Mamie Pétronille et le
Ballon karya Jane Cadwallader. Data yang
ditemukan berupa kalimat atau paragraf yang
terdapat dalam cerita pendek Mamie Pétronille
et le Ballon karya Jane Cadwallader.
3.1 Analisis Struktur Cerita
Cerita adalah rangkaian peristiwa yang
disampaikan, baik berdasarkan kejadian nyata
maupun yang tidak nyata. Cerita digunakan
sebagai petanda teks naratif, sedangkan alur
digunakan untuk menunjukkan serangkaian
peristiwa yang saling berkaitan secara logis
dan disebabkan oleh suatu tindakan (Genette
dalam Sunahrowi, 2019: 80). Struktur adalah
bentuk yang terdiri dari bagian-bagian yang
saling berhubungan. Menurut Genette (dalam
Sunahrowi, 2019: 81) untuk mendapatkan
gambaran mengenai struktur cerita, peneliti
menelaah karya dengan membagi dalam tiga
urutan, yaitu urutan tekstual, urutan krono-
logis, dan urutan logis.
3.2 Urutan Tekstual
Mamie Pétronille et le Ballon merupkan
sebuah cerita pendek anak-anak yang me-
ngisahkan tentang perjuangan seorang nenek
dalam menolong orang lain. Cerita ini meng-
arah pada peran nenek yang bisa dianggap
sebagai pahlawan. Peneliti berusaha meng-
gambarkan kejadian seperti pada kenyata-
annya dan merupakan karya sastra neo-
naturalisme. Aliran ini umumnya lebih objektif
dalam memandang sesuatu.
Sekuen pertama:
C’est une belle journée. Des enfants
jouent dans le parc. Ils jouent au basket
et au foot et ils font du vélo et de la
planche à roulettes. Tout le monde est
content. Terjemahan: Ini adalah hari
yang indah. Anak-anak bermain di
taman. Mereka bermain basket dan
sepakbola dan mereka bermain sepeda
dan skateboard. Mereka semua senang.
Sekuen kedua
Oh! Mamie Pétronille est là! Elle parle avec
un petit garcon qui a un ballon. Bonjour!
Je m’appelle Mamie Pétronille. Et toi,
comment t’appelles-tu? Moi, je m’appelle
Romain. Terjemahan: Oh! nenek
Pétronille di sana! Dia berbicara dengan
seorang anak kecil yang memiliki se-
buah Ballon.”Halo! Perkenalkan nama-
ku nenek Pétronille. Dan siapa nama-
mu? Namaku Romain.
Sekuen pertama dan kedua di atas,
merupakan peristiwa yang berurutan. Antara
kejadian pada sekuen pertama, lalu dilanjutkan
peristiwa pada sekuen yang kedua. Ada urutan
waktu dan peristiwa antara anak-anak ber-
main dan keberadaan nenek Pétronille di
taman. Salah satu dari anak-anak tersebut
bertemu dengan nenek Pétronille yang sedang
berada di taman. Anak itu bernama Romain.
Urutan satuan isi cerita runtut dan mudah
dipahami walaupun ada beberapa loncatan
peristiwa, yaitu lagu yang disisipkan ke dalam
cerita, seperti pada sekuen-sekuen berikut ini.
Sekuen kedua belas
Mamie! Le chien s’enfuit dans la rue!
Mamie! Le chien s’enfuit dans la rue!
Reprends vite le ballon! Reprends
vite le ballon !Reprends vite le ballon de
Romain! Terjemahan: Nenek! Anjing
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 38 |
pymupdf
|
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
85
itu lari ke jalan! Nenek! Anjing itu lari
ke jalan! Ambil bolanya dengan cepat!
Ambil bolanya dengan cepat! Cepat
ambil kembali bola Romain!
Sekuen keenam belas
Mamie! Le chat s’enfuit dans la rue!
Mamie! Le chat s’enfuit dans la rue!
Reprends vite le ballon! Reprends vite le
ballon! Reprends vite le ballon de Romain!
Terjemahan: Nenek! Kucing itu melari-
kan diri ke jalan! Nenek! Kucing itu
melarikan diri ke jalan! Ambil bolanya
dengan cepat! Ambil bolanya dengan
cepat! Cepat ambil kembali bola Romain!
Sekuen kedua puluh
Mamie! L’écureuil s’enfuit dans la rue!
Mamie! L’écureuil s’enfuit dans la rue!
Reprends vite le ballon! Reprends vite le
ballon! Reprends vite le ballon de Romain!
Terjemahan: Nenek! Tupai itu lari ke
jalan! Nenek! Tupai itu lari ke jalan!
Ambil bolanya dengan cepat! Ambil
bolanya dengan cepat! Cepat ambil
kembali bola Romain!.
Apabila melihat sekuen pertama hingga
dua puluh enam, ada tiga sekuen yang berbeda
dari sekuen sebelumnya, yakni pada sekuen
dua belas, enam belas, dan dua puluh. Cerita
tersebut tidak hanya berupa teks. Sekuen di
atas merupakan lirik lagu yang ada pada cerita
tersebut. Dalam cerita tersebut disisipkanlah
sebuah lagu. Setiap lagu sesuai dengan peris-
tiwa yang sedang terjadi pada cerita tersebut.
Masing-masing lirik lagu pada sekuen dua
belas, enam belas dan dua puluh berbeda,
bergantung pada aktor antagonisnya. Pem-
bedaan tersebut dapat dilihat pada lirik, tepat-
nya pada kalimat pertama dan kedua.
Lirik lagu pada sekuen tersebut memiliki
maksud untuk memberikan semangat dan
dorongan kepada nenek Pétronille saat ber-
aksi mengambil bola Romain yang dicuri oleh
tokoh antagonis. Tokoh antagonis dalam cerita
tersebut adalah hewan. Pada sekuen dua belas
atau setelah bola Romain baru saja diambil
dari pohon oleh nenek Pétronille, bola tersebut
dicuri oleh seekor anjing.
Hal tersebut berlanjut pada sekuen enam
belas. Seekor kucing oranye telah mengambil
bola Romain. Setelah berhasil direbut kembali
oleh nenek Pétronille dari gigitan seekor
anjing. Lalu, pada sekuen dua puluh, setelah
nenek Pétronille berhasil merebutnya dari
seekor kucing. Tak disangka seekor tupai
mengambil bola Romain.
Pengambilan bola kembali yang dilakukan
oleh nenek Pétronille tidaklah sia-sia. Meskipun
dalam penyelesaian kasusnya dengan cara
yang berbeda. Misalnya, dalam menghadapi
seekor anjing, sang nenek menggunakan
tulang untuk menaklukkannya. Kemudian,
dalam menghadapi seekor kucing, nenek
menggunakan tulang ikan. Ketika menghadapi
tupai, nenek Pétronille menyisiri pohon.
Alhasil, bola telah berhasil direbut kembali.
Loncatan-loncatan peristiwa tersebut
terdapat dalam sekuen dua belas, enam belas
dan dua puluh. Peristiwa pada sekuen sebelum
dan sesudah loncatan peristiwa tersebut
terhenti atau terpotong.
3.3 Urutan Peristiwa Secara Kronologis
Analisis peristiwa secara kronologis tidak
bertujuan untuk mendapatkan inti cerita,
tetapi menemuan urutan jalan cerita yang
menopang inti cerita (Genette dalam
Sunahrowi, 2019: 87).
Sekuen pertama
C’est une belle journée. Des enfants
jouent dans le parc. Ils jouent au basket
et au foot et ils font du velo et de la
planche à roulettes. Tout le monde est
content. Terjemahan: Ini adalah hari
yang indah. Anak-anak bermain di
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 39 |
pymupdf
|
86
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
taman. Mereka bermain basket dan
sepakbola dan mereka bermain sepeda
dan skateboard. Mereka semua senang.
Sekuen ketiga
Romain donne un coup de pied dans le
ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain
menendang bola dan. “Oh, tidak!”
Sekuen keempat
Pauvre Romain! Le ballon est dans
l’arbre et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh,
mon ballon!. J’ai faim. Allons manger!.
Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya
tersangkut di pohon dan ini saatnya
untuk makan siang! Oh, bolaku! Aku
lapar. Ayo kita makan!
Pada sekuen pertama, kedua, ketiga, dan
keempat menceritakan ketika anak-anak
bermain, pertemuan Romain dengan nenek
Pétronille. Awal mula permasalahan ketika bola
romain tersangkut di atas pohon. Selain itu,
juga menjelaskan tempat, perasaan, dan waktu
anak-anak bermain.
Sekuen keenam
Mamie Petronille veut aider le ballon. Elle
met sa main dans son petit sac jaune.
Qu’est-ce qu’il y a dans son sac? Oh! Il y a
une échelle! Une tres longue échelle!
Terjemahan: Mamie Petronille ingin
membantu bola. Dia meletakkan tangan-
nya di tas kuning kecilnya. Apa yang ada
di tasnya? Oh! Ada sebuah tangga!
Tangga yang sangat panjang!
Sekuen ketujuh
Mamie Petronille prend le ballon. Elle le
met sur sa tete. Mais le ballon n’est pas
content! Oh!. Je n’aime pas ca. Du calme!
ne t’inquiète pas! Terjemahan: Mamie
Petronille mengambil bola. Dia me-
letakkannya di kepalanya. Tapi bolanya
tidak senang! Oh! Saya tidak suka itu.
Tenang! jangan khawatir!
Sekuen kedelapan
Mamie Pétronille met le ballon sous
l’arbre et s’endrot. Maintenant, le ballon
est content! Terjemahan: Mamie
Pétronille meletakkan bola di bawah
pohon dan pergi tidur. Sekarang
bolanya senang!
Pada sekuen keenam, ketujuh dan ke-
delapan menjelaskan ketika nenek Pétronille
mengambil balon Romain yang tersangkut
pohon dengan menggunakan tangga yang
diambil dari dalam tasnya. Akhirnya, ia ber-
hasil menggambil bola tersebut dan meletak-
kannya dibawah pohon lalu ia tidur di bawah
pohon.
Sekuen kesembilan
Oh non! Un chien prend le ballon. Mamie
Pétronille n’est pas contente. Super! un
ballon ! un ballon pour moi! reviens ici!.
Elle met sa main dans son petit sac jaune.
Qu’est-ce qu’il y a dans son sac?.
Terjemahan: Oh tidak! Seekor anjing
mengambil bola. Nenek Pétronille tidak
senang. Hebat! sebuah Ballon! Ballon
untukku! kembali kesini! Dia meletak-
kan tangannya di tas kuning kecilnya.
Apa yang ada di tasnya?
Sekuen kesepuluh
Il ya une planche à roulettes!. Le chien
s’enfuit avec le ballon. Le ballon n’est pas
content. Mamie Petronille saute sur sa
planche à roulettes. Elle veut prendre le
ballon. Terjemahan: Ada skateboard!
Anjing itu melarikan diri dengan bola-
nya. Bola itu tidak senang. Nenek
Petronille melompat di atas papan
luncurnya. Dia ingin mengambil bola.
Sekuen kesebelas
Mamie Petronille et le chien sont dans la
rue. Il y a beaucoup de voitures, de
camions, de motos et d’autobus.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 40 |
pymupdf
|
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
87
Terjemahan: Nenek Petronille dan
anjingnya ada di jalan. Ada banyak
mobil, truk, sepeda motor dan bus.
Sekuen ketiga belas
Mamie Petronille veut le ballon. Attends!.
Elle met sa main dans son petit s
a
c
jaune. Qu’y a-t-il dans son sac?
Terjemahan: Mamie Petronille meng-
inginkan bola. Tunggu! Dia meletakkan
tangannya di tas kuning kecilnya. Apa
yang ada di tasnya?
Sekuen keempat belas
Il ya un os! Le chien voit l’os et laisse le
ballon. Maintenant le ballon est content.
Qu’est-ce que c’est? Super! Un os! Un os
pour moi! Terjemahan: Ada tulang!
Anjing melihat tulang dan meninggalkan
bola. Sekarang bolanya senang. Apakah
itu? Tulang! Tulang untuk ku!
Pada sekuen kesembilan, kesepuluh,
kesebelas, ketiga belas dan keempat belas
menjelaskan awal masalah bola romain yang
diambil oleh seekor anjing. Anjing tersebut
membawanya lari, lalu nenek Pétronille me-
ngejarnya dengan menggunakan skateboard.
Mereka kejar-kejaran hingga ke jalan. Untuk
menaklukkan anjing tersebut nenek Pétronille
menggunakan sebuah tulang untuk dijadikan
umpan. Akhirnya, sang nenek berhasil me-
rebut bolanya kembali.
Sekuen kelima belas
Oh non! Maintenant un chat orange
prend le ballon. Le ballon est en colère.
Quelle chance! Un ballon! Un ballon pour
moi! Viens ici!. Terjemahan: Oh tidak!
Sekarang kucing oranye mengambil
bola. Bola itu marah. Beruntung sekali!
Sebauh bola! Bola untukku! Bawa
kemari!
Sekuen ketujuh belas
Mamie Petronille veut le ballon ! Elle sort
un poisson de son petit sac jaune. Le chat
voit le poisson et laisse le ballon.
Terjemahan: Mamie Petronille meng-
inginkan bola! Dia mengambil seekor
ikan dari tas kuning kecilnya. Kucing
melihat ikan dan meninggalkan bola.
Sekuen kedelapan belas
Le ballon est content!. Miam miam! Un
poisson pour le déjeuner! Terjemahan:
Bola itu senang! Yum yum! Seekor ikan
untuk makan siang!
Pada sekuen kelima belas, keenam belas,
ketujuh belas dan kedelapan belas menjelaskan
bahwa bola Romain diambil oleh seekor
kucing oranye. Padahal, bola tersebut baru
saja diambil alih oleh nenek Pétronille dari
seekor anjing. Nenek berhasil mengambil
bolanya dari seekor kucing oranye meng-
gunakan ikan yang diambil dari tas kecilnya
berwarna kuning. Disisi lain, kucing oranye
mendapatkan ikan tersebut untuk makan
siang.
Setelah beberapa saat bola itu telah di-
ambil oleh kawanan hewan lain, yaitu seekor
tupai.
Sekuen kesembilan belas
Oh non! Un écureuil prend le ballon! Le
ballon est très en colère! Mamie Pétronille
suit l’écureuil sur sa planche à roulettes.
Super! Unballon! Un ballon pour moi!.
Reviens ici! Tejemahan: Oh tidak! Tupai
mengambil bola! Bola itu sangat marah!
Mamie Pétronille mengikuti tupai
dengan skateboard-nya. Hebat! Sebuah
bola! bola untuk ku! Kembalilah ke sini!
Sekuen kedua puluh satu
Mami Pétronille ne voit ni l’écureuil ni le
ballon. Où est le ballon? où est l’écureuil?.
Terjemahan: Mamie Pétronille tidak
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 41 |
pymupdf
|
88
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
melihat tupai atau pun bola. Di mana
bolanya? Di mana tupai itu.
Sekuen kedua puluh dua
Oh! Voila le ballon!.Pouf! Salut!
Terjemahan: Oh! Ini bolanya! Halo!
Sekuen kedua puluh tiga
Et voila l’écureuil! Excusez-moi mamie
Pétronille! Terjemahan: Dan itu tupai-
nya! permisi nenek Pétronille!
Sekuen kedua puluh empat
L’écureuil sourit. L’arbre sourit. Le ballon
sourit!. Mamie Pétronille essaie de ne pas
sourire mais elle sourit elle aussi. Ah
tres bien, vous revoilà! Bonjour mamie
Pétronille. Avec qui parlez-vous?
Terjemahan: Tupai itu tersenyum.
Pohon itu tersenyum. Bola tersenyum!
Nenek Pétronille berusaha untuk tidak
tersenyum tetapi dia juga tersenyum.
Ah, baiklah, kamu kembali! Halo Nenek
Pétronille. Kamu bicara dengan siapa?
Pada sekuen kesembilan belas, kedua
puluh satu, kedua puluh dua, kedua puluh tiga
dan kedua puluh empat menjelaskan bahwa
seekor tupai mengambil bola Romain yang
baru saja berhasil diambil oleh nenek dari
seekor kucing oranye. Tupai dan bolanya tidak
ada, nenek Pétronille bingung mencarinya dan
bertanya-tanya. Namun tiba-tiba, bola ter-
sebut ditemukan. Tak lama, nenek Pétronille
melihat tupainya. Tupai, pohon dan bolanya
tersenyum. Nenek sempat mencoba untuk
tidak tersenyum namun akhirnya ia juga
tersenyum. Kemudian, dengan tiba-tiba
Romain bertanya kepada nenek Pétronille
bahwa dengan siapa nenek berbicara.
Sekuen kedua puluh lima
Romain a de nouveau son ballon. Il est
très content! Hum, Salut Romain! Voila
ton ballon!. Merci! Merci beaucoup
mamie Pétronille!. Terjemahan: Romain
mendapatkan bolanya lagi. Dia sangat
senang! Um, hai Roman! Ini Ballonmu!
Terima kasih! Terima
kasih banyak
Nenek Pétronille!.
Pada sekuen kedua puluh lima menjelas-
kan akhir dari perjuangan nenek Pétronille
yang berhasil membantu Romain dalam
menghadapi masalah-masalahnya. Mulai dari
bola yang tersangkut diatas pohon dan di-
rebut oleh kawanan hewan. Akhirnya, Romain
telah mendapatkan bolanya kembali. Dia
merasa senang dan mengucapkan terima
kasih kepada nenek Pétronille yang telah
membantunya.
3.4 Urutan Logis Peristiwa
Logika cerita merupakan hal yang penting
karena logika merupakan dasar struktur
(Zaimar, 1991: 42). Permasalahan yang
muncul ketika melakukan analisis urutan logis
peristiwa adalah ambiguitas yang disebabkan
oleh kerancuan antara urutan kronologis dan
sebab akibat. Pada beberapa karya sastra
pencarian urutan logis peristiwa merupakan
masalah yang besar (Genette dalam
Sunahrowi, 2019: 93).
Satuan cerita pada cerpen Mamie
Pétronille et le ballon karya Jane Cadwallader
runtut atau beraturan. Cerpen ini tidak
memiliki terlalu banyak loncatan-loncatan
peristiwa dan munculnya peristiwa bawahan.
Peristiwa pada cerpen ini melibatkan tokoh
utama. Peristiwa ini dialami oleh tokoh utama
dengan melibatkan tokoh bawahan. Walaupun
demikian, tokoh utama tetap mendominasi
dalam setiap peristiwa. Ada beberapa peris-
tiwa bawahan dalam cerpen ini, tetapi tidak
memecah urutan logis cerita, sebagai berikut.
Sekuen pertama
C’est une belle journée. Des enfants
jouent dans le parc. Ils jouent au basket
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 42 |
pymupdf
|
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
89
et au footet ils font du velo et de la
planche à roulettes. Tout le monde est
content. Terjemahan: Ini adalah hari
yang indah. Anak-anak bermain di
taman. Mereka bermain basket dan
sepakbola dan mereka bermain sepeda
dan skateboard. Mereka semua senang.
Sekuen ketiga
Romain donne un coup de pied dans le
ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain
menendang bola dan. “Oh, tidak!”.
Sekuen keempat
Pauvre Romain! Le ballon est dans l’arbre
et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh, mon
ballon!. J’ai faim. Allons manger!
Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya
tersangkut di pohon dan ini saatnya
untuk makan siang!. Oh, bolaku! Aku
lapar. Ayo kita makan!
Peristiwa-peristiwa bawahan pada se-
kuen pertama, ketiga, keempat tidak memecah
urutan logis peristiwa. Peristiwa-peristiwa
tersebut mendukung peristiwa utama. Pada
sekuen pertama, anak-anak sebagai tokoh
bawahan, sedang bermain basket, sepak bola,
sepeda dan skateboard di taman. Pada sekuen
ketiga, Romain menendang bola hingga ter-
kejut. Terakhir, pada sekuen keempat men-
jelaskan bahwa bola yang Romain tendang
tersangkut di Pohon. Setelahnya, anak-anak itu
pergi untuk makan siang.
Mamie Pétronille et le ballon meceritakan
peristiwa yang merepresentasikan dari ke-
hidupan nyata. Urutan logis cerpen ini runtut
sehingga mudah dipahami. Sekuen pertama
merupakan peristiwa logis yang berurutan
pada sekuen selanjutnya, sebagai berikut.
Sekuen pertama
C’est une belle journée. Des enfants
jouent dans le parc. Ils jouent au basket
et au footet ils font du velo et de la
planche à roulettes. Tout le monde est
content. Terjemahan: Ini adalah hari
yang indah. Anak-anak bermain di
taman. Mereka bermain basket dan
sepakbola dan mereka bermain sepeda
dan skateboard. Mereka semua senang.
Sekuen kedua
Oh! Mamie Pétronille est là! Elle parle avec
un petit garcon qui a un ballon. Bonjour!
Je m’appelle Mamie Petronille. Et toi,
comment t’appelles-tu?. Moi, je m’appelle
Romain. Terjemahan; Oh! nenek
Pétronille di sana! Dia berbicara dengan
seorang anak kecil yang memiliki se-
buah Ballon.”Halo! Perkenalkan nama-
ku nenek Pétronille. Dan siapa nama-
mu? Namaku Romain.
Kutipan sekuen di atas merupakan
urutan logis. Peristiwa pada sekuen pertama
menjelaskan ketika anak-anak sedang bermain
di taman memiliki urutan logis dengan peris-
tiwa pada sekuen kedua. Sekuen kedua berupa
keberadaan nenek Pétronille di taman dan
menjelaskan pertemuan dan perkenalan
antara Romain dan nenek Pétronille. Kedua
sekuen tersebut sangat logis dan urut.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi karena
adanya sekuen pertama dan kedua, tanpa
adanya salah satu dari sekuen di atas peristiwa-
peristiwa tersebut tidak akan terjadi. Kedua
sekuen di atas saling mempengaruhi.
Sekuen ketiga
Romain donne un coup de pied dans le
ballon et. Oh, non!. Terjemahan: Romain
menendang bola dan. “Oh, tidak!”.
Sekuen keempat
Pauvre Romain! Le ballon est dans l’arbre
et. C’est l’heure du dejeuner!. Oh, mon
ballon! J’ai faim. Allons manger!
Terjemahan: Kasihan Romain! Bolanya
tersangkut di pohon dan ini saatnya
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 43 |
pymupdf
|
90
Sunahrowi, Pandu Galih Prakoso/Widyasastra, 3(2), 2020, 82—90
©2020, Widyasastra
untuk makan siang! Oh, bolaku! Aku
lapar. Ayo kita makan!
Urutan peristiwa logis berlanjut pada
sekuen ketiga dan keempat. Peristiwa pada
sekuen ketiga berupa Romain menendang
bolanya. Peristiwa tersebut berurutan dengan
sekuen keempat berupa bola yang ditendang
Romain tersangkut di pohon lalu mereka pergi
untuk makan siang.
4.
Simpulan
Setelah melakukan analisis struktur karya
pada cerita pendek Mamie Pétronille et le Ballon
yang terdiri dari dua puluh enam sekuen,
maka peneliti dapat menyimpulkan beberapa
hal sebagai berikut. Sekuen pertama dan
sekuen kedua merupakan peristiwa yang
berurutan atau urutan tekstual satuan isi
cerita. Kemudian, dari sekuen pertama hingga
dua puluh enam, terdapat loncatan peristiwa
yang terdapat pada sekuen dua belas, enam
belas dan dua puluh. Sehingga, hal tersebut
menyebabkan peristiwa pada sekuen sebelum
dan sesudahnya terhenti atau terpotong.
Selanjutanya, sekuen pertama hingga keempat,
kesembilan hingga keempat belas, keenam
belas hingga ketujuh belas, kesembilan belas
hingga dua puluh empat dan satu sekuan
kedua puluh lima merupakan urutan peristiwa
secara kronologis.
Dalam urutan logis peristiwa menghasil-
kan gambaran mengenai urutan peristiwa
dengan lebih jelas dan detail. Terdapat dua
sekuen yakni sekuen pertama dan kedua yang
merupakan urutan logis dan urut. Kemudian
urutan logis tersebut, berlanjut ada sekuen
ketiga dan keempat. Maka dapat disimpulkan
bahwa urutan logis periatiwa pada sekuen-
sekuen tersebut saling mempengaruhi.
Namun, juga tedapat kemunculan peristiwa
bawahan. Peristiwa bawahan ini melibatkan
tokoh utama dan tokoh bawahan. Meski
demikian beberapa peristiwa bawahan
seperti sekuen pertama, ketiga dan keempat
tidak memecah urutan logis cerita.
Disisi lain, cerita pendek ini mengisahkan
tokoh utama atau nenek Pétronille yang bisa
disebut sebagai pahlawan. Penggambaran
nenek Pétronille merepresentasikan seorang
wanita yang tangguh dalam menghadapi segala
hal. Kemudian, nilai-nilai kehidupan juga
disisipkan oleh pengarang dalam cerita pendek
ini. Sehingga memiliki dampak positif bagi
kehidupan manusia. Cerita pendek Mamie
Pétronille et le Ballon dapat dijadikan referensi
bagi penelitian selanjutnya mengenai unsur-
unsur sastra dan dapat dijadikan sebagai
referensi pendukung, khususnya tentang ke-
susastraan Perancis dan pembelajaran sastra.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian: Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta:
Cadwallader, Jane. 2010. Mamie Pétronille et le
Ballon. Loreto: ELI
Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengantar
Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa
Rineka Cipta.
Sadikin, Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra
Indonesia Edisi Lengkap. Jakarta Timur:
Gudang Ilmu.
Suharianto, S. 1982. Dasar-dasar Teori Sastra.
Semarang: Widya Duta
Sunahrowi, Sunahrowi. 2019. Semiotika
Roland Barthes. Banyumas: Rizquna
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra:
Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
Zaimar, Oke K.S.1991. Menelusuri Makna
Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta:
Seri ILDEP di bawah redaksi W.A.L
Stockhof.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 44 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
91
1.
Pendahuluan
Ketoprak merupakan salah satu produk ke-
senian di Jawa dengan ciri khas yang selalu
dipertahankan oleh pelaku seni. Dalam hal ini,
pelaku seni perlu melalukan inovasi pemer-
tahanan budaya untuk mengenalkan budaya-
ANALISIS STRUKTUR DAN NILAI SOSIAL CERITA KETOPRAK
“RONGGOLAWE GUGUR”
STRUCTURE ANALYSIS AND SOCIAL VALUE OF THE STORY IN KETOPRAK
“RONGGOLAWE GUGUR”
Anita Pipit Aziz1, Mohammad Kanzunnudin2, Muhammad Noor Ahsin3
1,2,3 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muria Kudus.
Posel: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini, bertujuan untuk mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik dan nilai sosial yang
terdapat dalam cerita ketoprak “Ronggolawe Gugur”. Peneliti menggunakan metode deskriptif
kualitatif. Sumber data penelitian, yaitu cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Teknik pengumpul-
an data dilakukan menggunakan observasi non partisipan, wawancara, dan transkip penulisan
naskah cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Analisis data dilakukan dengan reduksi data,
penyajian data, dan menarik simpulan. Dalam hasil penelitian ini, ditemukan struktur dan nilai
sosial dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur. Pertama, struktur cerita ketoprak Ronggolawe
Gugur terdiri atas alur, penokohan, tempat kejadian, tema, dan amanat. Kedua yaitu nilai-nilai
sosial yang terdapat pada cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdiri atas pengabdian, tolong
menolong, kepedulian, kekeluargaan, empati, disiplin, dan toleransi.
Kata kunci: struktur, nilai sosial, Ronggolawe Gugur
Abstract
This research aims to describe intrinsic elements and social value contained in ketoprak story of
“Ronggolawe Gugur”. Researcher used descriptive qualitative methods. Research data sources is
the ketoprak story entitled “Ronggolawe Gugur”. Data collection technique used non participant
observation ,interview and transcipts of ketoprak script of “Ronggolawe Gugur”. Data analysis is
conducted by data reduction, data presentation, and drawing conclusions. the result shows that
this study found structure and social value in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur”. Frist structure
of ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of plot, characterization, setting, theme, and
mandate. Secound social values contained in ketoprak story of “Ronggolawe Gugur” consists of
devation, mutual help, concern, kinship, empathy, disciplin, and tolerance.
Keywords: structure, social value, Ronggolawe Gugur
budaya yang ada khususnya di kalangan anak
muda. Ketoprak merupakan sebuah per-
tunjukan yang diiringi karawitan berupa
gamelan. Di sisi yang lain, ketoprak juga salah
satu sarana menceritakan legenda atau kisah-
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 45 |
pymupdf
|
92
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
kisah dalam kerajaan terdahulu dengan latar
belakang budaya Jawa.
Bagi para pelaku seni, ketoprak juga
menjadi hiburan dan sarana pelestarian ke-
senian Jawa. Sebagaian besar para pelaku seni
menjadikan ketoprak sebagai mata pencarian
untuk menambah penghasilan karena ke-
banyakan mereka bekerja sebagai nelayan
yang tidak menentu hasilnya.
Ketoprak merupakan sebuah kesenian
yang dilahirkan dipulau Jawa dan berkembang
secara pesat. Dalam ketoprak, seni tari, seni
suara, seni musik berupa gamelan, dan seni
peran menjadi pelengkap bahwa ketoprak
merupakan hasil kebudayan yang lengkap.
Oleh karena itu, kesenian ketoprak dapat di-
katakan sebagai kolaborasi berbagai kesenian,
termasuk dalam hal artistic, semisal penataan
lampu dan suara.
Kaitannya dengan ketoprak sebagai seni
kerakyatan, pada mulanya ketoprak merupa-
kan seni kerakyatan yang ditangani oleh priyai,
yang disebut golongan priyai adalah masya-
rakat yang mempunyai derajat sosial tinggi,
bisa berasal dari golongan terpelajar atau
golongan yang masih memiliki hubungan
darah dengan keraton (Waryati, 2015: 2).
Sementara, dalam kaitannya dengan konflik
yang dialami oleh Ronggolawe mengenai
pandangan politik juga sering terjadi dalam
lingkungan masyarakat, seperti halnya konflik
rebutan kekuasan atau bisa disebut juga
perebutan jabatan, contohnya dalam lingkup
masyarakat yaitu, pada saat pemilihan ketua
RT sampai kepala desa bahkan sampai pe-
milihan presiden atau pilpres pasti terdapat
banyak sekali perdebatan antara satu dengan
yang lainnya.
Menurut Sendrasik dalam Setyawan
(2018) naskah drama merupakan bahan
dasar sebuah pementasan dan belum sem-
purna bentuknya apabila belum dipentaskan,
naskah drama juga sebagai ungkapan per-
nyataan penulis (play wright) yang berisi nilai-
nilai pengalaman umum juga merupakan ide
dasar bagi aktor, dalam pementasan ketoprak
bergantung dengan naskah. Oleh karena itu,
naskah ketoprak termasuk ke dalam suatu
ragam karya sastra Jawa. Dengan media
naskah ketoprak kita dapat melihat kondisi
sosial masyarakat khususnya masyarakat
Jawa, hal itu dikarenakan proses penciptaan
naskah atau karya sastra tidak lepas dari
sebuah ideologi bahkan latar belakang dari
seorang pengarang. Untuk naskah yang sering
dipentaskan dalam pagelaran ketoprak atau
naskah yang sering dibaca dan diketahui oleh
masyarakat salah satunya yaitu, naskah
Ronggolawe Gugur, dalam naskah Ronggolawe
Gugur ini merupakan representasi pada
zaman Kerajaan Majapahit tempo dulu. Di-
mana dalam naskah tersebut menceritakan
konflik mengenai politik yaitu Ronggolawe
yang tidak puas dengan keputusan Kerta-
rajasa Jayawardhana dalam menetapkan
jabataan Mahapatih Kerajaan Majapahit
kepada Embu Nambi. Ronggolawe beranggap-
an bahwa Embu Nambi tidak memiliki jasa
yang besar kepada kerajaan Majapahit ini. Hal
itulah, yang menjadi latar belakang ketidak
puasan Ranggolawe terhadap keputusan yang
diambil oleh Kertarajasa Jayawardhana.
Berdasarkan runtutan sebuah cerita dari
perkenalan, penokohan, konflik, puncak kon-
flik, hingga penyelersaian sebuah naskah atau
karya sastra tidak lepas dari struktur. Dalam
karya sastra struktur digunakan untuk mem-
bantu dan mempermudah masyarakat, khu-
susnya dalam memahami naskah atau pe-
mentasan naskah tersebut.
Struktur merupakan sebuah kara atau
peristiwa di dalam masyarakat menjadi suatu
keseluruhankarena ada hubungan timbal
balik antara bagian-bagiannya dan antara
bagian dari keseluruhan (Hartoko, 1989: 38).
Jadi, struktur merupakan mekanisme dari
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 46 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
93
antar hubungan unsur yang satu dengan
unsur yang lain. Struktur karya sastra me-
rupakan unsur-unsur bersistem yang memilki
hubungan timbal balik yang saling memiliki
keterkaitan dan saling menentukan satu sama
lain. unsur-unsur tersebut terdiri atas, unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Mengenai penelitian yang dilakukan,
belum banyak digunakan oleh orang lain. akan
tetapi, ada beberapa penelitian yang mem-
bahas mengenai potret kondisi sosial masya-
rakat Jawa dalam naskah ketoprak klasik gaya
Surakarta Setyawan (2008), yang menjelaskan
tentang ketoprak merupakan seni tradisional
Jawa yang lahir dan berkembang dari kalangan
masyarakat. Oleh sebab itu, ketoprak sangat
kental dengan nilai yang relevan dengan
kehidupan masyarakat Jawa yang tercemin
dalam naskah ketoprak klasik gaya Surakarta.
Begitu juga naskah atau cerita ketoprak tidak
lepas dari sebuah struktur pembangun karya
sastra. Maka, penulis tertarik untuk meneliti.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpul-
kan bahwa karya sastra dibuat tidak lepas dari
nilai-nilai disekitar pengarangnya, misalkan
seni pementasan ketoprak yang tidak lepas
dari sebuah struktur atau unsur pembangun
karya sastra, dengan melihat hal tersebut
tujuan penelitian ingin mengetahui struktur
cerita ketoprak Ronggolawe Gugur dan
Mengetahui apa saja nilai sosial yang terdapat
dalam cerita ketoprak Ronggolawe Gugur.
2.
Metode
Dalam penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif (qualitative research).
Karena penelitian ini tidak menentukan pada
hasil yang berupa angka-angka tetapi berupa
informasi yang ditujukan untuk mendeskripsi-
kan dan menganalisis fenomena, peristiwa,
aktivitas sosial, sikap kepercayaan, persepsi,
dan pemikiran orang secara individual
maupun kelompok.
Metode penelitian kualitatif sering disebut
metode penelitian naturalistik karena pe-
nelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2016: 13).
Metode penelitian kualitatif disebut juga
sebagai metode etnografi karena pada awal-
nya metode ini lebih sering digunakan untuk
penelitian bidang antropologi budaya.
Dengan menggunakan motode kualitatif
ini, peneliti akan memaparkan dan mengana-
lisis naskah ketoprak. Hal yang dideskripsikan
dalam penelitian ini yakni, struktur dan nilai
sosial cerita ketoprak Ronggolawe Gugur.
Penelitian ber tujuan mendeskripsikan struk-
tur dan nilai sosial yang terdapat pada naskah
ketoprak Ronggolawe Gugur.
Data yang digunakan dalam penelitian
menggunakan data sekunder dan primer. Data
primer yaitu sumber data yang diperoleh
secara langsung dalam naskah ketoprak.
Sementara, data sekunder berupa data yang
diperoleh melalui media perantara lain, buku,
artikel, majalah, dan media daring, serta
sumber lainnya.
Dilihat dari sumber datanya, maka pe-
ngumpulan data berupa sumber primer dan
sumber sekunder (Sugiono, 2010: 193).
Sumber primer adalah sumber data yang
langsung memberikan data secara langsung
kepada pengumpul data, dan sumber sekunder
merupakan sumber yang tidak langsung
memberikan data, misalnya lewat orang lain
atau dokumen. Penelitian ini menggunakan
data primer dan data sekunder sebagai
berikut. Sumber data sekunder diperoleh dari
referensi yang mendukung analisis data yang
berkaitan naskah ketoprak atau reverensi
lainnya, serta beberapa informasi dari infor-
man. Informan yang dipilih oleh peneliti,
antara lain Taswilan, pengarang naskah ke-
toprak lakon Ronggolawen Gugur dan sutra-
dara pada kelompok kesenian ketoprak Siswo
Budoyo.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 47 |
pymupdf
|
94
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
Sumber data penelitian ini ialah naskah
Ronggolawe Gugur. Dalam hal pengumpulan
data, penelitian ini menggunakan teknik
observasi non partisipan, wawancara, pe-
rekaman, dan transkip penulisan naskah.
Teknik observasi non partisipan, yakni peng-
amat hanya melakukan satu fungsi, yaitu
mengadakan pengamatan terhadap seke-
lompok pelaku seni dalam kesenian ketoprak
mengenai naskah dan pementasan seni
ketoprak.
Teknik selanjutnya adalah teknik wawan-
cara, yakni pertemuan dua orang untuk
bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna
dalam suatu topik tertentu. Esterberg dalam
(Sugiono, 2016: 317). Beberapa macam teknik
wawancara yakni, wawancara terstruktur,
semi terstruktur, dan tidak berstruktur.
Teknik analisis data dalam penelitian ini,
menggunakan analisis kualitatif. Dalam teknik
analisis kualitatif, data berwujud kata-kata dan
bukan rangkaian angka (Huberman, 2007:
15). Data berupa kata-kata dikumpulkan me-
lalui pembacaan, pereduksian, dan klasifikasi
berdasarkan struktur cerita dan aspek sosial.
3.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap
cerita ketoprak Ronggolawe Gugur ditemukan
struktur dan nilai-nilai sosial. Pertama, struktur
cerita Ronggolawe Gugur yang terdiri atas alur,
penokohan, tempat kejadian, tema, dan
amanat. Kedua, cerita ketoprak Ronggolawe
Gugur juga mengguraikan aspek sosial, antara
lain pengabdian, tolong menolong, kekeluarga-
an, kepedulian, disiplin, empati, keadilan,
toleransi, dan kerjasama.
3.1 Struktur Cerita Ketoprak Ronggolawe
Gugur
Sebuah karya sastra baik lisan mupun tulis
tidak lepas dari struktur. Struktur merupakan
mekanisme hubungan unsur yang satu dengan
unsur yang lain. Struktur merupakan bentuk
keseluruhan yang kompleks, bahkan setiap
objek atau peristiwa pasti terdapat sebuah
struktur yang terdiri atas berbagai unsur, baik
dari dalam atau luar karya sastra yang saling
berhubungan (Siswantoro, 2010: 13).
3.1.1
Alur
Alur merupakan unsur yang mengungkapkan
peristiwa-peristiwa melalui jalinan cerita yang
berupa elemen-elemen yang dapat mem-
bangun suatu rangkaian perstiwa. Alur me-
rupakan rangkaian hubungan sebab akibat,
suatu peristwa yang saling menyebabkan dan
menjadikan dampak peristiwa lainnya
(Stanton, 1965: 14). Alur dalam cerita ketoprak
Ronggolawe Gugur berupa alur maju, yaitu
runtutan sebuah cerita yang terdiri atas
pelukisan awal cerita, pertikaian awal cerita,
klimaks atau titik puncak, dan penyelesaian.
Pelukisan awal cerita ketoprak Ronggo-
lawe Gugur dapat digambarkan melalui dialog
atau petikan cerita, jalan cerita dengan mem-
perkenalkan tokoh-tokohnya dengan watak
masing-masing.
(Semua punggawa yang menghadap di
pendopo Majapahit diantaranya Ken Sora,
Kebo Anabrang, dan Haryonambi) Raja Maja-
pahit Kertarajasa Jaya Wardhana dihadap
para punggawa mengadakan pengangkatan
patih Hamangku Bumi.
Kertarajasa: “Sengaja para punggawa
saya kumpulkan untuk membicarakan
mengenai
pengangkatan
patih
Hamangku Bumi.”
Kutipan dialog di atas menandai tahap
awal berupa pengenalan tokoh-tokoh cerita
ketoprak Ronggolawe Gugur. Petikan dialog
tersebut menggambarkan tokoh-tokoh dan
peran, yaitu sebagai punggawa atau patih-
patih dalam kerajaan yang terdapat pada
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 48 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
95
kalimat “semua punggawa”. Kalimat tersebut
menggambarkan bahwa tokoh Kebo Anabrang,
Ken Sora, Nambi sebagai punggawa atau patih
dalam kerajaan termasuk Ronggolawe.
Kuitpan di atas merupakan awal cerita
Ronggolawe Gugur yang dimulai ketika salah
satu patih di kerajaan Majapahit tidak me-
nyetujui keputusan sang Raja Kertarajasa Jaya
Wardhana. Hal itu terlihat pada kutipaan
naskah Ronggolawe Gugur sebagai berikut.
(Ketika semua patih menyetujui Nambi
diangkat sebagai patih Hamangku Bumi
di kerajaan Majapahit.)
Nambi: “Siapapun yang paduka angkat
menjadi patih, asalkan mengutamakan
kebutuhan negara dari pada kebutuhan
pribadi, dan dan demi kemajuan negara
saya setuju paduka.”
Kertarajasa: “Untuk itu saya putuskan
hari ini kakang Nambi saya wisuda
menjadi patih Hamangku Bumi di
kerajaan Majapahit.”
(Datanglah Adipati Ronggolawe Tuban
yang tidak menyetujui pengangkatan
patih).
Dalam dialog tersebut ditunjukkan bahwa
keputusan yang telah disetujui sang raja
dengan para punggawa bahwa Nambi di-
angkat menjadi patih Hamangku Bumi men-
dapat penolakan dari salah satu punggawa
yakni Ronggolawe.
Titik puncak pada cerita ketoprak cerita
Ronggolawe Gugur terjadi ketika Ronggolawe
mengamuk kalau masih Nambi yang dijadikan
patih Hamangku Bumi di kerajaan Majapahit.
Hal itu ditunjukkan pada petikan dialog se-
bagai berikut.
Ronggolawe: “Duh... sang raja kalau
tetap Nambi yang jadi patih di Majapait
tetap saya tidak terima. Nambi kalau
kamu tidak terima saya bicara silahkan
kamu mau apa? Saya tidak getar meng-
hadapi kamu pagi, siang, maalam, di
manapun tempatnya.”
Anabrang: “Hee, Ronggolawe bicara-
mu ngelantur seperti laki-laki sendiri.
Kalau berani jangan Nambi. He
Ronggolawe lawan aku.”
(Ronggolawe keluar, Kebo Anabrang
meminta persetujuan untuk mencari
Ronggolawe)
Petikan dialog di atas menjelaskan bahwa
puncak cerita terjadi saat Ronggolawe menen-
tang keputusan dan mengamuk. Pada kalimat
“saya tidak gentar menghadapi kamu” penggal-
an kalimat tersebut dapat diartikan menan-
tang lawan untuk bertengkar, dan kalimat itulah
menunjukkan kalau Ronggolawe mengamuk
dalam pisowanan atau rapat di kerajaan
Majapahit.
Penyelesaian dari cerita Ronggolawe
Gugur ialah ketika Ronggolawe pergi ke kali
tambak beras dan disusul oleh Kebo Anabrang,
sehingga keduanya berkelahi beradu kesakti-
an. Hal itu terlihat dalam naskah sebagai
berikut.
(Di kali Tambak Beras, pertemuan
antara Ronggolawe dan Kebo Anabrang
terjadi. Mereka berdua berkelahi, dalam
perkelahian itu Kebo Anabrang diteli-
kung oleh Ronggolawe dan datanglah Ken
Sora.)
Ken Sora: “Ronggolawe.......” (dengan
nada keras dan menantang)
Ronggolawe: (Kebingungan mencari
sumber suara, akhirnya tidak sadar
melepaskan telikungannya terhadap
Anabrang).
Setelah Kebo Anabrang terlepas dari
telikungan, kesempatan untuk membunuh
Ronggolawe dengan tombaknya. Dikala
Anabrang membunuh Ronggolawe itulah ke-
sempatan Ken Sora membunuh Kebo
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 49 |
pymupdf
|
96
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
Anabrang. Akhirnya keduanya mati secara
bersamaan di kali Tambak Beras.
3.1.2
Penokohan
Penokohan dan perwatakan memiliki keter-
kaitan yang sangat erat. Tokoh dalam sebuah
pementasan menjadi sumber utama dalam
menciptakan plot atau alur, yang menjadi
sumber action dan percakapan. Oleh sebab itu
penokohan erat hubungannya dengan
perwatakan. Tokoh antagonis dan juga tokoh
sentral dalam naskah ini yaitu Ronggolawe.
Ronggolawe: “Duh.. sang raja kalau
cuman dasar itu tidak masuk akal.”
Kertarajasa: “Kenapa kkang tidak
masuk akal?”
Ronggolawe:”Menurut saya, Nambi itu
bodoh tiap ada pertempuran Nambi
sembunyi, dan kalau Nambi menjadi
patih di Majapahit mau dibawa kemana
kerajaan Majapahit.”
Petikan dialog di atas memaparkan watak
Ronggolawe yang mementingkan dirinya
sendiri untuk kepentingan pribadinya. Hal itu
telah dilukiskan pengarang watak pelaku cerita
dan bagaimana pembaca mencoba menafsir-
kan watak pelaku cerita yang hendak ditafsir-
kan oleh pengarang.
Tokoh protagonis yaitu tokoh yang
mendukung jalannya cerita. Hal ini dapat diliat
pada petikan dialog sebagai berikut.
Kertarajasa: “Kalau Kebo Anabrang
bagimana?”
Anabrang: “Saya juga sependapat
dengan kakang Ken Sora.”
Nambi: “Siapa pun yang paduka angkat
menjadi patih, asalkan mengutamakan
kepentingan negara dari pada ke-
pentingan pribadi, dan demi kemajuan
negara saya setuju paduka.”
Petikan dialog di atas menunjukkan kalau
tokoh Nambi dalam cerita ketoprak Ronggolawe
gugur merupakan tokoh protagonis. Hal itu
dapat dilihat pada petikan kalimat “saya setuju
padaka” kalimat tersebut dapat dimaknai kalau
Nambi menerima dan mengikuti jalannya
cerita.
Tokoh rotagonist yaitu Ken Sora, karena
tokoh Ken Sora yang dijadikan toko rotagonist
merupakan tokoh pembantu baik untuk tokoh
antagonis maupun rotagonist. Hal ini dapat
dilihat pada petikan dialog sebagai berikut.
Kertarajasa: “Kalau tidak Nambi yang
menjadi patih terus siapa?”
Ronggolawe: “Iya... menurut saya yang
pantas menjadi patih adalah paman Ken
Sora.”
Ken Sora: “Apakah bicaramu itu sudah
kamu pikirkan?”
Petikan dialog di atas menunjukkan Ken
Sora membantu tokoh Nambi dalam meng-
hadapi Rongolawe yang egois dan mau
menang sendiri.
Tokoh pembantu dalam cerita yakni,
tokoh Kertarajasa Jaya Wardhana hanya di-
butuhkan tokoh pembantu beberapa saat saja.
Hal itu terdapat pada petikan dialog dan pe-
munculan tokoh Kertarajasa Jaya Wardhana
yang terbatas pula. Adapun dialog yang me-
nunjukkan Kertarajasa sebagai tokoh pem-
bantu yakni.
Kertarajasa: “Cukup...! cukup Ronggo-
lawe jangan ada perkelahian di
Majapahit.”
Petikan dialog di atas menggambarkan
Kertarajasa menjadi tokoh pendukung di balik
konflik Ronggolawe Gugur dan pemunculan-
nya juga terbatas hanya saat dihadap para
punggawa untuk pengangkatan patih.
3.1.3
Setting
Latar atau tempat kejadian adalah lingkungan
yang melingkupi sebuah peristia dalam cerita,
semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 50 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
97
peristiwa yang sedang berlangsung (Stanton,
2007: 35). Berdasarkan pandangan di atas,
setting atau tempat kejadian cerita sering
disebut latar cerita. Setting biasanya meliputi
tiga dimensi yaitu, tempat, ruang, dan waktu.
Setting tempat yang dapat ditemukan
dalam cerita ketoprak Ronggolawe gugur
adalah kerajan Majapahit dan kali tambak
beras berikut petikan dialognya.
Adegan 1
Keraton Majapahit
(Raja Majapahit Kertarajasa Jaya
Wardhana dihadap para punggawa
mengadakan pengakatan patih hamangku
bumi)
Selain kerajan Majapahit, peneliti latar
berupa tempat lainnya, yakni Kali Tambak
Beras. Berikut petikan dialog yang me-
nunukkan latar tempat.
Adegan 2
(Di kali tambak beras pertemuan
Ronggolawe dan Kebo Anabrang teradi.
Kebo Anabrang dan Ronggolawe ber-
temu.)
Setting waktu yang terdapat dalam cerita
ketoprak Ronggolawe Gugur adalah zaman
dahulu kala pada masa kerajaan Majapait yang
dipimpin oleh raja Kertarajasa Jaya Wardana.
Setting suasana yang dapat ditemukan dalam
cerita ketoprak Ronggolawe Gugur ada
suasana tegang dan suasana menakutkan.
3.1.4
Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar
dengan makna dalam pengalaman manusia
yang merupakan gagasan maupun pan-
dangan hidup pengarang yang melatar bela-
kangi terciptanya karya sastra. Apabila dilihat
dari judul, Ronggolawe Gugur, mencerminkan
keangkuhan Ronggolawe akan kekuasaan
yang mengakibatkan jalan menuju kehancur-
an.
3.1.5
Amanat
Cerita ketoprak Ronggolawe Gugur terdapat
beberapa amanat. Amanat merupakan pesan
yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Amanat dalam cerita Ronggolawe Gugur ini
terdapat beberapa pesan yang ingin disampai-
kan penulis naskah, diantaranya (1) jangan
gila jabatan, (2) jangan meremehkan ke-
mampuan orang, (3) sesama keluarga atau
pimpinan harus saling hidup rukun, (4) jangan
menyelesaikan masalah dengan cara meng-
ilangkan nyawa seseorang, dan (5) berusaha
mengargai seseorang dalam hal apapun.
3.2 Nilai Sosial Cerita Ketoprak Ronggo-
lawe Gugur
Nilai sosial adalah nilai perilaku yang meng-
gambarakan suatu tindakan masyarakat, baik
berupa nilai tingkah laku yang menggambar-
kan suatu kebiasaan dalam lingkungan masya-
rakat, serta nilai sikap yang secara umum
menggambarkan kepribadian suatu masya-
rakat. Nilai sosial tersebut terdiri atas bebe-
rapa sub nilai antara lain (1) kasih sayang (2)
tanggung jawab (3) keserasian hidup (Zubaedi,
2006: 13). Indikator dalam penelitian ini,
antara lain pengabdian, tolong menolong,
kekeluargaan, kepedulian, disiplin, empati,
keadilan, toleransi, kerjasama.
3.2.1
Pengabdian
Pengabdian merupakan usaha yang dilakukan
oleh seseorang baik secara individu, ber-
samasama, atau kelompok atau lembaga untuk
membantu peningkatan taraf kehidupan
masyarakat yang dibantu sesuai dengan misi
yang diemban (Sudin, 2004).
Kertarajasa: “Kalau Kebo anabrang
bagaimana?”
Anabrang: “ Saya juga sependapat
dengan kakang Ken Sora.”
Nambi: “Siapapun yang paduka angkat
menjadi patih, asalkan mengutamakan
kebutuhan negara daripada kebutuhan
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 51 |
pymupdf
|
98
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
pribadi, dan demi kemajuan negara
saya setuju paduka.”
Pada penggalan kalimat “mengutamakan
kebutuan negara daripada kebutuan pribadi”
dalam kalimat tersebut dapat ditafsirkan atau
dimaknai sebagai bentuk pengabdian sese-
orang baik dalam bentuk individu, kelompok,
atau lembaga sebagai misi yang diembannya.
Sebagai wujud pengabdian tokoh Nambi
mengabdikan dirinya untuk kerajaan sesuai
dengan misi yang diembannya untuk me-
ningkatkan suatu kehidupan yang jaya dalam
lingkup kerajaan.
3.2.2
Tolong Menolong
Tolong menolong atau gotong royong dapat
dikenal dengan sebutan sambatan. Sambatan
merupakan suatu sistem gotong royong
dengan cara menggerakan tenaga kerja secara
masal yang berasal dari warga untuk saling
membantu orang yang membutukan, (Putra,
Adi Mandala, dkk. 2018). Berdasarkan pan-
dangan di atas, tolong menolong merupakan
suatu tindakan yang sangat dibutuhkan oleh
setiap individu karena tidak ada individu yang
bertahan hidup tanpa ada bantuan dari orang
lain. Hal inilah yang disebut sebagai makhluk
sosial. Makhluk yang dapat berinteraksi
dengan lingkungan sekitar seperti pada
petikan dialog sebagai berikut.
(Paman Ken Sora, Kebo Anabrang
meminta persetujuan untuk mencari
Ronggolawe).
Kertarajasa: “Paman Ken Sora, saya
minta tolong untuk mendamaikan
kakang Ronggolawe dan Kebo Anabrang.
Jangan sampai mereka berkelahi. Untuk
itu pisowan saya bubarkan.”
Berdasarkan petikan dialog di atas pada
kalimat “saya minta tolong untuk mendamai-
kan kakang Ronggolawe dan Kebo Anabrang”
dapat diartikan sebagai bentuk peristiwa
tolong menolong untuk menghentikan
perkelahian. Perilaku tolong menolong bisa
terjadi dalam bentuk apapun, dalam hal ini
tolong menolong bisa tercipta atas permintaan
dari individu yang membutuhkan atau dari
individu yang muncul sifat kesadaran diri
untuk menolong.
3.2.3
Kekeluargaan
Kekeluargaan merupakan sesuatu yang luhur
dan mulia. Sesuatu dikatakan luhur karena
memiliki posisi dan harga yang tingi di
masyarakat. Nilai-nilai inila menjadi harapan
yang tinggi bagi semua warga untuk mem-
bangun masyarakat agar hidup menjadi
harmoni dan damai (Rivaie, 2011).
Ronggolawe: “Sudah paman, yang
patuh jadi patih paman Ken Sora.”
Ken sora: “Salah kamu Ronggolawe.
malah aku bisa menuduh kamu.
sepertinya kamu sendiri yang ingin jadi
patih.”
Kertarajasa: ”Cukup...! Cukup Ronggo-
lawe paman Ken Sora jangan ada
perselisian di Maapahit.”
Pada petikan kalimat “cukup...!” penggal-
an kalimat tersebut dapat memaknai me-
ngentikan permasalahan. Supaya kerajaan
Majapahit tidak ada keributan antar satu
keluarga. Hal itu dilakukan oleh raja demi ke-
rajaan yang damai dan harmonis serta mem-
berikan contoh ke orang lain untuk hidup
kekeluargaan.
3.2.4.
Kepedulian
Kepedulian adalah suatu tindakan, bukan
hanya sebatas pemikiran atau perasaan
(Admizal, 2018). Dalam cerita Ronggolawe
Gugur dapat diamati melalui kutipan berikut.
Ronggolawe: “Sudah paman, yang
patuh jadi patih paman Ken Sora.”
Ken Sora: “Salah kamu Ronggolawe….
Saya sudah tua. Kalaupun saya Nambi
diangkat jadi patih itu sudah tepat.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 52 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
99
Karena nimbi juga punggawa yang
rajin bekerja untuk memimpin kerajaan
Majapahit malah aku bisa menuduh
kamu. sepertinya kamu sendiri yang
ingin jadi patih.”
Berdasarkan petikan dialog di atas, Ken
Sora berharap kerajaan Majapahit dipimpin
oleh seorang punggawa yang masih muda
dengan bekal kemampuan yang cukup dan
mampu memimpin kerajaan Majapahit karena
dirinya merasa sudah tidak mampu untuk
memimpin kerajaan karena faktor usia yang
semakin tua.
3.2.5
Disiplin
Disiplin merupakan pendidikan yang ber-
tujuan dalam membentuk manusia yang di-
siplin, yang dapat menjadi anggota masya-
rakat yang bahagia. Disiplin dapat diwujutkan
melalui peraturan yang sedapat mungkin
terperinci dan terpisa, cukup singkat dan
sederhana, sedapat mungkin jelas dalam hal
sanksi, dan diketahui secara luas (Savage,
1991: 361). Kedispilinan dapat dilihat dalam
kutipan berikut.
(Kertarajasa dihadapan para pung-
gawa yang terdiri atas Ken Sora, Kebo
Anabrang, dan Haryo Nambi untuk
mengadakan pengangkatan patih
Hamangku Bumi)
Kutipan di atas menggambarkan sikap
kedisiplinan para tokoh dalam cerita. akan
tetapi ada satu tokoh yang kurang disiplin
yaitu Ronggolawe yang datang terlambat di
pisowanan.
3.2.6
Empati
Empati adalah kemampuan kita dalam me-
respon keinginan orang lain yang tak terucap.
Empati merupakan suatu bentuk reaksi
terhadap perasaan orang lain dengan respon
emosinal (Selvina, 2016). Dengan kata lain,
seseorang yang memiiki empati teradap
orang lain adalah seseorang yang tidak me-
mentingkan dirinya sendiri. Berdasarkan
pemaparan di atas wujud sikap empati
terdapat pada petikan dialog sebagai berikut.
Ken Sora: “Salah kamu Ronggolawe…
saya sudah tua kalaupun saya Nambi
diangkat jadi patih itu sudah tepat.
Malah aku bisa menuduh kamu, seperti-
nya kamu sendiri yang ingin jadi patih
di kerajaan Majapahit.”
Berdasarkan petikan kalimat tersebut
tokoh Ken Sora bereaksi tokoh Ronggolawe
dengan respon yang sama, yakni tokoh Ken
Sora mengira kalau Ronggolawe sendiri yang
mengharapkan dirinya diangkat menjadi pati
Hamangku Bumi. Hal tersebut terbukti pada
sikap Ronggolawe yang menentang keputusan
raja.
3.2.7
Keadilan
Keadilan adalah membagi sama layak, atau
memberikan hak yang sama kepada orang-
orang atau kelompok dengan status yang sama.
Keadilan adalah sifat masyarakat yang adil dan
makmur kebahagiaan buat semua orang tidak
ada penghisapan, tidak ada penindasan dan
penginaan (Indriani, 2019). Cerita Ronggolawe
Gugur di dalamnya tidak memperlihatkan
adanya sikap atau tidakan yang berupa ke-
adilan dengan mebagi sama layak, atau mem-
berikan hak yang sama terhadap punggawa-
punggawa di kerajaan Majapahit. Jadi, di dalam
cerita Ronggolawe ini tidak mencerminkan
keadilan dalam memimpin kerajaan.
3.2.8
Toleransi
Toleransi merupakan sala satu cara meredam
terjadinya konflik (Pujiono, dkk., 2019). Dalam
hal ini, toleransi berarti menahan diri, bersikap
sabar dalam menghadapi suatu sikap individu
yang berbeda-beda. Berdasarkan pemaparan
di atas wujud sikap toleransi terdapat pada
petikan dialog sebagai berikut.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 53 |
pymupdf
|
100
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
Ronggolawe: “Maaf paduka, saya
menghadap walau saya terlambat.”
Kertarajasa: “Kakang Ronggolawe,
tidak jadi masalah. Saya tahu kakang
Ronggolawe banyak pekerjaan di
kabupaten Tuban.”
Berdasarkan petikan dialog di atas pada
kalimat “tidak jadi masalah” kalimat tersebut
menunjukkan sikap atau perilaku Kertarajasa
yang bersifat toleran atau member toleransi
terhadap Ronggolawe yang terlambat datang
di pisowanan karena Kertarajasa memberi
kesempatan dan pendapat lain bahwasannya
Ronggolawe telat karena banyak pekerjaan di
kabupaten Tuban. Bahkan, Kertarajasaa
memiliki sikap sabar dalam menghadapi para
punggawa yang memiliki sikap berbeda-beda.
3.2.9
Kerja sama
Kerjasama merupakan bentuk perilaku
altruistik atau restkitusi, tingkah laku yang
menimbulkan konsekuensi positif bagi
kesejateraan fisik maupun psikis orang lain
(Sudirman, 2013). Cerita Ronggolawe ini sikap
atau tidakan yang berwujud kerjasama tidak
tertera dalam cerita karena dalam cerita
Ronggolawe ini tidak ada suatu tindakan atau
sikap yang wujudnya kerjasama demi me-
nimbulkan kosekuensi positif bagi keseatera-
an fisik maupun psikis orang lain.
4.
Simpulan
Struktur cerita ketoprak Ronggolawe gugur
terdapat beberapa unsur yang memiliki satu
keterkaitan satu sama lain dalam suatu cerita
diantaranya alur, penokohan, tempat kejadian,
tema dan amanat. Adapun dari beberapa
unsur tersebut yang merujuk sisi menarik
dari struktur merupakan alur. Hal itu dikarena-
kan, alurnya maju, karena ceritana jelas dari
pelukisan awal cerita yang menceritakan awal
jalanya cerita. pertikaian cerita, titik puncak
cerita, sampai ke penyelesaian. jadi, kaitannya
dengan alur maka terdapat adanya hubungan
unsur satu dengan unsur yang lainnya. adanya
hubungan tersebut dapat menjadikan cerita
menjadi utuh.
Mengenai nilai sosial cerita ketoprak
Ronggolawe Gugur menggambarkan suatu
tindakan masyarakat, baik berupa nilai tingkah
laku yang menggambarkan suatu kebiasaan.
Adapun nilai sosial dalam cerita ketoprak
Ronggolawe Gugur terdiri atas (1) peng-
abdian, (2) tolong menolong, (3) kekeluarga-
an, (4) kepedulan, (5) disiplin, (6) empati, (7)
keadilan, (8) toleransi, dan (9) kerjasama.
Daftar Pustaka
Admizal, dkk. 2018. “Pendidikan Nilai
Kepedulian Sosial pada Siswa Kelas V di
Sekolah
Dasar.”
Journal
Gentala
Pendidikan Dasar. Vol. 3. No.1.
Hartoko, Dick. 1989. Pengantar Ilmu Sastra.
Jakarta: Gramedia.
Indriani, Suri dkk. 2019. “Analisis Nilai Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
untuk Mengembangkan Sikap Keadilan di
Desa Pusat Damai Kecamatan Parindu
Kabupaten Sanggau.” Jurnal Pendidikan
Kewarganegaraan. Vol.3. No.2.
Kanzunnudin, Mohammad, dkk. 2017.
“Structure and Value of Story Pross of the
People of Kudus Society.” International
Journal of Economik Research. Vol.14. No.
13.
Huberman, Michael, dan Matthew B.Miles A.
2007. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-
Press.
Pujiono, dkk. 2019. “Penerapan Nilai
bertoleransi dalam Kehidupan Kebebasan
Beragama Bagi Siswa Menengah Kejuran
(SMK).” Artikel Publikasi UNNES.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 54 |
pymupdf
|
Anita Pipit Aziz, Mohammad Kanzunnudin, Muhammad Noor Ahsin/Widyasastra, 3(2), 2020, 91—101
©2020, Widyasastra
101
Putra, dkk. 2018. Eksistensi Kebudayaan
Tolong Menolong (Kaseise) Sebagai
Bentuk Solidaritas Sosial Pada Masyarakat
Muna.” Jurnal Neo Societal.Vol.3. No.2.
Selvina. 2016. “Empati dan Penggunaan Situs
Jejaring Sosial Sebagai Faktor dalam
Membentuk Moral Remaja.” Jurnal
Psikologi Ulayat. Vol.3. No.2.
Setyawan, Bagus W. dkk. 2018. “Potret Kondisi
Sosial Masyarakat Jawa Dalam Naskah
Ketoptrak Klasik Gaya Surakarta.” Aksara.
Vol. 30. No. 2.
Siswantoro. 2014. Metode Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi Robert
Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudirman. 2013. “Internalisasi Nilai Kerjasama
pada Kuliah Kerja Mahasiswa Berbasis
Participatory Action Research Sebagai
ppaya Mewujudkan Kepedulian Sosial.”
Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol.5. No.1
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan
Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta Bandung.
Zubaedi.
2006.
Pendidikan
Berbasis
Masyarakat Upaya Menawarkan Solusi
Terhadap Berbagai Proplem Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 55 |
pymupdf
|
102
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
AKTOR DAN PENGAYOM SANGGAR-SANGGAR SASTRA JAWA DI
YOGYAKARTA TAHUN 1991—2020
ACTORS AND PATRONS OF JAVANESE LITERARY COMMUNITIES IN
YOGYAKARTA BETWEEN 1991—2020
Yohanes Adhi Satiyoko
Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Jalan I Dewa Nyoman Oka 34 Yogyakarta
Posel: [email protected]
Abstrak
Penelitian “Aktor dan Pengayom Sanggar-Sanggar Sastra Jawa di Yogyakarta Tahun 1991—
2020” adalah penelitian akumulatif dari beberapa penelitian terkait. Masalah dan tujuan
penelitian dirumuskan dalam menemukan aktor-aktor kreatif sastra Jawa melalui pemetaan
komunitas dan sanggar-sanggar sastra Jawa di DIY. Berkutnya adalah menemukan dan
menjelaskan kehidupan sanggar-sanggar sastra Jawa tersebut dan pengayom yang mendukung
kehidupan sanggar-sanggar tersebut. Pembahasan dilakukan dengan memanfaatkan teori
sosiologi Talcot Parson dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tahun 1991 merupakan tahun kunci kebangkitan sanggar sastra Jawa di DIY. Sastrawan-
sastrawan Jawa memulai dan mengembangkan diri melalui Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta
(SSJY) di bawah kepengayoman Balai Bahasa Yogyakarta. Para sastrawan dari SSJY kemudian
berusaha mengembangkan sastra Jawa dengan menjadi motor penggerak kelahiran sanggar-
sanggar sastra Jawa di berbagai wilayah di DIY. Perkembangan ini menjadikan Lembaga-
lembaga pengayom semakin memberikan perhatian kepada kehidupan sastra Jawa.
Kata kunci: aktor, sastra Jawa, pengayom, DIY
Abstract
Research on “Actors and Patron of Javanese Literary Communities in Yogyakarta between
1991—2020” is an accumulation of several related studies. Problem formulation and objectives
of the study were formulated in finding creatives actors of Javanese Literature through
communities mapping and Javanese literary workshops in Yogyakarta. Furthermore, is finding
and explaining the life of those Javanese communities and patrons that support the life of
them. The discussion was performed using sociological theory by Talcot Parson and sociology
of literature approach. The result shows that year 1991was the key year of awakening Javanese
communities through Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) under the fostering of Balai
Bahasa Yogyakarta. Actors of SSJY then struggle to develop Javanese literature by becoming
motor in building Javanese literature communities (sanggar-sanggar sastra Jawa) in DIY
region. The development strengthens the patrons to be more active in giving attention to the
life of Javanese literature.
Keywords: actor, Javanese literature, patron, DIY
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 56 |
pymupdf
|
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
103
1.
Latar Belakang
Setidaknya ada enam kekhasan Yogyakarta
(Utomo, 2008: 1) yang dapat dicatat terkait
dengan kehidupan sastra. Pertama, Yogyakarta
sebagai kota budaya memberikan tawaran
dan ruang imajis bagi para sastrawan dan
calon sastrawan untuk berkarya. Kedua,
kondisi kota yang adhem ayem, kondusif,
akulturatif, dan heterogen menambah wa-
wasan kreatif bagi (calon) sastrawan. Ketiga,
jumlah perguruan tinggi, seperti UGM, UNY,
UIN, Sanata Dharma, Universitas Sarjana
Wiyata, dan lain sebagainya mampu “me-
ngumpulkan” banyak anak muda dari berbagai
daerah di seluruh Indonesia, bahkan luar
negeri dan memberi ruang belajar sastra-seni-
budaya. Keempat, banyaknya media cetak,
baik koran maupun majalah, yang memberi-
kan kolom khusus untuk publikasi karya
sastra. Beberapa media cetak tersebut, antara
lain Kedaulatan Rakyat, Merapi, Minggu Pagi,
Bernas, Suara Muhammadiyah, Djaka Lodang,
Pagagan, Basis, Pelopor, Horizon, Gadjah Mada,
Medan Sastera, dan sebagainya. Kelima,
maraknya penerbit di Yogyakarta di tahun
1990-an hingga 2000-an. Penerbit tersebut,
antara lain Yayasan untuk Indonesia, Yayasan
Bentang Budaya, Pustaka Pelajar, Gama Media,
ITTAQA Press, Titian Ilahi Press, Jalasutra, dan
Diva Press, Navila, Media Pressindo, dan lain-
nya. Tumbuhnya penerbit buku menjadi hulu
lahirnya banyak karya sastra di luar koran dan
majalah. Buku berjudul Tugu: Antologi 32
Penyair Yogyakarta (1986), Lima Penyair Yogya
ke Jakarta (1987), Melodia Rumah Cinta
(1991), Aku Ini (1991), Cinta Tanah Merah
(1992), Kupu-kupu Malam (Media Pressindo,
2004), Pak Kanjeng karya Emha Ainun Nadjib
(2000); Lumbini (Jalasutra, 2006) karya Kris
Budiman, Pratisara, antologi cerkak karya
Krishna Mihardja (Leutikaprio, 2012); Alun
Samudra Rasa karya Ardini Pangastuti (Surya
Samudra 2016); dan Antologi Geguritan
Serendipiti Astabrata karya Asti Pradnya Ratri
(SINT Publishing 2019) menjadi bukti subur-
nya penerbitan karya sastra di Yogyakarta.
Terakhir, keistimewaan Yogyakarta sebagai
sebuah lingkungan sastra adalah iklim kon-
dusif dan kompetitif dalam pergaulan ke-
sastraan di Yogyakarta. Sastrawan dari latar
belakang akademisi dan praktisi berelasi dan
berkomunikasi secara kreatif tanpa ada sekat
dan dikotomi (Sastra Indonesia dan Sastra
Jawa).
Keistimewaan Kota Gudeg ini menjadi
magnet bagi banyak orang untuk singgah dan
bahkan memutuskan menetap di Yogyakarta
untuk bergiat sastra. Nama-nama seperti
Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib,
Ahmadun Yosi Herfanda, Arswendo Atmowoloto,
Suparto Broto, Iman Budhi Santoso, Umbu
Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati,
dan banyak lagi sastrawan kampiun Indonesia
berproses kreatif di Yogyakarta. Seiring
keberadaan banyak orang berproses kreatif
sastra tersebut, pada gilirannya, kemunculan
komunitas-komunitas sastra di Yogyakarta
menjadi sebuah keniscayaan (Utomo, 2008:
1—11). Keberadaan kantung-kantung sastra
hingga 1990-an tidak lepas dari keinginan
untuk berproses kreatif dan berusaha me-
numbuhkan iklim bersastra yang baik di
Yogyakarta.
Berkaitan dengan pengembangan dan
perkembangan sastra Jawa di DIY, beberapa
penelitian telah dilakukan. Salah satu penelitian
tersebut berjudul Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta dalam Perspektif Sosiologi Talcott
Parsons (Darmawan, 2014: 1—138). Pene-
litian tersebut mendedahkan Sanggar Sastra
Jawa Yogyakarta sebagai objek material di-
amati menggunakan pandangan Talcott Parsons
dalam hal sistem sosial yang disebut sebagai
kebutuhan fungsional, antara lain latent pattern-
maintenance, integration, goal attaintment, dan
adaptation. Berlandaskan empat kebutuhan
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 57 |
pymupdf
|
104
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
fungsional tersebut, Darwaman menyimpul-
kan bahwa Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta
mampu bertahan dalam jangka waktu lama
karena memelihara sistem adaptasi dengan
menyatukan diri dengan lembaga pemerintah.
Selain itu, kebertahanan Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta juga ditopang adanya tujuan
jangka pendek dan panjang, harmonisasi
integritas, dan pola regenerasi dengan inter-
nalisasi nilai dan norma.
Penelitian lain berjudul Sanggar-Sanggar
Sastra Jawa Modern di Jawa Tengah dan di
Daerah Istimewa Yogyakarta (Widati, 1999).
Widati cenderung mengamati kondisi umum
kemunculan komunitas-komunitas sastra Jawa
di Jawa Tengah dan di DIY. Di sisi lain, Widati
juga menyoroti rupa-rupa kegiatan, sifat
organisasi, tempat berkumpul, anggota, moti-
vasi pendirian, cara kerja, perkembangan,
hambatan, dan penyebab kematian. Penelitian
berjudul Ikhtisar Perkembangan Sastra Jawa
Periode Kemerdekaan (Widati,dkk., 2011)
membeberkan perkembangan sastra Jawa,
salah satunya, di Yogyakarta menyoroti akti-
vitas pengarang, penerbit, dan pembaca sastra
Jawa sampai dengan kurun waktu tahun 2000-
an.
Berbagai penelitian lain yang menunjuk-
kan perkembangan sastra Jawa di Yogyakarta
mengilustrasikan kehidupan sastra dari sudut
pengarang, media massa, dan pengayom.
Namun, di dalam perkembangan zaman,
dinamika kehidupan bersastra dapat diamati
dari sisi aktivitas dan aktivisnya (actor) serta
dinamika perkembangan kepengayoman.
Berdasarkan urian di atas, masalah yang
diangkat pada penelitian ini adalah (1)
bagaimana profil sanggar-sanggar sastra
Jawa di DIY tahun 1991—2020? (2) Bagai-
mana sistem pemertahanan sanggar-sanggar
sastra Jawa tersebut?
2.
Metode
Berdasarkan latar belakang di atas tampak
bahwa perspektif yang menarik dipertim-
bangkan ialah perspektif Pierre Bourdieu dan
Talcott Parsons. Kedua perspektif itu berbasis
pada sosiologi sastra. Pembeda perspektif
tersebut ada pada konteks agen dan sistem.
Pierre Bourdieu sebenarnya juga mem-
bicarakan perihal sistem, tetapi lebih dominan
menyoroti pergerakan agen-agen dalam
sistem tersebut.
Sementara itu, perspektif Talcott Parsons
menguraikan sistem sosial dan konteks relasi
struktur fungsional. Relasi struktur fungsional
menempatkan keterikatan komponen satu
dengan lainnya dalam ruang sosial. Sebagai
sebuah sistem, setiap komponen dalam ruang
sosial saling berpengaruh sehingga turut
memengaruhi berhasil tidaknya atau langgeng
tidaknya suatu sistem sosial.
Dalam konteks teoritis, perspektif Talcott
Parsons memadai untuk mendedah masalah
komunitas sastra Jawa dan sastra Indonesia
di Yogyakarta. Pandangan ini dilandasi oleh
asumsi bahwa keberadaan dan kebertahanan
komunitas sastra Jawa dan Indonesia di
Yogyakarta merupakan hasil relasi sistem
kehidupan sastra. Sebagai sebuah sistem,
komunitas sastra Jawa dan Indonesia di
Yogyakarta disinyalir berkat topangan struk-
tur atau komponen-komponen yang saling
mengikat. Berlandaskan perspektif Talcott
Parsons, penelitian terhadap sanggar-sanggar
sastra Jawa di Yogyakarta ini bertujuan me-
ngurai faktor-faktor pendukung tindakan
mendirikan sanggar-sanggar sastra Jawa dan
Indonesia di Yogyakarta serta cara-cara mem-
pertahankan sistemnya.
Teori sosial Talcott Parsons tentang struk-
tural fungsional, sekitar tahun 1950-an sampai
pada tahun 1960-an, menjadi landasan pe-
ngembangan teori modernisasi. Ia merupakan
tokoh kunci perspektif stuktural fungsional
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 58 |
pymupdf
|
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
105
yang selama kurang lebih 40 tahun mendomi-
nasi sosiologi Amerika melalui dua bukunya
The Structure of Social Action (1937) dan The
Social System (1951) (Meinarno, 2011: 264).
Parsons mengemukakan minatnya untuk
menjawab dua permasalahan mendasar
tentang masyarakat, yaitu (1) permasalahan
tentang aksi sosial: mengapa manusia ber-
tindak dengan cara tertentu? Seberapa jauh
tindakan manusia dibentuk oleh pengaruh
eksternal serta apa konsekuensi atas tindakan
tersebut, baik yang disengaja maupun tidak
disengaja? (2) permasalahan pengaturan
sosial: bagaimana tindakan sosial dapat diper-
banyak sehingga menghasilkan pola sosial
yang terkoordinasi? Sejauh mana pola sosial
tersebut dipengaruhi oleh kekuatan atau
dorongan atau konsensus?
Dalam analisis struktural fungsionalnya,
Parsons (dalam Meinarno, 2011:264-265)
berpendapat bahwa masyarakat terdiri atas
jejaring yang sangat besar, saling tehubung,
dan setiap bagiannya membantu memelihara
sistem secara keseluruhan. Individu-individu
beperan sebagai pembawa aturan sosial yang
biasanya diinternalisasi dalam kepribadian
dan proses-proses reproduksi sosial. Tujuan
aturan sosial yang dibawa individu tersebut
adalah untuk mencapai konsensus sosial atau
integrasi sosial. Aturan sosial akan diper-
tahankan jika dapat membantu memelihara
eksistensi dan kestabilan masyarakat. Namun
jika tidak, aturan sosial tidak akan diwariskan
kepada generasi selanjutnya.
Sistem sosial terdiri dari berbagai macam
aktor dan berbagai macam kepentingan yang
dibangun berdasarkan sistem norma atau nilai
yang telah disepakati. Dalam fungsionalisme
struktural, Parsons memperlakukan sistem
sosial sebagai sebuah fenomena ilmiah.
The interaction of individual actors, that
is, takes place under such conditions that
it is possible to treat such process of
interaction as a system in the scientific
sense and subject it to the same order of
theoretical analysis which has been
successfully applied to other types of
systems in other sciences (Parsons, 1991:
1).
Parsons memperlakukan interaksi yang
terjadi antara individu-individu sebagai
sebuah sistem sehingga sangat mungkin
untuk diteliti secara ilmiah karena memiliki
struktur dengan bagian dan fungsi yang jelas
dari masing-masing bagian. Sistem ini terdiri
atas aktor-aktor yang bertindak berdasarkan
kondisi tertentu sehingga proses interaksi
adalah kesatuan perilaku berbagai individu
dalam sebuah sistem.
Sistem sosial dari sebuah tindakan dilihat
oleh Parsons sebagai sesuatu yang mem-
punyai kebutuhan yang harus dipenuhi kalau
mau terus hidup dan sejumlah bagian-bagian
yang berfungsi untuk menemukan kebutuhan-
kebutuhan itu (Craib, 1994: 58). Semua sistem
yang hidup dilihat sebagai sesuatu yang
cenderung mengarah kepada keseimbangan
atau suatu hubungan yang stabil dan se-
imbang.
Menurut Parsons, sebuah tindakan dapat
terjadi apabila memiliki faktor-faktor yang
dapat mendukung terjadinya tindakan. Ada
empat faktor yang dikemukakan Parsons
(1966: 44), yaitu sebagai berikut: (1) Agen
atau aktor adalah sebutan bagi orang yang
melakukan tindakan. Maksudnya adanya ‘tin-
dakan’ berarti mengisyaratkan adanya pelaku;
(2) Akhir atau dalam hal ini bisa disebut
sebagai orientasi atau tujuan atas tindakan
yang dilakukan, yaitu suatu kondisi masa
depan yang akan dikejar oleh tindakan ter-
sebut; (3) Situasi yang membuat aktor ber-
tindak. Dalam hal ini bisa dibagi menjadi dua,
yaitu situasi di mana aktor tidak memiliki
kontrol yang berimbas pada ketidakmampuan
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 59 |
pymupdf
|
106
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
dia untuk mengubah (kondisi) dan situasi di
mana aktor memiliki kontrol sehingga ia dapat
mengubah (cara). Lebih mudahnya, tindakan
harus dimulai dalam sebuah ‘situasi’, baik
situasi yang bisa diubahnya maupun situasi
yang tidak bisa diubah, yang memungkinkan
si aktor mencapai tujuannya; (4) Sarana-
sarana alternatif yang menyediakan
kesempatan bagi aktor untuk memilih pada
kondisi tertentu. Sarana alternatif dapat juga
dipahami sebagai alat yang berbeda-beda yang
memungkinkan tujuan itu bisa tercapai dengan
aktor harus memilih di antaranya (Craib,
1994:57). Tindakan juga melibatkan ‘sarana-
sarana’ yang dengannya si aktor bisa dengan
lebih mudah melakukan tindakan-tindakan.
Dalam hal kontrol dari aktor, sarana yang
dipakai tidak dapat dipilih secara acak atau
hanya tergantung pada kondisi tindakan.
Namun, ia harus tunduk pada pengaruh aktor
independen yang selektif (Hamilton, 1990:74).
Melalui perspektif struktural fungsional
Talcott Parsons, penelitian ini berusaha men-
dedah struktur-struktur sistem yang melandasi
tindakan pembentukan komunitas dan upaya
pemertahanan komunitas.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa
tahapan. Pertama, penentuan objek material
dan objek formal penelitian. Objek material
penelitian ini ialah komunitas sastra Jawa dan
sastra Indonesia di Yogyakarta. Berikutnya,
objek formal kajian ini ialah tindakan-tindakan
yang melatarbelakangi tumbuhnya komunitas
dan upaya mempertahankan komunitas. Pers-
pektif struktur fungsional Talcott Parsons
menjadi pilihan cara untuk mengulas objek
formal yang telah ditentukan.
Kedua, penentuan sumber data. Pada
tahap kedua, sumber data meliputi komunitas
sastra Jawa dan sastra Indonesia di Yogyakarta.
Konteks Yogyakarta dimaknai bukan sekadar
wilayah kotamadya melainkan wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai sebuah wilayah
provins yang meliputi satu kotamadya (Kota
Yogyakarta) dan empat kabupaten (Sleman,
Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul).
Ketiga, pengambilan data. Pengambilan
data dilakukan melalui beberapa tahapan,
antara lain pendataan komunitas sastra Jawa,
observasi, dan wawancara terhadap pengurus
komunitas. Data berikutnya berasal dari data
sekunder, yakni data yang berasal dari sumber
buku, artikel, media masa, baik daring maupun
cetak, dan sumber sekunder lain yang me-
nguatkan data primer.
Keempat, analisis data. Hasil pengumpulan
data kemudian dianalisis menggunakan pers-
pektif struktur fungsional Talcott Parsons.
Untuk tindakan yang berkaitan dengan tindak-
an-tindakan pemertahanan, analisis data
menggunakan empat prinsip, yaitu agen/
aktor, akhir/orientasi, situasi, dan sarana-
sarana. Sementara, untuk mengupayakan pe-
mahaman upaya-upaya pemertahanan komu-
nitas, data akan didedah menggunakan prinsip
prasyarat fungsional, yaitu latent pattern-
maintenance, integration, attainment, dan
adaptation.
3.
Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
Komunitas sastra Jawa yang terhimpun pada
penelitian ini sejumlah 13 komunitas, yaitu
LKJ-Sekar Pangawikan, Sanggar Cakra Adi-
luhung, Sangisaku, Sanggar Sastra Jawa
Paramarta, Komunitas Jangkah, Pasbuja Kawi
Merapi, Sanggar Sastra Jawa Presaja, Sanggar
Sastra Jawa Mangir, Jawa Gandrung, Komu-
nitas Selasa Sastra, Sanggar Sastra Jawa
Yogyakarta (SSJY), Jawasastra Culture
Movement, dan Sastra Jawa Pesindenan.
Masing-masing komunitas menunjukkan
kekhasannya dalam tindakan, yaitu aktor,
tujuan, situasi, dan sarana. Begitu pun dalam
hal pemertahanan sistem. Setiap komunitas
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 60 |
pymupdf
|
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
107
memiliki sistem tersendiri berupa adaptasi,
tujuan, integritas, dan pemeliharaan pola.
Aktivitas sanggar-sanggar tersebut antara lain
pelatihan menulis dan membaca karya sastra
Jawa, diskusi dan kritik sastra, pemanggungan
di berbagai tempat strategis, penerbitan buku,
dan publikasi kesastraan melalui media sosial.
Tahun 1991—2020 adalah tahun penting
bagi perkembangan sastra Jawa di DIY. Hal itu
ditandai dengan adanya “Temu Pengarang,
Penerbit, dan Pembaca Sastra Jawa 1990” dan
dilanjutkan dengan pembentukan Sanggar
Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). SSJY inilah
yang pada akhirnya melahirkan aktor-aktor
(sastrawan) penggerak dan pengembang
kehidupan sastra Jawa di DIY. Aktor-aktor
tersebut menjawab kebutuhan masyarakat
yang menginginkan agar sastra Jawa dikenal-
kan kembali, dibumikan di tanah Jawa, dan
dikembangkan untuk kepentingan kehidupan
sosial. Kehidupan sanggar-sanggar sastra
Jawa yang dinamis dan berkembang tersebut
semakin diperhatikan dan dikembangkan oleh
lembaga-lembaga pengayom, seperti Pura
Pakualaman, Balai Bahasa DIY (yang sudah
mengayomi SSJY sejak tahun 1991), Dinas
Kebudayaan DIY, dan beberapa pengayom lain
seperti yayasan. Selain pengayom sanggar-
sanggar itu juga melakukan usaha mandiri
dari para anggotanya.
3.2. Pembahasan
3.2.1
Tindakan: Aktor, Tujuan, Situasi,
dan Sarana
Mendiskusikan tindakan aktor, tujuan, situasi,
dan sarana tidak dapat dilepaskan dari pe-
milihan periode tahun 1991—2020. Tahun
1991 merupakan tahun berdirinya Sanggar
Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) yang mem-
punyai kantor sekretariat di Balai Bahasa
Provinsi DIY. Lahirnya SSJY dilatarbelakangi
oleh adanya “Temu Pengarang, Penerbit, dan
Pembaca Sastra Jawa 1990” yang dilaksana-
kan di Purna Budaya Yogyakarta. Anggota SSJY
pada waktu itu adalah sastrawan, budayawan,
dan jurnalis yang beraktivitas di DIY.
Kehidupan SSJY berlangsung dinamis dan
kreatif karena dibidani, dipelopori, dan di-
jalankan oleh aktor-aktor yang memang
mempunyai misi dan visi kuat untuk mengem-
bangkan sastra Jawa. Mereka berkumpul
dalam SSJY untuk mengongkretkan situasi
yang terbangun atas dasar kebersamaan
untuk mengembangkan sastra Jawa yang
sudah lama mati suri.
Legitimasi sastra, baik karya maupun
pengarang memerlukan media massa sebagai
pelakunya. Melalui media massa, pengarang
dan karya sastra dapat diakui dan disahkan
eksistensinya. Media massa adalah ruang
dinamis atau ruang hidup bagi karya sastra.
Melalui media massa, kritikus mampu mem-
beri sumbangan pemikiran lewat tulisan se-
cara bertanggung jawab. Media massa men-
jadi patokan sah atau tidaknya seseorang
disebut sebagai penyair, cerpenis, atau
sastrawan (Salam dan Saeful, 2015: 29). Ber-
dasarkan hal tersebut, aktivitas sastra Jawa
pun semakin diperhatikan dan dikembangkan
oleh para pengarang, jurnalis, dan pemerhati
sastra budaya Jawa.
Aktivitas SSJY dikembangkan melalui
beberapa kegiatan seperti pelatihan, diskusi
sastra, penerbitan majalah sastra berbahasa
Jawa Pagagan, serta pemanggungan. Pada
kurun waktu tahun 1991sampai dengan 2020
kehidupan dan perkembangan sastra Jawa di
DIY begitu menggembirakan. Peran media
massa menjadi salah satu agen penting dalam
memublikasikan karya sastra Jawa dan akti-
vitas bersastra Jawa di Yogyakarta. Koran
Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Mekar Sari,
Djaka Lodang, Panyebar Semangat, Jaya Baya,
dan lain-lain menjadi media ekspresi estetik
bagi sastra Jawa di Yogyakarta.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 61 |
pymupdf
|
108
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
Keberadaan sanggar-sanggar sastra di
Yogyakarta memiliki keunikan jika dikaitkan
dengan aktor di balik lahirnya suatu komu-
nitas. Keunikan yang menyertai munculnya
komunitas sastra di Yogyakarta tidak lepas dari
situasi kondusif yang terbangun di Yogyakarta.
Aktor yang turut membidani lahirnya suatu
komunitas turut berproses bersama komu-
nitas sastra lain. Mereka mayoritas adalah
insan sastra Jawa yang pernah dan masih aktif
di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY). Di
komunitas sastra Jawa, sosok-sosok berikut
merupakan pemrakarsa dan punggawa yang
terlibat, yaitu Margareth Widhy Pratiwi, Ardini
Pangastuti, Yohanes Siyamta, R. Bambang
Nursinggih, S.Sn., R. Jumiyo Siswa Pangarsa,
S. Pd., Suwarto. S.Pd., Muhammad Bagus
Febriyanto, S.S. M.A., Marjono, S.Pd., Heri
Istiyawan, S.H., Iwan Heru Nuryanto, SP., Ki
Saridal, S.Pd., dan Drs. Sugiyanto (inisiator
komuntias Kebudayaan Jawa Sekar Pangawi-
kan). Selain itu, Anto Yuniarto mendirikan
Sanggar Cakra Adiluhung, Drs. Pribadi
(Sanggar Sangisaku), Bambang Nugroho,
Bardikari Jaatmiko, Tedy Kusyaeri, Margareth
Widhy Pratiwi, Ardini Pangastuti, Suyati, dan
Nur Rois mendirikan Sanggar Sastra Jawa
Paramarta. Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta
diprakarsai oleh Sri Widati, Ratna Indriani,
Dhanu Priyo Prabowo, Herry Mardianto, dan
Tirto Suwondo. Sastra Jawa Pesindenan lahir
atas prakarsa AY. Suharyono dan Ragil
Suwarno Pragolapati.
Dalam konteks tujuan dan situasi, seperti
konsep Talcot Parsonss, pemrakarsa komu-
nitas sastra, baik sastra Jawa maupun sastra
Indonesia dilandasi oleh kondisi masyarakat,
antara lain karena generasi muda dianggap
kurang peduli dan enggan mengembangkan
sastra (sastra Jawa). Selain itu, mereka ingin
mengembangkan sastra Jawa agar sesuai
dengan kemajuan zaman. Secara spesifik,
komunitas sastra Jawa, misalnya Komunitas
Jagongan Naskah (Jangkah), menitikberatkan
secara khusus pada pentingnya pelestarian
naskah kuno. Selain itu, ia juga hendak men-
dukung pembangunan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI). Komunitas Pasbuja
Kawi Merapi diharapkan mampu menjadi
salah satu tonggak berkembangnya sastra
Jawa di Kabupaten Sleman. Sanggar Sastra
Jawa Presaja tumbuh atas keprihatinan komu-
nitas kecil penggemar dan pegiat sastra Jawa
di Gunungkidul. Komunitas Selasa Sastra yang
dimotori oleh Tedi Kusyairi selalu memberi
ruang ekspresi sastra Jawa di kafe-kafe (khu-
susnya di Kabupaten Bantul), dan komunitas
Album Sastra Jawa yang dimotori oleh Hayu
Avang Darmawan menghadirkan sastra Jawa
melalui YouTube.
3.2.2.
Pemertahanan Sistem: Adaptasi,
Tujuan, Integritas, dan Pola
Dalam konsep pemertahanan sistem, Parsons
mengemukakan empat fungsi penting yang
mutlak diperlukan bagi semua sistem sosial,
yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi,
dan latensi. Adaptasi yaitu sistem yang
dibangun harus bisa beradaptasi dengan
situasi eksternal dan harus bisa menyesuai-
kan diri dengan lingkungan. Berikutnya adalah
pencapaian tujuan. Langkah untuk mencapai
tujuan harus jelas sehingga tujuan dapat
tercapai dengan ukuran-ukuran yang dapat
dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, adalah
integrasi. Integrasi mensyaratkan adanya
sistem yang mampu mengatur dan menjaga
antarhubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya dengan cara mengatur dan
mengelola adaptasi dalam mencapai tujuan.
Terakhir adalah latensi, yaitu sistem yang
mampu berfungsi sebagai pemelihara pola
secara individual dan kultural.
Pemeliharaan pola secara individual dan
kultural yang dilakukan melalui media sanggar-
sanggar sastra Jawa mewujud berupa akti-
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 62 |
pymupdf
|
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
109
vitas pemertahanan kehidupan komunitas
sastra di dunia sosial. Komunitas-komunitas
sastra yang lahir atas prakarsa individu atau-
pun kelompok hidup dalam sebuah sistem
sosial budaya yang melingkupinya. Keber-
tahanan kehidupan terjadi ketika sanggar
atau komunitas beradaptasi dengan sistem
yang berlaku. Adaptasi dengan sistem yang
berlaku berarti menyesuaikan diri dengan
gerak dasar kehidupan sastra, yaitu kreasi dan
apresiasi yang sesuai dengan karakter masya-
rakat di Yogyakarta yang selalu dinamis. Kreasi
dan apresiasi menjadi tujuan yang menjadi
motor pemertahanan kehidupan sastra.
Kehidupan melalui aktivitas yang dilakukan
secara berkala membutuhkan dukungan dana
dan pengaturan kegiatan yang terstruktur
serta fungsional bagi lingkungan sosial
sekitarnya.
Upaya pemertahanan kehidupan sanggar
atau komunitas sastra dilakukan secara
mandiri, kelompok, ataupun bernaung di
bawah kepengayoman lembaga yang berkom-
peten. Beberapa sanggar yang baru saja ber-
diri aktivitasnya ditopang oleh kontribusi para
anggotanya. Sebagian lagi ada yang sudah
mempunyai pola pembinaan terstruktur
memperoleh subsidi dari lembaga pemerintah
terkait, seperti perguruan tinggi, dinas kebu-
dayaan, dan balai bahasa. Upaya pemertahan-
an kehidupan komunitas dan sanggar sastra
juga sangat dipengaruhi oleh gerak langkah
lembaga-lembaga pengayom yang terkait
dengan aktivitas kesastraan tersebut. Berbagai
program pembinaan dan pengembangan
sastra, seperti pelatihan penulisan dan pem-
bacaan karya sastra, lomba, kompetisi, sayem-
bara kesastraan Jawa dan Indonesia, temu
sastra, festival sastra-budaya, penghargaan
karya sastra unggul, dan lain sebagainya
mendorong aktivitas kesastraan semakin ber-
kembang.
Pengelompokan kegiatan dan pengayom
kehidupan sanggar sastra Jawa menunjukkan
bahwa pembentukan sanggar-sanggar dilan-
dasi oleh refleksi para aktor pencetusnya
dengan menangkap fenomena sosial budaya
masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
untuk beraktivitas dalam pembinaan dan
pengembangan sastra. Semangat keberlanjut-
an pada program kerja sanggar seakan tidak
begitu tergantung pada dukungan pengayom.
Jika dicermati, dalam sistem yang ber-
landaskan struktur kehidupan sosial terdapat
tiga titik dasar penting yang menghidupi
berdirinya, keberlangsungan hidupnya, serta
arah fungsional kegiatan setiap sanggar sastra
Indonesia dan Jawa, yaitu Masyarakat-Sanggar-
Pengayom. Ketiga kutub tersebut saling ber-
hubungan dan saling bergantung bagi keber-
langsungan kehidupan sanggar-sanggar
Sastra Indonesia dan Jawa di Daerah Istimewa
Yogyakarta. Ketika hadir pengayom yang kuat
dari segi pendanaan dan keluasan penyediaan
sarana serta prasarana pembinaan dan pe-
ngembangan sastra, dukungan tersebut mem-
buat usia sanggar semakin lama. Berikut ini
tabel sanggar, aktivitas, dan pengayom yang
ada di DIY.
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 63 |
pymupdf
|
110
Yohanes Adhi Satiyoko/Widyasastra, 3(2), 2020, 102—112
©2020, Widyasastra
No
Nama
Aktivitas
Pengayom
1
Sanggar Sastra
Jawa Yogyakarta
(SSJY)
Pelatihan menulis dan membaca
karya sastra Jawa, diskusi sastra,
penerbitan karya sastra Jawa dan
majalah Pagagan.
Balai Bahasa
Provinsi
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
2
LKJ-Sekar
Pangawikan
Pentas sastra dan budaya
Mandiri
3
Sanggar Cakra
Adiluhung
Pelatihan menulis karya sastra,
diskusi, pagelaran seni
Mandiri
4
Sangisaku
Menulis dan mementaskan karya
sastra Jawa dan Indonesia
Mandiri
5
Sanggar Sastra
Jawa Paramarta
Latihan menulis, mementaskan,
lomba sastra Jawa, penerbitan
buku sastra Jawa
Dinas
Kebudayaan
Bantul
6
Komunitas
Jangkah
Menerjemahkan karya sastra
Jawa kuna, diskusi sastra-filologi
Pura
Pakualaman,
Daerah
Istimewa
Yogyakarta
7
Pasbuja Kawi
Merapi
Pelatihan menulis karya sastra
Dinas
Kebudaan
Sleman
8
Sanggar Sastra
Jawa Presaja
Pelatihan kreatif menulis karya
sastra Jawa, diskusi sastra,
pementasan, penerbitan majalah
sastra Jawa Gumregah
Dinas
Kebudayaan
Gunungkidul
9
Sanggar Sastra
Jawa Mangir
Pelatihan menulis karya sastra
Jawa dan pementasan
Mandiri,
Sekolah, Dinas
Kebudayaan
Bantul
10
Jawa Gandrung
Penerbitan majalah sastra Jawa
Nilakandi
Mandiri
11
Komunitas Selasa
Sastra
Pementasan, peluncuran buku
sastra Jawa, dan diskusi sastra
Jawa
Dinas
Kebudayaan
Bantul
12
Jawasastra
Cultural Movement
beberapa program, antara lain
Ekspedisi Sastra Jawa, Sayembara
Misuh, dan Diskusi Sambi Ngopi.
Program Ekspedisi Sastra Jawa
ditujukan sebagai penghubung
Jawasastra dengan masyarakat
desa menggunakan sarana sastra
Jawa lisan. Program Sayembara
Misuh sebagai program hiburan
yang menjadi tempat berekspresi
kawula muda Jawa pengguna
media sosial.
Mandiri
13
Sastra Jawa
Pesindenan
Menulis karya sastra Jawa
Mandiri
14
Selasa Sastra
Menyelenggarakan
pementasan sastra Jawa setiap
hari selasa
Mandiri
|
Widyasastra%2C%20Volume%203%2C%20No.%202%2C%20Des%202020
| 64 |
pymupdf
|
Subsets and Splits
No community queries yet
The top public SQL queries from the community will appear here once available.